Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH DEMOKRASI

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan limpahan rahmat,
taufik dan hidayah-Nyalah Penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam
semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya
hingga akhir zaman.
Penyusunan makalah ini dibuat Penulis dalam rangka memenuhi tugas Pendidikan
Kewarganegaraan Semester 4
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Namun, Penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi Penulis pada khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang……………………………………………………………1
2. Perumusan Masalah………………………………………………………2
3. Tujuan Penulisan………………………………………………………….2
BAB II PEMBAHASAN
1. Demokrasi
1. Pengertian Demokrasi ……………………………………………..3
2. Pentingnya kehidupan yang demokrasi…………………………….
3. Persamaan kedudukan di muka hukum…………………………….
4. Partisipasi dalam pembuatan keputusan……………………………
5. Distribusi pendapatan secara adil…………………………………..
6. Kebebasan yang bertanggung jawab……………………………….
7. Perilaku yang mendukung tegaknya nilai-nilai demokrasi
8. Demokrasi Indonesia

BAB III PENUTUP


A. Simpulan…………………………………………………………………...16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Dari gambaran di atas, hal ini pula yang menginspirasi demokrasi pancasila yang selalu menjadi
Kiblat negara kita dalam menapaki kehidupan berbangsa dan bernegara masih perlu ditelaah atau
dikaji secara lebih dalam lagi.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dihayati oleh bangsa dan negara Indonesia yang
dijiwai dan diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur Pancasila yang tidak mungkin terlepas dari rasa
kekeluargaan. Akan tetapi yang menjadi pandangan kita sekarang. Mengapa negara ini seperti
mengalami sebuah kesulitan besar dalam melahirkan demokrasi. Banyak para ahli berpendapat
bahwa demokrasi pancasila itu merupakan salah satu demokrasi yang mampu menjawab
tantangan zaman karena semua kehidupan berkaitan erat dengan nilai luhur Pancasila. Dalam hal
ini kita ambil saja salah satu ahli Nasional Prof. Dardji Darmodihardjo, S.H. beliau mempunyai
Pandangan bahwa demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber kepada
kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang terwujudnya seperti dalam ketentuan-
ketentuan pembukaan UUD 1945. Lain hal lagi dengan Prof. dr. Drs. Notonegoro,S.H., belau
mengatakan demokrasi pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berke-Tuhan-nan Yang
Maha Esa, yang Berkepribadian Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang mempersatukan
Indonesia dan yang berkedaulatan seluruh rakyat.
Dalam buku “Le Contrac Sosial”, Jean Jacques Rousseau memaparkan bahwa penguasa atau
pemerintah telah membuat perjanjian dengan rakyatnya yang disebut dengan istilah kontrak
sosial. Dalam sebuah republik demokrasi, kontrak sosial atau perjanjian masyarakat ini
diwujudkan dalam sebuah pemilihan umum. Melalui pemilihan umum, rakyat dapat memilih
siapa yang menjadi wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi yang selanjutnya menentukan
masa depan sebuah negara.
1. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini antara lain:
1. Apa pengertian dari demokrasi itu?
2. Apa pengertian dari demokrasi Pancasila?
3. Bagaimana perkembangan demokrasi di Indonesia?
4. Bagaimana implementasi demokrasi Pancasila sebagai perwujudan kedaulatan rakyat di Era
Reformasi?
2. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui hakekat demokrasi
2. Agar lebih menghayati demokrasi Pancasila
3. Untuk mengetahui perkembangan demokrasi di Indonesia
4. Agar dapat mengimplementasikan demokrasi Pancasila secara benar di Era Reformasi seperti
sekarang ini

BAB II
PEMBAHASAN
A. Demokrasi
1. Pengertian Demokrasi
Secara etimologis, istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, “demos” berarti rakyat
dan “kratos” atau “kratein”berarti kekuasaan. Konsep dasar demokrasi dberarti “rakyat
berkuasa” (government of rule by the people). Istilah demokrasi secara singkat diartikan sebagai
pemerintahan atau kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara diartikan bahwa pada tingkat terakhir rakyat
memberikan ketenytuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya termasuk dalam
menentukan kehidupan rakyat.
Jadi, Negara demokrasi adalah Negara yang diselenggarakan berdsarkan kehidupan dan kemauan
rakyat.
Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab dengan
demokrasi, hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi Negara dijamin. Oleh
karena itu, istilah demokrasi selalu memberikan posisi penting bagi rakyat walaupun secara
operasional implikasinnya di berbagai Negara tidak selalu sama.

1.Pengertian kehidupan demokrasi


Kehidupan demokratis memiliki makna kehidupan yang bersifat dan bercirikan demokrasi.
Kehidupan yang demokratis merupakan kehidupan yang didasari prinsip-prinsip demokrasi di
segala bidang kehidupan baik bidang politik, ekonomi, sosial kebudayaan dan pertahanan
keamanan. Kehidupan demokratis merupakan kehidupan yang penuh perdamaian, tanpa kekerasan
dan pemaksaan kehendak, adanya kebebasan individu untuk menentukan nasibnya sendiri, saling
menghormati adanya perbedaan tetapi tetap memiliki tanggung jawab mewujudkan ketertiban
bersama.
2.Pentingnya Kehidupan Demokratis dalam Kehidupan Keluarga
Keluarga merupakan dasar terbentuknya kelompok masyarakat, bangsa dan negara maka perlu
diwujudkan kehidupan yang demokratis. Apabila di dalam keluarga-keluarga sudah mampu
mewujudkan kehidupan yang demokratis maka akan terbentuk negara yang demokratis. Kehidupan
demokratis memang sangat diperlukan dan memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan
Adapun arti penting kehidupan demokratis dalam kehidupan keluarga antara lain.
a. Meningkatnya rasa tanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban masing-masing anggota
keluarga sebab pembagian tugas dan tanggung jawab melibatkan seluruh anggota keluarga.
b. Terhindarnya perselisihan antara anggota keluarga karena setiap ada permasalahan dapat
diselesaikan melalui musyawarah.
c. Memberi motivasi kepada seluruh anggota keluarga untuk bekerja lebih giat karena semua
anggota keluarga merasa senang dan puas, merasa lebih dihargai kedudukannya di dalam keluarga.
d. Meningkatnya rasa kasih sayang di antara sesama anggota keluarga.
e. Terjalinnya komunikasi yang akrab dan harmonis sebab semua kehendak/keinginan anggota
keluarga dapat disalurkan.
3. Pentingnya Kehidupan Demokratis dalam Kehidupan Sekolah
Sekolah merupakan tempat mendidik anak-anak bangsa yang akan melahirkan calon-calon
pemimpin bangsa di masa yang akan datang maka perlu diwujudkan kehidupan yang demokratis.
Apabila di sekolah sudah mampu mewujudkan kehidupan yang demokratis maka akan terbentuk
negara yang demokratis. Kehidupan demokratis memang sangat diperlukan dan memiliki arti yang
sangat penting dalam kehidupan sekolah.
Adapun arti penting kehidupan demokratis dalam kehidupan sekolah antara lain.
a. Terhindarnya tindak kekerasan baik antar siswa maupun guru dengan siswa sebab demokrasi anti
kekerasan, permasalahan diselesaikan secara damai.
b. Memberi motivasi kepada seluruh warga sekolah untuk bekerja lebih giat karena semua angota
keluarga merasa senang dan puas, merasa lebih dihargai kedudukannya di dalam sekolah.
c. Dapat meningkatkan keamanan, ketertiban sekolah sebab dengan terwujudnya kehidupan
demokratis semua warga sekolah puas, tidak ada yang memiliki rasa dendam dan benci terhadap
sekolah/warga sekolah.
d. Kegiatan belajar mengajar akan berjalan lebih berhasil guna dan berdaya guna sebab dengan
suasana yang demokratis siswa lebih aktif dan partisipatif tidak memiliki rasa takut terhadap guru.
e. Dapat mendidik siswa untuk berpikir kritis dan memiliki kepedulian terhadap situasi di sekolah
maupun di lingkungan masyarakat sekitarnya dan tidak takut mengemukakan pendapat/gagasan.
f. Meningkatnya rasa kasih sayang di antara sesama warga sekolah.
g. Terjalinnya komunikasi yang akrab dan harmonis di antara sesama warga sekolah sebab semua
kehendak/keinginan anggota keluarga dapat disalurkan.
4. Pentingnya Kehidupan Demokratis dalam Kehidupan Masyarakat
Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk sosial yang bersama-sama orang lain di tengah-
tengah masyarakat. Kehidupan masyarakat memerlukan tatanan, sistem dan landasan yang
dijadikan pedoman dalam kehidupan bersama.
Demokrasi merupakan sistem dan tatanan yang dipandang mampu menampung segala
permasalahan dan aspirasi yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat maka perlu
dikembangkan di dalam kehidupan masyarakat. Kehidupan demokratis memang sangat diperlukan
dan memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Adapun arti penting kehidupan
demokratis adalah kehidupan masyarakat antara lain.
a. Meningkatnya rasa kasih sayang di antara sesama warga masyarakat.
b. Terjalinnya komunikasi yang akrab dan harmonis di antara sesama warga masyarakat sebab
semua kehendak/keinginan anggota masyarakat dapat disalurkan.
c. Terhindarnya tindak kekerasan antara warga masyarakat demokrasi anti kekerasan, permasalahan
diselesaikan secara damai.
d. Memberi motivasi kepada seluruh warga masyarakat untuk bekerja lebih giat karena semua
anggota keluarga merasa senang dan puas, merasa lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.
e. Dapat meningkatkan keamanan, ketertiban masyarakat sebab dengan terwujudnya kehidupan
demokratis semua warga masyarakat puas, tidak ada yang memiliki rasa dendam dan benci terhadap
warga masyarakat lain.
f. Meningkatkan rasa kebersamaan dan kegotong-royongan sehingga semangat di dalam
melaksanakan pembangunan.
g. Menghilangkan rasa saling curiga mencurigai di antara sesama warga masyarakat.
5. Pentingnya Kehidupan Demokratis dalam Kehidupan Kenegaraan
Negara merupakan kelompok besar manusia yang hidup bersama untuk mencapai tujuan bersama
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dalam negara biasanya terdapat berbagai
kelompok, golongan dan kepentingan yang berbeda-beda. Adanya berbagai perbedaan ini sulit untuk
diseragamkan tetapi dapat disatukan apabila semua golongan dan kepentingan merasa
aspirasi/kepentingannya dapat disalurkan. Sarana yang tepat dalam menyalurkan berbagai
perbedaan dan kepentingan hanyalah sistem pemerintahan yang demokrasi. Mengingat pentingnya
demokrasi dalam kehidupan bernegara maka perlu diwujudkan kehidupan demokratis dalam
bernegara. Adapun arti penting kehidupan demokratis dalam kehidupan kenegaraan antara lain.
a. Terjalinnya komunikasi yang akrab dan harmonis antara pejabat dengan pejabat dan antara
pejabat dengan rakyat.
b. Terhindarnya tindak kekerasan yang dilakukan oleh pejabat terhadap bawahan atau rakyatnya
sebab demokrasi anti kekerasan, permasalahan diselesaikan secara damai.
c. Memberi motivasi kepada seluruh pejabat dan wakil-wakil rakyat untuk bekerja lebih giat karena
semua merasa senang dan puas, merasa lebih dihargai kedudukannya.
d. Dapat meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat sebab dengan terwujudnya kehidupan
demokratis semua warga negara puas, pendapatnya tersalurkan.
e. Menghilangkan rasa saling curiga mencurigai di antara sesama pejabat atau pejabat dengan rakyat
sebab dengan demokrasi terbangun jiwa keterbukaan.
f. Makin lancarnya penyelenggaraan pemerintahan sebab semua pegawai atau pejabat negara
merasa bekerja dengan senang.
g. Makin meningkatkan kelancaran pelaksanaan pembangunan sebab program-program pemerintah
mendapat dukungan dari seluruh warga negara.

