Anda di halaman 1dari 10

Manusia sebagai pribadi yang bersinodal

A. Pendahuluan
1. Manusia, siapakah Dia?
Manusia, siapakah dia? Manusia bukan benda, tetapi aturan dan hukum dunia
jasmaniah berlaku bagi manusia. Misalnya Alex jatuh dari atap rumah, ia jatuh seperti
semua benda lain yang memiliki berat. Manusia bukan tumbuhan, namun kehidupannya
sangat bergantung dari lingkungannya. Manusia membutuhkan air untuk hidup, dan
udara yang segar untuk bernapas. Manusia bukan hewan, tetapi semua hukum hayati
berlaku bagi manusia. Pada suatu ketika ia lahir, dan pada suatu ketika ia mati. Manusia
bukan roh, namun ia mahluk rohaniah dengan segala kegiatannya yang khas rohaniah.
Ia berpikir, mempertimbangkan, memutuskan dan bertindak. Manusia siapakah dia?1
Banyak hal yang ditemukan perihal membahas siapa manusia. Berbagai ilmu baik
secara empiris maupun metafisik digunakan untuk melihat dan memeriksa tentang
manusia itu.
Maka dengan hukum hukum itu, manusia membutuhkan suatu interaksi dalam
kehidupannya. Interaksi itu kepada semua makhluk hidup yang ada di dunia. Terutama
interaksi dengan sesamanya. Manusia tidak akan bisa hidup, tidak bisa mengetahui
dirinya tanpa suatu interaksi.

B. Isi

1. Berbagai nama makhluk kepada manusia


Ada berbagai nama makhluk dilontarkan kepada manusia, yang menyatakan tentang
manusia itu sendiri, diantaranya:
a) Mahluk yang bertanya
Setiap Manusia pasti pernah merasa heran, bertanya dan mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan dari pengalamannya. Jenis pertanyaan tersebut dapat
membentuk jenis ilmu yang dapat membantu untuk memperoleh jawaban. Juga manusia
sering menjadi pokok bahasan banyak ilmu. Dalam antropologi Filsafat, pertanyaan-

1
Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius, 2004),
hlm. 13.
pertanyaan di atas dijawab dengan refleksi filosofis. Metode refleksi adalah kegiatan
yang bersifat rohaniah. Karena manusia merupakan mahluk rohaniah, ia dapat sekaligus
subjek dan objek. Sehingga ia yang adalah subjek mampu bertanya dan ia adalah objek
yang juga ditanyakan. Dalam refleksi manusia kembali kepada diri sendiri dan kepada
pengalaman-pengalamannya, juga kepada keyakinan-keyakinannya yang tumbuh dan
berkembang dalam hidup sehari-hari. Apa yang menjadi dasar keberadaanku? Manakah
kedudukan manusia yang khas di tengah-tengah makhluk yang lain di dunia ini?
Manakah pengalaman yang paling dasariah untuk membawa cahaya dalam
pengalamannya? Pertanyaan dan refleksi ini dikenal dari pengalaman masing-masing.2
b) Makhluk yang Multidimensional
Apakah yang menjadi kekhasan manusia di tengah segala makhluk lain? Manusia itu
bersifat jasmaniah, bahkan dunia dan semua makhluk hidup bersifat jasmaniah.
Manusia berpikir dan berefleksi. Yang juga dapat dikatakan manusia adalah makhluk
multidimensional. Manusia memang suatu kesatuan, tetapi di dalam kesatuan itu
ditemukan pelbagai dimensi dengan tingkatan ontologis yang berbeda.3 Artinya bahwa
kemultidimensional manusia tampak dalam setiap keputusan. Contoh, This is man (hic
est homo). Tiap keputusan bersifat tri-dimensional: hic adalah observasi konkret dan
individual, homo adalah ciri umum dalam banyak individu dari jenis sama, est adalah
dimensi-ada. Sumber pengetahuan dimensi untuk ketiga dimensi itu berlain-lainan,
yakni “ini” adalah observasi, “manusia” adalah ratio dengan daya abstraksi dan “ada”
adalah intelek yang menyentuh dimensi-ada. Tiga unsur kalimat itu mengandung tiga
dimensi yang berlainan, namun tidak dapat dipisahkan karena mengungkapkan
kenyataan yang sama.4
c) Mahluk yang bertindak
Manusia itu dinilai oleh manusia lain dalam tindakannya. Kalau ‘tindakan’ ini
diambil seluas-luasnya, maka ada beberapa macam penilaian. Mungkin Tindakan
dinilai sebagai sehat atau kurang sehat, misalnya pernafasan, pencernaan, peredaran
darah. Yang menilai secara ilmiah hal-hal yang demikian itu dokter, dan kalau

