Anda di halaman 1dari 26

CARA ILMUWAN BEKERJA

TUGAS KELOMPOK

diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu yang diampu oleh Prof. Dr. Oong

Oleh

Muhamad Anwar Rosyadi 2105487


Wulan Lisnawati, S.Pd. 2105649

PROGRAM STUDI
BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2021
LANDASAN TEORI

A. Pendahuluan

Berkaitan dengan pendidikan, maka hakikat manusia perlu dibahas di awal, karena

pendidikan yang dilakukan adalah untuk manusia. Socrates dalam (Tafsir 2010:7)

mengatakan bahwa belajar yang sebenarnya adalah belajar tentang manusia. Manusia menjadi

sosok sentral di alam dunia, karena manusia mengurus dirinya sendiri dan alam. Manusia

membuat peraturan sendiri untuk mengatur dirinya sendiri, manusia juga membuat peraturan

sendiri untuk mengatur alam. Hewan, tumbuhan, lautan, daratan, gunung, dan lain-lain

berada di bawah aturan yang dibuat oleh manusia. Bahkan manusipun tunduk pada

peraturan yang dibuatnya sendiri. Kerusakan dan kelestarian alam tergantung pada manusia

sebagai sosok sentralnya. Jadi, sudah sewajarnya jika manusia harus mengenali hakikat

manusia yang sebenarnya.

Kelestarian manusia dan alam harus tetap dijaga dengan sebaik-baiknya, untuk itu

manusia sebagai sosok sentral harus dibekali dengan pengetahuan tentang hakikat manusia,

sehingga manusia mengetahui cara-cara menjaga kelestarian manusia dan alam. Pengetahuan

tentang hakikat manusia tersebut hanya akan diperoleh jika manusia memperoleh bimbingan

dari orang lain melalui proses pendidikan.

B. Pembahasan
1. Hakikat dan Substansi Manusia

Pendapat tentang hakikat manusia sangat beragam, tergantung pada sudut pandang

masing-masing. Ada beberapa konsep tentang makna manusia, antara lain homo sapiens yaitu

makhluk yang memiliki akal budi, animal rational yaitu makhluk yang memiliki kemampuan

berpikir, homo laquen yaitu makhluk yang mempunyai kemampuan berbahasa, homo faber atau
homor toolmaking animal yaitu makhluk yang mampu membuat perangkat peralatan (Djamal

dalam Jalaluddin 2011:77).

Pembahasan tentang manusia sangat beragam dan tidak henti-hentinya, hal ini disebabkan

oleh perbedaan sudut pandang yang digunakan oleh masing- masing orang. Beberapa di antara

telah memandang manusia sebagai makhluk yang mampu berpikir, makhluk yang memiliki akal

budi, makhluk yang mampu berbahasa, dan makhluk yang mampu membuat perangkat

peralatan untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan kehidupannya.

Socrates (470-399 SM) mengungkapkan hakikat manusia ialah ia ingin tahu dan untuk

itu harus ada orang yang membantunya. Kewajiban setiap orang untuk mengetahui dirinya

sendiri lebih dahulu jika ingin mengetahui hal-hal di luar dirinya (Tafsir 2010:8-9). Manusia

menurut Socrates adalah makhluk yang selalu ingin tahu tentang segala sesuatu, baik tentang

manusia itu sendiri maupun tentang hal yang ada di luar dirinya. Ada persyaratan yang harus

dipenuhi untuk memenuhi keingintahuan manusia tersebut, yaitu harus ada bantuan dari orang

lain dan harus mengetahui dirinya sendiri terlebih dahulu.

Menurut Plato (meninggal tahu 347 SM) bahwa hakikat manusia terdiri dari tiga unsur,

yaitu roh, nafsu, dan rasio (Tafsir 2010:10-11).

Berbeda dengan Socrates, Plato memandang bahwa ada tiga unsur dalam diri manusia,

yaitu roh, nafsu, dan rasio. Manusia menjalani kehidupannya menggunakan roh dan nafsu. Roh

sebagai simbol kebaikan dan nafsu sebagai simbol keburukan, penggunaan keduanya

dikendalikan oleh rasio sebagai pengontrol.

Rene Descartes (1596-1650) mengungkapkan tentang posisi sentral akal (rasio) sebagai

esensi (hakikat) manusia (Tafsir 2010:12). Akal memegang peran penting dalam hakikat

manusia, sehingga dikatakannya bahwa akal memiliki posisi sentral.


Menurut Thomas Hobbes (1588-1629) bahwa salah satu hakikat manusia adalah

keberadaan kontrak sosial, yaitu setiap orang harus menghargai dan menjaga hak orang lain

(Tafsir 2010:12-13). Hakikat manusia adalah manusia sebagai makhluk sosial yang ditandai

dengan keberadaan kontrak sosial di dalamnya. Manusia tidak dapat menjalani kehidupannya

secara sendiri-sendiri, oleh karena itu harus ada saling menghargai antar sesama dan saling

menjaga hak-hak orang lain. Dua hal ini diperlukan untuk menjaga keharmonisan hidup

manusia.

Jhon Locke (1623-1704) mengatakan bahwa manusia dilahirkan laksana kertas bersih,

kemudian diisi dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam hidupnya (Tafsir

2010:13). Manusia terlahir dalam keadaan yang tidak punya daya apapun yang diibaratkan

sebagai kertas bersih. Ketidakberdayaan tersebut membutuhkan bantuan orang lain untuk

memberikan pengalaman- pengalaman dalam kehidupannya.

Menurut Immanuel Kant (1724-1804) bahwa manusia adalah makhluk rasional yang

bebas bertindak berdasarkan alasan moral, manusia bertindak bukan hanya untuk kepentingan

diri sendiri (Tafsir 2010:13-14). Hampir sama dengan Descartes, Kant mendefinisikan manusia

sebagai makhluk rasional yang mengandalkan rasio. Akan tetapi Kant menambahkan peran

moral dalam penggunaan rasio tersebut, sehingga manusia dituntut untuk berbuat bukan hanya

untuk kepentingannya sendiri, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan orang lain di

dalamnya.

