Anda di halaman 1dari 115

TRADISI PERKAWINAN MERARIQ SUKU SASAK DI LOMBOK: Studi Kasus

Integrasi Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional

Skripsi

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh :

ANNISA RIZKY AMALIA

NIM : 1113032100014

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2017 M
ABSTRAK

Annisa Rizky Amalia

Judul Skripsi : “Tradisi Perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok: Studi Kasus
Integrasi Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional”

Kajian pokok penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan gambaran tradisi


Merariq dalam Suku Sasak di Lombok di desa Sade, serta ingin mengetahui apa saja
alasan masyarakat menjalankan tradisi Merariq tersebut. Dalam hal ini yang menjadi
subjek penelitian adalah seluruh masyarakat Suku Sasak Lombok yang berada di desa
Sade, sedangkan objek kajiannya adalah perspektif Islam dengan menggunakan metode
kualitatif dengan melakukan pendekatan antropologi agama. Responden yang diteliti
sebanyak empat orang dari latar belakang yang berbeda.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa tradisi Merariq ini


dalam Suku Sasak Lombok di desa Sade terdiri dari beberapa tahapan yaitu: (1) Midang
(meminang). Termasuk bagian dari midang ini adalah ngujang (mengunjungi calon istri
di luar rumah), disini terjadilah kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan
penculikan atau si laki-laki membawa lari si perempuan. (2) Pihak laki-laki harus
menculik (melarikan) pengantin perempuan. (3) Pihak laki-laki harus melaporkan
kejadian kawin lari itu kepada kepala dusun tempat pengantin perempuan tersebut
tinggal, yang dikenal dengan istilah selabar (nyelabar). (4) Pelunasan uang jaminan dan
mahar. (5) Melakukan akad nikah dengan cara Islam. (6) Adapun istilah yang digunakan
dalam pembayaran adat ketika ingin menikah di Suku Sasak Lombok disebut dengan
Sorong doe atau sorong serah. (7) Nyongkolan, yaitu mengantarkan kembali pihak
perempuan pada pihak keluarganya, diarak keliling kampung dengan berjalan kaki
diiringi musik tradisional khas lombok (gendang belek dan kecimol).

Tradisi Merariq ini tidak di benarkan dalam Islam, karena proses peminangan
dalam Islam dengan peminangan tradisi Merariq sangat berbeda dan tradisi ini banyak
menimbulkan kemudharatan dan bertentangan dengan hukum Islam. Walaupun begitu
Merariq tetap diakui sebagai status hukum karena merupakan salah satu adat istiadat.

Kata Kunci : Suku Sasak, Tradisi Perkawinan Merariq, Integrasi Agama dengan
Budaya Masyarakat Desa Sade.

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin rasa syukur untuk Allah SWT yang tak

henti-henti memberikan nikmatnya untuk kita sehingga sampai detik ini kita

masih bisa berdiri tegak dan menikmati kehidupan dengan penuh

kebahagiaan. Tidak lupa juga salam serta sholawat terus saya ucapkan

teruntuk Nabi Muhammad SAW.

Selanjutnya penulis haturkan ungkapan terimakasih yang sebesar-

besarnya kepada beliau-beliau yang telah banyak berjasa dalam membantu

penyelesaian tugas akhir ini :

1. Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi,

atas kesabaran dan ketelitian dalam membimbing penulis. Beliau

yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan

memberikan arahan, motivasi serta bimbingan kepada penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Dra. Hj, Hermawati MA. Selaku Penasehat Akademik yang

memberikan arahan dan motivasi kepeda penulis untuk

menyelesaikan dengan baik.

3. Dr. Media Zainul Bahri, M.A, selaku Ketua Jurusan Studi Agama-

Agama dan Dr. Halimah Mahmudy M.A, selaku sekretaris Jurusan

Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu

memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.

4. Prof. Dr. Ikhsan Tangok, M.A, selaku Wadek I bidang Administrasi

Fakultas Ushuluddin. Dr. Bustami, M.A, selaku Wadek II bidang

v
Administrasi Umum. Dr. M. Suryadinata, M.A, selaku Wadek III

bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, para Staff Akademik Fakultas

Ushuluddin, para Staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan para

Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ayahanda tercinta Agus Santoso dan Ibunda tercinta Evi Syafiiyah

yang tidak pernah lepas memberikan kasih sayangnya mulai dari

kecil sampai waktu yang tak terkira, semoga beliau berdua selalu

memberikan semangat, motivasi, kasih sayang, dan doa yang tulus

untuk kesuksesan penulis. Semoga Allah selalu melimpahkan

rahmat-Nya dan memberikan umur panjang kepada mereka.

7. Kepada keluarga bapak Ir. H. Ikhsan Gemala Putra dan Ibu Hj.

Asiah yang telah memberikan doa, motivasi serta bantuannya dan

segala fasilitas untuk penulis melakukan penelitian di Lombok.

Semoga Beliau berdua diberikan umur panjang dan sehat walafiat

dan para Narasumber yang telah membantu penulis dalam

mengumpulkan informasi terkait dengan penulisan skripsi ini

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

8. Kakak-kakak tersayang Mba Ambartyas Niken, Mba Nindy Febriani

Agustina, Mba Alfitiara, Teteh Fauzia Nashiha, Teteh Sofia Ade

Putri, juga adik-adik tersayang Chairul Anam, Yusran Kamil, Mutia

Sufi Ulwani, Fadhilah Putri Gemala, Berlianty Ratu Piningit

terimakasih atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat

vi
menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas doa dan dukungannya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman tersayang seperjuangan selama kuliah dan skripsi Khemas

Aulia Ulwan yang selalu memberikan motivasi, bantuan, dan doa

yang tiada hentinya, terimakasih banyak sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman-teman tersayang yaitu Tri Indah Annisa, Rayyan Adilla

Anwar, Nur Syamsiyah, Mawaddah Salimah, Siti Khusniatussaidah

dan juga teman-teman seperjuangan Studi Agama-agama angkatan

2013 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terimakasih

banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

11. Sahabat-sahabat tersayang Irda sudistiani Putri, Yayi Rista Radanti,

Suci Alvia Helmi, Zuhria Nisa Pratiwi, Ratnawati Inesia Pratiwi,

Ariska Sukmawati, Alfianur Fidia Rahma dan Resty Rahmawati,

terimakasih banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Dan kepada semua orang yang saya kenal maupun yang mengenal

saya, terimakasih atas ilmu dan pengalaman yang diberikan.

Terimakasih banyak atas doa dan dukungannya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini.

vii
Semoga peran-peran beliau semua mendapat imbalan yang

sepantasnya dan mendapatkan ridho dari Allah SWT Amin. Penulis

menyadari bahwa sedikit karya tulis ini bukanlah akhir dan puncak dari

pencarian ilmu pengetahuan akan tetapi merupakan awal dalam

mengembangkan karya-karya ilmiah lainnya. Kritik dan saran serta solusi

sangat penulis harapkan dari berbagai pihak guna penyempurnaan dari

kebaikan karya-karya penulis nantinya.

Jakarta, 03 Juli 2017

Annisa Rizky Amalia

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN PANITIA SIDANG ................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK .............................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................... 10
D. Kajian Pustaka ................................................................................ 11
E. Metodologi Penelitian ..................................................................... 14
F. Sumber Data ................................................................................... 19
G. Sistematika Penulisan ..................................................................... 21
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SASAK
A. Sejarah Singkat Suku Sasak ............................................................ 23
B. Letak Geografis ............................................................................... 24
C. Sistem Keyakinan Masyarakat Sasak ............................................. 27
a. Akidah Masyarakat Sasak terhadap Pengetahuan kepada
Allah ........................................................................................ 30
b. Pendekatan Ibadah yang dilakukan Masyarakat Sasak
kepada Allah ............................................................................ 32
c. Akhlak Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosial ................ 34
BAB III KEBUDAYAAN
A. Tantangan dalam Tradisi Merariq yang Menghasilkan
Kreativitas Kebudayaan .................................................................. 37
B. Karya dalam Tradisi Merariq yang Mengahsilkan Inovasi
Kebudayaan .................................................................................... 45

ix
C. Tujuan dalam Tradisi Merariq yang Menghasilkan Nilai
Kebudayaan .................................................................................... 48
BAB IV FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN BUDAYA DALAM
TRAIDI MERARIQ
A. Tujuan Merariq ............................................................................... 53
B. Alasan Merariq ............................................................................... 59
C. Perspektif Merariq .......................................................................... 64
BAB V PENUTUPAN
A. Kesimpulan .................................................................................... 68
B. Saran-saran ...................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 71
LAMPIRAN ......................................................................................................... 75

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebudayaan biasa kita sambungkan pada hal-hal yang indah

(seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara, kesusastraan dan filsafat)

saja. Sedangkan kebudayaan dalam antropologi jauh lebih luas sifat dan

ruang lingkupnya. Menurut antropologi, kebudayaan adalah “keseluruhan

sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Hal

tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah

kebudayaan, karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan

masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya

beberapa tindakan naluri, beberapa refleksi, beberapa tindakan akibat

proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan

manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen

bersama kelahirannya (seperti makan, minum atau berjalan dengan kedua

kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan kebudayaan.1

Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan

paling abstrak dari adat-istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya

merupakan konsep-konsep mengenai suatu yang ada dalam alam pikiran

sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, suatu

1
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 144-
145.

1
2

pedoman yang memberi arah orientasi pada kehidupan para warga

masyarakat tersebut. Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman

hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep suatu nilai budaya

itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan

biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena

sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya

dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa

para individu yang menjadi warga dan kebudayaan bersangkutan. Selain

itu juga, para individu tersebut sejak kecil telah diresapi dengan nilai

budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu

sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-

nilai budaya yang lain dalam waktu singkat, dengan cara

mendiskusikannya secara rasional.2

Ritual merupakan salah satu aspek terpenting di dalam masyarakat

adat dan agama lokal di Indonesia. Begitu juga halnya dengan Islam di

Lombok, sejumlah ritus keagamaan seperti perkawinan mendapat porsi

yang cukup penting di dalam kajian mengenai Islam di wilayah ini. Dalam

beberapa tahun terakhir ini, kajian Islam di Lombok juga beragam,

khususnya dengan meletusnya peristiwa kerusuhan di Mataram pada tahun

2001. Lombok mengalami banyak perubahan pada masa reformasi,

ditandai dengan kemunculan berbagai kelompok sosial dan politik yang

turut bermain di dalam politik lokal di Lombok. Aspek kesenian lokal,

2
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 153.
3

khususnya seni musik di Lombok juga dikaji karena keterkaitannya

dengan agama Islam, budaya Bali dan adat khas Lombok sendiri. Namun

demikian, sejauh ini belum cukup banyak kajian yang memfokuskan diri

kepada Islam dan dinamika agama lokal, bukan hanya terkait dengan Islam

semata tetapi juga kebijakan pemerintah. Seperti diketahui, sejumlah kasus

merebak di tanah air karena sebagian masyarakat adat pengaku tidak

mendapatkan perlakuan yang sama sebagai warga negara, khususnya

terkait dengan sistem kepercayaan dan adat istiadatnya. Disinilah arti

pentingnya penelitian ini, di mana agama lokal dilihat sebagai suatu sistem

kepercayaan yang dinamis. Terlebih dengan adanya Undang-undang yang

menjamin hak-hak yuridis dan hak-hak sipil setiap warga negara, disini

para pemeluk dan pengikut agama lokal seperti yang terdapat di Lombok

didengar aspirasi dan permasalahan yang dihadapi.3

Antara agama dan budaya sama-sama melekat pada diri

seseorang. Dari aspek keyakinan maupun aspek ibadah formal, praktik

agama akan selalu bersamaan, dan bahkan berinteraksi dengan budaya.

Kebudayaan sangat berperan penting di dalam terbentuknya sebuah praktik

keagamaan bagi seseorang atau masyarakat. Tidak hanya melahirkan

bermacam-macam agama, kebudayaan ini lah juga mempunyai andil besar

bagi terbentuknya aneka ragam praktik beragama dalam satu payung

agama yang sama. Dalam kenyataannya dua atau lebih orang dengan

agama yang sama belum tentu mempunyai praktik atau cara pengamalan

3
Suhanah, Dinamika Agama Lokal di Indonesia (Jakarta: Kementrian Agama, 2004),
h.161-162.
4

agama, khususnya ritual, yang sama. Keragaman cara beribadah dalam

suatu komunitas agama ini mudah kita dapati dalam setiap masyarakat,

dengan terbentuknya berbagai macam kelompok agama.4

Perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat

guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk

mempertahankan eksistensi kemanusiaan di muka bumi. Hal ini sangat

disenangi oleh setiap pribadi manusia dan merupakan fitrah bagi setiap

makhluk Tuhan. Dengan perkawinan akan tercipta suatu masyarakat kecil

dalam bentuk keluarga hdan dari situlah akan terlahir beberapa suku dan

bangsa.5

Sejarah perkawinan telah tercatat semenjak Nabi Adam turun ke

bumi dan menjalani kehidupan bersama-sama dengan anak cucunya.

Sedangkan perkawinan merupakan satu hal yang paling mendasar dan

sangat di butuhkan dalam kehidupan manusia. Perkawinan merupakan hal

yang fitrah bagi manusia yang sudah tertanam dan terpatri dalam hati dan

perasaan manusia laki-laki dan wanita. Keduanya saling membutuhkan

guna saling mengisi dan membagi perasaan suka maupun duka. Hidup ini

terasa kurang sempurnatanpa kehadiran orang lain disisinya, menjalin

kasih sayang bersamanya, membangun mahligai rumah tangga yang

bahagia dan sejahtera.6

4
Khadziq, Islam Dan Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama Dalam
Masyarakat (Yogyakarta: Teras, 2009), h.42-43.
5
Musifin As’ad dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya (Jakarta: Pustaka
Al-Kaustar, 1993), h. 14.
6
As’ad dan Basyarahil, Perkawinan dan masalahnya, h. 17-18.
5

Selanjutnya, sebelum kita membahas tentang Merariq, terdapat 2

macam penulisan Merariq. Yakni (Merariq7 dan Merari’8) akan tetapi

penulis memilih menggunakan kata Merariq dengan alasan karena lebih

banyak digunakan oleh penulisan karya Ilmiah. Dalam adat sasak

pernikahan sering disebut dengan Merariq. Secara etimologis kata

Merariq diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an berarti Melai’ang

artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan yang masih

diterapkan di Lombok. Apabila membahas perkawinan suku Sasak, tidak

bisa terlepas membicarakan Merariq. Merariq yaitu melarikan anak gadis

untuk dijadikan istri. Begitu mendarah dagingnya tradisi ini dalam

masyarakat, sehingga apabila ada orang yang ingin mengetahui status

pernikahan seseorang, orang tersebut cukup bertanya apakah yang

bersangkutan telah Merariq atau belum. Oleh karenanya tepat jika

dikatakan bahwa Merariq merupakan hal yang sangat penting dalam

perkawinan Sasak.9

Ada dua pandangan yang mengemukakan munculnya tradisi kawin

lari (Merariq) di pulau Lombok, yaitu: Pertama, orisinalitas Merariq.

Kawin lari (Merariq) dianggap sebagai budaya produk lokal dan

merupakan ritual asli (genuine) dan leluhur masyarakat Sasak yang sudah

7
M Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak (Mataram: LEPPIM
IAIN Mataram, 2012).
8
Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi
(Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012).
9
Nur Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 150-

151.
6

dipraktikkan oleh masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali maupun

kolonial Belanda. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak

yang dipelopori oleh tokoh tokoh adat, di antaranya adalah H.Lalu

Mudjitahid, mantan wagub NTB dan kini ketua Masyarakat Adat Sasak

(MAS); dan peneliti Belanda, Nieuwenhuyzen mendukung pandangan ini.

Menurut Nieuwenhuyzen, sebagaimana dikutip Tim Depdikbud, banyak

adat Sasak yang memiliki persamaan dengan adat suku Bali, tetapi

kebiasaan atau adat, khususnya perkawinan Sasak, adalah adat Sasak yang

sebenarnya. Kedua, akulturasi Merariq. Kawin lari (Merariq) dianggap

budaya produk impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur masyarakat

sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya kolonial

Bali. Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan

dipelopori oleh tokoh agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat,

Tuan Guru Haji Saleh Hambali menghapus, kawin lari (Merariq) karena

dianggap manifestasi Hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam. Hal

yang sama dapat dijumpai di desa yang menjadi basis kegiatan Islam di

Lombok, seperti Pancor, Kelayu, dan lain-lain. Menurut John Ryan

Bartholomew, praktik kawin lari dipinjam dari budaya Bali. Analisis

antropologis historis yang dilakukan Clifford Geertz dalam bukunya

Internal Convention in Bali (1973), Hildred Geertz dalam, tulisannya An

Anthropology of Religion and Magic (1975), dan James Boon dalam

bukunya, The Anthropological Romance of Bali (1977), seperti dikutip

Bartolomew, memperkuat pandangan akulturasi budaya Bali dan Lombok


7

dalam Merariq. Solichin Salam menegaskan bahwa praktik kawin lari di

Lombok merupakan pengaruh dari tradisi kasta dalam budaya Hindu Bali.

