Anda di halaman 1dari 22

Ringkasan Riwayat Hidup Ranggong Daeng Romo

Ranggong Daeng Romo lahir pada 1915 di Bone-Bone, Moncokomba, Polongbangkeng,


Sulawesi Selatan. Beliau menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau
sekolah Belanda untuk bumiputera, dan Taman Siswa di Makassar setelah sebelumnya menimba
ilmu agama di salah satu pesantren di Cikoang.

Setelah menyelesaikan pendidikan, Ranggong Daeng Romo terlibat dalam pemerintahan sebagai
Gallarang Moncokomba. Pada masa pendudukan tentara Jepang, Ranggong Daeng Romo bekerja
pada perusahaan Jepang, Naniyo Kuhatsu Kabusuki Kaisha (NKKK), yaitu perusahaan pengepul
beras milik militer Jepang di Takalar.

Setelah Indonesia merdeka, persisnya pada tanggal 16 Oktober 1945, Ranggong Daeng Romo
memimpin angkatan Muda Bajeng, untuk membakar semangat para pemuda dalam melawan
penjajahan tentara Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA, Pemerintahan Sipil Hindia
Belanda). Atas persetujuan Karaeng Polongbangkeng Pajonga Daeng Ngalle, Ranggong Daeng
Romo termasuk salah satu yang memprakarsai berdirinya organisasi perjuangan di
Polongbangkeng, yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Muda Bajeng (GMB). Pada
mulanya Ranggong Daeng Romo hanya diangkat sebagai komandan barisan pertahanan untuk
wilayah Moncokomba dan merangkap sebagai Kepala Wilayah (Bone) Ko'Mara.

Kemudian pada 5 Desember 1945, ia diangkat menjadi Komandan Barisan Gerakan Muda
Bajeng, yang kegiatannya tak hanya pada bidang kemiliteran, tetapi juga di bidang
pemerintahan. Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan, ia bersama Gerakan Muda Bajeng
tak jarang mengalami bentrok senjata dengan pasukan kolonial Belanda. Dengan mengerahkan
100 pasukan Gerakan Muda Bajeng, ia menyerang pangkalan serdadu kolonial Belanda di
Pappu, Takalar, pada 21 Februari 1946.

Pada 2 April 1946, GMB menjelma menjadi Laskar Lipan Bajeng, dan Ranggong Daeng Romo
diangkat sebagai pimpinan. Pada 17 Juli 1946, terbentuklah secara resmi organisasi gabungan
dari sembilan belas laskar perjuangan yang dikenal dengan nama "Laskar Pemberontak Rakyat
Indonesia Sulawesi" (LAPRIS), dan Ranggong Daeng Romo diangkat sebagai panglima (Ketua
bidang ketentaraan/kemiliteran).

Pada 27 Februari 1947, dalam satu pertempuran di Bukit Lengkese, Ranggong Daeng Romo
gugur dan dimakamkan di Bangkala. Pada 3 November 2001, berdasarkan Keppres
No.109/TK/2001, pemerintah menobatkan Ranggong Daeng Romo sebagai pahlawan nasional.
Awal Revolusi
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, pada 19 Agustus 1945,
Presiden Sukarno melantik delapan gubernur masing-masing provinsi. G.S.S.J. Ratulangi
dilantik sebagai Gubernur Sulawesi. Setelah pelantikan, Ratulangi bersama rombongan kembali
ke Makassar dan bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat di Sulawesi Selatan guna
membahas penyusunan pemerintahan di Sulawesi. Di antara tokoh yang dihimpun Gubernur
adalah Lanto Daeng Pasewang, Saleh Daeng Tompo, Zainal Abidin (ketiganya dari Sulawesi
Selatan), W. S. T. Pondaag (Sulawesi Utara), Josef Latumahina (Maluku), I. P. L. Tobing
(Sumatera), dan Soewarno (Jawa).
Ratulangi sebagai gubernur yang baru saja dilantik cenderung bersifat menunggu
kedatangan tentara Australia yang akan mengambil alih kekuasaan dari pendudukan Jepang. 1
Sebelum kedatangan tentara Australia, Ratulangi bergerak dengan sangat hati-hati. Kesulitan
mendasar yang dihadapi Ratulangi terutama adalah tokoh lokal yang memiliki keinginan menjadi
pemimpin pemerintahan sipil, seperti Najamuddin Daeng Malewa selaku Walikota Makassar
masa pendudukan Jepang. Najamuddin Daeng Malewa, bersedia membantu Ratulangi dengan
syarat ia diangkat sebagai wakil Gubernur. Tentu saja tuntutan ini harus dikonsultasikan dengan
Jakarta sehingga tidak dapat terpenuhi dengan cepat. Najamuddin Daeng Malewa merasa ter
marginalkan sebagai putra daerah Sulawesi Selatan. 2 Selain itu, Ratulangi juga berhadapan
dengan mereka yang pro-Belanda, seperti orang Tionghoa, minoritas Kristen dan bangsawan
(pejabat) lebih tua.3 Demikian pula, Ratulangi juga berhadapan dengan pemuda militan
menuntutnya segera mendeklarasikan dirinya selaku Gubernur Sulawesi bagian dari Republik
Indonesia. Namun, Ratulangi menolak tuntutan pemuda mendeklarasikan pemerintahan Republik
dan memilih membangun dukungan kaum intelektual dengan jumlah yang terbatas dan
bangsawan di pedesaan.
Penunjukan Sam Ratulangi sebagai Gubernur Provinsi Sulawesi tidak banyak
menghasilkan perubahan berarti di daerah ini. Hal ini disebabkan karena posisi Ratulangi sangat
1
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," hlm. 180.
2
Akibat kekecewaan Najamuddan Daeng Malewa terhadap Ratulangi, ia menerima tawaran NICA sebagai Handel
Consultant. Makkattang Daeng Sibali, Lipan Bajeng (1985), hlm. 39.
3
Anthony Reid, "Australia’s Hundred Days in South Sulawesi," in Nineteenth and Twentieth Century Indonesia:
Essays in Honour of Professor J. D. Legge, ed. M. C. Ricklefs David P. Chandler (Clayton, Victoria: Centre of
Southeast Asian Studies, Monash University, 1986), hlm. 207.
lemah sehingga ia tidak memiliki kepercayaan diri untuk menjalankan pemerintahan revolusi.
Ketika Ratulangi kembali ke Makassar sekitar 20-23 Agustus 1945, ia tidak benar-benar
mengumumkan dirinya sebagai gubernur yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia di Jakarta.
Beberapa tokoh dan pemuda mendesak agar Ratulangi mengumumkan dirinya sebagai Gubernur
Republik Indonesia dan mengambil alih pemerintahan di Sulawesi Selatan dari tangan Jepang,
namun ia malah mengemukakan alasan pertimbangan matematis bahwa syarat yang dapat
mendukung kekuasaan belum terpenuhi. Ratulangi berpandangan bahwa aparat pemerintahan
sangat lemah dan tidak memiliki kekuatan bersenjata. Menurutnya, Sulawesi tidak dapat
disamakan dengan Jawa di mana syarat-syarat pemerintahan mendukung.4 Sampai kedatangan
Sekutu di Sulawesi Selatan, 24 September 1945, tidak ada realisasi terbentuknya pemerintahan
Republik Indonesia di Sulawesi Selatan.5 Anthony Reid melihat bahwa penolakan Ratulangi
mendeklarasikan Republik di Sulawesi mungkin karena keraguan Ratulangi terhadap
kepemimpinan Sukarno dan kapasitasnya untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional.
Ratulangi tampaknya menjaga opsi terbuka terhadap kedatangan Sekutu dan tidak benar-benar
memperlihatkan otoritasnya sebagai Gubernur dari sebuah negara yang baru saja
memproklamasikan kemerdekaannya. Ratulangi seakan-akan hanya bekerja sebagai juru bicara
lokal untuk persatuan Indonesia yang menuntut kemerdekaan.6
Ratulangi tampaknya menyadari posisinya yang sangat lemah. Pendukungnya hanya
terbatas pada kelompok kelas menengah terdidik yang sebagian besar berdomisili di Makassar.
Memang, Ratulangi bersama beberapa rekannya berhasil mendirikan PKRS (Pusat Keselamatan
Rakyat Sulawesi), tetapi organisasi ini lebih bersifat yaysan dari pada sebuah partai politik.
Demikian pula, Ratulangi memang mendapat dukungan dari beberapa bangsawan, tetapi tidak
memiliki pendukung militer. Pertanyaan yang muncul kemudian seberapa jauh kesetiaan para
bangsawan ini jika ada pilihan alternatif yang ditawarkan. Kesetiaan para bangsawan ini benar-
benar teruji terutama ketika NICA (Netherland Indie Civil Administration) datang dengan
tawaran-tawaran baru. Posisi Ratulangi hanya seakan-akan hanya berada di antara Republik
Indonesia yang tidak mampu memberikan dukungan militer dan kaum bangsawan yang
mengendalikan penduduk.7

