Anda di halaman 1dari 99

PENCAK SILAT GAGAK LUMAYUNG

DI KABUPATEN SUMEDANG

DRAFT SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana

Pada Program Studi S1 Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Padjadjaran

FANDI TEGUH PRASETYO

170510160052

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2020
ii
ABSTRAK

Penelitian ini menjelaskan tentang gambaran dari Persatuan Penggemar Pencak


Silat (P3S) Gagak Lumayung Sumedang terutama dari wujud budaya dan wujud sosial.
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana Gagak Lumayung Sumedang
sebagai wadah pemersatu berbagai perguruan dan aliran pencak silat mempersatukan dan
mewujudkan persatuan di antara perguruan tersebut. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Wujud sosial yang
terdapat pada Gagak Lumayung Sumedang adalah berupa proses integrasi sosial pada
latihan bersama dan pertunjukan seni ibing, konsensus pada musyawarah, dan hubungan
asosiatif dengan Karaton Sumedang Larang dan Wirayudha, atau hubungan disosiatif
dengan IPSI dan PPSI, serta hubungan patron-klien dengan lembaga pemerintahan seperti
Dinas Pendidikan dan DPRD. Adapun pada wujud budaya terdapat wujud budaya
gagasan seperti falsafah ‘salat, silah, silat’, wujud budaya perilaku seperti ‘ngariung’ dan
‘botram’, dan wujud budaya benda seperti seragam paguron.

Kata kunci: persatuan, pencak silat, wujud sosial, sujud budaya.

ABSTRACT

This research describing the description of Persatuan Penggemar Pencak Silat


(P3S) Gagak Lumayung Sumedang, especially from cultural form or social form. This
research purposed to see how Gagak Lumayung Sumedang as unity of schools and
ideologies of pencak silat, unify and making unification between those schools. Method
used in this research is qualitative method with ethnography approach. Social forms in
Gagak Lumayung Sumedang are: social integration process within mass training and
ibing art performs, consensus at great meeting, associative relations with Karaton
Sumedang Larang and Wirayudha, dissociative relations with IPSI-PPSI, and patron-
client relations with Education Official and Regional People Representative House.
About cultural forms, there are cultural forms of ideas such as ‘salat, silah, silat’
philosophy, cultural forms of activities like ‘ngariung’ and ‘botram’, and cultural forms
of artefact like uniforms of each pencak silat schools.

Keywords: unity, pencak silat, social form, cultural form.

i
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur penulis persembahkan kepada Allah, Tuhan

Semesta Alam, yang dengan kasih sayang-Nya kepada seluruh makhluk termasuk

penulis, menjadikan penulis dapat mengerjakan penelitian ini dan menulis hasil

penelitian dalam bentuk tulisan naskah skripsi. Tidak lupa penulis curahkan

shalawat dan salam kepada Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam, sang penutup

nabi dan rasul, yang padanya sampai ajaran Islam yang sempurna, yang padanya

juga diturunkan Al-Qur’an sebagai sumber ilmu dan hukum, cahaya penerang

peradaban, dan penyempurna kitab suci terdahulu.

Penelitian etnografis tentang pencak silat Gagak Lumayung di Sumedang

ini dilakukan atas dasar minat penulis terhadap budaya bela diri dan budaya

setempat, yang kiranya jarang diperhatikan. Dalam suatu waktu yang lalu, penulis

sempat diberikan semacam amanah oleh informan (yang amanah ini tidak dapat

penulis penuhi karena berbagai keterbatasan), yang intinya adalah membantu agar

budaya pencak silat Gagak Lumayung ini dijadikan unit kegiatan di kampus

penulis, sehingga budaya lokal-setempat dikenal oleh mahasiswa pendatang dan

tetap terjaga kelestariannya. Namun demikian, dengan berbagai cara mereka tetap

terus mencoba untuk bertahan walau zaman semakin menggerus.

Dalam tahapan-tahapan penelitian dan penulisan naskah skripsi ini,

penulis mengalami berbagai macam masalah dan kesulitan yang menghambat

tahapan tersebut, mulai dari masalah keterbatasan tenaga, waktu, pikiran, dan lain-

lain hal yang mengganggu. Namun demikian, tentu atas izin-Nya, segala masalah

dan kesulitan yang mengganggu serta menghambat tersebut, dapat penulis atasi

ii
tidak hanya dengan usaha penulis semata namun dengan dukungan dari berbagai

pihak. Oleh karenanya, sebagai balasan kecil atas bantuan dukungan tersebut,

penulis ucapkan sebanyak-banyaknya terima kasih kepada:

- Ibu Prof. Dr. Rina Indiastuti, S.E., M.SIE., selaku Rektor Universitas

Padjadjaran.

- Bapak Dr. R. Widya Setiabudi Sumadinata, SIP., SSi., MT., MSi

(Han)., selaku Dekan FISIP Universitas Padjadjaran.

- Ibu Dr. Dra. Selly Riawanti, M.A., selaku Kepala Pusat Studi

Antropologi dan Pemberdayaan FISIP Universitas Padjadjaran.

- Ibu Dr. Rina Hermawati, S.IP., M.Si., selaku Kepala Program Studi

Sarjana Antropologi Universitas Padjadjaran.

- Bapak Prof. Dr. H. Opan Suhendi Suwartapradja, M.Si., selaku

Pembimbing.

- Bapak Drs. Ade Makmur K., M.Phil., Bapak R. Bambang Soediadi

Adi Purwanto, M.Si., Bapak Dede Mulyanto, S.Sos. M.Phil., selaku

Pembahas.

- Bapak-Ibu dosen Antropologi Unpad, atas segala ilmu yang diberikan:

Bapak R. B. S. Adi Purwanto selaku dosen wali yang senantiasa

memberikan kiat untuk kemangkusan-keefektifan penelitian; Bapak

Asep Rachlan yang memicu penulis untuk mengawali penelitian ini;

Bapak Hardian E. Nurseto yang memicu penulis agar segera lulus; dan

bapak-ibu dosen lainnya yang tidak bisa saya sebut satu per satu di

sini.

iii
- Keluarga penulis, atas segala dukungan lahir-batin yang diberikan:

Orang tua yang senantiasa menanyakan kabar dan mendoakan

kebaikan untuk anaknya; adik-adik yang senantiasa meminta tolong

dan saran, juga berbagi kabar lewat obrolan daring; lalu nenek dan bibi

yang senantiasa bertanya kabar tentang cucunya.

- Teman-teman ‘Antropgo’ Antropologi 2016, atas pertemanannya

selama berkuliah di kampus tercinta: Naufal Muttaqien, selaku ketua

angkatan, yang bersedia menjadi tempat menampung curahan hati dan

meminta saran untuk teman seangkatannya; Amelia Pratiwi, teman

seperbimbingan, ‘Suwartapradjan Syndicate’, yang senantiasa

membantu lewat saran, kiat, dan semangat; Mega Merdekawati, yang

bersedia menjadi ‘ibu’ bagi teman-temannya untuk menampung cerita;

Samudra M. R. Taufiq, atas segala canda dan penyebutan dalam

obrolan; Zikri Aulia, atas segala saran dari berbagai diskusi; M. Adjie

Fathurrohman, sesama perantau dari Cirebon, yang bersedia menemani

awal perjalanan penulis untuk menjalani penelitian; dan teman-teman

lainnya yang sulit kiranya untuk disebut satu per satu di sini.

- Teman-teman ‘Rihlah’ Ikhwan DKM FISIP Unpad 2016, yang

menemani kehidupan berkuliah di FISIP: Deni F. Y., sang ketua dan

wirausahawan; M. Zia U., teman berbincang seputar keislaman;

Nugrah N., teman sedari awal semester berkuliah; Zikri A., dengan

candanya; M. Adjie F. dengan berbagai kabarnya.

- Teman-teman sepermainan, yang senantiasa menemani penulis di kala

jenuh: ‘Prolethal Co’ oleh Irfan ‘ClutchShooter’ dan Ilfan

iv
‘Dwitsphantom’, tempat berbincang seputar kehidupan kampus, meme

internet, desain grafis, dan permainan komputer; ‘Ambyar Squad’ oleh

Ade ‘esvillanueva’, Sidqi ‘milkjuice’, Khoiraz dan Naufalwibowo,

tempat berbincang seputar pertemanan, hobi, percintaan, dan gim

ponsel; ‘Ekskul Warnet Smanis’ oleh Andhieka, Fachrul, dan Welni,

tempat berbagi kabar, hobi, meme internet, anime, dan permainan.

- Teman-teman dan keluarga Pondok Mandiri, atas segala kebersamaan

dan sarana yang diberikan: Irfan, Hendra, Rafid, Faiz, Ari ‘Awe’,

Nofit ‘Mpit’. Bapak Herman, Ibu Tina, Akang Adi; terima kasih atas

segala sarana pondok-kost yang diberikan.

- Dari-informan-menjadi-teman, segenap Prajurit Wirayudha: Kang

Deden, atas wawasannya; Kang Andi, atas pengetahuannya yang luas;

Kang Baping, atas segala keakraban dan candanya; Asep ‘Abrag’; dan

lain-lain anggota Prajurit Wirayudha.

- Dan lain-lain pihak yang telah banyak mendukung, yang tidak bisa

saya sebutkan satu per satu; sekali lagi, penulis ucapkan banyak terima

kasih.

Jatinangor,

April 2020 M/Ramadhan 1441 H

v
Penulis

vi
DAFTAR ISI

ABSTRAK.........................................................................................................................i

ABSTRACT.......................................................................................................................i

KATA PENGANTAR......................................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................vi

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................ix

DAFTAR BAGAN...........................................................................................................xi

DAFTAR TABEL............................................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

1.1. Latar Belakang.................................................................................................1

1.2. Masalah Penelitian...........................................................................................5

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian......................................................................5

1.4. Tinjauan Pustaka..................................................................................................6

1.4.1. Pencak Silat...............................................................................................6

1.4.2. Penca.........................................................................................................7

1.4.3. Masyarakat, Kelompok, dan Perkumpulan...........................................9

1.4.4. Integrasi Sosial dan Konsensus.............................................................11

1.4.5. Kebudayaan dan Wujudnya (Tiga Wujud Kebudayaan)....................12

1.5. Kerangka Pemikiran......................................................................................13

1.6. Metodologi Penelitian.....................................................................................16

1.6.1. Rancangan Penelitian.............................................................................16

1.6.2. Satuan Analisis.......................................................................................17

1.6.3. Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian..............................................17

1.6.4. Jenis dan Sumber Data..........................................................................18

1.6.5. Rencana Analisa Data............................................................................18

vii
1.6.6. Kesahihan/Validitas Data Penelitian.....................................................19

1.6.7. Adab/Etika Penelitian............................................................................19

1.6.8. Jadwal Penelitian....................................................................................21

BAB II KABUPATEN SUMEDANG DAN GAGAK LUMAYUNG: SUATU


GAMBARAN..................................................................................................................22

2.1. Kabupaten Sumedang....................................................................................22

2.1.1 Geografi...................................................................................................23

2.1.2. Demografi................................................................................................25

2.1.3. Pemerintahan..........................................................................................25

2.1.4. Masyarakat.............................................................................................26

2.2. P3S (Persatuan Perguruan Pencak Silat) Gagak Lumayung......................27

2.2.1. Latar Belakang Berdirinya P3S Gagak Lumayung.............................28

2.2.2. Dinamika Keorganisasian......................................................................30

2.2.3. Tempat....................................................................................................31

2.2.4. Perguruan Pencak Silat Yang Bergabung............................................35

2.2.5. Pola Latihan Dan Kegiatan....................................................................37

2.2.6. Hubungan Gagak Lumayung Dengan Lembaga/Organisasi Lain......38

2.2.7. P3S Gagak Lumayung Sebagai Wadah Pemersatu Perguruan Pencak


Silat..........................................................................................................39

2.3. Ringkasan.......................................................................................................40

BAB III WUJUD SOSIAL GAGAK LUMAYUNG....................................................41

3.1. Latihan Bersama............................................................................................41

3.2. Seni Ibing........................................................................................................45

3.3. Musyawarah...................................................................................................49

3.4. Media Sosial....................................................................................................51

3.5. Hubungan dengan Lembaga Lain Terkait...................................................53

viii
3.5.1. Hubungan antara Gagak Lumayung Sumedang dengan Karaton
Sumedang Larang..................................................................................54

3.5.2. Hubungan antara Gagak Lumayung Sumedang dengan Wirayudha......56

3.5.3. Hubungan antara Gagak Lumayung Sumedang dengan IPSI, PPSI,


dan Lembaga Pemerintahan Terkait....................................................59

3.6. Ringkasan.......................................................................................................61

BAB IV WUJUD BUDAYA GAGAK LUMAYUNG..................................................62

4.1. Wujud Budaya di Gagak Lumayung............................................................62

4.1.1. Wujud Budaya Gagasan Gagak Lumayung.........................................63

4.1.2. Wujud Budaya Perilaku Gagak Lumayung.........................................65

4.1.3. Wujud Budaya Benda Gagak Lumayung.............................................68

4.2. Ringkasan.......................................................................................................71

BAB V PENUTUP..........................................................................................................73

5.1. Kesimpulan.....................................................................................................73

5.2. Saran...............................................................................................................74

Daftar Pustaka...............................................................................................................75

Lampiran: Data Set.......................................................................................................77

Lampiran: Pedoman Pengamatan................................................................................79

Lampiran: Pedoman Wawancara.................................................................................80

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Gedung Kantor Pemkab Sumedang...........................................................23

Gambar 2 Peta Provinsi Jawa Barat dengan peta Kabupaten Sumedang...............24

Gambar 3 Logo P3S Gagak Lumayung.......................................................................29

Gambar 4 Museum Prabu Geusan Ulun, pusat Gagak Lumayung di Kabupaten

Sumedang.......................................................................................................................31

Gambar 5 Bagian dalam ruangan Markas Wirayudha yang menjadi Sekretariat

Gagak Lumayung...........................................................................................................32

Gambar 6 Poster Visi-Misi Keraton Sumedang Larang dan Wirayudha dengan

lukisan Prabu Siliwangi di tengahnya..........................................................................33

Gambar 7 Searah jarum jam: foto Sri Radya Keraton Sumedang Larang,

Mahapatih, Panglima-Senopati Wirayudha, Radya Anom.......................................33

Gambar 8 Latihan malam hari di depan Gedung Negara, Sumedang.....................34

Gambar 9 Paguron Pandika Padjadjaran mengadakan latihan di Aula Desa

Jatihurip.........................................................................................................................35

Gambar 10 Bendera Perguruan Pencak Silat yang Tergabung dalam P3S Gagak

Lumayung.......................................................................................................................36

Gambar 11 Prosesi Latihan Bersama...........................................................................42

Gambar 12 Peragaan kawalan......................................................................................43

Gambar 13 Berlatih jurus kaedah................................................................................44

Gambar 14 Makan bersama setelah selesai latihan bersama.....................................45

Gambar 15 Penampilan ibing rampak dari paguron Dangiang Budi Wirahma

Raksa Putra....................................................................................................................46

Gambar 16 Nayaga (pemain alat musik)......................................................................46

x
Gambar 17 Penampilan ibing gonjing oleh bapak Tang Sutarno, ketua paguron

Medal Waruganing Rasa...............................................................................................48

Gambar 18 Peragaan ibing rampak di acara khitanan...............................................48

Gambar 19 Suasana musyawarah Federasi P3S Gagak Lumayung Sumedang.......50

Gambar 20 Tampilan awal grup Gagak Lumayung di Facebook versi mobile-lite. .52

Gambar 21 Tampilan kiriman (posts) oleh anggota grup Gagak Lumayung di

Facebook.........................................................................................................................53

Gambar 22 Logo Karaton Sumedang Larang yang bersanding dengan logo Gagak

Lumayung dalam suatu acara.......................................................................................55

Gambar 23 Terlihat panji Gagak Lumayung dalam acara Kirab Pusaka................56

Gambar 24 Dari kiri ke kanan: Prajurit Wirayudha dalam sebuah acara, dan dua

Prajurit Wirayudha yang berfoto dengan pengung Karaton.....................................57

Gambar 25 Prajurit Wirayudha mengenakan kaus Wirayudha dan mengenakan

kemeja Gagak Lumayung.............................................................................................58

Gambar 26 Prajurit Wirayudha (berpakaian hitam, berlencana merah, dan

mengenakan iket) mengamankan kedatangan Ridwan Kamil saat Peresmian Alun-

alun Sumedang...............................................................................................................59

Gambar 27 Para anggota Gagak Lumayung sedang ngariung/berkumpul dengan

duduk melingkar di Markas Wirayudha.....................................................................66

Gambar 28 Seragam hitam yang dipakai oleh paguron Dangiang Budi Wirahma

Raksa Putra....................................................................................................................69

Gambar 29 Seragam biru yang dipakai oleh paguron Aura Alam............................70

Gambar 30 Nayaga di belakang pesilat dari paguron Putra Setia Medal Buana.....70

Gambar 31 Toko cinderamata di Museum Prabu Geusan Ulun................................71

xi
DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Kerangka Pemikiran Gagak Lumayung........................................................15

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jadwal Penelitian..............................................................................................21

xii
xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan secara mendalam tentang

Perguruan Pencak Silat Gagak Lumayung sebagai satuan kemasyarakatan dan

kebudayaan, dengan kata lain sistem sosial-budaya. Penelitian ini perlu dilakukan

untuk memperkaya khazanah pengetahuan tentang kebudayaan Jawa Barat,

terutama dalam hal seni bela diri dengan berbagai unsur-unsurnya. Dalam

penelitian ini, tidak hanya membahas Gagak Lumayung dalam ranah budaya

berupa wujud kebudayaan, namun juga dalam ranah sosial-masyarakat yakni

perihal kehidupan bermasyarakat yang bersatu-dipersatukan dalam konsensus atau

persetujuan bersama.

