DOSEN PEMBIMBING:
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Allah swt, berkat limpahan rahmat,
syari‟at Islam.
bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
kepada :
iii
yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan
dan Dr. Andi Muh. Akhmar, S.S., M.Hum., selaku penguji yang
tesis ini.
4. Prof. Dr. Akin Duli, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin.
6. Bapak dan Ibu dosen pengasuh mata kuliah atas curahan ilmu
iv
7. Seluruh staf administrasi Universitas Hasanuddin, khususnya staf
studi penulis.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapakan
atas segala khilaf dan bermunajat kepada Allah swt agar kiranya berkenan
v
bermanfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca, terutama bagi
Penulis,
vi
ABSTRAK
vii
Kata Kunci: Ritual posuo, Simbol, Semiotika Roland Barthes
ABSTRACT
WAODE FIAN ADILIA. Ritual of Posuo 'Pingitan' for the Butoness Society
Semiotics Approach (guided by Ikhwan M. Said and Muhammad
Hasyim).
viii
DAFTAR ISI
ix
5. Teori Semiotika Roland Barthes .................................................... 35
a. Denotasi .................................................................................. 37
b. Konotasi ................................................................................... 37
c. Mitos ........................................................................................ 38
6. Simbol ........................................................................................... 44
1. Persiapan .................................................................................... 62
2. Pelaksanaan/Prosesi ................................................................... 67
c. Pauncura „Pengukuhan‟.......................................................... 68
x
d. Panimpa „Pemberkatan‟.......................................................... 69
3. Penutup ....................................................................................... 78
LAMPIRAN................................................................................................. 115
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
xii
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
kebudayaan tertentu, atau dengan memiliki tradisi yang diwarisi dari satu
1
2
merumuskan:
Tradisi atau kebiasaan adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama
dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Hal yang
paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari
generasi ke generasi, baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini,
yaitu tradisi lisan dan tradisi tulisan. Tradisi lisan merupakan suatu jenis
September 2019).
yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
folklore dalam tiga kelompok, yakni: 1) Folklor lisan, yaitu folklor yang
lisan, yaitu folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan
istiadat, upacara dan pesta rakyat; dan 3) Folklor bukan lisan, yaitu folklor
secara lisan. Folklor ini ada yang berbentuk material dan nonmaterial.
bentuk folklor lisan, yaitu doa-doa yang digunakan dalam ritual dan juga
Ritual posuo yang berarti „pingitan‟ dikenal sebagai ritual adat yang
telah ada sejak zaman kesultanan Buton. Ritual ini dilaksanakan sebagai
penanda masa transisi atau peralihan status seorang gadis dari remaja
juga diyakini sebagai sarana untuk menguji kesucian seorang gadis. Hal
ini dapat dilihat melalui talu bunyi gendang yang dipukul oleh beberapa
warga yang sudah ditugaskan. Jika salah satu gendang yang dipukul itu
posuo) membaca itu sebagai tanda bahwa ada di antara gadis yang
dipingit yang tidak lagi perawan. Sementara Agus Sana‟a, putra mantan
Ritual posuo dilaksanakan selama tiga hari tiga malam, empat hari
empat malam tujuh hari tujuh malam atau delapan hari delapan malam
kecantikan diri seperti cara melulur tubuh dengan kunyit yang dicampuri
tepung beras. Selain itu, selama dalam pengurungan para gadis juga
dijauhkan dari pengaruh dunia luar dan hanya boleh berhubungan dengan
bhisa (pemimpin upacara ritual posuo) yang telah ditunjuk oleh ketua adat
setempat.
meliputi persiapan, prosesi, dan penutup. Setiap tahap memiliki tata cara
melakukan tahap panimpa „pemberkatan‟, air yang berasal dari mata air
digunakan untuk menutupi seluruh sisi dinding ruang pingitan (suo), dan
masih banyak lagi lainnya yang akan menjadi topik pembahasan dalam
tulisan ini. Bahan dan benda tersebut merupakan hal wajib yang harus
memiliki tata cara khusus dan juga menggunakan bahan serta benda-
benda yang wajib disediakan guna untuk melengkapi prosesi ritual. Tata
tersurat dan tersirat dari simbol-simbol yang terdapat dalam ritual posuo
anak, istri, ibu, maupun posisinya sebagai bagian dari masyarakat yang
bahwa ritual adat dianggap bid‟ah (sesuatu hal/perbuatan yang tidak ada
penting bagi mereka. Proses ini cepat atau lambat akan memengaruhi
kultur sosial yang beragam. Hal ini menyebabkan masih banyak dari
merupakan salah satu masalah serius yang harus dibahas agar ritual
budaya adat posuo. Dengan demikian, ritual posuo sebagai salah satu
Roland Barthes adalah salah satu ahli semiotik yang pemikirannya sangat
yang ada dalam penelitian ini, yaitu mengenai simbol dan mitos yang
mitos.
antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada
hasrat cinta yang abadi. Lahirnya sebuah mitos setelah terbentuk sistem
dan konotasi dari “mawar” maka terbentuklah sebuah mitos bahwa mawar
adalah simbol kekuatan cinta yang abadi dan mampu mengatasi segala
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis
2. Manfaat Praktis
TINJAUAN PUSTAKA
berikut.
Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini merupakan tesis pada Program Studi
11
12
memperlakukan alam dan roh para leluhur (penghuni alam gaib, roh
dilakukan oleh Wa Ode Nur Iman (2011) dengan judul “Pola Pengasuhan
Anak Perempuan dalam Upacara Karia (Pingitan) pada Etnik Muna serta
untuk menjalani hidup dengan baik dan taat kepada aturan-aturan yang
semiotika, yaitu metode analisis untuk mengkaji tanda dan makna yang
bagi kedua mempelai dan keluarga. Pada prosesi ini terlihat bahwa laki-
13
Temu Manten ini rumah tangga kedua mempelai akan rukun dan
harmonis.
mappettu ada, yaitu bentuk elong ugi, paralelisme, dan repetisi. Proses
seperti halnya yang digunakan dalam penelitian ini. Akan tetapi yang
objek yang sama dengan penelitian ini yaitu mengkaji tentang upacara
atau ritual pingitan, tetapi pada lokasi yang berbeda. Nur Iman di
penelitian ini.