4
H. Mualwi Saelan, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 65: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa (Jakarta:
Yayasan Hak Bangsa, 2001), 39-41.
5
Sibali, Lipan Bajeng, 37.
6
Reid, "Australia’s Hundred Days in South Sulawesi," hlm. 207.
Oleh karena itu, Ratulangi sangat tergantung pada kebijakan Sekutu. Pada 23 September
1945 tentara Sekutu dari unsur kesatuan Australia di bawah Brigadir Jenderal Ivan Dougherty
mendarat di Makassar.8 Kedatangan sekutu diterima dengan sikap netral oleh Ratulangi. Akan
tetapi, NICA, suatu dinas pemerintahan yang terdiri atas sejumlah bekas aparat pemerintahan
masa kolonialisme Secara resmi, kehadiran NICA sebagai penasihat Sekutu. NICA telah
mengenal situasi Sulawesi daripada tentara Australia. Akan tetapi, NICA mengabaikan tugas
keikutsertaannya, bahkan segera menempatkan seluruh Sulawesi di bawah pemerintahan
Belanda. Dalam kondisi ini, Brigadir Jenderal Ivan Dougherty berada dalam posisi sulit. Satu sisi
tentara Australia menerima perintah untuk tetap netral dalam bidang politik dan membatasi diri,
menerima penyerahan tentara Jepang, mengurus tawanan perang dan interniran serta menjaga
keamanan dan ketertiban. Namun sisi lain, NICA yang ikut serta dengan Sekutu justru berusaha
menempatkan kembali pemerintahan Belanda. Keadaan ini tentunya akan memprovokasi
kelompok pro Republik sehingga dapat menimbulkan kekacauan.
Melihat situasi rumit di atas, Ratulangi berusaha melemahkan NICA dengan mencoba
meyakinkan Jenderal Ivan Dougherty bahwa keberadaan NICA akan memperburuk situasi
politik dan tentara Australia lah yang bertanggung jawab menjamin keamanan dan ketertiban.
Sebaliknya, pihak NICA mendesak Jenderal Ivan Dougherty agar memberikan kesempatan untuk
menjalin kontak dengan kaum bangsawan dan memisahkan mereka dengan Ratulangi.9 Pada 19
Oktober 1945, Dougherty digantikan oleh F. Chilton. Di bawah komando F. Chilton, Sekutu
memberi kesempatan kepada Republik untuk menduduki secepat mungkin semua pos di
pedalaman. Pada 19 Desember 1945, Ratulangi mengadakan pertemuan dengan Carel Lion
Cachet yang mewakili NICA. Dalam pertemuan ini dicapai sebuah kesepakatan antara Ratulangi
dan NICA. Kesepakatan ini pada dasarnya merupakan pengaturan-pengaturan yang dibuat
bersama sambil menunggu kepastian status kenegaraan bagi Indonesia.10 Akan tetapi
kesepakatan ini tidak pernah berjalan efektif karena ketidakpercayaan tentara Sekutu akan
terciptanya ketertiban dan keamanan mengingat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya yang
mengguncang posisi Sekutu. Ratulangi yang telah berusaha payah membuat petisi kepada PBB
7
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," hlm. 180-
81.
8
Sarita Pawiloy and Muhammad Abduh, Sejarah revolusi kemerdekaan, 1945-1949, Daerah Sulawesi Selantan
(Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980, 1980), hlm. 72.
9
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," hlm. 181.
10
Saelan, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 65: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, 52-53.
dengan mengumpulkan 450 tanda tangan dari berbagai pihak atau semua golongan justru
dibatalkan oleh Sekutu pada 17 Januari 1946.11
Revolusi Ratulangi di Sulawesi Selatan mengalami kegagalan. Kebijakan yang dianutnya
tidak meyakinkan dan perlahan-lahan semakin memperlihatkan kerapuhannya. Ratulangie tidak
berani menampilkan diri sebagai gubernur atas nama Republik Indonesia dan kerja samanya
dengan kaum bangsawan juga rapuh.12 Sebagai orang Manado berpendidikan Barat dan
beragama Kristen, Ratulangi terpisah jauh dari mayoritas bangsawan Bugis-Makassar yang
tinggal di pedalaman. Pengikutnya hanya terbatas pada kelompok kelas menengah di kota
Makassar. Dia berusaha mendekati kelompok bangsawan dan dua kali mereka menandatangani
surat permohonan yang meminta kemerdekaan dan otonomi. Surat pertama terlambat sehingga
menciptakan kesan yang kurang baik tentara Australia, sedangkan surat kedua hampir tidak
digubris.13 Ratulangie bersama sekelompok kecil pengikutnya berjuang melawan Belanda, tetapi
pada akhirnya Ratulangi ditangkap pada 5 April 1946 bersama enam orang rekannya. Sejak itu
pula Ratulangi diasingkan ke Serui.14
Meskipun Ratulangie tertangkap dan diasingkan, jumlah pengikut Republik di Sulawesi
Selatan semakin bertambah. Demikian pula jumlah anggota PNI di bawah pimpinan Tadjuddin
Noor di Makassar dan beberapa tempat lainnya semakin bertambah. Di daerah pedalaman, di
beberapa tempat terjadi keretakan kalangan elite bangsawan, misalnya di Wajo dan Sidenreng.
Ada daerah di mana suatu perlawanan kuat diatur oleh bangsawan lokal. Di Luwu suatu gerilya
dikobarkan oleh Datu Luwu melawan Belanda yang terus berlangsung hingga Juni 1946. 15 Di
Suppa, aliran pro-Republik begitu kuat sehingga daerah ini tidak bisa dimasuki oleh Belanda.
Demikian pula di Polombangkeng, perlawanan diorganisir yang dengan senjata melalui
organisasi kelaskaran yang dibentuk oleh bangsawan tinggi Polombangkeng.
Revolusi di Sulawesi Selatan selama tahun 1945-1947 mengalami kegagalan. Pada tahap
diplomatik pertama, gubernur atas nama republik mencoba membangun kekuatan melalui kerja
sama dengan bangsawan dan otoritas Sekutu melalui tentara Australia. Usaha ini gagal karena
karena keberhasilan pemerintah NICA memisahkan Ratulangie dari para bangsawan. Sebagian

11
Pawiloy and Abduh, Sejarah revolusi kemerdekaan, 1945-1949, Daerah Sulawesi Selantan, hlm. 73-74.
12
Pawiloy and Abduh, Sejarah revolusi kemerdekaan, 1945-1949, Daerah Sulawesi Selantan, hlm. 32-42.
13
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," hlm. 181.
14
Pawiloy and Abduh, Sejarah revolusi kemerdekaan, 1945-1949, Daerah Sulawesi Selantan, hlm. 74.
15
Tentang tahun-tahun revolusi di Luwu, sebuah monografi ditulis oleh H. M. Sanusi Daeng Mattatta, Luwu dalam
revolusi (Makassar: Yayasan Pembangunan Asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu (IPMIL), 1967).
besar anggota bangsawan yang menduduki jabatan pemerintahan terbukti segera bersedia bekerja
sama dengan Belanda. Memang di berbagai daerah terdapat bangsawan (raja) tidak bersedia
bekerja sama dengan Belanda, tetapi selalu terdapat oposisi dari raja tersebut yang bersedia
bekerja sama dengan Belanda dan mengambil alih jabatan pemerintahan.

Keadaan Revolusi di Polombangkeng


Lanto Daeng Pasewang menyampaikan berita kemerdekaan di Polombangkeng dengan
mengunjungi Palleko (Ibukota Distrik Polombangkeng). Beberapa pejabat yang memiliki atensi
dengan pergerakan nasional, di antaranya Mukdan, Kepala Pengadilan Takalar dan Saleh
Lahade, ajun penyuluh pertanian, menyambut berita proklamasi ini dengan memprakarsai
berdirinya sebuah organisasi nasionalis, yaitu Penjaga Keamanan Nasional Indonesia (PKPNI).
Organisasi ini diketuai oleh Saleh Lahade, Moh. Amin Daeng Nai sebagai sekretaris, Saraka
Daeng Mile sebagai kepala keamanan dibantu pemuda-pemuda masing-masing distrik di
Takalar. Tahap pertama kegiatan PKPNI adalah melatih para pemuda pengetahuan kemiliteran di
bawah pimpinan Abdul Muluk Tawang, bekas anggota Heiho pada masa pendudukan Jepang.16
Perebutan otoritas mulai tampak ketika pimpinan PKPNI memprakarsai berdirinya
organisasi nasionalis, yaitu Penunjang Kemerdekaan Indonesia (PRI). Organisasi ini
dimaksudkan menggantikan SUDARA, organisasi yang dirikan menjelang berakhirnya
kekuasaan Jepang di Sulawesi Selatan, bertujuan sebagai persiapan pemerintahan sipil. 17 Pada
awalnya organisasi ini dapat diterima dan didukung oleh para kepala distrik dan bangsawan
dalam wilayah onderafdeling Takalar, seperti Lemo Daeng Lira, gallarang Lassang, karaeng
Galesong, karaeng Lakatong, karaeng Lengkese, karaeng Pappa, dan karaeng Topejawa, dan
karaeng Polombangkeng, Pajonga Daeng Ngalle. Akan tetapi, pengangkatan Lemo Daeng Lira
dan Pajongan Daeng Ngalle sebagai ketua dan wakil ketua dalam PRI ternyata menimbulkan
masalah di dalamnya. Enam hari setelah terbentuknya organisasi ini terjadi pertentangan di
kalangan pemuda di Palleko. Mereka mengusulkan Pajongan Daeng Ngalle diangkat sebagai
ketua dengan pertimbangan bahwa Pajonga Daeng Ngalle merupakan bangsawan tinggi dan

