Anda di halaman 1dari 575

MENGAGUNGKAN KEMBALI SENI

PERTUNJUKAN TRADISI KERATON:


Politik Kebudayaan Jawa Surakarta,
1950an – 1990an

DISERTASI

Disusun untuk memenuhi sebagian


persyaratan mencapai gelar Doktor (Sejarah)
Program Studi Ilmu-ilmu Humaniora

Diajukan oleh
DHANANG RESPATI PUGUH
08/277431/SSA/00261

Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
REVITALIZING THE PERFORMING ARTS OF PALACE TRADITION:
Javanese Cultural Politics of Surakarta,
1950s-1990s

DISSERTATION

Structured to fulfill a part of the requirements of achieving the


degree of Doctor (History) of Humanities Study Program

Submitted by
DHANANG RESPATI PUGUH
08/277431/SSA/00261

to
POSTGRADUATE PROGRAM
FACULTY OF HUMANITIES
GADJAH MADA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
2015
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Sapa kang tekun kanthi ateteken mesthi bakal tekan.

Jroning lahir angudi kardi, jroning batin angèsthi Gusti.

(Ki Nartosabdho)

Pangkur

Mangkono ngèlmu kang nyata,


Sanyatané mung wèh reseping ati,
Bungah ingaranan cubluk,
Sukèng tyas yèn dènina,
Nora kaya si punggung anggung gumunggung,
Ugungan sadina-dina,
Aja mangkono wong urip.

(K.G.P.A.A. Mangkunagara IV, Serat Wédhatama)

Dipersembahkan kepada:

Ki Nartosabdho

(25 Agustus 1925 - 7 Oktober1985)

ii
"t

PERE&-:T84tr

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam disertasi ini tidak


terdapat karya yang pernah diajukan untuk memtrrroleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat'karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbidren oleh orang lafun, kecuali yang
se.para terhrlis di.acg dafam na$kah ini dan diipbutk=an dal.asl
daftar pustaka.

Yo.grirk;irtia 7 Septearher 2015

Yang menyatakan,

&

lV
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah


swt. yang telah melimpahkan anugerah, rahmat, dan hidayah-Nya,
sehingga berhasil menyelesaikan penulisan disertasi dengan judul
“Mengagungkan Kembali Seni Pertunjukan Tradisi Keraton: Politik
Kebudayaan Jawa Surakarta, 1950an-1990an”. Perkenalan
dengan kebudayaan Jawa Surakarta diawali ketika penulis belajar
nembang macapat dan nabuh gamelan pada saat duduk di bangku
sekolah dasar di Semarang. Aktivitas itu terus berlangsung sampai
penulis duduk di bangku perkuliahan pada Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Kegiatan-kegiatan itu
mungkin menjadi salah satu faktor yang mendorong penulis untuk
memilih sejarah Surakarta sebagai subjek penelitian untuk
skripsi, tesis, dan disertasi. Dengan demikian, pemilihan topik
untuk penulisan disertasi tidak hanya didasari oleh pertimbangan
akademis, tetapi juga kedekatan emosional penulis dengan
kesenian Jawa Surakarta.
Suatu yang sangat dirasakan dan diyakini oleh penulis
adalah disertasi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bantuan
dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini sudah
sewajarnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih baik
kepada perorangan maupun instansi.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi dihaturkan
kepada Prof. Dr. Djoko Suryo selaku promotor yang telah
membimbing, memberikan masukan-masukan berharga, dan
menulis rekomendasi untuk mengikuti Sandwich-Like Program
pada 2012. Beliau tidak hanya menjadi guru, tetapi seperti
menjadi Bapak bagi penulis dengan pemberian wejangan yang

v
menentramkan hati dan semangat ketika penulis menghadapi
berbagai persoalan dalam menyusun disertasi.
Ucapan terima kasih dan penghargaan serupa juga
dihaturkan kepada Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A. baik
sebagai dosen pengampu mata kuliah, ko-promotor maupun
sebagai guru bagi penulis. Tanpa kebaikan beliau mustahil penulis
dapat mengikuti program studi lanjut di Fakultas Sastra/ Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada. Sejak perkenalan pertama
ketika penulis menjadi mahasiswa S2 di Universitas Gadjah Mada
beliau senantiasa memberikan kesempatan untuk kemajuan
karier akademik penulis. Beliau selalu memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti berbagai kegiatan akademik
seperti: Workshop on Street Images: Decolonization and Changing
Symbolism of Indonesian Urban Culture Between 1930s and early
1960s (Yogyakarta, 2004-2005); Workshop on Sites, Bodies and
Stories: Formation of Indonesian Cultural Heritage (Yogyakarta,
2009); International Conference Sites, Bodies and Stories:
Indonesia, India and (Post) Colonial Heritage Formation (Yogyakarta,
2011); USM-UGM Bienial History Workshop 2012: Rude Awakening
The Japanese Interregnum in Indonesia and Malaysia 1941-1945
(Penang, 2012); dan Sandwich-Like Program (Leiden, 2012). Beliau
juga telah memberikan semangat dan meyakinkan penulis untuk
tetap menyelesaikan penulisan disertasi ketika penulis beberapa
kali hampir putus asa, karena mengalami gangguan kesehatan
yang mengakibatkan tertundanya penyelesaian disertasi ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga dihaturkan
kepada para dosen pengampu mata kuliah, yaitu Prof. Dr. R.M.
Soedarsono, Prof. Dr. Bakdi Soemanto, S.U. (alm.), dan Prof. Dr.
Rustopo, M.S.. Ilmu-ilmu yang telah diberikan dan pinjaman
literaturnya menambah wawasan dan pengetahuan penulis, serta

vi
membantu penyusunan disertasi ini. Kepada Prof. Dr. Syamsul
Hadi, S.U., M.A., Prof. Dr. R.M. Soedarsono, Prof. Dr. Soetarno, Dr.
Sri Margana, M. Phil., Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang, M.A.,
dan Dr. Mutiah Amini, M. Hum. selaku Tim Penguji diucapkan
terima kasih atas kritik, masukan, dan saran untuk perbaikan
disertasi. Namun demikian, tidak semua masukan dan saran
dapat dipenuhi, karena keterbatasan kemampuan penulis.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Peter J.J. Meel,
Director of Research Institute of History Leiden University yang
telah bersedia memberikan Letter of Acceptance, sehingga penulis
dapat mengikuti Sandwich-Like Program 2012. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada Dr. J. Thomas Lindblad yang telah
menunjukkan cara melakukan penelitian di Perpustakaan KITLV
Leiden; Prof. Dr. Ben Arps, Dr. Victoria Clara van Groenendael, Dr.
Clara Brakel-Papenhuyzen, dan Els Bogaerts, M.A. atas
kesempatan yang diberikan untuk berdiskusi dan kesediaan
menunjukkan sumber-sumber yang diperlukan selama penulis
mengikuti Sandwich-Like Program di Leiden University. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada dua orang petugas
Perpustakaan KITLV Leiden yang selama hampir tiga bulan
membantu menyediakan sumber-sumber yang diperlukan.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan Beasiswa
Program Pascasarjana (BPPS) dan kesempatan untuk mengikuti
Sandwich-Like Program 2012 di Leiden University selama tiga
bulan. Tanpa BPPS dan Sandwich-Like Program penulis tidak akan
dapat mengikuti Program Doktor Ilmu Humaniora di Universitas
Gadjah Mada dan melakukan penelitian di negeri Belanda.

vii
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. dr.
Susilo Wibowo, M.S. Med. dan Prof. Dr. Nurdien H. Kistanto, M.A.
yang masing-masing pada 2008 menjabat sebagai Rektor dan
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang
yang telah mengizinkan penulis untuk mengikuti Program Doktor
Ilmu Humaniora (Sejarah) pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Prof. Dr. A.M. Djuliati Suroyo dan Prof. Dr. Singgih Tri
Sulistiyono, M. Hum. yang telah berkenan menulis rekomendasi;
Dr. Dewi Yuliati, M.A. dan Dr. Endang Susilowati, M.A. masing-
masing adalah Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro periode 2008-2012 dan 2012-2016 yang
telah memberikan kesempatan, dorongan, dan bantuan kepada
penulis untuk melanjutkan studi S-3 dan menyelesaikan
penulisan disertasi; Prof. Dr. Sutejo K. Widodo, M. Si, Dr. Yety
Rochwulaningsih, M. Si., Dr. Haryono Rinardi, M. Hum., dan Dr.
Agustinus Supriyono, M.A., Dr. Alamsyah, M. Hum. yang telah
memberikan perhatian terhadap perkembangan studi penulis.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada teman-teman sejawat di
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
atas kerja sama dan bantuannya selama ini.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak dan Ibu
pengelola Reksa Budaya Mangkunagaran Surakarta, khususnya
Ibu Darweni yang telah memberi izin dan pelayanan yang ramah,
serta menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Demikian pula
kepada staf bagian pelayanan di Arsip Nasional Republik
Indonesia di Jakarta, para petugas Perpustakaan Ignatius dan
Perpustakaan Daerah di Yogyakarta yang telah membantu penulis
ketika melakukan pengumpulan sumber diucapkan terima kasih.

viii
Kepada Drs. Siswo Harsono, M. Hum. yang telah bersedia
mengalihbahasakan abstrak ke dalam bahasa Inggris diucapkan
terima kasih. Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada Mahendra Puji Utama, S.S. dan Rabith Jihan
Amaruli, S.S., M. Hum. yang dengan ringan tangan bersedia
membantu penulis untuk menyelesaikan tugas-tugas institusional,
dan hal-hal yang mungkin tidak memiliki kaitan dengan
pekerjaan; serta Suharji, S. Kar., M. Hum. yang telah membantu
mengusahakan bahan pustaka yang diperlukan.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada para mahasiswa
Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora (Sejarah) dari berbagai
angkatan, khususnya angkatan 2008 yang telah menjadi teman
dan sahabat yang baik. Kerja sama dan sikap saling pengertian
mereka sangat membantu dalam mengurangi beban dalam
mengikuti program pendidikan.
Kepada istri dan anak-anakku tercinta Desi Pudjiastuti,
Salindri Prawitasari, dan Savitri Prastuti Dewi diucapkan terima
kasih. Mereka telah mengorbankan segalanya demi keberhasilan
studi suami dan bapaknya. Tanpa dukungan mereka yang
kepentingan dan kebutuhannya banyak dikorbankan mustahil
disertasi ini dapat diwujudkan.
Kepada pihak-pihak yang telah membantu demi terwujudnya
disertasi ini, penulis hanya dapat mendoakan agar kebaikan
mereka mendapatkan balasan yang lebih besar dari Allah swt.
Semoga Allah swt. mengabulkan doa ini. Amin.
Banyak pihak yang telah membantu demi terwujudnya
disertasi ini. Apabila terdapat kelebihan di dalamnya sudah
barang tentu hal itu karena adanya sumbangan pemikiran dari
berbagai pihak. Sebaliknya, apabila terdapat banyak kekurangan
di dalamnya, sangat disadari bahwa hal itu karena keterbatasan

ix
kemampuan akademik penulis. Tanggung jawab atas kekurangan-
kekurangan itu sepenuhnya berada pada penulis. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik konstruktif
demi perbaikan dan kemajuan penulis di masa-masa yang akan
datang. Akhirnya hanya ada satu harapan dari penulis, yaitu
semoga disertasi ini bermanfaat dan dapat menambah kekayaan
khasanah historiografi Indonesia.

Penulis

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSEMBAHAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
SURAT PERNYATAAN iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI xi
DAFTAR SINGKATAN xiv
DAFTAR GAMBAR xvii
INTISARI xx
ABSTRACT xxi

BAB I PENGANTAR 1

A. Latar Belakang 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 15
D. Tinjauan Pustaka 16
E. Kerangka Konseptual 29
F. Sumber Penulisan 34
G. Sistematika 38

BAB II WARISAN SOSIOKULTURAL DAN PERUBAHAN DI 42


SURAKARTA PASCAPROKLAMASI KEMERDEKAAN

A. Masyarakat Kota Surakarta 43


B. Kebudayaan Jawa Surakarta 50
1. Kasunanan 51
2. Mangkunagaran 68
3. Luar Tembok Keraton 89
C. Keruntuhan Kekuasaan Politik Kasunanan dan 101
Mangkunagaran

BAB III PEMBENTUKAN PUSAT-PUSAT KEBUDAYAAN 117


JAWA DI SURAKARTA

A. Wacana tentang Pembangunan Kebudayaan 118


Indonesia
1. Pra-Kongres Kebudayaan Indonesia I 118
2. Kongres Kebudayaan Indonesia I 127
3. Pasca-Kongres Kebudayaan Indonesia I 132

xi
B. Konservatori Karawitan Indonesia Surakarta 140
1. Latar Belakang, Proses, dan Tujuan Pendirian 140
2. Arah Studi dan Proses Pembelajaran 155
3. Sistematisasi, Formulasi, dan Penyebarluasan 173
Karawitan Jawa Surakarta
C. Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta 181
1. Latar Belakang, Proses, dan Tujuan Pendirian 181
2. Program Pendidikan dan Proses Pembelajaran 188
3. Kiprah dalam Pelestarian dan Pengembangan 203
Seni
D. Pusat Kesenian Jawa Tengah 236
1. Konsepsi dan Arah Kebijakan 236
2. Program Pembinaan 245
3. Penyebarluasan Konsep dan Karya Seni 259
4. Pencapaian 265

BAB IV PENYEBARLUASAN KEBUDAYAAN JAWA 273


SURAKARTA

A. Radio Republik Indonesia Surakarta 274


1. Siaran Karawitan Jawa 276
2. Siaran Wayang Wong 287
3. Siaran Pertunjukan Wayang Kulit Purwa 297
B. Perusahaan Rekaman Lokananta 312
1. Pendirian, Tujuan, dan Kebijakan 312
2. Era Piringan Hitam 316
3. Era Pita Kaset 325
4. Kemunduran Produksi Rekaman Kaset 342
C. Penerbitan Berbahasa Jawa 351
1. Pers: Majalah dan Surat Kabar 351
2. Buku-buku 375
D. Panggung Pertunjukan: Wayang Wong Sriwedari 390
1. Menuju Masa Kejayaan 390
2. Masa Kemunduran dan Upaya Pelestarian 402

BAB V KERATON DAN PENEGAKAN EKSISTENSI 412


SURAKARTA SEBAGAI PUSAT KEBUDAYAAN
JAWA

A. Kasunanan 412
1. Upaya Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Jawa 412
Surakarta di Tengah Keterbatasan Dana
2. Pembentukan Yayasan Kabudayan Karaton Surakarta 437
B. Mangkunagaran 452
1. Kebijakan-kebijakan Bidang Kebudayaan 452
2. Upaya-upaya Pelestarian dan Pengembangan 459

xii
BAB VI SIMPULAN 495

DAFTAR PUSTAKA 504


DAFTAR INFORMAN 541
GLOSARIUM 543

xiii
DAFTAR SINGKATAN

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

ASKI : Akademi Seni Karawitan Indonesia

ASRI : Akademi Seni Rupa Indonesia

ASTI : Akademi Seni Tari Indonesia

BPH : Badan Pekerja Harian

BPK : Badan Permusyawaratan Kebudayaan

DPD : Dewan Pertahanan Daerah

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

G.R. Ay. : Gusti Raden Ayu

HKMN : Himpunan Kerabat Mangkunagaran

IKI : Institut Kesenian Indonesia

ISI : Institut Seni Indonesia

KDPRI : Kantor Daerah Pemerintah Republik Indonesia

KIAS : Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat

KKI : Konferensi Kebudayaan Indonesia

KMB : Konferensi Meja Bundar

KMK : Komando Militer Kota

KNID : Komite Nasional Indonesia Daerah

KNIP : Komite Nasional Indonesia Pusat

Kokar : Konservatori Karawitan

KPPK : Kementerian Pengajaran, Pendidikan, dan


Kebudayaan

KPPRI : Kantor Pusat Pemerintah Republik Indonesia

xiv
LKI : Lembaga Kebudayaan Indonesia

LKK : Lembaga Kebudayaan Kedu

MC : Master of Ceremony

Mekas : Media Karaton Surakarta

Padhasuka : Pasinaon Dhalang Surakarta

PAS : Panitia Anti-Swapraja

PATA : Pasific Asia Tourism Association

PDMN : Pasinaon Dhalang Mangkunagaran

PMS : Perkumpulan Masyarakat Surakarta

Pelita : Pembangunan Lima Tahun

Pepadi : Persatuan Pedalangan Indonesia

Permadani : Persaudaraan Masyarakat Budaya Indonesia

PIIP : Praktik Individu Instrumen Pokok

PKB : Praktik Karawitan Bersama

PKJT : Pusat Kesenian Jawa Tengah

PKK : Pusat Kebudayaan Kedu

PKKS : Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta

PN : Perusahaan Negara

PSPKKS : Panitia Swasta Pembangunan Kembali Keraton


Surakarta
RGT : Ragam Gaya Tari

RKG : Rebab - Kendhang - Gender

RRI : Radio Republik Indonesia

SD : Sekolah Dasar

Senawangi : Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia

xv
SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

SMA : Sekolah Menengah Atas

SMK : Sekolah Menengah Kejuruan

SMKI : Sekolah Menengah Karawitan Indonesia

SMKN : Sekolah Menengah Kejuruan Negeri

SMKTA : Sekolah Menengah Kejuruan Tingkat Atas

SMSR : Sekolah Menengah Seni Rupa

SR : Sekolah Rakyat

SRV : Solosche Radio Vereeneging

STSI : Sekolah Tinggi Seni Indonesia

TBJT : Taman Budaya Jawa Tengah

TBS : Taman Budaya Surakarta

TRI : Tentara Republik Indonesia

UGM : Universitas Gadjah Mada

UNDIP : Universitas Diponegoro

UNS : Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta

UUD : Undang-undang Dasar

UUDS : Undang-undang Dasar Sementara

YPDMN : Yayasan Pasinaon Dhalang Mangkunagaran

YPKKS : Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton


Surakarta

xvi
DAFTAR GAMBAR

1 Gambar 3.1 Tamu Undangan dalam Pembukaan 148


Kokar Surakarta 1950.

2 Gambar 3.2 Latihan Karawitan Siswa-siswi 170


Kokar Surakarta untuk Pementasan
Sendratari “Harjuna Wiwaha” di
Wisma Warta Jakarta pada 1967.

3 Gambar 3.3 Pergelaran Seni Kokar Surakarta di 178


Jakarta 1951.

4 Gambar 3.4 Sajian karawitan dengan 197


menampilkan gendhing-gendhing
gaya Surakarta dalam rangka Ujian
Tugas Akhir Jurusan Karawitan,
1986.

5 Gambar 3.5 Gladhi Resik Dramatari Bisma 220


Gugur di Sasana Mulya pada 6
Maret 1982 dalam rangka Festival
IKI di Bali.

6 Gambar 3.6 Pergelaran Tari Jaranan dalam 225


Pembukaan Festival Film Indonesia
di Semarang 1980.

7 Gambar 3.7 Pergelaran Dramatari Rama Tambak 225


dalam rangka Peresmian Pelabuhan
Tanjung Emas Semarang 1985.

8 Gambar 3.8 Sampul Kaset Gendhing-gendhing 265


Beksan PKJT-ASKI.

9 Gambar 3.9 Martopangrawit sedang 270


memperkenalkan karyanya
“Perjalanan” kepada para
mahasiswa ASKI Surakarta di
Sasana Mulya pada 2 Februari
1982.

xvii
10 Gambar 4.1 Darsasawega Sesepuh Karawitan 281
RRI Surakarta (1950).

11 Gambar 4.2 Anggota Bagian Kesenian Jawa RRI 282


Surakarta pada 1950.

12 Gambar 4.3 Adegan Perang antara Srikandhi 289


dan Mustakaweni Wayang Wong
RRI Surakarta – Sriwedari.

13 Gambar 4.4 Pujosumarto, Dhalang dari Kuwasa 299


Klaten [1970an].

14 Gambar 4.5 Sampul Piringan Hitam Reyog 321


Ponorogo oleh Paguyuban Karawitan
Jawi Condhong Raos Produksi
Lokananta.

15 Gambar 4.6 Sampul Piringan Hitam Anoman 322


Duta oleh Perkumpulan Wayang
Orang Ngesthi Pandhawa Produksi
Lokananta.

16 Gambar 4.7 Sampul Kaset Produksi Lokananta. 336

17 Gambar 4.8 Sampul Kaset Produksi Lokananta. 336

18 Gambar 4.9 Sampul Kaset Serat Wedhatama 337


Produksi Lokananta.

19 Gambar 4.10 Sampul Kaset Gendhing Pahargyan 341


dan Gendhing Beksan Produksi
Lokananta.

20 Gambar 4.11 Sampul Kaset Reproduksi 350


Lokananta dengan Dian Record.

21 Gambar 4.12 Sampul Mahabharata Kawedar. 355

22 Gambar 4.13 Sampul Buku Serat Tuntunan 378


Padalangan Susunan Najawirangka
al. Atmatjendana.

23 Gambar 5.1 Pergelaran Tari Bedhaya (?) di 417


Keraton Surakarta.

xviii
24 Gambar 5.2 Pergelaran Tari Bedhaya Ketawang 425
di Keraton Surakarta.

25 Gambar 5.3 Pergelaran Tari Bedhaya (?) di 469


Istana Mangkunagaran.

26 Gambar 5.4 Pergelaran Sendratari Taman Soka 477


dalam Lawatan Misi Kesenian
Mangkunagaran ke Jepang 1989.

27 Gambar 5.5 Pergelaran Sendratari Taman Soka 478


dalam Lawatan Misi Kesenian
Mangkunagaran ke Jepang 1989.

xix
INTISARI

Disertasi dengan judul “Mengagungkan Kembali Seni Pertunjukan


Tradisi Keraton: Politik Kebudayaan Jawa Surakarta, 1950an-
1990an” membahas tentang langkah-langkah strategis yang
dilakukan oleh negara dan masyarakat untuk melestarikan dan
mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta dalam periode
1950an-1990an. Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan
metode sejarah dan menggunakan beberapa konsep tentang
pengembangan kebudayaan yang dikemukakan oleh Ignas Kleden,
C.A. van Peursen, dan Roy Wagner.
Pembangunan kebudayaan Indonesia dijadikan sebagai
momentum untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan
Jawa Surakarta. Upaya-upaya pelestarian dan pengembangan
kebudayaan Jawa Surakarta dilakukan dengan pembentukan
lembaga-lembaga kebudayaan di Surakarta, yaitu Konservatori
Karawitan Indonesia (Kokar), Akademi Seni Karawitan Indonesia
(ASKI), dan Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT). Upaya-upaya
pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta juga
dilakukan dengan penyebarluasan kebudayaan Jawa Surakarta
melalui siaran-siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta,
rekaman-rekaman musik dan teater Jawa Tengah produksi
Lokananta, penerbitan berbahasa Jawa, dan panggung
pertunjukan wayang wong Sriwedari. Penegakan eksistensi
Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa menjadi lengkap ketika
Kasunanan dan Mangkunagaran juga berupaya untuk
menegakkan eksistensinya sebagai pusat kebudayaan Jawa pada
masa Indonesia merdeka.
Politik kebudayaan Jawa Surakarta pascaproklamasi
kemerdekaan Indonesia dapat dipahami dalam dua hal, yaitu
revivalisme (kebangkitan kembali) kebudayaan Jawa dan upaya
untuk menjadikan Surakarta sebagai pelopor dalam kebudayaan
Jawa. Penelitian ini berhasil menemukan dua karakteristik umum
politik kebudayaan Jawa Surakarta. Pertama, pemanfaatan seni
keraton sebagai sarana untuk membangun kebudayaan Jawa
Surakarta. Kedua, lembaga-lembaga kebudayaan Jawa di
Surakarta dan keraton bersinergi dalam melakukan upaya-upaya
pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta.
Disertasi ini dapat menambah kekayaan khazanah historiografi
Surakarta, khususnya dalam tema sejarah kebudayaan.

Kata Kunci: politik kebudayaan Jawa, pelestarian kebudayaan,


pengembangan kebudayaan, seni karawitan, seni
tari, seni pedhalangan.

xx
ABSTRACT

The dissertation entitled, "Revitalizing the Performing Arts of Palace


Tradition: Javanese Cultural Politics of Surakarta, 1950s-1990s"
discusses the strategic measures undertaken by the state and
society to preserve and develop Javanese culture of Surakarta in
the 1950s-1990s period. This research was done by using
historical methods and the concepts of development of culture by
Ignas Kleden, C.A. van Peursen, and Roy Wagner.
The development of Indonesian culture served as a
momentum to preserve and develop the Javanese culture of
Surakarta. The conservation efforts and development of Javanese
culture of Surakarta were done with the establishment of cultural
institutions in Surakarta, namely Conservatory of Karawitan
Indonesia (Kokar), Art Academy of Karawitan Indonesia (ASKI), Art
Center of Central Java (PKJT). The efforts of preservation and
development of Javanese culture of Surakarta were also done with
the dissemination of Javanese culture of Surakarta through the
broadcasts of Radio of Republic of Indonesia (RRI) Surakarta, the
production of Lokananta recordings of music and theater of
Central Java, Javanese language publication, and stage
performances of wayang wong Sriwedari. The enforcement of the
existence of Surakarta as the cultural center of Java was
completed when Kasunanan and Mangkunagaran also sought to
establish their existence as a cultural center of Java at the time of
Indonesia's independence.
Javanese cultural politics of Surakarta at post-proclamation
of Indonesia independence could be understood in two cases,
namely the revivalism of Javanese culture and the efforts of
supporting Surakarta as the pioneer of Javanese culture. This
research found two common characteristics of Javanese political
culture of Surakarta. First, the arts were used as a means to build
a palace of Surakarta Javanese culture. Second, the institutions of
Javanese culture and the palace in Surakarta were in synergy
doing the conservation efforts and development of Surakarta
Javanese culture. This disertation can add the richness of
historiography of Surakarta, especially in the theme of history of
culture.

Keywords: Javanese cultural politics, preservation of culture,


development of culture, karawitan art, dance,
pedhalangan.

xxi
BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Kerajaan Mataram Islam didirikan pada 1578 setelah terjadi

fragmentasi politis di Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang.

Kerajaan yang didirikan oleh Panembahan Senapati Ingalaga

(memerintah 1578-1601) itu berhasil mencapai puncak

kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung (lahir 1593,

memerintah 1613-1646). Ekspansi-ekspansi militer yang

dilakukannya berhasil menegakkan kekuasaan Kerajaan Mataram

yang memiliki wilayah meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan

sebagian Jawa Barat.1 Namun, pada masa pemerintahan raja-raja

yang menggantikannya Kerajaan Mataram tampak mengalami

kemunduran. Ketidakmampuan untuk membayar ongkos-ongkos

peperangan yang melibatkan Belanda untuk menumpas

pemberontakan dan perang perebutan tahta mengakibatkan raja-

raja penggantinya harus menyerahkan sebagian wilayah kerajaan

1M.C. Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi


1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa, terjemahan Hartono
Hadikusumo dan E. Setiawati Alkhatab (Yogyakarta: MataBangsa,
2002), hlm. 11-21.
2

melalui serangkaian kontrak dan konsesi ekonomi.2 Aneksasi-

aneksasi yang dilakukan oleh Belanda itu secara berangsur-

angsur menyempitkan wilayah kekuasaan kerajaan.

Sejak penandatanganan Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755

wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram terfragmentasi menjadi dua

bagian dengan kemunculan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan

Yogyakarta yang masing-masing di bawah kekuasaan Sunan Paku

Buwana III (memerintah 1749-1788) dan Sultan Hamengku

Buwana I (memerintah 1755-1792).3 Selanjutnya pada 1757

wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta juga terfragmentasi

menjadi dua dengan kemunculan Mangkunagaran di bawah

kekuasaan Mangkunagara I (lahir 1723, memerintah 1757-1796),

dan pada 1812 hal serupa terjadi pula di Kasultanan Yogyakarta

karena adanya Pakualaman di bawah kekuasaan Paku Alam I

(memerintah 1812-1829).4 Dengan demikian, sejak Perjanjian

Giyanti 1755 sampai dengan 1812 Kerajaan Mataram telah

sempurna terbagi menjadi empat kekuasaan politik.

2Ibid., hlm. 22-26.

3M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terjemahan


Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1991), hlm. 149.

4Ibid., hlm. 175.


3

Pembagian kerajaan yang mengakibatkan fragmentasi wilayah

kekuasaan kerajaan, secara politis dan ekonomis dapat dipandang

sebagai penyusutan kekuasaan raja. Akan tetapi, secara kultural

kekuasaan raja sebagai pengayom kebudayaan Jawa tidak

mengalami penyusutan. Oleh karena itu, setelah terjadinya

penetrasi kolonial Belanda dalam bidang politik dan ekonomi

perhatian raja lebih diarahkan pada pengembangan bidang

kebudayaan.5 Akibatnya, apabila sebelum Perjanjian Giyanti 1755

hanya terdapat satu pusat kebudayaan Jawa, maka setelah

Perjanjian Giyanti 1755 secara kultural terdapat dua pusat

kebudayaan Jawa yang kemudian diikuti dengan kemunculan

subpusat-subpusat kebudayaan Jawa di Surakarta dan

Yogyakarta. Subpusat-subpusat kebudayaan itu kemudian

berkembang menjadi pusat-pusat kebudayaan Jawa yang

menjadikan kebudayaan Jawa semakin berkembang dan kaya.

Raja-raja Kasunanan Surakarta menjadi patron dalam

pengembangan kebudayaan Jawa. Sunan Paku Buwana IV (lahir

1768, memerintah 1788-1820), Sunan Paku Buwana V

(memerintah 1820-1823), dan Sunan Paku Buwana IX (lahir 1830,

memerintah 1861-1893) merupakan patron-patron yang memiliki

perhatian besar dalam pengembangan kebudayaan Jawa

5Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta


1830-1939 (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000).
4

Surakarta. Puncak perkembangan kebudayaan Keraton Surakarta

terjadi pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X (lahir

1866, memerintah 1893-1939). Pada akhir abad XIX sampai

dengan akhir dasawarsa keempat abad XX Sunan Paku Buwana X

membangun kebudayaan Keraton Surakarta sehingga mencapai

perkembangan yang sangat halus, rumit, dan terinci, yang dengan

meminjam istilah gaya seni di Eropa disebut barokisasi.6

Walaupun kekuasaan raja dalam konsep politik telah mengalami

penyusutan dan kekuasaan ekonominya mengalami kemunduran,

namun tidak berarti Sunan Paku Buwana X telah kehilangan

segalanya. Ia masih menguasai simbol-simbol budaya yang dapat

memperkuat kedudukannya sebagai penguasa.7 Di mata

rakyatnya Sunan Paku Buwana X adalah raja yang memiliki

kekuasaaan yang besar, sakral magis, dan memperoleh banyak

wahyu. Dengan kata lain, sebenarnya kekuasaan raja dalam

konsep kultural tidak memudar, yang ditunjukkan dengan

6Ibid., hlm. 400. Istilah barokisasi berasal dari istilah gaya


Barok (Baroque) di Eropa, yaitu untuk memberikan nama gaya
yang sangat megah, mewah, dan banyak ornamentasi. Gaya ini
berkembang di Eropa pada abad XVII setelah Zaman Renaissance
berakhir. Lihat R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Dari Perspektif
Politik, Sosial, dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2003), hlm. 93 catatan nomor 26.

7Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta, 1900-


1915 (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 3.
5

penyelenggaraan upacara dan pesta yang semakin hebat,8 serta

pembakuan seni pertunjukan yang mencakup seni pedhalangan

(pakem), karawitan (waton), dan tari (waton) sebagai simbol

kebesaran raja.9

Dalam folklore Jawa yang hidup di kalangan masyarakat

Jawa dewasa ini, dikatakan bahwa Sunan Paku Buwana X adalah

raja Jawa terbesar yang telah menghabiskan kemuliaan,

kamukten, dan kewibawaan untuk dirinya sendiri, sehingga tidak

tersisa sedikit pun untuk raja-raja sesudahnya. Ia adalah seorang

raja Jawa sejati yang terakhir.10 Sehubungan dengan itu, ketika

Sunan Paku Buwana X mangkat pada 1939, hal ini dianggap

sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan Surakarta

(keraton wis koncatan wahyu).11

Sementara itu, di Mangkunagaran, Mangkunagara I

melakukan restrukturisasi budaya. Ia meletakkan fondasi

8Darsiti Soeratman, passim.

9Waridi,
Karawitan Jawa Masa Pemerintahan Paku Buwana X:
Perspektif Historis dan Teoretis (Surakarta: ISI Press, 2006);
Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko, Sejarah Pedalangan (Surakarta:
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan CV Cendrawasih,
2007), hlm. 226.

10Kuntowijoyo, op. cit., hlm. 21.

11CantrikMataram, Peranan Ramalan Djojoboyo dalam


Revolusi Kita (Bandung: Masa Baru, 1954, Cetakan III), hlm. 129-
133.
6

pembangunan kebudayaan Jawa melalui aktivitas-aktivitas seni.12

Puncak perkembangan kebudayaan Jawa di Mangkunagaran

terjadi pada masa pemerintahan Mangkunagara IV (lahir 1811,

memerintah 1853-1881). Ia adalah seorang yang berhasil

mengantarkan Mangkunagaran mencapai puncak kejayaan dan

sekaligus menjadikannya sebagai pusat kebudayaan Jawa yang

lain di Surakarta pada pertengahan hingga akhir abad XIX. Ia

memiliki perhatian yang besar dalam pengembangan kesusastraan

dan seni pertunjukan Jawa di Mangkunagaran. Pendek kata, ia

telah membawa perubahan dan perkembangan baru dalam

kehidupan kebudayaan Jawa di Mangkunagaran.13

Pengembangan kebudayaan Jawa di Mangkunagaran yang

fondasinya telah diletakkan oleh Mangkunagara I dan mengalami

perkembangan yang pesat di tangan Mangkunagara IV diteruskan

oleh Mangkunagara VII (lahir 1885, memerintah 1916-1944). Ia

banyak memberikan perhatian terhadap pengembangan

kebudayaan Jawa dengan penerbitan karya-karya Mangkunagara

12Zainuddin Fananie, Pandangan Dunia KGPAA


Hamengkoenagoro I dalam Babad Tutur: Sebuah Restrukturisasi
Budaya (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994).

13Dhanang Respati Puguh, “Pemikiran K.G.P.A.A.


Mangkunagara IV tentang Ketataprajaan (1856-1871)” (Tesis
Sarjana S-2 Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2000), hlm. 5-6.
7

IV, pendirian kelompok studi filsafat dan kebudayaan, serta

pendirian Java Instituut.14

Sejak masa kekuasaan Jepang (1942-1945) keadaan

Mangkunagaran semakin menurun menyusul situasi sama yang

telah terjadi sebelumnya di Kasunanan. Sunan Paku Buwana XI

(memerintah 1939-1944) segera menyerah kepada pembesar-

pembesar Tentara Jepang. Keluarga raja-raja di Surakarta tidak

berusaha untuk menjauhkan diri mereka dari pemerintah

balatentara Jepang. Keruntuhan ekonomi perkebunan mengakhiri

sumber penting bagi pendapatan kerajaan. Inflasi pun dengan

serius mengurangi daya beli para pegawai kerajaan. Keadaan itu

diperparah dengan kemangkatan Sunan Paku Buwana XI dan

Mangkunagara VII pada 1944. Kemangkatan kedua penguasa itu

menimbulkan perasaan disintegrasi yang semakin memuncak

karena krisis pergantian tahta di dua istana. Selanjutnya, Sunan

Paku Buwana XI digantikan oleh putranya yang berusia belasan

tahun, tidak berpengalaman, tanpa perhatian pada kegiatan

politik dan bahkan pada kegiatan apa pun kecuali kesenangan-

kesenangan pribadinya. Sunan Paku Buwana XII (lahir 1925,

14Wasino, “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja


Mangkunagaran: Studi tentang Strategi Pemerintahan Tradisional
dalam Menanggapi Perubahan Sosial (Akhir Abad XIX-Pertengahan
Abad XX)” (Tesis Sarjana S-2 Sejarah Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 1994), hlm. 248-257.
8

memerintah 1944-2004) yang masih muda itu dengan mudah

dikuasai oleh Ibu Suri dan sekutu-sekutunya. Demikian pula di

Mangkunagaran, Mangkunagara VII juga meninggalkan pengganti

yang masih muda dan tanpa pengalaman, Mangkunagara VIII

(lahir 1920, memerintah 1944-1987), serta didominasi oleh

pegawai-pegawai istana yang lebih tua dan konservatif.15

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, keberadaan

Kasunanan dan Mangkunagaran Surakarta masih mendapatkan

pengakuan dari Pemerintah Republik Indonesia dengan pemberian

status Surakarta sebagai daerah swapraja; suatu kekuasaan

istimewa seperti yang juga diberikan kepada Kasultanan dan

Pakualaman di Yogyakarta. Namun demikian, dalam

perkembangan, kedua penguasa di daerah swapraja itu (Sunan

Paku Buwana XII dan Mangkunagara VIII) tidak bersimpati pada

Revolusi. Mereka tidak mengambil tindakan yang progresif, yang

mengakibatkan dua-duanya kehilangan kesetiaan dari rakyatnya.

Berbeda dari rencana semula pemerintah pusat yang akan

membentuk sebuah Daerah Istimewa di Surakarta, pada 1946

baik Kasunanan maupun Mangkunagaran dilucuti dari otonomi

15Ben Anderson, Revoloesi Pemuda: Pendudukan Jepang dan


Perlawanan di Jawa, terjemahan Pustaka Sinar Harapan
(Jakarta: Sinar Harapan, 1988), hlm. 385.
9

pemerintahannya, daerah swapraja dibekukan dan pada 1950

akhirnya keduanya menjadi bagian dari Provinsi Jawa Tengah.16

Ketika Kasunanan sudah kehilangan pamor-nya setelah

kemangkatan Sunan Paku Buwana X (1939) dan Mangkunagaran

kehilangan seorang patron budaya yang giat dan kreatif setelah

kemangkatan Mangkunagara VII (1944), serta para penggantinya

tidak lagi memiliki kekuasaan politik sejak kehilangan status

daerah istimewa, bagaimana perkembangan kebudayaan Jawa

Surakarta pada periode selanjutnya?

Di tengah-tengah kondisi itu dalam kenyataannya di dunia

kebudayaan Jawa, gaya Surakarta tampil lebih dominan dalam

konteks makro keindonesiaan dibandingkan dengan Yogyakarta.

Sebagai contoh adalah seni pertunjukan tradisi Jawa Surakarta

yang mencakup karawitan, tari, dan pedhalangan tampak

berkembang lebih dinamis dan mewarnai kehidupan kebudayaan

Jawa dalam panggung Indonesia pada masa kemerdekaan.

Sehubungan dengan itu, studi ini dilakukan untuk mencari

penjelasan tentang tampilnya kebudayaan Jawa Surakarta

pascakeruntuhan kekuasaan politik Kasunanan dan

Mangkunagaran.

16Kenang-kenanganKota Besar Surakarta 1945-1953


(Surakarta: Djawatan Penerangan Kota Besar Surakarta, 1953),
hlm. 1-31.
10

Studi ini menarik untuk dilakukan karena sepanjang

pengetahuan penulis belum ada kajian sejarah yang memfokuskan

pada topik tersebut. Studi-studi yang telah dilakukan oleh para

sarjana seni pertunjukan yaitu Kriswanto17 dan Soemaryatmi18

lebih memberikan penjelasan estetis terhadap fenomena tampilnya

seni pertunjukan (karawitan dan tari) gaya Surakarta sehingga

lebih diminati oleh masyarakat luas, dan dapat mendominasi

kehidupan seni karawitan dan tari di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam konteks yang lebih luas studi ini penting untuk

dilakukan karena dapat digunakan untuk memahami persoalan-

persoalan pengelolaan warisan budaya bangsa Indonesia,

khususnya yang berkaitan dengan kedudukan kebudayaan daerah

dalam pembangunan kebudayaan Indonesia moderen. Dalam

konteks kekinian studi ini juga akan menemukan relevansinya

ketika eksistensi kebudayaan daerah di Indonesia semakin

termajinalisasi seiring dengan perubahan sosial yang cepat sebagai

akibat dari adanya proses globalisasi. Eksistensi kebudayaan

daerah di Indonesia perlu mendapatkan perhatian. Melalui studi

17Kriswanto,Dominasi Karawitan Gaya Surakarta di Daerah


Istimewa Yogyakarta (Surakarta: ISI Press, 2008).

18Soemaryatmi, “Kehadiran Tari Gaya Surakarta di Daerah


Istimewa Yogyakarta” (Tesis Sarjana Strata 2 pada Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1998).
11

ini akan dapat diketahui kebijakan kebudayaan yang harus

dilakukan untuk menyelamatkan eksistensi kebudayaan daerah di

Indonesia saat ini.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

Penelitian ini membahas tentang langkah-langkah strategis yang

dilakukan oleh negara dan masyarakat untuk melestarikan dan

mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta. Negara dalam hal

ini direpresentasikan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan

Pemerintah Daerah Surakarta, dan masyarakat direpresentasikan

oleh para tokoh dan anggota masyarakat yang terhimpun dalam

perkumpulan, serta masyarakat keraton (Kasunanan dan

Mangkunagaran).

Langkah-langkah strategis itu perlu dilakukan karena adanya

kebutuhan untuk mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta

yang merupakan kebudayaan daerah dalam rangka pembangunan

kebudayaan Indonesia seiring dengan terbentuknya negara bangsa

Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini akan memfokuskan

pada kebijakan-kebijakan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan

untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa

Surakarta. Namun demikian, tidak semua unsur kebudayaan

akan dibahas dalam disertasi ini. Perhatian akan diberikan pada

unsur kebudayaan Jawa Surakarta yang paling menonjol dan


12

banyak mendapatkan perhatian dalam rangka pelestarian dan

pengembangannya, yaitu seni pertunjukan tradisi keraton.

Sehubungan dengan hal itu, penelitian ini akan dipandu dengan

lima pertanyaan utama, yaitu:

1. Mengapa perlu upaya pelestarian dan pengembangan

kebudayaan Jawa Surakarta?

2. Siapa yang berperan dalam upaya-upaya pelestarian dan

pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta?

3. Bagaimana upaya-upaya pelestarian dan pengembangan

kebudayaan Jawa Surakarta dilakukan?

4. Apa hasil yang diperoleh dari upaya-upaya dalam pelestarian

dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta?

5. Bagaimana periodisasi upaya-upaya pelestarian dan

pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta?

Secara spasial, Surakarta dijadikan sebagai lokus dari studi

ini. Hal ini tidak lain karena Surakarta merupakan tempat

keberadaan Kasunanan dan Mangkunagaran yang pada masa

sebelum kemerdekaan menjadi pusat kekuasaan politik, ekonomi,

dan budaya, serta ajang pertumbuhan dan perkembangan

kebudayaan Jawa Surakarta pada masa Indonesia merdeka. Di

kota ini juga berdiri lembaga-lembaga kebudayaan yang dibentuk

oleh negara seperti Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta

(1945), Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar) Surakarta


13

(1950), perusahaan rekaman Lokananta (1956), Akademi Seni

Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta (1964), dan Pusat Kesenian

Jawa Tengah (PKJT, 1970) yang berperan dalam pelestarian dan

pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta.

Oleh karena studi ini juga membahas tentang wacana dan

kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam pembangunan

kebudayaan Indonesia, maka pembahasannya akan melampaui

ruang lingkup spasial yang telah ditetapkan. Maka dari itu,

Indonesia juga menjadi ruang lingkup spasial kedua dalam studi

ini. Penetapan ruang lingkup spasial ini juga dilandasi oleh

pemikiran bahwa kiprah dari lembaga-lembaga kebudayaan di

Surakarta melampaui batas administratif kota Surakarta.

Secara temporal, penelitian ini mengambil periode 1950an

sampai dengan 1990-an. Pemilihan dasawarsa 1950an sebagai

titik awal studi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pada

1950 Kasunanan dan Mangkunagaran telah benar-benar

kehilangan kekuasaan politik, karena penghapusan swapraja dan

menjadikan Surakarta sebagai bagian dari Provinsi Jawa Tengah.

Seiring dengan kemerosotan posisi politis dua pusat kebudayaan

Jawa Surakarta itu, dilakukan upaya-upaya untuk

menyelamatkan eksistensi kebudayaan Jawa Surakarta yang

secara kelembagaan ditandai oleh pendirian Kokar di Surakarta

(1950), pemanfaatan RRI Surakarta untuk mengembangkan


14

kebudayaan daerah [Jawa] (1950), dan pendirian perusahaan

rekaman Lokananta (1956) yang juga berperan dalam

pengembangan kebudayaan daerah dalam rangka pembangunan

kebudayaan nasional.

Sementara itu, dasawarsa 1990-an dijadikan sebagai titik

akhir studi dengan pertimbangan bahwa pada periode itu upaya-

upaya untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan

Jawa Surakarta mencapai perkembangan yang signifikan. Hal ini

ditunjukkan dengan beberapa bukti sebagai berikut. Pertama,

Kokar, ASKI, dan PKJT di Surakarta telah berhasil mencetak

seniman-seniman yang andal, menyebar ke berbagai daerah, dan

berkiprah bersama masyarakat dalam pelestarian dan

pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta. Selain itu, konsep-

konsep pembaharuan kehidupan seni pertunjukan tradisi keraton

yang diletakkan oleh Humardani selaku pimpinan ASKI dan PKJT

telah menuai hasilnya pada dasawarsa 1990an melalui karya-

karya civitas akademik ASKI dan seniman-seniman yang pernah

terlibat dalam kegiatan-kegiatan PKJT.

Kedua, pada dasawarsa 1990an mata acara siaran kesenian

Jawa RRI Surakarta masih mendapatkan tempat di kalangan

masyarakat Surakarta, walaupun terdapat gejala penurunan.

Setelah itu, dari tahun ke tahun mata acara siaran kesenian Jawa

mengalami penurunan minat pendengar. Selain itu, pada 1990


15

Lokananta masih menghasilkan kaset rekaman kesenian Jawa,

walaupun merupakan reproduksi dan alih media dari rekaman-

rekaman kesenian Jawa yang pernah dihasilkan.

Ketiga, pada awal dasawarsa 1990-an Kasunanan dan

Mangkunagaran menunjukkan gejala yang semakin nyata

memanfaatkan warisan budaya Jawa Surakarta miliknya untuk

kepentingan pariwisata yang ditandai dengan kemunculan seni

kemasan wisata di kedua istana tersebut.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai dalam studi ini, yaitu:

pertama, menjelaskan peranan negara dan masyarakat dalam

pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta;

kedua, mendeskripsikan kiprah lembaga-lembaga kebudayaan di

Surakarta dalam upaya-upaya pelestarian dan pengembangan

kebudayaan Jawa Surakarta; ketiga, mendeskripsikan pencapaian

lembaga-lembaga kebudayaan di Surakarta dalam melestarikan

dan mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta.

Sementara itu, ada dua manfaat yang diperoleh dari studi ini.

Pertama, secara historiografis studi ini dapat menambah

khasanah historiografi Surakarta, khususnya dalam tema sejarah

kebudayaan. Kedua, hasil studi ini dapat memberikan inspirasi


16

dan dapat dijadikan sebagai landasan dalam menyusun kebijakan

budaya Jawa di masa kini dan akan datang.

D. Tinjauan Pustaka

Kajian tentang sejarah Surakarta telah banyak dilakukan oleh

sejarawan. Secara tematik kajian itu dapat dikelompokkan ke

dalam beberapa kategori, yaitu sejarah sosial dan ekonomi,

sejarah sosial dan politik, dan sejarah kebudayaan. Tidak semua

studi itu akan dibahas dalam bagian ini, tetapi hanya beberapa

karya penting saja untuk mengetahui perkembangan historiografi

Surakarta.

Sejarah sosial ekonomi Surakarta telah menjadi subjek

pembahasan Vincent J. Houben dan Suhartono. Dalam disertasi

yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Keraton

dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870,19 Houben

membahas tentang reorganisasi pemerintahan Kerajaan Surakarta

dan Yogyakarta serta daerah mancanagara setelah Perang Jawa

berakhir. Reorganisasi terjadi karena Kasultanan Yogyakarta dan

Kasunanan Surakarta dianggap sebagai pihak yang dinyatakan

kalah dalam Perang Jawa, sehingga pihak tersebut harus

19Vincent J.H. Houben, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan


Yogyakarta, 1830-1870, terjemahan E. Setiyawati Alkhatab
(Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002).
17

merelakan sebagian wilayahnya untuk diserahkan kepada

pemerintah Hindia-Belanda sebagai ganti rugi. Perubahan-

perubahan di kedua kerajaan itu sebagai akibat dari reorganisasi

pemerintahan dan agraria menimbulkan reaksi-reaksi terhadap

pemerintah kolonial Belanda.

Suhartono melalui disertasi yang telah dibukukan berjudul

Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta,

1830-192020 membahas tentang perubahan penguasaan tanah

apanage dan peranan bekel. Oleh karena sistem apanage dianggap

menghambat modernisasi kolonial, maka sistem ini diubah oleh

pemerintah kolonial menjadi sistem pemilikan tanah individual,

sehingga perusahaan perkebunan mendapatkan ekstraksi

maksimal dari petani. Sistem apanage menciptakan peranan bekel

sebagai penebas pajak. Untuk meningkatkan efisiensi penarikan

pajak dari petani, maka pemerintah kolonial mengalihkan

fungsinya sebagai penjaga keamanan desa. Sejak saat itu, bekel

yang semula sebagai penebas dan pengumpul pajak menjadi

pemegang kekuasaan desa.

George Donald Larson, Supariadi, dan Kris Hapsari adalah

para sejarawan yang memberikan perhatian pada studi sejarah

politik Surakarta. Larson dalam disertasi yang juga telah

20Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di


Pedesaan Surakarta, 1830-1920 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991).
18

diterbitkan dalam buku berjudul Masa Menjelang Revolusi: Kraton

dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912 –194221 membahas

tentang keraton dan kehidupan politik di Surakarta. Dalam studi

itu dijelaskan bahwa selama beberapa dasawarsa terakhir dari

masa pemerintahan kolonial, Belanda berusaha untuk

mengadakan perubahan dan mengekang respon politik terhadap

perubahan itu. Belanda bermaksud memperbaiki mutu kehidupan

baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan administratif. Elite

Jawa di Mangkunagaran pada dasarnya menyetujui upaya-upaya

perbaikan itu, walaupun tidak senang terhadap kecenderungan

paternalistis sebagian pegawai Jawa. Sebaliknya, elite Jawa di

Kasunanan Surakarta pada hakikatnya melawan perbaikan yang

dipaksakan oleh Belanda, karena menurut mereka usaha

perbaikan dan modernisasi harus berarti otonomi politik. Pada

tataran rakyat di kedua kerajaan itu ada pula kekesalan yang

meluas terhadap beberapa perubahan yang dipaksakan oleh

Belanda.

Supariadi dalam buku berjudul Kyai dan Priyayi di Masa

Transisi22 yang merupakan penyempurnaan dari tesisnya

21GeorgeDonald Larson, Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan


Kehidupan Politik di Surakarta, 1912 –1942, terjemahan A.B.
Lapian (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990).

22Supariadi,Kyai dan Priyayi di Masa Transisi (Surakarta:


Pustaka Cakra, 2001).
19

membahas tentang politik Sunan Paku Buwana IV yang selalu

diarahkan untuk menjatuhkan Kasultanan Yogyakarta dan

melepaskan diri dari pengaruh Kumpeni. Oleh karena kebijakan-

kebijakan Sunan Paku Buwana IV tidak mendapatkan dukungan

dari para bangsawan dan priyayi kerajaan, maka ia mengalihkan

perhatiannya pada kyai yang sebagian menjadi penasihat dan

mewarnai kebijakan-kebijakan politiknya.

Kris Hapsari melalui tesis berjudul “Kasunanan dan

Mangkunegaran di Tengah Kekuatan Radikal Surakarta Tahun

1945-1950”23 membahas tentang upaya-upaya Kasunanan dan

Mangkunagaran untuk mendapatkan status sebagai Daerah

Istimewa Surakarta pada periode Revolusi Indonesia dari sudut

pandang Kasunanan dan Mangkunagaran. Keterlibatan dan

sumbangan Kasunanan dan Mangkunagaran dalam pergerakan

nasional Indonesia selama tiga dasawarsa akhir pemerintahan

kolonial Belanda di Surakarta, telah terhapus oleh kedekatan

kedua institusi itu dengan Pemerintah Militer Jepang. Hal ini

menimbulkan kesan yang mendalam bagi rakyat Surakarta

terhadap Kasunanan dan Mangkunagaran sebagai monarkhi yang

fasis, karena mendukung program-program Pemerintah Militer

23Kris Hapsari, “Kasunanan dan Mangkunegaran di Tengah


Kekuatan Radikal Surakarta Tahun 1945-1950” (Tesis Program
Magister Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro, 2011).
20

Jepang yang menindas rakyat. Sikap Sunan Paku Buwana XII dan

Mangkunagara VIII yang pasif ketika penyerahan kekuasaan

Jepang kepada KNID Surakarta semakin memperkuat kesan

bahwa Kasunanan dan Mangkunagaran tidak berpihak kepada

Republik Indonesia. Keyakinan itu mendorong kemunculan

kelompok anti-Kasunanan dan anti-Mangkunagaran yang dalam

perkembangan tumbuh sebagai kelompok antiswapraja dan

bergabung dengan kelompok radikal Surakarta untuk menghapus

Kasunanan dan Mangkunagaran. Perjuangan Kasunanan dan

Mangkunagaran untuk mendapatkan status sebagai Daerah

Istimewa Surakarta selalu mendapatkan penolakan dari kelompok

radikal di Surakarta. Oleh karena tampak tidak mendapatkan

dukungan dari rakyatnya akhirnya pemerintah pusat mencabut

dukungan untuk Kasunanan dan Mangkunagaran dan

menjadikan Surakarta sebagai bagian dari Provinsi Jawa Tengah.

Dalam kategori sejarah kebudayaan, Darsiti Soeratman,

Kuntowijoyo, dan Rustopo adalah nama-nama yang tidak boleh

diabaikan dalam studi sejarah Surakarta. Darsiti Soeratman

dalam disertasi yang telah diterbitkan menjadi buku berjudul

Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-193924 membahas

keraton sebagai entitas sosial. Sebagai sebuah entitas sosial,

24Darsiti Soeratman, passim.


21

komunitas keraton melakukan interaksi sosial baik secara

individual maupun secara kolektif. Mereka juga melakukan

interaksi sosial dengan komunitas di luar keraton, yang semakin

banyak dilakukan sesudah raja yang berkuasa bersikap menerima

pendidikan Barat. Setelah Perang Jawa, selama lebih dari seratus

tahun (1830-1939), Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh

empat orang raja, yaitu: Sunan Paku Buwana VII (memerintah

1830-1858) sampai Sunan Paku Buwana X (memerintah 1893-

1939), mengalami penetrasi kolonial semakin mendalam dan

secara terus-menerus terpaksa harus menyerahkan sebagian

wilayah kerajaan kepada pemerintah Hindia Belanda. Hal itu

kemudian diikuti dengan penyerahan pengadilan dan kepolisian,

serta pelepasan hak atas tanah sehubungan dengan adanya

reorganisasi agraria. Walaupun Kasunanan Surakarta mengalami

penetrasi politik, pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X

peradaban keraton Surakarta mengalami perkembangan yang

sangat halus, rumit, dan terinci, yang oleh Darsiti Soeratman

dengan meminjam istilah gaya seni di Eropa disebut dengan

barokisasi.

Dalam buku berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula25

Kuntowijoyo membahas sejarah sensibilitas masyarakat Surakarta

25Kuntowijoyo, passim.
22

periode 1900-1915 yang memfokuskan pada raja (Paku Buwana

X), priyayi, dan kawula. Dengan menggunakan pendekatan

psichohistory, ia mampu melihat kepribadian Sunan Paku Buwana

X yang dengan simbol-simbol pribadi dan publiknya telah berhasil

menjadi raja besar. Sementara itu, priyayi dan kawula dikaji

dengan menggunakan pendekatan sejarah mentalitas. Kesetiaan

priyayi pada raja adalah karena perkenalan mereka sejak dini

dengan kekuasaan melalui simbol-simbol bersamaan dengan

sosialisasi. Oleh karena itu, para priyayi mengembangkan budaya

afirmatif. Cara kawula memahami simbol berbeda dari priyayi.

Kekuasaan raja dengan simbol-simbolnya yang telah meluntur di

hadapan kawula dan perilaku priyayi menimbulkan hasrat untuk

melawan secara diam-diam, yang kemudian terbentuklah impian

untuk melawan dalam wujud budaya tandingan.

Sementara itu, dalam buku yang berasal dari disertasinya

dengan judul Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan

Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998,26 Rustopo membahas

tentang interaksi sosial dan kultural antara orang-orang Tionghoa

dan Jawa di Surakarta sejak akhir abad XIX sampai sepanjang

abad XX. Dalam interaksi sosial mereka sering kali terjadi

26Rustopo, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan


Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998 (Yogyakarta: Ombak-
Yayasan Nabil, 2007).
23

kesenjangan yang bersifat laten dan kadang-kadang menjadi

penyulut timbulnya kerusuhan; sedangkan dalam interaksi

kultural, orang-orang Tionghoa tertentu melebur ke dalam nilai-

nilai dan unsur-unsur kebudayaan Jawa. Tanpa mengabaikan

realitas sosial tersebut, buku itu memfokuskan pada proses

interaksi kultural antara orang-orang Tionghoa dengan

kebudayaan Jawa, yang pada akhirnya menjadikan mereka

sebagai orang-orang Tionghoa yang “menjadi Jawa”.

Tema tentang politik kebudayaan telah menjadi perhatian

dari para antropolog dan ahli seni pertunjukan. James T. Siegel

dan John Pemberton merupakan dua antropolog yang telah

melakukan studi tentang politik kebudayaan dengan mengambil

ruang lingkup spasial Surakarta. Dalam Solo in the New Order:

Language and Hierarchy in Indonesian City27 Siegel membahas

tentang pengorganisasian dan penataan masyarakat Jawa dengan

mengikuti hirarki bahasa Jawa Krama dan Jawa Ngoko. Dalam

pandangan Siegel, bahasa Jawa memperlihatkan karakteristik

sebagai dua bahasa, ialah bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Jawa

Krama. Sesuai dengan karakteristik itu, ada dua proses yang

berlangsung dalam kerja bahasa, yaitu penerusan dan

27James T. Siegel, Solo in the New Order: Language and


Hierarchy in an Indonesian City (Princeton, New Jersey: Princeton
University Press, 1986).
24

penerjemahan. Penerjemahan dalam hal ini merupakan persoalan

sentral bagi orang Jawa karena berkait dengan usaha menetapkan

tempat „orang lain‟ (the others) dalam diskursus kejawaan dan

dalam memantapkan hirarki sosial dan politik seseorang atau

sekelompok orang dalam struktur masyarakat Jawa. Orang Jawa

selalu merasa perlu untuk menerjemahkan bahasa Jawa Ngoko ke

dalam bahasa Jawa Krama, tetapi tidak sebaliknya. Hal itu

dilakukan dalam rangka “menjadi Jawa” menurut kriteria dalam

masyarakat atau kebudayaan Jawa. Seseorang oleh karenanya

tidak dapat membicarakan orang Jawa tanpa menetapkan posisi

hirarkis dirinya terhadap lawan bicara.

Sementara itu, John Pemberton dalam karyanya “Jawa”: On

The Subject of “Java”28 membahas tentang kondisi-kondisi

kesejarahan yang menjadi wahana bagi kemunculan wacana

kebudayaan pada masa kolonial dan pascakolonial. Dengan

menelaah manuskrip-manuskrip Jawa masa akhir abad XIX,

Pemberton membahas kondisi-kondisi pembentukan pengetahuan

di Jawa sejak awal kekuasaan kolonial Belanda. Ia menyatakan

bahwa 1830 merupakan suatu tonggak yang disebut sebagai

kesadaran kultural Jawa yang ditandai dengan tumbuhnya

religiusitas, pemikiran, sejarah sastra dan seni. Sementara itu,

28John
Pemberton, “Jawa”; On The Subject of “Java”,
terjemahan Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Mata Bangsa,
2003).
25

dengan menggunakan catatan etnografis tentang pemilu,

pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, dan upacara

perkawinan ia menjelaskan tentang adanya pencitraan kultural

Orde Baru untuk menutupi kekerasan yang dilakukan oleh militer

pada 1965.

Joergen Hellman dalam disertasinya yang berjudul “Longser

Antar Pulau: Indonesian Cultural Politics and the Revitalisation of

Traditional Theatre”29 membahas tentang penggunaan seni dan

penghidupan kembali teater tradisional pada masa pemerintahan

Orde Baru. Longser Antar Pulau merupakan kelompok mahasiswa

Jurusan Teater Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung yang

anggotanya terdiri atas berbagai etnis. Mereka menggelar

pertunjukan longser tradisional (tanpa naskah) dengan

menggunakan bahasa Indonesia. Lakon-lakon yang mereka

tampilkan selalu mengandung muatan kritik kepada pemerintah

yang dilontarkan secara terselubung.

Julianti Parani dalam bukunya Seni Pertunjukan Indonesia:

Suatu Politik Budaya30 membahas tentang seni pertunjukan

29Joergen Hellman, “Longser Antar Pulau: Indonesian Cultural


Politics and the Revitalisation of Traditional Theatre” (Department
of Social Anthropology, University of Goteborg, Sweden, 1999).

30Julianti Parani, Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik


Budaya (Jakarta: Penerbit Nalar-Kajian Seni Pertunjukan Institut
Kesenian-Kelola, 2011).
26

sebagai politik kebudayaan. Melalui studi untuk mendapatkan

gelar doktor dalam bidang antropologi, ia menganalisis

perkembangan seni pertunjukan dalam lingkup budaya politik

yang berkembang pada zamannya. Salah satu bentuk seni

pertunjukan sebagai politik kebudayaan adalah penetapan

Serampang Duabelas sebagai “Tari Nasional”.

Kebijakan budaya Indonesia telah menjadi perhatian dari Tod

Jones dalam disertasi berjudul “Indonesian Cultural Policy, 1950-

2003: Culture, Institution, Government”.31 Ia mengkaji kebijakan

budaya di Indonesia dengan fokus pada kebijakan budaya

Pemerintah Republik Indonesia dari 1950 hingga 2003.

Pembahasan difokuskan pada perubahan-perubahan kebijakan

Pemerintah Republik Indonesia dari era Soekarno sampai dengan

era Reformasi. Kebijakan budaya pada era Soekarno antara lain

diarahkan untuk membentuk sintesis baru dari budaya nasional

Indonesia. Kebijakan budaya selama era Orde Baru menolak

'politisasi' budaya sebagaimana dilakukan oleh Soekarno.

Kebijakan budaya pada era Orde Baru diarahkan untuk

mendukung pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, Orde Baru

memperkuat peran negara dalam memberikan bimbingan budaya.

Tod Jones, “Indonesian Cultural Policy, 1950-2003: Culture,


31

Institution, Government”31 (Thesis is presented for Degree of


Doctorate of Philosophy of Curtin University of Technology Perth,
2005).
27

Kebudayaan Indonesia dikembangkan untuk melindungi nilai-nilai

budaya Indonesia. Pada era Reformasi terjadi perubahan

kebijakan budaya yang ditandai oleh adanya pemisahan bidang

kebudayaan dari bidang pendidikan. Meskipun terjadi perubahan

organisasi, namun wacana budaya era Orde Baru pada umumnya

masih terus mendominasi kebijakan budaya di Indonesia pada era

desentralisasi. Desentralisasi menciptakan kemungkinan

pluralitas kebijakan budaya di seluruh Indonesia, karena

pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola

kebijakan budaya.

Tokoh-tokoh seniman dari dalam dan luar kota Surakarta

yang telah berkiprah dalam pelestarian dan pengembangan

kesenian gaya Surakarta telah mendapatkan perhatian dari para

ahli seni pertunjukan dalam bentuk penulisan biografi dan

pengkajian seni pertunjukan. Dua studi yang perlu disebut di sini

adalah yang dilakukan oleh Rustopo dan Waridi karena secara

tematik memiliki kedekatan dan relevansi dengan studi yang

dilakukan oleh penulis. Rustopo dalam buku yang berasal dari

tesisnya untuk mendapatkan kesarjanaan strata 2 berjudul

Gendhon Humardani Sang Gladiator: Arsitek Kehidupan Seni


28

Tradisi Modern32 membahas tentang biografi Gendhon Humardani.

Pembahasannya difokuskan pada pandangan, gagasan, dan

kiprah Gendhon dalam mewujudkan kehidupan seni tradisi Jawa

yang moderen mengindonesia. Oleh karena ketokohannya dalam

pengembangan seni tradisi Jawa, maka Rustopo menyebutnya

sebagai sang gladiator.

Sementara itu, Waridi dalam buku yang merupakan bagian

dari disertasinya dengan judul Gagasan & Kekaryaan Tiga Empu

Karawitan: Pilar Kehidupan Karawitan Jawa Gaya Surakarta 1950-

1970-an (Ki Martapengrawit, Ki Tjakrawasita, Ki Nartasabda)33

membahas tentang gagasan dan kekaryaan tiga empu karawitan

yang menjadi pilar-pilar penyangga kehidupan karawitan Jawa

Surakarta periode 1950-1970an, yaitu Martopangrawit,

Tjokrowasito, dan Nartosabdho. Selain menghasilkan karya-karya

berupa gendhing, Martopangrawit memiliki sumbangan yang besar

dalam membangun konsep dan teori karawitan. Tjokrowasito

menjadi pelopor dalam pembaruan karawitan Jawa melalui karya-

32Rustopo, Gendhon Humardani Sang Gladiator: Arsitek


Kehidupan Seni Tradisi Modern (Yogyakarta: Yayasan Mahavhira,
2001).
33Waridi, Gagasan & Kekaryaan Tiga Empu Karawitan: Pilar
Kehidupan Karawitan Jawa Gaya Surakarta 1950-1970-an (Ki
Martapengrawit, Ki Tjakrawasita, Ki Nartasabda) (Bandung-
Surakarta: Etnoteater Publisher, BACC Kota Bandung,
Pascasarjana ISI Surakarta, 2008).
29

karya gendhing-gendhing. Sementara itu, Nartosabdho merupakan

komponis yang kreatif dan produktif dalam menghasilkan dan

menggubah gendhing-gendhing Jawa. Mereka dengan caranya

masing-masing telah terbukti menjadi pilar-pilar penyangga

kehidupan karawitan Jawa gaya Surakarta dalam periode 1950-

1970an.

Dari tinjauan pustaka di atas tersirat beberapa hal yang

penting untuk disampaikan. Pertama, walaupun kajian sejarah

Surakarta telah banyak dilakukan oleh para sejarawan, namun

tidak satu pun telah memberikan perhatian pada tema tentang

politik kebudayaan Jawa. Kedua, tema politik kebudayaan telah

dijadikan fokus kajian oleh para antropolog dan ahli seni

pertunjukan. Ketiga, biografi tokoh-tokoh seniman telah dijadikan

sebagai subjek kajian oleh para ahli seni pertunjukan. Namun

demikian, menurut penulis, studi yang secara khusus

memfokuskan pada politik kebudayaan Jawa Surakarta dalam

periode 1950an-1990an sebagai sebuah studi sejarah belum

dilakukan. Oleh karena itu, topik disertasi ini dapat dikatakan

memiliki orisinalitas.

E. Kerangka Konseptual

Menurut Ignas Kleden, pembicaraan tentang politik kebudayaan,

maka yang dimaksud pertama-tama bukanlah sesuatu yang


30

langsung berhubungan dengan perimbangan atau perebutan

kekuasaan, tetapi lebih berhubungan dengan kebijakan-kebijakan

yang diambil dalam hubungan dengan arah perkembangan

budaya dan syarat-syarat yang harus diadakan untuk mencapai

tujuan tersebut.34 Sejalan dengan pandangan itu, menurut van

Peursen, kebijakan-kebijakan untuk mengembangkan kebudayaan

itu dapat dipahami sebagai strategi kebudayaan; suatu rencana

yang mampu membimbing dan mengarahkan perkembangan

kebudayaan untuk mencapai suatu kondisi di masa depan yang

lebih baik. Oleh karena kebudayaan merupakan suatu proses

belajar, maka kreativitas dan penemuan merupakan dua faktor

penting yang saling berkaitan dalam perkembangan kebudayaan.35

Sehubungan dengan hal itu, Ignas Kleden mengatakan bahwa

pendidikan merupakan sektor yang amat menentukan bagi

perkembangan kebudayaan. Setiap usaha pendidikan sekurang-

kurangnya mempunyai dua jenis kaitan dengan kebudayaan.

Pertama, melalui pendidikan -- nilai-nilai dan kepandaian-

kepandaian yang telah dikembangkan dalam suatu kebudayaan

34Ignas Kleden, “Ontologi Kebudayaan atau Politik


Kebudayaan?” http://rajasidi.multiply.com/journal/item/1423
(diunduh pada 22 Juli 2010)

35C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan (Yogyakarta:


Kanisius, terjemahan Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius, 1988,
edisi kedua cetakan ke-21).
31

dapat dipertahankan dan dilanjutkan dari generasi ke generasi.

Kedua, pendidikan diharapkan dapat mendorong perkembangan

daya cipta setiap peserta didik untuk memajukan perkembangan

budaya melalui apresiasi budaya yang baik, maupun melalui

kesanggupan menciptakan inovasi-inovasi dalam kebudayaan

yang dapat memberi watak baru kepada suatu kebudayaan.36

Pembentukan lembaga-lembaga kebudayaan yang dapat

melestarikan dan mengembangkan kebudayaan merupakan

langkah penting untuk sebuah perkembangan kebudayaan.37

Roy Wagner dalam bukunya yang berjudul The Invention of

Culture, menjelaskan bahwa inovasi memegang peranan penting

dalam perkembangan kebudayaan. Tradisi dan inovasi memiliki

hubungan dialektik, karena tanpa inovasi tradisi tidak dapat

diteruskan. Sehubungan dengan hal itu, inovasi dapat dilakukan

dengan dua orientasi. Pertama, inovasi dapat dilakukan dengan

mengacu pada aturan atau konvensi yang berlaku pada tradisi.

Kedua, inovasi dapat dilakukan tanpa berpijak pada tradisi atau

36Ignas Kleden, “Ontologi Kebudayaan atau Politik


Kebudayaan?” http://rajasidi.multiply.com/journal/item/1423
(diunduh pada 22 Juli 2010).
37Antonio Gramsci, Sejarah dan Budaya, terjemahan Ira
Puspitorini dkk. (Surabaya: Pustaka Promethea, 2000), hlm. 182-
185.
32

mengacu pada hal-hal baru yang tidak konvensional. Kedua

bentuk inovasi itu membawa implikasi perubahan kebudayaan.38

Nunggak semi merupakan salah satu konsep pengembangan

kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat Jawa. Secara harfiah

tunggak semi berarti tonggak yang bersemi. Dalam konteks

pengembangan kebudayaan, tunggak melambangkan kebudayaan

tradisional; dan semi melambangkan pertumbuhan dan

perkembangan kebudayaan tradisional. Dengan demikian,

nunggak semi adalah suatu konsep pengembangan kebudayaan

yang masih berpijak pada kebudayaan yang lama.39 Dengan

mengikuti pandangan Wagner, nunggak semi merupakan inovasi

yang mengacu pada tradisi, sehingga menghasilkan perubahan

yang dianggap sebagai “perbaikan” oleh para pendukung tradisi.

Sementara itu, menurut Sal Murgiyanto, inovasi yang mengacu

pada hal-hal di luar tradisi, hasilnya sering tidak senada dengan

konvensi yang berlaku. Inovasi dengan orientasi ini akan

menghasilkan perubahan yang sering kali dianggap “menyimpang”

38RoyWagner, The Invention of Culture (Chiccago: University of


Chicago Press, 1981), hlm. 41-51 melalui Sal Murgiyanto, Tradisi
dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di Indonesia (Jakarta:
Wedatama Widya Sastra, 2004), hlm. 3.

39Rustopo,Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro


(Yogyakarta: Ombak-Yayasan Nabil, 2008), hlm. 96-97.
33

dari konvensi atau “merusak” tradisi,40 yang dalam lingkungan

masyarakat Jawa pendukung tradisi dimanifestasikan dalam

ungkapan “nyebal saka pakem/ waton” atau “nerak paugeran”.

Sehubungan dengan hal itu, Edi Sedyawati berpendapat,

bahwa di dalam kebudayaan-kebudayaan timur pada umumnya,

yang dianggap lebih mulia adalah bukan kemampuan untuk selalu

berubah, melainkan tetap melestarikan nilai-nilai luhur warisan

bangsa meskipun terdapat perubahan. Dengan demikian,

pengembangan bukan terlihat sebagai perubahan-perubahan yang

silih berganti, melainkan sebagai pendalaman, perluasan, dan

pencanggihan dari suatu yang telah ada.41 Dengan kata lain,

dalam konteks ini pengembangan kebudayaan dilakukan dengan

konstruksi dan reproduksi kebudayaan.42

Seperti telah disebutkan pada bagian permasalahan dan

ruang lingkup, studi ini hanya memfokuskan pada bidang seni

pertunjukan tradisi keraton. Pemilihan fokus pembahasan ini juga

didasari oleh pertimbangan bahwa seni merupakan unsur yang

40Murgiyanto, loc. cit..

41Edi Sedyawati, Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1


Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat (Jakarta: Wedatama
Widya Sastra, 2007), hlm. 37.
42Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
34

dapat menampilkan sifat khas kebudayaan suatu masyarakat.43

Dengan demikian, unsur kebudayaan Jawa itu dipilih karena

dianggap dapat merepresentasikan kebudayaan Jawa Surakarta.

“Jawa Surakarta” merupakan suatu konsep yang digunakan

untuk memberi nama salah satu dari dua varian utama dalam

kebudayaan Jawa setelah Perjanjian Giyanti 1755, selain “Jawa

Yogyakarta”. Istilah itu digunakan untuk merujuk kepada

kebudayaan Jawa yang berkembang di Surakarta, khususnya

yang berkembang di Kasunanan dan Mangkunagaran. Dalam

bidang seni pertunjukan tradisi Jawa istilah itu juga dapat

dipertukarkan penggunaannya dengan “gaya Surakarta”.

F. Sumber Penulisan

Disertasi ini disusun dengan menggunakan metode sejarah dan

memanfaatkan berbagai macam sumber yang mencakup sumber

tertulis sezaman, sumber lisan, sumber visual, audio visual,

historiografi, dan kajian seni pertunjukan.44 Penggunaan berbagai

macam sumber itu didasari oleh dua pertimbangan. Pertama,

43Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan


Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1984), hlm. 109.

44Tentang metode dan jenis-jenis sumber sejarah lihat Gilbert


J. Garraghan, A Guide to Historical Method (New York: Fordham
University Press, 1957), hlm. 103-123.
35

tidak semua realitas masa lampau terekam dalam sumber tertulis;

dan kedua, sifat topik yang dipilih tampaknya mengharuskan

untuk menggunakan berbagai macam sumber, sehingga fakta-

fakta yang diperoleh akan menjadi lebih lengkap.

Arsip-arsip yang digunakan dalam studi ini merupakan

khazanah-khazanah sumber yang tersimpan di Reksa Pustaka dan

Reksa Wilapa Istana Mangkunagaran, Kokar, PKJT/TBS, dan

Lokananta di Surakarta, serta Arsip Nasional Republik Indonesia

di Jakarta. Sumber-sumber itu digunakan untuk merekonstruksi

aspek-aspek formal dari lembaga-lembaga kebudayaan yang

berperan dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa

Surakarta.

Sumber tertulis sezaman lain yang penting adalah koran,

majalah, dan penerbitan resmi sebuah lembaga. Di dalam ketiga

jenis sumber itu dapat diperoleh rekaman peristiwa (reportase),

pandangan, pendapat, dan opini penulisnya, serta programa

tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa

Surakarta. Penelusuran sumber koran, majalah, dan penerbitan

resmi terutama dilakukan di Perpustakaan Daerah Istimewa

Yogyakarta dan Perpustakaan KITLV Leiden ketika penulis

mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Sandwich-like Program

2012 yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi. Sumber-sumber koran itu adalah Dharma Kanda,


36

Kedaulatan Rakyat, Parikesit, Solo Pos, dan Suara Merdeka.

Sumber majalah mencakup Budaja, Djaka Lodhang, Jaya Baya,

Mahabharata Kawedar, Mekar Sari, Mimbar Indonesia, Mutiara,

Pandjangmas, Parikesit, Pedalangan, Pengemban Amanat Allah dan

Umat, dan Zenith. Sementara itu, penerbitan resmi meliputi Berita

Radio, Mingguan Radio, dan Mekas (Media Karaton Surakarta).

Sumber lisan diperoleh dengan metode sejarah lisan melalui

kegiatan wawancara dengan pelaku-pelaku dan saksi-saksi

sejarah. Sejarah lisan mempunyai sumbangan yang besar dalam

mengembangkan substansi penulisan sejarah.45 Dalam konteks

sumber, sejarah lisan mampu memiliki keunggulan komparatif

baik secara kuantitatif maupun kualitatif tentang hal yang telah

tercakup dalam sumber tertulis sekalipun.46 Beberapa informan

yang diwawancarai merupakan pelaku dan saksi sejarah dari

lembaga-lembaga kebudayaan seperti Kokar, ASKI, Lokananta,

dan RRI Surakarta.

Sumber visual yang digunakan berupa foto dan sampul

piringan hitam/ kaset. Penggunaan foto dan sampul piringan

hitam/kaset didasari oleh pertimbangan bahwa keduanya dapat

45Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana,


2003), hlm. 29-30.

46Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi


Indonesiasentris?! (Yogyakarta, Ombak, 2006), hlm. 72.
37

membantu sejarawan dalam memahami masa lampau dan

merupakan sumber-sumber tambahan untuk menyusun sejarah.47

Sementara itu, satu jenis sumber yang tidak boleh diabaikan

dalam penulisan sejarah yang mencakup periode akhir abad XX

adalah sumber audiovisual. Walaupun menurut Nordholt dan

Steijlen sumber audiovisual sangat penting untuk penulisan

sejarah kehidupan sehari-hari di Indonesia pada abad XXI,48

namun menurut penulis, sumber audiovisual juga penting untuk

penulisan tema-tema atau topik-topik tertentu sejarah Indonesia

pada akhir abad XX, seperti sejarah seni pertunjukan dan politik

kebudayaan Jawa Surakarta yang sedang menjadi perhatian

penulis. Ada dua film dokumenter yang digunakan dalam studi ini,

yaitu “Paku Buwana XII: Berjuang untuk Sebuah Eksistensi”

karya I.G.P. Wiranegara49 dan “Paku Buwana XII dan

47Jean Gelman Taylor, “Aceh: Narasi Foto, 1873-1930”, dalam


Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari,
ed., Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, KITLV Jakarta, Pustaka Larasan, 2008), hlm. 314
dan 321.

48Henk Schulte Nordholt dan Fridus Steijlen, “Don‟t Forget to


Remember Me: Arsip Audiovisual Kehidupan Sehari-hari di
Indonesia pada Abad XXI”, dalam Henk Schulte Nordholt,
Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, ed., Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
KITLV Jakarta, Pustaka Larasan, 2008).

49I.G.P. Wiranegara, “Paku Buwana XII: Berjuang untuk


Sebuah Eksistensi” (Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian
Jakarta, 2004).
38

Hardjonagoro” karya Rustopo.50 Kedua sumber itu sangat

bermanfaat untuk memahami kondisi dan perjuangan Keraton

Surakarta dalam menegakkan eksistensinya sebagai pusat

kebudayaan Jawa.

Historiografi tentang Surakarta dan studi-studi yang telah

dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dari berbagai bidang

yang relevan, terutama pengkajian seni pertunjukan merupakan

sumber-sumber yang melengkapi studi ini. Kajian-kajian seni

pertunjukan yang dilakukan oleh para dosen STSI/ISI Surakarta

dan ISI Yogyakarta tentang kebudayaan Jawa yang sebagian

menggunakan perspektif atau pendekatan historis sangat

membantu dalam rekonstruksi sejarah.

G. Sistematika

Disertasi ini terdiri atas enam bab yang diawali dengan BAB I

Pengantar yang berisi uraian tentang latar belakang,

permasalahan dan ruang lingkup kajian yang merupakan dasar

untuk pembahasan dalam bab-bab selanjutnya. Selain itu, dalam

bab ini disajikan kerangka pemikiran dan sumber-sumber yang

digunakan untuk pembahasan permasalahan.

50Rustopo, “Paku Buwana XII dan Hardjonagoro” (Studio 19


Surakarta, 2005).
39

Dalam BAB II dengan judul “Warisan Sosiokultural dan

Perubahan di Surakarta Pasca-Proklamasi Kemerdekaan” dibahas

tentang masyarakat Surakarta dan kebudayaannya baik yang

berkembang di dalam maupun di luar keraton. Pembahasan dalam

bab ini diakhiri dengan pembahasan tentang keruntuhan

kekuasaan tradisional yaitu Kasunanan dan Mangkunagaran yang

menjadikan dua-duanya kehilangan kekuasaan politik dan

ekonomi, sehingga hanya menjadi pusat kebudayaan Jawa saja.

Keterbatasan-keterbatasan Kasunanan dan Mangkunagaran

dalam kedudukannya sebagai pusat kebudayaan Jawa pada awal

kemerdekaan mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan

untuk menyelamatkan warisan budaya kedua keraton tersebut.

Kebijakan dan upaya-upaya untuk melestarikan kebudayaan Jawa

itu dimanifestasikan dengan pembentukan pusat-pusat

kebudayaan di Surakarta yang meliputi Kokar, ASKI, dan PKJT di

Surakarta. Uraian pembahasan tentang latar belakang dan proses

pembentukan lembaga-lembaga kebudayaan itu, serta kebijakan-

kebijakan dan kiprahnya dalam pelestarian dan pengembangan

kebudayaan Jawa Surakarta disajikan dalam BAB III dengan judul

“Pembentukan Pusat-Pusat Kebudayaan Jawa di Surakarta”.

Upaya-upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan

Jawa Surakarta tidak hanya dilakukan dengan pembentukan

pusat-pusat kebudayaan Jawa di Surakarta saja. Lembaga-


40

lembaga kebudayaan yang telah ada pada awal kemerdekaan

seperti RRI Surakarta dan pada periode berikutnya Lokananta

juga dimanfaatkan untuk mendukung hal itu. Selain untuk

kepentingan pelestarian dan pengembangan, kedua lembaga

kebudayaan ini juga memiliki peran penting dalam

penyebarluasan kebudayaan Jawa Surakarta, khususnya dalam

bidang seni pertunjukan. Penyebarluasan kebudayaan Jawa

Surakarta juga ditopang oleh adanya penerbitan berbahasa Jawa

dan panggung pertunjukan wayang wong Sriwedari yang mampu

memikat dan menarik perhatian masyarakat Jawa. Uraian

pembahasan tentang hal tersebut disajikan dalam BAB IV dengan

judul “Penyebarluasan Kebudayaan Jawa Surakarta”.

Kasunanan dan Mangkunagaran tentunya tidak tinggal diam

ketika keduanya kehilangan kekuasaan politik dan ekonomi.

Dalam kedudukannya sebagai pusat kebudayaan Jawa sejak awal

kemerdekaan dua lembaga itu terus berjuang untuk menegakkan

eksistensinya sebagai pusat kebudayaan. Dengan caranya masing-

masing keduanya telah melakukan upaya-upaya untuk

melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa yang

tumbuh dan berkembang di kedua istana tersebut. Kiprah

Kasunanan dan Mangkunagaran dalam pelestarian dan

pengembangan kebudayaan Jawa berkontribusi dalam penegakan

eksistensi Surakarta sebagai pusat kebudayaan. Uraian tentang


41

hal itu disajikan dalam BAB V dengan judul “Keraton dan

Penegakan Eksistensi Surakarta sebagai Pusat Kebudayaan Jawa”.

Studi ini diakhiri dengan BAB VI Simpulan yang menyajikan

jawaban permasalahan dan temuan penting dari penelitian yang

dilakukan.
42

BAB II

WARISAN SOSIOKULTURAL DAN PERUBAHAN DI SURAKARTA


PASCAPROKLAMASI KEMERDEKAAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang pembentukan dan

perkembangan kebudayaan Jawa Surakarta pada periode sebelum

kemerdekaan. Untuk mendasari tentang pembentukan dan

perkembangan kebudayaan Jawa itu akan diuraikan tentang

masyarakat Jawa di Surakarta sebagai pendukung kebudayaan

tersebut. Pembahasan tentang pembentukan dan perkembangan

kebudayaan Jawa Surakarta akan difokuskan pada perkembangan

kesusastraan dan seni pertunjukan di Kasunanan dan

Mangkunagaran, serta seni pertunjukan di luar keraton. Uraian

dalam bab ini akan diteruskan dengan pembahasan tentang

perubahan-perubahan politik yang terjadi di Surakarta

pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia. Perubahan-perubahan

politik itu mengakibatkan pembekuan Daerah Istimewa Surakarta

dan menjadikan Surakarta sebagai bagian dari Provinsi Jawa

Tengah. Uraian dalam bab ini dimaksudkan untuk memberikan

latar belakang yang dapat digunakan untuk menjelaskan perlunya

sebuah politik kebudayaan Jawa Surakarta.


43

A. Masyarakat Kota Surakarta

Kota Surakarta yang juga dikenal dengan Kota Sala semula adalah

sebuah desa yang menurut tradisi lisan dipimpin oleh seorang

bekel, Kyai Gedhé Sala. Berdasar pertimbangan ekonomi, sosial,

politik, pertahanan, religi, dan adat, Desa Sala dipilih oleh Sunan

Paku Buwana II (memerintah 1726-1749) untuk dijadikan sebagai

pusat kerajaan setelah ibukota kerajaan Mataram di Kartasura

dikuasai dan dihancurkan oleh pemberontak pada 1743.1 Pada

tahun yang sama pembangunan keraton dimulai. Tampaknya

pembangunan pusat kerajaan di Desa Sala itu dilakukan secara

tergesa-gesa. Walaupun proses pembangunannya belum selesai,

Sunan Paku Buwana II memutuskan untuk berpindah ke keraton

baru pada 17 Februari 1746.2 Sunan Paku Buwana II tidak dapat

menyelesaikan pembangunan keratonnya karena wafat pada 1749.

Pembangunan keraton diselesaikan dan disempurnakan pada

masa raja-raja Surakarta berikutnya. Sunan Paku Buwana X yang

memerintah selama 46 tahun memberikan sumbangan yang amat

1Darsiti
Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-
1939 (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000), hlm. 66 dan
73.

2Ny. Wibisono Rusmiputro Kusumodilaga, “Perpindahan


Kraton Kartasura ke Surakarta”, dalam Soewito Santoso, ed., Urip-
urip (Surakarta: Museum Radya Pustaka, 1990), hlm. 269.
44

besar bagi perkembangan dan pembaruan bangunan dalam

kompleks keraton Surakarta.3

Sebelum Perjanjian Giyanti 1755 Surakarta menjadi ibukota

Kerajaan Mataram. Perjanjian Giyanti 1755 mengakibatkan

Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua, yaitu Kasunanan

Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dengan demikian, setelah

Perjanjian Giyanti Surakarta menjadi ibukota Kasunanan

Surakarta. Dengan adanya Perjanjian Salatiga pada 1757 wilayah

Kasunanan Surakarta dibagi lagi menjadi dua dengan

pembentukan Kadipaten Mangkunagaran.4 Setelah perjanjian

Salatiga di Surakarta terdapat dua kekuasaan tradisional. Oleh

karena pengaruh dan kekuasaan kompeni terhadap kekuasaan

tradisional semakin besar, maka setelah Perjanjian Giyanti 1755

diangkat seorang residen untuk wilayah Surakarta dan

Yogyakarta. Kehadiran residen yang menetap di Surakarta

3Darsiti Soeratman, op. cit., hlm. 81-82.

4Tentang pembagian Kerajaan Mataram lihat M.C. Ricklefs,


Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah
Pembagian Jawa, terjemahan Hartono Hadikusumo dan E.
Setiyawati Alkhatab (Yogyakarta: Matabangsa, 2002), khususnya
BAB II dan BAB III.
45

membawa perubahan-perubahan pada pemerintahan, tata kota,

dan pola pemukimannnya.5

Setelah Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga, Surakarta

merupakan ibukota dengan tiga pemerintahan yang berbeda, yaitu

Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunagaran, dan Residen

Belanda. Pada awal abad XX Kasunanan Surakarta membawahi

enam kabupaten, yaitu Surakarta, Kartasura, Klaten, Boyolali,

Ampel, dan Sragen, serta satu kawedanan yaitu Larangan.

Kadipaten Mangkunagaran membawahi tiga kawedanan, yaitu

Ibukota, Karanganyar, dan Wonogiri. Sementara itu, Belanda

membawahi lima deel (bagian) yang berada di Kasunanan dan

Mangkunagaran. Surakarta dengan luas wilayah 24 km2 (panjang

6 km membentang dari arah barat ke timur dan 4 km dari arah

utara ke selatan) sebagian besar milik Kasunanan, seperlima milik

Mangkunagaran, dan sisanya merupakan wilayah administrasi

Belanda, yaitu di sekitar kantor residen, benteng, dan tangsi

militer.6

Wilayah administrasi Kasunanan di Surakarta terdiri atas

lima kapanéwon (sub distrik), yaitu Kutha, Lawéyan, Pasar Kliwon,

5Darsiti Soeratman, op. cit., hlm. 83.

6Kuntowijoyo,“The Making of a Modern Urban Ecology: Social


and Economic History of Solo”, Lembaran Sejarah, Volume 3, No. 1
(Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah
Mada, 2000), hlm. 164.
46

Jebrès, dan Serengan. Wilayah administrasi Mangkunagaran

hanya satu yaitu Kawedanan Gunung Salebeting Kitha yang terdiri

atas dua kapanéwon yaitu Kampung Lor dan Kampung Kidul.

Wilayah Kampung Lor meliputi Kampung Stabelan, Margareja,

dan Pasar Legi, dan wilayah Kampung Kidul meliputi Keprabon,

Kèthèlan, dan Pethètan. Batas wilayah Kasunanan dan

Mangkunagaran di dalam kota adalah jalan Purwosari (sekarang

Jalan Slamet Riyadi) yang membujur dari arah timur ke barat.7

Administrasi Belanda membagi kota dalam beberapa wijk

yang masing-masing memiliki wijkmeester. Pada 1915 terdapat

tiga wijk. Pertama, wijk Tenggara yang terdiri atas Pepe di utara,

Bengawan di timur, akhir kota di selatan, dan jalan yang melewati

jembatan Pepe dan istana Mangkunagaran selatan kota sampai

dengan batas ke kota. Kedua, wijk Timur Laut yang meliputi batas

kota wilayah utara, Bengawan di timur, dan Pepe di selatan dan

barat. Ketiga, wijk Barat; wilayah tersebut meliputi utara kota dan

Pepe di utara, Pepe dan jalan melewati jembatan Pepe ke selatan

istana Mangkunagaran di timur, batas kota di selatan, dan bagian

barat batas kota ke barat.8

7Ibid..

8Ibid., hlm. 165.


47

Di pusat kota terdapat kompleks keraton yang disebut

baluwarti dan alun-alun yang semuanya terletak di dalam bètèng

atau tembok keraton. Di luar tembok keraton terdapat rumah-

rumah bangsawan, abdi dalem, rakyat pribumi, orang-orang Cina

dan Arab, serta orang-orang Belanda.9

Bagian tengah yang merupakan kota lama didiami oleh

beberapa etnik, yaitu Jawa, Cina, Arab, dan Eropa masing-masing

menempati daerah tertentu yang terpisah berdasar diskriminasi

ras. Orang-orang Eropa bertempat tinggal terpisah dari etnik lain.

Mereka tinggal di sekitar benteng Vastenburg yang karena

berbentuk loji disebut dengan Loji Wetan, tangsi militer Belanda di

Setabelan dan Kestalan. Sebagian besar golongan Timur Asing

ditempatkan di pemukiman khusus yang ditetapkan oleh

pemerintah kolonial. Orang-orang Tionghoa tinggal di sekitar Pasar

Gedhé dan orang Arab di sekitar Pasar Kliwon. Orang-orang

Tionghoa masing-masing dipimpin oleh orang yang ditunjuk oleh

pemerintah kolonial, dan diberi pangkat letnan, kapten, atau

mayor. Dengan demikian, di kalangan penduduk pribumi

pimpinan mereka dikenal dengan nama Babah Mayor.10

9Ibid., hlm. 163.

10Ibid.; Darsiti Soeratman, op. cit., hlm. 85.


48

Penduduk pribumi Jawa bertempat tinggal di perkampungan

yang terpencar hampir di seluruh kota. Nama-nama kampung

penduduk pribumi Jawa antara lain didasarkan pada nama-nama

para bangsawan yang tinggal di tempat itu, seperti: Hadiwijayan

tempat tinggal Pangèran Hadiwijaya, Mangkubumen tempat

tinggal Pangèran Mangkubumi, Jayakusuman tempat tinggal

Pangèran Jayakusuma, Suryabratan tempat tinggal Pangèran

Suryabrata, Kusumabratan tempat tinggal Pangèran

Kusumabrata, Sumadiningratan tempat tinggal Pangèran

Sumadiningrat, Cakranegaran tempat tinggal Pangèran

Cakranegara, Kusumayudan tempat tinggal Pangèran

Kusumayuda, Kalitan tempat tinggal Kangjeng Ratu Alit, dan

Purwadiningratan tempat tinggal Pangèran Purwadiningrat. Selain

itu, terdapat kampung-kampung yang namanya diambil dari nama

abdi dalem yaitu Coyudan tempat tinggal Secayuda, Derpayudan

tempat tinggal Derpayuda, Mangkuyudan tempat tinggal

Mangkuyuda, Kerten tempat tinggal Wirakerti. Ada juga kampung-

kampung yang namanya diambil dari kesatuan prajurit keraton

yaitu Kasatriyan, Tamtaman, dan Saragenèn; dan berdasar jenis

pekerjaan penduduk: Sayangan, Gemblegan, Gapyukan, Serengan,

Slembaran, Kundhèn, Telukan, (U)ndhagèn, Kepunton, dan

Jayèngan. Ada juga kampung-kampung yang disebut menurut

jabatan orang yang mendiami tempat itu, misalnya Carikan,


49

Jagalan, Gandhèkan Kiwa, Gandhèkan Tengen, Sratèn, Kalangan,

Punggawan, Pondhokan, dan Gadhing.11 Ada juga kampung yang

namanya berasal dari folklore seperti Sangkrah, Bathangan,

Kedunglumbu, dan Lawéyan; dan mengikuti nama-nama orang

Belanda seperti Petoran, Jurnasan, Jageran, Beskalan, dan

Nebrusan. Selain itu, ada juga kampung-kampung yang namanya

diambil dari komunitas kesenian seperti Wirèngan, Gambuhan,

dan Kemlayan.12

Secara tradisional orang Jawa dibagi dalam tiga kelompok

sosial, yaitu keluarga raja, pejabat dan pegawai kerajaan, dan

rakyat biasa. Keluarga raja menduduki tingkat pertama dalam

masyarakat. Kelompok kedua adalah yang bersekutu erat dan

mempunyai pertalian perkawinan dengan kelompok pertama atau

disebut priyayi. Dalam priyayi terdapat suatu pembedaan status

sosial yang luas, mulai dari bupati pada tingkat tertinggi sampai

pada pegawai yang paling rendah. Pada abad XX istilah priyayi

umumnya dipakai juga untuk para anggota keluarga raja.13 Di

11Darsiti Soeratman, ibid., hlm. 86.

12Rustopo,Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan


Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 21.

13Soejatno, “Revolution and Social Tensions in Surakarta


1945-1950”, melalui George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi:
Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), hlm. 24.
50

kalangan rakyat biasa dikenal pula status, mulai dari hartawan

pengusaha batik di ibukota sampai pada petani yang tidak

memiliki tanah di pedesaan.14

Struktur sosial di Surakarta ini mengalami perubahan pada

masa pendudukan Jepang. Kedudukan orang-orang Belanda

digantikan oleh orang-orang Jepang. Pada masa kemerdekaan

sebagian kelompok masyarakat yang berasal dari bangsa kolonial

Jepang dan Belanda harus meninggalkan Surakarta. Sementara

itu, orang Tionghoa dan Arab tetap menjadi bagian dari

masyarakat kota Surakarta bersama dengan etnis pribumi

terutama Jawa.

Berdasar kategori sosial masyarakat Jawa sebagaimana telah

disebut di atas, di Surakarta terdapat dua kebudayaan yang

memiliki ciri-ciri yang berbeda, yaitu kebudayaan keraton dan

kebudayaan rakyat. Berikut ini akan diuraikan tentang

kebudayaan Jawa yang berkembang di Surakarta.

B. Kebudayaan Jawa Surakarta

Setelah Perjanjian Giyanti 1755 (Palihan Nagari) Kasunanan

Surakarta mengembangkan kebudayaan Jawa yang berbeda dari

Kasultanan Yogyakarta. Dalam bidang seni Kasunanan Surakarta

14Larson, ibid..
51

di bawah Sunan Paku Buwana III mengembangkan sebuah gaya

seni baru, sementara Kasultanan Yogyakarta di bawah Sultan

Hamengku Buwana I meneruskan gaya seni yang telah

berkembang pada zaman Kerajaan Mataram. Dengan meminjam

istilah gaya seni di Eropa, Kasunanan Surakarta mengembangkan

gaya romantik dan Kasultanan Yogyakarta mengembangkan gaya

klasik.15 Dalam bidang seni masing-masing kerajaan

mengembangkan gaya masing-masing yang kemudian dikenal

dengan gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta, yang merupakan dua

gaya pokok yang berkembang di Jawa Tengah.

Perkembangan kebudayaan Jawa dan warisan kebudayaan

Jawa yang dibentuk Kasunanan dan Mangkunagaran Surakarta

dibahas secara khusus berikut ini.

1. Kasunanan

Penyusutan kekuasaan politik dan ekonomi mengakibatkan

kehidupan keraton Surakarta lebih dicurahkan dalam bidang

kebudayaan, yaitu dengan pengembangan kehidupan rohani yang

mencakup etika, bahasa, kesusastraan, dan kesenian yang

terpantul dalam perkembangan kesusastraan dan kesenian Jawa

15R.M.Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata


(Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), hlm.
236.
52

pada abad XVIII dan XIX. Sunan Paku Buwana IV adalah raja yang

memberikan perhatian besar pada pengembangan kesusastraan

Jawa. Ia juga menulis Serat Wulang Rèh, sebuah serat piwulang

yang dikenal di kalangan masyarakat Jawa.16 Selain itu, Raden

Ngabehi Yasadipura I, Raden Ngabehi Yasadipura II, dan Raden

Ngabehi Ranggawarsita adalah pujangga-pujangga keraton yang

berperan dalam mengemban tugas mengembangkan kesusastraan

Jawa dan kebudayaan keraton pada masa itu dengan hasil yang

sangat mengagumkan. Mereka telah berjasa dalam menggubah

kitab-kitab kesusastraan Jawa Kuna ke dalam bahasa Jawa

Baru.17 Th Pigeaud menyebut periode itu sebagai masa

“renaissance kesusastraan Jawa Klasik”, yaitu masa penghidupan

kembali kesusastraan Jawa Kuna.18

Dalam periode yang berlangsung selama kurang lebih 125

tahun itu, banyak karya sastra Jawa dihasilkan. Selain karena

keindahan bahasanya, karya sastra itu dijunjung tinggi oleh

16Paku Buwana IV, Serat Wulang Reh. Garapan Darusuprapto


(Surabaya: C.V. Citra Jaya, 1985).

17Sebagai contoh penggubahan karya sastra Jawa Kuna


Arjunawiwaha, Arjunawijaya, Bharata Yuddha, dan Ramayana
menjadi Serat Wiwaha Jarwa, Serat Bratayuda, Serat Lokapala,
Serat Arjuna Sasrabahu, dan Serat Rama Jarwa. Poerbatjaraka
dan Tardjan Hadiwidjaja, Kepustakaan Djawa (Jakarta:
Djambatan, 1957), hlm. 150-157.

18Th. Pigeaud, Literature of Java I (The Hague: Martinus


Nijhoff, 1967), hlm. 235.
53

masyarakat Jawa karena sifatnya yang didaktis dan religius. Maka

dari itu, tidak mengherankan karya-karya yang diciptakan pada

periode tersebut juga dikenal sebagai sastra piwulang. Selain itu,

ada juga beberapa kesusastraan yang melambangkan pandangan

yang bersifat sinkretis, yaitu pandangan yang menunjukkan

adanya keterkaitan nilai-nilai budaya Jawa tradisional dengan

unsur-unsur agama Islam.19

Raja sebagai pemegang kekuasaan absolut juga bertindak

sebagai patron seni. Untuk mendukung kekuasaan dan

kewibawaan raja, pada masa pemerintahan raja-raja Surakarta

sejak Sunan Paku Buwana III sampai Sunan Paku Buwana X telah

diciptakan boneka-boneka wayang dan ditulis kepustakaan

tentang wayang.

Pada masa pemerintahan raja-raja Surakarta telah diciptakan

boneka-boneka wayang. Pada masa pemerintahan Sunan Paku

Buwana III telah dibuat sebanyak tiga kothak wayang kulit purwa

dengan babon (induk) dari Kyai Pramukanya (dibuat pada masa

Paku Buwana II) oleh penatah-penatah kenamaan keraton

Surakarta yang kemudian diberi nama Kyai Mangu (1753), Kyai

Kanyut (1771), dan Kyai Pramukanya Kadipatèn (1774).

Selanjutnya, pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana IV

19A. Sudewa, Serat Panitisastra (Yogyakarta: Duta Wacana


University Press, 1991), passim..
54

dibuat wayang kulit purwa dengan babon Kyai Mangu dan Kyai

Kanyut dengan beberapa perubahan ukuran (penjujudan) yang

diberi nama Kyai Jimat (1796) dan Kyai Kadung (1799). Selain

membuat wayang Kyai Jimat dan Kyai Kadung, Sunan Paku

Buwana IV juga membuat wayang gedhog dengan babon Kyai

Banjèd yang kemudian diberi nama Kyai Dewakatong (1803) dan

Wayang Rama yaitu wayang yang khusus untuk menyajikan

cerita Ramayana. Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana

V kesenian wayang sudah sangat umum dan tersebar luas ke

beberapa daerah di Jawa, sehingga setiap selesai pembuatan

wayang tidak diberi nama secara khusus. Namun demikian,

bukan berarti wayang sudah tidak mendapatkan perhatian.20

Manifestasi lain dari pertumbuhan kesusastraan Jawa adalah

penulisan garis besar jalan cerita wayang (lakon) dalam bentuk

prosa. Pada abad XIX ratusan pakem ditulis. Beberapa pakem

berisi lakon wayang secara rinci. Salah satu kepustakaan wayang

yang penting adalah Serat Sastramiruda. Serat Sastramiruda

ditulis oleh Kusumadilaga pada pertengahan abad XIX. Dari Serat

Sastramiruda dapat diketahui bahwa struktur drama lakon

20Sri Mulyono, Wayang: Asal-usul, Filsafat & Masa Depannya


(Jakarta: Penerbit Alda, 1975), hlm. 93-95; lihat juga S. Haryanto,
Pratiwimba Adhiluhung: Sejarah dan Perkembangan Wayang
(Jakarta: Penerbit Jambatan, 1988), hlm. 208-209.
55

wayang tidak banyak berbeda dari lakon wayang yang dikenal

pada abad XX.21

Pada masa itu di keraton juga diselenggarakan pertunjukan

wayang kulit purwa yang dibawakan oleh dhalang-dhalang

keraton. Namun demikian, informasi tentang bentuk pertunjukan

wayang kulit purwa sebelum pemerintahan Sunan Paku Buwana

X tidak dapat diketahui dengan pasti, karena tidak adanya

sumber-sumber yang memberikan informasi tentang hal tersebut.

Pada masa Sunan Paku Buwana X kehidupan seni

pertunjukan wayang kulit purwa semarak. Selama satu bulan

paling tidak terdapat empat kali pertunjukan wayang kulit purwa,

yaitu pada saat wiyosan dalem (Kemis Legèn), jumenengan dalem

(Kemis Wagèn), tuguran, dan malam Rabu dengan dhalang mulai

dari putra dalem (putra Sunan Paku Buwana X) sampai dengan

abdi dalem. Putra dalem yang tampil sebagai dhalang adalah

Pangèran Danuningrat, Pangèran Rajapura, Pangèran

Cakraningrat, Pangèran Kusumadiningrat, Pangèran Pakuningrat,

dan Pangèran Prabuwinata. Sementara para abdi dalem dhalang

21Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan


Musikal di Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 70.
56

antara lain Redisuta (panèwu), Lebdacarita (bekel), Wignyacarita

(lurah), Hawicarita (lurah), dan Madyacarita.22

Perhatian Sunan Paku Buwana X terhadap seni pertunjukan

wayang kulit purwa juga ditunjukkan dengan pendirian Pasinaon

Dhalang Surakarta (Padhasuka) pada 1923. Sekolah ini bertempat

di Museum Radya Pustaka yang terletak di Taman Sriwedari.

Pendirian sekolah dhalang ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan

terhadap mutu pertunjukan kebanyakan dhalang sebagai akibat

kurangnya pendidikan dan kemampuan dhalang untuk mengikuti

perkembangan masyarakat dalam pergelaran-pergelaran mereka,

sehingga daya tariknya terhadap kaum intelektual Jawa

menurun.23 Padhasuka diasuh oleh para guru dhalang, yaitu:

Dutadilaga, Yasawidagda, Hawicarita, Redisuta, Hagnyapustaka,

Dipawiyata, dan Atmatjendana.24

Padhasuka melakukan pembakuan pakeliran dengan

menyusun pakem pedhalangan.25 Pada 1923 Padhasuka

22Soetarno, Sarwanto, Sudarko, Sejarah Pedalangan


(Surakarta: ISI Press, 2007), hlm. 226.

23Victoria M. Clara van Groenendael, Dalang di Balik Wayang


(Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1987), hlm. 54.

24Soetarno, Sarwanto, Sudarko, op. cit., hlm. 225.

25Pakem pedhalangan adalah panduan teknis bagi calon


dhalang yang digunakan oleh keraton sebagai salah satu sarana
untuk melestarikan nilai-nilai estetis pedhalangan yang meliputi
57

menyusun pakem pedhalangan dengan lakon Irawan Rabi yang

ditulis oleh Reditanaya, dan pada 1935 ditulis oleh

Atmatjendana.26 Pembakuan yang dilakukan oleh Padhasuka

mencakup struktur adegan, gerak wayang (sabet), narasi dan

dialog (catur), dan iringan yang meliputi gendhing, nyanyian

dhalang (sulukan), dan dhodhogan/keprakan beserta konsep

estetisnya menurut ukuran pakeliran gaya keraton.27 Meskipun

pembakuan itu tidak selalu tepat untuk membeberkan seluruh

lakon yang ada dalam pakeliran, tetapi pada umumnya semua

dhalang berusaha mengikuti secara ketat. Akibat dari keketatan

mengikuti pembakuan ini perhatian dhalang tidak lagi ditujukan

kepada isi lakon, tetapi menyesuaikan lakon dengan urutan

sabet, catur, iringan, dan lakon. Murtiyoso, dkk., “Pertumbuhan


dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang”. Laporan Penelitian
Kelompok Kerja Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta dengan
Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia,1998), hlm. 19.

26Soetarno, Sarwanto, Sudarko, op. cit., hlm. 225.

