SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam
Bidang Antropologi
Oleh
ELDINA
170905054
MEDAN
2021
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN ORIGINALITAS
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwasannya di dalam skripsi ini tidak terdapat
karya yang pernah di ajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dan diacu dalam
naskah ini disebut dalam daftar pustaka
Apabila di kemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan
disini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan
saya.
Penulis
Eldina
i
ABSTRAK
Eldina, 170905054 (2021). Judul Skripsi: Culture Shock Pada Mahasiswa Perantau di
Kota Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Aceh Yang Tergabung Dalam Ikatan
Pemuda Tanah Rencong Universitas Sumatera Utara).
Tulisan ini berjudul Culture Shock Pada Mahasiswa Perantau di kota Medan
(Studi Kasus Pada Mahasiswa Aceh Yang Tergabung Dalam Ikatan Pemuda Tanah
Rencong Universitas Sumatera Utara). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan bagaimana fenomena Culture Shock yang di alami mahasiswa Aceh
perantau di kota Medan khususnya bagi mereka yang tergabung dalam organisasi Ikatan
Pemuda Tanah Rencong (IPTR) Universitas Sumatera Utara. Selain itu, penelitian ini
juga bertujuan untuk mengetahui apa-apa saja hal-hal yang menyebabkan terjadinya
Culture Shock dalam proses adaptasi mahasiswa Aceh yang menjadi fokus penelitian
tersebut di kota Medan, sebagai lingkungan yang baru.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan
pendekatan studi kasus untuk berusaha menganalisis fenomena yang diteliti dan
kemudian mendeskripsikannya secara apa adanya. Proses pengumpulan data dimulai
dengan membangun rapport bersama para informan, kemudian dilanjutkan dengan teknik
pengumpulan data yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif yakni observasi,
wawancara mendalam, dan dibantu dengan melakukan studi kepustakaan dan
dokumentasi. Disamping itu, peneliti juga menggunakan teknik Focus Group Discussion
(FGD) untuk melontarkan hasil-hasil penelitian yang telah diperoleh melalui wawancara
mendalam dan observasi yang digunakan untuk memperkuat data hasil penelitian dan
sangat bermanfaat untuk melakukan observasi secara bersamaan terhadap para informan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwasannya Culture Shock yang dialami
mahasiswa Aceh IPTR USU cenderung diakibatkan ketidaksiapan mereka dalam
menghadapi perubahan dan perbedaan-perbedaan yang di dapati dalam lingkungan kota
Medan sebagai lingkungan baru. Faktor pendorong merantau, persepsi, prasangka
ataupun stereotype tentang kota Medan adalah faktor awal yang turut mendorong
terjadinya Culture Shock dalam proses adaptasi mahasiswa Aceh di kota Medan sebagai
lingkungan yang baru. Bentuk-bentuk Culture Shock yang dihadapi mahasiswa Aceh
perantau diantaranya adalah timbulnya kesedihan yang mendalam, keinginan kembali
pulang kekampung halaman, adanya perasaan kehilangan, berkurangnya kepercayaan
diri, membatasi diri dalam berinteraksi dan bersosialisasi, bahkan memusuhi lingkungan
baru hingga munculnya pandangan etnosentrisme. Penyebab yang melatarbelakangi
Culture Shock yang dihadapi Mahasiswa Aceh IPTR USU cenderung disebabkan oleh
perbedaan dalam lingkungan sosial budaya seperti suasana, bahasa, adat istiadat, agama,
makanan, serta pada lingkungan fisik dan juga dipengaruhi oleh kepribadian.
ii
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
kasih karunia-Nya yang tiada pernah terhenti dilimpahkan kepada penulis dalam setiap
langkah perjalanan kehidupan yang dilalui, hingga pada tahap demi tahap penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi penulis yang berjudul “Culture Shock pada mahasiswa
perantau di kota Medan, dengan studi kasus pada organisasi IPTR Komisariat USU”
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial dalam bidang
Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, di Univesitas Sumatera Utara.
Terimakasih yang begitu tulus dan mendalam penulis ucapkan kepada kedua
orang tua penulis yakni Ayahanda Obedi Harefa dan Ibunda Rosianna Tumanggor yang
senantiasa selalu ada bagi penulis, mendoakan penulis dan memberikan segala sesuatu
yang dibutuhkan oleh penulis termasuk cinta dan kasih sayang yang tiada hentinya.
Semoga Tuhan selalu memberkati dan melindung serta memberikan kalian umur yang
panjang. Begitupun kepada ke-empat saudara kandung penulis yang terkasih yakni
Andriadi Kristianto, Kristiana Laurita, Alfian Kriswan, dan Rika Dinarti, terimakasih atas
dukungan, nasehat, dan motivasi yang juga selalu diberikan kepada penulis dan telah
menjadi contoh yang baik bagi penulis selaku anak bungsu dalam keluarga ini. Terkhusus
kepada Abang pertama penulis yakni Andriadi yang telah pergi saat penulis sedang
berada pada tahap penyusunan skripsi ini, terimakasih atas segala bentuk perhatian dan
kasih sayang yang telah engkau beri kepada adik terkecilmu ini, semoga engkau tenang
berada di surga-Nya.
iii
Terimakasih pula penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska, M. Ant
selaku Ketua Departeman Antropologi Sosial yang juga merupakan salah satu dosen
pengajar yang difavoritekan penulis selama masa perkuliahan. Terimakasih untuk segala
ilmu, motivasi dan arahan yang diberikan kepada penulis dan juga seluruh mahasiswa
Antropologi, semoga jurusan Antropologi semakin maju lagi kedepannya. Terimakasih
pula kepada Bapak Drs. Agustrisno, MSP selaku Sekretaris Departemen Antropologi
Sosial yang juga merupakan dosen pengajar yang telah banyak memberikan ilmu yang
sangat bermanfaat dengan segala kesabaran yang dimiliki dalam proses mendidik para
mahasiswa.
Terimakasih yang setulusnya juga penulis ucapkan kepada Ibu Dra. Nita Savitri
M.Hum dan Ibu Dra. Tjut Syahriani M.Soc.Sc selaku dosen antropologi yang juga
merupakan dosen penguji penulis saat melaksanakan ujian skripsi, yang telah begitu
banyak memberikan ilmu pengetahuan, saran dan kritik yang sangat membangun
terhadap penulis yang sangat bermanfaat dalam proses penyusunan skripsi ini. Begitupun
kepada seluruh dosen Antropologi Sosial yang telah memberikan ilmu pengetahuan,
wawasan dan segala pelajaran hidup selama penulis menimba ilmu di Universitas
Sumatera Utara yang tentunya sangat bermanfaat bagi penulis dan menjadi bekal bagi
penulis untuk hari-hari kedepan, penulis sangat berterimakasih sebesar-besarnya telah
memperoleh itu semua. Terimakasih pula kepada kedua staff administrasi Departemen
Antropologi Sosial yang begitu baik dan sabar serta selalu memberikan petunjuk dan
kemudahan dalam hal administrasi kepada penulis dan seluruh mahasiswa Antropologi.
Selain itu, terimakasih penulis ucapkan kepada seluruh informan penelitian penulis di
lapangan khususnya kepada orang-orang yang berada dalam organisasi IPTR Komisariat
Universitas Sumatera Utara begitu baik dan terbuka serta meluangkan waktu untuk
memberikan informasi-informasi sesuai dengan kebutuhan penelitian penulis, semoga
Tuhan membalas kebaikan-kebaikan yang kalian berikan.
iv
perkuliahan dan hingga sampai pada saat ini. Semoga jalinan persahabatan tersebut tidak
hanya sebatas sampai pada kelulusan meraih ilmu dan gelar kesarjanaan melainkan untuk
selamanya. Begitupun dengan Dina Febyanti dengan segala jiwa humorist dan
kemudahan tawanya, terimakasih juga sudah menjadi sahabat penulis selama berada
dalam bangku perkuliahan. Terimakasih juga kepada m.n yang menjadi salah satu teman
terdekat penulis selanjutnya, yang bersedia disusahkan dan mendengarkan segala keluh
kesah penulis, memberikan bantuan, semangat dan hiburan juga dukungan dan motivasi
kepada penulis baik dalam proses penyusunan skripsi ini, pun dalam hal lainnya.
Kepada teman-teman seperjuangan lainnya seperti Arie, Ara, Ira, Ida, Fery, yang
telah menjadi teman bertukar pikiran selama pengerjaan skripsi dan juga seluruh kerabat
antropologi 2017 yang tidak bisa penulis sebut satu-persatu, terimakasih telah menjadi
bagian dari perjalanan hidup penulis khususnya dalam mengisi hari-hari semasa berada
dalam bangku perkuliahan. Semangat untuk kita semua. Selain itu masih ada sahabat-
sahabat penulis lainnya diluar bangku perkuliahan seperti Lolo, Nobel, Mario, Melisa,
Dumayanti, Shecilia, Irwanda dan Rosa yang juga menjadi salah satu support system
penulis dalam proses penyusunan skripsi ini, terimakasih penulis ucapkan untuk
dukungan dan desakan kalian kepada penulis yang juga berfungsi mendorong penulis
agar cepat menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang tiada
terhingga kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penyusunan skripsi ini, yang
tidak dapat penulis sebut satu-persatu, semoga Tuhan senantiasa selalu memberkati dan
melindungi setiap langkah dalam kehidupan kita.
Penulis
Eldina
v
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Selama menjadi mahasiswa, terdapat beberapa kegiatan dan prestasi yang pernah
di raih penulis selama menjadi mahasiswa, baik kegiatan di dalam kampus maupun di
luar kampus diantaranya adalah:
vi
7. Mengikuti “Training Of Fasilitator (TOF)” yang diadakan oleh mata uliah
Pengembangan Masyarakat di hotel Islami Aceh House, Medan Tahun 2019
8. Mengikuti temu ilmiah Arkeologi yang dibawakan oleh Prof. Dr. Bungaran
Antonius Simanjuntak di Balai Arkeologi Sumatera Utara, Medan Tuntungan,
Medan tahun 2020
9. Peserta Seminar “4 Pilar Kebangsaan” oleh DPR RI Sofyan Tan di Auditorium
Politeknik Wilmar Bisnis Indonesia (WBI), tahun 2020
10. Menjadi Tim Pemantau Dalam Pemilu Walikota Medan periode 2021-2024, di
Salah satu TPS Kelurahan Kwala Bekala, Medan Johor, Medan tahun 2020.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial pada bidang Antropologi Sosial di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berjudul “Culture Shock Pada Mahasiswa Perantau di Kota Medan
(Studi Kasus Pada Mahasiswa Aceh yang Tergabung Dalam Ikatan Pemuda Tanah
Rencong Universitas Sumatera Utara)” yang berisikan tentang deskripsi pengalaman
Culture Shock yang dihadapi mahasiswa Aceh perantau di kota Medan, bentuk-bentuk
Culture shock yang mereka hadapi, serta hal-hal yang menyebabkan terjadinya Culture
Shock dalam proses adaptasi mereka di kota Medan sebagai lingkungan yang baru.
Penulisan skripsi ini disusun berdasarkan hasil wawancara mendalam dan pengamatan
yang di lakukan di lapangan.
Penulis
Eldina
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERSETUJUAN
PERNYATAAN ORIGINALITAS ................................................................................. i
ABSTRAK ....................................................................................................................... ii
UCAPAN TERIMAKASIH............................................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 7
1.2.1 Kebudayaan ............................................................................................... 7
1.2.2.Adaptasi ..................................................................................................... 14
1.2.3 Culture Shock ............................................................................................. 16
1.2.4 Etnosentrisme ............................................................................................. 24
1.2.5 Integrasi Sosial .......................................................................................... 25
1.2.6 Merantau .................................................................................................... 27
1.2.7 Penelitian Terdahulu ................................................................................... 28
1.3 Rumusan Masalah ............................................................................................... 31
1.4 Batasan Masalah ................................................................................................. 31
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................ 37
1.6 Metode Penelitian ............................................................................................... 38
1.6.1 Tipe Penelitian ........................................................................................... 38
1.6.2 Sumber Data............................................................................................... 38
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 39
1.6.4. Analisis Data ............................................................................................. 47
1.7 Pengalaman Penelitian ........................................................................................ 49
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1 Kota Medan ........................................................................................................ 52
2.1.1 Letak Geografis Kota Medan ...................................................................... 52
2.1.2 Heterogentitas Kota Medan ........................................................................ 55
2.2 Universitas Sumatera Utara ................................................................................. 58
2.2.1 Sejarah Berdirinya Universitas Sumatera Utara (USU) .............................. 58
2.3 Organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong (IPTR) USU ..................................... 61
2.3.1 Sejarah Berdirinya IPTR ............................................................................. 61
2.3.2 Makna Lambang Organisasi IPTR .............................................................. 64
2.3.3 Profil Komisariat IPTR USU ...................................................................... 65
2.3.4 Visi dan Misi IPTR USU ............................................................................ 67
2.3.5 Struktur Organisasi IPTR USU ................................................................... 68
BAB III CULTURE SHOCK PADA MAHASISWA ACEH PERANTAU YANG
TERGABUNG DALAM ORGANISASI IPTR USU DI KOTA MEDAN
3.1 Kebudayaan Aceh ............................................................................................... 71
3.1.1 Karateristik Masyarakat Aceh ..................................................................... 72
3.1.2 Agama ........................................................................................................ 75
ix
3.1.3 Sistem Pemerintahan .................................................................................. 76
3.1.4 Bahasa ........................................................................................................ 80
3.1.5 Pendidikan.................................................................................................. 81
3.2 Latar Belakang Informan dan Faktor Pendorong Memilih Berkuliah di Kota
Medan ................................................................................................................. 83
3.3 Persepsi Mahasiswa Aceh Tentang Kota Medan ................................................. 90
3.2.1 Persepsi Negatif......................................................................................... 91
3.2.2 Persepsi Positif .......................................................................................... 94
3.4 Pengalaman Culture Shock Mahasiswa Aceh di kota Medan ............................... 96
3.4.1 Informan LI ................................................................................................ 97
3.4.2 Informan HM ............................................................................................ 102
3.4.3 Informan AS ............................................................................................... 105
3.4.4 Informan Fitri ............................................................................................. 109
3.4.5 Informan Rizky .......................................................................................... 112
3.4.6 Informan Kahlil .......................................................................................... 115
3.5 Bentuk-Bentuk Culture Shock yang di Alami ...................................................... 119
BAB IV FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CULTURE SHOCK DALAM
PROSES ADAPTASI MAHASISWA ACEH DI KOTA MEDAN
4.1 Hasil Focus Group Discussion ............................................................................ 121
4.2 Penyebab yang Melatarbelakangi Terjadinya Culture Shock Pada Mahasiswa
Aceh ................................................................................................................... 124
4.2.1 Lingkungan Sosial Budaya ......................................................................... 125
4.2.1.1 Bahasa ............................................................................................ 125
4.2.1.2 Adat Istiadat.................................................................................... 126
4.2.1.3 Agama ........................................................................................... 128
4.2.1.4 Makanan ........................................................................................ 128
4.2.2 Lingkungan Fisik ..................................................................................... 129
4.2.3 Kepribadian ............................................................................................... 130
4.3 Upaya-upaya mahasiswa Perantau dalam mengatasi Culture Shock ..................... 131
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 135
5.2 Saran................................................................................................................... 136
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 138
LAMPIRAN ..................................................................................................................... 142
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR TABEL
Tabel I Informan Penelitian ........................................................................................ 42
Tabel II Luas Wilayah Kota Medan Menurut Kecamatan tahun 2015 .................... 53
Tabel III Perbandingan Etnis di Kota Medan Tahun 1930, 1980, 2000 .................... 56
Tabel IV Agama di Kota Medan ................................................................................ 57
Tabel V Jumlah mahasiswa USU Tahun 2001/2002 – 2017/2018 .............................. 60
Tabel VI Struktur Organisasi IPTR Komisariat USU Periode 2019-2020................ 68
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Proses enkulturasi adalah proses dimana seorang individu mempelajari dan
menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan
yang hidup dalam kebudayaan (Koentjaraningrat, 2016 : 189). Berdasarkan teori tersebut
dapat diketahui bahwasannya kebudayaan merupakan sesuatu yang telah dipelajari sejak
kecil oleh setiap individu dalam lingkungan tempat tinggalnya. Sehingga, lingkungan
tempat tinggal sebagai lingkungan kebudayaan atau daerah asal tempat individu hidup,
memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk konsep pemikiran, tingkah laku
serta kepribadian masyarakat yang tentunya berbeda-beda tiap daerahnya sesuai dengan
bagaimana ciri khas dari unsur kebudayaan yang dimiliki.
Dalam dunia yang semakin canggih, modern dan terbuka di masa kini, pertemuan
dan pergaulan antar kebudayaan dari berbagai daerah sangatlah mudah terjadi. Salah satu
pendorong terjadinya adalah karena adanya mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk
merupakan perpindahan yang dilakukan dari daerah asal menuju lingkungan baru baik
secara permanen ataupun tidak, dengan berbagai alasan dan tujuan tertentu. Perpindahan
yang dilakukan secara permanen atau tidak ke lingkungan yang baru tentunya akan
menimbulkan terjadinya kontak antar budaya berbeda, yang tentunya akan dihadapkan
pada hal-hal yang baru dan akan menimbulkan berbagai perubahan atau merasakan
perbedaan bagi diri individu baik dalam situasi sosial, budaya maupun lingkungan.
Dalam menghadapi perbedaan tersebut, akan wajar jika muncul berbagai kesulitan
yang mendorong individu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang
baru baik pada unsur kebudayaan, perbedaan suasana kultur atau segala kebiasaan hidup
yang di jalani seperti di lingkungan asal sebagai tempat yang sudah familiar. Kontak
antar budaya berbeda akan dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, kecemasan, rindu
akan daerah asal hingga dapat menyebabkan tekanan mental sebagai reaksi psikis dan
fisik (Yusnia, 2016). Keadaan inilah yang dikenal dengan istilah gegar budaya atau
culture shock.
Culture shock sebuah fenomena yang pertama kali dicetuskan oleh seorang
antropolog bernama Kalervo Oberg (1960, dalam Irwin 2007) dimana ia menggambarkan
fenomena ini sebagai sebuah kecemasan dan gangguan emosional yang dihasilkan dari
kehilangan semua tanda dan simbol dari hubungan sosial yang dikenali. Kecemasan dan
2
gangguan emosional tersebut dialami oleh seseorang ketika realitas dan konseptualitas
bertemu. Kecemasan ini dihasilkan karena merasa kehilangan semua tanda dan simbol
dari hubungan sosial yang dikenali sehingga dapat berakibat pada timbulnya perasaan
terisolasi, tidak aman (tidak nyaman), kegelisahan umum dengan situasi baru, ketakutan
irasional, kesulitan tidur, kecemasan bahkan depresi, sibuk dengan kesehatan, mual, dan
kerinduan yang berlebihan untuk kembali pulang ke kampung halaman akibat culture
Shock yang dialami (irwin, 2007).
Culture shock pada umumnya biasa terjadi pada orang-orang yang secara tiba-tiba
berpindah dari daerah asalnya ke daerah baru yang dapat menimbulkan tekanan mental
serta ketidaknyamanan terhadap budaya dan lingkungan barunya yang akan sangat
berpengaruh pada kehidupan sosial juga dapat menimbulkan gejala seperti stres, frustasi,
serta susah beradaptasi dalam menerima nilai-nilai sosial baru yang tentunya akan
memakan waktu cukup lama (Damai Andani, 2017). Manusia akan senantiasa berusaha
menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di sekitanya, seperti halnya individu
yang berada dalam lingkungan kebudayaan baru. Dalam proses penyesuaian tersebut
segala kebiasaan hidup yang dijalani biasanya akan memiliki perbedaan dalam
lingkungan baru yang dijumpainya sehingga akan beresiko pada terjadinya culture shock
akibat adanya berbagai unsur kebudayaan berbeda dan suasana kultur yang berbeda pula.
3
gaya pakaian, bentuk kediaman alat-alat transportasi dan lain sebagainya, melainkan juga
unsur-unsur kebudayaan yang bersifat abstrak dari sistem sosial atau sistem budaya
misalnya unsur-unsur organisasi kemasyarakatan, perekonomian, upacara-upacara
kegamaan, unsur cara berpikir, dan adat istiadat (Koentjaraningrat,2016). Oleh sebab itu
dapat dietahui bahwa dalam setiap daerah, akan selalu ada unsur kebudayaan baik yang
sifatnya konkret maupun abstrak, yang menjadi ciri khas mencolok suatu masyarakatnya
dan tentu sedikit banyaknya sudah melekat dalam diri setiap individu dalam
masyarakatnya yang akan mempengaruhi pula bagaimana kepribadian individu dalam
masyarakatnya terbentuk.
Kota Medan merupakan salah satu kota yang terletak di pulau Sumatera sebagai
ibu kota dari provinsi Sumatera Utara yang dikenal identik dengan suku Batak.
Keidentikan tersebut sebenarnya adalah salah satu stereotipe yang melekat pada kota
Medan, padahal suku bangsa asli kota Medan adalah suku bangsa Melayu. Adapula
stereotipe yang menganggap bahwa Medan dipenuhi oleh orang-orang dengan jiwa yang
keras dan juga kasar sehingga menimbulkan persepsi negatif bagi orang-orang yang tidak
berasal dari kota Medan. Seperti pada penelitian yang dilakukan Atiqa (2013) yang
mengungkapkan representasi karakter masyarakat kota Medan melalui desain kaos,
menonjolkan karakter masyarakat kota Medan yang dikenal garang, kasar, dan
menantang.
Terdapat individu-individu pendatang yang berasal dari luar kota Medan, yang
tidak tinggal untuk menetap melainkan untuk mencapai suatu tujuan dalam jangka waktu
tertentu dan biasanya cukup lama seperti halnya adalah para pelajar atau mahasiswa
4
perantau yang berasal dari luar daerah kota Medan. Hal tersebut menuntut mereka untuk
beradaptasi dan memahami bagaimana kebudayaan yang hidup di kota Medan sebagai
lingkungan baru yang akan ditempati dalam kurun waktu yang cukup lama dengan tujuan
untuk menempuh pendidikan khususnya di perguruan tinggi.
Mahasiswa perantau bukanlah suatu hal yang baru dalam lingkup kehidupan di
perguruan tinggi. Mahasiswa di tiap universitas sangat identik dengan yang namanya
merantau karena sebagian besar mahasiswa adalah orang-orang yang berasal dari luar
daerah. Universitas Sumatera Utara merupakan universitas negeri yang menjadi salah
satu kampus favorite khususnya di pulau Sumatera. Banyak diantara mahasiswa yang
berjuang dari berbagai asal daerah untuk dapat berkuliah di USU sehingga tidak heran
jika kampus USU juga memiliki nuansa multikultural melalui mahasiswanya.
Terdapat berbagai alasan dan pertimbangan bagi mereka yang berasal dari luar
daerah ketika memilih sebuah Universitas yang dijadikan tujuan untuk menempuh
pendidikan di perguruan tinggi yang bukan berada di daerah asalnya. Alasan-alasan
tersebut bisa jadi dikarenakan kualitas sebuah Universitas yang dianggap bagus,
dorongan dari orang tua, adanya kerabat di daerah universitas yang dituju, atau keinginan
diri sendiri untuk merantau dan menempuh pendidikan di luar daerah dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, tidak heran jika dalam kehidupan di lingkungan Universitas
terdapat berbagai identitas kebudayaan yang berbeda yang berpeluang pada terjadinya
culture shock bagi individu yang tidak berasal dari kota Medan.
Melalui pengamatan lapangan, fenomena culture shock secara sadar maupun tidak
banyak dialami oleh mahasiswa-mahasiswi perantau dari berbagai asal daerah di luar
kota Medan yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Beberapa
bentuk culture shock yang sebenarnya dapat diamati dilapangan adalah seperti ketidak
inginan mereka untuk bergaul dengan teman yang berbeda daerah asal atau suku, kritikan
mereka pada rasa makanan, gaya berpakaian, gaya bicara atau berbahasa baik dialek,
intonasi suara atau ejaan kata, tingkah laku perempuan dan laki-laki, kebersihan, keadaan
lalu lintas dan transportasi lalu lintas, cuaca, serta gaya hidup orang-orang yang diamati
di kota Medan. Hal-hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk ketidaknyamanan
yang umumnya di tunjukkan oleh mahasiswa perantau yang berasal dari luar kota Medan.
5
Proses penyesuaian diri yang dilakukan dengan mempelajari lingkungan kebudayaan
baru sebagai tempat tinggal tidak mungkin dapat dilakukan dengan cepat karena tentunya
didapati berbagai hal yang berbeda dengan lingkungan asal sehingga dalam proses
penyesuaian diri ini lah peluang terjadinya culture shock atau syok budaya sangat
memunginkan terjadi. Setiap individu tentunya memberikan reaksi yang berbeda-beda
ketika mengalami culture shock, ada yang menyerah namun ada pula yang maju dan
menikmati lingkungan barunya.
Fokus penelitian ini dilakukan pada mahasiswa perantau yang berasal dari luar
kota Medan di Universitas Sumatera Utara yakni pada mahasiswa Aceh perantau yang
tergabung dalam organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong (IPTR) Universitas Sumatera
Utara yang mengalami culture shock. Penulis memilih mahasiswa Aceh perantau sebagai
fokus penelitian peneliti karena selain tentunya terdapat perbedaan-perbedaan antara
lingkungan sosial budayadi Aceh dan dikota Medan, peneliti juga memilih mahasiswa
Aceh karena fenomena culture shock yang penulis angkat sebagai fokus penelitian
berangkat dari pengamatan di lapangan terhadap mahasiswa Aceh yang mengalami
culture shock.
Penulis mengamati kehidupan sosial salah satu mahasiswa Aceh perantau yang
berkepribadian tertutup di lingkungan tempat tinggalnya, tidak ingin bergaul dengan
orang lain selain teman yang berasal dari daerah asal, mudah menangis dan selalu ingin
pulang ke kampung halaman. Hal tersebut menarik perhatian penulis untuk mengkaji
lebih dalam dan lebih lanjut mengenai fenomena ini sehingga peneliti memfokuskan
penelitian pada mahasiswa Aceh khususnya yang tergabung dalam organisasi Ikatan
Pemuda Tanah Rencong (IPTR) Komisariat di Universitas Sumatera Utara, sebagai salah
satu wadah perkumpulan mahasiswa Aceh perantau di kota Medan. Peneliti merasa
fenomena culture shock yang dikhususkan peneliti pada mahasiswa Aceh merupakan
kajian yang masih sangat menarik untuk di teliti terkhusus melalui sudut pandang
Antropologi.
6
1.2 Tinjauan Pustaka
1.2.1 Kebudayaan
a. Defenisi Kebudayaan
Berbicara mengenai manusia maka tidak akan terlepas dari yang namanya
kebudayaan karena kebudayaan mengacu pada seluruh aspek kehidupan manusia. Kata
“kebudayaan’ berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi yang artinya ialah budi atau akal sehingga diartikan bahwasannya
kebudayaan merupakan hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
Sejak tahun 1871, E.B Taylor (dalam Poerwanto, 2000 : 52) telah mencoba
mendefenisikan kata kebudayaan yakni sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat dan berbgai kemampuan serta
kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat Namun, defenisi ini
tampaknya lebih kepada unsur-unsur yang terdapat dalam kebudayaan tanpa
menyebutkan sifat dan karakteristik dari unsur-unsur kebudayaan itu. Defenisi tersebut
kemudian dianggap kurang esensisal sehingga Wilson (1966, dalam Robert 2004)
mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang ditransmisi dan disebarkan
secara sosial baik bersifat eksistensial, normatif maupun simbolis, yang tercermin dalam
tindakan (act) dan benda-benda hasil karya manusia (artifact).
7
C.Geertz (dalam Hari Poerwanto, 2000 : 58) berpendapat bahwa kebudayaan
adalah sistem pemaknaan yang dimiliki bersana dan kebudayaan merupakan hasil dari
proses sosial dan bukan perorangan. A.L. Kloeber dan Kluckhohn dalam buku mereka
yang berjudul Culture: A Critical Review of Concepts and Defenition (1952, dalam Hari
Poerwanto, 2000 : 52) mengutarakan bahwa yang dimaksudkan dengan kebudayaan
adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku, baik ekspit
maupun implisit, yang diperoleh maupun diturunkan melalui simbol, yang akhirnya
mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk
perwujudannya dalam benda-benda materi.
b. Wujud Kebudayaan
Talcot Parson dan A.L Kroeber (dalam Koentjaraningrat, 2016) merupakan ahli
yang menganjurkan untuk membedakan kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide dan
konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia
yang berpola sehingga kemudian J.J Honigmann (1959 dalam
Koentjaraningrat,2016:150) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan yaitu ideas,
activities, dan artifacts, sehingga dalam Koentjarningrat (2016:150) berpendirian
bahwasannya terdapat tiga wujud kebudayaan yang kemudian diuraikan satu persatu,
yaitu : 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma,
peraturan, dan sebagainya.
Wujud pertama ini merupakan wujud ideal dari kebudayaan, sifatnya abstrak,
tidak dapat diraba atau difoto, lokasinya ada didalam kepala atau dalam alam pikiran
8
warga masyarakat tempat kebudayaan bersangkutan itu hidup. Jika warga masyarakat
menyatakan gagasan mereka kedalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal mereka
berada dalam karangan atau buku-buku yang merupakan hasil karya warga masyarakat
yang bersangkutan. Ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu
masyarakat memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan antara satu dengan yang lain
dalam masyarakat itu selalu berkaitan dan membentuk suatu sistem yang para ahli
antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini dengan sistem budaya atau cultural
system. Dalam bahasa indonesia wujud ideal dari kebudayaan ini disebut dengan adat
atau adat istiadat
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktiivitas serta tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social system, mengenai
tindakan berpola dari manusia itu sendiri sistem sosial ni terdiri atas aktivitas-aktivitas
manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari waktu ke waktu
dan selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan pada dat dan tata kelakuan.
Sebagai rangkaian aktivitas manusia daam suatu masyarakat maka sistem sosial itu
bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, atau
didokumentaskan.
Wujud terakhir yaitu wujud ketiga dari kebudayaan, yang disebut dengan kebudayaan
fisik. Wujud kebudayaan ini berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya
semua manusia dalam masyarakat. Sifat dari wujud kebudayaan ini adalah paling konkret
karena dan berupa benda-benda atau hal yang dapat diaba, dilihat dan difoto.
c. Unsur-unsur Kebudayaan
9
dari tujuh unsur kebudayaan yakni bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem
peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan
kesenian.
1. Bahasa
Bahasa dikatakan sebagai jantung kebudayaan, yang mana dalam hal ini bahasa
menjadi alat atau sarana utama untuk mengkomunikasikan, membahas, membagikan, dan
mewariskan arti-arti kebudayaan kepada generasi selanjutnya (Andre Ata Ujan, dkk
2009). Bahasa bukan hanya sekedar lisan atau ucapan melainkan juga tulisan dan ada
pula bahasa tubuh. Robert (2004:35) mengatakan bahwasannya hampir semua ahli bahasa
setuju dengan defenisi bahwa bahasa adalah sistem lambang yang digunakan oleh
masyarakat sebagai alat komunikasi.
Setiap individu sudah pasti memiliki bahasa yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari sebagai sarana yang digunakan untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan
orang lain dalam kehidupannya. Setiap daerah pasti memiliki bahasa daerahnya sendiri
atau dalam kesatuan yang lebih khusus setiap daerah memiliki berbagai suku bangsa
dengan bahasanya daerahnya sendiri seperti bahasa Aceh, bahasa Jawa, dan lain
sebagainya. Dalam hubungannya dengan kebudayaan, bahasa juga memiliki karakteristik
yang sama dengan yang terdapat dalam kebudayaan. Kebudayaan yang merupakan milik
anggota masyarakat sama seperti bahasa juga milik anggota masyarakat, bahasa juga
ditransmisi secara sosial, bahasa tercermin dalam ide, tindakan, dan hasil karya manusia
dan juga sebagai sarana bagi manusia untuk berperan, bertindak, berinteraksi, dan
berfungsi dalam kehidupan masyarakat dimana bahasa juga harus dipelajari terlebih
dahulu (ibid).
10
memahami serta menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, serta tata krama
yang ada dalam suatu masyarakat.
2. Sistem pengetahuan
Sistem pengetahuan yang merupakan salah satu dari unsur kebudayaan membantu
setiap individu atau masyarakat dalam menganalisis pengetahuan tentang alam tempat
tinggalnya sehingga dapat mengupasnya dan mewariskannya kepada generasi-generasi
selanjutnya. Sistem pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial
merupakan suatu akumulasi dari perjalanan hidupnya dalam hal berusaha memahami
alam sekitar, alam flora di daerah tempat tinggal, alam fauna di daerah tempat tinggal,
zat-zat bahan mentah dan atau benda-benda dalam lingkungannya, tubuh manusia, sifat-
sifat dan tingkah laku sesama manusia, serta ruang dan waktu (Elly, dkk 2006 : 30)
3. Organisasi sosial
Manusia merupakan makhluk sosial karena antara satu dengan yang lain harus
saling membantu untuk dapat bertahan hidup. Dalam kehidupan bermasyarakat,
organisasi sosial akan senantiasa hadir untuk mengatur berbagai macam tatanan dalam
kesatuan yang terdapat dalam lingkungan tempat tinggal setiap individu manusia. Setiap
kehidupan masyarakat diorganisasi atau diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan
mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan tempat individu hidup dan
bergaul dari hari ke hari diamana kesatuan sosial yang paling dekat dan mesra adalah
11
kesatuan kekerabatannya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kaum kerabat lain
(Koentjaraningrat 2016 : 285)
Dalam lingkungan kebudayaan yang tidak familiar, keluarga dan kaum kerabat
sebagai kesatuan sosial yang paling dekat merupakan hal yang paling sering
menimbulkan keinginan untuk pulang ke kampung halaman bagi individu perantau.
Menurut peneliti para individu perantau mengalami perasaan kehilangan relasi atau
merasa sendiri di lingkungan baru sehingga menimbulkan kerinduan mendalam pada
keluarga dan kerabat yang dapat menyebabkan kegagalan pada tujuan awal individu
tersebut merantau.
Sistem mata pencaharian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang mana
penelitian para ahli antropologi terdahulu terbatas pada sistem-sistem yang bersifat
tradisional, terutama perhatian terhadap kebudayaan suatu suku bangsa secara holistik
(Koentjaraningrat 2016 : 275). Seiring perkembangan zaman yang semakin modern tentu
mata pencaharian yang ada pada tiap-tiap daerah semakin maju. Dalam hal ini perbedaan
mata pencaharian di pusat kota akan berbeda dengan pedesaan. Seperti yang kita ketahui
12
kota akan menghadirkan berbagai macam mata pencaharian dengan berbagai fasilitas
modern seperti adanya gedung-gedung tinggi seperti tempat perkantoran, hotel, mall dan
lain sebagainya yang.
5. Sistem religi
Dalam ilmu antropologi, sistem religi merupakan suatu kepercayaan yang dianut
oleh individu dalam tiap-tiap suku bangsa yang mana kepercayaan ini mengandung arti
yang lebih luas dari agama. Religi pada dasarnya adalah kerpercayaan terhadap adanya
kekuatan gaib luar biasa atau sepernatural yng berpengaruh teradap kehidupan individu
dan masyarakat, bahkan terhadap gejala alam yang menimbulkan perilaku tertentu dari
individu atau masyarakat yang mempercayainya seperti berdoa atau memuja yang
menimbulkan sikap mental tertentu seperti takut, pasrah, ataupun optimis (Alfiandri,
2018). Suatu sistem religi akan sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan di antara
pengikut-pengikutnya yang terdiri dari sistem keyakinan, sistem upacara keagamaaan,
dan suatu umat yang menganut religi itu Koenjaraningrat (2016 : 295).
Perbedaan-perbedaan sistem religi yang ada pada tiap individu atau masyarakat
dapat diihat pada tempat upacara kegamaan dijalankan, saat-saat upacara keagamaan
dijalankan, benda-benda dan alat upacara yang digunakan, serta orang-orang yang
melakukan dan memimpin upacara. Indonesia yang merupakan negara multikultural
memiliki banyak suku bangsa yang tiap suku bangsa itu sebenarnya memiliki
kepercayaan atau keyakinan lokal yang mayoritas dianut oleh masyarakatnya seperti
halnya suku bangsa Aceh mayoritas menganut agama islam sedangkan suku bangsa
13
Batak Toba mayoritas menganut agama kristen. Keyakinan atau kepercayaan yang dianut
oleh tiap suku bangsa juga ikut campur sebagai salah satu identitas budaya.
6. Kesenian
1.2.2 Adaptasi
Adaptasi merupakan salah satu konsep dasar yang terdapat dalam antropologi
ekologi. Julian H. Steward (1930, dalam Yuliati, 2011 : 20-21) sebagai antropolog
ekologi budaya dalam teorinya menegaskan bahwa lingkungan dan budaya bukan dua
hal yang terpisah melainkan suatu proses yang timbal balik dimana lingkungan
berpengaruh terhadap prilaku manusia dan pada waktu yang bersamaan manusia juga
mempengaruhi terbentuknya lingkungan atau dengan kata lain manusia dan lingkungan
adalah setara. Alland (1975, dalam Wahyu 2011 : 11-83) mendefenisikan bahwa adaptasi
14
merupakan strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk mengatasi
perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial.
Bennet (1970) menyatakan bahwa adaptasi adalah suatu proses dimana organisme
menghadapi perubahan yang bersifat responsif pada unsur, struktur, dan komposisi yang
mengatur homestatis (proses yang dilakukan makhluk hidup untuk mempertahankan
kondisi konstan agar tubuh dapat berfungsi dengan normal meski terjadi perubahan pada
lingkungan di dalam atau di luar tubuh) baik perubahan lingkungan jangka pendek
maupun jangka panjang dimana mereka berada.
Menurut Bennet adaptasi dapat di lihat melalui tiga hal. Pertama, perilaku adaptif,
sebagai bentuk prilaku yang menunjukkan penyesuaian dan cara-cara mencapai tujuan,
melakukan pilihan-pilihan dan menolak melakukan tindakan-tindakan atau keterlibatan
dengan maksud untuk beradaptasi. kedua strategi tindakan, yakni tindakan khusus yang
dilakukan dan direncanakan untuk menyelesaikan upaya penyelesaian demi tercapainya
tujuan dan yang ketiga strategi adaptasi merupakan upaya manusia dalam mengutamakan
hasil dari prilaku. Teori tersebut tampaknya menegaskan bahwa individu akan berusaha
untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan tantangan yang dihadapi pada lingkungan
baru dan perubahannya.
Proses adaptasi dalam lingkungan baru yang tidak mudah dapat dilalui dalam
jangka waktu pendek akan memungkinkan terjadinya berbagai guncangan perasaan
akibat perbedaan-perbedaan dalam berbagai unsur kebudayaan yang dihadapi sehingga
15
dalam proses adaptasi tersebut akanada resiko terjadinya culture shock sebagai gejala
sosial yang tak jarang dialami oleh individu yang memasuki lingkungan baru. Culture
shock sebagai masalah sosial yang umum dialami individu perantau dalam menghadapi
perubahan di lingkungan yang baru akan dapat dilihat melalui proses adaptasi mereka di
lingkungannya yang baru sehingga akan terlihat unsur-unsur mana yang menyebabkan
terjadinya culture shock pada individu yang berada dalam lingkungan baru.
Culture shock merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Kalervo
Oberg (1960) yakni seorang antropolog yang menggambarkan culture shock sebagai
sebuah kecemasan yang dihasilkan dari kehilangan semua tanda dan simbol dari
hubungan sosial yang dikenali (Irwin, 2007) atau untuk menggambarkan respon yang
mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh orang-
orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru (Dayakisni, 2004 : 359).
Kecemasan merupakan bentuk perasaan khawatir, gelisah dan perasaan-perasaan lain
yang kurang menyenangkan dimana biasanya perasaan ini disertai dengan rasa kurang
percaya diri, tidak mampu, merasa rendah diri, dan tidak mampu menghadapi suatu
masalah (Hurlock, 1990).
16
Kecemasan yang dihasilkan dari kehilangan semua tanda dan simbol dari
hubungan sosial yang dimaksudkan dalam fenomena culture sohck ialah ialah ribuan cara
dimana individu biasa mengorientasikan diri sendiri didalam kehidupan sehari-hari, dan
bagaimana memberikan petunjuk serta kapan dan dimana individu dapat merespon.
Petunjuk tersebut dapat berupa kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan, yang
kesemuanya itu ialah bagian dari budaya sama halnya dengan bahasa yang digunakan
serta diucapkan dan kepercayaan yang kita terima (Oberg, dalam Andani 2018).
Pada awalnya, defenisi culture shock cenderung pada kondisi gangguan mental
(Dayakisni, 2004:360). Bowlby (1960, dalam Dayakisni, 2004 : 360) menggambarkan
kondisi ini sama dengan seperti kesedihan, berduka cita, dan kehilangan sehingga
dikaitkan mirip dengan kondisi ketika seseorang kehilangan orang yang dicintai namun
bedanya dalam culture shock individu merasa kehilangan relasi, objek atau pendeknya
adalah kehilangan kulturnya.Menurut Furhan dan Bochner (1970, dalam dayakisni 2004 :
359) culture shock adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial
dari kultur baru atau jika mengenalnya, ia tak dapat atau tidak bersedia menampilkan
prilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu.
Edward Hall (1959, dalam Nalarati 2015) melalui bukunya yang berjudul Silent
Language mendeskripsikan culture shock sebagai gangguan ketika segala hal yang biasa
dihadapi ketika di tempat asal sama sekali berbeda dengan hal-hal yang dihadapi di
tempat yang baru atau asing. Menurut Adler (1975 dalam Nalarati 2015) mengemukakan
bahwa culture shock merupakan reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak
terduga dan kesalahpahaman pengalaman yang berbeda sehingga dapat menyebabkan
17
perasaan tidak berdaya, mudah marah dan ketakutan akan di tipu, dilukai ataupun dia
acuhkan. Menurut Kim (2004, dalam Nalarati 2015) culture shock merupakan proses
generick yang muncul setip kali komponen sistem hidup tidak cukup memadai untuk
tuntutan lingkungan budaya baru.
Dalam Dayakini (2004 : 359) Culture shock biasanya dipicu oleh salah satu atau
lebih dari tiga penyebab berikut ini, yakni :
1. Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Cues adalah bagian dari
kehiduan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan-gerakan bagian tubuh
(gestures), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan
kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.
2. Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari maupun tidak
disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan dimana halangan bahasa
adalah penyebab jelas dari gangguan ini
3. Krisis identitas, kondisi ini ialah seperti ketika seseorang pergi keluar negeri ,
seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya.
b. Dimensi Culture Shock
Dimensi dari culture shock mengacu pada defenisi yang telah dipaparkan oleh
Ward, dimana Ward (2001, dalam Intan 2019) membagi culture shock kedalam beberapa
dimensi yakni dimensi afffective, behavior, dan cognitive yang dikenal dengan ABCs of
Culture Shock yakni sebagai berikut :
1. Dimensi Affective
18
2. Dimensi behavior
Kondisi tersebut juga dapat berdampak pada kehidupan personal dan profesional
yang tidak efektif serta akan sulit menyesuaikan diri atau beradaptasi dalam lingkungan
baru. Pada dimensi ini biasanya individu akan mengalami kesulitan tidur, selalu ingin
buang air kecil, mengalami sakit fisik, tidak nafsu makan dan lain-lain sehingga individu
yang tidak terampil secara budaya akan sulit mencapai tujuan seperti contohnya
mahasiswa Aceh yang lebih suka berbicara atau berinteraksi dengan teman yang sama
daerah asal atau suku bangsanya atau lebih memilih diam dan tidak banyak bicara dengan
orang yang tidak berasa dari Aceh.
3. Dimensi cognitive
Dimensi cognitive adalah hasil dari aspek affective dan behavior, yakni berupa
perubahan persepsi individu dalam mengidentifikasi etnis dan nilai-nilai akibat kontak
budaya, dimana kontak budaya itu dapat menyebabkan hilangnya hal-hal yang dianggap
benar oleh idividu tidk dapat dihindarkan sehingga individu tersebut akan memiliki
pandangan negatif dimana pikiran hanya terpaku pada satu ide saja dan kemudian
memiliki kesulitan dalam interaksi sosial.
Terdapat beberapa fase yang digambarkan sebagai bentuk proses adaptasi yang
akan dilewati atau dialami oleh individu yang mengalami culture shock. Setiap individu
bereaksi berbeda-beda dalam menanggapi culture shock atau gegar budaya sehingga
Oberg (1960, dalam Irwin 2007) mengemukan ada yang tidak maju ketahap selanjutnya
19
dalam proses adaptasi pada lingkungan baru yang sebagai akibat dari culture shock tetapi
seseorang tersebut malah kembali ke tahap sebelumnya. Menurut Oberg, tahapan-tahapan
yang dimaksudkan dalam fenomena Culture shock ini dibedakan menjadi 4 tahap yakni:
Tahap keempat ini adalah ketika sudah mampu menerima dan menyesuaikan diri.
Pada fase ini individu perantau yang memasuki lingkungan baru sudah merasakan
kenyamanan dan ada perasaan aman dilingkungan baru serta dapat merasa bahwa
lingkungan tesebut adalah rumah kedua bagi mereka.Lebih jelas lagi, Dayakisni (2004 :
360) mengemukakan terdapat teori yang menggambarkan culture shock dengan kurva U
20
untuk membantu individu yang mengalami culture shock dalam beradaptasi di
lingkungan baru yakni sebagai berikut:
Gambar 1. Kurva U1
1
http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/
21
Hal ini sebenarnya adalah umum dirasakan oleh orang-orang yang memasuki
lingkungan kebudayaan baru. Namun, pada fase ini jika seseorang tidak mampu
melewatiya maka ia akan gagal mencapai tujuannya dan memilih pulang ke kampung
halaman. Ketika seorang individu perantau mampu melewati ketiga fase sebelumnya dan
ia telah mampu menerima dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, sudah merasa
nyaman dan menyukai lingkungan kebudayaan barunya maka dapat dikatakan bahwa
individu tersebut telah mampu melewati fase-fase menyulitkan untuk hidup di
lingkungan barunya, yakni berhasil melewati apa yang dikatakan culture shock.
Culture shock tidak akan terjadi jika tidak ada faktor-faktor penyebab yang
mempengaruhinya. Menurutu Parillo (2008, dalam Intan, 2019) Beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya culture shock adalah faktor intrapersonal, yang meliputi
keterampilan (keterampilan komunikasi), pengalaman sebelumnya (dalam konteks lintas
budaya, karakter personal (mandiri atau toleransi), dan akses ke sumber daya, serta ciri
fisik seperti penampilan, umur, kesehatan, dan juga kemampuan sosialisasi. Menurut
Furnham dan Bochner (Dalam Nalarati, 2015 : 29) faktor-faktor yang mempengaruhi
individu mengalami culture shock saat masuk ke lingkungan baru dan berinteraksi
dengan budaya baru adalah sebagai berikut :
1. Adanya perbedaan budaya, kualitas dan kuantitas, serta lamanya culture shock
yang dialami individu dipengaruhi oleh tingkat perbedaan budaya antara
lingkungan asal dan lingkungan baru individu. Dalam hal ini, culture shock akan
lebih cepat dialami individu yang mengalami erbedaan kebudayaan yang
signifikan atau sangat berbeda seperti sosial, prilaku, adat-istiadat, agama,
pendidikan, norma dalam masyarakat, dan bahasa. Bochner (2003, dalam Nalarati
2015) mengemukakan bahwasannya semakin berbeda kebudayaan antar dua
individu yang berinteraksi, maka akan semakin sulit kedua indvidu tersebut
membangun dan memelihara hubungan baik.
2. Adanya perbedaan individu. Faktor ini berkaitan dengan perbedaan kepribadian
dan kemampuan individu menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya yang
22
juga merujuk ada variabel demografis seperti usia, jenis kelamin, kelas sosial-
ekonomi dan pendidikan.
3. Pengalaman lintas budaya individu sebelumnya. pengalaman individu di masa
lalu saat berada di lingkungan baru akan sangat berpengaruh pada proses adaptasi
seperti pengalaman bagaimana individu menerima perlakuan dari penduduk lokal.
Culture shock tentu memiliki gejala yang dirasakan oleh individu-individu yang
mengalaminya sebagai bentuk ketidaksukaan atau penolakan terhadap lingkungan
kebudayaan baru yang ditempatinya. Komponen-komponen dari terjadinya culture shock
yang paling sering terjadi dilatarbelakngi oleh Rasa rindu yang berlebihan terhadap
kampung halaman, rumah, keluarga dan kerabat atau yang disebut dengan homesick,
tidak suka dengan berbagai hal seperti makanan, bahasa, lalulintas, atau bahkan tidak
suka dengan orang-orang yang ada di lingkungan baru. Gejala dari culture shock yang
memungkinkan dapat dialami oleh individu yang berada dalam situasi lingkungan dan
kebudayaan baru dikemukakan oleh Guanipa (1998, dalam Nalarati 2015 : 30)
diantaranya adalah sebagai berikut :
23
6. Mengidentifikasi dengan budaya lama atau mengidealkan dengan budaya lama
7. Kehilangan identitas
8. Berusaha terlalu keras untuk menyerap segalanya di budaya baru
9. Tidak mampu memecahkan permasalahan sederhana
10. Tidak percaya diri
11. Merasa kekurangan, kehilangan dan kegelisahan
12. Mengembangkan stereotype tentang kultur yang baru
13. Mengembangkan obsesi seperti over-cleaniless
14. Dan rindu keluarga
1.2.4 Etnosentrisme
Hal demikian karena adalah wajar jika individu lebih menyukai kebudayaannya
sendiri atau kelompok etnisnya sendiri daripada kelompok kebudayaan lain apalagi
24
individu tersebut sedang tidak berada di daerah tempat kebudayaanya dan sedang
mengalami kejut budaya atau culture shock di lingkungan barunya sehingga individu
pasti akan cenderung membanding-bandingkan kebudayaan yang dimiliki dengan
kebudayaan yang baru didapati dan menganggap kebudayaan sendiri adalah kebudayaan
yang paling baik, benar dan bagus.
