Anda di halaman 1dari 102

SEJARAH WATA-WATANGKE PADA MASYARAKAT MUNA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Ujian Seminar Skripsi Pada

Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh :

LA ODE AWANSYAH

A1A2 11 096

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2016
UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidaya-Nya sehingga

penyususnan skripsi ini dapat selesai sesuai dengan waktu yang diharapkan. Shalawat

dan salam yang tiada hentinya kepada manusia yang mulia yang dipilih-Nya (Nabi

Muhammad SAW) beserta para keluarga, sahabat serta kaum-Nya yang masih tetap

istiqamah memperjuangkan agama Islam sampai akhir hayat.

Pada kesempatan ini pula, dengan segala kerendahan hati penulis

menyampaikan terima kasih kepada Ayahanda La Ode Muh. Daif dan Ibunda Hasma

yang telah mengasuh, mendidik dan membersarkan penulis di bawah naungan cinta

dan kasih sayang yang tulus melalui pengorbanan dan kerelaan dalam menuntun

penulis untuk meraih cita-cita. Untuk semangat saya, kakakku tercinta La Ode

Muhammad Akbar dan adik-adikku tersayang La Ode Abd. Hafid, Irma Yanti, Wa

Ode Novia Anggraini dan Saras Dianti penulis mengucapkan terima kasih telam

memberikan dorongan yang tulus kepada penulis sehingga tetap semangat dalam

menyelesaikan kuliah pada jenjang S1 .

Penulis menyadari bahwa penyususnan skripsi ini dapat diselesaikan atas

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Terutama bantuan dan bimbingn dari

dosen pembimbing. Untuk itu sepatutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada

Drs. La Ode Baenawi, M. Pd., ditengah-tengah kesibukan beliau dalam menjalankan

tugas sebagai dosen telah membimbing, memberikan kritik dan saran. Selanjutnya,

penulis penyampaikan terima kasih kepada Dr. Hj. Darnawati, Spd, M. Pd., ditengah-

tengah kesibukan menjalankan tugas sebagai dosen tanpa pamrih dengan tulus iklas

serta kesediaan beliau meluangkan waktu untuk membimbing penulis, sehingga

penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga ketulusan dan keikhlasan, serta
kesediaan membimbing penulis dapat bernilai disisi Allah SWT.

Selanjutnya, pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima

kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada;

1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S, selaku Rektor Universitas Halu Oleo.

2. Prof. Dr. La Iru, SH, M.Si, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Halu Oleo.

3. Drs. Hayari, M.Hum, selaku Ketua Jurusan /Program Studi Pendidikan

Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo.

4. Bapak dan Ibu Dosen, serta staf Administrasi pada Jurusan/Program Studi

Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu

Oleo.

5. Para informan yang telah memberikan informasi atau data tentang sejarah

wata-watangke sebagai pendidikan moral pada masyarakat Muna.

6. Kepada Sahabat penulis Ruslamin S,Pd., Febrianto, Murdin, Ali Wahab,

Amrin Akbar Tondo, yang tetap setia bersama penulis.

7. Kepada teman-teman Randi, budi, Ani, Sitti Syarah S,Pd., Jaha dan terkhusus

Irnawati yang telah banyak membantu penulis dalam hal kepedulian yang luar

biasa.

8. Terima kasih kepada seluruh mahasiswa program studi pendidikan sejarah

terkhusus angkatan 2011 yang telah memberikan apresiasi dan motivasi

sehingga penulis dengan giat dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini

sesuai dengan harapan bersama.

Akhirnya, dengan segala kerendahan ketidaksempurnaan yang dimiliki,

penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat. Saran dan kritik senantiasa
menjadi harapan penulis dalam rangka perbaikan tugas akhir ini

Kendari, Desember 2015

Penulis.
ABSTRAK

LA ODE AWANSYAH, stambuk A1A2 11 096 dengan judul Skripsi

“Sejarah Wata-watangke Pada Masyarakat Muna” dibawah bimbingan Dr. Hj.

Darnawati, S.Pd, M.Pd dan Drs. La Ode Baenawi, M.Pd masing-masing selaku
pembimbing I dan pembimbing II.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana latar

belakang tradisi wata-watangke? 2) Bagaimana proses penyampaian tradisi watawatangke

dalam masyarakat Muna? 3) Apa makna yang terkandung dalam tradisi

Wata-watangke?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah menurut

Helius Sjamsudin dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) Heuristik

(pengumpulan data), (2) Kritik sumber (eksternal dan internal), (3) Historiografi,

penulisan sejarah yang terdiri atas: penafsiran, penjelasan dan penyajian. Kajian

pustaka dalam penelitian ini menggunakan konsep sejarah, konsep kebudayaan,

konsep wata-watangke (teka-teki), konsep pendidikan, konsep moral dan penelitian

relevan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) latar belakang tradisi wata-watangke

menjelaskan bahwa munculnya wata-watangke dimulai pada masa pengaruh Islam di

Muna dimasa pemerintahan Raja Sugi Manuru pada abad 16. Dalam tahap

perkembangannya tradisi wata-watangke dimainkan oleh pasangan muda-mudi yang

sedang jatuh cinta., tradisi wata-watangke yang hanya mainkan oleh muda-mudi,

permainan wata-watangke berkembang dan dimainkan dari rumah ke rumah, bahkan

dari kampung ke kampung dan ini digunakan untuk membangun hubungan

silaturahim agar tetap terjalin dengan baik. Dengan demikian, tradisi wata-watangke

memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting untuk menjaga hubungan

kekeluargaan dan komunikasi antarsesama dalam kehidupan masyarakat Muna. 2)

Proses pengungkapan tradisi Wata-watangke, Dalam permainan wata-watangke

terbagi atas dua bagian yaitu penanya dan penjawab. Biasanya pertanyaan dalam
wata-watangke diajukan untuk dijawab atau ditebak lawan dalam permainan watawatangke

tersebut. orang atau kelompok yang mengajukan pertanyaan bertanya

kepada orang atau kelompok yang dituju, maka kelompok tersebut harus menebak

atau menjawab pertanyaan tersebut. 3) Permainan wata-watangke pada masyarakat

Muna banyak memuat makna pendidikan, baik bentuk permainannya sampai pada

ungkapan dalam wata-watangke itu sendiri diantaranya adalah nilai pendidikan

agama, moral, sosial, dan karakter.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN

UCAPAN TERIMA KASIH

ABSTRAK

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………………………………….1

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………4

C. Tujuan Penelitian………………………………………………………………….5

D. Manfaat penelitian………………………………………………………………...5

BAB II KAJIAN PUSTAKA


A. Konsep Sejarah…………………………………………………………………....7

B. Konsep Kebudayaan…………………………………………………...………….9

C. Konsep Wata-watangke (Teka-teki)……………………………………………...14

D. Konsep Pendidikan………………………………………………………………15

E. Konsep Moral………………………………………………………………...…..17

F. Penelitian Terdahulu……………………………………………………………...19

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………………………..20

B. Jenis Penelitian………………………………………………………………….20

C. Pendekatan Penelitian………………………………………..…………………20

D. Sumber Data Penelitian……………………………………………………...…21

E. Metode Penelitian………………………………………………….………...…21

1. Heuristik (Teknik Pengumpulan Data)……… …………………...…………..21

2. Kritik Sumber (Teknik Penelitian Data)…………………………...…………...22

3. Historiografi (Penyusunan Data)……………………………………………….23

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Kondisi Geografis Desa Laghorio………………………………………………25

B. Keadaan Demografi Desa Laghorio…………………………………………...25

C. Keadaan Ekonomi Desa Laghorio……………………………………………..30

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Tradisi Wata-watangke…………………………………..……33

1. Wata-watangke sebagai Media Hiburan……………………………………….37

2. Wata-watangke sebagai Alat Interaksi…………………………………………38

3. Wata-watangke sebagai Media Untuk Melatih Pikiran…………………………39

B. Proses Pengungkapan Tradisi Wata-watangke………………..………………..40


C. Makna Yang Terkandung Dalam Tradisi Wata-watangke……………………..45

1. Makna Religi…………...……………………………………………………....44

2. Makna Pendidikan Moral………………………………………………………50

3. Makna Pendidikan Sosial……………………………………………………….53

4. Makna Pendidikan Karakter……………………………………………………58

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………………………63

B. Saran……………………………………………………………………………64

C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sejarah…………………… .64

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Muna merupakan salah satu daerah yang berada di Provinsi Selawesi

Tenggara. Kabupaten Muna meliputi wilayah Muna bagian Utara dan Pulau Buton
bagian Utara sedangkan Selatan Pulau Muna adalah wilayah Kabupaten Buton.

Daerah muna tidak terlepas dari kebudayaan suku muna itu sendiri yang di mana

dipenuhi berbagai tradisi yang telah lama dikenalkan melalui penduhulu atau para

nenek moyang yang ada di daerah tersebut.

Setiap masyarakat etnik, termasuk masyarakat etnik Muna memiliki tradisi

dengan kandungan makna yang khas dan berkaitan dengan nilai dan fungsi

pelestarian lingkungan. Pada sisi yang lain, tradisi dapat pula dikatakan sebagai

produk buah pikiran masyarakat etnik yang dapat difungsikan untuk memecahkan

permasalahan lingkungan alamiah dan lingkungan sosial. Roh tradisi lisan adalah

memuliakan kehidupan, serta menguatkan simpul-simpul persatuan dan kebersamaan,

termasuk memperbaiki kehidupan manusia. Amanat tradisi yang terungkap dalam

lingkungan sosial misalnya, mampu mengungkap tentang pentingnya kebersamaan,

kekompakan, dan keharmonisan dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan

negara. Sementara itu, dalam lingkungan alamiah tradisi mampu menuntun manusia

untuk bersikap dan bertingkahlaku arif terhadap lingkungan alam.

Penelusuran nilai-nilai yang terdapat dalam suatu tradisi bukan berarti sebuah

upaya untuk memamerkan sikap kedaerahan, tetapi merupakan bagian dari upaya

penelusuran terhadap unsur-unsur budaya yang ada di daerah yang perlu di jaga dan

ditumbuh kembangkan karena tradisi juga sebagai sumber yang tidak pernah habis
bagi keutuhan budaya Nasional.

Pemeliharaan suatu tradisi tidak lepas dari peran para tokoh adat atau orang

yang dituakan dalam suatu kelompok masyarakat. Para tokoh adat diberi kepercayaan

oleh kelompoknya untuk memelihara dan menjaga tradisi yang diwariskan secara

turun temurun. Suatu kelompok masyarakat dengan nilai, norma, tradisi, adat dan

budaya yang sama akan mempunyai jejak-jejak masa lampaunya. Dalam masyarakat

yang belum mengenal tulisan jejak-jejak masa lampaunya disebarluaskan dan

diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya secara lisan sehingga

menjadi bagian dari tradisi lisan.

Dewasa ini masih banyak tradisi di Indonesia yang perlu ditelusuri, salah

satunya tradisi yang ada di Sulawesi Tenggara, Kabupaten Muna. Di daerah ini

memiliki kekayaan budaya tradisi yang perlu di lestarikan. Oleh karena itu perlu

dilakukan pengkajian secara ilmiah sebagai upaya penelusuran terhadap tradisi yang

merupakan kebiasaan masyarakat. Dalam upaya pengkajian inilah akan di sajikan

tradisi berupa wata-watangke yang secara umum dikenal sebagai Teka-teki.

Wata-watangke merupakan salah satu tradisi yang diturunkan secara lisan

dari nenek moyang kepada generasi muda di Kabupaten Muna. wata-watangke

memiliki kedudukan tersendiri dalam hati masyarakat Muna. Dapat dipastikan bahwa

di setiap desa di Kabupaten Muna ada yang pandai untuk memainkan wata-watangke.

Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa wata-watangke telah mengakar dalam

kehidupan masyarakat Muna (La Mokui, 1991: vii).

Tradisi wata-watangke tidak hanya diminati oleh para anak-anak saja, akan

tetapi dari kalangan muda sampai tua juga sangat senang dengan tradisi tersebut.
wata-watangke bukan hanya sekedar tradisi, akan tetapi tradisi ini juga digunakan

sebagai pengasah otak dan pikiran.

Tradisi wata-watangke dilaksanakan tidak menetap pada satu tempat,

melainkan dilakukan pada tempat yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk mempererat

hubungan silaturahim diantara mereka (La Mokui, 1991: vii).

Tradisi wata-watangke juga dapat dimainkan untuk memulihkan rasa lelah

akibat dari aktivitas yang dilakukan. Contohnya setelah mengelolah kebun atau

setelah melaut, untuk memulihkan kembali semangat bekerja petani ataupun nelayan,

mereka mengadakan tradisi wata-watangke. Tradisi wata-watangke biasanya

dilakukan pada malam hari yang dilakukan berbagai kalangan. Tradisi wata-

watangke merupakan permainan yang dimainkan untung mengisi waktu kosong.

Dalam permainan wata-watangke, mereka membentuk kelompok yang terdiri dari 2

kelompok yaitu kelompok pria dan kelompok wanita. Dalam tradisi wata-watangke

ini biasanya diselingkan dengan cerita-cerita yang mengandung nasihat.

Pengenalan wata-watangke akan merangsang kesadaran masyarakat untuk

mempertahankan dan tidak melupakan begitu saja akan keberadaan tradisi yang

merupakan warisan para leluhur. Tradisi wata-watangke diturunkan oleh para nenek

moyang dengan secara lisan dan turun-temurun. Penutur wata-watangke yang

merupakan para tetua sudah sangat berkurang. Selain itu tidak sedikit generasi muda

berpendapat bahwa tradisi wata-watangke tidak menarik di kalangan mereka. Oleh

karena itu, keberadaan wata-watangke pada saat ini semakin terancam menuju

kepunahan. Padahal tradisi wata-watangke juga merupakan salah satu alat

pembelajaran kuno, karena di dalam tradisi tersebut sangat mengandung nilai moral.
Perkembangan zaman dan era globalisasi yang terjadi pada saat ini, tradisi

wata-watangke tidak lagi eksis dimainkan. Tradisi tersebut sangat membutuhkan

perhatian yang besar agar selalu terlestarikan mengingat tradisi Wata-watangke

adalah sebagai kebudayaan tradisi yang ada pada masyarakat muna dan memiliki

ajaran-ajaran moral yang tidak ternilai harganya.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah yang ada dipenelitian ini akan merujuk pada latar

belakang yang telah dipaparkan sebelumnya. Maka terkait dengan hal tersebut,

rumusan masalah penelitian ini yatu:

1. Bagaimana latar belakang adanya tradisi wata-watangke?

2. Bagaimana proses pengungkapan tradisi wata-watangke dalam masyarakat Muna?

3. Apa makna yang terkandung dalam tradisi wata-watangke?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, maka dapat ditarik tujuan dari penelitian ini

yaitu:

1. Untuk mendeskripsikan latar belakang adanya tradisi wata-watangke.

2. Untuk mendeskripsikan proses penyampaian tradisi wata-watangke dalam

masyarakat Muna.

3. Untuk mendeskripsikan makna yang terkandung dalam tradisi wata-watangke.


D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini dapat bersifat keilmuan dan

kepraktisan. Hasil penelitian dapat mengembangkan ilmu dan dapat pula diterapkan

dalam kehidupan sehari-hari .Berkaitan dengan hal tersebut dan dari pemaparan

tujuan diatas, maka adapun manfaat penelitian ini yaitu:

1. Secara praktis, dengan penelitian ini penulis mampu mendeskripsikan:

a. Latar belakang mengenai tradisi wata-watangke.

b. proses pengungkapan tradisi wata-watangke dalam masyarakat Muna.

c. Makna yang terkandung dalam tradisi wata-watangke.

2. Secara teoritis, dari penelitian yang akan dilaksanakan diharapkan agar bermanfaat

sebagai bahan studi perbandingan dalam rangka penelitian berikutnya yang

dianggap relevan, utamanya penelitian yang berkaitan dengan wata-watangke.

3. Secara Metodologis, penelitian ini di harapkan bisa menyalurkan informasi tentang

tradisi wata-watangke. Kemudian dari informasi tersebut diharapkan dapat

melahirkan metode dan strategi yang efektif dan efesien dalam penelitian

berikutnya.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Sejarah

Sebagai kerangka acuan atau alat analisis dalam membahas tentang sejarah

Wata-watangke sebagai pendidikan moral pada masyarakat Muna, maka dalam kajian

pustaka ini penulis mengemukakan konsep sejarah yang dikutip dari beberapa

literatur yang relevan.

Sejarah pada prinsipnya selalu menyertai setiap peristiwa dan perubahan yang

terjadi. Dalam membahas tentang sejarah berarti kita membahas peristiwa dan

perubahan yang terjadi dimasa lampau yang pada umumnya dilakukan oleh manusia

sebagai mahkluk yang berbudaya. Secara harfiah sejarah adala Sesuatu yang telah
berlalu, suatu peristiwa, suatu kejadian, riwayat, sesuatu pengetahuan tentang masa

lalu, duduk persoalan tertentu pada umumnya, khususnya tentang masyarakat

tertentu, dan ilmu yang berusaha mewariskan ilmu pengetahuan (Gazalba, 1981: 2).

Sejarah dapat dijadikan perbendaharaan pedoman sebagaimana pernyataan

konsep di atas sehingga ilmu sejarah bukanlah bersifat statis. Roeslan Abdul Gani,

(1963: 12) menegaskan bahwa ilmu sejarah ibarat penglihatan tiga dimensi, yaitu

pertama penglihatan kemasa silam, kedua kemasa sekarang, dan kemudian kemasa

depan. Dengan lain perkataan dalam menyelidiki masa silam itu kita dapat

melepaskan diri daripada kenyataan-kenyataan masa sekarang yang sedang kita alami

bersama, dan sedikit banyak yang tidak dapat kita lepaskan daripada perspektif masa

depan.

Tampak bahwa sejarah merupakan gambaran masa lalu yang disusun secara

ilmiah dan lengkap meliputi urutan waktu, fakta dan tafsiran yang memberikan

pengertian tentang apa yang berlalu tersebut. Dalam kaitan ini maka Wahid Siswoyo

mengemukakan bahwa:

1. Sejarah mengembangkan pengertiannya yang luas tentang warisan kebudayaan

umat manusia.,

2. Sejarah memberikan gambaran tentang keadaan sosial, ekonomi, politik, dan

kebudayaan dari berbagai bangsa di dunia (Hugino dan P.K. Poerwantana, 1987:

3)

Para ahli sejarah juga menyoroti manusia dengan berbagai aktivitasnya


sebagai kajian sejarah yang penting karena setiap aktifitas yang dilakukan oleh

manusia tentu akan melahirkan banyak tinjauan dalam merekonstruksikan masa

lampaunya. Hal tersebut didorong oleh adanya rasa ingin mengetahui dan memahami

berbagai peristiwa atau kejadian dimasa lampau.

Sejarah merupakan rangkaian dari kehidupan sekarang dan masa lampau,

untuk menentukan arah masa depan yang dihubungkan dengan perkembangan

aktivitas manusia baik secara individu maupun kelompok. Perkembangan disini

diartikan dengan terbuka menjadi besar dan luas atau bertambah sempurnah, menjadi

banyak atau maju dalam periode yang dilaluinya. Dengan demikian maka

perkembangan dapat diartikan sebagai suatu proses perjalanan dalam periode waktu

yang disertai dengan usaha-usaha perluasan untuk mencapai kemajuan. ( Badudu dan

Zain, 2001: 537)

Berdasarkan pendapat tersebut tampak bahwa sejarah masa lampau perlu kita

pelajari dengan berpijak pada kenyataan aktifitas dan situasi sekarang untuk

memprogramkan pikiran dan harapan yang berperspektif kemasa depan. Dengan

demikian gambaran sejarah merupakan integrasi kurun waktu yang tak terputus

antara masa lampau, masa sekarang yang sedang kita alami dan masa yang akan

datang. Sebagai konsekuensi logis dari kesinambungan kurun waktu dalam dimensi

sejarah adalah terjadinya hubungan kausalitas antara kejadian atau peristiwa yang

menyertainya dengan hukum-hukum yang menguasai masa lampau yang membawa

masyarakat perubahan-perubahan kearah perkembangan secara bertahap segalah

aktifitas yang dilakukan oleh manusia.

B. Konsep Kebudayaan
Kebudayaan biasa juga disebut peradaban, mengandung pengertian yang luas

meliputi pemahaman, perasaan suatu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan,

kepercayaan, seni, moral, hokum, adat-istiadat (kebiasaan) dan pembawaan lainnya

yang diperoleh dari anggota mesyarakat. Untuk memudahkan dalam dialektika

tentang kebudayaan yang wawasannya begitu luas, perlu di pahami terlebih dahulu

tentang kerangka kebudayaan, yang meliputi konsep kebudayaan, wujud kebudayaan,

unsur kebudayaan, sistiem budaya, system social, kebudayaan fisik dan pengertian

lainnya (Soelaeman, 2010: 19).

10

Selanjutnya Soelaeman (2010: 20), kebudayaan terdiri atas berbagai pola,

yaitu bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan

terutama diturunkan oleh symbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara

tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termaksud di dalamnya perwujudan

benda-benda materi; pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham

dan terutama keterkaitan terhadap nilai-nilai.

Menurut Koentjaraningrat (2009: 144) bahwa kebudayaah berasal dari kata

sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.

Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan: hal-hal yang bersangkutan dengan

akal. Kemudian Koentjaraningrat juga merumuskan kebudayaan berdasarkan konsep

antropologi yaitu sebagai keseluruhan sebagai sistem gagasan, tindakan dan hasil

karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari

manusia dengan belajar. .

Menurut Konentjaraningrat (2009: 150) tertulis bahwa ada tiga gejala

kebudayaan yaitu (1) ideas, (2) activities, (3) artifacts. Dari hal tersebut, kebudayaan
memiliki tiga wujud yaitu:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma,

peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari

manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

11

Unsur-unsur kebudayaan meliputi semua kebudayaan di dunia, baik yang

kecil, bersahaja, dan terisolasi, maupun yang besar, kompleks, dan dengan jaringan

yang luas memiliki tujuh unsur universal yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata

pencaharian, sistem social, system pengetahuan, religi dan kesenian (Soelaeman,

2010: 23)

Menurut james, (2006: 7) kebudayaan sebagai pengetahuan yang dimiliki

bersama, dengan tidak menghilangkan perhatian pada tingkah laku, adat, objek atau

emosi. Selanjutnya konsep kebudayaan sebagai suatu system symbol yang

mempunyai makna banyak memiliki persamaan dengan pandangan interaksionalisme

simbolik, suatu teori yang berusaha menjelaskan dalam tingkah laku manusia dalam

kaitannya dengan makna.

Kebudayaan dalam realitasnya sebagai satu istilah yang erat dengan

kehidupan masyarakat. Karena kebudayaan, sebagaimana dikemukakan oleh para ahli

antropologi, diciptakan manusia sebagai keseluruhan yang kompleks yang di

dalamnya terkandung sistem pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat

istiadat, dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan yang diterima oleh masyarakat

secara berkelanjutan melalui proses enkulturasi, sosialisasi, dan internalisasi. Atau,


dalam bahasa keseharian proses tersebut sering disebut proses pembelajaran budaya.

tampak kebudayaan sebagai wahana dan wacana bagi masyarakat untuk terus

menerus menyesuaikan diri atau merespons perubahan baik yang diakibatkan dari

dalam maupun perubahan dari luar kebudayaannya tanpa harus menghilangkan

identitas kebudayaannya. Respons penyesuaian diri masyarakat seperti itulah yang

12

kemudian dikenal sebagai proses untuk menjadi pintar dan berpengetahuan warga

masyarakat guna mempertahankan dan melangsungkan kehidupannya. Peneguhan

terus menerus hal serupa itu, dalam praktek kebudayaan dikenal sebagai tradisi (

Kartawinata, 2011: 8).

Tradisi berarti traditum, segala sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu ke

masa sekarang, berupa pola-pola atau citra (image) dari tingkahlaku termasuk di

dalamnya kepercayaan, aturan, anjuran dan larangan untuk menjalankan kembali

pola-pola tingkah laku yang terus menerus mengalami perubahan. Dalam prakteknya,

tradisi berwujud pada suatu aktivitas yang dilakukan secara terus menerus dan

berulang sebagai upaya peneguhan pola-pola tingkah laku yang bersandar pada

norma-norma bagi tindakan-tindakan di masa depan (Kartawinata, 2011: 8).

Tradisi dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan norma-norma,

adat-istiadat, kaidah-kaidah dan harta-harta. Pewarisan dan penerusan itu dilakukan

dengan lisan tanpa menggunakan media tulis. Kemudian media pewarisannya

dilakukan secara lisan tanpa menggunakan media tulis (peursen, 1988: 11).

Tradisi lisan merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang

jumlahnya sangat banyak di seluruh Indonesia. Kemampuan tradisi lisan untuk

melingkupi segala sendi kehidupan manusia, membuktikan bahwa nenek moyang kita
di masa lampau telah mengenal ajaran kehidupan yang terkandung dalam tradisi

lisan. Masyarakat etnik Muna memiliki tradisi ritual yang telah diwariskan dari turun-

temurun dari generasi tua ke generasi muda secara berkelanjutan. Salah satu tradisi

13

lisan yang ada di tengah-tengah masyarakat etnik Muna Adalah tradisi Wata-

watangke (Teka-teki).

Tradisi lisan adalah suatu kebudayaan daerah yang memiliki peran sangat

penting dalam upaya membangun kebudayaan nasional, karena keanekaragaman

budaya dapat mewujudkan kesatuan bangsa. Secara utuh tradisi lisan memiliki

dimensi yaitu: (1) kelisanan, (2) kebahasaan, (3) kesastraan dan (4) nilai budaya

(Sukatman: 2009: 4).

Menurut Hutomo (1991: 11), tradisi lisan itu mencakup beberapa hal, yakni:

(1) yang berupa kesusastraan lisan, (2) yang berupa teknologi tradisional, (3) yang

berupa pengetahuan folklore di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4)

yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folklore di luar batas formal agama-

agama besar, (5) yang berupa kesenian folklore di luar pusat-pusat istana dan kota

metropolitan, dan (6) yang berupa hukum adat.

Menurut Pudentia (2008: 184) yang dimaksud tradisi lisan adalah berbagai

pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan.

Dalam hal ini berarti tradisi lisan merupakan adat atau kebiasaan para nenek moyang

yang diberikan atau diturunkan melalui mulut ke mulut kepada generasi berikutnya.

Tardisi lisan mempunyai keterbatasan yaitu adanya unsur subjektifitas lebih

besar dibandingkan unsur tertulis. Yang menjadi masalah dalam tradisi lisan adalah

penerapan konsep kausalitas dalam uraian ceritannya. Tradisi lisan memuat informasi
luas tentang kehidupan suatu komunitas dengan berbagai aspeknya.

14

C. Konsep Wata-watangke (Teka-teki)

Tradisi begitu melekat pada kehidupan masyarakat pada zaman dahulu.

Tradisi lisan merupakan ekspresi masyarakat yang diturun-temurunkan secara lisan

dari mulut kemulut. Keberadaan suatu tradisi dijadikan sebagai alat untuk menata

kehudupan. Selain itu tradisi mengandung aspek-aspek kebudayaan yang dapat

dinikmati oleh masyarakat pemiliknya. Pada zaman dahulu, ketika tulisan belum ada,

bermacam-macam tradisi yang mendominasi. Salah satu ragam tradisi tersebut

adalah teka-teki yang menjadi salah satu dasar komunikasi budaya pada zaman

dahulu.

Teka-teki merupakan pertanyaan tradisional dan mempunyai jawaban

tradisional pula. Pertanyaan dibuat sedemikan rupa, sehingga jawabannya sukar untuk

diketahui. (Danandjaja, 2007: 33).

Sukatman (2009: 16), mendefenisikan bahwa teka-teki adalah sebuah kalimat

atau ungkapan yang disampaikan melalui bahasa tertentu dan menuntut orang lain

untuk menebak sesuatu (objek) yang dipertanyakan. Dalam teka-teki biasa

tercerminkan (1) pola pikir, (2) khasana budaya dan (3) nilai dari masyarakat pemilik

teka-teki.

Menurut Djamaris (1993: 31), dalam teka-teki, isi dan maksud dari teka-teki

itu sendiri tidak dikemukakan secara langsung tetapi disuruh terka, disarankan atau

disembunyikan. Dengan kata lain, orang tidak akan mengatakan secara langsung,

walaupun maksud dan isinya telah diketahui, Tetapi secara samar-samar


dikemukakan.

15

Masyarakat Muna juga mengenal teka-teki sebagai nama wata-watangke.

Definisi mengenai wata-watangke tidak jauh berbeda dengan pendapat para ahli

sebelumnya terkait dengan teka-teki. wata-watangke dapat didefinisikan sebagai pola

pertanyaan tradisional yang berupa kalimat atau ucapan yang bentuknya masih

samar-samar disampaikan melalui bahasa Muna, dan dijawab bersifat tradisional

pula. Sebagai sarana komunikasi, wata-watangke telah lama memiliki peran yang

sangat pesat dalam membentuk sifat kekeluargaan pada masyarakat Muna dimasa

lampau.

Pengetahuan akan eksistensi wata-watangke sangat cocok untuk di kaji,

karena mengacu pada perkembangn pendidikan saat ini, melalui jenjang pendidikan

formal di sekolah tergambarkan bahwa belum memiliki kemampuan menalar. Lain

dari pada itu kebudayaan yang berkembang di kehidupan masyarakat belum

sepenuhnya membina dan mendidik insan manusia dalam masyarakat. Dari hal

tersebut maka muncul upaya untuk mengembangkan tradisi wata-watangke dan di

kaji melalui kandungan pendidikan moral yang terkandung di dalamnya.

D. Konsep Pendidikan

Pendidikan memiliki sasaran yaitu manusia, yang mengandung berbagai aspek

dan sifatnya yang sangat kompleks. Menurut Tirtarahardja (2008: 32), bahwa

pendidikan memiliki batasan yang berbeda yaitu: (1) pendidikan sebagai proses

transformasi budaya, (2) pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi, (3)

pendidikan sebagai proses penyiapan warga Negara dan (4) pendidikan sebagai

penyiapan tenaga kerja. Seterusnya, tujuan pendidikan memuat gambaran tentang


16

nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Karena itu

tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap

kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai. Tujuan pendidikan

bersifat normatif, yaitu mengandung unsure norma yang bersifat memaksa, tetapi

tidak bertentangan dengan hakikat perkembangan peserta didik serta dapat diterima

oleh masyarakat sebagai nilai hidup yang baik.

Pendidikan berasal dari kata “didik” lalu kata ini mendapat awalan ‘me’

sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan member latihan. Dalam

memelihara dan memberi pelatihan diperlukan adanya ajaran tuntunan dan pimpinan

mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran . Dalam pengertian yang luas, pendidikan

dapat diartikan sebagai suatu proses dengan metode-metode tertentu sehingga

seseorang dapat memperoleh pengetahuaa, pemahaman dan cara bertingkah laku

yang sesuai dengan kebutuhan (Syah, 2010: 10).

Pendidikan ditinjau dari piskososial (kewajiban kemasyarakatan), adalah

upaya penumbuhkembang sumber daya manusia melalui proses interpersonal

(hubungan antar pribadi) yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang

terorganisasi, dalam hal ini masyarakat pendidikan dan keluarga (Syah, 2010: 74).

Pendidikan sebagai upaya manusia untuk manusia adalah aspek dan hasil

budaya terbaik yang mampu disediakan setiap generasi komusitas manusia untuk

kepentingan generasi manusia muda agar dapat melanjutkan kehidupan dan cara

hidup mereka dalam konteks sosio-budaya mereka pula. Setiap masyarakat pluralistic

dizaman modern soyogiyannya berharap menugaskan kelompok warganya yang

17
terplih sebagai pendidik, untuk melaksanakan tugas pembinaan pribadi manusia dari

generasi peserta didik bagi kepentingan kelanjutan dari masing-masing masyarakat

yang bersangkutan (Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).

Menurut Sukardjo dan Komarudin, (2010: 9) bahwa yang dimaksud dengan

Pendidikan adalah kumpulan dari semua proses yang memungkinkan seseorang

mampu mengembangkan seluruh kemampuan (potensi) yang dimilikinya, sikap dan

bentuk perilaku yang bernilai positif di masyarakat tempat individu yang

bersangkutan berada.

Pendidikan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan

perkembangan manusia melalui dari perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan,

pikiran, perasaan, kemauan, social sampai pada perkembangan iman. Perkembangan

ini mengacu pada nilai pendidikan yang membuat manusia menjadi lebih sempurna

dan meningkatkan kehidupan manusia menjadi lebih berbudaya dan bermoral

(Malonda, 2011: 23).

E. Konsep Moral

Moral merupakan hal pokok yang harus dimiliki setiap manusia, sebab dalam

menjalani kehidupan sehari-harinya ingkah laku moral sangat berperan penting

dalam menjalin hubungan baik sesama manusia. Semua tingkah dan perbuatan yang

dilakukan sangat tergantung kepada moral yang dimiliki dalam mencapai nilai di

mata sosial. Karena moral dan tingkah laku merupakan dua hal yang tidak bisa

dipisahkan dalam kehidupan sosial dalam rangka meraih nilai positif di mata orang

lain.

18
Menurut K. Bertens, moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi

pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dari

pernyataannya ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan objek material

dalam penggunaan kata moral maupun etika (Amril, 2002: 17). Sangat berkaitan

dengan apa yang dimaksudkan oleh Magnis (1987: 19) dalam konsep moralnya yaitu

moral itu selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Sikap baik

manusia sebagai manusia disini merupakan hakikat manusia sebagai Ahsanu Al-

taqwim sebagai khalifah allah swt.

Moral erat kaitannya dengan ajaran- ajaran tentang sesuatu yang baik dan

buruk yang menyakngkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Tingkah laku sesuai

dengan nilai- nilai moral yang dianut dan ditampilkan secara sukarela diharapkan

dapat diperoleh melalui proses pendidikan. Hal ini dilakukan sebagai transisi dari

pengaruh lingkungan masyarakat hingga menjadi otoritas di dalam dirinya dan

dilakukan berdasarkan dorongan dari dalam dirinya. Tindakan yang baik yang

dilandasi oleh dorongan dari dalam diri inilah yang diharapkan sebagai pendidikan

nilai dalam pendidikan moral yang ada pada tiap-tiap lingkungan suatu masyarakat.

Menurut Azra (2002: 203) Secara bahasa, moral dibentuk dari kata mores

yang artinya adat kebiasaan. Moral ini selalu dikaitkan dengan ajaran baik/buruk

yang diterima umum/masyarakat. Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu

istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak,

pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau

buruk. Jadi dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk

19
memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau

buruk, benar atau salah tingkah seseorang.

Moral adalah perbuatan tingkahlaku ucapan seseorang dalam berinteraksi

dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang

berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan di lingkungan

masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu

juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Jadi moral adalah tata

aturan norma-norma yang bersifat abstrak yang mengatur kehidupan manusia untuk

melakukan perbuatan tertentu dan sebagai pengendali yang mengatur manusia untuk

menjadi manusia yang baik.

F. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang meneliti tentang tradisi wata-watangke penelitian

yang dilakukan oleh La Mukoi dan La Kimi Batoa. Penelitian ini menguraikan

tentang eksistensi tradisi wata-watangke yang sangat memiliki peran dan manfaat untuk

masyarakat Muna. Penelitian lain yang dilakukan oleh La Muda yang membahas

tentang berbagai ungkapan wata-watangke beserta maknanya. Selain itu penelitian

yang ini juga telah dilakukan oleh Salniwati, S.Pd, M.Hum yang juga menguraikan

tentang eksistensi dan nilai tradisi wata-watangke.

BAB III

METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian

Sesuai dengan judul penelitian ini maka yang menjadi tempat atau lokasi

penelitian ini yaitu di Desa Laghorio Kecamatan Kontukowuna Kabupaten Muna.

Penelitian ini telah dilaksanakan dari tanggal 3 Desember 2015 sampai 11 Januari

2016.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian sejarah yang bersifat deskriptif kualitatif

yaitu penelitian yang bertujuan memaparkan latar belakang mengenai tradisi wata-

watangke, proses pengungkapannya serta makna yang terkandung dalam tradiasi

wata-watangke.

C. Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan strukturis dengan menggunakan

metode sejarah yang dikemukakan oleh Helius Sjamsuddin, (2007: 17).

Pendekatan strukturis mepelajari peristiwa dan sturuktur sebagai satu kesatuan

yang saling melengkapi. Artinya peristiwa mengandung kekuatan mengubah struktur

social, sedangkan struktur mengandung hambatan dan dorongan bagi tindakan

perubahan dalam masyarakat.

20

21
D. Sumber Data Penelitian

Untuk memperoleh sumber data dalam penelitian ini penulis menggunakan

tiga kategori sumber sejarah yaitu:

1. Sumber tertulis, yaitu data yang diperoleh melalui buku-buku atau literatur,

skripsi, dan laporan hasil penilitian yang mendukung perolehan data dalam

penelitian ini.

2. Sumber lisan, yaitu data yang diperoleh melalui keterangan lisan atau hasil

wawancara dengan informan yang dianggap memahami tentang tradisi iwata-

watangke.

3. Sumber visual, yaitu data yang diperoleh melalui pengamatan secara langsung

terhadap benda-benda atau alat-alat yang digunakan dalam tradisi wata-watangke.

E. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah menurut

Helius Sjamsuddin (2007: 158) yaitu bahwa tata kerja dalam metode sejarah terdiri

dari 3 tahap, yaitu: 1) Pengumpulan sumber (heuristik), 2) Kritik sumber, 3)

Penulisan (historiografi).

1. Heuristik (Teknik Pengumpulan Data)

Pada tahap ini penulis mencari dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya

dengan menggunakan teknik sebagai berikut:

a. Penelitian kepustakan (library research), yaitu teknik yang digunakan untuk

memperoleh data yang diperlukan melalui sumber-sumber tertulis berupa buku-

buku/literatur/skripsi serta hasil penelitian yang relevan.

22

b. Penelitian lapangan (field research) yaitu teknik yang digunakan untuk


memperoleh data yang diperlukan dengan cara peninjauan langsung ke lokasi

penelitian dengan menggunakan teknik sebagai berikut:

1) Observasi yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan melalui

pengamatan secara sistematis tentang fenomena yang diteliti.

2) Studi lisan peneliti melakukan wawancara dengan beberapa informan yang

memahami permasalahan yang diteliti.

3) Studi dokumen yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengkaji dokumen

yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti.

2. Kritik Sumber (Teknik Penelitian Data)

Pada tahapan ini penelitian mengadakan penilaian terhadap data yang sudah

terkumpul, khususnya bagi data yang masih diragukan kebenaranya sehingga bisa

didapatkan data yang benar-benar akurat, sehingga dapat dipakai dalam penulisan

hasil penelitian ini.

Untuk mengkaji keaslian dan kebenaran data tersebut dengan menempuh cara

sebagai berikut:

a. Kritik ekstern yaitu untuk mengevaluasi apakah sumber atau dokumen itu asli atau

tidak dan informan itu jujur atau tidak, untuk itu dalam mengevaluasi sumber atau

data dari segi otentitas atau keasliannya dilakukan kritik dengan cara menyelidiki

bentuk dan penampilan informan atau dokumen yang ada.

23

b. Kritik intern yaitu untuk mengevaluasi kredibilitas atau keabsahan serta relevansi

isi sumber data lainnya seperti hasil pengamatan dengan hasil wawancara atau

dokumen yang melewati kritik eksternal dan selanjutnya.

3. Historiografi (Penyusunan Data)


Setelah melalui langkah-langkah pertama dan kedua berupa heuristik atau

pengumpulan sumber dan kritik sumber, sejarawan memasuki langkah-langkah

selanjutnya yaitu historiografi yang terdiri atas: (1) penafsiran atau interpretasi, (2)

penjelasan atau eksplanasi, dan (3) penyajian:

a. Penafsiran

Sumber-sumber yang diperoleh tentang Tradisi wata-watangke dalam

masyarakat adalah fakta sejarah yang dapat dipercaya kebenaranya secara ilmiah.

Oleh karena hal tersebut maka suatu Interpretasi (penafsiran data) sangat diperlukan

untuk memberikan arti dan makna dari Tradisi wata-watangke.

b. Penjelasan

Setelah dilakukan penafsiran, maka tahapan berikutnya adalah penjelasan

(eksplanasi). Dimana tahapan ini peneliti memaparkan berbagai ungkapan tentang

Tradisi wata-watangke beserta makna yang di dalamnya mengandung nilai-nilai

pendidikan moral.

c. Penyajian

Penyajian merupakan kajian akhir dari metode sejarah melalui dua tahap

sebelumnya. Dalam kegiatan ini penulis berusaha menyajikan hasil penelitian ke

24

dalam bentuk tulisan yang sistematis. Fakta dan data yang berhasil dikumpulkan dan

telah lolos dari kritik atau seleksi serta sudah di interpretasikan atau ditafsirkan.
BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Keadaan Geografis Desa Laghorio

Desa Laghorio merupakan salah satu Desa yang terletak di Kecamatan

Kontokowuna Kabupaten Muna dengan ketinggian tanah dari permukaan laut ± 40 M

dan banyaknya curah hujan 2000-3000 mm/th. topografi (dataran rendah, tinggi).

Dataran sedang suhu udara rata-rata 32


0

C.

Letak wilayah Desa Laghorio memiliki batas-batas wilayah. Sebelah utara

berbatasan dengan Desa Kafoofoo, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bea,

Sebelah timur berbatasan dengan Desa Rangka Lama dan sebelah barat berbatasan

dengan Desa Kontukowuna, Desa Lupia dan Desa Lakandito

Desa Laghorio Kecamatan Kontukowuna memiliki luas wilayah kurang lebih

1600 Ha. Daerah ini memiliki daerah daratan dan perbukitan. Masyarakat desa

Laghorio memiliki lahan pertanian yang ditumbuhi tanaman jangka pendek dengan

luas lahan 80 Ha dan tanaman jangka panjang (jambu mete dan kayu jati) dengan luas

lahan 420 Ha.

Keadaan iklim di wilayah Desa Laghorio adalah beriklim tropis sebagaimana

halnya daerah lain di Indonesia dimana setiap tahunya selalu terjadi peralihan musim

atau pergantian musim.

B. Keadaan Demografi Desa Laghorio

Keondisi demografi yang dimaksud adalah menyangkut keadaan penduduk

yang mendiami wilayah Desa Laghorio itu sendiri. Adapun penduduk asli yang

25

26

mendiami wilayah ini adalah suku Muna dan bahasa yang digunakan sehari-hari ialah

bahasa Muna. Hal ini dapat dilihat dari keragaman budaya dan bahasa yang

digunakan. Untuk masyarakat desa Langhorio masuk dalam etnis yang pada

umumnya masyarakat menggunakan bahasa Muna.


Jumlah penduduk khususnya masyarakat Desa Laghorio masih kurang bila

dibandingkan dengan luas wilayahnya. Sementara luas wilayah yang dimiliki adalah

berkisar 1600 Ha yang terbentang dari arah utara yang berbatasan langsung dengan

desa Kafoofoo hingga lurus menuju arah selatan yang berbatasan langsung dengan

Desa Bea.

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pembangunan nasional maupun

pembangunan daerah adalah faktor demografi suatu daerah yang menjadi perhatian

utama yaitu keadaan penduduk.

1. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin masyarakat Desa Laghorio

Kecamatan Kontukowuna

Jumlah penduduk daerah ini secara administrasi adalah 798 jiwa dengan

rincian sebagai berikut: a. Laki-laki berjumlah 372 jiwa (49,4%), b. Perempuan

berjumlah 426 jiwa (50,5%).