Ramayulis (2011:57):

Kesatuan wujud manusia antara pisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang
ada membuktikan bahwa manusia sebagah ahsan at-taqwin dan menempatkan manusia
pada posisi yang strategis, yaitu: Hamba Allah (‘abd Allah) dan Khalifah Allah (khalifah
fi al-ardh).
Manusia terdiri dari dua unsur yaitu pisik dan psikis. Kedua unsur tersebut mempunyai

potensi masing-masing yang saling melengkapi untuk mengokohkan hakikat manusia sebagai

hamba dan khalifah Allah di bumi.

Manusia juga disebut sebagai homo socius ataupun zoon politicon yaitu makhluk sosial

yang mampu bekerja sama serta mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Homo economics yaitu makhluk yang hidup atas dasar prinsip-prinsip ekonomi. Homo

religiosus yaitu makhluk yang beragama. Manusia adalah makhluk yang serba unik

(Muthahhari dalam Jalaluddin 2011:77-78).

Manusia adalah makhluk ini, banyak predikat yang melekat padanya, banyak pandangan

dan pendapat tentangnya, antara lain makhluk sosial, makhluk ekonomis, dan makhluk

beragama. Manusia mampu mengorganisasi diri, bekerja sama dengan yang lainnya, dan

mampu menerapkan prinsip-prinsip ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan

rohani dapat terpenuhi dengan agama yang dianutnya.

Pemikiran filsafat pendidikan harus merujuk kembali pada hakikat manusia sebagai

makhluk ciptaan Tuhan yang berawal dari pertanyaan yang dikemukakan oleh Jacques Martin:

”Siapa kita, di mana kita, dan kemana kita akan pergi?” (Connor dalam Jalaluddin 2011:79).

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang diberikan kesempatan untuk berusaha

dan bekerja di dunia untuk nantinya akan kembali lagi kepada Tuhan. Pertanyaan: siapa

manusia, di mana manusia, dan kemana manusia akan pergi merupakan pertanyaan yang

harus dijawab apabila ingin membahas tentang hakikat manusia.

Jalaluddin (2011:79):

Hakikat manusia tak mungkin dijelaskan secara tuntas oleh pemikiran filsafat yang hanya
mengandalkan kemampuan optimal rasio. Satu- satunya jalan yang paling meyakinkan
adalah dengan merujuk ke sumber dari Sang Pencipta manusia itu sendiri, yakni Allah.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan mengenai konsep manusia dengan menggunakan sebutan:
Abd Allah, Bani Adam, Bani Basyr, al-Insan, al-Ins, al-Nas dan Khalifah Allah.

Pembahasan hakikat manusia tidak akan pernah selesai apabila hanya berdasarkan pada

pandangan-pandangan manusia sendiri yang mengandalkan kemampuan akal semata. Oleh

karena itu diperlukan penjelasan dari sumber yang meyakinkan, yaitu sumber yang diperoleh

langsung dari Tuhan sebagai Penciptanya. Menurut sumber dari al-Qur’an diperoleh konsep

tentang konsep manusia sebagai Abd Allah, Bani Adam, Bani Basyr, al-Insan, al-Ins, al-Nas

dan Khalifah Allah.

Konsep Abd Allah menunjukkan bahwa manusia adalah hamba yang segala bentuk

aktivitas kehidupannya untuk menghambakan diri kepada Allah. Konsep Bani Adam berarti

manusia berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam dan Hawa yang terdiri dari

berbagai ras. Konsep Bani Hasyr menggambarkan manusia sebagai makhluk biologis terdiri

dari unsur materi yang membutuhkan makan dan minum, bukan keturunan makhluk bukan

manusia. Konsep al-Insan berarti manusia diciptakan sebagai makhluk eksploratif yang

mempunyai keseimbangan antara pertumbuhan dan perkembangan. Konsep al-Ins

menunjukkan bahwa manusia mempunyai potensi untuk menjadi makhluk berperadaban yang

mempunyai kemampuan kreasi dan inovasi. Konsep al-Nas berarti manusia sebagai makhluk

sosial yang hidup bermasyarakat. Konsep Khalifah Allah menunjukkan manusia mengemban

tugas untuk mewujudkan serta membina sebuah tatanan kehidupan yang harmonis di bumi

(Jalaluddin 2011:79-95).

Tafsir (2010:19): ”Hakikat manusia menurut al-Qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri

atas unsur jasmani, akal, dan ruhani”. Hakikat manusia adalah sebagai hamba dan khalifah

Allah di bumi yang terdiri dari tiga unsur, yaitu: unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani.

Jadi, Hakikat manusia adalah sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi yang terdiri dari
tiga unsur, yaitu: jasmani (pisik, nafsu), akal (rasio), dan rohani (psikis, roh). Sebagai

konsekuensi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi, maka manusia merupakan:

makhluk ciptaan Tuhan, makhluk yang terlahir dalam kondisi tidak berdaya (kertas bersih),

membutuhkan bantuan dari orang lain, makhluk yang memiliki kemampuan berpikir, makhluk

yang memiliki akal budi, makhluk yang selalu ingin tahu tentang segala sesuatu, makhluk yang

mempunyai kemampuan berbahasa, makhluk yang mampu membuat perangkat peralatan,

makhluk sosial yang mampu bekerja sama, makhluk yang mampu mengorganisasi diri untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya, makhluk yang hidup atas dasar prinsip-prinsip ekonomi,

makhluk yang beragama, makhluk rasional yang bebas bertindak berdasarkan alasan moral,

makhluk dengan kontrak sosial untuk menghargai dan menjaga hak orang lain.

C. Hakikat Pengetahuan

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu

obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari

pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni

dan agama. Bahkan seorang anak kecilpun telah mempunyai berbagai pengetahuan sesuai

dengan tahap pertumbuhan dan kecerdasannya. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan

mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita.

Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu

tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang

muncul dalam kehidupan. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan

tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita

secara maksimal maka harus kita ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh
suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain perlu kita ketahui kepada pengetahuan mana

suatu pertanyaan tertentu harus kita ajukan. Sekiranya kita bertanya ”apakah yang akan terjadi

sesudah manusia mati?”, maka pertanyaan itu tidak bisa diajukan kepada ilmu melainkan

kepada agama, sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada

dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah penjelajahan

yang bersifat transendental yang berada di luar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa menjawab

pertanyaan itu sebab ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunnya memang tidak mencakup

permasalahan tersebut. Atau jika kita memakai analogi komputer maka komputer ilmu memang

tidak diprogramkan untuk itu.

Jadi pada hakekatnya kita mengharapkan jawaban yang benar dan bukannya sekeda

jawaban yang bersifat sembarang saja. Lalu timbulah masalah, bagaimana cara kita menyusun

pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafati disebut epistemologi, dan

landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Dengan kata lain metode ilmiah adalah cara

yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.

Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi),

bagaimana (epistimologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga

landasan ini sangat berkaitan, jadi ontologi ilmu terkait dengan epistimologi ilmu dan

epistimologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Jadi kalau kita ingin

membicarakan epistimologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi

ilmu.

Menurut Amsal (2004), pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indra dan

lainlain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantaranya adalah : 1. Metode

induktif Yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataanpernyataan hasil observasi dalam
suatu pernyataan yang lebih umum. 2. Metode deduktif Yaitu suatu metode yang

menyimpulkan bahwa datadata empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sisitem pernyataan yang

runtut. 3. Metode kontemplatif Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal

manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-

beda. 4. Metode dialektis Dialektika berarti tahap logika yang mengajarkan kaidahkaidah dan

metode-metode penuturan , juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang

terkandung dalam pandangan.

Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup pengalaman kita.

Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan

yang sehari-hari dihadapi manusia dan untuk digunakandalam menawarkan berbagai

kemudahan kepadanya. Pengetahuan ilmiah alias ilmu dapat diibaratkan sebagai alat bagi

manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Pemecahan tersebut pada

dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam. Oleh sebab itulah sering

dikatakan bahwa dengan ilmu manusia mencoba memanipulasi dan menguasai alam.

Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi seperti itu maka bagaimana aebaiknya kita

mengembangkan landasan epistemologi yang cocok? Persoalan utama yang dihadapi oleh tiap

epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang

benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing.

Demikian juga halnya dengan masalah yang dihadapi epistimologi keilmuan yakni

bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia

empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.

Agar kita mampu meramalkan dan mengontrol sesuatu maka pertama-tama kita harus

mengetahui mengapa sesuatu itu terjadi. Mengapa terjadi tanah longsor? Mengapa terjadi
kekurangan makan di daerah yang lahannya gersang? Untuk bisa meramalkan dan mengontrol

sesuatu, maka kita harus menguasai pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu. Dengan

demikian maka penelaahan ilmiah diarahkan kepada usaha untuk mendapatkan penjelasan

mengenai berbagai gejala alam.

Penjelasan yang dituju penelaahan ilmiah diarahkan kepada deskripsi mengenai hubungan

berbagai faktor yang terikat dalam suatu konstelasi yang menyebabkan timbulnya sebuah gejala

dan proses atau mekanis terjadinya gejala itu. Umpamanya kegiatan ilmiah ingin mengetahui

mengapa secangkir kopi yang diberi gula menjadi manis rasanya. Hubungan antara gula dan

kopi yang menyebabkan rasa manis itulah yang menjadi pokok pengkajian ilmiah. Ilmu tidak

bermaksud untuk mendeskripsikan betapa manisnya secangkir kopi yang diberi gula.

Seni, pada sisi lain dari pengetahuan, mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan

sepenuh-penuh maknanya. Kalau ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana

mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang

terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional, maka seni mencoba mengungkapkan

obyek penelaahan itu sehingga menjadi bermakna bagi pencipta dan mereka yang meresapinya,

lewat berbagai kemampuan manusia untuk menangkapnya, seperti pikiran, emosi dan

pancaindra.

Seni, menurut Mochtar Lubis merupakan produk dari daya inspirasi dan daya cipta

manusia yang bebas dari cengkraman dan belenggu berbagai ikatan. Model pengungkapan

realitas dalam seni, sekiranya karya seni dapat diibaratkan sebuah model, adalah bersifat penuh

dan rumit namun tidak bersifat sistematik. Karena itu kita tak bisa mempergunakan model

tersebut untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam. Ilmu mencoba mencarikan penjelasan

mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Sebaliknya seni tetap
bersifat individual dan personal, dengan memusatkan perhatiannya pada pengalaman hidup

manusia perseorangan. Pengalaman itu diungkapkan agar dapat dialami orang lain dengan jalan

”menjiwai” pengalaman tersebut.

Usaha untuk menjelaskan gejala alam ini sudah mulai dilakukan oleh manusia sejak dulu

kala. Diperkirakan bahwa nenek moyang kita pun tak kurang takjubnya memperhatikan

berbagai kekuatan alam yang terdapat di sekeliling mereka seperti hujan, banjir, topan, gempa

bumi dan letusan gunung berapi. Mereka merasa tak berdaya menghadapi kekuatan alam yang

sangat dahsyat dan berkembanglah berbagai mitos tentang para dewa dengan berbagai

kesaktian.

