Anda di halaman 1dari 14

FILSAFAT MANUSIA

Dosen Pengampu:

Dr. Ahmad Kosasih, M.A


Dosen Departemen Ilmu Agama Islam, Fakutas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Padang

A. Wacana Sekitar Asal Usul Manusia


Siapakah manusia itu? Menurut Gazalba (1978:10), terdapat dua macam jawaban
untuk pertanyaan sekitar manusia; jawaban ‘aqli (akal/filsafat) yang berasal dari manusia dan
naqli yang berasal dari Tuhan (agama). Jawaban yang berasal dari manusia juga terbagi dua
yaitu jawaban pengetahuan primitive yang bersahaja dan jawaban pengetahuan ilmu.
Jawaban berdasarkan pengetahuan bersahaja dipandang oleh manusia modern sebagai
tahayul, sedang jawaban yang berdasarkan ilmu ialah seperti jawaban yang diberikan secara
akademik.
Dalam teori evolusi disebutkan bahwa setiap makhluk yang ada tidak lahir menurut
wujud seperti yang terlihat sekarang ini, melainkan merupakan hasil proses dari makhluk-
makhluk sebelumnya yang berlangsung secara evolusi. Seperti teori yang dikemukakan oleh
Charle Darwin (1809-1982), bahwa tiap jenis makhluk tumbuhan dan hewan berasal dari
jenis yang rendah. Jenis yang paling rendah itu adalah amuba atau makhluk satu sel.
Sedangkan jenis yang paling tinggi ialah manusia (Gazalba, 1978:11). Sementara itu, M. M.
Syarif dalam Sirajuddin Zar (2014:135-136) juga mengungkapkan, sebenarnya jauh sebelum
Darwin, Ibnu Miskawaihi (941-1030), seorang filosuf Muslim yang berasal dari Parsia
pernah mengemukakan pandangannya bahwa alam mineral, tumbuhan, hewan dan manusia
merupakan satu rentetan yg sambung bersambung dalm jarak waktu yang sangat penjang.
Transisi dari alam mineral ke alam tumbuhan melalui merjan. Dari tumbuhan kepada hewan
melalui pohon kurma dan dari alam hewan kepada manusia melalui kera.
B. Manusia dalam Tinjauan Filsafat
Filsafat manusia juga disebut dengan antropologi filsafat, secara tidak langsung juga
menyoroti hakekat atau esensi manusia. Filsafat manusia mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang bersifat mendasar tentang manusia. Misalnya tentang kedudukan manusia pada alam
semesta ini, siapa penciptanya, apa hakikatnya, apa tanggung jawab yang dipikulnya sebagai
manusia. Selain itu juga tentang tujuan hidup manusia, dan masih banyak lagi pertanyaan-
pertanyaan yang berkaitan dengan filsafat manusia. Filsafat manusia juga merupakan bagian
atau cabang dari sistim filsafat, yang secara metodis memiliki kedudukan yang setara dengan
cabang-cabang yang lain, diantaranya: filsafat sosial, etika, estetika dan sebagainya. Abidin
(2007:3), juga mengemukakan bahwa filsafat manusia adalah bagian integral dari sistim
filsafat, yang secara sepesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Pada intinya filsafat
manusia adalah ilmu filsafat yang membahas tentang esensi manusia yang mencakup semua
dimensi dari manusia. Maksudnya ialah pembahasan tentang fisik manusia, mental manusia,
hakikat manusia, kedudukan manusia, tujuan asasi hidup manusia, apa yang harus dilakukan
manusia dalam hidup, dan lain-lain.

1
Ringkasnya filsfat manusia merupakan sebuah hasil dari perumusan yang ada
mengenai hakikat manusia dan segala yang barkaitan dengan kehidupannya melalui sebuah
proses berfikir secara mendalam. Berbeda dengan ilmu-ilmu tentang manusia seperti
Psikologi, Antropologi, Fisiologi, dan Anatomi yang hanya menjelaskan tentang keadaan
fisik melalui observasi dan eksperimental. Ruang lingkupnya serba terbatas pada objek
keilmuan masing-masing. Sedangkan filsafat manusia membahas esensi manusia dengan
lebih menyeluruh, mulai dari makna kehadiran manusia di dunia, tujuan hidup manusia,
kedudukan manusia di dunia, dan lain-lain.
1. Pandangan Filosuf tentang Manusia

Berikut ini adalah beberapa pengertian tentang manusia oleh para tokoh Filsuf ;
a) Plato
Menurut plato, martabat manusia sebagai pribadi tidak terbatas pada mulainya jiwa
bersatu dengan raga. Jiwa telah berada lebih dulu sebelum jatuh kedunia dan disatukan
dengan badan (Timaeus), maka bagi plato yang disebut manusia adalah jiwa itu sendiri.
Sedangkan badan oleh plato dianggap sebagai alat yang berguna ketika masih hidup didunia
ini. Badan dianggap sesuatu yang memberati usaha jiwa untuk mencapai kesempurnaan, yaitu
kembali kepada dunia ide.
b) Thomas Aquinas
Thomas menolak pendapat Plato tentang manusia. Menurut Thomas, yang disebut
manusia sebagai pribadi adalah “makhluk inidividu yang dianugrahi kodrat rasional.” Bahkan
yang disebut makhluk individual, yang hidup, ialah makhluk berupa kesatuan antara jiwa dan
badan. Sejauh jiwa dan badan sudah menyatu dianggap sudah hidup, walaupun belum dapat
mandiri, haruslah disebut sebagai pribadi yang utuh.
Dari pendapat dua tokoh tadi, yang paling digandarungi oleh filosof adalah pendapat
dari Thomas, meskipun masih terdapat kejanggalan. Yaitu dalam pandangan agama bahwa
jiwa manusia itu diciptakan langsung oleh Allah tanpa berhubungan dengan badan. Pendapat
tersebut tentu masih bisa dipertanyakan. Seandainya manusia diciptakan secara langsung
tanpa hubungan ketelibatan manusia atau pengaruh orang tua (gen), apakah masih cocok
dengan teori biologi sebagaimana dalam kajian sains? Disinilah tampak sisi kelemahan dari
pendapat Thomas tersebut.
c) David Hume
David Hume menyimpulkan bahwa pribadi adalah identitas diri. Yaitu kesatuan jati diri
manusia dalam kaitannya dengan waktu. David berpegang teguh dengan pengetahuan ilmiah.
Manusia hanya dapat diselidiki melalui titik tolak pengalaman inderawi, yaitu dari
penglihatan, penciuman, perabaan, pencicipan, dan pendengaran. Dari penyidikannya, dia
menyimpulkan bahwa ‘pribadi’ hanyalah suatu untaian atau kumpulan persepsi yang
berbeda-beda, yang saling menggantikan secara berurutan dengan kecepatan yang luar biasa,
selalu mengalir dan bergerak”.
d) Imanuel Kant

2
Imanuel Kant memahami ‘pribadi’ sebagai sesuatu yang sadar akan identitas numerik
mengenai dirinya sendiri pada waktu yang berbeda-beda disebut seorang pribadi. Jiwa itu
sadar, dan lain-lain. Maka jiwa adalah “pribadi”.
e) Jon Stuart Mill
Menurut Mill, yang disebut ‘pribadi’ adalah manusia individual yang mempunyai
kebebasan mutlak dalam hubungannya dengan masyarakat. Mill mempertentangkan individu
dengan masyarakat. Bagi Mill, individu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari
masyarakat. Apa pun alasannya individu harus diprioritaskan di atas masyarakat. Menjadi
jelas bahwa baginya kepentingan individu tidak pernah boleh dikorbankan demi kepentingan
masyarakat.
f) John Dewey
Kata ‘pribadi’ bagi John Dewey berarti seseorang yang bertindak sebagai wakil dari
suatu grup atau masyarakat. Seorang individu hanya bisa disebut pribadi kalau ia mengemban
dan menampilkan nilai-nilai sosial masyarakat tertentu. Maka ada hubungan erat antara
martabat seseorang sebagai pribadi dan perannya di dalam masyarakat. Dewey menolak
mentah-mentah ide Mill yang mempertentangkan individu dengan masyarakat. Gagasan
mengenai individu haruslah memasukkan nilai-nilai masyarakat, bukannya memandang
masyarakat sebagai penghalang bagi kebebasan dan perkembangan individu. Hal ini jelas di
dalam pandangan Dewey mengenai pribadi.
g) John Macmurray
John Macmurray menggunakan kata ‘pribadi’ untuk menunjuk kepada seorang pelaku
yang konkret dan rill. Pribadi, menurut Macmurry, pertama-tama adalah pelaku (agent),
bukannya pemikir. Baginya “I do” lebih penting daripada “I think”. Sifat khusus manusia
adalah kemampunnya untuk bertindak, bukannya untuk berpikir. Akal terutama merupakan
unsur pelengkap atau bagian integral dari tindakan. Artinya fungsi akal adalah untuk
mengabdi tindakan. Tindakan merupakan pelaksanaan dari suatumaksud tertentu, dan dengan
tindakkannya seseorang sekaligus masuk ke dalam relasi dengan pelaku-pelaku yang lain.
Maka setiap masyarakat manusia adalah kesatuan dari pribadi-pribadi.Namun, Macmurry
menyadari bahwa tidak semua interaksi manusia bersifat personal atau pribadi. Hanya kalau
manusia memperlakukan sesamanya sebagai pribadi, yaitu sebagai manusia yang mempunyai
maksud atau cita-cita, maka interaksi itu bersifat personal. Karena masyarakat bukanlah
melulu kenyataan yang terjadi begitu saja, tetapi melibatkan maksud atau intensi, maka
maksud memainkan peranan penting di dalam hubungan manusiawi.
Perbedaan filsafat manusia dengan ilmu-ilmu lain
Ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia, sedikit mirip dengan ilmu tentang alam,
berbudaya untuk menemukan hukum, perbuatan manusia, sejauh perbuatan itu dapat di
pelajari secara indrawi/bisa dijadikan objek untuk introspeksi. Adapun filsafat menyerahkan
penyelesaiannya pada segi yang lebih mendalam dari manusia. Keterbatasan metode
observasi tidak memungkinkan ilmu-ilmu tentang manusia untuk melihat gejala manusia
secara utuh dan menyeluruh. Contohnya tentang ilmu psikologi, ilmu tersebut hanya
menekankan pada aspek psikis dan fisiologis manusia sebagai suatu organisme. Dan tidak
menjelaskan tentang pengalaman spiritual dan eksistensinya. Ilmu lainya seperti antropologi