Untuk lebih jelasnya, keadaan jumlah penduduk Desa Lalibo menurut jenis

kelamin dapat dilihat pada tabel berikut:

27

Tabel 1
Komposisi Jumlah Penduduk Desa Laghorio Berdasarkan

Jenis Kelamin 2010

Jenis Kelamin

Jumlah Jiwa

Persentase (%)

Laki-laki

372

49,4

Perempuan

426

50,5

Jumlah

798

100

Sumber Data: Kantor Desa Laghorio, 2010

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Desa Laghorio

sebanyak 798 (99,9 %) jiwa yang terdiri dari laki-laki 372 jiwa (49,4%) dan
perempuan sebanyak 426 jiwa (50,5%). Sesuai dengan data yang penulis peroleh dari

kantor Desa Laghorio Kecamatan Kontukowuna komposisi antara penduduk laki-laki

dan perempuan ternyata jumlah penduduk laki-laki sedikit dibandingkan dengan

jumlah perempuan.

2. Penduduk berdasarkan mata pencaharian

Mata pencaharian dari penduduk Desa Laghorio yang terdata dengan baik

dimana sebagian besar mata pencaharian mereka adalah sebagai petani. Hal ini

disebabkan karena ketersediaan area perkebunan yang cukup luas. mata pencaharian

lain yang terdapat di Desa Laghorio Kecamatan Kontukowuna ialah buru tani, petani,

pedagang, PNS dan lain-lain. Dimana sebaran mata pencaharian penduduk tersebut

dikemukakan dalam tabel berikut:

28

Tabel 2

Komposisi Jumlah Penduduk Desa Laghorio

Berdasakan Profesi/Pekerjaan 2010

Jenis Profesi

Jumlah Orang

PNS

19

Buruh Tani

2
Petani

101

Pedagang

24

Tukang Kayu

Tukang Batu

Penjahit

Pensiunan

TNI/POLRI

Perangkat Desa

Tukang Ojek

Jumlah

176

Sumber Data: Kantor Desa Laghorio Kecamatan Kontukowuna, 2010

Dari tabel di atas bahwa diantara 798 jiwa penduduk yang memiliki

pekerjaan atau profesi utama, sebagian besar penduduk Laghorio menitikberatkan

mata pencahariannya dengan bertani sekitar 101 jiwa/orang.

3. Tingkat pendidikan penduduk Desa Laghorio Kecamatan Kontukowuna.


29

Bidang pembangunan yang mendapat prioritas utama untuk dilaksanakan

adalah dibidang pendidikan yang sangat dinilai sangat penting dalam kehidupan

manusia. Berhubung pentingnya masalah pendidikan ini, maka pemerintah telah

berusaha menyadarkan masyarakat mengenai arti pentingnya pendidikan dalam

menghadapi masa depannnya terutama sarana dan prasarana yang dapat menunjang

dalam rangka usaha perluasan kesempatan belajar bagi anak-anak usia sekolah.

Penduduk Desa Laghorio Kecamatan Kontukowuna mempunyai sebaran

tingkat pendidikan dari yang tidak sekolah, SD, SMP, SMA, dan Klasifikasi

perguruan tinggi yang terdiri dari pendidikan diploma dan sarjana. Sebaran tingkat

pendidikan penduduk tersebut dikemukakan dalam tabel berikut:

Tabel 3

Komposisi Jumlah Penduduk Desa Laghorio

Berdasarkan Tingkat Pendidikan 2010

Jenis Tingkat Pendidikan Jumlah Jiwa

Tidak Tamat SD

278

Sekolah Dasar

286

SMP/Sederajad

105

SMA/Sederajad

96
Diploma/Sarjana

33

Jumlah

Sumber Data: Kantor Desa Laghorio Kecamatan Kontukowuna, 2010.

30

Pada tabel di atas menunjukan bahwa jumlah penduduk Desa Laghorio

Kecamatan Kontukowuna yang tamat SD berjumlah 22,52 %, kelompok terbesar

adalah kelompok penduduk yang tidak tamat SD jumlahnya mencapai 34,23 %

sedangkan kelompok yang paling terkecil yaitu penduduk yang berlatar pendidikan

dari perguruan tinggi yang hanya mencapai 1,8 % saja dari jumlah penduduk di Desa

Laghorio Kecamatan Kontukowuna.

Mengingat banyaknya hal yang diungkapkan dalam demografi, maka penulis

hanya menitik beratkan pada tiga komponen yakni berdasarkan pada jenis kelamin,

tingkat pendidikan, dan profesi/ pekerjaan.

C. Keadaan Ekonomi Desa Laghorio

1. Potensi unggulan Desa

Kegiatan ekonomi Desa selama ini masih didominasi oleh sektor pertanian

dan, mengingat wilayah Desa Laghorio masih memiliki area pertanian dan

perkebunan yang luas dan sekitar 500 Ha.

Tingkat pendapatan masyarakat belum seutuhnya mencukupi kebutuhan hidup

karena harga barang tidak sebanding dengan penghasilan yang didapat mereka serta

masih minimnya bekal keterampilan, upah buruh yang masih kecil serta masih

mahalnya barang-barang kebutuhan sembako. Keadaan tersebut tidak hanya terjadi di


wilayah Desa Laghorio namun wilayah lain juga keadaannya hampir sama.

2. Pertumbuhan ekonomi Desa Laghorio

Pertumbuhan perekonomian Desa masih didominasi oleh sektor pertanian,

yang digeluti oleh sebagian besar masyarakat Desa Laghorio. Dari tingkat

31

pertumbuhan ekonomi di atas, khususnya dibidang pertanian perlu dikelola secara

profesional dengan mengandalkan sistem pemasaran yang memadai yang bisa

menampung seluruh hasil pertanian diwilayah Desa Laghorio karena kendala selama

ini adalah masalah pemasaran yang kurang baik/harga jual yang rendah.

3. Sumber Penerimaan Desa

Sumber penerimaan desa Laghorio dihasilkan dari pajak yang didapat dari

bangunan baru dan kenaikan tarif selain itu sumber penerimaan desa dihasilkan dari

tanah kas desa Laghorio namun belum digunakan secara maksimal sehingga

pendapatan dari tanah kas desa tidak ada sumber pendapatan terakhir dihasilkan dari

DPDK/ADD yang bersumber dari pemerintah.

Untuk lebih jelasnya, sumber penerimaan desa dapat dilihat pada tabel berikut ni:

Tabel 4.

Sumber Penerimaan Desa Laghorio, 2010

No

SUMBER

PENERIMAAN DESA

TAHUN

2008
2009

2010

Pajak

5.830.350

6.827.700

6.827.700

Pendapatan tanah khas

3 DPDK/ADD

17.500.000

17.500.000

Sumber. Kantor Desa Laghorio Kecamatan Kontukowuna, 2010.

Tabel diatas dapat dilihat bahwa Penerimaan pajak desa Laghorio mulai pada

tahun 2008 sampai dengan 2010 mengalami peningkatan, ini disebabkan karena

penataan pajak yang baik. Adapun penyebab dari peningkatan penerimaan pajak

32

selama tahun 2008 sampai dengan 2010 adalah dengan adanya rumah-rumah yang

bertambah dan kenaikan tarif., sedangkan DPDK/ADD adalah dana pembangunan

Desa Laghorio yang bersumber dari pemerintah, besaran dana tiap tahun dapat
berubah sesuai dengan kebijakan Pemerintah Kaupaten Muna.

33

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Salah satu aspek tradisi di dalam masyarakat Muna yaitu permainan wata-
watangke yang dijadikan sebagai salah satu hiburan dalam masyarakat Muna. Selain

dapat menghibur, dalam ungkapan wata-watangke juga memuat nilai-nilai yang

sifatnya memberikan pengajaran bagi penggunanya.

Pembahasan ini menyajiakan sejarah wata-watangke pada masyarakat Muna.

Penyajian terbagi atas tiga tahap. Tahap pertama, mengenai latar belakang

dimainkannya tradisi wata-watangke yang kemudian dikelompokan berdasarkan

dimainkannya tradisi wata-watangke. Selain itu, pada tahapan ini juga akan disajikan

tentang proses pengungkapan tradisi wata-watangke. Tahapan berikutnya, penyajian

tentang makna pendidikan dalam ungkapan wata-watangke pada masyarakat Muna

yang meliputi makna pendidikan agama, makna pendidikan moral, makna pendidikan

sosial dan makna pendidikan karakter.

D. Latar Belakang Tradisi Wata-watangke

Wata-watangke merupakan pertanyaan tradisional yang berupa kalimat atau

ungkapan yang bentuknya masih samar-samar disampaikan melalui bahasa Muna,

dan jawabannya bersifat tradisional.

Prof. La Niampe menuturkan bahwa tradisi wata-watangke sangat sulit untuk

diketahui mengenai waktu munculnya tradisi tersebut. Tradisi wata-watangke adalah

milik suatu kelompok masyarakat dan tidak diketahui siapa pencipta dari tradisi

wata-watangke. (wawancara tgl 9 Maret 2016).

34

La Ode Wali adalah salah seorang tokoh adat di Kab. Muna dan pada saat ini

menjabat sebagai Kino Agama Kab. Muna. Memaparkan bahwa Wata-watangke ada

pada masa awal penyebaran Islam dan wata-watangke juga merupakan salah satu cara

dalam memberikan ajaran-jaran tentang islam di masa lampau. Melalui wata-


watangke seseorang di berikan pengetahuan mengenai ajaran Islam tersebut. Ada

beberapa contoh ungkapan wata-watangke yang dipakai untuk mengantar

pengetahuan tentang ajaran Islam adalah sebagai berikut:

Wata-watangke

: Se finde, ra finde, tolu finde, fato finde , lima finde,

maka no finde, Ohae nagha?

Teka-teki : 1 pinde, 2 pinde, 3 pinde, 4 pinde, 5 pinde baru dia pinde,

Apakah itu?

Jawabnya : syaratino sambahaya /syarat waktu sholat dalam sehari.

(Wawancara La Ode Wali tgl 11 Maret 2016)

Wata-watangke di atas menjelaskan tentang salah satu syarat dalam

melaksanakan sholat yaitu dilakukan 5 waktu dalam sehari. Sholat 5 waktu tersebut

merupakan syarat wajib bagi kaum muslim dalam menjalankan ibadah Sholatnya.

Melalui hiburan wata-watangke seseorang dapat memetik isyarat yang dikandung

dalam wata-watangke. Selain contoh di atas, dapat pula dijelaskan melalui wata-

watangke di bawah ini:

Wata-watangke

: kakompo sohino kakompo, kafembula sohino

kafembula, kapakatu sohino kapakatu, ohae nagha?

35
Teka teki : bungkusan bukan bungkusan, tanaman bukan tanaman,

kiriman, bukan kiriman, Apakah itu?

Jawabannya : Mayati/ mayat.

(Data wawancara La Ode Sadi 14 Maret 2016)

Wata-watangke di atas menjelaskan bahwa wajibnya mayat yang menurut

ajaran Islam seharuslah terkemas, terkuburkan dan terkirimkan ke alam baka. Wata-

watangke ini juga adalah bersifat ajaran tentang tata cara dalam penguburan

seseorang yang telah meninggal melalui ajaran Islam. Selain wata-watangke di atas,

wata-watangke yang menjelaskan tentang ajaran islam adalah sebagai berikut:

Wata-watangke

: samentaeno nesongko kaghito, sanimaghuleo

nesongko kapute, Ohae nagha?

Teka-teki

: pagi hari memakai kopiah hitam, sore hari memakai

kopiah putih.

Jawabnya

: o mie/manusia.

(Data wawancara La Ode Sadi 14 Maret 2016)

Wata-watangke di atas menjelaskan mengenai manusia yang memakai kopiah.

Diketahui bersama bahwa kopia merupakan salah satu budaya islam.


Dari beberapa contoh wata-watangke di atas, dapat ditaksir bahwa munculnya

tradisi wata-watangke adalah pada masa pengaruh Islam di Muna. Sebab pada masa

lampau wata-watangke digunakan sebaga salah satu cara untuk menghantarkan

pengetahun mengenai ajaran Islam pada masyarakat Muna. Oleh karena itu wata-

watangke ada pada pengaruh Islam yang dimana pada saat awal pengaruh Islam di

Muna adalah pada masa pemerintahan Raja Sugi Manuru abad 16 tahun 1527-1538.

36

Pada masa lampau kisaran pada abad 18 sampai 19, terjadi perubahan dalam

penggunaan tradisi wata-watangke. Selain dari pada sebagai penghantar ajaran-ajaran

Islam, permainan wata-watangke dalam masyarakat Muna juga dipakai oleh

pasangan muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Untuk mengetahui isi hati

pasangannya, maka seorang perempuan mengajukan pertanyaan berupa wata-

watangke kepada pasangannya dan dituntut untuk menebak atau menjawabnya.

Sebagai contoh wata-watangke berikut ini,

Wata-watangke

: Inodi amangka naini ihintu omangka naitu dapo

ghawa te a gundu-gundu, Ohaeno nagha?

Teka-teki

: saya lewat di sini, kamu lewat di sana ketemu di

gundu-gundu, apakah itu?

Jawabannya

: Defeghato lambu/orang yang lagi pasang atap rumah.

(Wawancara La Ode Wali tgl 11 Maret 2016)


Wata-watangke di atas memiliki makna tentang perasaan pasangan pria dan

wanita yang sedang jatuh cinta dan selalu bersama walaupun meiliki perbedaan sifat

ataupun strata sosial tetapi mereka akan selalu bersama. Jika salah satu Pasangan

dapat menjawab wata-watangke yang diajukan, berarti mampu memahami isi pikiran

pasangannya, begitu seterusnya mereka saling bergantian mengajukan wata-watangke

dan menjawabnya secara bergantian pula yang diselingi dengan canda dan tawa.

Permainan wata-watangke tidak hanya dilakukan oleh kalangan muda-mudi saja

melainkan semua kalangan bisa bermain wata-watangke mulai dari kalangan orang

tua, kalangan muda-mudi, sampai pada kalangan anak-anak. Dalam tahap

perkembangannya, tradisi wata-watangke yang semula hanya dilakukan oleh dua

37

pasangan pria dan wanita, telah berkembang dari rumah ke rumah, bahkan dari

kampung ke kampong dan ini digunakan untuk membangun hubungan silaturahim

agar tetap terjalin dengan baik. Dengan demikian, tradisi wata-watangke memiliki

kedudukan dan fungsi yang sangat penting untuk menjaga hubungan kekeluargaan

dan komunikasi antarsesama dalam kehidupan masyarakat Muna. (Wawancara tgl 11

Maret 2016 ).

La Ode Salifudin (kepala Desa Laghorio), menjelaskan bahwa, dahulu tradisi

wata-watangke memiliki kedudukan sebagai penghibur, alat interaksi dan sebagai

media melatih pikiran. Dikarenakan pada saat itu belum ada alat hiburan modern

yang ada pada saat ini seperti televsi dan sebagainnya sehingga menuntun mereka

memainkan permainan tradisional sepertil halnya wata-watangke. Lebih jelasnya

mengenai kedudukan tradisi Wata-watangke dapat dijelaskan sebagai berikut ini:


1. Wata-watangke sebagai Media Hiburan

Sebagai salah satu tradisi pada masyarakat Muna, wata-watangke sangat

digemari pada zaman dahulu untuk mengisi waktu senggang mereka. Hal ini, terjadi

karena pada waktu itu belum ada tontonan atau alat hiburan lain yang digunakan

untuk mengisi waktu senggang mereka. Permainan wata-watangke ini biasanya

dilakukan setelah mereka kembali dari ladang atau kebun. Untuk mengobati rasa

capek mereka, maka pada malam harinya mereka berkumpul di suatu tempat untuk

menonton atau terlibat langsung dalam permainan wata-watangke.

Permainan wata-watangke dapat juga dinikmati oleh masyarakat Muna

sebagai salah satu alat hiburan. Ketika mereka berkumpul pada satu tempat dan saling

38

bermain wata-watangke, maka banyak di antara mereka yang merasa terhibur.

Melalui permainan wata-watangke mereka akan merasa bahagia, tertawa, senang dan

merasa puas jika mereka dapat menjawab wata-watangke yang diberikan kepadanya.

Mereka menemukan suasana tersendiri ketika mereka saling berbalas wata-watangke.

Dengan bermain wata-watangke mereka dapat melupakan rasa lelah setelah

sepanjang hari mereka bekerja di ladang atau di kebun.

2. Wata-watangke Sebagai Alat Interaksi

Permainan wata-watangke dalam masyarakat Muna dapat dijadikan sebagai

alat untuk membina hubungan interaksi sosial. Seseorang yang bermain wata-

watangke secara langsung akan membangun komunikasi dengan orang lain lewat

permainan wata-watangke. Bukan hanya per individu, dalam permainan wata-

watangke dapat melibatkan beberapa kelompok masyarakat tertentu. Orang-orang

atau kelompok yang bermain wata-watangke adalah orang-orang atau kelompok


masyarakat yang diikat secara sosial. Permainan wata-watangke tidak akan

berlangsung apabila orang-orang atau kelompok dimaksud tidak memiliki hubungan

sosial yang erat. Oleh karena itu, dengan adanya permainan wata-watangke maka

hubungan interaksi sosial tersebut akan tetap terjaga.

Permainan wata-watangke digunakan sebagai alat interaksi antarindividu atau

kelompok dalam masyarakat sosial, selain itu juga dapat mengakrabkan diri kita

dengan lingkungan sekitar, karena dalam permainan wata-watangke tidak jarang

39

melibatkan konsep-konsep lingkungan baik itu menyangkut tempat maupun yang

menyangkut lingkungan hidup.

3. Wata-watangke Sebagai Media Untuk Melatih Pikiran

Permainan wata-watangke tidak hanya digunakan sebagai pengisi waktu

senggang, hiburan, alat interaksi, atau sebagai bentuk pengakuan keunggulan dan

kelemahan dalam permainan wata-watangke pada masyarakat Muna, tetapi yang

tidak kalah menarik dari permainan wata-watangke ini adalah sebagai pengasa

pikiran dan imajinasi. Hal ini, dikarenakan dalam permainan wata-watangke

mengarah pada kemampuan logika. Setiap orang yang bermain wata-watangke diajak

berpikir dan berimajinasi sesuai dengan logika pada setiap ungkapan wata-watangke

yang diajukan. Logika yang dimaksud mencakup logika yang masuk akal yang

dimuat dalam ungkapan pada permainan wata-watangke. Permainan wata-watangke

dapat melatih kemampuan seorang anak dalam mengasa pikirannya agar ia pandai

dan cepat mengerti dengan keadaan lingkungan sekitarnya. (Wawancara bersama La

Ode Salifudin, tgl 27 Desember 2015).

Beberapa uraian di atas, dapat ditarik simpulan bahwa tradisi wata-watangke


memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuh kembangkan pribadi seseorang

maupun kelompok social yang ada di Kabupaten Muna pada masanya. Tetapi karena

adanya perkembangan zaman pada saat ini memaksa manusia untuk terus

berkehidupan modern sehingga membuat tradisi wata-watangke tersebut tidak lagi

diminati untuk dimainkan oleh masyarakat Muna.

40

Masa ke masa, tradisi wata-watangke mengalami perubahan dalam

permainan wata-watangke tersebut. Pada saat ini tradisi wata-watangke sangat jarang

didengar apalagi dijumpai. Perkembangan zaman melalui kemajuan teknologi adalah

salah satu factor yang mempengaruhi kurang diminatinya tradisi wata-watangke pada

masyarakat Muna. Hadirnya produk-produk modern saat ini menuntun manusia

untuk menggunakan produk-produk modern yang digunakan sebagai alat hiburan dan

sebagainya. Sehingga membawa berbagai macam tradisi semakin terancam

eksistensinya seperti halnnya tradisi wata-watangke.

E. Proses Pengungkapan Tradisi Wata-watangke

Wata-watangke oleh masyarakat Muna dinamakan juga dengan pobhoto

(saling tebak). Dalam permainan wata-watangke terbagi atas dua bagian yaitu

penanya dan penjawab. Biasanya pertanyaan dalam wata-watangke diajukan untuk

dijawab atau ditebak lawan dalam permainan wata-watangke tersebut. Dengan

demikian, wata-watangke berupa tanya jawab antara dua orang atau dua kelompok (si

penanya dan si penjawab). Apabila orang atau kelompok yang mengajukan

pertanyaan bertanya kepada orang atau kelompok yang dituju, maka kelompok

tersebut harus menebak atau menjawab pertanyaan tersebut. (Hasil wawancara

bersama La Ode Taiso, tgl 1 januari 2016)


Kalah menang dalam permainan wata-watangke merupakan aspek yang

paling menarik, artinya pada saat permainan wata-watangke berlangsung pasti ada

orang atau kelompok yang kalah atau menang. Misalnya, kelompok perempuan

mengajukan wata-watangke pada kelompok laki-laki. Jika kelompok laki-laki mampu

41

menjawab wata-watangke yang diajukan padanya, maka kelompok perempuan yang

mengajukan wata-watangke harus mengakui atau merasa puas dengan jawaban yang

diberikan oleh kelompok laki-laki. Begitu pula sebaliknya dengan kelompok laki-laki

harus mengakui atau merasa puas dengan jawaban wata-watangke yang benar oleh

kelompok perempuan dan kelompok perempuan harus mengakui kekalahannya, jika

tidak mampu menjawab wata-watangke yang ditujukkan padanya.

Pengakuan kekalahan di dalam permainan wata-watangke bagi kelompok

yang tidak dapat menjawab wata-watangke maka diberi tanda nokopalu (berarti

kalah). Kata palu digunakan untuk menandai jumlah kekalahan lawan dalam

permainan wata-watangke. Misalnya dalam permainan wata-watangke, orang atau

kelompok yang bertindak sebagai penjawab tidak dapat menjawab, maka si pengaju

wata-watangke akan mengatakan sepalu (satu kali kalah) untuk lawan dalam

permainan wata-watangke, begitu seterusnya sambil diselingi dengan tawa sebagai

bentuk rasa kepuasan mereka dengan nilai yang mereka peroleh masing-masing

kelompok. Selain pengakuan keunggulan dan kekalahan dalam permainan wata-

watangke, yang tidak kalah penting adalah kesepakatan terhadap jawaban wata-

watangke yang mereka ungkapkan. Meski terdapat pola pemikiran yang rumit dalam

permainan wata-watangke, tetapi hal ini dapat masuk akal. Kesepakatan dalam

permainan wata-watangke juga memiliki peran yang sangat penting. Kesepakatan


yang dimaksud adalah konvensi bersama di antara para pemain wata-watangke. Hal

ini dikarenakan kesepakatan merupakan salah satu aspek sosial yang hidup dalam

permainan wata-watangke, sehingga dalam ungkapan Wata-watangke yang sama

42

pada permainan yang berbeda, tidak terjadi kesalahpahaman dalam memaknai pesan

yang disampaikan wata-watangke tersebut. (wawancara bersama Wa Ode Agho, tgl 1

Januari 2016)

Proses pengungkapan wata-watangke tidak hanya diungkapkan dengan biasa

saja, tetapi dalam proses pengungkapannya memiliki momentum tersendiri dan

mempunyai tujuan kepada siapa ungkapan wata-watangke itu diberikan. Momen dan

tujuan itu ada melalui suatu kondisi yang terjadi pada saat itu. beberapa contoh

pengungkapan wata-watangke dapat dijelaskan melalui wata-watangke di bawah ini.

Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

: Tondodo bhaindo owurae, tondomu wutomu mina omorae.

Ohaeno nagha?

: Pagar orang lain dapat kamu lihat, pagar sendiri tidak dapat

dilihat. Apakah itu?

: O wangka/Gigi.

Pengungkapan wata-watangke Tondodo bhaindo owurae, tondomu wutomu


mina omorae (Pagar orang lain dapat kamu lihat, pagar sendiri tidak dapat dilihat)

biasanya diungkapkan atau ditujukan kepada seorang sahabat atau kerabat sebagai

teguran secara tidak langsung. Ungkapan ini diberikan pada saat seorang kawan

melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Ungkapan ini tidak lain adalah

sindiran kepada kawan tersebut dengan tujuan untuk selalu mengintropeksi diri

sebelum melakukan tindakan yang dapat merugikan orang lain. Dengan demikian,

orang yang dinasehati lewat proses yang tepat sangatlah baik. proses pengungkapan

wata-watangke merupakan salah satu tindakan untuk mengingatkan seseorang dan

seseorang yang diingatkan atau dinasihati melalui pengungkapan wata-watangke

tersebut tidak akan marah atau tersinggung karena bentuk nasehat yang diberikan

43

tidak langsung pada intinya, melainkan diberikan melalui proses wata-watangke yang

memiliki kedudukan sebagai alat penghibur.

Ungkapan wata-watangke berikutnya dapat dilihat dari ungkapan dibawah ini:

Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

: Inano neburi, anano nebasa, Ohaeno nagha?

: Induknya menulis, anaknya membaca, Apakah itu?

: Inano bhe anano manu deghondohi nefumaando/Induk

dan anak ayam sedang mencari makan.

Ungkapan wata-watangke Inano neburi anano nebasa, biasanya

diungkapakan oleh orang tua yang ditujukan kepada anaknya. Setelah usai pulang
dadi bekerjakerja dalam kodisi capek biasanya orang tua iseng-iseng kepada

anaknnya dengan selingan wata-watangke terdebut. Wata-watangke ini sengaja

diberikan sebagai bimbingan atau pengajaran kepada anaknya agar selalu bekerja

keras dan terus berusaha untuk menjalani hidupnya dikemudian hari serta seorang

anak itu seharusnya mendengarkan nasihat-nasihat dari orang tua mereka.

Zaman modern saat ini, wata-watangke tidak lagi eksis dimata masyarakat

muna. Adapun dalam proses pengungkapannya tidak lagi memiliki peran dalam

memberi pembelajaran kepada sesama khususnya kepada generas saat ini. Pada saat

ini tradisi wata-watangke didengar apalagi untuk dimainkan.

Proses pengungkapan wata-watangke sebaiknya terus dipupuk dan digunakan

oleh masyarakat Muna. Mengingat wata-watangke merupakan salah satu tradisi

masyarakat Muna serta eksistensi wata-watangke pada zaman dahulu sangat baik

dalam perkembangannya dan dalam proses pengungkapannya memiliki manfaat

44

untuk mengikat silaturahim juga sebagai suatu alternatif untuk saling mengingatkan

antara satu sama lain.

Salniwati mengungkapkan pandangannya tentang wata-watangke yang

merupakan suatu tradisi yang diturunkan dari para nenek moyang kepada

generasinya. Ia mengatakan wata-watangke tidak memiliki makna spesifik kecuali

hanya untuk menghibur para penutur dan pendengarnya saja. Tradisi wata-watangke

dipakai ketika masyarakat duduk-duduk tidak ada kegiatan. Selain itu, wata-

watangke juga dipakai oleh orang tua, khususnya nenek-nenek untuk menghibur

anak-anaknya yang akan tidur ataupun sepulang dari bekerja dan melepas lelah

dengan wata-watangke Jadi, wata-watangke digunakan sebagai pengantar tidur.


Wata-watangke sebagai berasal dari nenek moyang untuk gnerasi yang akan datang.

Wata-watangke dipakai untuk pertandingan kecerdasan. Dipakai (dimainkan) ketika

terang bulan. Kemudian berkumpul, dua-dua orang, tiga orang, empat orang,

membuat team. Makna wata-watangke ini sebagai hiburan bagi kami. Dijadikan

permainan dan dijadikan pertandingan. (wawancara 16 Maret 2016)

Proses pengungkapan wata-watangke selalu bergandengan dengan suatu

amanah yang sangat baik. Proses pengungkapan wata-watangke ini sebaiknya terus

digunakan dan diberikan kepada generasi muda masyarakat Muna sehingga para

generasi muda tersebut juga terbiasa melakukan tradisi wata-watangke. Kemudian

dalam proses perkembangannya, tradisi wata-watangke selalunya dapat dimainkan

serta terlestarikan. Selain dari pada perkembangan tradisi wata-watangke itu sendiri,

terdapat pula perkembangan individu atau kelompok pengunanya dalam membentuk

45

suatu karakter yang baik dalam kehidupan bermasyarakat ataupun kehidupan dalam

hubungannya Kepada Yang Maha Kuasa. Tradisi wata-watangke menjanjikan suatu

ajaran yang berkaitan dengan kehidupan manusia. kerena proses pengungkapan wata-

watangke adalah sebagai manah atau nasihat yang dilakukan berdasarkan suatu

kondisi yang terjadi pada saat itu. sehubungan dengan hal tersebut maka tradisi wata-

watangke memiliki peran sebagai pembentukan karakter individu yang lebih baik

karena dalam berbagai ungkapan wata-watangke itu sendiri sangat mengandung

makna-makna pendidikan.

