Anda di halaman 1dari 114

“KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DAN AGAMA TENTANG KERUKUNAN

UMAT BERAGAMA GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH”


(Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari, Kabupaten Bondowoso)

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memporelah Gelar Sarjana Komunikasi Islam
(S.Kom.I)

Oleh:

MOHAMMAD MIQDAD

1112051000075

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
ABSTRAK
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN AGAMA TENTANG
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH
(Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari Kabupaten Bondowoso)

Berbicara Sunni dan Syiah, kedua golongan besar dalam Islam ini seakan
tidak berujung, dan selalu tidak lepas dengan konflik terkait dengan adanya beberapa
perbedaan pemahaman antara keduanya perihal; Imamah (kepemimpinan), fiqih dan
perayaan tradisi keislaman. Hal ini, yang kemudian menjadi pemicu terciptanya
konflik didaerah-daerah, begitu pula di daerah Jambesari pada tahun 2006. Desa
Jambesari merupakan salah satu desa yang terletak di kecamatan Jambesari Darus
sholah. di Desa Jambesari, golongan Syiah secara terang-terangan berkelompok dan
menyampaikan keyakinan keSyiah-annya, mereka hidup berkelompok akan tetapi
tetap terbuka dengan kelompok lainnya, sehingga tercipta kehidupan yang rukun.
Berdasarkan konteks di atas, maka tujuan tulisan ini adalah untuk menjawab
pertanyaan Bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama (KAAB) golongan Sunni
dan Syiah di desa Jambesari dalam membangun kerukunan? Sedangkan pertanyaan
minornya adalah Mengapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari berhasil
membangun kerukunan?
Pada tahun 2006 dapat dikatakan bahwa tidak terjalin dengan baik komunikasi
antarbudaya pada masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari, sehingga
terjadinya bentrokan antara pengikut kedua golongan tersebut. Namun, lambat laun
masyarakat Jambesari pengikut kedua golongan tersebut semakin dewasa dalam
memahami perbedaan.
Untuk meganalisis dan memahami komunikasi antarbudaya dan agama
golongan Sunni dan Syiah, peneliti menggunakan teori Edward T.Hall yang
menyatakan communication is culture and culture is communication dan teori dua
puluh Andi Faisal Bakti, konservatif dan transformatif. Serta faktor-faktor yang
mempengaruhi terjalinnya komunikasi antarbudaya menurut Alo Liliweri.
Adapun metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif dan metode studi kasus. Studi kasus adalah metode riset yang menggunakan
berbagai sumber data (sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan untuk meneliti,
menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu,
kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis.
Berhasilnya masyarakat golongan Sunni dan Syiah dalam menimalisir faktor-
faktor yang menghambat komunikasi antarbudaya dan agama, yang hal ini terekam
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jambesari, menjadikan masyarakat golongan
Sunni dan Syiah desa Jambesari hidup dengan penuh kedamaian dan kerukunan.
Kata kunci: Komunikasi antarbudaya dan agama, Sunni, Syiah, Kerukunan

i
KATA PENGANTAR

Bismillahi ar-rahmani ar-rahim…


Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala Alih Sayyidina Muhammad…

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, Puji dan Syukur yang sebesar-besarnya atas

kehadirat Allah SWT yang tiada henti memberikan rahmat dan karunia kepada

hamba-hamba-Nya. Serta Sholawat dan Salam semoga selalu Allah limpahkan

kepada kekasih-Nya, penutup kenabian, Baginda Agung Nabi Muhammad SAW

beserta keluarga dan parasahabatnya, yang telah menjadi suri tauladan untuk kita

melangkah dalam jalan kebenaran.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan karena menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu demi

sempurnanya skripsi ini, penulis sangat membutuhkan dukungan dan sumbangsih

pikiran yang berupa kritik dan saran yang bersifat membangun.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta Ali Rahbini

dan Siti Fadilah, yang telah tulus ikhlas memberikan kasih sayang, cinta, do’a,

perhatian, dukungan moral dan materil yang telah diberikan selama ini. Terima kasih

telah meluangkan segenap waktunya untuk mengasuh, mendidik, membimbing, dan

mengiringi perjalanan hidup penulis dengan dibarengi alunan do’a yang tiada henti

agar penulis sukses dalam menggapai cita-cita.

ii
Dengan terselesaikannya skripsi yang berjudul “Komunikasi Antarbudaya

Dan Agama Tentang Kerukunan Umat Beragama Golongan Sunni Dan Syiah

(Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari Kabupaten Bondowoso Jawa Timur)

ini, perkenankanlah saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi

(FDIKOM), Suparto, M. Ed, Ph.D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr.

Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, serta

Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan.

2. Drs. Masran, M.A selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan

Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran

Islam.

3. Dr. A. Ilyas Ismail, MA Selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu

penulis dalam menyelesaikan skiripsi ini, ditengah-tengah kesibukannya beliau

selalu menyempatkan diri untuk memberikan pemikirannya dan mengarahkan

penulis dalam penyusunan skiripsi yang baik.

4. Umi Musyarofah, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik.

5. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang

bermanfaat bagi penulis, selama penulis berada dibangku perkuliahan.

6. Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

dan juga Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullaj Jakarta yang telah

iii
memberikan kemudahan penulis untuk mendapatkan berbagai referensi dalam

penyelesaian skiripsi ini.

7. Segenap staff dan karyawan Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwan dan Ilmu

Komunikasi yang telah memberikan pelayanan terbaik kepada penulis perihal

surat-menyurat.

8. Maltup Al-Hidayah, SH selaku Kepala Desa Jambesari. Bapak Qurdi selaku

Sekretaris Desa Jambesari. Serta kepada Bapak H.Abdullah, Bapak Ahmad Rawi,

Bapak Mukhlis, yang telah meluangkan waktunya dan bersedia menjadi

narasumber dalam penelitian ini.

9. Kifliah Batul kakak pertama dan suaminya Imam Ghozali, mereka adalah orang

tua penulis selama berada ditanah perantauan, kedua anaknya; Mahdi dan Mahda

yang selalu menemani dan menghibur penulis. Serta keluarga kakak kedua, Siti

Sofiah A.Noval dan Najmah, yang selalu mensupport penulis. Terimakasih atas

do’a dan nasihat-nasihat kalian.

10. Keluarga Besar Bani Soekarno, Bani Rafi’I, dan Bani Ami, Bani Rajidin.

11. Teman-teman KPI 2012 terkhusus teman-teman KPI C, kelompok KKN

KATULISTIWA, LASKAR 14, PANDU AB, dan TOP yang selalu meberikan

pelajaran mengenai arti petemanan, persaudaraan, atau bahkan percintaan.

Semoga persaudaraan kita tetap terjalin.

12. Habib Husein Jakfar al-Hadar, Kak Husein bin Abu Thalib al-Mudor, kawan-

kawan di Omah Jibriel; Bang Fadel BSA, Soivi, Khudori, Hasan M yang selalu

menyadarkan penulis untuk menjadi manusia paripurna.

iv
13. Sedulur Lir-ilir; Kang Syech, Mas Faisal, Ka Eidith, Ka Andini, Mas Abram, Mas

Sule, Mas Dana, Ali A, Bagier, Harsya dan Ali P, yang tak segan-segan untuk

selalu berbagi pengalaman dan pengetahuannya.

14. Ka Samsul, kaka senior yang telah bersedia meminjamkan buku-bukunya. Serta

kawan-kawan seperjuangan Skiripsi, Sari Setianingrum, Dewi Mufarikah, Melqy

A, Falahul Mualim Y, Rifqi M, Haris M yang selalu saling berbagi motivasi.

15. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, namun tanpa

mengurangi rasa hormat, penulis ucapkan terimakasih.

Akhir kata dari penulis, semoga segala bentuk motivasi, dukungan dan do’a

yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang berlimpah dan ridha dari

Allah SWT. Amin.

Jakarta, 1 Agustus 2016

Mohammad Miqdad

v
DAFTAR ISI:

ABSTRAK …………………………………………………………………………… i

KATA PENGANTAR ……………..…………………………………………………ii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….. vi

DAFTAR TABEL ..………………………………………………………………… ix

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………….. ix

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………… 1

A. Latar Belakang Masalah .…………………………………………………1

B. Batasan Dan Perumusan Masalah ……………………………………….. 6

C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………... 6

D. Signifikansi Penelitian …………………………………………………... 7

E. Metodologi Penelitian……………………………………………………. 7

F. Teknik Analisis Data ……………………………………………………13

G. Pedoman Penelitian……………………………………………………...15

H. Tinjauan Pustaka ……………………………………………………….. 15

I. Sistematika Penelitian ………………………………………………….. 17

BAB II KAJIAN TEORI…………………………………………………………….19

A. Teori Komunikasi Antarbudaya dan Agama…………………………….19

1. Hakikat Agama dalam Komunikasi Antarbudaya………………….. 22

vi
2. Agama sebagai kelompok etnik ……………………………………. 23

J. Teori komunikasi Antaragama dan Budaya (KAAB) Andi Faisal

Bakti………………………………………..………………………….... 25

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya…………. 31

1. Faktor Kognitif……………………………………………………... 31

2. Faktor gaya pribadi …...……………………………………………. 32

3. Faktor-faktor Lain …………………………………………………. 37

C. Konsep Kerukunan Umat Beragama ……..……………………………. 38

D. Golongan Sunni dan Syiah ……………………………………………...41

1. Definisi Sunni dan Syiah ……………………………………………41

2. Pokok-pokok Ajaran Sunni dan Syiah ………………………………42

BAB III GAMBARAN UMUM DESA JAMBESARI ……………………………..45

A. Kondisi Geografis desa Jambesari ………………………………………45

B. Kondisi Demografis ……………………………………………………..47

C. Kehidupan Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari…52

BAB IV TEMUAN DAN HASIL ANALISIS………………………………………56

A. Komunikasi Antarbudaya dan Agama Masyarakat Golongan Sunni dan

Syiah di desa Jambesari …………………………………………………57

B. Analisis Komunikasi Antarbudaya dan Agama Golongan Sunni dan Syiah

menurut teori Andi Faisal Bakti (teori duapuluh) ……………………….60

vii
C. Faktor yang mempengaruhi komunikasi Antarbudaya dan Agama

Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari ……………..66

1. Faktor Kognitif Golongan Sunni dan Syiah ……………………….. 66

2. Faktor Gaya Pribadi Golongan Sunni dan Syiah …………………... 67

3. Faktor-faktor lain golongan Sunni dan Syiah ……………………… 80

D. Interpretasi Data ………………………………………………………... 85

BAB V PENUTUP ………………………………………………………………… 88

A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 88

B. Saran …………………………………………………………………… 90

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 91

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………………… 95

viii
DAFTAR TABEL

TABEL 2.1 …………………………………………………………………….. 25

TABEL 3.1 …………………………………………………………………….. 46

TABEL 3.2 …………………………………………………………………….. 48

TABEL 3.3 …………………………………………………………………….. 49

TABEL 3.4 …………………………………………………………………….. 51

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 3.1 …………………………………………………………………… 44

GAMBAR 3.2…………………………………………………………………….. 50

GAMBAR 4.1…………………………………………………………………….. 61

GAMBAR 4.2…………………………………………………………………….. 63

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sosial, manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi

sosial kalau tidak berkomunikasi. Komunikasi merupakan hal yang sangat

penting bagi manusia. apalagi bagi yang hidup dengan keragaman

kebudayaan, menuntut manusia untuk memahami dan berinteraksi dengan

budaya lain. Setiap sesuatu yang berkaitan dengan cara hidup manusia adalah

budaya. Setiap manusia pun akan berusaha berada dalam tatanan budaya

tersebut. Misalnya, cara berbicara, kebiasaan makan dan minum, bahasa

sehari-hari dan kegiatan keagamaan tertentu. Hal tersebut merupakan hasil

dari penyesuaian serta respon dari manusia, baik individu maupun sosial,

terhadap pola-pola budaya yang dikenalnya. Mereka lahir dan dibesarkan

dalam bentuk budayanya masing-masing.1

Semakin luas pergaulan dan pengetahuan tentang budaya lain, maka

makin besar fungsi, peranan dan tanggung jawab sosial seseorang. Makin

sering seseorang terlibat dalam proses komunikasi, maka akan berpegaruh

terhadap tingkah lakunya, karena komunikasi pada dasarnya adalah proses

penyampaian dan penerimaan lambang-lambang (pesan) yang mengadung

1
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2009), h.18

1
2

makna antara komunikator dan komunikannya dengan tujuan mewujudkan

kesamaan makna dan kebersamaan. Artinya dengan adanya proses

komunikasi yang baik maka akan meminimalisir terjadinya kesalahpahaman

baik antar individu, etnik, kelompok atau antar seseorang yang berbeda latar

belakang budayanya.

Beberapa tahun terakhir ini, di Indonesia seringkali terdengar konflik

terkait dengan suku, agama dan ras (SARA); perusakan rumah ibadah

pengikut Ahmadiyah, pembakaran rumah masyarakat Syiah di Sampang pada

tahun 2012, konflik Tolikara pada tahun 2015, pelarangan perayaan Asyuro

masyarakat Syiah di Bogor, pembakaran rumah ibadah di Singkil, Aceh dan

lainnya. Alhasil, Peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau

berkeyakinan sepanjang tahun 2014 dari hasil riset The Wahid Institute

berjumlah 158 peristiwa dengan 187 tindakan. Dari jumlah tersebut, 80

peristiwa melibatkan 98 aktor negara; sementara 78 peristiwa melibatkan 89

aktor non-negara. Adapun jumlah korban dari peristiwa pelanggaran ini

adalah anggota Syiah dengan 235 korban.2

Konflik internal dalam agama Islam, antara pengikut Sunni dan Syiah

tak ada habisnya diperbincangkan oleh masyarakat. Sunni dan Syiah

merupakan dua aliran besar dalam perkembangan teologi Islam. Sunni dan

Syiah tidak berbeda pendapat perihal fundamen agama, melainkan perbedaan

2
The Wahid Institute, Laporan tahunan kebebasan beragama/berkeyakinan dan intoleransi
(Jakarta; The Wahid Institute, 2014)
3

diantara mereka terjadi dalam memahami hukum-hukum yang bersifat

partikular (al-a]hkam al-Far’iyyah), karena perbedaan cara pandang mereka,

khususnya dalam mengambil istinbat dari al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas

yang digunakan oleh kalangan Sunni dan akal yang digunakan oleh Syiah

Imamiyah. Karena itu perbedaan mereka dalam hal-hal yang bersifat parsial

merupakan rahmat, berkah, potensi, dan keluasan.3 Perbedaan ini, yang

kemudian dijadikan alasan bagi kaum intoleran untuk menyesatkan dan

membolehkan perusakan seperti yang terjadi di desa Karanggayam, Omben

Sampang 2012 silam.

Jika di daerah lain gesekan antara pengikut Sunni dan Syiah masih

sering terjadi. Di Jambesari, desa yang berjarak 12 kilometer ke arah selatan

dari Kota Bondowoso, Jawa Timur ini masyarakat golongan Syiah hidup

bekelompok dan secara terang-terangan menyatakan keyakinan keSyiah-

annya hidup berdampingan dengan masyarakat golongan Sunni penuh dengan

keharmonisan. Memang tak dapat dipungkiri, sebelumnya di desa ini Sunni

dan Syiah juga pernah terjadi konflik, yakni pada tahun 2006 perusakan

rumah dan mobil pengikut Syiah yang sedang menggelar pengajian. Di tahun

selanjutnya, 2007 kembali terjadi perseteruan, yakni pembakaran rumah salah

seorang tokoh Syiah. Tak hanya itu, dalam prilaku keseharian pun masyarakat

Syiah yang minoritas sering mendapat perlakuan yang berbeda. Misalkan,

3
Mustofa Rafi’I, Islam Kita: Titik Temu Sunni-Syiah (Jakarta: Fitrah, 2013), cet ke-1, h.3.
4

masyarakat Syiah yang notabane bekerja sebagai buruh tani dan kuli

bangunan, tidak dipercaya lagi sehingga jarang dipekerjakan. Dalam acara

keIslamanpun seperti, akad nikah, selametan sunatan, perayaan maulid Nabi,

dan tradisi lainnya, masyarakat Syiah tidak diundang karena sudah dianggap

sesat atau bahkan kafir yakni bukan bagian dari Islam. Namun, saat ini di

lingkungan ini masyarakat Sunni dan Syiah, kembali hidup rukun dengan

mengedepankan persamaan dan tidak mempermasalahkan perbedaan.

Pada dasarnya banyak kesamaan antara Ahlus Sunnah Wal Jamaah

atau (NU) sebutan lain dari Sunni dengan Syi’ah. “NU itu Syi’ah minus

Imamah. Syiah itu NU plus Imamah.” Demikian pernyataan populer

Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Selain itu Gus Dur juga

pernah menyatakan bahwa NU adalah “Syi’ah Kultural”. Agus Sunyoto

mengungkapkan maksud dari pernyataan Gus Dur bahwa NU adalah “Syiah

kultural” dari kacamata kebudayaan. Maksudnya, tradisi keIslaman yang

dijalankan orang NU memiliki kesamaan secara kultural dengan yang

dijalankan orang-orang Syiah, meskipun kedua juga memiliki perbedaan.4

Daniel dan Mahdi sebagaimana yang dikutip oleh Larry A.Samovar

dkk, juga menjelaskan walaupun Sunni dan shiite (Syiah) memiliki perbedaan

sejak tahun 632, namun Sunni dan shiite (Syiah) memiliki banyak kesamaan.

Dalam tulisannya Daniel dan Mahdi menjelaskan,

4
Purkon Hidayat, Jalan Tasawuf Kebangsaan Gus Dur diakses pada tanggal 12 januari 2016
dari http://www.gusdurian.net/id
5

“Mereka menggunakan kitab suci yang sama qur’an,


memercayai pandangan yang sama mengenai Tuhan, menghormati
Nabi yang sama, melakukan shalat yang sama, berdo’a kearah yang
sama kepada Tuhan yang sama, berpuasa dalam jumlah hari yang
sama, dan lain.”5 Mereka juga berbagi “etnis, bahasa, makanan, dan
pakaian yang sama.”6

Prof. Dr.Syekh Ahmad Muhammad Ahmad ath-thayyeb pun

mengatakan dalam pesannya saat melakukan kunjungan ke Indonesia;

Hentikan Konflik Sunni-Syiah kalian bersaudara. Grand Syekh Al-Azhar

mengatakan bahwa;

“Syiah beragam, namun mereka adalah saudara, mereka tetap


Muslim, kita tidak bisa serta-merta menghakimi mereka keluar Islam
hanya karena satu perkara. Memang tedapat sikap berlebihan, tidak di
semua Syiah dan tidak semua ulama mereka demikian…..”7

Dua aliran kepercayaan dalam Islam ini, dalam kajian komunikasi

antarbudaya, dikenal dengan subkultur. Menurut porter dan Samovar

subkultur, yaitu komunitas yang menjadi pembeda dengan subkultur lainnya.

Dalam kebudayaan masyarakat yang ada dalam lingkungan tempat tumbuh

berkembangnya komunitas tersebut ataupun ditempat lain. Adapun yang

menjadi pembeda pada komunitas subbudaya adalah ras, etnik, regional, e

konomi, dan bahkan perilaku sosial yang menjadikan ciri tersendiri bagi

komunitas tersebut.8

5
Samovar L.A, Richard E.P, Edwin R.Mc Daniel, Komunikasi Lintas Budaya (Jakarta:
Salemba Humanika. 2010), h.149.
6
Samovar L.A, Richard E.P, Edwin R.Mc Daniel, Komunikasi Lintas Budaya h.149.
7
m.republika.co.id/berita/dunia-Islam/Islam-nusantara diakses pada tanggal, 25 Maret 2016.
8
Deddy Mulyana dan jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009) h.18.
6

Berdasarkan pada latar belakang di atas, penulis memberi judul:

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN AGAMA TENTANG

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH

(Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari Kabupaten Bondowoso Jawa

Timur)

B. Batasan Dan Perumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah pada penelitian ini adalah komunikasi yang

dilakukan oleh golongan Sunni dan Syiah terkait menjalin kerukunan

beragama khususnya di desa jambesari. Komunikasi yang difokuskan

kepada komunikasi antarbudaya dan agamanya.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, disusunlah rumusan

masalah, yaitu:

1. Bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan

Syiah di Desa Jambesari dalam membangun kerukunan?

2. Mengapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari berhasil

membangun kerukunan?
7

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah:

A. Untuk mengetahui bagaimana komunikasi antar budaya dan agama

golongan Sunni dan Syiah tentang kerukunan di Desa Jambesari.

B. Untuk mengetahui mengapa golongan Sunni dan Syiah di desa

Jambesari berhasil membangun kerukunan.

D. Signifikansi Penelitian

Dilihat dari tujuan penelitian tersebut maka manfaat dari penelitian ini

dapat dilihat dari segi akademis dan praktis.

1. Manfaat akademis

Peneliti berharap penelitia ini memberikan konstribusi teoritis,

dan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam penelitian

selanjutnya dalam studi komunikasi antarbudaya dan agama, serta

memberikan konstribusi pada aspek kebudayaan itu sendiri.

2. Manfaat Praktis

Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan informasi

kepada masyarakat tentang komunikasi antarbudaya dan agama

masyarakat Sunni dan Syiah di Desa Jambesari dalam membangun

kerukunan.
8

E. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas

dunia nyata.9 Pada penelitian ini paradigma yang digunakan adalah

konstruktivisme. Realitas yang ada merupakan hasil konstruksi dari

kemampun berfikir seseorang. Dalam paradigma ini, perlu adanya

interaksi antara peneliti yang diteliti, agar mampu merekonstruksi realitas

yang diteliti melalui metode kualitatif.10 Untuk itu peneliti akan

melakukan penelitian terhadap golongan Sunni dan Syiah agar mampu

merekonstruksi realitas yang ada.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sifat

penelitian deskriptif. Menurut Whitney (1960) dikutip oleh Nazir, metode

deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.11

Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah masyarakat, serta tata

cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk

tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan,

9
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2010) cet
ke-7. h.9.
10
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Teori, Paradigma, dan Discourse Teknologi
Komunikasi di Masyarakat), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.238.
11
Moh Nazir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013) Cet ke-8. h.54
9

serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari

suatu fenomena.12

Jenis metode penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus

(case study). Menurut John W. Creswell, studi kasus merupakan strategi

penelitian, dimana peneliti menyelidiki secara cermat suatu program,

peristiwa, aktivitas, proses atau sekelompok individu.13 Kasus-kasus

dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi

secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data

berdasarkan waktu yang telah ditentukan.14 Dilihat dari objek

penelitiannya, jenis studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini

adalah instrumental tunggal (single instrumental case study). Yakni

penelitian studi kasus yang dilakukan dengan menggunakan kasus untuk

suatu isu atau perhatian. Peneliti memperhatikan dan mengkaji suatu isu

yang menarik perhatiannya, dan menggunakan sebuah kasus sebagai

sarana (instrument) untuk menggambarkannya secara terperinci. Dalam

hal ini, yakni “konflik antara masyarakat golongan Sunni dan Syiah di

desa Jambesari pada tahun 2006, sebagai instrument untuk

menggambarkan secara terperinci komunikasi antarbudaya dan agama

12
Moh Nazir, Metode Penelitian h.55
13
John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed,
(Bandung: Pustaka Pelajar, 2008), h.19.
14
John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, h.19.
10

golongan Sunni dan Syiah dalam membangun kerukunan antar umat

beragama”.

Maka pada penelitian ini peneliti mengamati dan berhubungan dengan

golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari melalui teknik pengumpulan

data wawancara, dokumentasi, dan observasi langsung pada aktifitas

komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah di desa

Jambesari dalam membangun kerukunan.

3. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi Subjek penelitian adalah Golongan

Sunni dan golongan Syiah di Desa Jambesari yang menjadi sumber bagi

peneliti untuk memperoleh keterangan dalam data. Sedangkan objek

penelitiannya adalah bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama

golongan Sunni dan Syiah tentang kerukunan di Desa Jambesari.

4. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Jambesari, Kecamatan Jambesari

Darus Solah, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Adapun waktu

penelitian yakni sejak diturunkannya surat ijin melaksanakan penelitian

tanggal 27 April-21Juni 2016.

a. Pada tanggal 7 Mei 2016 pukul 09.00 WIB, peneliti melakukan

wawancara dengan Qurdi, selaku Sekretaris desa yang bertempat di

kantor balai desa Jambesari.


11

b. Pada tanggal 10 Mei 2016 pukul 10.00 WIB peneliti melakukan

wawancara dengan H.Abdullah selaku tokoh masyarakat golongan

Sunni di desa Jambesari.

c. Pada tanggal 13 Mei 2016 pukul 10.00 WIB peneliti melakukan

wawancara dengan Ahmad Rowi, selaku tokoh masyarakat Syiah

desa Jambesari, bertempat dikediamannya di RT 07 RW 012 desa

Jambesari.

d. Pada tanggal 13 Mei 2016 pukul 13.00 WIB peneliti melakukan

wawancara dengan Mukhlis, selaku salah seorang tokoh masyarakat

Syiah di kediamannya yang bertempat di RT 07 RW 012 desa

Jambesari.

e. Pada tanggal 15 Mei 2016 pukul 13.00 WIB peneliti melakukan

wawancara dengan Abdur Rahim, salah seorang golongan Sunni

yang bekerja sebagai buruh tani.

5. Sumber Data

Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, disini peneliti

menggunakan data primer dan data sekunder.

a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber

berupa hasil temuan penelitian observasi serta wawancara dengan

masyarakat Syiah dan Sunni di desa Jambesari.

b. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang terdapat

dalam buku, jurnal, kutipan-kutipan, dokumenatasi atau arsip-arsip


12

dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian mengenai

komunikasi antarbudaya, masyarakat syi’ah dan Sunni.

6. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini, peneliti menggunakan tiga tehnik dalam pengumpulan

data, yaitu:

a. Observasi

Observasi yaitu dasar semua ilmu pengetahuan, karena ilmuan

hanya dapat bekerja berdasarkan data atau fakta mengetahui dunia

kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Marshall mengatakan

bahwa melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku, dan

makna dari perilaku tersebut.15 Dalam hal ini peneliti mengamati

langsung proses komunikasi antarbudaya dan agama golongan

Sunni dan Syiah.

b. Interview (wawancara) mendalam

Untuk memperoleh data yang diperlukan, peneliti

menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode

wawancara, suatu teknik yang dianggap tepat dalam mendapatkan

informasi. Karena itu, peneliti melakukan wawancara bebas

terpimpin (semi structured interview), yaitu wawancara dengan

menggunakan interview guide atau pedoman wawancara yang


15
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta,2010), hal-64
13

dibuat berupa daftar pertanyaan.16 Wawancara dilakukan secara

bebas, tetapi menggunakan pedoman wawancara yang baik dan

benar agar pertanyaan terstruktur dan terarah.

Dalam hal ini peneliti telah melakukan tanyajawab/wawancara

kepada beberapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari.

Wawancara ini bertujuan untuk menggali keterangan lebih

mendalam seputar kerukunan golongan Sunni dan Syiah di desa

tersebut. Adapun Narasumber pada penelitian ini adalah; Bapak

Qurdi selaku Sekretaris desa Jambesari, Bapak H.Abdullah selaku

tokoh masyarakat golongan Sunni, Bapak Abdur Rahim selaku

masyarakat golongan Sunni. Bapak Ahmad Rawi selaku tokoh

masyarakat golongan Syiah, dan Bapak Mukhlis selaku tokoh

masyarakat golongan Syiah.

c. Dokumentasi

Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode

observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.17 Menurut

Burhan Bungin, metode dokumenter adalah salah satu metode

pengumpulan data yang digunakan dalam metodelogi penelitian

16
Denzin, Norman K, Lincoln, Yonna S, Handbook of Qualitative Research, Dariyanto dkk
(edisi terjemahan Indonesia), (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009).
17
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. hal.82
14

sosial. Pada intinya, metode dokumenter adalah metode yang

digunakan untuk menelusuri data historis. 18

F. Teknik Analisis Data

Pada penelitian studi kasus kualitatif teknik analisis datanya adalah

Description, Themes, Assertions19 sebagai berikut:

a) Description

Sejak kehadirannya pada tahun 2006 di desa Jambesari, paham

Syiah tidak diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Hal ini,

diduga karena paham Syiah memiliki ajaran yang berbeda dengan

ajaran yang dipahami masyarakat setempat, khususnya ajaran dari para

sesepuh desa Jambesari. Beragam isu negatif yang ditujukan kepada

masyarakat golongan Syiah, mulai dari cara shalat berbeda, bisa tukar

menukar istri, al-Qur’annya berbeda, dan semacamnya. Sehingga

terjadinya bentrokan antara pengikut kedua golongan tersebut. Namun,

lambat laun masyarakat Jambesari pengikut kedua golongan tersebut

semakin dewasa dalam memahami perbedaan.

b) Themes

Jika di daerah lain gesekan antara pengikut Sunni dan Syiah

masih sering terjadi. Di Jambesari, desa yang berjarak 12 kilometer ke

18
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif: Komunikas, Ekonomi, kebijakan Publik, dan
Ilmu sosial Lainnya (Jakarta: kencana Prenada Media group,2005) Cet ke-1, h.121
19
Michael Quinn Patton, How to Use Qualitative Methods in Evaluation (London: SAGE
Publications, 1991), hlm. 23
15

arah selatan dari Kota Bondowoso, Jawa Timur ini nampak harmonis.

Memang tak dapat dipungkiri, sebelumnya di desa ini golongan Sunni

dan Syiah juga pernah terjadi konflik, yakni pada tahun 2006. Namun,

saat ini di lingkungan ini masyarakat Sunni dan Syiah, kembali hidup

rukun.

c) Assertions

Dalam bermasyarakat dengan beragam aliran kepercayaan,

perlu adanya saling mengedepankan persamaan dan tidak

mempermasalahkan perbedaan. Sebab perbedaan adalah sebuah

keniscayaan yang tak perlu dipermasalahkan.

G. Pedoman Penelitian

Pedoman penelitian ini adalah buku Pedoman Penelitian Karya Ilmiah

(Skripsi, Tesis dan Disertasi) karangan Hamid Nasuhi dkk, yang diterbitkan

oleh CeQDA UIN Jakarta 2015.

H. Tinjauan Pustaka

Dalam menentukan judul ini peneliti sudah melakukan tinjauan

terhadap skripsi atau penelitian terdahulu. Harus diakui bahwa kajian

mengenai Sunni dan Syiah telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak.

Berdasarkan pengamatan langsung peneliti di perpustakaan Fakultas Dakwah

dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan

utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengenai skripsi ataupun tesis yang
16

membahas tentang Sunni dan Syiah. Peneliti meninjau pada skiripsi atau

penelitian yang sudah ada, yang berkaitan dengan judul yang dianalisis

peneliti seperti;

Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Syukri, Mahasiswa

Komunikasi dan Penyiaran Islam tahun 2013, dengan judul “Komunikasi

Antarbudaya (Studi pada Pola Komunikasi Masyarakat Suku Betawi dengan

Madura dikeluarahan Condet Batu Ampar)”. Penelitian tersebut menekankan

pola lain dari komuikasi antarbudaya masyarakat suku Betawi dengan Suku

Madura, dalam konteks keagamaan. Serta, lebih banyak mengunakan pola

komunikasi antarpribadi dan kelompok. Adapun perbedaanya dengan

penelitian ini adalah terletak pada subjek penelitiannya. Yang menjadi subjek

penelitian dalam penelitian Ahmad adalah warga suku Betawi dan Madura di

kelurahan Condet Batu Ampar. Sedangkan Subjek pada penelitian ini adalah

golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari. Namun objek penelitian dari

keduanya yaitu sama-sama membahas tentang kajian komunikasi

antarbudaya.

Penelitian lain yang dilakukan Ita Anastianah, dengan judul “Elite &

Konflik Komunal Keagamaan (Studi kasus Konflik Sunni-Syiah Sampang”.

Penelitian tersebut mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

konflik komunal Sunni dan Syiah di desa Karang Gayam, Sampang. Adapun

perbedaanya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terletak

pada objek penelitian. Yang menjadi objek penelitian dalam penelitian Ita
17

adalah konflik komunal antara Sunni dan Syiah yang terjadi di Sampang,

Madura. Sedangkan objek penelitian penulis adalah komunikasi antarbudaya

golongan Sunni dan Syiah. Namun subjek penelitian keduanya sama-sama

golongan Sunni dan Syiah, meskipun lokasi penelitiannya berbeda.

Serta penelitian yang di lakukan oleh Siti Asiyah, Mahasiswa

Komunikasi dan Penyiaran Islam tahun 2013 dengan judul “Pola Komunikasi

Antar Umat Beragama (Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan

Muslim Pribumi di RW 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang). Penelitian

tersebut menemukan pola komunikasi dalam proses akulturasi, asimilasi, dan

enkulturasi antara masyarakat Tionghoa dengan Muslim Pribumi di RW 04

kelurahan Mekarsari Tangerang. Adapun perbedaanya dengan penelitian ini

adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek penelitian dalam

penelitian Siti Asiyah adalah warga Tionghoa dengan Muslim pribumi di RW

04 kelurahan Mekarsari Tangerang. Sedangkan Subjek penelitian penulis

adalah golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari. Namun objek penelitian

dari keduanya yaitu sama-sama membahas dari segi kajian komunikasi

antarbudaya.

I. Sistematika Penelitian

Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang hal-hal yang diuraikan

dalam penelitian ini, maka penulis membagi sistematika penyusunan ke dalam


18

Lima bab. Dimana masing-masing bab dibagi ke dalam sub-sub dengan

penulisan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang masalah, batasan masalah dan

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : KAJIAN TEORI

Terdiri dari teori komunikasi antarbudaya dan agama, hakikat

agama dalam komunikasi antarbudaya, agama sebagai

kelompok etnik, teori duapuluh andi faisal bakti, komunikasi

antarbudaya yang efektif, konsep kerukunan umat beragama,

serta konsep golongan Sunni dan Syiah.

BAB III : GAMBARAN UMUM

Adalah gambaran umum objek penelitian yang terdiri dari

keadaan geografis, kondisi demografis desa jambesari,

Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, serta gambaran umum

tentang kehidupan masyarakat golongan Sunni dan Syiah

setempat.

BAB IV : KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN AGAMA

GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH DI DESA

JAMBESARI
19

Adalah penyajian data-data yang diperoleh dari hasil

penelitian, berikut analisanya. Yaitu tentang komunikasi

antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah tentang

kurukunan di Desa Jambesari, Kabupaten Bondowoso, Jawa

Timur. Serta mengapa golongan Sunni dan Syiah berhasil

menjalin kerukunan.

BAB V : PENUTUP

Adalah bab penutup dari tulisan ini yang berisi tentang

kesimpulan dan saran.


BAB II

KAJIAN TEORI

A. Teori Komunikasi Antarbudaya dan Agama

Istilah “antarbudaya” pertama kali diperkenalkan oleh seorang

antropolog, Edward T. Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent

Language. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi

dijelaskan satu tahun setelahnya, oleh David K. Berlo melalui bukunya The

Process of Communication (an introduction to theory and practice). Dalam

tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurutnya,

komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR,

yaitu: source, messages, channel, receiver.1

Menurut teori komunikasi antarbudaya, Edward T. Hall, teori hall

mengaitkan komunikasi dengan budaya memiliki hubungan sangat erat.

Menurutnya, communication is culture and culture is communication. Pada

satu sisi, komunikasi merupakan suatu cara untuk menyebarluaskan norma-

norma budaya masyarakat, baik secara horizontal dari suatu masyarakat

kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke

generasi berikutnya secara turun temurun. Pada sisi lain, budaya merupakan

norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.

1
Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
Cet ke-II h.1.

20
21

Pada dasarnya, komunikasi dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang

tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satusama lain. Budaya tidak

hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana

komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana

orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-

kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan.

Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada

budaya tempat manusia tersebut dibesarkan. Konsekuensinya, budaya

merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka

beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.2

Adapun pengertian komunikasi antarbudaya (intercultural

Communication) adalah komunikasi yang terjadi diantara orang-orang dari

kultur yang berbeda, yakni antara orang-orang yang memiliki kepercayaan,

nilai dan cara berperilaku kultur yang berbeda. 3 Berikut pengertian

komunikasi antarbudaya menurut para ahli;

1) Andrea L.Rich dan Dennis M.Ogawa mendefinisikan komunikasi


antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda
kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antara etnik dan ras, antar
kelas social.4
2) Charley H.Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi
komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili

2
Mulyana dan Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-
orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005) h.20.
3
Devito, Joseph A. Komunikasi Antar Manusia (Tangerang: Kharisma Publishing Group.
2011) h. 535
4
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013)
h.10
22

pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan


latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi
para peserta.
3) Andi Faisal Bakti dalam beberapa teori dua puluh sering menyebutkan
bahwa komunikasi antarbudaya melibatkan suatu kelompok, golongan,
agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi adat istiadat,
kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya
menurut Andi Faisal Bakti adalah komunikasi yang terjadi melibatkan
orang secara individu atau kelompok yang mempunyai latar belakang
yang berbeda.5

Komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna

antara orang-orang berbeda budaya. Komunikasi antarbudaya pada dasarnya

mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa

makna pesan verbal dan non verbal menurut budaya-budaya bersangkutan,

bahasa bisa saja sama, tetapi kemungkinan bisa berbeda maknanya.

Menurut Alo liliweri, Pendekatan komunikasi antarbudaya memiliki

wajah ganda.6 Pertama, jika ditinjau dari perspektif sosiologi komunikasi,

komunikasi antarbudaya membahas peranan agama dan kelompok keagamaan

dalam proses pembudayaan dan pembudidayaan, pengalihan nilai dan norma

(penyebaran) agama dari dan ke suatu kelompok dalam suatu masyarakat.

Dalam hal ini berarti sosiologi komunikasi mempelajari bentuk, sifat, cara,

metode, teknik “penyebarluasan dan norma dan nilai agama terhadap

intrakelompok maupun terhadap ekstern agama dan kelompok keagamaan.

5
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, (Jakarta: INIS, 2004) h. 128.
6
Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
Cet ke-II h.254.
23

Kedua, kelompok keagamaan dan bahkan agama sekalipun dapat dipandang

sebagai satu etnik yang tetap mempertahankan sistem norma dan nilai

sehingga menimbulkan kesan agama bersifat eksklusif, tertutup, sehingga

tentu ada tatanan yang mengatur cara seorang menjadi anggota suatu agama.

Pada akhirnya sangat penting dalam pembelajaran komunikasi

antarbudaya, memahami terhadap apa yang dipercayai orang tentang

bagaimana dunia ini kelihatannya dan berjalan. Sebagaimana dikatakan Paden

dalam Samovar;

“Belajar tentang agama...mempersiapkan kita untuk memasuki


tempat dan kebiasaan lain dan berbagai versi dari hal yang sakral
maupun tidak sakral; juga untuk menerjemahkan dan menghargai
bahasa dan perilaku yang berbeda. Oleh karena itu, pengetahuan
tentang orang lain mempunyai peranan yang penting.”7

1. Hakikat Agama dalam komunikasi antarbudaya

Sulit dipisahkan antara masyarakat dengan agama, sebab agama

menurut Liliweri adalah sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan

yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat yang menginterpretasi

dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang

ghaib dan suci.8 Sebagai suatu sistem keyakinan yang membentuk perilaku

keseharian penganut agamanya, maka sangat erat kaitannya antara agama

dengan budaya yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa dari manusia. Hal

7
Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya (Jakarta; Salemba Humanika, 2010)
h.126.
8
Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya (Jakarta; Pustaka Pelajar 2011) Cet ke-
2, h.254
24

ini juga dipertegas Lamb dalam samovar mengatakan kaitan antara agama dan

budaya adalah sangat jelas. Guruge juga mengatakan agama dan peradaban

saling bergandengan tangan dalam evolusi manusia sampai tahap yang tidak

dapat disimpulkan seseorang dimana keduanya setara dan berdampingan.9

Pada akhirnya, agama dan budaya saling mengisi dan melengkapi dimana

agama mempengaruhi dan membentuk budaya sedangkan budaya dibatasi

dengan nilai-nilai agama, sehingga sulit memisahkan hubungan keduanya.

2. Agama sebagai kelompok etnik

Manusia yang berkelompok berdasarkan keyakinan, kepercayaan, iman

terhadap sesuatu yang bersifat sakral disebut kelompok agama. Karena itu,

agama dapat dipandang sebagai suatu kelompok etnik. Secara historis dapat

disaksikan bahwa agama sebagai kelompok etnik itu mewakili suatu populasi

tertentu yang kita kenal keberadaannya dalam suatu masyarakat. 10 Sebagai

contoh, masyarakat yang berkeyakinan Syiah adalah kelompok internal

dalam agama islam yang memiliki ciri berbeda dengan kelompok yang

laiinya.

Keberadaan kelompok agama dapat dilihat berupa simbol dan tanda,

materi, pesan-pesan verbal dan nonverbal, petunjuk berupa materi dan

immaterial, bahkan sikap dan cara berpikir yang sifatnya abstrak.

9
Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya, h.126.
10
Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya, Cet ke-2, h.255
25

Pada akhirnya menurut Alo Liliweri setiap kelompok agama hadir dan

diakui karena:

1) Para anggota kelompok mampu berkembang dan bertahan dengan

mempunyai jumlah tertentu.

2) Kehadiran kelompok itu diterima karena tidak membawa bibit

perpecahan

3) Adanya kesamaan nilai antar kelompok yang diimani secara sadar,

sehingga menumbuhkan rasa untuk selalu bersama-sama.

4) Membangun komunikasi dalam kelompok secara teratur.

5) Mampu menentukan perbedaan ciri-ciri kelompok dengan kelompok

yang lainnya.

6) Terkadang memiliki wilayah pengaruh dan kekuasaan.11

Secara universal agama berfungsi sebagai; fungsi edukatif, penyelamatan,

pengawasan sosial, transformatif dan persaudaraan.

1) Fungsi Edukatif. Yakni, agama berperan mengajarkan kepada para

pemeluknya nilai-nilai dan norma serta membimbing untuk

menjalankan dalam kehidupan.

2) Fungsi Penyelamatan. Yakni, agama berperan untuk menyadarkan

para pemeluknya terhadap keselamatan di dunia dan akhirat.

11
Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya, Cet ke-2, h.257
26

Sehingga dengan adanya kesadaran terhadap keselamatan, akan

mempengaruhi sikap atau perilaku penganutnya untuk selalu berbagi

kebaikan kepada seluruh mahluk.

3) Fungsi Pengawasan Sosial. Yakni agama menjadikan penganutnya

peka terhadap segala persoalan dalam kehidupan, sehingga dengan

adanya kepekaan tersebut tidak bisa menjadikan para penganutnya

hanya berdiam diri menyaksikan suatu persoalan.

4) Fungsi memupuk persaudaraan, Artinya setiap agama mengajarkan

untuk saling menghargai dan menghormati keyakinan setiap orang

baik intern umat beragama maupun antar umat beragam.

5) Fungsi transformatif, agama mewariskan nilai-nilai baru kepada

masyarakat, misalnnya inkulturasi yang proses penerapannya melalui

pemanfaatan media digital untuk menyebarkan agama.

6) Fungsi khusus agama, menjalankan tugas dan fungsinya melalui

pemeliharaan ciri khas, kekhususan, inkulturasi dengan masyarakat

budaya lokal. Misalnya kesatuan sosiologis unsur kesamaan darah,

Bahasa, dan daerah.12

B. Teori Komunikasi Antar Agama dan Budaya (KAAB) Andi Faisal Bakti

Teori dua puluh ini menunjukkan keadaan budaya kolektif yang masih

kaku (konservatif) dan lawannya yaitu keadaan budaya yang sudah elastis,

12
Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya, Cet ke-2, h.258
27

dapat mengadopsi budaya lain di luar budayanya sendiri (transformatif).13

Teori ini menggambarkan keadaan peradaban timur dan barat. Lalu, dalam

teori dua puluh ini dimunculkan pula solusi yang ditawarkan oleh Islam atas

dua corak komunikasi antarbudaya yang tergambar dari teori duapuluh.

No Kaum Konservatif Kaum Transformatif Islam

1 (Être pensé par sa culture) Suatu (Penser sa culture) Suatu Al-


kelompok, golongan, agama, dan kelompok, golongan, agama, muhafadzo
budaya terdiri atas nilai-nilai, dan budaya terdiri atas nilai- tu „ala al-
persepsi, adat istiadat, kebiasaan, nilai persepsi, adat istiadat, qadim al-
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola kebiasaan, tradisi, kreasi, sholih wa
pikir, dan perasaan yang kepercayaan, pola pikir, dan al-akhdzu
dikendalikan atau dikontrol oleh perasaan yang berupaya untuk bi al-jadid
budayanya (masa lalu). mengubah budayanya. Baik itu al-aslah.
yang sekarang maupun masa
depan. Hal ini sangat berkaitan
dengan budaya lain yang
dikembangkan untuk masa
depan.

2 Hériter la culture: Suatu Acquérir la culture: Suatu Al-


kelompok,golongan,agama, dan kelompok ,golongan, agama, muhafadzo
budaya terdiri atas nilai-nilai, dan budaya terdiri atas nilai- tu „ala al-
persepsi, adat istiadat, kebiasaan, nilai, persepsi, adat istiadat, qadim al-
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola kebiasaan, tradisi, kreasi, sholih wa
pikir, dan perasaan yang mewarisi kepercayaan, pola pikir, dan al-akhdzu
budayanya dari masa lalu dan perasaan yang berupaya untuk bi al-jadid
mewariskannya kepada generasi mendapatkan kultur-kultur yang al-aslah.
yang akan datang. baru dan berbeda dari warisan
keluarga dan budayanya.
Dengan kata lain lebih produktif

13
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, (Jakarta: INIS, 2004) h. 128.
28

dalam mendapatkan kultur yang


baru.

3 Submission: Sekelompok Egalitarian/Emancipation: al-Islam


masyarakat, agama, dan budaya Sekelompok masyarakat,
yang hanya tunduk kepada agama, dan budaya yang
budayanya sendiri dan tidak mengikuti aturan-aturan lain dan
terpengaruh dengan ajaran lain bersikap egaliter atau tidak
yang bertentangan dengan tunduk serta ingin bebas dari
budayanya sendiri. cengkraman yang sudah ada.

4 Adoration of scriptures: Interpretation of sciptures Ijtihād.


Sekelompok masyarakat, agama, (ijtihād): Sekelompok masya-
dan budaya yang sangat mencintai rakat, agama, dan budaya yang
atau menyukai teks agamanya memaknai atau memahami teks
(kitab sucinya). (kitab suci) yang menjadi
pegangannya

5 Textualist: Sekelompok Contextualist: Sekelompok al-tafsir


masyarakat, agama, dan budaya masyarakat, agama, dan budaya
yang percaya teks sebagai suatu yang percaya kepada konteks
kebenaran. Dengan kata lain teks dan pemahamannya tidak secara
yang berkata-kata atau berbicara. harfiah.

6 Gemeinschaft: Sekelompok Gesellschaft: Sekelompok al-ummah


masyarakat, agama, dan budaya masyarakat, agama, dan budaya
yang ingin membangun yang ingin membangun
kelompoknya berdasarkan kelompoknya berdasarkan
komunitasnya. societas.

7 Reproduction: Sekelompok Creation and trust in foreigners: Al-


masyarakat, agama, dan budaya Sekelompok masyarakat, Amanah.
yang memproduksi budaya dan agama, dan budaya yang tidak
harus memproduksi generasi
29

keluarganya. yang sama. Akan tetapi dari


budaya yang sama dan memiliki
kreasi dengan keadaan sekarang

8 Fundamentalism: Pemikiran Rationalism/Secularization: Ihsan.


KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, Pemikiran KAAB yang terdiri
persepsi, adat istiadat, kebiasaan, atas nilai-nilai, persepsi, adat
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola istiadat, kebiasaan, tradisi,
pikir, dan perasaan yang kreasi, kepercayaan, pola pikir,
berdasarkan pada pondasi utama dan perasaan yang berdasarkan
ajaran agama, bangsa, negara, dan rasionalisme atau akal bukan
masyarakat tertentu. Dengan kata pada kitab dan lebih
lain dianggap sebagai kekuatan mementingkan dunia. Kedua
yang absolut. Fundamentalism teori tersebut dalam Islam
berasal dari Protestan yang anti disebut dengan ihsan.
teknologi dan sains.

Geographical immobility: Geographical mobility: Hijrah.


Pemikiran KAAB yang terdiri atas Pemikiran KAAB yang terdiri
9. nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, atas nilai-nilai, persepsi, adat
kebiasaan, tradisi, kreasi, istiadat, kebiasaan, tradisi,
kepercayaan, pola pikir, dan kreasi, kepercayaan, pola pikir,
perasaan yang tidak mau pindah- dan perasaan yang lebih
pindah dan lebih mengutamakan mengutamakan berpindah-
menetap di suatu tempat. pindah.

10. Je me souviens: Pemikiran KAAB Déracinement: Pemikiran Al-


yang terdiri atas nilai-nilai, KAAB yang terdiri atas nilai- Hadharah.
persepsi, adat istiadat, kebiasaan, nilai, persepsi, adat istiadat,
tradisi, kreasi, kepercayaan, pola kebiasaan, tradisi, kreasi,
pikir, dan perasaan yang kepercayaan, pola pikir, dan
cenderung mengingat masa perasaan yang tercerabut dari
lalunya yang harus dipertahankan. akar-akarnya. Artinya
Dan ini lebih mengarah kepada meninggalkan masa lalu untuk
menatap masa depan yang lebih
30

hal-hal yang negatif. baik dan lebih pasti.

11. Paganism (Idol worshipping): Monotheism (Idol Al-Tauhid.


Pemikiran KAAB yang terdiri atas destruction)/Humanism (God
nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, created by humans): Pemikiran
kebiasaan, tradisi, kreasi, KAAB yang terdiri atas nilai-
kepercayaan, pola pikir, dan nilai, persepsi, adat istiadat,
perasaan yang melakukan kebiasaan, tradisi, kreasi,
penyembahan kepada yang selain kepercayaan, pola pikir, dan
Tuhan. Baik itu terhadap sesajen, perasaan yang percaya kepada
jimat, dukun atau membaca ayat- Tuhan yang satu.
ayat tertentu untuk tujuan tertentu.

12. Imposition/Holy war/Proselytism: Negotiation: Pemikiran KAAB Al-


Pemikiran KAAB yang terdiri atas yang terdiri atas nilai-nilai, musyawar
nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, persepsi, adat istiadat, ah
kebiasaan, tradisi, kreasi, kebiasaan, tradisi, kreasi,
kepercayaan, pola pikir, dan kepercayaan, pola pikir, dan
perasaan yang cenderung perasaan yang mengutamakan
memaksakan agama dengan cara- sama rata dan sama rasa.
cara berupa bujukan, rayuan,
paksaan, tekanan, intimidasi atau
dengan cara melalui perang suci.

13. Nationalism/Tribalism: Pemikiran Universalism/Internationalism: Al-


KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, Pemikiran KAAB yang terdiri Ta„Aruf.
persepsi, adat istiadat, kebiasaan, atas nilai-nilai, persepsi, adat
tradisi, istiadat, kebiasaan,
kreasi, kepercayaan, pola pikir, tradisi, kreasi, kepercayaan,
dan perasaan yang sangat pola pikir, dan perasaan yang
menekankan nasionalisme atau sangat mengutamakan universal.
kesukuan/fanatik. Dalam arti tanpa ada sekat-
sekat.
31

14. Orthodoxy/Traditionalism: Protestantism/Modernism: Al-


Pemikiran KAAB yang terdiri atas Pemikiran KAAB yang terdiri Maslahah.
nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, atas nilai-nilai, persepsi, adat
kebiasaan, tra- istiadat, kebiasaan, tra-
disi, kreasi, kepercayaan, pola disi, kreasi, kepercayaan, pola
pikir, dan perasaan yang ingin pikir, dan perasaan yang
mempertahankan mengikuti perkembang-
budaya tradisional yang ada dan an secara modern dan lebih
masih bersifat ortodoks. maju.

15 Sectarian communitarianism: Global communitarianism: Al-Qaum.


Pemikiran KAAB yang terdiri atas Pemikiran KAAB yang terdiri
nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, atas nilai-nilai, persepsi, adat
kebiasaan, tradisi, kreasi, istiadat, kebiasaan, tradisi,
kepercayaan, pola pikir, dan kreasi, kepercayaan, pola pikir,
perasaan yag patuh hanya kepada dan perasaan yang lebih
golongan/ komunitasnya saja. terbuka tetapi hanya kepada
agamanya saja

16. Cul./Lang./Competence/Inheritenc Cult./Lang./Competence al-Ta„lim.


e: Pemikiran KAAB yang terdiri acquisition: Pemikiran KAAB
atas nilai-nilai, persepsi, adat yang terdiri atas nilai-nilai,
istiadat, kebiasaan, tradisi, persepsi, adat istiadat,
kepercayaan, pola pikir, dan kebiasaan, tradisi, kepercayaan,
perasaan yang berdasarkan pola pikir, dan perasaan yang
kemampuan berbahasa budaya memiliki penguasaan bahasa
yang didapat atau diperoleh atau melalui proses pembelajaran.
diwariskan dari masa lalu.

17. Dependency/Egoism: Pemikiran Interdependency/Solidarity: Al-


KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, Pemikiran KAAB yang terdiri Ta„Awun.
persepsi, adat istiadat, kebiasaan, atas nilai- nilai, persepsi, adat
tradisi, kepercayaan, pola pikir, istiadat, kebiasaan, tradisi,
dan perasaan yang cenderung kepercayaan, pola pikir, dan
kepada orang/bangsa yang mampu perasaan yang mengutamakan
32

dan egois akan tetapi sangat saling tolong-menolong dan


bergantung kepada yang lain. bantu-membantu.

18. Exclusivism: Pemikiran KAAB Inclusivism: Pemikiran KAAB Al-


yang terdiri atas nilai-nilai, yang terdiri atas nilai-nilai, Washatiya
persepsi, adat istiadat, kebiasaan, persepsi, adat istiadat, h.
tradisi, kepercayaan, pola pikir, kebiasaan, tradisi, kepercayaan,
dan perasaan yang menolak orang pola pikir, dan perasaan yang
lain untuk masuk ke dalam bersedia menerima orang lain.
kelompoknya.

19. Vernacular language: Pemikiran Vehicular language: Pemikiran Al-Lisan.


KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, KAAB yang terdiri atas nilai-
persepsi, adat istiadat, kebiasaan, nilai, persepsi, adat istiadat,
tradisi, keper- kebiasaan, tradisi, keper-
cayaan, pola pikir, dan perasaan cayaan, pola pikir, dan perasaan
yang cenderung belajar bahasa yang belajar bahasa
sendiri/lokal pengetahuan/bahasa lain.

20. Parochialism: Pemikiran KAAB Flexibility: Pemikiran KAAB Tasamuh.


yang terdiri atas nilai-nilai, yang terdiri atas nilai-nilai,
persepsi, adat istiadat, kebiasaan, persepsi, adat istiadat,
tradisi, kepercayaan, pola pikir, kebiasaan, tradisi, kepercayaan,
dan perasaan yang menyampaikan pola pikir, dan perasaan yang
ajaran secara kaku. menyampaikan ajaran secara
elastis/lentur.

Tabel 2.1

Tabel di atas menjelaskan tentang karakteristik pemikiran KAAB yang

terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan,


33

pola pikir dan perasaan setiap kelompok masyarakat, agama maupun

budayanya. Lebih lanjut, Teori ini menerangkan tentang macam-macam

budaya dengan beberapa ketentuan dan pengelompokannya. Teori tersebut

berjumlah dua puluh.

C. Faktor yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya

Kebudayaan merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka

ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.14 Komunikasi

antarbudaya diharapkan dapat membantu memahami perbedaan budaya yang

dapat mempengaruhi praktik-praktik komunikasi. Komunikasi antarbudaya

juga diharapkan dapat mengidentifikasi hambatan-hambatan yang muncul

dalam komunikasi antarbudaya sekaligus mengatasi masalah tersebut.

Hammer (1989), Ruben (1977) Olebe dan Koester 1989, serta Kealey

(1989) sebagaimana dikutip Alo Liliweri, mengemukakan bahwa paling tidak

ada dua faktor yag paling berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya,15

yakni;

1. Faktor Kognitif

Ruben (1977) mengemukakan bahwa terjalinnya komunikasi

antarbudaya pada umumnya dan perilaku antarbudaya pada

khususnya ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman dan pikiran


14
Deddy Mulyana dan jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h.18.
15
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013)
h.265.
34

yang membentuk konsep antarbudaya.16 Kata Ruben, seseorang yang

bekerja dalam suatu organisasi, melaksanakan komunikasi

antarbudaya secara intensif hanya jika dia mempunyai apresiasi

terhadap pekerjaan dan tugas yang dibebankan kepadanya. Yang

terpenting adalah bagaimana dia menampilkan kekuatan untuk

membangun kebudayaan pribadinya melalui gaya antarpribadi, dan

kerjasama antarbudaya. Dengan demikian, perhatian terhadap

kebudayaan tetaplah penting dalam proses komunikasi antarbudaya.

2. Faktor Gaya Pribadi

Gaya pribadi atau perilaku gaya sering disebut (self-

oriented).17Studi ini mengacu pada pendapat Kealey bahwa

komunikasi antarbudaya yang berdasarkan orientasi diri dapat

mengubah efektivitas komunikasi menjadi komunikasi yang

disfungsional. Hal ini disebabkan karena orang terlalu menampilkan

self-oriented yang berlebihan sehingga orang itu menjadi congkak,

dan menunjukkan gagasan yang tidak menarik atau membosankan.

Berikut beberapa bentuk gaya pribadi yang seringkali tampil dalam

komunikasi antarpribadi;

a) Etnosentrisme

16
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, h.266.
17
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, h.266.
35

Etnosentrisme adalah suatu perasaan superior atau

keunggulan dari suatu kelompok orang yang menganggap

kelompok lain lebih inferior dan kurang unggul.18 Perasaan

merasa dirinya atau kelompoknya lebih unggul dari yang

lainnya ini, dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi

antarbudaya. Menurut Tucker dan Baier (1985) dikutip Alo

Liliweri, kemampuan komunikasi saja belum cukup membuat

seseorang bersikap kritis atau cermat dalam penyesuaian

antarbudaya tetapi mencoba untuk menghilangkan sikap

merasa diri lebih unggul daripada orang lain.

b) Toleransi, Sikap Mendua dan Keluwesan

Dalam proses komunikasi antarbudaya seringkali orang

kurang mampu bereaksi terhadap sebuah situasi baru atau

situasi yang mendua, dengan kata lain komunikasi antarbudaya

mengandung sifat mendua,19 karena kita menghadapi dua

ketidakpastian kebudayaan, yakni kebudayaan sendiri maupun

kebudayaan orang lain. Hal ini sekaligus yang menjadi

hambatan dalam efektivitas komunikasi antarbudaya.

Singkatnya, apabila dua orang atau lebih yang berbeda

latabelakang budayanya berhasil menghadapi situasi yang tidak

18
Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya, h.214.
19
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya.hlm 267
36

dapat dipahami, atau situasi yang mendua maka orang tersebut

telah bersikap toleran terhadap situasi ini.

c) Empati

Empati merupakan kemampuan untuk merasakan,

melihat secara akurat, dan memberikan respons secara tepat

kepada kepribadian, hubungan, dan lingkungan sosial

seseorang.20 Broome dalam samovar mengatakan bahwa

empati merupakan hal yang penting dalam kompetensi

komunikasi yang umum dan merupakan karakter utama dari

komunikasi antarbudaya yang kompeten dan efektif.21

Maka dari itu dapat dikatakan bahwa empati merupakan dasar

untuk terjalinnya komunikasi antar orang-orang yang berbeda

latarbelakang budayanya.

d) Keterbukaan

Devito (1989) dalam penelitiannya mencatat bahwa

keterbukaan pribadi (Self-disclosure) dan keluwesan pribadi

(Self flexibility) merupakan faktor penting untuk menciptakan

relasi antarpribadi yang maksimum.22 Dengan keterbukaan

bukan berarti bahwa setiap orang harus membuka diri seluas-

luasnya, namun membuka kesempatan untuk sama-sama

20
Larry A.Samovar dkk,Komunikasi Lintas Budaya, h.466
21
Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya h.214.
22
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya.h. 268.
37

mengetahui informasi tentang diri maupun tentang lawan

bicara.

e) Kompleksitas Kognitif

Kompleksitas kognitif mengacu pada kemampuan

pribadi untuk mengetahui, dan mengalami orang lain. Secara

umum dapat dikatakan bahwa kompleksitas kognitif individu

membuat seorang semakin akurasi menentukan dan

mengembangkan kesan terhadap orang lain.

f) Kenyamanan Antarpribadi

Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan

dan interaksi antarpribadi berkaitan dengan prinsip efektivitas.

Apabila anda merasa tidak nyaman, tidak tenang dan tidak

percaya dengan relasi antarpribadi dalam kebudayaan anda,

maka anda pun merasa tidak lebih nyaman, tidak tenang, dan

tidak percaya dalam kebudayaan yang berbeda dengan anda.

g) Kontrol Pribadi

Terjalinnya komunikasi antarbudaya juga sangat

tergantung pada sejauh mana perseorangan dapat mengontrol

pribadi terhadap lingkungan sekitarnya. Tucker dan Baier

(1985) dikutip oleh Liliweri menemukan ada hubungan yang

signifikan antara kontrol pribadi dan tampilan pribadi dengan

penyesuaian budaya. Penelitian lain menunjukkan bahwa ada


38

hubungan antara pandangan hidup pribadi, kecenderungan

untuk pasrah dengan penyesuaian pribadi (Dood 1987). 23

h) Kemampuan Inovasi

Inovasi merupakan salah satu bentuk perubahan sosial

yang dilakukan melalui penyebarluasan informasi dan

teknologi baru melalui sistem sosial suatu masyarakat.

i) Harga diri

Harga diri (self esteem) sangat menentukan terjalinnya

komunikasi antarbudaya. Seorang komunikator dituntut untuk

memiliki inisiatif untuk berelasi dan menyesuaikan diri dengan

komunikan. Artinya, seorang komunikator tidak

mempertahankan harga dirinya, sebab komunikator akan

semakin sulit berkomunikasi dengan komunikan, begitupun

sebaliknya, jika perasaan “rendah diri” menyelimuti

komunikator maka keadaan psikologis itu dapat menghambat

komunikasi antarbudaya.

j) Keprihatinan dan Kecemasan Komunikasi

Dodd (1987) dikutip oleh Liliweri (2013) mengatakan

bahwa kecemasan komunikasi antarpribadi, kecemasan dalam

kelompok, serta kecemasan atas publisitas dapat berdampak

23
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, h.269.
39

atas penyesuaian antarbudaya yang pada gilirannya

mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya.

3. Faktor-faktor Lain

Adapun faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi

terjalinnya komunikasi antarbudaya adalah sebagai berikut;

a) Faktor Keramahtamahan

Faktor keramahtamahan atau friendliness juga

merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi

efektivitas komunikasi antarbudaya. Meskipun batas

keramahtamahan antarbudaya yang satu dengan yang lain

sangat relatif tetapi pada umumnya setiap kebudayaan

mengajarkan keramahtamahan dalam komunikasi antarpribadi.

b) Faktor Motivasi

Motivasi merupakan satu aspek psikologi, antarbudaya.

Berbagai fakta menunjukkan bahwa keberhasilan komunikasi

ditentukan oleh orang yang memperhatikan faktor-faktor

psikologi, atau memperhatikan faktor-faktor apa saja yang

mendorong komunikasi.

c) Faktor Akulturasi

Akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-unsur

kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan pencampuran


40

unsur-unsur tersebut namun perbedaan diantara unsur-unsur

asing dengan yang asli masih tampak.

d) Faktor Umur

Dalam beberapa kebudayaan, penghargaan

antarmanusia sangat ditentukan oleh umur. Dikalangan orang

jawa, mereka yang berusia lebih muda tidak diperkenankan

menatap mata orang yang lebih tua. Hal semacam ini,

menunjukkan bahwa perbedaan umur antarpribadi sangat

mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya.

e) Faktor Pekerjaan

Dalam masyarakat yang distratifikasi berdasarkan

jenis-jenis pekerjaan menunjukkan bahwa faktor pekerjaan

turut menghambat efektivitas komunikasi. Misalnya, seorang

atasan dengan bawahan, hubungan antarpekerja ini akan

ditentukan oleh aturan organisasinya.

D. Konsep Kerukunan Umat Beragama

Secara etimologi kata kerukunan berasal dari bahasa Arab, yaitu

ruknun yang berarti tiang, dasar, sila. Jamak dari ruknun ialah arkan yang

berarti bangunan sederhana yang terdiri atas berbagai unsur. Jadi, kerukunan

itu merupakan satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur yang berlainan
41

dan setiap unsur tersebut saling menguatkan.24 Dalam bahasa Indonesia arti

rukun ialah:

1. Rukun (nominal), berarti: Sesuatu yang harus di penuhi untuk sahnya

pekerjaan, seperti tidak sahnya manusia dalam sembahyang yang tidak

cukup syarat, dan rukunya asas, yang berarti dasar atau sendi:

semuanya terlaksana dengan baik tidak menyimpang dari rukunnya

agama.

2. Rukun (ajektif) berarti: Baik dan damai tidak bertentangan: hendaknya

kita hidup rukun dengan tetangga, bersatu hati, sepakat. Merukunkan

berarti: (1) mendamaikan; (2) menjadikan bersatu hati. Kerukunan: (1)

perihal hidup rukun; (2) rasa rukun; kesepakatan: kerukunan hidup

bersama.25

Kerukunan juga diartikan sebagai kehidupan bersama yang diwarnai

oleh suasana baik dan damai. Hidup rukun berarti tidak bertengkar, melainkan

bersatu hati, dan sepakat dalam berfikir dan bertindak demi mewujudkan

kesejahteraan bersama. Didalam kerukunan semua orang bisa hidup bersama

24
Said agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antaragama (Jakarta: Ciputat Press, 2003)
h.4.
25
Imam Syaukani, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan
Umat Beragama (Jakarta, Puslitbang, 2008), h.525.
42

tanpa kecurigaan, dimana tumbuh semangat dan sikap saling menghormati

dan kesediaan untuk bekerjasama demi kepentingan bersama.26

Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia dipolakan dalam Trilogi

Kerukunan27, yaitu:

1) Kerukunan intern masing-masing umat dalam satu agama

Ialah kerukunan di antara aliran-aliran/paham-pahm/mazhab-

mazhab yang ada dalam suatu umat atau komunitas agama.

2) Kerukunan di antara umat/komunitas agama yang berbeda-beda

Ialah kerukunan di antara para pemeluk agama-agama yang

berbeda-beda yaitu di antara pemeluk Islam dengan pemeluk Kristen

Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha.

3) Kerukunan antar umat/komunitas agama dengan pemerintah

Ialah supaya diupayakan keserasian dan keselarasan di antara

para pemeluk atau pejabat agama dengan para pejabat pemerintah

dengan saling memahami dan menghargai tugas masing-masing

dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang

beragama.

26
M.Zainuddin Daulay, Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di Indonesia
(Jakarta:Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2001) h.67
27
Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, (Jakarta;
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama di
Indonesia, 1997), hal. 8-10
43

E. Golongan Sunni dan Syiah

1. Definisi Sunni dan Syiah

Sunni dan Syiah merupakan dua aliran besar dalam teologi

Islam. Kedua aliran ini muncul berawal dari persoalan siapa yang

berhak menjadi pemimpin pasca wafatnya Rasulullah Saw. Kaum

Syiah meyakini bahwa Sayyidina Ali adalah pemimpin pengganti

Rasul yang sah. Secara bahasa Syiah berasal dari ‫ يشيع‬-‫ شاع‬sya‟a-

Yasyi‟u yang berarti mengikuti juga berarti menemani. Syiah juga

berarti kelompok. Dan berarti pula penolong.28 Yang kemudian

diidentikkan dengan pengikut sayyidina Ali (Syiah Ali). sedangkan

Sunnah secara harfiah berarti tradisi, Ahl as-Sunnah berarti orang-

orang yang seara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad saw.,29

dalam hal ini adalah tradisi Nabi dalam tuntunan lisan maupun amalan

beliau serta sahabat beliau. Maka dari itu, Dr.Muhammad at-Tijani

dikutip Husein Ja’far menyatakan as-Syiah hum Ahlussunnah

(Kelompok Syiah [imamiyah] mereka itulah Ahlussunnah).30 Sebab,

Sayyidina Ali merupakan salah satu sepupu, sahabat, sekaligus

menantu Nabi yang konsisten mengikuti, meneladani, dan

28
HM.Attamimy, SYI‟AH; Sejarah, Doktrin dan Perkembangan di Indonesia (Yogyakarta:
Graha Guru, 2009) h.1.
29
M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta; Lentera
Hati, 2007) h.57.
30
Husein Ja’far al-hadar, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang Rekonsiliasi dalam
Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, (Jakarta; MAARIF Institute, 2015) Vol.10, No.2. h.107
44

mengajarkan pengikutnya untuk taat pada Sunnah Nabi, sehingga Nabi

sendiri dalam hadis mutawatir menyebutnya sebagai pintu Kota ilmu

Nabi “ana madinatul ilmi wa aliyun babuha”. Oleh karena itu, sejak

Nabi wafat, Sayyidina Ali menjadi rujukan utama (termasuk oleh tiga

khalifah sebelumnya) tentang berbagai urusan agama. Hingga

Khalifah umar penah menyatakan; “jika tidak ada Ali, maka celakalah

Umar, (laula Ali lahalaka Umar)”.31 Begitu pula Sunni, secara bahasa

berarti Syiah. Sebab Sunni juga pecinta dan pengikut Sayyidina Ali

sebagai salah satu khalifah dari Khulafa ar-Rasyidin. Tentu ulama dan

kaum Sunni sangat keberatan jika mereka tidak digolongkan sebagai

pecinta dan pengikut Sayyidina Ali. Karenanya secara bahasa,

Ahlussunnah hum asy-Syiah.

2. Pokok-pokok Ajaran Sunni dan Syiah

Kelompok Sunni dan Syiah sama-sama memiliki pokok ajaran.

Pokok ajaran keduanya hanya berbeda dalam istilah sedangkan

maknanya sama. Kaum Syiah menyebut rukun Islam dengan istilah

furu‟ad-din dan rukun iman dengan istilah ushul ad-din. Kaum Sunni

menyebut rukun iman dengan Arkanul Iman dan Arkanul Islam untuk

rukun Islam.

31
Husein Ja’far al-hadar, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang Rekonsiliasi dalam
Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, Vol.10, No.2. h.107
45

Menurut Syaikh Muhammad Husein al-Kasyif al-Ghitha

seorang ulama besar Syiah dikutip oleh Quraish Syihab, pada

prinsipnya rukun iman mengandung tiga poin.

“Islam dan iman adalah sinonim, yang keduanya secara


umum bertumpu pada tiga rukun yaitu: Tauhid (Keesaan
Tuhan), Kenabian, dan Hari Kemudian. Jika seseorang
mengingkari salah satu dari ketiganya, maka dia bukanlah
seorang mukmin, bukan juga seorang Muslim, tetapi apabila ia
percaya tentang keesaan Allah, kenabian penghulu para nabi,
yakni Nabi Muhammad SAW., serta percaya tentang hari
pembalasan (kiamat), maka adalah seorang muslim yang benar.
Dia mempunyai hak sebagaimana hak-hak orang-orang
Muslim yang lain. Darah, harta, dan kehormatannya haram
diganggu. Kedua kata itu juga (Iman dan Islam) memiliki
pengertian khusus yaitu ketiga rukun tersebut ditambah dengan
rukun keempat yang terdiri dari tonggak-tonggak, yang atas
dasarnya Islam dibina, yaitu shalat, puasa, zakat, haji, dan
jihad.32

Keempat rukun inilah yang merupakan prinsip-prinsip iman

dan Islam bagi umat Islam secara umum, dan menurut Syaikh

Muhammad Husein, tidak ada perbedaan antara golongan Syiah

(imamiyah) dengan Ahlussunnah dalam hal itu. Selanjutnya, Syaikh

Muhammad Husein dikutip Quraish Syihab menyatakan;

“Syiah imamiyah menambahkan rukun kelima, yaitu


kepercayaan kepada Imam, yang maknanya adalah percaya
bahwa imamah adalah kedudukan yang bersumber dari Tuhan
sebagaimana kenabian (yang juga bersumber dari Tuhan).33

32
M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta; Lentera
Hati, 2007) h.86
33
M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta; Lentera
Hati, 2007) h.87
46

Imamah atau kepercayaan terhadap imam dalam tradisi syiah

bukan merupakan ushuluddin, melainkan hanya ushul al-madzhab

yakni hasil elaborasi sesuai tafsiran dan identitas mazhab masing-

masing, sebagaimana ditegaskan Ruhullah Imam Khomeini dikutip

oleh Husein Ja’far menyatakan bahwa; “imamah dalam syiah

bukanlah ushuluddin, melainkan ushul al-mazhab oleh karena itu,

yang mengingkarinya dinilai bukan atau keluar dari Syiah, bukan atau

keluar dari Islam.”34

Ahlussunnah juga berpendapat, sebagaimana kelompok syiah,

bahwa iman dan Islam sinonim, serta memiliki perngertian umum dan

khusus. Namun, mayoritas Ahlussunnah menyatakan bahwa iman

terdiri dari enam rukun, yaitu keimanan kepada: 1) Allah SWT, 2)

Para malaikat, 3) Kitab-kitab Suci, 4) Para Rasul, 5) Hari Kemudian,

6) Percaya tentang Qadha dan Qadar. Sedangkan Rukun Islamnya ada

Lima hal yaitu, 1) Syahadat, 2) Shalat, 3) Zakat, 4) Puasa, dan 5)

Haji.35

34
Husein Ja’far al-hadar, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang Rekonsiliasi dalam
Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, Vol.10, No.2. h.109
35
M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, h.87
BAB III

GAMBARAN UMUM DESA JAMBESARI

A. Kondisi Geografis Desa Jambesari

Gambar 3.1

Desa jambesari adalah salah satu desa yang berada dikecamatan

Jambesari Darus Solah, Kabupaten Bondowoso. Luas desa Jambesari 467,2

Ha atau 4,672 km2. Menurut keterangan masyarakat desa setempat, bahwa

kata-kata Jambesari berarti pinang yang berbunga. Diceritakan dahulu

sebelum desa jambesari berbentuk sebuah desa, daerah tersebut banyak sekali

tumbuh pohon pinang; di pekarangan, ladang dan terbanyak di persawahan.

Menjelang musim berbuah tiba, Pohon-pohon pinang tersebut mulai

mengeluarkan bunga-bunga yang indah, sehingga dinamakanlah daerah yang

banyak dengan pohon pinang yang berbunga tersebut dengan nama Jambesari.

Desa yang memiliki jarak sekitar 12 kilometer dari ibu Kota kabupaten/Kota

Bondowoso ini memiliki batas wilayah;

1. Sebelah utara : Desa Grujugan Lor

47
48

2. Sebelah selatan : Sumber Kemuning

3. Sebelah timur : Jambe Anom

4. Sebelah barat : Pejagan

Desa Jambesari termasuk daerah dataran rendah dengan luas 405 Ha

atau 4,05 km2. Selain itu wilayahnya terdiri dari lima dusun yaitu dusun

Krajan, dusun Gabugan, dusun Karang Malang, dusun Beddian, dan dusun

Angsanah. Lahan di desa Jambesari sebagian besar dimafaatkan untuk lahan

pertanian. Sebagaimana data berikut;

Sawah irigasi teknis 148,7 Ha

Sawah irigasi ½ Teknis 135,5 Ha

Sawah tadah hujan 40 Ha

Tegal/ ladang 15 Ha

Pemukiman 9,7 Ha

Pekaragan 111,3 Ha

Tanah bengkok 13 Ha

Sawah desa 5 Ha

Perkantoran pemerintah 4,3 Ha

Pertokoan 9 Ha

Dan lain lain 5 Ha

Dari data diatas dijelaskan bahwa desa jambesari memiliki potensi

sumberdaya alam dibidang pertanian, sehingga tidak heran jika sebagian besar
49

masyarakat desa jambesari memilih bertani dan menjadi buruh tani sebagai

pekerjaan kesehariannya, Disamping terdapat juga masyarakat memilih

sebagai wiraswasta.

B. Kondisi Demografis

1. Penduduk

Berdasarkan data dari profil desa dan kelurahan kabupaten

bondowoso pada tahun 2015, jumlah penduduk desa Jambesari 7.507

jiwa, dengan perbandingan penduduk laki-laki 3.916 orang,

sedangkan penduduk perempuannya 3.591 orang. Berikut data

penduduk desa Jambesari berdasarkan usia;

Tabel 3.1

Data Penduduk Desa Jambesari Berdasarkan Usia

Kelompok Umur Laki-laki (Orang) Perempuan (Orang)

0-14 727 724

15-20 394 335

21-25 253 292

26-30 326 302

31-35 346 285

35-40 303 266

41-45 318 260

46-50 278 267


50

51-55 273 231

56-60 209 151

61-65 175 168

66-70 122 123

71-75 117 99

Diatas 75 74 84

Total 3916 3591

Kehidupan masyarakat desa Jambesari masih sangat kental

dengan kehidupan masyarakat pedesaan pada umumnya, yakni

tradisional dan sederhana. Masyarakat desa jambesari saling

menghargai dan menghormati satu dengan lainnya. Meskipun, sempat

adanya provokasi terkait dengan keyakinan keagamaan yakni

perbedaan paham ajaran. Namun, dengan karakter kekerabatan yang

kuat, dan solidaritas yang tinggi masyarakat jambesari menjalin

kehidupan yang harmonis. Hal ini, dapat diketahui ketika misalkan,

salah satu warga mengalami musibah kematian, warga lainnya akan

berbondong-bondong untuk berkunjung sekaligus turut berduka cita,

biasanya dengan membawa seserahan semacam beras, gula ataupun

lainnya.
51

2. Mata Pencaharian Pokok

Desa jambesari yang memiliki potensi sumberdaya alam di

bidang persawahan sehingga menjadikan masyarakat jambesari

memilih petani sebagai pekerjaan utamanya, disamping ada

masyarakat berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), buruh

migran dan lainnya. Hal ini sesuai dengan data profil desa dan

kelurahan kabupaten bondowoso pada tahun 2015, sebagai berikut;

Tabel 3.2

Mata Pencaharian Masyarakat Desa Jambesari

No Jenis Pekerjaan Laki-Laki Perempuan


(Orang) (Orang)

1 Petani 968 302

2 Buruh Tani 208 117

3 Buruh migran 152 124

4 Pegawai negeri sipil 16 2

5 Peternak 4 -

6 Bidan swasta - 1

7 Pensiunan 6 2

8 Wiraswasta 966 90

9 Lain-lain 1599 2953

Jumlah 3916 3591

Jumlah Total Penduduk 7507


52

3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan di Desa Jambesari masih dapat dikatakan

rendah, sebab masih banyaknya masyarakat desa Jambesari yang

hanya tamat sekolah Dasar (SD) dengan perbandingan jumlah laki-

lakinya 1731 orang dan perempuannya 1622 orang. Sedangkan

masyarakat yang tamat S-1/Sederajat dengan perbandingan jumlah

laki-lakinya 48 orang dan perempuannya 20 orang. Berikut tabel

tingkat pendidikan masyarakat desa jambesari sesuai dengan profil

desa dan kelurahan kabupaten Bondowoso pada tahun 2015.

Tabel 3.3

Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Jambesari

No Tingkat Pendidikan Laki- Perempuan


Laki (Orang)
(Orang)
1 Usia 7-18 tahun yang tidak pernah 96 74
sekolah
2 Usia 7-18 tahun yang sedang 621 624
sekolah
3 Usia 18-56 tahun tidak pernah 518 650
sekolah
4 Usia 18-56 tahun tidak tamat SD 540 724

5 Usia 18-56 tahun tidak tamat SMP 629 603

6 Usia 18-56 tahun tidak tamat SMA 321 337

7 Tamat SD/sederajat 1731 1622


53

8 Tamat SMP/sederajat 511 296

9 Tamat SMA/sederajat 36 35

10 Tamat D-1/sederajat 2 -

11 Tamat D-2/sederajat 2 1

12 Tamat D-3/sederajat 12 14

13 Tamat S-1/sederajat 48 20

14 Tamat S-2/sederajat 3 2

15 Tamat S-3/sederajat - -

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat jambesari ini

disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor ekonomi.

Dengan kehidupan yang serba pas-pasan tidak sedikit masyarakat desa

jambesari yang memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan anaknya

ke tingkat yang lebih tinggi. Selain itu pula, kesadaran akan

pentingnya dunia pendidikan untuk anak-anaknya juga menjadi faktor

rendahnya tingkat pendidikan di desa Jambesari.

4. Agama
54

Gambar 3.2

Jumlah penduduk dari segi keagamaan, masyarakat desa

Jambesari mayoritas beragama Islam. Hal ini dapat dilihat pada tabel

sebagai berikut;

Tabel 3.4

Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agamanya

No Agama Laki-Laki Perempuan


(Orang) (Orang)

1 Islam 3916 3591

2 Kristen - -

3 Katholik - -

4 Hindu - -

5 Budha - -

6 Konghucu - -

Jumlah 3916 3591

Adapun terkait dengan golongan kepercayaan dalam agama

Islam, mayoritas masyarakat desa Jambesari meyakini ahlussunnah

waljamaah sebagai aqidahnya. Disamping terdapat keyakinan


55

masyarakat desa Jambesari terhadap ajaran Syiah dengan jumlah 250

orang.1

C. Kehidupan Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari

Masyarakat desa yang berjarak 12 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten/

Kota Bondowoso tersebut masih tergolong tradisional, hal ini dapat diketahui

dengan minimnya pengetahuan masyarakat desa jambesari terhadap dunia

modern.

Masyarakat desa Jambesari mayoritas meyakini agama Islam sebagai

dasar keyakinan dalam menjalankan kehidupan kesehariannya. Dalam agama

Islam terdapat beberapa aliran yang hingga saat ini masih dikenal dan diikuti

oleh sekolompok masayarakat, misalnya aliran Sunni dan Syiah. Golongan

Sunni berlandaskan kepada al-quran dan Sunnah Nabi Saw sebagai

pedomannya, sedangkan golongan Syiah berlandasakan kepada Al-Qur’an

dan Ahlulbayt Nabinya. Keduanya sama-sama meyakini al-qur’an sebagai

landasan untuk menjalankan kehidupan, dan berbeda pada Sunnah dan

ahlulbayt, meskipun pada dasarnya keduanya sama saja, maksudnya ahlulbayt

yang berarti keluarga Nabi kumpulan yang paling dekat dengan Nabi Saw

tentunya melaksanakan Sunnah yang diajarkan oleh Nabinya. Akan tetapi hal

ini msih banyak belum disadari oleh masyarakat pada umumnya. Sehingga

1
Data pribadi Mukhlis (tokoh Syiah) desa Jambesari, “Data Masyarakat/Ikhwan Jambesari”.
56

ketika berbicara Sunni dan Syiah sudah pasti tidak jauh dari pembahasan

konflik antara keduanya.

Ketika didaerah lain golongan Sunni dan Syiah selalu terjadi gesekan,

di desa Jambesari justru hal sebaliknya yang nampak, yakni kerukunan antara

penganut golongan yang berbeda tersebut. Masyarakat golongan Sunni dan

Syiah telah menyatu. Hal ini terlihat ketika salah satu dari keduanya sedang

melaksanakan tradisi atau ritual keagamaan, mereka saling menghargai

dengan tidak melarang untuk mengadakan tradisi tersebut.

Adapun tradisi keagamaan yang masih sering dilaksanakan oleh

masyarakat setempat adalah;

1. Hari-hari besar dalam Islam.

Kegiatan keagamaan dalam menyambut hari-hari besar dalam

Islam yang masih sering dilaksakan oleh masyarakat desa

Jambesari adalah Muludan, Isra’Miraj dan lainnya.

Muludan dan Isra’ Mi’raj Nabi adalah kegiatan keagamaan

yang dilakukan masyarakat muslim pada umumnya, yakni

merayakan hari lahir Nabi besar Muhammad SAW dan Isra’

Mi’rajnya Nabi Muhammad SAW dari Masjid al-Haram ke

Masjid Al-Aqsa. Biasanya dilaksanakan di Masjid-masjid dengan

membaca, do’a-do’a, shalawatan atau puji-pujian terhadap Nabi

Muhammad SAW dan ceramah agama oleh Habaib/Kiyai/tokoh

agama setempat atau sengaja mendatangkan dari daerah lain.


57

2. Yasinan

Yasinan adalah kegiatan keagamaan berupa pembacaan surat

Yasin dan Tahlil serta do’a yang biasanya dilaksanakan setiap

malam Jum’at, setelah shalat Maghrib, yang diadakan di mushola-

mushola. Peserta Yasinan biasanya adalah jama’ah shalat Maghrib

di Mushola.

Selain dilaksanakan secara rutin pada malam Jum’at, kegiatan

Yasinan sering dilaksanakan pada saat-saat memperingati

meninggalnya seseorang, istilahnya lok telloen yang dilaksanakan

pada hari ke-3, hari ke-7 (tok Petto’en), hari ke-40 (empak polo

arenah), hari ke-100 (nyatos), hari ke-1000 (nyibuh).

3. Anjangsana

Anjangsana adalah kegiatan membaca tahlil dan shalawat nariyah

yang dilakukan oleh perangkat desa, biasanya dilaksanakan

dirumah-rumah perangkat desa secara bergiliran. Menurut

keterangan warga setempat, anjangsana berarti berkeliling dengan

adanya tujuan, yakni silaturrahmi guna mempererat hubungan

antar pengurus desa.

Golongan Sunni dan Syiah sama-sama meyakini dan melaksanakan

tradisi-tradisi keagamaan tersebut. Sehingga dengan adanya tradisi tersebut,

masyarakat Sunni dan Syiah saling berbaur satu dengan yang lainnya.
58

Meskipun ada tradisi keagamaan yang dilakukan oleh golongan Sunni dan

Syiah secara masing-masing, misalkan golongan Syiah setiap malam jumat

selain membaca tahlil, mereka juga membaca do’a kumail, yang konon adalah

do’a yang diajarkan oleh para imam yang mereka yakini. Selain itu juga,

golongan Syiah sering mengadakan peringatan kelahiran maupun kematian

para imam mereka. Kegiatan tersebut biasanya hanya dilakukan oleh intern

golongan Syiah.
BAB IV

TEMUAN DAN ANALISIS DATA

Setelah penulis melakukan penelitian di desa Jambesari, terus

berkembangnya ajaran Sunni umumnya, dan ajaran Syiah khususnya di desa

Jambesari ini tidak lepas dari komunikasi, dan kebudayaan yang terdapat pada

ajaran Sunni maupun Syiah, sehingga tidak jarang ditemukan bahwa terdapat

saling mempengaruhi antara komunikasi dan budaya dalam keseharian

masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari.

Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 2, Menurut teori komunikasi

antarbudaya Edward T. Hall, Hall mengaitkan komunikasi dengan budaya

memiliki hubungan sangat erat. Menurutnya, communication is culture and

culture is communication. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu

mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik

secara horizontal dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun

secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini terlihat

pada masyarakat desa Jambesari golongan Sunni maupun Syiah. Dimana

dalam menjelaskan keyakinan ataupun ajaran yang dipahaminya, seperti

memaknai kehidupan didunia, tatacara beribadah ataupun berinteraksi terhadap

sesama keyakinan ataupun berbeda keyakinan, komunikasi dijadikan alat

utamanya.

59
60

Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang

dianggap sesuai untuk kelompok tertentu. Dalam ajaran Sunni dan Syiah, yang

keduanya merupakan dua aliran besar dalam Islam, memiliki kebudayaan

masing-masing, yang sekilas berbeda namun pada hakikatnya sama, yakni

mengikuti al-Quran dan Sunnah Nabinya. Misalkan yang baru-baru ini

dilaksanakan oleh masyarakat desa Jambesari yakni menyambut dan

merayakan salah satu hari besar dalam Islam Isra’ Mi’raj Nabi SAW.

Masyarakat desa Jambesari merayakannya dengan berkumpul dimasjid atau

musholla membaca do’a dan solawatan kepada junjungan Nabi besar

Muhammad SAW.

A. Komunikasi Antarbudaya dan Agama Masyarakat Golongan Sunni dan

Syiah di desa Jambesari

Sejak kehadirannya pada tahun 2006 di desa Jambesari, paham Syiah

tidak diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Hal ini, diduga karena

paham Syiah memiliki ajaran yang berbeda dengan ajaran yang dipahami

masyarakat setempat, khususnya ajaran dari para sesepuh desa Jambesari.

Beragam isu negatif yang ditujukan kepada masyarakat golongan Syiah, mulai

dari cara shalat berbeda, memperbolehkan untuk tukar menukar istri, al-

Qur’annya berbeda, dan isu-isu yang mengandung unsur provokatif lainnya.

