Anda di halaman 1dari 66

KEARIFAN LOKAL DALAM CERITA RAKYAT

TUNGKOT TUNGGAL PANALUAN DI DESA TOMOK


KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR:
KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA

SKRIPSI

OLEH:
HARYATI MARGHARETHA HUTASOIT
130701048

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KEARIFAN LOKAL DALAM CERITA RAKYAT
TUNGKOT TUNGGAL PANALUAN DI DESA TOMOK
KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR:
KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA

HARYATI MARGHARETHA HUTASOIT

NIM 130701048
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memeroleh gelar sarjana sastra
dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Hariadi Susilo, M.Si. Emma Marsela, S.S, M.Si.


NIP 19580505 197803 1 001 NIDT 199101152017042001

Program Studi Sastra Indonesia


Ketua,

Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P.


NIP 19590907 198702 1 002

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Skripsi ini diterima oleh panitia ujian Program Studi Sastra Indonesia,

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi persyaratan

memeroleh gelar sarjana.

PANITIA UJIAN

No Nama Jabatan Tanda Tangan

1 Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. Ketua ........................

2 Drs. Amhar Kudadiri, M.Hum. Sekretaris ........................

3 Drs. Hariadi Susilo, M.Si. Anggota ........................

4 Emma Marsella, S.S, M.Si. Anggota ........................

5 Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Anggota ........................

6 Drs. Irwansyah, M.S. Anggota ........................

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya

bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk

memeroleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun. Adapun bagian-

bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain

yang dijadikan sebagai sumber referensi telah disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima

sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Oktober 2017

Penulis,

Haryati Margharetha Hutasoit

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRAK

KEARIFAN LOKAL DALAM CERITA RAKYAT


TUNGKOT TUNGGAL PANALUAN DI DESA TOMOK KECAMATAN
SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR:
KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA

OLEH:

HARYATI MARGHARETHA HUTASOIT


Sastra Indonesia FIB USU

Penelitian ini mendeskripsikan tentang bentuk kearifan lokal dalam cerita


rakyat Tungkot Tunggal Panaluan di desa Tomok kecamatan Simanindo
kabupaten Samosir. Tungkot Tunggal Panaluan adalah tongkat ukiran wajah tujuh
manusia dan beberapa hewan yang diukir menurut kejadian sebenarnya dari kayu
tertentu dan memiliki kesaktian. Tungkot Tunggal Panaluan menjadi warisan
budaya yang secara turun-temurun dimanfaatkan serta dilestarikan oleh suku
Batak Toba. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka, wawancara dan
dokumenter. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori antropologi
sastra. Hasil penelitian ini, terdapat enam nilai budaya yang dapat
mendeskripsikan bentuk kearifan lokal dalam cerita rakyat Tungkot Tunggal
Panaluan pada masyarakat Batak Toba di desa Tomok. Keenam nilai budaya
tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) Nilai budaya hubungan manusia
dengan Tuhan (a) nilai religius, (2) Nilai budaya hubungan manusia dengan
masyarakat (a) nilai peduli sosial (b) nilai pelestarian dan kreativitas budaya yaitu
seni rupa, seni tari, seni musik dan seni untuk ekonomi (c) nilai peduli sesama (d)
nilai gotong royong, (3) Nilai budaya hubungan manusia dengan dirinya sendiri
(a) nilai tanggung jawab.

Kata kunci: kearifan lokal, cerita rakyat, antropologi sastra.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala perlindungan dan kemurahan-Nya memberkati penulis dalam mengerjakan

skripsi ini.

Skripsi yang berjudul ”Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Tungkot

Tunggal Panaluan di Desa Tomok Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir:

Kajian Antropologi Sastra” ini dibuat untuk memenuhi persyaratan memeroleh

gelar sarjana sastra di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

Proses penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan, kritik dan saran dari

berbagai pihak, baik berupa moral maupun materi. Oleh sebab itu, penulis

mengucapkan terimakasih dengan setulus hati kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M. S. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya,

Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, M. A, Ph. D. selaku Wakil Dekan I, Ibu

Dra. Heristina Dewi, M. Pd. selaku Wakil Dekan II, dan Prof. Dr.

Ikhwanuddin Nasution, M. Si. selaku Wakil Dekan III.

2. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Ketua Program Studi Sastra

Indonesia, dan Bapak Drs. Amhar Kudadiri, M.Hum. selaku Sekretaris

Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Hariadi Susilo, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I. dan Ibu

Emma Marsella, S.S, M.Si. selaku Dosen Pembimbing II yang telah

membimbing penulis dengan sepenuh hati dalam menyelesaikan skripsi

ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4. Bapak dan Ibu staf pengajar di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas

Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal

ilmu kepada penulis selama mengikuti perkuliahan, dan kepada Bapak

Slamet yang membantu penulis dalam menyelesaikan segala urusan

administrasi di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

5. Orangtua penulis, Bapak St J. Hutasoit dan Ibu T. Simamora, ketiga

saudara-saudariku: keluarga Abang B. Hutasoit, Amd. / H.Sinulingga, S.E.

Kakak Mawar Hutasoit, S.pd. dan Adikku Putri Hutasoit, kasih dan

hormatku buat kalian, semoga keluarga kita selalu dalam lindungan Tuhan

Yang Maha Esa. (Terimakasih untuk dukungan materi dan moral yang

telah kalian berikan untukku). Juga kepada seluruh keluarga besar yang

turut dalam memberikan motivasi kepada penulis mulai dari awal

hingga sampai menyelesaikan studi.

6. Teman-teman seperjuangan stambuk 2013, Senior dan Junior Program

Studi Sastra Indonesia-USU yang turut memberikan semangat kepada

penulis, dan teristimewa buat yang terkasih Simson Aritonang, Amd. yang

selalu sabar membantu dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan

studi.

7. Bapak, Ibu, dan Saudara yang bersedia menjadi informan saat penulis

mengadakan penelitian di desa Tomok.

8. Semua pihak yang turut serta membantu penulis dalam penyelesaian

skripsi ini, semoga selalu dalam perlindungan Tuhan Yang Maha Esa.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan skripsi

ini. Semoga skripsi ini dapat menambah wawasan pengetahuan pembaca. Akhir

kata, penulis mengucapkan terimakasih.

Medan. Oktober 2017

Penulis,

Haryati Margharetha Hutasoit

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Tungkot Tunggal Panaluan disimpan di Museum Tomok................ 26

Gambar 4.2 Tortor Tungkot Tunggal Panaluan ................................................... 30

Gambar 4.3 Pertunjukan drama asal usul terjadinya Tungkot Tunggal Panaluan.30

Gambar 4.4 Drama ritual Tungkot Tunggal Panaluan.......................................... 31

Gambar 4.5 Salah satu ukiran menyerupai Tungkot Tunggal Panaluan yang tidak

diisi kekuatan gaib ........................................................................... 34

Gambar 4.6 Manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan menggunakan ulos godang

serta sorban di kepala yang diiringi gondang sabangunan ............. 36

Gambar 4.7 Tungkot Tunggal Panaluan sebagai cendramata .............................. 37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

PERNYATAAN ........................................................................................................i

ABSTRAK ................................................................................................................ii

PRAKATA ................................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................vi

DAFTAR ISI .............................................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1

1.1 Latar Belakang .........................................................................................1

1.2 Batasan Masalah .......................................................................................4

1.3 Rumusan Masalah ....................................................................................4

1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................................5

BAB II KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ............7

2.1 Konsep ......................................................................................................7

2.1.1 Kearifan Lokal................................................................................7

2.1.2 Cerita Rakyat ..................................................................................11

2.1.3 Samosir ...........................................................................................12

2.2 Tinjauan Pustaka ......................................................................................13

2.3 Landasan Teori .........................................................................................15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.3.1 Antropologi Sastra..........................................................................15

BAB III METODE PENELITIAN .........................................................................17

3.1 Metode Penelitian .....................................................................................17

3.2 Lokasi, Sampel dan Waktu Penelitian......................................................17

3.3 Sumber Data .............................................................................................17

3.4 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................18

3.5 Teknik Analisis Data ................................................................................19

BAB IV PEMBAHASAN.........................................................................................21

4.1 Asal Usul Tungkot Tunggal Panaluan .....................................................21

4.2 Bentuk Kearifan Lokal Cerita Rakyat Tungkot Tunggal Panaluan .........22

BAB V SIMPULAN DAN SARAN .........................................................................41

5.1 Simpulan...................................................................................................41

5.2 Saran .........................................................................................................43

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................44

LAMPIRAN I Data Informan ...................................................................................47

LAMPIRAN II Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian..........................49

LAMPIRAN III Cerita Rakyat Tungkot Tunggal Panaluan ....................................50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Samosir merupakan daerah yang sangat kaya dengan warisan budaya

leluhurnya. Kekayaan warisan leluhur ini patut disyukuri karena memiliki kekayaan

khazanah budaya suku Batak Toba yang tidak ternilai. Warisan budaya Samosir dapat

kita lihat mulai dari potensi alam lingkungan terutama, adat-istiadat, upacara ritual,

sakral, sistem pengetahuan tradisional, senjata tradisional, tempat-tempat bersejarah,

peninggalan sejarah, serta seni dan budaya yang semuanya itu merupakan sumber

daya dan merupakan modal utama bagi pengembangan, peningkatan dan pemanfaatan

secara optimal. Dengan pemanfaatan warisan budaya akan mendukung upaya

memelihara, menumbuhkan, mengembangkan apresiasi dan kreatifitas masyarakat,

sebagai upaya pelestarian budaya bangsa.

Artha (2004:28) mengatakan bahwa warisan budaya menuntut kita untuk

membicarakan tentang konsep benda cagar budaya yang telah resmi dipakai oleh

pemerintah dalam undang-undang yang memberikan perlindungan kepada benda-

benda cagar budaya, yang juga merupakan warisan budaya. Di kabupaten Samosir,

yang paling bertanggung jawab melestarikan kebudayaan adalah pemerintah daerah

itu sendiri, baik melalui dinas-dinas yang terkait secara langsung maupun tidak

langsung. Seyogianya pemerintah daerah melakukan berbagai upaya untuk mengelola

dan melestarikan warisan budaya leluhur kita yang sangat kaya dan beragam tersebut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pelestarian itu sendiri harus memiliki tiga unsur sekaligus, yaitu adanya unsur

perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan budaya itu sendiri.

Sibarani (2012:127-128) berpendapat bahwa kearifan lokal merupakan milik

manusia yang bersumber dari nilai budayanya sendiri dengan menggunakan segenap

akal budi, pikiran, hati, dan pengetahuannya untuk bertindak dan bersikap terhadap

lingkungan alam serta lingkungan sosialnya. Pada umumnya untuk menghadapi dua

ruang interaksi itu manusia memiliki kearifan dari tiga sumber yaitu dari nilai budaya

yang kita sebut dengan kearifan lokal, aturan pemerintah yang lebih modern, dan

agama. Dengan tiga sumber kearifan itu manusia menjalani kehidupannya dalam

ruang interaksi lingkungan alam dan lingkungan sosial. Pada gilirannya, kedua ruang

interaksi itu memproduksi nilai dan norma budaya baru yang berlaku pada

komunitasnya dan yang berbeda dengan nilai budaya pada komunitas lainnya. Nilai

dan norma budaya semacam itu menjadi kearifan lokal baru yang telah mengalami

transformasi. Nilai-nilai tersebut cukup arif sebagai landasan hubungan manusia

dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu,

kearifan lokal adalah nilai dan norma budaya yang menjadi acuan tingkah laku

manusia untuk menata kehidupannya.

Sebagai pendekatan baru dalam dunia sastra, maka antropologi memiliki tugas

yang sangat penting untuk mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, khususnya

kebudayaan masyarakat tertentu, serta menemukan makna/nilai yang terkandung

dalam setiap aspek budayanya. Koentjaraningrat (Ratna, 2011:395) mengatakan

antropologi sastra adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam

kaitannya dengan kebudayaan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Menurut Endraswara (2008:109) analisis antropologi sastra akan

mengungkapkan berbagai hal, antara lain: (1) kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang

berulang-ulang masih dilakukan dalam sebuah cipta sastra. (2) peneliti akan

mengungkap akar tradisi serta kepercayaan seorang penulis yang terpantul dalam

karya sastr, dalam kaitan ini tema-tema tradisional yang diwariskan turun-temurun

akan menjadi perhatian tersendiri. (3) kajian juga dapat diarahkan pada aspek

penikmat sastra etnografis, mengapa mereka sangat taat menjalankan pesan-pesan

yang ada dalam karya sastra. (4) peneliti juga perlu memperhatikan bagaimana proses

pewarisan sastra tradisional dari waktu ke waktu. (5) kajian diarahkan pada unsur-

unsur etnografis atau budaya masyarakat yang mengitari karya sastra tersebut. (6)

perlu dilakukan kajian terhadap simbol-simbol mitologi dan pola pikir masyarakat

pengagumnya.

Cerita rakyat pada suku Batak Toba sangat berpengaruh pada kehidupan

masyarakatnya hingga saat ini. Penelitian ini akan membahas tentang cerita rakyat

Tungkot Tunggal Panaluan. Tungkot Tunggal Panaluan adalah tongkat ukiran wajah

tujuh manusia dan beberapa hewan yang diukir menurut kejadian sebenarnya dari

kayu tertentu dan memiliki kesaktian. Tungkot Tunggal Panaluan menjadi warisan

budaya yang secara turun-temurun dimanfaatkan serta dilestarikan oleh suku Batak

Toba terkhusus pada masyarakat Samosir sebagai daerah asal-usul suku Batak Toba.

Menurut cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan diawali dari kisah cinta

terlarang dari dua orang saudara kembar berlainan jenis yaitu Si Aji Donda Hatahutan

dan Si Boru Tapi Nauasan. Mereka melanggar norma dengan melakukan hubungan

badaniah sehingga mendapatkan karma yaitu ditelan pohon piu-piu tanggulon (hau

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tada-tada) dan tidak dapat terbebaskan. Ada lima orang datu yang berusaha

membebaskan mereka namun gagal dan justru ikut ditelan oleh pohon tersebut.

Hingga akhirnya, seorang datu terakhir berhasil memotong pohon tersebut dan

menjadikannya sebuah tongkat dengan ukiran menyerupai rupa manusia dan hewan

yang ikut ditelan pohon tersebut. Tongkat tersebut menjadi tongkat sakti yang

diyakini memiliki kekuatan gaib seperti untuk meminta hujan, menahan hujan,

menolak bala, mengobati wabah, mengobati penyakit, mencari dan menangkap

pencuri, dan membantu dalam peperangan.

Berdasarkan kebudayaan yang terdapat pada cerita tersebut seperti seninya,

kesaktian dan pelestariannya, teori antropologi sastra yang berkaitan dengan

peristiwa-peristiwa masa lampau, hadir untuk menganalisis bentuk kearifan lokal

masyarakat Batak Toba pada Tungkot Tunggal Panaluan.

1.2 Batasan Masalah

Pembahasan sebuah penelitian akan mengalami kesulitan tanpa batasan

masalah yang akan menjadikan penelitian terarah dan terfokus terhadap tujuan

penelitian. Batasan masalah dalam penelitian ini terfokus pada bentuk kearifan lokal

Tungkot Tunggal Panaluan pada masyarakat desa Tomok kecamatan Simanindo

kabupaten Samosir.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang dan batasan masalah, maka rumusan

masalah penelitian ini adalah:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1) Bagaimanakah asal-usul Tungkot Tunggal Panaluan menurut masyarakat desa

Tomok?

2) Bagaimanakah bentuk kearifan lokal pada cerita rakyat Tungkot Tunggal

Panaluan?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.4.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1) Untuk mendeskripsikan bagaimana asal-usul Tungkot Tunggal Panaluan

menurut masyarakat desa Tomok.

2) Untuk mendeskripsikan bentuk kearifan lokal yang terdapat pada cerita rakyat

Tungkot Tunggal Panaluan.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini :

1.4.2.1 Manfaat Teoritis:


1) Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memahami bentuk-bentuk kearifan

lokal pada Tungkot Tunggal Panaluan.

2) Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah wawasan bagi pembaca

yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.

3) Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat kepada pembaca untuk memahami

teori antropologi sastra untuk menganalisis kearifan lokal dalam karya sastra.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1.4.2.2 Manfaat Praktis:
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk lebih

melestarikan kearifan lokal kebudayaan masing-masing disetiap suku yang

ada di Indonesia.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kearifan lokal

kebudayaan daerah dan kesusastraan Indonesia.

3) Memberikan informasi kepada pembaca tentang bentuk-bentuk kearifan lokal

yang terdapat dalam cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB II
KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Konsep
2.1.1 Kearifan Lokal
Sibarani (2012:177) mengatakan bahwa kearifan lokal adalah kebijaksanaan

dan pengetahuan asli suatu mayarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya

untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. Dengan

defenisi ini, kita memahami bahwa kearifan lokal itu bukan hanya nilai budaya, tetapi

dapat juga dimanfaatkan untuk menata kehidupan masyarakat dan mencapai

peningkatan kesejahteraan serta pembentukan kedamaian. Setiap etnik di Indonesia

memiliki banyak nilai budaya yang dapat dimanfaatkan untuk menata kehidupan

masyarakat. Nilai-nilai budaya dari berbagai etnik di Indonesia pada umumnya saling

mengisi dan saling melengkapi untuk satu kearifan lokal.

Menurut Sibarani (2012:133) jenis-jenis kearifan lokal itu antara lain (1)

kesejahteraan, (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) gotong

royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas budaya, (9) peduli

lingkungan, (10) kedamaian, (11) kesopansantunan, (12) kejujuran, (13)

kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen, (16)

pikiran positif, dan (17) rasa syukur.

Suyanto (dalam Sibarani, 2012:135) mengatakan untuk pembangunan

karakter bangsa Indonesia, kearifan lokal menjadi sumber penting yang harus dimiliki

oleh generasi penerus bangsa. Pembentukan karakter berarti mengajarkan kearifan-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kearifan lokal pada generasi muda. Karakter adalah sikap dan cara berpikir,

berperilaku, dan berinteraksi sebagai ciri khas seseorang individu dalam hidup,

bertindak, dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat maupun

bangsa. Dalam naskah akademik Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter

Bangsa, Kementerian Pendidikan Nasional telah merumuskan delapan belas (18)

nilai karakter yang akan dikembangkan atau ditanamkan kepada anak-anak dan

generasi muda bangsa Indonesia. Nilai-nilai karakter tersebut adalah: (1) religius, (2)

jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8)

demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12)

menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar

membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.

Kebudayaan lokal sejatinya menunjuk kepada karakteristik masing-masing

keragaman setiap suku di Indonesia. Karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur

yang menjadi pedoman dalam bertindak dan berperilaku masyarakatnya. Setiap etnis

mempunyai nilai budaya sendiri dan proses pewarisannya dalam pembentukan

karakter masyarakat pendukungnya.

Menurut Djamaris dkk (1996:3), nilai budaya dikelompokkan berdasarkan

lima kategori hubungan manusia, yaitu (1) nilai budaya dalam hubungan manusia

dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam, (3) nilai

budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, (4) nilai budaya alam

hubungan manusia dengan orang lain, dan (5) nilai budaya dalam hubungan manusia

dengan diri sendiri. Selanjutnya Djamaris dkk, menjelaskan nilai budaya tersebut

sebagai berikut:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan

Perwujudan hubungan manusia dengan Tuhan, sebagai Yang Suci, Yang

Mahakuasa, adalah hubungan yang paling mendasar dalam hakikat keberadaan

manusia di dunia ini. Berbagai cara dan bentuk dilakukan manusia untuk

menunjukkan cinta kasih mereka kepada Tuhan, karena mereka ingin kembali dan

bersatu dengan Tuhan. Nilai yang menonjol dalam hubungan manusia dengan Tuhan

adalah nilai ketakwaan, suka berdoa, dan berserah diri.

2. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam.

Alam merupakan kesatuan kehidupan manusia di mana pun dia berada.

Lingkungan ini membentuk, mewarnai, ataupun menjadi objek timbulnya ide-ide dan

pola pikir manusia. Manusia memandang alam karena masing-masing kebudayaan

memiliki persepsi yang berbeda tentang alam. Ada kebudayaan yang memandang

alam sebagai sesuatu yang dahsyat, ada pula kebudayaan memandang alam untuk

ditaklukkan manusia, dan ada kebudayaan lain yang menganggap manusia hanya bisa

berusaha mencari keselarasan dengan alam. Nilai yang menonjol dalam hubungan

manusia dengan alam adalah nilai penyatu dan pemanfaatan alam.

3. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat

Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat adalah nilai-nilai

yang berhubungan dengan kepentingan para anggota masyarakat sebagai individu,

sebagai pribadi. Individu atau perseorangan berusaha mematuhi nilai-nilai yang ada

dalam masyarakat karena dia berusaha mengelompokkan diri dengan anggota

masyarakat yang ada, yang sangat mementingkan kepentingan bersama bukan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kepentingan diri sendiri. Kepentingan yang diutamakan dalam kelompok atau

masyarakat adalah kebersamaan.

4. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain

Sebagaimana telah dinyatakan dalam nilai budaya dalam hubungan manusia

dengan masyarakat bahwa manusia adalah makhluk sosial pada dasarnya hidup dalam

kesatuan kolektif, manusia dipastikan selalu berhubungan dengan manusia lain. Nilai

budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain adalah nilai keramahan dan

kesopanan, penyantun/kasih sayang, kesetiaan, dan kepatuhan kepada orang tua.

5. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain

dalam hidupnya. Disamping itu, manusia juga merupakan mahhluk individu yang

mempunyai keinginan pribadi untuk meraih kepuasan dan ketenangan hidup, baik

lahariah dan bataniah. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri

adalah harga diri, kerja keras, kerendahan hati, bertanggung jawab, dan menuntut

ilmu.

Pada penelitian ini, terdapat enam nilai budaya yang dapat mendeskripsikan

bentuk kearifan lokal dalam cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan pada

masyarakat Batak Toba di desa Tomok kecamatan Simanindo kabupaten Samosir.

Keenam nilai budaya tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) Nilai budaya

hubungan manusia dengan Tuhan (a) nilai religius, (2) Nilai budaya hubungan

manusia dengan masyarakat (a) nilai peduli sosial (b) nilai pelestarian dan kreativitas

budaya yaitu seni rupa, seni tari, seni musik dan seni untuk ekonomi (c) nilai peduli

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sesama (d) nilai gotong royong, (3) Nilai budaya hubungan manusia dengan dirinya

sendiri (a) nilai tanggung jawab.

2.1.2 Cerita Rakyat


Cerita rakyat adalah salah satu karya sastra berupa cerita yang lahir, hidup

dan berkembang pada beberapa generasi dalam masyarakat tradisional, baik

masyarakat itu telah mengenal huruf atau belum, disebarkan secara lisan,

menngandung survival, bersifat anonim, serta disebarkan diantara kolektif tertentu

dalam kurun waktu yang cukup lama (Sisyonodkk, 2008:4). Cerita rakyat dapat

diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang

berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya dan susunan nilai sosial

masyarakat tersebut. Mengenal cerita rakyat adalah bagian dari mengenal sejarah dan

budaya suatu bangsa.

Cerita rakyat merupakan bagian dari folklor. Folk adalah sekelompok orang

yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan sehingga dapat

dibedakan dengan kelompok-kelompok lainnya. Istilah lore ditilik dari segi isinya

dan anggapan masyarakat terhadap tokoh-tokoh maupun ceritanya, maka cerita

merupakan tradisi folk. Menurut Dananjaja, folklor adalah sebagian kebudayaan suatu

kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif

macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan

maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat

(Danandjaja, 1984:1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Brunvand membedakan folklor menjadi tiga macam, yaitu: 1) Folklor lisan

(verbal folklore), 2) folklor setengah lisan (partly verbal folklore), dan 3) folklor

bukan lisan (nonverbal folklore). Secara praktis ketiganya dapat dikenali dari bentuk

masing-masing, yaitu oral (mentifact), sosial (sociafact), dan material (artifact).

Folklor lisan terdiri atas: a) ungkapan tradisional (pepatah, peribahasa, semboyan), b)

nyanyian rakyat (nyanyian untuk menidurkan anak seperti nina bobok), c) bahasa

rakyat (dialek, julukan, sindiran, bahasa rahasia, bahasa remaja dan sebagainya), d)

teka-teki (berbagai bentuk tanya jawab pada umumnya untuk mengasah pikiran), e)

cerita rakyat (mite, legenda, sage). Folklor setengah lisan, di antaranya: a) drama

rakyat (ketoprak, ludruk, wayang kulit, legendria, arja), b) tari (serimpi, maengket,

pendet), c) upacara (kelahiran, perkawinan, kematian), d) permainan dan hiburan

rakyat (sembunyi-sembunyian, teka-teki), e) adat kebiasaan (gotong-royong,

menjenguk orang mati), f) pesta rakyat (sekaten, pesta kesenian Bali). Folklor

nonlisan di antaranya: a) material (mainan, makanan, arsitektur, alat-alat, musik,

pakaian, perhiasan, obat-obatan dan sebagainya), b) bukan material (bunyi musik,

banyi gamelan, bahasa isyarat) (Ratna, 2011:102).

2.1.3 Samosir
Kabupaten Samosir merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi

Sumatera Utara, Indonesia. Kabupaten Samosir adalah kabupaten yang baru

dimekarkan dari kabupaten Toba Samosir sesuai dengan UU RI Nomor 36 Tahun

2003 pada tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan

Kabupaten Serdang Bedagai.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kabupaten Samosir terletak diantara 2°24ˈ-2°25ˈLU 98°21ˈ-99°55ˈBT dan

memiliki luas 1.419,5 km2, dengan populasi total 150.187 jiwa serta kepadatan 105,8

jiwa/km2. Kabupaten Samosir terdiri dari tiga belas kecamatan; sepuluh kecamatan

berada di Pulau Samosir dan tiga kecamatan di daerah lingkar luar Danau Toba tepat

pada punggung pegunungan Bukit Barisan, yaitu: Harian, Nainggolan, Onan Runggu,

Palipi, Pangururan, Ronggur Nihuta, Sianjur Mulamula, Simanindo, Sitiotio,

Pangururan Utara, Rianiate Raya, Buhit Bersatu, Lontung, dan terdiri dari 106

kelurahan/desa, termasuk salah satunya adalah desa Tomok.

Kabupaten Samosir memiliki batas wilayah sebagai berikut:

• Sebelah Utara dengan kabupaten Karo dan kabupaten Simalungun.

• Sebelah Selatan dengan kabupaten Tapanuli Utara dan kabupaten Humbang

Hasundutan

• Sebelah Barat dengan kabupaten Dairi dan kabupaten Pakpak Bharat.

• Sebelah Timur dengan kabupaten Toba Samosir

2.2 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka berfungsi untuk memaparkan penelitian yang sudah pernah

dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain. Penelitian Turi-turian Tungkot Tunggal

Panaluan sudah pernah diteliti oleh Suryana A Silalahi (2012), Mahasiswa

Universitas Negeri Medan dalam skripsinya yang berjudul “Cerita Rakyat Mengenai

Kesaktian Tongkat Tunggal Panaluan Pada Masyarakat Batak Toba di Desa Tomok

Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir (Antara Fakta dan Mitos)” menguraikan

bahwa dalam kisah kesaktian Tongkat Tunggal Panaluan, terdapat keterkaitan antara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


fakta dan mitos. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa di dalam cerita tersebut

terdapat fakta sejarah, yaitu berupa bukti peninggalan Tongkat Tunggal Panaluan itu

sendiri dan berbagai mitos yang membumbui dan menghiasi cerita tersebut sehingga

menarik untuk didengarkan. Dalam kisah kesaktian Tongkat Tunggal Panaluan, fakta

dan mitos merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dilepaspisahkan dari kisah itu

sendiri. Fakta dan mitos telah membaur menjadi satu sehingga merupakan kisah yang

mengandung dua sisi yang saling berkaitan. Mitos mengenai kesaktian Tongkat

Tunggal Panaluan didukung oleh fakta bahwa masih ada bukti peninggalan Tongkat

Tunggal Panaluan itu sendiri. Demikian juga sebaliknya, fakta mengenai kesaktian

Tongkat Tunggal Panaluan ini didukung oleh mitos-mitos yang membuatnya menjadi

satu kisah yang utuh. Ada sebagian masyarakat yang berpersepsi positif, ragu-ragu

dan negatif terhadap kisah kesaktian Tunggal Panaluan ini. Hal itu disebabkan oleh

banyak faktor seperti pengalaman, kepercayaan, pendidikan dan lain-lain. Namun hal

tersebut merupakan suatu hal yang wajar jika masyarakat memiliki persepsi tersendiri

terhadap kesaktian Tunggal Panaluan tersebut baik berupa tanggapan positif maupun

negatif. Karena pada dasarnya merupakan suatu proses yang terjadi dalam

pengamatan seseorang terhadap orang lain. Jadi setiap orang tidak terlepas dari proses

persepsi dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

Wipan Manik (2015), Mahasiswa Universitas Negeri Medan dalam skripsinya

yang berjudul “Analisis Visual Tongkat Tunggal Panaluan Ditinjau Dari Perubahan

Bentuk, Fungsi dan Makna” hasil penelitiannya menyatakan; 1. Tongkat Tunggal

Panaluan memiliki panjang 1,70 m, dengan garis tengah 5 - 6 cm, dan diukir dalam

kayu yang istimewa, yaitu kayu donggala atau kayu piu – piu tangguli (kayu keras),

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kayu yang keras berwarna agak kehitam-hitaman ini tidak mudah busuk atau rusak,

serta mudah dipahat dan diukir, makin tua makin indah warnanya, ujung bagian atas

Tongkat dihiasi dengan surai rambut kuda berwarna hitam, atau seikatan bulu ayam

berwarna tiga (putih, merah dan hitam bonang Manalu). Sekarang Tongkat Tunggal

Panaluan muncul dengan berbagai variasi bentuk diciptakan dengan menggunakan

teknik pahat yang digunakan sebagai cinderamata yang terdapat pada kios Wisata

Samosir. Tongkat Tunggal Panaluan mengalami perubahan bentuk, yaitu terciptanya

cinderamata Tongkat Tunggal Panaluan yang mempunyai bentuk yang lebih kreatif

dan menarik. 2. Makna yang terkandung pada Tunggal Panaluan adalah sebuah

tongkat sakti yang dimiliki oleh raja atau datu orang batak yang memberikan

kekuatan, dapat menangkal roh jahat, menjadikan tanah menjadi subur, mengobati

orang sakit, mendatangkan dan memberhentikan hujan dan menjadikan tongkat

tersebut menjadi senjata untuk melawan musuh, sebagai tongkat penjelmaan dari

Tuhan Sang Khalik dan sekarang tongkat yang di miliki oleh raja atau datu orang

Batak untuk memimpin acara seremonial daerah mereka masing-masing, menjadikan

sebuah tongkat yang sakral bagi masyarat di Samosir.

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Antropologi Sastra


Menurut Ratna (2011:6), antropologi sastra adalah analisis terhadap karya

sastra yang di dalamnya terkandung unsur-unsur antropologi. Dalam hubungan ini

jelas karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya unsur-unsur antropologi

sebagai pelengkapnya. Oleh karena kajian antropologi sangat luas, maka kaitannya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dengan sastra dibatasi pada antropologi budaya, sesuai dengan hakikat sastra itu

sendiri, yaitu sastra sebagai hasil aktifitas kultural, baik dalam bentuk kasar, sebagai

naskah (artifact), maupun interaksi sosial (socifact) dan kontemplasi diri (mentifact).

Secara umum antropologi diartikan sebagai suatu pengetahuan atau penelitian

terhadap sikap dan perilaku manusia. Antropologi melihat semua aspek budaya

manusia dan masyarakat sebagai kelompok variable yang berinteraksi, sedangkan

sastra menjadi identitas suatu bangsa. Sastra merupakan pantulan hidup manusia

secara simbolis. Simbol-simbol budaya sastra dapat dikaji melalui cabang antropologi

sastra. Sebagai rekaman budaya, sastra layak dipahami lewat antropologi sastra.

Sastra adalah warisan budaya yang memuat pola-pola kehidupan masyarakat.

Antropologi sastra akan memburu makna sebuah ekspresi budaya dalam sastra. Sastra

dipahami sebagai potret budaya yang lahir secara estetis. Oleh karena itu, konteks

budaya dalam sastra menjadi ciri khas astropologi sastra.

Ciri khas antropologi sastra adalah aspek kebudayaan, khususnya masa

lampau. Dikaitkan dengan masa lampau tersebut, antropologi sastra diperlukan

dengan pertimbangan kekayaan kebudayaan seperti yang diwariskan oleh nenek

moyang. Walaupun dikaitkan dengan masa lampau, karya sastra dalam konteks

kebudayaan memiliki banyak manfaat yang mencerminkan nilai yang dapat

membangun karakter bangsa.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif.

Bogdan dan Taylor menjelaskan metode kualitatif merupakan sebuah prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan

dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2016:4).

3.2 Lokasi, Sampel dan Waktu Penelitian


3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Tomok, kecamatan Simanindo, Kabupaten

Samosir. Jarak dari Medan ke Samosir adalah 246,8 km.

3.2.2 Sampel Penelitian

Informan yang dipilih adalah enam orang penduduk yang berdomisili di lokasi

penelitian dengan tidak menentukan batas umur.

3.2.3 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 25 Juni 2017 dan 4 – 6 Oktober 2017.

3.3 Sumber Data


Data penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer

penelitian ini adalah:

Judul : Seni Patung Batak dan Nias

Penulis : M. Saleh B. A.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Penerbit : Direktorat Jendral Kebudayaan

Tahun : 1980

Tebal Buku : 202 Halaman

Cetakan : Pertama

Warna Sampul : Kuning Kecoklatan

Gambar Sampul :

Data sekunder dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dari beberapa

informan serta hasil rekaman (dokumenter).

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Studi Pustaka

Menurut Tantawi (2014:61) teknik penelitian kepustakaan adalah

suatu teknik penelitian yang menggunakan buku sebagai objek penelitian.

Pada penelitian ini, akan diperoleh data dan informasi mengenai objek

penelitian melalui buku. Peneliti memulai dengan membaca cerita rakyat

Tungkot Tunggal Panaluan, selanjutnya mencatat data-data yang dapat

dianalisis menggunakan analisis antropologi sastra.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2) Wawancara

Menurut Sugiono (2009:317) wawancara adalah pertemuan dua orang

untuk bertukar informasi melalui tanya jawab. Dengan wawancara, peneliti

akan medapatkan informasi tentang Tungkot Tunggal Panaluan dengan hasil

yang lebih mendalam dan akurat. Dengan demikian, hal-hal yang diragukan

dapat dibenarkan. Untuk mendapatkan informasi, peneliti akan melakukan

teknik mencatat dan merekam suara dari informan supaya tidak kehilangan

informasi sedikitpun dari penjelasan yang diberikan informan ketika

wawancara berlangsung. Adapun alat yang digunakan seperti pulpen, kertas

daftar pertanyaan dan jawaban yang telah dipersiapkan serta alat rekam.

3) Dokumenter

Dokumenter digunakan untuk melengkapi penelitian ini. Peneliti akan

mengumpulkan foto-foto maupun rekaman video yang berhubungan dengan

Tungkot Tunggal Panaluan pada masyarakat di desa Tomok kecamatan

Simanindo kabupaten Samosir. Hasil dokumenter akan dipadukan dengan

semua data yang diperoleh sehingga dapat mencapai tujuan penelitian.

3.5 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriftif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan

suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang. Penelitian deskripsi

mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


masyarakat serta situasi-situasi, termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap,

pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena.

Menurut Nasir (dalam Tantawi, 2014:66) metode deskriftif yaitu

mendeskripsikan tentang situasi atau kejadian, gambaran, lukisan, secara sistematis,

faktual, akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena

dengan fenomena pada objek yang diteliti. Melalui penelitian deskriptif, peneliti

berusaha mendeskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa

memberikan perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Asal Usul Tungkot Tunggal Panaluan

Dahulu kala ada seorang raja yang memiliki anak kembar seorang laki-laki

dan seorang perempuan. Sejak kecil hingga beranjak dewasa mereka selalu bersama-

sama dan saling menyayangi layaknya sepasang kekasih. Suatu ketika, raja

mengetahui kedua anaknya telah berhubungan suami istri. Lalu raja mengungsikan

anaknya ke hutan lantaran malu kepada penduduk desa. Saat di hutan, anak

perempuan itu memanjat pohon tada-tada yang sedang berbuah. Saat mengambil

buahnya dia ditelan pohon itu hingga kepalanya saja yang tersisa. Dengan segera

anak laki-laki itupun memanjat pohon tersebut dengan maksud menolong adiknya,

namun dia juga ikut ditelan oleh pohon tersebut dan hanya kepalanya saja yang

tersisa.

Keesokan harinya saat raja datang ke hutan mengantarkan makanan untuk

anaknya, raja mendengar suara tangisan meminta tolong. Raja mencari asal suara dan

menemukan kedua anaknya telah ditelan pohon dan tak dapat membebaskan diri.

Raja bergegas berlari pulang ke desa untuk mencari pertolongan. Setelah menemukan

seorang datu yang bersedia untuk menolongnya, mereka pun pergi ke hutan untuk

membebaskan anaknya dari tawanan pohon tersebut. Namun saat datu menyentuh

pohon itu, dia juga ditelan oleh pohon itu dan hanya kepalanya saja yang tersisa. Hal

tersebut juga terjadi sampai pada datu yang kelima. Hingga akhirnya raja pun

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


membawa datu yang keenam. Datu tersebut berkata, bahwa semua yang ditelan oleh

pohon tersebut tidak dapat lagi diselamatkan. Lalu datu itupun menebang pohon itu.

Saat pohon tersebut ditebang, kepala kedua anak raja dan kelima datu itu lenyap

ditelan pohon itu seluruhnya. Kemudian datu yang menebang pohon itu kesurupan,

dia dimasuki oleh kelima roh datu yang telah lenyap ditelan pohon itu. Roh itu

meminta supaya pohon tersebut diukir menjadi tongkat yang menyerupai wajah

mereka, dan berjanji akan memenuhi segala keinginan siapapun yang memintanya,

sebab kesaktian mereka menyatu yang dapat mengabulkan segala permintaan orang

yang memakainya. Hal tersebut dipenuhi oleh raja dan datu tersebut, mereka

mengukir pohon itu menjadi sebuah tongkat yang dinamai Tungkot Tunggal

Panaluan.

Sumber cerita: Informan K. Sidabutar

4.2 Bentuk Kearifan Lokal Cerita Rakyat Tungkot Tunggal Panaluan

Bentuk kearifan lokal dalam nilai budaya yang dikelompokkan berdasarkan

kategori hubungan manusia pada cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan adalah

sebagai berikut:

4.2.1 Kearifan Lokal dalam Hubungan Manusia dengan Tuhan

4.2.1.1 Nilai Religius

Nilai religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan

ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain dan

hidup rukun dengan pemeluk agama lain Sibarani, 2012:135). Religi mencakup

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian

yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan

manusia dan lingkungan hidupnya (Harahap dkk, 1987:133).

Kepercayaan kepada Mulajadi Na Bolon merupakan agama suku, yaitu suku

Batak khususnya Batak Toba. Mulajadi Na Bolon adalah pencipta manusia, langit,

bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh umat Ugamo Malim

(Parmalim). Agama Parmalim meyakini Debata Mulajadi Na Bolon dapat

berhubungan kepada manusia yang masih hidup, baik untuk maksud mendatangkan

berkah atau untuk mendatangkan malapetaka (Tambunan E.H, 1982:66). Teks berikut

menunjukkan bahwa masyarakat suku Batak Toba memiliki kepercayaan kepada

Mulajadi Na Bolon.

“Melihat keadaan kemarau tersebut membuat Raja Bius menjadi risau, lalu ia
pergi menjumpai Guru Hatimbulan dan berkata kepadanya:
“Mungkin ada baiknya kita mencari sebabnya dan bertanya kepada Debata
Mulajadi Na Bolon, mengapa panas dan kemarau ini masih terus
berkepanjangan? hal ini sangat jarang terjadi sebelumnya” (Seni Patung Batak
dan Nias: 49)

Untuk menjaga dan memelihara hubungan antara manusia dengan roh-roh

nenek moyang, tiap-tiap individu dalam masyarakat Batak Toba harus melakukan

berbagai aturan kepercayaan yang salah satunya adalah martutu aek. Martutu aek

juga diartikan sebagai acara kepercayaan, memperkenalkan bayi pada Mulajadi Na

Bolon dan meminta agar bayi itu disucikan. Kepercayaan tersebut terdapat pada

penggalan teks berikut ini:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


“Guru Hatimbulan memotong seekor lembu untuk mengadakan pesta martutu
aek (memberi nama) kepada kedua anaknya tersebut. Ia mengundang semua
penatua-penatua dan kepala kampung dalam perjamuan itu” (Seni Patung
Batak dan Nias: 49)

Pesta acara martutu aek ataupun pemberian nama kepada bayi yang

dilaksanakan masyarakat Batak Toba pada umumnya dipertimbangkan dengan

cermat, karena suku Batak Toba meyakini nama dan tondi (roh) harus sejalan. Jika

mengambil nama seperti nama Ompung atau leluhurnya, maka harus mendapat

persetujuan dari seluruh keturunan saompu (satu leluhur). Setelah mendapat doa restu

keluarga dan sanak saudara, maka dilanjutkan makan bersama dengan menyembelih

seekor lembu sebagai ucapan syukur. Setelah Kristen masuk ke tanah Batak, adat

martutu aek kemudian menjadi sama dengan babtisan Kristen (tardidi) yang

dilaksanakan di Gereja oleh Pendeta dengan memercikkan air kepada bayi.

Selanjutnya Tambunan E.H mengatakan, orang Batak Toba baik secara

pribadi maupun secara kelompok mengakui adanya kuasa di luar kuasa manusia.

Pengakuan demikian nyata benar dalam kehidupan sehari-hari adanya hasrat manusia

secara keseluruhan menyerahkan diri kepada kuasa yang dimaksud itu. Hal itu

mendorong setiap individu dalam masyarakat supaya tunduk kepada kuasa tersebut

sesuai dengan cara bagaimana menghormati kuasa itu sendiri. Motif setiap

penghormatan ditujukan untuk mendapat perlindungan agar terhindar dari bahaya.

Hal ini terdapat pada kutipan teks berikut ini:

“Datu Parmanuk Koling memulai ritualnya, ia berdoa dan membaca mantra


untuk membujuk roh yang menawan kedua anak Guru Hatimbulan” (Seni
Patung Batak dan Nias: 51)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam teks tersebut Datu Parmanuk Koling melaksanakan penghormatan

melalui doa dan membaca mantra kepada kuasa roh. Penghormatan dilakukan untuk

meminta pertolongan supaya membebaskan kedua anak Guru Hatimbulan. Selain

melaksanakan penghormatan melalui doa dan membaca mantra, memberikan

persembahan kepada roh nenek moyang adalah menjadi sebuah tradisi bagi suku

Batak Toba untuk menghormati leluhurnya, seperti pada penggalan teks berikut ini:

“Datu Si Parpansa Ginjang berkata bahwa mereka harus memberikan


persembahan kepada semua roh yaitu roh tanah, roh air, roh kayu supaya
dapat membebaskan kedua anak Guru Hatimbulan” Seni Patung Batak dan
Nias: 52)

Teks tersebut menunjukkan suku Batak Toba memiliki kepercayaan bahwa

memberikan persembahan kepada semua roh dapat memberikan pertolongan kepada

mereka dalam menyelesaikan suatu masalah. Tradisi dan kepercayaan demikian tetap

dilaksanakan dan dilestarikan suku Batak Toba terhadap penggunaan Tungkot

Tunggal Panaluan. Menurut informan P. Situmorang, Tungkot Tunggal Panaluan

dipercayai dapat digunakan untuk berkomunikasi kepada Mulajadi Na Bolon dan

kepada para roh nenek moyang. Selain itu, Tungkot Tunggal Panaluan juga

dipercayai dapat memanggil hujan, menahan hujan dan mengobati segala macam

penyakit sesuai dengan permintaan orang yang melaksanakan ritualnya. Proses

menggunakan atau manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan tidaklah sembarangan.

Sebelum manortor, datu maupun raja melaksanakan ritual, dalam ritualnya datu

maupun raja harus mamele (memberikan persembahan) kepada roh nenek moyang.

Persembahan itu berupa segala jenis makanan parbaringin (parmalim) zaman dulu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Datu maupun raja akan mengucapkan mantranya dan mendoakan apa yang

diinginkannya. Tongkat tersebut dapat dilihat pada gambar 4.1.

Gambar 4.1
Tungkot Tunggal Panaluan disimpan di Museum Tomok.

4.2.2 Kearifan Lokal dalam Hubungan Manusia dengan Masyarakat

4.2.2.1 Nilai Peduli Sosial

Nilai peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi

bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan (Sibarani, 2012:135).

Oleh karena itu, kepedulian sosial adalah minat atau ketertarikan kita untuk

membantu orang lain. Kepedulian sosial yang dimaksud bukanlah untuk mencampuri

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


urusan orang lain, tetapi lebih pada membantu menyelesaikan permasalahan yang di

hadapi orang lain dengan tujuan kebaikan dan perdamaian. Nilai peduli sosial itu

terdapat pada teks berikut ini:

“Beberapa hari setelah itu, seorang datu bernama Si Parpansa Ginjang


memberitahukan kepada Guru Hatimbulan bahwa dia dapat membebaskan
kedua anaknya dari tawanan pohon itu. Guru Hatimbulan mempercayai
omongan datu Si Parpansa Ginjang dan menyediakan semua yang diminta
oleh datu tersebut.” (Seni Patung Batak dan Nias : 51)

Datu adalah seseorang yang mempunyai keahlian ataupun kemampuan di luar

daya normal manusia awam. Pada masyarakat Batak Toba, datu bersedia memberi

bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Hal tersebut tampak

pada penggalan teks cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan tersebut, yaitu datu

membantu Guru Hatimbulan dalam membebaskan anaknya dari tawanan pohon.

Sikap tersebut, merupakan sikap peduli sosial pada orang lain yang membutuhkan.

Nilai peduli sosial tersebut masih dapat ditemukan pada masyarakat suku

Batak Toba dalam kearifan Tungkot Tunggal Panaluan. Menurut kesaksian informan

K. Sidabutar, pernah melihat seorang datu meletakkan Tungkot Tunggal Panaluan

disisinya saat menyembuhkan penyakit seseorang. Tungkot Tunggal Panaluan tidak

hanya dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit saja, tetapi kesaktiannya juga

dapat memenuhi segala yang diinginkan oleh sipemiliknya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.2.2.2 Nilai Pelestarian dan Kreativitas Budaya

Pelestarian adalah sebagai kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus,

terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya

sesuatu yang tetap dan abadi (Ranjabar, 2006:115).

Koentjaraningrat (1994:9) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan

gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta

keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Defenisi tersebut menegaskan bahwa

dalam kebudayaan mensyaratkan terjadinya proses belajar untuk mampu

memunculkan ide atau gagasan dan karya selanjutnya menjadi kebiasaan.

Menurut Keterangan P. Situmorang, masyarakat di desa Tomok selalu

melestarikan dan membudidayakan Tungkot Tunggal Panaluan setiap tahunnya pada

bulan Juli dengan melaksanakan tortor Tungkot Tunggal Panaluan dalam acara horja

bius (bersifat sakral sebagai upacara persembahan kepada leluhur Ompung Raja

Sidabutar yang telah mendirikan kampung Tomok). Tungkot Tunggal Panaluan yang

dipakai dalam acara horja bius bukanlah tongkat yang asli, karena Tungkot Tunggal

Panaluan yang asli disimpan di Pusuk Buhit yang merupakan tempat penyimpanan

harta peninggalan raja-raja Batak di zaman dahulu dan tidak pernah dikeluarkan.

Namun, Tungkot Tunggal Panaluan yang dipakai di acara tersebut telah diisi

kekuatan magis oleh seorang datu bolon yang memiliki kemampuan memberi

kesaktian pada Tungkot tersebut. Selain untuk tujuan menghormati leluhur dan

meminta perlindungan kepada nenek moyang, tortor Tungkot Tunggal Panaluan juga

bertujuan untuk meperkenalkan kebudayaan suku Batak Toba kepada generasi di desa

itu dan kepada wisatawan yang datang ke desa Tomok. Hal tersebut dibenarkan oleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


informan Lusiana Silalahi. Dia menyaksikan ritual dan tortor Tungkot Tunggal

Panaluan yang dibawakan oleh raja Sidabutar dalam acara horja bius. Dalam acara

tersebut juga dipertunjukkan drama yang mengisahkan asal mula terjadinya Tungkot

Tunggal Panaluan. Informan K. Sidabutar juga mengutarakan bahwa masyarakat di

desa Tomok sering manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan sebagai bentuk

pelestariannya supaya kebudayaan itu tidak terhapuskan ditelan kemajuan zaman.

Begitu juga dengan Informan Pebri Sidabutar, dia pernah menyaksikan ritual dan

tortor Tungkot Tunggal Panaluan dalam acara pagelaran seni dan budaya yang

diadakan pada tanggal 17 Agustus yang lalu. Dalam acara tersebut, yang

melaksanakan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan adalah agama Parmalim.

Namun, dia menerangkan bahwa selain yang beragama Parmalim juga boleh

mengadakan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan seperti pada acara horja

bius dan hari hari penting lainnya. Demikian juga dengan yang dikatakan informan

Op. Yesaya Sidabutar, yang mengatakan Tungkot Tunggal Panaluan tetap

dibudidayakan dan ditampilkan sebagai pertunjukan maupun drama dalam setiap

acara penting di desa Tomok sebagai bentuk pelestarian masyarakat Batak Toba

terhadap budaya leluhurnya. Ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan yang

memiliki kekuatan magis hanya didapati di zaman dulu saat masyarakat Batak Toba

masih memeluk agama Parmalim. Pertunjukan Tungkot Tunggal Panaluan yang

ditampilkan di zaman sekarang adalah untuk tujuan melestarikan budaya Batak Toba,

dan tidak ada lagi kekuatan magis maupun mantra yang sesunguhnya. Dia juga

menambahkan bahwa Tortor Tungkot Tunggal Panaluan telah menjadi kearifan lokal

di desa Tomok, karena tortor tersebut selalu dibawakan dalam event tetap yaitu horja

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bius di desa Tomok. Tortor Tungkot Tunggal Panaluan dapat dilihat pada gambar

4.2, dan 4.3 pada acara pagelaran seni yang diadakan di desa Tomok.

Gambar 4.2
Tortor Tungkot Tunggal Panaluan

Gambar 4.3
Pertunjukan drama asal usul terjadinya Tungkot Tunggal Panaluan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 4.4
Drama ritual Tungkot Tunggal Panaluan

Pada teks berikut ini terdapat pernyataan bagaimana pemanfaatan selanjutnya

pada Tungkot Tunggal Panaluan yang diamanatkan oleh roh yang bersemayam pada

tongkat tersebut:

“Lalu roh itu berkata:


“Baiklah, biarlah begini adanya Ayah, dan gunakanlah aku untuk meminta
hujan, menahan hujan, menolak bala, mengobati wabah, mengobati penyakit,
mencari dan menangkap pencuri dan membantu dalam peperangan” (Seni
Patung Batak dan Nias: 53)

Tungkot Tunggal Panaluan yang dibudidayakan oleh masyarakat suku Batak

Toba terdapat pada keterangan P. Situmorang, yang menyatakan bahwa Tungkot

Tunggal Panaluan tidak boleh dipergunakan dan dipatortorhon oleh sembarangan

orang, karena yang dapat mempergunakannya hanyalah raja (seseorang yang

bermarga asli dari keturunan di desa dimana Tungkot Tunggal Panaluan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dipatortorhon, seperti di desa Tomok hanya marga Sidabutarlah yang dapat

manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan). P. Situmorang pernah dimintai untuk

patortorhon Tungkot Tunggal Panaluan di desa Tomok. Namun, P. Situmorang

menolak karena dia bukanlah keturunan marga asli di desa Tomok tetapi, dia adalah

keturunan marga Situmorang yang pernah diperistri oleh raja Sidabutar di jaman

dahulu. Menurut kesaksian P. Situmorang di desa Tomok pernah ada dua orang yang

bermarga Sigiro dan Sagala manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan, setelah usai

manortor mereka jatuh sakit dan tidak lama kemudian akhirnya meninggal dunia.

Kejadian tersebut diyakini oleh masyarakat desa akibat mereka manortorhon Tungkot

Tunggal Panaluan dengan sembarangan orang yang bukan raja di desa itu.

Pernyataan tersebut juga didapat dari informan K. Sidabutar yang mengatakan bahwa

orang yang melaksanakaan ritual maupun tortor Tungkot Tunggal Panaluan harus

dilakukan oleh seorang raja yang merupakan pemimpin marga di desanya dan

memiliki penjaga badan supaya roh-roh jahat tidak mengganggunya saat menjalankan

ritual maupun tortor. Hal itu terbukti, karena telah terjadi kehilangan nyawa

seseorang yang sembarangan melakukan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan

tersebut. Selanjutnya Pebri Sidabutar mengatakan, pada acara pagelaran seni dan

budaya yang dia saksikan, Tungkot Tunggal Panaluan dipertunjukkan oleh beberapa

orang. Seseorang diantaranya memegang Tungkot Tunggal Panaluan sambil

kesurupan dan seperti berbicara kepada Tungkot Tunggal Panaluan, dalam pagelaran

tersebut mereka melaksanakan ritualnya untuk meminta hujan sambil diiringi

gondang dan tortor oleh beberapa orang lainnya. Beberapa saat kemudian seketika

itupun turun hujan. Begitu juga dengan pernyataan Op. Yesaya Sidabutar yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mengatakan bahwa Tungkot Tunggal Panaluan sebagai tongkat yang sakti digunakan

oleh pemimpin adat yang beragama parbaringin (parmalim) untuk meminta hujan

dan menolak bala saat musim kemarau panjang.

Masyarakat suku Batak Toba memiliki budaya dengan ragam kesenian yang

menarik. Ragam kesenian tersebut mulai dari seni rupa, seni musik, seni tari dan seni

untuk ekonomiyang hidup dan menyatu dengan adat istiadat dan sisi religi kehidupan

masyarakatnya.

a. Seni Rupa

Keterampilan memahat dan mengukir merupakan bagian dari seni rupa yang

ditekuni oleh beberapa masyarakat suku Batak Toba. Kutipan teks berikut ini

menunjukkan bahwa masyarakat suku Batak Toba kuno telah mengenal seni rupa

dalam mengukir.

“Datu Si Parpansa Ginjang berkata kepada Guru Hatimbulan:


“Potonglah pohon itu menjadi beberapa bagian dan ukirlah sesuai gambaran
dari orang-orang yang ditelan oleh pohon ini”
Guru Hatimbulan memotong batang pohon itu menjadi beberapa bagian dan
mengukirnya menjadi sebuah tongkat dengan bentuk lima orang datu, dua
orang anaknya, seekor anjing dan seekor ular. Setelah selesai mengukir
tongkat tersebut menjadi sembilan rupa, maka semua orang kembali ke
kampung Guru Hatimbulan. (Seni Patung Batak dan Nias: 53)

Teks diatas dibenarkan dalam pernyataan informan K. Sidabutar yang

menyatakan Tungkot Tunggal Panaluan adalah tongkat berukir tujuh wajah manusia

dan lima diantaranya wajah datu bolon (dukun besar) yang memiliki bermacam

kesaktian sesuai kemampuan kelima datu bolon yang terukir dalam tungkot tersebut.

Tungkot Tunggal Panaluan yang asli sudah tidak diketahui lagi keberadaannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Namun, Tungkot Tunggal Panaluan telah diduplikat yang tetap memiliki kesaktian

karena tungkot tersebut telah diisi kekuatan magis oleh seorang datu bolon. Setiap

pemimpin marga Batak Toba memiliki Tungkot Tunggal Panaluan, bahkan suku lain

dan warga negara lain pun pernah memiliki tungkot yang sakti tersebut. Di masa

sekarang Tungkot Tunggal Panaluan yang memiliki kesaktian sudah tidah tidak

pernah dibuat lagi, karena datu bolon tidak bersedia lagi untuk mengisi kekuatan pada

Tungkot Tunggal Panaluan. Kebenaran tersebut dapat dilihat pada gambar 4.5.

Gambar 4.5
Salah satu ukiran menyerupai Tungkot Tunggal Panaluan yang tidak diisi kekuatan
gaib.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


b. Seni Musik dan Seni Tari

Tambunan E.H (1986:85) mengatakan, seni musik dan seni tari merupakan

seni yang selalu dibawakan dengan bersamaan. Seni musik pada masyarakat Batak

Toba dikenal dengan alat-alat instrumen gendang yang terbuat dari bahan perunggu,

yang disebut ogung atau gong. Upacara pukul gong berkaitan dengan kuasa magis,

iramanya begitu rapat dikaitkan dengan kepercayaan kepada nenek moyang. Upacara

gong diadakan sambil manortor (menari) untuk memohon kemenangan, kesehatan

dan kehidupan sejahteraan kepada Mulajadi Na Bolon. Irama tortor disesuaikan

dengan irama gong. Seni musik dan seni tari tersebut terdapat pada teks berikut:

“Ketika mereka tiba di kampung ditandai dengan bunyi gong, Guru


Hatimbulanmengorbankan seekor lembu untuk menghormati mereka yang
diukir pada tongkat tersebut. Setelah Guru Hatimbulan selesai manortor, maka
tongkat itu diletakkan membelakangi muka lumbung padi. Laludatu Si
Parpansa Ginjang manortor, melalui tortor ini dia kesurupan (siar-siaron)
dirasuki roh-roh dari orang-orangyang ditelan pohon itu dan mulai berbicara
satupersatu”(Seni Patung Batak dan Nias: 52)

Masyarakat suku Batak Toba mulanya memainkan gong dan tortor untuk

memuja Mulajadi Na Bolon. Pelestarian dan kreativitas oleh masyarakat tersebut

akhirnya menjadikan tarian itu menjadi umum dan dijadikan seni budaya suku Batak

Toba.

Menurut informan P. Situmorang, datu maupun raja yang menggunakan atau

manortorhon (menarikan) Tungkot Tunggal Panaluan harus menggunakan jubah,

yaitu memakai ulos godang serta sorban dikepala. Manortorhon Tungkot Tunggal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Panaluan harus diiringi gondang sabangunan dan para pengikutnya juga bersama-

sama ikut manortor, dapat dilihat pada gambar 4.6 berikut ini:

Gambar 4.6
Manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan menggunakan ulos godang serta sorban di
kepala yang diiringi gondang sabangunan.

c. Seni untuk Ekonomi

Nilai pelestarian dan kreativitas budaya pada masyarakat Batak Toba

tercermin dari mempertahankan nilai-nilai seni budayanya, serta kebiasaan

memunculkan ide atau gagasan menjadikan karya selanjutnya dan menyesuaikan

dengan situasi yang selalu berubah dan berkembang.

Menurut P. Situmorang, bentuk kreativitas masyarakat di desa Tomok

terhadap pelestarian Tungkot Tunggal Panaluan yaitu mereka mengukir kayu

menyerupai Tungkot Tunggal Panaluan dan menjadikannya sebagai cendramata dari

desa Tomok. Namun, Tungkot Tunggal Panaluan yang dijadikan cendramata tidaklah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


memiliki kesaktian, karena Tungkot tersebut tidak diisi kekuatan magis. Selanjutnya

P. Situmorang juga menambahkan, walaupun Tungkot Tunggal Panaluan yang dijual

di kios-kios desa Tomok yang dijadikan cendramata tidak memiliki kesaktian, namun

kita tidak boleh manortorhonna dengan sembarangan. Karena manortorhon Tungkot

Tunggal Panaluan adalah harus untuk tujuan yang baik dan dilakukan dengan ritual

yang benar serta dipatortorhon dengan baik.

Selanjutnya dijelaskan Informan T. Siahaan yang kesehariannya menjual

Tungkot Tunggal Panaluan di kios miliknya, dia membeli Tungkot Tunggal

Panaluan dari pengrajin seni rupa yang berkediaman di desa Tomok. Menurut

pengakuannya, Tungkot Tunggal Panaluan yang merupakan salah satu cendramata

dari desa Tomok sangat laris dibeli oleh para wisatawan negara maupun

mancanegara. Ibu T. Siahaan menjual Tungkot Tunggal Panaluan mulai dari Rp.

100.000 sampai Rp 1.500.000 sesuai dengan jenis ukiran dan ukurannya, dapat dilihat

pada gambar 4.7 berikut ini:

Gambar 4.7 Tungkot Tunggal Panaluan sebagai cendramata.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.2.2.3 Nilai Peduli Sesama

Peduli dengan sesama adalah memperhatikan dan memahami sesama

manusia. Sikap peduli terhadap sesama akan menimbulkan rasa saling memiliki

dalam lingkungan masyarakat, sehingga mereka akan saling melindungi satu sama

lain. Kepedulian terhadap sesama ini dapat ditujukan dengan membantu

menyelesaikan permasalahan yang dihadapi orang lain dengan tujuan kebaikan dan

memberikan kenyamanan kepada orang lain. Demikian halnya dalam lingkungan

keluarga Batak Toba, sangat dominan dengan sikap peduli terhadap sesamanya atau

terhadap anggota warganya (Ritonga dkk, 1998:72). Hal tersebut terdapat pada

penggalan teks berikut ini:

“Setelah selesai pesta tersebut, ada beberapa kerabat menasehatkan Guru


Hatimbulan supaya anak-anak itu jangan kiranya diasuh bersama-sama, yang
satu kiranya dibawa ke barat dan yang satu lagi dibawa ke timur, sebab anak
itu lahir kembar dan juga berlainan jenis kelamin. Hal ini sangat tidak
menguntungkan menurut para penatua” (Seni Patung Batak dan Nias: 50)

Sikap yang ditunjukkan oleh beberapa kerabatnya kepada Guru Hatimbulan

merupakan kepedulian yang bertujuan kebaikan. Kerabat Guru Hatimbulan berniat

untuk melindungi maupun mencegah bilamana terjadi hal yang tidak menguntungkan

bagi mereka. Sikap tersebut merupakan sikap yang mencerminkan nilai peduli

sesama.