F. Makna Yang Terkandung Dalam Tradisi Wata-Watangke

Pak La Ode Sadi memaparkan pandangannya terhadap makna wata-watangke


yang terdapat pada masyarakat etnis Muna di Desa Laghorio. Dalam wata-watangke

biasanya mengandung pengertian sindiran, bertentangan, bermusuhan, berkawan,

berteman, tandasnya. Dari pengertian ini tinggal dicarikan saja makna-makna yang

relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tegasnya. Wata-watangke hanya

dipakai untuk mengisi kekosongan waktu dan tidak ditampilkan pada selebrasi

(acara-acara) tertentu. Satu teka-teki disebut seronda. Seronda sama dengan satu

kalimat. Ia kembali menegaskan makna wata-watangke haruslah dimunculkan

berdasarkan makna yang mengena dari penyataan yang terdapat di dalam wata-

watangke. sebagai contoh, kakompo sohino kakompo, kafembula sohino

kafembula, kapakatu sohino kapakatu ‘bungkusan-bukan bungkusan, tanaman bukan

tanaman, kiriman bukan kiriman’, makna yang terkadung di dalam teka-teki ini

adalah religi. Ia menekankan tidak semestinya ada upaya kita untuk mencari makna

46

dengan bertanya kepada nenek moyang. Karena, nenek moyang dahulu tidak

memiliki ilmu pengetahuan. Dengan demikian, penggalian secara ilmiah pada saat itu

adalah upaya sia-sia. Setiap karya tradisi nenek moyang muncul secara kelakar saja,

tanpa ada pertimbangan ilmu penegtahuan. Khusus dalam bermain wata-watangke,

maka nenek moyang dahulu hanya menggunakannya untuk menghibur saja, saling

menertawai dan memuji jika dapat ditebak dan tidak mengapa jika tidak dapat

ditebak. Kadang-kadang juga, bisa tidaknya menebak wata-watangke, bukanlah

masalah. Intinya, mereka bisa saling menghibur. (wawancara tanggal 14 Maret 2016)

Berdasarkan pemamaparan informan di atas menunjukan bahwa untuk

pemberian makna pada suatu tradisi tertentu harus berdasarkan perkembangan ilmu

pengetahua sekarang, mana yang rasional dan relevan dan mana yang tidak. Kondisi
ini dikarenakan orang-orang tua dulu belum memiliki imu pengetahuan sehingga

tidak memungkinkan bagi mereka untuk mengkaji nilai-nilai kehidupan mereka

secara ilmiah.

Permainan wata-watangke pada masyarakat Muna banyak memuat makna

pendidikan, baik bentuk permainannya ataupun ungkapan dalam wata-watangke itu

sendiri. Adapun makna yang terkandung dalam ungkapan wata-watangke dapat

dibagi menjadi beberapa bagian dan dijelaskan sebagai berikut ini:

1. Makna Religi

Agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sebagai pedoman

hidupnya. Agama mengatur kehidupan manusia baik itu hubungannya dengan

penciptanya maupun hubungannya dengan sesama makhluk ciptaan-Nya. Dalam

47

masyarakat Muna, hubungan sesama sangat dijunjung tinggi (Hablumminannas).

Banyak cara yang digunakan untuk tetap menjaga hubungan baik dalam kehidupan

masyarakat Muna salah satunya penyampaiannya melalui permainan wata-watangke.

Permainan wata-watangke merupakan salah satu media untuk menjaga

hubungan baik dalam masyarakat agar tetap terjalin. Selain bentuk permainannya

dapat menciptakan keakraban, di dalam ungkapan wata-watangke juga terdapat pesan

kebaikan tentang kehidupan bermasyarakat. Hal ini dapat dilihat pada contoh

ungkapan wata-watangke berikut ini:

Wata-watangke

Teka-teki
Jawabannya

: Tondodo bhaindo owurae, tondomu wutomu mina omorae.

Ohaeno nagha?

: Pagar orang lain dapat kamu lihat, pagar sendiri tidak dapat

dilihat. Apakah itu?

: O wangka/Gigi.

Bentuk ungkapan wata-watangke; Tondodo bhaindo owurae, tondomu

wutomu mina omorae “Pagar orang lain dapat kamu lihat, pagar sendiri tidak dapat

dilihat” memiliki sifat yang bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya, makna

ungkapan ini mengarah pada sindiran atau kritikan mengenai kebiasaan seseorang.

Makna ungkapan wata-watangke; Tondodo bhaindo owurae, tondomu

wutomu mina omorae “Pagar orang lain dapat kamu lihat, pagar sendiri tidak dapat

dilihat” mengarah pada penggambaran sikap seseorang yang selalu mencari-cari

kesalahan orang lain tetapi kesalahan yang melekat pada dirinya sendiri tidak

disadari. Hal ini, sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Muna, sehingga

kebiasaan tersebut dapat merenggangkan hubungan silaturahim antar sesama dalam

masyarakat. Ungkapan wata-watangke; Tondodo bhaindo owurae, tondomu wutomu

48

mina omorae “Pagar orang lain dapat kamu lihat, pagar sendiri tidak dapat dilihat”,

sebenarnya disampaikan sebagai sindiran bagi orang-orang yang tidak menyadari

kesalahan yang dilakukannya. Ungkapan ini sebenarnya bentuk larangan agar kita

tidak membuka aib orang lain dan selalu mengoreksi diri kita sendiri. Dengan

demikian, orang yang disindir melalui ungkapan wata-watangke tersebut, akan

menyadari bahwa sikap yang dimilikinya tidak baik atau bertentangan dengan syariat
agama.

Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan agama

yang dimuat dalam ungkapan wata-watangke; Tondodo bhaindo owurae, tondomu

wutomu mina omorae “Pagar orang lain dapat kamu lihat, pagar sendiri tidak dapat

dilihat” agar kita selalu menyadari setiap perbuatan yang kita lakukan. Selain itu,

ungkapan wata-watangke tersebut mengajak kita agar tidak perlu mencari-cari

kesalahan orang lain, sebab belum tentu kita lebih baik daripada orang lain, karena

yang berhak menilai hanyalah Allah SWT. Dengan demikian, kita dapat menjaga

hubungan kita dengan sesama manusia (Hablumminannas) serta hubungan kita

dengan sang pencipta (Hablumminallah).

Ungkapan wata-watangke; Tondodo bhaindo owurae, tondomu wutomu mina

omorae “Pagar orang lain dapat kamu lihat, pagar sendiri tidak dapat dilihat”,

dijadikan sebagai media untuk menyampaikan kebaikan kepada seseorang. Ungkapan

wata-watangke ini juga mengisyaratkan bahwa tidak ada yang lebih berhak menilai

diri kita selain Sang pencipta. Kita sebagai sesama makhluk ciptaan hanya diwajibkan

untuk saling mengingatkan.

49

Selain contoh ungkapan wata-watangke di atas, ungkapan wata-watangke

yang mengandung nilai pendidikan agama dapat dilihat juga pada ungkapan berikut:

Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

: Noghighito dokonae nonggela, nopupute dokonae noraku.


Ohaeno nagha?

: Hitam dianggap bersih, putih dianggap kotor. Apakah itu?

: O Papantulisi/Papan tulis.

Ungkapan wata-watangke; Noghighito dokonae nonggela, nopupute dokonae

noraku “Hitam dianggap bersih, putih dianggap kotor” menggambarkan bahwa nilai-

nilai Illahia yang kotor sudah dianggap bersih (Noghighito dokonae nonggela)

sedangkan nilai-nilai Illahia yang bersih sudah dianggap kotor (nopupute dokonae

noraku). Hal ini menggambarkan sesuatu yang kontras atau bertolak belakang dengan

kenyataan yang sebenarnya. Dalam ungkapan wata-watangke ini, menunjukan sikap

manusia yang sudah tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak

baik. Sifat baik bisa jadi buruk dimata seseorang dan sesuatu yang tidak baik bisa jadi

baik di mata mereka. Hal ini disebabkan kurangnya penanaman nilai-nilai agama dan

lebih mengedepankan kehidupan dunia.

Ungkapan wata-watangke; Noghighito dokonae nonggela, nopupute dokonae

noraku “Hitam dianggap bersih, putih dianggap kotor” ini memuat pesan agar kita

kembali pada hakikat yang sebenarnya yaitu putih harus kembali pada kodratnya

yaitu suci dan bersih, sedangkan hitam dikembalikian pada hakekat yang sebenarnya

yaitu sesuatu yang kotor atau tidak baik.

Ungkapan wata-watangke ini mengandung makna pendidikan agama yang

maksud ungkapannya bertujuan untuk meluruskan bahwa sesuatu yang tidak baik itu

50

jangan di benarkan dan sesuatu yang baik itu jangan dianggap salah. Allah SWT.

telah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan penjelasan-penjelasan mengenai

petunjuk itu serta sebagai pembeda antara yang benar dan yang batil. Ungkapan wata-
watangke tersebut merupakan sindiran bagi orang-orang yang sudah mulai jauh dari

nilai-nilai agama agar mereka kembali kejalan yang benar dan menjadikan Al-Qur’an

sebagai pedoman dalam kehidupan demi keselamatan dunia dan akhirat.

Dari kedua analisis ungkapan wata-watangke tersebut, selain memuat makna

pendidikan agama, di dalamnya juga memuat nilai-nilai pendidikan moral dan sosial,

karena pesan yang disampaikan oleh ungkapan tersebut berkaitan dengan hubungan

antara sesama manusia dalam kehidupan sosial masyarakat.

2. Makna Pendidikan Moral

Permainan wata-watangke dalam masyarakat Muna juga tidak lepas dari

makna pendidikan moral yang dimuat di dalamnya. Makna pendidikan moral

dimaksud disampaikan melalui ungkapan wata-watangke yang mengandung unsur

kritikan terhadap moral yang tidak sesuai di dalam masyarakat. Ungkapan wata-

watangke yang memuat makna pendidikan moral ini dapat dilihat pada contoh

ungkapan berikut:

Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

: Kalanggono koromu, mengkora ne kowobhano maka

netaa namisimu. Ohaeno nagha?

: Durhakanya pantatmu, duduk di mulutnya orang lain baru

enak perasaanmu. Apakah itu?”

: O kantofi/Alat kukus berbentuk kerucut.

51
Ungkapan wata-watangke; Kalanggono koromu, mengkora ne kowobhano

maka netaa namisimu “Durhakanya pantatmu, duduk di mulutnya orang lain baru

enak perasaanmu” menggambarkan sifat “kantofi/alat kukus yang berbentuk kerucut”

yang tidak dapat duduk dengan seimbang, kecuali duduk di mulut belanga baru dapat

duduk dengan seimbang. Apabila ungkapan wata-watangke; Kalanggono koromu,

mengkora ne kowobhano maka netaa namisimu “Durhakanya pantatmu, duduk di

mulutnya orang lain baru enak perasaanmu” dikaitkan dengan kehidupan dalam

masyarakat, maka sifat “kantofi” tersebut diibaratkan seperti orang yang tidak senang

melihat orang lain sukses. Orang ini akan selalu berusaha menjatuhkan orang yang

tidak disenanginya, bahkan ia berusaha untuk mengambil hak orang yang tidak

disenanginya tersebut baru merasa nyaman.

Berdasarkan analisis ungkapan wata-watangke; Kalanggono koromu,

mengkora ne kowobhano maka netaa namisimu “Durhakanya pantatmu, duduk di

mulutnya orang lain baru enak perasaanmu” memuat pendidikan moral yang berusaha

menyindir orang-orang yang selalu merasa tidak puas terhadap apa yang dimilikinya,

melainkan mengambil hak orang lain baru merasa puas. Sifat seperti ini dianggap

tidak bermoral karena dapat merugikan orang lain. Hal ini dapat merusak hubungan

sosial dalam masyarakat.

Selain contoh ungkapan wata-watangke di atas, ungkapan wata-watangke

yang mengandung makna pendidikan moral juga dapat di lihat berikut ini:

52

Wata-watangke
Teka-teki

Jawabannya

: Tolughonu kabhawo nengkorafie ndoke kaenseghulu.

Ohaeno nagha?

: Tiga buah bukit diduduki monyet besar. Apakah itu?

: O dalika/tungku dapur.

Ungkapan wata-watangke; Tolughonu kabhawo nengkorafie ndoke

kaenseghulu “Tiga buah bukit diduduki monyet besar” ini menunjukan sifat serakah

seekor monyet yang menduduki tiga buah bukit sekaligus. Secara logika, hal tersebut

tidak dapat dilakukan oleh seekor monyet. Ungkapan wata-watangke ini,

menggambarkan sikap seekor monyet yang serakah dan selalu tidak puas dengan apa

yang dimilikinya. Sikap serakah yang melekat pada monyet ini juga digambarkan

dalam cerita rakyat masyarakat Muna “Andondoke bhe Kapo-kapoluka (monyet dan

kura-kura)” yang menghabiskan pisang si kura-kura tanpa menyisakannya.

Ungkapan wata-watangke; Tolughonu kabhawo nengkorafie ndoke

kaenseghulu “Tiga buah bukit diduduki monyet besar” ini sebenarnya digunakan

untuk menyindir orang-orang yang memiliki sifat serakah seperti yang digambarkan

oleh ungkapan wata-watangke tersebut. Melalui ungkapan wata-watangke ini orang

yang selalu merasa tidak puas dengan apa yang dia miliki akan sadar bahwa sifat

yang dimilikinya sama dengan sifat monyet yang tidak bermoral. Dengan demikian

orang yang betul-betul memahami pesan dari ungkapan wata-watangke ini akan

segera mengitropeksi diri.

Berdasarkan analisis ungkapan wata-watangke; Tolughonu kabhawo

nengkorafie ndoke kaenseghulu “Tiga buah bukit diduduki monyet besar” bahwa sifat

yang dimikiki oleh monyet tersebut sangat bertentangan dengan nilai moral dalam
53

kehidupan masyarakat. Dengan demikian ungkapan wata-watangke; Tolughonu

kabhawo nengkorafie ndoke kaenseghulu “Tiga buah bukit diduduki monyet besar”

dapat dijadikan sebagai alat intropeksi diri dan kembali menanamkan sifat-sifat luhur

kemanusiaan di dalam diri, serta kembali berusaha memperjuangkan hak dan

martabat manusia yang menjujung tinggi nilai-nilai moral.

Kedua analisis ungkapan wata-watangke yang telah dijelaskan di atas,

memiliki bentuk penyampaian kritikkan yang berkaitan dengan moral dalam

kehidupan masyarakat Muna. Hal tersebut sejalan dengan kebiasaan masyarakat

Muna yang menggunakan ungkapan wata-watangke sebagai salah satu alat untuk

mengkritik kehidupan sosial yang ada di dalam masyarakat. Jauh sebelum pendidikan

formal masuk dalam kehidupan mereka, pendidikan non formal berupa ungkapan

wata-watangke telah digunakan untuk mengkritik situasi dalam kehidupan

masyarakatnya. Melalui kritik yang disampaikan lewat ungkapan wata-watangke ini,

maka akan mengurangi kemungkinan terjadinya salah paham di dalam kehidupan

masyarakat karena penyampaian kritikan itu memiliki sifat membangun dan

bentuknya juga sederhana yaitu berupa permainan rakyat.