16
Sibali, Lipan Bajeng, hlm. 46.
17
Sumber lain menyebutkan bahwa PRI dimaksudkan menggantikan SUDARA yang didirikan menjelang
berakhirnya kekuasaan Jepang di Sulawesi Selatan. Lihat Poelinggomang and Mappangara, Sejarah Sulawesi
Selatan Jilid 2, hlm. 147.
memiliki pengaruh kuat. Madinah Daeng Ngitung mewakili pemuda Palleko menyampaikan
usulan ini, namun tidak diterima.18
Akibat dari peristiwa di atas, Karaeng Polombangkeng, Pajonga Daeng Ngalle menarik
dari dari keanggotaan PRI dengan alasan bahwa ia tidak diberi tempat yang terhormat karena
berada dibawah Lemo daeng Lira. Mengingat Pajonga Daeng Ngalle adalah bangsawan tinggi di
Polombankeng. Ia juga berasal Moncongkomba, eks wilayah inti dari Kerajaan Bajeng.
Sementara Lemo Daeng Lira adalah bangsawan dari Lassang, sebuah wilayah yang ditambahkan
pada masa kekuasaan Gowa, VOC dan Hindia Belanda. Situasi politik di Polombangkeng ini
memperlihatkan bahwa revolusi Indonesia dan sebagai negara baru yang dibayangkan itu tidak
serta merta mencabut legitimasi dinasti lokal. Dengan kata lain, terdapat upaya menjadikan
kekuasaan tradisional sebagai referensi untuk menentukan siapa, dan bagaimana seseorang
diposisikan dan—atau memosisikan dirinya dalam revolusi. Tod Jones melihat bahwa perang
kemerdekaan (1945-49) merupakan periode formatif untuk negara-bangsa yang baru lahir,19 tidak
hanya berhadapan dengan keinginan Belanda berkuasa kembali di Indonesia, tetapi pertentangan
internal di tingkat lokal. Seperti halnya di Polombangkeng, sejak awal, ketika berita proklamasi
sampai di wilayah Takalar telah muncul perebutan otoritas dan “ego identitas”. Persaingan ini
memperlemah kesatuan dalam tubuh PRI. Setelah kunjungan pertama para pejabat NICA ke
Takalar, sebagian besar karaeng memutuskan untuk memperbaharui kerja sama dengan Belanda.
Termasuk Lemo Daeng Lira memilih pro NICA daripada mendukung proklamasi kemerdekaan
Indonesia.
Ketidakpuasan atas PRI, Madinah Daeng Ngitung dan Fachruddin Daeng Romo
menginisiasi terbentuknya wadah perjuangan bagi pemuda Polombangkeng. Keduanya kemudian
menemui Makaraeng Daeng Manjarungi, seorang tokoh pemuda yang banyak berhubungan
dengan gerakan nasionalis di Makassar, masih memiliki keturunan langsung dengan bangsawan
Polombangkeng, dan juga bekerja di kantor Pajonga Daeng Ngalle. Makaraeng Daeng
Manjarungi adalah orang yang tepat untuk meminta dukungan dari Pajonga Daeng Ngalle,
mengingat ia masih ponakan dan sekaligus bekerja sebagai pegawai di kantornya. Setelah
mendapat dukungan dari Makaraeng Daeng Manjarungi, Madinah Daeng Ngitung dan

18
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," hlm. 216-
17.
19
Masa revolusi merupakan masa formalisasi negara Indonesia yang baru saja dibentuk. Lihat Tod Jones, Culture,
Power, and Authoritarianism in the Indonesian State: Cultural Policy Across the Twentieth-century to the Reform
Era (London - Boston: Brill, 2013), hlm. 71.
Fachruddin Daeng Romo kembali menemui Syamsuddin Daeng Ngerang, seorang pemuda dan
masih memiliki keturunan dari bangsawan Polombangkeng. Mendengar penjelasan bahwa
Makaraeng Daeng Manjarungi bersedia menjadi pelopor organisasi pemuda akan dibentuk,
Syamsuddin Daeng Ngerang menyatakan kesiapannya menjadi bagian dari organisasi perjuangan
yang akan dibentuk. Pada hari-hari berikutnya, keempat pemuda ini berkumpul di Paleko dan
mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk menyampaikan kepada Pajonga Daeng Ngalle
mengenai rencana organisasi yang akan dibentuk.20
Rencana pembentukan organisasi pemuda sebagai wadah perjuangan disambut dengan
baik oleh Pajonga Daeng Ngalle. Ia kemudian memerintahkan keempat pemuda pelopor itu
untuk membentuk tim yang bertugas melakukan penerangan kepada seluruh masyarakat
Polombangkeng. Sementara Pajonga Daeng Ngalle sendiri akan berupaya meyakinkan
saudaranya yang pernah diasingkan masa pemerintahan Belanda, yakni, Tikolla Daeng Maleo
dan Majadi Daeng Sisila. Demikian pula, Pajonga Daeng Ngalle menghubungi kerabat dekatnya
yang masih menjabat gallarang, yakni, Baco Daeng Siantang, Sirajuddin Daeng Bundu, dan
Sahabuddin Daeng Saung. Keluarga besar bangsawan Polombangkeng, eks kerajaan Bajeng ini
kemudian bersepakat mendukung berdirinya organisasi mewadahi pemuda Polombangkeng.
Selanjutnya, para keluarga besar kerajaan Polombangkeng ini berkumpul kembali di
Balla Lompoa21 di Bontokadatto. Perpedaan pandangan ini diatasi oleh Pajonga Daeng Ngalle
dengan membentuk tim untuk turun langsung menyampaikan kepada tokoh-tokoh masyarakat
agar menjadi bagian dari organisasi perlawanan yang akan dibentuk. Mereka kemudian disebut
tim penerangan dan penggerak.22 Tim ini begerak mulai dari Lassang, Bontowa-Malolo, Bonto
Sanra, Canrego, Pattalassang dan Melewang. Mereka mengampanyekan sebuah pertemuan akan
digelar yang melibatkan tokoh masyarakat Polombangkeng.