2
Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia, … hlm. 14.
3
Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia, … hlm. 16.
4
Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 32.
Kesehatan dianggap kurang, diusahakan obatnya, supaya kesehataan itu pulih kembali.
Penilaian itu disebut penilaian medis. Ada juga tindakan yang dinilai menurut indah
tidaknya. Orang mungkin indah jalannya, indah suaranya, dan indah gerak-geriknya.
Ini disebut penilaian estetis. Tindakan mungkin juga dinilai sebagai baik atau lawannya
buruk. Kalau Tindakan manusia dinilai atas baik-buruknya, Tindakan itu seakan-akan
keluar dari manusia, dilakukan dengan sadar atas pilihan, dengan satu perkatan: sengaja.
Faktor kesengajaan ini mutlak untuk penilaian baik-buruk Hal ini disebut penilaian etis
atau moral.5
d) Makhluk yang bebas
Kalau tak ada kesengajaan, pada prinsipnya tak ada penilaian baik-buruk.
Kesengajaan ini minta adanya pilihan dan pilihan berarti adanya penentuan dari pihak
manusia sendiri untuk bertindak. Penentuan manusia bagi tindakannya itu disebut
kehendak atau kemauan.6 Namun harus ditegaskan benar-benar, bahwa manusia itu
dalam tindakannya memang terbatas oleh kodrat yang ialah kemanusiaanya. Ia tak dapat
melampaui batas itu. Ia mempunyai sifat sama dengan benda-alam yang bukan-manusia
dan karena itu, ia pun terikat oleh hukum-alam yang sama.7
Dalam percakapan sehari-hari kata ‘bebas’ mengandung beberapa pengertian yang
merupakan sifat kebebasan itu. Biasanya kalau orang mengatakan bebas itu maksudnya
ialah: bebas dari sesuatu.8 Contohnya saat Indonesia berjuang dalam kemerdekaan,
semua pejuang-pejuang berusaha untuk mencapai kebebasan dari tindasan, kekangan,
penjajahan dan penghisapan dengan tujuan supaya bebaas dari kemiskinan dan
kemelaratan. Dalam hal ini dapat dikatakan kebebasan itu mengandung segi positif. Dan
dalam kebebasan ini ternyata ada pilihan. Namun perlu ditegaskan persoalannya:
adakah pada manusia kehendak bebas yang mungkin memilih dalam tindakannya, atau
boleh dimajukan secara lebih sederhana: adakah kesengajaan pada manusia? Marilah
menyelidiki gejala-gejala dalam tindakan manusia, terutama kalau dikatakan bebas
untuk bertindak itu.9

5
I.R. Poedjawinjadna, Etika Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986), hlm. 13.
6
I.R. Poedjawinjadna, Etika Filsafat, … hlm. 15.
7
I.R. Poedjawinjadna, Etika Filsafat, … hlm. 21.
8
I.R. Poedjawinjadna, Etika Filsafat, … hlm. 22.
9
I.R. Poedjawinjadna, Etika Filsafat, … hlm. 23.
e) Defenisi yang beraneka ragam
Manusia adalah makhluk yang bertanya, multidimensional, bertindak dan bebas.
Maka, tidak mengherankan bahwa pandangan atas manusia beraneka ragam.
Perkembangan zaman pun ikut berperan.10 Keanekaragaman pandangan tampak dalam
keanekaragaman definisi. Paling terkenal definisi dari Aristoteles yang mengatakan
“manusia adalah animal rationale” (hewan yang berakal budi). Menurut logika
Aristoteles bagian pertama, suatu definisi harus menyebut jenisnya yang paling dekat
(dalam hal ini animal), sedangkan bagian kedua harus menyebut hal spesifik (di sini
rationale, berakal budi).11 Tetapi semuanya pembahasan itu mengarah kepada manusia
yang memang sungguh-sungguh membutuhkan lingkungan dan ciptaan lainnya. Dan
hal inilah yang menjadi acuan bahwa kebersamaan atau keseimbangan itu dijaga dan
dilaksanakan. Pepatah “gotomg-royong” tidak lain tidak bukan merupakan bagian dari
berjalan bersama atau sinodalitas.
2. Kepribadian
Menurut Oxford English Dictionary, arti kata pribadi berasal dari Bahasa latin
persona, artinya topeng atau watak dalam suatu drama. Di Inggris 500 tahun yang lalu,
kata itu mempunyai arti ‘seorang pelaku’, yakni seorang individu yang bertindak dalam
kapasitas tertentu atau lainnya, atau makhluk manusia dalam arti yang dipertentangkan
dengan jenis yang lain, yakni binatang. Arti kedua itu kini dominan dalam pembicaraan
sehari-hari.12
Seseorang ada yang menyebut suatu individu, artinya seseorang itu merupakan
keseluruhan yang lain dari yang lain. Dalam arti ini tidak hanya manusia saja yang dapat
disebut individu. Tiap hal yang merupakan keseluruhan dan lain dari yang lain,
walaupun masuk sejenis, tentu boleh disebut individu. Oleh karena manusia mempunyai
sifat yang melainkan manusia yang bukan manusia, yaitu budi dan kehendaknya, maka
manusia itu individu istimewa, ia lalu disebut pribadi. 13 Pribadi ialah individu yang
berbudi dan berkehendak. Dasar kepribadian ini masih tetap keseluruhan yang