Berikut hasil kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang tokoh Syiah,

Bapak Mukhlis;
61

“Ya tadi itu, bisa tukar menukar istri, bukan bicara mut’ah,
bukan. Kalo mati dihadapkan ketimur, dibungkus kain hitam, kalo caci
maki sahabat kan lagu lama, ya paling nggak sholat jumat padahal
shalat jumat, ga suka tahlil, padahal sering tahlil, kalo mati dibungkus
kain hitam, padahal kain putih meskipun ada tulisan jausyannya.1
Beredarnya isu-isu negatif dan berbeda dengan ajaran Islam pada

umumnya, yang terdengar dikalangan masyarakat Jambesari yang sengaja

disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab ini, menjadikan

salah pahamnya masyarakat golongan non Syiah menilai masyarakat

golongan Syiah. Sehingga meletuplah kerusuhan di desa Jambesari pada tahun

2006 tersebut.

Dampak dari isu-isu provokatif tersebut, beragam perlakuan yang

didapatkan dan dirasakan oleh masyarakat golongan Syiah; pembakaran

rumah milik seorang tokoh Syiah, pengajian yang dibubarkan paksa, tidak

saling tegur sapa antara masyarakat golongan Syiah dengan golongan

masyarakat Sunni, hingga terputusnya tali silaturrahmi dan berakibat

kehilangan pekerjaannya.

Dalam hal kekeluargaan misalnya, antara paman dengan ponakan

bermusuhan karena salah satunya mengikuti ajaran Syiah yang dianggap

sesat. Muda mudi yang bertunangan pun dibatalkan karena perbedaan

keyakinan tersebut. Begitu pula dalam hal pekerjaan, masyarakat Jambesari

yang mayoritas bekerja sebagai buruh tani, sulit mendapatkan pekerjaan


1
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
62

karena perbedaan keyakinan tersebut. Seorang berpaham Sunni pemilik lahan,

tidak mempekerjakan petani untuk menggarap sawahya yang berpaham Syiah,

dan begitu pun sebaliknya.

Seiring berjalannya waktu, kehidupan masyarakat golongan Sunni dan

Syiah di desa Jambesari mulai kondusif, yang mulanya masyarakat tertutup

sekarang sudah terbuka. Yang mulanya, masyarakat Syiah tidak mendapat

pekerjaan, sekarang mendapat pekerjaan yang layak, seperti masyarakat lain

pada umumnya. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang

Syiah, Ahmad Rowi;

“Dulu, semenjak adanya penyerangan itu masyarakat Sunni


menutup diri terhadap masyarakat Syiah, contohnya saat tahlilan,
walimah kita masyarakat syiah tidak diundang, ketika bekerja pun
banyak ihwan kita tidak di percaya lagi, tapi saya tetap men-sabarkan
mereka. Dan mengatakan kalo kerja ya kerja degan benar, jangan
banyak ngomong. Dan Alhamdulillah sekarang justru ihwan kita yang
dipercaya sebagai kepala di sawah. Dan masyarakat disini sudah
mulai mengerti dan tidak mempermasalahkan perbedaan itu.”2
Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa, lambat

laun masyarakat Jambesari memahami terkait beragamnya keyakinan dalam

Islam. Meskipun terdapat perbedaan dalam beberapa hal, masyarakat

Jambesari lebih memperhatikan persamaan antara kedua keyakinan yang

berbeda ini. Seakan memang terlihat tidak acuh terhadap perbedaan, akan

tetapi masyarakat Jambesari justru semakin dewasa menyikapi perbedaan

2
Wawancara Pribadi dengan Bapak Ahmad Rawi, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016,
Pukul 10.00 WIB.
63

karena prinsip masyarakat Jambesari yang terpenting adalah ketentraman dan

kerukunan dalam menjalani kehidupan. Berikut hasil wawancara peneliti

dengan bapak Mukhlis:

“Sama-sama punya prinsip yang Syii, Syii; yang Sunni; Sunni,


ayo kita bangun kerukunan. Entah itu Sunni, entah itu Syii yang
penting kita bisa baca syahadat itu Islam. Banyak yang mengatakan
seperti ini sudah. Sama-sama Islam kok.”3

B. Analisis Komunikasi antarbudaya dan Agama Golongan Sunni dan Syiah

menurut Teori Andi Faisal Bakti (teori duapuluh)

Setelah peneliti melakukan analisis terhadap komunikasi antarbudaya

dan agama golongan Sunni dan Syiah diatas, peneliti akan melakukan analisis

data dengan menggunakan teori yang dikemukakan Andi Faisal Bakti melalui

teori komunikasi antaragama dan budaya (KAAB) yang berjumlah dua puluh.

Dalam analisis ini, peneliti menggunakan beberapa teori dari hasil

temuan dilapangan. Dari dua puluh teori hanya digunakan beberapa teori saja.

Pertama, Adoration of Scriptures lawan dari teori ini adalah Interpretation

of Scriptures. Kedua, Monotheism (idol destriction) / Humanism (God

created by Humans) lawan dari teori ini adalah paganism (idol worshipping).

Ketiga, Sectarian Communitarism lawan dari teor ini adalah Global

Communitarism. Tiga teori inilah temuan peneliti yang akan peneliti analisis.

3
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
64

1. Adoration of scriptures

Adoration of scriptures adalah sekelompok masyarakat, agama, dan

budaya yang sangat mencintai atau menyukai teks agamanya (kitab

sucinya). Lawan dari teori ini adalah Interpretation of Scriptures adalah

sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang memaknai atau

memahami teks (kitab suci) yang menjadi pegangannya. Dalam Islamteori

ini sejalan dengan Ijtihad.

Dalam tradisi golongan Sunni dan Syiah, ketika terdapat salah seorang

meninggal dunia, selain masyarakat membantu mengurus prosesi

memandikan hingga menguburkan, setiap malam selama tujuh malam

diadakan pembacaan tahlil yang dikhususkan untuk orang yang meninggal

tersebut. Biasanya, masyarakat yang hadir hanya membaca dan tanpa

mengetahui maknanya. Secara keseluruhan bacaan yang dibaca dalam

perayaan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Serangkaian do’a fatihah yang diperuntukkan kepada Nabi,

keluarga nabi, para sahabat-sahabat Nabi, para Wali, para pengikut

Nabi, para orang-orang baik dan para malaikat,kemudian para ahli

kubur terutama dari keluarga yang membaca tahlil. Biasanya

pembacaannya dipisah-pisah dengan masing-masing pembacaan

surat Al-Fatihah.

2) Pembacaan surat Al-Ikhlas sebanyak tiga kali, Al-Falaq satu kali

dan Al-Nas satu kali. Pada setiap akhir pembacaan masing-masing


65

surat itu dipisah dengan pembacaan Lailahaillahu Allahu Akbar

Walillahil Hamdu. Ada pula yang membacakan surat yasin.

3) Pembacaan surat Al-Fatihah dan dilanjutkan dengan pembacaan

beberapa penggalan ayat-ayat Al-Qur‟an, diantaranya surat Al-

Baqarah dari ayat 1-5, Al-Baqarah ayat 163, Al-Baqarah ayat 255

atau ayat kursi, Al-Baqarah 284-286, dipisah dengan bacaan

irhamna ya arhamarrahimin sebanyak tujuh kali, kemudian

dilanjutkan dengan surat Hud ayat 73, surat Al-Ahzab ayat 33, Al-

Ahzab ayat 56, lalu dilanjutkan dengan pembacaan sholawat,

setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan surat Ali Imran ayat 173,

Al-Anfal ayat 40, dan ditutup dengan kalimat Tahlil sebanyak

seratus kali. Sebagai penutupnya bianya dibacakan do’a tahlil

Selain tahlil, golongan Sunni dan Syiah dalam menyambut hari

besar dalam Islam juga menggelar pengajian. Adapun pengajian yang

baru-baru ini digelar yakni Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad.

Gambar 4.1
66

Gambar diatas tampak Bapak Ahmad Rawi memimpin

pengajian, dengan melantunkan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad

SAW, dan masyarakat dengan khidmat mengikuti pengajian tersebut.

2. Monotheism (idol destriction) / Humanism (God created by Humans)

Monotheism (Idol destruction) / Humanism (God created by humans)

adalah pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat

istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan

yang percaya kepada Tuhan yang satu. Lawan dari teori ini adalah

paganism (idol worshipping) yakni melakukan penyembahan kepada yang

selain Tuhan. Baik itu terhadap sesajen, jimat, dukun atau membaca ayat-

ayat tertentu untuk tujuan tertentu. Dalam Islam teori ini sejalan dengan

at-Tauhid.

Golongan Sunni dan Syiah sebagai dua aliran besar dalam Islam sudah

tentu sama-sama meyakini dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah

yang patut disembah dan Muhammad utusan Allah (Assyhadu anla ilaha

illa Allah Wa asyhadu anna Muhammadun rasulullah). Dengan bersaksi

bahwa hanya Allah lah yang patut disembah, masyarakat golongan Sunni

dan Syiah mengerjakan segala sesuatu yang telah diperintahkan serta

menjauhi segala larangan-larangan-Nya.


67

Gambar 4.2

Gambar diatas tampak masyarakat golongan Syiah sedang

melaksanakan ibadah shalat Jum’at, yang merupakan kewajiban bagi umat

Muslim untuk melaksanakannya.

3. Sectarian Communitarism

Sectarian communitarianism adalah pemikiran KAAB yang terdiri

atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi,

kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang patuh hanya kepada

golongan/komunitasnya saja. Lawan dari teori ini adalah Global

Communitarism. Dalam Islam teori ini sejalan dengan al-Qoum.

Sebagai golongan yang sama-sama besar dalam islam, tentu golongan

Sunni dan Syiah memiliki pengaruh besar terhadap para penganutnya,

sehingga tidak heran jika rasa cinta terhadap golongannya juga sangat

besar. Di desa Jambesari, kedua penganut golongan tersebut sangat

mencintai dan membangga-banggakan alirannya. Sehingga dengan adanya

rasa unggul dari golongan lain tersebut, menjadikan masyarakat golongan


68

Sunni dan Syiah konflik. Berikut kutipan wawancara dengan Bapak

Mukhlis;

“Kalo dulu iya, merasa paling benar sampe-sampe teman-


teman disini nyari lawan untuk berdialog, sampe-sampe ada statement
dari temen-temen kalo dalam Bahasa maduranya “mun lambek eberik
ngakan calatong, satiyah eberik ngakan roti, yeh nyaman “(kalo dulu
dikasi makan kotoran, sekarang dikasi makan roti, ya merasa bangga.
Terus kiyai-kiyai disini dibodoh-bodohkan sama teman-teman. “mun
kiyaenah been roh buduh” ( kiyai kamu itu bodoh). Dan emang ada
dasarnya, iya kan. Sampe terjadi gejolak. Terus saya redam, kiai
dengan teman-teman saya redam. Yang mulutnya agak tajam ini
dikumpulkan tiap malam ada pengkajian-pengkajian, dan sekarang
sudah aman-aman sajah.”4

Banyaknya sikap merasa dirinya paling unggul dikalangan masyarakat

Syiah ini, tidak dibenarkan oleh tokoh Syiah sendiri yakni Ahmad Rawi.

Sehingga beliau menekankan untuk tidak merasa unggul dan selalu

menjunjung ukhuwah Islamiyah.

“Ketika saya diminta berceramah, yang saya tekankan adalah


ukhuwah Islamiyah. Jangan saling merasa unggul, karena kita tidak
tau siapa yang lebih unggul, Itu urusan ALLAH SWT. Orang Sunni
punya alesan sendiri kenapa mereka iku syiah, dan orang syiah juga
punya alasan. Yah intinya jangan merasa paling benar.”5

Sebagai salah seorang yang didengar nasehat-nasehatnya, setelah

mengeluarkan statement tersebut, masyarakat golongan Syiah patuh.

Sehingga mulai lebih dewasa memahami perbedaan dan selalu menjalin

4
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
5
Wawancara Pribadi dengan Bapak Ahmad Rawi, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016,
Pukul 10.00 WIB.
69

ukhuwah Islamiyah, sehingga terjalinnya komunikasi antarbudaya

masyarakat golongan Sunni dan Syiah.

C. Faktor yang Mempengaruhi komunikasi Antar Budaya dan Agama

Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari

Terjalinnya kerukunan antar golongan Sunni dan Syiah di desa

Jambesari, disebabkan terjalinnya komunikasi antarbudaya dan agama yang

dilakukan masyarakat golongan Sunni dan Syiah dalam kehidupan sehari-

harinya. Hal ini, terlihat jelas bahwa Golongan Sunni dan Syiah dalam

komunikasi antarbudaya dipengaruhi beberapa faktor, yakni Faktor Kognitif,

faktor gaya pribadi, dan faktor lainnya.

1. Faktor Kognitif Golongan Sunni dan Syiah

Faktor kognitif yang dimaksud adalah pengetahuan, pengalaman dan

pikiran seseorang yang membentuk konsep antarbudaya. Pengetahuan akan

budaya sendiri dan orang lain ini nantinya akan mempegaruhi perilaku dan

efektivitas komunikasi antarbudaya. Dalam keseharian masyarakat golongan

Sunni dan Syiah sama-sama telah mengetahui mengenai adanya beberapa

perbedaan dalam ajaran Sunni dan Syiah. Berikut adalah hasil kutipan

wawancara peneliti dengan H.Abdullah (salah satu tokoh Sunni) terkait

adanya perbedaan antara Sunni dan Syiah:

“Yah paling Adzan itu. Kalo Syiah menambahkan Hayya ala


hairil Amal. Karena pake speaker jadi kedengaran. Tentang lainnya
saya tidak tau, Bagaimana do’anya orang Syiah, saya tidak tau.
70

Sepengetahuan saya sekilas, wudlu. Shalat, Cuma saya tidak pernah


melihat langsung. Tetapi informasi yang beredar di masyarakat,
shalatnya bisa digabung (rangkos), kalau punya pekerjaan takut ga
nutut waktu asharnya, jadi digabungin di waktu dzuhurnya. Seperti itu
informasi yang beredar dimasyarakat. Tetapi saya tidak mengetahui
bettul, yang penting shalatnya sendiri benerin. Apa yang diajarkan
sesepuh dulu, itu yang di ikuti.”6

Sadar dengan adanya perbedaan dalam kegiatan keseharian

masyarakat golongan Sunni dan Syiah tidak menjadikan masyarakat kedua

golongan tersebut terus-terusan mempermasalahkan perbedaan, justru mereka

tidak acuh terhadap perbedaan tersebut, dan fokus untuk menjalankan

ajarannya masing-masing.

2. Faktor Gaya Pribadi Golongan Sunni dan Syiah

Terjalinnya komunikasi antarbudaya juga ditentukan oleh perilaku

gaya berdasarkan gaya pribadi (self-oriented). Seseorang yang terlalu

menampilkan self-orieted menjadikannya congkak, dan menunjukkan gagasan

yang tidak menarik atau membosankan. Berikut beberapa bentuk gaya pribadi

yang seringkali tampil dalam komunikasi antarpribadi, yang nantinya peneliti

jadikan indikator dalam efektivnya komunikasi antarbudaya masyarakat

golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari;

a. Etnosentrisme

6
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul 10.00
WIB.
71

Etnosentrisme yakni adanya perasaan lebih unggulnya

golongan atau kelompok sendiri dibandingkan dengan golongan yang

lainnya. Sikap demikian ini yang menjadikan sulit terjalinnya

komunikasi antarbudaya. Sejak kehadirannya, pada tahun 2006 dan

masyarakat Jambesari berbondong-bondong mengikuti ajaran Syiah,

masyarakat golongan Syiah merasa sedang berada dijalan kebenaran,

dan hanya mereka yang benar. Adanya perasaan paling benar

dibandingkan dengan golongan yang lainnya ini, menyulitkan

masyarakat golongan Syiah berkomunikasi dengan golongan yang

lainnya. Sehingga, tidak heran jika pada tahun 2006 tersebut,

masyarakat Syiah dijauhi atau bahkan terjadi konflik dengan

masyarakat non-Syiah. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan

Bapak Mukhlis salah seorang tokoh Syiah;

“Kalo dulu iya, merasa paling unggul. sampe-sampe


teman-teman disini nyari lawan untuk berdialog, sampe-sampe
ada statement dari temen-temen kalo dalam Bahasa
maduranya “mun lambek eberik ngakan calatong, satiyah
eberik ngakan roti, yeh nyaman “(kalo dulu dikasi makan
kotoran, sekarang dikasi makan roti, ya merasa bangga. Terus
kiyai-kiyai disini dibodoh-bodohkan sama teman-teman. “mun
kiyaenah been roh buduh” ( kiyai kamu itu bodoh). Dan emang
ada dasarnya, iya kan. Sampe terjadi gejolak.” 7

Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa,

Adanya sikap etnosentris yakni merasa paling benar yang ditunjukkan

7
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
72

masyarakat golongan Syiah terhadap ajaran agama Islammenjadikan

masyarakat golongan Sunni tidak terima, sehingga meruntuhkan

kerukunan dan menimbulkan konflik. Hal ini menunjukkan bahwa

etnosentrisme dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi

antarbudaya.

b. Toleransi, Sikap Mendua dan Keluwesan

Golongan Syiah yang memiliki perbedaan dalam beberapa hal

dengan keyakinan golongan Sunni pada umumnya, tidak serta merta

langsung diterima kehadirannya. Tidak menyapa, jaga jarak

merupakan beberapa contoh yang terekam dalam keseharian

masyarakat Jambesari, hal ini menunjukkan tidak efektivnya

komunikasi antarbudaya kedua golongan tersebut. Namun, tingginya

kesadaran masyarakat Jambesari akan toleransi dengan golongan yang

berbeda, mendukung efektivnya komunikasi antarbudaya sehingga

terbentuk kehidupan yang rukun. Berikut kutipan wawancara peneliti

dengan H.Abdullah;

“Terkait kekeluargaan, sudah tidak ada masalah apa-


apa, karena masyarakat tidak memperpanjang persoalan
perbedaan, ya si Sunni jalan apa adanya dengan keyakinannya
dan yang Syiah juga sperti itu (Tak nabheng lanjheng) sudah
membiarkan jalan sendiri-sendiri.”8

8
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
73

Berdasarkan hasil wawancara diatas, masyarakat Jambesari

Golongan Sunni dan Syiah, sama-sama saling menunjukkan adanya

rasa keluwesan, yakni masyarakat Jambesari tidak terus-terusan

membahas perbedaan, dan mempersilahkan untuk menjalankan

ibadahnya sesuai keyakinan masing-masing. Berikut kutipan

wawancara peneliti bersama dengan bapak Ahmad Rawi;

“Alhamdulillah sekarang responnya sudah baik, jika


acara besar dalam Islamtidak sedikit masyarakat golongan
sunni yang ikut bareng. Tetapi kalo acara milad atau
menyambut kelahiran para imam masyarakat golongan sunni
tidak ikut berpartisipasi dikarenakan kami mengadakannya
hanya kecil-kecilan dan masyarakat responnya juga baik.”9

Berdasarkan hasil wawancara diatas menunjukkan bahwa,

dengan adanya tradisi keagamaan yang sama-sama diyakini dan

dilaksanakan oleh golongan Sunni dan Syiah, menjadikan penganut

kedua golongan tersebut saling berinteraksi, dan bertoleransi sehingga

menjadikan komunikasi antarbudaya efektif dan tercipta kehidupan

yang rukun antar masyarakat golongan Sunni dan Syiah.

c. Empati

Empati merupakan kemampuan untuk merasakan, melihat

secara akurat, dan memberikan respons secara tepat kepada

kepribadian, hubungan, dan lingkungan sosial seseorang.10 Sebagai

9
Wawancara pribadi dengan Bapak Ahmad Rowi, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016.
Pukul 10.00 WIB.
10
Larry A.Samovar dkk,Komunikasi Lintas Budaya, h.466
74

masyarakat yang hidup dipedesaan, golongan Sunni dan Syiah di desa

Jambesari sering kali ikut merasakan hal-hal yang terjadi terhadap

seseorang. Terdapat sesuatu yang unik pada masyarakat Jambesari

perihal empati. Misalkan salah seorang golongan Sunni meninggal

dunia, masyarakat desa Jambesari terlepas Sunni dan Syiah semuanya

turut berduka dan mendatangi rumahnya, dan membantu meringankan

beban keluarga yang ditinggalkannya. Berikut adalah hasil kutipan

wawancara peneliti dengan bapak Mukhlis:

“...Kalau ada kifayah, orang meninggal, Sunni Syii


ngumpul sekarang, ngelayat semua. Ya kalo yang meninggal
orang Syii, yang didepan mensholati orang Syii, kalo yang
meninggal Sunni yang didepan orang Sunni. Secara upcaranya
seperti itu.”11

Berdasarkan hal diatas, dapat diketahui bahwa Empati tidak

dapat dipisahkan dengan kehidupan keseharian masyarakat Jambesari.

Masyarakat golongan Sunni dan Syiah, sama-sama mengesampingkan

keyakinannya disaat terdapat seseorang yang mengalami musibah.

Sehingga dengan munculnya empati ini, komunikasi antara golongan

Sunni dan Syiah di desa Jambesari berjalan efektif.

d. Keterbukaan

Semakin dewasanya masyarakat golongan Sunni dan Syiah

memahami perbedaan, menjadikan pengikut kedua golongan tersebut

11
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
75

lebih terbuka dan memiliki keluwesan pribadi. Sedangkan menurut

Devito sikap keterbukaan juga merupakan faktor untuk menciptakan

relasi antarpribadi yang maksimum. Berikut hasil wawancara peneliti

dengan H.Abdulah perihal sikap luwes masyarakat Jambesari;

“Tidak, Semua ini tergantung lingkungan, tokoh


terutama pimpinan desa. Alhamdulillah di sini setiap bulan
ada shalawatan, orang sunni dan syiah di undang, karena
sama-sama rakyatnya tidak dibedakan, atau mungkin bisa jadi
dengan cara-cara seperti ini mereka kembali lagi ke
tujuannya.”12

Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa

setelah masyarakat Sunni mengetahui adanya perbedaan dengan

ajaran Syiah, mereka tidak meyatakan golongan lain itu sesat,

begitupun sebaliknya. Sehingga kedua golongan tersebut mau duduk

bersama mengikuti acara bulanan yang di selengarakan oleh pimpinan

desa. Acara tersebut biasanya diakhiri dengan berbincang-bincang

santai oleh hadirin mengenai berbagai persoalan yang terjadi di desa

Jambesari. Sehingga hal ini menunjukkan adanya keterbukaan

masyarakat Jambesari baik golongan Sunni maupun Syiah.

e. Kompleksitas Kognitif

Kompleksitas kognitif mengacu pada kemampuan pribadi

untuk mengetahui, dan mengalami orang lain. Perbedaan pemahaman

mengenai ajaran Sunni dan Syiah hampir semua masyarakat

12
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul
10.00 WIB.
76

Jambesari mengetahui. Tentu pasti berbeda tingkatan pemahamannya.

Meskipun adanya perbedaan antara kedua golongan tersebut, tak

menjadi persoalan bagi masyarakat Jambesari. Hal ini yang

membedakan masyarakat Jambesari dengan masyarakat lainnya,

sebagaimana dijelaskan oleh H.Abdullah sebagai berikut;

“Bedanya masyarakat Jambesari dengan masyarakat


lainnya, tidak memperpanjang persoalan. Orang syiah mau
ngadain acara apapun selama dilingkungannya sendiri tidak
masalah, karena itu emang sudah ajarannya. Yang menjadikan
konflik itu kan memperpanjang persoalan perbedaan itu,
debat, kalo aqidahnya ga kuat, trus panas dan marah-
marah.”13

Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa

masyarakat Jambesari mengetahui akan adanya perbedaan keyakinan,

namun mereka tetap bersikap luwes selama tidak meresahkan

kehidupan masyarakat Jambesari.

f. Kenyamanan Antarpribadi

Kenyaman antarpribadi, juga menjadi faktor efektivitas

komunikasi antarbudaya. Apabila anda merasa tidak nyaman, tidak

tenang dan tidak percaya dengan relasi antarpribadi dalam

kebudayaan anda, maka anda pun merasa tidak lebih nyaman, tidak

tenang, dan tidak percaya dalam kebudayaan yang berbeda dengan

anda. Hal ini yang dirasakan pengikut Syiah, pada awal kehadirannya.

13
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul
10.00 WIB.
77

Pengikut Syiah merasa terasing jika berada ditengah-tengah golongan

Sunni. Tentu hal ini berdampak pada tidak efektivnya komunikasi

antarbudaya. Berikut hasil wawancara peneliti dengan Bapak Muhlis;

“Kadang-kadang, kalo sempet ya dateng. Liat situasi


dan kondisi kalau yang hadir kurang begitu suka yah ga
hadir.”14

Berdasarkan kutipan hasil wawancara diatas, menunjukkan

komunikasi antarbudaya akan berjalan efektiv, jika orang-orang yang

berbeda budaya tersebut merasakan adanya kenyamanan dan

ketenangan dalam berkomunikasi. Hal ini justru yang tidak dirasakan

oleh masyarakat Syiah pada mulanya, sehingga ketika di undang

mengahadiri acara yang diselenggarakan oleh golongan Sunni,

mereka melihat siapa yang akan hadir terlebih dahulu. Akan tetapi

berbeda halnya saat ini, masyarakat Jambesari sudah merasa saling

memahami, sehingga kenyamanan pribadi pun tercipta. Berikut hasil

wawanara peneliti dengan Bapak Muhlis;

“Kalo sekarang sudah nyaman. Bukan Cuma saya,


teman-teman juga sekarang sudah merasa nyaman. Bayangkan
pekerjanya kiai matrawi ini Sunni, keluar masuk dapurnya.
Dulu jangan kan masuk kerumahnya kiai matrawi, lewat aja
gak mau. Ya klo sekarang keluar masuk sudah ga masalah.”15

g. Kontrol Pribadi

14
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
15
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
78

Terjalinnya komunikasi antarbudaya juga sangat tergantung

pada sejauh mana perseorangan dapat mengontrol pribadi terhadap

lingkungan sekitarnya. Seseorang yang tidak terkontrol tentu akan

menyebabkan perseteruan. Hal ini yang terjadi di Jambesari seseorang

yang baru mengenal Syiah, menganggap Syiah itu ajaran yang paling

benar dan selain Syiah salah. Sedangkan mayoritas masyarakat di

Jambesari meyakini Sunni sebagai golongannya. Berikut hasil

wawancara peneliti dengan Bapak Muhlis;

“Iyaa, merasa unggul, merasa paling benar. Biasa lah


dek, namanya orang baru tau kok. Kayak punya barang baru,
pengen ditonjolkan terus.”16

Berdasarkan hal diatas, dapat diketahui bahwa masyarakat

yang baru mengenal Syiah, merasa dirinya sudah paling benar.

Dengan timbulnya perasaan paling benar tersebut menjadikan

pengikut golongan Syiah ingin membenarkan segala yang dianggap

salah atau tidak sesuai dengan ajarannya. Kurangnya kontrol terhadap

diri sendiri, dan minimnya penyesuaian diri terhadap golongan Sunni,

meresahkan masyarakat Sunni yang lebih lama hadir dan diyakini

oleh masyarakat Jambesari pada umumnya. Lagi-lagi hal ini lah yang

menjadikan gagalnya komunikasi antar masyarakat Sunni dan Syiah

di Jambesari pada tahun 2006 silam. Sehingga dapat dikatakan bahwa

16
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
79

kontrol terhadap pribadi sangat diutamakan dalam terjalinnya

komunikasi antarbudaya, dimana komunikator yang berbeda budaya

dan agama, sama-sama untuk mengontrol pribadinya serta

penyesuaian terhadap budayanya.

h. Kemampuan Inovasi

Masyarakat golongan Syiah Jambesari memiliki program

penggemukan sapi, yang program ini belum pernah ada sebelumnya.

Program ini sengaja di bentuk oleh lembaga Syiah yang ada di desa

Jambesari, melihat potensi desa Jambesari yang cukup strategis untuk

mengembangkan program tersebut. Adanya inovasi ini, menjadi daya

tarik tersendiri baik bagi kalangan masyarakat Syiah maupun

masyarakat Sunni. Adapun yang dipercaya untuk mengurus sapi-sapi

tersebut adalah salah seorang dari golongan Sunni meskipun program

tersebut milik golongan Syiah. Berikut hasil wawancara peneliti

dengan Bapak Mukhlis:

“Disini madrasah punya program menggemukkan sapi,


yang ngerawat orang Sunni. Yah silahkan, kan tidak ada
masalah.”17

17
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
80

Sehingga dengan adanya inovasi di bidang program

penggemukan sapi ini menjadikan, lebih seringnya berkomunikasi

antara pengikut gologan Sunni dan Syiah.

i. Harga diri

Harga diri (self esteem) juga sangat menentukan terjalinnya

komunikasi antarbudaya. Dimana seorang komunikator dituntut untuk

memiliki inisiatif untuk berelasi dan menyesuaikan diri dengan

komunikan. Dalam relasi keseharian masyarakat golongan Sunni dan

Syiah, saling bergantian posisi sebagai komunikator dan komunikan,

sebab sifat komunikasinya yakni dua arah. Sehingga untuk

menciptakan komunikasi yang efektif, diperlukan inisiatif untuk

berelasi oleh kedua pengikut golongan tersebut. Hal ini yang dialami

Bapak Mukhlis sebagai tokoh Syiah jika diundang untuk menghadiri

acara golongan Sunni, beliau secara tidak langsung, mau atau tidak

dituntut untuk menyesuaikan diri dengan budaya golongan Sunni.

Dalam isi pembicaraan pun, beliau hanya membahas ahlak. Karena

ahlak atau berperilaku baik terhadap diri sendiri maupun orang lain

sangat dianjurkan dan tidak mengenal golongan. Berikut hasil

wawancara peneliti dengan bapak Mukhlis;

“Kalo saya kumpul-kumpul dengan mereka, ya yang


saya bicarakan masalah ahlak. Tapi ada pengecualiannya nih,
biasanya saya ada tamu dan nanya-nanya tentang Syii ya
sudah, saya sampaikan. Kalo saya berkomunikasi dengan
mereka, saya tidak menyampaikan keyakinan-keyakinan.
81

Kecuali saya ditanya, ya terpaksa kan. Ya kalo orang mau beli


ya saya jual. Saya sampaikan dengan cara-cara yang tidak
menyinggung mereka, kita beri pengertian.”18

Berdasarkan hal diatas, adanya inisiatif yang dilakukan bapak

Muhlis untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat Sunni, dengan

tidak membicarakan hal-hal yang berbeda dalam keyakinan kedua

golongan tersebut. Hal ini juga ditekankan oleh bapak Muhlis

terhadap masyarakat golongan Syiah yang lainnya. Sehingga dengan

adanya rasa untuk menyesuaikan terhadap budaya yang berbeda akan

menjadikan komunikasi antarbudaya berjalan efektif, serta terciptanya

kehidupan masyarakat yang rukun.

j. Keprihatinan dan Kecemasan Komunikasi

Munculnya rasa cemas yang dialami masyarakat golongan

Syiah, karena disebabkan beredarnya penyesatan terhadap

golongannya. Serta munculnya kecemasan yang dialami oleh

masyarakat golongan Sunni, karena hadirnya keyakinan Syiah yang

dianggap sesat dan tidak di perbolehkannya untuk berinteraksi dengan

golongan tersebut, menyebabkan gagalnya komunikasi antarbudaya

Sunni dan Syiah tersebut. Hal ini terjadi saat baru pertama kali

hadirnya keyakinan Syiah di desa Jambesari, sehingga timbul konflik

antar kedua golongan tersebut.

18
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
82

Semakin tingginya kecemasan untuk berinteraksi dengan

golongan yang berbeda budaya sebagaimana yang dialami masyarakat

Sunni dan Syiah di Jambesari, maka semakin kecil kemungkinan

terjadinya komunikasi yang efektif.

Begitupun sebaliknya, semakin rendah kecemasan yang

dialami oleh pengikut kedua golongan tersebut, maka akan membawa

komunikasi kearah yang lebih baik, sehingga perbedaan diantara

kedua golongan tersebut tertutupi karena adanya peleburan budaya

yang dirasakan oleh pengikut golongan Sunni dan Syiah. Berikut hasil

wawancara peneliti dengan bapak muhlis, terkait dengan semakin

rendahnya rasa cemas masyarakat golongan Syiah untuk

berkmounikasi dengan masyarakat golongan Sunni:

“Kalo sekarang sudah nyaman. Bukan Cuma saya,


teman-teman juga sekarang sudah merasa nyaman. Bayangkan
pekerjanya kiai matrawi ini Sunni, keluar masuk dapurnya.
Dulu jangan kan masuk kerumahnya kiai matrawi, lewat aja
gak mau. Ya klo sekarang keluar masuk sudah ga masalah.”19

Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat terlihat adanya rasa

nyaman yang dirasakan oleh masyarakat Sunni dan Syiah dalam

berkomunikasi. Bahkan orang-orang Sunni bersedia untuk bekerja

dengan orang Syiah. Hal ini terjadi karena minimnya kecemasan

untuk berinteraksi dengan yang berbeda golongan yakni Syiah.

19
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
83

3. Faktor-faktor Lain Golongan Sunni dan Syiah

Adapun faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi terjalinnya

komunikasi antarbudaya golonagan Sunni dan Syiah di desa

Jambesari adalah sebagai berikut;

a. Faktor Keramahtamahan

Pada dasarnya, keramahtamahan bersifat relatif. Akan tetapi

pada umumnya setiap kebudayaan mengajarkan keramahtamahan

dalam komunikasi antarpribadi. Terlebih lagi masyarakat pedesaan

yang sangat kental dengan hubungan kekeluargaannya. Masyarakat

golongan Sunni dan Syiah yang memiliki beberapa perbedaan,

mereka tetap bersifat ramah antara satu dengan yang lainnya. Hal

ini dapat diketahui dari prilaku masyarakat yang saling tegur sapa

dimanapun mereka berjumpa. Berikut hasil wawancara peneliti

dengan H.Abdullah:

“Jika orang syiah mengucapkan salam kepada saya, ya


wajib saya jawab.” 20

Keramahtamahan masyarakat Sunni dan Syiah di desa

Jambesari juga di pengaruhi kesamaan suku. Dalam budaya suku

Madura, maka dikenal sebagai “Taretan dhibik” (saudara sendiri).

20
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul
10.00 WIB.
84

Budaya taretan dhibik ini merupakan budaya dasar orang Madura

yang menunjukkan sikap solidaritas yang tinggi sesama suku

Madura. Dimana pun, kapan pun, dalam keadaan apa pun, orang-

orang Madura akan tetap memegang budaya tersebut. Hal ini yang

menumbuhkan ikatan emosional masyarakat golongan Sunni dan

Syiah di desa Jambesari.

Keramahtamahan yang ditunjukkan masyarakat golongan

Sunni dan Syiah, berdampak kepada kehidupan masyarakat

Jambesari yang semakin tentram dan aman. Hal ini terbukti ketika

peneliti mengajukan pertanyaan, jika ada orang yang mencoba

memprovokasi agar golongan Sunni dan Syiah kem bali berseteru,

jawaban dari pihak Sunni dan Syiah sama-sama tidak akan

mendengarkan dan tidak akan terpengaruh, karena hal itu hanya

ingin meruntuhkan kerukunan desa Jambesari. Berikut hasil

wawancara peneliti dengan H.Abdullah terkait jika ada orang yang

mencoba memprovokasi:

“Tak mengikuti orang luar, karena orang luar hanya


membakar atau mendorong dengan tujuan bagaimana
Jambesari ini hancur. Jadi saya tidak ikut-ikut.”21

Hal serupa juga dikatakan bapak Mukhlis, bahwa Sunni dan

Syiah sudah kembali rukun, jika ada yang berusaha memecah belah

21
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul
10.00 WIB.
85

kembali masyarakat sudah tidak terpengaruh. Berikut hasil

wawancara peneliti dengan Bapak Mukhlis:

“Kalo ada yang mencoba mengadu domba, kita cuek


ajah. Ga usah ditanggepin. Seperti acara barusan, acara
penggagalan milad sayidah Fatimah az-zahara itukan
penggerak masanya orang Jambesari, orang Jambesarinya
gak ada yang mau. Jadi kalo ada provokator masuk ke
Jambesari, sudah tidak ditanggapi dengan mereka. Apalagi
dengan teman-teman. Mereka sendiri Orang Sunni sendiri
tidak menanggapi sudah. Statementnya mereka kita sudah
rukun “engkok lah rukun bik taretan masak gik erosakah pole”
saya sudah rukun dengan saudara masa masih mau
dibentrokkan lagi. Banyak yang mengatakan seperti itu, Ini
peryataan orang Sunni loh yah, bukan orang-orang Syii.”22

Berdasarkan hal diatas dapat diketahui bahwa sikap

keramahtamahan mendorong adanya komunikasi antarpribadi yang

baik. Sehingga menjadikan kehidupan orang-orang yang berbeda

budayapun penuh dengan keharmonisan dan kerukunan.

b. Faktor Motivasi

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat

Sunni dan Syiah yang sama-sama bersuku Madura, memiliki

budaya Taretan dhibi (saudara sendiri). Hal ini merupakan salah

satu motivasi masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa

Jambesari dalam berkomunikasi. Adanya budaya taretan dhibi ini

membangkitkan sikap emosional masyarakat Madura pada

umumnya, dan terkhusus masyarakat golongan Sunni dan Syiah di

22
Wawancara pribadi dengan Bapak Mukhlis, tokoh masyarakat Syiah, 13 Mei 2016. Pukul
13.00 WIB.
86

desa Jambesari untuk saling membantu dan bergotong royong untuk

menciptakan kehidupan yang lebih baik.

c. Faktor Akulturasi

Sunni dan Syiah sebagaimana telah dijelaskan pada bab

sebelumnya merupakan dua aliran besar dalam islam. Kehadiran

Sunni di desa Jambesari boleh dikatakan lebih awal dari Syiah.

Dalam hal kebudayaan, kedua aliran ini memiliki beberapa

perbedaan yang dipengaruhi oleh pemikiran para tokohnya. Jika

Sunni hanya melaksanakan ritual khusus pada hari-hari besar islam,

golongan Syiah juga melaksanakan hari-hari besar menurut

keyakinan mereka, misalkan Asyuro yakni memperingati wafatnya

imam mereka yang ketiga Husein bin Ali bin Abu tholib, perayaan

Ghadir khum yakni hari bersejarah pengangkatan Sayyidina Ali

sebagai pemimpin pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, dan

berbagai perayaan kedukaan maupun kebahagiaan. Tentu mereka

melaksanakan acara tersebut dengan adanya penyesuaian dengan

budaya setempat yakni Jambesari.

d. Faktor Umur

Dalam beberapa kebudayaan, penghargaan antarmanusia

sangat ditentukan oleh umur. Dikalangan Sunni dan Syiah, mereka

yang berusia lebih muda tidak diperkenankan menatap mata orang

yang lebih tua serta menghormatinya, sedangkan yang tua


87

menghargai yang muda. Hal semacam ini, menunjukkan bahwa

perbedaan umur antarpribadi sangat mempengaruhi efektivitas

komunikasi antarbudaya.

e. Faktor Pekerjaan

Dalam hal pekerjaan mayoritas masyarakat Jambesari

bekerja sebagai petani. Pekerjaan ini juga menunjukkan bahwa turut

mempengaruhi efektivitas komunikasi masyarakat golongan Sunni

dan Syiah. Dimana kesamaan pekerjaan, dapat mempererat tali

silaturrahmi pengikut kedua golongan tersebut. Berikut hasil

wawancara peneliti dengan Bapak Abdur Rahim, yang bekerja

sebagai buruh tani:

“Saya punya temen orang syiah, biasa ajah sekarang.


Sama-sama bekerja sebagai buruh tani. Kalo dulu temen saya
ini tidak diajak bekerja, semenjak ketauan dia Syiah. Karena
sesat katanya. Tapi sekarang dia sudah begabung lagi dengan
kami. Bahkan dia ditunjuk sebagai orang kepercayaan pemilik
sawah dek.”23

Hal serupa juga dijelaskan H.Abdullah, bahwa dalam

pekerjaanlah masyarakat Sunni dan Syiah paling sering

berkomunikasi. Berikut hasil wawancara peneliti dengan

H.Abdullah:

23
Wawancara pribadi dengan Bapak Abdur Rahim, masyarakat Sunni, 15 Mei 2016. Pukul
09.00 WIB.
88

“Antara hubungan pekerjaan, Misalkan saya punya sawah


(sunni) dan anda kerja sebagai buruh tani (syiah) yah sudah
tidak ada apa-apa. Bekerja seperti biasa. Terkait dengan beda-
bedanya kita tidak mengikuti si A mengang si , dan begitu juga
si B. ini kondusifnya Jambesari. Antara sunni dan Syiah, yah
yang sunni, sunni yang syiah Syiah. Sehingga tidak ada
meributkan masalah keyakinan. Dan juga tergantung pimpinan
desa, karena pengaturannya enak dibawah juga enak.”24

Berdasarkan hal diatas dapat diketahui bahwa dengan

adanya kesamaan pekerjaan, masyarakat golongan Sunni dan

Syiah saling berinteraksi tanpa mempersoalkan perbedaan

keyakinan. Sehingga hal ini, menjadikan terjadinya komunikasi

yang efektif antar keduanya.

D. Interpretasi Data
Terciptanya kehidupan yang rukun antara pengikut golongan Sunni

dan Syiah di desa Jambesari, di tentukan dengan terjalinnya komunikasi

antarbudaya diantara kedua golongan tersebut. Mustahil akan tercipta

kerukunan jika tidak terjadinya komunikasi, sedangkan komunikasi sulit

dipisahkan dari budaya, sebagaimana dikatakan Edward T.Hall bahwa

komunikasi adalah budaya, dan budaya adalah komunikasi. Jelas berbeda

budaya golongan Sunni dan Syiah. Pengikut golongan Syiah mengacu kepada

Iran, negara terbesar penganut ajaran Syiah, sebagai rujukan untuk

melaksanakan tradisi-tradisi keIslaman maupun dalam berperilaku sehari-hari.

Sedangkan golongan Sunni lebih condong ke Arab, karena mengikuti para

24
Wawancara pribadi dengan H.Abdullah, tokoh masyarakat Sunni, 10 Mei 2016. Pukul
10.00 WIB.
89

leluhur terdahulu yang banyak belajar keislaman dari tanah Arab. Adanya

perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan ini akan menununjukkan adanya

perbedaan-perbedaan pula pada praktik-praktik komunikasinya. Sebagaimana

dikatakan Mulyana, bahwa kebudayaan merupakan landasan komunikasi, bila

budaya beraneka ragam, maka beraneka rragam pula praktik-praktik

komunikasinya.

Berdasarkan hasil temuan dilapangan, golongan Syiah hadir dan

diakui keberadaannya di desa Jambesari, dikarenakan beberapa hal;

1. Para anggota kelompok mampu berkembang dan bertahan dengan

mempunyai jumlah tertentu. Dalam hal ini, pengikut golongan Syiah

yang mulanya hanya beberapa orang saja yakni hanya keluarga besar

ahmad Rawi, saat ini menyebar kepada masyarakat yang tinggal

disekitar kediaman Ahmad Rawi, yakni sekitar 300 orang, hal ini

berdasarkan data keanggotaan milik Mukhlis.

2. Kehadiran Syiah diterima karena tidak membawa bibit perpecahan.

Sejak kehadirannya pada tahun 2006, para pengikut golongan Syiah

melaksanakan ritual keagamaanya dengan bebas, meskipun terdapat

konflik pada tahun tersebut, hal ini disebabkan karena terdapat

kesalahpahaman antara pengikut kedua golongan tersebut dalam

memahami ajarannya masing-masing. Pada akhirnya, dengan

munculnya kesadaran mengenai terdapat kesamaan-kesamaan dalam

ajaran, kesamaan dalam kebudayaan, serta tidak membawa bibit


90

perpecahan, menjadikan golongan Syiah diterima dan diakui oleh

masyarakat Jambesari.

3. Adanya kesamaan nilai antar golongan Sunni dan Syiah yang diimani

secara sadar, sehingga menumbuhkan rasa untuk selalu bersama-sama.

Dengan meyakini bahwa Tuhan Maha Esa dan Nabi Muhammad adalah

Nabi dan Rasul-Nya, menuntut pengikutnya selalu menciptakan

kedamaian di muka bumi. Berdasarkan kesadaran akan hal tersebut,

menjadikan pengikut Golongan Sunni dan Syiah hidup berdampingan

dengan penuh kerukunan.

4. Membangun komunikasi dalam kelompok secara teratur. Dalam hal ini

baik masyarakat golongan Sunni dan Syiah, saling mengingatkan dan

menasehati perihal perilaku yang telah diajarkan dalam keyakinannya.

5. Golongan Syiah Mampu menentukan perbedaan ciri-ciri golongannya

dengan golongan yang lainnya. Golongan Syiah di desa Jambesari

memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan golongan Sunni setempat.

Dalam ritual keagamaan golongan Syiah sering kali mengadakan

pengajian-pengajian untuk mengenang hari kelahiran maupun hari

wafatnya 12 imam mereka, ataupun berbagai perbedaaan yang lainnya.

Adanya perbedaan antara kedua golongan ini, bukan berarti faktor

untuk dijadikan bibit perpecahan, melainkan dijadikan alat untuk saling

melengkapi kekurangan satu dengan yang lainnya, serta dijadikan alat

untuk lebih mengedepankan persamaan dari perbedaannya.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan data-data yang peneliti kumpulkan

mengenai komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah pada

masyarakat desa Jambesari, peneliti dapat menyimpulkan bahwa:

Pertama, komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan

Syiah di Jambesari dapat terjalin dengan baik, sehingga terciptanya kehidupan

yang rukun diantara keduanya. Hal ini, terbukti bahwa yang mulanya

masyarakat saling tidak menyapa, sekarang sudah menjalin hubungan dengan

baik. Masyarakat golongan Syiah yang mulanya tidak mendapat pekerjaan,

sekarang sudah mendapat pekerjaan, serta saling membantu tanpa memandang

dari golongan mana berasal. Selain itu, yang mulanya dalam melaksanakan

tradisi keagamaan semacam, tahlilan, maulidan, isra’mi’raj, dan lainnya

mereka melaksanakan hanya dengan golongannya masing-masing, namun

sekarang mereka sudah menyatu dan merayakan bersama tradisi keagamaan

dalam Islam tersebut. Kecuali, tradisi keagamaan yang jelas berbeda dengan

golongan Sunni, yakni Asyuro, Ghadirkhum, pembacaan do’a Kumayl,

golongan Syiah melaksanakan hanya di intern golongannya. Hal ini,

dibebaskan oleh masyarakat golongan Sunni dengan syarat tidak meresahkan

masyarakat Jambesari. Sikap toleransi, dan keluwesan serta rendahnya

91
92

etnosentrisme menjadikan komunikasi antarbudaya dan agama kedua

golongan efektif. Selain, dalam pelaksanaan tradisi keagamaan yang memiliki

kesamaan, peran pemerintah setempat yakni pimpinan desa Jambesari yang

tidak membeda-bedakan golongan juga merupakan faktor terciptanya

kehidupan masyarakat desa Jambesari yang rukun dan damai.

Kedua, terciptanya kerukunan masyarakat pada Jambesari ini di

tetentukan oleh beberapa faktor, yakni (1) Faktor Kognitif, berupa

pengetahuan masyarakat Jambesari terhadap adanya perbedaan dan kesamaan

pada kedua golongan tersebut. Semakin masyarakat mengetahui lebih

banyaknya kesamaan dari pada perbedaan menjadikan pengikut kedua

golongan tersebut semakin dewasa dalam menyikapi hal tersebut. (2) Faktor

gaya pribadi berupa perilaku keseharian masyarakat golongan Sunni dan

Syiah desa Jambesari, meliputi: a) Etnosentrisme b) Toleransi, sikap mendua

dan keluwesan c) Empati d) Keterbukaan e) Kompleksitas kognitif f)

Kenyamanan antarpribadi g) Kontrol pribadi h) Kemampuan inovasi i) Harga

diri j) Keprihatinan dan kecemasan komunikasi. Serta (3) Faktor Lain,

meliputi: a) Faktor keramahtamahan b) Faktor motivasi c) faktor akulturasi d)

faktor umur dan e) faktor pekerjaan. Masyarakat Jambesari, dalam hal ini

pengikut golongan Sunni dan Syiah berhasil meminimalisir faktor-faktor yang

dapat menghambat efektifitas komunikasi antarbudaya dan agama, yang hal

ini terekam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jambesari. Sehingga


93

menjadikan masyarakat golongan Sunni dan Syiah desa Jambesari hidup

dengan penuh kedamaian dan kerukunan.

B. Saran
Setelah peneliti memberikan kesimpulan terkait dengan komunikasi

antarbudaya dan agama masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa

Jambesari, peneliti mengemukakan beberapa saran;

1. Peneliti berharap masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari

tetap dan terus menjaga kerukunan antar golongan. Dengan menanamkan

dalam diri bahwa “perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan, yang tak

perlu dipermasalahkan”. Sehingga masyarakat Jambesari dapat menjadi

contoh bagi masyarakat di daerah lainnya.

2. Sebagai umat Islam dan mengaku sebagai pecinta Nabi Muhammad SAW,

hendaknya menjadi pelopor dalam perdamaian dengan berlomba-lomba

dalam berbuat kebaikan, terhadap sesama muslim atau bahkan kepada

non-Muslim sekalipun, sehingga terciptanya dimuka bumi ini kehidupan

yang rukun dan penuh dengan kedamaian.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Artikel

Agil Husin Al-Munawar, Said, Fikih Hubungan Antaragama, Jakarta:Ciputat

Press, 2003.

Anastianah, Ita, Elite dan Konflik Komunal Keagamaan: Studi Kasus Konflik

Sunni Syiah Sampang, Kudus: Parist, 2012.

Arifin, Samsul, Komunikasi Antarbudaya Melalui Folklo “Haul Cuci Pusaka

Keramat Tajug” Di Kelurahan Cilenggang Serpong Tangerang Selatan,

Jakarta: Skiripsi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

A.Samovar, Larry, dkk. Komunikasi Lintas Budaya, Jakarta: Salemba Humanika,

2010.

Attamimy, HM, SYI’AH; Sejarah, Doktrin dan Perkembangan di Indonesia,

Yogyakarta: Graha Guru, 2009

Bungin, Burhan, Metode Penelitian Kualitatif: Komunikas, Ekonomi, kebijakan

Publik, dan Ilmu sosial Lainnya, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2005. Cet ke-1

Cangara, Hafied, Ilmu Komunikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Daulay, M.Zainuddin, Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di

Indonesia, Jakarta:Badan Litbang Agama da Diklat Keagamaan

Departemen Agama RI, 2001.

94
95

Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia,

Jakarta; Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan

Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, 1997.

Devito, Joseph A, Komunikasi Antarmanusia, Jakarta: Profesional Books, 1997

Effendy, Onong Uchajana, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2006.

Faisal Bakti, Andi, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia:

South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program,

Jakarta: INIS, 2004.

Ja’far al-hadar, Husein, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang

Rekonsiliasi dalam Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, Jakarta;

MAARIF Institute, 2015. Vol.10, No.2.

Kriyantono, Rachmat, Tehnik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2009. Cet ke-4.

Liliweri, Alo, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta; Pustaka

Pelajar, 2001.

Liliweri, Alo, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2013.

Mulyana, Deddy, dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan

Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2009.
96

Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: PT Remaja

Rosadakarya, 2000.

Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2010. Cet ke-7.

Nazir, Moh, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2013. Cet ke-8.

Patton, Michael Quinn, How to Use Qualitative Methods in Evaluation, London:

SAGE Publications, 1991.

Raco, J.R. Metode Penelitian Kualitatif, Jenis Karakter dan Keunggulannya,

Jakarta: PT Grasindo, 2010.

Rafi’I, Mustofa. Islam Kita: Titik Temu Sunni-Syiah, Jakarta: Fitrah, 2013.

Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi contoh analisis

statistic, Bandung: Remaja Rosdakarya 2000.

Syaukani, Imam, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-Undangan

Kerukunan Umat Beragama, Jakarta, Puslitbang, 2008.

Sihabudin, Ahmad, Komunikasi Antarbudaya; Satu Perspektif Multidiensi,

Jakarta; Bumi Aksara, 2013.

Shihab, M.Quraish, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?,

Jakarta; Lentera Hati, 2007.

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2010.

The Wahid Institute, Laporan tahunan kebebasan beragama/ berkeyakinan dan

intoleransi, Jakarta: The Wahid Institute, 2014.


97

B. Sumber dari Internet

http://www.gusdurian.net/id/article/opini/Jalan-Tasawuf-Kebangsaan-Gus-Dur/

m.republika.co.id/berita/dunia-Islam/Islam-nusantara.

http://mediamadura.com/madura-budaya-unik/

C. Wawancara Pribadi

1. Bapak Qurdi (Sekretaris Desa Jambesari)

2. Bapak H.Abdullah (Golongan Sunni)

3. Bapak Abdur Rahim (Golongan Sunni)

4. Bapak Ahmad Rawi (Golongan Syiah)

5. Bapak Mukhlis (Golongan Syiah)


LAMPIRAN-LAMPIRAN FOTO

Foto.1: Peneliti saat wawancara dengan H.Abdullah (Tokoh Masyarakat Golongan Sunni)

Foto.2: Peneliti saat wawancara dengan Bapak Mukhlis (Tokoh Masyarakat Golongan Syiah)
Foto.3: Peneliti saat wawancara dengan Bapak Ahmad Rowi
(Tokoh Masyarakat Golongan Syiah)

Foto.4 : Peneliti saat wawancara dengan Bapak Abdur Rohim (Masyarakat golongan Sunni)
Foto.4: Masyarakat Jambesari sedang bekerja di sawah.
Foto.5: Perangkat desa doa bersama pada acara Anjangsana

Anda mungkin juga menyukai