Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN

“HAKEKAT MANUSIA, DAN


ALIRAN-ALIRAN DALAM MATEMATIKA”

OLEH
JOHANIS S. LAKUSA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara faktual, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia
dan untuk manusia. Itulah mengapa pembicaraan tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari
pembicaraan tentang manusia. Para ahli telah mengemukakan berbagai pendapat tentang
pendidikan, pada umumya mereka sepakat bahwa pendidikan itu diberikan atau diselenggarakan
dalam rangka mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan ke arah yang positif (Dardiri,
2010). Kegiatan pendidikan merupakan kegiatan yang melibatkan manusia secara penuh,
dilakukan oleh manusia, antar manusia, dan untuk manusia. Dengan demikian berbicara tentang
pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang manusia. (Khasina, 2013).
Socrates mengatakan bahwa belajar yang sebenarnya adalah belajar tentang manusia.
Berdasarkan fakta adanya pertautan yang sangat intim antara pendidikan dan manusia, maka
sangat masuk akal apabila kajian dalam mata kuliah filsafat pendidikan ini diawali dengan
diskusi atau bahasan menyangkut hakikat manusia itu sendiri. Manusia menurut Socrates adalah
makhluk yang selalu ingin tahu tentang segala sesuatu. Kewajiban setiap orang untuk
mengetahui dirinya sendiri lebih dahulu jika ingin mengetahui hal-hal di luar dirinya. Manusia
ternyata tidak cukup hanya mengkaji tentang alam sekitarnya, ia selanjutnya juga berpikir
tentang Tuhan dan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehidupan. Manusia akhirnya juga
berpikir segala sesuatu tentang dirinya, yaitu siapa, bagaimana, dimana dan untuk apa manusia
itu diciptakan (Khobir, 1997).
Manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya
sendiri, keberadaannya, dan dunia seluruhnya (van der Weij, 1991). Berdiskusi tentang manusia
akan selalu menarik dan karena menarik itulah maka masalahnya tidak pernah tuntas laksana
sebuah permainan yang tak kunjung usai. Pertanyaan mengenai manusia selalu saja muncul. Hal
ini menjadi wajar mengingat manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang menakjubkan,
makhluk unik multidimensi, serba meliputi, sangat terbuka, dan mempunyai potensi agung
(Nawawi, 1996).

B. Rumusan Masalah
Masalah yang dirumuskan dalam makalah ini adalah bagaimana hakekat manusia dan
aliran-aliran dalam pendidikan matematika yang berkaitan dengan filsafat pendidikan
matematika.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah menjelaskan tentang hakekat
manusia dan aliran-aliran dalam pendidikan matematika yang berkaitan dengan filsafat
pendidikan matematika.
BAB II
PEMBAHASAN

A. HAKEKAT MANUSIA
Pertanyaan mengenai “siapakah manusia” tampaknya cukup sederhana, tetapi tidak
mudah menemukan jawaban yang tepat. Orang umumnya akan menjawab pertanyaan tersebut
sesuai latar belakang dan ketertarikannya. Bila ia fokus pada kajian kemampuan manusia
berpikir maka ia akan memberi pengertian manusia dengan animal rational, hayawan nathiq,
atau hewan yang berpikir/bernalar. Jika ia lebih berfokus pada adanya pembawaan kodrat
manusia untuk hidup bermasyarakat, maka tentu memberi pengertian manusia sebagai zoon
politicon, homo socius, atau makhluk sosial. Seseorang yang menitikberatkan pada aktivitas
manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup, maka pengertiannya adalah homo economicus atau
makhluk ekonomi. Sementara itu, bila sudut pandang seseorang lebih pada keistimewaan
manusia menggunakan simbol-simbol seperti pemikiran Cassirer, maka tentu pengertian
manusia menurutnya adalah animal symbolicum (Basyir, 1984).
Orang yang berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu membuat bentuk-
bentuk baru dari bahan-bahan alam untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya, maka
pengertian yang diberikan pastilah sama dengan Bergson yaitu homo faber, hewan pembuat
perkakas atau tool-making animal (Heschel, 1965). Banyak pakar yang mendefinisikan manusia
dengan istilah homo sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi (akal). Revesz menyebut
manusia sebagai homo loquen yaitu makhluk yang pandai menciptakan, menjelmakan pikiran
dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun. Aristoteles sendiri mengatakan manusia zoon
politicon atau animal ridens, makhluk yang bisa humor. Homo religious yaitu manusia pada
dasarnya beragama (Pulungan, 1984).
Dengan ungkapan yang berbeda kita mengenal pula definisi tentang manusia yaitu
animal educandum, hewan yang memerlukan pendidikan. Tanpa pendidikan manusia tidak
mungkin menjadi manusia atau mewujudkan kemanusiaannya. Manusia adalah animal
educabili, berarti ia mempunyai potensi untuk dididik atau dikembangkan. Apabila manusia itu
dilahirkan sudah sempurna maka manusia tidak lagi memerlukan pendidikan. Manusia
diciptakan oleh Maha Pencipta dengan segala kesempurnaannya tetapi juga dilahirkan di dalam
berbagai kelemahannya sebagai manusia, oleh sebab itu ia memerlukan pendidikan untuk
mewujudkan kemanusiaannya sebagai potensi. Harus diingat pula bahwa proses pendidikan
bukan suatu proses satu arah tetapi suatu proses dua arah antara pendidik dan peserta didik.
Tugas pendidik adalah tugas yang paling tua di dunia ini sebagaimana tugas seorang ibu
sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya. Jadi hakikat manusia bukan hanya sebagai animal
educandum, animal educabili, tetapi juga sebagai animal educator. Sains modern cenderung
memahami manusia dari aspek spasial dan biologisnya sebagai benda dan hewan. Pemahaman
ini maksimal menempatkan manusia sebagai “hewan plus”. Jiwa manusia, tak lebih dari
metabolisme yang menghasilkan panas dan darah hangat, respirasi paru-paru, otak yang besar,
pikiran terus berpetualang, kreativitas tangan, ingatan, mimpi, kehendak, organisasi sosial,
kekeluargaan, kesadaran, dan kebudayaan. Ini sejatinya adalah lanjutan dari pemikiran filosofis
Aristoteles yang menempatkan manusia sebagai unit dari kerajaan hewan. Manusia dalam
Aristotelian “secara kodrati adalah hewan beradab” dan “hewan yang mampu mengumpulkan
pengetahuan”, selain sebagai hewan yang berjalan di atas dua kaki, hewan berpolitik, satu-
satunya hewan yang punya kemampuan memilih, dan sebagai hewan peniru atau imitative
(Nugroho, 2012).
Mengutip pendapat Heschel, lebih lanjut menurut Nugroho (2012) konsep yang tak kalah
buruk dari gagasan “manusia adalah hewan plus”, adalah konsep modern bahwa manusia itu
mesin. Manusia hanyalah “mesin yang bila kita masukkan makanan ke dalamnya akan
memproduksi pikiran”, suatu “rakitan dan karya pertukangan yang Pengantar Pendidikan
ulung”. Pemikiran ini pertama kali dieksplisitkan oleh La Mettrie (1709-51) dalam L’Homme
machine yang menggambarkan aktivitas psikis manusia sebagai fungsi-fungsi mekanis dari otak.
Dalam konteks yang lain, menurut Kosasih (2012) pertanyaan filosofis atau mendasar
tentang sosok manusia adalah “What is man, and what of is man made?”Apa dan terbuat dari
apa manusia itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut banyak filosof dengan pandangan
filsafatnya yang memberikan batasan atau definisi tentang manusia. Sigmund Freud misalnya
berpandangan bahwa hakikat manusia sebenarnya bisa ditinjau dari struktur jiwa yang dimiliki
yang terdiri dari tiga hal, yaitu das Es, das Ich dan das Uber Ich. Das Es bagian dasar (the Id)
yang sama sekali terisolasi dari dunia luar, hanya mementingkan masalah kesenangan dan
kepuasan (lust principle) yang merupakan sumber nafsu kehidupan, yakni hasrat-hasrat biologis
(libido-seksualis) dan bersifat a-sadar, amoral a-sosial dan egoistis. Das Ich (aku = ego), sifatnya
lebih baik dari pada das Es, das Ich dapat mengerti dunia a-sadar, a-sosial dan amoral, lebih
realistis tapi belum ethis.Yang ketiga das Uber Ich (superego), ini adalah bagian jiwa yang
paling tinggi dan paling sadar norma dan paling luhur, bagian ini sering dinamakan budinurani
(consciencia). Superego atau das Uber Ich ini selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika,
dan religius.
1. Polarisasi Pemikiran tentang Manusia
Banyaknya definisi tentang manusia, membuktikan bahwa manusia adalah makhluk
multidimensional, manusia memiliki banyak wajah (Dardiri, 2010). Berdasarkan fakta tersebut,
maka Piedade (1986) mencoba membuat polarisasi pemikiran tentang manusia, yaitu pola
pemikiran biologis, pola pemikiran psikologis, pola pemikiran sosial-budaya, dan pola
pemikiran teologis (Dardiri lebih menyukai menggunakan istilah religius daripada teologis).

a. Manusia Menurut Pola Pemikiran Biologis


Menurut pola pemikiran ini, manusia dan kemampuan kreatifnya dikaji dari struktur
fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam pola ini adalah Portmann yang berpendapat bahwa
kehidupan manusia merupakan sesuatu yang bersifat sui generis meskipun terdapat kesamaan-
kesamaan tertentu dengan kehidupan hewan atau binatang. Dia menekankan aktivitas manusia
yang khas, yakni bahasa, posisi vertikal tubuh, dan ritme pertumbuhannya. Semua sifat ini
timbul dari kerja sama antara proses keturunan dan proses sosial-budaya.
Aspek individualitas manusia bersama sifat sosialnya membentuk keterbukaan manusia
yang berbeda dengan ketertutupan dan pembatasan deterministis binatang oleh lingkungannya.
Manusia tidak membiarkan dirinya ditentukan oleh alam lingkungannya. Menurut pola ini,
manusia dipahami dari sisi internalitas, yaitu manusia sebagai pusat kegiatan internal yang
menggunakan bentuk lahiriah tubuhnya untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan
sesamanya.

b. Manusia Menurut Pola Psikologis


Kekhasan pola ini adalah perpaduan antara metode-metode psikologi eksperimental dan
suatu pendekatan filosofis tertentu, misalnya fenomenologi. Tokoh-tokoh yang berpengaruh
besar pada pola ini antara lain Ludwig Binswanger, Levis Strauss, dan Erich Fromm.
Binswanger mengembangkan suatu analisis eksistensial yang bertitik tolak dari psikoanalisis
Freud. Namun pendirian Binswanger bertolak belakang dengan pendirian Freud tentang
kawasan bawah sadar manusia yang terungkap dalam mimpi, nafsu, dan dorongan seksual.
Freud dengan psikoanalisisnya lebih menekankan faktor internal manusia, sementara pandangan
behaviorisme lebih menekankan faktor eksternal.
Pandangan psikologi humanistik lebih menekankan kemampuaan manusia untuk
mengarahkan dirinya, baik karena pengaruh faktor internal maupun eksternal. Hal ini
menunjukkan bahwa manusia tidak serta merta atau otomatis melakukan suatu tindakan
berdasarkan desakan faktor internal, karena desakan faktor internal bisa saja ditangguhkan
pelaksanaannya.

c. Manusia Menurut Pola Pemikiran Sosial-Budaya


Manusia menurut pola pemikiran ini tampil dalam dimensi social dan kebudayaannya,
dalam hubungannya dengan kemampuan untuk membentuk sejarah. Menurut pola ini, kodrat
manusia tidak hanya mengenal satu bentuk yang uniform (seragam) melainkan berbagai bentuk.
Salah satu tokoh yang termasuk dalam pola ini adalah Erich Rothacker. Dia berupaya
memahami kebudayaan setiap bangsa melalui suatu proses yang dinamakan reduksi pada jiwa-
jiwa nasional dan melalui mitos-mitos. Reduksi pada jiwa-jiwa nasional adalah proses
mempelajari suatu kebudayaan tertentu dengan mengembalikannya pada sikap-sikap dasar serta
watak etnis yang melahirkan pandangan bangsa yang bersangkutan tentang dunia, atau
weltanschauung. Pengalaman purba itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun orang
menciptakan dan mengembangkan lingkup kebudayaan nasionalnya, kemungkinan-
kemungkinan pelaksanaan dan pengembangannya sudah ditentukan, karena semuanya itu sudah
terkandung dalam warisan ras. Tokoh lain yang dapat dimasukkan dalam pola ini adalah Ernst
Cassirer yang merumuskan manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang pandai
menggunakan simbol.

d. Manusia Menurut Pola Pemikiran Religius


Pola pemikiran ini bertolak dari pandangan manusia sebagai homo religiosus. Salah satu
tokohnya adalah Mircea Eliade. Menurut Eliade, homo religiosus adalah tipe manusia yang
hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati
sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, dan
manusia. Pengalaman dan penghayatan akan yang Suci ini selanjutnya mempengaruhi,
membentuk, dan ikut menentukan corak serta cara hidupnya. Eliade mempertentangkan homo
religiosus dengan alam homo non-religiosus, yaitu manusia tidak beragama, manusia modern
yang hidup di alam yang sudah didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya, dirasa atau
dialami tanpa sakralitas. Bagi manusia non-religiosus, kehidupan ini tidak sakral lagi, melainkan
profane saja.
Pembahasan hakikat manusia tidak akan pernah selesai apabila hanya berdasarkan pada
pandangan-pandangan manusia sendiri yang mengandalkan kemampuan akal semata. Oleh
karena itu diperlukan penjelasan dari sumber yang meyakinkan, yaitu sumber yang diperoleh
langsung dari Tuhan sebagai Penciptanya. Bagaimanapun harus disadari sepenuhnya bahwa
manusia tidak lain adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki fitrah, akal, kalbu, kemauan,
dan amanah. Manusia dengan segenap potensi (kemampuan) kejiwaan naluriah, seperti akal
pikiran, kalbu kemauan yang ditunjang dengan kemampuan jasmaniahnya, manusia akan
mampu melaksanakan amanah Allah dengan sebaik-baiknya. Pelaksanaan amanah mendorong
pencapaian derajat manusia yang sempurna (beriman, berilmu, dan beramal) manakala manusia
memiliki kemauan serta kemampuan menggunakan dan mengembangkan segenap kemampuan.
Manusia juga dianggap sebagai khalifah di bumi yang mengemban tanggung jawab sosial yang
berat.
Sebagai khalifah, manusia merupakan mahluk sosial yang multiinteraksi, memiliki
tanggung jawab baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia. Hubungan dengan Allah
merupakan hubungan yang harus dibina manusia dimanapun ia berada. Hubungan manusia
dengan manusia harus dibangun atas dasar saling menghargai atau menghormati agar tercipta
suasana ideal, karena sejatinya manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi
sesamanya (Hasan, 2006).

2. Pandangan Para Ahli Mengenai Hakikat Manusia


Prayitno (2009) secara sistematis mengemukakan beberapa pandangan tentang manusia
dengan merujuk dari pandangan pandangan para ahli. Berikut mulai dari pandangan yang paling
lama sampai pada pandangan yang paling baru :
a. Plato. Manusia pada hakikatnya ditandai oleh adanya kesatuan antara apa yang ada pada
dirinya, yaitu pikiran, kehendak, dan nafsu.
b. Hsun Tsu. Manusia pada hakikatnya adalah jahat, oleh karenanya untuk
mengembangkannnya diperlukan latihan dan disiplin yang keras, terutama disiplin kepada
tubuhnya.
c. Agustinus. Manusia merupakan kesatuan jiwa dan badan, yang dimotivasi oleh prinsip
kebahagiaan; kesemuanya itu diwarnai oleh dosa warisan dari pendahulunya.
d. Descartes. Manusia terdiri dari unsur dualistik, jiwa dan badan. Jiwa tidak bersifat bendawi,
abadi dan tidak dapat mati, sedangkan badan bersifat bendawi dapat sirna dan menjadi
sasaran filsafat fisika. Antara badan dan jiwa terdapat pertentangan yang berkelanjutan tak
terjembatani; badan dan jiwa itu masing-masing mewujudkan diri dalam berbagai hal
sendiri-sendiri. Namun demikian, manusia adalah jiwanya.
Pandangan yang lebih baru tentang manusia, antara lain dikemukakan oleh pemikir-pemikir
sebagai berikut:
a. Freud. Manusia tidak memegang nasibnya sendiri. Tingkah laku manusia ditunjukan untuk
memenuhi kebutuhan biologis dan insting, dan dikendalikan oleh pengalaman-pengalaman
masa lampau, dan ditentukan oleh faktor-faktor interpersonal dan intrapsikis.
b. Adler. Manusia tidak semata-mata bertujuan memuaskan dorongan-dorongan dirinya, tetapi
juga termotivasi untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan pemenuhan kebutuhan
dalam mencapai segala sesuatu. Tingkah laku individu ditentukan oleh lingkungan,
pembawaan, dan individu itu sendiri.
c. Rogers. Manusia adalah makhluk rasional, tersosialisasikan, dan dapat menentukan nasibnya
sendiri. Dalam kondisi yang memungkinkan, manusia akan mampu mengarahkan diri
sendiri, maju, dan menjadi individu yang positif dan konstruktif.
d. Skinner. Manusia adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor
di luar dirinya. Tingkah laku manusia dipelajari ketika individu berinteraksi dengan
lingkungannya, melalui hukum-hukum belajar.
e. Glasser. Tindakan manusia didorong untuk memenuhi kebutuhan dasar (baik psikologikal
maupun fisiologikal), yang sama untuk semua orang. Kebutuhan fisiologikal adalah segala
sesuatu untuk mempertahankan kesadaran organisme, sedangkan kebutuhan psikologikal
terarah untuk mencintai dan dicintai, serta berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
f. Ellis. Manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat secara rasional ataupun tidak
rasional. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan bergandengan satu sama lain: pikiran
seseorang dapat menjadi perasaannya, dan sebaliknya.

B. Aliran-aliran dalam Matematika


Formalisme
Formalis seperti David Hilbert (1642 –1943) berpendapat bahwa matematika adalah tidak
lebih atau tidak kurang sebagai bahasa matematika. Hal ini disederhanakan sebagai deretan
permainan dengan rangkaian tanda-tanda linguistik, seperti huruf-huruf dalam alpabet Bahasa
Inggris. Bilangan dua ditandai oleh beberapa tanda seperti 2, II atau SS0. Pada saat kita membaca
kadang-kadang kita memaknai bacaan secara matematika, tetapi sebaliknya istilah matematika tidak
memiliki sebarang perluasan makna (Anglin, 1994). Formalis memandang matematika sebagai suatu
permainan formal yang tak bermakna (meaningless) dengan tulisan pada kertas, yang mengikuti
aturan (Ernest, 1991). Menurut Ernest (1991) formalis memiliki dua tesis/teori, yaitu :
1. Matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan sebarangan,
kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal.
2. Keamanan dari sistem formal ini dapat didemonstrasikan dengan terbebasnya dari ketidak
konsistenan.
Ada bermacam keberatan terhadap formalisme, antara lain; (1) formalis dalam memahami
obyek matematika seperti lingkaran, sebagai sesuatu yang kongkrit, padahal tidak bergantung pada
obyek fisik; (2) formalis tidak dapat menjamin permainan matematika itu konsisten. Keberatan
tersebut dijawab formalis bahwa (1) lingkaran dan yang lainnya adalah obyek yang bersifat material
dan (2) meskipun beberapa permainan itu tidak konsisten dan kadang-kadang trivial/sepele, tetapi
yang lainnya tidak demikian (Anglin, 1994).

Intuisionisme
Intuisionisme seperti L.E.J. Brouwer (1882-1966), berpendapat bahwa matematika suatu
kreasi akal budi manusia. Bilangan, seperti cerita bohong adalah hanya entitas mental, tidak akan
ada apabila tidak ada akal budi manusia memikirkannya. Selanjutnya intuisionis menyatakan bahwa
obyek segala sesuatu termasuk matematika, keberadaannya hanya terdapat pada pikiran kita,
sedangkan secara eksternal dianggap tidak ada. Kebenaran pernyataan p tidak diperoleh melalui
kaitan dengan obyek realitas, oleh karena itu intusionisme tidak menerima kebenaran logika bahwa
yang benar itu p atau bukan p (Anglin, 1994). Intuisionisme mengaku memberikan suatu dasar untuk
kebenaran matematika menurut versinya, dengan menurunkannya (secara mental) dari aksioma-
aksioma intuitif tertentu, penggunaan intuitif merupakan metode yang aman dalam pembuktian.
Pandangan ini berdasarkan pengetahuan yang eksklusif pada keyakinan yang subyektif. Tetapi
kebenaran absolut (yang diakui diberikan intusionisme) tidak dapat didasarkan pada padangan yang
subyektif semata (Ernest, 1991).
Ada berbagai macam keberatan terhadap intusionisme, antara lain; (1) intusionisme tidak
dapat mempertanggungjawabkan bahwa obyek matematika bebas, jika tidak ada manusia apakah 2 +
2 masih tetap 4; (2) matematisi intusionisme adalah manusia timpang yang buruk dengan menolak
hukum logika p atau bukan p dan mengingkari ketakhinggaan, bahwa mereka hanya memiliki sedikit
pecahan pada matematika masa kini. Intusionisme, menjawab keberatan tersebut seperti berikut;
tidak ada dapat diperbuat untuk manusia untuk mencoba membayangkan suatu dunia tanpa manusia;
(2) Lebih baik memiliki sejumlah kecil matematika yang kokoh dan ajeg dari pada memiliki
sejumlah besar matematika yang kebanyakan omong kosong (Anglin, 1994).

Logisisme
Logisisme memandang bahwa matematika sebagai bagian dari logika. Penganutnya antara
lain G. Leibniz, G. Frege (1893), B. Russell (1919), A.N. Whitehead dan R. Carnap (1931).
Pengakuan Bertrand Russell menerima logisisme adalah yang paling jelas dan dalam rumusan
yang sangat ekspilisit. Dua pernyataan penting yang dikemukakannya, yaitu (1) semua konsep
matematika secara mutlak dapat disederhanakan pada konsep logika; (2) semua kebenaran
matematika dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan melalui penarikan kesimpulan secara logika
semata (Ernest, 1991).
Menurut Ernest (1991), ada beberapa keberatan terhadap logisisme antara lain:
1. Bahwa pernyataan matematika sebagai impilikasi pernyataan sebelumnya, dengan demikian
kebenaran-kebenaran aksioma sebelumnya memerlukan eksplorasi tanpa menyatakan benar atau
salah. Hal ini mengarah pada kekeliruan karena tidak semua kebenaran matematika dapat
dinyatakan sebagai pernyataan implikasi.
2. Teorema Ketidaksempurnaan Godel menyatakan bahwa bukti deduktif tidak cukup untuk
mendemonstrasikan semua kebenaran matematika. Oleh karena itu reduksi yang sukses
mengenai aksioma matematika melalui logika belum cukup untuk menurunkan semua kebenaran
matematika.
3. Kepastian dan keajegan logika bergantung kepada asumsi-asumsi yang tidak teruji dan tidak
dijustifikasi. Program logisis mengurangi kepastian pengetahuan matematika dan merupakan
kegagalan prinsip dari logisisme. Logika tidak menyediakan suatu dasar tertentu untuk
pengetahuan matematika.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah dibahas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada umumnya orang akan menjawab pertanyaan “siapa manusia itu” berdasarkan latar
belakang dan ketertarikan orang tersebut melihat manusia itu.
2. Pandangan tentang siapa manusia, pada dasarnya terbagi dalama empat aspek, antara lain :
a) manusia menurut pola pemikiran biologis; b) manusia menurut pola psikolgis;
c) manusia menurut pola pemikiran sosial-budaya; d) manusia menurut pola pemikiran
religius.
3. Terdapat tiga aliran dalam pendidikan matematika yang berkaitan dengan filsafat pendidikan
matematika, antara lain : aliran Formalisme, aliran Intuisionisme, dan aliran Logisisme.

B. Saran
Berdasarkan pembahasan mengenai hakekat manusia dan aliran-aliran tentang filsafat
pendidikan, maka disarankan agar mempelajari lebih mendalam lagi tentang hakekat manusia,
serta aliran-aliran tentang filsafat pendidikan untuk meningkatkan pemahaman materi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Paulus Wahana, 2016. Filsafat Ilmu Pegatahuan, Pustaka Diamond, Yogyakarta

Husama, dkk. 2015. Pengantar Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.

Sumanteri MS. Hakekat Manusia dan Pendidikan, Pustaka Diamond, Yogyakarta

Abdullah, A.R.S. 1991. Educational Theory, A Quranic Outlook (Alih bahasa:


Mutammam). Bandung: Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai