SKRIPSI
OLEH:
HARYATI MARGHARETHA HUTASOIT
130701048
MEDAN
2017
NIM 130701048
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memeroleh gelar sarjana sastra
dan telah disetujui oleh:
PANITIA UJIAN
bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk
bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain
yang dijadikan sebagai sumber referensi telah disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima
Penulis,
OLEH:
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
skripsi ini.
gelar sarjana sastra di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya,
Proses penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan, kritik dan saran dari
berbagai pihak, baik berupa moral maupun materi. Oleh sebab itu, penulis
Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, M. A, Ph. D. selaku Wakil Dekan I, Ibu
Dra. Heristina Dewi, M. Pd. selaku Wakil Dekan II, dan Prof. Dr.
2. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Ketua Program Studi Sastra
Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Hariadi Susilo, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I. dan Ibu
ini.
Kakak Mawar Hutasoit, S.pd. dan Adikku Putri Hutasoit, kasih dan
hormatku buat kalian, semoga keluarga kita selalu dalam lindungan Tuhan
Yang Maha Esa. (Terimakasih untuk dukungan materi dan moral yang
telah kalian berikan untukku). Juga kepada seluruh keluarga besar yang
penulis, dan teristimewa buat yang terkasih Simson Aritonang, Amd. yang
studi.
7. Bapak, Ibu, dan Saudara yang bersedia menjadi informan saat penulis
skripsi ini, semoga selalu dalam perlindungan Tuhan Yang Maha Esa.
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan skripsi
ini. Semoga skripsi ini dapat menambah wawasan pengetahuan pembaca. Akhir
Penulis,
Gambar 4.3 Pertunjukan drama asal usul terjadinya Tungkot Tunggal Panaluan.30
Gambar 4.5 Salah satu ukiran menyerupai Tungkot Tunggal Panaluan yang tidak
PERNYATAAN ........................................................................................................i
ABSTRAK ................................................................................................................ii
PRAKATA ................................................................................................................iii
BAB IV PEMBAHASAN.........................................................................................21
4.2 Bentuk Kearifan Lokal Cerita Rakyat Tungkot Tunggal Panaluan .........22
5.1 Simpulan...................................................................................................41
leluhurnya. Kekayaan warisan leluhur ini patut disyukuri karena memiliki kekayaan
khazanah budaya suku Batak Toba yang tidak ternilai. Warisan budaya Samosir dapat
kita lihat mulai dari potensi alam lingkungan terutama, adat-istiadat, upacara ritual,
peninggalan sejarah, serta seni dan budaya yang semuanya itu merupakan sumber
daya dan merupakan modal utama bagi pengembangan, peningkatan dan pemanfaatan
membicarakan tentang konsep benda cagar budaya yang telah resmi dipakai oleh
benda cagar budaya, yang juga merupakan warisan budaya. Di kabupaten Samosir,
itu sendiri, baik melalui dinas-dinas yang terkait secara langsung maupun tidak
dan melestarikan warisan budaya leluhur kita yang sangat kaya dan beragam tersebut.
manusia yang bersumber dari nilai budayanya sendiri dengan menggunakan segenap
akal budi, pikiran, hati, dan pengetahuannya untuk bertindak dan bersikap terhadap
lingkungan alam serta lingkungan sosialnya. Pada umumnya untuk menghadapi dua
ruang interaksi itu manusia memiliki kearifan dari tiga sumber yaitu dari nilai budaya
yang kita sebut dengan kearifan lokal, aturan pemerintah yang lebih modern, dan
agama. Dengan tiga sumber kearifan itu manusia menjalani kehidupannya dalam
ruang interaksi lingkungan alam dan lingkungan sosial. Pada gilirannya, kedua ruang
interaksi itu memproduksi nilai dan norma budaya baru yang berlaku pada
komunitasnya dan yang berbeda dengan nilai budaya pada komunitas lainnya. Nilai
dan norma budaya semacam itu menjadi kearifan lokal baru yang telah mengalami
dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu,
kearifan lokal adalah nilai dan norma budaya yang menjadi acuan tingkah laku
Sebagai pendekatan baru dalam dunia sastra, maka antropologi memiliki tugas
antropologi sastra adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam
mengungkapkan berbagai hal, antara lain: (1) kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang
berulang-ulang masih dilakukan dalam sebuah cipta sastra. (2) peneliti akan
mengungkap akar tradisi serta kepercayaan seorang penulis yang terpantul dalam
karya sastr, dalam kaitan ini tema-tema tradisional yang diwariskan turun-temurun
akan menjadi perhatian tersendiri. (3) kajian juga dapat diarahkan pada aspek
yang ada dalam karya sastra. (4) peneliti juga perlu memperhatikan bagaimana proses
pewarisan sastra tradisional dari waktu ke waktu. (5) kajian diarahkan pada unsur-
unsur etnografis atau budaya masyarakat yang mengitari karya sastra tersebut. (6)
perlu dilakukan kajian terhadap simbol-simbol mitologi dan pola pikir masyarakat
pengagumnya.
Cerita rakyat pada suku Batak Toba sangat berpengaruh pada kehidupan
masyarakatnya hingga saat ini. Penelitian ini akan membahas tentang cerita rakyat
Tungkot Tunggal Panaluan. Tungkot Tunggal Panaluan adalah tongkat ukiran wajah
tujuh manusia dan beberapa hewan yang diukir menurut kejadian sebenarnya dari
kayu tertentu dan memiliki kesaktian. Tungkot Tunggal Panaluan menjadi warisan
budaya yang secara turun-temurun dimanfaatkan serta dilestarikan oleh suku Batak
Toba terkhusus pada masyarakat Samosir sebagai daerah asal-usul suku Batak Toba.
Menurut cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan diawali dari kisah cinta
terlarang dari dua orang saudara kembar berlainan jenis yaitu Si Aji Donda Hatahutan
dan Si Boru Tapi Nauasan. Mereka melanggar norma dengan melakukan hubungan
badaniah sehingga mendapatkan karma yaitu ditelan pohon piu-piu tanggulon (hau
membebaskan mereka namun gagal dan justru ikut ditelan oleh pohon tersebut.
Hingga akhirnya, seorang datu terakhir berhasil memotong pohon tersebut dan
menjadikannya sebuah tongkat dengan ukiran menyerupai rupa manusia dan hewan
yang ikut ditelan pohon tersebut. Tongkat tersebut menjadi tongkat sakti yang
diyakini memiliki kekuatan gaib seperti untuk meminta hujan, menahan hujan,
masalah yang akan menjadikan penelitian terarah dan terfokus terhadap tujuan
penelitian. Batasan masalah dalam penelitian ini terfokus pada bentuk kearifan lokal
kabupaten Samosir.
Tomok?
Panaluan?
2) Untuk mendeskripsikan bentuk kearifan lokal yang terdapat pada cerita rakyat
teori antropologi sastra untuk menganalisis kearifan lokal dalam karya sastra.
ada di Indonesia.
2.1 Konsep
2.1.1 Kearifan Lokal
Sibarani (2012:177) mengatakan bahwa kearifan lokal adalah kebijaksanaan
dan pengetahuan asli suatu mayarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya
untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. Dengan
defenisi ini, kita memahami bahwa kearifan lokal itu bukan hanya nilai budaya, tetapi
memiliki banyak nilai budaya yang dapat dimanfaatkan untuk menata kehidupan
masyarakat. Nilai-nilai budaya dari berbagai etnik di Indonesia pada umumnya saling
Menurut Sibarani (2012:133) jenis-jenis kearifan lokal itu antara lain (1)
kesejahteraan, (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) gotong
royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas budaya, (9) peduli
kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen, (16)
karakter bangsa Indonesia, kearifan lokal menjadi sumber penting yang harus dimiliki
berperilaku, dan berinteraksi sebagai ciri khas seseorang individu dalam hidup,
bertindak, dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat maupun
nilai karakter yang akan dikembangkan atau ditanamkan kepada anak-anak dan
generasi muda bangsa Indonesia. Nilai-nilai karakter tersebut adalah: (1) religius, (2)
jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8)
demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12)
membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.
yang menjadi pedoman dalam bertindak dan berperilaku masyarakatnya. Setiap etnis
lima kategori hubungan manusia, yaitu (1) nilai budaya dalam hubungan manusia
dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam, (3) nilai
budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, (4) nilai budaya alam
hubungan manusia dengan orang lain, dan (5) nilai budaya dalam hubungan manusia
dengan diri sendiri. Selanjutnya Djamaris dkk, menjelaskan nilai budaya tersebut
sebagai berikut:
manusia di dunia ini. Berbagai cara dan bentuk dilakukan manusia untuk
menunjukkan cinta kasih mereka kepada Tuhan, karena mereka ingin kembali dan
bersatu dengan Tuhan. Nilai yang menonjol dalam hubungan manusia dengan Tuhan
Lingkungan ini membentuk, mewarnai, ataupun menjadi objek timbulnya ide-ide dan
memiliki persepsi yang berbeda tentang alam. Ada kebudayaan yang memandang
alam sebagai sesuatu yang dahsyat, ada pula kebudayaan memandang alam untuk
ditaklukkan manusia, dan ada kebudayaan lain yang menganggap manusia hanya bisa
berusaha mencari keselarasan dengan alam. Nilai yang menonjol dalam hubungan
sebagai pribadi. Individu atau perseorangan berusaha mematuhi nilai-nilai yang ada
dengan masyarakat bahwa manusia adalah makhluk sosial pada dasarnya hidup dalam
kesatuan kolektif, manusia dipastikan selalu berhubungan dengan manusia lain. Nilai
budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain adalah nilai keramahan dan
dalam hidupnya. Disamping itu, manusia juga merupakan mahhluk individu yang
mempunyai keinginan pribadi untuk meraih kepuasan dan ketenangan hidup, baik
lahariah dan bataniah. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri
adalah harga diri, kerja keras, kerendahan hati, bertanggung jawab, dan menuntut
ilmu.
Pada penelitian ini, terdapat enam nilai budaya yang dapat mendeskripsikan
bentuk kearifan lokal dalam cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan pada
Keenam nilai budaya tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) Nilai budaya
hubungan manusia dengan Tuhan (a) nilai religius, (2) Nilai budaya hubungan
manusia dengan masyarakat (a) nilai peduli sosial (b) nilai pelestarian dan kreativitas
budaya yaitu seni rupa, seni tari, seni musik dan seni untuk ekonomi (c) nilai peduli
masyarakat itu telah mengenal huruf atau belum, disebarkan secara lisan,
dalam kurun waktu yang cukup lama (Sisyonodkk, 2008:4). Cerita rakyat dapat
diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang
berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya dan susunan nilai sosial
masyarakat tersebut. Mengenal cerita rakyat adalah bagian dari mengenal sejarah dan
Cerita rakyat merupakan bagian dari folklor. Folk adalah sekelompok orang
yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan sehingga dapat
dibedakan dengan kelompok-kelompok lainnya. Istilah lore ditilik dari segi isinya
merupakan tradisi folk. Menurut Dananjaja, folklor adalah sebagian kebudayaan suatu
macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat
(Danandjaja, 1984:1)
(verbal folklore), 2) folklor setengah lisan (partly verbal folklore), dan 3) folklor
bukan lisan (nonverbal folklore). Secara praktis ketiganya dapat dikenali dari bentuk
nyanyian rakyat (nyanyian untuk menidurkan anak seperti nina bobok), c) bahasa
rakyat (dialek, julukan, sindiran, bahasa rahasia, bahasa remaja dan sebagainya), d)
teka-teki (berbagai bentuk tanya jawab pada umumnya untuk mengasah pikiran), e)
cerita rakyat (mite, legenda, sage). Folklor setengah lisan, di antaranya: a) drama
rakyat (ketoprak, ludruk, wayang kulit, legendria, arja), b) tari (serimpi, maengket,
menjenguk orang mati), f) pesta rakyat (sekaten, pesta kesenian Bali). Folklor
2.1.3 Samosir
Kabupaten Samosir merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi
2003 pada tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan
memiliki luas 1.419,5 km2, dengan populasi total 150.187 jiwa serta kepadatan 105,8
jiwa/km2. Kabupaten Samosir terdiri dari tiga belas kecamatan; sepuluh kecamatan
berada di Pulau Samosir dan tiga kecamatan di daerah lingkar luar Danau Toba tepat
pada punggung pegunungan Bukit Barisan, yaitu: Harian, Nainggolan, Onan Runggu,
Pangururan Utara, Rianiate Raya, Buhit Bersatu, Lontung, dan terdiri dari 106
Hasundutan
Universitas Negeri Medan dalam skripsinya yang berjudul “Cerita Rakyat Mengenai
Kesaktian Tongkat Tunggal Panaluan Pada Masyarakat Batak Toba di Desa Tomok
bahwa dalam kisah kesaktian Tongkat Tunggal Panaluan, terdapat keterkaitan antara
terdapat fakta sejarah, yaitu berupa bukti peninggalan Tongkat Tunggal Panaluan itu
sendiri dan berbagai mitos yang membumbui dan menghiasi cerita tersebut sehingga
menarik untuk didengarkan. Dalam kisah kesaktian Tongkat Tunggal Panaluan, fakta
dan mitos merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dilepaspisahkan dari kisah itu
sendiri. Fakta dan mitos telah membaur menjadi satu sehingga merupakan kisah yang
mengandung dua sisi yang saling berkaitan. Mitos mengenai kesaktian Tongkat
Tunggal Panaluan didukung oleh fakta bahwa masih ada bukti peninggalan Tongkat
Tunggal Panaluan itu sendiri. Demikian juga sebaliknya, fakta mengenai kesaktian
Tongkat Tunggal Panaluan ini didukung oleh mitos-mitos yang membuatnya menjadi
satu kisah yang utuh. Ada sebagian masyarakat yang berpersepsi positif, ragu-ragu
dan negatif terhadap kisah kesaktian Tunggal Panaluan ini. Hal itu disebabkan oleh
banyak faktor seperti pengalaman, kepercayaan, pendidikan dan lain-lain. Namun hal
tersebut merupakan suatu hal yang wajar jika masyarakat memiliki persepsi tersendiri
terhadap kesaktian Tunggal Panaluan tersebut baik berupa tanggapan positif maupun
negatif. Karena pada dasarnya merupakan suatu proses yang terjadi dalam
pengamatan seseorang terhadap orang lain. Jadi setiap orang tidak terlepas dari proses
yang berjudul “Analisis Visual Tongkat Tunggal Panaluan Ditinjau Dari Perubahan
Panaluan memiliki panjang 1,70 m, dengan garis tengah 5 - 6 cm, dan diukir dalam
kayu yang istimewa, yaitu kayu donggala atau kayu piu – piu tangguli (kayu keras),
serta mudah dipahat dan diukir, makin tua makin indah warnanya, ujung bagian atas
Tongkat dihiasi dengan surai rambut kuda berwarna hitam, atau seikatan bulu ayam
berwarna tiga (putih, merah dan hitam bonang Manalu). Sekarang Tongkat Tunggal
teknik pahat yang digunakan sebagai cinderamata yang terdapat pada kios Wisata
cinderamata Tongkat Tunggal Panaluan yang mempunyai bentuk yang lebih kreatif
dan menarik. 2. Makna yang terkandung pada Tunggal Panaluan adalah sebuah
tongkat sakti yang dimiliki oleh raja atau datu orang batak yang memberikan
kekuatan, dapat menangkal roh jahat, menjadikan tanah menjadi subur, mengobati
tersebut menjadi senjata untuk melawan musuh, sebagai tongkat penjelmaan dari
Tuhan Sang Khalik dan sekarang tongkat yang di miliki oleh raja atau datu orang
sebagai pelengkapnya. Oleh karena kajian antropologi sangat luas, maka kaitannya
sendiri, yaitu sastra sebagai hasil aktifitas kultural, baik dalam bentuk kasar, sebagai
naskah (artifact), maupun interaksi sosial (socifact) dan kontemplasi diri (mentifact).
terhadap sikap dan perilaku manusia. Antropologi melihat semua aspek budaya
sastra menjadi identitas suatu bangsa. Sastra merupakan pantulan hidup manusia
secara simbolis. Simbol-simbol budaya sastra dapat dikaji melalui cabang antropologi
sastra. Sebagai rekaman budaya, sastra layak dipahami lewat antropologi sastra.
Antropologi sastra akan memburu makna sebuah ekspresi budaya dalam sastra. Sastra
dipahami sebagai potret budaya yang lahir secara estetis. Oleh karena itu, konteks
moyang. Walaupun dikaitkan dengan masa lampau, karya sastra dalam konteks
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan
Informan yang dipilih adalah enam orang penduduk yang berdomisili di lokasi
Penulis : M. Saleh B. A.
Tahun : 1980
Cetakan : Pertama
Gambar Sampul :
Data sekunder dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dari beberapa
1) Studi Pustaka
Pada penelitian ini, akan diperoleh data dan informasi mengenai objek
yang lebih mendalam dan akurat. Dengan demikian, hal-hal yang diragukan
teknik mencatat dan merekam suara dari informan supaya tidak kehilangan
daftar pertanyaan dan jawaban yang telah dipersiapkan serta alat rekam.
3) Dokumenter
suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang. Penelitian deskripsi
pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena.
dengan fenomena pada objek yang diteliti. Melalui penelitian deskriptif, peneliti
berusaha mendeskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa
PEMBAHASAN
Dahulu kala ada seorang raja yang memiliki anak kembar seorang laki-laki
dan seorang perempuan. Sejak kecil hingga beranjak dewasa mereka selalu bersama-
sama dan saling menyayangi layaknya sepasang kekasih. Suatu ketika, raja
mengetahui kedua anaknya telah berhubungan suami istri. Lalu raja mengungsikan
anaknya ke hutan lantaran malu kepada penduduk desa. Saat di hutan, anak
perempuan itu memanjat pohon tada-tada yang sedang berbuah. Saat mengambil
buahnya dia ditelan pohon itu hingga kepalanya saja yang tersisa. Dengan segera
anak laki-laki itupun memanjat pohon tersebut dengan maksud menolong adiknya,
namun dia juga ikut ditelan oleh pohon tersebut dan hanya kepalanya saja yang
tersisa.
anaknya, raja mendengar suara tangisan meminta tolong. Raja mencari asal suara dan
menemukan kedua anaknya telah ditelan pohon dan tak dapat membebaskan diri.
Raja bergegas berlari pulang ke desa untuk mencari pertolongan. Setelah menemukan
seorang datu yang bersedia untuk menolongnya, mereka pun pergi ke hutan untuk
membebaskan anaknya dari tawanan pohon tersebut. Namun saat datu menyentuh
pohon itu, dia juga ditelan oleh pohon itu dan hanya kepalanya saja yang tersisa. Hal
tersebut juga terjadi sampai pada datu yang kelima. Hingga akhirnya raja pun
pohon tersebut tidak dapat lagi diselamatkan. Lalu datu itupun menebang pohon itu.
Saat pohon tersebut ditebang, kepala kedua anak raja dan kelima datu itu lenyap
ditelan pohon itu seluruhnya. Kemudian datu yang menebang pohon itu kesurupan,
dia dimasuki oleh kelima roh datu yang telah lenyap ditelan pohon itu. Roh itu
meminta supaya pohon tersebut diukir menjadi tongkat yang menyerupai wajah
mereka, dan berjanji akan memenuhi segala keinginan siapapun yang memintanya,
sebab kesaktian mereka menyatu yang dapat mengabulkan segala permintaan orang
yang memakainya. Hal tersebut dipenuhi oleh raja dan datu tersebut, mereka
mengukir pohon itu menjadi sebuah tongkat yang dinamai Tungkot Tunggal
Panaluan.
kategori hubungan manusia pada cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan adalah
sebagai berikut:
Nilai religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan
ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain dan
hidup rukun dengan pemeluk agama lain Sibarani, 2012:135). Religi mencakup
Batak khususnya Batak Toba. Mulajadi Na Bolon adalah pencipta manusia, langit,
bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh umat Ugamo Malim
berhubungan kepada manusia yang masih hidup, baik untuk maksud mendatangkan
berkah atau untuk mendatangkan malapetaka (Tambunan E.H, 1982:66). Teks berikut
Mulajadi Na Bolon.
“Melihat keadaan kemarau tersebut membuat Raja Bius menjadi risau, lalu ia
pergi menjumpai Guru Hatimbulan dan berkata kepadanya:
“Mungkin ada baiknya kita mencari sebabnya dan bertanya kepada Debata
Mulajadi Na Bolon, mengapa panas dan kemarau ini masih terus
berkepanjangan? hal ini sangat jarang terjadi sebelumnya” (Seni Patung Batak
dan Nias: 49)
nenek moyang, tiap-tiap individu dalam masyarakat Batak Toba harus melakukan
berbagai aturan kepercayaan yang salah satunya adalah martutu aek. Martutu aek
Bolon dan meminta agar bayi itu disucikan. Kepercayaan tersebut terdapat pada
Pesta acara martutu aek ataupun pemberian nama kepada bayi yang
cermat, karena suku Batak Toba meyakini nama dan tondi (roh) harus sejalan. Jika
mengambil nama seperti nama Ompung atau leluhurnya, maka harus mendapat
persetujuan dari seluruh keturunan saompu (satu leluhur). Setelah mendapat doa restu
keluarga dan sanak saudara, maka dilanjutkan makan bersama dengan menyembelih
seekor lembu sebagai ucapan syukur. Setelah Kristen masuk ke tanah Batak, adat
martutu aek kemudian menjadi sama dengan babtisan Kristen (tardidi) yang
pribadi maupun secara kelompok mengakui adanya kuasa di luar kuasa manusia.
Pengakuan demikian nyata benar dalam kehidupan sehari-hari adanya hasrat manusia
secara keseluruhan menyerahkan diri kepada kuasa yang dimaksud itu. Hal itu
mendorong setiap individu dalam masyarakat supaya tunduk kepada kuasa tersebut
sesuai dengan cara bagaimana menghormati kuasa itu sendiri. Motif setiap
melalui doa dan membaca mantra kepada kuasa roh. Penghormatan dilakukan untuk
persembahan kepada roh nenek moyang adalah menjadi sebuah tradisi bagi suku
Batak Toba untuk menghormati leluhurnya, seperti pada penggalan teks berikut ini:
mereka dalam menyelesaikan suatu masalah. Tradisi dan kepercayaan demikian tetap
kepada para roh nenek moyang. Selain itu, Tungkot Tunggal Panaluan juga
dipercayai dapat memanggil hujan, menahan hujan dan mengobati segala macam
Sebelum manortor, datu maupun raja melaksanakan ritual, dalam ritualnya datu
maupun raja harus mamele (memberikan persembahan) kepada roh nenek moyang.
Persembahan itu berupa segala jenis makanan parbaringin (parmalim) zaman dulu.
Gambar 4.1
Tungkot Tunggal Panaluan disimpan di Museum Tomok.
Nilai peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan (Sibarani, 2012:135).
Oleh karena itu, kepedulian sosial adalah minat atau ketertarikan kita untuk
membantu orang lain. Kepedulian sosial yang dimaksud bukanlah untuk mencampuri
hadapi orang lain dengan tujuan kebaikan dan perdamaian. Nilai peduli sosial itu
daya normal manusia awam. Pada masyarakat Batak Toba, datu bersedia memberi
bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Hal tersebut tampak
pada penggalan teks cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan tersebut, yaitu datu
Sikap tersebut, merupakan sikap peduli sosial pada orang lain yang membutuhkan.
Nilai peduli sosial tersebut masih dapat ditemukan pada masyarakat suku
Batak Toba dalam kearifan Tungkot Tunggal Panaluan. Menurut kesaksian informan
hanya dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit saja, tetapi kesaktiannya juga
terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya
gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta
keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Defenisi tersebut menegaskan bahwa
bulan Juli dengan melaksanakan tortor Tungkot Tunggal Panaluan dalam acara horja
bius (bersifat sakral sebagai upacara persembahan kepada leluhur Ompung Raja
Sidabutar yang telah mendirikan kampung Tomok). Tungkot Tunggal Panaluan yang
dipakai dalam acara horja bius bukanlah tongkat yang asli, karena Tungkot Tunggal
Panaluan yang asli disimpan di Pusuk Buhit yang merupakan tempat penyimpanan
harta peninggalan raja-raja Batak di zaman dahulu dan tidak pernah dikeluarkan.
Namun, Tungkot Tunggal Panaluan yang dipakai di acara tersebut telah diisi
kekuatan magis oleh seorang datu bolon yang memiliki kemampuan memberi
kesaktian pada Tungkot tersebut. Selain untuk tujuan menghormati leluhur dan
meminta perlindungan kepada nenek moyang, tortor Tungkot Tunggal Panaluan juga
bertujuan untuk meperkenalkan kebudayaan suku Batak Toba kepada generasi di desa
itu dan kepada wisatawan yang datang ke desa Tomok. Hal tersebut dibenarkan oleh
Panaluan yang dibawakan oleh raja Sidabutar dalam acara horja bius. Dalam acara
tersebut juga dipertunjukkan drama yang mengisahkan asal mula terjadinya Tungkot
Begitu juga dengan Informan Pebri Sidabutar, dia pernah menyaksikan ritual dan
tortor Tungkot Tunggal Panaluan dalam acara pagelaran seni dan budaya yang
diadakan pada tanggal 17 Agustus yang lalu. Dalam acara tersebut, yang
melaksanakan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan adalah agama Parmalim.
Namun, dia menerangkan bahwa selain yang beragama Parmalim juga boleh
mengadakan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan seperti pada acara horja
bius dan hari hari penting lainnya. Demikian juga dengan yang dikatakan informan
acara penting di desa Tomok sebagai bentuk pelestarian masyarakat Batak Toba
terhadap budaya leluhurnya. Ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan yang
memiliki kekuatan magis hanya didapati di zaman dulu saat masyarakat Batak Toba
ditampilkan di zaman sekarang adalah untuk tujuan melestarikan budaya Batak Toba,
dan tidak ada lagi kekuatan magis maupun mantra yang sesunguhnya. Dia juga
menambahkan bahwa Tortor Tungkot Tunggal Panaluan telah menjadi kearifan lokal
di desa Tomok, karena tortor tersebut selalu dibawakan dalam event tetap yaitu horja
4.2, dan 4.3 pada acara pagelaran seni yang diadakan di desa Tomok.
Gambar 4.2
Tortor Tungkot Tunggal Panaluan
Gambar 4.3
Pertunjukan drama asal usul terjadinya Tungkot Tunggal Panaluan
pada Tungkot Tunggal Panaluan yang diamanatkan oleh roh yang bersemayam pada
tongkat tersebut:
menolak karena dia bukanlah keturunan marga asli di desa Tomok tetapi, dia adalah
keturunan marga Situmorang yang pernah diperistri oleh raja Sidabutar di jaman
dahulu. Menurut kesaksian P. Situmorang di desa Tomok pernah ada dua orang yang
bermarga Sigiro dan Sagala manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan, setelah usai
manortor mereka jatuh sakit dan tidak lama kemudian akhirnya meninggal dunia.
Kejadian tersebut diyakini oleh masyarakat desa akibat mereka manortorhon Tungkot
Tunggal Panaluan dengan sembarangan orang yang bukan raja di desa itu.
Pernyataan tersebut juga didapat dari informan K. Sidabutar yang mengatakan bahwa
orang yang melaksanakaan ritual maupun tortor Tungkot Tunggal Panaluan harus
dilakukan oleh seorang raja yang merupakan pemimpin marga di desanya dan
memiliki penjaga badan supaya roh-roh jahat tidak mengganggunya saat menjalankan
ritual maupun tortor. Hal itu terbukti, karena telah terjadi kehilangan nyawa
seseorang yang sembarangan melakukan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan
tersebut. Selanjutnya Pebri Sidabutar mengatakan, pada acara pagelaran seni dan
budaya yang dia saksikan, Tungkot Tunggal Panaluan dipertunjukkan oleh beberapa
kesurupan dan seperti berbicara kepada Tungkot Tunggal Panaluan, dalam pagelaran
gondang dan tortor oleh beberapa orang lainnya. Beberapa saat kemudian seketika
itupun turun hujan. Begitu juga dengan pernyataan Op. Yesaya Sidabutar yang
oleh pemimpin adat yang beragama parbaringin (parmalim) untuk meminta hujan
Masyarakat suku Batak Toba memiliki budaya dengan ragam kesenian yang
menarik. Ragam kesenian tersebut mulai dari seni rupa, seni musik, seni tari dan seni
untuk ekonomiyang hidup dan menyatu dengan adat istiadat dan sisi religi kehidupan
masyarakatnya.
a. Seni Rupa
Keterampilan memahat dan mengukir merupakan bagian dari seni rupa yang
ditekuni oleh beberapa masyarakat suku Batak Toba. Kutipan teks berikut ini
menunjukkan bahwa masyarakat suku Batak Toba kuno telah mengenal seni rupa
dalam mengukir.
menyatakan Tungkot Tunggal Panaluan adalah tongkat berukir tujuh wajah manusia
dan lima diantaranya wajah datu bolon (dukun besar) yang memiliki bermacam
kesaktian sesuai kemampuan kelima datu bolon yang terukir dalam tungkot tersebut.
Tungkot Tunggal Panaluan yang asli sudah tidak diketahui lagi keberadaannya.
karena tungkot tersebut telah diisi kekuatan magis oleh seorang datu bolon. Setiap
pemimpin marga Batak Toba memiliki Tungkot Tunggal Panaluan, bahkan suku lain
dan warga negara lain pun pernah memiliki tungkot yang sakti tersebut. Di masa
sekarang Tungkot Tunggal Panaluan yang memiliki kesaktian sudah tidah tidak
pernah dibuat lagi, karena datu bolon tidak bersedia lagi untuk mengisi kekuatan pada
Tungkot Tunggal Panaluan. Kebenaran tersebut dapat dilihat pada gambar 4.5.
Gambar 4.5
Salah satu ukiran menyerupai Tungkot Tunggal Panaluan yang tidak diisi kekuatan
gaib.
Tambunan E.H (1986:85) mengatakan, seni musik dan seni tari merupakan
seni yang selalu dibawakan dengan bersamaan. Seni musik pada masyarakat Batak
Toba dikenal dengan alat-alat instrumen gendang yang terbuat dari bahan perunggu,
yang disebut ogung atau gong. Upacara pukul gong berkaitan dengan kuasa magis,
iramanya begitu rapat dikaitkan dengan kepercayaan kepada nenek moyang. Upacara
dengan irama gong. Seni musik dan seni tari tersebut terdapat pada teks berikut:
Masyarakat suku Batak Toba mulanya memainkan gong dan tortor untuk
akhirnya menjadikan tarian itu menjadi umum dan dijadikan seni budaya suku Batak
Toba.
yaitu memakai ulos godang serta sorban dikepala. Manortorhon Tungkot Tunggal
sama ikut manortor, dapat dilihat pada gambar 4.6 berikut ini:
Gambar 4.6
Manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan menggunakan ulos godang serta sorban di
kepala yang diiringi gondang sabangunan.
desa Tomok. Namun, Tungkot Tunggal Panaluan yang dijadikan cendramata tidaklah
di kios-kios desa Tomok yang dijadikan cendramata tidak memiliki kesaktian, namun
Tunggal Panaluan adalah harus untuk tujuan yang baik dan dilakukan dengan ritual
Panaluan dari pengrajin seni rupa yang berkediaman di desa Tomok. Menurut
dari desa Tomok sangat laris dibeli oleh para wisatawan negara maupun
mancanegara. Ibu T. Siahaan menjual Tungkot Tunggal Panaluan mulai dari Rp.
100.000 sampai Rp 1.500.000 sesuai dengan jenis ukiran dan ukurannya, dapat dilihat
manusia. Sikap peduli terhadap sesama akan menimbulkan rasa saling memiliki
dalam lingkungan masyarakat, sehingga mereka akan saling melindungi satu sama
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi orang lain dengan tujuan kebaikan dan
keluarga Batak Toba, sangat dominan dengan sikap peduli terhadap sesamanya atau
terhadap anggota warganya (Ritonga dkk, 1998:72). Hal tersebut terdapat pada
untuk melindungi maupun mencegah bilamana terjadi hal yang tidak menguntungkan
bagi mereka. Sikap tersebut merupakan sikap yang mencerminkan nilai peduli
sesama.
lokal berupa kegiatan sosial dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau beban.
luhur yang dipraktikkan nenek moyang pada zaman dahulu. Pekerjaan atau beban itu
mungkin tergolong pada kepentingan sosial dan juga tergolong kepentingan individu,
yang keduanya membutuhkan bantuan orang banyak. Ada beberapa jenis gotong
Batak Toba tentang gotong royong. Salah satu jenis-jenis gotong royong itu adalah
untuk saling membantu kepada keluarga atau warga yang membutuhkan. Masyarakat
suku Batak Toba selalu mencerminkan sikap gotong royong marsiurupan dalam
kehidupannya sehari-hari. Hal ini terdapat pada penggalan teks berikut ini:
“Dari informasi dan petunjuk yang Guru Hatimbulan cari maka bertemulah
dia dengan seorang datu yang bernama datu Parmanuk Koling. Guru
Hatimbulan menceritakan kejadian itu dan mengajak datu Parmanuk
Kolingpergi untuk menolong anaknya, diiringi oleh banyak orang yang ingin
melihat, karena kejadian ini sudah tersebar ke berbagai pelosok” (Seni Patung
Batak dan Nias: 51)
“Guru Hatimbulan dan para penonton kembali ke rumah mereka dengan hati
kecewa, tetapi mereka tidak putus asa.Mereka tetap berusaha mencari jalan
keluarnya dengan mencari datu lain” (Seni Patung Batak dan Nias: 51)
Seorang datu dan banyak orang memberikan bantuan kepada Guru Hatimbulan dalam
Menurut Sibarani (2012:135) nilai tanggung jawab adalah sikap dan perilaku
lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya),
negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Nilai tanggung jawab terdapat pada teks berikut
ini :
Guru Hatimbulan pergi ke Pusuk buhit membuat sebuah gubuk dan membawa
anak-anaknya kesana.Gubuk itu dijaga dengan seekor anjing dan setiap hari
Guru Hatimbulan membawakan makanan untuk anak-anaknya tersebut.(Seni
Patung Batak dan Nias: 49)
lakukan terhadap anaknya dilakukan oleh Guru Hatimbulan. Dia membuat tempat
tinggal kepada anaknya dan setiap hari tetap membawakan makanan untuk anaknya
5.1 Simpulan
1) Cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan diawali dari kisah cinta terlarang
dari dua orang saudara kembar berlainan jenis yaitu Si Aji Donda Hatahutan
tanggulon (hau tada-tada) dan tidak dapat terbebaskan. Ada lima orang datu
yang berusaha membebaskan mereka namun gagal dan justru ikut ditelan oleh
rupa manusia dan hewan yang ikut ditelan pohon tersebut. Tongkat tersebut
menjadi tongkat sakti yang disebut Tungkot Tunggal Panaluan. Sejak saat itu
dengan ilmu mistis/gaib oleh datu bolon. Setiap raja yaitu pemimpin marga
Batak Toba, datu, bahkan beberapa suku lainpun memiliki Tungkot Tunggal
ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan untuk menghormati leluhur dan
penyakit.
mistis/gaib sudah tidak dikeluarkan lagi lantaran suku Batak Toba telah
kekuatan tersebut. Namun, para pengrajin seni rupa di desa Tomok tetap
dipakai dalam kebutuhan melestarikan budaya Batak Toba dan dijadikan salah
4) Di desa Tomok, setiap tahunnya diadakan upacara adat horja bius. Dalam
upacara ini diadakan acara ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan.
Ritual yang diadakan adalah meminta ijin kepada leluhur yang bertujuan ingin
melestarikan budaya suku Batak Toba. Acara ini dilakukan untuk mengenang
ritual yang dilakukan nenek moyang mereka dan disamping itu mereka
hendak melestarikan budaya yang mereka miliki yang juga berguna untuk
itu terdapat pada nilai budaya berdasarkan kategori hubungan manusia, yaitu
(1) Nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan (a) nilai religius, (2) Nilai
budaya hubungan manusia dengan masyarakat (a) nilai peduli sosial (b) nilai
pelestarian dan kreativitas budaya yaitu seni rupa, seni tari, seni musik dan
seni untuk ekonomi (c) nilai peduli sesama (d) nilai gotong royong, (3) Nilai
budaya hubungan manusia dengan dirinya sendiri (a) nilai tanggung jawab.
5.2 Saran
Samosir: kajian antropologi sastra, maka peneliti mengajukan saran seperti berikut:
2) Peneliti berharap supaya suku Batak Toba khususnya di desa Tomok bersatu
Artha, Arwan Tuti dan Heddy shri Ahimsa-Putra. 2004. Jejak Masa Lalu, Sejuta
Warisan Budaya. Yogyakarta: Kunci Ilmu.
Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain.
Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Djamaris, Edward dkk. 1996. Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra
Nusantara: Sastra Daerah di Kalimantan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Harahap, Basyral Hamidy dkk. 1987. Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak: Suatu
Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing. Jakarta:
Sanggar Willem Iskander.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Saleh, M. 1980. Seni Patung Batak dan Nias. Jakarta: Direktorat Jenderal
Kebudayaan.
Sibarani, Robert. 2014. Kearifan Lokal Gotong Royong pada Upacara Adat Etnik
Batak Toba. Medan: Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provinsi
Sumatera Utara.
Sumber internet:
Manik, Wipan. 2015, “Analisis Visual Tongkat Tunggal Panaluan Ditinjau Dari
5 Agustus 2017.
April 2017.
Informan 1
2. Umur : 46 Tahun
Informan 2
Informan 3
3. Pekerjaan :-
Informan 5
Informan 6
3. Pekerjaan :Pendeta
seorang dukun yang bergelar Datu Arak ni Pane. Istrinya bernama Nan Sindak
Panaluan. Mereka sudah cukup lama menikah tetapi belum juga di karuniai seorang
anak. Suatu ketika Nan Sindak Panaluan hamil setelah begitu lamanya mereka
menunggu. Kehamilan tersebut membuat heran semua penduduk kampung itu dan
menganggap keadaan itu hal yang gaib (aneh). Bersamaan pada saat itu juga sedang
terjadi masa kemarau dan paceklik, cuaca sangat panas dan kering, saking teriknya
tak tertahankan, permukaan tanah dan rawa-rawa pun menjadi kerak dan keras.
Melihat keadaan kemarau tersebut membuat Raja Bius menjadi risau, lalu ia pergi
menjumpai Guru Hatimbulan dan berkata kepadanya: “Mungkin ada baiknya kita
mencari sebabnya dan bertanya kepada Debata Mulajadi Na Bolon, mengapa panas
dan kemarau ini masih terus berkepanjangan? hal ini sangat jarang terjadi
sebelumnya”. Guru Hatimbulan menjawab: “Semua ini mungkin saja terjadi”. Lalu
Raja Bius mengatakan: “Semua orang kampung heran mengapa istrimu Nan Sindak
Panaluan begitu lama baru hamil, mereka berkata bahwa kehamilannya itu sangat
terlalu lama”. Karena percakapan itu maka timbullah pertengkaran diantara mereka,
Dilain waktu tiba saatnya istri Guru Hatimbulan melahirkan. Perempuan itu
melahirkan anak kembar, yaitu anak laki-laki dan perempuan. Seketika itu juga maka
nampak segar kembali dan keadaan menjadi hijau lagi. Guru Hatimbulan memotong
seekor lembu untuk mengadakan pesta martutu aek (memberi nama) kepada kedua
perjamuan itu. Putranya diberi nama Si Aji Donda Hatahutan dan putrinya itu diberi
Hatimbulan supaya anak-anak itu jangan kiranya diasuh bersama-sama, yang satu
kiranya dibawa ke barat dan yang satu lagi dibawa ke timur, sebab anak itu lahir
kembar dan juga berlainan jenis kelamin. Hal ini sangat tidak menguntungkan
penatua dan kepala kampung tersebut. Setelah sekian lama terbuktilah apa yang
dinasehatkan para penatua itu benar adanya. Guru Hatimbulan pergi ke Pusuk buhit
membuat sebuah gubuk dan membawa anak-anaknya kesana. Gubuk itu dijaga
dengan seekor anjing dan setiap hari Guru Hatimbulan membawakan makanan untuk
melihat sebuah pohon yaitu pohon piu-piu tanggulon (hau tada-tada), pohon yang
batangnya penuh dengan duri tetapi memiliki buah manis. Melihat buah pohon itu,
maka timbullah hasrat untuk memakannya, dia mengambil beberapa buah itu dan
memakannya. Pada saat dia memakan buah itu, dia tertelan dan menyatu dengan
pohon itu, hanya kepalanya saja yang terlihat (tersisa). Di tempat lain Si Aji Donda
Hatahutan gelisah menunggu adiknya pulang, lalu dia pergi ke dalam hutan untuk
merasa letih, tiba-tiba dia mendengar jawaban dari adiknya dari pohon yang
berdekatan dengan dia, dan adiknya menceritakan apa yang terjadi. Si Aji Donda
memanjat pohon itu, tetapi dia pun ikut ditelan dan menyatu dengan pohon itu.
Keduanya menangis untuk meminta tolong, tetapi suara mereka hilang begitu saja di
dalam gelapnya hutan. Keesokan paginya, anjing mereka lewat dan meloncat-loncat
pada pohon tersebut, lalu anjing itupun mengalami hal yang sama, ditelan oleh pohon
membawakan mereka makanan, tetapi dia tidak menemukan mereka. Lalu dia
mencari dan mengikuti jejak kaki anaknya ke dalam hutan, sampai pada akhirnya dia
menemui pohon tersebut dan hanya melihat kepala kedua anaknya itu dan anjing
penjaganya. Melihat kedua anaknya yang melekat pada pohon itu, Guru Hatimbulan
menjadi sedih. Dari informasi dan petunjuk yang Guru Hatimbulan cari maka
bertemulah dia dengan seorang datu yang bernama datu Parmanuk Koling. Guru
Hatimbulan menceritakan kejadian itu dan mengajak datu Parmanuk Koling pergi
untuk menolong anaknya, diiringi oleh banyak orang yang ingin melihat, karena
kejadian ini sudah tersebar ke berbagai pelosok. Datu Parmanuk Koling memulai
ritualnya, ia berdoa dan membaca mantra untuk membujuk roh yang menawan kedua
anak Guru Hatimbulan. Setelah upacara selesai, maka naiklah Datu Parmanuk Koling
ke pohon itu, tetapi hal yang sama juga terjadi, dia ditelan oleh pohon itu.
Guru Hatimbulan dan para penonton kembali ke rumah mereka dengan hati
kecewa, tetapi mereka tidak putus asa. Mereka tetap berusaha mencari jalan
ada datu yang hebat, namanya Marangin Bosi atau Datu Mallantang Malitting. Datu
itu pergi ke pohon tersebut, tetapi mengalami nasib yang sama seperti Datu Parmanuk
Koling. Kemudian ada juga datu Boru Si Baso Bolon, dia juga menjadi tawanan
pohon itu. Hal yang sama juga terjadi pada datu Horbo Marpaung dan datu Si Aji
Bahar yang mana setengah manusia dan setengah iblis (sojolma so begu) seekor ular
yang ikut membantu pun ikut ditelan pohon itu. Guru Hatimbulan sudah kehabisan
akal dan telah mengeluarkan banyak uang untuk keperluan pemusik (gondang) dan
pele-pelean.
anaknya dari tawanan pohon itu. Guru Hatimbulan mempercayai omongan datu Si
Parpansa Ginjang dan menyediakan semua yang diminta oleh datu tersebut. Datu Si
semua roh yaitu roh tanah, roh air, roh kayu supaya dapat membebaskan kedua anak
Guru Hatimbulan.
Parpansa Ginjang untuk upacara tersebut. Kemudian mereka pergi menemui pohon
itu disertai orang sekampung. Setelah datu selesai memberikan mantra kepada senjata
wasiatnya, lalu dia menebang pohon itu tetapi semua kepala orang, anjing dan ular
yang ditelan oleh pohon itu menjadi menghilang. Semua orang yang menyaksikan
kejadian itu terperanjat. Datu Si Parpansa Ginjang berkata kepada Guru Hatimbulan:
“Potonglah pohon itu menjadi beberapa bagian dan ukirlah gambaran dari orang-
menjadi beberapa bagian dan mengukirnya menjadi sebuah tongkat dengan bentuk
lima orang datu, dua orang anaknya, seekor anjing dan seekor ular. Setelah selesai
mengukir tongkat tersebut menjadi sembilan rupa, maka semua orang kembali ke
pada tongkat tersebut. Setelah Guru Hatimbulan selesai manortor, maka tongkat itu
manortor, melalui tortor ini dia kesurupan (siar-siaron) dirasuki roh-roh dari orang-
orang yang ditelan pohon itu dan mulai berbicara satu per satu, mereka adalah roh
dari: Si Aji Donda Hatahutan, Siboru Tapi Nauasan, Datu Pulo Punjung nauli, atau si
Barita Songkar Pangururan. Mereka berkata: “Wahai Bapak pemahat, kau telah
membuat ukiran dari rupa kami semua dan kami punya mata, tetapi tidak bisa
melihat, kami punya mulut tetapi tidak bisa bicara, kami punya telinga tapi tidak
mendengar, kami punya tangan tapi tidak bisa menggenggam. Kami mengutuk kamu,
wahai pemahat!” Lalu datu Si Parpansa Ginjang menjawab: “Jangan kutuk dia tetapi
kutuklah pisau ini, tanpa pisau ini dia tidak dapat mengukir wajah kalian”. Tetapi
pisau berbalik membalas: “Jangan kutuk aku, tetapi kutuklah si tukang besi, kalau
saja dia tidak menempa aku menjadi pisau, aku tidak akan pernah menjadi pisau”.
Lalu si tukang besi menjawab: “Jangan kutuk aku tapi kutuklah angin, tanpa angin
aku tidak dapat menempa besi”. Angin menjawab: “Jangan kutuk kami tapi kutuklah
roh itu berkata melalui datu: “Aku mengutukmu Ayah dan juga kamu Ibu, yaitu yang
melahirkan aku”. Ketika Guru Hatimbulan mendengar itu, dia menjawab balik:
“Jangan kutuk aku tetapi kutuklah dirimu sendiri, kau yang jatuh ke dalam lubang
dan terbunuh oleh pisau dan kamu tidak mempunyai keturunan”. Lalu roh itu berkata:
“Baiklah, biarlah begini adanya Ayah, dan gunakanlah aku untuk meminta hujan,
menahan hujan, menolak bala, mengobati wabah, mengobati penyakit, mencari dan
menangkap pencuri dan membantu dalam peperangan”. Setelah upacara itu, maka