Anda di halaman 1dari 84

DAMPAK SOSIO-BUDAYA PERKEMBANGAN TEKNOLOGI

TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA 1976-2000: STUDI KASUS


YOGYAKARTA

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun Oleh :
Hendrik Ekarama Kanalebe
NIM: 024314026

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
DAMPAK SOSIO-BUDAYA PERKEMBANGAN TEKNOLOGI
TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA 1976-2000: STUDI KASUS
YOGYAKARTA

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun Oleh :
Hendrik Ekarama Kanalebe
NIM: 024314026

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010

i
ii
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:


• Papa dan Mama tercinta yang telah memberikan dukungan serta
menekankan kekurangan-kekuranganku dalam upaya menyelesaikan
skripsi ini.
• Adik perempuanku, Ika.
• Rekan kuliah di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma serta
teman-teman lain di Yogyakarta.

iv
Pernyataan Keaslian Karya

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka, sebagai layaknya karya-karya ilmiah.

Yogyakarta, 31 Oktober 2010


Penulis,

Hendrik Ekarama Kanalebe

v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Hendrik Ekarama Kanalebe
Nomor Mahasiswa : 02 4314026
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
DAMPAK SOSIO-BUDAYA PERKEMBANGAN TEKNOLOGI
TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA 1976-2000: STUDI KASUS
YOGYAKARTA
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta ijin ataupun memberikan royalti kepada saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 31 Oktober 2010

Yang menyatakan

Hendrik Ekarama Kanalebe

vi
KATA PENGANTAR

Akhirnya proses panjang itu selesai juga bersamaan dengan selesainya

penulisan skripsi ini. Meskipun dikejar-kejar oleh waktu dan hampir kehilangan

asa. Segala rasa ragu atau tidak mampu serta rasa bersalah bisa dilewati dan saat

untuk melangkah ke depan dengan keyakinan bisa ditempuh.

Dengan selesainya skripsi ini, maka sudah sepantasnya penulis

memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Sang pemilik hidup, yang telah

melimpahkan begitu banyak kasih dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tulisan ini. Tanpa dampingan Tuhan, penulis tak akan pernah

mampu mengarungi tahap yang kadang membuat penulis ingin menyerah di

tengah jalan. Tapi berkat-Nya yang telah menguatkan hati penulis untuk

senantiasa percaya bahwa garis akhir akan mampu ditempuh.

Penyelesaian skripsi ini melibatkan banyak pihak yang secara terus-

menerus bersedia membimbing, mengarahkan, mendukung dan memberikan

bantuan serta doa dengan tabah pada penulis. Untuk itu penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya dan tidak akan pernah melupakan bagaimana

dosen-dosen Fakultas Ilmu Sejarah bersabar dalam membimbing dan

mengarahkan di tengah banyak kesalahan penulis.

Kepada keluarga kecilku yang tercinta, Papa, Mama, dan Ika maaf kalau

telah mengkhawatirkan kalian selama ini dengan kuliah saya. Tanpa dukungan

dan doa kalian yang terpancar sewaktu memperhatikanku saya tidak akan sanggup

sampai ke titik ini.

vii
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk bapak

Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum., selaku Ketua Jurusan ilmu Sejarah yang terus

menerus memberikan dorongan kepada penulis serta atas banyak bantuan yang

diberikan dalam mencari solusi dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih

kepada bapak Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M. Hum., selaku dosen

pembimbing skripsi atas kesabaran dalam membimbing penulis menyelesaikan

skripsi tanpa dukungan serta tekanan dalam menyadari kekurangan demi berupaya

untuk menjadi lebih disiplin yang sangat diperlukan penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini. Kepada bapak Drs. Purwanto, M. A., selaku dosen pembimbing

akademik yang telah membantu dan mendukung penulis sejak pertama kuliah.

Terima kasih juga kepada seluruh staf pengajar pada Program Studi Ilmu

Sejarah Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan berbagai ilmu yang

mencerahkan penulis dalam setiap materi perkuliahan yaitu: Ibu Dra. Lucia

Juningsih, M. Hum., Dr. F. X. Baskara Tulus Wardaya., Dr. St. Sunardi, Drs.

Anton Haryono, M. Hum., Alm. Prof. Dr. P. J. Suwarno, Alm. G. Moedjanto dan

Drs. Manu Joyoatmojo yang telah meluangkan waktu untuk perhatian serta

berbagi cerita dalam mengerjakan tugas.

Kepada kawan-kawan seperjuangan Ilmu Sejarah angkatan 2002: Daniel

Dwi Nugroho “Lampard”, Sukarno “Puyol” (keduany teman dalam suka, derita,

dan cedera berolah-raga), Kwirinus Yosida Kurniawan “Ello”, Hananto, Ida, Vila,

Nana, Markus serta adik-adik angkatan Keke, Domi, Anggi, Hafda, Irene,

Yohana, Luperno, Anggoro dan Bondan “Bos”. penulis mengucapkan terima

kasih atas kebersamaan yang telah kita jalin selama ini.

viii
Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih

sekaligus permintaan maaf sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah

membantu dan memberikan dukungan yang tidak dapat tercantum namanya satu

persatu. Akhir kata penulis sepenuhnya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh

dari kesempurnaan untuk sebuah karya ilmiah. Untuk itu, penulis sangat

membutuhkan masukan, saran, dan kritik. Semoga karya ilmiah ini dapat berguna,

khususnya bagi orang lain.

Yogyakarta, 31 Oktober 2010

Hendrik Ekarama Kanalebe

ix
ABSTRAK

Hendrik Ekarama Kanalebe


UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA

Skripsi yang berjudul “Dampak Sosio-Budaya Perkembangan


Teknologi Telekomunikasi di Indonesia 1976-2000 : Studi Kasus
Yogyakarta” ini beranjak dari 3 Permasalahan. Pertama, bentuk perkembangan
perangkat teknologi telekomunikasi 1976-2000. Kedua, perubahan bentuk
komunikasi perorangan di Indonesia sampai dengan tahun 2000, studi kasus
Yogyakarta. Ketiga mode, gaya hidup serta bahasa yang muncul dan dipengaruhi
oleh perkembangan perangkat telekomunikasi sampai dengan tahun 2000. untuk
membahas masalah itu maka skripsi ini akan mendekati dengan teori modernisasi.
Penulisan mengenai salah satu unsur budaya yaitu ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya di bidang telekomunikasi merupakan masalah yang perlu
untuk lebih sering dituliskan. Perangkat telekomunikasi merupakan hasil dari
budaya luar yang diadopsi oleh Indonesia dari pemikiran ini bisa dinyatakan
terjadi kontak budaya dalam segi berkomunikasi perorangan. Hal ini tidak saja
berpengaruh pada tradisi tapi juga pada bahasa yang ada sehari-hari di Indonesia.
Sampai sekarang ini banyak bentuk budaya yang berubah atau bahkan muncul
budaya berbahasa yang baru sebagai pengaruh dari muncul dan berkembangnya
telekomunikasi di Indonesia.
Penulisan ini bertujuan mendiskripsi dan menganalisa perkembangan
telekomunikasi point to point (atau telekomunikasi yang ditujukan untuk
komunikasi perorangan) sampai dengan tahun 2000 dan bentuk perubahan dan
bentuk budaya baru yang dimunculkannya. Metode yang digunakan dalam
penulisan ini adalah deskriptif-analitis. Penulisan ini didasarkan pada sumber
berupa buku-buku dan artikel di internet.
Secara garis besar, tulisan ini ingin menyatakan bahwa perkembangan
telekomunikasi harus diteliti dampaknya pada budaya Jawa. Hilangnya tatap
muka serta menurunnya pengertian mengenai tata krama berkomunikasi pada
generasi muda tidak lepas dari pengaruh perkembangan telekomunikasi di
Indonesia. Dalam banyak hal perangkat telekomunikasi di Indonesia kalau
dikembangkan bisa memberikan banyak keuntungan tetapi dampaknya belum
tentu sepadan.

x
ABSTRACT

Hendrik Ekarama Kanalebe


UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA

This Thesis with the title “ The Socio-cultural Impact from the
Development of Telecommunications Technology in Indonesia 1976-2000:
Case Study Yogyakarta ” is derived from 3 causes. First, the form of the
telecommunications development in Indonesia 1976-2000. Second, the change in
the personal communications in the people of Indonesia until the year 2000, case
study in Yogyakarta. Third, fashion, lifestyle and language that changed and was
caused by the developing telecommunications up to the year 2000. To elaborate
these causes this thesis will approach with the modernization theory.
History of the developing technology, especially related to
telecommunications is an interesting and important topic to be written. The
telecommunications device are devices that came from an abroad culture that is
adopted in indonesia therefore it can be said there is a culture contact by adopting
this devices. The effect is on the personal communications that the people of
Indonesia. These effect does not only take place in the tradition but also in the
everyday language people use in Indonesia. Up until now the language and
tradition in Indonesia is changing as caused by the telecommunications
development in Indonesia.
This article is purposed to describe and analyze the development of point
to point telecommunications in Indonesia until the year 2000 and to find the
changes in culture or the culture that arrived from it. The method used in the
article is analytical-descriptive. This article is written based on many sources
which came from many kinds of books and internet articles.
Commonly, this article is eager to state that the telecommunications
development needs to be analyzed in context of what effects it has on the Javanese
culture. The changes in the traditions to face the communicating partner in
contact, the degradation of the Javanese ethical in speech tradition were a change
that was caused by telecommunications. In many aspects telecommunications will
give a lot of ease in communicating but the effects might be severe in the culture
aspects.

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................................... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI....................................................... vi

KATA PENGANTAR .................................................................................... vii

ABSTRAK ...................................................................................................... x

ABSTRACT .................................................................................................... xi

DAFTAR ISI ................................................................................................... xii

BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1


A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Batasan Masalah ............................................................................... 4
C. Rumusan Masalah ............................................................................. 9
D. Tujuan Penelitian .............................................................................. 9
E. Manfaat Penelitian ............................................................................ 10
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 10
G. Landasan Teori .................................................................................. 13
H. Metode Penelitian dan Penulisan ...................................................... 14
I. Sistematika Penulisan ....................................................................... 15

BAB II. SEJARAH PERKEMBANGAN TEKNOLOGI TELEKOMUNIKASI


1976-2000 ......................................................................................... 17
A. Definisi Telekomunikasi ................................................................... 20
B. Perkembangan Teknologi Telekomunikasi Dunia ............................ 22
C. Perkembangan Teknologi Telekomunikasi Indonesia 1970-2000 ..... 28

BAB III. BENTUK DAN PERKEMBANGAN KOMUNIKASI SERTA


PENGARUHNYA PADA BAHASA DAN GAYA HIDUP DI
INDONESIA 1976-2000 .............................................................. 36
A. Kebudayaan Jawa pada Umumnya .................................................. 37
B. Bentuk Komunikasi Masyarakat Yogyakarta .................................. 48

xii
C. Perubahan dalam Tata Berbahasa Jawa ........................................... 51

BAB IV. HUBUNGAN ANTARA PERKEMBANGAN DI BIDANG


TELEKOMUNIKASI DENGAN BUDAYA BERKOMUNIKASI
DI YOGYAKARTA 1976-2000 .................................................... 54
A. Sistem nilai yang berubah ................................................................. 57
B. Sistem kekerabatan yang berubah ..................................................... 60
C. Sistem bahasa yang berubah ............................................................. 61

BAB V. PENUTUP ......................................................................................... 66

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 68

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Komunikasi yang diartikan sebagai bagian dari proses pertukaran gagasan

antar manusia1 merupakan hal yang penting baik bagi kehidupan individu maupun

bagi masyarakat umat manusia. Proses tersebut terbatas pada ruang lingkup yang

kecil dimana indera manusia, pendengaran maupun penglihatan masih dapat

dimanfaatkan dengan baik dalam proses tersebut (komunikasi). Selalu ada dua

pihak yang terlibat dalam proses itu yaitu sumber gagasan yang menyampaikan

gagasan dan ada pihak yang menerima gagasan. Secara alamiah proses pertukaran

gagasan menggunakan indera manusia tersebut akan ideal jika semua gagasan

yang ingin diutarakan dapat disampaikan dengan lengkap.

Ketika jarak bertambah komunikasi antar kedua pihak tersebut diatas

semakin sulit dan pada akhirnya pada kondisi jarak tertentu tidak dimungkinkan

lagi proses pertukaran gagasan tersebut dilakukan. Manusiapun mulai berupaya

agar komunikasi ‘alamiah’ yang dijelaskan diatas tetap dapat dilakukan dengan

baik. Disaat inilah manusia mulai bersentuhan dengan teknologi telekomunikasi.

Dari teknologi telekomunikasi paling sederhana (telegram) yang menggunakan

media saluran kawat sampai dengan teknologi telekomunikasi modern yang

1
Berdasarkan definisi dari Berelson & Gary Steiner komunikasi adalah :
suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain
melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka,
dan lain-lain. Diambil dari buku karya Riswandi. Ilmu Komunikasi.
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm 2.

1
2

menggunakan media udara (telpon genggam) semuanya diarahkan agar

komunikasi ‘alamiah’ dapat dinikmati lagi. Dengan demikian sejarah

perkembangan teknologi telekomunikasi dengan segala kelebihan dan

kekurangannya tidak saja penting dari sisi tekniknya tetapi juga sangat penting

bagi kebudayaan manusia pada umumnya. Bagaimana interaksi diantara keduanya

kebudayaan dan telekomunikasi merupakan hal yang menarik untuk dicerna.

Ketika telegram mulai digunakan, manusia mulai belajar menyampaikan

gagasannya secara tertulis dan singkat dengan mendatangi kantor-kantor yang

menyediakan layanan telegram. Komunikasi antar pihak-pihak yang

membutuhkan tidak mudah. Ini tentunya mengubah pola kehidupan sosial

manusia. Namun proses pertukaran gagasan antar manusia sudah mengatasi

jauhnya jarak meskipun itu masih dalam bentuk tulisan belum dalam bentuk

suara.

Dalam sejarahnya, penyampaian gagasan lewat pesan singkat masih

‘belum punah’ sampai saat ini namun terus dikemas dalam bentuknya yang baru

SMS (Short Message Service). Bahkan Pemanfaatan SMS dalam dunia politik di

negara tetangga kita Pilipina pernah membawa dampak politik yang besar.

Pengiriman SMS yang trafiknya begitu tinggi di ibukota negara tsb, Manila saat

demonstrasi penggulingan presiden Estrada menyebabkan Manila pernah dijuluki

sebagai the city of SMS2. Pada saat itu, para demonstran di kota tersebut sangat

sulit melakukan penyampaian informasi kegiatan-kegiatan dan lokasi demonstrasi

2
Diolah dari laporan, Pinoy Internet: Philippines Case Study karya tim
ITU. 2002. Jenewa, Switzerland. Hlm 3. Dalam laporan ini dengan singkat
dibahas bahwa sms memiliki peran penting dalam peristiwa yang dikenal
dengan istilah “People Power II”.
3

melalui media-media cetak dan elektronik yang telah dikendalikan secara ketat

oleh pemerintahan yang berkuasa. Munculnya SMS sebagai teknologi baru yang

belum sempat dikendalikan dengan ketat memungkinkan para demonstran secara

effektif memanfaatkan teknologi ini saat itu untuk mengkoordinir pemusatan masa

di lokasi-lokasi tertentu untuk memulai kegiatan demonstrasi mereka. Itulah yang

menyebabkan trafik SMS di Manila memecahkan rekor saat itu sehingga wajar

dikenal sebagai the city of SMS.

Perkembangan teknologi telekomunikasi modern selanjutnya tidak lepas

dari tuntutan kebutuhan manusia. Dari bentuk tulisan ke berbagai bentuk lainnya

suara, gambar, video dan multimedia menjadikan interaksi antar teknologi itu dan

manusia bahkan antar manusia mengalami berbagai perubahan. Kasus Prita yang

dituntut berdasarkan pasal pencemaran nama baik di internet terhadap Omni

International Hospital misalnya tidak lepas dari interaksi manusia dengan

teknologi telekomunikasi tersebut.

Dari waktu ke waktu perkembangan teknologi komunikasi dan

interaksinya dengan budaya dan berbagai aspek kehidupan manusia (politik,

ekonomi) terus membawa banyak perubahan. Meskipun begitu perkembangan

teknologi tersebut di Indonesia ini terkesan masih belum sejauh di negara-negara

maju seperti di negara-negara barat. Kemudahan mengakses dan mengunduh

(download) dalam pertukaran gagasan, informasi dalam bentuk file atau arsip

yang tersimpan di manca negara cukup nyaman dan sangat berbeda dengan

kondisi di Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia bahkan mungkin masih belum

menikmati semua fasilitas telekomunikasi seperti daerah lainnya.


4

Sebagai sebuah Negara berkembang, Indonesia muncul dan tumbuh dalam

keadaan yang cukup sulit. Indonesia memulai bentuk kedaulatannya dengan

keadaan ekonomi yang kurang memadai. Lebih memberatkan lagi, Indonesia yang

baru merdeka itu diharuskan untuk menanggung biaya kerugian Belanda yang

cukup besar jumlahnya. Ricklef menyatakan besarnya sekitar 4 Milyar Gulden3,

dengan kondisi sekarang jumlah itu setara dengan 42 triliun Rupiah. Perlu juga

disadari bahwa perbandingan ini masih jauh dari tepat karena perekonomian

Negara saat itu tidak sebaik sekarang. Disamping itu banyak hal yang terjadi di

negara ini, seperti pergantian orde lama ke orde baru dan sekarang orde reformasi,

krisis ekonomi yang dua kali terjadi, serta peran dari tokoh-tokoh di bidang

teknologi telekomunikasi yang pro dan kontra atas berbagai gagasan atau

kebijakan perkembangan teknologi telekomunikasi sangat menentukan cepat dan

lambatnya kemajuan bidang teknologi telekomunikasi di negara ini.

Perkembangan teknologi telekomunikasi begitu cepat dan membawa

pengaruh pada budaya bangsa dan berbagai aspek lainnya karena itu perlu

diidentifikasi dan dirumuskan secara tepat apa yang bisa diangkat dalam tugas

akhir ini.

B. Batasan Masalah

Perkembangan teknologi telekomunikasi tidak luput dari semakin

murahnya perangkat tersebut sebagai akibat kebijakan politik dan ekonomi yang

menunjang di Indonesia. Awal di mana telekomunikasi diperhatikan adalah

3
Ricklefs, M. C., Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004 (Jakarta:
Serambi, 2005), hlm 466.
5

sewaktu peluncuran satelit Palapa. Meluncurkan sebuah satelit pada tahun 1976

adalah suatu hal yang luar biasa bagi negara yang belum lama merdeka seperti

Indonesia. Setelah peluncuran telekomunikasi mulai berkembang pada level yang

benar-benar berbeda. Hal ini ditandai dengan peningkatan dalam densitas jumlah

Satuan Sambungan Telepon (SST) dari tahun ke tahun.

Permasalahan mulai nampak begitu telepon ini menjadi dominan di

masyarakat. Dengan terjaringnya Indonesia melalui sambungan telepon maka

mulai muncul budaya berkomunikasi yang menekankan pada teknologi

telekomunikasi. Perumtel (Perusahaan Umum Telekomunikasi) merupakan

perusahaan negara yang dominan dalam penyediaan jasa telekomunikasi sejak

tahun 1974. Indosat baru mulai muncul pada tahun 1980 dengan menjadi penyedia

jasa telekomunikasi internasional. Pada tahun 1991 Pemerintah mengubah

Perumtel dari Perusahaan Umum menjadi Persero dan menjadi PT TELKOM, hal

ini didorong oleh UU telekomunikasi '89 yang mengubah bentuk ketergantungan

pendanaan jasa telekomunikasi pada Pemerintah kebentuk swasta4. Antara 1991

sampai dengan 1994 mulai muncul perusahaan-perusahaan yang bergerak di

bidang jasa penyediaan telekomunikasi5. Semua perkembangan ini dari satu

teknologi komunikasi yaitu telepon. Meskipun semuanya berupa perkembangan di

bidang perundangan telekomunikasi tetapi hal ini menunjukkan bahwa tuntutan

4
Perubahan Perumtel menjadi PT Telkom dilakukan dalam bentuk
Privatisasi dimana penyelenggaraan jasa telekomunikasi bisa dilakukan oleh
pihak lain selain pemerintah tetapi penyelenggaraan telekomunikasi tetap
dilakukan oleh Pemerintah. Hal ini tertulis pada UU No. 3 1989 tentang
telekomunikasi pasal 12 sampai dengan pasal 13.
5
http://www.postel.go.id
6

masyarakat untuk berkomunikasi melalui perangkat telekomunikasi ini sudah

cukup tinggi.

Muncul dan berkembangnya telepon genggam (HP) di Indonesia (1996)

memberikan pengaruh yang besar pada tuntutan serta perkembangan sosial di

Indonesia. HP memang terkesan lebih bergengsi pada masa awal munculnya. Hal

ini juga menandai corak perkembangannya di Indonesia. Alat telekomunikasi ini

dijadikan simbol bagi status ekonomi seseorang. Bahkan berdasarkan merk orang

sudah saling menilai kelas ekonomi seseorang. Hal ini jauh berbeda dengan masa

telepon dimana masyarakat menganggap teknologi ini sebagai ciri modern dari

bentuk kehidupan masyarakat.

Budaya yang muncul seputar teknologi telekomunikasi inilah yang

menjadi permasalahan sekarang. Meskipun belum melek teknologi komunikasi

orang-orang mengkonsumsi perangkat telekomunikasi untuk menunjukkan status

sosialnya. Hal ini juga didukung dengan berkembangnya persepsi masyarakat

yang serupa. Selain itu bahasa yang muncul dan berkembang seiring dengan

perkembangan teknologi perangkat telekomunikasi juga mulai menggeser bahasa

Indonesia baku.

Tanpa budaya yang mendukung perkembangan teknologi telekomunikasi

ini maka perkembangan itu akan menjadi suatu penghancur bagi masa depan

bangsa. Hal ini dapat terjadi ketika proses perkembangan tersebut dan

interaksinya terabaikan yaitu suatu kondisi dimana orang hanya berusaha

menikmati keunggulan teknologi tanpa memiliki sikap dan pemikiran untuk

membantu perkembangannya. Seandainya orang lebih mementingkan kepemilikan


7

telpon genggam sebagai peningkatan status sosialnya ketimbang fungsi telepon

genggam sebagai alat bantu untuk berkomunikasi jarak jauh maka teknologi

tersebut di Indonesia akan berkembang ke arah yang lain. Perbedaan miskin dan

kaya di negeri ini sudah menjadi isu yang lama dan akan diperparah dengan

perkembangan yang seperti ini.

Untuk melihat perubahan yang nyata dalam masyarakat maka perlu

diperhatikan tempat yang mempunyai sistem kebudayaan kuat sebagai titik awal

sebelum terjadi pergeseran dalam budaya. Dalam hal ini kota Yogyakarta

dijadikan tempat sebagai sampel dari penelitian ini. Masyarakat Jawa khususnya

Yogyakarta memiliki kebudayaan yang kental dan sifat yang menerima

perkembangan dengan terbuka. Dengan meneliti kota ini maka bisa dilihat

perubahan dari bentuk komunikasi tradisionil kebentuk komunikasi modern yang

bertumpu pada perkembangan teknologi perangkat telekomunikasi.

Mengacu pada pembahasan di atas tentang perkembangan teknologi

telekomunikasi dan interaksinya yang begitu luas dan kompleks maka yang akan

diidentifikasi sebagai masalah dalam skripsi ini adalah:

1. Bentuk perkembangan perangkat teknologi telekomunikasi sejak 1976-

2000.

Tahun 1976 merupakan momen yang penting dalam perkembangan

telekomunikasi Indonesia, pada tahun ini Satelit Palapa diluncurkan dan

memberikan kemampuan akses yang lebih banyak dan jangkauan jaringan yang

lebih jauh bagi perangkat telekomunnikasi.


8

Dalam penulisan ini akan dibahas perangkat telekomunikasi apa saja yang

muncul setelah Palapa diluncurkan dengan demikian bisa dipahami bahwa

peluncuran ini memiliki pengaruh yang besar pada perkembangan perangkat

telekomunikasi di Indonesia sampai dengan tahun 2000.

2. Perubahan bentuk komunikasi perorangan di Indonesia sampai

dengan tahun 2000, studi kasus Yogyakarta.

Perubahan bentuk komunikasi perorangan yang dimaksud adalah

komunikasi point to point atau komunikasi dua arah (timbal balik) antara dua

orang. Pengaruh telekomunikasi pada budaya akan bisa dilihat pada daerah yang

kental dengan tradisinya, dalam hal ini Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah

salah satu dari beberapa kota yang masih kental dengan tradisi Jawanya. Dalam

meneliti bentuk perubahan sosio-budaya yang terjadi ditetapkan tahun 1970

sebagai masa untuk mengamati bentuk budaya awal sebelum peluncuran satelit

Palapa. Dari sini kita mulai memperhatikan bagaimana komunikasi antar

perorangan di DIY sebagai sampel dari salah satu kota budaya di Indonesia mulai

berubah bentuk serta arah perkembangannya.

3. Ragam bahasa yang muncul dan dipengaruhi oleh perkembangan

perangkat telekomunikasi sampai dengan tahun 2000.

Di masa kini telekomunikasi telah menjadi suatu media untuk banyak hal.

Berbeda dari tujuan utamanya yaitu sebagai alat komunikasi jarak jauh, perangkat

telekomunikasi sudah mulai mengarah ke suatu bentuk untuk mencerminkan

identitas individu di masyarakatnya. Dalam penulisan ini akan diteliti indikator-

indikator yang menjadi titik tolak untuk perubahan seperti ini. Setidaknya pada
9

awalnya hanya sedikit dari unsur budaya yang dipengaruhi oleh perkembangan

telekomunikasi tapi ada beberapa faktor di masa perkembangan telekomunikasi

yang membantu perkembangannya sampai ke tahap yang sekarang ini. Dalam

menganalisa permasalahan ini akan dibahas tentang bagaimana perangkat

telekomunikasi muncul dan berkembang serta pengaruh yang diberikannya pada

bentuk komunikasi lokal.

C. Rumusan Masalah

Terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan rumusan masalah yang dapat

dikaitkan dengan skripsi ini, namun yang dijadikan rumusan utama adalah:

1. Sejauh dan sepesat apa perkembangan telekomunikasi di Indonesia

setelah satelit Palapa diluncurkan?

2. Bagaimana pengaruhnya pada teknologi komunikasi?

3. Bagaimana dampak sosial dari kemajuan teknologi komunikasi 1976-

2000 di Yogyakarta?

D. Tujuan Penelitan

1. Akademis

Penulisan ini bertujuan mendeskripsikan serta menganalisis tentang

perubahan-perubahan yang terjadi akibat perkembangan telekomunikasi di

Indonesia sebagai bentuk modernisasi budaya dalam komunikasi masyarakat Jawa

antara tahun 1976 hingga tahun 2000.


10

2. Praktis

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana kemajuan

ilmu pengetahuan dan tehnologi telekomunikasi telah membawa pengaruh yang

besar bagi budaya berkomunikasi dan gaya hidup masyarakat Jawa pada

umumnya dan masyarakat Jawa yang hidup di Yogyakarta pada khususnya.

E. Manfaat Penulisan

1. Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang sejarah

perkembangan teknologi telekomunikasi di Indonesia dan keterkaitannya dengan

perubahan budaya bangsa.

2. Praktis

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana S1 Ilmu Sejarah. Selain

itu, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan atau masukan bagi

peneliti lain dalam penelitian iptek telekomunikasi dan sejarah kebudayaan

bangsa Indonesia khususnya kebudayaan Jawa Tengah dan sejarah local

Yogyakarta.

F. Tinjauan Pustaka

Tulisan mengenai perkembangan telekomunikasi telah banyak diterbitkan

oleh sejumlah penerbit atau penulis. Buku-buku itu antara lain sebagai berikut:

Buku ”Informasi dan Komunikasi dalam percaturan International” karya Drs. F


11

Rachmadi6. Buku ini membahas tentang pengaruh dan peran teknologi informasi

dan komunikasi menyangkut aspek sosial ekonomi global. Di mana penulisan ini

menekankan pada pentingnya menguasai informasi dan komunikasi, sejarah

mengenai perkembangan perangkat tidak diulas secara menditel. Meskipun

menyatakan sedikit mengenai dampak dari perkembangan dunia telekomunikasi,

analisa dan fokusnya bukan kepada dampak dari perkembangan telekomunikasi

terhadap pluralitas budaya di Indonesia.

Buku ”Era Baru Bisnis Telekomunikasi dunia” karya DR. Dedi Supriadi7.

Buku ini membahas bagaimana besarnya peran telekomunikasi di dunia dan

bagaimana dunia telah sampai pada jaman informasi. dalam banyak hal buku ini

membahas bagaimana telekomunikasi mengambil peran yang penting untuk

menjadi sarana informasi. Buku ini membahas tentang pentingnya telekomunikasi

tapi tidak sepenuhnya membahas mengenai dampaknya terhadap budaya asli yang

ada.

Buku ”Understanding human communication” karya Ronald B. Adler dan

George Rodman8, buku ini memaparkan banyaknya perspektif dalam

mendefenisikan komunikasi antar manusia dan telekomunikasi. Meskipun

demikian pengaruh secara khusus untuk Indonesia belum diulas dalam buku tsb.

6
Rachmadi F, Informasi dan Komunikasi. Dalam Percaturan
Internasional (Bandung: Alumni, 1988).
7
Dedi Supriadi, Era Baru Bisnis Telekomunikasi, (Bandung: STT
Telkom dan PT. Rosda Jayaputra, 1996).
8
Adler, Ronald B. et al, Understanding Human Communication (New
York: Oxford University Press, 2006).
12

Buku ”Sejarah Pos dan Telekomunikasi di Indonesia” diterbitkan oleh

Direktur Jendral Pos dan Telekomunikasi9, buku ini berisi mengenai

perkembangan telekomunikasi sesuai dengan yang dialami oleh Direktur Jenderal

Pos dan Telekomunikasi (Dirjen PosTel) sewaktu masih dibawah Departemen

Perhubungan, sekarang Dirjen Postel berada di bawah Departemen Komunikasi

dan Informasi. Buku ini berisi data mengenai sejarah perkembangan

telekomunikasi di Indonesia dalam bentuk statistik. Ada empat Jilid buku dimana

setiap jilid menunjukkan masa waktu dari statistik dan sejarah perkembangan

telekomunikasi, sayangnya buku ini tidak dilanjutkan sampai masa sekarang. Jilid

terakhir, jilid IV hanya mengulas masa demokrasi terpimpin. Tidak ditemukan

jilid-jilid berikutnya yang mencatat sejarah telekomunikasi sampai sekarang.

Buku-buku di atas membahas mengenai pentingnya untuk memperhatikan

perkembangan telekomunikasi serta besarnya pengaruh bidang ini dalam dunia

yang sekarang. Meskipun buku-buku ini menekankan pada perkembangan tetapi

kronologi perkembangan telekomunikasi Indonesia belum di bahas secara

mendetail dan rinci. Kebanyakan mempertunjukkan perkembangan dari segi

meningkatnya user perangkat telekomunikasi. Dalam hal ini karya tulis ini hendak

memaparkan perkembangan perangkat secara kronologis untuk menemukan

bentuk perkembangan yang melatar belakanginya. Pemikiran yang ingin

dimajukan adalah dalam unsur-unsur budaya tertentu perkembangan

telekomunikasi akan ditunjang dan akan berkembang dengan pesat.

9
Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi, Sejarah Pos dan
Telekomunikasi di Indonesia Jilid IV: Masa Demokrasi Terpimpin (Jakarta:
Cahaya Makmur, 1989).
13

G. Landasan Teori

Skripsi ini akan membahas mengenai perkembangan telekomunikasi

sebagai suatu bentuk dari modernisasi budaya komunikasi. Telekomunikasi adalah

hasil dari kebudayaan. Budaya yang dimaksud dalam hal ini adalah budaya

komunikasi antar manusia. Telekomunikasi lahir dari kebutuhan berkomunikasi

antar manusia yang terbatas oleh jarak (tele)10.

Seiring dengan berkembangnya teknologi dalam bidang komunikasi ini

maka muncul dan berkembang perangkat telekomunikasi. Bentuk pertama dari

perangkat ini dikenal sebagai perangkat telegraph. Berdasarkan definisi Hovland,

Janis, & Kelley (1953)11 komunikasi adalah : proses dimana seseorang individu

(komunikator) mentransmisikan stimulus untuk mempengaruhi tindakan orang

lain. Dalam berkomunikasi individu tersebut akan terbentur dengan permasalahan

jarak, pada jarak yang jauh seseorang stimulus tidak akan dapat ditangkap oleh

indera individu yang menjadi lawan komunikasinya. Untuk itu manusia

menciptakan dan mengembangkan perangkat telekomunikasi.

Memasuki era globalisasi di mana seluruh negara di dunia berupaya untuk

bersatu dalam suatu “Global Village” perangkat telekomunikasi menjadi salah

satu tumpuan dalam upaya ini. Dengan ini upaya untuk memiliki atau

10
Secara harafiah tele berarti jarak, bisa berarti dekat ataupun jauh tetapi
tentunya ada bentang diantara kedua objek yang dianggap ber-tele itu. Dalam
dunia komunikasi pengertian tele sedikit lebih spesifik: jarak yang jauh.
Pengertian ini muncul karena perangkat telekomunikasi hanya lazim dipakai
kalau jarak yang ada di antara dua pemakainya cukup jauh sehingga tidak
memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dengan cara alami.
11
Riswandi, Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 1.
14

mengembangkan perangkat telekomunikasi yang canggih menjadi hal yang

penting khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Dengan perkembangan teknologi di bidang telekomunikasi yang pesat

maka warga Indonesia mampu melakukan komunikasi dengan sesamanya yang

berada di Nusantara yang sebelumnya tidak bisa dijangkau. Menimbang bahwa

Indonesia terdiri dari beragam etnis dengan budaya yang berbeda satu sama lain

maka dalam komunikasi individu yang terjadi tentunya ada pertukaran nilai-nilai

budaya yang terjadi sehingga ada perubahan dalam sistem budaya di etnis-etnis

Indonesia yang disebabkan oleh meningkatnya kemampuan berkomunikasi. Bila

meninjau ragam budaya Indonesia sebagai sebuah sistem12, maka sistem-sistem

budaya di Indonesia yang erat kaitannya dan bisa terpengaruh oleh meningkatnya

kemampuan berkomunikasi adalah sistem nilai dan sistem bahasa. Dalam

pemikiran ini sistem bahasa merupakan sistem yang memiliki kecenderungan

tertinggi untuk berubah sebagai dampak dari perkembangan telekomunikasi.

H. Metode Penelitian dan Penulisan

Metode yang ditempuh dalam penelitian tugas akhir ini adalah dengan:

1. Pemilihan Topik

2. Heuristik (pengumpulan sumber) : mengumpulkan sumber-sumber

yang ada mengenai telekomunikasi Indonesia dalam berbagai media tulis maupun

12
Sedyawati, Edi., KeIndonesiaan dalam Budaya Buku 2: Dialog
Budaya:Nasional dan Etnik Peranan Industri Budaya dan Media Massa
Warisan budaya dan Pelestarian Dinamis. (Jakarta Selatan: Wedatama Widya
Sastra. 2008). Hlm. 7-8. Mengenai sistem-sistem budaya di Indonesia
Sedyawati mengemukakan bahwa ada 4 yang menonjol yaitu sistem nilai,
bahasa, lingkungan alam, dan pengalaman sejarah (suku) bangsa.
15

media cetak yang relevan.

3. Kritik sumber : menguji otentitas dan kredibilitas sumber-sumber

untuk menyajikan data yang akurat dan terbukti kebenarannya.

4. Interpretasi data : menganalisa sumber dengan memperhatikan

perbedaan jaman demi menggambarkan kenyataan yang sebenarnya.

5. Historiografi atau penulisan skripsi : merupakan metode terakhir dalam

penelitian dalam hal ini disajikan data serta permasalahan yang menjadi fokus

penelitian dalam suatu bentuk yang komprehensif.

I. Sistematika Penulisan

Untuk menguraikan pembahasan dengan sistematis maka penulisan akan

dibagi menjadi lima bab sebagai berikut:

Bab I berisikan tentang latar belakang pentingnya teknologi

telekomunikasi, Identifikasi dan pembatasan masalah pada keterkaitan

perkembangan teknologi telekomunikasi dan budaya bangsa, perumusan masalah

kapan teknologi telekomunikasi mengubah badaya bangsa serta tujuan penelitian

ini dan manfaatnya.

Bab II berisi tentang sejarah perkembangan teknologi telekomunikasi

dunia serta bagaimana perbandingannya dengan sejarah telekomunikasi lokal pada

masa 1976-2000. Juga akan membahas mengenai proses adopsi teknologi

telekomunikasi tsb.
16

Bab III berisi tentang bentuk komunikasi lokal yang sudah ada di Jawa

khususnya Yogyakarta, sistem nilai serta bentuk bahasa lama yang menjadi media

komunikasi bangsa dan perkembangannya sampai tahun 2000.

Bab IV berisi analisis keterkaitan antara perubahan budaya bangsa dan

perkembangan teknologi telekomunikasi berdasarkan kajian indikator-indikator

yang diacu. Dalam hal ini akan diulas kapan itu terjadi, berapa lama proses

transisinya.

Bab V berisi kesimpulan dan saran-saran bagi peneliti lainnya apabila

ingin meneruskan studi tentang keterkaitan sejarah perkembangan teknologi

telekomunikasi dan budaya.


BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN TEKNOLOGI

TELEKOMUNIKASI 1976-2000

Baik sebagai mahluk individual manusia maupun sebagai mahluk sosial,

manusia membutuhkan komunikasi untuk dapat berinteraksi dengan sesamanya

didalam kehidupannya bermasyarakat. Data dari Adler & Rodman menunjukkan:

“...They found that the subjects spent an average of over 61 percent of


their waking hours engaged in some form of communication. Whatever
one’s occupation, the results of such a study would not be too different.
Most of us are surrounded by others, trying to understand them and
hoping that they understand us: family, friends, coworkers, teachers, and
strangers.”
13

“…Ditemukan bahwa subjek yang diteliti menggunakan rata-rata 61%


lebih dari waktu terjaga mereka untuk berhubungan dalam beberapa
bentuk komunikasi. Apapun pekerjaan seseorang, hasil studi-penelitian
tersebut tidak menunjukkan banyak perbedaan. Sebagian besar dari kita
dikelilingi oleh orang lain, kita berusaha memahami mereka dan berharap
bahwa mereka memahami kita: keluarga, teman, rekan kerja, guru, dan
orang asing”

Kebutuhan berkomunikasi manusia sangat tinggi, 61% dari waktu manusia

terjaga dipakai untuk berkomunikasi, tidak tergantung pada jenis pekerjaan.

Paling tidak ada empat jenis kebutuhan yang menjadi alas an manusia

berkomunikasi yaitu physical needs, identity needs, social needs dan practical

needs. Physical needs menyangkut kebutuhan fisik seperti kesehatan dan

kemanan, kebutuhan identitas menyangkut kebutuhan akan mengenal dan dikenal,

kebutuhan sosial menyangkut kebutuhan relasional antar sesama umat manusia

dan kebutuhan praktis menyangkut pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Semua

13
Adler, Ronald B., et al., op. cit., hlm. 9.

17
18

kebutuhan tersebut memerlukan cara-cara berkomunikasi yang pas didalam

penyampaian dan pemenuhannya.

Ada beberapa cara yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan

sesamanya. Cara-cara berkomunikasi tersebut dapat dilakukan secara lisan,

tertulis maupun dengan menggunakan gambar. Ketika jarak belum merupakan

hambatan cara penyampaian tersebut dapat disampaikan secara langsung antar

individu yang terlibat dalam komunikasi tersebut. Namun pada jarak yang jauh

ketika cara penyampaian tersebut sudah tidak memungkinkan sepenuhnya

memanfaatkan pancainderanya manusia secara langsung, manusia mulai

memikirkan cara-cara baru didalam berkomunikasi. Misalnya dengan

menggunakan simbol-simbol dan media tertentu dalam menyampaikan maksud

dan gagasannya. Beberapa bangsa telah menggunakan berbagai cara untuk

melakukan hal ini:

“...The Greeks, Persians, and Romans used smoke and fire signals for
transmission of predefined information about singular occurrences. For
his attack on Troy, Agamemnon erected a 500-km line of beacons in 1084
b.c. After 10 years without beingused, the news of the fall of Troy was
suddenly transmitted one night and then thebeacons became obsolete.
The Persian King Darius I (550–485 b.c.) had a firetelegraph network
throughout Persia, enabling him to obtain timely information about any
planned rebellion or attack from outside. In addition to using smoke-and-
fire signals, the Romans raised and lowered wooden beams on a platform
of special towers placed in a straight line of sight in various areas
throughout their empire, up to Hadrian’s Wall in northern England. In
the Middle Ages, smoke and fire signals were employed between
Crusader-built towns and forts in Palestine and Syria. In Spain by 1340,
the Castilian navy had adopted signal telegraphy. The Admiral of
Castile, D. Fabrique, made use of different- colored pennants to
communicate orders and coded messages to his ships warring against the
kingdom of Aragon. The North American Indians perfected smoke
signaling. Not only did they use a varying number of ‘‘pu¤s,’’ but by
19

throwing substances on a fire, they added information to a signal by


changing the colors of the smoke...”14
“…Orang-orang Yunani, Persia dan Romawi menggunakan asap dan api
untuk memancarkan informasi dari satu kejadian. Untuk penyerangan
pada Troy, Agamemnon mendirikan jaringan beacon sepanjang 500 Km
tahun 1084 S.M. Setelah 10 tahun tidak digunakan setelah kejatuhan
Troy pada suatu malam, beacon menjadi using dan tidak digunakan. Raja
Persia Darius I (550-485 S.M) memiliki jaringan telegrap-api (fire
telegraph) diseluruh Persian yang memungkinkan dia untuk
mendapatkan informasi yang tepat waktu tentang pemberontakan yang
sedang direncanakan atau serangan dari luar. Disamping penggunaan
asap dan api, orang-orang Romawi mengangkat dan menurunkan balok
kayu pada menara khusus untuk mengirim informasi keseluruh negri dan
bahkan dapat dilihat sampai ke Hadrian’s Wall di Inggris Utara. Pada
abad pertengahan pengiriman informasi dalam bentuk asap dan api masih
digunakan antara tentara di kota dan tentara di benteng disepanjang
Palestina dan Syria. Di Spanyol pada tahun 1340 angkatan laut Castilian
mengadopsi teknologi telegrap. Laksamana D. Fabrique memanfaatkan
panji-panji yang berbeda-beda untuk mengirimkan sandi-sandi tertentu
ke kapal-kapal perangnya untuk menyerang kerajaan Aragon. Orang-
orang Indian di Amerika Utara menyempurnakan teknologi asap dan api
tersebut dengan menambahkan zat-zat tertentu pada asap sehingga
menimbulkan aneka warna yang merepresentasikan aneka informasi.”

Merujuk pada kutipan di atas mengenai bentuk-bentuk komunikasi awal,

pada masa lalu juga dalam budaya lokal di Indonesia kentongan digunakan untuk

hal yang mirip. Bahkan sampai saat inipun kentongan masih dimanfaatkan di

beberapa rumah makan tradisional untuk menyampaikan bahwa kedatangan

pelayan sudah dinantikan.

Manusia telah terbiasa menterjemahkan maksudnya kedalam simbol-

simbol baik berupa bunyi maupun cahaya dalam ber-interaksi atau lebih tepatnya

dalam proses komunikasi antar sesamanya. Disinilah teknologi telekomunikasi

mulai berperan di dalam pemenuhan kebutuhan komunikasi manusia. Dalam sub

bab selanjutnya akan dibahas bagaimana beberapa aspek dari teknologi tersebut,

14
Ibid. hlm. 14.
20

bagaimana dan kapan ditemukan serta bagaimana sejarah perkembangannya dan

interaksinya dengan perkembangan budaya manusia.

A. Defenisi Telekomunikasi

Keterbiasaan manusia menggunakan simbol-simbol suara dan cahaya

untuk berkomunikasi jarak jauh memicu para ilmuwan untuk mulai menggunakan

berbagai metode untuk menyampaikan pesan-pesan lewat simbol-simbol yang

tidak saja menggunakan suara dan cahaya. Dimulai dengan menggunakan metode

semaphore sampai menggunakan besaran-besaran listrik untuk menyatakan

symbol-simbol tersebut dan untuk mengenalnya kembali, manusia berhasil

membuat perangkat telegraph yang paling kuno yang menggunakan lengan-lengan

mekanik yang besar hingga perangkat telpon genggam yang mungil tapi cerdas.

Itu pula yang menyebabkan terjadi definisi telekomunikasi juga beberapa kali

mengalami pemutakhiran.

Badan resmi dunia yang menangani aturan-aturan teknologi

telekomunikasi, ITU (International Telecommunication Union) beberapa kali

memutakhirkan defenisi terminologi telekomunikasi: “…ITU secara resmi

mengakui istilah telekomunikasi pada tahun 1932 dan mendefenisikannya

sebagai: setiap komunikasi isyarat tulisan, gambar dan suara menggunakan

perangkat telegrap atau telepon baik melalui kabel atau radio atau proses elektrik

lainnya atau isyarat visual (semaphore).”15 Sekarang ini ITU mendefenisikan

telekomunikasi sebagai: ” tiap transmisi atau penerimaan isyarat tulisan, gambar

15
Huurdeman, Anton A., The Worldwide History of
Telecommunications, (New Jersey: John Wiley & Sons, 2003), hlm. 5.
21

dan suara atau bentuk inteligensia lainnya menggunakan kabel, radio, media

visual, atau system elektromagnetik lainnya. Dalam hal ini transmisi dari bahasa

latinnya transmitter diartikan sebagai proses transfer atau transportasi.” 16

Masih ada lagi beberapa defenisi lain lagi tentang telekomunikasi namun

didalam banyak kepustakaan defenisi ITU paling lazim dijadikan acuan. Defenisi

ITU diatas mencoba memberi defenisi teknologi telekomunikasi dari aspek yang

kental dengan bidang sains dan teknologi, sehingga tidak mudah bagi ilmuwan

dari disiplin lain mengadopsinya. Namun dalam Tugas akhir ini, mengacu pada

defenisi ITU tersebut, terminologi telekomunikasi dipahami secara sederhana

sebagai teknologi yang mengeliminasi pengaruh jarak sehingga memungkinkan

manusia berkomunikasi.

Perihal definisi telekomunikasi di Indonesia mungkin sedikit berbeda

menimbang bentuk sosial yang berbeda. Indonesia berbeda pemikiran

dibandingkan dengan dasar pemikiran definisi di atas. Sifat kebersamaan di

Indonesia dan bentuk masyarakat dimana ada perbedaan antara orang-orang kecil

dan orang-orang berpengaruh dalam struktur sosialnya memisahkan bentuk

telekomunikasi yang dimiliki oleh masing-masing kelas.

Orang-orang berpengaruh dan dihormati memiliki pemikiran yang terbuka

dan bersifat penasaran terhadap perkembangan di luar Indonesia sedangkan orang-

orang kecil atau menengah ke bawah lebih memikirkan apa yang sudah ada

merupakan hal yang bisa mereka manfaatkan. Sehingga masyarakat bergantung

pada perkembangan yang ada pada orang-orang “besar” ini dan tidak memiliki

16
Ibid.
22

sifat untuk menuntut lebih dengan demikian masyarakat tidak semuanya akan

membuka mata untuk perkembangan teknologi telekomunikasi atau bahkan

teknologi apapun yang ada di luar pengetahuan orang-orang besar tersebut.

B. Perkembangan Teknologi Telekomunikasi Dunia

Untuk memahami perkembangan telekomunikasi maka tidak mungkin

kalau langsung masuk ke pembahasan di negara Indonesia, pengertian mengenai

latar belakang telekomunikasi dunia menjadi penting untuk memahami dasar dari

di kembangkannya alat ini. Perlu disadari bahwa perangkat-perangkat

telekomunikasi modern yang dipakai di Indonesia bukan ditemukan oleh bangsa

Indonesia melainkan hanya diadopsi dan dikembangkan pemakaiannya dalam

negeri. Menciptakan teknologi telekomunikasi yang baru membutuhkan kerja

keras penelitian dan dana yang tidak sedikit, namun memilih mana diantara

teknologi telekomunikasi yang cocok merupakan masalah yang lain.

Memilih teknologi telekomunikasi yang tepat untuk diterapkan di

Indonesia adalah tidak mudah, banyak masukan yang pro dan kontra yang perlu

dipertimbangkan dengan hati-hati. Suatu contoh yang yang signifikan dalam

sejarah telekomunikasi Indonesia adalah pemilihan teknologi SKSD (Sistem

Komunikasi Satelit Domestik), satelit Palapa. Pemberian nama Palapa mempunyai

keterkaitan erat dengan sumpah patih Gajah Mada yang tidak akan memakan buah

maja sebelum seluruh Nusantara berada dalam suatu kekuasaan, kerajaan

Majapahit. Setelah melewati perdebatan antara pro dan kontra yang cukup tajam,

akhirnya penandatangan kontrak perjanjian pembuatan satelit palapa


23

ditandatangani dengan Boeing (dulunya Hughes aircraft),17 sebuah perusahaan

Amerika pembuat Satelit pada bulan Juli 1975. Setahun kemudian Palapa berhasil

diselesaikan dengan baik dan diluncurkan pada Juli 1976 dan setelah melalui

beberapa proses percobaan dan pemantapan akhirnya secara resmi dioperasikan

pada tanggal 17 agustus 1976. Momen ini merupakan tonggak yang penting dalam

dunia telekomunikasi Indonesia dimana perangkat telekomunikasi tersebut

berhasil memugkinkan ketersambungan pembicaraan telepon dilakukan diseluruh

Indonesia dalam waktu yang relatip singkat. Sebelumnya untuk melakukan

pembicaraan telpon antar pulau sangat sulit. Untuk menjangkau seorang

transmigran di daerah Sulawesi dari Wonogiri misalnya harus dilakukan secara

berrantai. Penelpon dari Wonogiri perlu meminta bantuan beberapa sentral telpon

untuk mendapatkan sambungan pembicaaran telpon. Sentral telpon di Jogja perlu

meminta bantuan sentral telpon Surabaya selanjutnya Sentral telpon Ujung

Pandang (Makasar) sebelumnya si penelpon di Wonogiri dapat melakukan

percakapan. Hadirnya satelit Palapa membuat semua proses berrantai tersebut

berakhir, penelpon antar pulau cukup memutar kode area dan nomor telpon yang

dituju untuk melakukan percakapan. Perkembangan perangkat telekomunikasi dan

bagaimana pemakaiannya perlu dipaparkan agar dipahami bagaimana kaitannya

dengan pekembangan budaya setempat seperti pada peluncuran satelit Palapa pada

awal masa orde baru itu.

Dalam sub bab ini akan menunjukkan bahwa pada masa 1976 - 2000

teknologi telekomunikasi yang dijadikan perhatian dalam skripsi ini sudah

17
http://www.palapasat.com/history.php
24

ditemukan dan hadir serta benar-benar dimanfaatkan manusia untuk

berkomunikasi. Anton A Huurdeman dalam hal ini telah melakukan penelitian

untuk menjabarkan perkembangan teknologi telekomunikasi dalam kurun waktu

50 tahun (1950 – 2000)18.

Beberapa hal menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa sejarah

mencatat dari pertama kali digunakannya suatu teknologi telekomunikasi ke

terobosan teknologi telekomunikasi berikut pada masa yang lalu membutuhkan

waktu yang relatip lebih lama. Dari telegraf optik hasil temuan Claude Chappe

(1763–1805) yang menghubungkan Paris dan Lille pada 15 Agustus 1794 sampai

pada digunakannya telepone yang pertama pada tahun 1876 (menghubungkan

jarak sekitar 2 mil antara Boston dan Cambridge) hasil temuan Alexander Graham

Bell (1847-1922) dibutuhkan waktu sekitar satu abad.

Jadi boleh dikatakan teknologi telegraf terus berevolusi dan digunakan

dalam budaya manusia untuk berkomunkasi selama hampir 102 tahun. Baik

telegrap maupun telepon pada saat itu masih menggunakan kabel sebagai

penghubung jarak dari satu ke “lokasi yang jauh” berikutnya (point to point

communications). Dari terobosan ini ke terobosan teknologi telekomunikasi

berikutnya yang ditandai dengan pemanfaatan gelombang radio dimana udara

menjadinya media penghubung antar lokasi yang satu dan lokasi lainnya bukan

lagi kabel dibutuhkan waktu yang makin singkat yaitu sekitar 20 tahun.

Selain waktu yang makin singkat antara terobosan teknologi

telekomunikasi yang satu dan lainnya, terlihat juga bentuk-bentuk perangkat

18
Huurdeman, Anton A., Op. cit. Hlm. 601-2.
25

teknologi telekomunikasi yang hadir makin lama makin banyak jenisnya. Kalau

pada awalnya dari optical telegrap lahir 3 teknologi telekomunikasi berikutnya

(Electric Telegraph, Image Telegraph, Open wire dan copper cable) pada evolusi

dan terobosan berikutnya muncul hampir dua kali lebih banyak jenisnya. Dalam

skripsi ini tidak akan dibahas lebih rinci tentang hal ini karena yang menjadi fokus

adalah kehadiran dan pemanfaatan teknologi telekomunikasi antara tahun 1970 –

2000 dan secara spesifik menekankan pada teknologi telekomunikasi point to

point.

Berdasarkan dari kronologi telekomunikasi pada appendix dalam tulisan

Huurderman19, dimana secara rinci dituliskan kronologi telekomunikasi bisa

dijabarkan beberapa perkembangan dalam dunia perangkat telekomunikasi Point

to Point dunia yang berpengaruh besar sebagai berikut:

1. Telegraf

Dimulai dengan munculnya telegraf Optik pada tahun 1794 yang

ditemukan oleh Claudio Chappe. Dan hal inilah yang menjadi argumentasi dalam

telekomunikasi. Bila benar era telekomunikasi dimulai dengan telegraf maka

Chappe lah yang seharusnya menjadi tokoh utamanya. Tetapi permasalahannya

terletak pada popularitas telegraf, dalam hal ini telegraf elekronik milik Samuel F.

B. Morse lah yang lebih terkenal. Morse sendiri mulai masuk ke dunia

telekomunikasi pada tahun 1835. Penyampaian pesan jarak jauh Morse pun masih

dalam bentuk kode yang ditentukan oleh Morse sendiri. ‘Save Our Souls’ (SOS)

19
Ibid. Hlm. 601.
26

merupakan standar internasional untuk minta tolong dalam situasi darurat dan

memakai kode yang dibuat oleh Morse.

Meskipun sekarang sudah ada bentuk lain untuk menyatakan keadaan

darurat seperti ‘mayday’ tetapi SOS masih tetap diingat oleh kebanyakan orang.

Kembali ke masalah perangkat telegraf, meskipun telegraf cukup populer untuk

jangka waktu yang panjang tetapi tentunya ada masa beralihnya menuju teknologi

yang lebih baru. Kelemahan telegraf dalam perspektif telekomunikasi point to

point adalah pesan yang disampaikan tidak bisa menyampaikan perasaan secara

utuh dari lawan bicara. Hal inilah yang membuat telekomunikasi berkembang.

Semua perangkat telekomunikasi dikembangkan demi mencapai tujuan

penyampaian gagasan yang utuh dalam berkomunikasi. Dalam pemikiran ini

lebih benar kalau mengatakan bahwa Alexander Graham Bell adalah tokoh

telekomunikasi pertama dibandingkan Chappe ataupun Morse.

2. Telepon

Alexander Graham Bell adalah penemu telepon, ia mengajukan hak paten

untuk suatu perangkat yang dikatakannya sebagai hasil pengembangan dari

telegraf pada tahun 1876, hak paten yang dikemudian hari dianggap sebagai hak

paten perangkat telepon yang pertama di dunia. Bell bisa saja mengatakan bahwa

telepon adalah suatu pengembangan dari telegraf tetapi kalau ia menyadari

besarnya kapasitas teknologi telepon dibandingkan telegraf bisa saja ia

menyatakan perangkat yang ditemukannya sebagai hal baru dalam

telekomunikasi.
27

Dengan ditunjang oleh perkembangan perangkat radio dan

dimanfaatkannya satelit untuk mengembangkan telepon maka perangkat ini

menjadi awal dari penyatuan dunia melalui media perangkat telekomunikasi. Hal

ini tentunya melalui proses yang panjang, radio baru mulai eksis dan

memperkenalkan transmisi data melalui frekuensi pada tahun 1947. Hal ini

ditandai dengan dibentuknya International Frequency Registration Board yang

mengatur alokasi frekuensi radio pertama. Dengan dikembangkannya radio maka

frekuensi mulai dipakai untuk mengembangkan jaringan telepon dan menjadi titik

tolak untuk mengembangkan teknologi telekomunikasi nirkabel.

Satelit juga menjadi penunjang bagi baik berdampingan atau secara

langsung dengan radio bagi telepon. Singkatnya sejarah telepon dibuat dengan

pengembangan penguat signal. Tentunya kabel adalah media pertama bagi

telepon, kabel berkembang dari kabel tembaga pada tahun sampai ke titik dimana

ditemukannya serat optik yang mulai digunakan di Jerman pada tahun 1973.

Kalau digunakan untuk tujuan koneksi nasional maka jaringan serat optik saja

sudah cukup memadai, tetapi kalau dalam hal koneksi internasional maka dari

segi infrastruktur akan sangat rumit. Dalam hal inilah mulai dipakainya satelit

pada tahun 1965 menjadi media penunjang telepon yang sangat berguna.

Dengan menggunakan satelit maka setiap daerah diluar jangkauan serat

optik memiliki uplink ke satelit yang menjadi media pemancar ke downlink di titik

yang lain. Di tempat downlink signal komunikasi ini di salurkan ke operator dan

kemudian dimasukkan ke jalur serat optik dari koneksi yang ingin dituju. Dengan
28

demikian menjaring setiap daerah di dunia ini dalam perangkat telekomunikasi

darat menjadi hal yang mudah.

Inilah sejarah singkat perangkat telekomunikasi dunia. Perkembangan

telekomunikasi di Indonesia tentunya akan sangat berbeda karena dalam hal

telekomunikasi Indonesia hanya mengadopsi perangkat yang sudah ditemukan

oleh dunia. Dalam sejarah kita memang ada ‘kentongan’ dan berbagai jenisnya di

nusantara mengingat bahwa kentongan hanya untuk di beberapa daerah di

nusantara, dan daerah lain masih ada yang memakai ‘gong’ dsb. Tetapi intinya

alat-alat komunikasi ini hanya menjadi indikator untuk mengumpulkan warga

daerahnya ke tempat tertentu untuk ber komunikasi secara langsung dan bersifat

point to multi-point karena tujuannya adalah agar satu orang bisa berkomunikasi

dengan banyak orang.

C. Perkembangan Teknologi Telekomunikasi Indonesia 1970-2000

Pemikiran bahwa Indonesia hanya mengadopsi perangkat telekomunikasi

point to point dari perangkat yang sudah ada di dunia ditunjang oleh sejarah

negara kita di bidang telekomunikasi. Indonesia baru mengenal sistem

telekomunikasi point to point dari Belanda. Hal ini ditandai dengan tercatatnya

adanya perusahaan swasta yang menyediakan jasa pos dan telegraf swasta pada

tahun 1882 di Indonesia. Suatu perusahaan swasta yang kemudian akan diambil

alih oleh Indonesia dan kemudian melalui proses yang panjang menjadi PT.

Telkom.
29

Perkembangan telekomunikasi Indonesia perlu diamati dalam dua masa,

masa sebelum diluncurkannya satelit Palapa dan masa setelah diluncurkannya

Satelit. Telekomunikasi sebelum Satelit dipenuhi dengan permasalahan

jangkauan. Perangkat telekomunikasi adalah hasil dari kebutuhan manusia untuk

melakukan komunikasi dengan lawan bicaranya di jarak yang tidak terjangkau.

Menyadari luas dan banyaknya pulau di Indonesia maka untuk memenuhi

kebutuhan ini Indonesia harus memilliki Satelit sendiri. Menimbang kalau terus

bergantung pada satelit milik negara lain akan memakan biaya dalam waktu yang

panjang.

Berikut adalah bentuk telekomunikasi ‘point to point’ (telekomunikasi

yang bersifat menghubungkan satu titik ke satu titik lain dan tidak dimaksudkan

sebagai alat pengumuman) yang muncul dan berkembang pada masa itu:

• Telegraf (1882):

Berupa media telekomunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan pesan

singkat dalam bentuk tulisan. Perangkat ini berkembang di Indonesia beriringan

dengan pos dan sama seperti jasa pos modern ini masih dipakai untuk hal-hal

tertentu yang berbasis teks. Di Indonesia sedikit yang tercatat mengenai

pemakaian telegraf. Tetapi di Jakarta dalam museum telekomunikasi terdapat

sebuah perangkat telegraf yang dipakai oleh Indonesia. dalam hal ini hanya bisa

disimpulkan bahwa akses ke perangkat ini hanya dimiliki oleh kaum elit, militer

dan perkantoran. Memasuki tahun ’90 akhir perangkat ini tergantikan dengan fax

dan sms (text messaging).


30

• Telepon (tahun 1882 sampai sekarang):

Berupa media telekomunikasi populer yang sampai sekarang masih

digunakan. Telepon merupakan media komunikasi percakapan pertama yang

menjadi terobosan dalam penemuan teknologi telekomunikasi. Telepon yang

pertama muncul adalah telepon manual. Sebuah telepon yang masih memakai

sistem manual ‘switching’. Pengoperasiannya cukup menyusahkan dengan

mengharuskan pemakai untuk menghubungi operator terlebih dahulu yang akan

melakukan ‘switch’ atau memindahkan saluran telepon si pemakai ke saluran

yang ingin ditujunya. Hal ini sangat memakan waktu dan juga bergantung terbatas

pada jumlah saluran yang tersedia. Dalam hal ini Selo Sumardjan mengeluhkan

kenyataan sulitnya berkomunikasi via telepon pada masa sebelum satelit. Dalam

tulisannya beliau menyatakan bahwa untuk melakukan telepon lokal jarak jauh

saja dari Jakarta waktu menunggu koneksinya adalah dalam hitungan jam bukan

detik seperti sekarang20.

Meskipun masih ada perangkat telekomunikasi lain pada saat ini yaitu

melalui media radio tetapi perangkat ini merupakan perangkat telekomunikasi

point to multipoint dan dengan demikian tidak menjadi fokus pembahasan dalam

penulisan ini.

Catatan-catatan sejarah di atas menunjukkan bahwa penerapan teknologi

telekomunikasi di Indonesia selalu lebih lambat dari beberapa Negara terutama di

Negara mana teknologi itu ditemukan. Meskipun demikian ada juga teknologi

20
Sumardjan, Selo. The Social and Cultural effects of Satellite
Communications, bahan seminar AMIC-DEPPEN di Jakarta Juli 25-27 1990
mengenai Socio-Economic Impact of Broadcast Satellites in the Asia-Pacific
Region.
31

Telekomunikasi dimana perkembangan Indonesia tergolong cepat dibandingkan di

Negara maju lainnya seperti teknologi satelit.

Peristiwa penting dalam telekomunikasi Indonesia yang menandai bentuk

telekomunikasi yang baru adalah diluncurkannya Satelit Palapa 6 Juni 1976. Hal

ini merupakan hal yang luar biasa dengan memperhitungkan kemerdekaan

Indonesia baru berlangsung 17 tahun. Harapannya adalah bahwa seluruh

Nusantara dapat dengan lebih cepat menikmati teknologi telekomunikasi.

Beberapa satelit Palapa telah diluncurkan, mengenai data jenis dan jangkauannya

akan dilampirkan pada akhir penulisan ini. Secara singkat satelit Palapa pertama

adalah Palapa A1 diluncurkan pada tahun 1976, dan Palapa A2 yang diluncurkan

tahun 1977.

Kedua satelit ini menambahkan pada jangkauan serta kecepatan koneksi

pada perangkat telekomunikasi di Indonesia. Beberapa perangkat telekomunikasi

yang terpengaruh pasca peluncuran satelit Palapa adalah sebagai berikut:

• Pager (1976):

Teknologi Pager digunakan untuk memanggil penggunanya untuk segera

menghubungi nomor telpon tertentu melalui perangkat telekomunikasi lainnya.

Pager tidak dapat digunakan untuk komunikasi 2 arah seperti telpon genggam.

Pager pertama kali di operasikan di Indonesia oleh 3 operator pada tahun 1976.

Hingga tahun 1993 jumlah pelanggannya sekitar 79.000 pengguna. Dibandingkan

dengan pertambahan jumlah pelanggan telpon genggam dalam kurun waktu yang

sama jumlah pengguna pager tidak menjanjikan.


32

• Telex, Facsimille.

Telex dan Facsimille merupakan perkembangan dari teknologi telegrap

berupa pengiriman isyarat tulisan atau grafis. Semula jarak jangkau terbatas antar

kantor di sebuah kota, namun dengan hadirnya Palapa jangkauannya menjadi

lebih luas mencakup seluruh nusantara.

• Telepon. (1976-sekarang):

Pada awal kehadiran satelit palapa Telepon rumah mengalami

perkembangan pesat dan beberapa permasalahan pra satelit palapa seperti

lambatnya koneksi dan jangkauan bisa diatasi. Dalam hal koneksi muncul telepon

otomat dimana koneksi sudah terjadi secara otomatis dan tidak lagi melalui

operator manual. orang tidak perlu lagi menelpon operator dan menyatakan tujuan

koneksinya, melainkan cukup memutar nomer telepon tujuannya (sistem ‘dial’).

Hal ini meningkatkan masyarakat indonesia untuk bertelekomunikasi. Tuntutan

untuk memiliki sambungan telepon meningkat dari tahun ke tahun.

Tahun 1960 1970 1980 1990 2000 2002

Sambungan

Telepon
0.10 0.10 0.20 0.60 3.20 3.60
(Per 100

orang)

Tabel 1. Sambungan Telepon per 100 orang.21

21

http://globalis.gvu.unu.edu/indicator_detail.cfm?Country=ID&IndicatorID=42#r
ow
33

Mempertimbangkan bahwa Palapa baru mulai beroperasi pada tahun 1976

maka pada tabel ini terlihat bahwa peningkatan jumlah pemakai telepon juga baru

mulai meningkat pada tahun 1980. Laju peningkatan dalam 20 tahun kedepan

sangatlah luar biasa di Indonesia, 0.60 per 100 orang berarti hampir satu orang

dalam setiap penduduk Indonesia sudah memiliki sambungan telepon. Hal ini

belum tentu dicapai tanpa adanya satelit. Infrastruktur kabel tembaga untuk

sambungan telepon belum tentu bisa menjaring jumlah yang sama dengan kurun

waktu itu.

Dengan adanya teknologi satelit muncul telpon genggam di dunia tetapi

perkembangannya di Indonesia sedikit berbeda, Telepon genggam menjadi

permintaan yang lebih diminati oleh masyarakat Indonesia. Di indonesia sendiri

jumlah pelanggan telepon rumah meningkat namun tidak sepesat peningkatan

pengguna telpon genggam dalam kurun waktu yang sama. Telpon genggam hadir

di Indonesia dalam bentuk resmi setelah pengujian di Batam:

“…sistem yang telah dirintis pengoperasiannya adalah GSM, hal ini

didasarkan pada SK. Dirjen Postel Nomor 4243/Dirjen /1993 tanggal 14

Oktober 1993, yang mengesahkan implementasi GSM di Batam-Bintan

sebagai proyek STBSD.”22

Telepon genggam (HP) merupakan sebuah telepon kecil yang bisa dibawa

kemanapun dan bisa menjadi alat telekomunikasi selama terjangkau oleh jaringan

frekuensi yang ditebarkan oleh transmitter (BTS). BTS disebarkan di banyak titik

22
Muhamad Shiroth dan Nur Mohammad Amin, TREND INDUSTRI
TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA, Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. Depok, 1998. Bisa dilihat di web :
http://www.angelfire.com/id/akademika/mstrendtel98.html
34

strategis di Indonesia. Secara sederhana cara kerja HP adalah seperti radio, tetapi

dalam komunikasi via HP bisa dilakukan pembicaraan secara berbalasan

sedangkan radio fungsinya hanya untuk menyiarkan gagasan dari operatornya tapi

tidak bisa berbalasan.

Ada beberapa sistem HP yang masuk dan berkembang di Indonesia,

antara lain: AMPS, TDMA, GSM dan yang terakhir masuk adalah CDMA23.

Untuk membahas satu per satu sistem komunikasi HP ini tidak sepenuhnya

relevan dengan pembahasan. Tetapi yang menarik adalah masa GSM, seperti yang

dikutip di atas HP jenis ini masuk pada tahun 1993 dan sampai dengan tahun 2000

HP berbasis sistem GSM ini menjadi pilihan masyarakat. Statistik berikut ini

kurang bisa menunjukkan tahapannya tetapi menunjukkan bahwa jumlah

pelanggan di Indonesia untuk HP mengalami peningkatan yang drastis dari tahun

1990 sampai dengan 2000.

Year 1980 1985 1990 1995 2000 2002

Jumlah pemilik HP 0.00 0.00 0.00 0.10 1.80 5.50

(Per 100 people)

Tabel 2 Jumlah pemilik HP per 100 orang24.

Di tabel ini terlihat bahwa pemilik HP langsung meningkat 2 tahun setelah

HP GSM masuk di Indonesia. hanya dalam kurun waktu 5 tahun setelahnya jumah

ini meningkat menjadi hampir 2 orang per 100 orang dari populasi Indonesia.

23
Ibid.
24
http://globalis.gvu.unu.edu... loc. cit.
35

Pada tahun 2000 jumlah telepon juga sudah meningkat ke tingkat yang

luar biasa. 3,2 per 100 orang dari populasi indonesia sudah memiliki telpon rumah

pada tahun ini. Kesadaran untuk bertelekomunikasi via media telepon maupun HP

sudah tinggi pada tahun 2000. Dari data inilah perkembangan telekomunikasi

Indonesia lajunya tinggi, yaitu di bagian perangkat telefoni. Tetapi hal inilah yang

berdampak pada budaya komunikasi indonesia nantinya.

• SBK (Stasiun Bumi Kecil) (1976-sekarang)

Hadirnya perangkat SBK merupakan konsekuensi logis dari hadirnya

satelit Palapa. Untuk dapat menerima pancaran sinyal dari satelit Palapa saat itu

dibutuhkan SBK hampir diseluruh propinsi di Indonesia. SBK ini digunakan

sebagai stasiun relay baik untuk televisi, radio, telex dan telpon. Saat ini teknologi

ini mengalami banyak tantangan dari teknologi penerima satelit yang dapat

langsung dipasang di kantor atau dirumah seperti teknologi V-sat.

Perkembangan teknologi telekomunikasi tidak dapat terlepas dari inovasi-

inovasi yang diciptakan manusia. Manusia dengan kemampuannya dan fungsinya

sebagai individu sosial yang senang berinteraksi dengan individu lain berupaya

untuk menciptakan media komunikasi yang lebih efektif. Perkembangan

perangkat telekomunikasi yang terjadi dalam sejarah merupakan gambaran yang

cukup nyata bagaimana kemampuan manusia dalam melahirkan teknologi-

teknologi terbaru yang dapat membantu proses komunikasi.


BAB III

BENTUK DAN PERKEMBANGAN KOMUNIKASI SERTA

PENGARUHNYA PADA BAHASA DAN GAYA HIDUP DI

INDONESIA 1976-2000

Komunikasi adalah salah satu bentuk dari wujud kebudayaan. Menurut

Koentjaraningrat25 kebudayaan mempunyai tiga wujud yaitu:

a) Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan-

gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

b) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan

berpola dari manusia dalam masyarakat

c) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Berdasarkan pada wujud kebudayaan di atas komunikasi adalah wujud

yang kedua. Manusia perlu melakukan komunikasi satu sama lain untuk

menyatakan keberadaanya dalam masyarakat. Manusia membutuhkan orang lain

dan demikian juga sebaliknya untuk berkomunikasi. Bahasa dibentuk oleh

manusia sebagai alat komunikasi. Bahasa yang digunakan seseorang sangat

dipengaruhi oleh wujud kebudayaan orang tersebut.

Indonesia memiliki beragam kebudayaan dari etnis-etnis di dalamnya.

Setiap etnis ini memiliki wujud budayanya sendiri dan dengan demikian memiliki

bentuk bahasanya masing-masing. Masyarakat etnis Jawa dalam berkomunikasi

25
Koentjaraningrat., Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2009), hlm. 150

36
37

memiliki bentuk bahasanya sendiri. Struktur dan pola berbahasa Jawa yang asli

akan mencerminkan kebudayaan Jawa.

A. Kebudayaan Jawa pada Umumnya

“Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang mengutamakan


keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Semua unsur diatur secara
harmonis dan berdampingan, baik itu kehidupan dengan kematian, alam
raya dengan makhluk hidup. Semua hal yang tidak cocok mengharuskan
untuk dihindari; setiap yang bisa mengganggu keseimbangan itu cepat
diperbaiki agar semua kembali harmoni. Namun tidak semuanya dapat
dihindari maupun diperbaiki. Untuk menghindari konflik umumnya
masyarakat Jawa mengutarakan ketidakcocokan itu dengan
memendamnya.” 26

Dengan mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian

kebudayaan Jawa menekankan pada posisi atau status sosial dalam masyarakat.

Masyarakat Jawa terbagi berdasarkan golongan sosialnya, misalnya golongan

bangsawan, rakyat biasa, golongan santri dan golongan abangan yaitu masyarakat

yang kurang peduli dengan syariat agama. Golongan-golongan sosial pada

masyarakat Jawa ini menganut budaya seperti dikutipan di atas dengan penuh

kesadaran akan siapa dirinya dalam pandangan umum. Dari 5 sistem kebudayaan

yang dikemukakan oleh Edi Sedyawati27. Sistem nilai, sistem kekerabatan dan

bahasa dalam kebudayaan Jawa adalah hal yang menentukan dalam komunikasi.

26
Tim Wacana Nusantara, Harmonisasi Bahasa dalam Kebudayaan
Jawa; http://www.wacananusantara.org/content/view/category/2/id/544

27
Sedyawati, Edi., loc cit. hlm 7-8.
38

a. Sistem Nilai.

Aspek-aspek budaya Jawa termasuk sikap-sikap dalam bertingkah laku

bagi masyarakat Jawa tercermin pada doktrin kultural seperti Ngono yo

ngono, nanging mbok aja ngono (mungkin anda betul, tetapi jangan

memakai cara seperti itu). Sikap itu harus diterapkan, misalnya, ketika

seseorang atau sekelompok orang berhasil menangkap pencuri ayam dan lalu

menghajarnya sampai babak belur atau bahkan sampai mati. Masyarakat Jawa

tidak diajarkan menggunakan cara semacam itu; mereka harus berlaku tega

larane ora tega patine. Doktrin ini berimplikasi bahwa mereka boleh-boleh

saja memberi “pelajaran” kepada orang yang bersalah namun hendaknya

tidak menyakitinya. Dalam konteks sekarang, doktrin itu banyak ditinggalkan

orang. Pencuri sepeda motor atau barang-barang lain seringkali dihajar

sampai babak belur atau bahkan dibakar hidup-hidup. Dengan demikian,

mereka telah tega lara tega pati (tega menyakiti sekaligus tega membunuh)

demikian penuturan Fatchul Mu’in dalam tulisannya mengenai ‘Bahasa dan

Budaya Jawa’ yang diakses dari Internet28.

Sikap lain yang dihindari oleh masyarakat Jawa adalah sikap atau

perilaku atas dasar pamrih. Berperilaku atau bertindak atas dasar pamrih

berarti hanya mengusahakan kepentingan diri sendiri dengan tidak

menghiraukan kepentingan-kepentingan masyarakat. Secara sosial pamrih

28
Fatchul Mu’in bin Sihjar Imodimedjo adalah Mahasiswa Jurusan Sastra
Inggris (Seksi Kebahasaan) Fakultas Sastra UNDIP Semarang (1982-1987) dan
Program Studi Pengkajian (Sastra) Amerika UGM Yogyakarta (1998-2001),
Staf Pengajar FKIP Unlam Banjarmasin (1989-Sekarang).
39

selalu mengacau karena merupakan tindakan tanpa perhatian terhadap

keselarasan sosial. Pamrih terutama kelihatan dalam tiga nafsu, yaitu: nefsu

menange dhewe, nefsu benere dhewe, dan nefsu butuhe dhewe yang

secara berturut-turut berarti selalu ingin menjadi orang yang pertama,

menanggap dirinya selalu betul, dan hanya memperhatikan kebutuhannya

sendiri. Sikap yang menandai watak yang luhur adalah kebebasan dari pamrih

atau sepi ing pamrih. Orang dikatakan sepi ing pamrih bila dia semakin tidak

perlu gelisah dan prihatin terhadap dirinya sendiri, semakin bebas dari nafsu

ingin memiliki. Hal ini sekaligus menandakan bahwa ia telah mampu

mengontrol nafsu-nafsunya sepenuhnya dan menjadi tenang29.

Doktrin lain adalah narimo ing pandum dan sumarah. Biasanya

doktrin narimo ing pandum dilakukan dengan didahului sikap sabar. Dengan

sabar dimaksudkan bahwa seseorang mempunyai nafas panjang dalam

kesadaran bahwa pada waktunya nasib baik pun tiba. Narimo berarti

menerima segala apa yang mendatanginya tanpa protes dan pemberontakan.

Narimo menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan

tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Istilah narimo biasanya

digabung dengan ing pandum atau lengkapnya narimo ing pandum. Istilah

narimo ing pandum mengimplikasikan bahwa orang dalam keadaan kecewa

dan dalam keadaan sulit pun bereaksi secara rasional, tidak ambruk, dan juga

tidak menentang secara percuma30.

29
Tim Wacana Nusantara, loc. cit.
30
Ibid.
40

Doktrin sumarah mengisyaratkan sikap penuh penyerahan diri, dengan

mendahulukan kewajiban-kewajiban ketimbang menuntut hak-hak. Sikap

sumarah berarti pula bahwa seseorang yang setelah melakukan pekerjaan atau

usaha untuk menggapai cita-cita atau harapan-harapannya kemudian berserah

diri kepada Yang Mahakuasa dengan suatu harapan bahwa apa yang telah

diperbuat itu sesuai dengan yang diinginkan31.

Berbagai aspek dari budaya Jawa yang menjadi ciri khas atau karakter

masyarakat Jawa di Indonesia dan telah dikenal di luar negeri sebagai

kebudayaan Indonesia walaupun sangatlah luas namun dapat diterima oleh

hampir semua etnis lainnya di Indonesia bahkan luar negeri.Bahasa Jawa

yang merupakan salah satu aspek budaya Jawa terikat oleh beberapa aturan

dari tradisi kebudayaan Jawa dimana dalam penggunaannya, bahasa Jawa

telah mengalami perubahan dari tahun ketahun. Dilihat dari

keanekaragaman lapisan masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa,

dapat dilihat adanya perbedaan pemakaian yang dipengaruhi oleh usia

pemakai. Perbedaan yang menonjol ini tampak jelas manakala mereka

menerapkan unggah-ungguh di dalam berbahasa Jawa. Salah satu bentuk

unggah-ungguh yang sangat penting adalah pemilihan ragam tingkat

Bahasa Jawa (ngoko, krama madya, krama inggil) di dalam berkomunikasi

yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya kelas sosial, usia, jenis

kelamin, topik pembicaraan, dan lain sebagainya. Lebih jauh, perbedaan

yang menonjol itu sesekali diperlemah; akan tetapi, sesekali justru

31
Ibid.
41

diperkuat manakala Bahasa Jawa dipergunakan oleh dua generasi usia, tua

dan muda, di dalam konteks profesi, lingkungan sosial, pokok pembicaraan,

dan tujuan tertentu. Di dalam konteks yang tidak memprasyaratkan

perbedaan tua-muda di dalam berbahasa, maka perbedaan ini diperlemah,

misalnya di dalam karya sastra, berceramah di muka umum, mengurai

gagasan di majalah atau surat kabar, dan sejenisnya. Adapun di dalam

konteks yang memprasyaratkan perbedaan tua-muda dalam berbahasa maka

perbedaan tersebut akan diperkuat, misalnya dalam lembaga pendidikan

tertentu, di lembaga kenegaraan tertentu, dan di dalam keluarga tertentu.

b. Sistem Kekerabatan.

Perilaku manusia sehari-hari pada dasarnya yang ditentukan, didorong

atau diarahkan oleh nilai-nilai budayanya. Sistem nilai dalam masyarakat

Jawa pertama dicontohkan oleh golongan bangsawan kepada golongan

masyarakat biasa. Golongan bangsawan memiliki peranan sangat besar dalam

mempengaruhi perubahan etika dan nilai-nilai positif yang ada dalam

kebudayaan Jawa. Hal ini disebabkan karena kaum bangsawan adalah orang-

orang yang lebih banyak bersentuhan dengan pendidikan. Nilai-nilai positif

yang hidup dalam masyarakat Jawa diantaranya; keterikatan yang kuat pada

etika baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan perkawinan. Dalam

keluarga dan masyarakat, misalnya, masyarakat Jawa harus menjaga

kehormatan dan kerukunan dengan berbahasa yang pantas untuk menghindari

perselisihan.
42

Rasa rikuh dipertahankan dalam hubungan sosial masyarakat Jawa untuk

menjaga sikap dan kelakuan. Golongan Bangsawan juga memiliki rasa yang

serupa terhadap sesama dan golongan yang lebih rendah darinya. Sebagai

seorang bangsawan biasanya, tetap merasa perlu menjaga bahasanya dengan

kata-kata yang halus berbahasa kromo Inggil terhadap yang berstatus tinggi di

masyarakat umum seperti guru. Demikian juga dalam kehidupan berkeluarga,

sikap rikuh diperlihatkan dengan kepatuhan pada orang yang lebih tua.

Kerikuhan menjadi penahan emosi untuk mencegah terjadinya pertengkaran,

sikap ini juga mempertahankan perilaku hormat pada orang tua yang sangat

penting dalam budaya Jawa.

c. Sistem Bahasa.

Bahasa merupakan unsur yang penting sebagai penentu bagi berhasilnya

sebuah komunikasi. Bahasa juga berfungsi sebagai alat untuk menyatakan

ekspresi diri yang dipergunakan untuk mengekspresikan segala sesuatu yang

tersirat di dalam pikiran dan perasaan penuturnya. Sebagai alat komunikasi,

bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural. Bahasa sebagai fungsi

sosial adalah sebagai alat perhubungan antar anggota masyarakat. Sedangkan

sebagai aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu

generasi ke generasi berikutnya.

Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasi

perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, pengguna

bahasa dapat dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan

ragam bahasa yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu,
43

penguasaan ragam bahasa menjadi tuntutan bagi setiap pengguna komunikasi.

Ragam bahasa menurut topik pembicaraan mengacu pada pemakaian bahasa

dalam bidang tertentu, seperti, bidang jurnalistik (persuratkabaran),

kesusastraan, dan pemerintahan. Ragam bahasa menurut hubungan pelaku

dalam pembicaraan atau gaya penuturan menunjuk pada situasi formal atau

informal. Medium pembicaraan atau cara pengungkapan dapat berupa sarana

atau cara pemakaian bahasa, misalnya bahasa lisan dan bahasa tulis. Dengan

demikian masing-masing ragam bahasa memiliki ciri-ciri tertentu, sehingga

ragam yang satu berbeda dengan ragam yang lain.

Demikian pula halnya dengan bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa dikenal

adanya kelas atau tingkatan-tingkatan yang bisa menggambarkan pengaturan

pengucapan sesuai dengan tingkatan-tingkatan sosial masyarakat Jawa32.

Ngoko: Bahasa ngoko adalah suatu tatanan bahasa yang paling bawah,

digunakan dalam percakapan sehari-hari antara yang lebih tua dengan yang

muda, orang sederajat atau teman sejawat, atasan keapada pegawainya

(bawahannya). Ngoko andhap: Ngoko andhap digunakan kepada siapa saja

yang sudah akrab akan tetapi masih menghormati satu sama lain. Ngoko

andhap itu dibagi menjadi dua: antya basa dan basa antya. Ngoko andhap

antya sampai sekarang masih digunakan, akan tetapi ngoko andhap antya

sudah lama tak digunakan bahkan sudah tak lagi dilestarikan dan dianggap

32
Prembayun Miji Lestari, SS., M.Hum. 2010. Bahasa Jawa: Sebuah
Telaah Bahasa dan “Komplikasinya”. Bisa juga dibaca di website:
http://ikadbudi.uny.ac.id/display.php?page=news&contentID=35
44

sirna. Contoh: Lho, sampean mau wes maem a? (Lho, kamu tadi sudah

makan?)33.

Madhya Madya adalah bahasa yang sering digunakan dalam masyarakat

pedesaan atau masyarakat gunung. Madhya dibagi menjadi dua: madhya

ngoko dan madhya krama. Madhya ngoko adalah sebuah bahasa yang

dikalobarasi dengan bahasa ngoko tetapi lebih lekat kedaerahan; bisa dibilang

bahasa daerah setempat yang tak semua masyarakat Jawa mengerti. Ciri-

cirinya:

Saya diganti menjadi kula.

Anda menjadi dika.

Awalan tak- diganti menjadi kula.

Awalan ko- diganti menjadi dika.

Awalan di- tidak berubah.

Contoh: Lho, dika wes maem a? (Lho, kamu sudah makan?)

Sedangkan madhya krama biasa digunakan masyarakat desa berbicara

dengan orang yang baru kenal atau orang yang dihormati. Bisa dikatakan

hampir sama dengan ngoko andhap tetapi memunyai batasan: orang muda

kepada yang lebih tua atau dihormati. Ciri-cirinya:

Saya, diganti menjadi kula.

Anda, diganti menjadi sampeyan, samang.

Awalan tak- diganti menjadi kula.

Awalan ko- diganti menjadi samang, mang.

33
Tim Wacana Nusantara, loc. cit.
45

Akhiran -ku diganti menjadi kula.

Akhiran -mu diganti menjadi sampéyan, samang.

Akhiran -e tetap tidak berubah.

Contoh: Lho, samang sampun maem? (Lho, kamu sudah makan?)

Madhyantara, Bahasa madhyantara terbentuk dari madya krama akan

tetapi kalimat-kalimat yang ditujukan adalah kepada orang yang diajak bicara

ditambahi dengan bahasa krama inggil. Bahasa madhyantara dulu biasa

digunakan priyayi kecil atau anak bangsawan kepada utusannya. Akan tetapi,

bahasa ini sekarang sudah jarang dipergunakan. Ciri-cirinya hampir sama

dengan bahasa madya. Contoh: Lho, samang sampun dahar? (Lho, kamu

sudah makan?)

Kromo, Bahasa kromo atau krama adalah tingkatan tengah dalam bahasa

Jawa sebelum kromo inggil di mana tidak semua kosakata yang diucapkan

diganti dengan bahasa alus. Kromo digunakan kepada orang yang baru kenal

atau sejawat yang lebih dihormati. Contoh: Lho, samean sampun nedo? (Lho,

kamu sudah makan?)

Kromo Inggil, Bahasa kromo Inggil adalah bahasa di mana

pengucapanan krama dicampur dengan krama inggil. Bahasa krama biasa

digunakan priyayi kecil (anak bangsawan) dengan priyayi yang lebih tua,

anak muda kepada orang yang lebih tua. Ciri-cirinya:

Saya diganti menjadi kawula, abdidalem kawula, atau dalem.

Anda diganti menjadi panjenengan dalem atau disingkat nandalem.

Contoh: Panjenengan dalem sampun dahar? (Kamu sudah makan?)


46

Bagongan, Bahasa bagongan mulai dikembangkan pada masa

pemerintahan Sultan Agung. Basa ini biasa digunakan di lingkungan kraton

Mataram dengan tujuan untuk menghilangkan kesenjangan antara pejabat

istana dengan keluarga raja. Seiring dengan perkembangan, bahasa bagongan

sekarang sudah jarang digunakan dan bisa dikatakan hampir punah kecuali

oleh orangtua yang dulu pernah mengenal bahasa ini.

Contoh: Pakeniro pilih puniku mbesaos. (Kamu pilih itu saja).

Kedhaton, Basa kedhaton dipergunakan dalam area kedhaton/keraton.

Bahasa ini juga hampir hilang dan perlu pelestarian.Ciri bahasa ini adalah

penyampaian yang halus dan kosakata yang digunakan tergolong tinggi dan

sastrawi. Contoh: Kawula mirsani panjenenganipun ing dalem jawi. (Saya

melihat kamu di luar).

Dalam perkembangan selanjutnya, kebudayaan Jawa bagi masyarakat

Jawa mulai luntur walaupun tidak sama sekali punah atau ditinggalkan

masyarakatnya. Mempelajari perubahan yang terjadi selama kurun waktu 24

tahun semenjak satelit Palapa diluncurkan oleh Indonesia (1976-2000)

kondisi bahasa Jawa semakin kritis. Tatanan penggunaan bahasa dan unggah-

ungguh telah berkurang34. Hampir lebih dari setengah masyarakat muda Jawa

sekarang tidak mengerti bahasa tata krama. Ini disebabkan pendidikan orang

tua yang kurang kepada anaknya dan penggunaan bahasa yang lebih sering

didengar (umum) adalah bahasa sehari-hari. Penggunaan tingkatan sosial

dalam bahasa pengucapan yang dipergunakan sudah jarang dipakai. Faktor

34
Ibid.
47

lain karena pendidikan bahasa Jawa dalam sekolah tak lagi optimal dan

bahkan dalam sejumlah sekolah modern telah ditiadakan pelajaran bahasa

Jawa. Padahalnya nilai-nilai positif yang terkandung dalam unggah-ungguh

berbahasa Jawa itu terdapat sebuah tatanan penghormatan kepada orang yang

diajak bicara dan menunjukkan budi pekerti yang luhur bagi orang yang

berbicara35.

Demikian pula di Yokyakarta, beberapa hal yang menjadi ciri khas dari

bentuk karakter masyarakat Jawa antara lain seperti: Sikap yang santun atau

sering di sebut “halus”: Kepekaan yang tinggi atau menunjukkan rasa “rikuh,

sungkan, pekewuh, sugesti, gotong royong” dll walaupun masih nampak dalam

praktik hidup sehari-hari namun tidak seketat dahulu. Sikap hidup dan karakter

tersebut dapat diakui sebagai karakter dasar dari masyarakat Jawa asli

Yogyakarta. Kelestarian karakter ini didukung oleh berbagai aspek budaya,

mengingat budaya adalah segala cipta karsa dan karya manusia maka tentunya

karakter dari pencipta akan nampak dalam hasil budayanya. Bila budaya

dihasilkan oleh orang-masyarakat Jawa maka harus mencerminkan karakter Jawa

juga di dalamnya. Demikian juga halnya dalam komunikasi, bahasa adalah salah

satu unsur budaya dan juga merupakan bentuk dasar komunikasi. Bahasa

merupakan alat komunikasi yang berbentuk lisan dan tulisan yang dipergunakan

oleh individu maupun masyarakat. Tanpa ada bahasa berarti tidak ada masyarakat

dan tidak ada pergaulan. Sifat-sifat masyarakat terutama dapat dipelajari dari

35
Ibid.
48

bahasanya, yang memang menyatakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat

tersebut.

B. Bentuk Komunikasi masyarakat Yogyakarta

Bentuk komunikasi antar individu Jawa yang dalam system budaya telah

diuraikan sebelumnya dapat dibagi lagi berdasarkan 2 ragam penuturan bahasa.

Penuturan bahasa Jawa Ngoko dan kromo dimana penuturan bahasa Jawa Kromo

dipakai untuk berhadapan dengan orang secara sopan dan yang status sosialnya

lebih tinggi, sedangkan Jawa Ngoko dipakai untuk orang yang dianggap memiliki

status sosial atau kesopanan yang lebih rendah. Dengan demikian bahasa Jawa

dijadikan penentu status sosial seseorang dalam kehidupan bermasyarakatnya.

Setiap komunikasi dilakukan dengan memperhatikan aturan status sosial

ini. Dari cara berkomunikasi khususnya bahasa yang digunakan oleh seseorang,

masyarakat mendapatkan tidak saja informasi atau gagasan yang disampaikan,

namun juga tingkatan status sosial dari kalangan mana dia berasal dan selanjutnya

bagaimana menempatkan seseorang pada kedudukannya. Memang ada beberapa

cara lain agar seseorang bisa mendapatkan status sosial yang tinggi di mata

masyarakat Jawa , tetapi melalui bahasa inilah masyarakat Jawa menilai dan

menghargai seseorang. Bahasa Jawa memiliki beberapa varian atau ragam yang

mencerminkan status sosial seseorang. Dengan memanfaatkan varian atau ragam

dalam bahasa Jawa tersebut seseorang berhak mendapatkan bentuk perlakuan

yang sesuai dengan statusnya.


49

Lebih lanjut, di pulau Jawa hanya kota Yogyakarta yang disebut dengan

Daerah Istimewa, dan di peta dituliskan “DIY”. Hal ini dikarenakan ada beberapa

aturan yang agak berbeda di Yogyakarta daripada kota-kota lainnya di Jawa.

Salah satu dari keadaan khusus ini adalah keberadaan Kraton dan peran Sultan di

kota Yogyakarta. Kraton menjadi pusat kebudayaan yang berpengaruh besar

dalam perkembangan kota Yogyakarta. Bagi mayoritas penduduk asli Yogyakarta,

pandangan pada pusat kraton dan Sri Sultan masih dianggap penting sebagai

kesinambungan cara hidup mereka dalam dunia ini yang berubah. Walaupun

sekarang penduduk Yogyakarta cukup besar dan modern, kota ini adalah satu kota

yang masih terkenal sebagai penjaga kebudayaan Jawa dimana masyarakat tetap

melestarikan adat-istiadatnya. Dalam hal ini tradisi dan budaya Jawa dilestarikan

dan modernisasi dipantau oleh sultan di Kraton. Dengan begitu bentuk

komunikasi antar perorangan di Yogyakarta masih terikat dengan peraturan-

peraturan bahasa Jawa. Sehingga tingkat kesantunan seseorang masih menjadi

titik penentu dalam menghargai seseorang. Apabila tutur bicara Jawanya “halus”

maka orang Yogya masih akan menghargai orang tersebut (darimanapun asalnya)

lebih daripada seseorang yang berbicara bahasa Jawa yang lebih “kasar”.

Seseorang juga akan lebih dihargai apabila menunjukkan sikap yang halus atau

memahami dan bisa menunjukkan rasa “sungkan”.

Hal ini nampak dalam hubungan interaksi masyarakat Yogyakarta dengan

para perantau yang ada di Yogyakarta. Mereka yang berusaha untuk mempelajari

bahasa Jawa dan berusahaa menggunakannya dengan baik akan diterima dan

dihargai sama dengan masyarakat Jawa walaupun ditempatkan dalam kedudukan


50

sebagai masyarakat biasa namun cukup dihormati lebih dari masyarakat Jawa

golongan biasa. Demikian pula bagi perantau yang tidak mempelajari bahasa Jawa

tetapi berkelakuan baik, bertenggang rasa dan banyak membantu orang asli

Yogyakarta juga tetap diterima dengan baik oleh orang-orang Yogya.

Beberapa hal yang menjadi menarik adalah bentuk komunikasi yang

berkembang di Yogya, seandainya komunikasi terjadi antara sesama masyarakat

Jawa yang bisa berbicara dengan bahasa Jawa Halus, maka keduanya akan saling

menghargai dan waspada agar tidak sampai salah berbicara dan menyinggung satu

sama lain. Tidaklah demikian halnya bila komunikasi yang terjadi antar dua orang

yang berbeda kemampuan berbahasa Jawanya. Bila satu orang tingkatan bahasa

Jawanya lebih kasar dari yang lain maka yang mampu berbicara bahasa yang lebih

halus akan berbicara dengan bahasa kasar untuk menyesuaikan dengan lawan

bicaranya, tetapi hal ini juga berarti bahwa yang lebih kasar bahasa Jawanya akan

bisa disindir atau dikata-katai dengan bahasa Jawa halus tanpa disadarinya. Hal

seperti ini sering terjadi bila penutur bahasa Jawa Kasar tersebut mempunyai

karakter yang tidak baik. Komunikasi perorangan juga eksis dalam bentuk

ngerumpi atau ngegosip. Menyindir merupakan satu kebiasaan yang eksis dalam

masyarakat Jawa sejak dahulu kala, berbeda dengan bentuk komunikasi jamak,

sindiran Jawa bersifat perorangan atau kelompok kecil, dan berakhir pada bentuk

ngerumpi atau gosip.


51

C. Perubahan dalam tata Berbahasa Jawa

Perubahan bahasa dan pemertahanan bahasa merupakan dua sisi dari satu

mata uang. Keduanya merupakan hasil kolektif dari pemilihan bahasa. Jika

perubahan bahasa yang terjadi, maka pada saat itu masyarakat memutuskan untuk

memilih bahasa (atau unsur kebahasaan dari bahasa) yang baru untuk

menggantikan yang lama. Dan sebaliknya, jika pemertahanan bahasa yang terjadi

maka pada saat itu masyarakat memutuskan untuk meneruskan pemakaian bahasa

(atau unsur kebahasaan) yang selama itu digunakan.

Bahasa Jawa merupakan bagian dari kebudayaan Jawa yang memiliki

jumlah penutur paling banyak dari penutur bahasa daerah lain, akan tetapi banyak

yang mulai meninggalkan identitas “kejawaannya”. Sedikit demi sedikit, dengan

sadar atau tidak, dengan sengaja atau tidak disengaja bahasa Jawa mulai di-delete

dari kehidupan masyarakatnya. Masyarakat penuturnya lebih tertarik dengan

bentuk bahasa lain. Masyarakat merasa lebih bangga, bergengsi, dan berkelas jika

menggunakan bahasa asing dalam kesehariannya. Alasanya klise, mengikuti

perkembangan jaman, guna menaikkan prestise, agar dikatakan gaul, funky, dan

alasan lainnya. Sehingga tidak heran jika anak-anak jaman sekarang tingkah

lakunya dengan orang tua kurang atau bahkan tidak menghormati, kurang

memiliki sopan-santun, dan tidak memiliki unggah-ungguh basa. Contohnya

ketika dipanggil menjawab “hem!” dengan nada tinggi/ketus, ketika dinasehati

baik-baik justru misuh-misuh. Hal ini bisa terjadi karena mereka tidak
52

menerapkan andha-usuk (speech levels) dalam berbicara. Mereka tidak

memperhatikan siapa yang diajak atau mengajak mereka untuk berbicara36.

Memudarnya bahasa Jawa sudah barang tentu memiliki berbagai alasan

yang sangat nyata. Bisa kita lihat dan rasakan sendiri perkembangan jaman dan

perkembangan bahasa Jawa yang menurun drastis. Globalisasi menuntut kita

terutama kalangan muda untuk mampu menggunakan bahasa yang global dan

mendunia sehingga kita dapat berperan aktif menuju modernisasi. Misalnya saja

penggunaan bahasa Inggris di daerah kota dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini

sangat mempengaruhi kedudukan bahasa Jawa yang rasanya semakin diinjak-

injak peradaban. Kesadaran masyarakat sendiri akan budayanya sangat kurang.

Mereka cenderung lebih mencoba mengikuti kebudayaan baru yang lebih ngetren

agar tidak dibilang kuno maupun primitif. Pelahan-lahan budaya berbahasa Jawa

ditinggalkan. Orang tua juga ikut berperan dalam perkembangan bahasa Jawa ini.

Merekalah yang akan melestarikan budaya ini ke anak-anaknya, sehingga anak-

anak mereka akan menerapkannya saat mereka berbicara terutama kepada orang

yang lebih tua. Namun sebaliknya, orang tua malah mendidik anaknya dengan

menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

Dari pemaparan mengenai adat budaya masyarakat Jawa yang tinggal di

kota Yogyakarta cara berinteraksi dengan sesamanya manusia, dapat dikatakan

orang Yogyakarta perlu melestarikan budaya leluhurnya kembali. Hal ini perlu

dilakukan untuk mengimbangi perubahan budaya yang muncul dari

ketergantungan perangkat telekomunikasi pada generasi muda Yogyakarta.

36
Prembayun, loc. cit.
53

Sewaktu telepon menjadi dominan di masyarakat perubahan budaya mulai

nampak. Dengan meluasnya sambungan telepon di Indonesia muncul budaya

berkomunikasi yang bergantung pada teknologi telekomunikasi. Yogyakarta yang

merupakan kota transit dari wisatawan manca negara dan kota pelajar dimana

berkumpulnya pelajar dari suku-suku bangsa di Indonesia pastilah mengalami

interaksi kebudayaan dari pendatang tersebut. Interaksi itu bisa mengakibatkan

perubahan dalam kebudayaan lokal. Hal ini ditunjang dengan berkembangnya

teknologi telekomunikasi yang mempunyai kemampuan untuk memperderas

interaksi antar kebudayaan. Masuk dan berkembangnya telepon genggam atau HP

juga menambahkan sifat ekspresif individu. Para perantau di Yogyakarta juga

mengekspresikan dirinya melalui perangkat telekomunikasi nilai-nilai kebudayaan

tentunya akan semakin bercampur-aduk Yogyakarta.


BAB IV

HUBUNGAN ANTARA PERKEMBANGAN DI BIDANG

TELEKOMUNIKASI DENGAN BUDAYA BERKOMUNIKASI

DI YOGYAKARTA 1976-2000

Komunikasi adalah bagian dari budaya yang menarik, dengan

berkomunikasi banyak hal yang bisa dimengerti seseorang. Dengan adanya

perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maka komunikasi di

Indonesia telah berkembang dari komunikasi jarak pendek dan ke komunikasi

jarak jauh, yaitu dengan berkembangnya telekomunikasi di Indonesia. Tetapi dari

sinilah masalah mulai muncul, batasan jarak juga menekankan perbedaan kultur

atau etnis yang dimiliki oleh seseorang. Derasnya komunikasi antar kultur atau

etnis ini menimbulkan interaksi yang tinggi dari seseorang dengan orang lain yang

berbeda budayanya, sehingga dalam berkomunikasi melalui perangkat muncul

bentuk-bentuk tatanan baru dalam berkomunikasi.

Sistem-sistem kebudayaan Jawa tidak mengharuskan orang untuk bersikap

sesuai aturan budaya, tetapi kalau ada yang melakukannya sesuai aturan maka

orang itu akan lebih dihargai di mata orang Jawa. Permasalahannya dengan

perangkat telekomunikasi seseorang langsung mencapai pihak lain yang menjadi

tujuan komunikasinya. Telekomunikasi memang dikembangkan dengan tujuan

memperpendek jarak antara dua orang. Berkembangnya telekomunikasi

membiasakan orang untuk bisa berbicara langsung ke masalah yang ingin di

54
55

bicarakannya tanpa bertemu. Proses tradisionalnya hilang dan tata norma

bicaranya menjadi lebih kasar.

Komunikasi dibutuhkan untuk berinteraksi dalam masyarakat. Demikian

juga kemudahan yang ditawarkan oleh perangkat telekomunikasi. Pemerintah

Indonesia pada tahun 1970-an menyadari memiliki pra sarana telekomunikasi

yang mutakhir akan memberikan keunggulan bagi Indonesia. Diluncurkannya

satelit Palapa pada tahun 1976 adalah hasil dari pemikiran ini, Palapa menjadi

pelopor bagi perkembangan dibidang telekomunikasi Indonesia sejak masa itu.

Perkembangan Telekomunikasi Indonesia memiliki dampak nyata pada

masa sekarang. Sebelumnya Operator jasa telekomunikasi dan HP bukanlah bahan

iklan di TV. Perangkat telekomunikasi menjadi populer di masyarakat. Orang-

orang dari kampung tidak takut lagi untuk merantau karena bisa menjaga

hubungan dengan keluarganya melalui perangkat telekomunikasi. Mobilitas

manusia dalam negara meningkat drastis dan menyebabkan kepadatan penduduk

kota-kota besar Jawa. Yogyakarta dengan jumlah lembaga pendidikan

terkemukanya menjadi sasaran bagi para perantau untuk melanjutkan

pendidikannya. Kebudayaan Jawa masyarakat Yogyakarta mulai berubah dan

komunikasi antar individu dalam masyarakatnya mulai mengabaikan sistem-

sistem kebudayaan.

Pada masa awal telekomunikasi sistem nilai kebudayaan Jawa masih belum

berubah. Telegraf di Indonesia dimiliki oleh instansi pemerintah dan perkantoran

dengan demikian masyarakat tidak sepenuhnya memiliki akses ke perangkat ini.

Perangkat telepon pada masa sebelum Palapa sudah dimiliki oleh beberapa
56

golongan di masyarakat. Tetapi koneksinya sangat lambat, Sumardjan

menyatakan untuk menunggu koneksi telepon manual pada masa ini bisa sampai

berjam-jam37. Bentuk telekomunikasi awal yang masih terbatas dan belum berada

pada jangkauan masyarakat secara luas ini belum ada pengaruh nyatanya pada

sistem-sistem kebudayaan Jawa.

Setelah Palapa diluncurkan tahun 1976 perkembangan Telekomunikasi di

Indonesia mulai nyata di masyarakat. Sumardjan menyatakan bahwa setelah

satelit Palapa diluncurkan perangkat telepon otomat yang muncul lebih

memudahkan komunikasi, bersih suaranya, dan jauh lebih cepat koneksinya38.

Pada tahun 2000 sudah ada sambungan telepon untuk 3 orang dari 100 orang

penduduk di Indonesia39.

Koneksi yang lebih cepat membiasakan individu untuk bergantung pada

perangkat telekomunikasi. Kebiasaan masyarakat untuk lebih memakai perangkat

mulai menggeser kebiasaan berkomunikasi lama. Generasi baru mulai bergantung

pada perangkat telekomunikasi dan mengabaikan bentuk komunikasi tradisional.

Setiap individu mulai mengejar untuk berbicara langsung ke lawan

komunikasinya melalui perangkat. Sistem komunikasi antar individu secara

langsung ini bertentangan dengan sistem kebudayaan Jawa. Hal ini nyata pada

generasi muda yang sekarang, mereka lebih cenderung mengabaikan sistem-

37
Sumardjan, Selo., loc. cit. hlm. 5.
38
Ibid.
39
Sesuai dengan tabel 1 pada bab II.
57

sistem kebudayaan Jawa, bersifat lebih to the point dan cuek, atau ingin

menonjolkan diri sendiri.

Lebih rincinya mengenai perubahan sistem-sistem kebudayaan yang

berubah setelah peluncuran satelit Palapa:

A. Sistem nilai yang berubah.

Seperti yang sudah dipaparkan di Bab III, Sepi ing pamrih adalah suatu

nilai dalam kebudayaan Jawa yang menuntut seseorang untuk tidak menuntut

pamrih dari perbuatannya. Hal ini juga tampak dari sikap orang Jawa yang

tidak menuntut perhatian berlebih dari sikapnya yang menunjukkan

ketenangan. Perangkat telekomunikasi bukan hanya memperpendek jarak

antara komunikan dan lawannya, tetapi juga memperpendek proses komunikasi

Jawa. Kebiasaan untuk bersikap rikuh, menjaga tatap mata, senyum, dan tutur

kata yang sopan tidak perlu lagi ditekankan dalam berkomunikasi melalui

perangkat. Penelepon hanya perlu menyapa, menyatakan lawan komunikasi

yang diinginkan, begitu lawan bicaranya sudah terhubung dengannya barulah

komunikasi yang sebenarnya terjadi. Ditambahkan lagi komunikasi via

perangkat telepon adalah komunikasi yang hanya terjadi antara 2 individu.

Memang sekarang ada telepon yang dilengkapi dengan speaker tetapi fasilitas

ini jarang dipakai. Dengan begitu tidak mudah bagi lingkungan dari kedua

pengguna perangkat ini untuk mengingatkan batas-batas kesopanan dalam

berbicara. Berbeda dengan sewaktu masih harus bertamu di mana kalau ada

tutur kata salah maka pasti ada teguran dari lingkungan sekitar.
58

Pada masa perangkat telepon sang pengguna tidak bisa melihat lawan

bicaranya, ia hanya bisa mendengar suaranya dan dari suara tersebut ia menilai

situasi di tempat lawan bicaranya. Selain itu juga tarif telpon di masa awal

Palapa masih mahal sehingga seseorang berkomunikasi dengan beban ini. Hal

ini sering menimbulkan kesalahan dalam menjaga perasaan lawan bicara yang

notabene merupakan salah satu unsur dalam tata nilai budaya Jawa. Kesalahan-

kesalahan dalam berkomunikasi ini merubah bentuk komunikasi yang ada di

Jawa. Makin lama masyarakat Yogyakarta makin menerima kesalahan-

kesalahan dalam komunikasi via telepon dan menganggap bahwa lawan

bicaranya saja yang “ceplas-ceplos” orangnya. Sedangkan di pihak yang lain

mulai terbiasa untuk menganggap komunikasi yang dilakukannya sudah benar

dan semakin menjadi “ceplas-ceplos”.

Setelah Palapa diluncurkan hampir setiap wilayah Indonesia bisa

dijangkau melalui perangkat telekomunikasi. Sekarang ini perkembangan

perangkat telekomunikasi mulai menekankan nilai-nilai yang bersifat lebih

praktis dan ekspresif.

Narimo ing pandum dan sumarah adalah sistem nilai yang menekankan

pada kesabaran untuk bisa menerima perubahan. Salah satu unsur yang

diperkenalkan dari telekomunikasi melalui telepon adalah kenyataan bahwa

telekomunikasi adalah suatu jasa, dan oleh karena itu ada harga untuk

berkomunikasi melalui perangkat. Dengan begitu orang dilatih untuk

menyampaikan gagasan yang ingin dikomunikasikannya melalui perangkat

dengan sesingkat mungkin dan sepadat atau sejelas mungkin. Sehingga


59

masyarakat bergerak ke arah bentuk komunikasi yang lebih praktis dan tidak

lagi memperhatikan budaya yang menekankan pada tata krama atau tata nilai

dalam menyampaikan suatu gagasan.

Telepon genggam atau HP memberikan pengaruh yang lebih kuat pada

komunikasi di Jawa. Pada awalnya masih ada sedikit nilai rikuh yang tercermin

dari para pengguna HP di Yogyakarta. Pada pertengahan tahun 90-an HP mulai

masuk dan berkembang di Indonesia. Pengguna HP di Yogyakarta pada

awalnya masih rikuh dan merasa tidak enak kalo menggunakan HP di depan

umum. HP masa ini masih dianggap hal yang berkesan berlebihan. Tetapi pada

akhir tahun ’90-an HP mulai dianggap wajar dan menjadi trend di Yogyakarta

bagi para pelajar. Bentuk komunikasi via perangkat yang baru mulai

berkembang. HP memberikan banyak pengaruh dari keterbatasan operator-

operator-nya. Bahasa SMS, bicara ‘2 detikan’ adalah buktinya. Pada masa itu

kebanyakan pelajar di Yogyakarta sudah terbiasa dengan komunikasi seperti

ini. Bicara ‘2 detikan’ adalah solusi yang ditemukan oleh generasi muda untuk

mendapatkan keuntungan dari operator telekomunikasi. Tetapi dalam

prakteknya memperburuk sistem kekerabatan, pelajar sekolah seringkali bicara

‘2 detikan’ dengan orang tuanya dan berkata “jemput aku”.

SMS bertujuan untuk mengirmkan pesan singkat ke piihak lain. Di

Yogyakarta SMS lebih sering digunakan karena mampu menyampaikan lebih

banyak hal daripada bicara ‘2 detikan’. Sayangnya SMS terbatas pada 160

karakter yang bisa dituliskan dalam sekali kirim. Hal ini tentunya tidak akan

cukup bila perlu menyampaikan lebih dari satu informasi. Secara logis bila
60

informasi atau dalam hal ini kata-kata bisa disingkat ke dalam satu SMS maka

komunikasinya akan lebih murah. Bagi perantau di Yogyakarta hal ini lebih

lazim untuk dilakukan bila kondisi ekonominya yang tidak menentu. Dengan

begitu orang terbiasa mempersingkat tutur kata dan lebih praktis dalam

berkomunikasi.

B. Sistem kekerabatan yang berubah.

Sistem kekerabatan Jawa teratur dalam kerikuhan anak terhadap orang

tuanya dan kerabat lainnya. Dampak sosio-budaya perkembangan perangkat

telekomunikasi di Indonesia nyata pada bagaimana bentuk komunikasi

masyarakat Indonesia sekarang. Sebelum perangkat telekomunikasi menjadi

populer banyak hal yang perlu diperhatikan dalam berkomunikasi dengan

orang lain. Sistem nilai kebudayaan seperti sopan santun dan sikap untuk

menyampaikan gagasan “Jawa” ke orang lain. Cara menghormati orang tua,

cara bertutur kata sebagai pendatang di yogyakarta, sistem permisi untuk bisa

menemui orang, dsb. Hal-hal seperti inilah yang mulai hilang sekarang.

Sebelumnya kebudayaan Jawa sangat nampak dalam berkomunikasi.

Sikat rikuh dipertunjukkan anak terhadap orang tua dan kerabatnya melalui

kepatuhan dan dari caranya menghargai kerabatnya. Munculnya nilai-nilai

praktis dan sifat ceplas-ceplos dari perangkat telekomunikasi seperti yang

dipaparkan diatas juga berpengaruh pada sistem kekerabatan di Yogyakarta.

kebiasaan berkomunikasi praktis melalui perangkat juga diterapkan oleh

generasi muda terhadap orang tuanya. Mungkin sebagian orang tua akan masih

menegur anaknya untuk memakai tutur kata yang benar sesuai sistem
61

kekerabatan. Tetapi melihat bentuk komunikasi generasi muda Yogyakarta

sekarang tentunya lebih banyak orang tua yang membiarkan anaknya

mengabaikan sistem kekerabatan budaya Jawa.

C. Sistem bahasa yang berubah.

Sistem Bahasa dalam kebudayaan Jawa menuntut seseorang untuk

memisahkan lawan bicara sesuai statusnya. Bisa terlihat nyata sekarang bahwa

kebanyakan orang di Yogyakarta sudah tidak memperhatikan hal ini.

Kemampuan untuk menguasai semua tingkatan bahasa Jawa sudah langka.

Hanya segelintiran orang Jawa yang masih memperhatikan status sosial lawan

bicaranya dan menggunakan tingkatan bahasa yang tepat untuk berkomunikasi.

Hal ini tidak lepas dari pengaruh perkembangan perangkat telekomunikasi.

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya telekomunikasi menyebabkan

derasnya komunikasi antar budaya. Indonesia adalah negara kaya kebudayaan

yang semuanya dipersatukan dalam bahasa Indonesia. Meningkatnya jumlah

pendatang di Yogyakarta juga berarti semakin lazimnya pemakaian bahasa

Indonesia. Pendatang yang sebagian besar adalah pelajar lebih banyak

berinteraksi dengan muda-mudi Yogyakarta dengan bahasa Indonesia.

Lembaga-lembaga pendidikan di Yogyakarta juga memakai bahasa Indonesia.

Hal ini ditunjang juga dengan perangkat telekomunikasi yang mendukung

kebutuhan generasi muda untuk berinteraksi. Dulu masih banyak orang tua

yang mengeluhkan waktu yang dihabiskan oleh anaknya untuk bertelepon.

Sekarang hal ini sudah mulai lazim dan dibiarkan oleh orang tua. Meskipun di
62

rumah kebanyakan anak masih menggunakan bahasa Jawa dengan tingkatan

yang tepat. Tetapi jumlah komunikasi di luar rumah jauh lebih banyak dan

masih berlanjut di rumah melalui perangkat. Hal ini tidak akan mempengaruhi

pengetahuan bahasa Jawa di Yogyakarta bila mereka berkomunikasi dengan

sesama orang Jawa. Tetapi bila lawan bicaranya lebih banyak adalah

pendatang, kebiasaan berbahasa Jawanya akan berkurang.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, perangkat telekomunikasi

mengembangkan nilai-nilai yang praktis dan egosentris. Hal ini terlihat pada

sistem bahasa sewaktu awal melakukan komunikasi melalui perangkat.

Mestinya sewaktu menelpon ada urutan yang menunjukkan nilai-nilai rikuh

pada tutur kata. Dari sapaan awal menelpon menghilangnya kesopanan dan

rasa tidak enak untuk mengganggu kesibukkan lawan bicara sudah terlihat.

Tutur kata yang lebih sopan dan menunjukkan nilai rikuh dalam berbahasa

adalah seperti “Hallo, selamat siang, pak. Maaf kalau mengganggu Lia-nya

ada?” Hal ini dulu pada masa awal telepon (1970-1980an) masih ada. Bahkan

bila lawan tujuannya adalah orang Jawa masih ada yang memakai bahasa Jawa

yang tepat. Meningkatnya kebiasaan untuk menelpon merubah sapaan ini

menjadi lebih sederhana: “Siang, pak. Lianya ada?” kebiasaan ini mengarah ke

sistem bahasa yang lebih praktis. Generasi muda mulai mengabaikan kebiasaan

untuk mengatur tutur katanya. Sistem bahasa mulai berubah menjadi praktis

dan basa-basi mulai dihindari.

Memasuki era globalisasi generasi muda mulai beralih ke pemakaian

perangkat Handphone atau HP. Muncul dan mulai dipakainya HP di


63

Yogyakarta (akhir 1990-an) sebagai media komunikasi bahkan mengabaikan

keberadaan orang lain di lingkup lawan bicaranya. HP adalah alat komunikasi

langsung bahkan bisa dikatakan sebagai media untuk menghindari “permisi”

terhadap kerabat atau keberadaan orang lain yang ada di sekitar lawan

bicaranya. Fasilitas SMS pada HP juga mulai membiasakan generasi muda

untuk menyingkat kata. Seperti kata “habis” menjadi “hbs”, “kamu” menjadi

“km”. Hal ini juga terjadi pada generasi muda di Yogyakarta seringkali kata

“kowe” disingkat jadi “kw”. Semua ini dilakukan supaya dalam keterbatasan

SMS (160 karakter per SMS) seseorang bisa menyampaikan gagasannya.

Selanjutnya era globalisasi menuntut generasi muda untuk menguasai bahasa

Inggris untuk menunjukkan kesan modern. Hal ini merubah sistem bahasa

untuk lebih praktis dalam berkomunikasi. Bahkan kata “kamu” berganti

menjadi “you” dalam pembicaraan atau “u” dalam SMS. Dengan ini sistem

bahasa Jawa semakin jauh ditinggalkan.

Berubahnya sistem bahasa adalah dasar dari berubahnya komunikasi

Yogyakarta. Perkembangan sistem bahasa di Yogyakarta yang sekarang lebih

menekankan pada pergaulan anak muda. Bahasa-bahasa yang lebih sering

digunakan adalah bahasa-bahasa modern yang dipopulerkan oleh media massa.

Secara umum telah terjadi perubahan-perubahan pada berbagai aspek sistem

kebudayaan Jawa sebagai akibat perkembangan telekomunikasi. Nilai-nilai yang

menekankan pada kesabaran dan sungkan berubah menjadi praktis dan ceplas-

ceplos. Hal ini sangat nyata sewaktu memperhatikan generasi muda di Yogyakarta

berkomunikasi sekarang. Penguasaan bahasa Jawa di kalangan muda mulai hilang.


64

Generasi muda Yogyakarta mulai bergantung pada perangkat telekomunikasi dan

mulai bersifat ekspresif dan ingin menonjolkan diri.

Permasalahan yang sebenarnya terletak pada kesadaran untuk ingin

mempertahankan kebudayaan Jawa itu sendiri. Pada era globalisasi ini muncul

pola pikir yang menilai bahwa kebudayaan Barat adalah yang terbaik. Generasi

muda mulai meniru sifat individualistis barat dan meninggalkan nilai-nilai

kebudayaan Jawa. Orang tua dalam hal ini tidak lagi melestarikan nilai-nilai

kebudayaan Jawa tetapi mendukung anaknya untuk lebih modern. Hal ini tidak

bisa disalahkan karena orang tua tentunya ingin anaknya berkembang dan

memiliki masa depan di jaman modern. Tetapi pelestarian budaya juga tetap harus

diwariskan.

Dalam hal ini Yogyakarta sangat beruntung untuk memiliki Kraton dengan

Sultan sebagai pamong budayanya. Tradisi dan kebudayaan Jawa bisa terjaga

melalui keberadaan Sultan. Tetapi generasi muda Yogyakarta juga masih butuh

bimbingan harian dalam memahami kebudayaan Jawa dari orang tuanya. Dari

pergaulan di Yogyakarta yang sekarang pembicaraan mengenai nilai-nilai

kebudayaan sudah jarang. Bahkan pemanfaatan bahasa Jawa dalam pergaulan

sudah sangat jarang.

Meskipun acara kebudayaan masih sering diselenggarakan di Yogyakarta,

tetapi minat generasi muda terhadap hal ini sudah mulai hilang. Hal-hal seperti

mall dan bioskop lebih diminati oleh generasi muda yang sekarang. Perangkat

telekomunikasi sendiri sudah sering menjadi media promosi diskon di mall atau

promosi penayangan film di bioskop. Hal ini membentuk ketergantungan baru


65

dalam perangkat telekomunikasi. ketergantungan awal adalah murni untuk

perangkat berkomunikasi. Tetapi dengan ini Generasi muda mulai bergantung

pada perangkat telekomunikasi untuk dijadikan sarana informasi. Mereka tidak

lagi bertanya untuk mencari info. Dengan perangkat HP saja banyak informasi

yang bisa didapatkan.

Ketergantungan seperti inilah yang akan berbahaya bagi kebudayaan Jawa.

Sistem-sistem kebudayaan Jawa menunjukkan pola belajar memahami

lingkungan, status dan juga perilaku Jawa. Semua ini menekankan seseorang

untuk hidup selaras dengan sesamanya dan memahami alam sekitarnya. Dengan

begitu konsep manusia sebagai bagian dari alam dan juga masyarakat bisa

dipetakan.
BAB V

PENUTUP

Perangkat telekomunikasi adalah hasil kebudayaan bangsa Barat. Sampai

sekarang pun perdebatan mengenai siapa bapak telekomunikasi yang sebenarnya

masih diperdebatkan, Claudio Chappe atau Alxander Graham Bell. Tetapi diantara

keduanya Bell adalah yang lebih tepat untuk dikatakan sebagai Bapak

telekomunikasi karena menciptakan telepon pertama. Potensi dimanfaatkannya

telepon sebagai media komunikasi umum jauh melebihi telegrafnya Chappe.

Telepon inilah yang pertama kali mencangkupi seluruh dunia dan memulai era

informasi. Indonesia menyadari pentingnya memiliki pra sarana telekomunikasi.

Oleh karena itu Satelit Palapa diluncurkan pada tanggal 6 Juni 1976. Dengan

memiliki satelit dan meluasnya jaringan telekomunikasi, maka komunikasi

Indonesia dari yang bersifat regional berubah menjadi nasional.

Berkembangnya perangkat telekomunikasi luar yang diadopsi di Indonesia

secara perlahan merubah kebudayaan Jawa di Indonesia. Di Yogyakarta secara

spesifik sistem-sistem kebudayaan tertentu mulai berubah. Komunikasi melalui

perangkat adalah hal yang lazim dipakai oleh generasi muda Yogyakarta.

Perangkat telekomunikasi bukanlah hasil dari kebudayaan Yogyakarta. Oleh

karena itu perangkat memiliki nilai-nilai kebudayaan sendiri. Ketergantungan

generasi muda Yogyakarta pada penggunaan perangkat telekomunikasi merubah

kebiasaan komunikasi antar individu mereka menjadi lebih praktis dan ’ceplas-

ceplos’. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa yang

66
67

menekankan pada sifat yang tidak egois dan tidak menonjolkan diri. Sewaktu

menggunakan perangkat generasi muda juga sudah mulai mengabaikan kesopanan

dan tingkatan bahasa Jawa yang perlu dipakai. Nilai-nilai kesabaran dan

kesadaran akan status ke-Jawaannya mulai hilang. Orang tua sebagai pewaris

budaya Jawa di Yogyakarta perlu menyadarkan kembali pentingnya melestarikan

kebudayaan pada generasi muda. Hal ini juga perlu diterapkan oleh generasi muda

tersebut dalam komunikasi dengan sesamanya baik melalui perangkat maupun

tidak. Perlu ada komunikasi yang tetap melestarikan nilai kebudayaan Jawa di

Yogyakarta diantara masyarakatnya.


DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Adler, Ronald B. et al, Understanding Human Communication (New York:


Oxford University Press, 2006).

Barnard, Malcolm. Fashion Sebagai Komunikasi: Cara Mengomunikasikan


Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender.
Yogyakarta&Bandung:Jalasutra.2007

Baskoro, Haryadi dan Sudomo Sunaryo. Catatan Perjalanan Keistimewaan


Yogya: merunut Sejarah Mencermati Perubahan, Menggagas Masa
Depan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2010

Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi, Sejarah Pos dan Telekomunikasi di


Indonesia Jilid IV: Masa Demokrasi Terpimpin (Jakarta: Cahaya
Makmur, 1989).

Endraswara, Suwardi. Etika Hidup Orang Jawa: Pedoman Beretiket dalam


Menjalani Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Narasi. 2010

Endraswara, Suwardi. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi,


Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatatama: 2006

Huurdeman, Anton A., The Worldwide History of Telecommunications, (New


Jersey: John Wiley & Sons, 2003), hlm. 5.

Koentjaraningrat., Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009),


hlm. 150

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta : Bentang Budaya. 1995

Pranoto Suhartono, W. Teori dan Metodologi Sejarah: Panduan untuk


Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Budaya. Yogyakarta: Graha
Ilmu. 2010

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.2005

Riswandi, Ilmu Komunikasi. Edisi Pertama.Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009.

68
69

Santoso, Edi; Setiansah, Mite. Teori Komunikasi. Edisi pertama. Yogyakarta:


Graha Ilmu. 2010

Sedyawati, Edi. KeIndonesiaan dalam Budaya Buku 2: Dialog


Budaya:Nasional dan Etnik Peranan Industri Budaya dan Media Massa
Warisan budaya dan Pelestarian Dinamis. Jakarta Selatan: Wedatama
Widya Sastra. 2008

Setiadi, Elly M., et al. Ilmu Sosial dan Budaya dasar: Edisi kedua. Jakarta:
Kencana. 2009

Soemardjan, Selo. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu.


2009

Stakes, Jane. How to do Media and Cultural Studies. Yogyakarta: Bentang. 2006

Website

http://emprit.wordpress.com/2009/02/18/perubahan-dan-strategi-kelas-sosial-
pada-masyarakat-jawa/ Data diakses pada tanggal 24 Agustus 2010.

http://globalis.gvu.unu.edu/indicator_detail.cfm?Country=ID&IndicatorID=42#ro
w Data diakses pada tanggal 9 Oktober 2010.

http://ikadbudi.uny.ac.id/display.php?page=news&contentID=35 Data diakses


pada tanggal 24 Agustus 2010.

http://kangarul.wordpress.com/2009/07/31/empat-fase-perkembangan-
komunikasi-manusia/ Data diakses pada tanggal 24 Agustus 2010.

http://www.angelfire.com/id/akademika/mstrendtel98.html Data diakses pada


tanggal 9 Oktober 2010.

http://www.palapasat.com/history.php Data diakses tanggal 24 Agustus 2010

http://www.postel.go.id Data diakses pada tanggal 16 Agustus 2010.

http://www.wacananusantara.org/ Data diakses pada tanggal 27 Juli 2010.


70

Laporan Penelitian

Pinoy Internet: Philippines Case Study karya tim ITU. Maret 2002. Jenewa,
Switzerland.

Sumardjan, Selo. The Social and Cultural effects of Satellite Communications,


bahan seminar AMIC-DEPPEN di Jakarta Juli 25-27 1990 mengenai
Socio-Economic Impact of Broadcast Satellites in the Asia-Pacific Region.

Anda mungkin juga menyukai