1. Konsep Tradisi
Kata tradisi berasal dari bahasa latin yaitu tradisio yang berarti
dari generasi ke generasi, dari leluhur ke anak cucu secara lisan. Dalam
pengertian kuno, atau pun dengan sesuatu yang bersifat sebagai warisan
didukung oleh tradisi, namun tradisi itu bukanlah sesuatu yang statis.
lisan yang tangguh adalah tradisi lisan yang tetap hidup, yaitu ada dalam
dan fungsinya, sehingga berbagai jenis tradisi lisan itu hadir dalam wujud
a. Waktu/masa
Arti yang paling dasar dari kata tradisi, yang berasal dari kata
trditium adalah sesuatu yang diberikan atau diteruskan dari masa lalu ke
masa kini. Dari arti dasar ini dapat dipermasalahkan selanjutnya, seberapa
rentang waktu yang diliputinya, juga dapat dilihat dari segi batas-batas
tradisi. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa jarak antara pusat dan
pinggir itu tidak selalu ditentukan oleh geografis, melainkan juga oleh
jelas sebagai perhadapan dua tradisi yang berbeda. Apa yang berasal dari
luar diterima sebagai suatu warisan baru yang tiba-tiba datang. Masuknya
d. Perubahan
Suatu hal yang perlu disadari dalam melihat masalah tradisi ini
(Purba, 2006:107).
2. Konsep Ritual
Kata ritual berhubungan dengan ritus, yaitu tata cara dalam upacara
dengan sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang tulus, dalam arti
yang harus dipersiapkan dan dipakai. Ritual atau ritus dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu
ritus ke dalam dua bagian, yaitu ritus krisis hidup dan ritus gangguan.
beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Ritus ini meliputi kelahiran,
dalam berburu, ketidak teraturan reproduksi pada para wanita dan lain
Setiap manusia sadar bahwa selain dunia yang fana ini, ada suatu
alam dunia yang tak mampu diraih olehnya dan berada di luar batas
akalnya. Dunia ini adalah dunia supranatural atau dunia alam gaib.
manusia dengan cara-cara biasa. Oleh sebab itu, manusia pada dasarnya
antara masyarakat. Dengan kata lain ritual agama merupakan charge bagi
(Siahaan,1986:25).
masyarakat itu sendiri dalam bekerja sebagai suatu sistem terdiri atas
Hal ini diperkuat dengan asumsinya bahwa hampir semua institusi sosial
dan memperhatikan setiap diri para penganut agama dan cult (cara
yang esensial dalam masyarakat, maka hal ini karena roh masyarakat itu
mereka.
suatu kekuatan yang laur biasa, yang dalam agama disebut yang illahi
atau samar-samar dan suatu ritual atau sifat simbolik yang ingin
23
ritual religi sebagai sarana komunikasi dengan alam gaib tersebut sesuai
iman merupakan bagian dari ritual, bahkan ritual itu sendiri, iman
1995:167).
baik setiap hari, setiap musim, maupun kadang-kadang saja tergantung isi
acara dan sejauhmana kebutuhan itu diperlukan. Ritus atau upacara religi
24
biasanya terdiri atas suatu kombinasi yang merangkaikan satu, dua, atau
kelakuan dan religi. Seluruh sistem upacara itu terdiri atas aneka macam
upacara yang bersifat harian, musiman, dan kadang kala. Dalam sistem
empat aspek, yaitu :(1) keyakinan dan emosi, (2) tempat pelaksanaan
upacara.
pula. Namun secara umum ritual mempunyai fungsi yang sama yaitu
yang meyakininya.
memiliki sebuah tradisi yaitu posuo. Posuo adalah sebuah ritual yang
25
Kata posuo berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Wolio,
yaitu Po adalah prefiks atau kata depan yang menjadikan kata yang
tradisi mayarakat Buton sejak beberapa abad yang lalu, pada zaman
berdosa jika anak perempuannya belum dipingit. Oleh karena itu, orang
nilai-nilai posuo wolio dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Posuo ini
diadaptasi oleh Syeikh Haji Abdul Ghaniyyu, seorang ulama besar Buton
yang hidup pada pertengahan abab XIX yang menjabat sebagai Kenipulu
2015)
4. Teori Semiotika
„tanda‟ atau seme yang berarti penafsir tanda, atau dalam sebutan
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti tanda dan
proses yang berlaku bagi pengguna tanda (Zoest, 1993). Dalam perilaku
semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Peirce di
semiosis ini melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah pencerapan aspek
disebut interpretant.
objek didasari oleh pemikiran bahwa objek tidak selalu sama dengan
objek dalam kognisi manusia dan kemudian diberi penafsiran tertentu oleh
dari representamen yang seakan mewakili apa yang ada dalam pikiran
kaitan antara “realitas” dan “apa yang berada dalam kognisi manusia”.
berarti akibat dari suatu pesan. Contoh yang umum yaitu adanya
Contoh yang paling sederhana dan banyak kita jumpai namun tidak
dengan objeknya).
semiotik mencakup tiga ranah yang berkaitan dengan apa saja yang
30
Berdasarkan hal tersebut, kita akan memahami bahwa ada hubungan erat
(2014:36) membedakan empat hal yang berkaitan satu sama lain dan
simbol), jenis sistem tanda (bahasa, musik, gerak tubuh), jenis teks, dan
budaya.
31
terbatas pada tulisan, tetapi termasuk pula pola perilaku dan tindakan
secara umum diklasifikasikan menjadi teks kognitif dan teks sosial, baik
tanda.
(aspek material/tanda), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis
dibentuk oleh budaya dan kesepakatan. Dengan kata lain, tanda yang kita
penanda dan petanda. Jadi hubungan yang ada adalah hubungan yang
tersebut dapat mewakili suatu citra bunyi di suatu bahasa yang berbeda,
kita hanya dapat menyetujui bahwa ada kearbitreran dan sifat pada tanda
misalnya, kata “arbor” dapat mengacu pada sebuah konsep pohon yang
memliki batang dan daun (petanda) atau mungkin sesuatu yang lain jika
hal ini disepakati secara sosial. Saussure memberikan tekanan pada citra
sebagainya. Namun hal itu semua yang sangat penting dari keseluruhan
dalam masyarakat bersifat dapat dipahami. Hal ini merupakan bagian dari
yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang
(makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir
berasumsi bahwa Roland Barthes adalah salah satu ahli semiotik yang
dalam penelitian ini, yaitu mengenai makna denotasi dan konotasi simbol
konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
adalah signifikasi pada tahap kedua. Gagasan Barthes ini dikenal dengan
dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan
personal).
hal (things). Memaknai (to signify) tidak dapat dicampur adukkan dengan
objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu
tanda.