1. Akulturasi
Menurut ilmu antropologi istilah akulturasi atau disebut juga dengan acculturation
atau culture contact, adalah konsep mengenai proses sosial yang timbul bila suatu
kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur
dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan
asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koenjaraningrat, 2016 :
206). Dalam setiap masyarakat bersuku bangsa akan selalu ada individu-individu yang
memiliki sikap etnosentrisme atau berwatak kolot yang tidak suka dengan kebudayaan
lain selain kebudayaannya sendiri sehingga menolak hal-hal baru yang berbeda, namun
ada juga yang suka dan cepat menerima kebudayaan baru tersebut.
25
Mahasiswa perantau yang berasal dari Aceh tentu akan mengalami culture contact
di Kota medan sehingga proses akulturasi tentu sesuai untuk mahasiswa perantau
khususnya pada mahasiswa yang berasal dari Aceh sebagai fokus penelitian. Adalah baik
jika para mahasiswa perantau mampu merespon dan mengolah dengan unsur-unsur
kebudayaan yang didapati di lingkungan barunya secara perlahan yakni dikota Medan,
tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan Aceh yang telah melekat dalam dirinya
karena mau tidak mau setiap individu akan dihadapkan dengan berbagai macam
kebudayaan yang berbeda dengan kondisi tanah air yang Multikultural.
2. Asimilasi
Dengan kata lain akulturasi dan asimilasi sebagai hasil adaptasi akibat kontak
budaya individu dengan lingkungan kebudayaan baru dapat disimpulkan sebagai proses
26
adopsi berbagai unsur kebudayaan dominan yang pada umumnya dapat didapati di
lingkungan kebudayaan baru yang dapat diterima oleh individu perantau.
1.2.6 Merantau
Merantau merupakan sebuah fenomena yang tidak jarang terjadi di Indonesia dan
bahkan sudah seperti menjadi kebudayaan khususnya pada etnis-etnis tertentu seperti
contohnya yang paling popular adalah pada etnis Minangkabau atau Batak. Merantau
adalah pergi atau berpindah ke suatu daerah yang tentunya meninggalkan daera asal.
Menurut Naim (2013) Merantau adalah meninggalkan kampung halaman dengan
kemauan sendiri, memiliki jangka waktu lama, dengan tujuan tetentu, menuntut ilmu dan
mencari pengalaman, yang namun suatu saat akan kembali pulang. Dalalm KBBI
merantau didefenisikan sebagai berlayar atau mencari penghidupan di sepanjang rantau.
27
1.2.7 Penelitian Terdahulu
Cuture shock bukanlah sebuah fenomena yang baru pertama kali dikaji, melainkan
sudah terdapat berbagai sudut pandang ilmu yang telah mengkaji fenomena ini
sebelumnya termasuk ilmu antropologi. Culture shock sebagai sebuah fenomena yang
jika ditarik dalam kajian antropologi mengacu kepada bidang antropologi psikologi,
sebelumnya sudah pernah di kaji oleh antroplog berkebangsaan Indonesia sendiri. Dua
ahli antropologi lulusan Universitas Indonesia yang mengkaji fenomena culture shock
sebagai sebuah penelitian dalam bidang Antropologi Psikologi adalah Istutiah Gunawan-
Mitchel dan Puspa Vasanty Hendarto, yang walaupun dalam penelitiannya tidak langsung
mencantumkan istilah culture shock, namun kedua penelitian tersebut mengacu kepada
fenomena itu. Penelitian kedua ahli antropologi tersebut sangat berguna untuk dijadikan
sebagai bahan referensi. Adapun inti dari kajiannya adalah sebagai berikut:
28
bersifat stereotipik, yang ada pada kedua belah pihak terhadap masing-masing
pihak. Stereotipik tersebut adalah orang Indonesia keturunan Cina menganggap
orang Indonesia dari kalangan pribumi mempunyai watak negative seperti malas,
pemboros, hanya memikirkan hari ini saja, dan sebagainya. Sebaliknya orang
Indonesia pribumi menganggap orang Indonesia keturunan Cina semuanya
memiliki watak negatif seperti licik, egoistis, kikir, materialistis, suka hidup
eksklusif, dan sebagainya.
Penelitian Wulfften Palthe ini merupakan salah satu bukti selanjutnya yang
menegaskan bahwasannya begitu beratnya proses penyesuaian diri individu dengan
kebudayaan yang baru dan berbeda dengan apa yang telah dipelajari sejak individu kecil
sehingga sangat berdampak terhadap kondisi fisik dan psikis individu yang
mengalaminya. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan begitu tertariknya peneliti
mengangkat fenomena culture shock sebagai fokus penelitian karena individu-individu
yang merantau dari daerah asal menuju daerah baru akan dihadapkan dengan berbagai
29
perbedaan kebudayaan yang tentunya akan berpengaruh terhadap kondisi kehidupannya
di lingkungan baru tersebut.
Selain itu belum pernah pula terdapat kajian mengenai fenomena culture shock pada
mahasiwa perantau yang berasal dari Aceh di Universitas Sumatera Utara, yang
walaupun masih berada dalam satu pulau, Aceh dengan kota Medan memiliki perbedaan
dalam berbagai aspek khususnya dalam konteks kebudayaan yang ada dalam kedua
lingkungan tersebut, yang melekat pada diri individu dalam masyarakatnya. Hal-hal
demikianlah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti berbagai perbedaan dan
kesulitan yang dialami oleh mahasiwa Aceh di kota Medan yang menyebabkan terjadinya
culture shock melalui sudut pandang ilmu antropologi.
30
1.3 Rumusan Masalah
Setiap individu sejak kecil telah diresapi dengan nilai budaya yang hidup dalam
masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu sejak lama berakar dalam alam jiwa mere.
Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan
nilai-nilai budaya lain dalam waktu yang singkat (Koentjaraningrat, 2016). Ketika
mahasiswa perantau yang berasal dari Aceh datang ke kota Medan untuk menempuh
pendidikan, mereka akan mendapati berbagai perbedaan dalam berbagai konteks
kebudayaan. Perbedaan-perbedaan yang didapati tentu memberikan efek terhadap diri
para mahasiswa perantau tersebut. Efek yang dimaksudkan dalam hal ini ialah resiko
terjadinya culture shock akibat perubahan lingkungan kebudayaan.
Proses penyesuaian diri dalam lingkungan kebudayaan baru yang tidak dapat
dilakukan dengan waktu yang singkat akan sangat berpeluang pada terjadinya fenomena
culture shock pada mahasiswa perantau di kota Medan. Fenomena culture shock sebagai
masalah sosial budaya pada individu perantau akibat berada dalam kultur berbeda
memungkinkan terjadinya gangguan pada psikis dan fisik mahasiswa perantau tersebut.
Sehubungan dengan hal itu maka peneliti menarik rumusan masalah yakni sebagai
berikut:
31
dilakukan lebih terarah, terfokus dan tidak meluas kepada aspek yang jauh dari relevansi
sesuai dengan ruang lingkup permasalahan yang ingin dikaji dan dipecahkan oleh
peneliti.
1. Adaptasi Sosial
Manusia merupakan makhluk sosial yang secara individul membutuhkan orang lain
dalam proses kelangsungan hidupnya. Ketika individu memasuki lingkungan kebudayaan
baru, maka sebagai makhluk sosial individu tersebut akan melakukan proses adaptasi
dengan lingkungan sosialnya yang baru. Adaptasi sosial merupakan kesanggupan
individu untuk dapat bereaksi secara efektif dan harmonis terhadap realitas dan situasi
sosial, serta bisa menjalin hubungan sosial yang sehat (Andriani & jatiningsih, 2015
dalam Izzati, 2016). Adaptasi sosial yang dilakukan individu perantau di lingkungan
kebudayaan baru tentu dapat berlangsung dengan cepat ataupun lambat. Adaptasi sosial
tersebut tentunya tidak akan terlepas dari yang namanya interaksi karena sebagai
makhluk sosial manusia akan selalu menjalin interaksi dengan sesamanya baik untuk
memenuhi kebutuhan hidup secara biologis, sosial, maupun ekonomi sehingga interaksi
dalam lingkungan sosial menjadi sebuah fenomena yang tidak akan terlakkan dalam
kehidupan manusia.Interaksi sosialmerupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis
menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia,
maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia( Gilin dan Gilin, dalam
Muhatir, 2010). Syarat dari terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial (secara
langsung ataupun tidak langsung) dan komunikasi sebagai bentuk interaksi yang
kemudian akan menghasilkan hubungan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Ketika individu melakukan tegur sapa, berjabat tangan, saling berbicara atau
berkomunikasi maka individu tersebut sedang melakukan interaksi dimana interaksi yang
terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Simbol
adalah objek, bunyi (bicara), atau bentuk-bentuk tertulis yang diberikan makna oleh
manusia yang mana dalam bentuk primer dari simbolisasi tersebut oleh manusia adalah
melalui bahasa yang kemudian menciptakan sebuah hubungan. Interaksionisme simbolik
oleh Herbet Blummer (1969, dalam Poerwanto, 2000 : 38) menekankan pentingnya
32
mempelajari simbol-simbol dalam interaksi manusia untuk menafsirkan apa yang terjadi
agar mampu memahami stimulus (perubahan) dan memberikan respon.
Herbet Blummer dan Mead (dalam, Yuliati 2011 :30) mengatakan bahwa perubahan
sosial dalam interaksionisme simbolik sangat ditentukan oleh kemampuan individu
menangkap dan menafsirkan simbol-simbol dalam proses interaksi sepanjang aktivitas
sosialnya. Prinsip dasar dari Interaksionisme simbolik adalah pertama makhluk manusia
memiliki kemampuan untuk berpikir, kemampuan tersebut akan dapat terpenuhi dalam
suatu interaksi sosial, kedua dalam interaksi sosial manusia akan belajar arti dari makna
dan simbol-simbol yang akan diberinya arti sesuai dengan kemampuan berpikirnya,
ketiga makna dari arti simbol-simbol yang dihasilkan dari kemampuan berpikir akan
mempengaruhi seseorang dalam interaksi sosialnya, kemudian seseorang akan
berinteraksi dengan orang lain dan mampu memilih interaksi mana yang mengntungkan
dan merugikan baginya dan terakhir perpaduan aksi dan interaksi akan menjadi dasar
seseorang bermasyarakat ( Ritzer 1988, dalam poerwanto 2000 : 42).
Dalam penelitian ini, kajian terhadap proses adaptasi sosial yang di lakukan
mahasiswa Aceh di kota Medan sebagai lingkungan kebudaayaan baru adalah upaya
peneliti dalam mengetahui dan menganalisis bagaimana culture shock dan
penyebabnyayang dialami Mahasiswa Aceh di kota Medan dalam menghadapi
perubahan lingkungan sosial.
2. Adaptasi Budaya
Adaptasi merupakan proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu akibat
adanya perubahan yang terjadi, seperti halnya para perantau yang mendatangi lingkungan
kebudayaan baru dalam kurun waktu tertentu maka mengharuskan diri mereka untuk
33
beradaptasi dengan lingkungan barunya. Menurut Usman Pelly (1998 : 83) Adaptasi
merupakan kemampuan atau kecenderungan makhluk hidup dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru untuk dapat tetap hidup dengan baik, dimana adaptasi juga bisa
diartikan sebagai cara-cara yang dipakai oleh perantau untuk mengatasi rintangan-
rintangan yang dihadapi dan untuk memperoleh keseimbangan-keseimbangan positif
dengan kondisi latar belakang perantau.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia
yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2016 : 144) yang
terdiri dari beberapa unsur kebudayaan. Mahasiswa Aceh yang datang ke kota Medan
akan senantiasa dihadapkan dengan berbagai perbedaan unsur kebudayaan yang
memaksa mereka untuk beradaptasi. Sesuai dengan teori nya, culture shock terjadi
dipengaruhi oleh keberadaan individu dalam kultur yang berbeda sehingga ketika
mahasiwa Aceh datang ke kota Medan untuk merantau, maka ia berada dalam kultur
berbeda yang akan mendorong terjadinya culture shock. Adaptasi budaya yang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah upaya penyesuaian diri mahasiswa Aceh di kota
Medan sebagai pendatang pada area budaya yang memiliki unsur kebudayaan berbeda
yang berpeluang menyebabkan terjadinya culture shock. Perbedaan unsur kebudayaan
yang dimaksud peneliti tersebut adalah seperti pada bahasa, sistem religi, sistem
kekerabatan, oganisasi sosial, ataupun ekonomi.
Bahasa. Aceh tentu memiliki bahasa daerah tersendiri yang melekat dan dianut oleh
tiap individu dalam masyarakatnya seperti bahasa Aceh, gayo, tamiang dan lainnya.
Ketika mahasiswa Aceh merantau ke kota Medan otomatis mereka akan menemui
perbedaan bahasa baik melalui logat bahasa, ejaan kata atau bahkan intonasi suara dan
lain sebagainya yang berkaitan dengan bahasa. Perbedaan bahasa sebagai unsur
kebudayaan ini tentu sangat penting dikaji oleh peneliti untuk mengetahui apakah bahasa
sebagai alat utama untuk berkomunikasi di lingkungan kebudayaan baru dalam proses
adaptasi mempengaruhi terjadinya culture shock bagi mahasiswa Aceh perantau di kota
Medan.
Sistem religi. Sebagai salah satu unsur kebudayaan, menurut peneliti sistem religi
patut dikaji dalam fokus masalah ini karena Aceh merupakan daerah yang pengaruh
34
agama dan kebudayaan islam begitu besar hingga mendapat julukan sebagai serambi
Mekkah. Perpaduan agama islam dan adat begitu mengikat rakyat dalam ikatan yang kuat
dimana praktek agama islam sangat berpengaruh dan begitu terasa dalam kehidupan
rakyat sehingga tentu berbeda dengan kota Medan yang sangat plural. Dalam hal ini
peneliti akan mengkaji apakah sistem religi memiliki pengaruh pada terjadinya culture
shock bagi mahasiswa Aceh perantau di kota Medan.
Sistem Ekonomi. Ketika mahasiwa Aceh merantau ke Medan, mereka otomatis akan
jauh dari keluarga dan mengatur kondisi ekonomi diri sendiri dengan sedemikian rupa
sesuai dengan kebutuhannya di kota Medan. Dalam hal ini, tentunya akan ada perbedaan
pemenuhan kebutuhan hidup yang juga akan dikaji peneliti nantinya. Selain itu,
sebahagian dari mahasiswa perantau ada pula yang berusaha untuk melakukan mata
pencaharian sendiri di kota Medan baik untuk menambah saku maupun untuk membantu
35
orang tua sehingga peneliti akan mengkaji terkait apakah keadaan ekonomi juga turut
berpengaruh bagi terjadinya culture shock pada mahasiswa Aceh di kota Medan. Peneliti
juga akan mengkaji terkait apakah kondisi ekonomi juga turut berpengaruh dalam
terjadinya culture shock pada lingkungan sosial budaya individu perantau di kota Medan
dalam proses adaptasinya.
Adaptasi budaya dalam penelitian ini merupakan upaya peneliti dalam menganalisis
apa dan bagaimana perbedaan atau perubahan unsur kebudayaan yang di hadapi
mahasiswa Aceh di kota Medan sebagai lingkungan kebudayaan yang baru dapat
menyebabkan terjadinya culture shock dalam proses adaptasinya.
3. Adaptasi Lingkungan
36
1.5 Tujuan dan Manfaat penelitian
1.5.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui, memahami, mengumpulkan, dan menyajikan informasi serta data
mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam proses adaptasi sosial, budaya, dan
lingkungan yang menyebabkan terjadinya culture shock pada mahasiswa Aceh perantau
Universitas Sumatera Utara di kota Medan khususnya pada mahasiswa Ikatan Pemuda
Tanah Rencong (IPTR) Universitas Sumatera Utara yang mengalami culture shock dalam
proses penyesuaian diri di lingkungan kebudayaan baru.
1.5.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan sumbangan pemikiran
dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu antropologi sosial
serta diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan atau referensi bagi penelitian-
penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi peneliti, kajian ini bermanfaat dalam memperluas ilmu pengetahuan serta
wawasan peneliti khususnya dalam bidang antropologi sosial serta mempertajam
pengetahuan peneliti dalam mengkaji permasalahan culture shock sebagai gejala
sosial melalui sudut pandang antropologi
2. Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi yang
memberikan informasi secara tertulis mengenai fenomena culture shock yang
dialami mahasiswa perantau di lingkungan kebudayaan baru khususnya bagi
mahasiswa yang berasal dari Aceh di kota Medan agar dapat mencegah atau
menyelesaikan terjadinya culture shock. Penelitian ini juga diharapkan mampu
mengundang perhatian para pembaca untuk mengembangkan konsep-konsep,
teori-teori serta model-model pemikiran yang dapat dimanfaatkan untuk
mencegah terjadinya fenomena tersebut.
37
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Tipe penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dimana peneliti
menjadikan individu sebagai pelaku penelitian. Penelitian deskriptif merupakan
penelitian yang dilakukan dengan tujuan berusaha menggambarkan atau mendeskripsikan
obyek dan fenomena yang diteliti yakni mengenai culture shock dan penyebabnya yang
dialami oleh mahasiswa Aceh perantau sebagai fokus penelitian peneliti dimana
informasi dan data yang akan dikumpulkan oleh peneliti adalah berupa kata-kata, gambar
dan bukan angka. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa dalam suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2004 : 6).
Oleh sebab itu, metode deskriptif kualiatif digunakan peneliti untuk berusaha
mendeskripsikan fenomena culture shock yang dialami mahasiswa Aceh perantau yang
tergabung dalam organisasi IPTR USU di kota Medan. Melalui metode ini peneliti akan
berusaha menggali informasi secara akurat dan kemudian akan mendekripsikannya
melalui kata-kata, gambar dan bukan angka.
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yakni data primer dan data
sekunder. Sumber data primer merupakan data pokok yang akan diperoleh peneliti
melalui wawancara mendalam, observasi, FGD dan dokumentasi. Sedangkan, data
sekunder merupakan sumber data yang akan diperoleh melalui kajian terhadap berbagai
literatur (studi kepustakaan) untuk melengkapi kebutuhan penelitian yang berasal dari
buku-buku bacaan, jurnal, skripsi, atau artikel yang antropologis dan berkaitan dengan
masalah yang sedang diteliti untuk kelengkapan penelitian.
38
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik atau metode pengumpulan data yang akan dilakukan dalam
penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut:
1. Wawancara Mendalam
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dengan teknik wawancara mendalam
merupakan bagian yang vital karena melalui proses wawancara mendalam peneliti akan
menggali secara langsung informasi sedalam-dalamnya mengenai fenomena culture
shock yang dialami mahasiswa Aceh perantau yang tergabung dalam IPTR di Universitas
Sumatera Utara. Wawancara mendalam merupakan proses menggali informasi secara
mendalam, terbuka, dan bebas dengan masalah dan fokus penelitian yang diarahkan pada
pusat penelitian (Moleong, 2005 : 186).
39
Tape recorder dan catatan lapangan digunakan sebagai alat agar informasi yang
diperoleh dapat dibaca dan didengar secara berulang agar tidak tejadi kesalahan demi
kekauratan data dan informasi.
40
- Dan apakah mahasiswa Aceh perantau sudah mampu menerima dan
menyesuaikan diri hingga merasa nyaman dengan kota Medan sebagai
lingkungan barunya?
41
Banda Aceh
5 AS (Samaran) Ekonomi-2018 Lhoknga, Anggota IPTR Komisariat
Aceh Besar USU
6 Rizky Maulana. M Kesehatan Bireun, Aceh Anggota IPTR Komisariat
Masyarakat-2018 USU
7 HM (Samaran) Teknik-2018 Subullussalam, Anggota IPTR Komisariat
Aceh USU
8 Erin Harsa ISIP 2017 Simeulue, Aceh Mahasiswa Aceh di USU
(Tidak tergabung dalam IPTR)
9 Oya Rasyida ISIP 2017 Banda Aceh Mahasiswa Aceh di USU
(Tidak tergabung dalam IPTR)
10 Ibu Nurma - Medan Pedagang di Depan Sekret
IPTR Kota Medan
Tabel 1 : Informan Penelitian
1. Informan kunci (key informan) adalah seseorang yang mengetahui dan memiliki
berbagai informasi pokok mengenai masalah yang diteliti. Informan kunci dalam
penelitian ini adalah sekretaris IPTR Komisariat USU yaitu Kahlil Mirzani. Kahlil
menjadi informan kunci dalam penelitian karena data-data serta informasi pokok
mengenai masalah yang dikaji oleh peneliti diperoleh melalui beliau. Selain
karena beliau mengetahui dan memiliki informasi pokok yang dibutuhkan
peneliti, beliau juga mengalami sendiri masalah yang dikaji oleh peneliti sehingga
beliau begitu memahami secara menyeluruh mengenai masalah yang diangkat dan
dikaji oleh peneliti.
2. Informan biasa adalah mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial
(masalah) yang diteliti. Informan biasa dalam penelitian ini adalah mereka yang
terlibat langsung dengan masalah yang diteliti yaitu mereka yang mengalami
masalah yang dikaji oleh peneliti. Adapun informan-informan tersebut adalah
mahasiswa-mahasiswi Aceh yang tergabung dalam organisasi IPTR Komisariat
USU, yakni mereka yang mengalami fenomena culture shock sesuai kajian
peneliti. Adapun informan-informan tersebut ialah Fitri, Rizky, LI, HM dan SA
42
3. Informan tambahan adalah mereka yang dapat memberikan informasi tambahan
sebagai pelengkap analisis peneliti walaupun tidak terlibat langsung dalam
permasalahan yang dikaji oleh peneliti. Adapun informan tambahan dalam
penelitian ini adalah Zauzan Arief yang memberikan sedikit informasi umum
mengenai IPTR dan menyarankan peneliti untuk mendalami dan mendapatkan
berbagai informasi pokok melalui sekretaris IPTR. Kemudian ibu Nurma selaku
pedagang yang berada didepan sekretariat IPTR, serta Erin Harsa dan Oya
Rasyida selaku mahasiswa Aceh yang tidak tergabung dalam organisasi IPTR
USU namun memberikan informasi tambahan sesuai kebutuhan penelitian.
2. Observasi
43
peneliti juga akan mengamati lingkungan dan kondisi tempat tinggal subjek yang
dijadikan sebagai objek penelitian, mengamati subjek penelitian meliputi penampilan
fisik, ekspresi wajah, cara berbicara atau reaksi emosional subjek yang diteliti ketika
melakukan wawancara, serta mengamati interaksi atau hubungannya dengan
lingkungannya.
Tidak lupa peneliti juga akan selalu mengamati segala objek yang ada dan
peristiwa terjadi ketika peneliti melakukan proses pengamatan yang mengacu pada
pemenuhan data sesuai fokus penelitian untuk memperoleh data segar tanpa
sepengetahuan peneliti dimana beberapa data yang diperoleh berasal dari subjek pada
saat terjadinya tingkah laku melalui pengamatan peneliti. Data segar yang diperoleh
peneliti melalui observasi kemudian akan dicatat secara sistematis dan dikumpulkan
sebagai data dalam pemenuhan kebutuhan penelitan karena observasi ialah metode atau
cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah
44
laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung (Ngalim
Purwanto, 1985 dalam Baswori & Surwandi 2008 : 94).
Focus Group Discussion (FGD) merupakan salah satu teknik pengumpulan data
yang juga lazim digunakan dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini , teknik FGD
dapat diandalkan peneliti untuk perolehan data atau informasi berdasarkan hasil diskusi
antara peneliti dengan para informan sesuai dengan fokus bahasan masalah yang sedang
diteliti. Menurut Irwanto (2006) FGD merupakan proses pengumpulan data dan informasi
yang sistematis mengenai suatu permasalahan yang sangat spesifik melalui diskusi
kelompok. Sebagaimana defenisinya, FGD memiliki tiga kata kunci yakni:
Teknik FGD ini sangat bermanfaat bagi peneliti untuk mengetahui pendapat, alasan,
motivasi, dan argumentasi tiap informan mengenai masalah yang sedang diteliti sehingga
dapat menambah informasi, memperkuat hasil penelitian lapangan, serta dapat menguji
keabsahan dan keakuratan data yang telah diperoleh peneliti dilapangan melalui diskusi
bersama para informan nantinya.