persamaan kedudukan di depan hukum

Dalam UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 Amandemen ke-IV secara eksplisit menyebutkan:
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum".

Persamaan dihadapan hukum adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Persamaan di
hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada
persamaan di hadapan hukum bagi semua orang maka harus diimbangi juga dengan persamaan
perlakuan bagi semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, maka mereka
harus diperlakukan sama oleh hakim tersebut.

Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa
membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di
hadapan hukum.

Partisipasi Dalam Proses Pengambilan Keputusan


Pengertian Partisipasi :
Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu “participation” adalah pengambilan bagian atau
pengikutsertaan. Menurut Keith Davis, partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi
seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya.

Bentuk partisipasi yang nyata yaitu :

 Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha


bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan
 Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta
benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas
 Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk
pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program
 Partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang
dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya
Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat atau
buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar
pelaksanaan program dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman
dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya.

Dari pengertian partisipasi diatas, kita dapat menyimpulkan secara sederhana , bahwa
Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan yaitu :
Pengambilan bagian dengan menyalurkan ide , materi , tenaga , maupun ketrampilan untuk
mengambil suatu keputusan yang dibuat, baik dalam sebuah organisasi maupun dalam
kehidupan bermasyarakat dan pribadi.

Namun, saat kita sudah memutuskan untuk ikut andil dalam pengambilan keputusan, kita
juga harus mempertimbangkan resiko-resiko dan keuntungan apa saja yang didapat jika
mengambil langkah ini dan itu, jangan sampai salah dalam mengambil keputusan karena
asal berpartisipasi saja .

Distribusi dalam pembuatan keputusan Dan


contohnya
Terbagi menjadi tiga yaitu :
1. Keluarga

- Adanya pemerataan pemberian uang pendidikan pada anak oleh ortu.

- Pemerataan pembagian harta warisan oleh orang tua kepada anak cucunya.

2. Sekolah

- Pemerataan bantuan pendidikan (beasiswa) untuk siswa yang tidak mampu.

- Pemerataan bantuan pendidikan untuk siswa yang berprestasi.

3. Masyarakat

- Pemerataan pemberian daging qurban pada saat Idul-Adha untuk seluruh warga masyarakat.

- Pemerataan pemberian kesempatan kerja oleh masyarakat yang mampu untuk warga yang
pengangguran supaya terjadi pemerataan pendapatan.

4. Negara

- Melaksanakan program pemberian bantuan uang tunai untuk fakir miskin yang berpendapatan
rendah.

- Membuat program membuka lapangan pekerjaan untuk pemerataan pendapatan. Di keluarga :


-kita bisa memberikan saran dan pendapat kepada orang tua kita / yang lebih tua

Kebebasan bertanggung jawab sebagai


berikut:

 Kebebasan seseorang dalam menyampaikan pendapatnya, dalam menyampaikan


pendapatnya kita harus memperhatikan sopan santun agar tidak menyinggung orang
lain.
 Dalam hal kebebasan kita harus memperhatikan batas-batas kebebasan tersebut agar
tdak menyinggung orang lain.
 Kebebasan seseorang harus selalu memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma
kususilaan, hukum, dan asat istiadat yang berlaku, agar tidak mentinggung orang lain.
Hak kebebasan yang dipergunakan sewena-wena atau tanpa batas akan menyebabkan sebuah
keresahan yang terjadi didalam masyarakat sertan kekacaun negara. oleh sebab itu orang yang
memiliki kebebadsan harus bisa mempertanggung jawabkan kebebasannya kepada sesama
manusia dalam lingkungan masyarakat, hukum, dan Tuhan Yang Maha Esa, jadi kebebasan
yang kita dapat harus dipergunakan sebaik-baik mungkin.

Ada beberapa contoh yaitu :


di sekolah :

- kita bebas bertanya dan mengemukakan pendapat

di masyarakat

-kita boleh mengeluarkan perasaan kita di sosial media

-kita bisa mengkritik seseorang dengan bebas

di negara

- kita bebas memilih presiden dan lainnga

-kita punya hak untuk berpendapat mengenai kenegaraan


Perilaku yang Mendukung Tegaknya Nilai-nilai
Demokrasi
Demokrasi tidak mungkin terwujud, jika tidak didukung oleh masyarakatnya. Pada
dasarnya timbulnya budaya demokrasi disebabkan karena rakyat tidak senang adanya
tindakan yang sewenang-wenang baik dari pihak penguasa maupun dari rakyat sendiri.
Oleh karena itu, kehidupan yang demokratis hanya mungkin dapat terwujud ketika rakyat
menginginkan terwujudnya kehidupan tersebut.

Bagaimana caranya supaya kita dapat menjalankan kehidupan yang demokratis? Untuk
menjalankan kehidupan demokratis, kita bisa memulainya dengan cara menampilkan
beberapa prinsip di bawah ini dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:

 membisakan diri untuk berbuat sesuai dengan aturan main atau hukum yang berlaku;
 membiasakan diri bertindak demokratis dalam segala hal;
 membiasakan diri menyelesaikan persoalan dengan musyawarah;
 membiasakan diri mengadakan perubahan secara damai tidak dengan kekerasan;
 membiasakan diri untuk memilih pemimpin-pemimpin melalui cara-cara yang
demokratis;
 selalu menggunakan akal sehat dan hati nurani luhur dalam musyawarah;
 selalu mempertanggungjawabkan hasil keputusan musyawarah baik kepada Tuhan Yang
Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara bahkan secara pribadi;
 menuntut hak setelah melaksanakan kewajiban;
 menggunakan kebebasan dengan rasa tanggung jawab;
 mau menghormati hak orang lain dalam menyampaikan pendapat;
 membiasakan diri memberikan kritik yang bersifat membangun.

Demokrasi di Indonesia adalah suatu proses sejarah dan politik perkembangan demokrasi di
dunia secara umum, hingga khususnya di Indonesia, mulai dari pengertian dan
konsepsi demokrasi menurut para tokoh dan founding fathers Kemerdekaan Indonesia,
terutama Soekarno, Mohammad Hatta, dan Soetan Sjahrir. Selain itu juga proses ini
menggambarkan perkembangan demokrasi di Indonesia, dimulai saat Kemerdekaan Indonesia,
berdirinya Republik Indonesia Serikat, kemunculan fase kediktatoran Soekarnodalam Orde
Lama dan Soeharto dalam Orde Baru, hingga proses konsolidasi demokrasi pasca Reformasi
1998 hingga saat ini. Demokrasi Kuno[sunting | sunting sumber]
Jika Romawi kuno menjadi suatu bentuk kediktatorannya yang pertama di dunia, Yunani
kuno memperkenalkan sebuah sistem yang berarti, “diperintah oleh rakyat”, inilah pikiran-pikiran
awal tentang demokrasi, yang terus berkembang hingga saat ini. Warga memerintah dirinya sendiri
melalui wakil-wakilnya yang dipilih sesuai konstitusi, bebas, dan teratur memungkinkan terjadinya
perubahan.[1]
Kelahiran demokrasi sebagai sebuah paham ideologi sekaligus sebagai sebuah sistem
politik memang tidak boleh dinafikkan bahwa demokrasi lahir memang dari Dunia Barat, lebih
tepatnya Yunani kuno yang saat itu berbentuk sebuah Negara-Kota Athena (sekarang
Ibukota Yunani modern). Demokrasi sendiri berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “demos” yang artinya
rakyat dan “kratos” yang artinya kekuasaan, jadi demokrasi secara terminology berarti pemerintahan
yang menghendaki kekuasaan oleh rakyat.[2]