4.2.2.4 Nilai Gotong Royong

Sibarani (2014:8) mengatakan bahwa gotong royong merupakan kearifan

lokal berupa kegiatan sosial dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau beban.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kearifan lokal yang tercermin dalam kegiatan sosial ini berasal dari nilai budaya

luhur yang dipraktikkan nenek moyang pada zaman dahulu. Pekerjaan atau beban itu

mungkin tergolong pada kepentingan sosial dan juga tergolong kepentingan individu,

yang keduanya membutuhkan bantuan orang banyak. Ada beberapa jenis gotong

royong berdasarkan ungkapan terminologis sebagai memori kolektif masyarakat

Batak Toba tentang gotong royong. Salah satu jenis-jenis gotong royong itu adalah

gotong royong marsiurupan. Marsiurupan adalah gotong royong yang dilakukan

untuk saling membantu kepada keluarga atau warga yang membutuhkan. Masyarakat

suku Batak Toba selalu mencerminkan sikap gotong royong marsiurupan dalam

kehidupannya sehari-hari. Hal ini terdapat pada penggalan teks berikut ini:

“Dari informasi dan petunjuk yang Guru Hatimbulan cari maka bertemulah
dia dengan seorang datu yang bernama datu Parmanuk Koling. Guru
Hatimbulan menceritakan kejadian itu dan mengajak datu Parmanuk
Kolingpergi untuk menolong anaknya, diiringi oleh banyak orang yang ingin
melihat, karena kejadian ini sudah tersebar ke berbagai pelosok” (Seni Patung
Batak dan Nias: 51)
“Guru Hatimbulan dan para penonton kembali ke rumah mereka dengan hati
kecewa, tetapi mereka tidak putus asa.Mereka tetap berusaha mencari jalan
keluarnya dengan mencari datu lain” (Seni Patung Batak dan Nias: 51)

Sikap mewujudkan bekerja bersama-sama tersebut adalah sikap marsiurupan

(tolong-menolong) yang dilakukan masyarakat sekampung Guru Hatimbulan.

Seorang datu dan banyak orang memberikan bantuan kepada Guru Hatimbulan dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4.2.3. Kearifan Lokal dalam Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri

4.2.3.1 Nilai Tanggung Jawab

Menurut Sibarani (2012:135) nilai tanggung jawab adalah sikap dan perilaku

seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia

lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya),

negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Nilai tanggung jawab terdapat pada teks berikut

ini :

Guru Hatimbulan pergi ke Pusuk buhit membuat sebuah gubuk dan membawa
anak-anaknya kesana.Gubuk itu dijaga dengan seekor anjing dan setiap hari
Guru Hatimbulan membawakan makanan untuk anak-anaknya tersebut.(Seni
Patung Batak dan Nias: 49)

Sikap tanggung jawab merupakan kewajiban yang seharusnya orang tua

lakukan terhadap anaknya dilakukan oleh Guru Hatimbulan. Dia membuat tempat

tinggal kepada anaknya dan setiap hari tetap membawakan makanan untuk anaknya

walau telah melakukan kesalahan dan dicela oleh masyarakat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1) Cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan diawali dari kisah cinta terlarang

dari dua orang saudara kembar berlainan jenis yaitu Si Aji Donda Hatahutan

dan Si Boru Tapi Nauasan. Mereka melanggar norma dengan melakukan

hubungan badaniah sehingga mendapatkan karma yaitu ditelan pohon piu-piu

tanggulon (hau tada-tada) dan tidak dapat terbebaskan. Ada lima orang datu

yang berusaha membebaskan mereka namun gagal dan justru ikut ditelan oleh

pohon tersebut. Sampai akhirnya, seorang datu terakhir berhasil memotong

pohon tersebut dan menjadikannya sebuah tongkat dengan ukiran menyerupai

rupa manusia dan hewan yang ikut ditelan pohon tersebut. Tongkat tersebut

menjadi tongkat sakti yang disebut Tungkot Tunggal Panaluan. Sejak saat itu

Tungkot Tunggal Panaluan dipakai dalam segala macam fungsi menurut

keinginan yang menggunakan tongkat tersebut.

2) Tungkot Tunggal Panaluan kemudian di duplikat oleh pengukir dan diisi

dengan ilmu mistis/gaib oleh datu bolon. Setiap raja yaitu pemimpin marga

Batak Toba, datu, bahkan beberapa suku lainpun memiliki Tungkot Tunggal

Panaluan yang memiliki kesaktian. Suku Batak Toba selalu mengadakan

ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan untuk menghormati leluhur dan

meminta bantuan yang pada umumnya untuk mendatangkan hujan di musim

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kemarau, membantu dalam peperangan, menolak bala, dan mengobati

penyakit.

3) Dimasa sekarang Tungkot Tunggal Panaluan yang diisi dengan ilmu

mistis/gaib sudah tidak dikeluarkan lagi lantaran suku Batak Toba telah

memiliki pada umumnya kepercayaan Kristen yang bertentangan dengan

kekuatan tersebut. Namun, para pengrajin seni rupa di desa Tomok tetap

mengukir kayu menyerupai Tungkot Tunggal Panaluan. Ukiran tersebut

dipakai dalam kebutuhan melestarikan budaya Batak Toba dan dijadikan salah

satu jenis cendramata dari desa Tomok.

4) Di desa Tomok, setiap tahunnya diadakan upacara adat horja bius. Dalam

upacara ini diadakan acara ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan.

Ritual yang diadakan adalah meminta ijin kepada leluhur yang bertujuan ingin

melestarikan budaya suku Batak Toba. Acara ini dilakukan untuk mengenang

ritual yang dilakukan nenek moyang mereka dan disamping itu mereka

hendak melestarikan budaya yang mereka miliki yang juga berguna untuk

menarik wisatawan ke desa tersebut. Cerita Rakyat Tungkot Tunggal

Panaluan juga sering dipertunjukkan dalam drama dan ditarikan dengan

diiringi gondang menyerupai kegiatan yang dilakukan oleh nenek moyang

suku Batak Toba. Pertunjukan ini diselenggarakan di hari hari perayaan,

pagelaran seni ataupun event-event di desa itu.

5) Seluruh kegiatan masyarakat desa Tomok terhadap Tungkot Tunggal

Panaluan merupakan sebuah bentuk kearifan lokal, karena hal tersebut

merupakan kebijaksanaan dan pengetahuan asli mayarakat tersebut yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


berasal dari nilai luhur tradisi budaya suku Batak Toba. Bentuk kearifan lokal

itu terdapat pada nilai budaya berdasarkan kategori hubungan manusia, yaitu

(1) Nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan (a) nilai religius, (2) Nilai

budaya hubungan manusia dengan masyarakat (a) nilai peduli sosial (b) nilai

pelestarian dan kreativitas budaya yaitu seni rupa, seni tari, seni musik dan

seni untuk ekonomi (c) nilai peduli sesama (d) nilai gotong royong, (3) Nilai

budaya hubungan manusia dengan dirinya sendiri (a) nilai tanggung jawab.

5.2 Saran

Setelah melakukan penelitian tentang kearifan lokal dalam cerita rakyat

Tungkot Tunggal Panaluan di desa Tomok kecamatan Simanindo kabupaten

Samosir: kajian antropologi sastra, maka peneliti mengajukan saran seperti berikut:

1) Peneliti berharap supaya budaya masyarakat Batak Toba tetap dapat

dipertahankan, dilestarikan dan memiliki budaya populer.

2) Peneliti berharap supaya suku Batak Toba khususnya di desa Tomok bersatu

hati dan pikiran dalam mempertahankan dan melestarikan budaya leluhurnya.

3) Peneliti mengharapkan dapat menambah dan memperluas wawasan pembaca

terhadap kekayaan budaya yang dimiliki suku Batak Toba.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

Artha, Arwan Tuti dan Heddy shri Ahimsa-Putra. 2004. Jejak Masa Lalu, Sejuta
Warisan Budaya. Yogyakarta: Kunci Ilmu.

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain.
Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Djamaris, Edward dkk. 1996. Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra
Nusantara: Sastra Daerah di Kalimantan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model,


Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Medpress.

Harahap, Basyral Hamidy dkk. 1987. Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak: Suatu
Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing. Jakarta:
Sanggar Willem Iskander.

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT


Gramedia.

Moleong, Lexy J. 2016. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Nazir. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur


Kebudayaan Dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Ritonga, Ahmad Husin dkk. 1998. Pemberdayaan Nilai Budaya dalam Rangka
Mewujudkan Keluarga Sejahtera Daerah Sumatera Utara. Medan: Bagian
Proyek P2NB Sumatera Utara.

Saleh, M. 1980. Seni Patung Batak dan Nias. Jakarta: Direktorat Jenderal
Kebudayaan.

Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Sibarani, Robert. 2014. Kearifan Lokal Gotong Royong pada Upacara Adat Etnik
Batak Toba. Medan: Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provinsi
Sumatera Utara.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.


Bandung: Alfa Beta.

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet.

Tantawi, Isma. 2014. Bahasa Indonesia Akademik. Bandung: Citapustaka Media.

Tambunan, E. H. 1982. Segelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan


Kebudayaannya: Sebagai Sarana Pembangunan. Bandung: Tarsito.

Sumber internet:

Manik, Wipan. 2015, “Analisis Visual Tongkat Tunggal Panaluan Ditinjau Dari

Perubahan Bentuk, Fungsi dan Makna”. (Skripsi). Medan: Universitas Negeri

Medan (http://digilib.unimed.ac.id/1946/8/8.%20CHAPTER%20l.pdf) Diakses

5 Agustus 2017.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Silalahi, Suryana A. 2012. “Cerita Rakyat Mengenai Kesaktian Tongkat Tunggal

Panaluan Pada Masyarakat Batak Toba di Desa Tomok Kecamatan Simanindo

Kabupaten Samosir (Antara Fakta dan Mitos)”. (Skripsi). Medan: Universitas

Negeri Medan (http://dgilib.unimed.ac.id/16765/6/2112210006.pdf) Diakses 26

April 2017.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Informan

Informan 1

1. Nama Informan : P. Situmorang

2. Umur : 46 Tahun

3. Pekerjaan : Penggerak Patung Sigalegale

4. Agama : Kristen Protestan

Informan 2

1. Nama Informan : T. Siahaan

2. Umur :45 Tahun

3. Pekerjaan :Penjual Cendramata

4. Agama : Kristen Protestan

Informan 3

1. Nama Informan : Lusiana Silalahi

2. Umur :24 Tahun

3. Pekerjaan :-

4. Agama : Kristen Protestan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Informan 4

1. Nama Informan : K. Sidabutar

2. Umur :74 Tahun

3. Pekerjaan :Penjaga Makam Raja Sidabutar

4. Agama : Kristen Protestan

Informan 5

1. Nama Informan : Pebri Sidabutar

2. Umur :17 Tahun

3. Pekerjaan :Pelajar Kelas 2 SMA

4. Agama : Kristen Protestan

Informan 6

1. Nama Informan : Op. Yesaya Sidabutar

2. Umur :78 Tahun

3. Pekerjaan :Pendeta

4. Agama : Kristen Protestan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 3

CERITA RAKYAT TUNGKOT TUNGGAL PANALUAN

Dahulu kala di Pulau Samosir tepatnya di kecamatan Pangururan, desa

Sidogordogor tinggallah seorang laki-laki bernama Guru Hatimbulan. Beliau adalah

seorang dukun yang bergelar Datu Arak ni Pane. Istrinya bernama Nan Sindak

Panaluan. Mereka sudah cukup lama menikah tetapi belum juga di karuniai seorang

anak. Suatu ketika Nan Sindak Panaluan hamil setelah begitu lamanya mereka

menunggu. Kehamilan tersebut membuat heran semua penduduk kampung itu dan

menganggap keadaan itu hal yang gaib (aneh). Bersamaan pada saat itu juga sedang

terjadi masa kemarau dan paceklik, cuaca sangat panas dan kering, saking teriknya

tak tertahankan, permukaan tanah dan rawa-rawa pun menjadi kerak dan keras.

Melihat keadaan kemarau tersebut membuat Raja Bius menjadi risau, lalu ia pergi

menjumpai Guru Hatimbulan dan berkata kepadanya: “Mungkin ada baiknya kita

mencari sebabnya dan bertanya kepada Debata Mulajadi Na Bolon, mengapa panas

dan kemarau ini masih terus berkepanjangan? hal ini sangat jarang terjadi

sebelumnya”. Guru Hatimbulan menjawab: “Semua ini mungkin saja terjadi”. Lalu

Raja Bius mengatakan: “Semua orang kampung heran mengapa istrimu Nan Sindak

Panaluan begitu lama baru hamil, mereka berkata bahwa kehamilannya itu sangat

terlalu lama”. Karena percakapan itu maka timbullah pertengkaran diantara mereka,

tetapi tidak menyebabkan kekerasan.

Dilain waktu tiba saatnya istri Guru Hatimbulan melahirkan. Perempuan itu

melahirkan anak kembar, yaitu anak laki-laki dan perempuan. Seketika itu juga maka

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


hujan pun turun dengan lebatnya, maka semua tanam-tanaman dan pepohonan

nampak segar kembali dan keadaan menjadi hijau lagi. Guru Hatimbulan memotong

seekor lembu untuk mengadakan pesta martutu aek (memberi nama) kepada kedua

anaknya tersebut. Ia mengundang semua penatua-penatua dan kepala kampung dalam

perjamuan itu. Putranya diberi nama Si Aji Donda Hatahutan dan putrinya itu diberi

nama Si Boru Tapi Nauasan.

Setelah selesai pesta tersebut, ada beberapa kerabat menasehatkan Guru

Hatimbulan supaya anak-anak itu jangan kiranya diasuh bersama-sama, yang satu

kiranya dibawa ke barat dan yang satu lagi dibawa ke timur, sebab anak itu lahir

kembar dan juga berlainan jenis kelamin. Hal ini sangat tidak menguntungkan

menurut para penatua.

Guru Hatimbulan tidak memandang serta memperhatikan nasehat dari para

penatua dan kepala kampung tersebut. Setelah sekian lama terbuktilah apa yang

dinasehatkan para penatua itu benar adanya. Guru Hatimbulan pergi ke Pusuk buhit

membuat sebuah gubuk dan membawa anak-anaknya kesana. Gubuk itu dijaga

dengan seekor anjing dan setiap hari Guru Hatimbulan membawakan makanan untuk

anak-anaknya tersebut. Saat sedang di hutan, pergilah putrinya jalan-jalan dan

melihat sebuah pohon yaitu pohon piu-piu tanggulon (hau tada-tada), pohon yang

batangnya penuh dengan duri tetapi memiliki buah manis. Melihat buah pohon itu,

maka timbullah hasrat untuk memakannya, dia mengambil beberapa buah itu dan

memakannya. Pada saat dia memakan buah itu, dia tertelan dan menyatu dengan

pohon itu, hanya kepalanya saja yang terlihat (tersisa). Di tempat lain Si Aji Donda

Hatahutan gelisah menunggu adiknya pulang, lalu dia pergi ke dalam hutan untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mencarinya sambil berteriak memanggil-manggil nama adiknya itu. Saat dia sudah

merasa letih, tiba-tiba dia mendengar jawaban dari adiknya dari pohon yang

berdekatan dengan dia, dan adiknya menceritakan apa yang terjadi. Si Aji Donda

memanjat pohon itu, tetapi dia pun ikut ditelan dan menyatu dengan pohon itu.

Keduanya menangis untuk meminta tolong, tetapi suara mereka hilang begitu saja di

dalam gelapnya hutan. Keesokan paginya, anjing mereka lewat dan meloncat-loncat

pada pohon tersebut, lalu anjing itupun mengalami hal yang sama, ditelan oleh pohon

itu hanya kepalanya saja yang terlihat.

Seperti biasanya, Guru Hatimbulan datang ke gubuk anaknya untuk

membawakan mereka makanan, tetapi dia tidak menemukan mereka. Lalu dia

mencari dan mengikuti jejak kaki anaknya ke dalam hutan, sampai pada akhirnya dia

menemui pohon tersebut dan hanya melihat kepala kedua anaknya itu dan anjing

penjaganya. Melihat kedua anaknya yang melekat pada pohon itu, Guru Hatimbulan

menjadi sedih. Dari informasi dan petunjuk yang Guru Hatimbulan cari maka

bertemulah dia dengan seorang datu yang bernama datu Parmanuk Koling. Guru

Hatimbulan menceritakan kejadian itu dan mengajak datu Parmanuk Koling pergi

untuk menolong anaknya, diiringi oleh banyak orang yang ingin melihat, karena

kejadian ini sudah tersebar ke berbagai pelosok. Datu Parmanuk Koling memulai

ritualnya, ia berdoa dan membaca mantra untuk membujuk roh yang menawan kedua

anak Guru Hatimbulan. Setelah upacara selesai, maka naiklah Datu Parmanuk Koling

ke pohon itu, tetapi hal yang sama juga terjadi, dia ditelan oleh pohon itu.

Guru Hatimbulan dan para penonton kembali ke rumah mereka dengan hati

kecewa, tetapi mereka tidak putus asa. Mereka tetap berusaha mencari jalan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


keluarnya dengan mencari datu lain. Kemudian Guru Hatimbulan mendengar kabar

ada datu yang hebat, namanya Marangin Bosi atau Datu Mallantang Malitting. Datu

itu pergi ke pohon tersebut, tetapi mengalami nasib yang sama seperti Datu Parmanuk

Koling. Kemudian ada juga datu Boru Si Baso Bolon, dia juga menjadi tawanan

pohon itu. Hal yang sama juga terjadi pada datu Horbo Marpaung dan datu Si Aji

Bahar yang mana setengah manusia dan setengah iblis (sojolma so begu) seekor ular

yang ikut membantu pun ikut ditelan pohon itu. Guru Hatimbulan sudah kehabisan

akal dan telah mengeluarkan banyak uang untuk keperluan pemusik (gondang) dan

pele-pelean.

Beberapa hari setelah itu, seorang datu bernama Si Parpansa Ginjang

memberitahukan kepada Guru Hatimbulan bahwa dia dapat membebaskan kedua

anaknya dari tawanan pohon itu. Guru Hatimbulan mempercayai omongan datu Si

Parpansa Ginjang dan menyediakan semua yang diminta oleh datu tersebut. Datu Si

Parpansa Ginjang berkata bahwa mereka harus memberikan persembahan kepada

semua roh yaitu roh tanah, roh air, roh kayu supaya dapat membebaskan kedua anak

Guru Hatimbulan.

Guru Hatimbulan mempersiapkan semua yang diperlukan oleh datu Si

Parpansa Ginjang untuk upacara tersebut. Kemudian mereka pergi menemui pohon

itu disertai orang sekampung. Setelah datu selesai memberikan mantra kepada senjata

wasiatnya, lalu dia menebang pohon itu tetapi semua kepala orang, anjing dan ular

yang ditelan oleh pohon itu menjadi menghilang. Semua orang yang menyaksikan

kejadian itu terperanjat. Datu Si Parpansa Ginjang berkata kepada Guru Hatimbulan:

“Potonglah pohon itu menjadi beberapa bagian dan ukirlah gambaran dari orang-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


orang yang ditelan oleh pohon ini”. Guru Hatimbulan memotong batang pohon itu

menjadi beberapa bagian dan mengukirnya menjadi sebuah tongkat dengan bentuk

lima orang datu, dua orang anaknya, seekor anjing dan seekor ular. Setelah selesai

mengukir tongkat tersebut menjadi sembilan rupa, maka semua orang kembali ke

kampung Guru Hatimbulan.

Ketika mereka tiba di kampung ditandai dengan bunyi gong, Guru

Hatimbulan mengorbankan seekor lembu untuk menghormati mereka yang diukir

pada tongkat tersebut. Setelah Guru Hatimbulan selesai manortor, maka tongkat itu

diletakkan membelakangi muka lumbung padi. Lalu datu Si Parpansa Ginjang

manortor, melalui tortor ini dia kesurupan (siar-siaron) dirasuki roh-roh dari orang-

orang yang ditelan pohon itu dan mulai berbicara satu per satu, mereka adalah roh

dari: Si Aji Donda Hatahutan, Siboru Tapi Nauasan, Datu Pulo Punjung nauli, atau si

Melbuselbus, Guru Manggantar porang, Si Sanggar Maolaol, Si Upar mangalele,

Barita Songkar Pangururan. Mereka berkata: “Wahai Bapak pemahat, kau telah

membuat ukiran dari rupa kami semua dan kami punya mata, tetapi tidak bisa

melihat, kami punya mulut tetapi tidak bisa bicara, kami punya telinga tapi tidak

mendengar, kami punya tangan tapi tidak bisa menggenggam. Kami mengutuk kamu,

wahai pemahat!” Lalu datu Si Parpansa Ginjang menjawab: “Jangan kutuk dia tetapi

kutuklah pisau ini, tanpa pisau ini dia tidak dapat mengukir wajah kalian”. Tetapi

pisau berbalik membalas: “Jangan kutuk aku, tetapi kutuklah si tukang besi, kalau

saja dia tidak menempa aku menjadi pisau, aku tidak akan pernah menjadi pisau”.

Lalu si tukang besi menjawab: “Jangan kutuk aku tapi kutuklah angin, tanpa angin

aku tidak dapat menempa besi”. Angin menjawab: “Jangan kutuk kami tapi kutuklah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Si Guru Hatimbulan”. Ketika semua perhatian tertuju kepada Guru Hatimbulan, maka

roh itu berkata melalui datu: “Aku mengutukmu Ayah dan juga kamu Ibu, yaitu yang

melahirkan aku”. Ketika Guru Hatimbulan mendengar itu, dia menjawab balik:

“Jangan kutuk aku tetapi kutuklah dirimu sendiri, kau yang jatuh ke dalam lubang

dan terbunuh oleh pisau dan kamu tidak mempunyai keturunan”. Lalu roh itu berkata:

“Baiklah, biarlah begini adanya Ayah, dan gunakanlah aku untuk meminta hujan,

menahan hujan, menolak bala, mengobati wabah, mengobati penyakit, mencari dan

menangkap pencuri dan membantu dalam peperangan”. Setelah upacara itu, maka

pulanglah mereka ke rumah masing-masing.

Sumber Cerita oleh M. Saleh B. A.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai