Anda di halaman 1dari 128

TESIS

RITUAL POSUO „PINGITAN‟ PADA MASYARAKAT SUKU BUTON:


KAJIAN SEMIOTIKA

(RITUAL OF POSUO „PINGITAN‟ FOR THE BUTONESS SOCIETY:


SEMIOTICS APPROACH)

WAODE FIAN ADILIA


P0500216004

DOSEN PEMBIMBING:

Dr. Ikhwan M. Said, M.Hum

Dr. Muhammad Hasyim, M.Si.

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji dan syukur atas kehadirat Allah swt, berkat limpahan rahmat,

hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini

tepat pada waktunya. Sesungguhnya penulis bersaksi bahwa tidak ada

sesembahan yang berhak disembah selain Allah swt, serta Nabi

Muhammad adalah utusan-Nya. Semoga shalawat dan salam senantiasa

tercurahkan kepada beliau beserta keluarga, para sahabat dan seluruh

kaum muslimin yang senantiasa menjunjung tinggi serta mengamalkan

syari‟at Islam.

Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi

Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Penulis

menyadari bahwa penyusunan tesis ini tidak lepas dari dukungan,

bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Dr. Ikhwan M. Said, M.Hum., selaku Ketua Komisi Penasihat dan

Dr. Muhammad Hasyim, M.Si., selaku Anggota Komisi Penasihat

iii
yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan

megarahkan penulis dalam penyelesaian tesis ini.

2. Prof. Dr. H. Muhammad Darwis, M.S., Dr. Hj. Nurhayati, M.Hum.,

dan Dr. Andi Muh. Akhmar, S.S., M.Hum., selaku penguji yang

telah banyak memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan

tesis ini.

3. Dr. Ery Iswary, M.Hum. selaku Ketua Program Studi Linguistik

Pascasarjana Universitas Hasanuddin periode 2018/2022 yang

telah mendorong penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

4. Prof. Dr. Akin Duli, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Hasanuddin.

5. Kedua orang tua tercinta Amalia Usman dan La Ode Rahman,

saudara-saudaraku Waode Pompi Adilia, Waode Apri Liza, Waode

Fatma Aulia, Juan Zawawi Rahmi, Najwa Rahmadhani Rahmi,

beserta keluarga atas semua kasih sayang, doa, bimbingan, dan

dukungannya. Terkhusus pula buat suamiku tercinta Akbar yang

selalu memberi motivasi dan dukungan kepada penulis dalam

menyelesaikan studi ini.

6. Bapak dan Ibu dosen pengasuh mata kuliah atas curahan ilmu

pengetahuannya selama studi dan seluruh staf yang telah banyak

membantu dan memberikan kemudahan kepada penulis selama

mengikuti pendidikan di Universitas Hasanuddin.

iv
7. Seluruh staf administrasi Universitas Hasanuddin, khususnya staf

Program Magister Fakultas Ilmu Budaya, atas seluruh bantuannya

dalam perampungan berkas-berkas yang menunjang penyelesaian

studi penulis.

8. Bapak Kepala Desa Wawoangi Kecamatan Sampolawa, para tokoh

adat dan tokoh masyarakat, serta warga desa yang selama

penelitian ini dengan suka rela membantu penulis dalam

memberikan keterangan data yang sangat diperlukan dalam

penyusunan tesis ini.

9. Sahabat-sahabat terbaik dan tercinta mahasiswa Pascasarjana

Linguistik Angkatan 2016 atas dukungan moral dan spiritualnya

yang selalu berbagi canda dan tawa, suka dukanya selama

menempuh studi hingga sekarang.

10. Teman-teman Program Studi ELS dan Bahasa Indonesia serta

rekan-rekan sekalian yang lain atas bantuan, semangat dan

kebersamaan selama ini yang takkan terlupakan.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapakan

untuk perbaikan dimasa mendatang. Akhir kata, penulis memohon maaf

atas segala khilaf dan bermunajat kepada Allah swt agar kiranya berkenan

membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu dalam

penyelesaian tesis ini. Penulis berharap semoga tesis ini dapat

v
bermanfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca, terutama bagi

penulis sendiri dan bagi pengembangan ilmu pengetahuan ke depannya.

Semoga Allah swt senantiasa membimbing kita menuju jalan-Nya dan

selalu melimpahkan rahmat-Nya bagi kita semua. Aamiin.

Makassar, November 2019

Penulis,

Waode Fian Adilia

vi
ABSTRAK

WAODE FIAN ADILIA. Ritual Posuo „Pingitan‟ pada Masyarakat Suku


Buton Kajian Semiotika (dibimbing oleh Ikhwan M. Said dan
Muhammad Hasyim).

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tahapan-tahapan


pelaksanaan ritual posuo, menganalisis makna denotasi dan konotasi
simbol-simbol yang terdapat pada ritual posuo, serta mengungkapkan
mitos yang terdapat pada ritual posuo „pingitan‟.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskripsi kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
observasi, wawancara, rekam, dan dokumentasi. Dalam menganalisis
data digunakan analisis semiotik Roland Barthes. Penelitian ini dilakukan
di Desa Wawoangi, Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton Selatan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahapan-tahapan pelaksanaan
ritual posuo „pingitan‟ terdiri atas 3 yaitu: 1) persiapan, 2) pelaksanaan
yang meliputi: pokunde „keramas‟, pebaho „mandi‟, pauncura
„pengukuhan‟, panimpa „pemberkatan‟, padole „dibaringkan‟, palego
„menggerakkan anggota badan‟, pasipo „disuapi‟, posuo „pengurungan‟,
bhaliana yimpo „perubahan posisi tidur‟, landakiana tana „menginjakkan
kaki ke tanah‟, matana posuo „puncak acara‟, dan (3) penutup. Simbol-
simbol yang terdapat dalam ritual posuo terbagi atas dua. Pertama, simbol
berupa tata cara pelaksanaan meliputi: pokunde, pebaho, pauncura,
panimpa, padole, palego, pasipo. Kedua, simbol berupa benda-
benda/perlengkapan meliputi: suo „ruang belakang rumah‟, ndamu
„kampak‟, kain putih, dan patirangga „daun pewarna kuku‟. Secara umum,
simbol-simbol tersebut memiliki makna kesucian, kecantikan,
keselamatan, dan petunjuk arah jodoh. Masyarakat Buton meyakini ritual
posuo sebagai sarana untuk menguji kesucian para gadis dan sarana
untuk mengetahui arah jodoh. Mitos dalam ritual posuo muncul secara
alamiah melalui pemaknaan denotasi dan konotasi sebuah simbol.Di
samping itu, terdapat pula mitos yang sampai saat ini masih menjadi
kepercayaan masyarakat suku Buton dalam pelaksanaan ritual posuo.
Masyarakat percaya bahwa dengan mengikuti ritual posuo, seorang gadis
seperti terlahir kembali dalam keadaan bersih dan suci, terlihat semakin
cantik dan mempesona, dan akan mendapatkan jodoh yang baik dan juga
kehidupan yang baik, khususnya dalam menjalani kehidupan rumah
tangga.

vii
Kata Kunci: Ritual posuo, Simbol, Semiotika Roland Barthes

ABSTRACT

WAODE FIAN ADILIA. Ritual of Posuo 'Pingitan' for the Butoness Society
Semiotics Approach (guided by Ikhwan M. Said and Muhammad
Hasyim).

This study aims to explain the stages of the implementation of


posuo ritual, analyze the meaning of denotation and connotation of the
symbols which found in posuo ritual, and the myths which found in posuo
ritual.
The type of research used in this study is a qualitative description.
Data collection techniques used are observation, interviews, records, and
documentation. In analyzing the data used Roland Barthes semiotic
analysis.This research was conducted in Wawoangi village, Sampolawa
district, South of Buton regency
The results showed that the stages of the implementation of the
posuo ritual consisted of 3, namely: 1) preparation, 2) implementation
which included: pokunde (shampoo), pebaho (bathing), pauncura
(inauguration), panimpa (blessing), padole (laid down), palego (moving
limbs), pasipo (disapapi), posuo (confinement), bhaliana yimpo (change in
sleeping position), matana karya (peak of the event), and (3) closing. The
symbols contained in the posuo ritual are divided into two. First, symbols
in the form of implementation procedures include: pokunde, pebaho,
pauncura, panimpa, padole, palego, pasipo. Second, symbols in the form
of objects/equipment include: suo, ndamu (ax), mats, shroud/ white cloth,
kacupa (ketupat). In general, these symbols contain the meaning of purity,
beauty, safety, strength, and direction of mate. Buton people believe in the
posuo ritual as a means to test the purity of the girls and the means to find
out the direction of their soul mate. In addition, people also believe that by
following the posuo ritual, a girl like being reborn in a clean and pure state,
looks more beautiful and charming, will get a good match and also a good
life, especially in living a household life.

Keywords: Ritual of posuo, Symbols, Semiotics of Roland Barthes

viii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................ i

Lembar Pengesahan ................................................................................... ii

Kata Pengantar .......................................................................................... iii

Abstrak ....................................................................................................... vii

Abstract ..................................................................................................... viii

Daftar Isi ..................................................................................................... ix

Daftar Gambar ............................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................. 8

C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 9

D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 9

A. Kajian Penelitian Relevan ................................................................. 11

B. Kajian Konsep dan Teori .................................................................. 14

1. Konsep Tradisi .............................................................................. 14

2. Konsep Ritual ................................................................................ 18

3. Sejarah Singkat Posuo .................................................................. 25

4. Teori Semiotik ............................................................................... 27

ix
5. Teori Semiotika Roland Barthes .................................................... 35

a. Denotasi .................................................................................. 37

b. Konotasi ................................................................................... 37

c. Mitos ........................................................................................ 38

6. Simbol ........................................................................................... 44

C. Kerangka Pikir ................................................................................... 45

D. Definisi Operasional .......................................................................... 47

BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 49

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ...................................................... 49

B. Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................. 50

C. Data dan Sumber Data ..................................................................... 50

D. Informan Penelitian ........................................................................... 51

E. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ............................................ 52

F. Instrumen Penelitian ......................................................................... 55

G. Teknik Analisis Data .......................................................................... 56

H. Prosedur Penelitian ........................................................................... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 58

A. Tahap-tahap Pelaksanaan Ritual Posuo „Pingitan‟ ............................ 60

1. Persiapan .................................................................................... 62

2. Pelaksanaan/Prosesi ................................................................... 67

a. Pokunde „Keramas‟ ................................................................ 68

b. Pebaho „Mandi‟ ....................................................................... 68

c. Pauncura „Pengukuhan‟.......................................................... 68

x
d. Panimpa „Pemberkatan‟.......................................................... 69

e. Palego „Menggerakkan badan/melenggang‟ ........................... 70

f. Padole „Membaringkan‟ .......................................................... 70

g. Pasipo „Menyuapi‟ .................................................................. 71

h. Posuo „Pengurungan‟ ............................................................. 71

i. Bhaliana Yimpo „Perubahan Posisi Tidur‟ ............................... 73

j. Landakiana Tana „Menginjakkan Kaki ke Tanah‟ .................... 77

k. Matana Posuo „Puncak Acara‟ ................................................ 78

3. Penutup ....................................................................................... 78

B. Makna Simbol dalam Ritual Posuo „Pingitan‟ .................................... 80

1. Simbol Berupa Tata Cara Pelaksanaan ....................................... 81

2. Simbol Berupa Benda-benda/Perlengkapan Ritual ...................... 88

C. Mitos dalam Ritual Posuo „Pingitan‟ .................................................. 98

D. Residu Penelitian ............................................................................. 103

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 107

A. Simpulan .......................................................................................... 107

B. Saran ............................................................................................... 110

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 111

LAMPIRAN................................................................................................. 115

xi
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Perlengkapan yang wajib disediakan oleh peserta posuo


masing-masing 61
Gambar 2.Kapak yang sudah diikatkan parang, kuncup buah pinang,
kuncup bunga kelapa, dan daun kasambo lili 62
Gambar 3. Ketupat dengan beraneka ragam bentuk 63
Gambar 4. Suasana persiapan alat musik oleh beberapa warga 64
Gambar 5. Salah satu peserta saat diusapkan asap dhupa
oleh seorang bhisa 67
Gambar 6. Prosesi bokaboka 72
Gambar 7. Pembacaan doa sebelum dikeluarkan menuju pelaminan
(sebelum prosesi matana posuo) 74
Gambar 8. Peserta posuo saat di pelaminan mengenakan busana ajo
kalambe pada prosesi matana posuo 75

xii
xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

Setiap berbicara, bertindak, atau melakukan apapun, manusia senantiasa

terlibat dalam kebudayaan. Goodenough dalam Sibarani (2004:3) dengan

tegas mengatakan bahwa:

Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang


harus diketahui dan diyakini manusia agar bertindak dengan suatu
cara yang dapat diterima oleh anggota-anggota masyarakat dan
agar dapat berperan sesuai dengan peran yang diterima anggota
masyarakat. Oleh karena itu, kebudayaan selalu diartikan sebagai
sesuatu yang dimiliki manusia untuk dapat berperan, berfungsi, dan
berada dalam kehidupan masyarakat.

Setiap manusia dilahirkan dalam lingkungan yang memiliki pola

kebudayaan tertentu, atau dengan memiliki tradisi yang diwarisi dari satu

generasi ke generasi. Melalui itu, manusia mengetahui bagaimana peran

dirinya dan peran individu lainnya melalui proses interaksi. Kebudayaan

menampakkan wujudnya dalam bentuk kegiatan-kegiatan dan perilaku

yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian

diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan individu-individu tersebut

tinggal dalam suatu masyarakat di lingkungan geografis tertentu dan pada

kurun waktu tertentu.

Dalam suatu daerah, masyarakat memiliki peranan penting dalam

pembentukan budaya agar terus bertahan diperkembangan zaman, baik

secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan

1
2

kemampuannya, sehingga manusia mampu menguasai alam. Selo

Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam buku Soekanto (2007:15)

merumuskan:

Kebudayaan sebagai hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.


Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan
kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang
diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar
kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan
masyarakat.

Berbicara tentang kebudayaan tentu tidak lepas dari sebuah tradisi.

Tradisi atau kebiasaan adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama

dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Hal yang

paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari

generasi ke generasi, baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini,

suatu tradisi dapat punah. Dalam perkembangan zaman yang semakin

modern, tradisi sebagai warisan leluhur masih memegang peranan

penting dalam kehidupan bermasyarakat yang di dalamnya mengandung

norma-norma atau aturan-aturan dalam hidup bermasyarakat dan harus

dipatuhi oleh masyarakat pendukungnya. Tradisi terbagi atas dua bentuk

yaitu tradisi lisan dan tradisi tulisan. Tradisi lisan merupakan suatu jenis

warisan kebudayaan masyarakat setempat yang proses penyampaiannya

dituturkan secara lisan, sedangkan tradisi tulisan dituangkan dalam bentuk

tulisan (dalam situs https://dorimuhammad.blogspot.com, diakses: 18

September 2019).

Tradisi lisan terangkum dalam apa yang di sebut folklore. Menurut

Danandjaja (1997:2), folklor adalah sebagian kebudayaan (lore) suatu


3

kolektif (folk) yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, dalam versi

yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai

dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Selanjutnya John Harold Bruvant (melalui Danandjaja, 1997:66) membagi

folklore dalam tiga kelompok, yakni: 1) Folklor lisan, yaitu folklor yang

bentuknya murni lisan, misalnya ungkapan tradisional, pertanyaan

tradisional, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat; 2) Folklor sebagian

lisan, yaitu folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan

unsur bukan lisan, misalnya kepercayaan rakyat, permainan rakyat, adat-

istiadat, upacara dan pesta rakyat; dan 3) Folklor bukan lisan, yaitu folklor

yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya diajarkan

secara lisan. Folklor ini ada yang berbentuk material dan nonmaterial.

Yang berbentuk material bisa berupa arsitektur rakyat, kerajinan tangan,

pakaian serta perhiasan adat, makanan, alat musik, dan senjata.

Berdasarkan penggolongan di atas, ritual posuo termasuk dalam

folklor jenis kedua, yakni sebagian lisan karena di dalamnya terdapat

bentuk folklor lisan, yaitu doa-doa yang digunakan dalam ritual dan juga

terdapat bentuk folklor jenis ketiga (bukan lisan) berupa perlengkapan-

perlengkapan yang dibutuhkan dalam ritual tersebut.

Ritual posuo yang berarti „pingitan‟ dikenal sebagai ritual adat yang

telah ada sejak zaman kesultanan Buton. Ritual ini dilaksanakan sebagai

penanda masa transisi atau peralihan status seorang gadis dari remaja

(kabuabua) menjadi dewasa (kalambe). Menurut Maulidun (46) ritual ini


4

juga diyakini sebagai sarana untuk menguji kesucian seorang gadis. Hal

ini dapat dilihat melalui talu bunyi gendang yang dipukul oleh beberapa

warga yang sudah ditugaskan. Jika salah satu gendang yang dipukul itu

sobek kulit dindingnya maka bhisa (dukun wanita/pemimpin upacara ritual

posuo) membaca itu sebagai tanda bahwa ada di antara gadis yang

dipingit yang tidak lagi perawan. Sementara Agus Sana‟a, putra mantan

khatib masjid Keraton Buton menjelaskan bahwa posuo merupakan

sarana untuk menempa para gadis mengarungi bahtera kehidupan rumah

tangga setelah menikah kelak.

Ritual posuo dilaksanakan selama tiga hari tiga malam, empat hari

empat malam tujuh hari tujuh malam atau delapan hari delapan malam

(bergantung keadaan), tetapi biasanya dilakukan selama tujuh hari tujuh

malam dalam ruangan khusus, yang oleh masyarakat Buton menyebutnya

suo. Selama dikurung di suo para gadis diajarkan mendalami

pengetahuan tentang agama, adat istiadat, menjaga kebersihan, dan

kecantikan diri seperti cara melulur tubuh dengan kunyit yang dicampuri

tepung beras. Selain itu, selama dalam pengurungan para gadis juga

dijauhkan dari pengaruh dunia luar dan hanya boleh berhubungan dengan

bhisa (pemimpin upacara ritual posuo) yang telah ditunjuk oleh ketua adat

setempat.

Dalam pelaksanaan ritual posuo terdiri atas beberapa tahap,

meliputi persiapan, prosesi, dan penutup. Setiap tahap memiliki tata cara

khusus dan juga bahan serta benda-benda yang digunakan. Di antaranya,


5

asap dari dupa yang disapukan ke tubuh gadis/peserta posuo pada

melakukan tahap panimpa „pemberkatan‟, air yang berasal dari mata air

yang digunakan saat memandikan peserta posuo, kain putih yang

digunakan untuk menutupi seluruh sisi dinding ruang pingitan (suo), dan

masih banyak lagi lainnya yang akan menjadi topik pembahasan dalam

tulisan ini. Bahan dan benda tersebut merupakan hal wajib yang harus

disediakan di dalam prosesi ritual. Dengan demikian, penulis

menyimpulkan bahwa dalam prosesi pelaksanaannya, ritual posuo

memiliki tata cara khusus dan juga menggunakan bahan serta benda-

benda yang wajib disediakan guna untuk melengkapi prosesi ritual. Tata

cara dan benda-benda tersebut merupakan sebuah bentuk simbol-simbol

budaya masyarakat suku Buton yang tentunya memiliki makna tersendiri

bagi masyarakat pendukungnya.

Eksistensi ritual posuo dalam perkembangannya masih sering

dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Namun, pengetahuan dan

pemahaman mengenai makna ritual posuo secara umum dan makna

tersurat dan tersirat dari simbol-simbol yang terdapat dalam ritual posuo

secara khusus sudah sangat kurang. Bahkan sebagian anggota

masyarakat, utamanya para gadis yang merupakan peserta posuo tidak

mengetahui makna yang ada di balik simbol-simbol tersebut. Padahal,

pemahaman mengenai makna simbol yang terdapat pada ritual posuo

adalah sesuatu yang dianggap penting karena memiliki nilai-nilai etika,

moral, spiritual dan pesan-pesan sahih tersendiri. Nilai-nilai tersebut


6

diperuntukkan bagi gadis Buton berkaitan dengan statusnya sebagai

anak, istri, ibu, maupun posisinya sebagai bagian dari masyarakat yang

telah memasuki usia dewasa.

Terpaan transformasi dan globalisasi telah mengubah watak dan

gaya hidup manusia sehingga nilai-nilai budaya secara perlahan-lahan

mulai di tinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Proses ini bukan

hanya pada aspek ketidakpahaman terhadap konsepsi yang ada, tetapi

paling mendasar muncul suatu anggapan dari sebagian generasi muda

bahwa ritual adat dianggap bid‟ah (sesuatu hal/perbuatan yang tidak ada

dalam ajaran agama Islam), ketinggalan zaman, kampungan dan tidak

penting bagi mereka. Proses ini cepat atau lambat akan memengaruhi

pemertahanan dan kelestarian nilai-nilai budaya lokal suku Buton.

Terlebih lagi keadaan masyarakat suku Buton di masa modern ini

didominasi oleh masyarakat yang tingkat pendidikan, pekerjaan, dan

kultur sosial yang beragam. Hal ini menyebabkan masih banyak dari

anggota masyarakat yang melakukan ritual inihanya sebatas mengikuti

wasiat leluhur, tanpa mengetahui dan memahami makna simbol yang

terdapat pada ritual posuo secara khusus dan manfaat dilaksanakannya

ritual posuo secara umum. Dengan tidak diketahuinya dan tidak

dipahaminya makna yang dikandung setiap simbol berdampak pada

terdgradasinya bahkan tidak diperhatikannya lagi ritual posuo. Hal ini

merupakan salah satu masalah serius yang harus dibahas agar ritual

posuo dapat dikembangkan dan dipertahankan keberadaannya. Oleh


7

karena itu, penulis berpendapat bahwa permasalahan ini dianggap layak

untuk diteliti agar ditemukan solusi yang tepat untuk mempertahankan

budaya adat posuo. Dengan demikian, ritual posuo sebagai salah satu

warisan leluhur masyarakat suku Buton yang di dalamnya mengandung

nilai-nilai kebaikan dalam menjalani kehidupan, akan terhindar dari

kepunahan dan tetap lestari sepanjang masa.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menjadikan ritual posuo

sebagai obyek penelitian dengan judul “Ritual Posuo „Pingitan‟ pada

Masyarakat Suku Buton Kajian Semiotika. Sehubungan dengan hal

tersebut, peneliti menggunakan teori Semiotika Roland Barthes. Alasan

menggunakan konsep semiotik tersebut karena peneliti berasumsi bahwa

Roland Barthes adalah salah satu ahli semiotik yang pemikirannya sangat

relevan untuk dijadikan pisau analisis untuk menjawab permasalahan

yang ada dalam penelitian ini, yaitu mengenai simbol dan mitos yang

terdapat pada ritual posuo. Roland Barthes (Sobur, 2009:63) memaknai

bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi

dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Roland Barthes

memfokuskan pada tiga aspek penandaan yaitu denotasi, konotasi dan

mitos.

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan

antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada

realitas yang menghasilkan makna langsung dan pasti. Misalnya, kata

„mawar‟ memiliki makna denotasi berwarna merah dengan batang berduri.


8

Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara

penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak

langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan

tafsiran). Misalnya kata mawar memiliki makna konotasi mawar adalah

hasrat cinta yang abadi. Lahirnya sebuah mitos setelah terbentuk sistem

sign-signifier-signified. Tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang

kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi,

ketika suatu tanda yang memiliki makna denotasi kemudian berkembang

menjadi makna konotasi, maka makna konotasi tersebut akan

berkembang menjadi mitos. Misalnya setelah terbentuk makna denotasi

dan konotasi dari “mawar” maka terbentuklah sebuah mitos bahwa mawar

adalah simbol kekuatan cinta yang abadi dan mampu mengatasi segala

masalah yang dialami dalam menjalani hubungan percintaan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana makna denotasi dan konotasi simbol yang terdapat pada

ritual posuo „pingitan‟ masyarakat suku Buton?

2. Bagaimana pemaknaan mitos yang terkandung dalam ritual posuo

„pingitan‟ pada masyarakat suku Buton?


9

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengungkapkan dan menjelaskan makna denotasi dan

konotasi simbol yang terdapat pada ritual posuo „pingitan‟ pada

masyarakat suku Buton.

2. Untuk menjelaskan mitos yang terkandung dalam ritual posuo

„pingitan‟ pada masyarakat suku Buton

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara

teoretis dan praktis.

1. Manfaat teoretis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan yang

bermanfaat bagi pengembangan kajian budaya, terutama dalam hal

yang berhubungan dengan ritual posuo.

b. Dapat memberikan kontribusi ilmiah bagi perkembangan studi

tentang tradisi lisan.

c. Dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan budaya daerah,

khususnya mengenai tradisi ritual posuo „pingitan‟ pada masyarakat

suku Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan khususnya kepada Pemerintah Daerah

Kabupaten Buton dalam menetapkan kebijakan tentang pelestarian

budaya ke depannya, misanya dengan membuat panduan baku


10

tentang tata cara pelaksanaan ritual posuo agar generasi

selanjutnya dapat melaksanakan ritual posuo sesuai dengan

panduan dan tanpa ada bias atau perubahan.

b. Menjadi bahan referensi pembelajaran bagi para gadis Buton yang

belum melaksanakan ritual posuo.

c. Menjadi sumber referensi bagi peneliti lainnya yang ingin meneliti

dan mengkaji tentang tradisi lisan khususnya ritual posuo.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Penelitian Relevan

Penelitian tentang ritual yang berkaitan dengan siklus hidup

manusia sudah banyak dilakukan di tempat lain. Tiap-tiap peneliti

mencoba mengkaji dan membahas aspek-aspek tertentu mulai dari

bentuk, fungsi, ideologi, makna dalam ritual, karakteristik ritual, tahap-

tahap pelaksanaan ritual, dan nilai-nilai budaya yang melatar

belakanginya. Demi menjaga keabsahan ilmiah penelitian ini, perlu

dikemukakan beberapa hasil penelitian terdahulu khususnya yang

berkaitan dengan ritual dan siklus kehidupan manusia yang dianggap

relevan dengan penelitian ini. Selain untuk memperoleh informasi, juga

dimaksudkan untuk menjadi bahan acuan bagi peneliti. Adapun beberapa

hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini sebagai

berikut.

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Sumitri (2005) dengan

judul “Ritual Dhasa Jawa pada Masyarakat Petani di Rongga, Manggarai

Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini merupakan tesis pada Program Studi

Kajian Budaya Universitas Udayana”. Dalam penelitian ini ditemukan

bahwa ritual Dhasa Jawa merupakan ritual yang bertujuan menyatukan

manusia dengan penguasa adikodrati, khususnya penghuni alam gaib.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dan teori semiotika.

11
12

Temuan Sumitri dalam penelitiannya adalah mengetahui cara beradaptasi,

memperlakukan alam dan roh para leluhur (penghuni alam gaib, roh

leluhur), serta memperlakukan orang lain supaya mereka senang dan

bersahabat dengan masyarakat Rongga yang berprofesi sebagai petani.

Kedua, penelitian di Universitas Pendidikan Indonesia yang

dilakukan oleh Wa Ode Nur Iman (2011) dengan judul “Pola Pengasuhan

Anak Perempuan dalam Upacara Karia (Pingitan) pada Etnik Muna serta

Model Pelestariannya”. Penelitian ini menguraikan tentang upacara karia

sebagai salah satu pola pengasuhan anak perempuan pada masyarakat

Muna, mengingat dalam pelaksanaannya anak perempuan dibiasakan

untuk menjalani hidup dengan baik dan taat kepada aturan-aturan yang

diterapkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Diana Anugrah (2016)

dengan judul “Analisis Semiotika Terhadap Prosesi Pernikahan Adat Jawa

“Temu Manten” di Samarinda. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan

menganalisis makna semiotika pada pernikahan adat Jawa “Temu

Manten” di Samarinda. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini ialah kualitatif interpretatif dan menggunakan metode penelitian

semiotika, yaitu metode analisis untuk mengkaji tanda dan makna yang

terdapat pada prosesi pernikahan adat Jawa “Temu Manten”. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa pada Prosesi Pernikahan Adat Jawa

Temu Manten di Samarinda memunyai makna yang sangat mendalam

bagi kedua mempelai dan keluarga. Pada prosesi ini terlihat bahwa laki-
13

laki yang lebih dominan di dalam berumah tangga daripada perempuan,

dan terdapat mitos bahwa setelah melaksanakan prosesi pernikahan

Temu Manten ini rumah tangga kedua mempelai akan rukun dan

harmonis.

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Kasma (2016) dengan judul

“Tuturan Ritual Mappettu Ada dalam Prosesi Pernikahan Bugis

Kecamatan Ganra Kabupaten Soppeng”. Penelitian ini bertujuan

mendeskripsikan tahapan pranikah dalam prosesi pernikahan masyarakat

Bugis, bentuk tuturan, proses kontekstualisasi dan entekstualisasi, serta

nilai-nilai yang terkandung dalam tuturan ritual mappettu ada, dengan

menggunakan teori semiotika fungsional Silverstein. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa tahapan pranikah dalam prosesi pernikahan

masyarakat bugis terdiri atas: 1) mammanu-manu, 2) madduta, dan 3)

mappettu ada. Selain itu, terdapat beberapa bentuk dalam tuturan

mappettu ada, yaitu bentuk elong ugi, paralelisme, dan repetisi. Proses

kontekstualisasi dan ekstentualisasi ditemukan dalam teks denotasi.

Kontekstualisasi ditandai dengan penggunaan dieksis persona dan dieksis

tempat, sedangkan entekstualisasi ditandai dengan penggunaan

metapragmatik deskripsi. Nilai-nilai yang terdapat dalam ritual mappettu

ada yaitu nilai religi, filosofis, estetis, dan gotong-royong.

Berdasarkan beberapa uraian hasil penelitiian relevan di atas,

terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaannya

adalah sama-sama mengkaji tentang upacara adat atau ritual.


14

Pendekatan penelitian yang digunakan juga sama yaitu pendekatan

kualitatif. Selain itu, dua diantaranya juga menggunakan teori semiotika

seperti halnya yang digunakan dalam penelitian ini. Akan tetapi yang

membedakannya dengan penelitian ini adalah penelitian ini menggunakan

konsep teori semiotika Roland Barthes sedangkan penelitian sebelumnya

(penelitian yang dilakukan oleh Kasma) menggunakan konsep teori

semiotika fungsional Silverstein. Adapun perbedaan lainnya, yang

sekaligus merupakan suatu kebaharuan dari penelitian ini yaitu terletak

pada objek kajiannya.Tiap-tiap kajian memiliki objek yang berbeda, kecuali

penelitian yang dilakukan oleh Wa Ode Nur Iman. Penelitiannya memiliki

objek yang sama dengan penelitian ini yaitu mengkaji tentang upacara

atau ritual pingitan, tetapi pada lokasi yang berbeda. Nur Iman di

kabupaten Muna, sedangkan penelitian ini di kabupaten Buton.Sementara

untuk setiap suku di Sulawesi Tenggara yang mempunyai tradisi pingitan

memiliki proses pelaksanaan yang berbeda-beda. Selain itu, Nur Iman

dalam penelitiannya tidak membahas makna simbol, dan mitos yang

terdapat dalam ritual, yang merupakan fokus permasalahan dalam

penelitian ini.

B. Kajian Konsep dan Teori

1. Konsep Tradisi

Kata tradisi berasal dari bahasa latin yaitu tradisio yang berarti

mewariskan. Menurut Murgiyanto (2004:15) tradisi didefinisikan sebagai

cara mewariskan pemikiran, kebiasaan, kepercayaan, kesenian, tarian


15

dari generasi ke generasi, dari leluhur ke anak cucu secara lisan. Dalam

KUBI (2007) pengertian tradisi adalah segala sesuatu (adat istiadat,

kepercayaan, upacara adat, dan sebagainya) yang bersifat turun temurun

dari nenek moyang.

Dalam percakapan sehari-hari tradisi sering dikaitkan dengan

pengertian kuno, atau pun dengan sesuatu yang bersifat sebagai warisan

nenek moyang. Edward Shils dalam bukunya yang berjudul Tradition

(1981) telah membahas pengertian tradisi secara panjang lebar. Pada

intinya ia menunjukkan bahwa hidupnya suatu masyarakat senantiasa

didukung oleh tradisi, namun tradisi itu bukanlah sesuatu yang statis.

Menurut Rusyana (2006:5) tradisi lisan yang tidak dapat bertahan

mengalami keadaan: (1) tidak mengikuti perjalanan kehidupan yang

menjadi konteksnya, lalu terdiam, membeku, dan tersisa sebagai kepingan

masa lalu; (2) kehadirannya dalam kehidupan masyarakat semakin jarang

sampai pada akhirnya hilang. Akibatnya, strukturnya juga menciut dan

konteksnya terputus. Selanjutnya, Rusyana mengatakan bahwa tradisi

lisan yang tangguh adalah tradisi lisan yang tetap hidup, yaitu ada dalam

komunitasnya, hadir dalam kegiatan masyarakat, menjalankan fungsinya

dalam konteks kehidupan. Terjadi penyebaran dan penerusan kepada

anggota masyarakat segenerasi dan antargenerasi. Dalam keadaan

masyarakat dan budaya yang berubah, terjadi penyesuaian dalam struktur

dan fungsinya, sehingga berbagai jenis tradisi lisan itu hadir dalam wujud

yang serasi dengan perilaku manusia yang menggunakannya.


16

Berbicara mengenai tradisi ada hal-hal yang harus diperhatikan:

a. Waktu/masa

Arti yang paling dasar dari kata tradisi, yang berasal dari kata

trditium adalah sesuatu yang diberikan atau diteruskan dari masa lalu ke

masa kini. Dari arti dasar ini dapat dipermasalahkan selanjutnya, seberapa

panjangkah waktu/masa yang menjadi satuan untuk melihat penerusan

tradisi tersebut. Ternyata panjangnya waktu/masa ini relatif.

b. Batas wilayah cakupan

Sebuah tradisi, di samping dapat dibahas dari sudut panjangnya

rentang waktu yang diliputinya, juga dapat dilihat dari segi batas-batas

wilayah cakupannya. Suatu tradisi dapat dilihat sebagian mempunyai

pusat tertentu, dan dari pusat itulah ia memancarkan, selama proses

pemancaran itu dapat terjadi penganekaragaman variasi. Semakin ke

pinggir semakin banyak perbedaan dengan apa yang terdapat di pusat

tradisi. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa jarak antara pusat dan

pinggir itu tidak selalu ditentukan oleh geografis, melainkan juga oleh

tingkat sarana komunikasi antara keduanya, baik dalam hal kecepatannya

maupun ketepatannya. Di kawasan pinggiran terdapat kemungkinan untuk

membaurnya ciri-ciri berbatasan pinggiran. Pembauran antartradisi di

kawasan pinggir (dari dua tradisi berdampingan) itu cenderung bersifat

evolusionistik dan tanpa dorongan niat pembaruan secara sadar.


17

c. Pertemuan tradisi dan pusat tradisi

Masuknya suatu pertemuan dua tradisi biasanya terlihat dengan

jelas sebagai perhadapan dua tradisi yang berbeda. Apa yang berasal dari

luar diterima sebagai suatu warisan baru yang tiba-tiba datang. Masuknya

tradisi baru mempunyai tiga kemungkinan akibat, yaitu:

1) Tradisi baru menjadi satu khasanah tambahan disamping yang lama

2) Tradisi baru memberi pengaruh ringan kepada tradisi setempat yang

telah mengakar, tanpa mengubah citra dasar tradisi setempat itu

3) Tradisi baru berpengaruh cukup kuat terhadap tradisi lama dalam

bidang yang sama, sehingga menjadi suatu bentuk baru.

d. Perubahan

Suatu hal yang perlu disadari dalam melihat masalah tradisi ini

adalah kenyataan bahwa sesungguhnya dalam rangka perjalanan suatu

tradisi senantiasa terjadi perubahan internal. Kalau perubahan itu masih

dirasakan berada dalam batas-batas toleransi, maka orang merasa atau

beranggapan bahwa tradisi yang ini seharusnya membuka mata untuk

mengakui bahwa memelihara tradisi, atau katakanlah memelihara warisan

budaya bangsa pada khususnya, tidak harus berarti membekukannya

(Purba, 2006:107).

Tradisi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah warisan budaya

yang diturunkan dari orang-orang dahulu kepada generasi berikutnya

secara bertahap khusunya lebih pada masyarakat Buton yang melakukan

prosesi ritual posuo „pingitan‟.


18

2. Konsep Ritual

Kata ritual berhubungan dengan ritus, yaitu tata cara dalam upacara

keagamaan (KUBI, 2007:959). Selanjutnya, Hadi (2000:29) menjelaskan

bahwa ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang

berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai

dengan sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang tulus, dalam arti

merupakan suatu pengalaman yang suci.

Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan

keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama, yang ditandai

dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya

waktu, tempat pelaksanaan upacara, alat-alat dalam upacara, serta orang-

orang yang menjalankan upacara (Danandjaja, 2007:21).

Pada dasarnya ritual adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk

agama dengan menggunakan benda-benda, peralatan dan perlengkapan

tertentu, di tempat tertentu dan memakai pakaian tertentu pula. Begitu

halnya dalam ritual upacara pingitan, banyak perlengkapan, benda-benda

yang harus dipersiapkan dan dipakai. Ritual atau ritus dilakukan dengan

tujuan untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu

pekerjaan. Seperti upacara menolak bala dan upacara karena perubahan

atau siklus dalam kehidupan manusia seperti kelahiran, pernikahan dan

kematian (Sadulloh, 2004).

Salah satu tokoh antropologi yang membahas ritual adalah Victor. Ia

meneliti tentang proses ritual pada masyarakat Ndembu di Afrika.


19

Menurutnya ritus-ritus yang diadakan oleh suatu masyarakat merupakan

penampakan dari keyakinan religius. Ritus-ritus yang dilakukan itu

mendorong orang-orang untuk melakukan dan mentaati tatanan sosial

tertentu. Ritus-ritus tersebut juga memberikan motivasi dan nilai-nilai pada

tingkat yang paling dalam. Dari penelitiannya ia dapat menggolongkan

ritus ke dalam dua bagian, yaitu ritus krisis hidup dan ritus gangguan.

Pertama,ritus krisis hidup. yaitu ritus-ritus yang diadakan untuk mengiringi

krisis-krisis hidup yang dialami manusia. Mengalami krisis, karena ia

beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Ritus ini meliputi kelahiran,

pubertas, perkawinan dan kematian. Ritus-ritus ini tidak hanya berpusat

pada individu, melainkan juga tanda adanya perubahan dalam relasi

sosial di antara orang yang berhubungan dengan mereka, dengan ikatan

darah, perkawinan, kontrol sosial dan sebagainya. Kedua,ritus gangguan.

Pada ritus gangguan ini masyarakat Ndembu menghubungkan nasib sial

dalam berburu, ketidak teraturan reproduksi pada para wanita dan lain

sebagainya dengan tindakan roh orang yang mati. Roh leluhur

menganggu orang sehingga membawa nasib sial (Ranjabar, 2006:9).

Setiap manusia sadar bahwa selain dunia yang fana ini, ada suatu

alam dunia yang tak mampu diraih olehnya dan berada di luar batas

akalnya. Dunia ini adalah dunia supranatural atau dunia alam gaib.

Berbagai kebudayaan menganut kepercayaan bahwa dunia gaib dihuni

oleh berbagai makhluk dan kekuatan yangtak dapat dikuasai oleh


20

manusia dengan cara-cara biasa. Oleh sebab itu, manusia pada dasarnya

ditakuti oleh manusia lainnya (Koentjaraningrat, 2002:220).

Durkheim (1995:157) mengemukakan dua hal pokok dalam agama

yaitu kepercayaan dan ritus/upacara-upacara. Kepercayaan adalah

pikiran, sedangkan ritus adalah tindakan. Simpulannya, agama

merupakan lambang collective representation dalam bentuknya yang

ideal. Agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti

ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka

kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah

kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam

kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciousness

tersebut semakin lemah kembali. Jadi, ritual-ritual keagamaan merupakan

sarana yang dianggap berperan dalam menciptakan kesadaran kolektif di

antara masyarakat. Dengan kata lain ritual agama merupakan charge bagi

manusia untuk mendekatkan diri kembali kepada Tuhan

(Siahaan,1986:25).

Durkheim telah menegaskan bahwa dalam pengkajiannya tentang

agama merupakan sesuatu yang tak ada kaitannya dengan konsepsi

ketuhanan. Dalam konsepsi ini, kekuatan yang diacu oleh ritus-ritus

agama primitif sangat jauh berbeda dengan kekuatan yang dipahami

dalam religi atau agama modern. Agama menurutnya amat bergantung

pada kondisi-kondisi yang ditentukan secara empiris, begitu juga

masyarakat yang menurutnya sama objektifnya dengan alam itu sendiri.


21

Sebagaimana pendekatan fungsionalis yang memandang masyarakat

sebagai struktur sosial yang bekerja seperti struktur organik dan

masyarakat itu sendiri dalam bekerja sebagai suatu sistem terdiri atas

organ-organ yang berperan dan melaksanakan fungsi yang diperlukan

sehingga tercipta sistem beserta struktur sosial tersebut.

Pengalaman agama menurutnya berasal dari masyarakat itu sendiri

dan masyarakatlah yang membentuk individu. Durkheim melanjutkan

pengertiannya bahwa masyarakat terdiri atas bangunan individu yang

kemudian membuat pengaruhnya melalui tindakan bersama atau kolektif

yang menimbulkan kesadaran atas dirinya sendiri dan kedudukannya.

Tindakan kolektif itulah yang menguasai kehidupan agama sebagaimana

fakta menunjukkan bahwa masyarakatlah yang merupakan sumbernya.

Hal ini diperkuat dengan asumsinya bahwa hampir semua institusi sosial

yang besar dilahirkan dalam agama. Di pihak lain yang membentuk

manusia adalah totalitas unsur intelektual yang menggambarkan

peradaban dan peradaban itulah sebagai hasil karya masyarakat.

Bagaimana suatu masyarakat menciptakan sentimen dan konsepsi

mengenai tempat berlindung yang aman, zat yang senantiasa menjaga

dan memperhatikan setiap diri para penganut agama dan cult (cara

memuja atau pemujaan) yang diciptakannya.

Aspek-aspek prinsipil dari kehidupan kolektif ini dapat bekerja

apabila dilihat dari aspek kehidupan keagamaan. Jelas bahwa kehidupan

agama adalah bentuk yang menonjol dan merupakan ungkapan sentral


22

dari kehidupan kolektif. Apabila agama telah melahirkan banyak unsur

yang esensial dalam masyarakat, maka hal ini karena roh masyarakat itu

sendiri adalah agama. Kekuatan agama adalah kekuatan manusia atau

kekuatan moral (Atho, 2003:7). Ritual posuo sebagai salah satu

upacara/ritus semireligius sangat penting untuk dipraktikkan dalam

masyarakat karena berdasarkan pandangan Durkheim, semakin sering

manusia melalukan upacara maka semakin kuat solidaritas di antara

mereka.

Peranan upacara menurut Ball (1997:12), baik ritual maupun

seremonial adalah untuk mengingatkan manusia agar dibiasakan dalam

pelaksanaan upacara berkenaan dengan eksistensi dan hubungan

lingkungan mereka. Manusia yang diingatkan ini harus mampu menjaga

keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan

sesamanya, dan manusia dengan lingkungan alam.

Selanjutnya, dalam pandangan Clifford Geertz, sebagaimana yang

dikomentari oleh Kleden (1988:14) bahwa ritus adalah tindakan yang

mempersatukan dunia nyata dan dunia imajinatif dalam bentuk simbolik.

Tindakan keagamaan terjadi kalau sistem simbol tersebut diresapi dengan

suatu kekuatan yang laur biasa, yang dalam agama disebut yang illahi

atau yang kudus (suci).

Menurut Hobsbawn (2003:1), ritual merupakan perangkat praktik

yang biasanya ditentukan oleh aturan-aturan yang diterima secara jelas

atau samar-samar dan suatu ritual atau sifat simbolik yang ingin
23

menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku tertentu melalui

pengulangan yang secara otomatis mengimplikasi adanya

kesinambungan dengan masa lalu. Ritual inilah yang menunjukkan

adanya kesinambungan dengan masa lalu dan mewujudkan kekuatan

unsur-unsur religi. Hal ini menunjukkan kepercayaan manusia terhadap

keberadaan kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi kedudukannya

daripada manusia. Oleh karena itu, masyarakat menjalankan aktivitas

ritual religi sebagai sarana komunikasi dengan alam gaib tersebut sesuai

dengan kepercayaan yang dianutnya (Purwasita, 2003:230). Meskipun

iman merupakan bagian dari ritual, bahkan ritual itu sendiri, iman

keagamaan berusaha menjelaskan makna ritual serta memberikan

tafsiran dan mengarahkan vitalitas pada pelaksanaan (Dhavamony,

1995:167).

Menurut Suhardi (2009:12--13), ada tiga kategori jenis ritual, yaitu

upacara sekuler, upacara semireligius, dan upacara religius. Ritual posuo

dari ketiga pandangan Suhardi tersebut, masuk dalam kategori kedua,

yakni ritual posuo merupakan upacara semirelegius. Ritual posuo

dikatakan sebagai upacara semireligius karena dapat berfungsi sebagai

media perekat sosial antarmasyarakat dan juga sarana penghubung

antara manusia dengan kekuatan adikodrati.

Ritus atau upacara religi biasanya berlangsung berulang-ulang,

baik setiap hari, setiap musim, maupun kadang-kadang saja tergantung isi

acara dan sejauhmana kebutuhan itu diperlukan. Ritus atau upacara religi
24

biasanya terdiri atas suatu kombinasi yang merangkaikan satu, dua, atau

beberapa tindakan, seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan

bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni drama suci,

berpuasa, intositasi, bertapa atau semadi (Koentjaraningrat, 1985:44).

Ritual secara umum adalah sistem upacara yang merupakan wujud

kelakuan dan religi. Seluruh sistem upacara itu terdiri atas aneka macam

upacara yang bersifat harian, musiman, dan kadang kala. Dalam sistem

upacara keagamaan menurut Koentjaraningrat (1994:14), terkandung

empat aspek, yaitu :(1) keyakinan dan emosi, (2) tempat pelaksanaan

upacara, (3) waktu pelaksanaan upacara dan (4) benda-benda dan

peralatan upacara serta orang yang melakukan dan memimpin jalannya

upacara.

Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat dilihat ritual merupakan

serangkaian perbuatan keramat yang dilakukan oleh umat beragama

dengan menggunakan alat-alat tertentu, tempat, dan cara-cara tertentu

pula. Namun secara umum ritual mempunyai fungsi yang sama yaitu

berdoa untuk mendapatkan suatu berkah. Ritual-ritual yang sering kita

temui dan alami dalam kehidupan sehari-hari adalah ritual siklus

kehidupan yakni ritual kelahiran, ritual pernikahan dan ritual kematian.

Ritual-ritual tersebut tidak bisa dilepas dari suatu masyarakat beragama

yang meyakininya.

Dalam kaitannya dengan ritual pernikahan, masyarakat suku Buton

memiliki sebuah tradisi yaitu posuo. Posuo adalah sebuah ritual yang
25

dilakukan oleh gadis Buton sebelum melakukan ritual pernikahan.

Maksudnya adalah para gadis Buton tidak bisa melakukan ritual

pernikahan tanpa melakukan ritual posuo „pingitan‟ terlebih dahulu. Ritual

posuo merupakan suatu prosesi upacara peralihan status individu wanita

dari status remaja (kabuabua) ke status dewasa (kalambe). Ritual ini

diyakini sebagai upacara penyucian diri seorang gadis sebelum memasuki

kehidupan berumah tangga.

3. Sejarah Singkat Posuo „Pingitan‟

Kata posuo berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Wolio,

yaitu Po adalah prefiks atau kata depan yang menjadikan kata yang

dilekatinya bermakna verba/kata kerja, dan Suo adalah ruangan bagian

belakang rumah (Kamus Bahasa Wolio, 1985:157). Jadi, secara harfiah

posuo dapat diartikan melakukan kurungan diruang belakang

rumah.Posuo „pingitan‟ adalah suatu proses kurungan di ruang belakang

rumah bagi perempuan selama waktu tertentu, dan mereka tidak

diperkenankan berhubungan dengan dunia luar. Prosesi ini telah menjadi

tradisi mayarakat Buton sejak beberapa abad yang lalu, pada zaman

Kesultanan Buton.Asal mula prosesi pingitan ini berawal dari kebiasaan

masyarakat mengurung perempuan.Mereka menganggap bahwa

perempuan memiliki keindahan atau kecantikan yang dapat mengundang

kerawanan kriminal.Pihak keluarga tidak diperkenankan membiarkan anak

perempuannya keluar rumah dengan bebas, bila anak yang bersangkutan

telah gadis.Hal ini disebabkan karena mereka tidak menginginkan anak


26

gadisnya diperebutkan oleh banyak pemuda.Para pemuda bisa melihat

para gadis hanya pada waktu-waktu tertentu seperti acara keluarga.

Masyarakat Buton menganggap bahwa pingitan merupakan bagian

dari kewajiban orang tua terhadap anak perempuannya.Orang tua merasa

berdosa jika anak perempuannya belum dipingit. Oleh karena itu, orang

tua dan keluarga dekatnya akan mengupayakan agar seorang anak

perempuan harus dipingit meskipun belum akan dinikahkan. Kewajiban

perempuan melakukan ritual pingitan yang tidak diperuntukkan bagi anak

laki-laki menunjukkan bahwa perhatian terhadap anak perempuan lebih

besar dari anak laki-laki. Pengetahuan atau ajaran-ajaran yang didapatkan

selama dipingit diharapkan akan menjadi bakal bagi perempuan sebelum

memasuki bahtera rumah tangga (Fariki, 2009:9).

Dalam perkembangan masyarakat Buton, terdapat tiga jenis posuo.

Pertama, posuo Wolio, merupakan tradisi posuopertama yang

berkembang dalam masyarakat Buton. Kedua, posuo Johoro yang berasal

dari Johor-Melayu (Malaysia). Ketiga, posuo Arabu yang berkembang

setelah Islam masuk ke Buton. Posuo Arabu merupakan hasil modifikasi

nilai-nilai posuo wolio dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Posuo ini

diadaptasi oleh Syeikh Haji Abdul Ghaniyyu, seorang ulama besar Buton

yang hidup pada pertengahan abab XIX yang menjabat sebagai Kenipulu

di Kesultanan Buton di bawah kepemimpinan Sultan Buton XXIX

Muhammad Aydrus Qaimuddin. Tradisi posuo arabu inilah yang masih


27

sering dilaksanakan sampai saat ini oleh masyarakat Buton (Alifuddin,

2015)

4. Teori Semiotika

Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani semeionyang berarti

„tanda‟ atau seme yang berarti penafsir tanda, atau dalam sebutan

bahasa Inggris “semiotics”. Jadi, semiotika adalah ilmu tentang tanda.

Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda

dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti tanda dan

proses yang berlaku bagi pengguna tanda (Zoest, 1993). Dalam perilaku

dan berkomunikasi tanda merupakan unsur terpenting karena bisa

memunculkan berbagai makna sehingga pesan dapat dimengerti.

Dalam perkembangan teori semiotika, Berger (2010:11)

menyebutkan bahwa terdapat dua tokoh semiotika yang konsep teorinya

sangat dikenal, yaitu Charles Sander Peirce (1839-1914) dan Ferdinand

de Saussure (1857-1913). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu

semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Peirce di

Amerika Serikat dengan latar belakang keilmuannya adalah filsafat dan

Saussure di Eropa dengan latar belakang keilmuannya adalah linguistik.

Menurut Pierce (dalam Hoed, 2014:8), tanda dan pemaknaannya

bukan struktur melainkan suatu proses kognitif yang disebutnya semiosis.

Jadi, semiosis adalah proses pemaknaan dan penafsiran tanda. Proses

semiosis ini melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah pencerapan aspek

representamen tanda (melalui pancaindra).Tahap kedua mengaitkan


28

secara spontan representamen dengan pengalaman daalam kognisi

manusia yang memaknai representamen itu (disebut objek), dan tahap

ketiga menafsirkan objek sesuai dengan keinginannya.Tahap ketiga ini

disebut interpretant.

Cara pemaknaan tanda melalui kaitan antara representamen dan

objek didasari oleh pemikiran bahwa objek tidak selalu sama dengan

realitas yang diberikan oleh representamen. Objek timbul karena

pengalaman memberi makna pada tanda (cf. Merrell dalam Hoed,

2014:9). Dengan demikian, semiosis adalah proses pembentukan tanda

yang bertolak dari representamen yang secara spontan berkaitan dengan

objek dalam kognisi manusia dan kemudian diberi penafsiran tertentu oleh

manusia yang bersangkutan sebagai interpretant. Karena tanda dimulai

dari representamen yang seakan mewakili apa yang ada dalam pikiran

manusia (objek), teori semiotika Pierce mendefinisikan tanda sebagai

“something that represent something else”, yang secara teoretis dapat

diterjemahkan menjadi “tanda adalah representamen yang secara spontan

mewakili objek”. Mewakili disini berarti berkaitan secara kognitif yang

secara sederhana dapat dikatakan sebagai proses pemaknaan: ada

kaitan antara “realitas” dan “apa yang berada dalam kognisi manusia”.

Berdasarkan sifat hubungan antara representamen dan object,

Pierce membagi tanda dalam tiga kategori, yaitu:

1. Indeks, yaitu tanda yang hubungan antara representamen dan


objectnya bersifat kausal dan kontinu. Dalam hal ini tanda memiliki
29

hubungan dengan objeknya secara sebab akibat. Tanda tersebut

berarti akibat dari suatu pesan. Contoh yang umum yaitu adanya

asap sebagai tanda dari api.

2. Ikon, yaitu kategori tanda yang representamennya memiliki

keserupaan identitas dengan objek yang ada dalam kognisi

manusia yang bersangkutan. Dapat diartikan pula sebagai

hubungan atara tanda dan objek yang bersifat kemiripan. Bahwa

maksud dari ikon adalah memberikan pesan akan bentuk aslinya.

Contoh yang paling sederhana dan banyak kita jumpai namun tidak

kita sadari adalah peta.

3. Simbol, yaitu kategori tanda yang representamennya diberikan

berdasarkan konvensi sosial. Sesuatu disimbolkan melalui tanda

yang disepakati oleh para penandanya sebagai acuan umum.

Misalkan saja lampu merah yang berarti berhenti, semua orang

tahu dan sepakat bahwa lampu merah menandakan berhenti

Danesi dan Perron (dalam Hoed 2014:35), tujuan utama semiotik

adalah memproduksi dan memahami tanda serta kegiatan membangun

pengetahuan tentang sesuatu dalam kehidupan manusia. Kemampuan itu

adalah semiosis, sedangkan kegiatan manusia yang berkaitan dengan

tanda adalah representasi (kegiatan mengaitkan suatu representamen

dengan objeknya).

Lebih jauh, Danesi dan Perron mengungkapakan bahwa penelitian

semiotik mencakup tiga ranah yang berkaitan dengan apa saja yang
30

diserap manusia dari lingkungannya (the world), yakni yang bersangkutan

dengan tubuhnya, pikirannya, dan kebudayaannya. Semiosis pada

dasarnya menyangkut segi tubuh (fisik), setidak-tidaknya pada tahap awal.

Kemudian melalui representasi berkembang menjadi kegiatan di dalam

pikiran, dan selanjutnya bila dilakukan dalam ranah kehidupan sosial,

menjadi sesuatu yang hidup dalam “kebudayaan” sebagai signifying order.

Berdasarkan hal tersebut, kita akan memahami bahwa ada hubungan erat

antara “semiosis”, “representasi”, dan “signifying order”, yakni antara

kemampuan sejak lahir manusia, untuk memproduksi dan meahami tanda

(semiosis), kegiatan dalam kognisi manusia untuk mengaitkan

representamen dengan pengetahuan dan pengalamannya (representasi),

serta sistem tanda yang hidup dan diketahui bersama kebudayaan

masyarakatnya (signifying order).

Dalam melihat kebudayaan sebagai signifying order, Hoed

(2014:36) membedakan empat hal yang berkaitan satu sama lain dan

perlu diperhatikan dalam semiotik, yaitu jenis tanda (ikon, lambang,

simbol), jenis sistem tanda (bahasa, musik, gerak tubuh), jenis teks, dan

jenis konteks atau situasi yang memengaruhi makna tanda (kondisi

psikologis, sosial, historis, dan kultural). Berdasarkan pemahaman di atas,

diketahui bahwa semiotik memberikan kemungkinan kepada kita untuk

berpikir kritis dan memahami adanya kemungkinan makna lain atau

penafsiran atas segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sosial

budaya.
31

Dalam kajian semiotik, data yang dijadikan objek analisis pada

umumnya adalah teks. Teks dalam teori kebudayaan didefinisikan tidak

terbatas pada tulisan, tetapi termasuk pula pola perilaku dan tindakan

nonverbal dan teks yang mengungkapkan pesan-pesan budaya. Teks

secara umum diklasifikasikan menjadi teks kognitif dan teks sosial, baik

verbal maupun nonverbal (Hoed, 2008:41).Pemahaman terhadap hal ini

sangat penting karena akan banyak bersinggungan dengan tradisi lokal

ritual posuo pada masyarakat suku Buton.

Dalam konteks semiotika, Geertz (1993:76) menawarkan cara

penafsiran kebudayaan dengan cara memaparkan konfigurasi atau sistem

simbol-simbol bermakna secara mendalam dan menyeluruh. Geertz

berkesimpulan bahwa simbol-simbol yang tersedia di kehidupan umum

sebuah masyarakat yang sesungguhnya menunjukkan bagaimana para

warga masyarakat yang bersangkutan melihat, merasakan, dan

memikirkan tentang dunia mereka dan bertindak berdasarkan nilai-nilai

yang sesuai. Bagi Geertz, kebudayaan adalah semiotik; hal-hal yang

berhubungan dengan simbol yang tersedia di depan umum dan dikenal

oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

Selanjutnya, Ferdinand de Saussure mendefinisikan semiotik

sebagai cabang keilmuan yang mengkaji masalah tanda termasuk sistem

dan proses yang berlaku dalam masyarakat. Dalam teorinya, Saussure

mengajukan konsep tanda dikotomi, yang disebut signifiant (penanda) dan

signifié (petanda), yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.


32

Saussure menggunakan istilah signifiant untuk segi bentuk tanda, dan

signifié untuk segi maknanya (Hoed, 2014:15).

Signifié ini merupakan representasi mental dari tanda dan bukan

sesuatu yang diacu oleh tanda.Jadi, petanda bukan benda tetapi

representasi mental dari benda.Saussure menyebut hakikat mental

petanda dengan istilah konsep.Penanda dan petanda dapat dibedakan

tetapi dalam prakteknya tidak dapat dipisahkan, keduanya saling menyatu

dan saling tergantung dan kombinasi keduanya kemudian menghasilkan

tanda.

Signifiant adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna

(aspek material/tanda), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis

atau dibaca. Pengaturan makna dari sebuah tanda memerlukan konvensi

sosial di kalangan komunitas bahasa.Dalam hal ini makna suatu tanda

muncul disebabkan oleh adanya kesepakatan diantara komunitas

pengguna bahasa.Hubungan antara penanda dan petanda terbentuk

berdasarkan konvensi dan bukannya secara alamiah.Penanda ini pada

dasarnya membuka berbagai peluang petanda.

Lebih jauh Saussure (Hasyim, 2014:24), mendefinisikan tanda

signified (petanda) sebagai konsep dan signifier (penanda) sebagai citra

bunyi. Terdapat hubungan diadik antara penanda dan petanda dan

memberikan penjelasan bahwa kedua unsur itu bertalian erat, penanda

dan petanda dan reaksi mental terhadap penanda dan petanda

menghubungkan satu dengan yang lain melalui aktivitas mental yang


33

dibentuk oleh budaya dan kesepakatan. Dengan kata lain, tanda yang kita

pakai ditentukan oleh kesepakatan yang mempunyai nilai kultural.

Saussure menekankan bahwa tidak ada hubungan yang logis antara

penanda dan petanda. Jadi hubungan yang ada adalah hubungan yang

arbitrer yang dibentuk dari kesepakatan sosial.

Sebuah contoh yang diberikan Saussure adalah kata “arbor”. Kata

tersebut dapat mewakili suatu citra bunyi di suatu bahasa yang berbeda,

kita hanya dapat menyetujui bahwa ada kearbitreran dan sifat pada tanda

ini. Kearbitreran ini dapat diilustrasikan dengan kenyataan bahwa

misalnya, kata “arbor” dapat mengacu pada sebuah konsep pohon yang

memliki batang dan daun (petanda) atau mungkin sesuatu yang lain jika

hal ini disepakati secara sosial. Saussure memberikan tekanan pada citra

akustik (penanda) dan konsep (petanda) merupakan entitas yang terpisah

dan yang satu menyebabkan timbulnyayang lain sebab kesepakatan

sosial bertindak sebagai perekat yang melekatkan mereka.

Berikut adalah suatu pernyataan Saussure mengenai sistem tanda,

dalam sebuah buku karangan Arthur Asa Berger:

“Bahasa adalah suatu sistem tanda yang mengekspresikan ide-ide

(gagasan-gagasan) dan oleh karena itu dapat dibandingkan dengan


34

sistem tulisan, huruf-huruf untuk orang bisu – tuli, simbol-simbol

keagamaan, aturan-atauran sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan

sebagainya. Namun hal itu semua yang sangat penting dari keseluruhan

sistem tersebut. Suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda kehidupan

dalam masyarakat bersifat dapat dipahami. Hal ini merupakan bagian dari

psikologi sosial atau berkaitan dengan psikologi umum. Saya akan

menyebutnya sebagai semiologi (dari bahasa latin semion = tanda).

Semiologi akan menjelaskan unsur yang menyusun suatu tanda dan

bagaimana hukum-hukum itu mengaturnya” (Berger,2010).

Selain teori-teori semiotik dari Pierce dan Saussure yang sudah

dijelaskan sebelumnya, dikenal juga teori semiotik Roland Barthes. Ia

adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara

kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat

menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat

yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang

yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut

dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal

dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan

konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan

Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi

(makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir

dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan

Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah


35

signifier-signified yang diusung Saussure (Sobur, 2004:11). Dalam tulisan

ini, penulis menggunakan teori semiotika Roland Barthes sebagai pisau

analisis. Alasan menggunakan konsep semiotik tersebut karena peneliti

berasumsi bahwa Roland Barthes adalah salah satu ahli semiotik yang

pemikirannya sangat relevan untuk menjawab permasalahan yang ada

dalam penelitian ini, yaitu mengenai makna denotasi dan konotasi simbol

dan mitos yang terdapat pada ritual posuo „pingitan‟.

5. Teori Semiotika Roland Barthes

Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980). Barthes

sebagai penerus pemikiran Saussure menekankan interaksi antara teks

dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara

konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh

penggunanya. Peda teorinya mengenai semiotika, Barthes membuat

model sistematis dalam menganalisis makna pada tanda. Barthes

menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan

antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas

ekternal atau yang biasa disebut sebagai denotasi. Sedangkan konotasi

adalah signifikasi pada tahap kedua. Gagasan Barthes ini dikenal dengan

order of signification, dengan mencakup denotasi (makna sebenarnya)

dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan

personal).

Semiotika menurut Barthes dalam Sobur (2004:15) pada dasarnya

hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-


36

hal (things). Memaknai (to signify) tidak dapat dicampur adukkan dengan

mengomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-

objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu

hendak berkomunikasi, tetapi juga mengonstitusi sistem terstruktur dari

tanda.

Semiologi Barthes tersusun atas dua tingkatan sistem bahasa.

Bahasa pada tingkat pertama adalah bahasa sebagai objek dan bahasa

pada tingkat kedua adalah metabahasa. Metabahasa ini merupakan suatu

sistem tanda yang berisi penanda dan petanda. Sistem tanda tingkat

kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat

pertama sebagai sebuah petanda baru yang kemudian memiliki penanda

baru pada suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi .Sistem

tanda pertama disebutnya dengan istilah denotasi atau terminologis,

sedangkan sistem tanda tingkat kedua disebutnya sebagai konotasi atau

sistem retoris atau mitologi. Konotasi dan metabahasa adalah cermin yang

berlawanan satu sama lain. Metabahasa adalah operasi-operasi yang

membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah yang berperan untuk

menerapkan sistem riil, dan dipahami sebagai petanda, di luar

kesatuanpenanda-penanda asli. Sementara itu, konotasi meliputi bahasa-

bahasa yang utamanya bersifat sosial dalam hal pesan literal memberi

dukungan bagi makna kedua dari sebuah tatanan artifisial atau ideologis

secara umum.
37

a. Denotasi

Di dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem

signifikasi tingkat pertama (Fiske,1990:88). Pada tahap ini dijelaskan relasi

antara penanda (signifier) dan petanda (signified) di dalam sebuah tanda,

dan antara tanda dan objek yang diwakilinya dalam realitas eksternalnya.

Dengan kata lain, denotasi merupakan makna paling nyata dari sebuah

tanda. Dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem

signifikasi tingkat pertama, yang kemudian dilanjutkan oleh sistem

signifikasi konotasi yang berada ditingkat kedua.

b. Konotasi

Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan

signifikasi tingkat kedua. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang

menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya

beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti

(artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna

lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai

aspek psikologis seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Konotasi

berkembang lebih luas daripada yang ada dalam linguistik. Barthes (1957)

mengetengahkan konsep konotasi sebagai “pemaknaan kedua” yang

didasari oleh pandangan budaya, pandangan politik, atau ideologi pemberi

makna. Makna yang dilihatnya lebih dalam tingkatnya, bersifat

konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos

dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengodean makna dan nilai-


38

nilai sosial (yang sebenanya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang

dianggap alamiah (dalam Rita, 2018:30).

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi,

yang disebutnya sebagai ‟mitos‟ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan

memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam

suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi

penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik,

mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya

atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran

kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa

penanda.

c. Mitos

Semiotika (semiologi) Roland Barthes mengacu kepada Saussure

yang menyelidiki hubungan antara penanda dan petanda pada sebuah

tanda. Hubungan penanda dan petanda ini bukanlah kesamaan (equality),

melainkan ekuivalen, yakni keduanya berkorelasi. Barthes

mengembangkan dua tingkatan pertandaan (staggered systems) yang

memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat,

yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Tingkatan tanda dan makna Barthes

dapat digambarkan seperti berikut.

Tanda Denotasi Konotasi Mitos

Gambar 4. Tingkatan Tanda dan Makna Barthes (Sumber: Hasyim, 2014)


39

Berdasarkan skema tingkatan di atas, dapat dipahami bahwa mitos

diuraikan dalam tiga unsur penandaan, yaitu tanda (sign), denotasi

(penanda/signifier), dan konotasi (petanda/signified). Menurut Barthes

(dalam Rita, 2018:31), mitos adalah suatu sistem komunikasi, karena

mitos menyampaikan pesan. Mitos adalah suatu bentuk dan bukan objek

atau konsep, tidak ditentukan oleh materinya, melainkan oleh pesan yang

disampaikan. Mitos juga merupakan suatu tuturan yang lebih ditentukan

oleh maksudnya dari pada bentuknya. Selain itu, mitos tidak selalu bersifat

verbal (kata-kata baik lisan maupun tulisan), melainkan dalam berbagai

bentuk lain atau campuran antara bentuk verbal dan nonverbal. Bagi

penelitian semiotik, teori Roland Barthes sangat penting karena dapat

menjembatani teori dan penelitian dengan berbagai macam teks.Teks

yang dimaksud bukan hanya teks verbal, melainkan juga teks non verbal

(Kusuma, 2013:19).

Selanjutnya, Barthes juga menyatakan bahwa mitos adalah sesuatu

yang wajar atau alamiah dan tidak memerlukan kebenaran sebagai

sanksinya. Dalam mitos, konsep dapat meluas melalui penanda yang

sangat besar dan panjang, sebaliknya bentuk yang sangat kecil (satu

kata, satu sketsa, ataupun satu gerakan) dapat menjadi penanda dari

konsep yang sangat berkembang.

Fenomena keseharian bisa menjadi mitos, karena menurut Barthes,

mitos adalah semacam wicara, segalanya dapat menjadi mitos asal hal itu

disampaikan lewat wacana (discourse). Dan semua hal bisa menjadi


40

mitos. Karena tidak ada hukum, baik yang bersifat alam maupun bukan,

yang melarang pembicaraan tentang berbagai hal. Semua hal yang

menjadi mitos itu menyelimuti kita, bekerja sedemikian halus, justru

karena mereka terkesan benar-benar alami. Hal ini sejalan dengan

pendapat Hasyim (2014:59), mitos merupakan sebuah gambaran (pesan)

psikologis yang dibangun melalui proses semiologis (penanda dan

petanda) dengan memuat konsep ideologis yang bertujuan

menaturalisasikan suatu konsep menjadi hal yang wajar atau alamiah.

1) Mitos sebagai sistem semiotik

Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga

unsur, yaitu signifier, signified, dan sign. Untuk membedakan istilah-istilah

yang sudah dipakai dalam sistem semiotik tingkat pertama, Barthes

menggunakan istilah berbeda untuk ketiga unsur itu, yaitu: form, concept,

dan signification (Sunardi, 2002:104). Dengan kata lain form sejajar

dengan signifier, concept dengan signified, dan signification dengan sign.

Pembedaan istilah-istilah ini dimaksudkan bukan hanya supaya tidak ada

kebingungan, melainkan juga karena proses signification dalam sistem

semiotik tingkat pertama dan tingkat kedua tidak persis sama. Jika sistem

pertama adalah sistem linguistik, maka sistem kedua adalah sistem mitis

yang memunyai keunikan. Sistem kedua memang mengambil model

sistem pertama, akan tetapi tidak semua prinsip yang berlaku pada sistem

pertama berlaku pada sistem kedua.


41

Sebagai sistem semiotik tingkat dua, mitos mengambil sistem

semiotik tingkat pertama sebagai landasannya.Jadi, mitos adalah sejenis

sistem ganda dalam sistem semiotik yang terdiri dari sistem linguistik dan

sistem semiotik.Untuk menciptakan sistem mitis, sistem semiotik tingkat

dua mengambil seluruh sistem tanda tingkat pertama sebagai signifier.

Dikatakan lebih persis, sign diambil (taken over) oleh sistem tingkat dua

menjadi form. Adapun concept diciptakan oleh pembuat atau pengguna

mitos.Sign yang diambil untuk dijadikan form diberi nama lain, yaitu

meaning karena kita mengetahui tanda hanya dari maknanya. Ini berarti

satu kaki meaning berdiri di atas tingkat kebahasaan (sebagai sign), dan

satu kaki yang lain di atas tingkat sistem mitis (sebagai form).

Gambar 2.Peta Tanda Roland Barthes


Sumber: Hasyim, Muhammad (2014:29)

Dalam menerapkan sistem mitos, Barthes memberikan contoh

(Mythologies, 1957:189) foto seorang prajurit berkulit hitam di antara

prajurit berkulit putih, yang sedang memberi hormat pada bendera Prancis

yang ada pada sampul depan majalah Paris-Match (No 236, 25 Juni-2 Juli

1955). Padatataran pertama, penandanya adalah “foto seorang prajurit

muda yang berpakaian seragam Prancis, yang sedang memberi hormat


42

pada bendera Prancis”. Petanda atau konsep yang dimunculkan dari

penanda tersebut adalah “prajurit berkulit hitam memberi hormat pada

bendera Prancis”.Petanda pada tataran pertama menjadi penanda pada

tataran kedua sebagai sistem mitos, yaitu “prajurit berkulit hitam memberi

hormat pada bendera Prancis” dan petandanya adalah konsep

keperancisan dan kemiliteran, „kekaisaran besar Prancis tanpa ada

diskriminasi memberi hormat pada bendera Prancis‟.

Gambar 3. Contoh analisis semiologi Roland Barthes


Sumber: Hasyim, Muhammad (2014:30)

2) Fungsi Mitos

Dalam “Mythologies” (1957:195) Barthes menjelaskan bahwa fungsi

mitos adalah 1) mendistorsi, 2) mendeformasi dan 3) menaturalisasi

makna dari tataran pertama. Makna (tanda sebagai relasi penanda dan

petanda) pada tataran pertama mengalami distorsi untuk menciptakan

makna baru pada tataran kedua. Maka, tanda pada tataran kedua

memaknai sesuatu yang lain yang tidak lagi merujuk pada realitas

sesungguhnya, sebagai sistem referen. Fungsi distorsi ini adalah untuk


43

mengubah bentuk dengan suatu konsep dan konsep yang dikontruksi

dalam mitos pada tataran kedua dilatarbelangi oleh ideologi (kepentingan)

pengguna tanda atau pembuat mitos.Fungsi utama mitos adalah

penaturalisasian (naturalization) konsep (sistem gagasan) ke dalam suatu

masyarakat pengguna tanda sebagai suatu yang alamiah atau

wajar.Dengan demikian, pada dasarnya fungsi mitos adalah sebagai

konsep yang menjadi pedoman bagi pembuat dan pengguna mitos.Dalam

hubungannya dengan penelitian ini yaitu bagi masyarakat suku Buton.

Secara ringkas teori dari Barthes ini dapat diilustrasikan sebagai

berikut: Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua

tahap.Pada tahap pertama, tanda dapat dilihat latar belakangnya pada (1)

penanda dan (2) petandanya. Tahap ini lebih melihat tanda secara

denotatif. Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara bahasa. Dari

pemahaman bahasa ini, kita dapat masuk ke tahap kedua, yakni

menelaah tanda secara konotatif. Pada tahap ini konteks budaya,

misalnya, sudah ikut berperan dalam penelaahan tersebut. Misalnya kita

mengambil contoh “bunga mawar”. Pada tahap I, tanda berupa “bunga

mawar” ini baru dimaknai secara denotatif, yaitu penandanya berwujud

dua kuntum mawar pada satu tangkai. Jika dilihat konteksnya, bunga

mawar itu memberi petanda mereka akan mekar bersamaan di tangkai

tersebut. Jika tanda pada tahap I ini dijadikan pijakan untuk masuk ke

tahap II, maka secara konotatif dapat diberi makna bahwa bunga mawar

yang akan mekar itu merupakan hasrat cinta yang abadi. Bukankah dalam
44

budaya kita, bunga adalah lambang cinta. Atas dasar ini, kita dapat

sampai pada tanda (sign) yang lebih dalam maknanya, bahwa hasrat

cimta itu abadi seperti bunga yang tetap bermekaran di segala masa.

Makna denotatif dan konotatif ini jika digabung akan membawa kita pada

sebuah mitos, bahwa kekuatan cinta itu abadi dan mampu mengatasi

segalanya (Piliang, 2012:350).

6. Simbol

Pada dasarnya kemampuan manusia menciptakan simbol untuk

membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi

dalam berkomunikasi. Simbol sebenarnya merupakan salah satu bentuk

model dari teori bahasa bagi kajian penelitian sosial budaya (Kleden-

Prononegoro, dalam Sobur, 2009:45). Simbol pada umumnya memiliki

makna yang bersifat ganda.Simbol dalam arti ganda ini diperoleh dengan

menganalogikan arti pertama dan arti kedua.

Simbol mewakili sumber acuannya dalam cara yang konvensional.

Oleh sebab itu hubungan antara simbol dengan sesuatu yang ditandakan

dengan adanya sifat yang konvensional. Berdasarkan konvensi itu juga

masyarakat pemakainya menafsirkan ciri dan hubungan antara simbol

dengan obyek yang diacu dan maknanya. Berger (2010:27) berpendapat

bahwa salah satu karakteristik dari simbol adalah tidak pernah benar-

benar menghasilkan makna dalam setiap skonteks yang berbeda.Hal ini

bukannya tidak beralasan, namun karena ada ketidaksempurnaan ikatan

alamiah antara penanda dan petanda seperti simbol keadilan yang berupa
45

sebuah timbangan, yang tidak dapat digantikan oleh identitas lainnya

seperti kendaraan misalnya kereta.

Simbol melibatkan tiga macam hubungan tanda.Pertama, hubungan

tanda dengan dirinya sendiri atau disebut simbolik atau hubungan internal.

Kedua, hubungan tanda dengan tanda lain dalam suatu sistem yang

disebut hubungan paradigmatik. Ketiga, hubungan tanda dengan tanda

lain dari satu struktur yang diseabut hubungan sintagmatik atau hubungan

eksternal.

C. Kerangka Pikir

Untuk mempermudah suatu penelitian perlu dibuat kerangka pikir

atau konsep dengan tujuan membuat arah penelitian menjadi jelas. Ritual

posuo merupakan suatu upacara adat yang diadakan oleh masyarakat

suku Buton ketika seorang gadis beralih status, dari remaja (kabuabua) ke

status dewasa (kalambe). Ritual ini terdiri atas beberapa tahap dalam

pelaksanaannya. Dalam setiap tahap pelaksanaannya memiliki tata cara

khusus dan dibutuhkan perlengkapan-perlengkapan yang harus dipenuhi.

Tata cara dan perlengkapan itulah yang merupakan simbol-simbol yang

tentunya memiliki makna tersendiri. Untuk mengkaji makna simbol yang

terdapat pada ritual posuo, peneliti menggunakan konsep analisis semiotik

Roland Barthes. Roland Barthes menggunakan dua tahap signifikan

dalam melakukan penganalisaan terhadap suatu tanda/simbol yaitu tahap

denotasi dan konotasi, yang kemudian melahirkan adanya sebuah mitos

masyarakat suku Buton terhadap ritual posuo. Mitos disini merupakan


46

sebuah konsep yang mengandung nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-

aturan yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan sehari-hari oleh

masyarakat Buton.

Skema Kerangka Pikir

Ritual Posuo „pingitan‟

Tahapan-Tahapan
Pelakasanaan Ritual Posuo

Simbol-Simbol dalam
Ritual Posuo

Semiotika Roland Barthes

Denotasi Konotasi Mitos

Mitos masyarakat suku Buton terhadap


ritual posuo „pingitan‟
47

D. Definisi Operasional

Dalam penulisan penelitian ini, penulis akan mengungkapkan

penjelasan-penjelasan segala sesuatu yang terkait di dalamnya.

Sehubungan dengan hal ini, penulis memberi batasan-batasan pengertian

dari istilah-istilah penting dan sering digunakan di dalam penelitian ini,

seperti berikut:

1. Tradisi adalah suatu kebiasaan yang mengandung nilai-nilai

tersendiri bagi kelompok masyarakat pendukungnya.

2. Ritual diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang dilaksanakan

untuk tujuan simbolis berdasarkan tradisi suatu kelompok

masyarakat tertentu.

3. Posuo „pingitan‟ adalah salah satu tradisi ritual yang dimiliki

masyarakat suku Buton yang diilakukan ketika seorang gadis

beralih status dari remaja menjadi dewasa, dan menjadi syarat

sebelum memasuki kehidupan rumah tangga (sebelum dilakukan

ritual pernikahan).

4. Semiotik adalah ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang

merupakan tanda dan memiliki makna, yang terdapat dalam

kehidupan manusia.

5. Simbol adalah sesuatu yang dibangun oleh individu ataupun

masyarakat dengan arti atau makna yang disepakati dan

digunakan oleh anggota masyarakat itu sendiri. Simbol yang


48

dimaksud dalam penelitian ini yaitu perlengkapan-perlengkapan

yang dibutuhkan dan tata cara pelaksanaan ritual.

6. Makna adalah arti atau maksud yang terkandung dalam simbol.

7. Denotasi adalah makna paling nyata yang dimiliki oleh sebuah

tanda.

8. Konotasi adalah makna tersirat dari suatu simbol yang

dihubungkan dengan kebudayaan masyarakat tertentu, yang di

dalamnya mengandung sebuah mitos.

9. Mitos adalah cara mengonseptualkan sesuatu (objek) menjadi hal

yang alamiah dan wajar.

10. Suku Buton adalah suku yang terdapat di wilayah Sulawesi

Tenggara, tepatnya di Kepulauan Buton.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif karena pada

hakekatnya mengamati manusia dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi

dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka

tentang dunia sekitarnya. Hal tersebut juga berkaitan dengan definisi yang

diberikan oleh Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2004:3), yaitu suatu

prosedur penelitian yang menghasilkan suatu data deskriptif berupa kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, diarahkan

pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).

Di samping itu, Kirk dan Miller dalam Moleong (2004:3)

mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu

pengetahuan sosial secara fundamental, bergantung pada pengamatan

manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-

orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Jadi,

penelitian kualitatif menekankan unsur manusia sebagai instrumen

penelitian. Hanya manusia sebagai alat yang dapat berhubungan dengan

unsur manusia sebagai instrumen penelitian. Hanya manusia sebagai alat

yang dapat berhubungan dengan responden atau objek lainnya yang

mampu memahami kenyataan-kenyataan atau fenomena yang ada di

lapangan.

49
50

Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan semiotik.

Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala

yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan

tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimannya oleh mereka yang

menggunakannya. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,

konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai

arti (Narbuko, 2005:81). Analisis semiotik berupaya menemukan makna

tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda.

Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotik yang mengacu pada

analisis semiotik Roland Barthes dikarenakan peneliti ingin

mengungkapkan mitos masyarakat suku Buton terhadap ritual posuo

melalui pemaknaan dua tahap yaitu denotasi dan konotasi.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada April sampai Mei 2018 di Desa

Wawoangi, Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton Selatan. Peneliti

memilih lokasi ini karena masyarakat di desa tersebut masih melakukan

tradisi ritual posuo secara mendetail dan masih menjujung tinggi tradisi

tersebut sebagai warisan leluhur, sehingga peneliti dapat memperoleh

data yang akurat untuk keperluan informasi penelitian.

C. Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini terbagi atas dua, yaitu data primer dan

data sekunder. Data primer adalah simbol-simbol yang terdapat dalam


51

ritual posuo, yang berupa perlengkapan ritual dan tata cara

pelaksanaannya, yang diperoleh melalui observasi dan dokumentasi.

Sementara data sekunder adalah data yang diperoleh melalui proses

wawancara. Selain itu, data yang menunjang dalam kegiatan penelitian

seperti buku-buku referensi, artikel, majalah, surat kabar, dan internet,

yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini.

D. Informan Penelitian

Informan merupakan orang yang diwawancarai terkait dengan

penelitian yang dilakukan. Dari wawancara yang dilakukan dengan

informan, peneliti mendapatkan inforrmasi yang dibutuhkan. Informan

memberi informasi sekaligus menjadi guru bagi peneliti untuk bisa

mengerti budaya masyarakat suku Buton. Informan menjadi sumber

informasi. Secara harfiah informan menjadi guru bagi etnografer atau

peneliti (Spradley, 1997:35).

Informan merupakan individu yang memiliki pengetahuan kuat dan

mendalam tentang segala hal yang berhubungan dengan latar penelitian.

Mereka diikutsertakan dalam penelitian secara suka rela tanpa paksaan,

seperti yang disebutkan oleh Moleong (2004:90), informan adalah orang

yang dimanfaatkan untuk memberikan infomasi tentang situasi dan latar

penelitian.

Sehubungan dengan penelitian ini, peneliti menggunakan konsep

Spradley (Endraswara,2006:203), yang prinsipnya mengehendaki seorang

informan itu harus paham terhadap budaya yang dibutuhkan. Penentuan


52

informan dilakukan dengan menggunakan teknik snowball sampling.

Snowball sampling adalah teknik pengambilan data dengan bantuan

informan kunci, dan dari informan kunci inilah data yang diperoleh akan

berkembang sesuai petunjuknya. Informan kunci yang dipilih dalam

penelitian ini adalah tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat Buton

yang diangggap mampu dan memahami budaya masyarakat Buton

secara mendalam khususnya mengenai tradisi posuo. Kemudian melalui

rekomendasi dari informan kunci, peneliti segera menghubungi informan

berikutnya sampai data yang diperoleh mendapatkan kesatuan yang utuh,

dan dianggap sudah mampu menjawab semua permasalahan yang ada

dalam penelitian ini.

Adapun jumlah informan dalam penelitian ini adalah sebanyak enam

orang, terdiri dari tokoh Budayawan Buton, Kepala Desa Wawoangi, Imam

mesjid tua Buton, Tokoh Adat dan bhisa (pemimpin upacara ritual posuo).

E. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam suatu penelitian, metode dan teknik pengumpuan data

merupakan suatu langkah penting yang harus dilakukan untuk

mengumpulkan data. Dengan menentukan metode dan teknik

pengumpulan data yang tepat dan sesuai, maka data yang diperoleh akan

lebih akurat, lengkap, dan representatif untuk diolah dan dianalisis.

Menurut Sugiyono (2013:224) metode pengumpulan data

merupakan langkah yang paling strategis dalam sebuah penelitian,

karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Adapun


53

metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Observasi/Pengamatan

Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia

dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya

selain pancaindra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit.

Karena itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan

pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan

pancaindra lainnya. Dengan demikian yang dimaksud metode observasi

adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun

data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin, 2008:115).

Bentuk teknik observasi yang peneliti gunakan dalam penelitian ini

adalah teknik observasi partisipasi. Observasi partisipasi adalah

pengumpulan data melalui observasi terhadap subjek pengamatan

dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktivitas

kehidupan objek pengamatan. Di sini peneliti akan mencari data mengenai

prosesi pelaksanaan ritual posuo.

Metode observasi dalam penelitian ini menggunakan teknik lanjutan

berupa teknik rekam dan catat. Rekaman adalah suatu dokumen yang

menyatakan bahwa sesuatu hasil telah dicapai atau suatu bukti kegiatan

telah dilaksanakan (Anwar, 2009:2). Peneliti melakukan rekaman

wawancara dengan informan menggunakan alat perekam untuk merekam

respon informan. Rekaman dilakukan terhadap informan dengan


54

mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan dengan

instrumen yang telah disiapkan. Teknik rekam juga digunakan untuk

merekam prosesi pelaksanaan ritual posuo. Sementara teknik catat

dilakukan untuk mencatat hal-hal atau data yang diperoleh di lokasi

penelitian.

b. Wawancara

Metode wawancara atau interview merupakan salah satu metode

yang digunakan dalam tahap peyediaan data yang dilakukan dengan cara

peneliti melakukan percakapan langsung dengan informan atau

narasumber (Mahsun, 2005:250). Wawancara adalah cara yang

digunakan untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan

keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang informan, dengan

bercakap-cakap dengannya (Nasution, 2009:59).

Bentuk wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara

cakap semuka, yaitu peneliti melakukan percakapan langsung di suatu

tempat dengan informan. Selain itu, metode wawancara dilakukan secara

mendalam. Wawancara mendalam secara umum adalah proses

memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab

sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang

yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)

wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan

sosial yang relatif lama (Bungin, 2008:108). Sedangkan menurut Taylor,

wawancara mendalam (in-depth interview) adalah wawancara tidak


55

berstruktur antara pewawancara dan informan yang dilakukan berulang-

ulang kali. Wawancara ini diupayakan untuk memperoleh data sebanyak

mungkin dari stakeholder sehingga data-data yang nanti muncul adalah

pernyataan-pernyataan yang dikemukakan data-data yang nanti muncul

adalah pernyataan-pernyataan yang dikemukakan informan sesuai

dengan topik penelitian (Afrizal, 2005:69).

c. Dokumentasi

Metode dokumentasi dalam penelitian kualitatif merupakan

pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara. Studi

dokumentasi yaitu mengumpulkan dokumen dan data-data yang

diperlukan dalam permasalahan penelitian kemudian ditelaah secara

mendalam sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan dan

pembuktian suatu kejadian (Adkon, 2006:148). Pada penelitian ini metode

dokumentasi digunakan untuk memperoleh data yang berupa buku-buku

keterangan laporan hasil penelitian dan artikel-artikel di majalah atau

koran yang memunyai relevansi dengan permasalahan.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah segala peralatan yang digunakan

untukmemperoleh, mengelola, dan menginterpretasikan informasi atau

data dariberbagai sumber (Hasyim, 2014:55). Adapun instrumen yang

digunakan dalam penelitian ini adalah handycam yang digunakan

untukmewawancarai informan dan untuk merekam proses pelaksanaan

ritual posuo dari awal hingga akhir prosesi.


56

G. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan selama proses pengumpulan data. Karena

dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dan analisis data bukanlah

dua hal yang terpisah satu sama lain, sehingga selama pengumpulan data

berlangsung selama itu pula proses penganalisisan berlangsung

(Sugiyono, 2005:88). Menurut Bogdan & Biklen yang dikutip dalam buku

“Metodologi Penelitian Kualitatif” (Moleong, 2004:248), analisis data

kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

memilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,menyintesiskannya,

mencari, menemukan pola, menemukan apa yang penting, mempelajari,

dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Kegiatan menganalisis data dalam suatu penelitian merupakan

kegiatan inti yang pada akhirnya akan melahirkan hasil dari penelitian

yang berupa kesimpulan dan saran. Pada penelitian ini teknik analisis

data menggunakan metode induktif.Metodeinduktifini digunakan dalam

menganalisis data yang diperoleh yakni data kualitatif yang berupa simbol-

simbol. Metode induktif adalah metode analisis data yang berangkat dari

hal-hal yang bersifat khusus untuk ditarik kesimpulan yang bersifat umum.

Dengan metode induktif ini, peneliti menangkap berbagai fakta atau

fenomena-fenomena melalui pengamatan di lapangan kemudian

menganalisisnya dan berupaya menarik sebuah kesimpulan.


57

H. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian ini sebagai berikut:

1. Mengumpulkan data-data pada lokasi penelitian. Data dalam hal ini

adalah simbol-simbol yang terdapat dalam ritual posuo, baik dalam

bentuk benda-benda maupun tatacara pelaksanaan ritual.

2. Setelah data terkumpul, dilakukan interpretasi menggunakan

interpretasi deskriptif kualitatif. Dalam melakukan analisis, peneliti

menggunakan analisis semiotika Roland Barthes yang menggunakan

dua tahap signifikan dalam melakukan penganalisaan terhadap suatu

tanda. Roland Barthes dalam melakukan kajian terhadap tanda

berdasarkan tahapan-tahapan sebagai berikut. Tahap pertama adalah

signifikasi denotasi. Dalam tahap ini hubungan antara signifier dan

signified dalam sebuah tanda pada realitas eksternal, yaitu makna

paling nyata yang ada pada sebuah tanda. Kemudian tahap kedua

adalah signifikasi konotasi. Tahap ini merupakan tahap penafsiran

makna sebuah tanda yang dikaitkan dengan emosi serta nilai-nilai

kebudayaan yang ada. Selain itu, interpretasi juga dilakukan baik

secara emik maupun etik. Interpretasi emik dimaksudkan sebagai

penginterpretasian data dari permasalahan subjek penelitian terhadap

lingkungan dan dunia sekitarnya. Sementara interpretasi etik adalah

data yang diinterpretasikan menurut pandangan dari peneliti sendiri.

3. Kemudian membuat kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang

ditemukan di lapangan.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, pada bagian ini

penulis menjelaskan tiga hal yang menjadi pokok permasalahan yaitu

tahapan-tahapan pelaksanaan ritual, makna simbol, dan juga mitos yang

terdapat dalam ritual posuo. Data yang ditemukan merupakan hasil

wawancara kepada sejumlah tokoh masyarakat dan hasil bacaan dari

sejumlah kepustakaan yang berkaitan dengan ritual posuo. Selain itu juga

merupakan hasil pengamatan penulis secara langsung pada acara posuo

yang diselenggarakan oleh Keluarga La Ode Abdul Halim selaku Kepala

Desa Wawoangi, Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton Selatan.

Masyarakat Buton merupakan masyarakat yang kaya akan tradisi.

Salah satu tradisi yang ada dan masih dipertahankan oleh masyarakat

Buton sejak dulu hingga sekarang adalah posuo.Istilah posuo terdiri dari

dua akar kata, yaitu “po” dan “suo”. Po adalah awalan kata (prefiks) yang

memiliki makna „melakukan‟ atau „menjalankan‟ sesuatu. Sementara suo

memiliki makna ruang belakang rumah. Dalam istilah yang lebih lazim di

masyarakat Indonesia, posuo bermakna „pingitan‟ yaitu suatu tradisi

pengurungan para gadis di ruang belakang rumah selama waktu yang

ditentukan.

Posuo adalah sebuah ritual yang dilaksanakan khusus untuk gadis

remaja yang sudah menginjak usia dewasa. Ritual ini hanya dilakukan

sekali seumur hidup. Oleh karena itu, ritual posuo wajib dilakukan oleh

58
59

setiap gadis Buton karena merupakan sarana pembersihan/penyucian diri

seorang anak perempuan menjelang dewasa, atau peralihan dari remaja

menjadi dewasa. Gadis dalam konteks ini dibagi dua macam, yaitu gadis

remaja dan gadis dewasa. Gadis remaja dikenal dengan istilah kabuabua,

sedangkan gadis dewasa dikenal dengan istilah kalambe. Ritual ini

dilakukan dengan harapan bahwa seorang perempuan ketika sudah

melewati setiap tahapan pelaksanaan ritual, maka lengkaplah proses

pembersihan diri secara hakiki, dan merekapun secara resmi menyandang

status dewasa. Selain itu, masyarakat Buton juga menganggap bahwa

meskipun seorang gadis sudah dianggap dewasa baik secara hukum

Islam maupun hukum negara, mereka tidak dapat melakukan ritual

pernikahan sebelum melalui prosesi adat posuo.

Ritual posuo, disamping sebagai sarana pembersihan/penyucian

diri dan sarana peralihan status, juga merupakan sarana pendidikan bagi

kaum perempuan sebelum memasuki bahtera rumah tangga. Hal ini

teramati dalam pelaksanaannya yang bukan saja sebagai sebuah ritual,

melainkan proses pembinaan mental, moral, agama, dan perilaku sesuai

dengan peran seorang perempuan dalam kehidupan berumah tangga dan

bermasyarakat.

Perempuan sempurna menurut pandangan masyarakat Buton tidak

hanya cantik dari segi fisik, tetapi juga cantik dari segi sikap dan

perbuatannya sehari-hari. Bahkan cantik sikap dan perbuatan merupakan

nilai yang paling dihargai. Hal ini karena perempuan dianggap orang yang
60

paling berpengaruh dalam kehidupan berumah tangga nantinya, baik

terhadap suami maupun keturunannya.

Dalam pelaksanaan ritual posuo dibutuhkan dana yang cukup

besar sehingga sebagian besar masyarakat melakukannya secara

berkelompok guna mengurangi beban yang ditanggung oleh orang

tua/keluarga yang anak gadisnya akan mengikuti ritual tersebut. Namun,

ada juga beberapa orang tua yang sengaja belum melaksanakan ritual

posuo meskipun anak perempuannya dianggap telah bisa menjadi peserta

posuo. Hal seperti ini biasanya ditemukan pada anggota masyarakat yang

status ekonominya menengah ke bawah. Mereka akan melakukan ritual

posuo ketika ada seorang laki-laki yang akan meminang anak

perempuannya. Dengan kata lain, seluruh biaya yang dibutuhkan dalam

pelaksanaan ritual posuo ditanggung oleh pihak mempelai laki-laki.

A. Tahap-tahap Pelaksanaan Ritual Posuo „Pingitan‟

Secara umum prosesi posuo dikelompokkan atas tiga tahap, yaitu

persiapan, prosesi, dan penutupan. Jangka waktu pelaksanaan ritual

bervariasi, mulai 9 hari 9 malam, 8 hari 8 malam, 7 hari 7 malam, 4 hari 4

malam, 3 hari 3 malam, dan 2 hari 2 malam, bergantung pada pihak yang

melaksanakannya. Bahkan ada pula yang hanya sekadar disarati

(sekadar dimandikan dengan menggunakan air suci dan disertai dengan

pembacaan doa-doa suci). Tidak ada makna khusus dari perbedaan

jangka waktu yang digunakan dalam pelaksanaan ritual posuo.


61

Perbedaan waktu pelaksanaan tersebutbergantung pada keadaan

pihak yang melakukan perhelatan. Keadaan yang dimaksud meliputi

waktu dan kondisi ekonomi. Biasanya yang mengikuti ritual posuo adalah

gadis-gadis yang sedang menjalani pendidikan formal, baik tingkat

sekolah maupun universitas sehingga, waktu yang digunakan untuk

menjalani ritual dipersingkat. Disamping itu, sebagian anggota masyarakat

beranggapan bahwa semakin lama jangka waktu yang digunakan dalam

prosesi ritual posuo, maka dana yang diperlukan juga akan semakin

banyak. Hal ini memang merupakan sesuatu yang dianggap biasa bagi

keluarga yang status ekonominya menengah ke atas, tapi tidak dengan

keluarga yang status ekonominya menengah ke bawah.

Namun, disisi lain ada juga anggota masyarakat yang memiliki

pendapat yang berbeda, mereka beranggapan bahwa semakin lama

waktu yang digunakan, maka akan semakin baik bagi para peserta posuo.

Peserta posuo akan mendapat lebih banyak pengetahuan dari para bhisa.

Selain itu, hasil perawatan kecantikan diri para gadis yang dilakukan

selama dalam kurungan juga akan semakin terlihat.

Dalam kaitannya dengan jangka waktu pelaksanaan ritual posuo,

pihak penyelenggara dilokasi penelitian melaksanakan ritual selama 4 hari

4 malam (mulai 27 April 2018 sampai 1 Mei 2018). Pemilihan jangka

waktu tersebut dilakukan karena penyelenggara acara ritual ingin

melangsungkan puncak ritual posuo bersamaan dengan resepsi

pernikahan saudara dari salah satu gadis yang merupakan peserta


62

posuo.Selain itu, hal tersebut juga akan menghemat waktu dan dana bagi

pihak penyelenggara. Adapun tahapan-tahapan pelaksanaan ritual posuo

sebagai berikut:

1. Persiapan

Sebelum ritual posuo dilangsungkan, terlebih dahulu pihak

penghajat atau pihak yang menyelenggarakan ritual mempersiapkan

segala sesuatu yang diperlukan. Dalam melakukan persiapan yang

dimaksud, lazimnya sebuah keluarga melakukan musyawarah di antara

keluarga. Mereka memusyawarahkan tentang segala hal yang berkaitan

dengan seluruh kebutuhan yang diperlukan dalam pelaksanaan ritual

termasuk menentukan bulan atau hari yang dianggap baik. Menurut

pandangan masyarakat suku Buton, bulan atau hari yang dianggap baik

untuk melangsungkan ritual posuo sama dengan bulan dan hari baik untuk

melangsungkan pernikahan, yaitu berpedoman pada bulan atau hari baik

dalam agama Islam.

Setelah waktu sudah disepakati, selanjutnya mengumumkan

kepada keluarga jauh dan juga masyarakat sekitar untuk ikut serta dalam

perhelatan yang dimaksudkan. Pengumuman kepada keluarga

disampaikan oleh pihak penghajat, sedangkan pengumuman kepada

masyarakat disampaikan oleh tokoh adat. Kemudian pihak penghajat

ataupun tokoh adat menghubungi bhisa bawine, yaitu orang tua atau

dukun wanita yang akan memimpin dan memandu proses ritual. Jumlah

bhisa bawine yang dipanggil sesuai dengan jumlah peserta


63

pingitan.Dengan kata lain, satu bhisa hanya dapat menangani satu orang

gadis selama berada dalam kurungan.

Bhisa bawine tersebut diyakini berasal dari kumpulan orang yang

pandai dan memiliki citra dan kredibilitas yang baik di tengah masyarakat.

Mereka paham segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan ritual

posuo. Mereka mempunyai keturunan yang baik, yang dibuktikan dengan

anak-anaknya yang sukses dan atau mereka yang berasal dari keturunan

pejabat/pemangku adat. Hal ini dimaksudkan agar semua peserta

pingitandapat mewarisi “aura” dari kehidupan para bhisa dikemudian hari,

baik segi tingkah laku, moralitas, maupun kesuksesan mereka dalam

membina rumah tangga.

Dalam pelaksanaan ritual posuo dibutuhkan perlengkapan-

perlengkapan yang wajib disediakan baik bagi peserta maupun keluarga

yang mengadakan perhelatan. Adapun perlengkapan yang wajib

disiapkan oleh peserta masing-masing adalah:

1) 1 liter beras

2) 1 liter gabah

3) 2 butir telur ayam kampung

4) 1 meter kain putih

5) Uang dengan jumlah yang tidak ditentukan (bergantung

keikhlasan keluarga yang anak gadisnya mengikuti ritual

posuo)
64

Semua perlengkapan tersebut dimasukkan dalam sebuah wadah

(kantong plastik bening) kecuali kain putih. Kemudian, nantinya akan

diletakkan di dalam ruang kurungan selama proses ritual berlangsung.

Gambar 1.Perlengkapan yang wajib disediakan oleh para peserta posuo


Sumber: Dokumentasi peneliti

Untuk perlengkapan-perlengkapan lainnya yang dibutuhkan

disiapkan oleh pihak yang melaksanakan ritual, yaitu pihak yang tempat

tinggalnya dijadikan tempat dilangsungkannya ritual posuo. Perlengkapan

tersebut diantaranya:

1) Tepung beras, kunyit, dan daun patirangga „pewarna kuku‟

2) Dua buah palangga „loyang‟ yang digunakan untuk

menyimpan tepung beras dan kunyit.

3) Padhamara „lampu‟ dengan kapasitas cahaya paling rendah,

dahulu menggunakan lentera.

4) Sarung, digunakan oleh para gadis selama berada dalam

kurungan.

5) Kaluku „kelapa‟ sebanyak 6 buah (sesuai dengan jumlah

peserta)
65

6) Ndamu „kampak‟, kapulu „parang‟, kuncup bunga pinang,

kuncup bunga kelapa, daun kasambo lili . Semuanya diikat

menjadi satu, seperti gambar berikut:

Gambar 2. Kapak yang sudah diikatkan parang, kuncup


buah pinang, kuncup bunga kelapa, dan daun kasambo lili
Sumber: Dokumentasi peneliti

7) Kacupa „ketupat‟ dengan beraneka ragam bentuk, seperti

pada gambar berikut:

Gambar 3. Ketupat dengan beraneka ragam bentuk


Sumber: Dokumentasi Peneliti
Selain itu, juga disiapkan air sebagai bahan ritus yang akan

digunakan untuk memandikan para gadis yang dipingit. Dahulu air yang

digunakan diambil dari empat sumber mata air yang berbeda, yaitu air dari

Kanekea, Topa, Kasilae, dan Mardadi (Baruta). Namun, dikarenakan


66

keempat sumber mata air itu sukar untuk didatangkan, sebagai

penggantinya digunakan air yang bersumber dari sungai yang mengalir

atau dari mata air terdekat. Air ini diletakkan didalam dua buah buyung

dan diambil dengan jalan rahasia (tidak dilihat oleh orang). Tata cara

pengambilan air tersebut adalah dengan mengarahkan lubang buyung ke

arah barat dan yang satunya diarahkan ke bagian timur. Orang yang

ditugaskan untuk mengambil air pun tidak sembarang, yaitu harus anak

laki-laki yang masih lengkap kedua orang tuanya (masih hidup ayah dan

ibunya). Harapannya adalah agar para peserta posuo bisa memiliki umur

yang panjang.

Setelah semua perlengkapan telah disiapkan, selanjutnya para

bhisa memasang tenda atau kelambu untuk menutupi segala sisi ruangan

yang digunakan sebagai tempat peserta pingitan dikurung. Tujuannya

adalah agar para gadis yang dipingit terhindar dari cahaya matahari dan

juga angin. Ruangan yang digunakan merupakan ruangan yang berada

pada bagian belakang rumah. Orang Buton biasa menyebutnya dengan

istilah „suo‟. Bagian terakhir dari tahap ini adalah mempersiapkan

beberapa alat musik, diantaranya gendang, gong, dan angklung.

Persiapan ini dilakukan oleh beberapa warga yang sudah ditunjuk sebagai

pemain musik. Biasanya yang diiringi musik adalah posuo anak gadis

yang berasal dari kalangan bangsawan (kaomu), sedangkan bagi

kalangan bukan bangsawan (walaka) prosesi posuo diiringi dengan sepa

„menendang, dinding papan sebagai pengganti iringan musik gendang.


67

Baik pemukulan gendang ataupun menendang (sepa)dinding kayu

hanya boleh dibunyikan pada waktu tertentu. Keduanyadilakukan apabila

peserta posuo akan menjalankan ritual khusus termasuk saat

melaksanakan aktivitas-aktivitas selama dalam kurungan, misalnya saat

makan dan masuk toilet. Pemukulan gendang ataupunsepa baru bisa

dihentikan ketika peserta posuo tidur, dan akan dimulai kembali jika ada

salah seorang atau beberapa diantara peserta yang terjaga dan hendak

buang air.Disamping sebagai tanda adanya aktivitas-aktivitas yang

sedang dilakukan oleh para peserta posuo, pemukulan gendang juga

berfungsi sebagai sarana menguji kesucian (keperawanan) bagi para

peserta posuo. Jika dalam pemukulan gendang tersebut ada gendang

yang pecah, maka hal ini menjadi tanda bahwa diantara para peserta

posuo tersebut yang sudah tidak suci (perawan) lagi.

Gambar 4. Suasana persiapan alat musik oleh beberapa warga


Sumber: Dokumentasi peneliti

2. Pelaksanaan/Prosesi

Tahap pelaksanaan terdiri atas beberapa tahap pula, yaitu

pokunde, pebaho, pauncura, panimpa, palego, padole, pasipo, posuo,

bhaliana yimpo, landakiana tana dan matana karya.


68

a. Pokunde „keramas‟

Pada tahap ini, para gadis yang mengikuti ritualposuo dimandikan

oleh bhisa dengan cara membasahi rambut sang gadis dengan

menggunakan sampo yang berasal dari santan kelapa. Proses ini

dilakukan di muka umum (di sumur umum) sehingga dapat disaksikan

oleh banyak orang. Alasannya karena pada tahap ini pula, para peserta

diharuskan untuk menangis. Ketika ada peserta yang tidak menangis,

maka seluruh warga desa yang menyaksikan akan melakukan berbagai

macam cara agar mereka bisa menangis, misalnya mencubit dan

memukul. Setelah seluruh peserta dipastikan sudah menangis,

selanjutnya dimasukkan ke dalam rumah pihak keluarga yang

mengadakan acara posuo tersebut.

b. Pebaho „mandi‟

Berbeda halnya dengan tahap sebelumnya yaitu para gadis

dimandikan dengan menggunakan air biasa (air sumur) dan dilakukan di

muka umum. Pada tahap ini mereka dimandikan di dalam ruangan

dengan menggunakan air yang sudah disiapkan sebelumnya (air yang

bersumber dari mata air) dan sudah dibaca-baca (diberi doa).

c. Pauncura „pengukuhan‟

Pauncura adalah tahap pengukuhan para gadis sebagai peserta

posuo. Pada tahap ini prosesi dilakukan oleh parika „sebutan bhisa

senior‟. Acara ini diawali dengan pembakaran dupa, kemudian dilanjutkan

dengan pembacaan doa di depan ruangan suo yang dipimpin oleh salah
69

satu tokoh adat atau dalam istilah bahasa Buton disebut le‟be, dan hanya

diikuti oleh para peserta, orang tua peserta (ibu), dan para bhisa.

Pembacaan doa ini bertujuan untuk meminta doa keselamatan kepada

Allah swt dan doa agar pelaksanaan ritual ini dapat berjalan lancar. Selain

itu, pembacaan doa ini juga dimaksudkan untuk memberi doa pada

makanan peserta posuo yang terdiri dari ketupat, telur rebus, dan air

putih. Hal ini mengisyaratkan bahwa peserta masing-masing hanya akan

diberi makan satu buah ketupat, sebiji telur rebus, dan air putih

secukupnya tiap pagi dan malam hari, selama berada didalam kurungan.

d. Panimpa „pemberkatan‟

Setelah pembacaan doa selesai, parika melakukan pemberkatan

kepada para peserta dengan memberikan sapuan asap kemenyan/dupa

ke tubuh peserta posuo. Kemudian dilanjutkan dengan menyampaikan

pesan-pesan yang menjelaskan tujuan diadakannya posuo sekaligus

memberitahukan kepada keluarga dan warga desa bahwa proses

pengurungan akan dimulai. Hal ini disusul dengan bunyi-bunyian gendang

yang ditabuh oleh petugas pemukul gendang yang sudah dipilih khusus.
70

Gambar 5. Salah satu peserta saat diucapkan


asap dupa oleh seorang bhisa
Sumber: Dokumentasi peneliti

e. Palego „menggerakkan badan/melenggang‟

Palego merupakan tahap menggerakkan anggota badan peserta

mulai tangan hingga kaki. Pada tahap ini, para peserta diajarkan tentang

cara berjalan yang baik dan benar yang sesuai dengan norma-norma

agama dan adat yang berlaku. Di antaranya mendahulukan kaki kiri ketika

keluar rumah, mendahulukan kaki kanan ketika masuk rumah, tidak

berkacak pinggang atau meletakkan kedua tangan pada pinggang, dan

tidak berjalan dengan melenggak-lenggokkan badan.

f. Padole „membaringkan‟

Pada tahap ini, peserta dibaringkan di atas tikar yang sudah

disiapkan sambil dipijat-pijat badannya. Pada tahap ini, para peserta

diajarkan tentang cara tidur yang baik dan benar yang sesuai dengan

norma-norma agama dan adat yang berlaku, yaitu tidur dengan posisi

badan miring ke arah kanan, sesuai dengan anjuran Nabi Muhammad


71

SAW. Mereka tidak boleh tidur dengan posisi tengkurap dan telentang

karena hal tersebut dianggap pamali bagi masyarakat Buton.

g. Pasipo „menyuapi‟

Pasipo adalah tahap sebelum peserta mulai dikurung dalam suo

selama 4 hari 4 malam. Peserta masing-masing disuapi makanan yang

sudah disarati (diberi doa) saat pembacaan doa yang sudah dilakukan

pada tahap sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar selama berada di

dalam kurungan para peserta tidak akan merasakan haus dan lapar

meskipun makanan dan minuman yang diberikan dibatasi oleh para bhisa.

h. Posuo „pengurungan‟

Tahap ini dilakukan pada sore hari atau menjelang maghrib, dan

mulai saat itu terhitung sebagai malam pertama para peserta dikurung.

Mulai malam ini pula hingga dua malam berikutnya para peserta yang

dipingit tidur dengan posisi kepala berada di arah utara, kaki di arah

selatan, dan posisi badan menghadap ke arah barat.

Permulaan memasuki tempat kurungan merupakan saat-saat

menegangkan bagi sebagian peserta karena merupakan tempat baru dan

asing bagi mereka. Sebagian pula bahkan ada yang menangis karena

akan menjalani aktivitas yang tidak biasanya dilakukan. Mereka akan

menghadapi latihan hidup yang cukup berat, diantaranya: (1) menahan

lapar karena hanya diberi makan 1 biji ketupat, 1 butir telur rebus, dan air

minum secukupnya selama berada dalam kurungan, (2)mengurangi

membuang kotoran, (3) posisi tidur yang tidak boleh bergerak bebas,
72

karena masing-masing peserta diberi pembatas ketika tidur, dan (4) tidak

diperbolehkan untuk berhubungan dengan dunia luar. Mereka hanya bisa

berhubungan dengan sesama peserta dan bhisa. Disamping itu, terdapat

beberapa aturan lain yang tidak boleh dilanggar oleh para peserta selama

pelaksanaan ritual posuo berlangsung, yaitu:

1) Tidak boleh bercermin

2) Tidak boleh dilihat oleh laki-laki

3) Tidak boleh mengeluarkan suara yang besar

4) Tidak boleh buang air besar

Masyarakat Buton sampai saat ini masih percaya bahwa apabila

aturan(1) dan (3) dilanggar, maka dengan seketika akan turun hujan.

Apabila aturan (2) dilanggar maka ritual yang dilakukan oleh gadis yang

bersangkutan dianggap batal/tidak sah. Sementara untuk aturan (4) ketika

dilakukan maka gadis tersebut dianggap tidak suci lagi.

Selama menjalani ritual, para peserta dibekali dengan pengetahuan

tentang ibadah yang sesuai dengan ajaran agama Islam dan pengetahuan

moral, yang dalam masyarakat Buton disebut toba. Materi-materi pokok

yang terdapat dalam toba berisi tentang bagaimana menghargai sesama

manusia (orang tua, saudara-saudara, tetangga,keluarga dekat),

bagaimana menjalani kehidupan berumah tangga, dan bagaimana

seorang perempuan agar tumbuh menjadi anak yang beriman dan

bertakwa. Mereka harus menjaga penglihatan, pendengaran, ucapan, dan

juga hati. Selain itu, mereka juga diajarkan tentang cara-cara merawat dan
73

mempercantik diri agar setelah keluar dari ruang kurungan mereka

tumbuh menjadi gadis cantik dan mempesona, baik dari luar maupun dari

dalam.

Untuk merawat dan mempercantik diri para gadis yang dipingit,

masyarakat Buton masih menggunakan bahan-bahan tradisional. Mereka

beranggapan bahwa bahan-bahan tradisional memiliki khasiat yang lebih

baik dan aman jika dibandingkan dengan bahan kecantikan modern.

Bahan-bahan tradisional tersebut terdiri dari patirangga yaitu sejenis daun

yang dapat dipakai untuk memberi warna pada kuku (sebagai pengganti

kuteks), mantomu „kunyit‟ digunakan sebagai lulur dan pobura „bedak

dingin‟ yang berasal dari tepung beras, digunakan sebagai bedak dingin.

Semua bahan kecantikan tradisional itu dipakai oleh peserta selama

berada dalam kurungan. Namun untuk dua hari pertama, peserta masih

menggunakan kunyit lebih dulu. Setelah itu, memasuki hari ketiga masa

kurungan, tepatnya dipagi hari, para peserta dimandikan kembali untuk

membersihkan kunyit yang melekat pada tubuh peserta selama dua hari

sebelumnya. Kemudian dilanjutkan dengan memakai bedak dingin. Bedak

ini dipakai sampai malam terakhir selama di dalam kurungan.

i. Bhaliyana Yimpo „perubahan posisi‟

Sebelum keluar dari pengurungan, para peserta posuo selanjutnya

menjalani prosesi bhaliana yimpo. Tahap ini dilakukan dengan mengubah

posisi tidur para peserta posuo. Jika sebelumnya posisi kepala berada di

arah utara, kaki di arah selatan, dan posisi badan menghadap ke arah
74

barat, maka tahap ini kepala peserta berada di arah selatan, kaki di arah

utara, dan posisi badan menghadap ke arah timur.

Kemudian, pada hari terakhir, tepat pada pagi hari para peserta

dikeluarkan dari kurungan. Namun, masih hanya sebatas ruang yang

berada di depan ruang kurungan (belum bisa menginjak tanah/belum bisa

keluar rumah) karena masih ada beberapa proses yang harus dilakukan.

Diantaranya:

1) Bokaboka „pemukulan dan pelemparan kelapa‟

Pada proses ini para peserta duduk berjajar di atas sabut kelapa

dengan posisi kedua kaki dijulurkan ke arah depan. Proses ini hanya

ditangani oleh dua orang bhisa. Satu berada di belakang dan yang

satu di depan peserta. Proses ini pertama-tama dilakukan dengan

saling mengoper buah kelapa yang masih utuh oleh kedua bhisa, ke

arah samping kanan peserta sebanyak 9 kali dan ke arah samping

kiri sebanyak 8 kali. Setelah itu, kelapa yang sebelumnya utuh,

kemudian di belah menjadi dua bagian. Lalu di tepukkan di atas

kepala peserta. Tepukkan dua bagian kelapa ini dilakukan oleh bhisa

yang berada di belakang peserta. Setelah itu, kedua bagian kelapa di

buang ke arah depan peserta. Kelapa yang sudah dibuang tersebut

ketika menyentuh lantai masing-masing bagian harus memilki posisi

berbeda, yaitu satu bagian posisi tertutup dan satu bagian lainnya

posisi terbuka. Jika kedua bagian tersebut berada posisi yang sama,

yaitu sama-sama terbuka dan sama-sama tertutup, maka proses


75

bokaboka ini diulang kembali sampai kedua bagian kelapa berada

pada posisi yang diharuskan. Pengulangan ini sebaiknya dilakukan

tidak lebih dari tiga kali. Jika salah satu peserta mengalami proses

pengulangan lebih dari itu, masyarakat menganggap bahwa peserta

tersebut terkena sumanga.Sumanga adalah arwah leluhur yang ingin

selalu diperhatikan (Yusrie, 2013). Jika tidak mereka akan

melakukan protes dan menegur dengan mengirim tuah penyakit atau

musibah kepada orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, keluarga

peserta harus melakukan haroa sumanga untuk terlepas dari hal

tersebut.

Menurut sebagian masyarakat Buton, haroa sumanga

adalah sebuah ritual khusus untuk mengenang arwah leluhur. Ritual

bagi semua kerabat yang telah mendahului menghadap sang Illahi.

Ritual ini berfungsi sebagai media menggamit tangan-tangan arwah

leluhur, sebagai bentuk perhatian terhadap mereka, dan sebagai

wujud bahwa mereka tidak dilupakan meskipun sudah tidak ada di

kehidupan dunia.

Gambar 6. Prosesi bokaboka


Sumber: Dokumnetasi Peneliti.
76

2) Pembuangan kampak di bawah kolong rumah. Kampak yang

digunakan adalah kampak yang sudah diikati parang, kuncup bunga

pinang, kuncup bunga kelapa, dan daun kasambo lili. Kampak ini

diaplikasikan dengan cara dibuang di bawah kolong ruang kurungan

sehingga menyentuh tanah. Posisi mata kampak menjadi penentu

atau penunjuk arah jodoh seorang gadis yang dipingit. Jika mata

kampak tersebut ketika sudah menyentuh tanah yang berada di

bawah kolong menghadap ke lautan, jodoh sang gadis merupakan

seorang pelaut. Jika mata kampak menghadap ke arah timur, jodoh

gadis tersebut berada di bagian timur. Jika ke arah barat, jodoh sang

gadis berada di bagian barat. Begitu halnya dengan arah mata angin

lainnya.

3) Pengambilan ketupat dari dalam bosi „guci kecil yang terbuat dari

tanah liat‟. Ketupat yang sudah diambil oleh para peserta kemudian

dimakan dengan cara disuapi oleh orang tua (ibu) dari peserta

masing-masing.

Setelah itu, para peserta dimandikan lagi dan merupakan

ritual mandi terakhir sebelum mereka dikeluarkan dari rumah menuju

pelaminan. Khusus para peserta yang akan segera menikah, airnya

dicampur dengan bunga cempaka dan bunga kamboja. Selanjutnya

dilakukan pembacaan doa kembali untuk meminta doa kepada Allah

swt agar prosesi matana posuodapat berjalan dengan baik.


77

Gambar 7. Pembacaan doa sebelum prosesi matana posuo


Sumber: Dokumentasi peneliti

j. Landakiana Tana „Penginjakkan kaki ke tanah‟

Landakiana tanamerupakan suatu proses penginjakkan kaki

pertama ke tanah oleh para peserta. Hal ini sebagai simbol bahwa para

peserta posuo sudah diperbolehkan keluar dari ruang pingitannya atau

keluar dari rumah menuju ke pelaminan. Proses ini dilakukan dengan cara

berbaris di depan pintu rumah (bagian dalam), dengan barisan yang

paling depan adalah peserta yang memiliki usia paling tua. Kemudian satu

per satu dari para peserta dipersilahkan untuk keluar rumah dengan

dipandu oleh bhisa dari arah depan pintu rumah (bagian luar). Menurut

Laode Alirman (wawancara 24 Agustus 2018), proses landakiana tana

diibaratkan sebagai proses penginjakkan kaki pertama seorang bayi

setelah 40 hari dari awal kelahirannya.


78

k. Matana Posuo „puncak acara‟

Puncak dari ritual posuo disebut matana karya. Pada tahap ini

para peserta yang sudah dimandikan, kemudian didandani dengan

pakaian adat perempuan Buton yang dikenal dengan istilah busana

ajokalambe. Setelah itu para peserta diperkenankan keluar dari rumah

menuju pelaminan yang sudah disiapkan. Para peserta ditampilkan dan

disaksikan oleh para tamu undangan. Seperti halnya ritual pernikahan,

para tamu undangan membawa pasali „amplop‟. Begitu pula halnya pada

acara puncak ritual posuo.

Gambar 8. Peserta posuo mengenakan busana ajo kalambe pada prosesi


matana posuo
Sumber: Dokumentasi peneliti

3. Penutup

Pada tahap penutupan, dilakukan kembali ritual pemberkatan dan

pembacaan doa sebagai wujud rasa terima kasih kepada Sang Pencipta

karena ritual posuo berjalan dengan lancar sesuai dengan yang

dharapkan. Kemudian dilanjutkan dengan pemulihan atau pembersihan

ruangan suo secara khusus, dan rumah keluarga yang melakukan


79

perhelatan. Beberapa kotoran/perlengkapan dalam kurungan seperti kain

putih, bantal, tikar, dan perlengkapan lain yang dianggap tidak digunakan

lagi di buang di sungai, dan ada juga yang buang di tempat yang memang

tidak akan dilihat oleh orang-orang. Hal ini dilakukan dengan harapan

semua hal-hal buruk yang ada pada diri para gadis dan keluarga akan ikut

hilang bersama dengan kotoran yang dibuang tersebut.

Berdasarkan uraian prosesi/tahapan ritual posuo di atas, dapat

disimpulkan bahwa ritual posuo mengandung nilai-nilai positif yang sangat

bermanfaat bagi para peserta dalam menjalani kehidupannya di masa

mendatang, baik dalam kehidupan pribadi, berumah tangga, dan

bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut diajarkan oleh para bhisa melalui

komunikasi langsung maupun tidak langsung. Inti dari ajaran tersebut

meliputi:

1) Nilai akhlak dan etika, misalnya pada saat prosesi palego dan

padole. Para peserta diajarkan tentang cara berjalan dan tidur yang

baik sesuai dengan norma-norma agama dan adat.

2) Nilai ketaatan dan kedisiplinan. Hal ini terlihat pada aturan-aturan

dalam ritual posuo yang tidak boleh dilanggar oleh setiap peserta.

3) Nilai estetika. Hal ini terlihat pada saat para peserta di ajarkan

tentang cara merawat kecantikan tubuh dan kulit.

4) Nilai kebersamaan. Hal ini secara tidak langsung terlihat ketika para

peserta berkumpul bersama dalam satu ruangan suo. Mereka


80

melakukan semua aktivitas dalam ritual posuo secara bersama-

sama, di antaranya makan bersama dan tidur bersama.

Selain nilai-nilai, setiap tahapan dalam ritual posuo juga memiliki

makna filosofi yang secara umum mengarah pada perbaikan kualitas

hidup para peserta. Semua bentuk gerakan yang dilakukan pada

rangkaian prosesi selalu dimulai dari bagian kanan lalu diikuti bagian kiri.

Masyarakat Buton menganggap bagian kanan sebagai simbol kebaikan

dan bagian kiri sebagai simbol keburukan. Demikian halnya arah

menghadap selalu dimulai dari arah barat lalu ke arah timur. Hal ini

dipahami bahwa hal-hal yang buruk diharapkan akan lenyap bersamaan

dengan terbenamnya matahari dan hal-hal yang baik senantiasa muncul

dan bertambah seiring dengan terbit dan naiknya ketinggian matahari

yang terbit dari arah timur. Hitungan dalam setiap gerakan juga selalu

dimulai dari bagian kanan sebanyak sembilan kali dan bagian kiri

sebanyak delapan kali. Hal ini berkaitan dengan jumlah rakaat shalat yaitu

delapan rakaat di siang hari dan sembilan rakaat di malam hari.

B. Makna Simbol dalam Ritual Adat Posuo „Pingitan‟

Ritual posuo dalam masyarakat Buton tidak hanya terbatas pada

proses dan konsep urutan-urutan pelaksanaannya, tetapi harus

mendalami pemaknaan simbol-simbol yang terdapat pada setiap tahapan

pelaksanaannya. Berdasarkan pemaparan mengenai tahapan-tahapan

yang dilakukan, ditemukan beberapa simbol dalam ritual posuo. Simbol-

simbol tersebut berupa tata cara pelaksanaan dan benda-


81

benda/perlengkapan yang digunakan dalam ritual. Simbol tersebut

dibangun atas penanda-penanda dan petanda-petanda dalam satu

totalitas meliputi objek, konteks, dan tanda linguistik yang membentuk

sebuah makna.Proses pemaknaan simbol direpresentasikan melalui

perilaku-perilaku atau komunikasi nonverbal yang terdapat pada ritual

posuo „pingitan‟.

Dalam menelaah makna sebuah tanda, kita dapat membedakannya

dalam dua tingkatan. Tingkat I melihat tanda secara denotatif. Tahap

denotasi baru menelaah tanda secara bahasa. Dari pemahaman bahasa

kemudian kita dapat masuk ke tingkat II, yakni menelaah tanda secara

konotatif. Pada tahap konotasi, konteks budaya, nilai, makna sosial dan

berbagai perasaan, sikap, atau emosi yang ada sudah ikut berperan

dalam menelaah sebuah tanda. Berikut dipaparkan proses penandaan

yang menciptakan mitos pada masyarakat suku Buton yang terdapat pada

ritual posuo.

1. Simbol berupa Tata Cara Pelaksanaan

a. Pokunde „keramas‟

1) Analisis Signifikasi Tanda

Skema analisis signifikasi tanda berdasarkan uraian prosesi ritual

posuo pada subpembahasan sebelumnya adalah:


82

1.Penanda 2.Petanda
“pokunde” Membasahi rambut (keramas)
Tingkat I

3.Tanda denotasi
Tahap pertama ritual posuo adalah membasahi rambut

I.Penanda II.Petanda
Membasahi rambut (keramas) Pembersihan/pensucian

Tingkat II
III.Tanda/Sign
Seorang gadis akan menjadi bersih dan suci ketika sudah
melakukan prosesi keramas

Berdasarkan skema analisis signifikasi penandaan di atas

menunjukkan bahwa pada tingkat I, penanda (1) adalah pokunde.

Penanda ini memiliki arti membasahi rambut (keramas), yang sekaligus

menempati petanda (2). Kemudian, penanda (1) dan petanda (2)

menghasilkan tanda denotasi (3) yang menjelaskan simbol pokunde

sebagai tahap pertama dalam ritual posuo.

Selanjutnya, petanda (2) “membasahi rambut (keramas)” pada

tingkat I menjadi pijakan untuk masuk ke tingkat II. Sehingga petanda (2)

pada tingkat I sekaligus menjadi penanda (I) pada tingkat II. Penanda (I)

ini membuahkan sebuah makna “pembersihan/pensucian”, yang sekaligus

menjadi petanda (II) pada tingkat II. Kemudian menciptakan tanda/sign

(III) yaitu seorang gadis akan menjadi bersih dan suci ketika sudah

melakukan prosesi pokunde.


83

2) Pemaknaan Denotasi dan Konotasi Tanda

Sistem semiologi tingkat pertama adalah makna denotasi atau

makna dasar dari suatu simbol. Secara denotasi simbol “pokunde” baru

mengandung arti dan definisi yang dimilikinya. Sehingga makna denotasi

dari simbol pokunde adalah membasahi rambut (keramas), yang

merupakan tahap pertama pada ritual posuo.

Kemudian, pada tingkat kedua menelaah tanda secara konotatif.

Jika makna denotasi baru menyampaikan arti dan definisi yang dimiliki

oleh sebuah simbol, maka makna konotasi lebih menekankan pada

konteks budaya, nilai, makna sosial dan berbagai perasaan, sikap, atau

emosi yang ada. Makna konotasi “pokunde” adalah sebuah simbol

pembersihan atau penyucian tahap awal. Pembersihan dan penyucian

yang dilakukan masih difokuskan pada kepala/rambut para gadis. Selain

itu proses ini masih dilakukan di luar ruangan, sehingga bisa disaksikan

oleh masyarakat umum. Menurut informan La Ode Ramiu, membasahi

rambut (keramas) merupakan simbol pembersihan diri yang berpedoman

pada salah satu syarat mandi wajib yang dianjurkan dalam ajaran agama

Islam. Ia juga menyatakan bahwa hal yang diharapkan pada pelaksanaan

ritual posuo adalah para gadis yang mengikuti ritual dalam keadaan bersih

dan suci saat dimasukkan maupun setelah dikeluarkan dari ruang

kurungan.
84

b. Pebaho „mandi‟

1) Analisis Signifikasi Tanda

Skema analisis signifikasi tanda berdasarkan uraian prosesi ritual

posuo pada subpembahasan sebelumnya adalah:

1.Penanda 2.Petanda
“Pebaho” Mandi menggunakan air dari mata air
Tingkat I
3.Tanda denotasi
Pebaho adalah salah satu tahap dalam ritual posuo yang
dilakukan dengan memandikan para gadis dengan air yang
bersumber dari mata air

I.Penanda II.Petanda
Mandi menggunakan air dari Pembersihan/pensucian
mata air diri
Tingkat II
III.Tanda/Sign
Seorang gadis akan menjadi lebih bersih dan suci ketika
sudah dimandikan air yang bersumber dari mata air

Berdasarkan skema analisis signifikasi penandaan di atas

menunjukkan bahwa pada tingkat I, penanda (1) adalah pebaho. Penanda

ini memiliki arti “mandi menggunakan air dari mata air”, yang sekaligus

menempati petanda (2). Kemudian, penanda (1) dan petanda (2)

menghasilkan tanda denotasi (3) yang menjelaskan simbol

pebahosebagaiadalah salah satu tahap dalam ritual posuo yang dilakukan

dengan memandikan para gadis dengan air yang bersumber dari mata air.

Selanjutnya, petanda (2) “mandi menggunakan air dari mata air”

pada tingkat I menjadi pijakan untuk masuk ke tingkat II. Sehingga

petanda (2) pada tingkat I sekaligus menjadi penanda (I) pada tingkat II.

Penanda (I) ini membuahkan sebuah makna “pembersihan/pensucian


85

diri”, yang sekaligus menjadi petanda (II). Kemudian melahirkan sebuah

tanda/sign (III) yaitu seorang gadis akan menjadi lebih bersih dan suci

ketika sudah dimandikan menggunakan air yang bersumber dari mata air.

2) Pemaknaan Denotasi dan Konotasi Tanda

Sistem semiologi tingkat pertama adalah makna denotasi atau

makna dasar dari suatu simbol. Secara denotasi simbol pebahobaru

mengandung arti dan definisi yang dimilikinya. Makna denotasi dari simbol

merupakan gabungan penanda (1) dan petanda (2), sehingga makna

denotasi dari simbol pebahoadalah salah satu tahap dalam ritual posuo

yang dilakukan dengan memandikan para gadis dengan menggunakan air

yang bersumber dari mata air.

Kemudian, pada tingkat kedua menelaah tanda secara konotatif.

Jika makna denotasi baru menyampaikan arti dan definisi yang dimiliki

oleh sebuah simbol, maka makna konotasi lebih menekankan pada

konteks budaya, nilai, makna sosial dan berbagai perasaan, sikap, atau

emosi yang ada. Makna konotasi pebaho adalah sebuah simbol

pembersihan atau penyucian diri. Simbol ini memiliki makna konotasi yang

sama dengan simbol pokunde. Namun masing-masing memiliki konteks

yang berbeda. Pembersihan/penyucian pada simbol pokunde merupakan

pembersihan/penyucian tahap awal yang difokuskan pada kepala atau

rambut dan dilakukan di luar ruangan, sedangkan simbol pebaho

merupakan pembersihan/penyucian tahap akhir yang sudah mencakup

seluruh anggota tubuh para peserta pingitan dan dilakukan di dalam


86

ruangan (tetapi bukan pada suo). Selain itu, pada simbol pokunde masih

menggunakan air biasa (air) sumur, sedangkan simbol pebaho

menggunakan air yang bersumber dari mata air. Penggunaan air dari

mata air inilah yang menjadikan simbol pebaho memiliki makna konotasi

“pembersihan/penyucian diri”. Hal ini didasarkan pada anggapan sebagian

masyarakat Buton bahwa air yang bersumber dari mata air adalah air

yang masih bersih dan suci karena belum dicemari oleh sesuatu yang

kotor ataupun najis.

c. Panimpa „pemberkatan‟

1) Analisis Signifikasi Tanda

Skema analisis signifikasi tanda berdasarkan uraian prosesi ritual

posuo pada subpembahasan sebelumnya adalah:

1.Penanda 2.Petanda
“panimpa” Pemberkatan
Tingkat I
3.Tanda denotasi
Memberikan sapuan asap kemenyan/dhupa pada tubuh
peserta posuo

I.Penanda II.Petanda
Sapuan asap kemenyan Keselamatan
Tingkat II
III.Tanda/Sign
Para peserta posuo akan terhindar dari hal-hal buruk setelah
pemberkatan yang dilakukan dengan memberikan sapuan
asap kemenyan pada tubuh mereka.

Berdasarkan skema analisis signifikasi penandaan di atas

menunjukkan bahwa pada tingkat I, penanda (1) adalah


87

panimpa.Penanda ini memiliki arti “pemberkatan”, yang sekaligus

menempati petanda (2). Kemudian, penanda (1) dan petanda (2)

menghasilkan tanda denotasi (3) yang menjelaskan simbol panimpa

sebagai tahap pemberkatan yang dilakukan dengan memberikan sapuan

asap kemenyan/dupa pada tubuh peserta posuo.

Selanjutnya, petanda (2) “pemberkatan” pada tingkat I menjadi

pijakan untuk masuk ke tingkat II, sehingga petanda (2) pada tingkat I

sekaligus menjadi penanda (I) pada tingkat II. Penanda (I) ini

membuahkan sebuah makna “keselamatan”, yang sekaligus menjadi

petanda (II). Kemudian melahirkan sebuah tanda/sign (III) yaitu para

peserta posuo akan terhindar dari hal-hal buruk setelah pemberkatan

yang dilakukan dengan memberikan sapuan asap kemenyan pada tubuh

mereka.

2) Pemaknaan Denotasi dan Konotasi Tanda

Sistem semiologi tingkat pertama adalah makna denotasi atau

makna dasar dari suatu simbol. Makna denotasi ini masih menelaah tanda

pada tataran bahasa yakni baru mengandung arti dan definisi yang

dimilikinya. Oleh sebab itu, makna denotasi dari simbol panimpa adalah

tahap pemberkatan yang dilakukan dengan cara memberikan sapuan

asap kemenyan ke tubuh peserta.

Kemudian, pada tingkat kedua menelaah tanda secara konotatif.

Jika makna denotasi baru menelaah tanda pada tataran bahasa, maka

makna konotasi justru menekankan pada konteks budaya, nilai, makna


88

sosial dan berbagai perasaan, sikap, atau emosi yang ada. Meskipun

begitu, makna pada tingkat kedua tidak lepas dari pemaknaan pada

tingkat pertama. Tanda denotasi “pemberkatanyang dilakukan dengan

cara memberikan sapuan asap kemenyan ke tubuh peserta” dimaksudkan

agar selama menjalani ritual posuo, para peserta akan terlindungi dan

terhindar dari hal-hal buruk. Dengan demikian, makna konotasi dari simbol

“panimpa” adalah sebuah simbol “keselamatan” diri bagi para peserta.

2. Simbol berupa Benda-benda/Perlengkapan Ritual Posuo

Berdasarkan pemaparan sebelumnya mengenai tahapan-tahapan

yang dilakukan dalam upacara ritual posuo,ditemukan ada 16 simbol yang

berupa benda-benda/perlengkapan yang terdapat dalam ritual posuo.

Namun, dari 16 simbol yang telah ditemukan akan dipilih 4 simbol yang

akan dijadikan sampel dalam penelitian ini. Keempat simbol tersebut

dapat menggambarkan atau mewakili makna secara keseluruhan yang

terdapat dalam ritual posuo.Keempat simbol tersebut yaitu:

a. Suo „Ruang belakang rumah‟

Suo merupakan ruangan rumah yang terbuat dari papan, posisi

lantainya lebih tinggi dari ruangan-ruangan lain, dan letaknya berada pada

posisi paling belakang. Keberadaan suo ini dianggap wajib bagi

masyarakat Buton, apalagi bagi keluarga yang memiliki anak perempuan

karena memiliki makna filosofi tersendiri. Posisi lantainya yang lebih tinggi

dari ruangan lain diibaratkan sebagai derajat dan kedudukan seorang


89

perempuan, dan letaknya yang berada paling belakang diibaratkan

seorang perempuan yang harus dilindungi dan tidak boleh dilihat oleh

sembarang orang selain muhrimnya atau tanpa izin dari orang tua atau

keluarganya. Itulah sebabnya ruangan ini digunakan sebagai ruang

dimana para peserta di kurung selama prosesi ritual posuo berlangsung.

Akan tetapi, ada yang berbeda dari ruangan ini ketika digunakan dalam

ritual, yaitu seluruh sisi dinding dan lantai ruangan ditutupi dengan

menggunakan kelambu dan kain putih. Tujuannya adalah agar tidak ada

celah untuk masuknya angin dan cahaya matahari. Selain itu, lampu yang

digunakan dalam ruangan adalah lampu yang memiliki kapasitas cahaya

paling rendah (dahulu menggunakan lentera) agar ruangan tetap dalam

keadaan gelap.

1) Analisis signifikasi tanda

Berikut skema analisis signifikasi tanda berdasarkan uraian konteks

di atas:

1.Penanda 2.Petanda
“suo” Ruangan yang berada pada bagian
Tingkat I belakang rumah

3.Tanda denotasi
Ruangan yang digunakan sebagai tempat kurungan yang
seluruh sisi ruangan ditutupi

I.Penanda
Ruangan yang digunakan II.Petanda
Tingkat II sebagai tempat kurungan yang Kegelapan
seluruh sisi ruangan ditutupi

III.Tanda/Sign
Kegelapan dalam ruangan suo adalah wujud alam rahim
seorang ibu
90

Berdasarkan skema analisis signifikasi penandaan di atas

menunjukkan bahwa pada tingkat I, penanda (1) adalah suo. Penanda ini

memiliki arti “ruangan yang berada pada bagian belakang rumah”yang

sekaligus menempati petanda (2). Kemudian, penanda (1) dan petanda

(2) menghasilkan tanda denotasi (3) yang menjelaskan simbol suo

sebagai sebuah ruangan yang digunakan sebagai tempat kurungan yang

seluruh sisi ruangan ditutupi.

Selanjutnya, tanda denotasi (3) pada tingkat I menjadi pijakan

untuk masuk ke tingkat II. Sehingga tanda (3) pada tingkat I sekaligus

menjadi penanda (I) pada tingkat II. Penanda (I) ini membuahkan sebuah

makna “kegelapan”, yang sekaligus menjadi petanda (II). Kemudian

melahirkan sebuah tanda/sign (III) yaitu kegelapan pada ruang suo adalah

wujud alam rahim seorang ibu.

2) Pemaknaan Denotasi dan Konotasi Tanda

Tingkat penandaan pertama merupakan makna dasar atau makna

denotasi tanda. Pada tingkat ini tanda baru dimaknai secara bahasa. Pada

tataran denotasi disebutkan definisi dan fungsi yang dimiliki oleh simbol

suo. Makna denotasi suo adalah sebuah ruangan yang berada pada

bagian belakang rumah, yang seluruh sisi dinding ruangan ditutupi

menggunakan kelambu dan kain putih. Fungsi suo adalah digunakan

sebagai ruang kurungan bagi para peserta selama prosesi ritual posuo

berlangsung.
91

Secara konotasi simbol suo memiliki makna “kegelapan”. Pada

umumnya kegelapan selalu diartikan sebagai sesuatu yang tidak

baik/buruk. Namun, dalam masyarakat Buton konsep kegelapan yang

terdapat pada ritual posuo memiliki makna yang berbeda. Kegelapan di

dalam ruangan suo diibaratkan alam rahim seorang ibu. Para peserta

yang dikurung dalam ruangan tersebut dianggap sebagai seorang janin

yang berada dalam alam rahim seorang ibu. Oleh karena itu, ketika para

peserta dikeluarkan dari ruang kurungan tersebut, mereka dianggap

seperti seorang bayi yang baru lahir ke dunia.

b. Ndamu “kampak”

Ndamu adalah sebuah kampak yang sudah diikatkan sebuah

parang, kuncup buah pinang, kuncup bunga kelapa, dan daun kasambo

lili. Cara pengaplikasian simbol ini dalam ritual posuo adalah dengan

membuang kampak tersebut di bawah kolong rumah. Jika mata kampak

tersebut ketika sudah menyentuh tanah yang berada di bawah kolong

menghadap ke lautan maka jodoh sang gadis merupakan seorang pelaut,

jika mata kampak menghadap ke arah timur maka jodoh gadis tersebut

berada di bagian timur, jika ke arah barat maka jodoh sang gadis berada

di bagian barat, begitu halnya dengan arah mata angin lainnya. Namun,

ada satu hal yang paling dihindari dan dianggap pemali dalam proses

pembuangan kampak ini, yaitu ketika mata kampak menancap ke tanah.

Hal itu dianggap sebagai pertanda buruk bagi sang gadis. Masyarakat

meyakini bahwa gadis tersebut tidak akan mendapatkan jodoh atau akan
92

menjadi perawan tua. Dan apabila sang gadis sudah memiliki pasangan

(teman dekat) atau sedang menjalani hubungan dengan seorang lelaki,

maka sang gadis harus memutuskan atau mengakhiri hubungan tersebut,

karena dianggap tidak cocok. Untuk mencegah hal itu terjadi biasanya

keluarga sang gadis melakukan haroa (pembacaan doa) untuk tolak bala.

1) Analisis signifikasi tanda

Berikut skema analisis signifikasi tanda berdasarkan uraian konteks

di atas:

2.Petanda
1.Penanda Kampak yang diikati parang, kuncup
Tingkat I “ndamu
buah pinang, kuncup bunga kelapa, dan
daun kasambo lili

3.Tanda denotasi
Ndamu „kampak‟ digunakan dengan cara dilemparkan di
bawah kolong rumah hingga menyentuh tanah

I.Penanda II.Petanda
Tingkat II Ndamu Penunjuk arah jodoh

III.Tanda/Sign
Para gadis yang mengikuti ritual posuo akan mengetahui
arah jodohnya masing-masing melalui posisi kampak saat
sudah menyentuh tanah

Berdasarkan skema analisis signifikasi penandaan di atas

menunjukkan bahwa pada tingkat I, penanda (1) adalah ndamu. Penanda

ini memiliki arti “kampak yang diikati parang, kuncup buah pinang, kuncup

bunga kelapa, dan daun kasambo lili”, yang sekaligus menempati petanda

(2). Kemudian, penanda (1) dan petanda (2) menghasilkan tanda denotasi
93

(3) yang menjelaskan simbol ndamu dalam ritual posuo digunakan dengan

cara dibuang ke bawah kolong rumah hingga menyentuh tanah.

Selanjutnya, penanda (1) pada tingkat I sekaligus menjadi penanda

(I) pada tingkat II. Penanda (I) ini membuahkan sebuah makna “penunjuk

arah jodoh”, yang sekaligus menjadi petanda (II). Kemudian melahirkan

sebuah tanda/sign (III) yaitu para gadis yang mengikuti ritual posuo akan

mengetahuiarah jodohnya masing-masing melalui posisi kampak saat

sudah menyentuh tanah.

2) Pemaknaan Denotasi dan Konotasi Tanda

Tingkat penandaan pertama merupakan makna dasar atau makna

denotasi tanda. Pada tingkat ini tanda baru dimaknai secara bahasa. Pada

tataran denotasi disebutkan karakteristik, dan fungsi yang dimiliki oleh

simbol ndamu. Makna denotasi ndamu adalah sebuah kampak yang

diikati parang, kuncup bunga pinang, kuncup bunga kelapa, dan daun

kasambo lili. Ndamu ini digunakan atau diaplikasikandengan cara dibuang

di bawah kolong rumah sehingga menyentuh tanah.

Secara konotasi simbol ndamumemiliki makna “penunjuk arah

jodoh”. Hal ini didasarkan pada posisi mata kampak ketika menyentuh

tanah. Oleh karena itu, para gadis yang mengikuti ritual posuo akan

mengetahuiarah jodohnya masing-masing melalui posisi mata kampak

tersebut. Makna ini menekankan pada nilai-nilai, perasaan, emosi,

kepercayaan, atau latar belakang budaya yang dimiliki oleh masyarakat

Buton, sehingga makna konotasi yang dimiliki oleh simbol


94

ndamumelampaui makna dasar atau fungsi denotatif yang dimiliki sebuah

tanda.

c. Kaci ‘Kain putih‟

Kain putih adalah sebuah kain yang berwarna putih dan bersih.

Dalam ritual posuo, kain putih digunakan untuk menutupi seluruh sisi

dinding ruang kurungan, dan ada juga yang diletakkan di lantai sebagai

pengalas tikar pada ruang kurungan.

1) Analisis signifikasi tanda

Berikut skema analisis signifikasi tanda:

1.Penanda 2.Petanda
kaci Kain putih
Tingkat I

3.Tanda denotasi
Kain putih adalah sebuah kain yang berwarna putih dan
bersih yang digunakan untuk menutupi seluruh sisi
ruangan suo

I.Penanda II.Petanda
Kain berwarna putih dan bersih Kesucian
Tingkat II
III.Tanda/Sign
Para peserta posuo akan menjadi bersih dan suci seperti
layaknya kain putih

Berdasarkan skema analisis signifikasi penandaan di atas

menunjukkan bahwa pada tingkat I, penanda (1) adalah kain putih.

Penanda ini merupakan sebuah kain yang berwarna putih dan bersih,

yang sekaligus menempati petanda (2). Kemudian, penanda (1) dan


95

petanda (2) menghasilkan tanda denotasi (3) yang menjelaskan kain putih

merupakan sebuah kain berwarna putih dan bersih, yang digunakan untuk

menutupi seluruh sisi dinding ruang suo.

Selanjutnya, petanda (2) “kain berwarna putih dan bersih” pada

tingkat I menjadi pijakan untuk masuk ke tingkat II. Sehingga petanda (2)

pada tingkat I sekaligus menjadi penanda (I) pada tingkat II. Penanda (I)

ini membuahkan sebuah makna “kesucian”, yang sekaligus menjadi

petanda (II). Kemudian melahirkan sebuah tanda/sign (III) yaitu para

peserta posuo akan keluar dari kurungan dalam keadaan bersih dan suci

layaknya kain putih tersebut.

2) Pemaknaan Denotasi dan Konotasi Tanda

Tingkat penandaan pertama merupakan makna dasar atau makna

denotasi tanda. Pada tingkat ini tanda baru dimaknai secara bahasa. Pada

tataran denotasi disebutkan ciri yang dimiliki oleh simbol “kain putih”, yakni

sebuah kain yang berwarna putih.

Pada pemaknaan tataran kedua memiliki perbedaan makna dari

makna dasar (makna denotasi). Sebuah tanda tidak hanya memberikan

identitas atau cir pada dirinya sendiri. Namun mengungkapkan makna

yang terselubung dari makna dasar yang dimilikinya. Pemaknaan tataran

kedua merupakan makna konotasi yang dimiliki oleh sebuah tanda.

Makna ini berusaha menciptakan dan memberikan makna sesuatu yang

lain selain dirinya sendiri (makna denotasi). Secara konotasi simbol “kain

putih” memiliki makna “kesucian”.


96

d. Patirangga „daun pewarna kuku‟

Patirangga merupakan sejenis tumbuhan yang daunnya digunakan

sebagai pewarna kuku/kuteks. Daun tersebut dihaluskan/ditumbuk terlebih

dahulu kemudian diaplikasikan pada kuku para peserta pingitan.

Selanjutnya kuku yang sudah diberi patirangga dibungkus menggunakan

plastik. Bungkusan tersebut dibuka ketika para peserta akan dimandikan

setelah keluar dari ruang kurungan.

1) Analisis signifikasi tanda

Berikut skema analisis signifikasi tanda:

1.Penanda 2.Petanda
“patirangga” daun pewarna kuku
Tingkat I

3.Tanda denotasi
Patirangga digunakan untuk memberi warna pada kuku
peserta posuo

I.Penanda II.Petanda
Tingkat II daun pewarna kuku Kecantikan/keindahan

III.Tanda/Sign
Warrna pada kuku para peserta posuo akan membuat
penampilan mereka menjadi lebih indah dan cantik

Berdasarkan skema analisis signifikasi penandaan di atas

menunjukkan bahwa pada tingkat I, penanda (1) adalah patirangga.

Penanda ini memiliki arti “daun pewarna kuku”, yang sekaligus menempati

petanda (2). Kemudian, penanda (1) dan petanda (2) menghasilkan tanda

denotasi (3) yang menjelaskan simbol patirangga sebagai sebuah daun


97

yang digunakan untuk memberi warna pada kuku.

Selanjutnya, petanda (2) “daun pewarna kuku” pada tingkat I

menjadi pijakan untuk masuk ke tingkat II. Sehingga petanda (2) pada

tingkat I sekaligus menjadi penanda (I) pada tingkat II. Penanda (I) ini

membuahkan sebuah makna “kecantikan”, yang sekaligus menjadi

petanda (II). Kemudian melahirkan sebuah tanda/sign (III) yaitu warna

pada kuku para peserta posuo akan membuat penampilan mereka

menjadi lebih indah dan cantik.

2) Pemaknaan Denotasi dan Konotasi Tanda

Tingkat penandaan pertama merupakan makna dasar atau makna

denotasi tanda. Pada tingkat ini tanda baru dimaknai secara bahasa. Pada

tataran denotasi disebutkan ciri dan fungsi yang dimiliki oleh simbol

patirangga, yakni daun berwarna hijau yang memiliki fungsi sebagai

pemberi warna pada kuku.

Pada pemaknaan tataran kedua memiliki perbedaan makna dari

makna dasar (makna denotasi). Sebuah tanda tidak hanya memberikan

identitas atau cir pada dirinya sendiri. Namun mengungkapkan makna

yang terselubung dari makna dasar yang dimilikinya. Pemaknaan tataran

kedua merupakan makna konotasi yang dimiliki oleh sebuah tanda..

Secara konotasi simbol patiranggamemiliki makna “kecantikan” dan

“keindahan”.
98

C. Mitos dalam Ritual Posuo „Pingitan‟

Dalam mitos ini, dilihat bagaimana sebuah tanda menciptakan

objek baru (makna baru) yang berbeda dari objek pertama (tanda tingkat

pertama/denotasi). Tanda sebagai makna baru adalah landasan dalam

pembentukan mitos itu sendiri. Mitos dipandang sebagai suatu hal yang

dianggap wajar atau alamiah, dan tidak memerlukan kebenaran sebagai

sanksinya.

a. Mitos Pokunde „Keramas‟

Mitos ini muncul secara alamiah melalui pemaknaan denotasi dan

konotasi simbol pokunde. Makna denotasi simbol ini adalah suatu tahap

dalam ritual posuo yang dilakukan dengan membasahi rambut (keramas).

Pembasahan rambut inilah yang kemudian menjadi pijakan munculnya

makna baru (konotasi) yaitu “pembersihan/penyucian”. Konsep “pokunde”

sebagai wadah untuk pembersihan/penyucian diri dalam ritual posuo

menciptakan sebuah mitos dalam masyarakat suku Buton, bahwaseorang

gadis akan menjadi bersih dan suci ketika sudah melakukan prosesi

pokunde „membasahi rambut (keramas)‟. Menurut informan Laode Ramiu,

membasahi rambut (keramas) merupakan simbol pembersihan diri yang

berpedoman pada salah satu syarat mandi wajib yang dianjurkan dalam

ajaran agama Islam. Hal ini sebagai gambaran bahwa masyarakat Buton

dalam melakukan sebuah ritual adat selalu berusaha untuk berpedoman

pada syariat Islam, meskipun masih ada sebagian peninggalan-

peninggalan atau kebiasaan-kebiasaan ajaran Hindu yang tertinggal.


99

b. Mitos Pebaho„Mandi‟

Mitos ini muncul secara alamiah melalui pemaknaan denotasi dan

konotasi simbol pokunde. Makna denotasi simbol ini adalah suatu tahap

dalam ritual posuo yang dilakukan dengan memandikan peserta posuo

menggunakan air yang bersumber dari mata air. Hal inilah yang kemudian

menjadi pijakan munculnya makna baru (konotasi) yaitu

“pembersihan/penyucian”. Konsep “pebaho” sebagai wadah untuk

pembersihan/penyucian diri dalam ritual posuo menciptakan sebuah

mitos dalam masyarakat suku Buton, bahwa seorang gadis akan menjadi

bersih dan suci ketika sudah dimandikan air yang berasal dari mata air.

c. Mitos Panimpa „Pemberkatan‟

Mitos ini muncul secara alamiah melalui pemaknaan denotasi dan

konotasi simbol panimpa. Makna denotasi simbol ini adalah suatu tahap

dalam ritual posuo yang dilakukan dengan memberikan sapuan asap

kemenyan/dhupa pada tubuh peserta posuo. Hal inilah yang kemudian

menjadi pijakan munculnya makna baru (konotasi) yaitu “keselamatan

diri”. Hal ini menciptakan sebuah mitos bagi masyarakat Buton, yaitu

setelah melakukan proses “panimpa”, para peserta posuo akan terhindar

dari hal-hal buruk, baik selama ritual posuo berlangsung maupun setelah

melakukan ritual.
100

d. Mitos Suo „Ruang belakang rumah‟

Mitos ini muncul secara alamiah melalui pemaknaan denotasi dan

konotasi simbol suo. Makna denotasi simbol ini adalah sebuah ruangan

yang berada pada bagian belakang rumah. Seluruh sisi ruangan ini

ditutupi dengan menggunakan kelambu dan kain putih. Hal inilah yang

kemudian menjadi pijakan munculnya makna baru (konotasi) yaitu

“kegelapan”. Simbol “kegelapan” ini menciptakan sebuah mitos bagi

masyarakat Buton, yaitu ruangan suo merupakan alam rahim seorang ibu,

dan gadis-gadis yang berada dalam ruangan tersebut merupakan janin

yang berada di dalam rahim tersebut. Sehingga, muncul anggapan pada

masyarakat Buton bahwa gadis-gadis yang dikeluarkan dari ruangan

tersebut diibaratkan seorang bayi yang baru dilahirkan ke dunia.

d. Mitos Ndamu „kampak‟

Mitos ini muncul secara alamiah melalui pemaknaan denotasi dan

konotasi simbol ndamu. Makna denotasi simbol ini adalah sebuah kampak

yang sudah diikati parang, kuncup bunga pinang, kuncup bunga kelapa,

dan daun kasambo lili. Kampak ini dialplikasikan dengan cara dibuang di

bawah kolong rumah sehingga menyentuh tanah. Posisi mata kampak

menjadi penentu atau penunjuk arah jodoh seorang gadis yang dipingit.

Oleh karena itu, simbol ndamu memiliki makna konotasi “penunjuk arah

jodoh”. Jika mata kampak tersebut ketika sudah menyentuh tanah yang

berada di bawah kolong menghadap ke lautan, jodoh sang gadis

merupakan seorang pelaut, nelayan, atau seseorang yang tinggal


101

diseberang laut (tidak satu daratan). Jika mata kampak menghadap ke

arah timur maka jodoh gadis tersebut berada di bagian timur. Jika ke arah

barat, jodoh sang gadis berada di bagian barat. Begitu halnya dengan

arah mata angin lainnya. Hal inilah yang kemudian menjadi mitos ndamu

sebagai penunjuk arah jodoh bagi para gadis yang mengikuti ritual posuo.

e. Mitos “Kain putih”

Mitos ini muncul secara alamiah melalui pemaknaan denotasi dan

konotasi simbol “kain putih”. Makna denotasi simbol ini adalah sebuah

kain berwarna putih dan bersih. Kain ini digunakan untuk menutupi

seluruh sisi dinding ruangan suo. Sedangkan makna konotasi dari simbol

ini adalah “kesucian”. Sehingga menciptakan sebuah mitos bahwa para

peserta posuo ketika keluar dari ruang suo akan menjadi bersih dan suci

layaknya seorang bayi yang baru terlahir di dunia.

f. Mitos Patirangga „daun pewarna kuku/kuteks‟

Mitos ini muncul secara alamiah melalui pemaknaan denotasi dan

konotasi simbol patirangga. Makna denotasi simbol ini adalah sebuah

daun yang digunakan untuk memberi warna pada kuku. Simbol patirangga

memiliki makna konotasi “kecantikan”. Berdasarkan kedua pemaknaan

inilah sehingga melahirkan mitos bahwa dengan memberi warna pada

kuku, peserta posuo akan terlihat lebih indah dan cantik

Di samping mitos-mitos yang muncul melalui proses penandaan

simbol-simbol yang terdapat pada ritual posuo seperti yang sudah


102

dijelaskan di atas, terdapat pula beberapa mitos lainnya yang sampai saat

ini masih dipercaya oleh masyarakat suku Buton.Pertama, masyarakat

Buton masih percaya bahwa ritual posuo merupakan sarana menguji

kesucian seorang gadis. Hal ini diketahui melalui kondisi gendang yang

dipukul. Jika salah satu kulit gendang sobek, bhisa membaca itu sebagai

tanda bahwa ada di antara gadis yang menjalani ritual posuosudah tidak

suci atau tidak perawan lagi.

Kedua, keberadaan bhisa bawine yang merupakan orang yang

pandai dan memiliki citra dan kredibiltas yang baik di tengah masyarakat

juga menjadi salah satu mitos yang terdapat dalam ritual posuo. Peserta

posuo yang selama dalam kurungan ditangani oleh bhisa bawine diyakini

akan menjadi seorang wanita yang mewarisi “aura” dari kehidupan para

bhisa bawine tersebut di kemudian hari, baik segi tingkah laku, moralitas,

maupun kesuksesan dalam membina kehidupan berumah tangga.

Kemudian ketiga, aturan-aturan yang terdapat dalam ritual posuo,

juga memiliki mitos tersendiri. Misalnya: “tidak boleh bercermin” dan “tidak

boleh mengeluarkan suara yang besar”. Apabila kedua aturan tersebut

dilanggar oleh peserta pingitan, dengan seketika akan turun hujan.

Larangan untuk tidak bercermin juga memiliki maksud tersendiri bagi

masyarakat Buton. Mereka menganggap bahwa kecantikan atau aura

yang dimiliki oleh para peserta posuo akan sirna jika sang gadis

menggunakan cermin/bercermin ketika sedang dalam menjalani prosesi

ritual posuo „pingitan‟.


103

D. Residu Penelitian

Setelah melakukan penelitian dan beberapa kali mengamati secara

langsung prosesi ritual posuo pada masyarakat suku Buton khususnya di

kecamatan Sampolawa, penulis melihat masih banyak hal menarik dan

dianggap penting untuk dikaji lebih lanjut selain yang sudah dibahas

dalam tulisan ini. Salah satunya adalah mengenai fungsi ritual posuo

sebagai sarana untuk menguji kesucian (keperawanan) para gadis Buton.

Keperawanan dalam konteks wilayah kesultanan Buton merupakan

sesuatu yang memiliki nilai tinggi dan sangat berharga. Terlebih dengan

adanya anggapan pada masyarakat Buton bahwa keperawanan

merupakan sebuah simbol kesucian bagi seorang gadis. Oleh karena itu,

seorang gadis perlu menjaga hal tersebut sebaik mungkin hingga menikah

kelak. Apabila seorang gadis melepaskan keperawanannya sebelum

menikah, maka ia dianggap sudah melanggar nilai dan norma yang ada

dalam masyarakat. Namun, di zaman modern seperti sekarang ini, dengan

semakin berkembangnya informasi dan pengetahuan melalui media

massa yang mengeksploitasi seks dan seksualitasnya, mengakibatkan

adanya pergeseran nilai serta norma yang ada dalam masyarakat.

Menjaga dan mempertahankan keperawanan kini tampaknya bukan

lagi menjadi sesuatu yang penting bagi seorang gadis. Bahkan ada

sebagian menganggap bahwa melepaskan keperawanan atau melakukan

hubungan seksual sebelum menikah merupakan sesuatu yang wajar.


104

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di zaman sekarang ini sudah

semakin sulit untuk menemukan gadis yang masih perawan.

Berdasarkan fenomena tersebut, yang menjadi pertanyaan besar

adalah apakah perawan dan tidaknya seorang gadis bisa diketahui? Dan

bagaimana cara mengetahuinya? sementara, jika kita mengacu pada

definisi perawan menurut Abdul Rahim Sitorus & Gugun El-Guyanie

(2009:3), yakni seseorang yang belum pernah disentuh atau belum

pernah menikah, serta belum pernah berhubungan intim dengan lawan

jenis maupun dengan sesama jenisnya, tentunya kita tidak akan pernah

tahu hal tersebut selain dengan melihat atau menyaksikannya secara

langsung. Dalam arti lain, hanya yang bersangkutan dan Allah swt yang

mengetahuinya sehingga masih ada sebagian gadis yang menyepelekan

hal tersebut.

Berbeda halnya dengan gadis-gadis yang berdarah Buton. Menjaga

dan mempertahankan keperawanan hingga menikah merupakan hal yang

sangat penting untuk dilakukan. Bukan hanya karena untuk

menyenangkan dan memuaskan pasangan (suami) kelak. Namun, demi

menjaga dan mematuhi norma adat dan agama yang berlaku di

lingkungan masyarakat, serta menjaga nama baik diri dan keluarga.

Terlebih lagi dengan adanya tradisi ritual posuo pada masyarakat Buton,

yang merupakan sesuatu yang wajib untuk dilakukan bagi semua gadis

Buton sebelum melangsungkan ritual pernikahan. Ritual ini berfungsi

sebagai simbol masa transisi atau peralihan status seorang gadis dari
105

remaja (kabuabua) menjadi dewasa (kalambe). Selain itu, ritual ini juga

diyakini sebagai sarana untuk menguji kesucian (keperawanan) seorang

gadis. Hal tersebut dapat dilihat dari tanda-tanda yang memang sudah

menjadi pengetahuan bersama oleh para tokoh adat, dukun wanita (bhisa

bawine) yang bertugas sebagai pemimpin atau pemandu prosesi ritual

posuo, dan sebagian masyarakat Buton. Adapun tanda-tanda tersebut di

antaranya:

1. Pecahnya gendang atau sobeknya kulit gendang saat ditabuh

2. Ketika ditemukan ada gadis yang melakukan aktivitas buang air

besar. Padahal hal tersebut merupakan sesuatu yang jarang terjadi

selama berlangsungnya ritual posuo.

3. Wajah gadis yang suram (tidak beraura) ketika keluar dari ruang

pingitan, meskipun sudah didandani.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari hasil wawancara

kepada tokoh adat dan pemimpin/pemandu pelaksanaan ritual posuo,

selain dari ketiga tanda yang disebutkan di atas masih ada tanda-tanda

lain yang menunjukkan ketidakperawanan seorang gadis yang bisa dilihat

melalui prosesi ritual posuo. Namun, karena adanya keterbatasan waktu

dan ruang lingkup penelitian sehingga penulis menjadikan ini hanya

sebatas residu penelitian. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya

penelitian lanjutan mengenai ritual posuo, dengan topik permasalahan dan

pendekatan yang berbeda dengan yang sudah dilakukan penulis dalam

tulisan ini. Terutama mengenai “mengenal atau menganalisis tanda-tanda


106

ketidakperawanan seorang gadis melalui prosesi ritual posuo”. Di samping

itu, hal ini juga bisa menjadi dasar atau acuan bagi peneliti-peneliti

selanjutnya yang tertarik untuk mengkaji ritual posuo sebagai topik

penelitian.
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab

sebelumnya, maka pada bab ini penulis akan mengemukakan simpulan

dan saran yang merupakan ringkasan dari keseluruhan isi tesis ini.

A. Simpulan

1. Tahapan-tahapan ritual posuo „pingitan‟ secara umum terdiri atas 3

yaitu (1) persiapan, (2) pelaksanaan yang meliputi pokunde „keramas‟,

pebaho „mandi‟, pauncura „pengukuhan‟, panimpa „pemberkatan‟,

palego „menggerakkan anggota badan/melenggang‟, padole

„membaringkan‟, pasipo „menyuap‟, posuo „pengurungan‟, bhaliana

yimpo „perubahan posisi‟, landakiana tana „menginjakkan kaki ke

tanah‟, matana posuo „puncak acara‟, dan (3) penutup.

2. Simbol-simbol yang terdapat dalam ritual posuo terbagi atas dua.

Pertama, simbol berupa tata cara pelaksanaan meliputi: pokunde,

pebaho, panimpa,. Kedua, simbol berupa benda-benda/perlengkapan

meliputi: suo „ruang belakang rumah‟, ndamu „kampak‟, kain putih,

patirangga „daun pewarna kuku‟. Semua simbol tersebut mengandung

makna kesucian, kecantikan, keselamatan, dan petunjuk arah jodoh.

3. Mitos yang terdapat dalam ritual posuo muncul secara alamiah melalui

pemaknaan denotasi dan konotasi yang dimiliki oleh sebuah simbol.

Terdapat tujuh mitos masyarakat suku Buton terhadap ritual posuo

107
108

yang terkonstruksi melalui analisis semiotika Roland Barthes, yaitu: 1)

mitos pokunde yaitu seorang gadis akan menjadi bersih dan suci

ketika sudah melakukan prosesi pokunde „membasahi rambut

(keramas)‟, 2) mitos pebaho yaitu seorang gadis akan menjadi bersih

dan suci ketika sudah dimandikan air yang bersumber dari mata air, 3)

mitos panimpa yaitu para peserta posuo akan terhindar akan terhindar

dari hal-hal buruk setelah melakukan prosesi panimpa, 4) mitos suo

yaitu gadis yang dikeluarkan dari ruangan suo seperti seorang bayi

yang baru dilahirkan, 5) mitos ndamu yaitu para gadis akan

mengetahui arah jodohnya melalui posisi mata kampak ketika

menyentuh tanah, 6) mitos kain putih yaitu seorang gadis akan

menjadi bersih dan suci ketika keluar dari kurungan, dan 7) mitos

patirangga yaitu seorang gadis akan menjadi lebih cantik ketika

mewarnai kuku mereka.

Di samping mitos yang muncul secara alamiah melalui proses

penandaan sebuah simbol, terdapat pula mitos yang sampai saat ini

masih dipercaya oleh masyarakat Buton. Di antaranya: masyarakat

Buton meyakini ritual posuo sebagai sarana untuk menguji kesucian

para gadis dan sarana untuk mengetahui arah jodoh. Disamping itu,

mereka juga percaya bahwa dengan mengikuti ritual posuo, seorang

gadis seperti terlahir kembali dalam keadaan bersih dan suci, terlihat

semakin cantik dan mempesona, akan mendapatkan jodoh yang baik

dan juga kehidupan yang baik.


109

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya,

penulis berpendapat bahwa ritual posuo „pingitan‟ masih dikatakan

sebagai salah satu tradisi masyarakat suku Buton karena ritual ini

masih dilakukan dan dipertahanakan oleh masyarakat pendukungnya

sejak dulu hingga saat ini. Namun, seiring dengan perkembangan

zaman pelaksanaan ritual ini sudah tidak dilakukan lagi sebagaimana

mestinya seperti yang diwasiatkan oleh para leluhur. Hal ini terlihat

daripelaksanaan ritual posuo yang pada hakikatnya dilakukan khusus

untuk para gadis yang sudah memasuki usia dewasa (akil balig), saat

ini sebagian masyarakat justru melaksanakannya ketika anak

gadisnya akan melangsungkan pernikahan. Selain itu, jangka waktu

pelaksanaan ritual biasanya dilakukan mulai dari 9 hari 9 malam

hingga 2 hari 2 malam, saat ini bahkan ada yang melaksanakannya

hanya sekedar menyarati (sekedar memandikan anak gadis dengan

menggunakan air suci yang disertai dengan pembacaan doa-doa

suci). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ritual posuo telah

mengalami pergeseran/perubahan dalam pelaksanannya.


110

B. Saran

Berdasarkan beberapa kesimpulan yang penulis peroleh dari hasil

penelitian dan pembahasan, maka dapat dikemukakan saran-saran

sebagai berikut:

1. Diperlukan adanya perhatian dan dukungan yang lebih dari

masyarakat dan pemerintah menyangkut kebudayaan tradisional

Buton khususnya ritual posuo agar terhindar dari kepunahan.

2. Untuk melestarikan budaya Buton khususnya ritual posuo,

pemerintah perlu membuat panduan baku tentang tata cara ritual

posuo agar generasi selanjutnya dapat melaksanakan ritual adat

posuo sesuai dengan panduan dan tanpa ada bias atau perubahan.

3. Penulis memberi saran kepada peneliti lain yang ingin mengkaji

ritual posuo sebagai objek penelitian, dan semiotika sebagai

pendekatan penelitian, agar mengkaji simbol-simbol yang terdapat

dalam ritual posuo, yang belum dikaji dalam tulisan ini.

4. Masyarakat harus mengkaji lebih dalam lagi nilai-nilai yang ada

dalam setiap simbol ataupun lambang yang terdapat dalam ritual

posuo. Para leluhur menjadikan nilai-nilai dan makna sebagai

media ataupun bahan pembentukan karakter dan kepribadian yang

baik bagi para gadis Buton.

5. Untuk peneliti selanjutnya, penulis sarankan agar mengkaji ritual

posuo lebih mendalam lagi dengan mengkajinya dari prespektif

religi.
111

DAFTAR PUSTAKA

Adkon, Ridwan. 2006. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung:


Alfabeta.

Arafah, Burhanuddin, Hasyim, Muhammad. 2019. Linguistic functions of


emoji in social media communication. Opción, Vol. 35, No. 24, 558-
574

Arafah, Burhanuddin & Hasyim, Muhammad. 2019. The Language of


Emoji in Social Media, AICLL 2019 The Second Annual
International Conference on Language and Literature UISU Medan,
Indonesia, July 3-4, 2019, Knowledge E

Afrizal. 2005. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: dari Pengertian


Sampai Penulisan Laporan. Unand Padang: Laboratorium Sosiologi
FISIP.

Anugrah, Diana. 2016. Analisis Semiotika Terhadap Prosesi Pernikahan


Adat Jawa ''Temu Manten' di Samarinda. eJournal Ilmu
Komunikasi, 4 (1) 2016:319-330 ISSN 0000-0000.

Anwar, Mangkunegara. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia.


Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Atho, Nafisul dan Arif Fahrudin. 2003. Hermeneutika Transedental.


Yogyakarta: IRCiSod.

Baal, J. Van. 1997. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Budaya. Jakarta:


Gramedia.

Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Paris: Editions de Suil.

________. 1968. Elements of Semiology. New York: Hill and Wang.

Berger, A. Asa. 2010. Pengantar Semiotika:Tanda-tanda dalam


Kebudayaan Kontemporer, Edisi Terbaru. Yogyakarta: Tiara
Wacana.

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualdanaitatif. Jakarta: Kencana


Prenada Media Group.

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Cetakan ke V. Jakarta: PT.


Pustaka Utama Grafiti.

________. 2007. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain.


Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
112

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna:Buku Teks Dasar


Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan . 1985. Kamus Wolio-Indonesia.


Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2007. Kamus Umum Bahasa


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Durkheim, Emile. 1995. The Elementary Forms of the Religious Life. New
York: Pree Press.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan.


Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

. 2006. Metode, Teori, Teknik-Penelitian Kebudayaan: Ideologi,


Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Fariki, La. 2009. Mengapa Perempuan Buton dan Muna Dipingit? Kendari:
Komunika.

Geertz, Cliford. 1993. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Hadi, Sumandio. 2000. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Institut


Seni Indonesia.

Hasyim, Muhammad. 2014. Konstruksi Mitos dan Ideologi dalam Teks


Iklan Komersial Televisi, Suatu Analisis Semiologi. Disertasi
Program Studi Linguistik, Universitas Hasanuddin Makassar.

Hasyim, Muhammad Dr. 2015. Myth And Ideology Construction In


Indonesia Television Advertising: A Semiotic Based Approach,
International Journal of Communication and Media Studies
(IJCMS) ISSN(P): 2250-0014; Vol. 5, Issue 1, Jun 2015, 1-14

Hasyim, Muhammad. 2017. The Metaphor of Consumerism. Journal of


Language Teaching and Research, Vol. 8, No. 3, pp. 523-530

Hasyim, Muhammad Dr., Akhmar, A.M., Kuswarini, P., Wahyuddin. 2019.


Foreign Tourists' Perceptions of Toraja as a Cultural Site in South
Sulawesi, Indonesia. African Journal of Hospitality, Tourism and
Leisure. Volume 8 (3)

Hasyim, Muhammad, Hasjim, Munirah, Nursidah. 2019. Online


advertising: how the consumer goods speaks to women, Opción,
113

Año 35, No.89, 826-845 ISSN 1012-1587/ISSNe: 2477-9385

Hobsbawn, Eric dan Ranger, Terence. 2003. The Invented of Tradition.


United Kingdom: University Press Cambridge.

Hoed, Benny. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok:


Komunitas Bambu.

Hoed, Benny. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Edisi Ketiga.
Depok: Komunitas Bambu

Intan, Tania. 2018. Narator Sebagai Penyampai Kritik Sosial Dalam Novel
Moha Le Fou Moha Le Sage Karya Tahar Ben Jelloun. Jurnal Ilmu
Budaya. 6 (2), 207-220
Juliandari, Lely, Kuswarini, Prasuri, Hasyim, Muhammad. 2017. Peran
Lingkungan Terhadap Pemenuhan Hak Anak Dalam “L‟auberge De
L‟ange Gardien” Karya Comtesse De Segur. Jurnal Ilmu Budaya,
No. 6 (1), 12-21.
Kasma. 2016. Tuturan Ritual Mappetu Ada Dalam Prosesi Pernikahan
Masyarakat Bugis Kecamatan Ganra Kabupaten Soppeng. Jurnal
Tesis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar.

Koentjaraningrat. 1994. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka


Cipta.

Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:


Djambatan.

Kusuma, S. Zaimar. 2013. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra. Depok:


PT. Komodo Books.

Mahsun. 2005. Metode penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan


Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Maknun, T., Hasjim, M., Muslimat, M., and Hasyim, M. 2019. The form of
the traditional bamboo house in the Makassar culture: A cultural
semiotic study. Semiotica. In press. https://doi.org/10.1515/sem-
2017-0162

Moleong, J. Lexy. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Murgiyanto, S. 2004. Tradisi dan Inovasi. Jakarta: Wedetama Widya.

Mutmainnah, Sitti, Kuswarini, Puswarini, Hasyim, Muhammad. 2015.


Unsur Serapan Asing pada Judul-Judul Berita di Harian Kompas.
Jurnal Ilmu Budaya, 3 (2), 34-39.
114

Nasution. 2009. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi


Aksara.

Nuriman, Waode. 2011. Pola Pengasuhan Anak Perempuan dalam


Upacara Adat Karia pada Etnik Muna serta Model Pelestariannya.
Bandung: Tesis Universitas Pendidikan Indonesia.

Piliang, A. Yasraf. 2012. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studie Atas


Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Purba, Amir. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Medan: Pustaka Press.

Purwasita, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta:


Muhammadiyah University Press.

Rahman, Fathu. 2017. Cyber Literature: A Reader –Writer Interactivity.


International Journal of Social Sciences &Educational Studies.),
Vol.3, (4), 156-164, (Online), ISSN 2409-1294 (Print ISSN 2520-
0968)
Rahman, Fathu. 2019. Meretas Jalan Publikasi Jurnal Internasional bagi
PTN-PTS di Kota Watampone. Jurnal Ilmu Budaya, Volume 7, (1),
146-151, E-ISSN: 2621-5101P-ISSN:2354-7294

Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia, Suatu


Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.

Rita, Tanduk. 2018. Representasi Konstruksi Mitos Dan Ideologi Dalam


Teks Ritual Upacara Adat Ma‟tammu Tedong Budaya Etnik Toraja:
Kajian Semiotika. Disertasi Program Studi Linguistik, Universitas
Hasanuddin Makassar.

Rusyana, Yus. 2006. Peranan Tradisi Lisan dalam Ketahanan Budaya


(makalah). Bandung.

S., Hasria Riski, Rahman, Fathu, Sadik, Andjarwati Improving The


Students‟ Speaking Ability Through Silent Way Method At Smu
Negeri 12 Makassar. 2018. Jurnal Ilmu Budaya, Volume 6, (2), 303-
312, E-ISSN: 2621-5101P-ISSN:2354-729

Sadulloh. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Saussure, Ferdinand de. 1967. Cours de Linguistique Generale. Paris:


Payot.

Shils, Edward. 1981. Tradition. Chicago: The University of Chicago Press.

Siahaan, Hotman. M. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori


115

Sosiologi. Jakarta: Erlangga.

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda.

Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Seokanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada.

Spradley, James. P. 1997. Metode Etnografi. Terjemahan oleh Misbah


Yulia Elisabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.


Bandung: Alfabeta.

Suhardi. 2009. Ritual Pencarian Jalan Keselamatan Tataran Agama dan


Masyarakat Perspektif Antropologi. Pidato Pengukuhan Guru Besar
Antropologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada,
pada tanggal 18 Maret 2009.

Sumitri, Ni Wayan. 2005. Ritual Dhasa Jawa pada Masyarakat Petani di


Rongga, Manggarai Nusa Tenggara Timur. Tesis pada Program
Pascasarjana Universitas Udayana.

Sunardi, ST. 2002. Semiotik Negativa. Yogyakarta: Kanal.

Yusri, La. 2013, 26 September. Ritual Sinkretis Orang Buton. Dikutip pada
28 Agustus 2018. https://www.kompasiana.com/la_yusrie//ritual-sinkretis-
orang-buton.

Zoest, Aart van. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan,
Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Ani Soekawati (Penerj.).
Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
116

Anda mungkin juga menyukai