20
Makaraeng Daeng Manjarungi dan Syamsuddin Daeng Ngerang seperti Twitunggal dalam perjuangan
kemerdekaan di Polombangkeng. Makaraeng Daeng Manjarungi merupakan putra asli Polombangkeng yang paling
banyak terlibat dalam keidupan politik pergerakan kebangsaan Indonesaia sejak seelum perang Dunia II, sedangkan
Syamsuddin Daeng Ngerang satu-satunya putra asli Polombangkeng yang meraih pendidikan tingkat AMS. Lihat
Sibali, Lipan Bajeng, hlm. 43.
21
Balla Lompoa (rumah besar) adalah rumah tempat tinggal bangsawan yang juga menjadi istana raja-raja di
Makassar.
22
Tim peenerangan dan penggerak terdiri atas; Makaraeng Daeng Manjarungi sebagai ketua, Syamsuddin Daeng
Ngerang sebagai wakil ketua, Bacoa Daeng Ngempo sebagai ketua I, Tarrasang Abdul Samad Daeng Saung sebagai
ketua II, Madinah Daeng Ngitung sebagai sekretaris, dan pembantu-pembatu teridiri atas pemuda-pemuda, antara
lain; M. Zubaik Daeng Tutu, M. Idris Daeng Muntu, M. Yusuf Daeng Tutu, M. Jalil Daeng Tiro, Magalatung Daeng
Bantang, Mappaselleng Daeng Sidja, M. Dahlan Daeng Sibali, dan Iburahim Daeng Leo. Sibali, Lipan Bajeng, hlm.
45.
Akan tetapi, dalam proses pembentukan organisasi gerakan ini terdapat perbedaan
pandangan antara generasi tua dan muda. Generasi tua yang masih saudara dari Pajonga Daeng
Ngalle, antara lain, Tikolla Daeng Maleo, Cincing Daeng Tompo, Majadi Daeng Sisila dan Baco
Daeng Siantang. Mereka masih mengingat perlawanan Polombangkeng terhadap Belanda pada
1905-1915 dan telah menghabiskan tahun-tahun panjang dalam pengasingan.23 Generasi tua ini
memandang bahwa Republik Indonesia adalah sekutu dalam melawan Belanda untuk
memperoleh kemerdekaan Polombangkeng. Oleh karena itu, mereka menganggap tradisi dan
upacara adat kerajaan sebagai bagian sangat penting yang harus dilakukan sebelum berperang.
Kemudian generasi muda adalah putra-putra bangsawan yang lahir 1920-an, dan telah
menempuh pendidikan formal pada dari 1930-an sampai awal 1940-an. Generasi muda
pendukung Republik ini terbagi atas dua, Pertama, pemuda nasionalis, terdidik dan terlibat
dalam gerakan nasionalis, antara lain, Makareang Daeng Manjarungi, Syamsuddin Daeng
Ngerang, Madina Daeng Ngitung. Mereka umumnya menempuh pendidikan formal dan
membuka jaringan dengan gerakan nasionalis di Makassar dan di Jawa. Kedua, pemuda militan
terdiri atas para jago atau toloq. Kelompok ini utamanya digerakkan oleh Ranggong Daeng
Romo, tokoh pemuda yang karismatik meyakini bahwa hanya dengan kekuatan bersenjata yang
dapat mengusir kolonialisme. Mereka lebih memilih jalur militer untuk melawan Belanda 24
Kedua kelompok pemuda ini bersama-sama mendukung Republik, tetapi mereka berbeda dalam
hal strategi perjuangan.25
Pertemuan yang menghadirkan para bangsawan dan pemuda Polombangkeng ini
akhirnya dapat direalisasikan.26 Pertemuan ini dilaksanakan di Palleko, Ibukota Distrik
23
Tikolla Daeng Maleo ditangkap dan diasingkan ke Aceh atas tuduhan terlibat dalam gerakan perampokan I Toloq
Daeng Magassing. Tuntutan yang sama ditujukan kepada Cincin Daeng Tompo, namun Cincin Daeng Tompo
diasingkan ke Bondowoso. Sedangkan Majadi Daeng Sisila dan Baco Daeng Siantang ditangkap pada 1924 atas
tuduhan menentang pungutan pajak. Lihat O. M. Goedhart, "De Inlandsche Rechtsgemeenschappen in de
Onderafdeeling Takalar (1920)," in Adatrechtbundels XXI (s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1928)., Tajudding
Karaeng Lewa, Polongbangkeng Dalam Lintasan Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (Jakarta:
Yapensi, 2007), hlm. 61., Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng,
1850 – 1950," 169.
24
Ranggong Daeng Romo lahir 1914, tidak menyelesaikan pendidikan di HIS dan pindah ke Taman Siswa, tetapi ia
tidak pernah betah di Makassar dan memilih kembali ke Polombangkeng. Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja
di sebuah perusahaan Jepang. Tentang riwayat hidup Ranggong Daeng Romo, lihat Sibali, Lipan Bajeng, hlm. 28-
34.
25
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," hlm. 217-
18.
26
Data dan peristiwa selama dalam pertemuan ini tidak sama dari berbagai sumber. Makkattang Daeng Sibali
menyebutkan petemuan ini diadakan di Bontokadatto tanpa menyebutkan tanggal, lihat Sibali, Lipan Bajeng, hlm.
44. Mustari Bosra menyebutkan suatu rapat massa pada 20 September 1945 dengan tempat tidak disebutkan, lihat
Mustari Bosra, Laskar Lipan Bajeng: Perjumpaan Agama dan Nasionalisme dalam Perjuangan Bangsa Indonesia
Polombangkeng, dihadiri oleh seluruh bangsawan tinggi dan perwakilan para pemuda dari
berbagai kampung, baik dari dalam maupun luar Polombangkeng. Jumlah keseluruhan yang
hadir sekitar 150 orang.27 Pertemuan ini menghasilkan keputusan untuk membentuk wadah
perjuangan pro Republik yang mengakomodir para pemuda Polombangkeng. Namun, tampak
perbedaan ideologi dari golongan dan muda. Golongan tua, antara lain Tikolla Daeng Maleo,
Majadi Daeng Sisila dan Baco Daeng Siantang tampi memberi penjelasan dan himbauan secara
tradisi yang harus dilakukan sebelum perang. Mereka yang sering disebut “ana’Bajeng” dalam
tradisi mereka tidak pernah mengelak dari perang. Golongan tua ini melihat bahwa tujuan
terpenting dari aliansi ini adalah kemerdekaan orang Bajeng yang termarginalkan berabad-abad
lamanya. Oleh karena itu, mereka menganggap penting untuk menghargai tradisi, identitas, dan
sejarah Bajeng melalui upacara pemujaan regalia kerajaan.28 Mereka juga menginginkan nama
organisasi akan dibentuk harus mewakili identitas orang-orang Bajeng. Generasi tua
mengutamakan upacara adat, seperti memperlihatkan dan mempersembahkan bendera kuno
kerajaan Bajeng, bernama Jule’ julea, terbuat dari sutera, berwarna putih dengan gambar seekor
‘lipan” (kelabang).29 Ranggong Daeng Romo, Mappa Daeng Temba, Makkattang Daeng Sibali
bertugas mengibarkan bendera kerajaan ini.30 Sementara kalangan bangsawan muda, terutama
mereka yang telag menempuh pendidikan Islam secara formal dan menjadi anggota
Muhammadiyah menentang ritual adat ini.31 Bahkan beberapa di antara mereka enggan
menghadiri upaya pemujaan terhadap pusaka kerajaan Polombangkeng.32
Akhirnya perbedaan pandangan ini dapat dinetralkan dengan menyepakati nama
organisasi adalah Gerakan Muda Bajeng. Pemilihan nama Bajeng adalah upaya mengembalikan
kebesaran kerajaan Bajeng yang telah runtuh sejak pertengahan abad ke enam belas. Nama ini
menjadi representasi dari kemerdekaan orang Polombangkeng. Demikian pula, struktur
organisasi juga mencerminkan representasi dari golongan tua dan golongan muda. Tikolla daeng

(Makassar: Rayhan Intermedia, 2009)., lihat juga Memorie van het Troepencommando Residentie Zuid Celebes,
hlm 44, Barbara Sillars Harvey menyebutkan antara 20 sampai 26 September 1945, lihat Harvey, "Tradition, Islam,
and rebellion: South Sulawesi 1905-1965," hlm. 149. Sedangkan Makkareng Daeng Manjarungi menyebutkan pada
2 September 1945, lihat “Riwayat Pendek dari Perjuangan Kemerdekaan di Indonesia Timur di Polombangkeng”
dalam Arsip Kabinet Perdana Menteri RI Yogyakarta, No. 90
27
Makaraeng Daeng Manjarungi, “Riwayat Pendek dari Perjuangan Kemerdekaan di Indonesia Timur di
Polombangkeng” dalam Arsip Kabinet Perdana Menteri RI Yogyakarta, No. 90
28
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," hlm. 219.
29
Mile, Sejarah Perjuangn Rakyat Limbung (Bajeng), hlm. 13.
30
Sibali, Lipan Bajeng, hlm. 44.
31
Bosra, Laskar Lipan Bajeng: Perjumpaan Agama dan Nasionalisme dalam Perjuangan Bangsa Indonesia.
32
Sibali, Lipan Bajeng, hlm. 44.
Malleio diberi posisi sebagai pelindung menegaskan statusnya sebagai karaeng tertua.33 Pajonga
Daeng Ngalle sebagai ketua, sedangkan Makkaraeng daeng Manjarungi sebagai wakil, dan
pemuda-pemuda bersenjata dipimpin oleh Syamsuddin Daeng Ngerang dan Ranggong Daeng
Romo. Mereka yang menempati pucuk pimpinan Gerakan Muda Bajeng ini adalah kerabat dekat
Pajonga Daeng Ngalle.
Susunan Organisasi Gerakan Muda Bajeng (GMB)
Pelindung/Penasihat : Tikolla Daeng Maleo
Ketua : Padjonga Daeng Ngalle Karaeng Polombangkeng
Sekretaris I : Sahabuddin Daeng Saung
Sekretaris II : Madinah Daeng. Ngitung
Bendahara/Keuangan : Bacowa Daeng Ngempo
Bendahara/Perlengkapan : Tanrassang Abd. Samad Daeng Saung
Pembantu-Pembantu : Lemo Daeng Lira
Baco Daeng Siantang
Sirajuddin Daeng Bundu
Terasi Daeng Siantang
Ketua-ketua bagian :
a. Penerjang/Troepen : Syamsuddin Daeng Ngerang
b. Pembantu-Pembantu : Mappaselleng Daeng Sija (Lassang)
M. Idris Daeng Muntu (Malewang)
Ranggong Daeng Romo (Moncongkomba)
Chaeruddin Daeng Ngampa (Bontokadatto)
Majadi Daeng Sisila (Kampung tidak dibawahi Bate)
c. Logistik : Ibrahim Daeng Leo
d. Penghubung/Penyidik : Facruddin Daeng Romo
Maggalatung Daeng Bantang
Ahmad Dahlan Daeng Sibali
M. Yusuf Daeng Tutu
e. Penerangan : Zubair Daeng Tutu34