Sesuai dengan pengetahuan mereka tentang gejala-gejala alam maka mengontrol

timbulnya gejala yang berupa malapetaka adalah identik dengan mengarahkan kelakuan para

dewa yang bersangkutan. Tahap selanjutnya ditandai oleh usaha manusia untuk mencoba

menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu mitos, mereka menatap kehidupan ini tidak lagi

dari balik harum dupa dan asap kemenyan. Dengan mempelajari alam mereka mengembangkan

pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis seperti untuk pembuat tanggul, pembasmian

hama dan bercocok tanam. Berkembanglah pengetahuan yang berakar pada pengalaman

berdasarkan akal sehat (common sense) yang didukung oleh metode mencoba-coba (trial and

error).

Pengembangan ini menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut ”seni terapan”

(applied arts) yang mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari

disamping ”seni halus” (fine arts) yang bertujuan untuk memperkaya spiritual. Seni terpakai ini

pada hakikatnya mempunyai dua ciri yakni pertama bersifat deskriptif dan fenomenologis dan

kedua, ruang lingkup terbatas. Sifat deskriptif ini mencerminkan proses pengkajian yang
menitik beratkan kepada penyelidikan gejala-gejala yang bersifat empiris tanpa kecendrungan

untuk pengembangan postulat yang bersifat teoritis-atomistis. Jadi dalam seni terapan kita tidak

mengenal konsep seperti gravitasi atau kemagnetan yang bersifat teoritis. Sifat terbatas dari seni

terapan juga tidak menunjang berkembangnya teori-teori yang bersifat umum seperti teori

gravitasi Newton dan teori medan elektromagnetik Maxwell, sebab tujuan analisisnya bersifat

prakris. Setelah secara empiris diketahui bahwa daun pepaya bisa mengempukkan daging, atau

daun kumis kucing bisa menyembuhkan kencing batu maka pengetahuan pun lalu berhenti

disitu. Seni terapan tidak mengembangkan teori kimia atau fisiologi yang merangkum kedua

gejala itu.

D. Metoda Ilmiah

Metode Ilmiah Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan

yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah.

Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara

mendapatkannya harus memenuhi syatrat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi

agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan

metode ilmiah.

Metode, menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang

mempunyai langkahlangkah yang sistematis. Metodologi merupakan suatu pengajaran dalam

mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan

pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara

filsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan

pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: Apakah sumber–sumber


pengetahuan, apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia

dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang

mungkin untuk ditangkap manusia.

Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan

cara berpikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya. Berpikir deduktif memberikan

sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuannya

yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah

disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru

berdasarkan pengetahuan yang telah ada.

Dengan demikian maka ilmu merupakan tubuh pengetahuan yang tersusun dan

terorganisasikan dengan baik sebab penemuaan yang tidak teratur dapat diibaratkan sebagai

rumah atau batu bata yang bercerai berai secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba

memberikan penjelasan yang rasional kepada obyek yang berada dalam fokus penelaahan.

Penjelasan yang bersifat rasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan

kesimpulan yang bersifat final, sebab sesuai dengan hakekat rasionalisme yang bersifat

pluralistic, maka dimungkinkan disusunnya berbagai penjelasan terhadap suatu obyek

pemikiran tertentu.meskipun argumentasi secara rasional didasarkan kepada premis-premis

ilmiah yang telah teruji kebenarannya.

Namun dimungkinkan pula pilihannya berbeda dari sejumlah premis ilmiah yang

tersedia yang dipergunakan dalam penyusunan argumentasi. Oleh sebab itu maka dipergunakan

pula cara berpikir induktif yang berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi. Teori

korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyatan dapat dianggap benar sekiranya materi

yang terkandung dalam pernyataan itu berkesesuaian ( berkorespondensi ) dengan obyek faktual
yang dituju oleh pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar bila

terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan itu.

Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut maka ilmu tidak berpaling kepada

perasaan melainkan kepada pikiran yang berdasarkan penalaran. Ilmu mencoba mencari

penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dia mengerti mengenai hakekat

permasalahan itu dan dengan demikian maka ia dapat memecahkannya. Dalam hal ini maka

pertama–tama ilmu menyadari bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang besifat

konkret yang terdapat dalam dunia fisik yang nyata. Secara ontologis maka ilmu membatasai

masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat dalam ruang lingkup jangkauan

pengalaman manusia.

Jadi ilmu tidak mempermasalahkan tentang hari kemudian atau surga dan neraka yang

jelas berada diluar pengalaman manusia. Hal ini harus kita sadari, karena hal inilah yang

memisahkan antara daerah ilmu dan agama. Agama berbeda dengan ilmu, mempermasalahkan

pula obyek-obyek yang berada diluar pengalaman manusia, baik sebelum manusia ini berada

dimuka bumi seperti mengapa manusia diciptakan, maupun sesudah kematian manusia, seperti

apa yang terjadai setelah adanya kebangkitan kembali.

Perbedaan antara lingkup permasalahan yang dihadapinya juga menyebabkan

berbedanya metode dalam memecahkan masalah tersebut. Perbedaan ini harus diketahui dengan

benar untuk dapat menempatkan ilmu dan agama dalam perspektif yang sesungguhnya. Tanpa

mengetahui hal ini maka mudah sekali kita terjatuh kedalam kebingungan, padahal dengan

menguasai hakekat ilmu dan agama secara baik, kedua pengetahuan ini justru akan bersifat

saling melengkapi.

Pada satu pihak agama akan memberi landasan moral bagi aksiologi keilmuan
sedangkan dipihak lain ilmu akan memperdalam keyakinan beragama. Karena masalah yang

dihadapinya adalah nyata maka ilmu menyadari jawabannya pada dunia yang nyata pula. Ilmu

dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, Einstein berkata, apapun juga teori yang

menjembatani antara keduanya teori yang dimaksudkan disini adalah penjelasan mengenai

gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual

dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.

Artinya, teori ilmu merupakan suatu penekanan rasional yang berkesesuaian dengan

obyek.yang dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar bagaimanapun meyakinkannya tetap harus

didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. Disinilah pendekatan rasional

dibangunkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilimiah.

Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuan secara konsisten dan kumulatif, sedangkan

secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dengan yang

tidak, sederhana maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat

utama yakni (a) harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak

terjadinya kontraksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan dan (b) harus cocok dengan fakta-

fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh

pengakuan empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmah jadi logika ilmiah

merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif dimana rasionalisme dan

empirisme hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif. Oleh sebab

itu maka sebelam teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan rasional yang diajukan

statusnya hanya bersifat sementara.

Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis. Sekiranya kita menghadapi suatu

masalah tertentu, dalam rangka memecahkan masalah tersebut. Kita dapat mengajukan hipotesis
yang merupakan jawaban sementara bagi permasalahan yang. Hipotesis merupakan dugaan atau

jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang kita hadapi. Dalam melakukan

penelitian untuk mendapatkan jawaban yang benar maka seorang ilmuwan seakanakan

melakukan suatu interogasi terhadap alam hipotesis dalam hubungan ini berfungsi sebagai

penunjuk jalan yang memungkinkan kita untuk mendapatkan jawaban, karena alam itu sendiri

membisu dan tidak responsive terhadap pertanyaan-pertanyaan.

Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa

langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang

berintikan proses logicohypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah

sebagai berikut: 1. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris

yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya. 2.

Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang

menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan

membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan

premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktorfaktor

empiris yang relevan dengan permasalahan; 3. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban

sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan materinya merupakan kesimpulan

dari kerangka berpikir yang dikembangkan; 4. Pengujian hipotesis yang merupakan

pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan

apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak; 5. Penarikan

kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis itu ditolak atau diterima.

Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka

hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang
cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak.

Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah

sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang

konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian

kebenaran disini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum

terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.

POSTULAT
Beberapa disiplin keilmuan, terutama disiplin ilmu-ilmu alam mengembangkan postulat
dalam menyusun teorinya. Postulat adalah asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa
dituntut pembuktiannya. Berbeda dengan kebenaran ilmiah yang harus disahkan melalui suatu
proses yang disebut metode ilmiah, postulat ditetapkan tanpa melalui prosedur ilmiah melainkan
ditetapkan begitu saja.
Untuk memahami kedudukan postulat sebenarnya tidak begitu sulit, secara filsafat
postulat merupakan titik mula dalam menyusun argumentasi. Seperti kita ingin mengelilingi
sebuah lingkaran maka kita harus mulai dari sebuah titik dalam lingkaran tersebut. Dan postulat
adalah ibarat titik dalam lingkaran tersebut yang eksistensinya kita tetapkan secara sembarang.

ASUMSI
Asumsi merupakan kebalikan dari postulat. Bila postulat mengajukan argumentasinya
tidak memerlukan bukti tentang kebenarannya , sedangkan asumsi harus ditetapkan dalam
sebuah argumentasi ilmiah. Untuk memahami eksistensi asumsi dapat mengambil contoh cara
orang mengemudikan mobil di jalan tol Jakarata-cikampek pada pagi buta sekiranya orang itu
beranggapan bahwa bahwa perjalanan pada waktu pagi buta adalah amandisebabkan karena
jarangnya kendaraan yang lalu lalalng , maka kemungkinan besar orang itu akan mengendarai
mobilnya kurang hati-hati, toh asumsinya jalanan amantoh?.sebaliknya mungkin juga terdapat
orang lain yang mempunyai pendapat yang berbeda. Menurut pendapatnya justru mengemudikan
model pada waktu pagi di bua di jalan tol Jakarta -Cikampek sangat tidak aman disebabkan
banyaknya sopir yang melakukanperjalanan jauh menuju Jakarta telah mengalami kelelhan
sehingga mengemudikan kenderaaannya sembrono. Oleh karena itu ia akan sangat berhati-haati
ketika melewati jl tol Jakarta cikampek tersebut, sebab asusmsinya jalanan rawan kecelakaan.
Agar tidak memilih cara yang keliru maka asumsi yang kita pegang kebenarannya harus
dibuktikan. Mengambil kasus mengemudikan mobil lewat jalan tol Jakarta cikampek , ternyata
asumsi yang kedua yang benar sebab secara factual ruas jalan tersebut sangat rawan kecelakaan
terutama jjiga mengmudikan kendaraan dipagi buta. Beberapa media masa kerapkali
menurunkan berita terjadinya kecelakaan di Jalan. Tol - cikampek yang diakibatkan oleh
kelalaian sopir akibat mengalani kelelahan.

