Anda di halaman 1dari 4

PENGANTAR ILMU SOSIAL

Dosen Pengampu: DANIEL H. P. SIMANJUNTAK, M.Si

Disusun Oleh:

Nama: Erino Nainggolan


Nim : 3320422014

PENDIDIKAN ANTROPOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
OKTOBER 2020
MENCARI AKAR PERMASALAHAN DITANAH PAPUA

Tulisan ini bertolak dari penyerangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB)
terhadap sejumlah pekerja jalan Trans-Papua di Nduga, Papua, pada 2 Desember 2019 yang
mengakibatkan 17 orang meninggal, termasuk anggota TNI (Elisabeth dkk., 2019). Pemerintah
kemudian merespons dengan menggelar operasi militer di Kabupaten Nduga untuk
menghancurkan TPN-PB. Operasi militer ini telah menyebabkan tiga orang Papua menjadi
korban dan sekitar 22.000 orang warga tinggal dalam pengungsian. Insiden Nduga telah
menambah statistik kekerasan di Tanah Papua sejak ‘Tragedi Paniai Berdarah,’ 7 Desember
2014, di mana delapan pelajar asli Papua terbunuh oleh aparat keamanan. Selama
pemerintahan Presiden Joko Widodo antara 2014–2018, beberapa operasi militer telah
dilakukan secara terbatas di Papua. Konflik Nduga merupakan bagian dari sejarah kekerasan
politik di Tanah Papua yang terus berlanjut, dimulai dari perlawanan Gerakan Papua Merdeka di
Manokwari pada 1965 (May, 1978; Osborne, 1985, Budiardjo & Liong, 1988). Beberapa studi
telah dilakukan untuk menarasikan konflik, khususnya kekerasan politik, di Tanah Papua baik
oleh peneliti dari dalam maupun luar negeri. Studi-studi dari berbagai disiplin ilmu sosial
tersebut telah menjelaskan penyebab konflik di daerah ini serta mengajukan sejumlah gagasan
penyelesaian damai. Namun, berbagai studi tersebut belum menjadi acuan bagi para pengambil
kebijakan untuk mencari terobosan atau inisiatif baru penyelesaian damai. Artikel ini bertujuan
untuk mendiskusikan kembali hasil-hasil kajian konflik Papua dan konsekuensinya untuk
mendorong proses perdamaian sekaligus mencegah kekerasan struktural maupun simbolik di
Tanah Papua. Selain itu, juga bertujuan untuk mengidentifikasi kesenjangan antara hasil
penelitian konflik Papua dengan praktik kebijakan damai yang diimplementasikan pemerintah.
Gambaran Kekerasan Di Tanah Papua
Kekerasan merupakan narasi yang dominan tentang Tanah Papua hingga saat ini. Setiap
operasi militer di Tanah Papua telah menimbulkan dampak kekerasan baik fisik maupun
psikologis. Orang Papua melakukan respons dengan berbagai cara, dari perang gerilya sampai
diplomasi internasional. Namun, aparat keamanan mengatasinya dengan melakukan persekusi
terhadap orang Papua, menambah jumlah aparat keamanan, dan melancarkan tekanan
psikologis untuk mengintimidasi orang Papua. Dampaknya, terbentuk memori kolektif tentang
sejarah penderitaan dan kekerasan (memoria passionis) yang dialami orang Papua (Haluk,
2019:10-11). Laporan Amnesty International (2018:10) menginformasikan bahwa antara 2010
dan 2018 terdapat 69 kasus pembunuhan di luar hukum di Papua. Sejumlah peristiwa tersebut
mengakibatkan jatuhnya 95 orang korban, terdiri atas 85 orang Papua dan 10 non-Papua—39
orang menjadi korban tindak kekerasan oleh polisi, 27 korban oleh anggota TNI, 28 korban.
Adapun 28 kasus terkait dengan penanganan aksi massa yang menuntut kemerdekaan. Dari 69
kasus pembunuhan di luar hukum ini, tidak satu pun pelakunya diajukan ke pengadilan. Hanya
pada 26 kasus dilakukan investigasi internal, namun hasilnya tidak diumumkan ke publik. konflik
Papua merupakan akibat dari gerakan separatis telah diarus-utamakan, dan bahkan telah
menjadi ‘hegemonik’ dalam menjelaskan sifat konflik di daerah tersebut.
Saya dapatkan menyimpulkan bahwa sumber konflik Papua dapat dikategorikan menjadi
empat masalah utama. Pertama, marginalisasi dan diskriminasi yang dirasakan oleh orang
Papua sebagai konsekuensi dari pembangunan ekonomi, kebijakan asimilasi, dan transmigrasi
sejak 1970. Untuk menjawab masalah ini, kebijakan-kebijakan afirmatif yang disebut dengan
rekognisi perlu dikembangkan. Kedua, kegagalan pembangunan yang disebabkan oleh
kebijakan pembangunan yang tidak didasarkan pada perlindungan hak-hak dasar orang Papua
dan sekaligus kegagalan otonomi khusus. Untuk itu, diperlukan paradigma baru pembangunan
Papua. Ketiga, kontradiksi dalam pemahaman sejarah integrasi dan konstruksi identitas politik
antara Papua dan Jakarta. Berkaitan dengan masalah ini, Tim LIPI melihat dialog sebagai
kemungkinan yang perlu ditindaklanjuti. Keempat, pengalaman sejarah panjang kekerasan
politik di Papua.

MENELUSURI AKAR KONFLIK DAN KEBIJAKAN DAMAI DI


TANAH PAPUA

PANDANGAN ANTROPOLOGI
Jika di lihat dari pandangan antropologi, penyebab terjadi konflik terjadi dari pembangunan
ekonomi dan bantuan menjadi penyebab konflik. konflik ini bisa dikatakan terjadi karena
adanya ketidak sesuaina antara paradikma sebuah pembangunan yang diterapkan oleh
pemerintah yang tidak sesuai dengan hokum majemuk multi budaya. Masyarakat papua
menginginkan adanya pengakuan terhadap peraturan mekanisme yang ada dalan masyarakat.
Maka diharapkan pemerintah membuat hukum yang dapat memperkuat integrasi yang multi
budaya.
PANDANGAN SOSIOLOGI
Jika dilihat dari pandangan antropologi ada empat akar persoalan atau permasalahan
ditanah papua mendasar yaitu, identitas politik, kekerasan, marginalisasi orang asli Papua, dan
kegagalan pembangunan. Konflik ini kemungkinanterjadi karena adanya anggapan ketimpangan
pembangunan di papua. Kegagalan OPM sebelum 2000 yakni kemampuan organisasi yang
lemah. Dialog Jakarta dan Papua merupakan penyelesaian untuk mengakhiri konflik dengan
kesepakatan terhadap bentuk integrasi Papua. Ketidak-amanan di Tanah Papua disebabkan
oleh ketidakhadiran negara dalam bentuk pelayanan publik (pendidikan dan kesehatan) dan
tidak adanya aturan hukum. Konflik di Tanah Papua tidak hanya vertikal, namun juga horizontal.
Konflik berlanjut karena narasi utama separatisme serta adanya industri konflik.

Anda mungkin juga menyukai