Teknik FGD ini dilakukan peneliti secara virtual melalui media online (zoom
meeting) dikarenakan adanya hambatan akibat masa pandemic. Melalui FGD bersama
para informan yang mengalami masalah yang diteliti, peneliti akan melontarkan hasil-
hasil penelitian lapangan yang telah dikategorikan dan dideskripsian oleh peneliti kepada
para informan dengan tujuan untuk mengetahui pendapat para informan dan menguji
kebenaran data atau informasi-informasi yang telah didapatkan. Hal demikian juga
dilakukan peneliti untuk menghindari adanya kesalahan tafsir peneliti terhadap informasi-
informasi yang diberikan informan di lapangan yang akan disimpulkan nantinya.
Disamping itu, dalam proses FGD peneliti juga melakukan observasi terhadap keaktifan
dan kepasifan para informan dalam proses diskusi secara bersamaan yang bermanfaat
untuk melihat lagi sifat dan karakter setiap informan penelitian melalui jawaban yang
45
diberikan serta ekspresi yang ditampilkan melalui keaktifan atau kepasifan mereka dalam
proses FGD.
4. Studi Kepustakaan
5. Dokumentasi
Teknik dokumentasi merupakan salah satu teknik yang digunakan peneliti untuk
memperoleh informasi dari berbagai sumber yang kemudian akan ditelaah oleh peneliti.
Dokumentasi digunakan peneliti untuk melihat atau menganalisis dokumen-dokumen
yang terkait dengan kebutuhan penelitian. Dokumentasi ini juga diperlukan oleh peneliti
untuk menguatkan data atau informasi yang diperoleh melalui wawancara maupun
observasi. Adapun alat dokumentasi yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan
data atau informasi dalam penelitian ini adalah menggunakan field note sebagai alat
utama untuk menuangkan apa yang dilihat, didengar, atau diobservasi dan diwawancarai
peneliti selama proses penelitian dilapangan dan kemudian akan memperincinya.
46
didokumentasikkan peneliti sehingga segala informasi yang diucapkan dapat dibaca dan
didengar secara terus menerus dan berulang oleh peneliti demi ke akuratan data untuk
pemenuhan data penelitian. Foto merupakan salah satu bentuk dokumentasi yang
dilakukan sebagai bukti bahwasannya peneliti benar-benar melakukan penelitian dengan
terjun kelapangan.
Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini ialah teknik analisis data
kualitatif. Menurut Moleong (2005 : 280) Analisis data adalah proses mengorganisasikan
dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data.
Analisis data kualitatif dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber data yang terkumpul, mempelajari data, menelaah dan menyusun dalam
suatu kesatuan yang kemudian dikategorikan pada tahap berikutnya. Kemudian peneliti
memeriksa keabsahan data serta mendefenisikannya dengan analisis sesuai dengan
kemampuan daya peneliti untuk membuat kesimpulan penelitian (Moleong, 2006 : 247).
Analisis data kualitatif merupakan aktivitas yang dilakukan secara terus menerus
selama penelitian berlangsung. Penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang
tersedia dari berbagai sumber baik melalui literatur, observasi atau pengamatan peneliti
selama berada di lapangan, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Adapun analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini ialah menggunakan model analisis data
kualitatif menurut Miles dan Huberman yang terdiri dari tiga tahap yakni sebagai berikut
47
Berbagai informasi atau data yang diperoleh dari lapangan tesebut akan ditulis
ulang dan dibaca secara keseluruhan oleh peneliti untuk ditelaah dan dirangkum, untuk
memilih mana data atau infomasi yang penting sesuai dengan fokus masalah penelitian
dan membuang data yang tidak penting. Proses reduksi data ini akan berfungsi untuk
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasi data yang diperoleh dengan sedemikian rupa sehingga interpretasi dapat
ditarik.
Tahap penyajian data merupakan tahap lanjutan analisis dimana peneliti akan
menyajikan informasi atau data temuan penelitian. Miles dan Huberman (dalam
Sugiyono, 2010 : 341) menjelaskan bahwasannya dalam penelitian kualitatif penyajian
data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan hubungan antar kategori, dan
sejenisnya. Pada tahap ini, peneliti akan menyajikan data dalam bentuk naratif untuk
mendeskripsikan informasi atau data yang diperoleh dari lapangan yang sesuai dengan
tipe penelitian kualitatif.
Tahap penarikan kesimpulan merupakan tahap lanjutan dimana pada tahap ini
peneliti akan menarik kesimpulan dari segala informasi dan data yang telah diperoleh dan
disajikan. Setelah kesimpulan dibuat, peneliti akan memastikan tidak adanya kesalahan
dengan mengecek ulang, memeriksa keabsahan data dan informasi yang diperoleh
melalui reduksi dan penyajian data demi kesahihan hasil penelitian peneliti sesuai dengan
kemampuan daya peneliti untuk membuat kesimpulan penelitian.
48
1.7 Pengalaman Penelitian
49
Kahlil merupakan informan yang sangat ramah, terbuka dan menurut peneliti
memiliki kemampuan berinteraksi dan bersosialisasi dengan baik dengan pengamatan
peneliti sendiri, karena beliau merupakan salah satu mahasiswa Antopologi. Melalui
wawancara dengan Kahlil, peneliti kemudian mendapatkan berbagai data dan informasi
pokok mengenai organisasi IPTR hingga terjun ke sekretariat IPTR sekota Medan di
Jalan Amaliun, kota Matsum Medan Area. Disana peneliti juga mewawancarai ibu
Nurma selaku informan tambahan yang merupakan pedagang yang tepat berada didepan
sekretariat organisasi IPTR kota Medan yang memberikan informasi terkait kegiatan-
kegiatan organisasi IPTR selama masa pandemic.
Sesuai dengan teknik snowball yang digunakan peneliti, Kahlil selaku informan
kuncidan merupakan sekkretaris IPTR komisariat USU juga kemudian menunjuk
beberapa informan yang sesuai dengan kriteria fokus penelitian penulis yang dapat
diwawancarai yakni informan Fitri dan informan Rizky yang pada waktu itu sedang
berada di kota Medan. Informan Fitri dan Rizky hampir memiliki kepribadian yang sama
yakni sangat mudah bergaul, terbuka dan ramah sehingga untuk membangun rapport
dengan mereka sebagai teknik awal mendapatkan informasi, peneliti tidak mengalami
kendala apapun.
Kendala yang dihadapi peneliti selama berada di lapangan pada awalnya adalah
dalam membangun rapport dengan beberapa informan yang tidak mudah yakni informan
LI dan SA. Hal tersebut karena kedua informan tidak dengan mudah mau menceritakan
pengalaman mereka mendatangi kota Medan dengan melalui berbagai hal yang menjadi
50
permasalahan mereka di kota Medan sejak awal merantau. Informan SA sebenarnya
memiliki kepribadian santai dan mudah mencairkan suasana, namun beliau tidak dengan
waktu yang cepat mau menceritakan dirinya dan pengalamannya. Namun, kendala
tersebut dapat dilalui peneliti dengan usaha yang maksimal yang salah satunya adalah
dengan mengikuti hampir seluruh media sosial mereka dan selalu berusaha mendekatkan
diri dan membangun pertemanan.
51
BAB II
Kota Medan merupakan ibu kota dari provinsi Sumatera Utara yang berada pada
koordinat 3°30’-3°.43’ Lintang Utara dan 98°.35-98°.44’ Bujur Timur. Topografi kota
Medan cenderung miring ke Utara dan kota Medan berada pada ketinggian 2,5 – 37,5
Meter di atas permukaan laut. Kota Medan merupakan kota terbesar ketiga setelah kota
Jakarta dan kota Surabaya dimana kota Medan memiliki luas 26.510 hektar atau sama
dengan 265,10 km2 atau 3,6% dari luas wilayah Sumatera Utara (BPS 2010). Kota
Medan terdiri dari 21 kecamatan dengan jumlah penduduk mencapai 2.983.868 jiwa
(Pemkomedan) yang dengan demikian, jika dibandingkan dengan kota atau kabupaten
lainnya, kota Medan memiliki luas wilayah yang relative kecil dengan jumlah penduduk
yang relative besar.
Sebagian besar wilayah kota Medan adalah dataran rendah dan dikatakan
memiliki kedudukan yang strategis karena selain merupakan tempat pertemuan dua
sungai penting yakni sungai Deli dan sungai Babura yang mana keduanya merupakan
jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, kota Medan juga berbatasan langsung
dengan Selat Malaka dibagian Utara sehingga relative dekat dengan kota-kota atau
negara yang lebih maju seperti pulau pulau Penang, Kuala Lumpur Malaysia dan
singapura (Arsip PemkoMedan). Secara administrative hampir keseluruhan dari wilayah
kota Medan berbatasan dengan kabupaten Deli Serdang. Adapun batas-batas wilayah
administrative tersebut adalah sebagai berikut :
52
Berikut luas wilayah kota Medan menurut Kecamatan tahun 2015 berdasarkan Badan
Pusat Statistik (BPS) kota Medan :
LuasPersentase
Kecamatan
(%)
1. Medan Tuntungan 20,687,80
2. Medan Johor 14,58
5,50
3. Medan Amplas 11,19
4,22
4. Medan Denai 9,053,41
5. Medan Area 5,522,08
6. Medan Kota 5,271,99
7. Medan Maimun 2,981,13
8. Medan Polonia 9,013,40
9. Medan Baru 5,842,20
10. Medan Selayang 12,814,83
11. Medan Sunggal 15,44 5,83
12. Medan Helvetia 13,164,97
13. Medan Petisah 6,822,57
14. Medan Barat 5,332,01
15. Medan Timur 7,762,93
16.Medan Perjuangan 4,091,54
17.Medan Tembung 7,993,01
18. Medan Deli 20,84
7,86
19. Medan Labuhan 36,67 13,83
20. Medan Marelan 23,82 8,99
21. Medan Belawan 26,25 9,90
Kota Medan 265,10
100,00
Tabel 2. Luas Wilayah Kota Medan Menurut Kecamatan, tahun 2015
53
Gambar 2.Peta Kota Medan
2
Arsip Daerah Pemerintah Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Arsip.Pemko Medan.go.id
54
2.1.2 Heterogenitas Kota Medan
Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu kota yang
heterogen dengan keanekaragaman masyarakat yang terdapat didalamnya. Seperti yang
dapat diamati pada masa kini, kota Medan merupakan kota yang multietnis dimana
penduduknya terdiri dari orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang
berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut dapat dilihat melalui masyarakatnya yang terdiri
dari beragam suku bangsa, bahasa, agama, ras dan lain sebagainya yang membentuk kota
Medan menjadi sebuah kota yang heterogen. Keanaekaragaman tersebut juga terpampang
jelas dengan jumlah Masjid, Gereja, Vihara, atau Kuil yang terdapat di kota Medan.
Namun, keberadaan kota Medan yang heterogen saat ini sebenarnya tidak terlepas dari
gelombang migrasi yang pernah terjadi akibat perkembangan perkebunan di kota Medan
sekitar abad 19 hingga abad 20.
3
Tengku Luckman Sinar, SH. “Sejarah Medan Tempo Doeloe”. 1991, hlm.26
4
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/63821/Chapter%20II.pdf?sequence=4&isAllow
ed=y
55
Etnik Tahun 1930 Tahun 1980 Tahun 2000
Jawa 24,89 % 29,41 % 33,003%
Batak 2,93 % 14,11% (lih.catatan)
Tionghoa 35,63 % 12,80% 10,65%
Mandailing 6,12 % 11,91% 9,36%
Minangkabau 7,29% 10,93% 8,60%
Melayu 7,06% 8,57% 6,59%
Karo 0,19% 3,99% 4,10%
Aceh - 2,19% 2,78%
Sunda 1,58 % 1,90% -
Lain-lain 1,31 % 4,13% 3,95 %
Sumber: 1930 dan 1980: Usman Pelly, 1983; 2000: BPS Sumut[9] Data BPS Sumut
tidak menyenaraikan "Batak" sebagai salah satu suku bangsa, namun total Simalungun
(0,69%), Toba (19,21%), Pakpak, (0,34%), dan Nias (0,69%) totalnya adalah 20,93%
Tabel 3. Perbandingan etnis di Kota Medan pada tahun 1930, 1980, dan 20005
Data Perbandingan etnis tersebut menjadi bukti bahwasannya kota Medan sudah
menjadi kota yang Multietnis dan beragam sejak lama bahkan sebelum kemerdekaan
Indonesia. Terdapat etnis Jawa, Batak, Tionghoa, Mandailing, Minangkabau, Melayu,,
Karo, Aceh, dan Sunda yang telah bermukim di kota Medan dan telah terdata mulai tahun
1930. Dalam tabel tersebut juga dapat dilihat bahwasannya jumlah etnis Aceh sebagai
etnis yang menjadi kajian peneliti di kota Medan mengalami peningkatan mulai tahun
1980 hingga tahun 2000. Disamping itu, selain kota yang multietnis, kota Medan juga
dikenal dengan keberagaman agama yang terdapat didalamnya.
5
Wikipedia: 1930 dan 1980: Usman Pelly, 1983; 2000: BPS Kota Medan
56
Berikut agama di kota Medan menurut wikipedia, berdasarkan data sensus kota
Medan tahun 2018 :
Agama Persen%
Islam 64.53 %
Protestan 20.99 %
Khatolik 5.11 %
Buddha 8.27 %
Hindu 1.04 %
Konghucu 0.06 %
Data sensus pada tabel di atas menunjukkan keberagaman agama yang ada di kota
Medan dengan jumlah pemeluk agama Islam sebesar 64,35%, agama Kristen protestan
sebesar 20,99 %, Khatolik 5,11 %, Buddha 8,27 %, Hindu 1,04%, dan Konghucu sebesar
0,06%. Eberagaman agama tersebut juga dapat di amati pada kota Medan melalui rumah-
rumah ibada agama-agama tersebut yang berada tersebar di kota Medan.
Dari sekian banyaknya faktor pendorong yang menjadikan kota Medan sebagai
kota yang heterogen atau multicultural, faktor pendidikan adalah yang menjadi salah satu
faktor pembentuk keheterogenitasan tersebut. Terdapat individu-individu yang
bermigrasi ke kota Medan baik secara permanen ataupun tidak dengan tujuan untuk
menempuh pendidikan. Dalam konteks pendidikan pada jenjang perguruan tinggi di kota
Medan, Universitas Sumatera Utara merupakan salah satu faktor pendorong utama para
individu yang berasal dari luar kota Medan bermigrasi ke kota Medan dengan tujuan
untuk menempuh pendidikan. Hal demikian karena Universitas Sumatera Utara
57
merupakan salah satu Universitas Negeri ternama khususnya di pulau Sumatera sehingga
beragam individu dengan latar belakang asal daerah, suku bangsa atau etnis, ras, atau
agama yang berbeda-beda mendatangi kota Medan dengan tujuan untuk menempuh
pendidikan yang menjadi salah satu faktor pendorong keherterogenitasan tersebut di kota
Medan.
Sumber: Internet
58
Sejarah dari Universitas Sumatera Utara dimulai dengan berdirinya Yayasan
Universitas Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952 yang dipelopori oleh Gubernur
Sumatera Utara pada saat itu untuk memenuhi keinginan masyarakat Sumatera Utara
secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum. Pada zaman pendudukan Jepang,
beberapa orang terkemuka di Medan seperti Dr. Pirngadi dan Dr. T. Mansoer membuat
sebuah rancangan perguruan tinggi Kedokteran. Setelah kemerdekaan Indonesia,
Pemerintah kemudian mengangkat Dr. Mohd. Djamil di Bukit Tinggi sebagai ketua
panitia. Setelah pemulihan kedaulatan akibat clash (bentrokan) pada tahun 1947,
Gubernur Abdul Hakim mengambil inisiatif untuk menganjurkan kepada seluruh rakyat
di Sumatera Utara mengumpulkan uang untuk pendirian sebuah Universitas di daerah ini
(Sumatera Utara).
59
Kehutanan (2014). Tahun 2003, USU kemudian merubah status dari suatu Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) menjadi suatu perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN). Perubahan status USU dari PTN menjadi BHMN merupakan yang kelima di
Indonesia setelah UI, UGM, ITB, DAN IPB pada tahun 2000. Setelah USU disusul
perubahan status UPI tahun 2004 dan UNAIR tahun 2006. Berikut tabel banyak
mahasiswa USU yang didata mulai tahun 2001/2002 hingga 2017/2018:
Sumber: Universitas Sumatera Utara melalui BPS kota Medan tahun 2019
60
tersebut tentu tidak saja hanya berasal dari kota Medan melainkan dari berbagai daerah
yang ada di Indonesia. Dalam perkembangannya, beberapa Fakultas di lingkungan USU
telah menjadi embrio berdirinya tiga perguruan tinggi negeri yang baru, yakni
Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh, yang embrionya adalah Fakultas Ekonomi dan
Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan USU di Banda Aceh. Kemudian disusul
berdirinya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Medan ( 1964), yang
sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Medan (UNIMED) yang embrionya adalah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan USU. Setelah itu berdiri Politeknik Negeri
Medan (1999) yang semula adalah Politeknik USU. Seiring berjalannya waktu di USU
juga terdapat beragam organisasi mahasiswa baik organisasi kesukuan maupun tidak
yang salah satu di antaranya adalah organisasi Ikatan Pemuda Tanah Rencong (IPTR)
yakni organisasi kesukuan Aceh yang akan dijelaskan pada sub bab berikut.
Ikatan Pemuda Tanah Rencong (IPTR) merupakan salah satu organisasi kesukuan
beretnik Aceh yang terdapat di kota Medan yang juga terdapat di Universitas Sumatera
Utara. IPTR bukanlah sebuah organisasi baru di kota Medan melainkan telah ada sejak
tahun 1953 yang didirikan dengan semangat perantauan para pelajar, pemuda dan
mahasiswa Aceh ksusnya yang berada di kota Medan. Seperti pada umumnya,
membentuk sebuah ikatan organisasi kesukuan sebagai identitas suku bangsa atau asal
daerah merupakan suatu hal yang tak jarang ditemui pada kelompok-kelompok etnis
pendatang dalam suatu daerah.
61
yakni ada waktu itu fasilitas pendidikan di kota Medan lebih mendukung sehingga
mendorong orang-orang Aceh untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke kota Medan6.
Para pemuda dan pelajar Aceh yang kemudian bermigrasi atau merantau ke kota
Medan berinisiatif membentuk suatu perkumpulan untuk berdiskusi dan membahas
permasalahan yang dihadapi para pelajar dan pemuda Aceh di kota Medan serta berusaha
mengakomodasi kepentingan-kepentingan para pemuda dan pelajar Aceh yang juga
didorong oleh keinginan mereka yang merasa senasib sepenanggungan, ingin bersama
membentuk suatu organisasi yang didasari oleh sebuah rasa kebersamaan, kekeluargaan
dan keakraban serta memiliki rasa aman dalam ikatan silahturahmi yang erat di kota
Medan sebagai tanah rantau.
Melalui sebuah rapat yang dihadiri oleh para pemuda dan pelajar Aceh di Balai
Prajurit Jalan Bukit Barisan Medan, organisasi IPTR secara resmi didirikan pada tanggal
12 Juli 1953 oleh para pemuda dan pelajar Aceh di kota Medan yang diantaranya adalah
Zainnudin Jusuf, M. Noor Nikmat, Mustafa Sulaiman, Said Ibrahim, Yacob Ahmad, Cut
Zahara, Mahyuddin Amin, dan beberapa pemuda Aceh lainnya dan kemudian di sahkan
melalui rapat anggota pada tanggal 2 Agustus 1953. Organisasi Ikatan Pemuda Tanah
Rencong (IPTR) mempunyai sebuah doktrin yang mereka sebut sebagai Tri Darma IPTR
yakni berisikan Keilmuan, Keimanan, dan Solidaritas.Nama organisasi Ikatan Pemuda
Tanah Rencong yang disingkat menjadi IPTR ini di usulkan oleh seorang pelajar
bernama Idris, dimana seperti yang diketahui Rencong adalah senjata khas yang dimiliki
rakyat Aceh sehingga nama “Ikatan Pemuda Tanah Rencong” dijadikan sebagai nama
organisasi yang disingkat menjadi IPTR, sedangkan lambang IPTR diciptakan oleh
Yacob Ahmad yang juga merupakan salah satu anggota pendiri IPTR.
Adapun pengurus periode pertama IPTR di kota Medan yakni pada tahun 1953-
1954 ialah Zainnudin Jusuf sebagai ketua, M.. Jusuf Hanafiah sebagai wakil ketua, dan
Bahdi sebagai sekertaris. Sekretariat IPTR pada saat itu berada di rumah salah seorang
anggota pengurus yang kemudian pada tahun 1954-1955 ketika ketua umum IPTR
dijabati oleh M Noernikmat, organisasi IPTR membeli sebuah rumah yang dijadikan
6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh, Jakarta : Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional DIREKTORAT
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984, hlm 4
62
sebagai tempat perkumpulan IPTR hingga sampai pada saat ini menjadi sekret DPD-
IPTR yakni berlokasi di Jalan Amaliun nomor 25 Kelurahan Kota Maksum, Kecamatan
Medan Area.
63
2.3.2 Makna Lambang IPTR
Sumber: Internet
Adapun makna yang terkandung didalam lambang organisasi IPTR di atas ialah :
1. Perisai
Bentuk perisai pada logo tersebut adalah melambangkan pelindung
2. Rantai
Bentuk rantai pada logo tersebut adalah melambang persaudaraan yang kuat
3. Rencong
Bentuk Rencong yang tepat berada ditengah di dalam tersebut adalah melambangkan
semangat kepahlawanan dan sifat kedaerahan, yakni rencong sebagai senjata khas
Aceh
4. Warna Hijau
Warna hijau pada logo IPTR di atas adalah melambangkan ideology ke Islaman
5. Warna Kuning
Warna kuning pada logo adalah melambangkan Keagungan, Mulia dan Polpulis
6. IPTR
Melambangkan nama organisasi
7. 1953
1953 adalah melambangkan tahun berdirinya IPTR
8. Medan, Medan melambangkan tempat lahirnya organisasi IPTR
64
2.3.3 Profil Komisariat IPTR USU
Ikatan Pemuda Tanah Rencong Universitas Sumatera Utara merupakan salah satu
komisariat yang ada di kota Medan, berawal dari Dewan Pimpinan Pusat(DPP), Dewan
Pimpinan Cabang (DPC), dan Dewan Pengurus Komisariat (DPK) seperti IPTR USU.
Sebenarnya, komisariat IPTR tidak hanya terdapat di USU namun terdapat di kampus-
kampus lainnya namun IPTR USU adalah salah satu yang paling aktif dan eksis karena
terdapat banyak orang Aceh yang menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara.
Namun demikian, IPTR USU sempat vakum pada tahun 2009 dan didirikan kembali pada
tahun 2011 dan sampai resmi aktif kembali pada tahun 2014.
Setelah aktif kembali, anggota organisasi IPTR USU mulai kembali menggelar
beberapa acara yang berkenaan dengan Aceh seperti Peringatan Hari Besar islam (PHBI),
Ulang Tahun Provinsi Aceh, Peringatan Tsunami, Festival Kebudayaan Aceh, Pengajian,
Buka Puasa Bersama, Sahur pagi bersama, hingga mengadakan kegiatan IPTR Road
ToSchool yakni para anggotanya menyebar ke sekolah di bagian Aceh untuk melakukan
sosialisasi kampus USU dan jurusan-jurusan yang terdapat di dalamnya agar para pelajar
atau adik-adik yang masih bersekolah berani merantau, menempuh pendidikan di luar
daerah seperti di kota Medan dimana IPTR akan menjadi wadah yang mengayomi
mereka. Tak hanya itu organisasi IPTR juga aktif dalam kegiatan social seperti aksi dana
peduli korban gempa Aceh ataupun Rohingya yang terdampar di Aceh, juga rutin
memberikan santunan kepada anak yatim melalui aksi dana yang mereka adakan dimana
65
aksi dana dengan turun ke jalanan untuk bersama-sama mengumpulkan sumbangan dan
menyalurkan dana tersebut kepada pihak yang membutuhkan7.
Namun, berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus IPTR usu saat ini (periode
2019/2020), kegiatan-kegiatan yang biasa di lakukan oleh organisasi IPTR seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya sementara tidak berjalan karena adanya Covid-19. Hal
tersebut juga berdampak kepada sekretariat IPTR USU. Sebelumnya sekret Komisariat
IPTR USU berada di Jalan Harmonika Baru No.41 Padang Bulan Selayang II, namun
akibat adanya Covid-19 pada periode saat ini sekretariat IPTR USU (DPK) merangkap
dengan DPD IPTR di kota Medan yang berada di Jalan Amaliun, Kota Matsum IV, Kec.
Medan Area8.
7
Wawancara dengan Ketua umum Komisariat IPTR USU
8
Wawancara dengan Sekretaris Umum Komisariat IPTR USU
66
2.3.4 Visi dan Misi IPTR USU
Visi
Adapun visi dari organisasi IPTR ialah, menghimpun dan membina generasi
muda untuk meningkatkan sumber daya manusia dalam meraih cita-cit yang
sesuai dengan tuntunan islam.
