UNTUK XI TJKT 2
Keterlibatan yang dilakukan manusia dalam proses sejarah tidak dilakukan secara otomatis
dan mekanis. Keterlibatan manusia selalu didahului dengan pilihan walaupun banyak
manusia yang tidak menyadari akan adanya pilihan tindakan dalam kehidupan sehari-hari.
Adanya pilihan membuktikan bahwa manusia memiliki kebebasan pada dirinya untuk
membuat keputusan. Kualitas keputusan yang dibuat sangat tergantung dari kreativitas dan
tanggung jawab etis yang melekat pada dirinya.
Ketegangan yang tidak terelakkan manusia dalam sejarah dengan situasi batas yang
melingkari dirinya dalam menjaga dan melaksanakan eksistensinya di masa lampau juga
terjadi pada diri sejarawan waktu melakukan penelitian. Sejarawan bukanlah sosok malaikat
yang melakukan profesinya tanpa kesalahan dan kekurangan. Wajar bila ada karya sejarah
yang cukup bagus dan ada yang biasa-biasa saja, semuanya sangat manusiawi. Situasi batas
yang dihadapi sejarawan dalam menulis sejarah, historiografi bukan masalah sederhana.
Untuk dapat menulis kisah sejarah yang bermutu tidak hanya dituntut penguasaan teori dan
konsep yang baik, melainkan juga komitmen pribadi terhadap tanggung jawab profesi yang
digeluti.
Pada dasarnya, sejarah sendiri memiliki sifat yang cukup khas dibandingkan dengan dasar
ilmu yang lain. Sifat khas yang dimiliki tersebut diantaranya:
1. Memiliki urutan waktu atau kronologis sebagai dasar kejadian di masa lalu.
2. Memiliki tiga dimensi waktu yang digunakan yaitu masa lalu, masa kini, dan masa
yang akan datang.
3. Setiap peristiwa yang terjadi memiliki hubungan kausalitas atau hubungan sebab
akibat diantaranya.
4. Kebenaran dari peristiwa sejarah yang ditemukan sifatnya masih hipotesis dan dapat
gugur jika ditemukan data atau bukti terbaru yang lebih kuat.
Ruang lingkup sejarah dibagi menjadi empat, yaitu sejarah sebagai peristiwa, sejarah sebagai
ilmu, sejarah sebagai kisah, dan juga sejarah sebagai seni. Berikut penjelasan dari setiap
ruang lingkup sejarah.
1. Sejarah Sebagai Peristiwa
Sejarah sebagai peristiwa erat kaitannya dengan sesuatu yang telah terjadi, di mana hal
tersebut benar-benar ada. Hal ini menyangkut kejadian penting, nyata, dan juga aktual.
Sejarah sebagai peristiwa memiliki karakteristik, yaitu bersifat abadi (tidak akan berubah),
hanya terjadi sekali, dan mempunyai pengaruh yang timbul dari berlangsungnya peristiwa
sejarah yang bersangkutan.
Sejarah hanya membahas peristiwa penting masa lampau yang erat kaitannya dengan
kehidupan manusia. Contoh dari ruang lingkup sejarah sebagai peristiwa yaitu: kemerdekaan
Indonesia, sejarah berdirinya PBB, atau peristiwa sumpah pemuda.
Sejarah sebagai ilmu mempunyai ciri-ciri: bersifat empiris, memiliki objek, memiliki teori,
serta memiliki metode dan generalisasi berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.
Contoh dari ruang lingkup sejarah yang satu ini adalah penelitian yang dilakukan untuk
meneliti peristiwa sejarah, baik melalui fosil, prasasti, situs kuno, maupun bukti ilmiah
sejarah lainnya.
Kisah sejarah ini dapat disajikan baik secara lisan maupun tertulis. Kisah sejarah secara lisan
disampaikan pada ceramah-ceramah dan pidato. Sementara itu, kisah tertulis dapat
disampaikan dalam bentuk cerita pendek, majalah, atau bahkan buku.
Contoh dari ruang lingkup sejarah sebagai kisah adalah buku tentang sejarah wali songo,
artikel terbentuknya PBB, serta ceramah pemuka agama tentang sejarah yang biasanya
dibawakan di acara keagamaan.
Sekalipun dapat menjadi sebuah seni, sejarah bukan merupakan seni secara mutlak. Hal ini
tentu karena penulisannya tetap melalui proses penelitian secara ilmiah sebelum dituangkan
dalam tulisan yang indah secara kebahasaan.
Contoh dari sejarah sebagai seni, misalnya adanya relief di situs-situs bersejarah atau candi,
patung-patung di kuil, serta seni pahat yang ada di candi.
Konsep ruang merupakan lokasi atau tempat terjadinya suatu peristiwa sejarah. Konsep
ruang atau dimensi spasial dalam mempelajari sejarah memiliki pengertian umum, yaitu:
Ruang adalah tempat terjadinya peristiwa sejarah Fokus pada di mana peristiwa itu terjadi
Contoh konsep ruang dalam peristiwa sejarah adalah Perang 5 Hari di Semarang pada bulan
Oktober 1945. Semarang menjadi ruang atau tempat terjadinya peristiwa sejarah. Contoh lain
adalah Peristiwa Tiga Daerah yang terjadi di Brebes, Tegal dan Pemalang yang terjadi akibat
tidak puasnya masyarakat pada pejabat bekas pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang.
Brebes, Tegal, dan Pemalang menunjukkan tempat terjadinya peristiwa sejarah.
Makna denotatif berarti kesatuan waktu seperti detik, menit, jam dan lainnya sesuai fakta apa
adanya. Sedangkan konotatif adalah waktu sebagai konsep. Contohnya adalah zaman
Belanda, dalam makna denotatif zaman Belanda berarti pada 1800 hingga kemerdekaan
Indonesia. Namun secara konotatif, zaman Belanda bisa berarti zaman dulu yang sudah
sangat lampau. Konsep waktu dalam mempelajari sejarah berarti sejarah saling terhubung
atau bisa berulang. Sejarah jika dilihat dengan konsep waktu, bisa menjadi pedoman untuk
merencanakan masa depan.
Contoh konsep waktu dalam peristiwa sejarah adalah Pertempuran 5 Hari di Semarang pada
15-19 Oktober 1945. konsep waktu di sini menunjukkan pada tanggal 15 hingga 19 Oktober
1945. Selain itu, Peristiwa 3 Daerah di Brebes, Tegal, dan Pemalang terjadi pada bulan
Oktober hingga Desember 1945. Bulan Oktober hingga Desember 1945 menunjukkan
terjadinya peristiwa itu dalam konsep waktu.
Secara tidak sadar, dalam perkembangannya manusia akan mengalami pengulangan. Meski
dalam waktu dan latar yang berbeda, peristiwanya hampir sama dengan yang terjadi
sebelumnya. Seperti yang terjadi pada lengsernya Soekarno dan juga Soeharto yang berawal
dari krisis ekonomi yang melanda saat itu. Oleh sebab itu manusia akan melakukan tindakan
dengan berusaha mengubah nasibnya.
Keterikatan manusia dalam ruang dan waktu Manusia dalam kehidupannya adalah pelaku
sejarah yang akan selalu berkaitan dengan ruang dan waktu. Beberapa keterikatan manusia
dengan konsep ruang dan waktu: Aktivitas manusia yang lampau maupun yang sedang terjadi
selalu memiliki tempat dan waktu kejadian. Perjalanan hidup manusia sama dengan
perjalanan waktu itu sendiri yang diiringi di tempat di mana manusia beraktivitas.
Keterkaitan ruang dan waktu di dalam sejarah adalah hal yang tidak dapat dipisahkan antara
manusia, tempat, dan waktu perisitiwa itu sendiri.
Konsep kronologi
Bersifat vertikal
Maksud dari bersifat vertikal adalah mengacu pada urutan kejadian yang sudah berlangsung
sehingga setiap kejadian akan diurutkan dari awal hingga akhir alias runtut. Menekankan
pada rentang waktu kejadian.
Ciri selanjutnya adalah menekankan pada durasi kejadian, di mana mempelajari sejarah atau
kejadian yang sudah terjadi, membutuhkan proses waktu.
Sanggup menguraikan suatu kejadian Lewat berpikir kronologis, sejarah atau peristiwa yang
terjadi di masa lalu dapat memberikan hasil atau informasi yang lengkap karena cakupannya
luas.
Dalam berpikir kronologis juga ada perbandingan. Maksudnya, hasil yang didapat bisa
dijadikan sebagai bahan perbandingan. Contohnya, sebab akibat atau kejayaan dan
keruntuhan dari peristiwa yang terjadi di masa lampau.
Diakronik
Secara bahasa, diakronik berasal dari bahasa latin, dia yang memiliki arti melalui atau
melampaui. Sedangkan chronicus berarti waktu. Diakronik maksudnya adalah memanjang
dalam waktu dan menyempit dalam ruang. Berpikir secara diakronik juga disebut dengan
berpikir secara kronologis atau berurutan. Kronologis adalah catatan kejadian-kejadian yang
diurutkan sesuai dengan waktu atau urutan kejadiannya. Untuk menganalisa suatu peristiwa,
banyak sejarawan yang menggunakan pendekatan diakronik. Contohnya adalah peristiwa
perang Diponegoro pada 1825-1830. Dalam catatan sejarah, Perang Diponegoro disebabkan
oleh beberapa faktor. Awalnya, Belanda mengintervensi urusan keraton Yogyakarta.
Kemudian Belanda juga membebani rakyat dengan pajak. Puncaknya, pembangunan jalan
yang sengaja melewati tanah leluhur Diponegoro di Tegalrejo. Hal itu membuat Diponegoro
akhirnya menyatakan perang yang meletus pada 20 Juli 1825. Perang berakhir pada 18 Maret
1830 dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Kock di Magelang.
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Makassar hingga meninggal pada awal
tahun 1855.
Kronologis
Sinkronik Sedangkan sinkronik berasal dari bahasa Yunani yaitu syn yang berarti dengan dan
Khronos yang memiliki arti waktu atau masa. Secara makna, sinkronik berarti meluas dalam
ruang dan menyempit dalam waktu. Pembahasan sejarah secara sinkronik akan menjelaskan
bagaimana berbagai aspek itu mempengaruhi terjadinya suatu peristiwa sejarah dalam titik
waktu tertentu.
Konsep keberlanjutan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti dari keberlanjutan adalah berlangsung
terus menerus dan berkesinambungan. Hal ini berkaitan juga dengan rangkaian peristiwa
yang telah terjadi maupun akan terjadi merupakan peristiwa berkelanjutan. Sebab, tidak ada
peristiwa yang berdiri sendiri dan dapat dipisahkan dengan peristiwa lainnya.
Adapun konsep berkelanjutan adalah suatu keadaan yang sudah berlangsung lama.
Keberlanjutan dalam sejarah merupakan rangkaian peristiwa di masa lalu, masa sekarang,
dan masa depan yang berkaitan satu sama lain. Contohnya adalah kasus korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) yang terjadi di Indonesia. KKN yang terjadi pada masa reformasi
merupakan keberlanjutan dari masa Orde Baru.
Dalam mempelajari sejarah, rangkaian peristiwa yang ada merupakan peristiwa yang
berkelanjutan. Kehidupan manusia saat ini merupakan mata rantai dari kehidupan masa
lampau, sekarang dan masa mendatang. Setiap peristiwa tidak berdiri sendiri dan tidak
terpisahkan dari peristiwa lain.
Roeslan Abdul Gani menyatakan ilmu sejarah dapat diibaratkan sebagai penglihatan terhadap
tiga dimensi, yaitu penglihatan ke masa silam, masa sekarang, dan masa depan. Hal ini
sejalan dengan Arnold J. Toynbee yang mengatakan bahwa mempelajari sejarah adalah
mempelajari masa lampau, untuk membangun masa depan (to study history is to study the
past to build the future).
Keberlanjutan dalam sejarah berarti melihat sebuah peristiwa sebagai mata rantai masa
lampau, sekarang dan mendatang. Peristiwa tersebut tidak berdiri sendiri dan
berkesinambungan dari tatanan lama yang dipertahankan atau diadopsi dengan penyesuaian-
penyesuaian. Keberlanjutan juga bisa terjadi dari bentuk sederhana ke bentuk yang lebih
kompleks tanpa gejolak.
Keberlanjutan dalam sejarah Indonesia juga bisa terjadi karena meneruskan atau mengadopsi
aturan-aturan peninggalan masa lalu. Salah satu contohnya adalah KUHP atau Kitab Undang-
undang Hukum Pidana yang merupakan warisan pemerintah Belanda, yaitu Wetboek van
Srafrecht Voor Nederlands Indie 1915 yang merupakan turunan dari Wetboek van Srafrecht
Negeri Belanda 1886.
BAB II
Jatuhnya konstantinopel ke tangan turki usmani
Jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Usmani membawa dampak bagi bangsa Eropa
hingga nusantara.
Jatuhnya Konstantinopel oleh Turki Usmani menyebabkan bangsa Eropa mengalami krisis
dan kesulitan di bidang perdagangan rempah-rempah yang dikuasai pedagang Islam.
Sejarah Jatuhnya Konstantinopel
Sejarah jatuhnya Konstantinopel bermula dari penyerangan Konstantinopel oleh Sultan
Usmani Muhammad II pada 1453. Sultan Usmani Muhammad II bergelar Al-Fatih, seperti
dikutip dari buku Sejarah Indonesia: Masuknya Islam hingga Kolonialisme oleh Ahmad
Fakhri Hutauruk.
Jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Usmani atau Ottoman membuat riwayat Kekaisaran
Romawi berakhir. Jatuhnya Konstantinopel juga membuat perdagangan dikuasai para
pedagang Islam. Ibu kota berganti nama jadi Istanbul yang berarti "tahta Islam".
Penjelajahan samudra dipelopori oleh bangsa Portugis karena rakyatnya terbiasa berperang
dengan Moor dan punya pelabuhan yang baik seperti Lisabon, Porto. Angkatan laut Portugis
modern dan punya hubungan dagang dengan pelabuhan-pelabuhan di Mediterania serta
negara-negara di Eropa Utara.
Jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Usmani juga memberi dampak bagi Tanah Air,
yaitu datangnya bangsa Barat ke Indonesia. Peristiwa sejarah yang terjadi di Eropa dan
menandai terbukanya hubungan dagang antara Eropa dengan Indonesia adalah jatuhnya
Konstantinopel. Negara Barat pertama yang mendarat di Indonesia, tepatnya di Malaka
adalah Portugis tahun 1511. Portugis datang ke Indonesia setelah mendengar dari pedagang
Asia bahwa Malaka memiliki kekayaan rempah-rempah yang melimpah.
Oleh sebab itu, Raja Portugal mengutus Diogo Lopes de Sequeira untuk mencari Malaka.
Sesampainya Sequeira di Malaka, ia disambut dengan baik oleh Sultan Mahmud Syah.