Bahasa pada tingkat pertama adalah bahasa sebagai objek dan bahasa
sistem tanda yang berisi penanda dan petanda. Sistem tanda tingkat
baru pada suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi .Sistem
sistem retoris atau mitologi. Konotasi dan metabahasa adalah cermin yang
bahasa yang utamanya bersifat sosial dalam hal pesan literal memberi
dukungan bagi makna kedua dari sebuah tatanan artifisial atau ideologis
secara umum.
37
a. Denotasi
dan antara tanda dan objek yang diwakilinya dalam realitas eksternalnya.
Dengan kata lain, denotasi merupakan makna paling nyata dari sebuah
b. Konotasi
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti
berkembang lebih luas daripada yang ada dalam linguistik. Barthes (1957)
nilai sosial (yang sebenanya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang
suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi
penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik,
mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya
atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran
penanda.
c. Mitos
yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Tingkatan tanda dan makna Barthes
mitos menyampaikan pesan. Mitos adalah suatu bentuk dan bukan objek
atau konsep, tidak ditentukan oleh materinya, melainkan oleh pesan yang
oleh maksudnya dari pada bentuknya. Selain itu, mitos tidak selalu bersifat
bentuk lain atau campuran antara bentuk verbal dan nonverbal. Bagi
yang dimaksud bukan hanya teks verbal, melainkan juga teks non verbal
(Kusuma, 2013:19).
sangat besar dan panjang, sebaliknya bentuk yang sangat kecil (satu
kata, satu sketsa, ataupun satu gerakan) dapat menjadi penanda dari
mitos adalah semacam wicara, segalanya dapat menjadi mitos asal hal itu
mitos. Karena tidak ada hukum, baik yang bersifat alam maupun bukan,
menggunakan istilah berbeda untuk ketiga unsur itu, yaitu: form, concept,
semiotik tingkat pertama dan tingkat kedua tidak persis sama. Jika sistem
pertama adalah sistem linguistik, maka sistem kedua adalah sistem mitis
sistem pertama, akan tetapi tidak semua prinsip yang berlaku pada sistem
sistem ganda dalam sistem semiotik yang terdiri dari sistem linguistik dan
Dikatakan lebih persis, sign diambil (taken over) oleh sistem tingkat dua
mitos.Sign yang diambil untuk dijadikan form diberi nama lain, yaitu
meaning karena kita mengetahui tanda hanya dari maknanya. Ini berarti
satu kaki meaning berdiri di atas tingkat kebahasaan (sebagai sign), dan
satu kaki yang lain di atas tingkat sistem mitis (sebagai form).
prajurit berkulit putih, yang sedang memberi hormat pada bendera Prancis
yang ada pada sampul depan majalah Paris-Match (No 236, 25 Juni-2 Juli
tataran kedua sebagai sistem mitos, yaitu “prajurit berkulit hitam memberi
2) Fungsi Mitos
makna dari tataran pertama. Makna (tanda sebagai relasi penanda dan
makna baru pada tataran kedua. Maka, tanda pada tataran kedua
memaknai sesuatu yang lain yang tidak lagi merujuk pada realitas
tahap.Pada tahap pertama, tanda dapat dilihat latar belakangnya pada (1)
penanda dan (2) petandanya. Tahap ini lebih melihat tanda secara
denotatif. Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara bahasa. Dari
dua kuntum mawar pada satu tangkai. Jika dilihat konteksnya, bunga
tersebut. Jika tanda pada tahap I ini dijadikan pijakan untuk masuk ke
tahap II, maka secara konotatif dapat diberi makna bahwa bunga mawar
yang akan mekar itu merupakan hasrat cinta yang abadi. Bukankah dalam
44
budaya kita, bunga adalah lambang cinta. Atas dasar ini, kita dapat
sampai pada tanda (sign) yang lebih dalam maknanya, bahwa hasrat
cimta itu abadi seperti bunga yang tetap bermekaran di segala masa.
Makna denotatif dan konotatif ini jika digabung akan membawa kita pada
sebuah mitos, bahwa kekuatan cinta itu abadi dan mampu mengatasi
6. Simbol
model dari teori bahasa bagi kajian penelitian sosial budaya (Kleden-
makna yang bersifat ganda.Simbol dalam arti ganda ini diperoleh dengan
Oleh sebab itu hubungan antara simbol dengan sesuatu yang ditandakan
bahwa salah satu karakteristik dari simbol adalah tidak pernah benar-
alamiah antara penanda dan petanda seperti simbol keadilan yang berupa
45
tanda dengan dirinya sendiri atau disebut simbolik atau hubungan internal.
Kedua, hubungan tanda dengan tanda lain dalam suatu sistem yang
lain dari satu struktur yang diseabut hubungan sintagmatik atau hubungan
eksternal.
C. Kerangka Pikir
atau konsep dengan tujuan membuat arah penelitian menjadi jelas. Ritual
suku Buton ketika seorang gadis beralih status, dari remaja (kabuabua) ke
status dewasa (kalambe). Ritual ini terdiri atas beberapa tahap dalam
masyarakat Buton.
Tahapan-Tahapan
Pelakasanaan Ritual Posuo
Simbol-Simbol dalam
Ritual Posuo
D. Definisi Operasional
seperti berikut:
masyarakat tertentu.
ritual pernikahan).
kehidupan manusia.
tanda.
METODE PENELITIAN
tentang dunia sekitarnya. Hal tersebut juga berkaitan dengan definisi yang
diberikan oleh Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2004:3), yaitu suatu
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, diarahkan
lapangan.
49
50
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala
tradisi ritual posuo secara mendetail dan masih menjujung tinggi tradisi
Data dalam penelitian ini terbagi atas dua, yaitu data primer dan
D. Informan Penelitian
penelitian.
informan kunci, dan dari informan kunci inilah data yang diperoleh akan
penelitian ini adalah tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat Buton
orang, terdiri dari tokoh Budayawan Buton, Kepala Desa Wawoangi, Imam
mesjid tua Buton, Tokoh Adat dan bhisa (pemimpin upacara ritual posuo).
pengumpulan data yang tepat dan sesuai, maka data yang diperoleh akan
sebagai berikut:
a. Observasi/Pengamatan
berupa teknik rekam dan catat. Rekaman adalah suatu dokumen yang
menyatakan bahwa sesuatu hasil telah dicapai atau suatu bukti kegiatan
penelitian.
b. Wawancara
yang digunakan dalam tahap peyediaan data yang dilakukan dengan cara
c. Dokumentasi
F. Instrumen Penelitian
dua hal yang terpisah satu sama lain, sehingga selama pengumpulan data
(Sugiyono, 2005:88). Menurut Bogdan & Biklen yang dikutip dalam buku
kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
kegiatan inti yang pada akhirnya akan melahirkan hasil dari penelitian
yang berupa kesimpulan dan saran. Pada penelitian ini teknik analisis
menganalisis data yang diperoleh yakni data kualitatif yang berupa simbol-
simbol. Metode induktif adalah metode analisis data yang berangkat dari
hal-hal yang bersifat khusus untuk ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
H. Prosedur Penelitian
paling nyata yang ada pada sebuah tanda. Kemudian tahap kedua
ditemukan di lapangan.
BAB IV
sejumlah kepustakaan yang berkaitan dengan ritual posuo. Selain itu juga
Salah satu tradisi yang ada dan masih dipertahankan oleh masyarakat
Buton sejak dulu hingga sekarang adalah posuo.Istilah posuo terdiri dari
dua akar kata, yaitu “po” dan “suo”. Po adalah awalan kata (prefiks) yang
memiliki makna ruang belakang rumah. Dalam istilah yang lebih lazim di
ditentukan.
remaja yang sudah menginjak usia dewasa. Ritual ini hanya dilakukan
sekali seumur hidup. Oleh karena itu, ritual posuo wajib dilakukan oleh
58
59
menjadi dewasa. Gadis dalam konteks ini dibagi dua macam, yaitu gadis
remaja dan gadis dewasa. Gadis remaja dikenal dengan istilah kabuabua,
diri dan sarana peralihan status, juga merupakan sarana pendidikan bagi
bermasyarakat.
hanya cantik dari segi fisik, tetapi juga cantik dari segi sikap dan
nilai yang paling dihargai. Hal ini karena perempuan dianggap orang yang
60
ada juga beberapa orang tua yang sengaja belum melaksanakan ritual
posuo. Hal seperti ini biasanya ditemukan pada anggota masyarakat yang
malam, 3 hari 3 malam, dan 2 hari 2 malam, bergantung pada pihak yang
waktu dan kondisi ekonomi. Biasanya yang mengikuti ritual posuo adalah
prosesi ritual posuo, maka dana yang diperlukan juga akan semakin
banyak. Hal ini memang merupakan sesuatu yang dianggap biasa bagi
waktu yang digunakan, maka akan semakin baik bagi para peserta posuo.
Peserta posuo akan mendapat lebih banyak pengetahuan dari para bhisa.
Selain itu, hasil perawatan kecantikan diri para gadis yang dilakukan
posuo.Selain itu, hal tersebut juga akan menghemat waktu dan dana bagi
sebagai berikut:
1. Persiapan
pandangan masyarakat suku Buton, bulan atau hari yang dianggap baik
untuk melangsungkan ritual posuo sama dengan bulan dan hari baik untuk
kepada keluarga jauh dan juga masyarakat sekitar untuk ikut serta dalam
ataupun tokoh adat menghubungi bhisa bawine, yaitu orang tua atau
dukun wanita yang akan memimpin dan memandu proses ritual. Jumlah
pingitan.Dengan kata lain, satu bhisa hanya dapat menangani satu orang
pandai dan memiliki citra dan kredibilitas yang baik di tengah masyarakat.
anak-anaknya yang sukses dan atau mereka yang berasal dari keturunan
1) 1 liter beras
2) 1 liter gabah
posuo)
64
disiapkan oleh pihak yang melaksanakan ritual, yaitu pihak yang tempat
tersebut diantaranya:
kurungan.
peserta)
65
digunakan untuk memandikan para gadis yang dipingit. Dahulu air yang
digunakan diambil dari empat sumber mata air yang berbeda, yaitu air dari
atau dari mata air terdekat. Air ini diletakkan didalam dua buah buyung
dan diambil dengan jalan rahasia (tidak dilihat oleh orang). Tata cara
arah barat dan yang satunya diarahkan ke bagian timur. Orang yang
ditugaskan untuk mengambil air pun tidak sembarang, yaitu harus anak
laki-laki yang masih lengkap kedua orang tuanya (masih hidup ayah dan
ibunya). Harapannya adalah agar para peserta posuo bisa memiliki umur
yang panjang.
bhisa memasang tenda atau kelambu untuk menutupi segala sisi ruangan
adalah agar para gadis yang dipingit terhindar dari cahaya matahari dan
Persiapan ini dilakukan oleh beberapa warga yang sudah ditunjuk sebagai
pemain musik. Biasanya yang diiringi musik adalah posuo anak gadis
dihentikan ketika peserta posuo tidur, dan akan dimulai kembali jika ada
salah seorang atau beberapa diantara peserta yang terjaga dan hendak
yang pecah, maka hal ini menjadi tanda bahwa diantara para peserta
2. Pelaksanaan/Prosesi
a. Pokunde „keramas‟
oleh banyak orang. Alasannya karena pada tahap ini pula, para peserta
b. Pebaho „mandi‟
c. Pauncura „pengukuhan‟
posuo. Pada tahap ini prosesi dilakukan oleh parika „sebutan bhisa
dengan pembacaan doa di depan ruangan suo yang dipimpin oleh salah
69
satu tokoh adat atau dalam istilah bahasa Buton disebut le‟be, dan hanya
diikuti oleh para peserta, orang tua peserta (ibu), dan para bhisa.
Allah swt dan doa agar pelaksanaan ritual ini dapat berjalan lancar. Selain
itu, pembacaan doa ini juga dimaksudkan untuk memberi doa pada
makanan peserta posuo yang terdiri dari ketupat, telur rebus, dan air
diberi makan satu buah ketupat, sebiji telur rebus, dan air putih
secukupnya tiap pagi dan malam hari, selama berada didalam kurungan.
d. Panimpa „pemberkatan‟
yang ditabuh oleh petugas pemukul gendang yang sudah dipilih khusus.
70
mulai tangan hingga kaki. Pada tahap ini, para peserta diajarkan tentang
cara berjalan yang baik dan benar yang sesuai dengan norma-norma
agama dan adat yang berlaku. Di antaranya mendahulukan kaki kiri ketika
f. Padole „membaringkan‟
diajarkan tentang cara tidur yang baik dan benar yang sesuai dengan
norma-norma agama dan adat yang berlaku, yaitu tidur dengan posisi
SAW. Mereka tidak boleh tidur dengan posisi tengkurap dan telentang
g. Pasipo „menyuapi‟
sudah disarati (diberi doa) saat pembacaan doa yang sudah dilakukan
dalam kurungan para peserta tidak akan merasakan haus dan lapar
meskipun makanan dan minuman yang diberikan dibatasi oleh para bhisa.
h. Posuo „pengurungan‟
Tahap ini dilakukan pada sore hari atau menjelang maghrib, dan
mulai saat itu terhitung sebagai malam pertama para peserta dikurung.
Mulai malam ini pula hingga dua malam berikutnya para peserta yang
dipingit tidur dengan posisi kepala berada di arah utara, kaki di arah
asing bagi mereka. Sebagian pula bahkan ada yang menangis karena
lapar karena hanya diberi makan 1 biji ketupat, 1 butir telur rebus, dan air
membuang kotoran, (3) posisi tidur yang tidak boleh bergerak bebas,
72
karena masing-masing peserta diberi pembatas ketika tidur, dan (4) tidak
beberapa aturan lain yang tidak boleh dilanggar oleh para peserta selama
aturan(1) dan (3) dilanggar, maka dengan seketika akan turun hujan.
Apabila aturan (2) dilanggar maka ritual yang dilakukan oleh gadis yang
tentang ibadah yang sesuai dengan ajaran agama Islam dan pengetahuan
juga hati. Selain itu, mereka juga diajarkan tentang cara-cara merawat dan
73
tumbuh menjadi gadis cantik dan mempesona, baik dari luar maupun dari
dalam.
yang dapat dipakai untuk memberi warna pada kuku (sebagai pengganti
dingin‟ yang berasal dari tepung beras, digunakan sebagai bedak dingin.
berada dalam kurungan. Namun untuk dua hari pertama, peserta masih
menggunakan kunyit lebih dulu. Setelah itu, memasuki hari ketiga masa
membersihkan kunyit yang melekat pada tubuh peserta selama dua hari
posisi tidur para peserta posuo. Jika sebelumnya posisi kepala berada di
arah utara, kaki di arah selatan, dan posisi badan menghadap ke arah
74
barat, maka tahap ini kepala peserta berada di arah selatan, kaki di arah
Kemudian, pada hari terakhir, tepat pada pagi hari para peserta
keluar rumah) karena masih ada beberapa proses yang harus dilakukan.
Diantaranya:
Pada proses ini para peserta duduk berjajar di atas sabut kelapa
dengan posisi kedua kaki dijulurkan ke arah depan. Proses ini hanya
ditangani oleh dua orang bhisa. Satu berada di belakang dan yang
saling mengoper buah kelapa yang masih utuh oleh kedua bhisa, ke
kepala peserta. Tepukkan dua bagian kelapa ini dilakukan oleh bhisa
berbeda, yaitu satu bagian posisi tertutup dan satu bagian lainnya
posisi terbuka. Jika kedua bagian tersebut berada posisi yang sama,
tidak lebih dari tiga kali. Jika salah satu peserta mengalami proses
tersebut.
kehidupan dunia.
pinang, kuncup bunga kelapa, dan daun kasambo lili. Kampak ini
atau penunjuk arah jodoh seorang gadis yang dipingit. Jika mata
gadis tersebut berada di bagian timur. Jika ke arah barat, jodoh sang
gadis berada di bagian barat. Begitu halnya dengan arah mata angin
lainnya.
3) Pengambilan ketupat dari dalam bosi „guci kecil yang terbuat dari
tanah liat‟. Ketupat yang sudah diambil oleh para peserta kemudian
dimakan dengan cara disuapi oleh orang tua (ibu) dari peserta
masing-masing.
pertama ke tanah oleh para peserta. Hal ini sebagai simbol bahwa para
keluar dari rumah menuju ke pelaminan. Proses ini dilakukan dengan cara
paling depan adalah peserta yang memiliki usia paling tua. Kemudian satu
per satu dari para peserta dipersilahkan untuk keluar rumah dengan
dipandu oleh bhisa dari arah depan pintu rumah (bagian luar). Menurut
Puncak dari ritual posuo disebut matana karya. Pada tahap ini
para tamu undangan membawa pasali „amplop‟. Begitu pula halnya pada
3. Penutup
pembacaan doa sebagai wujud rasa terima kasih kepada Sang Pencipta
putih, bantal, tikar, dan perlengkapan lain yang dianggap tidak digunakan
lagi di buang di sungai, dan ada juga yang buang di tempat yang memang
tidak akan dilihat oleh orang-orang. Hal ini dilakukan dengan harapan
semua hal-hal buruk yang ada pada diri para gadis dan keluarga akan ikut
meliputi:
1) Nilai akhlak dan etika, misalnya pada saat prosesi palego dan
padole. Para peserta diajarkan tentang cara berjalan dan tidur yang
dalam ritual posuo yang tidak boleh dilanggar oleh setiap peserta.
3) Nilai estetika. Hal ini terlihat pada saat para peserta di ajarkan
4) Nilai kebersamaan. Hal ini secara tidak langsung terlihat ketika para
rangkaian prosesi selalu dimulai dari bagian kanan lalu diikuti bagian kiri.
menghadap selalu dimulai dari arah barat lalu ke arah timur. Hal ini
yang terbit dari arah timur. Hitungan dalam setiap gerakan juga selalu
dimulai dari bagian kanan sebanyak sembilan kali dan bagian kiri
sebanyak delapan kali. Hal ini berkaitan dengan jumlah rakaat shalat yaitu
posuo „pingitan‟.
kemudian kita dapat masuk ke tingkat II, yakni menelaah tanda secara
konotatif. Pada tahap konotasi, konteks budaya, nilai, makna sosial dan
berbagai perasaan, sikap, atau emosi yang ada sudah ikut berperan
yang menciptakan mitos pada masyarakat suku Buton yang terdapat pada
ritual posuo.
a. Pokunde „keramas‟
1.Penanda 2.Petanda
“pokunde” Membasahi rambut (keramas)
Tingkat I
3.Tanda denotasi
Tahap pertama ritual posuo adalah membasahi rambut
I.Penanda II.Petanda
Membasahi rambut (keramas) Pembersihan/pensucian
Tingkat II
III.Tanda/Sign
Seorang gadis akan menjadi bersih dan suci ketika sudah
melakukan prosesi keramas
tingkat I menjadi pijakan untuk masuk ke tingkat II. Sehingga petanda (2)
pada tingkat I sekaligus menjadi penanda (I) pada tingkat II. Penanda (I)
(III) yaitu seorang gadis akan menjadi bersih dan suci ketika sudah
makna dasar dari suatu simbol. Secara denotasi simbol “pokunde” baru
Jika makna denotasi baru menyampaikan arti dan definisi yang dimiliki
konteks budaya, nilai, makna sosial dan berbagai perasaan, sikap, atau
itu proses ini masih dilakukan di luar ruangan, sehingga bisa disaksikan
pada salah satu syarat mandi wajib yang dianjurkan dalam ajaran agama
ritual posuo adalah para gadis yang mengikuti ritual dalam keadaan bersih
kurungan.