Misi
Terdapat beberapa hal yang menjadi misi dari organisasi IPTR usu, yakni sebagai
berikut:
1. Mengadakan pertemuan-pertemuan baik bersifat langsung sesama anggota
maupun umum
2. Mengadakan hubungan kerjasama dengan organisasi kemahaiswaan, ormas,
instansi pemerintahan, dan organisasi-organisasi lainnya yang dianggap perlu
serta tidak mengikat
3. Mengadakan kegiatan-kegiatan di bidang agama dan da’wah dalam usaha
meningkatkan ilmu, amal, dan iman
4. Mengadakan kegiatan pada bidang pendidikan baik berupa bimbingan studi,
tentoran, penataran, kursus-kursus, seminar-seminar, diskusi-diskusi dan
bentuk-bentuk perkaderan lainnya
5. Mengadakan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kecakapan hidup
untuk mewujudkan kesejahteraan anggota
6. Menggali, mengembangkan dan melestarikan kebudayaan Aceh juga untuk
memperkaya khazanah kebudayaan
7. Mengadakan usaha-usaha lainnya yang tidak bertentangan dengan anggaran
dasar.
67
2.3.5 Struktur Organisasi IPTR USU
Tabel VI
Susunan Badan Pengurus Umum (BPU) dan Badan Pengurus Harian (BPH) IPTR USU
Periode 2019/2020
Ketua Umum
Sekretaris
Bendahara
Wakil Bendahara
68
Keterangan:
Bidang Kerohanian
Ketua : Saryulis Auliahad
69
Sekretaris : Nurul Husna
Anggota : Siduqul Fuad
Isfahani. S
Siti Sabbiah
Bidang Kesenian
Ketua : Halqi Rizkiansyah
Sekertaris : Intan Husnul
Anggota : Nurul Uzlah
Sayed Nazri Akbar
Maghfirah Izza
Bidang Olahraga
Ketua : Agung Rahmawan
Sekertaris : Nabila Al Firabalqis
Anggota : Fadthah Faisal
M. Huzaifi
Cut Adlia Shiba
Milda Silvana
70
BAB III
Dalam hal ini, harmonisasi antara adat dan agama islam di Aceh berkembang
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya sehingga menurut penulis Islam telah
menjadi pribadi kebudayaan bagi masyarakat Aceh. Hubungan antara kepribadian dan
kebudayaan sangatlah erat. Hal tersebut dikarenakan menurut peneliti, kebudayaan yang
diterima oleh setiap individu dalam masyarakatnya akan memiliki pengaruh yang
menentukan bagaimana karakteristik atau kepribadian individu yang terbentuk.
Kebudayaan akan menentukan apa yang harus diwariskan oleh pendahulu (orang tua)
kepada generasi selanjutnya dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nilai-nilai tertentu
yang diterima oleh para pewarisnya akan melahirkan tipe kepribadian tertentu yang
serupa.
9
T. Ibrahim Alfian, dkk,”Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh”. Proyeksi dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah 1977/1978, hlm 14.
71
Menurut peneliti, gagasan tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Mead
(1953, dalam Danandjaja) tentang konsep watak bangsa yang dipandang sebagai watak
kebudayaan yaitu kesamaan (regularities) sifat di dalam organisasi intra-psikis individu
anggota suatu masyarakat tertentu, yaitu diperoleh karena mengalami cara pengasuhan
anak yang sama, didalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat Aceh
yang didaerahnya menerima warisan keterpaduan antara Islam dengan hampir segala
sendi kehidupan masyarakatnya secara turun temurun maka akan cenderung memiliki
kesamaan sifat. Berikut akan dipaparkan seperti apa karakteristik masyarakat Aceh dan
harmonisasi Islam dalam beberapa sendi kehidupan masyarakatnya yang sejalan dengan
kajian peneliti.
Karakteristik pertama adalah Aceh dikenal sebagai tempat dimana agama dan adat
menjadi dua pilar yang sangat penting dalam penataan sosial, sebagaimana disebutkan
dalam hadih maja yaitu Adat bak Poe Teumeureuhom Hukom bak Syiah Kuala, Qanun
bak Putroe Phang, Rusam bak Lakseumana. Poteumeurehom (kekuasaan eksekutif)
adalah sultan, Syiah Kuala (yudikatif) adalah Ulama, dan Putroe Phang (Legislatif),
Laksamana (Pertahanan tentara). Dalam hal ini sisi kehidupan sosial budaya Aceh
dibangun atas dasar agama dan adat yang membentuk suatu penataan sosial yang
berlangsung di Aceh. Keberadaan ulama merupakan wujud dari adanya pilar agama dan
adat yang peranannya sangat penting sepanjang sejarah di Aceh sehingga Islam menjadi
“way of life” yang menjadi dasar budaya adat Aceh yang memiliki daya juang tinggi
untuk menjangkau masa depan.
72
Karakteristik kedua ialah masyarakat Aceh dikenal sangat pemberani. Hal
demikian mendapatkan pembenaran melalui historis pada masa perang Aceh, sejak
maklumat perang disampaikan Belanda pada 26 Maret 1873. Keberanian dan patriotisme
masyarakat Aceh dalam berjuang memperlihatkan betapa mereka setia pada cita-cita dan
pemimpin yang adil, yang menjadi suatu sifat yang di utamakan oleh masyarakat Aceh.
Jika berbicara mengenai adat di Aceh, maka secara otomatis akan melibatkan
Syari’at Islam yang merupakan pedoman hidup masyarakatnya. Adat merupakan bagian
dari aturan perbuatan dan kebiasaan hidup yang berlaku pada masyarakat Aceh dan ha
bersendikan syari’at Islam sebagai dua unsur penting yang saling berkaitan. Adat tersebut
dijadikan sebagai pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat Aceh yang aturannya
tertulis dan tidak tertulis. Keberadaan adat tersebut tidak boleh bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Adat tersebut harus melahirkan nilai-nilai budaya, norma, dan aturan
73
yang sejalan dengan syari’at Islam sebagai suatu kebanggan, kekayaan dan ciri khas
masyarakat Aceh yang harus dibina dan dilestarikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada Qanun Aceh nomor 9 tahun 200, bab VII pasal 16 mengenai bentuk-bentuk
sanksi adat, terdapat beberapa sanksi dalam penyelesaian sengketa adat meliputi nasehat,
teguran, pernyataan maaf, saya,. Diyat, denda, ganti kerugian, dikucilkan oleh
masyarakat gampong, dieluarkan dari masyarakat gampong, pencabutan gelar adat dan
bentuk sansi lain sesuai dengan peraturan adat setempat. Selain itu, keluarga juga akan
turut bertanggung jawab atas terlaksananya sanksi yang dijatuhkan kepada anggot
keluarganya. Untuk kelengkapan lebih lanjut dan meluas mengenai kehidupan adat
istiadat masyarakat Aceh dapat dilihat melalui Qanun Aceh nomor 9 tahun 2008 tentang
pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat serta pada Qanun Aceh nomor 10 tahun 2008
tentang lembaga adat.
74
Melalui aturan-aturan adat yang tertulis tersebut, dapat diketahui bahwasannya
aturan adat yang bersendian syariat Islam, turut menjiwai kehidupan masyarakat Aceh
sebagai pedoman hidup masyarakatnya. Dapat pula diketahui bahwasannya, aturan
tersebut tentu memiliki pengaruh dalam membentuk karakter setiap individu dalam
masyarakatnya. Selain itu, wujud konkret dari Syari’at Islam dalam kehidupan
masyarakat Aceh juga dapat dilihat pada sistem pemerintahan juga sistem pendidikannya.
Agama Islam merupakan agama yang mayoritas dianut oleh penduduk di Aceh
dimana Berdasarkan sensus penduduk 2010, yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS),
sebanyak 4.413.244 atau 98,18 persen penduduk Aceh beragama Islam. Pembahasan
mengenai agama sebenarnya hampir menyentuh seluruh pembahasan mengenai
kebudayaan Aceh karena, Aceh merupakan sebuah provinsi yang amat sangat kental
budayanya yang adalah norma-norma agama Islam itu sendiri. Dalam Koentjaraningrat
(2007 : 243) tentang sistem religi masyarakat Aceh, Orang Aceh pada umumnya adalah
pengikut Imam Madzhab Sjafii yang mana Qur’an dan Hadis Nabi merupakan satu-
satunya pedoman hidup masyarakat. Kenyataan tersebut benar tampak adanya dalam
ruang lingkup kehidupan masyarakat Aceh hingga sampai saat ini pedoman hidup
masyarakat Aceh disesuaikan dengan unsur-unsur syari’at Islam. Agama Islam sangatlah
menonjol dalam kehidupan masyarakat Aceh yang berpengaruh terhadap kereligiusan
dan kepribadian setiap individu dalam masyarakatnya. Budaya dengan ajaran agama
Islam yang telah berasimilasi, membentuk kepribadian setiap individu dalam
masyarakatnya yang tampak membentuk sifat lebih religius dan teratur sesuai norma-
norma yang terkandung dalam ajaran agama Islam sendiri. Seperti wawancara yang
dilakukan peneliti dengan informan AS, beliau menyatakan :
75
seluruhnya menganut agama Islam, terdapat juga agama-agama lain dan rumah ibadah
lain seperti hal nya g ereja disana. Agama Islam memang sangatlah berpengaruh dalam
seluruh sendi kehidupan masyarakat Aceh dan dengan diberlakukannya syari’at islam
disana seluruh pelanggaran yang dilakukan akan lebih banyak diputuskan oleh hukum
Islam.
Ketahanan dan daya juang tinggi yang menjadi karakter khas masyarakat Aceh
tersebut bersumber dari pandangan hidup masyarakatnya yang berlandaskan syari’at
Islam yakni kehidupan yang relgius, adat yang kukuh, serta budaya Islam yang kuat
dalam melawan kaum penjajah. Syari’at Islam yang telah melahirkan budaya Islam yang
kuat bagi masyarakat Aceh, menjadi modal bagi perjuangan mereka dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan NKRI yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Atas
pertimbangan yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap sejarah panjang perjuangan
Aceh tersebut, dikeluarkanlah undang-undang RI yang mengatur tentang keistimewaan
dan kekhususan Aceh. Penyelenggaraan keistimewaan tersebut di atur dalam undang-
undang RI nomor 44 taun 1999. Berikut beberapa penggal bunyi dari penyelenggaraan
keistimewaan Aceh dalam UU Nomor 44 tahun 1999:
76
BAB III
Bagian Kesatu
Bagian Kedua
Pasal 4
77
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Kehidupan Adat
Pasal 6
Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan,
pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat diwilayahnya
yang dijiwai dan sesuai dengan syari’at Islam
Pasal 7
Daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang
sudah ada sesuai dengan edudukannya masing-masing di Provinsi,
Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kemukiman, dan Kelurahan Desa atau
Gampong.
Bagian Keempat
Penyelenggaraan pendidikan
(1) Pendidikan di Daerah diselenggarakan sesuai dengan Sistem Pendidikan
Nasional
(2) Daerah mengembangkan dan mengatur berbagai jenis, jalur, dan jenjang
pendidikan serta menambah materi muatan local sesuai dengan syari’at islam
(3) Daerah mengembangkan dan mengatur Lembaga Pendidikan Agama Islam
bagi pemeluknya diberbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan
Bagian Kelima
Peran Ulama dalam Penetapan Kebijakan Daerah
Pasal 8
(1) Daerah membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama
(2) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen yang
berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah, termasuk
bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan
ekonomi yang Islami.
78
besar hampir sama dengan UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Begitu
banyak materi mengenai pemerintahan Aceh ini sehingga kelengkapannya dapat dilihat
dalam UU No 11 Tahun 2006 tersebut. Pemerintahan Aceh dipimpin oleh Gubernur dan
Wakil Gubernur sebagai kepala pemerintahan yang bertanggung jawab dalam penetapan
kebijakan pemerintahan Aceh pada semua sektor pemerintahan termasuk pelayanan dan
ketentraman serta ketertiban masyarakat yang diatur dalam Qanun Aceh. Kabupaten atau
kota di Aceh dibagi atas kecamatan. Kecamatan dibagi atas Mukim (Kesatuan masyarakat
hukum dibawah kecamatan atas gabungan beberapa Gampong (Kelurahan). Mukim
kemudian dibagi atas Gampong yang dipimpin oleh Geuchik (RT). Perlu diketahui
bahwasannya dalam setiap tingkatan wilayah mulai dari yang terendah hingga tertinggi,
tokoh ulama akan selalu ada untuk menjadi mitra pemimpin dalam menjalankan
tugasnya.
79
Islam, dan Wilayatul Hisbah (lembaga pengawasan pelaksanaan syari’at Islam di
Provinsi Aceh) (Berutu, 2014). Sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang
menerapkan syari’at dan mengacu kepada ketentuan hukum pidana Islam, Aceh memiliki
ketentuan hukum sendiri yang telah disebutkan sebelumnya yaitu hukum jinayat.
Undang-undang yang menerapkan hukum jinayat ini diatur dalam Qanun Aceh no 6
tahun 2014 tentang hukum Jinayat.
Ciri khas kebudayaan Aceh yang menonjol lainnya juga dapat dilihat melalui
bahasa yang digunakan disana. Aceh memiliki beberapa bahasa yang berkembang dalam
masyarakatnya. Dalam buku Koentjaraningrat (2007 : 231-232) yang berjudul manusia
dan kebudayaan di Indonesia, ia menyatakan terdapat empat bahasa pada masyarakat
Aceh yakni:
1. Bahasa Gayo-Alas, yang diucapkan oleh orang-orang Gayo dan Alas yakni
pendudu Aceh Tengah
2. Bahasa Aneuk Jame, yang khusus merupakan bahasa dari orang-orang Aceh
Selatan dan Aceh Barat dan juga di ucapkan oleh kira-kira 20% dari orang
Aceh
80
3. Bahasa Tamiang, yang tersebar dekat perbatasan Aceh dengan Sumatera
Timur dan mendapat pengaruh dari bahasa daerah Sumatera Timur dan
diucapkan oleh kira-kira 10% dari orang Aceh
4. Bahasa Aceh, yaitu bahasa yang paling banyak diucapkan oleh penduduk
Aceh, yaitu pada daerah Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, Aceh Besar dan
sebagian penduduk Aceh Barat atau 70% dari orang Aceh.
Namun, dalam tulisan Harun (2017) yang berjudul “revitalisasi bahasa daerah di
Aceh”, tercatat terdapat sepuluh bahasa yang digunakan oleh masing-masing etnis
pemiliknya termasuk yang telah dipaparkan oleh Koentjaraningrat yaitu bahasa Aceh,
,Tamiang, Gayo, Alas, Singkil, Kluet, Jamee, Sigulai, Devayan, dan Haloban. Pengaruh
bahasa Aceh amat besar ke dalam bahasa-bahasa lainnya. Masing-masing kabupaten
mempunyai logat-logat bhasanya sendiri. Hal tersebut terdengar dari ucapan mereka
sehari-hari yang terdiri dalam beberapa dialek, namun dialek-dialek tersebut tidak
memberikan kesukaran dalam berkomunikasi diantara mereka (Alfian dkk, 1977/1978 :
16).
Menilik dari segi historis, pesantren merupakan lembaga yang telah ada di
Indonesia sejak dahulu kala. Pesantren Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur yang berdiri
pada tahun 1742 merupakan bukti bahwasannya keberadaan pesantren sudah ada di
Indonesia sejak dahulunya. Pesantren sangatlah identik dengan ke Islaman. Dalam
Koenjaraningrat (2007 : 244) pendidikan Agama di Aceh merupakan pendidikan
universal bagi setiap anak di bawah umur 7 tahun di Aceh. Pada masa dulu, anak-anak
akan memulai pendidikan di meusanah (madrasah) yakni berisikan pengajaran dan
pengetahuan dasar dalam pengajian Al Quran (lembaga pendidikan ini setingat dengan
sekolah dasar). Pesantren kemudian akan menjadi tujuan tempat pendidikan mereka
selanjutnya ketika sudah berumur 15 tahun ke atas yang akan diajar oleh teungku
(Ulama). Pesantren merupakan tempat dimana ilmu-ilmu ke Islaman akan di ajarkan, atau
lebih khusus lagi ilmu-ilmu ke Islaman tradisional yakni dunia yang mewarisi kontinuitas
tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa dan tidak terbatas pada
periode tertentu (Astuti, 2017).
81
Di Aceh, sebutan untuk pesantren dikenal dengan dayah atau meusanah (sebagai
tempat menimba ilmu, pendidikan agama atau bermusyawarah). Meusanah yang
merupakan cikal bakal “Madrasah” saat ini merupakan tempat belajar agama, mengaji,
tempat musyawarah, shalat, bahkan dapat dijadikan tempat penyelesaian sengketa
ditengah-tengam masyarakat dan menjadi tempat berbagai kegiatan sosial keagamaan
lainnya. Meusanah dipimpin oleh teungku atau imum meusanah dan dayah dipimpin oleh
teungku atau teungku chik yang membimbing dan mengajari santri yang datang ke dayah
tersebut. Namun, walaupun sama-sama dipimpin oleh ulama, ulama yang ada di
meusanah berbeda dengan ulama yang tinggal di dayah. Teungku yang ada di meusanah
adalah orang yang pernah belajar di dayah dimana tenggung jawab dan pekerjaannyanya
lebih kecil lingkupnya dibandingkan ulama di dayah. Demikian pula tingkat kealimannya
acapkali dikatakan jauh berada dibawah ulama dayah, apalagi yang sudah bergelarkan
teungku chik.
Namun, saat ini pendidikan agama telah banyak diasuh oleh pemerintah melalui
Departemen Agama, seperti Mayasah Islam Negara (MIN), Sekolah Menengah Islam
(SMI), dan lainnya. Pendidikan Umum merupakan pendidikan yang berada dalam
pengawasan Departemen pendidikan dan Kebudayaan yang juga telah disediakan sejak
masa penjajahan Belanda dan semakin meningkat ketika Indonesia Merdeka.
82
3.2 Latar Belakang Informan dan Faktor Pendorong Merantau
Merantau merupakan sebuah fenomena yang melibatkan dua unsur penting yakni
daerah asal dan daerah tujuan. Merantau sebenarnya identik dengan istilah migrasi yaitu
perpindahan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dari suatu daerah ke daerah
lainnya dalam jangka waktu tertentu dan dengan berbagai alasan dan tujuan tertentu pula.
Istilah merantau bagi penduduk di Indonesia sepertinya telah menjadi sebuah tradisi yang
sering dijumpai dan di praktikkan dalam kehidupan bermasyarakat khususnya bagi
kelompok-kelompok etnis tertentu seperti pada suku Minangkabau yang dijelaskan oleh
Pelly (dalam Rajab, 2004) bahwa adanya konsep “misi budaya” (cultural mission) ketika
melakukan perantauan.
Keenam unsur pokok yang terkandung dalam istilah merantau tersebut benar
adanya menjadi alasan dari beberapa faktor pendorong Mahasiswa Aceh IPTR USU
melakukan perantauan. Tujuan utama mahasiswa Aceh IPTR USU melakukan
perantauan ke kota Medan tentunya adalah untuk menempuh pendidikan. Namun, latar
belakang informan dan alasan yang menjadi faktor yang pendorong mahasiswa Aceh
IPTR USU melakukan perantauan merupakan kajian awal yang harus diketahui peneliti
terlebih dahulu sebagai langkah awal dalam pendekatan topic culture shock. Hal tersebut
karena latar belakang para informan dan alasan mereka merantau merupakan bagian yang
turut memiliki pengaruh terhadap terjadinya culture shock dalam proses adaptasinya di
Kota Medan dan bagaimana mereka melewatinya.
10
Agustan dan Sophian Thamrin,”Merantau: Studi Tentang Faktor Pendorong dan Dampak Sosial Ekonomi
TERHADAP Aktivitas Merantau di Desa Sijelling Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone”
83
Melalui hasil wawancara dengan para informan mahasiswa Aceh yang tergabung
dalam IPTR, peneliti memperoleh latar belakang informan dan beragam alasan berbeda-
beda yang menjadi latar belakang mengapa mahasiswa-mahasiswi Aceh yang tergabung
dalam IPTR USU memilih kota Medan khususnya kampus USU sebagai tempat merantau
dengan tujuan menempuh pendidikan. Berikut informasi yang dikategorikan peneliti
melalui hasil wawancara dengan para informan mengenai latar belakang atau data diri
mereka dan alasan atau faktor pendorong mereka para mahasiswa Aceh IPTR usu yang
menjadi fokus penelitian memilih kota Medan khususnya kampus USU sebagai tempat
merantau dalam menempuh pendidikan :
1. Kahlil M.
Kahlil (21) merupakan informan kunci dalam penelitian ini yang memberikan
informasi-informasi pokok yang dibutuhkan peneliti, serta mengalami langsung masalah
yang dikaji oleh peneliti. Kahlil merupakan mahasiswa Antropologi USU angkatan 2017
yang sudah kurang lebih sudah 4 tahun berada di kota Medan untuk menempuh
pendidikan. Informan berasal dari Lr Sejora, Perumnas Lhok Keutapang, Kec. Pidie,
Kab. Pidie, Aceh. Kahlil merupakan sekertaris umum IPTR USU Periode 2019-2020
(sampai saat ini).
Informan Kahlil merupakan anak paling bungsu dari 3 bersaudara. Kedua orang tua
informan adalah seorang pekerja, yang mana ayah bekerja sebagai pengusaha percetakan
dan ibu sebagai guru bahasa inggris. Kahlil merupakan informan kunci peneliti karena
berbagai informasi pokok baik mengenai organisasi IPTR maupun mengenai topic
masalah yang dikaji peneliti diperoleh melalui beliau. Sebelum melakukan wawancara
peneliti tentunya meminta kesediaan informan untuk di wawancarai dan informan begitu
respect dan terbuka dalam hal ini. Berbagai pertanyaan mengenai topik penelitian yang di
ajukan kemudian dijawab oleh informan. Peneliti memperoleh alasan serta faktor
pendorong kahlil memilih USU yang berada di kota Medan sebagai tanah rantau tempat
menempuh pendidikan adalah karena kemauan dari diri sendiri seperti yang
dinyatakannya sebagai berikut:
“Milih USU jadi kampus tujuan berarti milih kota Medan sebagai
lingkungan yang baru kan, nah kalo alasannya kenapa, itu aku pribadi
sih karena pengen merantau, cari suasana baru ke kota Medan yang
84
terbilang plural dibanding Aceh. Selain itu, karena aku mikir kota
Medan yang jadi tempat belanja untuk Aceh alias barang dagangan di
Aceh banyak diambil dari Medan jadi karna aku ada otak bisnis dikit,
aku ngerasa kalau memanfaatkan kesempatan itu bisa
menguntungkan”.
Dapat ditarik simpulan terhadap informan bahwasannya merantau ke kota Medan
untuk berkuliah di USU merupakan kemauan diri informan sendiri tanpa ada paksaan
dari orang lain dan hal yang mendorongnya adalah karena ingin merasakan suasana baru
dimana persepsinya tentang kota Medan adalah kota yang plural, berbeda dengan
kampung halamannya di Pidie, Aceh sehingga informan ingin mencari pengalaman baru.
Facktor pendorong lainnya adalah informan ingin memanfaatkan kesempatan dagang
antara Medan dan Aceh. Informan menuturkan bahwasannya Medan merupakan tempat
belanja bagi Aceh sehingga bersamaan dengan menempuh pendidikan informan
memanfaatkan peluang berdagang dari Medan ke Aceh.
2. Fitri N.R
Fitri (20) merupakan mahasiswa Fakultas Hukum USU angkatan 2018 yang
merupakan salah satu anggota IPTR USU. Fitri berasal dari Kecamatan Lueng Bata,
Banda Aceh. Fitri merupakan anak paling sulung dari tiga bersaudara. Ayah informan
bekerja sebagai wiraswasta dan ibu informan adalah seorang PNS. Di kota Medan
informan bertempat tinggal (mengontrak) di Gg Sehat, Padang Bulan, Selayang I.
Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti terhadap informan dalam beberapa kali
pertemuan, beliau merupakan seseorang yang mudah diajak bergaul dan memiliki
kemampuan bersosialisasi serta berinteraksi dengan baik. Hal tersebut dibuktikan oleh
peneliti sendiri, dimana peneliti dan informan yang terbilang belum lama berkenalan
namun sudah dianggap informan seperti teman dekat.
85
Medan khususnya kampus USU sebagai tujuan tempat menempuh pendidikan, seperti
pernyataan yang dikatakan informan sebagai berikut:
3. LI (Nama Samaran)
86
“Sebelum kuliah di USU aku pernah ke Medan sebelumnya. Agak
lamalah pas liburan sekolah, kurang lebih 2 mingguan gitu untuk
liburan. Pertama-tama masih enak karna jalan-jalan keliling-keliling
kota kan, tapi lama-lama gadak enaknya rasaku. Bosan gak ada
kerjaan, gak ada kawan yang dikenal cuma kakak aja gak cocok
rasaku karna dulu aku ngerasa kehidupan di kota Medan ini
monoton.”