27Keratonsebagai pusat budaya memiliki bentuk-bentuk seni


yang adiluhung; bernilai estetik tinggi, halus, rumit, dan penuh
makna. Konsep estetis inilah yang menjadi barometer kualitas
pertunjukan wayang kulit purwa. Setidaknya ada dua buku yang
memuat konsep estetis pedhalangan gaya Kasunanan Surakarta,
yaitu Serat Sastramiruda tulisan Kusumadilaga dan Serat
Tuntunan Pedhalangan Tjaking Pakeliran Irawan Rabi tulisan
Najawirangka. Soetarno, Sunardi, Sudarsono, Estetika Pedalangan
(Surakarta: Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan CV Adji
Surakarta, 2007), hlm. 73-75.
58

adegan yang telah dibakukan itu.28 Pakem telah menjadi barang

sakral bagi sebagian besar dhalang yang merupakan pantangan

untuk diubah.

Berdasar pada standar yang telah ditentukan oleh

Padhasuka, menurut Najawirangka atau Atmatjendana terdapat

tiga bentuk sajian pertunjukan wayang kulit purwa, yaitu

wayangan daleman, wayangan pendhapan, dan wayangan

kebonan. Wayangan Daleman, yaitu pertunjukan wayang yang

teknik penyajiannya menurut gaya keraton dan mengutamakan

nilai estetis. Wayangan pendhapan, yaitu pertunjukan wayang

yang disajikan di luar tembok keraton untuk tontonan. Wayangan

kebonan, yaitu pertunjukan wayang yang penyajiannya tidak

menggunakan konsep estetis yang berlaku di keraton dan

pakeliran-nya dianggap acak-acakan.29

Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X juga

terdapat kriteria pakeliran seperti yang tersurat dalam tembang

Mijil sebagai berikut.

28Soedarko, Pakeliran Padat: Pembentukan dan Penyebaran


(Surakarta: Citra Etnika, 2003), hlm. 18-22.
29
Soetarno, Sarwanto, Sudarko, op. cit., hlm. 226.
59

Jenengé dhalang yekti,


Kudu wruh lelakon,
Ora mung leluconé waé,
Sabet crita tutur tur nggendhingi,
Yen isiné sepi,
Sepen sepa samun.

Tembang Mijil di atas menjelaskan bahwa seorang dhalang dalam

mementaskan wayang kulit purwa harus memahami repertoar

lakon, pandai membuat humor, menguasai musik (gendhing

pakeliran), mempunyai ketrampilan sabet, dan pandai bertutur.

Namun demikian, apabila esensi cerita (isi lakon) tidak ditemukan

dalam pertunjukan wayang, maka sajiannya akan terasa hambar,

tidak ada apa-apanya. Artinya sang dhalang tidak menyampaikan

pesan yang berupa nilai-nilai.30

Pembukaan sekolah dhalang pada 1923 mengakibatkan

adanya perubahan dalam pendidikan dhalang; dari sistem

nyantrik ke sistem sekolah atau kursus. Ada beberapa alasan para

dhalang memutuskan untuk mengikuti kursus atau sekolah

dhalang guna mematangkan keahlian mereka. Pertama, dhalang

mendapat perintah dari keraton. Sabda Pandhita Ratu atau Sabda

Brahmana Raja (ucapan sang raja pendeta/brahmana) masih

mempunyai daya kekuatan yang besar, lebih-lebih yang

memerintahkan adalah Sunan Paku Buwana X, seorang raja besar

30Ibid., hlm. 249-250.


60

dan bijaksana, yang oleh karenanya dikenal dengan sebutan

Sunan Wicaksana. Kedua, adanya rasa ingin tahu dan harapan di

antara para dhalang, bahwa dengan memasuki sekolah dhalang di

keraton berarti merintis jalan bagi keberhasilan mereka di masa

depan. Ketiga, dhalang ingin agar dirinya tidak dianggap sebagai

dhalang ndésa yang terbelakang dan tidak menyesuaikan diri;

sebutan yang digunakan sebagai sebuah pelecehan. Pujosumarto

(lahir 1903, meninggal 1978) dari Kuwasa Klaten mengatakan

bahwa tidak banyak kegunaan mengikuti sekolah Padhasuka,

karena pada saat itu ia sudah menjadi dhalang yang terkenal dan

sering mendapatkan tanggapan. Akan tetapi, karena ia mendengar

kabar bahwa seorang temannya sesama dhalang désa telah

melecehkan kemampuan dirinya untuk dapat mengikuti sekolah

dhalang, maka ia memutuskan untuk masuk ke sekolah dhalang

pula.31

Banyak dhalang ndésa merasa enggan untuk masuk sekolah

dhalang keraton. Hal ini sering berhubungan dengan perasaan

takut yang ditimbulkan oleh segala hal yang bersangkut paut

dengan keraton dan adanya perasaan rendah diri pada setiap

pribadi mereka. Seorang dhalang tua mengatakan, bahwa orang

desa itu tidak mengenal tata cara keraton (“wong désa kuwi ora

31van Groenendael, op. cit., hlm. 60.


61

ngerti unggah-ungguh keraton”). Selain itu, pada 1920-an dan

1930-an bagi mereka masih sangat susah untuk pergi ke kota

beberapa kali dalam satu bulan. Hal ini karena keberadaan

kendaraan umum yang masih sangat sedikit dan ongkos yang

diperlukan biasanya terlalu mahal bagi mereka. Beberapa orang

berangkat ke sekolah dhalang dengan bersepeda, tetapi

kebanyakan berjalan kaki.32

Raja-raja Surakarta juga banyak memberikan perhatian pada

bidang seni tari. Para raja menjadi patron bagi penciptaan tari-tari

di dalam keraton. Dari Serat Wedhapradangga dapat diketahui

bahwa pada masa raja-raja Surakarta diciptakan berbagai

komposisi tari. Sejak Sunan Paku Buwana III sampai dengan

Sunan Paku Buwana X telah diciptakan puluhan tari dari berbagai

jenis.33 Berdasar pada gender, tari Kasunanan Surakarta dapat

dikelompokkan ke dalam beksan kakung (tari putra) dan beksan

putri (tari putri). Berdasar pada kualitas, tari Kasunanan

Surakarta dibagi menjadi tiga macam kualitas tari, yaitu gagahan

(tari putra gagah), alusan (tari putra halus), dan putren (tari putri).

Sementara itu, berdasar pada jenisnya, tari Kasunanan Surakarta

32Ibid., hlm. 60-61.

33Pradjapangrawit,
Serat Sujarah Utawi Riwayating Gamelan
Wedhapradangga (Serat Saking Gotek) Jilid I-VI (Surakarta-
Jakarta: STSI Surakarta dan The Ford Foundation, 1990).
62

dapat dikategorikan ke dalam beberapa kelompok antara lain

bedhaya, srimpi, wirèng, pethilan, wirèng pethilan, dan wayang

wong.34 Beberapa contoh dari jenis-jenis tersebut adalah Bedhaya

Pangkur, Bedhaya Duradasih, Bedhala Ela-ela, Srimpi Sangupati,

Srimpi Anglir Mendhung, Srimpi Ludira Madu, Wirèng Dhadhap

Kareta (Dhahap Kasepuhan), Wirèng Gelas Alit, Wirèng

Antrakusuma, dan Wirèng Jemparing Arjunawijaya.

Tari gaya Kasunanan Surakarta telah mengalami

perkembangan sejarah yang panjang. Oleh karena itu, dalam

penyajiannya juga telah ditentukan konsep-konsep estetisnya.

Untuk dasar gerak telah ditentukan waton yang merupakan

peraturan yang harus diperhatikan dan ditaati. Waton ini

merupakan ukuran „benar‟ atau „salah‟ dalam tari gaya

Surakarta.35 Konsep yang lain adalah wiraga, wirama, dan

wirasa36 yang dijabarkan ke dalam konsep Hasta Sawanda yang

34Nanik Sri Prihartini, dkk., Joged Tradisi Gaya Kasunanan


Surakarta (Surakarta: ISI Press, 2007), hlm. 5-6; lihat juga Clara
Brakel-Papenhuyzen, Classical Javanese Dance (Leiden: KITLV
Press, 1995), hlm. 24 dan 53.

35Sri Rochana, Sejarah Tari Gambyong: Seni Rakyat Menuju


Istana (Surakarta: Citra Etnika, 2004), hlm. 111.

36Wiraga adalah gerak tubuh yang dilakukan penari; wirama


adalah kesesuaian gerak penari dengan iringan tari; dan wirasa
adalah penjiwaan atau penghayatan penari terhadap tarian.
63

meliputi pacak,37 pancat,38 ulat,39 lulut,40 luwes,41 wilet,42

wirama,43 dan gendhing44 yang merupakan cara untuk

melaksanakan tari (panindaking beksa).45 Wiraga meliputi pacak,

pancat, luwes; wirama melipuiti irama dan gendhing; dan wirasa

meliputi ulat-lulut, dan wilet.46 Sementara itu, konsep yang

merujuk pada bentuk atau pola, kualitas, karakter, dan vokabuler

tertentu telah dituliskan dalam Serat Kridhawayangga.47

37Penampilanfisik penari yang mencakup sikap dasar, posisi


tubuh, posisi lengan, tangan, dan kepala.

38Gerak peralihan yang diperhitungkan secara matang.

39Pandanganmata dan ekspresi wajah yang sesuai dengan


kualitas, karakter peran yang dibawakan, dan suasana yang
diinginkan.

40Gerak yang menyatu atau melekat dengan penarinya.

41Kualitas
gerak yang sesuai dengan bentuk dan karakter tari
yang dibawakan.

42Garap
variasi gerak yang dikembangkan berdasar
kemampuan penarinya.

43Kesesuaian antara gerak dengan iringan tari.

44Penguasaan penari terhadap iringan tari.

45Prihartini, dkk., op. cit., hlm. 45; dan Rochana, ibid., hlm.
123.

46Prihartini, dkk., ibid., hlm. 46 dan 47.

47Rochana, op. cit., hlm. 111; Brakel-Papenhuyzen, op. cit.,


hlm. 53.
64

Seni karawitan juga menjadi perhatian dari raja-raja

Surakarta. Perhatian mereka terhadap karawitan ditunjukkan

dengan pembuatan berbagai perangkat gamelan dan penciptaan

gendhing-gendhing oleh para empu gamelan dan empu karawitan

keraton di bawah patronage raja. Berdasar informasi yang terdapat

dalam Serat Wedhapradangga yang penyusunannya didasarkan

pada tradisi dan sejarah lisan, dapat diketahui bahwa sejak

pemerintahan Sunan Paku Buwana III sampai dengan Sunan Paku

Buwana X telah dibuat berbagai jenis perangkat gamelan seperti

gamelan pakurmatan48 (sekatèn, kodhok ngorèk, monggang,

carabalèn) dan gamelan ageng, serta ratusan gendhing dalam

berbagai struktur (gendhing ageng, ladrang, ketawang, dan lain-

lain) dan garap (pakurmatan, klenèngan, beksan, dan pakeliran).49

Pembuatan gamelan dan penciptaan gendhing itu untuk

mendukung berbagai kegiatan di dalam keraton yang melibatkan

seni karawitan sebagai sarana pendukungnya. Dalam Serat Sri

Karongron dapat diketahui puluhan gendhing diciptakan untuk

48Seperangkat peralatan musik Jawa yang berfungsi untuk


mengiringi upacara di keraton.

49Pradjapangrawit, passim.
65

berbagai kepentingan, yaitu penghormatan, prosesi (arak-arakan),

kondhisi (toast), klenèngan, dan gendhing beksan.50

Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X juga ditulis

paling tidak lima buah buku tentang tuntunan belajar gamelan

Jawa dan tembang. Dari tahun 1935 sampai 1939 musisi keraton

Surakarta Wirawiyaga menulis buku tuntutan belajar gamelan

Jawa dan tembang, berjudul Serat Lagu Jawi (1935, 1936, 1937).

Pada 1939 Wignyabongsapatra menulis jilid ke-4 dan Wirawiyaga

menulis satu buku lagi berjudul Serat Mardu Swara (Buku Sari

Suara). Karya Wirawiyaga dan Wignyabongsapatra ini berisi notasi

tembang dan gendhing.51

Perkembangan karawitan di Kasunanan juga telah mengalami

perjalanan sejarah yang panjang. Oleh karena itu, tidak

mengherankan apabila Kasunanan memiliki peranan yang besar

dalam menentukan cara ber-karawitan, baik yang menyangkut

cara bermain, isi (pesan) karawitan yang disampaikan baik lewat

cakepan (lirik) maupun yang tersirat melalui cara menabuh,

50Sri Karongron Jilid 1-3, alih aksara oleh Moelyono


Sastronaryatmo (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1981); bandingkan dengan Rustopo, “Keberadaan
Karawitan di Keraton Surakarta pada Masa Pemerintahan Paku
Buwana X”, dalam Waridi, ed., Kehidupan Karawitan pada Masa
Pemerintahan Paku Buwana X, Mangkunagara IV, dan Informasi
Oral (Surakarta: ISI Press, 2007).

51Sumarsam, op. cit., hlm. 216.


66

sindhèn atau vokal, dan idiom garap. Kasunanan juga berperan

dalam penentuan tata krama para seniman dan penikmatnya

dalam bermain dan menikmati karawitan. Sebagaimana telah

banyak disinggung oleh para etnomusikolog bahwa karawitan gaya

keraton adalah kompleks, rumit, halus yang oleh sebagian

masyarakat Jawa dianggap sebagai seni adiluhung atau seni yang

ngrawit atau halus. Aturan tata krama yang ketat dan adanya

stratifikasi kelas sosial, sangat besar pengaruhnya dalam

karawitan. Hal ini tersirat pada cara menabuh, penggarapan

gendhing yang rumit, dan struktur gendhing dengan strata yang

berlapis.52

Selain kesusastraan dan seni pertunjukan, Kasunanan juga

mengembangkan upacara dan etiket yang mengalami

perkembangan yang rumit pada masa Sunan Paku Buwana X.

Menurut Darsiti Suratman, secara garis besar upacara di

Kasunanan dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu

upacara yang bersifat interen dan upacara yang dihadiri oleh

pemerintah kolonial di Surakarta. Upacara yang termasuk dalam

kategori pertama adalah upacara makan siang dan malam bagi

raja dan keluarganya, menghadap raja pada hari Senin dan Kamis,

52Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan II: Garap


(Surakarta: ISI Press, 2007), hlm. 187.
67

ulang tahun raja, ulang tahun pawukon raja53, ulang tahun

permaisuri raja, slametan mahésalawung,54 ngabektèn,55 dan

pemujaan terhadap kekuatan alam. Sementara itu, upacara yang

termasuk ke dalam kategori kedua adalah garebeg, penobatan

raja, ulang tahun penobatan raja, respon terhadap peristiwa

penting sepanjang daur hidup yang menyangkut diri raja dan

keluarganya, rampogan,56 tedhak loji57 dan jéndralan.58 Seluruh

upacara itu telah ditentukan pola-pola tingkah laku, bahasa, dan

kostumnya.59

53Ulang tahun pawukon raja adalah ulang tahun berdasar


pada tanggal dan wuku ketika raja dilahirkan.

54Slametan mahésalawung adalah selamatan yang


diselenggarakan oleh Keraton Surakarta sebagai persembahan
kepada Bathari Durga bertempat di Krendhawahana guna
keselamatan penduduk.

55Ngabektèn adalah suatu tradisi pernyataan berbakti kepada


oang tua, raja atau ratu, dan atasannya dalam rangkaian upacara
garebeg puasa.

56Rampogan adalah permainan berburu harimau.

57Tedhak loji berarti raja memenuhi undangan resmi


berkunjung ke rumah residen Surakarta.

58Jéndralan adalah upacara menjemput dan melepas


gubernur jenderal ketika mengadakan kunjungan resmi ke
Surakarta.

59Darsiti Suratman, op. cit., hlm. 125-126.


68

2. Mangkunagaran

a. Kesusastraan

Berbeda dari keraton Surakarta yang merupakan sentra kegiatan

kesusastraan Jawa pada abad XVIII dan XIX, Mangkunagaran

sama sekali tidak menunjukkan kondisi seperti itu sejak

pemerintahan Mangkunagara I sampai dengan Mangkunagara III.

Pada waktu itu, di Mangkunagaran dapat dikatakan tidak

dihasilkan karya-karya kesusastraan yang adiluhung. Hal ini

karena Mangkunagaran merupakan “kerajaan” baru yang belum

memiliki tradisi kesusastraan.60 Namun demikian, bukan berarti

di Mangkunagaran belum dihasilkan karya sastra, karena pada

saat itu telah mulai dilakukan penulisan buku sastra, Al-Quran,

turutan dalam huruf Arab dan Jawa, serta pembuatan aneka

macam jimat dengan memakai kaligrafi Arab. Hasil karya sastra

terpenting yang dihasilkan pada masa Mangkunagara I adalah

60Pada masa pemerintahan Mangkunagara I perhatian masih


dicurahkan pada perjuangan untuk menegakkan hegemoni dan
pembangunan fisik Mangkunagaran. Pada masa pemerintahan
Mangkunagara II tidak ada kegiatan dalam bidang kesusastraan
karena adanya pemerintahan sisipan Inggris dan Perang Jawa
yang juga melibatkan Legiun Mangkunagaran. Soebardi, “Mangku
Nagara IV: Mistik Islam dalam Karya-karyanya”, Budaja Djaja, No.
71, 1974, hlm. 180. Pada masa Mangkunagara III perhatian
diberikan untuk membangun administrasi pemerintahan menurut
tatanan sebuah kerajaan (kados adeging praja sejati) Pringgadigda,
Dhoemadhos saha Ngrembakanipun Pradja Mangkoenagaran
(Mangkoenagaran,1939), hlm. 27.
69

Babad Lalampahan dan Babad Tutur yang ditulis oleh carik wanita

yang sekaligus sebagai prajurit wanita. 61

Perkembangan kesusastraan di Mangkunagaran terjadi pada

masa pemerintahan Mangkunagara IV. Menurut Pigeaud, dalam

kapasitasnya sebagai pujangga – karier Mangkunagara IV dapat

dibagi dalam tiga periode, yaitu: periode 1842-1856, periode 1856-

1871, dan periode 1871-1881. Dalam periode pertama dan ketiga,

Mangkunagara IV menghasilkan karya-karya yang berbentuk

tembang yang bersifat deskriptif. Isinya merupakan gambaran dan

kesan yang diperoleh dalam perjalanannya ke daerah-daerah

selama meniti karier kemiliteran dan pemerintahan. Dalam periode

ketiga, ia juga menulis tembang-tembang untuk menyambut

kedatangan tamu agung. Sementara itu, dalam periode kedua,

Mangkunagara IV menghasilkan tembang-tembang yang berisi

tentang ajaran-ajaran yang berifat etis yang lazim disebut dengan

serat-serat piwulang. Karya-karya itu membicarakan tentang

akhlak, sopan-santun, hubungan kerja antara raja dengan

rakyatnya, hubungan kaum muda dengan keluarganya, nasihat

kepada narapraja, prajurit, dan rakyat Mangkunagaran.62

61Zainuddin
Fananie, Restrukturisasi Budaya Jawa: Perspektif
KGPAA MN I (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005),
hlm. 238.

62Th. Pigeaud, “Pangeran Adipati Arja Mangkoenagara IV als


Dichter”, dalam Djawa (1927), hlm. 242.
70

Berdasar penerbitan Padmasusastra dan Pigeaud, serta

tulisan Rinkes63 dapat diketahui bahwa hasil karya Mangkunagara

IV tidak kurang dari 80 buah. Berdasar isinya, karya-karya itu

dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu: serat babad,

berisi riwayat atau sejarah; serat piwulang, berisi nasihat dan

pelajaran; serat iber, berisi petunjuk tentang pelaksanaan

pemerintahan dan nasihat yang berkaitan dengan kehidupan;

serat panembrama, berisi nyanyian untuk penyambutan tamu;

serat rerepèn dan serat manuhara berisi pepatah, teka-teki dan

percintaan dengan bahasa yang cukup sopan.64

Mangkunagara IV telah membangun sebuah monumen yang

besar, tidak berupa bangunan yang akan lapuk dimakan usia,

tetapi sebuah semangat dan aliran yang tidak akan hilang

sepanjang masa. Sehubungan dengan hal itu, Drewes

mengatakan, bahwa jika Ranggawarsita disebut sebagai pujangga

penutup dari Kasunanan Surakarta, maka Mangkunagara IV

63Ki Padmasusastra, Dwija Iswara (Surakarta: Albert Rusche


& Co di Surakarta, 1898); Th. Pigeaud, Serat-serat Anggitan Dalem
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara IV
(Surakarta: Java Instituut, 1927-1934); dan D.A. Rinkes, “Bij
Portret van Prins Mangkoenagara IV met een Lijst van Zijn
Nagelaten Werken”, dalam Notulen Bataviaasch Genootschap 57,
bijlage VII, (1919).

64Lihat juga Moh. Ardani, Al Qur’an dan Sufisme


Mangkunagara IV: Studi Serat-serat Piwulang (Yogyakarta: Dana
Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 28.
71

adalah seorang pujangga terakhir dari periode “renaissance

kesusastraan Jawa klasik”.65

Dalam kedudukannya sebagai pengayom sastra Jawa,

Mangkunagara IV pernah memberikan bantuan keuangan kepada

Ranggawarsita untuk melakukan kegiatan penulisan, sehingga

dapat berkonsentrasi penuh dalam kegiatan kesusastraan.66

Besarnya perhatian Mangkunagara IV dalam pengembangan

kesusastraan Jawa ditunjukkan pula dengan kedudukannya

dalam Dewan Bahasa di Surakarta. Ia menjadi ketua pada

lembaga itu yang anggotanya terdiri atas Ranggawarsita,

Wiryakusuma, dan Jayasarosa.67 Menurut Drewes, ia bersama

dengan Ranggawarsita dan Kusumadilaga, keduanya dari

Kasunanan Surakarta pada masa pemerintahan Sunan Paku

Buwana IX, serta C.F. Winter Sr. dan A.E. Cohen Stuart

merupakan lima sekawan tokoh sastra Jawa pada zamannya.68

65G.J.W.
Drewes, “Ranggawarsita the Pustaka Raja Madya and
Wayang Madya”, dalam Orient Extremus (1974), hlm. 199.

66Rinkes, op. cit., hlm. 181.

67D.A. Rinkes, “De Mangkoenegaran”, Djawa 4


Mangkoenegaran Nummer (1924), hlm. 15.

68Ibid..
72

b. Tari

Sejak pemerintahan Mangkunagara I seni tari telah menjadi

bagian dari kehidupan istana Mangkunagaran. Sebagai bukti, ia

berkenan untuk memberikan pelajaran dan pelatihan kepada para

penari.69 Tarian perang-perangan dengan menggunakan tombak,

keris, tameng, panah dan busurnya yang kemudian disebut

wirèng, merupakan salah satu jenis tarian yang menonjol dan

merupakan bagian yang penting dalam hiburan istana.70 Beberapa

tari yang disusun pada masa pemerintahan Mangkunagara I

antara lain Bedhaya Mataram-Senapatèn Anglirmendhung,

Bedhaya Mataram-Senapatèn Diradameta, Bedhaya Mataram

Sénapatèn Sukapratama, Srimpi, Tayub atau Talèdhèkan, Tari

Perang Kembang, Tari Prajurit Putri, Tari Sodhoran, Tari

Watangan, dan Tari Remeng Mataram.71

Mangkunagara IV sebagai penerus dinasti Mangkunagaran

yang harus melestarikan tradisi juga memiliki perhatian dalam

69Ann Kumar, Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal


Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18, terjemahan Mikael
Johani (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 18.

70Claire Holt, “The Development of the Art of Dancing in the


Mangkunaragan, dalam Het Triwindoe-gedenkboek Mangkoe
Nagoro VII (1939), hlm. 251-252.

71Fananie,op. cit., hlm. 238; lihat juga Wahyu Santosa


Prabowo, dkk., Sejarah Tari: Jejak Langkah Tari di Pura
Mangkunagaran (Surakarta: ISI Press, 2007), hlm. 33.
73

pengembangan seni tari di Mangkunagaran. Ia memiliki perhatian

yang lebih besar apabila dibandingkan dengan para

pendahulunya. Hal ini tampak pada gagasan, inisiatif, dan

aktivitas-aktivitasnya dalam pengembangan seni tari, mulai dari

pelatihan, penciptaan, sampai dengan pergelarannya.

Mangkunagara IV menghendaki gadis-gadis dilatih menari

topèng. Selain itu, ia juga mengambil inisiatif untuk mengadakan

latihan tari yang disebut dengan tayungan,72 untuk meningkatkan

kualitas para penari putra.73 Pelatihan tayungan yang

diselenggarakan di sebelah timur pendapa Mangkunagaran pada

setiap Selasa sore diikuti oleh para abdi Rangga Jayèngan, putra

dan kerabat Mangkunagara IV, serta serombongan siswa, yang

seluruhnya berjumlah 100 sampai dengan 150 orang.74

Tandhakusuma diberi kepercayaan untuk menangani kegiatan-

kegiatan latihan tari itu. Ia adalah seniman tari yang memiliki

kemampuan yang tinggi (empu) dalam menciptakan tarian dan

72Tarian sederhana yang berisi sikap dan gerak tari yang


paling penting dan mendasar. Tari ini hanya terdiri atas dua
ragam gerak, yaitu ukel nayung, andhaplang, dan tanjak.

73Clara Brakel-Papenhuyzen, Seni Tari Jawa: Tradisi


Surakarta dan Peristilahannya, terjemahan Nursabyo (Jakarta:
ILDEP-RUL, 1991), hlm. 179.

74Ibid., hlm. 316-317.


74

menuliskan notasinya dalam bentuk puisi Jawa (tembang).75 Oleh

karena kemampuannya itu, di kemudian hari dalam dunia seni

tari Jawa, gaya tarinya dikenal dengan gaya Tandhakusuman.

Mangkunagara IV juga mengembangkan tari wirèng dan

pethilan. Tari wirèng menggambarkan peperangan antara dua,

empat, delapan atau lebih penari laki-laki yang semuanya

mengenakan busana perang dan persenjataan yang sama.

Pertunjukan wirèng tampak menjadi lebih hidup dibandingkan

sebelumnya setelah dilakukan beberapa perubahan. Ia juga

mengembangkan pethilan, yaitu tarian perang antara dua prajurit

yang menggambarkan para pahlawan dari cerita wayang. Busana

yang dikenakan sesuai dengan tokoh wayang yang diperankan.76

Beberapa contoh tari wirèng dan pethilan adalah Bandayuda,

Palguna-Palgunadi, Karna Tinandhing, Arjuna Keratapura, dan lain-

lain.77 Pengembangan tarian keprajuritan ini tidak dapat

75ClaraBrakel-Papenhuyzen, ”Of Sastra, Penget and Pratelan:


The Development of Javanese Dance Notation”, dalam Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde van het Koninklijk Instituut (BKI),
Deel 148 1 e Aflevering, (1992), hlm. 10-11.

76Brakel-Papenhuyzen (1991), op. cit., hlm. 52-53.

77“IyasanDalem Wireng”, M.N. 1361, Transliterasi Naskah


Reksa Pustaka Mangkunagaran Surakarta No. G 2 melalui
Dhanang Respati Puguh, “Pemikiran K.G.P.A.A. Mangkunagara IV
tentang Ketataprajaan (1856-1871)” (Tesis Sarjana S-2 Jurusan
Ilmu-ilmu Humaniora Program Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, 2000), hlm. 50.
75

dilepaskan dari pribadi Mangkunagara IV yang memiliki jiwa

keprajuritan dan sekaligus untuk menghormati sikap kesatriaan,

kejuangan, dan kepahlawanan Raden Mas Said sebagai pendiri

dinasti Mangkunagaran.

Perkembangan langendriyan di Mangkunagaran juga tidak

dapat dilepaskan dari peranan Mangkunagara IV. Langendriyan

yang diciptakan oleh Tandhakusuma, pada mulanya merupakan

suatu bentuk kesenian yang dibuat di luar tembok istana

Mangkunagaran atas inisiatif Von Gottlieb, seorang pengusaha

batik berkebangsaan Jerman di Surakarta sebagai persembahan

kepada Mangkunagara IV. Sajian langendriyan yang diperagakan

oleh para pekerja batik wanita itu berhasil memukau

Mangkunagara IV. Ia kemudian berkeinginan untuk

mengembangkannya menjadi kesenian istana.78 Sebagai

realisasinya, dengan melibatkan Tandhakusuma dan dibantu oleh

beberapa tokoh lainnya, yaitu: Ranggawarsita, Wiryakusuma, dan

Jayasarosa, akhirnya ia berhasil menjadikan langendriyan sebagai

kesenian istana.79

Pada masa pemerintahan Mangkunagara IV langendriyan

menandai sebuah perkembangan yang menarik dalam bidang

78Drewes,
op. cit., hlm. 208; “Langendrijan” dalam Relung
Pustaka, (1970), hlm. 43 melalui Puguh, ibid., hlm. 51.

79Rinkes, (1919), op. cit., hlm.181.


76

drama. Teksnya berbentuk tembang menceritakan kepahlawanan

tokoh Damarwulan di Kerajaan Majapahit. Baik peran pria

maupun wanita dilakukan oleh penari-penari putri

Mangkunagaran, yang juga harus pandai menyajikan tembang.

Langendriyan dengan komposisi gendhing dan tembang yang

digunakan untuk mengiringinya menjadi daya tarik bagi para

penari wanita untuk mempelajari tarian laki-laki dengan busana

laki-laki. Langendriyan kemudian menjadi hiburan favorit di

Mangkunagaran.80

Tari-tarian dan drama yang telah dikembangkan berdasar

gagasan dan inisiatif Mangkunagara IV itu sering dipentaskan

dalam puncak acara suatu pesta dan resepsi di Mangkunagaran.

Adanya fasilitas yang mencukupi mengakibatkan pertunjukan itu

dapat diselenggarakan dengan sempurna.

Pertunjukan tari yang berkembang pada masa Mangkunagara

IV, terus berlanjut pada masa berikutnya. Mangkunagara V (lahir

1885, memerintah 1881-1896) juga mengadakan pertunjukan tari

yang mencakup bedhaya, srimpi, tayub, wirèng, dan langendriyan.

Bedhaya Anglirmendhung yang pada masa Mangkunagara II (lahir

1768, memerintah 1796-1835) dan Mangkunagara III (lahir 1803,

memerintah 1835-1853) kurang mendapatkan perhatian, pada

80Holt, op. cit., hlm. 253.


77

masa Mangkunagara V diangkat kembali dan dijadikan pusaka.

Dengan dibantu oleh pakar tari dan karawitan, Mangkunagara V

berkenan menata tari yang serupa dengan srimpi, yaitu Beksan

Mandrakusuma, Mandrasmara, dan Mandrarini. Sejak pembuatan

komposisi ini tari srimpi di Mangkunagaran mengalami

perkembangan dengan baik.81

Tari wireng mengalami perkembangan yang pesat dan

bervariasi. Mangkunagara V telah berinisiatif untuk melakukan

perubahan-perubahan cukup radikal. Pembaharuan dan

perubahan itu meliputi busana dan perlengkapan, tema cerita,

dan gendhing. Pada masa sebelumnya penyajian tari wireng

mengenakan busana kembar, pada masa Mangkunagara V

diadakan pembedaan busana. Perlengkapan senjata yang berupa

dhadhap tidak lagi digunakan. Dalam hal tema cerita dimasukkan

tema-tema wayang purwa, seperti Wirèng Wirapratama, Wirèng

Mandraasmara, Wirèng Werkudara Baladéwa, Wirèng Srikandhi

Larasasati. Perubahan-perubahan gendhing dilakukan atas

bantuan Tandhakusuma. Apabila pada masa sebelumnya

pertunjukan wirèng diiringi dengan gendhing-gendhing dengan

81Prabowo, dkk., op. cit., hlm. 94.


78

laras sléndro, pada masa Mangkunagara V diperkenalkan

gendhing-gendhing dengan laras pélog.82

Langendriyan mengalami perkembangan pesat pada masa

Mangkunagara V, karena dilakukan pembaharuan dan penataan

kembali oleh Tandhakusuma, yang mencakup jumlah penari, rias

busana, dan wujud sajian. Pada awalnya jumlah penari hanya tiga

orang, kemudian ditambah menjadi tujuh sampai 15 orang. Dalam

hal rias yang semula menggunakan pakaian kejawèn, menjadi rias

busana wayang kulit purwa. Dalam hal gerak terdapat

penambahan gerak-gerak tari.83

Kemegahan pergelaran seni pertunjukan pada masa

Mangkunagara V tidak terjadi pada masa pemerintahan

Mangkunagara VI, karena terjadi kemunduran dalam bidang

ekonomi yang sebenarnya telah terjadi pada pertengahan hingga

akhir kepemimpinan Mangkunagara V. Mangkunagara VI (lahir

1857, memerintah 1896-1916) berusaha untuk memulihkan

perekonomian Mangkunagaran dengan mengurangi atau bahkan

meniadakan pergelaran-pergelaran seni pertunjukan yang

memerlukan pembiayaan besar.84

82Ibid., hlm. 95-96.

83Ibid., hlm. 109.

84Ibid., hlm. 89.


79

Pada masa pemerintahan Mangkunagara VII tari

Mangkunagaran mengalami perkembangan, karena pada masa itu

tari-tari yang telah ada mengalami pembaharuan dan

penyempurnaan.

c. Pewayangan dan Pedhalangan

Seni pewayangan dan pedhalangan belum mendapat perhatian

dari pendiri dinasti Mangkunagaran. Cabang seni ini baru

mendapatkan perhatian pada masa pemerintahan Mangkunagara

IV. Sebagai patron kebudayaan Jawa yang giat dan kreatif,

Mangkunagara IV telah mengambil inisiatif untuk melestarikan

dan mengembangkan seni pewayangan dan pedhalangan, yaitu

dengan membuat boneka wayang, mengembangkan kepustakaan

wayang, dan mengadakan pergelaran.

Pada masa Mangkunagara IV paling tidak telah dilakukan

pembuatan boneka wayang sebanyak dua kali. Pada 1861

Mangkunagara IV memerintahkan untuk membuat wayang kulit

purwa dengan babon Kyai Kadung milik Kasunanan Surakarta.

Wanda-wanda85 wayang tetap dipertahankan, tetapi ukurannya

diperkecil. Pada 1864 pembuatan wayang itu dapat diselesaikan

dan diberi nama Kyai Sabet, karena sangat enak untuk

85Wanda
adalah bentuk muka boneka wayang yang
menggambarkan karakter dan suasana batin tokohnya.
80

dimainkan.86 Selain itu, Mangkunagara IV juga memerintahkan

untuk membuat boneka wayang yang dapat digunakan untuk

menyajikan cerita yang menghubungkan antara cerita wayang

purwa dengan wayang gedhog. Keinginan itu muncul setelah ia

menerima Serat Pustaka Raja Madya dan Serat Witaradya dari

Raden Ngabehi Ranggawarsita pada 1870 yang berkisah tentang

Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra dari Kerajaan

Mamenang.87

Setelah mendapatkan persetujuan dari Sunan Paku Buwana

IX, maka diperintahkan untuk membuat wayang yang bentuknya

berpedoman pada wayang purwa dan wayang gedhog. Bentuk

wayang itu dari bagian atas sampai bagian tengah masih

berwujud wayang purwa, tetapi dari bagian tengah ke bawah

berwujud wayang gedhog. Wayang yang diciptakan itu disebut

dengan wayang madya. Oleh karena itu, Mangkunagara IV

dianggap sebagai pencipta wayang madya.88 Menurut Sumanto,

wayang madya merupakan salah satu sarana untuk

86Sayid, Ringkasan Sejarah Wayang (Jakarta: Pradnya


Paramita, 1981), hlm. 31-33.

87S. Haryanto, Pratiwimba Adiluhung: Sejarah dan


Perkembangan Wayang (Jakarta: Djambatan, 1988), hlm. 95-97;
Sri Mulyono, Wayang Asal Usul, Filsafat & Masa Depannya
(Jakarta: Idayu, 1975), hlm. 164-166.

88Sayid, op. cit., hlm. 57.


81

mengukuhkan kedudukan Mangkunagara IV sebagai penguasa

tunggal Mangkunagaran.89

Mangkunagara IV merencanakan untuk mengumpulkan

sejumlah lakon yang dapat menghubungkan antara wayang

purwa dengan wayang gedhog guna mengembangkan

kepustakaan wayang. Tandhakusuma mendapatkan kepercayaan

untuk merealisasikan gagasan itu. Pada masa pemerintahannya

sejumlah lakon wayang madya telah ditulis.90

Wayang wong merupakan jenis seni yang tumbuh dan

berkembang di Mangkunagaran. Mangkunagara I dianggap

sebagai penciptanya. Wayang wong Mangkunagaran diduga

merupakan pengembangan lebih lanjut dari beksan wirèng dan

pethilan yang lebih dahulu berkembang di Mangkunagaran.91

Berbeda dari wayang wong Yogyakarta yang berfungsi sebagai

89Hal itu tampak apabila dilihat dari segi bahan, penataan


wayang simpingan, dan ceritanya. Sumanto, “Wayang Madya
Salah Satu Sarana Pengukuh Mangkunagara IV”, dalam Jurnal
Seni Pertunjukan Indonesia, Th. V/1994, hlm. 69.

90J.Kats, “Wayang Madya”, dalam Djawa, Mangkoenegaran


Nummer (1924), hlm. 42-43.

91Sidik Gondowarsito, “Peranan KGPAA Mangkunegara IV


dalam Pelestarian Wayang” (Makalah Sarasehan 125 Tahun Reksa
Pustaka Mangkunagaran Surakarta, 1992), hlm. 23.
82

ritual kenegaraan,92 wayang wong Mangkunagaran semata-mata

berfungsi sebagai hiburan. Pada masa pemerintahan

Mangkunagara IV pertunjukan ini dijadikan sebagai salah satu

atribut kebesaran istana. Penyelenggaraan pelatihan tari secara

rutin untuk meningkatkan kualitas para pemain pendukung

pertunjukan merupakan bukti adanya perhatian yang besar

terhadap kelangsungan hidup wayang wong di Mangkunagaran.93

Pergelaran wayang kulit purwa juga merupakan hiburan

favorit di kalangan Mangkunagaran. Seni pertunjukan ini sangat

disukai oleh Mangkunagara IV, bahkan ia berkenan untuk melatih

para dhalang.94 Ia juga tidak lupa untuk memberikan tembang

pujian kepada para dhalang setelah pergelaran usai95 sebagai

perwujudan dari kecintaan dan apresiasi terhadap seni

pewayangan, serta penghargaan kepada senimannya.

92Soedarsono, Wayang Wong The State Ritual Dance Drama in


Court of Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1990).

93Hersapandi, Wayang Wong Sriwedari: Dari Seni Istana


Menjadi Seni Komersial (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia,
1999), hlm. 5 dan 69.

94Holt, loc. cit..

95Lihat “Dhalang” dalam Serat-serat Anggitan Dalem Kangjeng


Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara IV, Jilid IV (Surakarta:
Java Instituut, 1934), hlm. 103-104.
83

Mangkunagara V yang mewarisi kemajuan ekonomi

Mangkunagaran pada masa pemerintahan Mangkunagara IV

senang sekali mengadakan pertunjukan wayang wong dan

wayang gedhog. Pertunjukan wayang wong mengalami perubahan

dan pembaharuan, yang meliputi penari, rias busana, lakon, dan

fungsi sajian. Dari segi penari, pemain wayang wong

dikelompokkan menjadi kelompok wayang wong sentana, wayang

wong abdi dalem, dan wayang wong wanita. Mangkunagara V

memasukkan unsur-unsur binatang dalam pertunjukan wayang

wong.96

Tata rias dan busana mengalami penyempurnaan yang sangat

signifikan. Bentuk atribut kepala dan perhiasan penari mencapai

perkembangan puncak, karena ada beberapa yang dibuat dari

emas. Tata rias dan busana tiap-tiap karakter tokoh disesuaikan

dengan karakter dalam wayang kulit purwa. Karakter gerak tari

untuk tokoh-tokoh wayang wong mulai diadakan pembakuan.

Repertoar lakon wayang wong juga mengalami perkembangan

yang sangat beragam baik lakon baku maupun lakon carangan.

Pergelaran wayang wong tidak hanya untuk kepentingan istana

saja, tetapi juga mulai dipertontonkan kepada masyarakat.97

96Prabowo, dkk., op. cit., hlm. 102-103.

97Ibid., hlm. 104-107.


84

Perhatian terhadap dunia wayang tetap dilanjutkan oleh

kepala dinasti Mangkunagaran. Pada 1931 Mangkunagara VII

membuka sekolah pedhalangan dengan nama Pasinaon Dhalang

Mangkunagaran. Menurut informasi R. Susena dan R. Sanyata

dari Mangkunagaran yang didukung oleh Suryabrata, kursus bagi

dhalang-dhalang di wilayah Mangkunagaran dibuka sebagai

tanggapan terhadap pendirian Padhasuka oleh Kasunanan

Surakarta.98

Pasinaon Dhalang Mangkunagaran menentukan konsep-

konsep pedhalangan gaya Mangkunagaran. Untuk kelancaran

penyelenggaraan kursus ditulis Pakem Wahyu Makhutarama

sebagai pegangan bagi para siswanya. Dalam tradisi seni

pedhalangan gaya Mangkunagaran dikenal adanya kriteria

pakeliran yang baik. Penyajian pakeliran wayang kulit purwa

dikatakan baik apabila seorang dhalang berpenampilan

gendhing,99 gendhung,100 gendheng,101 dan gandhang.102 Dengan

98van Goenendael, op. cit., hlm. 54.

99Gendhing; artinya seorang dhalang harus menguasai


gendhing pakeliran dan unsur-unsur pendukung pakeliran yang
meliputi sulukan (pathetan, ada-ada, sendhon); tembang (tembang
gedhé, tembang tengahan, tembang macapat, tembang dolanan);
gendhing pakeliran (berbentuk lancaran, srepeg, sampak, kemuda,
ketawang, ladrang, gendhing ageng, lelagon); dhodhogan dan
keprakan.

100Gendhung;artinya seorang dhalang yang percaya diri dapat


mengendalikan dan memimpin pergelaran wayang kulit purwa. Ia
85

penguasaan terhadap konsep-konsep itu, setiap ekspresi suasana

yang dituangkan dalam pakeliran dapat terasa mantap dan dapat

menimbulkan pengalaman estetis yang memuaskan.103

Para dhalang désa di wilayah Mangkunagaran sering atas

perintah pribadi Mangkunagara VII dipanggil oleh lurah desa agar

mengikuti kursus secara gratis. Sujarna dari Baturetno Wonogiri

menceritakan tentang pengalamannya melakukan perjalanan ke

Surakarta. Biaya transportasi pulang-pergi sebesar 60 sen dan

akomodasi selama dua hari dua malam di Surakarta diganti oleh

Mangkunagaran. Selama mengikuti kursus, ia dan teman-

temannya ditampung oleh Manjudiwirya salah seorang di antara

guru sekolah mereka.104

Mangkunagara VII juga menerbitkan Serat Pedalangan Ringgit

Purwa sebanyak 37 jilid yang terdiri atas 177 lakon pada 1931-

1936. Jilid I dan II menceritakan dewa-dewa (tujuh lakon), jilid III-

harus dapat membuat suasana pakeliran yang hidup sepanjang


pertunjukan, sehingga tidak tampak kendor (kendho, kemba).

101Gendheng; artinya dhalang yang mempunyai jati diri (adeg-


adeg) pergelarannya memiliki gaya dan kekhasan yang tidak
dimiliki oleh orang lain.

102Gandhang; artinya dhalang dalam pergelarannya dapat


menyampaikan isi lakon yang berupa nilai-nilai melalui unsur-
unsur pakeliran seperti catur, sabet, lakon, dan gendhing
pakeliran.

103Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko, op. cit., hlm. 250-251.

104van Groenendael, op. cit., hlm. 61.


86

XXXIV menceritakan siklus Mahabharata (147 lakon), dan jilid

XXXV-XXXVII menceritakan siklus Arjuna Sasrabahu dan

Ramayana (lima lakon siklus Arjuna Sasrabahu dan 18 lakon

siklus Ramayana). Menurut Sri Mulyono, lakon-lakon yang

terdapat dalam Serat Pedalangan Ringgit Purwa adalah lakon

carangan, namun dalam perkembangan menjadi lakon baku.105

d. Karawitan

Karawitan merupakan seni yang dipelihara eksistensinya di

Mangkunagaran sejak masa pemerintahan Mangkunagara I.

Menurut Serat Babad Mangkunagara I, walaupun dalam suasana

peperangan melawan Kumpeni, Raden Mas Said masih sempat

memainkan gamelan (klenèngan) di pesanggrahannya.106 Pada

masa pemerintahannya, di Mangkunagaran telah dikembangkan

tarian perang-perangan dan wayang wong, yang juga memerlukan

iringan gamelan untuk pementasannya.

105Mulyono, op. cit., hlm. 213; lihat juga T. Slamet Suparno,


Seni Pedalangan Gagrak Surakarta: Butir-butir Kearifan Lokal
sebagai Solusi Problimatik Mutakhir (Surakarta: ISI Press, 2007),
hlm. 153-156.

106T. Slamet Suparno, “Sejarah Pemunculan Karawitan


Mangkunegaran”, dalam Waridi ed., Kehidupan Karawitan pada
Masa Pemerintahan Paku Buwana X, Mangkunagara IV, dan
Informasi Oral (Surakarta: ISI Press, 2007), hlm. 23.
87

Cabang seni ini juga mendapatkan perhatian besar dari

Mangkunagara IV yang ditunjukkan dengan karya-karya gendhing-

khas Mangkunagaran ciptaannya yang mengutamakan vokal

sebagai tulang punggungnya. Kemunculan gendhing-gendhing

khas Mangkunagaran ini mendapatkan inspirasi dari sebuah

klenengan yang menyajikan gendhing Ladrang Pangkur Paripurna

Laras Sléndro Pathet Sanga ketika Mangkunagara IV bersarasehan

dengan Sunan Paku Buwana IX di Pesanggrahan Langenharja.

Gendhing itu menampilkan suara pria bersama (koor) dengan

irama metris seiring dengan melodi gendhing yang sekarang

disebut dengan gérong. Gendhing-gendhing khas Mangkunagaran

ini kemudian menjadi model bagi penciptaan gendhing yang

menggunakan gérong pada masa berikutnya.107 Gendhing-

gendhing itu telah memberikan sumbangan yang bernilai tinggi

dalam dunia seni karawitan.108 Selain itu, Mangkunagara IV juga

menyusun lima paket gendhing beksan.109

107Gendhing-gendhing itu adalah Ketawang Langen Gita,


Ketawang Rajaswala, Ketawang Walagita, Ketawang Puspanjala,
Ketawang Sitamardawa, Ketawang Puspagiwang, Ketawang
Puspawarna, Ketawang Tarupala, dan Ketawang Lebdasari.
108Suparno, op. cit., hlm. 56-60; Sri Hastanto, “Peranan
KGPAA. Mangkunagoro IV dalam Pengembangan Karawitan”
(Makalah Sarasehan 125 Tahun Reksa Pustaka, Surakarta, 1992),
hlm. 4-5.
109Kelima paket gendhing beksan itu untuk mengiringi Wirèng
Keratapura, Wirèng Wirun Tandhing, Wirèng Palgunadi, Wirèng
Arjunasasra, dan Beksan Jayèngsari. Suparno, ibid., hlm. 61.
88

Mangkunagara IV juga menyusun gendhing-gendhing

pakeliran untuk mengiringi pertunjukan wayang madya. Pada

masa pemerintahannya pergelaran wayang madya diawali dengan

gendhing-gendhing laras pélog pathet barang. Hal ini dilakukan

untuk membedakan dari pergelaran wayang kulit purwa yang

menggunakan gamelan laras sléndro dan wayang gedhog yang

menggunakan gamelan laras pélog. Dalam wayang gedhog

gendhing-gendhing laras pélog pathet barang juga digunakan,

tetapi hanya pada pukul 03.00 pagi pada masa penyelesaian

cerita. Sayang sekali, gendhing-gendhing pakeliran wayang madya

ini tidak terdokumentasi dengan baik setelah Mangkunagara IV

wafat dan para pangrawit-nya meninggal dunia.110

Perhatian Mangkunagara IV terhadap seni karawitan juga

ditunjukkan dengan penulisan buku. Pada 1870 di bawah

patronage Mangkunagara IV ditulis Serat Gulang Yarya (Buku

Kesenangan Belajar) oleh Tandhakusuma, empu tari dan

karawitan yang kemudian menjadi menantu Mangkunagara IV.

Naskah itu ditulis dalam bentuk tembang macapat dan berupa

percakapan antara abdi bernama Setu dengan tuannya Kyai

Gulang Yarya. Naskah ini membahas tentang gamelan dan seni

vokal Jawa yang agak lengkap seperti arti nada-nada gamelan

110J.
Kats, “Wayang Madya”, dalam Djawa, Mangkoenegaran
Nummer (1924), hlm. 42-43.
89

dengan menggunakan jarwa dhosok/ kerata basa dan dari segi

etimologi.111

Penulisan tentang karawitan ini terus dilanjutkan oleh ahli

seni di bawah patron Mangkunagara VII. Sebagai bukti, Raden

Bagus Soelardi112 menulis Serat Pradongga pada 1918. Buku ini

berisi keterangan-keterangan elementer seperti unsur-unsur dasar

gamelan, sejarah gamelan, dan hubungan antara gamelan dan

wayang atau tari. Dalam hubungan dengan tuntunan belajar

menabuh gamelan, buku ini memuat notasi gendhing-gendhing

dan tuntunan menggunakannya, serta notasi kendhangan

(kendhang setunggal).113

3. Luar Tembok Keraton

Cabang-cabang seni pertunjukan Jawa yang tumbuh dan

berkembang di Kasunanan dan Mangkunagaran juga berkembang

di luar tembok keraton, baik yang dilakukan oleh para pangèran,

abdi dalem, dan rakyat. Dalam periode 1914-1942 di luar tembok

keraton berkembang kegiatan klenèngan yang memiliki peranan

111Sumarsam, op. cit., hlm. 152-153.

112Ia
adalah pelukis dari Wonogiri. Berdasar keahlian sebagai
pelukis ia dibawa oleh Mangkunagara VII ke Mangkunagaran dan
kemudian diangkat sebagai pelukis, musisi gamelan, penyungging
wayang, dan guru bahasa Jawa.

113Sumarsam, op. cit., hlm. 202 dan 192-193.


90

dalam kehidupan karawitan Jawa gaya Surakarta, antara lain:

kegiatan klenèngan Pantisarèn di kediaman Patih Sasradiningrat

IV; Sarwakan di kediaman Patih Mangkunagaran, Sarwaka

Mangunkusuma; Muryararas di kediaman Pangèran Kusumayuda

(putra Sunan Paku Buwana X), Samakan di rumah pedagang kulit

Martadikrama; Kong Tong Hoo di gedung Kong Tong yang

disponsori orang-orang Tionghoa; dan klenèngan Ngèsthi Raras di

Kemlayan. Berbagai aktivitas klenèngan itu bertujuan bermacam-

macam, dari yang bersifat kreatif mengembangkan karawitan,

rekreatif atau hiburan, dan bahkan sekedar untuk mengiringi

orang mengisap candu.114

Di luar keraton dalam bidang karawitan sebenarnya terdapat

tradisi lain yang secara kualitas dan kuantitas tidak kalah dari

tradisi keraton. Ketika keraton masih memiliki kekuatan politik

dan kultural, tradisi di luar keraton tidak terekspos dan

mendapatkan tempat yang wajar. Tradisi di luar keraton yang

memiliki banyak jenis dan ragam dianggap sebagai tradisi yang

rendah. Istilah-istilah yang berkonotasi rendah seperti tradisi

ndésa (desa), lawas (lama), pesisiran (pantai), dan sebagainya

merupakan label yang dilekatkan pada tradisi di luar keraton oleh

114Lihat Waridi, Karawitan Jawa Masa Pemerintahan Paku


Buwana X: Perspektif Historis dan Teoretis (Surakarta: ISI Press,
2006), hlm. 208-256.
91

kalangan prokeraton. Karawitan di luar keraton dianggap sebagai

kesenian yang kasar, sederhana, ramai, dan sebagainya.115

Karawitan di luar keraton sebenarnya memiliki kekuatan

yang berbeda dan tidak kalah dengan yang berkembang di

keraton. Keduanya memiliki warna, kekuatan, karakter yang

berbeda yang saling melengkapi. Kenyataan menunjukkan, bahwa

banyak seniman keraton yang direkrut dari desa, sebagai contoh

beberapa pangrawit dan pesindhèn. Bahkan, kreativitas para

seniman desa justru sering mendahului seniman di keraton.

Inovasi garap kendhang ciblon, imbal bonang, penggunaan

pesindhèn pada pertunjukan wayang kulit purwa, dan sebagainya

merupakan beberapa contoh kreativitas seniman desa yang

mendahului seniman keraton. Mereka menjadi kreatif karena

harus mampu menggunakan sarana prasarana yang serba

terbatas untuk dapat memenuhi keperluan, kebutuhan, tuntutan,

dan selera masyarakat yang lebih banyak dan beragam.116

Karawitan pedesaan tumbuh dan berkembang dengan

ditukangi secara bersama-sama, dimainkan bersama, dan untuk

kepentingan bersama dalam konteks kehidupan pedesaan. Garap

115Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan I (Jakarta: Ford


Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2002),
hlm. 138.

116Ibid., 139.
92

karawitan mereka diwarnai oleh lingkungan tersebut yang dapat

dilihat pada penggunaan cakepan, tembang, sindhènan, gérongan,

senggakan, gaya bahasa, dan garapan instrumental yang

cenderung lebih sigrak (dinamis) dan ramai, karena keterlibatan

masyarakat yang banyak dalam suasana yang tidak formal.117

Seni pedhalangan gaya Surakarta juga diwarnai oleh ragam-

ragam tradisi pedhalangan yang berkembang di luar keraton.

Beberapa tradisi pedhalangan itu dapat disebut sebagai tradisi

pedhalangan pedesaan atau kerakyatan. Beberapa tradisi

pedhalangan itu antara lain tradisi Kartasuran, Klatènan,

Wonogirèn, dan Sragènan. Ragam tradisi Kartasuran, Klatènan,

Wonogirèn, dan Sragènan muncul karena adanya dhalang-dhalang

di pedesaan yang muncul, terkenal, dan survive di daerah masing-

masing. Kemampuannya menjadi panutan dhalang-dhalang

generasi berikutnya.118

Pembuatan dan pembakuan standar estetika pedhalangan

yang dilakukan oleh lembaga kursus pedhalangan yang

diselenggarakan oleh keraton mengakibatkan kehidupan

117Rahayu Supangah, Bothekan Karawitan II: Garap


(Surakarta: ISI Press, 2007), hlm. 187.

118Soetarno, Sarwanto, Sudarko, Sejarah Pedalangan


(Surakarta: ISI Suralarta dan Penerbit Cendrawasih, 2007), hlm.
201.
93

pertunjukan wayang kulit purwa tradisi kerakyatan yang beredar

di pedesaan-pedesaan dengan bentuk ekspresi dan bersifat lebih

bebas, sederhana, dan lugas semakin tersisih. Menurut Bambang

Murtiyoso, hal itu disebabkan oleh kehadiran dan ketenaran para

dhalang yang menggunakan pakem gaya keraton. Kemerebakan

pertunjukan wayang kulit purwa gaya keraton di masyarakat luas

mendapat dukungan dari berbagai pihak, karena berbagai bentuk

ekspresinya mendapat penilaian sangat tinggi atau memiliki nilai

adiluhung, sehingga menjadi sangat terkenal di masyarakat

pedhalangan.119

Pakem menjadi acuan bagi para dhalang. Namun demikian,

menurut Naryocarito, di luar keraton para dhalang terkenal yang

pernah mengikuti kursus pedhalangan gaya keraton pun berani

mengingkari pakem. Bentuk pengingkarannya antara lain

memasukkan beberapa instrumen gamelan yang tidak ada dalam

pakem pedhalangan gaya keraton,120 penggunaan gendhing, dan

penggarapan lakon. Semua itu terjadi karena dhalang harus

memenuhi permintaan penanggap-nya.121

119Ibid., hlm. 259.

120Sepertibonang, gong ageng, demung, kendhang ciblon,


kendhang ketipung, kendhang ageng, dan saron penerus, bahkan
memasukkan gamelan gedhé.

121Soetarno, Sarwanto, Sudarko, op. cit., hlm. 259.


94

Terdapat satu kategori lain seni pertunjukan tradisi yang

berkembang dan mendapat dukungan dari masyarakat di luar

keraton. Selain seni pertunjukan tradisi kerakyatan, di luar

keraton juga berkembang seni pertunjukan yang oleh James R.

Brandon disebut sebagai seni pertunjukan tradisi populer. Secara

konseptual seni pertunjukan tradisi populer memiliki ciri-ciri,

yaitu: berkembang dan mendapat dukungan dari masyarakat kota,

para pemainnya tergabung dalam suatu rombongan yang

melakukan usaha komersial, mengadakan pertunjukan setiap

malam di gedung yang permanen atau semipermanen dengan

menjual karcis, dan menyajikan cerita-cerita dari berbagai sumber

asal dapat memenuhi selera dan kepuasan penonton.122

Salah satu jenis seni pertunjukan tradisi populer yang

berkembang di Surakarta adalah wayang wong panggung.

Kemunculan wayang wong panggung ini berkaitan dengan

kemerosotan wayang wong Mangkunagaran. Kemerosotan wayang

wong Mangkunagaran menarik minat seorang Tionghoa bernama

Gan Kam untuk dipasarkan di luar tembok keraton agar dapat

122JamesR. Brandon, Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia


Tenggara, terjemahan R.M. Soedarsono (Bandung: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Pendidikan Seni Universitas Pendidikan
Indonesia, 2003), hlm. 110.
95

dinikmati oleh penduduk kota. Sejak saat itu bermunculan

wayang wong panggung di Surakarta.

Gan Kam membentuk wayang wong panggung yang

bersumber dari wayang wong Mangkunagaran pada 1895. Para

pemainnya direkrut dari abdi dalem wayang wong

Mangkunagaran yang diberhentikan. Setelah mendapatkan izin

dari Mangkunagara V, Gan Kam kemudian mengemas

pertunjukan wayang wong dalam durasi waktu yang agak pendek,

lebih mementingkan dialog daripada tarinya, dan dapat menghibur

penonton.123

Pertunjukan wayang wong panggung kemasan Gan Kam

diselenggarakan di sebuah bangunan besar yang mampu

menampung kurang lebih 200 penonton. Bangunan itu

diperkirakan bekas tempat pembatikan milik Gan Kam yang

berada di sebelah selatan Pasar Singosarèn.124 Pementasan

dilakukan di atas panggung yang diberi layar lebar. Panggung

diberi bingkai prosenium, layar depan, dan skenari kanvas drop

dan wing yang dilukis dengan gaya naturalistik untuk

menggambarkan istana, hutan, candi, jalan, alun-alun, dan lain-

123R.M.
Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik,
Sosial, dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2003), hlm. 112.

124Rustopo, op. cit., hlm. 122.


96

lain. Penonton duduk menghadap secara frontal ke arah panggung

berlayar itu. Tempat duduk penonton terpisah dari panggung yang

di antaranya ditempatkan seperangkat gamelan.125

Kepeloporan Gan Kam ini kemudian diikuti oleh pengusaha-

pengusaha Cina serta pribumi lain. Bahkan, Keraton Surakarta

pun ikut mendirikan wayang wong panggung di Taman Sriwedari

yang sekaligus untuk menampung penari-penari istana yang

berminat untuk berbisnis dalam bidang seni pertunjukan.126 Pada

awal abad XX beberapa pengusaha Cina di Surakarta mendirikan

wayang wong panggung. Lie Sin Kwan atau Bah Bagus

mendirikan Sedya Wandawa. Rombongan ini mengadakan

pementasan berkeliling di kota-kota sekitar Surakarta, antara lain

Kartasura, Boyolali, Klaten, dan Sragen. Adiknya, Lie Wat Gien

mendirikan Saritama yang mendapatkan kesempatan dari Patih

Sasradiningrat IV untuk pentas di Taman Sriwedari setelah taman

itu didirikan dan untuk perayaan maleman. Anak Bah Bagus, Lie

Wat Djien atau W.D. Lie bersama Mangkunagara VII mengadakan

pergelaran wayang wong panggung di Sono Harsono yang

kemudian dikenal dengan wayang wong Sono Harsono. Setelah

Lie Wat Gien mendirikan wayang wong panggung Saritama, Yap

125Brandon, op. cit., hlm. 208.

126Soedarsono, op. cit., hlm. 113.


97

Kam Lok mendirikan wayang wong panggung Srikaton. Selain itu,

masih banyak pengusaha-pengusaha Cina lain di Surakarta yang

mendirikan wayang wong panggung, namun tidak berusia lama

dan sempat terkenal.127 Wayang wong panggung di Surakarta

menjadi tontonan yang paling disukai oleh masyarakat, tidak

hanya masyarakat Jawa tetapi juga masyarakat Cina pada saat

itu.

Kethoprak merupakan jenis seni pertunjukan tradisi populer

lain yang berkembang di Surakarta. Seni pertunjukan ini berasal

dari musik kothèkan lesung yang dimainkan oleh para petani

wanita pedesaan ketika sedang menumbuk padi sambil

bernyanyi.128 Kesenian ini diciptakan oleh Wreksadiningrat

seorang abdi dalem kepatihan di Surakarta kira-kira pada akhir

abad XIX atau awal abad XX.129 Pada 1909 kesenian ini

dipentaskan perdana dalam rangka pesta pernikahan agung putri

127Rustopo, op. cit., hlm. 139-142

128Bernard
Suryabrata, The Island of Music: an Essay in Social
Musicology (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), hlm. 93.

129Herry
Gendut Janarto, “Ketoprak Tetap Memikat Meskipun
Gampang Sekarat”, dalam Lephen Purwaraharja dan Bondan
Nusantara, Ketoprak Orde Baru (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 1997), hlm. 100 menyebut 1898 sebagai tahun
kemunculan kethoprak. Sementara itu Rustopo, op. cit., hlm. 35
menyebut awal abad XX sebagai tahun kemunculan kethoprak.
98

Sunan Paku Buwana X, Retna Puwasa dengan Paku Alam VII.130

Selanjutnya, pada 1920 di luar keraton banyak rombongan amatir

dan profesional telah terbentuk untuk mempertunjukkan

kethoprak yang banyak menampilkan cerita-cerita yang berdasar

sejarah dan legenda Jawa. Pada saat itu terdapat kegandrungan

yang luar biasa terhadap kethoprak, sehingga tidak mengherankan

apabila pada 1925 telah banyak pementasan kethoprak di daerah

seputar Surakarta dan Yogyakarta. Tari merupakan elemen yang

dominan dalam pertunjukan kethoprak di Surakarta; sementara

itu dialog merupakan elemen yang lebih ditekankan daripada tari

dalam pertunjukan kethoprak di Yogyakarta.131

Perkumpulan-perkumpulan kethoprak di Surakarta mampu

tampil memikat, karena faktor kebaruannya, namun kemudian

mengalami kemunduran dan akhirnya bubar. Beberapa kelompok

itu adalah Kethoprak Kiyatan (1911-1915) di Gilingan, Kethoprak

Prawirotaman (1914-1918) di Coyudan, Kethoprak Wirama Budaya

(1917-1922) di Pasar Kliwon, Kethoprak Suryatama (1920-1925) di

Kadipiro), dan Kethoprak Kridamanggala (1924-1931) di Pasar

Nangka.132 Untuk mempertahankan kelangsungan, kadang-

130Rustopo, ibid..
131Brandon, op. cit., hlm. 72.
132Pada
periode selanjutnya muncul perkumpulan antara lain
Kethoprak Mandaya Cala (1934-1936) di Nitikan, dan Kethoprak
Lana Bawa (1933-1940) di Kalangan. Janarto, op. cit., hlm. 101-
102.
99

kadang perkumpulan kethoprak memilih untuk berpindah tempat

pertunjukan. Sebagai contoh, pada 1925 rombongan kethoprak

dari Surakarta Krida Madya Utama mengadakan pentas di pasar

malam Klaten, dan kemudian berpindah ke Demangan Yogyakarta.

Mereka berpentas di lapangan dengan memungut bayaran kepada

penonton.133

Pertunjukan kethoprak mengalami perkembangan dengan

penggunaan gamelan sebagai iringan dan tidak menampilkan tari.

Perkembangan baru itu terjadi pada 1927.134 Setahun kemudian,

pada 1928 Yogyakarta telah menjadi pusat seni pertunjukan

kethoprak, yang ditandai dengan semakin banyaknya

perkumpulan kethoprak yang saling bersaing dalam memikat

penonton. Majalah Pusaka Jawi melaporkan bahwa pada saat itu

terdapat 300 perkumpulan kethoprak yang aktif di daerah

Yogyakarta.135 Sayang sekali tidak ditemukan sumber lain yang

dapat digunakan sebagai pembanding untuk mengecek kebenaran

jumlah perkumpulan kethoprak di Yogyakarta yang menunjukkan

angka yang sangat menakjubkan.

133Rustopo, op. cit., hlm. 35.

134NurIswantoro, “Ketoprak dan Teater Modern Kita”, dalam


Lephen Purwaraharja dan Bondan Nusantara, eds., op. cit., hlm.
198.

135Rustopo, op. cit., hlm. 36.


100

Pertunjukan kethoprak terus mengalami perkembangan

bentuk penyajian. Pada 1930 kethoprak telah menjadi genre yang

mantap.136 Pada dasawarsa 1930 perkembangan kethoprak di

Yogyakarta diwarnai oleh bangun dan jatuh perkumpulan-

perkumpulan kethoprak. Perkumpulan itu antara lain: Kridasetya,

Krida Mandaya, Reksa Jati, Wirama Santosa, Wirama Budaya

Mudha, Laras Madya, Cahya Sriwara, Mandra Wasesa, dan

Rangganan. Perkumpulan-perkumpulan itu hanya mampu

bertahan sekitar tiga sampai enam tahun. Selain itu, pada

dasawarsa 1930an sampai dasawarsa 1950an muncul

perkumpulan-perkumpulan kethoprak yang menggunakan

predikat “Mataram” menyertai nama perkumpulannya. Beberapa

perkumpulan kethoprak Mataram itu adalah Surya Wiwaha,

Candrasari, Handayapraba, Candrakirana, Sapta Swara, Kidul

Loji, Rengganis, Cahya Handayani, Pranandayan, dan Daya

Santosa. Perkumpulan yang sangat terkenal pada akhir dasawarsa

1930an sampai menjelang pertengahan dasawarsa 1950an, yaitu

Kethoprak Mataram Kridha Raharja yang dipimpin oleh tokoh

kethoprak kenamaan, Cakrajiya.137

136Brandon, op. cit., hlm. 72.

137Janarto, op. cit., hlm. 102-103.


101

Pada 1930an di Surakarta pertunjukan kethoprak tidak

mampu bersaing dan menandingi kepopuleran wayang wong

panggung saat itu. Rustopo menduga hal ini karena masyarakat

Surakarta kurang mengapresiasi pertunjukan kethoprak, sehingga

para pengelola pertunjukan kethoprak mencari segmen pasar di

luar Kota Surakarta.138 Masyarakat Surakarta kurang

mengapresiasi pertunjukan kethoprak karena diduga sebagai seni

pertunjukan tradisi populer wayang wong lebih menarik daripada

kethoprak. Hal ini karena wayang wong mengalami perkembangan

lebih awal daripada kethoprak, sehingga keberadaannya sebagai

seni pertunjukan tradisi populer lebih mapan baik dari segi

pengorganisasian maupun penyajiannya.

C. Keruntuhan Kekuasaan Politik Kasunanan dan

Mangkunagaran

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945

terjadi perubahan-perubahan politik di Surakarta yang

mengakibatkan perubahan status Kasunanan dan

Mangkunagaran. Pada 19 Agustus 1945 Presiden Soekarno (1901-

1970) memberikan piagam untuk Sunan Paku Buwana XII dan

Mangkunagara VIII yang menetapkan bahwa kedua penguasa

138Rustopo, op. cit., hlm. 142.


102

tradisional itu masih pada kedudukan mereka masing-masing dan

wilayah Kasunanan dan Mangkunagaran menjadi Daerah Istimewa

Surakarta. Mereka juga mendapat kepercayaan dari pemerintah

Republik Indonesia untuk menyelamatkan daerahnya sebagai

bagian dari Republik Indonesia.139 Sunan Paku Buwana XII dan

Mangkunagara VIII menyambut kepercayaan tersebut dengan

baik. Sehubungan dengan hal itu, pada 1 September 1945 kedua

penguasa tradisional Surakarta itu mengeluarkan maklumat yang

menegaskan kedudukan Kasunanan dan Mangkunagaran dalam

Republik Indonesia, serta memerintahkan penduduk dalam

wilayah kerajaan untuk menaati aturan yang telah ditetapkan.140

Pendirian negara bangsa Indonesia diikuti dengan

pembentukan perangkat pemerintahan dengan nama Komite

Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 22 Agustus 1945 yang

bertujuan untuk memperlancar pelaksanaan peralihan kekuasaan

dari Pemerintah Militer Jepang kepada pemerintah Republik

Indonesia. Kasman Singodimedjo (lahir 1904, meninggal 1982)

mendapatkan kepercayaan untuk memimpin KNIP. Pembentukan

139Buku Peringatan Hari Jadi ke – 27 Pemerintah Daerah


Kotamadya Surakarta 16 Juni 1946 – 16 Juni 1973 (Surakarta:
Pemerintah Kotamadya Surakarta, 1973), hlm. 96 dan 97.

140“Makloemat Sri Padoeka Mangkoenegoro VIII 1 September


1945”. Arsip Mangkunegara VIII No. 596 (Surakarta: Reksa Wilapa
Mangkunagaran).
103

KNIP mendapatkan sambutan di daerah-daerah dengan

pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Pada 3

September 1945 dibentuk KNID Surakarta yang diketuai oleh

Soemadiningrat. Ia dibantu oleh sembilan orang yang terdiri atas

elite agama, elite tradisional berpendidikan Barat, dan elite politik

dengan program kerja melucuti tentara Jepang dan memindahkan

kekuasaan Pemerintah Jepang ke tangan KNID Surakarta. Pada

30 September 1945 Soemadiningrat berhasil memaksa Kochi Jimu

Kyoko Chukan H. Watanabe untuk menyerahkan kekuasaan

pemerintahannya kepada KNID Surakarta di gedung Balai Kota.141

Pada saat KNID Surakarta menjalankan program kerjanya,

Kasunanan dan Mangkunagaran tidak melibatkan diri dalam

peristiwa-peristiwa penting itu. Menurut Sunan Paku Buwana XII

dan Mangkunagara VIII, wewenang untuk melakukan

pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang adalah wewenang

pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa kedua

pemerintahan tradisional itu tidak mendukung langkah-langkah

yang dilakukan oleh KNID Surakarta yang berarti tidak berpihak

kepada Republik Indonesia. Perbedaan persepsi ini merupakan

bibit perseteruan dan konflik antara KNID Surakarta dengan para

141Julianto
Ibrahim, Keraton Surakarta & Gerakan Anti
Swapraja (Jogjakarta: Malioboro Press, 2008), hlm. 69.
104

bangsawan. Perseteruan ini kemudian berkembang ke arah

perlawanan dan penolakan terhadap kekuasaan Kasunanan dan

Mangkunagaran.142

Setelah Pemerintah Militer Jepang menyerahkan

kekuasaannya pada KNID Surakarta, mulai 1 Oktober 1945

pemerintah daerah dijalankan oleh Kantor Pusat Pemerintahan

Republik Indonesia (KPPRI) yang karena dianggap kurang tepat

namanya diganti menjadi Kantor Daerah Pemerintah Republik

Indonesia (KDPRI). Soeprapto, Soetopo, dan Soemantri ditunjuk

sebagai pimpinan KDPRI untuk menjalankan pemerintahan.143

Mereka menjalankan tugas tidak lama, karena pada 19 Oktober

1945 pemerintah pusat mengangkat R.P. Soeroso (lahir 1893,

meninggal 1981) menjadi Komisaris Tinggi Daerah Surakarta dan

Yogyakarta; sedangkan Soetopo diangkat menjadi sekretaris

Komisaris Tinggi. Di Keresidenan Surakarta jabatan Komisaris

merupakan jabatan tertinggi yang memiliki tugas dan wewenang

untuk mengoordinasi pemerintahan Kasunanan, Mangkunagaran,

dan Pemerintah Republik Indonesia. Untuk melaksanakan tugas

142KrisHapsari, “Kasunanan dan Mangkunagaran di Tengah


Kekuatan Radikal Surakarta Tahun 1945-1950” (Tesis Program
Magister Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro, 2011), hlm. 116-117.

143BukuPeringatan Hari Jadi ke – 27 Pemerintah Daerah


Kotamadya Surakarta 16 Juni 1946 – 16 Juni 1973 , op. cit., hlm.
97.
105

agar di Surakarta hanya terdapat satu pemerintahan saja, sesuai

dengan keputusan dari Badan Pekerja KNID Surakarta dibentuk

pemerintahan Direktorium yang anggotanya terdiri atas KNID

Surakarta,144 wakil Kasunanan dan Mangkunagaran.

Pemerintahan ini merupakan suatu Collegial Bestuur yang diketuai

oleh Komisaris Tinggi, R.P. Soeroso dengan wakil Sunan Paku

Buwana XII. Mangkunagaran tidak mau menerima sistem

Direktorium, karena dianggap terlalu mencampuri urusan

kerajaan. Dengan demikian, pemerintahan ini mengalami

kemacetan.145

Komisaris Tinggi R.P. Soeroso kemudian membentuk Panitia

Tata Negara untuk mengatasi pertentangan yang muncul dalam

pemerintahan Direktorium dengan kewajiban menyusun UUD

yang progresif bagi kedua Daerah Istimewa Kasunanan dan

Mangkunagaran. Panitia Tata Negara yang terdiri atas sembilan

orang itu dilantik pada 24 Desember 1945 dan berhasil

144Mereka adalah Daljono (Ketua Bagian Umum);


Prodjosoedodo (Ketua Bagian Pamong Praja); Ronomarsono (Ketua
Bagian Kemakmuran); Dasuki (Ketua Bagian Sosial); Djoewardi
(Ketua Bagian Keamanan).

145Soeyatno, “Feodalisme dan Revolusi di Surakarta”, Prisma,


No. 7, Agustus 1978, hlm. 54; Kenang-Kenangan Kota Besar
Surakarta 1945-1953 (Surakarta: Djawatan Penerangan Kota
Besar Surakarta, 1953), hlm. 4.
106

menyelesaikan tugasnya pada 10 Januari 1946.146 Ketika hasil

kerja Panitia Tata Negara akan dikirim ke Kementerian Dalam

Negeri, Menteri Dalam Negeri Soedarsono datang ke Surakarta

dengan membawa rencana yang berbeda dari hasil kerja Panitia

Tata Negara, yaitu suatu konsepsi tentang Daerah Istimewa

Surakarta.147

Sementara itu, timbul pertentangan antara pihak pro- dan

anti-Daerah Istimewa Surakarta yang semakin hari menjadi

semakin panas. Di masyarakat timbul protes-protes

antipembentukan Daerah Istimewa Surakarta. Di lingkungan

pegawai-pegawai swapraja juga timbul ketidakpuasan terhadap

pembesar-pembesar pemerintahan Kasunanan dan menuntut

penggantian mereka dengan tenaga-tenaga muda yang berjiwa

revolusioner. Puncak dari ketidakpuasan ini adalah penculikan

terhadap sembilan pembesar Kantor Kepatihan Kasunanan.

Pergolakan anti-daerah swapraja semakin bergejolak ketika

Kepolisian Daerah Surakarta menyatakan diri lepas dari

Pemerintahan Kasunanan dan Mangkunagaran dan menyatakan

146Adapun anggota Panitia Tata Negara adalah Atmodiningrat,


Pangeran Hadiwidjojo, Singgih, I.J. Kasimo, Soeprapto,
Sindoesawarno, Sindoeredjo, dan Sarsadi.

147Ibrahim, op. cit., hlm. 73; lihat juga Kenang-Kenangan Kota


Besar Surakarta 1945-1953, loc. cit..
107

berdiri sebagai Kepolisian Republik Indonesia yang kemudian

diikuti oleh instansi-instansi yang lain.148

Konsep Menteri Dalam Negeri Soedarsono tidak dapat

dilaksanakan. Kekacauan di Surakarta terus berlangsung. Untuk

mengatasi kekacauan itu pada 1 Juni 1946 Pemerintah Daerah

Surakarta membentuk Dewan Pemerintahan Rakyat dan Tentara

Daerah Surakarta di bawah pimpinan Kepala Tentara Republik

Indonesia (TRI) Surakarta T. Soetarto. Menurut Kris Hapsari,

pembentukan dewan tersebut merupakan bukti pengaruh

kelompok antiswapraja ke berbagai lapisan masyarakat termasuk

dalam tubuh TRI semakin meluas. Keberpihakan militer Surakarta

kepada kelompok antiswapraja menimbulkan kekecewaan

kalangan Kasunanan dan Mangkunagaran.149

Situasi politik di Surakarta semakin panas. Pada 6 Juni 1946

Presiden mengeluarkan dekrit bahwa negara dalam keadaan

bahaya untuk Daerah Istimewa Kasunanan dan Mangkunagaran.

Dekrit ini ditindaklanjuti dengan pembentukan Dewan Pertahanan

Daerah yang diketuai oleh Soetarto. Dewan Pertahanan Daerah

dilantik oleh Gubernur Soeryo (lahir 1898, meninggal 1948).

148Buku
Peringatan Hari Jadi ke – 27 Pemerintah Daerah
Kotamadya Surakarta 16 Juni 1946 – 16 Juni 1973, op. cit., hlm.
99.

149Hapsari, op. cit., hlm. 165-166.


108

Dalam maklumatnya ia menetapkan bahwa sejak adanya wakil

pemerintah Republik Indonesia di Surakarta, maka seluruh

pegawai Kasunanan dan Mangkunagaran menjadi pegawai

Republik Indonesia.150

Peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di Surakarta

sebagaimana telah diuraikan, mendorong pemerintah pusat untuk

melakukan campur tangan secara langsung dalam menangani

penyelesaian kasus Daerah Istimewa Surakarta. Pada 15 Juli

1946, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.

16/SD Tahun 1946, yang berisi tiga ketetapan penting, yaitu (a)

penghapusan jabatan komisaris tinggi, (b) penetapan untuk

sementara waktu daerah Kasunanan dan Mangkunagaran sebagai

suatu keresidenan yang dikepalai oleh seorang residen; dan (c)

pembentukan sebuah daerah baru dengan nama Kota Surakarta

di dalam Keresidenan Surakarta.151

Situasi politik di Surakarta menjadi semakin gawat setelah

penerbitan Penetapan Pemerintah. Iskak Tjokroadisoerjo (lahir

150Karkono Kamajaya Pk., “Revolusi di Surakarta” (Makalah


Temu Ilmiah yang Diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 28 Agustus
1993), hlm. 15.

151“Penetapan Pemerintah No. 16/ SD 1946 tentang


Pemerintah Daerah Istimewa Surakarta dan Jogjakarta” Arsip
Mangkunagara VIII No. 691 (Surakarta: Reksa Wilapa
Mangkunagaran).
109

1898, meninggal ?) dan Soediro diangkat sebagai residen dan wakil

residen Surakarta pada pertengahan Juli 1946 dengan tugas

utama melakukan usaha-usaha untuk stabilitas pemerintahan.

Upaya-upaya itu dilakukan antara lain dengan: 1) penetapan

wilayah Kota Surakarta yang baru dibentuk, yang mencakup

bekas wilayah Kasunanan dan Mangkunagaran dengan

menghapuskan batas-batas wilayah keduanya; 2) pembentukan

dua kabupaten baru, yaitu Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten

Karanganyar; 3) pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

untuk Daerah Surakarta dan untuk tiap-tiap kabupaten; dan 4)

penghapusan tunjangan untuk Sunan Paku Buwana XII dan

Mangkunagara VIII beserta kerabatnya dengan ketentuan akan

diselesaikan oleh Pemerintah Republik Indonesia.152

Selanjutnya Residen Iskak dan Wakil Residen Soediro

membentuk DPRD Keresidenan Surakarta yang terdiri atas wakil

dari partai-partai politik, pemuda, dan unsur-unsur

kemasyarakatan lainnya dengan Badan Pekerja Harian (BPH)

terdiri atas lima orang. Selain itu, mereka juga membentuk

Dewan Pertahanan Daerah (DPD) Keresidenan Surakarta yang

diketuai oleh residen Surakarta. Dari kebijakan-kebijakan Residen

152Nadelan,Iskaq Tjokrohadisuryo, Alumni Desa Bersemangat


Banteng (Jakarta: Gunung Agung,1982), melalui Kamajaya, op.
cit., hlm. 18-19.
110

Iskak dan Wakil Residen Soediro tampak bahwa mereka telah

melakukan upaya-upaya yang sistematis dan konstruktif untuk

menghapuskan Daerah Istimewa Surakarta dan menjadikan

Surakarta sebagai daerah biasa dalam Republik Indonesia.153

Di tengah situasi politik yang semakin memanas, pada 9

November 1946 Residen Iskak dan Wakil Residen Soediro diculik

oleh gerombolan politik tertentu. Pemerintahan tetap berjalan di

bawah eksekutif yang terdiri atas wakil-wakil dari partai.

Pemerintah pusat mengalami kesulitan untuk menyelesaikan

kekacauan politik di Surakarta. Untuk mengatasi berbagai

persoalan yang terjadi di Surakarta, pada 6 Desember 1946

pemerintah pusat mengangkat Gubernur Soetardjo

Kartohadikoesoemo (lahir 1892, meninggal 1976) untuk

merangkap jabatan sebagai residen Surakarta. Soetardjo

Kartohadikoesoemo tidak melanjutkan kebijakan-kebijakan

Residen Iskak, tetapi membuat kebijakan sendiri. Dalam suatu

sidang DPRD pada Februari 1947 ia mengajukan usul agar

Kasunanan dan Mangkunagaran diberi pemerintahan otonom.

Usulan ditolak oleh DPRD Surakarta. Apabila kelompok elite

pemerintah menghendaki otonomi Kasunanan dan

Mangkunagaran, maka para elite politik menghendaki suatu

153Kamajaya, ibid., hlm. 19.


111

keresidenan.154 Setelah penolakan itu, pada 27 Maret 1947

Soetardjo Kartohadikoesoemo dibebaskan dari jabatannya sebagai

residen. Kedudukannya digantikan oleh Wakil Residen Soediro.155

Penerbitan Undang-undang No. 16 1947 mengakibatkan

perubahan pemerintahan di Surakarta. Berdasar undang-undang

itu Surakarta berubah menjadi Haminte. Kedudukan Haminte

Surakarta sangat istimewa karena mempunyai hubungan

langsung dengan kementerian dalam negeri dan sejajar dengan

keresidenan. Sjamsuridjal diangkat menjadi walikota, dan Badan

Eksekutif dalam pemerintahan kota adalah dewan pemerintahan

kota.156 Dalam periode ini tidak ada perkembangan baru tentang

status Kasunanan dan Mangkunagaran. Di kalangan bangsawan

Kasunanan terjadi keputusasaan terhadap masa depan mereka,

karena status Kasunanan yang kurang memberikan harapan bagi

keberhasilan perjuangan mereka. Mereka menganggap bahwa

pemerintah Republik Indonesia tidak peka terhadap permasalahan

di Surakarta. Mereka juga mencurigai adanya unsur kesengajaan

dari pemerintah pusat yang menjadikan Surakarta sebagai daerah

kacau. Dengan demikian, pemerintah pusat dapat mengambil

154Soeyatno, loc. cit., hlm. 54.

155Kenang-Kenangan Kota Besar Surakarta 1945-1953, op. cit.,


hlm. 7.

156Soeyatno, loc. cit..


112

keuntungan dari situasi kekacauan yang terjadi di Surakarta

itu.157

Penerbitan Undang-undang No. 22/1948 pada 10 Juli 1948

menjadikan Surakarta berstatus sebagai Kota Besar. Perubahan

status itu tidak mengubah kondisi Surakarta menjadi daerah yang

aman, karena banyak terjadi kerusuhan dan kekacauan. Oleh

karena itu, Surakarta ditetapkan sebagai salah satu daerah militer

di Indonesia. Selain itu, berkaitan dengan status Kasunanan dan

Mangkunagaran, muncul usulan dari Sultan Hamengku Buwana

IX (lahir 1912, meninggal 1988) selaku Menteri Negara Koordinator

Keamanan Dalam Negeri untuk menetapkan Surakarta sebagai

Provinsi Daerah Istimewa dan menempatkan Sunan Paku Buwana

XII dan Mangkunagara VIII sebagai Dewan Penasihat Daerah

Provinsi Daerah Istimewa Surakarta. Namun, sebelum gagasan itu

terealisasi terjadi perubahan sikap pemerintah pusat tentang

wilayah Daerah Istimewa Surakarta. Berbeda dari usulan Sultan

Hamengku Buwana IX yang masih memberikan wilayah Daerah

Istimewa Surakarta setingkat dengan provinsi, Menteri Dalam

Negeri bermaksud menurunkan bentuk Surakarta sebagai Daerah

Istimewa setingkat kabupaten. Usulan ini ditolak oleh Sunan Paku

157Hapsari, op. cit., hlm. 240-243.


113

Buwana XII, karena dianggap merugikan dan mengancam

keselamatan Kasunanan dan Mangkunagaran.158

Selanjutnya pada saat Belanda melakukan agresi militer dan

menduduki Surakarta pada 1948 muncul harapan-harapan baru

dari Kasunanan dan Mangkunagaran untuk mendapatkan status

sebagai swapraja.159 Harapan Kasunanan dan Mangkunagaran

untuk mendapatkan haknya tidak bertahan lama, karena pada

pertengahan Maret 1949 Komando Militer Kota (KMK) Surakarta

mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa semua usaha

untuk menyusun bentuk pemerintahan merupakan suatu

pemerintahan boneka Belanda dan harus dibubarkan karena tidak

sah.160

Pada saat pendudukan Belanda di Surakarta tepatnya pada

pertengahan 1949, kelompok antiswapraja membentuk Panitia

Anti-Swapraja (PAS) sebagai sebuah organisasi yang bertujuan

untuk menggalang kekuatan mereka. Pembentukan PAS juga

dimaksudkan sebagai sarana untuk menyuarakan keinginan-

keinginan mereka kepada pemerintah. Pembentukan PAS

dilatarbelakangi oleh kedatangan Belanda di Surakarta dan

158Ibid., hlm. 248-256.

159Soeyatno, loc. cit..

160Hapsari, op. cit., hlm. 266-267.


114

adanya kecenderungan pihak Belanda untuk mendekati

Kasunanan dan Mangkunagaran. PAS didukung oleh 40 organisasi

yang terdiri atas partai politik, organisasi profesi, organisasi

pemuda dengan ideologi yang berlainan. Setelah pembentukan dan

mendapat dukungan dari berbagai kalangan, PAS mulai

mengeluarkan pernyataan penolakan terhadap upaya apa pun

yang akan mengembalikan kedudukan Kasunanan dan

Mangkunagaran. PAS juga merencanakan untuk mengadakan dan

mengorganisasi gerakan guna menolak pembentukan swapraja.161

Memasuki Maret 1950, banyak aksi protes yang dilakukan

oleh PAS. Sementara itu, kelompok proswapraja mengadakan aksi

tandingan berupa pernyataan dukungan dan pisowanan ke

Kasunanan dan Mangkunagaran serta mengirimkan mosi-mosi

kesetiaan. Aksi-aksi baik yang dilakukan PAS maupun kelompok

proswapraja mengakibatkan kondisi di Surakarta semakin genting

dan memerlukan penyelesaian segera.162

Akhirnya, pemerintah pusat memberikan dukungan kepada

kelompok antiswapraja. Menteri Dalam Negeri Soesanto

Tirtoprodjo (lahir 1900, meninggal 1969) melalui keputusan

tertanggal 3 Maret 1950 menghapuskan pemerintahan Kasunanan

161Ibid., hlm. 290-293.

162Ibid., hlm. 302-303.


115

dan Mangkunagaran. Kekuasaan pemerintahannya hanya terbatas

di dalam keraton saja.163 Penerbitan dan pemberlakuan Undang-

Undang No. 10 4 Juli 1950 tentang pembentukan Provinsi Jawa

Tengah, yang memasukkan wilayah Keresidenan Surakarta

sebagai bagian dari Provinsi Jawa Tengah menjadikan

permasalahan swapraja Surakarta secara yuridis formal telah

selesai. Undang-undang itu disusul dengan penerbitan Undang-

undang No. 10/50, No. 13/1950, dan No. 16/1950 yang

menyatakan bahwa seluruh wilayah Keresidenan Surakarta

berada di bawah Provinsi Jawa Tengah. Secara yuridis formal

undang-undang itu dapat dipandang sebagai tonggak penyelesaian

tentang swapraja Surakarta dan menjadi babak akhir bagi

perjuangan Kasunanan dan Mangkunagaran untuk mendapatkan

status sebagai Daerah Istimewa.164

Sejak saat itu, Kasunanan dan Mangkunagaran telah benar-

benar kehilangan kekuasaan politik dengan kegagalannya dalam

memperjuangkan pemerolehan status Daerah Istimewa Surakarta.

Sunan Paku Buwana XII dan Mangkunagara VIII masing-masing

hanya menjadi kepala dinasti Kasunanan dan Mangkunagaran.

Kekuasaan mereka hanya terbatas pada lingkungan keraton dan

163Soeyatno, op. cit., hlm. 55.

164Hapsari, op. cit., hlm. 360.


116

pura. Sejak kehilangan kekuasaan politik, dapat dikatakan bahwa

Kasunanan dan Mangkunagaran hanya menjadi pusat

kebudayaan.

Seiring dengan proses marginalisasi Surakarta dalam

panggung politik Indonesia, terdapat keinginan dari Pemerintah

Republik Indonesia untuk membangun kembali Surakarta melalui

jalur kebudayaan.
117

BAB III

PEMBENTUKAN PUSAT-PUSAT KEBUDAYAAN JAWA

DI SURAKARTA

Dalam bab ini akan dijelaskan proses pembentukan pusat-pusat

kebudayaan Jawa di Surakarta pascakeruntuhan Kasunanan dan

Mangkunagaran sebagai akibat dari adanya revolusi sosial. Pusat-

pusat kebudayaan Jawa itu adalah Konservatori Karawitan

Indonesia Surakarta (1950), Akademi Seni Karawitan Indonesia

Surakarta (1964), dan Pusat Kesenian Jawa Tengah (1970).

Pembahasan tentang pusat-pusat kebudayaan Jawa di Surakarta

juga akan difokuskan pada konsepsi dan kiprah pusat-pusat

kebudayaan itu dalam upaya pelestarian dan pengembangan

kebudayaan Jawa Surakarta. Untuk memberikan pemahaman

yang utuh tentang proses pembentukan dan kiprah pusat-pusat

kebudayaan itu, pada subbab sebelumnya akan diuraikan tentang

wacana-wacana pembangunan kebudayaan Indonesia pada awal

kemerdekaan. Pembahasan tentang hal itu bertujuan untuk

memberikan latar belakang pembentukan pusat-pusat

kebudayaan Jawa di Surakarta. Dengan demikian, latar belakang,

proses, kiprah, dan hasil-hasil dari pembentukan pusat-pusat

kebudayaan Jawa di Surakarta menjadi jelas.


118

A. Wacana tentang Pembangunan Kebudayaan Indonesia

1. Pra-Kongres Kebudayaan Indonesia I

Seperti di sebagian besar negara yang sedang mengalami

dekolonisasi, di Indonesia “negara bangsa dipandang sebagai

pelindung kebudayaan dan pembendung imperialisme budaya”.1

Walaupun pada awal kemerdekaan Indonesia masyarakat banyak

mencurahkan perhatian pada persoalan politik, namun ada

sebagian masyarakat yang memberikan perhatian pada bidang

kebudayaan, khususnya kesenian. Mereka kukuh untuk

melakukan perjuangan kebudayaan, karena berkeyakinan bahwa

“kebudayaan bangsa Indonesia menjadi satu-satunya sumber

semangat jiwa kebangsaan yang sedang mencapai hak-hak

kemanusiaan yang sempurna dan dicita-citakan”.2 Oleh karena

itu, pada saat itu muncul berbagai pemikiran dan gerakan untuk

mencari format pembangunan kebudayaan bagi sebuah negara

bangsa yang baru terbentuk, Indonesia.

1Raymond Betts, Decolonization (New York and London:


Routledge, 2004), hlm. 46 melalui Els Bogaerts, “„Kemana Arah
Kebudajaan Kita‟ Menggagas Kembali Kebudayaan di Indonesia
pada Masa Dekolonisasi”, dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T.
Liem, ed., Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia, 1950-
1965 (Denpasar - Jakarta: Pustaka Larasan dan KITLV, 2011),
hlm. 256.

2Abu Hanifah, “Kebudajaan di Ibu-kota Republik”, Mimbar


Indonesia, No. 21 Tahun II, 22 Mei 1948, hlm. 1.
119

Di tengah-tengah gelora revolusi yang masih bergejolak, pada

31 Desember 1945 di Sukabumi diselenggarakan

Permusyawaratan Kebudayaan yang dihadiri oleh para

budayawan, seniman, dan cendekiawan. Permusyawaratan

Kebudayaan itu melahirkan keputusan berupa usulan, yaitu:

mendesak kepada pemerintah pusat untuk segera mungkin

menyelenggarakan pertemuan besar antara wakil-wakil

pemerintah dengan wakil-wakil perkumpulan kebudayaan, serta

ahli dan peminat kebudayaan untuk meletakkan dasar-dasar yang

kokoh bagi pemeliharaan dan pembangunan kebudayaan

nasional. Pemerintah pusat juga didesak untuk mengambil

tindakan-tindakan yang tepat agar sesegera mungkin mewujudkan

cita-cita nasional dalam bidang kebudayaan, misalnya dengan

mengadakan kementerian kebudayaan yang terpisah dari

pendidikan dan pengajaran; serta menyokong dan menganjurkan

pendidikan dan kebudayaan dengan dasar kemerdekaan.3 Oleh

karena adanya pergolakan yang semakin hebat dalam upaya

mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan,

3Nunus Supardi, Kongres Kebudayaan (1918-2003)


(Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm 11 dan Abu Hanifah, “Mentjari
Dasar Kebudajaan Indonesia”, Mimbar Indonesia, No. 36 Tahun II,
4 September 1948, hlm. 8.
120

maka keputusan Permusyaratan Kebudayaan tidak mendapatkan

perhatian dari pemerintah Republik Indonesia.4

Upaya-upaya untuk membangun kebudayaan Indonesia juga

dilakukan oleh berbagai kalangan di beberapa daerah. Pada 1946

di Magelang berdiri Lembaga Kebudayaan Kedu (LKK) dengan

bidang kegiatan meliputi pelbagai cabang kesenian. Pada tahun

yang sama di Yogyakarta dibentuk Badan Permusyawaratan

Kebudayaan (BPK) yang bergerak dalam berbagai cabang seni: seni

lukis, seni sandiwara, dan seni suara. Pada April 1947 di

Surakarta diselenggarakan permusyawaratan pendidikan di bawah

pimpinan Sunarja Kolopaking. Dalam permusyawaratan

pendidikan itu kebudayaan juga mendapat porsi pembahasan

yang cukup.5

Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak itu

belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah

pusat. Hal ini mendorong para pihak yang merumuskan hasil

Permusyawaratan Kebudayaan di Sukabumi untuk mendesak

pemerintah pusat agar segera melaksanakan keputusan yang

telah diambil dalam Permusyawaratan Kebudayaan itu. Akhirnya,

pemerintah pusat menanggapi desakan itu. Dalam sidang Komite

4Hanifah, ibid..

5S. Purbodiningrat, “Institut Kebudajaan Indonesia”, Mimbar


Indonesia, No. 19 Tahun II, 18 Mei 1948, hlm. 24.
121

Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Malang pada 25 Februari

sampai dengan 6 Maret 1947,6 pemerintah melalui Menteri

Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan menyatakan bahwa

belum waktunya memikirkan soal-soal kebudayaan.7

Jawaban pemerintah itu menggemparkan kalangan pemuda-

pemuda ahli seni, ahli kebudayaan klasik, dan angkatan muda

sastrawan Indonesia. Majalah kebudayaan Arena secara berturut-

turut memberi pandangan yang pahit terhadap persoalan ini, baik

dari redaksi dari kalangan tua maupun muda, seperti Ki Hadjar

Dewantoro (lahir 1889, meninggal 1959), Anas Ma‟ruf (lahir 1922,

meninggal 1980), dan Usmar Ismail (lahir 1921, meninggal 1971).

Menurut Abu Hanifah (lahir 1906, meninggal 1980), tampaknya

telah terjadi kesalahpahaman terhadap istilah kebudayaan yang

hanya diartikan sebagai kesenian. Kesalahpahaman itu terjadi

karena pada saat itu mereka yang berpidato atau menulis tentang

kebudayaan pada umumnya hanya membicarakan tentang

kesenian, sehingga mengakibatkan kurangnya penghargaan

terhadap mereka yang “berjuang” dalam bidang kebudayaan.8

6Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati


Kamil, Kronik Revolusi Indonesia, Jilid III (1947) (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2001), hlm. 62.

7Hanifah, loc. cit..

8Ibid..
122

Pada 1948 wacana tentang pembangunan kebudayaan

Indonesia semakin hangat. Hal ini antara lain dibuktikan dengan

jumlah tulisan tentang dasar dan arah pembangunan kebudayaan

Indonesia yang sebagian memusatkan perhatian pada bidang

kesenian, bahasa, dan pendirian lembaga kebudayaan yang

bertujuan untuk membangun dan memajukan kebudayaan

Indonesia semakin banyak.

Aoh Kartahadimadja (lahir 1911, meninggal 1973)

memberikan respon terhadap wacana dari para pecinta seni yang

menginginkan adanya seni Indonesia. Sebagian orang

berpendapat, bahwa seni Indonesia baru akan terwujud dengan

mengawinkan antara seni daerah yang satu dengan seni daerah

yang lain yang dijalin dengan semangat moderen. Keroncong dan

gamelan telah menjadi pokok pembicaraan dalam pembentukan

seni musik Indonesia. Namun demikian, menurutnya, keduanya

tidak cukup memenuhi syarat untuk memenuhi keinginan itu,

karena seni Indonesia baru tidak akan muncul dengan adanya

perkawinan di antara seni-seni itu. Seni Indonesia baru akan

tumbuh menurut kodratnya yang melukiskan jiwa Indonesia

moderen.9 Seiring dengan Aoh Kartahadimadja yang membahas

9Aoh Kartahadimadja, “Kesenian Indonesia: Sebelum dan


Sesudah Perang”, Mimbar Indonesia, No. 2 Tahun II, 10 Djanuari
1948, hlm. 25.
123

tentang kesenian, Usmar Ismail menggagas untuk segera

mendirikan akademi sandiwara yang diharapkan dapat

meletakkan dasar-dasar yang cukup kuat untuk menegakkan

“bangunan” kesenian yang lengkap dan dapat digunakan untuk

menjalin kerja sama dengan organisasi-organisasi sandiwara

internasional.10

R. Soekmono (lahir 1922, meninggal 1997) mencoba untuk

membahas tentang fondasi bagi kesatuan kebudayaan Indonesia,

karena kebudayaan Indonesialah yang akan memberikan identitas

bagi bangsa Indonesia. Menurutnya, hasil-hasil kebudayaan yang

telah dicapai oleh nenek moyang bangsa Indonesia, perlu

dijadikan sebagai pijakan dan modal dasar untuk menatap masa

depan kebudayaan Indonesia.11

Sementara itu, Ki Hadjar Dewantoro menekankan tentang arti

penting bahasa dalam pembangunan negara dan bangsa.

Walaupun bangsa Indonesia telah memiliki bahasa persatuan,

yaitu bahasa Indonesia, namun bangsa Indonesia harus

memelihara bahasa daerah, karena di dalamnya terkandung

10Usmar Ismail, “Akademi Sandiwara”, Mimbar Indonesia, No.


17 Tahun II, 24 April 1948.

11R. Soekmono, “Mentjari Dasar kearah Kesatuan Kebudajaan


Indonesia”, Mimbar Indonesia, No. 6 Tahun II, 7 Pebruari 1948,
hlm. 10.
124

bahan-bahan penting untuk pembangunan kebudayaan

Indonesia.12

Selain wacana-wacana itu, pada Jumat, 26 Maret 1948 di

Pendapa Sana Budaya Yogyakarta telah dibentuk suatu lembaga

kebudayaan dengan nama Institut Kebudayaan Indonesia (IKI)

oleh para pecinta kebudayaan.13 Lembaga ini bertujuan untuk

membangun dan memajukan kebudayaan Indonesia. Pencapaian

tujuan itu akan ditempuh melalui sejumlah langkah, yaitu: 1)

menyelenggarakan sekolah dan kursus kebudayaan, serta

memberi penerangan dan mengadakan pertunjukan seluas-

luasnya; 2) mendirikan museum dan perpustakaan, serta

mengumpulkan buku-buku dan majalah-majalah tentang

kebudayaan; 3) menerbitkan majalah dan tulisan-tulisan; 4)

mengadakan hubungan dengan badan-badan kebudayaan lain di

12KiHadjar Dewantoro, “So‟al Bahasa”, Mimbar Indonesia, No.


29 Tahun II, 17 Djuli 1948, hlm. 10-12, dan 29.

13Sejumlah nama pejabat turut serta dalam IKI, yaitu:


Menteri Pengajaran dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri
Pembangunan dan Pemuda. Sementara itu, dalam badan
penasihat tercantum nama Sri Sultan Hamengku Buwana IX, Sri
Paku Alam VIII, para gubernur, guru besar, dan tokoh-tokoh
kebudayaan antara lain R. Wediodiningrat, Ki. Hadjar Dewantoro,
dan Moh. Sjafei. Lihat Abu Hanifah, “Kebudajaan di Ibu-kota
Republik”, loc. cit..
125

luar negeri; 5) mengadakan dana kebudayaan; dan 6) membantu

segala usaha yang bermanfaat bagi kebudayaan Indonesia.14

IKI membentuk bagian-bagian yang mengurus berbagai

cabang seni baik klasik maupun moderen, seperti kesusastraan,

pedhalangan, bangunan, dan film untuk mewadahi kegiatan-

kegiatan yang akan dilakukan. Pengurus menyampaikan seruan

kepada segenap pecinta dan penggemar kebudayaan untuk

bangkit, bersatu, dan bergotong royong guna mendukung lembaga

ini. Semua itu perlu dilakukan agar para seniman, seniwati, dan

pecinta kebudayaan dapat berperan serta dalam pembangunan

negara dan menghadapi perkembangan kebudayaan di dunia

internasional.15

Dengan melihat orang-orang yang tergabung di dalamnya, IKI

tampaknya dapat memenuhi harapan untuk melakukan gerakan

kebudayaan guna mewujudkan cita-cita yang sangat tinggi dan

harus diperjuangkan, yaitu kebudayaan Indonesia. Hal ini

mengingat pada saat itu di Yogyakarta sebagai ibukota Republik

Indonesia sedang tumbuh organisasi-organisasi seni baik musik,

tari maupun sandiwara dengan aktivitas-aktivitas pementasannya.

Semua itu perlu didorong untuk kemajuannya yang antara lain

14Purbodiningrat, loc. cit..

15Ibid..
126

dapat dilakukan dengan pendirian akademi kesenian dan

konservatorium. Di sisi lain, banyak juga generasi muda yang

tertarik pada cabang seni dari mancanegara. Dengan adanya IKI

diharapkan kebudayaan akan mendapatkan perhatian yang

semestinya. Terwujudnya kebudayaan Indonesia yang merupakan

paduan dari kebudayaan daerah-daerah akan menguntungkan

perjuangan bangsa dan negara Indonesia.16

Wacana-wacana tentang pembangunan kebudayaan

Indonesia semakin berkembang. Kondisi ini mendorong LKK untuk

mengusulkan kepada pemerintah pusat agar segera

menyelenggarakan kongres kebudayaan. Usulan tersebut

mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. Selanjutnya, pada

6 Mei 1948 diadakan rapat permusyawarahan di Magelang untuk

membicarakan penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Indonesia.17

Tiga hari menjelang Kongres Kebudayaan Indonesia I yang

bertepatan dengan hari ulang tahun ketiga kemerdekaan

16Abu Hanifah, “Kebudajaan di Ibu-kota Republik”, op. cit.,


hlm. 1 dan 14.

17Dalam rapat itu juga telah diputuskan tentang adanya


panitia penyusun rencana Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia yang terdiri atas
Armijn Pane (ketua), Sjamsu H.L. (penulis), dan Andjar Subyanto
(anggota). “Rantjangan Anggaran Dasar Lembaga Kebudajaan
Nasional Indonesia (jang Akan Diadjukan ke-Kongres Kebudajaan
Indonesia di Magelang dan Selanjutnja untuk Disjahkan oleh
Kongres Itu)”, Arsip Kementerian Penerangan No. 251 (Jakarta:
Arsip Nasional Republik Indonesia).
127

Indonesia, Ki Hadjar Dewantoro menegaskan kembali tentang

arah pembangunan kebudayaan nasional. Menurutnya, seiring

dengan kemerdekaan yang telah dicapai, harus dilakukan

pembangunan negara dan bangsa Indonesia, yang tidak lain

adalah pembangunan kebudayaan Indonesia. Kebudayaan daerah

merupakan sumber yang sangat kaya untuk membangun

kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus

memelihara dan mengembangkan kebudayaan bangsa Indonesia.

Untuk mencapai tujuan itu diperlukan adanya lembaga

kebudayaan serta pendidikan dan pengajaran kebudayaan pada

semua jenjang pendidikan.18

2. Kongres Kebudayaan Indonesia I

Pada 20-25 Agustus 1948 di Magelang diselenggarakan Kongres

Kebudayaan Indonesia yang dianggap sebagai Kongres

Kebudayaan Indonesia I yang secara resmi diselenggarakan oleh

pemerintah.19 Pada acara itu muncul gagasan-gagasan tentang

kebudayaan dari para pemimpin bangsa Indonesia dan tokoh-

tokoh kebudayaan, serta mencoba untuk merumuskan

18KiHadjar Dewantoro, “Pembangunan Kebudajaan Nasional:


Sekedar Petundjuk”, Mimbar Indonesia, Nomor Kemerdekaan (33),
17 Agustus 1948, hlm. 16 dan 17.

19K. Purbopranoto, “Kongres Kebudajaan”, Mimbar Indonesia,


No. 34 Tahun II, 21 Agustus 1948, hlm. 14
128

kebudayaan Indonesia dalam konteks pascakolonial.20

Wongsonegoro (lahir 1897, meninggal 1978) selaku ketua umum

menjelaskan tentang latar belakang dan tujuan penyelenggaraan

Kongres Kebudayaan Indonesia.21 Ada tiga hal yang

melatarbelakangi penyelenggaraan Kongres Kebudayaan

Indonesia, yaitu: pertama, keinginan untuk turut merayakan hari

ulang tahun ke-3 kemerdekaan Republik Indonesia; kedua,

adanya hasrat untuk membangun dan mengembangkan

kebudayaan Indonesia sebagai sumbangan untuk menyelesaikan

perjuangan dan revolusi Indonesia; dan ketiga, adanya krisis

kebudayaan.22

Berdasar pada ketiga alasan itu, maka LKK bertekad untuk

menyelenggarakan kongres yang bertujuan untuk mengupas,

meninjau, dan memecahkan berbagai persoalan, serta

mengumpulkan berbagai unsur masyarakat yang berguna untuk

menyusun pijakan dalam melancarkan perjuangan bangsa

20Gusti Majur, “Meneropong Kongres Kebudajaan Nasional


Indonesia”, Mimbar Indonesia, No. 37 Tahun II, 11 September
1948, hlm. 10.

21Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati


Kamil, Kronik Revolusi Indonesia, Jilid IV (1948) (Jakarta:
Kepustakaan Populer gramedia, 2003), hlm. 541.

22Supardi, op. cit., hlm. 135.


129

Indonesia dalam bidang kebudayaan. Semua itu dilakukan untuk

masa depan bangsa Indonesia.23

Ali Sastroamidjojo (lahir 1903, meninggal 1976) selaku

Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dalam pidato

sambutannya lebih menekankan pengertian tentang latar belakang

terjadinya krisis kebudayaan. Menurutnya, penyebab utama

terjadinya krisis kebudayaan bukan saja karena bangsa Indonesia

sedang mengalami situasi revolusi, melainkan karena krisis

kebudayaan itu sudah berlangsung lama yang dimulai sejak

zaman penjajahan. Ia mengharap dalam kongres ini dapat tercipta

suatu sintesis kebudayaan yang dapat menjadi pedoman dalam

kehidupan yang baru.24

Wakil Presiden Mohammad Hatta (lahir 1902, meninggal

1980) yang hadir dalam kongres itu menyinggung tentang arti

penting memajukan kebudayaan bangsa. Menurutnya, bangsa

Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan riwayat kebudayaan

yang hebat dan tidak kalah bila dibandingkan dengan kebudayaan

dari negeri-negeri lain. Oleh karena itu, bangsa Indonesia tidak

hanya mempertahankan saja, tetapi harus memajukan

kebudayaannya. Akhirnya, Hatta menganjurkan supaya kongres

23Ibid..

24Ibid..;dan Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer,


Ediati Kamil, loc. cit..
130

kebudayaan dapat memberi dorongan bagi terciptanya

kebudayaan baru untuk kesejahteraan dan kesempurnaan

hidup.25

Sementara itu, Presiden Soekarno dalam amanatnya

mengatakan, bahwa pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia

belum memiliki kebudayaan nasional yang sesungguhnya. Kongres

Kebudayaan Indonesia 1948 di Magelang merupakan kongres

kebudayaan pertama yang membicarakan tentang kebudayaan

nasional. Presiden mengharapkan agar kongres kebudayaan

nasional ini menjadi pendorong untuk tercapainya kebudayaan

nasional.26

Dalam Kongres Kebudayaan Indonesia I dibahas topik-topik

sebagai berikut: Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat oleh

Mangoensarkoro (lahir 1904, meninggal 1957); Kebudayaan dan

Hukum Masyarakat oleh Djokosoetono (lahir 1903, meninggal

1965); Kebudayaan dan Pembangunan Ekonomi oleh Soenarja

Kolopaking; Kebudayaan dan Pembangunan Kota-kota oleh

Poerbodiningrat; Kebudayaan dan Pembangunan Negara oleh

Koentjoro Poerbopranoto; Kebudayaan dan Pendidikan oleh Ki

Hadjar Dewantoro; Kebatinan sebagai Alat dalam Pembangunan

25Supardi, ibid., hlm. 136; Pramoedya Ananta Toer, Koesalah


Soebagyo Toer, Ediati Kamil, ibid., hlm. 542.

26Toer, dkk., ibid., hlm. 541.


131

Negara oleh Soerjomentaram (lahir 1892, meninggal 1962),

Radjiman Wedjodiningrat (lahir 1879, meninggal 1952), dan

Mangoensoedarso.27 Selanjutnya, pembicaraan mengenai lembaga

kebudayaan disampaikan oleh Armijn Pane (lahir 1908, meninggal

1970),28 sedangkan pembicaraan mengenai cabang-cabang

kesenian yang meliputi seni suara, sastra, seni rupa, dan

sandiwara, serta pendirian akademi kesenian masing-masing

disampaikan oleh B. Sitompul, Anas Ma‟ruf,29 B. Resobowo,30 Abu

Hanifah, dan Sindoesawarno.31

Kongres Kebudayaan Indonesia I berhasil merumuskan tiga

simpulan yang berkaitan dengan lembaga kebudayaan. Pertama,

memberikan persetujuan tentang pendirian Lembaga Kebudayaan

27Supardi, op. cit., hlm. 138; lihat juga K. Purbopranoto, loc.


cit..
28“Rantjangan
Anggaran Dasar Lembaga Kebudajaan Nasional
Indonesia (jang Akan Diadjukan ke-Kongres Kebudajaan Indonesia
di Magelang dan Selanjutnja untuk Disjahkan oleh Kongres Itu)”,
Arsip Kementerian Penerangan No. 251 (Jakarta: Arsip Nasional
Republik Indonesia).
29“Sari
Pidato Sdr. Anas Ma‟ruf pada Kongres Kebudajaan di
Magelang 20-25 Aug. „48”, Arsip Kementerian Penerangan No. 251
(Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia).
30Basuki
Resobowo, “Kebudajaan dan Seni Rupa Indonesia
Baru”, Arsip Kementerian Penerangan No. 251 (Jakarta: Arsip
Nasional Republik Indonesia).
31“Akademi
Kesenian”, Arsip Kementerian Penerangan No. 251
(Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia).
132

Indonesia (LKI).32 Kedua, mengusulkan kepada pemerintah agar

segera mendirikan suatu akademi kesenian; dan ketiga,

mengusulkan kepada pemerintah untuk mengadakan kementerian

yang berdiri sendiri untuk bidang kebudayaan.33

3. Pasca-Kongres Kebudayaan Indonesia I

Wacana tentang pembangunan kebudayaan Indonesia terus

bergulir setelah penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Indonesia I.

Pembentukan LKI merupakan keputusan kongres yang perlu

segera mendapatkan tindak lanjut. Sehubungan dengan hal itu,

Supomo (lahir 1903, meninggal 1958) mengajukan pendapat,

bahwa kebudayaan merupakan modal dasar pembangunan. Oleh

karena itu, warisan kebudayaan dari nenek moyang bangsa

Indonesia harus ditinjau lagi: mana yang harus dipertahankan

dan mana yang harus dibuang. Sebagai contoh demokrasi; yang

menurut kehendak zaman harus mengarah ke demokrasi rakyat.

Demikian halnya dengan kebudayaan Indonesia, harus

32Wongsonegoro dan Abu Hanifah ditunjuk sebagai ketua dan


sekretaris sementara. Penyusunan rancangan anggaran dasar
diserahkan kepada redaksi, yaitu K. Poerbopranoto, Armijn Pane,
dan kawan-kawan yang diharapkan dapat diselesaikan dalam
waktu dua bulan.

33Mayur, op. cit., hlm. 26. Usulan yang terakhir ini


merupakan penegasan kembali usulan dari Permusyawaratan
Kebudayaan yang diselenggarakan di Sukabumi pada 1945.
133

merupakan kebudayaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk

rakyat. Bagi bangsa Indonesia persoalannya adalah bagaimana

mengawinkan warisan kebudayaan yang lampau dengan keadaban

teknik dan industri moderen pada saat itu. Menurut Supomo,

kewajiban para ahli waris kebudayaan Timur (Indonesia) adalah

menerjemahkan cita-cita luhur dari nenek moyang bangsa

Indonesia dalam “idiom” dunia moderen.34 Berdasar pada konsepsi

tersebut, maka LKI berkewajiban “untuk menciptakan sintesis

kebudayaan yang berbahagia untuk umat manusia”. LKI harus

menyelidiki dengan seksama nilai-nilai dan hasil-hasil kebudayaan

dan keadaban baik di Timur maupun di Barat, serta merancang

garis-garis kebijakan untuk membentuk sintesis kebudayaan yang

tepat bagi bangsa Indonesia.35

Para budayawan dan seniman segera menindaklanjuti

keputusan Kongres Kebudayaan Indonesia I. Mereka mengambil

langkah-langkah untuk mewujudkan LKI yang menjadi wadah

bagi kegiatan kebudayaan dan penyelenggaran konferensi

kebudayaan. Kemudian mereka menyelenggarakan rapat khusus

untuk menyelesaikan naskah anggaran dasar yang belum selesai

34Supomo,“Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia”,


Mimbar Indonesia, No. 37 tahun II, 11 September 1948, hlm. 2.

35Ibid., hlm. 20.


134

dibahas dalam kongres dan menjaring tanggapan dan masukan

dari peserta, serta melengkapi anggota pengurus LKI.36

Pertemuan itu menghasilkan keputusan definitif

kepengurusan LKI, yaitu Bahder Djohan (lahir 1902, meninggal

1981, Ketua) dan Suratno Sastromidjojo (Sekretaris Umum).

Bahder Djohan menyatakan bahwa LKI akan diresmikan pada 1

Januari 1949 di Yogyakarta. Akan tetapi, karena situasi keamanan

kota Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia yang pada

saat itu sedang dalam pendudukan Belanda, akhirnya LKI baru

dapat berdiri secara resmi setahun kemudian yaitu pada 9 Maret

1950 di Jakarta.37

Penyelenggaraan Konferensi Kebudayaan Indonesia (KKI) dan

persiapan pelaksanaan Kongres Kebudayaan Indonesia II

merupakan kegiatan yang harus dilaksanakan oleh pengurus LKI.

Akhirnya, pengurus LKI berhasil menyelenggarakan KKI yang

merupakan kelanjutan dari Kongres Kebudayaan Indonesia I pada

5-7 Agustus 1950 di Gedung Pertemuan Umum Kota Praja Jakarta

Raya. “Kebudayaan Nasional dan Hubungannya dengan

Kebudayaan Bangsa-bangsa lain” merupakan tema yang dibahas

dalam KKI. Tema itu dipandang penting untuk sebuah bangsa

36Supardi, op. cit., hlm. 148.

37Ibid., hlm. 149.


135

yang baru merdeka, karena Indonesia perlu mencari kesepakatan

tentang konsep, kebijakan, dan strategi untuk menjalin hubungan

dengan negara-negara sahabat yang pada hakikatnya merupakan

hubungan budaya antarbangsa.38

Panitia Perumus KKI39 menyimpulkan bahwa 1) kebudayaan

suatu bangsa merupakan suatu kesatuan yang organis; 2) setelah

Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia mencari isi dan bentuk

kebudayaan yang sesuai dengan keinginan masyarakat dan zaman

baru; 3) untuk menyempurnakan perkembangan kebudayaan

Indonesia, bangsa Indonesia membuka diri secara aktif dan kritis

terhadap pengaruh kebudayaan asing; dan 4) persetujuan

Konferensi Meja Bundar (KMB) tentang kebudayaan masih dapat

digunakan dengan catatan bangsa Indonesia bersikap kuat dan

memiliki kedaulatan.40

KKI merekomendasikan kepada pemerintah dan masyarakat

untuk mengadakan persetujuan-persetujuan kebudayaan,

menempatkan atase-atase kebudayaan, serta menjalin kerja sama

38Ibid., hlm. 151.

39Panitia terdiri atas Ny. Sutarman, Anas Ma‟ruf, Mr. K.


Probopranoto, R. Katamsi, M. Yamin, Sunaria Sanyatavijaya, G.
Siagian, T. Sumardjo, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, D.
Suradji, dan Bahder Djohan.

40Supardi, op. cit., hlm. 152-153.


136

untuk melakukan pertukaran guru besar, mahasiswa, seniman,

sarjana dan calon ahli dengan negara lain. Selain itu, juga muncul

rekomendasi yang bersifat ke dalam, yaitu mengadakan

perubahan susunan komisi kebudayaan; membantu secara nyata

tenaga-tenaga kreatif untuk berkembang; menyempurnakan

perlengkapan-perlengkapan kebudayaan berupa konservatorium,

laboratorium, museum, akademi kesenian, perpustakaan, dan

lembaga ilmu.41

Para intelektual dan seniman juga berkumpul di sanggar

untuk bertukar gagasan. Di luar berbagai saluran resmi seperti

kongres dan konferensi sebagaimana telah diuraikan di atas,

mereka membahas tentang topik-topik aktual yang berkaitan

dengan pembangunan kebudayaan Indonesia. Kebudayaan dan

seni, serta peran seni dalam penciptaan identitas Indonesia baru

merupakan topik-topik yang dibahas oleh para intelektual dan

seniman di sanggar-sanggar itu. Media massa juga menjadi

wahana yang penting untuk melakukan perdebatan guna

meletakkan fondasi kebudayaan Indonesia yang lepas dari beban

kolonial.42 Mimbar Indonesia merupakan salah satu media massa

41Ibid., hlm. 153.

42Bogaerts, op. cit., hlm. 257.


137

yang banyak memberikan perhatian tentang wacana pembentukan

kebudayaan Indonesia.

Els Bogaerts telah mengidentifikasi wacana-wacana tentang

arah kebudayaan Indonesia pada awal 1950 dengan mengambil

fokus pada tulisan-tulisan yang terdapat pada Mimbar Indonesia.

Persoalan warisan budaya, kemajuan dan modernitas, polemik

tentang estetika, musik Indonesia, pahlawan kebudayaan, dan

dekolonisasi merupakan tema-tema yang sering didiskusikan

dalam Mimbar Indonesia. Dari diskusi-diskusi yang muncul

melalui tulisan-tulisan di Mimbar Indonesia tampak adanya

keterbukaan dan keragaman sudut pandang dalam memahami

kebudayaan Indonesia. Topik-topik pembicaraan tentang

kebudayaan pada saat itu sebenarnya sudah ada sejak 1920an.

Beberapa penulis yang terlibat dalam perdebatan itu adalah tokoh-

tokoh dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Perbedaannya adalah

konteks baru yang berupa kemerdekaan politik memiliki makna

bagi para intelektual Indonesia dalam membahas tentang

kebudayaan. Tulisan-tulisan yang dimuat dalam Mimbar Indonesia

menawarkan suatu kesan unik tentang keadaan zaman baru dan

suara-suara orang Indonesia baru. Mereka memberikan langkah-


138

langkah konkret untuk mewujudkan suatu kebudayaan yang

meng-Indonesia.43

Wacana tentang pembangunan kebudayaan Indonesia dalam

Mimbar Indonesia pada 1950 setidaknya terepresentasi dalam

gagasan Supomo yang menjadi anggota redaksi dari majalah

tersebut. Ia mengatakan bahwa para pemimpin negara harus

mengadakan politik kebudayaan yang merupakan perwujudan

dari pembinaan negara dan masyarakat Indonesia baru atas

dasar-dasar kebudayaan baru, yang antara lain mencakup

kesenian, kesusastraan, dan kesusilaan. Bangsa Indonesia tidak

dapat hanya kembali ke zaman yang lampau. Namun demikian,

warisan kebudayaan merupakan latar belakang masyarakat

Indonesia yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu,

pengelolaan warisan budaya merupakan salah satu langkah yang

perlu dilakukan sebagai sebuah politik kebudayaan.44

Sejak Kongres Kebudayaan Indonesia 1948, dekolonisasi

menambah tingkat kemendesakan dan kebutuhan bagi

pengambilan keputusan praktis untuk mewujudkan kebudayaan

Indonesia. Sebagaimana klausul kebudayaan yang terdapat dalam

43Ibid., hlm. 267-285.

44Supomo, “Soal Politik Kebudajaan”, Mimbar Indonesia, No.


48 Tahun V, 1 Desember 1951, hlm. 3 dan 26.
139

Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang

menggunakan kata-kata yang sama seperti Konstitusi RIS 1949,

pada awal 1950an pemerintah Indonesia akan melindungi

kebebasan untuk mengusahakan kebudayaan, kesenian, dan ilmu

pengetahuan. Dengan berdasar pada azas ini, pemerintah

Indonesia akan mempromosikan pengembangan nasionalisme

dalam kebudayaan, seni, dan ilmu pengetahuan.45

Pemerintah melaksanakan pembangunan dalam bidang

kebudayaan di bawah kewenangan dan koordinasi Kementerian

Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pada masa

pemerintahan Orde Baru diubah menjadi Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan.46 Pembangunan kebudayaan yang bersifat

nasional dalam bidang kesenian terutama dilakukan dengan

pendirian sekolah-sekolah kesenian. Pada tahap berikutnya

pembangunan kebudayaan ditopang dengan pendirian berbagai

45Tod Jones, “Indonesian Cultural Policy, 1950-2003: Culture,


Institutions, Government” (Thesis is presented for the Degree of
Doctorate of Philosophy of Curtin University of Technology Perth,
2005), hlm. 95-96.

46Jennifer Lindsay, “Cultural Policy and the Performing Art in


Southeast Asia”, Bijdragen Toot de Taal-, Land-en Volkenkunde,
Deel 151, 4e Aflevering, 1995, hlm. 659.
140

pusat kesenian di beberapa kota yang strategis secara kultural di

antaranya adalah Surakarta.47

B. Konservatori Karawitan Indonesia Surakarta

1. Latar Belakang, Proses, dan Tujuan Pendirian

Berdasar informasi yang diperoleh dari gurunya yang sebagian

adalah para pendiri Kokar Surakarta, Boedhy Moehanto

menuturkan bahwa pendirian Kokar dilatarbelakangi oleh

keprihatinan para empu karawitan Surakarta terhadap kondisi

perkembangan seni pertunjukan tradisi Jawa di Surakarta. Hal ini

tidak lain karena di awal kemerdekaan pemerintah Republik

Indonesia belum memberi perhatian yang cukup pada bidang

kebudayaan. Pada saat itu perhatian pemerintah lebih banyak

dicurahkan pada bidang politik untuk menegakkan kedaulatan

dan menata pemerintahan negara yang baru berdiri.48 Penuturan

itu sejalan dengan informasi dalam Buku Peringatan 10 Tahun

Konservatori Karawitan Indonesia dan yang di-release oleh Sekolah

Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 8 Surakarta melalui website-

47Julianti Parani, Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik


Budaya (Jakarta: Penerbit Nalar-Kajian Seni Pertunjukan Institut
Kesenian-Kelola, 2011), hlm. 76.

48Wawancara dengan Boedhy Moehanto, 24 Desember 2010.


Boedhy Moehanto adalah siswa Kokar Surakarta angkatan 1955.
Ia menamatkan pendidikan pada 1959.
141

nya, yaitu Kokar Surakarta didirikan karena adanya kesadaran

bahwa pelajaran karawitan yang dilakukan oleh rakyat terutama

di daerah Surakarta dan Yogyakarta belum menggunakan sistem

yang sempurna, dan jumlah tenaga ahli karawitan yang memiliki

kemampuan tinggi tidak begitu banyak.49 Dari kedua informasi

tersebut dapat disimpulkan, bahwa pendirian Kokar Surakarta

dilatarbelakangi oleh kehidupan seni pertunjukan tradisi Jawa

yang dianggap kurang berkembang dan memerlukan perhatian.

Oleh karena pada masa awal kemerdekaan Kasunanan dan

Mangkunagaran yang diharapkan dapat menjadi pusat

kebudayaan Jawa belum dapat menjalankan fungsinya, maka

pemerintah Republik Indonesia memandang perlu mendirikan

Kokar di Surakarta untuk mendemokratisasi serta memberi

dorongan dan kesempatan kepada segenap warga negara

Indonesia yang menaruh minat dan memiliki kemampuan yang

tinggi dalam bidang karawitan.50

Proses pendirian Kokar Surakarta secara resmi dimulai

setelah Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan,

49Buku Peringatan 10 Tahun Konservatori Karawitan


Indonesia: 27 Agustus 1950 – 27 Agustus 1960, hlm. 3. SMKN 8
Surakarta adalah kelanjutan dari Kokar dan SMKI Surakarta.
“Sejarah SMK Negeri 8 Surakarta”,
http://smkn8solo.net/in/index.php?option=com_content&view=ar
ticle&id=49&Itemid=63 (diunduh pada 12 Desember 2009).

50Ibid..
142

Mangoensarkoro, pada 6 Februari 1950 menerbitkan Surat

Keputusan Nomor 97/K/50 tentang Pembentukan Panitia Pendiri

Konservatori Karawitan Indonesia di Surakarta. Berdasar surat

keputusan itu kemudian dibentuk panitia yang bertugas untuk:

menyelidiki dan memelajari kemungkinan pendirian konservatori

karawitan; menyusun rencana bentuk dan corak konservatori

karawitan; dan menyusun rencana pelajaran, tenaga pengajar,

dan kebutuhan keuangan. Pembentukan panitia dilakukan

dengan melibatkan pihak Kasunanan dan tokoh-tokoh bidang

kebudayaan. Akhirnya, terbentuk sebuah kepanitiaan dengan

susunan: Pangèran Suryo Hamijoyo (ketua), Sindoesawarno

(sekretaris), Pangèran Prabuwinoto, Pangèran Hadinagoro,

Pangèran Djojokusumo, R. Murdowo, R. Suharso (lahir 1912,

meninggal 1971), Pangèran Padmonegoro, Pangèran

Yudodiningrat, Bonokamsi Wignyosuworo, Projopangrawit,

Sarsadi Ardjohoedojo, dan Sri Handoyokusumo (anggota).51

Pada 11 Februari 1950 mereka mengadakan pertemuan

dengan para seniman, ahli seni, budayawan, dan ahli kebudayaan

di Pendapa Sasana Mulya Kasunanan dan Mangkunagaran untuk

51Buku Peringatan 10 Tahun Konservatori Karawitan


Indonesia, hlm. 3-4; dan “Konservatori Karawitan Indonesia”,
dalam Republik Indonesia Propinsi Djawa Tengah (Semarang:
Djawatan Penerangan Djawa Tengah, 1953), hlm. 452.
143

membahas tugas panitia.52 Dalam pertemuan itu Pangèran

Hadiwijoyo mengutarakan gagasan yang pernah dibicarakan

dengan Mangkunagara VII pada zaman sebelum revolusi. Pada

waktu itu keduanya mengungkapkan, bahwa di Indonesia perlu

didirikan konservatori, yaitu sekolah yang memiliki program

mengajarkan kesenian Jawa.53

Selanjutnya pada 1 Maret 1950 panitia membuka sidang dan

kemudian meneruskannya dengan pertemuan-pertemuan rutin

seminggu sekali setiap Kamis malam di Pendapa Surya Hamijayan,

Baluwarti, Surakarta. Walaupun pada saat persidangan konon

terjadi perdebatan sengit,54 dalam penutupan sidang pada 22 Juni

1950 panitia akhirnya berhasil membuat rumusan penting yang

dijadikan sebagai pijakan dalam pendirian Kokar Surakarta, yaitu:

1) karawitan adalah kekayaan bangsa Indonesia yang berwujud

seni dan mempunyai kedudukan dalam medan seni suara di

52“Surat Jawatan Kebudajaan Surakarta kepada Menteri


Pedidikan No. 64/K tentang Acara Pertemuan” (Arsip SMKN 8
Surakarta).

53“Sejarah SMK Negeri 8 Surakarta”,


http://smkn8solo.net/in/index.php?option=com_content&view=ar
ticle&id=49&Itemid=63 (diunduh pada 12 Desember 2009).

54Waridi, “Musik Gamelan: Sebuah Catatan tentang


Pendidikan, Kehidupan, dan Kekaryaan”,
http://onesgamelan.wordpress.com/2009/01/26/ (diunduh pada
12 Desember 2009). Sampai dengan penyelesaian tulisan ini,
penulis belum mendapatkan notulensi rapat-rapat dalam rangka
pendirian Kokar Surakarta.
144

seluruh dunia; dan 2) karawitan adalah seni yang bersifat

universal, yang nilai keindahannya lebih tinggi daripada suara

berirama.55

Berpedoman pada rumusan itu panitia menetapkan bahwa

Kokar Surakarta harus bersifat akademis dan dapat memberikan

iklim yang kondusif bagi kemajuan karawitan. Oleh karena itu,

untuk mewujudkannya perlu ditempuh usaha-usaha, antara lain:

1) karawitan harus cepat meluas menjadi milik rakyat dengan

pertimbangan bahwa rakyat yang berjiwa dan berbakat seni

merupakan unsur yang subur bagi pertumbuhan karawitan; 2)

pendidikan karawitan harus dilengkapi dengan cara dan alat

pendidikan yang dapat menghadapi perubahan zaman; dan 3)

pendidikan karawitan harus berani menyelidiki kemungkinan-

kemungkinan untuk perkembangannya melalui penelitian dan

eksperimen.56

Setelah keputusan disusun dalam suatu rencana yang

lengkap, panitia menyampaikan laporan dan mengusulkan

55Buku Peringatan 10 Tahun Konservatori Karawitan


Indonesia, op. cit., hlm. 4. “Sejarah SMK Negeri 8 Surakarta”,
http://smkn8solo.net/in/index.php?option=com_content&view=ar
ticle&id=49&Itemid=63 (diunduh pada 12 Desember 2009).

56Buku Peringatan 10 Tahun Konservatori Karawitan


Indonesia, ibid., hlm. 5. “Sejarah SMK Negeri 8 Surakarta”,
http://smkn8solo.net/in/index.php?option=com_content&view=ar
ticle&id=49&Itemid=63 (diunduh pada 12 Desember 2009).
145

pembukaan Kokar di Surakarta. Setelah memperhatikan laporan

panitia, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Republik

Indonesia pada 17 Juli 1950 menerbitkan Surat Keputusan Nomor

554/K/3-b tentang pendirian Konservatori Karawitan Indonesia di

Surakarta. Surat keputusan itu diikuti dengan penerbitan Surat

Keputusan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan No.

621/K/3-b/50 yang menyatakan pembubaran Panitia Pendirian

Konservatori Karawitan Indonesia di Surakarta.57 Pada 27 Agustus

1950 Kokar Surakarta secara resmi didirikan.58 Ketua panitia

pendiri Kokar Surakarta, Pangèran Suryo Hamijoyo ditetapkan

sebagai direktur.59

Peresmian pendirian Kokar Surakarta di Sasana Mulya

dihadiri oleh para intelektual, Sunan Paku Buwana XII,

Mangkunagara VIII, dan tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai

golongan. Pada acara pembukaan itu juga ditampilkan sejumlah

57“Putusan Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan


No. 621/K/3-b/50 tentang Pembubaran Panitia Pendirian
Konservatori Karawitan Indonesia di Surakarta” (Arsip SMKN 8
Surakarta).

58“Putusan Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan


No. 554/K/3-b tentang Pendirian Konservatori Karawitan
Indonesia” (Arsip SMKN 8 Surakarta).

59“Sejarah SMK Negeri 8 Surakarta”,


http://smkn8solo.net/in/index.php?option=com_content&view=ar
ticle&id=49&Itemid=63 (diunduh pada 12 Desember 2009).
146

pergelaran seni antara lain sajian karawitan gaya Surakarta dan

Yogyakarta.60

Kokar Surakarta tidak dapat segera dioperasionalkan setelah

peresmiannya. Para pendiri masih memerlukan waktu untuk

mempersiapkan sumber daya, sarana dan prasarana, serta

merumuskan format penyelenggaraannya. Kokar Surakarta baru

mulai menerima siswa pada 1951.61

Kelembagaan Kokar Surakarta pada awal pendirian terdiri

atas enam bagian, yaitu Bagian Perguruan, Bagian Penyelidikan,

Bagian Perpustakaan, Bagian Museum, Bagian Pergelaran, dan

Bagian Staf Karawitan.62 Sesuai dengan tujuan institusi, Kokar

60K. H. Dewantara, “Konservatori Karawitan Indonesia di


Solo”, Mimbar Indonesia, No. 48 2 Desember 1950, hlm. 12;
“Sambutan Ketua Komite Pembukaan Konservatori Karawitan
Indonesia” (Arsip SMKN 8 Surakarta).

61Boedhy Moehanto menjadi siswa Kokar Surakarta pada


1955-1959. Ketika ia menjadi siswa, lembaga itu telah meluluskan
satu angkatan. Salah seorang siswa Kokar angkatan I yang
dikenalnya adalah Panut Darmoko, seorang guru di Nganjuk yang
kemudian menjadi dhalang terkenal di wilayah Jawa Timur
(Wawancara pada 24 Desember 2010). Siswa Kokar Surakarta
angkatan I yang lain adalah R. Wiranto yang kemudian menjadi
Direktur Kokar ke- 4 Lihat Kriswanto, Dominasi Karawitan Gaya
Surakarta di Daerah Istimewa Yogyakarta (Surakarta: ISI Press,
2008), catatan nomor 25, hlm. 24. R. Wiranto dalam pengantar
tulisannya berjudul “Konsepsi Bagian Penjelidikan/Research
Konservatori Karawitan Indonesia”, (1-8-1960), hlm. 2 menyatakan
bahwa ia menjadi siswa Kokar sejak 1951.

62Penjelenggaraan Sekolah2 di Indonesia (Djakarta:


Kementerian Pendidikan Pengadjaran & Kebudajaan, Bagian
147

Surakarta memiliki dua jurusan, yaitu Jurusan A dan Jurusan B.

Jurusan A memberi pelatihan karawitan (nabuh dan nembang)

sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya, serta memberi

pengetahuan seni suara yang cukup supaya para siswa tamatan

jurusan ini menjadi seniman karawitan angkatan baru yang dapat

menghadapi perkembangan seni suara Indonesia, dan mengerti

tentang seluk beluk seni musik internasional. Jurusan ini

memberi ijazah dua macam, yaitu ijazah A1 bagi para

instrumentalis (niyaga) dan A2 bagi para komponis (empu

gendhing). Jurusan B memberi pelajaran ilmu seni suara yang

luas dalam ilmu karawitan secara mendalam, serta memberi

pelatihan menabuh dan nembang yang cukup, supaya para siswa

tamatan jurusan ini menjadi ahli yang menyelami seni suara

secara mendalam dan paham tentang persoalan-persoalan dalam

perkembangan seni suara Indonesia. Bagian ini memberi ijazah

Penerangan, 1951), hlm. 40. Dalam “Konservatori Karawitan


Indonesia”, op. cit., hlm. 452-453, disebutkan bahwa Bagian
Perguruan bertugas menyelenggarakan pengajaran; Bagian
Penyelidikan bertugas melakukan penyelidikan dan
pengembangan karawitan; Bagian Pergelaran/ Hubungan
Masyarakat bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat
dalam bentuk sumbangan tenaga, pemikiran, dan
penyelenggaraan pelatihan dan pergelaran; Bagian Staf Karawitan
bertugas membantu pekerjaan Dewan Guru, Bagian Penyelidikan,
dan Bagian Pergelaran/ Hubungan Masyarakat.
148

dua macam, yaitu B1 bagi guru karawitan dan B2 bagi

musikolog.63

Gambar 3.1
Tamu Undangan dalam Pembukaan Kokar Surakarta 1950
(Sumber: Mimbar Indonesia, No. 48, 2 Desember 1950, hlm. 13)

Guru-guru Kokar berasal dari kalangan keraton baik kerabat

maupun abdi dalem Kasunanan. Mereka antara lain Prabuwinoto

(putera Paku Buwana IX, empu dan pencipta gendhing),

Warsodiningrat (empu karawitan), Prawiropangrawit (ahli gendér

dan rebab), Pontjopangrawit (lahir 1893, meninggal 1971?),

Mloyoreksoko, Wiropradonggo, dan Wignyowiyogo. Satu-satunya

tokoh di bidang pedhalangan adalah Wignyosutarno

(Mangkunagaran). Sementara itu, guru di bidang tari adalah

63Penjelenggaraan Sekolah2 di Indonesia, ibid., hlm. 40-41;


“Konservatori Karawitan Indonesia”, ibid..
149

Suyadi Hadisuwanto dan Atmokesowo (lahir 1909, meninggal

1972). Selain seniman dari kalangan Kasunanan dan

Mangkunagaran, guru-guru Kokar Surakarta ada yang berasal

dari Yogyakarta. Beberapa tokoh karawitan dari Yogyakarta yang

menjadi pengajar di Kokar Surakarta adalah Hadiwirama,

Tjokrowasito (lahir 1909, meninggal 2007), Larassumbogo, dan

R.C. Hardjosoebroto (lahir 1905, meninggal 1986).64

Dengan mencermati proses pendirian Kokar Surakarta

tampak adanya keinginan untuk menjadikan musik gamelan

(karawitan) sebagai ciri musik yang mencerminkan keindonesiaan.

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pendirian Kokar

Surakarta merupakan realisasi dari wacana dan rumusan hasil

Kongres Kebudayaan Indonesia I 1948, yang merupakan bagian

dari pembangunan kebudayaan Indonesia. Dengan pendirian

Kokar Surakarta diharapkan akan terjadi suatu eksperimen untuk

memelihara, memupuk, dan mengembangkan seni suara-seni

suara daerah yang sebagian dapat menjadi dasar bagi suatu

kebudayaan nasional Indonesia.65

64Kriswanto, ibid., hlm. 24-25; Wawancara dengan Boedhy


Moehanto pada 24 Desember 2010; Margaret J. Kartomi, Gamelan
Digul: Di Balik Sosok Seorang Pejuang, terjemahan Hersri Setiawan
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 86.

65Soekanto, “Konservatori Karawitan dan Kebudayaan


Nasional”, dalam Budaya 2 (1953), hlm. 22.
150

Pendirian Kokar Surakarta mendapat sambutan dari berbagai

kalangan dan pada lembaga itu digantungkan sejumlah harapan

tentang kehidupan kesenian yang meng-Indonesia. Tiga tahun

setelah pendirian Kokar Surakarta, Soekanto dalam tulisannya

berjudul “Konservatori Karawitan dan Kebudayaan Nasional” yang

diterbitkan tiga tahun setelah persiapan pembentukan Kokar

Surakarta menyatakan:

Peladjaran-peladjaran jang diberikan oleh Konservatori


Karawitan Indonesia tidaklah mengenai seni-suara gamelan
dari Solo, Jogja sadja, tetapi djuga seni-suara dari Djawa
Barat, Djawa Timur, Bali, Sumatra, Sulawesi, Maluku ...

Disitulah pula tempat laboratorium para ahli seni-suara untuk


mengadakan penjelidikan dan pertjobaan suatu
kemungkinan timbulnja asosiasi dan asimilasi seni
suara jang bermatjam-matjam watak dan tjoraknya.

Disitulah nanti akan terdjadi hasil-hasil bagi para ahli seni-


suara Indonesia angkatan baru, karena disitulah para ahli
tersebut berkesempatan mengadakan seribu satu matjam,
eksperimen-eksperimen, sehingga achirnya mereka dengan
puas dapat menemukan apa jang mereka selalu tjari, ialah
seni-suara Indonesia jang sungguh-sungguh berdasar atas
sendi kebudajaan nasional.66

Kutipan itu memberi informasi bahwa Kokar Surakarta

diharapkan menjadi laboratorium untuk melakukan eksperimen-

eksperimen seni suara dari berbagai daerah, sehingga terbentuk

seni suara Indonesia yang merupakan bagian dari kebudayaan

nasional.

66Ibid., hlm. 21, 22, dan 24. Cetak tebal ditambahkan sebagai
penekanan.
151

Soerjaatmadja juga mengemukakan pernyataan yang senada.

Dalam tulisan berjudul “Konservatori Karawitan Indonesia” ia

menyatakan, bahwa para lulusan Kokar Surakarta diharapkan

dapat bekerja di berbagai daerah dan melakukan penelitian

terhadap berbagai seni di daerah itu sebagaimana tercermin dalam

kutipan berikut ini.

... Konservatori telah mulai menugaskan para abiturientennja


(siswa2 jang telah lulus), jang kini dipekerdjakan di
Perwakilan2 Djawatan Kebudajaan Kementerian P.P.& K. di
Provinsi2, agar didalam pekerjaannja nanti, mereka dengan
saksama melakukan penjelidikan-2 berbagai matjam
ragam kesenian didaerahnja. Setjara tidak langsung
kesenian asli kedaerahan itu, jakin akan dapat didjadikan
bahan2 perkembangan seni suara Indonesia jang
sifatnja umum”.67

Dalam perkembangan, Kokar Surakarta tidak dapat

merealisasikan konsepsi-konsepsi yang telah disusun pada awal

pembentukannya. Menurut Sumarsam, sejak pembentukannya,

kurikulum Kokar Surakarta memfokuskan pada studi tentang

karawitan Jawa dengan beberapa pelajaran tentang karawitan

Bali, Sunda, dan pengetahuan dasar musik Barat. Buktinya, ia

tidak pernah mendengar diskusi tentang kurikulum yang

memasukkan musik dari daerah lain di Indonesia selama ia

menjadi siswa dan guru Kokar Surakarta (1961-1971). Selain itu,

67R.M. Soerjaatmadja, “Konservatori Karawitan Indonesia”,


Sanabudaja 1/5 1957, hlm. 211. Cetak tebal ditambahkan sebagai
penekanan.
152

guru-guru Kokar Surakarta kebanyakan adalah musisi dan penari

keraton dan lulusan sekolah ini. Dua direktur Kokar Surakarta

pada masa awal pembentukannya adalah pangeran-pangeran

keraton, yaitu Suryo Hamijoyo dan adiknya, Joyokusumo. Kedua

pangeran ini berpendidikan cara Belanda. Joyokusumo malahan

mengenyam pendidikan di bidang kebudayaan Jawa di negeri

Belanda. Dengan demikian, atmosfer sekolah ini sesungguhnya

tidak mendorong pembentukan kurikulum yang berorientasi pada

musik Indonesia.68

Kesaksian dan pendapat Sumarsam itu sejalan dengan

pendapat Judith Becker. Secara konsepsional pembentukan Kokar

Surakarta dimaksudkan untuk memodernisasikan tradisi

gamelan. Oleh karena guru-gurunya berasal dari keraton yang

memiliki ikatan emosional dengan tradisi keraton, dalam praktik

Kokar Surakarta merupakan institusi yang melanjutkan

kelestarian tradisi keraton. Hal ini mengakibatkan Kokar

Surakarta akan sulit untuk dapat menjadi sumber eksperimentasi

dan sintesis seperti yang diharapkan pada awal

pembentukannya.69

68Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan


Musikal di Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 179.

69Judith
Becker, Traditional Music in Modern Java: Gamelan in
Changing Society (Honolulu: University Press of Hawaii, 1980),
hlm. 35.
153

Wacana budaya pada awal kemerdekaan Indonesia adalah

menggalang persatuan dan kesatuan bangsa. Kepribadian

nasional menjadi isu penting untuk mempersatukan rakyat

Indonesia dari beragam berlatar budaya. Dalam konteks itu

kebudayaan dan kesenian nasional penting dijadikan agenda

kerja, tetapi konservasi warisan budaya dan identitas daerah juga

perlu mendapat perhatian.70 Akibatnya, Kokar Surakarta

mengalami ambivalensi. Di satu sisi ia dirancang untuk berperan

dalam pembangunan kebudayaan nasional melalui pengembangan

seni tradisi dari berbagai daerah di Indonesia. Di sisi lain, dalam

kenyataan, sekolah seni ini sangat “berbau” Jawa. Ambivalensi ini

juga dialami oleh lembaga serupa yang didirikan setelah Kokar

Surakarta, yakni konservatori di Denpasar, Bandung, Yogyakarta,

Surabaya, dan Padang. Sekolah-sekolah ini mengajarkan berbagai

bentuk seni tari, musik, pedhalangan, dan teater tradisi dari

daerah-daerah di mana sekolah-sekolah itu didirikan.71 Dari nama

yang dipilih, "konservatori", telah tampak sejak awal bahwa

70Sal Murgiyanto, “Tari, Wayang, dan Gamelan Seabad


Lewat”,
http://heritageofjava.com/portal/article.php?story=200903262300
5787 (diunduh pada 21 November 2010).

71Waridi, “Musik Gamelan: Sebuah Catatan Tentang


Pendidikan, Kehidupan, dan Kekaryaan”
http://onesgamelan.wordpress.com/2009/01/26/ (diunduh 12
pada Desember 2009).
154

perhatian pemerintah memang terfokus pada konservasi seni

tradisi. Ambivalensi serupa itu pada akhirnya menjadi dilema yang

selalu menyertai pembangunan kebudayaan nasional Indonesia.

Oleh karena itu, konsep pendirian Kokar Surakarta mendapat

kritik dari beberapa kalangan mengingat seni musik daerah

bermacam-macam dan sulit dipersatukan. Daripada menciptakan

suatu hibrida baru dengan menyintesiskan berbagai kebudayaan

daerah dalam suatu laboratorium, akan lebih baik jika yang

dilkakukan adalah memberi jaminan seluas-luasnya bagi

kehidupan kebudayaan daerah di Indonesia. Konsep pendirian itu

juga memunculkan sejumlah masalah mengingat para

pengajarnya adalah seniman-seniman keraton.72 Mereka

mengajarkan seni gaya istana yang pernah mereka pelajari.

Namun demikian, guru-guru di Kokar Surakarta itu tidak begitu

berani menyatakan diri ciri ke-Jawa-an dari mata pelajaran yang

mereka berikan. Mereka tampaknya ingin menunjukkan bahwa

mata pelajaran itu berkaitan dengan musik Indonesia (musik

Nusantara) dan bahwa pendirian sekolah itu merupakan langkah

72R.
Anderson Sutton, Traditions of Gamelan Music in Java:
Musical Pluralism and Regional Identity (Cambridge: Cambridge
University Press, 1991), hlm. 175-176.
155

ke arah „pembinaan dan penyempurnaan perkembangan kesenian

bangsa‟.73

2. Arah Studi dan Proses Pembelajaran

a. Arah Studi

Sejak berdiri sampai dengan 1997 Kokar Surakarta telah beberapa

kali mengalami perubahan arah studi, kurikulum, dan

nomenklatur. Sebagaimana telah disebutkan, pada awal pendirian,

Kokar Surakarta membuka dua jurusan, yaitu: Jurusan A dan

Jurusan B. Untuk memasuki jurusan A calon siswa harus

berijazah Sekolah Rakyat (sederajat SD sekarang), dengan satu

syarat mereka harus telah dapat memainkan semua ricikan

(instrumen) gamelan, meskipun baru dalam tingkat elementer, dan

mempunyai bakat kesenian. Sementara itu, Jurusan B

mensyaratkan calon siswa berijazah setingkat Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama (SLTP) dengan ketentuan calon siswa harus telah

dapat memainkan ricikan gamelan dari jenis balungan74 sampai

dengan tingkat bonang, dan mempunyai bakat kesenian. Mulai 1

Agustus 1951 disediakan Kelas Persiapan untuk bagian B bagi

73Soerjaatmadja, op. cit., hlm. 207.

74Ricikan
balungan adalah instrumen gamelan yang terdiri
atas demung, saron, dan peking; terdiri atas tujuh nada yang
masing-masing dilaras dengan oktaf berbeda.
156

mereka yang sama sekali belum mengenal karawitan, untuk

dididik menjadi calon siswa yang memenuhi syarat-syarat masuk

yang telah ditentukan. Kelas Persiapan mensyaratkan murid

sekolah lanjutan kelas tertinggi atau ijazah sekolah lanjutan dan

mempunyai bakat kesenian. Pelajaran ditempuh selama tiga tahun

ditambah kelas persiapan selama satu tahun.75 Di kelas III bagian

A dan B siswa dapat memilih arah ijazah AI, AII, BI, atau BII.

Dalam lingkungan instansi pemerintah tamatan Kokar dapat

menjadi pemimpin karawitan di lingkungan P.P. dan K. dan

studio-studio, guru karawitan di sekolah-sekolah lanjutan, dan

pegawai kebudayaan. Di masyarakat mereka dapat bekerja sebagai

pemimpin karawitan berijazah, guru karawitan, ahli karawitan,

atau empu karawitan.76

Pada 1956 terbit Surat Keputusan Menteri Pendidikan

Pengajaran dan Kebudayaan Nomor 99883/S, tanggal 21

Desember 1956, yang berlaku surut sampai 27 Agustus 1950.

Dalam surat keputusan itu dinyatakan bahwa:

75Penjelenggaraan Sekolah2 di Indonesia, op. cit., hlm. 41.

76Tingkatan pegawai-pegawai itu disamakan dengan pegawai-


pegawai tamatan College, yaitu sama dengan S.M.P. tambah empat
tahun, atau SMA ditambah satu tahun. Ibid.., hlm. 42.
157

Kokar Surakarta didirikan atas dasar perkembangan


kebangsaan dan keindahan mutlak, dengan maksud memberi
pendidikan dan pengajaran kesenian kepada mereka yang
berbakat dan berhasrat dalam lapangan seni karawitan.

Penerbitan surat keputusan itu menjadikan Kokar Surakarta

mengambil kebijakan untuk membekukan Jurusan Instrumentalis

pada 1956. Hal ini karena tujuan untuk menamatkan siswa yang

cukup mahir dan cakap dalam memainkan semua ricikan gamelan

(juru karawitan) dalam sajian karawitan tidak berhasil. Dengan

demikian pada 1956 Kokar Surakarta hanya menyelenggarakan

satu program pendidikan yaitu Jurusan B. Agar tujuan yang telah

ditetapkan dapat tercapai, dibukalah Kelas Persiapan, yaitu kelas

sebelum Kelas 1. Hal ini dilakukan karena sampai dengan tahun

1955 Kokar Surakarta masih menerima siswa tamatan Sekolah

Rakyat.77 Adanya Kelas Persiapan itu ternyata dapat memperbaiki

hasil belajar di Kokar Surakarta. Namun demikian, penerapan

Kelas Persiapan itu mengakibatkan penyelesaian studi menjadi

lebih lama yaitu empat tahun.78

77Boedhy Moehanto (Siswa Kokar Surakarta Angkatan 1955;


tamat pada tahun 1959) menuturkan bahwa teman-teman
seangkatannya yang berjumlah kurang lebih 40 orang ada yang
berijazah Sekolah Rakyat (Wawancara dengan Boedhy Mohanto
pada 24 Desember 2010).

78Lihat “Kurikulum SMK Negeri 8 Surakarta”


http://smkn8solo.net/in/index.php?option=com_content&view=ar
ticle&id=50&Itemid=66 (diunduh pada 12 Desember 2009).
158

Perubahan arah studi secara lebih spesifik dilakukan pada

tahun 1969. Pada saat itu Kokar Surakarta mengupayakan

penjurusan sesuai dengan cabang seni pertunjukan tradisi Jawa.

Jurusan-jurusan itu adalah seni karawitan, seni tari, dan seni

pedhalangan. Selanjutnya, pada 1975 Direktorat Pendidikan

Kesenian secara definitif mengembangkan konservatori di seluruh

Indonesia menjadi konservatori program empat tahun. Pada tahun

keempat (tingkat akhir) siswa diarahkan menempuh Jalur

Vokasional atau Jalur Akademik. Jalur Vokasional

mempersiapkan siswa sebagai tanaga kerja yang diarahkan

menjadi dua, yaitu guru dan artis. Jalur Akademik

mempersiapkan siswa untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi.

Pengembangan ini berdasar pada kurikulum 1974 yang baru

direalisasikan pada 1975. Pada saat pelaksanaan Kurikulum

1974, kemudian terbit Kepres Nomor 44 dan 45 tahun 1975

tentang reorganisasi di semua Departemen. Penerbitan kepres ini

mengubah kedudukan konservatori yang semula bernaung di

bawah Direktorat Pendidikan Kesenian, Direktorat Jenderal

Kebudayaan, beralih ke Direktorat Pendidikan Menengah

Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.79

79Lihat “Kurikulum SMK Negeri 8 Surakarta”


http://smkn8solo.net/in/index.php?option=com_content&view=ar
ticle&id=50&Itemid=66 (diunduh pada 12 Desember 2009).
159

Pada 1977, sesuai dengan Keputusan Direktorat Pendidikan

Sekolah Menengah Kejuruan, nama Konservatori Karawitan

Indonesia diganti menjadi Sekolah Menengah Karawitan Indonesia

(SMKI), yaitu lembaga pendidikan sebagai kelanjutan dari SLTP

yang mempersiapkan siswanya menjadi tenaga kerja tingkat

menengah di bidang seni pertunjukan, dengan memberlakukan

semua peraturan baru dan Struktur Program Kurikulum yang

dikenal dengan Kurikulum SMKI 1977. Ada tiga jurusan yang

dibuka, yaitu: Jurusan Seni Karawitan, Seni Tari, dan Seni

Pedhalangan dengan lama belajar empat tahun.80 Dengan

kurikulum itu, setiap tamatan SMKI diharapkan memiliki

ketrampilan dan kreativitas profesional, mampu merencanakan

dan mengoordinasikan pergelaran, serta dapat membina dan

melatih jurusan seni yang dipilih. Sebagai contoh, seorang

tamatan Jurusan Seni Karawitan akan mampu memainkan orkes

bersama/ tunggal dari daerah setempat (Surakarta) dan daerah

lain, secara orkestra dan iringan; menata dan memelihara alat-alat

80“Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik


Indonesia No. 0292/0/1976 tentang Penggantian Nama
Konservatori Karawitan Indonesia dan Konservatori Tari Indonesia
Menjadi Sekolah Menengah Karawitan Indonesia” (Arsip SMK 8
Surakarta).
160

karawitan, mampu memainkan karawitan vokal dan menyanyikan

lagu-lagu Indonesia.81

Dalam Struktur Program Kurikulum SMKI 1977, semester I

merupakan semester bersama yang merupakan masa penataran

bagi seluruh siswa tingkat I. Pada semester I siswa belum

mengambil penjurusan. Pelajaran praktik diberikan 18 jam/

minggu untuk menyamakan tingkat pengetahuan umum dan

pengetahuan dasar, memperkenalkan jenis-jenis ketrampilan

pokok dalam karawitan serta mengungkapkan bakat yang

meyakinkan pemilihan jurusan.82 Pada semester II dilakukan

penjurusan sesuai dengan minat dan pilihan siswa walaupun

masih bersifat tentatif; artinya siswa masih diperbolehkan untuk

pindah jurusan. Sementara itu, pada semester III siswa harus

81Jurusan Seni Tari: menarikan dan menguasai unsur,


ragam, jenis, bentuk komposisi tari tradisional (tunggal atau
ganda) gaya setempat dan gaya daerah lain, memelihara dan
merencanakan tata busana dan rias, menyanyikan lagu-lagu
Indonesia, mampu melakukan antawecana dan vokal serta
mampu memainkan alat-alat karawitan gaya setempat yang
sederhana. Seni Pedhalangan/Teater Daerah: merencanakan tata
dan teknik pentas, menata dan memelihara wayang/ peran teater
daerah, memainkan alat karawitan, melakukan vokal pedhalangan
dan dialog teater daerah serta dapat pula menarikan tarian
sederhana gaya setempat. Lihat Pekan Orientasi Pendidikan
Kesenian (Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, departemen
P dan K bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta 18 s.d. 21
September 1979 di Taman Ismail Mazuki Jakarta.

82Ibid..
161

memilih jurusan sesuai dengan minat dan pilihannya secara

definitif.83 Mulai semester II sampai VIII pelajaran praktik rata-rata

20 jam/ minggu.84

Selanjutnya, pada tahun 1984 Direktorat Pendidikan

Menengah Kejuruan mengadakan perubahan kurikulum untuk

semua sekolah. Kurikulum ini dikenal dengan nama Kurikulum

1984, yang mulai direalisasikan pada 1985. Pada tahun 1986

SMKI Surakarta membuka Jurusan Seni Kriya, yang sejak tahun

pelajaran 1993/1994 telah berdiri sendiri menjadi Sekolah

Menengah Seni Rupa (SMSR) di Banyuanyar Surakarta.85 Pada

tahun 1994 Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan

mengadakan perubahan kurikulum yang disebut Kurikulum 1994.

Dengan kurikulum itu terjadi perubahan lama pendidikan di SMKI

Surakarta dari empat tahun menjadi tiga tahun; dengan program

83Purbo Asmoro (angkatan 1978) pada semester II memilih


Jurusan Seni Tari dan akhirnya pada semester III berpindah ke
Jurusan Seni Pedhalangan. Wawancara dengan Joko Wasisto, S.
Kar. (Siswa SMKI angkatan 1978 Jurusan Karawitan), 23
Desember 2010; dan Sri Rahayu (Siswi SMKI angkatan 1980), 23
Desember 2010).
84Pekan Orientasi Pendidikan Kesenian, loc. cit..
85“Keputusan Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan
Nomor: 108/C4/Kep/I.86 tentang Pelaksanaan Rumpun Program
Studi pada Sekolah Menengah Kejuruan untuk Tahun Ajaran
1985/1986 dan Tahun Ajaran 1986/1987” (Arsip SMK 8
Surakarta).
162

studi Seni Musik (Karawitan), Seni Tari, dan Seni Teater

(Pedhalangan).86

Pada tahun 1997 sesuai Surat Keputusan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan RI Nomor. 036/ 0/1997 tentang Perubahan

Nama Daftar Istilah; Nomenklatur SMKTA menjadi SMK, maka

SMKI Surakarta berubah nama menjadi Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) 8 Kodya Surakarta, yang memiliki satu jurusan

yaitu Seni Pertunjukan dengan tiga program studi, yaitu Musik

(pentatonis dan diatonis), Tari, dan Teater dan masih menerapkan

Kurikulum 1994.87

Dengan mencermati dan membandingkan mata pelajaran

yang tertera pada ijazah lulusan tahun 1959 (Kurikulum 1950-an),

1965 (Kurikulum 1960-an), 1978 (Kurikulum 1974), dan 1982

(Kurikulum 1977) dapat dikemukakan bahwa mata pelajaran yang

diberikan di Kokar (kemudian SMKI) Surakarta dikelompokkan

menjadi dua atau lebih kategori, yaitu: teori dan praktik, seni dan

nonseni, utama dan penunjang. Pengelompokan itu kadang-

kadang tumpang tindih antara satu kategori dengan kategori yang

86Lihat “Kurikulum SMK Negeri 8 Surakarta”


http://smkn8solo.net/in/index.php?option=com_content&view=ar
ticle&id=50&Itemid=66 (diunduh pada 12 Desember 2009).

87”Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik


Indonesia Nomor 036/O/1997 tentang Perubahan Nomenklatur
SMKTA Menjadi SMK serta Organisasi dan Tatakerja SMK” (Arsip
SMK 8 Surakarta).
163

lain. Di kalangan siswa Kokar (SMKI), mata pelajaran “teori”

biasanya digunakan untuk menyebut mata pelajaran

“nonkesenian”, sedangkan mata pelajaran “praktik” digunakan

untuk menyebut mata pelajaran “kesenian” walaupun sejatinya

dalam mata pelajaran kesenian itu juga terdapat teori. Sebagai

contoh, menurut Supardi (siswa Kokar angkatan 1974),

berdasarkan Kurikulum 1974 mata pelajaran yang harus

ditempuh oleh siswa dikelompokkan menjadi dua, yaitu mata

pelajaran teori dan mata pelajaran praktik. Termasuk ke dalam

mata pelajaran teori antara lain Pendidikan Agama, Pendidikan

Moral Pancasila, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Sejarah

Kebudayaan. Sementara itu mata pelajaran praktik dibagi menjadi

dua kategori, yaitu: pertama, Praktik Karawitan Bersama (PKB)

yang meliputi PKB Sala, Wayang, Tari, Yogyakarta, Sunda, dan

Bali; kedua, Praktik Individu Instrumen Pokok (PIIP) yang terbagi

dalam kelas PIIP rebab (R), kendhang (K), dan gender (G).88

Untuk memperjelas pengelompokan mata pelajaran, berikut

disampaikan daftar mata pelajaran Kokar (1950an) dan SMKI

Surakarta (1977).

88Supardi, “Pengalaman Pentas/ Peye Selama di Kokar”


http://supardi.dosen.isi-ska.ac.id/ (diunduh pada 21 November
2010).
164

Mata Pelajaran Mata Pelajaran


No (Kokar 1950-an Jurusan Guru (SMKI 1977 Jurusan
Karawitan) Karawitan)
1 Ilmu Karawitan (T, S) Pendidikan Agama (T, NS)
2 Ilmu Musik Barat (T, S) Pendidikan Moral Pancasila
(T, NS)
3 Ilmu Suara (Akustika) (T, S) Bahasa Indonesia (T, NS)
4 Menabuh (bermain) Bersama (P, Olah Raga dan Kesehatan (P,
S) NS)
5 Menabuh (bermain) Sendiri (P, S) Sejarah Kebudayaan (T, NS)
6 Tembang (T, P, S) Pengetahuan Bahan (T, NS)
7 Titilaras (T, P, S) Managemen (T, NS)
8 Bahasa Indonesia (T, NS) Pengetahuan Musik (T, S)
9 Bahasa Kawi (T, NS) Akustik (T)
10 Sejarah Kesusastraan (T, NS) Metode Pembinaan (T)
11 Sejarah Kebudayaan (T, NS) Praktik Karawitan (P, S)
12 Pengetahuan Tari (T, P) Praktik Vokal (P, S)
13 Pengetahuan Pedalangan (T, P) Titi Laras (T, P, S)
14 Ilmu Mendidik (T dan P) Praktik Pergelaran (P, S)
15 Sosiologi (T, NS) Mata Pelajaran Semester 1
16 Bahasa Inggris (T, NS) Tinjauan Seni (T, S)
17 Pengetahuan Membuat Gamelan Bahasa dan Kesusastraan/
(T, P, S) Teater Daerah (T, NS)
Bahasa Inggris (T, NS)
Pengetahuan Karawitan (T,
S)
Pengetahuan Tari (T, S)
Pengetahuan Pedalangan (T,
S)
Praktik Tari (P, S)
Praktik Pedalangan (P, S)
Keterangan : T = Teori, P = Praktik, S = Seni/Kesenian, NS =
Nonseni

Sumber: Ijazah Boedhy Moehanto dan Joko Wasisto, S. Kar. serta


wawancara dengan keduanya, masing-masing pada 23 dan 24
Desember 2010.

Mata pelajaran yang tercantum dalam daftar di atas

merupakan mata pelajaran utama. Dalam kedua daftar itu tidak

tercantum mata pelajaran dari daerah lain di Indonesia. Namun


165

demikian, sebagaimana disampaikan oleh Boedhy Moehanto (siswa

angkatan 1955), Suparjo (siswa angkatan 1961), dan Joko Wasisto

(siswa angkatan 1978), siswa Kokar (SMKI) juga mendapatkan

mata pelajaran praktik karawitan Yogyakarta, Bali, dan Sunda

dengan teori diberikan di sela-sela praktik menabuh gamelan

sebagai mata pelajaran penunjang.89

Fakta itu memperkuat pendapat Sumarsam bahwa sejak

pendirian sampai 1992 (ketika ia menyelesaikan disertasi),

kurikulum Kokar Surakarta difokuskan pada karawitan Jawa.

Kecuali beberapa pelajaran karawitan Sunda dan Bali serta

pengetahuan dasar musik Barat, musik dari daerah Indonesia

lainnya tidak pernah dimasukkan dalam kurikulum.90 Dengan

demikian, seperti telah dikatakan oleh Judith Becker, Kokar

Surakarta merupakan institusi yang melanjutkan kelestarian

tradisi keraton. Sistem pendidikannya tidak cukup memadai

untuk melakukan sejenis eksperimen dan sintesis seperti yang

diharapkan pada awal pendiriannya.91

89Wawancara dengan Boedhy Moehanto pada 24 Desember


2010, Suparjo pada 24 Desember 2010, dan Joko Wasisto pada 23
Desember 2010.

90Sumarsam, op. cit., hlm. 178.

91Becker, op. cit., hlm. 35.


166

b. Proses Pembelajaran

Boedhy Moehanto menuturkan bahwa kegiatan belajar mengajar

di Kokar Surakarta pada 1950-an diselenggarakan di Kepatihan

yang juga berfungsi sebagai kantor tata usaha, di Dalem Surya

Hamijayan yang digunakan untuk praktik menabuh gamelan, dan

di SMA Sint Yosep (Kanisius) Keprabon untuk kegiatan belajar

mengajar mata pelajaran nonseni. Sarana gamelan menggunakan

gamelan Kepatihan, Surya Hamijayan, dan gamelan Semarangan92

di Keprabon yang dibeli dari Tasripin (Semarang).93 Proses belajar

mengajar dilaksanakan pada sore sampai malam hari dari pukul

16.00 sampai dengan 22.00.94 Hal ini karena sebagian besar siswa

Kokar adalah guru yang pada pagi hari harus bekerja dan SMA

Sint Yosep (Kanisius) pada pagi hari digunakan untuk proses

pembelajaran.

92Gamelan gaya Semarangan dapat diidentifikasi dari bentuk


wilahan blimbingan dan rancakan-nya. Tempat pembuatan
gamelan di Semarang adalah Gendhingan.

93Tasripin dikenal sebagai pengusaha pribumi yang sangat


kaya pada zamannya dan memiliki perhatian pada kesenian Jawa
yang ditunjukkan dengan kepemilikan gamelan dan wayang kulit.
Ia memiliki koleksi wayang berukuran sangat besar yang dikenal
sebagai wayang Tasripin. Sebagian telah menjadi koleksi Museum
Sana Budaya Yogyakarta dan Museum Wayang Jakarta.

94Wawancara dengan Boedhy Moehanto pada 24 Desember


2010.
167

Pada tahun pertama (Kelas Persiapan) siswa diperkenalkan

dengan praktik menabuh gamelan. Mereka disuruh menabuh

bersama dengan memegang ricikan gamelan yang disukai. Mereka

juga diharuskan untuk berganti ricikan gamelan. Kemudian

mereka secara bergilir diminta untuk memainkan instrumen yang

lain. Kebanyakan dari mereka telah bisa menabuh gamelan dalam

batas-batas tertentu, karena orang tua mereka ada yang memiliki

gamelan atau berasal dari keluarga yang memiliki perhatian pada

bidang karawitan baik sebagai seniman maupun hanya

merupakan kegemaran. Dalam kelas persiapan selama satu tahun

itu tidak diadakan evaluasi atau penilaian.

Praktik karawitan di kelas persiapan dilakukan secara

bergiliran atau bergantian karena siswa dibagi menjadi dua

sampai tiga kelompok. Kadang-kadang mereka praktik di

Kepatihan atau Surya Hamijayan. Dalam praktik digunakan notasi

kepatihan. Materi yang diajarkan mulai gendhing berstruktur

lancaran sampai dengan gendhing kethuk 2 yang sering

dipergelarkan masyarakat. Gendhing-gendhing ageng terpilih

menjadi materi pelajaran di kelas 3.95

Menurut Supardi (siswa Kokar angkatan 1974), siswa jurusan

karawitan yang akan belajar mata pelajaran praktik diwajibkan

95Wawancara dengan Boedhy Moehanto pada 24 Desember


2010.
168

mengikuti ketentuan sebagai berikut. Selama belajar mata

pelajaran praktik terutama kelas PIIP RKG, para siswa diwajibkan

untuk membawa srenten96 untuk kelas PIIP Rebab dan tabuh

gendèr untuk kelas PIIP Gendèr. Selama mengikuti kelas PIIP RKG

setiap siswa diwajibkan mempelajari setiap instrumen pokok

selama tiga kali seminggu dengan bergantian kelas. Setelah

mengikuti kelas Rebab, pada hari berikutnya siswa mengikuti

kelas Kendhang, dan selanjutnya mengikuti pelajaran di kelas

Gendèr. Hal yang sama juga dilakukan ketika para siswa belajar di

kelas PKB. Selama seminggu secara bergantian mereka mengikuti

kelas PKB Sala, kelas PKB Yogyakarta, PKB Wayang, dan

seterusnya.

Kegiatan belajar mengajar mata pelajaran praktik dilakukan

setiap hari pada jam kerja, dimulai dari pukul 07.00 sampai

dengan 13.00. Terutama bagi siswa yang kurang mampu dalam

hal pelajaran praktik, mereka diberi kesempatan untuk berlatih

secara mandiri untuk kelas RKG dan secara berkelompok untuk

kelas PKB dengan bimbingan guru kelas agar mereka dapat

mengikuti pelajaran praktik dengan lancar. Proses ini berlangsung

mulai dari kelas I sampai dengan kelas IV, karena pada tahun

96Srentenadalah kayu penyangga yang diletakkan di atas


membran resonansi pada ricikan rebab.
169

1977 Kokar Surakarta berubah nama menjadi Sekolah Menengah

Karawitan Indonesia Surakarta dengan masa studi empat tahun.

Kegiatan pelajaran tambahan untuk meningkatkan

kemampuan dan ketrampilan memainkan ricikan gamelan

diadakan pada sore hari. Kegiatan ini dapat berjalan dengan

lancar, mengingat Jurusan Karawitan hanya memiliki satu kelas

dengan jumlah siswa sebanyak 25 orang. Kegiatan ini juga

dipantau oleh guru kelas mata pelajaran praktik. Bagi siswa yang

mempunyai ketrampilan menabuh gamelan dengan baik akan

dilibatkan untuk membantu dalam Ujian Praktik Pergelaran yang

diadakan rutin setiap akhir tahun. Selain itu, siswa yang memiliki

ketrampilan menabuh gamelan dengan baik juga akan dilibatkan

dalam melayani pesanan masyarakat yang dikenal dengan istilah

“PeYe” (“PY”), singkatan dari ‘payu‟ yang berarti „laku‟, „menerima

tanggapan‟.97

Proses pembelajaran sebagaimana dituturkan oleh Boedhy

Moehanto dan Supardi mendapatkan pembenaran dari Joko

Wasisto, lulusan SMKI pada 1982. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa sejak berdiri sampai dengan awal 1980-an

tidak terdapat perubahan yang mendasar dalam proses

97Supardi, “Pengalaman Pentas/Peye Selama di Kokar”


http://supardi.dosen.isi-ska.ac.id/ (diunduh pada 21 November
2010).
170

pembelajaran di Kokar (SMKI). Dengan kata lain terdapat pola-pola

yang sama dalam proses pembelajaran di lembaga tersebut.

Gambar 3.2
Latihan Karawitan Siswa-siswi Kokar Surakarta untuk
Pementasan Sendratari “Harjuna Wiwaha” di Wisma Warta Jakarta
pada Mei 1967 (Sumber: Dokumentasi Kokar Surakarta).

Pendirian Kokar Surakarta mengakibatkan terjadinya

perubahan dalam proses pembelajaran seni karawitan Jawa yang

sekaligus membedakan cara dan proses pembelajaran seni

karawitan Jawa yang lama dari cara dan proses pembelajaran seni

karawitan Jawa di lembaga pendidikan formal. Menurut Rahayu

Supanggah, sekurang-kurangnya terdapat empat fenomena

perubahan dalam proses pembelajaran seni karawitan Jawa

Surakarta. Pertama, penggunaan kurikulum dalam pembelajaran


171

karawitan;98 kedua, pemberlakuan sistem kelas dalam pendidikan

seni karawitan;99 ketiga, penggunaan notasi kepatihan sebagai

sarana pembelajaran menabuh ricikan gamelan dan vokal

karawitan;100 dan keempat, pengenalan belajar menabuh ricikan

gamelan secara individual dengan cara mempelajari vokabuler

garap secara terpisah.101

Dengan memperhatikan fenomena pembelajaran seni

karawitan di Kokar Surakarta, menurut Rahayu Supanggah

terdapat tiga perubahan mendasar dalam sistem pengajaran

karawitan dari nonformal ke formal. Pertama, dari kebersamaan

ke individualitas. Dalam cara pembelajaran tradisi nonformal,

seseorang belajar menabuh gamelan secara berkelompok;

sedangkan dalam sistem pendidikan baru yang klasikal siswa

98Mata pelajaran, bahan, waktu, urutan, dan cara mengajar


ditentukan oleh kurikulum tertentu dengan target yang harus
dicapai dalam jangka pendidikan tertentu.

99Contoh: belajar memainkan ricikan kendhang secara


individual yang dipisahkan dari ricikan gamelan lainnya. Dalam
satu kelas, sepuluh orang murid belajar memainkan kendhang
dengan materi yang sama dan dilakukan secara berbarengan.

100Notasi
kepatihan menggunakan simbol angka arab (1-7)
dengan tambahan simbol untuk ricikan tertentu. Angka-angka itu
menyatakan nada; semakin besar angkanya, semakin tinggi
nadanya.

101Contoh: belajar sekaran kendhang dan bonang. Lihat


Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan II: Garap (Surakarta: ISI
Press, 2007), hlm. 168.
172

belajar secara individual walaupun mereka secara bersama-sama

berada dalam satu kelas secara massal.

Kedua, dari telinga ke mata. Dengan penggunaan notasi

kepatihan dalam proses pembelajaran karawitan, siswa tidak

diharuskan untuk mendengarkan gendhing sebagai materi ajar

terlebih dahulu. Siswa dapat langsung melihat atau membaca

notasi angka yang kemudian dicobakan ke dalam tabuhan

instrumen mereka. Pendidikan karawitan melalui notasi pada

dasarnya lebih melatih kepekaan visual daripada kepekaan

auditif.102

Ketiga, dari lentur ke kaku. Penggunaan notasi untuk belajar

menabuh gamelan sudah barang tentu membiasakan siswa untuk

belajar dan memainkan instrumen sesuai dengan notasi. Padahal

pada awalnya pembuatan dan penggunaan notasi dimaksudkan

untuk memudahkan guru dalam mengajar murid-muridnya.103

102Pada dasarnya bermain karawitan merupakan bentuk


sarasehan bunyi di antara para pangrawit. Dialog dan tanda-
tanda perubahan musikal disampaikan melalui komunikasi
auditif. Studi tentang interaksi musikal dalam karawitan lihat
Benjamin Brinner Knowing Music, Making Music: Javanese
Gamelan and The Theory of Musical Competence and Interaction
(Chicago & London: The University of Chicago Press, 1995).

103Supanggah, op. cit., hlm. 169-175.


173

3. Sistematisasi, Formulasi, dan Penyebarluasan Karawitan

Jawa Surakarta

Upaya-upaya untuk menyusun pengetahuan karawitan secara

sistematis dan memformulasikan teori karawitan telah dirintis

oleh para intelektual keraton pada awal abad XX. Kebanyakan

para perintis itu memiliki pengalaman yang terbatas sebagai

musisi gamelan. Dengan demikian, perspektif musisi dalam teori

mereka agak terbatas.104

Pada 1950, untuk kepentingan proses pembelajaran

karawitan, para tokoh Kokar Surakarta meneruskan upaya-upaya

untuk menyusun pengetahuan karawitan secara sistematis dan

memformulasikan teori karawitan. Berdasar konsep musikal yang

mendasar (lagu dan irama), para tokoh Kokar Surakarta

mengelompokkan ricikan gamelan ageng menjadi dua, yaitu ricikan

lagu dan ricikan irama. Masing-masing kelompok dibagi menjadi

dua, yaitu pamurba (pemimpin) dan pamangku (pengemban tugas

yang membantu pamurba). Dengan demikian, dalam satu

perangkat gamelan ageng terbagi dalam empat kategori, yaitu

pamurba lagu, pamangku lagu, pamurba irama, dan pamangku

irama. Menurut Rahayu Supanggah, walaupun pengelompokan itu

agak aneh dan tidak terlalu berorientasi pada karawitan, namun

104Sumarsam, op. cit., hlm. 202.


174

dalam kenyataan, pengelompokan itu paling tersebar dan berlaku

di dunia karawitan sampai sekarang.105

Di antara tokoh-tokoh seni karawitan Kokar Surakarta,

Sindoesawarno merupakan salah seorang yang memiliki

sumbangan besar dalam menyusun pengetahuan karawitan

secara sistematis dan memformulasi teori karawitan Jawa

Surakarta. Selain sebagai salah seorang pendiri Kokar Surakarta,

ia adalah pendukung yang kuat terhadap kegiatan penelitian dan

pendidikan seni karawitan. Karyanya yang terpenting adalah Ilmu

Karawitan Jilid 1 (1955) dan Ilmu Karawitan Jilid 2 (tanpa tahun).

Ilmu Karawitan Jilid 1 menjadi buku bacaan bagi siswa di Kokar

Surakarta.106

Dalam Ilmu Karawitan Jilid 1, Sindoesawarno membahas

tentang gamelan Jawa, Bali, dan Sunda. Namun, sesuai dengan

bidang keahliannya pembahasan tentang teori gamelan Jawa

mendapatkan porsi lebih besar dibandingkan dengan gamelan Bali

dan Sunda. Ia mengungkap penjelasan-penjelasan baru tentang

praktik permainan gamelan, khususnya tentang irama dan lagu.

Dalam Ilmu Karawitan Jilid 2, ia membicarakan tentang berbagai

teori karawitan. Pendek kata, melalui studi-studi tentang gamelan

105Ibid., hlm. 69-70.

106Ibid., hlm. 203.


175

itu, ia menjadi seorang spesialis ilmu karawitan. Kemampuan dan

ketokohan Sindoesawarno dalam studi tentang gamelan

mengantarkan dirinya mendapatkan gelar “Ki”, suatu gelar

kehormatan untuk seseorang yang berjasa karena keahliannya

dalam bidang tertentu. 107

Keberhasilan Sindoesawarno tidak dapat dilepaskan dari

peranan staf dan guru-guru di Kokar Surakarta. Staf adalah

bagian dari Kokar yang anggotanya kebanyakan mantan musisi-

musisi Kasunanan Surakarta. Selain sebagai narasumber, secara

berkala staf mengadakan pergelaran untuk umum dan untuk

siswa Kokar. Beberapa anggota staf juga ditugaskan untuk

mengajar. Pada waktu Sindoesawarno menjabat sebagai pimpinan

staf, kepala bagian riset, dan pengajar ilmu karawitan di Kokar

Surakarta, ia mempunyai kesempatan yang luas untuk

mengadakan pembicaraan dengan musisi-musisi gamelan.108

Pada 1960 Bagian Penyelidikan Kokar Surakarta telah

menyusun konsepsi tentang aspek-aspek yang harus diteliti dalam

karawitan dan gamelan untuk mengembangkan Karawitanologi

dan Gamelanologi.109 Sehubungan dengan itu, staf Kokar berhasil

107Ibid., hlm. 203-205.

108Ibid., hlm. 203, 205, dan 206.

109R. Wiranto, “Konsepsi Bagian Penjelidikan/ Research


Konservatori Karawitan Indonesia” (1-8-1960).
176

mendokumentasikan kekaryaan musik gamelan, baik pada tingkat

repertoar dan vokal maupun pola-pola dasar permainan

instrumen.110 Kegiatan pendokumentasian itu selain digunakan

untuk kepentingan acuan belajar musik gamelan juga merupakan

suatu bentuk penyelamatan terhadap warisan repertoar-repertoar

dan pola dasar permainan instrumen.

Kokar melalui siswa dan pengajarnya juga berusaha

menekankan istilah-istilah tradisional dan mempromosikan

istilah-istilah baru untuk menyebut penabuh dan penyanyi

gamelan, yang bertujuan untuk membuat citra baru yang dapat

mengangkat kedudukan musisi-musisi Jawa di masyarakat.

Dalam hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh Sumarsam, Kokar

Surakarta mewarisi perspektif seni adiluhung; gamelan sebagai

seni klasik. Dalam konteks ke-adiluhung-an gamelan, kata

„niyaga‟, „pesindhèn‟, dan „penggérong‟ yang dipandang memiliki

citra negatif karena diasosiasikan dengan status musisi gamelan

yang rendah diganti dengan istilah lain yang membuat citra dan

status mereka lebih baik. Istilah „pangrawit‟ diajukan untuk

mengganti „niyaga‟ (penabuh gamelan), „swarawati‟ untuk

mengganti „pesindhèn‟ (penyanyi solo gamelan), dan istilah

110Waridi,
“Musik Gamelan: Sebuah Catatan Tentang
Pendidikan, Kehidupan, dan Kekaryaan”
http://onesgamelan.wordpress.com/2009/01/26/ (diunduh pada
12 Desember 2009).
177

„wiraswara‟ (pahlawan seni suara) untuk mengganti „penggérong‟

(penyanyi koor pria).111 Istilah-istilah pengganti itu digunakan

sampai sekarang. Para seniman dan seniwati karawitan Jawa

tampaknya juga lebih suka apabila mereka disebut sebagai

„pangrawit‟ daripada „niyaga‟, „swarawati‟ daripada „pesindhèn‟,

dan „wiraswara‟ daripada „penggérong‟.

Sumarsam juga menuturkan bahwa sebagai lulusan Kokar

Surakarta ia sangat mengingat upaya-upaya lain yang dilakukan

eksponen-eksponen Kokar Surakarta untuk meningkatkan status

musisi gamelan dan gamelan itu sendiri. Dalam setiap pergelaran

para pengajar dan siswa selalu merasa perlu untuk meletakkan

instrumen gamelan di panggung. Dengan cara itu mereka beserta

instrumen-intrumen gamelan yang dimainkannya akan berposisi

sama tinggi dengan tamu-tamu yang duduk di kursi. Selain itu,

kelompok karawitan yang terdiri atas guru dan siswa Kokar

Surakarta, yang sering bermain gamelan di luar kegiatan sekolah

(termasuk “PeYe”), mensyaratkan agar ketika menabuh musisi-

musisinya tidak mengenakan seragam pakaian Jawa, tetapi

memakai jas dan dasi atau kemeja putih lengan panjang, dasi, dan

berpeci. Dengan cara berpakaian seperti itu, kelompok karawitan

111Sumarsam, op. cit., hlm. 180.


178

ini merasa bahwa penonton akan lebih menghargai kepada

penabuh dan musik gamelan.112

Upaya-upaya yang dilakukan pengajar dan siswa Kokar

Surakarta yang mensyaratkan untuk meletakkan gamelan di

panggung juga menyebar di kalangan seniman karawitan sampai

sekarang. Mereka merasa lebih terhormat apabila menabuh

gamelan di panggung daripada di lantai dengan alas tikar.

Gambar 3.3
Pergelaran Seni Kokar Surakarta di Jakarta 1951
(Sumber: Budaya, No. 2 Februari 1953, hlm. 22).

Kokar Surakarta telah menghasilkan seniman-seniman

karawitan andal. Lulusan-lulusannya semakin bertambah banyak

112Ibid., Bab III Catatan No. 57, hlm. 412.


179

dan menyebar ke berbagai daerah. Seiring dengan itu kehidupan

musik gamelan tradisi hingga pertengahan dasawarsa 1980-an

hidup secara subur. Hal ini ditunjukkan dengan pembentukan

kelompok-kelompok karawitan hampir di setiap kelurahan,

instansi, perusahaan, dan sekolah. Para alumni Kokar Surakarta

menjadi pelatih karawitan secara profesional. Dengan kehidupan

karawitan seperti itu menjadikan pendidikan karawitan di

sekolah-sekolah formal pun dapat berjalan dengan wajar.113

Sejak 1951 secara berkala staf dan siswa Kokar

mendapatkan kesempatan untuk siaran karawitan di Radio

Republik Indonesia Surakarta.114 Pada 1970-an Kokar Surakarta

mempunyai stasiun radio amatir yang disebut Radio Konservatori.

Selain digunakan sebagai media penyebaran informasi, radio ini

membantu misi yang diemban Kokar dengan cara memberi

prioritas untuk mempublikasikan gendhing-gendhing gaya

Surakarta. Radio ini juga dimanfaatkan oleh paguyuban-

paguyuban karawitan dari kota dan luar kota Surakarta sebagai

wahana untuk memainkan gamelan untuk publik. Melalui

113Waridi,“Musik Gamelan: Sebuah Catatan Tentang


Pendidikan, Kehidupan, dan Kekaryaan”
http://onesgamelan.wordpress.com/2009/01/26/ (diunduh pada
12 Desember 2009).

114“Konservatori Karawitan Indonesia”, op. cit., hlm. 453.


180

penyajian di Radio Konservatori gendhing-gendhing klasik berhasil

dipublikasikan ke kalangan yang lebih luas. Radio Konservatori

juga memberikan kontribusi yang cukup besar dalam

penyebarluasan dan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap

gendhing-gendhing klasik Jawa gaya Surakarta. 115

Hasil dari upaya-upaya untuk meningkatkan status musisi

Jawa dan gamelan dapat dirasakan sampai sekarang. Lulusan

Kokar (SMKI) Surakarta rata-rata memiliki kemampuan ber-

karawitan cukup baik. Mereka bekerja di berbagai daerah

(kebanyakan di Jawa) dan melakukan aktivitas ber-karawitan

bersama masyarakat. Kehadiran para lulusan Kokar Surakarta di

tengah-tengah masyarakat dapat menggairahkan kehidupan

karawitan dan meningkatkan kualitas permainan instrumen dan

garap gendhing. Sesuai dengan pelajaran yang didapatkan di

Kokar Surakarta, mereka pada umumnya menekankan pada gaya

musik gamelan keraton di tengah-tengah masyarakat.116 Hal ini

115Supanggah,
(2007), op. cit., hlm. 21. Waridi, Gagasan &
Kekaryaan Tiga Empu Karawitan: Pilar Kehidupan Karawitan Jawa
Gaya Surakarta 1950-1970-an (Ki Martapengrawit, Ki
Tjakrawasita, Ki Nartasabda) (Bandung-Surakarta: Etnoteater
Publisher, BACC Kota Bandung, Pascasarjana ISI Surakarta,
2008), hlm. 143.

116Waridi,
“Musik Gamelan: Sebuah Catatan Tentang
Pendidikan, Kehidupan, dan Kekaryaan”
http://onesgamelan.wordpress.com/2009/01/26/ (diunduh 12
Desember 2009), catatan no. 9.
181

mengakibatkan karawitan Jawa Surakarta menyebar luas di

masyarakat dan mendominasi kehidupan karawitan tradisi

lainnya. Sebagai contoh, karawitan Jawa Surakarta mendominasi

kehidupan karawitan di Daerah Istimewa Yogyakarta.117 Selain itu,

karawitan Jawa Surakarta juga mendominasi kehidupan

karawitan di Semarang. Walaupun menurut Anderson Sutton di

Semarang berkembang karawitan tradisi Semarangan,118 namun

realitas menunjukkan bahwa karawitan Jawa Surakarta lebih

dominan. Dominasi karawitan Jawa Surakarta telah

menyingkirkan bahkan memunahkan karawitan Semarangan.

C. Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta

1. Latar Belakang, Proses, dan Tujuan Pendirian

Pendirian akademi kesenian telah menjadi bagian dari wacana

tentang pembangunan kebudayaan Indonesia yang

diperbincangkan oleh sejumlah tokoh budaya pada awal

kemerdekaan yang kemudian dibahas secara khusus dalam

Kongres Kebudayaan Indonesia I 1948119 dan Konferensi

117Kriswanto, op. cit., passim.

118Sutton, op. cit.. Bab 4, hlm. 101-120.

119“Akademi Kesenian”, Arsip Kementerian Penerangan No.


251 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia).
182

Kebudayaan Indonesia pada 1950.120 Pendirian akademi kesenian

itu dimaksudkan agar anak bangsa Indonesia yang berbakat seni

memiliki kesempatan untuk berlatih teknis-teknis seni dan

mendapatkan pengetahuan budaya bangsa sendiri dan bangsa

lain secara memadai yang pada akhirnya mampu menjadi seniman

yang memiliki peran dalam kehidupan masyarakat.121 Lebih dari

itu, melalui akademi kesenian diharapkan akan lahir akademisi-

akademisi yang tidak hanya mengkonservasi, tetapi menjadi pionir

dalam menghasilkan kreasi-kreasi seni yang bermanfaat bagi

kemanusiaan.122 Dua tahun setelah Kongres Kebudayaan

Indonesia I wacana itu dapat direalisasikan dengan pendirian

Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta pada 1950,123

yang kemudian disusul dengan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI)

120Nunus Supardi, Kongres Kebudayaan (1918-2003)


(Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 153.
121“Akademi Kesenian”, loc. cit..
122Trisno Sumardjo, “Dasar Pikiran tentang Akademi
Kesenian”, Zenith, No. 12 Th. I Desember 1951, hlm. 706; Trisno
Sumardjo, “Tjita Dasar Akademi Kesenian”, Pustaka dan Budaja,
No. 8 Tahun II, Desember 1960, hlm. 28.
123Pada 1959 ASRI telah berusia sembilan tahun. Lihat R.
Sudarmadji, “Menjambut Pameran Dies IX ASRI (15-22 Djanuari
1959)”, Mimbar Indonesia, No. 4/5 Th. XIII, 28 Djanuari 1959.,
hlm. 12 dan 20.
183

Yogyakarta pada 1963, dan Akademi Seni Karawitan Indonesia

(ASKI) Surakarta pada 1964.124

Pendirian ASKI Surakarta berkaitan dengan perkembangan

Kokar Surakarta. Sampai dengan awal 1960an perkembangan

Kokar Surakarta tidak sesuai dengan tujuan awal pendiriannya.

Kokar Surakarta tidak dapat berkembang seperti Conservatoir di

negara-negara maju, karena hanya tumbuh menjadi lembaga

pendidikan yang masih setaraf dengan Sekolah Lanjutan Tingkat

Atas (SLTA). Oleh karena itu, perlu adanya lembaga pendidikan

yang searah dan sejenis dengan level lebih tinggi yang dapat

menampung lulusan sekolah tersebut.125

Realitas itu mendorong para seniman, ahli budaya, dan empu

di Surakarta untuk menggagas dan merealisasikan pendirian

lembaga pendidikan tinggi seni. Beberapa orang yang notabene

adalah civitas akademik Kokar Surakarta menjadi pemikir dalam

upaya pendirian lembaga pendidikan seni itu. Mereka adalah

Djojokoesoemo, Sindoesawarno, R.C. Hardjosoebroto, R. Iskandar,

124“Sawise Suwe Dianti-anti Wusana Kalakon Madeg:


„Akademi Seni Tari Indonesia‟ (1)”, Mekar Sari, No. 21 Th. VII, 1
Djanuari 1964, hlm. 17; dan Jennifer Lindsay, Klasik, Kitsch
Kontemporer: Sebuah Studi tentang Seni Pertunjukan Jawa,
terjemahan Nin Bakdi Soemanto (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1991), hlm. 33.

125Buku Dies Natalis XXII Akademi Seni Karawitan Indonesia


Surakarta, 15 Juli 1964-1986, hlm. 23.
184

dan lain-lain.126 Melalui lembaga resmi baik di pusat maupun

daerah, mereka berupaya agar di Surakarta didirikan lembaga

pendidikan tinggi seni.127 Dalam perkembangan usaha itu menjadi

kenyataan. Dengan penerbitan Surat Keputusan Menteri

Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 068/1964 tertanggal 15

Juli 1964 oleh Menteri Prijono ditetapkan pembukaan Akademi

Seni Karawitan Indonesia (ASKI) di Surakarta.128

Pendirian lembaga pendidikan tinggi seni tersebut

dimaksudkan sebagai tempat dan pembina perkembangan

kehidupan seni tradisi. Lembaga pendidikan seni dianggap sebagai

satu-satunya sarana yang dapat digunakan agar seni tidak

mengalami arus penurunan mutu. Sebagai lembaga pendidikan

tinggi seni ASKI diharapkan menjadi sentra dalam pembinaan seni

126Beberapa nama lain yang berperan dalam persiapan


pendirian ASKI Surakarta adalah Tarmowijoto, Sujadi
Hadisuwanto, Koesoemo Kesowo, Koesoemotanojo, Wignjowitono,
Kasan Moekti Soerjoatmodjo, Wiranto, Soeroso, Pontjowigati, dan
Harimawan. Buku Kenang-kenangan Dies Natalis ke VII ASKI
Surakarta, hlm. 14.

127Buku Petunjuk STSI Surakarta 1991-1992 (Surakarta: STSI


Press, 1991), hlm. 1.

128“Keputusan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudajaan No.


68/ 1964 tentang Akademi Seni Karawitan Indonesia di
Surakarta”, dalam Buku Kenang-kenangan Dies Natalis ke VII ASKI
Surakarta, op. cit., hlm. 15-16.
185

tradisi di masyarakat luas yang dapat menggantikan kedudukan

dan peranan keraton dalam bidang seni tradisi.129

Setelah penerbitan Surat Keputusan Menteri Pendidikan

Dasar dan Kebudayaan tentang pendirian ASKI, diperlukan

adanya peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan untuk

penyelenggaraan ASKI. Dalam hubungan dengan hal itu, Kepala

Direktorat Kebudayaan Departemen Pendidikan Dasar dan

Kebudayaan menerbitkan Surat Keputusan No. 281/Pend./1964

tanggal 3 November 1964. Selanjutnya diputuskan untuk

membentuk tim kerja yang bertugas menyusun segala peraturan

yang berhubungan dengan ASKI dan persiapan peresmiannya. Tim

kerja terdiri atas beberapa pemikir persiapan pendirian ASKI, yaitu

Djojokoesoemo sebagai ketua merangkap anggota, Sindoesawarno

sebagai wakil ketua merangkap anggota, Hardjosoebroto, Iskandar,

S.D. Humardani, Soetrisno, dan R.S. Sosrosoedarto sebagai

anggota, serta dibantu oleh Soeroso, Wiranto, dan Kasan Mukti

Soerjoatmodjo.130 Selain tokoh-tokoh tersebut, terdapat sejumlah

129S.D. Humardani, “Beberapa Masalah Lembaga Pendidikan


Tinggi Seni Tradisi”, dalam S.D. Humardani Kumpulan Kertas
tentang Kesenian (Surakarta: Sub/Bagian Proyek ASKI Surakarta,
Proyek Pengembangan IKI, 1982/1983), hlm. 23.

130Buku Kenang-kenangan Dies Natalis ke VII ASKI Surakarta,


op. cit., hlm. 17.
186

tokoh budaya, tokoh masyarakat, pengusaha,131 dan civitas

akademik Kokar Surakarta yang secara khusus membantu

persiapan peresmian ASKI Surakarta dalam bentuk materiil,

sarana transportasi, dan pertunjukan. Akhirnya, pada 19

Desember 1964 pendirian ASKI Surakarta diresmikan.132

Kelancaran penyelenggaraan program pendidikan

memerlukan adanya suatu peraturan. Sebelum peresmian ASKI

Surakarta telah terbit Surat Keputusan Menteri Pendidikan Dasar

dan Kebudayaan No. 121/1964 tanggal 23 November 1964 yang

mengatur tentang penyelenggaraan ASKI Surakarta. Selain itu,

untuk kelancaran dan keberhasilan proses pembelajaran

diterbitkan tata tertib bagi mahasiswa ASKI Surakarta pada

1965.133 Penyelenggaraan program pendidikan di ASKI Surakarta

kemudian disempurnakan dengan penerbitan Surat Keputusan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 039/1968 tertanggal

8 Mei 1968 tentang peraturan ASKI. Dengan penerbitan surat

131Beberapa nama yang bisa disampaikan di sini adalah


Hadiwidjojo, Wongsodinomo, Mlojosoenarjo, Walujokoesoemo,
Moetawali, Bakri, dan Brotosaputra.

132Buku Kenang-kenangan Dies Natalis ke VII ASKI Surakarta,


op. cit., hlm. 14.

133“Surat Keputusan Ketua Akademi Seni Karawitan di


Surakarta No. 4/S.p.-Aski/65 tentang Putusan dan Tata Tertib
Akademi Seni karawitan Indonesia”, dalam Buku Kenang-
kenangan Dies Natalis ke VII ASKI Surakarta, hlm. 39-41.
187

keputusan itu beberapa hal yang berkaitan dengan kedudukan,

maksud, dan tujuan pendirian ASKI Surakarta semakin jelas.

ASKI Surakarta yang diselenggarakan oleh Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan khususnya Direktorat Jenderal

Kebudayaan merupakan lembaga ilmiah dan seni yang berdasar

pada “perkembangan kebangsaan dan keindahan”. Lembaga ini

bertugas memberikan pendidikan dan pengajaran tinggi yang

ditujukan kepada keahlian khusus seni karawitan bagi mereka

yang berbakat dan berminat menjadi seniman dan seniwati.

Adapun kewajibannya adalah “membina keselarasan antara

bidang ilmiah dan bidang seni dalam rangka perkembangan dan

atau pembentukan kebudayaan Indonesia yang selaras dengan

kepribadian Indonesia”.134

ASKI Surakarta yang didirikan dengan tujuan ideal yang

berkaitan dengan pembentukan kebudayaan Indonesia, pada awal

pendirian menghadapi persoalan khususnya yang berkaitan

dengan sarana dan prasarana. Hal ini setidaknya tergambar dalam

pernyataan Rahayu Supanggah yang pada 1971 menjadi Ketua

Dewan Mahasiswa. Ia mengatakan bahwa ASKI Surakarta telah

mengalami proses perkembangan yang tidak mudah sejak berdiri

134“Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudajaan Nomor


039/1968 tentang Peraturan Peraturan Akademi Seni Karawitan
Indonesia”, Bab I pasal 1, 2, dan 3, dalam Buku Kenang-kenangan
Dies Natalis ke VII ASKI Surakarta, ibid., hlm. 18-24.
188

hingga peringatan Dies Natalisnya yang ke tujuh, yang disebabkan

oleh peralatan yang serba kurang.135 Hal ini tidak lain karena ASKI

Surakarta belum memiliki gedung sendiri yang representatif untuk

pelaksanaan program pendidikan. Seluruh proses pembelajaran

ASKI diselenggarakan di gedung Kokar Surakarta dengan seluruh

fasilitas penunjangnya yang mencakup perpustakaan dan

gamelan.136 Dengan demikian, waktu penyelenggaraan proses

pembelajaran harus berbagi dengan proses pembelajaran Kokar

Surakarta.

2. Program Pendidikan dan Proses Pembelajaran

Pada awal pendirian ASKI Surakarta menyelenggarakan dua

program pendidikan, yaitu Jurusan Keilmuan dan Jurusan

Kesenian dengan lama studi lima tahun. Mata kuliah yang harus

ditempuh mencakup Mata Kuliah Umum dan Mata Kuliah

Kejuruan atau Keahlian. Mata Kuliah Umum terdiri atas lima mata

kuliah, yaitu: 1) Pancasila dan Manipol R.I., 2) Pendidikan Agama,

135“Sambutan Ketua „DEMA – A.S.K.I.„ dalam Rangka Dies


Natalis ke-VII Akademi Seni Karawitan di Surakarta, dalam Buku
Kenang-kenangan Dies Natalis ke VII ASKI Surakarta, ibid., hlm.
13.

136“LaporanPd. Ketua Akademi Seni Karawitan Indonesia


Surakarta pada Resepsi Dies Natalis ke VII Tgl. 24 Djuli 1971”,
dalam Buku Kenang-kenangan Dies Natalis ke VII ASKI Surakarta,
hlm. 6.
189

3) Filsafat, 4) Antropologi Budaya, dan 5) Sejarah Kebudayaan.

Mata Kuliah Kejuruan atau Keahlian terdiri atas 11 mata kuliah,

yaitu: 1) Ilmu Karawitan, 2) Teori Karawitan, 3) Sejarah

Karawitan, 4) Praktik Karawitan Sendiri, 5) Praktik Karawitan

Bersama, 6) Praktik Karawitan Tetembangan, 7) Tari, 8)

Pedhalangan, 9) Pengetahuan Musik Luar Indonesia, 10)

Pengetahuan Pergelaran, dan 11) Bahasa Jawa Kuna. Baik

mahasiswa yang memilih Jurusan Keilmuan maupun Jurusan

Kesenian harus menempuh semua mata kuliah itu dengan jumlah

beban studi yang sama. Perbedaannya terletak pada jumlah rata-

rata jam kuliah dalam seminggu.137 Secara umum dapat dikatakan

bahwa mahasiswa yang memilih Jurusan Keilmuan akan

menempuh mata kuliah-mata kuliah yang bersifat teoretik dan

keilmuan dengan bobot atau beban studi yang lebih besar

daripada mahasiswa yang memilih Jurusan Kesenian. Sebaliknya,

mahasiswa yang memilih Jurusan Kesenian akan menempuh

mata kuliah-mata kuliah praktik dengan bobot atau beban studi

lebih besar daripada mahasiswa yang memilih Jurusan Keilmuan.

Dengan mencermati kurikulum pertama, sesuai dengan nama

institusinya, ASKI Surakarta menekankan pada studi tentang seni

137Kurikulum
Pertama ASKI Surakarta dapat dilihat dalam
Buku Kenang-kenangan Dies Natalis ke VII ASKI Surakarta, hlm.
16.
190

karawitan. Hal ini tampak dari jumlah mata kuliah seni karawitan

baik teori maupun praktik yang relatif lebih banyak daripada tari

dan pedhalangan. Dari 11 Mata Kuliah Kejuruan terdapat lebih

dari enam mata kuliah seni karawitan, yaitu Ilmu Karawitan, Teori

Karawitan, Sejarah Karawitan, Praktik Karawitan Sendiri, Praktik

Karawitan Bersama, dan Praktik Karawitan Tetembangan.

Pada 1968 dengan penerbitan Keputusan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 039/1968 tentang

Peraturan ASKI, program pendidikan ASKI menjadi lebih jelas.

Dalam pasal 5 disebutkan bahwa lama pendidikan ASKI adalah

lima tahun di atas Kokar atau Sekolah Umum Tingkat Atas.

Program pendidikan itu dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu

Tingkat Sarjana Muda (Tingkat A) dengan lama pendidikan tiga

tahun dan Tingkat Sarjana (Tingkat B) dengan lama pendidikan

dua tahun di atas Tingkat A.138

Penerbitan surat keputusan itu berimplikasi pada

penyempurnaan kurikulum ASKI. Mata Kuliah tetap

diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu Mata Kuliah Umum

dan Mata Kuliah Keahlian. Mata Kuliah Keahlian diklasifikasikan

138“Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudajaan Nomor


039/1968 tentang Peraturan Peraturan Akademi Seni Karawitan
Indonesia”, dalam Buku Kenang-kenangan Dies Natalis ke VII ASKI
Surakarta, ibid., hlm. 18-24; lihat juga van Groenendael, 1987,
hlm. 66-67.
191

ke dalam dua kelompok, yaitu Mata Kuliah Teori dan Mata Kuliah

Praktik. Baik Mata Kuliah Umum maupun Mata Kuliah Keahlian

dikelompokkan lagi dalam Mata Kuliah Pokok,139 Mata Kuliah

Penting,140 dan Mata Kuliah Pelengkap.141

Dengan mencermati mata kuliah-mata kuliahnya, tampak

bahwa kurikulum 1968 merupakan perincian dari kurikulum

sebelumnya (1964) yang belum sempurna. Pemerincian itu tampak

pada mata kuliah Praktik Karawitan yang secara eksplisit

mencantumkan karawitan dari daerah selain Surakarta, yaitu

Yogyakarta, Sunda, dan Bali. Demikian pula halnya dengan Mata

139Mata Kuliah Pokok meliputi: 1) Pancasila dan UUD 1945, 2)


Ilmu Karawitan (terdiri atas Ilmu Karawitan, Teori Karawitan dan
Sejarah Karawitan), 3) Praktik Karawitan Bersama (terdiri atas
Praktik Karawitan Surakarta, Yogyakarta, Sunda, dan Bali), 4)
Praktik Karawitan Sendiri (terdiri atas Praktik Karawitan
Surakarta, Yogyakarta, Sunda, dan Bali), dan 5) Seni
Suara/Tetembangan (terdiri atas Pengetahuan dan Teori Seni
Suara dan Praktik Seni Suara).

140Mata Kuliah Penting meliputi: 1) Tari terdiri atas


Pengetahuan dan Teori Tari dan Praktik Tari (Tari Surakarta dan
Yogyakarta); 2) Pedhalangan terdiri atas Pengetahuan dan Teori
Pedhalangan dan Praktik Pedhalangan; 3) Pergelaran terdiri atas
Pengetahuan dan Teori Pergelaran dan Akustika Musik; dan 4)
Musik Luar Indonesia yang terdiri atas Pengetahuan dan Teori
Musik dan Praktik Musik.

141Mata Kuliah Pelengkap meliputi: 1) Sejarah Kebudayaan, 2)


Bahasa Jawa Kuna, 3) Bahasa Inggris, 4) Antropologi Budaya, 5)
Filsafat, dan 6) Bimbingan Skripsi. Kurikulum terdapat dalam
Lampiran “Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudajaan Nomor
039/1968 tentang Peraturan Peraturan Akademi Seni Karawitan
Indonesia”, Buku Kenang-kenangan Dies Natalis ke VII ASKI
Surakarta, hlm. 18-24.
192

Kuliah Tari yang di dalamnya juga terdapat mata kuliah Praktik

Tari Yogyakarta. Dalam kurikulum 1968 terdapat penambahan

dua mata kuliah baru, yaitu Bahasa Inggris dan Bimbingan

Skripsi.142

Pada 1973 terbit Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Nomor 093/0/1973 tertanggal 19 Mei tentang

Pedoman mengenai status, kurikulum, staf pengajar, dan

perlengkapan materiil ASKI di Surakarta. Lulusan ASKI berhak

menggunakan sebutan “Sarjana Muda Karawitan”, bagi mereka

yang lulus ujian negara Sarjana Muda ASKI, dan “Seniman

Karawitan” bagi mereka yang lulus ujian negara tingkat Seniman

ASKI. Dalam rangka pengangkatannya sebagai calon pegawai

negeri sipil (CPNS), golongan dan ruangnya disesuaikan menurut

ijazah yang dimiliki menurut peraturan yang berlaku. Ijazah

Seniman Karawitan dinilai setingkat dengan ijazah sarjana.143

Berdasar gagasan Humardani yang pada saat itu menjadi

anggota presidium ASKI Surakarta dalam bidang akademik,

dibuka arah studi pedhalangan pada 1974. Penggunaan istilah

“arah studi‟ merupakan sebuah upaya strategis untuk

142Kurikulum 1968 terdapat pada Lampiran “Keputusan


Menteri Pendidikan dan Kebudajaan Nomor 039/1968 tentang
Peraturan Peraturan Akademi Seni Karawitan Indonesia, Buku
Kenang-kenangan Dies Natalis ke VII ASKI Surakarta, hlm. 18-24.

143Buku Petunjuk STSI Surakarta 1991-1992, op. cit., hlm. 2


193

mengembangkan program studi, karena ASKI Surakarta tidak

memiliki otoritas untuk membuka jurusan atau program studi

baru, karena wewenang untuk hal tersebut berada pada Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan.144 Sebenarnya spesialisasi

pedhalangan sudah disebutkan dalam keputusan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan No. 093/0/1973. Spesialisasi itu

baru boleh diambil oleh mahasiswa setelah mencapai tingkat

sarjana muda. Menurut Humardani arah studi tersebut tidak

mungkin dilakukan atau tidak mungkin berhasil, karena

spesialisasi pedhalangan memerlukan persiapan khusus yang

dimulai sejak dini atau dari tingkat pertama.

Sejalan dengan perkembangan ASKI Surakarta, pada 1976

terjadi alih kelola pendidikan akademi kesenian dari Direktorat

Jenderal Kebudayaan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.145 Setelah alih

kelola itu, pada 1977 di ASKI Surakarta dibuka lagi arah studi

tari. Dengan demikian, sampai dengan 1977 ASKI Surakarta telah

memiliki tiga arah studi, yaitu karawitan, pedhalangan, dan

144Rustopo, Gendhon Humardani Sang Gladiator: Arsitek


Kehidupan Seni Tradisi Modern (Yogyakarta: Yayasan Mahavhira,
2001), hlm. 71.

145Ibid..
194

tari.146 Pada 1980 setelah arah studi pedhalangan dan tari

menghasilkan lulusan, istilah arah studi diganti dengan jurusan.

Dengan kata lain, sejak saat itu di ASKI Surakarta terdapat tiga

jurusan, yaitu Karawitan, Pedhalangan, dan Tari.

Setelah memiliki tiga jurusan, dilakukan upaya-upaya untuk

meningkatkan status ASKI Surakarta. Sebenarnya gagasan untuk

meningkatkan status akademi-akademi kesenian merupakan

gagasan kolektif yang muncul dari berbagai kalangan baik dari

dalam maupun luar lingkungan akademi-akademi kesenian yang

memberikan perhatian terhadap arti penting perguruan tinggi seni

di Indonesia. Pada 1976 pembicaraan untuk mewujudkan institut

seni mulai dilakukan melalui rapat-rapat yang diikuti oleh semua

ketua akademi seni. Dalam hubungan dengan hal itu, pemerintah

membentuk suatu lembaga dengan nama “Proyek Pengembangan

Institut Kesenian Indonesia” yang berkantor di Jakarta. Dari

tahun ke tahun diadakan rapat. Alternatif-alternatif perubahan

status diusulkan melalui pembicaraan yang panjang dan alot.

Akhirnya, pada Januari 1982 Humardani diundang oleh Menteri

Pendidikan Daoed Joesoef (lahir 1926). Dalam pertemuan yang

juga dihadiri oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Dody

Tisnaamijaya (lahir 1925, meninggal 1993), Menteri Daoed Joesoef

146Ibid..
195

memberi tugas kepada Humardani selaku Ketua ASKI Surakarta

untuk mempersiapkan Institut Kesenian Indonesia (IKI) Surakarta

dalam waktu satu setengah tahun. Ketika hasil persiapan sudah

siap untuk dilaporkan, pada 5 Juni 1983 Humardani sakit dan

dua bulan kemudian meninggal dunia. Dalam perkembangan pada

saat Nugroho Notosusanto (lahir 1930, meninggal 1985) menjabat

sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, akademi-akademi

kesenian di Yogyakarta disatukan dan ditetapkan sebagai Institut

Seni Indonesia (ISI) pada 1984. Sementara itu ASTI Denpasar,

ASKI Surakarta, ASTI Bandung, dan ASKI Padang Panjang tetap

berstatus akademi.147

Para penerus Humardani harus mulai dari awal untuk

meningkatkan status ASKI Surakarta dengan melakukan

pendekatan-pendekatan kepada beberapa pejabat penting di

lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan mencari

dukungan dari berbagai pihak yang diharapkan dapat membantu

mewujudkan cita-cita untuk meningkatkan status institusi.

Akhirnya pada 1988 status ASKI Surakarta ditingkatkan menjadi

Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) berdasar Surat Keputusan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0446/0/1988 tanggal 12

September 1988. Peresmian peningkatan status dilakukan oleh

147Ibid., hlm. 278 dan 280-281.


196

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan (lahir 1929,

meninggal 2007) pada 6 Oktober 1988.148

STSI Surakarta mempunyai empat jurusan, yaitu Jurusan

Karawitan yang menyelenggarakan Program Studi Seni Karawitan,

Progam Studi Etnomusikologi, dan Diploma 3 Seni Karawitan;

Jurusan Pedhalangan yang menyelenggarakan Program Studi Seni

Pedhalangan untuk Strata 1 dan Diploma 3; dan Jurusan Tari

yang menyelenggarakan Program Studi Seni Tari untuk jenjang

Strata 1 dan Diploma 3; dan Jurusan Seni Rupa yang

menyelenggarakan Program Studi Tata Rupa Pentas dan Program

Studi Seni Kriya untuk jenjang Diploma 3.149

Program Studi Karawitan STSI mengembangkan kurikulum

Jurusan Karawitan ASKI yang disesuaikan dengan perkembangan

keilmuan dan masyarakat. Terdapat mata kuliah-mata kuliah

pilihan yang harus diambil oleh mahasiswa sesuai dengan minat

studi atau bidang spesialisasinya, yaitu Seniman Virtous,

Komponis, dan Ilmuwan.150

148Rustopo, op. cit., hlm. 281; Buku Petunjuk STSI Surakarta


1991-1992, op. cit., hlm. 3

149Buku Petunjuk STSI Surakarta 1991-1992, op. cit., hlm. 6


dan 9.

150Kurikulum Program Studi S1 Karawitan dapat dilihat pada


Buku Petunjuk STSI Surakarta 1991-1992, op. cit., hlm. 82-86.
197

Gambar 3.4
Sajian karawitan dengan menampilkan gendhing-gendhing
gaya Surakarta dalam rangka Ujian Tugas Akhir
Jurusan Karawitan, 1986.
(Sumber: Koleksi Galeri dan Museum ISI Surakarta)

Menurut Sri Hastanto, bentuk pendidikan karawitan di

ASKI/STSI Surakarta memberi bekal yang cukup luas kepada

peserta didik. Dengan bekal itu mereka diharapkan dapat

berinovasi sendiri dalam pengembangan karawitan. Mereka

disalurkan sesuai dengan bakatnya masing-masing untuk menjadi

seniman tangguh yang mempunyai bekal intelektual atau menjadi

sarjana yang dapat memikirkan masalah-masalah karawitan yang

dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dan yang berkaitan dengan

pengembangan ilmu. Lulusan ASKI/STSI Surakarta cukup andal,

apalagi bila mereka berasal dari keluarga seniman dan mempunyai


198

daya intelektual tinggi.151 Beberapa nama alumni ASKI Surakarta

yang kemudian menjadi seniman akademisi yang memiliki

reputasi internasional adalah Sumarsam (lahir 1944), Sri Hastanto

(lahir 1946), dan Rahayu Supanggah (lahir 1949).