33
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," 218.
34
Lihat Sibali, Lipan Bajeng, hlm. 49., Poelinggomang and Mappangara, Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 2, hlm.
151., Sarita Pawiloy, Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: DHD 45, 1985), hlm. 113-14.
Setelah penyusunan pengurus Gerakan Muda Bajeng, para penduduk dikerahkan dalam
pertemuan massal di Palleko pada 16 Oktober 1945. Status kemerdekaan Polombangkeng
dinyatakan sebagai bagian dari Republik Indonesia. Ribuan orang hadir menyatakan sumpah
setiap terhadap Republik, organisasi militer dan pemerintahan pun dibentuk.35 Dalam rapat
massal ini pula disepakati wilayah Polombangkeng diperluas menjadi enam distrik (dalam rapat
sebelumnya hanya 4 distrik), yaitu; Lassang dipimpin oleh Lemo Daeng Lira, Malewang
dipimpin oleh Baco Daeng Siantang, Moncongkomba dipimpin oleh Sirajuddin Daeng Bundu,
Bontokadatto dipimpin oleh Tarasi Daeng Pantang, Patalassang dipimpin oleh Majadi Daeng
Sisila, dan Ko’mara dipimpin oleh Ranggong Daeng Romo. 36 Saleh Lahade hadir dalam
pertemuan massal itu selalu perwakilan dari Gubernur Sulawesi mengukuhkan Gerakan Muda
Bajeng sebagai bagian dari Republik Indonesia.
Kedatangan NICA
Perbedaan pandangan dalam merespons revolusi pada dasanya mulai tampak ketika saat
pertama kalinya proklamasi diberitakan di Sulawesi Selatan. Memang, para bangsawan
Polombangkeng berhasil membentuk Gerakan Muda Bajeng, tetapi organisasi ini tidak benar-
benar mewakili sebuah kepentingan bersama untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.
Keadaan ini merupakan embrio dari muncul dan bergesernya loyalitas antar elite di
Polombangkeng. Beberapa bangsawan yang sebelumnya menyatakan diri bergabung dengan
Gerakan Muda Bajeng kemudian beralih mendukung NICA. Hal ini baik disebabkan oleh saling
oposisi antara bangsawan itu sendiri maupun karena adanya keraguan terhadap masa depan
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Republik Indonesia yang dibayangkan tidak meyakinkan
mereka untuk mendapatkan posisi dan peran mereka. Sebaliknya, sikap beralih mendukung
kehadiran NICA adalah dipandang lebih rasional untuk mendapatkan kedudukan mereka kembali
seperti halnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Keraguan yang muncul dari sebagian bangsawan di atas tidak terlepas keterlambatan
Ratulangi dalam memanfaatkan momentum revolusi. Ratulangi sebagai Gubernur Provinsi
Sulawesi tidak menghasilkan perubahan berarti. Posisi Ratulangi sangat lemah dan tidak
memiliki kepercayaan diri untuk menjalankan pemerintahan revolusi. Ketika Ratulangi tiba di
Makassar sekitar 20-23 Agustus 1945, ia tidak benar-benar mengumumkan dirinya sebagai

35
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," hlm. 129-
30.
36
Sibali, Lipan Bajeng, hlm. 50.
gubernur yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia di Jakarta. Beberapa tokoh dan pemuda
mendesak agar Ratulangi mengumumkan dirinya sebagai Gubernur Sulawesi dan mengambil
alih pemerintahan di Sulawesi Selatan dari tangan Jepang, namun ia malah mengemukakan
pertimbangan bahwa syarat yang dapat mendukung kekuasaan belum terpenuhi. Ratulangi
berpandangan bahwa aparat pemerintahan sangat lemah dan tidak memiliki kekuatan bersenjata.
Menurutnya, Sulawesi tidak dapat disamakan dengan Jawa di mana syarat-syarat pemerintahan
mendukung.37 Sampai kedatangan Sekutu di Sulawesi Selatan, 24 September 1945, tidak ada
realisasi terbentuknya pemerintahan Republik Indonesia di Sulawesi Selatan.38
Ratulangi hanya mendapat dukungan kelompok kelas menengah dengan jumlah terbatas,
tidak memiliki basis kekuatan militer, dan kurang mendapat dukungan otoritas lokal atau
bangsawan. Memang, Ratulangi berhasil mendirikan Pusat Kesejahteraan Rakyat Sulawesi
(PKRS), namun organisasi ini cenderung berkarakter asosiasi daripada sebuah partai politik.
Ratulangi kemudian hanya bergantung pada kebijakan otoritas sekutu yang juga membawa serta
NICA.39 Dengan demikian, Ratulangi menghadapi dua tantangan besar, yaitu kehadiran NICA
dan kurangnya dukungan otoritas lokal. Keadaan menjadi lebih sulit ketika NICA lebih cepat
bergerak memulihkan pemerintahan sipil, dan mendekati bangsawan yang kemungkinan bisa
diajak kerja sama. Ketidaktegasan Ratulangi memanfaatkan momentum revolusi dan masuknya
NICA mempercepat proses munculnya aliansi-aliansi baik pro maupun kontra revolusi di tingkat
elite yang kemudian merembes ke level masyarakat. Akibatnya, kontestasi otoritas yang sejak
lama telah mengakar di Polombangkeng pun bertumpang tindih dengan kehadiran NICA yang
juga menawarkan harapan-harapan baru. Pada saat yang sama, Indonesia sebagai bangsa yang
dibayangkan juga menguat beriringan dengan terbukanya ruang untuk mengembalikan identitas
orang Bajeng.
Kerapuhan struktur Gerakan Muda Bajeng pada dasarnya mulai tampak sejak
dibentuknya. Organisasi ini mengakomodir semua kepala sub distrik dan kepala kampung di
Polombangkeng dalam struktur organisasi. Padahal, sebagian dari kepala sub distrik dan kepala
kampung adalah oposisi dari Pajonga Daeng Ngalle, terutama wilayah-wilayah yang tidak
termasuk dalam bekas kerajaan Bajeng. Tradisi oposisi telah berlangsung sejak periode kolonial
semakin ekstrem pada periode revolusi kemerdekaan. Dengan demikian, Gerakan Muda Bajeng

