Anda di halaman 1dari 67

TESIS

KAJIAN NILAI MORAL DALAM TRADISI LISAN KASESENAN


PADA SUKU TOUNSAWANG MINAHASA

OLEH
ELFIRA IRA UMPULUMAYU
NIM 21808004

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan penyertaan’Nya
sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa
Indonesia Universitas Negeri Manado.

Dengan selesainya penulisan Tesis ini, penulis sampaikan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada para pendukung dan juga para penopang yang telah menjadi saluran berkat
dalam dunia pendidikan, dimana penulis dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan kasih sayang
dalam tugas yang sangat berarti ini. Untuk itu, penulis sampaikan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Deitje Adolfien Katuuk, M.Pd selaku Rektor Universitas Negeri Manado,
bersama Pembantu Rektor I, Pembantu Rektor II, Pembantu Rektor III, Pembantu Rektor
IV, Pembantu Rektor V, serta Pembantu Rektor VI yang telah memberikan kesempatan
untuk menjalani kuliah di Program Studi Pascasarjana Universitas Negeri Manado.
2. Prof. Dr. Tinneke E. M Sumual, M.S selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas
Negeri Manado bersama dengan Asisten Direktur I, II, III, dan IV yang telah memberikan
kesempatan untuk menjalani studi di Pascasarjana Universitas Negeri Manado.
3. Dr. Santje Iroth, M.Hum selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Pascasarjana Universitas Negeri Manado.
4. Dr. Santje Iroth, M.Hum selaku Pembimbing I dan Dr. Fince Sambeka, M.Hum selaku
Pembimbing II yang penuh dengan kesabaran telah memberikan arahan yang baik dan
tepat bagi peneliti dalam melakukan tindakan penelitian.
5. Semua dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Manado.
6. Staf Administrasi Pascasarjana Universitas Negeri Manado yang telah sangat kooperatif
dalam penyelesaiaan berbagai macam hal yang diperlukan.
7. Orangtuaku tercinta Ibu Henni Mangeber yang terus berjuang dengan penuh kasih sayang
demi masa depanku.
8. Pamanku Jemmy Legi, Tanteku Selly Mangeber, Adikku Stifany Legi, Saudariku Githa
Tumboimbela, Pamanku Kennedy Mangeber, dan Pamanku Fentje Umpulumayu yang
selalu memberikan dukungan, bantuan, semangat dan motivasi kepada diriku.
ii
9. Pengurus Desa dan anggota masyarakat Desa Kuyanga Satu yang telah membantu urusan
dalam penelitian.
10. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan dalam masa studi, teristimewa Dewi
Inkiriwang, Ongky Ratulangi, Nus Kainama, dan Marlisa J. Muhammad yang selalu
memberikan semangat dan motivasi untuk terus berjuang.
11. Saudara-saudaraku dan teman-temanku semuanya, yang selalu mendoakan dan
memberikan dukungan arahan bagi penulis.

Peneliti menyadari, bahwa penyusunan Tesis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran dari pembaca dalam rangka perbaikannya.
Semoga susunan Tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Tomohon, Desember 2023

Peneliti

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………….………………………. i

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………...…………. ii

DAFTAR ISI ………………………………………………………….……………………….. iv

ABSTRAK …………………………………………………………….………………………. vi

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………………………... 5
1.3 Tujuan Penelitian ………………………..…………………………….…………………... 5
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………...…………….………. 6

BAB II LANDASAN TEORI


2.1 Pengertian Nilai Moral ………………………………………………………………..……. 7
2.2 Pengertian Tradisi Lisan Kasesenan ………………………………………………...……. 11
2.3 Kajian Nilai Moral Dalam Tradisi Lisan Kasesenan ………………………………...…… 13
2.4 Kajian Semantik Dalam Tradisi Lisan Kasesenan …………………………………………. 20

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Metode Penelitian …………………………………………………………………..…….. 26
3.2 Seting Dan Subjek Penelitian ……………………………………………………...…...… 27
3.2.1 Seting Penelitian ……………………………………………………...……………. 27
3.2.2 Subjek Penelitian ……………………………………………………………….….. 32
3.3 Prosedur Penelitian ……………………………………………………….…………….. 34
3.3.1 Perencanaan ………………………………………………………..………………. 34
3.3.2 Pelaksanaan Tindakan ……………………………………………………………....34
3.3.3 Tahap Pengamatan Atau Observasi …………………..…………………………… 34
3.4 Teknik Pengumpulan Dan Analisis Data ………………………………………………… 34

BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian …………………………………………………………………………… 36
4.1.1 Penelitian Pada Jaga I dan Jaga II ……………………………….………...………. 36
4.1.2 Penelitian Pada Jaga III dan Jaga IV ………………………………...….…………..43
4.1.3 Penelitian dalam Lingkungan Jaga V dan Jaga VI ………..………..……………… 51
4.2 Pembahasan Data Jaga I Sampai Jaga VI ………………………………………………… 57

iv
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………...……… 58
5.2 Saran ………………………………………………………………………………………. 69

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………… 60

LAMPIRAN

v
KAJIAN NILAI MORAL DALAM TRADISI LISAN KASESENAN
PADA SUKU TOUNSAWANG MINAHASA

Elfira Ira Umpulumayu,

Universitas Negeri Manado

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang tradisi lisan “kasesenan” yang merupakan sebuah
tradisi etnis suku Tounsawang Minahasa yang sudah menjadi tradisi lama dan masih tetap
dilestarikan sampai sekarang ini. Melalui tradisi kasesenan, masyarakat akan ada
sepenanggungan bersama untuk menolong keluarga yang mengalami kedukaan/kematian, karena
peristiwa kematian adalah sebuah hal yang tidak terduga dalam kehidupan umat manusia.
Dalam tradisi kasesenan memiliki nilai-nilai moral yang mewarnai lingkungan hidup
sosial masyarakat, dimana sangat nampak jelas hubungan dengan Sang Pencipta, hubungan
dengan sesama makhluk hidup, hubungan dengan diri sendiri, serta hubungan dengan lingkungan
hidup. Melalui nilai-nilai moral tersebut tentu memiliki keteladanan sikap yang di dalamnya
mengandung sebuah tanggung jawab dan kedisiplinan untuk melaksanakan visi dan misi yang
sudah dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, sehingga akan tetap beretnis di suku Tounsawang
dalam menjalankan budaya bangsa.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode observasi, dalam
bentuk teknik wawancara dan dokumentasi. Penelitian ini sebagai upaya untuk mendeskripsikan
Kajian Nilai Moral Dalam Tradisi Lisan Kasesenan di Suku Tounsawang (terarah inti di Desa
Kuyanga Satu, Kecamatan Tombatu Utara, Kabupaten Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi
Utara).
Melalui visi dan misi masyarakat dalam menjalankan dan melestarikan budaya bangsa,
tentu memiliki hikmat akal budi pekerti bagi kalangan anak muda untuk tetap berjuang
melestarikan budaya bangsa, sehingga keberagaman budaya yang ada di masing-masing daerah
bangsa Indonesia tak akan pernah punah.

Kata kunci: Tradisi Kasesenan, Nilai-Nilai Moral

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nilai adalah sesuatu yang baik dicita-citakan oleh manusia. Nilai merupakan panduan
bagi masyarakat untuk bertindak atau berperilaku, agar manusia senantiasa berbuat hal-hal yang
dianggap baik oleh masyarakatnya. Nilai yang berlaku di lingkungan hidup manusia, tentu
memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya, karena setiap masyarakat memiliki
nilai yang telah disepakati bersama oleh masing-masing lingkungan masyarakat.

Salah satu nilai yang perlu dikaji adalah nilai moral. Nilai moral adalah nilai yang
berkaitan dengan tindakan baik dan buruk (positif dan negatif) yang menjadi dasar kehidupan
bagi manusia. Nilai moral memiliki poin-poin yang berhubungan dengan perilaku yang akan
menuntun kehidupan seseorang. Helden dan Richards (Skarkawi, 2008) merumuskan nilai moral
sebagai suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan dan tindakan dibandingkan dengan tindakan-
tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Nilai
moral memiliki pengertian sebagai wujud gambaran objektif mengenai sisi kebenaran yang
dilakukan seorang manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Definisi ini sejalan dari berbagai
macam bahasa terhadap penjelasan suku kata moral, seperti:

1. Bahasa Yunani “etika” adalah konsep penilaian sifat kebenaran atau kebaikan dari
tindakan sosial berdasarkan tradisi yang dimiliki oleh individu maupun kelompok.
2. Bahasa Arab “akhlak” adalah sifat manusia yang terdidik oleh keadaan yang melekat
pada jiwa manusia yang baik dengan melahirkan perbuatan-perbuatan melalui proses
pemikiran, pertimbangan, analisa dan ketangkasan.
3. Bahasa Indonesia “kesusilaan” adalah peraturan hidup manusia yang berkenaan
dengan bisikan kalbu (budi pekerti, adab dan sopan santun) dari suara hati nurani
manusia.

Menurut Hurlock, nilai moral merupakan tindakan yang sebanding dengan markah moral
dari suatu golongan sosial, sehingga hal ini berkaitan dengan suatu kebiasaan, adat dan tata cara

vii
dimana semuanya itu adalah kode etik yang telah menjadi suatu kebiasaan dalam budaya
masyarakat. Setiap lingkungan dalam suatu daerah pasti memiliki suatu dasar mengenai nilai dan
budaya yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan hidup masyarakatnya. Dasar dalam
suatu lingkungan masyarakat merupakan pandangan hidup sekaligus menjadi kontrol sosial
masyarakat dalam berperilaku, karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan hasil
kontruksi sosial yang sudah lama dan panjang dilalui oleh masyarakat. Tradisi lisan, budaya lisan
dan adat lisan adalah pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Pesan atau kesaksian itu disampaikan melalui ucapan, pidato,
nyanyian, serta dapat berbentuk pantun, cerita rakyat, nasihat, balada/ dialog, atau pun lagu.

Sebagai masyarakat Indonesia, tentu kita semua tahu bahwa negara kita ini kaya akan
keberagaman tradisi, baik tradisi kesenian, kuliner, hingga budaya yang merupakan kebiasaan
yang kerap dilakukan oleh masyarakat lokal. Kekayaan budaya ini tentunya harus dipelihara
sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD pasal 32 ayat 1) yang memberikan amanat, bahwa
negara Indonesia memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya di masing-
masing daerah.

Memelihara kebudayaan merupakan suatu tanggung jawab kita sebagai wujud kecintaan
terhadap bangsa Indonesia yang kaya dengan keberagaman suku, bahasa, budaya dan agama.
Salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia, ialah kebudayaan Minahasa yang terdapat di
Provinsi Sulawesi Utara. Minahasa secara umum telah dimekarkan menjadi Kabupaten
Minahasa, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa
Tenggara, Kota Manado, Kota Bitung dan Kota Tomohon yang semuanya banyak penduduk dari
daerah Minahasa. Keberagaman tradisi dan budaya ada pada masing-masing daerahnya. Hal ini
terlihat bahwa Minahasa memiliki delapan sub etnis yang menjadi tempat hidup dari pakasa’an
(satu kelompok etnis), yakni: Tountemboan, Tombulu, Tounsawang, Tounsea, Toulour, Pasan,
Ponosakan, dan Bantik. Kedelapan sub etnis Minahasa ini memiliki perbedaan bahasa masing-
masing daerah, akan tetapi dalam perilaku adat dan budayanya mempunyai kesamaan untuk
saling menghidupkan.

Budaya tradisional yang berkembang di daerah Minahasa sangat dikenal dengan budaya
mapalus (Muklis dkk, 1995). Mapalus adalah suatu sistem atau teknik kerja sama untuk

viii
kepentingan bersama di tengah-tengah lingkungan hidup masyarakat. Secara fundamental,
mapalus adalah suatu bentuk gotong-royong tradisional yang memiliki perbedaan dengan
bentuk-bentuk gotong-royong modern. Seperti dalam etnis Tounsawang memiliki sebuah tradisi
lisan yang disebut “kasesenan” sebagai anak cabang dari mapalus (maando).

Kata kasesenan berasal dari bahasa suku Tounsawang “sumesen” artinya berkumpul.
Jadi, kasesenan adalah suatu bentuk kegiatan masyarakat Tounsawang dalam berkumpul, baik
itu keluarga, saudara-bersaudara, atau pun sahabat untuk saling tolong-menolong sebagai salah
satu wujud kebersamaan dengan keluarga yang mengalami kematian/kedukaan. Pada masyarakat
suku Tounsawang, tradisi ini terikat erat dengan kata “masahey” yang memiliki arti menjamu.
Masahey adalah kegiatan pokok/inti dalam kasesenan untuk menjamu keluarga yang mengalami
kedukaan (disebut dengan kegiatan makan bersama).

Pada etnis Toulour, tradisi ini dikenal dengan istilah mekan yang artinya berkumpul
untuk mengenang orang yang telah meninggal dunia, serta makan bersama untuk mempererat
persaudaraan. Pada etnis Tontemboan dan Tombulu dikenal dengan istilah kumawus artinya
mengakhiri masa duka dengan cara berkumpul dan makan bersama. Sedangkan pada etnis
Tonsea dikenal dengan istilah dumingguan memiliki arti yang sama juga, yaitu berkumpul dan
makan bersama untuk mengenang orang yang sudah meninggal. Makan bersama memang dapat
ditemukan dalam setiap sejarah masyarakat. Secara umum, praktik yang menjadi tradisi ini
mengandung sebuah keunikan dalam setiap kebudayaan manusia, bahwa para leluhur masyarakat
menunjukkan ekspresi nilai sosial sebagai penanda rasa kemanusiaan dalam kehidupan keluarga
maupun masyarakat sekitar.