Program Studi Pedhalangan menyelenggarakan program

pendidikan yang dapat melahirkan lulusan yang memiliki

kemampuan kesenimanan dengan pengetahuan dan wawasan

pedhalangan yang luas, serta memiliki sifat inovatif dan kreatif.

Kurikulum Program Studi S1 Pedhalangan terdiri atas tiga

kelompok mata kuliah, yaitu Mata Kuliah Umum, Mata Kuliah

Dasar Keahlian, dan Mata Kuliah Keahlian. Mata kuliah yang

langsung berkaitan dengan keahlian sebagai dhalang antara lain:

Pakeliran Gaya Pokok, Pengetahuan Pedhalangan, Pengetahuan

Lakon, Pakeliran Gaya Lain, Bahasa dan Sastra Pedhalangan,

Tetembangan, Karawitan Pedhalangan, Pembawaan, Garap Catur,

Garap Sabet, Garap Iringan, Sanggit Lakon, Komposisi

Pedhalangan, dan Skenario Lakon. Seluruh mata kuliah itu

termasuk mata kuliah pilihan berbobot 68 sampai dengan 96

satuan kredit semester. Mata kuliah-mata kuliah yang langsung

151Sri
Hastanto, “Pendidikan Karawitan: Situasi, Problema,
dan Angan-angan Wujudnya”, Wiled: Jurnal Seni Sekolah Tinggi
Seni Indonesia Surakarta, Tahun II Maret 1997 (Surakarta: STSI
Press, 1997), hlm. 50.
199

menunjang keahlian sebagai dhalang membutuhkan waktu tiga

sampai empat semester.152

Metode pembelajaran praktik pedhalangan yang berlaku di

Program Studi S-1 Seni Pedhalangan ASKI/STSI Surakarta

menggunakan cara-cara sebagaimana yang berlaku pada lembaga-

lembaga kursus pedhalangan. Dosen menjelaskan dan kemudian

memberi contoh suatu materi pembelajaran. Setelah itu

mahasiswa menirukan. Dosen menyimak ketika mahasiswa

melakukan praktik. Ketika mahasiswa melakukan kesalahan,

maka dosen membetulkan atau mengevaluasi setelah praktik

selesai. Pemilihan model ini digunakan karena dipandang cukup

berhasil. Namun demikian, Jurusan Seni Pedhalangan senantiasa

mengembangkan model pembelajaran yang lebih menarik dengan

memanfaatkan perkembangan teknologi dan media

pembelajaran.153

Model pembelajaran seperti itu setidaknya telah melahirkan

lulusan-lulusan yang kemudian menjadi dhalang-dhalang yang

diperhitungkan dalam jagad seni pedhalangan di Indonesia.

Mereka adalah Purbo Asmoro, Blacius Subono, Bambang

152Sumanto, “Pendidikan Dalang: Hambatan dan


Tantangannya”, Wiled: Jurnal Seni Sekolah Tinggi Seni Indonesia
Surakarta, ibid., hlm. 64 dan 67.

153Ibid., hlm. 69.


200

Suwarno, dan Sudikno. Namun demikian, harus diakui bahwa

lulusan Jurusan/Program Studi Pedhalangan ASKI/STSI

Surakarta belum dapat menyamai kemampuan para dhalang yang

terlahir dari sistem nyantrik, seperti Nyotocarito, Maktal

Gondoidjojo, Nartosabdho (lahir 1925, meninggal 1985), Darman

Gondodarsono, Mujoko Jokoraharjo, Manteb Soedharsono (lahir

1948), dan Anom Suroto (lahir 1948); dan gabungan sistem

nyantrik dan kursus seperti Pujosumarto, Warseno, Naryocarito,

Panut Darmoko (lahir 1931, meninggal 2010), Morocarito, Suyadi,

dan Suratno Gondowihardjo.154

Realitas itu memunculkan gagasan untuk menerapkan sistem

nyantrik dalam proses pembelajaran pada Jurusan Pedhalangan

STSI Surakarta. Namun, Menurut Sumanto, hal itu dianggap tidak

tepat dan sulit dilaksanakan dengan beberapa alasan. Pertama,

Program Studi Pedhalangan STSI tidak bertujuan untuk mencetak

mahasiswa menjadi dhalang, tetapi sarjana seni yang dibekali

pengetahuan dan ketrampilan untuk menjadi dhalang; kedua,

sistem nyantrik memerlukan waktu yang tidak terbatas; ketiga,

para dhalang senior atau berbobot mengalami penurunan jumlah

154Ibid., hlm. 70.


201

permintaan pentas akibat perubahan zaman; dan keempat, jarak

lokasi pentas yang jauh.155

Program Studi Tari menyelenggarakan program pendidikan

yang bertujuan melahirkan lulusan yang memiliki kemampuan

kesenimanan tari dengan pengetahuan dan wawasan tari yang

luas, serta memiliki sifat inovatif dan kreatif. Oleh karena

bertujuan untuk menghasilkan sarjana dalam bidang tari, maka

mahasiswa dibekali dengan kajian teoretis, filsafat, sejarah, dan

berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan tari antara lain

Pengetahuan Tari, Analisis Gerak dan Karakter, Estetika Tari,

Antropologi Tari, Kritik Tari, Seminar Tari, dan Notasi Tari.

Program Studi S1 Tari tidak menjuruskan mahasiswa pada salah

satu keahlian tertentu, misalnya penari, penata tari, pembina tari,

dan krititikus tari. Akan tetapi, mahasiswa dapat memilih salah

satu dari dua bentuk tugas akhir yang ditawarkan, yaitu: jalur

skripsi dan jalur penyajian tari: dapat sebagai penyaji atau penata

tari. Mata kuliah yang berkaitan dengan pembentukan seorang

penari tampak pada mata kuliah praktik. Sebagai contoh adalah

mata kuliah Ragam Gaya Tari (RGT), terdiri atas gaya Surakarta,

Yogyakarta, Sunda, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera. Oleh karena

penari membutuhkan kondisi tubuh yang prima dan kemampuan

155Ibid., hlm. 71 dan 77.


202

pendukung sebagai penari, maka terdapat pula mata kuliah yang

berfungsi untuk mewujudkan hal itu, seperti Olah Tubuh, Teknik

Tari, Komposisi Tari, dan Bimbingan Penyajian. Tari gaya

Surakarta memiliki jumlah satuan kredit semester lebih banyak

daripada mata kuliah yang lain, karena STSI Surakarta

memberikan penekanan pada bidang tersebut sesuai dengan

wilayah kebudayaannya. 156

ASKI/STSI Surakarta menerapkan metode pembelajaran tari

yang merupakan perpaduan antara metode imitatif (meniru) dan

informatif (peragaan dengan meniru dilengkapi dengan berbagai

penjelasan), serta metode drill yang dilaksanakan secara klasikal

dengan memperhatikan ratio jumlah dosen dan mahasiswa.

Metode pembelajaran tari tersebut berlaku untuk semua mata

kuliah tari. Mata kuliah yang diberikan diharapkan dapat

memberikan bekal kepada mahasiswa untuk memiliki

ketrampilan, kemampuan tafsir gerak, interpretasi, imajinasi, dan

kreativitas. Untuk mencapai bekal itu dibutuhkan ketekunan yang

tinggi serta waktu yang panjang.157

156Sri
Rochana Widyastutieningrum, “Pendidikan Tari di
Lembaga Formal (Tinjauan mengenai Pembentukan Penari)”,
Wiled: Jurnal Seni Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta,
Tahun II Maret 1997 (Surakarta: STSI Press, 1997), hlm. 84-85.

157Ibid., hlm. 85-86.


203

Penerapan metode pembelajaran tari itu telah mampu

melahirkan penari-penari andal pada awal dasawarsa 1980an,

seperti Sunarno Purwolelono (lahir 1955, meninggal 2011), Nora

Kostantina Dewi (lahir 1948), Rusini (lahir 1949), Wahyu Santoso

Prabowo (lahir 1953), dan Sutarno Haryono. Kemudian, pada

pertengahan dasawarsa 1980an muncul beberapa penari, seperti

Nuryanto, Daryono, F. Hari Mulyatno, Saryuni Padminingsih,

Darmasti, Hadawiyah Endah Utami, Samsuri, Sri Hadi, S.

Pamardi, Didik Bambang Wahyudi, Karyono, dan Jonet Sri

Kuncoro.158

Upaya-upaya untuk mewujudkan status institut sebagaimana

telah dirintis oleh Humardani terus dilakukan. Akhirnya, upaya-

upaya itu telah membuahkan hasil dengan perubahan STSI

menjadi Institut Seni Indonesia Surakarta pada 2006.

3. Kiprah dalam Pelestarian dan Pengembangan Seni

Pembicaraan tentang kegiatan pelestarian dan pengembangan seni

pertunjukan tradisi keraton di ASKI Surakarta tidak dapat

dilepaskan dari sosok Humardani yang memiliki jabatan rangkap,

yaitu sebagai Ketua Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT, 1970-

1983), anggota Presidium ASKI Bidang Akademik (1971-1975), dan

158Ibid., hlm. 93.


204

Ketua ASKI Surakarta (1975-1983). Posisinya sebagai pimpinan di

kedua institusi itu bersifat simbiosis mutualisme yang saling

melengkapi dan menguntungkan kedua belah pihak. PKJT

memiliki program kegiatan, pendanaan dan sarana prasarana, dan

ASKI Surakarta memiliki sumber daya manusia (dosen dan

mahasiswa) yang bersinergi dalam pelestarian dan pengembangan

kebudayaan Jawa, khususnya kesenian Jawa Surakarta. Dengan

demikian, pada saat itu sangat sulit untuk membedakan secara

rigit kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kedua institusi itu,

karena bersifat inheren. Pembicaraan tentang kiprah ASKI

Surakarta dalam pelestarian dan pengembangan seni pertunjukan

tradisi Jawa Surakarta tidak dapat dilepaskan dari PKJT, sehingga

pada saat itu muncul istilah ASKI-PKJT atau PKJT-ASKI.

a. Seni Karawitan

Di bawah pimpinan Humardani, ASKI Surakarta bekerja sama

dengan PKJT melakukan penggalian repertoar seni karawitan

tradisi keraton antara lain repertoar gendhing pakurmatan

(gendhing sekatèn, monggang, carabalèn, kodhok ngorèk),

santiswara, dan larasmadya. Seiring dengan penggalian tari

bedhaya dan srimpi juga dilakukan penggalian terhadap gendhing-

gendhing-nya. Beberapa empu karawitan yang tidak lain adalah

abdi dalem Kasunanan Surakarta didatangkan untuk tujuan itu.


205

Mereka adalah Gunopangrawit, Martopangrawit (lahir 1914,

meninggal 1986), dan Mloyowidodo (lahir ?, meninggal 1996).

Melalui para empu itu, para mahasiswa dan dosen ASKI Surakarta

mendapatkan kesempatan untuk memelajari dan mendalami

repertoar gendhing-gendhing tersebut. Agar repertoar dan cara

memainkan gamelan pakurmatan dipelajari secara sungguh-

sungguh, maka repertoar itu dimasukkan sebagai materi wajib

resital 1 bagi mahasiswa ASKI Surakarta yang akan mengakhiri

studinya.159 Dengan demikian, repertoar-repertoar gendhing

pakurmatan dapat diselamatkan eksistensinya dan dapat

dijadikan sebagai pijakan dan inspirasi untuk pengembangannya.

Upaya-upaya itu tidak sia-sia karena dalam perkembangan,

gamelan pakurmatan dan repertoar-repertoar gendhing-nya

memberi inspirasi terhadap karya-karya konser karawitan,

misalnya Rhythm of Harmony karya karawitan produksi STSI

Surakarta yang melibatkan seluruh gamelan pakurmatan.160

Pada 1972 penggalian repertoar gendhing-gendhing bedhaya

srimpi ditindaklanjuti dengan penerbitannya oleh ASKI Surakarta.

159Waridi, Gagasan & Kekaryaan Tiga Empu Karawitan: Pilar


Kehidupan Karawitan Jawa Gaya Surakarta 1950-1970 (Ki
Martapengrawit, Ki Tjakrawarsita, Ki Nartasabda) (Bandung:
Etnoteater Publisher, BACC, dan Pascasarjana ISI Surakarta),
2008), hlm. 122.

160Ibid., hlm. 126.


206

Gendhing-gendhing bedhaya srimpi kemudian menjadi materi

pembelajaran untuk mata kuliah Karawitan Gaya Pokok dan

materi penyajian tugas akhir bagi mahasiswa ASKI/STSI

Surakarta yang mengambil minat utama sebagai pangrawit.161

Selain melakukan penggalian, pendokumentasian, dan

penerbitan repertoar-repertoar gendhing pakurmatan dan bedhaya

Srimpi, ASKI Surakarta juga mengadakan pencatatan dan

pendokumentasian gendhing-gendhing Jawa Surakarta lengkap

dengan notasinya. Kegiatan ini dilakukan oleh para empu

karawitan keraton yang pada saat itu telah menjadi dosen luar

biasa ASKI Surakarta yaitu Martopangrawit dan Mloyowidodo.

Pendokumentasian itu bertujuan agar gendhing-gendhing tersebut

tidak punah dan dapat dipelajari di kemudian hari. Kegiatan

pendokumentasian gendhing itu telah diterbitkan menjadi buku

berjudul Titi Laras Cengkok-cengkok Gendhing dengan Wiletannya

yang disusun oleh Martopangrawit162 dan Gendhing-Gendhing

Gaya Surakarta yang disusun oleh Mloyowidodo.163 Pada tahun-

tahun berikutnya juga diterbitkan beberapa buku yang

kebanyakan ditulis oleh Martopangrawit, yaitu Suluk, Ada-ada,

161Ibid., hlm. 119-120.

162Martopangrawit, Titi Laras Cengkok-cengkok Gendhing


dengan Wiletannya, 2 Volume (Surakarta: ASKI, 1976).

163Mloyowidodo, Gendhing-gendhing Gaya Surakarta, 3


Volume (Surakarta: ASKI, 1976).
207

dan Pathetan (1976), Sindhenan Andhegan Gendhing (1982),

Gendhing-gendhing Martopengrawit (1983), dan Dibuang Sayang:

Lagu Gerongan Gendhing-gendhing Jawa (1988).164

Pendokumentasian gendhing-gendhing gaya Surakarta melalui

penerbitan buku dirasa kurang lengkap apabila tidak ditunjang

dengan pengetahuan untuk penggarapannya. Oleh karena itu,

untuk kepentingan pelestarian dan pengembangan garap

gendhing-gendhing klasik, dosen ASKI Surakarta dan

Martopangrawit merancang suatu kegiatan yang dapat menyangga

kehidupan garap gendhing-gendhing klasik. Hal ini dilakukan

dengan kegiatan peningkatan kemampuan garap gendhing bagi

para dosen ASKI Surakarta. Para dosen khususnya dosen muda

dikirim ke rumah Martopangrawit untuk menyerap garap, cara-

cara menafsirkan gendhing, serta pola-pola permainan instrumen

pokok yang sulit. Dalam kegiatan ini para dosen wanita diberi

materi tentang cara menafsirkan lagu sindhènan gendhing.165

ASKI Surakarta melalui Martopangrawit yang pada waktu itu

menjadi dosen luar biasa bertaraf empu di ASKI Surakarta

merumuskan secara sistematis berbagai gagasan, konsep, dan

teori karawitan yang dibangun dari realitas garap dalam penyajian

164Waridi, op. cit., hlm. 155.

165Ibid., hlm. 145.


208

karawitan Jawa Surakarta. Ia adalah orang pertama dari kalangan

praktisi karawitan Jawa gaya Surakarta yang memelopori

kelahiran gagasan, konsep, dan teori untuk penumbuhan „ilmu

karawitan’ serta keberlanjutan kehidupan karawitan gaya

Surakarta. Melalui Catatan Pengetahuan Karawitan I & II yang

diterbitkan oleh ASKI Surakarta pada 1975 ia menawarkan

beberapa konsep karawitan tentang wilayah seleh, arah nada,

modus dalam pathet, padhang ulihan, serta konsep klasifikasi

instrumen karawitan Jawa gaya Surakarta.166

Fondasi-fondasi yang telah diletakkan oleh Martopangrawit

kemudian diteruskan oleh para muridnya, yaitu Sumarsam, Sri

Hastanto, dan Rahayu Supanggah. Sumarsam adalah seorang

teoretisi karawitan Jawa yang terindikasi kuat mengembangkan

konsep dan teori Martopangrawit. Dalam tesis yang diselesaikan di

Wesleyan University pada 1976 dan kemudian diterbitkan dengan

judul Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori & Perspektif, ia

memanfaatkan konsep dan pemikiran Martopangrawit untuk

mencari kedalaman lagu gendhing Jawa.167

Sri Hastanto memiliki perhatian yang berbeda dari

Sumarsam. Ia mencoba untuk menjelaskan suatu konsep yang

166Ibid., hlm. 13 dan 106.

167Sumarsam, Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori &


Perspektif (Surakarta: STSI Press, 2002).
209

terdapat dalam karawitan Jawa, yaitu pathet. Disertasinya dalam

bidang etnomusikologi yang berjudul The Concept of Pathet in

Central Javanese Music di Durham University (1985) membahas

tentang konsep pathet dalam musik gamelan dalam pandangan

penulisnya sebagai orang Jawa dan pangrawit Jawa. Menurutnya,

rasa pathet tidak berada di dalam gamelan atau notasi gendhing,

tetapi di dalam sanubari pendengarnya yang dibentuk oleh lagu

rasa pathet (melalui thinthingan, senggrèngan, pathetan,

adangiyah, grambyangan, dan lain-lain), sehingga merasakan

kadar kekuatan rasa sèlèh pada nada-nada tertentu. Karya itu

menambah khasanah studi pathet yang diharapkan dapat

membawa pemahaman yang lebih mendekati kebenaran tentang

konsep pathet.168

Kajian konsep dan teori karawitan itu semakin lengkap

dengan kehadiran disertasi Rahayu Supanggah berjudul

“Introduction aux styles d‟interpretation dans la musique

Javanaise” pada Universite de Paris VII (1985) yang membahas

tentang garap dalam karawitan Jawa. Disertasi itu kemudian

ditulis ulang dengan perluasan substansi menjadi dua buah buku

yang berjudul Bothekan Karawitan I dan II. Tentang garap dibahas

168Disertasi
itu telah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia:
Sri Hastanto, Konsep Pathet dalam Karawitan Jawa (Surakarta:
Program Pascasarjana bekerja sama dengan ISI Press, 2009).
210

dalam Bothekan Karawitan II: Garap. Menurutnya, garap adalah

kreativitas dalam seni tradisi. Berkat garap karawitan mampu

mempertahankan hidupnya bahkan lebih berkembang baik secara

secara kuantitas maupun kualitas 169

Melalui studi-studi yang dilakukan itu tampak bahwa ASKI

Surakarta berusaha untuk menegakkan karawitan sebagai sebuah

disiplin dengan nama karawitanologi, yang berarti ilmu karawitan.

Keberadaan studi itu sangat penting bagi pelestarian dan

pengembangan karawitan Jawa. Dengan pemahaman konsep dan

teori karawitan Jawa yang baik, seorang seniman akademisi akan

lebih memiliki wawasan untuk pengembangan karawitan Jawa,

khususnya untuk menyusun komposisi baru. Namun sampai saat

ini tampaknya karawitanologi sebagai disiplin yang mandiri belum

berhasil diwujudkan.

Pengembangan karawitan Jawa Surakarta juga dilakukan

dengan eksperimen-eksperimen untuk menghasilkan karya baru

dalam bentuk “gamelan kontemporer”. “Gamelan kontemporer”

yang secara harfiah berarti “gamelan zaman sekarang”,

169Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan II: Garap


(Surakarta: ISI Press, 2002).
211

merupakan karya-karya musikal atau komposisi gamelan/

karawitan yang eksis pada zamannya.170

Awal kemunculan komposisi “gamelan kontemporer” di

Surakarta dilatarbelakangi oleh suatu pandangan, bahwa

perkembangan karawitan menunjukkan segi-segi yang ringkih,

padahal ia memiliki potensi ekspresi yang kaya. Keadaan ringkih

itu antara lain tampak pada sikap ketidakkonsistenan seniman

tradisi dan masyarakatnya. Di satu sisi mereka ingin mengekalkan

tradisi, tetapi di sisi lain mereka tidak melakukan tindakan yang

konsisten untuk mengekalkan tradisi.171

Proses pembentukan kehidupan “gamelan kontemporer” di

Surakarta dimulai sejak PKJT mulai melakukan kegiatan-kegiatan

olah seni dan atau eksperimentasi pada sekitar 1972-1974 yang

melibatkan civitas akademik ASKI. Momentum kelahiran “gamelan

kontemporer” di Surakarta ditandai oleh kemunculan komposisi

“Dhandhanggula” karya Sri Hastanto dan “Gambuh” karya Rahayu

Supanggah pada 1979, yang keduanya bertolak dari karawitan

tradisi Surakarta.172

170Rustopo, “Gamelan Kontemporer di Surakarta:


Pembentukan dan Perkembangannya” (Laporan Penelitian Sekolah
Tinggi Seni Indonesia Surakarta, 1991), hlm. 23.
.
171Ibid., hlm. 193.

172Ibid., hlm. 212.


212

Kedua karya itu menjadi pemacu semangat bagi para

seniman seangkatan yang lebih muda dari mereka berdua. Pada

tahun-tahun berikutnya muncul lagi komposisi-komposisi baru

“gamelan kontemporer” yang disusun oleh seniman-seniman muda

di Surakarta.173 Karya-karya mereka secara bentuk dan struktur,

serta unsur-unsur lainnya sudah tidak lagi terikat pada unsur-

unsur yang terdapat dalam karawitan Jawa Surakarta. Gamelan

dipandang sebagai sumber bunyi yang dapat dieksplorasi sesuai

dengan kehendak dan untuk mengekspresikan diri komponisnya.

Persoalan-persoalan sosial, budaya, politik, dan agama merupakan

sumber ide dalam proses kreatif mereka.174 Selama periode 1980-

1990 di Surakarta telah dihasilkan komposisi baru “gamelan

kontemporer” sebanyak 49 karya. Karya-karya tersebut sebagian

besar merupakan komposisi baru untuk tugas akhir mahasiswa

ASKI (36 = sekitar 73%); sebagian lainnya untuk Pekan Komponis

Muda di Jakarta (9 = sekitar 18,5%), untuk Festival IKI (2 = 4%),

dan dipentaskan di PKJT (2 = 4%).175

173Ibid., hlm. 130.

174Waridi, “Musik Tradisi Jawa Tengah: Ragam dan


Perkembangannya”, dalam M. Thoyibi, Yayah Khisbiyah, dan
Abdullah Aly, ed., Sinergi Agama dan Budaya Lokal: Dialektika
Muhammadiyah dan Seni Lokal (Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2003), hlm. 44.

175Rustopo (1991), op. cit., hlm. 131-132.


213

Seperti yang dilakukan oleh Sri Hastanto dan Rahayu

Supanggah, komposisi-komposisi baru tersebut pada umumnya

bertitik tolak dari karawitan tradisi yang sekitar 30,61% (15 karya)

bertitik tolak dari karawitan Jawa. Melalui “gamelan kontemporer”

yang dibuat oleh dosen dan mahasiswa ASKI, telah menempatkan

Surakarta sebagai tolok ukur kualitas “gamelan kontemporer” di

Indonesia.176

b. Seni Tari

Pada 1970 ASKI Surakarta bekerja sama dengan PKJT melakukan

penggalian tari terutama genre bedhaya dan srimpi. Penggalian

dilakukan dengan cara mendatangkan empu tari bedhaya srimpi

dari keraton dan penari-penari dari ASKI dan PKJT. Sejalan

dengan penggalian tari juga dilakukan penggalian terhadap

gendhing-gendhing bedhaya srimpi. Dengan demikian, pada saat

yang sama baik materi tari maupun gendhing dapat diserap oleh

para penari dan pangrawit ASKI dan PKJT yang notebene adalah

mahasiswa dan dosen ASKI.177

176Ibid., hlm. 134 dan 214.

177Hadi Subagyo, “Gendhon Humardani, Perannya dalam


Melestarikan Tari Tradisi Gaya Surakarta”, dalam Rustopo, ed.,
Krisis Kritik: Seperempat Abad Pasca Gendhon Humardani
(Surakarta: ISI Press, 2008), hlm. 16-17.
214

Hasil penggalian tari bedhaya dan srimpi direkonstruksi

menjadi materi tari yang „utuh”. Dari kegiatan penggalian itu

berhasil direkonstruksi secara “utuh” tiga tari bedhaya, yaitu

Bedhaya Pangkur, Bedhaya Duradasih, dan Bedhaya Mangunarjo.

Hasil rekonstruksi itu disajikan kepada masyarakat. Dari hasil

rekontruksi itu, tampak bahwa tari bedhaya dan srimpi memiliki

bentuk pertunjukan cukup panjang dengan durasi penyajian

antara 55 sampai dengan 60 menit.178

Hasil rekonstruksi itu kemudian ditafsirkan kembali dan

digarap lebih lanjut dengan tujuan agar tari bedhaya tetap

diminati dan dapat dinikmati atau dihayati oleh masyarakat pada

zamannya antara lain dengan pemadatan. Pemadatan tari adalah

penggarapan seni tari yang didasarkan pada konsep

kemungguhan, yaitu keselarasan kesatuan wujud antara bentuk

dan isi yang diungkapkan. Pemadatan tari adalah upaya untuk

mengubah bentuk dan isi dengan cara menyusun kembali tari itu.

Penyusunan kembali dilakukan dengan mengurangi pengulangan

gerak, menghilangkan gerak yang tidak penting, mengubah tempo,

178Sri Rochana Widyastutieningrum, “Revitalisasi Tari Gaya


Surakarta”, dalam Rustopo, ed., Krisis Kritik: Seperempat Abad
Pasca Gendhon Humardani (Surakarta: ISI Press, 2008), hlm. 24.
215

menggarap irama, variasi pola lantai, level gerak, dan arah hadap

penari.179

Pada 1971 dilakukan pemadatan Srimpi Sangupati oleh Agus

Tasman. Kegiatan pemadatan ini menghasilkan bentuk sajian tari

yang relatif padat dengan durasi waktu relatif singkat (20 menit)

dan menghilangkan properti tari yang dipandang tidak perlu.180

Kegiatan ini dilanjutkan dengan pemadatan tari Bedhaya Pangkur

pada 1974. Agus Tasman kembali mendapatkan kepercayaan

untuk melakukan kegiatan ini. Busana tari menggunakan dodot

dengan motif parang barong dan memakai kain samparan dengan

motif cindhé lengkap dengan hiasannya. Tatanan rambut

disanggul gelung gedhé dengan berbagai perhiasan. Hasil

pemadatan tari Bedhaya Pangkur sering dipentaskan dan menjadi

materi perkuliahan dan penyajian tari STSI Surakarta.181

179Ibid..

180Ibid.,
hlm. 25. Dalam perkembangan hasil pemadatan
mengalami perubahan untuk pemantapan. Tentang hal ini lihat
Nora Kustantina Dewi, “Pemadatan Tari Srimpi Sangupati Kraton
Kasunanan Surakarta: Salah Satu Alternatif Pengembangan”,
dalam Rustopo, ed., Krisis Kritik: Seperempat Abad Pasca
Gendhon Humardani (Surakarta: ISI Press, 2008).

181Sri Rochana Widyastutieningrum, “Rekonstruksi,


Reinterpretasi, dan Reaktualisasi Tari Bedhaya”, dalam Waridi,
Seni dalam Berbagai Wacana: Mengenang 20 Tahun Kepergian
Gendhon Humardani (Surakarta:Program Pendidikan Pascasarjana
Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, 2003), hlm. 272.
216

Dua belas tahun kemudian, pada 1986 dilakukan pemadatan

Bedhaya Duradasih oleh Rusini. Hasilnya dipergelarkan kali

pertama pada peringatan 1000 hari wafatnya empu karawitan

Martopangrawit di Pendapa STSI Surakarta. Pemadatan dilakukan

dengan cara mengurangi pengulangan gerak dan melakukan

perubahan-perubahan pada pola gerak dengan mempertahankan

ciri-ciri khusus yang terdapat di dalamnya. Busana dan rias yang

digunakan mengacu pada tradisi rias dan busana yang telah ada

pada Bedhaya Duradasih, yaitu bentuk busana dodotan ageng

dengan tatanan rambut gelung gedhé disertai perlengkapan dan

perhiasannya. Bedhaya Duradasih hasil pemadatan ini kemudian

juga menjadi materi perkuliahan tari Gaya Surakarta dan ujian

penyajian tari di STSI Surakarta.182

Kegiatan pemadatan kemudian dilakukan terhadap bedhaya

dan srimpi yang lain, yaitu Srimpi Anglirmendhung, Srimpi

Ludiramadu, Srimpi Gandakusuma, Srimpi Dhempel, Srimpi

Tameng Gita, dan Srimpi Lobong.183

Keberhasilan dalam merekonstruksi baik secara “utuh”

maupun dalam bentuk pemadatan tari bedhaya dan srimpi

menginspirasi dosen-dosen ASKI/STSI Surakarta untuk

182Ibid., hlm. 278.

183Dewi, op. cit., hlm. 51.


217

menyusun tari bedhaya dan srimpi yang baru. Sejumlah

komposisi tari bedhaya dan srimpi telah disusun baik untuk

memenuhi kebutuhan internal di ASKI/STSI Surakarta maupun

permintaan dari masyarakat. Karya-karya tari itu adalah Bedhaya

Ela-ela/Lala (Agus Tasman, 1972), Bedhaya Tolu (Agus Tasman,

1977), Bedhaya Alok/Kartini (Agus Tasman, 1979), Bedhaya Si

Kadukmanis (Agus Tasman, 1980), Bedhaya Lemah Putih (Agus

Tasman, 1989). Dalam perkembangan Bedhaya Lala mengalami

perubahan atau penyempurnaan yang antara lain dilakukan oleh

Humardani sendiri untuk mendapatkan kemantapan rasa. Oleh

karena itu, tidak heran apabila di antara susunan tari bedhaya,

Bedhaya Lala paling sering dipergelarkan. Bedhaya Lala, Bedhaya

Pangkur, dan Srimpi Sangupati kemudian dijadikan sebagai materi

perkuliahan dan ujian penyajian tari di ASKI/STSI Surakarta.184

Selain tari bedhaya tersebut, sebenarnya pernah muncul tari

bedhaya lainnya yang disusun oleh dosen-dosen ASKI/STSI

Surakarta, yaitu Bedhaya Dudu (Sri Sumarmi, 1988), Bedhaya

Pajang (Eulalia Gunarti, 1988), Bedhaya Ciptoning (Sulistyo

Haryanti, 1995), dan Bedhaya Arumdalu (Dwi Maryani, 1996).

Bedhaya-bedhaya tersebut kemudian kurang berkembang,

184Widyastutieningrum (2003), op. cit., hlm. 270-275.


218

bahkan sebagian di antaranya hanya sempat dipergelarkan satu

kali saja.185

Genre lain yang mendapat perhatian dari ASKI/STSI

Surakarta dalam wujud penggarapan dengan penyusunan

komposisi adalah dramatari dan langendriyan. Wayang Budha,

Ranggalawé Gugur, dan Bisma Gugur merupakan beberapa

garapan dramatari yang menonjol dalam periode 1977 sampai

dengan 1983. Penggarapan dilakukan dengan menekankan pada

perubahan perwujudan gaya tari Surakarta. Perubahan

perwujudan itu dilakukan dengan mengadakan perubahan

bentuk, volume, kecepatan, kualitas gerak tari, serta perubahan

irama dan tempo iringan tari.186

Sementara itu, setidaknya terdapat tiga buah karya

langendriyan yang disusun oleh para dosen ASKI/STSI Surakarta.

Pada 1979 Sunarno Purwolelono, Wahyu Santosa Prabowo, dan

Nora Kostantina Dewi menyusun langendriyan dengan judul

Ranggalawé Gugur. Berbeda dari langendriyan yang berkembang

di Mangkunagaran, langendriyan ini lebih banyak menggarap

medium tari daripada tembang, dan menggunakan dialog dalam

bentuk antawecana. Pendukung tari terdiri atas penari pria dan

185Ibid., hlm. 278.

186Widyastutieningrum (2008), op. cit., hlm. 27.


219

wanita sesuai dengan tokoh yang diperankan, dengan

pertimbangan lebih mendekati tokoh yang diperankan.

Selanjutnya, pada awal 1980an disusun langendriyan dengan

judul Bangun Majapahit. Kedua bentuk garapan langendriyan itu

sering dipertunjukan, sehingga mengalami perkembangan dalam

penggarapan sesuai dengan kemantapan rasa penggarap pada

saat akan dipertunjukan. Akibatnya terjadi perubahan-perubahan

bentuk sajian. Oleh karena kemantapan dalam penggarapannya,

kedua langendriyan ini kemudian menjadi materi kuliah di STSI

Surakarta.187

Pada 1992 Wahyu Santosa Prabowo menyusun langendriyan

dengan judul Ménakjingga Léna. Penggarapannya mengacu pada

langendriyan Mangkunagaran dengan melakukan beberapa

perubahan, yang meliputi alur cerita, tembang, tari, dan pola

lantai, serta menggunakan penari kelompok sebagai pendukung

suasana. Dengan dukungan para pemain yang terdiri atas

mahasiswa dan dosen STSI Surakarta, langendriyan ini

dipergelarkan di Taman Budaya Surakarta.188 Apabila dilihat dari

187Sri Rochana W., Langendriyan Mangkunagaran:


Pembentukan dan Perkembangan Bentuk Penyajiannya
(Surakarta: ISI Press, 2006), hlm. 16-17.

188Ibid., hlm.17.
220

perkembangan wujud sajiannya, bentuk langendriyan karya

dosen-dosen STSI Surakarta lebih cenderung mengarah pada

dramatari, karena penggarapan gerak lebih dominan daripada

tembang.189

Gambar 3.5
Gladhi Resik Dramatari Bisma Gugur di Sasana Mulya pada 6
Maret 1982 dalam rangka Festival IKI di Bali.
(Sumber: Koleksi Galeri dan Museum Seni ISI Surakarta)

Selain jenis-jenis yang telah diuraikan di atas, para civitas

akademik ASKI/STSI Surakarta juga menyusun tari yang

termasuk dalam genre tari duet percintaan yang bersandar pada

tari tradisi Jawa Surakarta. Kemunculan tari duet percintaan

189Ibid., hlm.135.
221

susunan civitas akademik ASKI/STSI Surakarta ini tidak dapat

dipisahkan dari adanya tari duet percintaan Karonsih yang

disusun oleh S. Maridi pada 1970 yang menggambarkan kisah

cinta Panji Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji. Kehadiran Tari

Karonsih telah menjadi bagian dari kehidupan budaya masyarakat

Jawa, karena sering mewarnai acara pesta perkawinan pada

dasawarsa 1970an. Pada dasawarsa itu Tari Karonsih mengalami

perkembangan yang sangat pesat, karena menyebar luas di

wilayah Pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah, Yogyakarta,

Jakarta, dan Jawa Timur.190 Menurut pengalaman penulis, sampai

dengan dasawarsa 1980an Tari Karonsih masih mewarnai acara

pesta perkawinan yang diselenggarakan oleh masyarakat Jawa,

khususnya di Jawa Tengah.

Dari 1977 sampai dengan 1998 paling tidak telah disusun

sebanyak tujuh tari duet percintaan oleh para dosen ASKI/STSI

Surakarta. Sunarno Purwolelono merupakan penata tari yang

produktif dalam genre ini, karena ia menyusun enam dari tujuh

tari. Pada 1977 Sunarno Purwolelono menyusun Tari Enggar-

enggar yang merupakan pethilan dari karya dramatari Bangun

Majapahit (adegan percintaan Anjasmara dan Damarwulan)

190Maryono, Dampak Perubahan Sosio Politik terhadap


Munculnya Koreografi Genre Duet Percintaan di Surakarta
(Surakarta: ISI Press, 2006), hlm. 26-29.
222

produksi PKJT. Nama “Enggar-engar” diambil dari nama gendhing

beksan pengiring tari tersebut Ladrang Enggar-enggar. Setahun

berikutnya (1978), ia menyusun tiga buah tari duet percintaan,

yaitu Driasmara, Bondhan Sayuk, dan Kusuma Ratih. Driasmara

merupakan pethilan dari fragmen Panji Asmara yang disusun pada

1976 dalam bentuk langendriyan. Tari ini mengisahkan tentang

perjalanan cinta Dewi Sekartaji dengan Panji Asmara. Kusuma

Ratih mengisahkan percintaan antara Dewa Kamajaya dan Dewi

Kumaratih. Apabila dicermati titimangsa penyusunannya, karya-

karya Sunarno tersebut muncul bersamaan dengan pembukaan

dan awal pertumbuhan arah studi tari di ASKI Surakarta. Dengan

demikian, tidak mengherankan apabila kemunculan karya-karya

itu dilatarbelangi oleh kebutuhan terhadap materi pembelajaran

dalam arah studi yang baru saja dibuka. Oleh karena dijadikan

sebagai materi perkuliahan, maka karya-karyanya cepat

berkembang. Di antara karya-karya itu, dalam perkembangan tari

Driasmara sangat diminati oleh masyarakat.191

Untuk menambah materi ujian, pada 1986 Wahyu Santosa

Prabowo dan Rusini menyusun tari Priyambada Mustakawèni.

Penyusunan tari ini dilatarbelakangi oleh kondisi materi tari duet

percintaan yang menggunakan tembang sangat minim, sehingga

191Ibid., hlm. 33-36.


223

perlu disusun bentuk baru yang menggunakan tembang dan

sesuai dengan tuntutan kualitas ujian.192 Pada 1993 Sunarno

kembali memperkaya khazanah tari duet percintaan dengan

menyusun tari Niwata Kawaca. Tari ini bersumber dari wiracarita

Mahabharata yang mengisahkan raja Niwata Kawaca dari Ima

Imantaka yang sedang jatuh cinta kepada Dewi Supraba. Tidak

berbeda dengan tujuan penyusunan tari Priyambada

Mustakawèni, penyusunan tari itu juga digunakan untuk

memenuhi tuntutan materi ujian penyajian tari di STSI

Surakarta.193

Pada 1998 Sunarno kembali menyusun tari duet percintaan

berjudul Setyaningsih. Ide cerita yaitu penggambaran sepasang

pengantin baru yang sedang mengikat janji untuk hidup sampai

akhir hayatnya. Di antara tari duet percintaan yang berkembang

di Surakarta, Setyaningsih merupakan tari yang berdurasi paling

pendek yaitu lima menit. Penyusunan berkaitan dengan tujuan

untuk memenuhi kebutuhan pariwisata dan resepsi upacara

perkawinan.194

192Ibid., hlm. 39.

193Ibid., hlm. 41.

194Ibid..
224

ASKI/STSI Surakarta juga mengembangkan tari dengan

konsep rampak. Penggunaan konsep rampak memunculkan

karya-karya tari yang digarap secara kelompok. Tari Watang,

Jaranan, Cakil, dan Jemparingan adalah beberapa komposisi tari

putra yang pernah digarap dengan menggunakan konsep rampak.

Sementara itu, tari Gambyong, Prajuritan, dan Bedhayan adalah

beberapa komposisi tari yang juga pernah digarap dengan

menggunakan konsep yang sama. Penyederhanaan gerak

merupakan langkah yang harus dipilih untuk menghasilkan

komposisi tari yang mengutamakan kerampakan gerak ini.

Dengan demikian, tidak mengherankan apabila penyajiannya

terkesan sederhana dan lugas.195

Pengembangan tari dengan menggunakan konsep rampak ini

melahirkan garapan tari kolosal. Derap Jati Diri Tari merupakan

garapan tari kolosal yang menggabungkan Prajuritan Putri,

Watang, Jaranan, Cakil, dan Lènggèr. Pertunjukan secara kolosal

garapan STSI ini mampu menghadirkan sajian tari secara lebih

menarik, karena para penari dengan ketrampilan tinggi bergerak

dengan cepat secara serempak dengan pola-pola yang sama.196

195Widyastutieningrum (2008), loc. cit..

196Ibid..
225

Gambar 3.6
Pergelaran Tari Jaranan dalam Pembukaan
Festival Film Indonesia di Semarang 1980.
(Sumber: Koleksi Galeri dan Museum ISI Surakarta)

Gambar 3.7
Pergelaran Dramatari Rama Tambak dalam rangka Peresmian
Pelabuhan Tanjung Emas Semarang 1985.
(Sumber: Koleksi Galeri dan Museum Seni ISI Surakarta)
226

Karya-karya tari garapan ASKI/STSI Surakarta menyebarluas

ke berbagai daerah di Jawa Tengah. Garapan-garapan tarinya

menjadi rujukan bagi para seniman tari di Jawa Tengah, sehingga

memosisikan ASKI/STSI Surakarta sebagai kiblat dalam

penggarapan tari Jawa. Pada 1990an tari garapan perguruan

tinggi seni itu menjadi lebih populer. Hal ini tampak pada karya-

karya tari dari berbagai daerah yang mengikuti festival tari atau

dramatari se-Jawa Tengah. Karya-karya mereka biasanya

mempunyai pola garap seperti yang dikembangkan oleh

ASKI/PKJT.

c. Seni Pedhalangan

Situasi pakeliran pada dasawarsa 1970-an sangat

mengkhawatirkan. Selain dipenuhi dengan “titipan” dari berbagai

pihak, pakeliran pada periode itu juga dijejali dengan humor yang

kurang relevan. Sebagai akibatnya, pakeliran (bentuk/wadah)

menjadi tidak sesuai dengan pesan pokok yang hendak

disampaikan (isi). Kondisi itu menurut penilaian Humardani telah

menyebabkan jagad pakeliran mengalami proses pendangkalan

mutu yang kronis. Kritik terhadap pakeliran semalam itu

kemudian memicu kemunculan gagasan tentang pakeliran padat.

Tujuan utama penggarapan pakeliran padat adalah untuk

mengembalikan fungsi pokok pakeliran sebagai sajian estetis dan


227

artistik. Pakeliran padat mengutamakan kesesuaian antara

wadah/bentuk dan isi dengan cara memaksimalkan kekuatan

unsur-unsur garap pakeliran. Oleh karena itu, penggarapan

pakeliran padat harus berpangkal pada tema dasar, garap lakon,

garap adegan, garap tokoh, garap catur, garap sabet, dan garap

karawitan pakeliran.197

Gagasan Humardani yang dicetuskan kepada mahasiswa

ASKI Surakarta itu memerlukan waktu selama empat tahun untuk

mewujudkannya. Pakeliran padat itu baru berhasil dipergelarkan

pada 1976 oleh Bambang Suwarno yang menampilkan lakon

Rama.198 Sejak berhasil menyusun dan menyajikan lakon Rama, ia

semakin produktif menulis naskah pakeliran padat. Dari 1976

sampai dengan 1979, selain Rama ia berhasil menyusun enam

buah naskah pakeliran padat, yaitu: Ménakjingga Léna (1976),

Jayèngrana Racun (1976), Anoman Obong (1978), Ciptaning (1979),

Sutasoma (1979), dan Babad Pajang (1979).199

Pakeliran padat semakin tumbuh sejak Jurusan Pedhalangan

ASKI Surakarta menjadikan penyusunan dan penyajian pakeliran

padat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Seniman

197Sudarko, Pakeliran Padat: Pembentukan dan Penyebaran


(Surakarta: Citra Etnika, 2003), passim.

198Ibid., hlm. 30.

199Ibid., hlm. 172.


228

Karawitan pada 1980. Pada saat itu muncul delapan naskah

pakeliran padat yang ditulis oleh mahasiswa ASKI Surakarta.

Pertumbuhan pakeliran padat tampak semakin subur pada

periode 1984-1987. Selama tiga tahun itu muncul 21 naskah

pakeliran padat karya mahasiswa dan satu naskah karya dosen.

Selama periode 1988-1993 terdapat satu karya mahasiswa dan

empat karya dosen. Penurunan ini karena sejak 1988 pakeliran

padat tidak menjadi syarat untuk mendapatkan gelar. Mahasiswa

dapat memilih bentuk tugas akhir yang lain atau menyajikan

naskah pakeliran padat susunan orang lain. Namun demikian,

tidak berarti pakeliran padat tidak berkembang di lingkungan

ASKI Surakarta, karena dari 1980-1993 paling tidak telah

dipergelarkan tidak kurang dari 60 naskah pakeliran padat dalam

rangka untuk mendapatkan gelar pada Jurusan Pedhalangan

ASKI/STSI Surakarta.200

Seiring dengan pertumbuhan pakeliran padat di internal ASKI

Surakarta, Humardani juga memperkenalkan dan

menyebarluaskan pakeliran padat kepada masyarakat luas. Ia

berusaha untuk memperkenalkan pakeliran padat kepada para

dhalang, budayawan, dan masyarakat pecinta wayang. Forum

sarasehan, lokakarya, lomba naskah, lomba penyajian pakeliran

200Ibid., hlm. 175, 176, dan 183.


229

padat, dan siaran radio maupun televisi dipilih untuk

menyebarluaskan pakeliran padat. Untuk kepentingan ini

pelaksanannya dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan

PKJT. Pemasyarakatan pakeliran padat juga dilakukan oleh ASKI

Surakarta dengan menerbitkan diktat “Kumpulan Naskah

Pakeliran Padat” yang terdiri atas sembilan lakon pada

1983/1984.201

Penyebarluasan pakeliran padat bertujuan untuk

memperkaya kehidupan berbudaya. Penyebarluasannya sama

sekali tidak berepretensi untuk menggeser kedudukan pakeliran

semalam. Hal ini tidak lain karena bentuk pakeliran padat masih

tetap menggunakan vokabuler-vokabuler pakeliran semalam

suntuk.202 Perbedaannya terletak pada ketidakketatan pada

aturan-aturan yang digunakan dalam pakeliran tradisi, konsep

penggarapan, dan durasi pertunjukan.

Melalui kegiatan penyebarluasan itu, pakeliran padat hidup

dan berkembang dalam masyarakat khususnya masyarakat

pedhalangan. Di lingkungan ASKI/STSI Surakarta pakeliran padat

hidup berdampingan dengan pakeliran semalam. Silang pengaruh

antara keduanya merupakan suatu yang tidak terelakkan.

201Ibid., hlm. 5 dan179.

202Ibid., hlm. 5.
230

Pakeliran padat memengaruhi pakeliran semalam. Kondisi ini

kemudian menyebar ke dhalang-dhalang lain. Salah seorang

dhalang yang memanfaatkan pakeliran padat adalah Manteb

Soedharsono. Hal ini terjadi karena ada jalinan antara Manteb

Soedharsono dengan ASKI. Dalam penggarapan pakeliran padat

dan pakeliran semalam dengan konsep padat, Ki Manteb

Soedharsono sering mengundang rekan-rekannya para dosen

ASKI/STSI Surakarta untuk mengevaluasi penggarapan yang telah

dilakukan.203 Selain itu, Purbo Asmoro yang notebene adalah

dosen STSI Surakarta merupakan dhalang yang menggunakan

konsep pakeliran padat dalam pakeliran semalam.204

Pada 1982 kelompok dosen dan mahasiswa ASKI Surakarta

yaitu Suliyanto Sri Mulyono, Sujani, St. Wiyono, Sudarsono, Catur

Tulus, Sriyanto, dan lain-lain memiliki gagasan untuk

menciptakan sebuah bentuk pertunjukan wayang dengan

paradigma baru. Maksudnya adalah suatu pertunjukan wayang

yang menekankan pada arti penting keutuhan garap cerita dengan

menggarap unsur-unsur pakeliran secara proporsional dan

memiliki jangkauan penikmat yang lebih luas yaitu masyarakat

Indonesia. Kemunculan gagasan ini dilatarbelakangi oleh suatu

203Ibid., hlm. 200-201.

204UmarKayam, Kelir Tanpa Batas (Yogyakarta: Gama Media


dan Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM, 2001), hlm. 213.
231

kondisi bahwa hasil-hasil eksperimen pengindonesiaan wayang

yang dilakukan oleh sejumlah institusi sejak 1974 belum dapat

memuaskan berbagai pihak. Penggarapan yang masih

menggunakan cara-cara konvensional dianggap sebagai penyebab

kekurangberhasilan eksperimen pengindonesiaan wayang.

Pertunjukan wayang ini dinamakan semula Pakeliran Wayang

Kulit Berbahasa Indonesia, kemudian Pakeliran Layar Lebar, dan

pada akhirnya disebut dengan Wayang Sandosa.205

Pertunjukan Wayang Sandosa memiliki karakter yang

berbeda dari pertunjukan wayang kulit purwa pada umumnya.

Menurut Sunardi, perbedaan itu terletak pada konsep garap,

pelaku, unsur garap lakon, peralatan pentas, teknik dan bentuk

pertunjukannya. Unsur-unsur pembentuk Sandosa merupakan

perpaduan dari unsur-unsur tradisional dan unsur-unsur baru.

Beberapa unsur peralatan dan pelaku pertunjukan wayang kulit

purwa masih dipakai, tetapi tidak dihadirkan seperti dalam

pakeliran bentuk semalam. Adapun unsur-unsur baru yang

digunakan adalah lampu dan pencahayaannya, bahasa pengantar

cerita, dan teknik pengekspresian.206

205Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko, Sejarah Pedalangan


(Surakarta: Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan CV
Cendrawasih, 2007), hlm. 268.

206Ibid..
232

Secara visual, bentuk pertunjukan Wayang Sandosa

menekankan pada aspek bayangan wayang. Efek bayangan

wayang divisualkan pada layar lebar. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa Wayang Sandosa seperti pertunjukan film

dengan aktor boneka wayang. Aspek visual ini didukung oleh

narasi, dialog, dan gendhing pakeliran.207

Menurut Sunardi, perubahan pertunjukan wayang kulit

purwa menjadi Wayang Sandosa dapat dilihat dari unsur-unsur

pelaku, peralatan, dan pakeliran. Pertama, narasi dan dialog

dilakukan oleh beberapa narator. Narator perempuan

memerankan tokoh perempuan, dan narator laki-laki memerankan

tokoh laki-laki. Narasi dan dialog menggunakan bahasa Indonesia.

Kedua, gendhing pakeliran cenderung menggunakan garapan

komposisi (eksperimental) atau campuran antara tradisi-klasik

dan kontemporer dengan menggunakan instrumen-instrumen

gamelan yang diperlukan untuk mendukung ekspresi. Ketiga,

gerak wayang berubah menjadi lebih dinamis sesuai dengan

ekspresi karakter dan suasana. Keempat, konsep penggarapan

Wayang Sandosa lebih berorientasi pada konsep garap teater

207Ibid., hlm. 269.


233

moderen yang menitikberatkan pada aspek kesesuaian antara

unsur-unsur pakeliran dengan isi yang ditampilkan.208

Sejak 1982 sampai dengan 1993 ada enam naskah Wayang

Sandosa yang ditulis oleh para dosen ASKI/STSI Surakarta.

Keenam naskah tersebut adalah Karna Tandhing (Mudjiono dan

Sulijanto, 1982), Dèwaruci (Sumanto, 1983), Ciptaning (Sumanto,

1983), Wiratha Parwa (Trisno Santoso dan I Nyoman Murtana,

1990), Sukèksi (Suyanto, 1993), dan Puntadèwa Wisudha

(Sumanto, 1993).209

Wayang Sandosa dengan berbagai lakon telah beberapa kali

dipergelarkan untuk berbagai acara baik di dalam maupun di luar

ASKI/STSI Surakarta. Produksi Wayang Sandosa dari lakon ke

lakon yang lain ditandai dengan adanya penemuan-penemuan

baru. Penemuan baru itu dapat berupa ide garapan, unsur-unsur

garap pakeliran, pelaku pertunjukan, properti, dan teknik

pertunjukannya. Proses penemuan baru yang dilakukan oleh para

kreator bertujuan untuk menemukan format Wayang Sandosa

yang lebih baik dan mantap.210

208Ibid. hlm. 270-271.

209Sudarko, op. cit., hlm. 177.

210Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko, op. cit., hlm. 271.


234

Pada 1989 mahasiswa STSI Surakarta, Slamet Gundono (lahir

1966, meninggal 2014) menggagas pertunjukan wayang kulit

layar panjang. Realisasi gagasan itu terwujud dalam sebuah

pentas perdana Pakeliran Layar Panjang dengan lakon “Delapan

Hari di Kurukasetra” di Taman Budaya Surakarta pada 1989.

Naskahnya disusun oleh dua mahasiswa Jurusan Pedhalangan

STSI Surakarta, yaitu Edy Sulistyo dan Gunadi di bawah

bimbingan dosen mereka, Suyanto. Pakeliran Layar Panjang

menggunakan layar dengan ukuran 12 meter. Pada prinsipnya,

dalam hal unsur garap pakeliran, perabot fisik, dan pelaku

pertunjukan, pakeliran ini memiliki persamaan dengan

pertunjukan wayang kulit purwa. Perbedaannya terletak pada

teknik pertunjukannya. Permainan wayang dilakukan oleh tiga

dhalang dibantu oleh para asisten. Mereka masing-masing

bertugas menyajikan wayang pada layar di depannya yang telah

disekat dengan gunungan. Mereka bermain secara bersamaan,

bergantian, dan atau berurutan. Apabila mereka memainkan

wayang secara bergantian, maka pergantian penggunaan layar

dilakukan dengan perubahan arah sorot lampu pada layar yang

akan digunakan. Berbeda dari pertunjukan wayang kulit purwa

pada umumnya, narasi dan dialog wayang dilakukan oleh sulih


235

suara atau narator. Dengan demikian, kebaruan Pakeliran Layar

Panjang terletak pada teknik pertunjukannya.211

Pakeliran Padat, Pakeliran Layar Lebar (Sandosa), dan

Pakeliran Layar Panjang ini oleh Bambang Murtiyoso disebut

sebagai “Wayang Vitalitas”, yaitu karya yang dibuat karena adanya

ketidakpuasan akibat dari kejenuhan kreativitas. Dengan vitalitas

tinggi para kreator ingin mendobrak kejenuhan kreativitas itu

dengan membuat suatu bentuk alternatif pertunjukan wayang

yang memiliki wajah dan roh baru. Orientasi garapannya adalah

diperuntukan bagi masyarakat kekinian (kontemporer) dan masa

depan yang dipastikan memahami nilai-nilai kekinian yang aktual.

Oleh karena itu, konsep garapannya mengarah pada bentuk yang

perfek dan proporsional melalui serangkaian proses kekaryaan

yang profesional.212 Wayang Vitalitas ini menjadi acuan dalam

pengembangan wayang di STSI Surakarta pada masa-masa

berikutnya. Karya-karya civitas akademik Jurusan Pedhalangan

211Ibid., hlm. 272.

212Bambang Murtiyoso, “Kekhawatiran SD Humardani


terhadap Situasi Jagat Pakeliran”, dalam Rustopo, ed., Krisis
Kritik: Sepermpat Abad Pasca Gendhon Humardani (Surakarta: ISI
Press, 2008), hlm.170-171.
236

STSI/ ISI Surakarta pada masa-masa berikutnya merupakan filial

atau turunan dari Wayang Vitalitas di atas.213

Selain melakukan ekperimen-eksperimen dan penggarapan

baru, dosen-dosen pedhalangan ASKI/STSI Surakarta juga

melakukan penelitian yang berkaitan dengan seni pedhalangan

dan pewayangan, serta pendokumentasian lakon baik lakon baku

maupun lakon carangan. Hasil kegiatan itu antara lain adalah

penerbitan buku Lakon Carangan Volume I dan II .214

B. Pusat Kesenian Jawa Tengah215

1. Konsepsi dan Arah Kebijakan

Ketika Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I (1969-1974) yang

memfokuskan pada pembangunan ekonomi sedang gencar

dibicarakan, muncul kembali gagasan dari beberapa tokoh

kebudayaan tentang arti penting pembinaan kebudayaan melalui

kesenian dengan mendirikan pusat-pusat kebudayaan di

Indonesia. Oleh karena otoritas dalam masalah tersebut berada

213Wawancara dengan Bambang Murtiyoso pada 27 Desember


2014.

214Alan Feinstein, dkk., ed., Lakon Carangan Volume I dan II


(Proyek Dokumentasi Lakon Carangan ASKI Surakarta, 1986).

215Nama resmi secara lengkap adalah Proyek Pengembangan


Kesenian Jawa Tengah.
237

pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, maka gagasan itu

tampaknya tidak dapat langsung diwujudkan.216

Dalam perkembangan, gagasan tersebut mendapatkan respon

yang positif dari Pemerintah Pusat melalui Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan. Mashuri (lahir 1925, meninggal 2001) yang pada

saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

mencetuskan gagasan tentang perlu adanya pusat kesenian.

Menurut Mashuri, keberadaan lembaga ini diperlukan mengingat

eksistensi keraton yang semakin memudar. Keraton telah

mewariskan karya-karya budaya yang bernilai tinggi antara lain

berupa seni. Namun, karena keterbatasannya, keraton sudah

tidak berdaya lagi untuk melestarikan dan mengembangkan salah

satu khazanah budaya yang dimilikinya. Oleh karena itu,

diperlukan suatu lembaga baru sebagai pusat penggalian,

pelestarian, dan pengembangan seni. Lembaga yang dimaksud

adalah pusat kesenian. Pusat kesenian itu harus diselenggarakan

di lokasi-lokasi yang menurut sejarah pernah memiliki peran

sebagai pusat seni budaya, telah menyumbangkan karya-karya

budaya berupa seni, dan memiliki kapasitas untuk mewujudkan

ide tentang pusat kesenian itu. Pemilihan lokasi untuk pusat

216M. Nursjahid P., “Drs. S.D. Humardani, Sarjana


Kedokteran Akhli Anatomi kang Dadi Pimpinan Pusat Kebudayaan
Jateng”, Jaya Baya, No. 26 Taun XXIX, 23 Pebruari 1975, hlm. 8.
238

kesenian ini didasarkan atas pandangan, bahwa kehidupan seni

dapat tumbuh dan berkembang dengan subur di lingkungan yang

memiliki tenaga-tenaga kreatif, seperti seniman,

pembina/pelindung (patron), dan penghayat terlatih.217

Gagasan untuk mendirikan pusat kesenian perlu segera

direalisasikan. S.D. Humardani sebagai salah seorang tokoh dalam

bidang kebudayaan diminta untuk menyusun konsepnya.

Akhirnya, pendirian pusat-pusat kesenian menjadi bagian dari

proyek Pelita I tahun kedua (1970/1971). Beberapa kota yang

memiliki arti strategis secara kultural dipilih sebagai tempat

pendirian pusat-pusat kesenian, yaitu Medan, Denpasar, Ujung

Pandang, Yogyakarta, dan Surakarta. Pada Pelita II akan

diteruskan dengan pendirian pusat-pusat kesenian di kota-kota

yang lain.218 Pendirian pusat-pusat kesenian di kota-kota itu

diharapkan dapat menjadi pilar penyangga dalam pembinaan dan

pengembangan kesenian di wilayah kebudayaan masing-masing;

yaitu di Provinsi Sumatra Utara, Bali, Sulawesi Selatan, Daerah

Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Tengah.

Pendirian Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) di Surakarta

merupakan realisasi dari gagasan-gagasan sebagaimana telah

217Rustopo, (2001), op. cit., hlm. 326-327.

218Nursjahid P., loc. cit..


239

diuraikan di atas. Humardani kemudian diberi tugas untuk

menjadi ketua PKJT. Untuk menjalankan fungsinya sebagai pusat

kegiatan kesenian di Jawa Tengah yang mengemban tugas

menggali, menyelamatkan, memelihara, dan mengembangkan

kesenian, PKJT memerlukan berbagai fasilitas yang representatif

dan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan

perkembangan kesenian. Oleh karena pemerintah Republik

Indonesia belum mampu menyediakan fasilitas tempat dan

bangunan baru yang representatif untuk PKJT, Humardani

mencoba untuk melakukan pendekatan secara personal kepada

Sunan Paku Buwana XII. Dengan berkaca pada kebijakan Sultan

Hamengku Buwana IX yang telah merelakan bangunan-bangunan

Keraton Yogyakarta (Pagelaran, Sitinggil Lor, Dalem

Mangkubumèn, Dalem Wijilan, dan Dalem Candrakiranan) sebagai

tempat kuliah dan kantor Universitas Gadjah Mada sebelum

universitas besar ini memiliki kampus sendiri, Humardani berhasil

merayu Sunan Paku Buwana XII, sehingga berkenan untuk

meminjamkan beberapa prasarana dan sarana milik Keraton

Surakarta untuk PJKT.219 Sebagai realisasinya, pada 26 Mei 1972

ditandatangani persetujuan bersama antara Menteri Pendidikan

219R.M.Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik,


Sosial, dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2003), hlm. 371.
240

dan Kebudayaan dengan Sunan Paku Buwana XII. Sunan Paku

Buwana XII berkenan untuk meminjamkan beberapa bangunan di

lingkungan keraton Surakarta (Pagelaran, Sitinggil Lor, dan

Sasana Mulya) dan fasilitas lain yang diperlukan untuk kegiatan

PKJT kepada pemerintah. Sebagai kompensasinya, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan berkenan untuk memelihara dan

memperbaiki bangunan, tempat, dan fasilitas yang telah

dipinjamkan, serta membantu mengembangkan kesenian Keraton

Surakarta dalam batas-batas tugas dan wewenangnya.220

Menurut Humardani sebagaimana tertulis dalam “Catatan-

Catatan Pertemuan dengan Pers”, tugas pokok PKJT adalah

mengusahakan peningkatan kehidupan semua bentuk seni yang

dihayati di wilayah Jawa Tengah. Bentuk-bentuk seni itu tidak

hanya seni „asli‟ Jawa Tengah, tetapi semua bentuk seni yang

dihayati oleh warga negara Indonesia di Jawa Tengah.

Penyeleksian akan dilakukan bila diperlukan dengan berdasar

pada kemampuan untuk berkembang dari berbagai bentuk seni

220“Persetujuan Bersama Sri Paduka Susuhunan Surakarta


dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
tentang Pusat Kesenian Djawa Tengah”, 26 Mei 1972.
241

itu sebagai bagian dari kehidupan seni yang memperkaya

pengalaman hidup kerohanian bangsa Indonesia.221

Selanjutnya, Humardani menyatakan bahwa permasalahan

pokok yang telah diidentifikasi adalah permasalahan yang timbul

sebagai akibat dari perubahan yang sudah berlangsung lama,

makin mengakar dan meningkat sejak kemerdekaan, apalagi pada

era pembangunan Orde Baru. Perubahan yang cepat dan

menyeluruh ini antara lain menimbulkan pemisahan “isi” dari

“bentuk” dalam kehidupan seni tradisi. Oleh karena itu, usaha-

usaha untuk meningkatkan mutu seni tradisi perlu dilakukan

dengan menempatkannya dalam fungsi utamanya, yaitu cara khas

untuk menyelami dan menghayati nilai-nilai kehidupan rohani

dalam hidup bermasyarakat, berbudaya, dan berketuhanan secara

kini. Fungsi utama seni merupakan segi yang vital dalam

kehidupan, karena berdaya guna untuk meningkatkan

pengalaman dan penghayatan masalah-masalah nilai dalam

kehidupan. Kemunduran daya kemampuan untuk meningkatkan

pengalaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai dalam

kehidupan, berarti kehilangan suatu bentuk pengalaman yang

221Poliman,Sedijono Djojokartiko Humardani: Karya dan


Pengabdiannya (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional, 1986), hlm. 62-63.
242

sangat intensif, yang mengakibatkan prospek seni tradisi dapat

menjadi suram.222

Permasalahan sekitar fungsi utama seni sebagai bentuk

penghayatan terhadap nilai-nilai rohani tidak semata-mata

merupakan masalah teknik, tetapi masalah konsep dan konsep

dasar tentang kesenian dan kebudayaan. Sehubungan dengan itu,

pemantapan konsep-konsep sekitar fungsi utama seni merupakan

program utama PKJT; sedangkan eksperimen-eksperimen yang

mengutamakan seni sebagai sarana ekspresi dan sarana

pengantar penghayatan merupakan program yang

menyertainya.223

Bentuk-bentuk seni tradisi yang menonjolkan kebagusan,

keluwesan, kegebyaran, keramaian dan keasyikan (gobyok),

kelucuan, dan lain-lain sifat yang ringan menyenangkan, tetapi

terlepas dari isinya merupakan bentuk-bentuk seni yang laku di

pasaran. “Isi” yang terdapat dalam bentuk-bentuk seni semacam

itu biasanya ditafsirkan sebagai suatu yang tinggi dan

mengandung nilai-nilai yang luhur (adiluhung). Ini merupakan

contoh pemisahan yang fatal antara “bentuk” dan “isi” dalam seni

tradisi. Penemuan kekuatan bentuk-bentuk seni tradisi yang

222Ibid., hlm. 63; Rustopo, op. cit., hlm. 64.

223Rustopo, ibid., hlm. 65; Poliman, ibid..


243

sewajarnya merupakan masalah yang hendak dicoba dipecahkan

oleh Humardani melalui PKJT. Peningkatan kemampuan teknis,

kontak dengan bentuk-bentuk seni tradisi dari gaya atau daerah

lain, dan eksperimen-eksperimen komposisi baru dalam seni tari,

karawitan, dan pedhalangan merupakan sejumlah langkah yang

akan diambil untuk memecahkan permasalahan dalam seni tradisi

sebagaimana telah disebut di atas.224

Bagi Humardani, kelanjutan kehidupan seni tradisi di satu

sisi dapat merupakan kelanjutan langsung dari bentuk seni tradisi

dengan aturan-aturan, vokabuler, dan nilai-nilainya; tetapi pada

sisi yang lain dapat merupakan pengembangannya untuk

memenuhi kebutuhan kehidupan yang mengakomodasi masalah-

masalah kerohanian pada zamannya. Dalam konteks yang kedua

ini permasalahan dan penggarapannya dapat menjadi

kontemporer. Selain seni tradisi, Humardani sebagai ketua PKJT

juga memberikan tempat bagi seni kontemporer, yaitu seni yang

berorientasi pada nilai-nilai “Indonesia” kekinian. Orientasinya

tidak terbatas pada cakrawala kedaerahan, tetapi cakrawala yang

meng-Indonesia dan mendunia. Menurutnya, seni sastra, lukis,

224Ibid..
244

drama, dan tari merupakan beberapa jenis seni yang sudah

berkembang ke arah itu.225

Humardani juga menghadapi permasalahan dalam membina

seni kontemporer. Di Jawa Tengah bentuk-bentuk seni

kontemporer masih disalahtafsirkan, antara lain dicurigai kebarat-

baratan, dianggap individualistik dan tidak mengabdi kepada

masyarakat. Tanggapan-tanggapan semacam itu tentunya tidak

benar bagi bentuk-bentuk seni yang sungguh-sungguh

kontemporer. Keberadaan kritikus dan pembina seni yang tangguh

mengakibatkan para seniman Indonesia moderen pendukung

bentuk-bentuk seni kontemporer -- pada umumnya memiliki sikap

dan pandangan yang cukup kuat. Lembaga ini tidak memiliki

fasilitas yang memadai untuk menyelenggarakan kegiatan-

kegiatan jalur seni kontemporer, sehingga upaya untuk

meningkatkan apresiasi masyarakat berjalan kurang leluasa.226

PKJT di bawah kepemimpinan Humardani berkeinginan

untuk merangkul seniman dari kedua jalur tersebut. Dengan

fasilitas yang masih terbatas, ia ingin memacu pertumbuhan dan

perkembangan potensi seni yang ada di masyarakat Jawa Tengah.

PKJT difungsikan sebagai ajang penggarapan dan pengolahan seni

225Ibid., hlm. 66.

226Ibid., hlm. 66-67.


245

bagi seniman-seniman yang mulai dengan kegiatan dasar kreatif.

Dengan demikian, PKJT tidak bermaksud untuk menjadi

impresariat bagi bentuk-bentuk seni yang sudah mantap dan atau

yang sudah menaluri, mencampuri kebebasan kreativitas para

seniman, serta menyaingi kegiatan-kegiatan mereka.227

Kegiatan-kegiatan PKJT bertujuan untuk mengondisikan

kehidupan kreativitas seni yang dinamis dengan mengajak para

pemangku kepentingan bersama-sama menciptakan kondisi

tersebut. Untuk maksud dan tujuan itu PKJT menyediakan tempat

dan kesempatan bagi para seniman untuk melakukan pertukaran

gagasan dan pengalaman, mengadakan latihan, dan mementaskan

atau memamerkan karya-karya mereka. PKJT juga menyediakan

tempat dan peralatan untuk berkantor bagi organisasi-organisasi

seni yang akan menempatkan perwakilannya.228

2. Program Pembinaan

Berdasar pada konsepsi dan arah kebijakan yang telah diuraikan,

PKJT melakukan program pembinaan seniman. Menurut Rustopo,

program pembinaan seniman dilakukan melalui tiga kegiatan yang

mencakup (a) pemahaman dan pemantapan konsep seni, (b)

227Ibid., hlm. 67.

228Ibid..
246

penguasaan vokabuler teknik dan repertoar seni, serta (c)

penggarapan dan eksperimen seni.

a. Pemahaman dan Pemantapan Konsep Seni

Kegiatan pemahaman dan pemantapan konsep seni dilakukan

dalam bentuk sarasehan. Pemilihan bentuk kegiatan ini didasari

oleh pertimbangan, bahwa bentuk pertemuan tidak terlalu formal,

pembicaraan dapat lebih bebas dan terbuka, serta dapat diikuti

oleh sebanyak mungkin seniman. Selain itu, penyelenggaraan

sarasehan yang bersifat sederhana dapat menghemat biaya,

sehingga frekuensi penyelenggaraannya dapat diperbanyak.229

Dalam rentang waktu antara 1970 sampai dengan 1972,

PKJT menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sarasehan dalam

bidang seni tari, karawitan, dan pedhalangan. Sarasehan

dilaksanakan sebulan sekali untuk setiap bidang seni dengan

melibatkan para seniman dalam berbagai level dari ketiga bidang

seni tersebut, mulai yang bertaraf empu sampai dengan yang

masih tunas-tunas muda seniman.

Pada tahap pertama, dalam setiap sarasehan, para empu

diberi kesempatan untuk menceritakan pengalaman proses kreatif

229Rustopo, “Gamelan Kontemporer di Surakarta:


Pembentukan dan Perkembangannya (1970-1990)” (Laporan
Penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, 1991), hlm.
85.
247

mereka. Sementara itu, Humardani lebih banyak mendengarkan

dan kadang-kadang mengajukan pertanyaan tentang dasar-dasar

pemikiran yang digunakan dalam penggarapan seni. Pertanyaan

itu cenderung menggiring untuk membuat suatu rumusan

pernyataan sebagai simpulan sarasehan.230

Dalam rangka pemantapan program pembinaan dan

pengembangan kesenian yang dilakukan, pada 1972 PKJT bekerja

sama dengan Pemerintah Daerah Kotamadya dan IKIP Surakarta

menyelenggarakan seminar kesenian yang bertaraf nasional.

Seminar bertujuan untuk memecahkan masalah pengembangan

dan pembinaan kesenian Indonesia; serta menyusun dan

menyumbangkan data-data pengembangan dan pembinaan

kesenian daerah pada khususnya dan kesenian Indonesia pada

umumnya untuk penelitian-penelitian di masa yang akan datang.

Para pakar kebudayaan terkemuka dan seniman-seniman dari

berbagai bidang dan daerah gaya seni diundang untuk mengikuti

acara seminar itu. Soedjatmoko (lahir 1922, meninggal 1989),

Sartono Kartodirdjo (lahir 1921, meninggal 2007),

Koentjaraningrat (lahir 1923, meninggal 1999), Umar Kayam (lahir

1932, meninggal 2002), Djajakusuma (lahir 1918, meninggal

1987), Hardjosoebroto, Soedarsono (lahir 1933), Edi Sedyawati

230Rustopo (2001), op. cit., hlm. 239.


248

(lahir 1938), Wiranto, Sutrisno, dan Humardani menjadi

pembicara dan pembahas utama dalam seminar tersebut.

Rumusan hasil seminar itu memperkuat gagasan dan program-

program kegiatan yang telah direncanakan oleh Humardani.231

Setelah seminar itu program-program PKJT semakin mendapatkan

legitimasi untuk dilaksanakan.

Dalam kaitan dengan kegiatan sarasehan untuk pemahaman

dan pemantapan konsep seni, pada tahap-tahap selanjutnya

perhatian difokuskan kepada tunas-tunas muda seniman. Pokok

pembicaraan dalam sarasehan tidak hanya tentang konsep-konsep

kesenian saja, tetapi ditingkatkan pada konsep-konsep

penggarapan seni “baru”. Dalam forum-forum ini Humardani

bertindak sebagai pengarah dan pengatur laku yang mendorong

para seniman untuk berkarya.232

Pada tahap yang lebih maju lagi, kesempatan diberikan

kepada generasi muda untuk menjadi pembicara dalam forum-

forum sarasehan. Acara-acara sarasehan tingkat lanjutan ini

diadakan setahun sekali sejak 1977 untuk setiap bidang seni.

Bidang seni yang dibahas menjadi lebih banyak, termasuk wayang

wong dan kethoprak. Dari tahun ke tahun subjek pembicaraan

231Rustopo (1991), op. cit., hlm. 94-95.

232Rustopo (2001), op. cit., hlm. 240.


249

dalam sarasehan-sarasehan itu juga semakin berkembang; semula

tentang konsep-konsep dasar pengembangan garapan, dan

seterusnya berkembang sampai pada pembicaraan tentang

penilaian atau evaluasi hasil garapan baru.233

Selain mengadakan sarasehan tentang seni tari, karawitan,

pedhalangan, wayang wong, dan kethoprak, PKJT juga

mengadakan sarasehan tentang Sastra Jawa yang diselenggarakan

kali pertama pada 1975. Walaupun tidak diselenggarakan secara

rutin setiap tahun, acara Sarasehan Sastra Jawa ini berlangsung

sampai dengan 1983.234 Dalam karangka yang tidak berbeda

dengan sarasehan bidang tari, karawitan, dan pedhalangan,

Sarasehan Sastra Jawa juga bertujuan untuk membina dan

mengembangkan sastra Jawa. Dalam Sarasehan Sastra Jawa yang

pertama (22-23 Februari 1975), telah dirumuskan lima keputusan

yaitu tentang penerbitan, pengembangan karya sastra,

perlindungan terhadap karya sastra, kualitas karya sastra, dan

usulan kepada pemerintah.235 Selain itu juga telah dirancang

233Ibid., hlm. 241.

234“Sarasehan Sastra Jawa 1979 ing Sala”, Jaya Baya, No. 41


Taun XXXIII, 10 Juni 1979, hlm. 13; “Cathetan Sapala Saka
Sasana Mulya”, Jaya Baya, No. 28 Taun XXXIV, 9 Maret 1980,
hlm. 20-21; Poliman, op. cit., hlm. 54.

235“Sarasehan Sastra Jawa ing Sasonomulyo Sala”, Mekar


Sari, No. 8 Taun XIX, 15 Juni 1975, hlm.13.
250

program jangka pendek dan jangka panjang. Program jangka

pendek adalah pemberian penghargaan bagi para pegiat sastra

Jawa yang karya-karyanya telah dimuat dalam media massa.

Program jangka panjang berkaitan dengan pembentukan

organisasi yang mewadahi para pegiat sastra Jawa dan upaya-

upayanya dalam melestarikan dan mengembangkan sastra

Jawa.236

Sejumlah pegiat sastra dari golongan tua dan muda telah

dipertemukan dalam forum-forum Sarasehan Sastra Jawa PKJT

untuk membicarakan tentang dunia sastra Jawa, permasalahan-

permasalahan yang berkaitan dengan eksistensinya, dan mencari

jalan keluar bagi perkembangannya agar semakin maju di tengah-

tengah perubahan zaman. Sebagai realisasi dari program jangka

pendek, PKJT juga memberikan penghargaan karya sastra Jawa

dalam berbagai kategori, yaitu novel, cerita cekak, geguritan, kritik

dan esai, serta syair lagu.237 Sementara itu, dalam Sarasehan

236“Sarasehan Pengarang Abasa Jawa ing Sala”, Jaya Baya,


No. 30 Taun XXIX, 23 Maret 1975, hlm. 30-31.

237Tokoh-tokoh yang aktif dalam sarasehan-sarasehan itu


antara lain Widi Widayat (Surakarta), Sudarno K.D. (Klaten),
Suripan Sadihutama (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Surabaya), Murya Lelana (Ungaran), Daru Suprapto dan Siti
Sundari (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Mulyohadisusanto
dan Sutadi Wiryatmadja (Universitas Negeri Sebelas Maret
Surakarta), Susatyo Darnawi (Universitas Diponegoro, Semarang).
Lihat: “Yenta Sastra Jawa Kukut, Apa Salahe”, Jaya Baya, No. 33
251

Sastra Jawa yang berlangsung pada 23-26 Januari 1983

diputuskan bahwa untuk mengembangkan sastra Jawa moderen

dibutuhkan kritik. Dalam sarasehan itu juga diusulkan untuk

diadakan penyusunan dokumentasi kritik sastra Jawa, lokakarya

kritik sastra Jawa, dan penulisan kritik sastra Jawa.238

Usaha-usaha untuk memahamkan konsep-konsep kesenian

juga ditujukan kepada para pamong seni (orang-orang yang

menjabat atau mendapatkan tugas sebagai pembina kesenian).

Kegiatan ini dilakukan dengan mengadakan ceramah-ceramah di

kantor-kantor Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Kabupaten se- Wilayah Jawa Tengah. Dalam

perkembangan penyelenggaraan acara-acara itu mengalami

perubahan. Sejak 1978 para pamong seni dari daerah-daerah

justru diundang untuk mengikuti acara-acara di Sasana Mulya

Surakarta yang merupakan pusat kegiatan PKJT. Pelaksanaan

acara-acara untuk pamong seni ini biasanya bersama dengan

acara-acara penggalian dan penggarapan yang juga melibatkan

mereka sebagai peserta. Kantor Wilayah Departemen Pendidikan

Taun XXIX, 13 April 1975, hlm. 30-31; “Rembug Bab: Kritik Sastra
Jawa ing Sasono Mulyo Sala”, Jaya Baya, No. 52 Taun XXXI, 28
Agustus 1977, hlm. 7 dan 13.

238Poliman, op. cit., hlm. 54.


252

dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah tetap berperan serta dalam

penyelenggaraan acara-acara itu.239

b. Penggalian Vokabuler Teknik dan Repertoar Seni Tradisi

Seiring dengan kegiatan pemahaman dan pemantapan konsep seni

dilakukan kegiatan yang bertujuan untuk penguasaan vokabuler

teknik dan repertoar seni tradisi. Kegiatan ini disebut dengan

penggalian seni tradisi. Program ini melibatkan para seniman dari

berbagai bidang (tari, karawitan, dan pedhalangan) dengan

berbagai tingkat kemampuan dari yang bertaraf empu sampai

dengan tunas-tunas seniman yang menunjukkan potensi untuk

tumbuh dan berkembang. Mereka dipertemukan dalam kegiatan

latihan bersama secara teratur dan terus menerus.

Penggalian vokabuler teknik dan repertoar seni tradisi

dilakukan dengan menghadirkan para empu seni tradisi sebagai

narasumber dan seniman/ tunas-tunas seniman sebagai

penyerap. Para empu itu adalah Ibu Darsosaputra dan Ibu

Laksminta Rukmi untuk bidang seni tari; Martopangrawit,

Gunopangrawit, Mloyowidodo, dan Joyomloyo untuk bidang seni

karawitan; Madyocarito dan Samsudjin Probohardjono untuk

bidang seni pedhalangan. Acara-acara tersebut diselenggarakan

239Rustopo (2001), op. cit., hlm. 241.


253

antara satu hingga tiga kali dalam seminggu untuk setiap bidang

seni.240

Kegiatan semacam kursus tari merupakan format yang dipilih

untuk penggalian tari tradisi. Para empu tari bertindak sebagai

guru atau pelatih tari, sedangkan seniman atau tunas-tunas

seniman sebagai peserta kursus. Materi pelatihan merupakan

repertoar kuna yang berkembang di Kasunanan Surakarta dan

Mangkunagaran, seperti bedhaya, srimpi, dan wirèng. Dari

kegiatan itu telah berhasil digali dan terjadi alih pengetahuan

beberapa tari bedhaya dan srimpi dari para empu tari kepada

seniman. Beberapa tari bedhaya dan srimpi yang berhasil digali

antara lain Bedhaya Pangkur, Bedhaya Duradasih, Srimpi

Langenharja, Srimpi Ludiramadu, Srimpi Sangupati, Srimpi

Anglirmendhung, dan Srimpi Lagu Dhempel.241

Dalam bidang pedhalangan diselenggarakan kegiatan

pelatihan berbagai jenis wayang yang meliputi wayang purwa,

wayang gedhog, wayang madya, dan wayang golèk. Dhalang

sepuh, dhalang muda, dan tunas-tunas dhalang masing-masing

240Waridi,
Gagasan & Kekaryaan Tiga Empu Karawitan: Pilar-
pilar Kehidupan Karwitan Jawa Gaya Surakarta 1950-1970an (Ki
Martapengrawit, Ki Tjakrawasita, Ki Nartasabda (Bandung dan
Surakarta: Etnoteater Publisher-BACC dan Pascasarjana ISI
Surakarta, 2008), hlm. 116.

241Ibid., hlm.117.
254

mendapatkan kesempatan untuk men-dhalang.242 Dengan

demikian para dhalang muda dan tunas-tunas dhalang dapat

menyerap pengetahuan dan teknis praktik pedhalangan untuk

tiap-tiap jenis wayang, sekaligus mendapatkan koreksi atau

evaluasi dari dhalang sepuh.

Dalam bidang karawitan diselenggarakan latihan bersama

antara para empu dan pangrawit muda dalam berbagai tingkat

kemampuan. Materi pelatihan mencakup gendhing-gendhing

klasik Jawa gaya Surakarta, gendhing-gendhing wayang gedhog,

gendhing-gendhing pakurmatan (sekatèn, monggang, carabalèn,

dan kodhok ngorèk), gendhing-gendhing bedhaya srimpi,

santiswaran, larasmadya, dan macapat pringgitan. Para empu

memberikan penjelasan dan contoh-contoh sekitar teknik-teknik

penggarapannya di sela-sela waktu pelatihan.243 Oleh karena PKJT

belum memiliki gamelan pakurmatan, maka pelatihan gendhing-

gendhing pakurmatan menggunakan gamelan pakurmatan milik

Kasunanan Surakarta. Untuk menunjang penggalian potensi

karawitan pakurmatan Kasunanan Surakarta, pada 1975 PKJT

membuat perangkat gamelan pakurmatan kodhok ngorèk,

monggang, carabalèn, dan pada 1976 membuat gamelan sekatèn

242Rustopo (2001), op. cit., hlm. 248 dan 250.

243Ibid..
255

yang penentuan ukuran dan laras-nya sepenuhnya diserahkan

kepada Martopangrawit dan Rahayu Supanggah.244 Penggalian

gendhing-gendhing bedhaya dan srimpi oleh PKJT merupakan awal

perembesan gendhing-gendhing bedhaya dan srimpi ke luar

istana.245

Untuk kepentingan regenerasi, pada tahap-tahap selanjutnya

tugas empu sebagai pelatih dialihkan kepada asistennya yang

sudah dipersiapkan sejak awal. Dalam tahap ini para empu

bertindak sebagai pengamat dan pengevaluasi. Pada tahap

selanjutnya, para asisten diberi tugas untuk memilih kader-kader

sebagai asisten pelatih. Dalam tahap ini terjadi proses alih

generasi.246 Dengan cara seperti itu penguasaan repertoar-

repertoar kuna karawitan Jawa Surakarta oleh para generasi

penerus dapat dipertahankan.

c. Penggarapan dan Eksperimen Seni

Program penggarapan dan eksperimen seni merupakan kelanjutan

dari program penggalian vokabuler teknik dan repertoar seni

244Waridi,op.cit., hlm. 123. Rahayu Supanggah, Bothekan


Karawitan I (Jakarta: Ford Foundation dan Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia, 2002), hlm. 57.

245Waridi, ibid., hlm. 115-116.

246Rustopo (2001), op. cit., hlm. 249.


256

tradisi. Program ini dilakukan secara sistematis dan intensif. Pada

tahap awal penggarapan masih kuat berorientasi pada vokabuler

seni tradisi. Konsep penggarapan secara padat dipilih untuk

merealisasikan program ini. Eksperimen-eksperimen bentuk

“baru” yang mengutamakan fungsi ungkap pengantar hayatan

merupakan program yang dikembangkan pada tahap-tahap

selanjutnya.247

Kesempatan menggarap seni diberikan kepada para seniman

atas pertimbangan kemampuan mereka dalam menggarap seni.

Kesempatan pertama untuk menggarap seni diberikan kepada

seniman-seniman „senior‟ termasuk para empu. Pada tahap-tahap

selanjutnya kesempatan diberikan kepada seniman atau tunas-

tunas seniman yang memiliki kemampuan sebagai penggarap.

Untuk kepentingan penggarapan seni, PKJT menyediakan semua

fasilitas pendukung kekaryaan, seperti tempat, peralatan latihan,

dan pergelarannya. Dengan demikian, para seniman penggarap

dapat berkonsentrasi penuh pada proses kreatifnya.248

Dalam program ini Humardani berperan sebagai pendorong

dan pemberi kesempatan bagi para seniman yang dipromosikan

sebagai penggarap. Dalam proses kreatif ia berperan sebagai

247Ibid., hlm. 254.

248Ibid..
257

pengamat aktif, pembimbing, dan penentu kelayakan karya-karya

garapan baru atau eksperimen baru. Ia memberikan kebebasan

kepada para seniman untuk mengembangkan konsep dan

penggarapannya. Ia ikut campur tangan ketika seniman penggarap

menyatakan bahwa hasil garapannya sudah siap untuk dinilai. Ia

memberikan penilaian terhadap garapan secara keseluruhan.

Perhatian dan kritik secara khusus biasanya ditujukan pada

bagian-bagian garapan yang dianggap belum pas. Ia tidak

memberikan alternatif untuk bagian-bagian yang mendapatkan

kritik. Penilaian dan kritik dijadikan sebagai bahan untuk

melakukan perbaikan sampai hasil garapan itu dapat diterima

oleh Humardani.249

Pemerataan kesempatan untuk menggarap karya seni

dilakukan dengan sistem penggarapan bersama. Dengan sistem

ini, maka orang yang memiliki pengalaman untuk menggarap

karya seni menjadi lebih banyak. Pilihan dijatuhkan pada

penggarapan sendratari dan pakeliran baru layar lebar. Sendratari

memang memerlukan banyak komposisi garapan dan dapat

melibatkan banyak penggarap, baik dalam bidang tari maupun

karawitan. Penggarapan sendratari dikerjakan oleh beberapa

orang dengan pembagian kerja menurut tata adegan atau bidang

249Ibid., hlm. 255.


258

spesialisasi kemampuan penggarap. Demikian halnya dalam

pakeliran baru layar lebar. Pembagian kerja penggarapan

didasarkan pada tata adegan atau bidang spesialisasi kemampuan

penggarap. Mereka masing-masing diberi tugas dan tanggung

jawab sebagai sutradara, penggarap sabet, penggarap bahasa atau

narasi, penggarap iringan, dan lain-lain. Pemerataan kesempatan

dengan sistem penggarapan bersama juga didasarkan pada

alasan, bahwa tidak seorang pun memiliki kemampuan yang

sangat sempurna. Dengan demikian, sistem penggarapan bersama

ini diharapkan akan menghasilkan karya-karya yang lebih baik

daripada penggarapan dilakukan seorang diri.250

Dalam periode 1970-1983 telah dihasilkan puluhan karya

garapan dan atau eksperimen baru dalam berbagai bidang seni

pertunjukan, yaitu tari, karawitan, dan pedhalangan. Karya-karya

seni itu merupakan hasil dari berbagai proses kreatif yang

dilakukan oleh empu, seniman senior, dan seniman muda di

lingkungan PKJT-ASKI. Karya-karya baru itu kadang-kadang

mengalami perubahan garapan ketika akan dipergelarkan lagi,

karena perubahan rasa kemantapan penggarap atau para

penggarapnya.251

250Ibid., hlm. 255-256.

251Ibid., hlm. 256.


259

3. Penyebarluasan Konsep dan Karya Seni

Usaha-usaha untuk menyebarluaskan konsep-konsep kesenian

dan karya-karya garapan baru dilakukan dengan berbagai cara.

Usaha-usaha itu dilakukan secara mandiri, dengan jalinan kerja

sama, dan dengan bantuan pihak-pihak luar pemberi kesempatan.

Penyebarluasan yang dapat menjangkau seluruh wilayah di

Jawa Tengah tidak dapat dilakukan secara bebas, karena PKJT

tidak memiliki wilayah administratif dan kewenangan untuk

bergerak di daerah-daerah.252 Oleh karena itu, untuk

menyebarluaskan konsep-konsep kesenian dan karya-karya

garapan baru di Jawa Tengah, PKJT harus bekerja sama dengan

Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi

Jawa Tengah yang memiliki kewenangan dalam hal itu

sebagaimana hasil pembicaraan antara Woerjanto selaku Kepala

Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi

Jawa Tengah dengan Humardani selaku pimpinan PKJT. Berdasar

pada pembicaraan antara kedua tokoh itu, telah ditetapkan bahwa

tugas dan fungsi PKJT adalah sebagai “dapur” pengolahan unsur-

unsur kehidupan kesenian. Berkaitan dengan tugas dan fungsi

PKJT, Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

252Ibid., hlm. 261; Poliman, op. cit., hlm. 57.


260

bertugas untuk memasyarakatkan karya-karya garapan baru dan

konsep-konsep kesenian di daerah-daerah.253

Realisasi dari pembagian tugas itu adalah secara berkala

Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

mengirimkan tenaga-tenaga teknis kesenian dan atau pembina

seni dari daerah-daerah untuk mengikuti “penataran” yang

diselenggarakan oleh PKJT. Di PKJT mereka mendiskusikan

tentang konsep-konsep kesenian, mengikuti latihan-latihan

penguasaan vokabuler teknik dan repertoar seni tradisi, dan

melakukan penggarapan seni tradisi secara baru. Mereka inilah

yang diharapkan dapat menyebarluaskan pengetahuan dan

pengalaman kesenian yang diperoleh dari PKJT kepada

masyarakat, sehingga apresiasi mereka meningkat.254

Siswa-siswa sekolah merupakan anggota masyarakat yang

kelak diharapkan dapat menghayati nilai-nilai budaya. Mereka

diharapkan menjadi anggota masyarakat yang dapat menghargai

dan menghayati kehidupan kesenian. Oleh karena itu, mereka

juga menjadi sasaran dalam program penyebarluasan karya seni

garapan PKJT. Kegiatan-kegiatan yang menempatkan siswa-siswa

sekolah sebagai khalayak sasaran dilaksanakan dalam bentuk

253Rustopo, ibid., hlm. 262.

254Ibid., hlm. 262-263.


261

kerja sama dengan sekolah-sekolah. Penyelenggaraan dapat di

sekolah-sekolah yang bersangkutan atau di PKJT. Acara-acara

bertajuk apresiasi seni itu biasanya berisi ceramah-ceramah

dengan disertai pergelaran karya-karya garapan baru.255

Pergelaran seni merupakan wahana yang dimanfaatkan oleh

PKJT untuk menyebarluaskan karya-karya garapan baru. Dalam

setiap pergelaran baik yang diselenggarakan sendiri maupun

pihak lain selalu ditampilkan karya-karya garapan baru yang

dinilai bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Karya-karya

garapan baru yang diperkirakan terlalu jauh dari jangkauan daya

apresiasi masyarakat penonton tidak ditampilkan dalam

pergelaran-pergelaran berikutnya. Beberapa karya garapan baru

yang termasuk dalam kategori ini adalah Jogèd karya Sunarno,

Rudrah karya Wahyu Santosa Prabowo, dan hampir seluruh

karya-karya komposisi karawitan baru.256 Sal Murgiyanto

memberikan penjelasan bahwa Rudrah merupakan suatu bentuk

tari yang mencoba mengungkapkan berbagai rasa (sedih, gembira,

marah, dan lain-lain) tanpa mengaitkannya dengan satu cerita.257

255Ibid., hlm. 263.

256Ibid., hlm. 263-264.

257Sal Murgiyanto, Ketika Cahaya Merah Memudar: Sebuah


Kritik Tari (Jakarta: Deviri Ganan, 1993), hlm. 217.
262

Penyebarluasan karya seni juga dilakukan melalui jalur

festival. PKJT sering mengirimkan utusan untuk mengikuti

berbagai festival seni dari level daerah sampai internasional. Sejak

1979 sampai 1982 setiap tahun Humardani mengikutsertakan

seniman-seniman PKJT-ASKI dengan karya-karya garapan

terbarunya dalam berbagai festival seni, yaitu: Festival

Tari/Sendratari Tingkat Jawa Tengah dan Nasional, Pekan Wayang

Nasional, dan Pekan Komponis Muda; Lawatan atau Duta Seni ke

Bali, Jawa Timur, dan Jawa Barat; Festival Wayang di Perancis

(1976); Durham Oriental Festival dan BBC Promenade Concert di

Inggris (1976 dan 1982); Summer Music Festival di Inggris (1982)

Festival de’ Indonesia di Belgia dan Perancis (1982) dan Festival

Seni di Singapura (1982). Keikutsertaan dalam berbagai forum

festival bertujuan untuk memamerkan kemampuan dalam

berkarya seni kepada kalangan yang dipandang memiliki tingkat

kemampuan apresiasi seni yang tinggi, menambah pengalaman

para pemain, dan kemampuan apresiasi seni bagi penontonnya.258

Sebagai penutup bagian ini, kiranya perlu ditambahkan,

bahwa iringan tari (gendhing beksan) dan dramatari garapan

PKJT-ASKI juga disebarluaskan melalui pita kaset. Pada

pertengahan sampai akhir dasawarsa 1980an setidaknya ada

258Ibid., hlm. 264.


263

empat buah rekaman kaset komersial yang terdiri atas tiga buah

gendhing beksan dan sebuah iringan drama tari yang telah

diproduksi oleh perusahaan rekaman Ira Record Semarang.

Keempat album rekaman kaset komersial itu berjudul Beksan

Enggar-enggar,259 Topeng Klana,260 Beksan Driasmara,261 dan

Ranggalawe Gugur.262

Posisi rekaman kaset komersial dalam penyebarluasan tari

garapan PKJT-ASKI layak untuk diperhitungkan, karena dengan

adanya rekaman kaset komersial tari-tari garapan PKJT-ASKI

dapat tersebar luas semakin cepat paling tidak untuk wilayah

Jawa Tengah. Keberadaan rekaman kaset komersial itu

memudahkan pembelajaran tari garapan PKJT-ASKI di sanggar-

259PKJT/ASKI Surakarta, Gendhing Beksan: Beksan Enggar-


enggar (Semarang: Ira Record WD 530). Album ini terdiri atas lima
buah gendhing beksan, yaitu: Golek Manis, Enggar-enggar, Bondan
Langen Sayuk (Indeks A), Bedhaya La-La dan Srimpi
Gandakusuma (Indeks B).

260PKJT-ASKI Surakarta, Gendhing2 Beksan: Topeng Klana


(Semarang: Ira Record-WD 540). Album ini terdiri atas lima buah
gendhing beksan, yaitu: Topeng Klana, Adaninggar Kelaswara
(Indeks A), Topeng Gunungsari, Prajuritan, dan Srikandhi
Burisrawa (Indeks B).

261PKJT/ASKI Surakarta, Gendhing2 Beksan: Beksan


Driasmara (Semarang: Ira Record-WD 578). Album ini terdiri atas
lima buah gendhing beksan, yaitu: Driasmara, Kusuma Ratih
(Indeks A), Gambyong Pareanom, Jaranan, dan Topeng Panji
Kembar (Indeks B).

262PKJT-ASKI Surakarta, Dramatari Ranggalawe Gugur


(Semarang: Ira Record).
264

sanggar, sekolah-sekolah, dan universitas-universitas. Penulis

berpendapat bahwa penyebarluasan tari-tari garapan PKJT-ASKI

di Jawa Tengah antara lain ditopang oleh keberadaan rekaman-

rekaman kaset komersial gendhing-gendhing beksan garapan

PKJT-ASKI. Hal ini dibuktikan bahwa sejumlah sanggar, sekolah,

dan universitas di Semarang menjadikan tari garapan PKJT-ASKI

sebagai materi pelatihan dengan iringan rekaman kaset komersial

yang beredar luas di masyarakat. Sebagai contoh, ketika menjadi

siswa SMA (1984-1987) penulis pernah mengikuti pelatihan

karawitan di sekolah dengan materi ajar gendhing beksan Golèk

Manis garapan PKJT-ASKI. Penulis berlatih bermain kendhang

untuk iringan tari itu melalui kaset rekaman komersial. Demikian

pula pada saat menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah UNDIP (1987-

1992) penulis juga pernah menjadi pengendhang dalam

pergelaran-pergelaran seni mahasiswa yang sering menyajikan

tari-tari garapan PKJT-ASKI, yaitu: Gambyong Paréanom, Topèng

Klana, Adaninggar Kélaswara, dan Énggar-énggar. Sampai saat ini

rekaman-rekaman kaset komersial itu masih dapat dijumpai di

toko-toko kaset di Surakarta dan Semarang dan masih digunakan

untuk mengiringi pelatihan tari di beberapa sanggar di Semarang.


265

Gambar 3.8
Sampul Kaset Gendhing-gendhing Beksan PKJT-ASKI
Produksi Ira Record Semarang
(Sumber: Koleksi Dhanang Respati Puguh)

4. Pencapaian

Konsep pembaharuan seni tradisi dan karya-karya baru yang

digagas dan direalisasikan oleh Humardani dan para cantrik-nya di

PKJT tidak serta merta dapat langsung diterima oleh masyarakat

seni tradisi. Pada awal 1970an sikap dan reaksi penentangan dari

masyarakat seni tradisi terhadap konsep-konsep pembaharuan

seni tradisi dan karya-karya hasil garapan baru yang ditawarkan

oleh Humardani dan para pengikutnya melalui PKJT masih


266

menonjol.263 Seiring dengan perjalanan waktu sikap dan reaksi

penentangan itu semakin berkurang, karena masyarakat seni

tradisi Jawa semakin memahami konsep-konsep pembaharuan

seni tradisi dan garapan-garapan baru yang ditawarkan melalui

sosialisasi yang dilakukan oleh PKJT dalam berbagai bentuk

kegiatan.

Menurut pengamatan Rustopo, sejak awal 1980an reaksi

penentangan itu dapat dikatakan sudah tidak terdengar lagi.

Reaksi penentangan dari para seniman tradisi Jawa yang semula

selalu berdebat tentang waton dan atau pakem yang masing-

masing memiliki kriteria yang berbeda dan dijadikan dasar untuk

menolak usaha-usaha pembaharuan, dalam perkembangan tidak

terdengar lagi. Demikian juga dengan komunitas Keraton

Surakarta. Kalangan Keraton Surakarta yang semula menentang

pemadatan tari bedhaya dan srimpi, akhirnya mau menerimanya

juga. Pergelaran bedhaya dan atau srimpi garapan padat PKJT-

ASKI dalam acara penting yang diselenggarakan oleh Keraton

Surakarta pada 1974 menandai keterbukaannya untuk menerima

garapan tersebut. Pada waktu-waktu selanjutnya, beberapa putri

dalem Sunan Paku Buwana XII ikut serta dalam penggarapan

263Rustopo (2001), op. cit., hlm. 274.


267

pemadatan tari bedhaya dan srimpi di PKJT.264 Bahkan, dengan

memanfaatkan sumber-sumber yang terdapat di keraton

Surakarta para putri dalem berkenan untuk menggali dan

memadatkan beberapa repertoar bedhaya dan srimpi untuk

kepentingan-kepentingan internalnya.265

Pakeliran Layar Lebar (Sandosa) yang menurut tradisi

pertunjukan wayang kulit purwa merupakan bentuk garapan yang

baru, juga dapat diterima oleh masyarakat luas. Ketika kali

pertama dipergelarkan di lapangan terbuka untuk masyarakat

luas, Sandosa ternyata mendapat sambutan antusias dari

penonton. Hal ini ditunjukkan dengan adanya permintaan untuk

menggelar kembali garapan serupa pada kesempatan lain, yang

juga mendapatkan sambutan yang antusias dari penonton.266

Salah satu bukti tentang hal ini adalah pementasan Sandosa di

Universitas Diponegoro (UNDIP) pada 1990 yang dibawakan oleh

264Ibid., hlm. 275.

265Sulistyo Haryanti, “Kiprah G.R. Ay. Koes Moertiyah dan


Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta dalam
Perkembangan Tari Istana Surakarta” (Tesis S-2 Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Jurusan Ilmu-ilmu
Humaniora Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
2001), hlm. 74-75.

266Rustopo (2001), loc. cit..


268

civitas akademik STSI Surakarta yang mendapatkan sambutan

positif dari civitas akademik UNDIP.

Konsep pakeliran padat semula banyak mendapatkan

penentangan dari para dhalang. Manteb Soedharsono memberikan

kesaksian bahwa pada saat Sarasehan Pedhalangan di Kabupaten

Sragen yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembina Seni

Pedhalangan Indonesia (Ganasidi), konsep pakeliran padat yang

diperkenalkan oleh Humardani mendapatkan kritik dan penolakan

dari para dhalang peserta sarasehan terutama dhalang sepuh. Ia

merupakan satu-satunya dhalang yang pada saat itu mau

menerima konsep pakeliran padat.267 Melalui sosialisasi yang

dilakukan oleh PKJT, pada akhirnya para dhalang mau

mendengar, memahami, menerima, mempelajari, dan menggarap

sendiri pakeliran padat. Sejak mengenal konsep pakeliran padat

Manteb Soedharsono banyak belajar pakeliran padat kepada

Humardani melalui forum-forum yang diselenggarakan oleh PKJT

dan ASKI Surakarta, serta berlatih bersama para mahasiswa

Jurusan Pedhalangan. Ketika diselenggarakan lomba pakeliran

padat ia berhasil menjadi juara dalam lomba tersebut. Sejak saat

itu, ia banyak menerapkan konsep garapan pakeliran padat ke

267Manteb Soedharsono, “Seni Pedalangan Sebuah


Autokreasi”, dalam Sunardi, ed., Ki Manteb Soedharsono:
Pemikiran dan Karya Pedalangannya (Surakarta: ISI Press, 2015),
hlm. 8.
269

dalam pakeliran semalam suntuknya. Ia kemudian juga diakui

sebagai dhalang yang berhasil membawa dan memopulerkan

pakeliran padat ke lingkungan seni pertunjukan wayang kulit

purwa semalam suntuk. Untuk acara-acara tertentu dan

memenuhi permintaan penanggap-nya, ia juga sering

mementaskan pakeliran padat.268

Puluhan karya garapan baru dalam seni tari, pedhalangan,

dan karawitan telah dihasilkan di PKJT. Karya-karya garapan

baru oleh seniman-seniman muda barangkali merupakan suatu

hal yang lumrah dalam jagad seni, karena sesuai dengan jiwa dan

semangat senimannya. Akan tetapi, karya-karya garapan baru itu

juga lahir dari tangan para seniman tradisi bertaraf empu.

Keterlibatan Martopangrawit dalam kegiatan-kegiatan yang

diselenggarakan oleh PKJT baik sebagai narasumber maupun

penggarap sudah barang tentu mengakibatkan ia mengenal dan

memahami gagasan-gagasan Humardani tentang pembaharuan

seni tradisi. Gagasan-gagasan pembaharuan itu telah memberikan

inspirasi pada dirinya untuk menghasilkan komposisi solo gender

bertajuk “Perjalanan‟ pada 1982.269

268Umar Kayam, Kelir Tanpa Batas (Yogyakarta: Gama Media


dan Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM, 2001), hlm. 204-205;
lihat juga Sudarko, op. cit., hlm. 201.

269Rustopo (2001), loc. cit..


270

Gambar 3.9
Martopangrawit sedang memperkenalkan karya terbarunya
“Perjalanan” kepada para mahasiswa ASKI Surakarta
di Sasana Mulya pada 2 Februari 1982.
(Sumber: Koleksi Galeri dan Museum Seni ISI Surakarta)

Menurut Waridi, secara musikal “Perjalanan” terdiri atas tiga

bagian, yaitu awal, tengah, dan akhir. Bagian awal merupakan

ungkapan pengalaman Martopangrawit di bidang karawitan

tradisi. Bagian tengah merupakan aktualisasi dari pengalaman-

pengalaman yang lain. Bagian akhir merupakan ungkapan

kemantapan. Karya itu merupakan aktualisasi dari pengalaman

Martopangrawit dalam bidang karawitan tradisi dan kontemporer.

Karya itu menggunakan pendekatan kontemporer, karena idiom

permainan gendèr tradisional tidak digunakan sebagai perabot

pokok. Di kalangan seniman karawitan karya ini dianggap mampu


271

menelorkan idiom-idiom baru dalam teknik dan rasa permainan

ricikan gendèr. Karya ini kemudian mengilhami karya “gamelan

kontemporer” para cantrik Martopangrawit seperti Al Suwardi

(„Sak-saké” dan “Proses”), Bambang Sunarto (“Pathet Èng sebuah

Kenangan untuk Marto”), Sunardi (“Gendèr”), dan Waridi

(“Wedhar”).270

Semangat berkarya secara “baru” makin meluas ke daerah-

daerah melalui para seniman yang pernah mengikuti kegiatan-

kegiatan PKJT. Dalam forum festival seni tingkat daerah yang

diselenggarakan setahun sekali, tampak jelas bahwa warna dan

nuansa garapan para seniman dari berbagai daerah yang

berpartisipasi dalam kegiatan itu (baik dalam bidang tari,

karawitan, maupun pedhalangan) bersumber dari konsep-konsep

Humardani dan karya-karya hasil garapan baru PKJT-ASKI.271

Kondisi ini juga sangat terasa pada festival seni mahasiswa tingkat

Jawa Tengah yang diadakan secara rutin setiap tahun. Garapan-

garapan yang ditampilkan pada festival-festival seni dalam periode

pertengahan dasawarsa 1980an sampai dengan awal dasawarsa

1990an banyak diwarnai oleh garapan-garapan tari yang

270Waridi, Martopangrawit: Empu Karawitan Gaya Surakarta


(Yogyakarta: Mahavhira, 2001), hlm. 184-185.

271Rustopo (2001), op. cit., hlm. 276.


272

bernuansa PKJT-ASKI. Hal ini tidak lain karena mayoritas

perguruan tinggi-perguruan tinggi yang akan mengirimkan

wakilnya dalam festival-festival seni tersebut menggunakan

tenaga-tenaga kesenian alumni-alumni ASKI-PKJT sebagai pelatih.

Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa PKJT di

bawah kepemimpinan Humardani telah berperan dalam

pembinaan, pelestarian, dan pengembangan kebudayaan Jawa

Surakarta khususnya dalam bidang seni tari, karawitan, dan

pedhalangan. Meskipun PKJT juga memiliki perhatian dalam

pelestarian dan pengembangan sastra Jawa melalui kegiatan-

kegiatan yang diselenggarakan secara periodik, tampaknya apabila

dibandingkan dengan bidang seni tari, karawitan, dan

pedhalangan – hasilnya masih belum sebanding dengan ketiga

cabang kesenian Jawa tersebut.