37
Saelan, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 65: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, 39-41.
38
Sibali, Lipan Bajeng, 37.
39
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," 179-80.
terdiri atas kelompok-kelompok yang berposisi antara bangsawan Bajeng dan bangsawan di luar
dari keturunan Bajeng, golongan tua dengan identitas lokalnya, pemuda militan dan pemuda
nasionalis. Elemen-elemen ini mewarnai perjalanan awal Gerakan Muda Bajeng sebagai sebuah
organisasi dengan sumber daya lokal, menegaskan identitas lokal mereka dan sekaligus
mendeklarasikan dirinya sebagai bagian dari Republik Indonesia, namun juga mengandung
keretakan internal.
Kondisi di atas dimanfaatkan oleh NICA dengan berupaya mendekati bangsawan-
bangsawan Polombangkeng. Sekitar Desember 1945, pejabat Australia dan Belanda berusaha
menghubungi Pajonga Daeng Ngalle, tetapi Pajonga menolak mereka. 40 Pejabat NICA kemudian
berusaha mendekati dan menawarkan kerjasama yang baru dengan anggota bangsawan yang
beroposisi dengan Pajonga Daeng Ngalle. Usaha ini pun berhasil. Lemo Daeng Lira, gallarang
Lassang, menyatakan kesediaannya bekerja sama dengan NICA. Sikap Daeng Lira ini diikut oleh
kepala-kepala kampung lain, seperti seperti Ballo, Manuju, dan Pappa.41 Demikian pula, putra
gallarang Patallasang dan Makkarawa Daeng Ngalle, kepala kampung Sabintang serta putera-
puteranya memilih bekerjasama dengan NICA. Pilihan-pilihan politik ini seakan-akan
mengulang kembali kerjasama orang tua mereka dengan pemerintah Belanda dalam penumpasan
perampokan I Toloq Daeng Magassing (1908-1915). Sebagian besar dari bangsawan yang
menerima ajakan kerja sama dengan NICA didorong oleh keinginan untuk meraih kembali posisi
lama mereka yang direbut dari kelompok bangsawan kerabat Pajonga Daeng Ngalle.42
Mereka yang bekerja sama dengan NICA mendapat posisi penting. Empat putra Cella
Daeng Jelling, gallarang Patallassang 1930-an, mengambil sikap memihak kepada NICA. Tiga
dari mereka secara berturut diangkat menjadi gallarang Bontokadatto pada 1946 dan 1949.
Berikutnya, Siratu Daeng Manompo diangkat menjadi gallarang Moncongkomba, dan Gassing
diangkat menjadi gallarang Malewang. Siratu Daeng Manompo adalah putra Makkarawa Daeng
Mangelle, Kepala Kampung Sabintang yang pernah diangkat oleh Pemerintah Belanda menjadi
Gallarang Moncongkomba atas jasanya dalam penumpasan I Toloq. Sedangkan Gassing tidak
berasal dari bangsawan, tetapi pernah mendapat kepercayaan cukup lama dari Pajonga Daeng
Ngalle untuk menjadi kepala kampung Palleko. Kemudian, bangsawan berpengaruh memilih
40
Harvey, "Tradition, Islam, and rebellion: South Sulawesi 1905-1965," 150.
41
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," 218.
42
Kelompok bangsawan banyak pro NICA karena ada semacam kekhawatiran akan kehilangan gelar
kebangsawanannya jika menjadi republik. Lihat Sarita Pawiloy, Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945 – 1949
Daerah Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), hlm. 124.
memihak NICA adalah Lemo Daeng Lira juga menginginkan jabatan karaeng Polombangkeng,
yang kelak tercapai ketika Pajonga Daeng Ngalle memilih masuk ke hutan bergabung dengan
pejuang Lipan Bajeng pada 1947.43 Pergantian pejabat pribumi merupakan langkah politik
pemerintah menghilangkan kerabat dekat Pajonga Daeng Ngalle dalam struktur pemerintahan.
Dominasi kerabat Pajonga Daeng Ngalle dalam hierarki pemerintahan di Polombangkeng pun
berakhir. Namun situasi ini justru memperkuat solidaritas internal keluarga besar Pajonga. Ia
malah mendapat dukungan kuat dari hampir seluruh kerabat dekatnya untuk menentang
kehadiran NICA.
Yang menarik dari aliansi dalam revolusi adalah sering kali seseorang bekerja sama
dengan Belanda, tetapi putra-putra mereka membantu pejuang Bajeng. Mereka biasanya terlibat
dalam pemberian makanan dan penampungan. Seorang anggota keluarga yang bergabung dalam
pejuang Bajeng mendapat perawatan dan menginap di rumah anggota keluarga yang pro NICA.
Bahkan sering kali mereka menitipkan makanan kepada penggembala untuk diantar ke hutan di
mana para pejuang Bajeng bersembunyi.44 NICA kemudian dengan sangat hati-hati
memperlakukan kelompok-kelompok yang benar-benar menentang Pajonga Daeng Ngalle agar
mereka terus dapat bekerja sama. Bahkan NICA mengorganisir mata-mata yang berasal dari
kelompok ini. Mata-mata ini mendapat perlakuan yang istimewa dari NICA, seperti mendapat
fasilitas senjata dan jika mereka melakukan kesalahan sedapat mungkin mereka hanya dituntut
setelah Polombangkeng dianggap aman.45
Pergeseran aliansi di atas tidak dapat dilepaskan dari hubungan-hubungan lama dan
tradisi oposisi diantara bangsawan. Hubungan-hubungan di masa lalu senantiasa menjadi
referensi dalam menentukan sikap dan pilihan-pilihan politik. Pilihan pro NICA Lemo Daeng
Lira dan sejumlah bangsawan di luar dari keturunan Bajeng mencerminkan oposisi terhadap
Pajoanga Daeng Ngalle. Demikian pula, dukungan karaeng Pappa atas NICA tidak terlepas dari
posisi dan kerja sama yang erat dengan pemerintahan Belanda di Takalar pada periode
sebelumnya,46 dan memang juga tidak merasa bagian dari Polombangkeng. Pada periode Hindia
Belanda, wilayah ini berstatus sebagai onderregent, di mana hak-haknya sama dengan regen
43
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," 220.
44
Lihat Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," 222.
Daeng Nuhung, wawacara, 20 Desember 2018 di Polombangkeng.
45
Lihat Verslag tentang keadaan politiek dalam onderafdeling Makassar selama bahagian jang ke doea dari boelan
September 1946 dalam "Netherland Forces Intelligence Service/Centrale Militaire Inlichtinggendienst (NEFIS/CMI)
". 1942-1949 Inv. NR. 01326, 3-4
46
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," 157.
Polombangkeng. Demikian halnya dengan Ballo dan Manuju yang secara historis berada dalam
wilayah Bontonompo, juga dianggap tidak menjadi bagian dari Polombangkeng. Pemerintah
Belanda memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan kerja sama. Dewan raja-raja merupakan
badan utama yang digunakan oleh Belanda sebagai saluran melaksanakan kekuasaannya di
Sulawesi Selatan.47
Selain persoalan-persoalan eksternal Gerakan Muda Bajeng, perbedaan pandangan
internal dalam strategi perjuangan juga menjadi bagian dari dinamika pada bulan-bulan pertama
berdirinya organisasi ini. Makaraeng Daeng Manjarungi, Syamsuddin Daeng Ngerang, Madina
Daeng Ngitung dan Fachruddin Daeng Romo lebih memilih kebijakan yang sejalan dengan
Ratulangi dan mereka mencoba menggunakan pemahaman situasi dan jaringan politiknya.
Sementara Ranggong Daeng Romo dan kelompok pemuda lainnya memilih jalan perjuangan
fisik. Para pemuda ini tidak begitu banyak mengikuti perkembangan politik nasional dan
“sebagian besar anggota mereka berasal para toloq yang dikenal sebagai bandit pada masa
Hindia Belanda”48
Perbedaan strategi ini merembes ke masalah status kebangsawanan. Para pendukung
garis keras menganggap Syamsuddin dan Makaraeng memiliki status yang relatif rendah.
Meskipun Syamsuddin adalah putra Cincing Daeng Tompo, namun ibunya tidak berasal dari
bangsawan dan karena itu ia tidak memenuhi syarat untuk posisi tinggi Polombangkeng.
Makaraeng Daeng Manjarungi, putra dari kepala kampung Manongkoki, juga berada di luar
darah bangsawan tinggi. Keduanya pun lebih banyak beraktivitas di Makassar. Adalah hal biasa
dalam masyarakat Bugis-Makassar, mereka yang tidak dapat memanifestasikan diri berdasarkan
status mereka, maka mereka harus mengimbanginya dengan pendidikan yang lebih tinggi. 49
Namun, bagi para pemuda dan termasuk para toloq untuk mengartikulasikan diri dan mendapat
kehormatan dan penghargaan diimbangi dengan keberanian dan ketangkasan fisik. Sebagian
besar anggota tempur dari Gerakan Muda Bajeng berasal dari para toloq.50
Dengan demikian, Gerakan Muda Bajeng sebagai organisasi pendukung Republik
pertama yang dibentuk di Polombangkeng tidak dapat lagi bekerja dengan baik. Ranggong