Bela diri, dalam perkembangannya, lahir dari pada naluri mempertahankan

hidup yang dimiliki oleh beragam makhluk hidup, termasuk manusia. Misal,

harimau memiliki taring dan cakar, ular memiliki bisa racun. Manusia dengan

akalnya bisa menyaingi kekuatan cakar harimau dan bisa ular, melalui perwujudan

akalnya yaitu menciptakan dan mengembangkan apa-apa yang terdapat pada

alam; di antaranya yaitu jurus-jurus bela diri dan teknologi persenjataan. Jurus-

jurus bela diri dan senjata inilah yang nantinya akan menjadi sistem bela diri

dengan berbagai bentuknya. Sistem bela diri tersebut tidak bisa lepas dari tempat

asalnya, yang menjadi pembeda antar bela diri yang satu dengan yang lainnya.

Sebut saja wushu dari Cina, karate dari Jepang, dan pencak silat dari Indonesia.

1
Pencak silat merupakan salah satu kebudayaan dari Indonesia yang

berwujud bela diri. Istilah pencak silat berasal dari dua kata pencak dan silat,

kurang lebih sama-sama bermakna bela diri, namun berbeda tren penggunaannya.

Istilah pencak biasa dipakai di wilayah Jawa, Madura, dan Bali. Contohnya adalah

Penca Cikalong dari Jawa Barat (Heryana, Falsafah Penca Cikalong dalam 'Gerak

Seser', 2018). Sementara itu, istilah silat biasa dipakai di kawasan Melayu dan

bagian lain Indonesia. Misal, Silat Pangean di Riau (Sandi, 2017). Kendati

demikian, pencak silat menjadi satu istilah yang umum digunakan untuk bela diri

asal Indonesia. Istilah pencak silat kemudian menjadi umum setelah dipopulerkan

oleh IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) dan digunakan juga oleh PPSI

(Persatuan Pencak Silat Indonesia), yang keduanya merupakan organisasi pencak

silat berskala nasional. Tidak hanya itu, istilah pencak silat juga dipakai organisasi

skala internasional Persilat (Persekutuan Pencak Silat Antarbangsa) (Raspuzi,

Setiawan, & Afandi, 2016). Namun demikian, masyarakat pada umumnya

mengenal bela diri ini cukup dengan satu istilah saja, yakni silat.

Dalam pencak silat, terdapat empat aspek utama, yang aspek-aspek

tersebut adalah satu kesatuan utuh tak dapat dipisahkan satu sama lain. Empat

aspek tersebut adalah: aspek mental spiritual, aspek seni budaya, aspek bela diri,

dan aspek olah raga. Aspek mental spiritual membangun kepribadian mulia

pesilat. Aspek seni budaya diwujudkan dalam pola gerak ibing, yang terdiri dari

tiga unsur: wiraga (kekayaan gerak), wirama (irama), dan wirasa (penjiwaan

gerak). Aspek bela diri menekankan kemahiran teknik dengan tangan kosong atau

senjata. Aspek olah raga menekankan pemeliharaan kesehatan jasmani dan

keperluan untuk pertandingan (Zein & Mardotillah, 2017). Keempat aspek ini

2
mutlak, pasti terdapat dalam pencak silat manapun, namun hanya saja tidak

semuanya ditonjolkan atau dinggulkan, melainkan hanya sebagiannya saja atau

salah satunya (misalnya pencak silat Panglipur yang menonjolkan aspek seni), dan

itulah yang menjadi ciri khas dari tiap-tiap perguruan pencak silat.

Di Jawa Barat, pencak silat dikenal juga dengan sebutan penca, maenpo,

ulin, atau ameng. Pencak silat di Jawa Barat, atau penca, memiliki beragam corak

yang dikelompokkan dalam wujud aliran dan beragam penekanan aspek.

Beberapa aliran yang terkenal adalah aliran Cimande, Cikalong, Sabandar, dan

Sera. Terdapat aliran lain seperti Gerak Gulung Budi Daya dan Timbangan,

namun khusus aliran Timbangan bagi sebagian anggotanya mengganggap bahwa

Timbangan bukan bagian dari pada pencak silat (Raspuzi, Setiawan, & Afandi,

2016). Kendati demikian, oleh beberapa ahli, Timbangan tetap digolongkan

sebagai salah satu aliran pencak silat yang menekankan aspek mental spiritual

(Heryana, Pencak Silat Ameng Timbangan di Jawa Barat: Hubungan antara

Ajaran dan Gerak Ameng Timbangan, 2018). Di Banten, yang notabene dalam

lingkup sejarah dan budayanya masih terdapat ikatan dengan budaya Sunda, juga

memiliki aliran Cikalong, selain itu juga ada Ulin namanya Ulin Makao (Facal,

2016). Karena Cikalong dan Makao adalah dua contoh penca dari Jawa Barat,

Tanah Sunda, yang di dalamnya memiliki tuturan sebagai tradisi lisan yang

mempertahankan keilmuan penca (Rusyana, 1996). Dalam suatu hasil penelitian

deskriptif tentang strategi adaptif pencak silat di Purwakarta, dinyatakan bahwa

terdapat setidaknya enam aliran/perguruan yang aktif di sana, yaitu: Paleredan,

Cimande, Beksi, PII (Pelajar Islam Indonesia), Payung Rasul Margaluyu, dan

Sanalika (Setiawan, 2011). Dari sini, dapat kita pahami bahwa pencak silat di

3
Tanah Sunda (meliputi Jawa Barat dan Banten) saja sudah memiliki corak yang

sedemikian banyaknya, mulai dari penamaan (penca, ulin, dlsb.), aliran (Cimande,

Cikalong, Sabandar, Sera), dan penonjolan aspek-aspeknya.

Persatuan Penggemar Pencak Silat Gagak Lumayung (selanjutnya disebut

P3S Gagak Lumayung, atau Gagak Lumayung saja) merupakan organisasi pencak

silat yang ada di kabupaten Sumedang yang berdiri sejak tahun 1985. Sudah tentu

P3S Gagak Lumayung merupakan bagian dari pencak silat yang ada di Jawa

Barat. Namun, kiranya belum banyak informasi dalam bentuk tulisan yang

memaparkan informasi seputar P3S Gagak Lumayung, terutama dari latar

belakang dan sepak terjang organisasi. Sebelumnya pernah ada penelitian tentang

P3S Gagak Lumayung, namun dalam penelitian tersebut adalah membahas dari

pandangan ilmu komunikasi dengan analisis behavioristik, tentang bagaimana

folklor dalam bentuk pencak silat dapat menjadi media belajar bahasa, sastra dan

budaya (CMS, Anwar, & Winoto, 2018). Penelitian kali ini, yang menjadi

pembeda dengan penelitian sebelumnya, adalah menggunakan pendekatan

etnografi yang menggambarkan dan mengurai Pencak Silat Gagak Lumayung.

Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi dari metode kualitatif,

teknik pengamatan terlibat berjarak serta wawancara semi-informal. Tempat

penelitian akan berlangsung di sekretariat DPC (Dewan Pengurus Cabang) tingkat

kabupaten Sumedang yang berada di di Museum Sri Manganti/Museum Prabu

Geusan Ulun, dekat Gedung Negara Sumedang. Pencak silat, terutama P3S Gagak

Lumayung dipilih sebagai topik penelitian, karena P3S Gagak Lumayung

merupakan hasil dari pada budaya setempat dan memiliki kaitan erat dengan

sejarah setempat, yang dalam tradisi keilmuan masa kini agaknya sulit dicari

4
informasi tentangnya karena kekurangan bahan rujukan. Oleh karenanya, hasil

penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberi sumbangsih dalam khazanah

pengetahuan tertulis pencak silat dan wawasan kebudayaan Jawa Barat.

1.2. Masalah Penelitian

Masalah dalam penelitian ini adalah menggambarkan atau

mendeskripsikan P3S Gagak Lumayung dalam pandangan antropologi. Masalah

penelitian ini juga dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.

1. Bagaimana P3S Gagak Lumayung dapat menjadi wadah pemersatu

berbagai aliran pencak silat?

2. Bagaimana P3S Gagak Lumayung mempersatukan dan membentuk wujud

persatuan bagi berbagai perguruan pencak silat?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan

P3S Gagak Lumayung dengan pendekatan antropologi. Adapun manfaat daripada

penelitian ini adalah berupa manfaat teoritis dan praktis, yang mana manfaat

teoritisnya dapat dirasakan oleh para akademisi terutama dalam bidang

sosiohumaniora dalam hal pengembangan khazanah pengetahuan kebudayaan

Sunda/Jawa Barat. Manfaat praktis dari penelitian ini, yang mana dapat dirasakan

oleh khalayak masyarakat umum terutama para penggiat pencak silat, adalah

5
menyalurkan pengetahuan tentang pencak silat agar semakin dikenal dan semakin

lestari sehingga keberadaan pencak silat diakui masyarakat setempat.

1.4. Tinjauan Pustaka

1.4.1. Pencak Silat

Pencak silat adalah kata majemuk. Istilah ‘pencak’ dan ‘silat’, walaupun

ada yang mengartikan berbeda, namun pada umumnya memiliki arti yang sama,

yaitu seni bela diri asli yang tumbuh berkembang di Indonesia. Saat ini, pencak

silat juga diakui sebagai beladiri khas rumpun Melayu, yakni Indonesia, Malaysia,

Singapura, dan Brunei Darussalam. Kata ‘pencak’ pada umumnya digunakan oleh

masyarakat Pulau Jawa, Madura, dan Bali. Sedangkan kata ‘silat’ umumnya

digunakan oleh masyarakat daerah lain di Indonesia maupun di kawasan Melayu.

Khusus di Jawa Barat, pencak ditulis dan dilafalkan dengan kata penca. Masih di

Jawa Barat, selain penca, dikenal pula istilah maenpo, ulin, dan ameng (Raspuzi,

Setiawan, & Afandi, 2016).

Paduan kata ‘pencak’ dan ‘silat’ menjadi kata majemuk, terjadi atas

prakarsa IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) yang didirikan pada 18 Mei 1948 di

Surakarta. Istilah ‘pencak silat’ menjadi umum digunakan di Indonesia sejak

dipopulerkan IPSI. PPSI (Persatuan Pencak Silat Indonesia) yang didirikan pada

1957 di Jawa Barat juga menggunakan istilah pencak silat. Istilah pencak silat saat

ini juga digunakan di kalangan internasional terutama setelah organisasi pencak

silat dunia Persilat (Persatuan Pencak Silat Antarbangsa) didirikan di Jakarta pada

11 Maret 1980 (Raspuzi, Setiawan, & Afandi, 2016).

6
Sumber lain menyatakan bahwa pencak dan silat memiliki arti yang

berbeda. Pencak merupakan gerak serang bela diri berupa tarian dan irama dengan

peraturan (berupa adat kesopanan) dan bisa dipertunjukkan. Sementara itu, silat

adalah intisari pencak, ditujukan untuk membela diri. Berbeda dengan pencak,

silat tak dapat dipertunjukkan. Dari pengertian yang berbeda antara pencak dan

silat tersebut, pencak silat memiliki arti sebagai bela diri yang disesuaikan dengan

kebutuhan dalam menghadapi tantangan. Tantangan tersebut adalah berupa alam,

binatang, maupun manusia (Ediyono, 2014). Ada pula yang menyatakan bahwa

silat berasal dari Melayu, tepatnya Sumatera, dan ilmunya diperoleh dari harimau

yang dijuluki sebagai raja hutan (Kartomi, 2011).

Gerakan-gerakan dalam Pencak Silat, merujuk pada Perguruan KPSN

(Keluarga Pencak Silat Nusantara) terdiri dari: serangan tangan

(pukulan/gebangan), sikuan, kuda-kuda, langkah, tendangan, elakan, tipuan,

serangan, dan sikap pasang. Senjata yang dipakai, misalnya adalah celurit. Dalam

teknik yang ada di KPSN juga terdapat senam dan jurus pertandingan (Maryono,

2017).

1.4.2. Penca

Penca merupakan sebutan untuk pencak, atau padanan kata dari pencak

silat di Jawa Barat. Penca didefinisikan sebagai suatu perbuatan manusia yang

mengerahkan kekuatan jiwa dan raganya dalam rangka membela diri. Dalam

definisi tersebut terdapat dua kekuatan yaitu kekuatan jiwa dan kekuatan raga.

Yang dimaksud dengan kekuatan jiwa adalah akal, khayal, perasaan, dan

kemauan. Adapun kekuatan raga adalah penggunaan seluruh anggota tubuh dan

7
perlengkapan seperti senjata untuk membela diri (Raspuzi, Setiawan, & Afandi,

2016).

Dalam penca (dan juga pencak silat secara umum) terdapat empat aspek

tak terpisahkan yang tersusun menjadi suatu sistem penca. Empat aspek tersebut

adalah: bela diri, olahraga, seni, dan mental spiritual. Selain empat aspek yang

utama tersebut, ada juga aspek lain seperti filsafat, tatacara/metode pengajaran,

keorganisasian khas penca, dan aspek lain terkait kanuragan (Raspuzi, Setiawan,

& Afandi, 2016).

Jenis perguruan penca dapat ditinjau dari empat aspek utama. Perguruan

penca ditinjau dari penekanan empat aspek utamanya, paparannya sebagai berikut:

1. Perguruan penca yang menekankan pendidikan pada aspek mental

spiritual, bertujuan untuk membentuk kemampuan pengendalian diri

yang tinggi. Contohnya adalah perguruan Padepokan Paduraksa dengan

aliran Timbangan.

2. Perguruan penca yang menekankan pendidikan pada aspek bela diri atau

teknis, bertujuan untuk membentuk kemahiran teknik bela diri yang

tinggi, baik tangan kosong atau dengan senjata. Contohnya adalah

Perguruan Penca Riksa Diri.

3. Perguruan penca yang menekankan pendidikan pada aspek seni atau

keindahan, bertujuan untuk membentuk keterampilan memperlihatkan

keindahan gerak jurusnya. Contohnya adalah Himpunan Pencak Silat

Panglipur.

8
4. Perguruan penca yang menekankan pendidikan pada aspek olah raga,

dengan tujuan untuk mempraktekkan teknik jurus bernilai olah raga bagi

kepentingan pemeliharaan jasmani atau pertandingan. Contohnya adalah

Perguruan Silat Tajimalela.

1.4.3. Masyarakat, Kelompok, dan Perkumpulan

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, saling

berinteraksi. Agar dapat dikatakan sebagai masyarakat, sekumpulan manusia

tersebut harus memiliki ciri-ciri: adanya prasarana untuk bergaul, memiliki pola

yang mantap dan berkelanjutan-kontinu yang menjadi adat-istiadat, dan terikat

dalam identitas. Maka dengan ciri-ciri tersebut, didapat pengertian tentang

masyarakat sebagai berikut: masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang

bergaul-berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat

kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat,

2009).

Kelompok dapat diartikan sebagai masyarakat yang berorganisasi dan

memiliki sistem pimpinan, serta tampak sebagai kesatuan saat masa berkumpul

yang berulang sampai bubarnya/tidak lagi berkumpul (Koentjaraningrat, 2009).

Beberapa ahli memandang kelompok dengan beragam landasan seperti: persepsi

(tiap anggota kelompok menyadari hubungan antaranggota), motivasi (dengan

bergabung dalam kelompok maka mendapatkan dorongan untuk memenuhi

kebutuhan), tujuan (satu kelompok satu tujuan), organisasi (kelompok adalah

sistem yang diorganisasikan), interdependensi (ketergantungan satu sama lain),

dan interaksi (sekelompok orang yang melakukan interaksi dalam aturan yang

saling mempengaruhi) (Huraerah & Purwanto, 2010).

9
Kelompok memiliki beberapa ciri-ciri, seperti: adanya kesamaan motif

(dorongan untuk mencapai tujuan bersama), adanya sikap in-group (kepada

sesama anggota kelompok/orang dalam) dan out-group (kepada bukan sesama

anggota kelompok/orang luar), adanya solidaritas (kesetiakawanan), adanya

struktur kelompok (kedudukan; hubungan antaranggota kelompok berdasarkan

peran dan status), dan adanya norma kelompok (pedoman yang mengatur tingkah

laku anggota kelompok).

Kelompok memiliki beberapa bentuk: kelompok primer (kelompok kecil

yang erat hubungannya) dan kelompok sekunder (kelompok besar yang renggang

hubungannya), gemeinshcaft (kelompok yang berhubungan secara organis,

hubungannya dekat, pribadi, dan khusus (eksklusif); terikat oleh darah-keturunan,

tempat, dan pemikiran) dan gesselschaft (kelompok yang berhubungan secara

mekanis, untuk jangka waktu yang singkat, di antaranya terdapat pada hubungan

timbal balik seperti perdagangan dan kerja), formal group (kelompok resmi,

sengaja dibentuk, memiliki aturan dan kedudukan anggota, misal: asosiasi) dan

informal group (kelompok tak resmi, terbentuk atas bertemunya kebutuhan, tidak

memiliki aturan dan kedudukan anggota yang pasti, misal: klik), membership

group (kelompok berkeanggotaan) dan reference group (kelompok rujukan

pembentuk pribadi), in-group (kelompok yang anggota merasa berada di

dalamnya) dan out-group (kelompok yang anggota merasa tidak berada di

dalamnya) (Huraerah & Purwanto, 2010).

Perkumpulan, atau asosiasi, dapat diartikan sebagai kolektif manusia yang

mengorganisasikan diri sebagai kesatuan sosial yang bersifat resmi dengan sistem

10
kepemimpinan formal untuk tujuan bersama yang tertentu (Koentjaraningrat, et

al., 2003).

1.4.4. Integrasi Sosial dan Konsensus

Integrasi sosial adalah proses mempersatukan berbagai kelompok dalam

masyarakat melalui satu identitas bersama, dengan menghilangkan perbedaan dan

identitas masing-masing. Sebagian besar sosiolog mengatakan bahwa integrasi

sosial diperlukan untuk keselarasan, kesejahteraan, dan keseimbangan

masyarakat. Pendapat mengenai integrasi sosial oleh para sosiolog terbagi

menjadi dua yaitu kelompok fungsionalis dan kelompok konflik. Kelompok

fungsionalis menyatakan bahwa pada dasarnya masyarakat terintegrasi secara

nilai dan norma (integrasi normatif; juga disebut dengan konsensus nilai, yaitu

persetujuan mengenai nilai-nilai utama di kalangan anggota masyarakat), dengan

dua ciri utama yang mesti ada: keselarasan norma-norma yang berhubungan

dengan berbagai perilaku dalam keadaan lain, dan tingkat kepatuhan yang tinggi

(kongruen) antara harapan perilaku dalam norma dengan perilaku sebenarnya.

Sementara itu, kelompok konflik menyatakan bahwa integrasi sosial terjadi karena

paksaan dan ketergantungan ekonomis, serta penyertaan kelompok ras dalam satu

sistem produksi yang sama (Rahman, 2011).

Konsensus adalah persetujuan umum tentang nilai, norma, dan peraturan-

peraturan (yang menentukan cita-cita serta ikhtiar untuk mencapainya), serta

pembagian peranan dan ganjaran dalam suatu sistem sosial. Konsensus sebagai

model dalam dasar keberlangsungan masyarakat, memiliki anggapan mengenai

masyarakat: tiap masyarakat memiliki satu kedudukan/struktur yang agak

11
langgeng-stabil, tiap unsur dalam masyarakat memiliki guna/fungsi untuk

keberlangsungan masyarakat sebagai sistem keseluruhan, unsur dalam masyarakat

yang berintegrasi-seimbang, kerjasama dan kemufakatan nilai sebagai dasar

kelangsungan masyarakat, dan kehidupan sosial bergantung pada kesatuan.

(Rahman, 2011).

1.4.5. Kebudayaan dan Tiga Wujud Kebudayaan

Kebudayaan merupakan sekumpulan pengetahuan manusia sebagai

makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta

pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Kebudayan terdiri

atas unsur-unsur universal yaitu: bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi

sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Kebudayaan juga terbagi dalam

tiga wujud yaitu: ide (sistem budaya/adat-istiadat), aktivitas (sistem sosial), dan

kebendaan (kebudayaan kebendaan) (Koentjaraningrat, et al., 2003).

Wujud kebudayaan yang pertama, yaitu ide/gagasan, adalah kebudayaan

yang wujudnya bersifat abstrak, berada dalam alam pikiran masyarakat di mana

suatu kebudayaan tersebut hidup, dan membentuk sistem budaya. Dalam bahasa

Indonesia, wujud ideal kebudayaan disebut adat, atau adat-istiadat dalam bentuk

jamaknya. Wujud kebudayaan yang kedua, yaitu aktivitas, adalah berupa

aktivitas/kegiatan manusia yang saling bergaul/berinteraksi, senantiasa

berhubungan dari waktu ke waktu, menurut-mengikuti pola tertentu yang

berdasarkan adat tata kelakuan, bersifat konkret dan membentuk sistem sosial.

Wujud kebudayaan yang ketiga yaitu artifak/kebendaan adalah berupa seluruh

hasil benda/fisik dan aktivitas, perbuatan, serta karya manusia dalam masyarakat

yang bersifat konkret. (Koentjaraningrat, 2009).

12
1.5. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dibuat sebagai gambaran hasil penelitian, sebagai

jawaban sementara atas pertanyaan yang menjadi masalah penelitian. Penelitian

etnografi ini akan menggambarkan Gagak Lumayung sebagai wujud sosial, yaitu

berupa perkumpulan yang mewadahi kelompok atas dasar konsensus melalui

proses integrasi sosial, dan juga sebagai wujud budaya, yaitu berupa kebudayaan

yang memiliki wujud gagasan abstrak, wujud perilaku sosial, dan wujud

kebudayaan benda.

P3S Gagak Lumayung sebagai wujud sosial, digambarkan sebagai

perkumpulan yang mempersatukan antar kelompok atas dasar konsensus nilai

kebudayaan pencak silat dan tujuan pelestarian budaya, yaitu sebagai

perkumpulan yang mempersatukan berbagai kelompok aliran atau perguruan

pencak silat melalui proses integrasi sosial dalam satu identitas P3S Gagak

Lumayung. Para anggota P3S Gagak Lumayung saling bergaul/berinteraksi di

sekretariatnya atau tempat berlatih menggunakan bahasa daerah setempat, dengan

identitas P3S Gagak Lumayung yang dikenakannya seperti kaus beratribut logo

P3S Gagak Lumayung. Selain itu juga mereka berinteraksi di dunia maya dalam

suatu grup di media sosial, sebagian mereka mengenakan logo P3S Gagak

Lumayung yang disematkan pada foto profil/foto sampul sebagai identitas dan

perlambang adat.

P3S Gagak Lumayung sebagai wujud budaya, memiki beberapa wujud

kebudayaan berupa gagasan, perilaku, dan kebendaan. Wujud gagasan P3S Gagak

Lumayung adalah berupa nilai dan norma pencak silat yang wajib dipatuhi oleh

13
semua anggota P3S Gagak Lumayung. Wujud perilaku P3S Gagak Lumayung

adalah berupa latihan tiap pekan, ritual, dan pementasan seni. Adapun wujud

kebendaan yang dimiliki P3S Gagak Lumayung adalah bendera, lambang, dan

pakaian seragam yang dikenakan anggotanya.

Pada kerangka pemikiran ini juga dipaparkan jawaban singkat berupa

dugaan sementara atau hipotesa atas pertanyaan dalam masalah penelitian. P3S

Gagak Lumayung adalah sistem organisasi (wujud sosial) juga sistem bela diri

(wujud budaya), di mana selain P3S Gagak Lumayung mewadahi berbagai

macam perguruan pencak silat, P3S Gagak Lumayung juga memiliki keunikan

tersendiri berupa jurus bela diri yang berbeda dengan pencak silat lainnya. P3S

Gagak Lumayung sebagai sistem organisasi sosial, mempersatukan berbagai

aliran dan perguruan pencak silat atas dasar persetujuan bersama atau konsensus

dari pada jawara atau petinggi pencak silat di Jawa Barat, kemudian atas amanah

Guru Besar, didirikan juga cabang lain termasuk di Sumedang. Persatuan pencak

silat tersebut diwujudkan dalam atribut berupa simbol, pakaian seragam, dan jurus

dasar.

14
Di bawah ini adalah bagan kerangka pemikiran untuk menjelaskan

gambaran P3S Gagak Lumayung sebagai wujud sosial dan wujud budaya.

Bagan 1 Kerangka Pemikiran Gagak Lumayung

15
1.6. Metodologi Penelitian

1.6.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan model atau strategi

etnografi, yaitu salah satu strategi penelitian kualitatif yang di dalamnya peneliti

menyelidiki suatu kelompok kebudayaan di lingkungan yang alamiah, dalam periode

waktu yang cukup lama dalam pengumpulan data utama, data pengamatan dan data

wawancara (Creswell, 2010).

Metode etnografi digunakan dalam penelitian ini, untuk memahami

pandangan hidup dari sudut pandang penduduk setempat (Spradley, dalam

Mardotillah: 2016). Tujuan penggunaan metode etnografi dalam penelitian ini

dimaksudkan untuk menggambarkan dan menganalisis gambaran dari pada

Pencak Silat Gagak Lumayung. Dasar pertimbangan peneliti menggunakan

metode etnografi adalah:

1) Penelitian adalah meneliti tentang kebudayaan dari kelompok yang

berkebudayaan sama.

2) Peneliti mencari berbagai pola ritual, perilaku sosial, adat istiadat atau

kebiasaan.

3) Kelompok kebudayaan tersebut telah lengkap dan berinteraksi dalam

waktu yang cukup lama.

4) Menggunakan teori untuk menemukan pola dan kelompok budaya yang

sama dimana peneliti terlibat secara langsung dalam kerja lapangan yang

lama.

16
5) Dalam menganalisa data peneliti bersandar pada pandangan dari pada

partisipan.

6) Analisa data menghasilkan pemahaman tentang bagaimana kelompok

berkebudayaan yang sama dapat berjalan, berfungsi dan -memiliki- cara

-untuk bertahan- hidup (Creswell, dalam Mardotillah: 2016).

Adapun mengenai teknik penelitian atau teknik pengumpulan data, akan

digunakan teknik pengamatan/observasi yang peneliti turun langsung ke lapangan

untuk mengamati dengan cara merekam/mencatat; wawancara dengan saling

berhadapan (face-to-face), dengan diskusi membentuk forum (focus group

discussion), atau melalui telepon/perangkat media sosial; dan

dokumentasi/kepustakaan, serta hasil audio-visual seperti gambar, foto dan video

(Creswell, 2010).

1.6.2. Satuan Analisis

Satuan analisis dalam penelitian ini adalah pengurus P3S Gagak Lumayung

(orang-individu), latihan pencak silat (kegiatan), dan organisasi P3S Gagak Lumayung.

1.6.3. Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian

1.6.3.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di Kabupaten Sumedang, tepatnya berada di lingkungan

Gedung Negara dan Gedung Sri Manganti (atau Museum Prabu Geusan Ulun) sebagai

tempat berkumpulnya para pengurus P3S Gagak Lumayung dalam ruang sekretariatnya.

Lokasi tersebut dipilih karena merupakan tempat berkumpulnya para informan, serta

sebagai tempat berjalannya kegiatan dan pusat informasi terkait P3S Gagak Lumayung.

1.6.3.2. Populasi dan sampel

17
Populasinya adalah anggota P3S Gagak Lumayung Sumedang. Populasi tersebut

dipilih untuk memberi batasan agar selaras dengan topik penelitian. Sampel dalam

penelitian ini adalah anggota P3S Gagak Lumayung Sumedang dengan kriteria sebagai

berikut: menjadi bagian dari P3S Gagak Lumayung, dan yang mempunyai pengetahuan

perihal P3S Gagak Lumayung. Sampel dengan kriteria tersebut dipilih karena dianggap

mewakili/merepresentasikan gambaran dari pada P3S Gagak Lumayung.

1.6.4. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Adapun sumber datanya, untuk data primer diperoleh dari hasil pengamatan

berupa catatan lapangan, dan wawancara dengan informan berupa rekaman dan

transkripnya, sementara data sekunder diperoleh dari arsip atau kepustakaan (Creswell,

2010). Hasil pengamatan yang didapat adalah berupa catatan jotting yang berisi gambaran

atau kata kunci pembicaraan dengan anggota P3S Gagak Lumayung, foto, dan gambar

yang diunduh dari media sosial.

1.6.5. Analisa Data

Data diuraikan/dianalisis dengan cara sebagai berikut (Creswell, 2010):

1. Gambaran rinci latar atau orang tertentu.

Dalam tahapan ini, yang digambarkan secara rinci adalah latar baik

tempat, pelaku, dan kegiatan.

2. Data mentah yang sudah dibaca kemudian di-coding.

3. Data di-coding dengan dibagi berdasarkan tema dan deskripsi.

Data yang didapat kemudian di-coding dan dibagi dengan cara

meletakkan files terkait ke dalam folder yang dibagi berdasarkan

waktu dan tema data.

18
4. Antar tema dan antar deskripsi kemudian dihubungkan.

5. Tema dan deskripsi yang sudah dihubungkan kemudian diinterpretasi.

Setelah menghubungkan tema dan deskripsi yang sudah dihubungkan,

kemudian ditafsirkan atau diinterpretasi dengan konsep seperti

integrasi, konsensus, dan wujud budaya, yang dijelaskan dalam bab

hasil dan pembahasan (bab 3 dan bab 4).

1.6.6. Kesahihan/Validitas Data Penelitian

Kesahihan data didapat dari proses pensahihan dengan cara triangulasi,

pemeriksaan anggota, dan dengan gambaran yang kaya dan tebal (rich and thick

description). Triangulasi dilakukan dengan memeriksa bukti dari sumber berbeda untuk

membangun justifikasi tema secara koheren. Pemeriksaan anggota, atau member

checking, dilakukan dengan membawa laporan yang sudah diolah ke hadapan partisipan

untuk diperiksa apakah laporan tersebut akurat. Adapun gambaran yang kaya dan tebal-

padat digunakan untuk menggambarkan latar penelitian dan membahas unsur dari

pengalaman partisipan (Creswell, 2010).

1.6.7. Adab/Etika Penelitian

Ada beberapa prinsip etika yang akan peneliti lakukan, di antaranya yaitu:

1. Selama pengumpulan data, peneliti menghormati partisipan dan tidak

membahayakan partisipan

2. Selama penguraian data, peneliti melindungi pribadi-privasi/anonimitas

informan dan menjaga data agar tidak jatuh ke tangan yang salah

3. Selama penulisan hasil penelitian, peneliti tidak mengeksploitasi

partisipan, menjaga hasil penelitian semurni-murninya tanpa perubahan

19
berupa penambahan atau pengurangan, dan tidak menggunakan istilah

yang rancu.

Penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan etika penelitian sebagaimana

dimaksud di atas.

20
1.6.8. Jadwal Penelitian

Tabel 1 Jadwal Penelitian

Aktivitas Rincian Aktivitas Bulan Kerja (6 bulan)


1 2 3 4 5 6
Persiapan Revisi usulan V
Perizinan V
Survey awal V
Pelaksanaan Pengamatan V V V V V
Pengumpulan data V V V V V
(catatan/transkrip)
Pembersihan data dengan V V V V V
matriks
Penguraian/analisis data V V V V V
Pelaporan Penulisan hasil penelitian V V V
Presentasi hasil penelitian V
(draft)
Revisi V V
Presentasi hasil penelitian V
(sidang akhir)

21
BAB II

KABUPATEN SUMEDANG DAN GAGAK LUMAYUNG: SUATU


GAMBARAN

Bab II ini melanjutkan bahasan tentang P3S Gagak Lumayung dari Bab I.

Pada Bab I, Gagak Lumayung sekadar dibahas pada bagian latar belakang dan

kerangka pemikiran. Bab II memberikan gambaran umum tentang Kabupaten

Sumedang sebagai tempat penelitian dengan penjelasan dalam hal geografi,

demografi, masyarakat, dan pemerintahannya, serta melanjutkan bahasan Gagak

Lumayung dalam hal ini perihal sejarahnya, tempatnya, perguruan pencak silat

yang bergabung di dalamnya, serta pola latihannya.

