Anda di halaman 1dari 4

BAB IV

Perkembangan terakhir (state of the art) teori gerakan sosial

M. Jasper dalam Social Movement Theory Today : Toward a Theory of Action? (2010),
mengatakan bahwa teori-teori besar gerakan sosial yang sempat muncul atau yang pernah
pupuler pada masanya, kini telah dibongkar dan dievaluasi kembali. Di tempat lain, pendekatan
yang ada telah menawarkan teori budaya dan tindakan emosional, yang memungkinkan analis
untuk membangunnya kembali dari tingkat mikro ke tingkat yang lebih makro secara lebih
empiris, bukan dengan cara deduktif dari atas ke bawah. Gerakan sosial terdiri dari individu-
individu dan interaksi di antara anggota suatu masyarakat. Pragmatisme, feminisme, dan yang
terkait dengan berbagai tradisi yang mendorong lahirnya studi tentang aksi-aksi individu
(individual action) dan aksiaksi kolektif (collective action) sejak tahun 1960-an, yakni penelitian
tentang perlawanan (social resistence), gerakan sosial (social movement) dan tindakan kolektif
(collective behavior) berkembang di bawah inspirasi dari teori-teori besar tersebut. Dua dari
mereka di antaranya dipengaruhi oleh pandangan Marxisme, terutama sosiologi makro versi
Amerika yang menekankan teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory) dan
interaksi dengan negara.
Pada awal abad ini paradigma-paradigma tersebut telah mencapai titik batas kulminasi, oleh
karena sejumlah alasan termasuk perubahan sejarah yang terjadi, akumulasi ketidakmenentuan
dan kekacauan, keberpihakkan pada pendekatan yang bersifat metaforis, sehingga mengakibat-
kan kurangnya semangat untuk segera mengembangkan teori itu pada tingkat yang lebih jauh.
Tilly dan Olson sekarang sudah meninggal selanjutnya Touraine (1997, 2009) telah beralih dari
studi gerakan sosial dan kembali ke sebuah teori sosial yang lebih umum (makro). Secara umum,
kecenderungan yang dipahami, bahwa model perhatian pada struktur besar (big structures)
kemudian mencoba mengalihkan perhatiannya pada tingkat dasar tindakan sosial (collective
action) yang lebih mikro pada tindakan politik.
1. Perkembangan sesudah strukturalisme (postrukturalis)
Pada era tiga puluh tahun terakhir paradigma yang dominan dalam penelitian gerakan sosial di
Amerika yaitu paradigma mobilisasi sumberdaya (resources mobilization paradigm), yang
kemudian diserap ke dalam teori proses politik (politic proces). Charles Tilly (1929-2008),
adalah salah satu kekuatan utama yang berada di balik lintasan sejarah panjang pemikiran ini,
sebagaimana contoh dalam penelitian uletnya mengetengahkan gagasan teoritik yang lebih
eksplisit. Pada titik mana budaya diturunkan serta pengungkapannya dalam berbagai tindakan
atau aksi kolektif, dianggap sebagai rutinas yang umumnya mencerminkan kepekaan moral.
Dalam konteks ini, Tilly hanya memfokuskan pada tindakan (action) namun mengabaikan
penekanan pada motivasi dan tujuan yang mendorong sebuah gerakan. Alih-alih teori tindakan
yang eksplisit, satu hal yang lebih implisit tampaknya menyiratkan bahwa orang-orang mengejar
kepentingan materi mereka (Opp 2009). Jadi, dengan demikian, paradigma pada dasarnya tidak
ada teori tindakkan (action theory). Selajutnya, sekitar tahun 2001 kritik pun dilancarkan atas
karya mereka, yang pada akhirnya membuat McAdam dkk. (2001, h. 42) pun, mengakui empat
kekurangan mendasar dalam pendekatan model proses yang mereka kembangkan sendiri, yaitu:
 Model proses yang dikembangkan lebih berfokus pada hubungan yang statis dan bukan
hubungan yang lebih dinamis.
 Karya ini akan lebih baik jika berfokus pada gerakan sosial level individu (mikro) dan kurang
baik dalam dinamika pertentangan yang lebih luas (makro).
 Secara politik, asal-usul nya relatif terbuka, dari enam puluh orang Amerika lebih menekankan
pada peluang daripada ancaman, lebih percaya diri dalam perluasan organisasi sumber daya
daripada organisasi defisit yang banyakmenghasilkan/menimbulkan kesulitan atau penderitaan.
 Model proses difokuskan pada asal usul pertentangan (konflik) dan bukan sebaliknya pada
tahapan kelanjutan gerakan.
Dalam konteks ini, bahwa hal yang paling penting dalam sebuah gerakan adalah peluang
(oppurtunity) yakni gerakan untuk menuntut hak-hak sipil kewarganegaraan (Jasper 1997).
McTeam, menyatakan hal ini terjadi karena mereka sering menyebut diri mereka dan menunjuk
ke arah strategi yang lebih terbuka pada perspektif budaya. Mereka mengakui bahwa peluang
dan ancaman harus diakui seperti itu oleh para pejuang (anggota gerakan) dan bukannya pada
kondisi struktural yang objektif. Dalam ketergesaan mereka untuk mengembangkan sebuah
model yang lebih dinamis, maka McAdam, Tarrow dan Tilly dalam upaya mereka sendiri tidak
memberikan kesempatan untuk menggambarkan pada tingkatan yang lebih mikro. McTeam
menganut pendekatan relasional sebagai cara untuk menolak sebuah metodologi individualisme
bahwa mereka didefinisikan sebagai yang melihat realitas ada dalam pikiran individu. Demikian,
McTeam (McAdam dllnya 2001, hal. 26) membicarakana tentang mekanisme relasional yang
mengubah hubungan antara orang-orang, kelompok dan jaringan interpersonal.
2. Keterbatasan dalam perspektif mikro
Setelah Tilly menerbitkan bukunya Vende’e (Tilly 1964) dan kemudian mendefinisikan
perspektif proses. Mancur Olson (1932-1998) menerbitkan sebuah buku kecil yang berjudul The
Logic of Collective Action yang menerapkan asumsi ekonomi level mikro pada tindakan
kolektif. Dalam tindakan kolektif, para aktor yang rasional akan berpartisipasi dalam serikat,
gerakan sosial dan revolusi, hanya jika mereka secara pribadi menginginkan atau menghendaki
sesuatu dan kemudian mengharuskan mereka untuk berpartisipasi. Dengan tidak adanya
dorongan memilih (selective incentives), individuindividu akan memilih bukan karena imbalan,
atau menolak untuk berpartisipasi, akan tetapi tercapainya manfaat kolektif. Olson (1965, hal 61)
memperkenalkan faktor moral dan emosional, sebagai pengecualian dalam modelnya dengan
alasan bahwa motivasi dibalik tindakan seseorang tidak mungkin dapat dibuktikan secara
empiris. Banyak yang telah memberikan solusi sebagai jalan keluar bagi hambatan pemikiran
yang dikembang saat Olson memformulasikan teori itu. Misalnya sebagai contoh, Lichbach
(1995) menawarkan lebih selusin pedoman bagi para aktivis gerakan.
Dalam sebuah karyanya yang terbaru, Opp (2009) menyajikan paradigma pilihan rasional
sebagai satu-satunya pendekatan bagi studi gerakan sosial dengan teori eksplisitnya pada
tindakan umum. Dia mendefinisikan serta menyimpulkan bahwa pilihan rasional yang sangat
luas (Opp 2009, hlm 2-3), sebagai preferensi (bagi suatu tujuan atau motif atau keinginan) dari
aktor-aktor individual yakni kondisi-kondisi perilaku mereka bahwa tindakan yang berorientasi
pada tujuan yakni di mana perilaku tergantung pada kendala atau setara dengan peluang perilaku
individu, dan individu pun terbuka untuk memilih atau menentukan berbagai alternatif perilaku
dengan memaksimalkan utilitas mereka. Namun yang jelas bahwa Opp, mampu menggabungkan
identitas kolektif dengan proses kognitif ke dalam sebuah model, sebagai upaya untuk mengatasi
dikotomi budaya Upaya ini yang kemudian menjadikan Opp tetap berupaya memperluas teori
pilihan rasional untuk menggabungkan berbagai masukan dari luar yakni kepentingan-
kepentingan material yang obyektif (sebagaimana yang Olson kemukakan yakni sebagai
perjuangan eksistensi) dan kemudian membuat pemikirannya menjadi luar biasa dan tidak
informatif.
3. Menuju ke sebuah arti atau makna
Tak pelak lagi bahwa pendulum inteletual telah berayun dari struktur besar paradigma sejarah
kembali menuju kreativitas pada lembaga, makna budaya, emosi dan dunia moralitas yang oleh
Tilly ditolak sebagai fenomenologi. Alih-alih kembali ke fenomenologi Husserl dan Merleau
Ponty, bahwa perkembangan saat ini adalah menempatkan arti dan tujuan secara tegas dalam
konteks sosial, dalam arena kelembagaan dan bentukbentuk jaringan sosial serta interaksi
sehingga dalam hal ini pemikiran strukturalis sangat penting. pemikiran para teoretisi seperti
Touraine, Giddens, Bourdieu, dan Habermas mulai diperhatikan, oleh karena itu, dengan
keberhasilan yang lebih besar atau kurang dalam satu dekade 1970-an dan 1980-an, efek riak
mereka ini mulai muncul dalam studi gerakan sosial berikutnya.
4. Pragmatisme
Apresiasi yang diperbarui dari filsafat pragmatis dan sosiologi Sekolah Chicago telah
menawarkan warisan teoritis secara paralel dalam memikirkan kembali makna suatu tindakan,
dan emosi. Dalam upaya terbesarnya, Daniel Cefaı (2007) menggali warisan intelektual yang
diturunkan oleh Chicago Park, memilah-milah literatur beragam dari berbagai mode dan
tampilan yang banyak diisukan di antaranya mengkaji karya Quarantelli tentang bencana alam
dan pengaruhnya pada kerusuhan di AS tahun 1960-an. Chicago dengan pendekatan masyarakat
yang diprogramkan, dan melempar akhir masa Chicagoite pada Erving Goffman. Selanjutnya
pada Tilly dan Touraine, dia menemukan kesenjangan pemahaman makna yang tidak memadai,
ia mengisinya dengan konsep yang bertujuan untuk memahami proses penciptaan makna praktis
seperti; wacana, kode, batas-batas moral, identitas kolektif, emosi, ritual, dan sebagainya,
termasuk mengarahkan pusat perhatian pada hal yang lebih besar dalam aspek-aspek hukum.
Cefaı juga menghadirkan fokus metodologinya tersendiri, denganmenyajikan etnografi sebagai
cara yang paling tepat untuk memahami situasi di mana manusia bekerja dan mengulangi
kembali dunia pemahaman mereka atas kehidupan sehari-hari di sekitar mereka.
5. Kesimpulan
Suatu saat nanti, mungkin paradigma struktural pada generasi yang akan datang dilihat kurang
berguna lagi, mengingatkan kita bahwa tujuan dari tindakan yang berarti sebanding dengan
pencapaian tujuan dan para pemain dalam arena. Kita harus berpegang pada pandangan ini,
sebagaimana yang dijelaskan di latar belakang atau bahkan ketika kita kembali ke pertanyaan
mendasar yang oleh kebanyakan sarjana dan praktisi ajukan seperti: apa yang orang inginkan?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah mengarah kepada sebuah tujuan. Dalam hal ini, maka tujuan
adalah pusat pendekatan yang strategis sebagai taktik, meskipun dalam pemahaman umum, telah
keliru memahami bahwa strategi merupakan instrumen tujuan yang bersifat sementara
mencerminkan budaya dan emosi. berdasarkan sudut sudut pandang orang-orang, mereka ini
mungkin dapat memberikan jawaban yang lebih baik pada masalah irasionalitas yang menjadi
konsepsi penjelasan para rasionalis perilaku pada masa lalu. Apakah akhir dari paradigma
ambisius ini, berarti kita harus menyerah pada teori? Haruskah kita mengabdikan diri pada tugas-
tugas empiris ilmu pengetahuan normal? Haruskah kita membiarkan lapangan gerakan sosial
terfragmen ke sub spesialis, sehingga kekhususan gerakan wanita, atau dalam globalisasi,
jaringan perekrutan, atau emosi tidak perlu lagi untuk saling berdialog? Apakah tidak ada alasan
bagi siswa mobilisasi di Australia belajar dari mereka yang menulis tentang Nigeria? Sayangnya,
fragmentasi ini berjalan dengan baik, akan tetapi ada salah satu cara untuk membalikkan itu
yakni melalui debat teoritis dan sintesis.
Collins (1998), menunjukkan bahwa perjuangan antara beberapa paradigma yang berbeda adalah
situasi bermanfaat bagi disiplin akademik. Artinya, jika kita mengabaikan teori dalam studi
gerakan sosial, maka kita akan membuat lebih banyak kesalahan konseptual. Akan tetapi cara
yang paling produktif untuk melakukan teori hari ini mungkin untuk menghindari teori-teori
besar dan berkonsentrasi pada hal yang kecil. Singkat kata, menurutnya, sebuah teori yang
eksplisit tetapi aksi atau tindakan yang realistis agar dapat membantu kita mendapatkan sedikit
hal yang benar.

Anda mungkin juga menyukai