47
Harvey, "Tradition, Islam, and rebellion: South Sulawesi 1905-1965," 155.
48
H. Jamallong Daeng Tappa, wawancara, 9 Desember 2018
49
Pendidikan salah satu cara untuk mensejajarkan diri dengan bangsawan. Lihat Christian Pelras, "Patron-client ties
among the Bugis and Makassarese of South Sulawesi," in Authority and Enterprise among the People of South
Sulawesi, ed. Roger Tol, Kees van Dijk, and Greg Acciaoli (Leiden: KITLV Press 2000), 35.
50
H. Jamallong Daeng Tappa, wawancara, 9 Desember 2018
Daeng Romo merasa bahwa Gerakan Muda Bajeng tidak lagi memadai sebagai wadah
perjuangan bersenjata. Pola dasar organisasinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan politik
loka di Sulawesi Selatan. Pergantian tentara Sekutu dari Asutralian Army ke Inggris semakin
memperkuat kedudukan NICA mengingat keduanya telah mengadakan kesepakatan dalam “Civil
Affairs Agreement” di Chequers, London, 24 Agustus 1945.51 Perjanjian ini mengakui hak NICA
mengambil alih tugas dan urusan sipil di Indonesia.52 Pada 1 Februaroi 1946, pasukan-pasukan
Australia menyerahkan tugas mereka kepada Brigade Infanteri India-Britania ke-80, yaitu
pasukan Inggris dengan orang-orang India sebagai personilnya. Selama periode pasukan Inggris
ini, komandan NICA Carel Lion Cachet diangkat menjadi residen Sulawesi Selatan. Dari sudut
pandang Belanda, situasi politik saat itu dapat dikendalikan, sehingga undang-udang darurat
ditarik kembali. Namun, pada 1946 muncul semakin banyak pemberontakan sehingga semakin
memperburuk hubungan antara NICA dengan Republik yang menjadi alasan penangkapan
Ratulangi.53 Situasi yang semakin kacau sehingga pada akhir 1946, Belanda kembali menyatakan
situasi darurat perang.
NICA di bawah Carel Lion Cachet telah membentuk Dewan Celebes Selatan untuk
menghadiri konferensi Malino, 16 Juli 1946. Ini berarti raja-raja telah terpikat dengan NICA.
Keadaan ini menuntut organisasi semakin membutuhkan pasukan yang tangguh. Kemudian,
secara internal Gerakan Muda Bajeng menghadapi pelemahan organisasi dengan tertangkapnya
beberapa tokoh penggerak, seperti Madina Deng Ngitung, Fachruddin Daeng Romo,
Syamsuddin Daeng Ngerang telah tertangkap dan sebagian kecil anggota lainnya meninggalkan
Polombangkeng menuju Makassar mencari pekerjaan. Keadaan ini diperparah beberapa tokoh
penting lainnya beralih memihak kepada NICA, seperti, seperti Gassing, Hamandja Daeng Laila,
Siratu Daeng Manompo dan Lemo Daeng Lira.54 Gerakan Muda Bajeng sudah dianggap tidak
dapat memenuhi tuntutan perjuangan.
Untuk mengatasi situasi di atas, Ranggong Daeng Romo, Pajonga Daeng Ngalle dan
Makaraeng Daeng Manjarungi mengadakan pertemuan bersama anggota Gerakan Muda Bajeng
pada 2 April 1946. Dalam pertemuan ini disepakati untuk membentuk wadah perjuangan baru

51
Harun Kadir, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Sulawesi Selatan, 1945-1950 (Ujung Pandang:
Kerjasama Lembaga Penelitian Unhas dengan Bappeda Tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan, 1984), hlm. 4.
52
Poelinggomang and Mappangara, Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 2, hlm. 116.
53
Remy Limpach, Kekerasan ekstrem Belanda di Indonesia: perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019), hlm. 69.
54
Sibali, Lipan Bajeng, hlm. 35.
yang dapat bersifat perlawanan rakyat. Nama Gerakan Muda Bajeng kemudian diganti menjadi
Laskar Lipan Bajeng. Nama Lipan Bajeng memiliki makna historis bagi orang Polombangkeng.
Lipan merupakan binatang melata beruas 20 dan berkaki 40. Nama ini juga bersumber dati
bendera pusaka kerajaan Bajeng yang bergambar seekor lipan atau kelabang. Sedangkan Bajeng
adalah sejenis rumput yang akar kuat, akan rebah jika diterpa angin dan kembali tegak setelah
angin berlalu. Dalam organisasi Laskar Lipan Bajengi, Pajonga daeng Ngalle sebagai Pelindung,
Makkarareng sebagai Ketua dan Ranggong daeng Romo sebagai komandan Pasukan.55
Laskar Lipan Bajeng kemudian mengalami perkembangan pesat dan jaringan lebih luas,
tidak lagi hanya mencakup Polombangkeng, tetapi termasuk wilayah-wilayah lain, seperti Gowa,
Jeneponto dan bagian Selatan Makassar. Demikian pula, keanggotaan Lipan Bajeng tidak hanya
berasal dari etnis Makassar, tetapi juga berasal dari Toraja, Mandar, Bugis, Jawa, Melayu
Sumatera, Kalimantan, Manado, dan lain sebagainya. Jumlah keanggotaan pun meningkat drastis
yaitu mencapai 17257 orang.56 Semua penduduk laki-laki dewasa di kampung Moncongkomba
dan Bontokadatto bergabung dan masuk ke hutan untuk berjuang. Untuk mendukun logistik
perjuangan, Campa Daeng Lawa satu-satunya penduduk laki-laki dewasa di Moncongkomba
ditugaskan untuk kembali ke kampung untuk menyiapkan logistik, terutama beras. Para
penggembala sapi bertugas mengantarkan makanan ke hutan untuk parang anggota Lipan
Bajeng. Akan tetapi, situasi ini tidak dapat berlangsung lama mengingat patroli tentara KNIL
semakin meningkat.
Peran Ranggong Daeng Romo

Ranggong Daeng Romo memprakarsai sebuah pertemuan di Panggentungan pada akhir


September 1945. Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan toloq dari Moncongkomba, Lantang,
Cakura, Bulukunyi, Bontokadatto, Barana, Patallassang, Bone-Bone, Sompu, Bajeng, dan
Patallassang. Tempat duduk mereka dibagi berdasarkan wilayah masing-masing. Perwakilan dari
Patallasang dan Sompu menghadap dari barat ke timur, kemudian dari Cakura, Bulukunyi
menghadap dari timur ke barat, kemudian Bonto Kadatto, Bone-Bone, Barana menghadap dari
selatan ke utara, kemudian dari Moncongkomba, Lantang menghadap dari utara ke selatan.

55
Mengenai struktur lengkap Laskar Lipan Bajeng, lihat Sibali, Lipan Bajeng, hlm. 56-57.
56
Arsip Kabinet Perdana Menteri RI Jogjakarta No. 90
Ranggong Daeng Romo angkat bicara mengenai maksud pertemuan itu. Ia kemudian
bertanya kepada mereka yang hadir apakah bersedia menjadi algojo, siap mati dan berada di
garis terdepan melawan kehadiran kembali Belanda di Polombangkeng. Pada awalnya, semua
yang hadir menundukkan kepala pertanda mereka tidak bersedia. Namun wakil dari
Moncongkomba, yaitu Basullu daeng Lawa mengangkat tangan dan menyatakan bersedia
menjadi algojo, diikuti oleh Mangaweang Daeng Nuhung, perwakilan dari Bajeng, dan berturut-
turut semua toloq yang hadir dalam pertemuan itu menyatakan bersedia. Dari sinilah semakin
menegaskan istilah Moncongkomba Gassing Gau (Moncongkomba teguh pendirian), Butta
Bajeng kambara’na (Negeri Bajeng kembarnya), Bontokadatto to mappaenteng poke’na (Negeri
Bajeng yang memegang tombak). Akhirnya pertemuan ini disepakati terbentuknya organisasi
kumpulan para toloq yang diberi nama “Algojo Polombangkeng” dipimpin oleh Basullu Daeng
Lawa. Tugas utama kelompok Algojo Polombangkeng adalah berada di garis depan,
mengeksekusi mereka yang dianggap penghianat atau berpihak kepada Belanda, merampok harta
benda mereka untuk kebutuhan perang.57 Algojo Polombangkeng kemudian menjadi salah satu
kelompok toloq yang menjadi bagian dari Gerakan Muda Bajeng yang dibawah langsung oleh
Ranggong Daeng Romo.

Akhir Perlawanan
Tekanan KNIL kepada kelompok-kelompok perlawanan di Makassar mengakibatkan
banyak dari mereka bergabung Lipan Bajeng, seperti sekelompok pemuda dari Makassar yang
ingin berangkat ke Jawa akan tetapi karena jalur transportasi tekah diisolasi oleh KNIL sehingga
berakhir di Polombangkeng, termasuk kelompok Wortel Mongisidi.58 Merespons perkembangan
ini, Makaraeng daeng Manjarungi menginisiasi pembentukan wadah yang menyatukan seluruh
organisasi kelaskaran di Sulawesi Selatan, yaitu Laskar Pemberontak Republik Indonesia
Sulawesi (LAPRIS).59 Efek dari terbentuknya LAPRIS adalah semakin meluas dan
berkembangnya jaringan perlawanan Lipan Bajeng, terjadi perubahan taktik perang yang lebih
baik melalui latihan dari pemuda-pemuda Makassar yang telah terlatih masa pendudukan Jepang,
dan Lipan Bajeng menjadi bagian dari perjuangan nasional dan terkoneksi dengan perlawanan di
Pulau Jawa. Akan tetapi kehadiran LAPRIS juga berdampak pada semakin tajamnya kontestasi

57
Daeng Bani dan Muhtar Daeng Rau, wawancara 10 Desember 2018
58
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," 224.
59
Pawiloy, Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945 – 1949 Daerah Sulawesi Selatan, 126.
otoritas elite karaeng. Lemo daeng Lira yang diangkat sebagai kepala pemerintahan
onderafdeeling Takalar dan sekaligus diangkat menjadi Karaeng Polombangkeng. Sementara
Pajonga daeng Ngalle, pemimpin Lipan Bajeng, memilih masuk ke wilayah pedalaman,
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, bergerak dari satu rumah ke rumah yang lain.
Semakin kuat konflik otoritas tersebut, maka semakin meningkat pula kekerasan di wilayah ini.
Polombangkeng pada pertengahan 1946 dianggap daerah dengan keamanan dan kejahatan yang
sangat serius. Pejuang Bajeng oleh pemerintah disebut sebagai “geng-geng teror” yang menarik
diri ke pegunungan, dipimpin oleh Pajonga Daeng Ngalle, dan menentang kepemimpinan Lemo
Daeng Lira.60
Patroli keamanan semakin diperketat sehingga semakin banyak anggota Lipan Bajeng
terjaring dalam patroli KNIL. Pada bulan Juni 1946, terdapat 24 orang tertangkap. 61 Kemudian,
tiga toloq yang sangat terkenal dengan aksi-aksi kekerasan, yaitu, Hasamuddin alias Bakeri
bersama dua pengawalnya juga tertangkap pada 10 Oktober 1946.62 Tampaknya, kekerasan-
kekerasan yang terus terjadi dijawab dengan intensitas patroli ke wilayah pedalaman dan
penangkapan. Bagi Lipan Bajeng, keberhasilan patroli KNIL dan Polisi menangkap para
anggotanya tidak terlepas dari bantuan mata-mata dari pengikut kelompok karaeng yang
mendukung NICA. Mereka mengerdilkan Lipan Bajeng dengan menyebutkan bahwa
Polombangkeng adalah sarang penjahat dan perampok.
Penangkapan-penangkapan dibalas dengan sabotase. Kelompok kecil dalam unit Lipan
Bajeng memberi peran penting dalam aksi ini, seperti; memutuskan koneksi telpon di Gowa,
meletakkan pohon-pohon di jalan utama. Kemudian, satuan kelompok kecil dan terselubung
menyerang di Malino dan tempat-tempat lain di Gowa, menggerebek rumah-rumah perwira
polisi atau mata-mata Belanda. Puncak konflik ini terjadi pada 29 Oktober 1946, aksi
pembalasan dari toloq, pengikut Pajonga Daeng Ngalle dan barisan setia Ranggong daeng Romo,
yaitu pembakaran kantor masyarakat adat di Limbung.
Kemudian, perpecahan antar elite karaeng semakin menajam ketika NIT didirikan 27
Desember 1946. Mereka yang dulunya bekerja sama NICA sebagian besar berdiri di belakang
NIT, sementara kelompok karaeng yang menentang kehadiran NICA masih berada di
pedalaman. Dalam pandangan Makaraeng daeng Manjarungi bahwa NIT pada dasarnya didorong

60
Het Dagblad, 11 Mei 1946
61
Het Dagblad, 12 Oktober 1946
62
Het Dagblad, 16 Oktober 1946
oleh generasi-generasi tua yang tidak bisa mengikuti jiwa dan cara generasi muda.63 Akibat lebih
jauh dari kontestasi, saling curiga mencurigai, pembunuhan dan pembakaran rumah masih terus
berlanjut.
Sebagai aksi balasan pembakaran kantor adat tersebut, sekitar Desember 1946, Lemo
Daeng Lira membantu KNIL dan Pasukan Khusus Pemerintah Belanda (DST) mengisolasi Lipan
Bajeng. Kampung-kampung pinggiran Makassar terus dipaksa bekerja sama dengan Belanda.
Satu demi satu, titik dukungan dari Lipan Bajeng di Barombong, Gowa Barat dan Selatan
dihancurkan. Bahkan, kadang-kadang mereka membantu dengan ribuan pengikut bersenjata
tombak. Seperti; dukungan dari gelarang Borongloe, di Gowa Selatan, dan Hamzah Daeng
Tompo juga menyertakan para toloq pengikutnya dalam operasi KNIL. Rumah penduduk di
kampung-kampung yang dicurigai bekerja sama dengan Lipan Bajeng dibakar termasuk
persediaan makanan.64 Aksi ini menewaskan ratusan anggota Lipan Bajeng, sementara
bangsawan yang memimpin kelompok-kelompok perlawanan, melarikan diri ke selatan. 65
Kemudian, pada 25 Januari 1947, sebuah ‘pamflet militer’ diedarkan, berisi imbauan kepada
penduduk untuk menangkap Pajonga daeng Ngalle, bagi mereka yang tidak mengindahkan
edaran ini akan dianggap sebagai bagian kaum “extrimis”.66
Pejuang Bajeng semakin melemah ketika Wolter Mongisidi dan sebagian besar pemuda
Makassar tertangkap, Ranggong daeng Romo meninggal dalam serangan KNIL di Komara.
Selama menjadi komandan tempur Lipan Bajeng dan LAPRIS, antara Desember 1946 sampai
Februari 1947, Ranggong Daeng Romo telah memimpin pertempuran sebanyak lima puluh tujuh
kali atas nama Lipan Bajeng dan lima puluh satu kali atas nama LAPRIS. 67 Setelah kematian
Ranggong Daeng Romo, yang tersisa adalah kelompok-kelompok dalam unit lebih kecil
dipimpin oleh Mappa Daeng Temba, Makatang Daeng Sibali, Basullu Daeng Lawa, Makaraeng
Daeng Jarot, dan Daeng Leo. Perlawanan bersenjata dari gerakan pro-Republik di Sulawesi
Selatan baru dapat dikuasai bersamaan dengan Perjanjian Linggajati antara RI dengan Belanda
pada Maret 1947, namun aksi-aksi kekerasan masih terus terjadi di Polombangeng. Untuk

63
Arsip Pribadi A.M. Rahman Tamma No. 184
64
Tajuddin M. Kr Lewa, "Polongbangkeng dalam lintasan sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia,"
(2007): 32.
65
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," 225.
66
Negara Baroe, 6 Februari 1947
67
Harvey, "Tradition, Islam, and rebellion: South Sulawesi 1905-1965," 152. Lihat juga Barbara Sillars Harvey,
"South Sulawesi: Puppets and Patriots," in Regional Dynamics of the Indonesian Revolution, ed. Audrey K. Kahin
(Honolulu: University of Hawai’i Press, 1985).
mencegah para pejuang ini berhubungan dengan masyarakat, para penduduk desa dievakuasi dan
secara khusus dijaga. KNIL juga membentuk patroli secara permanen di bagian timur
Polombangkeng.68
Pada 11 April 1947, Pemerintah NIT mengeluarkan maklumat kepada kelompok
perlawanan di Polombangkeng yang masih ada di hutan diberi kesempatan untuk melapor secara
sukarela.69 Beberapa dari anggota Lipan Bajeng benar-benar menyerahkan diri, tetapi sebagian
besar dari mereka masih terus melakukan perlawanan dengan meneror penduduk yang bekerja
sama dengan KNIL. Sekitar Juni 1947, Polisi mengamankan beberapa sisa-sisa pengikut Pajonga
daeng Ngalle, termasuk seorang anggota TRI, Muhammad Arief, diserahkan ke patroli Militer. 70
Sepanjang minggu pertama Agustus 1947, terjadi kontak-kontak fisik antara polisi dengan
pengikut Lipan Bajeng, Polisi bekerja sama dengan penduduk berhasil menangkap dan
membunuh beberapa orang anggota Lipan Bajeng.71
Pada awal Januari 1948, pemerintah NIT membuka negosiasi kembali dengan perwakilan
Lipan Bajeng. Lipan Bajeng menuntut agar organisasi mereka mendapat pengakuan sebagai
kelompok Republik Indonesia, bukan kelompok penjahat dan kriminal dan mereka juga tidak
ditangkap.72 Negosiasi ini berhasil, sebanyak 160 anggota Lipan Bajeng menyerahkan diri.73
Menyusul pada 8 Januari 1948, sebanyak 45 orang yang terakhir menyerahkan diri, termasuk di
antara mereka adalah Makaraeng Daeng Jarot, Macang Daeng Leo, dan pembunuh massal yang
selama ini dicari-cari, yaitu Basullu Daeng Lawa.74 Akan tetapi pemerintah NIT tidak memenuhi
janjinya, kesemua anggota Lipan Bajeng tersebut diserahkan ke KNIL dan dibawa ke Makassar.
Sementara para pemimpin-pemimpin mereka yang terlebih dahulu ditangkap ditempatkan di
penjara Hoogepad Makassar. Jumlah tahanan dalam penjara ini mencapai sekitar 800 orang,
belum termasuk tahanan-tahanan yang ditempatkan di penjara daerah.75

68
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," 226.
69
Limburgsch Dagblad, 21 Mei 1947
70
Het dagblad, 29 Juli 1947
71
Provinciale Drentsche es Asser Courant, 11 Agustus 1947
72
Daud, Biografi Pahlawan Ranggong Dg. Romo, 90.
73
Ijzeeraf, "De wind en de bladeren: Hierarchie en autonomie in Bone en Polombangkeng, 1850 – 1950," 227.
74
Verzetslieden Geven Zich Over, De Locomotief, 10 Januari 1948
75
Arsip Pribadi A. R. Tamma, Reg. 188

Anda mungkin juga menyukai