2.1. Kabupaten Sumedang

Bagian ini menjelaskan tentang gambaran Kabupaten Sumedang dalam

empat hal: geografi, demografi, masyarakat, dan pemerintahan. Pada bagian ini,

gambaran tentang Kabupaten Sumedang dijelaskan secara deskriptif atau tulisan

gambaran.

Bagian Geografi menjelaskan Kabupaten Sumedang secara lokasi

geografis, batas wilayah, dan luas wilayah administratifnya. Bagian Demografi

menjelaskan kependudukan Kabupaten Sumedang dalam hal jumlah penduduk,

pertumbuhan penduduk, perbandingan kelamin, dan kepadatan penduduk. Bagian

Masyarakat memberikan gambaran seputar masyarakat Kabupaten Sumedang

dalam hal pendidikan, agama, dan kesehatan. Bagian Pemerintahan menjelaskan

jumlah dari pada sistem pemerintahan seperti kecamatan, kelurahan, desa, rukun

22
warga dan rukun tetangga, serta jumlah anggota dari pada DPRD (Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah) Kabupaten Sumedang.

Gambar 1 Gedung Kantor Pemkab Sumedang

Sumber: jatinangorku.com

Perlu diketahui bahwasanya Kabupaten Sumedang dicanangkan sebagai

Puseur Budaya Sunda melalui Peraturan Bupati Tahun 2009. Di antara buah dari

peraturan ini adalah Kantor Pemkab Sumedang yang mengusung arsitek

bernuansa budaya kesundaan. Kebudayaan Sunda di Sumedang cukup beragam,

dari kesenian ada seni reak, koda ronggeng, jaipongan, nampon, dan lain

sebagainya. Sementara itu juga Kabupaten Sumedang terkenal dengan hasil bumi

dan olahan makanannya sepertii ubi cilembu dan tahu sumedang.

2.1.1 Geografi

Secara administratif letak geografis Kabupaten Sumedang terletak di

bagian timur Provinsi Jawa Barat dengan batas-batas wilayahnya:

➢ Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Garut.

➢ Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Majalengka.

23
➢ Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Kabupaten

Subang.

➢ Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Bandung.

Gambar 1 Peta Provinsi Jawa Barat dengan peta Kabupaten Sumedang

Sumber: jabarprov.go.id & BPS Kabupaten Sumedang

Batas administratif Kabupaten Sumedang tersebut terletak pada posisi 060

34’ 46,18” - 7° 00' 56,25" Lintang Selatan dan 1070 01’ 45,63” - 108° 12' 59,04"

Bujur Timur. Luas Wilayah Kabupaten Sumedang adalah 1.522,20 Km2, dimana

Kecamatan Buahdua yang paling luas wilayahnya sebesar 131,37 Km2 dan yang

paling kecil adalah Kecamatan Cisarua dengan luas 18,92 Km2.

Secara topografis, Kabupaten Sumedang termasuk dalam daerah yang

berbukit dan bergunung. Daerah-daerah di Sumedang didominasi oleh daerah

yang bergelombang sampai berbukit, lalu berbukit hingga bergunung. Daerah

berbukit dan bergunung ini membuat sebagian wilayah Sumedang memiliki iklim

yang sejuk.

24
2.1.2. Demografi

Penduduk Kabupaten Sumedang berdasarkan proyeksi penduduk tahun

2017 sebanyak 1.146.435 jiwa yang terdiri atas 570.808 jiwa penduduk laki-laki

dan 575.627 jiwa penduduk perempuan. Dibandingkan dengan proyeksi jumlah

penduduk tahun 2016, penduduk Kabupaten Sumedang mengalami pertumbuhan

sebesar 0,38 persen. Sementara itu besarnya angka rasio jenis kelamin penduduk

laki-laki terhadap penduduk perempuan tahun 2017 sebesar 99,16. Hal ini berarti

dapat dikatakan bahwa dalam 100 penduduk perempuan terdapat 99 penduduk

laki-laki. Dapat diartikan bahwa jumlah laki-laki dan perempuan pada penduduk

Kabupaten Sumedang perbandingannya hampir sama, menunjukkan adanya

perbedaan yang kecil.

Kepadatan penduduk di Kabupaten Sumedang tahun 2017 mencapai 753

jiwa/km2. Kepadatan Penduduk di 26 kecamatan cukup beragam dengan

kepadatan penduduk tertinggi terletak di Kecamatan Jatinangor dengan kepadatan

sebesar 4.348 jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan Jatigede sebesar 215

jiwa/km2. Kecamatan Jatinangor menjadi kecamatan dengan tingkat kepadatan

penduduk tertinggi, mengingat Jatinangor merupakan kawasan pendidikan yang di

dalamnya terdapat banyak universitas dan institut perguruan tinggi, dan terdapat

banyak pendatang yang berasal dari luar daerah untuk di antaranya urusan

pendidikan dan usaha bisnis.

2.1.3. Pemerintahan

Secara Administratif pada akhir tahun 2017 Kabupaten Sumedang terdiri

dari 26 Kecamatan, 270 desa dan 7 kelurahan. Jumlah Pemerintahan di Kabupaten

25
Sumedang berdasarkan satuan lingkungan setempat terdiri dari 7.365 Rukun

Tetangga dan 2.078 Rukun Warga.

Jumlah wakil rakyat yang duduk pada lembaga legislatif, yaitu Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebanyak 50 orang, dengan 41 orang laki-laki

dan 9 orang perempuan. Sebagian besar wakil rakyat pada lembaga ini memiliki

pendidikan tertinggi D4/S1.

2.1.4. Masyarakat

Gambaran umum tentang keadaan masyarakat di Kabupaten Sumedang

bisa dilihat dari tiga segi: segi pendidikan, segi agama, dan segi kesehatan. Dari

segi pendidikan, gambaran umumnya dapat dilihat berdasarkan jumlah sekolah

dari berbagai jenjang dan jumlah muridnya. Untuk segi kesehatan, dilihat

berdasarkan jumlah layanan/sarana kesehatan dan jumlah tenaga kesehatan.

Adapaun segi agama, dilihat berdasarkan banyaknya jumlah penganut.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang, banyaknya SD

tahun ajaran 2017/2018 sejumlah 599, tingkat SMP sejumlah 105 sekolah, SMA

sejumlah 24 sekolah, serta SMK sejumlah 81 sekolah. Pada tahun ajaran

2017/2018, jumlah murid SD sebanyak 103.783 orang, jumlah murid SMP

sebanyak 44.681 orang, jumlah murid SMA sebanyak 14.237 orang dan murid

SMK sebanyak 24.749 orang. Dapat dikatakan bahwasanya Kabupaten

Sumedang memiliki poternsi sumber daya manusia yang memadai untuk

memenuhi kebutuhan tenaga kerja karena perbandingan jumlah murid SMK yang

lebih tinggi dibanding jumlah murid SMA.

26
Berdasarkan data Kementerian Agama Kabupaten Sumedang pada tahun

ajaran 2017/2018 banyaknya MI sejumlah 60 sekolah, tingkat MTs sejumlah 72

sekolah, serta MA sejumlah 21 sekolah. Pada tahun ajaran 2017/2018, jumlah

murid MI sebanyak 8.956 orang dan jumlah murid MTs sebanyak 13.259 orang

dan murid MA sebanyak 2.985 orang.

Jumlah rumah sakit mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yakni

sebanyak 3 rumah sakit. Jumlah puskesmas yang tersebar di 26 kecamatan

sebanyak 35 puskesmas. Sedangkan untuk tenaga dokter spesialis sebanyak 52

orang, dokter umum sebanyak 73 orang, dan dokter gigi sebanyak 21 orang.

Sebagian besar penduduk di Kabupaten Sumedang memeluk

agama Islam, dimana pada tahun 2017 jumlah penganutnya mencapai 99,50

persen. Terbesar kedua yaitu pemeluk agama Kristen Protestan sekitar 0,34

persen. Mengingat Kabupaten Sumedang dicanangkan sebagai Puseur (Pusat)

Budaya Sunda, dan penduduk Kabupaten Sumedang kebanyakan berbudaya

Sunda, sementara itu budaya Sunda di Kabupaten Sumedang cukup erat kaitannya

dengan Islam, maka tak heran bila pemeluk agama Islam di Kabupaten Sumedang

sangat tinggi persentasenya, mencapai hampir 100% (99,50%).

2.2. P3S (Persatuan Perguruan Pencak Silat) Gagak Lumayung

Pada bagian ini memberikan gambaran tentang Gagak Lumayung dalam

berbagai hal, seperti: sejarah, tempat, perguruan pencak silat yang bergabung

dalam Gagak Lumayung, hingga pola latihannya. Sejarah Gagak Lumayung

dibahas mulai dari pemberian nama, sejarah organisasi, dan sejarah berdasarkan

27
hikayat. Kemudian, pada bagian tempat akan menjelaskan dua macam tempat,

yaitu tempat latihan dan tempat sekretariat.

2.2.1. Latar Belakang Berdirinya P3S Gagak Lumayung

Sejarah atau latar belakang berdirinya Gagak Lumayung dapat dibagi

menjadi dua, yaitu sejarah berdasarkan organisasi dan sejarah berdasarkan

hikayat. Dari sejarah tersebut, selain menjelaskan tentang peristiwa berdirinya

Gagak Lumayung, juga akan menjelaskan tentang alasan mengambil nama Gagak

Lumayung sebagai nama persatuan perguruan pencak silat.

Secara sejarah organisasi, P3S (Persatuan Perguruan Pencak Silat) Gagak

Lumayung berdiri atas prakarsa para jawara pencak silat yang turut serta dalam

mengamankan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Nama Gagak

Lumayung diambil dari nama alias atau nama lain dari Prabu Kian Santang, anak

dari Prabu Siliwangi, yang mana nama Siliwangi tersebut menjadi nama komando

daerah militer Jawa Barat yang turut serta juga mengamankan KAA 1955

tersebut. Oleh amanat guru besarnya, P3S Gagak Lumayung mendirikan

cabangnya di Kabupaten Sumedang pada 1985.

Sejarah secara hikayat menjelaskan perihal sosok Gagak Lumayung atau

Kian Santang yang nama tersebut ada dari masa ke masa, lintas waktu. Gagak

Lumayung merupakan nama alias dari Prabu Kian Santang, putra dari Prabu

Siliwangi yaitu seorang raja dari Kerajaan Sunda Pajajaran. Selain Gagak

Lumayung yang merupakan sosok putra Prabu Siliwangi, sebelumnya, ada juga

sosok Gagak Lumayung dari zaman Tarumanegara. Pada Zaman Tarumanegara,

dikisahkan sosok Gagak Lumayung yang mengalahkan pasukan Tang dari Cina,

28
maka ia mendapat julukan ‘Ki-an San Tang’, kurang lebih artinya ‘Yang

Menaklukkan Pasukan Tang’. Selain itu juga terkenal sosok Gagak Lumayung

yang mengalahkan pasukan jin Onom di Ciamis. Selain itu juga, ada sosok Gagak

Lumayung yang menjadi salah satu prajurit pengiring Mahkota Binokasih dari

Pajajaran ke Sumedang sebagai bentuk penyerahan kekuasaan.

Oleh karena sosok Gagak Lumayung merupakan sosok yang tangguh,

sosok jawara, dan terkait dengan sejarah organisasi yang didirikan atas prakarsa

para jawara pencak silat, maka nama Gagak Lumayung (kemudian menjadi P3S

(Persatuan Penggemar Pencak Silat) Gagak Lumayung) dipilih sebagai organisasi

pemersatu jawara dan perguruan pencak silat. Kemudian, wujud burung gagak

(mengambil dari Gagak Lumayung) dengan sayap mengepak membuka sembari

mencengkeram segitiga terbalik berisi golok dan trisula, dengan bintang di atas

burung gagak, dalam lingkaran kuning dikelilingi luaran hitam dipilih sebagai

logo Gagak Lumayung.

Gambar 1 Logo P3S Gagak Lumayung

Sumber: awanama

29
Dalam sejarahnya, Gagak Lumayung juga pernah memberikan

sumbangsih kepada Pemerintah Indonesia. Misalnya pada peristiwa Poso, Gagak

Lumayung turut serta atas permintaan pemerintah pusat, namun bukan diturunkan

sebagai jawara pendekarnya melainkan sebagai ulama. Juga pada peristiwa

kerusuhan Sampang-Madura, mereka hadir untuk membersihkan (sisa-sisa

kerusuhan). Pada peristiwa Pembebasan Irian Barat, mereka hadir secara rahasia,

disusupkan, karena mereka tidak dipersenjatai sebagaimana TNI-ABRI yang

beroperasi pada waktu itu.

2.2.2. Dinamika Keorganisasian

Gagak Lumayung Sumedang secara keorganisasian berbentuk DPC

(Dewan Pimpinan Cabang), yaitu dewan pimpinan yang berada di tingkat

kabupaten/kota, dan merupakan tingkatan dewan pimpinan terendah setelah DPD

(Dewan Pimpinan Daerah) setingkat provinsi dan DPP (Dewan Pimpinan Pusat)

setingkat nasional. Selain dewan pimpinan sebagai bentuk keorganisasian

hierarkis, Gagak Lumayung juga memiliki tiga dewan yaitu Dewan Kasepuhan,

Dewan Papakem, dan Dewan Pendekar sebagai pengawas dan penasehat Gagak

Lumayung. Selain tiga dewan tadi, ada juga Paku Payung (Pasukan Khusus

Prajurit Gagak Lumayung) sebagai penjaga keamanan khusus pada agenda besar

Gagak Lumayung seperti rapat luar biasa di tingkat pusat.

Namun dalam perjalanannya hingga saat ini, DPP Gagak Lumayung

sedang mengalami ketidakaktifan karena demisionerisasi atau anggotanya

mengalami demisioner. Ketidakaktifan DPP Gagak Lumayung menyebabkan

banyak DPD, DPC bahkan paguron di bawah Gagak Lumayung bergerak masing-

masing tanpa arahan yang begitu jelas, sehingga menanggapi hal ini DPC Gagak

30
Lumayung Kabupaten Sumedang berinisasi untuk membentuk Federasi Gagak

Lumayung Sumedang.

Dengan dibentuknya Federasi Gagak Lumayung Sumedang ini, artinya

Gagak Lumayung Sumedang berlepas diri dari bentuk DPC atau dari hierarki

keorganisasian Gagak Lumayung, dengan kata lain tidak menginduk ke pusat.

Federasi ini nantinya tidak hanya menggerakan Gagak Lumayung secara per

paguron saja, namun mereka punya visi untuk melestarikan budaya pencak silat

ini dengan misi di antaranya mengajukan pencak silat sebagai muatan lokal di

lembaga pendidikan.

2.2.3. Tempat

Tempat yang dimaksud adalah dua tempat, yaitu tempat sekretariat dan

tempat latihan. Tempat sekretariat adalah tempat pusatnya Gagak Lumayung di

Kabupaten Sumedang, sementara itu untuk tempat latihan bisa berada di pusat

untuk latihan bersama atau di masing-masing perguruan.

Gambar 1 Museum Prabu Geusan Ulun, pusat Gagak Lumayung di Kabupaten Sumedang

Sumber: Berkas Pribadi

31
2.2.3.1. Tempat Sekretariat

P3S Gagak Lumayung di Kabupaten Sumedang memiliki sekretariat DPC

(Dewan Pimpinan Cabang) di lingkungan Gedung Negara, tepatnya berada di

salah satu bagian dari gedung Museum Prabu Geusan Ulun. Ruang Sekretariat

P3S Gagak Lumayung juga menjadi ruang Markas Wirayudha, yaitu Prajurit

Karaton Sumedang Larang, yang juga menjadi anggota dari Gagak Lumayung.

Ruangan Markas Wirayudha ini kurang lebih memiliki dimensi panjang

sekitar 17 meter, lebar 5 meter, dan tinggi 7 meter. Lantai ruangan ini

menggunakan tehel batu alam berwarna kelabu. Di dalam ruangan ini terdapat

setidaknya tiga lemari yang berisi berkas dan aksesoris pakaian daerah, meja kerja

dengan komputer, dispenser dan beberapa alat makan minum, karpet, papan tulis,

dua rak senjata yang berisi tombak panjang, tombak pendek, dan juga payung.

Warna pada ruangan ini didominasi dengan warna putih pada tembok, warna hijau

pada karpet, kayu yang ada pada pintu, jendela, dan gagang tombak.

Gambar 1 Bagian dalam ruangan Markas Wirayudha yang menjadi Sekretariat Gagak

Lumayung

Sumber: Berkas Pribadi

32
Di dalam Markas Wirayudha ini juga terdapat pajangan Panji Wirayudha

di belakang meja komputer, dan poster visi misi dari Keraton Sumedang Larang,

YNWPS (Yayasan Nazhir Wakaf Pangeran Sumedang), dan Wirayudha yang

terlihat di sebelah kanan saat memasuki ruangan ini. Di atas papan tulis, terdapat

pajangan empat foto yaitu foto dari Sri Radya (Raja) Keraton Sumedang Larang,

dan dua putra kembarnya yang salah satunya menjadi Radya Anom (Pangeran)

dan menjadi Mahapatih, serta Panglima-Senopati Wirayudha.

Gambar 1 Poster Visi-Misi Keraton Sumedang Larang dan Wirayudha

dengan lukisan Prabu Siliwangi di tengahnya

Sumber: Berkas Pribadi

Gambar 1 Searah jarum jam: foto Sri Radya Keraton Sumedang Larang,
Mahapatih, Panglima-Senopati Wirayudha, Radya Anom

Sumber: Berkas Pribadi

33
2.2.3.2. Tempat Latihan

P3S Gagak Lumayung mengadakan latihan bersama untuk berbagai

perguruan di sekitar lingkungan Gedung Negara dan Alun-alun Kabupaten

Sumedang. Adapun untuk latihan yang diadakan masing-masing perguruan,

mengikuti dengan tempat asal perguruan tersebut. Sebagai contoh, di Cileles

terdapat perguruan Kancil Putih, dan Kancil Putih mengadakan latihan di halaman

rumah pelatihnya di desa Cileles. Contoh lainnya yaitu perguruan Pandika

Padjadjaran di Jatihurip yang mengadakan latihan di Aula Desa Jatihurip.

Gambar 1 Latihan malam hari di depan Gedung Negara, Sumedang

Sumber: Berkas Pribadi

34
Gambar 1 Paguron Pandika Padjadjaran mengadakan latihan di Aula Desa
Jatihurip

Sumber: Akun Facebook ‘Danoor Danoor’

2.2.4. Perguruan Pencak Silat Yang Bergabung

Beberapa perguruan pencak silat yang bergabung dalam P3S Gagak

Lumayung di Sumedang, di antaranya yang terdapat di berbagai kecamatan adalah

sebagai berikut:

1. Paguron Satya Cakra Buana di Wado

2. Paguron Gagak Pusaka di Wado

3. Paguron Cakra Buana Medal di Wado

4. Paguron Darma Kusumah di Ranggun Darmaraja

5. Paguron Dangiang Darma Putra di Darmaraja

6. Paguron Sunton Wijayakusumah di Situraja

7. Paguron Karya Nurmala di Darmaraja

8. Paguron Putra Setia Medal Buana di Sukajadi

9. Paguron Aura Alam di Cimalaka

35
10. Paguron Setia Garuda Cakra Buana di Wado

11. Paguron Gagak Arum di Cikoneng Kulon

12. Paguron Pandika Padjadjaran di Sumedang Utara

13. Paguron Gagak Lawung di Sumedang Utara

14. Paguron Dangiang Budi Wirahma Raksa Putra di Tanjungsari

15. Paguron Setia Kancana Putra di Sukasari

16. Paguron Satria Kujang Sakti di Cimanggung

17. Paguron Cahaya Lodaya di Pamulihan

Beberapa paguron di atas apabila diperhatikan dengan saksama banyak

yang berasal dari Wado dan Darmaraja. Menurut penuturan informan, Wado

adalah tempat asalnya jawara pencak silat, sehingga di sana lahir berbagai

perguruan. Saking terkenalnya jawara dari Wado, sampai mengundang pemuda

dari Garut dan Tasikmalaya untuk belajar di sana. Dan kini, dengan upaya secara

legal-administratif, Gagak Lumayung mengusulkan ke Kabupaten Sumedang agar

menjadikan Wado sebagai ‘Kampung Jawara’ dan menggiatkan kembali pencak

silat di sana.

Gambar 1 Bendera Perguruan Pencak Silat yang Tergabung dalam P3S Gagak Lumayung

Sumber: Berkas Pribadi

36
Daftar paguron lainnya yang berada di bawah naungan P3S Gagak

Lumayung Sumedang adalah: Paguron Dangiang Walet Putih, Paguron Aura

Alam, Paguron Berantan Setra, Tapak Mega, Sukma Parahyangan, Gandipa

Komara, Gagak Kawung, Dangiang Dharma Bhakti, Ibar Buana, Maung Bodas

Jagariksa, Kancil Putih. Di bendera perguruan pencak silat tersebut, terdapat

tulisan ‘Wadiya Balad Gagak Lumayung’, yang mana bisa dimaknai bahwa

perguruan pencak silat tersebut adalah di bawah naungan P3S Gagak Lumayung,

sekaligus membuktikan bahwa Gagak Lumayung adalah wadah bukan paguron.

2.2.5. Pola Latihan Dan Kegiatan

Latihan di P3S Gagak Lumayung berlangsung sendiri-sendiri, tergantung

paguron. Adapun untuk latihan bersama dengan beberapa paguron, dilaksanakan

kira-kira dua pekan sekali, lebih rincinya tiap pekan pertama dan pekan ketiga, di

tiap bulan. Latihan bersama dengan berbagai paguron diadakan di lingkungan

Gedung Negara. Saat bulan Ramadhan, Gagak Lumayung tidak mengadakan

latihan, akan tetapi dialihkan dengan kesenian ngampar kendang dan kegiatan

berbagi hidangan buka puasa.

Gagak Lumayung juga mengadakan latihan untuk Prajurit Wirayudha

Karaton Sumedang Larang tiap akhir pekan. Biasanya latihan untuk Wirayudha

berlangsung pada Sabtu malam Ahad dan juga saat Ahad pagi. Latihan umumnya

berlangsung selama dua jam, namun bisa lebih dari waktu yang ditentukan

tergantung dari pelatihnya.

Di Gagak Lumayung, selain mempelajari pencak silatnya yang lebih

mengarah pada olah raga, juga mempelajari tentang olah rasa, yaitu di antaranya

37
mempelajari tentang sejarah Gagak Lumayung. Belajar tentang sejarah Gagak

Lumayung di antaranya dengan cara duduk melingkar mendengarkan tutur kata

dari pelatih atau dari petinggi.

Selain mengadakan latihan, Gagak Lumayung juga mengadakan kegiatan

lainnya seperti mengadakan acara dan pasanggiri (perlombaan, pertandingan)

yang bertujuan agar pencak silat yang dibawa Gagak Lumayung tetap lestari.

Perihal upaya pelestarian, Gagak Lumayung memiliki falsafah atau amanah

tersendiri dalam hal pembelajaran pencak silat: Jika sudah tidak punya murid

(untuk diajarkan pencak silat), jadikan saudara kita murid. Jika saudara tidak mau

(menjadi murid), dan kita sudah berkeluarga, jadikan anak kita murid. Jika anak

tidak mau, jadikan pasangan (suami/istri) sebagai murid. Jika pasangan tidak mau,

maka diri sendiri yang menjadi murid, belajar sendiri.

2.2.6. Hubungan Gagak Lumayung Dengan Lembaga/Organisasi Lain

P3S Gagak Lumayung cukup erat kaitannya dengan pemerintah dan

pemerintahan. Dilihat dari sejarahnya, Gagak Lumayung sudah beberapa kali

memberikan sumbangsihnya untuk memenuhi permintaan dari pada Pemerintah

Pusat Republik Indonesia, walaupun pada akhirnya tidak begitu diakui dan

terkesan dilupakan begitu saja, sehingga Gagak Lumayung bergerak secara

independen tidak bergantung pada pemerintah, tidak seperti persatuan pencak silat

lainnya seperti IPSI dan PPSI. Artinya, antara Gagak Lumayung, IPSI dan PPSI

ada hubungan yang sama, yaitu sebagai wadah dari berbagai perguruan pencak

silat yang ada di Indonesia.

38
Hubungan antara Gagak Lumayung dengan IPSI dan atau PPSI mulai

terlihat dalam hal peraihan prestasi pencak silat. Karena Gagak Lumayung bukan

persatuan yang diresmikan oleh pemerintah sehingga tidak bisa membuat

perlombaan atau pasanggiri pencak silat berskala besar, maka paguron yang ada di

Gagak Lumayung ketika ingin mengikuti perlombaan pencak silat, mereka

memiliki cara tersendiri bagaimana agar bisa mengikuti perlombaan baik yang

diadakan IPSI maupun PPSI. Mengenai hal ini akan dijelaskan pada bab

berikutnya.

P3S Gagak Lumayung di Kabupaten Sumedang sangat erat kaitannya

dengan pemerintahan di Kabupaten Sumedang, terutama dalam lingkungan

Keraton Sumedang Larang. Anggota Gagak Lumayung terutama pengurusnya

dalam lingkungan Keraton Sumedang Larang tergabung dalam suatu badan

bernama Wirayudha, yaitu prajurit penjaga lingkungan Keraton Kasumedangan.

Wirayudha, selain sebagai prajurit penjaga Keraton, juga berperan sebagai yang

menaungi berbagai budaya khas Sunda, seperti Jaipong, Karinding, Reak, dan lain

sebagainya. Wirayudha yang di dalamnya terdapat anggota Gagak Lumayung,

mereka berperan cukup penting dalam lingkungan Keraton Sumedang Larang,

karena mereka selalu dilibatkan pada acara-acara besar yang diadakan Keraton

seperti Kirab Mahkuta, Kirab Panji, dan Pernikahan Keturunan Keraton.

2.2.7. P3S Gagak Lumayung Sebagai Wadah Pemersatu Perguruan Pencak

Silat

Gagak Lumayung bukan berdiri sendiri sebagai satu paguron, melainkan

sebagai wadah pemersatu perguruan pencak silat, sebagaimana tertulis dalam

anggarannya. Perguruan yang tergabung dalam Gagak Lumayung, dapat dilihat

39
dari nasab (silsilah perguruan pencak silat) dan sanadnya (silsilah jalur keilmuan).

Perguruan yang tergabung dalam Gagak Lumayung juga dapat dilihat dari simbol-

logo dan gerakan jurusnya. Setiap perguruan yang berada di bawah Gagak

Lumayung pasti memiliki logo Gagak Lumayung, yaitu logo bergambarkan

burung gagak yang sedang mengepakkan sayapnya dalam lingkaran kuning,

dengan tulisan nama ‘P3S Gagak Lumayung’ yang melingkar dan nama daerah

dalam pita di bawahnya. Adapun untuk gerakannya, walaupun tiap-tiap perguruan

pasti memiliki gerak jurus yang berbeda terutama pada seni ibingnya, akan tetapi

mereka punya jurus khas yang sama.

Artinya, perguruan yang bergabung dalam Gagak Lumayung disatukan

lewat simbol-logo dan gerak jurus.

2.3. Ringkasan

Bab II ini mengungkapkan gambaran secara umum tentang Kabupaten

Sumedang sebagai tempat penelitian dengan berbagai karakteristik geografis,

demografis, politik dan budayanya, serta Gagak Lumayung sebagai sasaran atau

objek penelitian dengan memperhatikan latar belakang berdirinya, keorganisasian,

dan berbagai paguron atau perguruan pencak silat yang menginduk padanya.

Gambaran lebih lanjut mengenai Gagak Lumayung secara wujud sosial dan wujud

budaya akan dibahas pada bab-bab berikutnya.

40
BAB III

WUJUD SOSIAL GAGAK LUMAYUNG

Bab III ini melanjutkan bahasan tentang Gagak Lumayung dari bab

sebelumnya, yaitu bab II yang membahas gambaran tentang Kabupaten Sumedang

dan Gagak Lumayung secara umum. Pada bab III secara khusus akan dipaparkan

hasil penelitian beserta pembahasannya mengenai wujud sosial Gagak Lumayung.

Gagak Lumayung sebagai suatu organisasi persatuan merupakan wujud sosialnya

itu sendiri. Wujud sosial Gagak Lumayung dapat berupa kegiatan latihan bersama

dan penampilan seni ibing sebagai wujud proses integrasi, serta musyawarah

sebagai penegasan wujud konsensus. Seiring perkembangan teknologi, Gagak

Lumayung pun tidak ketinggalan meramaikan jagat media sosial dengan membuat

grup. Wujud sosial Gagak Lumayung pun dapat berupa hubungan antara

organisasi dan lembaga terkait.

3.1. Latihan Bersama

Latihan bersama merupakan kegiatan di mana anggota Gagak Lumayung

dari berbagai paguron/perguruan bergabung untuk mengikuti latihan. ‘Tuan

rumah’ dari latihan bersama ini bisa dari paguron lain, atau langsung di bawah

Paku Payung (Prajurit Khusus Pasukan Gagak Lumayung), atau dari Wirayudha.

Pada latihan bersama yang diadakan dari Wirayudha pada tanggal 8 Februari

2020 malam hari di Gedung Negara atau lingkungan Karaton Sumedang Larang,

latihan bersama diadakan atas kerjasama antara Wirayudha dan Paku Payung.

Prosesi latihan bersama ini berlangsung selama kurang lebih dua jam, dari

pukul 20 hingga pukul 22. Peserta latihan mengenakan pakaian berupa kaus

41
(umumnya kaus berwarna hitam) dan celana pangsi hitam. Celana pangsi ini ada

dua ragam, yaitu celana yang seperti sarung dengan tambahan kain di bagian

depannya, atau seperti celana pada umumnya namun lebih longgar (untuk tujuan

kelonggaran-fleksibilitas). Sebelum latihan berlangsung, para peserta latihan

duduk melingkar-melonjong di Markas Wirayudha, sambil berbincang santai,

sembari meminum secangkir kopi atau menghisap batang rokok. Latihan dimulai

dengan menyusun barisan, membaca doa yang dipimpin oleh pelatih dari Paku

Payung, kemudian berlari mengitari area lapang jalan keluar-masuk Gedung

Negara sebanyak tiga kali, lalu pemanasan. Setelahnya, mengatur barisan lagi,

dan dilanjut dengan materi latihan berupa jurus. Setelah selesai latihan, dilanjut

dengan makan bersama di Markas Wirayudha.

Gambar 2 Prosesi Latihan Bersama

Sumber: Berkas Pribadi

Lebih lanjut mengenai tahapan dalam latihan ini, adalah sebagai berikut:

diawali dengan doa, lari, dan pemanasan. Setelah diawali dengan doa, lari, dan

pemanasan, kemudian barisan diatur untuk selanjutnya mempelajari jurus.

Mempelajari jurus ini diawali dengan diperagakan oleh pelatih kira-kira dua kali

42
gerakan, selanjutnya pelatih memberi arahan berupa hitungan untuk memberi

aba-aba pada peserta latihan. Setelah pelatih yang memberi arahan aba-aba,

selanjutnya yang memberikan arahan adalah para peserta latihan, dimulai dari

barisan yang paling depan, dari kanan, kemudian bergilir ke kiri, ke belakang,

dan seterusnya. Apabila dirasa lelah, ada waktu istirahat untuk sejenak duduk,

mengambil minum, saling berbincang, atau bahkan mencoba mengulang jurus

yang diajarkan. Setelah istirahat, apabila tidak dilanjut dengan pengajaran dari

pelatih, maka dilanjut dengan menguji jurus yang telah diajarkan, caranya yaitu

satu-satu peserta latihan dipanggil untuk memperagakan jurus di hadapan

pelatih. Atau, bagi yang sudah lebih lanjut mempelajari jurus, bisa dilanjut

dengan berlatih kawalan, yaitu latihan memperagakan jurus dengan saling

berhadapan dan bergantian dalam mempraktekkannya. Kemudian latihan ditutup

dengan doa dan berkumpul kembali ke Markas Wirayudha.

Gambar 3 Peragaan kawalan

Sumber: Berkas Pribadi

43
Jurus yang diajarkan adalah jurus kaedah. Jurus ini diajarkan dengan dasar

gerakan yang pertama berupa membentuk kuda-kuda kaki yang melebar ke

samping, dengan tangan yang pergelangannya saling bersilangan di depan dada.

Selanjutnya, setelah kuda-kuda, yaitu menggerakkan tangan ke depan dengan

jari yang merapat terpusat, sembari tangan yang satunya dihantamkan ke dada

oleh pinggiran tapak tangan pangkal jari kelingking. Gerakan ini juga disertai

langkah maju dan mundur yang berulang-ulang, masing-masing bisa sampai

lima atau delapan kali. Selain itu juga ditambah dengan nafas, yaitu tarik nafas

saat awal kuda-kuda, lalu mengeluarkan nafas saat memukul atau menggerakan

tangan ke dapan sembari menghantam dada. Tiap selesai peragaan jurus,

dilakukan tarik nafas sembari menaikkan ke atas tangan yang disatukan di depan

dada, lalu membuang nafas perlahan sembari menurunkan tangan.

Gambar 4 Berlatih jurus kaedah

Sumber: Berkas Pribadi

44
Dari prosesi latihan bersama ini dapat dikatakan bahwa latihan bersama

merupakan wujud integrasi sosial yang saling mengeratkan hubungan antar

anggota Gagak Lumayung, baik sebelum, saat, atau sesudah latihan. Pada sebelum

dan sesudah latihan, semua peserta berkumpul melingkar dalam Markas

Wirayudha untuk saling berbincang dan makan-makan. Terutama pada latihan

yang diampu oleh pelatih dari Paku Payung, bahkan belum tentu senior dari

paguron lain dapat melancarkan jurus yang diajarkan dengan baik. Maka dari sini

dapat berlanjut pada tolong menolong dengan belajar bersama, saling mengoreksi

gerakan jurus.

Gambar 5 Makan bersama setelah selesai latihan bersama

Sumber: Berkas Pribadi

3.2. Seni Ibing

Seni Ibing, yang selama ini dilihat sebagai wujud budaya berupa seni,

ternyata juga dapat dilihat sebagai wujud sosial integrasi, yang menyatukan

berbagai kelompok sosial dalam satu identitas. Berbagai perguruan Gagak

Lumayung, pesilat Gagak Lumayung, dan nayaga (pemain alat musik), bersatu

45
untuk menampilkan seni ibing. Walau ditampilkan dari perguruan dan gerakan

yang berbeda-beda, namun tetap mereka bersatu di bawah nama Gagak

Lumayung.

Gambar 6 Penampilan ibing rampak dari paguron Dangiang Budi Wirahma Raksa Putra

Sumber: Berkas Pribadi

Seni ibing dapat dimainkan oleh tiga orang atau lebih, dengan istilah

lainnya yaitu rampak. Adapun ibing yang dimainkan oleh satu orang, istilah

lainnya yaitu gonjing. Pada saat pertunjukan mulai, para nayaga yang terdiri dari

satu peniup tarompet, dua pemukul kendang, dan satu penabuh gong,

memainkan lagu ‘Sabilulungan’, mengiringi masuknya para pesilat yang akan

menampilkan ibing.

Gambar 7 Nayaga (pemain alat musik)

46
Sumber: Berkas Pribadi

Para pesilat memasuki tempat pertunjukan berupa lapangan atau panggung

dengan jalan perlahan membentuk satu atau dua barisan, adakalanya berjalan

dengan lutut dinaikkan hingga membentuk siku/90 derajat dan tangan

dikepalkan yang ditaruh di samping pinggang. Setelah memasuki tempat

pertunjukan, para pesilat memberi salam ke empat arah; ke arah penonton di

depan, ke arah samping (kiri-kanan), dan ke arah nayaga di belakang. Mereka

memberi salam dengan cara menyatukan kedua telapak tangan, atau menyatukan

telapak kanan kiri dengan kepalan tangan kanan, sembari menundukkan kepala

mengikuti tangan. Setelah salam pembuka, mereka mulai menampilkan gerakan,

mengikuti iringan tarompet, kendang, dan gong. Selesai tampil, mereka

melakukan salam sebagaimana saat pembukaan, dan kembali ke tempat dengan

jalana berbaris, diiringi lagu ‘Sabilulungan’ pula.

Seni ibing ini dipertunjukkan tidak hanya saat perlombaan, tetapi juga saat

musyawarah dan acara khitanan. Berbagai perguruan, di bawah nama Gagak

Lumayung, dengan nayaga dari berbeda perguruan, mereka tetap tampil. Tidak

hanya identitas Gagak Lumayung yang menyatukan mereka, akan tetapi secara

garis besar, mereka bersatu di bawah identitas sebagai orang Sunda; mereka

berbahasa Sunda dalam tutur kata bicaranya, mengenakan pangsi (pakaian hiram

khas Sunda), dan di tiap pembuka ibing senantiasa dimainkan lagu

‘Sabilulungan’, lagu tentang kepribadian orang Sunda yang selalu tolong-

menolong dan bekerja sama.

47
Gambar 8 Penampilan ibing gonjing oleh bapak Tang Sutarno, ketua paguron Medal
Waruganing Rasa

Sumber: Berkas Pribadi

Gambar 9 Peragaan ibing rampak di acara khitanan

Sumber: Berkas Pribadi

48
3.3. Musyawarah

Gagak Lumayung sebagai wujud sosial diwujudkan dengan musyawarah,

yang mana menjadi hierarki tertinggi dalam kehdupan berorganisasi untuk

mengambil suatu keputusan. Dalam sejarahnya, Gagak Lumayung terbentuk dari

hasil musyawarah para jawara dan pendekar se-Jawa Barat, di bawah pimpinan

Jaenal Abidin dari Kodam 3 Siliwangi, untuk mengamankan Konferensi Asia-

Afrika pada 1955.

Pada hari Ahad, 9 Februari 2020, bertepatan dengan agenda musyawarah

Gagak Lumayung Sumedang di gazebo lingkungan Karaton Sumedang Larang

(atau Museum Prabu Geusan Ulun), untuk menetapkan berdirinya Federasi

Gagak Lumayung Sumedang. Musyawarah ini dibuka oleh Dalil Nurjamil

selaku ketua pelaksana acara, dan dipimpin oleh Andi Lesmana selaku ketua

DPC P3S Gagak Lumayung Sumedang (kini Federasi P3S Gagak Lumayung

Sumedang). Kegiatan musyawarah ini dilakukan sebagai upaya lebih lanjut

terhadap pemberdayaan pesilat Gagak Lumayung, agar dapat lebih berprestasi

serta sebagai upaya melestarikan budaya pencak silat melalui jalur legal-

administratif.

Dalam musyawarah ini, hadir berbagai perguruan pencak silat dari

berbagai kecamatan di Sumedang, yang terbanyak adalah dari kecamatan Wado

dan Darmaraja. Di antara perguruan yang hadir adalah perguruan Medal

Waruganing Rasa, Putra Setia Medal Buana, Dangiang Budi Wirahma Raksa

Putra, Aura Alam, Gagak Pusaka, dan Setya Kancana Putra. Agenda

musyawarah dihadiri oleh ketua perguruan atau perwakilan, dan juga para pesilat

berusia kanak-kanak (sekitar usia Sekolah Dasar) yang menampilkan gerakan

49
seni ibing di waktu istirahat. Tidak ketinggalan juga nayaga (pemain alat musik)

sebagai pengiring dan pelengkap pertunjukan seni ibing.

Gambar 10 Suasana musyawarah Federasi P3S Gagak Lumayung Sumedang

Sumber: Berkas Pribadi

Musyawarah ini dilakukan sebagai bentuk perwujudan sosial konsensus,

yaitu upaya menyatukan kelompok sosial dalam satu kesepakatan bersama.

Musyawarah ini mengumpulkan berbagai perguruan yang bernaung di bawah

Gagak Lumayung di Kabupaten Sumedang, untuk mencapai mufakat atau

kesepakatan berdirinya Federasi Gagak Lumayung Sumedang, sebagai bentuk

kemandirian dan terlepas dari DPP (Dewan Pimpinan Pusat) yang lama tidak

aktif. Dari musyawarah ini, dirumuskan beberapa hal, yang intinya sebagai

berikut:

- Membentuk Dewan Guru Besar yang membawahi Dewan Papakem

(yang bertugas menyusun tetekon/aturan) dan Dewan Pembina (yang

bertugas dalam hal manajemen organisasi)

50
- Membangun audiensi dan koordinasi dengan lembaga pemerintahan

terkait: audiensi kepada Dinas Pendidikan dan DPRD Sumedang agar

memasukkan ibing ke dalam muatan lokal, serta koordinasi kepada

KONI agar Gagak Lumayung dapat ikut serta dalam perlombaan

terutama yang diselenggarakan oleh IPSI, untuk peraihan prestasi

- Mempertegas kedudukan IPSI dan PPSI sebagai mitra dari Gagak

Lumayung

3.4. Media Sosial

Rupa wujud sosial dari Gagak Lumayung dapat dilihat dari kehidupan

bermedia sosial, sebagai wujud sosial yang hadir dari perkembangan teknologi

informasi. Gagak Lumayung hadir di media sosial dalam wujud grup Facebook

dan WhatsApp. Namun bedanya antara grup Gagak Lumayung untuk platform

Facebook dan WhatsApp, grup di Facebook dapat dicari dan diakses bahkan oleh

khalayak umum yang bukan anggota Gagak Lumayung, dan dapat dimasuki oleh

anggota paguron manapun, selama masih di bawah Gagak Lumayung. Sementara

untuk grup WhatsApp, tidak mudah diakses karena harus melalui perekrutan atau

izin oleh admin grup tersebut.

51
Gambar 11 Tampilan awal grup Gagak Lumayung di Facebook versi mobile-lite

Sumber: Berkas Pribadi

Kegiatan yang biasanya dilakukan di grup (Facebook) adalah mengirim

kiriman (atau posts) yang isinya berupa saling bertukar salam dan sapa, bertanya

tentang kabar, saling unjuk paguron, dan lain-lain. Pada umumnya mereka

anggota Gagak Lumayung dapat dilihat dari pakaian pangsi (pakaian khas Sunda

berupa baju berlengan panjang dan berkancing, adakalanya hingga sedada)

berwarna hitam, atau pakaian hitam lainnya seperti kaos dan jaket, yang

menampilkan logo Gagak Lumayung. Adakalanya mengenakan iket (hiasan

kepala khas Sunda dari kain batik, motif atau kain polos) sebagai penguat

identitas kesundaan. Mereka pun adakalanya berbahasa Sunda, di samping

berbahasa Indonesia, mengingat kebanyakan anggota grup adalah berasal dari

suku bangsa Sunda.

52
Gambar 12 Tampilan kiriman (posts) oleh anggota grup Gagak Lumayung di Facebook

Sumber: Berkas Pribadi

3.5. Hubungan dengan Lembaga Lain Terkait

Gagak Lumayung Sumedang tidak dapat berdiri tanpa bantuan siapa-siapa,

dan oleh karenanya agar dapat berdiri serta diakui keberadaannya maka Gagak

Lumayung Sumedang menjalin hubungan dengan lembaga lain. Dalam bidang

kultural-kebudayaan, Gagak Lumayung Sumedang menjalin hubungan dengan

Karaton Sumedang Larang sebagai lembaga kebudayaan tertinggi di Sumedang,

serta Wirayudha yang menjadi lembaga keprajuritan di Karaton Sumedang

Larang. Adapun secara legal-administrasi terutama pada segi prestasi, Gagak

Lumayung Sumedang menjadi mitra dari IPSI dan PPSI. Tidak hanya itu, agar

semakin diakui, Gagak Lumayung Sumedang berencana mengadakan audiensi

53
dengan lembaga pemerintahan seperti Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang,

DPRD Kabupaten Sumedang, dan KONI Kabupaten Sumedang.

3.5.1. Hubungan antara Gagak Lumayung Sumedang dengan Karaton

Sumedang Larang

Karaton Sumedang Larang merupakan lembaga kebudayaan tertinggi di

Kabupaten Sumedang, karena merupakan warisan turun-temurun dari keluarga

Prabu, Pangeran, atau Sri Radya yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi

di Sumedang, sebelum akhirnya sistem kekuasaan di Indonesia berubah menjadi

republik yang pembagian wewenangnya berupa desentralisasi (oleh bupati sebagai

pemimpin kabupaten). Wujud fisik Karaton Sumedang Larang mungkin tidak

diketahui banyak orang, karena kini lingkungan Karaton tersebut berubah menjadi

museum dan area dinas-perkantoran. Namun, bukan berarti wujud fisiknya benar-

benar tidak ada, melainkan kini dijadikan Museum Prabu Geusan Ulun atau juga

biasa disebut Gedung Sri Manganti, yang berada di dekat Masjid Agung

Sumedang, dan berseberangan dengan Alun-alun Kabupaten Sumedang.

Hubungan antara Karaton Sumedang Larang dengan Gagak Lumayung

Sumedang adalah merupakan hubungan yang terjalin dari sejarah, dan juga berupa

hubungan hierarkis top-down (top oleh Karaton Sumedang Larang, down oleh

Gagak Lumayung Sumedang) atau hubungan patron-klien (patron oleh Karaton

Sumedang Larang, klien oleh Gagak Lumayung Sumedang). Dikatakan, pada

abad 16, bahwa Gagak Lumayung adalah salah satu nama dari prajurit yang

mengiringi perjalanan Mahkuta Binokasih dari Kerajaan Pajajaran ke Kerajaan

Sumedang Larang, sebagai tanda bahwa Kerajaan Pajajaran telah usai masa

kejayaannya, dan kekuasaan atas Kerajaan Pajajaran diserahkan kepada Kerajaan

54
Sumedang Larang. Sehingga kini pun Mahkuta Binokasih menjadi salah satu ikon

bagi Kabupaten Sumedang.

Gambar 13 Logo Karaton Sumedang Larang yang bersanding dengan logo Gagak
Lumayung dalam suatu acara

Sumber: Berkas Pribadi

Adapun secara top-down, sebagian dari para anggota Gagak Lumayung

Sumedang adalah menjadi anggota Wirayudha, yaitu satuan khusus dari Karaton

Sumedang Larang yang bertugas menjaga keamanan di sekitar lingkungan

Karaton Sumedang Larang, serta menjadi bagian dari garda terdepan dalam

melestarikan budaya Sunda dan budaya khas Sumedang. Anggota Gagak

Lumayung yang tergabung dengan Wirayudha secara otomatis akan saling bantu-

membantu apabila Karaton Sumedang Larang mengadakan acara seperti Kirab

Mahkuta, Kirab Panji, pernikahan keturunan keraton, dan acara-acara lainnya.

Keberadaan Gagak Lumayung di lingkungan Karaton Sumedang Larang ini pun

diakui dengan adanya panji milik Gagak Lumayung yang dibawa tiap acara Kirab.

55
Gambar 14 Terlihat panji Gagak Lumayung dalam acara Kirab Pusaka

Sumber: Akun Facebook ‘Asep Sulaiman Fadil Adiwinata’

3.5.2. Hubungan antara Gagak Lumayung Sumedang dengan Wirayudha

Sebagaimana dijelaskan pada bahasan sebelumnya, Wirayudha (juga

disebut dengan Prajurit Karaton Sumedang Larang) merupakan satuan dari

Karaton Sumedang Larang yang bertugas menjaga keamanan di lingkungan

Karaton Sumedang Larang, dan menjadi bagian dari garda terdepan dalam

melestarikan budaya Sunda dan budaya khas Sumedang. Secara hierarki

kelembagaan, Wirayudha berada langsung di bawah kuasa Karaton Sumedang

Larang. Sekretariat atau disebut Markas Wirayudha, berada di bagian samping

Museum Prabu Geusan Ulun, yang mana juga menjadi sekretariat bagi Gagak

Lumayung Sumedang. Selain Wirayudha, terdapat juga Wirapraja, yaitu satuan

56
yang berfungsi sama dengan Wirayudha namun dikhususkan untuk usia pelajar

sekolah menengah.

Gambar 15 Dari kiri ke kanan: Prajurit Wirayudha dalam sebuah acara, dan dua Prajurit
Wirayudha yang berfoto dengan pengung Karaton

Sumber: Akun Facebook ‘Pamuk Gagak Lumayung’

Hubungan antara Gagak Lumayung Sumedang dengan Wirayudha adalah

hubungan interaktif-asosiatif, di mana sebagian anggota Wirayudha adalah juga

anggota dari Gagak Lumayung Sumedang, dan sebagian dari anggota Gagak

Lumayung Sumedang adalah anggota Wirayudha. Dapat dikatakan bahwa antara

Gagak Lumayung Sumedang dan Wirayudha saling melengkapi satu sama lain. Di

satu sisi, Wirayudha memberikan fasilitas atau sarana untuk Gagak Lumayung

Sumedang berupa akses terhadap lingkungan Karaton Sumedang Larang, bahkan

markas Wirayudha dapat dipakai bersama sebagai sekretariat Gagak Lumayung

Sumedang. Sementara itu dari Gagak Lumayung Sumedang bersedia memberikan

bantuan berupa tenaga apabila dibutuhkan oleh Wirayudha, seperti bantuan tenaga

57
pelatih untuk melatih anggota Wirayudha. Bahkan, ketua dari Gagak Lumayung

Sumedang, juga merupakan pimpinan dari Senopati Wirayudha; satu orang yang

sama, yaitu Andi Lesmana. Namun demikian, walaupun antara Gagak Lumayung

Sumedang dan Wirayudha dipimpin oleh orang yang sama, sejauh ini belum ada

konflik kepentingan yang terjadi di antara keduanya. Justru yang ada, Gagak

Lumayung bersama-sama dengan Wirayudha memiliki tujuan yang sama, yaitu

untuk melestarikan budaya pencak silat, yang selanjutnya akan berhubungan

dengan lembaga pemerintahan terkait seperti Dinas Pendidikan dan DPRD.

Gambar 16 Prajurit Wirayudha mengenakan kaus Wirayudha dan mengenakan kemeja


Gagak Lumayung

Sumber: Akun Facebook ‘Pamuk Gagak Lumayung’

58
Gambar 17 Prajurit Wirayudha (berpakaian hitam, berlencana merah, dan mengenakan
iket) mengamankan kedatangan Ridwan Kamil saat Peresmian Alun-alun Sumedang

Sumber: Akun Facebook ‘Danoor Danoor’

3.5.3. Hubungan antara Gagak Lumayung Sumedang dengan IPSI, PPSI,

dan Lembaga Pemerintahan Terkait

Gagak Lumayung, IPSI, dan PPSI, pada dasarnya adalah sama: sebagai

suatu lembaga dengan fungsinya yaitu wadah pemersatu berbagai perguruan dan

aliran pencak silat yang ada di Indonesia. Namun, kenyataannya, yang diakui oleh

pemerintah adalah hanya IPSI dan PPSI, tidak untuk Gagak Lumayung. Hal ini

berdampak pada akses perguruan pencak silat untuk dapat mengikuti perlombaan,

pertandingan dan sejenisnya, di mana dalam hal ini hanya IPSI dan PPSI yang

memiliki kuasa untuk mengadakan lomba tersebut.

Oleh karena itu, Gagak Lumayung memiliki cara tersendiri agar tetap bisa

meraih prestasi dari perlombaan yang diselenggarakan oleh IPSI dan PPSI.

Apabila perlombaan diselenggarakan oleh IPSI, maka Gagak Lumayung harus

mengumpulkan sebanyak mungkin peserta dari paguron yang berada di

bawahnya, untuk diikutsertakan atas nama Gagak Lumayung, bukan atas nama

59
masing-masing paguron. Ini dikarenakan lomba yang diselenggarakan IPSI adalah

lomba yang sifatnya tarung, atau pertandingan-pertarungan, dimana perwakilan

dari masing-masing perguruan akan melawan perwakilan dari perguruan yang

lainnya. Sementara paguron di bawah Gagak Lumayung tidak memiliki basis

sebesar perguruan lainnya, maka agar memperbesar kemungkinan dalam

memperoleh juara, diikutkanlah anggota dari berbagai paguron untuk

diikutsertakan atas nama Gagak Lumayung.

Adapun apabila Gagak Lumayung hendak mengikuti perlombaan yang

diselenggarakan oleh PPSI, maka tidak perlu mengumpulkan peserta lomba dari

paguron di bawahnya untuk diikutsertakan atas nama Gagak Lumayung, karena

lomba yang diselenggarakan oleh PPSI adalah lomba yang bersifat pertunjukan;

yang dilombakan adalah gerak tari ibing, yang mana dalam hal ini masing-masing

paguron memiliki ciri khasnya tersendiri baik dari gerakan maupun irama,

sehingga tidak perlu mengatasnamakan Gagak Lumayung menjadi satu perguruan

tersendiri akan tetapi cukup masing-masing paguron saja. Dapat dikatakan bahwa

hubungan antara Gagak Lumayung dengan IPSI dan PPSI adalah hubungan

disosiatif-kompetitif, hubungan yang aktif dalam hal persaingan-perlombaan.

Tidak hanya kepada IPSI dan PPSI, Gagak Lumayung Sumedang bersama

dengan Wirayudha berencana untuk mengadakan audiensi dengan Dinas

Pendidikan Kabupaten Sumedang dan DPRD (Dewan Pimpinan Rakyat Daerah)

Kabupaten Sumedang. Melalui jalur audiensi ini, Gagak Lumayung Sumedang

meminta kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang agar memasukkan seni

ibing dan pencak silat sebagai muatan lokal. Adapun kepada DPRD Kabupaten

Sumedang, Gagak Lumayung Sumedang meminta agar diberikan sarana yang

60
layak berupa alat musik kendang dan lain-lain yang diperlukan oleh nayaga.

Audiensi ini bertujuan agar pemerintah memperhatikan kesenian setempat

sehingga bisa terus berjalan dan lestari. Dalam hal ini, antara Gagak Lumayung

Sumedang dan lembaga pemerintahan terjadi hubungan patron-klien (patron oleh

lembaga pemerintahan, klien oleh Gagak Lumayung Sumedang).

3.6. Ringkasan

Bab III ini membahas Wujud Sosial dari Gagak Lumayung Sumedang.

Wujud sosial dari Gagak Lumayung Sumedang dapat berupa proses integrasi

sosial, konsensus, dan hubungan-hubungan. Proses integrasi sosial diwujudkan

dengan latihan bersama, seni ibing, dan grup di media sosial. Adapun konsensus

diwujudkan dalam musyawarah, yang dalam hal ini menetapkan Gagak

Lumayung Sumedang sebagai sebuah federasi yang terlepas dari hierarki

organisasi Dewan Pengurus Gagak Lumayung. Hubungan-hubungan Gagak

Lumayung Sumedang, di antaranya: hubungan patron-klien (dengan Karaton

Sumedang Larang, dan dengan lembaga pemerintahan), hubungan asosiatif

(dengan Wirayudha), dan hubungan disosiatif (dengan IPSI-PPSI).

61
BAB IV

WUJUD BUDAYA GAGAK LUMAYUNG

Bab IV ini melanjutkan bahasan dari bab sebelumnya, di mana pada bab

III menjelaskan Gagak Lumayung Sumedang dari wujud sosialnya, maka pada

bab IV ini melengkapi dengan penjelasan mengenai wujud budaya dari Gagak

Lumayung Sumedang. Hasil penelitian dan pembahasan yang dijelaskan pada bab

IV ini secara garis besar menjelaskan wujud budaya yang dibagi menjadi tiga,

yaitu: wujud budaya gagasan, wujud budaya perilaku, dan wujud budaya benda,

yang mana masing-masing wujud budaya tersebut akan saling terkait dengan

unsur budaya, membentuk sistem kebudayaan yang terdapat pada Gagak

Lumayung Sumedang.

4.1. Wujud Budaya di Gagak Lumayung

Dalam suatu satuan kebudayaan, di dalamnya pasti terdapat wujud budaya.

Wujud budaya tersebut terbagi menjadi tiga. Tiga wujud budaya tersebut adalah:

wujud budaya gagasan, wujud budaya perilaku, dan wujud budaya benda. Wujud

budaya gagasan berada dalam ruang pemahaman atau pemikiran yang tidak

terlihat bentuknya, namun berperan penting sebagai dasar untuk mewujudkan

wujud budaya perilaku dan wujud budaya benda. Sementara itu, wujud budaya

perilaku berada dalam ruang kehidupan masyarakat yang dapat terlihat dan

dirasakan dalam bentuk tutur kata dan perbuatan. Adapun wujud budaya benda

berada dalam ruang kebendaan yang dapat dilihat, diraba, dan dirasakan.

Gagak Lumayung Sumedang sebagai suatu satuan budaya pasti memiliki

ketiga-tiganya wujud budaya tersebut. Sebagai wadah pemersatu pencak silat,

62
sudah pasti ada wujud budaya gagasan yang melandasi tiap tindakan, wujud

budaya perilaku yang terlihat, dan wujud budaya benda yang dibuat. Penjelasan

mengenai tiga wujud budaya yang terdapat di Gagak Lumayung Sumedang akan

dilengkapi dengan paparan unsur kebudayaan yang dapat dibagi-bagi ke dalam

wujud budaya tersebut.

4.1.1. Wujud Budaya Gagasan Gagak Lumayung

Wujud budaya gagasan merupakan wujud budaya pertama yang berperan

penting dalam membangun suatu sistem kebudayaan. Wujud budaya gagasan ini

tidak terlihat wujudnya secara fisik karena berada dalam alam pikiran manusia,

namun berperan penting sebagai landasan pembangun wujud budaya yang

lainnya. Dalam bahasan ini, wujud budaya gagasan selaras dengan beberapa unsur

budaya seperti agama, masyarakat dan pengetahuan.

Wujud budaya gagasan yang ada dalam Gagak Lumayung dapat dilihat

dari falsafah ‘salat, silah, silat’, yang mana mengutamakan hubungan kepada

Allah yang dilambangkan dengan salat, lalu hubungan kepada sesama manusia

yang dilambangkan dengan silah, lalu baru hubungan kepada diri sendiri

(melindungi diri) yang dilambangkan melalui silat. Dari sini dapat kita pahami

bahwa Gagak Lumayung memuat gagasan berupa pandangan agama Islam dalam

falsafahnya. Unsur budaya berupa agama Islam sarat dalam wujud budaya

gagasan ini, yaitu berupa habluminallah (hubungan kepada Allah) dan

habluminannas (hubungan kepada sesama manusia).

Selain itu juga Gagak Lumayung memiliki gagasan yang berasal dari nilai

budaya Sunda yaitu ‘silih asih, silih asah, silih asuh’ yang diwujudkan dalam

bentuk gotong royong. Wujud budaya gagasan ini merupakan petunjuk bagi unsur

63
budaya masyarakat agar dapat mewujudkan masyarakat yang sejahtera,

sebagaimana harapan banyak orang.

Selain itu juga, Gagak Lumayung pada dasarnya mengharapkan agar para

anggotanya memiliki niat yang bersih dan tidak menyalahgunakan ilmu pencak

silatnya, karena apabila ilmunya digunakan untuk pamer dan unjuk kekuatan yang

tidak benar maka nantinya akan menjadi malu dan mencoreng nama baik

perguruan. Artinya, pesilat Gagak Lumayung diminta untuk menjaga kehormatan

dirinya dengan tidak berbuat sembarangan. Menjaga kehormatan diri artinya

menjaga kehormatan perguruan. Wujud budaya gagasan ini selaras dengan unsur

budaya masyarakat, sebagai suatu kendali masyarakat atau kontrol sosial. Selain

itu juga, wujud budaya ini terkait dengan unsur budaya pengetahuan, sebagai

landasan agar ilmu yang telah dipelajari digunakan dengan sebaiknya dan tidak

disalahgunakan.

Wujud budaya gagasan lainnya yang dimiliki oleh Gagak Lumayung

Sumedang adalah tentang ilmu aliran pencak silat, terutama pada sejarah nasab

dan sanad ilmunya. Dikatakan, ilmu pencak silat yang ada di Gagak Lumayung ini

sanadnya sampai kepada Shahabat Ali bin Abi Thalib rahimahullah, melalui

perantara Gagak Lumayung atau lebih dikenal dengan Prabu Kian Santang,

kemudian diwariskan kepada keluarga kerajaan Sumedang Larang, dan berikutnya

membentuk aliran pencak silat Kasumedangan. Dalam aliran Kasumedangan,

terdapat beberapa penggolongan jurus, seperti: kaedah (jurus serangan pokok),

antikaedah (jurus menangkis serangan), kaedah dobel/rangkep (jurus serangan dua

kali). Wujud budaya gagasan ini terkait dengan unsur budaya pengetahuan, yang

melandasi pembentukan berbagai gerak jurus yang ada di Gagak Lumayung

64
Sumedang, meskipun Gagak Lumayung Sumedang tidak hanya berdasarkan aliran

Kasumedangan, namun juga bercampur dengan aliran lainnya seperti Cimande,

Cikalong, Sabandar, Kari, dan Madi.

4.1.2. Wujud Budaya Perilaku Gagak Lumayung

Wujud budaya perilaku merupakan wujud budaya yang terbentuk dari

hasil pergaulan antar manusia dalam suatu masyarakat yang kemudian

membentuk pola kebiasaan, dan diatur dengan nilai berdasarkan wujud budaya

nilai. Tidak seperti wujud budaya gagasan yang tidak terlihat, wujud budaya

perilaku dapat dilihat serta dirasakan dampaknya. Wujud budaya perilaku ini

selaras dengan unsur budaya seperti bahasa, pengetahuan, masyarakat, seni, dan

teknologi.

Wujud budaya perilaku Gagak Lumayung diwujudkan dalam bentuk jurus-

jurus yang didapat dari sanad keilmuan, yang ujungnya ada pada sosok guru

leluhur yaitu Gagak Lumayung atau Raden Kian Santang, dan dikatakan sanadnya

sampai pada Sahabat ‘Ali Radhiyallahu’anhu sebagai sosok yang mengajarkan

silat pada Kian Santang. Selain itu juga diwujudkan dalam bentuk pernafasan agar

dapat meningkatkan pertahanan pesilat. Wujud budaya perilaku ini merupakan

wujud dari falsafah ‘silat’, dan berkaitan dengan unsur pengetahuan di mana jurus

ini selain merupakan gagasan yang diwariskan, jurus juga merupakan perilaku

yang mencerminkan pengetahuan akan membela diri dengan menyerang dan atau

bertahan.

Wujud Perilaku dari anggota Gagak Lumayung juga dapat dilihat dari

Budaya Sunda dan falsafah Gagak Lumayung. Perilaku gotong royong saling

membantu antar sesama anggota Gagak Lumayung diambil dari ‘silih asih, silih

65
asah, silih asuh’. Sementara itu perilaku anggota Gagak Lumayung yang serupa

dengan gotong royong, yaitu menjalin hubungan silaturahim, diambil dari falsafah

‘silah’, yang mana terkait dengan unsur budaya masyarakat di mana masyarakat

Sunda terkenal akan gotong royongnya, hingga kemudian diabadikan dalam lagu

‘Sabilulungan’ yang menjadi semacam lagu wajib saat nayaga mengiring lagu

untuk pertunjukan seni ibing.

Para anggota Gagak Lumayung Sumedang yang juga merupakan anggota

dari Wirayudha ataupun yang bukan, atau anggota Gagak Lumayung Sumedang

yang memiliki keperluan dengan sesama anggota, biasanya berkumpul di dalam

Markas Wirayudha. Mereka berkumpul dengan duduk di atas karpet, dalam

keadaan melingkar, sembari berbincang, minum kopi, atau menghisap rokok.

Yang biasanya menjadi bahan pembicaraan jika bukan mengenai Gagak

Lumayung itu sendiri, adalah seputar berita terkini, atau kabar tentang pekerjaan,

atau kabar tentang sekolah dan seputar pendidikan, karena sebagian anggota

adalah berstatus pelajar atau mahasiswa.

Gambar 18 Para anggota Gagak Lumayung sedang ngariung/berkumpul dengan duduk


melingkar di Markas Wirayudha

Sumber: Berkas Pribadi

66
Para anggota yang kebanyakan bersukubangsa Sunda menyebut kegiatan

ini dengan ngariung. Adapun jika dilakukan sembari makan, maka kegiatan ini

disebut dengan botram. Wujud budaya perilaku ini terkait dengan unsur budaya

masyarakat, di mana dalam wujud budaya ini adalah memperlihatkan kehidupan

bermasyarakat khas suku Sunda, yang menjadi suku bangsa dari kebanyakan

anggota Gagak Lumayung Sumedang.

Dalam kehidupan sehari-hari, mereka para anggota Gagak Lumayung pada

umumnya berkomunikasi saling berbincang dengan menggunakan bahasa Sunda,

terkadang dengan bahasa Indonesia. Bahasa Sunda digunakan untuk sesama

anggota Gagak Lumayung, atau warga sekitar yang memang penutur bahasa

Sunda, dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari atau informal. Adapun bahasa

Indonesia digunakan apabila sedang berkomunikasi dengan orang yang bukan

penutur bahasa Sunda, dan pada forum resmi seperti pada musyawarah 9 Februari

2020, walaupun adakalanya bahasa Sunda tetap terselip dalam forum tersebut.

Wujud budaya perilaku berbahasa ini terkait dengan unsur budaya bahasa yang

menjadi perantara dalam perbincangan antar anggota Gagak Lumayung.

Seni pertunjukan ibing, selain menjadi wujud budaya perilaku yang terkait

dengan unsur budaya seni, juga terkait dengan unsur budaya masyarakat, di mana

siapapun nayaga yang memainkan alat musiknya, siapapun pesilat yang

memperagakan geraknya, siapapun pemirsa yang menyaksikannya, semuanya

bersatu dalam pertunjukan seni ibing. Seni ibing seakan-akan menyatukan

berbagai lapisan masyarakat, terutama bagi penikmat seni budaya Sunda, dan

67
yang tertarik dengan keragaman budaya Sunda serta budaya bela diri pada

umumnya. Seni ibing memiliki nilai hiburan tersendiri, di samping nilai seni

budayanya. Bagi anggota Gagak Lumayung, berbagai perguruan dengan beragam

gerak dan iramanya bahkan pada pakaian seragamnya, menjadi nilai unik

tersendiri, terutama pada nayaga yang dapat memainkan beragam lagu untuk

beragam perguruan yang masing-masing memiliki koreografi gerakan berbeda.

4.1.3. Wujud Budaya Benda Gagak Lumayung

Wujud budaya benda merupakan wujud budaya yang dihasilkan dari

berbagai perilaku manusia, suatu karya yang dapat dilihat, diraba, dan dirasakan.

Adakalanya wujud budaya benda tersebut hanya bisa dilihat tanpa bisa diraba atau

dirasa, misalnya wujud budaya benda yang berupa virtual. Wujud budaya benda

ini terkait dengan unsur budaya seni, teknologi, dan ekonomi.

Wujud budaya benda Gagak Lumayung dapat dilihat dari logo atau

lambang yang dikenakan pada tiap perguruan dan bendera. Setiap anggota Gagak

Lumayung memiliki logo Gagak Lumayung yang terpasang umumnya di bagian

dada sebelah kiri pada seragam silatnya, berdampingan dengan logo perguruan di

sebelah kanannya. Atau juga dapat dilihat dari kaos yang dikenakannya, yang

biasanya terdapat logo Gagak Lumayung baik besar maupun kecil. Adakalanya

logo Gagak Lumayung juga ditempel di jaket. Logo Gagak Lumayung pun dapat

dilihat pada benderanya. Hal ini juga dapat dilihat dari bendera perguruan di

Gagak Lumayung; mereka yang bergabung dalam Gagak Lumayung di

benderanya terdapat tulisan ‘Wadiya Balad Gagak Lumayung’. Ini termasuk

dalam unsur budaya seni yang mana logo Gagak Lumayung merupakan hasil dari

68
proses kreatif para penggagas yang kemudian menjadi identitas tersendiri bagi

Gagak Lumayung.

Dalam seni pertunjukan ibing, terdapat setidaknya dua unsur budaya

dalam wujud budaya bendanya, yaitu unsur budaya seni dan teknologi. Wujud

budaya benda yang terdapat dalam seni ibing adalah kreasi seragam para pesilat,

yang merupakan identitas dari masing-masing paguron, walau berbeda-beda

warna dan pola rupa namun tetap dipersatukan dengan keberadaan logo Gagak

Lumayung di bagian dadanya. Pada umumnya seragam pesilat Gagak Lumayung

berwarna hitam, namun dari berbagai perguruan ada yang menambahkan warna

seperti kuning dari perguruan Putra Setia Medal Buana, bahkan ada yang

seragamnya berwarna biru seperti perguruan Aura Alam.

Gambar 19 Seragam hitam yang dipakai oleh paguron Dangiang Budi Wirahma Raksa
Putra

Sumber: Berkas Pribadi

69
Gambar 20 Seragam biru yang dipakai oleh paguron Aura Alam

Sumber: Berkas Pribadi

Selain macam-macam seragam pesilat, wujud budaya benda lainnya

adalah alat musik yang dimainkan oleh nayaga, yang merupakan wujud budaya

benda dengan unsur budaya seni dan teknologi. Alat musik yang dimainkan oleh

nayaga adalah berupa kendang, gong, dan tarompet. Agar suara musik terdengar

lebih kencang, dipasang microphone di beberapa alat musik seperti pada tarompet.

Gambar 21 Nayaga di belakang pesilat dari paguron Putra Setia Medal Buana

Sumber: Berkas Pribadi

70
Untuk menunjang kebutuhan hidup, maka diperlukan upaya ekonomis di

antaranya dengan berdagang. Karaton Sumedang Larang memfasilitasi Gagak

Lumayung Sumedang dengan membangun toko cinderamata di lingkungan

Museum Prabu Geusan Ulun, tepatnya di depan Markas Wirayudha. Toko

cinderamata ini menjual berbagai cinderamata khas Sunda seperti iket, pangsi,

kaus, gantungan kunci, dan lain-lain. Di antara kaus yang dijual adalah kaus

dengan motif desain perguruan Gagak Lumayung. Tidak hanya menjual

cinderamata, toko ini juga menjual makanan khas Sunda seperti dodol dan aneka

keripik, minuman teh dalam botol, kopi, serta mie. Keberadaan toko ini

membantu perekonomian anggota Gagak Lumayung, yang sebagiannya berprofesi

sebagai wiraswasta, bahkan ada yang menjadi hanya pelatih sebagai mata

pencahariannya.

Gambar 22 Toko cinderamata di Museum Prabu Geusan Ulun

Sumber: Berkas Pribadi

4.2. Ringkasan

Bab IV ini membahas tentang wujud budaya dari Gagak Lumayung

Sumedang. Wujud budaya pada Gagak Lumayung Sumedang terbagi menjadi

71
tiga, yaitu wujud budaya gagasan, wujud budaya perilaku, dan wujud budaya

benda. Wujud budaya gagasan yang terdapat di Gagak Lumayung Sumedang

adalah falsadah ‘salat, silah, silat’, nilai budaya Sunda ‘silih asah, silih asih, silih

asuh’, ajaran menjaga niat dan kehormatan, serta aliran Kasumedangan. Wujud

budaya perilaku di Gagak Lumayung Sumedang meliputi ngariung dan botram,

jurus, budaya gotong royong, dan seni ibing. Adapun wujud budaya benda di

Gagak Lumayung Sumedang adalah logo Gagak Lumayung, bendera Gagak

Lumayung, seragam paguron, dan alat musik nayaga.

72
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Persatuan Penggemar Pencak Silat (P3S) Gagak Lumayung Sumedang

(selanjutnya disebut Gagak Lumayung Sumedang saja) merupakan wadah

pemersatu berbagai perguruan dan aliran pencak silat yang ada di kabupaten

Sumedang. Gagak Lumayung sebagai suatu persatuan dan wadah pemersatu

penggemar pencak silat terwujud karena peristiwa bersejarah pada tahun 1955, di

mana jawara dari berbagai penjuru Jawa Barat dikumpulkan oleh Kodam 3

Siliwangi untuk mengamankan Konferensi Asia Afrika. Dengan memperhatikan

falsafah ‘salat, silah, salat’ dan nilai budaya Sunda ‘silih asah, silih asih, silih

asuh’, Gagak Lumayung dapat mempersatukan berbagai perguruan yang berbeda-

beda alirannya.

Melalui bantuan Wirayudha, satuan keamanan dan ketahanan budaya dari

Karaton Sumedang Larang, Gagak Lumayung Sumedang dapat membentuk

wujud persatuan berupa ruang sekretariat yang juga merupakan Markas

Wirayudha, musyawarah yang menandakan dinamika keorganisasian Gagak

Lumayung Sumedang menjadi bentuk federasi (Federasi P3S Gagak Lumayung

Sumedang), serta cita-cita bersama yaitu melestarikan budaya Sunda yang di

antaranya adalah seni pencak silat dan seni ibing, yang kemudian diperjuangkan

agar dapat menjadi muatan lokal di sekolah dan diberdayakan para anggotanya.

73
5.2. Saran

Penelitian ini menggambarkan Gagak Lumayung Sumedang dari wujud

sosial dan budayanya, yang dari wujud-wujud tersebut dapat mempersatukan dan

menciptakan wujud persatuan yang dapat mempersatukan berbagai perguruan

pencak silat, di samping sejarah bagaimana Gagak Lumayung menjadi wadah

pemersatu berbagai pencak silat. Dalam penelitian ini agaknya kurang rinci

penjelasan tentang unsur budayanya, maka disarankan dalam penelitian

selanjutnya agar meneliti Gagak Lumayung Sumedang dengan melihat unsur

kebudayaan yang tujuh, supaya dapat melengkapi hasil dari penelitian ini.

Yang lebih menarik lagi dari Gagak Lumayung Sumedang adalah adanya

hubungan dengan Karaton Sumedang Larang dan Wirayudha, maka hubungan-

hubungan ini perlu dijadikan pertimbangan dalam bahan penelitian berikutnya.

Sementara itu juga, masing-masing Karaton Sumedang Larang dan Wirayudha

pun menarik untuk diteliti baik secara etnografi maupun kualitatif deskriptif.

Penelitian tentang Gagak Lumayung Sumedang, Karaton Sumedang Larang, dan

Wirayudha akan memperkaya khazanah pengetahuan tentang budaya lokal

Sumedang untuk kemudian diperkenalkan secara luas melalui jalur akademik.

74
Daftar Pustaka

CMS, S., Anwar, R. K., & Winoto, Y. (2018). Folklor Media Belajar Bahasa, Sastra, dan

Budaya. Semantik, 7(1), 1-12.

Creswell, J. W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ediyono, S. (2014). Makna Seni dalam Beladiri Pencak Silat. Etnografi Jurnal Penelitian

Budaya Etnik, XIV(2), 451-462.

Facal, G. (2016). Keyakinan & Kekuatan: Seni Bela Diri Silat Banten. Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor Indonesia.

Heryana, A. (2018). Falsafah Penca Cikalong dalam 'Gerak Seser'. Patanjala, 10(2), 315-

330.

Heryana, A. (2018). Pencak Silat Ameng Timbangan di Jawa Barat: Hubungan antara

Ajaran dan Gerak Ameng Timbangan. Patanjala, 10(1), 131-147.

Huraerah, A., & Purwanto. (2010). Dinamika Kelompok: Konsep dan Aplikasi. Bandung:

PT Refika Aditama.

Kartomi, M. (2011). Traditional and Modern Forms of Pencak Silat in Indonesia: The

Suku Mamak in Riau. Musicology Australia, 33(1), 47-68.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Koentjaraningrat, Budhisantoso, Danandjaya, J., Suparlan, P., Masinambow, E., &

Sofion, A. (2003). Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Penerbit Progres dan

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

75
Maryono, O. (2017). Pencak Silat Untuk Generasi Penerus. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Rahman, M. T. (2011). Glosari Teori Sosial. Bandung: Ibnu Sina Press.

Raspuzi, G., Setiawan, H., & Afandi, M. (2016). Penca: Pangkal, Alur, Dialektika.

Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

Rusyana, Y. (1996). Tuturan Tentang Pencak Silat dalam Tradisi Lisan Sunda. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Sandi, A. A. (2017). Pencak Silat Sebagai Sistem (Studi Kasus Pencak Silat Pangean).

Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JOM FISIP),

4(1), 1-12.

Setiawan, I. (2011). Eksistensi Seni Pencak Silat di Kabupaten Purwakarta. Patanjala,

3(3), 402-423.

Zein, D. M., & Mardotillah, M. (2017). Silat: Identitas Budaya, Pendidikan, Seni Bela

Diri. Jurnal Antropologi: Isu-isu Sosial Budaya, 18(2), 121-133.

76
Lampiran: Data Set

Topik Data Data Set Sumber Data Teknik

Pengumpulan

Data
Gambaran P3S 1. Sejarah P3S Gagak  Pengurus P3S  Wawancara

Gagak Lumayung Gagak semi-informal

Lumayung 2. Tempat Lumayung  Arsip

latihan/sekretariat  Anggota P3S - pustaka

3. Pola/struktur Gagak - dokumentasi


kepengurusan Lumayung

4. Pola latihan, ritual,  Arsip

dan kegiatan - pustaka


lainnya - dokumentasi
5. Hubungan P3S

Gagak Lumayung

dengan

badan/organisasi

lainnya

6. Aliran/perguruan

yang bergabung di

P3S Gagak

Lumayung

7. P3S Gagak

77
Lumayung sebagai

pemersatu beragam

aliran/perguruan

pencak silat

Aspek-aspek 1. Aspek mental- Pengurus P3S  Wawancara

Pencak Silat spiritual Gagak Lumayung semi-informal

pada P3S 2. Aspek bela diri  Pengamatan

Gagak 3. Aspek olah raga - terlibat

Lumayung 4. Aspek seni - tak terlibat

Atribut P3S 1. Lambang dan Pengurus dan  Wawancara

Gagak bendera anggota P3S semi-informal

Lumayung 2. Pakaian seragam Gagak Lumayung  Pengamatan

3. Senjata - terlibat

4. Alat pengiring - tak terlibat


(alat musik)
 Arsip
5. Kuda-kuda dan
- dokumentasi
jurus

78
Lampiran: Pedoman Pengamatan

Latar/Tempat:

- Kediaman informan (Cileles)

- Tempat latihan (Cileles)

- Sekretariat Gagak Lumayung

- Museum Prabu Geusan Ulun

- Gedung Negara

Kegiatan:

- Duduk, berkumpul, berbincang

- Latihan

- Peragaan

Pelaku:

- Pengurus Pencak Silat Gagak Lumayung

- Anggota Pencak Silat Gagak Lumayung

79
Lampiran: Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara dibuat dengan model tabel beserta contoh daftar pertanyaan

dan model daftar/list, mengikuti poin-poin yang terdapat pada tabel data set.

Topik Data Data Set Contoh Daftar

Pertanyaan Wawancara
Gambaran P3S  Sejarah P3S Gagak  Apa itu Gagak Lumayung?

Gagak Lumayung  Bagaimana sejarah Gagak

Lumayung  Tempat Lumayung sehingga dapat

latihan/Sekretariat berdiri sampai sekarang?

 Pola/struktur  Apa syarat menjadi

kepengurusan anggota Gagak Lumayung?

 Pola latihan, ritual dan  Apa syarat menjadi

kegiatan lainnya pengurus Gagak

 Hubungan P3S Gagak Lumayung?

Lumayung dengan  Apa saja bagian/posisi

badan/organisasi pengurus yang terdapat di

lainnya Gagak Lumayung?

 Aliran/perguruan yang  Siapa saja yang menjadi

bergabung di P3S pengurus Gagak

Gagak Lumayung Lumayung?

 P3S Gagak Lumayung  Kapan saja Gagak

sebagai pemersatu Lumayung mengadakan

80
beragam latihan?

aliran/perguruan  Di mana saja Gagak

pencak silat Lumayung mengadakan

latihan?

 Apa saja kegiatan Gagak

Lumayung dalam sekali

latihan?

 Apa kegiatan Gagak

Lumayung selain latihan?

 Aliran/perguruan apa saja

yang bergabung di Gagak

Lumayung?

 Bagaimana Gagak

Lumayung dapat

mempersatukan berbagai

perguruan/aliran pencak

silat?

 Apa saja

kesepakatan/konsensi yang

mempersatukan pencak

silat di bawah naungan

Gagak Lumayung?

 Apakah Gagak Lumayung

memiliki hubungan dengan

81
badan/organisasi lain?

 Apa peran Gagak

Lumayung dalam

hubungan antarorganisasi

tersebut?
Aspek-aspek  Aspek mental-spiritual  Di antara empat aspek

P3S Gagak  Aspek bela diri pencak silat tersebut, aspek

Lumayung  Aspek olah raga manakah yang menonjol di

 Aspek seni Gagak Lumayung?


Atribut P3S  Lambang dan bendera  Apa saja atribut yang

Gagak  Pakaian seragam dimiliki Gagak Lumayung?

Lumayung  Senjata  Apa makna dari lambang

 Alat pengiring (alat Gagak Lumayung?

musik)  Mengapa lambang tersebut

 Kuda-kuda dan jurus yang digunakan?

 Apa pakaian/seragam resmi

yang dikenakan anggota

Gagak Lumayung?

 Apa saja senjata yang

digunakan dalam Gagak

Lumayung?

 Mengapa menggunakan

senjata tersebut?

 Apa saja alat/instrumen

yang dipakai Gagak

82
Lumayung dalam bersilat?

 Apa saja kuda-kuda dan

jurus yang dimiliki Gagak

Lumayung?

 Mengapa kuda-kuda dan

jurus tersebut yang

digunakan?

I. Gambaran P3S Gagak Lumayung

I.1. Sejarah Gagak Lumayung

I.2. Tempat/sekretariat

I.3. Pola/struktur kepengurusan

I.4. Pola latihan

I.5. Hubungan dengan badan/organisasi lain

I.6. Aliran/perguruan di bawah naungan Gagak Lumayung

I.7. Cara Gagak Lumayung mempersatukan aliran/perguruan

II. Aspek-aspek P3S Gagak Lumayung

II.1. Mental-spiritual

II.2. Seni

II.3. Bela diri

II.4. Olah raga

83
III. Atribut P3S Gagak Lumayung

III.1. Lambang dan bendera

III.2. Pakaian seragam

III.3. Senjata

III.4. Alat pengiring

III.5. Kuda-kuda dan jurus

84

Anda mungkin juga menyukai