Pandangan Weichart mengenai peristiwa-peristiwa sosial di Minahasa yang sarat dengan


acara makan dan minum bersama, termasuk dalam tradisi mapalus sebagai upaya komunitas
mendemonstrasikan rasa memiliki dan juga berbagi yang telah menjadi moto umum. Masyarakat
hendak menyatakan atau membenarkan bahwa pertemuan sosial itu berfungsi sebagai
mekanisme untuk mengikat masyarakat (Weichart, 2007).

Tradisi kasesenan berhubungan dengan relasi antara aktivitas makan bersama, seperti
menyiapkan tempat, menu makanan yang disajikan, serta menonjolkan proses sosial, karena
kasesenan memiliki bentuk tradisi yang berbeda sekaligus membedakannya dengan yang lain.

ix
Kasesenan pun diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga masyarakat
menganggapnya sebagai salah satu rutinitas yang harus dilakukan. Dengan demikian, memori
kolektif dari masyarakat membuat budaya masih terjaga sampai saat ini.

Makan bersama memperlihatkan sejarah panjang hubungan manusia, mulai dari


makanannya atau kehidupan sosialnya. Secara umum, praktik yang menjadi tradisi ini menandai
adanya keunikan dalam setiap kebudayaan manusia, bahwa para leluhur menunjukkan ekspresi
nilai sosial sebagai penanda kemanusiaan dalam hubungan antara keluarga maupun masyarakat
sekitar. Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai, moral, adat dan pengalaman, atau pun yang disebut
sebagai kebudayaan non-material. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa tradisi makan
bersama dalam kasesenan tergolong dalam dua bentuk, baik wujud kebudayaan material dan
non-material.

Awalnya kegiatan dari tradisi kasesenan yaitu dilaksanakan pada hari ke tujuh setelah
pemakaman, dimana masyarakat desa akan datang berbondong-bondong ke bangsal dukacita
untuk menjamu keluarga yang berdukacita dengan membawa makanan seperti nasi, ikan, daging,
telur, sayur, dan sebagainya untuk duduk makan bersama. Makanan akan digelar dengan
hidangan yang diatur di atas meja panjang yang beralaskan daun pisang, kecuali makanan yang
berair (seperti sub atau santan). Kemudian semua masyarakat yang hadir pada kegiatan tersebut
akan duduk makan bersama dengan menggunakan tangan tanpa menggunakan sendok. Akan
tetapi seiring dengan perkembangannya zaman dan kemajuan teknologi di masa sekarang ini,
kegiatan makan bersama di atas daun pisang sudah mulai berangsur hilang atau sudah tidak lagi
dilakukan oleh masyarakat suku Tounsawang dalam kegiatan tradisi kasesenan. Melainkan
masyarakat menjalankan tradisi kasesenan dengan cara membawa makanan yang akan
diletakkan dalam piring dan disusun rapi dengan sendok, kemudian membungkusnya
menggunakan kain serbet, agar supaya kehangatan dari makanan tersebut tetap terjaga. Serta
juga di masa sekarang ini keterlibatan seluruh anggota masyarakat untuk mengantar makanan
sudah tidak lagi dilaksanakan oleh satu desa, melainkan hanya akan terbagi ke dalam tiap-tiap
kelompok jaga. Misalnya desa Kuyanga, kini sudah terbagi menjadi dua desa, yaitu desa
Kuyanga dan Kuyanga Satu, serta dalam desa Kuyanga Satu terbagi menjadi enam jaga. Apabila
ada keluarga yang mengalami kematian dan rumahnya terletak di lingkup jaga 1, maka yang
akan menjamu keluarga tersebut adalah anggota masyarakat yang ada di lingkungan jaga 1 dan

x
jaga 2 dari desa Kuyanga Satu. Tapi meskipun begitu, apabila ada masyarakat di luar jaga 1 dan
jaga 2 ingin menjamu keluarga yang berduka, maka itu tetap diizinkan oleh pemerintah desa
Kuyanga Satu untuk melakukannya. Karena kasesenan adalah sebuah lambang mapalus yang
memiliki ikatan khusus antara masyarakat, atau ungkapan yang menjadi motto dari Dr. Sam
Ratulangi yaitu “sitou timou tumou tou” (torang samua basudara), maksud/tujuannya adalah
manusia hidup untuk menghidupkan manusia lain dimana harus ada sikap saling tolong-
menolong.

Sistem nilai budaya yang terdapat dalam tradisi lisan kasesenan memberikan pengajaran
yang baik dengan tujuan positif bagi kelangsungan hidup masyarakat. Kajian nilai moral dalam
tradisi lisan kasesenan sangat terlihat dari masyarakat suku Tounsawang, terlebih lagi pada
Masyarakat desa Kuyanga Satu dimana ada sikap rendah hati yang mau berbagi kepada keluarga
yang mengalami kematian/kedukaan, serta sikap kedisiplinan dan tanggung jawab masyarakat
yang taat untuk menjalankan aturan dalam membudidayakan ketetapan budaya dari para leluhur
masyarakat sehingga masih tampak etnis di saat ini.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan adanya latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka timbul pertanyaan
sebagai berikut:

1. Bagaimana kajian nilai moral yang terkandung dalam tradisi lisan kasesenan di suku
Tounsawang Minahasa?
2. Bagaimana cara pemerintah dan masyarakat untuk tetap mempertahankan tradisi lisan
kasesenan pada suku Tounsawang?
1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan nilai moral yang terkandung dalam tradisi lisan kasesenan pada suku
Tounsawang Minahasa;
2. Mengetahui cara pemerintah dan masyarakat mempertahankan tradisi lisan kasesenan
dari masa lampau hingga masa sekarang ini.

xi
1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara praktis dan
teoritis, yaitu:

1.4.1 Manfaat Praktis


a. Bagi Peneliti:
1. Dapat menambah pengalaman dalam melakukan penelitian dalam tradisi kasesenan
pada suku Tounsawang Minahasa;
2. Diharapkan dapat memberikan pemulihan dan pemasukan bagi para peneliti lain
untuk melakukan penelitian mengenai suatu budaya.
b. Bagi masyarakat suku Tounsawang Minahasa:
Memberikan informasi bahwa tradisi kasesenan adalah salah satu budaya yang harus
dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat.

xii
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Nilai Moral

Nilai memiliki pengertian yang beragam bentuk. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), nilai adalah ukuran dalam bentuk sifat-sifat yang penting dan berguna bagi
kemanusiaan sesuai dengan hakikatnya. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak asing
dengan istilah nilai, bahkan sampai menggunakannya. Nilai selalu menjadi ukuran dalam
menentukan kebenaran dan keadilan, sehingga tidak akan pernah lepas dari sumber asalnya,
yaitu berupa ajaran agung dan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Steeman (Adisusilo, 2013) nilai adalah sesuatu yang dapat memberikan makna dalam
hidup yang dijunjung tinggi, yang dapat mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang.

Moral berasal dari kata latin mos/moris (adat istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku,
kelakuan) dan mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup). Moral adalah
suatu kebiasaan yang mengacu pada ajaran, khotbah, atau pun wejangan tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak untuk menjadi yang lebih baik. Helden dan Richards
(Skarkawi, 2008) merumuskan pengertian nilai moral sebagai suatu kepekaan dalam pikiran,
perasaan dan tindakan dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang tidak hanya berupa
kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Menurut Atkinson (1969) moral atau
moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan
tidak dapat dilakukan. Selain itu moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu
masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang harus dicoba untuk dilakukan
oleh manusia. Orang-orang yang memiliki kesadaran moral akan senantiasa jujur terhadap segala
sesuatu yang terjadi, contoh dari kesadaran moral yaitu:

- Perasaan wajib untuk melakukan tindakan yang baik dan positif, karena hal ini ada dalam
hati nurani manusia dari siapa pun dia, dimana pun dia, atau kapan pun dia berada.
- Kesadaran moral yang berwujud rasional dan objektif yaitu perbuatan yang secara umum
dapat diterima oleh masyarakat dimana diberlakukan secara universal, yang dapat

xiii
disetujui untuk berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada
dalam situasi tersebut.
- Kesadaran moral dalam bentuk kebebasan, yaitu ada kebebasan bagi setiap orang
mentaati aturan-aturan yang telah diterapkan serta ada juga kebebasan untuk meniru
sikap baik dan positif yang tergambar dalam diri manusia.

Dalam persoalan hidup manusia tergolong dalam beberapa kategori tentang suatu
hubungan yang menjadi dasar hidup bagi setiap orang, antaralain:

1. Hubungan manusia dengan Tuhan


Menjelaskan bahwa manusia ialah makhluk yang beragama memiliki keyakinan dan
kepercayaan kepada Sang Pencipa. Contoh: dalam kehidupan setiap hari yang dilalui,
manusia selalu bersyukur kepada Tuhan.
2. Hubungan manusia dengan diri sendiri
Menjelaskan tentang bagaimana seseorang mampu mengetahui kepribadian dari dirinya
sendiri dengan pemahaman yang mampu menentukan tujuan hidup yang tepat. Contoh:
seseorang selalu menjalankan tugas dan tanggung jawab demi suatu hal yang berharga
bagi diri dan hidupnya.
3. Hubungan manusia dengan orang lain
Menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tak bisa hidup sendirian,
sehingga butuh teman untuk hidup bersama. Contoh: pergaulan dalam lingkungan hidup
berjemaat dan bermasyarakat, dimana akan ada kegiatan-kegiatan tertentu yang akan
dilakukan bersama-sama.
4. Hubungan manusia dengan alam/lingkungan
Menjelaskan suatu hubungan yang saling berkaitan, karena alam tercipta untuk
digunakan oleh manusia sebagai tempat untuk menempuh hidup dalam sebuah
lingkungan, serta manusia juga diciptakan untuk menjaga dan melestarikan alam. Contoh:
Manusia selalu merawat tumbuh-tumbuhan dengan menyiraminya air, atau pun juga
membajak sawah dan mencangkul tanah untuk menanami benih-benih tumbuhan.

Secara signifikan dapat dikatakan, bahwa moralitas mencakup kualitas dalam setiap
perbuatan manusia, yang didalamnya tercakup pula pengertian tentang baik buruknya perbuatan
dengan norma atau hukum batiniah yang dipandang sebagai kewajiban sekaligus pencerminan

xiv
budi pekerti. Karena sebuah penilaian baik buruknya manusia cenderung terlihat dari kelakuan
atau hasil perbuatannya, sehingga yang dimaksud “orang berbudi luhur” itu tidak hanya
mengenai kelakuannya saja, tetapi juga mengenai orang yang melakukannya, tentang bagaimana
sikap moral dan karakter yang ada padanya.

Nilai moral adalah nilai yang berkaitan dengan perbuatan baik dan buruk yang menjadi
dasar kehidupan manusia dan masyarakat, dimana istilah manusia merujuk ke manusia atau
orang lain dengan tindakan yang memiliki nilai positif atau negatif. Nilai moral juga sering
dihubungkan dengan agama atau keyakinan seseorang, yang dapat membuat kehidupan manusia
terarah dalam hal-hal yang baik dan positif.

Nilai moral secara menyeluruh merupakan poin-poin yang berhubungan dengan perilaku
baik maupun buruk yang menuntun kehidupan seseorang. Pendapat lain menyebutkan
pentingnya nilai moral sebagai nilai yang mendorong seseorang untuk bertindak dan sebagai
sumber motivasi. Inilah yang menyebabkan nilai moral seringkali membatasi maupun mengatur
tindakan kita dalam berperilaku. Nilai moral adalah deskripsi objektif tentang perilaku seseorang
ketika menjalani aktivitas kehidupannya. Menurut Driyarkara, nilai moral merupakan salah satu
penggambaran objektif terhadap perilaku seseorang ketika menjalankan aktivitas hidupnya,
sehingga hal ini berkaitan dengan kodrat dan hakikat manusia yang ingin hidup dalam
kenyamanan dan juga ketenteraman. Menurut Hurlock, nilai moral merupakan tindakan yang
sebanding dengan markah moral dari suatu golongan sosial, sehingga hal ini berkaitan dengan
suatu kebiasaan, adat, dan tata cara dimana semuanya itu adalah kode etik yang telah menjadi
kebiasaan dalam suatu budaya masyarakat.

Dasar nilai moral mengandung sebuah etika, akhlak, serta kesusilaan yang dapat menjadi
panutan hidup bagi manusia, karena di dalamnya ada simbol perwujudan sikap yang positif
untuk menjalankan hidup bermasyarakat dan bernegara.

- Etika adalah konsep penilaian sikap kebenaran atau kebaikan dari tindakan sosial
berdasarkan tradisi yang dimiliki oleh individi maupun kelompok.
Contoh: sikap hormat kepada orang lain.

xv
- Akhlak adalah sifat manusia yang terdidik oleh keadaan yang melekat pada jiwa manusia
yang baik dengan melahirkan perbuatan-perbuatan melalui proses pemikiran,
pertimbangan, analisa dan ketangkasan.
Contoh: rela berkorban untuk membantu orang lain.
- Kesusilaan adalah aturan hidup manusia yang berhubungan dengan budi pekerti, adab
dan sopan-santun dari suara hati nurani manusia.
Contoh: ucapan terimakasih dengan kata-kata yang bijaksana.