84
b. Pebaho „mandi‟
1.Penanda 2.Petanda
“Pebaho” Mandi menggunakan air dari mata air
Tingkat I
3.Tanda denotasi
Pebaho adalah salah satu tahap dalam ritual posuo yang
dilakukan dengan memandikan para gadis dengan air yang
bersumber dari mata air
I.Penanda II.Petanda
Mandi menggunakan air dari Pembersihan/pensucian
mata air diri
Tingkat II
III.Tanda/Sign
Seorang gadis akan menjadi lebih bersih dan suci ketika
sudah dimandikan air yang bersumber dari mata air
ini memiliki arti “mandi menggunakan air dari mata air”, yang sekaligus
dengan memandikan para gadis dengan air yang bersumber dari mata air.
petanda (2) pada tingkat I sekaligus menjadi penanda (I) pada tingkat II.
tanda/sign (III) yaitu seorang gadis akan menjadi lebih bersih dan suci
ketika sudah dimandikan menggunakan air yang bersumber dari mata air.
mengandung arti dan definisi yang dimilikinya. Makna denotasi dari simbol
denotasi dari simbol pebahoadalah salah satu tahap dalam ritual posuo
Jika makna denotasi baru menyampaikan arti dan definisi yang dimiliki
konteks budaya, nilai, makna sosial dan berbagai perasaan, sikap, atau
pembersihan atau penyucian diri. Simbol ini memiliki makna konotasi yang
ruangan (tetapi bukan pada suo). Selain itu, pada simbol pokunde masih
menggunakan air yang bersumber dari mata air. Penggunaan air dari
mata air inilah yang menjadikan simbol pebaho memiliki makna konotasi
masyarakat Buton bahwa air yang bersumber dari mata air adalah air
yang masih bersih dan suci karena belum dicemari oleh sesuatu yang
c. Panimpa „pemberkatan‟
1.Penanda 2.Petanda
“panimpa” Pemberkatan
Tingkat I
3.Tanda denotasi
Memberikan sapuan asap kemenyan/dhupa pada tubuh
peserta posuo
I.Penanda II.Petanda
Sapuan asap kemenyan Keselamatan
Tingkat II
III.Tanda/Sign
Para peserta posuo akan terhindar dari hal-hal buruk setelah
pemberkatan yang dilakukan dengan memberikan sapuan
asap kemenyan pada tubuh mereka.
pijakan untuk masuk ke tingkat II, sehingga petanda (2) pada tingkat I
sekaligus menjadi penanda (I) pada tingkat II. Penanda (I) ini
mereka.
makna dasar dari suatu simbol. Makna denotasi ini masih menelaah tanda
pada tataran bahasa yakni baru mengandung arti dan definisi yang
dimilikinya. Oleh sebab itu, makna denotasi dari simbol panimpa adalah
Jika makna denotasi baru menelaah tanda pada tataran bahasa, maka
sosial dan berbagai perasaan, sikap, atau emosi yang ada. Meskipun
begitu, makna pada tingkat kedua tidak lepas dari pemaknaan pada
agar selama menjalani ritual posuo, para peserta akan terlindungi dan
terhindar dari hal-hal buruk. Dengan demikian, makna konotasi dari simbol
Namun, dari 16 simbol yang telah ditemukan akan dipilih 4 simbol yang
lantainya lebih tinggi dari ruangan-ruangan lain, dan letaknya berada pada
karena memiliki makna filosofi tersendiri. Posisi lantainya yang lebih tinggi
seorang perempuan yang harus dilindungi dan tidak boleh dilihat oleh
sembarang orang selain muhrimnya atau tanpa izin dari orang tua atau
Akan tetapi, ada yang berbeda dari ruangan ini ketika digunakan dalam
ritual, yaitu seluruh sisi dinding dan lantai ruangan ditutupi dengan
menggunakan kelambu dan kain putih. Tujuannya adalah agar tidak ada
celah untuk masuknya angin dan cahaya matahari. Selain itu, lampu yang
keadaan gelap.
di atas:
1.Penanda 2.Petanda
“suo” Ruangan yang berada pada bagian
Tingkat I belakang rumah
3.Tanda denotasi
Ruangan yang digunakan sebagai tempat kurungan yang
seluruh sisi ruangan ditutupi
I.Penanda
Ruangan yang digunakan II.Petanda
Tingkat II sebagai tempat kurungan yang Kegelapan
seluruh sisi ruangan ditutupi
III.Tanda/Sign
Kegelapan dalam ruangan suo adalah wujud alam rahim
seorang ibu
90
menunjukkan bahwa pada tingkat I, penanda (1) adalah suo. Penanda ini
untuk masuk ke tingkat II. Sehingga tanda (3) pada tingkat I sekaligus
menjadi penanda (I) pada tingkat II. Penanda (I) ini membuahkan sebuah
melahirkan sebuah tanda/sign (III) yaitu kegelapan pada ruang suo adalah
denotasi tanda. Pada tingkat ini tanda baru dimaknai secara bahasa. Pada
tataran denotasi disebutkan definisi dan fungsi yang dimiliki oleh simbol
suo. Makna denotasi suo adalah sebuah ruangan yang berada pada
sebagai ruang kurungan bagi para peserta selama prosesi ritual posuo
berlangsung.
91
dalam ruangan suo diibaratkan alam rahim seorang ibu. Para peserta
yang berada dalam alam rahim seorang ibu. Oleh karena itu, ketika para
b. Ndamu “kampak”
parang, kuncup buah pinang, kuncup bunga kelapa, dan daun kasambo
lili. Cara pengaplikasian simbol ini dalam ritual posuo adalah dengan
jika mata kampak menghadap ke arah timur maka jodoh gadis tersebut
berada di bagian timur, jika ke arah barat maka jodoh sang gadis berada
di bagian barat, begitu halnya dengan arah mata angin lainnya. Namun,
ada satu hal yang paling dihindari dan dianggap pemali dalam proses
Hal itu dianggap sebagai pertanda buruk bagi sang gadis. Masyarakat
meyakini bahwa gadis tersebut tidak akan mendapatkan jodoh atau akan
92
menjadi perawan tua. Dan apabila sang gadis sudah memiliki pasangan
karena dianggap tidak cocok. Untuk mencegah hal itu terjadi biasanya
keluarga sang gadis melakukan haroa (pembacaan doa) untuk tolak bala.
di atas:
2.Petanda
1.Penanda Kampak yang diikati parang, kuncup
Tingkat I “ndamu
buah pinang, kuncup bunga kelapa, dan
daun kasambo lili
3.Tanda denotasi
Ndamu „kampak‟ digunakan dengan cara dilemparkan di
bawah kolong rumah hingga menyentuh tanah
I.Penanda II.Petanda
Tingkat II Ndamu Penunjuk arah jodoh
III.Tanda/Sign
Para gadis yang mengikuti ritual posuo akan mengetahui
arah jodohnya masing-masing melalui posisi kampak saat
sudah menyentuh tanah
ini memiliki arti “kampak yang diikati parang, kuncup buah pinang, kuncup
bunga kelapa, dan daun kasambo lili”, yang sekaligus menempati petanda
(2). Kemudian, penanda (1) dan petanda (2) menghasilkan tanda denotasi
93
(3) yang menjelaskan simbol ndamu dalam ritual posuo digunakan dengan
(I) pada tingkat II. Penanda (I) ini membuahkan sebuah makna “penunjuk
sebuah tanda/sign (III) yaitu para gadis yang mengikuti ritual posuo akan
denotasi tanda. Pada tingkat ini tanda baru dimaknai secara bahasa. Pada
diikati parang, kuncup bunga pinang, kuncup bunga kelapa, dan daun
jodoh”. Hal ini didasarkan pada posisi mata kampak ketika menyentuh
tanah. Oleh karena itu, para gadis yang mengikuti ritual posuo akan
tanda.
Kain putih adalah sebuah kain yang berwarna putih dan bersih.
Dalam ritual posuo, kain putih digunakan untuk menutupi seluruh sisi
dinding ruang kurungan, dan ada juga yang diletakkan di lantai sebagai
1.Penanda 2.Petanda
kaci Kain putih
Tingkat I
3.Tanda denotasi
Kain putih adalah sebuah kain yang berwarna putih dan
bersih yang digunakan untuk menutupi seluruh sisi
ruangan suo
I.Penanda II.Petanda
Kain berwarna putih dan bersih Kesucian
Tingkat II
III.Tanda/Sign
Para peserta posuo akan menjadi bersih dan suci seperti
layaknya kain putih
Penanda ini merupakan sebuah kain yang berwarna putih dan bersih,
petanda (2) menghasilkan tanda denotasi (3) yang menjelaskan kain putih
merupakan sebuah kain berwarna putih dan bersih, yang digunakan untuk
tingkat I menjadi pijakan untuk masuk ke tingkat II. Sehingga petanda (2)
pada tingkat I sekaligus menjadi penanda (I) pada tingkat II. Penanda (I)
peserta posuo akan keluar dari kurungan dalam keadaan bersih dan suci
denotasi tanda. Pada tingkat ini tanda baru dimaknai secara bahasa. Pada
tataran denotasi disebutkan ciri yang dimiliki oleh simbol “kain putih”, yakni
lain selain dirinya sendiri (makna denotasi). Secara konotasi simbol “kain
1.Penanda 2.Petanda
“patirangga” daun pewarna kuku
Tingkat I
3.Tanda denotasi
Patirangga digunakan untuk memberi warna pada kuku
peserta posuo
I.Penanda II.Petanda
Tingkat II daun pewarna kuku Kecantikan/keindahan
III.Tanda/Sign
Warrna pada kuku para peserta posuo akan membuat
penampilan mereka menjadi lebih indah dan cantik
Penanda ini memiliki arti “daun pewarna kuku”, yang sekaligus menempati
petanda (2). Kemudian, penanda (1) dan petanda (2) menghasilkan tanda
menjadi pijakan untuk masuk ke tingkat II. Sehingga petanda (2) pada
tingkat I sekaligus menjadi penanda (I) pada tingkat II. Penanda (I) ini
denotasi tanda. Pada tingkat ini tanda baru dimaknai secara bahasa. Pada
tataran denotasi disebutkan ciri dan fungsi yang dimiliki oleh simbol
“keindahan”.
98
objek baru (makna baru) yang berbeda dari objek pertama (tanda tingkat
pembentukan mitos itu sendiri. Mitos dipandang sebagai suatu hal yang
sanksinya.
konotasi simbol pokunde. Makna denotasi simbol ini adalah suatu tahap
gadis akan menjadi bersih dan suci ketika sudah melakukan prosesi
berpedoman pada salah satu syarat mandi wajib yang dianjurkan dalam
ajaran agama Islam. Hal ini sebagai gambaran bahwa masyarakat Buton
b. Mitos Pebaho„Mandi‟
konotasi simbol pokunde. Makna denotasi simbol ini adalah suatu tahap
menggunakan air yang bersumber dari mata air. Hal inilah yang kemudian
mitos dalam masyarakat suku Buton, bahwa seorang gadis akan menjadi
bersih dan suci ketika sudah dimandikan air yang berasal dari mata air.
konotasi simbol panimpa. Makna denotasi simbol ini adalah suatu tahap
diri”. Hal ini menciptakan sebuah mitos bagi masyarakat Buton, yaitu
dari hal-hal buruk, baik selama ritual posuo berlangsung maupun setelah
melakukan ritual.
100
konotasi simbol suo. Makna denotasi simbol ini adalah sebuah ruangan
yang berada pada bagian belakang rumah. Seluruh sisi ruangan ini
ditutupi dengan menggunakan kelambu dan kain putih. Hal inilah yang
masyarakat Buton, yaitu ruangan suo merupakan alam rahim seorang ibu,
konotasi simbol ndamu. Makna denotasi simbol ini adalah sebuah kampak
yang sudah diikati parang, kuncup bunga pinang, kuncup bunga kelapa,
dan daun kasambo lili. Kampak ini dialplikasikan dengan cara dibuang di
menjadi penentu atau penunjuk arah jodoh seorang gadis yang dipingit.
