Anda di halaman 1dari 13

Man as Historical Being

Antropologi
Filsafat
Anggota
Kelompok
1. Nurya Rachmawati/195110801111012
2. Yanda Putri W. K./195110800111002
3. Najla Rania Yuanatz/ 195110807111007
4. Jovanka Salsabilla / 205110807111021
5. Azzahra Rania/205110807111013
6. Akhdan Sabilulhaq/ 195110807111018
7. Darell M. A. S. M/ 19510801111003
8. Umi Maslukah/195110801111008
"Histori" dan "Historitas" Melawan "Nasib" dan
"Fatalisme"

Manusia merupakan makhluk bersejarah, sebab


manusia satu-satunya makhluk yang menjadi pokok
penulisan sejarah, dan manusialah yang membuat
sejarah.
Manusia sebagai makhluk sejarah ini bukan
merupakan suatu kebetulan, melainkan sebuah
hakikat yang melekat dalam diri manusia.
kesadaran manusia akan sejarahnya berimplikasi
pada etos rohani zaman kita dan menjadi ciri
penentu humanisme masa kini.
"Nasib” dilihat sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Sementara
sejarah cenderung diterangkan dari sesudah terjadinya suatu peristiwa.
Dengan demikian, sejarah diubah menjadi nasib dan kontingensi historis
dipandang sebagai hal yang niscaya terjadi. Namun, Louis leahayi
berpendapat bahwa gagasan Nasib yang tidak dapat dihindarkan
adalah gagasan yang berbahaya, sebab merupakan suatu cara yang
mudah untuk mengingkari tanggung jawab pribadi dalam hidup ini.

Pada Abad Pertengahan belum ada pandangan yang jelas tentang


manusia sebagai pembuat sejarah dan penanggung jawab sejarah. Hal
itu disebabkan karena manusia Abad Pertengahan tidak berdaya di
hadapan kekuatan-kekuatan alam. Akan tetapi Manusia pada Abad
Pertengahan sangat gemar mengucapkan kata-kata dari Pergkhotbah.
Dengan demikian kepasrahan merupakan salah satu ciri semangat
Abad Pertengahan. Bahkan ada kalanya kepasrahan itu sedikit
menyerupai gagasan Nasib.
Arti modern
sifat khas kesadaran yang tahu akan
istilah "historis" tanggung jawab terhadap masa depan
suatu konsep masa lampau yang lebih
dipahami sebagai sesuatu yang pernah
hadir
"Manusia adalah makhluk pekerja dan
kerja yang merupakan tumpuan sejarah
itu bukanlah semata-mata pengadaan
harta, melainkan secara umum
merupakan kegiatan manusia dalam
karyanya memancarkan suatu
lingkungan yang manusiawi ke
sekitarnya dan dalam mengatasi fakta
alami kehidupan" (Merleau- Ponty)
Pengalaman Prafilosofis (Historisitas)

Historisitas Prafilosofis
Historisitas Prafilosofis manusia dapat digali dari adanya
pengalaman langsung yang dialami oleh manusia, dimana dalam
prosesnya para filsuf menyebutnya sebagai pengalaman
prafilosofis. Pengalaman prafilosofi ini berguna untuk
mengungkapkan suatu hal terkait dengan pengalaman yang
tidak hanya mendahului melainkan juga mengumpani dan
mendasari refleksi filosofis.
Jika kita sadari, proses kehidupan kita selama ini
pun membantu kita memetik gagasan yang lebih
kaya tentang Historitas. Seperti contohnya;
mempelajari sejarah di sekolah; sejarah negara,
sejarah benua, serta sejarah dunia.

Hal ini pun berkaitan dengan beberapa fakta seperti:


- muncul dan berkembangnya suatu agama,
- berbagai periode kolonialisasi,
- perang dan perdamaian
- Kehidupan dan Kematian tokoh-tokoh besar yang
tercatat oleh sejarah
Kita harus memahami bahwa yang terpenting dari pembelajaran
mengenai sejarah itu bukan definisi konseptual yang diajarkan,
melain sejarah sebagai "ilmu tentang masa lampau bangsa
manusia" Sehingga kita dapat memahami makna besar atas
peristiwa yang telah terjadi pada suatu waktu.

Sehingga membawa makna baru bahwa orang yang besar


bukanlah yang bertubuh atau bertinggi lebih dari rata-rata
melainkan ia yang telah meninggalkan bekas kehadirannya
untuk suatu jangka waktu yang lama dalam sejarah.

Pada intinya, suatu peristiwa bukan semata-mata suatu kejadian


yang dapat ditemukan tempatnya dalam waktu yang direkam
oleh kalender. Manusia menyebut sesuatu menajdi peristiwa
ketika terjadi sesuatu yang pada fase berikutnya harus
diperhitungkan oleh dunia.
Tiga Segi "Historisitas"
Beberapa pengalaman langsung tentang
struktur historis dari eksistensi kita memberikan
informasi yang lebih banyak tentang historisitas
manusia daripada yang diberikan oleh definisi-
definisi abstrak dan yang telah diolah secara
teknis. Deskripsi tentang pengalaman langsung
yang disajikan menunjukkan bahwa jika tidak
ada tiga hal ini maka sejarah ataupun
historisitas juga tidak ada.
1. Roh manusia itu terjelma.
Bahwasannya manusia merupak roh terjelma, atau
kebebasan yang terjelma dan besituasi, itu berarti
manusia bukanlah roh murni, bukan juga roh yang
telah jatuh merosot dan terbungkus serta terpenjara
dalam materi. Manusia memerlukan materi, baik itu
materi tentang tubuhnya sendiri maupun materi
tentang badan-badan lain yang berada di
sekelilingnya, untuk menuangkan kemungkinan
rohaninya. Artinya kalau mengolah materi berarti
keluar dari dirinya sendiri, mengobjektifkan diri,
mengungkapkan diri dalam suatu karya, dengan
cara itu manusia dapat menunjukkan dirinya kepada
orang lain. Karena karya itu merupakan garis
penghubung antara kebebasan orang satu dengan
orang lain dan penghubung antara masa lalu, saat
kini, dan waktu yang mendatang.
2. Manusia adalah makhluk
intersubjektif
Gagasan intersubjektivitas mengarah
pada eksistensi (subjek-subjek).
Intersubjektivitas akan muncul jika
terdapat komunikasi dan persekutuan
kesadaran.

Subjektivitas manusia bukan suatu


interioritas yang tertutup dalam dirinya
sendiri, melainkan subjektivitas manusia
dapat diwujudkan ke luar.
3. Manusia terikat oleh waktu

Manusia akan selalu beriringan dengan waktu


karena hal itu merupakan cara kita sebagai
manusia untuk hadir dan melaksanakan tugas
kita sebagai manusia di dunia.

Husserl mengatakan bahwa waktu manusia


adalah Gegenwart, artinya suatu modalitas
kehadiran, cara manusia menghayati
kehadirannya di dunia bersama orang lain.
Terima
kasih!

Anda mungkin juga menyukai