Anda di halaman 1dari 161

CULTURE SHOCK PADA MAHASISWA PERANTAU DI KOTA MEDAN

(STUDI KASUS PADA MAHASISWA ACEH YANG TERGABUNG DALAM IKATAN


PEMUDA TANAH RENCONG UNIVERSITAS SUMATERA UTARA)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam
Bidang Antropologi

Oleh

ELDINA

170905054

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

CULTURE SHOCK PADA MAHASISWA PERANTAU DI KOTA MEDAN


(STUDI KASUS PADA MAHASISWA ACEH YANG TERGABUNG DALAM
IKATAN PEMUDA TANAH RENCONG UNIVERSITAS SUMATERA UTARA)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwasannya di dalam skripsi ini tidak terdapat
karya yang pernah di ajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dan diacu dalam
naskah ini disebut dalam daftar pustaka

Apabila di kemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan
disini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan
saya.

Medan, Juli 2021

Penulis

Eldina

i
ABSTRAK

Eldina, 170905054 (2021). Judul Skripsi: Culture Shock Pada Mahasiswa Perantau di
Kota Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Aceh Yang Tergabung Dalam Ikatan
Pemuda Tanah Rencong Universitas Sumatera Utara).
Tulisan ini berjudul Culture Shock Pada Mahasiswa Perantau di kota Medan
(Studi Kasus Pada Mahasiswa Aceh Yang Tergabung Dalam Ikatan Pemuda Tanah
Rencong Universitas Sumatera Utara). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan bagaimana fenomena Culture Shock yang di alami mahasiswa Aceh
perantau di kota Medan khususnya bagi mereka yang tergabung dalam organisasi Ikatan
Pemuda Tanah Rencong (IPTR) Universitas Sumatera Utara. Selain itu, penelitian ini
juga bertujuan untuk mengetahui apa-apa saja hal-hal yang menyebabkan terjadinya
Culture Shock dalam proses adaptasi mahasiswa Aceh yang menjadi fokus penelitian
tersebut di kota Medan, sebagai lingkungan yang baru.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan
pendekatan studi kasus untuk berusaha menganalisis fenomena yang diteliti dan
kemudian mendeskripsikannya secara apa adanya. Proses pengumpulan data dimulai
dengan membangun rapport bersama para informan, kemudian dilanjutkan dengan teknik
pengumpulan data yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif yakni observasi,
wawancara mendalam, dan dibantu dengan melakukan studi kepustakaan dan
dokumentasi. Disamping itu, peneliti juga menggunakan teknik Focus Group Discussion
(FGD) untuk melontarkan hasil-hasil penelitian yang telah diperoleh melalui wawancara
mendalam dan observasi yang digunakan untuk memperkuat data hasil penelitian dan
sangat bermanfaat untuk melakukan observasi secara bersamaan terhadap para informan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwasannya Culture Shock yang dialami
mahasiswa Aceh IPTR USU cenderung diakibatkan ketidaksiapan mereka dalam
menghadapi perubahan dan perbedaan-perbedaan yang di dapati dalam lingkungan kota
Medan sebagai lingkungan baru. Faktor pendorong merantau, persepsi, prasangka
ataupun stereotype tentang kota Medan adalah faktor awal yang turut mendorong
terjadinya Culture Shock dalam proses adaptasi mahasiswa Aceh di kota Medan sebagai
lingkungan yang baru. Bentuk-bentuk Culture Shock yang dihadapi mahasiswa Aceh
perantau diantaranya adalah timbulnya kesedihan yang mendalam, keinginan kembali
pulang kekampung halaman, adanya perasaan kehilangan, berkurangnya kepercayaan
diri, membatasi diri dalam berinteraksi dan bersosialisasi, bahkan memusuhi lingkungan
baru hingga munculnya pandangan etnosentrisme. Penyebab yang melatarbelakangi
Culture Shock yang dihadapi Mahasiswa Aceh IPTR USU cenderung disebabkan oleh
perbedaan dalam lingkungan sosial budaya seperti suasana, bahasa, adat istiadat, agama,
makanan, serta pada lingkungan fisik dan juga dipengaruhi oleh kepribadian.

Kata-Kata Kunci: Kebudayaan, Adaptasi, Culture Shock

ii
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
kasih karunia-Nya yang tiada pernah terhenti dilimpahkan kepada penulis dalam setiap
langkah perjalanan kehidupan yang dilalui, hingga pada tahap demi tahap penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi penulis yang berjudul “Culture Shock pada mahasiswa
perantau di kota Medan, dengan studi kasus pada organisasi IPTR Komisariat USU”
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial dalam bidang
Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, di Univesitas Sumatera Utara.

Terimakasih yang begitu tulus dan mendalam penulis ucapkan kepada kedua
orang tua penulis yakni Ayahanda Obedi Harefa dan Ibunda Rosianna Tumanggor yang
senantiasa selalu ada bagi penulis, mendoakan penulis dan memberikan segala sesuatu
yang dibutuhkan oleh penulis termasuk cinta dan kasih sayang yang tiada hentinya.
Semoga Tuhan selalu memberkati dan melindung serta memberikan kalian umur yang
panjang. Begitupun kepada ke-empat saudara kandung penulis yang terkasih yakni
Andriadi Kristianto, Kristiana Laurita, Alfian Kriswan, dan Rika Dinarti, terimakasih atas
dukungan, nasehat, dan motivasi yang juga selalu diberikan kepada penulis dan telah
menjadi contoh yang baik bagi penulis selaku anak bungsu dalam keluarga ini. Terkhusus
kepada Abang pertama penulis yakni Andriadi yang telah pergi saat penulis sedang
berada pada tahap penyusunan skripsi ini, terimakasih atas segala bentuk perhatian dan
kasih sayang yang telah engkau beri kepada adik terkecilmu ini, semoga engkau tenang
berada di surga-Nya.

Selanjutnya, terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak


Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si selaku dosen Penasehat Akademik penulis sekaligus
merupakan dosen Pembimbing penulisan Skripsi ini. Terimakasih untuk segala arahan,
ilmu pengetahuan, waktu, serta kebaikan-kebaikan lainnya yang Bapak berikan kepada
penulis baik selama masa perkuliahan hingga diselesaikannya skripsi ini. Setiap
bimbingan yang bapak berikan merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi
penulis, yang juga membentuk karakter penulis menjadi sosok yang lebih disiplin,
tangguh dan berani. Semoga bapak selalu diberikan kesehatan dan umur yang panjang,
serta dibalas segala kebaikannya oleh yang Maha Kuasa.

iii
Terimakasih pula penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska, M. Ant
selaku Ketua Departeman Antropologi Sosial yang juga merupakan salah satu dosen
pengajar yang difavoritekan penulis selama masa perkuliahan. Terimakasih untuk segala
ilmu, motivasi dan arahan yang diberikan kepada penulis dan juga seluruh mahasiswa
Antropologi, semoga jurusan Antropologi semakin maju lagi kedepannya. Terimakasih
pula kepada Bapak Drs. Agustrisno, MSP selaku Sekretaris Departemen Antropologi
Sosial yang juga merupakan dosen pengajar yang telah banyak memberikan ilmu yang
sangat bermanfaat dengan segala kesabaran yang dimiliki dalam proses mendidik para
mahasiswa.

Terimakasih yang setulusnya juga penulis ucapkan kepada Ibu Dra. Nita Savitri
M.Hum dan Ibu Dra. Tjut Syahriani M.Soc.Sc selaku dosen antropologi yang juga
merupakan dosen penguji penulis saat melaksanakan ujian skripsi, yang telah begitu
banyak memberikan ilmu pengetahuan, saran dan kritik yang sangat membangun
terhadap penulis yang sangat bermanfaat dalam proses penyusunan skripsi ini. Begitupun
kepada seluruh dosen Antropologi Sosial yang telah memberikan ilmu pengetahuan,
wawasan dan segala pelajaran hidup selama penulis menimba ilmu di Universitas
Sumatera Utara yang tentunya sangat bermanfaat bagi penulis dan menjadi bekal bagi
penulis untuk hari-hari kedepan, penulis sangat berterimakasih sebesar-besarnya telah
memperoleh itu semua. Terimakasih pula kepada kedua staff administrasi Departemen
Antropologi Sosial yang begitu baik dan sabar serta selalu memberikan petunjuk dan
kemudahan dalam hal administrasi kepada penulis dan seluruh mahasiswa Antropologi.
Selain itu, terimakasih penulis ucapkan kepada seluruh informan penelitian penulis di
lapangan khususnya kepada orang-orang yang berada dalam organisasi IPTR Komisariat
Universitas Sumatera Utara begitu baik dan terbuka serta meluangkan waktu untuk
memberikan informasi-informasi sesuai dengan kebutuhan penelitian penulis, semoga
Tuhan membalas kebaikan-kebaikan yang kalian berikan.

Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh teman terdekat


penulis terutama selama berada di bangku perkuliahan seperti Winda Kartika Manalu,
penulis bersyukur bisa memiliki sahabat seperti beliau yang sudah penulis anggap seperti
saudara penulis sendiri, yang memiliki perwatakan baik, lembut dan ikhlas dimana
tangis, canda dan tawa pernah dilalui bersama-sama selama berada pada bangku

iv
perkuliahan dan hingga sampai pada saat ini. Semoga jalinan persahabatan tersebut tidak
hanya sebatas sampai pada kelulusan meraih ilmu dan gelar kesarjanaan melainkan untuk
selamanya. Begitupun dengan Dina Febyanti dengan segala jiwa humorist dan
kemudahan tawanya, terimakasih juga sudah menjadi sahabat penulis selama berada
dalam bangku perkuliahan. Terimakasih juga kepada m.n yang menjadi salah satu teman
terdekat penulis selanjutnya, yang bersedia disusahkan dan mendengarkan segala keluh
kesah penulis, memberikan bantuan, semangat dan hiburan juga dukungan dan motivasi
kepada penulis baik dalam proses penyusunan skripsi ini, pun dalam hal lainnya.

Kepada teman-teman seperjuangan lainnya seperti Arie, Ara, Ira, Ida, Fery, yang
telah menjadi teman bertukar pikiran selama pengerjaan skripsi dan juga seluruh kerabat
antropologi 2017 yang tidak bisa penulis sebut satu-persatu, terimakasih telah menjadi
bagian dari perjalanan hidup penulis khususnya dalam mengisi hari-hari semasa berada
dalam bangku perkuliahan. Semangat untuk kita semua. Selain itu masih ada sahabat-
sahabat penulis lainnya diluar bangku perkuliahan seperti Lolo, Nobel, Mario, Melisa,
Dumayanti, Shecilia, Irwanda dan Rosa yang juga menjadi salah satu support system
penulis dalam proses penyusunan skripsi ini, terimakasih penulis ucapkan untuk
dukungan dan desakan kalian kepada penulis yang juga berfungsi mendorong penulis
agar cepat menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang tiada
terhingga kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penyusunan skripsi ini, yang
tidak dapat penulis sebut satu-persatu, semoga Tuhan senantiasa selalu memberkati dan
melindungi setiap langkah dalam kehidupan kita.

Medan, Juli 2021

Penulis

Eldina

v
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Eldina, Lahir di Medan, 27 Desember 1998.


Merupakan anak kelima dari lima bersaudara melalui
pasangan Bapak Obedi Harefa dan Ibu Rosianna
Tumanggor. Lulus sekolah Dasar (SD) pada tahun
2011 melalui SDN 064990 di Kota Medan.
Kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah
Menengah Pertama di SMP Swasta Santo Petrus
Medan dan lulus pada tahun 2014. Setelah lulus
SMP, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah
Menengah Pertama (SMA) Swasta Primbana dan lulus pada tahun 2017. Setelah lulus
SMA, penulis mengikuti ujian SBMPTN dan dinyatakan lulus menjadi Mahasiswa Strata
1 (S-1) pada jurusan Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sumatera Utara pada tahun 2017. Adapun alamat gmail penulis adalah
eldinayustika2712@gmail.com

Selama menjadi mahasiswa, terdapat beberapa kegiatan dan prestasi yang pernah
di raih penulis selama menjadi mahasiswa, baik kegiatan di dalam kampus maupun di
luar kampus diantaranya adalah:

1. Penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) di Universitas


Sumatera Utara pada tahun 2018 dan 2019
2. Mengikuti organisasi GGart tahun 2018 dan menjadi Panitia Workshop GGArt
dengan tema“ Literasi Media Sosial Untuk Budaya Bersih” tahun 2018
3. Panitia Natal Antropologi Sosial tahun 2018
4. Peserta Seminar “Pengenalan Arkeologi dalam Rangka Pekan Pendidikan
Kebudayaan” di PPPTK (P4TK) BBL Medan, tahun 2019
5. Mengikuti Acara Warkop Antro dengan Tema “Hutan Adat dan Masyarakat
Hukum Adat” tahun 2019
6. Panitia dan Pengisi Acara Penyambutan Mahasiswa Baru Antropologi Sosial yang
bertemakan “ Wonderful Of Culture” tahun 2019

vi
7. Mengikuti “Training Of Fasilitator (TOF)” yang diadakan oleh mata uliah
Pengembangan Masyarakat di hotel Islami Aceh House, Medan Tahun 2019
8. Mengikuti temu ilmiah Arkeologi yang dibawakan oleh Prof. Dr. Bungaran
Antonius Simanjuntak di Balai Arkeologi Sumatera Utara, Medan Tuntungan,
Medan tahun 2020
9. Peserta Seminar “4 Pilar Kebangsaan” oleh DPR RI Sofyan Tan di Auditorium
Politeknik Wilmar Bisnis Indonesia (WBI), tahun 2020
10. Menjadi Tim Pemantau Dalam Pemilu Walikota Medan periode 2021-2024, di
Salah satu TPS Kelurahan Kwala Bekala, Medan Johor, Medan tahun 2020.

vii
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial pada bidang Antropologi Sosial di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “Culture Shock Pada Mahasiswa Perantau di Kota Medan
(Studi Kasus Pada Mahasiswa Aceh yang Tergabung Dalam Ikatan Pemuda Tanah
Rencong Universitas Sumatera Utara)” yang berisikan tentang deskripsi pengalaman
Culture Shock yang dihadapi mahasiswa Aceh perantau di kota Medan, bentuk-bentuk
Culture shock yang mereka hadapi, serta hal-hal yang menyebabkan terjadinya Culture
Shock dalam proses adaptasi mereka di kota Medan sebagai lingkungan yang baru.
Penulisan skripsi ini disusun berdasarkan hasil wawancara mendalam dan pengamatan
yang di lakukan di lapangan.

Penulis sangat menyadari bahwasannya di dalam skripsi ini masih terdapat


banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis dengan senang
hati menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk perbaikan dan
pembelajaran pada tulisan-tulisan selanjutnya. Penulis berharap, semoga kiranya skripsi
ini dapat bermanfaat bagi setiap pembacanya. Atas perhatiannya penulis ucapkan
terimakasih.

Medan, Juli 2021

Penulis

Eldina

viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERSETUJUAN
PERNYATAAN ORIGINALITAS ................................................................................. i
ABSTRAK ....................................................................................................................... ii
UCAPAN TERIMAKASIH............................................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 7
1.2.1 Kebudayaan ............................................................................................... 7
1.2.2.Adaptasi ..................................................................................................... 14
1.2.3 Culture Shock ............................................................................................. 16
1.2.4 Etnosentrisme ............................................................................................. 24
1.2.5 Integrasi Sosial .......................................................................................... 25
1.2.6 Merantau .................................................................................................... 27
1.2.7 Penelitian Terdahulu ................................................................................... 28
1.3 Rumusan Masalah ............................................................................................... 31
1.4 Batasan Masalah ................................................................................................. 31
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................ 37
1.6 Metode Penelitian ............................................................................................... 38
1.6.1 Tipe Penelitian ........................................................................................... 38
1.6.2 Sumber Data............................................................................................... 38
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 39
1.6.4. Analisis Data ............................................................................................. 47
1.7 Pengalaman Penelitian ........................................................................................ 49
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1 Kota Medan ........................................................................................................ 52
2.1.1 Letak Geografis Kota Medan ...................................................................... 52
2.1.2 Heterogentitas Kota Medan ........................................................................ 55
2.2 Universitas Sumatera Utara ................................................................................. 58
2.2.1 Sejarah Berdirinya Universitas Sumatera Utara (USU) .............................. 58
2.3 Organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong (IPTR) USU ..................................... 61
2.3.1 Sejarah Berdirinya IPTR ............................................................................. 61
2.3.2 Makna Lambang Organisasi IPTR .............................................................. 64
2.3.3 Profil Komisariat IPTR USU ...................................................................... 65
2.3.4 Visi dan Misi IPTR USU ............................................................................ 67
2.3.5 Struktur Organisasi IPTR USU ................................................................... 68
BAB III CULTURE SHOCK PADA MAHASISWA ACEH PERANTAU YANG
TERGABUNG DALAM ORGANISASI IPTR USU DI KOTA MEDAN
3.1 Kebudayaan Aceh ............................................................................................... 71
3.1.1 Karateristik Masyarakat Aceh ..................................................................... 72
3.1.2 Agama ........................................................................................................ 75

ix
3.1.3 Sistem Pemerintahan .................................................................................. 76
3.1.4 Bahasa ........................................................................................................ 80
3.1.5 Pendidikan.................................................................................................. 81
3.2 Latar Belakang Informan dan Faktor Pendorong Memilih Berkuliah di Kota
Medan ................................................................................................................. 83
3.3 Persepsi Mahasiswa Aceh Tentang Kota Medan ................................................. 90
3.2.1 Persepsi Negatif......................................................................................... 91
3.2.2 Persepsi Positif .......................................................................................... 94
3.4 Pengalaman Culture Shock Mahasiswa Aceh di kota Medan ............................... 96
3.4.1 Informan LI ................................................................................................ 97
3.4.2 Informan HM ............................................................................................ 102
3.4.3 Informan AS ............................................................................................... 105
3.4.4 Informan Fitri ............................................................................................. 109
3.4.5 Informan Rizky .......................................................................................... 112
3.4.6 Informan Kahlil .......................................................................................... 115
3.5 Bentuk-Bentuk Culture Shock yang di Alami ...................................................... 119
BAB IV FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CULTURE SHOCK DALAM
PROSES ADAPTASI MAHASISWA ACEH DI KOTA MEDAN
4.1 Hasil Focus Group Discussion ............................................................................ 121
4.2 Penyebab yang Melatarbelakangi Terjadinya Culture Shock Pada Mahasiswa
Aceh ................................................................................................................... 124
4.2.1 Lingkungan Sosial Budaya ......................................................................... 125
4.2.1.1 Bahasa ............................................................................................ 125
4.2.1.2 Adat Istiadat.................................................................................... 126
4.2.1.3 Agama ........................................................................................... 128
4.2.1.4 Makanan ........................................................................................ 128
4.2.2 Lingkungan Fisik ..................................................................................... 129
4.2.3 Kepribadian ............................................................................................... 130
4.3 Upaya-upaya mahasiswa Perantau dalam mengatasi Culture Shock ..................... 131
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 135
5.2 Saran................................................................................................................... 136
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 138
LAMPIRAN ..................................................................................................................... 142

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar I Kurva U .......................................................................................................... 21


Gambar II Peta Kota Medan .......................................................................................... 54
Gambar III Universitas Sumatera Utara ....................................................................... 58
Gambar IV Sekretariat IPTR Kota Medan.................................................................... 63
Gambar V Lambang IPTR ............................................................................................. 64
Gambar VI Sekretariat IPTR USU ................................................................................ 66

xi
DAFTAR TABEL
Tabel I Informan Penelitian ........................................................................................ 42
Tabel II Luas Wilayah Kota Medan Menurut Kecamatan tahun 2015 .................... 53
Tabel III Perbandingan Etnis di Kota Medan Tahun 1930, 1980, 2000 .................... 56
Tabel IV Agama di Kota Medan ................................................................................ 57
Tabel V Jumlah mahasiswa USU Tahun 2001/2002 – 2017/2018 .............................. 60
Tabel VI Struktur Organisasi IPTR Komisariat USU Periode 2019-2020................ 68

xii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap daerah memiliki kebudayaan yang dijadikan sebagai pedoman hidup


masyarakatnya. Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil
karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar dimana dengan demikian maka seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan
karena hanya sedikit tindakan manusia yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar
(Koentjaraningrat 2016 : 144). Melalui defenisi tersebut dapat diketahui bahwasannya
hampir seluruh peri kehidupan manusia baik yang bersifat konkret maupun abstrak
merupakan kebudayaan. Manusia yang pada hakekatnya merupakan makhluk yang saling
membutuhkan satu sama lain, mendorong terbentuknya suatu komunitas atau kelompok
kebudayaan. Terbentuknya kelompok kebudayaan tersebut biasanya didorong oleh
beberapa faktor diantaranya adalah adanya kesamaan lingkungan, seperti geografis,
kesamaan nasib, keluarga, nilai-nilai, praktik keagamaan, kebiasaan, atau adat istiadat
dari suatu kelompok budaya manusia ikut mendorong terbentuknya identitas
komunitasnya (Andre Ata Ujan, dkk, 2011).

Indonesia merupakan negara multikultural dengan keanekaragaman masyarakat


yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, agama, dan ras yang berbeda-beda yang
menjadikannya sebagai bangsa yang majemuk. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2010, terdapat 1.340 suku bangsa atau etnik yang ada di tanah air.
Keanekaragaman tersebut tersebar di tiap-tiap daerah di Indonesia dari sabang sampai
merauke. Hal ini menyadarkan kita bahwasannya terdapat berbagai perbedaan yang
menjadi kekayaan Indonesia khususnya dalam ruang lingkup kebudayaan. Perbedaan
tersebut dapat ditemui pada ciri khas unsur-unsur kebudayaan di tiap daerahnya, yang
dianut oleh kelompok masyarakatnya. Ciri khas unsur-unsur kebudayaan tersebut
kemudian akan diwariskan secara turun temurun oleh penganutnya melalui lintas
generasi yang dikenal dengan istilah “enkulturasi”.

1
Proses enkulturasi adalah proses dimana seorang individu mempelajari dan
menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan
yang hidup dalam kebudayaan (Koentjaraningrat, 2016 : 189). Berdasarkan teori tersebut
dapat diketahui bahwasannya kebudayaan merupakan sesuatu yang telah dipelajari sejak
kecil oleh setiap individu dalam lingkungan tempat tinggalnya. Sehingga, lingkungan
tempat tinggal sebagai lingkungan kebudayaan atau daerah asal tempat individu hidup,
memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk konsep pemikiran, tingkah laku
serta kepribadian masyarakat yang tentunya berbeda-beda tiap daerahnya sesuai dengan
bagaimana ciri khas dari unsur kebudayaan yang dimiliki.

Dalam dunia yang semakin canggih, modern dan terbuka di masa kini, pertemuan
dan pergaulan antar kebudayaan dari berbagai daerah sangatlah mudah terjadi. Salah satu
pendorong terjadinya adalah karena adanya mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk
merupakan perpindahan yang dilakukan dari daerah asal menuju lingkungan baru baik
secara permanen ataupun tidak, dengan berbagai alasan dan tujuan tertentu. Perpindahan
yang dilakukan secara permanen atau tidak ke lingkungan yang baru tentunya akan
menimbulkan terjadinya kontak antar budaya berbeda, yang tentunya akan dihadapkan
pada hal-hal yang baru dan akan menimbulkan berbagai perubahan atau merasakan
perbedaan bagi diri individu baik dalam situasi sosial, budaya maupun lingkungan.

Dalam menghadapi perbedaan tersebut, akan wajar jika muncul berbagai kesulitan
yang mendorong individu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang
baru baik pada unsur kebudayaan, perbedaan suasana kultur atau segala kebiasaan hidup
yang di jalani seperti di lingkungan asal sebagai tempat yang sudah familiar. Kontak
antar budaya berbeda akan dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, kecemasan, rindu
akan daerah asal hingga dapat menyebabkan tekanan mental sebagai reaksi psikis dan
fisik (Yusnia, 2016). Keadaan inilah yang dikenal dengan istilah gegar budaya atau
culture shock.

Culture shock sebuah fenomena yang pertama kali dicetuskan oleh seorang
antropolog bernama Kalervo Oberg (1960, dalam Irwin 2007) dimana ia menggambarkan
fenomena ini sebagai sebuah kecemasan dan gangguan emosional yang dihasilkan dari
kehilangan semua tanda dan simbol dari hubungan sosial yang dikenali. Kecemasan dan

2
gangguan emosional tersebut dialami oleh seseorang ketika realitas dan konseptualitas
bertemu. Kecemasan ini dihasilkan karena merasa kehilangan semua tanda dan simbol
dari hubungan sosial yang dikenali sehingga dapat berakibat pada timbulnya perasaan
terisolasi, tidak aman (tidak nyaman), kegelisahan umum dengan situasi baru, ketakutan
irasional, kesulitan tidur, kecemasan bahkan depresi, sibuk dengan kesehatan, mual, dan
kerinduan yang berlebihan untuk kembali pulang ke kampung halaman akibat culture
Shock yang dialami (irwin, 2007).

Culture shock pada umumnya biasa terjadi pada orang-orang yang secara tiba-tiba
berpindah dari daerah asalnya ke daerah baru yang dapat menimbulkan tekanan mental
serta ketidaknyamanan terhadap budaya dan lingkungan barunya yang akan sangat
berpengaruh pada kehidupan sosial juga dapat menimbulkan gejala seperti stres, frustasi,
serta susah beradaptasi dalam menerima nilai-nilai sosial baru yang tentunya akan
memakan waktu cukup lama (Damai Andani, 2017). Manusia akan senantiasa berusaha
menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di sekitanya, seperti halnya individu
yang berada dalam lingkungan kebudayaan baru. Dalam proses penyesuaian tersebut
segala kebiasaan hidup yang dijalani biasanya akan memiliki perbedaan dalam
lingkungan baru yang dijumpainya sehingga akan beresiko pada terjadinya culture shock
akibat adanya berbagai unsur kebudayaan berbeda dan suasana kultur yang berbeda pula.

Koentjaraningrat (2016) menyatakan bahwasannya dalam tiap batas wilayah


tampak kesatuan-kesatuan manusia yang lebih khusus, berbeda antara satu dengan yang
lainnya, yang disebabkan karena adat istiadat dan bahasa suku bangsa, kadang-kadang
juga karena agama, atau kombinasi dari keduanya. Contohnya adalah pada Indonesia di
pulau Sumatera terdapat suku bangsa Aceh yang letak daerahnya berada di ujung utara
pulau Sumatera yang berbeda dengan suku bangsa Batak Toba, bukan hanya mengenai
adat-istiadat atau bahasanya, melainkan juga mengenai agamanya; suku bangsa Aceh
yang dominan Islam, dan suku bangsa Batak Toba yang dominan Kristen.

Suatu “daerah kebudayaan” (culture area) merupakan suatu penggabungan atau


penggolongan (yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi) dari suku-suku bangsa yang
beragam kebudayaannya, tetapi mempunyai beberapa unsur dan ciri yang mencolok yang
serupa, ciri-ciri tersebut tidak hanya berwujud unsur kebudayaan fisik seperti perhiasan,

3
gaya pakaian, bentuk kediaman alat-alat transportasi dan lain sebagainya, melainkan juga
unsur-unsur kebudayaan yang bersifat abstrak dari sistem sosial atau sistem budaya
misalnya unsur-unsur organisasi kemasyarakatan, perekonomian, upacara-upacara
kegamaan, unsur cara berpikir, dan adat istiadat (Koentjaraningrat,2016). Oleh sebab itu
dapat dietahui bahwa dalam setiap daerah, akan selalu ada unsur kebudayaan baik yang
sifatnya konkret maupun abstrak, yang menjadi ciri khas mencolok suatu masyarakatnya
dan tentu sedikit banyaknya sudah melekat dalam diri setiap individu dalam
masyarakatnya yang akan mempengaruhi pula bagaimana kepribadian individu dalam
masyarakatnya terbentuk.

Kota Medan merupakan salah satu kota yang terletak di pulau Sumatera sebagai
ibu kota dari provinsi Sumatera Utara yang dikenal identik dengan suku Batak.
Keidentikan tersebut sebenarnya adalah salah satu stereotipe yang melekat pada kota
Medan, padahal suku bangsa asli kota Medan adalah suku bangsa Melayu. Adapula
stereotipe yang menganggap bahwa Medan dipenuhi oleh orang-orang dengan jiwa yang
keras dan juga kasar sehingga menimbulkan persepsi negatif bagi orang-orang yang tidak
berasal dari kota Medan. Seperti pada penelitian yang dilakukan Atiqa (2013) yang
mengungkapkan representasi karakter masyarakat kota Medan melalui desain kaos,
menonjolkan karakter masyarakat kota Medan yang dikenal garang, kasar, dan
menantang.

Stereotipe-stereotipe seperti itu tentu akan mempengaruhi cara pandang orang-


orang yang bukan berasal dari kota Medan atau hendak mendatangi kota Medan. Hal
tersebut karena sudah tertanam stigma negatif tentang kota Medan yang tentu saja akan
menimbulkan rasa khawatir, sensitif atau was-was sebagai reaksi negatif akibat
stereotype tentang kota Medan. Menurut penulis, stereotype demikian sebenarnya
dipengaruhi oleh dialek penduduk kota Medan atau logat bahasa dan intonasi suara yang
cukup besar sehingga menimbulkan penilaian kasar, garang, atau menantang bagi orang-
orang yang tidak berasal dari kota Medan.

Terdapat individu-individu pendatang yang berasal dari luar kota Medan, yang
tidak tinggal untuk menetap melainkan untuk mencapai suatu tujuan dalam jangka waktu
tertentu dan biasanya cukup lama seperti halnya adalah para pelajar atau mahasiswa

4
perantau yang berasal dari luar daerah kota Medan. Hal tersebut menuntut mereka untuk
beradaptasi dan memahami bagaimana kebudayaan yang hidup di kota Medan sebagai
lingkungan baru yang akan ditempati dalam kurun waktu yang cukup lama dengan tujuan
untuk menempuh pendidikan khususnya di perguruan tinggi.

Mahasiswa perantau bukanlah suatu hal yang baru dalam lingkup kehidupan di
perguruan tinggi. Mahasiswa di tiap universitas sangat identik dengan yang namanya
merantau karena sebagian besar mahasiswa adalah orang-orang yang berasal dari luar
daerah. Universitas Sumatera Utara merupakan universitas negeri yang menjadi salah
satu kampus favorite khususnya di pulau Sumatera. Banyak diantara mahasiswa yang
berjuang dari berbagai asal daerah untuk dapat berkuliah di USU sehingga tidak heran
jika kampus USU juga memiliki nuansa multikultural melalui mahasiswanya.

Terdapat berbagai alasan dan pertimbangan bagi mereka yang berasal dari luar
daerah ketika memilih sebuah Universitas yang dijadikan tujuan untuk menempuh
pendidikan di perguruan tinggi yang bukan berada di daerah asalnya. Alasan-alasan
tersebut bisa jadi dikarenakan kualitas sebuah Universitas yang dianggap bagus,
dorongan dari orang tua, adanya kerabat di daerah universitas yang dituju, atau keinginan
diri sendiri untuk merantau dan menempuh pendidikan di luar daerah dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, tidak heran jika dalam kehidupan di lingkungan Universitas
terdapat berbagai identitas kebudayaan yang berbeda yang berpeluang pada terjadinya
culture shock bagi individu yang tidak berasal dari kota Medan.

Melalui pengamatan lapangan, fenomena culture shock secara sadar maupun tidak
banyak dialami oleh mahasiswa-mahasiswi perantau dari berbagai asal daerah di luar
kota Medan yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Beberapa
bentuk culture shock yang sebenarnya dapat diamati dilapangan adalah seperti ketidak
inginan mereka untuk bergaul dengan teman yang berbeda daerah asal atau suku, kritikan
mereka pada rasa makanan, gaya berpakaian, gaya bicara atau berbahasa baik dialek,
intonasi suara atau ejaan kata, tingkah laku perempuan dan laki-laki, kebersihan, keadaan
lalu lintas dan transportasi lalu lintas, cuaca, serta gaya hidup orang-orang yang diamati
di kota Medan. Hal-hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk ketidaknyamanan
yang umumnya di tunjukkan oleh mahasiswa perantau yang berasal dari luar kota Medan.

5
Proses penyesuaian diri yang dilakukan dengan mempelajari lingkungan kebudayaan
baru sebagai tempat tinggal tidak mungkin dapat dilakukan dengan cepat karena tentunya
didapati berbagai hal yang berbeda dengan lingkungan asal sehingga dalam proses
penyesuaian diri ini lah peluang terjadinya culture shock atau syok budaya sangat
memunginkan terjadi. Setiap individu tentunya memberikan reaksi yang berbeda-beda
ketika mengalami culture shock, ada yang menyerah namun ada pula yang maju dan
menikmati lingkungan barunya.

Fokus penelitian ini dilakukan pada mahasiswa perantau yang berasal dari luar
kota Medan di Universitas Sumatera Utara yakni pada mahasiswa Aceh perantau yang
tergabung dalam organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong (IPTR) Universitas Sumatera
Utara yang mengalami culture shock. Penulis memilih mahasiswa Aceh perantau sebagai
fokus penelitian peneliti karena selain tentunya terdapat perbedaan-perbedaan antara
lingkungan sosial budayadi Aceh dan dikota Medan, peneliti juga memilih mahasiswa
Aceh karena fenomena culture shock yang penulis angkat sebagai fokus penelitian
berangkat dari pengamatan di lapangan terhadap mahasiswa Aceh yang mengalami
culture shock.

Penulis mengamati kehidupan sosial salah satu mahasiswa Aceh perantau yang
berkepribadian tertutup di lingkungan tempat tinggalnya, tidak ingin bergaul dengan
orang lain selain teman yang berasal dari daerah asal, mudah menangis dan selalu ingin
pulang ke kampung halaman. Hal tersebut menarik perhatian penulis untuk mengkaji
lebih dalam dan lebih lanjut mengenai fenomena ini sehingga peneliti memfokuskan
penelitian pada mahasiswa Aceh khususnya yang tergabung dalam organisasi Ikatan
Pemuda Tanah Rencong (IPTR) Komisariat di Universitas Sumatera Utara, sebagai salah
satu wadah perkumpulan mahasiswa Aceh perantau di kota Medan. Peneliti merasa
fenomena culture shock yang dikhususkan peneliti pada mahasiswa Aceh merupakan
kajian yang masih sangat menarik untuk di teliti terkhusus melalui sudut pandang
Antropologi.

6
1.2 Tinjauan Pustaka
1.2.1 Kebudayaan
a. Defenisi Kebudayaan

Berbicara mengenai manusia maka tidak akan terlepas dari yang namanya
kebudayaan karena kebudayaan mengacu pada seluruh aspek kehidupan manusia. Kata
“kebudayaan’ berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi yang artinya ialah budi atau akal sehingga diartikan bahwasannya
kebudayaan merupakan hal-hal yang bersangkutan dengan akal.

Menurut Ilmu antropologi kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan,


tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan miilk diri
manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2016). Dengan demikian, dapat diketahui
bahwasannya kebudayaan begitu melekat dengan diri manusia karena hampir seluruh
tindakan yang dilakukan oleh manusia dilakukan melalui proses belajar terlebih dahulu.
Tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan
belajar adalah seperti hanya beberapa dari tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa
tindakan proses fisiologis, atau kelakuan membabi buta (Koentjaraningrat, 2016:146).
Berdasarkan defenisi tersebut, maka manusia tidak dapat dipisahkan dengan yang
namanya kebudayaan karena dalam kehidupan sehari-hari, ketika berbicara, bertindak
atau melakukan apapun manusia akan senantiasa terlibat dengan yang namanya
kebudayaan.

Sejak tahun 1871, E.B Taylor (dalam Poerwanto, 2000 : 52) telah mencoba
mendefenisikan kata kebudayaan yakni sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat dan berbgai kemampuan serta
kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat Namun, defenisi ini
tampaknya lebih kepada unsur-unsur yang terdapat dalam kebudayaan tanpa
menyebutkan sifat dan karakteristik dari unsur-unsur kebudayaan itu. Defenisi tersebut
kemudian dianggap kurang esensisal sehingga Wilson (1966, dalam Robert 2004)
mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang ditransmisi dan disebarkan
secara sosial baik bersifat eksistensial, normatif maupun simbolis, yang tercermin dalam
tindakan (act) dan benda-benda hasil karya manusia (artifact).

7
C.Geertz (dalam Hari Poerwanto, 2000 : 58) berpendapat bahwa kebudayaan
adalah sistem pemaknaan yang dimiliki bersana dan kebudayaan merupakan hasil dari
proses sosial dan bukan perorangan. A.L. Kloeber dan Kluckhohn dalam buku mereka
yang berjudul Culture: A Critical Review of Concepts and Defenition (1952, dalam Hari
Poerwanto, 2000 : 52) mengutarakan bahwa yang dimaksudkan dengan kebudayaan
adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku, baik ekspit
maupun implisit, yang diperoleh maupun diturunkan melalui simbol, yang akhirnya
mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk
perwujudannya dalam benda-benda materi.

Selanjutnya Goodenough (1986, dalam Robert 2004) kemudian dengan tegas


mengatakan bahwa kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus
diketahui dan diyakini manusia agar bertindak dengan suatu cara yang dapat dierima oleh
anggota-anggota masyarakat dan agar dapat berperan sesuai dengan peran yang diteirma
oleh anggota masyarakat. Menurut Robert (2004 : 3) Kebudayaan selalu diartikan
sebagai sesuatu yang dimiliki manusia untuk dapat berfungsi, berperan, dan berada dalam
kehidupan masyarakat, dengan demikian kebudayaan diartikan sebagai cara mengetahui
yang harus dimiliki seseorang untuk menjalani tugas-tugas kehidupan sehari-hari dan
kebudayaan mencakup pengetahuan tentang musik, sastra, seni, dan sebagainya

b. Wujud Kebudayaan

Talcot Parson dan A.L Kroeber (dalam Koentjaraningrat, 2016) merupakan ahli
yang menganjurkan untuk membedakan kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide dan
konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia
yang berpola sehingga kemudian J.J Honigmann (1959 dalam
Koentjaraningrat,2016:150) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan yaitu ideas,
activities, dan artifacts, sehingga dalam Koentjarningrat (2016:150) berpendirian
bahwasannya terdapat tiga wujud kebudayaan yang kemudian diuraikan satu persatu,
yaitu : 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma,
peraturan, dan sebagainya.

Wujud pertama ini merupakan wujud ideal dari kebudayaan, sifatnya abstrak,
tidak dapat diraba atau difoto, lokasinya ada didalam kepala atau dalam alam pikiran

8
warga masyarakat tempat kebudayaan bersangkutan itu hidup. Jika warga masyarakat
menyatakan gagasan mereka kedalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal mereka
berada dalam karangan atau buku-buku yang merupakan hasil karya warga masyarakat
yang bersangkutan. Ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu
masyarakat memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan antara satu dengan yang lain
dalam masyarakat itu selalu berkaitan dan membentuk suatu sistem yang para ahli
antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini dengan sistem budaya atau cultural
system. Dalam bahasa indonesia wujud ideal dari kebudayaan ini disebut dengan adat
atau adat istiadat

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktiivitas serta tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat.

Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social system, mengenai
tindakan berpola dari manusia itu sendiri sistem sosial ni terdiri atas aktivitas-aktivitas
manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari waktu ke waktu
dan selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan pada dat dan tata kelakuan.
Sebagai rangkaian aktivitas manusia daam suatu masyarakat maka sistem sosial itu
bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, atau
didokumentaskan.

2. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud terakhir yaitu wujud ketiga dari kebudayaan, yang disebut dengan kebudayaan
fisik. Wujud kebudayaan ini berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya
semua manusia dalam masyarakat. Sifat dari wujud kebudayaan ini adalah paling konkret
karena dan berupa benda-benda atau hal yang dapat diaba, dilihat dan difoto.

c. Unsur-unsur Kebudayaan

Kebudayaan memiliki unsur-unsur yang bersifat universal. Unsur-unsur


kebudayaan bersifat universal karena unsur-unsur tersebut terdapat dalam semua
kebudayaan yang ada di dunia sehingga C. Kluckhohnn dalam sebuah karangannya yang
berjudul Universal Categories of Cultures menguraikan unsur-unsur kebudayaan yang
selanjutnya dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam bukunya (2016 : 163) yang terdiri

9
dari tujuh unsur kebudayaan yakni bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem
peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan
kesenian.

1. Bahasa

Bahasa dikatakan sebagai jantung kebudayaan, yang mana dalam hal ini bahasa
menjadi alat atau sarana utama untuk mengkomunikasikan, membahas, membagikan, dan
mewariskan arti-arti kebudayaan kepada generasi selanjutnya (Andre Ata Ujan, dkk
2009). Bahasa bukan hanya sekedar lisan atau ucapan melainkan juga tulisan dan ada
pula bahasa tubuh. Robert (2004:35) mengatakan bahwasannya hampir semua ahli bahasa
setuju dengan defenisi bahwa bahasa adalah sistem lambang yang digunakan oleh
masyarakat sebagai alat komunikasi.

Setiap individu sudah pasti memiliki bahasa yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari sebagai sarana yang digunakan untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan
orang lain dalam kehidupannya. Setiap daerah pasti memiliki bahasa daerahnya sendiri
atau dalam kesatuan yang lebih khusus setiap daerah memiliki berbagai suku bangsa
dengan bahasanya daerahnya sendiri seperti bahasa Aceh, bahasa Jawa, dan lain
sebagainya. Dalam hubungannya dengan kebudayaan, bahasa juga memiliki karakteristik
yang sama dengan yang terdapat dalam kebudayaan. Kebudayaan yang merupakan milik
anggota masyarakat sama seperti bahasa juga milik anggota masyarakat, bahasa juga
ditransmisi secara sosial, bahasa tercermin dalam ide, tindakan, dan hasil karya manusia
dan juga sebagai sarana bagi manusia untuk berperan, bertindak, berinteraksi, dan
berfungsi dalam kehidupan masyarakat dimana bahasa juga harus dipelajari terlebih
dahulu (ibid).

Melalui bahasa, setiap individu mampu berinteraksi menyampaikan ide, tindakan


atau segala maksud dan keinginan hati kepada orang lain atau lawan bicaranya. Ketika
individu berpindah kedalam suatu daerah baru dan telah memahami bahasa daerah yang
ada pada lingkungan baru itu, hal ini akan sangat membantu individu tersebut beradaptasi
dengan lingkungn barunya karena kesamaan bahasa dapat membuat seseorang merasa
lebih dekat dan lebih diterima dalam sebuah situasi. Dalam hal ini, bahasa sebagai unsur
kebudayaan merupakan aspek yang penting bagi setiap individu untuk dapat berbaur dan

10
memahami serta menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, serta tata krama
yang ada dalam suatu masyarakat.

2. Sistem pengetahuan

Sistem pengetahuan sebagai unsur kebudayaan merupakan pengetahuan dari


manusia tentang berbagai unsur yang ada dan digunakannya. Sistem pengetahuan
merpuakan salah satu unsur dari kebudayaan yang tidak bisa dilihat secara nyata karena
letak dari sistem pengetahuan tentu berada dalam alam pikiran namun memainkan
peranan yang sangat penting bagi individu manusia dalam menentukan tingkah lakunya.
Koentjaraningrat (2016 : 291) memfokuskan sistem pengetahuan yang dimaksud dengan
tiap suku bangsa di dunia. Menurut peneliti, yang dimaksud dalam gagasan tersebut
adalah setiap individu bersuku bangsa tentu memiliki sistem pengetahuan akan budaya
dan lingkungan kebudayaannya.

Sistem pengetahuan yang merupakan salah satu dari unsur kebudayaan membantu
setiap individu atau masyarakat dalam menganalisis pengetahuan tentang alam tempat
tinggalnya sehingga dapat mengupasnya dan mewariskannya kepada generasi-generasi
selanjutnya. Sistem pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial
merupakan suatu akumulasi dari perjalanan hidupnya dalam hal berusaha memahami
alam sekitar, alam flora di daerah tempat tinggal, alam fauna di daerah tempat tinggal,
zat-zat bahan mentah dan atau benda-benda dalam lingkungannya, tubuh manusia, sifat-
sifat dan tingkah laku sesama manusia, serta ruang dan waktu (Elly, dkk 2006 : 30)

3. Organisasi sosial

Manusia merupakan makhluk sosial karena antara satu dengan yang lain harus
saling membantu untuk dapat bertahan hidup. Dalam kehidupan bermasyarakat,
organisasi sosial akan senantiasa hadir untuk mengatur berbagai macam tatanan dalam
kesatuan yang terdapat dalam lingkungan tempat tinggal setiap individu manusia. Setiap
kehidupan masyarakat diorganisasi atau diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan
mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan tempat individu hidup dan
bergaul dari hari ke hari diamana kesatuan sosial yang paling dekat dan mesra adalah

11
kesatuan kekerabatannya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kaum kerabat lain
(Koentjaraningrat 2016 : 285)

Dalam lingkungan kebudayaan yang tidak familiar, keluarga dan kaum kerabat
sebagai kesatuan sosial yang paling dekat merupakan hal yang paling sering
menimbulkan keinginan untuk pulang ke kampung halaman bagi individu perantau.
Menurut peneliti para individu perantau mengalami perasaan kehilangan relasi atau
merasa sendiri di lingkungan baru sehingga menimbulkan kerinduan mendalam pada
keluarga dan kerabat yang dapat menyebabkan kegagalan pada tujuan awal individu
tersebut merantau.

3. Sistem peralatan hidup dan teknologi

Setiap individu tentu membutuhkan peralatan dan teknologi untuk membantu


bertahan hidup baik pada masa kini maupun pada zaman tradisional dulu. Sistem
peralatan hidup dan teknologi merupakan salah satu unsur kebudaayaan yang berisikan
tentang cara-cara memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan hidup dari
suku bangsa yang dalam karangan etnografi, cukup membatasi diri terhadap teknologi
yang tradisional. Sistem peralatan dan teknologi ini merupakan slah satu wujud dari
kebudayaan fisik yang dimiliki oleh suku bangsa.

Dengan adanya teknologi, manusia tentu dapat secara intensif berhubungan


dengan alam. Dalam kemajuan zaman yang semakin modern, sistem peralatan hidup dan
teknologi khususnya di perkotaan tentu akan lebih canggih dibandingkan pada pedesaan
sehingga perbedaan dalam sistem peralatan hidup dan teknologi yang canggih juga
memiliki resiko pada timbulnya syok budaya pada indvidu perantau.

4. Sistem mata pencaharian hidup

Sistem mata pencaharian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang mana
penelitian para ahli antropologi terdahulu terbatas pada sistem-sistem yang bersifat
tradisional, terutama perhatian terhadap kebudayaan suatu suku bangsa secara holistik
(Koentjaraningrat 2016 : 275). Seiring perkembangan zaman yang semakin modern tentu
mata pencaharian yang ada pada tiap-tiap daerah semakin maju. Dalam hal ini perbedaan
mata pencaharian di pusat kota akan berbeda dengan pedesaan. Seperti yang kita ketahui

12
kota akan menghadirkan berbagai macam mata pencaharian dengan berbagai fasilitas
modern seperti adanya gedung-gedung tinggi seperti tempat perkantoran, hotel, mall dan
lain sebagainya yang.

Mata pencaharian masyarakat kota akan mayoritas pada sektor perindustrian,


perdagangan, jasa, dan lain sebagainya dengan ke heterogenan masyarakatnya sedangkan
pada masyarakat desa mata pencaharian akan lebih cenderung pada bertani, berternak,
dan berdagang dengan masyarakatnya yang homogen. Dalam hal ini terdapat perbedaan
mata pencaharian antara daerah sehingga ketika individu memasuki sebuah daerah yang
lebih maju dari daerah asalnya ataupun sebaliknya, maka kemungkinan akan terjadi
kesukaan atau malah kecemasan, ketidaksukaan, atau penolakan terhadap lapangan
pekerjaan sebagai sistem mata pencaharian yang diamati pada daerah tersebut.

5. Sistem religi

Dalam ilmu antropologi, sistem religi merupakan suatu kepercayaan yang dianut
oleh individu dalam tiap-tiap suku bangsa yang mana kepercayaan ini mengandung arti
yang lebih luas dari agama. Religi pada dasarnya adalah kerpercayaan terhadap adanya
kekuatan gaib luar biasa atau sepernatural yng berpengaruh teradap kehidupan individu
dan masyarakat, bahkan terhadap gejala alam yang menimbulkan perilaku tertentu dari
individu atau masyarakat yang mempercayainya seperti berdoa atau memuja yang
menimbulkan sikap mental tertentu seperti takut, pasrah, ataupun optimis (Alfiandri,
2018). Suatu sistem religi akan sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan di antara
pengikut-pengikutnya yang terdiri dari sistem keyakinan, sistem upacara keagamaaan,
dan suatu umat yang menganut religi itu Koenjaraningrat (2016 : 295).

Perbedaan-perbedaan sistem religi yang ada pada tiap individu atau masyarakat
dapat diihat pada tempat upacara kegamaan dijalankan, saat-saat upacara keagamaan
dijalankan, benda-benda dan alat upacara yang digunakan, serta orang-orang yang
melakukan dan memimpin upacara. Indonesia yang merupakan negara multikultural
memiliki banyak suku bangsa yang tiap suku bangsa itu sebenarnya memiliki
kepercayaan atau keyakinan lokal yang mayoritas dianut oleh masyarakatnya seperti
halnya suku bangsa Aceh mayoritas menganut agama islam sedangkan suku bangsa

13
Batak Toba mayoritas menganut agama kristen. Keyakinan atau kepercayaan yang dianut
oleh tiap suku bangsa juga ikut campur sebagai salah satu identitas budaya.

6. Kesenian

Kesenian merupkan unsur kebudayaan yang mengacu pada nilai keindahan


(estetika) yang berasal dari hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata
ataupun telinga. Setiap kebudayaan pasti mempunyai cara untuk berekspresi, entah lewat
seni, teknologi, atau kepercayaan kepada gaib untuk menunjukkan tentang keberdaannya
kepada dunia (Andre, dkk 2011 : 28). Menurut Koentjaraningrat (2016 : 298) dipandang
dari sudut cara kesenian sebagai ekspresi hasrat manusia akan keindahan itu dinikmati,
maka ada dua hal lapangan besar yaitu seni rupa, atau kesenian yang dinikmati manusia
dengan mata, dan seni suara, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga.
Setiap suku bangsa memiliki kesenian yang khas yang dimiliki masyarakatnya sehingga
indonesia yang multikultural memiliki beragam kesenian yang khas dan tradisional pada
tiap suku bangsa. Karya seni mampu mengungkapkan makna hakiki yang hanya dapat
ditangkap atau dihayati dengan kepekaan perasaan estetis yang tinggi, yang juga dapat
dijadikan sebagai media komunikasi (Andre, dkk 2011 : 29)

Unsur-unsur kebudayaan tersebut diatas tentu berbeda-beda dalam tiap kebudayaan


sehingga pada individu yang memasuki lingkungan kebudayaan baru. Keseluruhan atau
beberapa diantara unsur-unsur kebudayaan yang ada dan berbeda dalam tiap-tiap daerah
akan mampu menimbulkan terjadinya resiko fenomena kejut budaya bagi individu yang
mengalaminya.

1.2.2 Adaptasi

Adaptasi merupakan salah satu konsep dasar yang terdapat dalam antropologi
ekologi. Julian H. Steward (1930, dalam Yuliati, 2011 : 20-21) sebagai antropolog
ekologi budaya dalam teorinya menegaskan bahwa lingkungan dan budaya bukan dua
hal yang terpisah melainkan suatu proses yang timbal balik dimana lingkungan
berpengaruh terhadap prilaku manusia dan pada waktu yang bersamaan manusia juga
mempengaruhi terbentuknya lingkungan atau dengan kata lain manusia dan lingkungan
adalah setara. Alland (1975, dalam Wahyu 2011 : 11-83) mendefenisikan bahwa adaptasi

14
merupakan strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk mengatasi
perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial.

Bennet (1970) menyatakan bahwa adaptasi adalah suatu proses dimana organisme
menghadapi perubahan yang bersifat responsif pada unsur, struktur, dan komposisi yang
mengatur homestatis (proses yang dilakukan makhluk hidup untuk mempertahankan
kondisi konstan agar tubuh dapat berfungsi dengan normal meski terjadi perubahan pada
lingkungan di dalam atau di luar tubuh) baik perubahan lingkungan jangka pendek
maupun jangka panjang dimana mereka berada.

Menurut Bennet adaptasi dapat di lihat melalui tiga hal. Pertama, perilaku adaptif,
sebagai bentuk prilaku yang menunjukkan penyesuaian dan cara-cara mencapai tujuan,
melakukan pilihan-pilihan dan menolak melakukan tindakan-tindakan atau keterlibatan
dengan maksud untuk beradaptasi. kedua strategi tindakan, yakni tindakan khusus yang
dilakukan dan direncanakan untuk menyelesaikan upaya penyelesaian demi tercapainya
tujuan dan yang ketiga strategi adaptasi merupakan upaya manusia dalam mengutamakan
hasil dari prilaku. Teori tersebut tampaknya menegaskan bahwa individu akan berusaha
untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan tantangan yang dihadapi pada lingkungan
baru dan perubahannya.

Menurut Usman pelly (1998 : 83) Adaptasi merupakan kemampuan atau


kecenderungan makhluk hidup dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru untuk
dapat tetap hidup dengan baik, dimana adaptasi juga bisa diartikan sebagai cara-cara yang
dipakai oleh perantau untuk mengatasi rintangan-rintangan yang dihadapi dan untuk
memperoleh keseimbangan-keseimbangan positif dengan kondisi latar belakang
perantau. Uraian defenisi tersebut memberikan gambaran bahwasannya agar mampu
bertahan dalam menghadapi perubahan di lingkungan baru maka individu cenderung
harus melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungnnya agar rintangan yang dihadapi
akibat perbedaan-perbedaan atau perubahan dalam berbagai situasi kondisi dapat
dihadapi.

Proses adaptasi dalam lingkungan baru yang tidak mudah dapat dilalui dalam
jangka waktu pendek akan memungkinkan terjadinya berbagai guncangan perasaan
akibat perbedaan-perbedaan dalam berbagai unsur kebudayaan yang dihadapi sehingga

15
dalam proses adaptasi tersebut akanada resiko terjadinya culture shock sebagai gejala
sosial yang tak jarang dialami oleh individu yang memasuki lingkungan baru. Culture
shock sebagai masalah sosial yang umum dialami individu perantau dalam menghadapi
perubahan di lingkungan yang baru akan dapat dilihat melalui proses adaptasi mereka di
lingkungannya yang baru sehingga akan terlihat unsur-unsur mana yang menyebabkan
terjadinya culture shock pada individu yang berada dalam lingkungan baru.

1.2.3 Culture Shock


a. Defenisi Culture Shock

Keanekaragaman kebudayaan dalam dunia yang semakin terbuka atau


mengglobal sangat memungkinkan terjadinya percampuran identitas-identitas
kebudayaan yang berbaur dalam tiap daerah karena pada masa kini setiap individu sangat
mudah berpindah tempat dengan waktu yang relatif singkat dengan melintasi pulau
bahkan benua yang memungkinkan terjadinya lintas budaya. Namun, terdapat
konsekuensi dari terjadinya lintas budaya bagi individu-individu yang melakukannya,
salah satu dari konsekuensi ini ialah yang disebut dengan culture shock atau gegar
budaya. Culture shock merupakan fenomena yang dapat terjadi dalam lingkungan yang
berbeda, seperti individu yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya
dalam negeri sendiri, atau individu yang sampai berpindah ke luar negeri lain yang dapat
merasa kehilangan relasi, objek atau pendeknya kehilangan kulturnya (Dayakisni,2004).

Culture shock merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Kalervo
Oberg (1960) yakni seorang antropolog yang menggambarkan culture shock sebagai
sebuah kecemasan yang dihasilkan dari kehilangan semua tanda dan simbol dari
hubungan sosial yang dikenali (Irwin, 2007) atau untuk menggambarkan respon yang
mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh orang-
orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru (Dayakisni, 2004 : 359).
Kecemasan merupakan bentuk perasaan khawatir, gelisah dan perasaan-perasaan lain
yang kurang menyenangkan dimana biasanya perasaan ini disertai dengan rasa kurang
percaya diri, tidak mampu, merasa rendah diri, dan tidak mampu menghadapi suatu
masalah (Hurlock, 1990).

16
Kecemasan yang dihasilkan dari kehilangan semua tanda dan simbol dari
hubungan sosial yang dimaksudkan dalam fenomena culture sohck ialah ialah ribuan cara
dimana individu biasa mengorientasikan diri sendiri didalam kehidupan sehari-hari, dan
bagaimana memberikan petunjuk serta kapan dan dimana individu dapat merespon.
Petunjuk tersebut dapat berupa kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan, yang
kesemuanya itu ialah bagian dari budaya sama halnya dengan bahasa yang digunakan
serta diucapkan dan kepercayaan yang kita terima (Oberg, dalam Andani 2018).

Pada awalnya, defenisi culture shock cenderung pada kondisi gangguan mental
(Dayakisni, 2004:360). Bowlby (1960, dalam Dayakisni, 2004 : 360) menggambarkan
kondisi ini sama dengan seperti kesedihan, berduka cita, dan kehilangan sehingga
dikaitkan mirip dengan kondisi ketika seseorang kehilangan orang yang dicintai namun
bedanya dalam culture shock individu merasa kehilangan relasi, objek atau pendeknya
adalah kehilangan kulturnya.Menurut Furhan dan Bochner (1970, dalam dayakisni 2004 :
359) culture shock adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial
dari kultur baru atau jika mengenalnya, ia tak dapat atau tidak bersedia menampilkan
prilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu.

Littlejohn (1998, dalam Intan 2019) menyatakan bahwasannya ketika individu


masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, kemudian merasakan
ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, ia telah mengalami gegar
budaya. Ward (2001 dalam Intan, 2019) mendefenisikan gegar budaya sebagai suatu
proses aktif yang dialami individu dalam menghadapi perubahan saat berada didalam
lingkungan yang tidak familiar, dimana proses aktif itu terdiri dari affective , behavior,
dan cognitif yaitu sebuah reaksi individu pada keadaan merasa, berprilaku, dan berpikir,
ketika menghadapi pengaruh budaya kedua.

Edward Hall (1959, dalam Nalarati 2015) melalui bukunya yang berjudul Silent
Language mendeskripsikan culture shock sebagai gangguan ketika segala hal yang biasa
dihadapi ketika di tempat asal sama sekali berbeda dengan hal-hal yang dihadapi di
tempat yang baru atau asing. Menurut Adler (1975 dalam Nalarati 2015) mengemukakan
bahwa culture shock merupakan reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak
terduga dan kesalahpahaman pengalaman yang berbeda sehingga dapat menyebabkan

17
perasaan tidak berdaya, mudah marah dan ketakutan akan di tipu, dilukai ataupun dia
acuhkan. Menurut Kim (2004, dalam Nalarati 2015) culture shock merupakan proses
generick yang muncul setip kali komponen sistem hidup tidak cukup memadai untuk
tuntutan lingkungan budaya baru.

Dalam Dayakini (2004 : 359) Culture shock biasanya dipicu oleh salah satu atau
lebih dari tiga penyebab berikut ini, yakni :

1. Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Cues adalah bagian dari
kehiduan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan-gerakan bagian tubuh
(gestures), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan
kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.
2. Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari maupun tidak
disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan dimana halangan bahasa
adalah penyebab jelas dari gangguan ini
3. Krisis identitas, kondisi ini ialah seperti ketika seseorang pergi keluar negeri ,
seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya.
b. Dimensi Culture Shock

Dimensi dari culture shock mengacu pada defenisi yang telah dipaparkan oleh
Ward, dimana Ward (2001, dalam Intan 2019) membagi culture shock kedalam beberapa
dimensi yakni dimensi afffective, behavior, dan cognitive yang dikenal dengan ABCs of
Culture Shock yakni sebagai berikut :

1. Dimensi Affective

Dimensi affctive merupakan dimensi yang berhubungan dengan perasaan dan


emosi yang bisa berbentuk positif atau negatif. Individu bisa mengalami kebingungan
atau kewalahan karena masuk kedalam lingkungan baru yang tidak familiar, yang dapat
menimbulkan rasa cemas, bingung, disorientasi, curiga, sedih, tidak tenang, tidak aman,
takut ditipu atau dilukai, merasa kehilangan keluarga, teman-teman, merindukan
kampung halaman,hingga merasa kehilangan identitas diri.

18
2. Dimensi behavior

Dimensi behavior berhubungan dengan pembelajaran budaya dan pengembangan


keterampilan sosial dimana individu mengalami kekeliruan aturan, kebiasaan, dan
asumsi-asumsi yang mengatur interaksi interpersonal mencakup komunikasi verbal dan
nonverbal yang bervariasi diseluruh budaya. Seseorang yang masuk kelingkungan baru
yang tidak familiar tanpa memiliki pengetahuan dan keterampilan sosial yang memadai,
akan mengalami kesulitan dalam memulai dan mempertahankan hubungan harmonis di
lingkungan yang tidak familiar baginya itu sehingga dapat beresiko pada perilaku
individu yang tidak tepat yang dapat menimbulkan kesalahpahaman dan pelanggaran.

Kondisi tersebut juga dapat berdampak pada kehidupan personal dan profesional
yang tidak efektif serta akan sulit menyesuaikan diri atau beradaptasi dalam lingkungan
baru. Pada dimensi ini biasanya individu akan mengalami kesulitan tidur, selalu ingin
buang air kecil, mengalami sakit fisik, tidak nafsu makan dan lain-lain sehingga individu
yang tidak terampil secara budaya akan sulit mencapai tujuan seperti contohnya
mahasiswa Aceh yang lebih suka berbicara atau berinteraksi dengan teman yang sama
daerah asal atau suku bangsanya atau lebih memilih diam dan tidak banyak bicara dengan
orang yang tidak berasa dari Aceh.

3. Dimensi cognitive

Dimensi cognitive adalah hasil dari aspek affective dan behavior, yakni berupa
perubahan persepsi individu dalam mengidentifikasi etnis dan nilai-nilai akibat kontak
budaya, dimana kontak budaya itu dapat menyebabkan hilangnya hal-hal yang dianggap
benar oleh idividu tidk dapat dihindarkan sehingga individu tersebut akan memiliki
pandangan negatif dimana pikiran hanya terpaku pada satu ide saja dan kemudian
memiliki kesulitan dalam interaksi sosial.

c. Fase Culture Shock

Terdapat beberapa fase yang digambarkan sebagai bentuk proses adaptasi yang
akan dilewati atau dialami oleh individu yang mengalami culture shock. Setiap individu
bereaksi berbeda-beda dalam menanggapi culture shock atau gegar budaya sehingga
Oberg (1960, dalam Irwin 2007) mengemukan ada yang tidak maju ketahap selanjutnya

19
dalam proses adaptasi pada lingkungan baru yang sebagai akibat dari culture shock tetapi
seseorang tersebut malah kembali ke tahap sebelumnya. Menurut Oberg, tahapan-tahapan
yang dimaksudkan dalam fenomena Culture shock ini dibedakan menjadi 4 tahap yakni:

1. Fase Kegembiraan dan optimistik (Fase Honeymoon)


Fase kegembiraan dan optimistik merupakan fase pertama dalam culture
shock. Fase ini bisa bertahan beberapa hari atau hingga bulan dimana seseorang
merasa pada tahap ini semuanya adalah baru, mengasyikkan dan mempesona.
Seseorang akan merasa optimis dengan lingkungan barunya. Pada fase ini
individu akan merasa antusias dan kagum terhadap lingkungan barunya dan
belum merasakan berbagai perbedaan yang akan memicu ketidaknyamanan
layaknya seperti ketika kita berlibur ke suatu daerah.
2. Fase Krisis
Tidak simpatik, acuh tak acuh, atau bahkan agresi dan frustasi sebagai
bentuk penolakan pada lingkungan baru (tidak nyaman). Pada fase ini, individu
yang memasuki lingkungan baru aakan mulai dihadapkan dengan berbagai
permasalahan yang dialami oleh dirinya sendiri. Fase inilah yang disebut sebagai
krisis penyakit dan pada titik ini seseorang akan tinggal atau pergi.
3. Fase Penyesuaian atau pemulihan
Jika seseorang tetap tinggal maka tahap ketiga dimulai yakni seseorang
mulai belajar bahasa dan bernegoisasi dengan kehidupan sendiri. Masih banyak
kesulitan yang dialami namun berusaha mampu menanganinya. Dalam fase ini,
kehidupan individu perantau akan berangsur-angsur semakin membaik yang
ditandai dengan mulai dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dengan
baik dimana suudah tedapat perasaan nyaman dengan lingkungan tersebut
4. Fase Penguasaan

Tahap keempat ini adalah ketika sudah mampu menerima dan menyesuaikan diri.
Pada fase ini individu perantau yang memasuki lingkungan baru sudah merasakan
kenyamanan dan ada perasaan aman dilingkungan baru serta dapat merasa bahwa
lingkungan tesebut adalah rumah kedua bagi mereka.Lebih jelas lagi, Dayakisni (2004 :
360) mengemukakan terdapat teori yang menggambarkan culture shock dengan kurva U

20
untuk membantu individu yang mengalami culture shock dalam beradaptasi di
lingkungan baru yakni sebagai berikut:

Gambar 1. Kurva U1

Kurva U tersebut merupakan gambaran tahapan terjadinya Culture Shock yang di


alami oleh pelaku culture shock (Samovar, dkk dalam Pramono 2016).Teori ini
berpendapat bahwa orang-orang yang menyeberang ke kultur lain akan mengalami tiga
penyesuaian, yaitu pada awalnya timbul kegembiraan dan optimisme, kemudian diikuti
oleh frustasi, depresi dan kebingungan hingga akhirnya muncul keadaan adaptasi atau
penyesuaian.

Berdasarkan fase-fase yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bawasannya ketika


memasuki lingkungan kebudayaan baru, seorang individu perantau akan selalu merasa
terpesona, senang, dan bahagia dengan lingkungan baru yang ditempatinya seakan-akan
sedang melakukan liburan. Namun perlahan-lahan rasa kekaguman tersebut hilang
digantikan dengan perasaan cemas, tertekan, seakan-akan lingkungan tersebut sangat
tidak sesuai dengan dirinya yang menimbulkan perasaan ingin pulang ke tempat asal
dimana seorang individu merasa familiar dengan segala sesuatu yang ada disana baik
lingkungannya, keluarga dan kerabatnya, suasananya, semua kebudayaan yang hidup di
daerah asalnya ataupun kerinduan akan segala sesuatu yang biasa dirasakan, dilihat,
ataupun dilakukan di daerah asalnya.

1
http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

21
Hal ini sebenarnya adalah umum dirasakan oleh orang-orang yang memasuki
lingkungan kebudayaan baru. Namun, pada fase ini jika seseorang tidak mampu
melewatiya maka ia akan gagal mencapai tujuannya dan memilih pulang ke kampung
halaman. Ketika seorang individu perantau mampu melewati ketiga fase sebelumnya dan
ia telah mampu menerima dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, sudah merasa
nyaman dan menyukai lingkungan kebudayaan barunya maka dapat dikatakan bahwa
individu tersebut telah mampu melewati fase-fase menyulitkan untuk hidup di
lingkungan barunya, yakni berhasil melewati apa yang dikatakan culture shock.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Culture Shock

Culture shock tidak akan terjadi jika tidak ada faktor-faktor penyebab yang
mempengaruhinya. Menurutu Parillo (2008, dalam Intan, 2019) Beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya culture shock adalah faktor intrapersonal, yang meliputi
keterampilan (keterampilan komunikasi), pengalaman sebelumnya (dalam konteks lintas
budaya, karakter personal (mandiri atau toleransi), dan akses ke sumber daya, serta ciri
fisik seperti penampilan, umur, kesehatan, dan juga kemampuan sosialisasi. Menurut
Furnham dan Bochner (Dalam Nalarati, 2015 : 29) faktor-faktor yang mempengaruhi
individu mengalami culture shock saat masuk ke lingkungan baru dan berinteraksi
dengan budaya baru adalah sebagai berikut :

1. Adanya perbedaan budaya, kualitas dan kuantitas, serta lamanya culture shock
yang dialami individu dipengaruhi oleh tingkat perbedaan budaya antara
lingkungan asal dan lingkungan baru individu. Dalam hal ini, culture shock akan
lebih cepat dialami individu yang mengalami erbedaan kebudayaan yang
signifikan atau sangat berbeda seperti sosial, prilaku, adat-istiadat, agama,
pendidikan, norma dalam masyarakat, dan bahasa. Bochner (2003, dalam Nalarati
2015) mengemukakan bahwasannya semakin berbeda kebudayaan antar dua
individu yang berinteraksi, maka akan semakin sulit kedua indvidu tersebut
membangun dan memelihara hubungan baik.
2. Adanya perbedaan individu. Faktor ini berkaitan dengan perbedaan kepribadian
dan kemampuan individu menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya yang

22
juga merujuk ada variabel demografis seperti usia, jenis kelamin, kelas sosial-
ekonomi dan pendidikan.
3. Pengalaman lintas budaya individu sebelumnya. pengalaman individu di masa
lalu saat berada di lingkungan baru akan sangat berpengaruh pada proses adaptasi
seperti pengalaman bagaimana individu menerima perlakuan dari penduduk lokal.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka dapat disimpulkan bahwasannya manusia


sebagai makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi dengan orang lain khususnya di
lingkungan kebudayaannya sangat mempengaruhi kepribadian individu tersebut karena
segala sesuatu yang dipelajari sedari individu kecil dipengaruhi oleh kebudayaan dimana
individu tersebut hidup. Segala sesuatu yang familiar yang ada dilingkungan kebudayaan
tempat individu hidup akan terasa hangat dan nyaman namun ketika berada di luar itu
individu akan merasa berada di luar kelompoknya, merasa sendiri dan tidak ada
kebersamaan sehingga mempengaruhi terjadinya culture shock

6. Gejala-Gejala atau Komponen Culture Shock

Culture shock tentu memiliki gejala yang dirasakan oleh individu-individu yang
mengalaminya sebagai bentuk ketidaksukaan atau penolakan terhadap lingkungan
kebudayaan baru yang ditempatinya. Komponen-komponen dari terjadinya culture shock
yang paling sering terjadi dilatarbelakngi oleh Rasa rindu yang berlebihan terhadap
kampung halaman, rumah, keluarga dan kerabat atau yang disebut dengan homesick,
tidak suka dengan berbagai hal seperti makanan, bahasa, lalulintas, atau bahkan tidak
suka dengan orang-orang yang ada di lingkungan baru. Gejala dari culture shock yang
memungkinkan dapat dialami oleh individu yang berada dalam situasi lingkungan dan
kebudayaan baru dikemukakan oleh Guanipa (1998, dalam Nalarati 2015 : 30)
diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Kesedihan, kesepian, dan kelengangan


2. Preokupasi (pikiran hanya terpaku ada satu ide saja, yakni yang biasanya
berhubungan dengan keadaan yang bernada emosional) dengan kesehatan
3. Kesulitan tidur atau terlalu banyak tidur
4. Perubahan prilaku, seperti mengalami tekanan dan depresi
5. Mudah marah dan enggan untuk berhubungan dengan orang lain

23
6. Mengidentifikasi dengan budaya lama atau mengidealkan dengan budaya lama
7. Kehilangan identitas
8. Berusaha terlalu keras untuk menyerap segalanya di budaya baru
9. Tidak mampu memecahkan permasalahan sederhana
10. Tidak percaya diri
11. Merasa kekurangan, kehilangan dan kegelisahan
12. Mengembangkan stereotype tentang kultur yang baru
13. Mengembangkan obsesi seperti over-cleaniless
14. Dan rindu keluarga

Gejala-gejala tersebut sebenarnya dapat di amati pada individu-individu yang


mengalaminya, karena secara tidak sadar sebenarnya individu perantau sering
memperlihatkan kondisi diri yang tidak enjoy dengan kehidupan sehari-hari, akibat
penolakannya terhadap apa-apa yang ditemui individu perantau di lingkungan barunya.
selain itu hal-hal yang dapat diamati peneliti di lapangan seperti kritikan para individu
perantau terhadap hal-hal yang tidak disukai yang di dapatinya di lingkungan kebudayaan
barunya atau dengan memperlihatkan ekspresi ketidaksukaan terhadap sesuatu yang
menurutnya tidak sesuai dengan dirinya, atau membanding-bandingkan apa yang di
dapatinya di lingkungan kebudayaan baru dengan lingkungan asalnya misalnya
membandingkan atau menunjukkan ketidaksukaan di lingkungan baru terhadap makanan,
cara berpakaian, cara berbicara, mengenai norma-norma yang ada, kritikan terhadap sifat
dan prilaku laki-laki dan perempuan, keadaan lalu lintas dan lain sebagainya.

1.2.4 Etnosentrisme

Berdasarkan gejala-gejala yang telah diuraikan sebelumnya, yang mungkin


muncul pada individu yang mengalami culture shock, fenomena culture shock sangat
mendukung terjadinya sikap etnosentrisme pada individu yang mengalaminya.
Etnosentrisme yang adalah sebuah pandangan atau sikap dimana suku bangsa sendiri
dianggap lebih baik dan dijadikan ukuran dalam melihat baik buruknya karakter suku
bangsa lainnya tentu sangat memungkinkan untuk terjadi dalam kondisi ini.

Hal demikian karena adalah wajar jika individu lebih menyukai kebudayaannya
sendiri atau kelompok etnisnya sendiri daripada kelompok kebudayaan lain apalagi

24
individu tersebut sedang tidak berada di daerah tempat kebudayaanya dan sedang
mengalami kejut budaya atau culture shock di lingkungan barunya sehingga individu
pasti akan cenderung membanding-bandingkan kebudayaan yang dimiliki dengan
kebudayaan yang baru didapati dan menganggap kebudayaan sendiri adalah kebudayaan
yang paling baik, benar dan bagus.

1.2.5 Integrasi Sosial

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), integrasi merupakan pembauran


hingga menjadi kesatuan. Integrasi adalah usaha saling membantu mempertahankan dan
memelihara core cultur (budaya inti) masing-masing yang pada suatu waktu dilebur dan
diakui sebagai inti kebudayaan (baru) sebagai identitas mereka, menadi superordinasi
dalam kelompok yang lain, dan secara bersama mengakui superordinasi tersebut
(Dayakisni, 2004 : 369). Integrasi sosial dapat juga dimaknai sebagai proses penyesuaian
di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga
menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi. Karena setiap
individu yang memasuki lingkungan kebudayaan baru harus beradaptasi terlebih, maka
culture shock tentu akan mendukung terjadinya integrasi sosial sebagai bentuk dari hasil
proses adaptasi yang dilakukan oleh individu.

1. Akulturasi

Menurut ilmu antropologi istilah akulturasi atau disebut juga dengan acculturation
atau culture contact, adalah konsep mengenai proses sosial yang timbul bila suatu
kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur
dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan
asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koenjaraningrat, 2016 :
206). Dalam setiap masyarakat bersuku bangsa akan selalu ada individu-individu yang
memiliki sikap etnosentrisme atau berwatak kolot yang tidak suka dengan kebudayaan
lain selain kebudayaannya sendiri sehingga menolak hal-hal baru yang berbeda, namun
ada juga yang suka dan cepat menerima kebudayaan baru tersebut.

25
Mahasiswa perantau yang berasal dari Aceh tentu akan mengalami culture contact
di Kota medan sehingga proses akulturasi tentu sesuai untuk mahasiswa perantau
khususnya pada mahasiswa yang berasal dari Aceh sebagai fokus penelitian. Adalah baik
jika para mahasiswa perantau mampu merespon dan mengolah dengan unsur-unsur
kebudayaan yang didapati di lingkungan barunya secara perlahan yakni dikota Medan,
tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan Aceh yang telah melekat dalam dirinya
karena mau tidak mau setiap individu akan dihadapkan dengan berbagai macam
kebudayaan yang berbeda dengan kondisi tanah air yang Multikultural.

2. Asimilasi

Dalam Koentjaraningrat (2016) Asimilasi atau asimilation adalah proses sosial


yang timbul bila ada:

a. Golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda


b. Saling bergaul secara langsung untuk waktu yang lama, sehingga
c. Kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tersebut masing-masing berubah
sifat khas nyadan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi
unsur-unsur kebudayaan campuran.

Golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi adalah suatu


golongan-golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas yang dalam hal ini
golongan minoritas mengubah sifat khas dari unsur-unsur kebudayaannya dan
menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas, sehingga lambat laun
kehilangan kepribadian kebudayaannya dan masuk kedalam kebudayaan mayoritas.
Berdasarkan konsep ini, melalui pengamatan lapangan peneliti terhadap beberapa
individu yang tidak berasal dari kota Medan, terdapat individu yang mengalami asimilasi
dimana kontak budaya membuat diri individu kehilangan kepribadian kebudayaannya
sehingga malah lebih mencintai dan menyukai kebudayaan baru yang didapatinya di kota
Medan.

Dengan kata lain akulturasi dan asimilasi sebagai hasil adaptasi akibat kontak
budaya individu dengan lingkungan kebudayaan baru dapat disimpulkan sebagai proses

26
adopsi berbagai unsur kebudayaan dominan yang pada umumnya dapat didapati di
lingkungan kebudayaan baru yang dapat diterima oleh individu perantau.

1.2.6 Merantau

Merantau merupakan sebuah fenomena yang tidak jarang terjadi di Indonesia dan
bahkan sudah seperti menjadi kebudayaan khususnya pada etnis-etnis tertentu seperti
contohnya yang paling popular adalah pada etnis Minangkabau atau Batak. Merantau
adalah pergi atau berpindah ke suatu daerah yang tentunya meninggalkan daera asal.
Menurut Naim (2013) Merantau adalah meninggalkan kampung halaman dengan
kemauan sendiri, memiliki jangka waktu lama, dengan tujuan tetentu, menuntut ilmu dan
mencari pengalaman, yang namun suatu saat akan kembali pulang. Dalalm KBBI
merantau didefenisikan sebagai berlayar atau mencari penghidupan di sepanjang rantau.

Merantau sebenarnya identik dengan migrasi atau perpindahan yang dilakukan


seseorang atau kelompok baik secara permanen ataupun relative permanen (dalam artian
memiliki jangka waktu tertentu, dengan menempuh jarak mminimal tertentu, berpindah
dari satu unit gografis ke unit geografis lainnya (Said Rusli, dalam Sholik, dkk 2016).
Sedangkan perantauan, menurut KBBI adalah negeri lain tempat mencari penghidupan
dan sebagainya atau daerah yang didiami oleh orang lain yang berasal dari daerah lain.
Merantau menjadi sebuah kebiasaan yang akhirnya menjadi sebuah kebudayaan bagi
etnis-etnis tertentu di Indonesia. Tentunya terdapat berbagai alasan dan tujuan ketika
seseorang atapun sekelompok orang memilih untuk merantau. Mochtar Naim (2013,
dalam Yanti, 2019) mengemukakan setidaknya terdapat enam unsur pokok yang terkait
dengan merantau :

1. Meninggalkan kampung halaman,


2. Kemauan sendiri,
3. Dalam jangka waktu lama atau tidak,
4. Tujuan mencari kehidupan atau menuntut ilmu dan mencari pengalaman,
5. Adanya maksud untuk kembali pulang,
6. Merantau merupakan lembaga social yang membudaya di masyarakat

27
1.2.7 Penelitian Terdahulu

Cuture shock bukanlah sebuah fenomena yang baru pertama kali dikaji, melainkan
sudah terdapat berbagai sudut pandang ilmu yang telah mengkaji fenomena ini
sebelumnya termasuk ilmu antropologi. Culture shock sebagai sebuah fenomena yang
jika ditarik dalam kajian antropologi mengacu kepada bidang antropologi psikologi,
sebelumnya sudah pernah di kaji oleh antroplog berkebangsaan Indonesia sendiri. Dua
ahli antropologi lulusan Universitas Indonesia yang mengkaji fenomena culture shock
sebagai sebuah penelitian dalam bidang Antropologi Psikologi adalah Istutiah Gunawan-
Mitchel dan Puspa Vasanty Hendarto, yang walaupun dalam penelitiannya tidak langsung
mencantumkan istilah culture shock, namun kedua penelitian tersebut mengacu kepada
fenomena itu. Penelitian kedua ahli antropologi tersebut sangat berguna untuk dijadikan
sebagai bahan referensi. Adapun inti dari kajiannya adalah sebagai berikut:

1. Istitutiah Gunawan Mitchel (1969, dalam Danandjaja 1994 : 24): Dalam


penelitiannya, Istitutiah Gunawan Mitchel melakukan penelitian mengenai
penyakit jiwa seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri dan beragama Kristen,
pada orang-orang Minangkabau yang bermukim di Jakarta. Mereka yang
mengalami penyakit jiwa tersebut adalah korban dari perubahan kebudayaan,
yang telah menjadi pasien di rumah sakit Cipto Mangunkusumo di Jakarta.
Kesimpulan penelitiannya adalah, penyakit jiwa yang diderita oleh para pasien
yang berasal dari Minangkabau adalah disebabkan arena mereka tidak dapat
menyesuaikan diri terhadap pertentangan nilai lama yaitu kebudayaan yang
mereka bawa dari daerah asalnya dengan nilai baru ketika mereka di ibukota.
2. Penelitian Puspa Vasanty Hendarto (1969, dalam Danandjaja 1994 : 24):
Penelitian ahli Antropologi Indonesia yang kedua ini, objek penelitiannya adalah
mengenai penghambat pembauran orang-orang Indonesia keturunan Cina ke
dalam suu-suku bangsa “pribumi” yang ada di Nusantara. Kesimpulan dari hasil
penelitian Hendarto adalah penghambat terjadinya pembauran orang Indonesia
keturunan Cina ke dalam suku bangsa yang disebut pribumi, hal utama yang
menyebabkan penghambata tersebut adalah karena msih kurang adanya
kesempatan untuk bergaul antara mereka dengan penduduk pribumi.
Kekurangakraban perrgaulan tersebut diperkuat lagi dengan pandangan yang

28
bersifat stereotipik, yang ada pada kedua belah pihak terhadap masing-masing
pihak. Stereotipik tersebut adalah orang Indonesia keturunan Cina menganggap
orang Indonesia dari kalangan pribumi mempunyai watak negative seperti malas,
pemboros, hanya memikirkan hari ini saja, dan sebagainya. Sebaliknya orang
Indonesia pribumi menganggap orang Indonesia keturunan Cina semuanya
memiliki watak negatif seperti licik, egoistis, kikir, materialistis, suka hidup
eksklusif, dan sebagainya.

Menurut penulis, penelitian Antropologi Psikologi oleh Gunawan-Mitchel merupakan


feomena culture shock yang sudah mengalami culture shock dengan level yang parah,
karena sudah mengalami depresi akibat menghadapi perbedaan kebudayaan dan
ketidakmampuan menyesuaikan diri. Sedangkan penelitian Antropolog Hendarto
mencerminkan beratnya pembauran kebudayaan etnis Cina dan Indonesia pada masa ini
menyebabkan terjadinya fenomena culture shock akibat “stereotype negative” antara
kedua belah pihak.

Selain peneltian yang dilakukan Antropolog Indonesia, dalam buku Antropologi


Psikologi James Danandjaja (1994) terdapat pula sebuah penelitian menarik yang
berkaitan dengan fenomena culture shock yang dikaji oleh P.M. van Wulfften Palthe
mengenai amok (mengamuk), yakni suatu keadaan emosi yang sangat bergairah
berkecendrungan untuk membunuh orang yang dijumpai. Penelitiannya mengungkapkan
ini adalah penyakit jiwa yang sering terdapat pada orang-orang Melayu. Menurutnya,
penyakit jiwa ini umumnya menyerang orang-orang yang meninggalkan lingkungannya
ke suatu lingkungan asing, yang tak dapat mereka sesuaikan diri mereka.

Penelitian Wulfften Palthe ini merupakan salah satu bukti selanjutnya yang
menegaskan bahwasannya begitu beratnya proses penyesuaian diri individu dengan
kebudayaan yang baru dan berbeda dengan apa yang telah dipelajari sejak individu kecil
sehingga sangat berdampak terhadap kondisi fisik dan psikis individu yang
mengalaminya. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan begitu tertariknya peneliti
mengangkat fenomena culture shock sebagai fokus penelitian karena individu-individu
yang merantau dari daerah asal menuju daerah baru akan dihadapkan dengan berbagai

29
perbedaan kebudayaan yang tentunya akan berpengaruh terhadap kondisi kehidupannya
di lingkungan baru tersebut.

Demikianlah penelitian-penelitian terdahulu yang mengkaji tentang fenomena culture


shock dari berbagai sudut pandang ilmu. Namun, setelah penelitian-penelitian tersebut,
penulis belum menemukan kajian terbaru mengenai fenomena culture shock berdasarkan
sudut Antropologi Psikologi. Adapun perbedaan penelitian yang akan dikaji peneliti
dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah, penelitian tidak hanya berusaha
mengkaji lingkungan, sosial, dan budaya individu yang menjadi penyebab culture shock
pada mahasiswa Aceh, tetapi juga mengkaji isu kepribadian dalam melihat individu
perantau untuk menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya culture shock.
Penelitian ini memiliki fokus kepada isu kepribadian individu per individu yang
terbentuk melalui pengaruh kebudayaan yang dianutnya sehingga peneliti berusaha
mengkaji pengaruh kepribadian kebudayaan terhadap individu-individu tersebut sehingga
dapat menyebabkan teradinya culture shock.

Selain itu belum pernah pula terdapat kajian mengenai fenomena culture shock pada
mahasiwa perantau yang berasal dari Aceh di Universitas Sumatera Utara, yang
walaupun masih berada dalam satu pulau, Aceh dengan kota Medan memiliki perbedaan
dalam berbagai aspek khususnya dalam konteks kebudayaan yang ada dalam kedua
lingkungan tersebut, yang melekat pada diri individu dalam masyarakatnya. Hal-hal
demikianlah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti berbagai perbedaan dan
kesulitan yang dialami oleh mahasiwa Aceh di kota Medan yang menyebabkan terjadinya
culture shock melalui sudut pandang ilmu antropologi.

30
1.3 Rumusan Masalah

Setiap individu sejak kecil telah diresapi dengan nilai budaya yang hidup dalam
masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu sejak lama berakar dalam alam jiwa mere.
Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan
nilai-nilai budaya lain dalam waktu yang singkat (Koentjaraningrat, 2016). Ketika
mahasiswa perantau yang berasal dari Aceh datang ke kota Medan untuk menempuh
pendidikan, mereka akan mendapati berbagai perbedaan dalam berbagai konteks
kebudayaan. Perbedaan-perbedaan yang didapati tentu memberikan efek terhadap diri
para mahasiswa perantau tersebut. Efek yang dimaksudkan dalam hal ini ialah resiko
terjadinya culture shock akibat perubahan lingkungan kebudayaan.

Proses penyesuaian diri dalam lingkungan kebudayaan baru yang tidak dapat
dilakukan dengan waktu yang singkat akan sangat berpeluang pada terjadinya fenomena
culture shock pada mahasiswa perantau di kota Medan. Fenomena culture shock sebagai
masalah sosial budaya pada individu perantau akibat berada dalam kultur berbeda
memungkinkan terjadinya gangguan pada psikis dan fisik mahasiswa perantau tersebut.
Sehubungan dengan hal itu maka peneliti menarik rumusan masalah yakni sebagai
berikut:

1. Bagaimana fenomena culture shock yang dialami mahasiswa Aceh perantau


yang tergabung dalam IPTR di Universitas Sumatera Utara, Medan ?
2. Apa yang menyebabkan terjadinya culture shock dalam proses adaptasi
mahasiswa Aceh perantau yang tergabung dalam IPTR di Universitas
Sumatera Utara, Medan?
1.4 Batasan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka permasalahan yang


akan dikaji dalam penelitian ini ialah bagaimana fenomena culture shock yang dialami
mahasiswa Aceh perantau yang tergabung dalam Ikatan Pemuda Tanah Rencong
Universitas Sumatera Utara, Medan dan apa yang menyebabkan fenomena culture shock
tersebut terjadi dalam proses adaptasi mahasiswa Aceh di kota Medan.Untuk itu peneliti
melakukan pembatasan suatu masalah upaya membatasi ruang lingkup kajian untuk
mengidentifikasi gambaran kajian masalah yang akan diteliti agar penelitian yang

31
dilakukan lebih terarah, terfokus dan tidak meluas kepada aspek yang jauh dari relevansi
sesuai dengan ruang lingkup permasalahan yang ingin dikaji dan dipecahkan oleh
peneliti.

1. Adaptasi Sosial

Manusia merupakan makhluk sosial yang secara individul membutuhkan orang lain
dalam proses kelangsungan hidupnya. Ketika individu memasuki lingkungan kebudayaan
baru, maka sebagai makhluk sosial individu tersebut akan melakukan proses adaptasi
dengan lingkungan sosialnya yang baru. Adaptasi sosial merupakan kesanggupan
individu untuk dapat bereaksi secara efektif dan harmonis terhadap realitas dan situasi
sosial, serta bisa menjalin hubungan sosial yang sehat (Andriani & jatiningsih, 2015
dalam Izzati, 2016). Adaptasi sosial yang dilakukan individu perantau di lingkungan
kebudayaan baru tentu dapat berlangsung dengan cepat ataupun lambat. Adaptasi sosial
tersebut tentunya tidak akan terlepas dari yang namanya interaksi karena sebagai
makhluk sosial manusia akan selalu menjalin interaksi dengan sesamanya baik untuk
memenuhi kebutuhan hidup secara biologis, sosial, maupun ekonomi sehingga interaksi
dalam lingkungan sosial menjadi sebuah fenomena yang tidak akan terlakkan dalam
kehidupan manusia.Interaksi sosialmerupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis
menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia,
maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia( Gilin dan Gilin, dalam
Muhatir, 2010). Syarat dari terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial (secara
langsung ataupun tidak langsung) dan komunikasi sebagai bentuk interaksi yang
kemudian akan menghasilkan hubungan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Ketika individu melakukan tegur sapa, berjabat tangan, saling berbicara atau
berkomunikasi maka individu tersebut sedang melakukan interaksi dimana interaksi yang
terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Simbol
adalah objek, bunyi (bicara), atau bentuk-bentuk tertulis yang diberikan makna oleh
manusia yang mana dalam bentuk primer dari simbolisasi tersebut oleh manusia adalah
melalui bahasa yang kemudian menciptakan sebuah hubungan. Interaksionisme simbolik
oleh Herbet Blummer (1969, dalam Poerwanto, 2000 : 38) menekankan pentingnya

32
mempelajari simbol-simbol dalam interaksi manusia untuk menafsirkan apa yang terjadi
agar mampu memahami stimulus (perubahan) dan memberikan respon.

Herbet Blummer dan Mead (dalam, Yuliati 2011 :30) mengatakan bahwa perubahan
sosial dalam interaksionisme simbolik sangat ditentukan oleh kemampuan individu
menangkap dan menafsirkan simbol-simbol dalam proses interaksi sepanjang aktivitas
sosialnya. Prinsip dasar dari Interaksionisme simbolik adalah pertama makhluk manusia
memiliki kemampuan untuk berpikir, kemampuan tersebut akan dapat terpenuhi dalam
suatu interaksi sosial, kedua dalam interaksi sosial manusia akan belajar arti dari makna
dan simbol-simbol yang akan diberinya arti sesuai dengan kemampuan berpikirnya,
ketiga makna dari arti simbol-simbol yang dihasilkan dari kemampuan berpikir akan
mempengaruhi seseorang dalam interaksi sosialnya, kemudian seseorang akan
berinteraksi dengan orang lain dan mampu memilih interaksi mana yang mengntungkan
dan merugikan baginya dan terakhir perpaduan aksi dan interaksi akan menjadi dasar
seseorang bermasyarakat ( Ritzer 1988, dalam poerwanto 2000 : 42).

Dalam penelitian ini, kajian terhadap proses adaptasi sosial yang di lakukan
mahasiswa Aceh di kota Medan sebagai lingkungan kebudaayaan baru adalah upaya
peneliti dalam mengetahui dan menganalisis bagaimana culture shock dan
penyebabnyayang dialami Mahasiswa Aceh di kota Medan dalam menghadapi
perubahan lingkungan sosial.

2. Adaptasi Budaya

“Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh berkembangnya, dengan


mengalami perubahan, penambahan ataupun pengurangan” (Poerwanto 2000 : 50).
Petikan kalimat tersebut memberi makna bahwasannya kebudayaan berbeda dalam tiap
ruangnya sehingga adaptasi dibutuhkan untuk mampu menerima perubahan ketika berada
dalam ruang kebudayaan yang berbeda itu. Adaptasi budaya terdiri dari dua kata yakni
“adaptasi” dan “budaya” yang masing-masing memiliki makna sendri.

Adaptasi merupakan proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu akibat
adanya perubahan yang terjadi, seperti halnya para perantau yang mendatangi lingkungan
kebudayaan baru dalam kurun waktu tertentu maka mengharuskan diri mereka untuk

33
beradaptasi dengan lingkungan barunya. Menurut Usman Pelly (1998 : 83) Adaptasi
merupakan kemampuan atau kecenderungan makhluk hidup dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru untuk dapat tetap hidup dengan baik, dimana adaptasi juga bisa
diartikan sebagai cara-cara yang dipakai oleh perantau untuk mengatasi rintangan-
rintangan yang dihadapi dan untuk memperoleh keseimbangan-keseimbangan positif
dengan kondisi latar belakang perantau.

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia
yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2016 : 144) yang
terdiri dari beberapa unsur kebudayaan. Mahasiswa Aceh yang datang ke kota Medan
akan senantiasa dihadapkan dengan berbagai perbedaan unsur kebudayaan yang
memaksa mereka untuk beradaptasi. Sesuai dengan teori nya, culture shock terjadi
dipengaruhi oleh keberadaan individu dalam kultur yang berbeda sehingga ketika
mahasiwa Aceh datang ke kota Medan untuk merantau, maka ia berada dalam kultur
berbeda yang akan mendorong terjadinya culture shock. Adaptasi budaya yang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah upaya penyesuaian diri mahasiswa Aceh di kota
Medan sebagai pendatang pada area budaya yang memiliki unsur kebudayaan berbeda
yang berpeluang menyebabkan terjadinya culture shock. Perbedaan unsur kebudayaan
yang dimaksud peneliti tersebut adalah seperti pada bahasa, sistem religi, sistem
kekerabatan, oganisasi sosial, ataupun ekonomi.

Bahasa. Aceh tentu memiliki bahasa daerah tersendiri yang melekat dan dianut oleh
tiap individu dalam masyarakatnya seperti bahasa Aceh, gayo, tamiang dan lainnya.
Ketika mahasiswa Aceh merantau ke kota Medan otomatis mereka akan menemui
perbedaan bahasa baik melalui logat bahasa, ejaan kata atau bahkan intonasi suara dan
lain sebagainya yang berkaitan dengan bahasa. Perbedaan bahasa sebagai unsur
kebudayaan ini tentu sangat penting dikaji oleh peneliti untuk mengetahui apakah bahasa
sebagai alat utama untuk berkomunikasi di lingkungan kebudayaan baru dalam proses
adaptasi mempengaruhi terjadinya culture shock bagi mahasiswa Aceh perantau di kota
Medan.

Sistem religi. Sebagai salah satu unsur kebudayaan, menurut peneliti sistem religi
patut dikaji dalam fokus masalah ini karena Aceh merupakan daerah yang pengaruh

34
agama dan kebudayaan islam begitu besar hingga mendapat julukan sebagai serambi
Mekkah. Perpaduan agama islam dan adat begitu mengikat rakyat dalam ikatan yang kuat
dimana praktek agama islam sangat berpengaruh dan begitu terasa dalam kehidupan
rakyat sehingga tentu berbeda dengan kota Medan yang sangat plural. Dalam hal ini
peneliti akan mengkaji apakah sistem religi memiliki pengaruh pada terjadinya culture
shock bagi mahasiswa Aceh perantau di kota Medan.

Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat tiap


kelompok masyarakat kehidupannya akan diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan
mengenai berbagai hal dalam lingkungan dimana individu hidup dari hari ke hari.
Kesatuan sosial yang paling mendasar adalah kerabat, yakni keluarga inti dan kerabat
lainnya. Keluarga inti dan kerabatmerupakan unsur yang sangat berpengaruh dalam
kehidupan setiap individu yang akan dikaji peneliti karena keluarga dan para kerabat
sebagai unsur kebudayaan dalam lingkungan kultur yang begitu familiar tentu sangat
mempengaruhi ketika kita berada jauh dari kelompok tersebut sehingga tentu
memberikan resiko terjadinya culture shock .

Sistem pengetahuan. Unsur kebudayaan mengenai sistem pengetahuan dalam


cakupannnya cukup luas, namun maksud peneliti yang di kaji dalam penelitian ini adalah
terkait pengetahuan individu perantau tentang alam sekitarnya di kota medan seperti pada
Jalan atau kondisi lalu lintas atau hal lainnya terkait lingkungannya yang memiliki
peluang untuk mempengaruhi terjadinya culture shock. Sistem peralatan hidup dan
teknologi dalam adaptasi unsur budaya mahasiswa Aceh yang dimaksudkan dalam
penelitian ini adalah terkait makanan, minuman tempat tinggal dan teknologi dimana
peneliti akan mengkaji dalam hal ini apakah hal-hal tersebut dalam proses adaptasi
berpengaruh pada terjadinya culture shock.

Sistem Ekonomi. Ketika mahasiwa Aceh merantau ke Medan, mereka otomatis akan
jauh dari keluarga dan mengatur kondisi ekonomi diri sendiri dengan sedemikian rupa
sesuai dengan kebutuhannya di kota Medan. Dalam hal ini, tentunya akan ada perbedaan
pemenuhan kebutuhan hidup yang juga akan dikaji peneliti nantinya. Selain itu,
sebahagian dari mahasiswa perantau ada pula yang berusaha untuk melakukan mata
pencaharian sendiri di kota Medan baik untuk menambah saku maupun untuk membantu

35
orang tua sehingga peneliti akan mengkaji terkait apakah keadaan ekonomi juga turut
berpengaruh bagi terjadinya culture shock pada mahasiswa Aceh di kota Medan. Peneliti
juga akan mengkaji terkait apakah kondisi ekonomi juga turut berpengaruh dalam
terjadinya culture shock pada lingkungan sosial budaya individu perantau di kota Medan
dalam proses adaptasinya.

Adaptasi budaya dalam penelitian ini merupakan upaya peneliti dalam menganalisis
apa dan bagaimana perbedaan atau perubahan unsur kebudayaan yang di hadapi
mahasiswa Aceh di kota Medan sebagai lingkungan kebudayaan yang baru dapat
menyebabkan terjadinya culture shock dalam proses adaptasinya.

3. Adaptasi Lingkungan

Seperti makhluk-makhluk hidup lainnya, agar mampu mempertahankan hidup maka


manusia harus selalu menjalin dan menjaga hubungan adaptasi dengan ekosistemnya
(Steward, dalam Poerwanto 2000 : 61). Dalam proses menjalin dan menjaga hubungan
adaptasi dengan lingkungannya individu perantau tentu akan berhadapan dengan
perubahan lingkungan fisik. Adaptasi dalam konteks penyesuaian diri terhadap
perubahan dalam lingkungan yang dimaksudkan peneliti dalam penelitian ini adalah
penyesuaian diri mahasiswa Aceh dengan lingkungan fisik tempat tinggal yang meliputi
kondisi tempat tinggal, air, cuaca, udara serta kondisi lingkungan fisik lainnya yang akan
dikaji peneliti sebagai faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya culture shock.
Perubahan Lingkungan fisik yang di alami mahasiswa perantau di lingkungan tempat
tinggalnya di kota Medan tentu berpotensi pada terjadinya culture shock. Hal inilah yang
mendorong peneliti untuk mengkaji bagaimana adaptasi lingkungan mahasiswa Aceh
terhadap lingkungan tempat tinggalnya apakah perubahan tersebut membawa dampak
negatif terhadap timbulnya culture shock pada mahasiswa Aceh. Adaptasi lingkungan
dalam penelitian ini merupakan upaya peneliti melihat bagaimana perubahan lingkungan
tempat tinggal memiliki pengaruh terhadap terjadinya culture shock pada diri mahasiswa
perantau di kota Medan sebagai lingkungannya yang baru.

36
1.5 Tujuan dan Manfaat penelitian
1.5.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui, memahami, mengumpulkan, dan menyajikan informasi serta data
mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam proses adaptasi sosial, budaya, dan
lingkungan yang menyebabkan terjadinya culture shock pada mahasiswa Aceh perantau
Universitas Sumatera Utara di kota Medan khususnya pada mahasiswa Ikatan Pemuda
Tanah Rencong (IPTR) Universitas Sumatera Utara yang mengalami culture shock dalam
proses penyesuaian diri di lingkungan kebudayaan baru.
1.5.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan sumbangan pemikiran
dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu antropologi sosial
serta diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan atau referensi bagi penelitian-
penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi peneliti, kajian ini bermanfaat dalam memperluas ilmu pengetahuan serta
wawasan peneliti khususnya dalam bidang antropologi sosial serta mempertajam
pengetahuan peneliti dalam mengkaji permasalahan culture shock sebagai gejala
sosial melalui sudut pandang antropologi
2. Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi yang
memberikan informasi secara tertulis mengenai fenomena culture shock yang
dialami mahasiswa perantau di lingkungan kebudayaan baru khususnya bagi
mahasiswa yang berasal dari Aceh di kota Medan agar dapat mencegah atau
menyelesaikan terjadinya culture shock. Penelitian ini juga diharapkan mampu
mengundang perhatian para pembaca untuk mengembangkan konsep-konsep,
teori-teori serta model-model pemikiran yang dapat dimanfaatkan untuk
mencegah terjadinya fenomena tersebut.

37
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Tipe penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dimana peneliti
menjadikan individu sebagai pelaku penelitian. Penelitian deskriptif merupakan
penelitian yang dilakukan dengan tujuan berusaha menggambarkan atau mendeskripsikan
obyek dan fenomena yang diteliti yakni mengenai culture shock dan penyebabnya yang
dialami oleh mahasiswa Aceh perantau sebagai fokus penelitian peneliti dimana
informasi dan data yang akan dikumpulkan oleh peneliti adalah berupa kata-kata, gambar
dan bukan angka. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa dalam suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2004 : 6).

Oleh sebab itu, metode deskriptif kualiatif digunakan peneliti untuk berusaha
mendeskripsikan fenomena culture shock yang dialami mahasiswa Aceh perantau yang
tergabung dalam organisasi IPTR USU di kota Medan. Melalui metode ini peneliti akan
berusaha menggali informasi secara akurat dan kemudian akan mendekripsikannya
melalui kata-kata, gambar dan bukan angka.

1.6.2 Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yakni data primer dan data
sekunder. Sumber data primer merupakan data pokok yang akan diperoleh peneliti
melalui wawancara mendalam, observasi, FGD dan dokumentasi. Sedangkan, data
sekunder merupakan sumber data yang akan diperoleh melalui kajian terhadap berbagai
literatur (studi kepustakaan) untuk melengkapi kebutuhan penelitian yang berasal dari
buku-buku bacaan, jurnal, skripsi, atau artikel yang antropologis dan berkaitan dengan
masalah yang sedang diteliti untuk kelengkapan penelitian.

38
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik atau metode pengumpulan data yang akan dilakukan dalam
penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut:

1. Wawancara Mendalam
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dengan teknik wawancara mendalam
merupakan bagian yang vital karena melalui proses wawancara mendalam peneliti akan
menggali secara langsung informasi sedalam-dalamnya mengenai fenomena culture
shock yang dialami mahasiswa Aceh perantau yang tergabung dalam IPTR di Universitas
Sumatera Utara. Wawancara mendalam merupakan proses menggali informasi secara
mendalam, terbuka, dan bebas dengan masalah dan fokus penelitian yang diarahkan pada
pusat penelitian (Moleong, 2005 : 186).

Informan yang akan diwawancarai peneliti di lapangan tentunya adalah


mahasiswa Aceh yang tergabung dalam organisasi IPTR Universitas Sumatera Utara dan
beberapa informan tambahan lainnya. Wawancara yang dilakukan peneliti bersifat
terbuka dimana subjek yang diteliti mengetahui bahwa ia sedang diwawancarai namun
interaksi yang diakukan adalah informal karena peneliti akan berusaha menciptakan
suasana santai seperti pembicaraan atau obrolan antara individu yang akrab, namun
informan mengetahui apa maksud dari wawancara yang dilakukan agar proses
wawancara terkontrol untuk mendapatkan informasi dan data yang berfokus pada kajian
masalah yang diteliti. Proses wawancara mendalam tentunya dimulai ketika peneliti
sudah membangun rapport dengan para informan

Proses wawancara dilakukan peneliti secara langsung ketika para informan


sedang berada di kota Medan kemudian secara virtual (online) ketika para informan
sedang berada di kampung halaman. Hal demikian karena, para informan tidak menetap
berada di kota Medan selama masa perkuliahan akibat masa pandemi. Dalam proses
wawancara, peneliti akan menggunakan tape recorder dan catatan lapangan sebagai alat
bantu untuk merekam dan mencatat segala informasi yang diucapkan oleh informan
selama proses wawancara berlangsung. Hal demikian karena daya ingat peneliti yang
terbatas layaknya manusia pada umumnya sehingga semua yang diucapkan oleh
informan tidak akan mudah jika hanya didengar dan direkam dalam ingatan peneliti.

39
Tape recorder dan catatan lapangan digunakan sebagai alat agar informasi yang
diperoleh dapat dibaca dan didengar secara berulang agar tidak tejadi kesalahan demi
kekauratan data dan informasi.

Tujuan dilakukannya metode wawancara mendalam pada penelitian ini adalah


untuk berusaha menggali informasi yang lengkap dan mendalam mengenai alasan,
pengalaman, sikap, tindakan, dan pengetahuan, serta pandangan informan terkait masalah
culture shock yang diteliti sesuai dengan kenyataan yang diketahui ataupun dialami oleh
informan. Adapun data-data wawancara yang akan di ajukan peneliti terkait kebutuhan
penelitian diantaranya adalah:

a. Dimulai dengan identitas diri informan.


b. Pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada fokus masalah penelitian dimana
peneliti akan menyesuaikan pertanyaan dengan tahap-tahap terjadinya culture shock
seperti :
- Pendapat atau persepsi subjek tentang kota Medan sebelum dan sesudah
datang untuk merantau?
- Alasan mengapa subjek memilih berkuliah di Universitas Sumatera Utara
yang tepatnya berlokasi di kota Medan?
- Bagaimana pendapat dan perasaan subjek yang diteliti setelah berada di
kota Medan sebagai lingkungan baru?
- Bagaimana kekaguman atau antusias yang subjek rasakan ketika awal
merantau di kota Medan?
- Seiring waktu bagaimana perasaan informan di kota Medan sebagai
lingkungan kebudayaan baru? apakah terdapat perbedaan-perbedaan yang
menimbulkan kesulitan atau permasalahan bagi para informan dalam
lingkungan sosial, budaya, maupun lingkungan fisik?
- Apakah kesulitan-kesulitan tersebut berdampak pada keadaan fisik dan
emosional informan seperti timbulnya kekhawatiran atau kecemasan
kegalau karena rindu akan kampung halaman, rindu keluarga, rindu
teman-teman dan segala sesuatu yang berhubungan dengan daerah asal
(kultur yang familiar) setelah berangsur-angsur berada di kota Medan?

40
- Dan apakah mahasiswa Aceh perantau sudah mampu menerima dan
menyesuaikan diri hingga merasa nyaman dengan kota Medan sebagai
lingkungan barunya?

Hasil wawancara tersebut tentu nantinya akan digolongkan atau dikategorikan


peneliti dalam proses analisis data. Hal-hal tersebutlah yang merupakan gambaran data-
data wawancara mendalam yang ingin digali peneliti melalui para informan yang
kemudian akan lebih meluas dan mendalam lagi ketika informan memberikan jawaban-
jawabannya untuk pemenuhan data penelitian dilapangan. Dalam proses wawancara ini,
peneliti akan menjadi seseorang yang netral dan mengesampingkan segala pengetahuan
yang dimiliki peneliti agar terciptanya emic view dan jawaban yang diberikan oleh
informan adalah data yang sesuai dengan apa yang diketahui, dipahami dan dialami
informan yang diteliti. Data segar yang diperoleh peneliti melalui wawancara kemudian
akan dicatat secara sistematis dan dikumpulkan sebagai data dalam pemenuhan
kebutuhan penelitan.

Adapun informan-informan yang diwawancarai dalam penelitian ini terdiri dari


informan kunci, informan biasa, dan informan tambahan. Menurut Moleong (2004),
informan adalah orang-orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang
masalah yang diteliti beserta situasi dan kondisi penelitian. Dalam menentukan informan,
peneliti menggunakan teknik snowball. Teknik snowball merupakan teknik dimana
melalui informan sebelumnya peneliti akan berusaha untuk mendapatkan informan
berikutnya hingga informasi yang didapatkan mencapai titik jenuh. Adapun informan-
informan yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

No Nama Informan Fakultas-Angkatan Asal Daerah Keterangan


1 Zauzan Arief Teknik-2017 Langsa Ketua IPTR Komisariat USU
periode 2019-2020
2 Kahlil Mirzani ISIP-2017 Perumnas Sekretaris IPTR Komisariat
Lhok Keutapang, USU periode 2019-2020
Pidie, Aceh
3 LI (Samaran) Ilmu Budaya-2017 Aceh Tenggara Anggota IPTR Komisariat USU
4 Fitri N.R Hukum-2018 Lueng Bata, Anggota IPTR Komisariat USU

41
Banda Aceh
5 AS (Samaran) Ekonomi-2018 Lhoknga, Anggota IPTR Komisariat
Aceh Besar USU
6 Rizky Maulana. M Kesehatan Bireun, Aceh Anggota IPTR Komisariat
Masyarakat-2018 USU
7 HM (Samaran) Teknik-2018 Subullussalam, Anggota IPTR Komisariat
Aceh USU
8 Erin Harsa ISIP 2017 Simeulue, Aceh Mahasiswa Aceh di USU
(Tidak tergabung dalam IPTR)
9 Oya Rasyida ISIP 2017 Banda Aceh Mahasiswa Aceh di USU
(Tidak tergabung dalam IPTR)
10 Ibu Nurma - Medan Pedagang di Depan Sekret
IPTR Kota Medan
Tabel 1 : Informan Penelitian

1. Informan kunci (key informan) adalah seseorang yang mengetahui dan memiliki
berbagai informasi pokok mengenai masalah yang diteliti. Informan kunci dalam
penelitian ini adalah sekretaris IPTR Komisariat USU yaitu Kahlil Mirzani. Kahlil
menjadi informan kunci dalam penelitian karena data-data serta informasi pokok
mengenai masalah yang dikaji oleh peneliti diperoleh melalui beliau. Selain
karena beliau mengetahui dan memiliki informasi pokok yang dibutuhkan
peneliti, beliau juga mengalami sendiri masalah yang dikaji oleh peneliti sehingga
beliau begitu memahami secara menyeluruh mengenai masalah yang diangkat dan
dikaji oleh peneliti.
2. Informan biasa adalah mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial
(masalah) yang diteliti. Informan biasa dalam penelitian ini adalah mereka yang
terlibat langsung dengan masalah yang diteliti yaitu mereka yang mengalami
masalah yang dikaji oleh peneliti. Adapun informan-informan tersebut adalah
mahasiswa-mahasiswi Aceh yang tergabung dalam organisasi IPTR Komisariat
USU, yakni mereka yang mengalami fenomena culture shock sesuai kajian
peneliti. Adapun informan-informan tersebut ialah Fitri, Rizky, LI, HM dan SA

42
3. Informan tambahan adalah mereka yang dapat memberikan informasi tambahan
sebagai pelengkap analisis peneliti walaupun tidak terlibat langsung dalam
permasalahan yang dikaji oleh peneliti. Adapun informan tambahan dalam
penelitian ini adalah Zauzan Arief yang memberikan sedikit informasi umum
mengenai IPTR dan menyarankan peneliti untuk mendalami dan mendapatkan
berbagai informasi pokok melalui sekretaris IPTR. Kemudian ibu Nurma selaku
pedagang yang berada didepan sekretariat IPTR, serta Erin Harsa dan Oya
Rasyida selaku mahasiswa Aceh yang tidak tergabung dalam organisasi IPTR
USU namun memberikan informasi tambahan sesuai kebutuhan penelitian.

2. Observasi

Observasi atau pengamatan merupakan kemampuan seseorang untuk


menggunakan pengamatannya secara langsung melalui hasil kerja pancaindra mata
sebagai alat bantu utamanya dan dibantu oleh pancaindra lainnya (Bungin, 2007 : 118).
Metode observasi merupakan metode pengamatan yang mengandalkan indra penglihatan
peneliti sebagai alat utama. Dalam penelitian ini observasi merupakan proses
pengumpulan data yang dilakukan peneliti dengan terjun langsung ke lapangan yakni ke
lokasi sekretariat IPTR USU yang berada di Jalan Harmonika baru no.41 Padang Bulan
Medan serta ke sekretariat umum IPTR sekota Medan yang berada di Jalan Amaliun
nomor 25 Kelurahan Kota Maksum, Kecamatan Medan Area. Peneliti juga berusaha
menemui seluruh subjek yang dijadikan sebagai objek penelitian yang berada di Kota
Medan untuk melakukan pengamatan terhadap segala situasi kondisi yang berhubungan
dengan masalah yang sedang diteliti.

Adapun data-data yang akan di observasi peneliti selama melakukan penelitian di


lapangan ialah mengamati segala sesuatu yang berhubungan dengan mahasiswa Aceh
perantau yakni segala situasi kondisi yang ada dan yang terjadi di lapangan yang
mengacu kepada pemenuhan kebutuhan data penelitian terkait fenomena culture shock
yang dikaji peneliti. Observasi tersebut diantaranya adalah, melakukan pengamatan
terhadap lingkungan sekretariat IPTR USU sebagai salah satu wadah tempat
perkumpulan mahasiswa Aceh yang merantau ke kota Medan dan melakukan
pengamatan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam organisasi. Selanjutnya

43
peneliti juga akan mengamati lingkungan dan kondisi tempat tinggal subjek yang
dijadikan sebagai objek penelitian, mengamati subjek penelitian meliputi penampilan
fisik, ekspresi wajah, cara berbicara atau reaksi emosional subjek yang diteliti ketika
melakukan wawancara, serta mengamati interaksi atau hubungannya dengan
lingkungannya.

Selama di lapangan peneliti akan berusaha untuk selalu mengobservasi sikap,


prilaku, serta tindakan dan kata-kata yang diberikan oleh para informan sebagaimana
terjadi adanya, mengamati ekspresi dan cara para informan bercerita atau memberikan
jawaban-jawaban terkait pengetahuan, pemahaman serta pengalaman mereka yang
berhubungan dengan fokus kajian penelitian. Dengan demikian peneliti berusaha
merasakan dan memahami apakah data yang diberikan itu benar adanya.

Semuanya itu dilakukan peneliti kepada mahasiswa Aceh perantau yang


mengalami culture shock dengan tujuan memperoleh gambaran yang lebih luas dan
terperinci terkait kajian masalah yang diteliti. Dalam proses penelitian ini, peneliti tidak
menyembunyikan identitas sesungguhnya, melainkan mengembangkan rapport yang baik
dengan para informan untuk mendapatkan data yang failed. Metode observasi yang
digunakan oleh peneliti akan berusaha melihat dunia sebagaimana dilihat oleh subjek
yang diteliti (emic view), menangkap arti fenomena atau masalah yang dikaji dari segi
pengertian subjek, menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan dan anutan para
subjek pada waktu pengamatan, serta pengamatan akan memungkinkan peneliti
merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek yang diteliti. .

Tidak lupa peneliti juga akan selalu mengamati segala objek yang ada dan
peristiwa terjadi ketika peneliti melakukan proses pengamatan yang mengacu pada
pemenuhan data sesuai fokus penelitian untuk memperoleh data segar tanpa
sepengetahuan peneliti dimana beberapa data yang diperoleh berasal dari subjek pada
saat terjadinya tingkah laku melalui pengamatan peneliti. Data segar yang diperoleh
peneliti melalui observasi kemudian akan dicatat secara sistematis dan dikumpulkan
sebagai data dalam pemenuhan kebutuhan penelitan karena observasi ialah metode atau
cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah

44
laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung (Ngalim
Purwanto, 1985 dalam Baswori & Surwandi 2008 : 94).

3. Focuss Group Discussion (FGD)

Focus Group Discussion (FGD) merupakan salah satu teknik pengumpulan data
yang juga lazim digunakan dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini , teknik FGD
dapat diandalkan peneliti untuk perolehan data atau informasi berdasarkan hasil diskusi
antara peneliti dengan para informan sesuai dengan fokus bahasan masalah yang sedang
diteliti. Menurut Irwanto (2006) FGD merupakan proses pengumpulan data dan informasi
yang sistematis mengenai suatu permasalahan yang sangat spesifik melalui diskusi
kelompok. Sebagaimana defenisinya, FGD memiliki tiga kata kunci yakni:

1. Diskusi dan bukan wawancara atau obrolan,


2. Kelompok, bukan individual, dan
3. Terfokus sesuai isu atau fenomena yang diteliti

Teknik FGD ini sangat bermanfaat bagi peneliti untuk mengetahui pendapat, alasan,
motivasi, dan argumentasi tiap informan mengenai masalah yang sedang diteliti sehingga
dapat menambah informasi, memperkuat hasil penelitian lapangan, serta dapat menguji
keabsahan dan keakuratan data yang telah diperoleh peneliti dilapangan melalui diskusi
bersama para informan nantinya.

Teknik FGD ini dilakukan peneliti secara virtual melalui media online (zoom
meeting) dikarenakan adanya hambatan akibat masa pandemic. Melalui FGD bersama
para informan yang mengalami masalah yang diteliti, peneliti akan melontarkan hasil-
hasil penelitian lapangan yang telah dikategorikan dan dideskripsian oleh peneliti kepada
para informan dengan tujuan untuk mengetahui pendapat para informan dan menguji
kebenaran data atau informasi-informasi yang telah didapatkan. Hal demikian juga
dilakukan peneliti untuk menghindari adanya kesalahan tafsir peneliti terhadap informasi-
informasi yang diberikan informan di lapangan yang akan disimpulkan nantinya.
Disamping itu, dalam proses FGD peneliti juga melakukan observasi terhadap keaktifan
dan kepasifan para informan dalam proses diskusi secara bersamaan yang bermanfaat
untuk melihat lagi sifat dan karakter setiap informan penelitian melalui jawaban yang

45
diberikan serta ekspresi yang ditampilkan melalui keaktifan atau kepasifan mereka dalam
proses FGD.

4. Studi Kepustakaan

Dalam proses pengumpulan data, peneliti juga menggunakan studi pustaka


dengan membaca dan menggunakan berbagai literature atau bacaan sebagai rujukan atau
bahan referensi yang akan membantu peneliti dalam proses penyusunan penelitian ini
baik untuk pemenuhan kebutuhan teori yang relevan dengan kajian masalah yang diteliti
dan juga sebagai referensi dan petunjuk untuk mengumpulkan data atau informasi
lapangan yang berkaitan dengan fenomena atau masalah yang diteliti. Adapun literature-
literature yang digunakan peneliti sebagai referensi dalam proses penelitian adalah
dengan mempelajari dan menelaah literature berupa buku-buku Antropologi yang sesuai
dengan kajian masalah yang diteliti, laporan-laporan penelitian seperti jurnal, artikel,
skripsi dan tesis mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan culture shock
sebagai kajian dalam penelitian ini baik literature dalam bentuk cetak maupun online
(internet).

5. Dokumentasi
Teknik dokumentasi merupakan salah satu teknik yang digunakan peneliti untuk
memperoleh informasi dari berbagai sumber yang kemudian akan ditelaah oleh peneliti.
Dokumentasi digunakan peneliti untuk melihat atau menganalisis dokumen-dokumen
yang terkait dengan kebutuhan penelitian. Dokumentasi ini juga diperlukan oleh peneliti
untuk menguatkan data atau informasi yang diperoleh melalui wawancara maupun
observasi. Adapun alat dokumentasi yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan
data atau informasi dalam penelitian ini adalah menggunakan field note sebagai alat
utama untuk menuangkan apa yang dilihat, didengar, atau diobservasi dan diwawancarai
peneliti selama proses penelitian dilapangan dan kemudian akan memperincinya.

Peneliti juga menggunakan handphone sebagai alat dokumentasi melalui rekaman


(tape recorder) dan juga foto (jika diijinkan oleh informan) sebagai cara untuk
menyimpan atau mengarsipkan informasi dan data yang diperoleh selama berada di
lapangan. Dokumentasi-dokumentasi tersebut dibutuhkan peneliti agar seluruh informasi
yang disampaikan informan atau subjek yang diteliti secara lisan maupun tulisan dapat

46
didokumentasikkan peneliti sehingga segala informasi yang diucapkan dapat dibaca dan
didengar secara terus menerus dan berulang oleh peneliti demi ke akuratan data untuk
pemenuhan data penelitian. Foto merupakan salah satu bentuk dokumentasi yang
dilakukan sebagai bukti bahwasannya peneliti benar-benar melakukan penelitian dengan
terjun kelapangan.

1.6.4 Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini ialah teknik analisis data
kualitatif. Menurut Moleong (2005 : 280) Analisis data adalah proses mengorganisasikan
dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data.

Analisis data kualitatif dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber data yang terkumpul, mempelajari data, menelaah dan menyusun dalam
suatu kesatuan yang kemudian dikategorikan pada tahap berikutnya. Kemudian peneliti
memeriksa keabsahan data serta mendefenisikannya dengan analisis sesuai dengan
kemampuan daya peneliti untuk membuat kesimpulan penelitian (Moleong, 2006 : 247).

Analisis data kualitatif merupakan aktivitas yang dilakukan secara terus menerus
selama penelitian berlangsung. Penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang
tersedia dari berbagai sumber baik melalui literatur, observasi atau pengamatan peneliti
selama berada di lapangan, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Adapun analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini ialah menggunakan model analisis data
kualitatif menurut Miles dan Huberman yang terdiri dari tiga tahap yakni sebagai berikut

1. Tahap Reduksi Data

Reduksi data merupakan langkah yang dilakukan dalam proses pemilihan,


pemusatan perhatian, pengabstraksian dan pentransformasian data kasar dari lapangan
yang dilakukan terus-menerus selama proses penelitian berlangsung. Selama proses
penelitian berlangsung, peneliti akan memperoleh berbagai informasi atau data yang
dikumpulkan melalui berbagai alternatif dokumentasi baik melalui catatan lapangan
ataupun rekaman.

47
Berbagai informasi atau data yang diperoleh dari lapangan tesebut akan ditulis
ulang dan dibaca secara keseluruhan oleh peneliti untuk ditelaah dan dirangkum, untuk
memilih mana data atau infomasi yang penting sesuai dengan fokus masalah penelitian
dan membuang data yang tidak penting. Proses reduksi data ini akan berfungsi untuk
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasi data yang diperoleh dengan sedemikian rupa sehingga interpretasi dapat
ditarik.

2. Tahap Penyajian Data

Tahap penyajian data merupakan tahap lanjutan analisis dimana peneliti akan
menyajikan informasi atau data temuan penelitian. Miles dan Huberman (dalam
Sugiyono, 2010 : 341) menjelaskan bahwasannya dalam penelitian kualitatif penyajian
data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan hubungan antar kategori, dan
sejenisnya. Pada tahap ini, peneliti akan menyajikan data dalam bentuk naratif untuk
mendeskripsikan informasi atau data yang diperoleh dari lapangan yang sesuai dengan
tipe penelitian kualitatif.

3. Tahap Penarikan Kesimpulan

Tahap penarikan kesimpulan merupakan tahap lanjutan dimana pada tahap ini
peneliti akan menarik kesimpulan dari segala informasi dan data yang telah diperoleh dan
disajikan. Setelah kesimpulan dibuat, peneliti akan memastikan tidak adanya kesalahan
dengan mengecek ulang, memeriksa keabsahan data dan informasi yang diperoleh
melalui reduksi dan penyajian data demi kesahihan hasil penelitian peneliti sesuai dengan
kemampuan daya peneliti untuk membuat kesimpulan penelitian.

48
1.7 Pengalaman Penelitian

Penelitian lapangan dilakukan kurang lebih selama 3 bulan setelah peneliti


mendapat persetujuan dari dosen pembimbing untuk melakukan penelitian ke lapangan
pada bulan desember 2020. Setelah di setujui oleh dosen pembimbing, peneliti kemudian
mengurus surat penelitian lapangan di ASA FISIP USU untuk dipergunakan selama
proses penelitian di lapangan. Surat yang di urus kemudian selesai dalam 3 hari dimana
proses pengurusannya adalah secara online. Setelah menerima surat tersebut, peneliti
kemudian langsung terjun ke lapangan dengan membawa surat tersebut untuk di
tunjukkan kepada para informan di lapangan khususnya kepada organisasi IPTR sebagai
tempat yang menjadi studi kasus penelitian peneliti.

Sebelum peneliti mendapat persetujuan untuk melakukan penelitian lapangan,


peneliti sebenarnya sudah beberapa kali menemui beberapa diantara informan penelitian
dan mengamatinya. Informan pertama yang ditemui peneliti di lapangan ketika sudah
memperoleh surat izin penelitian lapangan adalah Zauzan Arief selaku ketua organisasi
IPTR Komisariat USU yang sudah sejak lama sebelumnya telah dihubungi peneliti
melalui media sosial untuk membangun komunikasi, memperkenalkan diri dan
memberitahukan maksud dan tujuan peneliti. Peneiti menemui beliau di Fakultas Teknik
USU untuk memberikan surat penelitian lapangan agar kiranya beliau mengijinkan
peneliti untuk memperoleh data serta melakukan penelitian terhadap keanggotaan
organisasi IPTR.

Peneliti melakukan wawancara dengan Zauzan Arief selaku ketua IPTR


Komisariat USU terkait masalah yang hendak dikaji peneliti. Berdasarkan wawancara
dengan beliau, informan tidak mengalami culture shock sebagai masalah yang dikaji
oleh peneliti karena beliau sudah sangat terbiasa merantau jauh dari orang tua dan
sebelumnya sudah sangat sering berkunjung ke kota Medan sebelum berkuliah terlebih
beliau juga sudah lama menetap di kota Medan. Informan kemudian memberikan sedikit
informasi mengenai gambaran umum organisasi IPTR dan kemudian menyarankan
peneliti untuk memperoleh secara mendalam mengenai informasi-informasi yang
dibutuhkan peneliti melalui sekretaris IPTR yaitu Kahlil Mirzani yang ternyata
mengalami fenomena yang di kaji oleh peneliti.

49
Kahlil merupakan informan yang sangat ramah, terbuka dan menurut peneliti
memiliki kemampuan berinteraksi dan bersosialisasi dengan baik dengan pengamatan
peneliti sendiri, karena beliau merupakan salah satu mahasiswa Antopologi. Melalui
wawancara dengan Kahlil, peneliti kemudian mendapatkan berbagai data dan informasi
pokok mengenai organisasi IPTR hingga terjun ke sekretariat IPTR sekota Medan di
Jalan Amaliun, kota Matsum Medan Area. Disana peneliti juga mewawancarai ibu
Nurma selaku informan tambahan yang merupakan pedagang yang tepat berada didepan
sekretariat organisasi IPTR kota Medan yang memberikan informasi terkait kegiatan-
kegiatan organisasi IPTR selama masa pandemic.

Sesuai dengan teknik snowball yang digunakan peneliti, Kahlil selaku informan
kuncidan merupakan sekkretaris IPTR komisariat USU juga kemudian menunjuk
beberapa informan yang sesuai dengan kriteria fokus penelitian penulis yang dapat
diwawancarai yakni informan Fitri dan informan Rizky yang pada waktu itu sedang
berada di kota Medan. Informan Fitri dan Rizky hampir memiliki kepribadian yang sama
yakni sangat mudah bergaul, terbuka dan ramah sehingga untuk membangun rapport
dengan mereka sebagai teknik awal mendapatkan informasi, peneliti tidak mengalami
kendala apapun.

Selanjutnya melalui informan Fitri, peneliti mendapat informan selanjutnya yang


tentunya sesuai dengan kriteria fokus penelitian yakni informan SA dan HM. Selain itu,
terdapat informan yang sudah menjadi sasaran penelitian peneliti sedari awal yaitu
informan LI. Berbeda dengan informan lainnya, informan LI merupakan informan yang
langsung ditemui peneliti kelapangan tanpa diberi petunjuk oleh para informan
sebelumnya karena informan LI merupakan subjek penelitian awal yang menjadi salah
satu alasan peneliti tertarik mengangkat topic Culture Shock sebagai fokus penelitian.
Informan LI merupakan informan yang telah peneliti amati kepribadiannya yang bersifat
tertutup sejak menduduki awal perkuliahan.

Kendala yang dihadapi peneliti selama berada di lapangan pada awalnya adalah
dalam membangun rapport dengan beberapa informan yang tidak mudah yakni informan
LI dan SA. Hal tersebut karena kedua informan tidak dengan mudah mau menceritakan
pengalaman mereka mendatangi kota Medan dengan melalui berbagai hal yang menjadi

50
permasalahan mereka di kota Medan sejak awal merantau. Informan SA sebenarnya
memiliki kepribadian santai dan mudah mencairkan suasana, namun beliau tidak dengan
waktu yang cepat mau menceritakan dirinya dan pengalamannya. Namun, kendala
tersebut dapat dilalui peneliti dengan usaha yang maksimal yang salah satunya adalah
dengan mengikuti hampir seluruh media sosial mereka dan selalu berusaha mendekatkan
diri dan membangun pertemanan.

Setelah mereka cukup membuka diri, peneliti kemudian berulang-ulang


mempertanyakan hal yang sama sesuai kebutuhan penelitian peneliti dengan gaya bahasa
berbeda untuk kebutuhan keakuratan penelitian. Semua informasi yang diperoleh peneliti
dilapangan, dianalisis dengan sedemikian rupa untuk memilah-milah dan
mengkategorikan informasi yang serupa yang kemudian dituangkan peneliti kedalam
tulisan ini. Pada tanggal 27 Maret 2021, atas saran melalui dosen penguji ketika seminar
hasil, untuk memperkuat hasil penelitian peneliti, peneliti juga kemudian mengadakan
Focus Group Discussion (FGD) sebagai salah satu teknik pengumpulan data bersama
enam informan yang merupakan subjek penelitian peneliti untuk memenuhi keakuratan
hasil penelitian lapangan. Demikianlah pengalaman singkat peneliti selama melakukan
proses penelitian di lapangan, yang mana hasil penelitan tersebut telah dituangkan dan
dibahas peneliti pada bab-bab selanjutnya.

51
BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Kota Medan

2.1.1 Letak Geografis Kota Medan

Kota Medan merupakan ibu kota dari provinsi Sumatera Utara yang berada pada
koordinat 3°30’-3°.43’ Lintang Utara dan 98°.35-98°.44’ Bujur Timur. Topografi kota
Medan cenderung miring ke Utara dan kota Medan berada pada ketinggian 2,5 – 37,5
Meter di atas permukaan laut. Kota Medan merupakan kota terbesar ketiga setelah kota
Jakarta dan kota Surabaya dimana kota Medan memiliki luas 26.510 hektar atau sama
dengan 265,10 km2 atau 3,6% dari luas wilayah Sumatera Utara (BPS 2010). Kota
Medan terdiri dari 21 kecamatan dengan jumlah penduduk mencapai 2.983.868 jiwa
(Pemkomedan) yang dengan demikian, jika dibandingkan dengan kota atau kabupaten
lainnya, kota Medan memiliki luas wilayah yang relative kecil dengan jumlah penduduk
yang relative besar.

Sebagian besar wilayah kota Medan adalah dataran rendah dan dikatakan
memiliki kedudukan yang strategis karena selain merupakan tempat pertemuan dua
sungai penting yakni sungai Deli dan sungai Babura yang mana keduanya merupakan
jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, kota Medan juga berbatasan langsung
dengan Selat Malaka dibagian Utara sehingga relative dekat dengan kota-kota atau
negara yang lebih maju seperti pulau pulau Penang, Kuala Lumpur Malaysia dan
singapura (Arsip PemkoMedan). Secara administrative hampir keseluruhan dari wilayah
kota Medan berbatasan dengan kabupaten Deli Serdang. Adapun batas-batas wilayah
administrative tersebut adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kabupaten Deli Serdang dan Selat Malaka

Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang

Sebelah Selatan : Kabupaten Deli Serdang

Sebelah Barat : Kabupaten Deli Serdang

52
Berikut luas wilayah kota Medan menurut Kecamatan tahun 2015 berdasarkan Badan
Pusat Statistik (BPS) kota Medan :

LuasPersentase
Kecamatan
(%)
1. Medan Tuntungan 20,687,80
2. Medan Johor 14,58
5,50
3. Medan Amplas 11,19
4,22
4. Medan Denai 9,053,41
5. Medan Area 5,522,08
6. Medan Kota 5,271,99
7. Medan Maimun 2,981,13
8. Medan Polonia 9,013,40
9. Medan Baru 5,842,20
10. Medan Selayang 12,814,83
11. Medan Sunggal 15,44 5,83
12. Medan Helvetia 13,164,97
13. Medan Petisah 6,822,57
14. Medan Barat 5,332,01
15. Medan Timur 7,762,93
16.Medan Perjuangan 4,091,54
17.Medan Tembung 7,993,01
18. Medan Deli 20,84
7,86
19. Medan Labuhan 36,67 13,83
20. Medan Marelan 23,82 8,99
21. Medan Belawan 26,25 9,90
Kota Medan 265,10
100,00
Tabel 2. Luas Wilayah Kota Medan Menurut Kecamatan, tahun 2015

Sumber : BPS Kota Medan tahun 2015

53
Gambar 2.Peta Kota Medan

Sumber: Arsip Daerah Pemerintah Kota Medan2

2
Arsip Daerah Pemerintah Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Arsip.Pemko Medan.go.id

54
2.1.2 Heterogenitas Kota Medan

Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu kota yang
heterogen dengan keanekaragaman masyarakat yang terdapat didalamnya. Seperti yang
dapat diamati pada masa kini, kota Medan merupakan kota yang multietnis dimana
penduduknya terdiri dari orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang
berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut dapat dilihat melalui masyarakatnya yang terdiri
dari beragam suku bangsa, bahasa, agama, ras dan lain sebagainya yang membentuk kota
Medan menjadi sebuah kota yang heterogen. Keanaekaragaman tersebut juga terpampang
jelas dengan jumlah Masjid, Gereja, Vihara, atau Kuil yang terdapat di kota Medan.
Namun, keberadaan kota Medan yang heterogen saat ini sebenarnya tidak terlepas dari
gelombang migrasi yang pernah terjadi akibat perkembangan perkebunan di kota Medan
sekitar abad 19 hingga abad 20.

Gelombang migrasi pertama adalah datangnya orang-orang Tionghoa (Cina) dan


ada juga orang-orang tamil untuk bekerja sebagai kuli perkebunan tembakau oleh para
pemerintah Belanda. Kemudian, sejak pemerintah Tiongkok mempersulit kedatangan
buruh-buruh Cina dan pemerintah Inggris di India memajukan syarat untuk kesejahteraan
orang-orang Tamil yang menjadi kuli perkebunan di Deli, maka para pengusaha
perkebunan Belanda mendatangkan orang-orang Jawa sebagai kuli kontrak di
Perkebunan tembakau tersebut 3. Orang-orang Tionghoa pun kemudian berkembang
dalam sektor perdagangan.

Gelombang ke dua adalah datangnya suku bangsa Minangkabau, Mandailing, dan


Aceh. Kedatangan mereka bukanlah untuk bekerja sebagai buruh perkebunan melainkan
untuk berdagang, menjadi guru ataupun ulama 4. Jika kembali menilik historis kota
Medan, hetrogenitas yang ada benar sudah terjadi sejak lama dimana Usman Pelly pada
tahun 1930 hingga 1980 memberikan data perbandingan etnis di kota Medan, yang
kemudian dilengkapi juga oleh data BPS Sumut tahun 2000 seperti yang tertera berikut
ini:

3
Tengku Luckman Sinar, SH. “Sejarah Medan Tempo Doeloe”. 1991, hlm.26
4
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/63821/Chapter%20II.pdf?sequence=4&isAllow
ed=y

55
Etnik Tahun 1930 Tahun 1980 Tahun 2000
Jawa 24,89 % 29,41 % 33,003%
Batak 2,93 % 14,11% (lih.catatan)
Tionghoa 35,63 % 12,80% 10,65%
Mandailing 6,12 % 11,91% 9,36%
Minangkabau 7,29% 10,93% 8,60%
Melayu 7,06% 8,57% 6,59%
Karo 0,19% 3,99% 4,10%
Aceh - 2,19% 2,78%
Sunda 1,58 % 1,90% -
Lain-lain 1,31 % 4,13% 3,95 %
Sumber: 1930 dan 1980: Usman Pelly, 1983; 2000: BPS Sumut[9] Data BPS Sumut
tidak menyenaraikan "Batak" sebagai salah satu suku bangsa, namun total Simalungun
(0,69%), Toba (19,21%), Pakpak, (0,34%), dan Nias (0,69%) totalnya adalah 20,93%

Tabel 3. Perbandingan etnis di Kota Medan pada tahun 1930, 1980, dan 20005

Data Perbandingan etnis tersebut menjadi bukti bahwasannya kota Medan sudah
menjadi kota yang Multietnis dan beragam sejak lama bahkan sebelum kemerdekaan
Indonesia. Terdapat etnis Jawa, Batak, Tionghoa, Mandailing, Minangkabau, Melayu,,
Karo, Aceh, dan Sunda yang telah bermukim di kota Medan dan telah terdata mulai tahun
1930. Dalam tabel tersebut juga dapat dilihat bahwasannya jumlah etnis Aceh sebagai
etnis yang menjadi kajian peneliti di kota Medan mengalami peningkatan mulai tahun
1980 hingga tahun 2000. Disamping itu, selain kota yang multietnis, kota Medan juga
dikenal dengan keberagaman agama yang terdapat didalamnya.

5
Wikipedia: 1930 dan 1980: Usman Pelly, 1983; 2000: BPS Kota Medan
56
Berikut agama di kota Medan menurut wikipedia, berdasarkan data sensus kota
Medan tahun 2018 :

Agama Persen%

Islam 64.53 %

Protestan 20.99 %

Khatolik 5.11 %

Buddha 8.27 %

Hindu 1.04 %

Konghucu 0.06 %

Tabel 4. Agama di kota Medan

Sumer : Wikipedia berdasarkan data sensus kota Medan tahun 2018

Data sensus pada tabel di atas menunjukkan keberagaman agama yang ada di kota
Medan dengan jumlah pemeluk agama Islam sebesar 64,35%, agama Kristen protestan
sebesar 20,99 %, Khatolik 5,11 %, Buddha 8,27 %, Hindu 1,04%, dan Konghucu sebesar
0,06%. Eberagaman agama tersebut juga dapat di amati pada kota Medan melalui rumah-
rumah ibada agama-agama tersebut yang berada tersebar di kota Medan.

Dari sekian banyaknya faktor pendorong yang menjadikan kota Medan sebagai
kota yang heterogen atau multicultural, faktor pendidikan adalah yang menjadi salah satu
faktor pembentuk keheterogenitasan tersebut. Terdapat individu-individu yang
bermigrasi ke kota Medan baik secara permanen ataupun tidak dengan tujuan untuk
menempuh pendidikan. Dalam konteks pendidikan pada jenjang perguruan tinggi di kota
Medan, Universitas Sumatera Utara merupakan salah satu faktor pendorong utama para
individu yang berasal dari luar kota Medan bermigrasi ke kota Medan dengan tujuan
untuk menempuh pendidikan. Hal demikian karena Universitas Sumatera Utara

57
merupakan salah satu Universitas Negeri ternama khususnya di pulau Sumatera sehingga
beragam individu dengan latar belakang asal daerah, suku bangsa atau etnis, ras, atau
agama yang berbeda-beda mendatangi kota Medan dengan tujuan untuk menempuh
pendidikan yang menjadi salah satu faktor pendorong keherterogenitasan tersebut di kota
Medan.

2.2 Universitas Sumatera Utara

2.2.1 Sejarah Singkat Berdirinya Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Universitas Sumatera Utara

Sumber: Internet

Pendidikan merupakan salah satu pondasi utama untuk membangun sebuah


bangsa menjadi bangsa yang besar. Terselenggaranya pendidikan yang berkualitas tentu
akan sangat membantu terbentuknya generasi yang bermutu, berkarakter baik dan
memiliki kecerdasan intelektual. Universitas merupakan salah satu lembaga pendidikan
yang memiliki peranan tinggi dan strategis untuk membangun sebuah bangsa. Universitas
Sumatera Utara merupakan salah satu Universitas Negeri ternama dan di favorite kan
pulau Sumatera.

58
Sejarah dari Universitas Sumatera Utara dimulai dengan berdirinya Yayasan
Universitas Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952 yang dipelopori oleh Gubernur
Sumatera Utara pada saat itu untuk memenuhi keinginan masyarakat Sumatera Utara
secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum. Pada zaman pendudukan Jepang,
beberapa orang terkemuka di Medan seperti Dr. Pirngadi dan Dr. T. Mansoer membuat
sebuah rancangan perguruan tinggi Kedokteran. Setelah kemerdekaan Indonesia,
Pemerintah kemudian mengangkat Dr. Mohd. Djamil di Bukit Tinggi sebagai ketua
panitia. Setelah pemulihan kedaulatan akibat clash (bentrokan) pada tahun 1947,
Gubernur Abdul Hakim mengambil inisiatif untuk menganjurkan kepada seluruh rakyat
di Sumatera Utara mengumpulkan uang untuk pendirian sebuah Universitas di daerah ini
(Sumatera Utara).

Pada tanggal 31 Desember 1951, dibentuk panitia persiapan pendirian perguruan


tinggi yang diketuai oleh Dr. Soemarsono yang anggotanya terdri dari Dr. Ahmad Sofian,
IR. Danunagoro dan sekertaris Mr. Djaidin Purba. Hasil kerjasama dan bantuan moril
serta material dari seluruh masyarakat Sumatera Utara yang pada waktu itu meliputi juga
Daerah Istimewa Aceh, pada tanggal 20 Agustus 1952 berhasil lah didirikan Fakultas
Kedokteran di Jalan Seram dengan dua puluh tujuh (27) orang mahasiswa yang
diantaranya terdapat dua wanita. Selanjutnya disusul dengan berdirinya Fakultas Hukum
dan Pengetahuan Masyarakat pada tahun 1954, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
tahun 1956, dan Fakultas Pertanian pada tahun 1956.

Pada tanggal 20 November 1957, Universitas Sumatera Utara (USU) kemudian


diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia yakni Dr. Ir. Soekarno menjadi Universitas
Negeri yang ke tujuh (7) di Indonesia. Selanjutnya, Pada tahun 1959 dibuka Fakultas
Teknik di Medan dan Fakultas Ekonomi di Kutaraja (Banda Aceh) yang diresmikan
secara meriah oleh Presiden R.I yang disusul oleh berdirinya Fakultas Kedokteran Hewan
dan Peternakan tahun 1960 di Banda Aceh, sehingga pada waktu itu USU terdiri dari
lima Fakultas di Medan dan dua Fakultas di Banda Aceh. Selanjutnya menyusul
berdirinya kedokteran Gigi (1961), Fakultas Sastra (1965), Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam (1965), Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik (1982),
Sekolah Pascasarjana (1992), Fakultas Kesehatan Masyarakat (1993), Fakultas Farmasi
(2006), Fakultas Psikologi (2007), Fakultas Keperawatan (2009), dan Fakultas

59
Kehutanan (2014). Tahun 2003, USU kemudian merubah status dari suatu Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) menjadi suatu perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN). Perubahan status USU dari PTN menjadi BHMN merupakan yang kelima di
Indonesia setelah UI, UGM, ITB, DAN IPB pada tahun 2000. Setelah USU disusul
perubahan status UPI tahun 2004 dan UNAIR tahun 2006. Berikut tabel banyak
mahasiswa USU yang didata mulai tahun 2001/2002 hingga 2017/2018:

Tahun Rasio Mahasiswa Terhadap


Mahasiswa Dosen
Pendidikan Dosen
Academic Year Student Lecturer
Ratio of Students to Lecturer
-1 -2 -3 -4
2001/2002 25 918 1 638 15,82
2002/2003 27 451 1 639 16,75
2003/2004 28 663 1 671 17,15
2004/2005 28 326 1 682 16,84
2005/2006 29 141 1 728 16,86
2006/2007 32 559 1 726 18,86
2007/2008 31 976 1 648 19,40
2008/2009 34 700 1 628 21,31
2009/2010 35 510 1 632 21,76
2010/2011 36 952 1 612 22,92
2011/2012 42 038 1 594 26,37
2012/2013 44 246 1 564 28,29
2013/2014 52 089 1 548 33,65
2014/2015 53 176 1 547 34,37
2015/2016 53 065 1 551 34,21
2016/2017 53 830 1 519 35,34
2017/2018 50 809 1 578 32,19

Tabel 5. Jumlah Mahasiswa USU tahun 2001/2002 hingga 2017/2018

Sumber: Universitas Sumatera Utara melalui BPS kota Medan tahun 2019

Berdasarkan data yang disajikan di atas, tampak bahwasannya jumlah mahasiswa


Universitas Sumatera Utara semakin meningkat setiap tahunya. Mahasiswa-mahasiswi

60
tersebut tentu tidak saja hanya berasal dari kota Medan melainkan dari berbagai daerah
yang ada di Indonesia. Dalam perkembangannya, beberapa Fakultas di lingkungan USU
telah menjadi embrio berdirinya tiga perguruan tinggi negeri yang baru, yakni
Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh, yang embrionya adalah Fakultas Ekonomi dan
Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan USU di Banda Aceh. Kemudian disusul
berdirinya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Medan ( 1964), yang
sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Medan (UNIMED) yang embrionya adalah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan USU. Setelah itu berdiri Politeknik Negeri
Medan (1999) yang semula adalah Politeknik USU. Seiring berjalannya waktu di USU
juga terdapat beragam organisasi mahasiswa baik organisasi kesukuan maupun tidak
yang salah satu di antaranya adalah organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong (IPTR)
yakni organisasi kesukuan Aceh yang akan dijelaskan pada sub bab berikut.

2.3 Organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong

2.3.1 Sejarah Berdirinya IPTR

Ikatan Pemuda Tanah Rencong (IPTR) merupakan salah satu organisasi kesukuan
beretnik Aceh yang terdapat di kota Medan yang juga terdapat di Universitas Sumatera
Utara. IPTR bukanlah sebuah organisasi baru di kota Medan melainkan telah ada sejak
tahun 1953 yang didirikan dengan semangat perantauan para pelajar, pemuda dan
mahasiswa Aceh ksusnya yang berada di kota Medan. Seperti pada umumnya,
membentuk sebuah ikatan organisasi kesukuan sebagai identitas suku bangsa atau asal
daerah merupakan suatu hal yang tak jarang ditemui pada kelompok-kelompok etnis
pendatang dalam suatu daerah.

Organisasi-organisasi tersebut tentunya memiliki tujuan dan manfaat tertentu bagi


komunitasnya, seperti halnya organisasi IPTR yang didirikan para pemuda Aceh yang
merantau ke kota Medan. Sejarah berdirinya organisasi IPTR sebenarnya juga tidak
terlepas dari proses migrasi orang-orang Aceh ke kota Medan yang tidak hanya
didominasi oleh karena factor ekonomi dan keamanan, namun juga karena pendidikan

61
yakni ada waktu itu fasilitas pendidikan di kota Medan lebih mendukung sehingga
mendorong orang-orang Aceh untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke kota Medan6.

Para pemuda dan pelajar Aceh yang kemudian bermigrasi atau merantau ke kota
Medan berinisiatif membentuk suatu perkumpulan untuk berdiskusi dan membahas
permasalahan yang dihadapi para pelajar dan pemuda Aceh di kota Medan serta berusaha
mengakomodasi kepentingan-kepentingan para pemuda dan pelajar Aceh yang juga
didorong oleh keinginan mereka yang merasa senasib sepenanggungan, ingin bersama
membentuk suatu organisasi yang didasari oleh sebuah rasa kebersamaan, kekeluargaan
dan keakraban serta memiliki rasa aman dalam ikatan silahturahmi yang erat di kota
Medan sebagai tanah rantau.

Melalui sebuah rapat yang dihadiri oleh para pemuda dan pelajar Aceh di Balai
Prajurit Jalan Bukit Barisan Medan, organisasi IPTR secara resmi didirikan pada tanggal
12 Juli 1953 oleh para pemuda dan pelajar Aceh di kota Medan yang diantaranya adalah
Zainnudin Jusuf, M. Noor Nikmat, Mustafa Sulaiman, Said Ibrahim, Yacob Ahmad, Cut
Zahara, Mahyuddin Amin, dan beberapa pemuda Aceh lainnya dan kemudian di sahkan
melalui rapat anggota pada tanggal 2 Agustus 1953. Organisasi Ikatan Pemuda Tanah
Rencong (IPTR) mempunyai sebuah doktrin yang mereka sebut sebagai Tri Darma IPTR
yakni berisikan Keilmuan, Keimanan, dan Solidaritas.Nama organisasi Ikatan Pemuda
Tanah Rencong yang disingkat menjadi IPTR ini di usulkan oleh seorang pelajar
bernama Idris, dimana seperti yang diketahui Rencong adalah senjata khas yang dimiliki
rakyat Aceh sehingga nama “Ikatan Pemuda Tanah Rencong” dijadikan sebagai nama
organisasi yang disingkat menjadi IPTR, sedangkan lambang IPTR diciptakan oleh
Yacob Ahmad yang juga merupakan salah satu anggota pendiri IPTR.

Adapun pengurus periode pertama IPTR di kota Medan yakni pada tahun 1953-
1954 ialah Zainnudin Jusuf sebagai ketua, M.. Jusuf Hanafiah sebagai wakil ketua, dan
Bahdi sebagai sekertaris. Sekretariat IPTR pada saat itu berada di rumah salah seorang
anggota pengurus yang kemudian pada tahun 1954-1955 ketika ketua umum IPTR
dijabati oleh M Noernikmat, organisasi IPTR membeli sebuah rumah yang dijadikan

6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh, Jakarta : Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional DIREKTORAT
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984, hlm 4

62
sebagai tempat perkumpulan IPTR hingga sampai pada saat ini menjadi sekret DPD-
IPTR yakni berlokasi di Jalan Amaliun nomor 25 Kelurahan Kota Maksum, Kecamatan
Medan Area.

Gambar 4. Sekretariat IPTR Kota Medan

Sumber: Dokumentasi Penulis

63
2.3.2 Makna Lambang IPTR

Gambar 5. Lambang Organisasi IPTR

Sumber: Internet

Adapun makna yang terkandung didalam lambang organisasi IPTR di atas ialah :

1. Perisai
Bentuk perisai pada logo tersebut adalah melambangkan pelindung
2. Rantai
Bentuk rantai pada logo tersebut adalah melambang persaudaraan yang kuat
3. Rencong
Bentuk Rencong yang tepat berada ditengah di dalam tersebut adalah melambangkan
semangat kepahlawanan dan sifat kedaerahan, yakni rencong sebagai senjata khas
Aceh
4. Warna Hijau
Warna hijau pada logo IPTR di atas adalah melambangkan ideology ke Islaman
5. Warna Kuning
Warna kuning pada logo adalah melambangkan Keagungan, Mulia dan Polpulis
6. IPTR
Melambangkan nama organisasi
7. 1953
1953 adalah melambangkan tahun berdirinya IPTR
8. Medan, Medan melambangkan tempat lahirnya organisasi IPTR

64
2.3.3 Profil Komisariat IPTR USU

Ikatan Pemuda Tanah Rencong di Universitas Sumatera Utara merupakan sebuah


ikatan paguyuban mahasiswa mahasiswi Aceh yang pada mulanya didirikan sebagai
wadah perkumpulan mahasiswa mahasiswi maupun pelajar yang berasal dari Aceh.
Komisariat IPTR di USU didirikan untuk membawahi mahasiswa mahasiswi Aceh yang
ada di USU dan tidak menutup kemungkinan untuk memperbolehkan orang-orang yang
bukan bersuku Aceh untuk bergabung didalam organisasi tersebut dimana yang bukan
tidak bersuku Aceh akan disebut sebagai anggota kehormatan.

Ikatan Pemuda Tanah Rencong Universitas Sumatera Utara merupakan salah satu
komisariat yang ada di kota Medan, berawal dari Dewan Pimpinan Pusat(DPP), Dewan
Pimpinan Cabang (DPC), dan Dewan Pengurus Komisariat (DPK) seperti IPTR USU.
Sebenarnya, komisariat IPTR tidak hanya terdapat di USU namun terdapat di kampus-
kampus lainnya namun IPTR USU adalah salah satu yang paling aktif dan eksis karena
terdapat banyak orang Aceh yang menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara.
Namun demikian, IPTR USU sempat vakum pada tahun 2009 dan didirikan kembali pada
tahun 2011 dan sampai resmi aktif kembali pada tahun 2014.

Setelah aktif kembali, anggota organisasi IPTR USU mulai kembali menggelar
beberapa acara yang berkenaan dengan Aceh seperti Peringatan Hari Besar islam (PHBI),
Ulang Tahun Provinsi Aceh, Peringatan Tsunami, Festival Kebudayaan Aceh, Pengajian,
Buka Puasa Bersama, Sahur pagi bersama, hingga mengadakan kegiatan IPTR Road
ToSchool yakni para anggotanya menyebar ke sekolah di bagian Aceh untuk melakukan
sosialisasi kampus USU dan jurusan-jurusan yang terdapat di dalamnya agar para pelajar
atau adik-adik yang masih bersekolah berani merantau, menempuh pendidikan di luar
daerah seperti di kota Medan dimana IPTR akan menjadi wadah yang mengayomi
mereka. Tak hanya itu organisasi IPTR juga aktif dalam kegiatan social seperti aksi dana
peduli korban gempa Aceh ataupun Rohingya yang terdampar di Aceh, juga rutin
memberikan santunan kepada anak yatim melalui aksi dana yang mereka adakan dimana

65
aksi dana dengan turun ke jalanan untuk bersama-sama mengumpulkan sumbangan dan
menyalurkan dana tersebut kepada pihak yang membutuhkan7.

Namun, berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus IPTR usu saat ini (periode
2019/2020), kegiatan-kegiatan yang biasa di lakukan oleh organisasi IPTR seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya sementara tidak berjalan karena adanya Covid-19. Hal
tersebut juga berdampak kepada sekretariat IPTR USU. Sebelumnya sekret Komisariat
IPTR USU berada di Jalan Harmonika Baru No.41 Padang Bulan Selayang II, namun
akibat adanya Covid-19 pada periode saat ini sekretariat IPTR USU (DPK) merangkap
dengan DPD IPTR di kota Medan yang berada di Jalan Amaliun, Kota Matsum IV, Kec.
Medan Area8.

Gambar 6. Sekretariat IPTR USU

Sumber: Dokumentasi Sekretariat IPTR USU

7
Wawancara dengan Ketua umum Komisariat IPTR USU
8
Wawancara dengan Sekretaris Umum Komisariat IPTR USU

66
2.3.4 Visi dan Misi IPTR USU

Visi
Adapun visi dari organisasi IPTR ialah, menghimpun dan membina generasi
muda untuk meningkatkan sumber daya manusia dalam meraih cita-cit yang
sesuai dengan tuntunan islam.
Misi
Terdapat beberapa hal yang menjadi misi dari organisasi IPTR usu, yakni sebagai
berikut:
1. Mengadakan pertemuan-pertemuan baik bersifat langsung sesama anggota
maupun umum
2. Mengadakan hubungan kerjasama dengan organisasi kemahaiswaan, ormas,
instansi pemerintahan, dan organisasi-organisasi lainnya yang dianggap perlu
serta tidak mengikat
3. Mengadakan kegiatan-kegiatan di bidang agama dan da’wah dalam usaha
meningkatkan ilmu, amal, dan iman
4. Mengadakan kegiatan pada bidang pendidikan baik berupa bimbingan studi,
tentoran, penataran, kursus-kursus, seminar-seminar, diskusi-diskusi dan
bentuk-bentuk perkaderan lainnya
5. Mengadakan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kecakapan hidup
untuk mewujudkan kesejahteraan anggota
6. Menggali, mengembangkan dan melestarikan kebudayaan Aceh juga untuk
memperkaya khazanah kebudayaan
7. Mengadakan usaha-usaha lainnya yang tidak bertentangan dengan anggaran
dasar.

67
2.3.5 Struktur Organisasi IPTR USU

Tabel VI

Susunan Badan Pengurus Umum (BPU) dan Badan Pengurus Harian (BPH) IPTR USU
Periode 2019/2020

Ketua Umum

Sekretaris

Bendahara

Wakil Bendahara

Pembinaan Anggota Kerohanian

Pendidikan Akademik Kesenian

Hubungan Masyarakat Olahraga

68
Keterangan:

Badan Pengurus Umum (BPU)

Ketua Umum : Zauzan Arief


Sekretaris : Kahlil Mirzani
Bendahara : R. Intan Pratiwi
Wakil Bendahara : Risma Dwiyanti

Badan Pengurus Harian


Bidang Pembinaan Anggota
Ketua : M. Husni Baihaqi
Sekretaris : Metria Dwi N.S
Anggota : M. Fathan Farizi Bangun
Resi Syahrani Tausya
Fitri Naziyah Razma
Aulia khadafi
Bidang Pendidikan Akademik
Ketua : Rizki Martin Maulana
Sekretaris : Hajarani Nitura
Anggota : Yudhitya Febrian Izhar
Elvina Rosa
Ilham Maulana
Bidang Hubungan Masyarakat
Ketua : Rifqi Athallah
Sekretaris : Syarafina
Anggota : Farah Ismi
Andriansyah
Zakia Riski
Teuku Husnul Huda

Bidang Kerohanian
Ketua : Saryulis Auliahad

69
Sekretaris : Nurul Husna
Anggota : Siduqul Fuad
Isfahani. S
Siti Sabbiah
Bidang Kesenian
Ketua : Halqi Rizkiansyah
Sekertaris : Intan Husnul
Anggota : Nurul Uzlah
Sayed Nazri Akbar
Maghfirah Izza
Bidang Olahraga
Ketua : Agung Rahmawan
Sekertaris : Nabila Al Firabalqis
Anggota : Fadthah Faisal
M. Huzaifi
Cut Adlia Shiba
Milda Silvana

70
BAB III

Culture Shock pada Mahasiswa Aceh yang tergabung dalam Organisasi

IPTR USU di Kota Medan

3.1 Kebudayaan Aceh

Sebelum memasuki pembahasan mengenai bagaimana culture shock yang dialami


mahasiswa Aceh di kota Medan, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana kebudayaan
Aceh itu sendiri yang tentunya memiliki pengaruh terhadap bagaimana terbentuknya
kepribadian masyarakatnya. Aceh yang terletak di penghujung pulau Sumatera bagian
Utara merupakan sebuah daerah yang menjunjung tinggi agama dan adat istiadat dalam
masyarakatnya. Budaya dan adat di Aceh tersebut tidak lain adalah norma dalam agama
Islam. Islam merupakan identitas yang begitu kental bagi masyarakat Aceh. Pengaruh
agama dan kebudayaan Islam di Aceh begitu besar sehingga Aceh mendapat julukan
sebagai Seeuramoe Mekkah (Serambi Mekkah). Perpaduan agama islam dengan
kebudayaan yang ada di Aceh melahirkan pedoman bagi masyarakat Aceh yang tertuang
dalam sebuah hadih maja (pepatah)yang berbunyi “Hukom ngon adat, lagee zat ngon
sifeut” artinya adalah hukum dan adat bagaikan zat dengan sifat 9. Kalimat tersebut
menegaskan bahwasannya antara hukum agama dan adat yang ada di Aceh merupakan
hal yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam hal ini, harmonisasi antara adat dan agama islam di Aceh berkembang
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya sehingga menurut penulis Islam telah
menjadi pribadi kebudayaan bagi masyarakat Aceh. Hubungan antara kepribadian dan
kebudayaan sangatlah erat. Hal tersebut dikarenakan menurut peneliti, kebudayaan yang
diterima oleh setiap individu dalam masyarakatnya akan memiliki pengaruh yang
menentukan bagaimana karakteristik atau kepribadian individu yang terbentuk.
Kebudayaan akan menentukan apa yang harus diwariskan oleh pendahulu (orang tua)
kepada generasi selanjutnya dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nilai-nilai tertentu
yang diterima oleh para pewarisnya akan melahirkan tipe kepribadian tertentu yang
serupa.
9
T. Ibrahim Alfian, dkk,”Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh”. Proyeksi dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah 1977/1978, hlm 14.

71
Menurut peneliti, gagasan tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Mead
(1953, dalam Danandjaja) tentang konsep watak bangsa yang dipandang sebagai watak
kebudayaan yaitu kesamaan (regularities) sifat di dalam organisasi intra-psikis individu
anggota suatu masyarakat tertentu, yaitu diperoleh karena mengalami cara pengasuhan
anak yang sama, didalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat Aceh
yang didaerahnya menerima warisan keterpaduan antara Islam dengan hampir segala
sendi kehidupan masyarakatnya secara turun temurun maka akan cenderung memiliki
kesamaan sifat. Berikut akan dipaparkan seperti apa karakteristik masyarakat Aceh dan
harmonisasi Islam dalam beberapa sendi kehidupan masyarakatnya yang sejalan dengan
kajian peneliti.

3.1.1 Karakteristik Masyarakat Aceh

Bagaimana karakteristik kepribadian kebudayaan pada masyarakat Aceh yang


terbentuk berdasarkan kebudayaannya, peneliti mengutip apa yang di nyatakan oleh
Irwan Abdullah (Dalam Samad, 2017) yang merupakan seorang Antropolog kelahiran
Aceh Utara mengenai karakteristik orang Aceh. Dengan melihat posisi geografis dan
historis pada masa kesultanan Iskandar Muda (1607-1675 M) Aceh merupakan daerah
modal yang penting dalam konstelasi sosial, ekonomi, dan politik nasional. Mengutip apa
yang dikatakan oleh Irwan Abdullah, setidaknya terdapat beberapa karakteristik orang
Aceh.

Karakteristik pertama adalah Aceh dikenal sebagai tempat dimana agama dan adat
menjadi dua pilar yang sangat penting dalam penataan sosial, sebagaimana disebutkan
dalam hadih maja yaitu Adat bak Poe Teumeureuhom Hukom bak Syiah Kuala, Qanun
bak Putroe Phang, Rusam bak Lakseumana. Poteumeurehom (kekuasaan eksekutif)
adalah sultan, Syiah Kuala (yudikatif) adalah Ulama, dan Putroe Phang (Legislatif),
Laksamana (Pertahanan tentara). Dalam hal ini sisi kehidupan sosial budaya Aceh
dibangun atas dasar agama dan adat yang membentuk suatu penataan sosial yang
berlangsung di Aceh. Keberadaan ulama merupakan wujud dari adanya pilar agama dan
adat yang peranannya sangat penting sepanjang sejarah di Aceh sehingga Islam menjadi
“way of life” yang menjadi dasar budaya adat Aceh yang memiliki daya juang tinggi
untuk menjangkau masa depan.

72
Karakteristik kedua ialah masyarakat Aceh dikenal sangat pemberani. Hal
demikian mendapatkan pembenaran melalui historis pada masa perang Aceh, sejak
maklumat perang disampaikan Belanda pada 26 Maret 1873. Keberanian dan patriotisme
masyarakat Aceh dalam berjuang memperlihatkan betapa mereka setia pada cita-cita dan
pemimpin yang adil, yang menjadi suatu sifat yang di utamakan oleh masyarakat Aceh.

Karakteristik ketiga ialah, orang-orang Aceh memiliki keyakinan dan


kepercayaan diri yang tinggi disebabkan oleh adanya kebanggaan mereka sebagai orang
Aceh. Kebanggaan tersebut dapat dilihat melalui sumber sejarah dan hikayat yang terus
menerus dikomunikasikan oleh orang Aceh dari generasi ke generasi. Hikayat berisikan
cerita kejayaan Aceh dan Keberhasilan perang melawan Belanda. Demikian pula tempat-
tempat bersejarah dan peninggalan budaya yang juga telah mendorong kebanggaan dan
rasa percaya diri yang tinggi pada orang Aceh.

Karakteristik keempat adalah orang Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai


kolektivitas. Hal tersebut tampak pada kebiasaan orang Aceh untuk berkumpul, mulai
dari fenomena warung kopi, saling kunjung, kenduri, serta upacara-upacara yang
melibatkan banya orang. Dalam kumpulan semacam itu, sosialisasi nilai ke Acehan dan
identitas bersama dibangun dan tumbuh melalui kesenian-kesenian seperti Seudati,
Saman, Debus, dan berbagai tarian Aceh menegaskan ritme yang berorientasi
kolektivitas. Berdasarkan keempat karakteristik tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwasannya adat dan budaya di Aceh tidak lain adalah ruang lingkup Islam sendiri.
Budaya dan ajaran Islam telah berbaur, saling berinteraksi dan berasimilasi secara
harmonis di sana. Wujud konkret lain dari keterpaduan tersebut juga dapat dilihat dalam
adatnya.

Jika berbicara mengenai adat di Aceh, maka secara otomatis akan melibatkan
Syari’at Islam yang merupakan pedoman hidup masyarakatnya. Adat merupakan bagian
dari aturan perbuatan dan kebiasaan hidup yang berlaku pada masyarakat Aceh dan ha
bersendikan syari’at Islam sebagai dua unsur penting yang saling berkaitan. Adat tersebut
dijadikan sebagai pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat Aceh yang aturannya
tertulis dan tidak tertulis. Keberadaan adat tersebut tidak boleh bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Adat tersebut harus melahirkan nilai-nilai budaya, norma, dan aturan

73
yang sejalan dengan syari’at Islam sebagai suatu kebanggan, kekayaan dan ciri khas
masyarakat Aceh yang harus dibina dan dilestarikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat istiadat di Aceh tersebut harus


memiliki asas, maksud dan tujuan sebagaimana yang tertuang dalam Qanun Aceh Nomor
9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat yang tertulis pada
Bab III yakni harus berasaskan keislaman, keadilan, kebenaran, kemanusiaan,
keharmonisasian, ketertiban dan keamanan, ketentraman, kekeluargaan, kemanfaatan,
kegotongroyongan, kedamaian, permusyawaratan, dan kemaslatan umum. Adapun
maksud dari pembinaan dan pengembangan tersebut adalah untuk membangun tata
kehidupan masyarakat yang harmonis dan seimbang antara hubungan sesama manusia,
manusia dengan lingkungannya dan rakyat dengan pemimpinnya.

Wali Nanggroe adalah yang bertanggung dalam pembinaan dan pengembangan


kehidupan adat istiadat dan budaya masyarakat melalui Majelis Adat dan lembaga adat
lainnya. Dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh, terdapat adat pergaulan bahkan adat
bertamu dan menerima tamu bagi masyarakatnya. Jika terdapat pelanggaran, perselisihan
atau sengketa dalam kehidupan bermasyarakat maka penyelesaian akan diselesaiakn
secara bertahap dan diberikan kesempatan untuk diselesaikan secara adat di tingkat
gampong. Penyelesaian tersebut akan dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat baik ditingkat
gampong, mukim, dan seterusnya.

Pada Qanun Aceh nomor 9 tahun 200, bab VII pasal 16 mengenai bentuk-bentuk
sanksi adat, terdapat beberapa sanksi dalam penyelesaian sengketa adat meliputi nasehat,
teguran, pernyataan maaf, saya,. Diyat, denda, ganti kerugian, dikucilkan oleh
masyarakat gampong, dieluarkan dari masyarakat gampong, pencabutan gelar adat dan
bentuk sansi lain sesuai dengan peraturan adat setempat. Selain itu, keluarga juga akan
turut bertanggung jawab atas terlaksananya sanksi yang dijatuhkan kepada anggot
keluarganya. Untuk kelengkapan lebih lanjut dan meluas mengenai kehidupan adat
istiadat masyarakat Aceh dapat dilihat melalui Qanun Aceh nomor 9 tahun 2008 tentang
pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat serta pada Qanun Aceh nomor 10 tahun 2008
tentang lembaga adat.

74
Melalui aturan-aturan adat yang tertulis tersebut, dapat diketahui bahwasannya
aturan adat yang bersendian syariat Islam, turut menjiwai kehidupan masyarakat Aceh
sebagai pedoman hidup masyarakatnya. Dapat pula diketahui bahwasannya, aturan
tersebut tentu memiliki pengaruh dalam membentuk karakter setiap individu dalam
masyarakatnya. Selain itu, wujud konkret dari Syari’at Islam dalam kehidupan
masyarakat Aceh juga dapat dilihat pada sistem pemerintahan juga sistem pendidikannya.

3.1.2 Agama di Aceh

Agama Islam merupakan agama yang mayoritas dianut oleh penduduk di Aceh
dimana Berdasarkan sensus penduduk 2010, yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS),
sebanyak 4.413.244 atau 98,18 persen penduduk Aceh beragama Islam. Pembahasan
mengenai agama sebenarnya hampir menyentuh seluruh pembahasan mengenai
kebudayaan Aceh karena, Aceh merupakan sebuah provinsi yang amat sangat kental
budayanya yang adalah norma-norma agama Islam itu sendiri. Dalam Koentjaraningrat
(2007 : 243) tentang sistem religi masyarakat Aceh, Orang Aceh pada umumnya adalah
pengikut Imam Madzhab Sjafii yang mana Qur’an dan Hadis Nabi merupakan satu-
satunya pedoman hidup masyarakat. Kenyataan tersebut benar tampak adanya dalam
ruang lingkup kehidupan masyarakat Aceh hingga sampai saat ini pedoman hidup
masyarakat Aceh disesuaikan dengan unsur-unsur syari’at Islam. Agama Islam sangatlah
menonjol dalam kehidupan masyarakat Aceh yang berpengaruh terhadap kereligiusan
dan kepribadian setiap individu dalam masyarakatnya. Budaya dengan ajaran agama
Islam yang telah berasimilasi, membentuk kepribadian setiap individu dalam
masyarakatnya yang tampak membentuk sifat lebih religius dan teratur sesuai norma-
norma yang terkandung dalam ajaran agama Islam sendiri. Seperti wawancara yang
dilakukan peneliti dengan informan AS, beliau menyatakan :

“Penyelesaian konflik dalam masyarakat Aceh biasanya tu


diselesaikan dulu melalui kerangka adat. Nah biasanya
penyelesaiannya itu harus tetap berkaitan dengan kereligiusan
masyarakat Aceh sendiri”
Penegasan kalimat tersebut mengartikan bahwasannya penyelesaian konflik melalui
adat sekalipun, harus tetap berpusat pada ke religiusan masyarakat (sistem religinya).
Namun, dalam tulisan Koenjaraningrat (2007 : 244) walaupun orang Aceh hampir

75
seluruhnya menganut agama Islam, terdapat juga agama-agama lain dan rumah ibadah
lain seperti hal nya g ereja disana. Agama Islam memang sangatlah berpengaruh dalam
seluruh sendi kehidupan masyarakat Aceh dan dengan diberlakukannya syari’at islam
disana seluruh pelanggaran yang dilakukan akan lebih banyak diputuskan oleh hukum
Islam.

3.1.3 Pemerintahan Aceh

Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan sistem pemerintahan Negara Kesatuan


Republik Indonesia yang mana menurut undang-undang NKRI 1945, mengakui dan
menghormati adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat “Khusus” dan
“Istimewa”. Aceh merupakan daerah provinsi yang kesatuan atau masyarakat hukumnya
bersifat isitimewa dan memiliki kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945 yang dipimpin oleh
seorang gubernur. Keistimewaan tersebut diberikan karena karakter khas sejarah
perjuangan masyarakatnya yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi .

Ketahanan dan daya juang tinggi yang menjadi karakter khas masyarakat Aceh
tersebut bersumber dari pandangan hidup masyarakatnya yang berlandaskan syari’at
Islam yakni kehidupan yang relgius, adat yang kukuh, serta budaya Islam yang kuat
dalam melawan kaum penjajah. Syari’at Islam yang telah melahirkan budaya Islam yang
kuat bagi masyarakat Aceh, menjadi modal bagi perjuangan mereka dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan NKRI yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Atas
pertimbangan yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap sejarah panjang perjuangan
Aceh tersebut, dikeluarkanlah undang-undang RI yang mengatur tentang keistimewaan
dan kekhususan Aceh. Penyelenggaraan keistimewaan tersebut di atur dalam undang-
undang RI nomor 44 taun 1999. Berikut beberapa penggal bunyi dari penyelenggaraan
keistimewaan Aceh dalam UU Nomor 44 tahun 1999:

76
BAB III

PENYELENGGARAAN BAGAN KEISTIMEWAAN

Bagian Kesatu

(1) Keistimewaan merupakan pengakuan bangsa Indonesia yang diberikan kepada


Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap
dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral dan
kemanusiaan
(2) Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi:
a. Penyelenggaraan kehidupan Beragama
b. Penyelenggaraan kehidupan adat
c. Penyelenggaraan pendidikan
d. Peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah

Bagian Kedua

Penyelenggaraan Kehidupan Beragama

Pasal 4

(1) Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam


bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat
(2) Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan
beragama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan tetap menjaga
kerukunan antarumat beragama.
Pasal 5
(1) Daerah dapat membentuk lembaga agama dan mengakui lembaga agama
yang sudah ada dengan sebutan sesuai dengan kedudukannya masing-
masing
(2) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan bagian
perangkat daerah

77
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Kehidupan Adat
Pasal 6
Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan,
pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat diwilayahnya
yang dijiwai dan sesuai dengan syari’at Islam
Pasal 7
Daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang
sudah ada sesuai dengan edudukannya masing-masing di Provinsi,
Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kemukiman, dan Kelurahan Desa atau
Gampong.
Bagian Keempat
Penyelenggaraan pendidikan
(1) Pendidikan di Daerah diselenggarakan sesuai dengan Sistem Pendidikan
Nasional
(2) Daerah mengembangkan dan mengatur berbagai jenis, jalur, dan jenjang
pendidikan serta menambah materi muatan local sesuai dengan syari’at islam
(3) Daerah mengembangkan dan mengatur Lembaga Pendidikan Agama Islam
bagi pemeluknya diberbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan
Bagian Kelima
Peran Ulama dalam Penetapan Kebijakan Daerah
Pasal 8
(1) Daerah membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama
(2) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen yang
berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah, termasuk
bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan
ekonomi yang Islami.

Sedangkan, daerah khusus yag dimasudkan kepada Aceh adalah terkait


pemerintahan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 tahun 2006 yang terdiri dari 273
pasal (sebelumnya diatur dalam UU nomor 18 tahun 2001) . Kekhususan dan
keistimewaan Aceh yang menjadi kerangka utama dalam UU No 11 tahun 2006 sebagian

78
besar hampir sama dengan UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Begitu
banyak materi mengenai pemerintahan Aceh ini sehingga kelengkapannya dapat dilihat
dalam UU No 11 Tahun 2006 tersebut. Pemerintahan Aceh dipimpin oleh Gubernur dan
Wakil Gubernur sebagai kepala pemerintahan yang bertanggung jawab dalam penetapan
kebijakan pemerintahan Aceh pada semua sektor pemerintahan termasuk pelayanan dan
ketentraman serta ketertiban masyarakat yang diatur dalam Qanun Aceh. Kabupaten atau
kota di Aceh dibagi atas kecamatan. Kecamatan dibagi atas Mukim (Kesatuan masyarakat
hukum dibawah kecamatan atas gabungan beberapa Gampong (Kelurahan). Mukim
kemudian dibagi atas Gampong yang dipimpin oleh Geuchik (RT). Perlu diketahui
bahwasannya dalam setiap tingkatan wilayah mulai dari yang terendah hingga tertinggi,
tokoh ulama akan selalu ada untuk menjadi mitra pemimpin dalam menjalankan
tugasnya.

Qanun merupakan peraturan perundang-undangan sejenis Perda yang mengatur


penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh. Qanun
dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Aceh yang di sahkan oleh
gubernur dan mendapat persetujuan dari Dewan Perwailan Rakyat Aceh (DPRA). Setiap
tahapan penyiapan Qanun berhak diketahui oleh masyarakat atau dapat dikatakan
sifatnya umum. Ketentuan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh diatur dalam Qanun Aceh
tersebut. Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi bidang aqidah, syar’iyah,
dan akhlak. Syari’at Islam tersebut meliputi ibadah, alsyakhshyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’(peradilan), tarbiyah
(pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam. Kesemuanya itu di atur dalam Qanun
Aceh. setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at
Islam dan setiap orang yang bertempat tinggal di Aceh wajib menghormati pelaksanaan
syari’at Isam tersebut.

Sejak berlakunya syari’at Islam di Aceh, terdapat beberapa instrument atau


lembaga penegak pelaksanaan syari’at telah dilengkapi seperti pendirian Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) yang berperan menetapkan fatwa yang dapat menjadi
pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang pemerintah,
pembangunan, pembinaan mmasyarakat dan ekonomi, Mahkamah Syar’iyah (peradilan
agama), Baitul Maal (lembaga yang menangani urusan harta segala umat), Dinas Syariat

79
Islam, dan Wilayatul Hisbah (lembaga pengawasan pelaksanaan syari’at Islam di
Provinsi Aceh) (Berutu, 2014). Sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang
menerapkan syari’at dan mengacu kepada ketentuan hukum pidana Islam, Aceh memiliki
ketentuan hukum sendiri yang telah disebutkan sebelumnya yaitu hukum jinayat.
Undang-undang yang menerapkan hukum jinayat ini diatur dalam Qanun Aceh no 6
tahun 2014 tentang hukum Jinayat.

Beberapa pelanggaran yang diatur dalam hukum tersebuat diantaranya adalah


meliputi produksi, konsumsi, distribusi minuman keras (khamar), perjudian, perzinahan,
bermmesraan diluar hubungan pernikahan, dan seks sesama jenis. Jika terjadi
pelanggaran-pelanggaran tersebut, maka akan ditindak berdasarkan hukum yang diganjar
dengan hukuman cambuk, denda, atau kurungan. Peraturan-peraturan hukum pidana
seperti demikian mengatur masyarakat aceh yang membentuk kepribadian diri setiap
orang Aceh yang menjadi ciri khas kepribadian dominan dalam masyarakatnya sehingga
tentu merea akan merasa asing ketika bertempat tinggal di daerah lain yang tidak
menerapkan peraturan seperti demikian. Dalam sistem pemerintahan ini tampak
bahwasannya agama serta norma Islam sangat berpengaruh dalam setiap sendi kehidupan
masyarakat Aceh. Ciri khas Aceh yang telah membudaya seperti itulah yang membentuk
kepribadian religius masyarakatnya sehingga tentu memiliki perbedaan dengan daerah-
daerah lainnya di Indonesia.

3.1.4 Bahasa di Aceh

Ciri khas kebudayaan Aceh yang menonjol lainnya juga dapat dilihat melalui
bahasa yang digunakan disana. Aceh memiliki beberapa bahasa yang berkembang dalam
masyarakatnya. Dalam buku Koentjaraningrat (2007 : 231-232) yang berjudul manusia
dan kebudayaan di Indonesia, ia menyatakan terdapat empat bahasa pada masyarakat
Aceh yakni:

1. Bahasa Gayo-Alas, yang diucapkan oleh orang-orang Gayo dan Alas yakni
pendudu Aceh Tengah
2. Bahasa Aneuk Jame, yang khusus merupakan bahasa dari orang-orang Aceh
Selatan dan Aceh Barat dan juga di ucapkan oleh kira-kira 20% dari orang
Aceh

80
3. Bahasa Tamiang, yang tersebar dekat perbatasan Aceh dengan Sumatera
Timur dan mendapat pengaruh dari bahasa daerah Sumatera Timur dan
diucapkan oleh kira-kira 10% dari orang Aceh
4. Bahasa Aceh, yaitu bahasa yang paling banyak diucapkan oleh penduduk
Aceh, yaitu pada daerah Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, Aceh Besar dan
sebagian penduduk Aceh Barat atau 70% dari orang Aceh.

Namun, dalam tulisan Harun (2017) yang berjudul “revitalisasi bahasa daerah di
Aceh”, tercatat terdapat sepuluh bahasa yang digunakan oleh masing-masing etnis
pemiliknya termasuk yang telah dipaparkan oleh Koentjaraningrat yaitu bahasa Aceh,
,Tamiang, Gayo, Alas, Singkil, Kluet, Jamee, Sigulai, Devayan, dan Haloban. Pengaruh
bahasa Aceh amat besar ke dalam bahasa-bahasa lainnya. Masing-masing kabupaten
mempunyai logat-logat bhasanya sendiri. Hal tersebut terdengar dari ucapan mereka
sehari-hari yang terdiri dalam beberapa dialek, namun dialek-dialek tersebut tidak
memberikan kesukaran dalam berkomunikasi diantara mereka (Alfian dkk, 1977/1978 :
16).

3.1.5 Pendidikan di Aceh

Menilik dari segi historis, pesantren merupakan lembaga yang telah ada di
Indonesia sejak dahulu kala. Pesantren Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur yang berdiri
pada tahun 1742 merupakan bukti bahwasannya keberadaan pesantren sudah ada di
Indonesia sejak dahulunya. Pesantren sangatlah identik dengan ke Islaman. Dalam
Koenjaraningrat (2007 : 244) pendidikan Agama di Aceh merupakan pendidikan
universal bagi setiap anak di bawah umur 7 tahun di Aceh. Pada masa dulu, anak-anak
akan memulai pendidikan di meusanah (madrasah) yakni berisikan pengajaran dan
pengetahuan dasar dalam pengajian Al Quran (lembaga pendidikan ini setingat dengan
sekolah dasar). Pesantren kemudian akan menjadi tujuan tempat pendidikan mereka
selanjutnya ketika sudah berumur 15 tahun ke atas yang akan diajar oleh teungku
(Ulama). Pesantren merupakan tempat dimana ilmu-ilmu ke Islaman akan di ajarkan, atau
lebih khusus lagi ilmu-ilmu ke Islaman tradisional yakni dunia yang mewarisi kontinuitas
tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa dan tidak terbatas pada
periode tertentu (Astuti, 2017).

81
Di Aceh, sebutan untuk pesantren dikenal dengan dayah atau meusanah (sebagai
tempat menimba ilmu, pendidikan agama atau bermusyawarah). Meusanah yang
merupakan cikal bakal “Madrasah” saat ini merupakan tempat belajar agama, mengaji,
tempat musyawarah, shalat, bahkan dapat dijadikan tempat penyelesaian sengketa
ditengah-tengam masyarakat dan menjadi tempat berbagai kegiatan sosial keagamaan
lainnya. Meusanah dipimpin oleh teungku atau imum meusanah dan dayah dipimpin oleh
teungku atau teungku chik yang membimbing dan mengajari santri yang datang ke dayah
tersebut. Namun, walaupun sama-sama dipimpin oleh ulama, ulama yang ada di
meusanah berbeda dengan ulama yang tinggal di dayah. Teungku yang ada di meusanah
adalah orang yang pernah belajar di dayah dimana tenggung jawab dan pekerjaannyanya
lebih kecil lingkupnya dibandingkan ulama di dayah. Demikian pula tingkat kealimannya
acapkali dikatakan jauh berada dibawah ulama dayah, apalagi yang sudah bergelarkan
teungku chik.

Namun, saat ini pendidikan agama telah banyak diasuh oleh pemerintah melalui
Departemen Agama, seperti Mayasah Islam Negara (MIN), Sekolah Menengah Islam
(SMI), dan lainnya. Pendidikan Umum merupakan pendidikan yang berada dalam
pengawasan Departemen pendidikan dan Kebudayaan yang juga telah disediakan sejak
masa penjajahan Belanda dan semakin meningkat ketika Indonesia Merdeka.

Walau demikian, Meusanah, madrasah dan dayah merupakan lembaga


pendidikan di Aceh yang tetap eksis disana dengan perannya masing-masing. Saat ini
meusanah tampak berperan sebagai pusat perkembangan sosial budaya gampoeng,
madrasah menjadi lembaga pendidikan formal di bawah pengawasan pemerintah dan
dayah berperan sebagai lembaga pendidikan eagamaan nonformal dan bergera secara
swasta. Dapat kita ketahui bahwasannya ketiga lembaga tersebut sangat berkontribusi
dalam membentuk pendidikan keagamaan orang Aceh yang turut membentuk
kepribadian mereka pula.

82
3.2 Latar Belakang Informan dan Faktor Pendorong Merantau

Merantau merupakan sebuah fenomena yang melibatkan dua unsur penting yakni
daerah asal dan daerah tujuan. Merantau sebenarnya identik dengan istilah migrasi yaitu
perpindahan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dari suatu daerah ke daerah
lainnya dalam jangka waktu tertentu dan dengan berbagai alasan dan tujuan tertentu pula.
Istilah merantau bagi penduduk di Indonesia sepertinya telah menjadi sebuah tradisi yang
sering dijumpai dan di praktikkan dalam kehidupan bermasyarakat khususnya bagi
kelompok-kelompok etnis tertentu seperti pada suku Minangkabau yang dijelaskan oleh
Pelly (dalam Rajab, 2004) bahwa adanya konsep “misi budaya” (cultural mission) ketika
melakukan perantauan.

Misi budaya tersebut merupakan seperangkat tujuan yang diharapkan dapat


dicapai oleh anggota masyarakat, yang didasarkan pada nilai-nilai dominan dari
pandangan kelompok masyarakat yang bersangkutan. Mochtar Naim (2012) memandang
istilah merantau sedikitnya mengandung enam unsur pokok yakni meninggalkan
kampung halaman, kemauan sendiri, dalam jangka waktu lama atau tidak, tujuan mencari
kehidupan atau menuntut ilmu dan mencari pengalaman, adanya maksud untuk kembali
pulang, dan merantau merupakan lembaga social yang membudaya di masyarakat 10.

Keenam unsur pokok yang terkandung dalam istilah merantau tersebut benar
adanya menjadi alasan dari beberapa faktor pendorong Mahasiswa Aceh IPTR USU
melakukan perantauan. Tujuan utama mahasiswa Aceh IPTR USU melakukan
perantauan ke kota Medan tentunya adalah untuk menempuh pendidikan. Namun, latar
belakang informan dan alasan yang menjadi faktor yang pendorong mahasiswa Aceh
IPTR USU melakukan perantauan merupakan kajian awal yang harus diketahui peneliti
terlebih dahulu sebagai langkah awal dalam pendekatan topic culture shock. Hal tersebut
karena latar belakang para informan dan alasan mereka merantau merupakan bagian yang
turut memiliki pengaruh terhadap terjadinya culture shock dalam proses adaptasinya di
Kota Medan dan bagaimana mereka melewatinya.

10
Agustan dan Sophian Thamrin,”Merantau: Studi Tentang Faktor Pendorong dan Dampak Sosial Ekonomi
TERHADAP Aktivitas Merantau di Desa Sijelling Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone”

83
Melalui hasil wawancara dengan para informan mahasiswa Aceh yang tergabung
dalam IPTR, peneliti memperoleh latar belakang informan dan beragam alasan berbeda-
beda yang menjadi latar belakang mengapa mahasiswa-mahasiswi Aceh yang tergabung
dalam IPTR USU memilih kota Medan khususnya kampus USU sebagai tempat merantau
dengan tujuan menempuh pendidikan. Berikut informasi yang dikategorikan peneliti
melalui hasil wawancara dengan para informan mengenai latar belakang atau data diri
mereka dan alasan atau faktor pendorong mereka para mahasiswa Aceh IPTR usu yang
menjadi fokus penelitian memilih kota Medan khususnya kampus USU sebagai tempat
merantau dalam menempuh pendidikan :

1. Kahlil M.

Kahlil (21) merupakan informan kunci dalam penelitian ini yang memberikan
informasi-informasi pokok yang dibutuhkan peneliti, serta mengalami langsung masalah
yang dikaji oleh peneliti. Kahlil merupakan mahasiswa Antropologi USU angkatan 2017
yang sudah kurang lebih sudah 4 tahun berada di kota Medan untuk menempuh
pendidikan. Informan berasal dari Lr Sejora, Perumnas Lhok Keutapang, Kec. Pidie,
Kab. Pidie, Aceh. Kahlil merupakan sekertaris umum IPTR USU Periode 2019-2020
(sampai saat ini).

Informan Kahlil merupakan anak paling bungsu dari 3 bersaudara. Kedua orang tua
informan adalah seorang pekerja, yang mana ayah bekerja sebagai pengusaha percetakan
dan ibu sebagai guru bahasa inggris. Kahlil merupakan informan kunci peneliti karena
berbagai informasi pokok baik mengenai organisasi IPTR maupun mengenai topic
masalah yang dikaji peneliti diperoleh melalui beliau. Sebelum melakukan wawancara
peneliti tentunya meminta kesediaan informan untuk di wawancarai dan informan begitu
respect dan terbuka dalam hal ini. Berbagai pertanyaan mengenai topik penelitian yang di
ajukan kemudian dijawab oleh informan. Peneliti memperoleh alasan serta faktor
pendorong kahlil memilih USU yang berada di kota Medan sebagai tanah rantau tempat
menempuh pendidikan adalah karena kemauan dari diri sendiri seperti yang
dinyatakannya sebagai berikut:

“Milih USU jadi kampus tujuan berarti milih kota Medan sebagai
lingkungan yang baru kan, nah kalo alasannya kenapa, itu aku pribadi
sih karena pengen merantau, cari suasana baru ke kota Medan yang

84
terbilang plural dibanding Aceh. Selain itu, karena aku mikir kota
Medan yang jadi tempat belanja untuk Aceh alias barang dagangan di
Aceh banyak diambil dari Medan jadi karna aku ada otak bisnis dikit,
aku ngerasa kalau memanfaatkan kesempatan itu bisa
menguntungkan”.
Dapat ditarik simpulan terhadap informan bahwasannya merantau ke kota Medan
untuk berkuliah di USU merupakan kemauan diri informan sendiri tanpa ada paksaan
dari orang lain dan hal yang mendorongnya adalah karena ingin merasakan suasana baru
dimana persepsinya tentang kota Medan adalah kota yang plural, berbeda dengan
kampung halamannya di Pidie, Aceh sehingga informan ingin mencari pengalaman baru.
Facktor pendorong lainnya adalah informan ingin memanfaatkan kesempatan dagang
antara Medan dan Aceh. Informan menuturkan bahwasannya Medan merupakan tempat
belanja bagi Aceh sehingga bersamaan dengan menempuh pendidikan informan
memanfaatkan peluang berdagang dari Medan ke Aceh.

2. Fitri N.R
Fitri (20) merupakan mahasiswa Fakultas Hukum USU angkatan 2018 yang
merupakan salah satu anggota IPTR USU. Fitri berasal dari Kecamatan Lueng Bata,
Banda Aceh. Fitri merupakan anak paling sulung dari tiga bersaudara. Ayah informan
bekerja sebagai wiraswasta dan ibu informan adalah seorang PNS. Di kota Medan
informan bertempat tinggal (mengontrak) di Gg Sehat, Padang Bulan, Selayang I.
Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti terhadap informan dalam beberapa kali
pertemuan, beliau merupakan seseorang yang mudah diajak bergaul dan memiliki
kemampuan bersosialisasi serta berinteraksi dengan baik. Hal tersebut dibuktikan oleh
peneliti sendiri, dimana peneliti dan informan yang terbilang belum lama berkenalan
namun sudah dianggap informan seperti teman dekat.

Ketika peneliti mengajukan pertanyaan mengenai alasan mengapa awalnya informan


memilih kota Medan sebagai tempat merantau untuk menempuh pendidikan, informan
dengan spontan menyatakan bahwasannya hal tersebut adalah karena kemauan diri
sendiri untuk merantau namun tidak ingin terlalu jauh dari kampung halaman. Namun,
setelah rapport yang dibangun antara peneliti dan informan sudah sangat dekat, informan
kemudian dengan sendirinya mengatakan bahwasannya dibalik kemauan tersebut,
sebenarnya informan memiliki proses yang panjang sebelum akhirnya menentukan kota

85
Medan khususnya kampus USU sebagai tujuan tempat menempuh pendidikan, seperti
pernyataan yang dikatakan informan sebagai berikut:

“Sebenarnya ceritanya cukup panjang sebelum akhirnya pit (nama


panggilan) dapat kuliah di USU. Awalnya ada perangkingan di
sekolah untuk SNMPTN. Pit ada di urutan 12 dan diatas pit kan ada
11 lagi nah diantara mereka banyak yang milih jurusan Hukum
Unsyiah, jadi punya ketakutan tersendiri pit kalau nanti kalah sama
mereka karena gak mungkin dari satu asal sekolah masuk semua gitu.
Nah sejak awal memang pit pengen kali untuk merantau waktu kuliah,
tapi gak usah terlalu jauh, pit pinginnya memang di kota Medan tapi
sebenanrnya orang tua bersi kers melarang apalagi karna ke kota
Medan. Tapi kebetulan gitu kejadiannya di sekolah, pit bertekad
sendiri milih USU jadi pilihan pertama dan alhamdullilah pit masuk”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat diketahui bahwasannya informan
memilih kota Medan sebagai tempat menempuh pendidikan adalah karena kemauan dan
tekad dari diri sendiri yang ingin merantau namun tidak terlalu jauh dari kampung
halaman, kemudian semakin didorong oleh sebuah persoalan yang dihadapi dalam proses
memasuki Perguruan Tinggi Negeri, walaupun dibalik keinginan tersebut sebenarnya
orang tua informan melarangnya sejak awal untuk berkuliah di kota Medan.

3. LI (Nama Samaran)

Berikutnya informan LI (20) yang merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya


USU angkatan 2017 yang berasal Aceh Tenggara. LI merupakan informan awal yang
menjadi salah satu alasan peneliti sangat tertarik untuk mengangkat culture shock sebagai
topic penelitian. Hal demikian karena informan LI menampilkan secara gamblang
fenomena culture shock yang di alaminya melalui sikap dan kepribadiannya yang akan
lebih dalam dibahas penulis pada fokus pembahasan selanjutnya. Informan merupakan
anak ke 2 dari 3 bersaudara yang mana alasannya berada di kota Medan dan menempuh
pendidikan di Universitas Sumatera Utara adalah karena keinginan orang tua. Informan
LI menyatakan bahwasannnya informan sama sekali tidak ingin merantau apalagi ke kota
Medan karena melalui pengalamannya informan tidak menyukai kota Medan yang
menurutnya kota yang tidak baik, banyak preman, penat dan tidak memiliki teman
disana, seperti yang dikatakannya:

86
“Sebelum kuliah di USU aku pernah ke Medan sebelumnya. Agak
lamalah pas liburan sekolah, kurang lebih 2 mingguan gitu untuk
liburan. Pertama-tama masih enak karna jalan-jalan keliling-keliling
kota kan, tapi lama-lama gadak enaknya rasaku. Bosan gak ada
kerjaan, gak ada kawan yang dikenal cuma kakak aja gak cocok
rasaku karna dulu aku ngerasa kehidupan di kota Medan ini
monoton.”
Namun, terdapat 2 faktor yang menjadi alasan orang tua informan menginginkannya
untuk berkuliah di USU walaupun informan sebenarnya kurang menginginkannya.
Pertama adalah karena sejak lama orang tua informan memang sudah begitu ambisius
ingin menguliahkan anak-anaknya di Universitas Sumatera Utara seperti yang dinyatakan
oleh informan sebagai berikut:

“Bapak sama ame anggap USU tu kampus yang ternama dan


bergengsi. mereka bilang banyak orang luar pulau Sumatera aja
pengen kuliahnya di USU tapi gak kesampaian, jadi kalau kami anak-
anak nya masuk USU tu suatu kebanggaan bagi mereka, apalagi di
mata tetangga-tetangga di kampung jadi aku dipaksa harus nyoba
USU apalagi ada kakak disini.”

Orang tua informan menyatakan bahwa USU merupakan salah satu kampus favorite
dan ternama yang berada di pulau Sumatera sehingga jika anak-anaknya bisa berkuliah di
sana m aka akan menjadi suatu kebanggan bagi orang tuanya. Informan juga menyatakan,
keinginan orang tua untuk informan bisa berkuliah di USU semakin didorong oleh karena
kakak sulung informan merupakan mahasiswa fakultas keperawatan USU yang pada
waktu itu sedang menempuh pendidikan jenjang akhir sehingga informan menyatakan
bahwa orang tua bermaksud agar informan bisa diandalkan menjadi sandaran dalam
membantu dan menemani kakak informan dalam proses study akhirnya karena menurut
orang tua informan, proses tahap akhir perkuliahan merupakan fase yang akan sulit di
lalui sehingga keberadaan informan disana juga akan memiliki dampak positif bagi
kakaknya.

Dalam hal ini dapat ditarik simpulan kecil bahwasannya alasan informan berkuliah di
USU adalah karena dorongan dari orang tua informan yang menginginkannya untuk
berkuliah di USU karena mereka menganggap USU adalah kampus yang berkualitas dan
di favoritekan di pulau Sumatera sehingga jika anak-anaknya bisa memasuki USU maka
merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi kedua orang tuanya.

87
4. Rizki M.M.

Rizki Maulana Martin (20) yang akrab disapa Kiki merupakan informan peneliti
selanjutnya yang merupakan mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) USU
angkatan 2018 dan tentunya merupakan anggota dari organisasi IPTR USU sesuai dengan
kriteria informan penelitian. Informan berasal dari Kabupaten Bireun, Banda Aceh dan di
kota Medan bertempat tinggal di Jalan Setiabudi, No.32 Medan Selayang. Peneliti
melakukan wawancara dengan informan di LPPM USU khususnya di sekret paduan suara
ulos USU karena informan juga merupakan anggota organisasi tesebut. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan peneliti dengan informan, peneliti memperoleh alasan
mengapa informan memilih merantau dan berkuliah di kota Medan adalah karena
ambisius dari diri informan sendiri yang sedari dulu ingin berkuliah di USU. Selain itu
informan juga mengatakan keinginan tersebut semakin didorong karena kota Medan
merupakan kampung halaman orang tua informan :

“Sejak masih kelas 3 SMA aku memang udah ambisius pengen


kuliah di perguruan tinggi Negeri dan aku fokus ke USU kak, karena
Medan ini kampung halaman orang tua kak, di binje sih tepatnya, jadi
aku mikirnya bisa sekalian pulang kampung dan orang tua juga gak
ngelarang sama sekali.”

Informan menyatakan bahwa pada dasarnya merantau dan berkuliah di kota


Medan merupakan kemauan dan keinginan dari diri informan sendiri, dan semakin
didorong oleh karena kota Medan merupakan kampung halaman orang tua informan.

5. AS (Nama Samaran)

AS (20) merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara


2018. Informan berasal dari Lhoknga, Aceh Besar. Informan merupakan mahasiswa
fakultas ekonomi USU. Di kota Medan, Informan bertempat tinggal di jalan
Pembangunan, Padang Bulan. Melalui hasil wawancara dengan informan, peneliti
memperoleh alasan yang mendorong informan untuk melakukan perantauan adalah
karena keinginan infoman untuk berkuliah sambil bekerja di kota Medan dengan ambisi
untuk menaikkan taraf hidup keluarga. Informan dengan terbuka mengatakan bahwa ia
merupakan anak pertama dari empat bersaudara dengan pekerjaan orang tua yang

88
merupakan seorang nelayan sehingga ia memiliki ambisi untuk berkuliah sembari bekerja
untuk menaikkan taraf hidup keluarga.

“Ada dua tujuan utamaku datang ke kota Medan, pertama untuk kuliah
dan kedua untuk bekerja. Aku bisa dibilang berasal dari keluarga yang
kurang sejahtera lah karna orang tuaku kerjanya nelayan. aku ambisi
harus bisa kuliah di Univ Negeri di kota Medan sejak dulu karna aku
pingin kuliah sambil kerja disini, dan walaupun seandainya aku gak
bisa masuk kuliah di negri, aku tetap punya ambisi untuk merantau ke
ibu kota Sumatera Utara ini buat kerja. Kuliah sekarang ini aku
sambilan kerja di cafe daerah halat. Lumayan bisa biayai diri sendiri
untuk kuliah dan kehidupan sehari-hari tanpa nyusahin orang tua,
menurutku itu udah salah satu usaha mengurangi beban mereka di
kampung.”
AS menyatakan bahwasannya merantau ke kota Medan merupakan sebuah ambisi
yang harus ia penuhi karena ia memiliki dua tujuan utama mendatangi kota ini, pertama
adalah untuk berkuliah dan kedua adalah untuk bekerja. AS juga menyatakan walaupun
seandainya ia tidak bisa berkuliah di universitas negri, informan akan tetap merantau ke
kota Medan untuk mencari pekerjaan karena keinginannya untuk membantu kehidupan
keluarga di kampung halaman.

6. HM (Nama Samaran)

HM merupakan seorang mahasiswi Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara


angkatan 2018. Informan menyatakan daerah asal dirinya sebenarnya berasal dari
Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Namun, akibat bencana alam di Aceh pada tahun
2004 informan dan keluarga berpindah ke Subulussalam. Di kota Medan, ia bertempat
tinggal (kos) di Jalan Dr Mansyur Dalam. Informan Merupakan anak ke-3 dari 3
bersaudara. Dikampung halaman, orangtua informan bekerja sebagai petani. Adapun hal
yang melatar belakangi informan menempuh pendidikan di kota Medan yakni di
Universitas Sumatera Utara adalah karena pilihan dari orang tua.

“Alasan kuliah di sini itu pilihan orang tua kak, karna aku dulu
kepinginnya nyoba kuliah itu di Jawa, bukan di Medan. Eh nyatanya
ga diizini kuliah di luar Sumatera, Cuma dikasi pilihan ke USU aja.
Alasannya karna terlalu jauh dari orang tua dan bahaya, jadi mereka
nyuruhnya aku coba di USU aja karna mereka juga anggap USU
universitas terbaik di luar Jawa.”

89
Informan HM menyatakan bahwa alasannya berkuliah di USU adalah karena
pilihan dari orang tua yang tidak mengizinkkannya berkuliah di luar Sumatera. Orang tua
dari informan memilih USU sebagai tempat informan HM menempuh pendidikan di
perguruan tinggi karena menurut orang tua USU merupakan universitas terbaik di luar
pulau Jawa yang posisinya tidak terlalu jauh dari kampung halaman.

Terdapat beragam alasan yang menjadi alasan atau latar belakang para informan
mahasiswa Aceh IPTR merantau ke kota Medan untuk berkuliah. Hal-hal tersebut
merupakan bagian yang menjadi salah satu aspek alasan bagi para informan dalam
melewati fase culture shock karena, alasan mereka akan menjadi salah satu dari beberapa
latar belakang terjadinya culture shock. Alasan-alasan tersebut nyatanya mempengaruhi
terjadinya culture shock pada mahasiswa perantau.

3.3 Persepsi Mahasiswa Aceh IPTR USU Tentang Kota Medan

Setiap individu tentu dapat memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap


suatu hal yang sama, tergantung pada bagaimana cara individu tersebut menilainya.
Perbedaan pandangan dan pendapat kemudian akan ditindaklanjuti dengan respon atau
tindakan yang berbeda-beda pula. Pandangan inilah yang dapat disebut sebagai persepsi.
Persepsi merupakan penilaian terhadap suatu hal yang dapat bersifat negative maupun
positif.

Menurut Kotler (2009), persepsi adalah proses individu memilih,


mengorganisasikan, dan menafsirkan masukan-masukan informasi untuk menciptakan
suatu gambaran yang bermakna tentang dunia. Persepsi merupakan suatu proses yang
diawali oleh penginderaan, yakni proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat
inderanya (baik itu pendengaran, penglihatan, dan sebagainya) atau dapat disebut sebagai
sebuah proses sensoris yang kemudian akan dilanjutkan menjadi sebuah persepsi setelah
informasi tersebut diterima melalui alat indra hingga diolah dan diinterpretasikan menjadi
sebuah persepsi yang sempurna (Bimo Walgito, 2005). Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) persepsi merupakan tanggapan, penerimaan langsung dari sesuatu atau
merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.

90
Demikian halnya terdapat persepsi yang berbeda-beda bagi orang-orang yang
tidak berasal dari kota Medan dalam memandang kota Medan. Kota Medan yang terkenal
plural, juga memiliki stereotype sebagai kota yang keras. Stereotype akan masyarakat
kota Medan yang keras dimaksudkan condong kepada karakter masyarakatnya yang
dianggap kasar. Penelitian yang dilakukan oleh Atiqa Khaneef Harahap (2013) tentang
representasi karakter masyarakat kota Medan melalui desain dalam kaus tauko Medan
menemukan bahwasannya gambaran karakter masyarakat kota Medan dicerminkan
sebagai pribadi yang berani, keras, kasar dan menantang. Hal demikian menjadi
stereotype yang cukup melekat bagi masyarakat kota Medan, dimana tak jarang orang-
orang yang bukan berasal dari Medan beranggapan bahwasannya Medan adalah kota
yang cukup ditakuti karena identik dengan kata “kasar”. Selain itu Medan juga sangat
diidentikkan dengan suku Batak, padahal berdasarkan perjalanan dan perkembangannya
suku Melayulah yang merupakan host population di kota Medan.

Namun tidak hanya stereotype demikian saja yang dikenali orang-orang tentang
kota Medan. Terdapat pula pandangan positif akan kota Medan sebagai kota yang penuh
toleransi sehingga yang menjadi dasar terbentuknya keberagaman dalam masyarakatnya
yang hidup berdampingan dengan beragam perbedaan. Hal demikian di utarakan oleh
mahasiswa-mahasiswi IPTR melalui wawancara yang dilakukan oleh peneliti sebagai
persepsi positif mereka terhadap kota Medan sebagai lingkungan baru yang menjadi
pilihan mereka untuk menempuh pendidikan. Melalui wawancara mendalam yang
dilakukan peneliti terhadap para informan terdapat berbagai perbedaan persepsi yang
berbeda-beda dalam memandang kota Medan baik persepsi yang bersifat negative
maupun positif.

3.3.1 Persepsi Negatif

Persepsi negatif para informan tentang kota Medan cenderung terjadi ketika
mereka belum mendatangi kota Medan. Persepsi ini timbul sebagai akibat dari informasi
yang diterima melalui berbagai sumber sehingga menafsirkan bahwa Medan merupakan
kota yang seperti mereka pikirkan. Seperti halnya persepsi informan Fitri tentang kota
Medan yang dianggapnya memiliki tingkat kriminal tinggi:

91
“Pas udah mau dekat daftar ulang di USU sebenernya aku takut kali
dulu ke Medan kak, soalnya dipikiranku kota Medan ini ngeri,
menurutku salah satu kota yang tingkat kriminalnya tinggi karna
sering juga ada kejadian-kejadian kriminal gitu masuk tu ke berita
apalagi orang tuaku juga bilang gitu kan kak, jadi akupun makin takut.
Itu sebenernya alasan aku dilarang merantau, karna kata mereka
banyak orang jahat di Medan sana katanya, akupun mikirnya jadi gitu
pula apalagi karna dibilang ngeri jadi ku lihat-lihat berita-berita
kriminal di kota Medan jadi makin takut gitu lah aku”.
Informan dan bahkan orang tua informan memiliki persepsi bahwasannya kota Medan
merupakan kota yang tingkat kriminal tinggi sehingga menurut orang tua inforrman akan
berbahaya untuk hidup sendiri di kota Medan apalagi bagi seorang perempuan perantau.
Tak hanya itu, informan juga menyatakan stereotype yang paling diidentikkan dengan
masyarakat kota Medan bahwasannya di dalam benaknya, kota Medan merupakan kota
yang orang-orangnya memiliki karakter yang kasar terkhusus pada cara bicaranya, seperti
yang diungkapkannya sebagai berikut :

“Aku juga udah nyiap-nyiapin mental tu kak, sebelum datang ke


Medan. Nyiapin mental karna yang ku tau sebelum tinggal disini,
orang Medan ini katanya kasar-kasar, apalagi ngomongannya.
Pokokya aku dah nyiap-nyiapin mental lah untuk itu”
Demikian pula persepsi informan LI yang pada awalnya sama sekali tidak ingin
merantau. Informan beranggapan bahwasannya di awal merantau kota Medan merupakan
kota yang dipenuhi oleh “Premanisme” sehingga sangat dibutuhkan ke was-was an agar
dapat melindungi diri. Premanisme di kota Medan yang dimaksudkan oleh informan
merupakan orang-orang yang suka meminta uang dengan paksa, mengancam, dan
merampok. Persepsi demikian dikatakan informan LI karena ia pernah mendengar
langsung kejadian seperti demikian melalui teman informan yang di ancam kemudian di
minta barang-barang berharga di dalam angkutan umum kota Medan (angkot) ketika
berada di Medan sehingga menjadi dasar informan berpersepsi bahwasannya kota Medan
merupakan kota yang dipenuhi oleh premanisme:

“ Awal aku mau merantau ke kota Medan, aku sering nangis di kamar.
Pertama ya karna aku sadar bakalan pisah sementara dalam jangka
waktu yang cukup lama lah dari orang tua, adek juga kawan-kawan di
kampung. Selain itu karna aku gak ingin merantau. aku takut sama
kota Medan, karna pernah kawan dikampung cerita kalo dia pernah
diancam dan di mintain uangnya di angkot sama dua orang preman

92
pas pagi-pagi dia baru datang dari kampung mau ke kota Medan
jumpain sodaranya. Jadi aku yang sejak awal gak ada niatan mau
merantau ditambah lagi ke kota Medan yang banyak preman nya cem
kata kawan aku tadi, makin downlah perasaanku. Sampek-sampek
setiap kali aku teringat bakal meranto ke kota Medan, perutku jadi
sakit mikirinnya, walaupun sebenernya ada kakakku di sini tapi dia
pun udah kuliah tahap akhirnya, pastinya gak akan lama lagi di
Medan. Nah, gitu di kota Medan pun aku awal-awal dulu udah kayak
orang paranoidlah. Setiap kali keluar sendirian kupegang barang-
barangku erat-erat, mataku pun selalu merhatiin orang
disekelilingku.”
Informan LI menyatakan bahwasannya Medan merupakan kota yang dipenuhi oleh
premanisme karena pernah memperoleh informasi langsung melalui pengalaman seorang
temannya yang pernah mendatangi kota Medan. Informan bahkan sudah mengalami
gangguan fisik sebelum mendatangi kota Medan sebagai bentuk ketidak inginanya
merantau ke kota Medan. Selain itu, melalui jawaban informan dapat diketahui
bahwasannya persepsi informan tentang kota Medan yang dipenuhi oleh “premanisme”
terbentuk melalui informasi yang diterimanya melalui pengalaman orang lain yang
didengarnya. Hal inilah yang membuat informan beranggapan bahwasannya kota Medan
merupakan kota yang dipenuhi oleh premanisme sehingga ketika berpergian dikota
Medan informan selalu waw-was terhadap sekitarnya.

Persepsi yang cukup negative juga datang dari informan HM. Informan ini
sebenarnya memiliki pandangan negative dan juga positif tentang kota Medan. Dari sisi
negative HM memandang kota Medan sebagai kota yang orang-orangnya galak

“Akukan merantau kuliah disini karna disuruh sama orang tua, jadi
sebenarnya banyak nerima asupan positif tentang kota Medan dari
orang tua, tapi ada gambaran tersendiri bagiku tentang kota Medan
bahwasannya orangnya galak-galak dan aku juga ada rasa takut sih,
karna pernah punya anggapan kalau orang Medan itu mau makan
orang. Aku pernah dengar-dengar berita gitu. dan gaktau sih sampai
sekarang itu mitos apa memang pernah kejadian gitu.”
Pandangan informan HM akan kota Medan memiliki kesamaan dengan informan
sebelumnya yakni karakter masyarakatnya yang dianggap kasar. Selain itu, adapula mitos
tentang “orang Medan makan orang” yang dikonsumsi oleh sehingga menjadi salah satu
pemicu rasa takut baginya sebelum mendatangi kota Medan.

93
Persepsi yang cukup negative tentang kota Medan selanjutnya juga dikatakan oleh
informan Rizky, dimana ia beranggapan bahwassannya kota Medan dikenalnya sebagai
kota yang dihuni banyak begal:

“Pas mau merantau itu aku excited. Aku senang bisa kuliah di Univ
Negeri apalagi bisa menjelajah di kota besar. Tapi aku juga udah
mikirin kok pastinya kehidupanku di rantau akan jauh lebih keras
karena aku bukan di lingkungan keluargaku lagi, apalagi ke kota
Medan yang menurutku kota cukup ditakuti karena identik juga
dengan kasus begal jadi lebih was-was. Makanya dulu aku gak berani
bawa Motor ke sini di awal-awal merantau. Soalnya sering kudengar
info-info begal di Medan ini dari aku SMA pun. Keknya orang
lumayan diminati bidang begal ini kak .”

Informan Rizky mengatakan bahwasannya bisa merantau ke kota besar


dan berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri merupakan suatu kebahagiaan
walau informan juga menyadari kehidupannya akan berubah menjadi lebih
keras karena tidak lagi berada di lingkungan keluarga. Informan memiliki
persepsi bahwasannya Medan cukup ditakuti karena menurutnya identik
dengan begal.

3.3.2 Persepsi Positif


Persepsi positif merupakan penilaian individu terhadap suatu objek atau informasi
dengan pandangan yang positif (Robinson,2002). Tidak hanya pandangan negative,
beberapa mahasiswa IPTR juga memiliki persepsi positif terhadap kota Medan. Seperti
halnya informan Rizky yang sebelumnya menyatakan bahwa ia mengenal kota Medan
sebagai kota yang identik dengan begal, namun informan juga menyatakan bahwasannya
ada perasaan antusias untuk mendatangi kota Medan karena menurutnya Medan juga
dikenalnya sebagai kota yang besar dan beranekaragam:

“Tapi aku cukup antusias pas mau ke kota Medan, selain karna
menurutku kota ini besar aku juga antusias karna keanekaragamannya
dan yang aku paling penasaran bergaul sama suku Bataknya. Pengen
gitu aku tau asal usul marganya yang unik-unik. Kebetulan ibu aku
orang Mandailing”
Informan mengatakan bahwa kenaekaragaman kota Medan merupakan suatu hal yang
membuatnya antusias terkhusus untuk dapat bergaul dengan orang-orang bersuku Batak
yang menurutnya asal-usul marga mereka cukup unik-unik.

94
Selanjutnya persepsi akan Medan sebagai kota yang penuh toleransi, menganggap
kota Medan sebagai kota yang menyenangkan sebagai surga kuliner, pusat perbelanjaan
dan perdagangan yang menyenangkan dan lain sebagainya. Persepsi demikian datang dari
informan HM yang tak hanya memandang kota Medan dari sisi negative, namun juga
positif dimana ia beranggapan bahwasannya kota Medan dalam persepsinya merupakan
kota cukup megah dan sangat memfasilitasi dalam hal berbelanja

“Tapi aku juga tau dan punya pandangan kalau Medan itu megah juga
kok kayak di Jawa, karna banyak mall dan café-café atau restaurant
keren. Dan awalnya excited juga karna aku dah mikir bakal belanja
bebas kesana-kemar menjelajahi kota Medan yang sebelum merantau
juga udah tau kalau Medan ini tempat belanjanya banyak dan murah-
murah, gitu dulu menurutku”
Selanjutnya persepsi positif yang datang dari informan Kahlil dimana ia menganggap
kota Medan merupakan kota menyenangkan dikarenakan kepluralannya dan juga
merupakan kota yang akan menguntungkan karena menurutnya kota Medan merupakan
kota yang memiliki peluang bisnis untuk berdagang:

“Tidak ada anggapan apa-apa kecuali aku tau Medan gak


bakal seperti di Aceh, pluralisme di kota Medan menyebabkan
kekangan-kekangan agama seperti di Aceh itu gak ada, alias tidak ada
penerapan syariat Islam dan itu menjadi sesuatu yang baru bagi aku.
Selain itu ada sih, sebelum merantau aku dah mikirin kalo di Medan
itu nguntungi karna menurutku kota Medan sangat memiliki peluang
bisnis untuk berdagang apalagi dagangnya ke Aceh”

Informan menyatakan bahwasannya kota Medan yang sudah dipersepikannya


sebagai kota yang plural tentu akan berbeda dengan kampung halaman di Aceh, karena
menurutnya kekangan-kekangan hukum agama dalam artian penerapan syariat Islam
seperti yang ada di kampung halaman, tidak ada di kota Medan sehingga hal tersebut
akan menjadi suatu pengalaman yang baru baginya. Adapula yang menyatakan
bahwasannya kota Medan dalam persepsinya adalah seperti sebuah kota yang serba ada,
hal tersebut diungkapkan oleh AS :

“ Medan jadi tujuanku merantau, menempuh pendidikan dan bekerja


karna dibenakku itu awalnya Medan ini serba ada. Serba ada itu
maksudnya, orang-orangnya itu mix, ada beragam agama, suku, asal
daerah, ras. Jadi gambaran kota Medan itu menurutku kota yang
toleransinya tinggi makanya bisa hidup rukun. serba ada itu juga

95
kayak banyak lowongan kerja, surganya kuliner, banyak mall, café,
dan menurutku megahlah. Dulu sih pas mau merantau mikirnya gitu”.

Persepsi informan AS tentang kota Medan yang serba ada seperti yang
dimaksudkannya adalah masyarakatnya yang beragam agama, suku bangsa, dan asal
daerah yang menurutnya berarti toleransi akan perbedaan pasti cukup kuat. Selain itu ia
juga berpersepsi bahwasannya Medan merupakan surga kuliner dan banyak lowongan
pekerjaan walau masih ada persepsi yang sama dengan informan sebelumnya dimana
informan AS juga mengatakan kota Medan di huni oleh orang-orang yang cukup keras
jiwanya.

Persepsi-persepsi para informan terhadap kota Medan tentu akan mempengaruhi


bagaimana mereka hidup dan bertindak dalam kesehariannya di kota Medan sebagai
tanah rantau dan lingkungan baru dalam tujuannya menempuh pendidikan di perguruan
tinggi. Persepsi-persepsi tersebut menjadi salah satu aspek pemicu terjadinya culture
shock, karena pada dasarnya apapun yang mereka atau setiap individu manusia pikirkan
tentang suatu hal baik itu negative maupun positif tentunya akan menjadi sebuah
landasan cara mereka berpikir, merespon dan bertindak.

3.4 Pengalaman Culture Shock Yang Dialami Mahasiswa IPTR di kota Medan

Culture shock sebagai fenomena yang seyogyanya terjadi pada individu-individu


yang memasuki lingkungan baru, dialami oleh mahasiswa IPTR sebagai pendatang di
kota Medan dimana fenomena culture shock tersebut di indentifikas oleh peneliti melalui
fase-fase yang terdapat dalam culture shoock. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, peneliti memperoleh bentuk-bentuk culture shock yang dialami mahasiswa
IPTR di kota Medan sebagai lingkungan yang tidak familiar bagi mereka dimana bentuk-
bentuk dari culture shock tersebut oleh peneliti mulai dari awal merantau hingga saat
ini.Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, culture shock menurut Oberg (1960)
memiliki 4 fase dalam proses adaptasi individu di lingkungan barunya sebagai tahapan
yang akan terjadi pada mereka yang mengalaminya.

Fase pertama dalam culture shock disebut sebagai fase honeymoon yang ditandai
dengan kegembiraan, euphoria, dimana semua adalah mengasyikkan dan mempesona.
Dilanjutkan dengan fase kedua yakni fase krisis yang disebut juga sebagai masalah

96
cultural dimana pada fase ini mereka mulai menyadari bahwa mereka berada dalam
lingkungan yang berbeda dan mulai menjumpai masalah-masalah akibat perbedaan-
perbedaan kebudayaan yang didapati yang mana fase ini lah yang sebenarnya merupakan
puncak dari fenomena culture shock terjadi. Jika individu perantau tetap tinggal dan
berusaha menangani, menerima dan memahami perbedaan-perbedaan atau hal-hal yang
menjadi masalah di lingkungan barunya terhadap dirinya dan mulai menyesuaikan diri
dengan keadaan yang ada maka mereka sudah memasuki tahap ketiga yang disebut
dengan fase penyesuaian atau pemulihan. Selanjutnya jika sudah merasa nyaman dan
aman dengan lingkungan barunya maka mereka telah berada pada fase ke empat yakni
fase penguasaan. Melalui fase-fase tersebutlah peneliti mengidentifikasi bentuk-bentuk
culture shock yang di alami oleh para mahasiswa IPTR melalui pengalaman yang mereka
lalui:

3.4.1 Informan LI

Informan LI yang keberadaannya di kota Medan untuk merantau dalam tujuan


menempuh pendidikan dilatarbelakangi oleh kemauan orang tuanya membuat informan
mengalami masa-masa culture shock yang cukup sulit. Wawancara dengan informan LI
dilakukan peneliti di dalam kos-kosan informan yang berada di Jalan berkah, Sei Padang.
Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap informan, LI
merupakan tipikal individu yang tertutup dan tidak mudah dengan cepat bergaul dengan
orang lain. Hal tersebut dibuktikan peneliti sendiri melalui rapport yang dibangun
dengan informan dengan waktu yang cukup lama hingga peneliti mampu mendekatkan
diri dan menggali informasi melalui informan. Hal tersebut juga diketahui peneliti
melalui informasi yang diterima dari tetangga kamar kos informan yakni DF yang
menyatakan informan LI merupakan orang yang pendiam dan tidak banyak bicara. Hal
tersebut juga diungkapkan sendiri oleh informan LI:

“Aku orangnya canggung sama orang yang baru dikenal, kayak gak
tau harus membicarakan apa. apalagi aku ini di tanah rantau jadinya
semakin tertutup dan gakmau sembarangan berteman karena aku
mikirnya dulu belum kenal sama lingkungan ini gitu”
Berdasarkan hasil wawancara, informan LI tidak mengalami fase culture shock
secara bertahap seperti mahasiswa perantau pada umumnya. Informan LI tidak

97
merasakan fase honeymoon atau fase kegembiraan yang biasa di alami oleh mahasiswa
perantau sebagai bentuk antusias mereka di awal mendatangi lingkungan baru.
Berdasarkan hasil wawancara, informan LI langsung mengalami kesedihan mendalam
setibanya di kota Medan:

“Sebelum berangkat dari kampung udah ngerasa sedih sebenarnya,


tapi aku gak mau membebani pikiran orang tua jadi aku pura-pura
tegar. Aku ingat kali pas sampek Medan sendirian, karna ketepatan
kakaku waktu itu lagi ada kayak semacam PKL praktek di RS gitu jadi
aku gak dijemput. Mulai perjalanan dari kampung sampek Medan,
sampek ke kos aku dah nitik-nitik kan air mata karna pisah dari orang
tua. Karna baru kali itu memulai hidup jauh dari orang tua. Walau
ada kakak disini tetap aja rasanya beda kalau dekat orang tua,
biasanya kemana-mana di anterin, ini aku sendirian dan langsung
terasa perbedaan suasana kampung dan kota Medan. Kota Medan
yang macet, padat, ribut pula suara klakson dimana-mana.”
Kesedihan yang dialami informan LI ketika meninggalkan kampung halaman dan
mengingat bahwasannya informan sudah berada jauh dari kedua orang tua merupakan
gejala culture shock awal yang terjadi padanya. Informan menyatakan walau di kota
Medan bersama dengan kakaknya, perasaan sedih yang dialaminya adalah hal yang wajar
karena sebelumnya belum pernah terpisah dari orang tua. Hal tersebut benar adanya
karena informan merasa kehilangan suasana intim keluarga sebagai lingkungan sosial
yang paling familiar baginya. Dalam jawaban tersebut peneliti juga langung menemukan
kritikan informan terhadap suasana lingkungan kota Medan yang menurutnya padat dan
ribut dengan kondisi lalu lintas yang macet dan ini merupakan salah satu bentuk dari
culture shock yang di alaminya karena informan mulai merasakan perbedaan dan
membandingkan suasana kampung halaman dengan lingkungan kota Medan, seperti
lanjutan dari penyataannya:

“Aku sempet darah tinggi liat kendaraan disini, masih lampu merah
detik-detik mau ke lampu hijau dah di di klackson terus, itu rasanya
buat emosi dan begah kali. Terus dah ada beberapa bulan di kota
Medan pun dulu tetap bingung sebenarnya sama jalanan di kota
Medan. Kalau gak sama kakak dulu aku tu gak akan keluar kos karna
aku juga gak punya banyak teman di awal-awal dulu. Jalanan di kota
Medan ini buat bingung, terus di kampung gak ada lampu merah.”
Menurut infoman LI kondisi lalu lintas seperti bunyi klackson ketika lampu merah belum
selesai merupakan hal yang menjengkelkan di kota Medan selain itu menurut informan

98
orang orang Medan sangat kasar dan tidak memiliki kesabaran khususnya ketika berada
di jalan. Informan juga mengatakan jalanan kota Medan sangat sulit untuk diingat dan
rumit akibat rambu-rambu nya:

“Dulu aku takut naik motor sendirian kalau keluar karna aku gak
hapal sama jalanan dan rambu-rambu disini. Apalagi orang Medan
ini kasar-kasar dan gak sabaran. Salah dikit aja kita langsung di
klacksonin bersamaan sama ocehan mulut yang kadang sampe
ngemaki”

Hal ini merupakan bentuk culture shock awal yang dialami informan terhadap
sarana prasarana yang ada pada lingkungan fisik di kota Medan. Peneliti kemudian
mengajukan pertanyaan terkait kemungkinan hal-hal yang membuat informan antusias
mendatangi kota Medan selain kesedihan karena meninggalkan kampung halaman.
Dalam hal ini peneliti bermaksud menemukan fase kegembiraan pada informan, namun
informan menyatakan sama sekali tidak merasa bahagia, bahkan di awal merantau
informan sudah merasakan guncangan pada dirinya:

“Gak ada antusias atau bahagia apapun. Malahan di awal dulu


mataku sering bengkak karna nangis trus sering juga kedengeran
sama kawan kos lainnya, sampe sering diliatin gitu ke kamarku. Itu
karna aku rindu kampung, ngeluh-ngeluh nelpon sama orang tua
sampek nangis gitu jadi aku sering tengkar juga sama kakakku karna
dia ngelarang aku ngeluh ke orang tua, soalnya itu buat beban orang
tua nambah kan. Saking rindunya dulu kadang jantung suka debar
kayak sesak malahan.”

Melalui pernyataan tersebut dapat diketahui bahwasannya informan LI langsung


merasakan homesick ketika berada di kota Medan sebagai salah satu komponen yang ada
pada culture shock dimana perasaan tersebut memberikan efek terhadap kondisi fisik
informan. Peneliti kemudian mulai mempertanyakan lingkungan sosial informan di kota
Medan untuk mulai mengetahui hambatan-hambatan dalam perbedaan kebudayaan yang
menyebabkan culture shock pada informan. Hal ini berkaitan dengan lingkungan kampus
dan lingkungan tempat tinggal informan:

“Hampir full semester satu belum ada teman dekat sampek kakakku
balik kampung. Ada kawan tapi untuk bicara yang penting-penting aja
ga dekat kali gitu. selain karna aku canggung sama sama baru, aku
juga ngerasa dulu raut-raut wajah kawan kampus apalagi yang orang
Medan kayak sombong gitu. Sempat heran sama kawan yang langsung

99
akrab punya kelompok gitu, aku ngiranya mereka mungkin satu SMA
dari Medan, eh rupanya karena satu suku, trus ada karna satu asal
gitu”
Informan LI menyatakan bahwasannya di semester satu perkuliahan informan belum
memiliki teman dekat karena sifatnya yang canggung dan menurutnya orang-orang yang
langsung memiliki teman atau kelompok dikampus karena adanya latar belakang etnis
dan asal daerah yang sama. Informan LI juga menyatakan bahwasannya informan kurang
percaya diri untuk banyak berbicara dengan orang lain karena menurutnya logat bahasa
daerahnya yang cukup jelas (bahasa alas) sering ditiru oleh teman kampus khususnya
laki-laki dan hal ini membuat informan merasa kurang percaya diri:

“Kawan-kawan sekelas suka ngejek, apalagi anak laki yang orang


Medan mereka suka ngikut-ngikuti nada bicaraku, mungkin dulu karna
logat bahasaku masih kental. Jadi buat aku malas banyak-banyak
bicara di kampus. Jadi aku lebih suka cepat pulang dan ngabisin
waktu dalam kos. Selain itu aku malas keluar-keluar kos juga karna
parnoan, takut di rampok atau dijahati di lur sana. Jadi rutinitasku
kampus-kos kampus-kos aja”

Demikian pula informan menyatakan di lingkungan tempat tinggal informan juga tidak
begitu bersosialisasi dengan teman-temannya :

“Di kos juga gitu sih malahan lebih parah, gak ada temen, suma ada
satu kak riska yang kamar paling depan, cuma sering sapaan lempar
senyum aja. Dulu ngerasa pandangan anak kos ke aku kayak sinis-
sinis gitu karna aku orang baru kan, aku juga gak gitu peduli karna
ada kakaku disini jadi belum terasa kalau sebenernya saling
membutuhkan”
Berdasarkan jawaban-jawaban tersebut dapat diketahui beberapa kesimpulan
bahwasannya dilingkungan sosial, masalah yang membuat informan cukup sulit
beradaptasi adalah karena kurangnya rasa percaya diri akibat logat bahasa daerahnya.
Masalah kedua yang membuat informan sulit beradaptasi dalam lingkungan sosialnya
menurut peneliti adalah karena informan sangat mudah berprasangka terhadap orang lain.
Hal ini sebenarnya berkaitan dengan kepribadian yang dimiliki informan LI yang
cenderung tertutup dan tidak mudah bersosialisasi sehingga menimbulkan prasangka-
prasangka terhadap orang lain. Masalah ketiga adalah karena persepsi awal informan
tentang kota Medan turut mempengaruhi terjadinya culture shock di kota Medan. Ketiga

100
masalah tersebut merupakan bentuk-bentuk culture shock yang menyebabkan informan
mengalami kesulitan dalam proses adaptasi lingkungan sosialnya.

Perbedaan kebudayaan selanjutnya yang membuat informan shock adalah ketika


berada di dalam mall. Informan menyatakan bahwasannya cara berpakaian perempuan di
dalam mall sangat tidak sopan dan menurutnya hal tersebut terkesan murahan:

“Ada sih yang dulu buat aku terkejut, ngerasa aneh gitu. Pas sering
jalan-jalan ke mall aku ngerasa malu merhatiin pakaian-pakaian
perempuan didalam mall. Aku aja ngerasa canggung gitu nengoknya
apalagi laki-laki. Aku udah langsung mikir pasti itu perempuan gak
benar sampai aurat dipamerin segitunya. Eh rupanya aku salah, hal
itu biasa disini kalau didalam mall”
Selain itu hal yang membuat sedih informan katakan adalah ketika hari-hari besar
keagamaan seperti bulan puasa, saat berada jauh dari keluarga dan tidak merasakan
suasana familiar ketika bulan puasa seperti di kampung halaman:

“ Pas bulan puasa selalu sedih, gak dapat feel nya disini gak kayak
dikampung”
Fase krisis sebagai puncak culture shock pada informan terjadi pada saat kakak informan
kembali kekampung halaman seperti pernyataannya berikut:

“Setelah kakakku balek kampung baru aku mulai berbaur disini, tapi
pas awal dia balek itu aku ngerasa tersiksa, hampir tiap hari nangis,
rasa kesendirian, kesepian, kejenuhan smuanya aku tahan sendiri
sampai-sampai kadang lagi mandi mau tidur asik nangis aja. Teringat
dikampung orang tua selalu ada jadi tempat cerita, tempat ngadu,
ngasi dukungan, dan hampir segala urusan orang tua turut campur
tangan ngebantu sedangkan di kota Medan awak sendirian kayak anak
terlantar, aku sempat gak selera ngapa-ngapain.”
Bentuk perasaan sedih, sendiri, sepi, merasa tidak ada dukungan, dan kehilangan
semangat dalam beraktivitas merupakan bentuk dari puncak culture shock yang dihadapi
informan LI. Dalam konsep culture shock pada fase krisis, Samovar (2010) menyatakan
bahwasannya fase krisis akan ditandai dengan rasa bingung dan tercengang dengan
lingkungan sekitar, yang lebih lanjut dapat menyebabkan frustasi dan mudah tersinggung,
bersikap permusuhan, mudah marah, dan bahkan menjadi tidak kompeten. Hal ini benar
terjadi sejalan dengan apa yang dialami informan LI di kota Medan.

101
Namun informan LI menyatakan kesendirian itu juga yang membuatnya mulai
membuka diri dan beradaptasi dengan sungguh pada situasi yang dijalaninya. Informan
menyatakan hal-hal tersebutlah kemudian yang membentuk kepribadiannya menjadi
seseorang yang lebih dewasa dan mulai membuka diri dengan orang lain di kota Medan
sebagai lingkungan barunya baik di lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan
kampus. Informan kemudian juga menyatakan bergabung dengan organisasi IPTR pada
waktu memasuki semester ke 3 merupakan cara yang dilakukannya untuk menghindari
kesendirian dan kerinduan terhadap kampung halamannya.

3.4.2 Informan HM

Seperti yang telah dibahas sebelumnya latar belakang informan HM berkuliah di


kota Medan memiliki persamaan dengan informan LI yakni karena dorongan dari orang
tua. Perbedaannya adalah informan LI sama sekali tidak memiliki niatan untuk merantau
melainkan karena adanya unsur terpaksa sedangkan informan HM sudah berkeinginan
untuk merantau dan menempuh pendidikan di perguruan tinggi di pulau Jawa. Namun,
orang tua informan tidak mengizinkannya untuk berkuliah ke pulau Jawa karena
dianggap terlalu jauh dan berbahaya bagi seorang anak perempuan. Hal tersebutlah
kemudian yang dinyatakan informan menjadi penyebab utama ia di dorong orang tua
untuk berkuliah di Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan pernyataan informan, USU
dianggap tidak terlalu jauh oleh orang tuanya dan masih sangat mudah untuk dijangkau
dari Aceh. Selain itu informan juga menyatakan bahwasannya ke dua orang tua informan
beranggapan bahwa Universitas Sumatera Utara merupakan Universitas terbaik yang
berada di luar Jawa. Alasan tersebutlah kemudian yang membuat informan memilih
berkuliah di USU pada ujian SNMPTN tahun 2018 dan dinyatakan lulus di Fakultas
Teknik.

Informan yang awalnya memiliki persepsi positif dan negative tentang kota
Medan nyatanya mengalami fase honeymoon ketika pertama kali mendatangi kota Medan

“ Awal datang seminggu di kawani sama orang tua, bahagia sih walau
awalnya gak ada niatan kan mau meranto kesini eh pas awal-awal
datang terpesona jugak. Rasanya kayak lagi liburan. Jalan-jalan ke
mall, Pusat-pusat perbelanjaan yang murah, gak bosan lah keliling-
keliling kota Medan hampir tiap hari, terus kalo malam kota Medan
kek makin rame makin terang benderang lampu-lampunya, aku

102
mandang itu aja rasanya asik, terus kuliner di Medan makin malam
malahan makin banyak dari termurah sampek termahal ada semua.”

Pernyataan informan HM menunjukan bahwa di awal merantau, ia menikmati kota


Medan. Informan masih merasa seperti menjalani liburan, menikmati suasana kota
Medan yang ramai dengan berbagai kuliner dan berbagai fasilitas fasilitas yang tersedia.
Informan menyatakan, satu minggu di awal merantau masih ditemani oleh orang tua dan
setelah itu informan juga langsung mendapati teman-teman satu kos yang menurutnya
baik dan ramah. Namun, setelah orang tua informan kembali kekampung, ia menyatakan
rasa rindu rumah dan kampung halaman pun muncul

“Sebulanan lah dah di Medan, baru ngerasa rindu rumah dan


suasananya. Baru aku mikir oh gini rupanya rasanya ngerantau, gitu”
Berdasarkan pernyataan informan HM, fase honeymoon yang di laluinya diperkirakan
berjalan dalam jangka waktu satu bulan dan mulai merasakan perasaan rindu rumah dan
suasananya, informan kemudian mulai menyatakan bahwasannya teman-teman dikampus
terlihat pemilih berdasarkan suku bangsa, status ekonomi, agama, kepintaran dan juga
kecantikan:

“Perlahan tau sifat-sifat anak Medan khususnya untuk kawan di


kampus, ngerasa mereka suka milih-milih kalok berteman, mana yang
sama sukunya, mana yang kaya sama yang kaya, mana yang pintar
sama yang pintar, mana yang hits sama yang hits. Terutama yang
perempuan. Aku awalnya mikir apa mungkin itu karna heterogenitas
yang ada di Medan ya. Disitulah mulai terasa perbedaan”
Informan mulai memiliki persepsi bahwasannya orang Medan berteman berdasarkan
kriteria-kriteria tertentu seperti adanya persamaan suku bangsa, agama, status ekonomi,
dan bahkan menyangkut fisik. Fenomena tersebut membuat informan menarik
kesimpulan bahwasannya pemilihan kelompok dalam pertemanan dipengaruhi oleh
keadaan kota Medan yang heterogen dan hal tersebut menjadi tantangan tersendiri
baginya yang menimbulkan rasa tidak percaya diri:

“Ada kelompok-kelompok dalam pertemanan jadinya muncul perasaan


minder kalau terkategorikan sama yang gak bagus gitulah”
Selain itu, bentuk culture shock selanjutnya yang dialami informan berkaitan
dengan perbedaan kebudayaan dalam bentuk norma-norma yang berlaku.

103
Dalam hal ini informan menrasa shock melihat penampilan perempuan di
Medan dengan di Aceh:

“Kalau dipikir-pikir sebenarnya ada banyak yang buat terkejut di kota


Medan. Pertama ngeliat perempuan pakai tindik, kawan kampus lagi.
Sedangkan di Aceh, jangankan perempuan, laki-laki aja gak boleh.
Jadi sempat mikir jangankan pemerintah atau lembaga tertentu kayak
di Aceh yang perhatiin, apa orang tua merekagak peduli. Adalagi,
heran liat perempuan di Medan ini, bukan muhrimnya tapi berani
dibonceng dengan gaya duduk gak nyamping bahkan kadang ada bisa-
bisanya perempuan yang bonceng laki-laki. Di Aceh kayak gitu waduh
ada sanksinya langsung”
Pernyataan informan tersebut merupakan bentuk culture shock yang
dialaminya yang berkaitan dengan dengan norma-norma yang berlaku di
daerah asalnya. Informan memberikan kritikan kepada kepedulian pemerintah
atau lembaga tertentu hingga kepada keluarga sebagai unit organisasi sosial
terkecil dan paling intim akibat perbedaan prilaku dan penampilan yang
diamatinya khususnya pada perempuan di kota Medan. Seperti yang kita
ketahui bahwasannya budaya Aceh sangat kental dengan Islam dan begitupun
sebaliknya, sehingga hal itu tentu mempengaruhi cara pandang
masyarakatnya. Dalam hal ini cara pandang informan HM sangat dipengaruhi
oleh kehidupan budaya yang telah tertanam dalam dirinya sehingga culture
shock yang dihadapinya dapat dikatakan menimbulkan pandangan
etnosentrisme.

Shock selanjutnya yang dialami informan HM adalah merasa terkejut


dengan teman-teman perempuan yang menurutnya sembarangan dan berani
berkumpul didalam kos laki-laki padahal ia menyatakan jika hal demikian
tejadi dikampung halaman, maka akan ada sanksi yang dikenakan.

“ Disini mungkin biasa aja kalau kawan-kawan ngumpul di kos laki-


laki atau perempuan. kalau di kampung kami waduh langsung
didatangi itu, ditegur. Atau langsung dapat sanksi pun”

Informan menyataan hal-hal demikianlah yang membuat ia memasuki organisasi IPTR


untuk menemukan perilaku-perilaku yang menurutnya sejalan dengan yang telah
tertanam dalam dirinya.

104
“Salah satu alasanku masuk IPTR di semester 2 ya karena aku dulu
masih merasa canggung sama kawan-kawan yang menurutku masih
sembarangan perilkunya. Gak sesuai sama aturan-aturan yang udah
terbiasa di jalani di kampung halaman. dan benar juga setelah gabung
sama anak IPTR aku mulai lebih nyaman dengan kota Medan”
Pernyataan informan tersebut menunjukkan bahwasannya pada semester 2 informan
sebagai mahasiswa perantau tetap berusaha mencari lingkungan yang masih berdasarkan
suasana kulturnya karena informan belum siap menghadapi perbedaan-perbedaan yang
ada. Informan menyatakan bahwasannya ia mulai merasa nyaman dengan kota Medan
setelah memasuki organisasi IPTR. Hal tersebut menunjukkan bahwasannya informan
mengalami apa yang disebut dengan “Separation” yaitu memutuskan untuk tetap berada
pada kulturnya sendiri dan menghindari interaksi dengan kelompok lain.

3.4.3 Informan AS

Informan AS yang optimis merantau ke kota Medan karena kemauannya sendiri


yang didasarkan pada dua faktor utama yakni pendidikan dan ekonomi ternyata pernah
mengalami fase culture shock dalam proses adaptasinya. Awal mula merantau ke Medan
informan AS menyatakan bahwasannya adalah suatu kebahagiaan dapat merantau ke kota
Medan dan menjadi bagian dari kampus USU yang menurutnya cukup bergengsi.
Informan merasa pada awalnya kota Medan merupakan langkah awal baginya untuk
mengubah dirinya menjadi lebih berkualitas. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh
persepsinya terhadap kota Medan yang menurutnya “serba ada” pada awalnya:

“Awalnya pasti senang lah, karna merasa sebagian dari cita-cita udah
dikabulkan sama yang Maha Kuasa. Bisa merantau ke kota Medan,
bisa masuk Universitas Negeri yang punya gengsi di Sumatera”
Fase kegembiraan yang dialami informan SA juga dapat diketahui melalui gambaran
euphoria yang dijelaskannya ketika masa-masa awal berada di kota Medan

“Pertama kali di sini memang langsung agak lasak. Kan belum bisa
langsung kerja dulu pas semester satu masih padat jadwal, jadi waktu
habis-habis sama kawan, pagi sampek malam ngumpul, jalan-jalan
modal uang 20 ribu dah kenyang di Medan ini. Kebetulan aku pas
masuk kuliah langsung enak punya banyak kawan karna aku
mendekatkan diri sama semua orang, apalagi aku mikirnya orang
Medan ramah ramah mudah diajak bergaul jadi ku dekati aja semua,
namanya juga laki-laki rantau.”

105
Euphoria yang dialami informan ditandai dengan kesenangan yang diewatinya di awal
merantau, menjelajahi kota Medan bersama teman-teman, dimana ia juga merasa bahagia
karena di kota Medan dapat langsung menemukan banyak teman. Namun, informan SA
menyatakan walaupun mendekatkan diri dengan semua orang tetapi perasaan asing tentu
ada karena sejak kecil, mulai dari lingkungan tempat tinggal hingga memasuki masa SD,
SMP, SMA, lingkungan yang di temui cenderung memiliki identitas yang sama, berbeda
dengan masa perkuliahan

“Perbedaan awal-awal yang dirasain ada, namanya memasuki


lingkungan baru. Walaupun aku mendekatkan diri sama semua orang
untuk bertahan hidup di Medan, tapi karna lingkungan dari kecil
sampek besar, disekolah atau dirumah mulai SD sampai SMA
biasanya selalu sama mulai dari agama, etnis, atau bahasa, jadi waktu
ditempatkan diposisi berbeda pasti adalah perasaan asing. Selain itu
sejak kecil sampai tamat SMA di sekolah kan selalu ada Ulama dan
pendidikan Islam yang kental, yang mengarahkan para pelajar tentang
ilmu-ilmu Islam, nah kalau disini jelas beda. Tidak ada lagi yang
seperti itu”
Pernyataan informan tersebut dapat dimengerti bahwasannya perbedaan identitas diri
cukup membuatnya merasa asing berada di kota Medan yang berbeda dengan lingkungan
familiar yang biasa dijalaninya.

Setelah fase kegembiraan yang di alaminya informan ternyata pernah mengalami


fase krisis di kota Medan dimana informan SA mendapati selanjutnya perbedaan-
perbedaan yang menurutnya signifikan antara di Aceh dan Medan khususnya dalam
konteks pergaulan:

“Kalo masalah hal yang buat aneh di Medan, agak terkejut jugalah
karna kawan-kawan mulai minum-minum khamar kalo malam, kek
tuak, amer, wiski, bir pas ngumpul-ngumpul hampr selalu ada itu.
Dari situ aku mulai kaget agak membatasi diri untuk gabung-gabung
tautnya terikut”
Perlu diketahui bahwasnnya khamar adalah sebuah istilah yang merujuk kepada hal yang
memabukkan dan tentunya hal itu dilarang dan di haramkan di Aceh. Didalam Qanun
provinsi Aceh Nomor 12 Tahun 2003 tertera bahwasannya mengkonsumsi minuman
khamar dan sejenisnya merupakan pelanggaran terhadap Syari’at Islam, merusak
kesehatan, akal, dan kehidupan masyarakat yang berpeluang menimbulkan maksiat

106
lainnya (Syarifuddin, 2003). Bentuk Culture shock awal yang dialami informan adalah
merasa asing karena berada dalam lingkungan yang tidak familiar akibat perbedaan
identitas yang disadarinya. Informan kemudian mulai merasakan perbedaan lingkungan
pergaulan antara Aceh dan Medan yang membuatnya mulai menarik diri dari
lingkungannya. Merasa asing dan membatasi diri dengan merupakan reaksi dari culture
shock yang dialami informan karena berbeda dengan budaya yang dijalanannya.

Informan kemudian mulai menyatakan ketidaksesuaian lingkungan pergaulan


yang dihadapinya pada awal merantau akibat perbedaan kebudayaan yakni dalam
berbahasa. Berbahasa yang dimaksudkan informan SA tidak berkaitan dengan masalah
dalam perbedaan bahasa daerah, atau dialek dan logat bahasa berbeda melainkan bahasa-
bahasa kotor yang menurutnya sangat mudah diucapkan oleh orang Medan. Informan
mengatakan bahasa-bahasa kotor yang diucapkan tidak hanya dalam bahasa indonesia
melainkan dengan memakai bahasa daerah tertentu yang kadang kala tidak di pahami
oleh orang lain termasuk informan SA sendiri:

“ Orang Medan cukup ringan berbahasa kotor. Karna aku pendatang


di awal-awal aku selalu jaga sikap, nasehat orang tua pun kan gitu,
baik-baik katanya di tanah orang. Eh pas mulai dekat sama kawan-
kawan, mulai nampak aslinya, agak tekejut-tekejut juga ngedengar
dalam setiap ucapan hampir semua terselip cakap kotor. Kadang
cakap kotornya yang pakai bahasa daerah tertentu kek bahasa batak
atau bahasa karo. Kan dulu gak paham artinya, tapi pas nanya sama
kawan yang tau kadang tersinggung juga”
Shock selanjutnya yang dialami informan adalah ketika ia diajak berkunjung ke
kost-kostan teman wanita.

“Disini terlihat biasa aja kalau laki-laki masuk kost-an wanita, pas
aku di ajak pertama kali dulu, waduh ada perasaan canggung padahal
kawan yang lain biasa aja. Pantang itu kalo di kampung. Tapi disini
lain, keduanya merasa biasa aja, orang lain pun gak ada yang peduli”
Informan menyatakan bahwasannya di kampung halaman, mengunjungi kost-
kostan wanita bagi seorang laki-laki merupakan hal yang tabu. Namun, pemandangan
berbeda dialami informan di kota Medan. Menurutnya baik laki-laki atau perempuan di
kota Medan tidak merasa masalah jika saling mengunjungi dan orang lain juga tidak ada
yang menegur sehingga informan merasa terkejut dan aneh. Berbeda dengan kampung

107
halaman informan dimana ia menyatakan terdapat lembaga pengawas yang akan
mengatur hal-hal demikian yang disebut Wilayatul Hisbah” karena hal-hal demikian
dilarang di Aceh. Perbedaan-perbedaan demikian dikatakan informan memancing
kerinduan terhadap kampung halaman dimana ia menyatakan suasana sudah terasa sangat
berbeda ketika ia sudah lebih dalam memahami lingkungan kota Medan.

“Hal-hal kek gitu tadi buat rindu sama kampung sebenernya. Karena
jelas berbeda pergaulanku di Aceh dengan di Medan. Makanya
menurutku dikota Medan kalau orang Aceh mudah terpengaruh kurasa
banyak kali pelanggaran bisa dibuatnya. Yang dilarang itu memang
cenderung enak”
Peneliti kemudian mempertanyakan apakah persepi informan tentang kota Medan yang
“serba ada” benar-benar dirasakannya ketika berada di kota Medan, dan informan
menyatakan tidak sama sekali

“Ia salah memang persepsiku di awal itu. Serba ada mungkin cocok
untuk orang yang suka makan. Cocok juga untuk kondisi
keberagaman, di Medan suku apa aja mudah ditemukan. Tapi salah
persepsiku tentang lapangan pekerjaan, karna buktinya di semester
tiga aku mulai nyari kerja, ada hampir 30 tempat ku lemparkan
lamaran dalam tempo wakktu 3 bulan baru aku dapat panggilan dan
itu lah kerjaaanku sekarang di café halat ini”

Peneliti kemudian mempertanyakan kembali apakah informan pernah menyesali


keinginannya untuk merantau ke kota Medan akibat fase kekecewaan yang dihadapinya
di lingkungan kota Medan, namun informan menyatakan tidak sama sekali tetapi ia
sempat mengalami kehilangan arah akibat lingkungan yang dihadapinya, kerinduannya
terhadap kampung halaman dan ketidak inginannya untuk menyusahkan pikiran orang
tua dikampung halaman.

“ Kalau merasa ingin pulang kampung ada, jujur aku sempat


homesick. Tapi kalau merasa kecewa sama pilihan merantau ke kota
Medan terus pengen gak di Medan lagi gak pernah. Aku ambisius. Aku
gak pingin orang tua susah karna aku. Dan buktinya sekarang aku
senang di Medan. apalagi kuliah sambil kerja, nikmat masa muda
terasa (sembari informan tertawa)”
Berdasarkan pernyataan informan tersebut, dapat diketahui bahwasannya kini
informan sudah melewati masa krisis, dan sudah beradaptasi di kota Medan. Bentuk
culture shock yang dihadapinya cenderung kepada lingkungan pergaulan yakni dalam

108
proses adaptasi sosialnya karena terdapat beberapa hal yang ditemuuinya bertentangan
dengan kebudayaan yang telah familiar baginya yakni norma-norma kebudayaan yang
berdiri tegak di Aceh sebagai kampung halamannya.

3.4.4 Informan Fitri

Fitri merupakan subjek penelitian selanjutnya yang mengalami culture shock di


kota Medan dalam proses adaptasinya sebagai mahasiswa perantau. Informan Fitri yang
berdasarkan observasi peneliti memiliki kemampuan berinteraksi dan bersosialisasi
dengan baik ternyata mengalami culture shock dalam proses adaptasinya. Seperti yang
telah diketahui sebelumnya bahwasannya informan pada awalnya tidak mendapat
persetujuan dari orang tua untuk merantau ke kota Medan karena persepsi yang buruk
tentang kota Medan, namun informan tetap bertekad untuk merantau ternyata
memberikan dampak negative dalam proses penyesuaian dirinya di kota Medan. Hal
tersebut karena informan tidak mendapatkan dukungan sosial dari orang tuanya di tempat
rantau begitupun sebaliknya informan tidak menyampaikan fase-fase menyedihkan yang
dialaminya ketika awal merantau ke kota Medan sebagai bentuk culture shock yang
dihadapinya.

Berdasarkan hasil wawancara, informan Fitri yang mendatangi kota Medan pada
awalnya memiliki ketakutan tersendiri akibat persepsinya terhadap kota Medan. Informan
yang pada awalnya beranggapan bahwasannya Kota Medan memiliki tingkat kriminal
yang tinggi sebenarnya memberikan tekanan mental pada dirinya, karena pikiran
informan membuatnya merasa ketakutan seperti yang dinyatakannya

“ Awal datang ada rasa takut karna aku sendirian. Ayahku memang
nganterin tapi besoknya langsung balek ke kampung. Aku takut aja
diapa-apain sama orang sini dulunya karna aku juga awalnyakan
mikir criminal disini ngeri”
Jawaban informan menunjukkan hubungan persepsinya tentang kota
Medan dengan mentalnya setelah berada di kota Medan. Namun informan
juga sangat merasa bahagia karena pada akhirnya bisa merantau ke kota
Medan dan berkuliah di USU, seperti yang dinyatakannya
“Kalo merasa bahagia pas waktu itu, bahagia kalilah kak.
Keinginanku tercapai. Antusias juga, Medan megah, awak tengok.
Nengok USU ajapun bahagia, dulu rasaku USU luasnya bukan main,

109
cantik lagi karna pepohonannya, cocoklah dibilang kampus green.
Makanya awal dulu semangat kali mau kuliah aja terus”

Informan menyatakan bahwa ia sangat antusias berada di kota Medan yang menurutnya
megah. Informan juga merasa sangat bahagia melihat kampus USU yang menurutnya
luas dan cantik yang mendorongnya menjadi semangat untuk berkuliah. Namun ketika
peneliti mempertanyakan lingkungan sosialnya di awal merantau, Fitri menyatakan di
awal merantau ia lebih mendekatkan diri dengan sesama orang Aceh.

“Pertama-tama aku berteman sama yang orang Aceh aja. Karna aku
ngerasa pasti lebih nyaman dan lebih nyambung, jadi aku gak begitu
gabung sama anak-anak yang lain”
Informan fitri menarik diri dari lingkungan yang tidak familiar baginya sehingga ia
menetap dengan teman-teman yang sama-sama berasal dari Aceh. ini merupakan bentuk
culture shock yang dihadapi informan, karena ia tidak terbiasa berada dalam lingkungan
yang heterogen sehingga informan berusaha berada dalam lingkungan familiar yakni
zona yang menurutnya nyaman sesuai dengan lingkungan kebudayaannya. Tidak hanya
sampai pada itu, informan juga langsung memasuki organisasi IPTR untuk menemukan
suasana kulturnya di kota Medan

“Awal dulu karna aku merasa kalau sesama Aceh lebih saling
memahami jadi aku langsung masuk organisasi IPTR, jadi ngerasa
ada keluarga di sini”
Namun, sifat informan Fitri yang memilih berteman dengan sesama orang Aceh saja
adalah disebabkan culture shock yang dihadapinya. Informan sangat merasa terkejut
dengan beberapa hal yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya di kampung halaman
seperti perempuan merokok dan pakaian wanita yang sangat terbuka, berbanding terbalik
dengan lingkungan kebudayaaannya:

“Kenapa aku hanya berteman sama orang Aceh dan langsung masuk
IPTR itu karna aku ngeliat anak-anak Medan yang terlalu bebas. Aku
beneran shock pas ngeliat perempuan ngumpul-ngumpul sambil
ngerokok, gak wajar kali rasanya. Udah gitu karna dulu belum
terbiasa, aku juga risih ngeliat pakaian perempuan disini, terlalu
terbuka”
Akibat pemandangan demikianlah ternyata informan menarik diri dari lingkungan di luar
etnis Aceh. Tidak hanya itu informan juga mengalami shock pada awal merantau ketika

110
melihat perempuan di Medan masih berkeliaran di atas jam 10.00, informan menarik
persepsi bahwasannya kota Medan terlalu bebas.

“Dulu masih aneh rasanya ngeliat perempuan di Medan jam


sebelasan masih ada di luar. Dissini rasanya terlalu bebas makanya
aku membatasi diri berteman sama non Aceh dulunya ya”
Selain itu, informan juga merasa was-was dalam hal makanan karena kondisi
keberagaman yang ada di kota Medan, sehingga informan cukup berhati-hati.

“Dalam hal makanan dulu aku takut-takut juga. Agak pemilih, karna
kan kita tau kota Medan beragam, jadi gak ada salahnya hati-hati”
Informan juga menyatakan memiliki kendala dalam bahasa dimana. Informan pada awal
merantau sering merasa sedih ketika berbicara dengan orang Medan asli karena orang
Medan suka bercanda berlebihan yang menyakiti perasaan, dan informan mengatakan tak
jarang menemui orang-orang yang suka berbicara kasar baik teman di kampus maupun di
luar kampus dengan nada bicara dan volume suara yang keras seperti membentak
sehingga sulit bagi informan untuk mengetahui mana situasi bercanda dan mana situasi
serius. Informan juga menyatakan bahwasannya orang Medan sangat temperamental.

Namun pada saat ini informan menyatakan sudah mulai terbiasa dengan segala
perbedaan yang dijumpai antara kota Medan dengan kampung halaman. Informan juga
menyatakan sudah bergaul dengan orang-orang non Aceh karena menurut informan,
waktulah yang dapat menyembuhkan keadaan-keadaan krisis yang dialaminya.

“ Sekarang udah terbiasa sama semua perbedaan yang ku alami,


terbiasa karna biasa. Itulah yang cocok untuk keadaanku dulu. Tapi
sekarang walaupun udah mulai nyaman disini tapi kalau ada waktu
libur 2-3 hari aku langsung balek kampung, tetaplah Aceh nomor
satu’’
Berdasarkan hasil wawancara, dapat diketahui bahwasannya informan Fitri
merasakan culture shock akibat tidak adanya dukungan dari orang tua,
perbedaan-perbedaan dalam lingkungan kebudayaan seperti bahasa, makanan,
cara berpakaian, dan tingkah laku perempuan. Hasil wawancara dengan
informan juga menunjukkan bahwasannya jika di ukur melalui fase yang
terdapat pada culture shock, informan masih berada pada tahap penyesuaian.

111
3.4.5 Informan Rizky

Informan Rizky yang memilih berkuliah di kota Medan karena kemauannya


sendiri juga mengalami culture shock secara bertahap. Pada awalnya informan
menyatakan bahagia mendatangi kota Medan. Selain karena menurutnya kota Medan
besar dan Modern, informan juga merasa bahagia bisa berada dalam lingkungan yang
beranekaragam. Namun fase honeymoon yang dialami informan dikatakan tidak terlalu
lama karena dalam rentan waktu dua bulan di kota Medan, informan merasakan
kehidupan merantau sangat keras

“Awalnya antusias wajarlah karna berhasil masuk USU dan bisa


mengeksplore kota Orang. Satu posisi karena udah masuk dunia
peruliahan dan bakal tau hidu di kota besarr menuntut diri menjadi
lebih dewasa dn mandiri. Dan benar seiring waktu berjalan sekitar
dua bulanan, terasa berat menjalani hidup sendiri. Keras rupanya
kehidupan merantau apalagi di Medan. ngapa-ngapain dilakukan
sendiri, sakit pun gak ada yang urus. Waktu-waktu itu mulailah
perasaan sedih rindu rumah, keluarga dan suasana di kampung
halaman”
Culture shock awal yang di alami informan adalah karena merasakan perbedaan
tinggal bersama orang tua dengan kehidupan merantau yang dijalani sendiri di kota
Medan. Informan merasa kehidupan menjadi lebih keras ketika sudah merantau.
Selanjutnya informan mengalami beberapa perbedaan kebudayaan yang memiliki
kesamaaan dengan informan-informan sebelumnya seperti yang dikatakannya

“Paling heran disini sama bahasa orang-orang Medan, mau di pasar


di kampus ada aja orang yang suka ngomong kasar. Terus kadang
bercanda tapi main fisik. Aku mikirnya apa aku jadi orang yang
mudah tersinggung sejak di Medan atau orang Medan ini semua gak
mudah tersinggung makanya gampang ngeluarin kata-kata kasar atau
ngebully orang. Apalagi supir angkot selain cara bawaknya yang
barbar, emosionalnya juga tinggi.”
Informan merasa orang Medan memiliki perwatakan yang kasar dan emosional
yang tinggi seperti halnya supir angkutan umum yang menurutnya kasar. Menurutnya
kata-kata kasar dan sifat membully seolah menjadi hal yang biasa di kota Medan, seperti
mengatakan “Aceh pungo” dengan sembarangan. Informan juga menyatakan pernah
merasa minder akibat menyebutkan sepeda motor dengan sebutan honda. Hal-hal
demikian menuut informan cukup menyerang kondisi mental seseorang

112
“Dulu aku mudah tersinggung awal-awal disini. Pernah pas lagi sama
kawan-kawan becanda, mereka tiba-tiba bilang Aceh pungo. Itukan
artinya Aceh gilak. Adalagi, pas mau naik motor aku bilangnya honda.
Honda itu sebutan motor di Aceh, aku juga gak tau kenapa bisa gitu.
entah karna dulu kendaraan yang dikenl orang aceh cuma honda, atau
merk honda dulu pertama dipasarkan membuat itu jadi sebutan motor
di Aceh, gak tau lah. Tapi pas ngomong gitu aku, habis diledekin sama
kawan-kawan. Jadinya kan muncul perasaan minder dan mudah
tersinggung. Tapi sekarang biasa aja, karna memang gitu watak orang
Medan, to the point. Auto kenak mental orang kalau belum
beradaptasi”
Berdasarkan pernyataannya tersebut, informan merasa di kota Medan dirinya menjadi
seorang yang mudah tersinggung dan tidak percaya diri. Hal tersebut membentuk
pandangan negative informan tentang kota Medan sebagai lingkungan barunya.
Timbulnya perasaan tidak percaya diri dan mudah tersinggung merupakan salah satu
dampak culture shock yang dialami informan, yang mana kemungkinan di kampung
halaman informan tidak akan pernah mendengar sebutan aceh pungo atau ejekan terhadap
penyebutan motor sebagai honda. Berbeda halnya dengan yang dialaminya di kota
Medan dimana hal tersebut dianggapya menjadi suatu bullyan. Culture shock selanjutnya
yang dialami informan ketika berusaha beradaptas dengan melihat banyak wanita muslim
yang tidak berjilbab di kota Medan, lalu tingkah laku laki-laki dan perempuan dimana
menurutnya gaya berpacaran antara laki-laki dan perempuan di kota Medan sangat
berlebihan:

“Gaya pacaran di kota Medan juga berlebihan. Pergaulan antara


laki-laki dan perempuan dianggap wajar bersentuhan. Itu salah satu
perbedaan Aceh dengan kota Medan yang paling sering dijumpai.
Disini orang pacaran aja udah kayak suami istri, kadang malu sendiri
nengoknya”
Informan menyatakan perasaan asing dengan pemandangan berpacaran orang-
orang di kota Medan yang menurutnya berlebihan dimana wujud shock informan juga
tampak pada ekspresi informan yang diamati peneliti, seperti terheran-heran ketika
menceritakan topik demikian.

“Pokoknya hal-hal yang ga wajar di Aceh gampang di jumpai disini. Selain itu
ada masalah juga sih dalam hal belajar. Ya harus lebih bertanggung jawab, kita gak
dipaksa untuk belajar atau nyelesaikan tugas tapi itu tanggung jawab sendiri. Kalau
engga dikerjaakan ya dapat sendiri resikonya. Gak kayak masih sekolah kan disuruh
terus sama guru kalau nggak dihukum. ”

113
Selanjutnya informan juga mengatakan tidak begitu bergabung dengan teman-
teman yang non-muslim pada awalnya karena informan menyatakan mengalami kesulitan
dalam hal makananan karena tempat-tempat yang dikunjungi oleh teman-teman non
muslim dikatakannya cenderung tidak menunjukkan simbol-simbol Islami sehingga
informan merasa bingung menghadapi situasi demikian:

“Ada masalah dalam hal makanan. Sebenarnya karna baru-baru dulu.


Karna makanan ini aku jadi gak terlalu gabung sama teman yang non
muslim, karna kalau mereka pergi ke tempat makan, kadang
tempatnya gak nunjukin symbol-simbol islam, ya tentunya aku
menjagalahkan larangan agama. Jadi karna masalah makanan itu
awalnya gak terlalu gabung sama yang non muslim, tapi sekarang dah
biasa aja. Wajar dulu canggung takut merka tersinggung kalau aku ga
ikutan makan. Tapi sekarang udah lebih rileks lah, sama-sama ngerti.
Itulah indahnya Medan, toleransi dia. Tapi rasa makanan di Medan
memang agak beda juga sih, cenderung pedas. Kalau di Aceh lebih ke
rasa asam-asam enak gitu, dan rempah-rempah lebih terasa di Aceh
kalau menurut aku”
Informan juga menyatakan sedikit terkejut untuk pertama kalinya mencium
aroma makanan yang tidak pernah dijumpai sebelumnya di Aceh :

“ Orang Muslim di sini mungkin dah biasa ya gak sengaja kecium bau
BPK, nah kalo aku pertama kali pas kuliah inilah. Ya agak gimana
gitulah. Itulah kalo salah satu hal yang mengejutkan”
Selanjutnya informan menyatakan pernah mengalami sedikit masalah dalam perkuliahan
yang membuatnya merasa jenuh. Hal tersebut karena proses belajar yang drastis berubah
dimana pembelajaran dalam perguruan tinggi menurutnya sangat sulit dan banyak.

“Kesulitan dikampus juga sama proses belajar, padat kali, tugas


banyak, praktek banyak. Munculah rasa jenuh, mulailah ingat-ingat
kampung. Dikampung dulu beban sekolah belum terlalu berat, ada
pula orang tua yang kasih support, disini total telan sendiri susah-
susahnya”
Informan selanjutnya menyatakan, mengetahui adanya organisasi IPTR dan menjadi
bagian didalamnya merupaan sebuah kesenangan tersendiri dimana ia merasa
menemukan keluarga di kota Medan

“ Senang kali gitu masuk IPTR, merasa ada keluarga dari asal yang
sama, terus sering ngumpul, ada tempat tongkrongan, bisa membagi
beban. Apalagi kami disitu ngomong pake bahasa daerah, dapat feel

114
Acehnya walau bukan di tanah kelahiran. Itu ngebantu kali sih pas aku
melewati masa-masa sulit di sini”

3.4.6 Informan Kahlil

Berbeda jika dibandingkan dengan subjek-subjek penelitian sebelumnya,


informan Kahlil tidak begitu merasakan terjadinya culture shock ketika merantau ke kota
Medan. Informan lebih mau memahami kota Medan dibandingkan dengan informan-
informan sebelumnya, walaupun tanpa disadari, informan sebenarnya mengalami Culture
Shock juga. Hal tersebut tampak pada tidak adanya persepsi negative tentang kota Medan
menurut informan.

“Senanglah bisa merantau dan kuliah di Medan. Medan itu


menurutku surganya Aceh, pusat-pusat hiburan, perbelanjaan,
perdagangan semuanya ada di Medan. Apalagi Aceh sama Medan kan
gak jauh”
Informan mengatakan bahwa kota Medan merupakan surga bagi orang Aceh, hal ini
dikarenakan menurutnya pusat hiburan, perbelanjaan, dan perdagangan semuanya ada di
Medan. Dalam hal ini dapat diketahui bahwasannya informan Kahlil antusias dan
cenderung menyukai kota Medan. Informan menyatakan sebelum berkuliah di Medan,
sebenarnya sudah pernah mendatangi kota Medan namun hanya dalam waktu yang
singkat.

“Sebelum berkuliah di Medan juga udah pernah dating-dateng


ke Medan untuk liburan gitu, jadi ya tidak terlalu asing juga kettika
mulai berdomisili di Medan untuk kuliah”

Namun, walaupun demikian informan juga melewati fase culture shock dimana ia
mengatakan pernah merasa seperti ter bully akibat logat bahasa yang digunakannya
sehingga membuatnya mengurangi interaksi dengan orang lain.

“Aku gak merasa ada yang aneh atau berbeda, tapi memang di awal-
awal dulu agak malas banyak bicara sama kawan-kawan karna di
katain cara bicaraku mirip sama tukang jual mie Aceh, tapi gak lama.
Mungkin logat bicaraku masih ketauan kali orang Acehnya dulu jadi
semacam bullyan atau apalah waktu disamain sama bapak-bapak
penjual mie Aceh”

Informan menyatakan bahwasannya merupakan perbedaan yang paling terasa yang


dihadapinya etika berada di kota Medan. Logat bahasa daerah dengan tempo bicara yang

115
berkaitan dengan kecepatan informan dalam berbicara dan penekanan nada di akhir
kalimat membuatnya kurang percaya diri akibat merasa dibully. Hal tersebut membuat
informan mengurangi interaksi dengan orang lain di lingkungannya yang baru namun
tidak berlangsung lama. Akibat hal tersebut informan menyatakan sempat berpersepsi
bahwasannya orang Medan memiliki perwatakan yang suka membully.

Hal lain yang membuat informan merasa aneh adalah ia merasa bahwa perempuan
di kota Medan cukup agresif. Agresif yang dimaksudkan informan lebih kepada
perbedaan tingkah laku yang diamati informan pada perempuan di kota Medan dan
membandingkannya dengan kampung halaman.

“Dulu heran liat cewek Medan. Herannya karna agresif. Agresif


maksudku inisiatifnya tinggi, suka cari perhatian dan tingkah lakunya
kadang berlebihan malah buat risih.”
Culture shock selanjutnya yang dialami informan adalah ketika membonceng teman
perempuan dimana informan menyatakan di Aceh, membonceng perempuan yang bukan
muhrimnya akan menarik perhatian orang lain karena merupakan hal yang dilarang,
namun informan pernah merasa kaku ketika teman perempuan menaiki sepeda motornya
dengan posisi duduk tidak menyamping.

“ Pernah bingung waktu tiba-tiba teman perempuan naik ke atas motorku, dan
posisi duduknya kedepan gak kesamping. Aku agak canggung dan bingung juga
disitu karna di Aceh hal-hal gitu jarang ada. Dilarang khususnya bagi yang
belum muhrim”
Pernyataan informan tersebut cenderung kepada perbedaan norma-norma yang hidup di
Aceh dengan kot Medan. di Medan akanb terlihat biasa saja fenomena seperti yang
dinyatakan Kahlil, namun dikampung halamannya hal itu adalah sesuatu yang tabu.

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti terhadap informan, Kahlil benar sangat cepat
beradaptasi di kota Medan dimana ia dengan mudahnya memiliki banyak teman, bahkan
membuka dagang bisnis kecil-kecilan melalui hasil karyanya. Informan menyesuaikan
diri dengan kedaan yang ada. Informan juga menyatakan kota Medan sangat toleran yang
berdampak pada kebebasan berekspresi setiap orang.

“ Mulai awal datang sampai saat ini aku senang-senang aja di Medan.
Pluralisme disini menyebabkan kekangan-kekangan kayak di Aceh gak

116
ada dan aku suka disini karena setiap orang sangat bebas berekspresi.
Berdomisili disini juga meningkatkan rasa toleransi buatku khususnya
dalam agama ngerasain hidup rukun bersama orang-orang dengan
kepercayaan yang berbeda”

Informan kahlil menyatakan bahwasannya di kota Medan, Pluralisme yang ada


tidak menyebabkan tidak adanya kekakangan-kekangan yang menurutnya ada di Aceh.
Informan juga mengatakan pemandangan pluralism di kota Medan meningkatkan rasa
toleransinya khususnya dalam hal agama. Informan mengakatakan kebebasan berekspresi
didapatkannya di kota Medan sehingga itu merupakan salah sat hal yang membuatnya
menyukasi kota Medan. Namun, informan sebenarnya tidak menyadari bahwasannya ia
mengalami culture shock dalam proses adaptasinya di kota Medan. Hal demikian peneliti
nyatakan karena tanpa disadari informan menyatakan bahwasannya sejak awal
mendatangi kota Medan, ia selalu mendeatkan diri dengan orang-orang Aceh

“Kalo ngerasa asing sih engga, karena juga rame orang Aceh di
Medan dan dari pertama di Medan udah mendekatkan diri ke
lingkungan orang Acehnya”

Jawaban informan tersebut menjadi bukti bahwasannya informan juga merasakan culture
shock karena ia tetap mencari suasana kulturnya, mendekatkan diri dengan orang-orang
yang beridentitas sama dengannya ketika berada di kota Medan. culture shock yang
dialaminya juga tampak pada pernyataannya yang memrindukan kampung halaman
ketika belum lama berada di kota Medan

“Pernah lah pastinya benar-benar rindu kampung halaman terutama


di linngkungan pertemanan, rindu sama kawan-kawan kampung. Tapi
ga yang kayak bikin aku down atau menyerah untuk kuliah di Medan.
aku bisa survive kok walau pernah benar-benar rindu kampung, yang
padahal kalau puang bentar aja gampang bosan juganya”
Walau demikian, informan memang merasakan kenyamanan di kota Medan namun jika
dibandingkan degan kampung halaman, informan menyatakan secara keseluruhan tentu
merasa lebih nyaman di kampung halaman sendiri.

“Nyaman disini, tapi secara keseluruhan tentu lebih nyaman di


kampung sendiri, tapi kalo masalah betah, aku betah disini bahkan
berencana mencari kerja di kota Medan nantinya”

117
Bedasarkan hasil observasi dan wawancara dengan informan Kahlil, peneliti
menarik kesimpulan bahwasannya Kahlil merupakan tipikal individu yang mudah
beradaptasi di lingkungan baru dengan sifatnya yang toleran dan tidak menolak atau
memusuhi perbedaan lingkungan. Dalam hal ini peneliti dapat menyimpulkan
bahwasannya informan kahlil mengalami culture shock yang tidak terlalu parah
dibandingkan informan-informan sebelumnya.

Selain ke 6 informan tersebut, peneliti juga melakukan wawancara dengan


mahasiswa Aceh yang tidak memasuki organisasi IPTR, yakni Erin yang berasal dari
Simeulue dan Oya rasyida yang berasal dari Banda Aceh selaku informan tambahan.
Peneliti melakukan wawancara mengenai informasi-informasi yang didapatkan melalui
para subjek penelitian, baik mengenai ketidak bolehan antara laki-laki dan perempuan
yang belum sah untuk “berboncengan”, tentang minuman khamar yang tidak boleh
diperjualbelikan dan diminum karena aka nada sanksi, serta tentang kebiasaan bertamu.
Informan menyatakan bahwasannya benar hal itu adalah hal yang tabu dan bisa jadi akan
menjadi pusat perhatian:

“Ada memang aturannya, tapi ya boleh aja kok boncengan. cumannya


agak tabu aja kalau orang tahu itu pacar atau bukan muhrim kita,
atau anak muda cewek cowo boncengan. terkadang agak diperhatiin
gitu padahal belum tentu pacaran atau lainnya. Soalnya au sering
kejadian, boncengan sama abangku dikira pacarah ”
Namun, berdasarkan wawancara dengan informan Oya, beliau menyatakan di Banda
Aceh hal tersebut sudah lebih wajar dibandingkan wilayah lainnya karena sudah ada ojek
online disana.
“Memang ada kesan tabu kalau berboncengan yang belum muhrim,
tapi ya makin kesini makin wajar aja sih, apalagi semenjak ada ojol”
Mengenai minuman-minuman yang memabukkan, kedua informan menyatakan hal yang
sama bahwasannya, di Aceh sangat benar minum-minuman khamar adalah tabu. Namun
mereka menyatakan masih saja ada saja segelintir orang yang tidak bisa mematuhi aturan
dengan tetap menjual secara diam-diam.

118
3.5 Bentuk-bentuk Culture Shock Yang di Alami

Berdasarkan hasil analisis peneliti terhadap informasi-informasi dan pengalaman


yang diperoleh melalui ke 6 informan yang menjadi subjek penelitian penulis yakni
mahasiswa Aceh perantau yang mengalami culture Shock, dapat diketahui bentuk-bentuk
culture Shock yang mereka alami ketika berpindah ke kota Medan sebagai lingkungan
baru yakni:

1. Adanya ketakutan atau kewaspadaan yang berlebihan yang diantaranya di


akibatkan oleh persepsi dan stereotype tentang kota Medan
2. Munculnya perasaan terbully dan kehilangan kepercayaan diri dan minder
3. Kehilangan selera untuk melakukan aktivitas apapun (uring-uringan)
4. Kebingungan, cemas dan tidak berani berpergian sendiri
5. Terkejut dengan hal-hal yang belum pernah dilihat sebelumnya. Hal ini
berkaitan dengan hal-hal yang bertentangan dengan aturan adat, agama
ataupun hukum yang telah membudaya bagi masyarakat Aceh seperti
perbedaan tingkah laku perempuan dan laki-laki di kota Medan, gaya
berpakaian, cara berbicara, meminum-minuman khamar dan lain sebagainya.
6. Kaku dalam berperilaku karena mendapati hal-hal yang masih tabu di Aceh,
namun terlihat biasa saja di kota Medan
7. Munculnya prasangka-prasangka terhadap penduduk local dan pandangan-
pandangan etnoentrisme dengan membanding-bandingkan kota Medan
dengan kampung halaman
8. Merindukan kampung halaman : Homesick
9. Gangguan kondisi emosional seperti mngalami kesedihan yang mendalam,
mudah menangis, mengeluh, merasakan kegalauan, kesepian, kehilangan
orang-orang yang disayangi, merasa tertekan dan stress akibat melakukan
segala sesuatu sendrian, merasa kehilangan dukungan sosial, dan merasa
rendah diri dimana hal-hal tersebut berdampak pada kondisi kesehatan
10. Menyempatkan waktu untuk pulang kekampung halaman di hari-hari libur
yang walaupun sedikit.
11. Berpindah-pindah tempat tinggal (Kost/kontrakan)

119
12. Berusaha mencari suasana kultur yang familiar dan belum terbiasa
bersentuhan dengan budaya yang berbeda dalam hal ini mahasiswa Aceh
cenderung memasuki lingkungan orang-orang Aceh atau berteman dengan
orang-orang yang kebanyakan berasal dari kampung halaman yang sama, atau
tinggal bersama orang-orang yang memiliki kesamaan identitas karena
merasa lebih nyaman dan lebih memahami.
13. Munculnya perasaan cemas akibat merasa cara bergaul antara laki-laki dan
perempuan terlalu bebas bahkan ada perasaan takut akan pertemanan yang
tidak sehat
14. Membatasi diri dalam bergaul dan berinteraksi dengan orang-orang baru
15. Memusuhi lingkungan
16. Memaksa keadaan lingkungan seperti yang diinginkan

120
BAB IV

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CULTURE SHOCK DALAM PROSES


ADAPTASI MAHASISWA ACEH DI KOTA MEDAN

4.1 Hasil Focus Group Discussion

Focus Group Discussion (FGD) dibuka oleh peneliti sendiri yang berperan
sebagai moderator sekaligus sebagai pengamat dalam proses diskusi. Topic awal diskusi
diawali peneliti dengan meminta pendapat atau argumentasi para informan mengenai apa
itu fenomena culture shock. Sebelum melakukan FGD, peneliti telah melakukan
wawancara mendalam bersama para informan secara individu per individu. Dalam proses
wawancara tersebut, peneliti telah memaparkan apa itu culture shock sehingga diskusi
awal mengenai pendapat para informan mengenai fenomena culture shock adalah
pembukaan topik saja dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman para
informan mengenai fenomena culture shock ini. Dalam diskusi awal ini, keaktifan atau
responsive dalam diskusi ditampilkan oleh informan Kahlil, Fitri, SA, dan Rikzy. Dua
informan lainnya yakni HM dan IZ masih lebih pasif dibandingkan keempat informan
lainnya.

Dalam bahasan awal tersebut, Kahlil dan AS lebih dahulu menyampaikan apa
yang mereka pahami mengenai fenomena culture shock. Kahlil menyatakan bahwa ia
dapat menangkap culture shock adalah sebagai sebuah fenomena yang mana indvidu
perantau akan menjumpai perbedaan-perbedaan kebudayaan yang memberikan tekanan
tersendiri terhadap diri individu itu sehingga itulah yang disebutnya sebagai Culture
shock. Informan AS pun demikian menyatakan bahwa Culture Shock adalah fenomena
yang menurutnya akan dirasakan oleh setiap orang yang berpindah daerah karena
menurutnya kehidupan seperti akan dimulai dari awal lagi. Fitri berpendapat bahwa
Culture Shock adalah ketidaktahuan individu tentang lingkungan yang baru sehingga
menurutnya akan menimbulkan perasaan asing. Rizky berpendapat sama dengan Fitri
dimana ia menyatakan berada dalam lingkungan berbeda akan menjumpai perbedaan
pula, sehingga akan banyak hal baru yang masih terasa asing.

121
Menurut peneliti melalui pendapat keempat informan, mereka sudah jauh lebih
memahami apa itu culture shock dibandingkan saat pertama kali peneliti melontarkannya
ketika melakukan wawancara mendalam. Hal tersebut dikatakan sendiri oleh para
informan bahwasannya fenomena culture shock baru saja mereka ketahui setelah peneliti
melakukan penelitian ini dan bahkan mereka mengakui bahwa mereka adalah orang yang
mengalaminya. Melalui jawaban-jawaban tersebut, dapat disimpulkan peneliti
bahwasannya mereka atau setiap individu yang melakukan perpindahan atau migrasi ke
daerah baru yang beresiko mengalami culture shock, cenderung tidak mengetahui
bahwasannya mereka sedang mengalami culture shock itu.

Topik selanjutnya, peneliti melontarkan pembahasan mengenai bahasa, pergaulan,


pakaian, agama, makanan, keadaan lingkungan fisik serta unsur kepribadian sebagai
faktor penyebab mahasiswa Aceh mengalami culture shock di kota Medan dalam proses
adaptasinya. Pembahasan tersebut merupakan topic yang dideskripsikan peneliti melalui
hasil penelitian yang telah di analisis dan dikategorikan serta disimpulkan oleh peneliti
melalui wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan. Informan Kahlil dengan
sigap menyambut argumen peneliti tersebut. Ia menyatakan setuju dengan apa yang
peneliti lontarkan mengenai penyebab-penyebab mahasiswa Aceh mengalami culture
shock di kota Medan. Namun informan menyatakan ketidakpahamannya mengenai unsur
kepribadian yang menjadi salah satu hal yang menyebabkan terjadinya culture shock.
Sama halnya dengan informan SA dan HM yang kemudian turut ikut menyampaikan
mengapa kepribadian menjadi salah satu diantara penyebab tersebut.

Peneliti kemudian mencoba meminta tanggapan informan lain untuk


menyampaikan pendapat jika mereka memahami pertanyaan informan Kahlil agar proses
diskusi tidak berjalan satu arah saja. Informan Rizky kemudian menyampaikan
argumentasinya bahwa kepribadian tentu menjadi hal yang akan mempengaruhi culture
shock dimana menurutnya seseorang yang memiliki kepribadian tertutup akan cenderung
lebih merindukan kampung halaman dibandingkan orang-orang yang terbuka dan
menikmati suasana lingkungan baru. Peneliti menyatakan kesetujuan terhadap pendapat
informan Rizky.

122
Pada proses diskusi ini informan LI adalah informan yang paling pasif, beliau
hanya cenderung tersenyum dan mengangguk selama diskusi berlangsung. Namun,
terdapat satu pembahasan yang kurang disetujuinya yakni mengenai kepribadian sebagai
penyebab salah satu faktor yang berpengaruh terhadap fenomena culture shock. informan
LI menyatakan ketidaksetujuannya karena menurutnya betapapun seseorang memiliki
kepribadian terbuka dan mudah bergaul, mereka akan mengalami apa yang dinamakan
culture shock karena keterpisahan dari lingkungan yang sudah familiar. Informan HM
menyatakan setuju dengan informan LI, namun beliau menyatakan unsur kepribadian
lebih kepada faktor pemicu dan bukan penyebab terjadinya culture shock.

Dalam Proses FGD ini peneliti memperoleh karakteristik-karakteristik dari para


informan. Informan Kahlil dan Fitri memiliki kesamaan dalam kemampuan bersosialisasi
yang baik. Mereka mampu mencairkan suasana agar proses diskusi tidak terlalu tegang
dan cenderung sangat tanggap. Informan Rizky sebenarnya memiliki kemiripan dengan
kedua informan tersebut, namun informan Rizky cenderung lebih serius. Informan Kahlil
dan Fitri cenderung sangat komunikatif dan responsive selama proses diskusi
berlangsung. Mereka cenderung lebih sering mengeluarkan pendapat-pendapat dan
seperti terhanyut dalam diskusi tersebut. Hal ini tampak pada raut wajah, tawa, gerak
anggota tubuh yang seperti ikut mendeskripsikan maksud mereka dan juga semangat
mereka saat berdiskusi.

Informan AS menurut peneliti adalah informan yang memiliki kepribadian


religius yang tinggi dimana perkataan dan jawaban-jawaban yang diberikan selalu
menunjukkan sifatnya yang religius tersebut. Informan AS sangat santai ketika diskusi,
dan cenderung setuju dengan apa yang dilontarkan peneliti juga Kahlil dan Fitri. Beliau
sering mengangguk dan tersenyum saat disukusi berlangsung. Informan juga menyatakan
bahwasannya merantau juga merupakan proses pendewasaan diri dalam mengatur
berbaagai aspek kehidupan. Berbeda halnya dengan informan Rizky, beliau tampak
memiliki kepribadian yang serius dan selalu berusaha menampilkan kesempurnaan dalam
setiap diskusi dan jawaban yang disampaikannya. Informan LI dan informan HM
cenderung pasif, mereka hanya beberapa kali menanggapi atau menyampaikan pendapat
dalam diskusi yang berlangsung selama 55 menit dan ekspresi mereka tidak seantusias
informan yang lainnya.

123
Melalui hasil FGD yang dilakukan peneliti dengan berdiskusi bersama para
informan melalui media Zoom Meeting, peneliti menyimpulkan bahwasannya para
informan cenderung memberikan pendapat yang sama. Pendapat tersebut adalah mereka
menyatakan bahwasannya perbedaan agama, bahasa, tingkah laku perempuan atau laki-
laki (norma kesopanan), pakaian, makanan, lalu lintas, dan peraturan-peraturan dalam
kehidupan pergaulan yang sangat berbeda, merupakan faktor-faktor perbedaan-perbedaan
yang amat sangat dirasakan pada awal merantau. Selain itu mereka juga menyatakan
bahwasannya kondisi ekonomi dan cara mengatur keuangan sendiri juga turut
berpengaruh dalam kehidupan mereka sebagai perantau di kota Medan.

Menurut peneliti kecenderungan kesamaan pendapat atau argumentasi tentang


hambatan-hambatan dan perbedaan-perbedaan kebudayaan yang dirasakan para informan
sangat sesuai dengan teori struktur kepribadian dasar menurut Kardiner, Linton dkk
(1959, Dalam J.Danandjaja 1994 : 51). Mereka menyatakan bahwasannya intisari dari
kepribadian yang dimiliki oleh kebanyakan anggota masyarakat, sebagai akibat
pengalaman mereka pada masa kanak-kanak yang sama. Kesamaan adat, budaya dan
segala ciri khas cara hidup yang diterima oleh mahasiswa Aceh di kampung halaman
mulai masa kanak-kanak menyebabkan mereka cenderung mengalami kesulitan atau
penolakan terhadap hal yang sama di kota Medan seperti teori yang telah dikemukakan
Kardiner, dkk tersebut.

4.2 Penyebab yang Melatarbelakangi Terjadinya Culture Shock Pada Mahasiswa


Aceh di Kota Medan

Berdasarkan hasil analisis peneliti terhadap fenomena culture shock yang dialami
para objek penelitian yakni mahasiswa Aceh perantau yang tergabung dalam organisasi
IPTR dikota Medan, peneliti menemukan hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya
culture shock dalam proses adaptasi mereka di kota Medan sebagai lingkungannya yang
baru yang dibedakan peneliti kedalam beberapa faktor-faktor penyebab yakni sebagai
berikut:

124
4.2.1 Lingkungan Sosial Budaya

4.2.1.1 Bahasa

Bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan yang memegang peranan penting
dalam kehidupan manusia menjadi salah satu penyebab terjadinya culture shock dalam
proses adaptasi mahasiswa Aceh di kota Medan. Bahasa sebagai alat yang digunakan
oleh setiap manusia untuk berinteraksi merupakan aspek yang sangat berpeluang pada
terjadinya culture shock, seperti pada mahasiswa Aceh dimana terjadinya culture shock
yang mereka hadapi dalam beberapa bentuk permasalahan.

Perbedaan logat atau dialek bahasa yang merupakan ciri khas gaya berbicara
kedaerahan merupakan salah satu permasalahan yang paling sering terjadi dalam konsep
bahasa. Permasalahan dalam logat bahasa cenderung menjadi pemicu utama para
informan mengalami culture shock akibat bahasa. Logat bahasa para informan ketika
mendatangi kota Medan cenderung masih sangat kental dengan bahasa-bahasa daerahnya
di Aceh begitupun demikian sebaliknya dengan logat bahasa lingkungan daerah yng
didatangi. Hal tersebut menjadi salah satu hambatan dalam proses adaptasi mahasiswa
Aceh di kota Medan karena menimbulkan gangguan terhadap keadaan emosional atau
mental para informan yaitu timbulnya rasa tidak percaya atau minder sebagai reaksi dari
terjadinya culture shock.

Rasa tidak percaya diri yang dialami para subjek penelitian juga timbul akibat
dua akar permasalahan yakni pertma mereka sendiri yang merasakan perbedaan bahasa
tersebut dan kedua, mereka mendapat kritikan oleh orang-orang di lingkungan barunya
kadang kala dianggap sebagai sebuah “bullyan” terhadap bahasanya sehingga timbullah
perasaan tidak percaya diri. Sebaliknya, dialek dan logat bahasa orang Medan dengan
intonasi suara yang cukup kuat juga menjadi salah satu permasalahan dalam konsep
bahasa yang menyebabkan shock pada para subjek penelitian.

Permasalahan selanjutnya adalah perbedaan penyebutan terhadap suatu hal.


Dalam hal ini, perbedaan penyebutan terhadap benda atau kata tertentu menjadi salah
satu bentuk permasalahan yang dihadapi para informan dalam konsep bahasa. Seperti
halnya penyebutan sepeda motor yang di kota Medan disebut dengan “kereta” sedangkan

125
orang Aceh menyebutnya dengan “Honda”. Perbedaan dalam kata-kata tertentu seperti
demikian juga memicu culture shock pada mahasiswa Aceh dalam konsep bahasa
berdasarkan hasil wawancara. Selanjutnya permasalahan dalam “bahasa kotor”.
Sebenarnya hal ini juga termmasuk kedalam permasalahan adat bagi mahasiswa Aceh,
tetapi juga dapat berkaitan dengan bahasa. Dalam hal ini, beberapa informan Aceh
mengatakan bahasa orang Medan cenderung kasar dan mudah mengeluarkan bahasa
kotor yang tidak biasa di dengar dan diucapkan di Aceh sehingga menjadi salah satu
bagian dari culture shock yang dihadapi para informan. Akibat dari culture shock yang
disebabkan oleh bahasa, para informan cenderung mengurangi interaksi dengan orang-
orang yang tidak berasal dari Aceh untuk menghindari rasa ketidapercayaan diri maupun
untuk menyelamatkan mental mereka.

4.2.1.2 Adat Istiadat

Berdasarkan hasil analisis terhadap bentuk-bentuk culture shock yang dihadapi


para informan, perbedaan adat istiadat yang juga memiliki kaitan dengan agama yang
menjadi penyebab paling utama dalam proses terjadinya culture shock yang dihadapi
para informan dalam proses penelitian peneliti. Adat istiadat meupakan kompleks konsep
serta aturan yang mantap dan terintegrrasi kuat dalam sistem budaya dari suatu
kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam kehidupan sosial budaya
(Koentjaraningrat 2003:2). Culture shock yang dihadapi mahasiswa perantau akibat
faktor adat istiadat dalam lingkungan sosial budaya megarah kepada perbedaan nilai-nilai
budaya, norma-norma,dan hukum atau aturan-aturan yang berlaku antara Aceh dan kota
Medan.

Aceh yang merupakan salah satu provinsi yang terdapat di Sumatera merupakan
daerah yang menegakkan syari’at islam di daerahnya yang mana hukum dan aturan islam
mengatur seluruh sendi kehidupan masyarakatnya. Dalam sebuah peribahasa (hadih
maja) yang sangat terkenal di Aceh disebutkan bahwa “ Adat ngon hukom, lagee zat ngen
sifeut” artinya adalah adat dan hukum merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan11.
Peribahasa tersebut mempertegas bahwasannya nilai adat budaya masyarakat Aceh
menyatu dengan ajaran agama islam. Masyarakat Aceh memiliki budaya adat yang sangat
11
Hakim, Lukman. Konstruksi Teologis Dalam Hadih Maja. Banda Aceh: Jurnal Substantia, vol 15. 2013 hlm
14

126
identik dengan agama islam dimana hal tersebut melahirkan masyarakat yang religius.
Harmonisasi antara adat dan islam di Aceh berkembang dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakatnya dimana mereka menyesuaikan praktek agama dengan tradisi adat istiadat
yang berlaku dalam kehidupan sosial budayanya. Hal tersebut menjadikan Islam dan
budaya Aceh menjadi satu paket yang tidak terpisahkan.

Hal tersebut jugalah yang menjadikan adat istiadat menjadi salah satu faktor
penyebab terjadinya culture shock pada mahasiswa Aceh di Medan. di Aceh, terdapat
peraturan daerah yang disebut “Qanun” yang mengatur kehidupan masyarakat di Aceh
dan hal ini berkaitan dengan adat istiadat yakni aturan-aturan dan norma-norma yang juga
memiliki kaitan dengan hukum yang mengatur kehidupan masyarakatnya. Di Aceh, hal-
hal yang terlihat biasa saja di kota Medan seperti yang disaksikan oleh para informan
dalam kehidupan sosialnya yakni teman-teman yang meminum minuman keras, berjudi,
perempuan yang berpakaian menunjukkan aurat, tingkah laku perempuan dan laki-laki
yang berlebihan, dan lain sebagainya seperti yang telah dipaparkan pada bentuk-bentuk
culture shock merupakan perubahan adat yang dihadapi para informan dalam lingkungan
sosial budaya nya di kota Medan.

Dalam hal ini, Medan dan Aceh tentu sangat berbeda sehingga benar jika para
informan meyatakan kebebasan berekspresi lebih terasa di kota Medan. hal demikian
adalah karena adat istiadat yang berdasarkan syariat islam mengatur segala sendi
kehdupan masyarakat Aceh yang tentu saja berbeda dengan kota Medan yang plural. Hal
tersebutlah yang menjadikan adat istiadat sebagai salah satu penyebab terjadinya culture
shock pada mahasiwa Aceh di kota Medan karena nilai-nilai budaya yang tertanam bagi
setiap manusia merupakan mental map reality yakni memandu kita sejak kanak-kanak
tentang berbagai hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dimana Mulyana
(2005:10) menegaskan bahwasannya beradaptasi bukan menyetujui semua ttindakan
orang lain melainkan mencoba memahami alasan dibaliknya tanpa kita sendiri tertekan
oleh situasi. Pernyataan demikian selaras dengan tindakan para informan yang memilih
berada dalam situasi kulturnya dengan bergabung bersama identitas yang sama untuk
menghindari situasi tertekan akibat perbedaan-perbedaan yang dialami.

127
4.2.1.3 Agama

Agama menjadi salah satu factor yang mendukung terjadinya culture shock pada
mahasiswa Aceh karena seperti yang kita ketahui, Aceh merupakan provinsi yang hampir
seluruh masyarakatnya memiliki kesamaan dalam system religi yaitu menganut agama
Islam dan berbeda halnya dengan kota Medan yang heterogen terdiri dari beragam
agama. Perbedaan agama menjadi salah satu penyebab beberapa di antara mahasiswa
Aceh mengalam culture shock. Menurut peneliti hal demikian terjadi karena mahasiswa-
mahasiswi Aceh terbiasa hidup dengan keadaan yang homogen memiliki identitas budaya
yang sama sehingga rentan mengalami kecemasan akibat rasa asing yang dimiliki dalam
lingkungan kota Medan yang lebih plural.

Selain itu, agama juga merupakan suatu hal yang berkaitan dengan adat istiadat di
Aceh. Mahasiswa Aceh mengalami kecemasan dalam kehidupannya di lingkungan kota
Medan akibat terbentuknya sifat religius yang mereka miliki dan aturan-aturan agama,
adat istiadat bahkan hukum yang bersendikan syari’at Islam sebagai pedoman hidup yang
didalam memuat aturan-aturan yang mengatur kehidupan masyarakatnya dan di kota
Medan, hal-hal demikian tidak begitu terasa sekenatal saat berada di kampung halaman.
Selain itu, menurut peneliti melalui hasil wawancara dengan para informan, kadangkala
agama juga berpengaruh pada munculnyasikap etnosentrisme mahasiswa Aceh terhadap
penduduk kota Medan karena mereka cenderung membanding-bandingkan bagaimana di
Aceh dan bagaiamana di kota Medan.

4.2.1.4 Makanan

Makanan merupakan salah satu bagian dari penyebab terjadinya culture shock
pada mahasiswa Aceh di kota Medan berdasarkan apa yang telah dikaji peneliti malalui
bentuk-bentuk culture shock yang dihadapi mahasiswa Aceh perantau. Dalam hal ini,
perbedaan cita rasa memang bukanlah menjadi suatu masalah utama yang dihadapi.
Perbedaan cita rasa makanan hanya pada rasa yang mana ada beberapa informan
menyatakan bahwasannya di Medan, rasa makanan lebih kepada rasa pedas sedangkan di
Aceh lebih kepada rasa Asa. Selain itu mereka menyatakan di Aceh rempah-rempah
makanan lebih terasa. Namun, rasa makanan bukanlah persoalan yang rumit bagi mereka,
melainkan perasaan was-was dalam memilih makanan di kota Medan. Kondisi kota

128
Medan yang plural tentunya menyediakan jenis makan yang beragam dan oleh beragam
identitas suku ataupun agaman. Berdasarkan penelitian terhadap para informan, mereka
cenderung cemas dalam memilih tempat makan di kota Medan.

Kecemasan tersebut timbul akibat banyak terdapat rumah-rumah makan atau café
di kota Medan yang biasa menjadi tempat tongkrongan atau sekadar tempat untuk makan
khusunya bagi mahasiswa-mahasiswi USU namun tidak menimbulkan simbol-simbol
keislaman yang terkadang membuat mahsiswa Aceh kewalahan karena takut tidak sejalan
dengan larangan-larangan yang terdapat dalam agama jika diajak makan atau berkumpul
oleh teman-teman yang beragam suku ataupun agama ketempat demikian. Kecemasan
dalam pemilihan agama tersebut merupakan salah satu bentuk culture shock yang mereka
hadapi karena di Aceh, tentunya akan sangat jarang ditemukan rumah makan atau
penjual-penjual makanan diluar agama Islam.

4.2.2 Lingkungan Fisik

Dalam proses menjalin adaptasi dengan lingkungan baru mahasiswa Aceh di kota
Medan, lingkungan fisik menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya culture
shock karena mereka juga dihadapkan dengan perubahan lingkungan fisik. lingkungn
fisik dalam hal ini berkaitan dengan system peralatan hidup dan teknologi sebagai bentuk
kebudayaan materiil yang tentunya ada pada tiap daerah dalam lingkungan kebudayaan.
Dalam proses adaptasi mahasiswa Aceh di kota Medan, lingkungan fisik menjadi salah
satu penyebab terjadinya culture shock karena beberapa wujud dari bentuk system
peralatan hidup dan teknologi sebagai wujud kebudayaan fisik di kota Medan berbeda
dengan di Aceh yang menyebabkan terjadinya culture shock.

Hal tersebut tampak dari kritikan para informan penelitian terhadap keadaan lalu
lintas dan suasana kota Medan yang dinilai padat, ribut, banyak polusi, dan kemacetan
yang sangat luar biasa dalam jam-jam tertentu. Tidak hanya itu, terdapat juga mahasiswa
Aceh yang mengalami kecemasan untuk berpergian di kota Medan akibat rambu-rambu
lalu lintas yang tidak dipahami. Selain itu, lingkungan tempat tinggal mahasiswa Aceh di
kota Medan juga menjadi hal-hal yang memicu terjadinya culture shock karena kondisi
lingkungan tempat tinggal mereka di kota Medan tentu perbedaan dengan di kampung
halaman. Di kota Medan mereka akan tinggal sendirian atau berdampingan dengaan

129
orang lain dalam rumah kos-kosan ataupun kontrakan. Tentunya berbeda dengan tinggal
bersama orang tua yang semuanya serba ada dan serba sesuai dengan apa yang
diinginkan mahasiswa perantau mulai dari kondisi rumah, peralatan, air dan sebagainya..
Hal ini tentu diakibatkan adanya perubahan dan beberapa perbedaan dalam konsep
lingkungan fisik antara kota Medan dan Aceh sehingga menjadi salah satu faktor
terjadinya culture shock pada mahasiswa Aceh di kota Medan.

4.2.3 Kepribadian (Karakter)

Setiap kebudayaan mempunyai “modal personality structure” atau kepribadian


umum yakni sejumlah ciri watak yang berada dalam jiwa mayoritas warga suatu
masyarakatnya yang dibentuk oleh latar belakang kebudayaan atau sub kebudayaan dari
lingkungan sosial tempat individu hidup dan dibesarkan (Linton, 1945). Bredasarkan
teori tersebut, dapat diketahui bahwasannya jiwa mayoritas masyarakat Aceh didasari
oleh aturan-aturan atau pedoman hidup yang bersendikan syari’at islam sebagai
kepribadian umum masyarakatnya yang turut membentuk kepribadian individu
masyarakatnya menjadi religius dan teratur sesuai hukum syari’at.

Kepribadian menjadi salah satu penyebab yang mempengaruhi terjadinya culture


shock dalam proses adaptasi mahasiswa Aceh di kota Medan berdasarkan analisis peneliti
terhadap ke 6 subjek penelitian. Dalam antropologi, Koentjaraningrat (1990) agaknya
menempatkan pembahasan karakter dalam isu kepribadian yang disebutnya dengan ciri-
ciri watak. Hornby (1955) mendefenisikan secara etimologis karakter (character)
diartikan sebagai ciri-ciri (nature) mental atau moral atau seluruh kualitas moral atau
mental yang membuat seorang individu atau sekelompok individu berbeda dengan
individu atau kelompok individu lainnya atau ras suatu masyarakat.

Karakter yang diartikan sebagai mental atau moral yang membuat individu atau
sekelompok individu berbeda dengan yang lainnya seperti defenisi tersebut merupakan
salah satu titik permasalahan yang ditemukan pada Mahasiswa Aceh di kota Medan. Hal
tersebut dikarenakan melalui kajian peneliti terhadap para subjek penelitian, mental dan
moral yang dimiliki mahasiswa Aceh cenderung terbentuk mewakili kebudayaannya
yang berdasarkan syari’at Islam. Tipe kepribadian masyarakat Aceh secara umum adalah
lebih mengarah kepada kebaikan-kebaikan karena seluruh aspek kehidupan didasarkan

130
oleh ajaran agama sedangkan kota Medan lebih dikenal plural dengan karakter
masyarakatnya yang berbed-beda namun cenderung dianggap kasar.

Namun, secara khusus setiap individu juga memiliki kepribadian yang


membentuk karaternya masing-masing. Berkaitan dengan fenomena culture shock,
kepribadian menjadi salah satu aspek yang menyebabkan terjadinya culture shock karena
perbedaan-perbedaan kepribadian menjadi salah satu penentu mudah tidaknya mahasiswa
Aceh beradaptasi di kota Medan. Seperti yang telah dikaji, pada bentuk-bentuk culture
shock, kepribadian yang cenderung tertutup dan mudah berprasangka sangat
mempengaruhi level culture shock yang dialami para informan dan menjadi salah satu
penentu lama tidaknya mahasiswa tersebut beradaptasi di kota Medan. Selain itu,
kebudayaan sangat turut mempengaruhi bagaimana kepribadian mahasiswa Aceh yang
terbentuk, seperti halnya mereka cenderung religius dan mengikuti aturan-aturan
kebudayaan yang berlaku di daerah asal hingga mereka berada di kota Medn sebagai
tanah rantau. Oleh sebab itu, pengaruh kebudayaan turut membentuk kepribadiaan
mahasiswa Aceh yang turut menjadi salah satu penyebab mereka mengalami culture
shock di kota Medan.

4.3 Upaya-upaya yang dilakukan mahasiswa Perantau dalam mengatasi Culture


Shock

Strategi adaptasi merupakan cara-cara yang dipakai oleh perantau untuk


mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan untuk memperoleh suatu
kesinambungan positif dengan kondisi-kondisi latar belakang perantauan ( Usman Pelly,
2013). Melalui analisis terhadap hasil wawancara dan observasi peneliti terhadap para
informan penelitian, strategi-strategi adaptasi yang mereka lakukan dalam proses
penyesuaian diri di lingkungan baru cukup beragam. Diantaranya adalah:

1. Memasuki organisasi IPTR sebagai salah satu organisasi kesukuan Aceh di kota
Medan

Strategi ini dapat di buktikan melalui pernyataan-pernyataan informan seperti yang di


katakan oleh informan LI:

131
“Semester tiga masuk organisasi IPTR sebenarnya untuk menghindari
kerinduan sama kampung halaman sekalian biar gak stres karna
ngurung diri dalam kos terus”
Informan menyatakan bahwasannya memasuki organisasi IPTR merupakan
cara yang dilaukan untuk mengghindari kerinduan dengan kampung halaman.
Demikian juga yang dikatakan oleh informan Kahlil:

“Masuk organisasi IPTR supaya mengenali dulu orang-orang


sekampung yang ada di Medan, menurutku itu statement awal yang
bagus untuk mengawali adaptasi di lingkungan baru sebelum berbaur
dengan yang lain”
Informan Kahlil menyatakan, berbaur dengan kelompok etnis sendiri terlebih dahulu di
lingungkungan baru, akan menjadi awal yang baik untuk mengawali proses adaptasi.
Demikian pula dengan informan Rizky yang menyatakan hal yang sama

“Masuk IPTR salah satu yang buat aku lebih bertahan disini, karna
merasa ada keluarga, ngomong pake bahasa Aceh dah gitu tempat
untuk curhat, ngumpul dan berbagi info”
Namun, tidak semua mahasiswa Aceh perantau yang mau memasuki organisasi kesukuan
khususnya organisasi IPTR sebagai fokus peelitian. Seperti halnya pada informan Erin,
beliau memilih untuk tidak memasuki organisasi IPTR karena alasan-alasan tertentu.
Seperti yang dinyatakannya:

“Gak masuk IPTR karena aku mau mencari suasana baru, biar
mengenal budaya lain juga. Aku juga masuk organisasi kesukuan kok,
tapi suku Karo. Nah disana lebih plural dan lebih menemui orang-
orang baru lagi, tapi bukan gak rindu Aceh sewaktu di Medan dan
bukan berarti menghilangkan identitas budaya sendiri tapi mau
memperluas pengetahuan dan wawasan dalam budaya berbeda aja.”
2. Memasuki organisasi baru di luar IPTR agar dapat berbaur dengan orang-orang
baru
Memasuki organisasi lain di luar organisasi IPTR merupakan salah satu cara yang
ditempuh beberapa informan dalam mengatasi culture shock yang dihadapi, seperti yang
di ungkapkan oleh informan Rizky:

“Diluar IPTR juga aku punya organisasi lain, UKM paduan suara
ulos misalnya. Nah dari situ aku juga jumpa sama orang-orang Medan

132
yang enisnyaa beragam sifatnya pun beragam, tapi itu juga membantu
ku lebih berbaur lagi di kota Medan, menambah relasi juga”

selain itu memasuki organisasi baru merupakan alternaatif yang juga di lalui untuk lebih
berbaur dalam keheterogenitasan penduduk di kota Medan. Hal sama juga di katakan
oleh informan HM:

“Gak lama gabung sama anak IPTR, aku gabung organisasi HMI
allhamdullilah aku ngerasa semakin nyaman di kota Medan semenjak
masuk kedua organisasi ini”
Informan menyatakan, semenjak memasuki organisas iptr informan juga
memasuki organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sehingga ia lebih
merasa nyaman di kota Medan.

3. Menghabiskan waktu bersama teman-teman


Menghabiskan waktu di luar kost-kostan atau kontrakan merupakan salah satu strategi
mahasiswa perantau untuk berdaptasi dengan lingkungannya yang baru yang juga
bermanfaat untuk menghindari dampak culture shock seperti yang dikatakan informan
Fitri:

“Karna terasa kalau semakin menutup diri dengan lingkungan baru,


semakin lama kita bisa menerima keadaan yang mau gak mau harus
dijalani. Ya aku banyak-banyakin aja waktu diluar kost-an selain
bantu aku lebih mengenal Medan itu juga membuat aku terhindar dari
rasa sepi”

Demikian pula yang dikatakan informan AS:


“Berusaha menikmati kondisi yang sedang di hadapi dan percaya
kalau waktu pasti merubah situasi yang dijalani. Aku yang sekalian
kuliah sekalian kerja mulai semester 3 punya dampak positif tersendiri
karna waktu habis di luar, jadi gak pala terasa kerinduan atau
kesendirian pas-pas awal merantau”
Informan AS menyatakan, berkuliah sambil bekerja merupakan strategi yang
yang sangat positif untuk dapat bertahan di lingkungan baru dan
menghilangkan perasaan kesendirian.

4. Optimis dan Ambisius untuk mewujudkan cita-cita

133
Optimis dan ambisius terhadap cita-cita dan masa depan merupakan strategi yang juga
dilakukan mahasiswa perantau agar dapat bertahan di kota Medan sebagai lingkungannya
yang baru. Hal tersebut diatakan oleh informan AS:

“Aku selalu aja berpikiran positif, optimis dan ambisius supaya bisa
melewati masa-masa kesepian atau tantangan-tantangan yang
kuhadapi disini. Ku tanamin dalam diri, aku disini sendirian merantau
itu pilihanku untuk menempuh pendidikan supaya bisa jadi orang
sukses, cita-cita tergapai. Itu salah satu cara sih menurutku supaya
bisa beradaptasi menerima proses perjalanan hidup di tanah rantau”
Informan menyatakan bahwasannya pikiran positif, ambisius, dan optimis akan masa
depan yang ingin diraih dengan kesuksesan merupakan salah satu cara beradaptasi agar
mampu melewati tantangan-tantangan yang dihadapi di tanah rantau sebagai prinsip
hidup untuk menghindari kegalauan di kota Medan sebagai lingkungan kebudayaannya
yang baru. Demikianlah upaya-upaya yang dapat dikatakan strategi yang di lalui oleh
informan-informan dalam proses adaptasi di kota Medan sebagai individu pendatang.

134
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan terhadap mahasiswa-mahasiswi Aceh yang


tergabung dalam organisasi IPTR USU di kota Medan, peneliti menarik beberapa
kesimpulan yakni sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi, stereotype, ataupun prasangka yang menjadi


mindset mahasiswa Aceh ketika merantau ke kota Medan menjadi bagian yang turut
mendukung dan mengawali terjadinya culture shock pada mahasiswa Aceh karena
pandangan-pandangan tersebut menjadi landasan cara mereka berpikir dan bertindak
dalam mengawali proses adaptasinya di kota Medan sebagai lingkungan yang baru.
2. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwasannya perbedaan dan perubahan
lingkungan kebudayaan yang dihadapkan kepada mahasiswa Aceh menyebabkan
timbulnya pandangan etnosentrime sebagai salah satu dampak terjadinya culture
shock akibat perbedaan-perbedaan cara pandang dan nilai-niai kebudayaan yang
telah meresap dalam diri mahasiswa Aceh.
3. Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya culture
shock dalam proses adaptasi mahasiswa-mahasiswi Aceh yang menjadi fokus
penelitian adalah dikarenakan perbedaan lingkungan sosial budaya yang meliputi
adat istiadat, agama, bahasa, makanan, lingkungan fisik, suasana, serta kepribadian.
4. Dalam penelitian ini, faktor kepribadian memiliki peran penting dalam terjadinya
culture shock karena setiap informan memiliki kepribadian yang berbeda-beda
dimana terdapat indvidu-individu yang dapat cepat mengalami kegelisahan,
kecemasan bahkan depresi. Menurut peneliti, frustasi dan depresi merupakan
dampak dari fenomena culture shock secara mental dan psikologis. Dalam bentuk
sosial budaya bagi mahasiswa perantau, dampak negative dalam pendidikan mereka
adalah kemungkinan untuk gagalnya study dan kembali pulang kekampung halaman
5. Selain itu, dalam proses adaptasi sosial, budaya dan lingkungan para mahasiswa
Aceh di kota Medan, secara keseluruhan, adat istiadat yang sejalan dengan hukum
dimana syari’at islam yang merupakan dasar dari kedua hal tersebut juga merupakan

135
faktor penyebab culture shock yang paling dominan. Hal demikian karena, nilai-nilai
dalam adat istiadat yang sejalan dengan hukum dan agama adalah bersendikan
Syari’at Islam sebagai pedoman hidup yang telah dipelajari dan melekat dalam diri
tiap mahasiswa Aceh di daerah asalnya, sehingga berbeda dengan apa yang dijumpai
di kota Medan dan hal tersebut sangat mendorong terjadinya culture shock.
6. Peneliti juga mendapati bahwasannya berdasarkan hasil penelitian, perempuan
cenderung berada pada level culture shock yang lebih sulit dibandingkan dengan
laki-laki dengan jangka waktu adaptasi yang lebih lama, sedangkan laki-laki
cenderung lebih cepat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya
yang baru.

5.2 SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah di uraikan penulis di atas,
maka ada beberapa hal yang dapat menjadi saran penulis bagi individu-individu yang
sedang atau hendak merantau, yaitu:

1. Mengetahui keadaan Indonesia yang multicultural dimana setiap daerah memiliki


ciri khas kebudayaannya masing-masing maka seharusnya para perantau yang
akan mendatangi lingkungan baru mempersiapkan diri untuk menghadapi segala
perbedaan dan perubahan kebudayaan yang akan di hadapi. Dalam hal ini ada
baiknya bagi para perantau untuk mencari informasi dan memahami terlebih
dahulu sedikit banyaknya budaya, aturan dan gaya hidup daerah yang menjadi
tujuan merantau agar tidak mengalami keterkejutan budaya dengan level yang
sulit.
2. Disamping itu, sebaiknya janganlah dengan mudah menerima informasi tanpa
mengetahui fakta yang akurat tentang daerah yang menjadi tujuan merantau
karena hal-hal demikian akan mempengaruhi pikiran yang memicu terbentuknya
stereotype atau pandangan negative terhadap daerah yang dituju.
3. Ketik memasuki lingkungan baru, sebaiknya tidak memusuhi lingkungan tersebut
jika mendapati hal-hal yang bertentangan dengan kebudayaan yang telah di anut,
melainkan cobalah untuk memahami dan menerima perbedaan tersebut sebagai

136
suatu kekayaan yang dimiliki di tanah air dimana keberagaman kebudayaan tidak
akan terhindarkan.
4. Akan sangat baik dan bermanfaat jika para perantau tidak memakai kacamata
budaya sendiri dalam melihat budaya lain apalagi ketika kita sedang berada dalam
lingkungan budaya yang baru itu dalam jangka waktu yang lama. Karena hal
tersebut merupakan sikap etnosentrisme yang akan lebih memicu timbulnya
berbagai permasalahan-permasalahan lain dalam lingkungan yang baru.
5. Membuka diri dengan berbaur bersama orang-orang yang berbeda budaya,
memasuki organisasi-organisasi, serta mencintai hobby dan meningkatkan
kreativitas diri juga adalah alternative yang akan sangat bermanfaat dalam
menghindari terjadinya culture shock.
6. Menurut penulis, pada masa kini ada baiknya jika setiap individu tidak hanya
berfokus pada kecerdasaan pikiran atau kepintaran saja melainkan sangat
dibutuhkan juga kecerdasan adaptasi dalam berbagai aspek kehidupan.

137
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Afrizal. Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian
Kualitatif dalam Bebagai Displin Ilmu. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016
Abdullah, Irwan. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Petaka Pelajar,
2010.

Baswori & Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta, 2008
Danandjaja, James. Antropologi Psikologi: Teori, Metode, dan Sejarah
Perkembangannya
Dayakisni, Tri & Salis Yuniardi. Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press, 2004

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi


Kebudayaan Daerah. Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh, Jakarta :
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional DIREKTORAT Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984, hlm 4
Ibrahim Alfian, T, dkk. Adat Istiadat Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1977/1978
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2007

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi . Rev.ed. Jakarta: Rineka Cipta, 2016


Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. 2016
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Rev.ed. Remaja Rosdakarya, 2005
Pelly, Usman. Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Budaya Minangkabau dan Mandailing.
Jakarta: LP3ES, 1998
Poerwanto, Hari. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Sarwono, Sarlito W. Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: Rajawali Pers, 2015

Setiadi, Elly M. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2009
Sibarani, Robert. Antropolinguistik. Medan: Poda, 2004
Sinar, Tengku Luckman. Sejarah MEDAN tempoe Doloe. Medan: Lembaga Penelitin dan
Pengembangan Seni Budaya Melayu,1991

Ujan, Andre Ata, et al. Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama Dalam Perbedaan.
Jakarta: PT Indeks, 2011
Walgio, Bimo. 2005. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi

138
Yuliati, Yayuk. Perubahan Ekologis dan Strategi adaptasi masyarakat di wilayah
Pegunungan Tengger. Malang: UB press, 2011

Jurnal :
Alfiandri, “Islam Matotonan (Suatu Kajian Antropologi Agama Pada Penganut Islam
Mentawai)”. Scholar.unand.ac.id/37276/, 2018 (diploma thesis Universitas
Andalas)
Agustan dan Sophian Thamrin,”Merantau: Studi Tentang Faktor Pendorong dan
Dampak Sosial Ekonomi TERHADAP Aktivitas Merantau di Desa Sijelling
Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone. Predestinasi, 2017 hal 50-61
Andani, Damai. “Penyesuaian Diri Mahasiswa Terhadap Culture Shock.” Skripsi
Sarjana, Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah.
Surakarta. 2017
Berutu, Ali Geno,”Aceh dan Syariat Islam.” Jurnal Osf: Jakarta, 2014 (https://osf.io)
Samad, Sri Astuti A, “Agama, Budaya, dan Perubahan Sosial Perspektif Pendidikan
Islam di Aceh”. Jurnal MUDARRISUNA: Media Kajian Pendidikan Agama
Islam. September 2017 (DOI: 10.22373/jm.v7i1.1900)

Aswar. “Pangessang (Studi tentang strategi adaptasi buruh pikul barang di pasar cabbeng,
kecamatan lilirlau, kabupaten soppeng)”. Skripsi Sajarna, Jurusan Antropologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 2014
Badan Pusat Statistik (BPS). Suku Bangsa di Indonsia. INDONESIA.GO.ID: Portal
Informasi Indonesia dapat dilihat pada https://Indonesia.go.id diakses agustus
2020
Devinta, Marshella. “Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa
Perantauan di Yogyakarta,” Jurnal pendidikan sosiologi, 2016. Hal 1-15. Dapat
dilihat pada
https://journal.student.uny.ac.id/ojs/ojs/index.php/societas/article/view/3946
(diakses agustus 2020)
Irwin, Rachel. “Culture Shock: Negotiating Feelings In The Field,” Anthropology
Matters Journal, 2007. Dapat dilihat pada http://www.Anthropologymatters.com
(diakses 11 agustus 2020)
Intan, Tania. Gegar Budaya dan Pergulatan Identitas Dalam Novel Une Annee Chez
Francais Karya Fouad Laroui,” Jurnal Ilmu Budaya (Desember 2019), hal 163-
175. Dapat dilihat pada
http://journal.unhas.ac.id/index.php/jib/article/download/6789/4030. (diakses
gustus 2020)
Khoirunnisa, Yusnia. & Nathalia P. Soemanthri. “Fenomena Gegar Budaya Pada Warga
Negara Perancis yang bekerja di Jakarta”. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial
Budaya (Desember 2019), hal 254-261. dapat dilihat pada
https://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/index.php/jantro/article/view/170

139
Kurni, Awis. “Pengaruh keterbukaan diri (self disclosure) terhadap ketermpilan
komunikasi interpersonal pda kalangan ikatan pemuda tanah rencong
Universitas Sumatera Utara”, 2018. Dapat dilihat pada
http://repositori.usu.ac.id.

Musyafa’ah, Siti Rodlika. “Gambaran Penyesuaian Diri Mahasiswa Universitas


Muhammadiyah Gresik yang Bercadar,” hal 16-31. (Dapat dilihat pada
http://eprints.umg.ac.id/852/, diakses 28 September 2020)
Nalarati, Inar. “Gambaran Culture Shock Pada Mahasiwa Asing Asal Malaysia,
Thailand, dan Vietnam UIN Sultan Syarif Kasim Riau” . Skripsi Thesis,
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2015. (Dapat dilihat pada
http://repository.uin-suska.ac.id/id/eprint/6873/)
Pramono, Sugeng. Culture Shock Santri Luar Jawa di Lingkungan Pondo Pesantren di
Jawa. Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi dan Informatika, 2016
(http://eprints.ums.ac.id/43911/25/Naskah%20Publikasi%20Sugeng%20Pramono
%20%281kolom%29.pdf)
Rajab, Budi. Kebudayaan, Kekerabatan, dan Perantauan: Catatan atas tesis yang
deterministic. Jurnal masyarakat dan Budaya, 2004 (Dapat dilihat pada
jmb.lipi.go.id)
Usman, Syarifuddin. Tindak Pidana Minuman Khamar Dalam Qanun Provinsi Aceh
No.12 Tahun 2003. Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum: Banda Aceh, 2012
(Dapat dilihat melalui core.ac.uk)
Wahyu. “Adaptasi Petani di Kalimantan Selatan”. Jurnal Komunitas: Jurusan Sosiologi
dan Antropologi Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, 2011.
(Dapat dilihat pada htttp://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ko munitas.

Sumber Internet :
Arsip Daerah Pemerintah Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. (Arsip.Pemko
Medan.go.id)
Haun, Mohd, “Revitalisasi Bahas Daerah Aceh”. https://aceh.tribunnews.com. Desember
2017
Pemerintahan Kota Medan, “ Sejarah Kota Medan”, https://pemkomedan.go.id/hal-
sejarah-kota-medan.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/63821/Chapter%20II.pdf?sequenc
e=4&isAllowed=y
Syahrial, Muhammad Takari bin Jilin. Nilai-nilai Multikultural dalam kesenian
masyarakat kota
https://www.etnomusikologiusu.com/uploads/1/8/0/0/1800340/senimultikulturme
dan.pdf
https://en.wikipedia.org/wiki/Medan

140
Yanti, Delfa Fitri, Masyarakat Minangkabau Perantau Tanah Datar di kota Pekan Baru
(Kasus Perantau Dari Jorong Gunung Nagari Tanjung Alam Kecamatan Tanjung
Baru. 2019
(hhtps://.jom.unri.ac.id./index.php/JOMFSIP/article/download/24927/24143)

141
LAMPIRAN

Foto Penulis berada di Sekretariat IPTR Kota Medan

Foto Jalan Lokasi Sekretariat IPTR USU Kota Medan, Jalan Amaliun kota
Matsum IV. Kec. Medan Area, Medan

142
Wawancara Bersama Ibu Nurma, Pedagang didepan Sekretariat IPTR

Informan LI

143
Informan Fitri

Informan Kahlil

144
Informan Rizky

Informan HM

145
Informan SA

146

Anda mungkin juga menyukai