Namun, terdapat 2 faktor yang menjadi alasan orang tua informan menginginkannya
untuk berkuliah di USU walaupun informan sebenarnya kurang menginginkannya.
Pertama adalah karena sejak lama orang tua informan memang sudah begitu ambisius
ingin menguliahkan anak-anaknya di Universitas Sumatera Utara seperti yang dinyatakan
oleh informan sebagai berikut:
Orang tua informan menyatakan bahwa USU merupakan salah satu kampus favorite
dan ternama yang berada di pulau Sumatera sehingga jika anak-anaknya bisa berkuliah di
sana m aka akan menjadi suatu kebanggan bagi orang tuanya. Informan juga menyatakan,
keinginan orang tua untuk informan bisa berkuliah di USU semakin didorong oleh karena
kakak sulung informan merupakan mahasiswa fakultas keperawatan USU yang pada
waktu itu sedang menempuh pendidikan jenjang akhir sehingga informan menyatakan
bahwa orang tua bermaksud agar informan bisa diandalkan menjadi sandaran dalam
membantu dan menemani kakak informan dalam proses study akhirnya karena menurut
orang tua informan, proses tahap akhir perkuliahan merupakan fase yang akan sulit di
lalui sehingga keberadaan informan disana juga akan memiliki dampak positif bagi
kakaknya.
Dalam hal ini dapat ditarik simpulan kecil bahwasannya alasan informan berkuliah di
USU adalah karena dorongan dari orang tua informan yang menginginkannya untuk
berkuliah di USU karena mereka menganggap USU adalah kampus yang berkualitas dan
di favoritekan di pulau Sumatera sehingga jika anak-anaknya bisa memasuki USU maka
merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi kedua orang tuanya.
87
4. Rizki M.M.
Rizki Maulana Martin (20) yang akrab disapa Kiki merupakan informan peneliti
selanjutnya yang merupakan mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) USU
angkatan 2018 dan tentunya merupakan anggota dari organisasi IPTR USU sesuai dengan
kriteria informan penelitian. Informan berasal dari Kabupaten Bireun, Banda Aceh dan di
kota Medan bertempat tinggal di Jalan Setiabudi, No.32 Medan Selayang. Peneliti
melakukan wawancara dengan informan di LPPM USU khususnya di sekret paduan suara
ulos USU karena informan juga merupakan anggota organisasi tesebut. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan peneliti dengan informan, peneliti memperoleh alasan
mengapa informan memilih merantau dan berkuliah di kota Medan adalah karena
ambisius dari diri informan sendiri yang sedari dulu ingin berkuliah di USU. Selain itu
informan juga mengatakan keinginan tersebut semakin didorong karena kota Medan
merupakan kampung halaman orang tua informan :
5. AS (Nama Samaran)
88
merupakan seorang nelayan sehingga ia memiliki ambisi untuk berkuliah sembari bekerja
untuk menaikkan taraf hidup keluarga.
“Ada dua tujuan utamaku datang ke kota Medan, pertama untuk kuliah
dan kedua untuk bekerja. Aku bisa dibilang berasal dari keluarga yang
kurang sejahtera lah karna orang tuaku kerjanya nelayan. aku ambisi
harus bisa kuliah di Univ Negeri di kota Medan sejak dulu karna aku
pingin kuliah sambil kerja disini, dan walaupun seandainya aku gak
bisa masuk kuliah di negri, aku tetap punya ambisi untuk merantau ke
ibu kota Sumatera Utara ini buat kerja. Kuliah sekarang ini aku
sambilan kerja di cafe daerah halat. Lumayan bisa biayai diri sendiri
untuk kuliah dan kehidupan sehari-hari tanpa nyusahin orang tua,
menurutku itu udah salah satu usaha mengurangi beban mereka di
kampung.”
AS menyatakan bahwasannya merantau ke kota Medan merupakan sebuah ambisi
yang harus ia penuhi karena ia memiliki dua tujuan utama mendatangi kota ini, pertama
adalah untuk berkuliah dan kedua adalah untuk bekerja. AS juga menyatakan walaupun
seandainya ia tidak bisa berkuliah di universitas negri, informan akan tetap merantau ke
kota Medan untuk mencari pekerjaan karena keinginannya untuk membantu kehidupan
keluarga di kampung halaman.
6. HM (Nama Samaran)
“Alasan kuliah di sini itu pilihan orang tua kak, karna aku dulu
kepinginnya nyoba kuliah itu di Jawa, bukan di Medan. Eh nyatanya
ga diizini kuliah di luar Sumatera, Cuma dikasi pilihan ke USU aja.
Alasannya karna terlalu jauh dari orang tua dan bahaya, jadi mereka
nyuruhnya aku coba di USU aja karna mereka juga anggap USU
universitas terbaik di luar Jawa.”
89
Informan HM menyatakan bahwa alasannya berkuliah di USU adalah karena
pilihan dari orang tua yang tidak mengizinkkannya berkuliah di luar Sumatera. Orang tua
dari informan memilih USU sebagai tempat informan HM menempuh pendidikan di
perguruan tinggi karena menurut orang tua USU merupakan universitas terbaik di luar
pulau Jawa yang posisinya tidak terlalu jauh dari kampung halaman.
Terdapat beragam alasan yang menjadi alasan atau latar belakang para informan
mahasiswa Aceh IPTR merantau ke kota Medan untuk berkuliah. Hal-hal tersebut
merupakan bagian yang menjadi salah satu aspek alasan bagi para informan dalam
melewati fase culture shock karena, alasan mereka akan menjadi salah satu dari beberapa
latar belakang terjadinya culture shock. Alasan-alasan tersebut nyatanya mempengaruhi
terjadinya culture shock pada mahasiswa perantau.
90
Demikian halnya terdapat persepsi yang berbeda-beda bagi orang-orang yang
tidak berasal dari kota Medan dalam memandang kota Medan. Kota Medan yang terkenal
plural, juga memiliki stereotype sebagai kota yang keras. Stereotype akan masyarakat
kota Medan yang keras dimaksudkan condong kepada karakter masyarakatnya yang
dianggap kasar. Penelitian yang dilakukan oleh Atiqa Khaneef Harahap (2013) tentang
representasi karakter masyarakat kota Medan melalui desain dalam kaus tauko Medan
menemukan bahwasannya gambaran karakter masyarakat kota Medan dicerminkan
sebagai pribadi yang berani, keras, kasar dan menantang. Hal demikian menjadi
stereotype yang cukup melekat bagi masyarakat kota Medan, dimana tak jarang orang-
orang yang bukan berasal dari Medan beranggapan bahwasannya Medan adalah kota
yang cukup ditakuti karena identik dengan kata “kasar”. Selain itu Medan juga sangat
diidentikkan dengan suku Batak, padahal berdasarkan perjalanan dan perkembangannya
suku Melayulah yang merupakan host population di kota Medan.
Namun tidak hanya stereotype demikian saja yang dikenali orang-orang tentang
kota Medan. Terdapat pula pandangan positif akan kota Medan sebagai kota yang penuh
toleransi sehingga yang menjadi dasar terbentuknya keberagaman dalam masyarakatnya
yang hidup berdampingan dengan beragam perbedaan. Hal demikian di utarakan oleh
mahasiswa-mahasiswi IPTR melalui wawancara yang dilakukan oleh peneliti sebagai
persepsi positif mereka terhadap kota Medan sebagai lingkungan baru yang menjadi
pilihan mereka untuk menempuh pendidikan. Melalui wawancara mendalam yang
dilakukan peneliti terhadap para informan terdapat berbagai perbedaan persepsi yang
berbeda-beda dalam memandang kota Medan baik persepsi yang bersifat negative
maupun positif.
Persepsi negatif para informan tentang kota Medan cenderung terjadi ketika
mereka belum mendatangi kota Medan. Persepsi ini timbul sebagai akibat dari informasi
yang diterima melalui berbagai sumber sehingga menafsirkan bahwa Medan merupakan
kota yang seperti mereka pikirkan. Seperti halnya persepsi informan Fitri tentang kota
Medan yang dianggapnya memiliki tingkat kriminal tinggi:
91
“Pas udah mau dekat daftar ulang di USU sebenernya aku takut kali
dulu ke Medan kak, soalnya dipikiranku kota Medan ini ngeri,
menurutku salah satu kota yang tingkat kriminalnya tinggi karna
sering juga ada kejadian-kejadian kriminal gitu masuk tu ke berita
apalagi orang tuaku juga bilang gitu kan kak, jadi akupun makin takut.
Itu sebenernya alasan aku dilarang merantau, karna kata mereka
banyak orang jahat di Medan sana katanya, akupun mikirnya jadi gitu
pula apalagi karna dibilang ngeri jadi ku lihat-lihat berita-berita
kriminal di kota Medan jadi makin takut gitu lah aku”.
Informan dan bahkan orang tua informan memiliki persepsi bahwasannya kota Medan
merupakan kota yang tingkat kriminal tinggi sehingga menurut orang tua inforrman akan
berbahaya untuk hidup sendiri di kota Medan apalagi bagi seorang perempuan perantau.
Tak hanya itu, informan juga menyatakan stereotype yang paling diidentikkan dengan
masyarakat kota Medan bahwasannya di dalam benaknya, kota Medan merupakan kota
yang orang-orangnya memiliki karakter yang kasar terkhusus pada cara bicaranya, seperti
yang diungkapkannya sebagai berikut :
“ Awal aku mau merantau ke kota Medan, aku sering nangis di kamar.
Pertama ya karna aku sadar bakalan pisah sementara dalam jangka
waktu yang cukup lama lah dari orang tua, adek juga kawan-kawan di
kampung. Selain itu karna aku gak ingin merantau. aku takut sama
kota Medan, karna pernah kawan dikampung cerita kalo dia pernah
diancam dan di mintain uangnya di angkot sama dua orang preman
92
pas pagi-pagi dia baru datang dari kampung mau ke kota Medan
jumpain sodaranya. Jadi aku yang sejak awal gak ada niatan mau
merantau ditambah lagi ke kota Medan yang banyak preman nya cem
kata kawan aku tadi, makin downlah perasaanku. Sampek-sampek
setiap kali aku teringat bakal meranto ke kota Medan, perutku jadi
sakit mikirinnya, walaupun sebenernya ada kakakku di sini tapi dia
pun udah kuliah tahap akhirnya, pastinya gak akan lama lagi di
Medan. Nah, gitu di kota Medan pun aku awal-awal dulu udah kayak
orang paranoidlah. Setiap kali keluar sendirian kupegang barang-
barangku erat-erat, mataku pun selalu merhatiin orang
disekelilingku.”
Informan LI menyatakan bahwasannya Medan merupakan kota yang dipenuhi oleh
premanisme karena pernah memperoleh informasi langsung melalui pengalaman seorang
temannya yang pernah mendatangi kota Medan. Informan bahkan sudah mengalami
gangguan fisik sebelum mendatangi kota Medan sebagai bentuk ketidak inginanya
merantau ke kota Medan. Selain itu, melalui jawaban informan dapat diketahui
bahwasannya persepsi informan tentang kota Medan yang dipenuhi oleh “premanisme”
terbentuk melalui informasi yang diterimanya melalui pengalaman orang lain yang
didengarnya. Hal inilah yang membuat informan beranggapan bahwasannya kota Medan
merupakan kota yang dipenuhi oleh premanisme sehingga ketika berpergian dikota
Medan informan selalu waw-was terhadap sekitarnya.
Persepsi yang cukup negative juga datang dari informan HM. Informan ini
sebenarnya memiliki pandangan negative dan juga positif tentang kota Medan. Dari sisi
negative HM memandang kota Medan sebagai kota yang orang-orangnya galak
“Akukan merantau kuliah disini karna disuruh sama orang tua, jadi
sebenarnya banyak nerima asupan positif tentang kota Medan dari
orang tua, tapi ada gambaran tersendiri bagiku tentang kota Medan
bahwasannya orangnya galak-galak dan aku juga ada rasa takut sih,
karna pernah punya anggapan kalau orang Medan itu mau makan
orang. Aku pernah dengar-dengar berita gitu. dan gaktau sih sampai
sekarang itu mitos apa memang pernah kejadian gitu.”
Pandangan informan HM akan kota Medan memiliki kesamaan dengan informan
sebelumnya yakni karakter masyarakatnya yang dianggap kasar. Selain itu, adapula mitos
tentang “orang Medan makan orang” yang dikonsumsi oleh sehingga menjadi salah satu
pemicu rasa takut baginya sebelum mendatangi kota Medan.
93
Persepsi yang cukup negative tentang kota Medan selanjutnya juga dikatakan oleh
informan Rizky, dimana ia beranggapan bahwassannya kota Medan dikenalnya sebagai
kota yang dihuni banyak begal:
“Pas mau merantau itu aku excited. Aku senang bisa kuliah di Univ
Negeri apalagi bisa menjelajah di kota besar. Tapi aku juga udah
mikirin kok pastinya kehidupanku di rantau akan jauh lebih keras
karena aku bukan di lingkungan keluargaku lagi, apalagi ke kota
Medan yang menurutku kota cukup ditakuti karena identik juga
dengan kasus begal jadi lebih was-was. Makanya dulu aku gak berani
bawa Motor ke sini di awal-awal merantau. Soalnya sering kudengar
info-info begal di Medan ini dari aku SMA pun. Keknya orang
lumayan diminati bidang begal ini kak .”
“Tapi aku cukup antusias pas mau ke kota Medan, selain karna
menurutku kota ini besar aku juga antusias karna keanekaragamannya
dan yang aku paling penasaran bergaul sama suku Bataknya. Pengen
gitu aku tau asal usul marganya yang unik-unik. Kebetulan ibu aku
orang Mandailing”
Informan mengatakan bahwa kenaekaragaman kota Medan merupakan suatu hal yang
membuatnya antusias terkhusus untuk dapat bergaul dengan orang-orang bersuku Batak
yang menurutnya asal-usul marga mereka cukup unik-unik.
94
Selanjutnya persepsi akan Medan sebagai kota yang penuh toleransi, menganggap
kota Medan sebagai kota yang menyenangkan sebagai surga kuliner, pusat perbelanjaan
dan perdagangan yang menyenangkan dan lain sebagainya. Persepsi demikian datang dari
informan HM yang tak hanya memandang kota Medan dari sisi negative, namun juga
positif dimana ia beranggapan bahwasannya kota Medan dalam persepsinya merupakan
kota cukup megah dan sangat memfasilitasi dalam hal berbelanja
“Tapi aku juga tau dan punya pandangan kalau Medan itu megah juga
kok kayak di Jawa, karna banyak mall dan café-café atau restaurant
keren. Dan awalnya excited juga karna aku dah mikir bakal belanja
bebas kesana-kemar menjelajahi kota Medan yang sebelum merantau
juga udah tau kalau Medan ini tempat belanjanya banyak dan murah-
murah, gitu dulu menurutku”
Selanjutnya persepsi positif yang datang dari informan Kahlil dimana ia menganggap
kota Medan merupakan kota menyenangkan dikarenakan kepluralannya dan juga
merupakan kota yang akan menguntungkan karena menurutnya kota Medan merupakan
kota yang memiliki peluang bisnis untuk berdagang:
95
kayak banyak lowongan kerja, surganya kuliner, banyak mall, café,
dan menurutku megahlah. Dulu sih pas mau merantau mikirnya gitu”.
Persepsi informan AS tentang kota Medan yang serba ada seperti yang
dimaksudkannya adalah masyarakatnya yang beragam agama, suku bangsa, dan asal
daerah yang menurutnya berarti toleransi akan perbedaan pasti cukup kuat. Selain itu ia
juga berpersepsi bahwasannya Medan merupakan surga kuliner dan banyak lowongan
pekerjaan walau masih ada persepsi yang sama dengan informan sebelumnya dimana
informan AS juga mengatakan kota Medan di huni oleh orang-orang yang cukup keras
jiwanya.
3.4 Pengalaman Culture Shock Yang Dialami Mahasiswa IPTR di kota Medan
Fase pertama dalam culture shock disebut sebagai fase honeymoon yang ditandai
dengan kegembiraan, euphoria, dimana semua adalah mengasyikkan dan mempesona.
Dilanjutkan dengan fase kedua yakni fase krisis yang disebut juga sebagai masalah
96
cultural dimana pada fase ini mereka mulai menyadari bahwa mereka berada dalam
lingkungan yang berbeda dan mulai menjumpai masalah-masalah akibat perbedaan-
perbedaan kebudayaan yang didapati yang mana fase ini lah yang sebenarnya merupakan
puncak dari fenomena culture shock terjadi. Jika individu perantau tetap tinggal dan
berusaha menangani, menerima dan memahami perbedaan-perbedaan atau hal-hal yang
menjadi masalah di lingkungan barunya terhadap dirinya dan mulai menyesuaikan diri
dengan keadaan yang ada maka mereka sudah memasuki tahap ketiga yang disebut
dengan fase penyesuaian atau pemulihan. Selanjutnya jika sudah merasa nyaman dan
aman dengan lingkungan barunya maka mereka telah berada pada fase ke empat yakni
fase penguasaan. Melalui fase-fase tersebutlah peneliti mengidentifikasi bentuk-bentuk
culture shock yang di alami oleh para mahasiswa IPTR melalui pengalaman yang mereka
lalui:
3.4.1 Informan LI
“Aku orangnya canggung sama orang yang baru dikenal, kayak gak
tau harus membicarakan apa. apalagi aku ini di tanah rantau jadinya
semakin tertutup dan gakmau sembarangan berteman karena aku
mikirnya dulu belum kenal sama lingkungan ini gitu”
Berdasarkan hasil wawancara, informan LI tidak mengalami fase culture shock
secara bertahap seperti mahasiswa perantau pada umumnya. Informan LI tidak
97
merasakan fase honeymoon atau fase kegembiraan yang biasa di alami oleh mahasiswa
perantau sebagai bentuk antusias mereka di awal mendatangi lingkungan baru.
Berdasarkan hasil wawancara, informan LI langsung mengalami kesedihan mendalam
setibanya di kota Medan:
“Aku sempet darah tinggi liat kendaraan disini, masih lampu merah
detik-detik mau ke lampu hijau dah di di klackson terus, itu rasanya
buat emosi dan begah kali. Terus dah ada beberapa bulan di kota
Medan pun dulu tetap bingung sebenarnya sama jalanan di kota
Medan. Kalau gak sama kakak dulu aku tu gak akan keluar kos karna
aku juga gak punya banyak teman di awal-awal dulu. Jalanan di kota
Medan ini buat bingung, terus di kampung gak ada lampu merah.”
Menurut infoman LI kondisi lalu lintas seperti bunyi klackson ketika lampu merah belum
selesai merupakan hal yang menjengkelkan di kota Medan selain itu menurut informan
98
orang orang Medan sangat kasar dan tidak memiliki kesabaran khususnya ketika berada
di jalan. Informan juga mengatakan jalanan kota Medan sangat sulit untuk diingat dan
rumit akibat rambu-rambu nya:
“Dulu aku takut naik motor sendirian kalau keluar karna aku gak
hapal sama jalanan dan rambu-rambu disini. Apalagi orang Medan
ini kasar-kasar dan gak sabaran. Salah dikit aja kita langsung di
klacksonin bersamaan sama ocehan mulut yang kadang sampe
ngemaki”
Hal ini merupakan bentuk culture shock awal yang dialami informan terhadap
sarana prasarana yang ada pada lingkungan fisik di kota Medan. Peneliti kemudian
mengajukan pertanyaan terkait kemungkinan hal-hal yang membuat informan antusias
mendatangi kota Medan selain kesedihan karena meninggalkan kampung halaman.
Dalam hal ini peneliti bermaksud menemukan fase kegembiraan pada informan, namun
informan menyatakan sama sekali tidak merasa bahagia, bahkan di awal merantau
informan sudah merasakan guncangan pada dirinya:
“Hampir full semester satu belum ada teman dekat sampek kakakku
balik kampung. Ada kawan tapi untuk bicara yang penting-penting aja
ga dekat kali gitu. selain karna aku canggung sama sama baru, aku
juga ngerasa dulu raut-raut wajah kawan kampus apalagi yang orang
Medan kayak sombong gitu. Sempat heran sama kawan yang langsung
99
akrab punya kelompok gitu, aku ngiranya mereka mungkin satu SMA
dari Medan, eh rupanya karena satu suku, trus ada karna satu asal
gitu”
Informan LI menyatakan bahwasannya di semester satu perkuliahan informan belum
memiliki teman dekat karena sifatnya yang canggung dan menurutnya orang-orang yang
langsung memiliki teman atau kelompok dikampus karena adanya latar belakang etnis
dan asal daerah yang sama. Informan LI juga menyatakan bahwasannya informan kurang
percaya diri untuk banyak berbicara dengan orang lain karena menurutnya logat bahasa
daerahnya yang cukup jelas (bahasa alas) sering ditiru oleh teman kampus khususnya
laki-laki dan hal ini membuat informan merasa kurang percaya diri:
Demikian pula informan menyatakan di lingkungan tempat tinggal informan juga tidak
begitu bersosialisasi dengan teman-temannya :
“Di kos juga gitu sih malahan lebih parah, gak ada temen, suma ada
satu kak riska yang kamar paling depan, cuma sering sapaan lempar
senyum aja. Dulu ngerasa pandangan anak kos ke aku kayak sinis-
sinis gitu karna aku orang baru kan, aku juga gak gitu peduli karna
ada kakaku disini jadi belum terasa kalau sebenernya saling
membutuhkan”
Berdasarkan jawaban-jawaban tersebut dapat diketahui beberapa kesimpulan
bahwasannya dilingkungan sosial, masalah yang membuat informan cukup sulit
beradaptasi adalah karena kurangnya rasa percaya diri akibat logat bahasa daerahnya.
Masalah kedua yang membuat informan sulit beradaptasi dalam lingkungan sosialnya
menurut peneliti adalah karena informan sangat mudah berprasangka terhadap orang lain.
Hal ini sebenarnya berkaitan dengan kepribadian yang dimiliki informan LI yang
cenderung tertutup dan tidak mudah bersosialisasi sehingga menimbulkan prasangka-
prasangka terhadap orang lain. Masalah ketiga adalah karena persepsi awal informan
tentang kota Medan turut mempengaruhi terjadinya culture shock di kota Medan. Ketiga
100
masalah tersebut merupakan bentuk-bentuk culture shock yang menyebabkan informan
mengalami kesulitan dalam proses adaptasi lingkungan sosialnya.
“Ada sih yang dulu buat aku terkejut, ngerasa aneh gitu. Pas sering
jalan-jalan ke mall aku ngerasa malu merhatiin pakaian-pakaian
perempuan didalam mall. Aku aja ngerasa canggung gitu nengoknya
apalagi laki-laki. Aku udah langsung mikir pasti itu perempuan gak
benar sampai aurat dipamerin segitunya. Eh rupanya aku salah, hal
itu biasa disini kalau didalam mall”
Selain itu hal yang membuat sedih informan katakan adalah ketika hari-hari besar
keagamaan seperti bulan puasa, saat berada jauh dari keluarga dan tidak merasakan
suasana familiar ketika bulan puasa seperti di kampung halaman:
“ Pas bulan puasa selalu sedih, gak dapat feel nya disini gak kayak
dikampung”
Fase krisis sebagai puncak culture shock pada informan terjadi pada saat kakak informan
kembali kekampung halaman seperti pernyataannya berikut:
“Setelah kakakku balek kampung baru aku mulai berbaur disini, tapi
pas awal dia balek itu aku ngerasa tersiksa, hampir tiap hari nangis,
rasa kesendirian, kesepian, kejenuhan smuanya aku tahan sendiri
sampai-sampai kadang lagi mandi mau tidur asik nangis aja. Teringat
dikampung orang tua selalu ada jadi tempat cerita, tempat ngadu,
ngasi dukungan, dan hampir segala urusan orang tua turut campur
tangan ngebantu sedangkan di kota Medan awak sendirian kayak anak
terlantar, aku sempat gak selera ngapa-ngapain.”
Bentuk perasaan sedih, sendiri, sepi, merasa tidak ada dukungan, dan kehilangan
semangat dalam beraktivitas merupakan bentuk dari puncak culture shock yang dihadapi
informan LI. Dalam konsep culture shock pada fase krisis, Samovar (2010) menyatakan
bahwasannya fase krisis akan ditandai dengan rasa bingung dan tercengang dengan
lingkungan sekitar, yang lebih lanjut dapat menyebabkan frustasi dan mudah tersinggung,
bersikap permusuhan, mudah marah, dan bahkan menjadi tidak kompeten. Hal ini benar
terjadi sejalan dengan apa yang dialami informan LI di kota Medan.
101
Namun informan LI menyatakan kesendirian itu juga yang membuatnya mulai
membuka diri dan beradaptasi dengan sungguh pada situasi yang dijalaninya. Informan
menyatakan hal-hal tersebutlah kemudian yang membentuk kepribadiannya menjadi
seseorang yang lebih dewasa dan mulai membuka diri dengan orang lain di kota Medan
sebagai lingkungan barunya baik di lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan
kampus. Informan kemudian juga menyatakan bergabung dengan organisasi IPTR pada
waktu memasuki semester ke 3 merupakan cara yang dilakukannya untuk menghindari
kesendirian dan kerinduan terhadap kampung halamannya.
3.4.2 Informan HM
Informan yang awalnya memiliki persepsi positif dan negative tentang kota
Medan nyatanya mengalami fase honeymoon ketika pertama kali mendatangi kota Medan
“ Awal datang seminggu di kawani sama orang tua, bahagia sih walau
awalnya gak ada niatan kan mau meranto kesini eh pas awal-awal
datang terpesona jugak. Rasanya kayak lagi liburan. Jalan-jalan ke
mall, Pusat-pusat perbelanjaan yang murah, gak bosan lah keliling-
keliling kota Medan hampir tiap hari, terus kalo malam kota Medan
kek makin rame makin terang benderang lampu-lampunya, aku
102
mandang itu aja rasanya asik, terus kuliner di Medan makin malam
malahan makin banyak dari termurah sampek termahal ada semua.”
103
Dalam hal ini informan menrasa shock melihat penampilan perempuan di
Medan dengan di Aceh:
104
“Salah satu alasanku masuk IPTR di semester 2 ya karena aku dulu
masih merasa canggung sama kawan-kawan yang menurutku masih
sembarangan perilkunya. Gak sesuai sama aturan-aturan yang udah
terbiasa di jalani di kampung halaman. dan benar juga setelah gabung
sama anak IPTR aku mulai lebih nyaman dengan kota Medan”
Pernyataan informan tersebut menunjukkan bahwasannya pada semester 2 informan
sebagai mahasiswa perantau tetap berusaha mencari lingkungan yang masih berdasarkan
suasana kulturnya karena informan belum siap menghadapi perbedaan-perbedaan yang
ada. Informan menyatakan bahwasannya ia mulai merasa nyaman dengan kota Medan
setelah memasuki organisasi IPTR. Hal tersebut menunjukkan bahwasannya informan
mengalami apa yang disebut dengan “Separation” yaitu memutuskan untuk tetap berada
pada kulturnya sendiri dan menghindari interaksi dengan kelompok lain.
3.4.3 Informan AS
“Awalnya pasti senang lah, karna merasa sebagian dari cita-cita udah
dikabulkan sama yang Maha Kuasa. Bisa merantau ke kota Medan,
bisa masuk Universitas Negeri yang punya gengsi di Sumatera”
Fase kegembiraan yang dialami informan SA juga dapat diketahui melalui gambaran
euphoria yang dijelaskannya ketika masa-masa awal berada di kota Medan
“Pertama kali di sini memang langsung agak lasak. Kan belum bisa
langsung kerja dulu pas semester satu masih padat jadwal, jadi waktu
habis-habis sama kawan, pagi sampek malam ngumpul, jalan-jalan
modal uang 20 ribu dah kenyang di Medan ini. Kebetulan aku pas
masuk kuliah langsung enak punya banyak kawan karna aku
mendekatkan diri sama semua orang, apalagi aku mikirnya orang
Medan ramah ramah mudah diajak bergaul jadi ku dekati aja semua,
namanya juga laki-laki rantau.”
105
Euphoria yang dialami informan ditandai dengan kesenangan yang diewatinya di awal
merantau, menjelajahi kota Medan bersama teman-teman, dimana ia juga merasa bahagia
karena di kota Medan dapat langsung menemukan banyak teman. Namun, informan SA
menyatakan walaupun mendekatkan diri dengan semua orang tetapi perasaan asing tentu
ada karena sejak kecil, mulai dari lingkungan tempat tinggal hingga memasuki masa SD,
SMP, SMA, lingkungan yang di temui cenderung memiliki identitas yang sama, berbeda
dengan masa perkuliahan
“Kalo masalah hal yang buat aneh di Medan, agak terkejut jugalah
karna kawan-kawan mulai minum-minum khamar kalo malam, kek
tuak, amer, wiski, bir pas ngumpul-ngumpul hampr selalu ada itu.
Dari situ aku mulai kaget agak membatasi diri untuk gabung-gabung
tautnya terikut”
Perlu diketahui bahwasnnya khamar adalah sebuah istilah yang merujuk kepada hal yang
memabukkan dan tentunya hal itu dilarang dan di haramkan di Aceh. Didalam Qanun
provinsi Aceh Nomor 12 Tahun 2003 tertera bahwasannya mengkonsumsi minuman
khamar dan sejenisnya merupakan pelanggaran terhadap Syari’at Islam, merusak
kesehatan, akal, dan kehidupan masyarakat yang berpeluang menimbulkan maksiat
106
lainnya (Syarifuddin, 2003). Bentuk Culture shock awal yang dialami informan adalah
merasa asing karena berada dalam lingkungan yang tidak familiar akibat perbedaan
identitas yang disadarinya. Informan kemudian mulai merasakan perbedaan lingkungan
pergaulan antara Aceh dan Medan yang membuatnya mulai menarik diri dari
lingkungannya. Merasa asing dan membatasi diri dengan merupakan reaksi dari culture
shock yang dialami informan karena berbeda dengan budaya yang dijalanannya.
“Disini terlihat biasa aja kalau laki-laki masuk kost-an wanita, pas
aku di ajak pertama kali dulu, waduh ada perasaan canggung padahal
kawan yang lain biasa aja. Pantang itu kalo di kampung. Tapi disini
lain, keduanya merasa biasa aja, orang lain pun gak ada yang peduli”
Informan menyatakan bahwasannya di kampung halaman, mengunjungi kost-
kostan wanita bagi seorang laki-laki merupakan hal yang tabu. Namun, pemandangan
berbeda dialami informan di kota Medan. Menurutnya baik laki-laki atau perempuan di
kota Medan tidak merasa masalah jika saling mengunjungi dan orang lain juga tidak ada
yang menegur sehingga informan merasa terkejut dan aneh. Berbeda dengan kampung
107
halaman informan dimana ia menyatakan terdapat lembaga pengawas yang akan
mengatur hal-hal demikian yang disebut Wilayatul Hisbah” karena hal-hal demikian
dilarang di Aceh. Perbedaan-perbedaan demikian dikatakan informan memancing
kerinduan terhadap kampung halaman dimana ia menyatakan suasana sudah terasa sangat
berbeda ketika ia sudah lebih dalam memahami lingkungan kota Medan.
“Hal-hal kek gitu tadi buat rindu sama kampung sebenernya. Karena
jelas berbeda pergaulanku di Aceh dengan di Medan. Makanya
menurutku dikota Medan kalau orang Aceh mudah terpengaruh kurasa
banyak kali pelanggaran bisa dibuatnya. Yang dilarang itu memang
cenderung enak”
Peneliti kemudian mempertanyakan apakah persepi informan tentang kota Medan yang
“serba ada” benar-benar dirasakannya ketika berada di kota Medan, dan informan
menyatakan tidak sama sekali
“Ia salah memang persepsiku di awal itu. Serba ada mungkin cocok
untuk orang yang suka makan. Cocok juga untuk kondisi
keberagaman, di Medan suku apa aja mudah ditemukan. Tapi salah
persepsiku tentang lapangan pekerjaan, karna buktinya di semester
tiga aku mulai nyari kerja, ada hampir 30 tempat ku lemparkan
lamaran dalam tempo wakktu 3 bulan baru aku dapat panggilan dan
itu lah kerjaaanku sekarang di café halat ini”
108
proses adaptasi sosialnya karena terdapat beberapa hal yang ditemuuinya bertentangan
dengan kebudayaan yang telah familiar baginya yakni norma-norma kebudayaan yang
berdiri tegak di Aceh sebagai kampung halamannya.
Berdasarkan hasil wawancara, informan Fitri yang mendatangi kota Medan pada
awalnya memiliki ketakutan tersendiri akibat persepsinya terhadap kota Medan. Informan
yang pada awalnya beranggapan bahwasannya Kota Medan memiliki tingkat kriminal
yang tinggi sebenarnya memberikan tekanan mental pada dirinya, karena pikiran
informan membuatnya merasa ketakutan seperti yang dinyatakannya
“ Awal datang ada rasa takut karna aku sendirian. Ayahku memang
nganterin tapi besoknya langsung balek ke kampung. Aku takut aja
diapa-apain sama orang sini dulunya karna aku juga awalnyakan
mikir criminal disini ngeri”
Jawaban informan menunjukkan hubungan persepsinya tentang kota
Medan dengan mentalnya setelah berada di kota Medan. Namun informan
juga sangat merasa bahagia karena pada akhirnya bisa merantau ke kota
Medan dan berkuliah di USU, seperti yang dinyatakannya
“Kalo merasa bahagia pas waktu itu, bahagia kalilah kak.
Keinginanku tercapai. Antusias juga, Medan megah, awak tengok.
Nengok USU ajapun bahagia, dulu rasaku USU luasnya bukan main,
109
cantik lagi karna pepohonannya, cocoklah dibilang kampus green.
Makanya awal dulu semangat kali mau kuliah aja terus”
Informan menyatakan bahwa ia sangat antusias berada di kota Medan yang menurutnya
megah. Informan juga merasa sangat bahagia melihat kampus USU yang menurutnya
luas dan cantik yang mendorongnya menjadi semangat untuk berkuliah. Namun ketika
peneliti mempertanyakan lingkungan sosialnya di awal merantau, Fitri menyatakan di
awal merantau ia lebih mendekatkan diri dengan sesama orang Aceh.
“Pertama-tama aku berteman sama yang orang Aceh aja. Karna aku
ngerasa pasti lebih nyaman dan lebih nyambung, jadi aku gak begitu
gabung sama anak-anak yang lain”
Informan fitri menarik diri dari lingkungan yang tidak familiar baginya sehingga ia
menetap dengan teman-teman yang sama-sama berasal dari Aceh. ini merupakan bentuk
culture shock yang dihadapi informan, karena ia tidak terbiasa berada dalam lingkungan
yang heterogen sehingga informan berusaha berada dalam lingkungan familiar yakni
zona yang menurutnya nyaman sesuai dengan lingkungan kebudayaannya. Tidak hanya
sampai pada itu, informan juga langsung memasuki organisasi IPTR untuk menemukan
suasana kulturnya di kota Medan
“Awal dulu karna aku merasa kalau sesama Aceh lebih saling
memahami jadi aku langsung masuk organisasi IPTR, jadi ngerasa
ada keluarga di sini”
Namun, sifat informan Fitri yang memilih berteman dengan sesama orang Aceh saja
adalah disebabkan culture shock yang dihadapinya. Informan sangat merasa terkejut
dengan beberapa hal yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya di kampung halaman
seperti perempuan merokok dan pakaian wanita yang sangat terbuka, berbanding terbalik
dengan lingkungan kebudayaaannya:
“Kenapa aku hanya berteman sama orang Aceh dan langsung masuk
IPTR itu karna aku ngeliat anak-anak Medan yang terlalu bebas. Aku
beneran shock pas ngeliat perempuan ngumpul-ngumpul sambil
ngerokok, gak wajar kali rasanya. Udah gitu karna dulu belum
terbiasa, aku juga risih ngeliat pakaian perempuan disini, terlalu
terbuka”
Akibat pemandangan demikianlah ternyata informan menarik diri dari lingkungan di luar
etnis Aceh. Tidak hanya itu informan juga mengalami shock pada awal merantau ketika
110
melihat perempuan di Medan masih berkeliaran di atas jam 10.00, informan menarik
persepsi bahwasannya kota Medan terlalu bebas.
“Dalam hal makanan dulu aku takut-takut juga. Agak pemilih, karna
kan kita tau kota Medan beragam, jadi gak ada salahnya hati-hati”
Informan juga menyatakan memiliki kendala dalam bahasa dimana. Informan pada awal
merantau sering merasa sedih ketika berbicara dengan orang Medan asli karena orang
Medan suka bercanda berlebihan yang menyakiti perasaan, dan informan mengatakan tak
jarang menemui orang-orang yang suka berbicara kasar baik teman di kampus maupun di
luar kampus dengan nada bicara dan volume suara yang keras seperti membentak
sehingga sulit bagi informan untuk mengetahui mana situasi bercanda dan mana situasi
serius. Informan juga menyatakan bahwasannya orang Medan sangat temperamental.
Namun pada saat ini informan menyatakan sudah mulai terbiasa dengan segala
perbedaan yang dijumpai antara kota Medan dengan kampung halaman. Informan juga
menyatakan sudah bergaul dengan orang-orang non Aceh karena menurut informan,
waktulah yang dapat menyembuhkan keadaan-keadaan krisis yang dialaminya.
111
3.4.5 Informan Rizky
112
“Dulu aku mudah tersinggung awal-awal disini. Pernah pas lagi sama
kawan-kawan becanda, mereka tiba-tiba bilang Aceh pungo. Itukan
artinya Aceh gilak. Adalagi, pas mau naik motor aku bilangnya honda.
Honda itu sebutan motor di Aceh, aku juga gak tau kenapa bisa gitu.
entah karna dulu kendaraan yang dikenl orang aceh cuma honda, atau
merk honda dulu pertama dipasarkan membuat itu jadi sebutan motor
di Aceh, gak tau lah. Tapi pas ngomong gitu aku, habis diledekin sama
kawan-kawan. Jadinya kan muncul perasaan minder dan mudah
tersinggung. Tapi sekarang biasa aja, karna memang gitu watak orang
Medan, to the point. Auto kenak mental orang kalau belum
beradaptasi”
Berdasarkan pernyataannya tersebut, informan merasa di kota Medan dirinya menjadi
seorang yang mudah tersinggung dan tidak percaya diri. Hal tersebut membentuk
pandangan negative informan tentang kota Medan sebagai lingkungan barunya.
Timbulnya perasaan tidak percaya diri dan mudah tersinggung merupakan salah satu
dampak culture shock yang dialami informan, yang mana kemungkinan di kampung
halaman informan tidak akan pernah mendengar sebutan aceh pungo atau ejekan terhadap
penyebutan motor sebagai honda. Berbeda halnya dengan yang dialaminya di kota
Medan dimana hal tersebut dianggapya menjadi suatu bullyan. Culture shock selanjutnya
yang dialami informan ketika berusaha beradaptas dengan melihat banyak wanita muslim
yang tidak berjilbab di kota Medan, lalu tingkah laku laki-laki dan perempuan dimana
menurutnya gaya berpacaran antara laki-laki dan perempuan di kota Medan sangat
berlebihan:
“Pokoknya hal-hal yang ga wajar di Aceh gampang di jumpai disini. Selain itu
ada masalah juga sih dalam hal belajar. Ya harus lebih bertanggung jawab, kita gak
dipaksa untuk belajar atau nyelesaikan tugas tapi itu tanggung jawab sendiri. Kalau
engga dikerjaakan ya dapat sendiri resikonya. Gak kayak masih sekolah kan disuruh
terus sama guru kalau nggak dihukum. ”
113
Selanjutnya informan juga mengatakan tidak begitu bergabung dengan teman-
teman yang non-muslim pada awalnya karena informan menyatakan mengalami kesulitan
dalam hal makananan karena tempat-tempat yang dikunjungi oleh teman-teman non
muslim dikatakannya cenderung tidak menunjukkan simbol-simbol Islami sehingga
informan merasa bingung menghadapi situasi demikian:
“ Orang Muslim di sini mungkin dah biasa ya gak sengaja kecium bau
BPK, nah kalo aku pertama kali pas kuliah inilah. Ya agak gimana
gitulah. Itulah kalo salah satu hal yang mengejutkan”
Selanjutnya informan menyatakan pernah mengalami sedikit masalah dalam perkuliahan
yang membuatnya merasa jenuh. Hal tersebut karena proses belajar yang drastis berubah
dimana pembelajaran dalam perguruan tinggi menurutnya sangat sulit dan banyak.
“ Senang kali gitu masuk IPTR, merasa ada keluarga dari asal yang
sama, terus sering ngumpul, ada tempat tongkrongan, bisa membagi
beban. Apalagi kami disitu ngomong pake bahasa daerah, dapat feel
114
Acehnya walau bukan di tanah kelahiran. Itu ngebantu kali sih pas aku
melewati masa-masa sulit di sini”
Namun, walaupun demikian informan juga melewati fase culture shock dimana ia
mengatakan pernah merasa seperti ter bully akibat logat bahasa yang digunakannya
sehingga membuatnya mengurangi interaksi dengan orang lain.
“Aku gak merasa ada yang aneh atau berbeda, tapi memang di awal-
awal dulu agak malas banyak bicara sama kawan-kawan karna di
katain cara bicaraku mirip sama tukang jual mie Aceh, tapi gak lama.
Mungkin logat bicaraku masih ketauan kali orang Acehnya dulu jadi
semacam bullyan atau apalah waktu disamain sama bapak-bapak
penjual mie Aceh”
115
berkaitan dengan kecepatan informan dalam berbicara dan penekanan nada di akhir
kalimat membuatnya kurang percaya diri akibat merasa dibully. Hal tersebut membuat
informan mengurangi interaksi dengan orang lain di lingkungannya yang baru namun
tidak berlangsung lama. Akibat hal tersebut informan menyatakan sempat berpersepsi
bahwasannya orang Medan memiliki perwatakan yang suka membully.
Hal lain yang membuat informan merasa aneh adalah ia merasa bahwa perempuan
di kota Medan cukup agresif. Agresif yang dimaksudkan informan lebih kepada
perbedaan tingkah laku yang diamati informan pada perempuan di kota Medan dan
membandingkannya dengan kampung halaman.
“ Pernah bingung waktu tiba-tiba teman perempuan naik ke atas motorku, dan
posisi duduknya kedepan gak kesamping. Aku agak canggung dan bingung juga
disitu karna di Aceh hal-hal gitu jarang ada. Dilarang khususnya bagi yang
belum muhrim”
Pernyataan informan tersebut cenderung kepada perbedaan norma-norma yang hidup di
Aceh dengan kot Medan. di Medan akanb terlihat biasa saja fenomena seperti yang
dinyatakan Kahlil, namun dikampung halamannya hal itu adalah sesuatu yang tabu.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti terhadap informan, Kahlil benar sangat cepat
beradaptasi di kota Medan dimana ia dengan mudahnya memiliki banyak teman, bahkan
membuka dagang bisnis kecil-kecilan melalui hasil karyanya. Informan menyesuaikan
diri dengan kedaan yang ada. Informan juga menyatakan kota Medan sangat toleran yang
berdampak pada kebebasan berekspresi setiap orang.
“ Mulai awal datang sampai saat ini aku senang-senang aja di Medan.
Pluralisme disini menyebabkan kekangan-kekangan kayak di Aceh gak
116
ada dan aku suka disini karena setiap orang sangat bebas berekspresi.
Berdomisili disini juga meningkatkan rasa toleransi buatku khususnya
dalam agama ngerasain hidup rukun bersama orang-orang dengan
kepercayaan yang berbeda”
“Kalo ngerasa asing sih engga, karena juga rame orang Aceh di
Medan dan dari pertama di Medan udah mendekatkan diri ke
lingkungan orang Acehnya”
Jawaban informan tersebut menjadi bukti bahwasannya informan juga merasakan culture
shock karena ia tetap mencari suasana kulturnya, mendekatkan diri dengan orang-orang
yang beridentitas sama dengannya ketika berada di kota Medan. culture shock yang
dialaminya juga tampak pada pernyataannya yang memrindukan kampung halaman
ketika belum lama berada di kota Medan
117
Bedasarkan hasil observasi dan wawancara dengan informan Kahlil, peneliti
menarik kesimpulan bahwasannya Kahlil merupakan tipikal individu yang mudah
beradaptasi di lingkungan baru dengan sifatnya yang toleran dan tidak menolak atau
memusuhi perbedaan lingkungan. Dalam hal ini peneliti dapat menyimpulkan
bahwasannya informan kahlil mengalami culture shock yang tidak terlalu parah
dibandingkan informan-informan sebelumnya.
118
3.5 Bentuk-bentuk Culture Shock Yang di Alami
119
12. Berusaha mencari suasana kultur yang familiar dan belum terbiasa
bersentuhan dengan budaya yang berbeda dalam hal ini mahasiswa Aceh
cenderung memasuki lingkungan orang-orang Aceh atau berteman dengan
orang-orang yang kebanyakan berasal dari kampung halaman yang sama, atau
tinggal bersama orang-orang yang memiliki kesamaan identitas karena
merasa lebih nyaman dan lebih memahami.
13. Munculnya perasaan cemas akibat merasa cara bergaul antara laki-laki dan
perempuan terlalu bebas bahkan ada perasaan takut akan pertemanan yang
tidak sehat
14. Membatasi diri dalam bergaul dan berinteraksi dengan orang-orang baru
15. Memusuhi lingkungan
16. Memaksa keadaan lingkungan seperti yang diinginkan
120
BAB IV
Focus Group Discussion (FGD) dibuka oleh peneliti sendiri yang berperan
sebagai moderator sekaligus sebagai pengamat dalam proses diskusi. Topic awal diskusi
diawali peneliti dengan meminta pendapat atau argumentasi para informan mengenai apa
itu fenomena culture shock. Sebelum melakukan FGD, peneliti telah melakukan
wawancara mendalam bersama para informan secara individu per individu. Dalam proses
wawancara tersebut, peneliti telah memaparkan apa itu culture shock sehingga diskusi
awal mengenai pendapat para informan mengenai fenomena culture shock adalah
pembukaan topik saja dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman para
informan mengenai fenomena culture shock ini. Dalam diskusi awal ini, keaktifan atau
responsive dalam diskusi ditampilkan oleh informan Kahlil, Fitri, SA, dan Rikzy. Dua
informan lainnya yakni HM dan IZ masih lebih pasif dibandingkan keempat informan
lainnya.
Dalam bahasan awal tersebut, Kahlil dan AS lebih dahulu menyampaikan apa
yang mereka pahami mengenai fenomena culture shock. Kahlil menyatakan bahwa ia
dapat menangkap culture shock adalah sebagai sebuah fenomena yang mana indvidu
perantau akan menjumpai perbedaan-perbedaan kebudayaan yang memberikan tekanan
tersendiri terhadap diri individu itu sehingga itulah yang disebutnya sebagai Culture
shock. Informan AS pun demikian menyatakan bahwa Culture Shock adalah fenomena
yang menurutnya akan dirasakan oleh setiap orang yang berpindah daerah karena
menurutnya kehidupan seperti akan dimulai dari awal lagi. Fitri berpendapat bahwa
Culture Shock adalah ketidaktahuan individu tentang lingkungan yang baru sehingga
menurutnya akan menimbulkan perasaan asing. Rizky berpendapat sama dengan Fitri
dimana ia menyatakan berada dalam lingkungan berbeda akan menjumpai perbedaan
pula, sehingga akan banyak hal baru yang masih terasa asing.
121
Menurut peneliti melalui pendapat keempat informan, mereka sudah jauh lebih
memahami apa itu culture shock dibandingkan saat pertama kali peneliti melontarkannya
ketika melakukan wawancara mendalam. Hal tersebut dikatakan sendiri oleh para
informan bahwasannya fenomena culture shock baru saja mereka ketahui setelah peneliti
melakukan penelitian ini dan bahkan mereka mengakui bahwa mereka adalah orang yang
mengalaminya. Melalui jawaban-jawaban tersebut, dapat disimpulkan peneliti
bahwasannya mereka atau setiap individu yang melakukan perpindahan atau migrasi ke
daerah baru yang beresiko mengalami culture shock, cenderung tidak mengetahui
bahwasannya mereka sedang mengalami culture shock itu.
122
Pada proses diskusi ini informan LI adalah informan yang paling pasif, beliau
hanya cenderung tersenyum dan mengangguk selama diskusi berlangsung. Namun,
terdapat satu pembahasan yang kurang disetujuinya yakni mengenai kepribadian sebagai
penyebab salah satu faktor yang berpengaruh terhadap fenomena culture shock. informan
LI menyatakan ketidaksetujuannya karena menurutnya betapapun seseorang memiliki
kepribadian terbuka dan mudah bergaul, mereka akan mengalami apa yang dinamakan
culture shock karena keterpisahan dari lingkungan yang sudah familiar. Informan HM
menyatakan setuju dengan informan LI, namun beliau menyatakan unsur kepribadian
lebih kepada faktor pemicu dan bukan penyebab terjadinya culture shock.
123
Melalui hasil FGD yang dilakukan peneliti dengan berdiskusi bersama para
informan melalui media Zoom Meeting, peneliti menyimpulkan bahwasannya para
informan cenderung memberikan pendapat yang sama. Pendapat tersebut adalah mereka
menyatakan bahwasannya perbedaan agama, bahasa, tingkah laku perempuan atau laki-
laki (norma kesopanan), pakaian, makanan, lalu lintas, dan peraturan-peraturan dalam
kehidupan pergaulan yang sangat berbeda, merupakan faktor-faktor perbedaan-perbedaan
yang amat sangat dirasakan pada awal merantau. Selain itu mereka juga menyatakan
bahwasannya kondisi ekonomi dan cara mengatur keuangan sendiri juga turut
berpengaruh dalam kehidupan mereka sebagai perantau di kota Medan.
Berdasarkan hasil analisis peneliti terhadap fenomena culture shock yang dialami
para objek penelitian yakni mahasiswa Aceh perantau yang tergabung dalam organisasi
IPTR dikota Medan, peneliti menemukan hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya
culture shock dalam proses adaptasi mereka di kota Medan sebagai lingkungannya yang
baru yang dibedakan peneliti kedalam beberapa faktor-faktor penyebab yakni sebagai
berikut:
124
4.2.1 Lingkungan Sosial Budaya
4.2.1.1 Bahasa
Bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan yang memegang peranan penting
dalam kehidupan manusia menjadi salah satu penyebab terjadinya culture shock dalam
proses adaptasi mahasiswa Aceh di kota Medan. Bahasa sebagai alat yang digunakan
oleh setiap manusia untuk berinteraksi merupakan aspek yang sangat berpeluang pada
terjadinya culture shock, seperti pada mahasiswa Aceh dimana terjadinya culture shock
yang mereka hadapi dalam beberapa bentuk permasalahan.
Perbedaan logat atau dialek bahasa yang merupakan ciri khas gaya berbicara
kedaerahan merupakan salah satu permasalahan yang paling sering terjadi dalam konsep
bahasa. Permasalahan dalam logat bahasa cenderung menjadi pemicu utama para
informan mengalami culture shock akibat bahasa. Logat bahasa para informan ketika
mendatangi kota Medan cenderung masih sangat kental dengan bahasa-bahasa daerahnya
di Aceh begitupun demikian sebaliknya dengan logat bahasa lingkungan daerah yng
didatangi. Hal tersebut menjadi salah satu hambatan dalam proses adaptasi mahasiswa
Aceh di kota Medan karena menimbulkan gangguan terhadap keadaan emosional atau
mental para informan yaitu timbulnya rasa tidak percaya atau minder sebagai reaksi dari
terjadinya culture shock.
Rasa tidak percaya diri yang dialami para subjek penelitian juga timbul akibat
dua akar permasalahan yakni pertma mereka sendiri yang merasakan perbedaan bahasa
tersebut dan kedua, mereka mendapat kritikan oleh orang-orang di lingkungan barunya
kadang kala dianggap sebagai sebuah “bullyan” terhadap bahasanya sehingga timbullah
perasaan tidak percaya diri. Sebaliknya, dialek dan logat bahasa orang Medan dengan
intonasi suara yang cukup kuat juga menjadi salah satu permasalahan dalam konsep
bahasa yang menyebabkan shock pada para subjek penelitian.
125
orang Aceh menyebutnya dengan “Honda”. Perbedaan dalam kata-kata tertentu seperti
demikian juga memicu culture shock pada mahasiswa Aceh dalam konsep bahasa
berdasarkan hasil wawancara. Selanjutnya permasalahan dalam “bahasa kotor”.
Sebenarnya hal ini juga termmasuk kedalam permasalahan adat bagi mahasiswa Aceh,
tetapi juga dapat berkaitan dengan bahasa. Dalam hal ini, beberapa informan Aceh
mengatakan bahasa orang Medan cenderung kasar dan mudah mengeluarkan bahasa
kotor yang tidak biasa di dengar dan diucapkan di Aceh sehingga menjadi salah satu
bagian dari culture shock yang dihadapi para informan. Akibat dari culture shock yang
disebabkan oleh bahasa, para informan cenderung mengurangi interaksi dengan orang-
orang yang tidak berasal dari Aceh untuk menghindari rasa ketidapercayaan diri maupun
untuk menyelamatkan mental mereka.
Aceh yang merupakan salah satu provinsi yang terdapat di Sumatera merupakan
daerah yang menegakkan syari’at islam di daerahnya yang mana hukum dan aturan islam
mengatur seluruh sendi kehidupan masyarakatnya. Dalam sebuah peribahasa (hadih
maja) yang sangat terkenal di Aceh disebutkan bahwa “ Adat ngon hukom, lagee zat ngen
sifeut” artinya adalah adat dan hukum merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan11.
Peribahasa tersebut mempertegas bahwasannya nilai adat budaya masyarakat Aceh
menyatu dengan ajaran agama islam. Masyarakat Aceh memiliki budaya adat yang sangat
11
Hakim, Lukman. Konstruksi Teologis Dalam Hadih Maja. Banda Aceh: Jurnal Substantia, vol 15. 2013 hlm
14
126
identik dengan agama islam dimana hal tersebut melahirkan masyarakat yang religius.
Harmonisasi antara adat dan islam di Aceh berkembang dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakatnya dimana mereka menyesuaikan praktek agama dengan tradisi adat istiadat
yang berlaku dalam kehidupan sosial budayanya. Hal tersebut menjadikan Islam dan
budaya Aceh menjadi satu paket yang tidak terpisahkan.
Hal tersebut jugalah yang menjadikan adat istiadat menjadi salah satu faktor
penyebab terjadinya culture shock pada mahasiswa Aceh di Medan. di Aceh, terdapat
peraturan daerah yang disebut “Qanun” yang mengatur kehidupan masyarakat di Aceh
dan hal ini berkaitan dengan adat istiadat yakni aturan-aturan dan norma-norma yang juga
memiliki kaitan dengan hukum yang mengatur kehidupan masyarakatnya. Di Aceh, hal-
hal yang terlihat biasa saja di kota Medan seperti yang disaksikan oleh para informan
dalam kehidupan sosialnya yakni teman-teman yang meminum minuman keras, berjudi,
perempuan yang berpakaian menunjukkan aurat, tingkah laku perempuan dan laki-laki
yang berlebihan, dan lain sebagainya seperti yang telah dipaparkan pada bentuk-bentuk
culture shock merupakan perubahan adat yang dihadapi para informan dalam lingkungan
sosial budaya nya di kota Medan.
Dalam hal ini, Medan dan Aceh tentu sangat berbeda sehingga benar jika para
informan meyatakan kebebasan berekspresi lebih terasa di kota Medan. hal demikian
adalah karena adat istiadat yang berdasarkan syariat islam mengatur segala sendi
kehdupan masyarakat Aceh yang tentu saja berbeda dengan kota Medan yang plural. Hal
tersebutlah yang menjadikan adat istiadat sebagai salah satu penyebab terjadinya culture
shock pada mahasiwa Aceh di kota Medan karena nilai-nilai budaya yang tertanam bagi
setiap manusia merupakan mental map reality yakni memandu kita sejak kanak-kanak
tentang berbagai hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dimana Mulyana
(2005:10) menegaskan bahwasannya beradaptasi bukan menyetujui semua ttindakan
orang lain melainkan mencoba memahami alasan dibaliknya tanpa kita sendiri tertekan
oleh situasi. Pernyataan demikian selaras dengan tindakan para informan yang memilih
berada dalam situasi kulturnya dengan bergabung bersama identitas yang sama untuk
menghindari situasi tertekan akibat perbedaan-perbedaan yang dialami.
127
4.2.1.3 Agama
Agama menjadi salah satu factor yang mendukung terjadinya culture shock pada
mahasiswa Aceh karena seperti yang kita ketahui, Aceh merupakan provinsi yang hampir
seluruh masyarakatnya memiliki kesamaan dalam system religi yaitu menganut agama
Islam dan berbeda halnya dengan kota Medan yang heterogen terdiri dari beragam
agama. Perbedaan agama menjadi salah satu penyebab beberapa di antara mahasiswa
Aceh mengalam culture shock. Menurut peneliti hal demikian terjadi karena mahasiswa-
mahasiswi Aceh terbiasa hidup dengan keadaan yang homogen memiliki identitas budaya
yang sama sehingga rentan mengalami kecemasan akibat rasa asing yang dimiliki dalam
lingkungan kota Medan yang lebih plural.
Selain itu, agama juga merupakan suatu hal yang berkaitan dengan adat istiadat di
Aceh. Mahasiswa Aceh mengalami kecemasan dalam kehidupannya di lingkungan kota
Medan akibat terbentuknya sifat religius yang mereka miliki dan aturan-aturan agama,
adat istiadat bahkan hukum yang bersendikan syari’at Islam sebagai pedoman hidup yang
didalam memuat aturan-aturan yang mengatur kehidupan masyarakatnya dan di kota
Medan, hal-hal demikian tidak begitu terasa sekenatal saat berada di kampung halaman.
Selain itu, menurut peneliti melalui hasil wawancara dengan para informan, kadangkala
agama juga berpengaruh pada munculnyasikap etnosentrisme mahasiswa Aceh terhadap
penduduk kota Medan karena mereka cenderung membanding-bandingkan bagaimana di
Aceh dan bagaiamana di kota Medan.
4.2.1.4 Makanan
Makanan merupakan salah satu bagian dari penyebab terjadinya culture shock
pada mahasiswa Aceh di kota Medan berdasarkan apa yang telah dikaji peneliti malalui
bentuk-bentuk culture shock yang dihadapi mahasiswa Aceh perantau. Dalam hal ini,
perbedaan cita rasa memang bukanlah menjadi suatu masalah utama yang dihadapi.
Perbedaan cita rasa makanan hanya pada rasa yang mana ada beberapa informan
menyatakan bahwasannya di Medan, rasa makanan lebih kepada rasa pedas sedangkan di
Aceh lebih kepada rasa Asa. Selain itu mereka menyatakan di Aceh rempah-rempah
makanan lebih terasa. Namun, rasa makanan bukanlah persoalan yang rumit bagi mereka,
melainkan perasaan was-was dalam memilih makanan di kota Medan. Kondisi kota
128
Medan yang plural tentunya menyediakan jenis makan yang beragam dan oleh beragam
identitas suku ataupun agaman. Berdasarkan penelitian terhadap para informan, mereka
cenderung cemas dalam memilih tempat makan di kota Medan.
Kecemasan tersebut timbul akibat banyak terdapat rumah-rumah makan atau café
di kota Medan yang biasa menjadi tempat tongkrongan atau sekadar tempat untuk makan
khusunya bagi mahasiswa-mahasiswi USU namun tidak menimbulkan simbol-simbol
keislaman yang terkadang membuat mahsiswa Aceh kewalahan karena takut tidak sejalan
dengan larangan-larangan yang terdapat dalam agama jika diajak makan atau berkumpul
oleh teman-teman yang beragam suku ataupun agama ketempat demikian. Kecemasan
dalam pemilihan agama tersebut merupakan salah satu bentuk culture shock yang mereka
hadapi karena di Aceh, tentunya akan sangat jarang ditemukan rumah makan atau
penjual-penjual makanan diluar agama Islam.
Dalam proses menjalin adaptasi dengan lingkungan baru mahasiswa Aceh di kota
Medan, lingkungan fisik menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya culture
shock karena mereka juga dihadapkan dengan perubahan lingkungan fisik. lingkungn
fisik dalam hal ini berkaitan dengan system peralatan hidup dan teknologi sebagai bentuk
kebudayaan materiil yang tentunya ada pada tiap daerah dalam lingkungan kebudayaan.
Dalam proses adaptasi mahasiswa Aceh di kota Medan, lingkungan fisik menjadi salah
satu penyebab terjadinya culture shock karena beberapa wujud dari bentuk system
peralatan hidup dan teknologi sebagai wujud kebudayaan fisik di kota Medan berbeda
dengan di Aceh yang menyebabkan terjadinya culture shock.
Hal tersebut tampak dari kritikan para informan penelitian terhadap keadaan lalu
lintas dan suasana kota Medan yang dinilai padat, ribut, banyak polusi, dan kemacetan
yang sangat luar biasa dalam jam-jam tertentu. Tidak hanya itu, terdapat juga mahasiswa
Aceh yang mengalami kecemasan untuk berpergian di kota Medan akibat rambu-rambu
lalu lintas yang tidak dipahami. Selain itu, lingkungan tempat tinggal mahasiswa Aceh di
kota Medan juga menjadi hal-hal yang memicu terjadinya culture shock karena kondisi
lingkungan tempat tinggal mereka di kota Medan tentu perbedaan dengan di kampung
halaman. Di kota Medan mereka akan tinggal sendirian atau berdampingan dengaan
129
orang lain dalam rumah kos-kosan ataupun kontrakan. Tentunya berbeda dengan tinggal
bersama orang tua yang semuanya serba ada dan serba sesuai dengan apa yang
diinginkan mahasiswa perantau mulai dari kondisi rumah, peralatan, air dan sebagainya..
Hal ini tentu diakibatkan adanya perubahan dan beberapa perbedaan dalam konsep
lingkungan fisik antara kota Medan dan Aceh sehingga menjadi salah satu faktor
terjadinya culture shock pada mahasiswa Aceh di kota Medan.
Karakter yang diartikan sebagai mental atau moral yang membuat individu atau
sekelompok individu berbeda dengan yang lainnya seperti defenisi tersebut merupakan
salah satu titik permasalahan yang ditemukan pada Mahasiswa Aceh di kota Medan. Hal
tersebut dikarenakan melalui kajian peneliti terhadap para subjek penelitian, mental dan
moral yang dimiliki mahasiswa Aceh cenderung terbentuk mewakili kebudayaannya
yang berdasarkan syari’at Islam. Tipe kepribadian masyarakat Aceh secara umum adalah
lebih mengarah kepada kebaikan-kebaikan karena seluruh aspek kehidupan didasarkan
130
oleh ajaran agama sedangkan kota Medan lebih dikenal plural dengan karakter
masyarakatnya yang berbed-beda namun cenderung dianggap kasar.
1. Memasuki organisasi IPTR sebagai salah satu organisasi kesukuan Aceh di kota
Medan
131
“Semester tiga masuk organisasi IPTR sebenarnya untuk menghindari
kerinduan sama kampung halaman sekalian biar gak stres karna
ngurung diri dalam kos terus”
Informan menyatakan bahwasannya memasuki organisasi IPTR merupakan
cara yang dilaukan untuk mengghindari kerinduan dengan kampung halaman.
Demikian juga yang dikatakan oleh informan Kahlil:
“Masuk IPTR salah satu yang buat aku lebih bertahan disini, karna
merasa ada keluarga, ngomong pake bahasa Aceh dah gitu tempat
untuk curhat, ngumpul dan berbagi info”
Namun, tidak semua mahasiswa Aceh perantau yang mau memasuki organisasi kesukuan
khususnya organisasi IPTR sebagai fokus peelitian. Seperti halnya pada informan Erin,
beliau memilih untuk tidak memasuki organisasi IPTR karena alasan-alasan tertentu.
Seperti yang dinyatakannya:
“Gak masuk IPTR karena aku mau mencari suasana baru, biar
mengenal budaya lain juga. Aku juga masuk organisasi kesukuan kok,
tapi suku Karo. Nah disana lebih plural dan lebih menemui orang-
orang baru lagi, tapi bukan gak rindu Aceh sewaktu di Medan dan
bukan berarti menghilangkan identitas budaya sendiri tapi mau
memperluas pengetahuan dan wawasan dalam budaya berbeda aja.”
2. Memasuki organisasi baru di luar IPTR agar dapat berbaur dengan orang-orang
baru
Memasuki organisasi lain di luar organisasi IPTR merupakan salah satu cara yang
ditempuh beberapa informan dalam mengatasi culture shock yang dihadapi, seperti yang
di ungkapkan oleh informan Rizky:
“Diluar IPTR juga aku punya organisasi lain, UKM paduan suara
ulos misalnya. Nah dari situ aku juga jumpa sama orang-orang Medan
132
yang enisnyaa beragam sifatnya pun beragam, tapi itu juga membantu
ku lebih berbaur lagi di kota Medan, menambah relasi juga”
selain itu memasuki organisasi baru merupakan alternaatif yang juga di lalui untuk lebih
berbaur dalam keheterogenitasan penduduk di kota Medan. Hal sama juga di katakan
oleh informan HM:
“Gak lama gabung sama anak IPTR, aku gabung organisasi HMI
allhamdullilah aku ngerasa semakin nyaman di kota Medan semenjak
masuk kedua organisasi ini”
Informan menyatakan, semenjak memasuki organisas iptr informan juga
memasuki organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sehingga ia lebih
merasa nyaman di kota Medan.
133
Optimis dan ambisius terhadap cita-cita dan masa depan merupakan strategi yang juga
dilakukan mahasiswa perantau agar dapat bertahan di kota Medan sebagai lingkungannya
yang baru. Hal tersebut diatakan oleh informan AS:
“Aku selalu aja berpikiran positif, optimis dan ambisius supaya bisa
melewati masa-masa kesepian atau tantangan-tantangan yang
kuhadapi disini. Ku tanamin dalam diri, aku disini sendirian merantau
itu pilihanku untuk menempuh pendidikan supaya bisa jadi orang
sukses, cita-cita tergapai. Itu salah satu cara sih menurutku supaya
bisa beradaptasi menerima proses perjalanan hidup di tanah rantau”
Informan menyatakan bahwasannya pikiran positif, ambisius, dan optimis akan masa
depan yang ingin diraih dengan kesuksesan merupakan salah satu cara beradaptasi agar
mampu melewati tantangan-tantangan yang dihadapi di tanah rantau sebagai prinsip
hidup untuk menghindari kegalauan di kota Medan sebagai lingkungan kebudayaannya
yang baru. Demikianlah upaya-upaya yang dapat dikatakan strategi yang di lalui oleh
informan-informan dalam proses adaptasi di kota Medan sebagai individu pendatang.
134
BAB V
5.1 KESIMPULAN
135
faktor penyebab culture shock yang paling dominan. Hal demikian karena, nilai-nilai
dalam adat istiadat yang sejalan dengan hukum dan agama adalah bersendikan
Syari’at Islam sebagai pedoman hidup yang telah dipelajari dan melekat dalam diri
tiap mahasiswa Aceh di daerah asalnya, sehingga berbeda dengan apa yang dijumpai
di kota Medan dan hal tersebut sangat mendorong terjadinya culture shock.
6. Peneliti juga mendapati bahwasannya berdasarkan hasil penelitian, perempuan
cenderung berada pada level culture shock yang lebih sulit dibandingkan dengan
laki-laki dengan jangka waktu adaptasi yang lebih lama, sedangkan laki-laki
cenderung lebih cepat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya
yang baru.
5.2 SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah di uraikan penulis di atas,
maka ada beberapa hal yang dapat menjadi saran penulis bagi individu-individu yang
sedang atau hendak merantau, yaitu:
136
suatu kekayaan yang dimiliki di tanah air dimana keberagaman kebudayaan tidak
akan terhindarkan.
4. Akan sangat baik dan bermanfaat jika para perantau tidak memakai kacamata
budaya sendiri dalam melihat budaya lain apalagi ketika kita sedang berada dalam
lingkungan budaya yang baru itu dalam jangka waktu yang lama. Karena hal
tersebut merupakan sikap etnosentrisme yang akan lebih memicu timbulnya
berbagai permasalahan-permasalahan lain dalam lingkungan yang baru.
5. Membuka diri dengan berbaur bersama orang-orang yang berbeda budaya,
memasuki organisasi-organisasi, serta mencintai hobby dan meningkatkan
kreativitas diri juga adalah alternative yang akan sangat bermanfaat dalam
menghindari terjadinya culture shock.
6. Menurut penulis, pada masa kini ada baiknya jika setiap individu tidak hanya
berfokus pada kecerdasaan pikiran atau kepintaran saja melainkan sangat
dibutuhkan juga kecerdasan adaptasi dalam berbagai aspek kehidupan.
137
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Afrizal. Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian
Kualitatif dalam Bebagai Displin Ilmu. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016
Abdullah, Irwan. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Petaka Pelajar,
2010.
Baswori & Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta, 2008
Danandjaja, James. Antropologi Psikologi: Teori, Metode, dan Sejarah
Perkembangannya
Dayakisni, Tri & Salis Yuniardi. Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press, 2004
Setiadi, Elly M. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2009
Sibarani, Robert. Antropolinguistik. Medan: Poda, 2004
Sinar, Tengku Luckman. Sejarah MEDAN tempoe Doloe. Medan: Lembaga Penelitin dan
Pengembangan Seni Budaya Melayu,1991
Ujan, Andre Ata, et al. Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama Dalam Perbedaan.
Jakarta: PT Indeks, 2011
Walgio, Bimo. 2005. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi
138
Yuliati, Yayuk. Perubahan Ekologis dan Strategi adaptasi masyarakat di wilayah
Pegunungan Tengger. Malang: UB press, 2011
Jurnal :
Alfiandri, “Islam Matotonan (Suatu Kajian Antropologi Agama Pada Penganut Islam
Mentawai)”. Scholar.unand.ac.id/37276/, 2018 (diploma thesis Universitas
Andalas)
Agustan dan Sophian Thamrin,”Merantau: Studi Tentang Faktor Pendorong dan
Dampak Sosial Ekonomi TERHADAP Aktivitas Merantau di Desa Sijelling
Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone. Predestinasi, 2017 hal 50-61
Andani, Damai. “Penyesuaian Diri Mahasiswa Terhadap Culture Shock.” Skripsi
Sarjana, Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah.
Surakarta. 2017
Berutu, Ali Geno,”Aceh dan Syariat Islam.” Jurnal Osf: Jakarta, 2014 (https://osf.io)
Samad, Sri Astuti A, “Agama, Budaya, dan Perubahan Sosial Perspektif Pendidikan
Islam di Aceh”. Jurnal MUDARRISUNA: Media Kajian Pendidikan Agama
Islam. September 2017 (DOI: 10.22373/jm.v7i1.1900)
Aswar. “Pangessang (Studi tentang strategi adaptasi buruh pikul barang di pasar cabbeng,
kecamatan lilirlau, kabupaten soppeng)”. Skripsi Sajarna, Jurusan Antropologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 2014
Badan Pusat Statistik (BPS). Suku Bangsa di Indonsia. INDONESIA.GO.ID: Portal
Informasi Indonesia dapat dilihat pada https://Indonesia.go.id diakses agustus
2020
Devinta, Marshella. “Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa
Perantauan di Yogyakarta,” Jurnal pendidikan sosiologi, 2016. Hal 1-15. Dapat
dilihat pada
https://journal.student.uny.ac.id/ojs/ojs/index.php/societas/article/view/3946
(diakses agustus 2020)
Irwin, Rachel. “Culture Shock: Negotiating Feelings In The Field,” Anthropology
Matters Journal, 2007. Dapat dilihat pada http://www.Anthropologymatters.com
(diakses 11 agustus 2020)
Intan, Tania. Gegar Budaya dan Pergulatan Identitas Dalam Novel Une Annee Chez
Francais Karya Fouad Laroui,” Jurnal Ilmu Budaya (Desember 2019), hal 163-
175. Dapat dilihat pada
http://journal.unhas.ac.id/index.php/jib/article/download/6789/4030. (diakses
gustus 2020)
Khoirunnisa, Yusnia. & Nathalia P. Soemanthri. “Fenomena Gegar Budaya Pada Warga
Negara Perancis yang bekerja di Jakarta”. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial
Budaya (Desember 2019), hal 254-261. dapat dilihat pada
https://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/index.php/jantro/article/view/170
139
Kurni, Awis. “Pengaruh keterbukaan diri (self disclosure) terhadap ketermpilan
komunikasi interpersonal pda kalangan ikatan pemuda tanah rencong
Universitas Sumatera Utara”, 2018. Dapat dilihat pada
http://repositori.usu.ac.id.
Sumber Internet :
Arsip Daerah Pemerintah Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. (Arsip.Pemko
Medan.go.id)
Haun, Mohd, “Revitalisasi Bahas Daerah Aceh”. https://aceh.tribunnews.com. Desember
2017
Pemerintahan Kota Medan, “ Sejarah Kota Medan”, https://pemkomedan.go.id/hal-
sejarah-kota-medan.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/63821/Chapter%20II.pdf?sequenc
e=4&isAllowed=y
Syahrial, Muhammad Takari bin Jilin. Nilai-nilai Multikultural dalam kesenian
masyarakat kota
https://www.etnomusikologiusu.com/uploads/1/8/0/0/1800340/senimultikulturme
dan.pdf
https://en.wikipedia.org/wiki/Medan
140
Yanti, Delfa Fitri, Masyarakat Minangkabau Perantau Tanah Datar di kota Pekan Baru
(Kasus Perantau Dari Jorong Gunung Nagari Tanjung Alam Kecamatan Tanjung
Baru. 2019
(hhtps://.jom.unri.ac.id./index.php/JOMFSIP/article/download/24927/24143)
141
LAMPIRAN
Foto Jalan Lokasi Sekretariat IPTR USU Kota Medan, Jalan Amaliun kota
Matsum IV. Kec. Medan Area, Medan
142
Wawancara Bersama Ibu Nurma, Pedagang didepan Sekretariat IPTR
Informan LI
143
Informan Fitri
Informan Kahlil
144
Informan Rizky
Informan HM
145
Informan SA
146