Anda di halaman 1dari 9

Judul Buku : Filsafat Manusia ( Memahami Manusia Melalui Filsafat)

Penulis : Zainal Abidin


Penerbit : PT Remaja Rosdakarya
Kota : Bandung
Tahun Terbit : Oktober 2000
Jumlah Halaman : 241

Nama : Afiffi Rika Wibowo


NIM : A73218044
Class : B
Prodi : Sastra Inggris
Sebuah Pendahuluan
Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Manusia
Filsafat manusia atau antropologi filsafati adalah bagian integral dari sistem filsafat, yang secara
spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Dibandingkan dengan ilmu-ilmu tentang manusia
(human studies), filsafat manusia mempunyai kedudukan yang kurang lebih “sejajar” juga, terutama
kalau dilihat dari objek materialnya. Objek material filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia
(misalnya psikologi dan antropologi) adalah gejala-gejala manusia. Baik filsafat manusia maupun ilmu-
ilmu tentang manusia, pada dasarnya bertujuan untuk menyelidiki, mengin-terpretasi, dan memahami
gejala-gejala atau ekspresi-ekspresi manusia.
Akan tetapi, ditinjau dari objek formal atau metodenya, kedua jenis “ilmu” tersebut, memiliki
perbedaan yang sangat mendasar. Secara umum dapat dikatakan, bahwa setiap cabang ilmu-ilmu
tentang manusia mendasarkan penyelidikannya pada gejala-gejalan empiris, yang bersifat “objektif”
dan bisa diukur dan gejala itu kemudian diselidiki dengan menggunakan metode yang bersifat
observasional dan/atau eskperimental. Sebaliknya, filsafat manusia tidak membatasi diri pada gejala
empiris. Bentuk atau jenis gejala apapun tentang mansuia, sejauh bisa dipikirkan, dan memungkinkan
untuk dipikirkan secara rasional bisa menjadi bahan kajian filsafat manusia.
Dan karena apa yang bisa dipikirkan jauh lebih luas daripada apa yang bisa diamati secara empiris,
maka pengetahuan atau informasi tentang gejala manusia di dalam filsafat manusia, pada akhirnya, jauh
lebih ekstensif (menyeluruh) dan intensif (mendalam) daripada informasi atau teori yang didapatkan
oleh ilmu-ilmu tentang manusia.
Filsafat Manusia dan Ilmu-Ilmu Tentang Manusia
Secara sempit dapat dijelaskan bahwa, ilmu-ilmu tentang manusia adalah suatu ilmu yang membatasi
diri pada penyelidikan terhadap gejala-gejala empiris dan penggunaan metode yang bersifat
observasional dan atau eksperimental. Ilmu-ilmu tentang manusia hanya bersangkut-paut hanya dengan
aspek-aspek atau dimensi-dimensi tertentu dari manusia, yakni sejauh yang tampak secara empiris dan
dapat diselidiki secara observasional dan/atau eksperimental. Aspek-aspek atau dimensi-dimensi di luar
pengalaman indrawi, yang tidak dapat diobservasi dan/atau dieksperimentasi, tidak mendapat tempat di
dalam ilmu. Oleh karena itu, ilmu-ilmu tentang manusia tidak dapat menjawab pertanyaan mendasar
tentang manusia, seperti: Apakah esensi atau hakikat manusia itu bersifat material atau spiritual?
Siapakah sesungguhny manusia itu dan bagaimana kedudukannya di dalam semesta raya yang maha
luas ini? Apakah arti, nilai, atau makna hidup manusia itu? Dan masih banyak pertanyaan mendasar
lainnya.
Berbeda dengan ilmu-ilmu tentang manusia, filsafat manusia mencapai visi menyeluruh dan rasional
tentang (hakikat) manusia, juga berkenaan dengan totalitas dan keragaman aspek-aspek yang terdapat
pada manusia secara universal.
Ciri-Ciri Filsafat Manusia
Ciri-ciri filsafat secara umum, yakni yang bercirikan ekstensif, intensif, dan kritis. Ciri ekstensif
dapat kita saksikan dari luasnya jangkauan atau menyeluruhnya objek kajian yang digeluti oleh filsafat
ini. Ciri lain dari filsafat manusia adalah intensif (mendasar). Filsafat adalah kegiatan intelektual yang
hendak menggali inti, hakikat (esensi), akar, atau struktur dasar, yang melandasi segenap kenyataan.
Ciri kritis filsafat manusia berhubungan dengan dua metode yang dipakainya (sintesa dan refleksi) dan
dua ciri yang terdapat di dalam isi atau hasil filsafatnya (ekstensif dan intensif).
Manfaat Mempelajari Filsafat Manusia
Filsafat manusia menyoroti gejala dan kejadian manusia secara sintesis dan reflektif, dan memiliki
ciri-ciri ekstensif, intensif dan kritis. Maka dengan mempelajari filsafat manusia berarti kita dibawa ke
dalam suatu panorama pengetahuan yang sangat luas, dalam, dan kritis, yang menggambarkan esensi
manusia.
Manfaat lainnya mempelajari filsafat manusia adalah mencari dan menemukan jawaban tentang
siapakah sesungguhnya manusia itu. Meskipun filsafat manusia tida menawarkan jawaban yang tuntas
(final) dan seragam tentang manusia, maka paling tidak kita akan dapatkan sebuah pelajaran berharga
tentang kompleksitas manusia, yang tidak pernah habis-habisnya dipertanyakan apa makna dan
hakikatnya.

Kedudukan Manusia dalam Humanisme, Filsafat Humanistik, dan Ilmu-ilmu


Humanistik
Humanisme sering diartikan sebagai paham di dalam filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan
martabat manusia sedemikian rupa sehingga manusia menempati posisi yang sangat sentral dan penting.
Gerakan humanisme muncul pada zaman ketika kaum humanis ingin melepaskan diri dari belenggu
kekuasaan gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Humanisme hendak
menjadikan manusia sebagai ukuran dari segenap penilaian, kejadian, dan gejala di atas muka bumi ini.
Para ilmuwan humanis yang mengkaji ilmu-ilmu humanistik telah menetapkan satu hal yang
tampaknya menjadi trade mark mereka, yakni: manusia yang menjadi “objek” telaah ilmu-ilmu mereka,
diperlakukan secara hormat sebagai “subjek”. Maka sah saja bagi kita untuk mendefinisikan ilmu-ilmu
humanisti sebagai ilmu-ilmu yang menempatkan manusia sebagai subjek, sedemikian rupa sehingga
manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaannya.

Pertarungan antara Jiwa dan Tubuh pada Manusia: Rene Descartes (1596-1650)
Tubuh, seperti halnya benda-benda fisik lainnya, terdiri dari partikel-partikel yang bergerak dan
memiliki keluasan. Jiwa, yang esensinya adalah kesadaran dan berpikir, keberadaannya tidak
bergantung pada ruang dan waktu karena ia merupakan “substansi” yang immaterial atau bukan-fisik.
Lebih jauh dikatakan oleh Descartes, bahwa jiwa secara sadar kadang-kadang menolak atau mengubah
respons-respons tubuh. Namun, hal itu tidak selalu berhasil.
Descartes beranggapan bahwa konflik-konflik demikian tidak pernah terjadi dalam jiwa itu sendiri,
melainkan selalu tejadi antara jiwa terhadap tubuh. Bagi descartes jiwa adalah terpadu, rasional, dan
konsisten, tetapi juga terbatas kekuatannya dalam menghadapi tubuh, yang seringkali sukar
dikendalikan. Demikian bahwa persaingan atau pertarungan antara tubuh dan jiwa tidak lain adalah
esensi dari kondisi manusia yang sebenarnya.

Esensi Manusia adalah Kehendak Buta: Berkenalan dengan Filsafat Arthur


Schopenhauer [1788-1868]
Kehendak Sebagai Kejahatan
Jika dunia merupakan kehendak, maka dunia adalah dunia penderitaan. Alasannya, kehendak
mengisyaratkan keinginan, dan apa yang diinginkan selalu lebih besar dan lebih banyak daripada apa
yang diperoleh. Keinginan selalu tidak berhingga, sedangkan pemenuhannya selalu terbatas. Nafsu-
nafsu yang terlampiaskan lebih sering membawa ketidakbahagiaan daripada kebahagiaan. Keinginan
yang terpenuhi menciptakan atau mengembangkan keinginan baru yang lebih besar, dan demikian
seterusnya tanpa ada batasnya.
Manusia adalah makhluk yang berkehendak, adalah alamiah kalau manusia mengejar sesuatu yang
gampang dipertukarkan dengan benda-benda atau barang-barang lain, karena akan bisa mempermudah
kehidupan. Hanya saja kehidupan yang sepenuhnya dicurahkan untuk mengejar kekayaan pada
prinsipnya adalah kehidupan yang tidak berguna. Mengejar kepuasan indrawi tidak akan memberikan
kenikmatan untuk jangka panjang.

Kehendak untuk Berkuasa dan Manusia Unggul: Friedrich Nietzsche[1844-1900]


Bagi Nietzsche, hidup adalah perjuangan untuk bereksistensi—di mana organisme yang paling pantas
untuk hiduplah yang berhak untuk melangsungkan kehidupannya—maka kekuatan adalah kebajikan
yang utama dan kelemahan adalah keburukan yang memalukan. Hidup adalah medan laga tempat
seluruh makhluk bertarung agar bisa terus melangsungkan hidupnya. Dan dalam pertarungan yang kita
namakan kehidupan itu, kita tidak memerlukan kebaikan melainkan kekuatan; yang dibutuhkan dalam
hidup bukanlah kerendahan hati melainkan kebanggan diri; bukan altruisme, melainkan kecerdasan
yang amat tajam.
Energi, intelek, dan kehormatan atau kebanggaan diri—ini semua membuat Manusia Unggul. Hal
yang terbaik adalah mendisiplinkan diri, berbuat keras terhadap diri sendiri. “Manusia yang tidak ingin
jadi komponen massa, berhentilah memanjakan diri sendiri.” Kita harus keras pada orang lain, tetapi
terutama pada diri kita sendiri; kita harus mempunyai tujuan dalam menghendaki apa saja, kecuali
berkhianat kepada teman sendiri –itulah tanda kemuliaan, rumus akhir Manusia Unggul.

Dari Manusia Mistis ke Manusia Ilmiah: Perkembangan Akal Budi Manusia


Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte [1798-1857]
Istilah positivisme didefinisikan sebagai salah satu paham daam filsafat Barat yang hanya mengakui
(dan membatasi) pengetahuan yang benar kepada fakta-fakta positif, dan fakta-fakta tersebut harus
didekati dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan, yakni eksperimentaso, observasi, dan
komparasi. Fakta positif adalah fakta yang sungguh-sungguh nyata, pasti, berguna, jelas, dan yang
langsung dapat diamati dan dibenarkan oleh setiap orang yang mempunyai kesempatan sama untuk
mengamati dan menilainya. Oleh Comte, fakta itu dilawankan dengan kejadian yang bersifat khayal,
meragukan, ilusi, dan kabur.
Tahap-Tahap Perkembangan Akal Budi Manusia
1. Tahap Teologis
Pada tahap ini manusia berusaha menerangkan segenap fakta/kejadian dalam kaitannya dengan teka-
teki alam yang dianggapnya berupa misteri. Manusia tidak menghayati dirinya sebagai makhluk luhur
dan rasional, yang posisinya di dalam alam berada di atas makhluk-makhluk lain. Sebaliknya, ia
menghayati dirinya sebagai bagian dari keseluruhan alam. Tahap perkembangan ini bisa kita jumpai
pada manusia-manusia purba. Alam semesta, oleh mereka, dimengerti terdiri dari makhluk-makhluk
yang mempunyai kedudukan yang kurang lebih setara dengan mereka.
Bentuk pertama cara berpikir pada tahap ini disebut fetiyisme dan animisme. Manusia tidak mengerti
konsep-konsep abstrak: benda-benda tidak dimengerti dalam bentuk konsep umum, tetapi sebagai
individual dan singular. Benda-benda lain pun, seperti halnya manusia, mempunyai roh atau jiwanya
sendiri: keris, batu cincin, kereta kencana, rumah kuno, desa,dan lain sebagainya mempunyai roh dan
kepribadiannya sendiri-sendiri.
2. Tahap Metafisis
Pada tahap ini manusia mulai mengadakan perombakan atas cara berpikir lama, yang dianggapnya tidak
sanggup lagi memenuhi keinginan manusia, untuk menemukan jawaban memuaskan tentang kejadian
alam semesta. Mereka tidak puas hanya dengan mencari pengertian-pengertian umum, tanpa dilandasi
oleh pemikiran-pemikiran dan argumentasi-argumentasi logis. Untuk tujuan itu, dogma agama mulai
ditinggalkan dan kemampuan akal budi mulai dikembangkan.
3. Tahap Positif
Tahap metafisis pada dasarnya merupakan tahap peralihan saja dari cara berpikir lama (teologis) ke
cara berpikir baru dan final, yakni cara berpikir positif. Pada tahap positif, gejala dan kejadian alam
dijelaskan berdasarkan pada observasi, eksperimen dan komparasi yang ketat dan teliti. Gejalan dan
kejadian alam harus dibersihkan dari muatan teologis dan metafisisnya. Akal pun tidak lagi beriorientasi
pada pencarian sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan. Mulai sekarang akal mencoba
mengobservasi gejala dan kejadian secara empiris dan hati-hati untuk menemukan hukum-hukum yang
mengatur (menjadi sebab musabab timbulnya) gejala dan kejadian itu. Hukum-hukum yang ditemukan
tidak lagi bersifar irrasional atau kabur, melainkan nyata dan jelas karena sumbernya diperoleh secara
langsung dari gejala-gejala dan kejadian-kejadian positif, yang dapat dialami oleh setiap orang. Hukum-
hukum ini bersifat pasti dan dapat dipertanggungjawabkan.

Eksistensi Manusia Sebagai Makhluk Subjektif dan Individual: Soren Aabye


Kierkegaard[1913-1855]
Kierkegaard pernah mengkritik pendekatan filsuf Hegel dalam mengamati sejarah perkembangan
ide manusia. “Hegel” demikian kritik Kierkegaard lewat sebuah tamsil, “....mengira dirinya sebagai
penonton sebuah pertunjukkan teater dunia. Ia hanya mengamati dan memberi komentar di sana-sini
atas kejadia-kejadian historis, yang terjadi di atas pentas teater itu.” Padahal, segenap manusia
(termasuk Hegel sendiri, tentu saja) adalah aktor yang langsung maupun tidak langsung, mengambil
peran atau bagian penting di dalam setiap alur cerita yang dimainkannya dalam pertunjukkan itu. Lewat
tamsil itu yang hendak dikatakan oleh Kierkegaard adalah bahwa setiap individu pada asasnya (harus)
mempunyai keterlibatan dan komitmen tertentu pada setiap peristiwa yang dilihat atau dialaminya,
sehingga ia tidak bisa hanya berperan sebagai seorang pengamat objektif, melainkan sekaligus adalah
seorang aktor yang berperan aktif dalam setiap apa yang dilihat atau dialaminya itu.
Kierkegaard mempunyai pandangan yang khas eksistensialis, bahwa manusia pada prinsipnya adalah
individu. Individu adalah identik dengan kebebasan. Setiap manusia –setiap individu—
mengkonstitusikan (menciptakan) diri dan dunianya melalui pilihan bebas, yang dipilih dan diputuskan
sendiri oleh manusia –individu— itu sendiri. Terlepas dari hambatan-hambatan dari luar dirinya sendiri,
eksistensi aktual seorang individu adalah eksistensi yang bersumber dari satu inti, yakni eksistensi
dirinya. Realitas dari luas dirinya boleh mempunyai pengaruh besar atas individu itu, tetapi sumber
keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, terletak pada diri individu
itu sendiri. Individu itulah yang menjadi kata kunci atau penentu dalam mengatakan “ya” atau “tidak”
untuk suatu perbuatan tertentu.

Struktur Kesadaran Manusia dalam Cahaya Fenomenologi Transendental:


Edmund Husserl[1859-1938]
Filsafat Sebagai Ilmu Rigorous
Perlunya filsafat sebagai ilmu rigorous sangatlah urgen. Kita memerlukan ilmu yang mampu
menanggulangi “krisis ilmu-ilmu di Eropa.” Karena Eropa sedang mengalami “krisis ilmu
pengetahuan”. Menanggulangi “krisis ilmu pengetahuan” adalah diluar wewenang ilmu, karena ia
bersifat meta ilmu. Ilmu tidak berbicara tentang dirinya sendiri; ia harus tutup mulut manakala dirinya
menjadi bahan perbincangan. Filsafatlah yang harus tampil ke muka. Filsafat yang mengemban tugas
seperti itu ialah filsafat sebagai ilmu yang rigorous, yakni fenomenologi.
Kembali Kepada Realitasnya Sendiri
Yang terkenal dari ajaran filsafat Husserl adalah “kembali kepada benda atau realitasnya sendiri”. Pada
mulanya apa yang disebut dengan “realitasnya sendiri” adalah realitas dalam arti yang “sebenarnya”,
yakni realitas yang bersifat objektif (objek). Ia menyebutnya ‘Wende zum gegenstand’ (“Kembali
kepada objek”). Namun, dalam proses menggali sumber pada objek itu, ia menyadari akan dominasi
subjek dalam memberi bentuk dan nilai pada objek. Ia menemukan fakta bahwa sumber yang asli
(“realitasnya sendiri”) bukan terdapat pada objek, melainkan pada subjek. Oleh sebab itu “kembali
kepada objek” pada akhirnya menjadi “kembali kepada subjek”.
Esensi Kesadaran dan Aktivitas-aktivitasnya
Husserl menemukan esensi kesadaran yang disebut intensionalitas. Ada empat aktivitas yang melekat
dalam kesadaran yaitu objektifikasi, identifikasi, korelasi, dan konstitusi.

Manusia Sebagai Ada-Dalam-Dunia: Martin Heidegger[1889-1976]


Heidegger tidak mau mengikuti ajaran Husserl yang “kembali kepada subjek”. Menurutnya, kembali
kepada subjek sambil melupakan objek berarti mengulang kesulitan yang sama seperti yang dihadapi
oleh idealisme. Dalam idealisme subjek ditempatkan sebagai sentral atau pusatnya dunia, menjadi asal-
usul terciptanya dunia. Namun bagaimana dunianya sendiri menciptakan subjek, luput dari perhatian
idealisme. Yang justru menarik perhatian Heidegger adalah sebuah realitas yang lain, realitas yang
bukan murni objek dan bukan pula murni subjek, melainkan sintesis dari subjek dan objek. Sintensis
dari subjek dan objek itu adalah berupa “dunia-manusia”, yang oleh Heidegger disebut Ada-dalam-
dunia (in-der-wwelt-sein).
Jalan yang pertama-tama harus ditempuh untuk memahami manusia, bukanlah mengamati struktur
kesadaran Subjek Transendetal (seperti halnya dalam idealisme Husserl), atau mengukur lingkungan
alam sebagai objek “di luar” manusia (seperti naturalisme dan atau positivisme). Jalan yang harus
ditempuh adalah memahami realitas dunia manusia sendiri, “tempat” manusia menciptakan diri dan
dunianya serta diciptakan oleh diri dan dunianya itu. “Krisis ilmu pengetahuan,” seperti yang diisukan
Husserl, sebetulnya ebih bisa dicari sumber dan alternatif solusinya di dalam realitas Ada-dalam-dunia.

Konflik Eksistensial Manusia yang Tidak Pernah Terdamaikan: Jean Paul


Sartre[1905-1980]
Meski tidak menyebut dirinya sebagai seorang fenomenolog, Sartre mengaku pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh fenomologi Husserl dan Heidegger. Sartre melihat dua hal penting dari fenomologi
Husserl. Pertama, perlunya menempatkan kesadaran sebagai titk tolak untuk kegiatan atau penyelidikan
filsafat. Kedua, pentingnya filsafat untuk “kembali kepada realitasnya sendiri” (Zu den sachen selbst).
Dua Tema Utama Filsafat Sartre: “Kebebasan” dan “Ada”
Sartre merumuskan seluruh usaha filsafatnya dalam suatu kalimat pendek, yaitu: “merekonsiliasikan
(mendamaikan) subjek dengan objek.” Usaha ini di dorong pengalaman fundamental Sartre tentang
kebebasan (diri sebagai subjek) dan tentang benda (objek). Kedua pandangan ini, dalam pandangan
sartre merupakan simbol kondisi manusia (yang di satu pihak) mengalami dirinya sebagai makhluk
bebas, tapi (di lain pihak) selalu dihadapkan pada kuasa atau daya tarik benda.
Terdapat perbedaan yang mencolok antar Heidegger dengan sartre dalam mengartikan istilah
“eksistensi”. Menurut sartre “eksistensi mendahului esensi.” Yang berarti bahwa “ esensi” (atau
karakter) manusia adalah hasil dari perbuatan bebas manusia. Oleh sebab itu, ia menggunakan istilah
“eksistensi”, untuk menunjuk pada kesadaran konkret manusia dalam aktivitas bebasnya. Sebaliknya,
heidegger “eksistensi” dihubungkan dengan temporalitas, terutama dimensi masa depan. Olehnya,
eksistensi didefinisikan sebagai “kemungkinan mengadanya manusia, untuk menjadi dirinya sendiri
yang otentik (atau sebaliknya, tidak otentik)”.
Peranan fenomenologi dalam perkembangan pemikiran sartre
1. Periode prafenomenologis Kebebasan (manusia) dan Ada tidak dapat dipadukan atau
direkonsiliasikan. Masing-masing mempunyai cara beradanya sendiri; masing-masing
mempunyai karakteristiknya sendiri. Sehingga, tanpa ragu-ragu lagi Sartre memandang manusia
sebagai “nafsu yang tidak berguna”, sebagai “gairah yang sia-sia” (man is a useless passion).
2. Periode psikologi Fenomenologis Pada periode psikologi fenomenologis, pendekatan dan
inteprestasi Sartre atas masalah kebebasan dan Ada, bukan saja lebih “ilmiah” dan konkret,
tetapi juga mulai bebas dari pesimisme yang muram dan pikiran yang masih diliputi
kekaburan. Studi sartre tentang emosi menghasilkan kesimpulan bahwa emosi mempunyai
makna, karena emosi merupakan perilaku yang berlandaskan pada pilihan-pilihan, pada motif-
motif, dan pada harapan-harapan tertentu. Emosi menurut Sartre “bukan merupakan peristiwa
pasif dalam kesadaran, melainkan kesadaran secara spontan.” Melalui emosi, kesadaran
berusaha mencapai sasarannya secara “magis”, yakni dengan cara melarikan diri dari realitas.
Imajinasi yang dirumuskan Sartre sebagai “tindakan menarik diri dari kenyataan kausal,”
mempunyai makna, karena ditujukan untuk melepaskan diri dari determinisme Ada. Hal itu
tampak dari fungsi negatif atau tindakan “menidak” pada kenyataan, yang bersumber dari
imajinasi. Fungsi negatif dari imajinasi disebabkan oleh fakta, bahwa ia merupakan fungsi dari
kesadaran, yang tidak bisa dimasukkan ke dalam kenyataan kausal. Imajinasi dapat
membebaskan diri dari kausalitas dan “berpetualang” secara tidak berhingga.
3. Periode ontologi fenomenologis Periode ini terbit mulai terbitnya ada dan tiada(L’etre et le
neant) pada tahun 1943. Anak judul buku ini adalah “uraian tentang ontologi fundamental”,
secara eksplisit menunjukan tema atau sasaran yang hendak diselidikinya. Sartre kini relatif
lebih siap memecahkan persoalan tentang Ada dan kesadaran-bebas, dan menghubungkan kedua
persoalan tersebut dalam suatu sintesis baru. Fenomenologis dipandang mampu menjalankan
tugas itu. Yang menarik pada buku itu adalah adanya perpaduan baru antar ontologi (yang
dihubungkan oleh Sartre dengan gejala “aneh” seperti pengalaman tatapan, anomali seks, rasa
mual dan sebagainya) dengan berbagai bentuk baru psikoanalisis yang kemudian disebut
psikoanalisis eksistensial.
4. Periode eksistensialisme fenomenologis Pandangan yang semula muram tentang manusia, kini
menunjukkan tanda optimistik. Manusia tidak lagi dipandang sebagai “gairah yang sia-sia”
melainkan dipandang sebagai “anugerah”. Tulis sartre dalam naskah ceramah “menjadi manusia
tidak lain adalah suatu anugerah, suatu berkah yang luar biasa , hanya jika manusia itu sendiri
mengakui kebebasan yang absolut dan pertanggungjawaban yang menyeluruh.”
Yang juga berubah adalah pandanganya tentang hidup bersama ( Autrui) atau relasi antar
manusia. Dasar dari perhubungan antar manusia tidak lagi di interprestasikan sebgai konflik
melainkan ‘’kebersamaan’’. Dan inipun adalah priode ketiaka ia terlibat aktif dalam kegiatan-
kegiatan politik internasional, dan ketika exsistensialisme dipandang sebagai filsafat yang
mempunyai komitmen politik. dalam periode ini ‘’pembebasan’’ exsitensi manusia bukan lag
dengan cara berlindung dibawah naungan keindahan dan penciptaan artistik, melainkan dalam
bentuk perjuangan sosial dan komitmen yang tinggi pada refolusi sosial kaum proletar.

Manusia dalam Kungkungan Struktural: Berkenalan dengan Strukturalisme

Pada tahun 1966 sebuah majalah sastra terkenal Perancis, memuat sebuah kartun yang sangat menarik
perhatian. Kartun tersebut menggambarkan empat pemikir strukturalis –yakni, Claude Levi-Strauss,
Roland Barthes, Michel Foucault, dan Jacques Lacan— sedang duduk di bawah pohon-pohon tropis,
mengenakan rok berumbai dan gelang-gelang kaki terbuat dari rerumputan. Kartun tersebut
menggambarkan bahwa keempat tokoh tersebut sangat terkenal dalam alirannya yang dinamakan
strukturalisme. Kendati sangat populer, namun akan sangat tidak bijaksana kalau kita terpaku pada
kehadiran gambar yang bersifat kelakar itu.
Penulis telah memilih momennya dengan sangat tepat sehingga mendapat pengaruh yang cukup
besar, momennya paling tidak ada dua hal. Pertama, oleh kemunduran eksistensialisme Perancis, yang
setelah Perang Dunia Kedua merajai dunia intelektual di Perancis. Kedua, terkecuali marxisme, yang
masih tetap merupakan pilihan yang banyak diminati para Cendikiawan Perancis, nyaris tidak ada lagi
gerakan ideologis yang patut diperhitungkan pada saat itu. Keempat tokoh strukturalisme itu terkenal
memiliki kepribadian-kepribadian yang bijaksana. Sehingga sejarahnya intelektual Perancis dengan
jalan mana ide-ide yang sejak semula terpencar-pencar dan agak heterogen, ini mulai terbentuk dalam
satu kesatuan yang koheren.

Strukturalisme adalah sebuah metode penyelidikan, suatu cara pendekatan yang khas, dan (seperti
yang selalu dibanggakan oleh para strukturalis) suatu cara menguraikan data-data yang tengah
diselidiki. Strukturalisme muncul secara tiba-tiba pada tahun 1960-an di Perancis, tapi dasar-dasarnya
sudah ada beberapa tahun lebih awal di luar Perancis. Apa yang terjadi di Perancis pada tahun 1960
adalah bahwa alat kognitif yang menjemukan itu, diubah ke dalam bentuk sebuah slogan strukturalisme
dan kemudian menjadi sangat menarik dan menggairahkan untuk pertama kalinya tercipta suatu mode
intelektual yang kehilangan rasa keseimbangannya. Tujuannya adalah membentangkan karya-karya
dari lima pemikir Perancis yang dikenal luas, yang berhubungan strukturalisme dan tujuan dari
pendahuluannya, di ujung lainnya tak seorang pun diantara empat pemikir merasa bahagia diberi cap
strukturalisme.

Berikut ini adalah cara memisahkan lima pemikir tersebut ke dalam dua kategori yang terpisah. Levi
–strauss dan lacan adalah dua pemikir universalist: kedua-duanya bersangkut paut bukan dengan
berkerjanya pikiran-pikiran manusia pada individu-individu tertentu dan pada waktu-waktu tertentu
melainkan berkenaan dengan berkerjanya pikiran manusia pada manusia. Sebaliknya, bartes, foueault,
dan derrida tampil sebagai tiga orang realis yang bergelut dengan dimensi historis pemikiran, evolusi
pemikiran waktu, dan implikasi-implikasi dari pemikiran-pemikiran tersebut bagi masyarakat tertentu.

Rasio Manusia dan Modernitas dalam Narasi Posmodernisme


Modernisme
Apakah modernisme? Tergantung dari mana dan sebagai apa, kita menafsirkannya. Dalam perspektif
seorang posmodernis yang berasal dari tradisi filsafat, modernism bisa disebut sebagai semangat (elan)
yang diandaikan ada pada (dan menyemangati) masyarakat intelektual sejak zaman renaissance (abad
ke-18) hingga paruh pertama abad ke-20. Sehingga rasio dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki
oleh manusia untuk memahami realitas; untuk membangun ilmu pengetahuan dan teknologi, moralitas,
dan estetika; untuk menentukan arah hidup dan perkembangan sejarah; untuk memecahkan persoalan-
persoalan ekonomi; untuk mengendalikan system social, politik, dan budaya; dan seterusnya.
Pengakuan atas kekuatan rasio dalam segenap aktivitas manusia, berarti pengakuan atas harkat dan
martabat manusia. Karena, manusia adalah makhluk yang memiliki rasio paling sempurna disbanding
makhluk-makhluk lainnya yang ada di dunia. Dalam perspektif seorang pomodernis yang banyak
bergelut dengan masalah epistemology, modernism bisa diartikan sebagai semangat untuk mencari dan
menemukan kebenaran asasi, kebenaran esensial, kebenaran universal.
Posmodernisme
Melalui suatu pembacaan atau strategi yang disebut dekonstruksi, para posmodernis coba
menganalisa dan menafsirkan secara kritis narasi-narasi agung modernisme. Bentuk “pembacaan” yang
kerap kali disalahpahami ini, perlu dijelaskan terlebih dulu makna asalnya, agar bisa ditangkap makna
yang sebenarnya. Salah paham tentang dekonstruksi berarti salah paham tentang posmodernisme.
Dalam banyak diskusi dan perbincangan tentang posmodernisme, kerapkali ditemukan kesalahpahaman
dalam menafsirkan istilah dekostruksi itu dan, dengan demikian, berarti kesalahpahaman dalam
menangkap esensi posmodernisme.
Penutup
Apa atau siapa itu posmodernisme? Para posmodernis sendiri tidak memberikan rumusan definitive
tentang isme yang “dianutnya” itu. Akan tetapi, agar kita terhindar dari ada di dalam benak sebagian
anggota masyarakat intelektual kita terhadap suatu isme yang dianggapnya “baru” dan ‘tidak
konvensional’, maka ada baiknya kita mengutip pernyataan tokoh utamanya, Jean Francois Lyotard
(dalam bukunya yang terkenal: The Postmodern Condition) tentang “kegunaan pengetahuan
postmodern”:
Postmodern knowledge is not simply a tool of the authorities; it refines our sensitivity to
differences and reinforces our ability to tolerate the incommensurable. Its principle is not the
expert’s homology, but the invertor’s parology.”

Anda mungkin juga menyukai