Anda di halaman 1dari 7

Masalah Pembangunan yang Paling Crucial

Disusun Oleh :

Nama : Erino Nainggolan (3202422014)

Kelas : D Reguler 2020

Dosen Pengampu : Sulian Ekomila,S.Sos.,M.Sp

Mata Kuliah : Antropologi Pembangunan

PENDIDIKAN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


Permasalahan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia

2.1 Strategi Pembangunan Cagar Budaya Condet

Kasus pertama adalah mengenai kesalahan dalam menyusun strategi pembangunan, yang pada
gilirannya menghasilkan “dilema pembangunan”. Kasus contoh cukup banyak tapi yang dibahas
saat ini adalah kasus Proyek Cagar Budaya Condet. Condet yang terletak sekitar 15 km dari
pusat kota Jakarta (Monumen Nasional), masih berada di luar daerah perkotaan, meskipun secara
administratif berada dalam lingkungan DKI Jakarta. Karena tidak ada jalan aspal, listrik dan
berbagai kemudahan perkotaan lain.

Secara sosiologis Condet dapat disebut pada masa itu sebagai daerah pedesaan yang sebagaian
besar penduduknya adalah Orang Betawi yang hidup sebagai petani. Situasi yang ambigius ini
diakui oleh Pemerintah DKI, bahwa meskipun Jakarta adalah sebuah kota metropolitan namun di
pinggir-pinggirnya secara ekologis, ekonomi, maupun sosial, melingkar daerah pedesaan. Tahun
1972 dibawah program Pembangunan Masyarakat Desa, Pemerintah Daerah DKI Jakarta
melaksanakan pembangunan jalan raya membelah Condet, membentang dari stasiun bus Cililitan
di utara terus ke Cijantung di selatan dengan pembangunan jalan aspal setapak yang bercabang
ke berbagai penjuru kampung di Condet. Tujuannya adalah untuk melancarkan pemasaran hasil
pertanian, khususnya buah-buahan, dari Condet ke pusat kota Jakarta.

Dengan pembangunan jalan-jalan ini maka Condet menjadi terbuka isolasinya dari pusat kota.
Penduduk baru dari pusat kota berbondong-bondong masuk, membeli tanah dan membangun
rumah baru di atas bekas tanah kebun buah-buahan, karena harga tanah disana masih relatif
murah dibandingkan dengan harga di pusat kota. Hal ini mengejutkan pemerintah DKI, sehingga
mereka perlu memberikan perhatian yang khusus untuk daerah Condet ini. Ketika itulah
Pemerintah menyadari bahwa lingkungan Condet sedang dalam proses kehancuran karena
kedatangan penduduk baru dari pusat kota merusak budaya dan lingkungan alamnya yang
awalnya sebuah komuniti yang khas Betawi asli dipenuhi oleh kebuh buah-buahan menjadi
berubah. Pemerintah DKI Jakarta merasa sayang bila kawasan asli ini menjadi rusak, karena itu
pada tahun 1976 dilancarkan Proyek Cagar Budaya Condet . Tujuan dari proyek ini adalah untuk
melestarikan Condet sebagai sebuah komuniti yang dihuni oleh penduduk asli Betawi, yang
hidup secara tradisional sebagai petani buah-buahan. Jadi ini adalah semacam proyek konservasi
budaya dan lingkungan alam melalui 6 kegiatan, yaitu:

- Pembentukan koperasi simpan pinjam

- Pembangunan jalan raya dan jalan setapak

- Renovasi rumah tradisional Betawi

- Penghijauan
- Penggalakan kegiatan kebudayaan

- Pembangunan industri kerajinan tangan, kolam ikan dan cara pertanian modern

Hal ini kentara sekali dalam ancaman Gubernur DKI Jakarta, barang siapa yang memotong
pohon dukuh dan salah akan disunat oleh Gubernur. Di antara kegiatan-kegiatan tersebut di atas,
hanya kelanjutan pembangunan jalan raya dan jalan setapak dan renovasi rumah tradisional yang
berjalan dengan baik. Kegiatan-kegiatan lain tidak begitu lancar, baik karena kekurangan biaya
maupun kurang sambutan dari masyarakat asli Betawi setempat (Jakarta t.t.).

Dengan makin lancarnya komunikasi antara daerah pusat dengan Condet dan di dalam
lingkungan internal Condet sendiri, pendatang baru dari pusat kota makin meningkat. Rumah-
rumah baru semakin banyak dibangun di atas bekas kebun buah-buahan. Sementara itu Gubernur
Ali Sadikin, yang katanya akan “menyunat” pelanggar, telah pensiun dari jabatannya pada tahun
197. Maka akhirnya Condet tidak dapat lagi bertahan sebagai komunitas asli Betawi yang
dipenuhi oleh kebun salak dan dukuh. Condet pada tahun 1982, ketidak diteliti oleh Amri
Marzali untuk kedua kalinya, telah berubah menjadi semacam komunitas komuter, tempat
bermukim penduduk yang bekerja di pusat kota. Perubahan sosial dan lingkungan alam bersebut
telah digambarkan secara lebih rinci dalam tulisan Marzali (1989a).

Apa yang diuraikan di atas, disebut dilema pembangunan, yaitu satu kontradiksi antara harapan
dan kenyataan, antara “perubahan yang direncanakan” dengan perubahan yang sesungguhnya
terjadi”. Salah satu faktor penting yang bertanggung jawab atas munculnya dilema ini adalah
cara Pemerintah DKI Jakarta mengabaikan impak dari hubungan antara sebuah kota yang sedang
berkembang seperti Jakarta dengan komunitas-pinggiran (urban fringe). Ini adalah persoalan
sosial.

Jadi strategi Pemerintah DKI membangun jalan raya dan jalan setapak yang memudahkan
perhubungan Condet dengan pusat kota Jakarta dan perhubungan di dalam lingkungan internal
Condet yang bertujuan untuk memudahkan transportasi hasil pertanian Condet ke pusat kota,
maka ini berarti bahwa Pemerintah DKI telah salah perkiraan. Pemerintah DKI mengabaikan
sifat komunikasi yang dua arah. Dampak yang lebih nyata dan berarti dari pembangunan sarana
transportasi ini adalah justru aliran masuk penduduk dari daerah pusat kota Jakarta ke Condet.
Akhirnya, Proyek Cagar Budaya Condet gagal mencapai tujuannya.

2.2 Persebaran Teknologi Tepat Guna

Kasus selanjutnya yang dikemukakan oleh Amri Marzali bersama tiga orang mahasiswa
Antropologi FISIP-UI mengevaluasi Program Pembangunan dan Penyebaran Teknologi Tepat
Guna pada tiga pesantren di Jawa, yaitu An Nuqoyah di Sumenep, Cipasung di Tasikmalaya, dan
Darunnajah di Kebayoran Lama pada tahun 1983-84 (Marzali dkk. 1984). Program ini
melibatkan LP3ES sebagai koordinator, The Asia Foundation sebagai pemberi dana dan
pesantren-pesantren sebagai pelaksana program di daerah. Di antara pesantren-pesantren yang
terlibat dalam program ini termasuk An Nuqoyah di Sumenep, Al Asyari di Tebu Ireng, Nurul
Jadid di Probolinggo, Maslakul Huda di Pati, Paleban di Magelang, Darunnajah di Kabayoran
Lama, Cipasung di Tasikmalaya, Sukorejo di Asembagus, Darussalam di Banyuwangi, Termas
di Paiton, Asunniyah di Kencong, Al Ma’hadal Islami di Langitan.

Setelah santri-santri kader dari suatu pesantri yang terlibat dalam program ini diberi pelatihan
cara membuat beberapa jenis peralatan yang dikategorikan sebagai teknologi tepat guna oleh
klien LP3ES, pesantren tersebut kemudian memilih masyarakat desa ke mana teknologi tersebut
akan diperkenalkan atau disebarkan. Jenis teknologi tepat guna yang disebarkan antara lain;
tungku lorena, fiber semen, bambu semen, pompa tali, pompa hidram, penjernihan air, pompa
kincir angin, biogas, fero semen, kompos, teknik pemanfaatan pekarangan, peternakan ayam dan
kelinci, pertanian jjamur merang, penetas telur, penjilidan buku dan alat perontok padi dengan
tenaga sepeda. Sebagian dari proyek memperoleh keberhasilan yang memuaskan, seperti
teknologi penjernihan air di Cipasung, tapi sebagian lain kurang memenuhi harapan. Kekurang
berhasilan terjadi karena beberapa faktor, khususnya yang berhubungan dengan strategi dan
pelaksanaan proyek pedesaan.

Salah satu faktor sosial yang bertanggung jawab dalam kekurang berhasilan tersebut adalah cara
memilih lokasi persebaran yang tidak memperhitungkan hubungan kota dengan desa. Teknoologi
peenetas telur, pertanian jamur merang, peternakan ayam dan penjilidan buku gagal berkembang
di desa-desa karena hasil pekerjaan dari teknologi ini memerlukan kota sebagai tempat
pemasaran produk. Karena terlalu jauh biaya produksi dan pemasaran menjadi naik karena biaya
transportasi. Begitu juga teknologi pompa hidram, fero semen dan bambu semen gagal
berkembang karena bahan mentah teknologi hanya dapat diperoleh di kota dan memerlukan
mobil untuk mengangkutnya sehingga membuat biaya lebih mahal.

Alat perontok padi yang dijalankan dengan tenaga sepeda yang diperkenalkan santri-santri
Pesantren Darunnajah kepada petani Pondok Pinang dan Pondok Kacang di Tangerang sukar
diterima. Karena desa-desa tersebut terletak di pinggiran kota, sementara itu perkembangan
perumahan real estate di daerah tersebut membuat tanah pertanian makin ciut. Tanah pertanian
menjadi kurang subur karena sistem pengairan sudah rusak oleh pembangunan perumahan dan
lingkungan sudah terpolusi. Sementara itu harga tanah terus naik, karena permintaan akan
fasilitas perumahan dan usaha. Semua ini membuat petani mengalami penurunan semangat kerja
dan memilih menjual tanah pertanian untuk beralih ke lapangan pekerjaan yang bersifat
perkotaan seperti pedagang kecil. Sehingga teknologi apa pun untuk meningkatkan hasil dan
efisiensi pertanian sawah tidak mendapat tanggapan yang positif di daerah tersebut.

Faktor sosiokultural lain yang menghambat perjalanan program ini adalah apa yang disebut
sebagai budaya petani peisan, atau the subculture of peasantry (Rogers 1969). Masyarakat desa
Indonesia yang sebagian besar adalah petani pesain sudah terbiasa hidup dalam budaya gotong
royong, kekeluargaan dan kebersamaan. Di dalam masyarakat yang seperti itu setiap orang
berusaha untuk tidak terlalu jauh menyimpang dari pola umum. Seseorang tidak baik untuk
terlalu kreatif, berinisiatif, ambisius dalam harta dan pangkat, mendahului dan mengkritik
pemimpin dan sebagainya (budaya anti-enrepreneurial). Pola kebudayaan ini sejalan dengan pola
kepemimpinan desa (lurah dan kyai) bersifat patrimonial. Semua kegiatan yang menyangkut
masyarakat luas harus mendapat lampu hijau dari pemimpin. Hal yang wajar jika semua inisiatif
dan perintah datang dari pimpinan. Semenatara itu program pengembangan dan penyebaran
teknologi tepat guna hanya dapat berhasil kalau didukung dan disertai oleh para entrepreneur
desa. Akibatnya program ini hanya marak pada masa awal saja, yaitu ketika diselenggarakan
proyek percontohan, setelah itu rakyat desa kembali ke kehidupan semua dengan menggunakan
teknologi tradisional.

2.3 Ketegangan Sosial di Cilegon

Terakhir Amri Marzali ingin mengungkapkan pengalaman beliau bersama trainee LP3ES
meneliti masyarakat desa di sekitar pabrik waja PT Krakatau Steel, Cilegon (Marzali 1976).
Pabrik waja ini mulai dibangun tahun 1962. Namun akhir zaman pemerintahan Sukarno 1966,
bangunan pabrik ini masih terbengkalai, bahkan seperti mau ditinggalkan. Tahun 1970, zaman
pemerintahan Suharto, hasil kajian ulang menelurkan keputusan bahwa pabrik waja ini perlu
dilanjutkan pembangunannya. Pada tahun 1974, Amri Marzali dan kawan-kawan melakukan
penelitian sosial pada masyarakat Cilegon di sekeliling pabrik tersebut. Ketika itu semua
bangunan pabrik yang pokok dan mesin-mesin hampir selesai rekonservasinya.

Hasil penelitian survei yang kami lakukan dengan sampel yang terdiri dari kepala rumah tangga,
anak sekolah dan pengusaha lokal memperlihatkan bahwa sekitar 80 persen anggota masyarakat
setempat menyambut dengan gembira kehadiran pabrik waja ini. Namun penelitian tidak hanya
melalui kuestioner saja sebagai dasar untuk menarik kesimpulan. Dilakukan teknik penelitian
khas antropologi, yaitu wawancara mendalam dan observasi partisipasi. Sebagian dari anggota
peneliti disuruh nongkrong di warung-warung kopi, ngobrol di langgar dan pasar dengan
penduduk setempat dan mendatangi pemimpin-pemimpin informal. Hasilnya sungguh
mengejutkan, di sini terungkap bahwa sebagian masyarakat Banten, khusunya para pemuda dan
ulama, sangat merasa kesal dengan cara pabrik waja PT Krakatau Steel membebaskan tanah
penduduk dan mengangkat pegawai. Pembebasan tanah penduduk dilakukan dengan cara yang
dipandang seperti setengah memaksa dan menipu. Sementara itu, cara pengangkatan pegawai
dipandang seperti mengabaikan kepentingan penduduk setempat, yaitu Orang Banten.
Sedangkan kaum ulama mengkhawatirkan efek negatif dari pabrik ini dalam perkembangan
pelacuran.

Ketegangan situasi sosial di Cilegon pada waktu itu hanya dapat dirasakan oleh sebagian dari
anggota peneliti yang bertugas dengan teknik antropologis. Mereka mendengar langsung
ancaman serbuan kelompok tertentu di kalangan penduduk setempat terhadap pabrik tersebut.
Meskipun hasil survey kuestioner memperlihatkan fakta bahwa sekitar 80 persen responden
menyatakan sikap senang pada pabrik waja ini, proporsi sesungguhnya masih menjadi tanda
tanya, karena jawaban terhadap pertanyaan dengan kuestioner sangat mungkin mengandung bias,
dalam arti responden “terpaksa” menjawab “senang” karena peneliti adalah mahasiswa dari
Jakarta, yang dipandang sebagai wakil pemerintah pusat. Jadi mereka menjawab “tidak senang”
ada kekhawatiran jawaban tersebut dapat membahayakan diri mereka. Bias juga mungkin datang
dari para peneliti (interviewer) yang pada waktu itu baru pertama kali mendapat pelatihan
penelitian sosial, sehingga mereka belum menguasai teknik wawancara dengan baik.

Dengan demikian, dua hal dapat disimpulkan dari pengalaman penelitian ini. Pertama, betapa
masih pentingnya faktor solidaritas etnik (faktor kultural) dalam hubungan sosial di negeri kita,
dan hal ini perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan daerah jika pembangunan
tersebut ingin berjalan lancar. Kedua, betapa pentingnya teknik penetlitian antropologis
(wawancara mendalam dan observasi-partisipasi) dalam menggali dimensi kultural dalam
pelaksanaan pembangunan.

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari 3 kasus peristiwa pembangungan di atas, terlihat faktor sosiokultural memainkan peranan
yang sangat berarti. Mengabaikan faktor tersebut dalam berbagai tingkat pembangunan
(penentuan tujuan, pilihan strategi dan pelaksaan proyek pembangunan) dapat mengakibatkan
berbagai dampak yang merugikan, mulai dari hasil pembangunan yang bertentangn dengan
rencana (kasus Condet), kegagalan-kegagalan proyek (kasus pembangunan dan penyebaran
teknologi tepat guna), sampai kepada rasa tidak puas penduduk lokal terhadap proyek yang
dibangun di daerah mereka (kasus Cilegon).

Meskipun dalam kehidupan yang nyata, sebagimana yang terlihat dalam kasus-kasus di atas,
kedua unsur yaitu struktur sosial dan sistem kultural, sangat erat berkaitan sehingga sukar
memilah yang satu dari yang lain, namun dalam pekerjaan analisis masing-masing unsur harus
didudukkan pada tempatnya sendiri-sendiri. Ini sesuai dengan anjuran ahli-ahli sosiologi dan
antropologi seperti Talcott Parsons, A.L. Kroeber (1958), C. Geertz (1957), Victor Turner, Roger
Keesing (1989). Persons melihat pembedaan antar kedua konsep di atas sebagai suatu yang
mutlak tidak dapat dielakkan. Bahwa struktur sosial adalah berbeda dari kultur, namun saling
terkait erat satu sama lain dalam kehidupan nyata. Geertz menggambarkan hubungan tersebut
sebagai berikut; “Kultur adalah jaringan makna, yang digunakan oleh manusia untuk
menafsirkan pengalaman dan untuk menuntun tindakan mereka; sementara itu struktur sosial
adalah wujud dari tindakan manusia tersebut, yaitu jaringan hubungan sosial. Kultur dan struktur
sosial adalah abstraksi yang berbeda dari fenomena yang sama” (1957: 33-34).

Turner lebih jauh mengumpamakan hubungan antara kultur dengan struktur sosial seperti
hubungan antara partitur musik dengan orkestra. Partitur adalah kultur yang terdiri atas sistem
kode yang penuh makna yang berfungsi memandu penampilan pemain-pemain dengan peranan
yang berbeda-beda tapi tersusun ke dalam satu sistem yang harmonis, adalah struktur sosial.
Dalam hal ini patut diperhatikan bahwa pandangan di atas mengasumsikan bahwa kultur adalah
variabel independen yang memengaruhi struktur sosial; bahwa pola perilaku aktor-aktor sosial
dipandu, dipengaruhi, dibentuk atau dicetak oleh kultur. Dalam kasus-kasus yang diuraikan di
muka, Amri Marzali mencoba memilah faktor sosial dari faktor kultural secara sederhana.
Mengingat termpat yang terbatas dalam karangan ini, beliau tidak menguraikan secara rinci
bagaimana faktor sosial berhubungan dengan faktor kultural.

DAFTAR PUSTAKA

FARDELA, R. (2008). Pembangunan dan Marginalisasi Budaya Betawi dalam Komunitas


Perkampungan di Kawasan Condet (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Hardiansyah, G., & Sujana, I. (2020). Teknologi Tepat Guna Untuk Pengolahan Padi Pasca
Panen. Jurnal Abdimas Madani dan Lestari, 2(1), 10-17.

Marzali, Amri. 2005. ANTROPOLOGI DAN PEMBANGUNAN INDONESIA. Jakarta: Kencana


Prenada Media Group.

Anda mungkin juga menyukai