Oleh karena itu, simbol ndamu memiliki makna konotasi “penunjuk arah
jodoh”. Jika mata kampak tersebut ketika sudah menyentuh tanah yang
arah timur maka jodoh gadis tersebut berada di bagian timur. Jika ke arah
barat, jodoh sang gadis berada di bagian barat. Begitu halnya dengan
arah mata angin lainnya. Hal inilah yang kemudian menjadi mitos ndamu
sebagai penunjuk arah jodoh bagi para gadis yang mengikuti ritual posuo.
konotasi simbol “kain putih”. Makna denotasi simbol ini adalah sebuah
kain berwarna putih dan bersih. Kain ini digunakan untuk menutupi
seluruh sisi dinding ruangan suo. Sedangkan makna konotasi dari simbol
peserta posuo ketika keluar dari ruang suo akan menjadi bersih dan suci
daun yang digunakan untuk memberi warna pada kuku. Simbol patirangga
dijelaskan di atas, terdapat pula beberapa mitos lainnya yang sampai saat
kesucian seorang gadis. Hal ini diketahui melalui kondisi gendang yang
dipukul. Jika salah satu kulit gendang sobek, bhisa membaca itu sebagai
tanda bahwa ada di antara gadis yang menjalani ritual posuosudah tidak
pandai dan memiliki citra dan kredibiltas yang baik di tengah masyarakat
juga menjadi salah satu mitos yang terdapat dalam ritual posuo. Peserta
posuo yang selama dalam kurungan ditangani oleh bhisa bawine diyakini
akan menjadi seorang wanita yang mewarisi “aura” dari kehidupan para
bhisa bawine tersebut di kemudian hari, baik segi tingkah laku, moralitas,
juga memiliki mitos tersendiri. Misalnya: “tidak boleh bercermin” dan “tidak
yang dimiliki oleh para peserta posuo akan sirna jika sang gadis
D. Residu Penelitian
dianggap penting untuk dikaji lebih lanjut selain yang sudah dibahas
dalam tulisan ini. Salah satunya adalah mengenai fungsi ritual posuo
sesuatu yang memiliki nilai tinggi dan sangat berharga. Terlebih dengan
merupakan sebuah simbol kesucian bagi seorang gadis. Oleh karena itu,
seorang gadis perlu menjaga hal tersebut sebaik mungkin hingga menikah
menikah, maka ia dianggap sudah melanggar nilai dan norma yang ada
lagi menjadi sesuatu yang penting bagi seorang gadis. Bahkan ada
adalah apakah perawan dan tidaknya seorang gadis bisa diketahui? Dan
jenis maupun dengan sesama jenisnya, tentunya kita tidak akan pernah
langsung. Dalam arti lain, hanya yang bersangkutan dan Allah swt yang
hal tersebut.
Terlebih lagi dengan adanya tradisi ritual posuo pada masyarakat Buton,
yang merupakan sesuatu yang wajib untuk dilakukan bagi semua gadis
sebagai simbol masa transisi atau peralihan status seorang gadis dari
105
remaja (kabuabua) menjadi dewasa (kalambe). Selain itu, ritual ini juga
gadis. Hal tersebut dapat dilihat dari tanda-tanda yang memang sudah
menjadi pengetahuan bersama oleh para tokoh adat, dukun wanita (bhisa
antaranya:
3. Wajah gadis yang suram (tidak beraura) ketika keluar dari ruang
selain dari ketiga tanda yang disebutkan di atas masih ada tanda-tanda
itu, hal ini juga bisa menjadi dasar atau acuan bagi peneliti-peneliti
penelitian.
BAB V
dan saran yang merupakan ringkasan dari keseluruhan isi tesis ini.
A. Simpulan
3. Mitos yang terdapat dalam ritual posuo muncul secara alamiah melalui
107
108
mitos pokunde yaitu seorang gadis akan menjadi bersih dan suci
dan suci ketika sudah dimandikan air yang bersumber dari mata air, 3)
mitos panimpa yaitu para peserta posuo akan terhindar akan terhindar
yaitu gadis yang dikeluarkan dari ruangan suo seperti seorang bayi
menjadi bersih dan suci ketika keluar dari kurungan, dan 7) mitos
penandaan sebuah simbol, terdapat pula mitos yang sampai saat ini
para gadis dan sarana untuk mengetahui arah jodoh. Disamping itu,
gadis seperti terlahir kembali dalam keadaan bersih dan suci, terlihat
sebagai salah satu tradisi masyarakat suku Buton karena ritual ini
mestinya seperti yang diwasiatkan oleh para leluhur. Hal ini terlihat
untuk para gadis yang sudah memasuki usia dewasa (akil balig), saat
B. Saran
sebagai berikut:
posuo sesuai dengan panduan dan tanpa ada bias atau perubahan.
religi.
111
DAFTAR PUSTAKA
Durkheim, Emile. 1995. The Elementary Forms of the Religious Life. New
York: Pree Press.
Fariki, La. 2009. Mengapa Perempuan Buton dan Muna Dipingit? Kendari:
Komunika.
Hoed, Benny. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Edisi Ketiga.
Depok: Komunitas Bambu
Intan, Tania. 2018. Narator Sebagai Penyampai Kritik Sosial Dalam Novel
Moha Le Fou Moha Le Sage Karya Tahar Ben Jelloun. Jurnal Ilmu
Budaya. 6 (2), 207-220
Juliandari, Lely, Kuswarini, Prasuri, Hasyim, Muhammad. 2017. Peran
Lingkungan Terhadap Pemenuhan Hak Anak Dalam “L‟auberge De
L‟ange Gardien” Karya Comtesse De Segur. Jurnal Ilmu Budaya,
No. 6 (1), 12-21.
Kasma. 2016. Tuturan Ritual Mappetu Ada Dalam Prosesi Pernikahan
Masyarakat Bugis Kecamatan Ganra Kabupaten Soppeng. Jurnal
Tesis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar.
Yusri, La. 2013, 26 September. Ritual Sinkretis Orang Buton. Dikutip pada
28 Agustus 2018. https://www.kompasiana.com/la_yusrie//ritual-sinkretis-
orang-buton.
Zoest, Aart van. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan,
Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Ani Soekawati (Penerj.).
Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
116