Anda di halaman 1dari 7

MEMAHAMI MANUSIA YANG DINAMIS MELALUI PERSPEKTIF

ANTROPOLOGI FILSAFAT

Erlinda Dian Aprilia

Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya

erlindadian@student.ub.ac.id

ABSTRAK

Filsafat adalah ilmu atau metode yang menjawab pertanyaan tentang makna kehidupan
di dunia. Filsafat mencoba menjawab pertanyaan esensial seperti apa esensi dari hidup,
kebebasan, cinta, dan lainnya. Antropologi filsafat sendiri adalah bagian dari ilmu filsafat yang
memiliki fokus untuk mengobservasi manusia dan mempelajari manusia secara keseluruhan
tidak hanya perbagian saja. Antropologi filsafat berbeda dengan ilmu humaniora lain. Ilmu
humaniora lain ada untuk mempelajari manusia secara aktivitas atau atribut secara fisik dan
memberikan kesimpulan dalam bahasa matematika yang dapat diukur dan dikalkulasi.
Sedangkan antropologi filsafat adalah ilmu yang memelajari sesuatu yang fundamental,
komprehensif, dan global bukan secara potongan atau perbagian. Memahami perbagian –
bagian itu untuk memahami keseluruhannya.

Antropologi filsafat menggambarkan manusia yang tampak secara berkesinambungan.


Sejarah penting untuk membuat kita mengerti bagaimana manusia pada masa lampau dan
memberikan fakta kehidupan kelompok maupun individual saat lampau. Antropologi filsafat
memberikan informasi yang holistik tentang substansi dari realitas. Manusia bukan sekedar
dari kehidupan masa lalu, tetapi harus dijahit dari keseluruhannya. Meskipun antropologi
filsafat berbeda dengan ilmu humaniora lainnya tetapi tetap mengakomodir apa yang dikatakan
oleh ilmu lain tersebut. Antropologi filsafat bersatu dengan ilmu humaniora lainnya untuk
saling melengkapi. Dengan memahami manusia menggunakan perspektif antropologi filsafat
maka kita akan dibawa ke dalam pengetahuan yang sangat luas dan kritis namun sebenarnya
hal itu dekat dengan kita di kehidupan sehari – hari. Lalu kita memahami bagaimana esensi
manusia dalam kehidupan.

Kata Kunci: Manusia, Antropologi Filsafat, Esensi


ABSTRACT

Philosophy is a science or method that answers questions about the meaning of life in
the world. Philosophy tries to answer essential questions such as what is the essence of life,
freedom, love, and others. Philosophical anthropology is a part of philosophy that focuses on
observing humans and studying humans as a whole, not only in parts. Philosophical
anthropology is different from other humanities, humanities are the same as natural sciences.
Other humanities exist to study human activities or physical attributes and provide conclusions
in the language of mathematics that can be measured and calculated. While philosophical
anthropology is a science that studies something fundamental, comprehensive, and global, not
in pieces or parts. Understand the parts to understand the whole.

Philosophical anthropology describes humans who appear continuously. History is


important to make us understand how humans were in the past and to provide facts about the
life of groups and individuals in the past. Philosophical anthropology provides holistic
information about the substance of reality. Humans are not just from past lives, but must be
sewn from the whole. Although philosophical anthropology is different from other humanities,
it still accommodates what the other sciences say. Philosophical anthropology unites with other
humanities to complement each other. By understanding humans using the perspective of
philosophical anthropology, we will be brought into a very broad and critical knowledge but in
fact it is close to us in everyday life. Then we understand how the essence of humans in life.

Keywords: Human, Philosophical Anthropology, Essence.

1. PENGANTAR

Secara etimologis, filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu phillein yang memiliki arti
cinta, dan shopia yang memiliki arti kebijaksanaan. Sehingga secara keseluruhan filsafat
diartikan “cinta akan kebijaksanaan”. Menurut salah satu pandangan seorang filsuf, filsafat
lebih dari sekedar kata “wisdom”. Menurut Plato, filsafat memiliki lima karakter yaitu bertahan
terhadap diskusi kritis, menggunakan metode dialektis, berusaha untuk menggapai realitas
yang terdalam dan menganalisanya dari kenyataan, yang terakhir adalah filsafat (Aryati, 2018:
80). Antropologi filsafat membahas dan menjelaskan manusia yang dilihat secara holistic dari
segi keanekaragaman budaya baik secara tangible maupun intangible, tradisi, norma, dan cara
berperilaku atau behaviour, serta nilai – nilai yang dianut dan dijunjung secara komunal
maupun individu.
Dalam hal tersebut filsafat dapat pula didefinisikan menjadi tiga hal. Pertama, filsafat
adalah hasil perenungan. Dimana perenungan itu sendiri adalah sebuah dialog yang dilakukan
antara dia dengan dirinya sendiri ataupun dengan orang lain. Kedua, sebagai sebuah kritik
dimana filsafat selalu berusaha untuk membedakan, mengambil sebuah keputusan, dan
memahami. Sedangkan yang ketiga adalah filsafat merupakan ilmu yang akan selalu berusaha
mencari dan menemukan kebenaran tanpa judging dan melalui perspektif yang luas. Kemudian
dapat diambil kesimpulan bahwa filsafat merupakan akar dari pengetahuan. Antropologi
filsafat bukan hanya bicara tentang hubungan antara jiwa dan badan secara fisik semata,
namuan juga bicara mengenai bagaimana manusia membangun sebuah relasi dengan dirinya
sendiri, dengan orang lain dan alam secara kosmologis dan ekologi, serta kebudayaannya
(Teng, 2017).

Antropologi filsafat sendiri adalah bagian dari ilmu filsafat yang memiliki fokus untuk
mengobservasi manusia dan mempelajari manusia secara keseluruhan tidak hanya perbagian
saja. Antropologi filsafat berbeda dengan ilmu humaniora lain. Ilmu humaniora lain ada untuk
mempelajari manusia secara aktivitas atau atribut secara fisik dan memberikan kesimpulan
dalam bahasa matematika yang dapat diukur dan dikalkulasi. Sedangkan antropologi filsafat
adalah ilmu yang memelajari sesuatu yang fundamental, komprehensif, dan global bukan
secara potongan atau perbagian. Memahami perbagian – bagian itu untuk memahami
keseluruhannya (Sumanto, 2019).

Semua makhluk hidup memiliki kemampuan berupa asimilasi dimana untuk


mempertahankan hidup dan menjadi kekuatannya. Selain itu juga memiliki kemampuan untuk
selfrecovery, mereka memiliki mekanisme internal untuk menyembuhkan berkat kerjasama
jaringan dan organ yang ada dalam makhluk hidup. Makhluk hidup juga memiliki kemampuan
untuk bereproduksi dan bereaksi terhadap pengaruh dari luar. Makhluk hidup memiliki
kesatuan substansial dimana secara fundamental identik dengan dirinya sendiri dari lahir
hingga kematian. Berbeda dengan mesin yang merupakan duplikasi kinerja manusia, namun
tidak mempunyai kemampuan layaknya makhluk hidup seperti di atas. Ketika mesin rusak,
membutuhkan manusia untuk intervensi karena tidak memiliki kemampuan untuk selfrecovery.

Para filsuf yunani mengatakan bahwa ciri khas dari makhluk hidup adalah tumbuh dan
mengembangkan diri. Sedangkan pada abad pertengahan filsuf mengatakan bahwa manusia
mampu melakukan untuk melakukan kegiatan sehari – hari dan kegiatan yang tidak terlihat
seperti lambung bekerja. Makhluk hidup adalah makhuk yang menyempurnakan dirinya
sendiri. Kita perlu menguatkan diri sendiri sebelum menguatkan orang lain. Manusia diberikan
akal dan rasio oleh Tuhan. Maka manusia harus menggunakannya dengan baik dalam
kehidupannya, yang salah satunya adalah untuk berpikir. Sebagai makhluk berpikir, manusia
memiliki kemampuan untuk mengerti karena setiap manusia pasti memiliki pengetahuan.
Pengetahuan manusia tidak semata-mata hanya diperoleh melalui jalur pendidikan formal
namun juga pendidikan non formal seperti keluarga dan masyarakat. Hal ini dikarenakan tidak
semua manusia beruntung untuk merasakan bangku pendidikan, namun semua manusia berhak
untuk mendapatkan pengetahuan yang dapat diperoleh dari mana saja. Sejak lahir, manusia
telah mempunyai cara sendiri yang khas untuk memperoleh pengetahuan bagi kehidupannya
di dunia ini (Kewuel, 2016).

Melalui kemampuan dan pengetahuan indrawi, manusia dapat mencapai banyak


pengetahuan - pengetahuan langsung lewat hamparan kenyataan yang ada di hadapannya dan
yang ada di sekelilingnya. Melalui pengetahuan refleksif terhadap berbagai objek yang
ditemuinya, manusia mampu mengungkapkan hasil refleksinya itu dan mengolahnya ke dalam
bentuk ide, konsep, tingkah laku, sikap, simbol, karya seni, dan lain-lain. Manusia memiliki
kemampuan untuk menimbang dan merenungkan apa saja yang ada dalam dirinya dan apa yang
telah dilewatinya. Selain itu, manusia juga memiliki kemampuan berbicara untuk
mengungkapkan dan mengutarkan apa saja yang ia mengerti dan apa saja yang tersimpan dalam
otak dan hatinya. Berbicara juga merupakan cara khas manusia untuk mengisyaratkan sesuatu
(Kewuel, 2016).

Manusia memiliki kapasitas hewani yaitu naluri. Manusia harus hati – hati karena bisa
saja terlempar ke ruang hewan. Misalkan tangan kita tidak sengaja memegang knalpot motor,
maka tidak menunggu akal untuk merespon, secara naluri kita otomatis mengangkat tangan
kita dan menjauhi knalpot. Kita sebetulnya berhadapan dengan tanda – tanda atau semiotika.
Seperti dalam berbicara, dan lainnya. Tanda yang paling kecil adalah huruf dimana dikeluarkan
dengan satu maksud tertentu. Lalu ada proses tertentu yang terjadi dalam diri manusia, seperti
pita suara dan lainnya. Semiotika seolah – olah ilmu yang tinggi, padahal hal tersebut ada dalam
proses kehidupan manusia sehari – hari. Setiap kata, kalimat, dan frasa yang kita ucapkan juga
merupakan tanda, lalu ditangkap dan diartikan oleh orang lain sebagai lawan bicara kita
(Sugiharto, 2014).

Manusia memiliki kapasitas adaptasi yang merupakan kerja rasional, untuk melakukan
pertimbangan, menyesuaikan diri bagaimana agar setara. Sedangkan simpanse berbuat sesuai
dengan yang ia punya dan yang diberikan oleh Tuhan, dan tidak memiliki kapasitas seperti
manusia. Oleh karena itu ada kata – kata jangan seperti binatang, artinya jangan berbuat sesuatu
karena instinct, sebab manusia memiliki alat rasio. Dimana kita bisa mempertimbangkan untuk
kemudian membantu kita dalam memberikan reaksi. Jangan memberikan reaksi spontan,
karena itu reaksi yang dimiliki hewan. Harus dimasukkan saringan akal dulu, meskipun sakit
hati kita punya rasio untuk menyaring itu (Purwasaputro & Sutono, 2021).

Manusia sulit dimengerti secara paten, setiap detik dan setiap saat ada kemunculan yang
baru dari manusia, karena faktor intlegensi. Karena semua orang tidak sama persis, polanya
sama tapi tidak persis itulah mengapa manusia bisa menampilkan diri secara unik dan berbeda.
Kita harus tetap berpegang pada struktur dasar yang menyatakan bahwa manusia adalah
makhlluk yang rumit sehingga dalam konteks adaptasi bukan dalam konteks jika A maka akan
menjadi A. Adaptasi tergantung bagaimana kepribadian dan sifat serta sikap orang. Apapun
yang terjadi tidak bisa ditarik secara matematis dan logika murni, karena potensi dasarnya
adalah kualitatif. Budaya bukan sesuatu yang mematikan performa, budaya akan menjadi
performa besar. Misalnya orang Jawa itu halus, apakah betul? Kita hanya mengambil polanya,
sedangkan persisnya merupakan hal yang rumit dan perlu didalami lagi. Pola umum tidak
masalah namun juga harus dikembalikan ke individu. Kita punya intelegensi dan hal hal
kualitatif yang berbeda. Karena memiliki kapasitas intelegensi dan kepribadian yang sangat
rumit (Setia, dkk: 2017).

Dalam pembahasan konteks kecerdasan, Sternberg mengacu pada empat pandangan


ahli teori kontekstual. Diantaranya yaitu teori dari Berry; Cole dkk; Charlesworth; Keating,
Jenkins, Baltes et al. Menurut Henry Bergson membagi makhluk hidup dari tingkat
kesadarannya. Tumbuhan hidup tetapi tanpa kesadaran, binatang sadar namun kesadaran
mereka terbatas instinct, sedangkan manusia memiliki rasio. Ketiga hal tersebut menunjukkkan
bahwa makhluk hidup memiliki tingkatan. Manusia memiliki rasio, instinct, tetapi tidak
menutup memungkinkan ia tidak memiliki kesadaran seperti tumbuhan atau tidak memiliki
rasio seperti hewan (Ja`far, 2011).

Manusia itu unik dan kita harus kuat dalam mengerti jika manusia itu rumit. Agama,
bahasa, dan budaya menjadi rumit karena orang yang memproduksi (manusia) itu sendiri rumit.
Antropologi filsafat adalah ilmu yang memelajari sesuatu yang fundamental, komprehensif,
dan global bukan secara potongan atau perbagian. Memahami perbagian – bagian itu untuk
memahami keseluruhannya. Perbedaan antropologi filsafat dengan ilmu lain adalah; karena
berbicara secara fundamental, komprehensif, dan global maka kosakata yang dipakai itu juga
lebih universal bahkan transedental untuk menggambarkan sifat – sifat yang mempengaruhi
realitas seperti kebaikan, keindahan, kebenaran, dan lainnya (Rahman, 2020).

Dalam diri manusia itu memang ada paradoks, manusia percaya jiwa namun tidak bisa
membuktikan jiwa itu ada dimana, dia bisa cinta namun juga bisa benci. Manusia menjadi rumit
karena mereka dijahit dalam lingkar paradoks. Belajar manusia harus mengerti bahwa manusia
itu rumit. Ketika kita menjalin hubungan dengan manusia lain dan kemarin dia bilang sayang
tapi hari ini dia bilang benci, kita harus mengerti bahwa di dalam diri manusia itu ada paradoks.
Jika kita tidak mengerti manusia adalah jahitan dua hal yang bertentangan, maka kita akan stres
dan bunuh diri. Mungkin hari ini dia bilang benci jadi tunggu saja mungkin besok akan bilang
sayang lagi. Jadi santai saja menghadapi manusia, buatlah dirimu dalam konsepsi bahwa kita
menghadapi makhluk yang rumit, yang sekarang bilang A besok bilang B. Yakinlah dalam
keheningannya ia akan menangis tersedu – sedu dan menyesal mengapa mengatakan membenci
kita. Dalam diri manusia sesungguhnya ada cinta benci rindu, kapan itu akan keluar kita semua
tidak tahu.
Daftar Pustaka

Aryati, A. (2018). Memahami Manusia Melalui Dimensi Filsafat (Upaya Memahami


Eksistensi Manusia). El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis, 7(2), 79-94.

Ja’far, S. (2011). CITRA MANUSIA DARI FILSAFAT PSIKOLOGI KE FILSAFAT


ANTROPOLOGI:(Refleksi tentang Manusia dalam Perspektif Mohammad Iqbal). Kanz
Philosophia A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism, 1(2), 227-252.

Kewuel, H. K. (2016). Sistem pendidikan nasional dan kurikulum dalam perspektif filsafat
antropologi. Erudio Journal of Educational Innovation, 2(2), 49-59.

Pujaastawa, I. B. G. (2015). FILSAFAT KEBUDAYAAN.

Purwosaputro, S., & Sutono, A. (2021). Filsafat Manusia Sebagai Landasan Pendidikan
Humanis. CIVIS, 10(1).

Rahman, M. T. (2020). Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Setia, M., Out, L., Bakti, N., dilindungi Undang-Undang, H. C., Padma, J., Timur, P. D., &
Mabhakti, P. T. dalam teropong Filsafat Antropologi.

Sugiharto, I. (2014). Postmodernisme: tantangan bagi filsafat. Yayasan Kanisius.

Sumanto, E. (2019). Esensi, Hakikat, dan Eksistensi Manusia (Sebuah Kajian Filsafat
Islam). Jurnal El-Afkar, 8(2), 60-69.

Teng, H. M. B. A. (2017). Filsafat kebudayaan dan sastra (dalam perspektif sejarah). Jurnal
ilmu budaya.

Anda mungkin juga menyukai