273

BAB IV

PENYEBARLUASAN KEBUDAYAAN JAWA SURAKARTA

Pada bagian ini akan diuraikan tentang penyebarluasan

kebudayaan Jawa Surakarta. Perhatian akan diberikan pada

lembaga-lembaga kebudayaan, penerbitan-penerbitan, dan

panggung pertunjukan yang memiliki peranan dalam

penyebarluasan kebudayaan Jawa Surakarta. Radio Republik

Indonesia (RRI) Surakarta dan Perusahaan Rekaman Lokananta

merupakan dua lembaga kebudayaan yang menjadi subjek kajian

dalam bab ini. Pembahasan tentang RRI Surakarta akan

difokuskan pada kebijakan dan siaran-siaran seni pertunjukan

Jawa Surakarta yang diadakan. Pembahasan tentang Lokananta

akan difokuskan pada kebijakan dan produksi rekaman-

rekamannya. Selain itu, dalam bab ini juga akan diuraikan

tentang peranan penerbitan berbahasa Jawa (koran, majalah, dan

buku) dalam penyebarluasan seni pertunjukan Jawa Surakarta.

Bab ini akan diakhiri dengan pembahasan tentang panggung

pertunjukan Wayang Wong Sriwedari sebagai salah satu identitas

budaya Surakarta yang mampu menarik perhatian masyarakat

Jawa dan menjadikan Surakarta sebagai salah satu kiblat dalam

pertunjukan wayang wong panggung komersial di Indonesia.


274

A. Radio Republik Indonesia Surakarta

Radio Republik Indonesia (RRI) didirikan dengan tujuan untuk

mendukung program-program pemerintah. Dengan demikian,

sejak pendiriannya RRI menjadi media politik dan budaya

pemerintah.1 Oleh karena itu, RRI tidak mungkin menjalankan

politik siaran yang bertentangan dengan politik pemerintah. RRI

harus berperan serta dalam menjaga keselamatan negara, yaitu

dengan menyelenggarakan siaran-siaran yang dapat menjaga

persatuan nasional.2 Sebagai konsekuensinya RRI memonopoli

penyiaran berita-berita nasional, dan cabang-cabangnya yang ada

di daerah memberikan sebagian waktu siarannya untuk acara-

acara setempat.3

Dalam kedudukannya sebagai media budaya pemerintah, RRI

akan melakukan usaha-usaha ke arah pengumpulan dan

penyiaran kebudayaan daerah supaya dikenal oleh seluruh

masyarakat Indonesia. RRI akan menggali semua kekayaan

kebudayaan asli dari bangsa Indonesia untuk dapat diperkenalkan

kepada masyarakat. Hal ini tidak dimaksudkan untuk

1Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Culture, and Politic in


Indonesia (Oxford University Press, 2000), hlm. 82-84.

2Kementerian Penerangan, Sejarah Radio di Indonesia


(Djakarta: Djawatan Radio Republik Indonesia, 1953), hlm. 252.

3Jennifer Lindsay, “Making Waves: Private Radio and Local


Identities in Indonesia”, Indonesia 64 (1997), hlm. 111.
275

menghidupkan sifat kedaerahan, tetapi merupakan bagian dari

upaya untuk membentuk kebudayaan nasional. Selanjutnya,

kebudayaan daerah yang masih hidup di masyarakat harus

disiarkan seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat Indonesia,

supaya timbul proses asimilasi yang bebas yang dapat melahirkan

kebudayaan nasional baru. Oleh karena itu, RRI harus menjadi

saluran aktif untuk melaksanakan usaha-usaha tersebut.4

Sejalan dengan kebijakan yang telah diambil, RRI Surakarta

menyelenggarakan siaran yang meliputi kesenian daerah, Hiburan

Daerah, dan Musik Nasional. Sesuai dengan lingkungan

budayanya, RRI Surakarta mengangkat seni pertunjukan Jawa

Surakarta sebagai acara siaran kesenian daerahnya. Ada dua jenis

cabang seni pertunjukan yang disajikan sebagai materi siaran

kesenian daerah, yaitu seni musik (karawitan dan langendriyan)

dan teater tradisional (wayang kulit purwa, wayang madya,

wayang gedhog, wayang wong, dan kethoprak). Atas dasar

ketersediaan sumber dan kemudahan untuk merekonstruksi,

tidak semua siaran seni pertunjukan Jawa Surakarta akan

dibahas di sini, tetapi difokuskan pada siaran karawitan Jawa,

wayang wong, dan pergelaran wayang kulit purwa.

4Kementerian Penerangan, op. cit., hlm. 253 dan 245.


276

1. Siaran Karawitan Jawa

Siaran karawitan Jawa merupakan salah satu mata acara yang

diselenggarakan oleh RRI Surakarta. Dalam periode 1950-1960an

siaran karawitan Jawa RRI Surakarta yang mencakup klenèngan

jangkep, gadhon, gendèran, siteran, bonangan, santiswaran, dan

langendriyan disiarkan pada pagi, siang, sore, dan malam hari

baik secara live maupun rekaman (piringan hitam).5 Untuk

menyelenggarakan siaran itu pada 1950 RRI Surakarta harus

mendatangkan seniman-seniman dari luar institusi tersebut,

karena pada saat itu RRI Surakarta belum memiliki pegawai dalam

bidang seni. Untuk mengadakan siaran karawitan, RRI Surakarta

harus mendatangkan pangrawit dari luar yang kebanyakan

merupakan pangrawit dari Mangkunagaran dan Kasunanan.

Mereka merupakan pangrawit-pangrawit yang andal. Sebagai

contoh adalah Sunarto Cipto Suwarso (lahir 1923, meninggal

1982) yang sejak 1 Maret 1951 diterima sebagai tenaga kesenian

(pangrawit) RRI Surakarta. Sebelumnya, ia menjadi abdi dalem

langen praja Mangkunagaran pada 1946-1950. Ia diterima sebagai

tenaga kesenian RRI Surakarta karena mempunyai ketrampilan

sebagai pangrawit rebab dan bonang yang cukup baik, serta

5Sardono Mloyowibagso, “Karawitan R.R.I. Surakarta”, dalam


Hari Radio ke 39: 11 September 1984 (Surakarta: Radio Republik
Indonesia Stasiun Surakarta, 1984), hlm. 66; Mingguan Radio
Republik Indonesia, Tahun 2 No. 50, 12 Mei 1963, hlm. 29-42.
277

mampu mencipta dan menguasai garap gendhing.6 Dengan cara

itu, pada 1950 RRI Surakarta telah memiliki kelompok karawitan

dengan nama Karawitan Studio RRI Surakarta di bawah pimpinan

Harjosasmaya. Pada masa selanjutnya sampai dengan dasawarsa

1990an secara berurutan kedudukan pangarsa karawitan

digantikan oleh Panuju Atmosunarto, Turahyo Harjomartono, dan

Dalimin Hadisumitro. Berbeda dari masa awal pembentukannya,

para anggota Karawitan Studio RRI Surakarta pada masa

berikutnya sebagian besar adalah seniman-seniman yang telah

diangkat menjadi pegawai negeri sipil.7 Pada dasawarsa 1950an-

1960an Karawitan Studio RRI Surakarta didukung oleh beberapa

pesindhèn, yaitu Pulangraras, Madyararas, Wara Podhang,

Mandrarini, Larasmadu, Tambangraras, Wara Supami, Suyati,

Sriyati, Sumarmi, dan Tukinem.8

Siaran karawitan RRI Surakarta juga ditopang oleh

keberadaan kelompok karawitan dari luar RRI Surakarta. Pada

dasawarsa 1950an kelompok karawitan yang mengisi acara siaran

6Darsono, Cokrodiharjo dan Sunarto Cipto Suwarso: Pengrawit


Unggulan Luar Tembok Keraton (Surakarta: Citra Etnika, 2002),
hlm. 115 dan 118.

7Mloyowibagso, loc. cit..

8Pedoman Radio, No. 1 4 Djuni 1950; Pedoman Radio, No. 2


11 Djuni 1950; Pedoman Radio, No. 4 25 Djuni 1950; dan
Pedoman Radio, No. 6 9 Djuli 1950.
278

karawitan antara lain Karawitan Keraton Surakarta, Karawitan

Mangkunagaran, Karawitan Prabuwinatan, Karawitan Muryararas

Kusumayudan, Paguyuban Marsudi Raras, Paguyuban Mardi

Wirama,9 serta staf dan siswa Konservatori Karawitan Indonesia

Surakarta.10 Sementara itu, pada dasawarsa 1960an beberapa

paguyuban seni juga telah mengisi acara siaran karawitan RRI

Surakarta, antara lain Sari Raras, Mardi Budaya, Perkumpulan

Karawitan Keraton Surakarta, Harjaswara, Krida Raras, dan

Kumudawati.11

Sampai dengan akhir 1970an RRI Surakarta

menyelenggarakan empat siaran klenèngan langsung: pagi (pukul

06.00-08.00), siang (pukul 12.00-14.00), sore (pukul 16.00 sampai

menjelang adzan Maghrib), dan malam (pukul 19.30 – 22.00 atau

21.30 – 24.00). Waktu-waktu siaran klenèngan tersebut diselingi

9Pedoman Radio, No. 1 – 4 Djuni 1950 dan Pedoman Radio,


No. 5 dan 6 Djuli 1950; Berita Radio, No. 283 Tahun XIII, 29 Djuni
– 5 Djuli 1958, hlm. 3-18; Berita Radio, No. 303 Tahun XIII, 16-22
Nopember 1958, hlm. 3-19; Berita Radio, No. 304 Tahun XIII, 23
Nopember-29 Nopember 1958, hlm. 3-18; Berita Radio, No. 305
Tahun XIII, 23 Nopember-29 Nopember 1958, hlm. 3-18; Berita
Radio, No. 306 Tahun XIII, 7 Desember-29 Desember 1958, hlm.
3-18; Berita Radio, No. 319 Tahun XIII, 8- 14 Maret 1959, hlm. 3-
18.

10“Konservatori Karawitan Indonesia”, dalam Republik


Indonesia Provinsi Jawa Tengah (Semarang: Djawatan Penerangan
Propinsi Djawa Tengah, 1953), hlm. 453.

11Mingguan Radio Republik Indonesia, Tahun 2 No. 50 12 Mei


1963, hlm. 29-42.
279

oleh siaran warta berita daerah atau siaran berita dalam bahasa

Jawa RRI Surakarta atau siaran berita sentral dari RRI Pusat

Jakarta.12 Acara-acara siaran itu masih berlangsung hingga

1990an dengan perubahan waktu dan tidak semua siaran

dilaksanakan secara langsung, tetapi merupakan siaran yang

bahannya telah direkam terlebih dahulu.13 Acara siaran karawitan

Jawa RRI Surakarta merupakan salah satu siaran kesenian Jawa

yang disenangi oleh masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur

bagian barat seperti Nganjuk, Ngawi, Madiun, Pacitan, Ponorogo,

dan Magetan.14

Tidak berbeda dengan periode sebelumnya, pada periode

1970an-1990an acara siaran karawitan Jawa di RRI Surakarta

juga didukung oleh paguyuban-paguyuban seni di luar RRI

Surakarta. Siaran di RRI Surakarta merupakan kebanggaan bagi

sebagian besar paguyuban karawitan dan pangrawit. Sejak 1970

12Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan II: Garap


(Surakarta: ISI Press, 2007), hlm. 21.

13Wawancara dengan Mulyono (pegawai RRI Surakarta 1969-


2000; Perencana Kesenian Daerah 1970-2000) pada 12 Maret
2011; wawancara dengan Endang Budi Winarni (pegawai RRI
Surakarta 1981- sekarang; Seksi Siaran Subseksi Programa) pada
9 Maret 2011.

14Waridi,
“Tulisan Suplemen”, dalam Waridi, ed., Kehidupan
Karawitan pada Masa Pemerintahan Paku Buwana X,
Mangkunagara IV, dan Informasi Oral (Surakarta: ISI Press, 2007),
hlm. 246.
280

untuk dapat ikut membantu siaran, suatu paguyuban karawitan

harus “lulus” tes kualifikasi dan wajib ikut lomba karawitan di RRI

Surakarta. Ketika RRI Surakarta menyelenggarakan lomba

karawitan dalam rangka hari Radio Republik Indonesia (9

September), tidak kurang dari 50 paguyuban karawitan menjadi

peserta lomba yang pada saat itu juga disebut dengan seleksi

karawitan RRI Surakarta.15

Suatu gejala yang menarik untuk diperhatikan adalah

perkumpulan itu tidak hanya dibentuk oleh anggota masyarakat,

tetapi juga oleh instansi pemerintah. Beberapa perkumpulan yang

dibentuk pada dasawarsa 1970an dan ikut berpartisipasi dalam

lomba karawitan RRI Surakarta antara lain Karawitan Sekar

Gandhes (Gandhèkan Surakarta, 1970), Karawitan Penjara

(Lembaga Pemasyarakatan Surakarta, 1971), Karawitan Dinas

Lalu Lintas Jalan Raya (DLLAJR Surakarta, 1971), Karawitan

Dinas Pekerjaan Umum (DPU Surakarta, 1971), Karawitan

Balaikota (Surakarta, 1972), Karawitan PAKRI (Laweyan

Surakarta, 1972), dan Karawitan Anu (Baluwarti Surakarta, 1976).

Perkumpulan karawitan yang disebut terakhir terdiri atas civitas

akademik ASKI Surakarta. Di antara perkumpulan-perkumpulan

karawitan itu dilatih oleh tokoh-tokoh karawitan Jawa terkemuka,

15Supanggah, op. cit., hlm. 21.


281

yaitu Prabuwinoto (Karawitan Penjara), Martopangrawit (Karawitan

Anu), dan Sunarto Cipto Suwarso (Karawitan DLLAJR dan DPU).16

Gambar 4.1
Darsasawega Sesepuh Karawitan RRI Surakarta (1950)
(Sumber: Souvenir 1951)

16Darsono, op. cit., hlm. 65-71.


282

Gambar 4.2
Anggota Bagian Kesenian Jawa termasuk para pangrawit
RRI Surakarta pada 1950 (Sumber: Souvenir 1951).

Perkumpulan-perkumpulan karawitan Jawa menyambut

lomba dengan penuh antusias. Selain karena prestasi, gengsi, dan

prestise yang diperoleh, pesindhèn dan pangrawit utama dari

pemenang lomba ini menjadi laris. Mereka sering mendapat

tanggapan (permintaan pentas) dari masyarakat dengan tarif yang

lebih besar dari tarif pada masa sebelumnya. Dalam rangka

mengikuti lomba itu, paguyuban-paguyuban karawitan

mendatangkan pelatih khusus dan sering meminjam (ngebon)

pangrawit dengan bayaran yang mahal. Mereka mematok

honorarium melebihi honorarium yang biasa diterima untuk

sebuah pertunjukan biasa. Di antara paguyuban saling bersaing


283

keras dan mengintai kelemahan dan kekuatan “lawan”. Bahkan,

sebagian dari mereka menggunakan pelatih yang diperkirakan

akan menjadi juri pada lomba tersebut. Kadang-kadang untuk

memenangkan perlombaan, ada yang menghalalkan segala cara

dengan menyuap juri, “kongkalikong” dengan operator sound

system, dan atau mencelakakan kelompok lainnya dengan

mengubah susunan bilah-bilah instrumen tertentu, bahkan

mencederai alat yang digunakan.17

Program-program siaran karawitan Jawa di RRI Surakarta

diselenggarakan dengan dukungan para seniman berkualitas dan

terseleksi dari seluruh seniman eks Keresidenan Surakarta.

Kehadiran RRI Surakarta sebagai lembaga penyiaran dengan

wilayah jangkauan yang luas pada waktu itu, menjadikan RRI

Surakarta sebagai salah satu acuan dan standar wujud, karakter,

gaya, dan kualitas karawitan Jawa, khususnya gaya Surakarta.18

17Supanggah, op. cit., hlm. 21.

18Pada waktu itu siaran RRI Surakarta dapat diterima di


seluruh Indonesia. Menurut Rahayu Supanggah, ketika bekerja di
Canberra pada 1972-1974, ia masih mendengarkan siaran
wayang kulit purwa yang dipancarkan oleh RRI Surakarta. Lihat
Supanggah, op. cit., hlm. 22 catatan no. 12; R. Anderson Sutton,
Traditions of Gamelan Music in Java: Musical Pluralism and
Regional Identity (Cambridge: Cambridge University Press, 1991),
hlm. 201-202.
284

Siaran karawitan Jawa baik secara langsung (live) maupun

rekaman yang dilakukan oleh pangrawit-pangrawit RRI Surakarta

memberikan “pelajaran” bagi para pangrawit yang tidak pernah

mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Surakarta.

Melalui siaran karawitan Jawa itu mereka mendengarkan

permainan musik gamelan Surakarta secara reguler dan bertahap

menyerap repertoar dan gaya yang ditampilkan oleh para

pangrawit RRI Surakarta. Dengan kata lain, siaran karawitan

Jawa RRI Surakarta memiliki arti penting bagi para penggemar

setianya, yaitu sebagai dokumen tetap yang akan selalu

didengarkan sepanjang tahun. Sebagai contoh, Suhardi (guru

utama R. Anderson Sutton di Yogyakarta) memberikan kesaksian,

bahwa ia mendengarkan siaran karawitan Jawa RRI Surakarta

dan memberikan perhatian pada rekaman-rekaman sejak akhir

1950-1960an. Ia dapat belajar seni karawitan gaya Surakarta

secara mendalam, melalui beberapa rekaman yang sama selama

beberapa waktu. Dari media itu ia dapat menyerap pola-pola

permainan yang baik. Ia mengikuti permainan gendèr

Sabdosuwarno dari RRI Surakarta tidak hanya pada konsepsi

gendhing dan céngkok, tetapi juga wiledan-nya. Ia juga

mengatakan, bahwa rekaman-rekaman gendhing khususnya

produksi Lokananta yang memang dibuat untuk mendukung

siaran-siaran RRI Surakarta memiliki dampak yang besar pada


285

konsepsi dirinya dan musisi lain dalam hal penataan gendhing

yang dibawakan secara berurutan.19 Dalam periode yang lebih

kemudian permainan bonang dan rebab Sunarto Cipto Suwarso

juga banyak dijadikan rujukan dalam permainan bonang dan

rebab oleh para pangrawit yang lebih muda. Sutarjo, seorang

pangrawit bonang terkenal di Wonogiri memberikan kesaksian,

bahwa permainan bonang-nya diperoleh dari belajar melalui kaset-

kaset rekaman gendhing produksi Lokananta dan siaran-siaran

RRI Surakarta oleh Kelompok Karawitan RRI Surakarta.

Sementara itu, Mul Waliyem, pangrawit RRI Stasiun Jakarta juga

banyak meniru permainan rebab dari Sunarto Cipto Suwarso.20

RRI Surakarta tidak hanya menjadi acuan dan standar

wujud, karakter, gaya, dan kualitas karawitan Jawa Surakarta

saja, tetapi juga menjadi acuan dalam hal laras gamelan. Sampai

dengan 1980-an gamelan yang paling sering digunakan untuk

siaran adalah gamelan yang ditempatkan di auditorium RRI

Surakarta. Setelah itu, gamelan ini hanya digunakan untuk

Keluarga Karawitan Studio RRI Surakarta sendiri. Bagi kelompok

dari luar RRI Surakarta yang membantu mengisi siaran karawitan

Jawa disediakan gamelan lain yang ditempatkan di studio C di

19Sutton, ibid., hlm. 204 dan 207.

20Darsono, op. cit., hlm. 186 dan 192.


286

bangunan utama RRI Surakarta. Gamelan ini lebih baru, namun

kualitasnya tidak sebagus gamelan di auditorium. Dalam hal

laras, gamelan RRI Surakarta pernah menjadi acuan banyak orang

ketika mereka ingin membuat gamelan baru. Hal ini karena

melalui siaran karawitan Jawa yang diselenggarakan hampir

setiap hari, laras gamelan RRI Surakarta dikenal luas oleh

masyarakat pecinta gamelan. Para pandhé gamelan pun memiliki

acuan laras yang sama dengan laras gamelan RRI Surakarta.

Dengan makin banyak laras gamelan yang bersumber dari laras

gamelan RRI Surakarta, makin banyak gamelan tumbuk nem yang

terdapat di masyarakat. Gamelan yang lebih lebih tua, termasuk

gamelan yang ada di lingkungan Keraton Kasunanan dan Istana

Mangkunagaran sebagian besar tumbuk lima.21

Siaran karawitan Jawa yang didukung oleh seniman-seniman

yang andal dan diselenggarakan secara reguler menjadikan RRI

Surakarta sebagai salah satu benteng pertahanan terakhir yang

masih andal dan setia dalam mempertahankan kelestarian

karawitan Jawa Surakarta. Dengan siaran karawitan Jawa itu,

karawitan Jawa Surakarta menyebar luas, sehingga berkembang

21Supanggah, op. cit., hlm. 22; Waridi, op. cit., hlm. 245.
Gamelan tumbuk lima adalah perangkat gamelan yang nada
limanya antara laras sléndro dan pélog sama. Gamelan tumbuk
nem adalah perangkat gamelan yang nada enamnya antara laras
sléndro dan pélog sama.
287

secara dinamis di berbagai daerah. Perkembangan karawitan Jawa

Surakarta di berbagai daerah itu sudah barang tentu juga

berkontribusi terhadap kelestarian karawitan Jawa Surakarta itu

sendiri.

2. Siaran Wayang Wong

Siaran wayang wong merupakan mata acara siaran kesenian

daerah lainnya yang diselenggarakan oleh RRI Surakarta. Pada

1950 untuk mengadakan siaran wayang wong, RRI Surakarta

juga harus mendatangkan para pemain dari luar yang terdiri atas

para mantan pemain wayang wong. Mereka adalah mantan

pemain wayang wong Sriwedari, seniman yang sudah tidak aktif

menari karena sudah tua atau alasan lain, tetapi masih ingin

melestarikan kesenian wayang wong melalui siaran radio. Pada

saat itu setidaknya ada sekitar 15 seniman yang menjadi pelaku

siaran wayang wong RRI Surakarta, antara lain Sarworini,

Harpiyah, Darmarini, Warni, Cepuk, Patra Wibaksa, Sastra Dirun,

Priyana Padmalukita (lahir 1924, meninggal 1975), Citra Yahman,

Mlaya Darsana, dan Wida Darmana. Mereka tidak memperoleh

gaji, tetapi hanya uang transpor ala kadarnya. Kondisi ini berjalan
288

beberapa tahun, sehingga mereka seolah-olah merupakan sebuah

kelompok yang dikontrak oleh RRI Surakarta.22

Siaran wayang wong dilaksanakan seminggu sekali. Oleh

karena jumlah pemain yang terbatas, lakon yang ditampilkan

sedapat mungkin dapat dilaksanakan oleh para pemain yang ada.

Namun demikian, apabila siaran wayang wong itu menampilkan

lakon tertentu yang memerlukan jumlah pemain lebih dari pemain

yang ada, maka mereka harus memerankan lebih dari satu tokoh

wayang.23

Para pemain wayang wong RRI Surakarta merupakan

pemain-pemain yang dapat diandalkan. Walaupun dari segi usia

sebagian dari mereka sudah tidak muda lagi, namun mereka

masih memiliki kualitas suara yang memadai, baik untuk

keperluan dialog (antawacana) maupun untuk melagukan

tembang.24 Kualitas suara yang memadai ini tentunya merupakan

modal yang penting untuk mewujudkan siaran wayang wong yang

baik. Mereka juga didukung oleh para seniman Karawitan Studio

RRI Surakarta yang berkualitas. Dengan demikian, dapat

22Rusini,Gathutkaca di Panggung Soekarno (Surakarta: STSI


Press, 2003). hlm. 16.

23Sri
Moerwanto, "Wayang Orang R.R.I. Surakarta", dalam
Hari Radio ke 39: 11 September 1984 (Surakarta: Radio Republik
Indonesia Stasiun Surakarta, 1984), hlm. 63.

24Rusini, op. cit., hlm. 17.


289

dikatakan, bahwa siaran wayang wong RRI Surakarta didukung

oleh para seniman yang memiliki kemampuan untuk menyajikan

pertunjukan wayang wong dengan baik. Dengan dukungan para

pemain yang berkualitas, tidak mengherankan apabila siaran

wayang wong RRI Surakarta dapat memukau para pendengarnya.

Gambar 4.3
Adegan Perang antara Srikandi dan Mustakaweni
Wayang Wong RRI Surakarta - Sriwedari
(Sumber: Souvenir, 1951)

Siaran wayang wong RRI Surakarta merupakan salah satu

acara yang disenangi masyarakat, sehingga banyak pendengar


290

yang ingin menyaksikan pementasannya secara langsung.

Permintaan masyarakat itu mendapatkan tanggapan positif dari

pimpinan RRI Surakarta. Pada awal dasawarsa 1950an keinginan

masyarakat itu dapat direalisasikan. RRI Surakarta berhasil

menggelar pertunjukan wayang wong dengan menggunakan

perlengkapan yang sederhana, karena tidak memiliki fasilitas-

fasilitas untuk penyelenggaraan pergelaran, seperti pakaian

wayang wong, layar, dan panggung pertunjukan. Pendapa RRI

Surakarta yang berukuran kurang lebih lima kali enam meter

digunakan sebagai panggung pertunjukan tanpa menggunakan

layar. Jumlah pemain yang terbatas tidak memungkinkan untuk

menyajikan sebuah pertunjukan yang ideal. Prajurit dan putri

dhomas yang biasanya diperankan oleh beberapa pemain, hanya

diperankan oleh seorang pemain saja. Meskipun digelar secara

sangat sederhana, pertunjukan itu mendapatkan sambutan yang

luar biasa dari para penonton yang memenuhi kursi-kursi yang

ditata di halaman RRI Surakarta. Para penonton tidak hanya

berasal dari Kota Surakarta saja, tetapi dari berbagai daerah,

antara lain daerah-daerah di sekitar Surakarta, Banyumas, dan

Malang.25

25Ibid..
291

Antusiasme masyarakat mendorong pimpinan RRI Surakarta

untuk mengembangkan pertunjukan wayang wong panggung.

Pada awal dasawarsa 1950an dibangun gedung pertunjukan dan

dipergelarkan wayang wong sebulan sekali pada setiap Selasa

malam.26 Dengan demikian, pada awal dasawarsa 1950an RRI

Surakarta telah menyelenggarakan siaran radio tonil27 dan

panggung wayang wong. Selain mengadakan siaran wayang wong

dengan dukungan para pemain yang dimilikinya, RRI Surakarta

juga menyiarkan wayang wong secara live dari Taman Sriwedari.28

RRI Surakarta juga mengadakan pentas gabungan dengan

perkumpulan wayang wong Sriwedari. Salah satu di antaranya

adalah pentas gabungan dalam rangka menyambut tahun baru

1954 dengan lakon Anoman Duta (Anoman sebagai Duta).

Rusman, pemain Wayang Wong Sriwedari yang namanya mulai

menanjak pada saat itu menjadi pemeran utama dalam lakon

tersebut.29

26Ibid., hlm. 18.

27Radio
tonil adalah siaran wayang wong atau kethoprak
tanpa menggunakan peragaan secara visual; hanya secara audio
saja.

28PedomanRadio, No. 2 11-17 Djuni 1950; Pedoman Radio,


No. 3 18-24 Djuni 1950.

29Rusini, op. cit., hlm. 18.


292

Siaran dan pergelaran wayang wong merupakan salah satu

daya tarik bagi siaran RRI Surakarta dan menjadi hiburan bagi

masyarakat. Salah seorang penggemar (Tebyan) yang pada saat itu

masih menjadi siswa SMP Negeri 3 Surakarta memberikan

kesaksian, bahwa siaran wayang wong RRI Surakarta menjadi

hiburan favorit baginya. Siaran wayang wong RRI Surakarta

mampu memikat hati dan membawa emosi para pendengarnya.

Bahkan, ia hafal para pemain dan tokoh-tokoh pewayangan yang

diperankan.30 Siaran dan pergelaran wayang wong RRI Surakarta

juga diminati oleh sebagian masyarakat Tionghoa Surakarta.

Sebagai bukti, Kwik Tjin Bie bersama anak-anak dan cucunya

sering menonton pertunjukan wayang wong RRI Surakarta.31

Keberhasilan dalam menyelenggarakan siaran wayang wong

yang mampu merebut hati masyarakat mendorong pimpinan RRI

Surakarta untuk mengusulkan pengangkatan pegawai tetap bagi

para pemain wayang wong, pangrawit, dan waranggana. Pada

1955 usul tersebut diterima; sebagian besar dari mereka menjadi

pegawai tetap RRI Surakarta. Sejak 1955 RRI Surakarta telah

30Tebyan,“Wayang Orang RRI Surakarta”, Buletin Nglungsungi


No. 32 April 2006. Buletin ini diterbitkan oleh Alumni SMP 3
Negeri Surakarta Periode 1950-1960 dengan alamat website
http://www.geocities.com/sinungra/smp3.htm.

31Rustopo,Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan


Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Ombak - Yayasan Nabil, 2007),
hlm. 158.
293

memiliki pegawai tetap sebagai pemain wayang wong, pangrawit,

dan waranggana. Untuk meningkatkan golongan gaji, mereka

harus mengikuti tes yang diadakan setiap dua tahun bagi pemain

wayang wong, setiap lima tahun untuk pangrawit, dan setiap tiga

tahun untuk waranggana.32

Kepemilikan sumber daya seniman itu dapat menjamin

keberlangsungan pergelaran panggung dan siaran wayang wong

RRI Surakarta dari waktu ke waktu. Dari 1950 sampai dengan

akhir dasawarsa 1970an RRI Surakarta dapat menyelenggarakan

pergelaran panggung dan siaran wayang wong secara rutin. Pada

saat itu siaran wayang wong RRI Surakarta juga menjadi salah

satu hiburan favorit masyarakat.

Pada dasawarsa 1950an sampai dengan dasawarsa 1970an,

RRI Surakarta telah melahirkan seniman-seniman wayang wong

yang dikenal oleh masyarakat luas. Beberapa seniman yang

dikenal masyarakat pada dasawarsa 1950an merupakan cikal

bakal wayang wong RRI Surakarta yang tidak lain adalah mantan

pemain Wayang Wong Sriwedari sebagaimana telah disebut di

muka. Pada dasawarsa selanjutnya muncul beberapa nama yang

dikenal oleh masyarakat luas yaitu Listyarini, Asmoro Hadi,

32Rusini, op. cit., hlm. 18.


294

Sardono Mloyowibagso,33 Joko Purnomo, dan Nanik Ramini (lahir

1948, meninggal 2004). Dua nama yang disebut terakhir dikenal

oleh masyarakat melalui pethilan Lesmana Wuyung; Joko Purnomo

sebagai Lesmana dan Nanik Ramini sebagai Emban.

Pada 1984 RRI menyelenggarakan program siaran 24 jam.

Penyelenggaraan program siaran ini berkaitan dengan

kedudukannya sebagai media politik pemerintah yang harus

berperan aktif dalam upaya-upaya untuk menyukseskan program-

program pembangunan pemerintah Orde Baru yang pada saat itu

sedang memasuki Pembangunan Lima Tahun (Pelita) IV. Sesuai

dengan program RRI, sejak April 1984 RRI Surakarta

menyelenggarakan program siaran 24 jam.34 Penambahan waktu

siaran ini mengakibatkan penambahan jumlah pergelaran dan

siaran wayang wong. RRI Surakarta juga harus merekam wayang

wong untuk memenuhi permintaan RRI Yogyakarta dan Surabaya.

Selain itu, setiap dua bulan sekali wayang wong RRI Surakarta

ditampilkan pada Siaran Pedesaan dan panggung di daerah-

33Moerwanto, op. cit., hlm. 64; “Asmoro Hadi Bintang


Panggung WO RRI Surakarta”, Dharma Kanda, 1983 Taun Ka XIII
No. 557 Minggu Ka I Januari 1983, hlm. I dan IV.

34“Sambutan Kepala Kantor Departemen Penerangan Kodya


Surakarta”, dalam Hari Radio ke 39: 11 September 1984, op. cit.,
hlm. 18.
295

daerah pedesaan untuk mempropagandakan program-program

pembangunan pemerintah Orde Baru.35

Perkembangan siaran panggung dan radio tonil RRI

Surakarta mengalami pasang surut. Seiring dengan kemunduran

wayang wong panggung komersial di masyarakat yang ditandai

dengan kemunduran kelompok wayang wong panggung komersial

Sriwedari Surakarta, Ngesthi Pandhawa Semarang, dan Bharata

Jakarta pada dasawarsa 1980an, RRI Surakarta tetap terus

memantapkan siaran wayang wong dalam bentuk radio tonil dan

panggung.

Dengan sumber daya seniman yang telah berstatus sebagai

pegawai negeri, keluarga wayang wong RRI Surakarta terus

berusaha untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu sajian

wayang wong dalam bentuk radio tonil dan panggung. Hal ini

dilakukan dengan mengadakan latihan secara rutin dan intensif

untuk menghasilkan siaran yang bermutu tinggi.36 Selain itu, juga

muncul pemikiran bahwa untuk meningkatkan mutu siaran

wayang wong RRI Surakarta perlu dilakukan sambung rasa

antara seniman generasi tua (senior) dengan generasi penerus

untuk menumbuhkan kreativitas dan merespon perkembangan

35Moerwanto, op. cit., hlm. 63.

36Ibid., hlm. 65.


296

zaman yang terus berubah.37 Hal ini perlu dilakukan mengingat

eksistensi wayang wong yang semakin memprihatinkan, sehingga

membutuhkan langkah-langkah strategis untuk mempertahankan

eksistensinya. Dengan cara-cara demikian, diharapkan perhatian

dan minat masyarakat terhadap kesenian wayang wong dapat

ditingkatkan, sehingga eksistensinya dapat terus dipertahankan.

Pada dasawarsa 1990an siaran radio tonil dan panggung

wayang wong RRI Surakarta dapat diselenggarakan secara rutin.

Berbeda dari kondisi dasawarsa 1950an sampai 1970an, pamor

siaran seni pertunjukan tradisi Jawa ini mengalami penurunan.

Perkembangan teknologi yang menyediakan alternatif hiburan

melalui media elektronik mengakibatkan siaran wayang wong RRI

Surakarta mengalami penurunan jumlah dan apresiasi

masyarakat pendengar. Masyarakat lebih memilih untuk

mengakses hiburan yang variatif dan atraktif melalui pesawat

televisi dan video. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa

siaran wayang wong RRI Surakarta tetap masih memiliki

kontribusi bagi upaya-upaya pelestarian dan pengembangan seni

pertunjukan tradisi Jawa itu.

37Asmoro WR, “Wayang Orang yang Perlu Pengembangan”,


dalam Hari Radio ke 39: 11 September 1984, op. cit., hlm. 62.
297

3. Siaran Pertunjukan Wayang Kulit Purwa

Siaran pertunjukan wayang kulit purwa di RRI Surakarta

diselenggarakan sejak 1950. Pujosumarto dari Kuwasa Klaten

merupakan dhalang pertama yang mendapatkan kepercayaan

untuk siaran di studio RRI Surakarta. Ia merupakan dhalang

produk gabungan dari sistem nyantrik dan kursus pedhalangan

Padhasuka. Pemilihan Pujosumarto untuk tampil siaran di RRI

Surakarta, karena ia merupakan dhalang yang mampu

menyajikan pergelaran wayang kulit purwa dengan estetika

pedhalangan yang baik, meliputi catur, sabet, garap lakon, dan

sanggit. Sayangnya, tidak ada informasi tentang lakon yang

dipergelarkannya. Sejak ia siaran di RRI Surakarta namanya

menjadi makin terkenal.38 Hal ini dapat dipahami, karena radio

merupakan teknologi siaran lintas batas yang pertama dan alat

komunikasi penting di Indonesia pada saat itu. Pada pertengahan

1950an di Indonesia terdapat sekitar 500.000 radio yang terdaftar

secara resmi.39 Ketenaran Pujosumarto menjadikan dirinya

sebagai dhalang pribadi Presiden Soekarno, karena ia sering

diminta untuk men-dhalang di Istana Negara Jakarta, Blitar, dan

38Soetarno,
Pakeliran Pujosumarto, Nartosabdo, dan Pakeliran
Dekade 1996-2001 (Surakarta: STSI Press Surakarta, 2002), hlm.
12-14.

39Sen dan Hill, op. cit., hlm. 80 dan 82.


298

Bali.40 Selain Pujosumarto, beberapa dhalang yang mendapatkan

kesempatan untuk siaran di RRI Surakarta pada dasawarsa

1950an adalah Nyotocarito (dhalang Bagong, Kartosuro), dan

Harjocarito (Sukoharjo).41

Berdasar sumber-sumber sezaman yang berhasil ditemukan,

selama dasawarsa 1950an dan awal 1960an sejumlah dhalang

terkemuka dari Sukoharjo, Surakarta, Klaten, dan Wonogiri telah

menunjukkan kepiawaiannya dalam berolah cempurit (memainkan

wayang), yaitu Harjocarito (1950),42 Wignyosutarno (Dewa Ruci,

195343 dan Gathutkaca Kembar, 1954),44 Anonim (Lahiripun

Kakrasana, 1956),45 Hagnyocarito (Dewa Amral, 1958),46 dan

Warsino yang dikenal dengan sebutan dhalang kethek (Ngruna-

Ngruni, 195947 dan Anoman Trigangga, 1963).48 Mereka adalah

40Soetarno, op. cit.. hlm. 14.


41Suhatno,
“Pengabdian Ki Pujo Sumarto dalam Bidang Seni
Pedalangan”, Jantra Vol. II, No. 4 Desember 2007, hlm. 303.
42Pedoman Radio, No. 2 11 Djuni 1950, hlm. 20.
43Pandjangmas, Th. I No. 10 17 Nopember 1953, hlm. 19.
44Pedalangan, Th. IV No. 4 1 April 1954, hlm. 17.
45Pandjangmas, Th. IV No. 2 6 Maret 1956, hlm. 5.
46Berita
Radio, No. 306 Tahun XIII, 7 Desember-29 Desember
1958, hlm. 18.
47Berita Radio, No. 319 Tahun XIII, 8- 14 Maret 1959, hlm. 3-
18.
48Mingguan Radio Republik Indonesia, Tahun 2 No. 50 12 Mei
1963, hlm. 42.
299

para dhalang bergaya keraton angkatan pertama dan kedua yang

terkenal, berwibawa, dan laris di masyarakat pada awal

kemerdekaan.49

Gambar 4.4
Pujosumarto, Dhalang dari Kuwasa Klaten [1970an]
(Sumber: Koleksi Nartosabdho)

Pada dasawarsa 1950an siaran wayang kulit purwa RRI

Surakarta telah mendapatkan perhatian luas dari masyarakat.

Acara siaran itu memiliki penggemar setia yang apresiatif dan

kritis. Hal ini antara lain dibuktikan dengan laporan dan penilaian

49Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko, Sejarah Pedalangan


(Surakarta: Institut Seni Indonesia Surakarta dan CV
Cendrawasih, 2007), hlm. 260.
300

redaksi majalah Pandjangmas. Redaksi yang mengatasnamakan

dirinya sebagai Keprak melaporkan, bahwa pada November 1953

RRI Surakarta menyiarkan wayang kulit purwa dengan lakon

Dewa Ruci oleh Wignyosutarno. Ia menilai bahwa dhalang itu telah

menunjukkan kemampuan catur melalui wejangan-wejangan-

nya.50 Penilaian itu tidak salah, karena Wignyosutarno dikenal

sebagai dhalang yang memiliki kemampuan dalam catur dengan

sanggit yang menawan dan menarik hati (ndudut ati).51 S.D.

Humardani yang pernah menyaksikan pergelaran wayang kulit

purwa oleh dhalang Wignyosutarno dengan lakon Kangsa Adu

Jago (Kangsa Beradu Jago) pada dasawarsa 1950an memberikan

kesaksian, bahwa kemampuan catur-nya baik dalam bentuk

narasi, monolog maupun dialog tokoh wayang mampu membius

penonton untuk hanyut dalam suasana adegan yang sedang

dibawakan.52

50Pandjangmas, Th. I No. 10 17 Nopember 1953, hlm. 19.

51Soetarno, op. cit., hlm. 14.

52S.D. Humardani, “Catatan „tentang Wayangan Kulit‟:


Kenang-kenangan Sederhana untuk Tokoh Budaya Mbah
Dutodiprojo, Jiwa Berdirinya Kursus Dalang Yang Pertama”,
(Naskah Ketikan, 1960), hlm. 2; Lihat juga “Renungan tentang
„Pakeliran Wayang Kulit‟”, dalam Rustopo, ed., Gendhon
Humardani: Pemikiran dan Kritiknya (Surakarta: STSI-Press,
1991), hlm. 130.
301

Perhatian dari masyarakat juga ditunjukkan dengan adanya

kritik dan permintaan penjelasan atas kejanggalan dalam

pakeliran. Dutadipraja salah seorang tokoh dhalang Surakarta

banyak mendapatkan pertanyaan dari masyarakat pendengar RRI

Surakarta atas kejanggalan cerita Lahiripun Kakrasana (Kelahiran

Kakrasana) dalam siaran pertunjukan pada Malam Minggu, 21

Januari 1956.53 Melalui majalah Pandjangmas ia meminta

penjelasan tentang masalah ini kepada pemegang otoritas. Oleh

karena itu, tidak mengherankan apabila RRI Surakarta

menerapkan standar-standar tertentu bagi para dhalang yang

akan melakukan pentas siaran di RRI Surakarta. Mereka yang

mendapatkan kesempatan untuk pentas siaran di RRI Surakarta

merupakan para dhalang yang memenuhi standar estetika seni

pedhalangan.

Pada dasawarsa 1960an untuk pentas di RRI Surakarta para

dhalang harus menjalani tes terlebih dahulu, kecuali para dhalang

yang telah mendapatkan pengakuan dari masyarakat. “Durung

kasebut dhalang yèn durung naté pentas nèng RRI Surakarta”

(“Belum bisa disebut dhalang, jika belum pernah pentas di RRI

Surakarta”) merupakan ungkapan yang sangat populer di

kalangan para dhalang sejak 1960-an sampai awal dasawarsa

53Pandjangmas Th. IV No. 2 6 Maret 1956, hlm. 5.


302

1980-an.54 Hal ini tidak lain karena RRI Surakarta menjadi salah

satu pilar penyangga kehidupan seni pertunjukan tradisi Jawa

Surakarta. Di kalangan dunia seni pedhalangan, pergelaran

wayang kulit purwa RRI Surakarta benar-benar menjadi kiblat

bagi para dhalang, karena memiliki bobot yang sama dengan

pergelaran di keraton pada masa sebelum kemerdekaan.

Keberhasilan untuk dapat pentas siaran di RRI Surakarta berarti

pengakuan pemerintah Indonesia terhadap eksistensi seorang

dhalang.

Seorang dhalang yang akan melakukan pentas siaran di RRI

Surakarta akan dinilai lebih dahulu kemampuan dan

penguasaannya terhadap unsur-unsur pakeliran. Mereka yang

memenuhi persyaratan akan mendapatkan kesempatan untuk

melakukan siaran, dan sebaliknya bagi mereka yang belum

memenuhi persyaratan disarankan untuk menangguhkan

keinginannya sampai kemampuan dan penguasaannya terhadap

unsur-unsur pakeliran telah mencukupi.55 Oleh karena itu, tidak

54Joko Dwi Hastanto, “Mengembalikan Pamor RRI Surakarta


1: Durung Dalang yen Durung Pentas Neng RRI”, Suara Merdeka,
30 Desember 2003.
55Waridi, “Media & Seni Pertunjukan: Pemanfaatan Media
dalam Pendidikan Seni Pertunjukan”, dalam Rustopo dan
Bambang Murtiyoso, ed., Mencermati Seni Pertunjukan III:
Perspektif Pendidikan, Ekonomi & Manajemen, dan Media
(Surakarta: Ford Foundation dan Program Pendidikan
Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, 2005),
hlm. 300.
303

mudah dan tidak sembarang dhalang dapat pentas siaran di RRI

Surakarta. Bahkan, RRI Surakarta pernah menjadi referensi bagi

stasiun-stasiun RRI lainnya seperti RRI Jakarta, RRI Semarang,

dan RRI Purwokerto dalam hal siaran pertunjukan wayang kulit

purwa. Para dhalang yang mengajukan permohonan untuk pentas

siaran di stasiun-stasiun tersebut akan ditanya terlebih dahulu

apakah dhalang yang bersangkutan sudah pernah pentas di RRI

Surakarta.56 Bagi mereka yang sudah pernah pentas siaran di RRI

Surakarta akan dengan mudah mendapatkan giliran pentas siaran

di RRI yang dimaksudkan. Sebaliknya, bagi mereka yang belum

pernah pentas siaran di RRI Surakarta akan menjalani

serangkaian tes kelayakan untuk siaran sebagaimana telah

disebutkan.

Penerapan standar yang tinggi tidak menyurutkan niat para

dhalang untuk dapat pentas siaran di RRI Surakarta. Banyak

dhalang yang antri dan berharap dapat pentas siaran di RRI

Surakarta. Walaupun honorariumnya rendah, forum itu dapat

dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan kariernya atau

batu loncatan untuk menjadi dhalang terkenal dan memiliki nama

besar.57 Mereka akan dikenal oleh masyarakat, khususnya pecinta

56Hastanto, loc. cit..

57Victoria M. Clara van Groennendael, Dalang di Balik


Wayang, terjemahan Pustaka Utama Grafiti (Jakarta: Grafitipers,
1987), hlm. 203.
304

wayang kulit purwa, yang pada gilirannya akan meningkatkan

jumlah tanggapan (permintaan pentas) mereka. Hal ini dapat

dipahami karena menurut James R. Brandon, yang melakukan

survei pada 1963 dan 1964 untuk penulisan bukunya, di seluruh

Indonesia diestimasikan terdapat 2.200.000 buah pesawat radio

atau dua persen dari seluruh penduduk Indonesia pada saat itu.58

Kiranya tidak dapat dipungkiri, bahwa radio pada saat itu

merupakan media moderen yang memiliki jangkauan paling luas

dan sangat efektif sebagai sarana untuk menggapai popularitas.

Penyelenggara siaran RRI Surakarta menjelaskan, bahwa

acara siaran pergelaran wayang kulit purwa diutamakan bagi

dhalang-dhalang muda. Kebijakan ini ditempuh karena antara lain

bertujuan untuk membantu tunas-tunas dhalang dalam

mengukuhkan kedudukan mereka dalam jagad pedhalangan. Hal

ini didasari oleh pertimbangan, bahwa mereka memiliki tanggung

jawab untuk meneruskan warisan budaya Jawa yang diterima dari

generasi tua. Selain itu, kebijakan ini dipilih untuk memopulerkan

wayang kulit purwa, khususnya di kalangan generasi muda.

Dengan demikian, diharapkan para generasi muda dapat

dihindarkan dari pengaruh Barat tertentu yang negatif, serta

58James R. Brandon, Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia


Tenggara, terjemahan R.M. Soedarsono (Bandung: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional Universitas
Pendidikan Indonesia, 2003), hlm. 399.
305

menjadi lebih apresiatif dan tanggap terhadap nilai-nilai luhur

yang terkandung dalam kebudayaan nasional, khususnya wayang

kulit purwa. Pada gilirannya, mereka diharapkan dapat

memelihara dan menjunjung tinggi warisan budaya itu untuk

kepentingan kekinian dan yang akan datang.59

Dua dhalang kondhang saat ini yaitu Anom Suroto dan

Manteb Soedharsono merupakan contoh-contoh yang tepat untuk

membuktikan, bahwa RRI Surakarta memang banyak memberi

kesempatan kepada dhalang-dhalang muda guna membantu

mengukuhkan kedudukan mereka dalam jagad pedhalangan.

Sejak memulai debutnya sebagai dhalang pada 1964, Anom Suroto

memerlukan waktu empat tahun untuk dapat pentas siaran di RRI

Surakarta (1968).60 Menurutnya, setidaknya ia harus melalui tiga

tahap seleksi dan ujian untuk dapat pentas siaran di RRI

Surakarta. Pada tahap pertama lamarannya ditolak, karena

dianggap belum memenuhi syarat. Pada tahap kedua yang

ditempuh dua tahun setelah tahap pertama, ia diperbolehkan

pentas siaran hanya sampai pukul 23.00. Setelah pengetahuan

59van
Groennendael, loc. cit..; Wawancara dengan Mulyono
(pegawai RRI Surakarta 1969-2000; Perencana Kesenian Daerah
1970-2000) pada 12 Maret 2011.

60T.
Slamet Suparno, Seni Pedalangan Gagrak Surakarta:
Butir-butir Kearifan Lokal sebagai Solusi Problimatik Mutakhir
(Surakarta: ISI Press, 2007), hlm. 75.
306

dan sastra pedhalangan, serta garapan gendhing-nya dianggap

telah matang, ia diperbolehkan untuk siaran semalam suntuk. Ia

mengakui, bahwa RRI Surakarta memiliki peran yang sangat besar

dalam pertumbuhan dan perkembangan kariernya, karena

membantu dirinya dalam peningkatan kemampuan, ketrampilan,

dan pengetahuan mengenai pakeliran. Setelah itu, namanya

semakin dikenal oleh masyarakat luas.61 Dalam perkembangan, ia

langsung melejit sejajar dengan Nartosabdho yang kali pertama

melakukan pentas siaran di RRI Jakarta pada 28 April 1958

dengan lakon Kresna Duta (Kresna sebagai Duta) yang juga telah

mengantarkan dirinya menjadi dhalang terkenal.62

Manteb Soedharsono memiliki pengalaman yang berbeda dari

Anom Suroto. Ia mulai men-dhalang sejak 1960-an dan baru

dapat diterima untuk pentas siaran di RRI Surakarta pada 1971

setelah menjalani tes sebanyak empat kali. Tes pertama sampai

ketiga tidak lolos. Setelah menjalani tes yang keempat ia baru

diizinkan. Pada saat itu ia membawakan lakon Bima Pupuk (Bima

Membunuh Prabu Baka). Setelah namanya mulai melejit pada

1984 dan kemudian menjadi dhalang terkenal menggantikan

61Umar Kayam, Kelir Tanpa Batas (Yogyakarta: Gama Media


dan Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM, 2001), hlm. 200-201.

62Sumanto, Nartosabdo: Kehadirannya dalam Dunia


Pedalangan, Sebuah Biografi (Surakarta: STSI Press, 2002), hlm.
46.
307

posisi Nartosabdho yang wafat pada 1985, ia berulang kali

mendapatkan kesempatan untuk pentas siaran di RRI Surakarta.

Ia mengakui bahwa ketenarannya antara lain berkat jasa dari RRI

Surakarta.63

Nartosabdho baru mendapat giliran siaran pergelaran wayang

kulit purwa semalam suntuk di RRI Surakarta pada 1971.

Menurut Ledjar Subroto (lahir 1938),64 sebenarnya pada

dasawarsa 1960an Nartosabdho berkali-kali diminta untuk siaran

di RRI Surakarta, tetapi ditolaknya. Penolakan itu tidak lain

karena pada saat itu banyak kalangan yang tidak setuju dengan

pembaruan pakeliran wayang kulit purwa yang dilakukannya.65

Pada saat itu, ia sedang melakukan perubahan unsur-unsur

pakeliran untuk menegaskan identitas pedhalangan-nya, baik

dalam narasi dan dialog (catur), sulukan, gendhing, keprakan, tata

63Joko Dwi Hastanto, “Mengembalikan Pamor RRI Surakarta


2: Para Dalang Jangan Lupa Pernah Dibesarkan RRI”, Suara
Merdeka, 31 Desember 2003.

64Ia adalah seniman tatah sungging wayang yang pernah


mendapatkan kepercayaan dari Nartosabdho dalam pembuatan
wayang. Pada masa kemudian ia dikenal sebagai dhalang wayang
kancil dan tinggal di Yogyakarta.

65Waridi, Gagasan & Kekaryaan Tiga Empu Karawitan: Pilar


Kehidupan Karawitan Jawa Gaya Surakarta 1950-1970 (Ki
Martapengrawit, Ki Tjakrawasita, Ki Nartasabda (Bandung:
Etnoteater Publisher, BACC Kota Bandung & Pascasarjana ISI
Surakarta, 2008), hlm. 348; lihat juga “Ki Nartosabdo”, Jaya Baya,
No. 7/ XXVII, 15 Oktober 1972, hlm. 7.
308

panggung, penggarapan karakter wayang, dan dalam waktu

kemudian pembuatan lakon biografi (banjaran) dengan

memanfaatkan unsur-unsur pedhalangan dan karawitan dari

daerah lain.66 Ketika dirasa bahwa yang dilakukannya telah dapat

diterima oleh banyak kalangan, maka ia bersedia untuk pentas

siaran di RRI Surakarta.67 Menurut penulis, penolakan untuk

sementara yang dilakukan oleh Nartosabdho lebih merupakan

sebuah strategi agar pembaruan yang dilakukannya tidak menjadi

polemik yang lebih besar di masyarakat, mengingat pada saat itu

kalangan yang setuju terhadap pembaruan yang dilakukannya

juga cukup banyak meskipun tidak berada di Surakarta.

Siaran pergelaran wayang kulit purwa di RRI Surakarta

diadakan setiap bulan pada Sabtu malam dan terbuka untuk

umum. Berbeda dari pergelaran untuk pesta keluarga atau desa,

pergelaran-pergelaran ini mempunyai tujuan komersial. Walaupun

demikian, pergelaran ini selalu berhasil menarik sangat banyak

penonton. Siaran pergelaran ini sangat populer dan dapat diikuti

melalui radio-radio transistor yang tidak terhitung banyaknya,

66Sumanto, op. cit., hlm. 120; lihat juga Dhanang Respati


Puguh dan Mahendra Pudji Utama, ed., Pedhalangan Gagrag
Nartosabdhan (Semarang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Semarang, 2009).

67Waridi, loc. cit..


309

bahkan sampai ke pelosok-pelosok Surakarta pada setiap malam

Minggu tertentu.68 Hal ini sesuai dengan kesaksian Sutopo Broto,

pegawai senior RRI Surakarta. Pada saat itu, walaupun untuk

menyaksikan pentas siaran wayang kulit purwa di RRI Surakarta

penonton harus membeli karcis, namun penontonnya selalu

membeludak. Penonton rela merogoh uang dari kantongnya untuk

menyaksikan pergelaran wayang kulit purwa yang disajikan oleh

dhalang yang mereka sukai. Apalagi kalau dhalang-nya

Nartosabdho, Anom Suroto, atau Darman Gondodarsono,

penonton yang ingin menyaksikan harus memesan karcis terlebih

dahulu.69 Menurut penulis, hal ini terjadi karena ketiga dhalang

itu masing-masing memiliki kelebihan. Nartosabdho memiliki

keunggulan dalam penggarapan unsur-unsur pakeliran terutama

dalam aspek dramatik dan gendhing pakeliran; Anom Suroto

memiliki keunggulan dalam berolah suara, karena memiliki suara

bagus (kung) dan dianggap sebagai dhalang pakem; dan Darman

Gondodarsono memiliki keunggulan dalam berolah sabet, sebelum

kemunculan Manteb Soedarsono sebagai dhalang terkenal.

Masa kejayaan siaran pergelaran wayang kulit purwa RRI

Surakarta berlangsung sampai dengan akhir dasawarsa1980an.

68van Groennendael, op. cit., hlm. 202-203.

69Hastanto, “Mengembalikan Pamor RRI Surakarta 1, loc. cit..


310

Seiring dengan perkembangan zaman, sejak 1990an pamor RRI

Surakarta dalam dunia pentas siaran wayang kulit purwa mulai

memudar. Dhalang yang pentas tidak lagi diseleksi. Ketika muncul

televisi swasta Indosiar yang menyiarkan wayang kulit purwa

dengan dhalang yang asal meriah, asal beda, dan yang terpenting

disukai sponsor,70 pentas RRI Surakarta pun semakin pudar.

Berbagai upaya untuk mengembalikan pamor RRI Surakarta telah

dilakukan, misalnya bekerja sama dengan SMKI, STSI, dan Forum

Rebo Legèn milik Anom Suroto.71

Pada 1995 RRI Surakarta bekerja sama dengan Manteb Fans

Club menyelenggarakan pergelaran wayang kulit purwa sebulan

sekali selama setahun dengan dhalang Manteb Soedharsono.

Pergelaran perdana dengan mengambil lakon Kresna Duta (Kresna

sebagai Duta) diselenggarakan pada 21 Januari 1995.72 Namun

demikian, semua itu tidak mampu membendung laju perubahan

zaman. Masyarakat lebih senang menonton pertunjukan wayang

70“Wayang itu Justru Mahal Karena Sulit Ditebaknya:


Wawancara dengan Ki Tristuti Rachmadi”, dalam Philip
Yampolsky, ed.,Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan:
Perubahan dalam Pelaksanaan, Isi, dan Profesi (Jakarta: Equinox
Publishing, 2006), hlm. 41.

71Hastanto, “Mengembalikan Pamor RRI Surakarta 1”, loc. cit..

72A. Komar Abbas dan Seno Subro, Ki Manteb “Dalang Setan”


(Surakarta: Yayasan Resi Tujuh Satu, 1995), hlm. 109.
311

kulit purwa melalui layar televisi dari stasiun Indosiar, karena

lebih atraktif. Selain itu, pementasan yang diselenggarakan oleh

masyarakat juga cukup banyak. Saat itu pentas di RRI Surakarta

mulai kembang kempis. Kondisi ini semakin memuncak pada

1998 ketika terjadi gègèran dalam gerakan reformasi di Surakarta.

Kondisi keamanan yang tidak memungkinkan, mengakibatkan

pentas wayang kulit purwa RRI Surakarta tidak diselenggarakan.

RRI Surakarta memilih menyiarkan pentas wayang kulit purwa

dari Forum Rebo Legèn, SMKI Surakarta, STSI Surakarta, dan

sebagainya.73

Rangkaian fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa RRI

Surakarta memiliki peranan yang besar dalam pelestarian,

pengembangan, dan penyebarluasan wayang kulit purwa melalui

siaran-siaran pergelaran yang menerapkan standar yang tinggi.

Siaran-siaran wayang kulit purwa yang diselenggarakan

menjadikan seni pedhalangan gaya Surakarta memiliki wilayah

persebaran yang luas dan mendominasi kehidupan seni

pedhalangan di Jawa Tengah khususnya dan di Indonesia pada

umumnya. Dominasi seni pedhalangan gaya Surakarta dalam

kehidupan seni pedhalangan masih dapat dirasakan sampai saat

ini.

73Hastanto, “Mengembalikan Pamor RRI Surakarta 1”, loc. cit..


312

Kiprah RRI Surakarta sebagaimana telah diuraikan di atas

memberikan gambaran yang jelas bahwa lembaga kebudayaan itu

memiliki peranan yang signifikan dalam pembinaan seni

pertunjukan Jawa Surakarta yang meliputi seni karawitan,

wayang wong, dan wayang kulit purwa. Melalui siaran-siarannya

yang diselenggarakan dengan penerapan standar yang tinggi, RRI

Surakarta telah berperan dalam pelestarian, pengembangan, dan

penyebarluasan seni pertunjukan Jawa Surakarta; membangun

opini publik; dan meningkatkan daya apresiasi masyarakat.

Siaran-siaran seni pertunjukan itu bagaikan anak panah yang

mampu menembus kalbu setiap pendengarnya. RRI Surakarta

telah berhasil meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni

pertunjukan Jawa Surakarta.

B. Perusahaan Rekaman Lokananta

1. Pendirian, Tujuan, dan Kebijakan

Lokananta didirikan pada 1956 di Surakarta. Pendiriannya

merupakan realisasi dari gagasan yang dicetuskan oleh Direktur

Jenderal Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1954. Namun

demikian, sebenarnya pada 1952 RRI telah menyiapkan rencana

pembangunan untuk jangka waktu selama lima tahun secara

keseluruhan dalam bidang program, peralatan teknik dan studio,

serta personil dengan suatu garis kebijakan yaitu mendahulukan


313

pembangunan pada studio-studio di daerah.74 Dengan kata lain,

pendirian Lokananta merupakan realisasi dari rencana

pembangunan itu dan berkaitan dengan upaya-upaya untuk

menopang keberadaan stasiun RRI yang berada di beberapa

daerah.

Pendirian Lokananta memiliki dua tujuan utama. Tujuan

pertama lebih bersifat praktis, yaitu untuk menyempurnakan

diskotik RRI dan mengurangi penggunaan devisa negara. Dalam

hal ini pendirian Lokananta bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan bahan-bahan siaran yang diperlukan oleh RRI. Dengan

adanya kemampuan untuk menyediakan bahan-bahan siaran

sendiri diharapkan hal ini akan mengurangi penggunaan devisa

negara. Tujuan kedua lebih bersifat ideal karena berkaitan dengan

tujuan yang lebih luas, yaitu untuk menambah produksi piringan

hitam nasional yang diharapkan dapat berkontribusi bagi

perkembangan kebudayaan Indonesia dan mengurangi pengaruh-

pengaruh kebudayaan asing yang tidak diharapkan.75 Dengan

memperhatikan tujuan kedua pendirian Lokananta, dapat

diinterpretasikan bahwa pemilihan Surakarta didasarkan atas

7420Tahun Indonesia Merdeka Jilid IX: Departemen


Penerangan (Jakarta: Departemen Penerangan, 1965), hlm. 120.

75Ibid., hlm. 229.


314

pertimbangan potensi yang dimiliki Surakarta. Sebagai kota yang

di dalamnya terdapat dua keraton sebagai pusat kebudayaan,

Lokananta dapat mencapai tujuan-tujuan pendiriannya

khususnya dalam mengembangkan kebudayaan melalui piringan

hitam untuk menangkal pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan

asing yang dapat menghambat terbentuknya kepribadian nasional.

Lokananta berpijak pada pedoman pokok dalam menjalankan

tugasnya, yaitu perjuangan melawan pengaruh-pengaruh musik

imperialis terhadap kehidupan musik nasional dan musik daerah.

Perjuangan itu merupakan bagian mutlak dari perjuangan untuk

mengembangkan patriotisme dan memperkuat kepribadian

nasional di bidang musik. Pedoman pokok itu dijabarkan secara

rinci ke dalam lima butir rumusan yang dijadikan sebagai acuan

dalam menjalankan tugasnya sebagai berikut. Pertama, untuk

mengembangkan patriotisme di bidang musik perlu dilakukan

pengembangan keberanian kreatif atas dasar pengintegrasian

total. Kedua, sesuai dengan kondisi revolusi Indonesia yang

sedang berlangsung, semangat patriotisme perlu dikembangkan

melalui musik-musik yang dapat memberikan semangat

perjuangan disertai dengan adanya optimisme untuk

mengganyang musik-musik “murahan” (Barat). Ketiga, untuk

membina keluarga revolusioner yang dijiwai oleh semangat

perjuangan harus dikembangkan penggubahan lagu-lagu untuk


315

anak-anak yang akan menjadi pelaksana dan pewaris revolusi.

Keempat, sebagai alat pembina kepribadian, maka piringan hitam

yang dihasilkan harus mencerminkan watak Bhinneka Tunggal

Ika dengan mengutamakan musik dan lagu daerah. Dalam

hubungan dengan hal tersebut, perlu ada kewaspadaan terhadap

kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan pembaharuan

musik daerah yang mengabaikan unsur-unsur melodi, ritme, atau

pun teknik tradisional, karena hal itu dikhawatirkan akan

menjerumuskan ke dalam agresi musik dekaden dan tercerabut

dari akar tradisional. Sebaliknya, kecenderungan yang menolak

adanya pembaharuan, sehingga bersifat konservatif dan

terjerumus ke dalam pencarian kenikmatan yang mencerminkan

kemalasan akan menghambat kepribadian nasional. Kelima,

musik merupakan cabang kesenian yang dapat menjadi media

pendidikan dan pembinaan watak bangsa. Oleh karena selera

masyarakat tidak selalu selaras dengan norma-norma pendidikan

dan pembinaan watak bangsa, maka perlu memproduksi musik-

musik yang dapat menjadi sarana untuk membentuk watak

bangsa.76

Lima tahun Lokananta menjadi bagian dari RRI. Pada 1961

Lokananta mengalami perubahan status. Berdasar pada

76Ibid., hlm. 229-230.


316

pertimbangan potensi komersial rekaman piringan hitam yang

telah diproduksi, Lokananta dipisahkan dari RRI dan dijadikan

sebagai Perusahaan Negara dengan tiga tanggung jawab, yaitu

mendorong, mendirikan, dan menyebarluaskan seni nasional;

menghasilkan pendapatan bagi negara; dan bekerja sama dengan

instansi pemerintah yang lain dalam program-program khususnya

rekaman suara.77

2. Era Piringan Hitam: Dominasi Rekaman Musik Nasional dan

Musik – Teater Jawa Tengah

Pelaksanaan tugas Lokananta dilakukan di bawah koordinasi

seorang pemimpin utama. Utoyo mendapatkan kepercayaan untuk

memimpin Lokananta selama periode 1957-1971. Dengan berpijak

pada pedoman pokok dan lima rumusan dalam menjalankan tugas

sebagaimana telah diuraikan di atas, di bawah kepemimpinan

Utoyo78 Lokananta telah memproduksi piringan hitam yang berisi

rekaman-rekaman musik yang oleh Philip Yampolsky

dikelompokkan ke dalam jenis Musik Nasional, Hiburan Daerah,

dan Musik dan Teater Daerah.

77Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 215 Tahun


1961 tentang Pendirian Perusahaan Negara “Lokananta”.

78“PN Lokananta”, Parikesit, No. 3 Th I, 6 Mei 1973, hlm. 4.


317

Musik Nasional adalah istilah yang digunakan untuk

menyebut musik yang bertujuan untuk menunjukkan identitas

orang Indonesia sebagai orang Indonesia, melintasi batas regional

dan etnik, dan tidak diidentifikasi dengan daerah atau kelompok

tertentu. Secara umum, lirik Musik Nasional adalah menggunakan

bahasa Indonesia. Varietas utama Musik Nasional yang diproduksi

Lokananta adalah jenis Hiburan, Keroncong, Melayu (seperti

dangdut), Lagu Perjuangan, pembacaan dan nyanyian religius

Islami (biasanya menggunakan bahasa Arab bukan Indonesia),

dan Lagu Gereja.79

Hiburan Daerah merupakan bagian dari kategori Musik

Nasional; merupakan nyanyian berbahasa daerah dengan melodi

yang telah digubah seperti Hiburan Nasional. Hiburan Daerah

menggunakan idiom dan disajikan dengan ensembel musik Barat,

dan biasanya berbentuk semacam orkestra. Hiburan Daerah

meliputi musik daerah Melayu, Karo, Simalungun, Tapanuli,

Minang, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.80

79 Philip Yampolsky, Lokananta A Discography of The National


Recording Company of Indonesia 1957-1985 (Madison, Wisconsin:
Center for Southeast Asian Studies University of Winconsin, 1987),
hlm. 5

80Ibid.,hlm. 13. Lihat juga Philip Yampolsky, “Forces for


Change in Regional Performing Arts of Indonesia”, Bijdragen Toot
de Taal-, Land-en Volkenkunde, Deel 151, 4e Aflevering, (1995),
hlm. 706-707.
318

Sementara itu, Musik dan Teater Daerah merupakan musik

dan teater yang berasal dari daerah Jawa Tengah, Sunda, Jawa

Timur, dan Bali. Musik dan teater Jawa Tengah antara lain

meliputi klenèngan, musik untuk pernikahan, iringan tari,

dolanan, wayang kulit purwa, wayang wong, kethoprak, dhagelan,

dan langgam Jawa. Musik dan teater daerah Sunda antara lain

meliputi gamelan, gamelan iringan tari, degung, degung iringan

tari, musik corak baru, suling karesmèn, tembang Sunda, dan

wayang golèk. Musik dan teater Jawa Timur meliputi klenèngan,

ludruk, dan gendhing ludruk. Musik dan teater daerah Bali

meliputi gong dan suling.81

Pada era piringan hitam (1957-1971), Lokananta telah

memproduksi rekaman musik dari semua kategori sebagaimana

telah disebutkan di atas. Secara keseluruhan produksi rekaman

itu berdurasi 8628 menit. Produksi rekaman Musik Nasional dan

musik dan teater Jawa Tengah mendominasi produksi rekaman

Lokananta, yaitu sekitar 7/8 atau 88% dari total produksi. Musik

Nasional termasuk di dalamnya Hiburan Daerah merupakan jenis

musik yang banyak diproduksi oleh Lokananta. Jumlah produksi

rekaman jenis musik ini sebanyak 44%. Musik dan teater Jawa

Tengah menduduki posisi kedua dalam jumlah produksi rekaman

81Yampolsky (1987), ibid., hlm. 10-12.


319

Lokananta yaitu sebanyak 41%. Musik dan teater dari daerah lain

sebanyak 15% yang terbagi menjadi Sunda sebanyak 7%, Jawa

Timur sebanyak 4%, dan Bali sebanyak 4%.82

Berdasar pada gayanya, produksi piringan hitam musik dan

teater Jawa Tengah terdiri atas musik dan teater bergaya

Surakarta, gaya Yogyakarta, gaya Nartosabdhan yang bersifat

eklektik dengan mendasarkan pada gaya Surakarta, dan gaya

Semarang. Di antara berbagai gaya tersebut, musik dan teater

bergaya Surakarta secara kuantitatif mendominasi produksi

piringan hitam musik dan teater Jawa Tengah.83

Musik dan teater bergaya Surakarta mayoritas disajikan oleh

RRI Surakarta. Selain itu, dalam kategori ini ada dua kelompok

yang menjadi penyaji, yaitu Keraton Surakarta dan RRI Jakarta.

Musik dan teater bergaya Yogyakarta disajikan oleh kelompok RRI

Yogyakarta. Musik dan teater bergaya Nartosabdhan disajikan oleh

kelompok RRI Surakarta bekerja sama dengan Nartosabdho dan

Paguyuban Karawitan Condhong Raos di bawah pimpinan

Nartosabdho. Musik bergaya Semarangan disajikan oleh kelompok

82Ibid., hlm. 9 dan 14, dinarasikan dari tabel.

83Ibid., hlm. 14.


320

RRI Semarang.84 Dari data tersebut dapat dikemukakan bahwa

produksi rekaman musik dan teater Jawa Tengah mayoritas

disajikan oleh seniman-seniman yang tergabung dalam kelompok

RRI.

Pada era piringan hitam ini setidaknya telah diproduksi

sebanyak 57, 2 unit piringan hitam musik dan teater Jawa Tengah

yang terdiri atas klenengan sebanyak 30,7 unit, gendhing

pahargyan pangantin 1 unit, gendhing beksan 2 unit, gendhing

dolanan 3 unit, wayang kulit purwa 1 unit, wayang wong 3 unit,

kethoprak 2 unit, dhagelan 1 unit, dan langgam Jawa 12, 5 unit,

dan gambang kromong/Semarang 1 unit.85 Beberapa contoh dari

produksi piringan hitam musik dan teater Jawa Tengah bergaya

Surakarta adalah Gendhing Gambirsawit Sembunggilang dan

Gendhing Gambirsawit Pancerana,86 Gendhing-gendhing Jawa

Karya Ki Nartosabdho,87 Kembang Glepang,88, dan Reyog

84“Table8. Central Java: „Klenengan etc.‟ Genre-Group”,


dalam ibid., hlm. 16.

85“Table 6 Production by Genre: Central Java”, dalam Ibid.,


hlm. 11.

86Lokananta ALD-013.

87Keluarga
Karawitan Studio RRI Surakarta, Gendhing-
gendhing Jawa Karya Ki Nartosabdho (Surakarta: Lokananta BRD-
017).

88Keluarga
Karawitan Studio RRI Surakarta, Kembang
Glepang (Surakarta: Lokananta BRD-023).
321

Ponorogo89 (klenèngan); Gara-gara90 (wayang kulit purwa); dan

Anoman Duta91 (wayang wong).

Gambar 4.5
Sampul Piringan Hitam Reyog Ponorogo oleh Paguyuban
Karawitan Jawi Condhong Raos Produksi Lokananta
(Sumber: Koleksi Dhanang Respati Puguh)

Selain Lokananta, pada dasawarsa 1950an beberapa

perusahaan swasta seperti Serimpi, Indah Record, Aneka Record,

dan Elshinta juga mulai mengeluarkan rekaman-rekaman musik

89Pagujuban Karawitan “Tjondong Raos”, Reyog Ponorogo


(Surakarta: Lokananta Record ARD-042).

90Nartosabdho, Gara-gara. Iringan Karawitan Studio RRI


Surakarta Pimpinan P. Atmosunarto (Surakarta: Lokananta BRD-
014).

91Wajang Orang Ngesti Pandawa, Anoman Duta (Surakarta:


Lokananta Record BRD-028).
322

gamelan dan jenis lain. Akan tetapi, produksi-produksi mereka

tampaknya tidak memperoleh status yang sama seperti piringan

hitam produksi Lokananta. Menurut dugaan R. Anderson Sutton,

kualitas rekaman dan piringan hitam Lokananta lebih baik

daripada yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan rekaman

yang lain. Selain itu, produksi piringan hitam Lokananta lebih

dikenal luas oleh masyarakat melalui siaran-siaran radio dan

rekaman-rekaman seni pertunjukan tradisi Jawa dari seniman

terkenal, Nartosabdho.92

Gambar 4.6
Sampul Piringan Hitam Anoman Duta oleh Perkumpulan Wayang
Orang Ngesthi Pandhawa Produksi Lokananta
(Sumber: Koleksi Dhanang Respati Puguh)

92Sutton, op. cit., hlm. 206.


323

Produksi piringan hitam Lokananta selain untuk memenuhi

bahan-bahan siaran RRI juga diperjualbelikan. Penjualan piringan

hitam mulai dilakukan pada 1958/1959. Oleh karena menjadi

bagian dari RRI, penjualan piringan hitam produksi Lokananta

dilakukan oleh Koperasi RRI yang bertindak selaku distributor

melalui stasiun-stasiun RRI di daerah. Sejak 1965 fungsi Koperasi

RRI sebagai distributor produksi piringan hitam Lokananta

dihapuskan dan digantikan dengan satu perwakilan khusus.

Selain itu, pada tahun yang sama juga diusahakan langkah-

langkah ke arah perluasan peningkatan produksi dan distribusi

piringan hitam Lokananta. Sehubungan dengan itu, Lokananta

juga melakukan penelitian-penelitian untuk menjajagi

kemungkinan ekspor piringan hitam yang sekaligus merupakan

realisasi dari tugas Lokananta untuk menyebarluaskan

kebudayaan Indonesia ke luar negeri.93 Sayang, tidak ada

keterangan lebih lanjut baik tentang pendistribusian piringan

hitam yang dilakukan oleh perwakilan khusus itu maupun hasil

dari upaya-upaya untuk mengekspor piringan hitam produksi

Lokananta. Namun demikian, dapat dipastikan bahwa produksi

piringan hitam Lokananta minimal tersebar di daerah yang

terdapat stasiun RRI. Oleh karena sampai dengan akhir 1969

9320 Tahun Indonesia Merdeka Jilid IX, op. cit., hlm. 231.
324

piringan hitam dapat dikategorikan sebagai “barang mewah” yang

untuk mengoperasikannya memerlukan fonograf/gramafon yang

harga pembeliannya hanya dapat dijangkau oleh orang-orang yang

memiliki cukup uang, maka piringan hitam ini hanya dikonsumsi

oleh kalangan terbatas yaitu masyarakat golongan atas di

perkotaan.94

R. Anderson Sutton memberikan sedikit gambaran tentang

bagaimana produksi piringan hitam dikonsumsi oleh masyarakat.

Guru-guru dalam bidang karawitan R. Anderson Sutton di

Yogyakarta memberikan kesaksian bahwa pada dasawarsa 1950an

terdapat adanya disc jockey keliling. Mereka membawa fonograf

berkeliling dari rumah ke rumah. Dengan membayar sejumlah

uang mereka akan mengoperasikan sebagian dari sedikit koleksi

piringan hitam miliknya sesuai dengan keinginan penanggap-nya.

Di antara pilihan-pilihan adalah rekaman musik gamelan,

terutama dari Surakarta.95 Penulis menduga, bahwa di antara

piringan hitam yang dioperasikan itu adalah produksi Lokananta,

karena lebih dikenal luas oleh masyarakat.

94Radio Republik Indonesia (Direktorat Jenderal Radio-


Televisi-Film Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1976),
hlm. 184.

95Sutton, loc. cit..


325

Menurut para guru Anderson Sutton, piringan hitam

Lokananta merupakan sebuah sumber pengetahuan penting

tentang musik gamelan. Sebagai contoh, Suhardi (guru utama R.

Anderson Sutton) memberikan kesaksian, bahwa ia mendengarkan

siaran radio dan memberikan perhatian pada rekaman-rekaman

sejak akhir 1950-1960an. Ia dapat belajar seni karawitan gaya

Surakarta secara mendalam melalui beberapa rekaman yang sama

selama beberapa waktu. Dari media itu ia dapat menyerap pola-

pola permainan yang tepat. Ia juga mengatakan bahwa rekaman-

rekaman khususnya Lokananta memiliki dampak yang besar pada

konsepsi dirinya dan musisi lain dalam hal penataan gendhing

yang dibawakan secara berurutan.96

3. Era Pita Kaset: Dominasi Rekaman Musik dan Teater Jawa

Tengah

Pada awal sampai pertengahan dasawarsa 1950an telah berdiri

beberapa perusahaan rekaman swasta di Indonesia.97 Pada

pertengahan atau akhir 1960an perusahaan rekaman swasta itu

96Ia mengikuti permainan gender Sabdosuwarno dari RRI


Surakarta tidak hanya pada konsepsi gendhing dan cengkok,
tetapi juga wiledan-nya. Lihat Sutton, ibid., hlm. 207.

97Muhammad Mulyadi, Industri Musik Indonesia, Suatu


Sejarah (Bekasi: Koperasi Ilmu Pengetahuan Sosial, 2009), hlm.
127.
326

mulai merekam dan menjual kaset. Banyak di antaranya adalah

kaset bajakan. Mereka men-copy rekaman-rekaman yang telah

dicetak sebelumnya, mencetak kembali tanpa izin dari penerbit

resmi atau produser dan tanpa pembayaran royalti. Pada waktu

itu, bahan yang digunakan oleh perusahaan pembajak adalah

semua dari piringan hitam.98 Dengan demikian dapat dipastikan,

bahwa kaset-kaset bajakan itu termasuk jenis counterfeit dan

pirate. Counterfeit yaitu kaset bajakan yang dibuat dengan cara

membuat copy rekaman dan mengemasnya sesuai dengan aslinya,

sedangkan pirate yaitu kaset bajakan yang dibuat dengan cara

mengumpulkan dan menyeleksi lagu-lagu yang sedang populer,

kemudian dikemas menjadi suatu yang „baru‟ atau berbeda dari

aslinya.99

Peredaran kaset-kaset bajakan itu mendorong pengelola

Lokananta untuk mengadakan penyelidikan. Setelah dilakukan

penyelidikan pada 1969, pengelola Lokananta menyimpulkan

bahwa penjualan piringan hitam di Indonesia mengalami

98Yampolski,op. cit., hlm. 2. Lihat juga “Merga Pembadjakan


P.N. Lokananta Lumpuh, Ganti Ngrekam Cassete”, Djaka Lodang,
No. 65 Minggu Katelu September 1972 Th. II, hlm. 1; Wawancara
dengan R. Iman Muhadi pada 16 Februari 2011.

99Jeniskaset bajakan yang lain, yaitu bootleg; merekam suara


penyanyi yang sedang tampil di panggung tanpa sepengetahuan
dan izin pemegang hak cipta, kemudian menjual kasetnya. Lihat
Mulyadi, op. cit., hlm. 192.
327

penurunan. Kemunculan industri kaset tidak hanya mengancam

kelangsungan penjualan piringan hitam, tetapi pada gilirannya

juga mengancam eksistensi perusahaan. Pada akhir 1971, sebagai

sebuah eksperimen, Lokananta mulai mencetak kaset dengan

memanfaatkan master rekaman piringan hitam miliknya. Usaha

baru tersebut mendapatkan tanggapan positif dari Menteri

Penerangan. Setahun kemudian dengan SK Menpen No.

105/Kep/Menpen/1972 Lokananta mendapatkan izin resmi untuk

memperluas aktivitasnya tidak hanya mencetak piringan hitam,

tetapi termasuk kaset.100 Pada 1974 Lokananta sama sekali sudah

tidak memproduksi piringan hitam setelah meningkatkan

penjualan sebanyak 20 kali lipat; dari 42.000 piringan hitam pada

1970 ke 890.000 kaset pada 1975.101 Fakta ini sesuai dengan

pendapat Peter Manuel yang mengatakan, bahwa Indonesia

merupakan suatu negeri di mana industri piringan hitam yang ada

telah digantikan sama sekali dengan industri kaset yang sedang

berkembang dengan pesat.102

100Radio
Republik Indonesia, loc. cit.. Surat Keputusan Menteri
Penerangan No. 105/Kep/Menpen/1972, tertanggal 13 November
1972; Wawancara dengan R. Iman Muhadi pada 16 Februari
2011.

101Yampolski, loc. cit..

102Edwin
Jurriens, Ekspresi Lokal dalam Fenomena Global:
Safari Budaya dan Migransi, terjemahan Hersri Setiawan (Jakarta:
LP3ES –KITLV, 2006), hlm. 95.
328

Di bawah kepemimpinan Soedarsono Soerjodarmodjo (yang

menggantikan Utoyo karena pensiun, 1971), pada 1972

Lokananta mulai melakukan rekaman untuk kaset.103 Menurut

Mintarjo, Dasuki mantan Pimpinan Radio Orkes Surakarta

(pensiunan pegawai RRI Surakarta) ditunjuk sebagai pengarah

acara. Tidak lama kemudian, karena meninggal dunia posisinya

digantikan oleh Priyo Suminto, dan kemudian sejak 1975

digantikan oleh Mintarjo. Setelah Mintarjo diberi tugas sebagai

perencana kesenian dan rekaman, ia mulai merintis suatu yang

agak berbeda dibandingkan kedua pendahulunya. Ia mulai

memikirkan kemungkinan-kemungkinan agar kaset rekaman

produksi Lokananta lebih disukai masyarakat. Ia mulai

mengumpulkan bahan-bahan dan melakukan „survei‟ kebutuhan

masyarakat. Dari „survei‟ itu diperoleh gambaran tentang produksi

rekaman kaset yang dibutuhkan oleh masyarakat, yaitu seni

pertunjukan Jawa. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan adanya

kebutuhan masyarakat Jawa terhadap gendhing-gendhing

pahargyan untuk mengiringi upacara adat dan resepsi pengantin

Jawa, serta gendhing-gendhing beksan untuk pelatihan tari.

Gagasan Mintarjo mendapatkan persetujuan dari pimpinan

103“PN Lokananta”, Parikesit, No. 3 Th I, 6 Mei 1973, hlm. 4.


329

Lokananta.104 Menurut Yampolsky, keputusan ini mungkin

berkaitan dengan suatu fakta, bahwa Lokananta tidak mampu

bersaing dengan perusahaan-perusahaan regional di luar Jawa

Tengah dan Jawa Timur yang banyak merekam musik dan teater

daerah luar Jawa. Oleh karena kesulitan untuk mendistribusikan

kaset dalam jarak jauh yang akan berpengaruh pada kenaikan

harga yang mampu ditanggung oleh konsumen, maka Lokananta

lebih memilih untuk memproduksi rekaman musik dan teater

Jawa Tengah.105

Berdasar fakta-fakta itu, di era pita kaset (1971-1985), tidak

mengherankan apabila Lokananta menarik diri dari produksi

rekaman Musik Nasional dan memberikan perhatian pada

rekaman musik dan teater Jawa Tengah. Dengan kebijakan itu,

produksi rekaman musik dan teater daerah Jawa Tengah semakin

bertambah dan mendominasi produksi rekaman kaset secara

keseluruhan, yaitu sekitar 70 persen. Produksi rekaman kaset

dalam kategori ini terkonsentrasi dalam dua area, yaitu musik

gamelan (klenèngan dan lain-lain) bergaya Surakarta dan

Yogyakarta, serta Semarangan (sangat sedikit) yang dimainkan

104Wawancara dengan Mintarjo (Pegawai Lokananta 1961-


1990; Asisten Pengarah Acara (1972-1977); Pengarah Acara
Rekaman (1978-1990) pada 16 Februari 2011.

105Yampolsky, op. cit., hlm. 20.


330

untuk klenengan atau untuk mengiringi tari (gendhing beksan);

dan teater yang diiringi dengan musik gamelan atau musik

gamelan dijadikan sebagai selingan.106

Dalam kategori klenèngan dan lain-lain, berdasar jenis grup,

Lokananta telah menekankan pada gaya penampilan yang

berasosiasi dengan kota Surakarta, yaitu sebanyak 71% dari

jumlah produksi (kombinasi piringan hitam dan kaset). Bentuk

klenèngan paling prestisius, halus, dan “klasik” gaya Surakarta

diperoleh dari dua istana di Surakarta, yaitu Kasunanan dan

Mangkunagaran. Dalam hal ini Lokananta telah melakukan sedikit

rekaman di istana. Rekaman musik gaya Surakarta banyak

dilakukan dengan musisi RRI Stasiun Surakarta, yaitu sekitar

62% dari gaya Surakarta (klenèngan dan lain-lain). Gaya musik

RRI Surakarta lebih konservatif (dekat dengan gaya istana) dan

banyak menyajikan teknik dan repertoar yang lebih moderen dan

populer dari istana.107

Gaya lain klenèngan Jawa Tengah mendapat sangat sedikit

perhatian dari Lokananta. Tiga belas persen featur rekaman-

rekaman (piringan hitam dan kaset) dengan gaya yang sangat

populer dilakukan oleh musisi terkenal nonistana dan non-RRI,

106Ibid., hlm. 14.

107Ibid., hlm. 15.


331

Nartosabdho. Musik yang disajikan oleh Nartosabdho sangat

populer dalam dua pengertian, yaitu sangat dikenal dan sangat

sukses secara komersial. Album-album rekamannya berisi feature-

feature inovatif dari berbagai daerah, tetapi akarnya berpijak

secara solid pada tradisi Surakarta. Tigabelas persen rekaman

yang lain disajikan oleh musisi dari Yogyakarta. Akan tetapi,

rekaman yang disajikan para musisi Yogyakarta kurang

menampilkan repertoar dan permainan gamelan gaya istana yang

“klasik” dari Keraton Yogyakarta, karena rekaman-rekaman itu

menyajikan gaya RRI Yogyakarta yang telah banyak dipengaruhi

oleh praktik karawitan gaya Surakarta.108 Hal ini dapat dipahami,

karena para pimpinan karawitan RRI Yogyakarta pada saat itu,

Tjokrowarsito yang kemudian digantikan oleh muridnya, Mujiono

dan Suhardi adalah seniman-seniman yang dalam perjalanan

kariernya banyak mempelajari karawitan gaya Surakarta.109 Di

sini tampak sekali, bahwa kebijakan Lokananta menghindari gaya

istana dan menggunakan gaya RRI yang masih konservatif,

didasari oleh pertimbangan, bahwa gaya itu lebih dapat diterima

oleh publik. Sementara itu, gaya Semarangan yang memiliki

108Ibid..

109Kriswanto,Dominasi Karawitan Gaya Surakarta di Daerah


Istimewa Yogyakarta (Surakarta:ISI Press Solo, 2008), hlm. 58-
63.
332

domain terbatas baik secara geografis maupun repertoar,

direpresentasikan dalam dua persen rekaman.

Sejak diperkenalkan kaset, teater Jawa telah menjadi lebih

menonjol dalam produksi rekaman Lokananta. Produksi rekaman

teater Jawa mengalami kenaikan dari 26 persen di era piringan

hitam menjadi 38 persen pada era kaset. Hal ini diduga berkaitan

dengan masalah teknis yang berkaitan dengan harga yang lebih

murah dan lama jam kapasitas rekaman. Atas dasar pertimbangan

itu, kaset tampak lebih cocok daripada piringan hitam untuk

merekam pertunjukan teater Jawa yang membutuhkan waktu

lama. Sebagai contoh pertunjukan wayang kulit purwa semalam

suntuk dapat direkam pada delapan kaset dengan harga jual lebih

murah daripada direkam pada piringan hitam.110

Dalam kelompok genre teater -- bentuk-bentuk utama yang

direkam adalah wayang kulit (60 persen dari kaset teater Jawa

Tengah), wayang wong (20 persen), dan kethoprak (13 persen).

Namun demikian, secara kuantitatif Lokananta memproduksi

sangat sedikit rekaman teater Jawa Tengah dibandingkan dengan

perusahaan lain yang ada di Jawa Tengah. Ketika Lokananta telah

mencetak hanya tujuh pertunjukan wayang kulit purwa semalam

suntuk; suatu perusahaan rekaman swasta telah mencetak 30

110Yampolsky, op. cit., hlm. 15 dan 17.


333

pertunjukan; dua perusahaan rekaman yang lain telah mencetak

antara 50 sampai 75 pertunjukan; dan dua perusahaan rekaman

lainnya telah merekam 75-100 pertunjukan; yang masing-masing

membutuhkan tujuh sampai delapan kaset setiap lakon.

Perusahaan-perusahaan rekaman lain juga memproduksi rekaman

kethoprak dengan jumlah yang lebih banyak daripada rekaman

kethoprak produksi Lokananta. Lokananta hanya unggul pada

rekaman wayang wong; jenis teater lama yang jarang dicetak oleh

perusahaan-perusahaan lain, yaitu sebanyak 12 judul rekaman.111

Yampolsky tidak menyebut nama-nama perusahaan rekaman

yang memiliki keunggulan kuantitatif dalam rekaman wayang

kulit purwa dan kethoprak daripada Lokananta. Namun demikian,

dapat dipastikan bahwa beberapa perusahaan rekaman di Jawa

Tengah itu antara lain Kusuma Recording (Klaten), Fajar Recording

(Semarang), Ira Record (sebelumnya Wisanda, berkantor di Jakarta

dan studio di Semarang), dan Dahlia Recording (Semarang).

Menurut pengalaman penulis, keempat perusahaan itulah yang

banyak melakukan rekaman seni pertunjukan tradisi Jawa dan

produksi kasetnya banyak beredar di toko-toko kaset di berbagai

kota pada dasawarsa 1970an sampai dengan dasawarsa 1980an.

Sebagai bukti, dari 1979 sampai dengan 1985 tiga dari empat

111Ibid., hlm. 17.


334

perusahaan rekaman itu paling tidak telah melakukan rekaman

studio sebanyak 31 pergelaran wayang kulit purwa dengan

dhalang Nartosabdho, dengan rincian: Kusuma Recording

sebanyak 15 lakon (1979), Dahlia Recording tujuh lakon (1980),

Fajar Recording empat lakon (1983), dan Dahlia Recording lima

lakon (1985).112

Menurut penulis, secara kualitatif hasil rekaman musik dan

teater Jawa Tengah produksi Lokananta tampak lebih bagus,

jernih, jelas, dan bersih daripada hasil rekaman perusahaan-

perusahaan swasta di Jawa Tengah yang bergelut dalam bidang

industri rekaman musik dan teater Jawa Tengah. Hasil rekaman

produksi Lokananta lebih mampu menghadirkan suara gamelan

seperti dalam suatu sajian karawitan secara hidup (live).

Dalam hal gaya pertunjukan, posisi dominan dalam rekaman

musik dan teater Jawa Tengah ditempati oleh gaya Surakarta dan

gaya Nartosabdho yang lebih eklektik dengan dasar gaya

Surakarta. Dalam era kaset, penyaji seperti Nartosabdho tidak

berafiliasi dengan RRI, dan ia lebih terkemuka daripada kelompok-

kelompok yang mencantelkan ke stasiun-stasiun RRI.

Sampul kaset produksi Lokananta juga banyak yang

berasosiasi pada budaya Jawa Surakarta. Walaupun kaset-kaset

112Suparno, op. cit., hlm. 71.


335

Lokananta tidak hanya berisi gendhing-gendhing gaya Surakarta,

citra yang dapat ditangkap bahwa sampul-sampul itu

merepresentasikan budaya Jawa Surakarta. Hal ini dapat

diidentifikasi dari pakaian yang dikenakan oleh para seniman

Jawa yang mencakup penari dan niyaga, gamelan, dan gambar

latar yang digunakan. Untuk sampul kaset-kaset klenengan

seniman mengenakan pakaian Jawa yaitu beskap dan blangkon.

Foto instrumen gamelan yang dijadikan sampul kaset antara lain

bonang, rebab, gendèr, kendhang, kenong, dan gong yang apabila

ditinjau dari bentuk rancakan, motif ukiran, dan bentuk bilah

ricikan-nya merupakan gamelan gaya Surakarta.

Indikasi lain dari adanya asosiasi kepada budaya Jawa

Surakarta adalah penampilan foto tempat-tempat yang dikenal

oleh masyarakat dan menjadi pusat kebudayaan Jawa, yaitu

pendapa utama Pura Mangkunagaran, latar Keraton Surakarta,

dan gapura memasuki Alun-alun utara Keraton Surakarta.113 Satu

indikasi yang merupakan kecenderungan “baru” dalam sampul

kaset produksi Lokananta adalah penyajian buku yang

menampilkan nuansa budaya Jawa (Surakarta), yaitu foto buku

Serat Wedhatama karya Mangkunagara IV yang menjadi sampul

dari produksi Lokananta yang berjudul Serat Wedhatama.

113Sutton, op. cit., hlm. 213-214.


336

Gambar 4.7
Sampul Kaset Produksi Lokananta
(Sumber: Koleksi Dhanang Respati Puguh)

Gambar 4.8
Sampul Kaset Produksi Lokananta
(Sumber: Koleksi Dhanang Respati Puguh)
337

Gambar 4.9
Sampul Kaset Serat Wedhatama Produksi Lokananta
(Sumber: Koleksi Dhanang Respati Puguh)

Selama di bawah pimpinan Soedarsono Soerjodarmodjo,

Lokananta telah mencapai kemajuan-kemajuan yang cukup

berarti dalam melestarikan, mengembangkan, dan menyebarluas-

kan seni budaya daerah, khususnya musik dan teater Jawa

Surakarta melalui rekaman kaset.114 Salah satu buktinya adalah

siaran-siaran gendhing Jawa Surakarta banyak dipancarkan oleh

radio-radio swasta di Jakarta. Bahan-bahan siaran kebanyakan

114“Sambutan Sekretaris Jenderal Departemen Penerangan RI


pada Upacara Serah Terima, Sumpah Jabatan dan Pelantikan
Direktur Utama PN. Lokananta, Surakarta, Agustus 1998” (Arsip
Lokananta Surakarta), hlm. 1.
338

berasal dari kaset-kaset gendhing Jawa produksi Lokananta.

Menurut Amin Sutejo dalam Harian Kompas, acara siaran

gendhing-gendhing Jawa itu memiliki banyak penggemar. Mereka

adalah orang-orang Jawa yang tinggal di Jakarta. Berdasar “call”

yang diucapkan oleh para penyiar, para penggemar itu meliputi

seluruh lapisan masyarakat dari golongan atas sampai bawah,

yang terdiri atas jenderal, bekas diplomat, dokter, sarjana hukum,

notaris, pegawai bea cukai, pegawai Perusahaan Negara Kereta

Api, sopir bemo, bahkan orang asing.115

Kaset musik dan teater Jawa Surakarta selain banyak

dikonsumsi oleh para penggemar dan pecinta kebudayaan Jawa,

juga dijadikan sebagai sumber pembelajaran bagi mereka yang

ingin mempelajari karawitan Jawa. Sebagai contoh, kaset produksi

Lokananta khususnya album-album rekaman gendhing karya

Nartosabdho yang disajikan oleh Paguyuban Karawitan Jawi

Condhong Raos dijadikan sebagai salah satu acuan dalam garap

gendhing-gendhing Nartosabdhan oleh perkumpulan-perkumpulan

karawitan di berbagai daerah. Di Semarang album-album rekaman

itu juga menjadi sumber pembelajaran bagi sebuah perkumpulan

karawitan dengan nama Paguyuban Seni Tradisional (Pagsentra)

Mahasiswa yang didirikan pada 1984. Bersama dengan beberapa

115“Siaran-siaranGendhing Jawa Laris”, Jaya Baya, No. 21/


XXVII, 28 Januari 1973, hlm. 31.
339

anggota perkumpulan itu, penulis mempelajari garap gendhing

gagrag Nartosabdhan khususnya dalam permainan kendhang-nya

melalui kaset-kaset produksi Lokananta.

Kaset musik dan teater Jawa Surakarta juga banyak dibeli

oleh persewaan-persewaan sound system khususnya untuk kaset

gendhing-gendhing pahargyan. Persewaan sound system yang

tidak dilengkapi dengan kaset-kaset gendhing pahargyan kurang

laku di masyarakat. Persewaan sound system terutama di desa-

desa tidak hanya bersaing dalam kecanggihan peralatan, tetapi

juga dalam kelengkapan koleksi-koleksi kasetnya. Pada awal

dasawarsa 1970an sampai pertengahan dasawarsa 1980an seni

pertunjukan tradisi Jawa masih merupakan pilihan utama bagi

masyarakat Jawa Tengah untuk mengisi berbagai acara. Oleh

karena itu, alunan gendhing-gendhing Jawa, langgam Jawa,

wayang wong, dan wayang kulit purwa yang disajikan oleh dua

dhalang kondhang Nartosabdho dan Anom Suroto menjadi menu

utama dan selalu menghiasi acara-acara hajatan yang

diselenggarakan oleh masyarakat Jawa Tengah.116 Bahkan,

menurut Nartosabdho, kaset-kaset rekaman wayang kulit purwa

116Waridi, Karawitan Jawa Masa Pemerintahan PB X:


Perspektif Historis dan Teoretis (Surakarta: ISI Press, 2006), hlm.
99.
340

berperan dalam penyebarluasan seni pedhalangan dan

pewayangan ke seluruh pelosok tanah air.117

Kaset gendhing-gendhing beksan Lokananta terutama untuk

komposisi tari yang disusun oleh Ngaliman (lahir 1919, meninggal

1998) dan Maridi (lahir 1932, meninggal 2005) juga banyak

digunakan untuk pelatihan tari di sanggar-sanggar di Jawa

Tengah. Berdasar pengalaman penulis, gendhing-gendhing beksan

untuk mengiringi tari Gambyong, Bondhan, Prawira Watang, dan

Karonsih banyak dimanfaatkan dalam pelatihan tari di sanggar-

sanggar di Semarang. Selain itu, seiring dengan kemunculan dan

perkembangan sanggar-sanggar tari di Jakarta yang mayoritas

memberikan materi pelatihan tari gaya Surakarta,118 rekaman-

rekaman gendhing beksan produksi Lokananta juga banyak

digunakan dalam kegiatan pelatihan tari di sanggar-sanggar

tersebut. Sebagian masyarakat juga menggunakan kaset gendhing-

gendhing beksan itu dalam berbagai acara pertunjukan tari yang

tidak menggunakan iringan gamelan secara langsung (live),

misalnya pada acara pesta perkawinan, peringatan Hari

117S. Haryanto, Pratiwimba Adiluhung: Sejarah dan


Perkembangan Wayang (Jakarta: Djambatan, 1988), hlm. 182.

118Rini Widiastuti, Menapak Jejak S. Kardjono (Jakarta -


Yogyakarta: Surya Kirana dan Aksara Indonesia, 2007), hlm. 12
dan 24.
341

Kemerdekaan Indonesia, pentas seni dan pelepasan para lulusan

di sekolah-sekolah.

Gambar 4.10
Sampul Kaset Gendhing Pahargyan dan Gendhing Beksan
Produksi Lokananta (Sumber: Koleksi Dhanang Respati Puguh)

Penyebarluasan kaset musik dan teater Jawa Tengah

produksi Lokananta ke berbagai penjuru menjadikan perusahaan

rekaman ini dikenal oleh masyarakat sebagai Pabrik Gendhing.119

Beberapa kalangan menilai bahwa keberadaan kaset-kaset

rekaman seni pertunjukan tradisi Jawa dapat meningkatkan

119Wawancara dengan R. Iman Muhadi pada 16 Februari


2011.
342

apresiasi masyarakat terhadap kesenian Jawa dan memiliki nilai

dokumentatif yang penting.120 Melalui kaset-kaset produksi

Lokananta kekayaan warisan budaya Jawa Surakarta dapat

terdokumentasi dan terselamatkan yang di kemudian hari dapat

dimanfaatkan sebagai bahan studi khususnya dalam bidang seni

pertunjukan.

4. Kemunduran Produksi Rekaman

Berdasar pada daftar kaset yang diterbitkan oleh Perum

Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) dan sampul kaset

yang berhasil dikumpulkan oleh penulis dapat diketahui bahwa

selama periode 1985-1990an Lokananta melakukan produksi dan

reproduksi rekaman kaset. Dari segi kuantitas – jumlah produksi

dan reproduksi rekaman itu mengalami penurunan yang drastis

apabila dibandingkan dengan produksi pada era-era sebelumnya.

Menurut penulis, ada tiga faktor penyebab kemunduran

produksi rekaman Lokananta. Pertama, kekalahan persaingan

dengan perusahaan-perusahaan rekaman swasta. Sejak menarik

diri dari produksi rekaman Musik Nasional pada era pita kaset,

Lokananta semakin tidak mampu bersaing dengan perusahaan-

perusahaan rekaman di Jakarta yang memang banyak

120“Rekaman Kesenian ing Pita Kaset”, Mekar Sari, No. 11


Taun XIX, 1 Agustus 1975, hlm. 3.
343

memberikan perhatian pada jenis musik ini. Apabila Lokananta

ingin kembali memberikan perhatian pada jenis Musik Nasional, ia

sudah sangat terlambat karena telah kehilangan pangsa pasar dan

tertinggal dalam teknologi peralatan rekaman. Kedua, stagnasi

atau penurunan permintaan pasar terhadap rekaman musik dan

teater Jawa Tengah. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh

kehadiran musik campursari dan solo organ sebagai hiburan yang

menggantikan rekaman gendhing-gendhing Jawa dalam berbagai

acara perhelatan yang dilakukan oleh keluarga Jawa. Dengan

demikian, kebutuhan rekaman musik dan teater Jawa Tengah

telah dapat dipenuhi oleh rekaman musik dan teater Jawa Tengah

yang telah diproduksi pada era piringan hitam dan era pita kaset.

Hal ini dibuktikan dengan fakta, bahwa Lokananta banyak

melakukan reproduksi rekaman-rekaman yang telah dilakukan.

Ketiga, berkaitan dengan faktor kedua, yaitu ketidakmampuan

menghasilkan rekaman gendhing-gendhing Jawa populer yang

baru. Sejak Nartosabdho meninggal dunia pada 1985, tampaknya

belum ada seniman Jawa yang seproduktif dan seinovatif dia

dalam menghasilkan karya-karya gendhing yang populer dalam

arti dikenal oleh masyarakat luas dan sukses secara komersial

bagi sebuah perusahaan rekaman. Seperti diketahui bahwa gaya

Nartosabdhan yang lebih eklektik dengan dasar gaya Surakarta

merupakan salah satu gaya yang menduduki posisi dominan dan


344

sangat populer dalam rekaman-rekaman produksi Lokananta.

Dengan kata lain, Lokananta tidak mampu menghasilkan rekaman

gendhing-gendhing Jawa populer yang disukai oleh masyarakat

luas.

Produksi kaset Lokananta dalam periode ini sebagian

merupakan hasil rekaman yang dilakukan pada era kaset yang

belum dicetak sampai dengan 1985 dan merupakan produksi baru

dalam periode 1985-1990. Produksi rekaman seni pertunjukan

Jawa mencakup karawitan (klenèngan, siteran, cokèkan, palaran,

jineman, dan dolanan), tari (gendhing beksan dan tayuban), dan

teater (kethoprak, gara-gara/dhagelan, dan wayang kulit purwa).

Dari 22 album rekaman karawitan yang diproduksi dan

direproduksi, 10 album merupakan rekaman karawitan yang

dilakukan oleh kelompok karawitan RRI Surakarta. Sisanya

dilakukan oleh kelompok Ngripto Raras, Seni Jawa Studio Jakarta,

Seni Jawa Studio Yogyakarta, Raras Irama, Krida Irama, Ngesti

Budaya, ASKI Surakarta, dan Maridi Budaya.121 Dengan

121Keluarga Karawitan RRI Surakarta, Bantheng Wareng


(Surakarta: Lokananta ACD 212); Ngripto Raras, Kasmaran 3
(Surakarta: Lokananta ACD 213); Karawitan Studio RRI Surakarta,
Mijil Sulastri (Surakarta: Lokananta ACD 235); Karawitan Studio
RRI Surakarta, Ranumanggala (Surakarta: Lokananta ACD 236).
Karawitan Studio RRI Surakarta, Kasmaran 4 (Surakarta: ACD
237).Karawitan Studio RRI Surakarta, Kasmaran 4 (Surakarta:
ACD 254); Karawitan Studio RRI Surakarta, Kasmaran 4
(Surakarta: ACD 255); Seni Jawa Studio Jakarta, Ayun-ayun
(Surakarta: Lokananta ACD 267); Kesenian Jawa Studio
345

mencermati judul dan susunan gendhing-gendhing yang terdapat

dalam sampul kaset tampak bahwa gendhing-gendhing yang

disajikan merupakan gendhing klasik dan populer.

Album iringan tari Jawa (gendhing beksan) yang direkam

sebanyak tujuh buah, yaitu Jenthayu,122 Jemparingan,123 Roro

Wilis,124 Ronggeng Parung,125 Gema Nusantara,126 Golek

Yogyakarta, Gambir Sawit Sembung Gilang (Surakarta: Lokananta


ACD 268); Paguyuban Raras Irama, Solo Berseri (Surakarta:
Lokananta ACD 273); Paguyuban Krida Wirama, Kembang Gayam
(Lokananta ACD 269); Paguyuban Krida Wirama, Ladrang Pangkur
Kethoprakan (Surakarta: Lokananta ACD 270); Keluarga Karawitan
Studio RRI Surakarta, Palaran Gobyok 8 (Surakarta: Lokananta
ACD 238);Kesenian Jawa RRI Nusantara II Yogyakarta, Palaran
Gobyok 9 (Surakarta: Lokananta ACD 260); Kesenian Jawa RRI
Nusantara II Yogyakarta, Palaran Gobyok 10 (Surakarta:
Lokananta ACD 262); Karawitan Ngesti Budhaya, Palaran
Nyamleng 1-4 (Surakarta: Lokananta ACD 263-266); Karawitan
RRI Surakarta, Aneka Palaran Vol. 1 (Surakarta: Lokananta ACD
271); Karawitan RRI Surakarta, Aneka Palaran Vol. 2 (Surakarta:
Lokananta ACD 272); Keluarga ASKI Surakarta, Jineman Kreteg
Ciut (Surakarta: Lokananta ACD 239); Keluarga ASKI Surakarta,
Jineman Tulis Kresna (Surakarta: Lokananta ACD 240); dan Maridi
Budaya Surakarta, Padhang Bulan (Surakarta: Lokananta ACD
252).

122ASKI/TBS Surakarta, Jenthayu (Surakarta: Lokananta ACD


222).

123ASKI/TBS Surakarta, Jemparingan (Surakarta: Lokananta


ACD 224).

124Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardjo, Roro Wilis


(Surakarta: Lokananta ACD 245).

125Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardjo, Ronggeng Parung


(Surakarta: Lokananta ACD 246).
346

Mugirahayu,127 dan Tayub Royal.128 Kecuali album Roro Wilis,

Ronggeng Parung, dan Gema Nusantara yang merupakan album

iringan tari kreasi baru karya Bagong Kussudiardjo, keempat

album yang lain merupakan album rekaman gendhing beksan

yang bersumber dari tari tradisi gaya Surakarta. Sementara itu,

album teater meliputi kethoprak,129 gara-gara/dhagelan,130 dan

wayang kulit purwa.131

Lokananta juga merekam gendhing-gendhing dari daerah lain

yang menonjolkan warna lokal sebagai identitas budaya

126Pusat
Latihan Tari Bagong Kussudiardjo, Gema Nusantara
(Surakarta: Lokananta ACD 247).

127Maridi
Budaya Surakarta, Golek Mugirahayu (Surakarta:
Lokananta ACD 253).

128Krida
Irama, Tayub Royal (Gaya Sala) (Surakarta:
Lokananta ACD 275).

129Kethoprak
Mataram Sapta Mandala Kodam IV Diponegoro,
Patih Nambi Gugur (Surakarta: Lokananta ACD 256); Kethoprak
Mataram Sapta Mandala Kodam IV Diponegoro, Geger Wilwatikta
(Surakarta: Lokananta ACD 257); Kethoprak Mataram Sapta
Mandala Kodam IV Diponegoro, Bekel Dipa Winisuda (Surakarta:
Lokananta ACD 258); dan Kethoprak Mataram Sapta Mandala
Kodam IV Diponegoro, Sumpah Palapa (Surakarta: Lokananta ACD
259).

130Kesenian
Jawa Studio RRI Nusantara II Yogyakarta, ACD
261 Sinom Jenggleng (Surakarta: Lokananta ACD 261).

130Raras Irama, Gara-gara (Surakarta: Lokananta ACD 274)

131KiManteb Soedarsono, Prabu Sumilih (Surakarta:


Lokananta ACD 232) dan Ki Manteb Soedarsono, Bima Suci
(Surakarta: Lokananta ACD 281).
347

daerahnya, yang meliputi Sragènan,132 Banyumasan,133 Jawa

Timuran (Surabayan,134 Lumajangan,135 Tubanan,136

Banyuwangèn),137 dan Bali.138

132Karawitan Trima Lowung, Goyang Sragen (Surakarta:


Lokananta ACD 278); Karawitan Trima Lowung, Geyong Kenthil
(Surakarta: Lokananta ACD 279); Karawitan Trima Lowung,
Sragen Asri (Surakarta: Lokananta ACD 280).

133Paguyuban Purba Kencana, Jalak Pita Banyumasan


(Surakarta: Lokananta ACD 227); Paguyuban Purba Kencana, Tari
Pasihan (Surakarta: Lokananta ACD 228); Paguyuban Purba
Kencana, Malang Dhei Calung (Surakarta: Lokananta ACD 229);
Paguyuban Purba Kencana, Kulu-kulu Banyumasan (Surakarta:
Lokananta ACD 230); dan Paguyuban Purba Kencana, Blenderan
Calung (Surakarta: Lokananta ACD 231).

134Sidik dkk., Jula-juli Kentrungan (Surakarta: Lokananta ACD


220); Sidik dkk., Kepatil Iwak Lele (Surakarta: Lokananta ACD
221); Paguyuban Karawitan Semanggi, Jula-juli Kembang Lambe
(Surakarta: Lokananta ACD 248).

135Paguyuban Karawitan Semanggi, Dril Dor Lumajang


(Surakarta: Lokananta ACD 249); Paguyuban Karawitan Semanggi,
Gagahan Sempayung (Surakarta: Lokananta ACD 250); Paguyuban
Karawitan Semanggi, Olang Aling (Surakarta: Lokananta ACD
251); dan Paguyuban Ngesti Laras, Retting (Surakarta: Lokananta
ACD 276).

136Karawitan Sekati Laras Tuban, Pahlawan Ranggalawe


(Surakarta: Lokananta ACD 241); Karawitan Sekati Laras Tuban,
Aku Cocok (Surakarta: Lokananta ACD 242); Karawitan Sekati
Laras Tuban, Kembang Kangkung (Surakarta: Lokananta ACD
243); Karawitan Sekati Laras Tuban, Aku Seneng (Surakarta:
Lokananta ACD 244).

137Gandrung Sugiati – Atun Hanipah, Keok-keok: Gandrung


Blambangan Vol. 1 (Surakarta: Lokananta ACD 216); Gandrung
Sugiati – Atun Hanipah, Ketemu Maning: Gandrung Blambangan
Kreasi Baru Vol. 2 (Surakarta: Lokananta ACD 217); Gandrung
Sugiati – Atun Hanipah, Manasi Ati Gandrung Blambangan Vol. 2
348

Lokananta juga masih memproduksi rekaman musik yang

dikategorikan sebagai Musik Nasional meliputi musik keroncong,

Melayu, gambus, dan qasidah walaupun dengan jumlah yang

sangat sedikit. Beberapa album itu adalah Fajar Pagi dan

Indonesia Jelita (keroncong); Keagungan Tuhan dan Menanti

Musafir (Melayu); Maulud Nabi (gambus); dan Magadir (qasidah).139

Reproduksi antara lain dilakukan dengan mencetak kembali

produksi-produksi rekaman periode sebelumnya (era piringan

hitam dan kaset) dan atau mengombinasikan gendhing-gendhing

dari berbagai album menjadi album baru dalam bentuk kaset atau

compact disc. Album baru itu menggunakan label Lokananta atau

bekerja sama dengan perusahaan rekaman lain. Contoh

reproduksi dengan melakukan kombinasi gendhing dari berbagai

album menghasilkan album baru dengan bekerja sama dengan

perusahaan rekaman lain adalah album berjudul Gendhing-

gendhing Karya Ki Nartosabdho Vol. 1 dan Gendhing-gendhing

karya Ki Nartosabdho Vol. 3 yang dicetak kembali bersama Dian

(Surakarta: Lokananta ACD 218); Blambangan Group, Kendhang


Kempul: Jamilah (Surakarta: Lokananta ACD 225); dan
Blambangan Group, Kendhang Kempul: Tari Kejang (Surakarta:
Lokananta ACD 226).

138ASKI/TBS, Bajra Danta: Gendhing & Tari Bali Klasik –


Kreasi (Surakarta: Lokananta ACD 223).

139Daftar Kaset Lokananta (Surakarta: Perum PNRI Cabang


Surakarta, t.t.).
349

Record.140 Gendhing-gendhing karya Ki Nartosabdho Vol. 3

merupakan gabungan dari sebagian gendhing yang terdapat pada

dua album produksi Lokananta berjudul Jungkeri141 dan

Gendhing-gendhing Karya Ki Nartosabdho: Lumbung Desa.142

Tidak berbeda dengan era sebelumnya, rekaman-rekaman

produksi Lokananta pada periode ini juga masih didominasi oleh

seni pertunjukan Jawa Surakarta, dari yang berjenis klasik

sampai dengan populer. Berdasar fakta-fakta itu dapat

dikemukakan bahwa seni pertunjukan Jawa Surakarta masih

mendominasi produksi rekaman Lokananta pada masa

kemundurannya. Rekaman-rekaman gendhing Jawa produksi

Lokananta masih dapat dijumpai di toko-toko kaset dan compact

disc di Surakarta dan Semarang hingga sekarang.

140Paguyuban Karawitan Condhong Raos, Gendhing-


gendhing Karya Ki Nartosabdho Vol. 1: Setya Tuhu, Bribil,
Santimulya (Lokananta – Dian Record 9604 LD) dan Paguyuban
Karawitan Condhong Raos, Gendhing-gendhing Karya Ki
Nartosabdho Vol. 3: Aja Lamis, Randha Nunut Banyumasan, Glopa-
glape (Lokananta – Dian Record 9604 LD).

141Paguyuban Karawitan „Condong Raos”, Jungkeri


(Surakarta: Lokananta ACD 052) untuk gendhing Jungkeri,
Gandrung Binangun, Dara Muluk, dan Ela-ela Gandrung
Semarangan.

142Paguyuban Karawitan Jawi „Condong Raos‟, Gendhing-


gendhing Karya Ki Nartosabdho: Lumbung Desa (Surakarta:
Lokananta ACD 127) untuk gendhing lelagon Aja Lamis, Glopa-
glape, dan Mbok Ya Mesem.
350

Foto 4.11
Sampul Kaset Reproduksi Lokananta dengan Dian Record
(Sumber: Koleksi Dhanang Respati Puguh)

Berdasar pada produksi rekaman musiknya, Lokananta

menunjukkan perkembangan yang sesuai dengan tujuan

pendiriannya. Lembaga kebudayaan ini juga telah berhasil

menyebarluaskan berbagai jenis musik yang berkembang di

Indonesia. Namun dalam perkembangannya, berdasar pada

pertimbangan komersial Lokananta lebih memfokuskan pada

produksi dan penyebarluasan rekaman musik dan teater Jawa

Tengah yang didominasi oleh musik dan teater Jawa Surakarta.

Dalam konteks ini Lokananta telah memberikan ruang kepada

para seniman Jawa untuk berekspresi, berkreasi, dan


351

menyebarluaskan seni pertunjukan Jawa Surakarta melalui

piringan hitam dan kaset. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa Lokananta telah berperan dalam pelestarian,

pengembangan, dan penyebarluasan kebudayaan Jawa Surakarta.

C. Penerbitan Berbahasa Jawa: Media Penyebarluasan Seni

Pertunjukan Jawa Surakarta

Perkembangan dan penyebarluasan seni pertunjukan Jawa

Surakarta ditopang oleh keberadaan penerbitan berbahasa Jawa

baik berbentuk majalah, surat kabar, maupun buku yang

memberikan perhatian dalam bidang seni pedhalangan,

karawitan, dan tari. Berbeda dari siaran RRI Surakarta, rekaman

piringan hitam dan kaset produksi Lokananta yang dapat

dinikmati golongan literasi dan iliterasi, penerbitan berbahasa

Jawa ini ditujukan kepada khalayak yang lebih khusus, yaitu

golongan literasi saja.

1. Pers: Majalah dan Surat Kabar

a. Mahabharata Kawedar

Mahabharata Kawedar diterbitkan kali pertama oleh Sutarto

Hardjowahono, sekretaris Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada


352

Januari 1936 di Timuran Surakarta.143 Kemunculan penerbitan ini

merupakan respon dari penulisnya terhadap keinginan para

pendengar SRV agar materi-materi siaran tentang isi buku

Mahabharata yang disajikan oleh Sutarto Hardjowahono di SRV

dituliskan menjadi buku dan disebarluaskan kepada anggota SRV

dan masyarakat luas. Hal ini perlu dilakukan karena isinya

dianggap bermanfaat bagi kehidupan masyarakat pada saat itu

dan dapat menjadi warisan bagi masyarakat generasi berikutnya.

Penulisan buku itu sekaligus merupakan upaya untuk

meningkatkan kemajuan kebudayaan yang menjadi identitas dan

tolok ukur bagi keluhuran derajat suatu bangsa.144

Mahabharata Kawedar dengan format buku ini terbit setiap

bulan dengan menggunakan bahasa Jawa beraksara Latin. Isinya

khusus tentang cerita wayang dari Mahabharata dengan tafsiran

dan keterangannya. Majalah bulanan ini sangat laku di pasaran,

maka mendorong penulisnya untuk menerbitkan secara

bersamaan Mahabharata Kawedar berbahasa dan beraksara Jawa

dan Mahabharata Kawedar berbahasa Indonesia. Pada zaman

pendudukan balatentara Jepang di Surakarta, Mahabharata

143Samsudjin Probohardjono, Sejarah Pers dan Wartawan di


Surakarta (Surakarta, t.p. 1985), hlm. 95.

144Reshi Wahono, “Bubuka” dalam Mahabharata Kawedar:


Adhiparwa Djilid I (Surakarta: 1952, Cetakan II).
353

Kawedar terpaksa berhenti terbit, tetapi sesudah Indonesia

merdeka, pada Oktober 1950 diterbitkan lagi lanjutannya. Dalam

penerbitan pada 1950 ini Soetarto Hardjawahono sudah berganti

nama menjadi Reshi Wahono, dan telah pindah rumah sekaligus

alamat penerbit, yaitu Beskalan 76 Mangkunagaran Surakarta.145

Menurut penulisnya, secara substansial tidak ada perbedaan

antara Mahabharata Kawedar yang terbit pada masa sebelum dan

sesudah kemerdekaan. Perubahan terjadi dalam hal kesusastraan

yang disesuaikan dengan perkembangan kesusastraan Jawa.

Mahabharata Kawedar ini hanya berusia enam tahun, karena

berhenti terbit pada 1956.146 Namun demikian, Mahabharata

Kawedar itu masih terus disosialisasikan kepada publik melalui

siaran RRI Surakarta. Dalam programa yang tertera dalam Berita

Radio, Soetarto Hardjawahono masih mendapatkan kesempatan

untuk mengulas tentang cerita Mahabharata melalui acara

Wedharan Mahabharata.147

145Probohardjono, op. cit., hlm. 96 dan Imam Samroni, dkk.,


Daerah Istimewa Surakarta: Wacana Pembentukan Propinsi Daerah
Istimewa Surakarta Ditinjau Dari Perspektif Historis, Sosiologis,
Filosofis, & Yuridis (Yogyakarta: Pura Pustaka, 2010), hlm. 204.

146Reshi Wahono, “Purwaka” dalam Mahabharata Kawedar:


Adhiparwa Djilid I (1952, Cetakan II).

147BeritaRadio, No. 306 Tahun XIII, 7 Desember-29 Desember


1958, hlm. 3-18.
354

Majalah ini dicetak dengan oplah sebanyak 3000 eksemplar

sebagaimana tertera pada sampulnya. Berdasar jumlah oplah,

dapat dikatakan bahwa majalah ini dilanggan oleh banyak orang

dan memiliki wilayah persebaran yang luas.

Salah seorang yang diduga pernah melanggan majalah ini

adalah Nartosabdho yang pada saat itu menjadi pengendhang,

pimpinan karawitan, dan kadang-kadang menggantikan sebagai

dhalang wayang wong Ngesthi Pandhawa Semarang. Di bawah

patron Sastrosabdho (pendiri dan pemilik wayang wong Ngesthi

Pandhawa; lahir 1893, meninggal 1966), ia didorong untuk

mendalami pedhalangan wayang kulit purwa. Sejak saat itu ia

mulai terpacu untuk menjadi dhalang wayang kulit purwa, yang

diawali dengan membaca buku pedoman pedhalangan (pakem)148

termasuk Mahabharata Kawedar. Hal ini dibuktikan dengan

banyaknya jumlah koleksi Mahabharata Kawedar yang dimiliknya.

Menurut Soetarno (lahir 1944), Mahabharata Kawedar

menjadi acuan untuk menyusun lakon wayang dan memiliki

pengaruh yang kuat pada para dhalang. Para dhalang yang sajian

lakonnya bersumber dari Mahabharata Kawedar antara lain

Wignyosutarno, abdi dalem Mangkunagaran pada masa

Mangkunagara VII yang laris sebagai dhalang pada 1951-1966,

148Bandingkan dengan Sumanto, op. cit., hlm. 30.


355

Nartosabdho yang laris pada 1958-1985, serta para dhalang yang

belajar di Pasinaon Dhalang Mangkunagaran.149

Gambar 4.12
Sampul Mahabharata Kawedar
(Sumber: Koleksi Dhanang Respati Puguh)

b. Pedalangan

Setahun setelah penerbitan Mahabharata Kawedar periode II, pada

1951 terbit majalah dengan nama Pedalangan. Pedalangan

diterbitkan oleh Himpunan Budaya Surakarta (HBS) berdasar izin

penerbitan No. 35/P.A.M./P.R./51. Majalah ini beralamat redaksi

149Soetarno,Wayang Kulit: Perubahan Makna Ritual dan


Hiburan (Surakarta: STSI Press, 2004), hlm. 16.
356

di Alun-alun Utara Surakarta. Majalah bulanan yang

mengkhususkan pada bidang seni pedhalangan gaya Surakarta ini

dipimpin oleh R. Samsudjin Probohardjono selaku pamong panitra

(pemimpin redaksi) dibantu oleh tokoh-tokoh dalam bidang dan

pecinta kebudayaan Jawa, yaitu Poerbotjaroko (lahir 1884,

meninggal 1964), Wongsonagoro, R. Soeharso, Sutjipto, Slamet

Muljono (lahir 1929, meninggal 1986), Handipaningrat,

Wignyosutarno, Wiradat, Sororeso, dan anggota Pakempalan

Padhalangan Surakarta.150

Pencermatan terhadap lima nomor penerbitan pada 1954

yang berhasil ditemukan, dapat dikemukakan bahwa majalah ini

berisi cerita wayang,151 silsilah tokoh-tokoh wayang,152 karakter

tokoh-tokoh wayang, pengetahuan praktik pedhalangan,153

gendhing-gendhing pakeliran, sulukan,154 dan pakem

150Pedalangan, Th. IV No. 4 1 April 1954.

151Contoh: “Cerita Rama Nitis”.

152Contoh: “Asal Silahipun Dewi Hanggendari, Ibunipun


Prabu Sujudana sarta para Kadang Sata Kurawa ing Astina” (Ki
Sastrosudarno, Dalang Wayang Tiyang Sriwidjaja Semarang).

153Contoh: “Kawruh Tjaking Andalang: Lampahan


Manonbawa”.

154Contoh:“Pathet Bimanyu kangge bedholan badhe


lampahipun Bambangan ingkang bokongan, ing sabibaripun
Perang Sekar”.
357

pedhalangan.155 Majalah ini juga dilengkapi dengan berita-berita

antara lain tentang kegiatan pergelaran wayang kulit purwa di

Surakarta, dan pariwara khususnya tentang kursus pedhalangan

yang diselenggarakan oleh HBS, dan penawaran peralatan seni

pedhalangan (wayang, gapit, dan lain-lain).

Tulisan-tulisan dalam Pedalangan berasal terutama dari

pengurus HBS bidang pedhalangan dan karawitan, antara lain

Samsudjin Probohardjono, Wiradat, dan Hartowikoro, serta

beberapa penulis dari luar HBS. Beberapa penulis dari luar HBS

antara lain Sastrosudarno (dhalang Perkumpulan Wayang Wong

Sriwidjaja Semarang), S. Brotohadisudarmo (Jawatan Penerangan

Provinsi Jawa Tengah di Semarang), dan Pudjoadisutikno (Kudus).

Selama empat tahun penerbitan (1951-1954), Pedalangan sudah

berhasil meningkatkan kualitas tampilan, isi, jumlah halaman,

oplag, dan persebarannya. Menurut redaksi, majalah ini memiliki

wilayah persebaran luas tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga

di luar negeri.156 Majalah ini telah berperan dalam penyebarluasan

seni pedhalangan gaya Surakarta. Sebagai bukti, dalam acara

155Contoh: “Pakem Padalangan: Lampahan Pedjahipun R.


Gatutkatja”.

156Pedalangan, Th. IV No. 4, 1 April 1954; Pedalangan, Th. IV


No. 5, Mei 1954; Pedalangan, Th. IV No. 6, Djuni 1954;
Pedalangan, Th. IV No. 7, Djuli 1954; dan Pedalangan, Th. IV No.
8, Agustus 1954.
358

silaturahim antara murid dengan guru di SGB Negeri I Kudus yang

diadakan pada malam Sabtu Kliwon 11/12 Djuni 1954 telah

diadakan pertunjukan wayang kulit purwa dengan lakon Rama

Nitis berdasar pada pakem lakon wayang kulit purwa yang telah

terbit dalam Pedalangan No. 5 Mei 1954. Bertindak sebagai

dhalang adalah Soedijono salah seorang guru SGB tersebut.157

“Pawartos Panitra” menyebutkan bahwa penerbitan majalah

Pedalangan dapat terwujud berkat peran serta dari berbagai pihak

yang telah menyumbangkan dana, tenaga, dan pikiran. Majalah

ini juga mendapatkan pembiayaan penerbitan dari Kementerian

Penerangan. Namun demikian, dengan adanya Surat Keputusan

Menteri Penerangan tertanggal 1 Maret 1954 bantuan pembiayaan

itu mengalami pengurangan. Melalui surat keputusan itu, Menteri

Penerangan telah mencabut Surat Keputusan tertanggal 25

Oktober 1952 dan 1 Februari 1954 tentang bantuan pembelian

kertas (restitusi) terhadap semua koran dan majalah usaha

nasional. Bantuan yang semula sebesar 60% menjadi 30%.

Walaupun sampai dengan penerbitan 1 April 1954 pengaruhnya

belum dirasakan, namun menurut redaksi pengurangan restitusi

pembelian kertas ini akan berdampak pada kelangsungan

penerbitan. Namun demikian, dalam kondisi apa pun redaksi

157Pedalangan, Th. IV No. 8 Agustus 1954, hlm. 14.


359

Pedalangan bertekad tetap bekerja keras bagi kemajuan seni

pedhalangan khususnya dan kebudayaan Jawa umumnya.158

c. Madjalah Padalangan Pandjangmas

Pada 1953 terbit Madjalah Padalangan Pandjangmas. Majalah ini

diterbitkan oleh Paguyuban Anggara Kasih di Yogyakarta dengan

alamat redaksi Ngadiwinatan No. 111/87 Yogyakarta. Nama

majalah ini diambil dari nama tokoh pasangan dhalang pada masa

Kerajaan Mataram, yaitu Ki dan Nyi Panjangmas. Sesuai dengan

nama penerbitnya, majalah ini terbit setiap Anggara Kasih (Selasa

Kliwon). Dalam “Muqoddimah” penerbitan perdana majalah ini

disebutkan, bahwa dalam hubungan dengan kedudukan

Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan, masyarakat Yogyakarta

berharap adanya kemajuan dalam kebudayaan khususnya seni

pedhalangan gaya Yogyakarta pada masa Indonesia merdeka.

Penerbitan majalah ini merupakan respon dari Paguyuban

Anggara Kasih terhadap keinginan masyarakat Yogyakarta

tersebut. Sebagaimana kehidupan majalah pada umumnya, untuk

memiliki Pandjangmas dapat dilakukan dengan cara berlangganan

dan pertukaran penerbitan. Majalah ini juga menerima pemuatan

iklan untuk kelangsungan penerbitannya. Untuk kontinuitas

158Pedalangan, Th. IV No. 4, 1 April 1954, hlm. 20-21.


360

penerbitan, redaksi mengharapkan bantuan dari para dhalang dan

ahli, karena dengan penerbitan ini “seni pedalangan dapat

berkembang mekar dengan keindahan yang tepat”.159

Majalah ini berisi rubrik-rubrik seperti pengetahuan

pedhalangan yang bersifat umum (sejarah di luar pakem dan

perkembangannya, pandangan dan kupasan, hubungannya

dengan mistik dan umum); pengetahuan pedhalangan yang

bersifat teknik: raras (gendhing, sulukan, dan keprakan);

kesusasteraan (kandha/carita, pocapan/antawecana), dan bahasa;

sejarah aluran/asal silah, gelar, dan lakon; pakeliran (tata krama,

cepengan sabetan, dan teori men-dhalang); dan lain-lain (hal

ikhwal pedhalangan yang lain, hak kewajiban dhalang, dan ruang

tanya jawab).160 Rubrik-rubrik itu disajikan dalam bahasa

Indonesia dan Jawa. Rubrik tentang pengetahuan pedhalangan

menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan rubrik tentang teknik

pedhalangan menggunakan bahasa Jawa. Hal ini dilakukan

dengan pertimbangan untuk kemudahan penyajian, mengingat

untuk teknik pedhalangan banyak menggunakan istilah

berbahasa Jawa, sehingga akan lebih mudah apabila disajikan

dalam bahasa Jawa.

159Pandjangmas, Th I No. 1, 6 Djanuari 1953, hlm. 3.

160Ibid..
361

Suatu hal yang menarik, walaupun majalah ini terbit di

Yogyakarta dan merupakan respon terhadap keinginan

masyarakat untuk mengembangkan kesenian Yogyakarta,

khususnya seni pedhalangan gaya Yogyakarta, majalah ini juga

menampilkan seni pedhalangan gaya Surakarta antara lain dalam

hal gendhing, lakon, dan sulukan dengan para penulis yaitu para

dhalang atau ahli pedhalangan dari Surakarta. Selain itu, majalah

ini kadang-kadang juga menampilkan perbandingan seni

pedhalangan gaya Yogyakarta dan Surakarta.

Beberapa nomor penerbitan Pandjangmas yang berhasil

ditemukan memberikan bukti-bukti terhadap hal tersebut. Dalam

Pandjangmas yang terbit pada 1953 terdapat gendhing-gendhing

pakeliran wayang kulit purwa gaya Surakarta, yaitu gendhing

patalon yang ditulis oleh Tj (inisial Tjendana (Najawirangka),161

gendhing jejer Karawitan cengkok Surakarta dan notasi gendhing

beserta keterangan garapannya untuk lakon Erangbaja (Dewi

Wara Srikandi Dados Ratu) gaya Surakarta yang ditulis oleh Ki

Kanda (Atmatjendana).162 Dalam nomor penerbitan pada tahun

yang sama juga terdapat Lampahan Partakrama Sokawati

(Wétan/Kadipatèn) yang menurut tradisi lisan berasal dari Nyai

161Pandjangmas, Th. I No. 2, 10 Pebruari 1953, hlm. 9-10.

162Pandjangmas, Th. I No. 5, 26 Mei 1953, hlm. 10-11 dan 16-


17.
362

Panjangmas garapan gaya Surakarta (dari Tj, Tjendana) yang

diringkas oleh K (Katidjo),163 Srimulih,164 dan sulukan (pathetan,

ada-ada, sendhon) yang disusun oleh Ki Kanda (Atmatjendana).165

Sementara itu, rubrik yang berisi perbandingan terdapat dalam

rubrik yang membahas lakon Pikukuhan yang disajikan berdasar

gaya Surakarta dan Yogyakarta,166 dan sulukan setelah Jejer

(adegan) yang juga disajikan dalam gaya Surakarta dan

Yogyakarta.167 Dalam Pandjangmas yang terbit pada 1956 dalam

beberapa nomor disajikan sulukan céngkok Surakarta yang dipetik

dari Serat Tuntunan Pedalangan yang disusun oleh Ki

Atmatjendana.168 Sementara itu, dalam beberapa nomor

penerbitan pada 1956 yang lain, selain menyajikan seni

pedhalangan gaya Yogyakarta, penulis menduga terdapat rubrik-

rubrik yang membicarakan seni pedhalangan gaya Surakarta

163Pandjangmas, Th. I No. 2, 10 Pebruari 1953, hlm. 16.

164Pandjangmas, Th. I No. 10, 17 Nopember 1953, hlm. 17.

165Pandjangmas, Th. I No. 8, 8 September 1953, hlm. 11-12.

166Pandjangmas, Th. I No. 9, 13 Oktober 1953, hlm. 16-18.

167Pandjangmas, Th. I No. 7, 4 Agustus 1953, hlm. 12.

168Pandjangmas,
Th. IV No. 1, 31 Djanuari 1956, hlm. 10;
Pandjangmas, Th. IV No. 3, 10 April 1956, hlm. 10; Pandjangmas,
Th. IV No. 8, 2 Oktober 1956, hlm. 10; dan Pandjangmas, Th. IV
No. 10, 11 Desember 1956, hlm. 10.
363

walaupun tidak disebut secara eksplisit.169

d. Dharma Kanda

Pada 1970an terbit dua koran mingguan berbahasa Jawa di

Surakarta, yaitu Dharma Kanda dan Parikesit. Dharma Kanda

didirikan oleh M.A. Tukidjo Martoatmodjo, H.S. Soemaryono, dan

Sismanto. Mingguan ini terbit berdasar surat izin terbit

Departemen Penerangan No. 0829/SK/Dir.PP/SIT, 17 Mei 1971.

Penerbitan koran mingguan ini dilatarbelakangi oleh adanya

kondisi bahwa pada awal 1970-an kebudayaan asing mulai

dengan bebas masuk ke Indonesia, yang sudah barang tentu akan

berpengaruh terhadap kebudayaan Indonesia, khususnya

kebudayaan Jawa. Dalam kehidupan masyarakat, khususnya

masyarakat Surakarta disinyalir kebudayaan Jawa telah

mengalami penurunan (luntur). Kondisi ini mendorong H.S.

Soemaryono dan kawan-kawannya untuk menggunakan bahasa

Jawa sebagai bahasa pengantar surat kabar mingguan yang

diterbitkannya. Penggunaan bahasa Jawa dalam surat kabar itu

dimaksudkan untuk melestarikan penggunaan bahasa Jawa di

kalangan masyarakat Surakarta.

169Lihat Pandjangmas Th. IV No. 4, 15 Mei 1956;


Pandjangmas, Th. IV No. 5, 19 Djuni 1956; Pandjangmas, Th. IV
No. 6, 24 Djuli 1956; Pandjangmas, Th. IV No. 7, 28 Agustus 1956.
364

Dengan mencermati penerbitan Dharma Kanda dari tahun

1972 sampai dengan 1985 dapat diketahui bahwa surat kabar

mingguan ini berisi rubrik-rubrik tentang kebudayaan Jawa,

antara lain: geguritan, cerita cekak, palintangan, primbon

pagedhongan, panabyadaya, saloka paribasan, kasepuhan,

padhalangan, serta bahasa dan sastra Jawa. Selain itu, surat

kabar mingguan ini juga banyak memuat berita tentang

kebudayaan Jawa. Rubrik-rubrik dan berita tentang kebudayaan

Jawa itu merupakan bukti komitmen dari redaksi untuk

mewujudkan visinya untuk menjunjung tinggi kebudayaan Jawa.

Sesuai dengan tekadnya untuk melestarikan budaya leluhur,

dalam penerbitannya Dharma Kanda juga memiliki perhatian

terhadap keberlangsungan eksistensi bahasa Jawa. Oleh karena

ada sinyalemen tentang penurunan kemampuan para generasi

muda dalam berbahasa Jawa, ia juga menampilkan rubrik tentang

bahasa Jawa. Dharma Kanda juga memperkirakan bahasa dan

huruf Jawa yang telah mulai dilupakan. Oleh karena itu, Menurut

Mardanus Sosrohadinegoro di Surakarta, harus didirikan sebuah

lembaga pembinaan kebudayaan dan sastra Jawa.170 Berdasar

sinyalemen dan perkiraan itu, kemudian Dharma Kanda

menyajikan rubrik tentang bahasa Jawa, yaitu tentang morfologi

170“Sepuluh Tahun Maneh Basa Jawa Ilang”, Dharma Kanda,


Rebo 8 Maret 1972, hlm. I dan IV.
365

bahasa Jawa,171 pembelajaran bahasa Jawa,172 dan pelajaran

menulis huruf Jawa.173

Selain memiliki perhatian pada eksistensi bahasa dan huruf

Jawa, Dharma Kanda juga memiliki perhatian pada budaya Jawa

pada umumnya khususnya tentang ritus-ritus peralihan dalam

masyarakat Jawa tradisional, seperti pernikahan174 dan

kehamilan,175 pusaka,176 dan upacara-upacara lainnya.177

Dalam kaitan dengan upaya-upaya untuk pelestarian

kebudayaan Jawa umumnya dan kebudayaan Jawa Surakarta

171Contoh:
“Ngrembug Morpologi Basa Jawa Sakeplasan”,
Dharma Kanda, Minggu I – Januari 1978, hlm. IV.

172Contoh: “Nyinau Basa Jawa Ing Mangsa Kapungkur, Wektu


Iki lan Prospek (Gambaran) Kahanan Tembe Buri”, Dharma Kanda,
Minggu V – Maret 1978, hlm. IV.

173Contoh: “Sinau Basa Jawa”, Dharma Kanda, Minggu I –


April 1985, hlm. III.

174Contoh:
Widya Sumarto, “Mahargya Dhauping Temanten”,
Dharma Kanda, Minggu I - Maret 1973, hlm. III.

175Contoh:“Slametan Bobot”, Dharma Kanda, Minggu I -


Maret 1973, hlm. III.

176Contoh: “Kyai Sengkelat”, Dharma Kanda, Minggu IV - April


1979, hlm. III.

177“Sasi
Sura Kebak Pitakon”, Dharma Kanda, Minggu I -
November 1982, hlm. I; “Pengetan Sekaten ing Surakarta”,
Dharma Kanda, Minggu I Maret 1973 hlm. I dan II dan Dharma
Kanda, Minggu I - Maret 1983, hlm. I dan II
366

khususnya, Dharma Kanda juga menampilkan rubrik tentang seni

pertunjukan Jawa yang meliputi wayang kulit purwa178 dan tari.179

e. Parikesit

Berdasar keterangan yang tertera pada penerbitannya, koran

mingguan Parikesit diterbitkan oleh Yayasan Parikesit berdasar

Surat Izin Terbit No. 0139/SK/DIR.JEN/SIT/72. Koran ini terbit

untuk kali pertama di Surakarta pada akhir November 1972 di

bawah pemimpin perusahaan Maktal Soeprapto. Sementara itu,

pada edisi Minggu Parikesit yang diterbitkan pada 1974 diperoleh

keterangan tentang susunan redaksi yang lebih lengkap, yaitu

Soemardi (pemimpin umum), Sunardi D.M. sebagai (pemimpin

redaksi), Busro Haryono (sekretaris redaksi), dan Suprapto M, Any

Asmara, Gunarso Ts, K. Hariyadi, Putu Pudiyatmo, Tedjosusastro,

dan Gunawan (anggota redaksi).

Dengan mencermati penerbitan-penerbitan pada 1972, 1973,

1974, 1978, 1979, 1981, dan 1988 dapat diketahui pemberitaan

dan rubrik yang terdapat di dalam Parikesit. Koran berbahasa

Jawa ini banyak memberitakan kegiatan-kegiatan budaya Jawa di

178Contoh: “Pawijatan Luhur Supaya Nggatekake Wayang


Kulit”, Dharma Kanda, Minggu I – Maret 1972, hlm. I.

179“Tari Bali lan Jawa”, Dharma Kanda, Minggu I – Maret


1985, hlm. III.
367

Surakarta, antara lain pergelaran wayang wong dan lomba

karawitan yang diselenggarakan oleh RRI Surakarta.180 Walaupun

tidak ada keterangan tentang alasan penggunaan bahasa Jawa

untuk penerbitannya, namun dapat diduga bahwa penggunaan

bahasa Jawa dan banyaknya pemberitaan serta rubrik

kebudayaan Jawa berkaitan dengan upaya-upaya untuk

melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta.

Pada awal penerbitan Parikesit di akhir 1972 tidak ada rubrik

khusus yang membicarakan tentang kebudayaan Jawa. Namun

telah ada rubrik cerita cekak, kesusastraan, dan pewayangan yang

disajikan pada bagian halaman yang terpisah. Dalam rubrik

pewayangan biasanya disajikan cerita wayang atau pembahasan

tentang seni pewayangan yang bersumber dari tradisi Surakarta.

Pada penerbitan 1973 koran mingguan ini mulai menampilkan

tulisan-tulisan tentang kebudayaan Jawa yang diwadahi dalam

rubrik Basa lan Budaya, Taman Wanita, Taman Madya, dan

Taman Bocah. Nama-nama rubrik itu juga ditulis dalam huruf

Jawa. Rubrik Basa lan Budaya ditujukan untuk pembaca orang

dewasa; Taman Wanita untuk pembaca perempuan; Taman Madya

180Contoh: “Pagelaran Wayang Wong: Ratna Budaya Sukses”,


Parikesit, 18 Februari, 1973, hlm. V; “Dwijarini Juara Karawitan”,
Parikesit, 29 April 1973, hlm. I.
368

untuk pembaca remaja; dan Taman Bocah untuk pembaca anak-

anak.

Rubrik Basa lan Budaya berisi Sejarah,181 Cerkak,182

Kasusastran,183 Kabudayan,184 Sinau Maca Aksara Jawa, Saloka

Paribasan,185 Geguritan,186 dan Wayang Purwa.187 Rubrik Taman

Wanita berisi tulisan-tulisan antara lain tentang tata krama, ngadi

salira, ngadi busana, tata cara pengantèn, paès, dan kebaya.188

Rubrik Taman Madya berisi tulisan tentang kehidupan remaja.189

Rubrik Taman Bocah berisi “Sinau Maca Jawa”,190 “Tembung”,

181Pada bagian ini sering disajikan tentang sejarah Surakarta,


misalnya: “Sejarah Adege Praja Mangkunagaran”, Parikesit, 8 Juli
1973.

182Contoh: “Pangeran Mahaasil”, Parikesit, 22 April 1973.

183Contoh:Sudarmo, “Wateking Tembang”, Parikesit 22 April


1973; dan Sudarmo, ”Tembang Macapat”, Parikesit, 29 April 1973.

184Contoh: Edy Basuki Ds, “Kabudayan Kita Cilaka?”,


Parikesit, 8 September 1974.

185Parikesit, 27 Mei 1973 dan 3 Juni 1973.

186Parikesit, 21 Januari 1973 dan 29 April 1973.

187Sebagai contoh: “Maharsi Drona”, Parikesit, 22 April 1973;


“Pendawa Pitu”, Parikesit, 15 Juli 1973; dan “Ramayana”,
Parikesit, 1 September 1974.

188Parikesit, 22 Juni 1973; 8 Juli 1973; dan 1 September


1974.

189Parikesit, 25 Agustus 1974.

190Parikesit, 6 Mei 1973 dan 12 Agustus 1973.


369

“Parikan”,191 “Wangsalan”,192 “Lagu Dolanan”, “Ayo Nembang”,193

“Cerita Wayang”,194 “Geguritan”,195 dan “Ayo Ajar Ngarang”.196

Melalui rubrik “Taman Bocah” tampak bahwa Parikesit ingin

mendekatkan anak-anak pada kebudayaan Jawa. Hal ini semakin

jelas dengan adanya subrubrik “Ayo Nembang” dan “Ayo Ajar

Ngarang” yang merupakan suatu ajakan kepada anak-anak untuk

belajar kebudayaan Jawa, khususnya menyanyi dan menulis

karya sastra Jawa. Hal ini mungkin didasari bahwa sejak dini

pada anak-anak harus diperkenalkan pada kebudayaan Jawa,

sudah barang tentu di bawah bimbingan orang tuanya.

Parikesit juga sering menampilkan foto-foto anak-anak,

remaja, dan orang dewasa dengan mengenakan busana tari Jawa

Surakarta197 pada halaman pertama penerbitan. Foto pose

191Parikesit, 22 April 1973.


192Parikesit, 6 Mei 1973.
193Parikesit, 8 September 1974.
194Parikesit, 12 Agustus 1973 dan 2 September 1973.
195Parikesit, 15 September 1974.
196Parikesit,1 Januari 1978.
197Foto Tries Supriyati (Putri Sala) berbusana “Tari
Gambyong”, Parikesit, 15 April 1973, hlm. 1. Foto Wahyuningsih
Siswa SMKI Surakarta berbusana “Tari Gambyong”, Parikesit,
September 1988, hlm. 1; Foto Mamiek Widyastuti (Guru ASKI)
berbusana “Tari Gambyong” Parikesit, 1 Oktober 1988, hlm. 1;
Foto Endang Sri Saparni Siswa SMKI Surakarta berbusana “Tari
Gambyong”, Parikesit, Nopember 1988 Minggu II, hlm. 1.
370

setengah badan itu diambil dalam berbagai acara seperti lomba

tari198 dan acara-acara yang menggunakan seni pertunjukan Jawa

Surakarta sebagai salah satu pengisi acara.199 Penyajian foto-foto

itu bukan tanpa tujuan, melainkan merupakan salah satu media

untuk memperkenalkan seni pertunjukan gaya Surakarta sebagai

salah satu unsur kebudayaan Jawa kepada khalayak pembaca

khususnya para generasi muda. Hal ini dibuktikan antara lain

dengan adanya ajakan dari figur yang terdapat di foto untuk

“nguri-uri kabudayan Jawi”.

Berdasar pada pemberitaan dan rubrik-rubrik yang terdapat

dalam Parikesit dapat dikemukakan bahwa koran mingguan

berbahasa Jawa ini memiliki komitmen dalam pelestarian dan

penyebarluasan kebudayaan Jawa, khususnya seni pertunjukan

Jawa Surakarta.

198Foto Nanik Sulistyawati, berbusana tari, Juara I Lomba


Tari Se- Kabupaten Wonogiri, Parikesit, No.460 8 Pebruari 1981
Th. Ka IX, hlm. 1.

199Foto Nining Purwani siswa SMA Surakarta berbusana “Tari


Gambyong” ketika menyambut Menteri Kehutanan di Wonogiri,
Parikesit, 31 Januari 1988, hlm. 1; Foto Indrawati Dyah (Penari
Gambyong) pada pengukuhan Mangkunagara, Parikesit, 21
Januari 1988, hlm. 1.
371

f. Pustaka Candra

Pada 1981 terbit Kalawarti Wulanan Pustaka Candra dengan surat

izin terbit No. 847/SK/Ditjen PPGH/STT/1981 23 April 1981.

Pustaka Candra merupakan satu-satunya majalah berbahasa

Jawa yang diterbitkan oleh pemerintah melalui Proyek

Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah Jawa Tengah, Bidang

Kesenian Kanwil Depdikbud Provinsi Jawa Tengah dan satu-

satunya majalah berbahasa Jawa yang terbit di Jawa Tengah.200

Pustaka Candra yang terbit dengan format ukuran 15 1/2 x

24 cm sebanyak 24 halaman berisi rubrik yang cukup lengkap,

yaitu pengantar redaksi/pangarsa (pengiring), cerita cekak,

geguritan, kapustakan, cerita landhung, kabudayan, dongèng, dan

pribadi binuka. Dalam rubrik kawruh basa antara lain dibahas

wayang, kesusastraan, cerita babad, dan bahasa Jawa. Dalam

rubrik kebudayaan dibahas tentang gendhing, gamelan, wayang,

dan lain-lain. Dalam rubrik pribadi binuka dibahas riwayat hidup

tokoh pengarang, kethoprak, wayang wong, empu tari, karawitan,

dan seniman baik yang masih hidup maupun almarhum. Karya

sastra klasik dan moderen disajikan secara imbang di setiap edisi.

Sejak nomor 85 edisi April 1987 rubrik berubah menjadi lebih

200Moch. Nursyahid P., “„Pustaka Candra‟ Wis Sewindu”,


Parikesit, 21 Januari 1988, hlm. II.
372

baik.201

Sesuai dengan misinya yaitu sebagai sesuluh (pelita) dalam

bidang sastra Jawa, penerbitan Pustaka Candra diharapkan dapat

menjadi wahana bagi para penggiat sastra Jawa dalam berproses

kreatif. Penulis sastra Jawa moderen dari yang paling senior

sampai yang paling muda atau sedang belajar mengarang

mendapatkan kesempatan besar untuk menerbitkan karyanya

dalam majalah bulanan tersebut.202

Pustaka Candra memiliki pembaca yang relatif tetap yaitu

para guru di Jawa Tengah. Dengan oplah sebanyak 5000

eksemplar majalah ini diserbarluaskan secara gratis untuk bapak

dan ibu guru melalui Kantor Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Namun demikian,

penerbitan ini diharapkan juga dapat meningkatkan apresiasi

sastra Jawa masyarakat pada umumnya.203

Dalam sewindu usia penerbitannya, Pustaka Candra belum

mampu tampil sebagai majalah berbahasa Jawa yang berbobot.

Majalah ini belum mampu mewujudkan keinginan para penulis

sastra Jawa anyar dalam mengembangkan sastra Jawa anyar.

201Ibid..

202Ibid..

203Ibid..
373

Majalah ini masih menghadapi banyak kendala untuk

terwujudnya kalawarti berbahasa Jawa yang berbobot dan

berpamor. Pengelolaan yang masih kurang profesional

mengakibatkan majalah ini kekurangan naskah, yang

mengakibatkan majalah ini terbit empat bulan sekali atau empat

nomor dalam setahun, sehingga tulisan-tulisan yang disajikan

menjadi kurang selektif.204

Untuk meningkatkan kualitas Pustaka Candra, pada 10

Januari 1988 Sugiarto, Kepala Bidang Kesenian atas nama Kepala

Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa

Tengah selaku pemimpin/ penanggung jawab penerbitan

mengundang para pengarang kontributor Pustaka Candra. Redaksi

Pustaka Candra Suparjo dan Muryolelana mengakui bahwa

Pustaka Candra belum digarap secara profesional, sehingga

bobotnya menurun. Pengelolaan Pustaka Candra yang berada di

bawah birokrasi pemerintah juga menjadi salah satu kendala

untuk mengembangkan majalah berbahasa Jawa ini. Para

pamomong mengharapkan naskah para pengarang sastra Jawa

semakin berbobot untuk meningkatkan kualitas Pustaka Candra,

sehingga dapat menjadi majalah yang berbobot. Dalam hubungan

dengan hal itu, redaksi Pustaka Candra diharapkan dapat

204Ibid..
374

memanfaatkan hasil-hasil dari kegiatan-kegiatan penulisan kreatif

yang diselenggarakan oleh Bidang Kesenian Kantor Wilayah

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, seperti

lomba mengarang geguritan, cerita cekak untuk siswa SMP dan

SMA, lomba dongeng untuk guru, dan lomba penulisan naskah

sandiwara daerah.205

Walaupun mengalami hambatan dalam penerbitan, melalui

beberapa rubrik kabudayan dan pribadi binuka, Pustaka Candra

memiliki kontribusi dalam penyebarluasan seni pertunjukan Jawa

Surakarta di Jawa Tengah.

Selain majalah dan koran sebagaimana disebutkan di atas,

penyebarluasan seni pertunjukan Jawa Surakarta juga ditopang

oleh keberadaan majalah-majalah berbahasa Jawa yang

diterbitkan di Surabaya dan Yogyakarta, yaitu Jayabaya, Penyebar

Semangat, dan Djaka Lodang. Ketiga majalah tersebut dengan

kadar yang berbeda-beda telah memberikan perhatian terhadap

kelangsungan hidup seni pertunjukan Jawa Surakarta melalui

pemberitaan, rubrik, dan artikelnya. Majalah dan koran berbahasa

Jawa merupakan salah satu media untuk pelestarian,

pengembangan, dan penyebarluasan seni pertunjukan Jawa

Surakarta.

205Ibid., hlm. VII.


375

2. Buku-buku

Pada 1950an banyak berdiri perkumpulan kesenian Jawa di

berbagai daerah di Jawa Tengah. Seiring dengan perkembangan

perkumpulan kesenian Jawa itu, banyak diterbitkan buku-buku

pedhalangan dan karawitan Jawa oleh lembaga penerbitan dan

percetakan di Surakarta. Najawirangka dan Samsudjin

Probohardjono adalah para penulis buku-buku pedhalangan dan

karawitan Jawa gaya Surakarta yang produktif. Najawirangka

adalah murid dan kemudian menjadi dwija (guru) pada kursus

pedhalangan Radya Pustaka. Sementara itu, Samsudjin

Probohardjono adalah murid kursus pedhalangan Radya Pustaka

yang kemudian menjadi guru pedhalangan pada lembaga-lembaga

penyelenggara sekolah dan kursus pedhalangan seperti

Konservatori Karawitan Indonesia, Pawiyatan Kabudayan Karaton

Surakarta, dan Himpunan Budaya Surakarta.

Buku pedhalangan yang perlu untuk disebut pertama karena

penting adalah Serat Tuntunan Padalangan: Tjaking Pakeliran

Lampahan Irawan Rabi, Djilid I-IV yang disusun Najawirangka

(Atmatjendana).206 Buku ini disusun berdasar pengetahuan yang

206Najawirangka al. Atmatjendana, Serat Tuntunan


Padalangan: Tjaking Pakeliran Lampahan Irawan Rabi, Djilid I-IV
(Jogjakarta: Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan,
Kementerian P.P. dan K, 1956, Cetakan I 1954). Jilid I dan II berisi
tuntunan pedhalangan mulai dari Bedhol Kayon sampai Perang
376

diperoleh oleh penulisnya selama menjadi murid di Kursus

Pedhalangan Radya Pustaka Surakarta sejak didirikan pada 1923

sampai kemudian diangkat sebagai dwija yang dituntut untuk ikut

memikirkan pengembangan pasinaon pedhalangan tersebut.

Pemilihan lakon Irawan Rabi didasari oleh pertimbangan bahwa

lakon itu panjang dan sulit (akèh ubat-ubetipun), sehingga banyak

memuat pengetahuan seni pedhalangan. Dengan demikian, para

calon dhalang dapat melengkapi kekurangan pengetahuan

pedhalangan yang tidak tercakup dalam lakon tersebut.207

Menurut Sumidi Adisasmita, pemimpin Cabang Bagian

Bahasa Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan Pengajaran

dan Kebudayaan di Yogyakarta, isi buku itu bagus dan lengkap;

susunannya urut, runtut, dan jelas, serta dapat dijadikan sebagai

sarana untuk memajukan pembelajaran bahasa dan kesusastraan

Jawa. Berdasar pada pertimbangan tersebut, maka buku itu

diterbitkan. Bagi yang berminat dan senang terhadap dunia seni

pedhalangan, buku itu mudah dipahami dan dapat dijadikan

sebagai pegangan bagi calon dhalang; dan bagi para dhalang buku

itu dapat digunakan untuk menambah wawasan dan

pengetahuan. Pendapat itu tidak salah, karena setelah diterbitkan

Kembang; Jilid III berisi adegan setelah Perang Kembang sampai


Tancep Kayon; Jilid IV sebagai pelengkap berisi janturan-janturan,
kawruh-kawruh, dan caking pakeliran.

207Ibid., bagian “Bebuka”.


377

pada 1954 buku itu mengalami cetak ulang pada 1956. Artinya,

banyak orang yang berminat terhadap buku itu. Menurut

penerbitnya, buku itu tidak hanya diminati oleh ratusan, tetapi

ribuan orang. Buku cetakan I sebanyak 2000 eksemplar yang

terbit pada 1954, tinggal 90 eksemplar pada akhir 1955. Buku itu

tersebar di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Sumatra.208

Berdasar jumlah eksemplar yang terjual dan wilayah persebaran

yang relatif luas, kiranya posisi buku itu dalam penyebarluasan

seni pedhalangan gaya Surakarta tidak perlu diragukan lagi. Buku

itu merupakan tuntunan pedhalangan yang sangat dikenal dalam

jagad seni pedhalangan gaya Surakarta.

208Sumidi Adisasmita, “Prawatjana Minangka Katrangan Tjap-


tjapan ingkang Kaping II Saking Kantor Tjabang Bagian Bahasa
ing Ngajogjakarta”, dalam Najawirangka al. Atmatjendana, Serat
Tuntunan Padalangan: Tjaking Pakeliran Lampahan Irawan Rabi,
Djilid I-IV (Jogjakarta: Tjabang Bagian Bahasa Djawatan
Kebudajaan, Kementerian P.P. dan K, 1956), hlm. 6.
378

Gambar 4.13
Sampul Buku Serat Tuntunan Padalangan
susunan Najawirangka al. Atmatjendana
(Sumber: Koleksi Dhanang Respati Puguh)

Buku berikutnya adalah Pakem Wajang Purwa, Jilid I-III yang

disusun oleh Samsudjin Probohardjono. Menurut kesaksian

penulisnya, ia telah lama menghimpun pakem lampahan wayang

purwa (ratusan lakon), tetapi belum diterbitkan karena kesulitan

penataan untuk memilah antara lakon baku209 dan lakon

carangan,210 selain telah banyak buku dhapukan wayang purwa

209Lakon baku adalah lakon-lakon yang berasal dari Serat


Mahabharata, Pustakaraja, Lokapala, Ramayana dan serat-serat
kuna lainnya.

210Lakon-lakon di luar lakon baku; termasuk di dalamnya


adalah lakon carangan dhinapur.
379

yang telah terbit dan tersebar di masyarakat, dan banyak dhalang

yang membuat lakon carangan sendiri-sendiri, serta mengubah

deleging lampahan baku dan lain-lain. Akan tetapi, mengingat

banyak surat yang diterima dan menerangkan kebutuhan pakem

lampahan wayang purwa sebagai pegangan dan patokan

pengetahuan pedhalangan, maka penyusunan buku ini dimulai

lagi, ditata, digarap, dan akhirnya dicetak. Penyusunan buku ini

dimaksudkan untuk memilah antara lakon baku dan lakon

carangan yang diselaraskan dengan lakon-lakon wayang dan

disajikan secara runtut.211 Buku ini diminati oleh banyak

kalangan seni pedhalangan, karena pada akhir dekade 1950an

telah mengalami cetak ulang yang kedua.

Serat Tuntunan Padalangan dan Pakem Wajang Purwa

merupakan dua kepustakaan pewayangan golongan pakem yang

penting dan menjadi rujukan para calon dhalang dan dhalang

pada zamannya, bahkan pada masa-masa berikutnya. Kedua

buku ini termasuk yang direkomendasikan oleh Sri Mulyono

211S. Probohardjono, Pakem Wajang Purwa: Isi 14 Balungan


Lampahan Rinengga ing Gambar 50 Idji, Djilid I (Solo: Usaha
Penerbitan "Ratna", 1960-Cetakan 3); R.S. Probohardjono, Pakem
Wajang Purwa: Isi 16 Balungan Lampahan, Rinengga ing Gambar
44 Idji (Solo: Toko Buku "Sadu-Budi", 1961-Cetakan III); R. S.
Probohardjono, Pakem Wajang Purwa: Isi 17 Balungan Lampahan
Rinengga ing Gambar 52 Idji, Djilid III (Solo: Usaha Penerbitan
"Ratna", 1964-Cetakan IV).
380

(seorang insinyur yang ahli pewayangan; lahir 1930) bagi yang

berminat untuk memperluas wawasan tentang pewayangan.212

Selain buku tentang pakem dan tuntunan pedhalangan,

Samsudjin Probohardjono juga menerbitkan buku yang secara

khusus berisi sulukan dengan judul Sulukan Slendro pada 1952.213

Buku ini juga banyak diminati oleh kalangan seni pedhalangan

karena pada 1966 telah mencapai cetakan ketujuh.

Pada dasawarsa 1950an juga terbit banyak buku karawitan

Jawa Surakarta. Pada 1952 Samsudjin Probohardjono

menerbitkan Gending Djawi Djilid I214 dan Gending Djawi Djilid

II.215 Penerbitan kedua buku ini didasari oleh keprihatinan

penulisnya terhadap masih langkanya buku tentang gendhing

Jawi atau karawitan Jawi yang jelas dan mudah dimengerti

212Sri Mulyono, Wayang: Asal-usul, Filsafat & Masa Depannya


(Jakarta: Badan Penerbit Alda, 1975), hlm. 230.

213S. Probohardjono, Sulukan Slendro: ingkang djangkep lan


baku kangge njuluki titingalan wajang Purwa, katambahan
kawruh-kawruh padhalangan ingkang sanget wigatos (Sala: Usaha
Penerbitan Ratna, 1966 [1952-Cetakan I]).

214Samsudjin Probohardjono, Gending-Djawi Djilid I: Tuntunan


Bawa, dumugi Dawahing Gending, Dipun Gerongi, dalah
Senggakan, Sindenan, sarta Uran-uran (Surakarta: Budhi Laksana,
1952).

215Samsudjin Probohardjono, Gending-Djawi Djilid II:


Tuntunan Bawa, dumugi Dawahing Gending, Dipun Gerongi, dalah
Senggakan, Sindenan, sarta Uran-uran (Surakarta: Budhi Laksana,
1952).
381

seiring dengan perkembangan minat masyarakat Jawa terhadap

seni karawitan yang ditandai oleh semakin banyaknya paguyuban

kesenian Jawa. Di sisi lain, banyak pecinta kesenian Jawa yang

meminta kepada penulis buku untuk membuat buku tuntunan

gendhing Jawa yang jelas dan mudah dipelajari. Dengan kata lain,

kedua buku itu merupakan respon terhadap keinginan

masyarakat pecinta kesenian Jawa. Untuk memenuhi keinginan

para penggunanya, ia memberikan keterangan singkat tentang

gendhing-gendhing yang terdapat dalam buku itu.216 Tidak

mengherankan apabila kedua buku itu banyak mendapatkan

sambutan dari pembaca yang memerlukannya. Pada1952/1953

kedua buku itu telah sampai pada cetakan ke-5 (jilid I) dan

cetakan ke-4 (jilid II); dan pada 1952/1953 kedua buku itu juga

terbit dalam bentuk kompilasi jilid I dan II dengan judul Gending

Djawi Djilid I-II.217 Berdasar fakta-fakta itu dapat dikatakan bahwa

keinginan penulisnya untuk menyebarluaskan seni karawitan

Jawa Surakarta di kalangan masyarakat luas telah tercapai.

Samsudjin Probohardjono juga menerbitkan buku Lagu

Dolanan yang berisi berpuluh-puluh lagu dolanan yang telah

216Probohardjono, Gending-Djawi Djilid I, op. cit., hlm. 3.

217S.
Probohardjono, Gending Jawi Djilid I-II (Solo: Sadu Budi,
1952/1953).
382

dikenal oleh masyarakat Jawa beserta titi laras-nya (notasi),

tuntunan menabuh kempul, kenong, gong, dan lain-lain; Gending-

gending ingkang Kangge Nabuhi Wajangan Purwa yang berisi

sekitar 200 notasi gendhing untuk mengiringi pergelaran wayang

purwa beserta keterangan penggarapannya;218 dan Primbon

Langen Swara yang berisi tentang cakepan (lirik) bawa, gerong,

sindhenan, senggakan, uran-uran, sulukan, beksan bedhaya-

srimpi.219

Pada dasawarsa 1960an penerbitan buku-buku pedhalangan

dan karawitan semakin marak. Beberapa buku yang terbit pada

1950an mengalami cetak ulang. Pada 1964 Samsudjin

Probohardjono menerbitkan Serat Tuntunan Andhalang Djangkep

Sinau Tanpa Guru Lampahan “Parta Krama” utawi Dhaupipun Dewi

Bratadjaja.220 Selanjutnya, pada 1966 Atmatjendana al.

Najawirangka menerbitkan Serat Pakem Ringgit Purwa Tjaking

218SamsudjinProbohardjono, Gending Jawi Djilid I: Tuntunan


Bawa, dumugi Dawahing Gending, Dipun Gerongi, dalah
Senggakan, Sindenan, sarta Uran-uran (Surakarta: Budhi Laksana,
1952), halaman sampul belakang bagian dalam.

219S.Probohardjono, Gending Jawi: Tuntunan Bawa, dumugi


Dawahing Gending, Dipun Gerongi, dalah Senggakan, Sindenan,
sarta Uran-uran Djilid II (Solo: Sadu Budi, 1952/1953-Cetakan IV),
halaman sampul depan bagian dalam.

220S. Probohardjono, Serat Tuntunan Andhalang Djangkep


Sinau Tanpa Guru Lampahan “Parta Krama” utawi Dhaupipun Dewi
Bratadjaja (Surakarta: CV Mahabarata, 1966-Cetakan II).
383

Pakeliran Lampahan Palasara221 dan Serat Pedalangan Ringgit

Purwa Djilid I-III. Kedua buku disusun berdasar waton yang

digunakan oleh Paheman Radya Pustaka. Buku kedua disusun

untuk memenuhi usul dan keinginan dari para dhalang yang

membutuhkan Serat Pedalangan Ringgit Purwa yang

mengkhususkan pada sejarah lakon. Penerbitan ini diharapkan

dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan untuk men-

dhalang.222

Selain Najawirangka dan Probohardjono muncul nama

penulis-penulis lainnya, antara lain Prawirosoedirdja, Sulardi,

Kodiron, Soemantri Soemosapoetro, Wignjowirjanto, dan Sutrisno.

Prawirosoedirdja dan Sulardi menerbitkan Pakem Wajang Purwa

Ngewrat 20 Lampahan, Djilid I.223 Kodiron (pamong Pasinaon

Dalang Mardi Budaya Ngemplak Boyolali) menerbitkan beberapa

221Atmatjendana al. Najawirongka menerbitkan Serat Pakem


Ringgit Purwa Tjaking Pakeliran Lampahan Palasara (Surakarta:
C.V. Mahabarata, 1966-Cetakan I).

222Atmatjendana al. Najawirongka, Serat Pedalangan Ringgit


Purwa Djilid I-III (Surakarta: C.V. Mahabarata, 1966-Cetakan I).
Jilid I berisi lakon Lambangkara, Raden Poncawala Larung,
Ontasena Lahir, Gatutkaca Lahir, Pregiwa Pregiwati. Jilid II berisi
lakon Sindusena, Cekel Endralaya, Sidajati, Danumaya, dan
Mayanggana. Jilid III berisi lakon Partawigena (Makutarama),
Wahyu Tjakraningrat, Cocogan, Peksi Jawata, dan Srikandi Maguru
Manah.

223Prawirosoedirdja dan Sulardi, Pakem Wajang Purwa


Ngewrat 20 Lampahan, Djilid I (Solo: Sadu Budi, 1960-Cetakan III).
384

buku yaitu Tuntunan Pakeliran Ringgit Purwa Lampahan Murtja

Lelana (1964),224 Serat Tuntunan Ngringgit Lampahan “Sri Bojong”

(1964),225 Tuntunan Pakeliran Ringgit Purwa Lampahan Wahyu-

Pantjasila (1964),226 dan Tuntunan Sulukan Pedalangan Djangkep

(1964).227 Soemantri Soemosapoetro menerbitkan Serat Tuntunan

Tjaking Pakeliran Padalangan Ringgit Purwa Lampahan Donorodjo

(1964),228 dan Wignjowirjanta menerbitkan Pedalangan Djangkep

Sedalu Muput Lampahan: Surjandadari (Bima Paksa)(1964).229

Selain pakem dan tuntunan pedhalangan, pada 1964 juga

terbit buku tentang wanda230 wayang purwa yang ditulis oleh

224Kodiron, Tuntunan Pakeliran Ringgit Purwa Lampahan


Murtja Lelana (Surakarta: Tri-Jasa Kratonan, 1964).

225Kodiron, Serat Tuntunan Ngringgit Lampahan “Sri Bojong”


(Surakarta: Tri-Jasa, 1964).

226Kodiron, Tuntunan Pakeliran Ringgit Purwa Lampahan


Wahyu Pantjasila (Surakarta: Trijasa, 1964-cetakan I).

227Kodiron,Tuntunan Sulukan Pedalangan Djangkep: Ngewrat


Sulukan2 Laras Slendro Djangkep (Surakarta: Fa Trijasa, 1964).

228Soemantri Soemosapoetro, Serat Tuntunan Tjaking


Pakeliran Padalangan Ringgit Purwa Lampahan Donorodjo
(Surakarta: Tri-Jasa, 1964).

229Wignjowirjanta, Pedalangan Djangkep Sedalu Muput


Lampahan: Surjandadari (Bima Paksa) (Sala: Fa Penerbit “Keluarga
Soebarno, 1964-Cetakan I).

230Wanda adalah bentuk muka (praupan) yang


menggambarkan suasana batin tokoh wayang-nya.
385

Sutrisno (Kepala Seksi Pedalangan, Urusan Kesenian Direktorat

Kebudayaan P.D. dan K Yogyakarta) berjudul Pitakon lan

Wangsulan Bab Wanda Wajang Purwa. 231 Sesuai dengan judulnya

buku ini berisi pengetahuan tentang wanda-wanda wayang

purwa. Penyajiannya yang berupa tanya jawab bertujuan untuk

memudahkan para siswa seni pedhalangan dan pecinta seni

pewayangan dalam menelusuri tentang wanda-wanda wayang,

yang pada umumnya dianggap kurang berguna bagi praktik men-

dhalang. Menurut penulisnya sebagaimana tertulis dalam

“Prawatjana”, pada masanya buku ini merupakan buku yang

paling lengkap yang secara khusus membicarakan tentang wanda

wayang. Buku ini diharapkan dapat menjadi rambatan (pembuka

jalan) untuk mempelajari wanda wayang secara lebih mendalam,

sebagaimana isbat berbunyi: “golek geni adedamar”; yang berarti

untuk menguasai ilmu yang mendalam, seseorang harus

menguasai ilmu dasarnya terlebih dahulu.

Pada 1970an sampai 1980an selain terbit buku-buku baru

dalam bidang pedhalangan dan karawitan yang disusun oleh

penulis-penulis yang lain, terdapat buku yang merupakan cetak

ulang dari buku yang diterbitkan pada 1950an dan 1960an.

231Sutrisno, Pitakon lan Wangsulan Bab Wanda Wajang


Purwa: Latihan Udjian Dalang I (Surakarta: C.V. Mahabarata,
1964-Cetakan I).
386

Sebagai contoh adalah Pakem Pedalangan Lampahan Wayang

Purwa yang disusun oleh S. Probohardjono.232 Buku ini babon-nya

berasal dari buku yang ditulis pada 1950an dengan beberapa

perubahan berdasar perkembangan dan pengalaman pengetahuan

penulisnya. Buku ini menggunakan bahasa Jawa krama yang

mudah dan lumrah dengan tujuan agar mudah dipahami.

Penerbitannya juga bertujuan untuk “nguri-uri memetri kagunan

kabudayan kasusastran Jawi” supaya tidak hilang. Selain itu,

adalah karya Kodiron berjudul Tuntunan Karawitan Gending Djawi

yang merupakan cetak ulang kedua dari buku yang diterbitkan

pada 1960an.233 Penulis buku ini mengatakan bahwa kesenian

Jawa pada saat itu (1970an) mendapat kedudukan yang

semestinya sesuai dengan kedudukan kesenian bangsa. Kesenian

Jawa yang adiluhung dapat dijadikan sebagai alat pendidikan.

Pada 1990-an untuk menerbitkan buku-buku berbahasa

Jawa memerlukan banyak pengorbanan; bahkan kadang-kadang

harus mengalami kerugian baik tenaga, waktu, maupun uang. Hal

ini terjadi karena buku-buku berbahasa Jawa memiliki segmen

232S. Probohardjono, Pakem Pedalangan Lampahan Wayang


Purwa Jilid I (Surakarta: Penerbit CV Ratna (anggota IKAPI),
1989). Buku berisi 15 lakon.

233Kodiron, Tuntunan Karawitan Gending Djawi: Untuk


Pasinaon2 Karawitan Sekolah2 Guru Umum (Surakarta: Toko Buku
Pelajar, 1971- Cetakan 2).
387

pembaca yang terbatas, sehingga lebih sulit laku dibandingkan

dengan buku-buku berbahasa Indonesia.234 Meskipun demikian,

buku-buku tentang seni pertunjukan Jawa Surakarta yang

meliputi pedhalangan, pewayangan, dan karawitan masih terus

diterbitkan oleh beberapa penerbit di Surakarta. Buku-buku

pedhalangan dan pewayangan meliputi balungan lakon, serat dan

pakem pedhalangan, janturan, pocapan, dan pengetahuan

pewayangan. Buku-buku karawitan mencakup cakepan gendhing,

notasi dan balungan, sindhenan, ajar nabuh gamelan, macapat,

dan bawa. Buku-buku itu ditulis oleh penulis-penulis dari

Surakarta yang beberapa di antara mereka adalah seniman dan

seniman akademisi dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta.

Percetakan Hadiwijaya di Surakarta dan C.V. Cendrawasih di

Sukoharjo merupakan dua lembaga yang banyak menerbitkan

buku-buku dalam kategori tersebut. Pada 1990an puluhan buku

tentang seni pertunjukan Jawa Surakarta yang mencakup unsur-

unsur sebagaimana telah disebut di atas telah diterbitkan oleh

Percetakan Hadiwijaya dan C.V. Cendrawasih. Beberapa contoh

234“NyetakBuku Basa Jawa, Tombok”, Mekar Sari, No. 41


XXXIV, 12 Desember 1990, hlm. 31.
388

yang perlu disampaikan di sini adalah Titilaras Gendhing dan

Teori dan Praktik Bawa yang disusun oleh Gitosaprodjo.235

Buku-buku yang diterbitkan oleh Percetakan Hadiwijaya dan

C.V. Cendrawasih memiliki wilayah persebaran di Jawa Tengah

dan Jawa Timur. Buku-buku itu dikonsumsi oleh mereka yang

belajar seni pertunjukan Jawa (karawitan dan pedhalangan) di

luar jalur pendidikan formal kesenian, yaitu paguyuban dan

sanggar-sanggar kesenian. Melalui buku-buku itu seni

pertunjukan Jawa Surakarta yang bersumber dari keraton

menyebar luas ke berbagai penjuru.

Dari uraian di atas dapat disampaikan bahwa sejak

pertengahan dasawarsa 1950an sampai dengan dasawarsa 1990an

telah banyak diterbitkan buku-buku tentang seni pedhalangan,

pewayangan, dan karawitan gaya Surakarta yang beredar di

pasaran. Penerbitan buku-buku itu antara lain dilatarbelakangi

oleh keinginan penulisnya untuk melestarikan, mengembangkan,

dan menyebarluaskan kebudayaan Jawa Surakarta sebagai bagian

dari upaya untuk membangun kebudayaan bangsa. Buku-buku

235Gitosaprodjo, Titilaras Gendhing Jilid II (Surakarta:


Percetakan Hadiwijaya, 1993, Cetakan I 1992); Gitosaprodjo,
Titilaras Gendhing Jilid III (Surakarta: Percetakan Hadiwijaya,
1997); Gitosaprodjo, Teori dan Praktek Bawa (Surakarta:
Percetakan Hadiwijaya, 1993, Cetakan I 1992).
389

itu tidak terlalu sulit untuk diperoleh di kios-kios buku, toko-toko

buku, bahkan di kios-kios loak sekalipun. Buku-buku itu juga

dikonsumsi oleh masyarakat luas.

Kondisi ini tampaknya berbeda dari penerbitan tentang seni

pertunjukan Jawa Yogyakarta, sebagai contoh pakem pedhalangan

dan buku karawitan gaya Yogyakarta. Suhartojo, salah seorang

pembina seni pedhalangan gaya Yogyakarta menyatakan, bahwa

ketika Mangkunagaran Surakarta mulai mengusahakan

penerbitan pakem pedhalangan melalui Balai Pustaka, Keraton

Yogyakarta belum menerbitkan pakem pedhalangan. Pakem-pakem

pedhalangan masih berupa manuskrip yang tersimpan di dalam

keraton. Sampai dengan awal dasawarsa 1990an ketersediaan

buku pakem pedhalangan gaya Yogyakarta yang beredar di

masyarakat sangat terbatas. Buku pakem pedhalangan yang

ditulis oleh Djojodiguna berjudul Pakem Padhalangan Lampahan

Abimanyu Rabi Wurung yang diterbitkan di Yogyakarta pada 1962

mungkin tidak dicetak ulang, sehingga sulit ditemukan.236

Demikian halnya dengan buku karawitan Jawa gaya Yogyakarta

yang juga sulit untuk ditemukan. Buku pedoman tabuhan

karawitan gaya Yogyakarta yang pernah diterbitkan oleh Taman

236Kanti Wiludjeng Walujo, “Peranan Dalang Wayang Kulit


dalam Menyampaikan Pesan-pesan Pembangunan di Kabupaten
Bantul Yogyakarta” (Bandung: Disertasi pada Universitas
Padjajaran, 1992), hlm. 140-141.
390

Budaya Yogyakarta, yaitu: Tabuh Satu Saron dan Slenthem (1988);

Kempyang, Kethuk-Kenong, Kempul-Gong (1990), dan Gamelan

Pakurmatan Kraton Yogyakarta (1993) tidak disebarluaskan dan

disosialisasikan kepada masyarakat umum.237 Dengan demikian,

tidak mengherankan apabila seni pertunjukan Jawa Surakarta

memiliki wilayah persebaran yang lebih luas dibandingkan dengan

seni pertunjukan Jawa Yogyakarta.

D. Panggung Pertunjukan: Wayang Wong Sriwedari

1. Menuju Masa Kejayaan

Wayang Wong Sriwedari merupakan perkumpulan wayang wong

yang dibentuk pada masa Sunan Paku Buwana X. Berdasar

sumber lisan yang berhasil diperoleh, Hersapandi menduga bahwa

perkumpulan ini didirikan pada 1910. Para pemainnya terdiri atas

mantan pemain wayang wong panggung dari berbagai

perkumpulan di Surakarta yang karena memiliki kemampuan seni

yang baik sebagian diangkat menjadi abdi dalem. Perkumpulan ini

mengadakan pementasan secara rutin di Taman Sriwedari yang

dibangun pada 1901.238 Walaupun perkumpulan Wayang Wong

237Kriswanto, op. cit., hlm. 35.

238Hersapandi,Wayang Wong Sriwedari: Dari Seni Istana


Menjadi Seni Komersial (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia,
1999), hlm. 85
391

Sriwedari didanai oleh pemerintah Kasunanan Surakarta, namun

untuk menyaksikan pertunjukan para penonton harus membeli

karcis. Berdasar fakta ini, dengan menggunakan konsep yang

dikemukakan oleh James R. Brandon, sistem pendanaan Wayang

Wong Sriwedari merupakan perpaduan antara government support

(dukungan pemerintah) dan commercial support (dukungan

penonton atau penjualan karcis).239

Sejak pembentukan sampai dengan dasawarsa 1930an

Wayang Wong Sriwedari merupakan salah satu hiburan yang

menarik dan banyak mendapatkan perhatian dari penonton. Hal

ini dibuktikan dengan kemunculan pemain-pemain yang dikenal

dan menjadi pujaan masyarakat. Beberapa nama pemain yang

populer pada saat itu adalah Wugu Harjawibaksa, Sastradirun,

dan Nalawibaksa. Mereka masing-masing dikenal sebagai pemain

tokoh Gathutkaca, Petruk, dan Gareng yang andal.240

Setelah pembekuan swapraja Kasunanan Surakarta,

pengelolaan Taman Sriwedari beralih ke Pemerintah Daerah

Surakarta c.q. Jawatan Penghasilan yang kemudian berubah

nama menjadi Dinas Pendapatan Daerah (sampai 1980). Fungsi

239Terdapat satu kategori lagi sistem pendanaan organisasi


seni pertunjukan, yaitu communal support (dukungan
masyarakat). Lihat Brandon, op. cit., hlm. 251-263.

240Hersapandi, op. cit., hlm. 93-94.


392

Taman Sriwedari tetap dipertahankan sebagai tempat rekreasi.

Para pegawai yang semula merupakan abdi dalem keraton

dialihstatuskan menjadi pegawai pemerintah Republik Indonesia.

Para pemain Wayang Wong Sriwedari yang berstatus sebagai

pegawai harian tetap dipertahankan dalam status yang sama

beserta gelar-gelar kehormatan yang berasal dari keraton.241

Kondisi sosial politik di Surakarta pada awal kemerdekaan

yang tidak kondusif mengakibatkan pementasan rutin tidak dapat

berlangsung secara ajeg. Setelah keadaan aman, pergelaran

diaktifkan lagi dan mendapat sambutan yang luar biasa dari

masyarakat. Peningkatan antusiasme penonton mendorong

pengelola Taman Sriwedari untuk membangun gedung baru yang

lebih representatif pada 1950/1951, yang sudah barang tentu juga

didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan bisnis, yaitu

peningkatan pendapatan bagi Pemerintah Daerah Surakarta.

Dengan dukungan para pemain muda yang andal Wayang Wong

Sriwedari dapat memberikan tontonan yang menarik.242 Sebagai

sebuah lembaga yang diharapkan dapat meningkatkan

pendapatan daerah, Wayang Wong Sriwedari dituntut untuk

meningkatkan kualitas pertunjukan agar diminati oleh

241Ibid., hlm. 98-99.

242Rusini, op. cit., hlm. 27.


393

masyarakat. Peningkatan minat masyarakat dan jumlah penonton

berarti peningkatan pendapatan bagi Wayang Wong Sriwedari

yang dapat berdampak pada peningkatan pendapatan daerah.

Tohiran yang memiliki pengalaman bekerja di Taman

Sriwedari (sejak 1934 sebagai pegawai Bagian Reklame sampai

menjadi Pengawas Umum pada saat pensiun) pada 1954

mendapatkan tugas dari Pemerintah Daerah Surakarta untuk

memimpin Wayang Wong Sriwedari. Ia mendapatkan tugas untuk

meningkatkan mutu pertunjukan Wayang Wong Sriwedari.

Menurutnya, Sriwedari yang menjadi kebanggaan masyarakat

Surakarta, kondisinya mengalami penurunan apabila

dibandingkan dengan sebelum masa kemerdekaan. Berdasar

amanah yang diembannya ia mengambil beberapa kebijakan

untuk memajukan Wayang Wong Sriwedari, yaitu regenerasi

pemain, perubahan sistem produksi, dan sistem pemasaran.243

Regenerasi dilakukan dengan tujuan untuk menyiapkan

pemain-pemain muda berbakat yang di kemudian hari siap

menerima tongkat estafet dari generasi tua untuk keberlanjutan

Wayang Wong Sriwedari. Sehubungan dengan itu dilakukan

243“Transkrip Wawancara dengan Tohiran” (Wawancara


dilakukan oleh Susanto pada 14 Februari 1996), hlm. 6-10; lihat
juga Moch. Nursjahid P., “Tohiran Sastrokusumo: Tokoh Kesenian
kang Nate Mimpin W.O. Sriwedari Suwene 18 Taun”, Jaya Baya,
No. 14/ XXX, 7 Desember 1975, hlm. 14.
394

pelatihan olah tari, antawacana (dialog), tembang, dan karawitan

dengan menempatkan pemain-pemain senior sebagai pembimbing

dan penasihat. Perubahan sistem produksi dilakukan dengan

perubahan sistem spesialisasi pemilihan peran tertentu ke sistem

yang lebih luwes, dalam arti seorang penari harus dapat

memerankan berbagai macam karakter wayang wong. Hal ini

dilakukan untuk mengantisipasi pembatalan pementasan yang

disebabkan oleh ketidakhadiran seorang pemain spesialis peran

tertentu. Perubahan sistem produksi juga dilakukan dengan

perubahan durasi pertunjukan dari lima sampai enam jam

menjadi tiga sampai empat jam. Perubahan durasi pertunjukan

dilakukan tanpa mengubah struktur pathet, tetapi dengan

mengurangi adegan dan antawacana yang tidak penting.

Perubahan waktu ini juga berkaitan dengan pandangan

masyarakat terhadap waktu dalam hubungan dengan berbagai

kesibukannya.244 Perubahan sistem pemasaran dilakukan dengan

publikasi dengan memanfaatkan media radio, kendaraan

berkeliling kota, dan pamflet.245

Regenerasi dan perubahan sistem produksi mengakibatkan

para pemain wayang wong menjadi lebih bergairah dan

244Hersapandi, op. cit., hlm. 103.

245Rusini, op. cit., hlm. 32.


395

bersemangat dalam penampilan, sehingga pergelaran Wayang

Orang Sriwedari semakin bertambah mantap. Kemantapan

pergelaran ternyata dapat menarik penonton untuk datang

melihat. Wayang Wong Sriwedari menjadi semakin terkenal.246

Tidak berbeda dengan kelompok wayang wong panggung

komersial yang lain seperti Ngesthi Pandhawa di Semarang,

Sriwedari selalu mampu menyesuaikan diri dengan selera

penontonnya.247 Sebagaimana dikemukakan oleh Umar Kayam,

bahwa teater kitsch akan sukses apabila tampil apik, inovatif,

spektakuler, dan gemerlap. Wayang Wong Sriwedari mampu

menampilkan trick dan spectacle yang dapat menarik perhatian

penonton.248 Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila

Wayang Wong Sriwedari semakin maju dan banyak

penggemarnya. Tohiran memberikan kesaksian, bahwa sebagian

dari para penonton seperti berlangganan untuk menyaksikan

Wayang Wong Sriwedari. Mereka adalah para penonton setia yang

246Nursjahid P., loc. cit..

247Lihat“Wajang Wong Saiki Meh Akeh kang Ora Beda Karo


Sandiwara”, Djajabaja, No. 25, Taun XXIV, 1 Maret 1970.

248Umar Kayam, “Ngesti Pandowo: Suatu Persoalan Kitsch di


Negara Berkembang”, dalam Edi Sedyawati & Sapardi Djoko
Damono, ed., Seni dalam Masyarakat Indonesia: Bunga Rampai
(Jakarta: PT Gramedia, 1983), hlm. 131.
396

pada umumnya terdiri atas orang-orang tua.249 Di antara para

penonton setia itu adalah orang-orang Tionghoa Surakarta.250

Berdasar fakta itu, dapat dikemukakan, bahwa Wayang Wong

Sriwedari telah menjadi salah satu tontonan dan hiburan yang

menarik bagi masyarakat kota. Menurut Koentjaraningrat,

Wayang Wong Sriwedari digemari tidak hanya oleh golongan wong

cilik saja, tetapi juga oleh golongan sosial yang lebih tinggi dari

kalangan terpelajar.251

Di bawah kepemimpinan Tohiran (1954-1967) Wayang Wong

Sriwedari mengalami masa kejayaan kembali. Menurut Rusini,

secara garis besar ada dua faktor penyebab kejayaan Sriwedari,

yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

mencakup: pemain muda yang menguasai berbagai bidang; rasa

cinta pemain terhadap kesenian wayang wong; adanya pemain

pujaan, sehingga menambah daya tarik; adanya dukungan dari

pihak pengelola baik secara material maupun spiritual; adanya

publikasi dengan cara menyiarkan sebagian adegan cerita melalui

radio atau pun menggunakan kendaraan keliling kota sambil

249“Transkrip Wawancara dengan Tohiran” (Wawancara


dilakukan oleh Susanto pada 14 Februari 1996), hlm. 32.

250Rustopo, passim.

251Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: PN Balai


Pustaka, 1984), hlm. 306-307.
397

menyebarkan pamflet. Sementara itu, faktor eksternal meliputi

jumlah penari selain pemain wayang wong belum banyak dan

jenis tontonan belum beragam, sehingga masyarakat tidak

memiliki banyak pilihan atau tuntutan.252

Pada masa kejayaannya Wayang Wong Sriwedari menjadi

salah satu identitas budaya Surakarta. Kehebatan dan popularitas

Wayang Wong Sriwedari tercermin dari adanya ungkapan yang

muncul pada dasawarsa 1960an, yaitu: “Tekan Solo durung

komplit yen durung nonton wayang wong Sriwedari” (Sampai di

Surakarta belum lengkap apabila belum menonton pertunjukan

Wayang Wong Sriwedari).253

Popularitas Wayang Wong Sriwedari juga tercermin dari

adanya permintaan untuk menggelar pentas wayang wong di

Taman Ismail Marzuki Jakarta. Pada 1967 Wayang Wong

Sriwedari menampilkan lakon Bima Sakti dengan penggarapan

tata rias dan busana yang lebih sederhana. Selain itu, pada 1971

Wayang Wong Sriwedari tampil dengan dukungan Karawitan

Studio RRI Jakarta. Dalam kedua pementasan itu Wayang Wong

Sriwedari berhasil menyuguhkan tontonan yang menarik, sehingga

252Rusini, op. cit., hlm. 32.

253“Wayang
Wong Sriwedari: Kang Wigati Dudu Teknologine”,
Mekar Sari, No. 37 XXXIX, 10 November 1995, hlm. 7.
398

mendapatkan sambutan yang menggembirakan dari para

penonton yang tidak lain adalah masyarakat Jawa di Jakarta.254

Pada saat itu Wayang Wong Sriwedari juga telah melahirkan

lagi para pemain bintang yang sangat populer di masyarakat, yaitu

Rusman Harjawibaksa (lahir 1926, meninggal 1990), Surana

Ranawibaksa (lahir 1929, meninggal 1996), Darsi Pudyarini, dan

Sitarini. Keberadaan mereka merupakan daya tarik tersendiri bagi

masyarakat untuk rela merogoh uang dari kantongnya guna

membeli tiket pertunjukan Wayang Wong Sriwedari. Hal ini antara

lain dibuktikan dengan fakta, bahwa pada masa kejayaannya

Wayang Wong Sriwedari sering diborong oleh sebuah panitia

pencari dana untuk membantu pendirian gedung sekolah, korban

bencana alam, dan lain-lain.255

Dengan bentuk-bentuk tipuan gerak dan teknik-teknik

penyajian yang segar serta perlengkapan tata cahaya yang masih

sederhana Wayang Wong Sriwedari pada waktu itu telah

menunjukkan kelasnya sebagai sebuah tontonan hiburan yang

paling digemari publik, termasuk pribadi Presiden Soekarno.

Rusman Harjawibaksa yang terkenal sebagai pemeran tokoh

254Rusini, op. cit., hlm. 35 dan “Radio Republik Indonesia


Studio Djakarta 1971-1972”, hlm. 194.

255R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era


Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002),
hlm. 227.
399

Gathutkaca sering dipanggil ke istana untuk menari di hadapan

para tamu agung. Kegandrungan Presiden Soekarno kepada tokoh

Gathutkaca yang dibawakan oleh Rusman Harjawibaksa dengan

gaya dan nada bicaranya yang maskulin dan berwibawa, membuat

presiden pertama Republik Indonesia itu berupaya untuk meniru

gaya dan nada bicara tokoh Gathutkaca ketika sedang

berpidato.256 Popularitas Rusman Harjawibaksa diikuti oleh Darsi

Pudyarini dan Surana Ranawibaksa, sehingga secara berturut-

turut mereka ditunjuk sebagai duta seni untuk melawat ke

berbagai negara sahabat. Pada 1951 (Sic.; 1961–penulis)257 mereka

ditunjuk oleh pemerintah untuk mengikuti misi kebudayaan ke

Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, Philipina, dan Singapura,

serta pada 1964 ke Pakistan dan Amerika Serikat.258 Dalam misi

kebudayaan yang diselenggarakan pada 1961 mereka menjadi

bagian dari Floating Fair. Sesuai dengan namanya, acara misi

kebudayaan ini berlangsung di atas kapal Tampo Mas yang

didesain menjadi ruang pameran dan panggung pertunjukan,

256R.M.
Soedarsono dan Tati Narawati, Dramatari di Indonesia,
Kontinuitas dan Perubahan (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2011), hlm. 140.

257Misikebudayaan pertama yang secara resmi


diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia adalah ke Republik
Rakyat Cina pada 1954.

258Hersapandi, op. cit., hlm. 104.


400

tempat para seniman itu berlayar, dan tempat kerajinan tangan,

produk, pabrikan, dan model-model perencanaan kota-kota

Indonesia turut dipamerkan. Di beberapa pelabuhan, orang

menyaksikan pertunjukan-pertunjukannya. Dalam misi

kebudayaan yang diselenggarakan pada 1964 mereka menjadi

bagian dari rombongan besar yang terdiri atas lebih dari 60 orang

seniman yang dikirim ke Amerika Serikat selama tujuh bulan

sebagai sumbangan Indonesia untuk New York Word’s Fair. Misi

kebudayaan 1961 dan 1964 merupakan dua misi kebudayaan

terbesar yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia pada

dasawarsa 1960an.259

Popularitas bintang-bintang Wayang Wong Sriwedari juga

ditunjang dengan adanya piringan hitam produksi Lokananta pada

akhir dasawarsa 1960an. Setidaknya telah diproduksi tiga buah

rekaman lakon wayang wong oleh Lokananta yang didukung oleh

seniman-seniman Wayang Wong Sriwedari yang sebagian juga

telah bergabung dengan Wayang Wong RRI Surakarta, yaitu

Pergiwa Pergiwati (1968), Mustakaweni (1968), dan Gathutkaca

259JenniferLindsay, “Menggelar Indonesia di Luar Negeri”,


dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem, ed., Ahli Waris
Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965 (Jakarta-Denpasar:
KITLV dan Pustaka Larasan, 2011), hlm. 232-233.
401

Krama (Perkawinan Gathutkaca, 1969).260 Sebagai bukti, Rustopo

(lahir 1952) memberikan kesaksian, bahwa ia mengenal nama

Rusman dengan suaranya yang khas melalui piringan hitam

produksi Lokananta, Pergiwa Pergiwati.261

Popularitas Rusman, Darsi, dan Surana menjadi daya tarik

bagi masyarakat untuk menghadirkan mereka guna mengisi

berbagai acara perhelatan. Mereka sering mendapat panggilan

pentas (tanggapan) dari masyarakat Jawa Tengah, Jawa Timur,

dan Jakarta. Di masyarakat mereka dikenal dengan

kelompok/grup DRS yang merupakan singkatan dari Darsi,

Rusman, dan Surana.262

Kejayaan Wayang Wong Sriwedari dan popularitas seniman-

senimannya telah menjadikan Surakarta sebagai acuan standar

dalam pertunjukan wayang wong di Indonesia. Wayang Wong

Sriwedari telah merebut perhatian sebagian masyarakat Indonesia,

khususnya Jawa sampai dengan 1970an.

260Yampolsky, op. cit., hlm. 63 dan 83.

261Rustopo, op. cit., hlm. 149 catatan nomor 76.

262“Tetepungan Karo: Surono, Penari Wayang Wong „Sri


Wedari‟”, Mekar Sari, No. 12, XVII, 15 Agustus 1973, hlm. 13.
402

2. Masa Kemunduran dan Upaya Pelestarian

Pada pertengahan dasawarsa 1970an tampak ada gejala-gejala

kemunduran Wayang Wong Sriwedari yang ditunjukkan dengan

penurunan jumlah penonton. Pada akhir dasawarsa 1970an minat

masyarakat terhadap Wayang Wong Sriwedari semakin

menurun.263 Kemunduran itu menjadi semakin tampak nyata

pada dasawarsa 1980an dan pada masa berikutnya. Gejala ini

tidak hanya terjadi pada Wayang Wong Sriwedari saja, namun

juga terjadi pada perkumpulan wayang wong panggung yang lain

seperti Ngesthi Pandhawa di Semarang dan Barata di Jakarta.264

Menurut Hersapandi, kemunduran Wayang Wong Sriwedari

disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal

mencakup aspek sumber daya manusia dan kelembagaan.

Wayang Wong Sriwedari kurang berhasil melakukan regenerasi

untuk menghasilkan pemain berbakat dan berkharisma. Pada saat

para pemain senior uzur dan meninggal dunia, belum muncul

pemain-pemain yang mampu menggantikannya. Rutinitas

pertunjukan sebagai manifestasi dari kemandegan kreativitas

263“Ingkang Remen Ringgit Tiyang Saya Sekedhik”, Jaya


Baya, No. 5/ XXXIV, 30 September 1979, hlm. 26.

264Irwan Sudjono, “Taman Sri Wedari Mati (?)”, Mekar Sari,


No. 26 Th. XXXII, 8 Februari 1989, hlm. 20; dan Handung Kus
Sudyarsana, “Wis Akeh Bantuan Lestarine Wayang Wong”, Mekar
Sari, No. 23 Th. XXXIV, 8 Agustus 1990, hlm. 16.
403

dalam manajemen produksi, sarana dan prasarana yang kurang

representatif, dan publikasi yang sangat minim mengakibatkan

kebosanan dan penurunan jumlah penonton.265

Sejumlah faktor internal itu dilengkapi dengan faktor

eksternal. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak

selamanya memberi manfaat pada keberadaan seni pertunjukan

tradisi. Kemunculan berbagai jenis hiburan yang memberikan

bermacam-macam pilihan, bermanfaat untuk menambah

pengetahuan dan daya kreativitas, serta tanpa harus

mengeluarkan beaya dan meninggalkan rumah, seperti radio,

televisi, dan video merupakan faktor ekternal yang berkontribusi

signifikan bagi kemunduran Wayang Wong Sriwedari. Selain itu,

basis sosial pendukung Wayang Wong Sriwedari yang semakin

berkurang juga menjadi faktor eksternal yang lain penyebab

kemundurannya. Ketika para generasi pendukung Wayang Wong

Sriwedari menjadi semakin tua dan meninggal dunia, tidak

muncul generasi muda pengganti yang menjadi pendukungnya,

karena mereka lebih suka pada hiburan yang sesuai dengan selera

zamannya.266

265Hersapandi, op. cit., hlm. 113-115.

266Ibid..
404

Kemunduran Wayang Wong Sriwedari juga menjadi perhatian

dari Pemerintah Pusat. Seiring dengan proses kemundurannya

dilakukan upaya-upaya untuk mempertahankan eksistensinya

mengingat Wayang Wong Sriwedari merupakan salah satu

identitas budaya Surakarta. Oleh karena dana dianggap menjadi

persoalan yang mengakibatkan kemandegan kreativitas, maka

pada 1975 Presiden Soeharto (lahir 1921, meninggal 2008)

memberikan bantuan sebesar Rp 325.000 per bulan yang pada

1989 meningkat menjadi 1.286.000 per bulan kepada pengelola

Wayang Wong Sriwedari. Suntikan dana ini diharapkan dapat

lebih menggairahkan para pemain untuk berolah seni, sehingga

dapat menghasilkan kreativitas seni yang disukai oleh penonton.

Upaya ini diikuti dengan pemugaran kembali gedung pertunjukan

atas bantuan Presiden Soeharto pada 1977. Beberapa bagian

gedung diubah dan diganti dengan konstruksi yang baru, namun

pemugaran itu kurang memperhatikan ruang pentas penari.

Penambahan perlengkapan tata cahaya dan tata suara juga masih

belum seperti yang diharapkan guna mendukung keberhasilan

pentas.267

267Ibid.,
hlm. 115, 119, dan 125; “Seniman WO Sriwedari &
RRI Patut Antuk Kawigaten”, Dharma Kanda, Taun Ka VI No. 274
Minggu Ka V Januari 1975, hlm. III.
405

Selain itu, dari aspek sumber daya manusia pada

pertengahan dasawarsa 1980an direkrut pemain-pemain muda

bahkan sebagian diangkat menjadi pegawai honorer dan pegawai

negeri sipil. Namun sayang beberapa pemain itu dianggap masih

kurang memenuhi persyaratan untuk menjadi pemain wayang

wong yang andal. Para pemain baru banyak yang kurang

mencintai wayang wong, karena menjadi pemain wayang wong

sebagai batu loncatan atau sarana untuk menjadi pegawai negeri

sipil.

Dengan kemampuan dan semangat yang ada pada para

anggotanya, Wayang Wong Sriwedari tetap mengadakan

pertunjukan dengan jumlah penonton kira-kira 10 persen dari

jumlah tempat duduk yang disediakan. Hal ini dilakukan

mengingat bahwa kesenian wayang wong merupakan salah satu

aset budaya bangsa dan pementasannya merupakan salah satu

upaya untuk mempertahankan kelestariannya.

Upaya lain untuk menarik perhatian penonton adalah

menyelenggarakan pentas gabungan. Pada 1987 diadakan pentas

gabungan dengan pemain muda yang terhimpun dalam Seniman

Muda Surakarta untuk memperingati ulang tahun Korpri. Pada

awal 1988 pertunjukan gabungan itu secara rutin dilakukan sekali

dalam satu bulan, dan berjalan hingga pertengahan 1989. Pentas

gabungan ini berhenti karena adanya kesibukan-kesibukan lain


406

yang dihadapi oleh Seniman Muda Surakarta yang notabene

adalah para seniman STSI, SMKI, dan Taman Budaya Jawa

Tengah (TBJT) di Surakarta.268

Selain pentas gabungan, upaya-upaya untuk menarik

perhatian masyarakat dilakukan dengan menyelenggarakan

pergelaran khusus setiap malam 1 Syura. Kegiatan ini dimulai

pada 1987 dengan menggarap cerita Banjaran Srikandi dengan

menampilkan para pemain yang telah memiliki nama cukup

terkenal antara lain primadona Sarwarini, Listyarini, dr. Harninto

dan istri dari UNS, dan mereka yang tergabung dalam kelompok

Sari Budaya, Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS), Seniman

Muda Surakarta. Pementasan malam 1 Syura merupakan

pergelaran yang dinantikan oleh para seniman dan keterlibatan

mereka merupakan suatu kebanggan tersendiri. Besarnya biaya

dan kesibukan para pemain pendukung membuat pertunjukan ini

jarang dipergelarkan. Pertunjukan Wayang Wong Sriwedari

kembali berjalan seperti biasa dengan jumlah penonton yang

sangat sedikit.269

Pada 1990 muncul harapan baru dari perkumpulan Wayang

Wong Sriwedari untuk dapat mempertahankan eksistensi dan

268Rusini, op. cit., hlm. 34.

269Ibid., hlm. 34-35.


407

meningkatkan daya tariknya terhadap penonton. Dalam hubungan

dengan kunjungan Dinas Kebudayaan Jepang ke Sriwedari

muncul beberapa rekomendasi untuk perbaikan penampilan

perkumpulan wayang wong tersebut. Menurut wakil dari Dinas

Kebudayaan Jepang, pertunjukan tersebut dinilai bagus, tetapi

terlalu lama bagi sebuah pertunjukan. Oleh karena itu,

disarankan untuk memendekan durasi pertunjukan menjadi dua

jam, tanpa mengurangi isi pertunjukan. Selain itu, mereka

berpendapat bahwa peralatan tata cahaya dan tata suara yang

ada tidak sesuai bagi sebuah gedung pertunjukan. Untuk itu,

pemerintah Jepang melalui Atase Kebudayaan Kedutaan Besar

Jepang di Jakarta memberi bantuan peralatan tata lampu yang

canggih dan tata suara yang representatif. Untuk menyesuaikan

peralatan yang serba canggih itu, pada Mei 1993 mulai dilakukan

renovasi gedung pertunjukan Wayang Wong Sriwedari.270

Renovasi gedung mengakibatkan pementasan tidak dapat

diselenggarakan. Untuk menghindari kevakuman pentas,

dirancang pementasan keliling ke berbagai daerah. Sebagai

realisasinya diselenggarakan pertunjukan bekerja sama dengan

Dinas Pariwisata Kabupaten Boyolali. Meskipun karcis terjual

habis, panitia masih mengalami kerugian. Oleh karena itu,

270Ibid., hlm. 36-37.


408

pertunjukan keliling tidak dilanjutkan dan pertunjukan dilakukan

di Joglo Taman Sriwedari. Pertunjukan di Joglo Taman Sriwedari

tampaknya dapat mengobati rasa kangen penonton terhadap

Wayang Wong Sriwedari. Pementasan yang diselenggarakan tiga

kali dalam seminggu itu mendapat perhatian dari masyarakat

yang diindikasikan dari penonton yang memenuhi kursi-kursi

yang disediakan. Walaupun renovasi belum selesai, pada 1994

pementasan diselenggarakan kembali di gedung pertunjukan

semula.271

Keberadaan gedung dengan peralatan tata suara dan tata

cahaya yang lebih representatif memang telah memberi kekuatan

baru bagi Wayang Wong Sriwedari untuk memperbaiki

keadaannya. Namun, menurut Surana Ranawibagsa yang pada

saat itu mengemban tugas sebagai sutradara, semua itu belum

cukup apabila tidak didukung dengan keberadaan pemain yang

andal yang mampu membangkitkan kembali minat masyarakat

untuk menonton pertunjukan Wayang Wong Sriwedari.272

Pada akhirnya, berbagai upaya yang telah dilakukan tidak

berhasil mengubah kondisi Wayang Wong Sriwedari. Wayang

271Ibid., hlm. 37.

272“Wayang Wong Sriwedari: Kang Wigati Dudu Teknologine”,


op. cit., hlm. 44.
409

Wong Sriwedari tetap kalah bersaing dengan berbagai macam

bentuk hiburan yang semakin berkembang di berbagai tempat

khususnya seni-seni moderen.273 Keberadaan Wayang Wong

Sriwedari yang semakin kurang mendapatkan tempat dari

masyarakat, memunculkan beberapa gagasan untuk melestarikan

dan mengembangkannya. Menurut Handung Kus Sudyarsono, ada

empat hal pokok agar wayang wong diminati masyarakat, yaitu

pengembangan manajemen yang profesional, kesadaran para

seniman terhadap profesinya, penggarapan yang kreatif dan

inovatif yang mencakup struktur lakon dan unsur-unsur

dramatik, serta ketersediaan dana yang cukup untuk membiayai

wayang wong.274 Selain itu, Soedarsono berpendapat, bahwa

wayang wong merupakan komoditas dagang. Oleh karena itu,

untuk menyelamatkan Wayang Wong Sriwedari harus ada

penyelarasan dengan budaya kekinian.275 Oleh karena sejak 1980

Wayang Wong Sriwedari berada di bawah pengelolaan Dinas

Pariwisata Kota Surakarta, mestinya pertunjukan wayang wong

273Wayang Wong Perlu Tetep Lestari”, Mekar Sari, No. 5


XXXIX, 31 Maret 1995, hlm. 50.

274Handung Kus Sudyarsono, “Kudu Wani Ngowahi Pakem”,


Mekar Sari, No. 24 XXXIV, 15 Agustus 1990, hlm. 38.

275“Wayang
Wong Mujudake Komoditi Dagang: Kudu Laras
Karo Budaya Wektu ini”, Mekar Sari, No. 37 XXXIX, 10 November
1995, hlm. 6.
410

ini harus dikembangkan menjadi tontonan yang menarik, ketika

penonton yang berasal dari masyarakat Jawa sendiri sulit

diharapkan. Namun, menurut pandangan Soedarsono langkah-

langkah yang ditempuh oleh Dinas Pariwisata Kota Surakarta

masih setengah-setengah, karena apabila dimaksudkan untuk

menjadi seni pertunjukan wisata, pergelarannya harus dikemas

sesuai dengan formula-formula seni pertunjukan wisata.

Menurutnya, untuk mengembangkan Wayang Wong Sriwedari

sebagai seni pertunjukan wisata, maka durasinya tidak boleh lebih

dari satu jam, dialognya perlu dikurangi, ditampilkan menarik

dengan penari-penari muda yang sedap ditonton, serta penuh

variasi.276

Banyak pemikiran dan upaya-upaya yang nyata dari berbagai

pihak untuk menyelamatkan eksistensi Wayang Wong Sriwedari.

Namun demikian, tampaknya sampai dengan akhir dasawarsa

1990an Wayang Wong Sriwedari masih tidak beranjak dari kondisi

keterpurukannya dan belum mampu meningkatkan animo

masyarakat untuk menonton pertunjukan yang pernah mengalami

masa kejayaan pada pertengahan dasawarsa 1950an sampai

pertengahan dasawarsa 1970an. Kondisi Wayang Wong Sriwedari

276R.M. Soedarsono (2002), loc. cit..


411

ini memunculkan gagasan untuk menjadikannya sebagai

monumen cagar budaya.277

Sebagai penutup dari bab ini, berdasar fakta-fakta yang

telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa seni pertunjukan

Jawa Surakarta disebarluaskan melalui siaran RRI, kaset rekaman

komersial produksi Lokananta, penerbitan berbahasa Jawa, dan

panggung pertunjukan Wayang Wong Sriwedari. Melalui media-

media itu, seni pertunjukan Jawa Surakarta menyebar luas dan

dikenal oleh masyarakat, sehingga memiliki wilayah persebaran

yang lebih luas daripada seni pertunjukan Jawa Yogyakarta.

277Rustopo, op. cit., hlm. 239.


412

BAB V

KERATON DAN PENEGAKAN EKSISTENSI SURAKARTA

SEBAGAI PUSAT KEBUDAYAAN JAWA

Pada bab ini akan dibahas tentang upaya-upaya pelestarian dan

pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta yang dilakukan oleh

Kasunanan dan Mangkunagaran. Pada masa kemerdekaan dua

kekuasaan tradisional ini telah kehilangan kekuasaan politik dan

ekonomi. Kedudukannnya hanya sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Namun, dalam hubungan dengan upaya untuk mempertahankan

eksistensinya sebagai pusat kebudayaan Jawa di Surakarta,

keduanya mengalami perkembangan yang berbeda. Berikut ini

kiprah dan dinamika keduanya dalam upaya-upaya pelestarian

dan pengembangan seni pertunjukan Jawa Surakarta yang

berkontribusi terhadap penegakan eksistensi Surakarta sebagai

pusat kebudayaan Jawa.

A. Kasunanan

1. Upaya Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Jawa

Surakarta di Tengah Keterbatasan Dana

Perjuangan untuk mendapatkan status sebagai Daerah Istimewa

bagi Kasunanan sudah benar-benar berakhir pada 1950.

Kasunanan telah benar-benar kehilangan kekuasaan politik. Hal


413

ini berarti Kasunanan juga telah kehilangan kekuasaan ekonomi.

Dengan demikian, kekuasaan Sunan Paku Buwana XII hanya

sebatas di dalam wilayah keraton. Dengan menggunakan

ungkapan Jawa, kekuasaannya mung samegaré payung (hanya

seluas payung); terbatas pada wilayah keraton, hanya sebagai

kepala dinasti. Dalam kondisi seperti itu, keraton sudah tidak

memiliki sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk

mencukupi kebutuhan-kebutuhan untuk kelangsungan hidup

keraton, seperti gaji abdi dalem, penyelenggaraan upacara,

pergelaran seni, dan lain-lain.1

Kasunanan berusaha tetap mempertahankan eksistensinya

sebagai pusat kebudayaan Jawa dengan menggunakan sisa-sisa

kekayaan yang masih dimilikinya. Pada awal dasawarsa 1950an

tradisi-tradisi yang berlaku di lingkungan keraton masih

diselenggarakan seperti pada masa sebelum kehilangan

kekuasaan politik dan ekonomi.2 Demikian halnya dengan

kehidupan seni di keraton. Pelatihan karawitan, tari, dan pentas

pedhalangan masih tetap diselenggarakan. Pada 1950 Kasunanan

1“IngkangSinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwono XII:


Kraton Saiki Dudu Duwekku”, Parikesit: Kalawarti Sasen Basa
Jawa, Februari 2004, hlm. 10.

2I.G.P.Wiranegara, “Paku Buwana XII: Berjuang untuk


Sebuah Eksistensi” (Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian
Jakarta, 2004), menit ke- 25:12-26:02 dan 26:55-27:25.
414

masih menyelenggarakan kegiatan karawitan secara rutin yang

juga disiarkan oleh RRI Surakarta.3 Para abdi dalem bedhaya

(penari bedhaya) dan para kenya (penari srimpi) masih setia

mengabdi kepada kepala dinasti dan terus berlatih menari untuk

mendukung penyelenggaraan upacara-upacara di dalam keraton.4

Hal ini setidaknya tercermin dari kesaksian R. Soeprapto yang

pernah melihat latihan tari bedhaya dengan iringan karawitan di

keraton pada 1952.5

Para pangèran juga masih melakukan aktivitas kreatif yang

ditandai dengan adanya karya-karya yang diciptakan. Pangèran

Prabuwinoto adalah seorang pangèran yang memiliki perhatian

besar terhadap karawitan dan tari Jawa Surakarta. Ia merupakan

seniman yang produktif dalam menghasilkan gendhing-gendhing

gaya Surakarta pada awal kemerdekaan. Puluhan gendhing telah

3Pedoman Radio, No. 1 4-10 Djuni 1950, hlm. 11.; Pedoman


Radio, No. 2 11-17 Djuni 1950, hlm. 11.

4Nora Kustantina Dewi, “Pemadatan Tari Srimpi Sangupati


Kraton Surakarta: Salah Satu Alternatif Pengembangan”, dalam
Rustopo, Krisis Kritik: Seperempat Abad Pasca Gendhon
Humardani (Surakarta: ISI Press, 2008), hlm. 47.

5R. Soeprapto, “Latihan Tari Bedaja di Kraton Surakarta”,


Mimbar Indonesia, No. 31 Th. VI, 2 Agustus 1952, hlm. 13-14.
Artikel ini diterbitkan lagi pada Mimbar Indonesia, No. 25 Th. VIII,
19 Djuni 1954, hlm. 24-25.
415

berhasil diciptakannya.6 Pada 1953 ia juga menciptakan sebuah

tarian baru yang diberi nama Tari Yatna Tama, yang berarti tari

Putera Utama. Tarian itu menggambarkan orang yang sedang

berziarah ke makam pahlawan dengan menaburkan bunga. Suatu

hal yang menarik adalah selain dapat diiringi dengan gamelan

Jawa, tarian itu juga dapat diiringi dengan musik diatonis.7 Tari

ciptaan Pangèran Prabuwinoto ini dapat ditafsirkan merupakan

sebuah upaya untuk mengembangkan tarian Jawa yang sesuai

dengan semangat zaman, yaitu membuka kemungkinan

penggunaan musik non-gamelan untuk mengiringi tari Jawa.

Interpretasi ini didukung oleh sebuah fakta, bahwa pada 1948 ia

juga menyajikan Tari Nusantara pada Kongres Kebudayaan

Indonesia I di Magelang.8 Dari nama tarinya dapat diduga, bahwa

ia ingin menampilkan nuansa ke-Indonesiaan dalam karya itu.

Demikian halnya dengan seni pedhalangan, Kasunanan

dalam acara-acara tertentu masih menggelar pertunjukan wayang

6Namun sayang, gendhing-gendhing itu tidak tersosialisasikan


dengan baik di kalangan pangrawit pada saat itu. Catatan notasi
balungan gendhing sudah tidak dapat dilacak, karena hanyut
terbawa arus banjir yang terjadi di Surakarta pada 1966. Waridi,
Karawitan Jawa Masa Pemerintahan PB X: Perspektif Historis dan
Teoretis (Surakarta: ISI Press, 2006), hlm. 202.

7“Tari „Jatna Tama‟", Budaya, No. 8 Agustus 1953, hlm. 58.

8Nunus Supardi, Kongres Kebudayaan (1918-2003)


(Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 141.
416

kulit purwa semalam suntuk. Sebagai bukti, majalah Budaya

memberitakan bahwa pada malam Sabtu Pon 23/24 April 1954 di

keraton Surakarta telah diadakan pergelaran wayang kulit purwa

di Sasana Handrawina dengan dhalang Wignyosutarno. Boneka

wayang menggunakan Kyai Kanyut, dengan lakon Pejahipun

Kangsa (Terbunuhnya Kangsa). Dalam pemberitaan juga

disebutkan, bahwa acara diselenggarakan secara besar-besaran

apabila dibandingkan dengan pergelaran-pergelaran sebelumnya.

Namun sayang, penulis berita tidak mengetahui acara yang

diselenggarakan itu.9

Fakta-fakta itu membuktikan, bahwa Kasunanan pada awal

sampai dengan pertengahan dasawarsa 1950an masih

menyelenggarakan kegiatan-kegiatan rutin dan insidental untuk

melestarikan dan mengembangkan seni pertunjukan Jawa dalam

zaman yang sedang berubah di tengah-tengah keterbatasan dana

sebagai akibat dari kehilangan kekuasaan dalam bidang ekonomi.

9Budaya, No. 4 Tahun III April 1954, hlm. 37.


417

Gambar 5.1
Pergelaran Tari Bedhaya (?) di Keraton Surakarta
(Mimbar Indonesia, No. 31 VI, 2 Agustus 1952)

Upaya-upaya yang terencana untuk melestarikan dan

mengembangan seni pertunjukan keraton mulai dilakukan pada

1957. Pada Mei 1957 di Kasunanan didirikan Pawiyatan

Kabudayan Karaton Surakarta (PKKS) dengan azas dan tujuan,

yaitu mengembangkan, memelihara, dan mempertinggi kesenian

keraton. Pendirian lembaga ini juga bertujuan untuk

mendemokratisasi kesenian keraton agar dapat dikenal oleh

masyarakat di luar keraton secara luas. Untuk mencapai tujuan


418

itu dibuka pendidikan seni tari, karawitan, pedhalangan, tembang,

bawa, gérong, kesusastraan, dan pencak silat. Selain itu, juga

diajarkan masalah filsafat kesenian dan kebudayaan. Lembaga

keraton penyelenggara pelatihan kesenian itu diketuai oleh

Pangèran Prabuwijoyo dengan mendapat bantuan dari tokoh-tokoh

kebudayaan daerah Surakarta.10

Pada tahun pertama pelatihan kesenian yang diselenggarakan

oleh PKKS dapat berjalan dengan lancar. Hal ini dapat dibuktikan

dengan fakta, bahwa pada akhir Juli 1958 di Pendapa Sasana

Mulya Surakarta telah diselenggarakan peringatan ulang tahun

ke-1 PKKS dengan menyajikan berbagai macam pertunjukan

kesenian yang dilakukan oleh para siswa lembaga tersebut, antara

lain: tari-tarian putra putri, karawitan yang dimainkan oleh para

siswanya yang sebagian terdiri dari ibu-ibu, pedhalangan, dan

pencak silat.11 PKKS juga sering diminta untuk mengisi acara

siaran di RRI Surakarta yang membahas tentang seni pertunjukan

Jawa, seperti tembang, gérong, santiswaran, dan pedhalangan.

10“PawijatanKebudajaan Kraton Surakarta”, Budaja, V. 6 -


1957 No. 6 dan 7, hlm. 261.

11Pawijatan Karaton Surakarta 1 Tahun”, Budaja, Tahun VII,


No. 7 1958, hlm. 296.
419

Murid-murid binaan Pangèran Prabuwijoyo juga pernah mengisi

siaran karawitan Jawa di RRI Surakarta.12

Kegiatan-kegiatan PKKS terus dilaksanakan secara

berkesinambungan dengan dinamika internalnya. Salah satu

persoalan yang menjadi kendala untuk keberlangsungan kegiatan

lembaga itu adalah dana. Namun demikian, di tengah-tengah

keterbatasannya dalam menyediakan dana, Kasunanan tetap

mengupayakan agar lembaga yang dapat mendukung kelestarian

kebudayaan keraton itu dapat terus berjalan.

Tampaknya persoalan yang dihadapi oleh Kasunanan dalam

mempertahankan eksistensinya sebagai pusat kebudayaan Jawa

diketahui oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah

pusat mencoba untuk membantu menyelesaikan persoalan yang

sedang dihadapi oleh Kasunanan pada saat itu. Pada awal 1960an

dalam hubungan dengan pengembangan kepariwisataan

Indonesia, telah direncanakan unit-unit proyek untuk mendukung

pariwisata, seperti pembangunan Hotel Ambarukmo di Yogyakarta,

Art Gallery di keraton Surakarta, dan atraksi-atraksi kesenian

12BeritaRadio, No. 283 Tahun XIII, 29 Djuni – 5 Djuli 1958,


hlm. 3-18; Berita Radio, No. 319 Tahun XIII, 8- 14 Maret 1959,
hlm. 3-18.
420

dalam hal ini adalah Sendratari Ramayana Prambanan.13 Dari

rencana itu, dapat diketahui bahwa sejak 1960an ada keinginan

dari pemerintah pusat untuk menjadikan keraton sebagai bagian

dari proyek pengembangan pariwisata, bahkan mungkin sebagai

objek wisata.

Seiring dengan perkembangan PKKS, pada 1963

diselenggarakan Konferensi Pasific Asia Tourism Association (PATA)

di Surakarta. Pangèran Jatikusumo, salah seorang putra Sunan

Paku Buwana X yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri

Pariwisata Pos dan Telekomunikasi bermaksud memamerkan

keraton sebagai salah satu aset budaya unggulan. Akan tetapi,

menurutnya belum ada sesuatu dari keraton yang layak untuk

dipamerkan kepada para delegasi PATA dari negara-negara di

kawasan Asia Pasific. Pangèran Jatikusumo kemudian

menyampaikan hal itu kepada Pangèran Hadiwijoyo yang pada

saat itu menjadi Kepala Museum Radya Pustaka. Pangèran

Hadiwijoyo membicarakan keinginan Pangèran Jatikusumo

dengan Go Tik Swan. Dari pembicaraan itu akhirnya Pangèran

Hadiwijoyo menyerahkan sepenuhnya realisasi keinginan

Pangèran Jatikusumo kepada Go Tik Swan. Pendek kata, Go Tik

Swan harus memikirkan dan merealisasikannya. Ia membangun

13Moehkardi, Sendratari Ramayana Prambanan: Seni dan


Sejarahnya (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), hlm.
50.
421

suatu museum suaka budaya yang kemudian diberi nama Art

Gallery Keraton Surakarta (selanjutnya Art Gallery). Ketika proyek

ini sedang dikerjakan, Sunan Paku Buwana XII kurang memberi

dukungan dan bahkan pernah marah kepada Go Tik Swan,14

sebagaimana pernyataannya berikut ini: “.... Aku malah dijothak,

iki rak omahku, kok mbok injek-injek kaya ngene ki trus piyé?”.15

(“.... Saya justru dimusuhi, ini rumahku, kok anda injak-injak

seperti ini terus bagaimana?”). Kurangnya dukungan terhadap

rencana pembangunan Art Gallery diduga merupakan bentuk

kekecewaan Sunan Paku Buwana XII terhadap Pangèran

Jatikusumo yang pada awal kemerdekaan Indonesia kurang

memperjuangkan kepentingan Kasunanan untuk mendapatkan

status daerah istimewa.

Untuk mengisi ruang-ruang yang telah disiapkan selama

beberapa bulan, Go Tik Swan memohon kepada Sunan Paku

Buwana XII agar merelakan beberapa benda bersejarah milik

Kasunanan untuk ditata di ruangan-ruangan tersebut. Benda-

benda yang dimaksud adalah kereta, heirlooms (peralatan

upacara), tosan aji, senjata (bedhil, pistol, dan meriam), wayang,

14Rustopo, Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro


(Yogyakarta: Ombak, 2008), hlm. 177.

15Rustopo, “Paku Buwana XII dan Hardjonagoro” (Studio 19


Surakarta, 2005), menit ke- 02:54-03:45.
422

topèng, gamelan, peralatan dapur, dan lain-lainnya. Oleh karena

benda-benda keraton yang diizinkan oleh Sunan Paku Buwana XII

tidak mencukupi untuk memenuhi ruangan-ruangan Art Gallery,

maka kekurangannya dipinjam dari Museum Radya Pustaka dan

koleksi pribadi Go Tik Swan. Selain itu, kekurangan atas biaya

yang disediakan oleh Pangèran Jatikusumo harus diusahakan

sendiri oleh Go Tik Swan.16

Akhirnya, pembangunan Art Gallery dapat diselesaikan.

Peresmian pembukaannya dilaksanakan oleh Ibu Hartini Soekarno

pada 23 Maret 1963. Upacara peresmian pembukaan Art Gallery

dilaksanakan bersamaan dengan pembukaan Konferensi PATA.

Dalam peresmian itu hadir beberapa menteri dan utusan dari

negara-negara Asia Pasific. Selain Sunan Paku Buwana XII sebagai

tuan rumah, juga hadir Sultan Hamengku Buwana IX dan

Mangkunagara VIII bersama Gusti Putri. Usai upacara pembukaan

semua hadirin dipersilakan untuk menyaksikan isi Art Gallery.

Selama acara tersebut berlangsung, Go Tik Swan ditugasi untuk

menjelaskan seluruh isi Art Gallery kepada para tamu utama,

khususnya Ibu Hartini Soekarno.17

16Ibid., hlm. 177-178.

17Ibid., hlm. 178.


423

Keberadaan Art Gallery diharapkan dapat meningkatkan

kunjungan wisatawan ke keraton. Peningkatan kunjungan

wisatawan itu diharapkan dapat menambah pendapatan

Kasunanan yang dapat digunakan untuk membantu menopang

pembiayaan kegiatan-kegiatan di dalam keraton; termasuk

menegakkan eksistensinya sebagai pusat kebudayaan yang harus

melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa.18 Untuk

meningkatkan kunjungan wisatawan ke keraton, pada awal

1970an pemerintah pusat menetapkan Surakarta sebagai objek

penting bagi wisatawan yang berkunjung ke Jawa Tengah, bahkan

telah mengukuhkannya sebagai daerah kunjungan wisata selain

Bali dan Yogyakarta.19

Harapan untuk mendapatkan tambahan dana dari

pembangunan Art Gallery dapat diwujudkan, tetapi masih belum

dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan Kasunanan. Kasunanan

tetap menghadapi persoalan-persoalan pendanaan untuk

menyelenggarakan kegiatan di dalam keraton. PKKS sebuah

lembaga resmi milik Kasunanan yang bergerak dalam

pengembangan kebudayaan Jawa, khususnya seni pertunjukan

18Rustopo, “Paku Buwana XII dan Hardjonagoro” (Film


Dokumenter), menit ke- 05:05 - 06:12.

19Gunawan Suroto, “Surakarta Kitha Pariwisata”, Mekar Sari,


No. 14/ XVI, 15 September 1972, hlm. 16.
424

keraton, harus menghentikan aktivitasnya yang disebabkan oleh

kesulitan dana pada 1973. Setahun sebelumnya (1972) lembaga

itu telah menyusun anggaran dengan jumlah kurang dari Rp

4.500.000,00 yang antara lain digunakan untuk penyelenggaraan

pelatihan-pelatihan seni yang digunakan dalam upacara-upacara.

Uang sejumlah itu merupakan angka yang terlampau besar untuk

bisa didukung oleh kas Kasunanan. Walaupun Pemerintah

Indonesia telah memberikan subsidi kepada Kasunanan, namun

subsidi itu terlalu kecil untuk membiayai aktivitas-aktivitasnya.20

Lembaga yang telah berkiprah selama satu setengah

dasawarsa itu setidaknya telah melahirkan 20 orang dhalang;

memiliki kelompok karawitan yang pernah menjadi Juara I dalam

lomba tingkat Jawa Tengah, dan menghasilkan penari-penari yang

memiliki posisi yang baik di masyarakat, yang terbukti dengan

banyaknya undangan dan permintaan pentas dalam berbagai

acara.21

Kemandegan PKKS berarti kemandegan aktivitas-aktivitas

pelatihan seni di dalam keraton yang sebenarnya juga

dimaksudkan untuk membentuk penari-penari yang dapat

20Bram Setiadi, Womarul Hadi, dan D.S. Tri Handayani, Raja


di Alam Republik: Keraton Kasunanan Surakarta dan Paku Buwana
XII (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2000), hlm. 152.

21Ibid., hlm. 152-153.


425

dimanfaatkan untuk mendukung pergelaran-pergelaran seni

untuk upacara-upacara di dalam keraton. Kemandegan PKKS

berarti kemandegan upaya-upaya untuk mengembangkan,

memelihara, dan mempertinggi kesenian keraton.

Gambar 5.2
Pergelaran Tari Bedhaya Ketawang di Keraton Surakarta
(Sumber: Jaya Baya, No. 1 XXXI, 5 September 1976, hlm. 22)

Selain kemandegan PKKS, Kasunanan juga tidak mampu

merawat khazanah buku dan naskah kuna yang tersimpan di

Sasana Pustaka. Pada 1966 ketika terjadi banjir bandang di

Surakarta banyak buku dan naskah kuna yang terkena banjir,

karena tidak berhasil diselamatkan. Padahal, buku dan naskah

kuna itu antara lain berisi informasi tentang seni pertunjukan

keraton. Selain itu, menurut pengageng Sasana Pustaka,


426

Bratanagara, buku dan naskah kuna yang sebagian merupakan

karya Yasadipura, Ranggawarsita, Sunan Paku Buwana IV, dan

Padmasusastra rusak karena usia dan kurang perawatan.22

Demikian pula Museum Radya Pustaka, Kasunanan juga tidak

mampu merawat benda-benda bernilai sejarah dan budaya yang

tersimpan di dalamnya dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan

untuk kemajuan kebudayaan Jawa. Kehidupannya “Nyènèn

Kemis”23 (Senin Kamis); suatu ungkapan untuk menggambarkan

betapa berat dan sulit untuk dapat melangsungkan eksistensinya

sebagai museum yang representatif guna menyimpan warisan

sejarah dan budaya bangsa.

Kondisi itu tidak menyurutkan kerabat Kasunanan untuk

mempertahankan eksistensinya sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Kerabat Kasunanan tetap berusaha agar eksistensinya sebagai

pusat kebudayaan Jawa tetap lestari. Mereka ingin menunjukkan

kepada publik bahwa kerabat Kasunanan tidak tinggal diam

dalam menghadapi berbagai persoalan. Pada 17 Desember 1975

Keluarga Besar Muda Mudi Trah Kasunanan mengadakan

22“Koleksine Sasana Pustaka Kraton Surakarta Rusak”, Mekar


Sari, No. 16/ XXVII, 15 Oktober 1983, hlm. 11.

23“11 Windu Museum Radya Pustaka Surakarta”, Jaya Baya,


No. 12/ XXXIII, 19 November 1978, hlm. 5. Putra Sala, „Museum
Radya Pustaka, Uripe Nyenen Kemis Mangka Umure Wis 93 Taun”,
Mekar Sari, No. 23 XXVII, 1 Februari 1984, hlm. 29-30.
427

Pameran Busana Adat Keraton Surakarta bertempat di Sasana

Handrawina yang sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Putra-

putri dalem mengenakan dan memeragakan busana keraton. Acara

yang digelar bersama jamuan makan dengan menu-menu yang

njawani dan dimeriahkan oleh sajian karawitan itu dihadiri oleh

para pejabat, masyarakat, dan sentana dalem.24 Selain itu, dalam

sebuah acara ceramah yang diadakan di Museum Radya Pustaka

pada Juni 1979 yang dihadiri oleh Sunan Paku Buwana XII, Go

Tik Swan yang telah menjadi abdi dalem Kasunanan sejak 1972,

mengatakan, bahwa kekayaan kebudayaan keraton seperti seni

batik, keris, karawitan, seni vokal, bahasa, dan lain-lain

merupakan kebanggaan kita, sehingga harus dilestarikan dan

dikembangkan.25

Persoalan yang dihadapi oleh Kasunanan menjadi semakin

berat ketika pada Jumat 31 Januari 1985 terjadi kebakaran yang

meluluhlantakan bangunan-bangunan utama keraton, yaitu

Sasana Séwaka, Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina,

dan Bangsal Pracimayasa. Musibah ini mengakibatkan kesedihan

24“Pameran Busana lan Andrawina ing Bale Handrawina”,


Mekar Sari, No. 21 Taun XIX, 1 Januari 1976, hlm. 10.

25“R.T.
Harjonagoro: Kita Kudu Mongkok Karo Kabudayane
Dhewe”, Jaya Baya, No. 42/ XXXIII, 17 Juni 1979, hlm. 13-14.
428

yang tidak terperikan bagi keluarga besar Kasunanan.26 Selain

bangunan-bangunan utama, menurut Sunan Paku Buwana XII

paling sedikit ada 10 pusaka yang berupa tombak dan keris hilang

dalam musibah tersebut, di antaranya yang terpenting adalah

pusaka sarana untuk mendatangkan hujan.27

Musibah kebakaran juga mengakibatkan keprihatinan bangsa

Indonesia. Presiden Soeharto mengaku sangat terpukul dan

menyesal karena seolah tidak mampu menjaga keselamatan

keraton sebagai warisan budaya yang tidak ternilai. Presiden juga

berjanji akan membantu pembangunan kembali secepatnya,

mengingat keraton merupakan salah satu aset budaya nasional.

Pembangunan akan diusahakan secara swadaya dengan

menggalang dana dari pribadi-pribadi yang memiliki kepedulian

pada Kasunanan. Presiden dan para menteri yang bersimpati

menyumbangkan gajinya selama beberapa bulan. Tindakan ini

kemudian diikuti oleh berbagai pihak termasuk para pengusaha,

bahkan sejumlah besar surat kabar membuka “dompet bencana”

untuk menggalang dana partisipasi masyarakat luas.28

26TantriLinggarjati, “Kraton Surakarta Njedhul Maneh Saka


Bumi”, Mekar Sari, No. 20 Taun XXXI, 15 Desember 1987, hlm. 6.

27Setiadi dkk., op. cit., hlm. 129.

28Ibid., hlm. 130; Linggarjati, “Kraton Surakarta...”, loc cit..


429

Pada 5 Februari 1985, Presiden Soeharto membentuk Panitia

Swasta Pembangunan Kembali Keraton Surakarta (PSPKKS) yang

diketuai oleh Surono yang saat itu menjabat sebagai Menteri

Koordinator Politik dan Keamanan. Anggota terdiri atas para tokoh

yang sebagian menjabat sebagai menteri dan pengusaha nasional.

Panitia berjumlah 13 orang, oleh karena itu secara populer disebut

Tim 13. Sementara itu, pihak Kasunanan telah menyiapkan para

penasihat yang akan membantu bergerak dalam bidang spiritual.29

Pembangunan kembali keraton dimulai sejak 18 Juni 1985.

Pembangunan berlangsung selama 20 bulan. Pembangunan

dinyatakan selesai dan diserahterimakan dari panitia kepada

Sunan Paku Buwana XII pada 17 Desember 1987. Upacara serah

terima ditandai dengan penandatanganan prasasti PSPKKS. Pada

acara itu juga dipergelarkan Bedhaya Duradasih oleh para putri

dalem dan kerabat Kasunanan yang dipimpin oleh G.R. Ay. Koes

Moertiyah. Pergelaran wayang kulit purwa semalam suntuk

dengan dhalang Suryo Bandrio dan Anom Suroto menjadi puncak

29Anggota terdiri atas: 1. Soejarwo (Menteri Kehutanan), 2. L.


Benny Murdani (Menteri Pertahanan dan Keamanan Panglima
ABRI), 3. Subroto (Menteri Pertambangan), 4. Suyono
Sosrodarsono, 5. Harmoko (Menteri Penerangan), 6. Purnomosidi
Hadjisarosa (Menteri Pekerjaan Umum), 7. Hartarto (Menteri
Perindustrian), 8. Tungki Ariwibowo, 8. Sudwikatmono (Pengusaha
Nasional), 10. Mardjono Poerbonagoro (Sekretaris Jenderal
Departemen Kesehatan), 11. Soedjono Humardani, dan 12.
Ardjodarmoko. Bram Setiadi, dkk., ibid., hlm. 131; Linggarjati,
ibid..
430

acara dalam rangka syukuran pembangunan kembali keraton

Surakarta.30

Sampai dengan acara serah terima itu, Sasana Handrawina

belum dibangun sama sekali. Alasannya, panitia mendahulukan

bangunan-bangunan utama yang biasa digunakan untuk upacara.

Sasana Handrawina dianggap kurang utama, karena fungsinya

untuk perjamuan makan. Biaya yang telah dikeluarkan oleh

panitia mencapai 3,7 milyar lebih, tetapi masih menyisakan

pekerjaan akhir (finishing) yang belum dibayar.31

Musibah kebakaran dan pembangunan kembali bangunan-

bangunan utama keraton mendorong Pemerintah Pusat untuk

memberikan perhatian terhadap pengelolaan keraton. Hal ini

karena setelah pembangunan kembali diperlukan biaya perawatan

yang tidak kecil. Di pihak lain, Sunan Paku Buwana XII juga

menyatakan keprihatinannya, karena merasa tidak memiliki dana

untuk memelihara keraton. Subsidi dari Pemerintah Pusat melalui

Departemen Dalam Negeri yang diterima selama ini terlalu kecil

untuk merawat bangunan-bangunan keraton.32 Oleh karena itu,

30Linggarjati,
op. cit., hlm. 7; Tantri Linggarjati, “Bedhaya
Duradasih Ngregengake Syukuran Kraton Sala”, Mekar Sari, No.
21 XXXI, 15 Januari 1988, hlm. 16.

31Rustopo, op. cit.,. hlm. 219.

32Linggarjati, “Kraton Surakarta...”, loc. cit..


431

sekitar enam bulan setelah penyelesaian dan penyerahan

bangunan kepada pihak Kasunanan, pada 1988 terbit Surat

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 23 Tahun 1988

tanggal 16 Juli 1988 tentang status dan pengelolaan keraton

Surakarta.33 Keputusan Presiden tersebut setidaknya menegaskan

empat hal penting, yaitu: 1) keberadaan keraton sebagai pelestari

kebudayaan dan kepariwisataan merupakan kesatuan fungsi yang

tidak bisa dipisahkan; 2) pengelolaan kepariwisataan keraton dan

penetapan tarifnya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pariwisata

Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi; 3) hak milik

keraton adalah tanah dan bangunan serta kelengkapannya

termasuk Alun-alun dan Masjid Agung; dan 4) keraton dan

kelengkapannya dapat digunakan Sunan selaku pemimpin dinasti

untuk keperluan upacara, peringatan atau perayaan adat.

Beberapa kebijakan yang telah diambil oleh Pemerintah Pusat

tidak berdampak secara signifikan terhadap Kasunanan. Sebagai

bukti, pada 1993 kawasan Alun-Alun bahkan nyaris berubah

menjadi pasar. Dalam rangka Program “Solo Berseri34 seluruh

33Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 23 tahun 1988


tanggal 16 Juli 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton
Kasunanan Surakarta.

34“Solo Bersih Sehat Rapi Indah” adalah program


pembangunan yang dicanangkan oleh Walikotamadya Surakarta,
R. Hartomo pada 1985 yang bertujuan untuk mengadakan
inventarisasi masalah-masalah perkotaan Surakarta dalam hal
432

pedagang makanan yang tumbuh menjamur di malam hari

mengotori trotoar kota, dipindahkan untuk dilokalisasi di

sepanjang Jalan Paku Buwana di Alun-alun Utara. Tekanan

menjadi semakin berat ketika Pusat Pertokoan Beteng di pojok

Alun-alun dioperasikan. Pembangunan proyek plaza moderen ini

meruntuhkan Bangsal Pekapalan milik Kasunanan. Setelah

didemonstrasi oleh masyarakat serta budayawan Surakarta, pihak

investor menyanggupi untuk merenovasi Bangsal Pekapalan yang

sudah terlanjur roboh. Nasib Alun-alun selatan tidak kalah

nestapa, karena sudah sejak lama dijadikan sebagai tempat

penjemuran kain oleh pabrik-pabrik tekstil dan batik di

sekitarnya. Kekumuhan Alun-alun Selatan bertambah parah di

malam hari, karena sudah sejak lama tempat ini dijadikan sebagai

ajang praktik prostitusi kelas murahan. Kondisi ini menjadi

semakin parah ketika ada pertunjukan kethoprak tobong.35

Kondisi kedua Alun-alun Kasunanan itu merupakan sebuah ironi

mengingat salah satu langkah untuk mewujudkan “Solo Berseri”

adalah “melestarikan peninggalan purbakala dan tempat

kebersihan, kesehatan, kerapian, dan keindahan, sekaligus


mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Lihat R.
Hartomo, “Pelaksanaan Program Berseri Ditinjau dari Segi Hukum
dan Institusionalnya”, dalam Heru Suharto, Surakarta
Hadiningrat dalam Strategi Elit: Suatu Analisis Kepemimpinan
(Surakarta: Persatuan Wartawan Indonesia dan PT Pabelan, 1994),
Lampiran VIII, hlm. 120.

35Setiadi, dkk., op. cit., hlm. 293.


433

bersejarah serta mengembangkan kebudayaan daerah”,36 yang

sesuai slogannya ditempuh dengan menciptakan lingkungan yang

bersih, sehat, rapi, dan indah di sekitarnya. Kasunanan

tampaknya sudah tidak berdaya untuk mengatasi permasalahan-

permasalahan yang dihadapinya. Hak Kasunanan yang tinggal

berupa sejengkal area ini pun ternyata sudah tidak diakui dan

dihormati orang lagi.37

Menanggapi berbagai kejadian yang menimpa Kasunanan,

Sunan Paku Buwana XII mengatakan bahwa hal-hal yang terjadi

sejak awal kemerdekaan merupakan kehendak sejarah.

Menurutnya, yang penting Kasunanan menurut peraturan yang

berlaku masih ditempatkan sebagai pusat kebudayaan Jawa yang

perlu dipelihara. Dengan peraturan itu paling tidak ada sedikit

jaminan bahwa kebudayaan Jawa yang berkembang di keraton

dapat terus dipertahankan.38

Persoalannya adalah bagaimana mempertahankan

Kasunanan dengan kebudayaannya dalam zaman yang terus

berubah? Kalangan Kasunanan telah bersepakat untuk

menempuh restorasi proaktif menuju proses reaktualisasi dan

36Hartomo, op. cit., hlm. 129.

37Setiadi, dkk., op. cit., hlm. 294.

38Ibid., hlm. 297.


434

refungsionalisasi, sehingga Kasunanan mampu menjelma menjadi

pusat kebudayaan Jawa yang dinamis. Untuk reaktualisasi dan

refungsionalisasi perannya, Kasunanan membutuhkan dana.

Adanya kesadaran inilah yang melatarbelakangi kemunculan

konsep pembangunan Hotel Tursinopuri di lingkungan keraton.

Tujuannya tidak lain untuk menciptakan sumber penghasilan

baru guna mencukupi pembiayaan kebutuhan keraton termasuk

untuk meningkatkan kesejahteraan abdi dalem.39 Rencana

pembangunan hotel itu ditentang oleh sebagian kerabat

Kasunanan yang dipimpin oleh putri dalem, G. R. Ay. Koes

Moertiyah, yang kemudian karena peristiwa itu disebut oleh

kalangan pers sebagai “Putri Mbalela”. Penolakan itu

mengakibatkan rencana pembangunan Hotel Tursinopuri gagal

direalisasikan.40

Kegagalan mewujudkan hotel tidak mematahkan semangat

pihak Kasunanan. Kebutuhan dana untuk menjaga kelangsungan

eksistensi Kasunanan sebagai pusat kebudayaan Jawa melahirkan

gagasan untuk membangun kembali Sasana Handrawina dan

merenovasi bangunan-bangunan yang lain yang memiliki nilai

39Ibid., hlm. 298-300.

40“DraG.R.Ay. Koes Moertiyah Wirabhumi, Kraton Wis Nyawiji


ing Pribadine”, Mekar Sari, No. 23 XXXIX, 4 Agustus 1995, hlm.
16.
435

ekonomi. Gagasan ini juga dilatarbelakangi oleh realitas, bahwa

kepariwisataan Kasunanan semakin berkembang. Para wisatawan

menginginkan suasana yang lebih eksklusif saat diundang

mengikuti acara perjamuan di Kasunanan. Dari rencana

pembangunan sebesar Rp. 5,3 milyar yang diajukan pada akhir

Januari 1995 Pemerintah Pusat merekomendasikan bantuan 3,6

milyar rupiah yang bukan berasal dari anggaran negara. Sisanya

diperoleh dari sumbangan pengusaha nasional yang memiliki

kepedulian tinggi terhadap warisan kebudayaan Jawa Surakarta.

Pembangunan Sasana Handrawina selesai pada pertengahan

Desember 1997. Setelah selesai pembangunan, tempat ini telah

beberapa kali digunakan untuk berbagai keperluan memenuhi

permintaan masyarakat.41

Pada 1998 Sasana Suméwa atau Pagelaran di Alun-alun

utara direnovasi. Pemugaran secara total bangunan itu

menghabiskan dana hampir Rp. 2,75 milyar; Rp. 2,25 milyar

merupakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN). Pagelaran yang sering dipakai untuk penyelenggaraan

tradisi tahunan dan kegiatan masyarakat berskala massal, sejak

purnapugar pada November 1998 dilengkapi dengan sarana

penunjang yang lebih lengkap. Bangunan ini dipromosikan

41Setiadi dkk, op. cit., hlm. 305.


436

sebagai gedung pertemuan, tempat penyelenggaraan berbagai

keperluan yang meliputi rapat, seminar, pergelaran seni, dan

resepsi. Selanjutnya, adalah rehabilitasi Museum Keraton

Surakarta pada 1999. Menurut rencana Museum Keraton

Surakarta akan dilengkapi dengan rekaman audiovisual seluruh

benda-benda bersejarah koleksi museum dan keraton secara utuh.

Dalam upaya lebih banyak menarik jumlah wisatawan terutama

wisatawan mancanegara, Kasunanan akan menyediakan kios-kios

cinderamata yang khas, termasuk replika barang yang disimpan

dalam museum.42

Pertumbuhan keraton menjadi pusat industri pariwisata

budaya diharapkan dapat menciptakan sumber pendapatan yang

dapat digunakan untuk melaksanakan misinya dalam pelestarian

dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta. Sehubungan

dengan hal itu, pada 2000 dilakukan penyusunan konsep dan

paket kepariwisataan keraton. Pertumbuhan keraton menjadi

pusat industri pariwisata budaya ini secara sosiologis sesuai

dengan prediksi Alvin Toffler seorang futurolog terkenal dari

Amerika Serikat. Dalam bukunya yang berjudul “Powershift”

(1990) ia mengatakan, bahwa pada zaman moderen terjadi

pergeseran kekuasaan di negara-negara bekas kerajaan. Istana-

42Ibid., hlm. 306.


437

istana di negara berkembang tidak lagi menjadi pusat kekuasaan

politik, tetapi berubah menjadi objek wisata.43 Namun demikian,

secara historis sebenarnya jauh sebelum Toffler menyampaikan

pandangannya, pemerintah Indonesia telah membuat kebijakan

yang mengarah pada pengembangan keraton sebagai objek wisata.

2. Pembentukan Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton

Surakarta

Seiring dengan upaya-upaya Kasunanan dalam mempertahankan

eksistensinya sebagai pusat kebudayaan Jawa seperti telah

diuraikan di atas, pada 1990 muncul kepedulian dari G. R. Ay.

Koes Moertiyah, salah seorang putri Sunan Paku Buwana XII

untuk menghidupkan lagi kegiatan PKKS. Gagasan ini muncul

karena ada keprihatinan terhadap keberadaan penari Bedhaya

Ketawang yang semakin langka.44 Padahal, tari ini harus

43R.M.Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata


(Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), hlm.
236.

44Kondisi ini juga terjadi pada bidang karawitan yang


regenerasinya juga berjalan kurang baik. Putra dan putri abdi
dalem pengrawit tidak mau meneruskan profesi orang tuanya. Hal
ini karena sejak pemerintahan Sunan Paku Buwana X berakhir,
relatif tidak ada fasilitas yang dapat memberikan kehidupan
material secara layak terhadap para abdi dalem niyaga dari pihak
keraton. Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan I (Jakarta: Ford
Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2002),
hlm. 147.
438

dipergelarkan setiap tahun pada acara tingalan dalem (peringatan

hari ulang tahun penobatan raja). Gagasan itu direalisasikan

dalam bentuk pendirian sanggar di dalam keraton dengan pelatih

dirinya sendiri.45 Hal ini dapat ia lakukan karena sejak lama (kira-

kira pada 1980an) ia dan saudara-saudara perempuannya antara

lain G. R. Ay. Koes Sabandiyah, G. R. Ay. Koes Indriyah, dan G. R.

Ay. Koes Sowiyah telah berlatih tari bedhaya dan srimpi untuk

kepentingan pelestarian tari keraton tersebut. Mereka juga

memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berlatih menari di

dalam keraton.46 Selanjutnya, pada 1993 ia membentuk wadah

baru dengan nama Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton

Surakarta (YPKKS) berdasar akte notaris yang dikeluarkan oleh

Silvia Tri Budi Esti, S.H. tanggal 11 Mei 1993 Nomor 08.47

Pembentukan lembaga berbadan hukum didasari oleh

pertimbangan strategis. Menurut G. R. Ay. Koes Moertiyah, untuk

45SulistyoHaryanti, “Kiprah G. R. Ay. Koes Moertiyah dan


Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta dalam
Perkembangan Tari Istana Surakarta” (Tesis Program Pengkajian
Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Jurusan Ilmu Humaniora
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2001), hlm. 40.

46Wartawan JB, “G.R.A. Koes Moertiyah: Putri Kraton kang


Memetri Beksan Bedhaya dan Srimpi”, Jaya Baya, No. 50/ XXXV,
16 Agustus 1981, hlm. 20; Linggarjati, “Bedhaya Duradasih...”, loc.
cit..

47Haryanti, loc. cit..


439

mengembangkan lembaga diperlukan adanya jalinan kerja sama

dengan berbagai pihak. Ia berniat untuk menjalin kerja sama

dengan pihak luar negeri untuk kepentingan penggalangan dana

dan mengirimkan misi kesenian ke luar negeri. Keduanya itu

mensyaratkan legalitas seseorang atau lembaga yang berbadan

hukum.48 Pilihan untuk menjadikan sanggarnya berubah menjadi

yayasan dilatarbelakangi oleh misi-misi yang akan dilakukan.

Pada awalnya kegiatan YPKKS dibiayai secara gotong royong

oleh G. R. Ay. Koes Moertiyah dan empat saudara perempuannya

dengan merelakan gaji mereka dari keraton yang jumlahnya tidak

besar. Ia juga sempat menjual salah satu perhiasan gelang

miliknya dan berdagang kecil-kecilan untuk menambah biaya

pengelolaan YPKKS. Dalam perkembangan, sejalan dengan

semakin mekarnya kegiatan -- YPKSS merintis kerja sama dengan

beberapa yayasan dan lembaga penyandang dana asing.49

Setelah pembentukan YPKKS upacara-upacara di Kasunanan

juga menjadi bidang yang dikelolanya. Upacara-upacara itu

meliputi Jumenengan Dalem, Garebeg Maulud, Suran, Mahésa

Lawung, dan Selikuran (kelahiran Sunan Paku Buwana XII).50

48Ibid..

49Ibid., hlm. 44; Setiadi, dkk., op. cit., hlm. 153.

50Haryanti, ibid., hlm. 69.


440

Dalam bidang pawiyatan (pendidikan/kursus) YPKKS meneruskan

bidang kegiatan yang diselenggarakan oleh pendahulunya, PKKS,

kecuali pedhalangan dan pencak silat. Kursus Pedhalangan

berada langsung di bawah Pengageng Paréntah Karaton. Lembaga

baru ini menambah satu bidang kegiatan yaitu kursus pambiwara

(pembawa acara berbahasa Jawa). Penulis berpendapat, bahwa

penambahan satu cabang kegiatan ini diduga diilhami oleh

keberadaan lembaga-lembaga kursus pranatacara dan pamedhar

sabda di masyarakat yang semakin marak, antara lain

Persaudaraan Masyarakat Budaya Indonesia (Permadani, 1984)

dan Swagotra Budaya Jawa Tengah (1984) di Semarang yang

merupakan pioner dalam bidang ini. Kedua lembaga kursus

pranatacara dan pamedharsabda ini telah menyelenggarakan

kursus dan menghasilkan banyak lulusan. Kegiatan-kegiatan yang

diselenggarakan antara lain bekerja sama dengan Kasunanan.

Kecuali kursus pambiwara, pelaksanaan kegiatan cabang-

cabang kesenian yang lain seperti tari, karawitan, macapat, dan

santiswara diselenggarakan secara gratis untuk masyarakat.51

Kursus tari terdiri atas dua bagian, yaitu kelas tari untuk remaja

yang diselenggarakan tiga sampai empat kali dalam seminggu; dan

kelas tari bedhaya dan srimpi yang diajar langsung oleh G. R. Ay.

51Setiadi, op. cit., hlm. 163.


441

Koes Moertiyah seminggu sekali pada hari Minggu, Senin, atau

Jumat. Materi yang diberikan pada kelas tari untuk remaja adalah

tari Golèk, Bondhan, dan Retna Pamudya (putri); dan tari

Bandayuda dan Prawira Watang (putra). Bagi murid remaja putri

yang memiliki kemampuan yang menonjol, mereka diperkenalkan

dengan tari bedhaya dan srimpi. Hal ini dilakukan untuk

kepentingan regenerasi penari bedhaya dan srimpi Keraton

Surakarta.52

Pada 1995 anggota YPKKS yang belajar menari berjumlah 250

orang yang kebanyakan wanita. Dalam periode 1990-2000 telah

diselenggarakan kursus sebanyak 12 angkatan dengan jumlah

murid hampir mencapai 1000 orang. Beberapa murid yang

berprestasi menonjol dalam bidang tari juga dijadikan sebagai

pelatih.53

YPKKS juga melakukan penggalian tari bedhaya dan srimpi

dengan cara merekonstruksi berdasar pada cakepan gendhing

bedhaya dan srimpi yang diperoleh dari serat bedhaya srimpi. Atas

prakarsa G. R. Ay. Koes Moertiyah bedhaya dan srimpi yang telah

52Haryanti, op. cit., hlm. 70-71; “Yayasan Pawiyatan


Kabudayan Karaton Surakarta: Tansah Ngadhepi Tantangan
Regenerasi”, Mekar Sari, No. 23 XXXIX, 4 Agustus 1995, hlm. 10.

53Haryanti, ibid., hlm. 76; “Yayasan Pawiyatan Kabudayan


Karaton Surakarta: Tansah Ngadhepi Tantangan Regenerasi”, ibid..
442

direkonstruksi itu disusun kembali dalam bentuk padat, kecuali

tari Bedhaya Ketawang, karena merupakan jenis tari bedhaya

yang dianggap sebagai pusaka dan berfungsi untuk ritual. Sebagai

putri dalem yang ahli dalam tari bedhaya dan srimpi, G.R. Ay. Koes

Moertiyah juga menyusun tari bedhaya yang baru berjudul

Bedhaya Kirana Ratih dan Bedhaya Sukawati. Ia juga menyusun

dramatari Karsèng Puteri Utama.54

Dalam rentang waktu kurang lebih selama 10 tahun (1990-

2000) YPKKS telah berhasil melakukan regenerasi penari bedhaya

dan srimpi termasuk penari Bedhaya Ketawang. Keberhasilannya

mencetak para penari yang menguasai berbagai jenis tarian dapat

memenuhi kebutuhan penari untuk penyelenggaraan upacara-

upacara di dalam keraton baik yang bersifat sakral maupun

profan. Melalui pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan dan

kerja sama yang dijalin dengan berbagai pihak, YPKKS mampu

mewujudkan cita-citanya dengan mengepakan sayapnya

membawa misi kesenian Kasunanan ke luar negeri, yaitu:

Amsterdam, Viena, Langenhegen, Berlin, Genewa, Basel, Paris,

Den Haag, Antwerpen, dan Munchen dalam rangka Secret

Indonesia Festival (1993); Perancis dalam Festival Paris quarter

d’ete Festival (Musique et Danse de Java Ensemble du Palais

54Haryanti, ibid., hlm. 74-75.


443

Surakarta (1995); Jepang dalam rangka Court Gamelan and Dance

of Keraton Surakarta (1995); Belanda dalam Het Muziek Theater

Festival (1996); dan Jepang dalam Indonesia-Japan Friendship

Festival (1997). Dalam festival-festival yang diikuti itu YPKKS

menampilkan beberapa jenis tarian, yaitu bedhaya, srimpi, wirèng,

dan pethilan.55

Dalam hubungan dengan perkembangan kepariwisataan di

keraton Surakarta, YPKKS juga menyiapkan empat repertoar tari

untuk kunjungan wisatawan mancanegara. Keempat tari tersebut

terdiri atas dua repertoar tari putri dan dua repertoar tari putra,

yaitu Srimpi Lagudhempel, Srimpi Lobong, Wirèng Bandayuda, dan

Wirèng Lawung. Keempat repertoar tari tersebut merupakan

materi pokok, karena sering dipergelarkan untuk menyambut

wisatawan. Pada setiap pergelaran disajikan dua dari empat

repertoar tari yang telah dipersiapkan. Srimpi sebagai sajian

pertama dan wirèng sebagai sajian kedua. Selain itu, ada repertoar

lain yang dijadikan sebagai cadangan, yaitu Wirèng Bugis Kembar

dan Pethilan Perang Kembang. Penyajian dua jenis tari untuk

wisatawan mancanegara itu tidak dibakukan; artinya tari srimpi

tertentu tidak harus berpasangan dengan tari wirèng atau pethilan

tertentu. Tari srimpi itu dapat disajikan secara beriringan dengan

55Ibid., hlm. 76-78.


444

tari wirèng atau pethilan yang telah disiapkan. Kemasan tarian-

tarian itu belum sepenuhnya dapat memenuhi ciri-ciri seni wisata,

karena untuk sajian tari srimpi, pihak Kasunanan masih

memunculkan unsur sakral dan magisnya. Menurut kepercayaan

yang berlaku secara turun-temurun, sesaji dan asap dupa

merupakan sarana untuk memohon keselamatan bagi tari yang

disajikan, penari, niyaga, dan penontonnya.56

Pelatihan karawitan iringan tari (gendhing beksan) diadakan

bersamaan dengan latihan tari. Dengan demikian, materi yang

diajarkan sesuai dengan materi tarinya. Latihan gendhing-

gendhing klenèngan diadakan secara khusus seminggu sekali pada

Jumat. Mereka yang mengikuti latihan karawitan sebagian adalah

orang yang ingin menjadi abdi dalem pangrawit. Dengan demikian,

mereka sekaligus dapat belajar tentang repertoar gendhing-

gendhing keraton.57 Menurut Rahayu Supanggah, sebagian abdi

dalem pangrawit yang baru adalah mantan/ pensiunan pengajar

SMKI, karyawan RRI, pengajar ASKI/STSI, dan seniman bebas

56Daryono, “Dampak Pariwisata terhadap Tari Tradisional di


Karaton Kasunanan dan Pura Mangkunagaran Surakarta”,
(Yogyakarta: Tesis Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan
Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, 1999), hlm. 64-65, dan 135.

57Haryanti,op. cit., hlm. 72; “Yayasan Pawiyatan Kabudayan


Karaton Surakarta: Tansah Ngadhepi Tantangan Regenerasi”, loc.
cit..
445

freelance. Bagi mereka terutama yang berasal dari wilayah

pedesaan, menjadi abdi dalem merupakan sarana untuk mencari

kesibukan dan ngalap berkah. Mereka masih beranggapan, bahwa

menjadi abdi dalem merupakan kehormatan, kebanggaan, gengsi

dan atau membawa berkah spiritual.58 Sementara itu, macapat

dan santiswara masing-masing diselenggarakan pada setiap

Selasa dan Kamis di Bangsal Parasdya dan Pendapa Smarakata.59

Kursus pambiwara YPKKS bernama Pasinaon Pambiwara

Karaton Surakarta (PPKS). Pendirian PPKS bertujuan untuk

memberikan pelatihan pembawa acara berbahasa Jawa yang

bersumber dari keraton. Masa pendidikan berlangsung selama

enam bulan yang proses pembelajarannya mengombinasikan

antara teori (40%) dan praktik (60%). Materi-materi yang diberikan

dalam kursus pambiwara adalah Pancasila, Kabudayan Jawa,

Tulisan Jawa, Basa lan Sastra Jawa, Kawruh Pambiwara, Tata

Krama lan Kasusilan, Tata Busana Jawi, Tata Cara lan Upacara

Mantu, Hamicara ing Pasamuan, Kawruh Gendhing, Kawruh

Beksan, dan Kawruh Macapat.60

58Supanggah, loc. cit..

59Haryanti,
loc. cit..; “Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton
Surakarta: Tansah Ngadhepi Tantangan Regenerasi”, loc. cit..

60“Kursus Pembawa Acara Berbahasa Jawa Karaton


Surakarta”, Mekas (Media Karaton Surakarta), No. 05-1 Mei 1999,
hlm. 5.
446

Untuk menunjang pelaksanaan kursus, pada 1992 YPKKS

menerbitkan dua buku berjudul Penganten Surakarta61 dan

Kawruh Pambiwara62 sebagai pedoman bagi peserta kursus.

Menurut penulisnya, buku itu disusun karena dorongan untuk

ngleluri (meninggikan) serta melestarikan warisan kebudayaan

Jawa, sebagai sumbangan pengetahuan bagi yang ingin

mengetahui tentang pambiwara di pasamuan.

Berbeda dari kursus tari yang banyak diikuti oleh para wanita

muda, kursus pambiwara banyak diikuti oleh para orang tua yang

terdiri atas pensiunan, polisi, kepala sekolah, guru, dan lain-lain.

Menurut G.R. Ay. Koes Moertiyah, mereka mengikuti kursus

pambiwara karena ingin belajar tentang cara hidup berdasar nilai-

nilai dan filsafat hidup Jawa, serta filosofi keraton, tidak hanya

sekedar untuk menjadi master of ceremony (MC) Jawa. Pada

Agustus 1995 PPKS telah meluluskan tiga angkatan, dan sampai

dengan Mei 1999 telah meluluskan sebanyak 217 peserta didik.

Pada wisuda (purnawiyata) 17 Juli 1999 PPKS berhasil

61Soeseno,Penganten Surakarta (Surakarta: Sanggar Pasinaon


Pambiwara Karaton Surakarta, 1992).

62Soeseno Renggodipoero, Kawruh Pambiwara: Wewaton


kangge Siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara (Surakarta: Yayasan
Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta, 1996).
447

meluluskan 79 peserta didik dan membuka penerimaan siswa

baru angkatan X.63

Pada penghujung dasawarsa 1990an Sunan Paku Buwana XII

mengeluarkan maklumat yang menegaskan, bahwa dalam

memasuki era baru, Milenium III, Kasunanan bertekad untuk

mengambil peran baru dan spirit baru. Kasunanan tidak saja

sebagai sumber budaya, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan ilmu agama serta peduli

terhadap persoalan sosial kemasyarakatan.64 Sebagai realisasinya,

YPKKS mendirikan Sekolah Keraton untuk Pendidikan Budaya

dan Pariwisata. Pendirian sekolah yang berorientasi pada

pendidikan budaya Jawa dan berdimensi wisata budaya itu

merupakan salah satu upaya untuk melestarikan dan

menyosialisasikan budaya Jawa ke seluruh dunia. Lembaga ini

bertujuan untuk memperkenalkan budaya Jawa khususnya

63“Yayasan
Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta: Tansah
Ngadhepi Tantangan Regenerasi”, loc. cit.; “Reriungan”, Mekas
(Media Karaton Surakarta), No. 05-1 Mei 1999, hlm. 8; “Wisuda
Siswa Pambiwara dan Penerimaan Siswa Baru Angkatan X”,
Mekas (Media Karaton Surakarta), 06-1/ Juli 1999, hlm. 9.

64“Sambutan S.I.S.K.S. Pokoe Boewono XII dalam Rangka


Kerjasama Karaton Surakarta dengan Perguruan Tinggi, Kalangan
Swasta dan Penandatanganan Prasasti Dimulainya Pembangunan
Museum Karaton Surakarta Hadiningrat”, Mekas (Media Karaton
Surakarta), 03-1/ Mei 1999, hlm. 1; Karaton Surakarta: By the will
of His Serene Highness Paku Buwono XII (Yayasan Pawiyatan
Kabudayan Karaton Surakarta, 2004), hlm. 19.
448

tradisi di keraton secara lebih baik; membuka diri secara

internasional dengan harapan mengangkat eksistensi Kasunanan

sebagai pusat kebudayaan Jawa dan memperkokoh citra dunia

pariwisata Indonesia; melakukan penelitian, konservasi,

perlindungan, revitalisasi, dan pengembangan budaya. Program

dan materi pendidikan meliputi: bahasa dan sastra Jawa, seni

kriya, arsitekstur Jawa, wayang dan karawitan, pengobatan

tradisional, seni tari dan seni pertunjukan, ritual dan kejawèn,

kecantikan perawatan tubuh dan tata busana.

Ada tiga jenis pendidikan yang diselenggarakan, yaitu

pengenalan dasar, kursus singkat, dan konsultasi.

Penyelenggaraan sekolah ini didukung dengan sarana dan

prasarana baik di dalam maupun di luar keraton. Sejumlah pakar

yang memiliki nama besar dilibatkan dalam lembaga ini sebagai

dewan pakar, yaitu Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, dan

Simuh.65 Untuk Program Pedhalangan sejumlah dhalang terkenal,

yaitu Anom Suroto, Manteb Soedharsono, dan Purbo Asmoro

tertulis sebagai tenaga pengajar pada sekolah itu. Selain itu,

65“Sekolah Karaton untuk Pendidikan Budaya dan


Pariwisata”, Mekas (Media Karaton Surakarta), 01-1/ Maret 1999,
hlm. 9.
449

beberapa nama dosen STSI Surakarta juga tercatat sebagai tenaga

pengajar dalam Program Tari dan Karawitan.66

Pendirian Sekolah Keraton untuk Pendidikan Budaya dan

Pariwisata memberikan bukti, bahwa YPKKS benar-benar ingin

menunjukkan kepada publik bahwa Kasunanan masih eksis dan

menjadi pusat kebudayaan Jawa yang aktif tidak hanya

melestarikan, tetapi juga mengembangkan kebudayaan Jawa. Seni

pedhalangan yang pada awal pembentukan YPKKS tidak menjadi

wilayah cakupannya dan kurang berkembang, sejak 1999 telah

menjadi bidang perhatian YPKKS. Hal ini semakin tampak jelas

dengan penyelenggaraan lokakarya pewayangan dan konteks

zamannya bagi wartawan yang diselenggarakan pada 20 dan 21

Juli 1999. Dalam konteks ini Kasunanan hendak ambil bagian

dalam pelestarian pedhalangan gagrag Surakarta. Tanpa harus

terjebak oleh sempitnya fanatisme gagrag, langkah ini

dimaksudkan sebagai upaya untuk menyelamatkan keragaman

kekayaan dan keunikan tradisi yang notabene merupakan

penyangga tegaknya kebudayaan nasional. Acara yang merupakan

hasil kerja sama antara Kasunanan dengan wartawan Sekretariat

Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi) dan Persatuan

Pedalangan Indonesia (Pepadi) diharapkan dapat berhasil

66“Sekolah Karaton untuk Pendidikan Budaya dan Pariwisata:


Pedalangan, Tari, dan Karawitan”, Mekas (Media Karaton
Surakarta), 02-1/ April 1999, hlm. 11.
450

menyosialisasikan seni pedhalangan gagrag kraton khususnya dan

Surakarta umumnya kepada masyarakat luas. Acara lokakarya

dilanjutkan dengan pementasan rutin, baik diadakan di keraton,

padepokan-padepokan maupun tempat-tempat publik seperti di

Sriwedari, Jurug, Sangiran, dan lain-lain.67

Pengembangan Sekolah Keraton untuk Pendidikan Budaya

dan Pariwisata dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan

perguruan tinggi. Dalam kaitan dengan tujuan untuk melakukan

penelitian, konservasi, perlindungan, revitalisasi, dan

pengembangan budaya, Kasunanan menjalin kerja sama dengan

sejumlah perguruan tinggi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, yaitu

Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Universitas

Diponegoro, Universitas Muhammadiyah Surakarta, STSI

Surakarta, dan Universitas Gadjah Mada pada 1999.68

Upaya-upaya Kasunanan tidak berhenti sampai di situ saja.

Untuk mengomunikasikan dan menyosialisasikan kebijakan dan

program dalam bidang kebudayaan, YPKKS menerbitkan buletin

dengan nama Media Karaton Surakarta (Mekas) yang terbit

67K.P.Eddy Wirabhumi, “Sedikit Menyoal Acara Workshop


Wayang Gagrag Karaton Surakarta: Upaya Penyelamatan
Keragaman Budaya”, Mekas (Media Karaton Surakarta), No. 04-1/
Juni 1999, hlm. 9; “Jadwal Pergelaran Wayang Gagrag Karaton
Surakarta Kerjasama Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta –
Senawangi – Pepadi”, hlm. 5.

68“KaratonMenjalin Kerjasama dengan Perguruan Tinggi”,


Mekas (Media Karaton Surakarta), 03-1/ Mei 1999, hlm. 6.
451

perdana pada Maret 1999. Melalui media itu YPKKS

memperkenalkan khazanah kebudayaan keraton dan

menginformasikan rencana, program kerja, dan kegiatan-kegiatan

pelestarian dan pengembangan kebudayaan keraton kepada

kerabat di berbagai daerah dan masyarakat luas. Dengan

mencermati beberapa rubrik “Reriungan” atau “Sambung Rasa”,

tampak bahwa penerbitan Mekas dan upaya-upaya yang

dilakukan YPKKS dalam pelestarian dan pengembangan

kebudayaan keraton mendapatkan respon positif dan dukungan

dari berbagai kalangan, antara lain Moeryati Soedibyo (lahir

1928)69 dan Martha Tilaar (lahir 1937). Martha Tillar tertarik

dengan program pendidikan yang dirancang oleh YPKKS dan

berminat untuk berpartisipasi khususnya dalam bidang

pengobatan tradisional, kecantikan, perawatan tubuh, dan tata

busana.70

Dari uraian di atas, pada penghujung dasawarsa 1990an

tampak bahwa YPKKS telah melakukan upaya-upaya yang serius

untuk pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa

Surakarta dengan pendirian Sekolah Keraton untuk Pendidikan

69“Sambung Rasa”, Mekas (Media Karaton Surakarta), 04/


1999, hlm. 8.

70“Reriungan”, Mekas (Media Karaton Surakarta), 02-1/ April


1999, hlm. 7.
452

Budaya dan Pariwisata. Pendirian sekolah ini merupakan

perwujudan dari reaktualisasi dan refungsionalisasi peran

Kasunanan sebagai upaya untuk mempertahankan eksistensinya,

sekaligus sebagai sarana untuk melestarikan dan

mengembangkan kebudayaannya. Tampaknya Kasunanan melalui

YPKKS telah mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan-

tantangan yang semakin berat pada abad XXI, agar eksistensinya

sebagai pusat kebudayaan Jawa tidak tergerus oleh perubahan

zaman yang berlangsung cepat.

B. Mangkunagaran

1. Kebijakan-kebijakan Bidang Kebudayaan

Mangkunagaran mengalami nasib yang sama dengan Kasunanan.

Perjuangannya untuk mendapatkan status daerah istimewa juga

sudah benar-benar berakhir pada 1950. Namun demikian,

Mangkunagara VIII tampak lebih tanggap terhadap perubahan-

perubahan situasi dan kondisi yang akan terjadi dibandingkan

dengan Sunan Paku Buwana XII.

Setelah proklamasi kemerdekaan sebenarnya Mangkunagara

VIII telah menangkap gejala tentang adanya perubahan-perubahan

politik yang akan berakibat pada kelangsungan Mangkunagaran.

Perubahan-perubahan politik itu berpotensi untuk terjadinya


453

perpecahan di kalangan bangsawan Mangkunagaran.71 Oleh

karena itu, seiring dengan perjuangannya untuk mendapatkan

status sebagai daerah istimewa bagi Mangkunagaran,

Mangkunagara VIII mendirikan Himpunan Kerabat

Mangkunagaran (HKMN) pada 1946 yang pada 1980 mendapatkan

tambahan nama menjadi HKMN Suryasumirat.72

Pembentukan HKMN bertujuan untuk mempersatukan dan

menghimpun potensi-potensi kerabat Mangkunagaran sebagai

harta yang dimiliki oleh Mangkunagaran untuk disumbangkan

kepada nusa dan bangsa dalam rangka mengisi kemerdekaan

Indonesia.73 Dengan memperhatikan tujuan pembentukannya,

dapat dikemukakan, bahwa sejak awal HKMN telah berkomitmen

untuk memanfaatkan potensi yang terdapat di Mangkunagaran

bagi Indonesia. Oleh karena pada masa kemerdekaan kedudukan

Mangkunagaran hanya sebagai pusat kebudayaan Jawa, maka

Mangkunagara VIII berusaha agar warisan budaya

Mangkunagaran dapat dilestarikan dan dikembangkan sebagai

71“Sabdadalem S.I.J. Mangkunagoro VIII”, dalam Pengetan 40


Tahun 19-7-1944-19-7-1984 Jumenengdhalem S.I.J.
Mangkoenagoro VIII hing Surakarta, Suryo kaping 19 Juli 1984 hing
Pandapi Ageng Mangkunagaran, hlm. 23-24.

72“Kawontenan Hadegipun H.K.M.N. Suryasumirat”, dan


“Aturipun Wakil Suryasumirat Konjuk ing Ngarsadalem S.I.J.
Mangkunagoro VIII Hanyarengi Pengetan Wiyosan Jumenengdalem
Jangkep 40 Tahun”, dalam ibid., hlm. 41 dan 20.

73“Kawontenan Hadegipun H.K.M.N. Suryasumirat”, ibid..


454

suatu aset budaya bangsa. Sesuai dengan komitmen HKMN,

Mangkunagara VIII membuat kebijakan dalam bidang

kebudayaan, yaitu memelihara warisan budaya yang telah ada

terutama kesenian, mengembangkan pariwisata, dan menata diri

untuk ikut serta dalam pelaksanaan pembangunan nasional.74

Keberadaan HKMN ini sangat mendukung upaya-upaya

pelestarian dan pengembangan budaya Mangkunagaran di

kemudian hari. Dengan potensi ekonomi yang dimilikinya HKMN

dapat membantu upaya-upaya pelestarian dan pengembangan

budaya Mangkunagaran.

Kebijakan dalam bidang kebudayaan itu diikuti dengan

perubahan kelembagaan di Mangkunagaran. Mangkunagara VIII

membentuk Dinas Urusan Praja Mangkunagaran yang terdiri atas

tiga bagian, yaitu Sekretariat, Wedana Satriya, dan Mandrapura.

Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut dibentuk 15 kantor.

Kantor-kantor yang bertugas mengurus bidang kebudayaan dan

pariwisata adalah Kantor Langenpraja yang bertugas memelihara

pengembangan kesenian beserta perawatan gamelan dan Biro

Pariwisata yang bertugas mengurus bidang pariwisata.75

74Suwaji Bastomi, Karya Budaya K.G.P.A.A. Mangkunegara I-


VIII (Semarang: IKIP Semarang Press, 1999), hlm. 106.

75Suharji, Bedhaya Suryasumirat (Semarang: Intra Pustaka


Utama, 2004), hlm. 34-35.
455

Kebijakan Mangkunagara VIII dalam bidang kebudayaan

mendapatkan penguatan dari HKMN. Dalam Musyawarah HKMN

Suryasumirat 1984 Mangkunagara VIII selaku sesepuh kerabat

Mangkunagaran juga mendapatkan amanah untuk mengemban

tiga misi utama (Misi Agung), yaitu melestarikan peninggalan

budaya luhur Mangkunagaran untuk disumbangkan kepada

pembangunan nasional; menggalang persatuan antarkerabat; dan

meningkatkan potensi kerabat Mangkunagaran untuk lebih

berpartisipasi dalam menyukseskan pembangunan nasional.76

Kemudian pada 1987 di masa akhir kepemimpinan Mangkunagara

VIII terdapat kesepakatan di antara para kerabat Mangkunagaran

tentang pembentukan Culture Center untuk menyelamatkan

potensi-potensi budaya Mangkunagaran di masa yang akan

datang. Dengan pembentukan Culture Center penggalian dan

pembinaan warisan budaya para leluhur Mangkunagaran semakin

dapat dimanfaatkan secara optimal bagi pembangunan bangsa

Indonesia.77

Mangkunagara IX (lahir 1951, memerintah 1988-sekarang)

sebagai penerus dinasti Mangkunagaran melanjutkan kebijakan-

76“Ujub-pambukanipun Pahargyan Pengetan 40 Warsa


Jumenengdalem S.I.J. Mangkunagoro VIII”, dalam Pengetan 40
Tahun 19 Juli 1944-19 Juli 1984 Jumenengan Dalem Sampeyan
Ingkang Jumeneng Mangkoenegoro VIII hing Surakarta, op. cit.,
hlm. 17.

77Wahyu Santosa Prabowo, dkk., Sejarah Tari: Jejak Langkah


Tari di Pura Mangkunagaran (Surakarta: ISI Press, 2007), hlm.
188.
456

kebijakan Mangkunagara VIII dalam bidang kebudayaan. Pada

saat dikukuhkan sebagai pimpinan Mangkunagaran yang

dilakukan oleh Ketua Dewan Pertimbangan Mangkunagaran pada

1988, Mangkunagara IX mendapat amanat untuk:

a. memelihara dan menjaga pertumbuhan dan kekayaan


khazanah budaya yang telah dicapai oleh Mangkunagara VIII;
b. ... meneruskan kelestarian khazanah warisan budaya
Mangkunagaran dan melanjutkan perjuangan Mangkunagara
VIII dalam menjadikan Mangkunagaran sebagai salah satu
sumber budaya Jawa yang mampu memberikan sumbangan
secara nyata bagi pembangunan budaya nasional;
c. menjalankan segala kewajiban dan memikul tanggung jawab
atas segala sesuatu yang berada dalam wewenang almarhum
Mangkunagara VIII baik yang menyangkut tata kehidupan
dalam lingkungan Pura Mangkunagaran maupun mewakili
dan bertindak untuk kepentingan dan atas nama Pura
Mangkunagaran;
d. mewujudkan suatu bentuk keselarasan terhadap tuntunan
perjuangan era baru perikehidupan Mangkunagaran dalam
suatu kerangka masyarakat bangsa melalui tiga hal pokok
yang fundamental, yaitu: 1) melestarikan fungsi dan peranan
Pura Mangkunagaran sebagai salah satu sumber penggalian
budaya Jawa yang diabadikan kepada pembangunan budaya
nasional; b). menjadikan Pura Mangkunagaran sebagai pusat
pelestarian budaya Jawa dengan melakukan penggalian dan
pengembangan terhadap budaya leluhur; c). memetri dan
ngleluri tradisi budaya leluhur dengan sebutan Kanjeng Gusti
Pangeran Aria Adipati Mangkunagara yang berkedudukan
sebagai kepala keluarga Pura Mangkunagaran selaku penerus
keturunan langsung.78

78Dokumen Amanat „Pengukuhan Gusti Pangeran Hario


Sudjiwo Kusumo‟ katetepaken Hangrenggani Sesepuhing Pangeran
Pura Mangkunagaran Solah Karti Sesepuhan lan Asma Kanjeng
Gusti Pangeran Ario Adipati Mangkunegara No. 591SK/1/05,
Surakarta Reksa Pustaka Mangkunagaran, 1988”, hlm. 7-8, dalam
Suharji, op. cit., hlm. 36.
457

Amanat Dewan Pertimbangan Mangkunagaran itu

ditindaklanjuti oleh Mangkunagara IX dengan melakukan

penataan organisasi pada 1989. Penataan organisasi

Mangkunagaran dilakukan dengan menyederhanakan jumlah

kantor, menjadi Kantor Sekretariat, Kantor Kawedanan Satria,

Kantor Dinas Urusan Istana Mangkunagaran (Mandrapura), dan

Kantor Reksa Budaya. Reksa Budaya memiliki tugas utama

menjadikan Mangkunagaran sebagai sarana pembangunan dan

pengembangan budaya yang berkesinambungan dari hasil

penggalian budaya leluhur Mangkunagaran untuk

dimasyarakatkan, serta menempatkan Mangkunagaran sebagai

salah satu pusat pelestarian budaya Jawa. Reksa Budaya

membawahi Reksa Pustaka yang bertugas menggali, memupuk,

menyalin, dan memelihara buku-buku perpustakaan dan

menyelenggarakan pengarsipan surat-surat utama; Langenpraja

yang bertugas melaksanakan gladhèn dan pergelaran seni; dan

Barawiyata yang bertugas memelihara dan mengusahakan

lembaga-lembaga pendidikan baik yang bersifat umum maupun

bersifat seni budaya kejuruan.79

79Sri Mangkunagara IX, “Surat Keputusan Kangjeng Gusti


Pangeran Aria Mangkunagara IX tentang Penataan Kembali
Struktur Organisasi Kantor-Kantor mangkunagaran Nomor:
002/SK/24.1/1989” (Reksa Budaya Mangkunagaran Surakarta),
hlm. 1-2 melalui Suharji, ibid., hlm. 39.
458

Langenpraja memiliki posisi yang penting dalam pelestarian

dan pengembangan seni Mangkunagaran. Secara lebih rinci

bagian ini memiliki dua tugas utama, yaitu mengelola hiburan

untuk lingkungan pura dan kerabat Mangkunagaran, meliputi

tari, karawitan, dramatari, dan lain-lain; dan mengelola

pembinaan dan pengembangan kesenian tradisional, yaitu:

wayang, pedhalangan, karawitan, beksan, dan dramatari.

Pembinaan dan pengembangan wayang mencakup kegiatan

pengadaan, perawatan, dan pengembangan berbagai jenis wayang

(bèbèr, golèk, krucil, kulit); pedhalangan, dengan

menyelenggarakan pergelaran wayang; karawitan, dengan

menyelenggarakan pentas karawitan dan perawatan gamelan;

beksan, dengan menyelengarakan pentas-pentas tari; dan

dramatari, dengan menyelenggarakan pentas dramatari. Sebagai

wadah pembinaan dan pengembangan kebudayaan di

Mangkunagaran, Langenpraja diharapkan dapat melaksanakan

kegiatan-kegiatan pelatihan seni untuk menjamu wisatawan

mancanagara, siaran kesenian di RRI Surakarta, festival di

berbagai kota, dan misi kesenian ke luar negeri.80

Kebijakan-kebijakan yang telah dicanangkan memberi

peluang hidup dan perkembangan berbagai cabang seni di

80Harmanto,
“130 Tahun Langen Pura Mangkunagaran”. 11
Agustus 1992, hlm. 4 melalui Prabowo, dkk., op. cit., hlm. 191.
459

Mangkunagaran. Atas dasar kebijakan-kebijakan itu dilakukan

upaya-upaya untuk pelestarian dan pengembangan seni

pertunjukan Jawa di Mangkunagaran.

Pada 1991 sesuai dengan amanat yang diembannya,

Mangkunagara IX menegaskan kembali tentang arti penting

pelestarian kebudayaan Mangkunagaran. Menurutnya, sejarah

telah mencatat bahwa budaya Mangkunagaran mengandung

seperangkat nilai positif yang berisi ajaran mulia yang perlu

disosialisasikan kepada masyarakat yang disesuaikan dengan

kondisi kekinian. Oleh karena kebudayaan Mangkunagaran telah

menjadi salah satu khazanah budaya bangsa, maka pelestarian

dan pengembangannya mutlak untuk dilakukan.81

2. Upaya Pelestarian dan Pengembangan

Upaya-upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa di

Mangkunagaran dilakukan dengan kegiatan penciptaan,

penggalian dan rekonstruksi, pergelaran, pengemasan seni dan

seminar wisata, dan penyelenggaraan kursus pedhalangan.

Pembahasan secara berurutan tentang hal tersebut sebagai

berikut.

81“Ihwal
Pelestarian Budaya Keraton”, Wanita Indonesia, No.
102 Minggu Juli 1991.
460

a. Penciptaan

Pada masa kemerdekaan tradisi penciptaan tari di

Mangkunagaran masih terus berlangsung. Pada 1950-an

Mangkunagara VIII mempunyai gagasan untuk mewujudkan

simbol Mangkunagaran pareanom ke dalam sebuah tarian. Untuk

mewujudkan gagasan itu, ia mengutus ketua bidang kesenian

Mangkunagaran Citra Suharya dan dua penari yaitu: Mintararas

dan Rana Suripta. Ia mengiginkan tarian yang akan disusun itu

menggunakan ragam gerak tari talèdhèk seperti yang pernah

dipelajari oleh para ahli tari zaman Mangkunagara II yang dipadu

dengan ragam gerak tari keraton lain yang dirasa cocok. Gagasan

Mangkunagara VIII itu kemudian mewujud menjadi tari baru yang

mirip Srimpi. Penarinya empat wanita dengan karakter lincah dan

centil (kenès). Pada 1951 tari tersebut selesai disusun dan diberi

nama Gambyong Paréanom.82 Sumber lain menyebutkan, bahwa

menurut Mintararas, tari itu merupakan persembahan Gusti Putri

Mangkunagara VIII, kepada Mangkunagara VIII untuk

dipergelarkan pada upacara perkawinan Gusti Siti Nurul, adik

Mangkunagara VIII di Mangkunagaran pada Sabtu, 24 Maret

1951. Kemudian Mangkunagara VIII berkenan menjadikan tari

Gambyong Parèanom sebagai tari milik dan kebanggaan

82Prabowo, op. cit., hlm. 172.


461

Mangkunagaran.83 Dengan demikian, tarian itu dapat dipandang

sebagai sarana peneguhan identitas Mangkunagaran pada awal

kemerdekaan.

Selain Gambyong Paréanom, pada 1956 Mintararas juga

menyusun Gambyong Padhasih untuk keperluan acara

perkawinan salah seorang kerabat Mangkunagaran. Tari ini

ditampilkan oleh lima orang penari dengan busana seperti tari

srimpi. Pada masa itu gambyong belum berkembang luas di

masyarakat, karena masih ada anggapan negatif terhadap penari

gambyong yang disamakan dengan lèdhèk, sehingga para priyayi

tidak memperbolehkan anak gadisnya belajar tari gambyong.84

Penyusunan tari gambyong di Pura Mangkunagaran tidak

berhenti sampai di situ saja. Seiring dengan perkembangan tari

gambyong di masyarakat dan adanya pelatihan tari gambyong

untuk anak dan remaja di pendapa Pura Mangkunagaran yang

sudah dimulai sejak awal dasawarsa 1960an, pada 1970

Mintararas menyusun Gambyong Campursari. Selanjutnya, pada

1973 ia menyusun Gambyong Paréanom secara lebih padat, dan

kemudian pada 1975 menyusun Gambyong Sumyar dan

83Sri Rochana Widyastutiningrum, Sejarah Tari Gambyong:


Seni Rakyat Menuju Istana (Surakarta: Citra Etnika, 2004), hlm.
46 dan 87.

84Ibid., hlm. 48.


462

Gambyong Langen Kusuma. Kemunculan berbagai susunan tari

gambyong menunjukkan perkembangan koreografi tari gambyong

sekaligus penerimaan masyarakat terhadap koreografi itu.85

Dari fakta-fakta tersebut tampak bahwa pada masa

pemerintahan Mangkunagara VIII, di Mangkunagaran tidak

banyak diciptakan tarian.

Sejak 1988 sampai dengan akhir dasawarsa 1990an, di

bawah kepemimpinan Mangkunagara IX kegiatan penyusunan tari

di Mangkunagaran semakin digiatkan. Karya-karya tari baru

banyak diciptakan. Hal ini tidak lain karena Mangkunagara IX

ikut bertanggung jawab atas kemajuan dan kemunduran tari di

Mangkunagaran. Atas ide Soelistiyo S. Tirtokoesoemo dan bersama

etnomusikolog Sri Hastanto terciptalah Bedhaya Suryasumirat.

Tari Bedhaya Suryasumirat merupakan wujud dari tekad

Mangkunagara IX untuk ngleluri semangat para leluhurnya

khususnya Mangkunagara I. Penciptaan Tari Bedhaya

Suryasumirat merupakan sebuah tonggak penting yang menandai

kehidupan dan perkembangan tari yang dinamis di

Mangkunagaran.86

85Ibid., hlm. 48, 49, dan 88.

86Tentang Bedhaya Suryasumirat lihat Suharji, passim.


463

Tidak berselang lama setelah penciptaan Bedhaya Surya

Sumirat diciptakan Bedhaya Pulung. Ide penyusunan Bedhaya

Pulung berasal dari Mangkunagara IX. Pada 1988 sebelum

dinobatkan sebagai Pengageng Mangkunagaran, ia berkeinginan

untuk menyusun sebuah tarian. Keinginan itu didorong oleh

teladan yang diberikan oleh para leluhurnya, khususnya

Mangkunagara IV yang sangat produktif menciptakan serat-serat

piwulang dalam bentuk tembang salah satu di antaranya yang

sangat populer sampai saat ini adalah Serat Wedhatama. Oleh

karena itu, ia bermaksud untuk membuat tarian yang di dalamnya

terkandung tema kepahlawanan, asmara, dan religius spiritual.87

Gagasan itu kemudian disampaikan kepada Supardi

Ngaliman (Lurah Candra Pangrawit) yang juga diperintahkan

untuk merealisasikan gagasan tersebut. Lurah Candra Pangrawit

memanfaatkan cerita pewayangan Partakrama, yaitu perkawinan

Harjuna dengan Bratajaya. Kata “pulung” berarti wahyu yang

apabila dikaitkan dengan cerita Partakrama berarti jodoh. Cerita

tersebut mengisahkan sebuah perkawinan yang mendapatkan

banyak rintangan, tetapi tetap terlaksana karena sudah menjadi

wahyu atau jodohnya.

87“KGPA Mangkunagoro IX: Tarian Karya Saya Belum Ada


Namanya”, Suara Merdeka, 15 Juni 1990.
464

Tari Bedhaya Pulung dianggap sakral oleh warga

Mangkunagaran dan Mangkunagara IX karena hanya

dipertunjukan pada waktu dan tempat tertentu. Tari ini dipandang

memiliki keistimewaan, karena sejak lama setelah tercipta

Bedhaya Anglir Mendhung, Bedhaya Diradameta, dan Bedhaya

Sukratama, baru dapat disusun tari bedhaya yang disajikan

secara gemerlap dan agung serta didukung gamelan yang dibuat

pada masa Mangkunagara I.88

Pada masa pemerintahan Mangkunagara IX beberapa

seniman yang sebagian adalah dosen-dosen STSI Surakarta telah

berhasil melakukan penggarapan tari “baru” yang bersumber pada

naskah lama, yaitu Dramatari Ramayana, Arjuna Wiwaha,

Nadpada Krama, dan Topèng Nadpada. Selain itu, ada penciptaan

baru yaitu Srimpi Topèng Sumunar karya Irawati, Bathik

Tradisional karya Wahyu Santosa Prabowo, Wirèng Srikandi Bisma

karya Daryono, bahkan tari moderen yaitu Dialog Matahari karya

bersama Nakayama Hitori dari Jepang, Suprapto Suryodarmo dari

Lemah Putih, dan Rana Suripta dari Mangkunagaran, yang

melibatkan Tumenggung Ngabehi Sireng dan Tumenggung

Mardusari sebagai pelantun macapat. Dalam karya bersama itu

88Prabowo dkk., op. cit., hlm. 196.


465

Mangkunagara IX juga memasukkan ide-ide yang nilai-nilainya

bersumber dari Serat Wedhatama.89

b. Penggalian dan Rekonstruksi

Mangkunagaran memiliki warisan budaya yang berupa seni tari

yang berjumlah banyak. Sebagian besar dari khazanah tari itu

sudah sejak lama tidak dipentaskan yang disebabkan oleh antara

lain penari yang telah uzur dan beberapa di antaranya meninggal

dunia. Hal ini mengakibatkan khazanah-khazanah tari itu tidak

dikenali lagi bentuknya apalagi dipertunjukkan. Berdasar

pertimbangan itulah muncul gagasan untuk melakukan

penggalian terhadap tari-tari yang jejak-jejaknya masih

memungkinkan untuk dilakukan rekonstruksi.

Penggalian dan rekonstruksi terhadap Bedhaya Anglir

Mendhung pada 1981 merupakan peristiwa penting dalam

kehidupan seni tari pada masa pemerintahan Mangkunagara VIII.

Kegiatan penggalian dan rekonstruksi itu dikoordinasi oleh

Praptini Partaningrat berdasar pada tulisan Brajapinilih yang

menyebutkan, bahwa tari Bedhaya Anglir Mendhung sebagai milik

Mangkunagaran. Suciati Joko Suharjo dan Sunarno Purwolelono

(ASKI Surakarta) mendapatkan kepercayaan untuk melakukan

89Ibid., hlm. 205.


466

rekonstruksi. Hasil rekonstruksi itu kali pertama dipergelarkan

pada 1981 untuk kepentingan perekaman. Tari Bedhaya Anglir

Mendhung kemudian dijadikan sebagai tarian yang digelar pada

setiap peringatan kelahiran dan penobatan raja.90

Keberhasilan penggalian dan rekonstruksi Bedhaya Anglir

Mendhung mendorong Mangkunagara VIII untuk meneruskan

kebijakan penggalian dan rekonstruksi untuk kepentingan

penyelamatan tarian-tarian yang telah disusun oleh para

pendahulunya. Tahap selanjutnya adalah penggalian terhadap tari

Mandrarini atau Srimpi Mandrarini, sebuah tarian yang diciptakan

pada masa pemerintahan Mangkunagara V. Tari ini

menggambarkan empat prajurit wanita yang sedang berolah

keprajuritan. Keempat prajurit wanita itu menggambarkan tokoh-

tokoh dari dua kerajaan yang sedang berperang, yaitu Sri Kenya

Rajadhi dan patihnya Dewi Nilawati (Kerajaan Nuswabrambang)

dengan Raja Putri Suprabawati dan patihnya Dewi Genawati

(Kerajaan Sigaluh). Penggalian melibatkan beberapa seniman baik

dari dalam maupun luar Mangkunagaran, yaitu Rana Suripta

(guru dan seniman tari Mangkunagaran), Suyarti Tarwo S. (penari

Mangkunagaran), Umiyati (penari, sindhèn, dan pemerhati seni di

Mangkunagaran), Partini Partaningrat, dan Wahyu Santoso

90Ibid., hlm. 181.


467

Prabowo (ASKI Surakarta). Rekonstruksi dilakukan dengan

perubahan iringan dan tata busana.91

Kegiatan penggalian dan rekonstruksi tari tetap dilanjutkan

pada masa pemerintahan Mangkunagara IX. Pada 1997 dilakukan

penggalian tari Mandraretna, sebuah tari wirèng putri gaya

Mangkunagaran yang juga diciptakan pada masa pemerintahan

Mangkunagara V. Tari ini bertema keprajuritan yang

menggambarkan peperangan antara Srikandhi dan Mustakaweni.

Sumber cerita berasal dari cerita Mustakawèni Mandung

(Mustakawèni Mencuri) dalam epos Mahabharata.

Semula tari Mandraretna menggunakan ragam gerak tari yang

diulang-ulang dan menampilkan tembang dan antawacana. Dalam

kaitan dengan pemenuhan kebutuhan akan seni wisata, maka

tari itu direkonstruksi dengan mengurangi ragam gerak yang

berulang-ulang dan menghilangkan antawacana beserta tembang-

nya, sehingga berdurasi lebih pendek. Namun demikian, tari

Mandraretna yang berfungsi sebagai tontonan atau hiburan itu

tidak kehilangan aspek tuntunannya.92

Kegiatan penggalian dan rekonstruksi berbagai genre tari

terus berlanjut. Pada akhir dasawarsa 1990an sampai awal

91Ibid., hlm. 186.

92Ibid., hlm. 203.


468

dasawarsa 2000an telah digali tari Bandawala, Janaka Sri Supala,

Gathutkaca Dhadhungawuk, Lawung Alit, Arjuna Kerata Rupa,

Topèng Nadpada Krama, Situbanda, Klana Jayèngsari, Arjuna Sri

Supala, Mandraasmara. Penggalian dan rekonstruksi dilakukan

oleh Mangkunagaran bekerja sama dengan para seniman

akademisi dari STSI Surakarta.93

c. Pergelaran

Upaya-upaya pelestarian dan pengembangan seni pertunjukan

juga dilakukan dengan menyelenggarakan pergelaran seni dalam

momentum-momentum tertentu baik di dalam maupun di luar

Mangkunagaran. Pada dasawarsa 1950an sampai 1970an

setidaknya terdapat tiga peristiwa budaya yang berbentuk

pergelaran seni tari di Mangkunagaran. Pergelaran tari itu

diselenggarakan baik untuk kepentingan internal maupun

eksternal Mangkunagaran.

93Ibid., hlm. 203-204.


469

Gambar 5.3
Pergelaran Tari Bedhaya (?) di Istana Mangkunagaran
(Sumber: Mimbar Indonesia, No. 21 IX, 21 Mei 1955, hlm. 21)

Pada 1957 dalam rangka Konferensi Kehutanan Asia – Pasifik,

di Mangkunagaran dipergelarkan Langendriyan dan Tari Handaga

Bugis untuk menyambut para tamu dari anggota delegasi luar

negeri yang datang dalam konferensi tersebut. Kemudian, pada 19

Juli 1964 diadakan pergelaran di Pendapa Mangkunagaran dalam

acara sunatan Sujiwo Harjosaroso, ulang tahun penobatan

Mangkunagara VIII, dan wisudhan. Tari yang dipergelarkan adalah

Golèk Montro; disajikan oleh Raden Ajeng Sjahrijati

Hamijayasantosa. Tari Golèk Montro merupakan tari yang

diciptakan pada masa pemerintahan Mangkunagara VII yang

bersumber dari khazanah tari Kasultanan Yogyakarta. Dalam

perkembangan Golèk Montro berevolusi dan menjadi tari gaya


470

Mangkunagaran.94 Pada 13 Maret 1974 Mangkunagaran kembali

menggelar acara bertajuk Performances of Javanese Classical

Dances at the Reception in Honour of the Members of the Inotech

Conference. Pergelaran menampilkan Srimpi Mandrarini,

Gambyong, dan Langendriyan.95

Pada dasawarsa 1990an paling tidak diselenggarakan dua

pergelaran. Pada 7 November 1992 dalam acara hari ulang tahun

Reksa Pustaka di Pendapa Mangkunagaran dipergelarkan

langendriyan dengan menggunakan tembang yang dilantunkan

oleh para penarinya. Hal ini merupakan upaya untuk

mengembalikan langendriyan pada bentuknya yang semula.

Namun demikian, dalam pergelaran itu terdapat kendala, karena

kemampuan para penari dalam melantunkan tembang kurang,

sehingga tembang tidak dapat didengar oleh penonton.96

Pada 7 Februari 1999 dalam rangka silaturahmi dan

halalbihalal dipergelarkan Fragmen Wayang Bocah berjudul Dewa

Ruci di Pendapa Mangkunagaran. Pemilihan cerita Dewa Ruci

94Ibid., hlm. 174-175.

95“Performances
of Javanese Classical Dances at the
Reception in Honour of Member of the Inotech Conference in the
Mangkunagaran Palace, Surakarta Central Java Indonesia, 13th
March 1974”.

96Sri Rochana W., Langendriyan Mangkunagaran:


Pembentukan dan Perkembangan Bentuk Penyajiannya (Surakarta:
ISI Press, 2006), hlm. 46.
471

didasari oleh pertimbangan, bahwa cerita itu memberikan

gambaran tentang sosok Bima yang patut dijadikan sebagai

teladan dalam kehidupan. Bima dengan segala keterbatasan dan

kelebihannya, merupakan satria yang gagah, sakti, berani,

bertekad kuat, perkasa, luhur budi, tabah, ikhlas dalam

membentuk diri sebagai ksatria yang sanggup memenuhi tugas

hidup dan darma satria dengan sebaik-baiknya. Segala kelebihan

yang dimiliki dibentuk oleh pengalaman pribadinya dalam

menemukan jati diri dan mencari kesejatian hidup

(kasampurnaning urip ingkang sejati).97

Sementara itu, untuk memperkenalkan tari Mangkunagaran

kepada kalangan yang lebih luas, Mangkunagaran juga

mengadakan pergelaran di luar Mangkunagaran. Langkah ini

sudah dilakukan pada akhir dasawarsa 1950an. Pada 16-17

Agustus 1959 di Bandung dalam acara Dies Natalies ke IV

Perguruan Tinggi Katholik Parahiangan dipergelarkan malam

kesenian Mangkunagaran atas sumbanagan Mangkunagara VIII

dan permasuri. Pada pementasan itu dipergelarkan Tari

Gathutkaca Gandrung dan Srimpi Mandrarini.

97Hermanta
Bratasiswara, “Dewa Ruci-Fragmen Wayang
Bocah. Asuhan Sanggar Surya Sumirat di bawah Pimpinan GPH
Herwasto Kusumo. Persembahan HKMN Surya Sumirat, hlm. 1.
472

Pada Sabtu 30 Juni 1999 Sanggar Tari Suryasumirat

menampilkan wayang wong Mangkunagaran dengan lakon

Sumantri Ngèngèr (Sumantri Mengabdi) di Gedung Graha Bhakti

Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta dalam rangka Festival

Wayang Wong yang diadakan untuk memeringati 50 tahun

kemerdekaan Republik Indonesia dan Hari Ulang Tahun Jakarta.

Penampilan ini merupakan persembahan dari Satuti Yamin.

Pementasan tersebut dinilai berhasil memukau penonton, apalagi

selama 50 tahun wayang wong Mangkunagaran tidak pernah

ditampilkan.98

Pengembangan dan penyebarluasan kesenian

Mangkunagaran juga dilakukan dengan mengikuti festival dan

mengadakan lawatan Misi Kesenian Mangkunagaran ke luar

negeri. Beberapa negara telah menjadi tujuan lawatan Misi

Kesenian Mangkunagaran, yaitu Amerika Serikat, Perancis,

Inggris, Jepang, dan Rusia. Kegiatan-kegiatan ini dapat diduga

berkaitan dengan kebijakan diplomasi kebudayaan99 yang sedang

98Din Hasnan, “Wayang Orang Mangkunagaran Tampil


Setelah 50 Tahun Bertapa”, Mutiara 768, 11-17 Juli 1999. Reksa
Pustaka, dari TIM Jakarta 15 Juli 1999.

99Diplomasi kebudayaan adalah usaha suatu negara untuk


memperjuangkan kepentingan nasionalnya melalui bidang
kebudayaan, seperti pendidikan, ilmu pengetahuan, olah raga, dan
kesenian, yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat umum
guna mendukung suatu kebijakan politik luar negeri tertentu.
473

digalakkan oleh pemerintah Orde Baru pada awal dasawarsa

1980an. Sebagaimana diketahui, bahwa pada saat itu sumber

pembiayaan pembangunan mulai menipis sebagai akibat

penurunan ekspor migas, yang pada saat yang bersamaan terjadi

resesi ekonomi global, politik proteksi perdagangan terhadap

ekspor Indonesia dan moneter internasional. Pemerintah Indonesia

harus mencari dana alternatif antara lain melalui bidang

pariwisata dan budaya. Indonesia mulai mengembangkan bidang

pariwisata. Dalam bidang budaya, Indonesia mulai melakukan

pengiriman misi-misi kesenian dan pertukaran kebudayaan. Salah

satu kegiatan diplomasi kebudayaan yang menonjol pada masa

pemerintahan Orde Baru adalah Pameran Kebudayaan Indonesia

di Amerika Serikat (KIAS) pada Juli 1990 yang persiapannya

membutuhkan waktu selama lima tahun.100

Dalam kaitan dengan kebijakan diplomasi kebudayaan

tersebut diselenggarakan acara Temu Budaya Indonesia-Amerika

di Mangkunagaran pada 2 Oktober 1988. Acara ini dilanjutkan

dengan keikutsertaan Mangkunagaran dalam Indonesian Dance

Festival di Amerika Serikat dengan mementaskan Langendriyan

Tulus Warsito dan Wahyuni Kartikasari, Diplomasi Kebudayaan:


Konsep dan Relevansi bagi Negara Berkembang (Studi Kasus
Indonesia) (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 4.

100Ibid., hlm. 128 dan 137.


474

Mandraswara.101 Kegiatan-kegiatan ini dapat dipahami sebagai

kegiatan-kegiatan pendahuluan diplomasi kebudayaan dengan

Amerika Serikat sebelum penyelenggaraan pameran KIAS pada

1990.

Setahun kemudian, Misi Kesenian Mangkunagaran

mengadakan lawatan ke Eropa, yaitu Paris dan London pada Juni

1989 dan Jepang pada Juli 1989.102 Kunjungan Tim Kesenian

Mangkunagaran ke Paris berlangsung pada 31 Mei – 7 Juni 1989.

Pertunjukan berlangsung di la Maison des Cultures du Monde pada

2-5 Juni 1989. La Maison des Cultures du Monde merupakan

gedung teater di bawah pengelolaan Menteri Kebudayaan dan

Menteri Luar Negeri Perancis yang sangat selektif dalam

menampilkan tim kesenian dari seluruh dunia. Pertunjukan

mendapatkan sambutan yang antusias dari penonton yang

memenuhi 80% gedung tersebut.103

101“Temu Budaya Indonesia-Amerika di Solo, 28 September –


2 Oktober 1988”. (Rekso Pustoko Istana Mangkunagaran).

102“LawatanMisi Kesenian Mangkunagaran ke Jepang 1989


untuk mengadakan pertunjukan di Hiroshima Expo, Namakoma
Expo dan Hibya Hall Tokyo 9-10 Juli 1989”. “Lawatan Misi
Kesenian Mangkunagaran ke Paris dan London Tahun 1989”.

103„Surat Duta Besar RI untuk Perancis kepada


Mangkunagara‟ dan „Surat Menteri Pariwisata, Pos dan
Telekomunikasi kepada Mangkunagara‟, dalam “Sambutan-
sambutan terhadap Keberhasilan Missi Kesenian Istana
Mangkunagaran ketika Melawat ke Paris dan Inggris Tahun 1989”
(Rekso Pustoko Istana Mangkunagaran, Solo, 1989).
475

Dalam lawatan ke London pertunjukan diadakan di

Cambridge University atas prakarsa Fakultas Musik pada 12 Juni

1989. Acara yang dipertunjukan adalah Upacara Adat Perkawinan

Mangkunagaran, Bedhaya Bedhah Madiun, dan fragmen Taman

Soka. Penonton yang memenuhi tempat pertunjukan berkapasitas

500 tempat duduk memberikan sambutan meriah dan puas

terhadap pergelaran itu, khususnya terhadap upacara adat

perkawinan Mangkunagaran. Sementara itu, pertunjukan kedua

diselenggarakan di Logan Hall University of London dengan

menampilkan Upacara Adat Perkawinan Mangkunagaran, Tari

Gambyong Paréanom, Tari Bandayuda, dan fragmen Ménakjingga

Léna (Menakjingga Gugur, langendriyan). Seperti halnya di

Cambridge University, hadirin di London yang terdiri atas para

Duta Besar negara sahabat, pecinta seni, cendekiawan,

pengusaha, dan khususnya masyarakat Inggris pecinta seni

gamelan telah menyaksikan misi kesenian dengan penuh khidmat

dan terpesona dengan pergelaran Misi Kesenian Mangkunagaran.

Para hadirin sangat terkesan terhadap upacara adat perkawinan

dengan pakaian yang menakjubkan.

Kehadiran misi kesenian dari Mangkunagaran di Inggris atas

dukungan Patra Image dinilai akan meningkatkan gairah dan

memberikan kesan tersendiri di kalangan masyarakat Inggris

pecinta seni gamelan yang telah tersebar di berbagai universitas di


476

Durham, York, Cambridge, Oxford, Goldsmiths‟ College/ University

of London yang masing-masing telah memiliki seperangkat

gamelan Jawa, dan South Bank Centre, pusat kebudayaan di

London yang telah menerima hadiah seperangkat gamelan Jawa

dari Presiden Soeharto. Kesuksesan Misi Kesenian

Mangkunagaran dianggap dapat memberikan sumbangan yang

besar bagi keberhasilan kebijakan politik luar negeri Republik

Indonesia khususnya di bidang diplomasi budaya.104

Dalam lawatan Misi Kesenian Mangkunagaran ke Jepang

(1989) dipergelarkan tari srimpi, bedhaya, langendriyan, Klana

Topèng, Gambyong, dan Sendratari Taman Soka. Langendriyan

menampilkan episode Ménakjingga Léna. Langendriyan yang

ditampilkan menerapkan konsep langendriyan yang “asli”, yaitu

dengan menampilkan tembang yang dilantunkan oleh para

penarinya.105

104„Surat
Duta Besar Republik Indonesia London kepada
Pimpinan Patra Image‟, dalam “Sambutan-sambutan terhadap
Keberhasilan Missi Kesenian Istana Mangkunagaran ketika
Melawat ke Paris dan Inggris Tahun 1989” (Rekso Pustoko Istana
Mangkunagaran, Solo, 1989).

105“Lawatan
Misi Kesenian Mangkunagaran ke Jepang 1989
untuk mengadakan pertunjukan di Hiroshima Expo, Namakoma
Expo dan Hibya Hall Tokyo 9-10 Juli 1989”; Rochana W., op. cit.,
hlm. 13.
477

Gambar 5.4
Pergelaran Sendratari Taman Soka dalam Lawatan Misi Kesenian
Mangkunagaran ke Jepang 1989
(Sumber: Koleksi Reksa Budaya Pura Mangkunagaran Surakarta)

Pada 18-28 Agustus 1994 atas permintaan Kedutaan Besar

Republik Indonesia empat tarian Jawa gaya Mangkunagaran

ditarikan oleh enam penari dari Sanggar Suryasumirat Pura

Mangkunagaran di Gedung Kino Centre, Moskow. Tari-tarian

tersebut adalah Srimpi Moncar (Putri Cina), Topèng Gunungsari,

Srimpi Catur Sagatra, dan Harjunasasra Sumantri. Pergelaran itu

bertujuan untuk mengenalkan kesenian tradisional khususnya

Jawa pada masyarakat setempat sekaligus untuk memeriahkan

peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia di

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Rombongan diketuai


478

oleh B.R.M. Herwasto Kusumo (adik Mangkunagara IX), ketua

Sanggar Tari Suryasumirat.106

Gambar 5.5
Pergelaran Sendratari Taman Soka dalam Lawatan
Misi Kesenian Mangkunagaran ke Jepang 1989
(Sumber: Koleksi Reksa Budaya Pura Mangkunagaran Surakarta)

106“SanggarTari Suryo Sumirat Akan Mengadakan Pentas di


Moskow”, Suara Merdeka, Minggu 14 Agustus 1994.
479

d. Pengemasan Seni Wisata

Gagasan untuk menjadikan seni sebagai salah satu atraksi wisata

di Mangkunagaran telah muncul pada masa kepemimpinan

Mangkunagara VIII. Secara insidental hal itu telah direalisasikan

sejak 1957 ketika Mangkunagaran menerima kunjungan tamu

khususnya yang berasal dari mancanegara. Gagasan ini

berkembang dan benar-benar terealisasi setelah Mangkunagaran

membuka diri untuk menjadi objek wisata budaya pada 1968.107

Seiring dengan penggalakan industri pariwisata di Indonesia

pada 1986 yang disebabkan oleh kemerosotan harga minyak dan

gas serta devaluasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat,108

bidang kepariwisataan Mangkunagaran pada masa kepemimpinan

Mangkunagara IX mulai mendapatkan perhatian secara khusus.

Sesuai dengan potensi kultural yang dimilikinya, Mangkunagaran

mengembangkan pariwisata budaya. Pengembangan pariwisata

budaya di Mangkunagaran bertujuan untuk menyebarluaskan

kebudayaan Jawa khususnya dan kebudayaan Indonesia

umumnya agar dapat dipahami oleh generasi penerus dan

107Daryono, op. cit., hlm. 56.

108R.M.Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata


(Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), hlm. 1.
480

menambah pemasukan dana guna memelihara kelestarian

warisan budaya Mangkunagaran.109

Sejak 1989 Mangkunagaran menyelenggarakan pertunjukan-

pertunjukan untuk kepentingan wisata yang dipergelarkan pada

pukul 18.30-21.30 seperti fragmen bedhaya, srimpi, wirèng, golèk,

dan tari-tari lain dengan para penari murid-murid yang sedang

belajar (nyantrik) di Mangkunagaran dan para penari dari lembaga

pendidikan formal seperti STSI, SMKI, dan Taman Budaya

Surakarta (TBS).110

Karya-karya tari yang tetap eksis pada masa kepemimpinan

Mangkunagara VIII dan IX dan berfungsi sebagai sarana hiburan

dalam pengembangan sektor pariwisata di Mangkunagaran cukup

banyak. Komposisi-komposisi tari itu adalah Sendratari Taman

Argasoka, Sendratari Rahwana Gugur, Sendratari Sekartaji Topèng,

Sendratari Arjuna Wiwaha, Srimpi Pandhélori, Srimpi Muncar,

Srimpi Mandrarini, Wirèng Bandayuda, Pethilan Sancaya

Kusumawicitra, Pethilan Gathutkaca Dhadhungawuk, dan Pethilan

Bambangan Cakil.111 Menurut Daryono, komposisi-komposisi tari

109“Sejarah Singkat Perjuangan Pangeran Sambernyawa dan


Koleksi Benda-benda Kuna Istana Mangkunagaran Surakarta”
(Surakarta: Biro Pariwisata Mangkunagaran, 1989), hlm. 15.

110Prabowo dkk., op. cit., hlm. 190.

111Daryono, op. cit., hlm. 71-87.


481

itu telah dikemas sesuai dengan ciri-ciri seni wisata sebagaimana

dikemukakan oleh Soedarsono, yaitu: tiruan dari aslinya; singkat

atau padat; penuh variasi; ditanggalkan nilai-nilai sakral, magis,

dan simbolis; dan murah harganya.112 Fakta-fakta ini menegaskan

pendapat Philip Yampolsky, bahwa pariwisata merupakan salah

satu kekuatan yang dapat mengubah seni pertunjukan tradisi di

Indonesia.113

Untuk memperkaya khazanah seni wisata yang dapat

ditampilkan di hadapan wisatawan, Mangkunagaran juga

menggunakan tari susunan STSI Surakarta. Beberapa komposisi

tari itu adalah Gunungsari, Sekartaji, Adaninggar Kélaswara,

Driasmara, Srikandi Mustakawèni, dan Yudasmara.114

Selain pertunjukan tari yang diiringi dengan gamelan secara

live, di Mangkunagaran juga diselenggarakan klenèngan yang

dapat dikunjungi oleh wisatawan. Klenèngan ini berbau ritual

karena diselenggarakan pada setiap Sabtu Pon untuk memeringati

tingalan atau hari kelahiran Mangkunagara IX. Sebagai contoh

adalah klenèngan yang diselenggarakan pada Sabtu Pon 21 Juni

112Soedarsono, op. cit., hlm. 3.

113Philip Yampolsky, “Forces for Change in Regional


Performing Arts of Indonesia”, Bijdragen Toot de Taal-, Land-en
Volkenkunde, Deel 151, 4e Aflevering, 1995, hlm. 715.

114Prabowo, dkk., op. cit. hlm. 205.


482

1996 yang dimulai pada pukul 21.30 dan berakhir pada pukul

24.00. Acara klenèngan itu dihadiri oleh para penggemar

karawitan Jawa dan dikunjungi oleh wisatawan mancanegara dari

Jepang, Australia, Amerika, Belanda, dan Perancis. Klenèngan

yang dipergelarkan di Pendapa Agung Mangkunagaran ini juga

disiarkan oleh Stasiun RRI Surakarta. Adapun gendhing-gendhing

yang ditampilkan adalah Ketawang Puspawarna, Gendhing

Bedhaya Kabor, Gendhing Danaraja, Gendhing Parepat, Ayak-ayak

Kaloran, dan lain-lain. Ketawang Puspawarna yang dicipta pada

masa Mangkunagara IV selalu mengawali klenèngan di Pura

Mangkunagaran. Sejak Mangkunagara IV sampai Mangkunagara

IX gendhing dengan laras slèndro pathet manyura ini selalu

mengiringi miyos atau kehadiran sang adipati dalam acara

tersebut. Bahkan sampai dengan 1999 gendhing yang bercita rasa

gembira atau kenes ini selalu mengawali pergelaran karawitan

untuk berbagai acara.115

Selain klenèngan yang selalu diselenggarakan untuk

memeriahkan wiyosan Mangkunagara IX pada setiap Sabtu Pon,

Pura Mangkunagaran juga menyelenggarakan klenèngan pada

setiap Rabu yang dikenal dengan klenengan Rebon. Apabila

klenèngan untuk hari kelahiran Mangkunagara IX menggunakan

115Soedarsono, op. cit., hlm. 363.


483

gamelan baru, klenèngan pada hari Rabu justru menggunakan

gamelan pusaka, yaitu Kyai Kanyut ber-laras slèndro dan

pasangannya Kyai Mèsem ber-laras pélog. Di kalangan pecinta

karawitan Surakarta pasangan kedua perangkat gamelan ini lebih

dikenal sebagai dua perangkat gamelan yang menyatu dengan

nama Kyai Kanyut Mèsem.116

Klenèngan Rebon ditampilkan di pendapa Mangkunagaran

dari pukul 10.00 sampai 12.00. Para pemainnya terdiri atas para

abdi dalem Mangkunagaran yang dipimpin oleh Rana Suripta.

Para vokalis wanita terdiri atas abdi dalem pesindhèn seperti

Tukinem, Prenjak, Tugini, Tarini, dan Sri Rahayu. Repertoar-

repertoar gendhing yang ditampilkan hampir sama dengan yang

ditampilkan untuk memeringati hari kelahiran Sri Mangkunagara

yang jatuh pada Sabtu Pon yang penataannya berada di bawah

tanggung jawab Dalimin Purwapangrawit.117

Pengunjung wisatawan mancanegara pada acara klenèngan di

Mangkunagaran tidak sebanyak pada acara kemasan pertunjukan

tari yang dipadu dengan makan malam. Namun demikian, secara

kuantitatif jumlah wisatawan mancanegara yang menyaksikan

acara itu lebih banyak daripada acara klenèngan yang

116Ibid..

117Ibid., hlm. 364.


484

diselenggarakan di Pakualaman Yogyakarta. Perkembangan

karawitan di Surakarta rupanya memang lebih marak daripada

Daerah Istimewa Yogyakarta.118

Pengemasan seni wisata di Mangkunagaran memiliki dampak

positif bagi pelestarian dan pengembangan seni pertunjukan di

Mangkunagaran. Sesuai dengan tujuan pengembangan pariwisata

budaya di Mangkunagaran yang antara lain untuk menambah

pendapatan guna memelihara warisan budaya miliknya, sisa dana

kunjungan wisata dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan

pelatihan sindhèn, penggalian gendhing-gendhing klasik,

penggalian tari, pelatihan tari, dan persiapan sajian wisata.119

Upaya-upaya untuk mengembangkan sektor pariwisata di

Mangkunagaran dengan memanfaatkan potensi kultural yang

dimilikinya tampaknya tidak hanya terbatas pada bidang tari dan

karawitan saja. Kekayaan budaya Mangkunagaran yang lain juga

dipromosikan untuk mendukung kepentingan itu. Sebagai bukti,

pada 2-4 April 1989 di Mangkunagaran diselenggarakan Seminar

Wisata Seni Paes Pengantin Mangkunagaran. Penggunaan istilah

„Seminar Wisata‟ perlu mendapatkan penjelasan. Istilah itu

digunakan karena seminar tentang seni paes Mangkunagaran ini

118Ibid..

119Daryono, op. cit., hlm. 134.


485

dipadu dengan wisata ziarah ke Girilayu makam para leluhur

Mangkunagaran di Karanganyar.

Seminar ini diselenggarakan atas kerja sama antara

Perusahaan Kosmetik Sari Ayu dengan Mangkunagaran.

Penyelenggaraannya bertujuan untuk mengenang jasa Gusti Putri

Mangkunagara VIII dalam melestarikan pengetahuan tentang

perawatan tradisional untuk kesehatan dan kecantikan wanita

keraton. Dari kegiatan pelestarian itu dan dengan memanfaatkan

ilmu pengetahuan dan teknologi, pengetahuan perawatan

tradisional dapat dikembangkan, sehingga menghasilkan

kosmetika yang mampu bersaing dengan kosmetika luar negeri.120

Kepeloporan Kangjeng Gusti Putri Mangkunagara VIII dalam

memasyarakatkan nilai-nilai budaya tradisi keraton dapat menjadi

teladan bagi para wanita generasi penerus untuk mengembangkan

kosmetika tradisional yang dapat dibanggakan.121

Dalam seminar itu dibahas dan diperagakan tentang

kosmetika tradisional untuk pemeliharaan kesehatan tubuh dan

kecantikan wanita, tata rias dan busana, serta tata cara upacara

pengantin Mangkunagaran. Pembicara seminar terdiri atas wakil

120Agus
Sutanto, “Seminar Wisata Seni Paes Pengantin
Mangkunegaran, 2-4 April di Sala”, Majalah Umum Adil:
Pengemban Amanat Allah dan Umat, No. 13/14 Th. ke 57, hlm. 7.

121Ibid..;
“Adat Istiadat Pengantin Jawa Diseminarkan di
Mangkunegaran”, Kedaulatan Rakyat, 1 April 1989.
486

dari Perusahaan Kosmetik Sari Ayu yang membahas tentang

kosmetika tradisional, dan dua pembicara dari Mangkunagaran,

yaitu Ny. Dinas Wuryanto dan Ny. Ami Sukardi yang masing-

masing membicarakan tentang tata cara upacara pengantin di

Mangkunagaran dan sejarah busana adat pengantin gaya

Mangkunagaran.122

Menteri Peranan Wanita, Sulasikin Murpratomo dalam pidato

pembukaan seminar menilai, bahwa seminar ini memberikan

sumbangan yang tak ternilai bagi usaha pemeliharaan,

pembinaan, dan pengembangan kebudayaan nasional, serta

pembinaan kebanggaan nasional. Dari segi ekonomi, usaha

bersama ini mencerminkan keterpaduan yang harmonis antara

upaya pembangunan kebudayaan dan peningkatan kegiatan

ekonomi.123 Dari pernyataan itu, tampak bahwa pihak

Mangkunagaran memang ingin mengembangkan khazanah

budaya yang dimilikinya untuk mendukung bidang pariwisata

Mangkunagaran yang pada saat itu memang sedang

dikembangkan untuk membawa kemajuan-kemajuan bagi

Mangkunagaran.

122Satuti Yamin (perangkum), Kumpulan Makalah “Seminar


Wisata Seni Paes Pengantin Istana Mangkunagaran” (Surakarta, 2-
3 April 1989).

123Sutanto, loc. cit..


487

Penyelenggaraan acara semacam itu sudah barang tentu

mendukung upaya-upaya pelestarian dan pengembangan seni

pertunjukan Jawa di Mangkunagaran. Dalam pergelaran tata cara

upacara pengantin Mangkunagaran ini juga disajikan gendhing-

gendhing Jawa untuk mengiringi keseluruhan proses upacara itu.

e. Penyelenggaraan Kursus Pedhalangan

Upaya pelestarian seni pedhalangan wayang kulit purwa cakrik

Mangkunagaran dilakukan dengan penyelenggaraan kursus

pedhalangan. Penyelenggaraan kursus dilakukan dengan

mengaktifkan kembali Pasinaon Dhalang Mangkunagaran yang

telah didirikan oleh Mangkunagara VII pada 1931. Pada awal

kemerdekaan lembaga itu mengalami kevakuman kegiatan, karena

gejolak revolusi di Surakarta. Lembaga ini telah menghasilkan

beberapa dhalang kenamaan dan terkenal di masyarakat, yaitu

Wignyosutarno, Tjermodihardjo, Suratno (Wonogiri), Sudjarno

(Baturetno), dan Brasto (Manyaran). Sejak 17 Januari 1950

Pasinaon Dhalang Mangkunagaran (sejak saat itu disingkat PDMN)

diaktifkan dan dikelola oleh sebuah panitia yang bersifat

sementara, terdiri atas Wignyosutarno, Sri Hadidjojo, Soelardi

Djojosantoso, Prawirosudirdjo, Poedijoko, Satmokowigeno,


488

Satyapranawa, Hatmanto, Moeljatno, Soetarso, Soeroso, dan

Soeratno.124

Pengaktifan PDMN mendapat tanggapan, sambutan, dan

perhatian masyarakat luas. Lembaga kursus ini dapat

menyelenggarakan pendidikan seni pedhalangan bagi anggota

masyarakat yang berminat untuk belajar seni pedhalangan cakrik

Mangkunagaran. Hal ini dibuktikan dengan penyelenggaraan

kursus pedhalangan di luar kota Surakarta, yaitu di Kabupaten

Wonogiri dan pendirian lembaga kursus seni pedhalangan Ngesthi

Budaya di Semarang pada 17 April 1958 di Semarang yang materi

kursus dan para pengajarnya berasal dari PDMN.125

Setelah Wignyosutarno sebagai tokoh sentral dalam PDMN

meninggal dunia pada pertengahan 1966, maka panitia pengelola

yang didukung oleh sebagian siswa dan pamong PDMN antara lain

Harmanto, Oemar Soeparno, Srijanto, Darsomartono, Sujatno,

Hatmosambojo, Hatmowasito, dan Samani merasa perlu untuk

mengambil langkah-langkah penyegaran dan penertiban PDMN

dalam bentuk organisasi yang berbadan hukum yang memiliki

anggaran dasar dan rumah tangga demi kelangsungan hidup

124“Jajasan
„Pasinaon Dalang ing Mangkunagaran‟ Surakarta:
Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga” (Reksa Pustaka
Mangkunagaran Surakarta), hlm. 2-3.

125Wawancara dengan Soeparno Hadi Atmodjo pada 10 Juli


2012.
489

lembaga itu sendiri. Gagasan ini mendapatkan sambutan dan

persetujuan dari Mangkunagara VIII selaku pengayom PDMN.126

Berdasar akta notaris tertanggal 14 Maret 1967 PDMN

dijadikan sebagai lembaga berbadan hukum dengan nama

Yayasan PDMN (YPDMN). Perubahan status kelembagaan ini

bertujuan agar PDMN dapat berkembang menjadi lembaga

pendidikan pedhalangan yang bermutu dan berkepribadian yang

pada gilirannya mampu menghasilkan dhalang-dhalang yang

memiliki kedudukan dan peranan di masyarakat, yaitu sebagai

penuntun dan pendidik masyarakat dalam bidang falsafah dan

kepribadian bangsa; juru penerang masyarakat dalam masalah-

masalah kehidupan; dan pengobar kesenian dan kebudayaan

nasional.127 Walaupun Mangkunagara VIII tercatat sebagai pendiri

YPDMN, namun secara struktural lembaga itu tidak berada secara

langsung di bawah pengelolaan Mangkunagaran. Namun

demikian, berdasar perjalanan sejarahnya tidak dapat dipungkiri

bahwa lembaga itu tidak dapat dipisahkan dari Mangkunagaran.

Menurut kesaksian van Groenendael yang mengenal sekolah

itu sejak 1971, pada tahun tersebut dan seterusnya YPDMN selalu

mengalami persoalan dengan masalah-masalah pendanaan. Guru-

126“Jajasan„Pasinaon Dalang ing Mangkunagaran‟ Surakarta:


Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga”, op. cit., hlm. 3.

127Ibid., hlm. 1
490

gurunya memberikan pelayanan jasa pelatihan pedhalangan

secara gratis. Hal ini dilandasi oleh kesetiaan dan pengabdian

mereka kepada Mangkunagaran, karena merasa berhutang budi

atas kedudukan yang telah disandang. Mereka tetap bertahan,

karena berpandangan bahwa sekolah itu adalah sekolah

keraton.128

Sesuai dengan yang tertera dalam anggaran rumah

tangganya, YPDMN menyelenggarakan pendidikan dhalang selama

tiga tahun yang dibagi dalam tiga tingkat, yaitu purwawarana,

madyawarana, dan wasanawarana.129 Tahun pertama digunakan

untuk belajar memainkan naskah pakem. Naskah yang digunakan

adalah lakon Wahyu Makutharama gubahan dhalang terkenal

Mangkunagaran Wignyosutarno. Berbeda dari buku-buku

panduan bagi dhalang pada umumnya yang berupa naskah

balungan, naskah ini merupakan naskah tertulis yang lengkap,

berisi dialog dan petunjuk-petunjuk teknis pedhalangan. Naskah

ini harus dihafal oleh para siswa, sehingga pada akhir tahun

pelajaran masing-masing akan bisa mempergelarkannya dengan

baik. Dengan demikian, pada taraf ini sama sekali tidak dilakukan

128Victoria M. Clara van Groenendael, Dalang di Balik Wayang


(Jakarta: Grafitipers, 1987), hlm. 62.

129“Jajasan„Pasinaon Dalang ing Mangkunagaran‟ Surakarta:


Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga”, op. cit., hlm. 16.
491

upaya untuk mengembangkan bakat improvisasi yang terpendam

pada calon dhalang, yang sebenarnya hal itu merupakan unsur

yang sangat penting dalam pergelaran wayang kulit purwa.130

Dalam dua tahun berikutnya tekanan diberikan pada

pendidikan umum bagi para siswa. Hal ini diberikan melalui

pengembangan pengetahuan siswa lebih lanjut mengenai wayang,

khususnya mengenai buku-buku wayang. Selain itu, juga

dilakukan pengembangan ketrampilan men-dhalang, antara lain

dengan meminta mereka agar belajar mengurai lakon-lakon yang

tidak tertulis secara lengkap, tetapi sekedar ikhtisar dalam pakem

sebagaimana biasa. Namun, karena kekurangan dana program ini

tidak bisa diwujudkan, dan ketika van Groenendael menyelesaikan

penelitian, hanya dilakukan pendidikan pada tahun pertama

saja.131

YPDMN hanya menyelenggarakan kursus pedhalangan

wayang kulit purwa cakrik Mangkunagaran. Lembaga kursus itu

memberikan penekanan pada cara mempergelarkan wayang kulit

purwa dengan benar; yaitu cara yang sesuai dengan patokan seni

pedhalangan Mangkunagaran. Dengan kata lain, perkembangan

baru praktik-praktik pergelaran wayang kulit purwa dianggap

130van Groenendael, op. cit., hlm. 65.

131Ibid., hlm., 65-66.


492

salah, karena hal itu dianggap menyimpang dari patokan-patokan

yang telah digariskan, sehingga tidak mendapat tempat di lembaga

tersebut. Dengan demikian, dapat dikemukakan, bahwa YPDMN

benar-benar berusaha melestarikan tradisi pedhalangan cakrik

Mangkunagaran. Dalam hal ini YPDMN bersifat tradisionalis.

Tujuan sekolah itu adalah mendidik orang-orang yang akan

meneruskan tradisi keraton yang bersangkutan dalam bentuk

semurni-murninya.132

Sejak 1950 siswa PDMN tidak berasal dari keluarga dhalang.

Sejak berubah menjadi YPDMN setiap tahun jumlah pendaftarnya

jauh lebih banyak daripada jumlah siswa yang benar-benar hadir

di kelas sepanjang tahun, dan berlipat-lipat kali lebih besar

daripada jumlah mereka yang mengikuti ujian setiap tahun. Pada

1976 YPDMN bahkan tidak menyelenggarakan ujian, karena

minimnya peserta ujian. Satu-satunya calon peserta ujian diminta

untuk menunggu tahun berikutnya, karena biaya penyelenggaraan

ujian bagi seorang peserta saja terlalu mahal. Banyak siswa yang

keluar dari YPDMN karena pendidikan diberikan pada malam hari.

Bagi sebagian besar siswa hal ini merupakan tambahan kerja

sesudah mereka melakukan pekerjaan sehari-hari.133

132Ibid., hlm. 66.

133Ibid., hlm. 68.


493

Pada 1977 lembaga ini mengalami penurunan kegiatan. Dari

1968 sampai dengan 1977 YPDMN telah meluluskan puluhan

peserta ujian. Para lulusan YPDMN selain menjadi dhalang

wayang kulit purwa, juga mendirikan sanggar-sanggar yang

memberikan layanan kepada masyarakat yang ingin belajar

mendhalang, khususnya gaya Surakarta cakrik Mangkunagaran.

Mereka yang menjadi guru dalam bidang seni pedhalangan antara

lain Suparno yang bergabung dengan Ngesthi Budaya di Semarang

dan menjadi salah seorang guru di lembaga tersebut sejak

1963.134

YPDMN terus berjuang untuk mempertahankan eksistensinya

sebagai lembaga kursus yang secara khusus mengajarkan seni

pedhalangan gaya Surakarta cakrik Mangkunagaran. Sebagai

bukti pada 1978 S. Darsomartono berhasil menyusun “Tuntunan

Pakeliran” untuk memenuhi kebutuhan internal proses

pembelajaran di YPDMN. Umar Suparno selaku sesepuh Bagian

Wiyata YPDMN yang memberikan rekomendasi untuk buku

tersebut menyatakan, bahwa isi buku sesuai dengan tuntunan

pakeliran yang berlaku pada PDMN. Buku itu dapat digunakan

134Wawancara dengan Soeparno Hadi Atmodjo pada 10 Juli


2012.
494

sebagai pegangan bagi guru dan murid dalam proses pembelajaran

seni pedhalangan di YPDMN.135

Seperti lembaga kursus seni pedhalangan pada umumnya

yang selalu menghadapi persoalan pendanaan dan keterbatasan

murid, YPDMN masih melangsungkan kegiatannya sampai

sekarang.

Berdasar pada uraian di atas tampak bahwa Mangkunagaran

menerapkan kebijakan yang berbeda dalam pelestarian dan

pengembangan seni pertunjukan yang berkembang di

Mangkunagaran. Dua cabang seni pertunjukan Jawa yaitu tari

dan karawitan dikelola oleh Mangkunagaran secara langsung;

sedangkan seni pedhalangan dikelola oleh sebuah yayasan yang

secara struktural terpisah dari Mangkunagaran. Terhadap seni

tari dan karawitan, Mangkunagaran melakukan upaya pelestarian

dan pengembangan, sedangkan terhadap seni pedhalangan

melalui YPDMN melakukan upaya pelestarian.

135S.Darsomartono, “Tuntunan Pakeliran” (Surakarta:


Yayasan Pasinaon Dhalang Mangkunagaran, 1978), hlm. i.
495

BAB VI

SIMPULAN

Politik kebudayaan Jawa Surakarta pascaproklamasi

kemerdekaan Indonesia dapat dipahami dalam dua hal, yaitu

revivalisme kebudayaan Jawa Surakarta dan upaya untuk

menjadikan Surakarta sebagai pelopor dalam kebudayaan Jawa.

Seiring dengan pembentukan negara bangsa ada kebutuhan untuk

membangun kebudayaan Indonesia yang menempatkan

kebudayaan-kebudayaan daerah sebagai unsur-unsur

pembentuknya. Upaya pelestarian dan pengembangan

kebudayaan Jawa Surakarta perlu dilakukan karena merupakan

salah satu langkah strategis untuk membangun kebudayaan

Indonesia. Ketika secara politis Surakarta tidak mendapatkan

tempat dalam panggung Indonesia merdeka, melalui bidang

kebudayaan Surakarta ingin menjadi bagian dari kebudayaan

Indonesia yang menempatkan kebudayaan Jawa Surakarta

sebagai aspek utama dalam pembangunan kebudayaan Indonesia.

Oleh karena itu, pembangunan kebudayaan Indonesia dijadikan

sebagai momentum dan sekaligus kesempatan untuk membangun

kembali kebudayaan Jawa Surakarta yang mengalami

kemunduran setelah kemangkatan Sunan Paku Buwana X dan

Mangkunagara VII yang disusul dengan keruntuhan kekuasaan


496

politik Kasunanan dan Mangkunagaran sebagai akibat dari

revolusi sosial di Surakarta.

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah

Surakarta yang merupakan representasi negara memiliki peranan

penting dalam upaya-upaya pelestarian dan pengembangan

kebudayaan Jawa Surakarta. Peranan Pemerintah Republik

Indonesia dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa

Surakarta diwujudkan dalam pembentukan Kokar, ASKI, PKJT,

dan Lokananta di Surakarta, serta pemanfaatan RRI Surakarta

sebagai wahana pembinaan dan penyebarluasan kebudayaan

Jawa Surakarta. Peranan Pemerintah Daerah Surakarta dalam

pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta

diwujudkan dalam alih kelola Wayang Wong Sriwedari. Upaya-

upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan

Pemerintah Daerah Surakarta dalam melestarikan dan

mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta mendapatkan

dukungan dari masyarakat Surakarta yang meliputi masyarakat

keraton, tokoh dan anggota masyarakat yang tergabung dalam

sanggar-sanggar atau paguyuban seni. Dukungan masyarakat

Surakarta diwujudkan melalui peran serta mereka secara aktif

dalam kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga kebudayaan yang

dibentuk oleh negara dan melalui kegiatan-kegiatan yang

diusahakan sendiri antara lain melalui penyelenggaraan kursus


497

serta penerbitan majalah, koran, dan buku berbahasa Jawa yang

berperan sebagai media penyebarluasan kebudayaan Jawa

Surakarta.

Upaya-upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan

Jawa Surakarta dilakukan dengan melakukan penggalian,

rekonstruksi, dan penafsiran kembali seni pertunjukan tradisi

keraton sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya. Selain itu

juga dilakukan inovasi-inovasi dalam bidang seni pertunjukan

dengan mengacu pada konvensi yang berlaku pada tradisi keraton

(nunggak semi) dan memanfaatkan unsur-unsur di luar tradisi

keraton. Para seniman yang tergabung dalam lembaga-lembaga

kebudayaan di Surakarta itu telah berhasil mengembangkan

kebudayaan Jawa Surakarta, dalam hal ini seni karawitan, tari,

dan pedhalangan menjadi sebuah seni pertunjukan Jawa

Surakarta yang moderen dalam keklasikannya.

Kegiatan dan kiprah lembaga-lembaga kebudayaan Jawa di

Surakarta mengakibatkan seni pertunjukan Jawa Surakarta

berkembang secara dinamis. Perkembangan ini menunjukkan

adanya revivalisme kebudayaan Jawa Surakarta. Keberhasilan

lembaga-lembaga kebudayaan Jawa di Surakarta dalam

mengembangkan seni pertunjukan Jawa Surakarta yang moderen

dalam keklasikannya ini juga dapat dimaknai bahwa Surakarta

menjadi pelopor dalam pengembangan kebudayaan Jawa pada


498

masa Indonesia merdeka. Setelah Perjanjian Giyanti 1755 terjadi

kontestasi kultural antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan

Yogyakarta. Dengan keberhasilannya dalam mengembangkan seni

pertunjukan Jawa Surakarta yang moderen dalam keklasikannya

pada masa Indonesia merdeka, Surakarta berhasil tampil sebagai

pemenang dalam kontestasi kultural itu. Kepeloporan itu

ditunjukkan dengan perkembangan dan persebarluasan seni

pertunjukan Jawa Surakarta yang melampaui batas wilayah

administratif kota Surakarta dan memiliki wilayah persebaran

yang lebih luas dibandingkan dengan seni pertunjukan Jawa

Yogyakarta. Bahkan, seni karawitan gaya Surakarta dapat

mendominasi kehidupan seni karawitan di Yogyakarta dan tari

gaya Surakarta lebih diminati oleh warga Daerah Istimewa

Yogyakarta. Perkembangan dan penyebarluasan seni pertunjukan

Jawa Surakarta itu menjadikan Surakarta sebagai pelopor dalam

pengembangan kebudayaan Jawa dan mengukuhkan

eksistensinya sebagai pusat kebudayaan Jawa. Surakarta telah

berhasil tampil dalam panggung keindonesiaan dan secara

simbolik mengukuhkan eksistensinya sebagai ibukota kebudayaan

Jawa. Pembicaraan tentang kebudayaan Jawa pada masa

Indonesia merdeka tidak akan dapat lepas dari perkembangan

kebudayaan Jawa Surakarta.


499

Dalam sejarah Surakarta telah terjadi pergeseran patronage

dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa. Pada

masa sebelum kemerdekaan raja menjadi patron dalam

pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa. Ketiadaan raja

yang mampu menjadi patron budaya pascaproklamasi

kemerdekaan Indonesia memberi kesempatan untuk kehadiran

patron baru dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan

Jawa Surakarta. Kehadiran negara dalam pelestarian kebudayaan

Jawa Surakarta melalui lembaga-lembaga kebudayaan Jawa yang

dibentuk di Surakarta telah menempatkan Pemerintah Republik

Indonesia sebagai patron baru dalam pelestarian dan

pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta. Namun demikian,

Pemerintah Republik Indonesia masih memerlukan kehadiran

keraton sebagai sebuah institusi. Keraton dengan kekayaan

budaya yang dimilikinya yang berupa seni pertunjukan menjadi

sumber inspirasi untuk mengembangkan kebudayaan Jawa

Surakarta. Keberhasilan lembaga-lembaga kebudayaan di

Surakarta dalam mengembangkan seni pertunjukan tradisi

keraton mengakibatkan seni pertunjukan tradisi keraton tidak

hanya menjadi milik keraton, tetapi menjadi milik Republik

Indonesia. Seni pertunjukan Jawa Surakarta menjadi salah satu

kekayaan budaya Indonesia.


500

Ada dua karakteristik umum dalam politik kebudayaan Jawa

Surakarta. Pertama, pemanfaatan seni pertunjukan tradisi keraton

sebagai sarana untuk membangun kebudayaan Jawa Surakarta.

Lembaga-lembaga kebudayaan yang berperan dalam pelestarian

dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta menjadikan seni

tradisi keraton sebagai unsur kebudayaan yang harus dilestarikan

dan dikembangkan. Kedua, keraton dan lembaga-lembaga

kebudayaan Jawa di Surakarta bersimbiosis mutualisme dalam

pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta.

Mereka saling menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk

melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta.

Berdasar periodisasinya, politik kebudayaan Jawa Surakarta

dapat dibagi ke dalam tiga periode. Pertama, periode 1950-1970;

periode keraton sebagai sumber inspirasi. Seni pertunjukan tradisi

keraton dijadikan sebagai materi pembelajaran pada Kokar dan

ASKI Surakarta. Kedua, periode 1970-1980; periode revitalisasi,

pengembangan, dan inovasi seni pertunjukan tradisi keraton. Seni

pertunjukan keraton direvitalisasi, dikembangkan, dan diperbarui

oleh dosen dan mahasiswa ASKI melalui serangkaian kegiatan

yang dilakukan oleh PKJT dengan melibatkan seniman bertaraf

empu dari keraton. Ketiga, periode 1980-1990an; periode

sosialisasi dan implementasi hasil-hasil pengembangan dan

inovasi seni pertunjukan tradisi keraton yang ditandai oleh


501

penyebarluasan garapan-garapan baru ASKI/PKJT dalam bidang

karawitan, tari, dan pedhalangan. Pada periode ini juga ditandai

dengan adanya upaya-upaya yang lebih sistematis dengan

langkah-langkah konkret dari Kasunanan dan Mangkunagaran

untuk menegakkan eksistensinya sebagai pusat kebudayaan Jawa

dengan mengembangkan seni pertunjukan tradisi keraton dengan

konsep-konsep penggarapan yang digagas oleh ASKI/PKJT untuk

kepentingan pengembangan pariwisata budaya.

Sebagai penutup simpulan ini perlu disampaikan, bahwa

lembaga-lembaga kebudayaan di Surakarta yang dibentuk oleh

negara, seperti Kokar (sekarang SMK 8 Surakarta), ASKI (sekarang

ISI Surakarta), PKJT (sekarang TBJT Surakarta) sampai sekarang

masih berkiprah dalam pelestarian dan pengembangan

kebudayaan Jawa Surakarta. Lembaga-lembaga itu dengan bidang

tugasnya masing-masing menjadi pilar-pilar penyangga

keberlangsungan kebudayaan Jawa pada saat ini dan masa depan.

Sementara itu, RRI Surakarta dan Lokananta walaupun

masih eksis pamornya sebagai lembaga kebudayaan Jawa

Surakarta mengalami penurunan. Siaran-siaran kesenian Jawa

RRI Surakarta dan produksi/reproduksi kaset-kaset rekaman

Lokananta semakin kurang diminati oleh masyarakat seiring

dengan perubahan sosial yang demikian cepat. Kemajuan

teknologi dan kehadiran televisi swasta yang menyajikan hiburan-


502

hiburan yang bervariasi dan menarik telah semakin menggeser

minat masyarakat terhadap siaran-siaran dan produksi rekaman

seni pertunjukan Jawa Surakarta.

Ketika RRI Surakarta dan Lokananta mengalami penurunan

pamor, Kasunanan dan Mangkunagaran justru semakin giat

menggali, mengembangkan, dan memanfaatkan potensi kultural

yang dimilikinya untuk menegakkan eksistensinya sebagai pusat

kebudayaan Jawa. Upaya-upaya itu dilakukan antara lain sebagai

respon terhadap perkembangan industri pariwisata yang

diharapkan dapat menopang posisinya sebagai pusat kebudayaan

Jawa. Dengan demikian, cita-cita para pendiri Kokar Surakarta

tidak sia-sia, karena Kasunanan dan Mangkunagaran bangkit,

tidak hanya secara simbolis, tetapi melakukan kegiatan-kegiatan

nyata untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa

Surakarta.

Politik kebudayaan Jawa Surakarta merupakan bagian dari

kebijakan pembangunan kebudayaan Indonesia. Politik

kebudayaan Jawa Surakarta sebenarnya merupakan suatu

pemanfaatan kebudayaan untuk mempertahankan eksistensi diri

ketika aspek politik dan ekonomi tidak mampu memberi dasar

legitimasi. Surakarta tidak ingin kehilangan eksistensi dirinya

ketika kehilangan kekuasaan politik dan ekonomi. Surakarta

berusaha untuk hadir dan eksis dalam panggung keindonesiaan


503

melalui kebudayaan Jawa Surakarta. Politik kebudayaan Jawa

Surakarta berhasil menempatkan Surakarta dalam panggung

Indonesia merdeka.
504

DAFTAR PUSTAKA

A. Arsip

1. Khazanah Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)

“Akademi Kesenian” (Arsip Kementerian Penerangan No. 251,


ANRI).

“Kebudajaan dan Seni Rupa Indonesia Baru oleh Basuki


Resobowo” (Arsip Kementerian Penerangan No. 251, ANRI).

“Rantjangan Anggaran Dasar Lembaga Kebudajaan Nasional


Indonesia (jang akan diadjukan ke-Kongres Kebudajaan
Indonesia di Magelang dan selandjutnya untuk disjahkan oleh
Kongres itu)” (Arsip Kementerian Penerangan No. 251, ANRI).

“Sari Pidato Sdr. Anas Ma‟ruf pada Kongres Kebudajaan di


Magelang 20-25 Agustus 1948” (Arsip Kementerian
Penerangan No. 251, ANRI).

2. Khazanah Arsip Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 8


Surakarta

“Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik


Indonesia No. 0292/0/1976 tentang Penggantian Nama
Konservatori Karawitan Indonesia dan Konservatori Tari
Indonesia Menjadi Sekolah Menengah Karawitan Indonesia”.

“Keputusan Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan Nomor:


108/C4/Kep/I.86 tentang Pelaksanaan Rumpun Program
Studi pada Sekolah Menengah Kejuruan untuk Tahun Ajaran
1985/1986 dan Tahun Ajaran 1986/1987”.

“Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik


Indonesia Nomor 036/O/1997 tentang Perubahan
Nomenklatur SMKTA Menjadi SMK serta Organisasi dan
Tatakerja SMK”.

“Putusan Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan No.


554/K/3-b tentang Pendirian Konservatori Karawitan
Indonesia”.
505

“Putusan Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan No.


621/K/3-b/50 tentang Pembubaran Panitia Pendirian
Konservatori Karawitan Indonesia di Surakarta”.

“Sambutan Ketua Komite Pembukaan Konservatori Karawitan


Indonesia”.

“Surat Jawatan Kebudajaan Surakarta kepada Menteri Pendidikan


No. 64/K tentang Acara Pertemuan”.

3. Khazanah Arsip Lokananta

“Daftar Kaset Lokananta” (Perum PNRI Cabang Surakarta, t.t.).

“Daftar Lagu-Lagu pada Kaset Seri ACI Lokananta” (Koleksi


Lokananta, t.t.).

“Kataloges Piring Hitam Lokananta” (Surakarta: Departemen


Penerangan P.N. “Lokananta”, 1962).

“Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 215 Tahun


1961 tentang Pendirian Perusahaan Negara „Lokananta‟”.

“Sambutan Sekretaris Jenderal Departemen Penerangan RI pada


Upacara Serah Terima, Sumpah Jabatan dan Pelantikan
Direktur Utama PN Lokananta, Surakarta, Agustus 1998”.

“Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 105/Kep/


Menpen/1972 tertanggal 13 November 1972”.

4. Khazanah Arsip Mangkunagaran

“Jajasan „Pasinaon Dalang ing Mangkunagaran‟ Surakarta:


Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga”.

“Lawatan Misi Kesenian Mangkunagaran ke Jepang 1989 untuk


Mengadakan Pertunjukan di Hiroshima Expo, Namakoma
Expo dan Hibya Hall Tokyo 9-10 Juli 1989”.

“Lawatan Misi Kesenian Mangkunagaran ke Paris dan London


Tahun 1989”.
506

“Makloemat Sri Padoeka Mangkoenegoro VIII 1 September 1945”.


Arsip Mangkunegara VIII No. 596.

“Penetapan Pemerintah No. 16/ SD 1946 tentang Pemerintah


Daerah Istimewa Surakarta dan Jogjakarta” Arsip
Mangkunagara VIII No. 691.

“Performances of Javanese Classical Dances at the Reception in


Honour of Member of the Inotech Conference in the
Mangkunagaran Palace, Surakarta Central Java Indonesia,
13th March 1974”.

“Sambutan-sambutan terhadap Keberhasilan Missi Kesenian


Istana Mangkunagaran Ketika Melawat ke Paris dan Inggris
Tahun 1989”.

“Temu Budaya Indonesia-Amerika di Solo, 28 September – 2


Oktober 1988”.

B. Makalah, Artikel, Buku, Tesis, Disertasi

20 Tahun Indonesia Merdeka Jilid IX: Departemen Penerangan


(Jakarta: Departemen Penerangan, 1965).

A. Komar Abbas dan Seno Subro, Ki Manteb “Dalang Setan”


(Surakarta: Yayasan Resi Tujuh Satu, 1995).

A. Sudewa, Serat Panitisastra (Yogyakarta: Duta Wacana


University Press, 1991).

Anderson, Ben, Revoloesi Pemuda: Pendudukan Jepang dan


Perlawanan di Jawa, terjemahan Pustaka Sinar Harapan
(Jakarta: Sinar Harapan, 1988).

Asmoro WR, “Wayang Orang yang Perlu Pengembangan”, dalam


Hari Radio ke 39: 11 September 1984 (Surakarta: Radio
Republik Indonesia Stasiun Surakarta, 1984).

Atmatjendana (al. Najawirongka), Serat Pakem Ringgit Purwa


Tjaking Pakeliran Lampahan Palasara (Surakarta: C.V.
Mahabarata, 1966-Cetakan I).

______________, Serat Pedalangan Ringgit Purwa Djilid I-III


(Surakarta: C.V. Mahabarata, 1966-Cetakan I).
507

Bambang Murtiyoso, “Kekhawatiran SD Humardani terhadap


Situasi Jagat Pakeliran”, dalam Rustopo, ed., Krisis Kritik:
Seperempat Abad Pasca Gendhon Humardani (Surakarta: ISI
Press, 2008).

Bambang Purwanto, Sejarawan Akademik dan Disorientasi


Historiografi: Sebuah Otokritik (Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 28 September 2004).

______________, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!


(Yogyakarta: Ombak, 2006).

______________, “Menulis Sejarah Kehidupan Sehari-hari Jakarta:


Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia”, dalam Henk
Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, ed.,
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, KITLV Jakarta, Pustaka Larasan, 2008).

Becker, Judith, Traditional Music in Modern Java: Gamelan in a


Changing Society (Honolulu: The University Press of Hawaii,
1980).

Ben Suharto, dkk., Langen Mandra Wanara, Sebuah Opera Jawa


(Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 1999).

Bogaerts, Els, “‟Kemana Arah Kebudajaan Kita‟ Menggagas


Kembali Kebudayaan di Indonesia pada Masa Dekolonisasi”,
dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem, ed., Ahli Waris
Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965 (Jakarta-
Denpasar: KITLV dan Pustaka Larasan, 2011).

Brakel-Papenhuyzen, Clara, “Of Sastra, Penget and Pratelan: The


Development of Javanese Dance Notation”, Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde van het Koninklijk Instituut (BKI),
Deel 148 1 e Aflevering (1992).

______________, Clara, Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan


Peristilahannya, terjemahan Nursabyo (Jakarta: ILDEP-RUL,
1991).

Bram Setiadi, Womarul Hadi, dan D.S. Tri Handayani, Raja di


Alam Republik: Keraton Surakarta dan Paku Buwana XII
(Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2000).

Brandon, James R., Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara,


terjemahan R.M. Soedarsono (Bandung: P4ST UPI, 2003).
508

Brinner, Benjamin, Knowing Music, Making Music: Javanese


Gamelan and the Theory of Musical Competence and
Interaction (Chicago & London: The University of Chicago
Press, 1995).

Buku Dies Natalis XXII Akademi Seni Karawitan Indonesia


Surakarta, 15 Juli 1964-1986.

“Buku Kenang-kenangan Dies Natalis ke VII ASKI Surakarta”.

Buku Peringatan 10 Tahun Konservatori Karawitan Indonesia: 27


Agustus 1950 – 27 Agustus 1960.

Buku Peringatan Hari Jadi ke- 27 Pemerintah Daerah Kotamadya


Surakarta 16 Juni 1946 - 16 Juni 1973 (Surakarta:
Pemerintah Kotamadya Surakarta, 1973).

Buku Petunjuk STSI Surakarta 1991-1992 (Surakarta: STSI Press,


1991).

Cantrik Mataram, Peranan Ramalan Djojoboyo dalam Revolusi Kita


(Bandung: Masa Baru, 1954, Cetakan III).

Darsiti Soeratman, Istana sebagai Pusat Kebudayaan: Lampau dan


Kini (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1990).

______________, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939


(Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000).

Darsono, Cokrodiharjo dan Sunarto Cipto Suwarso Pengrawit


Unggulan Luar Tembok Keraton (Surakarta: Citra Etnika,
2002).

Daryono, “Dampak Pariwisata terhadap Tari Tradisional di


Kasunanan Surakarta dan di Pura Mangkunagaran
Surakarta” (Yogyakarta: Tesis Program Studi Pengkajian Seni
Pertunjukan Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 1999).

Dhanang Respati Puguh dan Mahendra Pudji Utama, Pedhalangan


Gagrag Nartosabdhan (Semarang: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Semarang, 2009).

Dhanang Respati Puguh, “Konservatori Karawitan Indonesia


Surakarta: Pendidikan Seni Tradisi dan Pembentukan
Warisan Budaya Jawa Surakarta”, International Conference
509

Sites, Bodies and Stories: Indonesia, India and (Post) Colonial


Heritage Formation (Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada, Institut Sejarah Indonesia, dan
Vrije Universiteit Amterdam, Yogyakarta, 13-15 Januari
2011).

Dhanang Respati Puguh, “Pembentukan Warisan Budaya Jawa di


Surakarta 1945-1990-an: Sebuah Kajian Awal”, Workshop on
Sites, Bodies and Stories: Formation of Indonesian Cultural
Heritage (Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada, Institut
Sejarah Indonesia, KITLV, Universiteit van Amsterdam, Vrije
Universiteit, KIT, NIOD, Yogyakarta, 7-8 Agustus 2009).

______________, “Pemikiran K.G.P.A.A. Mangkunagara IV tentang


Ketataprajaan (1856-1971)” (Tesis Sarjana S-2 Jurusan Ilmu-
ilmu Humaniora Program Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, 2000).

______________, “Radio Republik Indonesia Surakarta, 1945-


1960an: Peranan dalam Upaya Mempertahankan
Kemerdekaan dan Pembentukan Kebudayaan Nasional”, USM-
UGM Bienial History Workshop 2012: Rude Awakening The
Japanese Interregnum in Indonesia and Malaysia 1941-1945.
(School of Humanities Universiti Sains Malaysia Pulau Pinang,
27 – 28 September 2012).

Drewes, G.J.W., “Ranggawarsita the Pustaka Raja Madya and


Wayang Madya”, dalam Orient Extremus (1974).

Edi Sedyawati, Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan


Membangun Bangsa yang Kuat (Jakarta: Wedatama Widya
Sastra, 2007).

______________, Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 2 Dialog


Budaya Nasional dan Etnik, Peranan Industri Budaya dan
Media Massa, Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis
(Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008).

Feinstein, Alan, dkk., ed., Lakon Carangan Volume I dan II (Proyek


Dokumentasi Lakon Carangan ASKI Surakarta, 1986).

Garraghan, Gilbert J., A Guide to Historical Method (New York:


Fordham University Press, 1957), hlm. 33.

Gitosaprodjo, Teori dan Praktek Bawa (Surakarta: Percetakan


Hadiwijaya, 1993, Cetakan I 1992).
510

Gitosaprodjo, Titilaras Gendhing Jilid II (Surakarta: Percetakan


Hadiwijaya, 1993, Cetakan I 1992).

______________, Titilaras Gendhing Jilid III (Surakarta: Percetakan


Hadiwijaya, 1997).

Gramsci, Antonio, Sejarah dan Budaya, terjemahan Ira


Puspitorini, Ribut Wahyudi, B. Febriantono, dan Tri Sukma
Retnoningrum (Surabaya: Pustaka Promethea, 2000).

Hadi Subagyo, “Gendhon Humardani, Perannya dalam


Melestarikan Tari Tradisi Gaya Surakarta”, dalam Rustopo,
ed., Krisis Kritik: Seperempat Abad Pasca Gendhon Humardani
(Surakarta: ISI Press, 2008).

Hartomo, “Pelaksanaan Program Berseri Ditinjau dari Segi Hukum


dan Institusionalnya”, dalam Heru Suharto, Surakarta
Hadiningrat dalam Strategi Elit: Suatu Analisis Kepemimpinan
(Surakarta: Persatuan Wartawan Indonesia dan PT Pabelan,
1994).

Hellman, Joergen, “Longser Antar Pulau: Indonesian Cultural


Politics and the Revitalisation of Traditional Theatre”
(Department of Social Anthropology, University of Goteborg,
Sweden, 1999).

Heri Priyatmoko, “Sejarah Sosial Komunitas Seniman di Kemlayan


Surakarta 1930an-1970an” (Tesis Sarjana S-2 Program Studi
Sejarah Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada, 2013).

Heru Suharto, Surakarta Hadiningrat dalam Strategi Elit: Suatu


Analisis Kepemimpinan (Surakarta: Persatuan Wartawan
Indonesia dan PT Pabelan, 1994).

Herry Gendut Janarto, “Ketoprak Tetap Memikat Meskipun


Gampang Sekarat”, dalam Lephen Purwaraharja dan Bondan
Nusantara, Ketoprak Orde Baru (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 1997).

Hersapandi, Wayang Wong Sriwedari: Dari Seni Istana menjadi


Seni Komersial (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 1999).

Holt, Claire, “The Development of Art of dancing in the


Mangkunagaran”, dalam Het Triwindoe-gedenkboek Mangkoe
Nagoro VII (1939).
511

Holt, Claire, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia,


terjemahan R.M. Soedarsono (Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia, 2000).

Houben, Vincent J.H., Keraton dan Kompeni: Surakarta dan


Yogyakarta, 1830-1870, terjemahan E. Setiyawati Alkhatab
(Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002).

Imam Samroni, dkk., Daerah Istimewa Surakarta: Wacana


Pembentukan Propinsi Daerah Istimewa Surakarta Ditinjau
Dari Perspektif Historis, Sosiologis, Filosofis, & Yuridis
(Yogyakarta: Pura Pustaka, 2010).

Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

Jones, Tod, “Indonesian Cultural Policy, 1950-2003: Culture,


Institution, Government” (Thesis is presented for Degree of
Doctorate of Philosophy of Curtin University of Technology
Perth, 2005).

Julianti Parani, Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik


Kebudayaan (Jakarta: Penerbit Nalar-Kajian Seni
Pertunjukan Institut Kesenian-Kelola, 2011).

Jurriens, Edwin, Ekspresi Lokal dalam Fenomena Global: Safari


Budaya dan Migransi, terjemahan Hersri Setiawan (Jakarta:
LP3ES-KITLV Jakarta, 2006).

Kanti Wiludjeng Walujo, “Peranan Dalang Wayang Kulit dalam


Menyampaikan Pesan-pesan Pembangunan di Kabupaten
Bantul Yogyakarta” (Bandung: Disertasi pada Universitas
Padjajaran, 1992).

Karaton Surakarta: By the will of His Serene Highness Paku


Buwono XII (Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan
Karaton Surakarta, 2004).

Karkono Kamajaya Pk, “Revolusi di Surakarta” (Makalah Temu


Ilmiah Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta,
28 Agustus 1993).

Kartomi, Margaret J., Gamelan Digul: Di Balik Sosok Seorang


Pejuang, terjemahan Hersri Setiawan (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005).
512

Kats, J., “Wayang Madya”, Djawa, Mangkoenegaran Nummer


(1924).

Kementerian Penerangan, Sejarah Radio di Indonesia (Djakarta:


Djawatan Radio Republik Indonesia, 1953).

Kenang-kenangan Kota Besar Surakarta 1945-1953 (Surakarta:


Djawatan Penerangan Kota Besar Surakarta, 1953).

Kodiron, Serat Tuntunan Ngringgit Lampahan “Sri Bojong”


(Surakarta: Tri-Jasa, 1964).

______________, Tuntunan Karawitan Gending Djawi: Untuk


Pasinaon2 Karawitan Sekolah2 Guru Umum (Surakarta: Toko
Buku Pelajar, 1971- Cetakan 2).

______________, Tuntunan Pakeliran Ringgit Purwa Lampahan


Murtja Lelana (Surakarta: Tri-Jasa Kratonan, 1964).

______________, Tuntunan Pakeliran Ringgit Purwa Lampahan


Wahyu Pantjasila (Surakarta: Trijasa, 1964-cetakan I).

______________, Tuntunan Sulukan Pedalangan Djangkep: Ngewrat


Sulukan2 Laras Slendro Djangkep (Surakarta: Fa Trijasa,
1964).

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: PN Balai Pustaka,


1984).

______________, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan


(Jakarta: PT Gramedia, 1984).

“Konservatori Karawitan Indonesia”, dalam Republik Indonesia


Provinsi Jawa Tengah (Semarang: Djawatan Penerangan
Propinsi Djawa Tengah, 1953).

Kris Hapsari, “Kasunanan dan Mangkunagaran di Tengah


Kekuatan Radikal Surakarta Tahun 1945-1950” (Tesis
Program Magister Ilmu Sejarah Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro, 2011).

Kriswanto, Dominasi Karawitan Gaya Surakarta di Daerah


Istimewa Yogyakarta (Surakarta: ISI Press, 2008).

Kumar, Ann, Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana


dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18, terjemahan Mikael Johani
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2008).
513

Kuntowijoyo, “Sejarah/Sastra”, Humaniora Vol. 16, No.1, 2004.

______________, “The Making of a Modern Urban Ecology: Social


and Economic History of Solo”, Lembaran Sejarah, Volume 3,
No. 1 (Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada, 2000).

______________, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana,


2003).

______________, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta, 1900-1915


(Yogyakarta: Ombak, 2004).

Larson, George Donald, Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan


Kehidupan Politik di Surakarta, 1912–1942, terjemahan A.B.
Lapian (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990).

Lindsay, Jennifer, “Cultural Policy and the Performing Arts in


Southeast Asia”, Bijdragen Toot de Taal-, Land-en Volkenkunde
(BKI), Deel 151, 4e Aflevering (1995).

______________, “Making Waves: Private Radio and Local Identities


in Indonesia”, Indonesia 64 (1997).

______________, “Menggelar Indonesia di Luar Negeri”, dalam


Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem, ed., Ahli Waris Budaya
Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965 (Jakarta-Denpasar:
KITLV dan Pustaka Larasan, 2011).

______________, Klasik Kitsch Kontemporer: Sebuah Studi tentang


Seni Pertunjukan Jawa, terjemahan Nin Bakdi Soemanto
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991).

Manteb Soedharsono, “Seni Pedalangan Sebuah Autokreasi”,


dalam Sunardi, ed., Ki Manteb Soedharsono: Pemikiran dan
Karya Pedalangannya (Surakarta: ISI Press, 2015).

Maryono, Dampak Perubahan Sosio Politik terhadap Munculnya


Koreografi Genre Tari Duet Percintaan di Surakarta (Surakarta:
ISI Press, 2006).

Moehkardi, Sendratari Ramayana Prambanan: Seni dan


Sejarahnya (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011).

Moh. Ardani, Al Qur’an dan Sufisme Mangkunagara IV: Studi Serat-


serat Piwulang (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995).
514

Muhammad Mulyadi, Industri Musik Indonesia, Suatu Sejarah


(Bekasi: Koperasi Ilmu pengetahuan Sosial, 2009).

Najawirangka (al. Atmatjendana), Serat Tuntunan Padalangan:


Tjaking Pakeliran Lampahan Irawan Rabi, Djilid I-IV
(Jogjakarta: Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan,
Kementerian P.P. dan K, 1956, Cetakan I 1954).

Nora Kustantina Dewi, “Pemadatan Tari Srimpi Sangupati Kraton


Surakarta: Salah Satu Alternatif Pengembangan”, dalam
Rustopo, ed., Krisis Kritik: Seperempat Abad Pasca Gendhon
Humardani (Surakarta: ISI Press, 2008).

Nordholt, Henk Schulte dan Fridus Steijlen, “Don‟t Forget to


Remember Me: Arsip Audiovisual Kehidupan Sehari-hari di
Indonesia pada Abad XXI”, dalam Henk Schulte Nordholt,
Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, ed., Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, KITLV Jakarta, Pustaka Larasan, 2008).

Nunus Supardi Kongres Kebudayaan (1918-2003) (Yogyakarta:


Ombak, 2007).

Nur Iswantoro, “Ketoprak dan Teater Modern Kita”, dalam Lephen


Purwaraharja dan Bondan Nusantara, Ketoprak Orde Baru
(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997).

Ny. Wibisono Rusmiputro Kusumodilaga, “Perpindahan Kraton


Kartasura ke Surakarta”, dalam Suwito Santosa, ed., Urip-urip
(Surakarta: Museum Radya Pustaka, 1990).

Padmasusastra, Dwija Iswara (Surakarta: Albert Rusche & Co,


1898).

Paku Buwana IV, Serat Wulang Reh. Garapan Darusuprapto


(Surabaya: C.V. Citra Jaya, 1985).

Pekan Orientasi Pendidikan Kesenian (Direktorat Pendidikan dan


Menengah Kejuruan, Departemen P dan K bekerja sama
dengan Dewan Kesenian Jakarta 18 s.d. 21 September 1979
di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Pemberton, John, “Jawa”; On The Subject of “Java”, terjemahan


Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: MataBangsa, 2003).
515

Pengetan 40 Tahun 19-7-1944 – 19-7-1984 Jumenengdhalem S.I.J.


Mangkoenagoro VIII hing Surakarta, Suryo kaping 19 Juli 1984
hing Pandapi Ageng Mangkunagaran.

Penjelenggaraan Sekolah2 di Indonesia (Djakarta: Kementerian


Pendidikan Pengadjaran & Kebudayaan, Bagian Penerangan,
1951).

Pigeaud, Th., Serat-serat Anggitan Dalem Kangjeng Gusti Pangeran


Adipati Arya Mangkunagara IV (Surakarta: Java Institut,
1927-1934).

______________, “Pangeran Adipati Arja Mangkoenagara IV als


Dichter”, dalam Djawa (1927).

______________, Literature of Java I (The Hague: Martinus Nijhoff,


1967).

Poerbadipoera, Serat Srikarongron Jilid 1,2,3 (Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan, 1981).

Poerbatjaraka dan Tardjan Hadiwidjaja, Kepustakaan Djawa


(Jakarta: Djambatan, 1957).

Poliman, Sedijono Djojokartiko Humardani: Karya dan


Pengabdiannya (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1986).

Pradjapangrawit, Wedhapradangga: Serat Sujarah Utawi


Riwayating Gamelan (Serat Saking Gotek), Jilid I-VI
(Surakarta: STSI Surakarta dan Ford Foundation, 1990).

Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati


Kamil, Kronik Revolusi Indonesia, Jilid III (1947) (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2001).

______________, Kronik Revolusi Indonesia, Jilid IV (1948) (Jakarta:


Kepustakaan Populer Gramedia, 2003).

Prawirosoedirdja dan Sulardi, Pakem Wajang Purwa Ngewrat 20


Lampahan, Djilid I (Solo: Sadu Budi, 1960-Cetakan III).

Pringgadigda, Dhoemadhos saha Ngrembakanipoen Pradja


Mangkoenagaran (Mangkoenagaran, 1939).
516

R.M. Soedarsono dan Tati Narawati, Dramatari di Indonesia,


Kontinuitas dan Perubahan (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2011).

R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial,


dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2003).

______________, Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata (Bandung:


Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999).

______________, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi


(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002).

______________, Wayang Wong: The State Ritual Dance Drama in the


Court of Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1990).

Radio Republik Indonesia (Direktorat Jenderal Radio-Televisi-Film


Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1976).

“Radio Republik Indonesia Studio Djakarta 1971-1972”.

Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan I (Jakarta: Ford


Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia,
2002).

______________, Bothekan Karawitan II: Garap (Surakarta: ISI Press,


2007).

Repoeblik Indonesia: Djawa Tengah (Djawatan Penerangan Provinsi


Djawa Tengah, 1953).

Reshi Wahono, Mahabharata Kawedar: Adiparwa Djilid I


(Surakarta: t.p., 1952).

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, terjemahan Dharmono


Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1991).

______________, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-


1792: Sejarah Pembagian Jawa, terjemahan Hartono
Hadikusumo dan E. Setiyawati Alkhatab (Yogyakarta:
Matabangsa, 2002).

Rini Widiastuti, Menapak Jejak S. Kardjono (Jakarta - Yogyakarta:


Surya Kirana dan Aksara Indonesia, 2007).
517

Rinkes, D.A., “Bij Portret van Prins Mangkoenagara IV met een


Lijst van Zijn Nagelaten Werken”, dalam Notulen Bataviaasch
Genootschap 57, bijlage VII (1919).

______________, “De Mangkoenegaran”, Djawa 4 Mangkoenegaran


Nummer (1924).

Roosa, John dan Ayu Ratih, “Sejarah Lisan di Indonesia dan


Kajian Subjektivitas”, dalam Henk Schulte Nordholt,
Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, ed., Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, KITLV Jakarta, Pustaka Larasan, 2008).

Rusini, Gathutkaca di Panggung Soekarno (Surakarta: STSI Press,


2003) .

Rustopo, “Gamelan Kontemporer di Surakarta: Pembentukan dan


Perkembangannya” (Laporan Penelitian Sekolah Tinggi Seni
Indonesia Surakarta, 1991).

______________, “Keberadaan Karawitan di Keraton Surakarta pada


Masa Pemerintahan Paku Buwana X”, dalam Waridi, ed.,
Kehidupan Karawitan pada Masa Pemerintahan Paku Buwana
X, Mangkunagara IV, dan Informasi Oral (Surakarta: ISI Press,
2007).

______________, ed., Gendhon Humardani: Pemikiran dan Kritiknya


(Surakarta: STSI Press, 1991).

______________, Gendhon Humardani Sang Gladiator: Arsitek


Kehidupan Seni Tradisi Modern (Yogyakarta: Mahavhira,
2001).

______________, Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro


(Yogyakarta: Ombak dan Yayasan Nabil, 2008).

______________, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan


Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998 (Yogyakarta:
Ombak- Yayasan Nabil, 2007).

S. Darsomartono, “Tuntunan Pakeliran” (Surakarta: Yayasan


Pasinaon Dhalang Mangkunagaran, 1978).

S. Haryanto, Pratiwimba Adiluhung: Sejarah dan Perkembangan


Wayang (Jakarta: Djambatan, 1988).
518

Sal Murgiyanto, Ketika Cahaya Merah Memudar: Sebuah Kritik Tari


(Jakarta: Deviri Ganan, 1993).

______________, Tradisi dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di


Indonesia (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2004).

S.D. Humardani, “Beberapa Masalah Lembaga Pendidikan Tinggi


Seni Tradisi”, dalam S.D. Humardani, Kumpulan Kertas
tentang Kesenian (Surakarta: Sub/Bagian Proyek ASKI
Surakarta, Proyek Pengembangan IKI, 1982/1983).

______________, “Catatan „tentang Wayangan Kulit‟: Kenang-


kenangan Sederhana untuk Tokoh Budaya Mbah Dutodiprojo,
Jiwa Berdirinya Kursus Dalang yang Pertama” (Naskah
Ketikan, 1960).

“Sambutan Kepala Kantor Departemen Penerangan Kodya


Surakarta”, dalam Hari Radio ke 39: 11 September 1984
(Surakarta: Radio Republik Indonesia Stasiun Surakarta,
1984).

Samsudjin Probohardjono, Gending Jawi: Tuntunan Bawa, dumugi


Dawahing Gending, Dipun Gerongi, dalah Senggakan,
Sindenan, sarta Uran-uran Djilid II (Solo: Sadu Budi,
1952/1953-Cetakan IV).

______________, Gending Jawi Djilid I-II (Solo: Sadu Budi,


1952/1953).

______________, Gending-Djawi Djilid I: Tuntunan Bawa, dumugi


Dawahing Gending, Dipun Gerongi, dalah Senggakan,
Sindenan, sarta Uran-uran (Surakarta: Budhi Laksana, 1952).

______________, Gending-Djawi Djilid II: Tuntunan Bawa, dumugi


Dawahing Gending, Dipun Gerongi, dalah Senggakan,
Sindenan, sarta Uran-uran (Surakarta: Budhi Laksana, 1952).

______________, Pakem Pedalangan Lampahan Wayang Purwa Jilid I


(Surakarta: Penerbit CV Ratna (anggota IKAPI), 1989).

______________, Pakem Wajang Purwa: Isi 14 Balungan Lampahan


Rinengga ing Gambar 50 Idji, Djilid I (Solo: Usaha Penerbitan
"Ratna", 1960-Cetakan 3).

______________, Pakem Wajang Purwa: Isi 16 Balungan Lampahan,


Rinengga ing Gambar 44 Idji (Solo: Toko Buku "Sadu-Budi",
1961-Cetakan III).
519

Samsudjin Probohardjono, Pakem Wajang Purwa: Isi 17 Balungan


Lampahan Rinengga ing Gambar 52 Idji, Djilid III (Solo: Usaha
Penerbitan "Ratna", 1964-Cetakan IV).

______________, Sejarah Pers dan Wartawan di Surakarta


(Surakarta, t.p. 1985).

______________, Serat Tuntunan Andhalang Djangkep Sinau Tanpa


Guru Lampahan “Parta Krama” utawi Dhaupipun Dewi
Bratadjaja (Surakarta: CV Mahabarata, 1966-Cetakan II).

______________, Sulukan Slendro: ingkang djangkep lan baku


kangge njuluki titingalan wajang purwa, katambahan kawruh-
kawruh padhalangan ingkang sanget wigatos (Sala: Usaha
Penerbitan Ratna, 1966 [1952-Cetakan I]).

Sardono Mloyowibagso, “Karawitan R.R.I. Surakarta”, dalam Hari


Radio ke 39: 11 September 1984 (Surakarta: Radio Republik
Indonesia Stasiun Surakarta, 1984).

Sayid, Ringkasan Sejarah Wayang (Jakarta: Pradnya Paramita,


1981).

“Sejarah Singkat Perjuangan Pangeran Sambernyawa dan Koleksi


Benda-benda Kuna Istana Mangkunagaran Surakarta”
(Surakarta: Biro Pariwisata Mangkunagaran, 1989).

Sen, Krishna dan David T. Hill, Media, Culture, and Politic in


Indonesia (Oxford University Press, 2000).

Sidik Gondowarsito, “Peranan KGPAA Mangkunegara IV dalam


Pelestarian Wayang” (Makalah Sarasehan 125 Tahun Reksa
Pustaka Mangkunagaran Surakarta, 1992).

Siegel, James T., Solo in the New Order: Language and Hierarchy in
an Indonesian City (Princeton, New Jersey: Princeton
University Press,).

Soemaryatmi, “Kehadiran Tari Gaya Surakarta di Daerah Istimewa


Yogyakarta” (Tesis Sarjana Strata 2 pada Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1998).

Soemosapoetro, Soemantri, Serat Tuntunan Tjaking Pakeliran


Padalangan Ringgit Purwa Lampahan Donorodjo (Surakarta:
Tri-Jasa, 1964).
520

Soeseno Renggodipoero, Kawruh Pambiwara: Wewaton Kangge


Siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara (Surakarta: Yayasan
Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta, 1996).

______________, Penganten Surakarta (Surakarta: Sanggar Pasinaon


Pambiwara Karaton Surakarta, 1992).

Soetarno, Pakeliran Pujosumarto, Nartosabdo, dan Pakeliran


Dekade 1996-2001 (Surakarta: STSI Press, 2002).

______________, Wayang Kulit: Perubahan Makna Ritual dan


Hiburan (Surakarta: STSI Press, 2004).

Soetarno, Sarwanto, Sudarko, Sejarah Pedalangan (Surakarta:


Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan CV Cendrawasih,
2007).

Soetarno, Sunardi, Sudarsono, Estetika Pedalangan (Surakarta:


Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan CV Adji Surakarta,
2007).

Soewito Santoso, peny., Urip-urip (Surakarta: Museum Radya


Pustaka, 1990).

Sri Hastanto, “Pendidikan Karawitan: Situasi, Problema, dan


Angan-angan Wujudnya”, Wiled: Jurnal Seni Sekolah Tinggi
Seni Indonesia Surakarta, Tahun II Maret 1997 (Surakarta:
STSI Press, 1997).

______________, “Peranan KGPAA. Mangkunagoro IV dalam


Pengembangan Karawitan” (Makalah Sarasehan 125 Tahun
Reksa Pustaka Surakarta, 1992).

______________, Konsep Pathet dalam Karawitan Jawa (Surakarta:


Program Pascasarjana bekerja sama dengan ISI Press, 2009).

Sri Moerwanto, "Wayang Orang R.R.I. Surakarta", dalam Hari


Radio ke 39: 11 September 1984 (Surakarta: Radio Republik
Indonesia Stasiun Surakarta, 1984).

Sri Mulyono, Wayang: Asal-usul, Filsafat & Masa Depannya


(Jakarta: Badan Penerbit Alda, 1975).

Sri Rochana W., Langendriyan Mangkunagaran: Pembentukan dan


Perkembangan Bentuk Penyajiannya (Surakarta: ISI Press,
2006).
521

Sri Rochana W., “Pendidikan Tari di Lembaga Formal (Tinjauan


mengenai Pembentukan Penari”, Wiled: Jurnal Seni Sekolah
Tinggi Seni Indonesia Surakarta, Tahun II Maret 1997
(Surakarta: STSI Press, 1997).

______________, “Rekonstruksi, Reinterpretasi, dan Reaktualisasi


Tari Bedhaya”, dalam Waridi, Seni dalam Berbagai Wacana:
Mengenang 20 Tahun Kepergian Gendhon Humardani
(Surakarta: Program Pendidikan Pascasarjana Sekolah Tinggi
Seni Indonesia Surakarta, 2003).

______________, “Revitalisasi Tari Gaya Surakarta”, dalam Rustopo,


ed., Krisis Kritik: Seperempat Abad Pasca Gendhon Humardani
(Surakarta: ISI Press, 2008).

______________, Sejarah Tari Gambyong: Seni Rakyat Menuju Istana


(Surakarta: Citra Etnika, 2004).

Sudarko, Pakeliran Padat: Pembentukan dan Penyebaran


(Surakarta: Citra Etnika, 2003).

Suharji, Bedhaya Suryasumirat (Semarang: Intra Pustaka Utama,


2004).

Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan


Surakarta, 1830-1920 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991).

Suhatno, “Pengabdian Ki Pujo Sumarto dalam Bidang Seni


Pedalangan”, Jantra, Vol. II, No. 4, Desember 2007.

Sulistyo Haryanti, “Kiprah G.R. Ay. Koes Moertiyah dan Yayasan


Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta dalam
Perkembangan Tari Istana Surakarta” (Tesis Program
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Jurusan Ilmu
Humaniora Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
2001).

Sumanto, Nartosabdo: Kehadirannya dalam Dunia Pedalangan,


Sebuah Biografi (Surakarta: STSI Press, 2002).

______________, “Pendidikan Dalang: Hambatan dan


Tantangannya”, Wiled: Jurnal Seni Sekolah Tinggi Seni
Indonesia Surakarta, Tahun II Maret 1997 (Surakarta: STSI
Press, 1997).
522

Sumanto, “Wayang Madya Salah Satu Sarana Pengukuh


Mangkunagara IV”, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th.
V/1994.

Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal


di Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

______________, Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori &


Perspektif (Surakarta: STSI Press, 2002).

Suryabrata, Bernard, The Island of Music: An Essay in Social


Musicology (Jakarta: Balai Pustaka, 1987).

Sutrisno, Pitakon lan Wangsulan Bab Wanda Wajang Purwa:


Latihan Udjian Dalang I (Surakarta: C.V. Mahabarata, 1964-
Cetakan I).

Sutton, R. Anderson, Traditions of Gamelan Music in Java: Musical


Pluralism and Regional Identity (Cambridge: Camberidge
University Press, 1991).

Suwaji Bastomi, Karya Budaya K.G.P.A.A. Mangkunagara I-VIII


(Semarang: IKIP Semarang Press, 1999).

Suyatno, “Feodalisme dan Revolusi di Surakarta 1945-1950”,


Prisma, No. 7, Agustus 1978.

Suyatno, “Masyarakat Daerah dalam Revolusi Indonesia: Aspek


Revolusi Sosial dalam Revolusi Nasional”, Prisma, No. 8 1984.

T. Slamet Suparno, “Sejarah Pemunculan Karawitan


Mangkunegaran”, dalam Waridi, ed., Kehidupan Karawitan
pada Masa Pemerintahan Paku Buwana X, Mangkunagara IV,
dan Informasi Oral (Surakarta: ISI Press, 2007).

______________, Seni Pedalangan Gagrak Surakarta: Butir-butir


Kearifan Lokal sebagai Solusi Problimatik Mutakir (Surakarta:
ISI Press, 2007).

Taylor, Jean Gelman, “Aceh: Narasi Foto, 1873-1930”, dalam Henk


Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, ed.,
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, KITLV Jakarta, Pustaka Larasan, 2008).

Tulus Warsito dan Wahyuni Kartikasari, Diplomasi Kebudayaan:


Konsep dan Relevansi bagi Negara Berkembang (Studi Kasus
Indonesia) (Yogyakarta: Ombak, 2007).
523

Umar Kayam, “Ngesti Pandowo: Suatu Persoalan Kitsch di Negara


Berkembang”, dalam Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko
Damono, ed., Seni dalam Masyarakat Indonesia: Sebuah
Bunga Rampai (Jakarta: Gramedia, 1983).

______________, “Transformasi Budaya Kita”, dalam Pidato


Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada: Ilmu-ilmu
Humaniora (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000).

______________, Kelir Tanpa Batas (Yogyakarta: Gama Media, Pusat


Studi Kebudayaan UGM, dan Ford Foundation, 2001).

van Groenendael, Victoria M. Clara, Dalang di Balik Wayang


(Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1987).

van Peursen, C.A., Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius,


terjemahan Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius, 1988, edisi
kedua cetakan ke-21).

Wahyu Santoso Prabowo, Hadi Subagyo, Soemaryatmi, Katarina


Indah Sulastuti, Sejarah Tari: Jejak Langkah Tari di
Mangkunagaran (Surakarta: ISI Press, 2007).

Waridi, “Media & Seni Pertunjukan: Pemanfaatan Media dalam


Pendidikan Seni Pertunjukan”, dalam Rustopo dan Bambang
Murtiyoso, Mencermati Seni Pertunjukan III: Perspektif
Pendidikan, Ekonomi & Manajemen, dan Media (Surakarta:
Ford Foundation dan Program Pendidikan Pascasarjana
Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, 2005).

______________, Gagasan & Kekaryaan Tiga Empu Karawitan: Pilar


Kehidupan Karawitan Jawa Gaya Surakarta 1950-1970-an (Ki
Martapengrawit, Ki Tjakrawasita, Ki Nartasabda) (Bandung-
Surakarta: Etnoteater Publisher, BACC Kota Bandung,
Pascasarjana ISI Surakarta, 2008).

______________, Karawitan Jawa Masa Pemerintahan Paku Buwana


X: Perspektif Historis dan Teoretis (Surakarta: ISI Press, 2006).

______________, Martopangawit: Empu Karawitan Gaya Surakarta


(Yogyakarta: Mahavhira, 2001).

______________, “Musik Tradisi Jawa Tengah: Ragam dan


Perkembangannya”, M. Thoyibi, Yayah Khisbiyah, dan
Abdullah Aly, ed., Sinergi Agama dan Budaya Lokal:
Dialektika Muhammadiyah dan Seni Lokal (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2003).
524

Waridi, “Tulisan Suplemen”, dalam Waridi, ed., Kehidupan


Karawitan pada Masa Pemerintahan Paku Buwana X,
Mangkunagara IV, dan Informasi Oral (Surakarta: ISI Press,
2007).

“Wayang Itu Justru Mahal Karena Sulit Ditebaknya: Wawancara


dengan Ki Tristuti Rachmadi”, dalam Philip Yampolsky, ed.,
Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan:
Perubahan dalam Pelaksanaan, Isi, dan Profesi (Jakarta:
Equinox Publishing, 2006).

Wignjowirjanta, Pedalangan Djangkep Sedalu Muput Lampahan:


Surjandadari (Bima Paksa) (Sala: Fa Penerbit “Keluarga
Soebarno, 1964-Cetakan I).

Wiranto, “Konsepsi Bagian Penjelidikan/ Research Konservatori


Karawitan Indonesia (1-8-1960).

Yampolsky, Philip, “Forces for Change in Regional Performing Arts


of Indonesia”, Bijdragen Toot de Taal-, Land-en Volkenkunde
(BKI), Deel 151, 4e Aflevering (1995).

______________, Lokananta A Discography of The National Recording


Company of Indonesia 1957-1985 (Madison, Wisconsin: Center
for Southeast Asian Studies University of Winconsin, 1987).

Zainuddin Fananie, Restrukturisasi Budaya Jawa: Perspektif


KGPAA MN I (Surakarta: Muhammadiyah University Press,
2005).

C. Koran, Majalah, dan Buletin

1. Koran

Dharma Kanda

“Bharatayuda”, Dharma Kanda, Minggu IV – April 1979.

“Kyai Sengkelat”, Dharma Kanda, Minggu IV - April 1979.

Mardimin, “Serat Wedatama”, Dharma Kanda, Minggu I – Januari


1978.

“Ngrembug Morpologi Basa Jawa Sakeplasan”, Dharma Kanda,


Minggu I – Januari 1978.
525

“Nyinau Basa Jawa Ing Mangsa Kapungkur, Wektu Iki lan Prospek
(Gambaran) Kahanan Tembe Buri”, Dharma Kanda, Minggu V
– Maret 1978.

“Pawijatan Luhur Supaya Nggatekake Wayang Kulit”, Dharma


Kanda, Minggu I – Maret 1972.

“Pengetan Sekaten ing Surakarta”, Dharma Kanda, Minggu I Maret


1973 dan Dharma Kanda, Minggu I - Maret 1983.

“Sasi Sura Kebak Pitakon”, Dharma Kanda, Minggu I - November


1982.

“Sepuluh Tahun Maneh Basa Jawa Ilang”, Dharma Kanda, Rebo 8


Maret 1972.

“Serat Wulang Reh, Yasan Dalem Sri Susuhunan PB IV”, Dharma


Kanda, Minggu V – Maret 1978.

“Sinau Basa Jawa”, Dharma Kanda, Minggu I – April 1985.

“Slametan Bobot”, Dharma Kanda, Minggu I - Maret 1973.

“Tari Bali lan Jawa”, Dharma Kanda, Minggu I – Maret 1985.

Widya Sumarto, “Mahargya Dhauping Temanten”, Dharma Kanda,


Minggu I - Maret 1973.

Kedaulatan Rakyat

“Adat Istiadat Pengantin Jawa Diseminarkan di Mangkunegaran”,


Kedaulatan Rakyat, 1 April 1989.

Parikesit

“Dwijarini Juara Karawitan”, Parikesit, 29 April 1973.

Edy Basuki Ds, “Kabudayan Kita Cilaka?”, Parikesit, 8 September


1974.

“Maharsi Drona”, Parikesit, 22 April 1973.

Moch. Nursyahid P., “„Pustaka Candra‟ Wis Sewindu”, Parikesit, 21


Januari 1988.
526

“Pagelaran Wayang Wong: Ratna Budaya Sukses”, Parikesit, 18


Februari, 1973.

“Pangeran Mahaasil”, Parikesit, 22 April 1973.

Parikesit, 21 Januari 1973.

______________, 15 April 1973.

______________, 22 April 1973.

______________, 29 April 1973.

______________, 6 Mei 1973.

______________, 27 Mei 1973.

______________, 3 Juni 1973.

______________, 22 Juni 1973.

______________, 8 Juli 1973.

______________, 12 Agustus 1973.

______________, 2 September 1973.

______________, 25 Agustus 1974.

______________, 1 September 1974.

______________, 8 September 1974.

______________, 15 September 1974.

______________, 1 Januari 1978.

______________, No.460 8 Pebruari 1981 Th. Ka IX.

______________, 21 Januari 1988.

______________, 31 Januari 1988.

______________, September 1988.

______________, 1 Oktober 1988.

______________, Nopember 1988 Minggu II.


527

“Pendawa Pitu”, Parikesit, 15 Juli 1973.

“PN Lokananta”, Parikesit, No. 3 Th I, 6 Mei 1973.

“Ramayana”, Parikesit, 1 September 1974.

“Sejarah Adege Praja Mangkunagaran”, Parikesit, 8 Juli 1973.

Sudarmo, “Wateking Tembang”, Parikesit 22 April 1973

Sudarmo, ”Tembang Macapat”, Parikesit, 29 April 1973.

Solo Pos

“Drama Tari Mintaraga”, Solo Pos, 2 Februari 2000.

Suara Merdeka

Joko Dwi Hastanto, “Mengembalikan Pamor RRI Surakarta 1:


Durung Dalang yen Durung Pentas Neng RRI”, Suara
Merdeka, 30 Desember 2003.

Joko Dwi Hastanto, “Mengembalikan Pamor RRI Surakarta 2: Para


Dalang Jangan Lupa Pernah Dibesarkan RRI”, Suara
Merdeka, 31 Desember 2003.

“KGPA Mangkunagoro IX: Tarian Karya Saya Belum Ada


Namanya”, Suara Merdeka, 15 Juni 1990.

“Sanggar Tari Suryo Sumirat Akan Mengadakan Pentas di


Moskow”, Suara Merdeka, Minggu 14 Agustus 1994.

2. Majalah dan Buletin

a. Majalah

Budaja/ Budaya

Budaya, No. 4 Tahun III April 1954.

“Pawijatan Karaton Surakarta 1 Tahun”, Budaja, Tahun VII, No. 7


1958.
528

“Pawijatan Kebudajaan Kraton Surakarta”, Budaja, V. 6 - 1957 No.


6 dan 7.

Soekanto, “Konservatori Karawitan dan Kebudayaan Nasional”,


Budaya 2 (1953).

“Tari „Jatna Tama‟", Budaya, No. 8 Agustus 1953.

Jaya Baya

“11 Windu Museum Radya Pustaka Surakarta”, Jaya Baya, No.


12/ XXXIII, 19 November 1978.

“Cathetan Sapala Saka Sasana Mulya”, Jaya Baya, No. 28 Taun


XXXIV, 9 Maret 1980.

“Ki Nartosabdo”, Jaya Baya, No. 7/ XXVII, 15 Oktober 1972.

M. Nursjahid P., “Drs. S.D. Humardani, Sarjana Kedokteran Akhli


Anatomi kang Dadi Pimpinan Pusat Kebudayaan Jateng”,
Jaya Baya, No. 26 Taun XXIX, 23 Pebruari 1975.

“Rembug Bab: Kritik Sastra Jawa ing Sasono Mulyo Sala”, Jaya
Baya, No. 52 Taun XXXI, 28 Agustus 1977.

“Sarasehan Pengarang Abasa Jawa ing Sala”, Jaya Baya, No. 30


Taun XXIX, 23 Maret 1975.

“Sarasehan Sastra Jawa 1979 ing Sala”, Jaya Baya, No. 41 Taun
XXXIII, 10 Juni 1979.

“Siaran-siaran Gendhing Jawa Laris”, Jaya Baya, No. 21/ XXVII,


28 Januari 1973.

Wartawan JB, “G.R.A. Koes Moertiyah: Putri Kraton kang Memetri


Beksan Bedhaya dan Srimpi”, Jaya Baya, No. 50/ XXXV, 16
Agustus 1981.

“Yenta Sastra Jawa Kukut, Apa Salahe”, Jaya Baya, No. 33 Taun
XXIX, 13 April 1975.
529

Mekar Sari

“Dra G.R.Ay. Koes Moertiyah Wirabhumi, Kraton Wis Nyawiji ing


Pribadine”, Mekar Sari, No. 23 XXXIX, 4 Agustus 1995.

Gunawan Suroto, “Surakarta Kitha Pariwisata”, Mekar Sari, No.


14/ XVI, 15 September 1972.

“Koleksine Sasana Pustaka Kraton Surakarta Rusak”, Mekar Sari,


No. 16/ XXVII, 15 Oktober 1983.

“Nyetak Buku Basa Jawa, Tombok”, Mekar Sari, No. 41 XXXIV, 12


Desember 1990.

“Pameran Busana lan Andrawina ing Bale Handrawina”, Mekar


Sari, No. 21 Taun XIX, 1 Januari 1976.

Putra Sala, “Museum Radya Pustaka, Uripe Nyenen Kemis Mangka


Umure Wis 93 Taun”, Mekarsari, No. 23 XXVII, 1 Februari
1984.

“R.T. Harjonagoro: Kita Kudu Mongkok Karo Kabudayane Dhewe”,


Jaya Baya, No. 42/ XXXIII, 17 Juni 1979.

“Rekaman Kesenian ing Pita Kaset”, Mekar Sari, No. 11 Taun XIX,
1 Agustus 1975.

“Sarasehan Sastra Jawa ing Sasonomulyo Sala”, Mekar Sari, No. 8


Taun XIX, 15 Juni 1975.

“Sawise Suwe Dianti-anti Wusana Kalakon Madeg: „Akademi Seni


Tari Indonesia‟ (1)”, Mekar Sari, No. 21 Th. VII, 1 Djanuari
1964.

Tantri Linggarjati, “Kraton Surakarta Njedhul Maneh Saka Bumi”,


Mekar Sari, No. 20 Taun XXXI, 15 Desember 1987.

“Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta: Tansah


Ngadhepi Tantangan Regenerasi”, Mekar Sari, No. 23 XXXIX,
4 Agustus 1995.

Mimbar Indonesia

Abu Hanifah, “Kebudajaan di Ibu-kota Republik”, Mimbar


Indonesia, No. 21 Tahun II, 22 Mei 1948.
530

Abu Hanifah, “Mentjari Dasar Kebudajaan Indonesia”, Mimbar


Indonesia, No. 36 Tahun II, 4 September 1948.

Aoh Kartahadimadja, “Kesenian Indonesia: Sebelum dan Sesudah


Perang”, Mimbar Indonesia, No. 2 Tahun II, 10 Djanuari 1948.

Gusti Majur, “Kongres Kebudajaan Nasional Indonesia”, Mimbar


Indonesia, No. 37 Tahun II, 11 September 1948.

______________, “Meneropong Kongres Kebudajaan Nasional


Indonesia”, Mimbar Indonesia, No. 37 Tahun II, 11 September
1948.

K. Purbopranoto, “Kongres Kebudajaan”, Mimbar Indonesia, No. 34


Tahun II, 21 Agustus 1948.

K. H. Dewantara, “Konservatori Karawitan Indonesia di Solo”,


Mimbar Indonesia, No. 48 2 Desember 1950.

______________, “Pembangunan Kebudajaan Nasional: Sekedar


Petundjuk”, Mimbar Indonesia, Nomor Kemerdekaan (33), 17
Agustus 1948.

______________, “So‟al Bahasa”, Mimbar Indonesia, No. 29 Tahun II,


17 Djuli 1948.

R. Soekmono, “Mentjari Dasar kearah Kesatuan Kebudajaan


Indonesia”, Mimbar Indonesia, No. 6 Tahun II, 7 Pebruari
1948.

R. Soeprapto, “Latihan Tari Bedaja di Kraton Surakarta”, Mimbar


Indonesia, No. 31 Th. VI, 2 Agustus 1952.

______________, “Latihan Tari Bedaja di Kraton Surakarta”, Mimbar


Indonesia, No. 25 Th. VIII, 19 Djuni 1954.

R. Sudarmadji, “Menjambut Pameran Dies IX ASRI (15-22


Djanuari 1959)”, Mimbar Indonesia, No. 4/5 Th. XIII, 28
Djanuari 1959.

S. Purbodiningrat, “Institut Kebudajaan Indonesia”, Mimbar


Indonesia, No. 19 Tahun II, 18 Mei 1948.

Supomo, “Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia”, Mimbar


Indonesia, No. 37 tahun II, 11 September 1948.
531

Supomo, “Soal Politik Kebudajaan”, Mimbar Indonesia, No. 48


Tahun V, 1 Desember 1951.

Usmar Ismail, “Akademi Sandiwara”, Mimbar Indonesia, No. 17


Tahun II, 24 April 1948.

Pandjangmas

Pandjangmas, Th. I No. 1, 6 Djanuari 1953.

______________, Th. I No. 2, 10 Pebruari 1953.

______________, Th. I No. 5, 26 Mei 1953.

______________, Th. I No. 7, 4 Agustus 1953.

______________, Th. I No. 8, 8 September 1953.

______________, Th. I No. 9, 13 Oktober 1953.

______________, Th. I No. 10, 17 Nopember 1953.

______________, Th. IV No. 1, 31 Djanuari 1956.

______________, Th. IV No. 2 6 Maret 1956.

______________, Th. IV No. 3, 10 April 1956.

______________, Th. IV No. 4, 15 Mei 1956.

______________, Th. IV No. 5, 19 Djuni 1956.

______________, Th. IV No. 6, 24 Djuli 1956.

______________, Th. IV No. 7, 28 Agustus 1956.

______________, Th. IV No. 8, 2 Oktober 1956.

______________, Th. IV No. 10, 11 Desember 1956.

Pedalangan

Pedalangan, Th. IV No. 4 1 April 1954.

______________, Th. IV No. 5, Mei 1954.


532

Pedalangan, Th. IV No. 6, Djuni 1954.

______________, Th. IV No. 7, Djuli 1954.

______________, Th. IV No. 8, Agustus 1954.

Lain-lain

Agus Sutanto, “Seminar Wisata Seni Paes Pengantin


Mangkunegaran, 2-4 April di Sala”, Majalah Umum Adil:
Pengemban Amanat Allah dan Umat, No. 13/14 Th. ke 57.

Din Hasnan, “Wayang Orang Mangkunagaran Tampil Setelah 50


Tahun Bertapa”, Mutiara 768, 11-17 Juli 1999.

“Ihwal Pelestarian Budaya Keraton”, Wanita Indonesia, No. 102


Minggu Juli 1991.

“Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwono XII: Kraton


Saiki Dudu Duwekku”, Parikesit: Kalawarti Sasen Basa Jawa,
Februari 2004.

“Merga Pembadjakan P.N. Lokananta Lumpuh, Ganti Ngrekam


Cassete”, Djaka Lodang, No. 65 Minggu Katelu September
1972 Th. II.

S. Soebardi, “Mangku Nagara IV: Mistik Islam dalam Karya-


karyanya”, Budaja Djaja, No. 71 1974.

Soerjaatmadja, “Konservatori Karawitan Indonesia”, Sanabudaja


1/5 1957.

Trisno Sumardjo, “Dasar Pikiran tentang Akademi Kesenian”,


Zenith, No. 12 Th. I Desember 1951.

______________, “Tjita Dasar Akademi Kesenian”, Pustaka dan


Budaja, No. 8 Tahun II, Desember 1960.

b. Buletin

Berita Radio

Berita Radio, No. 283 Tahun XIII, 29 Djuni – 5 Djuli 1958.


533

Berita Radio, No. 303 Tahun XIII, 16-22 Nopember 1958.

______________, No. 304 Tahun XIII, 23-29 Nopember 1958.

______________, No. 305 Tahun XIII 30 Nopember – 6 Desember


1958.

______________, No. 306 Tahun XIII, 7-29 Desember 1958.

______________, No. 319 Tahun XIII, 8-14 Maret 1959.

Mingguan Radio Republik Indonesia,

Mingguan Radio Republik Indonesia, Tahun 2 No. 50, 12 Mei 1963.

Mekas (Media Karaton Surakarta)

“Jadwal Pergelaran Wayang Gagrag Karaton Surakarta Kerjasama


Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta – Senawangi –
Pepadi”, Mekas (Media Karaton Surakarta), No. 04-1/ Juni
1999.

K.P. Eddy Wirabhumi, “Sedikit Menyoal Acara Workshop Wayang


Gagrag Karaton Surakarta: Upaya Penyelamatan Keragaman
Budaya”, Mekas (Media Karaton Surakarta), No. 04-1/ Juni
1999,

“Karaton Menjalin Kerjasama dengan Perguruan Tinggi”, Mekas


(Media Karaton Surakarta), 03-1/ Mei 1999.

“Kursus Pembawa Acara Berbahasa Jawa Karaton Surakarta”,


Mekas (Media Karaton Surakarta), No. 05-1 Mei 1999.

“Reriungan”, Mekas (Media Karaton Surakarta), 02-1/ April 1999.

“Reriungan”, Mekas (Media Karaton Surakarta), No. 05-1 Mei 1999.

“Sambung Rasa”, Mekas (Media Karaton Surakarta), 04/ 1999.

“Sambutan S.I.S.K.S. Pokoe Boewono XII dalam Rangka Kerjasama


Karaton Surakarta dengan Perguruan Tinggi, Kalangan
Swasta dan Penandatanganan Prasasti Dimulainya
Pembangunan Museum Karaton Surakarta Hadiningrat”,
Mekas (Media Karaton Surakarta), 03-1/ Mei 1999.
534

“Sekolah Karaton untuk Pendidikan Budaya dan Pariwisata:


Pedalangan, Tari, dan Karawitan”, Mekas (Media Karaton
Surakarta), 02-1/ April 1999.

“Sekolah Karaton untuk Pendidikan Budaya dan Pariwisata”,


Mekas (Media Karaton Surakarta), 01-1/ Maret 1999.

“Wisuda Siswa Pambiwara dan Penerimaan Siswa Baru Angkatan


X”, Mekas (Media Karaton Surakarta), 06-1/ Juli 1999.

Pedoman Radio

Pedoman Radio, No. 1 4 Djuni 1950.

______________, No. 2 11 Djuni 1950.

______________, No. 4 25 Djuni 1950.

______________, No. 5 6 Djuli 1950.

______________, No. 6 9 Djuli 1950.

D. Sampul Piringan Hitam dan Kaset

1. Piringan Hitam

Keluarga Karawitan Studio RRI Surakarta, Gendhing-gendhing


Jawa Karya Ki Nartosabdho (Surakarta: Lokananta BRD-017).

______________, Kembang Glepang (Surakarta: Lokananta BRD-


023).

Lokananta ALD-013.

Nartosabdho, Gara-gara. Iringan Karawitan Studio RRI Surakarta


Pimpinan P. Atmosunarto (Surakarta: Lokananta BRD-014).

Pagujuban Karawitan “Tjondong Raos”, Reyog Ponorogo (Surakarta:


Lokananta Record ARD-042).

Wajang Orang Ngesti Pandawa, Anoman Duta (Surakarta:


Lokananta Record BRD-028).
535

2. Kaset

ASKI/TBS Surakarta, Jemparingan (Surakarta: Lokananta ACD


224).

______________, Jenthayu (Surakarta: Lokananta ACD 222).

______________, Bajra Danta: Gendhing & Tari Bali Klasik – Kreasi


(Surakarta: Lokananta ACD 223).

Blambangan Group, Kendhang Kempul: Jamilah (Surakarta:


Lokananta ACD 225).

______________, Kendhang Kempul: Tari Kejang (Surakarta:


Lokananta ACD 226).

Gandrung Sugiati – Atun Hanipah, Keok-keok: Gandrung


Blambangan Vol. 1 (Surakarta: Lokananta ACD 216).

______________, Ketemu Maning: Gandrung Blambangan Kreasi


Baru Vol. 2 (Surakarta: Lokananta ACD 217).

______________, Manasi Ati Gandrung Blambangan Vol. 2


(Surakarta: Lokananta ACD 218).

Karawitan Ngesti Budhaya, Palaran Nyamleng 1-4 (Surakarta:


Lokananta ACD 263-266).

Karawitan RRI Surakarta, Aneka Palaran Vol. 1 (Surakarta:


Lokananta ACD 271).

______________, Aneka Palaran Vol. 2 (Surakarta: Lokananta ACD


272).

Karawitan Sekati Laras Tuban, Aku Cocok (Surakarta: Lokananta


ACD 242).

______________, Aku Seneng (Surakarta: Lokananta ACD 244).

______________, Kembang Kangkung (Surakarta: Lokananta ACD


243).

______________, Pahlawan Ranggalawe (Surakarta: Lokananta ACD


241).

Karawitan Studio RRI Surakarta, Kasmaran 4 (Surakarta:


Lokananta ACD 237).
536

Karawitan Studio RRI Surakarta, Kasmaran 4 (Surakarta:


Lokananta ACD 254).

______________, Kasmaran 4 (Surakarta: Lokananta ACD 255).

______________, Mijil Sulastri (Surakarta: Lokananta ACD 235).

______________, Ranumanggala (Surakarta: Lokananta ACD 236).

Karawitan Trima Lowung, Geyong Kenthil (Surakarta: Lokananta


ACD 279).

______________, Goyang Sragen (Surakarta: Lokananta ACD 278).

______________, Sragen Asri (Surakarta: Lokananta ACD 280).

Keluarga ASKI Surakarta, Jineman Kreteg Ciut (Surakarta:


Lokananta ACD 239).

______________, Jineman Tulis Kresna (Surakarta: Lokananta ACD


240).

Keluarga Karawitan Studio RRI Surakarta, Bantheng Wareng


(Surakarta: Lokananta ACD 212).

______________, Gendhing2 Tjiptaan Ki Nartosabdo (Surakarta:


Lokananta ACD 007).

______________, Palaran Gobyok 8 (Surakarta: Lokananta ACD 238).

Kesenian Jawa RRI Nusantara II Yogyakarta, Palaran Gobyok 10


(Surakarta: Lokananta ACD 262).

______________, Palaran Gobyok 9 (Surakarta: Lokananta ACD 260).

______________, Sinom Jenggleng (Surakarta: Lokananta ACD 261).

______________, Gambir Sawit Sembung Gilang (Surakarta:


Lokananta ACD 268).

Kethoprak Mataram Sapta Mandala Kodam IV Diponegoro, Bekel


Dipa Winisuda (Surakarta: Lokananta ACD 258).

______________, Geger Wilwatikta (Surakarta: Lokananta ACD 257).

______________, Patih Nambi Gugur (Surakarta: Lokananta ACD


256).
537

Kethoprak Mataram Sapta Mandala Kodam IV Diponegoro,


Sumpah Palapa (Surakarta: Lokananta ACD 259).

Ki Manteb Soedarsono, Bima Suci (Surakarta: Lokananta ACD


281).

______________, Prabu Sumilih (Surakarta: Lokananta ACD 232).

Krida Irama, Tayub Royal (Gaya Sala) (Surakarta: Lokananta ACD


275).

Maridi Budaya Surakarta, Golek Mugirahayu (Surakarta:


Lokananta ACD 253).

______________, Padhang Bulan (Surakarta: Lokananta ACD 252).

Ngripto Raras, Kasmaran 3 (Surakarta: Lokananta ACD 213);


Karawitan Studio RRI Surakarta, Mijil Sulastri (Surakarta:
Lokananta ACD 235).

Paguyuban Karawitan Condhong Raos, Gendhing-gendhing Karya


Ki Nartosabdho Vol. 1: Setya Tuhu, Bribil, Santimulya
(Lokananta – Dian Record 9604 LD).

______________, Gendhing-gendhing Karya Ki Nartosabdho Vol. 3:


Aja Lamis, Randha Nunut Banyumasan, Glopa-glape
(Lokananta – Dian Record 9604 LD).

Paguyuban Karawitan Jawi „Condong Raos‟, Gendhing-gendhing


Karya Ki Nartosabdho: Lumbung Desa (Surakarta: Lokananta
ACD 127).

______________, Jangkrik Genggong (Surakarta: Lokananta ACD


025).

______________, Jungkeri (Surakarta: Lokananta ACD 052).

______________, Serat Wedhatama (Surakarta: Lokananta ACD


205).

______________, Wigaringtyas (Surakarta: Lokananta ACD 207).

Paguyuban Karawitan Semanggi, Dril Dor Lumajang (Surakarta:


Lokananta ACD 249).

______________, Gagahan Sempayung (Surakarta: Lokananta ACD


250).
538

Paguyuban Karawitan Semanggi, Jula-juli Kembang Lambe


(Surakarta: Lokananta ACD 248).

______________, Olang Aling (Surakarta: Lokananta ACD 251).

Paguyuban Krida Wirama, Kembang Gayam (Lokananta ACD 269).

______________, Ladrang Pangkur Kethoprakan (Surakarta:


Lokananta ACD 270).

Paguyuban Ngesti Laras, Retting (Surakarta: Lokananta ACD 276).

Paguyuban Purba Kencana, Blenderan Calung (Surakarta:


Lokananta ACD 231).

______________, Jalak Pita Banyumasan (Surakarta: Lokananta


ACD 227).

______________, Kulu-kulu Banyumasan (Surakarta: Lokananta


ACD 230).

______________, Malang Dhei Calung (Surakarta: Lokananta ACD


229).

______________, Tari Pasihan (Surakarta: Lokananta ACD 228).


Paguyuban Purba Kencana,

Paguyuban Raras Irama, Solo Berseri (Surakarta: Lokananta ACD


273).

PKJT/ASKI Surakarta, Gendhing Beksan: Beksan Enggar-enggar


(Semarang: Ira Record WD 530).

______________, Gendhing2 Beksan: Beksan Driasmara (Semarang:


Ira Record-WD 578).

______________, Dramatari Ranggalawe Gugur (Semarang: Ira


Record).

______________, Gendhing2 Beksan: Topeng Klana (Semarang: Ira


Record-WD 540).

Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardjo, Gema Nusantara


(Surakarta: Lokananta ACD 247).

______________, Ronggeng Parung (Surakarta: Lokananta ACD 246).

______________, Roro Wilis (Surakarta: Lokananta ACD 245).


539

Raras Irama, Gara-gara (Surakarta: Lokananta ACD 274).

S. Maridi dkk., Tari Merak (Surakarta: Lokananta ACD 134).

Seni Jawa Studio Jakarta, Ayun-ayun (Surakarta: Lokananta ACD


267).

Sidik dkk., Kepatil Iwak Lele (Surakarta: Lokananta ACD 221).

______________, Jula-juli Kentrungan (Surakarta: Lokananta ACD


220).

E. Internet

Ignas Kleden, “Ontologi Kebudayaan atau Politik Kebudayaan?”,


http://rajasidi.multiply.com/journal/item/1423 (diunduh
pada 22 Juli 2010).

“Kurikulum SMK Negeri 8 Surakarta”


http://smkn8solo.net/in/index.php?option=com_content&vie
w=article&id=50&Itemid=66 (diunduh pada 12 Desember
2009).

Sal Murgiyanto, “Tari, Wayang, dan Gamelan Seabad Lewat”,


http://heritageofjava.com/portal/article.php?story=20090326
23005787 (diunduh pada 21 November 2010).

“Sejarah SMK Negeri 8 Surakarta”,


http://smkn8solo.net/in/index.php?option=com_content&vie
w=article&id=49&Itemid=63 (diunduh pada 12 Desember
2009).

Supardi, “Pengalaman Pentas/ Peye Selama di Kokar”


http://supardi.dosen.isi-ska.ac.id/ (diunduh pada 21
November 2010).

Tebyan, “Wayang Orang RRI Surakarta”, Buletin Nglungsungi No.


32 April 2006. Buletin ini diterbitkan oleh Alumni SMP 3
Negeri Surakarta Periode 1950-1960 dengan alamat website
http://www.geocities.com/sinungra/smp3.htm.

Waridi, “Musik Gamelan: Sebuah Catatan tentang Pendidikan,


Kehidupan, dan Kekaryaan”,
http://onesgamelan.wordpress.com/2009/01/26/ (diunduh
pada 12 Desember 2009).
540

F. Sumber Audiovisual

Wiranegara, I.G.P., “Paku Buwana XII: Berjuang untuk Sebuah


Eksistensi” (Fakultas Film dan Televisi Instistut Kesenian
Jakarta, 2004).

Rustopo, dkk., “Profil Budaya K.P.A. Hardjonagara” (Studio 19


Surakarta, 2003).

______________, “Pakubuwana XII dan Hardjonagara” (Studio 19


Surakarta, 2005).
541

DAFTAR INFORMAN

Nama : Budhy Moehanto


Lahir : Kabupaten Semarang, 26 Juni 1934
Pendidikan : Konservatori Karawitan Surakarta (1955-1959)
Pekerjaan : Pensiunan Kepala Seksi Tenaga Teknis Bidang
Kesenian Kantor Wilayah departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah
Alamat : Jalan Ciliwung III No. 5 Perumahan Sidosari
Ungaran Timur

Nama : Endang Budi Winarni


Lahir : 9 Juni 1961
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pegawai RRI Surakarta (1981- ...) Seksi Siaran
Subseksi Programa
Alamat : Banyuagung RT 4 RW 2 Nomor 179 Surakarta

Nama : R. Iman Muhadi, B.Sc.


Lahir : 23 Agustus 1938
Pendidikan : Sarjana Muda
Pekerjaan : Pegawai Lokananta (1963-1998)
Alamat : Jalan Nusa Indah Baru IV/ 5 Perum Wahyu
Utomo Ngringo, Jaten Karanganyar.

Nama : Prof. Dr. Jazuli, M. Hum.


Pendidikan : S3 Sosiologi Universitas Airlangga
Pekerjaan : Guru Besar Jurusan Seni Drama Tari Musik
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang
: Siswa SMKI Jurusan Tari (1977-1981)
Alamat : Perum Sekar Gading C/11 Gunung Pati
Semarang

Nama : Joko Wasisto, S. Kar.


Lahir : Ngawi
Pendidikan : Siswa SMKI Angkatan 1978
Akademi Seni Karawitan
Pekerjaan : Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Diponegoro
Alamat : Jl. Arya Mukti Timur IX/ 382 Semarang
542

Nama : H. Mintardjo
Lahir : Surakarta, 26 November 1938
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pegawai Lokananta (1961-1990)
Asisten Pengarah Acara (1972-1977)
Pengarah Acara Rekaman (1978-1990)
Alamat : Jalan Empu Sedah Nomor 3 Kemlayan Surakarta

Nama : Mulyono
Lahir : 69 Tahun (pada 2011)
Pendidikan : Konservatori Karawitan Angkatan 1961
Pekerjaan : Pegawai RRI Surakarta (1969-2000)
Penerima Tamu (1969)
Perencana Siaran Kesenian Daerah (1970-2000)
Alamat : Dawung Wetan RT 02 RW 08 Danukusuman
Serengan, Surakarta.

Nama : Rahayu
Lahir :
Pendidikan : SMKI Jurusan Tari
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jalan Arya Mukti Timur IX/ 382 Semarang
543

GLOSARIUM1

abdi dalem : Punggawa kerajaan.

ada-ada : Lagu vokal yang dinyanyikan oleh


dhalang yang berfungsi untuk
menciptakan suasana tegang,
bersemangat, marah, dan tergesa-gesa.
Penyuaraannya diiringi dengan
instrumen gendèr barung yang
dimantapkan dengan dhodhogan dan
atau keprakan, ditambah dengan
iringan kempul, kenong, dan gong pada
bagian-bagian tertentu.

adiluhung : Indah dan luhur; kata sifat yang


digunakan untuk memberi ciri kesenian
keraton Jawa sebagai seni yang
memiliki nilai tinggi.

anggara kasih : Nama hari untuk menyebut Selasa


Kliwon; digunakan sebagai nama
paguyuban di Yogyakarta.

antawacana : Dialog antara tokoh-tokoh wayang


dalam pergelaran wayang kulit purwa
yang dibawakan oleh dhalang; termasuk
di dalamnya tokoh-tokoh wayang yang
sedang bergumam.

babad : Historiografi tradisional Jawa.

balungan lakon : Kerangka isi jalan cerita.

banjaran : Lakon yang menceritakan tentang


biografi (riwayat hidup) tokoh wayang.

1 Glosarium disusun berdasar pendapat para ahli yang


terdapat di dalam buku sebagaimana tertulis dalam daftar
pustaka.
544

bawa : Komposisi nyanyian yang digunakan


untuk mengawali penyajian sebuah
gendhing.

bedhaya : Jenis tari keraton yang jumlah


penarinya tujuh atau sembilan abdi
dalem wanita.

besalèn : Tempat pembuatan keris.

bonangan : Hasil dari permainan instrumen bonang


yang dilakukan oleh pangrawit.

bootleg : Kaset rekaman bajakan yang diproduksi


dengan cara merekam suara penyanyi
yang sedang tampil di panggung tanpa
sepengetahuan dan izin pemegang hak
cipta, kemudian menjual kasetnya.

cakepan : Lirik.

carabalèn : Gamelan ansambel (dianggap) kuna


menggunakan empat nada.

cempala : Peralatan yang dibuat dari kayu dengan


bentuk sedemikian rupa, yang berfungsi
untuk menghasilkan dhodhogan dalam
pakeliran wayang kulit purwa gaya
Surakarta.

cerita cekak : Cerita pendek.

cokèkan : Sajian karawitan yang hanya


menggunakan instrumen gendèr,
siter/clempung, kendhang, dan gong.

counterfeit : Kaset bajakan yang dibuat dengan cara


membuat copy rekaman dan
mengemasnya sesuai dengan aslinya.

dhalang : Pelaku utama dalam pertunjukan


wayang kulit purwa.

dhagelan : Pelawak; lawakan.


545

dhodhogan : Bunyi yang ditimbulkan karena


benturan antara kothak dengan
cempala, yang berfungsi untuk
membantu menciptakan suasana
tertentu dalam suatu adegan.

dwija : Guru

Forum Rebo Legèn : Suatu forum yang diselenggarakan pada


setiap malam Rabu Legi untuk
memeringati hari kelahiran Ki Anom
Suroto yang dimeriahkan dengan
pergelaran wayang kulit purwa.

gadhon : Sajian karawitan dengan menggunakan


instrumen gamelan ageng tanpa
menggunakan instrumen bonang dan
balungan.

gamelan : Seperangkat peralatan musik Jawa


untuk karawitan, iringan tari, dan
pertunjukan wayang.

gamelan pakurmatan : Seperangkat peralatan musik Jawa yang


berfungsi untuk mengiringi upacara di
keraton, seperti Monggang, Kodhok
Ngorèk, dan Carabalèn.

gapit : Peralatan yang digunakan untuk


menegakkan boneka wayang yang
terbuat dari kulit.

gamelan tumbuk : Perangkat gamelan yang nada limanya


lima antara laras sléndro dan pelog sama.

gamelan tumbuk : Perangkat gamelan yang nada enamnya


nem antara laras sléndro dan pelog sama.

gara-gara : Suatu adegan dalam pertunjukan


wayang kulit purwa yang menampilkan
tokoh punakawan (Semar, Garèng,
Petruk, dan Bagong).

geguritan : Karya sastra berbentuk puisi dalam


bahasa Jawa.
546

gendèran : Sajian musik yang dihasilkan dari


menabuh instrumen gendèr oleh
pangrawit.

gendhing : Istilah umum untuk menyebut


komposisi dalam karawitan Jawa;
istilah umum untuk menyebut
komposisi dalam karawitan Jawa
dengan struktur yang panjang.

gendhing beksan : Gendhing untuk iringan tari.

gendhing jejer : Gendhing yang digunakan untuk


mengiringi adegan tertentu pada
pergelaran wayang kulit purwa.

gendhing pakeliran : Gendhing untuk mengiringi


pertunjukan wayang.

gendhing patalon : Gendhing-gendhing yang dimainkan


untuk mengawali pertunjukan wayang
kulit purwa.

gendhing tayuban : Gendhing untuk iringan pertunjukan


tayub.

gendhing dolanan : Gendhing untuk anak-anak; gendhing


yang bernuansa ringan.

gèrong : Penyanyi koor laki-laki dalam karawitan


Jawa.

gèrongan : Nyanyian yang dibawakan oleh gérong.

janturan : Rangkaian bahasa prosa yang


diucapkan dhalang dalam pakeliran-
nya, berisi pelukisan suatu adegan atau
jejer. Pengucapan janturan diiringi bunyi
gamelan yang ditabuh secara lirih yang
dalam tradisi pakeliran disebut dengan
sirepan atau gendhing kajantur.

jéndralan : Upacara menjemput dan melepas


gubernur jenderal ketika mengadakan
kunjungan resmi ke Surakarta.
547

jineman : Salah satu jenis komposisi dalam


gendhing Jawa.

karawitan : Seni tetabuhan dengan menggunakan


instrumen musik tradisional gamelan
dan menghasilkan gendhing yang indah.

keprak : Peralatan dalam pertunjukan wayang


kulit purwa yang terdiri atas lempengan-
lempengan besi atau perunggu
berjumlah tiga atau empat buah.

keprakan : Bunyi yang dihasilkan dari keprak yang


dimainkan oleh dhalang untuk
mendukung suasana adegan.

ketawang : Komposisi dalam karawitan Jawa yang


dalam setiap gongan terdiri atas 16
pukulan balungan (keteg), dua pukulan
kenong, satu pukulan kempul, dan satu
pukulan gong.

kethoprak : Suatu bentuk pertunjukan drama


tradisi Jawa yang disajikan dalam
panggung prosenium.

Ki : Gelar kehormatan yang diberikan


kepada seseorang yang berjasa karena
keahliannya di bidang tertentu,
misalnya: karawitan dan pedhalangan.

klenèngan jangkep : Salah satu bentuk ansambel karawitan


Jawa, yaitu penyajian gendhing-
gendhing dengan menggunakan
perangkat gamelan ageng (komplit).

kothak : Suatu benda yang terbuat dari kayu


dengan ukuran tertentu yang berfungsi
untuk menyimpan boneka wayang kulit
purwa.

ladrang : Komposisi dalam karawitan Jawa yang


dalam setiap gongan terdiri atas 32
pukulan balungan (keteg), empat
pukulan kenong, tiga pukulan kempul,
548

dan satu pukulan gong.

lakon : Cerita wayang.

lakon baku : Cerita wayang yang bersumber dari


Ramayana dan Mahabharata.

lakon carangan : Cerita wayang di luar lakon baku.

lancaran : Komposisi dalam karawitan Jawa yang


dalam setiap gongan terdiri atas 16
pukulan balungan (keteg), tiga pukulan
kenong, tiga pukulan kempul, dan satu
pukulan gong.

langendriyan : Dramatari dengan nyanyian (semacam


opera) yang dialog antara peraganya
menggunakan tembang macapat dengan
iringan gamelan.

laras : Nada yaitu suara yang telah ditentukan


jumlah frekuensinya; tangga nada yaitu
susunan nada-nada yang jumlah,
urutan, dan pola interval nada-nadanya
telah ditentukan; sesuatu yang bersifat
enak dan nikmat untuk didengar atau
dihayati.

monggang : Gamelan kuna menggunakan tiga nada,


dimainkan untuk menandai peristiwa-
peristiwa penting di keraton.

narapraja : Pejabat kerajaan.

ngabektèn : Suatu tradisi pernyataan berbakti


kepada orang tua, raja atau ratu, dan
atasannya dalam rangkaian upacara
garebeg puasa.

ngebon : Meminjam pangrawit dari kelompok lain


untuk kepentingan lomba karawitan.

niyaga : Penabuh gamelan

pakem : Tuntunan bagi calon dhalang yang


549

berisi berbagai ketentuan tentang


pakeliran yang berfungsi untuk
menjaga estetika seni pedhalangan.

palaran : Salah satu jenis sajian gendhing dalam


karawitan Jawa.

pamong panitra : Pemimpin redaksi.

pangrawit : Penabuh gamelan

paribasa : Peribahasa dalam bahasa Jawa.

pathetan : Lagu vokal yang dinyanyikan oleh


dhalang yang berfungsi untuk
memberikan suasana tenang, agung,
berwibawa, syahdu, perasaan lega, dan
sebagainya. Penyajiannya diiringi
dengan instrumen rebab, gender
barung, gambang, dan suling.

pirate : Kaset bajakan yang dibuat dengan cara


mengumpulkan dan menyeleksi lagu-
lagu yang sedang populer, kemudian
dikemas menjadi suatu yang ‘baru’ atau
berbeda dari aslinya.

pocapan : Cerita dhalang dalam pakeliran tanpa


menggunakan iringan gendhing. Pada
pocapan biasanya hanya diiringi
grimingan atau grambyangan gender.

pribadi binuka : Biografi atau riwayat hidup.

sabet : Semua gerakan dan penampilan boneka


wayang di atas kelir yang disajikan oleh
dhalang dalam suatu pergelaran. Bagi
kalangan awam, kata sabet sering
diucapkan dengan sabetan, yang
artinya cara dhalang dalam memainkan
boneka wayang pada adegan
peperangan.

santiswaran : Ansambel terdiri atas nyanyian (koor


dan solo) dengan iringan utama terbang
550

dan kemanak. Lirik nyanyian bersifat


keagamaan (Islam).

sarasèhan : Diskusi.

serat iber : Karya sastra Jawa berbentuk tembang


berisi petunjuk tentang pelaksanaan
pemerintahan dan nasihat yang
berkaitan dengan kehidupan.

serat panembrama : Karya sastra Jawa berbentuk tembang


yang berisi nyanyian untuk
penyambutan tamu.

serat piwulang : Karya sastra Jawa berbentuk tembang


yang berisi ajaran tentang kehidupan.

sendhon : Lagu vokal yang dinyanyikan oleh


dhalang yang berfungsi untuk
memberikan suasana bimbang dan
sedih dalam suatu adegan.
Penyajiannya diiringi dengan instrumen
gender barung, gambang, dan suling.

siteran : Sajian musik yang menggunakan siter/


beberapa siter sebagai instrumen pokok.

sindhèn : Penyanyi wanita dalam sajian karawitan


Jawa.

sindhènan : Nyanyian yang dibawakan oleh sindhen


dalam karawitan Jawa.

slametan : Selamatan yang diselenggarakan oleh


mahésalawung Kasunanan Surakarta sebagai
persembahan kepada Bathari Durga
bertempat di Krendhawahana guna
keselamatan penduduk.

srimpi : Jenis tari keraton yang jumlah


penarinya empat abdi dalem wanita.

sulukan : Semua jenis lagu vokal yang


dinyanyikan oleh dhalang untuk
mendukung suasana adegan dalam
551

pakeliran.

tayungan : Tarian sederhana yang berisi sikap dan


gerak tari yang paling mendasar.

tedhak loji : Raja memenuhi undangan resmi


berkunjung ke rumah residen.

tembang : Puisi; nyanyian Jawa.

tingalan dalem : Hari penobatan raja.

tobong : Bangunan semipermanen yang


dindingnya dibuat dari bahan anyaman
bambu, atapnya dari rumbia atau daun
tebu yang digunakan untuk tempat
pertunjukan kethoprak atau wayang
wong.

wanda wayang : Bentuk raut muka boneka wayang yang


mencerminkan suasana batinnya.

waton : Aturan atau pedoman dasar dalam seni


tari Jawa.

waranggana : Penyanyi wanita dalam sajian karawitan


Jawa.

wayang kulit : Boneka wayang yang dibuat dari kulit


kerbau.

Wayang Layar : Bentuk pertunjukan wayang dengan


Panjang menggunakan kelir dengan ukuran 12
meter yang merupakan pembaharuan
yang dilakukan oleh civitas akademik
STSI Surakarta.

Wayang Sandosa : Wayang yang menggunakan layar lebar


dan membutuhkan dhalang lebih dari
dua orang; menggunakan bahasa
Indonesia. Posisi dhalang dalam
memainkan wayang berdiri.

wayang wong : Pertunjukan wayang yang para


peraganya manusia.
552

wirapradangga : Penabuh gamelan.

wirèng : Jenis tari keraton; merupakan tari yang


dilakukan oleh dua orang atau duet
yang menggambarkan peperangan
antara dua tokoh.

wiraswara : Penyanyi koor laki-laki dalam karawitan


Jawa.

wiyosan dalem : Hari ulang tahun raja.

Anda mungkin juga menyukai