10
Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia, … hlm. 16.
11
Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia, … hlm. 17.
12
Jenny Teichman, Etika Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 40.
13
I.R. Poedjawinjadna, Etika Filsafat, … hlm. 54.
melainkan pribadi satu dengan pribadi yang lain. Maka dari sebab itu kepribadian
berarti: dasar keseluruhan dan kesatuan tindakan manusia yang berbudi dan
berkehendak itu.14
Seorang Filsuf modern yaitu Locke, berpendapat mengenai kepribadian
(personhood). Locke merumuskan pribadi sebagai makhluk dengan akal, kesadaran
(termasuk sadar diri), dan ingatan. Menurutnya identitas seorang pribadi dalam waktu
tergantung untuk sebagian pada akal dan kesadaran; Sebagian lagi pada mempunyai
(having) atau lebih tepat ada (being) sebagai seperangkat ingatan yang secara relative
koheren dan secara relative berhubungan (tumpang-tindih). Dari pertimbangan Locke
ini dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang pribadi, atau seperangkat ingatan dapat
mempunyai dua tubuh dan juga bahwa satu tubuh yang hidup dapat berisi dua pribadi
yang berbeda dalam waktu yang berbeda-beda. Locke berpendapat agak
membingungkan bahwa jenis seorang manusia tidak samaa dengan jenis entitas seorang
pribadi. Pada pokok tertentu tampaknya ia mengatakan bahwa pribadi dan manusia
mempunyai kategori yang berbeda. Yang satu adalah substansi yang hidup, yang lain
adalah perangkat kemampuan-kemampuan dan peristiwa mental. Namun karena
manusia dapat mempunyai atau memiliki kemampuan-kemampuan seperti itu, ia dapat
pula, menurut locke, menjadi pribadi sekaligus manusia.15
Jelaslah bahwa kata pribadi sama sekali tidak mempunyai suatu arti. Kendatipun
demikian, cukup jelaslah bahwa dalam kehidupan sehari-hari pribadi dan makhluk
manusia dianggap sama saja. Para mahasiswa filsafat misalnya, selalu menggunakan
istilah manusia dan pribadi secara berganti-ganti sampai mereka diperingatkan untuk
jangan melakukan demikian oleh para pengajar filsafat mereka.16
3. Manusia sebagai pribadi yang sinodal
Telah dijelaskan tentang manusia dan pribadi itu secara panjang lebar. Maka jelaslah
bahwa sungguh banyak pengertian mengenai manusia dan pribadi. Begitu pun manusia
sebagai pribadi, yang memang sungguh memiliki arti yang luas. Manusia disebut
sebagai pribadi sering diartikan sebagai eksistensinya di dunia, tindakannya, aspek

14
I.R. Poedjawinjadna, Etika Filsafat, … hlm. 55.
15
Jenny Teichman, Etika Sosial, … hlm. 38.
16
Jenny Teichman, Etika Sosial, … hlm. 41.
terdalamnya, sifat-sifat, dan relasinya baik dengan dirinya maupun luar dirinya.
Manusia sebagai pribadi itu memilih yang baik, semata-mata karena ia berkeyakinan
bahwa itu baik, jadi bukanlah karena orang-orang lain bertindak demikian atau karena
untuk menyenangkan orang lain, pun tidak karena hendak mempertahankan kedudukan.
Jika sekiranya ia bertindak, hanya karena orang lain juga bertindak demikian, maka
justru ia kehilangan kepribadian.17 Berikut hal-hal yang menyatakan manusia itu
sebagai pribadi atau sering disebut nilai-nilai/ keutamaan-keutamaan manusia sebagai
pribadi:
a) Kejujuran
Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Bersikap
jujur terhadap orang lain berarti dua: Pertama, sikap terbuka, kedua bersikap fair.
Dengan terbuka tidak dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab
dengan selengkapnya, atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan
dan pikiran kita. Kita berhak atas batin kita. Melainkan yang dimaksud adalah bahwa
kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri. Sesuai dengan keyakinan kita. Kita tidak
menyembunyikan wajah kita sebenarnya. Kita tidak menyesuaikan kepribadian kita
dengan harapan orang lain. Dalam segala sikap dan tindakan kita memang hendaknya
tanggap terhadap kebutuhan, kepentingan dan hak orang-orang yang berhadapan
dengan kita. Kita tidak bersikap egois belaka. Terbuka artinya: orang boleh tahu, siapa
kita.18
Kedua, terhadap orang lain, orang jujur bersikap wajar atau fair: ia
memperlakukannya menurut standart-standart yang diharapkannya dipergunakan orang
lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu akan memenuhi janji
yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Ia
tidak akan pernah bertindak bertentangan dengan suara hati atau keyakinannya.19 Tetapi
bersikap jujur dengan diri sendiri juga sangat dibutuhkan. Segala sandiwara,
rasionalisasi, kepercayaan tingkat dewa, pembawaan yang berlebihan, perlu juga
dikurangi atau bahkan dihilangkan supaya tidak menjadi penindasan rohani dan jasmani

17
I.R. Poedjawinjadna, Etika Filsafat, … hlm. 56.
18
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2017), hlm. 142.
19
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, … hlm. 143.
orang lain. Orang yang tidak jujur senantiasa berada dalam pelarian. Lari dari orang
yang diikuti sebagai ancaman. Kejujuran selayaknya membutuhkan keberanian.
Keberanian untuk berhenti melarikan diri dan menjadi diri sendiri, berani menunjukkan
diri seadanya, meninggalkan kebohongan, dan bertahan dalam setiap tantangan.20

b) Kesediaan untuk bertanggung jawab


Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi operasional dalam
kesediaan untuk bertanggung jawab. Pertama, berarti kesediaan untuk melakukan apa
yang harus dilakukan, dengan sebaik mungkin. Bertanggung jawab berarti suatu sikap
terhadap tugas yang membebani kita. Kita seperti merasa terikat dengan tugas itu dan
berusaha menyelesaikannya.21 Maka mau tidak mau perasaan atau sikap malas, acuh
tak acuh, berlengah-lengah, santai berlebihan dan semua sikap yang menghambat
pertanggungjawababan itu, tidak mempunyai tempat dalam diri kita. Tugas itu kita
rasakan seperti pegangan yang harus diperjuangkan.
Kedua, dengan demikian sikap bertanggung jawab mengatasi masalah etika
peraturan. Etika peraturan hanya mempertanyakan apakah sesuatu boleh atau tidak.
Sedangkan sikap bertanggung jawab merasa terikat pada yang memang mau perlu.22
Maka dapat disebut bahwa kesediaan untuk bertanggung jawab adalah kekuatan batin
yang mantap.
c) Kemandirian moral
Keutamaan ketiga yang perlu kita capai apabila kita mencapai kepribadian yang kuat
adalah kemandirian moral. Kemandirian moral berarti bahwa kita tak pernah ikut-ikutan
saja dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu
membentuk penilaian sendiri dan bertindak sesuai dengannya.23 Kemandirian moral
adalah kemampuan batin untuk membangun dasar moral yang kuat. Artinya kita harus
sadar bahwa suatu kegiatan atau proyek yang dikerjakan itu, tidak berasal dari hasil
ikut-ikutan atau kongkalikong, melainkan adalah kemandirian kita, dan konsistensi diri.

20
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, … hlm. 144.
21
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, … hlm. 145.
22
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, … hlm. 146.
23
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, … hlm. 147.
d) Kerendahan hati
Keutamaan terakhir yang paling hakiki bagi kepribadian yang mantap adalah
kerendahan hati. Barangkali orang akan bertanya mengapa di sini justru muncul
kerendahan hati? Kalau kita mendengar kata kerendahan hati, yang biasanya terbayang
adalah sikap orang yang tidak berani, cepat-cepat mengalah kalua berhadapan dengan
orang yang berkedudukan tinggi, suka menjilat, tidak sanggup mengambil dan membela
pendirian, merendahkn diri dan lain sebagainya.24 Namun sebenarnya kerendahan itu
ialah melihat diri kita seadanya, bukan justru malah merendahkan diri. Kerendahan hati
lebih dimaksudkan sebagai kekuatan batin. Dimana orang yang rendah hati mampu
melihat kelemahan dan kekuatan dalam dirinya. Ia sadar bahwa pujian atau kekaguman
orang lain terhadapnya dalam suatu hal hanyalah kebetulan saja. Ia tahu bahwa
kekuatannya dan kebaikannya terbatas.25

C. Penutup
1. Relasi Aku – Engkau
Manusia sebagai makhluk sosial merindukan suatu kesatuan dan kebersamaan yang
semakin luas dan semakin mendalam. Manusia sebagai pribadi ingin diakui dalam
keunikannya dan kekhasannya. Maka, manusia terarah kepada suatu kesatuan di mana
keunikan tidak terhapus, melainkan diakui dan diteguhkan.26 Keunikan itu terletak dari
bagaimana manusia berinteraksi dengan sesamanya. Interaksi ini disebut panggilan yang
paradoksal. Panggilan yang paradoksal ini ditemukan dalam relasi aku-engkau yang
menuju pada cinta yang sejati. Dalam cinta dua orang bersatu, mereka tetap dua dengan
keunikan dan kekhasannya masing-masing. Artinya jelas bahwa pengaruh pribadi atas
pribadi yang lain dalam suatu relasi aku-engkau yang berarti cinta bersifat bebas, aktif
dan kreatif. Dan bukan hanya untuk satu orang tetapi ke semua orang, diusahakan
memakai relasi aku-engkau. Dengan begitu tujuan untuk kebaikan bersama dapat
tercapai.27

24
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, … hlm. 148.
25
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, … hlm. 149.
26
Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia, … hlm. 48
27
Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia, … hlm. 49
2. Manusia yang bersinodal
Dari pemaparan tentang siapa itu manusia, maka dapat disimpulkan bahwa manusia
itu, harus mampu mengekspresikan dirinya dan menyadari dirinya lewat segala sesuatu
yang ada. Kata “sosial” harus menyatu dengan eksistensi manusia. Dengan kata “sosial”
dimaksudkan usaha untuk mengangkat sesama menjadi “socius” (teman) dengan
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya termasuk kemungkinan-
kemungkinannya untuk menjadi diri. Tujuan dari kesosialan ialah realisasi dan
aktualisasi masing-masing pribadi dalam Masyarakat.28 Maka dengan begitu manusia
jelas-jelas memerlukan sesamanya. Dengan kata lain dalam kehidupan manusia sudah
tertanam sinodalitas atau kebersamaan untuk menuju yang lebih baik. Sinodal dalam diri
manusia sebenarnya sudah ada hanya saja belum diketahui masing-masing pribadi.

Oleh karena itu, sinodalitas yang diseserukan Paus Fransiskus merupakan tugas
manusia keseluruhan. Bukan hanya umat katolik, tetapi secara umum manusia memang
harus mampu berjalan bersama entah itu dalam keluarga, kerja, komunitas dan lain-lain.
Tujuan dari berjalan bersama atau sinodalitas itu adalah untuk kebaikan bersama. Hal
ini juga menekankan umat katolik supaya wajib dalam bersinodalitas. Memberikan diri
dalam keuskupan masing-masing, melalui segala partisipasi-partisipasi yang berguna di
dalam kehidupan menggereja.

28
Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia, … hlm. 50.
Bibliography

Poedjawijatna, I. (1982). ETIKA Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: PT. BINA AKSARA.
Snijders, A. (2004). Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta:
Kanisius.
Snijders, A. (2006). Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, D. F. (2017). Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Kanisius.
Teichman, J. (1998). Etika Sosial. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai