Anda di halaman 1dari 9

Anugrah Arby Pranata

22004116

Resume Filsafat Pendidikan

Hakikat Manusia

A. Pandangan Hakikat Manusia

Hakikat manusia adalah terdiri dari materi dan ruh, sehingga manusia memiliki sifat hewan
dan malaikat. Karena materi memiliki sifat keduniawian yang cenderung ke hawa nafsu,
sedangkan ruh atau jiwa merupakan sifat akhirat, dimana cenderung menuju pada kebenaran
(suara kebenaran). Sehingga secara hakikat manusia memiliki sifat yang menuju pada kebenaran
dan menuju pada keburukan. “ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya “.( Ar Rum;30 ).

Sehingga ketika manusia dalam memutuskan sebuah perilaku, ia akan dipengaruhi oleh
hakikatnya tersebut. Ketika perilaku cenderung ke suara kebenaran, maka ia akan memiliki
sifat/akhlak yang baik, dan sebaliknya.

Pandangan tentang hakikat manusia ada dua yaitu, pandangan filsafat dan pandangan ilmiah
yang disebut antropologi.

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang asal-usul, perkembangan, dan karakteristik
manusia.

Antropologi fil-safat (filosofir) adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia secara
keseluruhan atau manusia seutuhnya.

1. Pandangan filsafat
Pandangan filsafat berkaitan dengan badan dan ruh.

Menurut Poespoprodjo, mengemukakan 2 hal bahwa:

a. Hakikat manusia haruslah diambil secara integral dari bagian esensial manusia, baik yang
metafisis (animalitas dan rasionalitas) maupun fisik (badan dan jiwa). Manusia wajib
menguasai hakikatnya yang kompeks dan mengendalikan bagian-bagian tersebut agar
dapat bekerja secara harmonis.
b. Hakikat manusia harus diambil dari seluruh nisbahnya, tidak harus keselarasan batin
antara bagian-bagian dan kemampuan-kemampuan yang dibuat manusia itu sendiri, tetapi
juga keselarasan antara manusia dengan lingkungannya.

Menurut Mudyahardjo, bahwa manusia seutuhnya sama maknanya dengan animal symbolicum
(kemampuan menggunakan symbol-simbol) memiliki karakteristik, yaitu:

1) Animal rationale
Untuk menyatakan pikiran sebagai milik manusia yang unik.
2) Animal sociale
Untuk mengkomunikasikan pikirannya.
3) Untuk menalar dan menyadari sebagai pribadi yang mampu menalar.
4) Untuk mengombinasikan unsur-unsur yang menghasilkan suatu yang kreatif.
5) Dapat mengadakan perbedaan moral.
6) Dapat menyadari dirinya sendiri sebagai pribadi.

2. Pandangan ilmiah
Antropologi ilmiah sudah ada sejak zaman dahulu kala ditandaidengan adanya pendapat
dari Aristoteles, yang menyatakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang
mengeluarkan pendapatnya dan berbicara berdasakan akal pikirannya.

Beda lagi dengan Beals, yang menyatakan bahwa hakikat manusia dipelajari menurut
antropologi biologi atau juga disebut sebagai antropologi fisik, yaitu pembelajaran tentang fosil
dan kehidupan manusia sebagai organisme biologis.

Menurut Mudyahardjo, pandangan ilmiah tentang hakikat manusia berimplikasi yang


mengharuskan perlunya pendidikan dengan dasar anak manusia dilahirkan tidak berdaya, yaitu:

1) Anak manusia lahir tidak dilengkapi insting yang sempurna untuk menyesuaikan diri
dalam menghadapi lingkungan.
2) Anak manusia perlu masa belajar yang panjang sebagai persiapan untuk dapat secara
tepat berhubungan dengan lingkungan secara konstruktif
3) Awal pendidikan terjadi setelah anak manusia mencapai penyesuaian jasmani (anak
berjalan sendiri, dapat makan sendiri, dapat menggunakan tangan sendiri) atau mencapai
kebebasan fisik dan jasmani.

Alasan secara biologi, mengapa hanya manusia yang bisa dididik,karena:

1) Anak dilahirkan tak berdaya tetapi mempunyai potensi untuk berubah (bersifat lentur).
2) Anak mempunyai otak yang besar dengan permukaan yang luas.
3) Anak mempunyai syaraf yang saling berhubungan yang bermuara pada perbuatan
berpikir dan terjadilah apa yang disebut belajar.

B. Teori-teori tentang pembentukan akhlak manusia

Pengertian akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk
jamak kata khuluq atau al-khuluq, yang secara bahasa berarti budi pekerti, perangai,
tingkah laku, atau tabi’at. Sedangkan yang dimaksud dengan akhlak adalah sebuah sistem
yang lengkap yang terdiri dari karakteristik-karakteristik akal atau tingkah laku yang
membuat seseorang menjadi istimewa. Karakteristik-karakteristik ini membentuk kerangka
psikologi seseorang dan membuatnya berperilaku sesuai dengan dirinya dan nilai yang
cocok dengan dirinya dalam
kondisi yang berbeda-beda.
Pembentukan akhlak manusia dipengaruhi oleh factor hereditas (keturunan) dan
lingkungan. Bertahun-tahun sebelum para ahli didik, ahli biologi, ahli psikologi dan lain-
lainnya, memikirkan dan berusaha mencari jawaban atas pertanyaan tentang perkembangan
manusia itu sebenarnya bergantung kepada factor baan ataukah lingkungan? Dengan adanya
perbedaan pendapat para ahli tentang factor yang mempengaruhi perkembangan akhlak anak
tersebut, memunculkan beberapa teori tentang pembenukan akhlak anak dengan disertai
beberapa jenis aliran yang menjelaskan tentang terbentuknya akhlak manusia;

1) Aliran Nativisme
Berasal dari kata natis berarti lahir, nativus berarti kelahiran/pembaharuan.
Menurut Schopenhauer, seorang filosof bangsa Jerman :
Teori nativisme menyatakan bahwa perkembangan semata-mata ditentukan oleh
pembawaan yaitu pembawaan yang dibawa sejak lahir. Pembawaan itu ada yang baik da
nada yang tidak baik, sehingga manusia akan memiliki kemungkinan untuk berkembang
dengan baik atau yang sebaliknya (tidak baik), maka banyak kalangan menyebut teori ini
dengan sebutan teori pesimis artinya tidak ada ikhtiar atau kemauan untuk berkembang).

2) Aliran Naturalisme
Berasal dari bahasa latin dari kata nature berarti alam, tabiat dan pembawaan.
Menurut purwanto :
Aliran naturalisme adalah pada hakikatnya semua anak (manusia) sejak dilahirkan adalah
baik, bagaimana hasil perkembangannya kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan
yang diterimanya atau yang mempengaruhinya, jika pengaruh pendidikan itu baik, akan
menjadi baik akan tetapi jika sebaliknya pendidikannya jelek atau pengaruhnya jelek
akan menjadi jelek pula hasilnya. Maka aliran ini dinamakan aliran negativisme yang
berarti aliran yang meragukan pendidikan buatan untuk pembangunan seseorang karena
dia dilahirkan dengan pembawaan yang baik.

3) Aliran Empirisme
Berasal dari kata empiris berarti pengalaman.
Menurut tokoh emperisme pertama, John Locke (1632-1704) mengatakan bahwa jiwa
manusia waktu lahir adalah putih bersih bagaikan kertas yang belum ditulis. Dengan
demikian perkembangan baik buruk anak hanya ditentukan oleh factor lingkungan, jadi
lingkungan hidup anak adalah factor terpenting yang membentuk kepribadian anak.
Menurut tokoh emperisme lainnya, John B. Watson (1908-1920) terkenal dengan
semboyannya: “berikan kepadaku sepuluh orang anak, akan kujadikan kesepuluh orang
anak itu masing-masing menjadi pengemis, pedagang, sarjana dan sebagainya sesuai
dengan kehendakku”.
Menurut Watson, mengatakan bahwa jika jiwa manusia waktu lahir itu masih bersih,
maka kepada manusia itu diberikan lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang
diperlukan untuk menjadikan sesuai dengan yang dikehendakinya.
Aliran empirisme tidak dapat menjawab masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.

4) Aliran Konvergensi
Aliran ini merupakan gabungan dua aliran yaitu aliran nativisme dan empirisme. Aliran
ini ditandai dengan adanya interaksi antara factor hereditas dan factor lingkungan dalam
proses perkembangan tingkah laku. Menurut aliran ini hereditas tidak akan berkembang
secara wajar, apabila tidak diberi rangsangan dari factor lingkungan, sebaliknya
rangsangan dari lingkungan tidak akan membina perkembangan tingkah laku anak yang
ideal, tanpa dipengaruhi oleh factor hereditas.

C. Sifat-sifat Hakikat manusia

Sifat hakikat manusia dapat diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, secara prinsipil
membedakan manusia dari hewan. Diantara manusia dengan hewan memiliki kemiripan dari
segi biologisnya (bentuk tubuh orang hutan yang memiliki tulang belakang seperti manusia,
benjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan menyusui anaknya, dan
kemiripan dalam hal metabolisme).

Adapun sifat hakikat manusia, pada dasarnya terbagi menjadi 8 (delapan) yaitu sebagai
berikut:

1) Kemampuan menyadari diri sendiri


Manusia harus mampu menyadari dirinya sendiri. Bisa dikatakan bahwa manusia itu
harus dapat menjadi dirinya sendiri atau dalam istilah lain, be your self. Dalam artian
yang lebih luas, manusia harus mampu dan mengembangkan apa yang ada dalam dirinya
demi kemanusiaannya. Mampu mengembangkan aspek sosialitasnya dan mampu juga
mengembangkan aspek individualitasnya sehingga jika manusia dapat menyeimbangkan
kedua aspek tersebut maka dengan begitu manusia mampu mengekplorasi potensi-potensi
yang ada serta membuat jarak dengan yang lainnya.

2) Kemampuan bereksistensi
Bereksistensi menyatakan bahwa manusia itu ada dan mengetahui apa yang ada di luar
dirinya. Kemampuan bereksistensi berarti manusia mampu membuat jarak antara "aku"
atau egonya dengan "dirinya" sebagai obyektif. Oleh sebab itu, di mana pun dan dalam
kondisi apa pun manusia harus mampu menyatakan keeksistensiannya agar tidak
terpengaruh dengan yang lainnya.
Dengan kemampuan bereksistensi, manusia pun mampu melihat obyek sebagai "sesuatu".
Sesuatu di sini adalah dapat merubah obyek yang diamatinya menjadi sesuatu yang
berguna dengan akal pikirannya. Selain itu, manusia juga dapat menerobos ruang dan
waktu tanpa harus merubah segala hal yang ada pada dirinya.

3) Pemilikan kata hati (qalbu)


Manusia berbeda dengan binatang dan makhluk lainnya karena manusia memiliki kata
hati atau qalbu yang dapat memberikan penerangan tentang baik dan buruknya perbuatan
sebagai manusia. Jika ada sesuatu yang salah maka kata hati akan berbicara, begitu pun
sebaliknya.
Dengan memiliki kata hati, manusia dapat memberikan bentuk pengertian yang
menyertai perbuatan atau membenarkan apa yang dilakukannya tanpa harus terpengaruh
oleh hal-hal lain di luar dirinya, namun harus dalam konteks kebenaran umum atau nilai-
nilai positif dalam kehidupan.

4) Moral (etika)
Secara garis besar, moral (etika) adalah nilai-nilai yang mengatur manusia. Nilai-nilai itu
sendiri mencakup dua hal, yaitu nilai dasar yang bersifat universal (nilai-nilai
kemanusiaan secara umum) dan nilai instrumental yang bersifat bahagian dari nilai-nilai
dasar tersebut. Nilai instrumental lebih menekankan kepada cara atau hal yang nampak
dalam keumuman nilai dasar.
Dengan memiliki moral (etika), manusia mampu membuat jarak antara kata hati dengan
moral. Jadi, moral manusia itu sendiri terjadi karena adanya dorongan dari kata hati. Jika
kata hati berkata baik maka moral manusia itu pun dapat menghadirkan nilai-nilai yang
baik. Dengan begitu, dengan pendidikan berarti manusia dapat menumbuhkembangkan
etiket (sopan santun) dan etika (nilai-nilai kehidupan).
5) Tanggung jawab
Tanggung jawab manusia di dunia ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu tanggung jawab
kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada masyarakat, dan tanggung jawab kepada
Tuhan. Namun demikian, tanggung jawab itu bermuara kepada Tuhan sebab manusia
diciptakan adalah sebagai bukti pengabdian manusia kepada Tuhannya untuk menjaga
atau sebagai khalifah di muka bumi.
Tanggung jawab itu sendiri berasal dari moral manusia yang dihadirkan oleh kata
hatinya.

6) Rasa kebebasan
Rasa kebebasan di sini memiliki arti "merdeka". Kebebasan itu sendiri bukan berarti
manusia harus bebas dari segala tuntutan dalam kehidupan, melakukan semua hal sesuai
dengan keinginan dirinya sendiri, namun bebas di sini adalah bebas yang dibatasi oleh
rasa.
Rasa kebebasan itu pun harus sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, mampu merubah
ikatan luar yang membelenggu menjadi ikatan dalam yang menggerakkan hatinya. Jadi,
semua tuntutan yang ada dalam kehidupan harus mampu menyatu dengan dirinya sendiri
sehingga manusia dapat bebas menurut kodratnya.
Oleh sebab itu, dalam rasa kebebasan (kemerdekaan) manusia dapat mengendalikan kata
hatinya agar dapat menciptakan moral yang baik sehingga dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan rasa kebebasan tersebut.

7) Kewajiban dan Hak


Manusia dilahirkan Tuhan ke dunia karena memiliki hak hidup sejak manusia itu masih
berada di dalam rahim. Namun, hak itu harus dibarengi oleh kewajiban yang merupakan
keniscayaan bagi dirinya sebab jika kewajiban tidak ada maka hak adalah sesuatu yang
kosong.
Kita tak perlu menuntut hak lebih awal jika kewajiban yang dituntut belum dijalankan.
Hak itu ada karena kewajiban ada.

8) Menghayati kebahagiaan
Puncak dari sifat hakikat manusia adalah menghayati kebahagiaan. Menghayati
kebahagiaan berarti memadukan antara pengalaman yang menyenangkan dengan yang
pahit melalui sebuah proses, di mana hasil yang didapat adalah kesediaan menerima apa
adanya. Jadi, kebahagiaan itu muncul ketika kejadian atau pun pengalaman sudah
dipadukan di dalam hati dan kita mampu menerimanya dengan apa adanya tanpa harus
menuntut sedikit pun.

D. Dimensi-dimensi Hakikat Manusia


1. Dimensi Keindividuan
Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari
yang lain atau menjadi dirinya sindiri. Inilah sifat individualitas.
Karena adanya individualitas itu setiap orang mempunyai kehendak, perasaan, cita-cita,
kecenderungan, semangat dan daya tahan yang berbeda-beda. Setiap manusia memiliki
kepribadian unik yang tidak dimiliki oleh orang lain.

2. Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas demikian dikatakan Mj Langeveld
(1955 : 54) dalam buku (Pengantar Pendidikan, Prof. Dr. Tirtaraharja dan Drs. S.L La
Ulo 2005 : 18). Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih
kemungkinan untuk bergaul. Artinya setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada
hakikatnya di dalamnya ada unsur saling memberi dan menerima.
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak jelas pada dorongan untuk bergaul.
Dengan adanya dorongan untuk bergaul setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya.
Manusia hanya menjadi menusia jika berada diantara manusia. Tidak ada seorangpun
yang dapat hidup seorang diri lengkap dengan sifat hakekat kemanusiaannya di tempat
yang terasing. Sebab seseorang hanya dapat mengembangkan sifat individualitasnya di
dalam pergaulan sosial seseorang dapat mengembangkan kegemarannya, sikapnya, cita-
citanya di dalam interaksi dengan sesamanya.

3. Dimensi Kesusilaan
Kesusilaan adalah kepantasan dan kebaikan yang lebih tinggi. Manusia itu dikatakan
sebagai makhluk susila. Drijarkoro mengartikan manusia susila sebagai manusia yang
memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan.
(Drijarkoro 1978 : 36 – 39) dalam buku (Pengantar Pendidikan Prof. Dr. Tirtaraharja dan
Drs. S.L La Ulo 2005 : 21)
Agar manusia dapat melakukan apa yang semestinya harus dilakukan, maka dia harus
mengetahui, menyadari dan memahami nilai-nilai. Kemudian diikuti dengan kemauan
atau kesanggupan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.

4. Dimensi Keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah makhluq religius. Mereka percaya bahwa di luar alam
yang dapat dijangkau oleh indranya ada kekuatan yang menguasai alam semesta ini.
Maka dengan adanya agama yang diturunkan oleh tuhan manusia menganut agama
tersebut.
Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluq yang lemah
sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan
hidupnya. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama. Disinilah
tugas orang tua dan semua pendidik untuk melaksanakan pendidikan agama kepada
anaknya atau anak didiknya.

E. Proses Pengembangan Dimensi Manusia

Sasaran pendidikan adalah manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan dimensi


hakikat manusia menjadi tugas pendidikan. Manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakikat
manusia, tetapi masih dalam wujud potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan
atau “aktualisasi”. Dari kondisi “potensi” menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan
proses yang mengundang pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya.
Setiap manusia lahir dikaruniai “naluri” yaitu dorongan-dorongan yang alami (dorongan
makan, seks, mempertahankan diri, dll). Jika seandainya manusia dapat hidup hanya dengan
naluri, maka tidak ada bedanya ia dengan hewan. Hanya melalui pendidikan status hewani itu
dapat diubah kearah status manusiawi. Meskipun pendidikan itu pada dasarnya baik, tatapi
dalam pelaksanaannya mungkin saja bisa terjadi kesalahan-kesalahan yang lazimnya disebut
salah didik. Hal demikian bisa terjadi karena pendidik itu adalah manusia biasa, yang tidak
luput dari kelemahan-kelemahan.

1.Pengembangan yang utuh


Tingkat keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua
faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kulitas
pendidikan yang disediakan untuk memberikan/pelayanan atas perkembangannya.
Optimisme ini timbul berkat pengaruh perkembangan iptek yang sangat pesat yang
memberikan dampak kepada peningkatan perekayasaan pendidikan melalui teknologi
pendidikan.

Pengembangan yang utuh dapat dilihat dari berbagai segi yaitu:

a. Dari wujud dimensi yaitu, aspek jasmani dan rohani.

b. Dari arah pengembangan yaitu, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

2. Pengembangan yang tidak utuh


Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di
dalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan
untuk ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasikan oleh pengembangan
dimensi keindividualan ataupun dominan afektif didominasikan oleh pengembangan
dominan kognitif.

Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak
mantap. Pengembangan semacam ini merupakan pengembangan yang patologis.
F. Implikasi Hakikat Manusia bagi Pendidikan

Semenjak manusia mengkehendaki kemajuan dalam kehidupan, maka sejak itu timbul
gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui
pendidikan. Maka dari itu dalam sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan senantiasa
menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan kehidupan generasi demi generasi dengan
tuntutan kemajuan masyarakat.
Implikasi adalah suatu keadaan yang dimana manusia ikut dalam sebuah keterlibatan.
Implikasi dalam pengembangan teori pendidikan
1. Lahir dan berkembangnya antropologi pendidikan yang dipelopori oleh Frans Boa
Margareth Mead.
2. Adanya kebutuhan Antropologi Filsafat anak (pandangan tentang hakikat manusia atau
karakteristik anak).

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan bersifat dinamis. Setiap perkembangan kehidupan


manusia diwarnai dengan pendidikan yang mereka tempuh. Naik turunnya budaya dan
peradaban suatu bangsa menjadi pertanda bahwa praktek pendidikan terlaksana dengan baik.
Kondisi pendidikan suatu masa tidak dapat disamakan dengan kondisi pendidikan zaman
lainnya. Pendidikan harus mengakomodir kebutuhan masyarakat dizamannya.

Daftar Pustaka

Achdiyat, Maman, Dr. M.M, Kasyadi,Soeparlan, Dr. M.M, Suhendri, Huri, M.pd.. 2014, Dasar
Pengantar Pendidikan Sebagai Pengantar. Tangerang: Pustaka Mandiri.

http://open-mi.blogspot.co.id/2012/12/sebab-sebab-dan-proses-terbentuknya.html

http://zuwaily.blogspot.co.id/2012/10/sifat-hakikat-manusia.html#.WcKfzMZx21s

http://harryantony26.blogspot.co.id/2012/12/tugas-i-4-dimensi-dimensi-hakekat.html

Anda mungkin juga menyukai