Demokrasi di Yunani kuno saat itu adalah suatu bentuk demokrasi langsung yang artinya bahwa
setiap warga negara berhak berpartisipasi dalam pembuatan konstitusi dan hukum perundang-
undangan sekaligus juga memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan oleh
sistem pemerintahan. Jadi saat itu, demokrasi benar-benar dijalankan secara harfiah dalam
pengertian sekaligus implementasi yang benar-benar “kekuasaan rakyat” bukan keterwakilan seperti
di demokrasi modern hari ini.[2]

Demokrasi Modern[sunting | sunting sumber]


Demokrasi modern yang saat ini kita kenal adalah sebuah bentuk dari adaptasi nilai-
nilai demokrasi yang dahulu ada di zaman Yunani kuno, namun dalam dunia modern, demokrasi
secara langsung a’la Yunani kuno dianggap tidak relevan lagi, karena selain jumlah penduduk yang
semakin banyak, ideologi dan sistem pemerintahan modern juga telah banyak memberikan
pengaruh terhadap perkembangan demokrasi. Jadi dalam dunia modern, demokrasi langsung
seperti di Yunani kuno menjadi tidak mungkin dan sangat sulit untuk diterapkan kembali.[2]

Demokrasi modern kemudian memberikan satu bentuk baru dari partisipasi rakyat kedalam sebuah
sistem keterwakilan yang mendapatkan legitimasi dari pemilihan yang dilakukan oleh rakyat. Salah
satu akar dari demokrasi modern hari ini terbentuk setelah Revolusi Perancis. Saat Perancis
mengubah bentuk negaranya setelah menumbangkanDinasti Bourbon yang dipimpin oleh Raja
Louis XIV dan digantikan dengan sebuah Republik Perancis, sistem keterwakilan modern yang
cukup mapan telah terbangun dalam sebuah keterwakilan dalam Parlemen Perancis atau Majelis
Nasional Perancis. Dalam Majelis Nasional Perancis itu, semua unsur-unsur politik yang ada dalam
masyarakat Perancis berhak memiliki wakilnya untuk duduk di parlemen, mulai dari kelompok kiri
jauh, kiri tengah, tengah, kanan tengah, dan kanan jauh, semuanya memiliki hak untuk duduk di
parlemen mewakili konstituen mereka, yaitu rakyat.[3]

Perkembangan lainnya adalah yang paling sering menjadi contoh dari wajah demokrasi dunia
adalah demokrasi Amerika Serikat. Selama Abad 19, Amerika Serikat telah berusaha untuk
membangun suatu sistem dimana hak dan kewajiban rakyat sama pentingnya untuk diperjuangan
dalam negara, dimana demokrasi di Amerika Serikat juga mengadopsi pemikiran-pemikiran
liberalisme yang digagas oleh John Locke dan Montesquieu. Amerika Serikat mengalami
demokratisasi secara penuh adalah di masa PresidenAndrew Jackson (1767-1845) yang secara
penuh telah membangun demokrasi Amerika Serikat menjadi demokrasi keterwakilan dari seluruh
wilayah Amerika Serikat, menjadikan demokrasi Amerika Serikat sebagai demokrasi keterwakilan
yang mapan sampai saat ini.[4]

Dua Wajah Demokrasi[sunting | sunting sumber]


Pasca Perang Dunia II, tepatnya pada tahun 1948,George Bernard Shaw mengusulkan untuk
menghilangkan salah paham dan kekacauan pengertian tentang arti demokrasi. Seluruh ahli bahasa
dan politik dipertemukan untuk meluruskan definisi demokrasi yang sebenarnya. Pertentangan
terjadi bila ketika seorang wakil dari Blok Barat (Amerika Serikat, Britania Raya, dan Perancis)
berbicara soal demokrasi, seringkali bertentangan dengan definisi demokrasi yang dikemukan oleh
perwakilan dari Blok Timur (Uni Sovietdan Republik Rakyat Tiongkok).[5]

Negara Blok Barat menafsirkan demokrasi sebagai kebebasan individual, kebebasan pers,
kebebasan berbicara, hak untuk beroposisi, hak untuk berserikat, hak untuk mencari uang dan
menentukan pekerjaan, sampai hak untuk pergi atau tinggal diluar negeri. Sementara Negara Blok
Timur menafsirkan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,
artinya adalah bukan berarti rakyat dapat memimpin diri mereka sendiri, namun negara harus
bekerja untuk kepentingan kolektivitas, untuk menghindari tirani mayoritas.[6]

Munculnya dualisme makna demokrasi pasca Perang Dunia II itu kemudian memunculkan banyak
macam kediktatoran yang kemudian mengklaim demokrasi versi mereka, seperti Stalin dengan
“demokrasi sentralistik”, Kim Il Sung mentasbihkan negerinya sebagai ''Democratic People’s
Republic of Korea'' alias Korea Utara, Ulbricht yang melabeliJerman Timur dengan Republik
Demokratik Jerman, hingga sampai di Indonesia sendiri kemudian kita mengenal,
ada Soekarno dengan “demokrasi terpimpin” dan Soehartodengan “demokrasi Pancasila”.[7]

Demokrasi dalam Pandangan Para Pendiri Bangsa Indonesia[sunting | sunting


sumber]

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, secara gamblang duet


pemimpin Dwitunggal, Soekarno dan Mohammad Hatta telah mendeklarasikan Indonesia Merdeka
sebagai sebuah negara yang demokratis karena pada kalimat terakhirnya dikatakan dalam Teks
Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah “atas nama bangsa Indonesia”, bila dikaitkan dengan definisi
bangsa, maka yang dimaksud adalah seluruh rakyat Indonesia. Jadi kemerdekaan Indonesia adalah
kemerdekaan yang diperuntukkan bagi rakyat Indonesia sendiri.

Meskipun telah mencapai konsensus kemerdekaan sebagai sebuah bangsa, tetapi setiap tokoh
pergerakan dan pelopor kemerdekaan Indonesia memiliki konsepsi demokrasinya masing-masing,
kebanyakan dari mereka berusaha menengahi dualisme penafsiran demokrasi dari Negara
Barat yang liberalis dengan Negara Timur yangkomunis, terutama dalam merumuskan tentang
kebebasan politik yang diadopsi dari demokrasi Barat dan kemerataan ekonomi yang ditiru
dari demokrasi Timur. Namun, terkadang beberapa tokoh kemudian memiliki kecenderungan
masing-masing, entah itu kecenderungan pada Barat ataupun Timur, yang kemudian menjadi ciri
khas dari perkembangan demokrasi di Indonesia.

Demokrasi Menurut Soekarno[sunting | sunting sumber]


Untuk biografi, lihat Soekarno.

Soekarno

Dalam pandangan Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno, demokrasi Indonesia
adalah demokrasi yang lahir dari kehendak memperjuangkan kemerdekaan, itu artinya adalah
demokrasi Indonesia menurut Soekarno meletakan embrionya pada perlawanan terhadap
imperialisme dan kolonialisme, hal itu ditulis oleh Soekarno dalam bukunya, Indonesia
Menggugat dan Dibawah Bendera Revolusi, yang secara eksplisit terinspirasi oleh pergerakan
kemerdekaan yang dilakukan di pelbagai belahan dunia, dari perjuangan
seorang Muhammad,Yesus Kristus, William de Oranje, Mahatma Gandhi, Mustafa Kemal Attaturk,
dan tokoh-tokoh kemerdekaan bangsa-bangsa di seluruh dunia.[8]

Menurut Soekarno, demokrasi adalah suatu "pemerintahan rakyat". Lebih lanjut lagi, bagi Soekarno,
demokrasi adalah suatu cara dalam membentuk pemerintahan yang memberikan hak kepada
rakayat untuk ikut serta dalam proses pemerintahan. Namun, demokrasi yang diinginkan dan
dikonsepsikan oleh Soekarno tidak ingin "meniru" demokrasi modern yang lahir dari Revolusi
Perancis, karena menurut Soekarno, demokrasi yang dihasilkan oleh Revolusi Perancis, demokrasi
yang hanya menguntungkan kaum borjuis dan menjadi tempat tumbuhnya kapitalisme.[9] Oleh
karena itu, kemudian Soekarno mengkonsepsikan sendiri demokrasi yang menurutnya cocok
untuk Indonesia.
Lebih jelasnya, konsepsi Soekarno mengenai demokrasi tertuang dalam konsep pemikirannya,
yaitu marhaenisme. Marhaenisme yang merupakan buah pikir Soekarno ketika masih
belajar Bandung pada hakekatnya sering menjadi pisau analisis sosial, politik, dan ekonomi di
Indonesia. Marhaenisme itu terdiri dari tiga pokok atau yang disebut sebagai “Trisila”, yaitu:[10][11]

 Sosio-nasionalisme, yang berarti nasionalisme Indonesia yang diinginkan oleh Soekarno adalah
nasionalisme yang memiliki watak sosial dengan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di dalam
nasionalisme itu sendiri, jadi bukan nasionalisme yang chauvinis.
 Sosio-demokrasi, yang artinya bahwa demokrasi yang dikehendaki Soekarno adalah bukan
semata-mata demokrasi politik saja, tetapi juga demokrasi ekonomi, dan demokrasi yang
berangkat dari nilai-nilai kearifan lokal budaya Indonesia, yaitu musyawarah mufakat.
 Ketuhanan Yang Maha Esa, yang artinya bahwa Soekarno menginginkan setiap rakyat
Indonesia adalah manusia yang mengakui keberadaan Tuhan (theis), apapun agamanya.

Di antara ketiga sila itu, pemikiran dan konsepsi Soekarno mengenai demokrasi ada di sila kedua
dalam Trisila Marhaenisme, yaitu sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi menurut Soekarno adalah
suatu sistem demokrasi yang mengakar pada nilai-nilai kemasyarakatan. Sosio-demokrasi yang
diinginkan oleh Soekarno adalah saat demokrasi itu sendiri mendasari nilai-nilainya pada seluruh
masyarakat, bukan hanya kepada sebagian masyarakat, dalam hal ini Soekarno
mengkritik demokrasi Perancis dan demokrasi Amerika Serikat yang menurut Soekarno hanya
mementingkan sebagian kelompok orang saja, yaitu kelompok borjuis, atau sederhananya,
Soekarno ingin demokrasi Indonesia bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi
ekonomi.[12]

Masih dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, Soekarno kemudian menjabarkan lebih jauh tentang
konsep sosio-demokrasinya itu, yaitu dengan mengkonsepsikan nilai-nilai demokrasi politik dan juga
demokrasi ekonomi. Demokrasi politik menurut Soekarno adalah demokrasi yang berlaku
di Eropa pasca-Revolusi Perancis, yaitu demokrasi yang didalamnya adalah suatu sistem demokrasi
keterwakilan dalam sebuah lembaga parlemen, - Soekarno menyebutnya parlementaire
democratie dan politieke democratie -Soekarno melihat bahwa nilai-nilai demokrasi itu memang
diterapkan saat pemilihan anggota parlemen, namun bagi Soekarno demokrasi politik Eropa itu
hanya berhenti sampai di parlemen saja, sementera dalam bidang ekonomi tidak ada nilai-nilai
demokrasinya, yang menyebabkan banyaknya kemiskinan - dan untuk permasalahan ekonomi itu
Soekarno menyalahkan demokrasi politik yang justru mendukung berkembangnya kapitalisme.[13]

Soekarno kemudian membuat suatu rumusan, agar demokrasi menjadi lebih seimbang, artinya
demokrasi yang Soekarno inginkan bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi.
Demokrasi ekonomi itu menurut Soekarno adalah demokrasi yang menghendaki adanya pemberian
hak-hak ekonomi kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga tercipta suatu kemerataan.
Kemerataan yang dimaksudkan oleh Soekarno itu bukan kemerataan ekonomi dalam
sistem komunisme yang menghilangkan hak milik pribadi,[14] tetapi suatu kemerataan dimana semua
hak kepemilikan pribadi - Soekarno menyeburnya sebagai privaatbezit - seluruh rakyat dijamin oleh
negara, dalam hal ini parlemen yang merupakan hasil dari demokrasi politik berperan untuk
memberikan perlindungan bagi hak-hak kepemilikan pribadi semua orang melalui suatu pembuatan
peraturan atau hukum yang adil bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali, baik dari
kelas borjuis ataupun proletar - termasuk juga kelas masyarakat yang memiliki harta benda sedikit
atau yang disebut Soekarno sebagai marhaen.[15]

Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, terutama saat perumusan dasar negara Indonesia
yang dilaksanakan pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno menawarkan konsepsi dasar negara
bagi Indonesia Merdeka, yaitu Pancasila – meskipun Soekarno sendiri menolak disebut sebagai
penemu Pancasila, oleh karen itu Soekarno lebih suka disebut sebagai “penggali Pancasila”. Dalam
pidatonya pada 1 Juni 1945 itu, Soekarno berkata mengenai konsespsi demokrasi yang Soekarno
tawarkan adalah sebagai berikut:[16]

"Prinsip nomor 4, sekarang saya usulkan. Saya di dalam tiga hari ini belum mendengarkan prinsip
itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak aka nada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka.
Saya katakan tadi; prinsipnya San Min Chu ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng (yang
artinya): Nationalism, Democracy, Socialism. Maka prinsip kita harus (berdasarkan apa?): Apakah
kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya
sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa
dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup member sandang – pangan kepadanya? Mana yang kita pilih,
Saudara-Saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita
dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat di negara-negara Eropa
adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire demokratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum
kapitalis merajalela?"[17]

}}Pada sila ini secara eksplisit Soekarno menginingkan sebuah sistem politik demokrasi yang tidak
hanya politiknya saja yang mengalami demokratisasi, tetapi juga ekonominya, dengan cara
menjadikan “kerakyatan” sebagai fondasi utamanya dan dijalankan dengan prinsip-prinsip “hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Seokarno tidak ingin Indonesia menjadi
negara demokrasi liberal seperti di Barat, yang masyarakatnya kapitalistik, Soekarno ingin Indonesia
menjadi negara demokrasi yang masyarakatnya sosialistik, artinya bahwa demokrasi bukan hanya
pada kebebasan dalam politik, seperti bebas berbicara, bebas memilih, dan bebas berserikat dalam
organisasi apapun, tetapi juga demokrasi yang mampu mengalokasikan seluruh sumber daya
ekonomi kepada seluruh rakyat atau sederhadanya kekuasaan rakyat atas ekonomi dan perlawanan
terhadap kemiskinan.[18]

Soekarno juga memiliki suatu konsepsi tentang demokrasi yang dikemukakan pada 21 Februari
1957. Konsepsi itu berisi penolakannya terhadap sistem demokrasi parlementer yang saat itu
diterapkan di Indonesia, karena Soekarno menganggap demokrasi parlementer sebagai demokrasi
Barat yang mengecewakan. Selain itu, konsepsi Soekarno tentang demokrasi itu kemudian dikenal
sebagai Demokrasi Terpimpin atau Demokrasi Gotong Royong dengan kepemimpinan yang
terpusat dan integralistik.[19]

Demokrasi Menurut Mohammad Hatta[sunting | sunting sumber]


Untuk biografi, lihat Mohammad Hatta.

Mohammad Hatta

Seperti Soekarno, Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, Mohammad Hatta juga merupakan
salah satu tokoh pergerakan yang menjadi pengeritik utama demokrasi liberal Barat. Kritik Hatta
terhadap demokrasi Barat yang dimaksud, bukanlah demokrasi Barat dalam arti politik, yaitu
demokrasi dalam kehidupan politik, atau liberalisme secara umum. Dalam pamflet yang berjudul Ke
Arah Indonesia Merdeka, Hatta mengemukakan sebagai berikut:[20]

"Jadinya, demokrasi Barat yang dilahirkan oleh Revolusi Perancis tiada membawa kemerdekaan
rakyat yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme. Sebab itu demokrasi
politik saja tidak cukup untuk mencapai demokrasi yang sebenarnya, yaitu Kedaulatan Rakyat.
Haruslah ada pula demokrasi ekonomi."[20]

Demokrasi Barat yang bersendikan pada liberalisme memiliki sisi politik dan ekonomi, yaitu
demokrasi politik dan sistem kapitalisme dalam ekonominya. Secara spesifik dalam pandangan
Hatta, sistem ekonomi kapitalis lahir terlebih dulu (oleh kaum kelas borjuis yang menguasai
parlemen di masa itu) dan kemudian kelas borjuis yang kapitalis mendirikan sebuah sistem
demokrasi politik yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan sistem kapitalisme itu sendiri.
Hatta mengakui bahwa demokrasi Barat memang menjamin kedaulatan rakyat di bidang politik,
akan tetapi karena kehidupan politik berkaitan dengan kehidupan ekonomi, sementara kehidupan
ekonomi dalam demokrasi Barat tidak mengandung kedaulatan rakyat, maka bagi Hatta demokrasi
politik dalam demokrasi Barat menjadi manipulatif, yaitu “memutar satu asas yang baik seperti
kedaulatan rakyat menjadi perkakas pemakan rakyat”.[21]

Demokrasi politik di Barat – seperti apa yang dikemukakan oleh William Ebenstein dan Edwin
Fogelman – bertumpu kepada “pementingan individu"[22] dalam kehidupan politik. Maksudnya,
individu dengan segenap hak-hak dasarnya merupakan unit utama dalam kehidupan politik. Negara
dan kelompok-kelompok lain diadakan semata-mata untuk melayani kepentingan individu-individu
ini. Hatta berpendapat, semangat individualisme Barat dalam politik harus ditolak. Sebaliknya, Hatta
menginginkan sebuah sistem demokrasi yang berdasarkan kebersamaan dan kekeluargaan yang
mencerminkan tradisi kehidupan bangsa Indonesia secara turun menurun.[23]

Hatta menganggap individualisme sebagai penyakit, sehingga individualism adalah sesuatu yang
harus dihindari, Hatta selanjutnya berbicara tentang demokrasi yang lebih sempurna bagi Indonesia
– seperti Soekarno – yaitu demokrasi di bidang politik dan ekonomi yang tidak mengandung paham
individualisme. Hatta bahkan amat yakin, demokrasi yang dibayangkannya itu akan bisa terwujud
karena kesesuaiannya dengan tradisi masyarakat Indonesia, yaitu kebersamaan dan kekeluargaan.

Sifat demokratis masyarakat asli Indonesia ini bersumber dari semangat kebersamaan
atau kolektivisme. Kolektivisme ini mewujud dalam sikap saling tolong menolong, gotong royong,
dan sebagainya. Kolektivisme dalam masyarakat asli Indonesia juga berarti pengambilan keputusan
melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Ini jelas berbeda dengan kebiasaan yang berlaku
dalam sistem demokrasi Barat yang individualistis.

Menurut Hatta, kebersamaan harus berarti, kepemilikan bersama atas suatu alat produksi (tanah)
tidak bisa dijalankan dengan pembagian, melainkan harus diusahakan secara bersama-sama pula.
Dengan kata lain, usaha individual dengan bantuan orang lain yang mencirikan kebersamaan
masyarakat asli Indonesia masa kini, harus diganti dengan milik bersama yang diusahakan secara
bersama-sama pula. Inilah yang dimaksud oleh Hatta dengan collectivisme baroe, yang seharusnya
mewarnai kehidupan ekonomi Indonesia merdeka. Pengertian inilah yang kemudian melekat pada
koperasi sebagai wujud kolektivisme baru.

Sejak masa pergerakan Indonesia, Hatta dalam pidatonya yang berjudul Koperasi Jembatan ke
Demokrasi Ekonomi terus menyerukan koperasi sebagai satu-satunya organisasi ekonomi yang bisa
berhasil meletakkan sendi yang kuat untuk membangun kembali ekonomi yang roboh. Hatta
meyakininya karena koperasi berupaya berjalan dengan semangat self-help dan oto-activity. Artinya
koperasi berusaha menumbuhkan rasa percaya diri dan tolong menolong antar masyarakat sebagai
pemandu kemauan yang kuat. Semangat itulah yang sudah lama muncul yang sebetulnya
membarengi berkembangnya demokrasi sosial, politik dan ekonomi. Hal ini dapat dengan mudah
dikatakan karena bangunan demokrasi yang sangat kuat sebagian besar dipupuk dengan
semangat koperasi. Demokrasi dapat hidup dan kuat, kalau ada rasa tanggung jawab pada rakyat.
Dasar koperasi adalah menghidupkan rasa tanggung jawab itu, sebab koperasi selain membela
keperluan bersama, membangun dalam jiwa tiap-tiap anggotanya manusia merdeka, sadar akan
harga dirinya.[24]

Hatta melihat, demokrasi Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno, lebih tepatnya setelah
Dwitunggal bubar dan Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden pada Juli 1959 telah bergeser menjadi
demokrasi yang meniru kediktatoran komunisme di Timur, demokrasi yang menurut Hatta hanya
dijadikan alat oleh negara untuk melanggengkan kekuasaan semata. Oleh karena itu, Hatta
menyebut periode Orde Lama sebagai periode “krisis demokrasi”. Pada 1966, tepatnya ketika rezim
Soekarno mulai berubah menjadi otoritariandan Dwitunggal telah pecah, Hatta mulai mengoreksi,
bahkan mengkritik “demokrasi terpimpin” ataupun “demokrasi gotong royong” yang digagas
Soekarno. Hatta mengkritik demokrasi yang diterapkan oleh Soekarno itu dalam artikelnya yang
berjudul Demokrasi Kita yang dimuat dalam majalah Pandji Masjarakat pada 1966 yang sempat
dibredel oleh pemerintah Orde Lama.[25]

Demokrasi Menurut Soetan Sjahrir[sunting | sunting sumber]


Untuk biografi, lihat Soetan Sjahrir.

Soetan Sjahrir

Seperti halnya Soekarno dan Mohammad Hatta, Perdana Menteri Pertama Republik
Indonesia, Soetan Sjahrir juga memiliki konsepsi sendiri tentang demokrasi, namun yang
membedannya adalah Sjahrir tidak mengutuk habis-habisan demokrasi Barat seperti yang dilakukan
Soekarno dan Hatta. Sjahrir lebih membenci fasisme dan ketimbang kapitalisme Barat, oleh karena
itu tak mengherankan bila Sjahrir lebih suka melakukan dialog dengan pihak Sekutu Barat,
seperti Amerika Serikat, Britania Raya, dan Belanda.

Selain fasisme, Sjahrir pun juga menyerang komunisme dan sistem demokrasinya sebagai ideologi
yang mengkhianati sosialisme kerena mengabaikan kemanusiaan, seperti Joseph Stalin dan Mao
Tse Tung. Karena serangan Sjahrir ke kaum komunis, maka para penentangnya yang berasal dari
spektrum kiri jauh mengejeknya dengan sebutan “soka” – yang merujuk pada nama bunga – atau
akronim dari sosialis kanan, karena keterpukauan Sjahrir kepada segala hal yang berbau Barat.[26]

Kebencian Sjahrir pada fasisme dan komunisme turut mempengaruhi konsepsinya mengenai
demokrasi dan pemerintahan di Indonesia Merdeka. Pemikiran Sjahrir tentang demokrasi dan
pemerintahan di Indonesia tertuang dalam bukunya yang berjudul Perjuangan Kita yang terbit pasca
Indonesia Merdeka, dan duet Soekarno-Hatta atau Dwitunggal menjadi pemimpin Indonesia. Bagi
Sjahrir, pemerintahan Indonesia yang baru merdeka, adalah pemerintahan yang dipimpin oleh
kolaborator fasis (dalam hal ini kolaborator Kekaisaran Jepang), sehingga pemerintahan perlu di
“demokratisir”.[27]

“Secepat mungkin seluruh pemerintahan harus didemokratiseer, sehingga rakyat banyak masuk
tersusun di dalam lingkungan pemerintahan. Ini mudah dikerjakan dengan menghidupkan dan di
mana perlu membangunkan dewan-dewan perwakilan rakyat dari desa hingga ke puncak
pemerintahan."[28]

Sementara seorang aktivis simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI), Rahman Tolleng menyebut
ideologi Sjahrir sebagai republikan-sosialis, “karena dia (Sjahrir) menekankan pada partisipasi
rakyat,” kata Tolleng. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi dikemudian hari Sjahrir mengubah
sistem presidensial menjadi parlementer agar partisipasi itu bisa maksimal.[29]

Dalam pemikirannya, Sjahrir sangat jelas memiliki banyak perbedaan


dengan Soekarno dan Hatta mengenai konsepsi demokrasi. Bila Soekarno dan Hatta melihat
individualismesebagai hal yang harus dihindari, maka Sjahrir justru menganggap individualisme
menjadi elemen yang penting dalam negara dan sistem pemerintahan yang demokratis.
Menurut Vedi Hadiz, pengajar ilmu politik di Universitas Nasional Singapura, ideologi Sjahrir adalah
perpaduan antara tradisi sosial-demokrat dengan liberalisme. Sosial-demokrat Sjahrir, misalnya,
terlihat pada perhatian dan gerakannya menumbuhkan pendidikan rakyat. Sedangkan liberalisme
muncul dari sikapnya yang menjunjung hak dan kebebasan individu.[30]

Sikap politik Sjahrir yang seorang sosialis tetapi mengakui ide-ide demokrasi Barat dan liberalism
tidak hanya membuat Sjahrir bermusuhan dengan fasisme, tetapi juga dengan kelompok komunis.
Bagi Sjahrir demokrasi dan sosialisme bisa tercapai dengan azas akal, bukan melalui jalur revolusi
terus-menerus – dalam hal ini Sjahir bertolak belakang dengan Soekarno yang mengatakan
“revolusi belum selesai”, tetapi ia sejalan dengan Hatta yang mengatakan “revolusi telah selesai”.
Konsepsi Sjahrir mengenai demokrasi dan sosialisme yang bisa dicapai melalui jalur diplomasi
bukan revolusi kekerasan diungkapkan pada Kongres Sosialis Asia
II di Bombay(sekarang Mumbai), India pada 6 November 1956. Dalam Kongres itu Sjahrir
berkata:[31]

“Kaum sosial kerakyatan di Asia menyadari bahwa mereka mempunyai kesabaran revolusioner
yang sama dengan kaum komunis, tetapi mereka melihat dengan sangat jelas bahwa kaum komunis
telah menempuh suatu jalan yang salah. Dituntun oleh ajaran-ajaran Lenin dan Stalin mengenai
perjuangan kelas, mereka menghancurkan dalam diri mereka sendiri, jiwa serta semangat
sosialisme, yaitu kemampuan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia.”[32]

Dalam pidato itu jelas Sjahrir menolah sistem demokrasi a’la Bolshevik dan Komunis
Internasional yang menindas dan mengabaikan kedaulatan rakyat dengan sistem yang
hirarkis, otoriter, dan totaliter dalam politbiro Partai Komunis. Menurut Sjahrir, pengakuan terhadap
kedaulatan rakyat dan martabat manusia secara individu membuat sosialisme yang dianutnya
sejalan dengan demokrasi liberal ala Barat, namun dengan satu perbedaan, yaitu tidak adanya
pengakuan terhadap sistem ekonomi kapitalis – dalam hal ini Sjahrir sejalan dengan Soekarno dan
Hatta.[33]

Demokrasi Parlementer[sunting | sunting sumber]

Era demokrasi parlementer di Indonesia, juga sering kali disebut sebagai era demokrasi
konstitusional.[34] Munculnya sistem parlementer di Indonesia karena jatuhnya kabinet Presidensial
Pertama pada 14 November 1945 yang disebabkan oleh keluarnya Maklumat Wakil Presiden No.
X/1945 pada 16 Oktober 1945 dan diikuti kemudian oleh Maklumat Pemerintah pada 3 November
1945 yang berisi tentang seruan untuk mendirikan partai-partai politik di Indonesia. Keberlanjutan
dari Maklumat Pemerintah itu adalah adanya pengumuman dari Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BPKNIP) tentang perubahan pertanggungjawaban Menteri kepada Parlemen,
dalam hal ini adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Usulan dari BPKNIP itu kemudian
disetujui oleh Presiden Soekarno pada 14 November 1945. Dengan demikian, maka secara
otomatis sistem pemerintahan di Indonesia saat itu bukan lagi presidensial, tetapi menjadi
parlementer.[37]

Sistem pemerintahan parlementer yang pertama di Indonesia dimulai pada 14 November 1945
sampai 12 Maret 1946 dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Pertama Indonesia, Soetan
Sjahrir atau disebut juga sebagai Kabinet Sjahrir I.[38] Langkah mengubah sistem pemerintahan
Indonesia dari presidensil ke parlementer dianggap sebagai suatu langkah politik ideologi Sjahrir
yang menganut sosial-demokrat dan mendukung sistem demokrasi Barat yang parlemennya kuat.[39]

Demokrasi parlementer di Indonesia semakin kuat dengan memiliki landasan konstitusional,


yaitu Undang-Undang Dasar Sementara 1949 dan 1950. Dalam Undang-Undang Dasar Sementara
1950 itu menetapkan bahwa lembaga eksekutif, yang terdiri dari presiden sebagai kepala negara
konstitusional dan menteri-menteri memiliki tanggungjawab politik dibawah seorang perdana menteri
sebagai kepala pemerintahan sehari-hari. Kabinet pemerintahan itu kemudian dibentuk atas dasar
koalisi partai-partai di parlemen, namun seringkali koalisi antar partai itu mengalami keretakan dan
menggoyahkan kabinet pemerintahan. Akhirnya karena seringnya koalisi partai tidak pernah utuh
sampai selesai, banyak kabinet pemerintahan di masa demokrasi parlementer jatuh bangun dengan
cepat, ditambah partai yang menjadi oposisi seringkali menunjukkan sikap kritik destruktif dengan
mengangkat sisi negatif partai penguasa, hal ini menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia saat
itu belum dewasa.[40]

Menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-
Dasar Ilmu Politik, demokrasi parlementer di Indonesia dirasa kurang cocok, karena persatuan dan
kesatuan diantara elemen kekuatan politik bangsa dan negara menjadi kendor dan sulit untuk
dikendalikan. Selain itu demokrasi parlementer di Indonesia menurut Miriam telah melahirkan
dominasi partai politik dan lembaga legistalif yang justru mendorong politik nasional menjadi tidak
tidak stabil.[41]

Kabinet Sjahrir II sedang bertemu dengan Presiden Soekarno

Ketidakstabilan dalam politik nasional Indonesia pada masa demokrasi parlementer disebabkan
karena kebanyakan kabinet pemerintahan hanya bertahan selama delapan bulan, hal ini bukan
hanya berdampak pada bidang politik, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional
pada saat itu. Ekonomi menjadi terhambat karena pemerintah tidak sempat melaksanakan program
kerjanya dan ketidaktabilan politik yang terjadi di pusat juga melebar hingga pemberontakan-
pemberontakan yang ada di daerah, seperti Darul Islam, Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia, dan sebagainya.[42]

Selain ketidakstabilan politik, ekonomi, dan keamanan negara, demokrasi parlementer juga
membuat seorang Soekarno marah. Selama masa demokrasi parlementer, Presiden Soekarno
hanya sebagai seroang kepala negara yang tugasnya tak lebih sebagai “tukang stempel” atau
“rubberstamp”. Selain itu, pihak militer juga menuntut diikutsertakan dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kebangsaan karena merasa bahwa militer lahir dari semangat revolusi
kemerdekaan yang berhak untuk terlibat dalam politik.[43][44]
Puncak dari ketidakstabilan politik di era demokrasi parlementer adalah gagalnya anggota
Konstituante dalam membentuk suatu undang-undang dasar yang baru bagi Indonesia.
Kegagalan Konstituante itu disebabkan karena para anggota Konstituante yang terdiri dari partai-
partai politik dalam parlemen tidak pernah bekerjasama untuk mencapai konsensus membentuk
undang-undang dasar yang baru. Kegagalan Konstituante itu yang kemudian akhirnya mendorong
Presiden Soekarno mengemukakan apa yang disebut sebagai “Konsepsi Presiden” pada 21
Februari 1957, dalam konsepsi itu Soekarno mengatakan bahwa demokrasi parlemeter adalah
demokrasi Barat dan harus diganti. Akhirnya puncak dari kekisruhan politik saat itu berakhir saat,
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan bahwa konstitusi
Indonesia kembali pada Undang-Undang Dasar 1945 yang sekaligus menyudahi kabinet
parlementer terakhir yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo atau yang disebut sebagai Kabinet Ali II
dan seluruh sistem demokrasi parlementer di Indonesia.[45][46]

Demokrasi Terpimpin[sunting | sunting sumber]

Setelah berakhirnya era demokrasi parlementer, Indonesia mulai memasuki fase demokrasi lainnya,
yaitu demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin dimulai saat Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tetapi sebelum dekrit presiden diumumkan, demokrasi
parlementer atau demokrasi konstitusional masih bertahan dengan adanya pembentukan sebuah
kabinet transisi yang dipimpin oleh Ir. Djuanda atau yang disebut sebagai Kabinet Djuanda. Kabinet
Djuanda ini berisi orang-orang yang bukan dari koalisi dominan partai di palemenen, maka seringkali
Kabinet Djuanda disebut juga sebagai Kabinet Ekstra Parlemen. Kabinet ini terhitung mulai bekerja
sejak 9 April 1957 sampai 10 Juli 1959.[47]

Jauh sebelum demokrasi terpimpin terbentuk, Soekarno sebenarnya telah mengemukakan


keinginannya untuk mengubah sistem demokrasi di Indonesia pada 27 Januari 1957 di Bandung.
Gagasan Soekarno itu yang diawali dengan mengungkapkan keinginannya untuk kembali bisa
mencampuri urusan pemerintahan meskipun Konstituante belum selesai membentuk undang-
undang dasar yang baru. Kelanjutan dari pendapatnya itu, kemudian Soekarno mengumpulkan para
pemimpin partai politik untuk membentuk sebuah lembaga yang disebut sebagai Dewan Nasional.[48]

Puncak dari ide-ide dan konsepsi demokrasi yang diimpikan Soekarno itu adalah pada 21 Februari
1957 yang dikenal dengan nama Konsepsi Presiden. Konsepsi Soekarno itu dikemukakan
dihadapan para menteri kabinet pemerintahan, pemimpin partai politik, dan perwira angkatan
bersenjata. Isi daripada konsepsi itu antara lain:[49]

1. Sistem demokrasi parlementer tidak cocok, harus diganti dengan demokrasi terpimpin.
2. Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin harus dibentuk Kabinet Gotong Royong yang
diawali dengan adanya “Kabinet Kaki Empat”.
3. Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan golongan fungsional sebagai penasehat
Presiden.

Bila disimpulkan, Konsepsi Presiden yang dikemukakan oleh Soekarno intinya adalah; 1) mengganti
sistem pemeritnahan dari parlementer ke presidensial, 2) berusaha merangkul semua kekuatan
politik yang ada, terutama empat partai pemenang pemilu 1955, PNI, Masyumi, NU, dan PKI, dan
juga merangkul pihak militer dalam pembentukan Dewan Nasional.

Konsepsi itu sebenarnya banyak dikritik oleh para pemimpin partai, seperti Muhammad
Natsir dari Masyumi dan Imron Rosjadi dari NU, dan juga sebagian kecil anggota PNI (yang
nantinya akan menjadi PNI Osa-Usep). Puncaknya adalah pada 2 Maret 1957, lima partai yang
terdiri dari Masyumi, NU, PSII, Partai Katholik, dan PRI mengeluarkan pernyataan menolak konsepsi
Soekarno. Sementara PKI satu-satunya yang mendukung penuh konsepsi Soekarno itu dan
sebagian besar anggota PNI (yang nantinya akan menjadi PNI Ali-Soerachman).[50]

Meskipun mendapat tekanan dari partai-partai sayap kanan, Soekarno tetap menjalankan
konsepsinya dengan mengandalkan kekuatan partai-partai sayap kiri, yaitu PKI dan PNI. Pada 14
Maret 1957, keluar undang-undang tentang keadaan darurat dan juga dibentuk sebuah kabinet
transisi dibawah kepemimpinan Ir. Juanda. Puncaknya adalah saat Soekarno kemudian
mencetuskan konsepsinya itu dalam bentuk Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang mengawali era
demokrasi terpimpin di Indonesia. Isi daripada Dekrit Presiden itu antara lain:[51]

1. Menetapkan pembubaran Konstituante


2. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak
berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas anggota-
anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan serta membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan
diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Meskipun Konsepsi Presiden itu bertujuan untuk menyatukan semua kekuatan politik yang ada dan
menciptakan stabilitas politik nasional, tetapi pada praktiknya, Presiden Soekarno kemudian
berusaha menciptakan sebuh sistem kediktatoran yang diatasnamakan demokrasi terpimpin. Pada
periode ini pula kepemimpinan Dwitunggal bubar,Mohammad Hatta memilih untuk berada diluar
pemerintahan dan menjadi tokoh yang mengkritik Soekarno dengan tulisan-tulisan dan menganggap
Soekarno telah berubah menjadi seorang diktator sejak 1956.[52]

Menurut Miriam Budiardjo, ciri-ciri dari era demokrasi terpimpin adalah dominasi presiden yang
menguat, berkembangnya pengaruh komunisme, dan masuknya militer sebagai unsur sosial-politik.
Dekrit Presiden 5 Juli pada dasarnya membuka peluang bagi stabilitas politik nasional, karena dapat
mempertahankan kedudukan pemerintah setidaknya selama lima tahun, namun Dekrit Presiden 5
Juli 1959 itu berubah saat dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. III/1963 yang
mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Ketetapan MPR itu sekaligus melangkahi
batasan kedudukan seorang presiden dan menjadikan Soekarno sebagai seorang diktator. Hal ini
menjadi salah satu bentuk penyelewengan konstitusi dan demokrasi di era demokrasi terpimpin.[53]

Penyalahgunaan lainnya yang dilakukan oleh Soekarno selama era demokrasi terpimpin adalah
pada 1960, Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tak lain adalah lembaga
legislatif, padahal Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan kewenangan itu kepada seroang
presiden. Bahkan kemudian, setelah membubarkan DPR, Presiden Soekarno membentuk lembaga
legislatif, yang seharusnya anggota legislatif dipilih oleh rakyat, bukan presiden. Badan legislatif
yang dibentuk Soekarno itu kemudian disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR). Praktis, karena DPR-GR adalah bentukan presiden, maka fungsi kontrol dari
lembaga legislatifterhadap eksekutif dihilangkan. Selain itu, jabatan Ketua DPR-GR dijadikan
menteri oleh Presiden Soekarno, itu artinya legislatif berada dibawah eksekutif, hal itu tertuang
dalamPeraturan Presiden No. 14/1960.[54]

Soekarno berpidato dihadapan ribuan kader Partai Komunis Indonesia

Selain lembaga legislatif, lembaga yudikatif juga mendapatkan intervensi dari Presiden Soekarno,
salah satunya adalah presiden memiliki kewenangan untuk ikut campur tangan dalam
badan yudikatif yaitu Mahkamah Agung. Intervensi Presiden Soekarno terhadap lambaga yudikatif
itu semakin diperkuat dengan Undang-Undang No.19/1964, itu artinya presiden sah apabila
mencampuri putusan apapun yang dibuat oleh lembaga yudikatif.[55]

Selain dalam hal pemerintahan, kecenderungan pada komunisme juga terjadi di era demokrasi
terpimpin, salah satunya adalahPresiden Soekarno membentuk sebuah lembaga ekstra
konstitusional, yaitu Front Nasional. Menurut Miriam Budiardjo, pembentukan Front Nasional adalah
bagian dari strategi Komunis Internasional (Komintern) untuk membentuk sebuah negara yang
berdasarkan poda “demokrasi rakyat”. Jadi Front Nasional yang dibentuk oleh Presiden
Soekarno itu kemudian menjadi lahan berpolitik bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tak bisa
diutak-atik karena posisinya yang berada diluar konstitusi tetapi dilindungi oleh presiden.[56]
Demokrasi terpimpin yang digagas oleh Presiden Soekarno semakin menunjukkan penyelewengan
dan justru menjauhi konsep dan nilai demokrasi itu sendiri, bukan hanya karena intervensi penuh
pada lembaga legislatif dan yudikatif, tetapi juga pembredelan terhadap partai politik yang dianggap
melawan Presiden Soekarno, seperti Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan
dan Soetan Sjahrir kemudian dibuang ke Swiss sampai wafat pada 1966, begitupula dengan pers
dan lembaga seni yang bertentangan dengan Presiden Soekarno ataupun yang berkonflik dengan
PKI, seperti Harian Pandji Masjarakat dan para aktivis kebudayaan yang tergabung
dalam Manikebu juga dibredel. Selain itu pula Presiden Soekarno lebih mengutamakan kepada
kebijakan politik luar negeri yang disebut sebagai “Politik Mercusuar”, hal ini berimbas pada
terabaikannya sektor ekonomi nasional yang menyebabkan inflasi besar dan kemiskinan.[57]

Era demokrasi terpimpin berakhir dengan peristiwa sejarah yang paling kelam bagi Bangsa
Indonesia, yaitu Peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia atauG30S/PKI. Jumlah
korban dalam peristiwa itu bukan hanya 6 jenderal dan 1 perwira Angkatan Darat Indonesia saja,
tetapi juga (diduga) jutaan orang komunis yang sebenarnya tak tahu menahu tentang G30S/PKI ikut
terbantai hampir diseluruh wilayah Indonesia. G30S/PKI selain mengakhiri era demokrasi terpimpin,
sekaligus juga mengawali suatu fase kediktatoran baru, kediktatoran militer Orde Baru yang
dipimpin oleh Jenderal Soeharto atau yang disebut sebagai era demokrasi Pancasila.[58][59]

Demokrasi Pancasila[sunting | sunting sumber]

Mayor Jenderal Soeharto saat pemakaman 6 Jenderal dan 1 Perwira Muda Angkatan Darat yang menjadi
korban G30S

Era demokrasi Pancasila diawali dengan suatu peristiwa sejarah yang sangat kelam bagi Indonesia,
yaitu Gerakan 30 September(G30S) atau yang sering juga disebut dengan G30S/PKI.
Pemberontakan G30S terjadi pada antara 30 September dan juga 1 Oktober 1965, Soekarno lebih
suka menyebutnya Gestok (Gerakan Satu Oktober) semenatara Soeharto lebih suka
menyebutnyaGestapu (Gerakan September Tigapuluh). Peristiwa ini menelan korban kurang lebih
tiga juta orang - menurut Sarwo Edhie Wibowo, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara
dengan kasus genosida terbesar keempat di dunia setelah Jerman Nazi, Kamboja Demokratik,
dan Rwanda.[60] Namun, terlepas dari peristiwa kemanusiaan yang mengikutinya, G30S juga
membawa satu angin perubahan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia.

Sistem demokrasi terpimpin yang justru dijadikan landasan untuk berdirinya sebuah pemerintahan
diktator oleh Soekarno setelah keluarnya Dekret Presiden 5 Juli 1959 ternyata tidak bertahan lama.
Dibawah kepemimpinan tunggal Presiden Soekarno, yang berdasarkan pada
konsep Nasakom (Nasionalis, Agamis, dan Komunis) dengan tujuan menyatukan seluruh elemen
kekuatan sosial-politik di Indonesia ternyata tidak berhasil, karena kecenderungan Soekarno pada
kelompok komunis dan membredel kelompok-kelompok kanan, justru menimbulkan suatu potensi
konflik politik baru yang membuat politik di Indonesia menjadi tidak stabil. Ditambah lagi dengan
krisis ekonomi dan konflik politik antara Partai Komunis Indonesia dengan Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat membuat rezim Orde Lamaitu akhirnya tumbang dan Indonesia
digantikan oleh sebuah rezim baru yang disebut sebagai Orde Baru dibawah
kepemimpinan Jenderal Soeharto.[61]

Setelah mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno berdasarkan Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar), Soeharto kemudian menjadi suksesor Soekarno sebagaiPresiden Republik
Indonesia yang kedua dan secara resmi periode Orde Baru atau era demokrasi Pancasila dimulai.
Menurut Haniah Hanafie dan Suryani, dalam menjalankan pemerintahan, Presiden
Soeharto mendasarinya pada kerangka organisasi yang disebut sebagai "Jalur ABG" (singkatan
dari ABRI, Birokrasi, dan Golkar). Melalui jalur ABG itu negara menentukan kebijakan-kebijakan
politiknya, hal ini menjadikan Indonesia - seperti yang disebut oleh Karl D.
Jackson sebagai Bureaucratic Policy atau "Masyarakat Politik Birokratis",[62] yang artinya bahwa
setiap keputusan diambil oleh pihak junta militer melalui struktur dan sistem birokrasi.[63]

Sebenarnya, pertama kali ketika Orde Baru terbentuk, mereka didukung oleh hampir seluruh rakyat
Indonesia (kecuali kelompok sayap kiri, yang hampir habis dibantai saatG30S). Banyak orang dari
berbagai kalangan seperti mahasiswa, tokoh agama, intelektual, cendekiawan, dan sebagainya
menaruh harapan bahwa Orde Baru dapat mengembalikan demokrasi Indonesia kepada jalur yang
benar, sebuah demokrasi yang bersendikan pada Pancasila. Oleh karena itu, menurut Miriam
Budiardjo, pada masa Orde Baru, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat menjadi landasan formal yang berlaku di Indonesia, sehingga periode ini
disebut juga dengan demokrasi Pancasila.[64]
Presiden Soehato (1970)

Langkah awal Orde Baru dalam proses rekonstruksi sistem demokrasi di Indonesia, seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, bahwa Orde Baru bertujuan untuk meluruskan kembali cita-cita
demokrasi Indonesia yang melenceng menjadi kediktatoran dibawah kekuasaanPresiden
Soekarno selama masa demokrasi terpimpin (Orde Lama). Salah satu yang dilakukan untuk
menghapuskan kediktatoran Orde Lama adalah membatalkan Ketetapan MPRS No. III/1963 yang
berisi tentang pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan jabatan presiden
kemudian direvisi kembali menjadi jabatan yang elektif (dipilih secara berkala) selama satu
periodenya adalah lima tahun. Kemudian keluarnya Ketetapan MPRS No.XIX/1966 yang isinya
adalah untuk menentukan tinjauan kembali terhadap produk-produk legislatif di masa Orde Lama,
dan atas dasar Ketetapan MPRS itu, Undang-Undang No.19/1964 diganti dengan Undang-Undang
No.14/1970 yang isisnya mengmabalikan independensi lembaga yudikatif.
Lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) juga dikembalikan
hak dan fungsi kontrolnya terhadap lembaga eksekutif dan Ketua DPR-GR tidak lagi menjadi
seorang menteri dibawah Presiden, tetapi memiliki kedudukan yang sejajar dengan Presiden, selain
itu hak Presiden untuk mengintervensi Parlemen dicabut. Kebebasan pers dan seni juga
dikembalikan, para tokoh partai-partai politik yang dahulu di masademokrasi terpimpin ditangkap
dan diasingkan dibebaskan,[65] salah satunya Soetan Syahrir, tetapi Sjahrir lebih dahulu meninggal
sebelum sempat kembali ke Indonesia.[66]
Dibidang ekonomi, Orde Baru juga berusaha untuk mengembalikan sektor ekonomi nasional yang
terabaikan selama Orde Lama, salah satunya adalah membuka kran investasi asing sebesar-
besarnya untuk melakukan pembangunan nasional yang berkesinambungan. Salah satunya
adalah Freeport-McMoRan yang menanamkan uangnya di Indonesia pada 1967 untuk
mengeksplorasi sumber daya emas di Papua (saat itu Irian Jaya).[67]

Masa demokrasi Pancasila menunjukkan keberhasilan dalam politik, hal ini dibuktikan dengan
keberhasilan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) secara teratur, yaitu 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, dan 1997. Adanya pemilu yang teratur memang merupakan tekad awal Orde Baru
untuk membangun kembali demokrasi Indonesia, dan ini telah diatur dalam Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum tahun 1969, tepatnya satu tahun setelah Jenderal Soeharto dilantik menjadi
Presiden Kedua Republik Indonesia pada 1968 atau dua tahun setelah dilantik sebagai Pejabat
Presiden pada 1967 dan tiga tahun setelah mendapatkan Surat Perintah Sebelas Maret. Hal ini
sesuai dengan slogan Orde Baru yaitu; menjalankan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila
secara murni dan konsekuen.[68]

Setelah politik dan ekonomi nasional kembali stabil, lambat laun ternyata telah tercipta sebuah
pemusatan kekuasaan kepada Presiden Soeharto. Dominasi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia semakin terasa jelas, birokrasi menjadi semakin rumit dan mengekang kebebasan
masyarakat, dan juga Golongan Karya berubah menjadi sebuah organisasi politik yang dominan
dalam politik Indonesia. Pemerintahan Presiden Soeharto secara terang-terangan berubah menjadi
sebuah rezim yang otoriter namun kali ini bukanotoritarianisme sayap kiri seperti di era Soekarno,
tetapi lebih kepada kediktatoran junta militer, karena militer bisa dimana saja, menduduki jabatan-
jabatan publik yang strategis, yang seharusnya dalam demokrasi tidak boleh ada intevensi militer di
dalamnya.

Publik mulai menyadari bahwa nilai-nilai demokrasi tidak ada dalam penyelenggaraan pemilu yang
diadakan oleh Orde Baru. Misalkan adanya kebijakan fusi partai yang menjadikan semua kelompok
nasionalis dilebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia dan seluruh golongan Islamis digabung
dalam Partai Persatuan Pembangunan, sementaraGolongan Karya tetap menjadi satu organisasi
politik non-partai pada saat itu. Kedudukan Golkar yang non-partai ternyata dijadikan kelebihan bagi
Orde Baru, karena hanya Golkar saja yang boleh memiliki pengurus hingga ke
tingkat desa dan kelurahan, selain itu pemerintah juga menerapkan
kebijakan monoloyalitas bagi pegawai negeri untuk mewajibkan mereka memilih Golkar dalam
setiap pemilu, hal ini menunjukkan apa yang disebut oleh Miriam Budiardjo sebagai ketidakadilan
dalam sistem politik di masademokrasi Pancasila.[69]

Puncak dari anomali dimasa demokrasi Pancasila adalah


merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (disingkat KKN) dan pembangunan ekonomi tidak
dirasakan oleh rakyat yang kemudian menimbulkan masalah kemiskinan seperti di akhir-akhir
masa demokrasi terpimpin. Akibatnya adalah kelompok-kelompok yang anti terhadap Presiden
Soehartosemakin menguat, terutama kelompok intelektual seperti mahasiswa dan pemuda.
Kelompok mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh Indonesia dan juga organisasi-organisasi
mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung melakukan aksi demonstrasi menuntut
agar Soeharto mundur dari jabatan sebagai Presiden Indonesia. Akhirnya karena terus menerus
diterpa gelombang demonstrasi yang menunutnya untuk mundur dan kehilangan kepercayaan dari
orang-orang terdekatnya, Presiden Soehartoakhirnya menyatakan mundur pada 21 Mei 1998 atau
yang dikenal sebagai Reformasi 1998 yang sekaligus menandai akhir dari era demokrasi
Pancasila.[70]

Era Reformasi[sunting | sunting sumber]

Proses Reformasi politik di Indonesia pasca jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998 telah
membuka peluang bagi tumbuhnya nilai-nilai demokrasi demi mewujudkan suatu pemerintahan
yang baik. Proses Reformasi itu terbagi dalam dua fase, yaitu:

Transisi Demokrasi[sunting | sunting sumber]

Kabinet Reformasi Pembangunan Presiden Habibie

Sebenarnya fase transisi ini adalah fase yang paling singkat, namun paling menentukan, karena
ketidakberhasilan suatu negara dalam proses demokratisasi-nya tergantung pada proses transisi
demokrasi. Menurut Richard Gunther, transisi itu adalah:

"Begins with the breakdown of the former authoritarian regime and ends with the establishment of a
relatively stable configuration of political institutions within a democratic regime"[71]

yang artinya adalah:

"Dimulai dengan hancurnya bekas rezim otoriter dan diakhiri dengan pembentukan konfigurasi
institusi politik yang relatif stabil dalam sebuah rezim demokratis"

Proses transisi demokrasi atau proses demokratisasi di Indonesia dimulai ketika terjadinya
perpindahan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden B. J. Habibiepada 21 Mei
1998. Disebut "transisi" karena pada fase inilah Indonesia mengalami peralihan atau transisi sistem
politik dari otoritarian menuju demokrasi, transisi dari supremasi militer kepada supremasi sipil,
transisi dari sentralisasi ke desentralisasi, dan seterusnya, yang maknanya adalah Indonesia telah
beranjak meninggalkan sistem diktator dan sedang menuju perubahan sebagai negara yang
demokratis.

Tumbangnya Orde Baru telah membuka peluang terjadinya reformasi politik dan proses
demokratisasi di Indonesia. Pengalaman pada masa Orde Baru juga telah membuat Indonesia
menyadari bahwa demokrasi penting bagi tumbuhnya kesejahteraan rakyat, oleh karenanya seluruh
rakyat Indonesia pasca-1998 menaruh harapan bahwa proses demokratisasi dibawah
kepemimpinan Presiden Habibie dan Kabinet Reformasi Pembangunan dapat berjalan dengan baik
dan tidak terjadi lagi anomali transisi demokrasi seperti dari Orde Lama ke Orde Baru.[72]

Presiden Habibie yang dilantik menggantikan Presiden Soeharto kemudian menjadi El Pilota del
Cambio (dalam Bahasa Indonesia yang artinya "Sang Pilot Perubahan - sebuah julukan bagi Raja
Juan Carlos yang memimpin reformasi politik di Spanyol pasca-Francisco Franco)[73] memikul
tanggungjawab besar untuk memulai langkah-langkah demokratisasi dan meletakan fondasi-fondasi
utama bagi sistem demokrasi di Indonesia, seperti mempersiapkan pemilihan umum (pemilu) yang
demokratis dan membuat peraturan-peraturan, termasuk juga membebaskan para tahanan
politik Orde Baru. Di era transisi demokrasi ini terbentuk beberapa undang-undang baru, misalkan
seperti Undang-Undang tentang Partai Politik, Undang-Undang Pemilu, dan juga Undang-Undang
tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara juga
mengalami perubahan.[74]

Konsolidasi Demokrasi[sunting | sunting sumber]


Setelah proses transisi demokrasi berhasil, maka selanjutnya adalah konsolidasi atau pemantapan
sistem demokrasi. Menurut Kacung Marijan, konsolidasi demokrasi menjadi penting karena
seringkali beberapa negara yang berusaha melakukan proses demokratisasi justru gagal ditengah
jalan karena proses transisinya yang tidak selesai atau gagal dalam proses konsolidasi sebuah
sistem yang demokratis, sehingga negara itu kembali kepada sistem otoriter dan diperintah kembali
oleh seorang diktator.[75]

Konsep utama dari proses konsolidasi demokrasi menurut Andreas Schedler adalah manakala ada
suatu negara yang menghadapi stabilitas rezim, itu artinya bahwa konsolidasi ditentukan oleh
seberapa stabilnya rezim, dalam hal ini adalah bagaimana konsolidasi demorkrasi menjadi berhasil
bila stabilitas rezim yang demokratis itu juga dapat terjaga. Menurut Guillermo O'Donnell, bila
konsolidasi rezim itu sudah tercapai, maka sudah kemungkinan besar stabilitas rezim juga akan
dapat berkelangsungan.[76]

Dalam kasus proses konsolidasi demokrasi di Indonesia pasca-Reformasi, rezim baru dalam hal
ini Presiden Habibie dan kelompok Reformis lainnya terutama para elit politik yang tergabung
dalam Kelompok Ciganjur (Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Gus Dur) perlu mencapai
sebuah konsensus atau kesepakatan bersama, Presiden Habibiesebagai suksesor atau
pengganti Soeharto kemudian bertindak mewakili rezim lama, dan juga unsur-unsur yang
meliputinya, seperti Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,Birokrat, dan Golongan Karya untuk
dapat berdamai dengan unsur-unsur kekuatan politik baru hasil reformasi, seperti mahasiswa dan
tokoh-tokoh politik yang menjadi oposan atau lawan dari unsur kekuatan politik lama. Bila proses
konsolidasi tidak melibatkan unsur-unsur kekuatan politik lama, terutama dari kalangan militer, maka
yang mungkin terjadi adalah militer akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan reformis dan
berusaha kembali mendirikan sebuah sistem junta militer, seperti yang dilakukan oleh para perwira
loyalis Franco di Spanyol yang dikenal dengan Gerakan F-23.[77]

Namun beruntung bagi Indonesia - tidak seperti yang terjadi di Spanyol - karena pihak militer yang
saat itu dipimpin oleh Panglima Wiranto menerima proses reformasi dan demokratisasi di Indonesia,
hampir seluruh loyalis Presiden Soeharto yang duduk di posisi-posisi penting setuju untuk
melakukan konsolidasi demokrasi dengan kelompokreformis, salah satu hasilnya adalah
dihapusnya Dwifungsi ABRI (tentara sebagai alat pertahanan sekaligus sosial-politik) dan
dipecahnya Kepolisian Republik Indonesia dariABRI, dan ABRI sendiri kemudian berganti nama
menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).[78]

Tantangan Demokrasi[sunting | sunting sumber]


Proses konsolidasi demokrasi di Indonesia juga didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang
membaik pasca reformasi setidaknya dalam ekonomi makro, seperti pertumbuhan investasi,
kerjasama perdagangan luar negeri, dan sebagainya. Tetapi yang menjadi tantangan adalah
kebangkitan ekonomi makro di Indonesia ternyata tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi
mikro, perekonomian rakyat dari kalangan menengah ke bawah belum cukup terasa. Selain itu
menurut Fuad Bawazier, perekonomian Indonesia sebagian besar masih ditopang oleh hutang luar
negeri, ditambah lagi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, dan sebagainya.[79]

Bila demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila selalu menemui
tantangan politik, salah satunya kemunculan rezim diktator. Maka di era reformasi ini, sektor
ekonomi yang menjadi tantangan bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia,[80] sekaligus
menentukan kemanakah arah demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, apakah seperti yang akan
dicita-citakan oleh para founding fathers Bangsa Indonesia atau mungkin kearah lainnya?
OLEH :
1. MUHAMMAD RAFLI AL-ASHAR
2. MUHAMMAD SATRIA
3. MUHAMMAD FAJAR
4. MUHAMMAD ALFIAN
5. MUHAMMAD NAZRULLAH HN
6. MUHAMMAD ARIF D
7. SUHARDI

Anda mungkin juga menyukai