Istilah moralitas dalam hal ini mengacu pada tindakan orang atau individu yang memiliki
nilai berupa kebaikan positif. Ada beberapa contoh nilai moral yang tercantum dalam lingkungan
hidup manusia atau masyarakat, diantaranya :

1. Kejujuran
Adalah sikap atau sifat seseorang yang menyatakan sesuatu dengan sesungguhnya dan
apa adanya, tidak ditambahi atau pun dikurangi. Sifat jujur ini tentunya harus dimiliki
oleh manusia, karena sifat ini merupakan prinsip dasar dari cerminan akhlak seseorang.
Contoh: Apabila terjadi suatu masalah, orang tersebut tak akan berkata dusta untuk
memberikan keterangan/ penjelasan.
2. Tanggung Jawab
Adalah kesadaran manusia akan sebuah tingkah laku atau perbuatan, baik yang disengaja
maupun yang tidak disengaja, serta tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai
perwujudan kesadaran akan kewajiban. Contoh: Dalam lingkungan pendidikan, para guru
selalu mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan kepada murid-murid di sekolah.
3. Keadilan
Adalah suatu tindakan dan keputusan yang tidak dilakukan dengan sewenang-wenang,
dimana akan ada tindakan kesetaraan untuk membuat suatu keputusan. Karena keadilan
merupakan ukuran keabsahan terhadap suatu tatanan kehidupan manusia dalam
berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara. Contoh: dalam lingkungan hukum, pihak
kepolisian tidak akan memberi hukuman yang tidak sesuai dilakukan oleh pelakunya.
Atau dalam lingkungan masyarakat, pemerintah juga akan memberikan bantuan kepada
setiap masyarakat yang mengalami bencana.
4. Kedisiplinan

xvi
Adalah sikap yang mentaati tata tertib di segala aspek kehidupan, baik dalam agama,
budaya, pergaulan, dan lain-lain. Contoh: Masyarakat selalu bergotong-royong untuk
melaksanakan kegiatan kerjabakti di lingkungan desa.
5. Toleransi
Adalah sikap saling menghormati, saling menghargai setiap keyakinan orang lain, tidak
memaksakan kehendak, serta tidak mencela atau menghina agama lain dengan alasan
apapun. Contoh: Selama jam ibadah di gereja, jemaat dari agama lain tak membuat
keributan di lokasi/ tempat kegiatan ibadah tersebut.

2.2 Tradisi Lisan Kasesenan

2.2.1 Pengertian Tradisi Kasesenan

Tradisi lisan sama bentuknya dengan budaya atau adat lisan, merupakan pesan atau
kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pesan atau kesaksian itu dapat disampaikan melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan juga dapat
berupa bentuk pantun, cerita rakyat, nasihat, serta balada/dialog dalam kegiatan-kegiatan
tertentu.

Dalam Minahasa memiliki berbagai macam bentuk tradisi lisan, salah satunya yaitu
“kasesenan” yang digunakan oleh masyarakat suku Tounsawang, wilayah Tombatu, kabupaten
Minahasa Tenggara. Pemahaman etnis suku Tounsawang mengenai kasesenan adalah salah satu
kegiatan mapalus yang berkaitan dengan bentuk kepedulian dan rasa sepenanggungan
masyarakat terhadap keluarga yang mengalami kedukaan, karena tradisi ini merupakan budaya
masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan sosial yang terarah inti pada kerukunan sosial
kematian.

Kasesenan berasal dari bahasa Tounsawang yang termasuk salah satu diantara delapan
bahasa daerah di Minahasa. Dalam bahasa Tounsawang kata kasesenan yaitu “sumesen” yang
artinya berkumpul, jadi kasesenan adalah perkumpulan. Kasesenan juga menjadi wadah
pertemuan untuk keluarga, saudara-bersaudara, sahabat-bersahabat, serta masyarakat yang ada
dalam lingkungan tersebut dengan maksud saling tolong-menolong sebagai salah satu wujud
kebersamaan dengan keluarga yang mengalami kedukaan.

xvii
2.2.2 Sejarah Tradisi Kasesenan

Tradisi kasesenan dilakukan sejak dahulu oleh para leluhur, kemudian dilaksanakan
(dipraktekkan) secara turun temurun oleh masyarakat suku Tounsawang yang masih terjaga
sampai di saat ini, karena memori kolektif dari masyarakatlah yang membuat budaya ini tetap
selalu bertahan. Hal ini juga dikaitkan dengan pemahaman Durkheim, ketika masyarakat
berkumpul secara kolektif tentu itu akan memperkuat ide-ide kolektif tersebut. Dalam bingkai
Durkheim, ingatan/memori merupakan suatu strategi yang bukan hanya menjelaskan masa
lampau, tetapi juga bagaimana menstransformasikan masa lampau ke dalam identitas yang
tersedia pada masa sekarang (Misztal, 2013). Kasesenan pun merupakan ingatan bersama
masyarakat suku Tounsawang sebagai bagian dari strategi masyarakat yang tak hanya
menjelaskan pelaksanaannya pada masa lampau, namun tradisi ini juga menjadi identitas baik di
masa sekarang ini serta akan tetap di lestarikan sampai di masa yang akan datang bagi
masyarakat suku Tounsawang.

Menurut Sejarah, jauh sebelum negara Indonesia mulai dijajah pada tahun 1595, tradisi
kasesenan sudah dibentuk oleh para orangtua/leluhur melalui kesepakatan atau musyawarah
bersama dengan tujuan mulia yaitu menolong dan membantu meringankan beban dari keluarga
yang ditimpa dukacita. Karena masyarakat menyadari bahwa peristiwa kematian adalah hal yang
tak terduga, dan ketika akan mengalami peristiwa itu, tentu membutuhkan bantuan dari orang
lain. Awalnya masyarakat suku Tounsawang dikenal dengan sebutan “Toundanow”, yang
dulunya masyarakat masih tinggal di perbukitan atau gunung-gunung wilayah Tombatu-
Touluaan, karena di masa itu lokasi lingkungan hidup masyarakat sepenuhnya adalah danau.
Ketika terjadi peristiwa dukacita, maka semua masyarakat akan berkumpul dengan membawa
apa yang dimiliki oleh mereka ke rumah duka. Sejarah mengatakan, jauh sebelum tahun 1300-an,
apalagi tahun 1500-an peradaban sudah masuk lewat bangsa Belanda. Hal ini terbukti ketika
bangsa Belanda datang sekitar tahun 1700-an dan memberikan komentar bahwa, apa bila ada
peristiwa duka atau peristiwa apa pun suku Tounsawang selalu saling tolong-menolong. Oleh
sebab itu bangsa Belanda merubah nama Toundanow menjadi Tounsawang.

2.2.3 Kegiatan Tradisi Lisan Kasesenan

xviii
Kegiatan tradisi lisan kasesenan dilakukan selama seminggu setelah berpulangnya salah
satu anggota dari keluarga. Dalam tradisi ini, keluarga yang berduka tidak dibenarkan untuk
memasak/menyediakan makanan (dengan kata lain dapur dari keluarga yang berduka tidak boleh
berasap), karena dalam peristiwa duka masyarakatlah yang akan datang menjamu keluarga yang
berduka untuk makan siang dan makan malam (baik sebelum atau sesudah pemakaman) selama
satu minggu.

Contoh kegiatan kasesenan di masa sekarang ini yang terambil lewat wawancara bersama
bapak kepala jaga 1, desa Kuyanga Satu yaitu sebagai berikut.

Apabila ada salah satu anggota keluarga masyarakat jaga 1 yang mengalami peristiwa
duka, maka yang akan datang menjamu keluarga tersebut bukanlah semua masyarakat
yang ada di desa Kuyanga Satu, melainkan masyarakat yang hanya ada di lingkungan
jaga 1 dan jaga 2. Sebelum kegiatan dimulai, para bapak-pakak dan pemuda akan datang
ke bangsal dukacita untuk membersihkan dan mengatur tempat tersebut agar supaya akan
terlihat rapi dan bersih, serta juga akan terasa aman. Tapi diawal kegiatan sebelum
pemakaman (di siang hari) hanya masyarakat yang ada di jaga 2 yang akan datang
membawa makanan. Lanjut setelah pemakaman (di malam hari) masyarakat yang ada di
jaga 1 yang akan membawa makanan. Kemudian setelah satu minggu berlalu tepatnya di
hari minggu, masyarakat yang ada di jaga 1 dan jaga 2 akan datang bersama-sama untuk
membawa makanan/menjamu keluarga yang berduka. Kegiatan ini di buka dengan doa
dan ibadah yang akan dipimpin oleh pemimpin jemaat/agama, baru akan disusul dengan
sambutan oleh pemerintah, kemudian akan ada juga ucapan terimakasih oleh keluarga,
dan setelah itu barulah akan makan dan minum bersama. Tapi masyarakat di desa
Kuyanga Satu ini akan mengutamakan keluarga yang berduka untuk mengambil makanan
terlebih dahulu, kemudian barulah masyarakat akan menyusul mengambil makanan.
Karena kasesenan menjadi wadah berkumpulnya keluarga besar dan masyarakat setempat
sebagai wujud kebersamaan serta kepedulian dalam bentuk makan bersama dengan
tujuan untuk menjamu keluarga yang berduka.

2.3 Kajian Nilai Moral Dalam Tradisi Lisan Kasesenan

xix
Keberadaan nilai memberi pedoman umum bagi perilaku manusia, seperti rasa hormat
terhadap martabat manusia, hak-hak dasar, hak memiliki pribadi, religiusitas (keberagaman), dan
kesetaraan sosial yang semuanya itu akan membimbing perilaku manusia pada berbagai cara,
seperti dalam tradisi lisan kasesenan memiliki nilai-nilai budaya yang dibentuk dari berbagai
sumber diantaranya yaitu adaptasi dengan lingkungan, faktor-faktor sejarah, evolusi sosial dan
ekonomi, kontak dengan kelompok budaya lain, tekanan masyarakat melalui pemberian hukum
atau ganjaran, serta pendidikan agama.

1. Adaptasi dengan Lingkungan

Adaptasi berarti menyesuaikan, karena hidup setiap masyarakat sangat dipengaruhi


dengan keadilan lingkungan tempat tinggalnya yang memiliki hubungan antara sesama
masyarakat. Dalam setiap masyarakat suku Tounsawang harus beradaptasi dengan tradisi
tempat mereka tinggal, salah satunya adalah kasesenan. Tradisi kasesenan ini secara tidak
langsung sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat, bahwa setiap orang pasti akan
mengalami peristiwa duka dan membutuhkan orang lain. Tradisi kasesenan merupakan
wadah berkumpulnya masyarakat dan melahirkan rasa saling peduli terhadap masyarakat
suku Tounsawang. Hal ini terlihat sangat jelas, karena dalam pelaksanaan tradisi kasesenan
tidak mengenal perbedaan derajat maupun kepercayaan masyarakat sekitar. Adanya tradisi
ini mampu membuat masyarakat beradaptasi dengan lingkungan, sehingga muncul suatu rasa
kepedulian antar sesama yang terarah dalam bentuk adaptasi masyarakat terhadap lingkungan
mereka yang sedang mengalami kedukaan/kematian.

2. Faktor-faktor sejarah

Tradisi kasesenan merupakan salah satu bentuk dari kegiatan mapalus. Di masa
dahulu ketika masyarakat suku Tounsawang terjadi peristiwa dukacita, maka semua
masyarakat berkumpul bukan saja untuk datang menghadiri, tetapi juga apa yang mereka
punya itu akan di bawah ke rumah duka. Sejarah menjelaskan bahwa jauh sebelum tahun
1300-san, apalagi di tahun 1500-san peradaban sudah masuk lewat bangsa Belanda,
kemudian pada tahun 1700-san Belanda mengganti nama Toundanow dengan nama
Tounsawang. Alasan dari hal ini karena Belanda menilai tindakan masyarakat yang secara
sukarela saling membantu, baik dalam bentuk tenaga/fisik maupun materi. Tradisi kasesenan

xx
adalah hasil kerja dari masyarakat di suku Tounsawang sebagai warisan leluhur dan
dilestarikan secara turun temurun. Berdasarkan bentuk pemaparan ini, mau menjelaskan
bahwa lewat faktor sejarahlah yang mempengaruhi dan membuat tradisi kasesenan bisa
dikenal dan tetap dilaksanakan sampai sekarang.

3. Evolusi sosial dan ekonomi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), evolusi merupakan perubahan secara
perlahah-lahan. Hal ini juga berhubungan dengan tradisi kasesenan yang mulai terjadi proses
perubahannya, mulai dari bentuk sosial atau pun ekonomi seperti:

- Perubahan waktu, awalnya tradisi kasesenan harus dilaksanakan pada hari ke tujuh
setelah pemakaman, tapi sekarang bisa dilaksanakan pada hari jumat atau hari minggu
pertama setelah pemakaman sesuai dengan permintaan dari keluarga yang berduka.
- Penggunaan alat makan, dulunya daun pisang sebagai alas makan tapi sekarang sudah
diganti dengan piring dan menggunakan sendok.
- Cara berpakaian, dulunya para leluhur menggunakan pakaian yang benar-benar berwarna
hitam, tapi sekarang masyarakat sudah bebas menggunakan warna pakaian (yang penting
warna pakaian tetap terhubung dengan warna gelap tanpa terlihat berwarna merah).