Karena telah dijelaskan di awal bab 1 bahwa Merariq ini memiliki dua

pandangan yang mengemuka di Lombok, pertama yaitu keorisinalitas

budaya, yaitu merupakan budaya lokal, dan yang kedua itu Merariq

merupakan budaya produk impor, bukan asli (ungenuine) dari leluhur

masyarakat sasak serta tidak dipraktikkan masyarakat sebelum datangnya

kolonial Bali. Berdasarkan kedua argument tentang sejarah kawin lari

(Merariq) di atas, tampak bahwa paham akulturasi Merariq memiliki

tingkat akurasi lebih valid.10

Dalam konteks ini penulis lebih kepada pendapat kedua, yakni

Merariq ini dilatar belakangi oleh pengaruh adat hindu-Bali. Sebagai

bagian dari rekayasa sosial budaya Hindu-Bali terhadap suku Sasak, dalam

suku Sasak dikenal adanya strata sosial yang disebut triwangsa. Strata

sosial ini sudah jelas sama dengan pola Hindu-Bali. 11

Dalam menyikapi tradisi kawin lari, secara garis besar pendapat

masyarakat Sasak terhadap Merariq terjadi menjadi dua, yaitu mereka

yang menyetujuinya dan mereka yang menolaknya. Perbedaan pendapat

kedua kelompok ini masih merupakan rangkaian dari perbedaan pendapat

mereka dalam melihat asal mula kawin lari. Para tokoh adat Sasak yang

berpendapat bahwa kawin lari merupakan budaya asli masyarakat Sasak

tentu mendukung lestarinya tradisi ini. Sedangkan para tokoh agama atau
10
Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak, h. 155-157.
11
John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak (Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 49.
8

tuan guru yang berpendapat bahwa budaya kawin lari merupakan tradisi

masyarakat Hindu Bali yang diikuti oleh masyarakat Sasak sudah tentu

juga lebih menganjurkan untuk meninggalkan tradisi ini. Menurut tuan

guru haji Muharror, meskipun ada perbedaan antara kawin lari di Lombok

dan Bali, dimana bagi umat Hindu, setelah perempuan dilarikan mereka

langsung boleh “bergaul”, sedangkan pada masyarakat Sasak, setelah

pelarian mereka masih tetap di larang “bergaul” sampai terlaksananya

akad nikah secara Islami, tetap saja tradisi kawin lari sebaiknya

ditinggalkan. Menurutnya, budaya kawin lari merupakan salah satu bentuk

tasyabbuh bi al-kuffar (penyerupaan dengan orang-orang kafir) dan umat

Islam dilarang untuk melakukannya. Seharusnya umat Islam lebih

mentradisikan khitbah atau lamaran dari pada kawin lari, namun untuk

mensosialisasikannya harus tetap tanpa mengencam adat istiadat

Merariq.12

Tradisi Merariq ini merupakan bagian dari kebudayaan.

Kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Lombok tidak bisa lepas

dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran utama yang

mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang

dipengaruhi oleh filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam.

Kedua aliran kebudayaan itu nampak jelas pada kebudayaan orang

Lombok. Golongan pertama, di pusat-pusat kota Mataram dan

Cakranegara, terdapat masyarakat orang Bali, penganut ajaran Hindu-Bali

12
Ahmad Fathan Aniq, konflik peran Gender pada tradisi merariq di pulau Lombok
(Surabaya: IAIN Sunan Ampel) h. 33-35.
9

sebagai sinkretis Hindu-Budha. Golongan kedua, sebagian besar dari

penduduk Lombok, beragama Islam dan peri-kehidupan serta tatanan

sosial budayanya dipengaruhi oleh agama tersebut. Mereka sebagian besar

adalah orang Sasak. Merariq sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku

pada suku Sasak di Lombok ini memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi

masyarakat Sasak, Merariq berarti mempertahankan harga diri dan

menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil

mengambil (melarikan) seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi

lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan juga cenderung enggan, kalau

tidak dikatakan gengsi, untuk memberikan anaknya begitu saja jika

diminta secara biasa (konvensional), karena mereka beranggapan bahwa

anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, karena perempuan/gadis di

lombok itu sangat dihargai, ditambah kalau perempuan itu memiliki tahta

atau garis keturunan bangsaawan, tetapi tetap wanita yang tidak memiliki

tahta atau garis keturunan bangsawan tetap sangat berharga, jika diminta

secara biasa, maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga.

Ada ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m

ngendeng anak manok baen (seperti meminta anak ayam saja). Jadi dalam

konteks ini, Merariq dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan

prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari konflik.13

13
Yasin, hukum perkawinan Islam Sasak, h. 152-154.
10

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa perlu

membatasi ruang lingkup kajian dalam pembahasan penelitian ini

agar lebih fokus dan tidak menjadi bias. Oleh karena itu, di sini penulis

telah merumuskan permasalahan yang ingin dikaji lebih dalam terkait

Tradisi Merariq tentang Perkawinan Suku Sasak yang mendiami Pulau

Lombok, yaitu:

1. Bagaimana pola Integrasi Agama dengan Adat suku Sasak?

2. Bagaimana Format Tradisi Perkawinan Merariq di Lombok?

3. Bagaimana Masa Depan Perkawinan Merariq di Lombok dengan

Tuntutan Kehidupan Modern?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pola Integrasi Agama dengan adat

suku Sasak

2. Untuk mengetahui Format Tradisi perkawinan Merariq di Lombok

3. Untuk mengetahui Masa Depan Perkawinan Merariq di Lombok

dengan Tuntutan Kehidupan Modern

Sedangkan kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memberi pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat

tentang Tradisi perkawinan Merariq di Lombok

2. Untuk tambahan koleksi kepustakaan Islam mengenai Tradisi

perkawinan Merariq di Lombok


11

D. Kajian Pustaka

Dalam kajian pustaka ini adalah sebagai penelitian terdahulu yang

mana bukan untuk melihat referensi buku yang ingin kita gunakan tetapi

untuk mengetahui keorisinilan judul yang ingin saya teliti, dan di sisi lain

untuk mengetahui siapakah sarjanah yang pernah membahas tentang judul

ini agar kita bisa melacaknya. Kajian pustaka ini bertujuan untuk pijakan

kita dalam menulis penelitian ini untuk mencari data-data terdahulu. Dan

sementara yang berkaitan dengan judul penulis teliti ini membahas tentang

Tradisi Perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok: Studi Kasus Integrasi

Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional. Dalam penelusuran

penulis tidak ada sarjana yang membahas tentang judul yang bersangkutan

dengan judul ini, sehingga penulis dapat melanjutkannya. Dan ada

beberapa buku yang membahas juga tentang Perkawinan Merariq antara

lain:

1. Tulisan yang pertama adalah buku yang terbit pada tahun 2012 karya

Muhammad Harfin Zuhdi dengan judul “Praktik Merariq: Wajah

Sosial Masyarakat Sasak”. Buku ini menjelaskan tentang adat

perkawinan suku Sasak di Lombok yang sudah mengakar dan

dilakukan secara turun temurun dan hingga kini lebih banyak di

pahami sebagai selarian (kawin lari). Oleh sebab itu tidak heran kalau

Merariq mendapat konotasi yang negatif juga prosesinya yang panjang

dengan melalui delapan tahapan dan memerlukan biaya yang sangat

besar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengantin pria. Seolah


12

sampai timbul asumsi bahwa perempuan disamakan dengan barang

dagangan atau kepemilikian sang pria. Hal ini berpengaruh terhadap

hubungan suami istri dalam rumah tangga dan berdampak pada

pelestarian praktik bias jender.

2. Tulisan yang kedua adalah buku yang terbit pada tahun 2001 karya

dari John Ryan Bartholomew terjemahan dari “Alif Lam Mim:

Reconciling Islam, Modernity and Tradition in an Indonesian

Kampung...” yang kemudian di terjemahkan oleh Imron Rosyidi

dengan judul “Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak”. Buku ini

menjelaskan tentang adat perkawinan suku Sasak di Lombok yang

mana berpijak pada kasus perkawinan Merariq yang dilakukan oleh

Ali dan Windi dikampung Demen. Dengan kondisi kampung Demen

dan aktivitas kedua masjid yaitu Nahdatul Wathan (NW) dan

Muhammadiyah, yang mendamaikan hubungan antara Islam, tradisi,

dan modernitas. Kasus antara Ali dan Windi menjadi pintu masuk

yang sangat pas karena kedua organisasi Islam diatas berbeda

pandangan tentang Merariq. Masjid Al Aziz yang dikuasai oleh

organisasi Muhammadiyah menolak Merariq, sementara masjid Al

Jibril yang dikuasai oleh organisasi Nahdatul Wathan meskipun tidak

menyetujui, namun tidak juga secara aktif melarang jamaahnya

mempraktikan adat tersebut. Karena, letak kedua masjid ini

berdekatan, Merariq menjadi persoalan kontroversial di Demen.


13

3. Tulisan yang ketiga adalah jurnal yang terbit pada tahun 2006 karya

dari M. Yasin dengan judul “Kontekstualisasi Doktrin Tradisional di

Tengah Modernisasi Hukum Nasional: Studi tentang Kawin Lari

(Merariq) di Pulau Lombok”. ada empat prinsip dasar yang terkandung

dalam praktik kawin lari (Merariq) di pulau lombok. Pertama, prestise

keluarga perempuan, dipahami dan diyakini sebagai bentuk

kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Ada

anggapan yang mengakar kuat dalam struktur memori dan mental

masyarakat tertentu di lombok bahwa dengan melarikan berarti anak

gadisnya memiliki nilai tawar ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya,

keluarga perempuan merasa terhina jika perkawinan gadisnya tidak

dengan kawin lari (Merariq). Kedua, superioritas lelaki, inferioritas

perempuan. Satu hal yang tidak bisa dihindarkan dari sebuah kawin

lari (Merariq) adalah seseorang lelaki tampak sangat kuat, menguasai,

dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon istri. Kawin

lari tetap memberikan legitimasi kepada kaum perempuan. Ketiga,

egalitarisnisme, terjadinya kawin lari menimbulkan rasa kebersamaan

di kalangan seluruh keluarga perempuan. Tidak hanya di lingkungan

kelurga tetapi juga kebersamaan melibatkan komunitas besar

masyarakat di lingkungan setempat. Keempat, komersial. Terjadinya

kawin lari hampir selalu berlanjut pada tawar menawar. Apapun

alasannya, pertimbangan-pertimbangan dari aspek ekonomi yang

paling kuat dan dominan. Ada indikasi bahwa orangtua merasa telah
14

membesarkan anak gadisnya sejak kecil hingga dewasa. Untuk itu

semua usaha tersebut telah menghabiskan banyak biaya yang tidak

sedikit. Untuk itu memperoleh sebagai ganti dari calon menantunya.

Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan

orangtua semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Sebaliknya,

semakin rendah tingkat sosial dan tinggkat pendidikan anak serta

orangtua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode

ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif ini adalah sebuah

penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu gejala

sosial, politik, ekonomi, dan budaya, yang mana dalam penelitian

ini penulis berusaha untuk menggambarkan suatu tradisi

perkawinan Merariq di Lombok.14

2. Teknik Pengumpulan Data

Sedangkan untuk mendapatkan sebuah data dalam

melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan dua cara yaitu:

1) Studi kepustakaan (Library research)

Studi kepustakaan ialah mengumpulkan data dengan cara

mencari buku-buku yang sesuai dengan tema yang kita buat

14
Mastuhu, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Grafindo

Persada, 2006) h. 29.


15

dengan tujuan sebagai dasar untuk mendapatkan data-data baik

itu data primer maupun data skunder. Sumber studi

kepustakaan ini di dapatkan dari buku, majalah, artikel, jurnal,

dll.

2) Penelitian Lapangan (Field research)

Metode penelitian lapangan ini yang mengadakan

penelitian lapangan terhadap ritual perkawinan Merariq

khususnya pada suku Sasak dengan pendekatan Kualitatif.

Yang mana dibagi menjadi 3 cara yaitu:

a. Observasi

Observasi atau pengamatan langsung di lakukan

untuk memperoleh fakta nyata tentang tradisi upacara

perkawinan suku sasak (Merariq) dan hal-hal yang

berkaitan kemudian melakukan pencatatan di salah satu

sebuah Desa Sade yang terletak di bagian Lombok

Tengah, Nusa Tenggara Barat. Kemudian penulis

mewawancarai salah satu pemangku adat Sasak yang

berada di tempat observasi Desa Sade.

Kemudian observasi juga di lakukan di jalan raya

cakranegara yang mana, sedang diadakan nyongkolan

(arak-arakan pengantin dari rumah pria kerumah wanita

dengan di iringi musik khas tradisional suku Sasak).

Metode ini di lakukan dengan cara terjun langsung ke


16

lapangan untuk melakukan pengamatan tentang pelaksaan

upacara perkawinan suku Sasak (Merariq), yang meliputi

proses upacara, perlengkapan upacara, dan tempat

penyelenggaraan upacara. Agar terpenuhi standar ilmiah

maka peneliti harus mampu masuk di dalamnya untuk

berperan serta dalam ritual adat setempat.15

b. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)

Wawancara adalah metode pengumpulan data

dengan melakukan dialog atau percakapan terkait dengan

tema penelitian kepada informan.16 Metode ini

dimaksudkan untuk memperoleh data primer, karena data

ini diperoleh langsung melalui wawancara dengan pelaku

upacara. Adapun tokoh upacara, pemimpin/pemangku adat

perkawinan Merariq, kedua pasangan pengantin, dan

berbagai pihak yang bersangkutan.

c. Dokumentasi

Dalam penelitian ini penulis mengkaji bahan tertulis

dan tidak tertulis yang bertujuan untuk mendapatkan data

skunder sebagai pelengkap dari kedua data diatas. Sumber

tertulis tersebut berupa data monografi dan arsip-arsip

yang ada relevansinya dengan penelitian, sedangkan

15
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2006), h. 169.
16
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), h. 186.
17

sumber tidak tertulis brupa foto-foto dan video tentang

praktik terjadinya Tradisi Perkawinan Merariq.

3) Analisis data

Data yang terkumpul selanjutnya perlu diolah dan dianalisis

untuk menjawab masalah penelitian yang mana analisis data

yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif. Penulis menggambarkan dan menjelaskan mengenai

tentang situasi yang terjadi dalam tempat penelitian sehingga

nantinya akan memperoleh deskripsi yang sistematis dan

fakta-fakta dalam tempat penelitian.17

4) Pendekatan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan

beberapa pendekatan, pendekatan-pendekatan tersebut adalah:

a. Pendekatan Antropologis

Pendekatanan antropologis adalah dasar

filosofis yang fokus pembahasannya berkaitan

dengan kegiatan manusia, baik secara normatif

maupun historis. Itulah mengapa penelitian ini perlu

sekali dikaitkan dengan penelitian saya karena

peduli terhadap tindakan manusia di masa lalu dan

kelanjutannya. Untuk menghasilkan gambaran yang

tepat tentang fenomena antropologis peneliti

17
Sumardi Suryabrata, metodologi penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998)
h.18.
18

menggunakan pendekatan induktif, dalam lingkup

yang tidak terlalu luas, fleksibel, dan kontekstual.18

b. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan Sosiologis dibedakan dari

pendekatan studi Agama lainnya karena fokus

perhatiannya pada interaksi antara agama dan

masyarakat. Beranggapan dasar perspektif

sosiologis adalah Concern-nya pada struktur sosial,

konstruksi pengalaman manusia, dan kebudayaan

termasuk Agama.19

c. Pendekatan Historis

Pendekatan Historis ialah salah satu

pendekatan yang digunakan untuk memahami gejala

sosial keagamaan. Pendekatan ini cukup populer di

kalangan para ahli di lingkungan Departemen

Agama. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa

realitas sosial yang terjadi sekarang ini sebenarnya

merupakan hasil proses sejarah yang terjadi sejak

beberapa tahun, ratusan tahun, bahkan ribuan tahun

18
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2006) h. 15.
19
Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: PT LkiS Printing
Cemerlng, 2002) h. 271
19

yang lalu.20 Maka dari itu penulis juga

menggunakan pendekatan ini.

d. Pendekatan Teologis

Pendekatan Teologis ini ialah merupakan

pendekatan yang paling dominan dan paling

berpengaruh dalam Studi Agama dan Studi Agama-

agama. Inilah pendekatan yang bersifat normatif

dan subyektif. Dengan pendekatan ini seorang

peneliti melakukan satu dari dua hal: (1) studi

internal. Dalam hal ini, seorang sarjana/peneliti

agama adalah orang yang berusaha secara aktif

dalam kegiatan ilmiahnya untuk mrlrstarikan dan

mempromosikan keunggulan agamanya serta

mempertahankannya dari ancaman atau serangan

dari orang lain. (2) studi eksternal. Dalam hal ini,

soeang peneliti/ penganut agama tertentu melakukan

kajian terhadap agama/keyakinan orang lain untuk

menilai dan menghakiminya dengan ukuran agama

sang peneliti.21

F. Sumber Data

Sumber data ialah dari mana kita mendapatkan sebuah data

tersebut, dalam hal ini peneliti mempunyai dua sumber data yang pertama

20
Mastuhu, Metodologi Penelitian Agama, h. 149.
21
Media Zainul Bahri, Aneka Pendekatan Studi Agama-agama (Jakarta: 2014), h.8.
20

sumber data primer dan sumber data skunder. Sedangkan sumber sementara

yang peneliti miliki:

a. Sumber Primer adalah data yang sebenarnya langsung dengan

tema penelitian yang sumbernya berupa:

1. Nur Yasin. Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN

Malang Press, 2008.

2. Ahmad Fathan Aniq. Konflik Peran Gender pada Tradisi

Merariq di Pulau Lombok, Surabaya: IAIN Sunan Ampel

3. M. Harfin Zuhdi. Praktik Merariq: Wajah Sosial

Masyarakat Sasak, Mataram: LEPPiM IAIN Mataram,

2012.

4. John Ryan Bartholomew. Alif Lam Mim: kearifan

Masyarakat Sasak, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,

2001.

5. Melakukan wawancara mendalam dengan pemimpin/

pemangku upacara adat perkawinan dan masyarakat Sasak.

b. Sumber Sekunder adalah data yang relevan tapi tidak

berhubungan langsung yang didapat melalui literatur

kepustakaan (Library Research), seperti buku, jurnal, arsip,

ensiklopedi, majalah, dan sumber kepustakaan lainnya yang

berhubungan dengan penelitian ini.


21

G. Sistematika Penulisan

Agar mempermudah dalam pembahasan maka dari itu disusun

sistematika penulisan bab per bab.

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab I ini terdiri dari tujuh sub bab yang terdiri dari:

Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan kegunaan

Penelitian, Kajian Pustaka, Metodologi Penelitian, Sumber

Data, dan Sistematika Penulisan.

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUKU SASAK

Pada Bab II ini akan menguraikan Sejarah Singkat Suku

Sasak di Lombok, Letak Geografisnya serta membahas

tentang sistem keyakinan yang dianut oleh masyarakat

Sasak yang terdiri dari Akidah Masyarakat Sasak terhadap

Pengetahuannya kepada Allah, Pendekatan Ibadah yang

dilakukan Masyarakat Sasak kepada Allah serta akhlak

Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosialnya.

BAB III KEBUDAYAAN

Pada Bab III ini akan menguraikan beberapa teori budaya

yang mana dalam Tradisi Merariq melahirkan Tantangan

yang menghasilkan Kreasi Budaya dan dalam Tradisi

Merariq menimbulkan Karya yang menghasilkan Inovasi

Budaya dan akhir dari Tujuan Budaya Merariq

menghasilkan nilai-nilai Budaya.


22

BAB IV FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN

BUDAYA DALAM TRADISI MERARIQ

Pada Bab IV ini akan menguraikan tentang Tujuan Merariq

itu seperti apa, alasan Merariq itu bagaimana dan perspektif

Merariq menurut pandangan masyarakat Sasak maupun

diluar Sasak.

BAB V PENUTUP

Penutup yang terdiri dari: Kesimpulan dan Saran.


BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SASAK

A. Sejarah Singkat Suku Sasak

Sasak secara etimologi, berasal dari kata “sah” yang berarti “pergi”

dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu dapat disimpulkan

bahwa “sasak” memiliki arti “pergi ke tanah leluhur”. Dari pengertian

inilah diduga bahwa leluhur orang Sasak itu adalah orang Jawa. Bukti

lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak

disebut sebagai “Jejawan”, merupakan aksara yang berasal dari tanah

Jawa, pada perkembangannya, aksara ini dipersepsikan dengan baik oleh

para pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusastraan Sasak.1

Pendapat lain beranggapan bahwa kata Sasak berasal dari kata sak-

sak yang dalam bahasa Sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan

dengan kedatangan nenek moyang orang Sasak dengan menggunakan

sampan dari arah barat. Sumber lainnya yang sering dihubungkan dengan

etimologi Sasak adalah kitab Nagarakertagama yang memuat catatan

kekuasaan Majapahit abad ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca. Dalam kitab

Nagarakertagama terhadap ungkapan “lombok sasak mirah adi”,

pemaknaan ini merujuk kepada kata Sasak (sa-sak) yang diartikan sebagai

satu atau utama, Lombok (Lomboq) dari bahasa kawi yang dapat diartikan

sebagai jujur atau lurus, mirah diartikan sebagai permata dan adi bermakna

baik. Maka, Lombok Sasak Mirah Adi berarti kejujuran adalah permata

1
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.

23
24

kenyataan yang baik atau utama. Masyarakat suku Sasak merupakan

masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan mempertahankan

kebudayaan sampai saat ini. Kini, suku Sasak bukan hanya sebuah

kelompok masyarakat tetapi juga merupakan salah satu etnis yang

melambangkan kekayaan tradisi yang dimiliki oleh Indonesia.2

Sasak adalah penduduk asli dan kelompok etnik mayoritas

Lombok. mereka meliputi lebih dari 90% dari keseluruhan penduduk

Lombok. kelompok-kelompok etnik lain seperti Bali, Sumbawa, Jawa,

Arab, dan Cina adalah para pendatang. Diantara mereka, orang Bali

merupakan kelompok etnik kedua terbesar setelah Islam di pulau Lombok.

Orang Sumbawa terutama bermukim di Lombok Timur, dan orang-orang

Arab di Ampenan. Lingkungan pemukiman masyarakat Arab Ampenan

disebut sebagai kampung Arab Ampenan. Orang-orang Cina, mayoritas

adalah pedagang yang tinggal di pusat-pusat pasar, seperti Ampenan dan

Cakra. Orang-orang Bugis, khususnya yang hidup sebagai nelayan, tinggal

di kawasan pantai Tanjung Ringgit dan Tanjung Luar di Lombok Timur.

Kampung Jawa atau pemukiman orang Jawa terletak di Praya, Lombok

Tengah.3

B. Letak Geografis

Diantara kepulauan Indonesia, Lombok terletak disebelah timur

Bali dan disebelah barat Sumbawa. Pada bagian Barat, terletak selat

2
Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah: ditinjau dari aspek Budaya (Mataram:
2005), h. 3.
3
Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000),
h. 6-7.
25

Lombok dan pada bagian Timur, terdapat selat Alas. Disebelah utara

Lombok juga berbatasan dengan laut Jawa dan disebelah timur lautan

Indonesia di bagian selatannya. Lombok diantara pulau-pulau

tentangganya, Bali dan Jawa disebelah baratnya yang mendapatkan lebih

banyak curah hujan dan disebelah timurnya, Sumbawa dan NTT, yang

realif tandus dan kering. Pada tanggal 14 Agustus 1958, Propinsi Sunda

Kecil dipisahkan menjadi tiga propinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB),

dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Bali menjadi propinsi tersendiri dengan

ibukotanya Denpasar yang terletak di Bali Selatan. Lombok dan Sumbawa

disatukan menjadi propinsi NTB (Nusa Tenggara Barat) dengan

ibukotanya Mataram yang terletak di Lombok Barat. Propinsi NTT (Nusa

Tenggara Timur) terdiri dari gabungan seluruh pulau di kawasan Timur,

dari Flores hingga Timor (termasuk pulau-pulau yang sangat kecil) dengan

Kupang sebagai ibukotanya.4

Propinsi NTB terdiri dari enam kabupaten dan satu kota. Enam

kabupaten itu adalah Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur

yang terletak di Pulau Lombok dan Sumbawa, Dompu, dan Bima yang

terletak di Pulau Sumbawa. Mataram merupakan salah satu kabupaten di

NTB, yang juga merupakan ibukota propinsi dan kabupaten Lombok

Barat. NTB merupakan daerah dengan luas sekitar 2,015,315 kilometer

dan mempunyai penduduk sekitar 3,369,649 yang tersebar secara tidak

merata di keenam kabupatennya. Lebih dari 70% atau sekitar 2,4 juta

4
Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 4-5
26

penduduk NTB bermukim di Lombok. Lombok sendiri merupakan

kawasan dengan luas 470,000 kilometer atau hampir seperempat dari luas

propinsi NTB. Lombok Barat dengan penduduk berjumlah 859,273 orang

merupakan kabupaten dengan penduduk paling padat. Lebih dari 83%

penduduk NTB tinggal di pedesaan dan hidup dengan bertani. Dan lebih

dari 36% penduduk Lombok Barat bertempat tinggal di kota-kota.5

Orang sasak mendiami pulau Lombok di deretan pulau-pulau Nusa

Tenggara (Sunda Kecil). Jumlah populasinya sekitar 1,8 juta jiwa. Bahasa

Sasak terdiri atas beberapa dialek, yaitu dialek Sasak Pejanggi, Sasak

Selaparang, Sasak Bayan, Sasak Tanjong, Sasak Punjut, Sasak Sembalun,

Sasak Tebanggo, dan Sasak Pengantap. Bahasa Sasak juga mengenal

tingkatan, yaitu halus dalam, halus biasa, dan Kasar. Peneliti akan

membahas tentang Sasak Punjut, yang mana ada di desa Rembitan

kecamatan Punjut ini terdapat Dusun Sade yang terletak di kecamatan

Punjut Lombok Tengah. Mengapa peneliti membahas tentang Sasak

Punjut, karena salah satunya penulis juga penasaran akan hal tradisi-tradisi

yang ada di sasak Punjut ini dan juga sebelumnya penulis mengetahui desa

sade tersebut, penulis sempat berwisata ke Lombok dan berinisiatif untuk

mempelajari dan mendalami apa itu desa sade dan sasak Punjut yang ada

di Lombok dan juga sasak Punjut yang masih asli sampai saat ini yaitu

tempat tinggalnya, juga beberapa tradisi yang masih dijalankannya,

walaupun hanya sebagian kecil tradisi yang dijalankan sampai saat ini,

5
Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 6.
27

karena pada saat ini sudah hampir menjalankan Islam sempurna sekarang

akibat pendakwah Islam yang mulai menyebar di Nusa Tenggara Barat.6

Dusun Sade atau Desa Sade terletak di wilayah Desa Rambitan,

kecamatan Punjut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Letak kampung ini 50 km arah Tenggara Kota Mataram (Ibu Kota NTB)

dan 19 km dari kota Praya (Ibu Kota Lombok Tengah). Desa Sade

memiliki Luas 50 Ha. Secara geografis pada koordinat 08 derajat 50 LS

dan 116 derajat BT. Desa Sade terletak pada ketinggian120-126 m di atas

permukaan laut, terletak pada sebuah panteisme bukit, di sebelah Utara

dan Selatan terdapat persawahan dan ladang penduduk. Batas wilayah

yaitu Sebelah Barat Dusun Penyalu, Sebelah Utara Dusun Selak, sebelah

Selatan Dusun Selemang.7

C. Sistem Keyakinan yang dianut Masyarakat Sasak

Sebelum kedatangan pengaruh asing di Lombok, Boda merupakan

kepercayaan asli orang Sasak. Orang Sasak pada waktu itu, menganut

kepercayaan ini, disebut sebagai Sasak Boda. Kendati demikian agama ini

tidaklah sama dengan Buddhisme karena ia tidak mengakui Sidarta

Gautama atau Sang Buddha sebagai figur utama pemujaannya maupun

terhadap ajaran pencerahannya. Agama Boda dari orang Sasak asli

terutama ditandai oleh animisme dan pemujaan dan penyembahan roh-roh

leluhur dan berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari

6
Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional Masyarakat Sasak (NTB: KSU Primaguna,
2012) , h. 5-6.
7
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
28

praktik keagamaan Sasak Boda. Berbagai kekuatan asing yang

menaklukkan Lombok selama berabad-abad, sangat menentukan cara

orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar.8

Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di wilayah

pegunungan utara dan di lembah-lembah pegunungan Lombok bagian

selatan. Kelompok Boda ini konon adalah orang-orang Sasak yang dari

segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut kepercayaan asli. Mereka

menyingkir ke daerah pegunungan melepaskan diri dari Islamisasi di

Lombok.9

Kemudian kerajaan Majapahit masuk ke Lombok dan membawa

serta budayanya. Hindu-Buddha Majapahit pun kemudian dikenal oleh

suku Sasak. Di akhir abad ke 16 hingga abad ke 17 awal perkembangan

agama Islam menyentuh pulau Lombok. Salah satunya karena peran Sunan

Giri. Setelah perkembangan Islam, kepercayaan suku Sasak sebagian

berubah dari Hindu menjadi penganut Islam. Berdasarkan sistem

kepercayaan suku Sasak pada masa-masa selanjutnya, kemudian dapat

diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan Islam (Wetu

Lima).10

Sementara sinkretisme Islam wetu telu kini berkembang terbatas di

beberapa bagian utara dan selatan Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran

tinggi Sembalun, Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah,

8
Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 8
9
Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 11
10
Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah, h. 6
29

dan Tanjung di Lombok Barat. Istilah Islam wetu telu diberikan karena

penganut kepercayaan ini beribadah tiga kali di bulan puasa, yaitu sholat

pada waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Penganut kepercayaan wetu

telu melakukan ibadah tiga waktu itu, konon pada saat penyebaran agama

Islam di Nusa Tenggara Barat atau di Lombok itu baru mengajarkan

setengahnya. Jadi belum sempurna penyebarannya para pendakwah Islam

yang datang ke Lombok sudah pergi meninggalkan Lombok. jadi memang

yang didapat oleh orang-orang terdahulu orang sasak seperti itu, sampai

saat ini pun orang Sasak memahaminya seperti itu. Di luar bulan puasa,

mereka hanya satu hari dalam seminggu melakukan ibadah, yaitu pada

hari Kamis dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Salah satu alasan mereka

melakukan ibadah dengan menitipkan kepada pemangku karena memang

begitulah adat yang mereka yakini, bahwa beribadah mereka harus

diwakili oleh pemangku atau orang yang mempunyai ilmu lebih tinggi

dibandingkan orang-orang biasa. Kalau di ibaratkan pada Islam, yaitu

kepada kiyai atau pemangku. Untuk urusan ibadah lainnya biasanya

dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan penghulu. Para

penganut Islam Wetu telu membangun Masjid (tempat ibadah) mereka

dengan gaya arsitektur khas suku Sasak; dari kayu dan bambu, dengan

bagian atapnya terbuat dari jenis alang-alang atau sirap dari bambu.

Dengan denah berbentuk persegi empat dan bagian atap seperti piramid

bertumpang yang disangga dengan tiang-tiang, beberapa ahli menilai

arsitektur masjid ini mirip dengan Arsitektur masjid lama yang ada di
30

Ternate dan Tidore.11

a. Akidah Masyarakat Sasak terhadap Pengetahuannya kepada Allah

Awalnya Agama wetu telu memiliki ciri sama dengan Hindu-Bali

dan Kejawen. Kemudian mengapa saat ini orang sasak sudah beralih

kepada Islam sempurna seperti sekarang, karena pendakwah Islam

sekarang yang sudah berusaha menyebarkan Islam yang benar dan

sempurna yang orang Islam yakini seperti sekarang ini. Pada

perkembangannya wetu telu justru lebih dekat dengan Islam. Dari peneliti

temui bahwan sekarang hampir semua suku Sasak bahkan di desa sade

kecamatan Punjut sudah menganut Agama Islam lima waktu dan

meninggalkan wetu telu sepenuhnya. 12

Penganut paham Islam wetu telu ini tersebar di beberapa desa dan

kampung di pulau Lombok. Secara prinsipil tidak ada perbedaan paham

antara wetu telu dengan wetu lima, mengapa karena meski wetu telu lebih

percaya kepada pemangku adat dan wetu lima lebih kepada ajaran agama,

tetapi tetap saja, sama sama berkeyakinan kepada yang satu yaitu

Tuhannya. Perbedaan ajaran yang diikuti sampai saat ini masih

berkeyakinan yang disebut kepada Tuhannya, dalam wetu telu hanya cara

penyampaiannya saja melalui pemimpin mereka atau kepada kepala adat

pemangku, sedangkan wetu lima atau Islam sekarang lebih kepada pribadi

individual manusianya masing masing. Beberapa ajaran Islam ada yang

11
H. Masnun, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Al-Madjid: Gagasan dan Gerakan
Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat (Mataram: Pustaka Al-Miqdad, 2007), h.53.
12
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
31

mirip dengan wetu telu, yaitu penyampaian ibadahnya melalui pemangku,

misalnya kalau di Islam melalui Ustad, fungsinya Ustad yaitu sebagai

penghubung antara umatnya dalam suatu hal, semisal dalam tradisi Islam

di Indonesia ada yang namanya Akikah atau Selametan pengajian, acara

seperti itu diharuskan ada pak ustad yang memimpin doa-doa dalam acara

tersebut. Perbedaannya hanya terletak pada tata cara pelaksanaan syariat

atau praktik ibadah sehari-hari. Islam seperti yang diamalkan oleh wetu

telu lebih dipengaruhi oleh adat istiadat setempat. Di Lombok Barat,

praktik ajaran Islam lebih dipengaruhi oleh kepercayaan Hinduisme.

Sedangkan di Lombok Timur dan Tengah, Islam yang dipraktikkan oleh

paham wetu telu sudah dianggap sesuai dengan ajaran Islam. Maksud

paham wetu telu sudah dianggap sesuai dengan ajaran Islam disini, ialah

orang sasak pada saat ini walaupun mereka masih meyakini wetu telu

tetapi pada kenyataannya sudah menjalankan wetu lima, menjalankan

syariat Islam pada masa sekarang ini. Mereka paham wetu telu hanya

meyakini wetu telu hanya karena menghargai tradisi keturunan dari nenek

moyangnya saja.13

Secara teologis wetu telu sedikit memiki perbedaan dengan konsep

Islam. Ia percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kepada nabi dan rasul,

malaikat, hari akhir, serta percaya adanya surga dan neraka. Hanya saja

kepercayaannya sebatas yang mereka ketahui, misalnya mereka hanya

mengetahui tiga malaikat yakni Malaikat Izrail, Mungkar, dan Nakir.

13
H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.55.
32

Mereka dikenal sangat fanatik terhadap Nabi Muhammad SAW,

sedangkan nabi-nabi yang lain tidak banyak disebut. Mereka membaca dua

kalimat syahadat yang dalam istilah wetu telu yang disebut nyadat.14

b. Pendekatan Ibadah yang dilakukan Masyarakat Sasak kepada Allah

Dalam siklus hubungan ini status pemangku dan dewa berfungsi

sebagai penghubung. Jika seseorang melaksanakan nazar, misalnya

memohon keselamatan, sembuh dari penyakit dan sebagainya, mereka

minta kepada pemangku untuk mengantarkan dan memimpin upacara ke

tempat tertentu dan kepada dewa mana untuk permohonan tersebut

disampaikan. Pemangku adalah orang yang dipilih oleh masyarakat untuk

menjadi kepala atau ketua adat (pemangku adat). Pemangku juga bisa di

anggap sebagai pemangku jika usianya lebih tua, kemudian memiliki

aspek ilmu agama yang lebih dan juga berwibawa. Permohonan dimaksud

kemudian dihubungkan kepada Tuhan oleh dewa karena Tuhanlah yang

dapat memutuskan segala sesuatunya. Jadi, pemangku dan dewa berfungsi

perantara dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam pola beribadah

Pemangku mengantarkan manusia berhubungan kepada Tuhannya.

Sebagai petugas, seluruh tugas-tugas dan kewajiban peribadatan dari

Tuhan, menurut paham Islam wetu telu cukup dikerjakan oleh para Tuan

Guru atau kyai. Oleh karena itu tugasnya yang tergolong berat, maka Tuan

Guru atau Kyai cukup dihormati. Masyarakat setempat sangat patuh

terhadap sikap dan nasehatnya. Itulah yang menjadi pendekatan ibadah

14
Sumber data dari Kejaksaan Negeri Nusa Tenggara Barat, Data-data tentang Ajaran
Wetu Telu di Nusa Tenggara Barat (Mataram: tanggal 30 maret 2017).
33

masyarakat sasak terhadap Tuhannya.15

Meskipun sebagian masyarakat sasak ada yang masih mempercayai

wetu telu, ada juga yang sudah meninggalkannya dan mengerjakan waktu

lima yaitu Islam sempurna. Mereka hanya mempercayai untuk tetap

menghormati leluhur Budaya mereka tentang wetu telu tersebut. Dan wetu

telu itu mereka tidak pernah mengerjakannya, karena setiap ibadah wetu

telu itu hanya di lakukan oleh pemimpin seperti Pemangku Adat yang

sudah dijelaskan diatas, jadi ibadah wetu telu dahulu dilakukan hanya

diwakilkan saja oleh pemimpinnya dan jamaahnya hanya meyakini dan

mempercayainya saja. Dan tidak ada resiko jika paham wetu telu tidak

mengikuti ajaran leluhurnya, akan tetapi jika tidak mengikuti atau

meyakininya lagi, tradisi adat keturunan mereka akan benar benar punah

seiring waktu berjalan dengan berjalannya para pendakwah Islam yang

mulai banyak menyebarkannya ke daerah Lombok. Itulah masyarakat

sasak yang masih menganut wetu telu, beda halnya yang sudah

meninggalkannya dan mengerjakan waktu lima, mereka hanya percaya saja

tidak mengerjakannyanya. Dengan begitu mereka tetap mempercayai

adanya Allah, taat kepada Allah, percaya adanya Nabi Muhammad SAW,

dan juga percaya manusia pertama itu adalah Adam. Masyarakat sasak

tetap mengerjakan sholat lima waktu, berpuasa, bersedekah, dan

sebagainya seperti Islam pada umumnya tetapi yang membedakan mereka

masih melakukan ritual-ritual adat budaya peninggalan nenek moyang

15
H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.65.
34

mereka16

c. Akhlak Masyarakat Sasak terhadap Perilaku Sosial

Sejak semula, manusia tidak pernah dapat hidup berdiri sendiri,

melainkan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain saling

membutuhkan dan hidup dalam suatu kelompok sosial atau homoni socius.

Dalam kehidupan sosial, proses interaksi antara mereka terus terjadi.

Menurut Soejono Soekanto, terjadinya interaksi sosial di dahului dengan

adanya kontak sosial (social contact) dan komunikasi. Lebih lanjut

dijelaskan bahwa terjadinya suatu kontak tidak semata-mata tergantung

dari tindakan, tetapi tanggapan terhadap tindakan itu. Tanggapan terhadap

tingkah laku orang atau kelompok kemungkinan besar terjadi perbedaan.

Dengan demikian komunikasi memainkan peranan penting untuk

menjembatani perbedaan menjadi kerjasama antara orang perorangan atau

antara kelompok manusia.17 Dalam bagian ini akan disampaikan nilai

budaya yang berhubungan dengan hakikat hubungan manusia dengan

sesama manusia yang tercermin dalam ungkapan-ungkapan tradisional

masyarakat Sasak. Penyampaian nilai-nilai yang dimaksud akan

dipaparkan berdasarkan klasifikasi ungkapan-ungkapan tersebut seperti

pengklasifikasian yang telah dihasilkan:

a. Persatuan kelompok

Terdapat dua nilai hakikat hubungan manusia dengan sesama

manusia yang saling berlawanan yang tercermin dalam ungkapan pertama


16
H. Masnun, Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam, h.68.
17
Muhammad Ahyar Fadly, Islam Lokal: Akulturasi Islam di Bumi Sasak (Lombok:
STAIIQH Press, 2008), h. 67-68.
35

dalam kelompok ini. Nilai pertama bersifat positif dan nilai kedua

mengarah ke sifat negatif. Penyebutan nilai yang positif disebabkan karena

ungkapan ini mencerminkan persatuan dalam satu kelompok masyrakat

etnis sasak yang begitu kuat. Anggota individu dalam kelompok tersebut

merasa senasib seperjuangan. Sebagai konsekuensinya, apapun yang

terjadi suatu masalah mereka akan saling membantu atas nama kelompok.

Namun begitu, persatuan yang terlalu kuat berujung pada munculnya ego-

kelompok yang berlebihan, yaitu sifat negatif. Hal ini didasarkan pada

bukti empiris yang terjadi selama ini di beberapa daerah lombok.

Pertikaian atau bentrok fisik antarkelompok masayrakat dalam etnis Sasak

kebanyakan dipicu oleh hal sepele. Ungkapan ini memiliki nilai yang

berhubungan dengan hakikat hubungan manusia dengan sesama manusia

yang hampir sama. Mereka akan selalu saling membantu satu sama lainnya

baik suka maupun duka. Dalam keadaan suka bisa dilihat pada acara

perkawinan yang mana satu anggota kelompok akan membantu anggota

lain dalam mempersiapan acara, dari berlangsungnya acara hingga akhir.

Begitu pula pada saat duka, anggota kelompok akan membantu anggota

kelompok lain ketika sedang tertimpa musibah baik secara fisik, material,

dan spiritual. Dengan kata lain, ungkapan ini mencerminkan hubungan

antarindividu yang kuat dalam kelompok masyarakat Sasak.18

b. Ikatan persatuan

Bila lisan sudah dipercaya dan menjadi ikatan dalam suatu

18
Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional, h. 48-49
36

kelompok masyarakat berarti hubungan antar individu dalam kelompok

tersebut sangat kuat. Hal inilah yang dicerminkan oleh kelompok ini.

Dengan demikian nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan

antarsesama manusia dalam masyarakat Sasak begitu kuat mengingat

mereka sudah saling percaya yang berpegang pada ucapan yang mereka

ujarkan.19

Nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan

sesama manusia yang terkandung dalam kelompok ungkapan ini adalah

usaha menjaga hubungan yang baik dengan individu dan masyarakat

sekitarnya. Antar individu dalam masyarakat sasak memiliki perasaaan

saling memiliki, suku bangsa Sasak, satu sama lainnya. Dan salah satu dari

kelompok etnis sasak yang saya ambil adalah Desa Sade asli suku Sasak,

maka sosialisasi mereka tidak jauh-jauh dari lingkungan sekitar kampung

itu. Tetapi mereka tetap berinteraksi di luar dari kampung tersebut. Karena

bagaimanapun tetap satu komunitas masih membutuhkan bantuan dan

interaksi sosial di luar dari komunitasnya tersebut. Dengan demikian maka

masyarakat Sade pun ada komunikasi antarkelompok terhadap masyarakat

di luar kampung Sade.20

19
Lalu Erwan Husnan, Ungkapan Tradisional, h. 49-50.
20
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
BAB III

KEBUDAYAAN

A. Tantangan dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Kreativitas

Kebudayaan

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil

karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang diperoleh

melalui belajar. Kebudayaan bisa dikatakan sebagai suatu sistem dalam

masyarakat di mana terjadi interaksi antar individu/kelompok dengan

individu/kelompok lain sehingga menimbulkan suatu pola tertentu,

kemudian menjadi sebuah kesepakatan bersama (baik secara langsung

ataupun tidak langsung).1

Kreativitas manusia sepanjang sejarah meliputi banyak kegiatan,

diantaranya dalam organisasi sosial dan ekonomi, ilmu pengetahuan,

teknologi, dan proses simbolis2. Uraian ini memusatkan perhatian pada

proses simbolis, yaitu pada kegiatan manusia dalam menciptakan makna

yang berujuk pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari.

Proses dari simbolis tersebut meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni,

ilmu, sejarah, mitos, dan bahasa.3

Dalam masyarakat patrimonial, misalnya akan ada dikotomi sosial

budaya antara golongan bangsawan dan petani. Ada budaya istana dan ada

1
Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultural di Indonesia (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2015), h.26.
2
Simbolis Ialah Lambang. kalau proses simbolis ialah peristiwa yang sedang terjadi dan
akan menjadi suatu lambang.
3
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1987),
h. 3.

37
38

budaya rakyat yang masing-masing mempunyai lembaga, simbol dan

normanya sendiri. Demikian juga pada kategori kapitalis dikenal adanya

dikotomi budaya dalam budaya tinggi dan budaya populer, dengan

lembaga, simbol dan norma sendiri-sendiri. Dalam hal ini perlu diingat

bahwa sekalipun dikotomi itu ada, ada pula mobilitas budaya, ke atas atau

ke bawah, yang menyebabkan baik lembaga, simbol dan normanya tentu

saja mengalami transformasi. 4

Mengapa sebuah proses simbolis mengalami transformasi,

merupakan bahan studi tentang anomali budaya. Kebudayaan dapat

menjadi tidak fungsional jika simbol dan normanya tidak lagi didukung

oleh lembaga-lembaga sosialnya, atau oleh modus organisasi sosial dari

budaya itu. Johns menyatakan bahwa Indonesia terdapat ketegangan antara

tradisi historiografi Melayu yang cenderung bersifat mitis dengan tradisi

historiografi Islam yang pada dasarnya realistis. Perbedaan tradisi budaya

ini menerangkan juga ketegangan antara istana dan pusat-pusat penyebaran

agama pada awal berdirinya kerajaaan Mataram.5

Dalam Tradisi Perkawinan Merariq tantangan yang menghasilkan

kreasi disini ialah cara meminta untuk dinikahkannya yaitu dengan dibawa

lari atau dalam bahasa sasak di sebut Merariq. Dalam Merariq ada 2 versi

yang mana Merariq atau kawin lari yakni perkawinan yang terjadi dengan

cara melarikan si gadis tanpa sepengetahuan orang tua si gadis karena

merupakan keputusan terakhir yang diambil oleh calon pengantin laki

4
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, h. 11.
5
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, h. 7.
39

apabila tidak mendapat restu dari orang tua calon pengantin wanita. Yang

kedua yaitu dengan persetujuan orangtua dan tetap melakukan Merariq

karena merupakan adat istiadat. 6

Dalam tradisi adat Sasak, melakukan perkawinan itu harus dengan

Merariq jika tidak maka justru orang tua perempuan merasa tersinggung

jika anak perempuannya tidak dilarikan. Biasanya kawin lari di lakukan

pada malam hari antara waktu magrib dan isya, dimana si gadis dijemput

pada tempat yang telah disepakati kedua calon pengantin. Dan selanjutnya

dalam rombongan penjemput, ketentuan adat mengharuskan keikutsertaan

seorang wanita “suci” dalam arti telah memasuki masa menopause. Ini

bertujuan, agar ada yang menemani si gadis dalam proses perjalanan

“kawin lari”, sehingga tidak terjadi sesuatu di luar norma susila dan demi

menghindari kecurigaan masyarakat.7

Pada masyarakat Sasak, sebelum melaksanakan perkawinan atau

melakukan Merariq ada beberapa proses yang harus dilalui sebagai sarana

saling kenal mengenal antara laki-laki dan perempuan. Berikut

penjelasannya:

1. Midang (meminang), yaitu kunjungan secara langsung oleh laki-laki

kerumah perempuan yang diidam-idamkan dalam rangka saling

mengenal lebih mendalam tentang keberadaan mereka masing-

masing untuk selanjutnya bersepakat untuk mengikat hubungan

6
Merariq bisa dikatakan Anomali yang artinya bisa dikatakan suatu penyimpangan tetapi
masih bisa di terima.
7
Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi Sasak (NTB:
KSU Primaguna, 2012), h. 5-7.
40

pertalian yang lebih mendalam dalam bentuk perkawinan. Proses

peminangan diatur oleh adat yang disebut “awig-awig”, yaitu

aturan-aturan pelaksanaan adat yang diberlakukan dan berdasarkan

kesepakatan bersama warga setempat. Beberapa aturan-aturan

meminang:8

a. Yang boleh meminang adalah setiap laki-laki yang bukan

muhrim, baik dia masih jejaka/gadis, janda/duda atau masih

beristri.

b. Tidak boleh saling mencemburui karena masih berada dalam

proses peminang

c. Cara duduk pada saat meminang tidak boleh berdekatan

dengan yang dipinang

d. Kalau ada peminang lain yang datang menyusul, bagi yang

sudah datang terlebih dahulu harus meninggalkan tempat

peminangan meskipun pembicaranya belum tuntas.

e. Kalau terjadi peminangan yang dilakukan dalam waktu yang

bersamaan oleh dua orang laki-laki atau lebih terhadap satu

orang perempuan, maka laki-laki sebagai tamu tidak boleh

saling mempersilahkan (menyuguhkan sesuatu), harus

perempuan yang dipinang yang mempersilahkannya.

8
M. Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi
(Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2013), h.118-119.
41

f. Bagi peminangan yang tadinya meninggalkan karena ada yang

menyusul datang, boleh meminang perempuan lain lagi

ditempat yang lain.

g. Pada waktu terlaksananya peminangan orangtua si gadis/janda

harus meninggalkan ruang tempat peminangan itu dilakukan.

h. Tempat peminangan harus terbuka

i. Meminang tidak boleh dilakukan pada tempat yang sepi/petang

Tujuan utama midang (peminangan) itu adalah untuk bertemu

dengan perempuan yang menjadi idamannya. Midang disamping sebagai

sarana kenal mengenal di dalamnya juga dibicarakan soal perkawinan

dikemudian hari. Apabila kesepakatan dapat diperoleh pada saat

meminang tersebut, maka untuk melangsungkan perkawinan, mereka

merencanakan untuk sepakat lari pada malam hari yang telah ditentukan

bersama.9

2. Merariq merupakan rangkaian akhir dari proses pencarian jodoh

(pasangan) untuk menuju perkawinan. Merariq artinya membawa

lari seorang perempuan oleh pihak laki-laki untuk kawin. Merariq

merupakan cara yang paling banyak dilakukan oleh suku Sasak

dibeberapa tempat di Lombok dari dulu hingga sekarang untuk

perkawinan. Beberapa aturan Merariq yang berlaku secara umum

pada suku Sasak adalah sebagai berikut:10

9
M. Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat..., h.119.
10
M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak (Mataram: LEPPiM
IAIN Mataram, 2012), h. 62.
42

a. Calon mempelai perempuan harus diambil di rumah

orangtuanya dan tidak boleh diambil di rumah keluarganya

atau di tengah jalan, sawah, tempar kerja, pondok, apalagi di

sekolah.

b. Calon mempelai perempuan yang mau diambil itu benar-benar

bersedia untuk kawin dan bahkan pernah ada janji dengannya

untuk kawin.

c. Merariq harus dilakukan pada malam hari dari habis magrib

samapai jam 23.00 Wita, dan terhina bagi yang Merariq pada

siang hari

d. Merariq harus dilakukan dengan cara-cara yang sopan dan

bijaksana, tidak boleh dengan jalan paksaan, kekerasan, dan

keusilan lainnya.

e. Harus mengikutkan seorang perempuan dalam mengambil

sebagai teman gadis calon mempelai guna menghindarinya

hal-hal yang tidak diinginkan.

f. Calon mempelai perempuan yang diambil itu harus dibawa ke

rumah salah seorang keluarga pihak laki-laki guna

menghindari keterkejutan atau kemarahan orangtua laki-laki

karena tidak setuju, sehingga si perempuan tidak dapat

mendengarkan kata-kata tidak senonoh yang keluar dari calon

mertuanya. Di tempat ini, calon pengantin perempuan harus

ditemani oleh seorang perempuan lain dari keluarga laki-laki


43

dan baru boleh pulang ke rumah orangtua laki-laki setelah

selesai Betikah.11

g. Calon mempelai perempuan yang diambil harus segera

diinformasikan keadaannya kepada kepala dusunnya dan

keluargnaya atau tepesejati dan tepeselebar.12

3. Kemudian yang selanjutnya ialah Mesejati dan Selabar. Mesejati

adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh keluarga pengantin laki-

laki kepada keluarga pengantin perempuan bahwa anak kedua

keluarga tersebut telah kawin. Sedangkan Berselabar ialah

penyeberahan kepada khalayak ramai tentang peristiwa Merariq

yang terjadi. Orang yang datang mesejati paling sedikit 4 orang

terdiri atas keliang (kepala dusun), kepala RT, kepala RW dan satu

orang dari pihak keluarga pengantin laki. Keempat orang ini

mendatangi kepala desa, kepala dusun dan ketua RT di mana

pengantin perempuan bertempat tinggal yang selanjutnya bersama

sama mendatangi orang tua dari pengantin wanita. Keempat utusan

dari keluarga pengantin wanita melaporkan bahwa proses mbait

wali13 dilakukan tanpa sepengetahuan keluarga calon pengantin

perempuan. Untuk menghindari kecemasan orang tua calon

pengantin wanita yang kehilangan anak gadisnya maka sesegera

mungkin dilakukan pemberitahuan. Biasanya langsung bersamaan

11
Betikah dalam Bahasa Sasak Ialah Kawin/Nikah.
12
M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat..... h. 65-66.
13
Mbait Wali ialah seseorang yang diutus memberi kabar kepada kedua orang tua calon
pengantin perempuan, bahwa anaknya siap untuk dinikahkan.
44

dengan acara merangkat atau kalau ditunda waktunya paling lambat

tiga hari. Persoalan yang sering terjadi dalam penyelesaian adat ini

adalah “ajikrama” dan permasalahan yang terkait dengan biaya

penyelesaian upacara “begawe” (resepsi). Setelah semua

kesepakatan ini diperoleh maka dilanjutkan dengan acara akad nikah

yang diselenggarakan dirumah calon mempelai laki-laki. Pelaksaan

akad nikah dilaksanakan sesuai aturan yang diberlakukan menurut

syariat Islam. 14

4. Sorong serah atau ajikrama. Merupakan acara dalam upacara adat

perkawinan di Lombok. yaitu acara pesta perkawinan pada waktu

orangtua si gadis akan kedatangan keluarga besar mempelai laki-

laki. Dalam acara ini keluarga perempuan juga mengadakan suatu

acara selametan yang biasanya biaya ditanggung oleh pihak laki-laki

atas dasar kesepakatan yang telah di tentukan pada saat pelaksanaan

selabar. Pada saat ini juga dilakukan beberapa tagihan yang terkait

dengan adat yang harus dilaksanakan, terutama berupa denda yang

dikenakan kepada pihak laki-laki apabila dalam proses penyelesaian

adat sebelum acara ini pernah terjadi pelanggaran-pelanggaran

terhadap adat yang diperlukan.15

5. Nyongkol adalah kegiatan terakhir dari seluruh proses perkawinan.

Kegiatan ini dilakukan secara bersamaan seluruh anggota keluarga

mempelai laki-laki bersama masyarakat berkunjung kerumah


14
Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi... h. 10.
15
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan
Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
45

mempelai perempuan. Tujuannya adalah untuk menampakkan

dirinya secara resmi dihadapan orangtuanya dan keluarga-

keluarganya bahkan juga kepada seluruh masyarakat sambil meminta

maaf serta memberi hormat kepada kedua orangtua pengantin

perempuan. Kedua mempelai dalam kegiatan ini bagaikan sang raja

dan permaisurinya yang diiringi oleh rakyatnya. Keduanya

menggunakan pakaian serba mewah sebagaimana layaknya

perlengkapan seorang raja bersama permaisurinya. Adapun bentuk

pakaian yang dikenakan oleh kedua mempelai dalam acara nyongkol

harus menggunakan pakaian sesuai ketentuan adat. Untuk

menyamarkan kegiatan ini biasanya diiringi dengan berbagai

kesenian tradisional, seperti gamelan, klentang dan kesenian

tradisional Lombok lainnya.16

B. Karya dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Inovasi Kebudayaan

Ketika seseorang yang melakukan perkawinan maka terdorong

untuk bersikeras berjuang demi perkawinannya, alasannya adalah Dalam

adat suku sasak yang unik ini mempelai laki-laki dituntut untuk bisa

memberi mahar yang cukup fantastis kepada mempelai wanitanya. Sebagai

contoh mahar yang harus diberikan berupa seekor kerbau atau seekor sapi,

bagi para masyarakat suku pedalaman Sasak itu adalah bentuk mahar yang

sangat besar tanggungannya.17

16
Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi, h. 126.
17
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan
Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
46

Jadi mereka para lelaki jika ingin pertahankan cintanya maka

mereka haruslah berusaha keras untuk pencapaian mahar tersebut. Tetapi

yang membuat inovasi dalam masyarakat sasak ini adalah “Merariq” itu

sendiri, dimana para lelaki sudah siap rencana untuk membawa lari

pasangannya agar dapat dinikahkan, disinilah bentuk kelihaian dan

kematangan strategi para kaum lelaki suku sasak dalam Merariq. Pasangan

yang sudah benar-benar serius ingin melangsungkan perkawinan dituntut

untuk bisa meyakinkan kepala suku adat ketika pasangan yang sudah

berhasil kabur dari kediaman mereka dan kembali setelah kedua orang tua

mempelai melaporkan kejadiaan ini dan sudah mengetahui lokasi anak-

anak mereka masing-masing, bahwa mereka sudah saling siap satu sama

lain untuk melangsungkan perkawinan.18 Permasalahan krusial

ketika mempelai laki-laki tidak memiliki harta apapun pada dirinya, maka

keputusan bagaimana dari orang tua mempelai wanita tetapi sejauh ini

apabila hal ini terjadi biasanya orang tua dari mempelai wanita

memberikan waktu untuk pria tersebut memenuhi maharnya dalam tempo

waktu yang ditentukan dengan kata lain (hutang mahar). Jadi sebagai

gantinya mahar saat penikahan berlangsung bisa berupa berapapun jumlah

uang yang dimiliki atau harta benda yang ada pada diri mempelai laki-laki

tersebut.19

Pada saat ingin melangsungkan perkawinan biasanya para kaum

wanita haruslah bisa menjahit dan merajut karena pada dasarnya mata
18
Sudirman. Bahrie. Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi, h. 100.
19
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan
Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
47

pencaharian mereka para suku sasak ini adalah bertani. Jadi apabila musim

hujan sudah melanda maka penghasilan dari bertani mereka bisa kurang

hingga 70% dari biasanya. Maka dari itu solusi dari mereka para wanita

suku sasak yang nantinya akan melangsungkan perkawinan adalah harus

bisa menjahit atau merajut dan hasilnya dijual ke sekitar desa bahkan bisa

sampai Kota Mataram. Semua ini juga demi kelangsungan hidup anak

mereka dan keturunannya kelak.20

Rata-rata survei yang sudah dilakukan bahwa masyarakat suku

Sasak Merariq muda. Mulai dari kalangan remaja lulusan SMA sampai

baru lulus SMP sudah melakukan Merariq, jadi bisa dibayangkan

bagaimana mereka yang ingin Merariq sudah harus berfikir dewasa untuk

bisa membawa lari wanita yang dicintainya. Sedangkan apabila sudah

dibawa lari tetapi pada ujungnya orang tua wanita tetap tidak mau merestui

maka keduan pasangan lari ini akan sangat malu pada masyarakat desa.

Bagaimana tidak karena ketika kejadian bawa lari itu terjadi maka kepala

suku dan orang tua para anak pasti menyebarkan berita tersebut, jadi

seluruh masyarakat di desa itu pasti mendengar dan mengetahuinya. Maka

dari itu kebanyakan para orang tua merestui anak-anaknya yang sudah

sama-sama mencintai karena takut omongan dan kebencian masyarakat

terhadap anaknya.21

C. Tujuan dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Nilai Kebudayaan

20
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak di Desa Sade Lombok,
Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
21
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua dari Forum Kerukunan
Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
48

Merariq sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak

memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarakat sasak, Merariq

berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan

seorang laki-laki sasak karena ia berhasil mengambil (melarikan) seorang

gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain, bagi orang tua gadis yang

dilarikan juga cenderung resisten, kalau tidak dikatakan menolak untuk

memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara biasa (konvensional).

Hal ini dikarenakan mereka beranggapan bahwa anak gadisnya

adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap

seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada ungkapan yang biasa

diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m ngendeng anak manok baen

(seperti meminta anak ayam saja). Jadi dalam konteks ini, Merariq

dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan prosesi pernikahan,

disamping itu juga cara untuk keluar dari konflik. Mengapa seperti itu,

karena pengertian dari Merariq atau kawin lari itu, bisa karena orang tua

sang gadis tidak merestui pernikahan anaknya, dikarenakan harus sang

laki-laki melarikan anak perempuannya, maka mau tidak mau itu harus di

kawinkan tetapi tetap ada bayar denda karena sudah melarikan anak gadis

orang.22

Munculnya stratifikasi sosial disebabkan karena adanya perbedaan

tinggi rendah kedudukan seseorang dalam masyarakat sehingga

menyebabkan adanya kedudukan yang dinilai lebih tinggi dari kedudukan

22
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas (Ketua Forum Kerukunan Umat
Beragamadi Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
49

yang lainnya.23 Sistem ini merupakan ciri yang tetap dan umum dalam

setiap masyarakat yang hidupnya teratur. Begitu juga dengan masyarakat

suku Sasak di Lombok. pelapisan masyarakat di daerah ini didasarkan

pada kebijaksanaan, keberanian, kebesaran darma, dan asal-usul

keturunan.

Stratifikasi sosial merupakan berbagai macam susunan hubungan

antarindividu yang menyebabkan adanya berbagai sistem dalam

masyarakat. Konsep stratifikasi sosial suku sasak pada umumnya banyak

ditentukan oleh susunan keluarga yang berawal dari perkawinan yang

disebut nurut mama (dibaca: mame).24 Artinya, garis keturunan darah

ditekankan pada laki-laki (garis bapak). Garis keturunan ini memberi

pengaruh pada pembentukan lapisan sosial dan pola kekerabatan dalam

sistem kemasyarakatan etnis suku Sasak. Perkawinan seorang perempuan

bangsawan dengan laki-laki dari lapisan status sosial rendah, maka anak

yang di lahirkan tidak berhak menggunakan identitas kebangsawanan

ibunya. 25

Demikian pula sebaliknya, anak yang di lahirkan akan diberikan

hak untuk menggunakan atribut kebangsawanannya apabila ia dilahirkan

oleh seorang laki-laki dari kalangan bangsawan, walaupun ibunya dari

lapisan sosial jajar karang (rakyat biasa). Struktur sosial dengan konsep

23
Wayan Geriya, Beberapa Segi Tentang Masyarakat dan Sistem Sosial (Denpasar:
Universitas Udayana, 1981), h. 36.
24
Idrus Abdullah, Penyelesaian Sengketa Melalui Mekanisme Pranata Lokal di
Kabupaten Lombok Barat, Disertasi (Jakarta: Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana UI, 2000),
h. 105.
25
M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat, h. 33-34.
50

nurut mama ini, kemudian membentuk sistem kewarisan yang

menitikbertakan kepada pola kekerabatan patrilineal.26

Menurut M. Nur Yasin (2006:73-75), setidaknya ada empat prinsip

dasar yang terkandung dalam praktik kawin lari (Merariq) di pulau

Lombok:27

1. Prestise keluarga perempuan. Kawin lari (Merariq) dipahami dan

diyakini sebagai bentuk kehormatan atas harkat dan martabat keluarga

perempuan. Atas dasar keyakinan ini, seorang gadis yang dilarikan

sama sekali tidak dianggap sebagai sebuah wanprestasi (pelanggaran

sepihak) oleh keluarga lelaki atas keluarga perempuan. Seorang gadis

yang dilarikan merasa dianggap memiliki keistimewahan tertentu

sehingga menarik hati lelaki. Ada anggapan yang mengakar kuat

dalam struktur memori dan mental masyarakat tertentu di Lombok,

bahwa dengan dilarikan berarti anak gadisnya memiliki nilai tawar

ekonomis yang tinggi. Konsekuensinya, keluarga perempuan merasa

terhina jika perkawinan gadisnya tidak dengan kawin lari (Merariq).

2. Superioritas lelaki, inferioritas perempuan. Satu hal yang tidak bisa

dihindarkan dari sebuah kawin lari (Merariq) adalah seseorang lelaki

tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu menjinakkan kondisi

sosial psikologis calon isteri. Terlepas apakah dilakukan atas dasar

suka sama suka dan telah direncanakan sebelumnya maupun belum

direncanakan sebelumnya, kawin lari (Merariq) tetap memberikan


26
Patrilineal adalah garis keturunan dari Ayah.
27
Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi
(Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012), h. 116-117.
51

legitimasi yang kuat atas superoritas lelaki. Pada sisi lain

menggambarkan sikap inferioritas, yakni ketidakberdayaan kaum

perempuan atas segala tindakan yang dialaminya. Kesemarakan

Merariq memperoleh kontribusi yang besar dari sikap-sikap yang

muncul dari kaum perempuan berupa rasa pasrah atau bahkan

menikmati suasana inferioritas tersebut.

3. Egalitarianisme. Terjadinya kawin lari (Merariq) menimbulkan rasa

kebersamaan (egalitarian) dikalangan seluruh keluarga perempuan.

Tidak hanya bapak, ibu, kakak, dan adik, tetapi paman, bibi, seluruh

sanak saudara dan handai taulan ikut terdorong sentimen keluarganya

untuk ikut menuntaskan keberlanjutan kawin lari (Merariq).

Kebersamaan melibatkan komunitas besar masyarakat di lingkungan

setempat. Proses penuntasan kawin lari (Merariq) tidak selalu berakhir

dengan dilakukannya pernikahan, melainkan adakalanya berakhir

dengan tidak jadi pernikahan, karena tidak ada kesepakatan antara

pihak keluarga calon suami dengan keluarga calon isteri.berbagai

ritual, seperti mesejah, mbaitwali, sorong serah, dan sebagainya

merupakan bukti kongkret kuatnya kebersamaan di antara keluarga dan

komponen masyarakat.

4. Komersil. Terjadinya kawin lari selalu berlanjut ke proses tawar

menawar pisuke. Proses nego berkaitan dengan besaran pisuke yang

biasanya dilakukan dalam acara mbait wali sangat kental dengan

nuansa bisni. Apapun alasannya, dan dominan sepanjang acara mbait


52

wali. Ada indikasi kuat bahwa seorang wali merasa telah mmbesarkan

anak gadisnya tersebut memperoleh ganti dari calon menantunya.

Semakin tinggi tingkat pula nilai tawar sang gading. Sebaliknya,

semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan anak serta orang

tua semakin rendah pula nilai ekonomis yang ditawarkan.


BAB IV

FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN BUDAYA DALAM

TRADISI MERARIQ

A. Tujuan Merariq

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan

suku Sasak. Seseorang baru dianggap sebagai warga penuh dari suatu

masyarakat apabila ia telah berkeluarga. Dengan demikian ia akan

memperoleh hak-hak dan kewajiban baik sebagai warga kelompok

kerabat atau pun sebagai warga masyarakat. Sebagaimana perkawinan

menurut Islam dikonsepsikan sebagai jalan mendapatkan kehidupan

berpasang-pasangan, tenteram dan damai (mawaddah wa

rahmat) sekaligus sebagai sarana pelanjutan generasi (mendapatkan

keturunan), maka perkawinan bagi masyarakat Sasak juga memiliki

makna yang sangat luas, bahkan menurut orang Sasak, perkawinan bukan

hanya mempersatukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja,

tetapi sekaligus mengandung arti untuk mempersatukan hubungan dua

keluarga besar, yaitu kerabat pihak laki-laki dan kerabat pihak

perempuan. Berdasarkan tujuan besar tersebut, maka terdapat tiga macam

perkawinan dalam masyarakat Sasak, yaitu :1

1. Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam

satu kadang waris yang disebut perkawinan betempuh pisa’ (misan

dengan misan/cross cousin).

1
Fachrir Rahman, Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi
(Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2013), h.115.

53
54

2. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai hubungan

kadang jari (ikatan keluarga) disebut perkawinan sambung uwat benang

(untuk memperkuat hubungan kekeluargaan).

3. Perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan yang tidak ada

hubungan perkadangan (kekerabatan) disebut perkawinan pegaluh gumi

(memperluas daerah/wilayah). Dengan demikian, semakin jelas bahwa

tujuan perkawinan menurut adat sasak adalah untuk melanjutkan

keturunan, memperkokoh ikatan kekerabatan, dan memperluas hubungan

kekeluargaan.2

Proses tawar menawar dalam kawin lari tampak kuat dan tertuntut

untuk selalu dilaksanakan apabila suami isteri yang menikah sama-sama

berasal dari suku Sasak. Jika salah satu di antara calon suami isteri

berasal dari luar suku Sasak, ada kecenderungan bahwa tuntutan

dilaksanakannya tawar menawar agak melemah. Hal ini terjadi karena

ternyata ada dialog peradaban, adat, dan budaya antara nilai-nilai yang

dipegangi oleh masyarakat Sasak. Kontak dialogis budaya dan peradaban

yang kemudian menghasilkan kompromi sama sekali tidak

menggambarkan inferioritas budaya Sasak, tetapi justru sebaliknya,

budaya dan peradaban Sasak memiliki kesiapan untuk berdampingan

dengan budaya dan peradaban luar Sasak. Sikap ini menunjukkan adanya

keterbukaan masyarakat Sasak bahwa memulai kebaikan dan kebenaran


2
M Harfin Zuhdi, Praktik Merariq: wajah sosial Masyarakat Sasak (Mataram: LEPPIM
IAIN Mataram, 2012), h.58.
55

dari manapun asalnya bisa dipahami dan bahkan diimplementasikan oleh

masyarakat suku Sasak.3

Bisa dikatakan bahwa tujuan dari pada Merariq itu sebenarnya

adalah sebuah hal penyimpangan kalau di sandingkan dengan hukum

Islam atau ketentuan lainnya. Maksud dari kata penyimpangan disini

bahwasanya, dari yang peneliti ketahui bahwa ada 2 perspektif Merariq

yang berbeda. Yang pertama diketahui orangtua tetapi tetap melakukan

Merariq karna merupakan proses adat. Yang kedua karena tidak

diketahui orangtua yang menjadikan sebuah penyimpangan karena

melanggar hukum juga agama. Sebenarnya Merariq ini bisa dikatakan

legal jika proses adatnya sesuai dengan proses adat yaitu kesepakatan

orangtua, dan juga bisa dikatakan ilegal jika Merariq ini tidak melalui

kesepakatan orangtua, atau jalan keluar jika sepasang kekasih tidak

mendapat restu dari orangtua. Merariq hampir ditinggalkan, dan

beberapa praktik adat yang telah mengalami metamorfosa dan perubahan

paradigma di masyarakat Sasak tentang perspektif Merariq ini setelah

mendalami ajaran agama Islam dan fenomena perkawinan adat lain di

Indonesia seperti yang terjadi di Jawa dan Pulau Sumbawa. Dalam

perubahan ini memang tidak bisa secara sekaligus, tetapi secara bertahap,

dan dimulai oleh warga Sasak yang berpendidikan dan memiliki

pengalaman di daerah lain. Sekitar hanya 3 % dari suku Sasak yang

3
Zuhdi, Praktik Merariq.... h.57.
56

masih melakukan Merariq. Salah satu alasan mengapa Merariq mulai

ditinggalkan karena sulitnya memenuhi persyaratan adat perkawinannya,

juga tradisi adat Sasak Lombok ini sebenarnya sudah banyak yang

paralel dengan ajaran Islam, seperti soal pisuke dan nyongkolan.4

Pisuke5 sesuai dengan namanya tidak boleh ada unsur pemaksaan,

tetapi harus ada kerelaan keluarga kedua belah pihak. Pemberian Pisuke

dalam budaya Sasak bukan berarti memperjualbelikan anak perempuan.

Namun, pemberian uang/barang pisuke lebih dimaknai sebagai

penghargaan atas jerih payah yang dilakukan oleh keluarga sang gadis

dalam membesarkan dan mendidiknya selama puluhan tahun, hingga

dewasa dan siap dinikahkan. Selain itu, diharapkan dengan adanya tradisi

pemberian pisuke akan mengurangi kebiasaan pria untuk melakukan

kawin cerai, yang dampak negatifnya banyak tertumpu kepada pihak

perempuan. Dengan adanya tradisi tersebut, nantinya bisa menjadi

pemikiran dan pertimbangan jika suatu saat sang pria hendak

menceraikan istrinya.6 Maksud pertimbangan disini ialah dalam tradisi

Merariq ada adat yang namanya Pisuke yakni kegiatan transaksi atau

negosiasi terkait mahar untuk mempelai wanita. Kegiatan ini kadang

4
M. Nur Yasin, “Kontekstualisasi Doktrin Tradisional Di Tengah Modernisasi Hukum
Nasional: Studi tentang Kawin Lari (Merari’) di Pulau Lombok”, Jurnal Istinbath No. I Vol. IV
Desember 2006, h. 73-75.
5
Pisuke yakni kegiatan transaksi atau negosiasi terkait mahar untuk mempelai wanita.
Kegiatan ini kadang dilakukan dalam waktu yang relative lama dan juga sangat singkat.
Tergantung kesepakatan keluarga kedua belah pihak. Faktor strata sosial dan ekonomi sangat
menentukan jalannya acara pisuke tersebut.
6
Yasin, Kontekstualisasi Doktrin......,h. 82-83.
57

dilakukan dalam waktu yang relative lama dan juga sangat singkat.

Tergantung kesepakatan keluarga kedua belah pihak. Faktor strata sosial

dan ekonomi sangat menentukan jalannya acara Pisuke tersebut. Itulah

mengapa adat Pisuke ini dilakukan selain untuk menghargai perempuan

tetapi juga untuk menghindari perceraian karena proses awal atas mahar

yang diberikan kepada wanita pada diawal pernikahan menjadi

pertimbangan oleh laki-laki untuk menceraikan istrinya kelak.

Demikian juga acara nyongkolan7 merupakan sarana

pengumuman dan silaturrahmi sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi

Muhammad saw. Hanya saja dalam kasus tertentu terjadi

penyalahgunaan oleh oknum pada acara nyongkolan

yang menyebabkan terjadinya pertikaian, mabuk-mabukan dengan

minuman keras dan meninggalkan sholat, maka perilaku inilah yang

perlu dihindari dalam praktek nyongkolan. Singkatnya, orang Sasak lah

yang banyak melanggar aturan/adat sasak itu sendiri.

Pernikahan Sasak juga merupakan pengejawantahan keyakinan

masyarakat Sasak terhadap Tuhan. Pelaksanaan Merarik, upacara

batobat, selamatan tampah wirang, metikah buah lekuk, bedak keramas,

7
Tradisi nyongkolan mengantar mempelai perempuan kepada pihak keluarga setelah
beberapa saat dilarikan ke rumah pihak keluarga mempelai laki-laki. Tradisi ini biasanya
melibatkan banyak orang (ratusan hingga ribuan orang) yang menggunakan pakaian adat Sasak
Lombok, sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan pihak keluarga mempelai laki-laki
kepada keluarga mempelai perempuan, sekaligus diikuti dengan tradisi minta maaf pengantin laki-
laki dan juga pengantin perempuan atas dosa dan kesalahannya selama ini, khususnya saat mencari
/ melarikan mempelai perempuan. Tradisi ini juga biasanya diiringi dengan musik-musik dan
tarian tradisional khas Sasak-Lombok.
58

dan metikah merupakan ekspresi keberagamaan akulturatif masyarakat

Sasak. Melalui upacara perkawinan tersebut, masyarakat Sasak

mempertontonkan pemahamanan keagamaan yang khas. Mungkin saja

ekspresi keberagamaan tersebut tidak sejalan dengan ekspresi

keberagamaan arus utama, tapi yang harus disadari adalah bahwa

masyarakat Sasak telah menunjukkan bagaimana menyikapi adanya

batas-batas liminal antara adat dan agama dengan menggunakan idiom-

idiom lokal.8 Karena ekspresi keberagamaan adat Sasak tidak sejalan

dengan ekspresi keberagamaan arus utama yang membuat mereka tetap

memliki batasan atas adat lokal, maka dari itu masyarakat Sasak sangat

percaya menghargai tradisi mereka yang ada dari nenek moyang mereka.

Dan beberapa pendapat ulama di Lombok tentang perkawinan Merariq

hampir semuanya tidak setuju, karena bagaimanapun Merariq keluar dari

konteks ajaran agama Islam. Salah satu narasumber yang diwawancarai

oleh penulis adalah Ir. H. Ikhsan Gemala Putra, beliau adalah seorang

pengamat budaya Sasak di Lombok/budayawan Sasak di Lombok Nusa

Tenggara Barat. Beliau sendiri tidak menyetujui tentang perkawinan

Merariq tersebut, tetapi beliau tidak berusaha untuk mengusik atau

melarangnya, karena itu sudah jadi bagian adat tradisi suku Sasak, maka

8
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Lalu Mudjitahid (Ketua Masyarakat Adat Sasak di
Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 08 April 2017.
59

bagi masyarakat yang meyakininya silahkan saja.9

B. Alasan Merariq

Membicarakan pernikahan Sasak, tidak bisa tidak membicarakan

Merariq, yaitu melarikan anak gadis untuk dijadikan istri. Merariq

sebagai ritual memulai perkawinan merupakan fenomena yang sangat

unik, dan tidak hanya dapat ditemui di masyarakat Sasak, Lombok, Nusa

Tenggara Barat. Tradisi ini tidak hanya ada di Sasak tetapi juga berbagai

adat daearah lain seperti Marlojong atau mangalua pada masyarakat

Angkola di Batak. Tradisi perkawinan Marlojong „kawin lari‟ pada

masyarakat Angkola merupakan satu kebiasaan apabila perkawinan yang

umum tidak dapat dilakukan. Untuk itu, perlu diketahui dan dipahami

dengan baik perkawinan menurut adat Dalihan na Tolu ini di daerah

Angkola. Dalam tradisi ini memberikan penjelasan untuk lebih mengenal

perkawinan Marlojong „kawin lari‟, salah satu cara perkawinan pada

masyarakat Angkola. Jadi, perkawinan Marlojong ini merupakan jalan

keluar yang akan ditempuh oleh sepasang muda-mudi Angkola apabila

mereka memperoleh kesulitan dan kendala yang tidak dapat

diselesaikan.10 Jadi tidak hanya ada di masyarakat Sasak saja yang

9
Wawancara Pribadi dengan Ir. H. Iksan Gemala Putra (Budayawan Sasak di Lombok,
Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 09 April 2017.

10
E.H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya
(Bandung: Tarsito, 1982), h. 136.
60

melakukan „kawin lari‟ tetapi di masyarakat Batak juga terkenal Tradisi

Marlojong. Tradisi Merariq ini menjadi cara paling terhormat bagi laki-

laki Sasak untuk menikahi seorang perempuan. Alasannya, karena

Merariq memberikan kesempatan kepada para pemuda, yang hendak

beristri, untuk menunjukkan kejantanannya. Sifat jantan merupakan

simbolisasi sosok suami yang bertanggung jawab dalam segala kondisi

terhadap keberlangsungan keluarganya. Laki-laki yang melakukan

Merariq telah membuktikan dirinya sebagai seorang pemberani. Terdapat

beberapa alasan mengapa Merariq dilakukan. Pertama, untuk

menunjukkan kesungguhan si laki-laki terhadap si gadis. Kedua,

menunjukkan keberanian, seperti seorang ksatria. Ketiga, karena alasan

sejarah. Keempat, karena alasan kompetisi. Akan tetapi sekarang ini adat

Merariq telah banyak mengalami pergeseran nilai dan praktik yang

disebabkan kurangnya pemahaman pelaku Merariq terhadap ketentuan

adat dan ajaran agama.11

Seiring perkembangan zaman, jumlah orang yang melakukan

Merariq semakin sedikit. Tetapi bukan berarti berkurangnya laki-laki

yang hilang kejantannya, melainkan karena ada beberapa kasus di

beberapa adat tradisi misalnya seperti nyongkolan. Bahwa yang telah

dijelaskan diatas, membuat Merariq hanya dijadikan simbol tradisi dan

11
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Lalu Mudjitahid (Ketua Masyarakat Adat Sasak di
Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 08 April 2017.
61

karena semakin zaman berkembang sudah banyak orang-orang yang

berpendidikan membuat pemikiran mereka lebih berkembang dan

mencari jalan lain untuk melangsungkan perkawinan. Akan tetapi mereka

tetap menghormati tradisi adat Sasak dengan masih melakukan adat-adat

yang pantas sampai saat ini dan mudah dilakukan dan meninggalkan

yang sudah tidak cocok di zaman sekarang ini. Pada saat ini Merariq

yang dilakukan terkadang hanya bersifat simbolis belaka, yaitu dengan

“sepengetahuan” kedua orang tua si gadis. Perkelahian yang mungkin

timbul akibat dari tertangkapnya orang yang melakukan Merariq juga

dilakukan hanya untuk menggugurkan ketentuan adat.12

Terlepas dari semakin tidak populernya Merariq sebagai ritual

awal perkawinan Sasak, ritual ini telah melahirkan sebuah perkawinan

khas masyarakat Sasak. Mas kawin yang harus diserahkan oleh pihak

laki-laki, misalnya, disebut sajikrama (hadiah kawin lari). Barang yang

digunakan sebagai sajikrama merupakan sanksi yang dibebankan kepada

mempelai laki-laki karena melarikan anak gadis orang. Oleh karenanya,

besar sajikrama dihitung berdasarkan pelanggaran yang mungkin saja

terjadi sebelum, selama, dan sesudah penculikkan.13

Kemungkinan denda yang harus dibayarkan antara lain: pertama,

ngampah-ngampah ilen pati. Denda ini dijatuhkan karena orangtua

12
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas MM (Ketua Forum Kerukunan Umat
Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 10 April 2017.
13
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
62

mempelai wanita berasa bahwa sebelum, selama, dan sesudah melarikan

si gadis, mempelai pria telah mempermalukan anak mereka, misalnya

sebelum acara Merariq si pria mengunjungi si gadis terlebih dahulu.

Padahal menurut adat Sasak, seorang pemuda tidak boleh mengunjungi

gadis yang hendak di culik. Kedua, terlambat salabar. Denda yang harus

dibayar oleh mempelai laki-laki apabila orangtua mempelai perempuan

menganggap keluarga mempelai pria terlambat mengabarkan penculikan

anak gadis mereka. Menurut adat Sasak, waktu toleransi untuk

memberikan kabar penculikan adalah tiga hari. Lebih dari tiga hari, maka

pihak pengantin laki-laki harus membayar denda terlambat selabar.

Bahkan, adakalanya juga harus membayar ngampah-ngampah ilen pati

karena telah membikin malu keluarga pengantin wanita. Ketiga, dosan

jeruman. Denda ini harus dibayarkan oleh mempelai laki-laki karena dia

menggunakan perantara dalam melakukan pelarian diri anak gadis orang.

Keempat, lain keliang. Denda yang dibayarkan karena mempelai pria

berasal dari tempat yang berbeda, misalnya si gadis berasal dari Sasak,

sedangkan mempelai prianya berasal dari Jawa. Kelima, ajin gubug.

Denda ini dibayarkan atas permintaan komunitas tempat mempelai

wanita tinggal. Keenam, turunan bangsa. Denda ini dibebankan kepada

pengantin pria yang mempunyai status sosial lebih rendah daripada

pengantin perempuan. Oleh karenanya perkawinan model ini

menyebabkan status sosial perempuan menjadi turun, maka pembayaran


63

turunan bangsa pada hakekatnya adalah kompensasi kehilangan status

sosial tersebut. Semakin tinggi status sosial perempuan, semakin besar

pula denda turunan bangsa yang harus dibayarkan oleh pihak mempelai

laki-laki.14

Beragam denda yang mengikuti Merariq, yang menjadikan biaya

yang harus ditanggung pengantin laki-laki sngat besar. Kondisi seperti ini

yang semakin memudarnya tradisi Merariq, tidak hanya memberatkan

mempelai laki-laki tetapi juga meletakkan perempuan pada posisi

dilematis. Aturan-aturan tersebut menyebabkan perempuan tidak bebas

memilih pasangan hidupnya, karena harus menunggu orang yang mampu

membayar sajikrama. Maka dari itu semakin lama banyak orang tidak

menggunakan adat Sasak dalam perkawinannya karena biaya yang harus

dikeluarkan sangat mahal.15

C. Perspektif Merariq

Peneliti telah berbincang dengan ketua Adat

Masyarakat Sasak16, beliau berbicara bahwa, asal kata Merariq dari

perilaku kesengajaan berpaling atau memalingkan muka, menutup mata.

Misalnya, salah seorang perempuan mau Merariq dengan pacarnya yaitu

pemuda kampung sebelah dan telah disebutkan namanya kepada ibunya.

14
Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LkiS, 2000),
h. 252-254.
15
Budiwanti, Islam Sasak...... h. 261.
16
Wawancara Pribadi dengan H. Lalu Mudjitahid (Ketua Masyarakat Adat Sasak di
Lombok, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 08 April 2017.
64

Lalu disarankan oleh ibunya agar tidak melamar dikarenakan saudara

jauh mau menikahi juga dan ada pula tetangga yang menaruh minat

untuk datang melamar. Agar tidak terjadi perpecahan antar keluarga atau

tetangga, maka orang tua bilang 'palingin keentan'. "Si ibu berpura-pura

menutup mata atau berpaling 'palingin keentan', lalu membiarkan pergi

atau lari anak perempuannya dengan lelaki yang datang Merariq itu. Tapi

itu disepakati dan merupakan rekayasa adat untuk menjaga hubungan

agar tidak retak. Karena salah satu tujuan dari pada Merariq yang sudah

pernah dijelaskan, itu menyambung tali persaudaraanan antara sesama

misan atau sepupu, jadi dalam masyarakat Sasak, rata-rata mereka

menikah sesama sepupu/misan untuk menyambung tali persaudaraan.

Kenapa keluarga tidak dikasih tetapi orang lain dikasih, karena sebagian

keluarga ada yang orangtuanya memberi kebebasan terhadap anaknya

untuk memilih pasangan hidupnya. Jadi dari pada terjadi perselisihan

diantara keluarga lebih baik di larikan. Itulah asal usul Merariq yang

sebenarnya bukan kawin lari dalam artian kawin lari ilegal.17

Itulah yang pada saat ini Merariq yang masih dijalankan oleh

beberapa masyarakat Sasak sekitar 3% yang dijelaskan diatas. Walaupun

begitu, itu sudah bermetamorfosa dari tradisi perkawinan Sasak yang asli,

yang mana ada kisah sebuah mitos. Konon, dulu di Lombok ada seorang

raja dengan putri yang sangat cantik. Karena terlalu cantiknya, semua

17
Zuhdi, Praktik Merariq....., h.57.
65

pria suka padanya dan berlomba-lomba melamarnya. Maka sang Raja

mendirikan sebuah kamar dengan sistem penjagaan yang sangat ketat.

Lalu raja memberi tantangan, "Barangsiapa berhasil menculik putriku,

akan kunikahkan dia dengan putriku," Dari situ, pria-pria Lombok

memiliki kebanggaan jika berhasil menculik orang yang dicintainya.

Maka, jika sudah berhasil terculik, pihak keluarga perempuan harus rela

anaknya dinikahkan dengan sang penculik. Maka dari itu satu perempuan

di kampung adat Sade/orang Lombok pacarnya banyak bisa sampai

delapan, karena tidak ada istilah pacaran, siapa cepat menculik atau

mengajak kabur maka ia yang berhasil menjadi ksatria. Saat peneliti

masuk ke Bale Tani18, ruang pertama langsung terisi oleh kasur

bertingkat tempat orang tua tidur. Kasur ada di sebelah tangga menuju

lantai dua. Di lantai dua ada dapur, di sebelahnya terdapat kamar kecil

dengan satu kasur dan selimut. Kamar kecil di sebelah dapur itu kamar

gadis, diletakan paling belakang agar tidak mudah diculik anaknya. Itulah

tradisi adat Sasak yang asli yang pernah dijelaskan pada sub sebelumnya,

alasan Merariq membuat lelaki Lombok menjadi kstria karena berani

melarikan anak gadis orang dan menjadi pria sejati kalau berani

melarikan berarti berani bertanggung jawab atas pernikahannya kelak.19

Perspektif Merariq ialah berbeda-beda ada yang berpandangan

18
Salah satu rumah adat tradisional di Desa Sade.
19
Wawancara Pribadi dengan Mahardika (Pemangku Adat Sasak desa Sade Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 29 Maret 2017.
66

bahwa masyarakat Islam sasak terhadap Merariq ada dua pendapat.

Pertama, pandangan masyarakat biasa, yang mengatakan bahwa Merariq

tidak ada masalah selama dilakukan dengan ketentuan adat dan ajaran

agama. Kedua, pandangan kaum terdidik, mereka lebih melihat pada

dampak dari mulai proses awal sampai akhir. Sehingga sebaiknya perlu

dicarikan alternatif yang lebih sederhana dan baik untuk menghindari

dampak negatif yang muncul.20

Dari hasil yang penulis wawancarai bahwa masyarakat Sasak

yang saat ini mulai meninggalkan tradisi Merariq ialah yang sudah

mengenal Islam yang sesungguhnya, banyak pendakwah Islam yang

menyebar diseluruh pulau Lombok yang mulai mengajarkan Islam

sesungguhnya kepada masyarakat Sasak. Jadi salah satu alasan tradisi

Merariq di zaman ini mulai pudar karena fakor penyempurnaan Agama

Islam yang disebarkan oleh pendakwah Islam di pulau Lombok yang

semakin banyak. Dan juga faktor modernisasi zaman, yang membuat

pola fikir manusia yang berbeda. Tetapi semakin berkembangnya zaman,

dan mudahnya pendakwah menyebarkan ajaran agama Islam, juga

pendidikan di Indonesia yang meningkat sehingga banyak sekali generasi

muda yang mulai berfikir lebih rasional dibandingkan dengan orang-

orang zaman dahulu, akan tetapi orang-orang tersebut tetap menjaga

20
Harfin Zuhdi, Muhammad dkk, Lombok Mirah Sasak Adi: Sejarah Sosial, Islam,
Budaya, dan Ekonomi, (Jakarta: Imsak Press, 2011), h. 10.
67

tradisi keturunan mereka supaya tidak benar-benar musnah. Karena,

bagaimanapun adat tradisi harus tetap ada dalam suatu daerah untuk

menjadikan ciri khas daerah tersebut, walaupun hanya beberapa persen.21

21
Wawancara Pribadi dengan Ir. H. Iksan Gemala Putra (Budayawan Sasak di Lombok,
Nusa Tenggara Barat) Pada Tanggal 09 April 2017.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, peneliti dapat mengambil

kesimpulan sebagai berikut :

1. Terjadinya integrasi agama dengan Budaya ialah antara Wetu Telu dengan

Merariq tersebut. Maksudnya adalah hubungan Wetu Telu dengan Merariq yaitu

praktik yang terjadi dalam Merariq tersebut adalah ketentuan dari pada Wetu Telu

yang mana, telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa Wetu Telu ini perpaduan

antara Islam dan Hindu. Yang mana dalam konsep Islamnya ini hanya ada solat

Jum’at, solat Idul Fitri dan solat Idul Adha, sedangkan dalam konsep Hindunya,

Wetu Telu ini masih menggunakan unsur-unsur mistik seperti sesajen, dll. Sudah

sempat dijelaskan juga bahwa Merariq merupakan percampuran antara Islam dan

Hindu. Jadi ada hubungannya antara Wetu Telu dan Merariq, yaitu dari cara

praktik dan sejarah awalnya. Konsep agama atau keyakinan yang melahirkan

Merariq ialah Wetu Telu tersebut yang sudah dijelaskan diatas tadi bahwa, praktik

yang terjadi dalam Merariq merupakan lahir dari konsep Wetu Telu.

2. Dari beberapa penjelasan di setiap bab telah dijelaskan bahwa format dari pada

Merariq di Lombok sudah sangat jelas bahwa praktik yang terjadi dalam Merariq

tersebut sangat kental Budayanya. Dari perpaduan antara budaya Sasak, juga

budaya Hindu Bali dan ada Unsur Islamnya juga di dalam praktik Merariq. Ini

yang sangat jelas bahwa Merariq merupakan integrasi agama dengan budaya yang

menghasilkan praktik perkawinan Merariq.

68
69

3. Perkawinan Merariq yang terjadi di masa depan dengan persoalan tuntutan

kehidupan modern sungguh sangat berat, karena telah kita ketahui bahwa hampir

sebagian kebudayaan di Indonesia hampir mengalami kepunahan karena,

jarangnya kepedulian manusia terhadap kebudayaannya sendiri. Yang telah kita

ketahui bahwa dunia semakin modern, zaman semakin maju yang membuat adat

tradisi hamoir ditinggalkan karna pola fikir manusia yang semakin modern juga

pergeseran makna yang sempit terhadap tradisi budaya menjadi luas karena ilmu

yang modern. Jika kita melihat apakah sama rasanya sepasang kekasih yang

melakukan Merariq dengan yang tidak melakukan Merariq. Itu kita bisa lihat dari

individu orangnya, sebagian orang sasak mungkin sangat bahagia jika menikahnya

menggunakan proses adat Merariq karena merupakan kebanggan tersendiri bagi

orang-orang sasak. Tetapi kalau sepasang kekasih yang tidak menggunakan

Merariq itu juga sudah kesepakatan bersama sepasang kekasih, karena mungkin

zaman yang sudah modern atau pasangan dari pihak perempuan bukan lg dari

keturunan sasak.

4. Skripsi yang penulis buat ini memiliki temuan positif dalam Merariq, bahwa kalau

penulis baca buku-buku terdahulu atau skrispi terdahulu tentang Merariq itu lebih

kepada konten negatif. Karena Merariq ini lahir dari pada agama dan budaya yang

menjadikan integrasi yang saling memahami dan bermakna. Sehingga para tokoh

ulama-ulama di Lombok pun enggan berkomentar tentang Merariq karena, salah

satu tradisi budaya yang mana tidak bisa dipisahkan dengan agama itu sendiri.

Karena memang agama dan budaya sudah melekat satu sama lain saling

memahami.
70

B. Saran-saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang ingin

disampaikan oleh penulis ialah :

1. Integrasi agama dengan Budaya yang menghasilkan tradisi perkawinan

Merariq ini tetap harus dijaga karena tradisi ini sangat unik dan menjadi

sebuah simbol dari pada suku sasak di Lombok.

2. Dari proses praktik Merariq agar dijaga dan jangan disalahgunakan

walaupun tuntutan zaman yang sudah modern, tetapi harus menjaga ke

aslian dari pada adat Merariq itu sendiri, agar tidak hilang tradisi

perkawinannya tersebut.

3. Untuk menjaga tradisi perkawinan Merariq di masa modern ini maka harus

disesuaikan dengan hukum yang berlaku tetapi tetap menjaga keasliannya.

Jika terjadi beberapa kendala pendapat dari praktik Merariq tersebut maka

untuk menyesuaikan dengan tuntutan dunia modern maka dibuang yang

tidak sesuai dengan dunia modern dan diambil baiknya lalu di jaga

keasliannya.
Daftar Pustaka

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta,

2009

Suhanah. Dinamika Agama Lokal di Indonesia, Jakarta: Kementerian

Agama, 2004

Khadziq. Islam Dan Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama

Dalam Masyarakat, Yogyakarta: Teras, 2009

Musifin As’ad dan Salim Basyarahil. Perkawinan dan Masalahnya,

Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 1993

Yasin, Nur. Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang: UIN Malang Press,

2008

Aniq, Ahmad Fathan. Konflik Peran Gender pada Tradisi Merariq di

Pulau Lombok, Surabaya: IAIN Sunan Ampel

Mastuhu. Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik, Jakarta: PT

Grafindo Persada, 2006

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif , Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2006

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 2006

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,

Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006

71
72

Suryabrata, Sumardi. Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1998

Connolly, Peter(ed). Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: PT LkiS

Printing Cemerlng, 2002

Budiwanti, Erni. Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima, Yogyakarta:

LkiS, 2000

Bartholomew, John Ryan. Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak,

Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001

Zuhdi, M. Harfin. Praktik Merariq: Wajah Sosial Masyarakat Sasak,

Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012

Rahman, Fachrir. Pernikahan di Nusa Tenggara Barat antara Islam dan Tradisi,

Mataram: LEPPIM IAIN Mataram, 2012

Lukman, Lalu. Pulau Lombok dalam sejarah: ditinjau dari aspek budaya,

Mataram:2005.

Masnun. Tuan Guru KH. Muhammda Zainuddin Al-Madjid: gagasan dan

gerakan pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat, Mataram: Pustaka Miqdad,

2007.

Sumber data dari kejaksaan Negeri Nusa Tenggara Barat, data-data

tentang ajaran wetu Telu di Nusa Tenggara Barat, Mataram: 28 Maret 2017.

Ahyar Fadly, Muhammad. Islam Lokal: akultuasi Islam dibumi Sasak,

Lombok: STAIIQH Press, 2008.


73

Rustanto, Bambang. Masyarakat Multikultural di Indonesia, Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2015.

Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: PT Tiara Wacana

yogya, 1987.

Sudirman. Bahrie. Ratmaja, Lalu. Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi

Sasak, NTB: KSU Primaguna, 2012.

Geriya, Wawan. Beberapa segi tentang masyarakat dan sistem sosial,

Denpasar: Universitas Udayana, 1981.

Abdullah, Idris. Penyelesaian sengketa melalui mekanisme pranata lokal

di kabupaten Lombok Barat, disertasi. Jakarta: fakultas Hukum Program Pasca

Sarjana UI. 2000.

Nur Yasin, M. Kontekstualisasi Doktrin Tradisional di Tengah

Mordenisasi Kawin Lari (Merari) di pulau Lombok, jurnal Istimbath no.1 vol. IV

desember 2006.

Tambunan, E.H. Sekelumit mengenai Masyarakat Batak Toba dan

Kebudayaannya, Bandung:1982.
74

WAWANCARA

Wawancara pribadi dengan Mahardika, Pemangku Adat Sasak di

Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sabtu, 29 Maret 2017.

Wawancara pribadi dengan Drs. H. Lalu Mudjitahid, Ketua Masyarakat

Adat Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sabtu, 08 April 2017.

Wawancara pribadi dengan Ir. H. Ikhsan Gemala Putra,

Budayawan Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Minggu, 09 April 2017.

Wawancara pribadi dengan Drs. H. Syahdan Ilyas, Ketua Forum

Kerukunan Umat Beragama di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Senin, 10 April

2017.
75

Lampiran 1

Surat Bukti Penelitian


76

Lampiran 2

Pertanyaan Wawancara

1. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SUKU SASAK

A. Sejarah Singkat suku Sasak

- Jelaskan sejarah tentang suku sasak?


B. Letak Geografis

- Jelaskan letak geografis Suku Sasak?


C. Sistem Keyakinan yang dianut masyarakat Sasak?

- Jelaskan sistem keyakinan yang dianut masyarakat sasak?


a. Akidah kepada Allah

- Jelaskan Akisah masyarakat sasak terhadap pengetahuannya kepada

Allah

b. Ibadah kepada Allah

- Bagaimana pendekatan ibadah yang dilakukan masyarakat sasak

terhadap Allah

c. Akhlak Perilaku Sosial

- Bagaimana akhlak masyarakat Sasak terhadap Perilaku sosial

2. KEBUDAYAAN

A. Tantangan dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Kreasiativitas

Kebudayaan

- Bagaimana tantangan yang muncul dalam tradisi Merariq yang

menghasilkan Kreativitas Kebudayaan?


77

B. Karya dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Inovasi Kebudayaan

- Bagaimana karya dalam tradisi Merariq dalam menghasilkan sebuah

Inovasi Kebudayaan?

C. Tujuan Tradisi Merariq yang menghasilkan Nilai-nilai Kebudayaan

- Bagaimana Tujuan dalam tradisi Merariq dalam menghasilkan nilai-

nilai dalam kebudayaan tersebut?

3. FAKTOR DOMINAN ANTARA AGAMA DAN BUDAYA DALAM

TRADISI MERARIQ

A. Tujuan Merariq

- Jelaskan Tujuan dari perkawinan Merariq?

B. Alasan Merariq

- Jelaskan alasan dari perkawinan Merariq?

C. Perspektif Merariq

- Jelaskan perspektif orang terhadap perkawinan Mearariq?


78
79
80
81
82

Lampiran 3

Hasil Wawancara :

1. Data Pribadi

a. Nama : Bajang Mahardika

b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. Tempat Tanggal Lahir : Mataram, 31 Desember 1993

d. Umur Narasumber : 24 tahun

e. Alamat Narasumber : Desa Sade Lombok Tengah

f. Pekerjaan Narasumber : Pemangku Adat Asli Desa Sade (Sudah

Merariq’)

g. Tanggal Wawancara : 29 Maret 2017

h. Tempat Wawancara : Desa Sade Lombok Tengah

i. Waktu Wawancara : 10.30 – 11.30 WITA

2. Wawancara dan Hasil Wawancara :

- Pewawancara : Jelaskan Sejarah Tentang Suku Sasak yang anda

ketahui?

- Narasumber : Sasak berasal dari kata “sah” yang berarti “pergi”

dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu dapat disimpulkan

bahwa “sasak” memiliki arti “pergi ketanah leluhur”. Dari pengertian

inilah kita bisa lihat bahwa leluhur orang sasak itu adalah orang Jawa.

Bukti lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang

Sasak disebut sebagai “Jejawan”, merupakan aksara yang berasal dari

tanah Jawa, pada perkembangannya, aksara ini dipersepsikan dengan


83

baik oleh para pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusastraan

Sasak. kata Sasak juga berasal dari kata sak-sak yang dalam bahasa

Sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan dengan kedatangan

nenek moyang orang Sasak dengan menggunakan sampan dari arah

barat. Dan juga Sasak adalah kitab Nagarakertagama yang memuat

catatan kekuasaan Majapahit abad ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca.

Dalam kitab Nagarakertagama terhadap ungkapan “lombok sasak

mirah adi”, pemaknaan ini merujuk kepada kata Sasak (sa-sak) yang

diartikan sebagai satu atau utama, Lombok (Lomboq) dari bahasa kawi

yang dapat diartikan sebagai jujur atau lurus, mirah diartikan sebagai

permata dan adi bermakna baik. Maka, Lombok Sasak Mirah Adi

berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama.

Masyarakat Suku Sasak merupakan masyarakat yang masih memegang

teguh tradisi dan mempertahankan kebudayaan sampai saat ini. Kini,

suku Sasak bukan hanya sebuah kelompok masyarakat tetapi juga

merupakan salah satu etnis yang melambangkan kekayaan tradisi yang

dimiliki oleh Indonesia. Sasak adalah penduduk asli dan kelompok

etnik mayoritas Lombok. mereka meliputi lebih dari 90% dari

keseluruhan penduduk Lombok. kelompok-kelompok etnik lain seperti

Bali, Sumbawa, Jawa, Arab, dan Cina adalah para pendatang.

- Pewawancara : Lalu coba anda jelaskan letak geografis Desa Sade

ini?
84

- Narasumber : Dusun Sade atau Desa Sade terletak di wilayah

Desa Rambitan, kecamatan Punjut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa

Tenggara Barat. Letak kampung ini 50 km arah Tenggara Kota

Mataram (Ibu Kota NTB) dan 19 km dari kota Praya (Ibu Kota

Lombok Tengah). Desa Sade ini memiliki Luas 50 Ha. Secara

geografis pada koordinat 08 derajat 50 LS dan 116 derajat BT. Desa

Sade terletak pada ketinggian 120-126 m di atas permukaan laut,

terletak pada sebuah bukit, di sebelah Utara dan Selatan terdapat

persawahan dan ladang penduduk. Batas wilayah yaitu Sebelah Barat

Dusun Penyalu, Sebelah Utara Dusun Selak, sebelah Selatan Dusun

Selemang.

- Pewawancara : Dan bagaimanakah sistem keyakinan yang dianut

masyarakat Sasak? Keyakinan manusia terhadap Tuhannya, kemudian

bagaimana cara pendekatan ibadah manusia kepada Tuhannya, serta

bagaimana perilaku sosial antara sesama manusianya?

- Narasumber : Sebelum kedatangan pengaruh asing di Lombok,

Boda merupakan kepercayaan asli orang Sasak. Orang Sasak pada

waktu itu, menganut kepercayaan ini, disebut sebagai Sasak Boda.

Dengan begitu agama ini tidaklah sama dengan Buddhisme karena ia

tidak mengakui Sisarta Gautama atau Sang Buddha sebagai figur

utama pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya. Agama

Boda dari orang Sasak asli terutama ditandai oleh animisme dan

pantaisme. Pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dan berbagai


85

dewa lokal lainnya merupakan yang utama dari praktik keagamaan

Sasak-Boda. Konversi orang Sasak ke dalam Islam sangat berkaitan

erat dengan kenyataan adanya penaklukan dari kekuatan luar. Berbagai

kekuatan asing yang menaklukkan Lombok selama berabad-abad,

sangat menentukan cara orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh

luar. Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di

wilayah pegunungan utara dan di lembah-lembah pegunungan

Lombok bagian selatan. Kelompok Boda ini konon adalah orang-

orang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut

kepercayaan asli. Mereka menyingkir ke daerah pegunungan

melepaskan diri dari islamisasi di Lombok. Kemudian kerajaan

Majapahit masuk ke Lombok dan membawa serta budayanya. Hindu-

Buddha Majapahit pun kemudian dikenal oleh Suku Sasak. Di akhir

abad ke 16 hingga abad ke 17 awal perkembangan agama Islam

menyentuh pulau Lombok. Salah satunya karena peran Sunan Giri.

Setelah perkembangan Islam, kepercayaan Suku Sasak sebagian

berubah dari Hindu menjadi penganut Islam. Berdasarkan sistem

kepercayaan Suku Sasak pada masa-masa selanjutnya, kemudian

dapat diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan

Islam (Wetu Lima). Awalnya Agama Wetu Telu memiliki ciri sama

dengan Hindu-Bali dan Kejawen. Peran leluhur begitu menonjol. Hal

itu didasarkan pada pandangan yang berakar pada kepercayaan

tentang kehidupan senantiasa mengalir. Pada perkembangannya Wetu


86

Telu justru lebih dekat dengan Islam. Sekarang hampir semua desa

suku Sasak sudah menganut Agama Islam lima waktu dan

meninggalkan Wetu telu sepenuhnya. Sementara sinkretisme Islam

Wetu telu kini berkembang terbatas di beberapa bagian utara dan

selatan Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun,

Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah, dan Tanjung

di Lombok Barat. Istilah Islam Wetu Telu diberikan karena penganut

kepercayaan ini beribadah tiga kali di bulan puasa, yaitu waktu

Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Di luar bulan puasa, mereka hanya

satu hari dalam seminggu melakukan ibadah, yaitu pada hari Kamis

dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Untuk urusan ibadah lainnya

biasanya dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan

penghulu. Para penganut Islam Wetu telu membangun Masjid

(tempat ibadah) mereka dengan gaya arsitektur khas Suku Sasak; dari

kayu dan bambu, dengan bagian atapnya terbuat dari jenis alang-

alang atau sirap dari bambu. Dengan denah berbentuk persegi empat

dan bagian atap seperti piramid bertumpang yang disangga dengan

tiang-tiang, beberapa ahli menilai arsitektur masjid ini mirip dengan

Arsitektur masjid lama di Ternate dan Tidore. Dalam siklus hubungan

ini status mangku dan dewa berfungsi sebagai penghubung. Jika

seseorang melaksanakan nazar, misalnya memohon keselamatan,

sembuh dari penyakit dan sebagainya, mereka minta kepada mangku

untuk mengantarkan dan memimpin upacara ke tempat tertentu dan


87

kepada dewa mana permohonan tersebut disampaikan. Permohonan

dimaksud kemudian dihubungkan kepada Tuhan oleh dewa karena

Tuhanlah yang dapat memutuskan segala sesuatunya. Jadi, mangku

dan dewa berfungsi perantara dalam hubungan manusia dengan Tuhan.

Dalam pola berhubungan ibadah antara manusia kepada Tuhannya itu

di posisikan oleh Kyainya. Sebagai petugas, seluruh tugas-tugas dan

kewajiban peribadatan dari Tuhan, menurut faham Isalm wetu telu

cukup dikerjakan oleh para Tuan Guru atau kyai. Oleh karena itu

tugasnya yang tergolong berat, maka Tuan Guru atau Kyai cukup

dihormati. Masyarakat setempat sangat patuh terhadap sikap dan

nasehatnya. Itulah yang menjadi pendekatan ibadah masyarakat sasak

terhadap Tuhannya. Meskipun sebagian masyarakat sasak ada yang

masih mempercayai Wetu Telu, ada juga yang sudah meninggalkannya

dan mengerjakan waktu lima yaitu Islam sempurna. Mereka hanya

mempercayai untuk tetap menghormati leluhur Budaya mereka tentang

Wetu Telu tersebut. Dan Wetu Telu itu mereka tidak pernah

mengerjakannya, karena setiap ibadah Wetu Telu itu hanya di lakukan

oleh Pemimpin seperti Pemangku Adat yang sudah dijelaskan diatas,

jadi ibadah Wetu Telu dahulu di lakukan hanya diwakilkan saja oleh

pemimpinnya dan jamaahnya hanya meyakini dan mempercayainya

saja. Itulah masyarakat sasak yang masih menganut wetu telu, beda

halnya yang sudah meninggalkannya dan mengerjakan waktu lima,

mereka hanya percaya saja tidak mengerjakannyanya. Dengan begitu


88

mereka tetap mempercayai adanya Allah, taat kepada Allah, percaya

adanya Nabi Muhammad SAW, dan juga percaya manusia pertama itu

adalah Adam. Masyarakat Sasak tetap mengerjakan sholat lima waktu,

berpuasa, bersedekah, dan sebagainya seperti Islam pada umumnya

tetapi yang membedakan mereka masih melakukan ritual-ritual adat

budaya peninggalan nenek moyang mereka. Nilai budaya yang

berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia yang

terkandung dalam kelompok ungkapan ini adalah usaha menjaga

hubungan yang baik dengan individu dan masyarakat sekitarnya.

Antarindividu dalam masyarakat sasak memiliki perasaaan saling

memiliki, suku bangsa sasak, satu sama lainnya. Dan salah satu dari

kelompok etnis sasak yang saya ambil adalah Desa Sade asli suku

Sasak, maka sosialisasi mereka tidak jauh-jauh dari lingkungan sekitar

kampung itu. Tetapi mereka tetap berinteraksi di luar dari kampung

tersebut. Karena bagaimanapun tetap satu komunitas masih

membutuhkan bantuan dan interaksi sosial di luar dari komunitasnya

tersebut. Dengan demikian maka masyarakat Sade pun ada komunikasi

antarkelompok terhadap masyarakat di luar kampung Sade.

1. Data Pribadi

a. Nama : Drs. H. Lalu Mudjitahid

b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. Tempat Tanggal Lahir : Lombok Barat, 08 September 1938

d. Umur Narasumber : 79 tahun


89

e. Alamat Narasumber : Jalan Ahamd Yani No.1 Cakranegara Kota

Mataram

f. Pekerjaan Narasumber : Ketua Masyarakat Adat Sasak (MAS)

Lombok

g. Tanggal Wawancara : 08 April 2017

h. Tempat Wawancara : Kediaman Beliau (dirumah Beliau)

i. Waktu Wawancara : 16.25 – 17.35 WITA

2. Wawancara dan Hasil Wawancara :

- Pewawancara : Bagaimana menurut anda tentang tantangan yang

muncul dalam Tradisi Merariq yang menghasilkan Kreativitas

Kebudayaan?

- Narasumber : Dalam Tradisi Perkawinan Merariq tantangan

yang menghasilkan kreasi disini ialah cara meminta untuk

dinikahkannya yaitu dengan dibawa lari atau dalam bahasa sasak di

sebut Merariq. Merariq atau kawin lari yakni perkawinan yang terjadi

dengan cara melarikan si gadis tanpa sepengetahuan orangtua si gadis.

Merariq’ atau kawin lari merupakan keputusan terakhir yang diambil

oleh calon pengantin laki apabila tidak mendapat restu dari orangtua

calon pengantin wanita. Tetapi Merariq’ juga dilakukan jika kedua

pasangan saling suka. Dalam tradisi adat sasak, melakukan perkawinan

itu harus dengan Merariq jika tidak maka justru orangtua perempuan

merasa tersingkung jika anak perempuannya tidak dilarikan. Biasanya

kawin lari di lakukan pada malam hari antara waktu magrib dan isya,
90

dimana si gadis dijemput pada tempat yang telah disepakati kedua

calon pengantin. Merariq’ dilakukan bila laki-laki dan wanita sama

suka atau lelakinya saja yang suka dengan wanita, tetap bisa Merariq.

Dalam rombongan penjemput, ketentuan adat mengharuskan

keikutsertaan seorang wanita “suci” dalam arti telah memasuki masa

menopause. Ini bertujuan, agar ada yang menemani si gadis dalam

proses perjalanan “kawin lari”, sehingga tidak terjadi sesuatu di luar

norma susila dan demi menghindari kecurigaan masyarakat.

- Pewawancara : Lalu bagaimana pendapat anda tentang karya

dalam tradisi Merariq yang menghasilkan Inovasi Kebudayaan?

- Narasumber : Ketika seseorang yang melakukan perkawinan

maka terdorong untuk bersikeras berjuang demi perkawinannya,

karena apa? Dalam adat suku sasak yang unik ini mempelai laki-laki

dituntut untuk bisa memberi mahar yang cukup fantastis kepada

mempelai wanitanya. Sebagai contoh mahar yang harus diberikan

berupa seekor kerbau atau seekor sapi, bagi para masyarakat suku

pedalaman sasak itu adalah bentuk mahar yang sangat besar

tanggungannya. Jadi mereka para lelaki jika ingin pertahankan

cintanya maka mereka haruslah berusaha keras untuk pencapaian

mahar tersebut. Tetapi yang membuat inovasi dalam masyarakat sasak

ini adalah “Merariq” itu sendiri, dimana para lelaki sudah siap rencana

untuk membawa lari pasangannya agar dapat dinikahkan, disinilah

bentuk kelihaian dan kematangan strategi para kaum lelaki suku sasak
91

dalam Merariq. Pasangan yang sudah benar-benar serius ingin

melangsungkan perkawinan dituntut untuk bisa meyakinkan kepala

suku adat ketika pasangan yang sudah berhasil kabur dari kediaman

mereka dan kembali setelah kedua orang tua mempelai melaporkan

kejadiaan ini dan sudah mengetahui lokasi anak-anak mereka masing-

masing, bahwa mereka sudah saling siap satu sama lain untuk

melangsungkan perkawinan. Permasalahan krusial ketika mempelai

laki-laki tidak memiliki harta apapun pada dirinya, maka keputusan

bagaimana dari orang tua mempelai wanita tetapi sejauh ini apabila hal

ini terjadi biasanya orang tua dari mempelai wanita memberikan waktu

untuk pria tersebut memenuhi maharnya dalam tempo waktu yang

ditentukan dengan kata lain (hutang mahar). Jadi sebagai gantinya

mahar saat penikahan berlangsung bisa berupa berapapun jumlah uang

yang dimiliki atau harta benda yang ada pada diri mempelai laki-laki

tersebut. Pada saat ingin melangsungkan perkawinan biasanya para

kaum wanita haruslah bisa menjahit dan merajut karena pada dasarnya

mata pencaharian mereka para suku sasak ini adalah bertani. Jadi

apabila musim hujan sudah melanda maka penghasilan dari bertani

mereka bisa kurang hingga 70% dari biasanya. Maka dari itu solusi

dari mereka para wanita suku sasak yang nantinya akan

melangsungkan perkawinan adalah harus bisa menjahit atau merajut

dan hasilnya dijual ke sekitar desa bahkan bisa sampai Kota Mataram.

Semua ini juga demi kelangsungan hidup anak mereka dan


92

keturunannya kelak. Rata-rata survei yang sudah dilakukan bahwa

masyarakat suku sasak Merariq muda. Mulai dari kalangan remaja

lulusan SMA sampai baru lulu SMP sudah melakukan merariq, jadi

bisa dibayangkan bagaimana mereka yang ingin Merariq sudah harus

berfikir dewasa untuk bisa membawa lari wanita yang dicintainya.

Sedangkan apabila sudah dibawa lari tetapi pada ujungnya orang tua

wanita tetap tidak mau merestui maka keduan pasangan lari ini akan

sangat malu pada masyarakat desa. Bagaimana tidak karena ketika

kejadian bawa lari itu terjadi maka kepala suku dan orang tua para

anak pasti menyebarkan berita tersebut, jadi seluruh masyarat di desa

itu pasti mendengar dan mengetahuinya. Maka dari itu kebanyakan

para orang tua merestui anak-anaknya yang sudah sama-sama

mencintai karena takut omongan dan kebencian masyarakat terhadap

anaknya

- Pewawancara : Dan bagaimana menurut anda Tradisi Merariq

dalam menghasilkan nilai-nilai kebudayaan?

- Narasumber : Bagi masyarakat Sasak, Merariq berarti

mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap kejantanan

seorang laki-laki Sasak karena ia berhasil mengambil (melarikan)

seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain, bagi orang tua

gadis yang dilarikan juga cenderung resisten, kalau tidak dikatakan

menolak untuk memberikan anaknya begitu saja jika diminta secara

biasa (konvensional). Hal ini dikarenakan mereka beranggapan bahwa


93

anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa,

maka dianggap seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada

ungkapan yang biasa diucapkan dalam bahasa Sasak: Ara’m ngendeng

anak manok baen (seperti meminta anak ayam saja). Jadi dalam

konteks ini, merariq dipahami sebagai sebuah cara untuk melakukan

prosesi pernikahan, disamping itu juga cara untuk keluar dari konflik.

Mengapa seperti itu, karena pengertian dari Merariq atau kawin lari

itu, bisa karena orang tua sang gadis tidak merestui pernikahan

anaknya, dikarenakan harus sang laki-laki melarikan anak

perempuannya, maka mau tidak mau itu harus di kawinkan tetapi tetap

ada bayar denda karena sudah melarikan anak gadis orang.

1. Data Pribadi

a. Nama : Ir. H. Ikhsan Gemala Putra

b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. Tempat Tanggal Lahir : Sumbawa, 14 Agustus 1967

d. Umur Narasumber : 50 tahun

e. Alamat Narasumber : Jalan Jayalengkara babakan residence A3

Mataram

f. Pekerjaan Narasumber : Budayawan Sasak di Lombok Nusa

Tenggara Barat

g. Tanggal Wawancara : 09 April 2017

h. Tempat Wawancara : Kediaman Beliau (Rumah Beliau)

i. Waktu Wawancara : 15.30 – 17.05 WITA


94

2. Wawancara dan Hasil Wawancara :

- Pewawancara : Jelaskan Bagaimana pendapat Anda tentang

Merariq?

- Narasumber : Pernikahan Sasak juga merupakan

pengejawantahan keyakinan masyarakat Sasak terhadap Tuhan.

Pelaksanaan Merarik, upacara batobat, selamatan tampah wirang,

metikah buah lekuk, bedak keramas, dan metikah merupakan ekspresi

keberagamaan akulturatif masyarakat Sasak. Melalui upacara

perkawinan tersebut, masyarakat Sasak mempertontonkan

pemahamanan keagamaan yang khas. Mungkin saja ekspresi

keberagamaan tersebut tidak sejalan dengan ekspresi keberagamaan

arus utama, tapi yang harus disadari adalah bahwa masyarakat Sasak

telah menunjukkan bagaimana menyikapi adanya batas-batas liminal

antara adat dan agama dengan menggunakan idiom-idiom lokal.

Karena ekspresi keberagamaan adat Sasak tidak sejalan dengan

ekspresi keberagamaan arus utama yang membuat mereka tetap

memliki batasan atas adat lokal, maka dari itu masyarakat Sasak sangat

percaya menghargai tradisi mereka yang ada dari nenek moyang

mereka. Dan beberapa pendapat ulama di Lombok tentang perkawinan

Merariq hampir semuanya tidak setuju, karena bagaimanapun Merariq

keluar dari konteks ajaran agama Islam. Terutama saya sendiri tidak

menyetujui tentang perkawinan Merariq tersebut, tetapi saya pun tidak

berusaha untuk mengusik atau melarangnya, karena itu sudah jadi


95

bagian adat tradisi suku Sasak, maka bagi masyarakat yang

meyakininya silahkan saja.

- Pewawancara : Apakah alasan yang menjadikan tradisi Merariq

itu pudaar ?

- Narasumber : Masyarakat Sasak yang saat ini mulai

meninggalkan tradisi Merariq ialah yang sudah mengenal Islam yang

sesungguhnya, banyak pendakwah Islam yang menyebar diseluruh

pulau Lombok yang mulai mengajarkan Islam sesungguhnya kepada

masyarakat Sasak. Jadi salah satu alasan tradisi Merariq di zaman ini

mulai pudar karena fakor penyempurnaan Agama Islam yang

disebarkan oleh pendakwah Islam di pulau Lombok yang semakin

banyak. Dan juga faktor modernisasi zaman, yang membuat pola fikir

manusia yang berbeda. Tetapi semakin berkembangnya zaman, dan

mudahnya pendakwah menyebarkan ajaran agama Islam, juga

pendidikan di Indonesia yang meningkat sehingga banyak sekali

generasi muda yang mulai berfikir lebih rasional dibandingkan dengan

orang-orang zaman dahulu, akan tetapi orang-orang tersebut tetap

menjaga tradisi keturunan mereka supaya tidak benar-benar musnah.

Karena, bagaimanapun adat tradisi harus tetap ada dalam suatu daerah

untuk menjadikan ciri khas daerah tersebut, walaupun hanya beberapa

persen.

1. Data Pribadi

a. Nama : Drs. H. Syahdan Ilyas MM


96

b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. Tempat Tanggal Lahir : Lombok Tengah, 31 Desember

1949

d. Umur Narasumber : 68 tahun

e. Alamat Narasumber : Jalan Serayu Raya No.10 BTN

Kekalek Mataram

f. Pekerjaan Narasumber : Ketua Forum Kerukunan Umat

Beragama Lombok

g. Tanggal Wawancara : 10 April 2017

h. Tempat Wawancara : Kediaman Beliau (Rumah Beliau)

i. Waktu Wawancara : 17.30 – 18.10 WITA

2. Wawancara dan Hasil Wawancara :

- Pewawancara : Jelaskan Bagaimana Tujuan dari Perkawinan

Merariq yang anda ketahui?

- Narasumber : Dalam pernikahan adat Sasak, Merariq lebih

dikenal dengan perkkawinan sesama misan/sepupu. Maka tujuan

dalam perkawinan Merariq ialah untuk melanjutkan keturunan,

memperkokoh ikatan kekerabatan, dan memperluas hubungan

kekeluargaan. Dan sebenarnya bisa dikatakan bahwa tujuan dari pada

Merariq itu sebenarnya adalah sebuah hal penyimpangan kalau di

sandingkan dengan hukum Islam atau ketentuan lainnya. Akan tetapi

tradisi Merariq diakui sebagai status hukum yang berlaku karena

merupakan adat istiadat dari suku Sasak itu sendiri. Akan tetapi
97

perkembangan zaman semakin maju pada zaman sekarang. Merariq

hampir ditinggalkan, dan beberapa praktik adat yang telah mengalami

metamorfosa dan perubahan paradigma di masyarakat Sasak tentang

perspektif Merariq ini setelah mendalami ajaran agama Islam dan

fenomena perkawinan adat lain di Indonesia seperti yang terjadi di

Jawa dan Pulau Sumbawa. Dalam perubahan ini memang tidak bisa

secara sekaligus, tetapi secara bertahap, dan dimulai oleh warga Sasak

yang berpendidikan dan memiliki pengalaman di daerah lain. Sekitar

hanya 3 % dari suku Sasak yang masih melakukan Merariq. Salah satu

alasan mengapa Merariq mulai ditinggalkan karena sulitnya memenuhi

persyaratan adat perkawinannya, juga tradisi adat Sasak Lombok ini

sebenarnya sudah banyak yang paralel dengan ajaran Islam, seperti

soal pisuke dan nyongkolan.

- Pewawancara : Lalu Jelaskan Bagaimana Alasan dari Perkawinan

Merariq Tersebut?

- Narasumber : Orang-orang Sasak melakukan Merariq ini adalah

salah satunya menjadi cara paling terhormat bagi laki-laki Sasak untuk

menikahi seorang perempuan. Alasannya, karena Merariq memberikan

kesempatan kepada para pemuda, yang hendak beristri, untuk

menunjukkan kejantanannya. Sifat jantan merupakan simbolisasi sosok

suami yang bertanggung jawab dalam segala kondisi terhadap

keberlangsungan keluarganya. Laki-laki yang melakukan Merariq

telah membuktikan dirinya sebagai seorang pemberani. Terdapat


98

beberapa alasan mengapa Merariq dilakukan. Pertama, untuk

menunjukkan kesungguhan si laki-laki terhadap si gadis. Kedua,

menunjukkan keberanian, seperti seorang ksatria. Ketiga, karena

alasan sejarah. Keempat, karena alasan kompetisi. Akan tetapi

sekarang ini adat Merariq telah banyak mengalami pergeseran nilai

dan praktik yang disebabkan kurangnya pemahaman pelaku Merariq

terhadap ketentuan adat dan ajaran agama. Seiring perkembangan

zaman, jumlah orang yang melakukan Merariq semakin sedikit. Tetapi

bukan berarti berkurangnya laki-laki yang hilang kejantannya,

melainkan karena ada beberapa kasus di beberapa adat tradisi misalnya

seperti nyongkolan. Bahwa yang telah dijelaskan diatas, membuat

Merariq hanya dijadikan simbol tradisi dan karena semakin zaman

berkembang sudah banyak orang-orang yang berpendidikan membuat

pemikiran mereka lebih berkembang dan mencari jalan lain untuk

melangsungkan perkawinan. Akan tetapi mereka tetap menghormati

tradisi adat Sasak dengan masih melakukan adat-adat yang pantas

sampai saat ini dan mudah dilakukan dan meninggalkan yang sudah

tidak cocok di zaman sekarang ini. Pada saat ini Merariq yang

dilakukan terkadang hanya bersifat simbolis belaka, yaitu dengan

“sepengetahuan” kedua orang tua si gadis. Perkelahian yang mungkin

timbul akibat dari tertangkapnya orang yang melakukan Merariq juga

dilakukan hanya untuk menggugurkan ketentuan adat.


99

- Pewawancara : Dan coba Jelaskan Bagaimana Perspektif menurut

Anda terhadap Perkawinan Merariq?

- Narasumber : Yang telah dijelaskan diatas bahwa perspektif

Merariq sudah memiliki banyak perubahan karena perekmabngan

zaman, yang mana saat ini praktik Merariq itu sudah diketahui oleh

orangtua daripada kedua calon pengantin, proses menculiknya itu

hanya proses adat yang tetap harus dijalankan karena merupakan dari

adat istiadat. Dan agar menjaga tali persaudaraan atau kerabat terdekat

yang juga ingin melamar anak perempuan dari salah satu desa

misalnya, maka dibiarkannya anak perempuannya diculik oleh

pacarnya karena itulah yang telah menjadi pilihan anak perempuan itu.

Itulah yang pada saat ini Merariq yang masih dijalankan oleh beberapa

masyarakat Sasak sekitar 3% yang dijelaskan diatas. Walaupun begitu,

itu sudah bermetamorfosa dari tradisi perkawinan Sasak yang asli,

yang mana ada kisah sebuah mitos. Konon, dulu di Lombok ada

seorang raja dengan putri yang sangat cantik. Karena terlalu cantiknya,

semua pria suka padanya dan berlomba-lomba melamarnya. Maka

sang Raja mendirikan sebuah kamar dengan sistem penjagaan yang

sangat ketat. Lalu raja memberi tantangan, "Barangsiapa berhasil

menculik putriku, akan kunikahkan dia dengan putriku," Dari situ,

pria-pria Lombok memiliki kebanggaan jika berhasil menculik orang

yang dicintainya. Maka, jika sudah berhasil terculik, pihak keluarga

perempuan harus rela anaknya dinikahkan dengan sang penculik. Maka


100

dari itu satu perempuan di kampung adat Sade/orang Lombok

pacarnya banyak bisa sampai delapan, karena tidak ada istilah pacaran,

siapa cepat menculik atau mengajak kabur maka ia yang berhasil

menjadi ksatria. Perspektif Merariq ialah berbeda-beda ada yang

berpandangan bahwa masyarakat Islam sasak terhadap Merariq ada

dua pendapat. Pertama, pandangan masyarakat biasa, yang mengatakan

bahwa Merariq tidak ada masalah selama dilakukan dengan ketentuan

adat dan ajaran agama. Kedua, pandangan kaum terdidik, mereka lebih

melihat pada dampak dari mulai proses awal sampai akhir. Sehingga

sebaiknya perlu dicarikan alternatif yang lebih sederhana dan baik

untuk menghindari dampak negatif yang muncul.


101

Lampiran 4

Foto Kegiatan Lapangan


102
103
104

Anda mungkin juga menyukai