3
dan sosiologi lebih memfokuskan pada gejala budaya dan pranata social, dan tidak
menjelaskan tentang pengalaman dan gejala individu.
Perbedaan filsafat manusia dengan ilmu-ilmu lain tentang manusia adalah
penggunaan metode sintesis dan reflektif dan mempunyai ciri-ciri ekstensif, intensif serta
kritis. Penggunaan metode sintesis dalam filsafat manusia, yang mensistensiskan pengalaman
dan pengetahuan kedalam satu visi. Oleh sebab itu daripada hanya berkisar tentang salah satu
aspek-aspek tertentu dari manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok social,
filsafat manusia justru berkenaan dengan totalitas dan keragaman aspek-aspek yang terdapat
pada manusia secara universal dan lebih luas pembahasannya.
Selain itu penggunaan metode refleksi dalam filsafat manusia tampak dari pemikiran-
pemikiran filsafati besar seperti yang dikembangkan misalnnya oleh Descartes, Kant,
Edmund Husserl, Karl Jasper dan lain-Nya. Refleksi yang dimaksudkan disini menunjuk
pada dua hal. Pertama, pada pertanyan tentang esensi sesuatu hal. Misalnya, apakah esensi
manusia itu, apakah esensi keindahan itu, apakah esensi alam semesta itu. Kedua, pada
proses pemahaman diri (self-understanding) berdasarkan pada totalitas gejala dan kejadian
manusia yang sedang direnungkannya. Maka ada kemungkinan dalam filsafat manusia
terdapat keterlibatan pribadi dan pengalaan subjektif dari beberapa filsuf tertentu pada setiap
apa yang difikirkannya.
Ada yang khas dengan filsafat manusia dan tidak terdapat pada ilmu-ilmu tentang
manusia. Jika ilmu adalah netral dan bebas nilai, maka bisa dikatakan juga bahwa ilmu
berkenaan hanya dengan das sein (kenyataan seba apa adanya). Nilai, dari manapun asalnya
dan apapun bentuknya, diupayakan untuk tidak dilibatkan dalam kegiatan keilmuan. Nilai
dipandang sesuatu yang subjektif dan tidak bisa diukur. Sehingga keberadaanya dianggap
tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Sebaliknya di dalam filsafat manusia,
bukan hanya das Sein yang dipertimbangkan tapi juga das sollen (kenyataan yang
seharusnya). Ini berarti bahwa nilai yang selain dipandang subjektif tetapi juga ideal,
mewarnai kegiatan filsafat manusia.
Ciri-ciri Filsafat Manusia
Bila dilihat secara umum, filsafat manusia memiliki beberapa ciri antara lain:
a. Ekstensif: Yakni dapat disaksikan dari luasnya jangkauan atau menyeluruhnya objek
kajian yang di geluti oleh filsafat.
b. Intensif (mendasar): Yakni merupakan kegiatan intelektual yang hendak menggali inti
hakikat (esensi), akar, atau struktur dasar, yang melandasi segenap kenyataan.
c. Kritis: Oleh karena tujuan filsafat manusia pada taraf akhir tidak lain adalah untuk
memahami diri sendiri, maka hal apa saja yang secara langsung maupun tidak
langsung berhubungan dengan pemahaman diri manusia tidak luput dari kritik filsafat.
Diatas mungkin itulah ciri singkat tersebut, bahwa filsafat manusia adalah gambaran
menyeluruh atau synopsis tentang realitas manusia. Berbeda dengan ilmu-ilmu tentang
manusia, filsafat manusia tidak menyoroti aspek-aspek tertentu dari gejala dan kejadin
manusia secara terbatas. Aspek-aspek seperti kerohanian dan kejasmanisan, kebebasan dan
determinisme, serta dimensi-dimensi seperti sosialitas dan individualitas. Semuanya itu
ditempatkan dalam kesatuan gejala dan kejadian manusia, yang kemudian disoroti secara
integral oleh filsafat manusia. Dan tentunya filsafat manusia hanya menggambarkan realitas

4
manusia secara garis besar saja. Ia berbeda dengan ilmu, tidak mempunyai pengetahuan dan
informasi yang sangat mendetail dan spesifik tentang dimensi-dimensi tertentu dari manusia.
Kemudian ciri lain dari filsafat manusia adalah penjelasan yang intensif (mendasar).
Filsafat adalah kegiatan intelektual yang hendak menggali inti hakikat (esensi), akar, atau
struktur dasar, yang melandasi segenap kenyataan. Dalam hubungannya dengan filsafat
dapatlah dikatakan bahwa filsafat manusia hendak mencari inti, hakikat (esensi), akar atau
struktur dasar yang melandasi kenyataan manusia, baik yang tampak pada gejala kehidupan
sehari-hari (prailmiah), maupun yang terdapat di dalam data-data dan teori-teori ilmiah.
Orang bisa menggugat ciri intensif filsafat ini, misalnya dengan menyatakan bahwa ilmu pun
pada prinsifnya hendak mencari dasar atau akar (sebab) dibalik gejala atau kejadian tertentu
(akibat). Tetapi tentu saja, ada perbedaan dalam derajat dan intensitasnya.
Dan ciri kritis dari filsafat manusia ialah peka terhadap apa yang digelutinya atau
terhadap objek yang dikajinya. Filsafat manusia hendak memahami manusia secara intensif
dan ekstensif, maka ia tidak puas terhadap pengetahuan atau informasi yang bersifat sempit,
dangkal dan simplistic tentang manusia. Sambil menjalankan usahaya dalam memahami
manusia secara ekstensif dan intensif, filsafat manusia tidak henti-hentinya mengecam
kekuatan-kekuatan atau ideologi-ideologi yang ada itu.
C. Tinjauan Agama (Islam) tentang Manusia
Quraish Sihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur`an (1996:278-279) menyebutkan,
terdapat tiga kata di dalam Al-Qur`an yang menunjuk kepada manusia yaitu; (1) kata yang
terdiri dari huruf alif, nun dan sin seperti insan, ins, nas dan unas (2) al-basyar, (3) bani
Adam. Kata al-basyar berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah, dari sini pula
lahirnya kata basyarah yang berarti kulit. Manusia bernama basyar karena kulitnya yang jelas
(terang). Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmoni dan tampak. Di
dalam Al-Qur`an kata insan sering diperhadapkan dengan kata jin yang berarti tidak tampak
atau tersembunyi.
Manusia adalah makhluk paling sempurna penciptaannya dibanding dengan makhluk-
makhluk lainnya namun penuh dengan misteri. Dalam logika sederhana dapat dipahami
bahwa yang mengerti tentang penciptaan manusia adalah Sang Pencipta itu sendiri, yakni
Allah s.w.t. Dalam Al-Quran dijelaskan tentang penciptaan manusia, bahwa manusia itu
diciptakan dari unsur jasmani dan rohani (Q.S. 32:7-9). Jasmani manusia terdiri dari unsur-
unsur kimia yang sangat lengkap dengan komposisi yang sangat sempurna, namun jasmani
adalah alat bagi rohani untuk melaksanakan kehendaknya. Sedangkan rohani diidentikkan
orang dengan jiwa, namun hakikat rohani/jiwa tidak dapat diketahui secara pasti oleh
manusia (Q.S.17:85), yang dapat diketahui oleh manusia hanyalah gejala-gejalanya, yaitu
berpikir, merasa, dan berkehendak.
Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan terbaik/ahsani taqwim
(Q.S.95:4), serta makhluk yang semi-samawi dan semi duniawi, yang di dalam dirinya
ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya
maupun alam semesta, serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit, dan bumi.
Manusia juga memiliki kelemahan dan keunggulan sehingga berpotensi untuk menjadi buruk
atau baik tergantung potensi mana yang ia pupuk dan kembangkan (Q.S.91:7-10). Kapasitas
yang dianugerahkan Sang Maha Pencipta kepada manusia begitu besar, baik dalam

5
kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Ia memiliki suatu keluhuran dan
martabat naluriah, motivasi dan pendorong dalam banyak hal untuk menjalani kehidupan ke
arah kesempurnaan itu. Kodrat yang yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia disertai pula
dengan bimbingan (hidayah) Nya (Q.S.87:2-3) namun pada saat yang sama, mereka dituntut
untuk menunaikan kewajiban kepada Tuhan, Sang Maha Pencipta.
Proses Penciptaan Manusia
Dalam logika sederhana, dapat dipahami bahwa yang mengerti tentang penciptaan
manusia adalah Sang Pencipta itu sendiri. Allah merupakan Sang Maha Pencipta, jadi Allah
yang lebih memahami tentang proses penciptaan manusia. Dalam al-quran dijelaskan tentang
penciptaan manusia, antara lain dalam Q.S al-Mukminun, 23:12, 13 dan 14. Ayat tersebut
menjelaskan tentang asal penciptaan manusia dari “sulalatin min thin” (saripati tanah). Kata
sulalatin dapat diartikan dengan hasil akhir dari sesuatu yang disarikan, sedangkan thin
berarti tanah.
Disamping itu, di dalam al-Quran terdapat pula beberapa istilah yang mengungkapkan tentang
asal kejadian manusia antara lain sebagai berikut:
1. Turaab (‫ب‬ ٍ ‫ َرا‬Nُ‫ )ت‬yaitu tanah subur sebagaimana disebutkan dalam surat Al Kahfi
[18]:37.
2. Tiin, yaitu tanah liat (‫)ط ْي ٍن‬ ِ sebagaimana firman Allah dalam surat As-Sajadah [32]:7.
3. Tiinul Laazib (‫ب‬ ٍ ‫)ط ْي ٍن اَل ِز‬
ِ yaitu tanah liat dan kuat yang pekat sebagaimana disebut
dalam surat Ash-Shaffaat [37]:11.
4. Shalshalun (‫ار‬ ِ ‫ا ِل َك ْالفَ َّخ‬NN‫ص‬
َ ‫)ص ْل‬
َ yaitu tanah kering seperti tembikar surat Al-Rahman
[55]:14. Citra di ayat ini menunjukkan bahwa manusia dimodelkan.
5. Shalshalin min Hamain Masnuun (‫صا ٍل ِم ْن َح َما ٍء َم ْسنُوْ ٍن‬ َ ‫ص ْل‬
َ ) yaitu tanah liat kering dari
lumpur yang dicetak/dibentuk sebagaimana disebut dalam surat Al-Hijr [15]: 26.
6. Sulalatun min tiin (‫ )سُاللَ ٍة ِم ْن ِطي ٍْن‬yaitu dari sari pati tanah liat. Sulaalat berarti sesuatu
yang disarikan dari sesuatu yang lain sebagaimana disebutkan dalam surat Al-
Mukminun [23]:12.
7. Air (‫ )اَ ْل َما ِء‬yang dianggap sebagai asal usul seluruh kehidupan sebagaimana disebut
dalam surat Al-Furqaan [25]:54. Penjelasan yang agak rinci tentang penciptaan
manusia terdapat dalam surat Al-Mukminun ayat 12-14:
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”.

Kemudian dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan pula bahwa proses
perubahan dari nuthfah ke ‘alaqah selama 40 hari, dari ‘alaqah ke mudghah selama 40 hari,
dan dari mudghah ke ‘izham selama 40. Setelah itulah ditiupkan ruh ke dalamnya sehingga
menjadi makhluk sempurna yang dinamai dengan janin.

6
Ayat dan hadis tersebut menjelaskan tentang asal sekaligus proses penciptaan manusia
dari “sulalatin min thin” (saripati tanah). Kata sulalatin dapat diartikan dengan hasil akhir
dari sesuatu yang disarikan, sedangkan thin berarti tanah. Pada tahap berikutnya saripati
tanah berproses menjadi nuthfah (air mani). Kata nuthfah berarti air yang telah bercampur
(setelah terjadi pembuahan antara spermatozoa dengan ovum). Posisi nuthfah ini berada pada
tempat yang terpelihara dan kokoh yaitu rahim.
Pada ayat 14 ini dijelaskan tentang tahapan reproduksi manusia setelah nuthfah.
Perubahan nuthfah secara berurut menjadi ‘alaqah, mudhghah, ‘izham, lahm dan khalqan
akhar (makhluk lain/manusia sempurna). ‘Alaqah memiliki dua pengertian, pertama darah
yang mengental sebagai kelanjutan dari nuthfah dan kedua sesuatu yang menempel di dinding
rahim. Pengertian pertama dipahami dari segi bentuk atau materi perubahan setelah nutfah
sedangkan yang kedua dari segi posisinya. Mudhghah berarti segumpal daging yang
merupakan proses penciptaan manusia sebagai kelanjutan dari ‘alaqah. Daging tersebut
masih belum berbentuk sampai akhirnya diberi kerangka dengan proses berikutnya yaitu
‘izham (tulang-belulang). Izham (tulang-belulang) selanjutnya dibalut dengan lahm (daging
atau otot). Pada fase ini sudah mulai menampakkan bentuk bagian-bagian tubuh. Fase ini
sampai pada pencapaian kesempurnaan bentuk manusia yang disebut dengan khalqan akhar,
berarti ciptaan baru yang jauh berbeda dengan keadaan dan bentuk sebelumnya.

1. Ruh dan nafs


Ruh adalah salah satu komponen penting yang menentukan ciri kemanusiaan manusia.
Allah meniupkan ruh tersebut setelah selesainya proses penciptaan fisik. Dijelaskan dalam
surat Shaad [38]:71-72, “Dan telah Aku tiupkan padanya ruh (ciptaan)Ku”. Mengenai
hakikat ruh merupakan misteri besar yang dihadapi oleh manusia. Secara jelas dalam al-
Qur’an dinyatakan bahwa yang mengetahui hakikat ruh hanyalah Allah SWT. Hal ini
menjadi bukti tentang keterbatasan ilmu yang dimiliki oleh manusia karena sampai saat ini
masih belum ada dan bahkan tidak akan pernah ada manusia yang mampu mengungkap
hakikat ruh tersebut. Pernyataan ini dikemukakan oleh Allah dalam Q.S. al-Isra’ [17]:85,
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah ruh itu termasuk urusan Tuhanku,
dan kamu tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit”.
Kata nafs yang biasa dipakai dalam percakapan sehari-hari bahasa Indonesia meskipun
pinjaman dari kata Arab tidak sepenuhnya sama pengertiannya dengan kata nafs yang banyak
ditemukan dalam Al-Qur’an. Istilah al-nafs ( ُ‫ )النَ ْفس‬banyak disebutkan dalam Al-quran,
meskipun termasuk dalam wilayah abstrak yang sukar dipahami, istilah tersebut mengandung
pengertian yang sangat erat kaitannya dengan aspek fisik manusia. Gejolak al-nafs dapat
dirasakan menyebar keseluruh bagian tubuh manusia karena tubuh manusia merupakan
kumpulan dari bermilyar-milyar sel hidup yang saling berhubungan. Al-nafs bekerja sesuai
dengan bekerjanya sistem biologis manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surat Az-
Zumar [39]:42:
“Allah memegang nafs (jiwa) orang ketika matinya dan (memegang) jiwa
orang yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa orang yang
telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai
waktu yang ditentukan…”.

7
Dalam kenyataannya fisik dan jiwa (nafs) itu, keduanya dapat menjalin interrelasi sebab-
akibat. Kesedihan dapat menyebabkan mata mengeluarkan cairan, kesengsaraan membuat
badan kurus. Dikenal pula istilah psikosomatik, yaitu penyakit-penyakit fisik yang
disebabkan oleh masalah kejiwaan. Perpisahan antara al-nafs dengan fisik disebut maut dan
ini adalah peristiwa yang paling misterius dalam kehidupan manusia sebelum ia menjumpai
peristiwa-peristiwa lainnya di dunia yang lain pula (Al-An’aam [6]:93). Karena itu, setiap
kata yang terbentuk dari huruf yang tiga (‫س‬-‫ف‬-‫ )ن‬sehingga terbentuk kata nafs di dalam
bahasa Indonesia selalu mengandung makna-makna yang ada hubungannya dengan
kehidupan seperti kata nafas, nafsu, nifas dan manfus.
2. Fitrah Manusia
Kata fitrah merupakan derivasi dari kata “fatara”, artinya ciptaan, suci dan seimbang.
Louis Ma’luf dalam kamus Al-Munjid (1980-120). Al-Qur’an menyebutkan bahwa fitrah
adalah sifat yang ada dalam setiap diri manusia. Fitrah tersebut adalah sifat alami manusia,
agama, sunnah. Sedangkan menurut Imam Al-Maraghi (1974:200) fitrah adalah kondisi di
mana Allah menciptakan manusia yang menghadapkan dirinya kepada kebenaran dan
kesiapan untuk menggunakan pikirannya. Dengan demikian arti fitrah dari segi bahasa dapat
diartikan sebagai kondisi awal suatu ciptaan atau kondisi awal manusia yang memiliki
potensi untuk mengetahui dan cenderung kepada kebenaran (hanif) (Surat Al-Rum [30]:30).
Kata fitrah dalam arti penciptaan tidak hanya dikaitkan dengan arti penciptaan fisik,
melainkan juga dalam arti rohaniah, yaitu sifat-sifat dasar manusia yang baik karena fitrah itu
disebutkan dalam konotasi nilai. Lahirnya fitrah sebagai nilai dasar kabaikan manusia itu
dapat dirujuk pada surat Al-A’raf [7]:172. Ayat tersebut merupakan penjelasan dari fitrah
yang berarti hanif (kecendrungan kepada kebaikan) yang dimiliki manusia karena terjadi
proses persaksian sebelum ia dikirim ke muka bumi. Persaksian ini merupakan proses fitriah
manusia yang selalu memiliki kebutuhan terhadap agama (institusi yang menjelaskan tentang
Tuhan), karena itu dalam pandangan ini manusia di anggap sebagai makhluk relegius. Ayat di
atas juga menjadi dasar bahwa manusia memiliki potensi baik sejak awal kelahirannya. Ia
bukan makhluk amoral, tetapi memiliki potensi moral. Juga bukan makhluk yang kosong
seperti kertas putih sebagaimana yang dianut para pengikut teori tabula rasa. Pontensi fisik
manusia telah dijelaskan pada bagian yang lalu, sedangkan potensi rohaniah adalah akal
(‘aql), qalbu (qalb) dan nafsu (syahwat). Akal dalam pengertian bahasa Indonesia berarti
pikiran, atau rasio. Harun Nasution (1986) menyebut akal dalam arti asalnya (bahasa Arab),
yaitu menahan, dan orang berakal di zaman jahiliah yang dikenal dengan darah panasnya
dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah
yang dihadapinya. Kata aqlun juga mengandung arti mengikat karena dengan adanya akal
itulah tindakan manusia bisa terkontrol/terkendali.

Tujuan Penciptaan Manusia


Tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT (ibadah). Hal ini biasa
dipahami dari surat Al-Dzariyat [51]:56, “Tidaklah Aku menciptakan manusia melainkan supaya
mereka menghambakan diri (mengabdi) kepada Ku”. Namun sebagian ulama mengatakan bahwa
tujuan hidup manusia bukanlah untuk mengabdi melainkan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan

8
akhirat sebagaimana dipahami dari surat Al-Baqarah [2]:201. Manusia mengabdi kepada Allah Swt
adalah untuk mendapatkan keridhaanNya agar tercapai kebahagiaan hidupnya dunia dan akhirat.
Sedangkan inti dari pengabdian (ibadah) itu ialah kepatuhan dan ketundukan atas segala hukum dan
aturan Allah (syari’ah). Adapun semua tujuan-tujuan kecil yang lain tunduk dan di dalam lingkaran
tujuan tertinggi pengabdian tersebut. Penciptaan manusia sebagai pengabdi dipahami dengan
kepatuhan, ketundukan dan pengabdiannya kepada Allah. Jadi, semua aktivitas hidup yang dilakukan
oleh seorang manusia yang dilandasi dengan sikap ketundukan jiwa terhadap Sang Khalik merupakan
ibadah. Bagaimana konsep ibadah di dalam Islam akan dijelaskan pada tema Syari’ah.
Ibadah yang dilakukan manusia didasari oleh kebutuhan terhadap Allah SWT, karena
manusia diciptakan, diatur, dan akan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu, ibadah atau penyembahan
harus dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan, karena Allah tidak membutuhkan sedikit pun kepada
manusia termasuk ritual-ritual penyembahannya. Keikhlasan manusia dalam melaksanakan ibadah
merupakan nilai tertinggi dalam pengabdian yang dilakukan. Tuntutan pelaksanaan ibadah dengan
ikhlas ini dijelaskan oleh Allah dalam Q.S. Al-Bayyinah [98]:5.
Tugas dan Fungsi Manusia sebagai Khalifah di Muka Bumi

Manusia memiliki peranan di muka bumi sebagai khalifah. Khalifah berarti


pemimpin, wakil, pengelola dan pemelihara. Tentang fungsi manusia sebagai khalifah ini
diungkapkan secara dramatis dalam bentuk sebuah dialog singkat antara Allah dan para
malaikat-Nya seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah [2]:30. Dialog yang menyiratkan
beberapa makna antara lain yaitu: (1) manusia adalah pengemban amanah kekhalifahan di
muka bumi, (2) manusia selain punya keunggulan juga memiliki sifat lemah yang harus diisi
dan diperbaiki yakni sering dipengaruhi hawa nafsunya dalam bertindak untuk mencapai
keinginannya sehingga terseret kepada perilaku negatif seperti merusak dan bertumpahan
darah. Namun Allah tetap menyerahkan amanah-Nya kepada manusia bukan kepada
malaikat sebagai makhluk yang suci. Sebab manusia memiliki keunggulan yang tidak
diberikan kepada malaikat yakni nafsu (syahwat). Dengan adanya nafsu manusia memilki
keinginan dan motivasi untuk maju dan berkembang. Manusia juga memilki keunggulan atas
hewan yakni kemampuan berpikir (akal). Tapi satu hal yang perlu diingat bahwa dalam diri
manusia terdapat potensi-potensi kemalaikatan dan juga potensi kehewanan. Justru di sinilah
manusia harus berjuang agar selalu memupuk potensi kemalaikatan yakni kesucian dan
menghindari akibat buruk dari potensi kehewanan yang cenderung tidak mengenal aturan
untuk memelihara dan mempertahankan harkat dan martabat dirinya sebagai makhluk
sempurna. Khalifah berarti wakil atau pemegang mandat Allah untuk mewujudkan
kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia itu bersifat kreatif
yang memungkinkan dirinya untuk mengolah serta mendayagunakan apa yang ada di muka
bumi untuk kepentingan hidupnya. Segala yang dihasilkan manusia dalam konteks sebagai
khalifah dilandasi dengan ketundukan dan ketaatan kepada Allah SWT. Ketundukan dan
ketaatan ini tidak lain adalah refleksi dari fungsi penciptaan sebagai khalifah yang diberikan
oleh Allah dan akan dipertanggungjawabkan oleh manusia. Hal ini dijelaskan dalam firman
Allah SWT Q.S. Faathir [35]:39.
Peranan manusia sebagai khalifah juga dipahami sebagai makhluk yang bertugas
mengurus dan menjaga alam dengan baik agar terciptanya kehidupan yang baik bagi semua
makhluk Allah atau penyebar rahmat sebagaimana dijelaskan Allah dalam Q.S. Al-Anbiya’
[21]:107. Adapaun tugas dan fungsi pokok (Tupoksi) kekhalifahan itu terangkum dalam

9
Lima–Me yakni memahami, menguasai, memanfaatkan, memelihara dan melestarikan alam.
Amanah kekhalifahan itu akan dipertanggungjawabkan di suatu saat kepada Allah Swt.
Hakikat dan Tujuan Hidup Manusia
Dalam pandangan agama (Islam) hakikat kehidupan manusia adalah menuju
kematian, suka tidak suka, manusia pasti akan mengalami yang namanya mati. Sesungguhnya
mansia datang kedunia ini bukanlah atas kehendak manusia itu sendiri melainkan atas
kehendak Allah Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, dalam menjalani kehidupan, manusia
tidak boleh menyia-nyiakan masa hidupnya untuk berbuat kebajikan dan pada dasarnya
manusia diciptakan di dunia ini untuk beribadah, sepertihalnya yang telah diterangkan pada
surat Adz Dzaariyat Ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku”
Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai
perjumpaan kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya
air hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi
manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya
misalkan dalam bentuk imateri maka kembali kepada pencinta dalam bentuk imateri.
Sedangkan unsur materi yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang
membentuk jasad manusia.
Kedudukan dan Peranan Manusia
Manusia sebagai mahluk yang berdimen sional memiliki peran dan kedudukan yang
sangat mulia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai Hamba Allah
(kedudukan ketuhanan), an-nas (kedudukan antar manusia), al insan (kedudukan antar alam),
al basyar (peran sebagai manusia biasa) dan khalifah (peran sebagai pemimpin). Seperti yang
tercantumkan pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 30:
“Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
menyucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui”.
Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi
tersebut. Misalkan sebagai khalifah di muka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia di sini
harus bersentuhan dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin
tahu menjadikan ia bersifat kreatif. Manusia terhadap Tuhan memiliki kedudukan sebagai
hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti
Tuhan dalam muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang
seimbang dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam
sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap
Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada
Tuhan, di mana harus menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi.
a) Hubungan kepada Tuhan (Manusia sebagai Hamba)

10
Dalam kondisi sosial tertentu, tidak sedikit manusia yang melupakan faktor
ketuhanan sehingga mereka menjadi ateis. Utamanya bagi penganut materialisme yang
mempercayai bahwa segala sesuatu berasal dari benda. Tidak ada unsur spiritual yang
membuat benda itu tercipta. Hal ini bertolak belakang dengan ajaran agama-agama di dunia
yang mengatakan sumber segala sumber ialah Tuhan.
Agama apapun itu pasti mengajarkan hubungan kepada Tuhan sebagai hubungan yang
dinomor-satukan sepertihalnya ketika kita memohon kepadanya, keterangan yang tercantum
pada Suran Al-‘Araf Ayat 55:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Tidak berarti mengutamakan hubungan ketuhanan dan memandang remeh
hubungan-hubungan yang lain. Namun ketiga hubungan sebagai manusia perlu dijalankan
secara bersamaan. Hanya saja hubungan kepada Tuhan hendaknya dijadikan patokan untuk
berhubungan dengan dua yang lain. Dengan cara selalu ingat bahwa manusia dan alam
merupakan ciptaan Tuhan. Sebagai manusia perlu adanya interaksi kepada semua makhluk
agar kearifan kehidupan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
b) Hubungan Antar Manusia. (Manusia sebagai makhluk sosial)
Hubungan lain yang harus dijalankan manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk
sosial ialah hubungan antarmanusia itu sendiri. Setelah membahas mengenai hubungan
kepada Tuhan, pasti menimbulkan perbedaan pendapat antar satu golongan dengan golongan
yang lain yang diterangkan pada Surat Al-Hujaraat Ayat 13:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal”.
Tuhan yang dibahasakan secara berbeda oleh masing-masing keyakinan bisa menjadi sumber
perpecahan apabila tidak dipahami secara kemanusiaan. Bahwa setiap manusia itu berbeda-
beda, pilihan keagamaan merupakan jalan pribadi yang tidak dapat diganggu gugat
keabsahannya.
Semua orang boleh mengklaim dirinya lebih baik dibanding yang lain. Namun itu
terbatas pada tataran keyakinan yang tidak harus diungkapkan dengan gerakan-gerakan yang
justru membuat hubungan antarmanusia menjadi terhalang. Merasa lebih baik merupakan
sifat manusiawi yang tidak dapat dihilangkan, namun dapat dikendalikan dengan
pemahaman-pemahaman asas ketuhanan.

c) Hubungan kepada Alam (manusia sebagai makhluk)


Hubungan terpenting lainnya ialah hubungan kepada alam. Alam tidak terjustifikasi
sebagai bentuk dari pepohonan, tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Namun alam
mencakup semua hal, baik alam yang terlihat maupun yang tidak terlihat.

11
Adapun ayat yang menerangkan ada pada Surat Luqman Ayat 20:
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu
apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir
dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu
pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan”.
Dari ayat tersebut kita dapat dimahami bahwa alam semesta dengan keteraturannya dan
hukum-hukum yang berlaku lalu diserahkan dan ditundukkan kepada manusia untuk dikelola
dan dimanfaatkan oleh manusia itu sendiri. Manusia telah diberi wewenang untuk
mengelolanya dan juga merawat dan memanfaatkan alam semesta ini dengan sebaik
mungkin.
C. Manfaat Mempelajari Filsafat Manusia
a. Manfaat mempelajari filsafat manusia berguna untuk mengetahui apa dan siapa
manusia secara menyeluruh. Selain itu, untuk mengetahui siapakah sesungguhnya diri
manusia di dalam pemahaman manusia yang menyeluruh itu. Maksudnya ialah bahwa
manusia tidak hanya dipelajari dari segi fisik dan mental, tetapi semua aspek yang
berkaitan tentang diri manusia.
b. Filsafat manusia juga dapat membantu memberikan makna pada apa yang tengah kita
alami, menentukan tujuan hidup, dan sebagainya. Secara teoritis, filsafat manusia
dapat membantu kita meninjau secara kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi di
dalam teori-teori tentang manusia yang terdapat di dalam ilmu pengetahuan.
c. Manfaat lainnya dalam mempelajari filsafat manusia yaitu memberikan pemahaman
esensial tentang manusia dan hakikat tujuan hidup manusia agar lebih bermakna.
Menurut Latif (2006:15), dengan mengetahui dan mengenal siapa diri manusia, maka
manusia menjadi sadar tentang kehadiraya di dunia. Bukan itu saja, mengenal diri manusia
sangat penting, artinya mengenal manusia berarti membebaskan manusia dari keterasingan,
paling tidak terbebas dari keterasingan diri sendiri. Dengan kata lain, mengenal siapa diri
manusia berarti memahami makna hadirnya manusia di dunia. Hidup manusia dipimpin oleh
pengetahuan manusia sendiri, oleh karena itu mengetahui kebenaran-kebenaran yang
mendasar dalam hidup berarti mengetahui dasar-dasar hidup yang sebenarnya. Hal ini akan
benar-benar Nampak pada etika manusia tersebut. Mempelajari filsafat manusia berarti
mempelajari dasar-dasar dari esensi manusia. Setelah manusia mengetahui hakikat dirinya
maka akan nampak pada perubahan etika dalam menjalani kehidupan serta lebih memaknai
masa hidupnya.

D. KESIMPULAN

12
1. Filsafat manusia adalah bagian integral dari sistim filsafat, yang secara sepesifik
menyoroti hakikat atau esensi manusia. Pada intinya filsafat manusia adalah ilmu
filsafat yang membahas tentang esensi manusia yang mencakup semua dimensi dari
manusia. Maksud dari semua dimensi ialah membahas tentang fisik manusia, mental
manusia, hakikat manusia, kedudukan manusia, tujuan asasi hidup manusia, apa yang
harus dilakukan manusia dalam hidup, dan lain-lain.
2. Filsfat manusia merupakan sebuah hasil dari perumusan yang ada mengenai siapa
sebenarnya manusia dan bagaimana hakikat dari mnausia itu sendiri dan segala yang
baerkaitan pada seorang manusia. Bisa juga diartikan sebagai sebuah pandangan
tentang hakikat kehidupan manusia serta segala yang terkait dengannya yang
dirumuskan melalui sebuah proses berfikir secara mendalam.
3. Secara umum, filsafat manusia bercirikan: (1) Ekstensif yakni yang dapat disaksikan
dari luasnya jangkauan atau menyeluruhnya objek kajian yang di geluti oleh filsafat, (2)
Intensif (mendasar) yakni berupa kegiatan intelektual yang ingin menggali inti hakikat
(esensi), akar, atau struktur dasar yang melandasi segenap kenyataan, (3) Kritis yakni
yang tujuan akhirnya adalah untuk memahami diri.
4. Terdapat dua macam tinjauan sekitar manusia: (1) tinjaun ‘aqli yakni yang berdarkan
akal semata, (2) tinjauan naqli yakni yang berdasar pada wahyu Tuhan (agama).
Jawaban yang berdasarkan akal manusia dapat dibagi dalam dua macam; yaitu jawaban
pengetahuan primitive yang sifatnya sangat bersahaja dan jawaban ilmu pengetahuan
(science). Jawaban berdasarkan pengetahuan bersahaja dipandang oleh manusia modern
sebagai tahayul, sedangkan jawaban yang berdasarkan ilmu pengetahuan ialah seperti
jawaban yang diberikan secara akademik.
5. Manfaat mempelajari filsafat manusia adalah untuk mengetahui manusia secara
totalitas. Manusia tidak hanya dipelajari dari segi fisik dan mental, tetapi semua aspek
yang berkaitan tentang diri manusia. Filsafat manusia dapat membantu memberikan
makna pada apa yang tengah dialami, menentukan tujuan hidup, dan sebagainya.
Secara teoritis, filsafat manusia dapat membantu kita meninjau secara kritis asumsi-
asumsi yang tersembunyi di dalam teori-teori tentang manusia serta memberikan
pemahaman esensial tentang hakikat dan tujuan hidup manusia.

TUGAS
Buatlah resume dari materi di atas sebanyak 3 halaman kertas A4 dengan
ketikan 1.5 spasi, font 12 Time New Roman.
Kirimlah ke elearning 2 Unp sesuai waktunya !

REFERENSI

13
Abdidin, Zaenal. 2000. Filsafat Manusia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Dewey, John. 1962. Individualis Old and New. New York: Capricon Books
Gazalba, Sidi.1978. Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia da Agama. Jakarta: Bulan
Bintang.
Hadi, P. Hardono. 1996. Jati Diri Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Macmurry, John. 1984. Persons in Relations, Atlantic Highlands N.J: Humanities Press
Mill, John Stuart. 1978. On Liberty, Indianapolis: Hackett Publishing Company, Inc.
Zar, Sirajuddin. 2014. Filsafat Islam Filosuf dan Filsafatnya. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Quraish Sihab. 1996. Wawasan Al-Qur`an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat:
Bandung: Penerbit Mizan.

14

Anda mungkin juga menyukai