KARYA ILMIAH
Hasil kerja piker tentang realitas yang diaktualisasikan melalui langkah-langkah
sistematik dan sistemik dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan.
Realitas sesuatu yang merupakan objek material bagi aktivitas berfikir manusia yang dilakukan
secara serius. Sementara itu, pemikiran yang melatari kesadaran hasrat manusia untuk berfikir,
merupakan objek formal atau paradigma yang digunakan sebagai belati analisisnya dalam
mengkaji objek material (Descartes, 1957:35)
Berpikir merupakan kesejatian natural manusia.aktivitas berpikir hanya mungin
dilakukan jika manusia memiliki kesadaran akan dirinya yang berpikir dan objekyang dipikirkan
(Descrates, 941:54). Dengan kata lain kesadaran menjadi jembatan yang menghubungkan antara
subjek yang berpikir dengan objek material yang dipikirkan. Hal ini ditegaskan oleh Rene
Descrates(1596-1650) melalui pernyataan metodisnya : Cogito Ergo Sum(aku berpikir maka aku
ada : I Think Therefore I am ) (1941:73)
Peran dan posisi kesarana dalam proses berpikirnya manusia semakain mendapatkan
tempat yang tinggi sejak pernyataan metodis Descrates tersebut dimaknai oleh para filsuf dan
ilmuwan sebagai sebuah upaya meruntuhkan bangunan dogma gereja abad pertengahan, dimana
manusia hadir dengn hakikatnya yang absurd. Melalui pernyataan metodisnya itu. Descrates
berusaha untuk memebangunkan kembali kesadaran masnuia sebagai makhluk yang berpikir
(Bagong Suyanto dan Sutinah, 2007:1)
Aktivitas berpikirnya manusia merupakan proses persalinan yang senyatanya mampu
melahirkan karya. Karya-karya tersebut pada awalanya terlahir sebagai naturalisasi proses
berpikir, namun dalam perkembangannya, kebutuhan dakan keteraturan menghadirkan pola piker
metodis. Pola piker metodis ini lah yang kemudian membentuk system kerja dengan seperangkat
aturan dan kriteria. Kesesuian anatara pemikiran, yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan,
dengan objek yang dipikirkan, merupakan salah satu aturan persyaratan yang dimaksud.
Ilmiah adalah terma yang digunakan sebagai kriteria dan karya yang dihasilkan. Istilah
ini dipahamkan secara berbeda oleh para filsuf dan ilmuwan. Kaum empiris khususnya pengikut
David Gume (1711-1776), menekankan pentingnya pengalaman realitas bagi penetapan kriteria
ilmiah. Di bagian lain, kaum rasionalis, terutama kelompok Cartesian atau pengikut Rene
Descrates (1596-1650), mengedepankan analisis rasional sebagai standar keilmiahan suatu karya.
Sementara kaum positivistic, khususnya pengikut August Comte (1798-1857), menetapkan
keberadaan data dan fakta empiris sebagai syarat kebeneran ilmiah sebuah karya.
Dalam kenyataanya, karya ilmiah dapat dikelompokan menjadi dua, tertulis dan tidak
tertulis. Karya ilmiah dalam bentuk tulisan berisikan pemikiran teoritis yang menjelaskan tentang
realitas tertentu sebagai objek materialnya. Bentuk karya ilmiah ini tumbuh dan berkembang di
wilayah kajian ilmu-ilmu social. Sementara karya ilmiah yang tidak tertulis, berwujud benda
material sebagai hasil aktualisasi ilmu pengetahuan dalam bentuk keterampilan. Bentuk karya
ilmiah ini marak pertumbuhan dan perkembangannya di wilayah kajian ilmu-ilmu eksak dan
ilmu kealaman. Keberadaan berbagai jenis dan perangkat elektronik merupakan salah satu
bentuk dari karya ilmiah yang terlahir dari Rahim ilmu pengetahuan.
Secara umum, standardisasi ilmiah bagi sebuah karya ditandai dengan terpenuhinya
kriteria sebagai berikut:

1. Orisinalitas
Sebuah karya harus didukung oleh data factual yang membuktikan orisinalitas dari pencetus
atau penciptanya dan bukan sebagai aplikasi dari karya lain. Kriteria ini menjadi
pertimbangan utama bagi pencetus atau pencipta untuk mendapatkan label hak paten dari
Lembaga yang ditunjulk pemerintah.
2. Dapat dipertanggungjawabkan
Pertanggungjawaban dilakukan oleh pencetus atau pencipta dengan memberikan penjelasan
tentang karyanya, dari latar pemikiran hingga pada tahapan pelaksanaan proses kerja yang
kemudian menghasilkan karya
3. Bernilai
Karya yang dihasilkan mengandung nilai-nilai positif bagi:
a. Kemaslahatan atau kebaikan hidup manusia
b. Oengembangan ilmu pengetahuan
Nyoman Naya Sujana dalam Bagong Suyanto dan Sutinah (2007:2-3) memahamkan,
bahwa karya ilmiah merupakan wujud dari pengetahuan ilmiah, yang memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Aposterioris
2. Rasional-empiris
3. Logical
4. Verifikatif Aposterioris
5. Objektif
6. Konsepsional
7. Netral
8. Terbuka

Sebagai salah satu bentuk karya ilmiah, karya tulis dapat dipahami sebagai hasil kerja
piker tentang suatu hal atau realitas objektif yang dituangkan secara sistematis, sistemik dan
metodis dalam bentuk tulisan (Scientific Paper). Di dalamnya terpaparkan pemikiran teoritis
yang menjelaskan tentang realitas tertentu sebagai objek materialnya. Sebuah karya tulis ilmiah
bias saja merupakan penjelasan tentang hasil temuan atau hasil dari kajian pemikiran.
Untuk dapat dikategorikan sebagai karya ilmiah, sebuah karya tulis yang merupakan
aktualisasi dari pengetahuan ilmiah harus memnuhi karakteristik sebagai berikut:
1. Berisikan hasil kajian pemikiran tentang suatu tema yang dideskripsikan dengan
menggunakan argumentasi ilmiah.
2. Analisis pemikiran diuraikan dengan menggunakan metode ilmiah
3. Pemaparan menggunakan Bahasa ilmiah yang diruntunsecara sistematik dan sistemik
4. Arah dari isi pemaparan bersifat netral atau tidak berpihak.