3. Makna Pendidikan Sosial

Masyarakat Muna tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial. Kehidupan

sosial yang berkembang dalam masyarakat Muna tersebut terangkum dalam sebuah

tatanan nilai, di dalamnya memuat ide-ide yang menggambarkan serta membentuk

suatu cara dalam sistem masyarakat sosial yang merupakan rantai penghubung secara

terus menerus sejak kehidupan generasi masyarakat Muna terdahulu. Banyak cara

54
untuk menunjukkan penanaman nilai sosial tersebut dalam masyarakat Muna pada

masa lampau, salah satunya adalah melalui permainan wata-watangke.

Permainan wata-watangke pada masyarakat Muna tidak hanya dijadikan

sebagai salah satu media untuk membangun komunikasi sosial, akan tetapi dalam

ungkapan wata-watangke dapat melahirkan pesan-pesan yang mengandung makna

pendidikan sosial. Ungkapan-ungkapan wata-watangke yang dimaksud adalah

ungkapan-ungkapan yang mengarah pada norma-norma yang berlaku dalam

kehidupan masyarakat Muna. Ungkapan wata-watangke yang memuat makna

pendidikan sosial tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikut in;

Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

: Inano neburi, anano nebasa, Ohaeno nagha?

: Induknya menulis, anaknya membaca, Apakah itu?

: Inano bhe anano manu deghondohi nefumaando/

Induk dan anak ayam sedang mencari makan.

Ungkapan wata-watangke; Inano neburi, anano nebasa “Induknya menulis,

anaknya membaca” menggambarkan hubungan interaksi antara orang tua dengan

anaknya atau hubungan interaksi antara orang yang lebih tua dengan orang yang lebih

muda dalam kehidupan masyarakat sosial. Hubungan interaksi yang dimasud adalah

bagaimana seharusnya sikap orang tua kepada anaknya dan bagaimana sikap seorang

anak pada orangtuanya atau kepada orang yang lebih tua.

Ungkapan Inano neburi “induknya menulis” pada ungkapan wata-watangke

ini menggambarkan orang tua yang selalu mengajarkan kepada anaknya bahwa
betapa pentingnya dalam bekerja keras, karena untuk memenuhi kebutuhan hidup kita

butuh keuletanda dan kerja keras untuk mencapai tujuan yang diinginka. Selain itu,

55

ungkapan Inano neburi, di sini juga menunjukan sikap orang tua yang selalu

mengarahkan anaknya agar selalu berbuat baik, menjaga hubungan baik dalam

pergaulan hidup, serta bagaimana menjaga hubungan baik dengan sesama di dalam

kehidupan sosial. Sebaliknya, ungkapan anano nebasa “anaknya membaca” dalam

ungkapan wata-watangke; Inano neburi, anano nebasa “Induknya menulis, anaknya

membaca” menggambarkan bagaimana seharusnya sikap seorang anak terhadap

orang tuanya atau orang yang lebih tua dalam menanggapi nasihat-nasihat yang

disampaikan kepadanya. Anak tersebut harus mampu memahami pesan-pesan yang

disampaikan orang tuanya. Dengan demikian hubungan antara orang tua dengan anak

akan selalu terjalin dengan baik sehingga keharmonisan dalam keluarga maupun di

dalam masyarakat dapat terjaga.

Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa ungkapan wata-

watangke; Inano neburi, anano nebasa “Induknya menulis, anaknya membaca”

menggambarkan hubungan antara orang tua dan anaknya dalam kehidupan. Orang tua

menunjukan kepada anaknya bahwa bekerja keras itu sangat penting dalam upaya

pemenuhan kebutuhan hidup. Orang tua juga mengajarkan kepada anaknya

bagaimana menempatkan diri dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, dalam

ungkapan wata-watangke; Inano neburi, anano nebasa “Induknya menulis, anaknya

membaca” menggambarkan bagaimana seorang anak memosisikan dirinya di depan

orang tuanya, memosisikan dirinya pada orang yang lebih tua dan bagaimana seorang

anak dalam bergaul.


56

Selain contoh ungkapan wata-watangke yang telah dijelaskan di atas,

ungkapan wata-watangke yang mengandung makna pendidikan sosial dapat dilihat

juga dalam ungkapan wata-watangke berikut ini;

Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

: Side-sidere pukana, tolu sidere pukana, mabhongku-bhongku,

lalono mpalenaani. Ohaeno nagha?

: Patuk-patuk lalu berpindah, tiga kali patuk pindah lagi, bunyibunyi

selalu,

hatinya

dilupakannya.

Apakah

itu?

Manu-manu

Kadondo/burung

Pematuk.
Ungkapan

wata-watangke; side-sidere pukana, tolu sidere pukana,

mabhongku-bhongku, lalono mpalenaani. “Patuk-patuk lalu berpindah, tiga kali

patuk pindah lagi, bunyi-bunyi selalu, hatinya dilupakannya” menggambarkan sikap

burung pelatuk yang selalu membuat lubang dengan cara mematuk batang pohon

sebagai tempat tinggal, tetapi tidak digunakan untuk dirinya sendiri. Setelah membuat

lubang atau rumah untuk tempat bertelur, siburung pelatuk itu pergi membuat lubang

lain. Lubang yang sebelumnya dibuatnya ditinggalkan dan dilupakannya, artinya si

burung pelatuk tidak akan memanfaatkan lubang yang dibuatnya itu. Lubang-lubang

yang pernah dibuat si burung pelatuk pada sebatang pohon akan dimanfaatkan oleh

burung-burung lain sebagai tempat bertelur mereka.

Ungkapan wata-watangke; Side-sidere pukana, tolu sidere pukana,

mabhongku-bhongku, lalono mpalenaani. “Patuk-patuk lalu berpindah, tiga kali

patuk pindah lagi, bunyi-bunyi selalu, hatinya dilupakannya” menggambarkan

bagaimana menciptakan kehidupan sosial dengan bersikap ikhlas dan saling memberi

dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila memiliki barang yang sudah tidak lagi

57

dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi tetapi dapat bermanfaat untuk orang lain,

ada baiknya barang tersebut kita berikan kepada orang yang lebih membutuhkannya.

Ungkapan wata-watangke; Side-sidere pukana, tolu sidere pukana,


mabhongku-bhongku, lalono mpalenaani. “Patuk-patuk lalu berpindah, tiga kali

patuk pindah lagi, bunyi-bunyi selalu, hatinya dilupakannya” ini juga menunjukan

kedudukkan kehidupan sosial yang begitu tinggi dalam bermasyarakat. Jiwa sosial

yang menganut sikap terbuka dan suka memberi, sangat dibutuhkan. Karena dengan

jiwa sosial, kita dapat diterima dengan baik dalam kehidupan masyarakat. Dengan

demikian, dalam kehidupan sosial masyarakat dapat menciptakan kehidupan yang

harmonis, akrab, dan bersahabat.

Berdasarkan analisis ungkapan wata-watangke; Side-sidere pukana, tolu

sidere pukana, mabhongku-bhongku, lalono mpalenaani. “Patuk-patuk lalu

berpindah, tiga kali patuk pindah lagi, bunyi-bunyi, hatinya dilupakannya”. Dapat

disimpulkan bahwa nasehat-nasehat tentang nilai pendidikan sosial dalam kehidupan

masyarakat Muna pada zaman dahulu, salah satunya dapat disampaikan melalui

ungkapan wata-watangke. Hal ini dibuktikan bahwa ungkapan wata-watangke; Side-

sidere pukana, tolu sidere pukana, mabhongku-bhongku, lalono mpalenaani. “Patuk-

patuk lalu berpindah, tiga kali patuk pindah lagi, bunyi-bunyi, hatinya dilupakannya”

dapat dijadikan inspirasi sebagai salah satu cara untuk membangun hubungan sosial

antara sesama manusia (Hablumminannas) dalam menciptakan kehidupan sosial yang

harmonis dan bersahabat.

58

4. Makna Pendidikan Karakter

Kedudukan makna yang berhubungan dengan pendidikan karakter dalam

kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan, sebab pendidikan karakter ini tidak hanya

diperoleh di bangku sekolah (formal), melainkan juga dapat diperoleh dalam

kehidupan masyarakat (nonformal). Pendidikan yang sifatnya nonformal itulah, yang


dapat dijumpai pada permainan wata-watangke, di mana di dalamnya memuat makna

pendidikan karakter.

Makna pendidikan karakter dalam permainan wata-watangke mengarah pada

nasehat terhadap sikap yang menjadi bawaan seseorang. Dapat dijelaskan bahwa

pendidikan karakter tidak lepas dari pengaruh lingkungan, di mana kalau lingkungan

yang membentuk baik maka akan terlahirlah sebuah karakter yang baik. Tetapi kalau

lingkungan yang membentuk jelek maka akan terlahirlah karakter yang jelek pula.

Hal ini menunjukan bahwa lingkungan sangat berperan dalam menciptakan individu,

baik atau buruk, tergantung pengaruh mana yang lebih kuat di dalam mempengaruhi

perjalanan hidupnya.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan melalui permainan

wata-watangke seseorang dapat diingatkan mengenai kekurangan yang ada dalam

dirinya tanpa melukai hati orang tersebut. Dengan demikian, orang yang dinasehati

lewat ungkapan wata-watangke tidak akan tersinggung karena bentuk nasehat yang

diberikan tidak langsung pada intinya, melainkan dibuat dalam bentuk ungkapan

wata-watangke.

59

Permainan wata-watangke juga dimanfaatkan sebagai media untuk

menyelipkan nasehat-nasehat yang berkenaan dengan perilaku seseorang atau

kepribadian seseorang di dalamnya. Nasehat-nasehat itu disampaikan tidak langsung

pada intinya melainkan orang yang diberi wata-watangke diajak untuk berpikir kira-

kira apa jawaban dan maksud dari wata-watangke tersebut. Misalnya, ada seorang

anak yang memiliki kebiasaan malas dalam menyelesaikan pekerjaannya, maka pada

situasi tertentu si anak diajak untuk bermain wata-watangke. Dalam permainan wata-
watangke tersebut, selain si anak merasa terhibur dengan ungkapan wata-watangke

yang didengarnya, Ia juga akan menyadari akan pesan dari ungkapan tersebut.

Adapun ungkapan wata-watangke yang berkaitan dengan makna pendidikan

karakter tersebut dapat dilihat pada berikut:

Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

: Dorambi padangkuluno maka nohunda nofumaa, ohaeno

nagha?

: Dipukul kepalanya baru mau makan, apakah itu?

: Opatota/Pahat.

Ungkapan wata-watangke; Dorambi padangkuluno maka nohunda nofumaa

“Dipukul kepalanya baru mau makan” tersebut menggambarkan sifat patota/pahat

yang harus dipukul pangkalnya sebagai pemicu agar dapat digunakan untuk memahat

kayu. Ungkapan Wata-watangke ini tidak hanya untuk ditebak jawabannya,

melainkan dijadikan sebagai bahan renungan bagi orang yang di tuju dalam ungkapan

itu, terkait pesan atau nilai pendidikan karakter yang ada dalam ungkapan Wata-

watangke tersebut. Pahat di sini diibaratkan seperti sifat manusia yang malas, kecuali

60

diperintah baru mau bekerja. Ungkapan Wata-watangke ini merupakan sindiran bagi

orang-orang yang malas dalam melakukan pekerjaan.

Ungkapan wata-watangke; Dorambi padangkuluno maka nohunda nofumaa

dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan pekerjaan haruslah selalu ikhlas, tidak
perlu diperintahkan baru mau bekerja. Ungkapan wata-watangke tersebut sangat erat

kaitannya dengan karakter manusia yang dituntut agar selalu mandiri dalam setiap

melakukan pekerjaan. Selain itu juga, ungkapan tersebut akan menumbuhkan

dorongan dan kesadaran dalam setiap diri seseorang bahwa dirinya bukanlah benda

mati yang harus dipicu baru bisa bekerja. Dengan demikian rasa tanggung jawab yang

melekat pada diri setiap orang itu akan selalu ada dalam menjalankan tugas atau

pekerjaan yang diamanahkan padanya.

Selain ungkapan wata-watangke tersebut, ungkapan wata-watangke yang

mengandung nilai pendidikan karakter, juga dapat dilihat berikut ini:

Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

: nofuma wawo korono tamaka nowolo wawo gholeno, Ohae

nagha?

: dia makan duluan pangkalnya tetapi habis duluan ujungnya,

Apakah itu?

: Desoso/Merokok.

Ungkapan wata-watangke; nofuma wawo korono tamaka nowolo wawo

gholeno “Dia makan duluan pangkalnya tetapi habis duluan ujungnya”

menggambarkan karakter orang yang sedang merokok di mana rokok yang selalu

diisap pada bagian filternya tetapi yang habis itu pada bagian ujungnya. Begitu pula

dengan orang yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, di mana
61

pekerjaan yang dilakukannya baru selesai dikerjakannya, akan tetapi hasilnya sudah

tidak dapat dinikmati lagi karena langsung digunakan untuk menutupi utang.

Berdasarkan hasil analisis tersebut mengenai muatan nilai pendidikan karakter

dalam ungkapan wata-watangke; nofuma wawo korono tamaka nowolo wawo

gholeno “Dia makan duluan pangkalnya tetapi habis duluan ujungnya” hendaknya

kita tidak bersikap boros, selalu hidup mandiri serta hidup sederhana. Dengan

demikian kita dapat menjaga keseimbangan antara penghasilan dan pengeluaran

sehingga dapat hidup dengan teratur.

Dari kedua analisis ungkapan wata-watangke tersebut, dapat disimpulkan

bahwa makna pendidikan karakter dalam kehidupan masyarakat Muna telah

ditanamkan sejak lahir. Selain muatan makna pendidikan karakter di dalam kedua

ungkapan tersebut juga memuat nilai pendidikan moral dan akhlak atau makna

pendidikan agama yang berhubungan dengan sifat malas dan boros.

Keseluruhan hasil analisis wata-watangke tersebut, baik pada bentuk

permainannya sampai pada ungkapan wata-watangke itu sendiri, sarat akan makna

pendidikan yang dimuat di dalamnya. Makna pendidikan dimaksud adalah makna

pendidikan agama, makna pendidikan moral, makna pendidikan sosial, samapai pada

makna pendidikan karakter yang melekat pada masyarakat Muna itu sendiri. Adanya

muatan makan pendidikan dalam wata-watangke pada masyarakat Muna menunjukan

62
bahwa dalam kehidupan masyaralat Muna telah ditanamkan ajaran-ajaran pendidikan

jauh sebelum pendidikan formal masuk dalam kehidupan mereka.

BAB VI

PENUTUP
D. Kesimpulan

Permainan wata-watangke dalam masyarakat Muna dimulai pada masa

pengaruh Islam di Muna yaitu pada abad 16. Dalam tahap perkembangannya

wata-watangke digunakan oleh pasangan muda-mudi yang sedang jatuh cinta.,

tradisi wata-watangke yang dilakukan oleh dua pasangan pria dan wanita, telah

berkembang dari rumah ke rumah, bahkan dari kampung ke kampung dan ini

digunakan untuk membangun hubungan silaturahim agar tetap terjalin dengan

baik. Dengan demikian, tradisi wata-watangke memiliki kedudukan dan fungsi

yang sangat penting untuk menjaga hubungan kekeluargaan dan komunikasi

antarsesama dalam kehidupan masyarakat Muna.

Proses pengungkapan wata-watangke memiliki keunikan tersendiri. Selain

dari pada pembentukan kelompok, pemberian pertanyaan dan jawaban, wata-

watangke juga memiliki momentum dan tujuan dalam proses pengungkapannya.

Adanya pengungkapan wata-watangke diajukan dengan keadaan atau kondisi

pada saat itu dan memiliki tujuan dari pengungkapannya.

Tradisi wata-watangke sebagai pengikat tali persaudaraan antara satu

sama lain karena dari proses pengungkapannya sampai pada ungkapan-ungkapan

wata-watangke itu sendiri memiliki makna serta nilai yang sangat bermanfaat

bagi kehidupan manusia diantaranya yaitu makna pendidikan agama, social,

moral dan pendidikan karakter. Hadirnya produk-produk global saat ini

63

64

menjauhkan generasi dari nilai-nilai pendidikan yang lahir secara alami melalui
tradisi yang diwariskan secara turun-temurun tersebut. Hal ini mengakibatkan

keberadaan dari tradisi wata-watangke tidak lagi eksis untuk dimainkan serta

kedudukan nilai pendidikan yang dimuat dalam tradisi wata-watangke semakin

jauh dari kehidupan masyarakat Muna.

E. Saran

Berdasarkan beberapa simpulan yang telah dipaparkan sebelumnya,

terdapat beberapa saran yang berhubungan dengan karya tulis ini yaitu:

1) Perlu peningkatan terhadap penelitian yang berhubungan dengan tradisi wata-

watangke sebagai upaya pemeliharaan budaya daerah;

2) publikasi dan penelusuran lebih lanjut yang berkenaan dengan tradisi wata-

watangke perlu ditingkatkan, agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya

dapat dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya;

3) Tradisi wata-watangke perlu dipertimbangkan agar dapat menjadi bagian dari

pembelajaran Muatan lokal, sebagai upaya penanaman nilai-nilai pendidikan

melalui tradisi pada peserta didik.

F. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran sejarah di sekolah dimaksudkan untuk meningkatkan

kemampuan siswa dalam memahami berbagai hal mengenai kegiatan-kegiatan di

masa lampau . Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu adanya pembelajaran

sejarah suatu tradisi yang mengandung unsur makna pendidikan di dalamnya

65

demi terciptanya peserta didik yang berperilaku arif. Pembelajaran siswa di

sekolah pada dasarnya bertujuan agar siswa dapat memahami sejarah kehidupan

masa lampau yang memuat berbagai manfaat dan perannya dalam menjadikan diri
lebih baik. dari berbagai macam tradisi yang menjadi kebiasaan masyarakat muna

pada masa lampau banyak diantaranya memiliki makana yang stersirat dan angat

cocok untuk dipahami para siswa di sekolah dan salah satunya adalah tradisi

wata-watangke.

Publikasi tentang tradisi wata-watangke yang ada pada masyarakat Muna,

penulis mencoba mengenalkannya kembali kepada siswa sebagai salah satu

bentuk tradisi daerah. Hal ini dilakukan karena dalam kompetensi dasar

membahas tentang keterkaitan tradisi daerah dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, keterkaitan wata-watangke sebagai salah satu bentuk tradisi

daerah dapat digunakan untuk pembelajaran mengenai salah satu sejarah tradisi

serta nilainya dengan maksud untuk mengenal tradisi wata-watangke serta

memupuk sifat kekeluargaan melalui tradisi tersebut. selain itu, melatih

kemampuan siswa dalam menyampaikan ide dan gagasan setelah mendengarkan

dan memahami sejarah tradisi yang berupa tradisi wata-watangke tersebut. Dari

sisi lainnya, muatan nilai pendidikan dalam tradisi wata-watangke yang dapat

memberikan sumbangan nilai-nilai yang sifatnya mendidik pada peserta didik

yaitu:

66

1. peserta didik mampu memaknai kehidupan dalam hubungannya dengan

karakter yang dimilikinya, hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan

dengan sesamanya serta hubungan manusia dengan alam sekitarnya;

2. peserta didik dapat mengetahui etika yang berhubungan dengan pendidikan

moral, agama, sosial masyarakat, sampai pada pendidikan karakter dalam

kehidupan sehari-hari;
3. peserta didik dapat berperan penting terhadap pemahaman dan penilaian

mengenai warisan budaya bangsa.

LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gani Ruslan. 1963. Penggunaan Ilmu Sejarah. Jakarta. Prapantja.

Amril, 2002, Etika Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azra, Azyunardi, prof., Dr., dkk. 2002. Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada

Perguruan Tinggi Umum. Jakarta : Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam.

Badudu, Dkk. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan.

Danandjaja, James. 2007. Folklore Indonesia. Jakarta.: Pustaka Uama Grafiti

Djamaris, Edwar. 1993. Menggali khasanah sastra melayu klasik. Jakarta: Balai

Pustaka

Gazalba, Sidi. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bharata.

Hugino dan P.K. Poerwantana. 1987. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Bina Aksara.

Hutomo, Suripan Hadi (1991), Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra

Lisan. Surabaya: HISKI Komisariat Jawa Timur.

James P. Spradley. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kartawinata, Ade. M, 2011, Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi, Jakarta, Pusat


Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Pengembangan Sumber

Daya Kebudayaan dan Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata

Republik Indonesia.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

La Mokui dan La Kimi Batoa. 1991. Wata-watangke Wuna. Ujung Pandang: Unhas.

La Muda.2013. Nilai Pendidikan Dalam Wata-watangke Pada Masyarakat Muna.

Skripsi. Kendari: FKIP UHO

Magnis, Franz dan Suseno. 1987. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat

Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Malonda, Alimin. 2011, “Nilai Pendidikan dan Nilai Moral Pada Falia dalam

masyarakat muna kecamatan parigi”. Skripsi. Kendari: Universitas Halu oleo.

Peursen, V. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Pundentia MPSS. 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: ATL.

Salniwati. 2014. Watawataangke: Tradisi Lisan Etnis Muna. Tesis. Kendari: UHO

Sjamsudin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogjakarta: Ombak.

Soelaeman, Munandar. 2010. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Refika Aditama.

Subandi, 2000. Deskripsi Kualitatif Sebagai Satu Metode. Surakarta : Gelar.

Sukardjo dan Komarudin Ukim. 2010. Landasan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

2010
Sukatman. 2009. Butir-butir tradisi lisan Indonesia. Jogjakarta: Laksbang

PRESSindo.

Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: remaja rosdakarya.

Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bag 4

(Pendidikan Lintas Bidang). PT. Imperial Bhakti Utama.

Tirtarahardja, Umar. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: rineka cipta.


Lampiran 1.

Contoh Wata-watangke

1) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

2) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

3) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya
4) Wata-watangk

Teka-teki

Jawabannya

5) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

6) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

: damorae nogila, dointarae kanea. Ohaeno nagha?

: sukar dilihat mudah dipegeng. Apakah itu?

: O pongke/telinga.
: iano bhe laano, notumbu ne kolaano. Ohaeno nagha?

: batangnya ada, tumbuh pada batang lain. Apakah itu?

: O tai nsusuru/Benalu.

: naando notodo donangkue, nomalu doluaemo. Ohaeno

nagha?

: masih keras dikunya, setelah lembek dikeluarkan.

Apakah itu?

: O towu/Tebu.

: Side-sidere pukana, tolu sidere pukana, mabhongkubhongku,

lalono

mpalenaani.

Ohaeno

nagha?

Patuk-patuk lalu berpindah, tiga kali patuk pindah lagi,

bunyi-bunyi selalu, hatinya dilupakannya. Apakah itu?

: Manu-manu Kadondo/burung Pematuk.


: nando noanahi nebheta, nokolalo nelembimo. Ohaeno

nagha?

: semasih kecil ia bersarung, setelah besar ia telanjang.

Apakah itu?

: O patu/Bambu.

: wobhano sewobha, matano oriwu. Ohaneno nagha?

: mulutnya satu, matanya banyak. Apakah itu?

: O kalangka/Keranjang.

7) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya
8) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

9) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

10) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

11) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya
12) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

13) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

:Noghighito dokonae nonggela, nopupute dokonae noraku.

Ohaeno nagha?

: Hitam dianggap bersih, putih dianggap kotor.

Apakah itu?

: O Papantulisi/Papan tulis.

: suawi a andaka-daka dosumbae ntae rope. Ohaeno

nagha?

: sisir si Ndaka-daka ditancap dihaluan. Apakah itu?

: Tunarono manu/Balung ayam.

: kakompo sohino kakompo, kafembula sohino


kafembula, kapakatu sohino kapakatu, ohae nagha?

: bungkusan bukan bungkusan, tanaman bukan tanaman,

kiriman, bukan kiriman, Apakah itu?

: Mayati/ mayat.

: nofuma wawo korono tamaka nowolo wawo gholeno,

Ohae nagha?

: dia makan duluan pangkalnya tetapi habis duluan

ujungnya, Apakah itu?

: Desoso/Merokok.

: Tolughonu kabhawo nengkorafie ndoke kaenseghulu.

Ohaeno nahga?

: Tiga buah bukit diduduki monyet besar. Apakah itu?

: O dalika nengkorafie nuhua/tungku dapur dan belanga.

: nehamai kakalahano sadhia noangkafie. Ohaeno nahga?

: dimanapun berpergian selalu dia ikut. Apakah itu?

: O ghonula/Bayangan.

: nakolaa mina, nakoroo mina, tanekantawumo bhake.

Ohaeno nahga?
: tiada berbatang, tiada berdaun, tetapi buahnya banyak.

Apakah itu?

: O kontu/Batu.

14) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

15) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

16) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya
17) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

18) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

19) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

20) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya
: Inano neburi, anano nebasa, Ohaeno nagha?

: Induknya menulis, anaknya membaca, Apakah itu?

: Inano bhe anano manu deghondohi nefumaando/Induk

dan anak ayam sedang mengais-ngais mencari makan.

: samentaeno nesongko kaghito, sanimaghuleo nesongko

kapute, Ohae nagha?

: pagi hari memakai kopiah hitam, sore hari memakai

kopiah putih.

: o mie/manusia.

: dobhelaie nando norubu nolimba rea, dobelaie

nokamokulamo mina nakorea. Ohaeno nagha?

: dilukai saat muda keluar darah, dilukai saat tua tudak

keluar darah. Apakah itu?

: O kapaea/Pepaya.

: Tondodo bhaindo owurae, tondomu wutomu mina

omorae. Ohaeno nagha?

: Pagar orang lain dapat kamu lihat, pagar sendiri tidak

dapat dilihat. Apakah itu?

: Jawabannya : O wangka/Gigi.
: Dorambi padangkuluno maka nohunda nofumaa, ohaeno

nagha?

: Dipukul kepalanya baru mau makan, apakah itu?

: Opatota/Pahat.

: dotisae welo lambu noramba wekundo ghala. Ohae

nagha?

: ditanam dalam rumah merambat keluar. Apakah itu?

: O ghumbo/Asap.

: nobhose kalongko-longko, nolabu kandaka-ndaka. Ohae

nagha?

Berlayar tertelungkup, berlabu tertelentang. Apakah itu?

: O ponisi/Kelelawar.

21) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya
22) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

23) Wata-watangke

Teka-teki

Jawabannya

: Kalanggono koromu, mengkora ne kowobhano maka

netaa namisimu. Ohaeno nagha?

: Durhakanya pantatmu, duduk di mulutnya orang lain baru

enak perasaanmu. Apakah itu?”

: O kantofi/Alat kukus yang berbentuk kerucut.

: Inodi amangka naini ihintu omangka naitu dapo ghawa

te a gundu-gundu, Ohaeno nagha?

:saya lewat di sini, saya lewat di sana ketemu di

gundu-gundu, apakah itu?

: Defeghato lambu/orang yang lagi pasang atap rumah.


: Se finde, ra finde, tolu finde, fato finde , lima finde, maka

no finde, Ohae nagha?

: 1 pinde, 2 pinde, 3 pinde, 4 pinde, 5 pinde baru dia pinde,

Apakah itu?

: syaratino sambahaya /syarat waktu sholat dalam sehari.

Lampiran 2.

Daftar Informan

1. Nama
: La Ode Taiso

Umur

: 70 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Jabatan

: Tokoh Masyarakat

Alamat

: Desa Laghorio Kec. Kontukowuna

2. Nama

: Wa Ode Agho

Umur

: 61 Tahun

Jenis Kelamin
: Perempuan

Jabatan

:-

Alamat

: Desa Laghorio Kec. Kontukowuna

3. Nama

: La Ode Salifudin

Umur

: 50 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Jabatan

: Kepala Desa Laghorio

Alamat
: Desa Laghorio Kec. Kontukowuna

4. Nama

: La Ode Wali

Umur

: 78 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Jabatan

: Tokoh Adat Kab. Muna

Alamat
: Raha, Kec. Katobu

5. Nama

: Salniwati, S. Pd, M.Hum

Umur

: 28 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Jabatan

: Sek. Jur. Arkeologi, Fak. Ilmu Budaya UHO

Alamat

:-

6. Nama
: La Ode Sadi

Umur

: 48 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Jabatan

: Tokoh Masyarakat

Alamat

: Desa Laghorio, Kec. Kontukowuna

7. Nama

: Prof. La Niampe

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Jabatan : Dosen UHO, FKIP, Jurusan Pend. Bahasa dan Seni

Alamat
:-

Lampiran 3

Data Dokumentasai

(Kantor Desa Laghorio Kec. Kontukowuna, Dokumentasi tanggal 8 Desember 2015)

(Posyandu Desa Laghorio Kec. Kontukowuna, Dokumentasi tanggal 8 Desember

2015)

(SDN 6 Kabawo, Dokumentasi tanggal 8 Desember 2015)


(Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Desa Laghorio Kec Kontukowuna, Dokumentasi

tanggal 8 Desember 2015)

(Kegiatan Wata-watangke Masyarakat Desa Laghorio, Dokumentasi 25 Desember

2015 )

(Kegiatan Wata-watangke Masyarakat Desa Laghorio, Dokumentasi 25 Desember

2015 )

Anda mungkin juga menyukai