Pengertian
Spinal cord injury (SCI) adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang seringkali
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Efek dari spinal cord injury tergantung pada jenis
luka dan tingkat dari cedera. Akibat yang ditimbulkan karena cedera SCI bervariasi, dan
yang terparah bisa sampai mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta
kehilangan fungsi defekasi dan berkemih (Fransisca, 2008). Trauma pada tulang belakang
dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus, tulang
belakang sendiri dan sumsum tulang belakang atau spinal kord (Muttaqin, 2008).
B. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Olahraga
3. Luka tembak atau tikam
4. Kelainan tulang : mielitis, osteoporosis, tumor
5. Klasifikasi
Cedera tulang
- Stabil
- non-stabil
Cedera neurologis
- tanpa defisit neurologi
- Disertai gejala neurologis
6. Mekanisme Cedera Medulla Spinalis
Hiperfleksi
Hiperekstensi
Kompresi
C. Patofisiologi
Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus terbanyak cedera
spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera dapat terjadi akibat hiperfleksi,
hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang belakang.
Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi,
kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat berupa memar,
kontusio, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan
ini akan memblok syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot
pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan
hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung kemih. Gangguan kebutuhan
gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia dan
gangguan eliminasi.
Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang terkena: jika
terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami tetraplegia dengan kehilangan
fungsi pernapasan atau sistem muskular total; jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan
terjadi tetraplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total
terhadap aktivitas sehari-hari; jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami
tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk
melakukan sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1
seseorang akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan,
meningkat kemandiriannya; pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi
tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik; jika terjadi cedera
pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan
sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain:
a. Cedera Cervikal
Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih berfungsi.
Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik
secara fisik maupun fungsional). Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori
pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Pasien pada
quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena ketergantungan
terhadap ventilator mekanis. Orang ini juga tergantung semua aktivitas kebutuhan sehari-
harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis tetapi
dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja.
Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder
terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai
dengan depresi pernafasan. Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan
dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien
mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik.
Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan
edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi gangguan pada otot bisep,
triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya
pasien masih dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat
memakai dan melepaskan baju. Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk
mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan
ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa
perawatan dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas
pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan
dan memasak.
Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena
kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan dengan pasien
berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya
mencengkram. Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian,
melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri.
b. Cedera Torakal
Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan diafragmatik. Fungsi
inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural
biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot
lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.
Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat T6 ke bawah,
segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua refleks abdominal ada.
Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal
harus befungsi secara mandiri. Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:
T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
T3 Aksilla
T5 Putting susu
T6 Prosesus xifoid
T7, T8 Margin kostal bawah
T10 Umbilikus
T12 Lipat paha
c. Cedera Lumbal
L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian belakang dari
bokong
L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel
L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha
L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area sadel
d. Cedera Sakral
Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari telapak
kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area
sadel, skrotum, dan glans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.
e. Klasifikasi Berdasarkan Keparahan
1) Klasifikasi Frankel:
Grade A : Motoris (-), sensoris (-)
Grade B : Motoris (-), sensoris (+)
Grade C : Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
Grade D : Motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
Grade E : Motoris (+) normal, sensoris (+)
2) Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
Grade A : Motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
Grade B : Hanya sensoris (+)
Grade C : Motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
Grade E : Motoris dan sensoris normal
D. Tanda gejala
1) Antara C1 sampai C5: Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal.
2) Antara C5 dan C6: Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang
lemah; kehilangan refleks brachioradialis.
3) Antara C6 dan C7: Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan
fleksi siku masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
4) Antara C7 dan C8: Paralisis kaki dan tangan
5) C8 sampai T1: Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki.
6) Antara T11 dan T12: Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.
7) T12 sampai L1: Paralisis di bawah lutut.
8) Cauda equine: Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan biasanya
nyeri dan sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol bowel dan bladder.
9) S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1: Kehilangan kontrol bowel dan bladder
secara total.
E. Penatalaksanaan
Medis
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam posisi lurus:
pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung IV untuk mempertahankan agar leher
stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien; melakukan traksi
skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong
Gard-Wellsbrace pada tengkorak, tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien
dengan fraktur servikal stabil ringan; pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi
batang Harrington) untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-X
ditemui spinal tidak aktif. Intervensi bedah = Laminektomi, dilakukan bila: deformitas tidak
dapat dikurangi dengan fraksi, terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal, cedera
terjadi pada region lumbar atau torakal, status neurologis mengalami penyimpanan untuk
mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompres medulla. (Diane C. Braughman,
2000 ; 88-89).
Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis dengan
menggunakan glukortiko steroid intravena
Keperawatan
Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis, kemungkinan didapati
defisit motorik dan sensorik di bawah area yang terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi
kandung kemih, perusakan fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu
fungsi seksualnya, perubahan fungsi defekasi; kaji perasaan pasien terhadap kondisinya;
lakukan pemeriksaan diagnostik; pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing,
Circulation) agar kondisi pasien tidak semakin memburuk.
Test dignostik
Pemeriksaan Radiologi Pasien dengan SCI juga dapat menerima baik komputerisasi
Tomography (CT scan atau CAT) dan magnetis resonansi imaging (MRI) dari tulang
belakang. Karena alasan diatas, perlu dilakukan pemeriksaan radiografi tulang belakang
servikal pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat. Radiograf yang diambil di UGD
kualitasnya tidak selalu baik dan bila tetap diduga adanya cedera tulang belakang, radiograf
selanjutnya diambil lagi termasuk tampilan oblik bila perlu, serta (pada daerah servikal)
dengan leher pada fleksi serta ekstensi bila diindikasikan. Tampilan melalui mulut terbuka
perlu untuk memperlihatkan proses odontoid pada bidang antero-posterior.
Prinsip-Prinsip Utama Penatalaksanaan Trauma Spinal:
a. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke
unit gawat darurat. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi
normal; dengan menggunakan ‘cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar (rotation).
Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras.
Pasien diangkat/dibawa dengan cara “4 men lift” atau menggunakan ‘Robinson’s
orthopaedic stretcher’. Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang
baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD (analisa gas
darah), dan periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone
Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki
konntusio medula spinalis.
b. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau Gardner-Wells
tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan dengan beban
yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.
c. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi ‘realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ‘realignment’ dengan cara
tertutup ini gagal maka dilakukan ‘open reduction’ dan stabilisasi dengan
’approach’anterior atau posterior.
d. Rehabilitasi
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini
adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan, pencapaian
optimal fungsi-fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita
paraparesis/paraplegia.
F. Pohon masalah
G. Asuhan keperawatan
Pengkajian
Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot diafragma, kelemahan dengan paralisis otot
abdominal dan intercostal
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d. gangguan neuromuscular
3. Nyeri b.d. adanya cedera
4. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi b.d. gangguan neuromuscular
5. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan,
ketidakmampuan untuk berkemih spontan
6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama, kehilangan sensori dan
mobilitas.
Intervensi Keperawatan