Penetapan karakteristik tersebut lebih titunjukan untuk membedakan karya tulis ilmiah
dengan karya tulis non ilmiah atau fiksi yang terlahir dari Rahim dunia sastra. Disisilain,
penetapan karakteristik dimaksud juga ditujukan untuk memberikan arah bagi setiap upaya
penulis karya tulis ilmiah. Dengan demikian karakteristik bagi sebuah karya ilmiah merupakan
pedoman yang harus diikuti oleh siapapun yang akan menuangkan pemikirannya ke dalam
sebuah karya tulis.
Jika dilihat dari proses dan tujuan penulisannya, karya tulis ilmiah dapat dikategorikan ke
dalam dua sifat, yaitu “bebas” dan “terikat”. Bersifat bebas maksudnya adalah sebuah karya
ilmiah ditulis dengan mengedepankan kebebasan penulis dalam mengekspresikan ide-ide
pemikirannya. Dalam proses penulisan sebuah karya tulis ilmiah yang bersifat bebas, seorang
penulis tidak terikat dengan kepentingan ide atau pemikiran tertentu. Dengan demikian pula
dengan kebebasannya untuk tidak terikat pada ketentuan teknis penulis. Termasuk dalam
kategori karya tulis ilmiah bebas adalah :1 . Artikel; 2. Buku; 3. Makalah
Ketiga bentuk karya tulis ilmiah tersebut masuk dalam kategori karya tulis ilmiah bebas,
karena dalam proses penulisannya tersedia ruang sebegitu luas bagi penulis untuk
mengekspresikan ide-ide pemikirannya tanpa harus terikat pada ide-ide oemikiran tertentu.
Namun perlu diingat, bahwa ketiga bentuk karya tulis ilmiah itu bias saja akan masuk dalam
ategori terikat yakni ketika penulisannya didasarkan atas pesan dari sponsor yang biasanya
menjadi penyandang dana bagi kegiatan penulisan karya tulis ilmiah.
Sementara itu, yang dimaksudkan dengan sifat terikat adalah karya tulis ilmiah yang
dalam proses penulisannya, si penulis harus mengikuti aturan baik aturan teknis maupun aturan
non teknis berupa arah pemikiran yang dikehendaki oleh pihak sponsor. Termasuk dalam
kategori karya tulis ilmiah terikat adalah: 1. Book review; 2. Laporan penelitian akademis
(skripsi, tesis, disertai); 3. Project research; 4. Makalah (tugas kuliah). Dalam proses
penulisannya, keempat bentuk karya tulis ilmiah ini berada dalam dalam ruang aturan yang harus
diikuti oleh penulisannya, baik aturan teknis penulisan maupun alur pemikirannya.

ARGUMENTASI ILMIAH
Istilah argumentasi dapat diartikan salah satu bentuk kalimat yang berisakan pernyataan
menerima (afirmasi) atau menolak (negasi) sebuah penjelasan tentang sesuatu. Kedua banetuk
pernyatan siungkapkan dengan mendasar pada asumsi rasional sesuai bangunan paradigma
pemikiran atau latarbelakang pengetahuan dari pihak yang berargumentasi.
Paradima pemikiran yang digunakan dalam menyusun asumsi rasional menjadi dasar bagi
penetapan kriteria ilmiahnya sebuah argumentasi. Kriteria lain bagi sebuah argumentasi ilmiah
adalah:
1. Logis: sesuai dengan aturan logika
2. Rasional; merupakan hasil kerja dan dipahami serta dicerna oleh rasio
3. Focus ; paparan tidak bersifat un-visible )tidak mengarah/tidak memiliki kejelasan visi)
4. Factual : didukung oleh fakta dan data empiris
5. Objektif: netral atau tidak memihak
6. Teoritis; dapat didukung oleh teori tertentu atau bahkan menjadi embrio bagi
terbentuknya teori baru
7. Konklusi:dapat menjadi dasar bagi penarikan konklusi atau simpulan
8. Analitik : menggunakan Bahasa ilmiah sesuai dengan wilayah keilmuawan

Dalam penulisan karya ilmiah, terdapat beberapa jenis argumentasi yang biasa digunakan
oleh seorang penulis. Kategori jenis argumentasi terlihat dari bentuk serta paparan yang
terkandung dalam kalimatnya. Jenis-jenis argumentasi ini sekaligus menjadi gambaran tentang
sifat dari argumen yang digunakan oelh seseorang penulis karya ilmiah. Penggunaan jenis
argumentasi sangat tergantung dari tujuan penulis dalam mengungkapkan argumentasinya. Jenis
jenis argumentasi dimaksud adalah:
1. Argumentasi Deskriptis : berisikan hasil pembacaan dan kajian penulis tentang suatu
realitas dengan berdasar pada pradigma keilmuan tertentu. Jenis argumentasi ini biasanya
digunakan oleh para penulis yang bertujuan untuk mengungkapkan realitas sesuai dengan
kondisi factual. Dalam dunia akademis argumentasi jenis ini sering digunakan oleh
mahasiswa strata satu (S1) dalam penulisan skripsi
2. Argumentasi Analisis: berisikan hasil Analisa penulis tentang suatu reallitas dengan
berdasar pada paradigma keilmuan yang dimiliki dan dikuasainya. Latarkeilmuan seorang
penulis akan ikut menyertai proses penarikan konklusi atau simpulan yang dibangun dari
hasil rancangan argumentasinya. Jenis argumentasi ini merupakan gaya penalaran ilmiah
di kalangan mahasiswa strata dua (s2) dalam menyusun tesis.
3. Argumentasi reflektif ; berisikan hasil kajian dan tafsiran penulis terhadap suatu realitas
dengan menggunakan paradigma keilmuan yang sudah inheren dalam bangunan
pemikirannya. Penggunaan argumentasi jenis ini emungkikan seorang penulis melahirkan
pemikiran baru baik dalam bentuk paradigma atau bahkan dalam bentuk teori.
Argumentasi jenis ini seharusnya menjadi gaya penulisan mahasiswa program doctor atau
strata 3 (S3)

Sebagai sebuah aktivitas ilmiah, argumentasi terlahir dari proses berpikir kritis dan koherensif.
Proses tersebut memiliki dua pola atau gaya yaitu : dedukti dan induktif. Kedua pola atau gaya
berpikir ini digunakan oleh para penulisan atau peneliti yang menggunakan bentuk pendekatan
kualitatif. Sementara , pola berpikir induktif digunakan dalam bentuk pendekatan kuantitatif.

1. Pola Pikir Deduktif


Proses berpikir dari hal yang bersifat umum kepada hal yang bersifat khusus. Pola berpikir
deduktif pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles (384-322SM), seorang filsuf
berkebangsaan Yunani dalam bentuk silogisme melalui karyanya yang berjudul
‘Organon’.pola piker deduktif yang berbasis pada silogisme Aristotelian, terbangun dari tiga
ketegori, yaitu premis mayor , premis minor dan konklusi. Premis mayor berbentuk asumsi
umum yang kemudian diturunkan ke dalam premis minor sebagai asumsi khusu, dan dari
keduanya baru lah dapat ditarik konklusi atau simpulan. Kategori inilah yang kemudian
dikenal sebagai silogisme kategoris.
2. Pola Pikir Induktif
Proses berpikir yang bermula dari hal khusu atau kecil untuk kemudian dijadikan sebagai
dasar bagi penyimpulan yang diharapkan dapat diberlakukan pada hal yang umum atau besar.
Dalam lintasan sejarah filsafat dan ilmu pola piker ini pertamakali di perkenalkan oleh Sir
Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf berkebangsaan Inggris melalui karya
fenomenalnya yang berjudul “Novum Organum(1620). Pola piker induktif dihadirkan oleh
Bacon sebagai bentuk kritikannya terhadap pola piker deduktif yang ditawarkan oleh
Aristoteles.

SARANA PENALARAN ILMIAH


Sarana Penalaran ilmiah dapat dipahami sebagai fasilitaas yang digunakan dalam
merancana gpemikiran. Setiap bangunan keilmuan akan menggunakan sarana penalaran yang
berbeda ilmu-ilmu social lebih cenderung menggunakan logika Bahasa sebagai sarana
penelarannya. Sementara ilmu-ilmu eksak dan kealaman lebih mengedepankan statistic angka
angka sebagai sarana penealaran ilmiah.
Sebagai sebuah kesejatian penalaran merupakan proses berpikir kritisnya manuasi,
sehingga apapun dan diwilawah manapun kajian keilmuan dilakukan sarana utama dan pertama
yang digunakan adalah rasio. Aktivitas rasional adalah keniscayaan yang tidak terbantahkan
dalam naturalitas berpikir manusia. Oleh karenanya, semua ilmu pengetahuan yang tumbuh dan
berkembang dalam ruang peradaban manusia pasti menjadi rasio sebagaisa rana penalaran
ilmiahnya.
Rasio adalah alat sekaligus sarana yang dapat menangkap berbagai fenomena dan
kemudian memprosesnya dalam aktivitas kerja yang disebut berpikir. Dari aktivitas ini
terlahirlah pemikiran yang diungkapkan melalui Bahasa. Dengan kata lain, Bahasa adalah rumah
bagi pemikiran manusia yang terlahir dari hasil kerja rasio.

KRITERIA KEBENARAN ILMIAH


Dikatakan benar secara ilmiah memiliki kriteria. Diantara kriteria tersebut yang dikenal
sebagai kriteria kebenaran ilmiah adalah sebagai berikut:
1. Kebenaran pragmatis yaitu kebenaran yang menjadikan nilai manfaat dari sebuah pernyataan
sebagai standar pembenarannya.
2. Kebenaran korespondensif, yaitu kebenaran yang menjadikan kepastian relasi anatara
pernyataan denga nisi atau materi yang dimaksudkan dari pernyataan sebagai standar
pembenarannya.
3. Kebenaran koherensif, yaitu kebenaran yang menitikberatkan pada adanya unsur
keterhubungan antara bagian-bagian dari objek yang dimaksudkan dalam ungkapan.
4. Kebenaran spekulatif, kebenaran yang bersumber pada perkiraan-perkiraan, dimana
perumusan perkiraan-perkiraan didasarkan pada pengalaman yang berulang.
Dari keempat bentuk kebeneran ini, hanya kebenaran korespondensif dan kebenaran
koherensif yang dapat dikategorikan ke dalam kebenaran ilmiah, karena keduanya memenuhi
persyaratan bagi sebuah kebenaran ilmiah yaitu:
1. Dapat dibuktikan sebagai wujud pertanggungjawaban
2. Dapat dijelaskan secara logis-rasional
3. Mengandung alur pemikiran sistematis dan sitemik
4. Bersifat objektif
KESIMPULAN

Ilmuawan adalah seorang yang mempunyai kemampuan dan hasrat untuk mencari
pengetahuan baru, asas-asa baru dan bahan bahan baru dalam suatu bidang ilmu. Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang dapat mengembangkan pengetahuanya yang dikembangkannya
melalui proses ilmiah untuk menghasilkan karya ilmiah. Argumentasi ilmiah terlahir dari proses
berpikir kritis dan koherensif yang memiliki dua pola deduktif dan induktif. Terdapat empat jenis
kebenaran: pragmatis, korespondesnif, koherensif dan spekulatif. Hasanya kebenaran
korespondensif dan kebenaran koherensif yang dapat dikategorikan ke dalam kebenaran ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Aditoni. 2005. Epistemologi; Pengertian Sejarah dan Ruang Lingkup. Online.

http://www.geocities.com. Diakses 6 Oktober 2015.

Amsal, Bachtiar. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: P. Raja Grafindo Persada.

Jujun, S. Suriasumantri. 1998. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan.

The Liang Gie. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.

Tim Dosen Filsafat Ilmu. Fakultas Filsafat UGM. 2003. Yogyakarta: Liberty

Anda mungkin juga menyukai