Meskipun dari tahun ke tahun (seiring berjalannya waktu) tradisi kasesenan telah
mengalami evolusi, namun pemerintah dan masyarakat yang ada di suku Tounsawang tetap

xxi
selalu bekerja sama untuk tetap terus menjalankan atau melaksanakan tradisi ini sebagai
bentuk suatu penghormatan yang mulia untuk menjalankan tradisi dari para leluhur.

4. Kontak dengan kelompok budaya lain

Selain kasesenan, ada juga tradisi lainnya di Minahasa sebagai wujud dari kegiatan
mapalus yang merupakan ajakan atau dorongan yang kuat dalam bekerja sama secara gotong
royong. Karena budaya gotong royong ini juga sudah dimiliki oleh suku di luar Tounsawang,
diantaranya yaitu suku Tountemboan, Tombulu, Tonsea, Toulour, Pasan, Ponosakan dan
Bantik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tradisi dalam bentuk mapalus dahulunya telah
terjadi interaksi budaya dengan kelompok lain, yang terlihat dari kesamaan cara mereka
bekerja secara gotong royong.

5. Tekanan masyarakat melalui pemberian hukuman atau ganjaran

Dalam tradisi kasesenan tidak terdapat tekanan atau pemberian hukuman kepada
masyarakat, alasannya karena pemerintah dan masyarakat setempat sudah benar-benar
memahami apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab yang harus dikerjakan bersama.
Kasesenan pun terbukti menjadi sarana berkumpulnya keluarga besar dan masyarakat
setempat sebagai suatu wujud kebersamaan dan kepedulian untuk menjamu keluarga yang
berduka (makan bersama).

6. Pendidikan agama

Tradisi kasesenan memberikan pemahaman tentang pendidikan agama, yaitu dalam


agama Kristen Protestan pelaksanaannya akan dimulai dengan doa dan ibadah yang akan
dipimpin oleh Pendeta/ Majelis Jemaat, sedangkan dalam agama Islam akan dimulai dengan
pengajian dan doa bersama yang akan dipimpin oleh Ustad/Imam. Keterikatan masyarakat
dalam tradisi kasesenan tidak memandang status agama, karena di dalamnya mengajarkan
nilai moral untuk saling menerima, saling menghargai, serta saling berbagi antara satu
dengan lainnya tanpa dengan membedakan apa pun, sehingga rasa persaudaraan yang tinggi
memang benar-benar tertanam pada lingkungan hidup masyarakat suku Tounsawang.

Dengan demikian, nilai membimbing prinsip-prinsip dalam hidup dan setiap orang
memiliki sistem nilai sendiri yang membantu dirinya dalam perilaku dan tindakan sepanjang

xxii
hidupnya. Nilai bisa universal/umum atau juga pribadi, hanya keyakinan seseoranglah yang
membantu dia untuk menentukan bagaimana dia harus memilih perilaku dengan cara tertentu
sepanjang hidupnya, karena setiap orang tidak bisa hanya hidup sendiri.

Ketetapan nilai-nilai moral mempunyai relasi yang begitu erat dalam kehidupan
masyarakat yang didefinisikan sebagai hal baik dan positif untuk mengukur tindakan dari
individu atau pun sosial. Dalam tradisi lisan kasesenan memiliki nilai moral yang baik dan
positif, karena masyarakat suku Tounsawang terus berjuang untuk tetap menjalankan budaya,
dimana ada etika saling menopang antara satu dengan yang lainnya, terikat sikap kepedulian
yang besar antara sesama masyarakat.

Nilai moral baik adalah nilai yang dikaitkan dengan kesesuaian antara harapan dan tujuan
hidup manusia dalam menjalankan kehidupan, serta bisa dapat ditinjau dari kaidah sosial
masyarakat. Sedangkan nilai moral positif adalah suatu perwujudan tindakan yang benar-benar
terarah dalam lingkungan hidup manusia, dimana ada hal yang tepat dalam berkaidah. Jadi
intinya, nilai moral baik dan nilai moral positif memiliki hubungan yang sama dalam berbagai
tindakan hidup manusia.

Dari tindakan baik dan positif inilah, maka terlihat berbagai macam nilai-nilai moral
dalam tradisi lisan kasesenan, antaralain :

1. Kedisiplinan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab (contoh: para bapak-bapak
langsung datang dilokasi keluarga yang berduka untuk mendirikan bangsal dukacita);
2. Kejujuran dalam memberikan informasi antara sesama masyarakat (contoh: pemerintah
langsung mengungumkan informasi dukacita lewat pengerah suara kepada masyarakat);
3. Keadilan dalam hukum atau kasih dan sayang antara sesama masyarakat (contoh: Tidak
memberikan beban kepada masyarakat tentang menjamu keluarga yang berduka,
melainkan pemberian dengan tulus dan ikhlas);
4. Keharmonisan sikap saling tolong-menolong antara sesama masyarakat (contoh: tidak
saling membeda-bedakan status sosial);
5. Kerukunan dan kepedulian antara sesama masyarakat di bangsal dukacita (contoh:
masyarakat datang membersihkan dan merapikan lokasi bangsal dukacita);

xxiii
6. Memberikan bantuan dengan tulus hati kepada keluarga yang mengalami kedukaan
(contoh: masyarakat mengumpulkan uang serikat kematian untuk keluarga yang
berduka);
7. Memberikan hiburan kepada keluarga yang berduka, untuk mendatangkan rasa sukacita
(contoh: masyarakat memberikan lagu/ pujia-pujian rohani untuk dinyanyikan bersama-
sama dengan keluarga yang berduka);
8. Mempererat ikatan tali persaudaraan dalam kehidupan masyarakat (contoh: masyarakat
selalu aktif menjalankan tradisi kasesenan untuk menolong keluarga yang berduka);
9. Saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan agama antara sesama masyarakat
(contoh: keikut sertaan diri masyarakat dalam kegiatan ibadah, tanpa membuat
keributan);
10. Menjaga keamanan lingkungan hidup masyarakat agar tidak terjadi masalah dalam
kegiatan tertentu (contoh: masyarakat duduk dengan damai dan sopan selama kegiatan
sedang berlangsung);
11. Saling memotivasi masyarakat untuk terus menjaga ketetapan tradisi lisan kasesenan,
sehingga akan tetap selalu menjaga dan mencintai budaya bangsa (contoh: perkumpulan
masyarakat dalam tradisi kasesenan dari dahulu hingga kini yang tetap etnis dalam
masyarakat suku Tounsawang).

Dalam penelitian ini, tradisi kasesenan sangat mempengaruhi sistem sosial masyarakat suku
Tounsawang, dimana mengandung nilai-nilai yang baik untuk dipetik dan dicontohi. Kasesenan
pun menjadi wadah berkumpul masyarakat dengan keluarga yang berduka tanpa membedakan
status sosial, ekonomi dan agama. Gambaran kolektif adalah simbol-simbol yang mempunyai
makna yang sama bagi semua anggota dari sebuah kelompok dan membuat mereka merasa sama
antara satu dengan lainnya. Begitu pula dengan masyarakat suku Tounsawang yang memaknai
bahwa tradisi kasesenan sebagai kegiatan makan bersama untuk menjamu/melayani keluarga
yang berduka, karena dalam tradisi ini terdapat sikap/cara keunikan tersendiri yaitu:

1. Kasesenan berasal dari bahasa suku Tounsawang dari kata sumesen yang artinya
berkumpul.
2. Dalam tradisi kasesenan, masyarakat tidak membenarkan/membiarkan keluarga yang
berduka untuk memasak/menyediakan makanan, karena dalam hal ini ada sebuah simbol

xxiv
dari masyarakat suku Tounsawang yaitu “dapur dari keluarga yang berduka tidak boleh
berasap”.
3. Dalam tradisi kasesenan, masyarakat bekerja sama untuk menolong keluarga yang
mengalami dukacita, karena masyarakat menyadari kalau peristiwa dukacita bukanlah hal
yang terduga oleh siapapun, maka keluarga yang mengalaminya memerlukan persiapan
logistik mulai dari makanan atau hal-hal lainnya dalam suasana dukacita.
4. Dalam kegiatan awal tradisi kasesenan, masyarakat makan bersama dengan
menggunakan daun pisang, kemudian setelah pergantian waktu (di masa sekarang ini)
masyarakat sudah tidak lagi menggunakan daun pisang melainkan menggunakan kain
sarbet untuk membungkus makanan. Menggunakan daun pisang dan kain sarbet memiliki
maksud dan makna yang sangat dalam bagi masyarakat suku Tounsawang, alasannya
yaitu:
o Daun pisang merupakan tanaman yang tumbuh melebar, laksana keluarga besar
yang bertempat tinggal jauh dapat bertemu; daun pisang adalah tempat untuk
membungkus makanan, artinya hubungan kekeluargaan yang dipererat; daun
pisang juga dapat menjadi payung yang artinya sebagai tempat bernaung untuk
menopang keluarga yang berduka.

o Kain serbet merupakan salah satu jenis benda yang dapat membungkus makanan,
melindungi makanan, serta bisa juga untuk membersihkan meja dan mengelap
tangan. Dalam tradisi kasesenan , hal ini memiliki makna yaitu kain serbet
digunakan untuk membungkus makanan, artinya menyatukan keluarga dan
masyarakat; makanan di bungkus dengan kain serbet agar makanan tetap hangat,
artinya kekeluargaan dipererat untuk hidup rukun dan damai; kain serbet

xxv
digunakan untuk melindungi makanan, artinya dengan adanya tradisi kasesenan,
masyarakat akan hidup saling peduli antara satu dengan lainnya.

Anggota masyarakat desa Kuyanga Satu menjelaskan bahwa, keterpanggilan masyarakat


untuk menghadiri tradisi kasesenan dilakukan secara sukarela dalam kesadaran dan ketertarikan
individu dengan masyarakat. Ada pun tujuan positif dari masyarakat suku Tounsawang untuk
tetap selalu melestarikan tradisi kasesenan yaitu untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan
kerukunan dalam bermasyarakat dengan maksud keluarga yang sudah lama berpisah (tinggal di
daerah lain) bisa dapat pulang kampung untuk bertemu kembali, saling sapa atau saling tegur
(menggunakan bahasa daerah Tounsawang).

Tradisi kasesenan melahirkan solidaritas yang lebih menekankan pada suatu kesadaran
kolektif bersama, karena dalam sistem sosial suku Tounsawang, individu tak bisa melepaskan
diri bahkan pun menghindari tradisi kasesenan, karena tradisi ini dimaknai sebagai perkumpulan
masyarakat untuk saling membantu, serta ada ungkapan terimakasih yang sangat dalam dari
keluarga yang merasakan kasih sayang dan kepedulian yang begitu besar. Sehingga masyarakat
mempunyai otoritas moral dengan nilai-nilai yang tampak tepat dan jelas untuk
diteladani/dicontohi oleh lingkungan hidup masyarakat dengan panutan makna yang timbul dari
aspek tuturan kata, sifat, sera cirri-ciri dari anggota masyarakat dalam bersosial.

2.4 Kajian Semantik Dalam Tradisi Lisan Kasesenan

Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari sebuah makna atau arti yang
terkandung dalam bahasa, kode, atau jenis dari representasi lain. Linguistik adalah ilmu tentang

xxvi
bahasa, ilmu yang mengkaji, menelaah atau mempelajari bahasa secara umum, yang mencakup
bahasa daerah, bahasa Indonesia, atau bahasa asing. Kambartel dalam Pateda (2010:7)
menyatakan, semantik merupakan bahasa yang terdiri dari struktur yang menampakkan makna
apabila makna tersebut dihubungkan dengan objek pada pengalaman manusia.

Dalam kehidupan yang dilalui oleh manusia tentunya memiliki berbagai macam
pengalaman, terutama pengalaman dalam lingkungan sosial bermasyarakat yang terhubung
dengan sistem budaya. Tradisi kasesenan memiliki keterikatan hubungan yang kuat lewat tuturan
kata yang digunakan dari bahasa nasional (bahasa Indonesia) dan bahasa daerah (bahasa
Tounsawang), dimana memiliki makna yang akan di pahami oleh masyarakat suku Tounsawang.
Karena selama tradisi kasesenan sedang dilaksanakan, akan di isi dengan tuturan-tuturan yang
bermakna mulai dari tuturan pembuka, Ibadah, sambutan pemerintah, kesaksian keluarga, serta
tuturan penutup.

Kajian semantik dalam tradisi lisan kasesenan berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan di desa Kuyanga Satu pada lingkungan jaga 3 dan jaga 4, yaitu sebagai berikut.

1. Pembuka Acara
Pembuka acara akan disampaikan oleh pembawa acara untuk memulai kegiatan ibadah dalam
tradisi lisan kasesenan, dengan tuturan sebagai berikut:
“Syalom… Selamat siang! Pertama-tama sebagai umat yang percaya, kita patut
bersyukur kepada Tuhan karena Tuhan selalu menuntun, menjaga, memelihara kita
sehingga kita boleh berkumpul di bangsal dukacita ini, kita bukan di undang oleh
keluarga yang berduka melainkan sebagai warga masyarakat dan jemaat merasa
sepenanggungan dengan keluarga atas meninggalnya ibu, oma, kakak, adik yang terkasih
dalam keluarga Tolandang-Agow. Untuk itu kita patut bersyukur kepada Tuhan! Saya
sebagai pembawa acara mengucapkan selamat datang, dan selamat kita mengikuti acara
kita disaat ini!”

2. Ibadah
Dalam pelaksanaan tradisi lisan kasesenan akan di isi dengan ibadah, dan dipimpin oleh
pendeta yang didalamnya memiliki sebuah khotbah, dengan tuturan sebagai berikut:

xxvii
“Salam sejahterah dalam kasih Tuhan kita Yesus Kristus… Saudara-saudaraku yang
kekasih, dalam ibadah kita di saat ini mengajak kita untuk datang kepada Tuhan, selalu
hidup dekat denganNya. Meskipun ada cobaan hidup yang akan menimpa kita, tetapi kita
harus tahu bahwa Tuhan pasti tidak akan meninggalkan dan membiarkan diri kita. Seperti
yang terjadi dalam keluarga Tolandang-Agow atas meninggalnya ibu, oma, kakak, atau
pun adik yang terkasih. Tentu kehilangan orang yang sangat kita cintai dan kasihi, itu
adalah hal yang berat dan sangat mengecewakan hati kita, akan tetapi kita harus tahu
bahwa Tuhan itu pengasih, dan penyayang, serta maha kuasa. Tentu Tuhan tahu apa yang
terbaik yang harus Dia lakukan dan berikan kepada kita yang sedang merasakan
kesedihan. Ingatlah Tuhan tak akan membiarkan kita sebagai umat manusia ciptaanNya
terus-menerus ada dalam kesedihan. Teguhkan dan kuatkan iman percaya kita kepada
Tuhan, sehingga kuasa rohol kudus dari Allah Bapa di surga akan selalu berdiam di
dalam hati, pikiran dan perasaan kita. Apabila kita tetap percaya kepada Tuhan dengan
keyakinan iman yang kuat-teguh, yakinlah di balik kesedihan hidup yang kita rasakan
pasti ada rencana yang indah yang sudah Tuhan siapkan bagi kita. Meskipun hidup
dilanda dengan dukacita, kita jangan menyerah! Marilah kita selalu datang bergumul,
berdoa, serta memuji nama Tuhan! Karena dengan kebesaran rahmat, cinta dan kasih
sayang dari Allah Bapa kita di surga, pasti kita akan mendapat berkat dan pertolongan
dari padaNya. Amin”

Dalam ibadah ada tuturan lagu bahasa daerah Tounsawang yang dinyanyikan bersama-sama,
yaitu sebagai berikut:
“Bengen Noai TalingaNu Ngeledtow”
Bengen noai talingaNu Ngeledtow
Tanga’anai wonguman niai
Ki’itanai epangele-ngeleyen
Ihapetai a sasa’angenNu
Ndo’o ahu sinawutem indosa
Injonai katene’dan yai
Si How kemeho ndoro’na tumia
Tumia I kasea’an
Terjemahan:

“Miringkanlah Tlinga Mu Ya Allah”

xxviii
Miringkanlah telingaMu ya Allah
Dengarkanlah seruan hambaMu
Luluskanlah doaku sedekalah
Yang naiklah sampai ke tahtaMu
Aku ini terikat oleh dosa
Lepaskanlah dari sengsaraku
PadaMu saja ada kelepasan
Hapuskan kesalahanku

3. Sambutan Pemerintah
Sambutan pemerintah disampaikan oleh hukum tua, dengan tuturan sebagai berikut:
“Terimakasih atas kesempatan yang diberikan! Salam sejahterah bagi kita semua… Yang
kami hormati Ibu pendeta Novita Sumanti, S.Th yang sudah memimpin ibadah kita
disaaat ini bersama bapak, ibu pendeta Diana Wahongan, S.Th bersama bapak, dan ibu
guru agama Ferra Mewengkai S.Th bersama bapak, serta keluarga yang berduka keluarga
besar Tolandang-Agow, bahkan pun seluruh masyarakat yang sudah datang berkumpul di
tempat ini. Tentu kita bersyukur kepada Tuhan karena Tuhan begitu baik bagi kita semua,
kita lagi boleh dapat menikmati sukacita iman, boleh berkumpul dengan keluarga di
tempat ini dalam rangka kegiatan penanaman batu nisan atas meninggalnya mama, oma,
kakak atau adik dari keluarga Tolandang-Agow. Kita langsung masuk dalam
penyampaian mengenai serikat kematian yang ada di desa Kuyanga Satu ini, yaitu
pertama tentang bangsal duka. Itu terarah dalam pembuatan los karena ini sudah menjadi
adat istiadat desa Kuyanga Satu, tentu selaku pemimpin masyarakat mengajak kita
sebagai masyarakat untuk tetap selalu memperhatikannya agar menjadi tugas dan
tanggung jawab kita dalam perhatian tentang serikat kematian yang ada di desa.
Kemudian yang kedua menyangkut dasawisma, kiranya akan ada perhatian di pengurus
jaga masing-masing agar supaya ada keseimbangan pemasukan kue yang akan
dikumpulkan untuk diberikan kepada keluarga yang berduka dalam ibadah pemakaman.
Agar supaya, apa bila ada banyak masyarakat atau tamu yang akan hadir dalam
kelangsungan ibadah pemakan itu tidak akan kekurangan kue, melainkan tetap akan ada
kecukupan kue. Jadi kami mohon bagi semua masyarakat yang terhubung dalam kegiatan
sosial kematian, kiranya masyarakat tetap akan memperhatikan urusan pengumpulan
uang serikat kematian atau dana duka, sesuai dengan dasawisma yang ada di masing-

xxix
masing jaga desa Kuyanga Satu. Selanjutnya untuk penyampaian yang ketiga tentang
masahei (mengantar makan). Apabila dua keluarga tinggal bersama dalam satu rumah,
jangan dua keluarga tersebut akan mengantar makanan dalam satu bungkusan yang sama,
tetapi kedua keluarga tersebut harus bawa bungkusan makanan masing-masing untuk di
antar ke bangsal dukacita dalam menjamu keluarga yang berduka. Karena hal ini
bukanlah suatu hal kepentingan pribadi, melainkan kepentingan bersama sesama
masyarakat untuk memperhatikan keluarga yang berduka. Kita semua tahu peristiwa
duka adalah hal yang tak terduga, yang tidak kita harapkan. Memang sekarang keluarga
di sini yang mengalaminya, tetapi di waktu yang akan datang ada juga keluarga yang lain
akan mengalaminya. Jadi harapan kami sebagai pemerintah, marilah kita sebagai
masyarakat desa Kuyanga Satu hidup dalam kebersamaan untuk terus memperhatikan
semua hal-hal pokok dalam urusan serikat kematian yang ada di desa kita ini! Agar
supaya kemajuan dan peningkatan untuk menjaga tradisi kita tetap akan selalu
berkembang demi kepentingan dan kebaikan kita bersama antara sesama masyarakat desa
Kuyanga Satu. Inilah yang perlu kami sampaikan, dan saya minta maaf bila ada
kesalahan dalam penyampaian ini. Karena ini bukanlah kepentingan saya pribadi,
melainkan kepentingan buat kita semua. Sekali lagi saya ucapkan terimaksih, Tuhan
Yesus memberkati kita semua.”

4. Kesaksian Keluarga
Kesaksian keluarga sebagai bentuk ucapan terimakasih yang akan disampaikan oleh salah
satu anggota dari keluarga yang berduka, dengan tuturan sebagai berikut:
“Terimakasih atas kesempatan yang diberikan! Salam sejahterah dalam kasih Tuhan kita
Yesus Kristus… Pertama-tama kita bersyukur kepada Tuhan yang selalu menjaga dan
memelihara kita semua, sehingga kita selalu hidup dalam penyertaan’Nya. Yang kami
hormati ibu pendeta Novita Sumanti, S.Th yang sudah memimpin ibadah kita di saat ini,
bapak hukum tua Welly Sorongan, S.Ip, ibu pendeta Diana Wahongan, S.Th, guru agama
Ferra Mewengkai, S.Th, serta seluruh masyarakat yang hadir di tempat ini. Dalam
suasana dukacita ini kami bersyukur kepada Tuhan karena boleh menikmati lagi
kehidupan ini, dengan mempertemukan masyarakat dan jemaat bersama keluarga kami di
sini. Meskipun ada dukacita yang kami rasakan tetapi kami dapat merasakan sukacita dan

xxx
penguatan iman lewat kebersamaan dengan masyarakat dan jemaat. Untuk itu, kami
keluarga besar Tolandang-Agow mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada masyarakat dan juga jemaat yang sudah mau datang berkumpul di tempat ini,
untuk datang menjamu keluarga kami. Meskipun kami dilanda dengan dukacita, tetapi
kami masih mendapatkan perhatian dan rasa kedamaian dari masyarakat yang dengan
suka rela melayani keluarga kami lewat makan dan minum bersama, sehingga ada
sukacita iman yang dapat kami terima dan rasakan di tengah-tengah pergumulan hidup
ini. Semoga Tuhan akan membalas budi baik dari masyarakat dan jemaat dengan berkat
yang akan Tuhan anugerahkan dalam kehidupan saudara-saudara sekalian. Terimakasih!”

5. Penutup
Selesainya kegiatan tradisi kasesenan akan di tutup dengan kata salam antara masyarakat
bersama keluarga yang berduka, kemudian para bapak-bapak akan segera membongkar los/
bangsal tersebut secara bersama-sama dengan tuturan sebagai berikut:
Masyarakat: Siangbae pahasa, malengem kami tahula.
(Selamat siang semuanya, kami semua akan segera pulang).
Keluarga berduka: Eyem, makase banya pahasa!
(Iya, terimakasih banyak semuanya!).

Kemudian para bapak-bapak akan segera membongkar los/bangsal tersebut secara


bersama-sama dengan arahan dari kepala jaga, dengan tuturan sebagai berikut:

“Diharapkan para bapak-bapak sekalian untuk kompak dan berhati-hati dalam


pembongkaran bangsal ini, agar supaya kegiatan ini akan terselesaikan dengan aman,
baik, dan benar tanpa terjadi permasalahan!”

xxxi
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai
langkah-langkah sistematis. Penelitian pada hakikatnya adalah suatu kegiatan untuk memperoleh
kebenaran mengenai suatu masalah dengan menggunakan metode ilmiah. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif-deskriptif, karena peneliti menjadi
instrument kunci untuk mengkaji studi literatur, serta data yang terkumpul menggunakan teknik
wawancara kepada beberapa responden sebagai data penunjang untuk penulisan tesis ini.

xxxii
Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 1989), metode penelitian kualitatif adalah sebagai
prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang yang diamati.

Kata deskriptif berasal dari bahasa Inggris, descriptive, yang bersifat menggambarkan /
melukiskan suatu hal. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan bentuk hal berupa gambar-
gambar atau foto-foto yang didapati dari data lapangan, atau peneliti menjelaskan hasil penelitian
dengan gambar-gambar dan dapat juga menjelaskannya dengan kata-kata (Usman dan Akbar,
2009). Jadi, dengan pndekatan metode kualitatif-deskriptif ini, peneliti mengkaji literatur yang
ada dan langsung mengumpulkan data-data tersebut sesuai deangan apa yang peneliti butuhkan
dari masyarakat etnis Tounsawang Minahasa, baik secara lisan maupun tulisan.

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi.


Wawancara adalah pembicaraan yang terstruktur dan terbuka dalam proses pelaksanaannya
(Koentjaraningrat, 1991). Wawancara juga merupakan kegiatan Tanya-jawab secara lisan untuk
memperoleh informasi. Bentuk informasi yang diperoleh dinyatakan dalam tulisan, atau direkam
secara audio, visual, atau audio visual. Dalam berbagai macam hal, wawancara adalah kegiatan
yang utama dalam mengkaji pengamatan, dimana akan mendapatkan informasi dari tujuan
tertentu. Dikutib dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dokumentasi adalah
pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi dalam bidang pengetahuan.
Selain itu, dokumentasi juga diartikan sebagai pemberian atau pengumpulan bukti dan
keterangan (seperti gambar, kutipan, guntingan Koran, foto, video, rekaman, dan berbagai
macam bahan referensi lainnya juga).

Penelitian mengenai lingkungan masyarakat terarah dalam tindakan yang memiliki


serangkaian kegiatan sebagai atau kesatuan dalam rentang siklus yang meliputi: perencanaan,
tindakan, pengamatan dan refleksi yang selanjutnya diikuti dengan siklus berikutnya.

3.2 Setting Dan Subjek Penelitian

3.2.1 Setting Penelitian

Suku Tounsawang bermukim di wilayah Tombatu, yang kini sudah terbagi menjadi enam
kecamatan, yakni:

xxxiii
1. Tombatu
2. Tombatu Utara
3. Tombatu Timur
4. Touluaan
5. Touluaan Selatan
6. Silian Raya.

Nama tua dari Tombatu adalah Toundanow artinya daerah yang banyak air atau orang
yang hidup di area berair (sekitar danau Bulilin). Toundanow terambil dari dua kata yaitu tou
yang artinya orang dan dano artinya air. Dengan demikian Toundanow artinya orang air,
alasannya karena anak suku ini tinggal di sekitaran danau Bulilin.

Sampai saat ini dikenal sebagai anak suku Toundanow terdiri atas dua sub anak suku
yakni Tou Betelen yang mendiami bagian Timur kecamatan Tombatu dan Tou Luaan yang
mendiami bagian Barat kecamatan Tombatu.