Namun, Sultan Mahmud Syah diperingati oleh komunitas dagang Islam Internasional yang
ada di Malaka, bahwa kedatangan Portugis ke kota tersebut adalah sebuah ancaman. Sultan
Mahmud pun memutuskan untuk menyerang Portugis. Pada April 1511, Alfonso de
Albequerque berlayar dari Portugis ke Malaka dengan membawa pasukan sebanyak 1.200
orang. Peperangan pun berlangsung yang kemudian dimenangkan oleh Portugis dan
menguasai Malaka. Setelah berhasil menguasai Malaka, Alfonso memerintahkan pasukannya
untuk berlayar mencari kepulauan rempah-rempah. Rombongan Alfonso tiba di Maluku
tahun 1512. Sejak saat itu, Portugis memanfaatkan Maluku dengan memperdagangkan
rempah-rempah yang ada di sana. Hal itulah yang menjadi awal penjajahan di Indonesia oleh
bangsa Eropa.
BAB III
Latar belakang masuknya bangsa Eropa/barat ke Indonesia
Sejarah mencatat, bangsa Barat menjelajah ke belahan bumi lain sejak abad ke-15 Masehi,
termasuk sampai ke Nusantara atau Indonesia. Penjelajahan samudera oleh orang-orang
Eropa ini kemudian menjadi penaklukan dan penjajahan atau kolonialisme bahkan
imperialisme.
Apa latar belakangnya? Portugis menjadi bangsa Eropa pertama yang berlayar hingga ke
Kepulauan Nusantara. Alfonso de Albuqueque memimpin sekitar 18 kapal yang mengangkut
1.200 orang. Rombongan Portugis ini menaklukkan Malaka pada 1511, lalu menyasar
Maluku pada 1512. Dari sini, sejarah kolonialisasi di Indonesia bermula. Rempah-rempah
menjadi alasan utama Portugis menyambangi Nusantara. Capaian Portugis ini kemudian
diikuti oleh kerajaan tetangga, Spanyol.
Di Maluku, Portugis dan Spanyol terlibat konflik. Portugis bersekutu dengan Kerajaan
Ternate melawan Spanyol yang merangkul Kerajaan Tidore. Tak hanya Spanyol dan Portugis,
penjelajahan samudera yang menjelma menjadi kolonialisme dan imperalisme itu nantinya
juga diikuti oleh bangsa-bangsa Eropa lainnya, termasuk Belanda, Perancis, Inggris, Italia,
Belgia, hingga Jerman.
Apa latar belakang bangsa Eropa melakukan penjelajahan samudera? Salah satu penyebab
utamanya adalah jatuhnya Konstatinopel pada 1453, dari Kekaisaran Bizantium atau Romawi
Timur ke Kesultanan Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan Mehmed II. Penaklukan
Konstantinopel (sekarang Istanbul) menjadi salah satu tonggak peristiwa penting yang
mengubah sejarah peradaban manusia: penjelajahan bangsa-bangsa Eropa.
Penjelajahan samudra yang dilakukan oleh bangsa Eropa bukan tanpa sebab. Mereka
melakukan penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru. Tidak hanya itu, tapi juga
ingin menguasai untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan politik. Salah satu wilayah
penjelajahan bangsa Eropa sampai ke Indonesia. Apalagi Indonesia merupakan penghasil
rempah-rempah dunia yang menjadi rebutan bangsa Eropa. Apa latar belakang yang
membuat bangsa Eropa melakukan perjalanan sampai ke Indonesia?
Sesuai isi Perjanjian Tordesillas yang disetujui bersama Portugal pada 1494, bangsa Spanyol
mencari daerah penghasil rempah-rempah dengan menuju ke arah barat, melalui Samudera
Atlantik. Pada 1519, Spanyol memberangkatkan ekspedisi yang terdiri dari lima kapal di
bawah pimpinan Fernando de Magelhaens atau Ferdinan Magellan. Rute pelayarannya adalah
Spanyol - Samudera Atlantik - pantai timur Benua Amerika - selat di ujung selatan Benua
Amerika - Samudera Pasifik - Filipina.
Rombongan Magellan sampai di Filipina pada April 1521, tetapi ia justru terbunuh setelah
terlibat konflik dengan Mactan. Setelah itu, ekspedisi dilanjutkan di bawah pimpinan Kapten
Sebastian del Cano, yang sampai di Maluku di tahun yang sama. Sebastian del Cano
mendarat di wilayah Tidore dan disambut baik oleh rajanya, yang bermusuhan dengan
Kerajaan Ternate yang lebih dulu menjalin kerjasama dengan Portugis.
Namun, kedatangan bangsa Spanyol ke Indonesia untuk pertama kalinya ini hanya
berlangsung 40 hari (6 November - 18 Desember 1521). Pasalnya tujuan utama Sebastian del
Cano singgah di Tidore adalah untuk mengisi bahan makanan dan mengisi kapalnya dengan
rempah-rempah, terutama cengkih dan pala. Keberhasilan Sebastian del Cano dalam
mendapatkan rempah-rempah serta kepercayaan dari raja Tidore membuat raja Spanyol
senang dan kembali mengirimkan armadanya ke Indonesia. Akan tetapi, langkah tersebut
oleh Portugis dianggap sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas. Pada akhirnya
pertempuran antara Spanyol bersama Tidore dan Portugis yang bersekutu dengan Ternate pun
tidak dapat dihindarkan.
Bangsa Prancis
Keberhasilan bangsa Portugis mencapai dunia Timur mendorong bangsa-bangsa Eropa untuk
berlayar ke Indonesia. Terlebih lagi, jasa pelaut asing dan peta navigasi dapat dibeli dengan
mudah di Lisabon.
Pada 1530, Jean Parmentier dari Prancis meninggalkan Pantai Normandia untuk menjelajahi
Indonesia. Dari sudut pandang pelayaran, ekspedisi ini sangat berhasil karena dapat mencapai
bagian barat Sumatera dalam waktu tujuh bulan. Kendati demikian, dari sudut pandang
perniagaan, Jean Parmentier dapat dikatakan gagal total. Akibat kegagalan ini, bangsa Prancis
enggan untuk mengulangi upayanya dalam waktu yang lama.
Bangsa Inggris
Ekspedisi penjelajahan samudra oleh bangsa Inggris yang pertama dipimpin oleh Francis
Drake dan Thomas Cavendish. Rombongan itu berangkat pada 1577 dengan mengikuti rute
penjelajahan bangsa Spanyol. Pada 1579, armada Francis Drake berhasil mendarat di Ternate
dan memborong rempah-rempah untuk dibawa kembali ke Inggris. Pada abad ke-17, Inggris
kembali melakukan penjelajahan samudra, tetapi dengan mengikuti rute bangsa Portugis.
Inggris kemudian berhasil menguasai India dan mendirikan kongsi dagang EIC (East India
Company). Dalam perkembangannya, EIC menjadi pesaing utama VOC dan berusaha
menguasai kepulauan nusantara.
Bangsa Belanda
Dalam melakukan penjelajahan samudra ke dunia Timur, bangsa Belanda mengacu pada
Pedoman Perjalanan ke Timur yang disusun oleh Jan Huygen van Lin Schoten pada 1595.
Buku tersebut memuat peta dan deskripsi rinci mengenai penemuan-penemuan bangsa
Portugis. Pada 1595, Belanda mengirim sebuah ekspedisi ke dunia Timur yang dipimpin oleh
Cornelis de Houtman. Cornelis de Houtman menjadi rombongan Belanda pertama yang tiba
di nusantara pada 1596, tepatnya di Banten. Meski sempat disambut baik, Cornelis de
Houtman akhirnya diusir oleh masyarakat dan pedagang setempat karena sikap buruknya.
Pada 1598, Belanda kembali berusaha menembus Banten dengan mengirim ekspedisi di
bawah pimpinan Jacob van Neck. Proses masuknya bangsa Belanda ke nusantara yang kedua
ini cukup mulus, karena mereka pandai berdiplomasi dan telah belajar dari pengalaman
Cornelis de Houtman. Penerimaan Banten pun semakin terlihat ketika Belanda diizinkan
untuk mendirikan kantor dagang. Setelah Banten, bangsa Belanda kemudian melanjutkan
misinya ke Maluku untuk menggeser kedudukan bangsa Portugis.
BAB IV
Kolonialisme bangsa Eropa/barat di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah. Rempah-rempah dicari bangsa
Eropa karena manfaatnya sebagai penghangat dan bisa dijadikan pengawet makanan. Selain
karena harganya yang mahal, memiliki rempah-rempah juga menjadi simbol kejayaan
seorang raja pada saat itu. Dari faktor-faktor tersebut, banyak bangsa Eropa yang berusaha
untuk menemukan daerah penghasil rempah-rempah, salah satunya Indonesia.
Kolonialisme berasal dari kata “colonus” yang memiliki arti menguasai. Kolonialisme
memiliki arti upaya sebuah negara untuk mengembangkan kekuasaannya di luar wilayah
kekuasaan negara tersebut. Kolonialisme memiliki tujuan mencapai dominasi kekuatan dalam
bidang ekonomi, sumber daya alam, sumber daya manusia, dan politik.
Wilayah koloni biasanya merupakan wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan bahan mentah
yang dibutuhkan oleh negara yang melakukan kolonialisme. Dalam kolonialisme, ada
kepercayaan bahwa bangsa yang melakukan kolonialisasi jauh lebih superior dari bangsa
yang dikoloni.
Sementara imperialisme berasal dari kata “imperium” dalam bahasa Latin, yang berarti
kekuasaan tertinggi, kedaulatan, atau sekadar kekuasaan. Imperialisme merupakan kebijakan
atau ideologi untuk memperluas kekuasaan atas negara lain dan penduduk asli negara
tersebut, dengan tujuan memperluas akses politik dan ekonomi, kekuasaan dan kontrol, dan
seringkali dilakukan dengan menggunakan kekuatan militer.
Perbedaan kolonialisme dan imperialisme terletak pada tujuannya. Kolonialisme berfokus
pada penguasaan suatu wilayah dengan sumber daya alam tertentu untuk dibawa ke negeri
asal penjajah. Sementara imperialisme berfokus dalam penguasaan politik dan pemerintahan
negara yang lain untuk memiliki pengaruh terhadap negara tersebut.
Latar Belakang Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia
Kolonialisme dan imperialisme sudah dilakukan oleh bangsa Eropa sejak abad ke-15 di
seluruh dunia, sampai akhirnya masuk ke nusantara (Indonesia). Pada saat itu, latar belakang
bangsa Eropa masuk ke wilayah nusantara disebabkan oleh beberapa hal, seperti jatuhnya
Konstantinopel di kawasan Laut Tengah ke kekuasaan Turki Usmani pada tahun 1453,
merosotnya ekonomi dan perdagangan bangsa Eropa, serta terjadinya revolusi industri.
Perlu diketahui, kolonialisme dan imperialisme modern muncul setelah terjadinya revolusi
industri karena bertujuan untuk mengembangkan perekonomian bangsa Eropa. Revolusi
industri, membuat bangsa Eropa menciptakan kapal laut yang digunakan untuk menjelajah
samudra demi mencari sumber daya di belahan dunia lain. Disamping itu, misi ini juga
dilakukan untuk melanjutkan semangat Perang Salib.
Dalam upaya tersebut, bangsa Eropa mulai menyebar ke seluruh dunia, sampai akhirnya
kolonialisme dan imperialisme di Indonesia pun terjadi. Di sisi lain, kejatuhan
Konstantinopel ke tangan Turki Usmani pada tahun 1453, menyebabkan akses bangsa Eropa
dalam mendapatkan rempah-rempah yang lebih murah di kawasan Laut Tengah menjadi
tertutup dan membuat harga rempah-rempah di Eropa meningkat tajam. Bangsa Eropa
kemudian terdorong untuk mencari dan menemukan wilayah-wilayah penghasil rempah-
rempah ke dunia baru yang ada di timur Eropa.
Lama-kelamaan, mereka semakin berambisi menguasai berbagai negara untuk keuntungan
ekonomi dan kejayaan politik mereka, terutama pada wilayah-wilayah seperti Indonesia yang
merupakan penghasil rempah-rempah, seperti lada, cengkih, pala, dan lain-lain. Rempah-
rempah yang dihasilkan di Indonesia mendorong mereka untuk melakukan kolonialisme dan
imperialisme karena rempah-rempah pada masa itu menjadi komoditas yang sangat laris di
Eropa. Bangsa Eropa kemudian menyebut nusantara sebagai Hindia.
Respon Bangsa Indonesia Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme
Ada empat aspek utama yang terjadi di Indonesia setelah merespon sistem kolonialisme dan
imperialisme, antara lain ekonomi dan politik, sosial dan budaya, seni dan sastra, serta
pendidikan. Berikut penjelasannya:
Aspek Ekonomi dan Politik
Bangsa Indonesia pada masa kolonialisme dan imperialisme dirugikan dalam bidang ekonomi
dan politik. Oleh karena itu, bangsa Indonesia melakukan perlawanan terhadap Portugis,
VOC, dan pemerintahan Hindia Belanda. Beberapa perlawanan berupa perang akibat
ekonomi dan politik in, di antaranya:
Perlawanan Terhadap Portugis
Ada beberapa peristiwa besar yang terjadi akibat upaya bangsa Indonesia melawan
penjajahan bangsa Portugis, antara lain:
Perlawanan Kesultanan Ternate
Kebijakan monopoli perdagangan bangsa Portugis membuat Sultan Hairun memimpin
perlawanan rakyat Ternate terhadap mereka. Sayangnya, Sultan Hairun berhasil ditangkap
dan dihukum mati oleh bangsa Portugis pada tahun 1570. Meski demikian, perlawanan
Kesultanan Ternate tidak berhenti di situ. Perjuangan Sultan Hairun kemudian dilanjutkan
oleh Sultan Baabulah.
Di bawah kepemimpinan Sultan Baabulan inilah Kesultanan Ternate berhasil mengusir
bangsa Portugis dari Maluku pada tahun 1575. Bangsa Portugis yang terusir dari Maluku ini
kemudian menyingkir ke Pulai Timor dan berkuasa di Timor Timur hingga menjelang akhir
abad ke-20.
Perlawanan Kesultanan Demak
Selain di Ternate, bangsa Portugis juga melakukan praktik monopoli perdagangan mereka di
Malaka. Praktik monopoli tersebut membuat para saudagar Muslim di Malaka merasa
terganggu. Kesultanan Demak yang khawatir bangsa Portugis juga akan mengekspansi pulau
Jawa dan merasa perlu menunjukkan solidaritas mereka terhadap Kesultanan Malaka dan
para saudagar Muslim yang ada di Malaka, akhirnya memutuskan untuk menyerang bangsa
Portugis.
Di bawah pimpinan Sultan Trenggono, Kesultanan Demak menyerang Sunda Kelapa pada
tahun 1526 dan berhasil menguasai wilayah tersebut. Setahun kemudian, pada tahun 1527,
bangsa Portugis yang saat itu tidak menyadari kalau Sunda Kelapa sudah dikuasai oleh
Kesultanan Demak, datang untuk membangun benteng di sana.
Akibatnya, bangsa Portugis pun berhasil diusir oleh Kesultanan Demak di bawah
kepemimpinan Fatahillah. Fatahillah kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi
Jayakarta, yang berarti kemenangan yang gemilang.
Perlawanan Kesultanan Aceh
Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap bangsa Portugis dimulai pada tahun 1514–1540 di
bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah. Pada masa itu Kesultanan Aceh berhasil
mengusir bangsa Portugis dari wilayah Aceh. Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap bangsa
Portugis kemudian dilanjutkan oleh Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Qahar pada tahun 1538–
1571 dengan bantuan Turki.
Sultan Alaudin Riayat Syah, yang menjadi penggantinya, juga menyerang bangsa Portugis di
Malaka pada tahun 1573 dan 1575. Sultan Iskandar Muda pun pernah menyerang bangsa
Portugis di Malaka pada tahun 1615 dan 1629.
Sekalipun Sultan Iskandar Muda tidak berhasil mengusir bangsa Portugis, dari Malaka,
perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut sampai Malaka jatuh ke tangan VOC pada tahun
1641.
Perlawanan Terhadap VOC
Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi sebagai upaya bangsa Indonesia melawan
penjajahan VOC, antara lain:
1. Perlawanan Kesultanan Mataram
Awalnya, hubungan Kesultanan Mataram dengan VOC berjalan dengan baik, sampai-sampai
Kesultanan Mataram mengizinkan VOC mendirikan benteng sebagai kantor perwakilan
dagang di wilayah Jepara. Namun, lama-kelamaan Sultan Agung menyadari kalau keberadaan
VOC membahayakan pemerintahannya.
Sultan Agung pun mulai menyerang VOC pada tahun 1628, tapi serangan pertama ini gagal
dan mengakibatkan sekitar 1.000 prajurit Mataram gugur. Serangan kedua yang dilakukan
pada bulan Agustus–Oktober 1629 pun mengalami kegagalan karena Kesultanan Mataram
kalah persenjataan, kekurangan persediaan makanan (karena lumbung-lumbung persediaan
makanan yang ada di Tegal, Cirebon, dan Karawang dimusnahkan VOC), jarak yang terlalu
jauh, dan wabah penyakit yang menyerang pasukan Mataram.
2. Perlawanan Kesultanan Gowa
Perlawanan Kesultanan Gowa dimulai dengan pelucutan dan perampasan armada VOC di
Maluku, di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin. Perang Makassar pun pecah karena
pelucutan dan perampasan armada tersebut. Perang Makassar berlangsung selama tiga tahun,
dari tahun 1666–1669. Dalam Perang Makassar, VOC bersekutu dengan Arung Palaka, Raja
Bone, yang saat itu berseteru dengan Kerajaan Gowa.
3. Perlawanan Kesultanan Banten
Perlawanan Kesultanan Banten dimulai karena persaingan dagang dengan VOC dan
gangguan VOC terhadap politik Kerajaan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa pada akhirnya
melawan VOC dengan bekerja sama dengan pedagang-pedagang asing lainnya, seperti
pedagang Inggris.
Sultan Ageng kemudian menyerang kapal-kapal VOC yang ada di perairan Banten serta
wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Batavia, seperti peperangan di daerah Angke dan
Tangerang pada tahun 1658–1659.
4. Perlawanan Terhadap Pemerintahan Hindia Belanda
Awalnya, masa pemerintahan Hindia Belanda tidak lagi menerapkan praktik kolonialisme ala
VOC, namun hal tersebut tak membuat praktik dagang dan kerja rodi berakhir. Saat Belanda
kembali berkuasa, penindasan pun terjadi lagi di Indonesia
Portugis
Bartholomeus Diaz melakukan penjelajahan samudra dan sampai di Tanjung Harapan, Afrika
Selatan, pada 1488. Penjelajahan lalu diteruskan Vasco da Gama yang sampai di Gowa
(India) pada 1498, lalu pulang ke Lisboa, Portugal, dengan membawa rempah-rempah.
Portugis pun semakin gigih dalam mencari sumber rempah-rempah. Untuk itu, Portugis
melanjutkan ekspedisi ke timur yang dipimpin Alfonso d’Albuquerque untuk menguasai
Malaka. Ia berhasil menguasai Malaka sebagai pusat perdagangan rempah-rempah di Asia
Tenggara pada 10 Agustus 1511.
Spanyol
Orang Spanyol yang pertama kali melakukan penjelajahan samudra adalah Christopher
Columbus. Pada 1492, ia berlayar ke arah barat melewati Samudra Atlantik, hingga akhirnya
tiba di benua Amerika. Saat itu, Columbus berpikir kalau dia telah sampai di daerah yang
ditujunya, yaitu India. Karena itulah Columbus lalu menamakan penduduk lokal yang ia
temui sebagai warga Indian.
Belanda
Pada 1596, Cornelis de Houtman berhasil mendarat di Banten. Sikap Belanda yang kurang
ramah dan berusaha memonopoli perdagangan di Banten membuat Sultan Banten saat itu
marah. Akibatnya, ekspedisi ini terbilang gagal. Sekitar 1598-1600, pedagang Belanda mulai
berdatangan kembali. Kedatangannya kali ini dipimpin Jacob van Neck. Ia berhasil
mendarat di Maluku dan membawa rempah-rempah. Keberhasilan van Neck menyebabkan
semakin banyak pedagang Belanda datang ke Indonesia.
Inggris
Masuknya bangsa Inggris ke Indonesia juga bertujuan mencari rempah-rempah. Tokoh
penjelajahnya adalah Sir Henry Middleton dan James Cook. Henry Middleton mulai
menjelajah di tahun 1604 dari Inggris menyusuri perairan Cabo da Roca (Portugal) dan Pulau
Canary. Henry Middleton lanjut menuju perairan Afrika Selatan hingga Samudra Hindia. Ia
sampai di Sumatra, lalu menuju Banten di akhir 1604. Ia berlayar ke Ambon (1605), lalu ke
Ternate, serta Tidore, dan mendapat rempah-rempah, seperti lada dan cengkeh.
Sedangkan James Cook sampai ke Batavia tahun 1770, setelah dari Australia
Bangsa Eropa datang ke Nusantara pada abad ke-16. Awalnya bertujuan untuk berdagang
rempah-rempah. Namun, lama-kelamaan tujuan bergeser menjadi penerapan kolonialisme
dan imperialisme. Pada abad ke-19, masyarakat Indonesia berupaya keras untuk melakukan
perlawanan. Tujuan utamanya untuk mengusir penjajahan dari Nusantara. Namun sifat
perlawanan lokal dari para raja atau sultan dan rakyat terhadap VOC masih sangat lokal.
Beberapa perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme, yaitu:
1. Kesultanan Demak melawan Portugis
2. Perlawanan Kesultanan Aceh
3. Perlawanan Rakyat Ternate
4. Sultan Agung Raja Mataram melawan VOC
5. Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC
6. Sultan Hasanuddin melawan VOC
BAB V
Perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme bangsa Eropa/barat
Merdeka adalah cita-cita dari setiap bangsa yang tanahnya dikuasai oleh bangsa asing. Untuk
membebaskan tanah airnya dari penguasaan bangsa asing, maka tentu diperlukan perlawanan.
Hal tersebut juga tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh penguasa
asing, yang menimbulkan berbagai konflik. Di Indonesia, hampir setiap daerah muncul
perlawanan. Untuk mengetahui mengenai perlawanan bangsa Indonesia terhadap
Kolonialisme dan Imperialisme
Perlawanan Terhadap VOC
Selama masa penguasaan VOC di Indonesia, banyak menerapkan kebijakan yang merugikan
rakyat Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari tujuan VOC untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya dari Indonesia. Hal tersebut, menyebabkan Perlawanan Bangsa Indonesia
terhadap Kolonialisme dan Imperialisme terjadi di tiap daerah.
Perlawanan di Maluku
Pada tahun 1605, Portugis berhasil diusir oleh VOC yang bekerja sama dengan kerajaan
lokal. Sehingga VOC memiliki tempat khusus di wilayah Maluku. Namun setelah mencapai
tujuannya untuk mendapatkan tempat di Maluku, maka VOC mulai menunjukan sifat aslinya.
Sikap VOC mulai semena-mena dan ikut campur dalam urusan kerajaan. Tindakan yang
kejam dan sewenang-wenang dari VOC menyebabkan perlawanan dari rakyat.
Salah satu perlawanan yang terjadi yakni pada tahun 1635-1646, oleh masyarakat Hitu dan
dipimpin oleh Kakiali serta Telukabesi. Perlawanan ini kemudian meluas ke Ambon, namun
perlawanan mengalami kegagalan
Pada tahun 1650, perlawanan juga dilakukan oleh rakyat Ternate yang dipimpin oleh Kecili
Said. Namun, lagi-lagi serangan tersebut bisa dipatahkan oleh VOC.hal itu dikarenakan VOC
memiliki senajat dan pengorganisasian yang lebih baik.
Pada tahun 1680, VOC juga memaksakan perjanjian dengan Tidore (Kemdikbud, 2017:79).
Status Tidore dirubah menjadi vassal atau negara bawahan VOC, bukan lagi sekutu. Untuk
menguatkan kekuasaanya, VOC mengangkat Putra Alam sebagai penguasa yang baru. Hal
tersebut bertentangan dengan tradisi Tidore, dimana seharusnya Pangeran Nuku yang menjadi
penguasa. Oleh karena itu Pangeran Nuku melakukan perlawanan bersama dengan rakyat.
Dalam perang tersebut, pangeran Nuku mendapat dukungan dari Papua dibawah Raja Ampat,
Halmahera, Seram Timur, serta Ternate. Oleh para pendukungnya, Pangeran Nuku kemudian
diangkat menjadi Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Dengan gelar Sultan, maka
perang melawan VOC pun semakin diperkuat. Selain mendapat dukungan dari penguasa
lokal, Pangeran Nuku juga mendapat dukungan dari Inggris atau EIC. Dengan kekuatan yang
besar, VOC berhasil dikalahkan dan Tidore dapat lepas dari penguasannya.
BAB VI
Tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia
Berkat jasa para pahlawan nasional Indonesia, negara kita dapat menyatakan kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi dari
pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya membela
kebenaran.
Dalam kamus tersebut, pahlawan juga diartikan sebagai pejuang yang gagah berani serta
hero.
Pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional atas perbuatan yang dinilai heroik. Artinya,
perbuatan tersebut dapat dikenang dan diteladani selamanya oleh warga negara Indonesia
atau perbuatan tersebut mengandung jasa yang amat tinggi bagi bangsa Indonesia.
Selain peristiwa Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, terdapat peristiwa lain yang tidak
kalah penting, yaitu Hari Kebangkitan Nasional. Para pahlawan yang berjuang pada Hari
Kebangkitan Nasional memberikan kontribusi besar untuk Indonesia.
Pergerakan Nasional merupakan sebuah bentuk dalam perlawanan terhadap penjajah, bukan
melalui penggunaan angkatan bersenjata, tetapi melalui penggunaan organisasi budaya,
sosial, ekonomi dan politik. Begitu juga dengan gerakan nasional yang berlangsung di
Indonesia. Suatu gerakan oleh para sarjana Indonesia untuk meningkatkan nasib atau kondisi
rakyat Indonesia dan untuk mencari kemerdekaan nasional.
Latar belakang Organisasi Gerakan Nasional ialah adanya sebuah kesadaran akan banyaknya
sebuah penderitaan yang diderita terhadap banyak penduduk dan masyarakat sekitar, serta
kesengsaraan yang dialami orang-orang selama pendudukan dan menyebabkan penderitaan.
Itu sebabnya, dapat diharapkan bahwa dengan keberadaan organisasi gerakan nasional ini
banyak orang akan dapat menemukan kondisi yang lebih baik dan mengubah keadaan mereka
menjadi lebih baik.
Adapun terdapat tokoh-tokoh dalam pergerakan nasional indonesia, diantaranya ialah sebagai
berikut:
Wahidin Sudirohusodo
Wahidin Sudirohusodo adalah sosok yang pandai dan lulus dari sekolah kedokteran hingga
menjadi pejabat kesehatan. Jiwa-jiwa pemberontakannya tampak saat ia memimpin redaksi
surat kabat Retnodhoemilah. Melalui surat kabar itu, Wahidin melontarkan gagasannya soal
kebangkitan Jawa, meliputi nasionalisme, pendidikan, kesamaan derajat, dan budi pekerti.
Namun upayanya di Retnodhoemilah kurang membuahkan hasil, ia pun mundur dan
memperjuangkan gagasannya dengan berkeliling menemui pejabat pemerintahan di Jawa
yang berpengaruh. Meski gagasannya banyak mengalami penolakan, Wahidin
akhirnya bertemu dengan Sutomo dan sepakat untuk membuat sebuah organisasi.
Organisasi itu adalah Budi Utomo yang lahir pada 20 Mei 1908. Budi Utomo tidak
hanya memajukan pendidikan, tetapi juga menyadarkan masyarakat Jawa akan
martabatnya sebagai bangsa.
Sutomo
Pada akhir 1907, Sutomo yang merupakan salah satu murid di STOVIA, bertemu dengan
Wahidin Sudirohusodo saat sedang melakukan penyebaran pemikiran nasionalisme di Jawa.
Tidak disangka, pertemuan mereka membuat Sutomo merasa tergugah untuk ikut
memperjuangkan hak bangsa Indonesia, yaitu mencapai kemerdekaan. Bersama dengan
Wahidin, Sutomo pun mendirikan organisasi Budi Utomo dan dipilih untuk memimpin
organisasi ini.
HOS Tjokroaminoto HOS Tjokroaminoto dikenal sebagai salah satu pejuang yang berani
melawan pemerintah kolonial Belanda. Ia kerap menyampaikan pidato untuk memacu
semangat patriotisme bangsa Indonesia dan gemar menuliskan kritik keras kepada pemerintah
Belanda. Karena aksinya tersebut, Tjokroaminoto pun dianggap sebagai ancaman oleh
Belanda. Selanjutnya, Tjokroaminoto menjadi salah satu pelopor gerakan serikat buruh di
Indonesia dan turut mencetuskan ide-ide politik.
Pada 1911, Haji Samanhudi mendirikan sebuah organisasi politik Islam bernama Sarekat
Dagang Islam, yang kemudian menjadi Sarekat Islam (SI). Tjokroaminoto diminta untuk
bergabung ke dalam organisasi ini. Awalnya, ia berperan sebagai komisaris, tetapi ia
kemudian dipilih untuk menjadi ketua organisasi. Semasa kepemimpinannya, SI tumbuh
menjadi organisasi yang besar.
Douwes Dekker
Douwes Dekker dikenal sebagai tokoh indo (keturunan Indonesia-Belanda), yang merintis
nasionalisme dengan mendirikan Indische Partij (IP) pada 1912. Alasan Dekker mendukung
rakyat pribumi adalah, saat itu ia melihat banyak sekali ketimpangan yang dilakukan Belanda
terhadap Indonesia. Sebagai bentuk dukungannya terhadap Indonesia, Douwes Dekker
mendirikan Indische Partij bersama dua rekan lainnya, yaitu Ki Hajar Dewantara dan Cipto
Mangunkusumo, atau biasa disebut Tiga Serangkai. Oleh karena itu, ia adalah tokoh
perjuangan kebangkitan nasional yang dikenal dengan Tiga Serangkai. Indische Partij, yang
mendapat respons positif dari keturunan indo, pribumi, maupun Tionghoa, dianggap
mengganggu keamanan oleh Belanda, sehingga dibubarkan pada 4 Maret 1913.
Cipto Mangunkusumo
Cipto Mangunkusumo adalah satu dari tiga pendiri Indische Partij yang memulai kariernya
sebagai seorang dokter pemerintah Belanda di Demak. Suatu ketika, Cipto melihat banyak
sekali ketidakadilan yang dilakukan Belanda terhadap rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, ia
kerap memberi kritik keras kepada Belanda lewat beberapa surat kabar, seperti De
Locomotief dan Bataviaasch Nieuwsblad. Karena tindakannya itu, Belanda memberhentikan
Cipto dari tugasnya sebagai dokter pemerintah Belanda. Setelah itu, ia bertemu dengan
Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara, yang kemudian bersama-sama mendirikan Indische
Partij.
Ki Hajar Dewantara
Soewardi Soerjaningrat atau yang akrab disapa Ki Hajar Dewantara pernah menjadi
wartawan dari beberapa surat kabar, seperti Sediotomo, Midden Java, dan De Express
Oetoesan Hindia. Ki Hajar Dewantara bersama dengan Cipto Mangunkusumo dan Douwes
Dekker mendirikan Indische Partij pada 1912. Setelah itu, peran tokoh kebangkitan nasional
ini adalah semakin aktif menuliskan beberapa kritik keras kepada Belanda. Salah satu kritik
Ki Hajar Dewantara yang terkenal adalah tulisan berjudul Als ik een Nederlander was, yang
berarti "Seandainya Saya Seorang Belanda." Kemudian ada juga tulisan lain yang
bertajuk Een voor Allen maar Ook Aleen voor Een, yang berarti "Satu untuk Semua, Tapi
Semua untuk Satu Juga."
BAB VII
Pendudukan Jepang di Indonesia
Sejarah mencatat, Jepang resmi mengambil-alih Indonesia dari Belanda setelah
penandatanganan Perjanjian Kalijati. Lantas, kapan tepatnya kedatangan Dai Nippon ke
Nusantara, apa tujuannya, dan bagaimana kronologinya? Perjanjian Kalijati yang diteken
tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati, dekat Subang, Jawa Barat. merupakan tanda resmi
menyerahnya Belanda kepada Jepang dalam Perang Asia Timur Raya atau yang menjadi
rangkaian dari Perang Dunia II. Lantaran Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang,
maka kekuasaan atas wilayah koloni mereka yakni Hindia Belanda alias Nusantara atau
Indonesia diserahkan kepada pemerintah militer Dai Nippon.
Penyebab Kedatangan Jepang ke Indonesia Sebenarnya, orang-orang Jepang memasuki
Indonesia sebelum menyerahnya Belanda tahun 1942. Tahun 1937 sedang terjadi krisis
ekonomi yang melanda dunia. Jepang ternyata berhasil mengantisipasi dampak buruk yang
diakibatkan oleh resesi global tersebut. Onghokham dalam Runtuhnya Hindia Belanda
(1987:30) menyebutkan bahwa Jepang termasuk salah satu negara yang mampu selamat dari
krisis moneter dunia. Hal ini berbeda dengan Hindia Belanda (Indonesia di bawah penjajah
kolonial Belanda). Maka, ketika krisis ekonomi melanda dunia, Jepang mampu bertahan
berkat strategi perekonomian mereka. Sebaliknya, perekonomian Hindia Belanda kian
terpuruk. Inilah yang menjadi jalan masuk awal Jepang ke wilayah Indonesia. Pada 1938-
1939, orang-orang Jepang masuk ke Indonesia untuk berinvestasi kepada pemerintah Hindia
Belanda. Selain itu, Jepang juga menjadi salah satu negara utama tujuan ekspor komoditas
dari Hindia Belanda yang didapat dari kekayaan alam Nusantara. Jepang pada waktu itu
menjadi pesaing negara-negara Eropa dalam perebutan pasar ekonomi. Situasi demikian,
membuat mereka mampu masuk ke Indonesia pada tahun 1938-1939 untuk berinvestasi
kepada pemerintah Hindia Belanda.
Tujuan Jepang Ingin Menguasai Indonesia Pada 1 September 1939, Perang Dunia II dimulai.
Jepang dan Belanda berada di kubu yang saling berhadapan: Jepang di blok fasisme bersama
Jerman dan Italia, sedangkan Belanda menjadi bagian dari Sekutu yang dimotori Amerika
Serikat dan Inggris. Situasi ini tentunya merugikan Jepang yang telah menanamkan investasi
di Indonesia serta mengimpor berbagai komoditas hasil alam dari Hindia Belanda. Atas hal
itulah Jepang kemudian mengincar Indonesia. Dengan demikian, tujuan awal Jepang atas
penguasaan terhadap Hindia Belanda adalah ingin menguasai kekayaan alam Nusantara untuk
kebutuhan perang dan industri. Jepang menjadi salah satu kekuatan penting dalam Perang
Dunia II. Bahkan, pada 7 Desember 1941, Jepang menyerang pangkalan militer Amerika
Serikat di Pearl Harbour, Hawaii.
Dikutip dari Sejarah Nasional Indonesia VI (1984) karya Marwati Djoened Poesponegoro
dan Nugroho Notosusanto, pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui Gubernur Jenderal
Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang. Jepang merespons
tantangan tersebut dengan mengirimkan pasukannya ke wilayah Tarakan, Kalimantan Timur,
pada 11 Januari 1942. Keesokan harinya, wilayah Tarakan berhasil diduduki Jepang yang
segera merembet ke wilayah-wilayah Indonesia lainnya, termasuk Maluku di kawasan timur.
Propaganda Jepang di Indonesia Setelah resmi menduduki Indonesia sejak 8 Maret 1942,
Jepang mulai menyusun pemerintahan demi melancarkan pendudukan mereka di Indonesia.
Selain itu, Dai Nippon juga melakukan aksi-aksi propaganda demi menarik simpati rakyat
Indonesia. Salah satu propaganda yang Jepang lakukan ialah membentuk Gerakan 3A, yaitu
Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Cahaya Asia. Abdulsalam
dalam Menudju Kemerdekaan (1964) menyebutkan bahwa gerakan 3A dibentuk oleh Jepang
diterapkan untuk membantu usaha peperangan mereka melawan Sekutu di Perang Dunia
Kedua. Selain Gerakan 3A, pemerintah militer Jepang juga menyebarkan berbagai
propaganda lainnya serta kegiatan-kegiatan dan membentuk deretan organisasi yang
melibatkan orang-orang Indonesia, seperti Pembela Tanah Air (PETA), Heiho, Seinendan,
Keibodan, Barisan Pelopor, dan masih banyak lagi.
Dengan pengumuman Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada dunia maka Indonesia telah
dinyatakan sebagai negara baru yang memiliki kedudukan yang sama dengan negara-negara
lain yang sudah melakukan Proklamasi Kemerdekaan. Bagi negara yang belum merdeka
maka pengumuman Proklamasi Kemerdekaan pada dunia adalah suatu impian yang sangat
didamba-dambakan.
Setiap negara punya sejarah sendiri untuk melakukan Proklamasi Kemerdekaan. Sama halnya
negara dan bangsa Indonesia yang di mana sejarah Proklamasi Kemerdekaannya
membutuhkan beberapa hal, seperti menggunakan rumah Laksamana Muda Maeda,
pemilihan naskah Proklamasi, dan lain-lain.
Namun, sebelum membahas tentang sejarah singkat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
sebaiknya kita kenali dulu apa arti dari “proklamasi kemerdekaan”. Dengan mengetahui
“proklamasi kemerdekaan” maka kita bisa merasakan rasa kemerdekaan pada suatu negara.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun
Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang (kōki) (17 Agustus Shōwa 20
dalam penanggalan Jepang itu sendiri), yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi
oleh Mohammad Hatta di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat.
Chairul Basri, yang bekerja pada kantor propaganda Jepang, disuruh mencari rumah yang
berhalaman luas. Rumah Pegangsaan Timur 56 milik orang Belanda ditukar dengan rumah
lain di Jalan Lembang. Jadi rumah itu memang disiapkan Jepang untuk Bung Karno. Chairul
tidak menyebut nama pemilik rumah itu. Saat diambil alih pemerintah Jepang untuk Sukarno,
rumah itu milik Mr. Jhr. P.R. Feith seperti disebut Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi
koran Sin Po dari 1925 sampai 1947, dalam Doea Poeloe Lima Tahon Sebagi Wartawan,
1922–1947 (1948).
Dari pemberitaan di koran Sin Po 5 Juli 1948 diketahui bahwa rumah tersebut merupakan
rumah bersejarah bagi bangsa Indonesia karena menjadi tempat diproklamasikannya
kemerdekaan. Rumah tersebut juga pernah dipakai sebagai rumah pertemuan. Belanda juga
pernah memfungsikan rumah tersebut sebagai rumah tawanan juga. Rumah itu pun berubah
lagi menjadi Gedung Republik. Hingga akhirnya pemiliknya yang orang Belanda menjualnya
seharga 250 ribu gulden (ƒ). Rumah ini akhirnya dibeli oleh pemerintah Indonesia. Begini
bunyi pemberitaan tersebut:
"Eigenaar (pemilik rumah) itoe roemah jang baroe sadja kombali dari Nederland telah
menetapken mendjoel miliknja dengen harga ƒ 250.000,- pada pemerentah repoeblik"
Dari sini belum ditemukan bukti keterkaitan antara pembelian rumah oleh pemerintah
Republik Indonesia di tahun 1948 dengan informasi sumbangan rumah Pegangsaan Timur 56
oleh Faradj Martak sebagaimana tertera di dalam surat Ir. M. Sitompoel, Menteri Pekerjaan
Umum dan Perhubungan, tanggal 14 Agustus 1950.
Proklamasi yang dibacakan dari rumah Pegangsaan Timur 56 tersebut menandai dimulainya
perlawanan diplomatik dan bersenjata dari Revolusi Nasional Indonesia, yang berperang
melawan pasukan Belanda dan warga sipil pro-Belanda, hingga Belanda secara resmi
mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.
Pada tahun 2005, Belanda menyatakan bahwa mereka telah memutuskan untuk menerima
secara de facto tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Namun,
pada tanggal 14 September 2011, pengadilan Belanda memutuskan dalam kasus pembantaian
Rawagede bahwa Belanda bertanggung jawab karena memiliki tugas untuk mempertahankan
penduduknya, yang juga mengindikasikan bahwa daerah tersebut adalah bagian dari Hindia
Timur Belanda, bertentangan dengan klaim Indonesia atas 17 Agustus 1945 sebagai tanggal
kemerdekaannya.[3] Dalam sebuah wawancara tahun 2013, sejarawan Indonesia Sukotjo,
meminta pemerintah Belanda untuk secara resmi mengakui tanggal kemerdekaan pada 17
Agustus 1945. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui tanggal 27 Desember 1949 sebagai
tanggal kemerdekaan Indonesia.
Naskah Proklamasi ditandatangani oleh Sukarno (yang menuliskan namanya sebagai
"Soekarno" menggunakan ortografi Belanda) dan Mohammad Hatta, yang kemudian ditunjuk
sebagai presiden dan wakil presiden berturut-turut sehari setelah proklamasi dibacakan.
Hari Kemerdekaan dijadikan sebagai hari libur nasional melalui keputusan pemerintah yang
dikeluarkan pada 18 Juni 1946.
Latar Belakang
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang
oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh
dunia. Sehari kemudian, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (disingkat
BPUPK; Jepang: 独立準備調査会, Dokuritsu Junbi Chōsa-kai), berganti nama
menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (disingkat PPKI; Jepang: 独立準備委員
会, Dokuritsu Junbi Iin-kai), untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai
kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di
atas Nagasaki, yang menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya.
Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno dan Hatta selaku pimpinan PPKI serta Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan
ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam, untuk
bertemu Marsekal Hisaichi Terauchi, pimpinan tertinggi Jepang di Asia Tenggara dan putra
mantan Perdana Menteri Terauchi Masatake. Mereka bertiga dikabarkan bahwa pasukan
Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar
berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah
bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan menolak bentuk kemerdekaan
yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam,
mengatakan kepada Soekarno, Hatta, dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat
dilaksanakan dalam beberapa hari, berdasarkan tim PPKI. Meskipun demikian, Terauchi
menginginkan proklamasi diadakan pada 24 Agustus 1945. Dua hari kemudian, saat
Soekarno, Hatta, dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar
Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di
Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan demi
menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta
menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa
Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan
pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat fatal jika para pejuang Indonesia belum
siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan
kemerdekaan karena itu adalah hak PPKI. Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah
badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari
Jepang.
Pada tanggal 2 September 1945 Jepang secara resmi menyerah kepada Sekutu di kapal USS
Missouri.[18] Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang
berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir,
Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah
mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua
untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin
terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat
proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak
menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang.
Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh
konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Namun, kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Achmad Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana
Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol 1). Maeda
menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat
dan menjawab bahwa ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari
Tokyo. Sepulang dari tempat Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan
PPKI pada pukul 10.00 pagi tanggal 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon
No. 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi
Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh
Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI
pada 16 Agustus pukul 10.00 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak
muncul.
Peristiwa Rengasdengklok
“ Saudara-saudara sekalian,
Saya telah minta saudara-saudara hadir disini untuk menyaksikan satu peristiwa
mahapenting dalam sejarah kita.
Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjoang, untuk kemerdekaan tanah
air kita bahkan telah beratus-ratus tahun! Gelombang aksi kita untuk mencapai
kemerdekaan kita itu ada naiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke
arah cita-cita.
Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekan nasional
berhenti-hentinya. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan
diri kepada mereka, tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga sendiri, tetapi
kita percaya kepada kekuatan sendiri.
Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil sikap nasib bangsa dan nasib
tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil
nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.
Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarat dengan pemuka-pemuka
rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat
bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah
proklamasi kami:
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain
diselenggarakan
dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Djakarta, 17 Agustus 1945
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.
Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada suatu ikatan
lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun
negara kita!
Negara merdeka, negara Republik Indonesia! Merdeka, kekal, abadi! Insya Allah
Tuhan memberkati kemerdekaan kita ini
Aksi ini berlangsung pada malam hari, 19 September 1945 atau sehari setelah kedatangan
pasukan Sekutu dan Belanda yang tergabung dalam aliansi (Allied Forces Netherlands East
Indies). Mereka menempati Hotel Yamoto di Jalan Tanjungan No. 56 tanpa adanya izin dari
karesidenan Surabaya, bahkan juga mengibarkan bendera Belanda. Melihat kondisi tersebut,
keesokan harinya warga Surabaya memenuhi Hotel Yamoto dan mengecam tindakan Belanda
tersebut karena dinilai telah menghina kemerdekaan Indonesia. Mewakili Residen Surabaya,
Sudirman bersama Sidik dan Hariyono memasuki Hotel Yamoto untuk meminta Ploegman
(Pimpinan AFNEI) untuk menurunkan bendera. Namun, permintaan tersebut ditolak dan
memicu perkelahian yang menyebabkan Ploegman dan Sidik Terbunuh, sedangkan Sudirman
dan Hariyono berhasil meloloskan diri.