Gelar atau julukan Tounsawang secara resmi dipakai dalam aktivitas pemerintahan sejak
tahun 1886 melalui surat keputusan pemerintahan Belanda menetapkan berdirinya Distrik
Tounsawang. Hal itu terlihat dari jiwa dan cara hidup masyarakat tentang sikap dan semangat
tolong-menolong yang telah tertanam sejak lama pada lingkungan hidup suku Tounsawang.

Peta Wilayah Suku Tounsawang

xxxiv
Tabel Keterangan Wilayah Suku Tounsawang

No. Nama-Nama Desa


di Kecamatan Tombatu

xxxv
1. Tombatu
2. Tombatu Satu
3. Tombatu Tiga Selatan
4. Tombatu Tiga Timur
5. Betelen
6. Betelen Satu
7. Kali
8. Kali Oki
9. Tonsawang
10 Tonsawang Satu
11. Pisa

No. Nama-Nama Desa


di Kecamatan Tombatu Utara
1. Tombatu Dua
2. Tombatu Dua Barat
3. Tombatu Dua Tengah
4. Tombatu Dua Utara
5. Tombatu Tiga
6. Tombatu Tiga Tengah
7. Kuyanga
8. Kuyanga Satu
9. Winorangian
10. Winorangian Satu

No. Nama-Nama Desa


di Kecamatan Tombatu Timur

xxxvi
1. Molompar
2. Molompar Atas
3. Molompar Satu
4. Molompar Dua
5. Molompar Dua Selatan
6. Molompar Dua Utara
7. Esandom
8. Esandom Satu
9. Esandom Dua
10. Mundung
11. Mundung Satu

No. Nama-Nama Desa


di Kecamatan Touluaan
1. Lobu
2. Lobu Atas
3. Lobu Kuta
4. Lobu Satu
5. Lobu Dua
6. Ranoketang Atas
7. Ranoketang Atas Satu
8. Toundanouw
9. Toundanouw Satu
10. Toundanouw Atas

No. Nama-Nama Desa


di Kecamatan Touluaan Selatan

xxxvii
1. Banga
2. Bunag
3. Kalait
4. Kalait Satu
5. Kalait Dua
6. Kalait Tiga
7. Lowatag/ Lowantag
8. Ranoako
9. Suhuyon
10. Tambelang

No. Nama-Nama Desa


di Kecamatan Silian Raya
1. Silian
2. Silian Satu
3. Silian Dua
4. Silian Tiga
5. Silian Utara
6. Silian Tmur
7. Silian Tengah
8. Silian Selatan
9. Silian Barat
10. Silian Kota

3.2.2 Subjek Penelitian

xxxviii
Fokus penelitian ini dilakukan di desa Kuyanga Satu, kecamatan Tombatu Utara,
Kabupaten Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara. Masyarakat Kuyanga Satu ini memiliki
jumlah penuduk sekitaran 1.327 jiwa, dengan jumlah KK (Kepala Keluarga) 371 , serta terbagi
menjadi 6 jaga. Sebagian besar penduduk menganut agama Kristen Protestan dan sebagian kecil
penduduk menganut agama Islam . Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan informasi yang
peneliti dapatkan, serta ada juga rasa ketertarikan dalam melihat kegiatan masyarakat desa
terhadap melaksanakan tradisi kasesenan yang tampak unik dan berbeda dari lainnya, karena
cara hidup yang berbaur sikap saling tolong-menolong antara sesama masyarakat desa tanpa
membeda-bedakan sudut pandang atau status sosial, mulai dari ekonomi, agama, atau pun hal
lainnya.

Waktu penelitian ini dilaksanakan kurang-lebih selama satu bulan penuh untuk
mendapatkan pemahaman dan informasi yang tepat dan terpercaya dari pemerintah dan
penduduk setempat. Alasannya karena kasesenan adalah sebuah tradisi/budaya yang dilakukan
oleh masyarakat suku Tounsawang dalam peristiwa kematian, sehingga peneliti tetap terarah inti
dengan berjalannya waktu dalam menganut informasi tentang peristiwa tersebut di tengah-tengah
lingkungan masyarakat, karena kita semua tahu bahwa peristiwa kematian kematian adalah suatu
hal yang tak terduga dalam kehidupan manusia.

Peta Desa Kuyanga 1

xxxix
3.3 Prosedur Penelitian

xl
Prosedur penelitian merupakan serangkaian langkah-langkah yang dilakukan dalam
penelitian, secara garis besar terdiri dari beberapa tahap, antaralain sebagai berikut.

3.3.1 Perencanaan (planning)

Perencanaan adalah suatu proses yang merupakan rangkaian urutan rasional di dalam
penyusunan rencana pada kegiatan tertentu (kegiatan sosial). Rencana ini bersifat fleksibel,
karena tindakan sosial tersebut dapat disesuaikan dengan keterbatasan yang ada, serta rencana
disusun berdasarkan hasil pengamatan awal yang reflektif (secara mendalam dan hati-hati).

3.3.2 Pelaksanaan Tindakan (action)

Tindakan yang dimaksud ini adalah tindakan yang dilakukan secara sadar dan terkendali,
merupakan variasi praktik yang cermat dan bijaksana serta mengandung inovasi. Implementasi
tindakan ini mengacu pada perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Tujuannya, agar
penelitian dapat berlangsung sesuai dengan yang direncanakan.

3.3.3 Tahap pengamatan atau Observasi (observation)

Observasi ini dilakukan untuk melihat pelaksanaan apakah semua rencana yang telah
dibuat dapat berjalan dengan baik, serta dapat dilaksanakan tanpa ada penyimpangan-
penyimpangan yang akan memberikan hasil yang kurang maksimal dalam proses penelitian.

3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi.


Wawancara adalah pembicaraan yang terstruktur dan terbuka, maksudnya yaitu dalam
pelaksanaan wawancara ini peneliti sudah mempersiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan
tentang pokok-pokok permasalahan yang menjadi tujuan penelitian. Dokumen merupakan salah
satu alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif. Pengertian
dokumen disini mengacu pada material (bahan) seperti foto, video, surat, rekaman, dan
sejenisnya yang dapat digunakan sebagai informasi suplemen yang menjadi bagian dari kajian
kasus dengan sumber data utamanya seperti wawancara. Informan yang akan diwawancarai ada
dua bagian, yakni:

xli
1. Informan kunci
Adalah mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan
dalam penelitian, seperti tokoh adat atau kepala perpustakaan.
2. Informan penting
Adalah mereka yang termasuk anggota inti dari penelitian yang akan dilakukan, seperti
pemerintah dan masyarakat.

Setelah melakukan penelitian, peneliti akan menganalisis data. Analisis data adalah
proses inspeksi, pembersihan dan pemodelan data dengan tujuan menemukan informasi yang
berguna, dan menginformasikan kesimpulan dengan mendukung pengambilan keputusan.
Peneliti yang sejak awal terjun ke lapangan dan berinteraksi dengan latar dan orang (subjek)
dalam rangka pengumpulan data. Teknik analisis data ini bertujuan untuk menganalisis data-data
yang telah diambil, apakah ada yang sesuai atau tidak sesuai, bahkan mungkin ada perubahan
yang harus dilakukan, sehingga perlu tindakan untuk mengawasi kembali data dari hasil
penelitian. Proses analisis data yang digunakan oleh peneliti, antaralain sebagai berikut.

1. Reduksi Data
Reduksi data adalah proses mengolah data dari lapangan dengan memilah dan
memilih, serta menyederhanakan data dengan merangkum hasil penelitian yang
penting sesuai fokus permasalahan yang ada.
2. Penyajian Data
Penyajian data merupakan salah satu kegiatan dalam pembuatan laporan hasil
penelitian yang telah dilakukan agar dapat dipahami dan dianalisis sesuai dengan
tujuan yang diinginkan.
3. Verifikasi Kesimpulan
Penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah usaha untuk mencari dan memahami
makna/arti, keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab dan akibat atau proposisi.

xlii
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Di tengah lingkungan hidup masyarakat, penelita melakukan penelitian yang


dilaksanakan pada 10 Agustus 2023 di desa Kuyanga Satu. Sesuai dengan dokumen dan
wawancara bersama pengurus desa menjelaskan bahwa, desa Kuyanga Satu terbagi dari 6 jaga
dan pemerintah sudah membagikannya menjadi 3 bagian/kelompok yang terdiri dari 2 jaga
dalam kegiatan mapalus untuk mengatur setiap urusan yang ada di masing-masing jaga, yaitu:

- Kelompok I (Jaga 1 bersama dengan jaga 2)


- Kelompok II (Jaga 3 bersama dengan jaga 4)
- Kelompok III (Jaga 5 bersama dengan jaga 6)

Apabila ada salah satu anggota masyarakat yang mengalami peristiwa kematian, maka bukanlah
masyarakat dari jaga 1 sampai jaga 6 yang akan terlibat langsung dalam urusan tersebut.
Melainkan hal itu hanya akan ditangani oleh 2 jaga untuk mengambil bagian (dalam hal bekerja/
mapalus) untuk membantu keluarga yang berduka. Tapi dalam urusan dasawisma atau pun
pengumpulan dana duka, tentu seluruh masyarakar dari jaga 1 sampai jaga 6 tetap akan terlibat
dalam hal itu untuk membantu keluarga yang berduka.

4.1.1 Penelitian dalam Lingkungan Jaga 1 dan Jaga 2

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2023 di desa Kuyanga Satu tepatnya
pada tanggal tersebut ada salah satu anggota masyarakat yang mengalami peristiwa
kematian/kedukaan di kompleks jaga 1. Jadi yang akan turut ikut serta mengambil bagian dalam
membantu keluarga yang berduka adalah masyarakat yang ada di jaga 1 dan jaga 2. Hal yang
akan dilakukan oleh masyarakat setempat, antaralain:

1. Pemerintah (kepala jaga 1) langsung mengumumkan berita duka kepada masyarakat


lewat pengerah suara;

xliii
2. kemudian para bapak-bapak dan pemuda yang ada di kompleks jaga 1 dan jaga 2
langsung datang di lokasi tempat tinggal keluarga yang berduka untuk mendirikan
bangsal/tenda dukacita di halaman rumah mereka;
3. para ibu-ibu dan anak-anak muda yang ada di kompleks jaga 1 datang membantu
untuk merapikan bangsal tersebut;
4. setiap dasawisma dari jaga 1 sampai jaga 6 di desa Kuyanga Satu langsung bergegas
mempersiapkan pembuatan kue untuk persediaan pemakaman pada besok hari;
5. setelah masyarakat selesai mengatur bangsal tersebut, pemerintah (kepala jaga 1)
langsung mengumumkan berita lewat pengerah suara tentang jadwal untuk menjamu
keluarga (karena pemakaman akan dilaksanakan pada besok hari sesuai dengan
permintaan dari keluarga yang berduka).

Jadwal Kegiatan Tradisi Lisan Kasesenan pada Masyarakat Desa Kuyanga Satu

(Jaga 1 dan Jaga 2)

No. Waktu/tanggal Keterangan


1. 11 – 08 – 2023 Masyarakat jaga 1 akan datang di siang hari untuk menjamu
Pukul 11.00 WITA keluarga yang berduka (sebelum jam pemakaman di mulai).
2. 11 – 08 – 2023 Ibadah pemakaman akan di mulai.
Pukul 13.00 WITA
3. 11 – 08 – 2023 Masyarakat jaga 2 akan datang di malam hari untuk menjamu
Pukul 18.30 WITA keluarga yang berduka.
4. 12 – 08 – 2023 Tepatnya di malam hari masyarakat akan datang ke bangsal
Pukul 19.00 WITA dukacita untuk menghibur keluarga yang berduka (disebut
sebagai kegiatan acara tiga malam atau malam penghiburan).
5. 16 – 08 – 2023 Masyarakat jaga 1 dan jaga 2 akan datang bersama-sama ke
Pukul 12.00 WITA bangsal dukacita untuk menjamu keluarga yang berduka (hal
ini adalah kegiatan utama dari kasesenan, karena di hari akhir
dalam seminggu kegiatan tersebut dilakukan).

xliv
Kekompakkan masyarakat jaga 1 dan jaga 2 dalam tradisi kasesenan sangat terlihat jelas,
karena masyarakat tetap akan mengutamakan untuk menjamu (memberi makan) keluarga yang
berduka. Hal ini pun menjadi panutan tentang nilai moral yang tertanam pada masyar akat,
dimana ada sikap peduli dan saling membantu dalam kehidupan bersosial.

xlv
Tabel Jaga I
No. Nama-Nama Keluarga Jaga 1 Jumlah Orang
1. Tolandang – Agow 2
2. Tolandang – Waworuntu 5
3. Tolandang – Sakul 2
4. Tolandang – Legi 1
5. Gosal – Mangeber 4
6. Mangeber – Munaiseche 1
7. Tondatuon – Mokorowu 2
8. Mangeber – Legi 1
9. Mangeber – Rondonuwu 3
10. Tampomuri – Mangeber 3
11. Tondatuon – Mangeber 4
12. Tumundo – Tondatuon 4
13. Katuche – Borang 4
14. Tarumingkeng – Pinologgod 4
15. Mangeber – Runtulalo 5
16. Tolandang – Liwan (Markus) 4
17. Tondatuon – Tumiwa (Maerthen) 4
18. Tondatuon – Pinologgod 3
19. Tondatuon – Tumigolung 2
20. Monulandi – Umpulumayu 2
21. Rolos – Tampinongkol 4
22. Tipal – Tampinongkol 3
23. Gosal – Mokosolang 2
24. Lawarakan – Gosal 4
25. Uso – Gosal 2
26. Yunus Polii 1
27. Agow – Katuche 5
28. Tondatuon – Antou 4
29. Herdy Tondatuon 1

xlvi
30. Mangeber – Polii 3
31. Mangeber – Agow 2
32. Golung – Mokorowu 3
33. Tolandang – Kindangen (Hery) 2
34. Tolandang – Lesar 4
35. Tolandang – Kindangen (Renaldy) 4
36. Tolandang – Liwan (Agus) 4
37. Tolandang – Kapoyos 5
38. Mangeber – Tolandang 1
39. Dumanaw – Mangeber 5
40. Tumiwa – Golung (Meydi) 5
41. Tumiwa – Agow 2
42. Mangeber – Borang 4
43. Golung – Polii 1
44. Golung – Lendombela 4
45. Gandey – Tampomuri 7
46. Mangeber – Tampomuri 5
47. Tampomuri – Legi 3
48. Mokorowu – Tampomuri 4
49. Mokorowu – Kindangen 3
50. Karawan – Lampow 3
51. Lampow – Mokosolang 3
52. Tolangang – Lorongasal 4
53. Samalang – Tolandang 3
54. Tolandang – Legi 1
55. Kindangen – Liwan 2
56. Kindangen – Legi 4
57. Tuyuwale – Lampow 2
58. Kindangen – Polii 4
59. Tampinongkol – Pelealu 3

xlvii
60. Tumigolung – Samalang 4
61. Kusaling – Tansilu 6
62. Renny Mokosolang 1

Tabel Jaga II
No. Nama- Nama Keluarga Jaga 2 Jumlah Orang
1. Tolandang – Ngalo 4
2. Karolina Tumboimbela 1
3. Martha Magdalena Wong 1
4. Mangempis – Langoy 5
5. Maria Mentje Polii 1
6. Bol Tolandang 1
7. Tolandang – Ngalo 4
8. Tumundo – Kindangen 6
9. Legi – Tolandang 3
10. Betsy Gandey 1
11. Tumundo – Legi 2
12. Tolandang – Wuri 5
13. Agow – Umpulumayu 5
14. Emil Niko Karundeng 1
15. Gandey – Kindangen 2
16. Mokorowu – Monolimay 2
17. Mokorowu – Taha 5
18. Legi - Mangeber 2
19. Rantung – Legi 3
20. Legi – Umpulumayu 3
21. Agow – Legi 2
22. Mokorowu – Muhonis 2
23. Mokorowu – Agow 2

xlviii
24. Vecky Golung 1
25. Lampow – Angginaloy 3
26. Jhon Mangeber 1
27. Umpulumayu – Agow 5
28. Kusaling – Gosal 2
29. Umpulumayu – Mokorowu 4
30. Getroida Katuche 1
31. Tumundo – Golung 3
32. Alow – Legi 4
33. Tumboimbela – Tolandang 5
43. Umpulumayu – Lorangasal 4
35. Oloj – Lampow 3
36. Oloy – Kindangen 4
37. Legi – Mangeber 5
38. Tumundo – Tubo 3
39. Mokorowu – Mangeber 3
40. Tumundo – Tondatuon 3
41. Polii – Mokorowu 3
42. Tampomuri – Mokorowu 2
43. Tumundo – Kindangen 5
44. Tumundo – Tondatuon 4
45. Kindangen – Assa 5
46. Polii – Tondatuon 3
47. Legi – Mokosolang 4
48. Tolandang – Tampomuri 2
49. Antoni Tolandang 2
50. Tampomuri – Rugian 5
51. Tujuwale – Umpulumayu 4
52. Tujuwale – Agow 6
53. Polii – Tondatuon 2

xlix
54. Kindangen – Tampongangoy 4
55. Alow – Kindangen 5
56. Tumundo – Tumboimbela 3
57. Liwan – Philipus 3
58. Alow – Kandati 4
59. Neltje Mangeber 1
60. Tolandang – Kindangen 2
61. Tumundo – Tolandang 4
62. Agow – Golung 2
63. Gandey – Tuwobulan 3
64. Kindangen – Pelealu 4
65. Johny Yules Oloy 1
66. Oloy – Kindangen 3
67. Tujuwale – Ganda 3
68. Karundeng – Goni 3
69. Rumbay – Kawatak 5
70. Mokorowu – Sumendap 3
71. Tumundo – Umpulumayu 3
72. Manopo – Lampow 3
73. Legi – Tampomuri 3

4.1.2 Penelitian dalam Lingkungan Jaga III dan Jaga IV

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 16 September 2023 di desa Kuyanga Satu,
tepatnya pada tanggal tersebut ada salah satu anggota masyarakat yang mengalami peristiwa
kematian di kompleks jaga 3. Jadi yang akan turut ikut serta mengambil bagian dalam membantu
keluarga berduka adalah masyarakat yang ada di jaga 3 dan jaga 4. Hal yang akan dilakukan oleh
masyarakat setempat sama persis dengan apa yang telah dilakukan oleh masyarakat jaga 1 dan
jaga 2, antaralain:

l
1. Pemerintah (kepala jaga 3) langsung mengumumkan berita duka kepada masyarakat
lewat pengerah suara;
2. Kemudian para bapak-bapak dan pemuda yang ada di kompleks jaga 3 dan jaga 4
langsung datang di lokasi tempat tinggal keluarga yang berduka untuk mendirikan
bangsal/tenda dukacita di halaman rumah mereka;
3. Para ibu-ibu dan anak-anak muda di kompleks jaga 3 datang membantu untuk merapikan
bangsal tersebut;
4. Setiap dasawisma dari jaga 1 sampai jaga 6 di desa Kuyanga Satu langsung bergegas
mempersiapkan pembuatan kue untuk persdiaan pemakaman pada besok hari;
5. Setelah masyarakat selesai mengatur bangsal dukacita tersebut, pemerintah (kepala jaga
3) langsung mengumumkan berita lewat pengerah suara tentang jadwal untuk menjamu
keluarga (karena pemakaman akan dilaksanakan pada besok hari sesuai dengan
permintaan dari keluarga yang berduka).

Jadwal Kegiatan Tradisi Lisan Kakasenan di Desa Kuyanga Satu


(Jaga 3 dan Jaga 4)

li
No. Tanggal/waktu Keterangan
1. 16 – 09 – 2023 Masyarakat jaga 3 dan jaga 4 mendirikan bangsal dukacita di
Pukul 19.00 WITA halaman keluarga yang berduka.
2. 17 – 09 – 2023 Masyarakat jaga 4 datang di siang hari untuk menjamu
Pukul 11.00 WITA keluarga yang berduka (sebelum jam pemakaman di mulai).
3. 17 – 09 – 2023 Acara Ibadah Pemakaman
Pukul 13.00 WITA
4. 17 – 09 – 2023 Masyarakat jaga 3 datang di malam hari untuk menjamu
Pukul 18.30 WITA keluarga yang berduka.
5. 18 – 09 – 2023 Masyarakat datang ke bangsal dukacita di malam hari untuk
Pukul 19.00 WITA menghibur keluarga berduka yang disebut sebagai acara tiga
malam atau malam penghiburan.
6. 21 – 09 – 2023 Masyarakat jaga 3 dan jaga 4 akan datang bersama-sama ke
Pukul 11.00 WITA bangsal duka untuk menjamu keluarga yang berduka (hal ini
adalah kegiatan utama dari kasesenan, karena di hari akhir
dalam seminggu kegiatan tersebut dilakukan).

lii
Kekompakkan masyarakat jaga 3 dan jaga 4 dalam tradisi kasesenan sangat terlihat jelas
seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat jaga 1 dan jaga 2, karena masyarakat tetap akan
mengutamakan untuk menjamu (memberi makanan) keluarga yang berduka. Hal ini pun menjadi
panutan tentang nilai moral yang tertanam pada masyarakat, dimana ada sikap saling peduli dan
saling membantu dalam kehidupan bersosial.

Tabel Jaga III


No Nama-Nama Keluarga Jaga 3 Jumlah Orang
.
1. Umpulumayu – Mangeber 2
2. Umpulumayu – Monolimay 3
3. Tondatuon – Liwan 4
4. Liwan – Makalow 3
5. Tondatuon – Tolandang 4
6. Umpulumayu – Oloy 1
7. Gandey – Ernawati 4
8. Borang – Koyong 6
9. Borang – Gandey 2

liii
10. Katuche – Tondatuon 1
11. Tondatuon – Polii 1
12. Monolimay – Legi 4
23. Tondatuon – Umpulumayu 4
24. Tampomuri – Polii 4
15. Tampomuri – Tarumingkeng 2
16. Orlien Mariam Agow 2
17. Tondatuon – Agow 1
18. Agow – Polii 6
19. Tolandang – Monolimay 2
20. Kawulusan – Kindangen 4
21. Tolandang – Liando 4
22. Tondatuon – Ngalo 3
23. Tampomuri – Oloy 1
24. Tampomuri – Agow 3
25. Tondatuon – Lowongan 4
26. Pandaleke – Kojong 5
27. Kindangen – Tampinongkol 5
28. Ngalo – Mokolomban 2
29. Legi – Tolandang 5
30. Tondatuon – Ngalo 4
31. Mangeber – Kindangen 2
32. Mangeber – Agow 3
33. Tiow – Mangeber 4
34. Legi – Dopong 1
35. Jemmy Gosal 5
36. Ngalo – Legi 5
37. Polii – Agow 2
38. Monulandi – Tolandang 4
39. Greity Monulandi 1
40. Kindangen – Agow 3

liv
41. Tondatuon – Agow 4
42. Mawitjere – Gahong 3
43. Mokorowu – Mawitjere 4
44. Liwan – Katuche 2
45. Agow – Tondatuon 5
46. Ngalo – Legi 5
47. Ngalo – Gandey 6
48. Mangeber – Wuri 4
49. Ngalo – Umpulumayu 2
50. Tondatuon – Mokosolang 3
51. Ngalo – Sinewe 3
52. Tondatuon – Kateluang 3
53. Tondatuon – Lampow 1
54. Senduk – Tondatuon 2
55. Maria Umpulumayu 1

Tabel Jaga IV

No. Nama-Nama Keluarga Jaga 4 Jumlah Orang


1. Tulanggow – Tondatuon 4
2. Tulanggow – Pondaag 4
3. Ngalo – Putuangreni 3
4. Ngalo – Pinologod 4
5. Arfi – Ngalo 3
6. Ngalo – Pusuhuk 1
7. Ngalo – Supit 5
8. Agow – Ngalo 3
9. Polii – Legi 3
10. Waworuntu – Polii 2

lv
11. Tolandang – Manoppo 3
12. Telma Mangadau 2
13. Tompunu – Sadia 5
14. Tompunu – Mangadau 1
15. Refie Tumboimbela 3
16. Tumboimbela – Poluan 4
17. Takalamingan – Tumboimbela 3
18. Monolimay – Liwan 3
19. Tumboimbela – Taya 3
20. Tumboimbela – Tulandi 3
21. Jhony Tumboimbela 1
22. Mangadau – Legi 1
23. Steven Mangadau 2
24. Mangadau – Ngalo 4
25. Liwan – Magadau 2
26. Liwan – Polii 3
27. Liwan – Legi 2
28. Tumboimbela – Legi 3
29. Tumboimbela – Mokalu 3
30. Tumboimbela – Makawimbang 4
31. Ngalo – Jarini 2
32. Ngalo – Legi 2
33. Liwan – Tumboimbela 2
34. Liwan – Abdulla 4
35. Legi – Kindangen 2
37. Monolimay – Polii 4
37. Polii – Liwan 1
38. Mokosolang – Kindangen 2
39. Mokosolang – Lengkoan 4
40. Tohir – Mokosolang 4
41. Kindangen – Umpulumayu 3

lvi
42. Kindangen – Legi 4
43. Kindangen – Tando 3
44. Kindangen – Pinontoan 4
45. Kindangen – Tumboimbela 3
46. Gosal – Wunua 6
47. Gosal – Agow 1
48. Ngalo – Musaida 6
49. Ngalo – Magadau 1
50. Kater Ngalo 1
51. Ina Ratu 1
52. Polii – Polii 4
53. Ngalo – Liwan 3

4.1.3 Penelitian dalam Lingkungan Jaga 5 dan Jaga 6

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 September 2023, melalui wawancara bersama
kepala jaga dan beberapa anggota masyarakat yang ada di jaga 5 dan jaga 6, menjelaskan bahwa
hal-hal yang akan dilakukan oleh mereka ternyata tetap sama persis juga dengan apa yang akan
dilakukan oleh masyarakat dari jaga 1 sampai jaga 4, karena hal itu memang sudah terbiasa
dilakukan secara turun-temurun di lingkungan masyarakat dalam peristiwa kedukaan/kematian.
Seperti peristiwa kematian yang telah terjadi pada salah satu anggota keluarga di jaga 6, maka
yang akan dilakukan oleh masyarakat setempat anataralain:

1. Pemerintah (kepala jaga 6) langsung mengumumkan berita duka kepada masyarakat


lewat pengerah suara;
2. para bapak-bapak dan pemuda yang ada di kompleks jaga 5 dan jaga 6 langsung datang
ke lokasi tempat tinggal keluarga yang berduka untuk mendirikan bangsal/tenda dukacita
di halaman mereka;

lvii
3. para ibu-ibu dan anak-anak muda di kompleks jaga 6 datang membantu untuk merapikan
bangsal tersebut;
4. setiap dasawisma dari jaga 1 sampai jaga 6 desa Kuyanga Satu langsung bergegas
mempersiapkan pembuatan kue untuk persediaan pada acara pemakaman di besok hari;
5. setelah masyarakat selesai mengatur bangsal dukacita tersenut, pemerintah (kepala jaga
6) langsung mengumumkan berita lewat pengerah suara tentang jadwal untuk menjamu
keluarga (karena pemakaman akan dilaksanakan pada besok hari sesuai dengan
permiantaan dari keluarga yang berduka).

Jadwal kegiatan tradisi Kasesenan di Desa Kuyanga Satu

Jaga 5 dan Jaga 6

No. Waktu Keterangan


1. Hari pertama Masyarakat jaga 5 dan jaga 6 datang ke halaman rumah
Pukul 15.00 WITA keluarga berduka untuk mendirikan bangsal dukacita.
2. Hari kedua Masyarakat jaga 5 datang di siang hari untuk menjamu
Pukul 11.00 WITA keluarga yang berduka (sebelum jam pemakaman dimulai).
3. Hari kedua Masyarakat desa Kuyanga Satu datang ke acara ibadah
Pukul 13.00 WITA pemakaman.
4. Hari kedua Masyarakat jaga 6 datang di malam hari untuk menjamu
Pukul 18.30 WITA keluarga yang berduka.
5. Pukul 19.00 WITA Masyarakat datang ke bangsal dukacita di malam hari untuk

lviii
menghibur keluarga berduka yang disebut sebagai acara tiga
malam atau malam penghiburan.
6. Hari ketujuh Masyarakat jaga 5 dan jaga 6 datang bersama-sama ke
Pukul 12.00 WITA bangsal dukacita untuk menjamu keluarga yang berduka (hal
ini adalah kegiatan utama dari kasesenan, karena di hari akhir
pas dalam seminggu kegiatan tersebut dilakukan).

Kekompakkan dan kebersamaan dari masyarakat jaga 5 dan jaga 6 pun terbilang sangat
erat (sama seperti jaga 1 sampai jaga 4) dalam melaksanakan tradisi kasesenan, karena datang
dengan suka rela ke bangsal dukacita untuk menjamu keluarga yang berduka. Dengan demikian
sikap saling peduli itu menjadi andalan dalam keharmonisan hubungan, sehingga timbul suatu
keteladanan bagi kehidupan masyarakat.

Tabel Jaga V

No. Nama-Nama Keluarga Jaga 5 Jumlah Orang


1. Umpulumayu – Agow 4
2. Agow – Raranta 3
3. Waani – Liwan 2
4. Harisman – Liwan 3
5. Tumboimbela – Ngalo 2
6. Oroh – Polii 5
7. Umpulumayu – Tumboimbela 3
8. Harisman – Legi 4
9. Liwan – Mangeber 4
10. Ngalo – Tumboimbela 3
11. Kristianto – Ngalo 5

lix
12. Golung – Ngalo 3
13. Ngalo – Polii 2
14. Liwan – Legi 1
15. Umpulumayu – Polii 3
16. Polii – Katuche 2
17. Polii - 2
18. Momongan – Tumboimbela 2
19. Tumiwa – Polii 5
20. Kindangen – Mangeber 3
21. Tolandang – Goni 4
22. Manoppo – Ngalo 3
23. Ngalo – Mangeber 3
24. Legi – Alow 3
25. Tumboimbela – Mokolomban 3
26. Poluan – Legi 3
27. Subiono – Poluan 3
28. Lengkoan – Agow 4
29. Lengkoan – Polii 1
30. Usman – Lengkoan 2
31. Kindangen – Momongan 2
32. Ismael – Liwan 2
33. Dopong – Ismael 3
34. Oloy – Mangadau 2
35. Liwan – Takalamingan 5
36. Agow – Mokosolang 1
37. Oth Pantow 3
38. Tolandang – Polii 2
39. Mangeber – Dokal 2
40. Yerni Mangadau 2
41. Umpulumayu – Mangadau 1
42. Ferni Polii 1

lx
43. Kaligis – Kindangen 3
44. Tumundo – Ngalo 2
45. Tumundo Varianto 2
46. Liwan – Kindangen 3
47. Liwan – Agow 1
48. Pangkey – Agow 5
49. Ratuela – Agow 3
50. Purnomo – Harisman 2

Tabel Jaga VI

No. Nama-Nama Keluarga Jaga 6 Jumlah Orang


1. Golung – Legi 2
2. Maylakai – Monolimay 1
3. Guminggulung – Golung 4
4. Mokosolang – Polii 5
5. Gosal – Kindangen 5
6. Tumundo – Agow 3
7. Tumundo – Kaparang 3
8. Liwan – Alow 5
9. Herman Tolamdang 3
10. Mangadau – Karauja 5
11. Polii – Golung 4
12. Polii – Manoppo 1
13. Mokosolang – Langi 5
14. Polii – Kumesan 5
15. Kumesan – Tumboimbela 4
16. Dokal - 4
17. Tolandang – Munaiseche 3
18. Momongan – Kumesan 4
19. Momongan – Tondatuon 4

lxi
20. Kindangen – Polii 2
21. Golung – Ngalo 3
22. Tolandang – Mokorowu 3
23. Noldy Gandey 4
24. Ngalo – Poluan 4
25. Mokolomban – Liwan 4
26. Munaiseche – Mangadau 4
27. Kindangen – Takalamingan 5
28. Poluan – Polii 4
29. Tolandang – Supit 2
30. Polii – Gandey 5
31. Agow – Liwan 4
32. Agow – Tumundo 2
33. Rawung – Agow 3
34. Mewengkai – Legi 2
35. Liwan – Dumundor 3
46. Liwan – Tondatuon 2
37. Manoppo – Liwan 4
38. Tolandang – Tualempungan 4
39. Tumboimbela – Hurohiu 4
40. Umpulumayu – Manoppo 4
41. Monolimay – Liwan 5
42. Kukus – Golung 5
43. Selfie Golung 3
44. Tolandang – Polii 1
45. Takalamingan – Winowoda 4
46. Kindangen – Mokosolang 4
47. Vergara – Umpulumayu 4
48. Mokorowu – Tumundo 4
49. Mokosolang – Budiman 6
50. Kaligis – Lendu 3

lxii
51. Mokosolang – Ngalo 4
52. Mangadau – Aling 4
53. Ngalo – Watania 2
54. Ngalo – Pinologod 3
55. Tolandang – Liwan 4
56. Polii – Komansilan 4
57. Polii – Mokorowu 1
58. Betsi Kumesan 1

4.2Pembahasan Data Jaga 1 Sampai Jaga 6

Tindakan mapalus dalam tradisi kasesenan yang dilakukan oleh masing-masing


kelompok masyarakat desa Kuyanga Satu ini sangat terlihat jelas, dimana jumlah banyaknya
penduduk (KK/ Kepala Keluarga) di masing-masing jaga yang mau terlibat untuk datang
menjamu keluarga yang berduka. Hal ini terbukti dari kehadiran masyarakat yang datang di
bangsal dukacita terbilang penuh, karena semua masyarakat dan pemerintah (kepala jaga) yang
ada di lingkungan tersebut sudah saling kenal dan mengetahui nama keluarga-keluarga yang ada
di jaga 1 dan jaga 2, atau pun juga di jaga 3 dan jaga 4, sampai jaga 5 dan jaga 6 sehingga sudah
bisa menjangkau kehadiran dari masyarakat setempat.

Banyaknya jumlah masyarakat yang berkumpul dalam bangsal dukacita, alasannya


karena ada kebebasan dari setiap anggota keluarga yang akan menjamu keluarga berduka untuk
datang bersama dengan anggota keluarganya sendiri mulai dari anak kecil, orangtua, sampai
orangtua yang sudah lanjut usia, bahkan pun ada saudara dan sahabat dari keluarga berduka yang
di luar desa untuk turut serta hadir ke acara tersebut. Suasana pun terasa aman, karena para
masyarakat tetap menjaga jalannya kegiatan acara mulai dari awal sampai selesai.

lxiii
Data Penduduk Desa Kuyanga Satu

No. Nama Jumlah Jumlah Jumlah


Jaga Laki-Laki Perempuan Jiwa
1. Jaga I 105 102 207
2. Jaga II 132 104 236
3. Jaga III 85 90 175
4. Jaga IV 80 74 154
5. Jaga V 68 71 137
6. Jaga VI 107 101 208

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Masyarakat desa Kuyanga Satu telah menjalankan citra kehidupan yang baik, dimana
sangat terlihat jelas kajian nilai moral dalam lingkungan hidup masyarakat seperti yang tampak
dalam tradisi lisan “kasesenan”. Menjalankan budaya dari para leluhur bangsa itu adalah sebuah
panutan keteladanan untuk menunjukkan sikap tanggung jawab yang telah dititipkan kepada
masyarakat mulai dari masa lalu, masa sekarang, sampai menuju ke masa depan.

Keberadaan tradisi kasesenan bagi kehidupan masyarakat suku Tounsawang sangat baik,
bukan hanya sekedar membantu keluarga yang berduka dengan membawa makanan untuk
dimakan bersama, melainkan dapat membantu meringankan beban serta juga menghibur
keluarga. Tradisi ini memiliki nilai-nilai yang baik dan positif dimana ada tujuan untuk
memasyhurkan kinerja masyarakat dalam mengikat suatu hubungan meskipun ada perbedaan
status sosial, pendidikan, ekonomi, suku, budaya, bahkan agama. Karena perbedaan itu bukan
menjadi penghalang bagi masyarakat untuk keikutsertaan dalam tradisi kasesenan, sehingga
tampak suatu hal yang menjadi bagian dari hakekat manusia.

lxiv
Butiran-butiran kata motivasi dan contoh-contoh sikap yang positif, itulah yang akan
mewarnai langkah manusia untuk selalu berbuat hal yang baik dan berguna demi menjalankan
visi dan misi dari masing-masing pribadi/individu atau pun berkelompok. Hal ini benar-benar
tertanam pada masyarakat suku Tounsawang tentang bagaimana cara menjalankan tradisisi
kasesenan. Meskipun suku Tounsawang telah dimekarkan menjadi beberapa wilayah, namun
masyarakat tetap mempertahankan budaya tersebut sebagai lambang ikatakan yang kuat untuk
mempererat tali kasih persaudaraan dalam bersosial di lingkungan hidup masyarakat.

5.2 Saran

Marilah kita sebagai masyarakat Indonesia (dari Sabang sampai Merauke) tetap
menjalankan tradisi/budaya bangsa, agar supaya rasa cinta kita terhadap bangsa kita ini tetap
akan berkembang demi mengenang jasa dari para pahlawan bangsa. Karena setiap budaya di
masing-masing daerah Indonesia, tentu memiliki kajian nilai moral yang akan menjadi
keteladanan hidup buat kita semua untuk hidup rukun dan damai.

Cintailah tanah airmu, hargailah jasa dari pahlawanmu! Karena tanpa perjuangan kita
tidak akan meraih kemerdekaan. Dimana ada sikap saling tolong-menolong, disitu pasti ada
hakikat hidup yang bermoral demi suatu perwujudan kerukunan dan kedamaian lingkungan
hidup masyarakat.

Sebagai masyarakat yang ada di suku Tounsawang Minahasa, kita harus tetap menjaga
dan melestarikan budaya kita agar supaya rasa kebersamaan akan selalu ada dalam lingkungan
hidup masyarakat tanpa membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga
kajian nilai moral itu akan selalu mewarnai lingkungan hidup suku Tounsawang.

lxv
DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, Sutarjo (2013). Pembelajaran Nilai Karakter Konstruksi dan VCT sebagai
Inovasi Pendekatan Pembelajaran Efektif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Akbar dan Usman. (2009). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Bodgan Dan Taylor. (1975). Metodologi Penelitian. Bandung Remaja Karya.

Bunglim, Burham (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif “Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi“. Jakarta: Grafindo Persada.

Durkheim, Emaile. 1990. Pendidikan Moral: Suatu Studi dan Aplikasi Pendidikan.
Jakarta: Erlangga.

Effendi. O.U. (1986). Dimensi-Dimensi Komunikasi. Bamdung. Alumni Hasanuddin,


Nilai-nilai pada Novel Ayah Karya Andre Hinata, (Unisma) Vol. I 17, No.
2,2019.

Koentjaraningrat. 1991. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Liliweri, Alo. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media, 2014.

Misztal, B. (2013). Trust in modern societies: The search for the bases of social order.
John Wiley & Sons.

Militia Kristi Walangitan. Sistem Nilai Sosial Dan Tradisi Lisan Kasesenan Di Suku
Tounsawang Minahasa

lxvi
Moleong. L.J. (1989). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.

Rasih Safitri. Nilai-Nilai Moral Yang Terkandung Dalam Tradisi Sangkure (Studi Kasus
Di Desa Tanjung Baru Kecamatan Maje Kabupaten Kaur). Magister Sosiologi
Agama Islam Fakultas Tabriyah Dan Tradis Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Bengkulu, 2021.

Sulu, P.M. (2016). Quo Vadis Tou Minahasa? (Goresan Peristiwa Melintas Masa).
Yogyakarta: Graha Cendekia.

Weichart, G. (2007). Makan Dan Minum Bersama: Feasting Commensality in Minahasa,


Indonesia. Antropology of Food.

lxvii

Anda mungkin juga menyukai