Anda di halaman 1dari 379

PENDIDIKAN SEJARAH,

PATRIOTISME & KARAKTER BANGSA

Malaysia-Indonesia

Sampul Dalam
iii
PENDIDIKAN SEJARAH, PATRIOTISME & KARAKTER BANGSA
Malaysia-Indonesia
Copyright@2017, Ersis Warmansyah Abbas
Hak Cipta dilindungi undang-undang

Setting/Layout : Ersis Warmansyah Abbas


Desain Sampul : Ersis Warmansyah Abbas
Pemeriksa Aksara : Risna Warnidah
Cetakan Pertama : Januari 2017

Diterbitkan Atas Kemitraan:

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Fakulti Pendidikan


Universitas Lambung Mangkurat Universiti Kebangsaan Malaysia
Banjarmasin Bangi
Indonesia Malaysia

Inisiasi Penerbitan:
Program Suti Pendidikan IPS dan Program Studi Pendidikan Sejarah
FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

ISBN: 987-602-96546-3-9

iv Sampul Dalam
Penyunting:
Ersis Warmansyah Abbas
Abdul Razaq Ahmad
Mohd Mahzan Awang
Heri Susanto

PENDIDIKAN SEJARAH,
PATRIOTISME & KARAKTER BANGSA

Malaysia-Indonesia

Sambutan:
Prof. Dr. Sutarto Hadi, M.Si., M.Sc.
Rektor Universitas Lambung Mangkurat
Prof. Dr. Wahyu, M.S.
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat
Prof. Dato’ Dr. Norazah Mohd Nordin
Dekan Fakulti Pendidikan
Universiti Kebangsaan Malaysia
Prof. Madya Dato’ Dr. Abdul Razaq Ahmad
Ketua Pusat Kepelbagaian Pelajar dan Pembangunan Komuniti
Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia
Penerbit
WAHANA JAYA ABADI

Sampul Dalam
v
Sanksi Pelanggaran Pasal 72:
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997
tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak
suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1 (satu bulan dan/atau dengan paling sedikit Rp1.000.000.00
(satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual


kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

vi Sampul Dalam
SAMBUTAN
REKTOR UNIVERSITAS
LAMBUNG MANGKURAT

Sebagai Rektor Universitas Lambung Mangkurat saya


menyambut dengan gembira penerbitan buku Pendidikan
Sejarah, Patriotisme & Karakter Bangsa: Malaysia-In-
donesia kelanjutan seminar kerjasama Universitas
Lambung Mangkurat (ULM) dan Universiti Kebangsaan
Malaysia (UKM), 2 Desember 2015. Kerjasama seminar
dan penerbitan buku merupakan hal positif bagi kedua
perguruan tinggi.
Saat ini ULM tengah gencar-gencarnya, bukan saja
meningkatkan kualitas SDM, tetapi sekaligus membangun dukungan sarana
dan prasarana dalam mendayung kemajuan ULM. Apalagi, saat ini ULM tengah
berupaya sekuatnya mendapatkan Akreditasi A yang mana kerjasama seminar
dan penerbitan buku merupakan bagian pendukungnya.
Sebagaimana dilaporkan kepada saya oleh Dr. Ersis Warmansyah
Abbas, M.Pd. sebelum berangkat untuk merealisasikan kerjasama ke UKM dan
sekembali dari UKM, penandatanganan MoU antara ULM (FKIP) dan UKM
(Fakulti Pendidikan) dilanjutkan dengan seminar dan penerbitan buku. Saat ini
tengah dirancang riset, seminar, visiting profesor, pertukaran mahasiswa dan
dosen yang mudah-mudahan pada tahun-tahun mendatang menjadi kenyataan.
Tidak syak lagi, kerjasama antar universitas, baik di dalam negeri
maupun mancanegara, merupakan keniscayaan dalam membangun kemajuan
universitas. Bagi ULM hal tersebut dibangun dalam keserentakkan, bukan saja
dari tingkat universitas, tetapi fakultas-fakultas memain peran signifikans.
Kerjasama antar universitas janjian peningkatan kualitas ULM ke depan.

Sambutan Rektor Universitas Lambung Mangkurat


vii
Sebagai apresiasi atas terbitnya buku ini, terikut harapan, semoga ke
depan hal-hal postif seperti ini menjadi jalan kebaikan akademik bagi kita semua.
Apapun kegiatan akademik kita berujung karya.
Sekali lagi, selamat atas terbitnya buku Pendidikan Sejarah,
Patriotisme & Karakter Bangsa: Malaysia-Indonesia.

Banjarmasin, 17 Januari 2017

Prof. Dr. Sutarto Hadi, M.Si., M.Sc.


Rektor Universitas Lambung Mangkurat

Sambutan Rektor Universitas Lambung Mangkurat


viii
Dr. Ersis Warmansyah Abbas, M.Pd., Dr. Herry Porda Nugroho Putro,
M.Pd., Dr. Bambang Subiyakto, M.Hum., Drs. Muhammad Zaenal Arifin Anis,
M.Hum. dan Heri Susanto, M.Pd., merupakan pionir kerjasama akademik kedua
Fakultas tersebut. Tujuan seminar untuk mencari cara-cara terbaik bagi
pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam lingkup regional, atau setidak-tidaknya
cara pengembangan Pendidikan Sejarah di FKIP ULM dan Fakulti Pendidikan
UKM. Tema Seminar Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter Bangsa:
Malaysia–Indonesia mencakup sub-tema makalah yang disusun FKIP ULM
dan Fakulti Pendidikan UKM. Para penulis makalah yang dipresentasikan di
UKM Bangi, menyoroti lebih luas, bukan hanya Pendidikan Sejarah, Patriotisme
dan Karakter Bangsa, tetapi juga membentangkan masalah Kurikulum, Metode,
Media, Kemahiran Berpikir dalam Pendidikan Sejarah.
Bahan untuk buku ini berasal dari makalah-makalah yang
dipresentasikan dalam seminar. Isi buku terdiri dari 17 tulisan, yang mencakup
teori, metodologi dan penerapannya. Buku ini sangat bermanfaat tidak saja bagi
yang baru mengenal dan belajar Pendidikan Sejarah, tetapi juga bagi mereka
yang telah lama berkecimpung di dunia pendidikan sebagai tambahan yang
dapat memperkaya perbendaharaan di bidang ini.
Pada kesempatan ini, sebagai Dekan FKIP ULM, saya mengucapkan
terima kasih dan selamat kepada dosen-dosen FKIP ULM dan Fakulti Pendidikan
UKM yang telah berusaha keras untuk menyelenggarakan seminar dan
menerbitkan buku ini. Harapan kami, agar kerjasama ini terus ditingkatkan dalam
usaha kita untuk tumbuh dan berkembangnya Ilmu Pengetahuan. Akhirnya dari
lubuk hati yang paling dalam, kepada semuanya, saya mengucapkan terima
kasih atas terbitnya buku ini.

Banjarmasin, 17 Januari 2017

Prof. Dr. H. Wahyu, MS


Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Sambutan Dekan FKIP ULM


x
SAMBUTAN
KETUA DARIPADA DEKAN FAKULTI
PENDIDIKAN UKM

Buku Pendidikan Sejarah, Patriotisme & Karakter


Bangsa: Malaysia-Indonesia merupakan hasil daripada
kerjasama MoU akademik antara Fakulti Pendidikan,
UKM bersama Universitas Lambung Mangkurat.
Penerbitan buku sebegini adalah bukti kerjasama sinergi
yang amat baik. Saya mengucapkan tahniah kepada Pusat
Kepelbagaian Pelajar dan Pembangunan Komuniti yang
telah bersama-sama dengan Jabatan Pendidikan dan
Kesejahteraan Komuniti dalam menjayakan kerjasama akademik sebegini.
Sebagai institusi akademik tersohor, Fakulti Pendidikan amat menggalakkan
usaha sebegini kerana ia menjadi bukti kepada kredibiliti para cendekiawan di
institusi pendidikan sama ada di Malaysia dan juga Indonesia. Hakikat
mengetahui bahawa buku adalah tiang kepada sebaran ilmu apatah lagi ia
berkisar kepada pendidikan patriotisme yang merupakan kepentingan negara.
Saya berharap agar buku ini menjadi rujukan dalam mendalami patriotisme
dan karakter bangsa. Penerbitan sinergi ini amat perlu digiatkan dalam usaha
menyemarakkan dunia akademik. Sekalung tahniah kepada semua yang
menjayakan usaha penerbitan ini.

Bangi, 17 Januari 2017

Prof. Dato’ Dr. Norazah Mohd Nordin


Dekan Fakulti Pendidikan
Universiti Kebangsaan Malaysia

Sambutan Ketua Daripada Dekan Fakulti Pendidikan UKM


xi
SAMBUTAN
DARIPADA KETUA PUSAT KEPELBAGAIAN
PELAJAR & PEMBANGUNAN KOMUNITI
FAKULTI PENDIDIKAN UKM

Patriotisme merupakan satu konsep yang amat


penting kepada kelestarian kemerdekaan dan kemajuan
negara. Membicarakan patriotisme dalam satu buku yang
menggabungkan perspektif dua negera demokrasi adalah
inisiatif yang diusahakan untuk membolehkan pembaca
menghayati elemen patriotisme dalam kerangka yang lebih
meluas. Pastinya pembacaan buku sebegini memberi
manfaat kepada pembaca dirantau Nusantara. Saya
mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah
memberi sumbangan idea dalam menerbitkan artikel dalam buku ini. Penerbitan
buku ini hakikatnya adalah satu pengisian Memorandum of Understanding (MoU)
antara Universitas Lambung Mangkurat dan Universiti Kebangsaan Malaysia
yang dimulai dengan Diskusi Akademik Pendidikan Sejarah dan
Kewarganegaraan yang berlangsung di Fakulti Pendidikan UKM. Saya
mengucapkan syukur ke hadrat Ilahi kerana telah memberi kemudahan dalam
menjayakan usaha akademik sebegini. Semoga buku ini dapat menjadi rujukan
dan bahan pengajaran pembelajaran untuk meningkatkan lagi kefahaman
patriotisme demi kesejahteraan pembangunan serantau.

Bangi, 17 Januari 2017

Prof. Madya Dato’ Dr. Abdul Razaq Ahmad


Ketua Pusat Kepelbagaian Pelajar & Pembangunan Komuniti
Fakulti Pendidikan
Universiti Kebangsaan Malaysia
Sambutan Daripada Ketua Kepelbagaian Pelajar & Pembangunan
xii Komuniti Fakulti Pendidikan UKM
Pada titik awal, ketika Prof. Dr. Wahyu, MS menjadi PD I FKIP ULM, kami
merancang tiga seminar internasional sebagai peletakkan tonggak-tonggak untuk
membangun tradisi seminar bertaraf internasional. Seminar pertama bertajuk:
Building Nation Character Through Education (2014), seminar kedua
bertema: International Seminar on Ethnopedagogy (2015), dan seminar ketiga
bertitel: Building Education Based on Nationalism Values (2016) yang dalam
dayungannya dalam semi kerjasama dengan Fakulti Pendidikan UKM.
Tanpa malu-malu, sebagai penggagas saya akui, rangkaian seminar
ini pada awalnya bertujuan untuk menggairahkan menulis di kalangan dosen-
dosen FKIP ULM sekaligus untuk mendapatkan cum untuk keperluan naik
pangkat. Alhamdulillah, mereka yang menulis pada tiga tahap pertama,
merasakan manfaat menulis makalah yang dipresentasikan, dan yang tidak kalah
penting, buku (prosiding) sangat bermanfaat untuk keperluan akreditasi, baik
tingkat program studi, fakultas, dan universitas. Artinya, mendayung seminar
internasional mempunyai kemanfaatan berganda.
Sebagaimana direncanakan, pada seminar internasional berikutnya,
semacam International Conference on Education, dalam dayungan
kerjasama beberapa universitas, diantaranya dengan UKM. Untuk itu, tengah
dirancang besukan lanjutannya, yaitu: Jurnal Internasional.
Semoga pengalaman tiga kali melaksanakan seminar internasional
dan setelah seminar keempat, makalah-makalah yang dipresentasikan layak
untuk dimuat pada jurnal internasional. Terlepas harapan tersebut menjadi atau
tidak, setidaknya harapan dan usaha telah dilakukan. Memang, tidak semua
rencana hebat mendapat dukungan semua pihak atau tidak steril dari konstrain,
tetapi tidak ada yang salah dengan gagasan dan apa yang dilakukan.
Semoga bermanfaat adanya. Aamiin Ya Rabbal Alamin.

Banjarbaru, 17 Januai 2017

Dr. Drs. Ersis Warmansyah Abbas, BA, M.Pd.

Pengantar Ketua Penyunting


xiv
DAFTAR ISI

SAMBUTAN REKTOR ULM .......................................................... vii


SAMBUTAN DEKAN FKIP ULM ..................................................... ix
SAMBUTAN DARIPADA DEKAN FAKULTI PENDIDIKAN UKM ............ xi
SAMBUTAN DARIPADA KETUA PUSAT KEPELBAGAIAN
PELAJAR & PEMBANGUNAN ..................................................... xii
PENGANTAR KETUA PENYUNTING ..................................................... xiii

DAFTAR ISI ....................................................................... xv


Penerapan Kemahiran Berfikir Aras Tinggi (KBAT)
Dalam Pendidikan Sejarah
Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad, Maizun Samad .... 1
Nilai Religius Urang Banjar (Kajian Transformasi Nilai Kejuangan
Periode Revolusi Fisik 1945-1949 sebagai Sumber Pembelajaran IPS)
Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin ................................. 15
Kemahiran Berfikir Sejarah Berdasarkan Latar Belakang
Akademik Guru
Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang, Krishnaveni
a/p Vasudevan, Noria Munirah .............................................. 45
Belajar Hidup Bersama (Learning To Live Together) Dalam
Pembelajaran Sejarah
Herry Porda Nugroho Putro .......................................................... 61
Daftar Isi XV
Multimedia Dalam Pengajaran dan Pembelajaran Sejarah
Nur Syazwani Abdul Talib, Mohd Mahzan Awang & Abdul
Razaq Ahmad ................................................................................ 91
Melatih Historical Empathy Melalui Pemahaman Sejarah
Perjuangan Bangsa
Heri Susanto .................................................................. 107
Sejarah dan Perkembangan Hubungan Etnik Di Malaysia
Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad,
Norakma Mohd Daud ............................................................... 125
Pendidikan Sejarah, Kewarganegaraan, Patriotisme,
dan Literasi Politik
Azhar Ahmad, Mohd Johari Hassan, Kashfull Munirah Yusof,
Nur Afiqkha Akma Mohd Hussein, Norhayati Ishak ................ 143
Nasionalisme Indonesia (Analisis Teoritik Fenomena Historis
Pergerakan Nasional Indonesia)
Bambang Subiyakto ................................................................. 161
Penyelidikan Dalam Pendidikan Sejarah
Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang.......................... 185
Neo-Nasionalisme dan Nasionalisme
Rully Putri Nirmala Puji ......................................................... 201
Pendidikan Sejarah dan Patriotisme di Malaysia
Abdul Aziz Abdul Rahman, Nor Liza Syahila Abd Muin,
Nursyazmimi Sazali, Amylia Abdul Rahman ............... 211
Isu dan Cabaran Kurikulum Pendidikan Sejarah di Malaysia
Abdul Razaq Ahmad, Norashikin Nawi, Amni Syamimi Zaki,
Noor Norazila Inai ........................................................................ 233

xvi Daftar Isi


Obyek Bersejarah, Jati Diri Bangsa dan Ketahanan Nasional
Muhammad Zainal Arifin Anis ..................................................... 247
Penerapan Nilai Patriotisme Menerusi Pendidikan Sejarah
Ahmad Ali Seman, Raidah Rasyidah Makhtar, Musni Awatif
Mustaffar, Anis Farhana Izani, Fathilah Akmal Ismail ............. 259
Perkembangan Toleransi Kaum di Malaysia
Abdul Aziz Abdul Rahman .................................................... .. 275
Pendidikan Karakter Bangsa Di Sekolah
Hambali, Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang .......... 289
Pendidikan Karakter Bangsa Di Sekolah
Hambali, Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang .......... 289
Pembelajaran Sejarah Berbasis Berpikir Historis Dalam
Membangun Nasionalisme
Ersis Warmansyah Abbas ............................................................ 307

PENYUNTING .............................................................................. 317

Daftar Isi XVII


xviii Daftar Isi
PENERAPAN KEMAHIRAN BERFIKIR ARAS
TINGGI (KBAT) DALAM PENDIDIKAN SEJARAH
Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad, Maizun Samad
Corresponding author: mahzan@ukm.edu.my

PENGENALAN
Pendidikan Sejarah di Malaysia telah mengalami beberapa proses
perubahan dalam memantapkan kurikulum pendidikan Sejarah. Di antara
perubahan yang telah dilakukan oleh Kementerian pendidikan Malaysia adalah
memperkenalkan KBSM (Kurikulum Baru Sekolah Menengah) termasuklah
memberi nilai tambah dalam mata pelajaran Sejarah di mana dalam kurikulum
KBSM kurikulum, kurikulum sejarah bukan saja tertumpu kepada sejarah lokal
tetapi juga kepada sejarah dunia dalam kurikulum sejarah. Selain itu, pendekatan
pengajaran pembelajaran sejarah juga telah diberi nafas baru dengan
memperkenalkan kerja lapangan bagi subjek mata pelajaran Sejarah bagi tujuan
memberi pengetahuan secara langsung kepada pelajar tentang sejarah,
khususnya sejarah lokal.
Seiring dengan perlembagaan terkini dalam pelan pembangunan
pendidikan, kemahiran KBAT juga telah diperkenalkan dalam mata pelajaran
Sejarah bukan sahaja dalam proses pembelajaran tetapi ia turut dinilai dalam
peperiksaan. Tujuan utama KBAT adalah untuk memberi kemahiran berfikir
yang lebih luas kepada pelajar yang mengambil mata pelajaran Sejarah seperti
dapat membuat penilaian berdasarkan bukti sejarah, mengaitkan peristiwa
sejarah dengan masa kini serta membuat implikasi apa yang dipelajari sejarah

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia dan Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.
Mohd Mahzan Awang, dkk.
1
dalam mata pelajaran lain serta kehidupan seharian mereka. Ini amat memberi
makna kerana pelajar tidak hanya belajar berdasarkan kandungan buku teks
semata-mata yang menjurus kepada exam oriented. Yang mana dalam banyak
kajian sebelum ini menunjukkan pelajar gagal mengembangkan ilmu sejarah
dalam membuat perbandingan dunia luar serta mencernakan pengetahuan
dalam situasi dalam kehidupan mereka.
Sistem pendidikan negara menerapkan elemen KBAT (Kemahiran
Berfikir Aras Tinggi) merentas kurikulum agar dapat melahirkan modal insan
yang cemerlang serta berpengetahuan luas dalam pelbagai bidang malah
mampu menghadapi cabaran yang mendatang. Fenomena ini memerlukan
sokongan padu daripada sektor pendidikan yang merupakan elemen utama
bagi menjayakan agenda negara (Muhyiddin 2011).
Oleh itu, Kementerian Pendidikan Malaysia telah berusaha mencapai
hasrat murni tersebut dengan penekanan kepada pengajaran dan pembelajaran
(P&P) berpusatkan pelajar dan memberi penekanan terhadap kemahiran berfikir
aras tinggi (Kementerian Pendidikan Malaysia 2013). Justeru, kurikulum sekolah
telah disemak semula pada tahun 2002 yang memberi penekanan untuk
menyedarkan murid akan peranan dan tanggungjawab mereka sebagai
warganegara yang maju dan berilmu. Malah pada masa yang sama murid juga
dididik untuk berfikir, berilmu pengetahuan luas, bertataetika tinggi, bijaksana serta
dapat menggunakan teknologi maklumat dan komunikasi secara berkesan (Pusat
Perkembangan Kurikulum 2003). Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia
(2013-2025) telah menggariskan enam ciri utama yang perlu ada pada setiap
murid iaitu kemahiran memimpin, identiti nasional, kemahiran berfikir, kemahiran
dwi bahasa, etika dan kerohanian serta pengetahuan (KPM 2013).
Peranan dan kompetensi guru sangat penting dalam menarik dan
menanamkan minat pelajar terhadap mata pelajaran Sejarah seterusnya
menerapkan kemahiran berfikir aras tinggi melalui kemahiran pemikiran
Sejarah. Pengetahuan, kemahiran dan sikap guru yang berdedikasi merupakan
aspek utama bagi mendorong pelajar untuk menerka dan menguasai mata
pelajaran Sejarah (Ahmad Rafaai 2012).
KEMAHIRAN BERFIKIR ARAS TINGGI
Di Malaysia, kurikulum Sejarah yang disemak semula pada tahun 2003
ternyata mempunyai objektif tertentu yang antaranya membolehkan pelajar

Mohd Mahzan Awang, dkk.


2
mengambil iktibar daripada pengalaman Sejarah untuk meningkatkan daya
pemikiran dan kematangan serta pada masa yang sama membolehkan pelajar
menganalisis, merumus, dan menilai fakta-fakta Sejarah Malaysia dan dunia
luar secara rasional. Oleh itu, timbul persoalan di sini sejauh manakah
kompetensi guru-guru Sejarah menerapkan komponen Kemahiran Berfikir Aras
Tinggi (KBAT) dalam pengajaran dan pembelajaran Sejarah? Pengajaran yang
baik dan berkesan adalah bergantung kepada kompetensi guru dari aspek
guru-guru mempunyai kefahaman yang mendalam tentang apa yang mereka
ajar. Oleh demikian guru tidak akan mempunyai masalah untuk membantu
pelajar dan memupuk minat mereka terhadap pelajaran. Guru juga
bertanggungjawab untuk meningkatkan pengetahuan mereka dalam bidang
pendidikan dari semasa ke semasa bagi memastikan peningkatan kualiti dalam
pendidikan.
Kajian yang dijalankan oleh Aini Hassan (2008) tentang strategi
pengajaran dan pembelajaran mata pelajaran Sejarah, kaedah khutbah
merupakan salah satu strategi yang paling popular dalam kalangan guru
Sejarah. Hal ini dilihat sebagai punca masalah kesediaan belajar dalam
kalangan pelajar terhadap mata pelajaran Sejarah. Usaha untuk memupuk
minat pelajar terhadap mata pelajaran Sejarah telah menjadi satu cabaran
yang besar kepada guru-guru Sejarah, malah ada kajian menunjukkan bahawa
pelajar mahupun masyarakat menganggap Sejarah adalah satu daripada mata
pelajaran yang tidak menarik, membosankan dan tidak berkepentingan (Anuar
2000). Hakikatnya anggapan sedemikian adalah ekoran daripada kurangnya
kompetensi guru Sejarah itu sendiri dalam melaksanakan pengajaran dan
pembelajaran. KBAT mengandungi ciri-ciri seperti berikut:
1. Memahami kronologi- bermakna melihat masa lalu, kini dan akan
datang mengikut urutan sesuatu peristiwa sejarah itu berlaku
2. Membuat imaginasi – bukan bermaksud membuat tafsiran
terhadap sesuatu peristiwa dengan memberi ulasan dan kupasan
3. Membuat interpretasi – adalah bukan suatu usaha melibatkan
murid-murid dengan sesuatu situasi dalam peristiwa sejarah yang
dikaji. Kemahiran ini ialah secara visual dan empati.
4. Membuat rasionalisasi – melibatkan penggunaan akal fikiran dan
membuat pertimbangan yang wajar dalam menyelesaikan sesuatu
masalah.

Mohd Mahzan Awang, dkk.


3
5. Di antara bukan unsur kemahiran berfikir kritis adalah menjana idea,
meramal, membuat hipotesis dan mereka cipta

PENGETAHUAN GURU BERKAITAN KEMAHIRAN BERFIKIR ARAS TINGGI


(KBAT)
Pengetahuan guru tentang KBAT adalah sangat penting kerana tanpa
pengetahuan yang cukup, guru akan gagal melaksanakan kemahiran tersebut
dalam bilik darjah dalam mata pelajaran Sejarah. Oleh itu satu kajian
menggunakan ujian telah dilaksanakan terhadap 144 guru di salah sebuah
Daerah Selangor Malaysia. Hasil kajian mendapati hampir keseluruhan guru
dapat menguasai dengan baik pengetahuan KBAT. Secara terperinci
penguasaan guru tentang pengetahuan KBAT adalah seperti di jadual 1.
Jadual 1
Penguasaan Pengetahuan Guru Sejarah terhadap KBAT

Bil N=144 Penyataan Betul Salah


1 Kriteria kemahiran pemikiran sejarah adalah 62.5% 37.5%
berdasarkan arahan daripada pihak pentadbir sekolah
2 Proses pengajaran dan pembelajaran guru Sejarah 95.1% 4.9%
hendaklah merangkumi aspek penerapan pemikiran
sejarah 96.5% 3.5%
3 Memahami kronologi- bermakna melihat masa lalu, kini
dan akan datang mengikut urutan sesuatu peristiwa
sejarah itu berlaku 79.2% 20.8%
4 Membuat imaginasi – bukan bermaksud membuat
tafsiran terhadap sesuatu peristiwa dengan memberi
ulasan dan kupasan 80.6% 19.4%
5 Membuat interpretasi – adalah bukan suatu usaha
melibatkan murid-murid dengan sesuatu situasi dalam
peristiwa sejarah yang dikaji. Kemahiran ini ialah secara 97.9% 2.1%
visual dan empati.
6 Membuat rasionalisasi – melibatkan penggunaan akal
fikiran dan membuat pertimbangan yang wajar dalam 90.3% 9.7%
menyelesaikan sesuatu masalah.
7 Di antara bukan unsur kemahiran berfikir kritis adalah 70.8% 29.2%
menjana idea, meramal, membuat hipotesis dan mereka
cipta

Mohd Mahzan Awang, dkk.


4
8 Menyusun maklumat mengikut tertib berdasarkan 70.8% 29.2%
kepentingan adalah merupakan unsur pemikiran kritis
9 Kemahiran menganalisis adalah pelajar mengolah 86.1% 13.9%
maklumat dengan menghuraikannya kepada bahagian
yang lebih kecil bagi memahami sesuatu konsep
10 Menceritakan usaha pemimpin (Bab 1- Sejarah Tingkatan 61.8% 38.2%
2) bukanlah dalam kategori kemahiran mensintesis
11 Membuat justifikasi atas tindakan sultan Kedah dan Johor 91.0% 9.0%
(Bab 1- Sejarah Tingkatan 2) adalah kemahiran tahap
penilaian
12 Menghubungkaitkan kesan Revolusi Perindustrian dan 84.0% 16.0%
dasar kerajaan British dengan perubahan politik, ekonomi
dan sosial di Negeri-Negeri Melayu adalah bukan
kemahiran pemikiran sejarah tahap aplikasi

Berdasarjan jadual di atas, kemahiran KBAT yang paling dikuasai guru


adalah berkaitan dengan membuat rasionalisasi yang melibatkan penggunaan
akal fikiran dan membuat pertimbangan yang wajar dalam menyelesaikan
sesuatu masalah, memahami kronologi- bermakna melihat masa lalu, kini dan
akan datang mengikut urutan sesuatu peristiwa sejarah itu berlaku, proses
pengajaran dan pembelajaran guru Sejarah hendaklah merangkumi aspek
penerapan pemikiran sejarah, kemahiran berfikir kritis adalah menjana idea,
meramal, membuat hipotesis dan mereka cipta, dan membuat justifikasi. Ini
menunjukkan bahawa rata-rata guru telah bersedia untuk melaksanakan KBAT
dalam pembelajaran sejarah dan diharapkan ianya dapat menambah pelbagai
kemahiran dalam pembelajaran sejarah dan tidak berdasarkan kandungan
sejarah semata-mata.

PENGUASAAN KEMAHIRAN PEDAGOGI GURU DALAM KBAT


Selain daripada juga, penguasaan kemahiran pedagogi guru sejarah
keseluruhannya amatlah memuaskan, di mana guru-guru dapat menguasai
kemahiran tersebut dengan amat baik. Perkara ini boleh dilihat secara terperinci
dalam Jadual 2 di bawah.

Mohd Mahzan Awang, dkk.


5
Jadual 2
Kemahiran guru dalam penerapan pemikiran sejarah aras tinggi

Bi l Kenyataan ATM TM TP M A A M Mi n Interpretasi


1 Kemahiran penggunaan teknik 1 8 21 104 10 3.79 Tinggi
penyoalan yang memerlukan pelajar (0.7%) (5.6%) (14.6%) (72.2%) (6.9%)
menganalisis tentang sesuatu topic
2 Penyediaan aktiviti yang dapat - 11 23 104 6 3.73 Tinggi
mendorong pelajar meneroka idea (7.6%) (16.0%) (72.2%) (4.2%)
baru
3 Kemahiran menyediakan tugasan - 10 29 100 5 3.69 Tinggi
agar pelajar dapat membuat penilaian (6.9%) (20.1%) (69.4%) (3.5%)
terhadap keputusan yang dibuat oleh
para pemimpin
4 Kemahiran menyusun aktiviti - 24 27 87 6 3.52 Sederhana
simulasi tentang petapakan SHTI di (16.7%)(18.8%) (60.4%) (4.2%)
Pulau Pinang agar pelajar menguasai
kronologi peristiwa
5 Kemahiran menyediakan bahan - 13 22 100 9 3.73 Tinggi
bantu belajar yang dapat (9.0%) (15.3%) (69.4%) (6.3%)
membolehkan pelajar membuat
penjelasan, penilaian dan menjana
idea baru
6 Kemahiran membimbing pelajar - 6 22 100 16 3.88 Tinggi
membuat rasionalisasi berkaitan (4.2%) (15.3%) (69.4%) (11.1%)
sesuatu topik berdasarkan pelbagai
sumber Sejarah
7 Kemahiran penggunaan ICT dalam 1 24 32 79 8 3.48 Sederhana
membandingkan fakta-fakta berbeza (0.7%) (16.7%)(22.2%) (54.9%) (5.6%)
tentang satu peristiwa
8 Kemahiran memotivasikan pelajar - 7 27 101 9 3.78 Tinggi
untuk membuat aplikasi ilmu sejarah (4.9%) (18.8%) (70.1%) (6.3%)
9 Kemahiran perancangan aktiviti agar - 5 22 105 12 3.86 Tinggi
pelajar dapat menjalankan kajian dan (3.5%) (15.3%) (72.9%) (8.3%)
membuat pelaporan serta penilaian
tentang topik kajian
10 Kemahiran melibatkan semua pelajar - 9 21 107 7 3.78 Tinggi
agar mengemukakan cadangan (6.3%) (14.6%) (74.3%) (4.9%)
penyelesaian masalah bagi sesuatu
topik
11 Kemahiran mendorong pelajar - 27 98 11 3.78 Tinggi
membuat interpretasi dan (5.6%) (18.8%) (68.1%) (7.6%)
mengemukakan idea baru
12 Kemahiran mengendalikan - 11 31 97 5 3.67 Tinggi
pengajaran dan pembelajaran untuk (7.6%) (21.5%) (67.4%) (3.5%)
menggalakkan pelajar membuat
jangkaan sesuatu peristiwa
pemerhatian dan data yang diperoleh

Keseluruhan 3.72 Tinggi

Mohd Mahzan Awang, dkk.


6
Jadual 2 menunjukkan bahawa keseluruhan guru dapat melaksanakan
dan menerapkan dengan baik kemahiran KBAT melalui teknik penyoalan, aktiviti,
tugasan, bahan bantú mengajar serta kemahiran motivasi. Jadual di bawah
memperincikan lagi kemahiran KBAT guru.
Namun begitu, bagi aspek berkaitan aktiviti simulasi dan ICT masih
lagi kurang diaplikasikan oleh guru dalam meningkatkan kemahiran KBAT dalam
kalangan pelajar. Pelajaran ini selari dengan dapatan kajian Zarina (2012). Hasil
kajian beliau mendapati sampel kajian menunjukkan tahap amalan P&P guru-
guru Sejarah terhadap penerapan kemahiran pemikiran Sejarah (KPS) peringkat
menengah atas secara keseluruhannya adalah tinggi. Dapatan bagi kesemua
kemahiran KPS iaitu kronologi, meneroka bukti, interpretasi, imaginasi dan
rasionalisasi menunjukkan hasil dapatan yang tinggi.
Selain daripada itu, Jaminah (2011) dalam kajiannya juga
menunjukkan secara keseluruhannya mendapati guru berpendapat mereka
mempunyai tahap kemahiran pengajaran yang tinggi setelah mendapat latihan
ikhtisas guru. Guru-guru berpendapat mereka boleh merancang pelbagai
aktiviti dalam pengajaran dan pembelajaran yang aktif dan melibatkan semua
murid. Guru juga mahir merancang pengajaran dan pembelajaran yang sesuai
dengan kemampuan murid mempelajari Sejarah. Begitu juga dengan dapatan
kajian Mahmud Khusairi (2003) yang menunjukkan guru mahir memilih kaedah
pengajaran yang bersesuaian dengan tajuk pengajaran serta sesuai dengan
minat dan kecenderungan murid. Keupayaan guru merancang dan
menyesuaikan pengajaran dengan tahap kognitif murid juga membuktikan
guru mempunyai kemahiran pengajaran dan pembelajaran yang bersesuaian
bagi merangsang pemikiran murid. Berdasarkan hasil kajian dapatlah
disimpulkan bahawa guru Sejarah mampu merancang dan melaksanakan
proses pengajaran dan pembelajaran yang berkesan seperti mana dapatan
hasil kajian Shahril (2005) mengenai amalan pengajaran berkesan. Beliau
menegaskan bahawa guru yang berkesan ialah guru yang mampu
mempelbagaikan kaedah pengajaran yang aktif, menyediakan alat bantu
belajar dan mendalami isi kandungan yang hendak diajar. Di samping itu,
guru juga mesti mampu mengenal pasti tahap kemampuan murid, mampu
mendorong mereka menjana pemikiran, mampu memberi motivasi dan
mengawal tingkah laku murid.

Mohd Mahzan Awang, dkk.


7
SIKAP GURU TERHADAP PERLAKSANAAN KBAT
Walaupun KBAT baru dilaksanakan dalam kurikulum sejarah di Malaysia,
majoriti guru menyambut dengan baik dan bersedia untuk melaksanakan KBAT
dalam mata pelajaran Sejarah. Ini jelas dapat dilihat daripada tinjauan yang
menunjukkan bahawa sikap guru sejarah terhadap KBAT adalah positif. Aspek
yang sangat positif terutamanya dari aspek latihan dan kursus, mengambil inisiatif
tersendiri, aplikasi dan perbincangan dengan guru pakar, membuat penilaian sendiri
dan secara terperinci dapat dilihat Jadual 3 yang menggambarkan sikap
keseluruhan guru sejarah tentang perlaksanaan KBAT dalam sejarah. Namun
begitu, dari spek mencari maklumat dan pengetahuan menerusi pembacaan,
guru masih kurang bersedia ke arah itu. Ini adalah disebabkan kekurangan bahan
rujukan yang disediakan oleh sekolah dan kementerian berkaitan rujukan
tambahan. Ia juga disebabkan oleh sikap guru yang kurang mengambil inisiatif
dalam memperkayakan bahan-bahan pengajaran sejarah. Secara terperinci sikap
guru dalam perlaksanaan KBAT boleh dilihat dalam Jadual 3 di bawah.
Jadual 3
Sikap guru dalam penerapan pemikiran sejarah aras tinggi.

Bi l Kenyataan ATS TS TP S A S Mi n Interpretasi


1 Saya menghadiri kursus berkaitan 4 14 12 91 23 3.80 Tinggi
penerapan pemikiran Sejarah yang (2.8%) (9.7%) (8.3%) (63.2%) (16.0%)
dianjurkan oleh pihak PPD dan JPN
2 Saya menghadiri taklimat berkaitan 2 4 1 110 17 3.94 Tinggi
penerapan pemikiran Sejarah yang (1.4%) (2.8%) (7.6%) (76.4%) (11.8%)
dianjurkan oleh pihak sekolah
3 Saya sentiasa membaca buku atau 2 27 19 88 8 3.51 Sederhana
jurnal berkaitan dengan kemahiran (1.4%)(18.8%)(13.2%) (61.1%) (5.6%)
pemikiran Sejarah
4 Saya sentiasa berusaha 1 4 11 102 26 4.03 Tinggi
meningkatkan kemahiran penerapan (0.7%) (2.8%) (7.6%) (70.8%) (18.1%)
pemikiran Sejarah
5 Saya mengaplikasi penerapan 1 7 24 92 20 3.85 Tinggi
pemikiran Sejarah aras tinggi (0.7%) (4.9%) (16.7%) (63.9%) (13.9%)
terhadap pelajar
6 Saya sentiasa menjadikan Huraian - 1 8 106 29 4.13 Tinggi
Sukatan Pelajaran sebagai rujukan (0.7%) (5.6%) (73.6%) (20.1%)
bagi melaksanakan penerapan
pemikiran Sejarah
7 Saya sentiasa berbincang dengan 1 6 8 106 23 4.00 Tinggi
guru-guru Sejarah yang lain tentang (0.7%) (4.2%) (5.6%) (73.6%) (16.0%)
penerapan pemikiran Sejarah
8 Saya sering menilai tahap pemikiran - 7 20 100 17 3.88 Tinggi
Sejarah pelajar sebelum memulakan (4.9%) (13.9%) (69.4%) (11.8%)
tajuk baru

Mohd Mahzan Awang, dkk.


8
9 Saya sentiasa memberi peluang - 1 3 101 39 4.24 Tinggi
kepada pelajar untuk mengemukakan (0.7%) (2.1%) (70.1%) (27.1%)
pendapat dan membuat penjelasan
10 Saya menggalakkan pelajar - 1 5 102 36 4.20 Tinggi
membuat interpretasi bagi menjana (0.7%) (3.5%) (70.8%) (25.0%)
idea yang bernas
11 Saya membimbing pelajar membuat - 5 16 98 25 3.99 Tinggi
kajian bagi pelajar meneroka bukti (3.5%) (11.1%) (68.1%) (17.4%)
dan membuat pelaporan kajian
dengan mengemukakan idea baru
12 Saya mendedahkan pelajar dengan - 6 15 101 22 3.97 Tinggi
pelbagai sumber Sejarah agar pelajar (4.2%) (10.4%) (70.1%) (15.3%)
dapat membuat interpretasi mereka
tentang sesuatu perkara

Keseluruhan 3.96 Tinggi

Berdasarkan sikap tersebut, jelas menunjukkan guru-guru adalah sangat


positif terhadap KBAT dan ia selari dengan dapatan yang diperoleh oleh Rosnani
(2003b) di mana sikap guru adalah umumnya positif. Hal ini juga menunjukkan
bahawa guru-guru di Malaysia secara keseluruhannya bersetuju pada tahap
yang tinggi dan mempunyai sikap yang positif terhadap kepentingan pengajaran
kemahiran berfikir untuk pembangunan personel murid dan kejayaan mereka.
Berdasarkan dapatan tersebut, Rosnani merumuskan bahawa guru-guru sedar
tentang pentingnya menerapkan kemahiran pemikiran kritis dalam pengajaran
dan pembelajaran. Di samping itu, hasil kajian Rosnani juga menunjukkan
bahawa guru-guru hanya bersetuju pada tahap yang sederhana mengenai
kecekapan mereka dalam mengajarkan kemahiran berfikir. Ini mungkin
disebabkan oleh kekurangan pengetahuan, pengalaman dan kemahiran
mengenai kemahiran berfikir. Rosnani (2003b) turut menegaskan bahawa
ketidakupayaan seseorang guru untuk mengendalikan pengajaran kemahiran
berfikir kritis dan kreatif bukan sahaja berpunca daripada sikap negatif seseorang
guru, malah turut disebabkan oleh faktor guru itu sendiri yang kurang bersedia
dan tidak mendapat pendedahan yang sempurna mengenainya.
Keseluruhannya banyak dapatan kajian akademik menunjukkan bahawa guru-
guru bersikap positif terhadap usaha daripada pihak yang berkaitan untuk
menyediakan bimbingan dan panduan amalan penerapan kemahiran berfikir
secara kritis dan kreatif dalam pengajaran.

Mohd Mahzan Awang, dkk.


9
CABARAN DALAM PENERAPAN KABAT
Berdasarkan tinjuan dilakukan dalam kumpulan guru yang sama
tentang isu dan cabaran dalam melaksanakan KBAT sejarah mendapati bahawa
keseluruhannya menyatakan bahawa perlaksanaan ini yang baru dilaksanakan
mempunyai pelbagai cabaran. Cabaran yang paling utama berkaitan dengan
kekurangan bahan untuk rujukan pengendalian KBAT. Kekurangan panduan,
jumlah murid yang ramai menyukarkan guru melakukan aktiviti KBAT. Ia
termasuklah masa pengajaran yang singkat serta aspek berkaitan dengan
kurusus dan seminar berkaitan dengan KBAT. Tinjauan yang dilakukan juga
mendapati bahawa sokongan antara guru sekolah serta kerjasama adalah
sangat positif. Ini menunjukkan mereka dapat memberi komitmen dalam
melaksanakan KBAT Sejarah.
Jadual 4
Cabaran-cabaran yang dihadapi oleh guru-guru Sejarah dalam penerapan
pemikiran sejarah aras tinggi terhadap pelajar.
Bi l Kenyataan ATS TS TP S AAS Mi n Interpretasi
1 Kekurangan bahan bantu belajar yang 1 16 12 96 19 3.81 Tinggi
sesuai untuk aktiviti kemahiran (0.7%) (11.1%) (8.3%) (66.7%) (13.2%) (Sangat
pemikiran Sejarah Mencabar)
2 Kekurangan bahan rujukan berkaitan 1 40 8 81 14 3.47 Sederhana
dengan penerapan kemahiran (0.7%) (27.8%) (5.6%) (56.3%) (9.7%)
pemikiran Sejarah
3 Ketiadaan master plan dalam 2 33 23 71 15 3.44 Sederhana
merancang aktiviti yang sesuai (1.4%) (22.9%) (16.0%) (49.3%) (10.4%)
dengan pemupukan kemahiran
pemikiran Sejarah
4 Jumlah murid yang ramai untuk 3 19 9 77 36 3.86 Tinggi
dikendalikan menjejaskan proses (2.1%) (13.2%) (6.3%) (53.5%) (25.0%)
penerapan pemikiran Sejarah aras
tinggi
5 Masa melaksanakan aktiviti 3 14 4 96 27 3.90 Tinggi
kemahiran pemikiran Sejarah aras (2.1%) (9.7%) (2.8%) (66.7%) (18.8%)
tinggi adalah terhad
6 Kekurangan kursus dan taklimat - 20 13 98 13 3.72 Tinggi
tentang penerapan kemahiran (13.9%) (9.0%) (68.1%) (9.0%)
pemikiran Sejarah
7 Kurang kemahiran tentang penerapan 3 52 16 63 10 3.17 Sederhana
pemikiran Sejarah (2.1%) (36.1%) (11.1%) (43.8%) (6.9%)
8 Kurang yakin dengan keupayaan 9 69 21 43 2 2.72 Sederhana
penerapan pemikiran Sejarah (6.3%) (47.9%) (14.6%) (29.9%) (1.4%)
9 Kurang jelas tentang kemahiran 7 66 29 38 4 2.76 Sederhana
pemikiran Sejarah (4.9%) (45.8%) (20.1%) (26.4%) (2.8%)
10 Kurang jelas tentang kemahiran 8 66 18 48 4 2.82 Sederhana
berfikir aras tinggi (5.6%) (45.8%) (12.5%) (33.3%) (2.8%)

Mohd Mahzan Awang, dkk.


10
10 Kurang jelas tentang kemahiran 8 66 18 48 4 2.82 Sederhana
berfikir aras tinggi (5.6%) (45.8%) (12.5%) (33.3%) (2.8%)
11 Kurang kerjasama antara rakan - 19 84 23 18 2.28 Rendah
sejawat / ahli panitia (13.2%) (58.3%) (16.0%) (12.5%)
12 Kemudahan ICT terhad 4 32 10 71 27 3.59 Sederhana
menyebabkan guru sukar (2.8%) (22.2%) (6.9%) (49.3%) (18.8%)
menggunakan sumber digital dalam
penerapan pemikiran Sejarah

Keseluruhan 3.30 Sederhana

Kekurangan bahan bantu belajar yang sesuai untuk aktiviti kemahiran


pemikiran Sejarah adalah cabaran utama kepada majoriti guru sejarah dan
diikuti oleh jumlah murid yang ramai untuk dikendalikan menjejaskan proses
penerapan pemikiran Sejarah aras tinggi, masa melaksanakan aktiviti kemahiran
pemikiran Sejarah aras tinggi adalah terhad, dan kekurangan kursus serta
taklimat tentang penerapan kemahiran pemikiran Sejarah. Aspek cabaran juga
turut dibangkitkan oleh Mohammad Norsham (2014) yang mendapati bahawa
guru-guru yang dikaji bersikap neutral terhadap pernyataan mengenai peruntukan
masa untuk menerapkan KBKK adalah mencukupi. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Fendler (2003); Richardson dan Placier (2002); Spalding dan
Wilson (2002), isu kekangan masa mempunyai kesan yang menyebabkan guru
kurang prihatin untuk menerapkan kemahiran berfikir kritis dalam pengajaran.
Begitu juga dengan rumusan yang dibuat oleh Broadbear (2003), empat
halangan sering dihadapi dalam mengintegrasikan pemikiran kritikal dalam
pengajaran; (1) kekurangan latihan, (2) kekurangan maklumat, (3) persepsi,
dan (4) kekangan masa.
Kajian-kajian lain yang berkaitan juga membuktikan bahawa masa
merupakan antara cabaran dalam pelaksanaan pemikiran aras tinggi ialah kajian
Torff dan Sessions (2006) terhadap isu-isu yang mempengaruhi kepercayaan
guru tentang aplikasi penerapan pemikiran kritis terhadap murid yang rendah
keupayaan di New York, Connecticut dan Massachusetts. Hasil kajian mereka
menunjukkan bahawa terdapat enam isu yang memberi kesan kepada pemilihan
pedagogi di mana guru lebih gemar melaksanakan aktiviti kemahiran berfikir
aras rendah untuk murid-murid yang rendah keupayaan. Antara isu-isu tersebut
ialah tahap pengetahuan sedia ada murid, kekangan masa, pengaruh ibu bapa,
pengaruh rakan-rakan, tahap motivasi murid, dan tahap keupayaan murid.
Berkaitan cabaran kekangan masa, Torff dan Sessions (2006) menjelaskan
bahawa apabila guru-guru melihat masa pengajaran adalah suntuk, mereka
Mohd Mahzan Awang, dkk.
11
memutuskan untuk kurang menyokong aktiviti-aktiviti kemahiran berfikir aras
tinggi. Ini kerana, guru-guru menganggap bahawa aktiviti kemahiran berfikir
aras tinggi lebih memakan masa berbanding dengan melaksanakan aktiviti
rendah.

KESIMPULAN
Hasil kajian ini memperlihatkan bahawa tahap kompetensi guru-guru
Sejarah dari dimensi pengetahuan terhadap penerapan pemikiran Sejarah aras
tinggi adalah sederhana dan terhadap kepada beberapa aspek sahaja.
Manakala dari dimensi kemahiran dan sikap guru-guru Sejarah terhadap
penerapan pemikiran Sejarah aras tinggi adalah pada tahap yang tinggi. Dapatan
kajian ini bagi meningkatkan tahap kompetensi guru bagi merealisasikan
penerapan kemahiran berfikir aras tinggi seperti yang dihasratkan oleh pihak
Kementerian Pelajaran Malaysia dan negara. Sekiranya langkah-langkah yang
sewajarnya diambil oleh pihak yang terlibat, kita mampu melahirkan generasi
yang berdaya saing, berkeyakinan, berinovasi dan mampu mencipta sesuatu
yang baru dengan kreatif melalui penerapan kemahiran berfikir aras tinggi.

RUJUKAN
Ahmad Rafaai Ayudin. 2011. Keberkesanan Pengajaran Sejarah Terhadap
Matlamat Pembelajaran, Kesediaan Belajar, Kefahaman Konsep dan
Pemikiran Sejarah. Tesis Phd yang tidak diterbitkan. Fakulti Pendidikan:
Universiti Kebangsaan Malaysia.
Aini Hassan. 2008. Pengajaran dan Pembelajaran Sejarah di Sekolah: Guru
Sebagai Broker Ilmu Sejarah. Masalah Pendidikan. Jilid 21.
Chua, Y.P. 2009. Kaedah dan Statistik Penyelidikan: Statistik Penyelidikan Lanjutan
Buku 4. Kuala Lumpur: McGraw-Hill (Malaysia) Sdn. Bhd.
Creswell, J.W. 2002. Educational Research: Planning, Conducting, And
Evaluating Quantitative And Qualitative Research. Upper Saddle River,
NJ: Merrill/Prentice Hall.
Fendler, L. 2003. Teacher Reflection in a Hall of Mirrors: Historical Influances
and Political Reverberations. Educational Researcher 32: 16-25.

Mohd Mahzan Awang, dkk.


12
Indrasiene, V., Suboc, V. & Penkauskiene, D. 2012. Teachers’ Attitude Toward
The Development of Critical Thinking During Lessons. Electronic
International Interdisciplinary Conference 434-438.
Jahaya Ahmad, Norain Md. Nor, Abdullah Abdul Wahab, Paneer Selvan, Tan Eng
Huat. 2000. Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa Melayu di Sekolah
Kebangsaan. Jurnal Penyelidikan, MPSAH September: 62-67.
Jamil Ahmad. 2002. Pemupukan Budaya Penyelidikan di Kalangan Guru di
Sekolah: Satu Penilaian. Tesis Doktor Falsafah. Fakulti Pendidikan
Universiti Kebangsaan Malaysia.
Janimah Suhaimi. 2011. Persepsi Guru Sejarah Terhadap Kesan Latihan Ikhtisas
dari Aspek Kemahiran Pengajaran, Penggunaan Bahan Bantu Mengajar
dan Pengetahuan. Tesis Sarjana. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Kanik, F. 2010. An Assesment of Teachers’ Conseptions of Critical Thinking and
Practices for Critical Thinking Development at Seventh Grade Level.
Tesis Ph.D. Middle East Technical University.
Mahmud Khusairi Abdullah. 2000. Pengajaran Sejarah, Persediaan Guru,
Matlamat Pengajaran dan Sikap Guru. Tesis Sarjana. Fakulti
Pendidikan. Universiti Sains Malaysia.
Muhyiddin Yassin. 2011. Perutusan Hari Guru 2011. Kementerian Pelajaran
Malaysia.

Mohd Mahzan Awang, dkk.


13
Mohd Mahzan Awang, dkk.
14
NILAI RELIGIUS URANG BANJAR
(Kajian Transformasi Nilai Kejuangan Periode
Revolusi Fisik 1945-1949 Sebagai Sumber Pembelajaran IPS)
Ersis Warmansyah Abbas
ersis_wa@unlam.ac.id
Syaharuddin
syahar@unlam.ac.id

ABSTRAK
Globalisasi yang kini tengah melanda dunia membawa dampak penyerta, yaitu
dampat positif dan negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada
satu sisi, kita dapat menyerap informasi atau berbagai kemajuan untuk
dimanfaatkan, dan pada sisi lain, membawa dampak kurang baik dengan
terjadinya ketergerusan nilai-nilai kehidupan. Individualistis menggeser budaya
gotong royong, hedonisme dan sekularisme mengakibatkan intoleransi terhadap
keberagaman etnis, budaya, agama dan lainnya. Dalam konteks pendidikan
IPS, jika peserta didik tidak mampu memahami dan menginternalisasikan nilai-
nilai masyarakat, guru belum mampu menginspirasi peserta didik melalui desain
pembelajaran inovatif; materi dan evaluasi yang belum berbasis pemikiran tingkat
tinggi (HOTS), tentu akan berakibat tergerusnya kehidupan budaya. Untuk itu,
Pendidikan IPS haruslah dikembangkan, satu diantaranya, berdasarkan nilai-
nilai melalui penggalian nilai religius Revolusi Fisik di Kalimantan Selatan (1945-
1949). Sebagai sumber pembelajaran Pendidikan IPS, proses transformasi nilai
melalui strategi lesson study yang menggali respons guru model, observer dan
peserta didik dalam kerangka nation and character building.
Kata-kata Kunci: Nilai religius, revolusi fisik, masyarakat dan budaya Banjar, dan
Pendidikan IPS

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia dan Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat.

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


15
I. PENDAHULUAN
Derasnya arus budaya global yang didukung teknologi informasi, media
cetak dan elektronik, berdampak terhadap ideologi, agama, budaya dan nilai-
nilai masyarakat Indonesia yang menimbulkan berbagai masalah kehidupan.
Pada aspek sosial ekonomi telah mengakibatkan tumbuhnya jumlah kemiskinan
dan pengangguran; pada bidang sosial budaya berpengaruh terhadap nilai-
nilai solidaritas sosial, seperti: sikap individualistik, materialistik, hedonistik, dan
sebaliknya memudarnya rasa kebersamaan, gotong royong, melemahnya
toleransi antaragama, menipisnya solidaritas antarsesama, dan pada akhirnya
terkikisnya rasa nasionalisme (Kemendiknas, 2010: 18-29).
Permasalahan sosial tersebut diperparah dengan kondisi obyektif
pembelajaran Pendidikan IPS di Indonesia, Kalimantan Selatan khususnya.
Pembelajaran Pendidikan IPS belum mampu memberikan dampak yang cukup
signifikan terhadap nation and character building sebagai instrumen strategis
terhadap pembentukan jati diri bangsa sehingga mampu menjadikan bangsa
ini menjadi lebih unggul, mandiri dan kompetitif dalam persaingan global.
Penggambaran dampak globalisasi dan kondisi pembelajaran
Pendidikan IPS sangat paradoks dengan tujuan pendidikan nasional, yakni pada
intinya berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan IPS sangat berpeluang terhadap pembentukan warga
negara sebagaimana tujuan pendidikan nasional. Pendidikan IPS memiliki
potensi untuk membekali peserta didik agar ia cakap dalam hidup dalam
lingkungan sosialnya, baik dalam lingkungan lokal, regional maupun global.
Pembelajaran Pendidikan IPS yang dikembangkan melalui expanding
community approach adalah sebuah upaya menggali potensi lokal (local wisdom)
memiliki fungsi strategis terhadap pembentukan karakter bangsa.
Tujuan Pendidikan IPS menurut NCSS, (1994: 3):

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


16
The primary purpose of social studies is to help young people develop the
ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens
of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world“.
Tujuan tersebut sejalan dengan pandangan Schuncke (1988: 4-5):
Social studies are concerned with the study of humans as they relate to
each other and the word, and with the processes they use to facilitate the
relationship. Selanjutnya ditegaskan, bahwa social studies education
memiliki tujuan yang begitu luas, yakni: (1) To help the individual know
about the world in which he or she lives and will live in the future; (2) To
help the individual become an active citizen of the world.
Menurut Gross, R.E. et al (1978: 3), agar tujuan Pendidikan IPS dapat
diwujudkan haruslah berbasis:
The social studies are basic in social education, in preparing functioning
citizens with requisite knowledge, skills, and attitude that enable each to
grow personally in living well with others, and in contributing to theongoing
culture.
Jarolimek (1977: 30) menjelaskan, pendidikan IPS memiliki
kemampuan untuk mengembangkan generasi muda dalam menghadapi
masalah-masalah sosialnya. Menurut Sunal dan Haas (2005: 5) Pendidikan
IPS untuk menyiapkan generasi muda agar menjadi manusia yang berpikir
rasional dan agar menjadi warga negara yang berpartisipatif di dunia yang saling
ketergantungan. Menurut Banks (1990: 3):
… helping students to develop the knowledge, skills, attitude, and value
needed to participate in the civic life of their local communities, the
nation, and the world. Ia menegaskan kembali bahwa tujuan utama
social studies adalah .. to prepare citizen who can make reflective
decision and participate successfully in the civic life of their communities,
nation, and the world. Goals in four categories contribute to this major
goal: (1) knowledge, (2) skills, (3) attitude and values, and (4) citizen
action (Banks, 1990: 4).
Kesuksesan peserta didik dalam kehidupan sosialnya harus dimulai
dari kehidupan yang terdekat, yakni lingkungannya. Konsep ini dikembangkan
dalam penelitian ini melalui expanding community approach atau dalam konsep
Sunal dan Haas (2005: 3) “expanding environment” approach.

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


17
Dalam kaitan dan kandungan sebagaimana terpapar terdahulu,
memberi penegasan bahwa kajian nilai-nilai sejarah dan sosial budaya
masyarakat perlu dilakukan agar peserta didik tidak teralienasi dari
lingkungannya. Sejarah lokal Kalimantan Selatan, khususnya pada periode
Revolusi Fisik (1945-1949) menyimpan peristiwa heroik yang mendukung dalam
proses pembentukan karakter bangsa.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini memfokuskan
kajiannya pada nilai kejuangan masyarakat Banjar pada aspek religius pada
periode Revolusi Fisik (1945-1949) dan menemukan relevansi dalam nilai budaya
Banjar. Untuk memperkuat analisis, dijelaskan kondisi dan permasalahan
pembelajaran Pendidikan IPS di Kalimantan Selatan serta analisis implementasi
pembelajaran Pendidikan IPS di Sekolah melalui strategi lesson study.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan sumber sekunder
yang digali dari hasil-hasil penelitian para sejarawan dan akademisi. Untuk
menggali nilai religius Urang Banjar pada konteks kehidupan masa kini dengan
menggunakan metode etnografi. Perolehan datanya berdasarkan pengamatan
dan wawancara dengan orang-orang yang memahami konteks penelitian, seperti
para akademisi, tokoh masyarakat dan masyarakat Banjar pada umumnya.
Pengamatan berupa perilaku masyarakat Banjar yang mencerminkan nilai-nilai
kejuangan, baik pada nilai religius pada periode Revolusi Fisik (1945-1949)
maupun dalam kehidupan masyarakat Banjar dalam konteks masa kini. Studi
dokumen melalui studi hasil penelitian, jurnal dan buku. Praksis pembelajaran
berbasis nilai kejuangan dilakukan dengan strategi lesson study.
Teknik analisa data dilakukan secara kualitatif dengan cara
mengkategori, mengklasifikasi berdasarkan kaitannya secara logis dan kemudian
menafsirkan sesuai dengan permasalahan penelitian. Selanjutnya dijelaskan
langkah-langkah dalam analisa data berdasarkan model Miles and Huberman
(1992: 20).

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


18
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Kondisi dan Permasalahan Pendidikan IPS di Kalimantan
Selatan dalam Konteks Pendidikan Nilai dan Nilai-Nilai Lokal
Kontekstual Masyarakat Banjar
Pembelajaran IPS dalam perspektif pendidikan nilai dan nilai-nilai lokal
kontekstual dalam masyarakat Banjar oleh guru-guru IPS belum optimal baik
pada aspek tujuan, materi, strategi, termasuk pengembangan media dan sumber
maupun penilaian. Agak berbeda dengan beberapa sekolah yang menerapkan
Kurikulum 2013 yang mulai menampakkan desain pembelajaran dan proses
pembelajaran yang ‘mengarah’ pada pendidikan nilai. Untuk itu perlu pemahaman
aspek tujuan, materi, proses dan penilaian dalam kerangka kurikulum.
Langkah-langkah pengembangan kurikulum menurut Tyler (Yulaelawati,
2004: 34) sangat dipengaruhi oleh empat langkah, diantaranya adalah
merumuskan tujuan pendidikan. Pada umumnya, guru-guru IPS dalam
merumuskan tujuan belum mengintegrasikan pendidikan nilai dan nilai-nilai
lokal kontekstual pada masyarakat Banjar pada desain pembelajarannya (silabus
dan RPP), seperti penggambaran nilai religius Urang Banjar. Desain
pembelajaran hanya mengarah pada penggalian fakta dan konsep yang
bahannya diambil dari konsep ilmu-ilmu sosial dan humaniora sehingga kurang
bermakna dan pembelajaran cenderung membosankan.
Dalam mengembangkan materi, guru-guru IPS terbatas pada buku teks,
belum optimal melakukan inovasi terhadap materi pembelajaran dengan
mengembangkan sumber belajar dari lingkungan sosial budaya dalam konteks
axpanding community approach. Pengembangan materi berbasis nilai lokal;
sejarah lokal, periode Kolonial (1900-1942), Jepang (1943-1945) hingga
mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan (1945-1949) terabaikan. Begitu pula,
dalam menggali potensi keunggulan lokal (local capital) dan pengetahuan lokal
(local genius) atau local wisdom seperti “Pasar Terapung”, tambang dan
penggosokan (pengrajin) intan di Martapura; Kota Martapura sebagai “Kota
Santri”, “Kota Ulama” dan “Serambi Mekah”; Kota Rantau sebagai “Kota Serambi
Madinah” untuk menggali nilai-nilai religius dan sebagainya.

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


19
Menurut Al Muchtar (2013: 141-142): “Pengembangan nilai dalam
Pendidikan IPS perlu secara sengaja nilai-nilai sosial dikembangkan dalam
perencanaan, dan pengembangan nilai tidak dipandang sebagai nurturant
effect”. Pembelajaran IPS harus didesain dengan memuat sejumlah nilai, baik
melalui konten (materi), proses pembelajaran, dan penilaian.
Guru-guru Pendidikan IPS memahami pelajaran IPS sebagai pelajaran
hafalan sehingga terjebak dalam verbalisme. Guru lebih banyak memberikan
informasi dibanding mengembangkan materi sebagai bahan diskusi yang
memberikan peluang terhadap internalisasi nilai. Metode ceramah dan mencatat
tampaknya masih menjadi kebiasaan guru IPS (Depdiknas, 2007: 6).
Hasil analisa tim peneliti Depdiknas (2007) didukung penelitian
Suwarma Al Muchtar (2004), penyebab ketidakmampuan guru mengembangkan
pembelajaran Pendidikan IPS dan kecenderungan guru memilih metode
ceramah untuk mencapai target kurikulum yang berkaitan dengan model evaluasi
sarat konsep dan fakta dengan menggunakan pencil and paper test. Akibatnya,
pembelajaran kurang memberi tantangan dan kurang makna bagi peserta didik.
Guru-guru IPS di Kalimantan Selatan, pada aspek proses belum optimal
melakukan inovasi pembelajaran dengan berbagai variasi pendekatan, model,
metode dan media serta sumber belajar sehingga peserta didik tidak tertantang,
tidak tumbuh rasa ingin tahunya, dan tidak terinspirasi. Pengembangkan model
inquiry dan problem based learning strategis untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik dalam berfikir kritis atau HOTS (Higher Order
Thingking Skill), serta nurturant effect berupa pembentukan sikap kerjasama,
empati, mandiri, dan sikap saling menghargai (toleran) sebagai dampak dari
pembelajaran berdasarkan filosofi social contructivism Vygotsy (Poedjiadi, 2007).
Permendikbud No. 104 tahun 2014 tentang penilaian hasil belajar oleh
pendidik pada pasal 2, ayat 1 memaparkan bahwa penilaian hasil belajar oleh
pendidik dilaksanakan dalam bentuk penilaian otentik dan non-otentik. Penilaian
non-otentik umumnya dilakukan dalam format pilihan ganda, isian singkat, benar-
salah dan menjodohkan. Format penilaian mengukur kemampuan aspek
pengetahuan, sedangkan penilaian autentik menghendaki peserta didik
menampilkan sikap, menggunakan pengetahuan dan keterampilan dalam
melakukan tugas pada situasi yang sesungguhnya. Hal ini sangat relevan dengan
hakekat dan tujuan Pendidikan IPS.

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


20
Pada aspek penilaian, guru-guru IPS belum mendesain secara optimal
bentuk-bentuk penilaian mengacu kepada penilaian otentik (outhentic
assessment). Penilaian berbasis pencil and paper test (product) masih dominan
yang berakibat pembelajaran Pendidikan IPS kurang mendapat respons positif
dan kurang bermakna (not meaningful learning).
Berdasarkan gambaran kondisi pembelajaran IPS tersebut, maka perlu
pengembangan materi IPS yang digali dari lingkungan sosial budaya terdekat
peserta didik, yakni masyarakat Banjar pada periode Revolusi Fisik (1945-1959)
dalam upaya mempertahankan kemerdekaan di Tanah Banjar dengan menyoroti
aspek religiusitas yang diwakili peran ulama.

3.2 Peran Ulama Banjar dalam Perjuangan Mempertahankan Proklamasi


RI di Kalimantan Selatan Periode Revolusi Fisik (1945-1949)
3.2.1 Pasukan Berani Mati (PBM): Motivasi Perang Jihad
PBM dibentuk ulama dan tokoh, diantaranya Zafri Zamzam dan H. Amran
Abdullah melalui musyawarah dengan mengambil sikap menghadapi NICA: (a)
Mensyahkan atau membenarkan perjuangan kemerdekaan sebagai suatu
kewajiban menjalankan syariat agama; (b) menghukum orang munafik terhadap
perjuangan, yakni mereka yang memusuhi gerakan untuk memperoleh
kemerdekaan bangsa, terlebih-lebih terhadap mereka yang menindas gerakan
tersebut (Kodam X/Lambung Mangkurat, 1982: 118). Hasil musyawarah tersebut
disebarkan kepada kaum Muslimin diberbagai daerah seperti Banjarmasin,
Martapura, Rantau, Kandangan, Barabai dan Amuntai.
Puncak hasil musyawarah, pada tanggal 23 September 1945, para
ulama dan tokoh masyarakat Banjar berhasil membentuk PBM yang dipimpin
oleh H. Hasbullah Yasin dari Alabio, dengan tujuan untuk merebut kemerdekaan
RI dengan dukungan dari para ulama. Untuk tujuan tersebut PBM berkomunikasi
dan berkoordinasi dengan gerakan lain, seperti PRI dan BPRIK dalam menyeru
masyarakat Banjar saling bahu membahu memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan RI di Tanah Banjar melalui khutbah Jumat atau
pengajian-pengajian. Ungkapan motivasionalnya: “Sebagai seorang Islam (Mus-
lim) memperjuangkan tanah air adalah sebuah kewajiban atau mutlak harus
dilaksanakan, karena Al-Qur’an membenarkan dan mewajibkan hukumnya”.

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


21
Kegiatan lainnya yaitu dilakukan pengibaran bendera Merah Putih di Alabio,
penyebaran pamflet-pamflet yang isinya mengajak kaum Muslimin untuk ikut
berjuang merebut kemerdekaan (Gafuri, dkk. 1990: 116).
Keberanian H. Hasbullah berakibat pada kematian. Ia gugur sebagai
syuhada di tangan seorang pamong praja berpangkat ajun, ketika selesai
berwudhu akan mengerjakan sholat pada tanggal 26 Oktober 1945 di muka
rumah beliau di Alabio (Nawawi, dkk., 1991: 2).
3.2.2 BPRK: Haji Hasbullah Yasin Memicu Semangat Juang
Pascaproklamasi dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta, hampir setiap
daerah di wilayah bekas Hindia Belanda melakukan gerakan politik yang
bertujuan untuk tetap mempertahankan proklamasi RI. Di Kalimantan Selatan,
masyarakat Banjar mewujudkan nasionalism dan patriotisme, satu diantaranya,
membentuk organisasi diawal kemerdekaan, yakni BPRK. BPRK dibentuk 19
Oktober 1945 atas prakarsa Persatuan Rakyat Indonesia (PRI) yang berunding
pad 16-19 Oktober 1945 dan diketuai A. Ruslan.
Program utama BPRK: (1) merealisasikan pemerintah RI di Banjarmasin,
(2) mencari dan mengusahakan alat-alat perang terutama senjata peninggalan
Jepang, (3) menyebarkan pamflet-pamflet yang isinya menentang kehadiran
NICA, (4) mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI, (5) membangkitkan rasa
permusuhan di kalangan rakyat terhadap NICA dan pendukung-pendukungnya.
Anggota BPRK para pemuda dan bekas Heiho. Susunan organisasi
terdiri dari Dewan Penasehat, Markas Besar, Badan Pertahanan dan Tenaga
Pimpinan Kelasykaran, Badan Kontak dan Perlengkapan (Gafuri, dkk. 1990:106).
Aktivitas para pemuda BPRK menimbulkan kecurigaan NICA. Para
pemuda pun mendapatkan perlakuan kejam, tindakan-tindakan keras bahkan
sampai menghilangkan nyawa. Penembakan tokoh PBM, H. Hasbullah Yasin
telah memicu para pemuda BPRK untuk bertindak lebih tegas terhadap NICA.
Beberapa tindakan yang dilakukan yakni melakukan penyerangan pos polisi
NICA dan berhasil merampas beberapa senjata Karabijn. Peristiwa penembakan
H. Hasbullah di Alabio juga menjadi pemicu pemberontakan di Banjarmasin
pada tanggal 9 November 1945 dan terjadinya penghadangan dimana-dimana,
seperti di Banua Padang Rantau, dimana sekelompok pejuang berhasil
menghancurkan mobil milik NICA (Gafuri, dkk. 1990: 106).

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


22
Pengorbanan H. Hasbullah Yasin memicu perlawanan masyarakat
Banjar, khususnya para pejuang di Banjarmasin ditandai dengan peristiwa 9
November 1945. Keberadaan para ulama, termasuk H. Hasbullah Yasin di tengah-
tengah perjuangan masyarakat Banjar cukup signifikan dan strategis dalam
perlawanan terhadap Belanda/NICA. Nilai-nilai religius yang diemban para ulama
telah mampu ‘menghipnotis’ masyarakat Banjar untuk tetap mempertahankan
proklamasi kemerdekaan RI di Kalimantan Selatan. Semangat Jihad adalah
diantara ideologi yang menjadi pegangan para pejuang sehingga mati seakan
menjadi tujuan para pejuang ketika harus berhadapan dengan tentara NICA.
Perlakuan penjajah sebagaimana sangat bertentangan dengan nilai-
nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keadilan sebagai hak-hak asasi manusia. Hak-
hak individu yang paling asasi dirampas. Tidak ada kebebasan berserikat, tidak
ada kebebasan mengeluarkan pendapat dan memeluk agama secara utuh.
Kondisi tersebut tentu tidak bisa dibiarkan terus berlangsung dan menghantui
kehidupan masyarakat. Keputusan masyarakat Banjar melakukan perlawanan
sangat tepat yang berarti mempertahankan hak yang diberikan Allah SWT.
3.3 Nilai Religius Urang Banjar pada Periode Revolusi Fisik (1945-1949)
Nilai religius dapat dimaknai sebagai segala pikiran, perkataan, dan
tindakan seseorang yang diupayakan selalu didasarkan nilai-nilai ketuhanan
dan/atau ajaran agama (Aqib dan Sujak, 2011: 7). Dalam konteks penelitian ini,
nilai-nilai religius masyarakat Banjar periode Revolusi Fisik (1945-1949)
diantaranya menunjukkan dasar perjuangan dan bagaimana peran ulama
sebagai tokoh yang berpengaruh selama revolusi berlangsung.
Masyarakat Banjar pada periode Revolusi Fisik (1945-1949) melakukan
berbagai upaya untuk tetap mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, baik
perlawanan bersenjata, organisasi sosial, dan partai politik. Nilai-nilai religius
menjadi karakteristik perjuangan dan ulama menggunakan simbol-simbol
agama Islam sebagai pengelora semangat, dan fatwa syahid bagi korban perang.
Perang melawan penjajahan wajib hukumnya.
Nilai-nilai religius masyarakat Banjar tertulis dalam buku: Pegustian
dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti, Perlawanan di Kalimantan
Selatan dan Tengah (1959-1906), disertasi Helius Sjamsuddin (2001: 476): “Rasa
keagamaan dengan semangat sabilillah terhadap orang kafir kulit putih
ditampilkan dan ini menjadi ideologi yang amat kuat selama perang”.

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


23
Semangat juang masyarakat Banjar tercermin dalam pekik Allahu Akbar
dikomandoi pimpinan perang menjelang penyerangan terhadap militer Belanda
dengan semangat berani mati, rela berkorban. Pernyataan Pangeran Antasari,
sebagai pimpinan perang: haram manyarah, waja sampai kaputing. Semboyan
tersebut relevan dengan masyarakat Banjar hingga kini. Nilai-nilai Islam menjadi
basis perjuangan karena tertanam sanubari Urang Banjar.
Nilai religius, misalnya ditanamkan para ulama terhadap para pejuang
PBM dengan tujuan untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Para ulama
mengajak masyarakat Banjar bahu membahu mempertahankan kemerdekaan di
Tanah Banjar melalui khutbah Jumat atau melalui pengajian-pengajian. Kalimat
penegas pada setiap khutbah “bahwa seorang Islam (Muslim) maka
memperjuangkan tanah air adalah kewajiban atau mutlak harus dilaksanakan, karena
Alquran membenarkan dan mewajibkan hukumnya (Gafuri, dkk., 1990: 116).
Selain Haji Hasbulllah, maka Tuan Guru Gazali yang menjabat sebagai
Qadi Rantau, membuat keputusan berpengaruh terhadap sikap perjuangan
masyarakat Banjar ketika memutuskan Saudara Tasan dan A. Panyi sebagai
korban peristiwa “9 November” sebagai syuhada. Keputusan itu sangat
berpengaruh terhadap masyarakat Kalimantan Selatan, khususnya para pejuang
dalam merebut kemerdekaan dari NICA, hal ini juga sangat didukung oleh
mayoritas penduduk Banjar adalah Islam (Noor, 1989: 97-108). Masyarakat
Banjar periode Revolusi Fisik (1945-1949), menyadari bahwa memperjuangkan
Tanah Banjar dari penjajah Belanda wajib hukumnya berdasarkan hukum Islam.
Sikap para ulama terhadap dukungannya terhadap perjuangan telah
memberikan ‘darah segar’ bagi para pejuang, hingga ia tidak pernah mundur
dalam setiap pertempuran. Hal ini sebagaimana tercermin kisah heroik peristiwa
“9 November” di Banjarmasin, yakni sekelompok orang bersenjata melakukan
penyerangan beberapa pos NICA di benteng Tatas.
Uraian tentang nilai religius dalam perjuangan masyarakat Banjar pada
periode Revolusi Fisik (1945-1949) sangat potensial dijadikan sumber kajian
revitalisasi pembelajaran Pendidikan IPS. Gambaran materi Pendidikan IPS
berdasarkan beberapa hasil penelitian belum menunjukkan pengembangan
materi Pendidikan IPS berbasis nilai-nilai lokal secara optimal. Karena itu, uraian
nilai religius masyarakat Banjar pada periode Revolusi Fisik menjadi strategis
dalam pengembangan materi dan lebih bermakna bagi peserta didik.

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


24
Nilai-nilai religius dalam perjuangan masyarakat Banjar pada periode
Revolusi Fisik merupakan nilai-nilai utama sebagai sumber kajian revitalisasi
pembelajaran IPS. Untuk mencapai kebermaknaan dan efektivitas dalam
pengembangan pembelajaran IPS, maka penggalian nilai-nilai religius
masyarakat Banjar pada periode Revolusi Fisik menjadi hal yang mutlak.
Skema nilai-nilai religius sebagaimana tampak pada berikut:
Gambar1
Nilai-Nilai Religius Masayarakat Banjar

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


25
3.4 Nilai Religius Urang Banjar dalam Konteks Kehidupan Masa Kini dan
Relevansinya dengan Nilai Budaya Banjar
Nilai-nilai kejuangan masyarakat Banjar pada aspek religius pada
periode Revolusi Fisik (1945-1949) dengan kajian yang bersifat historis dalam
konteks ke-IPS-an lebih bermakna dengan kajian etnografis untuk menggali
nilai-nilai religiusnya dalam konteks kehidupan masa kini. Nilai-nilai religius
tersebut terlihat di antaranya:
1. Penghormatan masyarakat Banjar terhadap ulama ditandai dengan
adanya foto ulama-ulama seperti foto Syekh Muhammad Arsyad al
Banjary dan K.H. Zaini Abdul Ghani (Guru Ijai) dan ulama lainnya
dipajang di rumah-rumah pribadi, kantor, warung dan hotel,
semangat menghadiri pengajian, dan semangat mengunjungi
kuburan para ulama atau ziarah kubur dan peringatan haul;
2. Semangat membangun rumah ibadah (masjid dan musala)
tercermin dari semangat menjadikan “Banjarmasin Kota Seribu
Masjid”;
3. Rutinitas ‘bahandil yasin’ atau yasinan bahandil qurban; dan bahandil
maulud;
4. Semangat membangun pendidikan Islam sejak dari Taman
Pendidikan Alquran (TPA) sampai pada pondok pesantren dan
madrasah (MI/MTs/MA); dan
5. Semangat menunaikan ibadah haji dan umroh.
Nilai-nilai religius pada revolusi fisik (1945-1949) tercermin dari
menjadikan Islam landasan perjuangan untuk melawan penjajah (Sekutu dan
NICA) dalam konteks jihad fisabilillah dengan simbol-simbol Islam, seperti: pekik
Allahuakbar, ritual, dan jimat bertuliskan Arab yang diyakini memiliki kekuatan
gaib sehingga tahan benda tajam dan peluru; kewajiban mempertahankan tanah
air dari tangan penjajah (‘orang kafir’); sikap kepatuhan dan menghargai anjuran
para ulama, maka dalam konteks kehidupan masa kini, nilai religius tersebut
muncul dalam bentuk ketaatan pada agama, penghormatan terhadap para
ulama, sikap masyarakat dalam bermuamalat, khususnya pada aspek politik,
ekonomi dan budaya, terutama pada aspek pendidikan.
Nilai religius masyarakat Banjar, sebagai penganut agama yang taat
dan menghormati ulama tampak dalam kehidupan sehari-hari Urang Banjar.
Diantaranya semangat membangun tempat ibadah, mendirikan sekolah-sekolah

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


26
Islam, semangat menitipkan putra-putri mereka pada sekolah-sekolah Islam,
semangat membina anak-anak yatim dan yatim piatu serta fakir miskin melalui
lembaga sosial seperti panti asuhan dan lembaga sosial lainnya seperti “Dhuafa
Tersenyum”, “Graha Yatim dan Tahfidzul Quran”, semangat bersedekah,
semangat menghadiri setiap pengajian oleh seorang Tuan Guru, semangat
ziarah kubur para ulama dan penghormatan terhadap ulama.
Pernyataan Husaini (wawancara, 5 Juli 2015 di Banjarbaru) tentang
latar belakang pendirian “Graha Yatim dan Tahfidzul Quran” Kota Banjarbaru:
Suatu ketika, H. Husaini bisnis property mengalami kendala sehingga
di ambang kerugian. Sebagai seseorang yang berbisnis sejak remaja,
Husaini siap menghadapi dan berkonsultasi dengan guru spiritualnya.
Atas berkat dan ridho Allah SWT, usaha normal dan menguntungkan.
Sebagai rasa syukurnya, Husaini membangun “Graha Yatim dan
Tahfidzul Quran” yang diberi nama “Graha Rumah Yatim dan Tahfidzul
Quran Darul Aitam Habib Abu Bakar Hasan Attos Azzabidi”.
Uraian di atas sebagai refleksi, bahwa nilai religius berupa kecintaan
terhadap ulama (Habib Abu Bakar Hasan Attos Azzabidi) dan semangat
bersedekah sebagai nilai solidaritas dan gotong royong, dalam konteks nilai
budaya Banjar disebut gasan sangu bulik, dipraktikkan Husaini sebagai seorang
Banjar. Nilai budaya Banjar tersebut terungkap dalam kalimat “gasan sangu
bulik”; nilai budaya yang menjadikan Urang Banjar dermawan dalam mendirikan
rumah ibadah, pendidikan Islam dan menyantuni anak yatim.
Kecintaan masyarakat Banjar terhadap ulama tampak ketika
menghadiri pengajian. Guru terkenal, Guru Sekumpul, Guru Bakri, dan Guru
Bakhit pengajiannya ‘dibanjiri’ jamaah sebagaimana penuturan Mahat
(wawancara, 17 Agustus 2014 di Banjarbaru):
Masyarakat Amuntai memiliki tradisi meramaikan majelis ta’lim,
menghadiri pengajian di musala-musala dan masjid-masjid. Guru (Kiai)
yang saat ini menjadi favorit masyarakat Amuntai dan Hulu Sungai
umumnya yaitu, Guru Bakhit. Kami menyukainya karena tegas dalam
menyampaikan ‘perkara’ (masalah fiqih). Nama pengajian beliau Nurul
Muhibbin, jadwal pengajian di Paringin setiap hari Selasa setelah salat
Magrib sampai setelah Isya yang dihadiri lebih 500 jamaah laki-laki
dan perempuan. Guru Bakhit selalu mengingat agar hidup senantiasa
mengingat mati dengan istilah lokal sadang-sadang. Maksudnya sudah

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


27
cukup kita hidup dengan kesibukan dunia, saatnya lebih berkonsentrasi
dalam ibadah mengingat umur sudah semakin tua

Gambar 2.
Majlis Ta’lim Guru Bakhit

Suasana Majelis Ta’lim (pengajian) Guru Bakhit yang dihadiri ribuan masyarakat dari
semua elemen (Sumber: https://www.google.co.id/search?q=foto+guru+bakhiet&biw.
diakses tanggal 2 september 2014)

Majelis ta’lim di Kalimantan Selatan tahun 2009 berjumlah 2.199 dan


menurut Nurmilawati (Wawancara, 27 Januari 2015 di Banjarmasin), jumlahnya
3.000 dengan group maulid habsyi. Kegiatan ceramah Tuan Guru, khususnya
peringatan maulid dan isra’ mi’raj nabi Muhammad SAW diiringi group maulid
habsyi yang intinya pembacaan syair-syair yang menceritakan riwayat Rasulullah
diiringi alat musik terbang. Group maulid habsyi dan majelis ta’lim di Kalimantan
Selatan sebagaimana terlihat pada tabel berikut:

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


28
Tabel 1.
Majelis Ta’lim dan Group Maulid Habsyi Kalimantan Selatan Tahun 2009
N0 Kabupaten/Kota Majelis Ta’lim Group Habsyi

1 Banjarmasin 220 114


2 Banjarbaru 58 130
3 Banjar 245 206
4 Barito Kuala 35 128
5 Tanah Laut 210 143
6 Tapin 189 135
7 Hulu Sungai Selatan 364 26
8 Hulu Sungai Tengah 249 81
9 Hulu Sungai Utara 264 167
10 Balangan 147 68
11 Tabalong 166 14
12 Tanah Bumbu 44 242
13 Kotabaru 52 197

Jumlah 2.199 1.331

Nilai-nilai religius masyarakat Banjar tidak hanya tampak dalam


kaitannya dengan menghormati agama, tetapi juga dalam semangat
membangun pendidikan Islam seperti Taman Kanak-kanak/Pendidikan Alquran
(TK/TPA). Tahun 2014 santri TK/TPA diwisuda 11.892 santri/santriwati sehingga
total alumni sejak berdirinya TK/TPA Da’watul Khair 14 Agustus 1989 hingga
2014 adalah 121.273 santri/santriwati yang dibimbing 16.273 ustaz/ustadzah.
Tahun 2014 140.000 santri/santriwati dari 2.567 unit di Kalimantan Selatan
(Wawancara, Ahmad Rizqon, 3 Februari 2015 di Banjarmasin). Disamping TK/
TPA binaan LPPTKA BKPRMI, ada pembinaan pendidikan Alquran oleh Kanwil
Kementerian Agama. Tahun 2009, jumlah TPQ (Taman Pendidikan Al Quran)
sebanyak 1864, TKQ (Taman Kanak-kanak Al Quran) sebanyak 791 dan TPSQ
(Taman Pendidikan Seni Al Quran) sebanyak 12, secara rinci data per kabupaten
dan kota sebagaimana tergambar pada tabel berikut:

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


29
Tabel 2.
Pendidikan Alquran di Kalimantan Selatan Binaan Departemen Agama
Jenis Pendidikan Al-Qu’an
N0 Kabupaten/Kota
TPQ TKQ TPSQ
1 Banjarmasin 89 187 6
2 Banjarbaru 66 96 -
3 Banjar 133 71 5
4 Barito Kuala - 212 -
5 Tanah Laut 178 76 1
6 Tapin 99 69 -
7 Hulu Sungai Selatan 364 223 -
8 Hulu Sungai Tengah 242 156 -
9 Hulu Sungai Utara 143 56 -
10 Balangan 113 - -
11 Tabalong 138 79 -
12 Tanah Bumbu 77 104 -
13 Kotabaru 101 7 -
Jumlah 1.864 791 12
Gambaran religiusitas masyarakat Banjar tergambar dengan semangat
membangun pondok pesantren sebagaimana tampak pada Tabel 3 berikut:
Tabel 3
Keadaan Pesantren di Kalimantan Selatan Tahun 2014

Jenis Pesantren
N0 Kabupaten/Kota Tahfiz
Salafiah Khalafiah Kombinasi
Quran
1 Banjarmasin 5 2 0 0
2 Banjarbaru 5 9 0 3
3 Banjar 34 10 2 3
4 Barito Kuala 11 7 0 0
5 Tanah Laut 11 10 1 0
6 Tapin 9 4 2 0
7 Hulu Sungai Selatan 14 8 0 1
8 Hulu Sungai Tengah 23 0 0 0
9 Hulu Sungai Utara 11 16 0 1
10 Balangan 9 0 0 0
11 Tabalong 10 0 1 0
12 Tanah Bumbu 9 0 3 0
13 Kotabaru 15 0 0 0
Jumlah 167 66 9 7

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


30
Semangat urang Banjar dalam menunaikan ibadah haji dan umrah
sebuah indikasi nilai religius. Untuk menggambarkan semangat (ghiroh)
masyarakat Banjar dalam menunaikan ibadah haji dan umrah akan diuraikan
secara kuantitatif. Menurut penuturan Nofirman dan Faizal (wawancara, 21 April
2015 di Banjarmasin) tentang beberapa hal yang berkaitan dengan jamaah haji
sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
Saat ini daftar tunggu jamaah haji Kalimantan Selatan 24 tahun dari
perhitungan, jumlah penduduk Muslim dibagi quota haji (1/1.000).
Penduduk beragama Islam Kalimantan Selatan 3,5 juta dengan quota
3.050 orang per tahun, 3.025 jamaah dan 25 petugas haji sejak tahun
2005. Sebelum sistem quota provinsi diberlakukan, jamaah haji
Kalimantan Selatan mencapai 7000 (1987), tidak pernah kurang dari
4000 jamaah sejak sebelum tahun 2006.
Karena sulitnya quota haji Urang Banjar banyak melakukan umroh.
Tahun 2012 peserta umroh 12.267 jamaah, tahun 2013 menjadi 15.536 jamaah
dan tahun 2014 (13.176) karena kondisi ekonomi, khususnya bisnis batubara
sedang lesu (Kemenag Provinsi Kalimantan Selatan, 2014). Travel umroh dan
haji khusus hingga tahun 2015 berjumlah 60 travel, 32 terdaftar pada kantor
Kemenag. Gambaran masyarakat Banjar dalam menunaikan haji dan umroh
memiliki signifikansi terhadap sikap beragama sebagaimana penelitian
Muhaimin (2011) bahwa berbagai usaha (bisnis) di antara motivasinya adalah
untuk menunaikan ibadah haji sebagai bentuk nilai religiusitasnya.
Kota Seribu Menara atau Seribu Masjid di Banjarmasin dijadikan
masyarakat Banjar sebagai citra. Indikasi utamanya jumlah masjid dan musala
yang sangat banyak. Hingga tahun 2010, Kalimantan Selatan, memiliki sekitar
7.000 musala dan 2.368 masjid (Banjarmasin Post, 6 Mei 2014 dan Kemenag
Provinsi Kalimantan Selatan, 2009).
Gambaran masyarakat Banjar sebagai masyarakat religius yang telah
terbentuk sejak periode Revolusi Fisik, bahkan awal-awal kehadiran Bangsa
Belanda (1800-an), dikenal sebagai zuid-en Ooster afdeeliong van Borneo,
termasuk Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah sekarang. Hal tersebut
berubah dinamis menjadi pusat-pusat Islam sebagaimana dikenal sebagai
“Banjarmasin Kota Seribu Menara”, “Martapura Kota Santri”, “Martapura Kota
Ulama”, dan “Tapin Serambi Madinah”. Hal tersebut didukung, kebiasaan

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


31
pengurus musala dan masjid, sebelum dan sesudah adzan, khususnya
menjelang Magrib dan Subuh didahului lantunan kaset zikir atau ceramah
dengan maksud mengingatkan waktu salat.
Kabupaten Banjar, tepatnya di Kota Martapura dikenal sebagai “Kota
Serambi Mekah”. Martapura ”melahirkan” ulama yang tersebar ke seluruh
Kalimantan Selatan, bahkan mancanegara, diantaranya Syekh Muhammad
Arsyad al Banjary, cikal bakal ulama-ulama Banjar hingga KH. Zaini Gani (Guru
Sekumpul). Ulama lainnya, KH, Akhmad Bakri, KH. Ahmad Juhdi, KH. Masdar
Umar, KH. Muaz, dan sebagainya (Mirhan, 2014: 114). Ulama berhasil
membangun Kota Martapura sebagai “Kota Santri” dan “Kota Ulama”.
Jika Kota Martapura dikenal sebagai “Kota Serambi Mekah” Kota
Rantau di Kabupaten Tapin terkenal sebagai “Kota Serambi Madinah”. Menurut
tokoh masyarakat Tapin, Akhmad Gazali (80 tahun):
Istilah Tapin sebagai “Kota Serambi Medinah” popular pada masa Bupati
Idis Nurdin Halidi. Beberapa indikasi Tapin sebagai “Kota Serambi
Madinah” yaitu terdapat puluhan pengajian yang dipimpin oleh para
‘Tuan Guru’ yang pada umumnya alumni Pondok Pesantren

Gambar 3.
Monumen bertuliskan “Serambi Madinah” di Kota Rantau Kabupaten Tapin
(Sumber: dokumen pribadi, foto diambil tanggal 9 Agustus 2014)

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


32
Darussalam Martapura Kabupaten Banjar dan beberapa orang
diantaranya alumni beberapa universitas di luar negeri seperti dari Mekah,
Madinah, Yaman dan Mesir. Tahun 2014, banyak tempat pengajian di
Kabupaten Tapin. Ulama terkenal dari Kabupaten Tapin dari Datu
Sanggul (1703-1772 M) hingga KH. Zakaria (1946-2006), sebagaimana
telah saya uraikan dalam buku “Tapin Bertabur Ulama” (2007).
Tapin sebagai “Kota Serambi Madinah” dijelaskan Hermansyah (45
tahun) yang berprofesi sebagai PNS Kemenag Kabupaten Tapin:
Saya tidak tahu pasti bagaimana latar belakang masyarakat Tapin
khususnya para elite politik Tapin menyematkan Tapin sebagai “Kota
Serambi Madinah”. Tapin memiliki banyak ulama yang dikenal dengan
datuk, beberapa diantara adalah Datuk Sanggul, Datuk Muning, Datuk
Suban dan Datuk Nuraya. Dulu, kuburan para datuk ini seakan-akan
tidak menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah, tapi saat ini telah
dilakukan pemugaran dan dikunjungi masyarakat Tapin dan luar Tapin
sehingga seakan menjadi daya tarik wisata bagi daerah ini. Sedangkan
hal lainnya adalah hampir setiap desa memiliki majelis ta’lim, memiliki
kelompok Maulid Habsyi, tradisi safari Jumat oleh Bupati, Baayun Mulud,
dan peringatan Hari Besar Islam, seperti: Hari Kelahiran Nabi (Maulid),
Perjalanan nabi ke sidrathul muntaha (Isro’mi’roj), dan Tahun Baru Islam
(Wawancara, 20 Januari 2015 di Banjarmasin).
Penghormatan kepada ulama memiliki dasar hukum dalam Islam,
sebagaimana dikutip dari Abu Umamah Al-Bahili Ra., Rasululllah SAW bersabda:
“Keutamaan seorang alim dari seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti keutamaanku
dari orang yang paling rendah di antara kalian”. Beliau melanjutkan sabdanya:
“Sesungguhnya Allah SWT, Malaikat-Nya serta penduduk langit dan bumi, bahkan
semut yang ada di dalam sarangnya sampai ikan paus, mereka akan mendoakan
untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia” (HR. At Tirmizi).
Hadist tersebut mengandung beberapa faedah: (a) Anjuran untuk
melakukan sesuatu yang bermanfaat secara umum, baik bagi dirinya maupun
bagi orang lain; (b) Menuntut ilmu yang wajib lebih utama daripada ibadah
sunnah, karena manfaat ibadah terbatas hanya untuk dirinya sendiri, sementara
manfaat ilmu meliputi dirinya dan juga orang lain; (c) Anjuran untuk menghormati
para ulama dan penuntut ilmu serta mendoakan mereka (dr. Mustafa Sa’id Al-

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


33
Khin, Nuzhatul Muttaqina Syarhu Riyadis Salihina, Juz 2. 1407 H/1987 M: 954-
955 dalam 286 Nursalim (eds.) 2012: 286).
Membaca surah yasin atau “yasinan bergilir” (bahandil) dilakukan di
hampir seluruh wilayah Kalimantan Selatan sebagai indikasi sikap religious.
Berdasarkan wawancara dengan Karyono Ibnu Ahmad (5 Juni 2014 di
Banjarmasin) dan pengamatan peneliti, selama berdomisili di Kalimantan
Selatan sejak tahun 1993, tradisi “yasinan bergilir” bertujuan untuk mempererat
silaturahmi antarmasyarakat; meningkatkan rutinitas ibadah untuk mendekatkan
diri pada Allah dalam konteks hablumminallah dan hablumminannas. Dalam
tradisi Yasinan, tidak selalu membaca surah yasin dan tahlil, namun adakalanya
digabung dengan acara doa haul atau “doa selamatan” lainnya. Beberapa
kelompok “Yasinan Bergilir” juga menjadwalkan kegiatan ceramah untuk
menambah pengetahuan tentang berbagai permasalahan agama, mulai dari
persoalan bahasa Arab, fiqih, tafsir dan tasawuf.
Tiga contoh penggambaran kelompok Yasinan (bahandil), yaitu (a)
“Kelompok Yasinan Warga Kompleks Mustika Graha Asri” Kota Banjarbaru; (b)
“Kelompok Yasinan Warga Kompleks Perumnas Blok 4 Jalan Cemara Raya”
Kayu Tangi Banjarmasin; dan (c) Kelompok Yasinan di desa Pemangkih
(Kabupaten Hulu Sungai Tengah). Kelompok Yasinan Warga Kompleks Mustika
Graha Asri Banjarbaru menjadwalkan kegiatan Yasinan dua kali dalam sebulan.
Minggu kedua dilaksanakan di rumah warga dengan inti kegiatan membaca
Surah Yasin, salawat nabi, dan tahlil dan ditutup dengan doa. Setelah berdoa
dilanjutkan dengan menikmati hidangan yang disediakan oleh tuan rumah yang
dananya sebagian dari iuran anggota yang ditetapkan sejumlah Rp.10.000/bulan.
Minggu keempat dilaksanakan di musala dengan menghadirkan penceramah
tetap, yaitu KH. Zarkasi Hasybi (pimpinan Ponpes Darul Hijrah Putera Martapura
Kabupaten Banjar). Materi ceramah tentang ibadah, akhlak, muamalah dan
fiqih (wawancara Latif Untung Taryono, 2 Juli 2014 di Banjarbaru).
“Kelompok Yasinan Warga Kompleks Perumnas Blok IV RT 21
Banjarmasin” melaksanakan Yasinan setiap Kamis malam. Membaca surah
Yasin, salawat dan tahlil, juga diisi dengan ceramah. Penceramah dari kalangan
sendiri yang dianggap memiliki pengetahuan tentang agama. Adapun biaya
konsumsi pada kegiatan tersebut diperoleh dari iuran warga sebesar Rp. 5000,-
/bulan sehingga setiap kegiatan terkumpul sekitar Rp. 125.000,00.

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


34
‘Kehausan’ masyarakat Banjar akan ilmu agama maka dijadwalkan
ceramah agama di Masjid Darul Hikmah setelah salat Maghrib hingga salat
Isya. Penceramah tuan guru terjadwal setiap Minggu pagi diisi oleh Guru Zulkifli.
Kelompok pengajian untuk ibu-ibu setiap hari Senin malam setelah salat Magrib
hingga Isya di rumah-rumah warga. Pengajian (ceramah agama) setiap hari
Jumat sore membaca surah yasin dan ceramah agama (wawancara, Randu,
tanggal 10 Desember 2014 di Banjarmasin).
Di desa Pemangkih, memiliki tradisi yang agak unik dalam hal bahandil
yasinan. Kegiatan Bahandil yasinan dilaksanakan setiap Kamis malam secara
bergantian dari rumah-ke rumah (bahandil). Setiap orang mengumpulkan uang
Rp 3.000,00 untuk membantu tuan rumah menyiapkan konsumsi. Kegiatan
tersebut dihadiri anak-anak dengan usia sekolah dasar (SD) sekitar 100 orang,
sedangkan guru dan orang tua yang mendampingi tidak lebih dari sepuluh orang.
Juga diselenggarakan pengajian setiap malam Sabtu yang dihadiri sekitar 500
orang dan ada pula pengajian dengan 500 peserta (wawancara, Sahran, 28
November 2014 di Pemangkih).
Kaitannya dengan karakter masyarakat Banjar sebagai etnis ‘ringan
tangan’ bersedekah sebagaimana yang telah dijelaskan Hasan (2007: 30-31):
Masyarakat Banjar sudah sejak lama mempraktikkan bentuk transaksi
jual beli, perjanjian dagang, sewa menyewa, gadai dan lain-lain dengan
berlandaskan syariat Islam, termasuk kebiasaan orang Banjar
melaksanakan kewajiban dan sunnah (muakkadah) nabi, yaitu: zakat,
infaq, hibah, wasiat, dan warisan. Hal yang terakhir ini secara sosiologis
memberi dampak yang cukup signifikan. Sebagian masyarakat, baik
penduduk pribumi maupun pendatang memanfaatkan ‘kebaikan hati’
Urang Banjar meminta infak. Masyarakat Banjar tidak merasa hal
tersebut sebagai ‘keganjilan’, mungkin karena ulama mendakwakan
pentingnya berinfaq, sehingga berinfaq menjadi bagian hidup.
Penggambaran aspek religius pada aspek ekonomi juga tampak dalam
nilai budaya Banjar. Hal ini tercermin pada ungkapan bahasa Banjar “Kadapapa
diacan rugi asal diasam untung”. Nilai yang terkandung dalam ungkapan tersebut
adalah bahwa urang Banjar tidak semata mencari keuntungan ketika berdagang,
ada nilai ibadah yang diyakini yang sekaligus sebagai motivasi agar lebih cangkal
bausaha (wawancara, Rustam Effendi, Juli 2014 di Banjarmasin).

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


35
Ungkapan tersebut dapat dimaknai bahwa masyarakat Banjar dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya (khususnya berbisnis) tidak mengutamakan
keuntungan. Hal ini bukan berarti tidak mau untung, tetapi keuntungan bukanlah
satu-satunya tujuan. Kesimpulan penelitian Muhaimin (2011: 292):
Alabio, yang merupakan salah satu sub etnis Banjar di Kalimantan
Selatan telah berhasil dalam berbisnis karena beberapa faktor, yakni:
(1) faktor agama, yakni memiliki ilmu dagang sesuai aturan agama,
melaksanakan akad dalam bertransaksi, mengusahakan bisnis yang
halal, melaksanakan ibadah salat lima waktu, menjauhi riba,
mengeluarkan zakat, infak dan sedekah serta dorongan berhaji; (2)
faktor etika, berupa sikap jujur, ramah, bersaing secara sehat, dan
memperlakukan karyawan secara baik; (3) faktor sosial budaya, yaitu:
faktor kekerabatan, faktor kerja keras (cangkal), hemat dan menabung,
hidup sederhana, dan budaya merantau; (4) faktor ekonomi, berupa:
modal usaha yang cukup, pengalaman/keahlian, dan manajemen
keuangan yang baik (apik); (5) faktor psikologis, yakni: adanya komitmen,
sabar dan pantang menyerah, inovatif, dan keberanian mengambil risiko.
Penggambaran hasil penelitian Muhaimin (2011) tersebut memberi
penegasan bahwa banyak faktor yang membuat urang Alabio sukses berbisnis.
Hasil penelitian menggambarkan, Urang Banjar (Alabio) tidak mengutamakan
keuntungan (business oriented) semata, tidak abai mengeluarkan zakat, berinfak
dan bersedekah. Logika matematisnya bahwa mengeluarkan uang (sebagian
dari keuntungan) untuk keperluan sosial akan mengurangi laba. Hal ini bukan
merupakan faktor penentu keberhasilan urang Banjar.
Harapan tentang kehidupan yang diberkati (oleh Allah, Tuhan yang
Maha Esa), sejahtera dan berkarisma telah menjadi harapan oleh para elite
masyarakat Kabupaten Banjar. Beberapa slogan, dan ungkapan itu tercermin di
dalam beberapa hal, seperti: Slogan “Barakat” sebagai simbol kabupaten,
memasyarakatkan ungkapan “Baiman, Bauntung, Batuah”, mengeluarkan perda-
perda yang untuk mendukung pelaksanaan syariat Islam, terlepas berbagai
kontroversialnya, seperti: (a) Perda tentang Jumat Khusuk; (b) Perda tentang
Ramadhan; (c) Perda tentang Zakat; (d) Perda tentang Khatam Quran; (e)
Perda tentang “penulisan huruf Arab Melayu pada papan nama kantor-kantor

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


36
pemerintahan, gedung-gedung umum dan nama jalan” (f) Surat Edaran Bupati
tentang anjuran bagi PNS wanita Muslim untuk berjilbab (Abbas, 2013: 126).
Slogan “Barakat” oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Banjar diartikan
sebagai “berkat” yaitu mengharapkan berkat Allah SWT. Kehidupan masyarakat,
pada aspek politik, ekonomi dan budaya senantiasa mendapat berkat dari Allah
SWT agar mendapat keselamatan dunia dan akhirat. Hal tersebut diperkuat
slogan: “Baiman, bauntung dan batuah”. Menurut Abdul Djebar Hapip
(Wawancara, 2 Agustus 2014 di Banjarmasin): “Dulu, ketika seorang ibu ingin
menidurkan putra-putrinya, maka selalu dinyanyikan, “tidurlah anakku yang
baiman”, dan “tidurlah anakku yang bauntung”, menggambarkan harapan
seorang ibu agar setelah anaknya dewasa beriman kepada Allah SWT dan
hidup sejahtera”.
Baiman, Bauntung dan Batuah merupakan filosofi hidup yang
diharapkan urang Banjar, demikian penegasan Sarbaini (wawancara, 6
September 2014, di Banjarmasin).
Selaras dengan Jumadi, Ia menjelaskan bahwa masyarakat Banjar
pada masa lampau dan masih ada juga sebagian pada masa sekarang, ketika
menidurkan anak, mereka melantunkan dindang. Dindang adalah nyanyian
daerah dengan nada tertentu yang isinya sarat nilai. Dindang yang dilantunkan
berisi doa, harapan, atau nasihat bagi si anak. Dindang di atas diucapkan ibu
ketika menidurkan anak dalam ayunan. Secara tekstual dindang tersebut berisi
harapan atau doa kepada si anak agar kelak menjadi orang yang dikuatkan
iman dan diterangkan hati ketika membaca Alquran (Jumadi, 2014: 41).
Penggambaran sikap religiusitas masyarakat Banjar, baik Banjar Hulu
maupun Banjar Kuala, menginspirasi pemerintahnya pada ulang tahunnya yang
ke-64 mengusung tema: “Syariat Dijunjung, Adat Diusung, Banua Bauntung”.
Fenomena ini dapat dipahami bahwa masyarakat Banjar sangat mengharapkan
kehidupan dengan mengedepankan nilai-nilai Islam dalam segala aspek
kehidupannya. Dengan menerapkan nilai-nilai Islam, seperti menghormati ulama
dengan cara mengikuti petunjuknya, membangun tempat-tempat ibadah (musala
dan masjid), membantu pembangunan sekolah Islam dan pondok pesantren,
dan membantu kaum dhuafa dan yatim piatu, maka kehidupan yang damai
dunia akherat akan dapat diraih.

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


37
3.4 Implementasi Pembelajaran Pendidikan IPS Berbasis Nilai Kejuangan
Masyarakat Banjar Periode Revolusi Fisik (1945-1949) pada Aspek Nilai
Religius dalam Budaya Banjar melalui Strategi Lesson Study
Kebermaknaan pembelajaran Pendidikan IPS bagi peserta didik adalah
ketika nilai-nilai kejuangan masyarakat Banjar memiliki relevansi dengan nilai-
nilai budaya Banjar yang kontekstual yang ditransformasikan melalui
pembelajaran Pendidikan IPS di sekolah. Implementasi pembelajaran
Pendidikan IPS berbasis nilai kejuangan masyarakat Banjar pada periode
Revolusi Fisik (1945-1949) dan dalam konteks kehidupan masa kini pada aspek
nilai religius telah diimplementasikan di SMP Negeri 8 Martapura melalui strategi
lesson study sebanyak dua siklus dan dua guru model (Lien Astuti Wulandari
dan Nur Alfisyah).
Respons peserta didik terhadap pembelajaran berbasis nilai kejuangan:
Pertama, menunjukkan sikap antusias, tertantang (challenging),
menumbuhkan rasa ingin tahu yang mendalam tentang peristiwa lokal pada
masyarakat Banjar yang memiliki relevansi terhadap nilai budaya Banjar yang
sangat kontekstual dan kental akan nilai-nilai budaya Banjar di dalamnya; (b)
peserta didik merasakan adanya ruang yang cukup untuk mencari dan
menemukan (sendiri) jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam LKS
dari berbagai sumber yang disediakan, seperti modul, kliping, dan media gambar
secara berkelompok, sementara guru lebih banyak berfungsi sebagai fasilitator.
Kedua, peserta didik merasakan kebermaknaan pembelajaran
Pendidikan IPS ketika nilai-nilai lokal kontekstual pada masyarakat Banjar, berupa
nilai religius urang Banjar menjadi bagian sumber belajar yang selama ini
cenderung terabaikan. Beberapa nilai lokal yang dimaksud adalah
memunculkan tokoh-tokoh pahlawan lokal dan ulama lokal terkemuka untuk
digali karakternya masing-masing tokoh, seperti Brigjen. Hassan Basry, Ir. PM.
Noor, dan K.H. Idham Chalid yang sudah dikenal melalui nama-nama jalan,
nama waduk, nama stadion. Begitu pula dengan ulama terkemuka, seperti:
Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dan Guru Sekumpul (KH. Zaini Ghani Abdul
Ghani) yang akrab dengan peserta didik melalui poster-poster yang terpampang
pada setiap rumah-rumah pribadi, kantor, restoran, warung, toko, dan hotel.
Ketiga, berdasarkan hasil wawancara terstruktur, dan pengamatan
selama pembelajaran berlangsung, peserta didik sangat antusias dan tertantang

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


38
dengan pembelajaran IPS berbasis nilai-nilai lokal yang identik dengan nilai
budaya Banjar, dalam aspek religius seperti citra “Kota Martapura sebagai Kota
Serambi Mekah”, “Kota Ulama” dan “Kota Santri”, Kota Tapin sebagai “Kota
Serambi Madinah”, dan Kota Banjarmasin sebagai “Kota Seribu Menara”.

Gambar 4. Spanduk Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dalam rangka


sosialisasi slogan “Syariat Dijunjung, Adat Diusung, Banua Bauntung” tahun
2014 (Sumber: Dokumen pribadi, foto diambil 7 Agustus 2014).

IV. SIMPULAN
Pembelajaran Pendidikan IPS dalam perspektif nilai dan nilai-nilai lokal
kontekstual masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa
pengembangan materi berbasis lokal belum dilakukan secara optimal. Hal ini
diperparah ketika perumusan tujuan, strategi pembelajaran, media, sumber
belajar dan evaluasi pembelajaran Pendidikan IPS tidak dilakukan inovasi dan
revitalisasi –dalam arti menggairahkan kembali— oleh guru IPS di Kalimantan
Selatan sehingga menjadikan pembelajaran IPS kurang bermakna (not
meaningful dan not purposeful learning) bagi peserta didik bahkan cenderung
membosankan.

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


39
Kondisi ini merupakan tantangan bagi para peneliti social studies pada
setiap perguruan tinggi agar berupaya mengembangkan materi IPS yang digali
berdasarkan local wisdom suatu masyarakat lokal, sehingga akan semakin
memperkuat jati diri bangsa ketika dampak global dan ipteks, seperti terkikisnya
nilai-nilai gotong royong dan solidaritas dan sebaliknya semakin menyuburkan
sikap individualism, materialism dan hedonism semakin tidak terbendung.
Karena itu, pembelajaran Pendidikan IPS berbasis kearifan lokal sebagai inti
budaya lokal memiliki daya kontekstual yang dapat memperkuat kompetensi
peserta didik dalam internalisasi nilai-nilai melalui pengalaman belajar untuk
memecahkan masalah-masalah sosial dalam lingkungan sosial budayanya.
Kalimantan Selatan pada periode Revolusi Fisik (1945-1949) telah
menggambarkan peran ulama dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.
Berbagai upaya dilakukan, mulai dari membentuk laskar yang mereka namakan
“Laskar Berani Mati”, mendukung organisasi pergerakan seperti BPRK (Badan
Pemberontakan Rakyat Kalimantan), dan berdakwah melalui khutbah Jumat.
Resistensi BPRK sangat tampak ketika Haji Hasbullah Yasin menjadi syuhada.
Ia wafat atas keberaniannya terhadap Belanda dan keyakinannya terhadap
sebuah kebenaran (Islam), yakni kebenaran membela atas apa yang menjadi
haknya, yakni mempertahankan Tanah Air-nya dari penjajah Belanda.
Pengorbanan Haji Hasbullah Yasin telah memicu semangat jihad para pejuang,
sehingga sikap berani dan rela berkorban sangat tampak selama periode perang.
Sikap Jihad ini menjadi ruh para pejuang Banjar kemudian sehingga hampir
semua kebijakan Belanda, seperti rencana pembentukan Dewan Banjar dan
pembentukan negara Borneo selalu gagal.
Nilai religius masyarakat Banjar pada konteks kehidupan masa kini
tampak dalam bentuk penghargaan terhadap ulama. Penghargaan tersebut
dapat dilihat ketika poster para ulama, khususnya Sjech Muhammad Arsyad Al
Banjari (allahuyarham), K.H. Zaini Abdul Ghani (allahuyarham), Guru Bakri
(allahuyarham), Guru Anang Djazouli (Allahuyarham) dan Guru Bakhit, yang
merupakan ulama terkemuka berkelas nasional dan internasional, terpampang
pada rumah-rumah Urang Banjar, warung, hotel dan perkantoran. ‘Kerumunan
massa’ juga tampak pada makam-makam para ulama tersebut ketika perayaan
haul dan juga ziarah para wisatawan. Sebuah indikasi kecintaan masyarakat
Banjar terhadap ulama. Kedua adalah semangat bersedekah untuk

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


40
pembangunan tempat-tempat ibadah dan pendidikan Islam (musala, masjid,
TPA (Taman Pendidikan Alquran), madrasah dan pondok pesantren). Filosofi
urang Banjar dalam hal ini adalah Gasan sangu bulik. Ungkapan ini dapat
dimaknai bahwa kehidupan akhirat adalah sesuatu yang pasti dan diperlukan
bekal (sangu). Bekal adalah amal ibadah, yakni amal ibadah berupa amal jariah.
Implementasi pembelajaran Pendidikan IPS berbasis nilai-nilai
kejuangan masyarakat Banjar periode Revolusi Fisik (1945-1949) pada aspek
nilai religius melalui strategi lesson study di SMP Negeri 8 Martapura Kabupaten
Banjar, dapat disimpulkan jika pembelajaran IPS berbasis nilai kejuangan
masyarakat Banjar pada periode Revolusi Fisik (1945-1949) pada aspek nilai
religius dalam budaya Banjar sangat bermakna bagi peserta didik. Indikasinya
terlihat ketika peserta didik menyatakan jika pembelajaran model ini adalah
pengalaman baru dan sangat menarik; peserta didik tampak tertantang dengan
beberapa pertanyaan dalam bentuk LKS/LKK yang sangat dekat dengan
lingkungan sosial budayanya; serta dukungan pendekatan pembelajaran yang
berbeda dengan sebelumnya, yakni dengan menggunakan saintific approach
yang merupakan proses pembelajaran dalam Kurikulum 2013 yang dibalut
melalui strategi lesson study.

DAFTAR RUJUKAN
Buku, Jurnal, Penelitian dan Koran:
Abbas, E. W. 2013. “Masyarakat dan Kebudayaan Banjar sebagai Sumber
Pembelajaran IPS: Transformasi Nilai-Nilai Budaya Banjar Melalui Ajaran
dan Metode Guru Sekumpul”. Disertasi, Jurusan Pendidikan IPS SPs
UPI Bandung, tidak diterbitkan.
Al Muchtar, S. 2004. Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya. Bandung: Gelar
Pustaka Mandiri.
Al Muchtar, S. 2013. Epistemologi Pendidikan IPS. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
Aqib, Z. dan Sujak. 2011. Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter. Bandung:
Yrama Widya.
Banjarmasin Post, 6 Mei 2014.
Banks, J. A. 1990. Teaching Strategis for Social Studies: Inquiry, Valuing, and
Decision Making. Seattle, University of Washington. Addison Wesley
Publishing Company.

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


41
Depdiknas. 2007. Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Jakarta: Depdiknas dan Puskur.
Gafuri, A. dkk. 1990. Sejarah Perjuangan Rakyat Menegakkan Kemerdekaan
Republik Indonesia di Kalimantan Selatan (Periode 1945-1949).
Banjarmasin: Pemprov Kalsel.
Gross, R. E. dkk. 1978. Social Studies For Our Times. New York: Jjohnn Wiley
and Sons. Inc.
Hasan, A. 2007. “Adat Dagang Orang Banjar dan Prospek Ekonomi Syariah”.
Jurnal Kebudayaan Kandil, edisi 15 Tahun V, November-Desember 2007.
Jarolimek, J. 1993. Social Studies in Elementary Education. New York: Macmillan
Publishing Company.
Jumadi. 2014. Mengembangkan Karakter Siswa dengan Menggunakan Sastra
Daerah, dalam Ersis Warmansyah Abbas, (eds.). (2014). Building Nation
Character Through Education: Proceeding International Seminar on
Character Education. Banjarmasin: FKIP Unlam Press.
Kemendiknas. 2014. Permendikbud No. 104 tahun 2014 tentang Penilaian
Hasil Belajar oleh Pendidik. Kementerian Agama Provinsi Kalimantan
Selatan, 2009.
Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Selatan, 2014.
Kodam X/Lambung Mangkurat, (1982). Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan
Selatan Menegakkan Kemerdekaan RI, 1945-1949. Kodam X/Lam.
Banjarmasin.
Mirhan. 2014. K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani: Di Martapura Kalimantan
Selatan (1942-2005). Banjarmasin: Antasari Press.
Miles, M.B dan Huberman, A.M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Muhaimin. 2011. “Eksplorasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan
Bisnis Wirausahawan Muslim Alabio: Studi Kasus di Kota Banjarmasin”.
Disertasi, SPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
National Council for Social Studies (NCSS). 1994. Curriculum Standar for Social
Studies: Expectations of excellence. Washington DC: NCSS.
Nawawi, R. dkk. 1991. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah
Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Depdikbud Kalsel. Daerah Tingkat I
Kalsel.

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


42
Noor, Y. 1989. “Peranan Sektor 0½ 17 MD Perjuangan ALRI Divisi IV (A)
Pertahanan Kalimantan dalam Perjuangan Gerilya di Tapin Kalimantan
Selatan”. Skripsi Sarjana Pendidikan Sejarah FKIP Unlam Banjarmasin.
Tidak diterbitkan.
Nursalim, D. (eds.) 2012. Al Quran Cordoba: Amazing (33 Tuntutan Al-Quran
untuk Hidup Anda). Bandung: Cordoba.
Poedjiadi, A. 2007. Sains Teknologi Masyarakat: Model Pembelajaran Kontekstual
Bermuatan Nilai. Bandung: Bekerjasama PPs UPI dan Rosdakarya.
Kemendiknas. 2010. Bahan Pelatihan: Penguatan Metodologi Pembelajaran
Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan
Karakter Bangsa. Jakarta: Kemendikbud Balai Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum.
Schuncke, G.M. 1988. Elementary Social Studies: Knowing, Doing, Caring. New
York: Macmillan Publishing Company.
Sjamsuddin, H. 2015. Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis,
dan Dinasti (Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah,
1863-1906. Yogyakarta: Ombak.
Sunal, C.S dan Haas, M.E. 2005. Social Studies for The Elementary and Middle
Grades. Boston: Pearson.
Yulaelawati, E. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi, Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Pakar Raya.

Wawancara:
Abdul Djebar Hapip (79 tahun), Guru Besar Emeratus Bahasa Indonesia FKIP
Universitas Lambung Mangkurat. Alamat: Kompleks Cendrawasih
Banjarmasin.
Ahmad Gazali Usman, (80 tahun), Pengurus Panti Asuhan, mantan dosen Sejarah
FKIP Universitas Lambung Mangkurat, alamat: Jl. Gerilya no. 25 Tapin.
Ahmad Rizqon (46 tahun), PNS dan Ketua Umum BKPRMI Provinsi Kalimantan
Selatan, Alamat: Jl. Brigjen H. Hassan Basry No. 51A Banjarmasin.
Faizal, (51 tahun), PNS Kemenag Kalimantan Selatan, alamat: Jl. Yudistira 8 No.
2 Banjarmasin.
Hermansyah, (45 tahun), PNS Kemenag Kab. Tapin. Alamat. Jl. Angsana Tapin.
Husaini, Haji, (62 Tahun ), Pembina “Rumah Yatim dan Tahfidzul Quran Habib
Abu Bakar”, Alamat: Jl. Sekumpul No. 29 Martapura.

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


43
Karyono Ibnu Ahmad, (62 tahun), Ulama, Dosen FKIP Universitas Lambung
Mangkurat, Alamat: Kompleks Ar Rahim Banjarmasin.
Latief Untung Taryono, (57 tahun), Wiraswasta, alamat. Kompleks Mustika Graha
Asri Blok H No. 7 Banjarbaru.
Lien Astuti Wulandari, (39 tahun), Guru IPS SMPN 3 Martapura, ketua MGMP
Mata Pelajaran IPS Kab. Banjar, alamat: Jl. Rahayu Banjarbaru (Guru
Model).
Mahat, (60 tahun), Mantan Pegawai PT. Pos, alamat: Jl. S.Parman No.21 Amuntai,
HSU.
Nofirman, (49 tahun), PNS Kemenag Kalimantan Selatan, alamat: Jl. D.I.
Pandjaitan No. 19 Banjarmasin.
Nurmilawati, (55 tahun), PNS, Pegawai Kemenag Provinsi Kalimantan Selatan.
Alamat: Komp. Bumi Mas Asri, Blok E No. 11 Banjarmasin.
Nur Alfisyah (37 tahun), Guru IPS SMPN 2 Martapura (Guru Model).
Randu, (62 tahun), Pensiunan PNS, alamat: Jl. Palm 2 RT. IV Kayu Tangi
Banjarmasin.
Rustam Effendi (64 tahun), PNS (Doktor Bahasa dan mantan Dekan FKIP
Universitas Lambung Mangkurat), alamat: Komplek Sultan Adam Permai
Banjarmasin.
Sahran (42 tahun), Pekerjaan wiraswasta, alamat: Desa Pemangkih, Barabai,
Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Sarbaini, (54 tahun), PNS (Doktor Pendidikan Nilai, Jurusan PKn FKIP Universitas
Lambung Mangkurat, alamat: Kompleks Metro No 14 Kayu Tangi
Banjarmasin.

Internet:
- Tanpa nama. Pengajian Guru Bakhit, [online], tersedia https://
www.google.co.id/search?q=foto+guru+bakhiet&biw. [2 september
2014].

Ersis Warmansyah Abbas dan Syaharuddin


44
KEMAHIRAN BERFIKIR SEJARAH
BERDASARKAN LATAR BELAKANG
AKADEMIK GURU
Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang, Krishnaveni a/p
Vasudevan, Noria Munirah
Corresponding author: razaq@ukm.edu.my
PENGENALAN
Tuntutan dan cabaran yang dilalui oleh negara pada abad ke-21 ini
ialah bagaimana menjadikan rakyat Malaysia yang berpendidikan
mempunyai kuasa berfikir dalam menyelesaikan masalah dan menentukan
sesuatu keputusan. Keadaan ini akan berlaku jika kuasa fikir ini dibudayakan
dalam pengajaran dan pembelajaran melalui penstrukturan yang dibuat oleh
guru sewaktu mengembangkan aktviti dalam pengajaran bagi menyediakan
peluang dan ruang untuk pelajar berinisiatif dan terlibat dalam meneroka
maklumat, mentafsir kurikulum dan mengembangkan idea. Semuanya ini
selaras dengan dengan kehendak pembangunan pendidikan di negara kita
yang berhasrat melahirkan generasi muda yang berfikiran tajam dan peka
dengan perkembangan. Semuanya ini akan diperolehi melalui latihan
kemahiran berfikir yang dikembangkan melalui pelbagai aktiviti dengan
menggunakan kaedah yang bersesuaian. Justeru itu, guru bukan hanya
memiliki pengetahuan kandungan tetapi juga kebolehan menggunakan
kaedah dan pendekatan yang dapat mengembangkan kemahiran berfikir
dalam kalangan pelajar.

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia dan Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Abdul Razak Ahmad, dkk.


45
Menurut Rajendran (2001), pelajar tidak akan mendapat manfaat
daripada pengajaran dan pembelajaran Sejarah seandainya ketika belajar
mereka hanya mendengar penerangan guru yang membincangkan setiap
satu tajuk dalam buku teks tanpa ada sebarang aktiviti untuk mereka meneroka
sendiri maklumat, menyelesaikan masalah, membuat bandingan, mencari
bukti dan menyenaraikan ciri-ciri sesuatu. Hal yang sama turut diakui oleh
Pushpalatha Sivamugam (2006) yang menganggap aktiviti berfikir adalah
bahagian penting dalam pengajaran dan pembelajaran Sejarah kerana
kandungan Sejarah sendiri menarik untuk diteroka dan dikembangkan
berkaitan isu-isu sosial dan kemanusiaan, politik dan pentadbiran serta
ekonomi dan kewangan.
Malah Kurikulum Sejarah yang digubal sejak 1988 ternyata
mempunyai objektif tertentu yang antaranya membolehkan pelajar mengambil
iktibar daripada pengalaman sejarah untuk meningkatkan daya pemikiran
dan kematangan serta pada masa yang sama membolehkan pelajar
menganalisis, merumus, dan menilai fakta-fakta Sejarah Malaysia dan dunia
luar secara rasional (Kementerian Pendidikan Malaysia, 1988). Pendapat Booth
(1987) yang menekankan penggunaan pemikiran dan latihan berfikir sebagai
asas mewujudkan pengalaman belajar sejarah yang bermakna perlu diberikan
perhatian oleh guru sebagai pemimpin instruksional. Sehubungan dengan
itu, bahan pelajaran sejarah bukan sekadar memindahkan fakta tetapi
bagaimana mendidik dan melatih pelajar untuk membuat interpretasi,
menganalisis bukti dan membuat analogi agar relevansinya dengan kejadian
semasa dapat disorot dan dihubungkaitkan dengan kejadian masa silam.
Pembelajaran sejarah menjadi amat bermakna jika guru dan pelajar
memahami konteks peristiwa dan pemikiran yang muncul daripada satu-
satu peristiwa sejarah agar dapat dikembangkan secara lebih mendalam
sebagai asas perbincangan dan analisis berstruktur sehingga iktibar dan
pengajaran boleh diambil sebagai satu panduan. Hal ini nampaknya masih
kurang diberikan penekanan malah guru-guru sejarah di sekolah tidak peka
dengan keadaan ini, sehingga menjadikan pelajaran sejarah sebagai satu
sesi pembacaan buku teks dan membuat nota semata-mata. Situasi seperti
ini menjadikan proses instruksional berjalan pasif dan tidak bermaya.

Abdul Razak Ahmad, dkk.


46
Kedatangan kuasa imperialism umpamanya boleh menjadi tajuk
hangat yang mengundang seribu macam persoalan dan pemikiran jika dapat
dikelola dengan baik oleh guru, malangnya guru-guru mengambil pendekatan
yang selamat dengan meluahkan semula apa yang tersurat dalam buku teks
tanpa melihat sisi-sisi tersirat daripada peristiwa yang berkembang melalui
pelbagai sumber lain yang boleh memberi percambahan pemikiran baru
kepada pelajar dan dalam masa yang sama membimbing pelajar untuk
mengenali unsur-unsur tersirat yang boleh dikemukakan sebagai asas
perbincangan.
Pendapat VanSledright (2004) tentang tahap keyakinan guru yang
rendah terhadap kemampuan pelajar memahami sejarah melalui proses
berfikir tinggi sebenarnya boleh dikaji semula memandangkan pendedahan
pelajar dengan maklumat melalui media internet telah membuka dimensi
pemikiran yang luas dengan cara berfikir yang terkehadapan. Justeru itu,
adalah tidak wajar bagi guru-guru menutup ruang dan peluang untuk pelajar
berfikir kristis dan kreatif menggunakan bahan pelajaran Sejarah. Apa yang
mencemaskan ialah keupayaan guru-guru untuk merangsang dan
menggalakkan proses berfikir sebenarnya masih lemah malah langsung tidak
dipraktikkan.
Banyak manfaat dan kelebihan yang boleh diperolehi apabila pelajar
menggunakan pemikiran ketika belajar bukan hanya menghafal dan mengingat
kembali, kerana pelajar dapat dilatih menemukan permasalahan dan mencari
jawapan terhadap satu-satu fenomena sejarah. Melalui cara ini, pembelajaran
sejarah akan lebih bersifat saintifik, hidup dan membangkitkan minat.

PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN SEJARAH


Kelemahan yang seringkali diperkatakan dalam aspek pengajaran
dan pembelajaran sejarah ialah guru tidak menyediakan peluang dan aktiviti
kepada pelajar untuk membangkitkan emosi dan merangsang pemikiran
mereka tentang isu-isu sejarah, malahan guru juga tidak kerap menggunakan
bahan bantuan yang sesuai sehingga pengajaran menjadi hambar dan tidak
memberikan pengalaman yang menarik kepada pelajar. Menurut Aini Hassan
(1999) matlamat untuk menjadikan pengajaran sejarah menarik minat dan

Abdul Razak Ahmad, dkk.


47
tidak membosankan tidak akan tercapai jika guru secara berterusan hanya
mengupas apa yang ada dalam buku teks tanpa adanya rujukan tambahan
dan latihan berfikir dalam kalangan pelajar.
Barton dan Levstik (2004) juga pernah mengakui terdapat guru-guru
yang tidak realistik ketika mengajar sejarah sehingga mengutamakan rutin
daripada proses belajar, padahal guru boleh mengajak pelajar untuk berimaginasi
tentang sesuatu peristiwa, membuat perkaitan dengan kesan yang terjadi pada
masa kini, membahas secara kronologi serta menonjolkan nilai-nilai positif yang
wujud daripada peristiwa yang berlaku.
Meningkatkan minat pelajar belajar sejarah bererti meningkatkan usaha
bagi menggalakkan pelajar berfikir dan menggunakan bahan pemikiran untuk
mencapai tahap keseronokan belajar, bukan sekadar menjadi pendengar dan
pencatat setia yang kosong tanpa usaha belajar yang produktif. Pendapat Booth
(1987) yang menekankan penggunaan pemikiran dan latihan berfikir sebagai
asas mewujudkan pengalaman belajar sejarah yang bermakna perlu diberikan
perhatian oleh guru sebagai pemimpin instruksional. Sehubungan dengan itu,
bahan pelajaran sejarah bukan sekadar memindahkan fakta tetapi bagaimana
mendidik dan melatih pelajar untuk membuat interpretasi, menganalisis bukti
dan membuat analogi agar relevansinya dengan kejadian semasa dapat disorot
dan dihubungkaitkan dengan kejadian masa silam.
Pembelajaran sejarah menjadi amat bermakna jika guru dan pelajar
memahami konteks peristiwa dan pemikiran yang muncul daripada satu-satu
peristiwa sejarah agar dapat dikembangkan secara lebih mendalam sebagai
asas perbincangan dan analisis berstruktur sehingga iktibar dan pengajaran
boleh diambil sebagai satu panduan. Hal ini nampaknya masih kurang
diberikan penekanan malah guru-guru sejarah di sekolah tidak peka dengan
keadaan ini, sehingga menjadikan pelajaran sejarah sebagai satu sesi
pembacaan buku teks dan membuat nota semata-mata (Abdul Razaq et al.
2013). Situasi seperti ini menjadikan proses instruksional berjalan pasif dan
tidak bermaya.
Kedatangan kuasa imperialism umpamanya boleh menjadi tajuk hangat
yang mengundang seribu macam persoalan dan pemikiran jika dapat dikelola
dengan baik oleh guru, malangnya guru-guru mengambil pendekatan yang
selamat dengan meluahkan semula apa yang tersurat dalam buku teks tanpa

Abdul Razak Ahmad, dkk.


48
melihat sisi-sisi tersirat daripada peristiwa yang berkembang melalui pelbagai
sumber lain yang boleh memberi percambahan pemikiran baru kepada pelajar
dan dalam masa yang sama membimbing pelajar untuk mengenali unsur-unsur
tersirat yang boleh dikemukakan sebagai asas perbincangan.
Pendapat VanSledright (2004) tentang tahap keyakinan guru yang
rendah terhadap kemampuan pelajar memahami sejarah melalui proses
berfikir tinggi sebenarnya boleh dikaji semula memandangkan pendedahan
pelajar dengan maklumat melalui media internet telah membuka dimensi
pemikiran yang luas dengan cara berfikir yang terkehadapan. Justeru itu,
adalah tidak wajar bagi guru-guru menutup ruang dan peluang untuk pelajar
berfikir kristis dan kreatif menggunakan bahan pelajaran Sejarah. Apa yang
mencemaskan ialah keupayaan guru-guru untuk merangsang dan
menggalakkan proses berfikir sebenarnya masih lemah malah langsung tidak
dipraktikkan.
Banyak manfaat dan kelebihan yang boleh diperolehi apabila pelajar
menggunakan pemikiran ketika belajar bukan hanya menghafal dan
mengingat kembali, kerana pelajar dapat dilatih menemukan permasalahan
dan mencari jawapan terhadap satu-satu fenomena sejarah. Melalui cara ini,
pembelajaran sejarah akan lebih bersifat saintifik, hidup dan membangkitkan
minat. Barton dan Levstik (2004) pernah mengakui terdapat guru-guru yang
tidak realistik ketika mengajar sejarah sehingga mengutamakan rutin daripada
proses belajar, padahal guru boleh mengajak pelajar untuk berimaginasi
tentang sesuatu peristiwa, membuat perkaitan dengan kesan yang terjadi pada
masa kini, membahas secara kronologi serta menonjolkan nilai-nilai positif
yang wujud daripada peristiwa yang berlaku.
Oleh sebab itu, sudah tiba masanya pendekatan pengajaran sejarah
berubah agar tidak lagi dilabel pasif, membosankan dan tidak hidup. Menurut
Aini Hassan (1999) matlamat untuk menjadikan pengajaran Sejarah menarik
minat dan tidak membosankan tidak akan tercapai jika guru secara berterusan
hanya mengupas apa yang ada dalam buku teks tanpa adanya rujukan
tambahan dan latihan berfikir dalam kalangan pelajar.

Abdul Razak Ahmad, dkk.


49
KEMAHIRAN BERFIKIR SEJARAH
Kemahiran berfikir sejarah merujuk kepada proses dan aktiviti yang
mendorong pelajar untuk berfikir sebelum, ketika dan selepas proses pengajaran
dan pembelajaran. Para pelajar dilatih untuk menilai segala peristiwa dengan
pandangan seorang pengkaji menggunakan analisis kronologi, analogi waktu,
interpretasi terhadap tindakan tokoh sejarah dan imaginasi tentang masa silam
dalam gambaran masa kini bagi membolehkan nilai-nilai pengajaran dan
perkaitan dengan masa kini dilakukan. Dengan cara itu, pembelajaran lebih
bermakna dan pelajar akan berasa yakin dan seronok belajar sejarah. Manakala
pemikiran sejarah merujuk kepada aspek kepada memahami kronologi,
meneroka bukti, membuat interpretasi, imaginasi, membuat rasionalisasi, dan
empati.
Menurut Wineburg (2006), kemahiran berfikir dalam proses
instruksional Sejarah yang melibatkan dua pendekatan iaitu sumber heuristik
iaitu penyiasatan sumber dan sokongan heuristik iaitu perbandingan maklumat
yang melibatkan lima asas berfikir dalam proses instruksional sejarah
sebagaimana dikemukakan oleh California State Depatment Of Education
(1988) iaitu pemikiran kronologi, pemahaman sejarah, analisis dan interpretasi
sejarah, keupayaan membuat penyelidikan sejarah, dan menganalisis isi dan
membuat keputusan. Kementerian Pendidikan Malaysia (2003) juga telah
menyenaraikan lima kemahiran yang perlu dijadikan pendekatan oleh guru
dalam proses instruksional Sejarah iaitu kemahiran kronologi, kemahiran
meneroka bukti, kemahiran interpretasi, kemahiran imaginasi dan kemahiran
rasionalisasi.
Pandangan Seixas (1996) bahawa kemahiran berfikir membawa
pelajar kepada satu dimensi baru dalam penghujahan sejarah dan kajiannya
memang dapat dijadikan asas. Sebagai pemimpin proses instruksional, guru
perlu peka untuk menilai pelbagai sisi bahan dan kandungan sejarah kepada
pelajar agar pelajar tidak hanya memahami apa yang tersurat tetapi bagaimana
pula perkara yang tersirat dalam sesuatu zaman sejarah dari segi latar
masyarakat dan budaya yang berkembang. Melalui cara ini, pelajar dapat
melihat sejarah dengan gambaran yang lebih luas, analitikal dan progresif.
Inilah juga yang dinyatakan oleh Garvey &Krugg (1977) sebagai kemahiran
berfikir melalui ilmu sejarah.

Abdul Razak Ahmad, dkk.


50
Menurut Seixas (1996) pelajar perlu diajar menilai kepentingan sejarah
melalui pembuktian yang dapat dilihat dalam perjalanan peristiwa serta
perkembangan yang berlaku samada berterusan atau memberi impak jangka
panjang kepada masyarakat. Disinilah penterjemahan dapat dibuat berdasarkan
kesannya kepada masyarakat dan zaman selepasnya. Sebagai contoh, ketika
membicarakan konflik perang, perkara-perkara berkaitan bahaya perang boleh
dijadikan asas perbincangan dengan mengemukakan bukti-bukti berasaskan
perkembangan yang terjadi semasa Perang Dunia Kedua dan kesannya kepada
masyarakat yang terus berlanjutan hingga ke hari ini. Walau bagaimanapun
kebijaksanaan guru sejarah amat diperlukan dalam merungkai sesuatu
fenomena dalam peristiwa sejarah.
Evans (1996) pula telah mengembangkan satu bentuk pemikiran
menggunakan pendekatan kritikal. Dalam pendekatan ini pemikiran sejarah
dapat diimplementasikan kepada tiga kategori, iaitu (1) mengemukakan isu-isu
berkaitan masyarakat masa kini untuk dinilai mengikut perspektif sejarah; (2)
menggunakan pendekatan kronologi sambil memberi fokus kepada peristiwa-
peristiwa penting dalam senarai kronologi itu untuk diteliti dan diperincikan lebih
lanjut; dan (3) pendekatan sinkronik boleh digunakan dalam menghuraikan
aspek-aspek sejarah melalui konsep interdisiplin iaitu fenomena sesuatu
peristiwa masa lalu yang berlaku dalam tempoh tertentu tanpa merujuk sebab
musabab tindakan atau kesannya.
Bagi pengkaji lain, penggunaan konsep garis masa dan perubahan
masa sangat digalakkan untuk dikembangkan kepada para pelajar (Wood
1995). Menurut beliau konsep ini boleh diperkembangkan melalui aktiviti-aktiviti
membuat urutan masa atau peristiwa daripada fakta-fakta sejarah berdasarkan
pernyataan, gambar-gambar dan artifak serta melalui aktiviti tersebut pelajar
dapat memahami konsep sebab dan akibat.
Husband (1996) pula mendapati bahawa kaedah yang paling berkesan
untuk memupuk kemahiran berfikir dalam kalangan pelajar adalah dengan
menggunakan material sedia ada dalam proses pengajaran dan pembelajaran.
Kemunculan material tersebut tentunya ada asas dan sejarah yang tersendiri.
Ini bererti kreativiti dan inisiatif guru dalam memanfaatkan sumber dan material
sedia ada amat penting.

Abdul Razak Ahmad, dkk.


51
Dalam kajian terhadap penggunaan peralatan visual digital dalam
membimbing, Tally &Goldenberg (2005) mendapati bahawa para pelajar dapat
meneroka bukti-bukti sejarah melalui bahan visual digital dalam talian di bawah
bimbingan guru yang diberi latihan menganalisis sumber primer. Pelajar juga
dapat melibatkan diri secara aktif, membuat pentafsiran dan menganalisis
dokumen dengan berkesan.
Fines (2002) telah membahagikan proses imaginasi kepada dua
peringkat iaitu statik dan dinamik. Menurut beliau imaginasi statik adalah
peringkat permulaan yang melibatkan lukisan dan melihat sejarah seperti yang
sedia ada. Ekspresi pada peringkat ini adalah terhad terhadap imej yang dilihat
oleh pelajar. Manakala pada peringkat dinamik pula adalah berkaitan dengan
ekspresi, interpretasi, penilaian, pemahaman, dan merekonstruksi tindakan
pada masa lalu.
Berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman sejarah dalam
kalangan guru-guru, Wineburg (2006) mengakui tinggi berbanding ahli sejarah,
tetapi pencapaian mereka rendah bagi aspek kemahiran pemikiran sejarah
seperti kebolehan membuat pentafsiran. Beliau telah membuat perbandingan
antara guru sejarah dengan professor sejarah mengenai kemahiran pemikiran
sejarah dalam memahami dan menganalisis meletakkan buku teks di tempat
yang teratas jika dibandingkan sumber primer seperti dokumen. Manakala
professor pula meletakkan buku teks di tangga yang terakhir. Kajian ini jelas
sekali menunjukkan kebergantungan guru terhadap buku teks yang sama dimiliki
pelajar menyebabkan pemikiran mereka juga sama dengan pelajar tanpa adanya
kecenderungan untuk merujuk sumber primer.
Trombino (2010) dalam kajiannya mendapati ada guru yang menyatakan
bahawa ketika di universiti atau latihan perguruan mereka tidak dibimbing untuk
mengintepretasi sumber sejarah dan beranggapan mereka mengetahui cara
mengintepretasi sumber tersebut. Keadaan ini menyebabkan guru sejarah tidak
dapat memberi arahan yang jelas untuk membolehkan pelajar menggunakan
kemahiran pemikiran sejarah di dalam bilik darjah.
Yilmaz (2008) turut mengakui bahawa guru sejarah mengabaikan
komponen interpretatif dalam mengajar. Kajian ini hampir sama dengan dapatan
Trombino (2010) terhadap 64 orang guru yang jarang menyebut mengenai proses
sejarah sebaliknya banyak menyuruh pelajar menyalin nota, melengkapkan rajah

Abdul Razak Ahmad, dkk.


52
dan menghafal fakta. Kesilapan sebegini sebenarnya menjadikan kelas sejarah
statik dan tidak membangkitkan minat pelajar. Apa yang lebih mengecewakan,
guru-guru Sejarah banyak berceramah, bercerita dan memberi kuliah berbanding
menjalankan kajian, perbincangan dan membuat interpretasi.
Kajian Hassan (1993) mengenai masalah pengajaran guru dalam
pelaksanaan kurikulum Sejarah KBSM di empat buah daerah di negeri Perak
mendapati bahawa guru-guru sejarah menghadapi masalah dalam pengajaran
berhubung penggunaan teknik pengajaran seperti inkuiri sejarah, kajian kes,
lawatan, lakonan atau drama sejarah. Permasalahan yang wujud ini dikatakan
sebagai antaranya disebabkan oleh kekurangan pengetahuan dan kefahaman
tentang teknik-teknik pengajaran tersebut.
Ahli sejarah kerap menggunakan soalan seperti mengapa dan
bagaimana apabila ‘membuat’ sejarah (Drake& Brown 2003). Oleh itu
penyoalan adalah sangat penting untuk menerapkan kemahiran pemikiran
sejarah. Menurut Drake & Brown (2003) terdapat beberapa persoalan asas
yang perlu digunakan oleh guru untuk menganalisa sumber seperti mengenal
pasti pengarang sesuatu sumber, tarikh sumber ditulis, jenis sumber yang
digunakan, fokus pembicaraan sumber dan faktor-faktor yang mendorong penulis
menghasilkan penulisan tersebut.
Menurut Zahara et. al. (2009), guru seharusnya kreatif dalam
membentuk suasana pembelajaran. Sumber pengajaran dan pembelajaran
tidak lagi terhadap hanya kepada guru dan buku teks. Kemudahan ICT dan
kepelbagaian sumber pengajaran dan pembelajaran boleh dimanfaatkan oleh
guru-guru sebagai Kemahiran berfikir sejarah. Nik Azleena (2003) telah
menjalankan tinjauan bagi mengenal pasti kesediaan guru-guru sejarah dalam
menerapkan kemahiran pemikiran sejarah kepada para pelajar. Beliau mengkaji
lima aspek kesediaan pengetahuan guru-guru untuk menerapkan kemahiran
pemikiran sejarah iaitu kesediaan pengetahuan prosedural guru, kesediaan
pengetahuan pedagogi, kesediaan pengetahuan penggunaan bahan bantu
mengajar, kesediaan pengetahuan pengurusan aktiviti pembelajaran dan
kesediaan daripada aspek sikap.
Khairuddin (2011) pula, telah menjalankan kajian mengenai
keberkesanan penggunaan kaedah peta konsep terhadap pencapaian, sikap

Abdul Razak Ahmad, dkk.


53
dan kemahiran kronologi dalam kalangan pelajar tingkatan empat. Hasil kajian
beliau menunjukkan terdapat perbezaan yang signifikan antara kumpulan
rawatan dan kumpulan kawalan dalam aspek pencapaian, sikap dan kemahiran
memahami kronologi setelah menggunakan kaedah peta konsep. Dapatan
beliau menunjukkan penggunaan peta konsep membantu pelajar menguasai
kemahiran pemikiran sejarah kategori memahami kronologi.
Baharuddin (2006) mengkaji sejauh manakah kemahiran pemikiran
sejarah dilaksanakan oleh guru-guru sejarah dalam proses pengajaran dan
pembelajaran sejarah di dalam bilik darjah. Kajian ini berdasarkan perspektif
pelajar terhadap penekanan yang diberi oleh guru untuk memupuk kemahiran
pemikiran sejarah dalam kalangan pelajar disamping mengenal pasti hubungan
antara pelaksanaan kemahiran pemikiran sejarah dalam pengajaran diantara
sekolah bandar dan luar bandar.
Dapatan kajian lampau menunjukkan bahawa guru ada
melaksanakan kemahiran pemikiran sejarah dalam pengajaran mereka,
namun tahap pelaksanaannya berbeza mengikut kategori pemikiran sejarah.
Dari segi kategori kemahiran pemikiran sejarah yang paling kerap dijalankan
adalah kategori meneroka bukti. Imaginasi merupakan kemahiran pemikiran
sejarah yang paling kurang diterapkan oleh guru-guru. Dapatan beliau
menunjukkan tahap kesediaan guru-guru sejarah bagi kelima-lima aspek
menunjukkan perbezaan yang signifikan di antara guru opsyen sejarah dan
bukan opsyen sejarah serta yang telah mengikuti kursus dan belum mengikuti
kursus.
Perbezaan yang signifikan juga wujud dalam aspek pengetahuan
menggunakan bahan bantu mengajar (melebihi sepuluh tahun dan kurang
dari sepuluh tahun). Tidak terdapat perbezaan yang signifikan antara yang
berpengalaman dengan tidak berpengalaman terhadap tahap kesediaan
pengetahuan prosedural dan pedagogi guru-guru sejarah. Sebenarnya,
galakan untuk mewujudkan pengajaran empati dalam mata pelajaran sejarah
boleh dibuat dalam lima keadaan (Foxter, 2001), iaitu: (1) menumpukan kepada
situasi masa lampau, (2)membina konteks dan kronologi sejarah, (3)
memperkenalkan pelbagai bahan sumber, (4)merangka pembelajaran yang
lebih kompleks dan (5)merasionalkan tindakan seseorang tokoh.

Abdul Razak Ahmad, dkk.


54
PENGETAHUAN GURU TERHADAP PEMIKIRAN SEJARAH
Satu kajian tinjauan telah dilakukan terhadap 56 orang guru Sejarah di
salah sebuah daerah di Selangor, Malaysia. Seramai 39 orang guru adalah
dilatih oleh Kementerian secara langsung dalam bidang Pendidikan Sejarah
(guru opsyen sejarah). Manakala, seramai 17 orang guru bukan dalam bidang
Pendidikan Sejarah (bukan opsyen sejarah). Ditinjau dari segi pengalaman
mengajar pula, seramai 27 orang (48.2%) mempunyai pengalaman mengajar 1
hingga 9 tahun manakala 29 orang (51.8%) guru mempunyai pengalaman
mengajar sejarah lebih daripada 10 tahun.
Jadual 1
Guru Sejarah Opsyen dan Bukan Opsyen

Pembolehubah Keterangan Kekerapan Peratusan


Opsyen Guru Guru opsyen 39 67%
Guru bukan opsyen 17 3%
Pengalaman mengajar 1 hingga 9 tahun 27 48%
10 tahun ke atas 29 52%

*Berdasarkan satu kajian tinjauan di Selangor, Malaysia

Majoriti guru yang terlibat dalam tinjauan ini mendapati secara amnya
mereka agak menguasai tentang aspek pemikiran Sejarah dari segi kronologi,
meneroka bukti, interpretasi, imaginasi dan rasionalisasi. Secara terperinci,
dapatan kajian menunjukkan bahawa guru-guru mempunyai pengetahuan yang
tinggi dalam menghuraikan fakta sejarah secara kronologi, menganalisis bukti-
bukti sejarah berdasarkan dokumen primer dan skunder, menginterpretasi bahan
pelajaran sejarah dengan merujuk pelbagai pandangan dan pemikiran, membuat
imaginasi sejarah serta merasionalisasi peristiwa sejarah secara matang dan
relevan dengan perkara semasa. Guru didapati memiliki pengetahuan tentang
elemen pemikiran sejarah dan menunjukkan komitmen yang baik untuk
menerapkan elemen pemikiran sejarah ketika proses instruksional.
Manakala, dari segi perbezaan berdasarkan opsyen pula menunjukkan
terdapat perbezaan yang signifikan pengetahuan guru-guru tentang kemahiran
berfikir dan pelaksanaannya berdasarkan pengalaman mengajar dan opsyen.

Abdul Razak Ahmad, dkk.


55
Ternyata kemahiran berfikir dalam proses instruksional sejarah dikuasai oleh
guru-guru opsyen sejarah berbanding guru-guru bukan opsyen. Hal ini demikian
kerana guru-guru opsyen lebih terlatih dalam bidang pengajaran Sejarah dan
memahami selok-belok pedagogi berbanding guru-guru bukan opsyen.
Jadual 2
Perbezaan Kemahiran Pemikiran Sejarah Berdasarkan Latar Belakang
Akademik
Latar Belakang n Min Sisihan Piawai Interpretasi
Akademik
Guru opsyen sejarah 39 4.0 0.555 Tinggi
Guru bukan opsyen 17 3.54 0.607 Sederhana

Secara keseluruhannya didapati guru opsyen sejarah mempunyai tahap


pengetahuan kemahiran pemikiran sejarah yang tinggi iaitu min 4.0, jika
dibandingkan dengan tahap pengetahuan kemahiran pemikiran sejarah guru
yang bukan opsyen sejarah iaitu berada pada tahap yang sederhana (min 3.54).
Jadual 3
Tahap Kemahiran Pemikiran Sejarah Berdasarkan Pengalaman
Pengalaman n Min Sisihan Piawai Interpretasi

Pengalaman 1 -9 tahun 27 3.65 0.566 Sederhana


10 tahun ke atas 29 4.06 0.579 Tinggi

Daripada jadual di atas dapat dilihat tahap pengetahuan tentang


Kemahiran berfikir sejarah guru secara keseluruhannya memihak kepada guru-
guru yang berpengalaman mengajar lebih 10 tahun. Mereka didapati lebih yakin
mengendalikan proses instruksional dan dapat menerapkan kemahiran berfikir
melalui pemilihan kaedah yang bersesuaian dan bahan bantu yang tepat dan
relevan berbanding guru-guru yang lebih junior. Hal ini selari dengan pengalaman
mereka bergelumang dalam dunia pendidikan sebagai guru Sejarah sekaligus
memberi kelebihan dan instink kepada guru-guru untuk menggunakan
pendekatan yang fleksibel bagi mewujudkan pengalaman pengajaran dan
pembelajaran yang menarik serta meningkatkan peluang untuk pelajar berfikir
melalui bahan-bahan bantuan yang digunakan.

Abdul Razak Ahmad, dkk.


56
AMALAN PEDAGOGI DAN KEMAHIRAN PEMIKIRAN SEJARAH
Analisis Korelasi Pearson terhadap data yang sama terhadap amalan
pedagogi dengan kemahiran pemikiran Sejarah mendapati bahawa terdapat
hubungan yang signifikan antara pengetahuan pedagogi guru berkaitan
pemilihan kaedah dan penggubaan bahan bantu mengajar terhadap
pelaksanaan kemahiran berfikir dalam proses instruksional sejarah. Ini
menunjukkan bahawa amalan pedagogi memainkan peranan penting dalam
membantu dalam meningkatkan kemahiran pemikiran sejarah. Dapatan kajian
ini disokong oleh kajian yang dilaksanakan oleh Hassan Haris (1993) yang
melihat keterkaitan antara penggunaan kaedah yang pelbagai dengan
rangsangan berfikir dalam kalangan pelajar berkaitan pelbagai isu-isu sejarah.
Kaedah dan teknik tanya jawab, sumbangsaran, simulasi, lawatan, perbincangan,
perbahasan, kerja projek dan lain-lain amat memberi makna bagi menjawab
pelbagai persoalan yang berlegar dibenak pelajar apatah lagi pemilihan kaedah
yang betul dan dikendalikan dengan baik oleh guru dapat mewujudkan
keseronokan belajar dan satu pengalaman bermakna kepada pelajar.
Jadual 4
Amalan Pedagogi dengan Kemahiran Pemikiran Sejarah
Hubungan Pekali Korelasi Tahap
Pearson (r) signifikan
Hubungan pemilihan kaedah terhadap
pelaksanaan proses berfikir dalam kelas sejarah 0.555
Hubungan penggunaan bahan bantu terhadap 0.00**
pelaksanaan proses berfikir dalam kelas sejarah 0.554

** Signifikan pada aras 0.05


Jika ditinjau dari aspek penggunaan bahan bantu mengajar terhadap
pelaksanaan proses berfikir pula, wujud hubungan yang signifikan iaitu r = 0.004
<0.005. Hal ini disebabkan proses berfikir amat berkait erat dengan bahan
rangsangan bagi menimbulkan idea, mencetuskan rantaian perkaitan antara
maklumat dengan mengamati atau melihat potret, peta, poster, wang kertas, surat
perjanjian, buku perlembagaan negara dan lain-lain, selain daripada itu pelajar
menjadi lebih seronok belajar kerana guru dapat melepaskan diri mereka daripada
kongkongan buku teks dan membawa dimensi baru dalam percambahan
pemikiran tentang bahan-bahan sejarah melalui bahan bantu. Selain daripada

Abdul Razak Ahmad, dkk.


57
itu, penggunaan video, filem dan bahan-bahan multimedia yang lain mengundang
pelbagai persoalan dalam diri pelajar dan mencetuskan rasa ingin tahu tentang
pelbagai perkara. Filem Sang Pencerah misalnya, jika digunakan oleh guru ketika
proses belajar mengajar untuk memberi kefahaman tentang Gerakan Islah tentu
sekali menarik dan mencetuskan banyak idea-idea baru. Demikian juga pelbagai
bahan bantu lain seperti artifak sejarah, peta, gambar tokoh dan peta iThink
yang boleh membimbing pelajar untuk berfikir yang melibatkan lapan alat
pemikiran iaitu peta bulatan, peta buih, peta buih berganda, peta dakap, peta
pokok, peta alir, peta alir berganda dan peta titi. Semua alat pemikiran ini dapat
digunakan secara sistematik untuk menguruskan kandungan pengetahuan
Sejarah bagi dianalisa dengan cara yang menarik dan mudah difahami.
Amalan Pedagogi mempunyai kaitan dalam mewujudkan suasana berfikir
dalam kelas Sejarah. Amalan pedagogi yang betul boleh membudayakan amalan
berfikir dalam kalangan pelajar. Hal ini ada dinyatakan oleh Chris Husbands (1996)
dalam bukunya What is History Teaching yang menjelaskan pentingnya
keterampilan guru dalam memilih kaedah bagi menggalakkan budaya berfikir,
kerana hanya melalui peluang, latihan dan bimbingan yang betul pelajar dapar
menjejaki aspek-aspek kandungan sejarah untuk diintepretasi secara lebih
mendalam dengan pelbagai idea dan sumbangsaran.
Tally dan Goldenberg (2005) mengakui proses berfikir dapat mengangkat
martabat mata pelajaran Sejarah ke tahap yang berbeza berbanding pengajaran
lazim, kerana melalui cetusan idea dan pemikiran, pelbagai aspek kebudayaan
boleh dibincangkan dengan lebih meluas sekaligus menjadikan pengajaran dan
pembelajaran lebih menarik dan menimbulkan keterujaan kepada pelajar. Jelas
sekali kajian yang dilakukan membuktikan bahawa amalan pedagogi dan proses
berfikir hendaklah selari kerana tanpa keupayaan guru merangka aktiviti dan
langkah-langkah pengajaran yang berkesan, tentu sekali pelajar akan mengalami
proses pembelajaran yang terhadap dan menyekat peluang mereka untuk
membuat tafsiran dan percambahan idea berkaitan bahan pembelajaran.
KESIMPULAN
Secara alaminya, guru opsyen dan bukan opsyen serta guru
berpengalaman dan tidak berpengalaman menunjukkan perbezaan yang ketara
bagi melaksanakan dan menerapkan pemikiran Sejarah dalam bilik darjah. Ini
menunjukkan bahawa latihan secara profesional guru sejarah dan pengalalaman

Abdul Razak Ahmad, dkk.


58
adalah faktor yang paling dominan dalam pengajaran dan pembelajaran sejarah.
Hal ini mempunyai kaitan dengan kemahiran pedagogi serta keupayaan guru
dalam memupuk pemikiran Sejarah agar pelajar-pelajar betul-betul dapat
menghayati sebagaimana dihasratkan dalam Kurikulum Sejarah.

RUJUKAN
Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang, Ahmad Ali Seman, Ramle bin
Abdullah. (2013). The Skills of Using History Textbooks in Secondary
School. Asian Social Science. 9(12), 229-236.
Aini Hassan. 1999. Disiplin Sejarah dan Implikasinya Terhadap Pengajaran dan
Pembelajaran Sejarah di Sekolah. Kertas Kerja Seminar Sejarah.
Seremban: MPRM.
Awang Salleh Awang Wahab. 2006. Tahap Perkembangan Bahasa dan Tingkah
Laku Sosial Kanak-Kanak Pra-sekolah: 1 Kajian Kes. Tesis Sarjana.
Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.
Babbie, E. 1983.The Practise of Social Research. Belmont, California: Wadsworth
Publishing Co.
Barton, K., &Levstik, L. 2004 .Teaching History ForTheCommon Good.Mahwah,
NJ:Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Booth,M.B. 1987. Skills, Consepts, and Attidudes: The Development of Adolescent
Children’s Historical Thinking. History and Theory 22: 101-117.
Drake, F.D. & Brown, S.D. 2003. A Systematic Approach to Improve Students’
Historical Thinking.The History Teacher 36( 4: 465-489).
Evans, R.W. 1996. A Critical Approaches To Teaching United States History.
Washington : NCSS.
Fines, J. 2002.Imagination in History Teaching. International Journal of Historical
Learning,Teaching and Research 2(2): 63-77.
Foster, S.J. and Yeager, E.A. 1999. “You’ve Got to Put Together the Pieces”:
English 12-year-olds Encounter and Learn from Historical Evidence.
Journal of Curriculum and Supervision 14 (4) : 286-317.
Hassan Haris. 1993. Masalah Pengajaran Guru dalam Pelaksanaan Kurikulum
Sejarah di 4 Buah Daerah di Negeri Perak Darul Ridzuan. Tesis Sarjana.
Fakulti Pendidikan. Universiti Kebangsaan Malaysia.

Abdul Razak Ahmad, dkk.


59
Nik Azleena Nik Ismail 2003. Kesediaan Guru-Guru Sejarah Menerapkan
Kemahiran Pemikiran Sejarah Kepada Para Pelajar: Satu Tinjauan di
Daerah Dungun. Penyelidikan yang tidak diterbitkan. Bangi : UKM.
Seixas, P. 1996. Conceptualizing the Growth of Historical Understanding. Dlm.
Olson, D.R. and Torrance, N. (pnyt.) The Handbook of Education and
Human Development hlm. 765 – 784. Cambridge, MA: Blackwell
Publishers Ltd.
Tally B. dan Goldenberg. L. B. 2005. Fostering Historical Thinking with Digitized
Primary Sources. Journal of Research on Technology in Education.
V38: p1-21: International Society For Technology in Education.
Trombino, D.L. 2010. The Experience of Secondary Social Studies Teacher
with Historical Thinking Skills. Tesis Dr.Fal.Universiti Old
Dominion.Virginia.
Van Sledright, B. A. 2004. What Does it Mean to Think Historically…and How do
You Teach It? Social Education 68 (3) : 230-233.
Wood, S. 1995. Developing an Understanding of Time–Sequencing Issues.
Teaching History 79: 11-15.
Yusup Hashim. 1998. Teknologi Pengajaran. Selangor: Fajar Bakti.
Zahara Aziz, Abdul Razaq Ahmad & Ahmad Rafaai Ayudin. 2009. Kepelbagaian
Sumber Pengajaran untuk Penerapan Nilai dalam Pembelajaran
Sejarah. Dlm. Abdul Razaq Ahmad & Isjoni. Strategi & Model
Pembelajaran Sejarah hlm.103-126. Pekanbaru: Cendikia Insani.

Abdul Razak Ahmad, dkk.


60
BELAJAR HIDUP BERSAMA
(LEARNING TO LIVE TOGETHER)
DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Herry Porda Nugroho Putro
Email: pordabanjar@gmail.com
I. PENDAHULUAN
Setiap negara dengan seluruh masyarakatnya telah terlibat ke dalam
dunia tanpa batas, sepertinya tidak ada batas lagi antara negara yang satu dengan
negara lain; batas-batas itu sebagian besar sudah hilang, yang menghapuskan
batas-batas tersebut adalah pesatnya arus informasi (Ohmae, 1991: 20).
Terlihat kemajuan dibidang transportasi, informasi dan komunikasi.
Kemajuan dibidang ini berakibat pada keterbukaan segala kejadian di seluruh
dunia, sehingga dapat diketahui langsung, jarak tempuh yang jauh dapat
dijangkau dalam waktu singkat, dunia seperti desa kecil, segala sesuatu yang
terjadi bisa diketahui dan tempat tertentu bisa dicapai dalam waktu singkat.
Persoalan-persoalan menjadi transparan dan dapat diketahui secara detail, juga
persoalan-persoalan pribadi seseorang yang dipublikasikan melalui media sosial.
Perubahan jaman yang begitu pesat, belajar bukan hanya mengejar
status sosial (ijazah) melainkan kepribadian dan ilmu yang berwawasan luas.
Perlunya membina peserta didik yang berwawasan nasional dengan
meningkatkan sikap kepedulian sosial dan siap untuk bersaing.

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia dan Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Herry Porda Nugroho Putro Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Lambung Mangkurat.

Herry Porda Nugroho Putro


61
Kondisi Indonesia yang majemuk dan derasnya percepatan ilmu
pengetahuan dan teknologi, diperlukan kesatuan dan persatuan yang kuat agar
cita-cita bangsa dapat tercapai. Masyarakat harus diarahkan pada kerukunan
agar tercapai keadaan kehidupan harmonis, aman, tenteram dan dinamis.
Suseno (1993), menyebutnya sebagai bangsa yang rukun, yaitu suatu keadaan
selaras, tenang dan tenteram, tanpa perselisihan dan pertentangan bersatu
dengan maksud untuk saling membantu.
Perubahan orde atau kepemimpinan di Indonesia sering ditandai
dengan peristiwa konflik, pengalaman menyakitkan, seperti pertikaian. Hal ini
disebabkan kemajemukan dari sudut sistem-sistem dan pluralisme ras, etnik,
dan budaya. Sampai saat ini bangsa Indonesia sedang mengembangkan
kesadaran identitas menjadi kawasan sebagai hasil dari hubungan elektronik,
cetakan dan fisik, dan berbagai keterkaitan ekonomi. Dinamika perubahan yang
dialami tidak dapat dilepaskan dari globalisasi yang sedang terjadi. Kecendrungan
global bisa saja membawa ketegangan baru yang bisa mengancam identitas
lokal, nasional, dan regional (Report to UNESCO, 1996: 46).
Urgensi belajar untuk hidup bersama sangat dirasakan terutama
mencermati perkembangan dunia kontemporer yang sering dihadapkan pada
berbagai bentuk kekerasan. Meskipun pertikaian sudah terjadi sepanjang
sejarah, namun berbagai faktor baru telah muncul dengan resiko yang semakin
besar. Untuk itulah perlu dirancang suatu bentuk pendidikan yang memungkinkan
manusia untuk menghindari berbagai pertikaian dan menyelesaikannya secara
damai melalui pengembangan belajar hidup bersama dengan orang lain.
Kondisi yang dihadapi bangsa Indonesia perlu didekati dengan pemahaman
sejarah, karena Menurut G. J. Renier (1961: 5) Sejarah bagi manusia berguna untuk
mengenal dirinya sendiri. Mengenal diri sendiri berarti mengatahui apa yang dilakukan,
dan tidak seorangpun tahu apa yang dapat dilakukan sebelum mencobanya. Satu-
satunya petunjuk untuk mengetahui apa yang dapat dilakukan oleh manusia ialah
dengan jalan mengetahui apa yang telah dilakukan. Jadi pengalaman masa lampau
merupakan bahan pertimbangan bagi seseorang atau suatu masyarakat dalam
mengatasi problem-problem yang dihadapinya, sejarah membuat orang bijaksana.
Pemahaman sejarah dapat didekati dengan pengajaran sejarah yang
sudah dilaksanakan pada berbagai tingkat pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar
hingga Perguruan Tinggi.

Herry Porda Nugroho Putro


62
II. SEJARAH DAN PENGHAYATAN SEJARAH
Sejarah merupakan rangkaian peristiwa yang saling berhubungan
antara satu dengan lainnya. Peristiwa masa lampau berkaitan erat dengan
peristiwa-peristiwa masa kini dan pada masa yang akan datang, artinya apa
yang telah terjadi di masa lampau merupakan pengalaman yang berharga
untuk menjalani kehidupan, atau peristiwa yang dihadapi pada masa sekarang.
Pengalaman masa kini dapat dijadikan bekal untuk menghadapi masa depan.
Menurut Car (1972: 35) sejarah adalah suatu pembicaraan yang tiada henti-
hentinya antara masa kini dan masa lampau.
Menurut Taufik Abdullah dan Abdurachman Suryomihardjo (1985: 47)
peristiwa masa lampau akan mengandung arti sejarah apabila telah diberi
batasan-batasan. Batasan yang paling awal menyangkut dimensi waktu, yaitu
yang berkenaan dengan sejak kapan dan sampai apabila. Dengan demikian
dapat dikenal periode-periode yang dianggap merupakan satu kesatuan tertentu
yang dapat menunjukkan adanya suatu karakteristik yang dominan. Kedua, sejarah
hanya memusatkan peristiwa yang menyangkut tindakan dan perilaku manusia.
Jadi peristiwa alam tidak termasuk sejarah. Batasan yang ketiga adalah batasan
tempat kejadian. Sejarah haruslah diartikan sebagai tindakan manusia dalam
jangka waktu tertentu pada masa lampau yang dilakukan pada tempat tertentu.
Menurut G. J. Renier (1961: 5) sejarah bagi manusia berguna untuk
mengenal dirinya sendiri. Mengenal diri sendiri berarti mengatahui apa yang
dilakukan, dan tidak seorangpun tahu apa yang dapat dilakukan sebelum
mencobanya. Satu-satunya petunjuk untuk mengetahui apa yang dapat dilakukan
oleh manusia ialah dengan jalan mengetahui apa yang telah dilakukan. Jadi
pengalaman masa lampau merupakan bahan pertimbangan bagi seseorang
atau suatu masyarakat dalam mengatasi problem-problem yang dihadapinya.
Arthur, J. R. Schlesinger (1971: 62) mengatakan bahwa suatu bangsa
yang tidak mengetahui apa yang terjadi kemarin, juga tidak akan mengerti apa
yang terjadi sekarang, dan tidak pula mengira apa yang akan terjadi besok.
W. J. Vander Meullen (1987: 27) juga menegaskan bahwa sejarah
bertujuan membangkitkan keinsafan akan suatu dimensi yang amat
fundamental dalam eksistensi umat manusia. Sejarah secara kontinu bukan
hanya menunjukkan masa lampau, melainkan berkaitan erat dengan masa
kini dan masa yang akan datang.

Herry Porda Nugroho Putro


63
Kartodirdjo (1989: 84) menggambarkan fungsi didaktik pengetahuan
sejarah secara implisit atau eksplisit dimaksudkan agar generasi yang akan
datang dapat mengambil hikmah dari pengajaran dan pengalaman nenek
moyangnya, berupa nilai-nilai untuk dijadikan suri-tauladan dan model bagi
keturunannya.
Peristiwa-peristiwa masa lampau telah melahirkan emosi-emosi, sikap,
nilai-nilai dan cita-cita yang memberikan kehidupan menjadi bermakna untuk
berjuang. Dalam sejarah tercatat loyalitas atau kesetiaan pada negara, bangsa,
agama, kelompok, dan kepahlawanan, serta kependekaran dari generasi pada
masa lampau.
Penghayatan mempunyai benang kait dengan permasalahan masa kini,
dalam hal ini adalah penghayatan tentang sejarah. Penghayatan merupakan
suatu proses mental yang bersifat batiniah. Proses penghayatan akan sesuatu
nilai dimulai dari memahami dan mengerti akan makna nilai-nilai tersebut
kemudian mengolah pengetahuan atau bahan-bahan yang diterima dengan
pengetahuan atau bahan-bahan yang telah dimiliki untuk selanjutnya menetapkan
sikap atau memutuskan untuk menerima atau menolaknya.
Menurut Dewan Harian Nasional Angkatan’45 (1988: 27) penghayatan
atau internalisasi nilai secara taksonomi melalui proses sebagai berikut: (1) tahap
penerimaan suatu rangsangan afektif, (2) tahap memberikan tanggapan, (3)
tahap memberikan penilaian, (4) tahap pengorganisasian, dan (5) tahap
pengkarakteristikan, yaitu penyaturagaan nilai-nilai dalam satu sistem nilai yang
konsisten. Pada tahap ini semua nilai yang ditanamkan dalam diri seseorang
telah menjadi bagian terpadu dari sistem kepribadiannya. Menurut Soedijarto
(1989: 145) jika suatu pengetahuan telah diterima dan diyakini oleh seseorang,
maka pengetahuan tersebut akan mantap dalam sanubarinya.
Dengan demikian penghayatan akan sesuatu peristiwa sejarah ialah
apabila seseorang memahami dan menjadikan peristiwa sejarah (bangsanya)
menjadi bagian dari kepribadiannya dan bagian dari kata hatinya. Ia dapat
merasakan kesesuaian antara perasaan, cita-cita, kebutuhan, dan cara
pandangnya dengan nilai yang dihayati dalam hubungan dengan lingkungan
sosial, budaya, politik, ekonomi, maupun hubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa.

Herry Porda Nugroho Putro


64
Arymurty (1990: 400) mengatakan bahwa penghayatan memberikan
manusia kemampuan untuk mengetahui, menimbang, mengerti, mengendalikan
atau mawas diri akan kehidupan, mawas antar sesama, dan mawas lingkungan.
Perjuangan suatu bangsa mengandung nilai-nilai yang merupakan
identitas Bangsa. Nilai-nilai itu adalah suatu kenyataan sosial yang tumbuh pada
masa tertentu, kenyataan sosial ini mempunyai dua sifat yaitu objektivitas dari
kenyataan sosial dan sekaligus subjektivitas daripada masyarakat itu. Setiap
kenyataan diwujudkan dan dijelmakan oleh suatu aktivitas yang mempunyai arti
subjektif. Bilamana kenyataan sosial itu dihubungkan dengan sejarah perjuangan
suatu bangsa Indonesia, maka kenyataan sosial itu tidak saja berakar pada
masa lampau tetapi juga berakar pada keaktifan manusia masa kini. Oleh karena
itu identitas suatu bangsa adalah subjektivitas bangsa itu sendiri dan
kepribadiannya. Kepribadian bangsa merupakan sumber harga diri dari semua
aktivitas dan kreativitasnya.

III. PENGAJARAN SEJARAH


Pendidikan menurut Abbas (1998: 79) adalah bagian dari proses
penanaman nilai-nilai yang fungsional untuk menanamkan pengetahuan. Sikap
dan tingkah laku yang lebih rasional dalam diri individu untuk berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya dan alamnya secara universal. Pendidikan sejarah tidak
hanya diarahkan untuk menanamkan pemahaman masa lampau hingga masa
kini, tetapi ditekankan pula pada berbagai kegiatan yang dapat memberikan
pengalaman yang dapat menumbuhkan rasa kebangsaan dan kecintaan pada
manusia secara universal. Dengan demikian terdapat perubahan cara berpikir,
bernalar, kematangan emosional dan sosial, serta meningkatkan kepekaan
perasaan dan kemampuan untuk memahami dan menghargai perbedaan.
Ditegaskan oleh Wiriaatmadja (1998: 92) pembelajaran sejarah di sekolah
merupakan wahana untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, terutama sebagai
upaya untuk menumbuhkan dan mengembangkan rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan peserta didik. Pengetahuan dan pengalaman
peserta didik tentang sejarah diharapkan dapat menumbuhkan kemampuan dan
kearifan untuk menghadapi kehidupan masa kini. Kesadaran akan kebangsaannya
akan memberikan kepribadian yang tegar karena pengenalan jati dirinya, dan

Herry Porda Nugroho Putro


65
menumbuhkan kemauan dan kesediaan untuk bekerja keras bagi dirinya dan
bangsanya.
Fungsi dari pengajaran sejarah dikemukakan oleh Kartodirdjo (1982:
59) untuk membangkitkan serta minat kepada sejarah tanah airnya, untuk
mendapatkan inspirasi dari sejarah baik dari kisah-kisah kepahlawanan maupun
peristiwa-peristiwa tragedi nasional, memberi pola berpikir ke arah berpikir rasional-
kritis-empiris, mengembangkan sikap mau menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Hill (1956: 10) mengajukan beberapa kegunaan pelajaran sejarah:
1. Secara unik memuaskan rasa ingin tahu dari anak tentang orang
lain, kehidupan, tokoh-tokoh, perbuatan dan cita-citanya, yang dapat
menimbulkan gairah dan kekaguman.
2. Lewat pengajaran sejarah dapat diwariskan kebudayaan manusia,
penghargaan terhadap sastra, seni serta cara hidup orang lain.
3. Melatih tertib intelektual, yaitu ketelitian dalam memahami dan
ekspresi, menimbang bukti, memisahkan yang penting dari yang
tidak penting, antara propaganda dan kebenaran.
4. Melalui pelajaran sejarah dapat dibandingkan kehidupan jaman
sekarang dengan masa lampau.
5. Pelajaran sejarah memberikan latihan dalam pemecahan
masalah-masalah/pertentangan dunia masa kini.
Pengajaran sejarah di sekolah menurut Meulen (1987: 42) bertujuan:
(1) untuk ikut membangun kepribadian dan sikap mental anak didik, (2)
membangkitkan keinsafan akan suatu dimensi yang amat fundamental dalam
eksistensi umat manusia, yaitu kontinuitas gerakan dan peralihan terus menerus
dari yang lalu ke arah masa depan, (3) untuk mengantarkan manusia ke kejujuran
dan kebijaksanaan pada anak didik, dan (4) untuk menanamkan cinta bangsa
dan sikap kemanusiaan. Arti terpenting pelajaran sejarah (Frost & Rowland, 1969:
461) dapat memecahkan masalah masa kini menggunakan masa lampau.
Menurut Kartodirdjo (Kompas, 30 Oktober 2001) penyebab kurangnya
kesadaran nasionalisme di kalangan pelajar pada dasarnya disebabkan
kurangnya pengetahuan sejarah. Melalui sejarah, manusia dapat menjadi lebih
beradab. Kehendak untuk menciptakan dan mengembangkan pemahaman
persatuan terkait tidak terpisahkan dari rumusan satu nation, satu bangsa yaitu
bersumber dari nasionalisme. Menurut Abdullah (Kompas, 19 Mei 1999),
keunggulan sejarah yang terpenting adalah kemampuannya untuk mengajukan
Herry Porda Nugroho Putro
66
“kebenaran”. Selain itu, sejarah juga menyimpan pengalaman yang sangat
berharga. Lautan pengalaman yang disajikan bisa memberikan kearifan.
Sejarah telah mencatat arti strategis dari sejarah bagi perkembangan
suatu bangsa. Kepribadian, mental, dan eksistensi umat manusia dibangun
lewat sejarahnya (Vander Meullen, 1987: 72). Seseorang yang tidak mengenal
sejarahnya diibaratkan oleh Kartodirdjo (1992: 53) sebagai orang yang pikun
yang tidak mengenal kepribadian dan identitasnya.
Arti penting sejarah tidak dapat dilepaskan dari peranan pengajaran
sejarah. Lewat pengajaran sejarah peserta didik mengetahui dan belajar pelbagai
peristiwa masa lampau, lewat pengajaran sejarah peserta didik mengenal dan
belajar perkembangan serta perjuangan bangsanya, lewat pengajaran sejarah
pula diharapkan tujuan pendidikan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya akan tercapai.
Situasi dan kondisi global saat ini menuntut adaptasi pengajaran sejarah.
Ironis memang bila pengajaran sejarah masih konversional tidak beradaptasi
dengan situasi dan kondisi global. Kondisi ini nampak dari adanya isu dan sorotan
tentang kemerosotan pengajaran sejarah yang berhubungan pula dengan
kemerosotan pengetahuan sejarah, kesadaran sejarah, dan mengendornya
semangat nasionalisme generasi muda (Suryo, 1989: 19). Mengajarkan sejarah
berarti melakukan dialog terus menerus antara masa kini dan masa lampau
(Car, 1972: 7), pada gilirannya dapat diperoleh ide-ide dan gagasan untuk
membangun masa kini dan merencanakan masa depan (Renier, 1961: 82).
Pengajaran sejarah memberikan pengetahuan kesejarahan (kognitif) dan
memperkenalkan perjuangan hidup manusia pada masa lampau (afektif). Menurut
Kartodirdjo (1982: 93), pengajaran sejarah nasional berfungsi : (1) membangkitkan
perhatian serta minat pada tanah air, (2) mendapatkan inspirasi dari cerita sejarah,
(3) memupuk alam pikiran ke arah kesadaran sejarah, (4) memberi pola pikiran
ke arah cara berpikir rasional kritis dengan dasar faktual, dan (5) mengembangkan
pikiran dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Perspektif pengajaran sejarah disarankan oleh Suryo (1991: 29) hendaknya
diarahkan ke masa depan (future oriented) dengan konsep (1) citra masa depan
(image of the future), dan (2) esoknya kemarin (yesterday’s tomorrow). Pengajaran
sejarah dengan dialogis dan dengan “citra masa depan” dan “esoknya kemarin”
dapat menggugah peserta didik bahwa ide-ide dalam peristiwa sejarah berguna

Herry Porda Nugroho Putro


67
bagi masa kini dan masa depan, serta menyadarkan bahwa masa kini adalah bagian
dari masa lampau, dan masa depan adalah kelanjutan dari masa kini.
Peningkatan pengajaran sejarah menuntut guru bidang studi sejarah
menguasai dan memahami arti penting sumber-sumber sejarah, serta
pengalaman dalam penelitian (Hill, 1952: 34). Meneliti dan mengajar adalah
tugas ganda guru sejarah. Lewat pengalaman mengajar guru sejarah
menemukan masalah untuk diteliti yang berguna bagi pengembangan
pengajaran sejarah dan agar hasil penelitiannya dapat dimengerti maka dilibatkan
dalam pengajaran (Elton, 1967: 72).
Mengembangkan sikap kritis dan kreativitas siswa hendaknya dibarengi
dengan sikap kritis dan kreativitas guru bidang studi sejarah, yaitu dengan kreatif
mengembangkan proses belajar mengajarnya (strategi, metode, penggunaan
media, dan bacaan-bacaan) sesuai dengan perkembangan teknologi. Untuk itu
guru bidang studi sejarah dituntut meningkatkan intelektualitasnya dengan
mendalami ilmu-ilmu sosial, mengikuti perkembangan kajian sejarah dengan
segala perkembangannya. Kondisi jaman yang canggih dan global ini peranan
guru tidak hanya membentuk wawasan serta pemberi pengetahuan dan
ketrampilan, tetapi menjadi fasilitator pembelajaran yang merupakan tuntutan
abad informasi (Joni, 1991: 24).
Guru bidang studi sejarah hendaknya bukan sebagai mesin yang hanya
memberikan materi, karena mengajarkan sejarah merupakan suatu proses yang
rumit dan memerlukan kemampuan profesional yang tinggi (Steele, 1976: 34).
Dalam pengajaran sejarah hendaknya dikembangkan suasana demokratis,
membimbing murid pada penemuan dan keingintahuan peserta didik.

IV. KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN


Proses interaksi manusia dengan kulturalnya, dapat dilihat dari
eskternalisasi di mana manusia menciptakan kebudayaan. Hasil ciptaan manusia
tersebut sering disebut tahap objektivikasi. Dalam proses objektivikasi tidak berarti
dunia kultural terpisah dengan manusia, sebaliknya justru mempengaruhi
manusia yang hidup di dalamnya. Pengaruh kebudayaan pada manusia sering
disebut sebagai tahap internalisasi (Berger & Luckamn, 1990: 132).
Melalui proses pembelajaran manusia mengenal dunianya dan
memahami realitas sosio-kulturalnya. Kenyataan ini menyebabkan sikap dan
Herry Porda Nugroho Putro
68
pola pikir seseorang cenderung mencerminkan perspektif kebudayaan di mana
dia hidup (Spradley, 1980: 235).
Proses pembelajaran yang semakin kompleks menyebabkan proses
belajar dilakukan dalam suatu institusi tersendiri, yaitu lembaga pendidikan,
walaupun keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan jaman
dan masyarakatnya (Olivia, 1982: 115; Nasution, 1983: 47). Keberadaan dan
substansi serta arah pendidikan selalu mencerminkan warna budaya di mana
lembaga pendidikan itu berada (Orstein dan Levine, 1985: 23). Interaksi
pendidikan dan kebudayaan menyebabkan kebudayaan yang dominan
cenderung mendominasi dan berupaya menekankan pada daya konservasi.

V. BELAJAR UNTUK HIDUP BERSAMA


Gagasan belajar untuk hidup bersama bersumber dari Learning: The
Treasure Within yang dilaporkan oleh Komisi Internasional tentang Pendidikan
untuk abad 21 yang diketuai oleh Jacques Dellors. Komisi itu menekankan
pentingnya 4 pilar pendidikan, yaitu: 1) learning to know, 2) learning to do, 3)
learning to live together, dan 4) learning to be. (Report to UNESCO, 1996: 85).
APNIEVE telah meletakkan tekanan yang lebih besar pada pilar yang
ketiga, yakni learning to live together. Hal ini untuk mengembangkan pengertian
tentang orang lain, tradisi, dan nilai-nilai sehingga dapat menciptakan sebuah
semangat baru yang dibimbing oleh pengakuan akan adanya interdependensi
dengan segenap kekuatan dan tantangan atau resikonya. Pada gilirannya hal ini
dimaksudkan untuk menstimulasi penduduk guna melaksanakan proyek-proyek
bersama dan mengelola pertikaian yang tak terhindarkan dengan cara-cara
yang inteligen dan damai.
Urgensi belajar untuk hidup bersama diperlukan sesuai kondisi dunia
kontemporer dewasa ini dengan berbagai bentuk kekerasan. Meskipun
pertikaian sudah terjadi sepanjang sejarah, namun berbagai faktor baru muncul
dengan resiko yang semakin besar. Untuk itulah perlunya dirancang pendidikan
untuk menghindari berbagai pertikaian dan menyelesaikannya secara damai
melalui pengembangan belajar hidup bersama dengan orang lain.
Asia-Pacific Network of International Education and Values Education
atau APNIEVE merupakan jaringan kerja sama Asia Pasifik untuk pendidikan

Herry Porda Nugroho Putro


69
internasional dan pendidikan nilai yang dibentuk sebagai tindak lanjut dari sidang
ke-44 Konperensi Internasional tentang Pendidikan di Jenewa pada Oktober
1994. APNIEVE bertujuan membantu implementasi Deklarasi dan Kerangka
Kerja Tindakan Terpadu tentang Pendidikan untuk Perdamaian, Hak-hak Asasi
Manusia, dan Demokrasi dengan latar belakang pembangunan berkelanjutan.
Filsafat dasar APNIEVE diangkat dari mandat asli UNESCO, yaitu
Perdamaian untuk Pembangunan dan Pembangunan untuk Perdamaian.
Sedangkan misi aslinya adalah transformasi kebudayaan peperangan dan
kekerasan ke kebudayaan perdamaian, melalui pendidikan umum dan
pendidikan nilai-nilai khususnya. Maksud dan tujuan utama APNIEVE adalah
untuk mempromosikan dan mengembangkan pendidikan internasional dan
pendidikan nilai-nilai untuk perdamaian, hak-hak asasi manusia dan demokrasi
dalam konteks pembangunan yang holistik, manusiawi dan berkelanjutan, melalui
kerjasama antara orang-seorang dan lembaga-lembaga yang bekerja di bidang-
bidang ini di berbagai negara anggota kawasan Asia Pasifik. (Buku Sumber
UNESCO-APNIEVE, 2000: 5).
5.1 Hakikat Belajar Untuk Hidup Bersama Dalam Damai dan Harmoni
Belajar untuk hidup bersama dalam damai dan harmoni adalah proses
dinamis, holistik, dan sepanjang hayat saling menghormati, mengauh
(mempedulikan) dan berbagi, keharuan, tanggungjawab sosial, solidaritas,
kesediaan, menerima dan toleransi kemajemukan antar perorangan dan antar
kelompok (etnik, sosial, budaya, agama, nasional dan regional), didarahdagingkan
dan dipraktikkan bersama-sama untuk memecahkan berbagai masalah dan
berusaha ke arah masyarakat yang adil dan bebas, damai dan demokratis.
Proses belajar tersebut dimulai dengan membangun kedamaian batin
dalam benak dan hati semua orang yang berupaya mencari kebenaran,
pengetahuan dan pengertian kebudayaan masing-masing dan penghargaan
atas nilai-nilai bersama untuk meraih masa depan yang lebih baik. Untuk itu
diperlukan kualitas hubungan-hubungan pada semua tingkat, komitmen pada
perdamaian, hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan sosial dalam lingkungan
ekologis dan seimbang (Buku Sumber UNESCO-APNIEVE, 2000: 8).
5.2 Nilai-Nilai Inti Belajar Hidup Bersama Dalam Damai dan Harmoni
Ada 4 dimensi utama yang merupakan nilai-nilai inti (core values) konsep
belajar untuk hidup bersama dalam damai dan harmoni, yaitu: (1) perdamaian,
Herry Porda Nugroho Putro
70
(2) hak-hak asasi manusia, (3) demokrasi, dan (4) pembangunan berkelanjutan.
(Report to UNESCO, 1996: 85).
Pada dimensi perdamaian, nilai-nilai esensial yang perlu dikembangkan: (1)
cinta, (2) keharuan, (3) harmoni, (4) toleransi, (5) mengasuh dan berbagi, (6)
interdependensi, (7) pengenalan jiwa orang lain, (8) spiritualitas, dan (9) perasaan berterima
kasih. Kemudian dalam dimensi hak-hak asasi manusia meliputi: (1) kebenaran, (2)
kesamaan dan keadilan, (3) penghormatan atas martabat manusia, (4) integritas, (5)
akuntabilias, (6) kejujuran, (7) kesediaan menerima, (8) penghargaan atas kemajemukan,
(9) kebebasan dan tanggung jawab, dan (10) kerjasama. Pada dimensi demokrasi, nilai-
nilai esensial yang perlu dikembangkan: (1) penghormatan atas hukum dan ketertiban,
(2) kebebasan dan tangung jawab, (3) kesamaan, (4) disiplin diri, (5) kewarganegaraan
yang aktif dan bertanggung jawab, (6) keterbukaan, (7) berpikir kritis, dan (8) solidaritas.
Sedangkan dalam dimensi pembangunan berkelanjutan meliputi: (1) kesangkilan atau
efisiensi, (2) industri, (3) orientasi masa depan, (4) memperhatikan lingkungan, (5) pengurus
sumber daya, (6) kreativitas, (7) kehematan, (8) kesederhanaan, dan (9) ekologi pribadi.
5.3 Kerangka Kerja Konseptual

Dalam konteks kemungkinan munculnya budaya global, perlu


disediakan kerangka kerja konseptual untuk memberikan konstribusi bagi
penciptaan dunia yang lebih baik sebagaimana digambarkan berikut:

Herry Porda Nugroho Putro


71
Sebuah planet yang bersih, sehat terhindar dari pencemaran dan
bekerjasama mengembangkannya untuk generasi masa depan (Buku Sumber
UNESCO-APNIEVE, 2000: 18)
Kerangka kerja konseptual tersebut mengakui dan mendukung:
1. Pendekatan integral dan holistik dalam belajar hidup bersama dan
mengusahakan dunia yang lebih baik.
2. Menerima sintesis yang seimbang, baik antara nilai-nilai Timur dan
Barat maupun antara perspektif-perspektif tradisonal dan modern.
3. Menciptakan sebuah planet yang bersih dan sehat sebagai warisan
untuk generasi masa depan melalui keseimbangan antara
‘egosentrik’dan ‘ekosentrik’.
4. Mendirikan dan memelihara berbagai lembaga dan sistem-sistem
sosial yang demokratis, menghormati hak azasi manusia, adil secara
politis dan ekonomis, produktif dan memiliki kesadarn global.
5. Penghormatan terhadap orang lain beserta sistem-sistem dan
kebudayaannya.
5.4 Belajar Hidup Bersama di Indonesia
Pluralitas masyarakat Indonesia dan berbagai perubahan global yang cepat
menimbulkan sejumlah tantangan terkait dengan isu-isu perdamaian, hak-hak asasi
manusia, demokrasi dan pembangunan berkelanjutan. Untuk menyelesaikan isu-
isu tersebut, diperlukan kesadaran akan berbagai perbedaan dan berusaha mencari
titik-titik persamaan untuk kelangsungan hidup di masa depan.
Setiap bangsa hendaklah bersedia berbagi, peduli, membantu, dan
bekerjasama dengan kelompok lain dalam memelihara perdamaian hak-hak
azasi manusia, mengembangkan demokrasi dan mempercepat pembangunan
untuk mengejar ketertinggalan bersama, dengan saling menghormati, saling
membantu, mengasuh dan berbagi untuk kepentingan semua (Buku Sumber
UNESCO-APNIEVE, 2000: 16).

VI. PENGAJARAN SEJARAH SEBAGAI SARANA BELAJAR UNTUK HIDUP


BERSAMA
Dari bahasan tentang pengertian sejarah dan pengajaran sejarah,
terlihat sejarah dan pengajaran sejarah berperanan dalam mengembangkan
Herry Porda Nugroho Putro
72
cara belajar untuk hidup bersama. Dengan penekanan pada pendidikan untuk
perdamaian, hak-hak asasi manusia, demokrasi dan pembangunan
berkelanjutan, serta membangun sebuah kesadaran terhadap nilai-nilai
universal. Nilai-nilai tersebut harus dipahami dalam konteks berbagai
kebudayaan di Indonesia.
Untuk hal itu maka tujuan-tujuan pendidikan sejarah harus:
1. Mengembangkan cinta untuk kemanusiaan dan lingkungan.
2. Menciptakan kesadaran akan pentingnya hidup yang harmoni, baik
dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan.
3. Mengembangkan keterampilan berkomunikasi dalam rangka
mempromosikan pengetahuan, kesadaran menerima dan toleransi.
4. Mengembangkan sikap untuk memberi dan menerima.
5. Menciptakan kesadaran solidaritas kemanusiaan tanpa
memandang ras, agama, kepercayaan dan kebudayaan.
6. Menciptakan kesadaran akan keunikan setiap individu dalam
konteks sosio-budayanya.
7. Mengembangkan kualitas hubungan kemanusiaan melalui
kesadaran atas martabat dan persamaan, saling mempercayai, dan
menghargai keyakinan dan kebudayaan orang lain.
8. Memajukan peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan sosial,
menjamin kebebasan dalam berekspresi, berkeyakinan dan beribadah.
9. Mengembangkan pembuatan keputusan yang mangkus yang
mengarah pada keadilan dan perdamaian.
10. Menciptakan kesadaran tentang kebutuhan terhadap kebebasan
dan otonomi yang bertanggung jawab.
11. Mengembangkan keterampilan penalaran agar setiap warga
mampu belajar membuat keputusan yang berdasar pada
pengetahuan dan informasi.
12. Menciptakan kesadaran lingkungan dan mengembangkan
pembangunan berkelanjutan demi kontinuitas ras manusia. (Buku
Sumber UNESCO-APNIEVE, 2000: 22).
Learning to live together diperlukan dalam pembelajaran sejarah, sebab
berguna mengintegrasikan sejarah ke dalam sejarah bangsa-bangsa. Sehingga
tidak hanya menggambarkan kontribusi barat terhadap timur, sebaliknya
membicarakan kontribusi timur terhadap barat. Selain itu sejarah harus bisa

Herry Porda Nugroho Putro


73
menjawab permasalahan kekinian, periodisasi dalam sejarah akan dapat
melacak pola-pola respon lokal terhadap aspek luar atau pola-pola strategy of
survival (Sri Margono, 2010).
Perspektif sejarah dapat untuk melihat arti penting hidup bersama seperti
yang dilakukan bangsa-bangsa di Asia Tenggara, seperti Bangsa Melayu dan
Nusantara. Dari segi sejarahnya, memang Melayulah kumpulan pertama yang
mendiami rantau ini. Kini, Bangsa Melayu dan Nusantara sedang menjalani
proses lonjakan paradigma seiring dengan pembangunan pesat dari segi
ekonomi, pelajaran, dan teknologi. Kerjasama dan hidup bersama diperlukan
agar dapat lebih maju (Zahari Awang, 2014: 315).
Sejarah telah memberikan fakta arti penting hidup bersama, seperti
yang dilakukan oleh Malaysia dengan Cina. Kebangkitan Negara Republik Rakyat
Cina sebagai salah satu dari kuasa global yang terbesar, merupakan satu
fenomena bagi bangsa Barat dan Bangsa Timur, khususnya terhadap negara-
negara di Asia Tenggara. Berkaca dari Malaysia yang memiliki mayoritas Melayu
dengan jumlah penduduk imigran Cina kurang lebih 22,9%, telah menjalin
persahabatan dan membuka jalan bagi perkembangan dan kemantapan
persahabatan dengan Cina. Sejak tahun 1974, waktu itu Cina masih tertutup,
dan belum berkembang seperti sekarang. Integrasi masyarakat Melayu dan
Cina menjadi tumpuan harapan (Kamsiah Abdullah, 2013).
6.1 Isi Pengajaran Sejarah Sebagai Sarana Belajar Hidup Bersama
Menurut Buku Sumber UNESCO-APNIEVE ( 2000: 6), untuk
memperkuat pembentukan nilai dan berbagai kemampuan, maka kurikulum
sejarah hendaklah memasukkan materi pendidikan yang meliputi dimensi
solidaritas, kreatifitas, tanggungjawab warganegara, kemampuan menyelesaikan
pertikaian tanpa kekerasan dan dengan kecerdasan yang tinggi.
Pengajaran sejarah dituntut sesuai dengan kondisi-kondisi untuk
pembangunan perdamaian, seperti berbagai bentuk pertikaian, sebab dan
dampaknya; dasar-dasar etik, agama dan filsafat hak-hak asasi manusia dan
sumber-sumber sejarahnya, perkembangan dan implementasinya dalam
standar-standar nasional dan internasional; dasar-dasar demokrasi dan berbagai
model kelembagaannya; rasisme, sejarah perjuangan melawan imperialisme
dan semua bentuk diskriminasi serta pengucilan lainnya. Selain itu, perhatian
khusus juga hendaknya diberikan pada masalah kebudayaan, pembangunan

Herry Porda Nugroho Putro


74
dan sejarah setiap suku bangsa. Isi pelajaran yang disarankan oleh UNESCO
tersebut sebenarnya sudah terdapat dalam pengajaran sejarah. Dengan melihat
peranan sejarah, maka pengajaran sejarah dalam kaitannya dengan hidup
bersama adalah:
1. Memperkenalkan siswa pada fakta-fakta tertentu, namun dengan
dasar pemikiran “not all facts, and not only facts”.
2. Sejarah memberikan landasan pemikiran kepada siswa tentang
berbagai perkembangan khusus dalam kehidupan yang berjalan
secara sekuensial, tahap demi tahap. Yang perlu diketahui bukan
hanya “the what” (hal ihwal dari sesuatu: benda, peristiwa dan lainnya)
tetapi juga “the why” (mengapa hal itu dipandang penting) dan “the
what of it” (apa sebab dianggap penting atau berguna untuk dibahas).
3. Sejarah membantu siswa untuk memahami masa lalu, misalnya
tentang asal-usul kehidupan, perjuangan manusia, perkembangannya
sampai sekarang, sehingga siswa dapat mempelajari siapa dan
dimana mereka berada.
4. Sejarah membantu siswa memahami permasalahan yang dihadapi
pada masa kini dalam hubungannya dengan masa lalu dan arah
masa depan. Persoalan-persoalan tersebut menyangkut berbagai
aspek: politik, ekonomi, sosial, budaya dan masalah internasional.
5. Sejarah mendorong warga negara untuk memiliki tanggung jawab
kepada bangsa, negara dengan sikap yang tidak chauvinistik, dengan
demikian kita mengenal posisi negara dan bangsa sendiri dalam
tatanan dunia internasional secara wajarnya.
6. Dalam sejarah kita mengenal bangsa-bangsa dan peranannya,
kekuatan-kekuatan dan peranannya, dan perubahan-perubahan yang
menyertai kita.
Di dalam sejarah kita mengenal tempat-tempat di mana manusia itu
hidup bergerak dan berkembang. Pendidikan sejarah dalam rangka learning to
live together dituntut memiliki tujuan untuk (1) Menempa identitas nasional, (2)
memelihara hubungan integratif dalam ruang lingkup yang luas, dalam kehidupan
internasional, (3) menanamkan nilai-nilai kewargaan dan etika.
Topik-topik yang mengandung semangat perspektif global dapat
dijumpai dalam rangkaian bahan pengajaran sejarah nasional dan sejarah dunia:
1. Sejarah Nasional:

Herry Porda Nugroho Putro


75
a. Siswa dapat menjelaskan latar belakang dan proses perkembangan
perluasan dan pengaruh bangsa-bangsa Eropa di bidang politik,
sosial, ekonomi, dan ideologi di Indonesia serta perlawanan di
berbagai daerah menentang dominasi asing;
b. Siswa mengkaji beberapa paham baru dan gerakan baru bagi
perjuangan kemerdekaan Indonesia dan perkembangan
pergerakan nasional Indonesia;
c. Siswa dapat menjelaskan pengaruh pendudukan Jepang di
Indonesia dan upaya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
2. Sejarah Dunia (Umum):
a. Siswa dapat menjelaskan unsur-unsur peradaban kuno di Asia
dan Afrika;
b. Siswa dapat menjelaskan unsur-unsur pokok peradaban Eropa
dan Amerika;
c. Siswa dapat menjelaskan peristiwa-peristiwa penting yang
membawa perubahan tata hubungan dunia baru dan
menumbuhkan saling pengertian antar bangsa.
Pembahasan topik-topik tersebut dalam kegiatan belajar-mengajar di
kelas tentu memerlukan pendekatan semangat learning to live together, sesuai
dengan perkembangan jaman, sehingga bahan pengajaran relevan dengan
situasi dan kondisi masa kini, di mana era globalisasi sudah dapat dirasakan
gejala-gejalanya di seluruh dunia.
6.2 Strategi Pengajaran
Secara historis, lembaga pendidikan sebagai suatu organisasi telah
berfungsi sebagai suatu kekuatan penembus peradaban, mengangkat kejujuran,
kepercayaan, dan rasa hormat pada kesepakatan; seperti dikatakan Ghoshal,
Bartlett, dan Moran (2001: 9) “…..Historycally, they have served as a pervasive
force civilization, promoting honesty, trust, and respect for contracts.”
Untuk itu perlu dirumuskan strategi-strategi yang jelas, sederhana, dan
unik dalam suatu proses sehingga setiap orang dapat mengimplementasikannya.
Seperti dikatakan Ghoshal, Bartlett, dan Moran (2001: 33) Sepuluh alur pemikiran
formal strategi (ten schools of strategi formation) yaitu:
“(1) Design School: A Process of Conseption, (2) Planning School: A
Formal Process, (3) Positioning School: An Analytical Process,(4)
Entrepreneurial School: A Visionary Process, (5) Cognitive School: A

Herry Porda Nugroho Putro


76
Mental Process, (6) Learning School: An Emergent Process, (7) Power
School: A Process of Negotiation, (8) Cultural School: A Social Process:
(9) Environmental School: A Reaktive Process, (10) Configuration School:
A Process of Tranformation.”
Dalam learning to live together para pembuat keputusan sangat penting.
Pengajaran sejarah sebagai sarana “learning to live together” tergantung dari
para pembuat keputusan. Menurut Eisenhardt (2001: 87) para pembuat
keputusan yang efektif hendaknya menciptakan strategi dengan:
“(1) Building collective intuition that chances the ability of a top
management team to see threats and opportunities sooner and more
accurately, (2) Stimulating quik conflict to improve the quality of strategic
thinking without sacrificing significant time, (3) Maintaning a disciplined
pace that drives the decision process to a timely conclucion, (4) Defusing
political behavior that creates unproductive conflict and wastes time “.
Maksudnya bahwa para pembuat keputusan yang efektif menciptakan
strategi dengan: membangun intuisi kolektif yang meningkatkan kemampuan
tim manajemen top untuk melihat ancaman dan kesempatan secara lebih cepat
dan lebih akurat, menstimulasi konflik cepat untuk meningkatkan kualitas berfikir
strategis tanpa mengorbankan waktu yang signifikan, memelihara suatu langkah
disiplin yang mendorong proses keputusan pada suatu kesimpulan yang tepat
pada waktunya, menolak perilaku politik yang menciptakan konflik tidak produktif
dan membuang-buang waktu.
Dalam learning to live together penekanan pada kepemimpinan adalah
penting, dalam hal ini adalah kepemimpinan masa depan. Pengajaran sejarah
sebagai sarana learning to live together sarat dengan nilai-nilai kepemimpinan,
untuk itu perlu dikaitkan dengan kepemimpinan masa depan. Seorang pemimpin
efektif bukanlah orang yang dicintai atau dikagumi. Tetapi ia adalah orang yang
menggugah pengikutnya untuk melakukan hal-hal yang besar. Kepemimpinan
adalah tanggung jawab. Hal ini seperti dikatakan Hesselbein, F., Goldsmith, M.,
Beckhard, R. (ed.). (1996: xii). Semua pemimpin efektif tahu akan empat hal
yang sangat sederhana:
(1) The only definition of a leader is some one who has followers. Some
peopole are thinkers. Some are prophets. Both roles are important and
badly needed. But without followers, there can be no leaders. (2) An
effective leader is not someone who is loved or admired. He or she is

Herry Porda Nugroho Putro


77
some one whose followers do the right things. Popularity is not leadership.
Result are.(3) Leaders are highly visible. They therefore set examples.
(4) Leadership is not rank, privileges, titles, or money. It is responsibility.

Karakteristik yang harus dimiliki pemimpin masa depan, yaitu: (1)


Tingkat persepsi dan wawasan yang luar biasa terhadap realita dunia dan
terhadap diri mereka sendiri. (2) Tingkat motivasi yang luar biasa yang dapat
menguatkan mereka mengatasi pahitnya pembelajaran dan perubahan yang
tidak dapat dihindari, terutama dalam dunia dengan batasan-batasan yang makin
kabur, di mana kesetiaan makin sulit didefinisikan. (3) Kekuatan emosional untuk
mengatasi kecemasan diri sendiri dan orang lain karena pembelajaran dan
perubahan makin menjadi suatu gaya hidup. (4)Keterampilan baru dalam
menganalisis asumsi kultural, mengidentifikasi asumsi fungsional dan
disfungsional, serta menumbuhkan proses yang memperbesar budaya dengan
membangun atas kekuatan dan unsur fungsionalnya sendiri. (5)Kemauan dan
kemampuan untuk melibatkan orang lain dan menarik partisipasi mereka, karena
tugas-tugas akan semakin kompleks dan informasi akan semakin tersebar luas
bagi para pemimpin untuk memecahkan masalah dengan kemampuan mereka
sendiri. (6)Kemauan dan kemampuan untuk membagi kekuasaan dan kontrol
menurut pengetahuan dan keterampilan orang, yaitu memberi kesempatan dan
mendorong kepemimpinan tumbuh di seluruh organisasi. Ini seperti yang
dikatakan oleh Schein (1996: 67) bahwa pemimpin masa depan lebih banyak
memiliki karakteristik berikut:
(1) Extraordinary levels of perception and insight into the realities of the
world and into themselves. (2) Extraordinary levels of motivation to enable
them to go through the inevitable pain of learning and change, especially
in a world with looser boundaries, in which loyalties become more difficult
to define.(3) The emotional strength to manage their own and others
anxiety as learning and change become more and more a way of life.(4)
New skills in analyzing cultural assumptions, identifying functional and
dysfunctional assumptions, and evolving processes that enlarge the
culture by building on its strengths and functional elements. (5) The
willingness and ability to involve others and elicit their participation,
because tasks will be too complex and information too widely distributed
for leaders to solve problems on their own. (6) The willingness and
ability to share power and control according to people’s knowledge and

Herry Porda Nugroho Putro


78
skills, that is, to permit and encourage leadership to flourish throughout
the organization.
Pimpinan masa depan ditambahkan juga oleh Ashkenas, R., Urich, D.
(1995: 149).
A process leader is equivalent to the lead person in jazz band, who not
only plays an instrument but gets the other instrumentalists to “jam”
together. The lead person also arranges for a place to play, makes sure
the music gets started, and often sets the beat.
Jadi sama dengan orang yang memimpin band jazz, yang tidak hanya
memainkan instrumen, tetapi juga mendapatkan instrumentalis untuk bermain
bersama-sama. Pimpinan proses bertanggung jawab melindungi alur informasi,
materi, dan sumber-sumber terhadap batas-batas dalam perusahaan. Inovasi
menciptakan dan mengimplementasikan produk dan jasa baru dapat
didefinisikan sebagai proses inti.
Perlu dikembangkan ask, learn, follow up, and grow. Dikatakan oleh
Goldsmith (1997: 229) bahwa pemimpin masa depan akan terus menerus dan
secara efisien bertanya, belajar, menindaklanjuti, dan tumbuh. Pemimpin yang
tidak mampu belajar dan tumbuh akan segera ketinggalan dalam dunia masa
depan yang senantiasa berubah.
Berkaitan dengan strategi dan kepemimpinan di atas strategi
pengajaran sejarah sebagai sarana hidup bersama adalah belajar sejarah yang
dapat diartikan sebagai pencarian dan penemuan akan makna sejarah sehingga
terjadi perubahan dalam diri siswa yang relatif permanen sebagai hasil dari
latihan atau pengalamannya. Dengan demikian kedudukan guru dalam proses
belajar siswa adalah sebagai yang mengorganisir, mengelola, dan fasilitator
sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik. Ini sesuai dengan
definisi mengajar menurut Mursell (1954: 18): “Teaching may be defined as the
organization of learning so the problem of succesful teaching is to organize learning
for authentic result”. Ditambahkan oleh Nasution (1982: 8) bahwa mengajar dapat
diartikan sebagai kegiatan untuk mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan
menghubungkannya dengan siswa sehingga terjadi proses belajar. Dari kedua
pengertian tentang belajar dan mengajar tersebut, belajar harus diorganisir di
dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat nyata, menarik dan berguna bagi diri siswa.

Herry Porda Nugroho Putro


79
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses belajar mengajar
(sejarah) adalah strategi belajar mengajar, ini sangat penting karena
keberhasilan belajar mengajar tergantung pada strategi yang direncanakan
sebelumnya. Dewasa ini perlu strategi baru dalam belajar mengajar sejarah,
sehingga murid dapat lebih bergairah dan learning to live together dalam
mengikuti pelajaran sejarah dan dapat mengambil manfaatnya. Perlu diluruskan
anggapan bahwa pengajaran sejarah hanyalah penguasaan fakta-fakta sejarah
belaka dan dalam pengajaran sejarah guru selalu membiarkan siswa terpaku
terorientasi pada masa lampau. Guru melalu pengajaran sejarah membuat
agar siswa secara dinamis/aktif mengamati perkembangan masa lampau dan
menemukan konsep atau ide-ide dasar dari peristiwa masa lampau tersebut
yang nantinya diharapkan sebagai bekal untuk menilai perkembangan masa
kini dan masa yang akan datang. Soedjatmoko (1976: 15) memberikan solusi
agar siswa lebih aktif dan tertarik pada pengajaran sejarah:
Pengajaran sejarah hendaknya diselenggarakan sebagai suatu
advonturir bersama dari pengajar maupun yang diajar. Dalam konsep
ini maka bukan hafalan fakta, melainkan riset bersama antara guru
dan mahasiswa menjadi metode utama. Dengan jalan ini mahasiswa
langsung dihadapkan dengan tantangan intelektual yang memang
merupakan ciri khas dari sejarah sebagai ilmu. Demikian pula dia
dilibatkan langsung dalam suatu engagement baru dengan arti sejarah
untuk hari ini. Dia menjadi peserta, pelaku dalam usaha penemuan diri
bangsa kita sendiri.
Pendapat Soedjatmoko ditambahkan oleh Douch (dalam Ballard, 1970:
105): “… the need for children to be involved ini history and that they sould see it
not as a film which they simply watch, but as a continuing play in which they them
selves are actors”. Steele (1976: 54) menekankan kegiatan sejarah lokal dalam
pengajaran sejarah sebagai suatu pendekatan khusus yang perlu dimasukkan
dalam kurikulum sekolah.
Dari beberapa pendapat di atas pengajaran sejarah diarahkan kepada
peran aktif siswa, sehingga dapat meningkatkan kegairahan siswa untu belajar
sejarah, yaitu dengan membawa pada situasi riil di lingkungannya. Dari segi
sosiologis dan psikologis cara ini akan membawa murid secara langsung
mengenal dan dapat menghayati lingkungan masyarakatnya (Douch, 1967: 7-
8). Pengajaran sejarah diharapkan: (1) siswa dapat lebih memanfaatkan sumber

Herry Porda Nugroho Putro


80
belajar di daerahnya (lingkungannya), (2) siswa dapat lebih mengenal kondisi
alam dan lingkungan sosial-budaya di daerahnya, (3)siswa dapat menerapkan
pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah
yang ditemukan di lingkungan sekitarnya, (4) siswa menjadi akrab dengan
lingkungannya dan terhindar dari keterasingan dengan lingkungannya sendiri.
Penggunaan sejarah lokal dalam pengajaran sejarah nasional dan
sejarah dunia penting bagi siswa karena menurut Merrryfield (1997: 5) perspekstif
global ditandai oleh tiga wilayah konsesus: (1) menyadari keanekaragaman dan
persamaan budaya, perbedaan perspektif dan karagaman kesadaran; (2)
kesadaran dunia sebagai satu sistem, kesadaran akan interdependent dan
interkoneksi di antara negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia; (3)
pengambilan keputusan lokal, di mana peserta didik besar kemungkinan
dipengaruhi oleh perkembangan global dan timbal balik, keputusan lokal itu
akan mempengaruhi perkembangan global.
Model kurikulum nasional mengandung banyak kelemahan, pertama
menyeragamkan kondisi yang berbeda-beda, seperti keadaan alam, sosial
budaya dan juga tahap perkembangan intelek siswa sehingga penyeragaman
akan sulit. Penyeragaman dapat menghambat kreativitas, memperlambat
kemajuan sekolah yang sudah mapan dan menghambat perkembangan sekolah
yang terbelakang. Penyeragaman berdampak menjauhkan siswa dari kondisi
dan lingkungan tempat siswa tumbuh berkembang. Kedua ketidakadilan dalam
menilai hasil. Dalam kurikulum seragam penilaian dilakukan secara seragam
pula (Sukmadinata, 1997).
Membelajarkan sejarah pada peserta didik berarti menyentuh proses
belajar. Belajar sejarah perlu dikembangkan berpikir analitik yang lebih bersifat
konkrit seperti belajar science atau matematika (Sukmadinata, 1997: 132-341),
atau berpikir intuitif yang bersifat abstrak? Ausubel (dalam Sukmadinata, 1997:
135-139) menggambarkan belajar bermakna, yang mungkin cocok dipakai
belajar sejarah. Peserta didik memiliki konsep-konsep yang dipelajarinya terlebih
dahulu. Pada pengetahuan baru, peserta didik menghubungkannya dengan
konsep-konsep yang telah dimilikinya, dan terbentuklah kebermaknaan logis.
Tujuan secara umum dari pengajaran sejarah menurut Gunning (1978:
178-180) adalah: membentuk warga negara yang baik, menyadarkan siswa
mengenal dirinya sebagai orang yang baik, memberikan suatu perspektif sejarah

Herry Porda Nugroho Putro


81
kepada anak didik, dan untuk mempersiapkan sebagai ahli sejarah setelah
masuk perguruan tinggi. Sedangkan khusus dari pengajaran sejarah adalah:
(1)mengajarkan konsep, (2)mengajarkan ketrampilan intelektual, (3)
memberikan informasi kepada anak didik.
Salah satu aspek penting dalam kegiatan proses belajar mengajar
menurut Abbas (1998: 88) adalah peserta didik dapat terlatih berpikir secara
induktif. Artinya, kegiatan proses belajar mengajar diarahkan sedemikian rupa
sehingga peserta didik dapat mempelajari suatu materi pelajaran melalui
pengalaman lapangan. Dengan cara seperti ini mereka dapat secara langsung
diterjunkan pada situasi nyata di lapangan.
Strategi pengajaran induktif menurut Hasan (1996) bertujuan untuk
membantu siswa belajar secara induktif. Belajar secara induktif dianggap lebih
menguntungkan karena proses berfikir induktif adalah ciri dari disiplin ilmu sosial.
Urutan strategi induktif dalam skema sebagai berikut:

I
II
Pengamatan dan
Identifikasi
pemahaman III
persamaan dan
terhadap suatu
perbedaan antara
situasi khusus
fakta dan konsep Membandingkan apa
melalui identifikasi
(proses yang sedang IV
fakta, konsep
pemahaman dipelajarinya dengan
sudah dapat apa yang sudah Mencari
dilakukan dikenal sebelumnya persamaan
sehingga terjadi dan perbedaan
terhadap konsep antara apa
serta dasar yang pengakaran dalam
struktur kognitif yang sudah
menjadikan dipelajari
siswa
persamaan dan dengan bahan
perbedaan antara baru yang
fakta dan konsep lebih luas dan
tersebut) lebih umum
sifatnya

Model induktif dalam pengajaran sejarah di sini adalah suatu model


yang berangkat dari lingkup lokal berkembang ke lingkup nasional dan dunia.
Demikian juga pengenalan peristiwa-peristiwa sejarah dapat diawali dari lingkup

Herry Porda Nugroho Putro


82
lokal, sehingga siswa mendapatkan pemahaman tentang konsep-konsep
sejarah dan pemahanan tentang suatu peristiwa sejarah. Dengan cara ini
diharapkan siswa dapat bergairah dan berminat dalam belajar sejarah, karena
mereka dapat belajar secara learning to live together.
Selain pendekatan induktif digunakan pendekatan keterampilan proses.
Pendekatan keterampilan proses mengajak siswa berpikir dan melihat suatu
proses bukan produk saja seperti dikatakan Bruner dalam Dahar (1989: 107):
“We teach a subject not to produce little living libraries on that subject,
but rather to get a student to think mathematically for himself, to consider
matters as an historian, to take part in the process of knowledge-getting.
Knowingis a process, not a product.”
Dari beberapa prinsip tentang pendekatan keterampilan proses dapat
diambil kesimpulan bahwa siswa dalam mempelajari sesuatu dan diajak melihat,
memahami, dan terlibat dalam suatu proses secara bersama-sama. Dengan
keterampilan proses pengajaran sejarah dilaksanakan seperti sebagai suatu
avonturir bersama dari pengajar maupun yang diajar, bukan hafalan fakta,
melainkan riset bersama antara guru dengan peserta didiknya (Soedjatmoko,
1976). Hal ini ditegaskan oleh Douch dalam Ballard (1970 : 105) “…the need for
children to be involved in history and that they should see it not as a film which the
simply watch, but as a continuing play in which yhey themselves are actors.”
Dalam pendekatan keterampilan proses siswa diajak melakukan kegiatan yang
menyerupai gaya seorang sejarawan profesional (Steele, 1976).
Pendekatan keterampilan proses menekankan prinsip : (1) motivasi, yaitu
menekankan pembangkitkan daya dalam pribadi siswa yang mendorong untuk
melakukan sesuatu; (2) latar atau konteks, yaitu menggunakan pengetahuan atau
pengalaman yang telah dimiliki siswa; (3) keterarahan pada titik pusat atau fokus
tertentu dengan merumuskan batasan-batasan masalah yang akan dipecahkan
murid; (4) hubungan sosial atau sosialisasi yang menekankan kerjasama; (5) belajar
sambil bekerja dengan menekankan aktivitas mental dan fisik; (6) perbedaan
perorangan sehingga tidak ada anak yang tertekan; (7) menemukan, yang
menekankan proses belajar di mana anak tidak hanya menerima informasi atau
konsep, tapi justru mereka di dorong untuk mencari dan menemukan sendiri
informasi serta konsep tersebut; (8) pemecahan masalah dengan menekankan
Agar peserta didik turut berperan serta aktif, maka penggunaan metode ceramah

Herry Porda Nugroho Putro


83
pada kepekaan siswa terhadap berbagai masalah dan kemudian mendorong
mereka memecahkan masalah-masalah tersebut (Semiawan, 1988: 10-13).
Strategi pengajaran sejarah dan isi pelajaran sejarah sesuai dengan
Buku Sumber UNESCO-APNIEVE (2000: 6) yaitu untuk memperkuat
pembentukan nilai dan berbagai kemampuan, memasukkan materi pendidikan
kewarganegaraan yang meliputi dimensi internasional seperti solidaritas,
kreatifitas, tanggungjawab warganegara, kemampuan menyelesaikan pertikaian
tanpa kekerasan dan dengan kecerdasan yang tinggi.
Selain itu pengajaran sejarah diarahkan pada kondisi-kondisi untuk
pembangunan perdamaian, seperti berbagai bentuk pertikaian, sebab dan
dampaknya; dasar-dasar etik, agama dan filsafat hak-hak asasi manusia dan
sumber-sumber sejarahnya, perkembangan dan implementasinya dalam
standar-standar nasional dan internasional; dasar-dasar demokrasi dan berbagai
model kelembagaannya; rasisme, sejarah perjuangan melawan seksisme dan
semua bentuk diskriminasi serta pengucilan lainnya.
Kerangka kerja kurikulum terpadu meliputi: keterpaduan nilai-nilai
perdamaian, hak-hak asasi manusia, demokrasi dan pembangunan
berkelanjutan, keterkaitan kerja pembelajaran formal dan non formal, kebutuhan-
kebutuhan lokal, nasional, regional dan global, berbagai kebutuhan khusus
peserta didik, pengenalan terhadap sumber daya yang cocok untuk memenuhi
berbagai kebutuhan peserta didik, memasukkan umpan balik formatif untuk
perbaikan dan perkembangan warga belajar. Pendidikan untuk perdamaian,
hak-hak asasi manusia, demokrasi dan pembangunan berkelanjutan adalah
komponen-komponen penting pengajaran sejarah. Strategi utama yang
digunakan dalam pengajaran sejarah tersebut meliputi penanaman dan
penjelasan nilai-nilai, menempatkan dilema moral, analisis nilai, belajar
bertindak, berbagai strategi yang menggugah dan model tindakan sosial. Selain
itu bisa juga digunakan strategi transpribadi, seperti meditasi, pandangan ke
masa depan, analisis introspektif, psikosintesis dan lain-lain.
Pendekatan, teknik dan sumber daya yang digunakan dalam
pengajaran sejarah mengacu pada upaya menjamin agar nilai-nilai yang
diajarkan mangkus dan bermakna. Untuk itu isi pelajaran akan meliputi
penjelasan nilai-nilai, analisis nilai, tindakan sosial, dan pengembangan nilai-
nilai afektif, kognitif, sosial dan spiritual.

Herry Porda Nugroho Putro


84
Agar peserta didik turut berperan serta aktif, maka penggunaan metode
ceramah dan sistem komunikasi searah hendaklah diminimalisir dan
dikedepankan penggunaan: diskusi dan dinamika kelompok, simulasi dan
bermain peran, penelitian mendalam dan penugasan perorangan, berbagai
kunjungan dan studi lapangan, aksi sosial, komunikasi internet dengan proyek-
proyek UNESCO Associated Scholls Project, berperanserta dalam dan
mengamati konperensi nasional dan internasional, Praktik mengajar,
penggunaan media massa secara ekstensif (UNESCO-APNIEVE, 2000: 22).
Keempat core values – perdamaian, hak asasi manusia, demokrasi,
dan pembangunan berkelanjutan — perlu diajarkan dan dipraktekkan dalam
situasi-situasi yang realisitis, sehingga peserta didik mengembangkan suatu
komitmen untuk menggunakan dan mengembangkan nilai-nilai tersebut dalam
lingkungan mereka sendiri.
Sistem penilaian yang digunakan hendaklah bersifat timbal balik. Jika
para guru menilai kinerja peserta didik, maka para peserta didik juga hendaklah
diberi kesempatan menilai dan mengukur kemangkusan program dan metode
pelatihan yang digunakan. Kemudian aspek-aspek yang dievaluasi haruslah
bersifat komprehensif, transparan, dan kontinu (UNESCO-APNIEVE, 2000: 24).
Aspek-aspek kepribadian peserta didik yang perlu diperhatikan dalam
penilaian adalah: kemampuan mendiagnosis masalah, kecakapan dalam
berdiskusi, kemampuan analisis, kemampuan pemecahan masalah, peran serta,
kerjasama dan layanan sukarela, pendekatan konstruktif, dan kemauan untuk
berbagi dan peduli (UNESCO-APNIEVE, 2000: 24).
6.3 Manajemen Informasi dalam Pengajaran Sejarah
Pengajaran dengan E-Learning Model sejalan dengan perkembangan
global saat ini. Tofler (1990: 27) melihat bahwa kekuasaan telah berubah, yaitu
berpindah dari mereka yang memiliki informasi bukan dari yang memiliki modal.
Permadi (2000: 11) menambahkan bahwa zaman informasi ini ditandai dengan
perkembangan komputer. Akibatnya terjadi perubahan radikal dalam arti
“pengetahuan” (knowledge) sehingga zaman ini disebut era informasi sebagai
knowledge society (masyarakat berpengatahuan).
Di masa-masa mendatang, arus informasi akan makin meningkat
melalui jaringan internet yang bersifat global di seluruh dunia dan menuntut

Herry Porda Nugroho Putro


85
tidak mau ketinggalan jaman. Dengan kondisi demikian, maka pendidikan
(khususnya proses belajar mengajar) cepat atau lambat tidak dapat dilepaskan
dari internet sebagai alat bantu utama (Permadi, 2000:17).
Robin Paul Ajjelo (Permadi, 2000:17-18) memberikan gambaran tentang
ruangan kelas di era millenium, bentuknya seperti laboratorium komputer; tidak
terlihat lagi anak duduk dibangku dan guru berada di depan kelas. Keadaan
ruang kelas di masa mendatang merupakan tempat siswa melakukan kegiatan
belajar secara individual maupun kelompok dengan pola belajar yang disebut
interactive learning (pembelajaran aktif). Peserta didik berhadapan dengan
komputer dengan melakukan aktivitas pembelajaran secara interaktif melalui
jaringan internet untuk mendapatkan materi belajar dari berbagai sumber belajar.
Secara filosofis Menurut Cisco (Kamarga, 2001) :
• E-learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi,
pendidikan, pelatihan secara online;
• E-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya
nilai belajar secara tradisional (model belajar klasikal, kajian terhadap
buku teks, CD-Rom, dan pelatihan berbasis komputer) sehingga
dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi;
• E-learning tidak berarti menggantikan model belajar klasikal di dalam
kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan
konten dan pengembangan teknologi pendidikan;
Internet yang sudah berkembang pesat di era millenium III ini, memuat
beragam situs sebagai sumber informasi pendidikan (khususnya pengajaran
sejarah). Lewat situs-situs sejarah siswa dapat melihat berbagai peristiwa di
berbagai tempat di dunia, situs-situs tersebut berupa gambar dan tulisan-tulisan.
Dengan E-learning terlihat siswa berperan sebagai subyek dalam belajar,
bukan hanya sebagai penerima informasi dan menghafal seperti yang dikatakan
Partington (1980 : 15) too chalk and talk and by a lack of involvement of children
in their own learning. Dalam E-learning memberi kemungkinan pengembangan
kemampuan murid untuk berpikir aktif kreatif dan partisipasi aktif dalam proses
belajarnya, sehingga pengajaran tersebut dapat memberikan stimulus, bahkan
menantang, mengesankan serta menggairahkan murid (Semiawan, 1988). E-
learning mengajak siswa berpikir dan melihat suatu proses bukan melihat suatu
produk saja seperti yang dikatakan Bruner (Dahar 1989: 107) bahwa :

Herry Porda Nugroho Putro


86
We teach a subject not to produce little living libraries on that subject,
but rather to get a student to think mathematically for himself, to consider
matters as an historian, to take part in the process of knowledge-getting.
Knowing is a process, not a product.
Dari beberapa prinsip tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dengan
E-learning model siswa dalam mempelajari sesuatu diajak melihat, memahami,
dan terlibat dalam suatu proses. Pendekatan ini sesuai dengan pengajaran
sejarah, karena dalam pengajaran sejarah siswa diajak melihat suatu fakta-
fakta sejarah yang kemudian menjadi sebuah cerita sejarah.

VII. SIMPULAN
Dari uraian di atas diperoleh gambaran pengajaran sejarah yang dapat
digunakan sebagai sarana belajar untuk hidup bersama (learning to live together),
ini didasarkan pada karakteristik dari sejarah dan pengajaran sejarah.
Sejarah menggambarkan peristiwa masa lalu manusia, meliputi peristiwa
sosial, politik, ekonomi, budaya. Peristiwa masa lalu manusia tersebut terjadi di
seluruh bagian bumi, sehingga terdapat sejarah dunia dan sejarah nasional. Waktu
dari peristiwa tersebut mulai dari zaman pra-sejarah hingga zaman sekarang
(sejarah kontemporer). Secara eksternal peristiwa sejarah menggambarkan
berbagai penomena kehidupan manusia, baik bersifat kontruktif maupun konduktif.
Secara internal peristiwa sejarah tersebut mengandung ide-ide, gagasan-gagasan
dari tingkah-pola manusia sepanjang jaman. Sifat internal ini penting dalam melihat
sejarah, sehingga dapat diperoleh makna dari suatu peristiwa sejarah.
Pengajaran sejarah mempunyai tugas menyampaikan (menginformasikan)
peristiwa masa lalu manusia tersebut, sehingga manusia dapat belajar dari masa
lalu tersebut pada gilirannya pengajaran membuat manusia menjadi bijaksana.
Karakteristik sejarah dan pengajaran sejarah sejalan dengan
rekomendasi UNESCO tentang belajar hidup bersama, karena dalam sejarah
dan pengajaran sejarah terlihat arti penting kebersamaan sepanjang jaman.
Tidak adanya kebersamaan menimbulkan terjadinya perang-perang besar
(Perang Dunia), penjajahan, pemberontakan-pemberontakan. Sejarah
memperlihatkan kebersamaan, kemerdekaan, persatuan antar bangsa dapat
menciptakan dunia yang damai dan harmoni.

Herry Porda Nugroho Putro


87
Terhadap arti penting sejarah dan pengajaran sejarah dalam
menciptakan situasi kebersamaan, damai dan harmoni; perlu ditunjang dengan
strategi pengajaran sejarah yang tepat sesuai dengan era globalisasi. Strategi
pengajaran sejarah yang tersebut penekanan pada peserta didik, maksudnya
peserta didik diajak aktif. Selain itu perlu dikembangkan kepemimpinan baik
guru maupun siswa, kepemimpinan tersebut merupakan satu-kesatuan dari
pengajaran sejarah.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat pada era globalisasi harus
dimanfaatkan dalam pengajaran sejarah, sehingga peserta didik dapat melihat
kenyataan di seluruh muka bumi tentang makna kebersamaan. Sejalan dengan
perkembangan teknologi perlu dikembangkan manajemen yaitu manajemen
informasi. Agar informasi kesejarahan dalam hubungannya dengan belajar hidup
bersama tertata secara rapi, sistematik, dan bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, H. 1998. “Dasar Filosofis Kurikulum Sejarah”. Simposium Pengajaran
Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
Ashkenas, R., Urich, D. 1995. The Boundaryless: Breaking of Chains of
Organizational Structure. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Berger, P. L. & Lucman, T. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Terjemahan Hassan
B. Jakarta: LP3ES.
BUKU SUMBER UNESCO – APNIEVE. 2000. Belajar Untuk Hidup Bersama
Dalam Damai Dan Harmoni. Kantor Prinsipal UNESCO untuk Kawasan
Asia-Pasifik, Bangkok & Universitas Pendidikan Indonesia.
Dahar, R. W. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta : Erlangga.
Douch, R. 1970. “Local History”, dalam New Movement in The Study and Teaching
of History (M. Ballard ed.). London : Temple Smith.
Eisenhardt, K. M. 2001. “Strategy as Strategy Decision Making”. Cusumano, M.
A., Markides C. C. (ed.). 2001. Strategic Thinking: for the Next Economy.
San Francisco: Jossey-Bass.
Elton, G. R. 1967. The Practise of History. New Yor: Thomas J. Crowell Company.
Ghoshal, S., Barlett, C. A., Moran, P. 2001. “A New Manifesto for Management”.
Cusumano, M. A., Markides C. C. (ed.). (2001). Strategic Thinking: for
the Next Economy. San Francisco: Jossey-Bass.

Herry Porda Nugroho Putro


88
Goldsmith, M. 1997. “Ask, Learn, Follow Up, and Grow”. Hesselbein, F.,
Goldsmith, M., Beckhard, R. (ed.). (1996). The Leader of The Future.
New York: Drucker Foundation.
Gunning, D. 1976. The Teaching of History. London: Cromm Helm.
Hassan, H. S. 1996. Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga
Akademik.
Hatten, J, K. & Rosenthal, S. R. 2001. Reaching for the Knowledge Edge. New York:
Amacom.
Hill, C. P. 1956. Saran-Saran Tentang Mengajar Sejarah.Terj. Hasan Wirastina.
Jakarta: Kepustakaan Perguruan Kementrian PP dan K.
Hugiono dan P.K. Poerwantana. 1987. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Bina
Aksara.
Joni, R. T. 1989. Mereka Masa Depan, Sekarang; Tantangan bagi Pendidikan
dalam Menyongsong Abad Informasi. Malang: IKIP Malang.
Kamarga, H. 2001. “Belajar Sejarah Melalui E-Learning”. Makalah Seminar dan
Lokakarya Pembelajaran Sejarah dan Sosiologi di Era Reformasi dan
Otonomi Daerah 14 Nopember 2001. Bandung : Jurusan Pendidikan
Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial UPI.
Kamsiah Abdullah. 2013. Membina Jambatan Kesepaduan Pelbagai Bangsa di
Singapura dalam Arus Kebangkitan Negara Republik Rakyat China.
Akademika: Jurnal Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan Asia
Tenggara. Journal of Southeast Asia Social Sciences and Humanities.
Number 83 (2&3) May-Dec 2013. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Kartodirdjo, S. 1989. “Menggali Warisan Leluhur Untuk Memperkokoh Identitas
Nasional Fungsi Pengajaran Sejarah Dalam Pembangunan, Makalah.
Surakarta: PPS UNS.
———. 1982. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 Dari Emperium Sampai
Imperium. Jakarta: Gramedia.
———. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
———. 1999, 19 Mei. Nasionalisme Tetap Diperlukan. Kompas [Online]. Tersedia:
http://www. Kompas.com. [8 Nopember 2001].
———. 2001, 30 Oktober. Jangan Gabungkan Sejarah Dengan Pelajaran Lain.
Kompas [Online]. Tersedia: http://www. Kompas.com. [8 Nopember 2001].
Merryfield, M. M., 1997. Preparing Teachers to Teach Global Perspectives. California:
Corwin Press, Inc.
Meullen, V, J.Vander. 1987. Ilmu Sejarah dan Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Herry Porda Nugroho Putro


89
Ohmae, K. 1991. Dunia Tanpa Batas: Kekuatan dan Strategi di dalam Ekonomi
yang Saling Mengait. Ahli Bahasa F. X. Budiyanto. Jakarta: Bina Aksara.
Ornstein, A.C. & Levine, D.Y. 1985. An Introduction to The Foundation Education.
Boston: Houghten Miflin.
Partington, G. 1980. The Idea of an Historical Education. Avon : NFER Publishing
Company.
Permadi, D. 2001. School-Based Management and Tough-Minded Leadership.
Bandung : PT Sarana Panca Karya Nusa.
Renier, G. J. 1961. History Its and Method. London: George Allen & Unwin Ltd.
Report UNESCO. 1996. Treasure Within. UNESCO PUBLISHING.
Schein, E. H. 1996. “Leading a Diverse Work Force”. Hesselbein, F., Goldsmith, M.,
Beckhard, R. (ed.). (1996). The Leader of The Future. New York: Drucker
Foundation.
Semiawan, C dkk. 1988. Pendekatan Keterampilan Proses Bagaimana Mengajarkan
Siswa Belajar. Jakarta : Gramedia.
Sidi Gazalba. 1988. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhatara Karya Aksara..
Soedjatmoko. 1976. Kesadaran Sejarah dalam Pembangunan. Prisma No 7 tahun V,
hal. 47. Jakarta: LP3ES.
Sri Margana. 2010. Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global. Persembahan
untuk 70 Tahun Prof. Dr. Djoko Suryo. Sri Margana & Widya Fitrianingsih
(ed.). Yogyakarta: Ombak.
Steele, I. 1976. Development in History Teaching. London : Open Book.
Sukmadinata, Syaodih, N. 1999. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suryo, D. “Kesadaran Sejarah Sebuah Tinjauan”, makalah disampaikan dalam
seminar Kesadaran Sejarah di UNS, Surakarta, 5 Mei 1991.
————, 1991. Pengajaran Sejarah dan Globalisasi Kehidupan. Historika, No. 5
tahun III, hal. 1-10. Surakarta: Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta KPK
UNS.
Taufik Abdullah & Abdurrahman Suryomihardjo. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi
Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia.
Tilaar. H. A. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Magelang:
Tera Indonesia.
Tofler, A. 1990. Powershift. Alih Bahasa Hermawan Sulistyo. Jakarta : Panca Simpaty.

Herry Porda Nugroho Putro


90
MULTIMEDIA DALAM PENGAJARAN DAN
PEMBELAJARAN SEJARAH
Nur Syazwani Abdul Talib, Mohd Mahzan Awang & Abdul Razaq
Ahmad
Corresponding autor: wanie0513@gmail.com

PENGENALAN
Kemunculan teknologi maklumat adalah bukan satu fenomena yang
baru pada masa ini. Tony Feldman (1997) dalam bukunya ‘An Introduction to
Digital Media’ mendefinisikan multimedia sebagai gambar, grafik, animasi, teks
dan suara dalam suatu maklumat digital (Rozinah Jamaludin, 2005). Aplikasi
multimedia ini tidak terhad kepada bidang hiburan sahaja. Malah penggunaan
multimedia kini telah diperluaskan kepada bidang-bidang lain seperti perniagaan,
pentadbiran dan khususnya bidang pendidikan. Dalam pendidikan, penggunaan
bahan multimedia merupakan trend terkini semasa sesi pengajaran dan
pembelajaran. Perkembangan teknologi maklumat ini menimbulkan pelbagai
reaksi daripada pelbagai golongan masyarakat (Rossafri Mohamad dan Wan
Ahmad Jaafar Wan Yahaya, 2007).
Teknologi multimedia ini bukanlah bermaksud untuk menggantikan
terus peranan guru sebagai tenaga pengajar tetapi penggunaan multimedia
adalah sebagai pemudah cara bagi meningkatkan motivasi dan minat belajar
Sejarah dalam kalangan pelajar. Hal ini kerana sejarah dikatakan sebagai satu
mata pelajaran yang membosankan disebabkan kaedah pengajaran dan
pembelajaran yang hanya berpusatkan guru (Rossafri dan Wan Ahmad, 2007).

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia dan Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


91
Kaedah pengajaran yang digunakan oleh guru sebelum ini adalah dalam bentuk
ceramah dan menggunakan buku teks serta papan hitam. Justeru itu, pelajar-
pelajar kurang diberikan peluang untuk melibatkan diri secara aktif semasa
proses pengajaran dan pembelajaran sedang berlangsung (Rossafri dan Wan
Ahmad, 2007). Di negara-negara Eropah, pengajaran dan pembelajaran dengan
menggunakan Information and Communication Technology (ICT) dapat menarik
minat belajar dan meningkatkan pencapaian pelajar dalam mata pelajaran
Sejarah (Lee Bih Ni, 2013).
Pada tahun 2013, mata pelajaran Sejarah telah dijadikan mata pelajaran
wajib lulus pada peringkat Sijil Pelajaran Malaysia (SPM). Perkara ini bukanlah
untuk membebankan pelajar tetapi untuk meningkatkan pengetahuan mereka
mengenai sejarah negara. Dengan mewajibkan mata pelajaran Sejarah sebagai
mata pelajaran wajib lulus akan dapat menunjukkan kepada pelajar bahawa
pentingnya mata pelajaran Sejarah dalam usaha untuk mendidik pelajar menjadi
warganegara yang baik (Utusan Malaysia, 6 November 2013). Kini internet adalah
salah satu inovasi penting dalam arus pendidikan. Permulaan kepada munculnya
internet adalah dengan penciptaan komputer. Penggunaan multimedia ini akan
dapat merangsang pelbagai deria pelajar malah akan dapat menarik minat
para pelajar dalam mempelajari sesuatu mata pelajaran (Jamalludin Harun
dan Zaidatun Tasir, 2003).

PENDIDIKAN SEJARAH DI MALAYSIA


Keputusan kerajaan Malaysia untuk menjadikan sejarah sebagai mata
pelajaran wajib lulus pada peringkat SPM adalah bermula pada tahun 2013
(Mohamad Fadzil Che Amat dan Abdul Jaleel Abdul Hakeem, 2013) telah
mendapat pelbagai reaksi daripada semua pihak. Pelbagai persoalan yang
timbul mengenai isi kandungan mata pelajaran Sejarah yang diajar kini dan
mendesak agar dikaji semula namun banyak pihak bersetuju dengan keputusan
kerajaan tersebut (Mohd Samsudin dan Shahizan Shaharudin, 2012). Hasrat
kerajaan ini adalah bagi memastikan semangat patriotisme dipupuk dalam
kalangan pelajar dan merupakan asas penting pembinaan negara bangsa
(Hasnah, 2010). Oleh itu, kaedah pengajaran dan pembelajaran yang melibatkan
pelajar secara aktif adalah sangat penting kerana pelajar ini akan lebih banyak
mengingati maklumat yang diterimanya (Mayer, 2004).

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


92
Kelemahan sebenar dalam menguasai kurikulum sejarah adalah
disebabkan gaya penyampaian yang kurang berkesan (Brown, 1980).
Keberkesanan penyampaian pula adalah bergantung pada gaya kreativiti guru
Sejarah yang mana guru perlu memantapkan ilmu sejarah dan melibatkan
pelajar dalam semua kemahiran belajar sejarah yang ada (Bahari Md Shah,
2011, dalam Mohamad Fadzil dan Abdul Jaleel 2013). Perkembangan minda,
emosi, sikap dan nilai para pelajar dapat dibentuk melalui daya kreativiti yang
tinggi dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran. Dalam mencipta kreativiti
daya imaginasi juga diperlukan (Abdul Rahim Abdul Rashid, 1999). Pengajaran
dan pembelajaran sejarah tanpa unsur kreatif akan menyebabkan sejarah itu
diajar mendatar sahaja yang akhirnya membawa kepada rasa bosan dan kurang
minat dalam kalangan pelajar. Perkara ini berpunca daripada pengajaran
sejarah yang lebih kepada ingin lulus peperiksaan sahaja dan menghabiskan
sukatan pelajaran (Hazril Jamil, 2003). Justeru itu, penggunaan multimedia
adalah salah satu langkah dalam mencipta kreativiti seorang guru dalam
mengajar Pendidikan Sejarah.

MULTIMEDIA DALAM PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN SEJARAH


Multimedia boleh ditakrifkan dengan pelbagai maksud berdasarkan
kepada perspektif masing-masing. Rossafri dan Wan Ahmad Jaafar (2007)
dalam kajian yang dijalankan telah mengemukakan perspektif beberapa
penyelidik yang lain mengenai multimedia. Antaranya Vaughn (2001)
mendefinisikan multimedia sebagai penggunaan komputer dan media
elektronik lain dengan adanya gabungan teks, grafik, bunyi, animasi dan video.
Manakala Hofstetter (2001) pula menyatakan penggunaan komputer dengan
wujudnya interaksi, ciptaan dan komunikasi melalui teks, audio, video
menggunakan pautan dan peralatan. Selain itu, multimedia merupakan satu
program komputer yang mengandungi teks dan mesti mempunyai sekurang-
kurangnya salah satu daripada audio, muzik, video, imej, grafik 3-D, animasi
atau grafik (Maddux, Johnson & Willis, 2001). Oleh itu, dapat disimpulkan
daripada taksiran tersebut bahawa multimedia merupakan penggunaan
komputer berbantukan teks, grafik, audio, animasi dan juga video dalam
mendapatkan maklumat mengenai pembelajaran.

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


93
Penggunaan multimedia dalam sejarah turut dibuktikan
keberkesanannya melalui kajian yang dilakukan oleh Lee Bih Ni (2013). Kajian
yang dijalankan adalah mengenai ‘ICT dan Pengajaran-Pembelajaran Sejarah
di Sekolah’. Kajian ini merupakan analisis daripada kajian terdahulu. Dalam
kajian ini dinyatakan bahawa P&P sejarah boleh menggunakan empat teknik
iaitu tutorial, penerokaan, komunikasi dan aplikasi. Kaedah tutorial boleh
digunakan untuk menyampaikan kandungan pelajaran berdasarkan urutan topik.
Kaedah ini memerlukan guru menggunakan komputer dan perisian yang terdapat
pada CD ROM, cakera padat atau laman web yang telah disediakan dengan
menggunakan aspek multimedia. Kaedah ini sesuai digunakan untuk kelas yang
mempunyai bilangan pelajar yang ramai dan menjadi penyelesaian kepada guru
yang terlibat dengan program luar sekolah serta bagi menyediakan pelbagai
soalan di semua peringkat.
Kaedah pembelajaran secara exploration (tinjauan) diperkenalkan oleh
Jack Thorpe melalui pembelajaran penerokaan laman web. Pembelajaran
penerokaan dapat dilakukan melalui peruntukan CD ROM atau DVD ROM
semasa P&P sejarah. Selain itu, pembelajaran melalui penerokaan juga dapat
dilakukan melalui melayari internet. Kajian kes di Sweden telah melaksanakan
kajian ini dengan meminta pelajar membentangkan hasil penemuan mereka
melalui MS Power Point. Hasilnya pelajar merasa seronok dengan kaedah
pembelajaran ini kerana mereka telah menemui banyak penemuan dalam kajian
yang dijalankan. Di samping itu, ICT dijadikan sebagai alat komunikasi kerana
boleh merentasi sempadan. Bahan-bahan pembelajaran boleh dikongsi bersama
walaupun berada di tempat yang berbeza melalui teks, audio, video dan pelbagai
mod gabungan. Melalui penggunaan internet pelbagai bahan dapat diakses
dan dikongsi (Lee Bih Ni, 2013).
Kajian mengenai ‘Kesan Penggunaan Laman Sosial ke atas Kaedah
Perbincangan di dalam Pengajaran dan Pembelajaran Mata Pelajaran Sejarah’
oleh Rossafri Mohamad dan Shabariah Mohamad Shariff (2011) telah mendapati
bahawa pembelajaran menggunakan laman sosial dengan mengaplikasikan
Facebook dapat meningkatkan motivasi dan kefahaman pelajar dalam mata
pelajaran Sejarah. Kajian telah dilakukan ke atas 60 orang pelajar di sekolah
luar bandar yang dipilih secara rawak dengan menggunakan topik Tamadun
Yunani dan Tamadun Rom bagi mata pelajaran Sejarah Tingkatan Empat. Hasil
kajian yang diperoleh juga menyatakan bahawa penggunaan aplikasi laman
Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.
94
sosial dapat meningkatkan teknik dan gaya P&P sejarah seperti kolaboratif,
interaksi dua hala dan pembelajaran kendiri.
Selain itu juga, kajian ini menyatakan penggunaan laman sosial ini
meningkatkan kefahaman dalam topik Tamadun Yunani dan Tamadun Rom. Hal
ini kerana interaksi dua hala, kerjasama dan pembelajaran kendiri meningkatkan
kefahaman pelajar mengenai topik tersebut. Dalam proses kolaboratif dan
perbincangan, guru akan membimbing penglibatan pelajar supaya dapat membina
interaksi bagi membangunkan kemahiran berfikir seterusnya pemahaman akan
dapat dicapai mengenai perkara yang dibincangkan. Secara keseluruhannya,
kaedah perbincangan melalui laman sosial dapat meningkatkan motivasi dan
kefahaman pelajar. P&P sebegini akan melibatkan pelajar secara aktif dalam
pembelajaran dan bukan lagi berpusatkan guru semata-mata. Pembelajaran yang
berkesan akhirnya dapat meningkatkan pencapaian pelajar dalam mata pelajaran
Sejarah (Rossafri dan Shabariah, 2011).
Dalam pada itu, Azalina Abdul Wahap (2013) telah mengkaji mengenai
‘Konteks, Input, Proses dan Hasil Penggunaan Kaedah Ilustrasi Komik terhadap
Pelajar Tingkatan Empat dalam Pengajaran dan pembelajaran Mata Pelajaran
Sejarah di salah sebuah Sekolah di Daerah Papar: Satu Kajian Kes’. Seramai
enam orang pelajar telah dipilih daripada Tingkatan Empat untuk dijadikan
sampel dalam kajian ini. Pelajar ini dipilih dari kelas Empat A, Empat B dan
Empat C. Hasil dapatan kajian melalui pemerhatian pengkaji mendapati pelajar
lebih gemar melakukan pembelajaran dengan menghasilkan idea ilustrasi
komik. Pelajar juga kelihatan sangat gembira dalam melakukan pembelajaran
secara berkumpulan. Responden juga menyatakan kaedah ini menyebabkan
mereka dapat memahami subjek Sejarah dengan lebih baik. Namun responden
berpendapat guru kurang mempelbagaikan kaedah pengajaran di dalam kelas.
Di samping itu, dapatan kajian yang diperoleh daripada kajian Rossafri
dan Wan Ahmad (2007) adalah tidak terdapat perbezaan yang signifikan antara
jantina. Hal ini bermaksud pelajar lelaki dan pelajar perempuan bersetuju
bahawa penggunaan multimedia dapat meningkatkan minat mereka dalam
mata pelajaran Sejarah. Pelajar juga bersetuju dengan penggunaan bahan
multimedia dapat meningkatkan gaya pembelajaran mereka ke arah
pembelajaran akses sendiri (self learning). Hal ini kerana penggunaan
multimedia telah mewujudkan komunikasi dua hala antara manusia dan mesin

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


95
dan secara tidak langsung melahirkan pembelajaran koperatif dan kolaboratif.
Di samping itu, penggunaan multimedia telah mewujudkan keseronokan dalam
pembelajaran sejarah dengan penggunaan imej dan video serta muzik latar.
Pelajar dengan mudah dapat menimba ilmu dalam meneroka maklumat
berkaitan sejarah. Secara keseluruhannya, kajian ini mendapati pembelajaran
menggunakan multimedia sangat sesuai dalam kaedah P&P berbanding kaedah
tradisional (Rossafri dan Wan Ahmad, 2007).
Begitu juga dengan kajian yang dilakukan oleh Tan Choon Keong dan
Carol Abu (2013) mengenai ‘Pengaplikasian Video YouTube: Bahan Bantu
Mengajar (BBM) dalam Proses Pengajaran dan Pembelajaran Mata Pelajaran
Sains Sosial’ juga menyatakan penggunaan video YouTube menarik minat dan
membantu meningkatkan kefahaman pelajar. Secara keseluruhannya,
penggunaan video YouTube dalam pengajaran sejarah telah berjaya menarik
minat responden dalam mengikuti pembelajaran sejarah. Perkara ini adalah
kerana elemen yang terdapat dalam video YouTube seperti audio, teks dan
animasi berupaya menarik perhatian pelajar semasa pembelajaran sejarah.
Penggunaan video ini juga telah melahirkan keseronokan dalam pembelajaran
dan mengelak daripada kebergantungan kepada buku teks sahaja (Tan Choon
Keong dan Carol, 2013).
Dapatan kajian oleh Renuka Ramakrishnan, Norizan Esa dan Siti
Hawa Abdullah (2013) menunjukkan dari segi amalan meneroka bukti pelajar
yang menggunakan sumber digital sejarah secara terbimbing adalah lebih
tinggi berbanding pelajar kumpulan kawalan. Hal ini menunjukkan bahawa
penggunaan sumber digital sejarah secara terbimbing sememangnya
memberikan kesan yang signifikan terhadap amalan meneroka bukti. Manakala
dari segi amalan membuat interpretasi kedua-dua kumpulan menunjukkan
peningkatan dalam ujian pos. Namun perbezaan min skor bagi kumpulan
eksperimen adalah lebih tinggi daripada kumpulan kawalan dan ini
menunjukkan bahawa penggunaan secara terbimbing akan memberikan
kesan yang signifikan dalam membuat interpretasi. Hasil daripada temu bual
terhadap beberapa orang pelajar mendapati pelajar merasa seronok
menggunakan sumber digital daripada pembelajaran yang menggunakan buku
teks semata-mata. Secara keseluruhannya, penggunaan sumber digital dalam
pembelajaran Sejarah adalah positif dan dapat diterima baik oleh pelajar

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


96
walaupun terpaksa berhadapan dengan masalah dalam penggunaannya
(Renuka, Norizan dan Siti Hawa, 2013).
Dapatan kajian yang diperoleh oleh Abdul Razak Ahmad, Ahmad Ali
Seman dan Letchumanar a/l Narayanasamy (2009) pula menunjukkan tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara kumpulan eksperimen dan kumpulan
kawalan berdasarkan ujian Pra dengan menggunakan kaedah teks. Hal ini
menunjukkan kedua-dua kumpulan tidak mempunyai perbezaan dari segi
pencapaian menggunakan bahan teks. Dapatan kajian kedua adalah terdapat
perbezaan yang signifikan antara kumpulan eksperimen dan kumpulan
kawalan melalui penggunaan animasi statik berdialog. Hal ini bermaksud
terdapat perbezaan di dalam ujian Pos antara kedua-dua kumpulan. Dapatan
kajian yang ketiga adalah pelajar lelaki dan perempuan daripada kumpulan
eksperimen tidak mempunyai perbezaan dari segi pencapaian dengan
menggunakan kaedah teks berdasarkan ujian Pra. Penggunaan Animasi Statik
Berdialog juga mampu menarik minat pelajar untuk mempelajari sejarah.
Secara keseluruhannya, penggunaan Animasi Statik Berdialog bagi mata
pelajaran Sejarah adalah positif.
Selain daripada kajian dalam negara, kajian luar negara juga banyak
membincangkan mengenai multimedia dalam mata pelajaran Sejarah. Hal
ini kerana mata pelajaran Sejarah sangat penting dalam membentuk peribadi
pelajar dalam kehidupan mereka (Encep Supriatna, 2012). Di samping itu,
kajian lain juga mengatakan perkara yang sama iaitu terdapat perbezaan yang
signifikan dalam pencapaian pelajar melalui penggunaan multimedia
berbanding kaedah tradisional. Hal ini menjelaskan bahawa multimedia dapat
membantu pelajar dalam memahami sesuatu topik dan memberikan kesan
yang sangat positif ke atas pencapaian pelajar (Andrade, Mercado dan
Reynoso, 2008). Selain itu, multimedia juga dikatakan mampu memberikan
pembelajaran yang baik kepada pelajar di Great Britain. Kajian yang dilakukan
ke atas pelajar sekolah rendah yang berumur dalam lingkungan 10-11 tahun
di dua buah sekolah rendah di Barat Scotland adalah untuk melihat peranan
yang dimainkan oleh multimedia dalam pembelajaran. Dapatan mendapati
penggunaan multimedia dalam pembelajaran telah memberikan keseronokan
dalam pembelajaran sejarah (Peter Hillis, 2008).

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


97
PENGGUNAAN SUMBER MULTIMEDIA
Satu kajian tinjauan mengenai sumber multimedia dalam pembelajaran
Sejarah telah dilakukan di beberapa buah di Sarawak Malaysia yang melibatkan
60 pelajar sekolah menengah. Secara keseluruhannya penggunaan sumber
oleh guru sebagaimana yang dilaporkan oleh pelajar masih lagi belum
memuaskan terutamanya penggunaan sumber multimedia dan kreativiti
penggunaannya. Namun bagi konstruk kepelbagaian penggunaan sumber dan
penggunaan sumber dalam P&P berada pada tahap tinggi iaitu 4.02 dan 3.96.
Hal ini menunjukkan tidak semua konstruk berada pada tahap sederhana.
Jadual 1
Penggunaan Sumber dalam Pembelajaran Sejarah

Konstruk N Min Sisihan Tafsiran


Piawai
Kekerapan Penggunaan Sumber 60 2.82 .642 Sederhana
Multimedia
Kreativiti Penggunaan Sumber 60 3.04 .479 Sederhana
Multimedia
Kepelbagaian Penggunaan 60 4.02 .467 Tinggi
Sumber Multimedia
Penggunaan Sumber dalam 60 3.96 .530 Tinggi
pengajaran pembelajaran
Min Keseluruhan 60 3.46 .530 Sederhana

Bagi melihat dapatan secara terperinci, analisis bagi setiap item


dilakukan sebagaimana Jadual 2. Merujuk kepada Jadual 3 item soalan bagi
‘Power Point membantu saya menyiapkan tugasan’ mencatatkan skor min yang
paling tinggi iaitu 3.33. Manakala skor min yang paling rendah adalah 2.03 iaitu
pada item soalan ‘menggunakan Facebook sebagai sumber rujukan’. Secara
keseluruhannya skor min bagi persepsi pelajar terhadap kekerapan penggunaan
sumber dalam Pendidikan Sejarah adalah pada tahap sederhana iaitu 2.82.

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


98
Jadual 2
Kekerapan Penggunaan Sumber dalam Pendidikan Sejarah

Item N Min Sisihan Tafsiran


Piawai
Menggunakan multimedia untuk 60 3.05 .928 Sederhana
pembelajaran sejarah.
Menggunakan televisyen dalam 60 2.50 .966 Sederhana
pengajaran dan pembelajaran sejarah.
Menggunakan Information, Commu-
nication and Technology. 60 3.15 .954 Sederhana
Menggunakan komputer dalam
menyiapkan tugasan. 60 2.78 1.121 Sederhana
Menggunakan Facebook sebagai
sumber rujukan. 60 2.03 1.164 Rendah
Mengambil data, jadual dan gambar
dalam internet sebagai sumber dalam 60 3.28 1.106 Sederhana
membuat kerja rumah.
Membaca blog berkaitan sejarah.
Power Point membantu saya 60 2.95 1.048 Sederhana
menyiapkan tugasan. 60 3.33 1.174 Sederhana
Mengumpul maklumat daripada
YouTube sebagai sumber dalam 60 2.32 1.066 Rendah
pembelajaran sejarah.

Dapatan kajian ini mendapati bahawa secara keseluruhan kekerapan


penggunaan sumber dalam Pendidikan Sejarah dari persepsi pelajar adalah
pada tahap sederhana. Namun responden bersetuju bahawa MS Power Point
membantu dalam menyiapkan tugasan. Dapatan ini adalah menyamai dengan
dapatan kajian yang diperoleh oleh Irene Tee Ai Ling (2012) yang mengatakan
bahawa penglibatan responden melalui penggunaan MS Power Point adalah
positif. Hal ini bermaksud responden mampu untuk menyiapkan tugasan yang
diberikan dengan menggunakan MS Power Point. Dapatan kajian oleh Norliza
Ibrahim, Wong Su Luan dan Ahmad Fauzi Mohd Ayub (2011) juga menyatakan
perkara yang sama bahawa penggunaan komputer dapat memudahkan sesuatu
tugasan kerana maklumat dapat diperoleh dengan cepat.

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


99
KREATIVITI PENGGUNAAN SUMBER MULTIMEDIA
Jadual 3 menunjukkan bahawa guru masih lagi kurang kreatif dalam
penggunaan sumber. Terdapat dua aspek sahaja yang dilihat sebagai guru
kreatif iaiatu dari segi penggunaan Power Point dan gambar. Kreativiti guru adalah
rendah bagi aspek animasi dan latihan melalui Facebook.
Jadual 3
Kreativiti Guru Dalam Penggunaan Sumber
Item N Min Sisihan Tafsiran
Piawai
Guru Sejarah mengambil gambar 60 4.15 .840 Tinggi
melalui internet sebagai sumber untuk
membuktikan sesuatu peristiwa.
Guru Sejarah membuat Power Point 60 4.48 .725 Tinggi
yang menarik dengan animasi yang
sesuai.
Guru Sejarah melakonkan sesuatu 60 2.32 1.127 Rendah
watak yang ditunjukkan melalui
YouTube.
Guru Sejarah memberikan latihan 60 1.25 .541 Rendah
melalui Facebook.
Guru Sejarah membina peta minda 60 4.23 .871 Tinggi
dengan menggunakan Power Point.
Guru Sejarah menyuruh pelajar 60 3.52 1.049 Sederhana
menggunakan internet dalam
mendapatkan sumber sejarah untuk
pembelajaran.

Dapatan ini seiring dengan dapatan Ngin Wei Haw (2012) mengenai
‘Keberkesanan Penggunaan Power Point terhadap Penguasaan Konsep Sains
bagi Murid Tahun 5. Dalam kajian yang dilakukan ini telah melibatkan tiga orang
murid yang gagal dalam mata pelajaran Sains. Dalam kajian Ngin Wei Haw
(2012) yang dilakukan secara eksperimental mendapati bahawa kaedah
persembahan Power Point dapat membantu meningkatkan kefahaman murid
dalam mempelajari Sains. Hal ini kerana kreativiti guru dalam penggunaan
Power Point telah menyebabkan pemahaman pelajar mengenai sesuatu mata
pelajaran itu bertambah. Selain kajian tersebut, terdapat kajian lain yang turut
menyokong dapatan ini iaitu kajian oleh Abdul Wahab, Kamaliah dan Hasrina

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


100
(2006) yang mengatakan bahawa kemantapan dan keberkesanan P&P adalah
bergantung kepada keupayaan dan kebolehan guru dan pelajar yang terlibat.
PENGGUNAAN SUMBER DAN KEFAHAMAN SEJARAH
Secara keseluruhannya, penggunaan pelbagai sumber multimedia
mampu meningkatkan minat dan kefahaman pelajar terhadap mata pelajaran
Sejarah. Perkara ini perlu dilakukan oleh guru Sejarah masa kini dalam
menyelesaikan permasalahan Sejarah dalam kalangan pelajar terhadap
penguasaan kandungan Sejarah. Namun begitu, dapatan daripada tinjauan
tersebut, aspek penggunaan Facebook berkaitan sejarah masih lagi tidak
dilakukan dan kurang memberi kesan terhadap minat belajar Sejarah. Ini
mungkin aplikasi tersebut adalah terhad dalam menyampaikan maklumat
sejarah.
Jadual 4:
Penerimaan pelajar terhadap penggunaan sumber Pendidikan Sejarah
Item N Min Sisihan Tafsiran
Piawai
Penggunaan ICT meningkatkan kefahaman 60 4.22 .761 Tinggi
pelajar terhadap sesuatu peristiwa sejarah.
Penggunaan YouTube dapat membantu dalam 60 3.87 .873 Tinggi
meningkatkan minat pembelajaran sejarah.
Multimedia merupakan sumber yang boleh 60 3.72 .715 Tinggi
dipercayai dalam pembelajaran sejarah.
Internet mengandungi aspek penilaian 60 4.05 .746 Tinggi
pembelajaran yang membantu meningkatkan
pemahaman pelajar.
Penggunaan Facebook berkaitan sejarah dapat 60 3.23 1.125 Sederhana
menarik minat pelajar dalam pembelajaran.
Blog sesuai dijadikan sebagai sumber rujukan 60 4.05 .852 Tinggi
berkaitan Sejarah.
Penggunaan ICT memberikan keseronokan 60 4.50 .651 Tinggi
dalam aktiviti pembelajaran Sejarah di dalam
bilik darjah.
Penggunaan laman web dilihat sebagai alat 60 4.12 .761 Tinggi
perhubungan dalam penyampaian pengajaran
kepada pelajar.
Power Point sesuai digunakan sebagai ABM 60 4.35 .755 Tinggi
sejarah di dalam bilik darjah.
Penggunaan televisyen dapat menjadikan 60 4.05 .852 Tinggi
subjek Sejarah tidak membosankan.

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


101
Dapatan ini disokong oleh kajian yang lain seperti kajian oleh Jamalludin
dan Zaidatun (2003); Sharifah Nor dan Kamarul Azman (2011); Johan@Eddy
(2013). Namun mengikut kajian yang dijalankan ini, item bagi soalan berkaitan
penggunaan Facebook dan YouTube adalah terendah dalam penggunaan
sumber. Hal ini bermaksud dalam kajian ini responden menyatakan Facebook
dan YouTube adalah kurang membantu dalam menarik minat mereka terhadap
mata pelajaran Sejarah berbanding dengan penggunaan sumber yang lain. Hal
ini berkemungkinan disebabkan responden kurang menggunakan Facebook
dan YouTube untuk tujuan pembelajaran Sejarah. Dapatan ini agak berbeza
dengan dapatan oleh Rossafri dan Shabariah (2011) dan Tan Choon Keong
dan Carol Abu dari segi penggunaan sumber iaitu penggunaan Facebook dan
YouTube yang menyatakan kedua-dua penggunaan sumber ini dapat menarik
minat yang tinggi dalam kalangan pelajar.

Penggunaan Sumber dalam P&P


Merujuk kepada Jadual 6 terdapat sepuluh item yang diutarakan kepada
pelajar. Daripada sepuluh item tersebut, item bagi soalan ‘penggunaan laman
web lebih mudah dalam mendapatkan maklumat berkaitan sejarah’ merupakan
item soalan tertinggi iaitu sebanyak 4.37. Manakala item bagi soalan
‘penggunaan Facebook berkaitan sejarah dijadikan medan interaksi pelajar
dalam pembelajaran’ adalah terendah iaitu 3.20. Secara keseluruhannya skor
min bagi persepsi pelajar terhadap penggunaan sumber dalam Pendidikan
Sejarah adalah berada pada aras tinggi iaitu 3.96.
Jadual 5
Skor min persepsi pelajar terhadap penggunaan sumber dalam
Pendidikan Sejarah
Item N Min Sisihan Tafsiran
Piawai
Saya suka menggunakan ICT dalam 60 4.25 .680 Tinggi
mempelajari sesuatu peristiwa sejarah.
Penggunaan YouTube dapat membantu dalam 60 4.02 .833 Tinggi
meningkatkan minat pembelajaran sejarah.
Saya sering menggunakan multimedia dalam 60 3.57 .890 Sederhana
pembelajaran sejarah.

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


102
Internet selalu digunakan bagi meningkatkan 60 4.12 .761 Tinggi
pemahaman pelajar terhadap Sejarah.
Penggunaan Facebook berkaitan sejarah 60 3.20 1.190 Sederhana
dijadikan medan interaksi pelajar dalam
pembelajaran.
Blog selalu dijadikan sebagai sumber rujukan 60 4.05 .946 Tinggi
berkaitan sejarah.
Penggunaan multimedia dapat menarik 60 4.33 .655 Tinggi
penglibatan murid dalam aktiviti pembelajaran
sejarah di dalam bilik darjah.
Penggunaan laman web lebih mudah dalam 60 4.37 .736 Tinggi
mendapatkan maklumat berkaitan sejarah.
Saya selalu menggunakan Power Point dalam 60 3.67 1.217 Tinggi
membuat tugasan yang diberikan.
Penggunaan televisyen dapat menarik minat 60 4.05 .928 Tinggi
terhadap Sejarah.
Min Keseluruhan 3.96 .53014 Tinggi

Dapatan kajian ini mendapati bahawa penggunaan sumber dalam P&P


terhadap mata pelajaran Sejarah dari persepsi pelajar adalah pada aras tinggi.
Dalam hal ini didapati bahawa penggunaan laman web telah memudahkan
responden untuk mendapatkan maklumat berkaitan sejarah. Dapatan ini telah
menyamai dengan dapatan kajian yang diperoleh oleh Rossafri dan Wan Ahmad
(2007) yang menyatakan pelajar akan mudah untuk menimba ilmu dalam
meneroka maklumat berkaitan sejarah melalui penggunaan multimedia.

KESIMPULAN
Melalui perbincangan dapatan yang dibuat dapatlah disimpulkan
bahawa penggunaan multimedia pada masa ini adalah merupakan salah satu
kaedah P&P terutamanya dalam mata pelajaran Sejarah yang penting untuk
dilaksanakan di setiap sekolah. Hal ini kerana melalui perbincangan dapatan
tersebut mendapati kajian-kajian lepas juga menyatakan perkara yang sama
mengenai penggunaan multimedia dalam pembelajaran. Namun terdapat
masalah-masalah dalam penggunaan multimedia di sekolah yang menjadikan
multimedia tidak dapat dilaksanakan di semua sekolah. Antaranya kekurangan
dari segi kemudahan dan juga kemahiran. Memandangkan cabaran globalisasi

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


103
kini semakin hebat semua pihak perlu bekerjasama dalam mencapai matlamat
pendidikan negara. Kajian berbentuk tindakan juga boleh dilakukan untuk
mengenal pasti dengan lebih baik lagi mengenai penggunaan multimedia dalam
Pendidikan Sejarah. Di samping itu, kajian yang lain boleh diperluaskan kepada
guru-guru yang mengajar Pendidikan Sejarah untuk mengetahui persepsi
mereka melalui penggunaan multimedia dalam pengajaran dan pembelajaran.
Oleh itu, masalah yang timbul hendaklah diatasi dengan kadar yang segera
supaya pelajar-pelajar dapat belajar dalam suasana yang mereka inginkan dan
menyeronokkan.

RUJUKAN
Abdul Rahim Abdul Rashid. 1999. Pendidikan Sejarah: Falsafah. Teori dan
Amalan. Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors. Sdn. Bhd.
Abdul Razak Ahmad, Ahmad Ali Seman dan Narayanasamy, Letchumanar. 2009.
Keberkesanan Penggunaan Animasi Statik Berdialog dalam
Pembelajaran Sejarah. Prosiding Seminar Pendidikan Serantau ke-4.
14-25.
Abdul Wahab Ismail Gani, Kamaliah Siarap dan Hasrina Mustafa. Penggunaan
Komputer dalam Pengajaran-Pembelajaran dalam Kalangan Guru
Sekolah Menengah: Satu Kajian Kes di Pulau Pinang. Kajian Malaysia,
Vol XXIV, (1 & 2): 203-225.
Andrade. E. L. M, Mercado. C. A. A dan Reynoso. J. M. G. 2008. Learning Data
Structures Using Multimedia-Interactive Systems. Communications of
the IIMA 8(3): 25-32.
Azalina Abdul Wahap. 2013. Konteks, Input, Proses dan Hasil Penggunaan Kaedah
Ilustrasi Komik terhadap Pelajar Tingkatan Empat dalam Pengajaran dan
Pembelajaran Mata Pelajaran Sejarah di Salah Sebuah Sekolah di Daerah
Papar: Satu Kajian Kes. Seminar Pendidikan Sejarah dan Geografi
2013 (UMS, 29-30 Ogos 2013): 29-54.
Hasnah Hussiin. 2010. Isu-isu Negara Bangsa Abad ke-21. Pahang: Universiti
Malaysia Pahang.
Hazri Jamil. 2003. Teknik Mengajar Sejarah. Kuala Lumpur: PTS Publication &
Distribution Sdn. Bhd.
Hillis, Peter. 2008. Authentic Learning and Multimedia in History Education.
Learning, Media and Technology 33 (2): 87-99.

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


104
Irene, Tee Ai Ling. 2012. Keberkesanan Penggunaan Power Point ke atas Murid
Tahun Tiga yang Berpencapaian Sederhana Lemah dalam Sains di
Kuching. Seminar Penyelidikan Tindakan IPG KBL 2012 (27&28
September 2012): 71-86.
Jamalludin Harun dan Zaidatun Tasir. 2003. Multimedia dalam Pendidikan.
Bentong: PTS Publications.
Johan& Eddy Luaran. 2013. Pengintegrasian Web 2.0 dalam Pengajaran dan
Pembelajaran Subjek Sejarah dan Geografi. Seminar Pendidikan
Sejarah dan Geografi (UMS, 29-30 Ogos 2013): 16-28.
Lee, Bih Ni. 2013. ICT dan Pengajaran-Pembelajaran Sejarah di Sekolah.
Seminar Pendidikan Sejarah dan Geografi 2013 UMS, 29-30 Ogos 2013:
106-115.
Mohamad Fadzil Che Amat dan Abdul Jaleel Abdul Hakeem. 2013. Menilai
Keberkesanan Pelaksanaan Program Diploma Perguruan Lepas Ijazah
Pendidikan Sejarah Sekolah Rendah di Institusi Pendidikan Guru
Kampus Pulau Pinang. Seminar Pendidikan Sejarah dan Geografi 2013
(UMS, 29-30 Ogos 2013): 214-225.
Mohamad Najib Abdul Ghafar. 1999. Penyelidikan Pendidikan. Edisi Keempat.
Johor: Universiti Teknologi Malaysia.
Mohd Samsudin dan Shahizan Shaharudin. 2012. Pendidikan dan Pengajaran
Mata Pelajaran Sejarah di Sekolah di Malaysia. JEBAT 39 (2)(2012):116-
141.
Ngin, Wei Haw. 2012. Keberkesanan Penggunaan Power Point terhadap
Penguasaan Konsep Sains bagi Murid Tahun 5. Seminar Penyelidikan
Tindakan IPG KBL Tahun 2012 (27&28 September 2012): 61-70.
Norliza Ibrahim, Wong Su Luan dan Ahmad Fauzi Mohd Ayub. 2011. Sikap
terhadap Komputer di kalangan Pelajar ICT Tingkatan Empat. Jurnal
Teknologi Pendidikan Malaysia 1 (1): 15-29.
Rafiza Abdul Razak dan Maryam Abdul Rahman. 2013. Pembinaan Media
Pengajaran Berasaskan Multimedia di kalangan Guru ICTL. JUKU 1(2):
20-31.
Ramakrishnan, Renuka, Norizan Esa dan Siti Hawa Abdullah. 2013. Kesan
Penggunaan Sumber Digital Sejarah terhadap Amalan Pemikiran
Sejarah. Pulau Pinang: USM.
Roslee Talip dan Mohd Saifullah Md Sabri. 2013. Penggunaan Aplikasi Google
Earth dalam Meningkatkan Prestasi Pelajar Mata Pelajaran Geografi di

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


105
Sekolah Menengah. Seminar Pendidikan Sejarah dan Geografi (UMS,
20-23 Ogos 2013): 266-276.
Rossafri Mohamad dan Shabariah Mohamad Shariff. 2011. Kesan Penggunaan
Laman Sosial ke atas Kaedah Perbincangan di dalam Pengajaran
dan Pembelajaran Mata Pelajaran Sejarah. Jurnal Teknologi Pendidikan
Malaysia 1(1): 75-80.
Rossafri Mohamad dan Wan Ahmad Jaafar Wan Yahaya. 2007. Impak Bahan
Multimedia ke atas Mata Pelajaran Berbentuk Naratif: Satu Kajian
terhadap Mata Pelajaran Sejarah. 1st International Malaysia Educational
Technology Convention: 920-929. Pulau Pinang: USM.
Rozinah Jamaludin. 2005. Multimedia dalam Pendidikan. Kuala Lumpur: Utusan
Publications and Distributors Sdn. Bhd.
Sharifah Nor Puteh dan Kamarul Azman Abd Salam. 2011. Tahap Kesediaan
Penggunaan ICT dalam Pengajaran dan Kesannya terhadap Hasil Kerja
dan Tingkah Laku Murid Prasekolah. Jurnal Pendidikan Malaysia
36(1)(2011): 25-34.
Supriatna, Encep. 2012. Transformasi Pembelajaran Sejarah Berbasic Religi
dan Budaya untuk Menumbuhkan Karakter Siswa. Atikan 2(1): 21-43.
Tan, Choon Keong dan Carol Abu. 2013. Pengaplikasian Video YouTube: Bahan
Bantu Mengajar (BBM) dalam Proses Pengajaran dan Pembelajaran
Mata Pelajaran Sains Sosial. Seminar Pendidikan Sejarah dan
Geografi 2013 (UMS, 29-30 Ogos 2013). 251-265.

Nur Syazwani Abdul Talib, dkk.


106
MELATIH HISTORICAL EMPATHY MELALUI
PEMAHAMAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA
Heri Susanto
iniherisusanto@unlam.ac.id

I. PENDAHULUAN
Sejarah merupakan suatu proses perjuangan manusia dalam mencapai
gambaran tentang segala aktivitasnya yang disusun secara ilmiah dengan
memperhatikan urutan waktu, diberi tafsiran dan analisis kritis, sehingga mudah
dimengerti dan dipahami. Sejarah memberikan gambaran, tindakan, dan
perbuatan manusia dengan perubahan maupun keberlanjutan unsur-unsurnya.
Menurut Taufik Abdullah & Abdurrachman Surjomihardjo (1985:27) sejarah bukan
semata-mata suatu gambaran mangenai masa lampau, tetapi sebagai suatu
cermin masa depan.
Pemahaman sejarah perlu dimiliki setiap orang sejak dini agar
mengetahui dan memahami makna dari peristiwa masa lampau sehingga dapat
digunakan sebagai landasan sikap dalam menghadapi kenyataan pada masa
sekarang serta menentukan masa akan datang. Artinya sejarah perlu dipelajari
sejak dini oleh setiap individu baik secara formal maupun nonformal. Keterkaitan
individu dengan masyarakat atau bangsanya memerlukan terbentuknya
kesadaran pentingnya sejarah terhadap persoalan kehidupan bersama seperti:
nasionalisme, persatuan, solidaritas dan integritas nasional. Terwujudnya cita-
cita suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh generasi penerus yang
mampu memahami sejarah masyarakat atau bangsanya (Susanto, 2014: 9).

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia-Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Heri Susanto dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat.

Heri Susanto
107
Untuk mencapai pemahaman sejarah tersebut diperlukan strategi
pedagogi yang tepat. Sejak pertengahan abad ke-20 pedagogi sejarah di dunia
Barat banyak mengalami perkembangan dengan isu-isu baru dan menjadi
populer dalam pengembangan pedagogi sejarah. Satu diantaranya, konsep
historical empathy. Kajian historical empathy dimuat berbagai jurnal ilmu sosial
di Amerika dan Eropa akhir dekade 70an sampai dengan awal 2000an. Di
Indonesia konsep historical empathy belum populer, dan bahkan belum banyak
mengalami perkembangan. Sebagian besar pakar pendidikan sejarah lebih
tertarik mempelajari konten keilmuan sejarah dan tidak banyak yang secara
spesifik mengkhususkan diri mengkaji pedagogi sejarah.
Pertanyaan besar yang sampai saat ini belum terjawab memuaskan
adalah: Untuk apa belajar sejarah? Cukupkah belajar sejarah hanya untuk
memahami fakta masa lalu, memahami bagaimana terbentuknya dan perjalanan
suatu bangsa, atau ada sisi lain dari pembelajaran sejarah yang juga dapat
bermanfaat secara praktis bagi peserta didik untuk membentuk pribadi dan
karakter mereka? Pertanyaan tersebut dicoba dijawab melalui konsep historical
empathy sebagai satu dari aspek pedagogi sejarah dalam pembentukan karakter
dan pribadi peserta didik.
Aspek historical empathy menggabungkan antara konsep psikologi,
sejarah dan pedagogi praktis. Dalam kajian ini, historical empathy menguraikan
bagaimana siswa mempelajari sejarah bukan hanya untuk memahami fakta
sejarah akan tetapi membangun kecakapan diri untuk mampu memposisikan
diri dan membangun perspektif dari sudut pandang pelaku sejarah.

II. PEMAHAMAN SEJARAH PERJUANGAN INDONESIA


Pemahaman sejarah merupakan kecenderungan berpikir yang
merefleksikan nilai-nilai positif dari peristiwa sejarah dalam kehidupan sehari-
hari, sehingga kita menjadi lebih bijak dalam melihat dan memberikan respon
terhadap berbagai masalah kehidupan. Pemahaman sejarah memberi petunjuk
kepada kita untuk melihat serangkaian peristiwa masa lalu sebagai sistem
tindakan masa lalu sesuai dengan jiwa zamannya, akan tetapi memiliki
sekumpulan nilai edukatif terhadap kehidupan sekarang dan akan datang
(Susanto, 2014: 10).

Heri Susanto
108
Pemahaman kembali ketangguhan dan keuletan berbagai daerah
berarti merajut lebih rapi lagi kesatuan dan persatuan bangsa. Komunitas
bangsa yang terdiri atas kesatuan suku bangsa dan kesatuan etnis tidak tumbuh
sendiri, terbentuk melalui proses sejarah yang panjang. Jati diri bangsa
merupakan hasil terjadinya proses pematangan integrasi nasional (Abdullah,
1996:13).
Dalam konteks ini, sejarah perjuangan rakyat daerah untuk lepas dari
kolonialisme dan untuk menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan manifestasi dari sikap politik untuk berada dalam sebuah nation
yang disebut Indonesia. Pemahaman yang baik terhadap sejarah perjuangan
rakyat di daerah untuk lepas dari kolonialisme dan untuk menjadi NKRI
selayaknya menjadi pondasi semangat nasionalisme masyarakat pada tiap
daerah, dengan demikian nasionalisme yang dimiliki setiap warga negara
merupakan nasionalisme yang mempunyai pijakan yang kokoh sehingga tidak
mudah luntur oleh berbagai tantangan yang muncul kemudian.
Sejarah perjuangan sering diidentikkan dengan upaya melepaskan
diri dari kekuasaan bangsa asing. Meskipun demikian terdapat esensi yang
tidak dapat dikesampingkan bahwa sejarah perjuangan merupakan upaya dan
tekad warga bangsa di masa lalu untuk membentuk identitas bersama sebagai
sebuah nation, baik melalui proses perjuangan melawan penjajah maupun
perjuangan untuk menyatukan berbagai kelompok etnis, kepercayaan, dan
kelompok kepentingan dalam membentuk identitas bersama.
Secara pedagogis pemahaman sejarah perjuangan bangsa tidak
dapat dilepaskan dari sudut pandang, dalam artian intensitas pemahaman
yang dimiliki seseorang akan sangat dipengaruhi oleh sudut pandang orang
tersebut. Di sisi lain pemahaman juga tidak dapat dilepaskan dari konteks
objek yang dipahami, dalam hal ini konteks materi sejarah perjuangan. Ketiga
komponen tersebut apabila dipertemukan akan menghasilkan sudut pandang
sejarah sebagai dampak dari pemahaman peristiwa sejarah. Hubungan
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Heri Susanto
109
Bagan 1.
Alur Konsep Pemahaman Sejarah Perjuangan

Gambaran bagan menunjukkan, pemahaman sejarah merupakan awal


sudut pandang sejarah, sudut pandang sejarah berkaitan erat dengan aspek afektif,
diantaranya empati. Pemahaman sejarah yang mencakup pemahaman faktual,
konseptual, prosedural dan metakognitif sangat mempengaruhi sudut pandang
seseorang terhadap sejarah. Anderson dan Krathwohl (2010), menguraikan bahwa
memahami menangkut kegiatan menasirkan, mencontohkan, mengklasifikasikan,
merangkum, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan. Memahami
peristiwa sejarah mengharuskan peserta didik mampu membuat tafsiran atas
sekumpulan fakta, mengklasifikasikan fakta/konsep, membandingkannya dan
mampu merumuskan penjelasan logis atas apa yang mereka pelajari. Memahami
peristiwa sejarah secara kognitif merupakanaktivitas intelektual komplek yang bukan
saja mempengaruhi aspek kognitif selanjutnya, juga aspek afektif dan psikomotor.

III. EMPATI DAN HISTORICAL EMPATHY


3.1 Empati
Pakar psikologi Edwar Titchener pada 1909, pertama kali menggunakan
istilah empathy dari kata Jerman einfuhlung. Etimologinya berasal dari kata Yunani
empatheia, artinya memasuki perasaan orang lain atau ikut merasakan keinginan
atau kesedihan seseorang. Jika kita ingin memahami orang-orang dan situasi
mereka, daripada sekedar menjelaskan mereka kita perlu mulai melakukan
penafsiran dan menemukan makna (Howe, 2015: 15).
Heri Susanto
110
Hetherington dan Parke (1986) mengemukakan, empati adalah suatu
kemampuan seseorang untuk merasakan emosi yang sama dengan emosi yang
dialami oleh orang lain, misalnya seseorang individu ikut merasa bahagia melihat
kebahagiaan orang lain. Menurut Koestner dan Franz (1990) empati sebagai
kemampuan untuk menempatkan diri dalam perasaan atau pikiran orang lain,
tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan atau tanggapan orang tersebut.
Menurtut Stein (2002), empati adalah kemampuan untuk menyadari,
memahami dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain. Empati adalah
“menyelaraskan diri” (peka) terhadap apa, bagaimana dan latar belakang
perasaan dan pikiran orang lain sebagaimana orang tersebut merasakan dan
memikirkannya. Bersikap empati artinya mampu membaca orang lain dari sudut
pandang emosi. Orang yang empati peduli pada orang lain dan memperhatikan
minat dan perhatian pada mereka. Lebih lanjut Stein, (2002) mengemukakan
bahwa pada dasarnya empati adalah kemampuan melihat dunia dari sudut
pandang orang lain, kemampuan untuk menyelaraskan diri dengan yang
mungkin dirasakan dan dipikirkan orang lain tentang suatu situasi. Empati adalah
perkakas antar prihadi yang sangat bermanfaat.
Empati memerlukan kerjasama antara kemampuan menerima,
memahami secara kognitif dan afektif, komponen kognitif melibatkan
pemahaman terhadap perasaan orang lain, baik melalui tanda-tanda atau proses
hubungan yang simpel maupun pengambilan perspektif yang kompleks,
kemampuan afektif dalam empati melibatkan respon emosional yang sesuai
dengan empati, secara umum menuntut kemampuan untuk memahami tanda-
tanda afeksi dan lebih jauh membutuhkan pengambilan perspektif afektif (Davis,
2001).
Menurut Goleman (2002) empati dibangun berdasarkan kesadaran
diri, semakin terbuka seseorang kepada emosi diri sendiri, semakin terampil
orang tersebut membaca perasaan. Kemampuan berempati yaitu kemampuan
untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, ikut berperan dalam
pergulatan dalam arena kehidupan, mulai dari penjualan dan manajemen hingga
ke asmara dan mendidik anak, dari belas kasih sampai tindakan politik. Tiadanya
empati juga sangat nyata, ketiadaannya terlihat pada psikopat kriminal,
pemerkosa, dan pemerkosa anak.

Heri Susanto
111
Berdasarkan definisi di atas, jelas menunjukkan bahwa empati
setidaknya melibatkan beberapa kriteria yaitu; kemampuan untuk memahami
keadaan, kemampuan untuk melibatkan pikiran dan perasaan dalam keadaan
tersebut dan kemampuan untuk merasakan atau memandang permasalahan
dari sisi orang yang mengalaminya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
dalam proses berempati setidaknya melibatkan aspek kognitif dan afektik
sekaligus.
3.2 Historical Empathy
Menurut Knight (1989), dalam disiplin sejarah, orang yang pertama
tertarik terhadap empati ialah Wilhelm Dithey, seorang ahli filsafat dan sejarawan
tahun 1950-an yang telah memahami empati sebagai unsur asas untuk
memahami sejarah atau sains kemanusiaan. Namun, historical empathy baru
mendapat perhatian pendidik sejarah pada dasawarsa 1970-an ketika gerakan
“sejarah baru” muncul di Inggris. Sejak saat itulah disiplin sejarah baru
menekankan pendekatan kritis dan analitis dalam proses pembelajaran sejarah,
unsur empati sejarah turut ditekankan. Pada fase awal kemunculan istilah
historical empathy, beberapa definisi dan uraian tentang empati telah diberikan.
Selanjutnya, Knight (1989) mencoba merumuskan definisi itu pada beberapa
kategori, yaitu sebagai satu tindakan atau perlakuan, sebagai satu kemampuan,
dan sebagai gabungan keduanya. Knight (1989) mengutip tulisan Coltham dan
Fines yang melihat empati sebagai satu kuasa untuk memasuki dan menjiwai
pribadi orang lain serta menghayati pengalaman mereka secara imajinatif.
Historical empathy dapat dimaknai bagaimana seseorang merasakan
seolah-olah mengalami perjalanan sejarah serta mampu menginterpretasikan
peristiwa sejarah seolah dia mengalaminya. Dengan demikian, historical empathy
menyangkut aspek kognitif (berpikir) dan aspek afektif (proses pembentukan
sikap) akibat interpretasi yang dilakukannya. Berdasarkan penelitian Lee (1984),
Shemilt (1984), Downey (1996), Foster (2001), Dulberg (2002), Barton dan Levstik
(2001) pikirkan tentang historical empathy sebagaimana tergambar pada Tabel 1.

Heri Susanto
112
Tabel 1
Dimensi Kognitif dan Afektif Historical Empathy

KOGNITIF (BERPIKIR/tHINKING) AFEKTIF (MERASAKAN)

Membangun pengetahuan Menggunakan imajinasi untuk


kontekstual merasakan dengan tepat

Menyadarai perbedaan Peka terhadap sudut


masa lalu dengan masa sekarang pandang yanga lain

Melakukan interpretasi Perhatian, sensitif, dan toleran


berdasarakan bukti sejarah terhadap orang lain

Menurut Peter Seixas (1996), historical empathy menyiratkan


pemahaman bahwa “orang di masa lalu tidak hanya hidup dalam situasi yang
berbeda… tetapi juga memiliki pengalaman berbeda yang mereka tafsirkan
berdasarkan kepercayaan mereka”. Maknanya adalah dalam mempelajari
historical empathy kita tidak bisa melepaskan konteks jiwa zaman yang
melingkupi sebuah peristiwa sejarah. Apa yang dilakukan oleh tokoh sejarah,
tentu didasarkan pada keadaan yang terjadi pada masa itu yang tidak sama
dengan masa sekarang, sehingga mensepadankan apa yang terjadi pada masa
lalu dengan pemikiran masa sekarang sudah barang tentu tidak sesuai.
Dengan demikian dalam historical empathy, pemahaman yang
dibangun merupakan pemahaman kontekstual dan kritis sesuai dengan fakta
sejarah yang ada. Pemahaman inilah yang selanjutnya digunakan untuk
membangun imajinasi sejarah dan membangun kepekaan terhadap berbagai
sudut pandang terhadap peristiwa sejarah. Hasil akhirnya adalah, orang yang
memiliki historical empathy akan lebih perhatian, sensitif dan toleran terhadap
apa yang dialami orang lain.
Menurut Endacott & Brooks (2013: 43-44) historical empathy
memerlukan tiga inter relasi dan saling keterkaitan dari komponen:
1. Kontekstualisasi sejarah (historical contextualization), yaitu kepekaan
temporal untuk memahami perbedaan kondisi sosial, politik, dan

Heri Susanto
113
tatanan budaya sesuai dengan periode yang dipelajari sehingga
dapat mengetahui relevansi situasi sejarah yang terjadi.
2. Penggunaan sudut pandang (perspective taking), yaitu memahami
terlebih dahulu pengalaman hidup, prinsip, posisi, sikap, dan
keyakinan untuk memahami bagaimana seseorang mempunyai
pemikiran tentang situasi tertentu.
3. Pertalian/hubungan afektiv (affective connection), yaitu acuan
bagaimana pengalaman hidup, situasi, atau tindakan tokoh sejarah
yang menjadi influen respon afektif.
Jika digambarkan dalam bagan inter relasi dan keterkaitan ketiga.

Bagan 2
Visualisasi Konseptual Historical Empathy

Heri Susanto
114
Berbeda dengan empati emosional, empati sejarah mengakui
keterbatasan kemampuan kita untuk memahami masa lalu. Kesadaran ini
dikarenakan setiap individu terikat oleh ruang dan waktu, kita tidak dapat
sepenuhnya memahami pelaku sejarah, seperti keadaan mereka dan alasan
untuk bertindak seperti yang mereka lakukan, dengan menerapkan keyakinan
kontemporer, standar, dan sikap (VanSledright, 2001). Christopher Portal (1987)
telah menggambarkan tantangan pemahaman bahkan memori kolektif yang
kita miliki karena konteks historis, frame budaya referensi, dan ciri khas penulis
sejarah yang tidak selalu kongruen kita ditransmisikan. Maksudnya adalah; apa
yang dilakukan oleh pelaku sejarah seringkali tidak dapat kita interpretasikan
dengan benar-benar tepat karena adanya berbagai keterbatasan, baik berupa
kecenderungan emosional, maupun keyakinan yang berkembang kontemporer.
Tantangan pemahaman dan ingatan kolektif kita terhadap peristiwa sejarah
juga sangat dibatasi oleh latar belakang budaya, dan juga kemampuan kita
untuk menterjemahkan apa yang ditulis oleh sejarawan. Seixas dan Peck (2004)
mengatakan, “artefak bisa menyesatkan kita, jika ditempatkan dalam konteks
yang berbeda dari kondisi masa lalu yang seharusnya”. Dibutuhkan kecermatan
dari berbagai sumber dan perspektif untuk menilai “latar sejarah yang unik”
(Portal, 1987: 96) sehingga dapat menjelaskan (meskipun tidak pernah benar-
benar mampu merekonstruksi) seperti yang seharusnya. Maknanya, untuk
memiliki historical empathy kita harus memahami cara kerja sejarawan dan
menggunakan empathy untuk menterjemahkan berbagai fakta sejarah yang
ada.

IV. PEDAGOGI SEJARAH DAN HISTORICAL EMPATHY


Seperti halnya pedagogi pada umumnya, pedagogi sejarah tidak dapat
dilepaskan dari strategi instruksional. Perkembangan strategi instruksional dalam
kurun dasawarsa terakhir sangat pesat sekali, akan tetapi secara labih spesifik
dalam perkembangan pedagogi sejarah terlihat bahwa perkembangan yang
ada belum begitu memuaskan. Dikatakan belum memuaskan karena
perkembangan yang ada sebagian besar belum mampu mengeksplorasi aspek-
aspek edukatif sejarah, aspek dimaksud antara lain; kemampuan berpikir kritis,
kemampuan berpikir kreatif, kemampuan berpikir historis, dan historical empathy.

Heri Susanto
115
Sam Winenburg (2006) memasukkan historical empathy ke dalam
bagian berpikir historis dengan melihat kecenderungan historical imajinativ
dalam konsep historical empathy. Dengan terminologi ini menunjukkan bahwa
imajinasi merupakan bagian utama untuk memiliki historical empathy. Seperti
telah dijelaskan di atas bahwa empati memang dimulai dari pemahaman yang
selanjutnya diinterpretasikan dan diimajinasikan dalam alam pikiran sehingga
menjadi kecenderungan berpikir dan bersikap.
Kelemahan kebanyakan strategi pedagogi dalam pembelajaran sejarah
adalah tekanannya yang terlalu besar pada muatan materi dan masih sangat
sedikit yang diarahkan untuk memancing peserta didik melakukan eksplorasi
fakta sejarah untuk memahami makna dari fakta tersebut. Bila kita cermati
historical empathy merupakan satu espek penting yang akan membawa dampak
jangka panjang bagi peserta didik karena bukan sekedar memahami fakta
sejarah yang untuk selanjutnya terlepas dari kehidupan sehari-hari. Lebih jauh
jika kita telaah mempelajari sejarah pada hakekatnya merupakan latihan
kemampuan berpikir dan membangun perspektif terhadap diri sendiri, bangsa
dan kehidupan yang lebih luas. Dengan demikian menjadi penting untuk
mengembangkan historical empathy dalam pedagogi sejarah.
Kelemahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung telah
menjadikan pembelajaran sejarah menjadi lebih bersifat kronikel. Kondisi ini
berbeda dengan kelas-kelas sejarah yang dikembangkan di kebanyakan negara
maju seperti negara-negara Eropa dan Amerika. Meskipun di beberapa negara
di kawasan tersebut sejarah telah diberikan sejak tingkat dasar, akan tetapi
strategi instruksional yang digunakan dapat dikatakan lebih inovatif dan tidak.

Heri Susanto
116
Bagan 2
Sistem Instruksional Sejarah

Bagan tersebut menunjukkan bahwa setiap sasaran kognitif


memerlukan model pembelajaran yang spesifik dan sumber belajar yang spesifik
pula. Jika historical empathy digolongkan dalam aspek rekonstruksi imajinatif
seperti halnya pendapat beberapa ahli sebelumnya, maka guru dapat memilih
model pembelajaran sesuai dengan sumberdaya belajar yang tersedia.
Selanjutnya menurut Stephen Briffa, untuk memahami cara kerja
sejarawan sehubungan dengan penanaman historical empathy pada siswa
terdapat beberapa keterampilan yang harus dikuasai, yaitu:
1. Membangun interpretasi tentang masa lalu
2. Memahami tujuan dan maksud dari tokoh sejarah
3. Memahami situasi yang menjadi latar belakang tindakan tokoh
sejarah
4. Memahami alasan dari tindakan tokoh sejarah.

Heri Susanto
117
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk melatih historical
empathy, pembelajaran yang dilakukan hendaknya dimulai dengan pendekatan
peristiwa, ketokohan dan gagasan/ide dari pelaku sejarah. Dengan menggunakan
ketiganya, siswa akan mampu membuat rekonstruksi imajinatif dari setiap fakta
sejarah yang disajikan. Penting untuk dipahami bahwa rekonstruksi imajinatif
yang dihasilkan siswa sangat mungkin berbeda-beda. Perbedaan tersebut
sebenarnya menunjukkan kemampuan kognitif dan kecenderungan afektif siswa.
Siswa dengan kemampuan kognitif yang tinggi dan kecenderungan afektif yang
bagus akan mampu menyusun rekonstruksi dengan lebih sistematis dan teliti,
begitu pula sebaliknya.

V. MELATIH HISTORICAL EMPATHY DALAM PEMBEJARAN SEJARAH


Pengembangan strategi pedagogi pada dasarnya bertumpu pada
beberapa aspek dasar, yaitu tujuan kurikulum, muatan materi ajar, pengelolaan
aktivitas belajar dan spesifikasi peserta didik. Keempat aspek tersebut saling
berkaitan dan menjadi satu kesatuan dalam strategi pembelajaran sejarah.
Mengembangkan strategi pedagogi sejarah dengan mempertimbangkan
keempat hal tersebut mengharuskan kita untuk peka terhadap kemungkinan-
kemungkinan yang akan dihadapi dalam proses belajar mengajar di kelas serta
bagaimana mengatasinya.
Langkah pertama yang dapat kita lakukan untuk mengembangkan
historical empathy dalam pembelajaran sejarah adalah melakukan identifikasi
kriteria permasalahan atau inter relasi aspek kognitif dan afektif yang dapat
dikembangkan untuk melatih historical empathy. Kriteria permasalahan yang
dapat dikembangkan tersebut antara lain terlihat dalam tabel berikut:

Heri Susanto
118
Tabel 2
Kriteria Permasalahan Dalam Historical Empathy

KOGNITIF(BERPIKIR/THINKING) AFEKTIF (MERASAKAN)

Mengapa peristiwa sejarah Bagaimana dampak peristiwa


tertentu terjadi? tersebut terhadapa tokoh sejarah?

Bagaimana peristiwa tersebut Bagaimana peran tokoh sejarah


terjadi? dalam peristiwa tersebut?

Apa saja dampak dari Apa yang kalian bayangkan dari


peristiwa tersebut? peristiwa tersebut?
Bagaimana akhir dari Menurut kalian apa yang menjadi
peristiwa tersebut? pertimbangan tindakan tokoh tersebut?

Pertanyaan di atas merupakan contoh permasalahan yang dapat


dikembangkan untuk mengeksplorasi respon siswa, baik berupa respon kognitif
maupun respon afektif. Pertanyaan dapat dikembangkan menjadi lebih beragam
dan menyangkut banyak aspek dalam peristiwa sejarah yang menjadi pokok
kajian. Dalam konsep historical empathy respon afektif merupakan kelanjutan
dari respon kognitif, maknanya jika siswa tidak memiliki pemahaman yang bagus
tentang sejarah dan tokoh sejarah yang dikaji, maka respon afektifnya besar
kemungkinan akan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Kekuatan historical empathy terletak pada sisi imajinasi dan
kebermaknaan, sehingga model pembelajaran yang tepat untuk dikembangkan
adalah model pembelajaran yang mengakomodir kedua komponen tersebut.
Imajinasi dalam konsep ini merupakan imajinasi yang sengaja diproduksi dalam
alam pikiran setiap siswa dengan memberikan stimulan yang dapat berupa
cerita, video, gambar atau cerita. Sedangkan kebermaknaan adalah kemampuan
siswa untuk menangkap aspek-aspek emosional dari apa yang terjadi dalam
cerita sejarah.
Untuk mengembangkan pedagogi sejarah setidaknya dapat kita
rumuskan beberapa aspek dan kriteria dalam mengambangkan kemampuan
historical empathy, kriteria tersebut yaitu:

Heri Susanto
119
Tabel 3
Aspek dan Kriteria yang dapat Dikembangkan

No Aspek Kognitif (berpikir) Aspek Afektif (merasakan)


1. Aspek substantif yang dikembangkan
Analisis faktual, misalnya dengan Pemaknaan fakta, misalnya dengan
a. mempelajari fakta-fakta dari peristiwa menunjukkan perhatian terhadap
sejarah fakta sejarah
Analisis faktual tentang tentang tokoh Menghargai nilai-nilai yang diyakini
b.
peristiwa dimaksud oleh tokoh sejarah
Melatih sikap positif terhadap nilai-
Analisis faktual tentang sebab dan
c. nilai kejuangan, ketangguhan,
akibat dari peristiwa yang dibahas
kesabaran, dan kesetiakawanan
2. Alternatif model pembelajaran
a. Model pembelajaran reflektif
b. Model studi dokumenter (film)
c. Model studi foto
d. Model studi museum
e. Model role play
f. Model penelitian sejarah
g. Model telaah novel sejarah
3. Model evaluasi pembelajaran
a. Menyusun essay tentang tokoh sejarah yang dikaji
b. Peer assesment dan self assesment

Mengacu pada tabel di atas, maka pembelajaran yang dilakukan


merupakan pembelajaran yang mengacu pada pemaknaan (meaningfull
learning). Pembelajaran ini menekankan pada kemampuan guru untuk
merancang aktivitas siswa yang memungkinkan siswa merasakan bagaimana
mereka memperoleh pengetahuan dan membangun perspektifnya sendiri sesuai
dengan tingkat penyerapan materi oleh siswa. Dari sisi siswa, kemampuan yang
harus dibangun adalah kemampuan untuk mengolah informasi dan membuat
dugaan-dugaan bedasarkan fakta sejarah, membuat interpretasi dan
membangun keterikatan emosi.

Heri Susanto
120
VI. SIMPULAN
Historical empathy merupakan aspek pedagogi sejarah yang
dikembangkan meminjam konsep empati dalam psikologi. Historical empathy
merupakan proses pemaknaan dan imajinasi sejarah dan karena itu proses
pembelajaran imajinatif dan bermakna menentukan apakah pembelajaran
sejarah mampu melatih historical empathy atau tidak. Historical empathy
dibangun atas aspek kognitif dan afektif, yang menunjukkan bahwa, empati hanya
dapat terbentuk apabila siswa telah mengetahui dan memahami fakta-fakta,
dan tokoh sejarah yang dipelajari.
Pengembangan pedagogi sejarah untuk melatih historical empathy
diperlukan untuk memperdalam kemampuan akademik siswa dan membangun
keterikatan emosional siswa dengan masa lalu sehingga siswa dapat melakukan
interpretasi dan memahami makna peristiwa masa lalu dengan menggunakan
berbagai model pembelajaran dan media.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik & Abdurrachman Surjomihardjo. 1985. “Arah Gejala dan Perspektif
Studi Sejarah Indonesia”, dalam Ilmu Sejarah dan Historiografi, Arah dan
Perspektif. Jakarta: Gramedia.
Abdullah, Taufik. 1996 “Disekitar Pengajaran Sejarah yang Reflektif dan Inspiratif”.
Sejarah. No. 6 Februari 1996. Jakarta: Gramedia.
Anderson, Larin W. & Krathwohl. 2010. Kerangka Landasan untuk Pembelajaran,
Pengajaran, dan Asesmen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Davis, O. 2001 ‘In pursuit of Historical Empathy’. In O. Davis, E. Yeager and S.
Foster (Eds), Historical Empathy and Perspective Taking in the Social
Studies. 1 12. Lanham: Rowman and Littlefield Publishers, INC.
Downey, M.T. 1996. Writing to learn history in the intermediate grades. Berkeley,
CA: National Center for the Study of Writing and Literacy.
Dulberg, N. 2002. Engaging in history: Empathy and perspective taking in children’s
historical thinking. Paper presented at the annual meeting of the American
Educational Research Association.

Heri Susanto
121
Endacott, Jason dan Brooks, Sarah. 2013. ‘An Updated Theoretical and Practical
Model for Promoting Historical Empathy’. Dalam Jurnal Social Studies
Research and Practice (hal 41-58), Volume 8 Number 1, Spring 2013.
Tersedia www.socstrp.org
Foster, S. J. 2001. ‘Historical empathy in theory and practice: Some final thoughts’.
Dalam O. L. Davis Jr., E. A. Yeager dan S.T. Foster (ed.). Historical empathy
and perspective taking in the Social Studies. Oxford: Rowman & Littlefield,
167–182.
Garvey, Brian dan Krug, Mary. 1977. Models of History Teaching in the Secondary
School. London: Oxford Universitty Press.
Goleman, D. 2002. Emotional intelligence kecerdasan emosional mengapa EI
lebih penting dari IQ. Alih Bahasa: T. Hermaya. Jakarta: Gramedia.
Howe, David. 2015. Empati, Makna dan Pentingnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Knight, P. 1989 ‘Empathy: concept, confusion and consequence in a national
curriculum’ Oxford Review of Education, 15 (1), pp.41-53.
Lee, P. 1995. ‘History and the national curriculum in England’. Dalam A. Dickinson,
P. Gardon, P. Lee dan J. Slater (ed.). International year book of history
education.London: The Woburn Press, 73–123.
Lee, P.J. 1984. ‘Historical imagination’. In A.K. Dickinson, P.J. Lee, & P.J. Rogers
(Eds.), Learning history (pp. 85"116). London, UK: Heinemann.
Levstik, L. S. 2001. ‘Crossing the empathy spaces: Perspective taking in New
Zealand adolescents’ undertaking of national history’. Dalam O. L. Davis
Jr., E. A. Yeager dan S. J. Foster (ed.). Historical empathy and perspective
taking in the social studies.London: Rowman & Littlefield, 69–96.
Portal, C. 1987. ‘Empathy as an objective for history teaching in history’. Dalam C.
Portal (ed.), The history curriculum for teachers. London: The Falmer Press,
89–102.
Seixas, P. 1996. ‘Conceptualizing the growth of historical understanding’. In D. R.
Olson & N. Torrance (Eds.), The handbook of education and human
development (pp. 765 783). Oxford: Blackwell.
Seixas, P., & Peck, C. 2004. ‘Teaching historical thinking’. In A. Sears & I. Wright
(Eds.), Challenges & prospects for Canadian social studies (pp. 109 117).
Vancouver, BC: Pacific Educational Press.
Heri Susanto
122
Shemilt, D. 1984 ‘Beauty and the Philosopher: Empathy in History and Classroom’
in Dickinson, A.K., Lee, P.J.& Rogers, P.J. (Eds) Learning History London,
Heinemann Educational BooksStein, Janice Gross. 2002. The Cult of
Efficienci. Cannada : House of Anansi Press.
Susanto, Heri. 2014. Seputar Pembelajaran Sejarah; Isu,Gagasan, dan Strategi
Pembelajaran. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Van Sledright, B. 2001. ‘From Empathetic Regard to Self-Understanding: Im/
Positionality, Empathy, and Historical Contextualization’. In Davis, Yeager,
E., and Foster, S. (Eds.), Historical Empathy and Perspective Taking in
Social Studies (pp. 51-68). New York, NY: Rowman and Littlefield.
Wineburg, Sam. 2006. Berfikir Historis; Memetakan Masa Depan, Mengajarkan
Masa Lalu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Heri Susanto
123
Heri Susanto
124
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
HUBUNGAN ETNIK DI MALAYSIA
Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad, Norakma Mohd Daud
Corresponding author: mahzan@ukm.edu.my

PENGENALAN
Malaysia adalah merupakan salah sebuah negara yang masyarakatnya
terdiri daripada pelbagai keturunan, etnik, warna kulit, agama, bahasa
kebudayaan dan adat resam yang tersendiri. Malah, Malaysia secara tidak
langsung merupakan salah satun egara masyarakat plural yang berjaya dalam
mengekalkan keamanan dan perpaduan. Masyarakat majmuk di Malaysia
mempunyai konsep dan sejarah keunikan yang tersendiri yang rata-ratanya
memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh negara majmuk lain. Malaysia
dalam abad globalisasi ini didiami oleh pelbagai bangsa, kaum dan etnik dari
seluruh pelusuk negeri. Impak kepelbagaian kaum dan etnik inilah sekaligus
berjaya mewujudkan kepelbagaian budaya, bahasa, agama dan adat resam.
Corak masyarakat Malaysia seperti ini berlaku disebabkan oleh perubahan masa
dan keadaan, seperti yang berlaku terhadap perubahan struktur politiknya.
Sebelum abad ke-18 dan ke-19, kehidupan masyarakat di Malaysia tidak begini
coraknya. Sebaliknya boleh dikatakan bahawa, semenanjung Tanah Melayu
ketika itu didiami oleh orang Melayu dan Orang Asli bersama sebilangan kecil
bangsa atau kaum lain sahaja yakni tidak melibatkan kaum-kaum lain seperti
kaum India, Cina dan kaum-kaum lain seperti hari ini.

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia dan Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Mohd Mahzan Awang, dkk.


125
Mengikut Jabatan Perangkaan Negara (2006), komposisi jumlah
penduduk di Malaysia adalah seramai 26.46 juta orang. Daripada jumlah tersebut
24.8 juta orang merupakan warganegara Malaysia manakala bakinya 1.84 juta
merupakan bukan warganegara Malaysia. Kaum Melayu mewakili 54% daripada
populasi penduduk yang terbanyak iaitu seramai 13.48 juta orang. Kaum
bumiputera selain Melayu pula adalah seramai 2.39 juta orang yang mewakili
11.8%. Oleh itu kaum bumiputera mewakili 65.8% daripada jumlah keseluruhan
warganegara Malaysia. Kira-kira 25% daripada penduduk Malaysia ialah kaum
Cina iaitu seramai 6.22 juta orang. 7.5% terdiri daripada kaum India seramai
1.86 juta orang, manakala kaum lain pula mewakili 1.7% iaitu seramai 318.9
ribu orang.
Masyarakat Malaysia yang terdiri daripada pelbagai etnik ini menjalani
kehidupan seharian dengan aman dan bebas dalam mengamalkan
kepercayaan dan budaya masing-masing serta berpegang kepada satu prinsip
iaitu saling menghormati antara satu sama lain dalam menerima setiap
perbezaan yang wujud dalam kalangan masyarakat. Menurut Kamus Dewan
Edisi ke-4, hubungan ialah kaitan, pertalian, sangkut paut. Manakala hubungan
etnik pula bermaksud perkaitan atau pertalian antara etnik atau kaum. Etnik
pula dari segi bahasa boleh didefinisikan sebagai kaum atau bangsa. Dari segi
istilah, etnik adalah kelompok manusia yang ditentukan melalui perbezaan ciri-
ciri budaya seperti adat resam, pakaian, bahasa, kegiatan ekonomi dan
sebagainya. Etnik juga dapat dikelaskan melalui perbezaan budaya. Malah,
etnik juga dapat dikelaskan mengikut demografi iaitu mengikut kedudukan
geografi dan sempadan negeri. Contohnya di Sabah dan Sarawak terdapat
pelbagai kumpulan etnik pada kedudukan geografi yang berbeza.
Menurut Faridah (2008) hubungan etnik yang merujuk kepada interaksi
antara etnik yang berbeza (intraetnik) atau interaksi dalam kumpulan etnik yang
sama (intraetnik), kepelbagaian kelompok etnik di Malaysia telah diterima oleh
semua rakyat dan ini merupakan sumber kekuatan perpaduan di Malaysia. Dari
sudut sejarah, kerjasama dan ikatan perpaduan yang terjalin antara pelbagai
bangsa dan kaum di Malaysia bermula dengan satu ikatan atau persetujuan
daripada kontrak sosial yang telah dipersetujui dan diakui oleh kesemua etnik
yang terdapat di Malaysia. Malah, kontrak sosial ini sekaligus menjadi pegangan
dan panduan dalam kehidupan masyarakat pada masa kini. Kontrak sosial

Mohd Mahzan Awang, dkk.


126
disini bermaksud satu persetujuan, penerimaan serta akuan dalam kalangan
masyarakat berbilang kaum melalui proses muafakat dan musyawarah ke arah
peralihan kuasa pemerintahan sendiri daripada pihak Inggeris dan
dimanifestasikan melalui kemenangan Perikatan dalam pilihan raya 1955.
Semangat kontrak sosial ini berasaskan semangat kerjasama dan setia kawan
serta perkongsian kuasa yang kemudiannya terjelma dalam perjuangan
menuntut kemerdekaan dan penggubalan Perlembagaan Persekutuan (Anuar
dan Nur Atiqah, 2008).
Malaysia kini, boleh dikatakan hampir setanding dengan negara-
negara maju seperti Jepun walau hakikatnya negara kita masih lagi belum
mencecah separuh abad usia kemerdekaan. Hal Ini mampu dicapai dengan
lahirnya perpaduan dalam setiap warga negara serta jalinan yang harmoni
antara semua etnik yang ada. Hubungan yang baik ini telah terbentuk sejak
berabad dahulu lagi dimana kita telah melihat bahawa kemerdekaan yang
dicapai rata-ratanya adalah berpaksikan kepada perpaduan dan tolak ansur
antara semua etnik. Kecemerlangan ini telah membawa Malaysia bangkit dan
terus berdaya saing untuk terus maju dalam mencapai status negara
membangun yang mana semakin hari semakin menuju kepada taraf status
negara maju yang diimpikan oleh hampir semua negara di dunia pada hari ini.
Berpaksikan kepada perpaduan dan hubungan yang terjalin ini,
pelbagai kejayaan telah dicapai. Dengan kepesatan kemajuan dan
pembangunan, peningkatan pencapaian ekonomi, keamanan dan keharmonian
yang bertunjangkan kepada perpaduan etnik telah membawa Malaysia jauh
lebih maju di hadapan berbanding negara-negara serantau yang juga
mempunyai etnik yang berbilang kaum. Pelancong asing dan orang luar yang
berkesempatan datang dan melihat sendiri hubungan masyarakat Malaysia
rata-ratanya kagum dengan keharmonian serta hubungan baik yang ditonjolkan
oleh masyarakat kita walaupun berbeza dari pelbagai segi seperti perbezaan
kaum, agama, warna kulit dan sebagainya. Malah, mampu sama-sama
melakukan aktiviti seharian seperti bergotong-royong, meluangkan masa atau
dikatakan “duduk semeja” tanpa ada perasaan bias, terancam dan prajudis
antara satu sama lain.
Namun begitu, dalam usaha sesetengah pihak dalam mengeratkan
hubungan etnik ini masih ada lagi terdengar keluhan dari beberapa pihak yang

Mohd Mahzan Awang, dkk.


127
menimbulkan isu berkaitan dengan hubungan etnik. Antaranya ialah isu yang
melibatkan golongan yang pernah melalui era perpaduan dalam kehidupan
mereka yakni mereka mengharungi kehidupan membesar, bermain, belajar, dan
berkongsi sejarah dalam masyarakat majmuk dengan kepelbagaian etnik,
budaya, dan agama. Peredaran zaman dan kemajuan yang dicapai dirasakan
telah menghapuskan nilai-nilai perpaduan yang sebenar sehingga ia seringkali
dilihat berbeza dengan apa yang dicapai pada masa dahulu. Jadi tidak hairanlah
jika isu ini sering dibangkitkan dan dijadikan perbandingan oleh segelintir
masyarakat. Mereka beranggapan bahawa, hubungan etnik yang terjalin pada
hari ini tidak lagi semurni zaman dahulu kerana telah dikotori oleh politik dan
ancaman-ancaman daripada faktor-faktor lain.
Politik zaman sekarang kononnya tidak lagi benar-benar
memperjuangkan hak kepentingan rakyat namun lebih menjurus kepada
mementingkan kepentingan ahli politik itu sendiri. Masalah inilah telah
menimbulkan kepincangan dalam hubungan antara etnik dimana yang
menerima akibat dan dipermainkan oleh mainan politik. Keluhan itu juga
datangnya daripada golongan yang melihat hubungan etnik sebagai sesuatu
yang tidak relevan. Mereka hanya melihat kepentingan sendiri, sama ada individu
ataupun kelompok dalam segi ekonomi atau politik pada masa sekarang atau
masa depan sebagai sesuatu yang lebih penting.
Usaha mencapai perpaduan yang dijalankan dilihat sebagai satu
perkara yang boleh mengugat serta mengancam kepentingan dan kedudukan
mereka dalam sesebuah negara yang selalunya sangat fokus kepada etnisiti,
bahasa, budaya, ekonomi, serta politik. Mereka beranggapan dengan wujudnya
perpaduan kaum dan toleransi yang bakal terjalin ini pastinya akan melemahkan
kedudukan mereka terutamanya dalam mendapatkan pengaruh dan
penghormatan daripada kaum dan etnik masing-masing dimana mereka seolah-
olah ingin lari daripada konsep kesaksamaan kerana konsep kesaksamaan inilah
yang akan mempengaruhi lingkungan pengaruh mereka sekaligus membataskan
kepentingan mereka sendiri. Keadaan ini bukan sahaja boleh mengancam
keamanan dan keharmonian hubungan etnik yang ada bahkan turut menjadi
duri dalam daging yang akan memecah belahkan perpaduan yang ingin dicapai.
Namun dalam usaha untuk mengeratkan hubungan etnik di negara kita terdapat
cabaran-cabaran utama yang difikirkan amat penting untuk diatasi supaya ianya
tidak dapat menjejaskan usaha negara kita ini. Maka dalam tugasan ini saya

Mohd Mahzan Awang, dkk.


128
akan menjelaskan apakah cabaran-cabaran tersebut dalam usaha mengeratkan
hubungan etnik di Malaysia.

PERPADUAN DAN INTEGRASI NASIONAL


Menurut Jayum A. Jawan (1997), perpaduan dan integrasi merupakan
dua konsep yang saling berhubungkait dan sering digunakan bersilih ganti.
Perpaduan dan integrasi adalah merujuk kepada proses menggabungkan
bahagian-bahagian menjadi satu unit. Menurut Shamsul Amri Baharuddin (2007),
perpaduan adalah satu proses menyatupadukan masyarakat dan negara supaya
setiap anggota masyarakat dapat membentuk satu identiti, nilai bersama,
perasaan cinta dan bangga terhadap tanah air. Integrasi pula adalah satu proses
mewujudkan satu identiti nasional dalam kumpulan terpisah dari segi
kebudayaan, sosial dan lokasi dalam sesebuah unit politik. Terdapat lima bentuk
integrasi iaitu segregasi, akomodasi, akulturasi, asimilasi dan amalgamasi.
Segregasi juga diistilahkan sebagai pemisahan atau pengasingan yang berlaku
antara satu kumpulan etnik dengan kumpulan etnik yang lain dalam sesebuah
negara. Pemisahan ini dapat dilihat dalam beberapa aspek contohnya seperti
pemisahan tempat tinggal, sistem persekolahan dan pengangkutan serta
kemudahan awam. Segregasi pada dasarnya boleh berlaku akibat daripada
dasar yang diketengahkan oleh undang-undang atau sebaliknya. Akomodasi
diwakili dengan formula A+B+C = A+B+C dimana A, B dan C dikatakan merujuk
kepada budaya. Akomodasi merupakan proses yang menyebabkan setiap
kumpulan etnik menyedari dan menghormati nilai-nilai kumpulan etnik antara
satu sama lain serta mempertahankan budaya masing-masing. Hal ini
membolehkan setiap kumpulan etnik mempunyai wakil dan peranan yang
tersendiri dalam pentadbiran negara.
Akulturasi adalah sedikit berbeza dimana ia merupakan satu proses
penerimaan suatu unsur kebudayaan yang lain dalam kalangan individu atau
kelompok dari suatu kebudayaan yang berbeza yakni unsur budaya daripada
sesuatu masyarakat lain diterima dan dihormati oleh individu atau kelompok
yang rata-ratanya bukan dari kelompok tersebut. Dimana, Akulturasi ini, secara
tidak langsung tidakakan menyebabkan kehilangan identiti asal sesuatu etnik.
Asimilasi diwakili oleh formula A+B+C = A dimana A dikatakan sebagai golongan
etnik dominan manakala B dan C adalah kumpulan etnik minoriti. Asimilasi

Mohd Mahzan Awang, dkk.


129
merupakan satu proses percantuman dan penyatuan antara suatu kumpulan
etnik dengan kumpulan etnik yang berlainan yang berbeza dari sudut budaya
dan amalan tetapi membentuk satu kelompok dengan kebudayaan dan identiti
sama. Amalgamasi diwakili formula A+B+C = D. A, B dan C ini dikatakan terdiri
daripada golongan etnik berbeza dan D adalah satu kumpulan baru terhasil
daripada penyatuan A, B dan C. Amalgamasi adalah merupakan satu proses
yang terjadi apabila budaya atau ras bercampur untuk membentuk budaya dan
ras baru.Perkahwinan campur antara etnik adalah dikatakan sebagai satu cara
yang utama dalam proses amalgamasi.

HUBUNGAN ETNIK DIMENSI EKONOMI


Sejak zaman penjajahan lagi, masalah integrasi telah wujud
terutamanya semasa penjajahan British. Dasar pecah dan perintah atau “divide
and rule” telah digunapakai dalam usaha mengeksploitasi ekonomi di samping
dijadikan sebagai suatu dasar untuk memerintah Tanah Melayu pada ketika itu.
Dasar ini menekankan kepada konsep pemisahan yakni setiap kaum dipisahkan
mengikut bidang ekonomi yang berlainan. Hal ini dapat dilihat apabila kaum
Melayu berperanan dalam mengendalikan pertanian dan ditempatkan di
kawasan luar Bandar seperti di kampung-kampung. Masyarakat Cina pula
ditempatkan dilombong-lombong bijih timah dan dikawasan bandar-bandar
untuk menjalankan aktiviti perlombongan dan perdagangan. Manakala
masyarakat India pula lebih tertumpu di kawasan-ladang-ladang getah.
Perubahan fungsi ini telah menyebabkan ketiga-tiga kaum ini terpisah dan
hubungan antara mereka semakin terhad sehingga menjadi bertambah
renggang.
Cabaran dari segi ekonomi yang paling nyata ialah perbezaan dari segi
pekerjaan di mana perbezaan ini diwujudkan oleh pihak British melalui pecah
dan perintah sepertimana dinyatakan sebelum ini. Masalah ini telah mewujudkan
perasaan curiga di antara satu sama lain malahan, ianya turut mewujudkan
jurang ekonomi antara kaum-kaum terbabit. Akibat daripada dasar yang dicipta
oleh British itu, kesannya masih lagi dapat dilihat sampailah sekarang di mana
sektor perniagaan masih lagi didominasi oleh orang Cina dan kebanyakan orang
India masih lagi tinggal di ladang-ladang. Perbezaan pekerjaan ini telah
membataskan interaksi sosial antara mereka kerana masa banyak diluangkan

Mohd Mahzan Awang, dkk.


130
di tempat kerja dan sekiranya rakan sekerja terdiri daripada kaum atau etnik
yang sama maka interaksi dan komunikasi hanya berlaku dan berada dalam
lingkungan kaum yang sama sahaja. Kesannya adalah di mana perasaan
prasangka dan perkauman akan menjadi semakin kuat dan menebal di antara
sesama kaum terbabit.
Selain itu, rentetan daripada dasar yang diperkenalkan oleh penjajah
telah membawa kepada strata ekonomi dalam masyarakat itu sendiri. Keadaan
ini telah menyebabkan berlakunya jurang ekonomi yang luas dan sukar untuk
diatasi terutamanya bagi masyarakat Melayu dan India kerana dasar yang
diketengahkan oleh pihak penjajah sebelum ini menjadikan mereka lebih
mundur dan kurang berdaya saing berbanding dengan kaum Cina yang tertumpu
di kawasan bandar dengan keupayaan untuk melakukan perniagaan serta
memperoleh pendapatan yang lumayan. Perbezaan jurang pendapatan yang
ketara ini merupakan cabaran yang sering membawa kepada ketidakstabilan
masyarakat majmuk.
Oleh hal demikian, perpaduan negara sukar dipupuk jika sebahagian
besar penduduk kekal miskin dan jika peluang pekerjaan produktif yang
mencukupi tidak diwujudkan kerana tenaga buruh dan permintaan pekerjaan
yang kian meningkat. Ditambah pula dengan jurang ekonomi yang dialami.
Perbezaan pencapaian setiap etnik atau dualisme dalam ekonomi telah berlaku
sejak era penjajahan lagi dimana ekonomi tradisional yang melibatkan kaum
melayu dikatakan berada pada aras yang membimbangkan dan merupakan
kadar kemiskinan yang tinggi. Kepincangan ini menyebabkan
ketidakseimbangan antara etnik berlaku dalam sektor ekonomi.
Secara keseluruhannya dapat disimpulkan bahawa separuh daripada
kaum Melayu adalah terlibat dalam sektor kerajaan dan selebihnya adalah dalam
bidang swasta. Manakala, kaum Cina pula menguasai bidang pengangkutan,
perniagaan dan kewangan. Kaum India pula ramai yang terlibat dalam sektor
pengangkutan awam, perkhidmatan awam, perniagaan dan kewangan. Laporan
Rancangan Malaysia Kelapan turut menyatakan bahawa jurang purata
pendapatan antara etnik adalah masih tidak seimbang berdasarkan corak
taburan perekonomian semasa. Namun begitu, keperluan untuk
memperbetulkan kedudukan dimensi ekonomi ini amatlah terdesak kerana ia
menjadi asas utama dalam memupuk kerjasama antara kaum.

Mohd Mahzan Awang, dkk.


131
Perkara yang berbangkit dalam isu ekonomi yang membawa kesan
terhadap hubungan kaum di Malaysia adalah perbezaan pekerjaan berdasarkan
sektor ekonomi. Sebagaimana dijelaskan, pengelasan setiap golongan etnik
mengikut sektor ekonomi akan menyebabkan interaksi kaum akan terjejas.
Penguasaan ekonomi oleh golongan etnik tertentu akan menguatkan lagi
semangat perkauman dan meruntuhkan perpaduan antara etnik-etnik ini. Pada
waktu penjajahan umpamanya, pengelompokan etnik di sesuatu kawasan untuk
tujuan keperluan ekonomi British menyebabkan masyarakat tempatan tidak
berpeluang untuk mengenali kaum yang lain serta tidak berkesempatan untuk
berinteraksi antara satu sama lain umpamanya kaum India dan Cina dengan
lebih dekat dan rapat. Hasilnya, semangat perpaduan dan pengukuhan
kemasyarakatan antara kaum ini tidak dapat dieratkan. Selain itu, penguasaan
ekonomi kepada golongan kaum tertentu akan menyebabkan monopoli terhadap
sesuatu sektor itu. Oleh itu, sikap bias yang muncul mengikut kaum akan berlaku
kerana untuk memenuhi kepentingan dan keperluan kaum yang menguasai
ekonomi tersebut. Keadaan ini seterusnya menyebabkan hubungan etnik di
Malaysia menjadi tidak begitu murni dan keadaan ini turut dirasai hingga ke hari
ini.
Ekonomi sebenarnya merupakan nadi bagi sesebuah negara dan
menjadi penggerak utama kemajuan. Jurang ekonomi yang berlaku dan juga
pemisahan yang terjadi kepada kaum-kaum di tanah Melayu menjadi satu garis
lintang dalam memupuk keutuhan sesuatu perpaduan. Dasar pecah dan perintah
yang dilaksanakan pada zaman penjajahan British terhadap kaum-kaum yang
ada menimbulkan kesan pada masa kini. Hal ini terbukti dengan sistem ekonomi
yang ada pada masa kini dimana masih wujud lagi ketidakseimbangan dan
ketidaksamaan yang membelenggu kehidupan setiap kaum di Malaysia.
Hal ini bukan sahaja telah mewujudkan jurang ekonomi antara kaum-
kaum yang ada, bahkan turut menimbulkan perasaan curiga dan polarisasi antara
kaum. Perbezaan pekerjaan ini telah membataskan interaksi sosial di antara
mereka dimana jika rakan sekerja terdiri dari kaum yang sama, maka interaksi
dan komunikasi mereka berada dalam lingkungan kaum yang sama. Dengan
itu, mereka sekaligus akan banyak meluangkan masa dan berkomunikasi dalam
lingkungan yang sama juga. Hal ini pasti boleh menyumbang kepada perasaan
perkauman dan interaksi hubungan dengan kaum yang semakin menipis dan
hambar.
Mohd Mahzan Awang, dkk.
132
Dominasi kaum dalam satu-satu bidang juga adalah cabaran kedua
daripada aspek ekonomi. Ini adalah kerana kaum-kaum lain tidak dapat menyelit
atau masuk ke dalam bidang tertentu yang didominasi oleh kaum-kaum tertentu
dan ini adalah kerana kaum yang mendominasi itu mahu terus mengekalkan
hak dan kuasa dominasi mereka. Di Semenanjung Malaysia, Bumiputera
memiliki 32.3 % daripada jumlah pertubuhan perdagangan runcit, manakala
kaum Cina sebanyak 60.8 % dan kaum India sebanyak 6.3 %. Di Sabah dan
Sarawak, pemilikan Bumiputera adalah lebih rendah iaitu 17.4 % dan kaum
Cina adalah 79.3 %. Bagi pertubuhan perdagangan borong, pemilikan kaum
Cina adalah jauh lebih tinggi. Di Semenanjung Malaysia, kaum Cina memiliki
85.2 % daripada jumlah pertubuhan perdagangan borong berbanding dengan
10.2 % Bumiputera dan 2.9 % kaum India. Bagi Sabah dan Sarawak pula,
pemilikan kaum Cina adalah 94.5 % dan Bumiputera sebanyak 3.8 %. Kaum
Melayu pula kekal dengan sektor pertanian, penjawat awam manakala kaum
India juga masih lagi di estet dan penjawat awam. Golongan yang berpendapatan
lebih tinggi pastilah tinggal di kawasan elit dan mewah sekaligus memisahkan
mereka dari golongan yang lain.
Di samping itu dengan wujudnya jurang ini, semua etnik berusaha untuk
mengaut keuntungan secara maksimum dari apa yang telah tersedia. Masing-
masing mementingkan etnik sendiri terlebih dahulu dalam mengejar kekukuhan
tapak dalam sektor ekonomi. Ini dapat dilihat dalam sektor awam sendiri. Selain
itu, dalam perniagaan, etnik dan kaum sendiri diberikan peluang dan bukannya
dari etnik lain.

HUBUNGAN ETNIK DIMENSI SOSIO-DEMOGRAFI


Dari segi juga terdapat cabaran yang menjadikan usaha pemupukan
hubungan etnik menjadi pincang. Ini berlaku apabila kurangnya percampuran
dan interaksi sosial antara kaum. Apabila perkara ini berlaku, tidak akan timbul
rasa kepercayaan dan kekitaan dalam diri setiap kaum dan etnik, apabila
kepercayaan ini telah hilang maka sesuatu hubungan yang baik sukar untuk
dibentuk. Pemisahan fizikal ini berlaku pada asasnya akibat keadaan geografi
yang memisahkan etnik. Kedudukan yang jauh terpisah di tambah lagi dengan
amalan dasar pecah dan perintah yang mengasingkan pemerintahan dan

Mohd Mahzan Awang, dkk.


133
penempatan setiap kaum di Tanah Melayu. Bagi menyempurnakan dasar ini,
British telah menyediakan segala kelengkapan termasuk sistem pendidikan di
tempat yang berasingan. Hal ini bukan sahaja merenggangkan hubungan dan
interaksi, bahkan turut menguatkan lagi etnosentrisme dan menimbulkan
prasangka antara kaum.
Pemisahan dari segi fizikal ini yang bertitik tolak daripada pengenalan
dasar pecah dan perintah memberikan kesan yang sangat signifikan dalam
hubungan etnik di Malaysia pada hari ini. Corak dan ciri-ciri demografi yang
terdapat di Malaysia pada masa kini turut mempunyai pertalian rapat dengan
latar belakang kesejarahan khususnya pada zaman penjajahan British. Comber
(2007) menyatakan sejarah telah membuktikan bahawa penempatan keluarga
Cina telah berlaku sejak mereka berhijrah ke Tanah Melayu sehinggalah
berlakunya penjajahan Inggeris.
Kerenggangan hubungan antara etnik ini mula dirasai setelah
pengenalan kaum didefinisikan mengikut tempat tinggal dan kegiatan ekonomi
setiap etnik. Oleh itu, pola kependudukan sebegini secara tidak langsung telah
memisahkan kelompok-kelompok etnik ke bandar penempatan yang tertentu.
Hal ini dan menunjukkan ketidakseimbangan taburan antara etnik. Keadaan ini
terbawa-bawa hingga ke masa kini yang menunjukkan majoriti kaum Cina tinggal
di bandar dan kaum Melayu tinggal di kawasan luar bandar. Perkara ini turut
dirasai masa kini dengan contohnya walaupun orang Melayu tinggal di bandar,
mereka akan lebih selesa dan memilih untuk menetap di kawasan perumahan
yang majoriti dihuni oleh kaum sebangsanya dan keadaan ini juga turut berlaku
kepada kaum-kaum yang lain seperti yang dijelaskan oleh kajian Strautch (1981).
Taburan penduduk antara tahun 1957 hingga 1970 memperlihatkan
kebanyakan orang Melayu tinggal di kawasan luar bandar dan mengamalkan
kegiatan sara diri dalam bidang pertanian. Kebanyakan orang Melayu rata-ratanya
dapat dilihat tertumpu di negeri Pahang, Terengganu, Kelantan, Perlis dan
Kedah. Manakala orang Cina pula bergiat aktif dalam ekonomi modern
terutamanya dalam bidang perlombongan dan juga dalam bidang perniagaan
yang tertumpu di kawasan bandar dan kawasan yang pesat membangun
terutamanya di Kuala Lumpur, Perak, Selangor, Pulau Pinang, Negeri Sembilan,
Melaka dan Johor. Kaum India pula tertumpu di kawasan Selangor, Pulau Pinang,
Negeri Sembilan dan Perak dimana mereka masih lagi tertumpu kepada kegiatan

Mohd Mahzan Awang, dkk.


134
perladangan seperti perusahaan getah dan tanaman komersil. Selain itu, taburan
penduduk pada tahun 2000 menunjukkan sedikit perubahan dalam strata bandar
dan luar bandar mengikut kaum. Pertumbuhan ini walau bagaimanapun agak
perlahan dan hanya menarik golongan yang tertentu untuk bermigrasi.
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi semasa dalam sektor industri di pusat-
pusat bandar serta jaringan infrastruktur moden dan komprehensif telah menarik
perhatian golongan muda untuk berhijrah dari luar bandar ke bandar.
Kemudahan infrastruktur ini telah memudahkan mobiliti masyarakat untuk
membuka penempatan-penempatan baru di samping untuk tujuan ekonomi.
Migrasi penduduk ini telah mencorakkan satu pola demografi yang baru kerana
telah berlaku percampuran etnik di sesuatu tempat. Namun, disebabkan migrasi
ini terdiri daripada kalangan tenaga kerja kurang mahir menyebabkan
keseimbangan ekonomi tidak begitu dilihat seimbang dalam kalangan etnik
tertentu.

HUBUNGAN ETNIK DIMENSI PENDIDIKAN


Kerajaan British telah memperkenalkan sistem sekolah vernakular iaitu
sekolah mengikut bahasa ibunda masing-masing dalam pendidikan semasa di
Tanah Melayu memandangkan pada ketika itu masih lagi tidak mempunyai
dasar pendidikan yang jelas. Sistem pendidikan yang berteraskan pendidikan
Inggeris telah diketengahkan sewaktu zaman pemerintahan British dimana
melalui sistem ini sekolah-sekolah aliran Inggeris diwujudkan dan proses
pengajaran dan pembelajarannya juga adalah dalam bahasa Inggeris.
Dasar pengasingan dan pemisahan ini telah menyebabkan setiap etnik
mempunyai sistem pendidikan yang sendiri dimana mereka rata-ratanya
menggunakan bahasa ibunda masing-masing bukan sahaja untuk
berkomunikasi bahkan turut digunapakai dalam proses pengajaran dan
pembelajaran seharian. Bahkan, sukatan pelajaran yang digunapakai juga adalah
diambil daripada negara masing-masing. Keadaan ini telah menyebabkan
interaksi sesama mereka hanya berkisar dalam golongan etnik yang sama. Kajian
yang dijalankan oleh Haris Md Jadi pada tahun 1990 menyatakan bahawa akibat
daripada sosialisasi sekolah mengikut etnik tersebut menyebabkan semangat
integriti nasional semakin sukar dipupuk. Hal ini demikian kerana, bahasa
merupakan satu eleman yang merumitkan dan suatu perkara yang tidak mudah

Mohd Mahzan Awang, dkk.


135
dipandang enting dalam masyarakat yang berbilang kaum seperti di Malaysia
kerana ianya boleh sahaja dijadikan penghalang kepada pemupukan integriti
jika kumpulan ras dan etnik yang berlainan mahukan pengekalan bahasa-bahasa
mereka sebagai alat untuk menyampaikan kebudayaan dan nilai-nilai sosial.
Selain itu, pertumbuhan sistem pendidikan adalah tidak seimbang
mengikut negeri-negeri dimana dapat diperhatikan. Pada tahun 1897, hanya
terdapat sebuah sekolah Melayu di Kedah untuk murid-murid lelaki, dan khusus
untuk anak-anak orang kenamaan dan pembesar sahaja yakni bagi golongan
bawahan kemudahan pendidikan tidak disediakan. Malah, mereka rata-ratanya
tidak berpeluang untuk belajar. Hal ini menggambarkan bahawa kerajaan British
tidak berminat dalam membangunkan sistem persekolahan terutamanya bagi
negeri-negeri yang majoritinya terdiri daripada masyarakat Melayu. Pada zaman
penjajahan ini, dasar pendidikan tidak menghasilkan keberkesanan yang
positif.Malahan, dasar pendidikan yang diketengahkan juga bukanlah bertujuan
untuk mencapai perpaduan. Pelaksanaannya juga mempunyai banyak
kepincangan serta kelemahan kerana British pada masa itu hanya
mementingkan kepentingan ekonomi dan kedudukan sendiri sahaja. Pihak
Inggeris juga telah mewujudkan sekolah vernakular Melayu, vernakular Cina
dan vernakular Tamil yang sudah pasti ianya telah menyebabkan masyarakat
Melayu, Cina dan India dipisahkan mengikut sistem persekolahan dengan
berpaksikan kepada kepentingan dan matlamat mereka sendiri. Keadaan ini
secara tidak langsung menambahkan jurang dan merenggangkan hubungan
di antara satu sama lain. Malah, masalah ini bertambah rumit apabila pihak
British tidak memainkan peranan dengan adil, terutama dari segi layanan yang
setaraf kepada semua bangsa atau kaum dalam membentuk perpaduan.
Selepas Merdeka 1957, Malaysia merupakan sebuah negara baru dan
bermulalah era dalam mengukuhkan semula pendidikan negara supaya berjalan
seiring dengan matlamat perpaduan nasional. Bagi mengembalikan keyakinan
dan kepercayaan rakyat dalam memahami dasar pendidikan yang dilaksanakan
,satu usaha murni telah dipergiatkan dan diketengahkan oleh sistem pendidikan
Malaysia iaitu dengan penubuhan Akta Pelajaran 1961 demi menjaga
kepentingan masyarakat Malaysia yang majmuk. Menurut Abu Bakar Nordin
(1994), “Laporan Razak 1956 boleh dijadikan sebagai batu loncatan ke atas
dasar dan sistem pendidikan kebangsaan yang mempunyai perubahan positif,

Mohd Mahzan Awang, dkk.


136
terutama membentuk dan memupuk perpaduan negara”. Selepas negara
mencapai kemerdekaan pada tahun 1957, perpaduan merupakan satu eleman
yang sangat bermakna dan sesuatu yang penting serta menjadi keperluan untuk
dicapai bagi memastikan keharmonian dan kesejahteraan semua kaum. Jadi,
berbekalkan kepada kepentingan tersebut penggubalan dasar pendidikan pada
waktu itu menjadikan perpaduan sebagai asas utama dalam melahirkan dasar
pendidikan yang baru.
Di samping itu, polarisasi dalam kalangan pelajar turut menjadi
penyumbang dalam isu pendidikan yang membantutkan keharmonian
sosialisasi atau perhubungan etnik di Malaysia. Hal ini terjadi kerana sistem
pendidikan mempunyai adunan dan acuan pendidikan yang berbeza. Keadaan
ini terjadi mungkin disebabkan timbulnya pelbagai aliran dalam sistem
pendidikan yang mana terdapat perbezaan dari sudut kurikulum dan orientasi
matlamatnya. Pengenalan sistem pendidikan kebangsaan Malaysia yang
dibentuk berasaskan keseragaman kurikulum dan orientasi untuk membentuk
kepelbagaian budaya, nilai dan norma masyarakat bagi membentuk identiti
kebangsaan.
Dasar Ekonomi Baru (DEB) yang bermatlamat mencapai perpaduan
negara dan integrasi nasional diwujudkan dalam mengambil iktibar rentetan
daripada kesan peristiwa berdarah 13 Mei 1969 yang telah berjaya mengubah
hampir keseluruhan landskap politik, ekonomi dan sosial masyarakat Malaysia.
Bermula tahun 2010, sistem pendidikan di Malaysia telah bergerak seiring
dengan keperluan semasa kerana masyarakat juga turut berubah disebabkan
oleh arus pemodenan dan globalisasi. Sehingga kini, Malaysia masih
meneruskan kesinambungan sistem persekolahan lama dengan mengekalkan
sekolah kebangsaan, sekolah jenis kebangsaan Cina dan sekolah jenis
kebangsaan Tamil. Isu-isu ini telah kerap kali dibincangkan dan diperdebatkan
namun akhirnya tiada jalan penyelesaian yang dilakukan bagi mengubah kepada
sistem persekolahan yang baru. Isu-isu ini sebenarnya merupakan isu yang
sensitif bagi masyarakat Malaysia yang berbilang bangsa, kerana bukan sesuatu
yang mudah untuk mendapatkan persetujuan daripada masyarakat yang
mempunyai pandangan, pendapat dan kepentingan yang berbeza.

Mohd Mahzan Awang, dkk.


137
HUBUNGAN ETNIK DIMENSI GLOBALISASI
Globalisasi merujuk kepada dunia tanpa sempadan dimana
perhubungan menjadi semakin pantas dan cepat. Kita boleh mengetahui
keadaan dunia luar tanpa sebarang bantasan malah segala maklumat boleh
disalurkan tanpa ada sekatan. Globalisasi membawa masuk pengaruh dari Barat
terutama dari segi ideologi, budaya hedonism dan juga dapat dilihat dari sudut
nilai negatif, ekonomi bebas, sains dan teknologi yang memusnahkan dan sistem
politik yang dianggap terbaik bagi semua manusia. Pemikiran barat saban hari
semakin menular dalam jiwa masyarakat sehinggakan menghakis nilai-nilai
luhur yang ditanam dalam diri setiap warganegara. Cabaran globalisasi ini boleh
kita rumuskan sebagai satu anasir luar yang mampu untuk memecahbelahkan
perpaduan dalam negara kita. Cabaran globalisasi ini bukan sahaja meresap
dan membelenggu pemikiran masyarakat sahaja bahkan ia turut menjadi suatu
yang boleh dianggap bahaya bukan sahaja kepada individu malah turut
mengundang risiko kepada negara apabila melibatkan serangan-serangan
berbentuk ketenteraan dan melibatkan hasutan sehingga boleh menyebabkan
seseorang individu berpaling tadah terhadap negaranya sendiri. Serangan
terhadap pemikiran masyarakat adalah perkara yang seringkali dibimbangi
kerana dikhuatiri akan mengundang pelbagai aspek negatif seperti peniruan
dari segi pemakaian, genre lagu dan fesyen-fesyen rambut serta sebagainya.
Hal ini mudah terjadi apabila masyarakat kita sendiri suka untuk berfikiran
berkiblatkan barat.

HALA TUJU, CABARAN DAN HARAPAN


Setiap kumpulan etnik mempunyai nilai, agama, kebudayaan dan
bahasa yang berbeza. Orang Melayu, China dan India terus dengan sistem
hidup yang berteraskan kebudayaan dan tradisi mereka. Setiap kumpulan etnik
mempertahankan kebudayaan dan adat resam masing-masing, mengutamakan
etnik mereka dan mungkin juga menganggap kebudayaan mereka sahaja yang
terbaik. Selain daripada itu kewujudan akhbar atau media cetak yang pelbagai
bahasa dengan mengutamakan kelompok etnik sendiri akan memperkukuhkan
lagi perasaan kumpulan etnik masing-masing. Faktor cabaran ini merupakan
satu faktor yang tidak dapat dielakkan kerana semua kaum mempunyai
kepercayaan, budaya dan agama mereka yang tersendiri. Setiap kaum

Mohd Mahzan Awang, dkk.


138
mempunyai semangat yang menebal terhadap kebudayaan mereka dan bahasa
mereka. Mereka hanya ingin menggunakan bahasa mereka dan tidak mahu
membuka dunia budaya mereka kerana beranggapan jika terdapat yang lain
selain bangsa mereka identity bangsa mereka akan hilang dan tiada lagi
keistimewaannya. Di samping itu, terdapat juga batasan dan peraturan sosial
yang perlu diambil kira kerana perbezaan budaya. Ini kerana apabila terdapatnya
perbezaan ini, kita tidak tahu apa yang diperkatakan dan apa yang menjadi
dalam kalangan bangsa lain.
Di sebalik kejayaan negara kita pada hari ini dalam membentuk dan
mengeratkan perpaduan dan hubungan yang baik dalam kalangan etnik yang
menjadi rakyat Malaysia, masih terdapat cabaran dalam pembentukan dan
pemeliharaan hubungan ini. Keharmonian hubungan etnik masih perlu
ditekankan kerana terdapat ancaman yang mampu menjejaskan hubungan
antara etnik dan perpaduan masyarakat majmuk di Malaysia. Terdapat beberapa
faktor yang menimbulkan konflik dan ancaman dalam masyarakat kita. Antaranya
adalah melibatkan perbezaan unsur kebudayaan. Perbezaan dari segi agama,
bahasa dan adat ini sememangnya tidak dapat dielakkan atau dihindari kerana
setiap kaum mempunyai kebudayaan masing-masing yang menjadi identiti
mereka sendiri.
Hakikatnya, terdapat banyak cabaran yang mampu menggugat
perpaduan di kalangan etnik di negara ini. Isu-isu internal dan eksternal
menyumbang kepada kegoyahan hubungan etnik jika tidak ditangani dengan
bijak. Kestabilan ekonomi dan politik merupakan asas kepada perpaduan
hubungan etnik. Perpaduan yang dikecapi pada hari ini perlu dihargai agar
terus dirasai oleh generasi akan datang. Kegagalan mengekalkan perpaduan
memudahkan dominasi negara-negara lain untuk menakluki negara kita. Semua
etnik tanpa mengira batas agama, budaya dan adat perlu belajar daripada
sejarah agar sejarah penjajahan yang telah berlangsung lebih dari seratus tahun
tidak akan berulang. Oleh itu, usaha untuk mencapai perpaduan dan integrasi
kaum di negara ini bukanlah suatu tugas yang mudah. Proses untuk mencapai
perpaduan dan integrasi mengambil masa yang lama serta memerlukan
perancangan yang teliti, tepat dan bijaksana. Bidang pendidikan adalah
merupakan salah satu bidang yang paling penting dan sesuai untuk mencapai
hasrat kerajaan untuk mengeratkan menyatupadukan serta mengintegrasikan

Mohd Mahzan Awang, dkk.


139
pelbagai kaum. Setiap dasar yang dilaksanakan oleh kerajaan telah menghadapi
tentangan dan cabaran yang berbeza daripada pelbagai kaum di negara ini.
Seringkali sikap mementingkan kaum sendiri melebihi kepentingan negara
menjadi penghalang kejayaan sesuatu dasar. Justeru itu, untuk mencapai
perpaduan kaum secara mutlak semua pihak perlu meletakkan kepentingan
negara melebihi kepentingan diri dan kaumnya. Sekiranya sikap ini tidak dapat
dipraktikkan oleh semua kaum, hasrat untuk mencapai perpaduan dan integrasi
di negara ini hanya menjadi angan-angan yang tidak mungkin dapat dicapai.

KESIMPULAN
Berdasarkan perbincangan di atas, satu kerangka baru dalam hubungan
etnik di Malaysia perlu dirancang secara komprehensif dan sistematik serta
bersifat jangka panjang. Situasi ini mestilah bermula dari peringkat persekolahan
awal sehingga ke peringkat universiti. Harapan kepada kesemua etnik-etnik di
Malaysia sentiasa memikirkan dan melihat semula peranan masing-masing
dalam mewujudkan perpaduan kaum yang lebih utuh bagi menjamin
keharmonian secara bersama yang tidak hanya memikirkan kepada etnik tertentu.

RUJUKAN
Chamil Wariya. 2010. Malaysia: Asas Pembinaan Negara Bangsa Institusi
Pemerintahan Lambang Kebangsaan. Kuala Lumpur: Matrix Media
Global.
Chew Hock Thye. 1975. Masalah Perpaduan Nasional. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Goh Cheng Teik. 1989. Racial Politics in Malaysia. Petaling Jaya: FEP
International Sdn Bhd. Haris Md. Jadi. 1990. Etnik, politik dan
pendidikan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Haris Md. Jadi. 1990. Etnik, politik dan pendidikan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka.
Harliana Halim. 2014. Hubungan Etnik Di Era Penjajahan Hingga Kemerdekaan.
Universiti Sains Malaysia. Pulau Pinang.

Mohd Mahzan Awang, dkk.


140
Mansor Mohd. Noor, Abdul Rahman Aziz dan Mohammad Ainuddin IskandarLee.
2006. Hubungan Etnik di Malaysia. Kuala Lumpur: Prentice Hall
Malaysia. Roff. 1980.
Mohd. Mahadee. 2007. Isu-Isu Kontemporari: Politik dan Media. Titas. Penerbit
Universiti Putra Malaysia. Serdang.
Ma’rof Redzuan, Mohamad Shatar Sabran & Zahid Emby. 2001. Pengantar
Sosiologi dan Antropologi Sosial. Penerbit Universiti Putra Malaysia.
Serdang.
Modul HNS2013 Kenegaraan Pendidikan Jarak Jauh. 2011. Unit 10 Isu-isu Dan
Cabaran Negara. Tanjung Malim Perak: Universiti Perguruan Sultan
Idris.
Mohamad Rodzi Abd Razak. 2009. Pembinaan negara bangsa Malaysia :Peranan
Pendidikan Sejarah dan Dasar Pendidikan Kebangsaan. pp. 90-106.
ISSN 2180-0251.
 Mohd  Ridhuan  Tee Abdullah.  2010. Cabaran Integrasi Antara Kaum Di
Malaysia: Perspektif Sejarah, Keluarga dan Pendidikan. Jurnal Hadhari,
2 (1). pp. 61-84. ISSN 1985-6830.
Nazaruddin Mohd. Jadi et. Al. 1996. Kenegaraan Malaysia. Sejarah Awal,
Kemerdekaan & Pembentukan Malaysia. Kuala Lumpur. Kumpulan
Budiman Sdn. Bhd.
Nazri Muslim, Nik Yusri Musa dan Ahmad Hidayat Buang. 2001. Hubungan Etnik
Di Malaysia Dari Perspektif Islam Ethnic Relations In Malaysia From An
Islamic Perspective. Pusat Pengajian Umum, Universiti Kebangsaan
Malaysia, Bangi, Selangor.
Neena Sharma. 1985. Politics Sosialization And Its Impact On Attitudinal Change
Towards Social And Politics System: A Case Study Of Harijan Women
Of Delhi. New Delhi: M.C. Mittal.
Nurdeng Deuraseh. 2007. Isu-Isu Kontemporari: Hegemoni Barat dan Globalisasi.
Titas. Penerbit Universiti Putra Malaysia. Serdang.
Ratnam K. S. 2002. Malaysia 11 September And The Politics Of Incumbency.
Dlm. Daljit & Anthony L. S. (pnyt.). Southeast asia affairs 2002. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies.

Mohd Mahzan Awang, dkk.


141
Shamsul Amri Baharuddin. 2012. The Origins of Malay Nationalism. Kuala
Lumpur: Penerbit Universiti Malaya.
Strauch J. 1981. Chinese Village Politics In Malaysia State. Cambridge: Harvard
University Press.
Samsudin A. Rahim. 1992. Peramal Perpaduan Antara Etnik : Implikasi Terhadap
Perancangan Komunikasi. Jurnal Komunikasi Jilid 8.
Syed Husin Ali. 2008. Ethnic Relations in Malaysia. Strategic Information Research
Development. Kuala Lumpur.
Ting Chew Peh. 1987. Hubungan Ras dan Etnik. Pustaka Dimensi. Kuala Lumpur.

Mohd Mahzan Awang, dkk.


142
PENDIDIKAN SEJARAH,
KEWARGANEGARAAN, PATRIOTISME DAN
LITERASI POLITIK.
Azhar Ahmad, Mohd Johari Hassan, Kashfull Munirah Yusof, Nur
Afiqkha Akma Mohd Hussein, Norhayati Ishak
Corresponding author: asa238@gmail.com

PENGENALAN
Pendidikan sejarah merupakan nadi dalam dunia pendidikan. Ini kerana
pendidikan sejarah membentuk semangat jati diri dan perjuangan dalam diri
seseorang individu dan seterusnya sesebuah masyarakat serta negara.
Penekanan kepada aspek ini sudah pasti menjadi agenda bagi sesebuah negara
yang berdaulat dan merdeka. Tidak keterlaluan jika dikatakan pendidikan sejarah
menjadi pemangkin kepada kemajuan sesebuah bangsa, tamadun dan negara.
Sesungguhnya sejarah tamadun lampau menjadi gambaran dan pengajaran
kepada negara-negara di dunia pada hari ini. Dalam kita membina kekuatan
bangsa adalah menjadi satu kepentingan untuk mengambil iktibar daripada
sejarah-sejarah lampau dimana dengan perkataan lain sejarah perlu dilihat
semula agar dapat menguatkan serta memantapkan lagi perjuangan
kebangsaan di samping menjadikannya sebagai satu garis panduan untuk
tatapan masa kini. Setiap warganegara di Malaysia perlu mempunyai jati diri
yang kukuh. Justeru, pengajaran dan pembelajaran sejarah perlu diberikan
penekanan di sekolah-sekolah untuk membentuk nilai kewarganegaraan dan
semangat patriotisme di kalangan para pelajar. Ini menjelaskan bahawa
pendidikan sejarah perlu diselami dan dikuasai oleh semua pelajar kerana ia

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia dan Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Azhar Ahmad, dkk.


143
merupakan asas kepada pembentukan sesebuah negara bangsa. Menurut
pendapat daripada Abdul Rahim Abdul Rasyid (1999), pendidikan sejarah
berperanan sebagai rangka pembinaan bangsa dan negara. Ini bermaksud
bahawa dalam membentuk sebuah negara yang merdeka, sejarah menjadi
faktor dalam penilai pembentukannya. Pendidikan sejarah menjadi satu aspek
penting sebagai rangka dalam pembentukan sesebuah negara. Oleh itu ia
menjadi perkara asas dalam cabaran untuk membina satu bangsa Malaysia
yang kuat dan bertoleransi.
Pendidikan sejarah adalah penting terutamanya dalam
membincangkan dan membangkitkan pelbagai isu-isu sejarah seperti
nasionalisme, patriotisme dan sebagainya. Oleh itu, keadaan ini menjadikan
pendidikan sejarah sebagai satu asas dalam pembentukan bangsa yang
merdeka serta mengamalkan tatacara dan acuan tersendiri. Proses dalam
pembentukan negara bangsa pasti tidak akan berlaku tanpa adanya asas
daripada pendidikan sejarah. Dalam menjelaskan kepentingan pendidikan
sejarah ternyata aspek nilai kewarganegaraan dan patriotisme menjadi perkara
penting yang perlu diperjelaskan kepada para pelajar. Kedua-dua aspek ini
sesungguhnya menjadi pemangkin kepada kekuatan untuk mengekalkan
kemerdekaan dalam sesebuah negara bangsa.

MATLAMAT PENDIDIKAN SEJARAH


Hampir semua negara di dunia ini sangat menekankan aspek
kewarganegaraan dan patriotisme. Hal ini membuktikan kepada kita betapa
pentingnya nilai kewarganegaraan dan patriotisme dalam merencanakan
perkembangan sesebuah negara. Oleh yang demikian pelbagai cara telah
dilakukan seiring dengan matlamat yang ingin dicapai dalam memastikan
semangat jati diri bangsa akan terus teguh serta kukuh bersama dengan
pembangunan yang dirancang. Keputusan menjadikan mata pelajaran Sejarah
sebagai mata pelajaran wajib lulus dalam peperiksaan Sijil Pelajaran Malaysia
(SPM) bermula pada tahun 2013 telah mengundang reaksi yang positif daripada
golongan pendidik. Bermula pada tahun 2014 mata pelajaran Sejarah telah
diperkenalkan di sekolah rendah, iaitu bermula pada tahun empat. Langkah
mewajibkan mata pelajaran Sejarah dalam kurikulum pendidikan kebangsaan
telah lama diaplikasikan oleh negara-negara maju seperti Perancis, Amerika

Azhar Ahmad, dkk.


144
Syarikat, Jerman, United Kingdom, Republik Korea dan Jepun (Mohamad Johdi,
2000). Malah, negara-negara tersebut amat prihatin dan menitikberatkan
kebenaran fakta serta ketepatan interpretasi bagi mengekalkan kedaulatan
negara bangsa yang telah membawa negara berkenaan ke arah kegemilangan.
Kurikulum Bersepadu Sekolah Menengah (KBSM) telah menegaskan
kesepaduan unsur pengetahuan, peningkatan daya intelek, pemupukan nilai-
nilai murni dan perkembangan kemahiran belajar. Dalam kurikulum mata
pelajaran Sejarah, unsur-unsur kesepaduan perkembangan intelek,
pemupukan nilai-nilai murni dan kemahiran berfikir secara kritis dan kreatif
sangat ditekankan dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Malah,
matlamat utama pengajaran dan pembelajaran Sejarah adalah untuk
melahirkan individu yang kukuh jati diri, setia kepada bangsa dan negara serta
mempunyai semangat cinta akan negara (Kementerian Pendidikan Malaysia,
2003). Matlamat Pendidikan Sejarah bertujuan untuk memupuk semangat
cintakan negara dan perasaan bangga sebagai warganegara Malaysia. Melalui
pengetahuan dan penghayatan sejarah, para pelajar akan dapat memahami
keadaan masyarakat dan negara dalam mewujudkan semangat perpaduan
dan kekitaan terhadap masyarakat dan negara sebagai satu unit tunggal. Hal
ini pasti akan mewujudkan ingatan bersama terhadap sejarah sebagai rangka
rujukan kesedaran kebangsaan dan memperkukuhkan perasaan cintakan tanah
air. Mata pelajaran sejarah juga memainkan peranan penting dalam memupuk
semangat kewarganegaraan dan patriotisme. Oleh itu, kandungan kurikulum
Sejarah seharusnya memberikan penekanan terhadap pengetahuan tentang
sejarah negara dan nilai-nilai yang dapat memupuk semangat
kewarganegaraan dan patriotisme.
Banyak peristiwa penting yang berlaku di negara kita yang boleh dinilai
dan menjadi amat berharga kepada anak bangsa kita. Dalam pendidikan
sejarah menjadi satu kewajipan untuk kita merenung kembali peristiwa lampau
agar menjadi pengajaran dan iktibar yang berguna kepada kita. Lembaran
sejarah di negara kita bermula ketika era pembukaan Kerajaan Melayu Melaka
oleh Parameswara, hingga abad ke -21. Segala-galanya menampakkan
perubahan serta pegangan nilai kewarganegaraan dan patriotisme yang jauh
berbeza. Jika dilihat menerusi mata kasar tidak nampak akan perubahan itu.
Namun apabila diteliti dan dikaji sudah tentu nilai kewarganegaraan dan
patriotisme bangsa Malaysia kian luntur dimakan usia serta musnah.
Azhar Ahmad, dkk.
145
Kurikulum sejarah tentunya memberi tumpuan kepada aspek-aspek
dalam negara (tempatan) serta sejarah negara luar. Aspek sejarah tempatan
memberi perhatian kepada pengkajian sesuatu tempat atau kawasan sebagai
satu unit masyarakat yang lebih kecil daripada negeri atau negara. Dalam kajian
yang dijalankan, pengkajian sejarah tempatan akan bersifat mikro iaitu tentang
hal-hal berkaitan keadaan setempat. Unsur-unsur yang boleh dijadikan bahan
kajian merangkumi sejarah tokoh, benda, institusi, peristiwa, adat istiadat dan
kebudayaan setempat. Seiring dengan itu, pendekatan dalam pengajaran dan
pembelajaran mata pelajaran Sejarah perlu dipelbagaikan dengan
perkembangan teknologi pada masa kini. Hal ini demikian kerana, ia dapat
membantu mengubah persepsi masyarakat yang menganggap Sejarah sebagai
mata pelajaran yang membosankan dan dapat menolak stigma bahawa ia perlu
dihafal oleh murid-murid semata-mata sebelum menduduki sesuatu peperiksaan.
(Doreen, 2004).
Dalam memilih tentang negara luar pula, aspek-aspek yang dipilih dan
diberikan keutamaan mestilah yang mempunyai kaitan dengan sejarah Malaysia.
Ini bertujuan supaya para pelajar dapat memahami secara lebih jelas tentang
sejarah negara di samping mengetahui sedikit sebanyak tentang sejarah negara
luar yang berkenaan.

PATRIOTISME
Kekuatan dan keutuhan sesebuah negara bergantung kepada tingginya
nilai patriotisme yang ada dalam diri setiap insan yang bertapak di bumi Malaysia.
Wujudnya keamanan yang dikecapi masa kini adalah hasil keringat para perjuang
tanah air yang sentiasa menghargai nilai patriotisme dalam diri mereka. Jika
suatu masa dahulu, semangat patriotisme dan sikap kekitaan benar-benar wujud
dalam diri setiap masyarakat, namun kini semangat ini semakin sukar untuk
dilihat apatah lagi untuk ditonjolkan bagi menjadi panduan pada masa akan
datang. Pelbagai insiden yang wujud dalam masyarakat hari ini ternyata
menipiskan semangat cintakan negara. Fenomena ini semakin membimbangkan
dan perlu diberikan perhatian serius oleh pihak berwajib. Pendidikan dilihat
sebagai salah satu jalan keluar utama dalam menangani masalah ini. Hal ini
kerana pembentukan nilai dan aspirasi serta jati diri para pelajar bermula di
rumah. Meskipun ramai yang berpendapat pendidikan sebenar adalah bermula

Azhar Ahmad, dkk.


146
dari rumah namun kesibukan ibu bapa bekerja demi kelangsungan hidup
menyebabkan tugas mendidik perlu digalas oleh guru.
Pendidikan di sekolah sememangnya merupakan landasan terbaik
untuk memupuk nilai patriotisme dalam diri murid-murid di Malaysia. Bermula
tahun 2014, pendidikan di peringkat rendah telah melaksanakan pembaharuan
dengan menambah mata pelajaran Sejarah dalam sukatan pelajaran. Murid-
murid yang berada di Tahun 4 pada tahun yang sama perlu mempelajari satu
lagi mata pelajaran baru iaitu pendidikan Sejarah. Kini hampir 3 tahun mata
pelajaran diperkenalkan di sekolah rendah dengan memfokuskan kepada murid-
murid yang berada di Tahun 4, 5, dan 6. Pemilihan murid yang berada di Tahap
Dua di sekolah rendah, untuk mempelajari Sejarah dianggap langkah yang
bijak dan tidak terlalu lewat untuk menerapkan semangat patriotsime dalam diri
murid di sekolah. Jika dahulu mata pelajaran Sejarah akan mula dipelajari oleh
para pelajar apabila menjejakkan kaki ke sekolah menengah tetapi dengan
adanya dasar baru ini pendedahan tentang ilmu sejarah dapat diterapkan serta
dipupuk dari peringkat bawahan lagi. Dengan itu, pengetahuan sedia ada murid
akan lebih bertambah dan memberikan mereka lebih kesediaan untuk
mempelajari tentang sejarah dunia di peringkat menengah.
Meskipun program ini dilihat berjalan dengan lancar namun terdapat
pelbagai isu yang timbul dalam kalangan guru dalam melaksanakan proses
pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Isu ini bukan sahaja memberi kesan
kepada para pendidik namun turut menjejaskan proses pengajaran murid-murid
di sekolah rendah. Isu yang timbul ini perlu diberi perhatian kerana akan
menjejaskan hasrat kerajaan untuk memupuk semangat patriotisme dalam
kalangan murid. Antara isu yang sering timbul di peringkat sekolah rendah adalah
kurangnya guru yang berpengetahuan untuk mengajarkan mata pelajaran
tersebut. Faktor pengalaman dan pengetahuan guru boleh dikategorikan kepada
beberapa aspek yang utama. Pertama, guru yang mengajar mata pelajaran ini
merupakan guru bukan opsyen. Langkah menambah mata pelajaran baru di
sekolah sememangnya wajar diberikan pujian, namun, bilangan guru di sekolah
tetap sama. Begitu juga dengan opsyen dan kemahiran guru yang masih tidak
berbeza dengan sebelumnya. Justeru, pihak pentadbiran terpaksa menjadualkan
agar guru yang tidak mempunyai pengetahuan dalam pengajaran sejarah turut
diambil untuk mengajar mata pelajaran di sekolah. Masalah yang dilihat mungkin

Azhar Ahmad, dkk.


147
hanya remeh pada pandangan mata seseorang. Namun, jika diteliti dengan
mendalam, masalah guru bukan opsyen memberikan kesan yang besar terhadap
pengajaran sejarah di sekolah. Bayangkan mereka perlu menggali semua
kesemua fakta sejarah yang dipelajari sewaktu zaman persekolahan dulu dan
memerah otak mereka. Malah, secara tidak langsung mereka terpaksa
mempelajari sejarah dan isi-isi kandungan di dalam buku teks mahupun sumber-
sumber lain untuk mendapatkan ilmu sejarah itu sendiri yang mana penting
untuk seorang guru dalam menjalankan sesi pengajaran dan pembelajaran
semasa di dalam bilik darjah amnya. Jika mereka merupakan guru Bahasa
Inggeris, maka sudah pasti mereka mempunyai kesukaran untuk memahami
aspek sejarah dalam segala segi. Penguasaan terhadap ilmu-ilmu sejarah pula
pastinya berada pada tahap yang rendah memandangkan guru-guru bukan
opsyen rata-ratanya tidak di beri pendedahan yang meluas berkaitan dengan
dunia sejarah.
Teknik pengajaran sejarah tidak hanya boleh merujuk kepada bahan
rujukan yang disediakan namun pengalaman dan pengetahuan yang lepas perlu
ditelaah oleh para guru. Jika tidak, pastinya para guru mempunyai masalah
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh murid-murid.
Apabila pengetahuan guru yang mengajar sangat terhad, perkembangan
pemikiran sejarah oleh murid-murid akan terbatas malah ianya semakin sukar
untuk dipupuk apabila guru itu sendiri tidak memahami intipati ilmu sejarah itu
sendiri. Maka murid-murid tidak dapat merasai kepentingan mereka untuk
mempelajari sejarah. Lantas, semangat patriotisme tidak dapat diserap ke dalam
jiwa masing-masing.
Keadaan ini tidak banyak berbeza dengan guru yang mempunyai opsyen
sejarah. Meskipun berkelayakan ikhtisas dalam pengajaran sejarah, namun
pengalaman mengajar mata pelajaran lain sebelum ini menjadi satu kekangan
kepada mereka untuk menukar rutin pengajaran secara drastik. Penambahan
subjek sejarah memberi kesempatan dan inisiatif kepada mereka untuk berkongsi
ilmu pengetahuan sekaligus mendapat peluang untuk mengajar dalam bidang
mereka sendiri namun pelaksanaan yang diketengahkan sewajarnya
dilaksanakan secara berperingkat. Ini dapat membuka ruang dan peluang kepada
para guru untuk mempelajari sejarah dengan lebih mendalam sebelum
menerapkan semangat patriotisme dalam diri murid-murid.

Azhar Ahmad, dkk.


148
Isu penerapan semangat patriotisme di sekolah juga merangkumi
jumlah waktu interakasi murid-murid di sekolah. Setiap hari, murid akan
mempelajari pelbagai subjek mengikut jadual yang telah ditetapkan. Sebagai
contoh mereka perlu belajar mata pelajaran Bahasa Melayu, Bahasa Inggeris,
Matematik, Sains dan Pendidikan Islam. Jumlah waktu mereka untuk belajar di
sekolah adalah hampir kepada enam jam. Sekurang-kurangnya 4 mata pelajaran
yang perlu dipelajari oleh murid-murid di sekolah untuk memenuhi waktu
pembelajaran di sekolah.
Meskipun kedengaran lama untuk murid berada di sekolah, namun,
waktu interaksi bagi mata pelajaran sejarah adalah sebanyak 2 waktu sahaja
yang membawa kepada 60 minit seminggu. Jumlah waktu ini amat sedikit jika
dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain. Kebiasannya waktu pengajaran
sejarah akan dipisahkan menjadi 2 waktu iaitu selama 30 minit pada setiap
sesi. Jumlah waktu interaksi yang sedikit ini turut menyumbang kepada
pembentukan semangat patriotisme dalam diri para pelajar. Sekiranya terdapat
cuti umum yang jatuh pada hari yang sama, maka sesi pembelajaran sejarah
akan tertangguh dan sekaligus menjejaskan proses pengajaran yang akan
berlangsung. Lantas, proses pembelajaran subjek sejarah sepanjang minggu
akan terganggu. Isu yang turut menyumbang kepada lemahnya penerapan
patriotisme di dalam jiwa murid-murid generasi abad ke-21 ini adalah, kurangnya
kesedaran terhadap kepentingan mempelajari subjek sejarah di sekolah.
Pelaksanaan Ujian Peperiksaan Sekolah Rendah (UPSR), yang memerlukan 6
kertas soalan untuk dijawab oleh murid-murid, ternyata menimbulkan
kebimbangan dalam kalangan guru dan juga para pelajar. Justeru itu, lebih
banyak masa diperlukan untuk mereka menelaah intipati di dalam sukatan mata
pelajaran sejarah bagi menjawab soalan-soalan yang akan dinilai di dalam
kertas peperiksaan. Keadaan ini menyebabkan mata pelajaran sejarah semakin
terpinggir dan tidak lagi terlihat penting akan kewujudannya dalam sistem
pendidikan di sekolah.
Lantas, kesemua sesi pengajaran serta aktiviti luar yang akan
memberikan bonus tambahan kepada para pelajar untuk mempelajari sejarah
akan terbantut. Begitu juga dengan proses pengajaran yang berlangsung. Rata-
rata guru akan berusaha untuk meningkatkan pencapaian murid bagi
memastikan prestasi sekolah berada pada tahap yang memberangsangkan.

Azhar Ahmad, dkk.


149
Dengan itu, memang wajar usaha ini dilaksanakan dan diteruskan di sekolah.
Namun, semua pendidik haruslah sedar bahawa tugas untuk menanam
semangat patriotisme dalam jiwa para pelajar bermula daripada pendidikan
sejarah di sekolah. Oleh itu, pelaksanaan pengajaran di sekolah haruslah
dilaksanakan dengan lebih adil dan semua mata pelajaran harus dianggap
penting untuk mewujudkan generasi baru yang lebih cemerlang.
Pendidikan di sekolah rendah adalah berpandukan buku teks yang
dibekalkan oleh pihak kementerian. Buku aktiviti turut disalurkan untuk
membolehkan murid-murid membuat latihan bagi meningkatkan pemahaman
mereka terhadap sesuatu topik yang telah dipelajari. Begitu juga dengan mata
pelajaran Sejarah. Kesemua sekolah rendah dibekalkan dengan buku teks
mengikut enrolmen kelayakan murid. Namun, persoalannya sekarang, adakah
buku teks Sejarah yang dibekalkan itu cukup untuk membangkitkan semangat
patriotisme dalam kalangan murid-murid di peringkat sekolah rendah? Isu ini
timbul kerana penggunaan buku teks Sejarah dilihat tidak mampu untuk memberi
pemahaman yang jelas kepada para pelajar. Ilustrasi yang kurang dan tiada
gambaran yang jelas mengenai sesuatu peristiwa menyebabkan Sejarah kurang
difahami oleh para pelajar. Begitu juga dengan penulisan jalan cerita yang kurang
menarik menjadikan buku teks ini hambar. Kekurangan fakta yang jelas serta
gambar rujukan yang tidak cukup menjadikan Sejarah kurang diminati di peringkat
sekolah. Keadaan ini menyebabkan semangat patriotisme yang diharap dapat
diwujudkan dalam jiwa setiap pelajar gagal dicapai.
Beberapa langkah wajar diambil oleh pihak kerajaan untuk mengatasi
masalah yang timbul. Situasi ini perlu ditangani bermula daripada akar umbi
dan tidak hanya diselesaikan di peringkat atasan. Pelbagai pihak perlu diberikan
perhatian dalam pelaksanaan mata pelajaran sejarah di sekolah khususnya di
pihak guru sebagai pengantar dan juga para pelajar sebagai penerima maklumat
yang disebarkan. Keadaan ini tidak boleh dibiarkan berterusan kerana akan
menyebabkan runtuhnya semangat patriotisme dalam kalangan generasi akan
datang serta akan menyebabkan hilangnya perasaan kagum terhadap semangat
juang yang dijulang oleh parajurit tanah air.
Antara langkah yang boleh diberikan perhatian ialah pihak kementerian
perlu menyediakan guru yang mempunyai sekurang-kurangnya latar belakang
pendidikan Sejarah. Sekiranya bilangan guru yang mengajar mata pelajaran

Azhar Ahmad, dkk.


150
sejarah di setiap daerah mempunyai angka yang sedikit, maka guru yang terpilih
perlu menghadiri kursus yang disediakan oleh pihak kementerian. Meskipun
terdapat situasi di mana guru bukan opsyen yang terpaksa mengajar mata
pelajaran lain dan tidak menghadiri kursus, namun keadaan ini tidak sama
dengan subjek Sejarah. Proses penyampaian ilmu Sejarah memerlukan
seseorang yang menghayati nilai Sejarah dengan lebih mendalam. Teknik
pengajaran yang digunakan juga perlulah berlainan berbanding dengan mata
pelajaran yang lain. Hal ini kerana mempelajari sesuatu yang telah berlaku
beratus tahun dahulu bukanlah sesuatu yang mudah untuk diterima oleh para
pelajar. Justeru, teknik penceritaan serta tayangan video dilihat mampu mengatasi
isu yang timbul ini.
Selain itu, pihak kementerian turut disarankan untuk mengkaji semula
buku-buku teks yang telah dicetak. Bayangkan sekiranya anda adalah seorang
murid yang langsung tidak pernah mendengar dan mengenali Hang Tuah, Sultan
Melaka dan Parameswara. Adakah cukup sekiranya hanya menterjemahkan
wajah sebenar mereka melalui satu perenggan ayat? Wajarkah sumbangan
dan keringat mereka hanya dicoret tanpa sebarang ilustrasi mahupun gambaran
yang dilakar? Proses mengenali pejuang-pejuang tanah air merupakan salah
satu faktor wujudnya semangat kecintaan terhadap mereka sekaligus menyelitkan
patriotisme dalam diri para pelajar. Rentetan perjalanan sesuatu peristiwa yang
berlaku pada suatu masa dahulu juga perlu diberikan perhatian. Melalui
penceritaan yang lebih mendalam juga, secara tidak langsung, akan
menggalakkan para pelajar untuk lebih pintar menggunakan minda mereka
untuk berimaginasi tentang peristiwa lampau yang telah diceritakan. Lama
kelamaan proses ini akan menggalakkan para pelajar untuk berfikir hikmah
yang berlaku disebalik setiap peristiwa yang telah terjadi. Lantas, mereka akan
dapat menganalisis serta menilai buruk baik sekiranya berhadapan dengan
situasi yang sama. Bukankah Sejarah itu akan berulang jika kita tidak
mempelajarinya? Kesimpulannya, fungsi buku teks tidak hanya dijadikan sebagai
rujukan umum semata-mata tetapi sebaliknya akan menjadi panduan dan
sandaran hidup para pelajar.
Isu mata pelajaran Sejarah yang sering dipinggirkan di peringkat sekolah
sudah tidak asing lagi. Pelbagai langkah telah diambil untuk memastikan
kesemua subjek di sekolah mendapat perhatian yang sewajarnya daripada pihak

Azhar Ahmad, dkk.


151
sekolah mahupun dalam kalanagan ibu bapa. Namun, usaha yang dilakukan
oleh pelbagai pihak seringkali menemui jalan buntu kerana hakikat Ujian
Penilaian Sekolah Rendah adalah penentu kejayaan sememangnya tidak dapat
dipertikaikan lagi. Justeru, dalam menangani hal ini, peranan media massa
dilihat sangat penting. Kebanyakan ibu bapa yang bekerja dan juga penjaga
yang berada di rumah akan cenderung untuk menonton televisyen ketika pulang
dari kerja. Nisbah iklan berkaitan sejarah dan juga dokumentari khas perlu
dipertingkatkan agar dapat membuka minda ibu bapa tentang pentingnya mata
pelajaran Sejarah. Meskipun iklan yang dipamerkan itu hanya seketika namun
kekerapannya di layar perak akan menjadi salah satu faktor kejayaan dalam
membuka minda ibu bapa.
Anak-anak yang berada di rumah juga boleh melihat gambaran sebenar
yang berlaku sekiranya lebih banyak kisah perjuangan dipaparkan. Antaranya
ialah memaparkan filem Leftenan Adnan dan Peristiwa Bukit Kepong. Sekiranya
filem-filem dan catatan ini hanya ditayangkan ketika bulan kemerdekaan, maka
semangat yang diharapkan muncul dalam diri anak-anak juga tidak akan bertahan
lama. Kesimpulannya, dalam membentuk semangat patriotisme dan jati diri
Nasional dalam jiwa para pelajar, semua pihak seharusnya menggembeling
tenaga dan berusaha dengan lebih gigih agar usaha ini tidak menemui jalan
buntu. Semua pihak haruslah sedar bahawa untuk mewujudkan negara yang
sejahtera dan sentiasa aman bermula daripada semangat juang dan perpaduan
yang tinggi dalam diri generasi muda akan datang.

LITERASI POLITIK
Aspek politik merupakan asas penting kepada survival pembentukan
sesebuah negara bangsa sebagai entiti politik yang diiktiraf, berdaulat dan
merdeka. Tanpa mengira faktor ideologi, sistem negara dan jenis kerajaan yang
terbentuk di sesebuah negara, elemen politik merupakan platform utama bagi
membolehkan para pemimpin merangka sesebuah dasar bagi mencapai
matlamat serta kepentingan negara dalam jangka masa yang telah ditetapkan.
Dalam suasana persekitaran politik yang semakin mencabar dan terbuka pada
masa kini, penglibatan rakyat secara langsung dalam arena politik sesebuah
negara semakin diberi perhatian lantaran kemajuan teknologi maklumat yang
semakin pantas dan pesat membangun berasaskan konsep dunia tanpa

Azhar Ahmad, dkk.


152
sempadan. Fenomena ini membolehkan setiap warganegara daripada pelbagai
peringkat lapisan umur, perbezaan fahaman dan latar belakang serta merentasi
pelbagai kaum mendapat akses yang luas untuk mengetahui isu dan
perkembangan sistem politik yang berlaku di negara masing-masing. Oleh itu,
tahap literasi politik setiap warganegara adalah sangat penting bagi
membolehkan mereka lebih prihatin terhadap isu-isu semasa berkaitan negara
atau kerajaan, mahupun sebagai persediaan untuk berhadapan dengan pelbagai
cabaran di peringkat lokal dan global.
Menurut Bernard Crick (2000), konsep literasi politik dapat didefinisikan
sebagai pemahaman yang praktikal dan kemampuan seseorang warganegara
untuk mengetahui serta memahami isu politik yang berlaku berdasarkan
pengalaman yang ditempuhi pada setiap masa dan perolehan daripada sumber
maklumat yang pelbagai. Dalam konteks yang lebih jelas, literasi politik bukanlah
tertumpu kepada unsur normatif semata-mata, tetapi ia juga melibatkan
pengetahuan, kemahiran dan sikap (persepsi) setiap warganegara terhadap
sistem politik semasa. Oleh itu, bagi mencapai tahap literasi politik yang tinggi
maka setiap individu haruslah mengkaji dan mempelajari secara menyeluruh
mengenai perdebatan dan percanggahan mengenai setiap isu utama politik,
mengetahui kewibawaan yang dimiliki oleh setiap ahli politik yang terlibat dan
bagaimana personaliti mereka mampu mempengaruhi diri kita. Malah, ia juga
berkaitan dengan tindakan yang boleh diambil terhadap sesuatu isu dalam
konteks persoalan mengenai cara atau langkah yang wajar dan berkesan, tetapi
dalam masa yang sama menghormati pendirian dan kepercayaan yang dimiliki
oleh pihak lain (Bernard Crick, 2000).

PERKEMBANGAN LITERASI POLITIK DI MALAYSIA


Bertepatan dengan konsep literasi politik yang merangkumi keupayaan,
kefahaman dan kepekaan seseorang warganegara dalam mengadapatasikan
perkembangan politik negara, maka ia berkait rapat dengan matlamat dalam
kurikulum mata pelajaran sejarah dan kewarganegaraan bagi menyuburkan
nilai patriotisme dalam kalangan masyarakat. Dalam konteks perkembangan
literasi politik dalam kalangan warganegara Malaysia, ia dapat dibahagikan
kepada tiga tahap yang berbeza iaitu semasa pra merdeka, pasca merdeka dan
terkini. Setiap tahap perkembangan literasi politik ini bukan sahaja

Azhar Ahmad, dkk.


153
menggambarkan keupayaan warganegara ketika itu dalam menangani isu politik
bahkan ia turut menonjolkan nilai patriotisme yang dimiliki oleh rakyat Malaysia.
Perkembangan Pra merdeka
Tahap literasi politik dalam kalangan masyarakat Malaysia (dahulunya
Tanah Melayu) pada zaman sebelum kemerdekaan ini banyak dicorakkan oleh
dasar penjajahan British ke atas negara ini. Asasnya, pada peringkat awal
khususnya pada zaman sebelum perang, kedatangan British ke negara ini untuk
menguasai dan menjajah kepentingan ekonomi negara telah dihalang oleh
gerakan antipenjajahan di setiap negeri. Walaupun kedatangan British penuh
dengan tipu muslihat namun ia tidak sedikitpun melunturkan semangat
perjuangan dalam kalangan pemimpin tempatan pada ketika itu seperti Tok
Janggut, Mat Kilau, Dato’ Bahaman dan Haji Abdul Rahman Limbong untuk
menentang pendudukan British di Tanah Melayu (Fadilah Zaini et.al, 2009).
Pada tahap ini, kesedaran politik lebih tertumpu kepada pemimpin-pemimpin
tempatan yang berjuang menentang British, dan dalam masa yang sama
memperjuangkan kepentingan dan kebebasan yang telah dicabuli oleh pihak
British melalui dasar pentadbiran dan undang-undangnya.
Seterusnya, pada zaman selepas Perang Dunia Kedua telah
memperlihat literasi politik dalam kalangan nasionalis yang mendorong kepada
perkembangan gerakan nasionalisme untuk menentang dasar pentadbiran
Britsih melalui rancangan penubuhan Malayan Union. Situasi ini mendorong
penubuhan parti politik kaum Melayu yang utama pada ketika itu iaitu Pertubuhan
Kebangsaan Melayu Bersatu atau United Malay National Organisation (UMNO)
yang diasaskan oleh Dato’ Onn bin Jaafar (Ishak Saat, 2009). Selain itu, wujud
juga parti-parti berhaluan kiri seperti Parti Komunis Malaya (PKM) dan Parti
Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM). Dalam proses ke arah kemerdekaan,
pihak British telah memperkenalkan proses pilihan raya. Namun begitu, bukan
semua parti politik dibenarkan oleh British untuk menyertai pilihan raya. Salah
sebuah parti yang dilarang penyertaannya ialah PKM kerana membawa ideologi
yang bertentangan dengan kepentingan British. Pilihan raya digunakan oleh
British sebagai platform untuk membolehkan golongan elit berbincang dan
melakukan proses peralihan kuasa secara aman. Selepas kemerdekaan Tanah
Melayu pada tahun 1957, wujud parti-parti politik baharu seperti Parti Tindakan
Rakyat atau Democratic Action People (DAP), Gerakan, People Progressive Party

Azhar Ahmad, dkk.


154
(PPP) dan Semangat 46. Malah, hasil kerjasama antara UMNO dan MCA
(Malayan Chinese Association) telah menubuhkan Parti Perikatan pada tahun
1953, diikuti oleh penyertaan MIC (Malayan Indian Congress) pada tahun
berikutnya. Literasi politik dalam kalangan rakyat Tanah Melayu pada tahap pra
kemerdekaan ini dicapai melalui pemahaman mereka mengenai perjalanan
institusi politik dan cenderung untuk mengenali simbol dan mengundi di dalam
pilihan raya berdasarkan simbol parti. Oleh itu, bukan semua anggota masyarakat
pada tahap awal kemerdekaan berada pada tahap literasi politik yang rendah.
Perkembangan Pasca Merdeka
Literasi politik yang paling penting dalam kalangan rakyat Malaysia
(selepas pembentukan Malaysia pada tahun 1963) pasca merdeka dicorakkan
dengan konflik antara kaum melalui peristiwa rusuhan pada 13 Mei 1969.
Peristiwa ini berlaku berikutan keputusan Pilihan Raya Umum (PRU) pada bulan
Mei 1969 yang menyaksikan perubahan dalam landskap politik di Malaysia
(Ishak Saat, 2009). Rusuhan kaum yang berlaku pada masa itu telah
menyebabkan kuasa politik diletakkan di bawah Majlis Gerakan Negara
(MAGERAN) yang diterajui oleh Tun Abdul Razak. Sementara itu, Majlis
Perundangan Ekonomi Negara (MPEN), Majlis Perundingan Negara (MPN)
dan pertubuhan-pertubuhan yang bersifat “community-based organization“ (CBO)
seperti Rukun Tetangga telah dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan.
Peristiwa 13 Mei 1969 telah memberi implikasi yang besar kepada keharmonian
negara dan tahap literasi politik dalam kalangan rakyat pelbagai kaum. Hal ini
kerana ia memberi tamparan hebat kepada kontrak sosial dan konsep
perkongsian kuasa sebelum kemerdekaan Malaysia. Antara faktor yang
dikenalpasti menjadi punca kepada rusuhan tersebut ialah masalah ekonomi
dan kemiskinan dalam kalangan rakyat Malaysia pada masa itu (Ishak Saat,
2009).
Oleh itu, mengambil pengajaran daripada peristiwa tersebut, maka
pihak kerajaan telah melaksanakan Dasar Ekonomi Baru (DEB) dan Rukun
Negara pada tahun 1970 untuk mengukuhkan kembali hubungan perpaduan
antara kaum dan menjamin kestabilan politik, ekonomi dan sosial dalam negara.
Ia merupakan platform terbaik untuk membebaskan pemikiran dan sikap rakyat
Malaysia pelbagai kaum yang masih dibelenggu dengan dasar ‘pecah dan

Azhar Ahmad, dkk.


155
perintah’ serta kesedaran politik berasaskan kaum yang telah ditinggalkan oleh
legasi penjajahan British.
Zaman Kini
Proses perkembangan dan arus modenisasi yang dilalui oleh rakyat
Malaysia semenjak merdeka telah menyaksikan peningkatan dalam tahap literasi
umum di Malaysia secara berperingkat. Misalnya, tahap literasi umum pada
tahun 1959 ialah 48.3 peratus, namun hampir 50 tahun kemudian literasi umum
meningkat kepada 92.5 peratus. Tahap literasi politik dalam kalangan rakyat
Malaysia sejak merdeka tidak setinggi peratusan dalam literasi umum. Hal ini
kerana, rakyat Malaysia telah lama dimobilisasikan oleh institusi politik sebelum
mereka dapat mengukuhkan kefahaman terhadap dimensi idea atau
dimobilisasikan oleh kesedaran politik dalam diri mereka sendiri. Menurut Abdul
Ghapa, iaitu pensyarah kanan di Pusat Pengajian Sejarah, Politik dan Strategi,
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia, untuk
menjadikan Malaysia sebagai sebuah negara demokrasi yang matang, maka
tahap literasi politik rakyat harus ditingkatkan. Justeru, rakyat harus melaksanakan
hak-hak dengan bijak, mengamalkan toleransi dan budaya politik yang sihat
serta memastikan pilihan raya yang bersih daripada sebarang pergeseran.
Gelombang atau tsunami politik yang berlaku dalam PRU ke-12 pada tahun
2008 telah memberi satu mesej yang jelas mengenai tahap literasi politik yang
semakin meningkat dalam kalangan rakyat Malaysia. Hal ini kerana golongan
masyarakat khususnya pengundi muda telah banyak terdedah kepada pelbagai
sumber maklumat yang boleh diperoleh melalui media elektronik mahupun
media bercetak. Malah, literasi politik yang tinggi dalam kalangan rakyat Malaysia
dalam tempoh satu dekad ini telah meningkatkan lagi kesedaran, kefahaman
serta penglibatan rakyat sama ada secara langsung atau tidak langsung dalam
proses pembentukan kerajaan dan pembuatan keputusan yang dijalankan usai
selepas berakhirnya satu-satu pilihan raya.

LITERASI POLITIK DALAM KALANGAN BELIA


Belia merupakan golongan yang kritikal terhadap perkembangan isu
semasa negara dan mempunyai kehendak tersendiri. Mereka mempunyai akses
maklumat semasa yang luas dan tidak terbatas kepada arus media perdana
sahaja (Junaidi Awang Besar et.al, 2012). Penggunaan internet sebagai sumber

Azhar Ahmad, dkk.


156
maklumat merupakan satu fenomena global yang meluas, tanpa sempadan
serta mampu menembusi pelbagai bidang dan ia dianggap sebagai satu media
baharu dalam kalangan rakyat, khususnya golongan muda. Aplikasi ruang siber
melalui peranan media alternatif dan pelbagai seperti laman blog dan media-
media sosial telah membuka ruang untuk mereka bersuara, menyatakan
komentar dan sekaligus meningkatkan literasi politik serta penglibatan golongan
muda dalam bidang politik di negara ini (Junaidi Awang Besar et.al, 2012).
Sesungguhnya, sebagai penyambung legasi warisan kepimpinan negara pada
masa hadapan golongan belia berperanan penting dalam memberi idea
terhadap proses pembangunan negara dan bertanggungjawab dalam
menentukan struktur politik negara (Junaidi Awang Besar et.al, 2013). Selain itu,
personaliti belia mempengaruhi aspek tingkah laku dan literasi politik mereka
yang boleh memberi kesan kepada senario politik di sesebuah negara
(Baranowski dan Weir, 2010). Malah, pengenalan format televisyen bukan berita
seperti ceramah dalam televisyen dan rancangan realiti pada hari ini boleh
menjadi sumber penting sebagai wacana politik dan penglibatan golongan belia
dalam bidang politik (Mondak dan Halperin, 2008). Justeru, beberapa
pendekatan yang boleh dilakukan untuk meningkatkan tahap literasi politik dalam
kalangan belia di Malaysia. Antaranya, golongan belia perlu peka dan mengetahui
bagaimana sesuatu keputusan dibuat dalam masyarakat, sama ada pada tahap
lokal, nasional mahupun global. Golongan belia juga boleh memberi sumbangan
dalam bentuk idea, bahasa dan perdebatan dalam isu politik semasa, dan dalam
masa yang sama meningkatkan nilai-nilai yang baik dalam politik dan mempunyai
kemahiran serta keyakinan untuk melaksanakannya secara praktik. Seterusnya,
bagi meningkatkan tahap literasi golongan belia terhadap politik, mereka juga
haruslah mampu melakukan sesi dialog yang berkesan dengan pihak lain bagi
mewujudkan perkongsian dan sikap keterbukaan terhadap isu-isu politik semasa
di dalam negara.
Bagi meningkatkan lagi pengetahuan terhadap isu semasa dan
hubungannya dengan literasi politik, maka golongan belia dari peringkat akar
umbi juga boleh mengadakan kajian terhadap isu kontemporari dan mengenal
pasti kerelevanannya dengan konsep politik. Selain itu, golongan belia, khususnya
yang terdiri dari kalangan pelajar digalakkan untuk melakukan kajian tindakan
dalam bidang ilmu politik, melaksanakan aktiviti ‘modelling’ dan mengambil

Azhar Ahmad, dkk.


157
bahagian dalam setiap program yang berfokus serta membincangkan isu-isu
dan kefahaman politik dari masa ke masa. Amnya, tahap literasi politik dalam
kalangan belia di negara ini perlu dipertingkatkan. Hal ini bukan sahaja dapat
membangkitkan keupayaan dan kefahaman mereka terhadap perkembangan
semasa dalam sistem politik negara, bahkan mampu mendorong partisipasi
mereka untuk terlibat dalam institusi politik di Malaysia secara langsung dan
menyemai nilai patriotisme dalam diri mereka sebagai warganegara Malaysia.
Natijahnya, ia mampu melahirkan politik yang matang dan memacu negara ke
arah sistem demokrasi yang lebih seimbang.

KESIMPULAN
Matlamat kurikulum dalam Pendidikan Sejarah di Malaysia bukan
sahaja dapat memupuk semangat setia kepada negara dan mewujudkan
perasaan bangga terhadap tanah air, tetapi ia juga berperanan penting untuk
meningkatkan pengetahuan tentang sejarah dan nilai-nilai yang mampu
memupuk semangat kenegaraan dan patriotisme dalam kalangan warganegara
Malaysia. Pendidikan Sejarah di Malaysia banyak memaparkan perkembangan
manusia dalam bidang politik, ekonomi, agama dan sosial. Seterusnya,
pemupukan nilai kewarganegaraan dan patriotisme dalam kalangan
warganegara Malaysia banyak berkait rapat dengan isu-isu dalam pengetahuan
sejarah yang merentas masa seperti isu Dasar Ekonomi Baru (DEB), konsep
raja berdaulat, amalan Rukun Negara, Kontrak Sosial dan nilai serta sistem
demokrasi yang diperjuangkan sejak dahulu sehingga kini. Malah,
perkembangan literasi politik dalam kalangan rakyat Malaysia seharusnya
disuburkan terutamanya golongan belia supaya kita mampu mengatasi cabaran-
cabaran yang digariskan dalam Wawasan 2020 iaitu untuk membina masyarakat
yang demokratik dan matang serta masyarakat yang matang, liberal dan toleransi
dalam konteks keupayaan, kefahaman dan partisipasi setiap warganegara
Malaysia dalam sistem politik negara.

Rujukan
Abd Rahim Abd Rasyid. 1999. Pendidikan Sejarah : Falsafah, Teori dan
Amalan. Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd. Kuala Lumpur.

Azhar Ahmad, dkk.


158
Berita Harian. 2011. Subjek Sejarah wajib lulus. http://www.bharian.com.my/
bharian/articles/Wajiblulus/article/index_html. Diakses pada 20
Desember 2014.
Bernard Crick. 2000. Essays on Citizenship. Bloomsbury Academic.
Doreen Tan. 2004. Singapore Teacher’s Characterisation of Historical
Interpretation and Enquiry: Enhancing Pedagogy and Pupils Historical
Understanding. International Journal of Historical Learning, Teaching
and Research. 4(2). Online Journal.
Fadilah Zaini dan Kassim Thukiman. 2008. Pembangunan politik dalam
Hubungan Etnik (dlm.) Hubungan Etnik di Malaysia: Perspektif Teori dan
Praktik. Kassim Thukiman dan Hamidah Abdul Rahman. Penerbit UTM.
Ishak Saat. 2009. Malaysia 1945-2000. Utusan Publications and Distributors Sd.
Bhd.
Junaidi Awang Besar, Mohd. Fuad Mat Jali, Yahaya Ibrahim, Khaidzir Hj. Ismail,
Abdul Halim Sidek dan Noor Aziah Hj. Mohd. Awal. 2012. Persepsi Belia
Terhadap Isu Politik dan Dasar Kerajaan Malaysia. hlm.136-156, (dlm.)
Malaysian Journal of Youth Studies (Vol.7). Institut Penyelidikan
Pembangunan Belia Malaysia.
Junaidi Awang Besar, Mohd. Fuad Mat Jali, Novel Lyndon dan Mazlan Ali. 2013.
Penggunaan internet dan perspesi mahasiswa Universiti Kebangsaan
Malaysia. hlm. 1-13, (dlm.) Jurnal Personalia Pelajar (Vol. 16). Universiti
Kebangsaan Malaysia.
‘Latar belakang sistem politik dan perkembangan literasi politik di Malaysia’.
Akses daripada http://studentsrepo.um.edu.my/5586/9/BAB_III.pdf.
Universiti Malaya.
Muhamad Sham bin Shahkat. 2006. ICT: Peranan dan Potensi dalam
Pembangunan Pelajar Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Universiti Tunku
Abdul Rahman (UTAR) Kertas kerja dibentangkan untuk Persidangan
Pembangunan Pelajar Peringkat Kebangsaan Pelajar 2006 (NASDEC
2006) Universiti Teknologi Malaysia (UTM).

Azhar Ahmad, dkk.


159
Nor Aishah Abdul Aziz, Mohd Zolkifli Abd Hamid , Nur’Ain Baharin. 2012. Teknologi
Komunikasi Maklumat: Wadah Menerapkan Nilai Murni Dalam
Pendidikan. Prosiding Semminar Antarabangsa Perguruan dan
Pendidikan Islam, Skudai: Fakulti Tamadun Islam, UTM
Tahap literasi politik rakyat masih rendah. Akses daripada http://
www.sinarharian.com.my/politik/tahap-literasi-politik-rakyat-masih-
rendah-1.148144.
‘Political literacy within ITT citizenship education’. Workshop on Political
Literacy in University of Birmigham on 19th November 2002.
Kementerian Pendidikan Malaysia. 2013. Pelan Pembangunan Pendidikan
Malaysia (PPPM). 2013-2025.

Azhar Ahmad, dkk.


160
NASIONALISME INDONESIA
(Analisis Teoritik Fenomena Historis
Pergerakan Nasional Indonesia)
Bambang Subiyakto
phetex076@yahoo.com

I. PENGANTAR
Pergerakan nasional ataupun nasionalisme merupakan fenomena
historis yang cukup menarik perhatian banyak pakar untuk mengkajinya. Pada
tulisan ini fenomena yang dimaksud mengenai pergerakan nasional ataupun
nasionalisme untuk konteks Indonesia. Pergerakan ini dianalisis melalui cara
pandang (pendekatan) Benedict Anderson, yang meskipun menurut
pengakuannya masih bersifat sementara untuk memahami terwujudnya
nasionalisme, yakni nasionalisme Indonesia.
Sebelum sampai ke tujuannya, ada beberapa hal penting perlu
dikemukan terlebih dahulu menyangkut pengertian atau pendefinisian.
Aminuddin Nur (1967: 36) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
pergerakan nasional adalah segala kegiatan yang berupa sikap, aksi dan
tindakan-tindakan yang konstruktif di bidang politik, sosial, dan ekonomi untuk
mencapai tujuan nasional bagi suatu bangsa. Sementara itu, Sartono Kartodirdjo
(1992: 228) memberikan pengertian pergerakan nasional menunjukan seluruh
proses terjadi dan pertumbuhan nasionalisme Indonesia yang berwujud sebagai
organisasi-organisasi nasionalistis yang berdasarkan kesadaran, perasaan, dan

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia dan Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Bambang Subiyakto dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung
Mangkurat.

Bambang Subiyakto
161
keinginan yang sama, yaitu berjuang bagi kemerdekaan rakyat di dalam satu
lingkungan negara kesatuan.
Selanjutnya menyerap apa yang menjadi pengantar penerbit bagi buku
Benedict Anderson versi terjemahan berjudul “Komunitas-Komunitas Imajiner:
Renungan tentang Asal-Usul dan penyebaran Nasionalisme” penting pula
disampaikan di sini agar ada pemahaman yang dapat disepakati bersama.
Judul asli sekaligus pokok isi buku Anderson, konsep imagined communities,
dialih-bahasakan menjadi ’komunitas imajiner’. Kata imajiner inipun bukan
serapan langsung dari kata ’imaginary’ dalam bahasa Inggris. Kendalanya
adalah kecenderungan bahasa Indonesia yang tidak menjernihkan perbedaan
antara apa yang imagined dengan apa yang imaginary. Oleh sebab itu, pengalih-
bahasaan bertumpu pada kata dasar ’imajinasi’. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1990), kata imajinasi antara lain bermakna “daya pikir untuk
membayangkan atau menciptakan gambar-gambar kejadian berdasarkan
kenyataan atau pengalaman”, selain juga bisa dimaknai sebagai “daya khayal”.
Kata imajiner diartikan sebagai “hanya terdapat dalam angan-angan”, atau
“seakan-akan ada tetapi sesungguhnya tidak ada”.
Adapun kata komunitas bermakna “kelompok organisma (orang, dsb)
yang hidup dan saling berinteraksi dalam suatu daerah tertentu”, padanan katanya
adalah “masyarakat”. Dalam naskah buku terjemahan yang digunakan untuk
tulisan ini, kata masyarakat hanya dipakai untuk menyebut sesuatu yang bahasa
Inggrisnya adalah society, sementara community diserap langsung menjadi
komunitas. Kata khayal atau khayalan digunakan sebagai pengganti kata
imaginary, dan tidak dianggap sebagai pengalih bahasaan dari kata imagined.
Seperti diungkapkan tadi, kata imajiner sendiri tidak dipakai dalam makna
imaginary, sehingga istilah komunitas imajiner di sini dapat diartikan sebagai
“kesatuan hidup (manusia) dalam wilayah geografis yang batas-batasnya telah
tertentu, yang (sebagaimana) dipahami (conceived), dipikir (thought), diserap
sebagai gambaran mental (surmised mental image) oleh orang-orang yang
bersangkutan (yang menganggap diri sebagai anggotanya)”. Tergambarkan
dalam paparan makna ini rasa kepemilikan bersama, atas kesatuan hidup
dalam ruang dan waktu tertentu sehingga nama komunitas merupakan penanda
jatidiri.

Bambang Subiyakto
162
Tidak semua pemikiran (konsepsi) Anderson sebagaimana tertuang
di dalam karyanya itu akan digunakan untuk menganalisis persoalan-persoalan
pergerakan yang bertujuan membangun nasionalisme Indonesia. Hal ini
dilakukan atas dasar pertimbangan menemukan kesesuaian dengan fenomena
yang dianalisis. Anderson mensinyalir kurangnya kepedulian para pengkaji
gerakan kebangsaan terhadap rasa kebangsaan – rasa nasionalitas – perasaan
pribadi dan kultural bahwa seseorang dan orang-orang lain tertentu adalah
satu bangsa – bahwa anda dan saya merasa sebagai ’orang Indonesia’, bahwa
anda dan saya adalah kita, bahwa orang-orang lain adalah mereka. Padahal,
kenyataan yang kita selami sebagai bangsa Indonesia ini menurut Benedict
Anderson, hanyalah realitas imajiner. Ke-kita-an kita adalah komunitas imajiner
yang kita namai Indonesia. Apa yang selama ini kita telan mentah-mentah
sebagai ’Indonesia’ – seperti kata Bung Karno, dari Sabang sampai Merauke –
sebagai mengejawantahkan rasa keindonesiaan kita, adalah kesatuan ujud
bayangan semata.
Proses-proses penciptaan ’komunitas-komunitas imajiner’ atau
bangsa-bangsa ini, menurut Anderson, melewati teritorialisasi keyakinan-
keyakinan keagamaan, kemerosotan kerajaan-kerajaan kuno, hubungan timbal
balik antara kapitalisme dengan cetak-mencetak, perkembangan bahasa resmi
negara yang diangkat dari bahasa-ibu atau daerah tertentu, serta konsepsi-
konsepsi tentang waktu yang berubah. Anderson juga mengemukakan bahwa
kapitalisme-cetak dan kemelek-hurufan merupakan kunci penyebaran
nasionalisme. Dalam kerangka ini, tak ayal lagi orang-orang pertama yang
mengakrabi dunia cetakan dan berdwibahasa menjadi pelaku penting. Mereka
ini niscaya adalah orang-orang terdidik, sebagaimana kaum pergerakan, yang
berperan dalam proses menuju Proklamasi Kemerdekaan, sanggup mendebat
orang Belanda dengan bahasa mereka sendiri, dan bicara pada kita dengan
bahasa kita sendiri.
Tidak semua orang, pada masa pengentalan ’bangsa’ yang
dibayangkan, menatap segala sesuatunya seperti kaum terdidik (intelektual).
Tidak semua orang bisa membaca barang cetakan yang menjadi wahana
pembayangan tanah air. Padahal, seperti kata Anderson, bukan bahasa-ibu
saja yang membulatkan bayangan itu, melainkan harus bahasa-ibu tercetak.
Itu sebabnya maka pendidikan menjadi penting, begitupun membaca juga

Bambang Subiyakto
163
menjadi penting. Sulit bagi Soekarno membayangkan Irian Barat sebagai bagian
dari kita (Indonesia), jika wahana penghubung tidak ada: di antaranya bahasa
yang sama-sama dimengerti, sama-sama dibaca. Anderson menamai perjalanan
kaum pergerakan yang merupakan orang-orang terdidik, sama seperti perjalanan
para pamongpraja pribumi dan/atau kreol (disensus sebagai ’kulit putih’) di wilayah
jajahan sebagai ziarah. Puncak ziarah pendidikan kolonial Hindia Belanda adalah
Batavia dan Bandung, karena di sanalah berdiri perguruan tinggi, dengan
mahasiswa dari segala pelosok ’tanah air’.
Anderson berpandangan bahwa tidak seorang pun sepanjang sejarah
Republik Indonesia mampu mengungkapkan tentang nasionalisme segemilang
Sukarno sebagaimana tercermin berikut ini
Dan caranya menyuburkan nasionalisme itu? Jalannya
menghidupkannya? Jalannya ada tiga: pertama: kami menunjukan
kepada rakyat, bahwa ia punya hari dulu, adalah hari dulu yang indah;
kedua: kami menambah keinsyafan rakyat, bahwa ia punya hari sekarang,
adalah hari sekarang yang gelap; ketiga: kami memperlihatkan kepada
rakyat sinarnya hari kemudian yang berseri-seri dan terang cuaca, beserta
cara-caranya mendatangkan hari kemudian yang penuh dengan panji-
panji itu.
Sasaran buku Anderson, sebagaimana dikemukakannya sendiri, adalah
menawarkan beberapa saran sementara ke arah penafsiran-penafsiran yang
lebih memuaskan tentang ’anomali’ nasionalisme. Titik tolaknya adalah bahwa
nasionalitas (nationlaity), atau mungkin orang lebih suka melihatnya dalam
kerangka signifikansi jamak kata itu sendiri, ’kenasionalan’ (nation-ness); sama
halnya dengan nasionalisme. Demi memahaminya selayaknya kita
pertimbangkan secara hati-hati bagaimana nasionalisme sampai mengada
secara historis, bagaimana makna-maknanya berubah seiring perjalanan waktu,
dan mengapa, sekarang ini, mereka menggugah keabsahan emosional yang
demikian dahsyat.
Bagi Anderson keadaan akan lebih mudah bila orang memperlakukan
nasionalisme seolah-olah ia berbagi ruangan dengan ’kekerabatan’ dan ’agama’,
bukannya dengan ’liberalisme’ atau ’fasisme’. Oleh sebab itu, dalam semangat
antropologis, ia mengusulkan definisi tentang bangsa atau nasion, adalah
komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara

Bambang Subiyakto
164
inheren sekaligus berkedaulatan. Bangsa adalah sesuatu yang imajiner karena
para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan takkan kenal
sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan sebagian besar
anggota lain itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka.
Akan tetapi, di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah
bayangan tentang kebersamaan mereka.
Dalam kenyataan, semua komunitas, asalkan lebih besar dari dusun-
dusun primordial di mana para anggotanya bisa saling bertatap muka langsung
setiap hari (bahkan mungkin komunitas semacam ini pun), adalah komunitas
imajiner. Pembedaan antar komunitas dilakukan bukan berdasarkan kesejatian
ataupun kepalsuannya, melainkan menurut gaya pembayangannya.
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat
terbatas karena bahkan bangsa-bangsa paling besar pun, yang anggotanya
mungkin semilyar manusia, memiliki garis-garis perbatasan yang pasti, meski
elastis. Di luar perbatasan itu adalah bangsa-bangsa lain. Tak satu bangsa pun
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi. Akhirnya, bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab, tak peduli akan ketidaksetaraan
nyata dan eksploitasi yang mungkin lestari dalam tiap bangsa, bangsa itu sendiri
dipahami sebagai kesetia-kawanan yang mendalam dan arahnya mendatar/
horizontal (Anderson, 1999: 7-9).
Keterkaitan budaya dengan nasionalisme menjadi sesuatu yang
mendasar bagi Anderson. Sebagaimana dikatakannya, ia tidak menyiratkan
bahwa entah bagaimana nasionalisme secara historis melampaui agama. Yang
ia maksudkan hanyalah nasionalisme harus dicerna dengan cara
menyekutukannya dengan sistem-sistem kebudayaan besar yang mendahului
kelahirannya, dari mana –sekaligus menentang apa—nasionalisme itu mengada;
bukannya menyekutukannya dengan ideologi-ideologi politik yang dianut secara
sadar-diri (Anderson, 1999: 15).
Pandangan-pandangan Anderson sebagaimana dipaparkan di atas
akan mendapatkan pemaknaannya lebih jauh di dalam pembahasan tulisan

Bambang Subiyakto
165
berikut ini. Di sini kita mencoba lebih jauh lagi apakah cara pandang atau
pendekatan dari Anderson untuk memahami nasionalisme sebagaimana yang
diinginkannya memang dapat mengungkap atau memberikan pemahaman yang
memuaskan dengan menganalisis pergerakan nasional Indonesia.

II. PEMBAHASAN
2.1 Nama Indonesia sebagai Identitas Nasional
Istilah ‘Indonesia‘ berasal dari kata India (bahasa Latin untuk Hindia)
dan kata nesos (bahasa Yunani untuk kepulauan), sehingga kata Indonesia berarti
Kepulauan Hindia. Istilah Indonesia, Indonesisch dan Indonesier makin tersebar
luas pemakaiannya setelah banyak dipakai oleh kalangan ilmuwan seperti G.R.
Logan, Adolf Bastian, van Vollen Hoven, Snouck Hurgronje, dan lain-lain.
Logan pada tahun 1850 memakai nama Indonesia dalam arti geografi.
Hal ini terlihat dari karangan yang berjudul
“The ethnology of the Indian Achipelago” kata Indonesia digunakan untuk
menyebut pulau-pulau atau Kepulauan Hindia dan penduduknya adalah
Bangsa Indonesia. Kata Indonesia dalam arti etnologi mulai digunakan
tahun 1884 oleh Bastian dalam karangan berjudul: Indonesia Order die
Inseln des Malagischen Archipels yang dimaksud tidak lain adalah
Kepulauan Melayu (Hindia).
Pemakaian istilah Indonesia dalam pergerakan nasional dimulai dari
para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda . Pada tahun 1908 para mahasiswa
di Belanda mendirikan organisasi yang bernama Indische Vereeniging. Seiring
dengan penggunaan istilah Indonesia maka pada tahun 1922 organisasi ini
berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging dan pada tahun 1924 berganti
nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia. Majalah yang semula bernama
“Hindia Poetra” berubah menjadi “Indonesia Merdeka”. Sejak saat itu kata
Indonesia banyak dipakai dalam organisasi pergerakan di tanah air. Sebagai
istilah pengetahuan nama Indonesia makin popular yaitu ketika Suwardi
Suryoningrat mendirikan biro pers di Belanda bernama “Indonesisch Perbureau”
tahun 1931. Sebagai puncaknya penggunaan kata Indonesia sebagai identitas
nasional adalah pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928, yang

Bambang Subiyakto
166
mencetuskan “Sumpah Pemuda, berisi tiga hal; pokok yaitu: bertanah air satu,
berbangsa satu dan berbahasa satu yaitu Indonesia”.
Usaha pemakaian kata Indonesia dalam arti politik ketatanegaraan
dimulai pada tahun 1930. Ketika itu, Moh. Husni Thamrin mengajukan mosi
yang berisi agar kata Nederlandsch-Indie dan Inlander dihapuskan dari Undang-
Undang dan diganti dengan nama Indonesie, Indonesier dan Indonisch. Kata
Indonesia kemudian secara resmi ketatanegaraan digunakan sejak
dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan RI.
2.2 Beberapa Organisasi Pergerakan yang Perperan dalam
Membangun Kesadaran Berbangsa (Nasionalisme)
2.2.1 Budi Utomo (BU)
Pada tahun 1907 Mas Ngabehi Wahidin Sudirohusodo, merintis
mengadakan kampanye menghimpun dana pelajar (Studie Fonds) di kalangan
priyayi di Pulau Jawa. Upaya dr. Wahidin ini bertujuan untuk meningkatkan
martabat rakyat dan membantu para pelajar yang kekurangan dana.
Pada hari Rabu pukul sembilan pagi tanggal 20 Mei 1908 di aula
STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Dokter Pribumi
di Batavia dibentuklah organisasi Boedi Oetomo, yang dimotori oleh sembilan
pemuda yaitu: 1) Soetomo; 2) Soelaeman; 3) Soewarno; 4) Goenawan
Mangoenkoesoemo; 5) Ongko Prodjosoedirdjo; 6) M. Soewarno; 7) Muhammad
Saleh; 8) Soeradji; dan 9) Goembreg. Di dalam pembentukannya itu turut dihadiri
perwakilan dari berbagai lembaga pendidikan seperti Sekolah Pertanian dan
Kehewanan Bogor, Sekolah Pamongpraja (OSVIA) Magelang dan Probolinggo,
Sekolah Menengah Petang Surabaya, Sekolah Pendidikan Guru Pribumi dari
Bandung, Yogyakarta dan Probolinggo. Selanjutnya ditetapkan pengurusnya
antara lain Soetomo ditunjuk sebagai Ketua, Soelaeman sebagai wakil ketua,
Soewarno sekretaris I, dan Goenawan Sekretaris II. Keempat tokoh pendiri ini
kemudian ditetapkan sebagai komisaris (Komandoko, 2008).
Budi Utomo merupakan suatu benih yang melahirkan gerakan nasionalis
Indonesia. Budi Utomo telah sampai pada tingkat kesadaran yang fundamental
(Van Niel, 1950). Tanggal 20 Mei 1908 merupakan hari kebangkitan nasional
yang oleh Akira Nagazumi sebut sebagai “Fajar Nasionalisme Indonesia” (The
Dawn of Indonesian Nasionalism).

Bambang Subiyakto
167
Pada awalnya tujuan Budi Utomo dirumuskan “Kemerdekaan nusa dan
bangsa”, diperdebatkan. Pengertian kata tujuan tersebut dirasakan belum sesuai
dengan suasana kehidupan pada waktu itu. Yang diutamakan syarat mencapai
kemerdekaan adalah: kemajuan pengajaran, memajukan perekonomian,
memajukan teknik dan industri dan menghidupkan kembali kebudayaan.
Kongres Budi Utomo yang pertama berlangsung di Yogyakarta pada
tanggal 3 Oktober – 5 Oktober 1908. Kongres ini dihadiri beberapa cabang yaitu
Bogor, Bandung, Yogya I, Yogya II, Magelang, Surabaya, dan Batavia. Dalam
kongres yang pertama berhasil diputuskan beberapa hal berikut:
a. Membatasi jangkauan geraknya kepada penduduk Jawa dan Madura.
b. Tidak melibatkan diri dalam politik.
c. Bidang kegiatan adalah bidang pendidikan dan budaya.
d. Menyusun pengurus besar organisasi yang diketuai oleh R.T.
Tirtokusumo.
e. Merumuskan tujuan utama Budi Utomo yaitu kemajuan yang selaras
untuk negara dan bangsa.
Konsep kemajuan selaras untuk bangsa dan negara cakupannya sangat
luas yakni memajukan pengajaran/pendidikan, pertanian, peternakan,
perdagangan, teknik, industri, kesenian dan pengetahuan. Dari apa yang
dilakukan Budi Utomo tampak bangkitnya kesadaran hidup berbangsa dan
bernegara. Dengan kata lain mendorong munculnya nasionalisme (Slamet
Muljana, 2008). Budi Utomo sebagai organisasi pergerakan nasional didirikan
pada mulanya pada batas kedaerahan dan didasarkan atas kebudayaan Jawa.
Mereka ingin memelihara dan mengembangkan kebudayaan asli. Kesadaran
itu ingin diwujudkannya sendiri dengan bentuk kebudayaannya sendiri.
Kesadaran ini sebagai benih nasionalisme yang harus dimiliki untuk melawan
kebudayaan barat. Maka suatu pergerakan nasional juga merupakan perjuangan
kebudayaan (Sartono Kartodirdjo, 1992).
Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu diilhami dari
penggunaan bahasa Melayu pada saat ceramah D. van Hinloopen Laberton
tentang masa depan bangsa Jawa dihadapan 300 orang utama didalamnya
adalah para anggota Budi Utomo. Mereka menyadari tidak semua anggota Budi
Utomo dari Jawa. Dipandang lebih tepat juga karena tidak mengenal tingkatan
tingkatan tertentu seperti dalam bahasa Jawa yang mempersulit dalam

Bambang Subiyakto
168
komunikasi, utama bagi yang bukan dari Jawa. Lebih lanjut sebagai bahasa
resmi kongres ditetapkan pada kongres Budi Utomo ke-2 tanggal 10-11 Oktober
1909 (Komandoko, 2008). Jika ditinjau dari pandangan Anderson tentang,
“pembentukan komunitas imajiner”, maka Budi utomo menempatkan nilai dan
sistem budaya sebagai perekat dan pendorong munculnya nasionalisme.
Terpilihnya R.T. Tirtokusumo yang seorang bupati sebagai ketua
rupanya dimaksudkan agar lebih memberikan kekuatan pada Budi Utomo.
Kedudukan bupati memberi dampak positif dalam rangka menggalang dana
dan keanggotaan dari Budi Utomo. Untuk usaha memantapkan keberadaan
Budi Utomo diusahakan untuk segera mendapatkan badan hukum dari
pemerintah Belanda. Hal ini terealisasi pada tanggal 28 Desember 1909,
anggaran dasar Budi Utomo disahkan. Dalam perkembangannya, di tubuh Budi
Utomo muncul dua aliran berikut:
a. Pihak kanan, berkehendak supaya keanggotaan dibatasi pada
golongan terpelajar saja, tidak bergerak dalam lapangan politik dan
hanya membatasi pada pelajaran sekolah saja (dimotori Wahidin dkk).
b. Pihak kiri, yang jumlahnya lebih kecil terdiri dari kaum muda
berkeinginan ke arah gerakan kebangsaan yang demokratis, lebih
memerhatikan nasib rakyat yang menderita (dimotori
Tjiptomangunkusumo dan Sorjodipoetro).
Adanya dua aliran dalam tubuh Budi Utomo menyebabkan terjadinya
perpecahan. Dr. Cipto Mangunkusumo yang mewakili kaum muda keluar dari
keanggotaan. Akibatnya gerak Budi Utomo semakin lamban. Berikut ini ada
beberapa faktor yang menyebabkan semakin lambannya Budi Utomo:
a. Budi Utomo cenderung memajukan pendidikan untuk kalangan
priyayi daripada penduduk umumnya.
b. Lebih mementingkan pemerintah kolonial Belanda dari pada
kepentingan rakyat Indonesia.
c. Menonjolnya kaum priyayi yang lebih mengutamakan jabatan
menyebabkan kaum terpelajar tersisih.
Ketika meletus Perang Dunia I tahun 1914, Budi Utomo mulai terjun
dalam bidang politik. Berikut ini beberapa bentuk peran politik Budi Utomo:

Bambang Subiyakto
169
a. Melancarkan isu pentingnya pertahanan sendiri dari serangan
bangsa lain.
b. Menyokong gagasan wajib militer pribumi.
c. Mengirimkan komite Indie Weerbaar ke Belanda untuk pertahanan
Hindia.
d. Ikut duduk dalam Volksraad (Dewan Rakyat).
e. Membentuk Komite Nasional untuk menghadapi pemilihan anggota
Volksraad.
Budi Utomo sudah terang-terangan menjadi pergerakan politik.
Sebenarnya, timbulnya pergerakan ini merupakan peristiwa politik karena
Sutomo dan kawan-kawan pada waktu pendiriannya bercita-cita memperbaiki
kehidupan rakyat dalam segala aspek. Dalam penutupan rapat pendirian
tersebut ditegaskan dan yakin “nasib tanah air ini akan ditentukan gerak politik”
(Muljana, 2008). Untuk wahana komunikasi dan publikasi pemikiran maka
diterbitkan majalah tengah bulanan bernama “Boedi Oetomo”. Pimpinan redaksi
adalah Dwidjosewojo, Sosrosoegondo, dan Boediardjo. Terbit dalam bahasa
Melayu rendah, mulai 1 Juli 1910. Selanjutnya pada tahun 1913 Budi Utomo
mampu menerbitkan majalah bulanan Goeroe Desa yang memiliki kiprah masih
terbatas di kalangan penduduk pribumi. Selain itu adalah Surat Kabar Darmo
Kondo, mulai tahun 1912. Sejalan dengan kemerosotan aktivitas dan dukungan
pribumi pada Budi Utomo, maka pada tahun 1935 Budi Utomo mengadakan
fusi ke dalam Partai Indonesia Raya (Parindra). Sejak itu BU terus mengalami
kemerosotan dan mundur dari arena politik.
2.2.2 Sarekat Islam (SI)
Pada mulanya Sarekat Islam adalah sebuah perkumpulan para
pedagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada tahun 1911, SDI
didirikan di kota Solo oleh H. Samanhudi sebagai suatu koperasi pedagang
batik Jawa. Garis yang diambil oleh SDI adalah kooperasi, dengan tujuan
memajukan perdagangan Indonesia di bawah panji-panji Islam. Keanggotaan
SDI masih terbatas pada ruang lingkup pedagang, maka tidak memiliki anggota
yang cukup banyak. Oleh karena itu agar memiliki anggota yang banyak dan
luas ruang lingkupnya, maka pada tanggal 18 September 1912, SDI diubah
menjadi SI (Sarekat Islam).

Bambang Subiyakto
170
Organisasi Sarekat Islam (SI) didirikan oleh beberapa tokoh SDI seperti
H.O.S Cokroaminoto, Abdul Muis, dan H. Agus Salim. Sarekat Islam berkembang
pesat karena bermotivasi agama Islam. Latar belakang ekonomi berdirinya
Sarekat Islam adalah:
a) perlawanan terhadap para pedagang perantara (penyalur) oleh orang
Cina,
b) isyarat pada umat Islam bahwa telah tiba waktunya untuk
menunjukkan kekuatannya, dan
c) membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumi
putera.
Adapun tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan anggaran dasarnya
adalah:
a) mengembangkan jiwa berdagang,
b) memberi bantuan kepada anggotanya yang mengalami kesukaran,
c) memajukan pengajaran dan semua yang mempercepat naiknya
derajat bumi putera,
d) menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang agama Islam,
e) tidak bergerak dalam bidang politik, dan
f) menggalang persatuan umat Islam hingga saling tolong menolong.
Akselerasi tumbuhnya SI bagaikan meteor dan meluas secara horizontal
sehingga segera menjelma menjadi organisasi bersifat massa pertama di
Indonesia. Antara tahun 1917 dan 1920 pengaruh SI sangat terasa di dalam
perpolitikan Indonesia. Untuk menyebarkan propaganda perjuangannya, Sarekat
Islam menerbitkan surat kabar yang bernama Utusan Hindia. Karakter Islam
yang bersifat universal mampu menumbuhkan integritas bangsa Indonesia.
Melalui ideologi Islam ini, SI mampu sebagai pengikat, menuju cita-cita
kemerdekaan dan kemajuan bangsa Indonesia. Tjokroaminoto sebagai pendiri
pergerakan telah mampu membangkitkan kesadaran nasional melalui Iman
Islam rakyat saat itu (Santoso, 2010). Keberhasilan SI diakui oleh tokoh
pergerakan lain seperti Ki Hajar Dewantara yang menyatakan bahwa SI telah
berhasil menggerakkan kesadaran berbangsa dan bernegara, dengan
menjadikan Islam sebagai simbol nasional. Mohammad Roem bahkan mencatat
keunggulan formulasi politik Islam itulah yang menjadi landasan gerakan SI,
sehingga mendapat sambutan rakyat yang luar biasa, dibuktikan pada kongres

Bambang Subiyakto
171
pertama 1913 utusan dari berbagai penjuru nusantara datang baik dari seluruh
Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali hadir membangkitkan semangat
kongres. Selanjutnya pada saat konggres di Bandung membuat gebrakan
dengan tuntutan” Indonesia Merdeka” (Santoso, 2010).
Kepeloporan SI juga pada penggunaan lambang gerakan bangsa
Indonesia, yang selanjutnya banyak digunakan oleh organisasi lainnya. Lambang
SI diantaranya adalah Bulan Bintang, Banteng, Tali (rantai) dan Padi Kapas.
Lambang Banteng berpengaruh terhadap lambang PNI, Partinda pada masa
gerakan nasional. Lambang bulan bintang dipakai oleh Masyumi pada masa
demokrasi liberal, dll (Suryanegara, 1995). Pandangan ini searah dengan
pendapat Rask (2010), bahwa Serikat Islam adalah cikal bakal gerakan politik
modern Indonesia dan menjadi titik tolak organisasi pergerakan nasional.
Selanjutnya Rambe (2008) menegaskan SI yang dipelopori “Kaum Mardika”,
yakni orang orang yang tidak tergantung nafkahnya pada pemerintah kolonial,
dengan bebas mengkampanyekan persatuan warga Hindia, beranggotakan
semua lapisan masyarakat dan selanjutnya menuntut Indonesia merdeka, ini
membuktikan SI sebagai pelopor bangkitnya nasionalisme Indonesia. Jika
dikaitkan dengan pandangan Anderson maka SI telah berhasil membangun
“penciptaan komunitas imajiner” dan membangkitkan semangat kebangsaan
melalui teritorialisasi dan keyakinan-keyakinan keagamaan.
Pada tanggal 29 Maret 1913, para pemimpin SI mengadakan pertemuan
dengan Gubernur Jenderal Idenburg untuk memperjuangkan SI berbadan
hukum. Jawaban dari Idenburg pada tanggal 29 Maret 1913, yaitu SI di bawah
pimpinan H.O.S Cokroaminoto tidak diberi badan hukum. Ironisnya yang
mendapat pengakuan pemerintah kolonial Belanda (Gubernur Jenderal
Idenburg) justru cabang-cabang SI yang ada di daerah. Ini suatu taktik pemerintah
kolonial Belanda dalam memecah belah persatuan SI. Bayangan perpecahan
muncul dari pandangan yang berbeda antara H.O.S Cokroaminoto dengan
Semaun mengenai kapitalisme. Menurut Semaun yang memiliki pandangan
sosialis, bergandeng dengan kapitalis adalah haram. Dalam kongres SI yang
dilaksanakan tahun 1921, ditetapkan adanya disiplin partai rangkap anggota.
Setiap anggota SI tidak boleh merangkap sebagai anggota organisasi lain
terutama yang beraliran komunis. Akhirnya SI pecah menjadi dua yaitu SI Putih
dan SI Merah.

Bambang Subiyakto
172
a. SI Putih, yang tetap berlandaskan nasionalisme dan Islam. Dipimpin
oleh H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, dan Suryopranoto yang
berpusat di Yogyakarta.
b. SI Merah, yang berhaluan sosialisme kiri (komunis). Dipimpin oleh
Semaun, yang berpusat di Semarang.
Dalam kongresnya di Madiun, SI Putih berganti nama menjadi Partai
Sarekat Islam (PSI). Kemudian pada tahun 1927 berubah lagi menjadi Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII). Sementara itu, SI Sosialis/Komunis berganti
nama menjadi Sarekat Rakyat (SR) yang merupakan pendukung kuat Partai
Komunis Indonesia (PKI). Sebagai sebuah fenomena keyakinan keagamaan
Islam sebagai perekat dan pembentuk sebuah kesadaran berbangsa sebagai
mana dibahas atas saran dengan apa yang terdapat dalam diri tokoh ini. Hamka
juga telah diilhami kesadaran tentang kesatuan Indonesia jauh sebelum tahun
1928. Dalam konteks itu dapat dilihat pada sosok Hamka, sebagaimana
dinyatakan Deliar Noer (Reid: 43-44) bahwa Hamka pertama-tama adalah
seorang Muslim dan baru seorang Indonesia. Dalam menerima keserasian
antara nasionalisme dan Islam, Hamka tampak dipengaruhi Haji Agus Salim
dan para pemuka Persatuan Muslim Indonesia, suatu partai politik yang tumbuh
pesat di Minangkabau sekitar tahun 1930-an.
Sampai tahun 1930-an Hamka bukan hanya bepergian ke Jawa,
melainkan juga ke Makkah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Ketika
menetap di Medan tahun 1936 sebagai pemimpin redaksi mingguan Pedoman
Masyarakat ia mencapai suatu tingkat yang tidak memungkinkannya lagi
meninggalkan nasionalisme. Adalah kariernya yang mamaksa ia menganggap
Indonesia satu. Medan, dan lingkungan sekitar daerah Deli, tidaklah didominasi
salah satu kelompok suku tertentu; kesadaran solidaritas sebagai satu bangsa
telah dipelihara di sana, sekalipun banyak keluarga bangsawan setempat hidup
memencilkan diri (Deliar Noer: 44).
Hamka menyetujui beberapa gagasan Persatuan Islam, tetapi ia juga
bisa memahami posisi golongan nasionalis yang netral agama. Oleh sebab itu,
ia memilih sikap menyersikan Islam dengan nasionalisme, suatu pokok yang
oleh kelompok Bandung ditolak. Ini adalah suatu periode ketika Hamka mulai
melakukan studi sejarah Indonesia dari titik tolak Islam. Ia mengakui pentingnya
sejarah Indonesia pra-Islam, tetapi zaman itu, ia percaya, menyediakan jalan

Bambang Subiyakto
173
bagi Islam membentuk dan menentukan corak terhadap sikap, perasaan, dan
pikiran kebanyakan rakyat (Deliar: 44).
2.2.3 Indische Partij (IP)
IP didirikan pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung oleh tokoh
Tiga Serangkai, yaitu E.F.E Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan
Suwardi Suryaningrat. Pendirian IP ini dimaksudkan untuk mengganti Indische
Bond yang merupakan organisasi orang-orang Indo dan Eropa di Indonesia. Hal
ini disebabkan adanya keganjilan-keganjilan yang terjadi (diskriminasi)
khususnya antara keturunan Belanda totok dengan orang Belanda campuran
(Indo). IP sebagai organisasi campuran menginginkan adanya kerja sama orang
Indo dan bumi putera. Hal ini disadari benar karena jumlah orang Indo sangat
sedikit, maka diperlukan kerja sama dengan orang bumi putera agar kedudukan
organisasinya makin bertambah kuat.
Di samping itu juga disadari betapa pun baiknya usaha yang dibangun
oleh orang Indo, tidak akan mendapat tanggapan rakyat tanpa adanya bantuan
orang-orang bumi putera. Perlu diketahui bahwa E.F.E Douwes Dekker dilahirkan
dari keturunan campuran, ayah Belanda, ibu seorang Indo. Indische Partij
merupakan satu-satunya organisasi pergerakan yang secara terang-terangan
bergerak di bidang politik dan ingin mencapai Indonesia merdeka. Tujuan
Indische Partij adalah untuk membangunkan patriotisme semua Hindia Putra
terhadap tanah air. Konsep Hindia putra adalah semua orang yang dilahirkan
dan dibesarkan bahkan dikebumikan di Indonesia”, tanpa melihat suku, etnis,
keturunan, agama, budaya. Douwes Dekker menegaskan barang siapa yang
tidak masuk Budi Utomo karena bukan orang Jawa, dan barang siapa yang
tidak masuk Serikat Islam karena bukan orang Islam, semua dapat masuk dan
berjuang bersama di Indische Partij (Muljana, 2008). Jika dikaitkan dengan
pandangan Anderson maka Indische Partij membangun “Komunitas Imajiner”
dalam membangkitkan kebangsaan melalui teritorialisasi.
IP menggunakan media majalah Het Tijdschrifc dan surat kabar ‘De
Expres’ pimpinan E.F.E Douwes Dekker sebagai sarana untuk membangkitkan
rasa kebangsaan dan cinta tanah air Indonesia. Tujuan dari partai ini benar-
benar revolusioner karena mau mendobrak kenyataan politik rasial yang
dilakukan pemerintah kolonial. Tindakan ini terlihat nyata pada tahun 1913.
Saat itu pemerintah Belanda akan mengadakan peringatan 100 tahun bebasnya

Bambang Subiyakto
174
Belanda dari tangan Napoleon Bonaparte (Prancis). Perayaan ini direncanakan
diperingati juga oleh pemerintah Hindia Belanda. Adalah suatu yang kurang pas
di mana suatu negara penjajah melakukan upacara peringatan pembebasan
dari penjajah pada suatu bangsa yang dia sebagai penjajahnya. Hal yang ironis
ini mendatangkan cemoohan termasuk dari para pemimpin Indische Partij.
Dalam hubungan itu R.M. Suwardi Suryaningrat menulis artikel bernada
sarkastis yang berjudul ‘Als ik een Nederlander was’, Andaikan aku seorang
Belanda. Akibat dari tulisan itu R.M. Suwardi Suryaningrat ditangkap. Menyusul
sarkasme dari Dr. Cipto Mangunkusumo yang dimuat dalam De Express tanggal
26 Juli 1913 yang diberi judul Kracht of Vrees?, berisi tentang kekhawatiran,
kekuatan, dan ketakutan. Dr. Tjipto pun ditangkap, yang membuat rekan dalam
Tiga Serangkai, E.F.E. Douwes Dekker turut mengkritik dalam tulisannya di De
Express tanggal 5 Agustus 1913 yang berjudul Onze Helden: Tjipto
Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat, Pahlawan kita: Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat. Kecaman-kecaman yang
menentang pemerintah Belanda menyebabkan ketiga tokoh dari Indische Partij
ditangkap. Pada tahun 1913 mereka diasingkan ke Belanda. Namun pada tahun
1914 Cipto Mangunkusumo dikembalikan ke Indonesia karena sakit. Sedangkan
Suwardi Suryaningrat dan E.F.E. Douwes Dekker baru kembali ke Indonesia
pada tahun 1919. Suwardi Suryaningrat terjun dalam dunia pendidikan, dikenal
sebagai Ki Hajar Dewantara, mendirikan perguruan Taman Siswa. E.F.E Douwes
Dekker juga mengabdikan diri dalam dunia pendidikan dan mendirikan yayasan
pendidikan Ksatrian Institute di Sukabumi pada tahun 1940. Dalam
perkembangannya, E.F.E Douwes Dekker ditangkap lagi dan dibuang ke
Suriname, Amerika Latin.
Pada tahun 1913, rezim kolonial Belanda di Batavia, mengikuti petunjuk
dari Den Haag, mensponsori berbagai perayaan massal di semua bagian
jajahannya, memperingati seratus tahun ‘pembebasan nasional’ bangsa Belanda
dari penjajahan Prancis. Dikeluarkan perintah-perintah untuk memastikan peran
serta fisik dan sumbangan-sumbangan keuangan, bukan hanya ditagih dari
komunitas-komunitas Belanda atau Eurosia (blasteran) setempat saja, tetapi
juga dari bangsa pribumi. Murka melihat ini, seorang Jawa yang termasuk tokoh
nasionalis pertama, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) menulis artikel

Bambang Subiyakto
175
berbahasa Belanda untuk sebuah koran. Tulisan yang terkenal ini ia beri judul
“Als ik eens Nederlander was” (“Andai saya menjadi Seorang Belanda”).
Menurut pendapat saya, ada sesuatu yang tidak pada tempatnya –
sesuatu yang tidak senonoh – jika kita (saya masih menjadi seorang
Belanda dalam khayalan saya ini) meminta orang-orang pribumi untuk
ikut merayakan kemerdekaan kita. Pertama, kita akan melukai perasaan
mereka karena yang kita rayakan ini adalah kemerdekaan kita sendiri di
tanah air mereka yang kita jajah. Saat ini kita sangat bahagia karena
seratus tahun silam kita bebaskan diri kita sendiri dari dominasi asing
dan semua ini berlangsung tepat di depan mata orang-orang yang masih
kita dominasi. Tidakkah terlintas di benak kita bahwa budak-budak
malang ini juga mengidamkan saat-saat seperti ini, takala mereka, seperti
kita, dapat merayakan kemerdekaan mereka sendiri? Ataukah, kita
barangkali merasa bahwa, karena kebijakan kita yang meremukan jiwa,
maka kita menganggap semua jiwa manusia itu mati? Kalau memang
begitu, maka kita menipu diri sendiri, sebab tak peduli seberapa primitifnya
pun sebuah komunitas, ia pasti menentang segala corak penindasan.
Andaikan saya seorang Belanda, saya tidak akan mengatur perayaan
kemerdekaan di sebuah negeri di mana kemerdekaan orang-orangnya
telah dirampas (Reid dan Marr, 1983: 162-163).
Salah satu dari sedikit kaum nasionalis Indonesia mula-mula yang dapat
menerima satu kesatuan sejarah yang diciptakan oleh Belanda dengan
sewajarnya adalah E.F.E. Douwes Dekker, seorang cendikiawan pendiri
nasionalisme Hindia, tetapi juga seorang Indo-Eropa (Anderson: Eurasia) yang
merasa tidak terikat dengan tradisi kebudayaan Indonesia mana pun. Ia mengaku
dirinya sebagai sejarawan nasional pertama di Indonesia dengan karyanya
Vluchtig Overzich van de Geschiedenis van Indonesia, meskipun karya itu tertulis
dalam bahasa Belanda untuk murid-muridnya di Institut Ksatrian pada tahun
1930-an, dan tidak diterbitkan sampai muncul terjemahannya dalam bahasa
Indonesia pada tahun 1942. Douwes Dekker dengan terus terang
mengemukakan, “sebagai akibat dari berbagai kejadian, pulau-pulau yang
berserakan itu setahap demi setahap menjadi satu kepulauan, dan tunduk di
bawah satu penguasa, yaitu pemerintah Belanda. Hukum yang berlaku di seluruh
kepulauan ini sama. Struktur sosialnya juga sama. Oleh karena itu, dapat
dikatakan, pulau-pulau ini telah menjadi satu wilayah” (Reid dan Marr: 55)

Bambang Subiyakto
176
Definisi yang diberikan Douwes Dekker tentang sejarah nasional hanya
meyakinkan mereka yang sekeyakinan dengannya bahwa kekuasaan politik dari
pemerintah yang amat jauh di Den Haag merupakan soal utama. Di antara
orang-orang Indonesia generasi pertama yang lulus dari sekolah lanjutan semasa
Perang Dunia I, banyak orang yang menentang Belanda dengan cara-cara yang
betul-betul berbeda. Bagi mereka bentuk “nasionalisme Hindia” yang
dipromosikan Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo bersifat agresif sama
dengan pengaruh budaya Belanda yang amat kuat yang tidak mereka sukai.
Mereka mengusahakan suatu kebangunan kembali serta memperkukuh warisan
budaya mereka sendiri, dan bukannya mengidentifikasikan diri dengan tata
negara baru bikinan Belanda.
Pertikaian itu berasal dari sejarah organisasi politik modern yang
pertama di Indonesia, yaitu Budi Utomo, yang di dalamnya Tjipto mewakili suatu
kecenderungan terhadap sikap politik anti-Belanda, sementara Dr. Radjiman
memimpin kelompok dominan yang ingin bekerja lebih dulu untuk kebangkitan
kembali kebudayaan Jawa. Meskipun Tjipto kemudian kalah dalam pemilihan
pemimpin di Budi Utomo, radikalisme politiknya jauh lebih menarik perhatian
mereka dari unsur para pemuda di organisasi tersebut. Para cendikiawan muda
yang mempromosikan “nasionalisme Jawa” dari kira-kira tahun 1917 mengagumi
keberanian Tjipto dan juga turut melibatkan diri dalam politik anti-Belanda itu.
Mereka berbeda secara radikal dengan Tjipto hanya tentang cara
pembelaannya tentang nasionalisme Hindia. Untuk itu kader muda Budi Utomo,
Soerjokoesoemo mengemukakan:
Sejarah kita akan berkembang menuju persatuan rakyat Hindia, bukan
ke arah suatu kesatuan nasional Hindia. Suatu bangsa Hindia –kalau
hal ini dicapai—lagi-lagi akan hancur berantakan.... Setiap orang yang
bersimpati kepada perkembangan alamiah dan tahap demi tahap ....
tidak akan menuntut agar bangsa Jawa mengorbankan dirinya bagi
bangsa Hindia .... Pengorbanan yang terlalu besar. Demikian
Soerjokoesoemo kader muda Budi Utomo (Reid dan Marr: 55-56).
Tokoh penting lain dari kalangan nasionalis Hindia, Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), yang secara spiritual lebih dekat kepada
kaum nasionalis Jawa, bisa menanggapi argumen yang menentangnya dengan
cara lebih peka. Ia mengakui bahwa nasionalisme Hindia tidak memiliki landasan
kebudayaan, tetapi tumbuh dari faktor negatif yang murni dominasi Belanda. Di

Bambang Subiyakto
177
pihak lain, kasus kultural nasionalisme Jawa, juga tidak bisa dipersalahkan.
Jawa telah bisa membentuk suatu keutuhan budaya yang relatif homogen,
berbeda besar dengan kemajemukan yang terdapat di setiap tempat di
Nusantara (Reid dan Marr: 57).
2.2.4 Perhimpunan Indonesia dan Manifesto Politik
Pada tahun 1908 di Belanda berdiri sebuah organisasi yang bernama
Indische Vereeniging. Pelopor pembentukan organisasi ini adalah Sutan
Kasayangan Soripada dan RM Noto Suroto. Para mahasiswa lain yang terlibat
dalam organisasi ini adalah R. Pandji Sosrokartono, Gondowinoto, Notodiningrat,
Abdul Rivai, Radjiman Wediodipuro (Wediodiningrat), dan Brentel. Tujuan
dibentuknya Indische Vereeniging adalah untuk memajukan kepentingan
bersama dari orang-orang yang berasal dari Indonesia. Kedatangan tokoh-tokoh
Indische Partij seperti Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat, sangat
mempengaruhi perkembangan Indische Vereeniging. Masuk konsep “Hindia
Bebas” dari Belanda, dalam pembentukan negara Hindia yang diperintah oleh
rakyatnya sendiri. Perasaan anti-kolonialisme semakin menonjol setelah ada
seruan Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson tentang kebebasan dalam
menentukan nasib sendiri pada negara-negara terjajah (The Right of Self
Determination). Dalam upaya berkiprah lebih jauh, organisasi ini memiliki media
komunikasi yang berupa majalah Hindia Poetra. Pada rapat umum bulan Januari
1923, Iwa Kusumasumantri sebagai ketua baru memberi penjelasan bahwa
organisasi yang sudah dibenahi ini mempunyai tiga asas pokok yang disebut
juga Manifesto Politik, yaitu:
a. Indonesia ingin menentukan nasib sendiri,
b. agar dapat menentukan nasib sendiri, bangsa Indonesia harus
mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri, dan
c. dengan tujuan melawan Belanda bangsa Indonesia harus bersatu.
Kegiatan Indische Vereeniging semakin tegas dan radikal, dan telah
berkembang ke arah politik. Sejalan dengan semakin meluasnya pemakaian
nama Indonesische, dirasa perlu untuk mengubah nama organisasi menjadi
Indonesische Vereeniging pada tahun 1924. Majalah Hindia Poetra pun ikut
berubah nama menjadi Indonesia Merdeka. Melalui rapat pada tanggal 3
Februari 1925 akhirnya Indonesische Vereeniging diganti menjadi Perhimpunan
Indonesia (PI). Semboyan “Indonesia Merdeka” sudah menjadi slogan meskipun

Bambang Subiyakto
178
mengatakannya dengan Bahasa Belanda. Melalui media “Indonesia Merdeka”
dan kegiatan internasional, dunia internasional mengetahui aktivitas perjuangan
para pemuda Indonesia. Berikut ini kegiatan-kegiatan internasional yang diikuti
oleh PI:
a. Mengikuti Kongres ke-6 Liga Demokrasi Internasional untuk
Perdamaian di Paris pada tahun 1926. Delegasi Perhimpunan
Indonesia dipimpin oleh Mohammad Hatta.
b. Mengikuti Kongres I Liga Penentang Imperialisme dan Penindasan
Kolonial di Berlin pada tahun 1927, mengirimkan Mohammad Hatta,
Nasir Pamuncak, Batot, dan Achmad Subardjo.
Dalam perjalanannya Perhimpunan Indonesia mengalami banyak
tekanan dari pemerintah Belanda, lebih-lebih setelah terjadi pemberontakan
Partai Komunis Indonesia pada tahun 1926. Pengawasan dilakukan semakin
ketat. Meskipun demikian, pada tanggal 25 Desember 1926 Semaun bersama
Mohammad Hatta menandatangani suatu kesepakatan yang dikenal dengan
Konvensi Hatta-Semaun. Dalam kesepakatan itu ditekankan pada upaya
Perhimpunan Indonesia tetap pada garis perjuangan kebangsaan dan
diharapkan PKI dengan ormas-ormasnya tidak menghalang-halangi
Perhimpunan Indonesia dalam mewujudkan cita-citanya. Cita-cita Perhimpunan
Indonesia tertuang dalam 4 pokok ideologi dengan memerhatikan masalah
sosial, ekonomi dengan menempatkan kemerdekaan sebagai tujuan politik yang
dikembangkan sejak tahun 1925. Keempat pokok ideologi tersebut adalah
kesatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan swadaya (Muljana, 2008).
2.2.5 Partai Nasional Indonesia (PNI)
Berdirinya partai-partai dalam pergerakan nasional banyak berawal dari
studie club. Salah satunya adalah Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang lahir di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 tidak
terlepas dari keberadaan Algemeene Studie Club. Lahirnya PNI juga
dilatarbelakangi oleh situasi sosio politik yang kompleks. Pemberontakan PKI
pada tahun 1926 membangkitkan semangat untuk menyusun kekuatan baru
dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Rapat pendirian partai ini
dihadiri Ir. Soekarno, Dr. Cipto Mangunkusumo, Soedjadi, Mr. Iskaq Tjokrodisuryo,
Mr. Budiarto, dan Mr. Soenarjo. Pada awal berdirinya, PNI berkembang sangat
pesat karena didorong oleh faktor-faktor berikut:

Bambang Subiyakto
179
a. Pergerakan yang ada lemah sehingga kurang bisa menggerakkan
massa.
b. PKI sebagai partai massa telah dilarang.
c. Propagandanya menarik dan mempunyai orator ulung yang bernama
Ir. Soekarno (Bung Karno).
Untuk mengobarkan semangat perjuangan nasional, Bung Karno
mengeluarkan Trilogi sebagai pegangan perjuangan PNI. Trilogi tersebut
mencakup kesadaran nasional, kemauan nasional, dan perbuatan nasional.
Tujuan PNI adalah mencapai Indonesia merdeka. Untuk mencapai tujuan
tersebut, PNI menggunakan tiga asas yaitu self help (berjuang dengan usaha
sendiri) dan nonmendiancy, sikapnya terhadap pemerintah juga antipati dan
nonkooperasi. Dasar perjuangannya adalah marhaenisme. Kongres Partai
Nasional Indonesia yang pertama diadakan di Surabaya, tanggal 27 – 30 Mei
1928. Kongres ini menetapkan beberapa hal berikut:
1. Susunan program yang meliputi:
a. bidang politik untuk mencapai Indonesia merdeka,
b. bidang ekonomi dan sosial untuk memajukan pelajaran nasional.
2. Menetapkan garis perjuangan yang dianut adalah nonkooperasi.
3. Menetapkan garis politik memperbaiki keadaan politik, ekonomi dan
sosial dengan kekuatan sendiri, antara lain dengan mendirikan
sekolah-sekolah, poliklinik-poliklinik, bank nasional, perkumpulan
koperasi, dan sebagainya.
Peranan PNI dalam pergerakan nasional Indonesia sangat besar.
Menyadari perlunya pernyataan segala potensi rakyat, PNI memelopori berdirinya
Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia
(PPPKI). PPPKI diikuti oleh PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), Budi Utomo,
Pasundan, Sumatranen Bond, Kaum Betawi, Indonesische Studi Club, dan
Algemeene Studie Club. Berikut ini ada dua jenis tindakan yang dilaksanakan
untuk memperkokoh diri dan berpengaruh di masyarakat:
1. Ke dalam, mengadakan usaha-usaha dari dan untuk lingkungan
sendiri seperti mengadakan kursus-kursus, mendirikan sekolah, bank
dan sebagainya.

Bambang Subiyakto
180
2. Keluar, dengan memperkuat opini publik terhadap tujuan PNI antara
lain melalui rapat-rapat umum dan penerbitan surat kabar Banteng
Priangan di Bandung, dan Persatuan Indonesia di Jakarta.
2.3 Peran Pers dalam Membangun Nasionalisme
Nasionalisme sebagai suatu gejala historis telah berkembang sebagai
jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi, dan sosial khususnya, yang
ditimbulkan oleh situasi kolonial (Sartono: 58). Untuk ini dengan cara apa dan
bagaimana rasa dan kesadaran nasionalisme itu dapat diwujudkan adalah
tengah dicoba jawabannya oleh Anderson.
Oleh pers diciptakan forum yang cukup bebas untuk mengajukan
pendapat, pikiran, kritik sosial, dan lain sebagainya. Di sini fungsi pers sangat
membantu tumbuhnya massa kritikal dalam masyarakat, kesadaran kolektif,
dan solidaritas umum, sehingga dengan demikian pelbagai gerakan sebagai
wahana aksi kolektif mendapat dukungan kuat. Tidak mengherankan bila
kemudian pelbagai aliran dan gerakan mempunyai persnya sendiri yang berperan
sebagai corong organisasi. Berbagai aspirasi guna mencapai kemajuan meluap,
terpaparnya gagasan-gagasan lewat media massa dengan cepat dan secara
luas menggalakan pensosialisasiannya, sehingga tumbuhlah kesadaran yang
semakin meluas di kalangan masyarakat (rakyat). Bahwasanya pers merupakan
ancaman bagi penguasa kolonial tidak dapat diragukan lagi. Kesempatan
mengeluarkan pendapat menjadi fasilitas untuk mengecam sistem kolonial serta
unsur-unsur prakteknya. Tidak mengherankan apabila beberapa surat khabar
berkali-kali kena ’pemberangusan’, persbreidel (Sartono: 114-115).
2.4 Bahasa Sebagai Pemersatu
M. Yamin menghendaki agar menggunakan bahasa Melayu sebagai
bahasa sendiri, tahun 1920-an ia menyatakan sekaligus memperingatkan bahwa
“kita sudah tidak mampu lagi ..... menyatakan perasaan kita dalam bahasa
sendiri”, dan bahwa “bahasa kita sendiri semakin lama makin kita tinggalkan”,
lagi bahwa “ada di antara mereka yang tidak lagi prihatin kepada bahasa sendiri”
(Deliar Noer, “Yamin dan Hamka”, dalam Reid dan Marr: 38). Yamin juga menyitir
pribahasa ’tiada bahasa, hilanglah bangsa’. Yamin pada pidatonya di depan
Kongres Pemuda tahun 1928 menyatakan bahwa bahasa memiliki pengaruh
penting terhadap persatuan nasional. Baginya, bahasa Indonesia telah menjadi
salah satu percerminan kesatuan bangsa Indonesia. Mengenai hal ini oleh

Bambang Subiyakto
181
Anderson dikatakannya bahwa bahasa mempunyai unsur pencetus untuk
tumbuhnya perasaan kebersamaan, persatuan, perasaan kekitaan (Anderson,
15 dan Deliar Noer, 40).
Yamin berpendapat, “persatuan Indonesia bukanlah omong-kosong,
tetapi seperti sebuah rumah yang dibangun di atas tiang-tiang kukuh”. Kesatuan
ini berdasar kepada beberapa faktor, termasuk sejarah, bahasa, dan hukum
adat. Ia menganggap sejarah Indonesia sebagai “satu pertumbuhan yang
tunggal”. Baginya pula bahwa suatu bangsa “lebih seperti roh daripada tubuh”,
yang oleh Anderson dianggap sebagai sebuah abstrak, “hanya bayangan”
(imajiner). Aspek pertama roh itu dapat ditelusuri pada masa lalu, sebagai ingatan
yang dikenang (Deliar Noer: 42).

III. SIMPULAN
Berdasarkan teori Benedict Anderson tentang “pembentukan komunitas
imajiner”, Budi Utomo menempatkan nilai dan sistem budaya sebagai perekat
dan pendorong munculnya nasionalisme. Selanjutnya SI berhasil membangun
“penciptaan komunitas imajiner” dan membangkitkan semangat kebangsaan
melalui teritorialisasi dan keyakinan-keyakinan keagamaan. Sedangkan
Indische Partij membangun “komunitas imajiner” dalam membangkitkan
kebangsaan melalui teritorialisasi. PNI dalam rangka membangun semangat
kebangsaan memadukan, melalui aspek budaya dan teritorialisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin Nur. 1967. Pengantar Studi: Sedjarah Pergerakan Nasional. Djakarta:
Pembimbing Masa.
Akira Nagazumi. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-
1918. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Anderson, Benedict. 1999. Komunitas-Komunitas Imajiner: Renungan Tentang
Asal-Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
dan INSIST Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional, Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Komandoko, Gamal. 2008. Boedi Oetomo. Awal Kebangkitan Kesadaran Bangsa.
Yogyakarta: Med.Press.

Bambang Subiyakto
182
Kohn, Hans. 1984. Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Erlangga.
Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan : Yogyakarta: LKis.
Rambe, Safrizal. 2008. Sarikat Islam: Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-
1942. Jakarta: Yayasan Insan Cendikia.
Rask, Y.R. 2010. SDI-SI Sang Pelopor Kebangkitan Dalam A.Syafii Ma”aarif (ed.)
Sejarah Menggugat. Bandung: Sega Arsy.
Reid, Anthony dan David Marr. 1983. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia
dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafitipers.
Ricklefs, M.C. 1994. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Santoso, Kholid. 2010. Serikat Islam dan Kebangkitan Nasional. Dalam A.Syafii
Ma”aarif (ed.) Sejarah Menggugat. Bandung: Sega Arsy.
Scmit, C. 1986. Dekolonisasi Indonesia. Jakarta: Pustaka Azet.

Bambang Subiyakto
183
Bambang Subiyakto
184
PENYELIDIKAN DALAM PENDIDIKAN
SEJARAH
Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang
Corresponding author: razaq@ukm.edu.my

PENGENALAN
Penyelidikan secara asasnya adalah usaha yang dilakukan bagi
mencari jawapan atau melakukan sesuatu penyelesaian masalah dengan
mencari jawapan yang benar atau sekurang-kurangnya dapat mengetahui
kebenaran yang logik melalui pemikiran yang mempunyai kesinambungan
dengan fakta yang berkaitan. Penyelidikan yang dijalankan dilaksanakan dengan
menggunakan kaedah ilmiah iaitu melalui penerapan langkah-langkah berfikir
secara ilmiah, teratur dan mendalam.
Penyelidikan yang dilaksanakan mampu mencari kebenaran dan ilmu
penyelesaian bagi menjawab pemasalahan secara sistematik berdasarkan
rasionalnya dengan fakta-fakta melalui pengumpulan data. Pemikiran yang logik
dan intelektual dapat mengolah dan menarik kesimpulan bagi jawapan kepada
masalah itu. Oleh itu, penyelidikan diertikan sebagai pelaksanaan kegiatan yang
dilakukan secara sistematik bagi mengumpul, mengolah dan menyimpan data.
Maka metodologi dan teknik tertentu digunakan dalam membuat perangkaan
dan perincian bagi mencari jawapan kepada permasalahan yang dihadapi.

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia dan Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


185
Sejarah adalah catatan pencapaian manusia dan peristiwa berkaitan
dengan masa dan tempat. Kajian sejarah cuba melihat perspektif masa lampau
dan cuba mengaitkannya dengan keadaan masa kini dan masa akan datang
(Mohd Najib, 1999). Manakala definisi penyelidikan sejarah pula ialah penyusunan
yang membabitkan kajian dan penilaian data yang berkaitan peristiwa yang terjadi
pada masa lampau. Hal ini seterusnya melibatkan elemen mengkaji punca, kesan
ataupun corak peristiwa dan secara tidak langsung menganalisis apa yang berlaku
sekarang, kemudian membuat ramalan apa yang bakal berlaku pada masa akan
datang melalui kajian. Tujuan penyelidikan sejarah tidak semestinya berkisar
berkaitan apa yang diketahui ramai. Tujuan penyelidikan sejarah adalah
menghurai, membuat tanggapan dan mengawal fenomena. Secara semulajadi,
ia menghapuskan pengawalan fenomena. Oleh itu, tujuan sebenar kajian yang
berunsur sejarah adalah menghuraikan, menerangkan, menjelaskan dan
membuat tanggapan, bukannya mengemukakan yang baru.
Dalam kajian sejarah, ulasan kajian-kajian yang lepas dan langkah-
langkah kajian dilihat sebagai proses yang sama. Kebiasaannya, ulasan kajian-
kajian yang lepas dilakukan apabila data-data yang berkaitan kajian dikumpulkan.
Ini kerana, ulasan kajian ini bukanlah dilihat sebagai permulaan bagi mengenal
pasti masalah, tetapi dilihat sebagai bentuk tulisan yang merujuk kepada perkara-
perkara yang berkaitan kajian dijalankan. Ia membawa makna yang lebih meluas
bagi kajian sejarah. Bentuk tulisan yang dimaksudkan dapat membentuk
dokumen yang sah, rekod, minit mesyarat, surat, dan lain-lain dokumen yang
mungkin tidak mempunyai butir-butir yang terperinci. Apabila hal ini berlaku,
penyelidik perlu mengesan terlebih dahulu sumber data itu.
Kajian sejarah juga melibatkan temu bual bersama responden yang
terlibat dalam proses atau pun peristiwa yang sedang dikaji. Tetapi, kajian yang
dilakukan mungkin agak sukar apabila responden yang ditemu bual tidak dapat
mengingat dengan jelas maklumat yang diperlukan. Masalah yang sama juga
berlaku dalam situasi di mana sumber maklumat hanya diperoleh melalui
sumber bertulis semata-mata. Sumber begini lebih sukar dikenal pasti kerana
ia mungkin terdapat pada lokasi yang jauh daripada penyelidik. Lebih
memburukkan keadaan, sumber itu tidak dapat memberi bantuan yang
diharapkan oleh penyelidik. Sumber data dalam kajian kes bersejarah dapat
dikategorikan kepada dua iaitu sumber utama dan sumber kedua.

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


186
TUJUAN PENYELIDIKAN DALAM PENDIDIKAN
Menurut Gorg & Gall (1989), penyelidikan mempunyai rasional yang
tertentu ke arah menyumbang kepada pembinaan pengetahuan baru. Menurut
Weber (1993), penyelidikan dapat membantu penyelesaian masalah yang
dihadapi dalam kehidupan. Secara kesimpulan, rasional membuat penyelidikan
adalah berasaskan sebab-sebab berikut :
1. Membuat jangkaan terhadap sesuatu fenomena yang bakal berlaku
(prediction). Penyelidikan dapat menyediakan maklumat yang
penting berkaitan dengan fenomena yang dijangkakan, contohnya,
jangkaan terhadap pencapaian pelajar dalam sesuatu peperiksaan.
2. Membuat penambahbaikan terhadap sesuatu keadaan atau program
(Improvement). Dapatan kajian dapat membantu individu, kumpulan
atau organisasi untuk memperbaiki program yang sedia ada dan
juga sebagai asas untuk memperbaiki kelemahan yang ada.
3. Memberi penjelasan (Explanation). Penyelidikan dapat menjelaskan
fenomena yang dikaji.
4. Menyediakan deskripsi sesuatu fenomena (Description). Dapat
menyediakan deskripsi berkaitan dengan bidang yang dikaji dalam
membantu untuk memahami fenomena yang dikaji. Menyediakan
maklumat statistik yang diperlukan oleh pihak tertentunya.
Contohnya, Policy Makers.
5. Membantu menyelesaikan masalah (Problem Solving). Dapat
membantu ke arah penyelesaian terhadap sesuatu masalah yang
timbul.

CIRI-CIRI PENYELIDIKAN DALAM PENDIDIKAN


Penyelidikan sebagai pendekatan yang saintifik dalam menghasilkan
ilmu dimana ianya mempunyai dua ciri utama, iaitu dijalankan mengikut langkah-
langkah yang logikal dan mematuhi kaedah saintifik. Apa yang diperkatakan
mengenai langkah-langkah logikal di dalam penyelidikan adalah menjurus
kepada mengenal pasti masalah yang dikaji dan bidang pengetahuan yang
berkaitan dengan lebih teliti dengan melakukan tinjuan lituratur untuk
memahami bagaimana orang lain telah menghadapi sesuatu masalah dan

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


187
cuba untuk menyelesaikan masalah atau isu tersebut. Bukan itu sahaja,
pengumpulan data secara tersusun dan terkawal menjadi garis panduan dalam
memperoleh keputusan yang sah daripada penyelidikan yang dilakukan.
Langkah-langkah logikal ini juga sekaligus turut digunakan berkaitan dengan
aktiviti menganalisis data terutama data yang berkaitan dengan masalah atau
isu yang diselidik. Justeru, mempunyai peranan penting di dalam membuat
kesimpulan dan generalisasi di dalam sesuatu penyelidikan.
Penyelidikan juga perlu mematuhi suatu kaedah saintifik di mana ia
merupakan salah satu eleman penting di dalam menjalankan sesuatu kajian.
Jadi, tidak hairanlah jika ciri kedua ini turut diberi penekanan yang serius oleh
para penyelidik dalam menjalankan kajian mereka. Hal Ini sering dititkberatkan
memandangkan pematuhan terhadap suatu kaedah saintifik mampu
menyumbang kepada mengintegrasikan keterangan induktif dan deduktif.
Keterangan induktif merupakan satu keadaan dimana perpindahan
daripada kenyataan-kenyataan khusus yang diperoleh kepada kenyataan umum.
Hal ini dapat dilihat apabila seseorang penyelidik membuat pemerhatian terhadap
sesuatu peristiwa tertentu (fakta-fakta konkrit) dan setelah penyiasatan atau
penyelidikan dilakukan ke atas fakta-fakta tersebut, penyelidik akan membina
jangkaan tertentu daripada keputusan yang diperolehi. Manakala keterangan
deduktif pula menjurus kepada kenyataan umum kepada kenyataan-kenyataan
yang lebih khusus. Contohnya ”Kalau Encik A guru tidak terlatih, beliau tidak akan
menggunakan ABM/ABPP semasa dia mengajar”

PENDEKATAN INKUIRI DALAM PENYELIDIKAN PENDIDIKAN


Terdapat tiga jenis pendekatan inkuiri di dalam penyelidikan berkaitan
dengan pendidikan di mana antaranya adalah pendekatan “positivist”, pendekatan
‘interpretive’, dan pendekatan ‘critical’. Kesemua jenis pendekatan inkuiri ini
rata-ratanya mempunyai ciri dan kelebihannya yang tersendiri. Di mana, dapat
diperhatikan bahawa pendekatan “positivist” biasanya digunakan dalam proses
penyelidikan yang dilakukan secara objektif dan lebih menjerus kepada kuantitatif
di mana data yang diperolehi di analisis secara numerik dan juga secara statistik.
Pendekatan ini umumnya dipilih oleh pengkaji untuk mendapatkan penjelasan,
membuat pembuktian atau pengesahan dan juga dilakukan bagi membuat
generalisasi. Bukan itu sahaja, terdapat beberapa ciri lain yang menjadi asas

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


188
kepada pendekatan “positivist” antaranya adalah berkaitan dengan instrumen
kajian yang digunakan dalam mengukur pemboleh ubah tertentu.
Pendekatan “interpretive” merupakan salah satu pendekatan inkuiri
yang sering digunakan di dalam penyelidikan di dalam bidang pendidikan.
Pendekatan ini umumnya digunakan di dalam proses penyelidikan yang
dilakukan untuk membolehkan penyelidik memahami fenomena yang dikaji
melalui penelitian kepada subjek yang ada dalam fenomena itu. Melalui
pendekatan ini, makna dan kefahaman diperolehi melalui pentafsiran secara
subjektif melalui pemerhatian, dokumen atau temubual. Seterusnya adalah
pendekatan “critical” dimana pendekatan ini lebih menitikberatkan kepada kajian-
kajian terhadap nilai-nilai yang ada dalam sesuatu masyarakat bagi menentukan
perkara-perkara yang kurang sesuai diamalkan. Pendekatan ini amat sesuai
digunakan memandangkan tugas seorang penyelidik dalam mengutarakan
pandangan dan cadangan untuk perubahan. Dengan itu wajarlah jika penyelidik
memerlukan satu pendekatan yang lebih memberi ruang dan peluang kepada
mereka dalam menyampaikan hasil dapatan.

ETIKA DALAM PENYELIDIKAN PENDIDIKAN


Etika penyelidikan merujuk kepada peraturan-peraturan atau kod atau
satu set prinsip atau nilai moral yang berperanan sebagai panduan dalam
menjalankan penyelidikan. Para penyelidik perlu menunjukkan perlakuan yang
mematuhi etika semasa menjalankan penyelidikan. Dalam etika penyelidikan
bebeberapa elemen perlu diberi perhatian oleh penyelidik.
Mendapat Kebenaran
Isu mendapat kebenaran daripada responden untuk kajian adalah
kompleks.‘Informed Consent’ merujuk kepada kebenaran yang diberi oleh
responden setelah memahami beberapa perkara penting yang sepatutnya
menjadi garis panduan kepada semua penyelidik yang menjalankan penyelidikan
antaranya adalah penyelidik perlulah memaklumkan dan menerangkan dengan
sejelasnya berkaitan dengan matlamat dan tujuan kajian yang akan dilakukan
agar tidak menimbulkan salah faham kepada responden kajian. Seorang pengkaji
sewajarnya perlu cuba memahami apa yang diperlukan oleh responden.
Malahan, seorang pengkaji yang beretika seharusnya menjelaskan semua akibat

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


189
yang mungkin timbul daripada penglibatan atau tidak dalam penyelidikan yang
dibuat. Hal ini penting bagi mengelak daripada sebarang risiko. Andai kata berlaku
perubahan terhadap fokus atau sampling di dalam intipati kajian yang akan di
jalankan, perundingan semula perlu dibuat di antara kedua-dua pihak agar tidak
berlaku sebarang masalah di kemudian hari. Dalam kes yang melibatkan
responden yang kurang berupaya untuk memberi kebenaran seperti ada penyakit
mental atau kanak-kanak, cadangan kajian mesti diterangkan dan justifikasi
prosedur untuk melindungi hak responden.
Penglibatan
Di dalam menarik penglibatan responden untuk turut serta di dalam
penyelidikan terutamanya bagi mendapatkan data dan pengumpulan data yang
akan dibuat, responden diberitahu atau dimaklumkan setakat mana penglibatan
mereka dan jika ada di antara responden yang tidak berminat atau mahu menarik
diri daripada menjadi responden di dalam kajian tersebut mereka berhak
membuat penarikan diri dan pengkaji atau penyelidik seharusnya menerangkan
bahawa penarikan diri mereka tidak akan membawa apa-apa kesan negatif
seperti tindakan daripada pihak-pihak tertentu. Bakal responden juga perlu di
dedahkan tentang matlamat, kaedah, faedah dan masalah yang mungkin timbul
dalam sesuatu kajian yang akan di jalankan. Hal ini sebagai suatu pengetahuan
kepada responden supaya hal ini tidak menjejaskan dan mengehadkan sebarang
maklumat yang ingin di sampaikan. Malahan, jika berlaku sebarang masalah
tingkahlaku yang melibatkan penyelidik, sebagai responden mereka diberi
peluang untuk membuat aduan mengikut prosedur tertentu.
Kerahsiaan
Cadangan dan pelan kajian mesti menyatakan bagaimana kerahsian
maklumat dijamin berkesan. Hal ini demikian kerana, perlindungan hak
responden merupakan suatu eleman yang sangat dititikberatkan dan diberi
keutamaan di dalam sesebuah penyelidikan. Pengkaji mungkin boleh berkongsi
maklumat namun hanya terbatas kepada ahli kumpulan dalam komuniti
penyelidikan sahaja bagi menjamin kerahsian maklumat yang diberikan oleh
setiap responden. Prosedur kerahasian pula sebaiknya tidaklah terlalu rigit kerana
dikhuatiri akan mengongkong responden dalam menyampaikan maklumat.

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


190
Anomiti
Penyelidik mesti menjamin anomiti kepada peserta, contohnya identiti
responden. Hal ini penting bagi mengelak daripada berlakunya bias, pembocoran
maklumat responden, ancaman dan lain-lain daripada pihak-pihak tertentu yang
akan membaca, mendalami dan juga mungkin menggunakan penyelidikan
tersebut untuk kegunaan yang melibatkan hal-hal yang berkaitan dengan individu,
masyarakat mahupun sesebuah negara.
Rundingan
Rundingan yang dilakukan di dalam penyelidikan melibatkan beberapa
perkara yang perlu diberi keutamaan. Antaranya adalah mendapat kebenaran
daripada institusi yang berkaitan dan mendapatkan kebenaran untuk akses data-
data yang dikumpul. Data-data yang dikumpul ini seterusnya berkepentingan
untuk digunakan di dalam penulisan laporan di mana ia turut perlu dibuat
rundingan antara pihak-pihak yang terlibat. Malah rundingan juga perlu dilakukan
di dalam penulisan laporan supaya kesemua pihak yang terlibat berpuas hati
dan tidak akan menimbulkan kesalahfahaman antara mereka. Hal ini juga
berikutan untuk melindungi peserta daripada timbulnya sesuatu masalah.
Prosedur Rundingan
Pertama sekali, perlulah mendapat kebenaran secara formal daripada
pihak berkenaan untuk menjalankan kajian. Kemudian, memberi rangka projek/
cadangan/pelan kepada guru besar/pengetua sekiranya penyelidikan dijalankan
di sekolah. Selain itu, rangka/pelan/cadangan harus menerangkan dan justifikasi
prosedur yang akan diikuti untuk ‘clearing’ data ‘field’ berkait dengan peserta
seperti transkrip, nota pemerhatian, bukti dokumen dan memasukkan data ini
dalam laporan akhir atau teks umum. Seterusnya, terangkan makna anomiti
dan kerahsian kepada peserta kajian. Kemudian, tentukan sama ada peserta
akan menerima satu salinan laporan dan/atau draf laporan atau transkrip
temubual. Beritahu peserta apa yang dibuat dengan maklumat yang diberi.
Sediakan juga satu rangka tujuan dan keadaan kajian untuk peserta. Bersikap
jujur tentang tujuan kajian dan keadaan dalam mana kajian dijalankan. Akhir
sekali, perundingan amat penting untuk menjayakan penyelidikan.

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


191
JENIS-JENIS PENYELIDIKAN
Penyelidikan asas
Penyelidikan yang dijalankan untuk menerbitkan dapatan baru, ilmu
baru atau teori baru. Penyelidikan asas ini menekankan kepada penemuan
pengetahuan semata-mata untuk pengetahuan. Selain itu, ia lebih menumpukan
kajian terhadap teori-teori yang wujud dalam bidang pendidikan secara lebih
mendalam. Malah, penyelidikan asas juga lebih menjurus kepada dapatan data
empirikal yang boleh digunakan untuk mengembangkan dan menilai teori.
Namun begitu, ianya kurang berorientasikan cara-cara ke arah penyelesaian
masalah praktis.
Penyelidikan gunaan
Penyelidikan gunaan bertujuan untuk menyelesaikan masalah praktis
yang dihadapi atau untuk menguji sesuatu teori untuk menilai kegunaannya
dalam arena pendidikan. Selain itu, penyelidikan gunaan secara tidak langsung
dapat memberikan data dan maklumat sama ada menyokong sesuatu teori,
mengubah suai, ataupun mengembangkan sesuatu teori baru.
Penyelidikan tindakan
Kajian tindakan dalam pendidikan ialah kajian yang dijalankan oleh
guru untuk meningkatkan keberkesanan pengajaran (Carl Glickman, 1992).
Penyelidikan penilaian
Penyelidikan penilaian ialah penyelidikan yang dilakukan untuk menilai
sesuatu program. Biasanya ia menilai kesesuaian, kecekapan, keberkesanan
dan impak sesuatu program yang telah dijalankan.

REKABENTUK PENYELIDIKAN PENDIDIKAN


Kajian eksperimental
Peserta-peserta diagihkan secara rawak (random assignment) kepada
dua kumpulan. Kumpulan pertama diberi rawatan kaedah pertama. Kumpulan
yang kedua diberi rawatan dengan kaedah kedua. Di akhir kajian min prestasi
kedua-dua kumpulan dibandingkan untuk mengkaji keberkesanan kedua-dua
rawatan yang telah diberikan. Andaian dibuat bahawa kumpulan-kumpulan ini
tidak mempunyai apa-apa perbezaan dalam semua aspek sebelum rawatan.

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


192
Syarat tiada perbezaan ini ditentukan dengan cara mengawal pembolehubah-
pembolehubah kawalan.
Kuasi-eksperimental
Tidak dibahagikan secara rawak. Kedua-dua kumpulan diasingkan
menggunakan pengasingan yang sedia ada. Sebelum kajian dijalankan kedua-
dua kumpulan diberikan ujian pra. Selepas itu kumpulan pertama menjalani
rawatan dengan kaedah pertama, sementara kumpulan yang satu lagi diberi
rawatan dengan kaedah kedua. Selepas tamat kajian kedua-dua kumpulan
mengambil ujian pasca. Prestasi kedua-dua kumpulan sebelum dan selepas
kajian dibandingkan untuk menentukan perbezaan keberkesanan rawatan-
rawatan yang telah diberi.
Kajian tinjauan
Kajian tinjauan melibatkan penggunaan soal selidik atau penggunaan
maklumat statistik untuk mengumpulkan data mengenai sesuatu populasi,
pemikiran atau tingkahlaku mereka. Statistik deskriptif yang digunakan seperti
min, mod, median, peratus, kekerapan.
Kajian etnografi
Satu kajian yang melibatkan sekumpulan manusia untuk mengkaji sosio
budaya mereka.
Kajian kes
Menurut Merriem (1998), kajian kes digunakan untuk memahami
mendalam tentang subjek yang dikaji, memokus tentang proses berbanding
output, mementingkan penemuan bukannya pengesahan sesuatu teori atau
dapatan. Melibatkan seorang individu, sekumpulan manusia, satu masyarakat,
satu bilik darjah.
Kajian sejarah
Mengkaji tentang sebab-sebab, kesan-kesan atau kecenderungan dari
peristiwa lepas yang mungkin boleh membantu untuk menerangkan perkara-
perkara pada masa sekarang dan peristiwa-peristiwa yang dijangka masa akan
datang.

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


193
Kajian naratif
Satu jenis kajian yang digunakan untuk memahami atau mengkaji
bagaimana manusia membina makna dalam kehidupan mereka. Ia memberi
tumpuan kepada makna yang ditafsirkan oleh manusia kesan daripada peristiwa-
peristiwa yang berlaku dalam kehidupan mereka.

PENYELIDIKAN ARKEOLOGI DAN AHLI SEJARAH


Penyelidikan Arkeologi
Arkeologi seperti bidang ilmu yang lain, terbahagi kepada beberapa
sub disiplin. Antaranya ialah prasejarah, arkeologi petempatan, arkeologi industri,
ethno-arkeologi, fizikal-antropologi dan maritim arkeologi. Kepelbagaian bidang
itu melahirkan pelbagai jenis pakar dalam arkeologi. Oleh kerana kebanyakan
ahli arkeologi berasal daripada disiplin dalam sains sosial dan kemanusiaan
iaitu sejarah, antropologi, bahasa kuno dan sejarah seni, maka kepakaran
mereka terhad kepada artifak sahaja kepada pakar tembikar tanah, tembikar
Cina, arca agama sama ada Hindu atau Buddha, ukiran, kaligrafi, bahasa kuno
seperti Sanskrit dan lain-lain lagi.
Umumnya, majoriti ahli arkeologi datang daripada aliran sains sosial
dan kemanusiaan. Terdapat juga segelintir ahli arkeologi daripada sains tulen.
Lantaran itu, ahli arkeologi ini cuba mendapatkan maklumat tentang tarikh
mutlak, kandungan bahan dalam satu-satu artifak, tentang gender dan umur
satu-satu rangka manusia yang dijumpai dalam cari gali, keadaan alam sekitar
termasuk flora dan fauna dalam sejarah di satu-satu tapak arkeologi justeru
mereka terpaksa merujuk kepada ahli sains tulen yang mempunyai kepakaran
dalam bidang-bidang khusus. Walau bagaimanapun matlamat ahli arkeologi
tetap untuk mencungkil sebanyak mana fakta yang boleh daripada tapak
arkeologi atau artifak yang sedang dikajinya. Fakta itu datang daripada data
yang telah diperolehi setelah dikaji dan dianalisis rekod arkeologi daripada tapak
arkeologi tersebut. Berdasarkan fakta yang diperolehi, ahli arkeologi akan
membina balik sejarah dan kebudayaan satu-satu tapak arkeologi.
Berdasarkan kepada Kamus Dewan Edisi ke-4, arkeologi merupakan
kajian saintifik mengenai sesuatu kebudayaan terutama kebudayaan prasejarah
dengan cara penggalian dan penghuraian kesan-kesan tinggalannya. Amalan
cara hidup masyarakat seperti kegiatan pemburuan, petempatan, teknologi,
Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang
194
sistem kepercayaan, dan hubungan luar sesama manusia adalah termasuk
dalam pengkajian para arkeologis. Menurut pendapat sejarawan barat iaitu Frank
Hole dan Robert F. Heizer, arkeologi merupakan satu arahan atau kaedah
penyelidikan masa lalu yang menggambarkan data-data yang diperolehi dan
latihan akademik serta kegiatan peninjauan untuk menjadikan seseorang itu
faham tentang teori ahli arkeologi. Manakala menurut pandangan ikatan ahli-
ahli arkeologi Malaysia pula, arkeologi merupakan satu disiplin yang
menekankan pendekatan antara disiplin. Oleh itu, arkeologi dapat memberi
sumbangan melalui pelbagai kaedah dan pendekatan dalam masalah sejarah
kebudayan zaman prasejarah, protosejarah dan sejarah serta dalam bidang
antropologi budaya.
Jikalau ditinjau semula tentang asal-usul dan perbandingan antara
arkeologi dan juga sejarah, maka dapatlah dianggap bahawa arkeologi sebagai
kajian ke atas bahan-bahan purba melalui kaedah deskriptif yang sistematik. Ini
jelas dibuktikan pada abad ke 19, arkeologi memberi maksud sejarah purba.
Namun begitu, Graham Clark yang menulis dalam tahun 1939 memberi definisi
arkeologi sebagai kajian yang sistematik ke atas bahan-bahan purba bagi
membentuk semula sejarah.
Justeru itulah sehingga kini kita masih berpegang bahawa arkeologi
sebenarnya bertujuan membentuk semula sejarah bukan hanya dalam sejarah
kebudayaan, malahan juga ia mampu mengubah sejarah hidup dan proses
kebudayaan (kesan dan sebab) masyarakat pra sejarah, proto-sejarah sekaligus
sejarah mampu mengkaji artifak dan bukan artifak serta melihatnya dalam
konteks alam sekitar. Sebagai contoh semasa menjalankan kerja ekskavasi,
ahli arkeologi sentiasa berwaspada terhadap rekod arkeologi in-situ sama ada
artifak atau non-artifak yang boleh diambil untuk dicungkil maklumat daripada
bahan yang membisu. Keadaan tersebut boleh dikatakan sama dengan keadaan
yang dihadapi oleh pegawai polis yang diberi tugas untuk perompakan.
Bukti harus dicari demi untuk menyelesaikan permasalahan dalam
ekskavasi arkeologi untuk ahli arkeologi dan menyelesaikan kes dalam hal
jenayah. Setiap bahan bukti tidak harus diabaikan walau sekecil mana kerana
dalam arkeologi kawasan tapak yang telah diekskavasi tidak boleh diekskavasi
sekali lagi dan disebabkan itulah dalam etika arkeologi, walaupun berumur
beribu tahun jangan diekskavasi selagi tidak ada ahli arkeologi yang

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


195
berpengalaman untuk memimpin ekskavasi tersebut dan biarlah dia tinggal
beberapa tahun lagi tanpa diganggu. Justeru itu, dalam penyelidikan rekod
arkeologi yang dijumpai supaya ekod tersebut dapat dianalisis oleh ahli-ahli
sejarah yang akan dirujuk kelak.
Penyelidikan Sejarah
Manakala dalam konteks sejarawan atau ahli sejarah adalah seorang
yang mempelajari dan menulis berkenaan dengan sejarah, dan dianggap
sebagai pihak berkuasa ke atasnya. Sesungguhnya ahli sejarah sangat prihatin
dengan naratif yang sistematik dan berterusan serta penyelidikan peristiwa yang
lalu berkait dengan manusia. Mereka juga merupakan anggota sesebuah
masyarakat yang berperanan dalam merekonstruksi semula bentuk dan hakikat
tersebut. Mereka akan menghurai dan menjelaskan segala perlakuan yang
dianggap signifikan kepada masyarakat supaya mereka mengetahui dan
memahaminya. Ini kerana, masyarakat memerlukan sejarah kerana melalui
sejarahlah mereka akan dapat menjejaki asal-usul dan warisan budaya mereka.
Lantaran itu, bagi mewujudkan kesinambungan sistem sosial dan budayanya,
masyarakat memerlukan sejarah sebagai wadah dalam mendidik generasi yang
bakal mewarisinya.
Hakikatnya, kita tidak dapat membuat perbandingan secara terperinci
antara ahli arkeologi dan ahli sejarah. Ini kerana peranan dan tanggungjawab
yang dipikul sama ada ahli arkeologi mahupun ahli sejarah sebenarnya lebih
kurang sama. Ahli arkeologi ialah penjejak sejarah. Mereka mengkaji manusia,
bermula daripada manusia pertama yang wujud di muka bumi ini hingga
peristiwa yang baru sahaja berlaku. Ahli arkeologi bekerja dengan mencari,
mengkaji dan mentafsirkan petunjuk daripada kehidupan nenek moyang kita.
Namun begitu, ahli arkeologi berbeza antara satu sama lain. Sesetengahnya
hanya mengkaji tinggalan dalam persekitaran tertentu. Contohnya, ahli arkeologi
maritim mencari tinggalan dalam bangkai kapal dasar laut. Ada ahli arkeologi
yang hanya mengkaji petunjuk tertentu seperti tulang. Ahli arkeologi haiwan pula
mengkaji tinggalan haiwan yang diternak pada zaman silam sebagai sumber
makanan atau haiwan untuk melakukan kerja.
Sesetengah ahli arkeologi memberikan tumpuan kepada tempoh
tertentu dalam sejarah. Ahli arkeologi Mesir mengkaji tinggalan daripada
kebudayaan Mesir purba sekitar 4000 tahun dahulu. Sebagai contoh, Howard

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


196
Carter ialah ahli arkeologi Mesir yang berbangsa British yang bekerja pada awal
abad ke-20. Beliau mula bekerja sebagai pelukis yang melukis tinggalan Mesir,
tetapi kemudian mula mencari sendiri tinggalan itu. Carter mula masyhur di
seluruh dunia pada tahun 1922 apabila beliau dan pasukan pembantunya
menemukan makam tertutup (pemerintah) Mesir yang dinamai Tutankhamen.
Makam itu penuh dengan khazanah yang menakjubkan. Begitu juga halnya
dengan sejarawan, sekiranya kita meneliti pendapat para sejarawan tidak syak
lagi sejarah adalah asas yang sangat penting bagi kewujudan sesebuah
masyarakat dan negara. Umpamanya, sejarah bagi R.G. Collingwood merupakan
tunggak kepada pengetahuan manusia.
Seseorang individu ataupun masyarakat seluruhnya hanya akan dapat
mengenali dirinya melalu sejarah. Sementara bagi Graham Clark pula sejarah,
terutama sekali arkeologi penting kepada sesebuah negara kerana kedua-kedua
bidang ini dapat berfungsi dan mempunyai kebolehan mencetus dan seterusnya
memupuk semangat patrioritik dan nasionalisme, terutamanya bagi negara-
negara yang tidak mempunyai period sejarah bertulisnya yang lama. Menurut
beliau lagi, sejarah dan arkeologilah yang mampu menyingkap kembali masa
lalu dan memaparkan kebanggaan terhadapnya di kalangan masyarakat di
negara berkenaan. Oleh sebab itulah tegas Clark, banyak negara memberi
keutamaan yang tinggi kepada sejarah, khususnya bidang arkeologi. Berdasarkan
pandangan-pandangan tersebut secara tidak langsung menjelaskan betapa
besarnya penghargaan dan tingginya jangkaan yang diharap daripada sejarah.
Oleh kerana harapan dan jangkaan beginilah menyebabkan sejarah dipandang
sebagai satu alat pendidikan yang unilitaranistik. Sementara para sejarawan
pula akan bertungkus lumus menghasilkan sejarah kerana ia adalah menjadi
peranan sosialnya dalam memenuhi keperluan sosial masyarakat atau
negaranya.
Oleh sebab itulah seorang sejarawan, Arthur Marwick telah mensifatkan
sejarah sebagai satu bentuk “industry”. Iaitu satu proses bagaimana para
sejarawan melaksanakan usaha-usahanya untuk membina semula aspek-aspek
masa lalu yang signifikan kepada masyarakatnya. Ringkasnya para sejarawan
merupakan pengusaha manakala masyarakat pula adalah penggunanya. Dalam
kebanyakan negara “industry” membina masa lalu ini pada kebiasaannya
mengeluarkan berbagai-bagai bentuk sejarah, untuk disampaikan kepada

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


197
pengguna, iaitu masyarakat. Bentuk-bentuk tersebut boleh dikategorikan kepada
dua, iaitu sejarah yang nasionalistik dan sejarah yang ideological sifatnya.
Kedua-dua kategori sejarah ini adalah hasil usaha para sejarawan yang
komited dan mengikat dirinya kepada ideology atau ortodoksi tertentu dalam
memberikan khidmatnya kepada masyarakat dan negara. Aspek-aspek masa
lalu yang terbina sebagai sejarah dipilih, disusun, dianalisis dan diinterpretasi
bersesuaian dan berpadanan dengan pegangan politik, kecenderungan budaya,
hasrat dan cita-cita ideologi dan falsafah sejarawan berkenaan dan negara
atau masyarakatnya. Hal yang seperti ini memang tdak dapat dielakkan kerana
dalam melaksanakan kerja-kerjanya para sejarawan pada kelazimannya,
membawa bersama-samanya kedudukan, pengetahuan, simpati, falsafah,
ideologi, konsep-konsep, prosedur dan rutin penyelidikan mereka dalam
menghasilkan sejarah.
Sungguhpun sejarah terbina berasaskan kepada bukti-bukti tertentu,
namun berbagai-bagai masalah berkaitan dengannya hanya bermula apabila
ia dihasilkan. Ini kerana seperti yang telah ditegaskan, sejarawan, sejarah dan
masyarakat mempunyai hubungan yang erat antara satu sama lain. Masing-
masing terangkum kuat ke dalam sistem dan hubungan sosial dalam sesebuah
negara berkenaan. Dari segi kepentingan negara dan masyarakat, sejarawan
dan sejarah yang dihasilkannya adalah “pelindung” kepada warisan budaya
yang dilihat sebagai sumber keagungan dan kebanggaan dalam masyarakat,
etnik mahupun negara seluruhnya. Aspek sejarah yang menjadi kebanggaan itu
akan sentiasa hidup dalam pemikiran masyarakat berkenaan sebagai epitome
tradisi dan liku-liku kehidupan mereka. Oleh sebab itu jugalah para sejarawan
dalam menghasilkan sejarah mengenai masyarakat dan negara, mereka tidak
mudah membebaskan rationaliti mereka sendiri dari pengaruh mitos, prejudis
dan harapan masyarakat yang melingkungi kehidupan mereka. Masyarakat
dan negara pada umumnya mengharapkan satu sejarah yang dapat mewajarkan
terhadap apa yang mereka pertahan dan banggakan.

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


198
KESIMPULAN
Penyelidikan dapat disimpulkan sebagai cara menghuraikan
permasalahan yang dihadapi melalui komponen-komponen penting seperti
proses berfikir yang berintelektual dan fleksibel yang dinyatakan secara eksplisit
serta maklumat yang dikumpulkan secara empirical dan bersistematik. Proses-
proses mencari dan memperoleh langkah-langkah yang sistematik iaitu dimulai
dengan pengumpulan data, mengolah, mentafsir data, menguji data sehinggalah
kepada penarikan kesimpulan.Selain itu, sebelum melakukan segala jenis
penyelidikan berkaitan, seorang penyelidik seharusnya menguasai unsur-unsur
penyelidikan berkaitan, hal ini adalah kerana pemahaman awal penting untuk
memandu kepada kajian yang lebih terperinci. Secara ringkasnya, usaha sama
mahupun kerjasama di antara ahli arkeologi dan ahli sejarah amat penting
kerana masing-masing memainkan peranan dalam meningkatkan tamadun
yang sudah lama tersembunyi.

RUJUKAN
Abdul Rahim Abdul Rashid. 1999. Pendidikan Sejarah : Falsafah, Teori Dan
Amalan. Kuala Lumpur : Utusan Publications & Distributors Sdn. Bhd.
Akhiar Pardi & Shamsina Shamsuddin. 2011. Penghantar Penyelidikan Tindakan
Dalam Penyelidikan Pendidikan. Kuala Lumpur : Penerbitan
Multimedia Sdn. Bhd.
Creswell, J.W. 2002. Educational Research – Planning, Conducting And
Evaluating, Quantitative And Qualitative Research. New Jersey : Merill
Prentice Hall.
Jackson, W. 2002. Methods : Doing Social Research (ed. ke-3). Toronto : Prentice
Hall.
Jamil Mukmin. 2005. Patriotisme Dalam Konteks Pembinaan Bangsa Malaysia.
Belia Dan Patriotisme Malaysia. Dalam Hussain Mohamad. Melaka :
IKSEP
Lim Chong Hin. 2007. Penyelidikan Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif dan
Kualitatif.Kuala Lumpur : McGraw Hill Education.
Linn, R.I. & Gronlund, N.E. 2000. Measurement And Assessment In Teaching (ed.
ke-8). New Jersey : Prentice Hall.

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


199
Mak Soon Sane. 2010. Penyelidikan Dalam Pendidikan Perancangan Dan
Pelaksanaan Penyelidikan Tindakan. Selangor : Penerbitan Multimedia
Sdn. Bhd.
Nathanson, Stephen. 1993. Patriotism, Morality And Peace. Lanham : Rowman
& Littlefield.
Saat Md Yassin. 2006. Kaedah Kajian Dalam Kaedah Kajian Dalam Pendidikan.
Kuala Lumpur : Open University Malaysia.

Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang


200
NEO-NASIONALISME DAN NASIONALISME
Rully Putri Nirmala Puji, Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang
Corresponding author: rulypujirully@yahoo.co.id

Neo-nasionalisme dan nasionalisme merupakan dua ideologi yang


seringkali sukar dibezakan dan difahami oleh segelintir kelompok. Definisi
dari nasionalisme kerap kali dibahaskan dan rata-ratanya mempunyai pelbagai
pengertian daripada para tokoh namun berlainan pula dengan neo-
nasionalisme. Adakah neo nasionalisme merupakan satu bahagian dari
nasionalisme? Apakah neo-nasionalisme merupakan ideologi atau
kefahamanbaru setelah nasionalisme? Atau mungkin saja neo-nasionalisme
lebih dulu muncul sebelum kefahaman nasionalisme itu wujud?
Nasionalisme boleh dikatakan sebagai suatu kefahaman yang
menjunjung tinggi martabat dan identiti sebuah bangsa serta
mengimplementasikannya dengan memberikan konstribusi kepada sesebuah
negara. Nasionalisme ini sering dihubungkaitkan dengan patriotisme.
Patriotisme inilah yang menjadi sebahagian daripada nasionalisme. Hal ini
kerana patriotisme merupakan gerakan heroik yang memberikan dedikasi
terhadap bangsanya. Manakah yang lebih tinggi? Nasionalisme atau
patriotisme. Kedua hal ini tentunya berbeza dari segi posisi dan kedudukannya.
Namun perlu kita sedari bahawa, nasionalisme dan patriostisme memiliki
pengertian, spekulasi dan juga perspektifnya yang tersendiri.

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia dan Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Rully Putri Nirmala Puji, dkk.


201
Seorang penulis jurnalis Amerika, Sidney J. Harris mengatakan
bahawa patriotisme ialah perasaan bangga terhadap negaranya atas apa
yang telah dilalui, diharungi atau dilakukan atas segala aspek yang sewajarnya
dilakukan oleh sesebuah negara terhadap rakyatnya contohnya seperti
menjaga keamanan, kedaulatan, kebajikan dan banyak lagi. Sedangkan
Nasionalisme pula adalah perasaan bangga terhadap negara tanpa
mempedulikan atas apa yang telah dilakukan. Argumentasi atau perdebatan
yang pertama adalah menggambarkan perasaan terhadap tanggung jawab.
Sedangkan argumen atau perdebatan kedua seperti yang dinyatakan diatas
merupakan perasaan angkuh dan kemungkinan impak daripada perkara ini
dikhuatiri boleh mengundang kepada terjadinya peperangan.
Hal ini dibuktikan dengan lahirnya satu ideologi baru setelah
kemunculan nasionalisme. Kefahaman baru tersebut ialah chauvinisme.
Ideologi chauvinisme merupakan kefahaman dari Nasionalisme yang
berlebihan. Contohnya dapat dilihat yang terjadi di negara maju seperti Jepun
dimana setelah Jepun mengalami kekalahan di beberapa perang dunia,
negara maju itu tidak berputus asa malah Jepun bangkit menjadi sebuah
negara yang memiliki nasionalisme yang tinggi. Mereka menanamkan cinta
terhadap bangsanya hingga mendorong mereka untuk menanamkan
kebencian kepada negara-negara yang mengalahkannya. Sementara itu,
Jepun juga memiliki target untuk dapat menyamaratakan kedudukan dan identiti
bangsa mereka setaraf dengan negara-negara yang menang perang waktu
itu. Dengan itu, maka wujudlah chauvinisme baru impak daripada tindakan
tersebut.
Jepun ingin menguasai dunia dengan satu ideologi kuat mereka,
iaitu ideologi Hakko Ichiu. Ideologi ini meyakini bahawa Jepun memiliki
tanggung jawab untuk memimpin dunia. Ideologi ini ditanamkan melalui
sarana pendidikan yang mula diterapkan dari peringkat awal lagi. Setiap guru
memiliki kewajiban untuk mengajarkan dan menerapkan ideologi ini kepada
pelajar. Salah satu implementasi dari ideologi ini ialah dengan membentuk
pasukan berani mati yang rela mengorbankan nyawa mereka demi menjaga
pertahanan negara. Pemulihan atau Restorasi Meiji merupakan suatu
gambaran implementasi dari ideologi ini. Dengan itu, Jepun banyak
melakukan perubahan terhadap sistem dan aturan kenegaraan demi

Rully Putri Nirmala Puji, dkk.


202
menunjukkan pertumbuhan Jepun yang baru dan lebih maju serta
bersistematik.
Nasionalisme banyak menghasilkan ideologi-ideologi baru yang
menjadi sebuah anti tesa menurut pemikiran Hegelian. Nasionalisme akan
terus wujud dan terus berkembang sehingga ke hari ini walaupun berlaku
pelbagai pembaharuan dan penambahan serta perubahan dari segi bentuk
nasionalisme yang terdahulu dengan yang baru. Muhammad Ali menyebutkan
bahawa nasionalisme masa kini lahir dengan variabel dan dimensi yang
lebih kompleks daripada nasionalisme di masa lalu. Inilah yang disebut
dengan Neo-nasionalisme. Neo-nasionalisme merupakan hasil daripada
kewujudan Nasionalisme yang baru. Neo-nasionalisme merupakan
nasionalisme yang disesuaikan dengan konteks kekinian. Dengan perkataan
lain, Neo-nasionalisme merupakan jelmaan dari Nasionalisme dengan
bentuk yang baru.
Jika kita renungkan lahirnya Nasionalisme adalah di kawasan Asia
Tenggara, berasal dari dampak dekolonisasi. Persamaan nasib, penindasan
penjajah dan perampasan hak manusia merupakan faktor utama wujudnya
Nasionalisme di kawasan ini. Nasionalisme di Asia Tenggara dipelopori oleh
the founding father mereka sendiri. Sudah tentu setiap negara memiliki latar
belakang serta perspektif yang berbeza berdasarkan sejarah mereka sendiri.
Namun mereka memiliki persamaan dari segi penindasan hak-hak
kemerdekaan mereka. Hal inilah yang menyebabkan lahirnya Nasionalisme
di kawasan Asia Tenggara.
Nasionalisme pada pandangan mereka ialah mencintai bangsa
mereka dengan memperjuangkan hak-hak yang semestinya atau sepatutnya
mereka perolehi. Nasionalisme yang demikian tentu sahaja mengalami
perubahan dan perbezaan dengan bentuk nasionalisme yang baru pada masa
kini. Hal ini karana nasionalisme masa kini ialah nasionalisme untuk mengisi
kemerdekaan, misi melanjutkan perjuangan dan menjaga kedaulatan
bangsa. Lahirnya Neo-nasionalisme dikatakan dalam inti pati yang berbeza-
beza. Namun perlu diperhatikan bahawa Neo-nasionalisme tetap memegang
teguh prinsip Nasionalisme, walaupun dengan bentuk yang lain.
Untuk mengetahui perkembangan ideologi neo-nasionalisme, maka
kita perlu mengetahui terlebih dahulu bentuk-bentuk Neo-Nasionalisme di

Rully Putri Nirmala Puji, dkk.


203
beberapa negara. Berikut adalah lahirnya Neo-nasionalisme di Eropah.
Mengingat kembali dilema peperangan besar yang telah terjadi sepanjang
sejarah dunia, dapat dilihat di situ bahawa perang dingin merupakan salah
satu perang dunia yang banyak memberikan impak terhadap perubahan
ekonomi, perkembangan ilmu pengetahuan, dan pergeseran keadaan sosial
masyarakat. Dampak tersebut dapat kita rasakan hingga pada saat ini.
Malah,yang lebih besar lagi, perang dingin memberikan dampak luas kepada
pandangan-pandangan dan juga perubahan ideologi di seluruh dunia. Telah
terbukti bahawa pengaruh perang dingin banyak kita temukan melalui pertikaian
dua ideologi-ideologi besar iaitu liberalism dan comunism. Kesatuan Soviet
dan Amerika berusaha merebut dan mendapatkan pengaruh masing-masing
berdasarkan ideologi mereka di seluruh pelosok dunia.
Perang dingin yang terjadi sepanjang sejarah memberikan dampak
yang sangat besar dalam merubah hubungan politik antara bangsa di dunia.
Kontroversi antara kedua kefahaman besar iaitu komunisme dan liberalisme
telah memprovokasi beberapa negara dan memberikan pengaruh-pengaruh
ideologinya kepada politik, perekonomian hingga sosial budaya kepada negara
yang dipengaruhinya. Namun pada era kekinian, proses pertikaian dan
persengketaan yang terjadi lebih menjurus kepada pertikaian yang
membandingkan antara ras, persaingan etnik, dan persaingan bangsa. Tidak
dapat dinafikan bahawa kesemua ini merupakan hasil daripada kontroversi
daripada dua kefahaman yang telah menanamkan pengaruhnya sehingga
sekarang.
Pandangan Western Political Theorists yang menyebutkan bahawa
jurang antara negara-negara kuasa besar dan negara-negara berkembang
dapat diatasi melalui program bantuan ekonomi. Sedangkan bagi kaum
komunis, mereka menganggap bahawa setelah dekolonisasi maka akan ada
fasanasionalis yang memiliki masa relatif singkat dan kemudian akan
bertransisi ke komunisme. Di samping itu, kaum kapitalis juga menyebutkan
bahawa perubahan kondisi barang-barang produksi dapat memberi
ketegangan kepada etnik dan agama. Ekkehart Krippendorff, (1965)
menyebutkan bahawa hal ini yang diakui sebagai munculnya kaum Neo-
nasionalis baru yang lebih khusus dan anti heterogenis dan anti multi kultural.

Rully Putri Nirmala Puji, dkk.


204
Ekkehart Krippendorff, (1965) menyebutkan bahwa Neo-nasionalisme
pada era kini ialah merupakan sebuah kefahaman yang meninggi-ninggikan
etnik, golongan dan juga kepentingan-kepentingan lain yang memihak. Neo-
nasionalisme menumbuhkan fanatisme kelompok etnik dan agama di antara
mereka. Neo-nasionalisme sedikit banyak dipengaruhi oleh Nasionalisme
antagonis yang selalu diertikan sebagai kontradiksi antara suatu peraturan
sosial berdasarkan perekonomian Kapitalisme, dan lahirnya negara-negara
baru di bawah kawalan revolusi Komunis. Lahirnya ideologi Neo-nasionalisme
dalam bentuk moden pula dipengaruhi oleh percanggahan antara kefahaman-
kefahaman yang diwarisi dari perang dingin.
Neo-nasionalisme di Eropah memiliki wajah baru dalam sistem politik
dan pemerintahan. Hal ini dapat dilihat menerusi pergerakan parti-parti Neo-
nasionalis tersebut. Eger dan Valdez (2014) menyebutkan bahawa terdapat
fakta-fakta dan data-data empiris tentang isu-isu Neo-Nasionalisme yang
berkembang di Eropah Barat. Isu terbesar ialah tentang perbezaan kedudukan
parti politik radikal kanan dengan parti Neo-Nasionalis. Nampaknya Neo-
nasionalisme menggunakan parti sebagai alat perjuangan mereka untuk
mengukuhkan ideologi Neo-nasionalisme dan melindungi hak-hak golongan
neo-nasionalisme.
Kedua-dua parti tersebut berebut pengaruh dalam kerusi parlimen
politik di Eropah Barat. Arzheimer, (2008) menyebutkan bahawa masyarakat
tidak akan termotivasi oleh pandangan-pandangan Neo-liberalis (golongan
kanan) yang menekankan kepada unsur kesejahteraan perekonomian,
melainkan masyarakat akan lebih cenderung untuk memilih parti-parti yang
bersifat nasionalis (golongan kiri) demi kesejahteraan rakyat. Golongan radikal
kanan melahirkan sebuah sistem perekonomian yang dianggap tidak
mengsejahterakan (Betz dan Johnson, 2004). Sistem perekonomian yang
dimaksudkan ialah sistem perekonomian kapitalis. Sistem perekonomian
kapitalis dianggap sebagai sistem yang tidak dapat menyelamatkan orang-
orang kecil atau orang-orang bawah dari segi perekonomian. Sistem pelipatan
modal dan keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan prinsip yang mutlak
dari sistem perekonomian kapitalis. Siapa yang memiliki modal yang besar,
maka dia yang akan menjadi penguasa dan sebaliknya. Sistem kapitalis tidak

Rully Putri Nirmala Puji, dkk.


205
sepenuhnya buruk, namun hal utama yang perlu diperhatikan ialah bentuk-
bentuk persaingan mereka yang mesti dikawal pergerakannya.
Pada tahun 1970 hingga 2010 parti radikal kanan telah berubah secara
kualitatif pada tahun-tahun terakhir. Parti radikal kanan kemudian tidak lagi
menekankan kepada isu-isu ekonomi golongan kanan (liberal kapitalis). Pada
awalnya parti ini menekankan kepada perdagangan bebas dan ortodoksi
ekonomi namun pada tempoh terbaru ini, parti ini mulai terjebak dengan
sistem perekonomian Nasionalis. Sebaliknya, parti-parti ini semakin
menyokong pengeluaran sosial dan redistribusi atau pengagihan semula
kesejahteraan negara. Nampaknya parti ini sedar mengenai sistem
perekonomian golongan kanan yang tidak mendapat simpati masyarakat. Oleh
kerana itu mereka berpaling haluan kepada perekonomian golongan kiri yang
lebih sosial dan nasionalis.
Parti Neo-nasionalis mendapatkan pemilihan yang lebih banyak
berbanding dengan golongan kanan di dalam parlimen. Hal ini terjadi kerana
beberapa faktor. Faktor pertama iaitu mereka menentang isu anti imigran
secara jelas. Isu imigran orang muslim ke Eropah merupakan isu yang sangat
kontroversial dan masyarakat menginginkan tindakan yang jelas untuk
menentang kedatangan imigran ini. Parti radikal kanan juga menentang hal
tersebut, namun aksi dan implementasi parti Neo-Nasionalis lebih jelas dan
benar. Faktor yang kedua ialah kerana parti Neo-Nasionalis memiliki konsep
kesejahteraan sosialis dan nasionalis bagi golongannya.
Bentuk Neo-nasionalisme di Eropah Barat lebih menekankan kepada
persatuan golongan yang anti multikulturalis, dengan perkataan lain yang lebih
jelas adalah mereka lebih menekankan kepada satu golongan sahaja. Mereka
mencintai identiti bangsa mereka dengan menepikan etnik-etnik lain. Etnik
yang menjadi pertentangan bagi kaum Neo-nasionalisme dan liberalism di
Eropah ialah kedatangan golongan-golongan radikal muslim. Sekaligus ianya
mempengaruhi perkembangan Neo-nasionalisme di seluruh dunia pada ketika
tu dan kesannya pada hari ini.
Hendropriyono (2008) dalam petulisannya menyatakan bahawa Neo-
liberalis telah menjadi thesis dan universal Islam, radikalisme serta terorisme
menjadi anti-thesis. Thesis dan anti thesis akan terus bertentangan antara
satu sama lain dalam dialektika sosial menurut gambaran Karl-Marx.

Rully Putri Nirmala Puji, dkk.


206
Pertentangan kelas yang dimaksudkan ialah konflik antara golongan
Neo-liberalisme dan Radikalisme muslim. Hal ini akan terus mewujudkan
percanggahan antara keduanya hingga lahirlah sebuah penyelesaian dari
konflik kelas tersebut. Neo-nasionalisme muncul sebagai sintesis dari
pertentangan dua golongan tersebut.
Lahirnya Neo-nasionalisme di Eropah memiliki perbezaan dengan
kewujudan neo-nasionalisme di Jepun. Setelah meninjau bentuk
Nasionalisme di Eropah, maka kita beranjak kepada perkembangan Neo-
nasionalisme di Jepun. Pada tanggal 15 Agustus 2006, satu isu telah timbul
dan menjadi bahan bualan di dalam kalangan masyarakat Jepun yang
mengingatkan mereka kepada peristiwa bersejarah yang melanda Jepun pada
suatu ketika dahulu. Kuil Yasukuni disebut sebagai simbol kekuatan fasisme
Jepang pada masa itu hingga ke saat ini. Kuil tersebut menyimpan abu para
pahlawan perang dunia Ke II dan juga perang-perang sepanjang sejarah Jepun.
Kunjungan oleh beberapa pejabat atau pihak-pihak berpengaruh dari Jepun
ke kuil Yasukini mengundang kepada pelbagai kontroversi.
Hal ini tentunya menimbulkan kontroversi daripada beberapa pihak,
di satu sisi terdapat golongan penentang yang tidak setuju jika para atasan
Jepun melakukan kunjungannya ke kuil tersebut. Hal ini demikian kerana, kuil
tersebut merupakan lambang dan simbol kekejaman perang yang telah
dilakukan oleh Jepun sebagai bentuk Chauvisime (Nasionalisme yang
berlebihan). Di satu sisi yang lain, mereka menganggap bahawa kunjungan
tersebut sangatlah perlu untuk mengenang jasa para prajurit atau pejuang
perang yang gugur memperjuangkan bangsa Jepun dalam peperangan yang
dihadapi pada suatu ketika dahulu.
Berita tentang kunjungan pihak atasan dari negara Jepun seperti
Koizumi yang menyandang jawatan sebagai Perdana MenteriJepun, Jenderal
Hirohito dan Ketua Fuji Xerox yang juga pernah berkunjung ke kuil ini. Golongan
Neo-nasionalis dan parti-parti atau badan-badan politik mengecam keras
tindakan dari Perdana Menteri Jepun tersebut. Hampir kesemua golongan
politik mahupun masyarakat di Jepun telah mengambil langkah dengan
menyuarakan bentuk protes mereka melalui kemudahan media masa (Matthew
Killmeier, 2014). Golongan Neo-Nasionalism secara tegas tidak menyukai
kunjungan dari pejabat-pejabat tinggi dan golongan-golongan atasan Jepun

Rully Putri Nirmala Puji, dkk.


207
tersebut ke kuil Yasukuni. Golongan Neo-Nationalisme melakukan intimidasi
dan terorisme terhadap beberapa kunjungan petinggi Jepun tersebut.
Kunjungan dari pihak atasan Jepun dianggap sebagai usaha untuk
menghidupkan kembali militerianisme dan sentimen nasionalis di Jepun.
Kaum Neo-Nasionalisme Jepun merupakan golongan yang anti militeranisme.
Mereka sangat mengecam tindakan-tindakan militeranisme Jepun yang
dirasakan banyak melakukan penyimpangan.
Kaum Neo-Nasionalis sangat menghormati peranan kaisar. Kaisar
disebut sebagai penjelmaan dewa dan perlu diperlakukan dengan hormat
yakni sangat memuliakan atau menyanjung tinggi kewujudan kaisar
berkenaan. Neo-nasionalis sangat memegang teguh kod ini. Oleh kerana itu
pihak Neo-Nasionalis cuba memanfaatkan peranan Jepun dalam
menghentikan pengaruh media massa terhadap militeranis Jepang dan
berusaha menghindari segala isu bagi menghormati kaisar. Inilah yang disebut
dengan Neo-Nasionalisme Jepun. Berdasarkan sudut pandang golongan Neo-
nationalisme, mereka memanfaatkan isu-isu politik berupa kontroversi
kunjungan pihak atasan ke kuil Yasukuni yang dianggap sebagai jalan untuk
mengingatkan kembali memori publik tentang keganasan pejuang Jepun
pada masa itu.
Nampaknya terdapat percanggahan pandangan ideologi dalam
kalangan bangsa Jepun sejak bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang
berpandukan kepada Fasisme. Nasionalisme dan Fasisme Jepun sangat
meninggikan peranan militer pada ketika itu. Mereka beranggapan bahawa
untuk menguasai dunia, mereka harus memiliki pertahanan dan militer negara
yang kuat. Peranan kaisar pada masa itu menjadi lemah. Penguasa tertinggi
negara ialah dari golongan militer. Hal ini sekaligus memberikan impak positif
mahupun negatif bagi perkembangan sejarah Jepun.
Dampak positifnya ialah, Jepun dapat memenangi beberapa perang
dunia, malah Jepun juga turut diakui sebagai negara Asia pertama yang
memiliki persamaan derjat dengan bangsa-bangsa barat pada masa itu. Hal
ini menjadi satu stigma khusus bagi Jepun dalam memprovokasikan bangsa-
bangsa lain. Salah satu contohnya ialah slogan yang dibuat ketika pendudukan
Jepun di Indonesia. Jepun menggunakan slogan tiga “A” iaitu Nippon Pelindung
Asia, Nippon Cahaya Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Stigma yang demikian

Rully Putri Nirmala Puji, dkk.


208
secara tidak langsung memberikan gambaran bahawa Jepun memiliki
chauvinisme yang sangat tinggi. Mereka menggunakan kekuatan fasisme
untuk menguasai dunia.
Dari sudut pandangan negatifnya pula ialah, Jepun dikenal sebagai
bangsa yang otoriter. Bukan itu sahaja, bahkan Jepun juga turut dikenali sebagai
bangsa yang memiliki kemiliteran paling kejam pada masa itu. Hal ini dibuktikan
dengan beberapa filem dokumenter mahupun dokumen-dokumen yang
banyak menjelaskan tentang keganasan militer Jepun saat Jepun menyerang
bangsa Cina. Kini, wujud Nasionalisme baru yang telah tumbuh di wajah rakyat
Jepun. Mereka menginginkan kembali sejarah Kekaisaran yang dirasakan
lebih demokratis. Mereka mencintai bangsa mereka dengan mempertahankan
nilai-nilai kepercayaan nenek moyang mereka dengan beranggapan bahawa
kaisar ialah jelmaan dewa yang menjalankan tugasnya untuk memerintah
Jepun.
Ideologi Neo-nasionalisme merupakan bentuk Nasionalisme yang
baru. Neo-nasionalisme berubah mengikut kesesuaian latar belakang sosial,
politik dan perekonomian dunia. Lalu bagaimanakah bentuk Neo-
nasionalisme di Indonesia?. Neo-nasionalisme di Indonesia ialah neo-
nasionalisme dalam melawan kapitalisme dan liberalisme. Bangsa Indonesia
sangat mengecam persaingan penanaman modal asing yang semakin hari
menjadi tidak seimbang dan memihak golongan tinggi sahaja.
Selain itu, bentuk Neo-nasionalisme baru di Indonesia juga diwarnai
dengan lahirnya kefahaman nasionalisme yang besifat lokaliti. Semakin
banyak bentuk Nasionalisme yang bersifat lokaliti, maka itu akan menimbulkan
gerakan-gerakan pemisah. Gerakan pemisah tersebut dapat kita lihat melalui
konflik pemisahan Aceh dan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Bentuk Neo-nasionalisme yang baru ini akan memberikan dampak
yang berpanjangan bagi keutuhan sebuah negara. Oleh itu, kita perlu memberi
kesedaran kepada warganegara untuk kembali kepada haluan ideologi
penyatu kita iaitu Pancasila.

Rully Putri Nirmala Puji, dkk.


209
RUJUKAN
A. Aziz Deraman (ed.). 1978. Beberapa Aspek Pembangunan Kebudayaan
Kebangsaan Malaysia. Kuala Lumpur Kementerian Belia & Sukan.
Abdullah Taib. 1984. Integrasi dan Polarisasi Mahasiswa Universiti di
Malaysia. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Doganay, Y. 2013. The Impact of Cultural Based Activities In Foreign Language
Teaching B2: Education Journal, 2 (4): 108-113.
Furnival, J.s. 1956. Colonial Policyand Practice: A Comparative Study of Burma
and Netherands India. New Yorl: New York University Press.
Hyman, H.H. 1959. Political Socalization. A Study in the Psychologyof Political
Behavior. New York: The Free Press.
Kanik, F. 2010. An Assesment of Teachers’ Conseptions of Critical Thinking
and Practices for Critical Thinking Development at Seventh Grade
Level. Tesis Ph.D. Middle East Technical University.
Mahmud Khusairi Abdullah. 2000. Pengajaran Sejarah, Persediaan Guru,
Matlamat Pengajaran dan Sikap Guru. Tesis Sarjana. Fakulti Pendidikan.
Universiti Sains Malaysia.
Muhyiddin Yassin. 2011. Perutusan Hari Guru 2011. Kementerian Pelajaran
Malaysia.
Primoratz. 2002. Patriotism A deflationary view. The Phylosopycal Forum Vo.
XXXIII, 443-457.

Rully Putri Nirmala Puji, dkk.


210
PENDIDIKAN SEJARAH DAN PATRIOTISME
DI MALAYSIA
Abdul Aziz Abdul Rahman, Nor Liza Syahila Abd Muin, Nursyazmimi
Sazali, Amylia Abdul Rahman
Corresponding author: norlizasyahilaabdmuin@gmail.com

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan teras utama dan sangat penting dalam
mewujudkan semangat patriotisme dalam kalangan rakyat. Melalui peristiwa
13 Mei 1969 telah membawa perubahan dalam sistem pendidikan negara.
Perubahan ini dapat dilihat apabila sistem pendidikan telah tertumpu kepada
melahirkan warganegara yang lebih patriotik, toleransi, dan cintakan negara.
Kementerian Pelajaran Malaysia juga telah merangka kurikulum yang menanam
kesedaran individu, ciri-ciri, dan nilai rakyat Malaysia yang berfikiran terbuka di
samping menolak sentimen perkauman, warisan, dan perbezaan sempit antara
mereka. Langkah yang komprehensif juga telah dilakukan bagi memupuk nilai
patriotik merentasi kurikulum dalam pendidikan. Oleh itu, pendidikan perlu
menekankan sentimen dan unsur-unsur patriotisme dalam pelbagai bentuk
seperti logo, lambang kebangsaan, lagu dan nyanyian, ketokohan, wiraman dan
wirawati, puisi, peninggalan sejarah dan sebagainya. Walau bagaimanapun,
untuk menerapkan semangat patriotisme dalam pendidikan sejarah bukanlah
sesuatu yang mudah. Hal ini kerana masih terdapat lagi isu-isu dalaman seperti
isu guru dan kurikulum dalam menerapkan semangat patriotisme dalam
pendidikan di Malaysia.

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia dan Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


211
KONSEP PATRIOTISME
Patriotisme dalam erti kata sebenar dapat dijelaskan sebagai semangat
atau perasaan cintakan atau sayangkan tanah air daripada dicemari oleh musuh-
musuh yang ingin menjajah, merosakkan, atau menghancurkan budaya dalam
masyarakat. Perasaan positif perlulah sebati dalam diri setiap individu dan perlu
mempunyai semangat untuk mempertahankan negara sehingga ke titisan darah
yang terakhir. Walau bagaimanapun, semangat patriotisme ini mungkin tidak
terhad kepada semangat cintakan tanah air semata-mata tetapi ia merangkumi
pelbagai aspek dalam kehidupan setiap manusia dan individu. Dalam hal ini,
kita tidak hanya melaungkan kata-kata patriotisme semata-mata sebaliknya apa
yang kita akan lakukan untuk menunjukkan semangat sayangkan tanah air
adalah paling utama.
Daripada segi konsep patriotisme itu sendiri, kita dapat lihat bahawa
perkataan patriotisme adalah berasal daripada bahasa Greek, iaitu patriotes
yang bermaksud fellow countrymen, ataupun rakan senegara dan patrice yang
bermaksud fatherland atau country, iaitu merujuk kepada tanah air ataupun
negara. Patrio juga bermaksud orang mempertahankan (memperjuangkan)
kebebasan atau hak tanah air atau pembela negara (Kamus Dewan dan Oxford
English Dictionary). Menurut New Webster’s Dictionary, patriot juga bererti orang
yang cintakan tanah airnya dan akan melakukan apa sahaja demi untuknya.
Oleh itu, seorang patriot dikatakan sebagai seorang yang cintakan negaranya
dan akan membuat apa sahaja untuk mempertahankannya. Secara lebih jelas
lagi patriotisme membawa pengertian individu atau kumpulan yang berada di
hadapan dalam usaha untuk membela tanah air.
Menurut Abd Rahim (1999) patriotisme pada umumnya dikaitkan dengan
semangat, perasaan, sikap, kesedaran, idealisme yang menyentuh soal-soal
kebangsaan, kenegaraan, tanggungjawab, perjuangan, kecintaan, kesetiaan,
pengorbanan, ketahanan diri, dan sumbangan warganegara terhadap negara
bangsa dan agama. Patriotisme juga merupakan unsur ketahanan nasional
yang amat penting bagi meningkatkan komitmen dan tanggungjawab rakyat
kepada bangsa dan negara. Unsur-unsur patriotisme diterapkan untuk
melahirkan rakyat Malaysia yang bertanggungjawab, bersemangat kekitaan,
berdisiplin, berusaha, dan produktif ke arah mencapai matlamat dan aspirasi
negara.

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


212
Menurut Bill Totten (1998) menjelaskan patriotisme bermaksud
semangat cintakan negara dan bagi Bill tidak ada bangsa, keluarga, pasukan
dan kumpulan dalam apa bentuk boleh berfungsi dengan baik melainkan
semua ahli cintakan negara. Patriotisme juga membawa erti fahaman atau
pegangan dan kepercayaan yang menggabungkan individu, kelompok, dan
wilayah di mana kelompok tersebut menghuni. Ia melibatkan slogan dan simbol
yang mencetuskan pengaruh yang kuat terhadap tingkah laku manusia. Ia sering
kali dikaitkan dengan kesetiaan dan kecintaan seseorang terhadap negaranya
sendiri. Seseorang itu dianggap patriot apabila tindakan dan amalannya
menepati ciri-ciri patriotisme yang berteraskan kecintaan dan kesetiaan kepada
negara. Patriotisme juga dijelaskan sebagai ‘as the more or less conscious
conviction of person that his own welfare and that of the signifikant groups to
which he belongs are dependent upon the preservation or expansion (or both)
of the power and culture of his society’ (Doob,1964).
Selain itu, jika kita menelusuri sejarah, semangat patriotisme
sebenarnya telah wujud sejak dahulu lagi iaitu sejak zaman purba. Walau
bagaimanapun, semangat itu tidak disebut sebagai patriotisme sebaliknya
menyebut sebagai etnosentrisisme iaitu menunjukkan ke arah pemupukan
perasaan cintakan tanah air, menggalakkan perpaduan rakyat iaitu berdasarkan
ikatan keturunan dan kebudayaan serta menyemai semangat menentang
pencerobohan kuasa-kuasa asing. Oleh itu, kita dapat lihat bahawa elemen-
elemen yang terdapat dalam etnosentrisisme mempunyai titik persamaan
dengan patriotisme. Di Malaysia, sejarah kebangkitan bangsa daripada
dibelenggu penjajahan untuk membentuk negara yang bebas merdeka dan
memperlihatkan perjuangan sesuatu bangsa telah mula ditunjukkan oleh
generasi terdahulu. Pada waktu itu, mereka sanggup berkorban demi
mempertahankan negara dan ini adalah contoh yang patut dihidupkan
sepanjang masa. Pengkaji sejarah telah melihat bahawa semangat patriotisme
di Malaysia bermula sejak zaman Melaka dan semakin meningkat pada abad
ke 17 (Abdul Latif Abu Bakar, 1996).
Semangat patriotisme bukanlah wujud secara semula jadi di dalam
diri seseorang individu sebaliknya semangat itu perlu disemai dan dipupuk.
Dalam hal ini, Primoratz (2002) telah membahagikan patriotisme kepada dua
bahagian iaitu value - based patriotism dan egocentric patriotism. Value- based
patriotism adalah kecintaan dan kesetiaan seseorang itu terhadap negaranya
Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.
213
adalah disebabkan faktor-faktor tertentu dan boleh memberi keuntungan dan
kepentingan kepada rakyat seperti pencapaian negara dalam aspek ekonomi
dan juga keistimewaan lain yang terdapat dalam negara tersebut. Oleh itu, negara
yang mempunyai ciri-ciri sedemikian memang patut ditaati. Egocentric patriotism
pula adalah kecintaan dan kesetiaan seseorang itu terhadap negaranya semata-
mata kerana “itulah negaranya”, dan bukan disebabkan oleh keupayaan negara
itu memberikan pencapaian dan keistimewaan tertentu kepada dirinya. Oleh itu,
kita dapat lihat bahawa cinta sejati kepada negara merujuk kepada egocentric
patriotism. Individu-individu yang egocentric patriotism akan melakukan apa
sahaja terhadap negaranya tanpa mengharap dan menagih sebarang ganjaran
atau imbuhan kerana memegang prinsip “itulah negaranya”. Namun, bagi individu
yang lebih ke arah value-based patriotism pula akan memperlihatkan diri mereka
seolah-olah tidak ikhlas dalam meletakkan kecintaan dan kesetiaan kepada
negara kerana apa yang dilakukan oleh mereka adalah berpaksikan kepada
kepentingan-kepentingan yang bakal diperoleh daripada negara (Ku Hasnita,
2007).

PENDIDIKAN SEJARAH DAN PATRIOTISME


Pendidikan menurut kamus dewan edisi keempat (2007) adalah merujuk
kepada perihal mendidik. Manakala, istilah patriotisme bermaksud perasaan
bangga dan cintakan kepada negara serta kesediaan berkorban apa sahaja
demi kepentingan negara (Berns,1997). Oleh yang demikian, pendidikan dan
patriotisme merujuk kepada pendidikan ke arah membangkitkan semangat
patriotisme sama ada dijalankan secara formal mahupun tidak formal. Sejarah
juga berperanan dalam meningkatkan sosialisasi dan kesedaran politik dalam
kalangan generasi muda, mengukuhkan semangat nasionalisme yang
merupakan unsur penting ke arah pembentukan ciri-ciri negara yang baik dan
merupakan wadah yang terbaik untuk mengajar dan mendidik generasi baru
yang bakal memimpin negara. Pendidikan sejarah penting khususnya buku-
buku sejarah yang mencatatkan peristiwa sejarah dan kejayaan masa silam
negara dengan tujuan memupuk semangat patriotisme dan kebanggaan terhadap
negara.
Jika kita melihat di negara-negara luar seperti di Amerika, mereka
sangat menitik beratkan pendidikan patriotisme. Contohnya melalui kajian

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


214
Easton dan Hess (1962) iaitu kanak-kanak yang berusia tiga tahun telah
didedahkan dengan pendidikan patriotisme iaitu melalui subjek politik di
sekolah dan apabila kanak-kanak ini berusia tujuh tahun pengetahuan mereka
menjadi mantap. Pendidikan patriotisme pada peringkat awal adalah melalui
hal ehwal persekitaran dan pengenalan mereka tinggal di kawasan tertentu
dalam sesebuah negara. Seterusnya, mereka akan mula mengajar mengenai
pengenalan kepada simbol-simbol yang dapat dilihat seperti polis, presiden,
dan bendera negara. Apabila kanak-kanak ini berusia sepuluh tahun. Mereka
akan didedahkan dengan konsep-konsep yang lebih abstrak seperti hak
bersuara, sistem demokrasi, kebebasan sivil, dan peranan warganegara
dalam sistem politik. Melalui pembelajaran politik di peringkat kanak-kanak
berupaya untuk melahirkan kesedaran patriotisme dalam kalangan kanak-
kanak di Amerika Serikat.
Jika kita melihat di Malaysia pula, pendidikan kita sememangnya
menyediakan satu platform yang kondusif untuk memperkukuhkan semangat
patriotisme. Kita dapat lihat pendidikan telah bermula daripada peringkat pra
sekolah, sekolah rendah, sekolah menengah sehinggalah ke peringkat institusi
pengajian tinggi. Oleh itu, semangat patriotisme telah dilaksanakan secara
bertahap-tahap dalam tempoh jangka panjang, konsisten, dan sistematik.
Penyemaian serta pengukuhan semangat patriotisme terkandung dalam sukatan
pelajaran subjek-subjek tertentu malah merentasi kurikulum seperti subjek
Bahasa Malaysia, Bahasa Inggeris, Kajian Tempatan, Sejarah, Pendidikan Moral,
Pendidikan Sivik, dan Pendidikan Seni Visual. Hal ini sesuai dengan aspirasi
Falsafah Pendidikan Negara untuk melahirkan generasi yang seimbang daripada
aspek intelek, emosi, jasmani, dan rohani.
Walau bagaimanapun, menurut Abd.Rahim, pendidikan sejarah
merupakan satu mata pelajaran teras yang dipelajari di sekolah-sekolah dan
diharap dapat mencorakkan perubahan yang dinamik bagi tujuan membentuk
warganegara yang celik sejarah di samping membina wawasan hidup yang
bersifat patriotik dalam kalangan generasi muda. Selain itu, semangat patriotisme
juga boleh diaplikasikan daripada aspek aktiviti berkomuniti dan sukan seperti
pasukan pengakap, kadet polis, kadet bomba, Palapes, dan pelbagai kelab-
kelab sukan. Sebagai nilai tambah, pelbagai peringkat institusi pendidikan awam
khasnya turut mempunyai program memperkasakan semangat patriotisme

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


215
dalam kalangan warga pendidik seperti Sambutan Bulan Kemerdekaan dan
Kempen Antidadah. Malah di sekolah, lagu Negaraku, lagu sesebuah negeri,
Rukun Negara akan dinyanyikan dan diikrarkan serta bendera akan dikibarkan
setiap kali perhimpunan pada hari Isnin atau perhimpunan-perhimpunan rasmi.
Oleh yang demikian, mekanisme pendidikan iaitu pendidikan sejarah berperanan
sebagai agen menanam serta mengembangkan lagi doktrin patriotisme dalam
kalangan warganegara negara kita. Namun, walaupun pendidikan sejarah dan
patriotisme telah diterapkan di dalam diri pelajar selama 13 tahun, ternyata
penghayatan semangat patriotisme dalam kalangan pelajar masih lagi longgar
dan berada pada tahap yang sederhana (Rizal Uzir, 2002).
Tambahan pula, kita perlu sedar bahawa golongan pelajar adalah satu
golongan yang besar dan istilah besar ini membawa erti yang luas dan
menunjukkan bahawa golongan ini adalah golongan yang berpengaruh kerana
pelajarlah yang mewakili masa depan negara. Selain itu, golongan pelajar
merupakan golongan yang senang dipengaruhi dan mudah dicabar. Pelajar
juga mudah untuk terpengaruh dan memerlukan bimbingan tertentu. Tanpa
bimbingan mereka senang menjadi sasaran bermacam-macam unsur negatif
yang pasti timbul selari dengan perubahan yang berlaku. Menurut Tajul Ariffin
Nordin (1985), menyatakan patriotisme luntur dalam kalangan pelajar adalah
disebabkan oleh kemewahan hidup. Matlamat utama pembangunan adalah
dalam sektor pembangunan berasaskan sains dan teknologi, nilai-nilai
kebendaan, kekayaan, dan kemewahan diletakkan terlalu tinggi dari nilai-nilai
agama, moral, akhlak, sejarah, dan negara. Oleh yang demikian, tidak hairanlah
apabila mereka telah memperoleh kekayaan dan kemewahan, sikap dan
tanggungjawab terhadap negara dilupakan. Fenomena ini benar berlaku di
seluruh negara.

ISU-ISU PENDIDIKAN SEJARAH DAN PATRIOTISME


Patriotisme dan pendidikan Sejarah sering kali dikaitkan bersama. Hal
ini demikian kerana, pendidikan sejarah dikatakan dan dianggap dapat
menerapkan patriotisme dalam kalangan murid. Pandangan ini tidak salah.
Bahkan, pandangan ini juga banyak dikemukakan oleh sarjana-sarjana sebelum
ini, dan juga sering kali dikemukakan dalam kajian-kajian yang telah banyak
dilakukan. Sebagai contohnya, banyak kajian yang dijalankan meninjau tentang

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


216
penerapan patriotisme melalui pendidikan sejarah. Pendidikan sejarah memang
dapat menyalurkan semangat cinta akan tanah air dalam diri murid. Namun
demikian sama ada sedar atau tidak, sebenarnya di antara patriotisme dan
pendidikan sejarah itu masih lagi wujud isu-isu yang menjadi jurang yang tidak
akan memungkinkan usaha penerapan patriotisme dilakukan melalui pendidikan
sejarah. Beberapa perkara utama, jika tidak diselesaikan, akan sentiasa
berbangkit menjadi polemik dalam usaha penerapan patriotisme melalui
pendidikan sejarah. Pertamanya ialah soal kurikulum sejarah yang digubal oleh
pihak kementerian, soal guru-guru yang mengajar mata pelajaran sejarah dan
juga soal patriotisme itu sendiri yang dikatakan dijadikan alat propaganda
kerajaan yakni parti yang memerintah. Jadi, penulisan ini akan menyingkap isu-
isu ini untuk dibincangkan.
Kurikulum Pendidikan Sejarah Tidak Seimbang
Isu paling utama yang timbul dalam usaha menerapkan patriotisme
melalui pendidikan sejarah ialah kurikulum. Kurikulum pendidikan sejarah yang
telah digubal oleh kementerian pendidikan Malaysia melalui pusat perkembangan
kurikulum kementerian tersebut, disifatkan tidak memenuhi keperluan yang
diperlukan untuk memupuk patriotisme. Hal ini disebabkan oleh kurikulum yang
digubal disifatkan berat sebelah kepada satu-satu kaum. Ia tidak bersifat inklusif
kepada semua kaum. Beberapa penulisan sebelum ini turut mengetengahkan
soal kurikulum yang berat sebelah ini. Misalnya, Ahmat adam (2014) dalam
Pendidikan sejarah di Malaysia dewasa ini: sejauh manakah ia relevan kepada
pembinaan nasion?, menyifatkan bahawa kurikulum pendidikan sejarah di
Malaysia bersifat Malay Centric. Hal ini adalah demikian, kerana banyak sejarah
berkaitan bangsa Melayu dimasukkan ke dalam buku-buku teks sekolah untuk
dipelajari oleh semua murid sedangkan sejarah berkaitan bangsa-bangsa lain
kurang.
For example, Kapitan Cina Yap Ah Loy played a major role in the
development of Kuala Lumpur as a commercial and tin-mining centre but
the Form Two history textbook had only one sentence on Yap as “ one of
the persons responsible for developing Kuala Lumpur.”
(dbctan.blogspot.com/2011/01/malaysian-history-textbookswhose.html)

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


217
Keadaan ini akan menyebabkan wujudnya reaksi negatif dalam kalangan
murid bukan berbangsa Melayu. Mereka akan fikir dan beranggapan bahawa
sejarah adalah mata pelajaran tentang sejarah bangsa Melayu sahaja dan
bukannya tentang sejarah Malaysia yang meliputi semua bangsa dan kaum.
Keadaan ini juga akan menyebabkan ketidakwujudan ‘sense of belonging’ dalam
kalangan murid bukan Melayu, yang mana sekaligus ia akan menjejaskan usaha
penerapan patriotisme dalam diri semua pelajar amnya kepada generasi yang
akan datang. Sense of belonging atau rasa kesepunyaan adalah penting dalam
penerapan patriotisme walau di negara mana pun ia cuba diterapkan. Ia adalah
satu rencah utama yang perlu jika mahu menyemai semangat patriotik terhadap
negara. Rasa kesepunyaan ini perlu ditimbulkan dan dilahirkan terlebih dahulu
sebelum dapat melahirkan semangat patriotik. Melalui pendidikan sejarah, ia
diyakini dapat dilahirkan dan menjadi satu platform yang terbaik dalam
menerapkan unsur patriotisme dalam kalangan warganegara Malaysia. Namun,
jika pendidikan sejarah banyak tertumpu pada satu kaum sahaja, dan dalam
konteks di Malaysia ialah kaum Melayu, maka rasa kesepunyaan ini pasti sukar
untuk ditanam. Kaum-kaum lain akan berasa mereka bukanlah kaum yang diiktiraf
dalam negara ini dan bukanlah kaum yang perlu ada di dalam negara kerana
sumbangan dan peranan yang dimainkan oleh kaum mereka sebelum ini
diketepikan dalam sejarah.
Setiap kaum mempunyai tokoh-tokoh yang telah berjuang untuk
kemerdekaan dan kemajuan negara. Sumbangan kaum, masyarakat dan tokoh
yang terlibat dalam perkembangan sejarah negara harus dicakupi secara
menyeluruh dan bukannya dipilih (selected) (Ahamad Rahim et.al). Pengajaran
sejarah negara akan mudah dihayati atau menjadi lebih menarik bagi para siswa
Malaysia jika sifat inklusif semua suku, etnik, atau ras dalam proses pembinaan
negara bangsa disisipkan (Ahmat Adam, 2014). Tema “sejarah pembangunan
ekonomi” yang boleh memperlihatkan penyertaan dan penglibatan bangsa
misalnya, adalah sangat penting dalam sejarah negara, tetapi sayangnya tema
ini hanya diberikan sedikit penekanan sahaja.
Tema ini adalah salah satu contoh yang jelas dalam memperkatakan
tentang kurikulum pendidikan sejarah yang berat sebelah dan tidak mencakupi
semua kaum, di samping beberapa tema lain. Hal ini patut dipandang serius
oleh pihak kementerian. Kurikulum sejarah yang berat sebelah ini bukan satu
isu yang sengaja ditimbulkan untuk mengganggu gugat usaha penerapan
Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.
218
patriotisme tetapi sebaliknya mencelikkan semua pihak bahawa kurikulum
sejarah tidak relevan bagi proses pemupukan patriotisme disebabkan oleh
keadaan perancangan kurikulum yang berat sebelah itu.

PROFESIONALISME GURU SEJARAH


Selain soal kurikulum sejarah, isu yang wujud antara patriotisme dan
pendidikan sejarah juga ialah melibatkan isu guru. Guru adalah pelaksana
kepada dasar atau usaha yang dilakukan oleh pihak kementerian, juga kerajaan.
Dalam usaha memupuk patriotisme dalam kalangan murid sekolah, guru adalah
agen penting yang akan melaksanakan usaha tersebut. Guru adalah orang yang
bertanggungjawab untuk memupuk dan menyemai patriotisme dalam diri anak-
anak bangsa ini. Oleh yang demikian, guru haruslah sentiasa bersedia dan
berkemahiran dalam memupuk patriotisme. Namun, situasi yang terjadi ialah
guru tidak seperti yang diharapkan dan guru juga gagal untuk memupuk
patriotisme seperti yang diharapkan. Situasi ini terjadi disebabkan oleh beberapa
sebab dan dalam penulisan ini, pengkaji ingin membincangkan dua sebab
yang utama iaitu disebabkan oleh kemahiran guru dan juga disebabkan oleh
faktor peperiksaan. Dari segi kemahiran, ia sangat berkait dengan kemahiran
pedagogi guru dan pengetahuan guru tentang kandungan sejarah yang diajar.
Guru yang kurang mahir dalam ilmu pedagogi menyebabkan proses
pengajaran dan pembelajaran menjadi kaku dan hambar. Keadaan ini
menyebabkan peranan guru dalam menarik minat pelajar untuk belajar gagal.
Hal ini dibuktikan dalam beberapa kajian sebelum ini. Sebagai contohnya, kajian
dijalankan oleh Magdeline Anak Nor & Zamri Mahamood (2014), yang
menyatakan bahawa guru yang berilmu pengetahuan tinggi, tetapi gagal untuk
menyalurkan ilmunya kepada para pelajar sering disebut sebagai ‘guru syok
sendiri’. Abdul Rahim (2001), pernah menyifatkan tugas paling mencabar
seorang guru ialah untuk melahirkan pelajar yang mempunyai minat yang tinggi
dan seronok untuk belajar. Pengajaran guru yang bersifat indoktrinasi dan tidak
kreatif, bercorak sehala dan tidak mewujudkan peluang interaksi antara guru
dan pelajar menyebabkan proses pengajaran membosankan (Ahamad Rahim
et.al). Keadaan ini akan menyebabkan hilangnya minat dalam diri para pelajar
untuk mempelajari sejarah. Kehilangan minat untuk mempelajari sejarah

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


219
menyebabkan nilai-nilai yang mahu diterapkan melalui mata pelajaran sejarah
itu, seperti patriotisme tidak dapat diterapkan.
Pengetahuan guru yang mengajar mata pelajaran sejarah ini juga
menjadi punca wujudnya jurang dalam penerapan patriotisme dan pendidikan
sejarah. Ramai guru yang mengajar sejarah bukan hanya terdiri daripada guru-
guru bukan opsyen tetapi juga guru-guru sandaran yang tidak memahami
matlamat sebenar pendidikan sejarah. Malah ada di antara mereka yang tidak
menguasai isi kandungan yang disampaikan dengan baik. Hal ini mengakibatkan
penyampaian maklumat kepada pelajar menjadi kurang tepat (Ahamad Rahim
et.al). Hal ini juga turut mengakibatkan penyaluran nilai-nilai patriotisme akan
terbantut. Oleh itu, kemahiran pedagogi guru dan pengetahuan guru perlu
dipandang serius. Selain itu, isu guru juga timbul dalam usaha penerapan
patriotisme melalui pendidikan sejarah kerana guru dikatakan lebih banyak
menekan pelajar dengan soal-soal peperiksaan lalu menyebabkan penerapan
nilai patriotisme kurang atau mungkin terlepas pandang. Namun, ia bukannya
salah guru seratus peratus. Sebaliknya kesalahan ini juga harus disandarkan
kepada sistem pendidikan yang berorientasikan peperiksaan. Guru terlalu
menekankan tentang kecemerlangan dalam peperiksaan termasuklah
cemerlang dalam mata pelajaran sejarah. Terutamanya, apabila sekarang mata
pelajaran sejarah menjadi mata pelajaran wajib lulus di peringkat Sijil
Peperiksaan Malaysia (SPM).
Oleh itu, guru banyak menekankan pembelajaran yang mana berkaitan
segala fakta yang perlu diketahui oleh pelajar supaya pelajar dapat menjawab
peperiksaan dengan baik dan seterusnya lulus dengan cemerlang. Tanpa
disedari, ini menimbulkan kebosanan dalam diri para pelajar sekaligus
menghilangkan minat dalam diri pelajar untuk belajar sejarah. Malah, tanpa
disedari juga, ia turut membuatkan guru mengesampingkan tugas menerapkan
nilai-nilai seperti patriotisme dalam diri para pelajar.

PENDIDIKAN SEJARAH DAN PROPAGANDA


Propaganda bermaksud cara atau tindakan untuk menghebahkan
penerangan, ajaran, fahaman dan lain-lain kepada orang ramai. Propaganda
juga membawa maksud penerangan atau penyiaran ideologi, faham, pendapat
dan lain-lain yang dihebahkan untuk mempengaruhi orang ramai. Manakala

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


220
bagi Ahmat Adam (2014), istilah propaganda merujuk kepada ikhtiar untuk
menyampaikan informasi atau maklumat dalam bentuk bias (serong), yang
bersifat mengelirukan, dan digunakan untuk mendukung suatu tujuan politik
atau sudut pandangan tertentu. Ringkasnya, propaganda adalah satu tindakan
yang boleh mempengaruhi pendirian, pemikiran, dan kepercayaan seseorang
dan masyarakat.
Pendidikan sejarah dikatakan sebagai alat propaganda pihak kerajaan
yang memerintah yang mana menerusinya disalurkan nilai-nilai ketaatsetiaan
dan juga patriotisme ke dalam diri anak-anak bangsa. Hal ini timbul adalah
kerana nilai-nilai yang disalurkan ini dijadikan matlamat pendidikan sejarah di
ajarkan kepada murid di sekolah, dan matlamat pendidikan sejarah ini adalah
berbeza dan bertentangan dengan falsafah ilmu sejarah yang sebenar.
Matlamat pendidikan sejarah adalah untuk melahirkan warganegara
yang patriotik dan taat setia kepada negara. Sedangkan, falsafah ilmu sejarah
yang sebenar adalah bermatlamat mencari dan menunjukkan kebenaran.
Sejarah bukan untuk patriotisme tetapi adalah untuk tujuan menyelidik dan
mengkaji kebenaran. Namun, sejarah dalam konteks pendidikan hari ini
digunakan untuk menerapkan patriotisme. Ia tidak salah, kerana patriotisme
memang boleh diterapkan melalui pendidikan sejarah.
Namun, jika patriotisme yang diterapkan itu adalah melalui sejarah
yang salah dan bukannya sejarah yang benar, ia adalah salah. Jika sejarah yang
diajarkan adalah sejarah yang bukan benar-benar sejarah, maka timbullah isu
di mana sejarah dan patriotisme yang cuba disemai adalah alat propaganda.
Pastinya, alat propaganda kerajaan yakni parti yang memerintah, yang mana
parti yang memerintah cuba untuk menggunakan sejarah untuk menyemai
patriotisme dan taat setia kepada parti mereka dan bukannya pada negara.
Historian Dr Ranjit Singh Malhi, who has written some revision books,
recently pointed out that not only do the secondary school history textbooks
contain exaggerations and mistakes, but they also “been used to promote
political interests.” (dbctan.blogspot.com/2011/01/malaysian-history-
textbookswhose.html)
Bagi pengkaji, stigma ini terjadi kerana terdapat beberapa fakta sejarah
di dalam buku teks yang mengelirukan. Bahkan, ia juga boleh dikatakan berlaku
kerana peranan parti yang memerintah banyak dimasukkan ke dalam buku teks

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


221
dan ia seolah-olah diagung-agungkan. Misalnya dalam usaha penentangan
penjajah, perjuangan kemerdekaan dan juga dalam usaha pembangunan
negara. Banyak jasa-jasa parti yang memerintah diketengahkan berbanding
parti lain yang wujud yang semestinya turut juga memberikan sumbangan
tersendiri. Keadaan ini membuatkan timbulnya isu yang mendakwa bahawa
sejarah adalah satu alat propaganda pihak kerajaan yakni parti yang memerintah.
Semangat patriotik dan taat setia yang diterapkan melalui pendidikan sejarah
ini didakwa bukanlah semangat patriotik dan taat setia kepada negara,
sebaliknya kepada parti yang memerintah dan menjadi kerajaan.

PENERAPAN SEMANGAT PATRIOTISME


Patriotisme sering didefinisikan atau dihubungkan dengan perkara yang
berkaitan dengan kesetiaan dan kecintaan terhadap negara sendiri. Seseorang
warganegara Malaysia boleh dianggap atau dikelaskan sebagai seorang yang
patriotik jika beliau mempunyai ciri-ciri seperti berteraskan kecintaan dan
kesetiaan kepada negara (Nik Anuar Nik Mahmud: 2002). Namun, sejak mutakhir
ini, semangat patriotisme kelihatan agak longgar di kalangan masyarakat kerana
penghayatan dan semangat patriotisme tidak lagi dititikberatkan oleh masyarakat
sekeliling. Patriotisme hanyalah sebagai ungkapan kata-kata sahaja namun
sejauh mana penghayatannya masih lagi kabur. Oleh itu, penulisan ini telah
menyediakan pelbagai langkah untuk meningkatkan kembali semangat
patriotisme di kalangan masyarakat di Malaysia. Antaranya ialah melalui
Penggubalan Kurikulum Sejarah. Dari segi sorotan sejarah, Di Malaysia mata
pelajaran bersifat sejarah sememangnya telah wujud sejak zaman penjajahan
British lagi namun mata pelajaran ini tidak mendalam hanya berteraskan kepada
kurikulum British sahaja yang mana pada ketika itu sistem pendidikan di Tanah
Melayu lebih kepada perkauman sehingga selepas negara mencapai merdeka
pun sistem persekolahan masih lagi bercorak perkauman. Buktinya dapat dilihat
dalam jenis persekolahan pada masa kini iaitu terdiri daripada persekolahan
jenis Kebangsaan seperti Sekolah jenis Kebangsaan Cina (SJKC) dan sekolah
jenis Kebangsaan Tamil (SJKT). Namun perubahan demi perubahan telah
dilakukan oleh pihak Kementerian untuk memantapkan lagi sistem pendidikan
di negara ini. Ini dapat dilihat selepas negara mencapai kemerdekaan sehingga
kini. Pendidikan sering kali dianggap sebagai teras utama ke arah perpaduan

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


222
nasional dan pemupukan kesetiaan dalam kalangan rakyatnya (Lee, Molly, 2002:
hlm. 63; Chai Hon Chai, 1977). Rentetan daripada Peristiwa 13 Mei 1969 menjadi
anjakan kepada sistem pendidikan yang lebih tertumpu kepada melahirkan
warganegara yang lebih patriotik, toleransi dan cintakan negara bertunjangkan
Rukun Negara.
Dalam membincangkan mengenai penggubalan kurikulum Mata
Pelajaran sejarah, kurikulum yang dirangka adalah bermatlamatkan untuk
menanamkan kesedaran individu, ciri-ciri dan nilai rakyat Malaysia yang berfikiran
terbuka di samping menolak sentimen perkauman, warisan dan perbezaan yang
sempit antara mereka (Kementerian Pelajaran Malaysia, 1979). Tumpuan
kemudiannya adalah kepada melahirkan negara bangsa yang bersatu padu
dan pengukuhan kesetiaan dan patriotisme dalam kalangan generasi muda,
khususnya pelajar sekolah. Dalam konteks ini, pendidikan Sejarah yang dirangka
akan memberikan tumpuan kepada pembinaan dan penyatuan bangsa Malaysia
tidak kira berlainan kaum, bangsa ataupun agama kerana matlamatnya adalah
satu iaitu untuk membentuk perpaduan nasional dan semangat cintakan negara
yang teguh di kalangan masyarakat. Jadi, sekolah merupakan agen sosialisasi
yang penting dalam memainkan peranan bagi mencapai matlamat tersebut
melalui proses pengajaran dan yang bersifatkan kepada pemupukan cintakan
negara melalui mata pelajaran yang khusus seperti Sejarah, Sivik dan Kajian
Tempatan. Sistem pendidikan yang bercorak formal ataupun tidak formal
ternyata dapat menyediakan dan menyiapkan diri pelajar untuk menjalani hidup
sebagai warganegara yang baik, produktif, bermoral, berdisiplin,
bertanggungjawab dan seterusnya mempertahankan negara (Robiah dan
Zahara: 1992).
Kepentingan kurikulum sejarah ini adalah untuk menyemai dan
mengukuhkan kembali semangat patriotik dalam diri individu kerana
sememangnya kita tahu, semangat patriotik yang ada dalam diri pelajar adalah
sangat tipis dan akan tergugat pada bila-bila masa dan mudah terpengaruh
dengan anasir luar yang mahu meruntuhkan perpaduan negara. Oleh itu,
penyemaian serta pengukuhan semangat patriotisme terkandung dalam sukatan
pelajaran subjek-subjek tertentu malah merentasi kurikulum seperti subjek
Bahasa Malaysia, Bahasa Inggeris, Kajian Tempatan, Sejarah, Pendidikan Moral,
Pendidikan Sivik, dan Pendidikan Seni Visual amat berkesan bagi menanam

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


223
kembali semangat patriotisme. Selain itu juga, di peringkat sekolah ini turut
menyediakan kurikulum yang bukan akademik kepada pelajar bagi
memantapkan lagi semangat patriotisme dalam diri pelajar. Contohnya dapat
dilihat dalam aktiviti kokurikulum yang ditubuhkan seperti pasukan Pengakap,
Kadet Polis, Kadet Bomba, Palapes, dan pelbagai lagi yang mana tujuannya
adalah sama untuk meningkatkan semangat cintakan negara yang utuh kepada
golongan belia ini kerana seperti yang kita maklum, golongan ini sangat penting
kepada negara kerana mereka adalah golongan peneraju negara. Disebabkan
inilah pelbagai kurikulum digubal untuk memantapkan semangat ini dalam
kalangan pelajar dan belia di Malaysia.
Seterusnya dalam membincangkan mengenai kurikulum sejarah ini,
penulis mendapati bahawa pendidikan Sejarah sememangnya penting dan
sewajarnya diajar di sekolah kerana dalam kandungan buku teks sejarah
mempunyai dan mencatatkan pelbagai peristiwa penting tentang peristiwa masa
silam negara iaitu tentang pendudukan Jepun dan penjajahan Barat iaitu British.
Oleh itu, kepentingan mata pelajaran sejarah ini sememangnya perlu diterapkan
kerana dengan adanya sejarah pelajar akan lebih menghargai negara dan juga
bangsa. Kenyataan ini turut disokong oleh Slater (1989) yang mengatakan
bahawa kepentingan pendidikan sejarah membolehkan pelajar bukan sahaja
memahami komuniti dan budaya, namun negara juga mengetahui masa lampau
dan juga membolehkan kesetiaan negara dapat disemai. Sokongan kenyataan
ini juga dapat dilihat melalui Hadyn (1999) yang mana beliau sangat percaya
bahawa dengan adanya mata pelajaran sejarah ini akan melatih dan
mempengaruhi minda pelajar untuk menerokai sendiri tentang kehidupan dan
membolehkan kesetiaan dipupuk di hati mereka.
Oleh itu, wajarlah Kementerian telah memperkenalkan mata pelajaran
Sejarah di sekolah rendah sejak tahun 2013 kerana mereka percaya bahawa
Pemupukan dan penghayatan nilai-nilai patriotisme harus bermula sejak
daripada sekolah rendah. Kenyataan ini turut dapat dilihat dalam Buku Panduan
Pemupukan Patriotisme Di Sekolah Rendah (Kementerian Pendidikan: 1994)
yang mana kurikulum di sekolah rendah diperkenalkan adalah untuk menyemai
nilai-nilai patriotisme perlu diterapkan melalui kurikulum dan ko-kurikulum. Oleh
itu, subjek seperti Bahasa Melayu, Bahasa Cina, Bahasa Tamil, Pendidikan
Moral, Pendidikan Islam, Kajian Tempatan dan lain-lain subjek sekolah rendah,

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


224
perlu diterapkan nilai-nilai patriotisme yang disepadukan melalui topik yang diajar.
Begitu juga melalui ko-kurikulum seperti aktiviti sukan, lawatan sambil belajar
dan sebagainya. Manakala di peringkat menengah pula, kurikulum yang digubal
untuk tujuan penerapan nilai-nilai patriotisme dibuat melalui subjek Sejarah,
Pendidikan Moral, Geografi, Pendidikan Islam dan subjek-subjek yang lain. Selain
itu, di peringkat pendidikan tinggi pula, sama ada Universiti Awam atau swasta,
penerapan nilai patriotisme dan sayangkan dapat diterapkan melalui akademik
dan non akademik. Dari segi akademik Pendidikan patriotisme di peringkat
Institusi Pengajian Tinggi (IPT) yang khusus diperkenalkan semata-mata untuk
memperkukuhkan semangat patriotisme adalah dapat dilihat melalui
pengenalan subjek seperti subjek Kenegaraan dan Hubungan Etnik.
Dalam kandungan subjek-subjek tersebut, terdapat bab-bab tertentu
yang mengkhususkan perbincangan tentang kepentingan perpaduan kaum
dalam negara. Dalam konteks ini, sekiranya para pelajar belajar dengan penuh
penghayatan dan minat terhadap subjek-subjek sebegini, sudah pasti mereka
akan menyedari akan kepentingan konsep persefahaman dan penyatuan yang
mesti ada dalam jiwa masyarakat Malaysia. Manakala, dari segi Non Akademik
dapat dilihat melalui penubuhan pasukan beruniform seperti Kor Setia Negara
juga perlu diwujudkan di setiap sekolah dan Institut Pengajian Tinggi (IPT) kerana
ia boleh digunakan sebagai landasan dalam menyampaikan memperkenalkan
asas-asas patriotisme untuk jangka masa yang panjang. Kesemua ini
menunjukkan pelbagai langkah telah dijalankan oleh pihak Kementerian dalam
melaksanakan pelbagai aktiviti kurikulum dan ko-kurikulum daripada peringkat
sekolah hingga IPT juga harus menerapkan unsur-unsur patriotisme dalam
setiap program dan agenda yang dijalankan secara bersama. Namun walau
bagaimanapun, setelah melalui proses pendidikan yang sangat lama iaitu dari
sekolah rendah sehingga ke peringkat Pengajian Tinggi namun secara dasarnya
didapati semangat patriotisme di kalangan pelajar masih lagi lemah dan longgar
walaupun pelbagai kaedah dan kurikulum baru diperkenalkan oleh pihak
Kementerian (Rizal Uzir: 2002).

PERANAN GURU PENDIDIKAN SEJARAH


Guru-guru Sejarah memainkan peranan yang sangat penting dalam
memupuk minat di kalangan pelajar terhadap mata pelajaran sejarah dan

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


225
seterusnya menanam, menghayati dan mengamalkan unsur-unsur patriotik
dalam kehidupan mereka. Guru merupakan seorang individu yang berpotensi
dalam menunjukkan kualiti pengajaran yang baik, mementingkan kemajuan
dan pencapaian pelajar, dapat menjadikan pengajarannya menarik minat dan
disukai pelajar. Ini merupakan aset yang penting kepada sekolah. Sebagai
seorang guru sejarah, seseorang guru itu perlu menguasai dan mempunyai
ilmu pedagogi yang tinggi iaitu berkeupayaan dalam menyampaikan maklumat
dan fakta dalam pelbagai kaedah yang akan digunakan sama ada daripada
sumber audio mahupun sumber verbal. Hal ini adalah kerana untuk menarik
minat pelajar untuk meminati sejarah dan apabila pelajar telah suka da meminati
sejarah, mereka akan belajar dan mendalami ilmu-ilmu sejarah yang
memberikan pelbagai iktibar hasil daripada rentetan peristiwa masa lalu.
Di sini, kemahiran menguasai kemahiran empati sangat penting bagi
guru sejarah kerana dengan adanya kemahiran empati dalam sejarah, pelajar
akan dapat menggambarkan bagaimana sesuatu peristiwa masa lalu itu berlaku
kerana proses penyampaian maklumat kepada pelajar dapat dilakukan dengan
berkesan. Ini menunjukkan bahawa melalui latihan empati yang dijalankan oleh
guru, tingkah laku manusia di masa lampau dapat difahami dan dinilai untuk
membolehkan pelajar memahami idea orang lain dan mengenal diri. Pada
masa yang lalu, kebudayaan (Dance, 1970) dan warisan (Chaffer & Taylor, 1975)
dapat difahami dan dimanfaatkan oleh pelajar supaya gagasan kenegaraan
dapat ditonjolkan. Justeru itu, peranan guru sebagai pemupuk nilai dalam
pengajarannya adalah cukup penting. Melalui pemupukan semangat patriotisme
ini sangat penting untuk memantapkan diri pelajar dari segi ketahanan mental,
fizikal dan emosi yang akan membolehkan seseorang itu mampu dan berupaya
menghadapi segala bentuk cabaran. Kekurangan nilai patriotisme dalam diri
pelajar akan memberikan kesan kepada rendahnya semangat juang dan
semangat jati diri dalam diri mereka yang menyebabkan ada sesetengah
daripada mereka mudah menyerah kalah dan tunduk kepada sesuatu tekanan.
Seterusnya dalam membincangkan mengenai sesuatu topik yang diajar
di dalam mata pelajaran sejarah, guru harus meluaskan perbincangannya
dengan pelajar iaitu perbincangan perlu diperluaskan lagi dengan menekankan
kepada perkembangan dan sumbangan tokoh-tokoh dalam membebaskan
tanah air dari penjajahan dan membangunkan negara. Sebagai contoh, para

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


226
pelajar perlu didedahkan dengan lebih serius sejarah perjuangan menentang
penjajah dan penceroboh seperti Tok Janggut, Dato Maharaja Lela, Datuk Sagor,
Tengku Menteri (Ngah lbrahim), Long Jaafar, Dol Said dan Dato Bahaman,
untuk melahirkan semangat patriotisme untuk anak bangsa kini. Dengan
pengetahuan yang sedemikian akan membuka minda dan pemikiran mereka
untuk lebih menjaga kedaulatan negara terutamanya daripada ancaman luar.
Dalam melengkapkan penulisan mengenai patriotisme ini, penulis telah
merujuk pelbagai kajian yang telah dilakukan oleh penyelidik lain yang berkaitan
dengan semangat patriotisme ini. Penulis mendapati bahawa pengajaran guru
terutama dalam konteks pengajaran sejarah perlu lebih teliti dan peka dalam
menyampaikan dan menerapkan ilmu mengenai patriotisme. Penulis
berpendapat masyarakat di Malaysia sama ada guru-guru, institusi-institusi
pendidikan, pelajar-pelajar, ibu bapa atau masyarakat umum harus meningkatkan
tahap kesedaran tentang cara penyampaian pengajaran mempengaruhi hasil
pembelajaran dan perubahan yang positif perlu ada untuk mendapat hasil
pembelajaran yang positif. Sebagai agen yang terlibat secara formal dalam
sistem pendidikan negara, maka wajarlah rakyat Malaysia memberi pengharapan
kepada para golongan pendidik untuk terus berusaha menerapkan semangat
patriotisme ini di kalangan pelajar tanpa mengira erti putus asa. Hal ini demikian
kerana kebaikan yang diperoleh oleh seorang individu dari sistem pendidikan
yang diterima dapat menjadikan rakyat yang bersemangat patriotik dan peka
terhadap isu-isu negara. Contohnya dapat dilihat dalam rajah 1.1 yang
menunjukkan bahawa sememangnya pendidikan yang membawa kepada
semangat patriotisme adalah sangat penting untuk diterapkan dalam semua
golongan di Malaysia.

PATRIOTISME DAN MEDIA MASSA


Selain daripada peranan daripada pihak guru dan Kementerian,
peranan dalam bidang media massa juga turut berpengaruh dalam menerapkan
dan memantapkan lagi nilai patriotisme dalam kalangan rakyat di Malaysia. Hal
ini adalah kerana, keterlibatan dan sokongan daripada media massa untuk
mendidik warganegara perlu diketengahkan juga kerana sedar atau tidak, negara
kita kini mengikuti arus globalisasi di mana di tahap ini media massa merupakan
agen yang sangat penting dalam mempengaruhi minda dan pemikiran

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


227
masyarakat di negara kita agar terus menerus menanam sikap sayang dan
cintakan negara dengan iltizam yang kuat. Tidak dapat dinafikan bahawa
pengaruh media massa seperti media cetak dan media elektronik kedua-dua
mempunyai cara dan pendekatan yang tersendiri dalam menyampaikan
matlamat negara dalam menyemai semangat patriotisme melalui pelbagai cara.
Melalui media masa ini, penulis mendapati peranan media massa kini
tidak kira sama ada bercetak atau elektronik memainkan peranan bagi
membangkit dan memekarkan semangat patriotisme. Media massa perlu
memperbanyakkan lagi penerbitan komik, cerpen dan filem yang berbentuk
patriotik supaya melalui pembaca seperti komik, pelajar akan sedar dan tahu
bahawa untuk mencapai tahap ini, pelbagai peristiwa-peristiwa berdarah telah
berlaku di mana ramai pejuang tanah air telah tumbang dalam menegakkan
kemakmuran negara. Seterusnya melalui media elektronik pula, pengarah-
pengarah tempat seharusnya membina lebih banyak cerita menerbitkan
dokumentari tokoh-tokoh pejuang yang berunsurkan kepada penyemaian
semangat cintakan negara. Seterusnya sentiasa menayangkan filem-filem
bercorak patriotisme dan kesedaran seperti filem-filem seperti Sarjan Hassan,
Bukit Kepong dan Leftenan Adnan. Selain itu juga, media elektronik pula perlu
selalu menyiarkan lagu-lagu patriotik, supaya asal usul kemerdekaan negara
lebih dihargai dalam diri setiap individu di Malaysia.

PERANAN KOMUNITI, MASYARAKAT DAN BADAN-BADAN NGO


Dalam menjayakan dan menerapkan semangat patriotisme dengan
berkesan ternyata bukanlah sesuatu perkara yang mudah kerana dalam soal ini,
semua pihak harus berganding bahu dan bergabung dalam memainkan peranan
masing-masing. Hal ini demikian kerana dengan sokongan daripada semua
pihak akan memudahkan lagi dalam menyebarkan semangat ini kerana
kebanyakan masyarakat kita hanya tahu erti patriotisme sedangkan tujuan dan
maksud patriotisme yang sebenar masih lagi perlu difahami dan kabur. Oleh itu,
peranan bersama harus dilakukan dalam menjayakan semangat patriotisme
ini. Menerusi golongan belia, peranan pihak komuniti dapat dilakukan menerusi
Program Rakan Muda yang mana ia melibatkan semua golongan belia sama
ada golongan belia dari bukan Melayu juga harus terlibat sama. Di sini,
penglibatan semua kaum adalah penting kerana walaupun berlainan kaum,

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


228
agama dan bangsa namun kita semua tetap disatukan di bawah rumpun yang
sama iaitu bangsa Malaysia. Jadi penerapan ini haruslah menyeluruh. Ini dapat
memastikan golongan muda terutamanya belia menguasai tahap jati diri yang
teguh sama ada dari segi rohani, intelek dan juga jasmani.
Dalam membincangkan mengenai peranan NGO pula, golongan ini
seharusnya lebih peka dan bergerak aktif dalam menyampaikan dan memupuk
kesedaran agar golongan masyarakat lebih mempunyai semangat sensitiviti
yang tinggi apabila melibatkan soal kedaulatan negara, contohnya pihak NGO
perlu mendedahkan masyarakat kepada program yang melibatkan aktiviti
kemanusiaan yang berbentuk patriotisme seperti menghulurkan bantuan dengan
menjalankan aktiviti gotong royong perdana, menolong mangsa banjir,
membantu dalam menjayakan program di rumah orang tua dan sebagainya
agar mereka lebih peka kepada semangat perpaduan pelbagai masyarakat di
Malaysia. Selain Itu juga, pihak NGO perlu memperbanyakkan lagi program-
program yang melibatkan kedaulatan negara seperti menjayakan lebih banyak
program seperti Bulan Kemerdekaan, mengibarkan Jalur Gemilang dan
sebagainya bagi melibatkan semua golongan supaya turut menjayakan program
ini bersama. Dengan melakukan aktiviti bersama, ini sekaligus dapat
mengeratkan hubungan silaturahim dan hubungan kekitaan di dalam
masyarakat. Jadi sentimen perkauman, permusuhan dan hasad dengki dapat
dielakkan. Dengan ini secara tidak langsung agenda penerapan patriotisme
dapat dilaksanakan dengan jayanya dengan bantu padu daripada semua
golongan masyarakat. Secara dasarnya ialah semua usaha dan langkah yang
disarankan ini adalah bermatlamatkan kepada pembinaan gagasan patriotisme
yang utuh dalam mencapai wawasan 2020.

KESIMPULAN
Kesimpulannya, patriotisme dan pendidikan sejarah sering kali dikaitkan
bersama terutamanya di Malaysia. Patriotisme diyakini dapat diterapkan melalui
pendidikan sejarah. Hal ini demikian, kerana pendidikan sejarah mengandungi
peristiwa-peristiwa lampau yang boleh memangkinkan perasaan cinta akan
tanah air. Misalnya, proses-proses yang dilalui negara dalam mencapai
kemerdekaan, boleh mencambahkan dan menyalurkan semangat patriotik
dalam diri murid-murid. Namun, beberapa isu yang wujud di antara usaha

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


229
penerapan patriotisme melalui pendidikan sejarah itu haruslah diselesaikan.
Misalnya, soal stigma sejarah sebagai alat propaganda, soal guru dan juga soal
kurikulum sejarah yang tidak seimbang. Pendidikan sejarah haruslah telus.
Sejarah yang diajarkan di sekolah dan sejarah yang digubal di dalam kurikulum
haruslah benar dan bukannya tercipta hasil desakan mana-mana pihak. Sejarah
yang diajarkan di sekolah juga haruslah benar-benar merangkumi apa yang
sebenarnya berlaku pada masa lalu. Fakta-fakta yang ada tidak sewajarnya
ditokok-tambah, diubah, diselewengkan atau ditutup bagi menjaga kepentingan
mana-mana pihak. Murid patut diajar dan diberitahu tentang peristiwa sebenar.
Hal ini supaya pembelajaran sejarah di sekolah adalah selaras dengan falsafah
ilmu sejarah itu sendiri yang mengkaji suatu kebenaran.

RUJUKAN
Abd Rahim Abd Rashid. 2001. Guru Sejarah Berkesan dan Bermotivasi Tinggi
dalam Pengajaran Sejarah dan Penerapan Patriotisme. Kertas Kerja
Persidangan Kebangsaan Pendidikan Sejarah Ke Arah Pembentukan
Warganegara Patriotik. Kuala Lumpur: Kementerian Pendidikan
Malaysia.
Ahamad Rahim, Azwani Ismail, Abdul Razaq Ahmad, Zahara Aziz & Sharifah Nur
Puteh. Kurikulum Sejarah ke arah pembentukan perpaduan kaum di
Malaysia.
Ahmad Ali Bin Seman, Pemupukan Patriotisme Melalui Pendidikan Mutikultural
Dalam Pendidikan Sejarah Di Malaysia : Satu Tinjauan Perspektif. History
Study, Politic and Strategy Center, Universiti Kebangsaan Malaysia
Ahmat Adam. 2014. Pendidikan Sejarah di Malaysia Dewasa Ini: Sejauh Manakah
Ia Relevan Kepada Pembinaan Nasion?. Dlm. Jurnal Kajian Sejarah
Dan Pendidikan Sejarah. 2 (1). 101-114.
Azita Aminudin. 1995. Sosialisasi Politik: Nasionalisme–Patriotisme dan
Kesedaran Politik di Kalangan Mahasiswa di Fakulti Sastera dan Sains
Sosial. Latihan Ilmiah, Universiti Malaya.
Berns,W. 1997. “On Patriotism”. Public Interest. Spring.
Chaffer, J. & Taylor, L. 1975. History and The History Teacher. London: George
AUen.

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


230
Chai Hon Chai. 1977. Education and Nation Building in Plural Societies: The
West Malaysian Experience. Canberra: The Australian National University.
Dance, E. H. 1970. The Place of History in Secondary Training: A Comparative
Studies. London: Georg G. Harrap & Co. Ltd.
Dewan Bahasa dan Pustaka. 2007. Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Haydn, T. 1999. Citizenship and School History: In Defence of, or as a Protection
Against The State, The School Field. Vol. X (3/4), 33-46.
Juriah Long. 1992. Aliran Dalam Pendidikan Menjelang Abad Ke-21. Bangi:
Penerbit UKM.
Kementerian Pelajaran Malaysia. 1979. Laporan Jawatankuasa Kabinet. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kementerian Pendidikan Malaysia. 1994. Buku Panduan Program Pengukuhan
Pemupukan Patriotisme Sekolah Rendah.
Ku Hasnita Ku Samsu. 2009. Pengajaran Kenegaraan Malaysia. (Tidak
diterbitkan).
Ku Hasnita Ku Samsu & Mohd Haizam Mohd Nor. 2011. Kepentingan Pendidikan
Patriotisme Terhadap Warganegara Malaysia. Jati, Vol, 16, Disember,
23-24.
Lee, M. N. N. 2002. Teacher Education in Malaysia: Current Issues & Future
Prospects. In Teacher Education (ed). London, USA: Kogan Page Ltd.
Najeemah Md. Yusof. 2006. Konsep pendidikan. Pts profesional. Kuala Lumpur:
Publishing sdn bhd.
Nik Anuar Nik Mahmud. 2002. Patriotisme Dalam Penulisan Sejarah. Kertas
Kerja dibentangkan di Kongres Patriotisme Negara, di Institut Latihan
Keselamatan Sosial KWSP, anjuran Biro Tatanegara dan Universiti Utara
Malaysia, Bangi pada 22 - 28 Oktober 2002.
Rizal Uzir. 2002. Nilai-Nilai Kewarganegaraan di Kalangan Pelajar Sekolah
Menengah Tinggi Kajang. Tesis Sarjana Pendidikan, Fakulti Pendidikan:
UKM.

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


231
Robiah Sidin & Zahara Aziz. 1992. Pendidikan Sivik Sejak Merdeka - Satu
Penilaian. Dlm. Jaffar & Hazami Habib. Isu-Isu Dalam Pendidikan Sivik.
Kuala Lumpur: Institut Kajian Dasar.
Shahril @ Charil Marzuki, Zainun Ishak, Lee Pau Wing, & Saedah Siraj. 1998.
Pendidikan di Malaysia. Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors
Sdn. Bhd.
Slater, J. 1989. The Politics of History Teaching: a humanity dehumanised. London.
Tajul Ariffin Noordin. 1985. Kedudukan Pengajaran Dan Pembelajaran Masa
Kini Dalam Konteks Pendidikan Kewarganegaraan (dlm) Adnan Haji
Nawang. Pendidikan Dan Kewarganegaraan Di Malaysia. Kuala Lumpur:
Gabungan Pelajar-Pelajar Melayu Semenanjung.

RUJUKAN ELEKTRONIK
dbctan.blogspot.com/2011/01/malaysian-history-textbookswhose.html. Di akses
pada 29 Disember 2015. 12:05 am.
prpm.dbp.gov.my/Search.aspx?k=propaganda. Di akses pada 29 Disember 2015.
17:53 pm.

Nor Liza Syahila Abd Muin, dkk.


232
ISU DAN CABARAN KURIKULUM PENDIDIKAN
SEJARAH DI MALAYSIA
Abdul Razaq Ahmad, Norashikin Nawi, Amni Syamimi Zaki, Noor
Norazila Inai
Corresponding author: hye_ekin@yahoo.com

PENGENALAN
Sejarah merupakan satu mata pelajaran teras yang wajib dipelajari
oleh semua murid dalam Kurikulum Standard Sekolah Rendah (KSSR) mulai
tahun 4 di Tahap II. Hal ini bertujuan untuk menyemai kefahaman murid terhadap
mata pelajaran sejarah di peringkat awal lagi agar murid memperoleh dan
menguasai pengetahuan serta kemahiran sejarah dengan lebih jelas. Kurikulum
sejarah bertujuan untuk menyatupadukan pengetahuan, kemahiran, elemen
kewarganegaraan dan nilai-nilai sivik dalam pelaksanaannya di dalam dan di
luar bilik darjah. Kandungan mata pelajaran sejarah disusun secara sistematik
dan tersusun dimulai dengan perbincangan mengenai pengenalan negara dan
identitinya, sejarah awal negara dan warisannya serta kedaulatan dan kejayaan
negara. Pendekatan pengajaran dan pembelajaran mata pelajaran sejarah lebih
menjurus kepada pemupukan kemahiran berfikir secara kritis, kreatif dan inovatif
melalui aktiviti inkuiri dan penerokaan bagi mengukuhkan pemahaman tentang
sejarah. Mata pelajaran sejarah di peringkat sekolah rendah merupakan suatu
kesinambungan ke peringkat sekolah menengah sebagai suatu disiplin ilmu
yang dinamik.

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia dan Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Norashikin Nawi, dkk.


233
Kurikulum Sekolah Rendah (KSSR) sejarah dibina berasaskan enam
tunjang utama yang melibatkan eleman seperti komunikasi, kerohanian, sikap
dan nilai, kemanusiaan, literasi sains dan teknologi dan keterampilan diri. Enam
tunjang ini merupakan dominan utama yang saling menyokong antara satu
sama lain dan disepadukan dengan pemikiran kritis, kreatif dan inovatif.
Kesepaduan ini juga bertujuan untuk membangunkan modal insan yang
seimbang dan harmonis, berpengetahuan dan berketerampilan. Matlamat KSSR
ini juga membolehkan murid memahami tingkah laku manusia, sebab dan
akibat, keunikan sejarah tanah air dan kegemilangan negara bagi melahirkan
warganegara yang patriotik dan menjunjung amalan demokrasi di Malaysia.
Tunjang utama KSSR bergantung kepada matlamat dan objektif yang
bertepatan dengan pembinaan jati diri dan melahirkan semangat patriotisme
dalam kalangan warganegara Malaysia. Pemahaman murid terhadap sesuatu
peristiwa yang telah berlaku melalui sikap ingin tahu menjadi asas kepada
objektif kurikulum pendidikan sejarah di samping meneroka pelbagai sumber
dan maklumat dalam memahami intipati sejarah yang lebih efektif. Dengan
itu,murid akan mudah memahami sesuatu idea, konsep serta elemen sebab
dan akibat dalam elemen sejarah yang diketengahkan. Objektif KSSR ini juga
menerangkan perihal kepentingan sejarah dalam kehidupan terutamanya
sebagai garis panduan dan mengambil iktibar daripada peristiwa sejarah yang
telah berlaku sebagai usaha untuk mengukuhkan keharmonian antara
masyarakat pada hari ini .
Justeru itu, murid secara tidak langsung dapat menilai warisan sejarah
negara dalam konteks kawasan setempat, negara dan global dengan lebih
mendalam selain dapat memahami proses pembinaan tamadun manusia yang
dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat pada masa itu dan juga kesannya
pada masa kini. Antara objektif lain yang dapat diterapkan juga adalah murid
dapat memahami cabaran yang terpaksa dihadapi oleh negara dalam
memastikan kedaulatan negara terjamin dalam konteks mempertahankan
kedaulatan negara demi pembinaan jati diri yang lebih utuh dan kukuh. Fokus
utama mata pelajaran sejarah bukan sahaja memberi penekanan kepada
penerapan nilai dan semangat patriotik sahaja bahkan ia juga
dipertanggungjawabkan untuk menyemai ilmu pengetahuan dan asas
kemahiran pemikiran sejarah dalam diri pelajarannya.

Norashikin Nawi, dkk.


234
LATAR BELAKANG KURIKULUM SEJARAH
Pendidikan pada zaman penjajahan British mencerminkan
kepentingan penjajah dimana mata pelajaran sejarah lazimnya digunapakai
sebagai suatu bahana untuk dijadikan saluran propaganda British yang amat
berkesan pada ketika itu. British memperkenalkan pengasingan kurikulum di
dalam sistem pendidikan di Tanah Melayu di mana ia turut melibatkan kurikulum
sejarah yang dilakukan secara berbeza-beza antara sekolah aliran British dan
sekolah aliran Melayu. Sekolah-sekolah Cina dan Tamil pula menggunakan
kurikulum sejarah dari negara China dan India. Sejarah British telah diberi
tempat yang penting dalam kurikulum Sejarah (Khoo Kay Kim. 1992). Abdul
Razaq (2007) dalam kajiannya juga menjelaskan kurikulum Sejarah lebih
menceritakan latar belakang mengenai masyarakat Eropah ataupun sejarah
England itu sendiri. Bagi Jamaliah (2005) pula keadaan inilah yang sebenarnya
telah menyebabkan wujudnya jurang dalam pendidikan sejarah antara murid
sekolah aliran Inggeris, Cina dan Tamil pada masa itu dan dampaknya boleh
dilihat sehingga ke masa kini.
Hal ini mengakibatkan identiti dan nilai kerjasama tidak wujud dalam
kalangan masyarakat pada ketika itu. Pada peringkat awal, pendidikan sejarah
yang diperkenalkan di sekolah-sekolah aliran Melayu lebih berbentuk kepada
Kesusasteraan Melayu Klasik. British tidak menekankan pendidikan sejarah
tempatan dalam kalangan masyarakat di Tanah Melayu kerana dikhuatiri boleh
menggugat kepentingan politik dan ekonominya. Tetapi setelah negara
mencapai kemerdekaan, pengaruh kurikulum British dilihat semakin luntur
dan berkurangan (Maharom Mahmood, 2001). Sementara pengaruh kurikulum
sejarah negara India dan Cina akhirnya tamat apabila Laporan Razak 1956
dikemukakan untuk memastikan satu sukatan pengajaran dan peperiksaan
yang sama sahaja dilaksanakan demi perpaduan kaum di negara ini.
Selepas Perang Dunia ke-2, kurikulum Sejarah mula berubah dengan
memberi penekanan ke arah perpaduan dan integrasi kaum. Pada tahun 1973,
terdapat perbincangan untuk mengkaji semula kurikulum sejarah. Kurikulum
yang sedia ada dilihat terlalu luas dan tidak bersifat tempatan (Siti Zainun.
1998an 1990). Beberapa forum seperti Kongres Kebudayaan Malaysia 1971,
Seminar Sejarah Malaysia I dan II yang diadakan dalam tahun 1973 dan 1974
(Siti Zainun. 1988 dan 1990) telah diadakan untuk membincangkan perkara

Norashikin Nawi, dkk.


235
tersebut. Hasil dapatan daripada seminar yang dilakukan telah berjaya menggesa
pihak Kementerian Pelajaran Malaysia menggunakan pendekatan ‘berpusatkan
kemalaysiaan’ dalam menggubal sukatan pelajaran dan penulisan buku teks
Sejarah (Siti Zainun Mat 1988. 1990).
Hanya pada tahun 1989, Kementerian Pelajaran Malaysia telah
menjadikan mata pelajaran sejarah sebagai subjek teras yang wajib diambil
oleh semua pelajar. Bagi Aini Hassan (2008) perubahan ini merupakan satu
anjakan besar dalam falsafah dan konsepsi pengajaran dan pembelajaran
sejarah di sekolah. Falsafah, matlamat dan objektif pengajaran dan pembelajaran
telah dinyatakan dengan jelas. Dengan itu, penekanan terhadap sejarah tempatan
telah dijadikan asas utama di dalam kurikulum pendidikan sehingga ke hari ini.
Pembahagian tajuk pula dilakukan mengikut tema-tema tertentu berdasarkan
kepada kepentingan yang dirasakan wajar dan penting kepada setiap
warganegara (PPK. 2002). Perkembangan kurikulum sejarah pra dan pasca
merdeka telah mengalami perubahan dan kemajuan yang pesat seiiring dengan
tuntutan semasa. Matlamat pendidikan sejarah umumnya adalah berfokus
kepada peranan dalam memupuk semangat setia negara dan perasaan bangga
sebagai rakyat Malaysia melalui pengetahuan dan penghayatan sejarah tanah
air yang pernah berlaku dan di alami bukan sahaja kepada negara bahkan turut
melibatkan masyarakat yang berbilang kaum. Oleh sebab itu, sejarah sebagai
satu cabang ilmu perlulah ditekankan sebagai ilmu yang praktikal dan mampu
membentuk setiap warganegara Malaysia yang berjiwa patriotik (Pusat
Perkembangan Kurikulum, 2002). Pendidikan sejarah perlu membaiki pemikiran
dan wawasan berfikir generasi muda terhadap negara dan pembinaan bangsa
Malaysia (Abd.Rahim Abd Rashid, 2008).

ISU DAN CABARAN


Matlamat utama kurikulum pendidikan sejarah di Malaysia adalah untuk
mengeratkan perpaduan kaum serta memupuk integrasi kaum dalam kalangan
kepelbagaian etnik di negara ini khususnya rakyat Malaysia yang rata-ratanya
terdiri daripada pelbagai latar belakang yang mana memiliki perbezaan dari
segi agama, bangsa, kepercayaan dan sebagainya walaupun sedar akan hakikat
pentingnya perpaduan dan integrasi kaum namun begitu, masih terdapat
beberapa kekangan dalam melancarkan pelaksanaan hasrat dan matlamat

Norashikin Nawi, dkk.


236
utama pendidikan Sejarah ini. Hal ini kerana, terdapat beberapa kelemahan
dan permasalahan yang menjadi isu dan cabaran utama dalam kurikulum
pendidikan sejarah di Malaysia. Antara isu dan cabaran dalam kurikulum
pendidikan sejarah di Malaysia ialah;
Kandungan Buku Teks
Pembelajaran sejarah yang berpandukan buku teks semata-mata
menimbulkan rasa bosan pelajar untuk mempelajari sejarah dengan lebih
mendalam ditambah pula dengan bentuk penulisan dan gaya persembahan
buku teks yang tidak menarik menambahkan lagi rasa jemu pelajar terhadap
rujukan utama buku sejarah itu sendiri. Hal ini kerana, kandungan kurikulum
sejarah amat padat dengan fakta-fakta dan tahun-tahun yang perlu diingati oleh
pelajar. Bagi persepsi pelajar, mereka melihat mempelajari mata pelajaran
sejarah bermakna menghafal fakta-fakta dan tahun-tahun yang mana ia
merupakan satu perkara yang membebankan dan sukar untuk digambarkan
memandangkan mereka tidak berada pada zaman tersebut dan tidak
mengalaminya malah tidak berpeluang untuk melihat sendiri keadaan yang
berlaku. Hal ini menjadikan subjek sejarah sebagai suatu mata pelajaran yang
amat membosankan bagi pelajar. Dapatan kajian yang dilakukan oleh Hartini
Husain (2006) membuktikan bahawa mata pelajaran sejarah ini lebih banyak
berkisarkan cerita-cerita lapuk dan mereka tidak nampak apa yang harus dinilai
dalam mempelajari mata pelajaran ini.
Selain itu, kandungan kurikulum sejarah juga dikatakan terlalu bersifat
“Melayu Centric”. Sejarah yang diajar di sekolah pada hari ini seolah-olah sejarah
orang Melayu dan bukannya sejarah Malaysia. Penglibatan peranan semua
kaum seharusnya diberi perhatian dan turut diambil kira terutamanya di dalam
mendapatkan kemerdekaan serta kemakmuran negara. Hal ini kerana,
sumbangan dan pengorbanan kaum lain juga penting dalam mencerminkan
usaha sama mereka dalam menuntut kemerdekaan negara. Malah,
kepelbagaian fakta yang melibatkan universal dan menyeluruh berkaitan dengan
perpaduan kaum dapat menarik minat pelajar tidak kira bangsa dalam
menghayati peristiwa sejarah yang melibatkan peranan semua pihak.
Selain itu, tema-tema yang dipilih untuk dimuatkan dalam kandungan
buku teks sejarah sebagai salah satu bahan pengajaran kurikulum sejarah juga
perlulah berfokuskan kepada pembentukan perpaduan kaum bagi meningkatkan

Norashikin Nawi, dkk.


237
tahap integrasi kaum di negara ini. Penyusunan kurikulum dalam kandungan
buku teks yang lebih sistematik dan fleksibel perlu diberi perhatian oleh pihak
penggubal buku teks di Kementerian Pelajaran Malaysia. Tema yang berkaitan
dengan politik, ekonomi dan sosial secara amnya perlu diberi perhatian yang
serius dalam penyusunan kurikulum sejarah yang meliputi semua aspek penting.
Contohnya, peranan bapa kemerdekaan negara iaitu Tunku Abdul Rahman
dalam menuntut kemerdekaan Tanah Melayu perlu dikupas dan diperhalusi
dengan lebih mendalam agar jiwa perpaduan dan pengorbanan pemimpin
negara ini dijadikan sebagai teladan kepada generasi akan datang sekaligus
membentuk integrasi kaum di negara ini. Menelusuri sejarah pengorbanan
kepimpinan negara ini secara tidak langsung menyemai kesedaran ke dalam
jiwa pelajar tentang proses integrasi yang telah wujud sejak zaman sebelum
kemerdekaan lagi.
Penggunaan buku teks dalam pengajaran dan pembelajaran tidak
menimbulkan suasana pembelajaran yang menarik. Oleh itu, dalam pelaksanaan
kurikulum di bilik darjah, penggunaan bahan bantu mengajar (BBM) yang bersifat
interaktif dan kreatif perlu sepatutnya sudah mula diberi perhatian dan penekanan
kerana ia boleh menjadi wahana utama atau satu platform dalam menarik
perhatian pelajar untuk turut melibatkan diri di dalam proses pengajaran dan
pembelajaran di dalam bilik darjah mahupun di luar bilik darjah. Penggunaan
bahan bantu mengajar (BBM) yang bersifat interaktif ini turut disokong oleh Zaliza
Zali (2004), dalam kajiannya menunjukkan penggunaan BBM bersifat interaktif
ini dapat menjadikan pengajaran lebih efektif dan secara tidak langsung menarik
minat pelajar untuk belajar bukan sahaja dikalangan pelajar bumiputera sahaja,
bahkan ia meliputi pelajar bukan bumiputera.
Selain itu, sesetengah tema dalam kandungan buku teks sejarah juga
dilihat sudah semakin tidak relevan dengan matlamat pendidikan sejarah yang
diketengahkan terutamanya dalam membentuk jati diri dan memupuk nilai
patriotisme di kalangan pelajar. Contohnya, sejarah tingkatan satu tema-tema
seperti i) Tamadun Awal Manusia; ii) Tamadun Islam dan Perkembangannya;
dan iii) Perkembangan di Eropah dan Kesannya Terhadap Ekonomi Negara
merupakan antara tema yang dilihat tidak bersesuaian dengan matlamat sebenar
pendidikan sejarah kerana pensejarahannya dianggap terlalu jauh dengan
konteks sejarah Malaysia. Sebaliknya, tema-tema yang berkaitan dengan peranan

Norashikin Nawi, dkk.


238
dan sumbangan bagi setiap kaum dari aspek politik, ekonomi dan sosial
seharusnya diberikan tumpuan dan penekanan yang lebih menyeluruh dalam
penggubalan kurikulum sejarah.
Pembelajaran Sejarah
Sejarah seringkali dihubungkaitkan sebagai mata pelajaran yang tidak
menyeronokkan dan tidak menarik serta tidak penting untuk dipelajari ditambah
pula dengan fakta yang padat menambahkan lagi stigma negatif ke atas mata
pelajaran ini. Kajian oleh Yong Shu Lan (2013) menyatakan kemungkinan
bahawa ramai pelajar yang tidak lulus dalam mata pelajaran ini disebabkan
oleh kurangnya minat ke atas subjek pelajaran sejarah itu sendiri. Menurut
mereka, sejarah merupakan mata pelajaran yang tidak memberi faedah dan
sukar kerana ia memerlukan pelajar mengingati fakta-fakta, tajuk-tajuk dan
peristiwa sejarah yang telah berlaku berabad lamanya yang memerlukan
penghafalan yang membebankan pelajar untuk mengingati fakta-fakta yang
berjela-jela.
Minat juga berkait rapat dengan motivasi dalaman. Kajian mengatakan
bahawa pembelajaran yang berkesan wujud jika ada minat dalam kalangan
pelajar dan salah satu daripada cara menimbulkan minat pelajar ialah menerusi
kaedah pengajaran dan aktiviti pembelajaran yang menarik. Woolfolk (1998)
mendefinisikan minat dan usaha merupakan aspek yang dikatakan telah
mempengaruhi kejayaan pembelajaran seseorang. Apabila seseorang meminati
sesuatu maka ia akan bersikap positif terhadap perkara tersebut dan sebaliknya.
Hal ini akan menghasilkan sesuatu yang bermakna dan berkesan. Namun,
persepsi negatif pelajar terhadap mata pelajaran sejarah bukan sahaja
disebabkan kurangnya minat terhadap pembacaan fakta semata-mata. Pelajar
juga beranggapan bahawa subjek ini sangat membosankan dan tidak
memberikan jaminan pekerjaan. Ini selari dengan kajian oleh Abdul Razak dan
Abdullah (2000) terhadap 240 pelajar di daerah Petaling Jaya dan Kuala Selangor
mendapati pelajar-pelajar menganggap mata pelajaran sejarah sebagai subjek
sampingan yang tidak mendatangkan faedah. Di samping itu, ia dikukuhkan lagi
dengan dapatan kajian yang diperolehi oleh Siti Haishah (2006) yang mendapati
ibu bapa dan masyarakat menganggap mata pelajaran Sejarah tidak sepenting
mata pelajaran teras yang lain seperti Bahasa Melayu, Sains dan Matematik
menambahkan lagi persepsi negatif terhadap mata pelajaran sejarah.

Norashikin Nawi, dkk.


239
Seterusnya, kandungan sukatan pelajaran sejarah turut sedikit sebanyak
mempengaruhi persepsi pelajar terhadap subjek ini. Kajian yang dijalankan
oleh Mohd Risaudin (2012) mendapati bahawa pencapaian rendah yang dialami
oleh pelajar dalam mata pelajaran ini disebabkan kandungan sukatan yang
hanya menekankan satu kaum sahaja dan meminggirkan kaum minoriti lain di
Malaysia. Dalam merangka kandungan mata pelajaran sejarah di peringkat
sekolah, perkara yang melibatkan penyertaan kaum minoriti tidak harus
diabaikan. Kandungan sukatan pelajaran sejarah seharusnya relevan dan
memberikan tumpuan yang lebih kepada Sejarah Tempatan itu sendiri. Tajuk-
tajuk utama dalam kandungan sukatan pelajaran seharusnya bersesuaian
dengan matlamat pendidikan sejarah sekiranya mata pelajaran ini ingin dijadikan
sebagai tunjang utama pembinaan Negara Bangsa.
Persepsi pelajar yang negatif terhadap mata pelajaran ini turut
dipengaruhi oleh kaedah pedagogi yang digunakan oleh guru sejarah dalam
menyampaikan maklumat. Pendekatan kepada corak tradisional dan “chalk and
talk” sudah tidak relevan dengan kehendak pelajar hari ini dan dikatakan sebagai
ketinggalan zaman dalam arus pemodenan yang rata-ratanya pelajar lebih
cenderung kepada sesuatu yang baru dan dikatakan canggih seperti
penggunaan alatan moden seperti perisian komputer dan penggunaan teknologi
semasa yang mampu menarik minat golongan generasi kini. Dalam erti kata
lain, guru sejarah perlu beralih kepada corak pengajaran dan pembelajaran
yang lebih menarik dengan menggunakan proses pembelajaran aktif atau ‘active
learning’. Oleh yang demikian, guru sejarah perlu berani mengambil langkah
dalam menjadikan pengajaran lebih kreatif dan menarik. Ini bagi menyahut
cabaran seruan kerajaan yang ingin menjadikan pendidikan di Malaysia bertaraf
tinggi seiring dengan matlamat pendidikan negara Malaysia.
Teknologi Pembelajaran Sejarah
Penggunaan teknologi ini termasuk dalam aspek bahan bantu mengajar
yang digunakan dalam pendidikan sejarah. Negara kita Malaysia sudah banyak
menggunakan kecanggihan teknologi dalam pendidikan, akan tetapi di dalam
pendidikan sejarah masih lagi berkurang dan penggunaannya masih lagi hambar.
Guru sejarah masih menggunakan pengajaran tardisional atau lama. Isu ini
yang sering kali ditimbulkan dalam perlaksaan pendidikan sejarah pada masa
kini. Penggunaan teknologi dalam pendidikan sejarah dikatakan boleh
membantu menarik minta kalangan pelajar di Malaysia untuk belajar. Kenyataan
Norashikin Nawi, dkk.
240
ini disokong dengan kenyataan Tally dan Goldenberg (2005), mereka
menyatakan bahawa ciri multimedia yang terdapat pada sumber digital
membolehkan murid menangani masalah sejarah dengan cara yang berbeza.
Penggunaan teknologi juga membolehkan guru mempelbagaikan
kaedah pengajaran mereka kepada para pelajar. Ia juga satu usaha untuk
mengukuhkan penglibatan pelajar secara aktif di dalam pendidikan mereka
sendiri (Lee Bin Hi, 2013). Kepelbagaian kaedah pengajaran ini amat penting
bagi menghidupkan suasana pembelajaran yang kondusif. Pelajar tidak hanya
bergantung kepada buku teks dan pengajaran berpusatkan guru. Perkembangan
kanak-kanak dahulu dengan sekarang amat berbeza. kemunculan pelbagai
teknologi canggih melahirkan dan mewujudkan generasi yang celek IT. Oleh
sebab itu, pengajaran dan pembelajaran pendidikan Sejarah juga perlu
ditransformasi ke arah yang lebih canggih dan berteknologi.
Bagi melestarikan penggunaan teknologi dalam pendidikan sejarah
ini, kita mungkin akan berhadapan dengan pelbagai cabaran di antaranya
melibatkan guru pendidikan sejarah itu sendiri. Guru sejarah yang tidak begitu
mahir dan cekap dalam menggunakan teknologi akan menyebabkan berlakunya
kesukaran dan kepincangan dalam menggunakan alat teknologi maklumat
sebagai bahan bantu mengajar. Selain itu, kajian lepas membuktikan bahawa
kekangan masa bagi guru-guru yang berada di kawasan pedalaman untuk
menghadiri kursus pemantapan. Disebabkan faktor-faktor tertentu seperti
kawasan yang jauh dari tempat kursus dan juga kekangan masa untuk sampai
ke tempat kursus itu menyebabkan guru-guru tidak dapat menghadiri kursus
secara beterusan bagi memantapkan kemahiran menggunakan alat teknologi.
Faktor lain yang dihadapi oleh guru juga ialah termasuklah beban tugas
dan kekangan masa untuk menghabiskan sukatan pelajaran dengan segera.
Bebanan kerja menyebabkan guru menjadi malas dan tiada masa yang cukup
untuk membuat pembelajaran berasaskan penggunaan teknologi maklumat.
Buktinya, dalam kajian lepas bertajuk ‘Penggunaan sumber digital dalam
kalangan guru sejarah’ mendapati bahawa beban tugas guru dan kekangan
masa untuk menghabiskan sukatan pelajaran sejarah berada pada tahap min
yang tertinggi.

Norashikin Nawi, dkk.


241
Selain daripada itu, faktor kemudahan yang disediakan di sekolah-
sekolah boleh jadi mendatangkan masalah kepada kekangan yang ada dimana
tidak dinafikan bahawa, kebanyakan sekolah-sekolah sudah dibekalkan
peralatan-peralatan teknologi seperti perakam video, paparan skrin, digital
multimedia dan sebagainya. Namun begitu, tidak semua sekolah diberi
kemudahan yang lengkap malah masih lagi terdapat beberapa buah sekolah
terutamanya sekolah yang berada di kawasan luar bandar yang. Apabila
berlakunya masalah seperti itu, guru-guru pastinya tidak dapat untuk
menggunakan peralatan teknologi sebagai bahan bantu mengajar dalam kelas
justeru membantutkan kaedah pengajaran yang lebih efektif kepada pelajar.
Seterusnya, kemudahan yang ada tidak dapat diguna pakai disebabkan
terlalu lama dan tidak dibaik pulih. Ini juga menjadi salah satu cabaran untuk
proses pengintegrasian teknologi dalam Pendidikan Sejarah. Peralatan teknologi
seperti komputer,paparan skrin, video perakam dan lain-lain tidak berfungsi
dengan baik kerana terlalu lama tidak digunakan dan pihak sekolah juga tidak
memantau keadaan peralatan tersebut. Sesetengah sekolah bukan sahaja
kekurangan pembantu teknikal bahkan ada segelintir sekolah yang masih lagi
tidak mempunyai pembantu teknikal dalam mengendalikan permasalahan yang
berkaitan dengan penggunaan kemudahan teknologi yang disediakan.
Pelajar yang kurang berkemahiran dalam menganalisis maklumat dan
memahami penyampaian maklumat melalui bahan teknologi juga salah satu
cabaran yang perlu diambil perhatian. Jika pelajar tidak mampu untuk memahami
serta mewujudkan pemikiran sejarah melalui kaedah teknologi tersebut,
pengajaran dan pembelajaran tidak akan memberikan manfaat yang berkesan.
Sesetengah pelajar yang duduk di kawasan kampung atau di kawasan luar
bandar tidak didedahkan dengan peralatan teknologi berbanding pelajar yang
tinggal di kawasan bandar. Pendedahan awal juga memainkan peranan yang
penting bagi pelajar-pelajar untuk melibatkan diri mereka di dalam suatu
perubahan dalam pendidikan.
Kajian lepas mendapati kekurangan yang paling kentara dalam
pelaksanaan teknologi dalam pengajaran dan pembelajaran sejarah di Malaysia
adalah kurangnya aspek perkongsian maklumat dalam kalangan sekolah dan
institusi lain dalam mencari bahan atau maklumat (Lee Bin Hi, 2013). Tidak
dinafikan bahawa berlakunya perkongsian maklumat sejarah di laman-laman

Norashikin Nawi, dkk.


242
web rasmi kementerian pendidikan, namun perkongsian bahan tersebut terhad
kepada perkongsian bank-bank soalan, nota yang berbentuk peta minda, latihan
dan pembinaan rancangan pengajaran harian. Sebahagian guru hanya
mengambil maklumat yang diberikan tanpa mengubah suai bentuk maklumat
mengikut kesesuaian pelajar mereka. Oleh yang demikin, beberapa isu yang
diketengahkan di atas merupakan isu yang sering diketengahkan oleh pengkaji-
pengkaji berkaitan dengan kurikulum sejarah di Malaysia. Perbezaan kurikulum
di negara kita dengan negara luar sangat kentara. Sebagai contoh di Indonesia,
mereka menjadikan kurikulum sejarah sebagai salah satu mata pelajar yang
menunjukkan identiti bangsa mereka. di Amerika pula, pendidikan sejarah itu
telah diajar di peringkat kanak-kanak berumur 7 tahun lagi untuk meperkenalkan
bangsa dan negara mereka. Namun, dapat diperhatikan di Malaysia, mata
pelajaran yang diketengahkan lebih menjurus kepada pentadbiran dan kurikulum
di negara kita bahkan sedar atau tidak konsep pendidikan yang di amalkan
adalah lebih bersifat orientasikan peperiksaan semata-mata.

KESIMPULAN
Kandungan dalam kurikulum sejarah perlu dirombak semula agar
kurikulum sejarah ini tidak bersifat Malay-Centric dan berupaya merangsang
pelajar-pelajar untuk mempelajari dan menghayati sejarah. Penggubalan
kurikulum sedemikian mampu mengubah persepsi dan minat pelajar ke arah
yang lebih positif terhadap mata pelajaran sejarah itu sendiri. Penambahbaikan
serta penggubalan kurikulum ini juga mampu membentuk pemahaman konsep
patriotisme yang homogen dalam kalangan masyarakat berbilang kaum di
Malaysia. Persepsi positif pelajar terhadap mata pelajaran sejarah dapat
dikembalikan sekiranya kandungan sukatan pelajaran disemak semula. Perkara-
perkara yang melibatkan penyertaan kaum minoriti tidak harus diabaikan dan
dipinggirkan bagi mengekalkan integrasi sesama kaum di Malaysia yakni dalam
erti kata lain, peranan dan sumbangan daripada semua kaum sewajarnya turut
diberi keutamaan. Seterusnya, tema atau tajuk yang berulang-ulang serta dilihat
kurang relevan harus dilihat kembali. Guru-guru sejarah juga perlu didedahkan
dengan pelbagai kursus pedagogi yang ‘up to date’ seiring dengan keperluan
semasa. Dapatan kajian ini menunjukkan ramai guru Sejarah yang tidak pernah
ditawar mengikuti sebarang kursus dalam tempoh setahun. Pihak Jabatan

Norashikin Nawi, dkk.


243
Pendidikan Negara (JPN) sepatutnya berusaha untuk menganjurkan pelbagai
kursus penyegaran (refreshing course) untuk guru-guru sejarah khususnya dari
aspek pedagogi. Kursus sedemikian bukan sahaja dapat memberi input baru
kepada guru sejarah, malah dapat menafikan kurikulum sejarah sebagai “the
dead man of curriculum” dan dapat menghindarkan pemikiran guru-guru sejarah
daripada ‘dead minded’ atau ‘burnout’ terhadap kurikulum sejarah.
Persedian guru untuk menggunakan teknologi maklumat sebagai
bahan bantu mengajar perlu diutamakan. Guru-guru perlu menyediakan
persediaan yang lengkap sebelum memulakan pengajaran agar pengajaran itu
berjalan dengan lancar. Persediaan yang lengkap bermaksud, peralatan
berfungsi dengan baik, penggunaan teknologi bersesuaian dengan tajuk yang
hendak disampaikan, dan keadaan bilik darjah yang selesa. Pelajar perlu
didedahkan secara berperingkat-peringkat terhadap penggunaan teknologi yang
boleh meningkatkan prestasi pengetahuan mereka amya dalam pendidikan
sejarah. Pelajar juga perlu mencuba sendiri penggunaan teknologi agar mereka
biasa dan faham bagaimana sesuatu pembelajaran sejarah itu disampaikan
dengan penggunaan teknologi yang dapat memberi pendedahan yang lebih
mendalam tentang sesuatu perkara yang dipelajari. Pelajar perlu mengambil
langkah dengan melakukan perbincangan dengan guru dan rakan mereka
apabila mereka tidak memahami proses pembelajaran sejarah yang berasaskan
kepada penggunaan teknologi dalam membantu proses pengajaran dan
pembelajaran semasa di bilik darjah mahupun di luar bilik darjah.
Pihak kerajaan perlu menyediakan kakitangan yang cukup untuk
membantu guru mengendalikan peralatan-peralatan teknologi yang rosak dan
tidak berfungsi. Apabila adanya kakitangan teknikal yang mencukupi, masalah
kerosakan peralatan teknologi seperti komputer, paparan skrin dan slaid dapat
diselesaikan dengan mudah dan cepat. Pihak kerajaan juga perlu memantau
keadaan peralatan tersebut dengan segera dan pihak sekolah perlu mengambil
peranan dengan melaporkan setiap kerosakan yang ada. Perkongsian maklumat
perlu diperluaskan lagi di seluruh negara. Mungkin pihak kementerian boleh
membina beberapa enjin pencarian yang dikhaskan untuk bahan-bahan atau
sumber sejarah yang berautoriti dan boleh dialikasikan oleh pelajar dan guru di
dalam bilik darjah. Perkongsian maklumat yang luas dapat meningkatkan
penyebaran ilmu yang lebih meluas serta dapat meningkatkan minat pelajar

Norashikin Nawi, dkk.


244
terhadap mata pelajar sejarah. Ia juga dapat membantu pelajar mencari bahan
dengan cepat dan mudah memandangkan majoriti pelajar di negara kita
mempunyai laman sosial untuk berinteraksi degan guru dan rakan mereka.
Anjakan pemikiran perlu dilakukan agar ianya selari dengan hasrat Kementerian
Pelajaran Malaysia yang menekankan penampilan pendidikan sejarah sebagai
satu disiplin ilmu yang dinamik melalui pendekatan pengajaran dan
pembelajaran yang melibatkan murid-murid secara aktif dalam kelas (PPK, 2002).
Selain itu, guru sejarah sebagai pelaksana kurikulum di bilik darjah perlulah
mengambil inisiatif untuk memperkasa pelaksanaan proses pengajaran dan
pembelajaran agar pembelajaran aktif dalam bilik darjah dapat dilaksanakan.
Justeru itu, amatlah wajar sekiranya kurikulum sedia ada disemak semula agar
pemahaman dan penyemaian nilai sejarah dapat dirasai oleh setiap pelajar
dan masyarakat di Malaysia.

RUJUKAN
Abd. Rahim Abd. Rashid. 1999. Kemahiran Berfikir Kritis Merentasi kurikulum.
Pendekatan Pedagogi dan Wawasan Pendidikan Bestari. Shah Alam:
Penerbit Fajar Bakti.
Abdul Razaq Ahmad dan Andi Suwirta. 2007. Sejarah dan Pendidikan Sejarah:
Perspektif Malaysia Dan Indonesia. Bandung: Historia Utama Press
Anuar Ahmad, Siti Haishah Abd. Rahman & Nur Atiqah T. Abdullah.(2009). Tahap
Keupayaan Pengajaran Guru Sejarah dan Hubungannya dengan
Pencapaian Murid di Sekolah Berprestasi Rendah. Jurnal Pendidikan
Malaysia. 34(1) (2009): 53-66, Fakulti Pendidikan, UKM
Bahagian Pembangunan Kurikulum, Kementerian Pelajaran Malaysia
Hartini Husain. 2006. Pencapaian dan Sikap Pelajar dalam Mata Pelajaran
Sejarah Menerusi Pengajaran Berbantukan Komputer. Tesis Sarjana.
Fakulti Pendidikan. UKM.
Ismail Said. 2009. Pembelajaran Koperatif Sekolah Rendah. Shah Alam: Karisma
Publication Sdn Bhd
Ismail Said. 2010. Pengajian Sosial 1.Shah Alam, Karisma Publication Sdn Bhd

Norashikin Nawi, dkk.


245
Lee Bin Hii. 2013. ICT dan Pengajaran-Pembelajaran Sejarah di Sekolah.
Seminar Pendidikan Sejarah dan Geografi. Pulau Pinang: Universiti
Sains Malaysia.
Mohamad Johdi Salleh. 2007. Guru Efektif dan Peranan Guru dalam Mencapai
Objektif Persekolahan Sekolah Rendah: Perspektif Guru Besar, Seminar
Penyelidikan Institut Perguruan Batu Lintang, Sarawak.
Mohammad Johdi Salleh dan Ariegusrini. 2009. Transfromasi Pengajaran dan
Pembelajaran Sejarah. Penerbitan bersama: Fakulti Pendidikan,UKM
dan FKIP Universiti Riau.
Mohd Risaudin.2012. Persepsi Pelajar Orang Asli Terhadap Mata Pelajaran
Sejarah: Kajian di Sekolah Menengah Kebangsaan Tengku Indera Petra
(1). Kelantan: Fakulti Pendidikan, UKM.
Renuka Ramakrishnan, Norizan Esa dan Siti Hawa Abdullah. T.th. Penggunaan
Sumber Digital dalam Kalangan Guru Sejarah. Pulau Pinang: Universiti
Sains Malaysia.
Renuka Ramakrishnan, Norizan Esa dan Siti Hawa Abdullah. T.th. Kesan
Penggunaan Sumber Digital Sejarah Terhadap Amalan Pemikiran
Sejarah. Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia.
Siti Haishah Abd Rahman.2008. Pencapaian Akademik dan Etnisiti: Satu Kajian
bagi Mata pelajaran Sejarah di Malaysia. Kuala Lumpur: KPM.
Tally, B., & Goldenberg, L. B. 2005. Fostering Historical Thinking with Digitized
Primary Sources. Journal of Research on Technology in Education. 38(1),
1-21.
Yong Shu Lan.2013. Gabungan Pendekatan Konstruktivisme dan Behaviourlisme
bagi Meningkatkan Prestasi Mata Pelajaran Sejarah Tingkatan Tiga. Kota
Kinabalu, Sabah.
Zaliza Zali. 2004. Pembinaan dan Penilaian Berbantukan Komputer Bagi Mata
Pelajaran Sejarah Tingkatan Satu. Projek Sarjana. UKM Sabah.

Norashikin Nawi, dkk.


246
OBYEK BERSEJARAH, JATI DIRI BANGSA
DAN KETAHANAN NASIONAL
Muhammad Zaenal Arifin Anis
mzarifinanis@unlam.ac.id

I. PENGANTAR 
Ketika membaca judul yang  ditawarkan oleh  panitia untuk pertemuan
kademik di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) memori saya langsung
bekerja mencari informasi tentang sesuatu di Banjarmasin yang dapat
mendukung judul tersebut.  Tiba-tiba  terlintas  nama-nama jalan seperti Jalan.
Akhmad Yani, Jalan Gatot Subroto, Jalan Kolonel Sugiono Jalan S. Parman,
Jalan Brigjen Hasan Basery, Jalan Zapri ZamZam, Jalan  Lambung Mangkurat,
Jalan Ratu Zaleha, Jalan Sultan Adam dan Panglima Batur. Selain nama-nama
jalan terlintas juga nama Universitas Lambung Mangkurat, Sekolah Tinggi Sultan
Adam, Pasar Antasari, Gedung Suriansyah, Lapangan Murjani, Bandara
Syamsuddin Noor, Rumah Sakit Ansari Saleh dan masjid Hasanudin setelah itu
baru terlintas obyek bersejarah. Obyek bersejarah di Banjarmasin dan sekitarnya
berupa bangunan bersejarah seperti Masjid Jami, Masjid Suriansyah, gereja
maupun bangunan perkantoran, makam pahlawan Pangeran Antasari,
monumen 17 Mei, makam Brigjen Hassan Basry, makam Syekh Arsyad Al
Banjary, taman pahlawan, monumen-monumen dan lain  sebagainya.

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia-Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Muhammad Zainal Arifin Anis dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Lambung Mangkurat.
Muhammad Zaenal Arifin Anis
247
Fenomena serupa  ditemui  di  kota-kota  di  Indonesia  seperti  Tugu
Monas, Patung Tujuh Pahlawan Revolusi, Patung Sudirman, Patung Diponegoro,
museum, masjid Demak dan juga di luar negri seperti Patung Emilio Zapata di
Mexico, Patung Jose Rizal di Filipina Patung Otto van Bismarck, Patung Sadam
Husein, Patung Serdadu Tidak Dikenal di Rusia dan sebagainya.
Kembali ke Banjarmasin, bagi sebagian besar orang fenomena tentang
nama–nama tokoh dan benda-benda sebagai obyek sejarah yang menghiasi
kota memunculkan pertanyaan bersifat kronikel (apa, siapa, di mana, kapan
dan bagaimana) atau pertanyaan bersifat analitik yaitu kenapa harus itu.
Tampaknya hal tersebut harus diserahkan kepada sejarah sebagai ilmu dalam
menjawab pertanyaan yang bersifat kronikel dan analitik. Akan tetapi, sejarah
oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Anggapan
tersebut ada benarnya, sebab apabila terjadi pergantian pemerintahan yang
sering kita dengar adalah pernyataan-pernyataan tentang perlunya pelurusan
sejarah. Dalam konteks demikian sejarah masuk dalam ruang politik.
Memang, sejarah menjadi fenomena umum yang diperebutkan oleh
mereka yang ingin mengendalikan untuk kepentingannya, berbeda dengan
sejarawan yang berkarya dengan nuraninya. Bagi yang berkuasa, sejarah yang
telah dipolitisasi direkayasa untuk kepentingan tertentu, sedangkan sejarawan
yang idealis sangat dibatasi geraknya oleh sumber yang diperolehnya melalui
metoda sejarah, kecanggihan dalam menerapkan metodologinya, dan bahkan
hasilnya dapat mempertanyakan keabsahan sang penguasa.
Membincangkan sejarah, menurut Taufik Abdullah (2001:103) akan
selalu berhadapan dengan tiga dimensi sejarah sekaligus, yaitu berita tentang
pikiran, disiplin  ilmu  dan  rekonstruksi  peristiwa.  Rekontruksi  peristiwa  dalam
konteks ini, bersentuhan dengan disiplin ilmu sebab berurusan dengan metoda
dan metodologi. Perumpamaannya, setelah data dan fakta direkontruksi nama-
nama  seperti  Akhmad Yani, Gatot Subroto, S. Parman, Sugiono adalah pahlawan
nasional dari militer dan dari Jawa. Antasari, Brigjen K.H. Hassan Basery
pahlawan nasional dari Kalimantan (Banjar), sedangkan nama Lambung
Mangkurat, Ratu Zaleha, Pangeran Samudra, Zapri Zamzam, Pangeran

Muhammad Zaenal Arifin Anis


248
Suriansyah dan Junjung Buih adalah nama tokoh primordial dalam memori
masyarakat Banjar.
Persoalannya, dimana pikiran dalam sebuah fenomena sejarah? Apa
fungsi nama-nama tokoh sejarah nasional maupun lokal yang diabadikan menjadi
nama-nama jalan,  bangunan-bangunan, patung,  monumen-monumen  di Kota
Banjarmasin dan apa hubungannya dengan jati diri dan ketahanan nasional?
Pertanyaan di atas menjadi relevan untuk dilontarkan pada masa kini,
karena ada keresahan yang melanda sebagian orang dari bangsa ini tentang
menurunnya nasionalisme di kalangan msyarakat.
 
II. PENCIPTAAN PAHLAWAN NASIONAL DARI BANJARMASIN
Nama–nama yang disebutkan terdahulu merupakan nama-nama
tokoh yang  telah  hadir dalam cerita-cerita  tentang  kepahlawanan  dari  masa
zaman Banjar kuno (sekitar abad XIV), Abad XIX, zaman kemerdekaan, sampai
zaman gerakan mahasiswa tahun 1966. Apabila dicermati, nama tokoh pahlawan
yang menghiasi kota Banjarmasin dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu
kategori pahlawan nasional dan pahlawan lokal (primordial). Hanya ada dua
orang pahlawan nasional berasal dari Kalimantan Selatan, yaitu Pangeran
Antasari yang makamnya sekarang berada dekat Masjid Jami dan Brigjen Hassan
Basery yang makamnya di luar kota Banjarmasin. Pangeran Antasari dan Brigjen
Hassan Basery merupakan dua tokoh emperik dan hero yang hidup berbeda
masa akan tetapi memiliki kesamaan, yaitu pelawan terhadap penjajah.
                 Pangeran Antasari sebagai pelawan  terhadap  penjajah merupakan 
contoh tentang penerimaan sejarah, bahwa perlawanannya terhadap penjajah
dapat menjadi bagian dari sejarah nasional. Perlawanan yang digerakan
Pangeran Antasari juga merupakan model sebagai muasal dari nasionalisme.
Pendapat ini  diperkuat  Kuntowijoyo (1994: 41), perlawanan terhadap penjajah
itulah yang menjadikan gerakan itu sebagai nasionalisme tingkat awal. Konsep
nasionalisme awal hanya bisa ditafsirkan dengan memahami jiwa zaman.
Misalnya, masuknya kolonialisme pada wilayah primordial tertentu mempurukan
tatanan nilai yang amat mereka junjung tinggi sebagai cita-cita budaya dari

Muhammad Zaenal Arifin Anis


249
anggota komunitasnya. Keterhimpitan sosial yang diderita diyakini oleh mereka
sebagai akibat dari ulah kolonialisme yang kafir.
Merupakan kewajaran apabila Pangeran Antasari ditampilkan sebagai
tokoh kharismatik yang berperan sebagai penjaga nilai dan dianggap mampu
membawa ke cita-cita budaya yang diidealkan oleh masyarakat Banjar pada
masa itu. Untuk menggapai cita-cita budaya, mau tidak mau mereka harus
melawan kolonial. Dalam konteks ini, perlawanan untuk menggapai cita budaya
menjadi simbol dari nasionalisme (Kuntowijoyo, 1994: 44).
                Proses nasionalisme memang sangat panjang akan tetapi bergerak
perlahan dan pasti. Proses ini memperlihat hasilnya, ketika nasionalisme berubah
menjadi gerakan sosial yang asosianalisme sampai kemerdekaan yang berakhir
menjadi negara nasional. Dalam arti lain, nasionalisme bergerak dari tafsiran
budaya secara primordial ke arah cita-cita kebangsaan. Nasionalisme sebagai
cita-cita ditempatkan dengan landasan rasionalisme dan dijadikan sebagai
ideologi.  Dari sini kita juga melihat terjadinya kesepakatan kekuatan politik untuk
mendirikan Negara Indonesia  dan militer sebagai penjaga  negaranya.
                 Membincangkan dominasi pahlawan dari kalangan militer kita harus
menepis anggapan umum, bahwa dominasi militer dibangun pada masa-masa
Orde Baru melainkan sejak masa sebelumnya. Keberadaan militer yang berkaitan
dengan peran sosialnya sudah dimulai pada masa demokrasi terpimpin. Menurut
Bambang Purwanto (2006: 214) selain banyaknya anggota TNI yang diangkat
menjadi gubernur dan bupati di seluruh Indonesia, sebanyak 35 orang dari 283 orang
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang diangkat oleh Presiden
Soekarno pada tahun 1960 adalah anggota TNI. Keperluan keberadaan militer untuk
negara itupun terungkapkan dalam sebuah puisi karya penyair Khairil Anwar yang
berjudul “Krawang dan Bekasi”. Isi dari puisi memberikan ruang wacana tentang
pentingnya militer bagi bangsa Indonesia jika ingin tetap merdeka dan eksis.
Kedepannya terjadi diskusi yang menarik terkadang juga
membingungkan tentang nasion yang tidak identik dengan bangsa. Adalah
Mochtar Pabotinggi (Anderson, 2002: xvii) yang diilhami bukunya Ben Anderson
yang membedakan bangsa dan nasion. Hematnya bangsa adalah kolektivitas
sosiologis, sedangkan nasion adalah kolektivitas politik.

Muhammad Zaenal Arifin Anis


250
Penjelasannya, bahwa bangsa padanannya adalah populus yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah rakyat. Nasio di sisi lain lebih
dipandang dalam arti komunitas yang baru menjadi political setelah melalui
proses konstruksi social menjadi komunitas politik terbayang, begitulah
pandangan Pabotinggi (Ibid:xix) Benedict Anderson (Nordholt (ed.), 2005; 383),
ketika menganalisa perkembangan sejarah sistem politik Indonesia, ia melihat
pergeseran dari negara ke bangsa dan kembali lagi ke negara. Bagi Anderson
bangsa merupakan suatu komunitas yang sangat kuat solidaritas sosialnya.
Anderson melihat bangsa menekankan politik-politik partisipasi dengan tujuan
suatu mobilisasi massa.
Pada  periode ini  Brigjen  Hassan Basery  sebagai  pemimpin Divisi  IV
ALRI berkiprah sebagai agen sejarah untuk membangun nasionalisme guna
membebaskan rakyat Kalimatan dari penindasan pendudukan Belanda. Pada
akhirnya, kita ketahui wilayah Kalimantan minus Serawak dan Brunai menjadi
bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah memang agak terlambat mengangkat Brigjen Hassan Basry
sebagai pahlawan nasional ketimbang pahlawan nasional lainnya. Almarhum
Brigjen Hassan Basery ditetapkan menjadi pahlawan nasional pada tanggal 3
November 2001 semasa Megawati Soekarnoputri menjadi Preisiden Republik
Indonesia (Hassan Basery, 2003: 100). Kenapa pemerintah terlambat
memberikan predikat mendiang Hassan Basery sebagai pahlawan nasional?
Pertanyaan ini mungkin bukan wewenang saya untuk menjawabnya. Biarkan
saja pertanyaan itu terlintas sesaat dan bergulir entah kemana, yang pasti
mendiang Brigjen Hassan Basery sudah diangkat menjadi pahlawan nasional
dan tentunya kita sebagai urang Banjar sedikit bangga, karena dari sederet
nama pahlawan nasional terselip juga putra terbaik dari banua Banjar.
Pengangkatan pahlawan nasional di republik yang kita cintai ini dimulai
oleh mendiang presiden pertama Indonesia, yaitu Soekarno yang sangat perduli
akan sejarah bangsanya. Kecintaan Bung Karno terhadap sejarah bangsa terlihat
ketika ia mengutip pandangan Reenan, bahwa bangsa dan tanah air bukan
terjadi begitu saja, tetapi bermuasal dari pengakuan dari pergolakan pemikiran
intelektual yang sengaja diciptakan (Abdullah, 2001: 34).

Muhammad Zaenal Arifin Anis


251
Pandangan ini oleh Benidict Anderson (2002) disebut sebagai
komunitas-komunitas terbayang (imagined communities). Ketika Bung Karno
berhasil mengintrodusir rasa kebangsaan, Bung Karno membuat jargon terkenal,
yaitu bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.
Hal ini yang membuat mendiang Presiden Soekarno merasa perlu untuk
mengangkat pelawan-pelawan terhadap penjajah menjadi pahlawan nasional.
Menurut Schreiner (2005: 384) pengangkatan tokoh sejarah menjadi
pahlawan nasional diawali ketika Presiden Soekarno pada Desember 1957
mengeluarkan dekrit tentang penghormatan pada hari peringatan pertempuran
10 November 1945 di Surabaya.Tahun 1958, Soekarno mengeluarkan
Keputusan Presiden No.241 tahun 1958 tentang prosedur menyeleksi dan
menetapkan pahlawan-pahlawan nasional.
Kriteria pahlawan menurut Keputusan Presiden tahun 1958 adalah
sebagai berikut.Pahlawan Kemerdekaan Nasional adalah seseorang yang
semasa hidupnya terdorong oleh rasa cinta tanah air sangat berjasa dalam
memimpin suatu kegiatan yang teratur guna menentang penjajahan di Indonesia,
melawan musuh dari luar negeri ataupun mereka yang berjasa dalam lapangan
politik, ketata negaraan, sosial ekonomi , kebudayaan, maupun dalam lapangan
ilmu pengetahuan yang erat hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan
dan perkembangan Indonesia (dalam Schreiner: 385).
  Ketika Indonesia terlibat konfrontasi dengan Malaysia (1964), mendiang
Presiden Soekarno merevisi konsep pahlawan. Pahlawan menurut hasil revisi
tahun 1964 adalah sebagai berikut:
1. Warga Negara Republik Indonesia yang gugur karena tindakan
kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan jasa
perjuangannya dalam suatu tugas untuk membela negara dan bangsa
2. Warga  Negara  Republik  Indonesia  yang  masih  diridhoi  dalam
keadaan hidup sesudah melakukan tindakan kepahlawanannya yang
cukup membuktikan pengorbanannya dalam suatu tugas perjuangan
untuk membela negara dan bangsa dan yang dalam riwayat hidup
selanjutnya tidak ternoda oleh suatu tindakan yang menyebabkan
menjadi cacat nilai perjuangan karenanya (Ibid:386).

Muhammad Zaenal Arifin Anis


252
Pada   era  Presiden  Soeharto  berkuasa,  ia  mengangkat  pahlawan-
pahlawan primordial dari daerah-daerah luar Pulau Jawa. Semisal Sultan
Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro dan
Pangeran Antasari dari Kalimantan Selatan. Pengangkatan tokoh-tokoh hero
primordial ini secara esensi untuk mengimbangi banyaknya pahlawan nasional
yang diangkat dari Jawa. Katakan saja, kebijakan pengangkatan pahlawan dari
daerah pada masa itu dapat dianggap sebagai sudah tercapainya integrasi
nasional secara penuh. Dalam arti lain, Pangeran Antasari bukan saja pahlawan
dan milik Orang Banjar, akan tetapi ia juga pahlawan milik bangsa Indonesia,
begitu juga kebalikannya. Dalam bahasa lain, hampir di seluruh wilayah Indonesia
akan terdapat pahlawan-pahlawan nasional.
Kemudian nama-nama pahlawan nasional tersebut disebarkan
menjadi dalam ingatan kolektif rakyat Indonesia semenjak pemerintah
menetapkan mereka sebagai pahlawan nasional dan nama pahlawan nasional
diabadikan menjadi nama-nama jalan, nama-nama gedung sebagai asesoris
sebuah kota. Penghargaan kepada pahlawan nasional diasakan dapat
membantu dalam membentuk kesadaran politik dan sejarah bangsa Indonesia.
Tidak cukup dengan itu, untuk mengontrol bangsa dalam konteks ini
adalah rakyat, negara menciptakan ritual-ritual politik. Menurut Terue Sekimoto
ritual politik itu sebagai medium penghubung antara negara dan bangsa
(Schreiner:405). Ritual politik yang sangat tampak adalah pada acara peringatan
10 November. Peringatan 10 November semasa pemerintahan Soekarno ditandai
dengan rapat-rapat masal dan Soekarno tampil dengan pidato-pidato yang
memikat layaknya seperti burung merak atau bisa seperti flamboyan. Pada masa
Orde Baru peringatan 10 November dibuat lebih formal dan harus dilaksanakan
di seluruh pelosok negeri.
Di Banjarmasin peringatan 10 November, di setiap instansi melakukan
upacara kemudian biasanya dilanjutkan dengan ziarah ke makam Pangeran
Antasari. Dalam satu sisi ziarah ke makam pahlawan merupakan bentuk
penghargaan kita kepada orang yang dihormati, tetapi di sisi lain khususnya dari
sudut pandang politik memperlihatkan betapa kuatnya negara ketimbang
bangsa.

Muhammad Zaenal Arifin Anis


253
III. JATI DIRI BANGSA OBYEK SEJARAH DAN OBYEK BERSEJARAH
Konsep jati diri bangsa dapat disandingkan dengan identitas bangsa.
Unsur sangat penting dalam jati diri bangsa adalah kesadaran sejarah.
Kesadaran sejarah sangat diperlukan sebagai penanda atau pembeda yang
membedakan satu  bangsa  dengan  bangsa  lainnya.  Mungkin  perlu  saya
ketengahkan pernyataan seorang pakar tentang suatu bangsa yang tidak memiliki
kesadaran sejarah berpotensi menjadi bangsa yang lemah dan mudah dijajah
dengan berbagai modus, yaitu politik, ekonomi dan budaya (Sedyawati 2006:
384). Tidak terbayangkan apabila suatu bangsa tidak mempunyai identitas maka
akan mudah tergusur atau terbius pengaruh bangsa lain.
Membincangkan jati diri bangsa, sebagaimana dikemukakan Edi
Sedyawati (2006: 379): jati diri suatu bangsa dalam berbagai skala ditentukan
oleh dua hal, yaitu (1) warisan budaya yang berupa hasil-hasil penciptaan di
masa lalu; dan (b) hasil-hasil daya cipta di masa kini yang didorong, dipacu
dimungkinkan oleh tantangan dan kondisi aktual dari zaman sekarang.
Pandangan Edy Sedyawati sebagai seorang arkeolog mempunyai
kesamaan obyek, tetapi obyek sejarah dengan penekanan sejarah pada waktu.
Sejarah membincangkan seluruh aspek kehidupan manusia yang diikat dalam
kurun waktu. Lantas apa yang disebut obyek bersejarah? Ada orang yang terkecoh
atau tidak dapat membedakan antara obyek sejarah dan obyek bersejarah. Obyek
sejarah seperti dipaparkan di atas, sedangkan obyek bersejarah adalah
tinggalan-tinggalan karya manusia dalam kurun waktu tertentu, ruang aktivitas
manusia pada masa lampau yang dalam bentuk benda disebut artifak, bisa pula
berupa foto-foto atau alat-alat peninggalan manusia. Dalam tulisan ini diartikan
makam pahlawan, makam ulama, kerabat istana, masjid dan sebagainya.
Obyek bersejarah di Kalimantan Selatan pada masa klasik diwakili oleh
situs Candi Laras di Margasari dan Candi Agung di Amuntai. Kedua candi ini
disebut-sebut dalam Hikayat Banjar. Candi Agung oleh banyak orang disebut
memiliki hubungan dengan Majapahit. Apabila kita mengacu pada pandangan
umum, bahwa adanya hubungan Candi Agung dengan Majapahit maka Candi
Agung berdiri pada Abad XIV,sedangkan usia Candi Laras usianya lebih tua.

Muhammad Zaenal Arifin Anis


254
Akan tetapi menurut penelitian Balai Arkeologi Banjarmasin (Balar)
berdasarkan hasil analisis laboratories melalui radiokarbon C 14 terhadap
sample kayu dari areal teras candi, yaitu abad ke-8 Masehi (Vida Pervaya, 2005:
59). Sedangkan di Candi Laras ditemukan prasasti batu hitam dengan aksara
Pallawa (abad 7-9 Masehi) berbunyi jaya sidda. Selain itu ditemukan arca
perunggu Buddha Dipangkara. Arca ini berukuran tinggi 21 cm lebar 8 cm dalam
posisi berdiri dengan jubah berlipat-lipat menutupi bahu kiri. Arca ini disinyalir
berasal dari Srilangka (Ibid:57). Kedua candi itu memberikan informasi, bahwa
budaya klasik di Kalimantan Selatan berkembang seiring dengan masa kejayaan
budaya klasik di Jawa Tengah.
Obyek bersejarah masa Islam yang paling banyak terdapat di
Kalimantan Selatan dibandingkan dengan masa sebelumnya. Menurut catatan
sejarah di Kalimantan Selatan terdapat sebuah kerajaan, yang dalam arsip
Belanda disebut dengan Kerajaan Banjarmasin atau lebih dikenal dengan
sebutan Kerajaan Banjar dan 3 kerajaan kecil, yaitu Pagatan dan Koesan, Batu
Licin dan Sigam serta Koesan. Menurut penelitian Balai Arkeologi Banjarmasin
yang dimulai pada tahun 1994 telah mengiventarisir obyek bersejarah Islam
yang tersebar di Kabupaten Banjar, Kabupaten Kotabaru, Hulu Sungai Utara
dan Kabupaten Tabalong.
Obyek bersejarah di Kabupaten Banjar seperti yang saya kutip dari
tulisan Bambang Sakti Wiku Atmojo (2006:36-38) terdiri dari makam Sultan
Inayatullah, Sultan Adam, Masjid Jami peninggalan Syekh Abdulhamid Abulung
(1885). Kedua sultan itu merupakan sultan Banjar yang saat itu ibukota kerajaan
Banjar sudah dipindahkan dari Banjarmasin ke Martapura. Adapun Abulung yang
memiliki nama panjang, yaitu Syekh Abdulhamid Abulung yang pandangan
sufistiknya berseberangan dengan Syekh Arsyad Al Banjari seorang ulama
kerajaan yang sangat tersohor keilmuwannya.
Makam tokoh baik yang berhubungan dengn keluarga istana maupun
ulama terdatakan juga oleh Balai Arkeologi (Balar). Katakan saja makam-makam
ulama yang sangat terkenal yang karyanya banyak dibaca oleh orang Malaysia
dan muslim Thailand, yaitu Syekh Arsyad Al Banjary, Syekh Abdulhamid Abulung
dan seorang mufti (hakim) dari kerajaan Banjar bernama K.H. Jamaluddin Sugi

Muhammad Zaenal Arifin Anis


255
Mufti. Panglima Batur, Pangeran Antasari, Hasanuddin Banjarmasin, makam
Dartu Sanggul di Tapin, makam Penghulu Rasyid dan K.H Lukman Hakim di
Tabalong, komplek makam Haji Japeri di Barito Kuala.
Keberadaan masjid juga tidak luput dari penelitian Balar. Masjid Sultan
Suriansyah di kelurahan Kuin Utara Kecamatan Banjar Utara. Mesjid Jami di
Jalan Sulawesi peninggalan abad XVIII yang sudah beberapa kali direnovasi.
Besar kemungkinan masjid ini merupakan masjid pertama di Banjarmasin.
Dalam sisi lain, masjid Sultan Suriansyah merupakan simbol, bahwa agama
Islam mulai diformalkan dan dijadikan agama negara Kerajaan Banjarmasin.
Dalam arti lain, secara informal agama Islam sudah masuk dan dianut sebagian
penduduk di wilayah ini.
Di Tabalong terdapat masjid yang bernama Masjid Pusaka yang berasal
dari abad ke XIX (1815-1820), Masjid pusaka Banua Lawas di Kecamatan Banua
Lawas. Di Amuntai terdapat juga masjid tua yang dibangun pada abad XIX yaitu
Masjid Agung Amuntai yang terdapat di Amuntai.
Selain masjid, Balar meneliti bentuk rumah-rumah adat yang rata-rata
dibangun pada Abad XIX. Rumah-rumah tersebut adalah rumah Bubungan
Tinggi, Balai Laki, Balai Bini dan Cacak Burung di Kecamatan Cempaka, rumah
adat Bubungan Tinggi, Gajah Baliku dan Gajah Manyusu di Teluk Selong dan
sebagainya. Kajian Balar Banjarmasin pada obyek-obyek bersejarah baik yang
bersifat teknologis, fungsi dan makna simbolik diharapkan dapat mengungkapkan
pencapaian yang telah dikaryakan oleh orang Banjar pada masa lalu. Bukankah
nasional terbangun oleh keberadaan regional-regional. Dalam artian mengetahui
tentang Banjar berarti juga mengetahui tentang Indonesia. Bisa juga, tidak
mengetahui tentang Banjar berarti tidak mengetahui tentang Indonesia.
Makam pahlawan, ulama, keluarga istana pada masa lalu yang terdapat
di Banjarmasin ataupun di Martapura dan sekitarnya bukan melulu sebagai
asesoris kota. Melainkan sengaja dibangun untuk menanamkan kesadaran
sejarah atau mungkin kesadaran politik generasi penerus terutama di kalangan
pelajar agar menjadi bangsa yang kuat dan martabat sehingga mampu bersaing
dengan bangsa lain.

Muhammad Zaenal Arifin Anis


256
 IV. PENUTUP
                Dari judul dan narasi di atas isinya memperkuat argumentasi, bahwa
obyek bersejarah dapat membantu pemahaman terhadap jati diri bangsa. Salah
satu unsur penting dalam jati diri suatu bangsa adalah kesadaran sejarah secara
subyektif. Dalam arti kata masa lampau yang dikaji bukan demi pengetahuan itu
sendiri, tetapi sebagai suatu simbol yang dapat diadakan untuk masa kini.
Katakan saja, keberadaan Candi Laras, Candi Agung, makam dan Masjid
Suriansyah merupakan simbol keagungan, keterbukaan, keberagamaan
merupakan personifikasi urang Banjar dalam arti yang sempit dan personifikasi
bangsa Indonsia dalam arti yang luas.
                Makam Pangeran Antasari, makam Brigjen K.H. Hassan Basery dan
nama-nama pahlawan nasional dari luar Banjarmasin, khususnya Jawa
merupakan simbol kepahlawanan dalam melawan dan mengusir penjajah
dengan segenap hambatan fisik maupun psikis untuk mencapai kemerdekaan.
Akhirnya, saya mengakui obyek-obyek  bersejarah  apabila ditafsirkan
secara ideologis tampaknya upaya negara dalam membangun warisan kultural,
penghormatan atas para pahlawan, kesamaan norma sudah dilakukan secara
intens. Dalam kata lain, pascareformasi gerakan pemisahan seperti GAM, neo
RMS dan pertentangan antar etnik seperti kasus Dayak versus Madura di
Kalimantan, Konflik Poso dan lainya tampak sudah  berakhir. Artinya, kesatuan
nasional sudah terjalin kembali. Persoalannya nasionalisme harus ditafsirkan
tidak semata membuka masa lalu yang mendukung ideologi politik yang sedang
berkuasa, melainkan ideologi yang berbasiskan kepada kepentingan rakyat
banyak yang bercita-cita akan hidup yang lebih layak, sehingga Indonesia sebagai
negara yang kita cintai bukan sebagai suatu keutopian. Semoga.
 
KEPUSTAKAAN
Abdullah, Taufik. 2001. Nasionalisme & Sejarah. Bandung: Satya Historika.
Atmojo, Bambang Sakti Wiku, 2006. Hasil Penelitian Arkeologi Islam di
Kalimantan yang Dilaksanakan Balai Arkeologi Banjarmasin Sampai
Dengan 2005" dalam Naditira Widya Bulletin Arkeologi, No.15 April 2006.
Banjarmasin: Balai Arkeologi Banjarmasin.

Muhammad Zaenal Arifin Anis


257
Basry. Hassan. 2003. Kisah Gerilya Kalimantan Periode 1945-1949.
Banjarmasin: Yayasan Bhakti Banua.
Kuntowijoyo, 1994. Demokrasi & Budaya Birokrasi. Yogyakarta: Bentang.
Sedyawati, Edi.2006, Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.
Jakarta;  Rajawali Pers. 
Purwanto, Bambang, 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris. Yogyakarta:
Ombak.
Schreiner, H Klaus. 2005. Penciptaan Pahlawan-Pahlawan Nasional dari
Demokrasi  Terpimpin sampai Orde Baru 1970-an dan 1980-an’ Dalam 
Nordholt, Henk Schulte (ed.), Outward Appearances. Yogyakarta: LKiS.
Kusmartono, Vida Pervaya Rusianti,2005. Candi Laras dan Candi Agung:
Kronologi dan Kontak Budaya Masa Klasik dalam Naditira Widya Buletin
Arkeologi, No.14.

Muhammad Zaenal Arifin Anis


258
PENERAPAN NILAI PATRIOTISME MENERUSI
PENDIDIKAN SEJARAH
Ahmad Ali Seman, Raidah Rasyidah Makhtar, Musni Awatif Mustaffar,
Anis Farhana Izani, Fathilah Akmal Ismail
Corresponding author: anss_91@yahoo.com

PENGENALAN
Pemupukan semangat patriotisme dalam kalangan warganegara
Malaysia adalah bertujuan untuk mewujudkan dan menyemai semangat
ketahanan diri, berani, bersemangat wira dan dapat menyumbang kepada
kepentingan bangsa dan juga negara. Semangat patriotisme penting dalam
usaha untuk mencorakkan semangat baru masyarakat Malaysia dan generasi
muda yang kian berubah ekoran daripada peredaran masa sehingga
menyebabkan ketandusan nilai dan semangat patriotisme. Pengertian umum
yang dapat diberikan tentang patriotisme ialah perasaan cinta kepada tanah air.
Perasaan ini pula merupakan satu pancaran sikap, perlakuan dan dijelmakan
dalam bentuk perlambangan. Bendera dan lagu kebangsaan adalah unsur yang
paling asas dan disanjung tinggi sebagai lambang kemegahan negara kita.
Ukuran patriotisme pula cukup subjektif dan amat luas ertinya.
Patriotisme bukan isu politik atau gimik dan tidak sekadar semangat semata-
mata tetapi ia merupakan suatu perkara yang bersifat spiritual, rasa kecintaan
yang kekal dan tebal kepada negara yang merangkum nilai kesungguhan,
keyakinan, keberanian dan kesinambungan. Dengan perkataan lain, patriotisme
bukan hanya diucap dengan kata-kata sahaja namun ianya merupakan sesuatu

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia-Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Ahmad Ali Seman, dkk.


259
perkara yang boleh dirasai oleh setiap warganegara Malaysia. Nilai-nilai
semangat kenegaraan harus diberi penekanan yang sewajarnya supaya
semangat kenegaraan ini akan terus subur dan utuh serta mencambahkan lagi
semangat cintakan tanah air yang secara tidak langsung akan mewujudkan
kesanggupan golongan belia untuk berkorban jiwa dan raga.
Dalam pendidikan, salah satu matlamat penting dasar pendidikan
negara adalah untuk mewujudkan suatu identiti bangsa atau sebagai alat untuk
pembinaan bangsa. Pendidikan Sejarah dapat memainkan peranan sebagai
alat pembinaan bangsa apabila digunakan dengan efektif dan
bertanggungjawab. Menurut Mok Soon Sang (2011), selain daripada
perkembangan potensi individu secara menyeluruh dan seimbang, adalah
diharap juga, melalui proses pendidikan, Malaysia dapat mencapai matlamat
pendidikannya seperti melahirkan rakyat yang bertanggungjawab dan boleh
memenuhi kewajipannya sebagai seorang warganegara, melahirkan rakyat yang
taat setia kepada Raja dan cinta kepada negara, melahirkan rakyat yang
memahami serta mengamalkan prinsip-prinsip Rukun Negara dan bersikap
toleransi, demi wujudnya perpaduan rakyat berbilang kaum dan sebagainya
(Chua Kheng Hoe, 2007).
Dalam hal ini, Voss (1997) menekankan bahawa mata pelajaran sejarah
boleh dijadikan medium mendidik pelajar mengenai nilai-nilai murni melalui
refleksi dan pengajaran yang diperoleh hasil daripada pembelajaran mengenai
peristiwa silam. Pendidikan sejarah ialah asas penting dalam pembinaan bangsa
Malaysia. Mempelajari sejarah bukanlah semata-mata untuk mendapatkan
pengetahuan tetapi ia turut boleh dijadikan sebagai garis panduan dan menjadi
iktibar kepada sesuatu bangsa tentang apa yang telah berlaku. Apa yang berlaku
perlu dinilai semula bagi tujuan merancang perubahan masa depan (Hazri,
2003). Oleh sebab sejarah memberikan banyak pengajaran yang berkait dengan
jatuh bangunnya sesuatu bangsa dan negara. Maka, Sejarah patut dijadikan
garis panduan untuk pembinaan semula kedudukan dan kekuatan bangsa dan
Negara (Chua Kheng Hoe, 2007). Pemupukan dan penghayatan nilai-nilai
patriotisme telah bermula sejak daripada sekolah rendah. Menurut Buku
Panduan Pemupukan Patriotisme Di Sekolah Rendah (Kementerian Pendidikan
1994), nilai-nilai patriotism perlu diterapkan melalui kurikulum dan kokurikulum.
Oleh itu, subjek seperti Bahasa Melayu, Pendidikan Islam, Pendidikan Moral,

Ahmad Ali Seman, dkk.


260
Kajian Tempatan dan lain-lain subjek sekolah rendah perlu diterapkan dengan
nilai-nilai patriotisme yang disepadukan melalui topik dan tema yang diajar.
Begitu juga melalui kokurikulum seperti aktiviti sukan, lawatan sambil belajar
dan sebagainya. Manakala di peringkat menengah pula, penerapan nilai-nilai
patriotism dibuat melalui subjek sejarah, Pendidikan Moral dan Sivik, Geografi
dan subjek-subjek lain.
Proses pendidikan sudah mencecah hampir 13 tahun, walau
bagaimanapun ternyata penghayatan semangat patriotisme dalam kalangan
pelajar masih lagi longgar dan berada pada tahap sederhana. Oleh itu, menjadi
cabaran kepada para guru pada hari ini untuk menerapkan nilai patriotisme
menerusi pendidikan sejarah. Hal ini kerana matlamat akhir pengajaran dan
pembelajaran sejarah ialah untuk menerapkan semangat dan nilai patriotisme
dalam kalangan pelajar terhadap segara (Ku Hasnita dan Mohd Haizam, 2011).
Guru bukan setakat untuk mengajar bagi meningkatkan pencapaian akademik
semata-mata sahaja tetapi lebih daripada itu dimana guru-guru berperanan
penting dalam membina dan membangun potensi diri terutama sahsiah, nilai
dan akhlak pelajar. Peranan guru sebagai pemupuk nilai dalam pengajarannya
adalah cukup penting. Pemupukan semangat patriotisme ini sangat penting
untuk memantapkan diri pelajar dari segi ketahanan mental, fizikal dan emosi
yang akan membolehkan seseorang itu mampu dan berupaya menghadapi
segala masalah dan cabaran yang dihadapinya. Lemahnya nilai patriotisme
dalam diri pelajar akan memberi kesan kepada semangat juang dan semangat
jati diri pelajar menyebabkan ada sesetengah daripada mereka mudah
menyerah kalah dan tunduk kepada sesuatu tekanan (Abd. Rahim, 1999).
Unsur-unsur patriotisme yang diterapkan di sekolah-sekolah dianggarkan
mampu merapatkan jurang yang sedia ada kepada satu perasaan cinta yang
kuat terhadap tanah air dan sanggup berkorban demi mempertahankan
kepentingan negara untuk keperluan bersama tanpa mengira perbezaan kaum
dan agama (AbdSukor, 2003).

PEMUPUKAN PATRIOTISME
Semangat patriotisme amat penting dalam konteks negara Malaysia
yang memiliki masyarakat yang berbilang kaum. Semangat patriotisme ini bukan
sahaja untuk memperbaiki dan meningkatkan semangat perpaduan dan juga

Ahmad Ali Seman, dkk.


261
intergrasi dalam kalangan rakyat yang berbilang bangsa sahaja bahkan terdapat
beberapa kepentingan lain yang perlu dititikberatkan. Antara kepentingannya
adalah semangat patriotisme di kalangan rakyat adalah untuk memupuk dan
mengekalkan semangat cinta akan negara. Dengan wujudnya semangat cinta
terhadap negara, pasti negara akan terus mengecapi keharmonian dan
kesejahteraan yang membawa kepada kesepaduan rakyat yang utuh. Pengaruh
daripada luar akan mengambil kesempatan atas kelemahan semangat patriotik
yang ditonjolkan oleh warganegara kita dan dengan itu sudah pastinya negara
dan masyarakat kita akan mudah ditakluki oleh pemikiran luar bahkan boleh
mengundang kepada kegoyahan keamanan negara.
Semangat patriotisme juga penting sebagai pemangkin kepada
kemajuan negara. Dimana, apabila rakyat mempunyai semangat patriotisme,
rakyat akan bekerja kuat untuk memajukan negara.Sekaligus,ianya dapat
menyumbang ke arah pembangunan negara. Semangat patriotisme akan
menjadikan keadaan negara aman damai dan ini pastinya akan mendorong
lebih ramai pelabur asing untuk membuka perniagaan di Malaysia.
Sesungguhnya, kedatangan pelabur asing ini akan membuka peluang pekerjaan,
menaikkan lagi taraf hidup rakyat dan seterusnya negara kita akan terus maju.
Semangat patriotisme juga penting sebagai asas kekuatan diri individu
khususnya golongan belia di negara kita. Semangat patriotisme dalam diri
golongan belia amnya dapat mencorak daya ketahan dan semangat yang tinggi
untuk mendaulatkan bangsa dan juga negara. Dengan itu, semangat patriotisme
sememangnya tidak boleh dipandang sebelah mata sahaja memandangkan
semangat inilah yang mampu membangkitkan semangat dan keyakinan untuk
terus mempertahankan negara di mata dunia. Berdasarkan kajian lepas masalah
disiplin remaja yang semakin meruncing juga adalah salah satu akibat daripada
terhakisnya semangat patriotisme dalam kalangan remaja itu sendiri (Rosyidah
Muhamad). Malah, menurut Rokiah Haji Ismail (2000), Kementerian Pendidikan
Malaysia telah mengeluarkan laporan tentang salah laku pelajar remaja. Laporan
Disiplin Pelajar Sekolah Menengah (Kementerian Pendidikan Malaysia 1991)
menyatakan bahawa sesetengah pelajar bukan sahaja berani melanggar disiplin
sekolah, malah terdapat segelintir yang terlibat dalam kegiatan jenayah seperti
mengambil dadah, memeras ugut, kongsi gelap, cabul kehormatan, tunjuk tunjuk
perasaan dan bertaruh. Akibat dari pada lunturnya semangat patriotisme

Ahmad Ali Seman, dkk.


262
menyebabkan pelbagai gejala tidak sihat berlaku dalam negara malah ia akan
menjejaskan kestabilan sesebuah Negara (Rosyidah Muhamad).

CABARAN PENERAPAN NILAI PATRIOTISME


Pendidikan sejarah membawa kita mengenal akar umbi ketamadunan
bangsa, manakala sejarah moden tanah air yang berkembang pula mampu
memupuk semangat identiti dan jati diri yang kukuh. Maka, tidak hairanlah kini
pendidikan Sejarah telah mula mendapat perhatian yang lebih khusus, malahan
kesedaran akan kepentingan mata pelajaran Sejarah dalam memupuk
keperibadian kebangsaan dan perpaduan masyarakat semakin jelas. Guru pula
bertanggungjawab menjadi agen dalam menyampaikan hasrat pemupukan
patriotism kepada pelajar. Namun demikian, bukan mudah bagi guru untuk
menjayakan hasrat pemupukan patriotism ini dengan adanya cabaran-cabaran
yang perlu dihadapi bukan sahaja dari faktor luaran tetapi juga merangkumi
kelemahan pendidikan sejarah itu sendiri.
Cabaran pertama bagi guru untuk memupuk semangat patriotism
melalui pendidikan sejarah dalam kalangan pelajar ialah kebanjiran guru bukan
opsyen dimana terdapat banyak sekolah yang masih mengalami masalah
kekurangan guru di dalam subjek tertentu, sehingga menyebabkan guru bukan
opsyen diminta memikul tanggungjawab untuk mengajar mata pelajaran yang
bukan dalam kepakaran mereka. Guru bukan opsyen mungkin sahaja boleh
mengisi kekosongan dan keperluan mata pelajaran itu, tetapi mungkin gagal
menyampaikan sesuatu ilmu itu dengan berkesan. Justeru, disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan mengenai subjek yang terpaksa diajar, guru-guru
cenderung untuk menjadi kurang berkeyakin ketika mengajar. Hal ini sekaligus
boleh mendatangkan masalah apabila pelajar pula menjadi kurang bermotivasi
dalam mempelajari sejarah. Bukan semua guru boleh mengajar sejarah.
Kadang-kadang guru yang mempunyai opsyen sejarah sendiri juga gagal untuk
menjalankan sesi P&P mata pelajaran sejarah dengan berkesan menyebabkan
guru bersikap acuh tidak acuh dalam melaksanakan proses pengajaran dan
pembelajaran. Hal ini akan menghasilkan pengajaran yang tidak konduktif dan
tidak efektif. Kesannya, harapan untuk memupuk semangat patriotisme dalam
kalangan pelajar melalui pendidikan sejarah juga tidak akan kesampaian.

Ahmad Ali Seman, dkk.


263
Cabaran guru yang seterusnya dalam proses pemupukan patriotism
melalui pendidikan sejarah juga disebabkan oleh kurangnya penghayatan dalam
kalangan guru itu sendiri. Guru merupakan agen perubahan yang menyumbang
kepada pembangunan modal insan negara yang berkualiti. Oleh itu, guru perlu
sentiasa bersedia dan ikhlas dalam melaksanakan tugas sebagai jaminan untuk
menghasilkan rakyat yang berfikiran matang dan mempunyai nilai-nilai murni
dan semangat patriotism yang boleh dicontohi kepada para pelajar. Dalam
konteks pendidikan, Siti Salwa dan Azlina (2014) bersetuju bahawa guru, yang
digelar ‘Duta Ilmu’ seharusnya menjadi suri teladan kepada murid di sekolah.
Penghayatan apa sahaja nilai yang positif seharusnya tidak boleh dipandang
remeh oleh guru kerana murid sentiasa melihat guru sebagai “role model” apabila
berada di sekolah (Abdul Rahim&Azharul Nizam 2010). Perubahan yang berlaku
kepada murid dari aspek prestasi juga dipengaruhi oleh penghayatan yang
ditunjukkan oleh guru (Mohamad Khairi et al. 2012). Ini membuktikan guru perlu
sedar tentang kepentingan menerapkan nilai murni ke jiwa murid semasa
melaksanakan proses pengajaran dan pembelajaran di sekolah.
Kekangan masa juga menjadi cabaran bagi guru dalam pemupukan
semangat patriotism melalui pendidikan sejarah dalam kalangan pelajar.
Tanggungjawab harian guru pada masa kini bukan lagi sekadar mengajar tetapi
termasuklah menyiapkan tugas bukan akademik yang lain dan akhirnya
menyumbang kepada beban tugas yang meningkat. Beban tugas yang dirasakan
terlampau banyak memberi tekanan kepada guru itu sendiri. Fenomena ini secara
tidak langsung boleh mengakibatkan motivasi guru untuk menyampaikan
pengajaran dengan berkesan dalam kelas terjejas (Norashid & Hamzah 2014).
Ekoran daripada beban tugas yang bertambah, kajian Ainudin dan Abdullah (2013)
mendapati guru kelihatan kurang menekankan penerapan nilai semasa mengajar
kerana sibuk menghabiskan sukatan kurikulum sehinggakan mereka terlepas
pandang tentang aspek kurikulum tersembunyi iaitu proses memasukkan nilai-
nilai murni ke dalam tajuk yang disampaikan. Seterusnya, beban tugas
mengakibatkan guru kurang fokus kepada matlamat pengajaran yang sebenar
(Kamaruzaman 2007) dan secara tidak langsung kepuasan kerja tidak dapat
dicapai kerana pengagihan tugas yang tidak tepat (Jafri et al. 2010).
Seterusnya ialah cabaran pelajar dan masyarakat itu sendiri mempunyai
semangat patriotism yang kurang dalam diri sendiri. Hal ini menyebabkan cabaran

Ahmad Ali Seman, dkk.


264
kepada guru sejarah itu sendiri untuk menerapkan semangat patriotisme
menerusi pendidikan sejarah. Hal ini kerana apabila guru mengajar subjek
sejarah, pelajar akan mula merasa bosan dan kurang berminat terhadap mata
pelajaran tersebut. Mereka akan mula membuat hal masing-masing dan tidak
menumpukan perhatian sepenuhnya ketika guru mengajar. Dengan itu, sukar
bagi para guru untuk menerapkan semangat patriotism jika para pelajarnya
tidak memberikan perhatian ketika guru mengajar dan juga tidak memberikan
kerjasama kepada guru. Contohnya, ketika guru mengajar mengenai peristiwa
13 Mei, ada pelajar yang endah tak endah sahaja ketika sesipengajaran dan
pembelajaran. Seharusnya para pelajar perlu memberi perhatian dan
menunjukkan minat yang mendalam kerana melalui pembelajaran peristiwa
tersebut, terdapat banyak nilai yang boleh diambil contoh dan teladan untuk diri
sendiri, masyarakat dan juga kepada negara mengenai hubungan kaum dan
toleransi antara kaum. Melalui pembelajaran tema tersebut, guru dapat
menerapkan nilai patriotism yang perlu ada kepada seorang pelajar seperti
sayangkan negara, menghormati kaum lain dan kekurangan penghayatan nilai-
nilai patriotism inilah antara penyebab pelajar menjadi mangsa kepada pelbagai
penyakit sosial.
Nilai patriotisme pelajar yang masih hambar dan berada pada tahap
yang membimbangkan juga turut dikhuatiri oleh pelbagai pihak dimana hal ini
juga termasuk dalam cabaran yang perlu diatasi bagi memastikan usaha
pemupukan nilai-nilai patriotik dalam diri pelajar dapat disemaiamnya melalui
eleman pendidikan sejarah. Isu-isu semasa, masalah politik negara dan juga
isu-isu politik lain menjadi penghalang kepada pemupukan nilai patriotisme
dalam jiwa masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan kejadian-kajian yang amat
memilukan seperti tindakan memijak bendera, membakar bendera dan hal ini
sekaligus memberi cabaran besar kepada guru dalam memupuk dan
menerapkan nilai patriotisme dalam kalangan pelajar memandangkan pelajar
merupakan generasi yang akan memerintah dan mentadbir negara di masa
hadapan.
Salah satu cabaran negara untuk menjadi sebuah negara maju
menjelang tahun 2020 adalah untuk melahirkan masyarakat yang bermoral dan
beretika. Bagi merealisasikan aspirasi negara, kemantapan dan kemurnian
sistem pendidikan negara merupakan asas yang perlu diberi keutamaan. Hasrat

Ahmad Ali Seman, dkk.


265
ini terkandung dalam Falsafah Pendidikan Kebangsaan iaitu untuk melahirkan
insan yang seimbang dan harmonis dari segi jasmani, emosi, rohani dan intelek
berdasarkan kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan (Pusat Perkembangan
Kurikulum, 2005). Nilai-nilai murni dapat dipupuk secara formal dan tidak formal.
Masyarakat dan anggota keluarga memainkan peranan penting dalam
pemupukan nilai dan sahsiah individu yang positif secara tidak formal. Walau
bagaimanapun, pemupukan nilai ini akan lebih terarah jika disampaikan melalui
sistem pendidikan formal yang jelas strukturnya (Pusat Perkembangan Kurikulum,
2005) [Mohamad KhairidanAsmawati, 2010].
Cabaran seterusnya dalam pemupukan semangat patriotism dalam
kalangan pelajar melalui pendidikan sejarah ialah aspek pengalaman guru itu
sendiri. Aspek pengalaman mengajar juga merupakan satu aspek yang sering
dikaji dalam kajian-kajian amalan pendidikan. Sebagai contoh, hasil kajian Mead
(2003) mendapati guru tidak mampu untuk menerapkan nilai murni kerana
kurang berpengalaman dalam melaksanakannya. Selain itu, kajian Muhd Nor
Mahmud (1994) berkaitan dengan pelaksanaan perubahan kurikulum geografi
KBSM mendapati guru yang mempunyai pengalaman mengajar kurang daripada
10 tahun mempunyai sikap yang lebih positif terhadap perubahan kurikulum
geografi berbanding guru yang mempunyai pengalaman mengajar lebih daripada
10 tahun. Manakala kajian Rosenholtz (1984) mendapati guru yang mempunyai
pengalaman mengajar lima tahun ke atas lebih berkesan berbanding guru yang
mernpunyai pengalaman mengajar kurang dari tiga tahun. Begitu juga dalam
kajian yang dijalankan di negara barat menunjukkan bahawa bilangan tahun
pengalaman mengajar mungkin mempengaruhi pandangan guru tentang
amalan-amalan di sekolah. Bennet et al. (dalam Tor Geok Hwa, 2003) mendapati
bahawa guru yang lebih berumur berpegang kepada pandangan yang lebih
tradisional terhadap gaya pengajaran. Dalam hal ini juga, Hannafin dan Freeman
(dalam Tor Geok Hwa, 2003) mendapati bahawa guru yang berpengalaman
mempunyai pandangan yang lebih objektif terhadap penguasaan pengetahuan
berbanding dengan guru yang tidak banyak pengalaman mengajar. Oleh itu,
jelas menunjukkan pengalaman mengajar di sekolah mempengaruhi seseorang
guru dalam amalan pengajaran dan seterusnya membantu dalam pembentukan
nilai patriotisma pelajar (Mohd Khairi dan Asmawati, 2010).

Ahmad Ali Seman, dkk.


266
Cabaran dalam pemupukan patriotism melalui pendidikan sejarah
juga melibatkan kelemahan kurikulum pendidikan sejarah itu sendiri. Sepanjang
pelaksanaan pendidikan sejarah, terdapat pelbagai cabaran dan halangan yang
berlaku, antaranya ialah kecenderungan tumpah tindih dalam kurikulum sejarah.
Kurikulum Pendidikan Sejarah yang digunakan sekarang masih berada pada
takuk yang lama. Hal ini demikian kerana pendidikan sejarah yang digunakan
kini dilihat lebih menyajikan rekonstruksi peristiwa dan aktiviti manusia masa
lampau yang kebanyakannya bersifat abstrak dan tidak ada bahagian yang benar-
benar kelihatan yang bertujuan untuk menekankan pemupukan semangat
patriotisme. Kelemahan tersebut bukan sahaja menyebabkan hasrat pemupukan
patriotism melalui pendidikan sejarah ini tidak tercapai malahan menyebabkan
pembelajaran sejarah di dalam kelas tidak lebih daripada aktiviti hafal-menghafal
atau terbatas kepada pengembangan ingatan sahaja. Menurut Prof. KhooKhay
Kim (1992) beliau menyifatkan pembelajaran ini sekadar menghafal dan
meluahkannya kembali di dalam peperiksaan sebagai “burung kakak tua”.
Cabaran guru yang seterusnya dalam pemupukan patriotism dalam
kalangan pelajar turut melibatkan cabaran yang berpunca daripada kelemahan
buku teks Sejarah (Sharipah Aini Jaafar dan Arba’iyah Mohd Noor). Menurut
Estiko Suparjono (1966), buku teks Sejarah memainkan peranan penting bila
mana rencana ini merupakan susunan ilmu pendidikan yang sangat berpengaruh
terhadap isi dan bentuk pendidikan di sekolah disamping untuk mengembangkan
kesedaran sejarah dan kesedaran nasional sesebuah negara. Penggunaan
bahan teks menjadi sebagai bahan pengajaran dan pembelajaran dalam
persekolahan amat penting dalam menyumbang kepada pencapaian matlamat
pendidikan di Malaysia. Oleh itu, buku teks hendaklah mengandungi nilai-nilai
yang perlu diterapkan dalam masyarakat ke arah pembinaan negara. Namun di
sini, kandungan buku teks sejarah menjadi persoalan. Hal ini demikian kerana
kebanyakan buku teks lebih menitikberatkan sejarah politik Malaysia dan kurang
menceritakan tentang peristiwa-peristiwa sejarah yang penting dan peristiwa
yang melibatkan kaum yang boleh menjadi rujukan kepada pelajar. Hal ini secara
tidak langsung akan menyebabkan pelajar dan juga pembaca yang lain gagal
untuk memahami wacana sebenar masa lampau Malaysia. Hal ini sudah tentu
menjadi penyebab mengapa patriotism gagal dipupuk melalui Pendidikan
Sejarah. Selain itu, topik penubuhan Persekutuan Malaysia juga didapati berat

Ahmad Ali Seman, dkk.


267
sebelah terhadap Semenanjung Malaysia. Sumbangan oleh pemimpin Sabah
dan Sarawak tidak diiktiraf. Proses rundingan antara pemimpin-pemimpin
Persekutuan Tanah Melayu, Sabah dan Sarawak yang amat penting dan
mencabarkan tidak diteliti dan dibincang dengan secukupnya. Hal ini memberi
gambaran palsu kepada pembaca sehinggakan pembentukan sebuah negara-
bangsa baru dianggap sesuatu yang mudah dan rundingan untuk membentuk
Malaysia adalah senang (Sharipah Aini Jaafar dan Arba’iyah Mohd Noor).
Selain itu, terdapat juga penggunaan ayat dalam buku teks Sejarah
yang menyinggung perasaan kaum minoriti (Sharipah Aini Jaafar dan Arba’iyah
Mohd Noor). Malaysia mempunyai penduduk yang terdiri daripada rakyat yang
berbilang bangsa seperti Melayu, Cina, India dan pelbagai lagi kaum minoriti
yang lain. Sebagai contoh, buku teks Sejarah terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka
mengandungi penggunaan ayat yang menyinggung perasaan kaum minorti.
Contohnya, buku-buku teks tingkatan Tiga dan Lima karya Ramlah Adam et.al
yang sering menggunakan perkataan “golongan imigren” dan “pendatang”
apabila merujuk kepada penghuni negara ini yang berbangsa India dan Cina.
Di gelar sebagai golongan “pendatang” sudah tentu akan membuatkan golongan
tersebut terasa walhal mereka juga rakyat Malaysia dan masing-masing memiliki
kerakyatan. Gelaran tersebut seolah-olah menggambarkan mereka hanya
golongan yang menumpang di negara ini. Hal tersebut akan menyebabkan
pemupukan semangat patriotisme tidak dapat tercapai kerana pemupukan
patriotism bukan tertumpu kepada kaum Melayu sahaja tetapi pemupukan
tersebut perlu meliputi seluruh warga Malaysia.
Cabaran guru yang seterusnya dalam memupuk semangat patriotism
dalam kalangan pelajar melalui pendidikan sejarah yang seterusnya ialah kerana
pemupukan patriotism tidak sepenuhnya berlaku dalam kelas dan bergantung
kepada aktiviti pembelajaran dalam kelas sahaja tanpa melibatkan aktiviti lain.
Dengan hanya bergantung harap kepada guru dalam memupuk semangat
patriotism dalam kalangan pelajar melalui pendidikan sejarah sahaja merupakan
satu perkara yang sangat mencabar. Hal ini demikian kerana pemupukan
patriotism dalam kalangan pelajar bukan satu perkara yang mudah tambahan
lagi dalam kalangan pelajar yang berbilang bangsa. Oleh hal yang demikan,
pemupukan patriotism dalam kalangan pelajar perlulah diusahakan bersama
dengan program-program lain juga misalnya seperti program Rancangan

Ahmad Ali Seman, dkk.


268
Integrasi Murid Untuk Perpaduan (RIMUP). Program RIMUP telah dilancarkan
sebagai satu proses pemupukan semangat perpaduan dalam kaum. RIMUP
ialah satu program yang menggalakkan penglibatan masyarakat setempat, para
guru dan kerjasama murid-murid dalam kegiatan-kegiatan khas serta
penggunaan bersama kemudahan, peralatan, penggemblengan tenaga dan
kepakaran. Matlamat RIMUP adalah untuk melahirkan generasi Malaysia yang
berilmu pengetahuan, memiliki jiwa dan peribadi yang unggul, bersemangat
muhibah dan mampu menghadapi cabaran secara kolektif dan bersepadu.
Dengan adanya aktiviti-aktiviti begini tugas guru untuk memupuk semangat
patrotisme dalam bilik darjah akan menjadi lebih mudah.

PENDIDIKAN SEJARAH DAN PEMUPUKAN SEMANGAT PATRIOTISME


Sistem pendidikan merupakan salah satu cara untuk melaksanakan
proses pembudayaan masyarakat Malaysia. Oleh itu, segala dasar pendidikan
yang dirancang sejak sebelum merdeka hingga selepas merdeka seperti Penyata
Razak (1956), Laporan Rahman Taib atau Jawatan Kuasa Penyemak Dasar
Pelajaran 1960 dan Laporan Jawatan kuasa Kabinet (1974) telah dirancang
bagi tujuan perpaduan kaum. Berdasarkan kepada keperluan ini Pendidikan
Sejarah telah dipilih sebagai agen kepada pembinaan negara bangsa.
Pendidikan Sejarah menjadi garis panduan kepada pelajar yang supaya
menghormati perlembagaan negara, memupuk rasa hormat kepada bahasa
kebangsaan iaitu bahasa Melayu, agama rasmi iaitu agama Islam kerana
merekalah sebenarnya pemangkin kepada harapan negara yang akan
menyambung tapak kepimpinan negara bangsa. Berdasarkan kesemua elemen
tersebut secara tidak langsung dapat membawa kepada pemupukan patriotisme
(Ahmad Ali 2009). Oleh itu, guru-guru memainkan peranan yang penting dalam
memupuk minat di kalangan pelajar terhadap mata pelajaran Sejarah dan
seterusnya menghayati dan mengamalkan unsur-unsur patriotik dalam
kehidupan mereka. Faktor pengajaran yang lemah di sekolah turut memberi
kesan terhadap penerimaan dan gerak balas pelajar-pelajar. Menurut Haminah
(1999) dalam kajian kefahaman dan amalan pelajar terhadap nilai patriotisme
melalui Pendidikan sejarah juga mendapati bahawa majoriti pelajar masih gagal
untuk memahami lambang-lambang negara. Malah, pelajar-pelajar juga dilihat
masih bersikap ragu-ragu dalam mempertahankan negara serta kurang peka

Ahmad Ali Seman, dkk.


269
terhadap masalah dan isu negara. Manakala dari segi amalan, dapat dilihat
pelajar rata-ratanya masih lagi kurang mengamalkan nilai taat dan setia kepada
pemimpin dan negara.
Selain itu, secara umum, salah satu syarat asas untuk meneruskan
serta mengekalkan sesuatu kebudayaan adalah pendidikan. Sebagai contoh, di
Rusia, pendidikan sejarah merupakan satu isu utama dalam usaha untuk
pemindahan nilai-nilai patriotisme kepada pelajar. Guru merupakan orang yang
bertanggungjawab untuk menanam nilai patriotisme sebagai cara untuk
pengukuhan komunisme. Bukan itu sahaja, sekolah menjadi asas bagi menanam
kesetiaan kepada negara dan sayangkan negara sehingga pelajar sanggup
mempertahankan negara mereka. Mereka percaya guru dan sekolah perlu
didedahkan dengan sejarah dan nilai negara. Guru perlu mendedahkan pelajar
nilai kebanggaan kepada negara (Azwani et al 2011). Pendidikan sejarah juga
berperanan dalam meningkatkan sosialisasi dan kesedaran politik disamping
mengukuhkan semangat patriotisme yang mana merupakan salah satu aspek
yang penting dalam pembentukan warganegara. Kesedaran terhadap warisan
sejarah dan masa lalu penting dalam pembentukan generasi yang cintakan
negara. Pendidikan sejarah memainkan peranan yang penting dalam
meningkatkan semangat patriotisme dan perasaan bangga terhadap negara.

KESIMPULAN
Matlamat dan wawasan membina Malaysia sebagai negara maju
sepenuhnya menjelang tahun 2020 mestilah berasaskan kepada penyatuan
dan perpaduan rakyat yang kukuh dan padu. Menurut Buku Panduan Pemupukan
Patriotisme Di Sekolah Rendah (Kementerian Pendidikan: 1994), nilai-nilai
patriotisme perlu diterapkan melalui kurikulum dan ko-kurikulum. Oleh itu, subjek
seperti Bahasa Melayu, Bahasa Cina, Bahasa Tamil, Pendidikan Moral,
Pendidikan Islam, Kajian Tempatan dan lain-lain subjek sekolah rendah, perlu
diselitkan dengan nilai-nilai patriotisme yang disepadukan melalui topik yang
diajar. Begitu juga melalui ko-kurikulum seperti aktiviti sukan, lawatan sambil
belajar dan sebagainya. Manakala di peringkat menengah pula, penerapan
nilai-nilai patriotisme dibuat melalui subjek Sejarah, Pendidikan Moral, Geografi,
Pendidikan Islam dan subjek-subjek yang lain (Rizal Uzir: 2002). Hal ini
menunjukkan pemupukan patriotisme telah bermula daripada sekolah rendah

Ahmad Ali Seman, dkk.


270
lagi. Akan tetapi, penghayatan nilai patriotisme dalam kalangan pelajar masih
pada tahap yang sederhana.
Nilai-nilai patriotisme merupakan sebahagian daripada nilai-nilai murni,
dimana ianya boleh menyumbang kepada pembentukan generasi yang
berhemah tinggi dan mempunyai akhlak yang mulia. Kekurangan penghayatan
nilai-nilai patriotisme akan menyebabkan pelajar menjadi mangsa kepada
pelbagai penyakit sosial. Sikap berpuak-puak dan bermusuhan sesama sendiri
boleh menghancurkan semangat patriotisme sekaligus mencambahkan. Dengan
wujudnya semangat perkauman dan sikap toleransi antara kaum yang sukar
diwujudkan. Selain itu, sikap individu dan materialistik juga antara punca yang
menyekat kepada perkembangan semangat patriotisme. Era kepesatan ekonomi
masa kini seolah-olah menarik seluruh tenaga dan fikiran umum ke arah yang
bercorak materialistik (Nazri Muslim ). Hal ini disebabkan masyarakat kita pada
masa kini lebih memikirkan kemewahan dan kesenangan dalam hidup
berbanding dengan penerapan nilai-nilai murni yang boleh meningkatkan lagi
semangat patriotisme yang kian luntur keadaan persekitaran juga boleh
memberikan implikasi yang negatif kepada pelajar dalam penerapan nilai
patriotisme. Dalam keadaan masyarakat yang sedang bergolak dengan pelbagai
masalah sosial, hal ini mudah mendatangkan kesan yang negatif kepada pelajar
kerana pelajar merupakan golongan yang mudah dipengaruhi maka, tanpa
bimbingan yang betul mereka mudah menjadi sasaran.
Cabaran yang datang pada alaf baru ini amat merunsingkan kerana
terdapat unsur-unsur tekanan daripada yang kuat terhadap yang lemah, golongan
remaja perlu mempunyai semangat cinta kasih yang ketat dan kental kepada
negara selain bersemangat setia pada negara. Tanpa semangat patriotisme,
kemungkinan negara ini satu hari nanti tidak akan wujud lagi dan hanya menjadi
satu daerah yang kecil dalam dunia. Apabila ini berlaku, sukar bagi rakyat
mempunyai semangat patriotisme terhadap negara kerana negara tidak wujud
lagi. Oleh itu, Guru memainkan peranan utama dalam menentukan keberkesanan
dan kejayaan usaha penerapan unsur-unsur patriotisme di sekolah terutamanya
guru-guru yang mengajar mata pelajaran sejarah. Hal ini kerana guru-guru
sejarah memainkan peranan yang sangat penting dalam memupuk minat di
kalangan pelajar terhadap mata pelajaran sejarah dan seterunya menanam,
menghayati dan mengamalkan unsur-unsur patriotic dalam kehidupan mereka.

Ahmad Ali Seman, dkk.


271
Guru yang dapat menunjukkan kualiti pengajaran yang baik, mementingkan
kemajuan dan pencapaian pelajar, dapat menjadikan pengajarannya menarik
minat dan disukai pelajar. Ini merupakan aset yang penting kepada sekolah
(Chua Kheng Hoe, 2007).
Kandungan kurikulum sejarah memberi penekanan kepada
pengetahuan tentang sejarah negara dan nilai-nilai yang dapat memupuk
semangat patriotisme. Hal ini kerana melalui matlamat pengajaran dan
pembelajaran yang terdapat di dalam sukatan mata pelajaran sejarah adalah
untuk melahirkan pelajar yang mempunyai nilai dan kesedaran patriotisme
terhadap negara serta untuk menjadi seorang warganegara yang patriotik. Oleh
itu, ianya menjadi tanggungjawab seorang guru untuk mendidik dan menerapkan
para pelajarnya mengenai nilai-nilai patriotisme yang boleh didapati melalui
pembelajaran peristiwa-peristiwa sejarah yang terdapat di dalam buku teks. Hal
ini bermakna guru sejarah berperanan sebagai pembentuk generasi masa depan
yang menjadikan sejarah sebagai panduan dan iktibar dalam kehidupan generasi
akan datang (Anuar Ahmad, 2009). Oleh itu usaha penerapan nilai patriotisme
dalam kalangan pelajar menerusi pendidikan sejarah tiada noktahnya. Walaupun
terdapat pelbagai cabaran yang dihadapi oleh guru dalam usaha menerapkan
nilai patriotisme dalam kalangan pelajar menerusi pendidikan sejarah, ianya
tetap menjadi tugas guru sebagai seorang guru sejarah. Ringkasnya, penerapan
nilai patriotisme menerusi pendidikan sejarah dilihat sebagai landasan terbaik
dalam melahirkan pelajar yang memahami pentingnya integrasi dalam
masyarakat berbilang kaum ini.

RUJUKAN
Abd Sukor bin Yusof. 2003. Pemupukan Semangat Patriotisme Di Kalangan
Pelajar Sekolah Menengah Menerusi Pengajaran dan Pembelajaran
Sejarah: Satu Kajian Kes Tingkatan Dua. Tanjong Malim: Universiti
Pendidikan Sultan Idris.
Ahmad Ali Bin Seman. 2009. Pemupukan Patriotisme Melalui Pendidikan
Multicultural dalam Pendidikan Sejarah di Malaysia: Satu Tinjauan
Perspektif. Jurnal Ilmu-ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial, 1 (2): 28-49.

Ahmad Ali Seman, dkk.


272
Anuar Ahmad, Siti Haishah Abd Rahman, Nur Atiqah T. Abdullah. 2009. Tahap
Keupayaan Pengajaran Guru Sejarah dan Hubungannya dengan
Pencapaian Murid di Sekolah Berprestasi Rendah. Jurnal Pendidikan
Malaysia 32(1), 53-66.
Chua Kheng Hoe. 2007. Pembangunan Patriotisme Dalam Pengajaran dan
Pembelajaran Mata Pelajaran Sejarah Tingkatan Dua: Perbandingan
Antara Empat Jenis Sekolah. Tesis, Universiti Teknologi Malaysia.
Haminah Binti Suhaibo. 1999. Kefahaman dan Amalan Unsur Patriotisme Melalui
Mata Pelajaran Sejarah di Sekolah Menengah Atas Kuching. Kuching.
Unit Sejarah, Maktab Perguruan Batu Lintang.
Haminah Suhaibo. 2010. Pemupukan Patriotism dalam Pendidikan Sejarah
Tingkatan 1. Jurnal Penyelidikan IPG KBL, Jilid 9.
Kamarol Baharen Mohd Rom. Johan @ Eddy Luaran. 2013. Peranan Kepimpinan
Guru Mempengaruhi Keberkesanan Pengajaran dan Pembelajaran
Sejarah Dalam Iklim Bilik Darjah. Fakulti Pendidikan: Universiti Teknologi
MARA.
Kosterman, R. & Feshbach. 1989. Towards A Measure Of Patriotic And
Nasionalistic Attitudes. Journal Political Psychology, 10.
Ku Hasnita Ku Samsu dan Mohd Haizam Mohd Nor. 2011. Kepentingan
Pendidikan Patriotisme Terhadap Warganegara Malaysia. Jati, Vol. 16,
December 2011.
Mohamad Khairi Othman. Asmawati Suhid. 2010. Peranan Sekolah dan Guru
dalam Pembangunan Nilai Pelajar Menerusi Penerapan Nilai Murni:
Satu Sorotan. MALIM SEA Journal of General Studies.
Mok Soon Sang. 2011. Pedagogi Untuk Pengajaran Pembelajaran. Selangor:
Penerbitan Multimedia.
Noorhasliza Mohd Nordin, Mohd Mahzan Awang. 2014. Penerapan
Nasionalisme Dalam Pendidikan Sejarah. 23rd Conferrence Of The
International Association Of Historians Of Asia 2014. Vol 5.
Nugent, J.K. 1994. The Development Of Childrren’s Relationship With Their
Country. Children’s Environment, 11.

Ahmad Ali Seman, dkk.


273
Piaget, J. & Weil. 1951. The Developement In Children Of The Idea Of The
Homeland And Of Relation To Other Countries. International Social
Science Bulletin, 3.
Rokiah Haji Ismail. 2000. Salah Laku di Kalangan Pelajar Sekolah Menegah, di
dalam Abdul Rahman Embong, Negara, Pasaran, dan Pemodenan
Malaysia. Bangi: UKM.

Ahmad Ali Seman, dkk.


274
PERKEMBANGAN TOLERANSI KAUM DI
MALAYSIA
Abdul Aziz Abdul Rahman
Corresponding author: abdulazizar113@gmail.com

PENGENALAN
Dalam masyarakat majmuk (multi rasial) dan ledakan maklumat tanpa
batas, ada sahaja anasir yang cuba menangguk di air keroh bagi menimbulkan
pertentangan dan menimbulkan perpecahan melalui media yang paling mudah
dan cepat disebarkan iaitu media sosial, hingga timbul provokasi, fitnah dan
sikap prejudis yang boleh mencetuskan jurang yang kian melebar antara kaum.
Kunci kepada perpaduan ialah perkongsian, persamaan hak dan keadilan.
Namun begitu dalam konteks masyarakat masa kini, terdapat masyarakat dan
komuniti tertentu menuntut agar mereka diberikan hak yang lebih dan mengatasi
kaum lain hingga boleh menimbulkan masalah adaptasi sosial dan pertikaian
yang tidak berkesudahan. Padahal dalam cabaran kelima Wawasan 2020 telah
dinyatakan bahawa masyarakat perlu bertolak ansur terhadap amalan budaya
dan agama kaum lain tanpa sebarang prasangka dan ketidakpuasan hati.
Cabaran besar yang perlu diatasi oleh rakyat Malaysia ialah bagaimana
untuk membuang prasangka negatif terhadap kaum lain dan sedia bersama-
sama membangunkan negara sebagai satu bangsa tanpa sebarang batas ras,
kaum, agama dan keturunan. Persoalan siapa penduduk asal tanah ini tidak lagi
perlu dibangkitkan, kerana masing-masing telahpun menerima kontrak sosial yang

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia-Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Abdul Aziz Abdul Rahman


275
terakam dalam sejarah antara pemimpin pelbagai kaum di Tanah Melayu unruk
berkongsi sebuah negara yang sama dan mewujudkan kehidupan yang harmoni.
Rakyat Malaysia mengamalkan nilai-nilai murni yang telah diperakui dan diterima
umum iaitu : (a) mengelakkan sebarang konflik, (b) tidak menggunakan kekerasan
dan (c) bertindak secara rasional melalui proses rundingan. Semua rakyat Malaysia
sedar dan tahu akan perbezaan yang wujud namun hal tersebut bukan halangan dan
rintangan untuk membangunkan negara maju yang berdaya saing dan beridentiti
nasional, asalkan semua kaum juga sedia menyesuaikan diri, bersikap kompromi,
menghargai kaum lain dan beradaptasi secara harmoni dengan unsur kebudayaan
kaum lain (Wan Hasan Wan Othman, 1992; Mansoor Mohd Noor, 1997).

MODEL TOLERANSI KAUM


Dunia pada masa kini tidak lagi menyaksikan wujudnya sebuah negara yang
mempunyai masyarakat tunggal. Kegiatan penghijrahan besar-besaran akibat dasar-
dasar kolonial, perang saudara, mala petaka alam dan pemerdagangkan manusia,
menyaksikan bangsa-bangsa lain atau etnik yang berbeza telah berintegrasi dalam
masyarakat tempatan samada diterima ataupun tidak hingga lambat laun akhirnya
perkara ini tidak lagi boleh dihalang dan disekat. Negara Malaysia juga menghadapi
realiti yang sama kerana terdapat lebih 200 suku kaum di Malaysia hingga tanpa
adanya kawalan kendiri dan luaran, tentu sekali isu yang kecil boleh diperbesarkan
hingga mencetuskan perbalahan dan konflik. Malaysia merupakan sebuah negara
moden, pelbagai kaum dan budaya tetapi masih kekal aman dan harmoni tanpa
sebarang konflik atau ketegangan yang serius hingga boleh menimbulkan rusuhan,
perpecahan atau darurat. Keadaan ini memang mengejutkan banyak pihak
terutamanya dunia luar, yang menyaksikan kebijaksanaan rakyat dan kerajaan dalam
menguruskan kepelbagaian yang ada dengan pendekatan yang sederhana iaitu
mengukuhkan semangat toleransi antara kaum.
Gagasan konsep Bangsa Malaysia sebagaimana yang diutarakan dalam
Wawasan 2020 adalah kemuncak kepada semangat toleransi yang mahu digerakkan
hingga akhirnya nanti setiap rakyat bertolak ansur untuk tidak lagi mengutamakan
kebangsaan sempit tetapi konsep bangsa yang merangkumi semua etnik di negara
ini. Menurut Wan Hassan Wan Othman (1992) toleransi antara kaum bermula dengan
sikap menerima dan dapat menyesuaikan diri dengan unsur kepelbagaian yang
wujud tanpa sebarang kebimbangan dan kerisauan.

Abdul Aziz Abdul Rahman


276
Manakala Mansor Mohd Noor (1997) pula menilai erti kompromi
(persetujuan untuk proses rundingan dan negotiatif) dalam menangani pelbagai
isu adalah titik penting bagi mengelakkan perbalahan antara kaum. Menurut
Putnam (2001) melalui Teori Modal Sosialnya pula mengetengahkan keperluan
setiap kaum untuk mendapatkan pengiktirafan dan penghargaan sebagai asas
dalam proses saling mengenal, menerima dan akhirnya dapat beradaptasi
sebagai satu kelompok. Maka berasaskan beberapa pandangan di atas, beberapa
pemboleh ubah asas dalam mengembangkan sikap toleransi antara kaum
melibatkan perubahan minda dan sikap untuk menerima kepelbagaian,
menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial, memberi pengiktirafan dan
penghargaan kepada kaum lain dan beradaptasi dengan mereka dalam pelbagai
kegiatan sosial. Jadi, berasaskan pandangan tersebut, Model Toleransi Kaum
telah dibentuk, iaitu

Adopsi Sosial dalan


Pelbagai Aktiviti

Sedia Berkompromi

Mombon
Pernghargaan

Menyesuaikan
diri

Menerima
Kepelbagian

Toleransi
Kaum

Rajah 1 Model Toleransi Kaum


Sumber: Wan Hassan Wan Othman (1992), Mansor Mohd Noor (1997) dan Putnam (1998)

Abdul Aziz Abdul Rahman


277
BELIA
Di Malaysia golongan belia adalah merujuk kepada individu yang berumur
antara 15 hingga 40 tahun. Dari segi perkembangan manusia pula ialah di
peringkat 15 tahun hingga 24 tahun di mana golongan ini mengalami
perkembangan psikososial yang sangat kompleks, cenderung meneroka alam
kehidupan dan suka menguji batasan peraturan masyarakat (Abdullah Al-Hadi,
Rozumah dan Siti Nor, 1998). Belia sering menjadi fokus kerana kaitannya dengan
gambaran potensi politik dan idealisme. Apatah lagi, gaya hidup dan pemikiran
yang acapkali menentang ketetapan masyarakat sebelumnya menjadi
kebimbangan segelintir pihak. Menurut Intan Hashimah Mohd Hashim (2010),
fasa dewasa dapat dibahagikan kepada tiga kategori, di mana penamatnya ialah
datangnya ajal atau maut. Menurut beliau, kategori tersebut ialah:

Dewasa Awal Dewasa Pertengahan Dewasa Akhir


18 - 40 Tahun 41 - 65 Tahun >66 tahun

Rajah 2 Fasa Kedewasaan


Zaman dewasa awal merupakan fasa transisi dan peralihan dari zaman
kebergantungan kepada keluarga kepada zaman mula hidup berdikari,
menyelesaikan masalah dan membuat keputusan sendiri. Zaman ini seringkali
disebut dalam masyarakat kita sebagai fasa Belia. Zaman ini mereka mula belajar
menghadapi dunia dengan pengalaman yang sedikit dan banyak belajar daripada
kesilapan. Mereka mula menempatkan diri mereka dalam proses sosial dan
sentiasa inginkan penghargaan. Pada ketika ini, pergaulan mereka menjadi lebih
luas terutama setelah mendapat peluang belajar di universiti dan mendapat
tawaran pekerjaan. Mereka perlu berakomodasi dan beradaptasi dengan suasana
baru, budaya kerja baru dan yang paling penting suasana majmuk yang ada di
sekeliling mereka.

PERGAULAN SOSIAL
Dalam konteks pergaulan sosial masa kini, masih ada dalam kalangan
individu yang menonjolkan perasaan perkauman yang menebal bukan hanya
dalam ruang lingkup etnik tetapi juga perasaan kenegerian. Mereka menolak
pergaulan dengan kaum lain dan tidak menerima unsur kepelbagaian sebagai
satu elemen penting bangsa Malaysia malah yang lebih parah semangat
Abdul Aziz Abdul Rahman
278
kenegerian juga ditonjolkan sebagai satu bentuk halangan baru yang muncul
dalam masyarakat seperti semangat Kejohoran, Kelantanese dan Sarawakian.
Keadaan ini berlaku dalam pergaulan sosial dalam kalangan belia dewasa ini.
Semuanya ini kerana latar belakang pendidikan yang diterima atau asuhan dalam
persekitaran komuniti yang kental dengan semangat tersebut hingga
mengabaikan kepentingan sebagai satu bangsa yang sehati dan sejiwa.
Dalam percaturan masa kini yang melibatkan penggunaan teknologi yang
canggih serta moden ini pula, media sosial yang seharusnya menjadi
penghubung sebagai satu bangsa digunakan sebagai médium yang bersifat
negatif tujuan untuk menyebarkan dan membuat fitnah, memecahbelahkan
masyarakat, menimbulkan sentimen perkauman, provokasi akan amalan budaya
dan agama dan mencetuskan keresahan di alam maya hingga boleh
menghalang proses penerimaan dan penyesuaian sosial antara kaum.
Pemilihan pekerja juga masih berlandaskan sentimen perkauman hingga
ramai dalam kalangan belia dari kalangan kaum lain tidak mendapat tempat
dan diberi peluang. Ditambah pula dengan sikap majikan yang hanya
mementingkan kepentingan kaumnya sahaja menambahkan lagi jurang
permuafakatan di antara kaum di Malaysia. Ertinya, sikap penerimaan dan
penghargaan terhadap etnik lain masih lagi tidak berlaku di sesetengah tempat
dan organisasi. Terdapat juga institusi pengajian tinggi swasta yang
dimonopoli oleh satu-satu kaum sahaja kerana tidak mahu mendaulatkan Bahasa
Kebangsaan sebagai bahasa perantara sekaligus menyekat ribuan anak kaum
lain untuk tertarik dalam membuat permohonan hingga akhirnya menjadi sebuah
pusat pengajian tinggi yang dimonopoli oleh satu kaum sahaja.
Adakalanya langkah menyemai dan memupuk toleransi antara kaum
terjejas akibat munculnya kumpulan NGO’s yang meletakkan agenda kaum
sebagai perjuangan utama kewujudan mereka. Kebanyakan NGO’s ini
dianggotai oleh golongan belia. Mereka telah diasuh dan dibimbing untuk
mengutamakan perjuangan berteraskan kaum dan bukannya kebangsaan
hingga menyebabkan secara semberono menyentuh isu-isu sensitif di luar
kawalan malahan tanpa berfikir panjang telah bertindak di luar batas
perlembagaan dan pertimbangan nilai.
Pandangan stereotaip terhadap etnik lain juga menjadi satu masalah
yang masih lagi sukar dihapuskan di dalam masyarakat kita. Permasalahan ini

Abdul Aziz Abdul Rahman


279
bukan merupakan isu baru bahkan ianya telah terjadi sebelum negara kita
mencapai kemerdekaan lagi. Perbuatan individu tertentu dilabelkan mewakili
sesebuah etnik manakala etnik lain menjadikannya sebagai gambaran umum
tentang etnik terbabit secara keseluruhan, sebagai contohnya perbuatan samseng
dikaitkan dengan kaum Cina, sikap pemalas disinonimkan dengan orang Melayu
dan membuat bising dilabelkan kepada kaum India. Padahal sikap ini bukanlah
lambang atau cerminan kaum tetapi individu dalam masyarakat. Malahan ada
juga ahli politik yang menganggap Melayu mudah lupa, padahal semua kaum
mengalami fenomena kelupaan hatta orang barat di negara maju juga
mengalami sindrom pelupa, pemalas dan pengotor.
Sikap etnocentric juga salah satu punca menjadi penghalang
pengembangan proses toleransi dalam masyarakat golongan belia hanya
memandang tinggi nilai budaya kaum mereka dan menganggap rendah nilai
budaya kaum lain samada dari segi cara berpakaian, amalan pemakanan, cara
pertuturan, lokasi perumahan dan sebagainya. Apabila hal ini wujud, sukar bagi
mereka untuk mengiktiraf dan menghargai kaum lain sebagaimana mereka
menghargai kaum mereka sendiri.

KEMAJMUKAN BUDAYA DAN TOLERANSI KAUM


Dalam proses membina hubungan antara kaum dan membentuk toleransi
di Malaysia, maka konsep Kemajmukan Budaya telah diamalkan iaitu setiap
kaum saling menyesuaikan diri, menghormati dan mengiktiraf amalan agama
dan budaya kaum lain biarpun dalam proses dan kesedaran untuk
membangunkan satu bangsa yang memiliki identiti kebangsaan. Dalam erti kata
lain, menurut Wan Halim Wan Othman (1992), elemen etnik diterima sebagai
satu komponen dalam pembinaan Bangsa Malaysia tanpa wujudnya proses
amalgamasi (mengutamakan etnik dominan), asimilasi (identiti etnik dihapuskan),
akulturasi (perwujudan satu bentuk kebudayaan) dan proliferasi (tiada satu identiti
kaum yang ditonjolkan) tetapi lebih menjurus kepada akomodasi (penerimaan
dan pemahaman tentang unsur kemajmukan), adaptasi (penyesuaian sosial –
menghargai, menghormati dan mengiktiraf keberagaman agama, bahasa dan
budaya) serta integrasi (dapat menjadi satu bangsa yang hidup aman dan
harmoni).

Abdul Aziz Abdul Rahman


280
Dalam Sejarah moden ketika pembinaan Negara Uganda, Presiden Idi
Amin telah menyingkirkan kumpulan usahawan India yang berjaya hingga diterima
sebagai warga Great Britain, demikian juga di Vietnam selepas kekalahan
Amerika Syarikat, kumpulan kaum Cina terpaksa melarikan diri dari sentimen
kebencian kaum hingga mendapat perlindungan Malaysia di Pulau Bidong dan
peristiwa pembersihan etnik yang berlaku di Bosnia dan Republik Afrika Tengah.
Semuanya ini menggambarkan betapa penyatuan dan pembinaan negara
bangsa moden perlu mengakui dan menerima hakikat bahawa ianya perlu
terbina atas asas toleransi antara kaum (Mansor Mohd Nor, et al. 2006).
Pluraliti budaya memerlukan setiap kaum sedar akan hakikat bahawa
tiada bangsa tunggal di negara ini, tetapi yang ada ialah kemajmukan. Cuma
menjadi satu keunikan di Malaysia apabila kemajmukan yang tersedia ini telah
diterima oleh semua kaum dan telah termaktub dalam peruntukan Perlembagaan
yang dipersetujui bersama di dalam sistem Raja Berperlembagaan, yang
menjelaskan hakikat bahawa orang Melayu menerajui sistem pentadbiran
negara yang tidak boleh dipertikaikan lagi. Dalam akar umbi masyarakat, sistem
nilai setiap kaum tidak boleh dipertikaikan sebaliknya perlu saling menghormati
tanpa perlu perdebatan dan soal jawab contohnya pembinaan kandang khinzir
di kawasan tertentu, kemunculan kumpulan vegetarian dalam kalangan kaum
India atau pemilihan makanan halal oleh orang Melayu. Semuanya ini
membabitkan sistema nilai yang berteraskan agama dan budaya. Sikap toleransi
menggambarkan bahawa semua sistema nilai ini perlu dihormati, dikompromi
dan diberikan laluan tanpa adanya halangan dan sekatan, kerana tidak mungkin
sesuatu kaum dipaksakan dengan sistem nilai kaum lain. Barulah kehidupan
harmoni dan hubungan yang baik antara kaum dapat dijayakan. Penerimaan
dan saling menghormati antara satu sama lain dari pelbagai sudut amat penting
bagi merealisasikan sebuah masyarakat yang saling bertolak ansur.
Dalam erti kata lain setiap kaum bebas mengamalkan agama dan budaya
mereka serta dibenarkan menurut Perlembagaan iaitu tidak menghapuskan
sebarang akar tradisi mereka. Walau bagaimanapun, semangat kenegaraan
sebagai satu bangsa Malaysia masih lagi diperkukuhkan malah perbezaan seperti
inilah menjadi keunikan Malaysia hingga menarik hati ramai pelancong asing
untuk berkunjung ke negara ini terutama ketika musim-musim perayaan setiap
kaum menjelang, peratus kebanjiran pelancong akan meningkat daripada

Abdul Aziz Abdul Rahman


281
sebelumnya. Menurut Mariappam (1995), konsep mencairkan cara hidup dan
budaya kaum lain atau melting pot sebagaimana yang berlaku di Thailand dan
Indonesia bagi mewujudkan kebudayaan baru untuk mewakili bangsa atas
nama kenegaraan tidak dapat dilakukan kerana setiap kaum berhak untuk
mengamalkan cara hidup dan budaya mereka namun dalam masa yang sama
mencari dan menemukan bagaimana kepelbagaian kaum ini diikat oleh satu
ikatan kebersamaan dan toleransi bagi membentuk identiti nasional.

TOLERANSI KAUM
Toleransi kaum dirujuk sebagai satu hubungan antara dua sistem yang
terjadi sedemikian rupa sehingga kejadian yang berlangsung pada satu sistem
akan mempengaruhi kejadian yang berlaku kepada sistem yang lain. Ia juga
merupakan satu pertalian sosial sehingga saling mempengaruhi antara satu
sama lain. (Lee, 1985). Menurut kajian Freedman (1960) sememangnya
semangat kebersamaan dan toleransi dalam kalangan masyarakat majmuk di
Malaysia masih lagi rendah dan menjadi masalah yang mencabar pada masa
itu. Jesudason (1989) menganggap perkiraan kaum amat penting dalam
sebarang pengambilan keputusan ketika melaksanakan satu-satu dasar agar
setiap kaum mendapat hak mereka dan tidak diabaikan supaya usaha
menggerakkan toleransi dapat dibina dan dibentuk.
Sanusi Osman (1984) mengakui toleransi yang berlaku dalam masyarakat
juga mengikut strata dalam masyarakat iaitu melibatkan cara pemikiran, pola
tindakan dan cara hidup mengikut kepentingan politik, ekonomi dan sosial.
Semua rakyat Malaysia sedar akan asas kekukuhan negara dan kestabilan politik
adalah berteraskan pemeliharaan hubungan baik antara etnik. Andainya
perpaduan tidak dipelihara, jurang antara etnik kian melebar tentu sekali negara
bangsa yang dibangunkan akan berada diambang bahaya kerana boleh
menjerumuskan rakyat kepada konflik, pergolakan dan perpecahan.
Sehubungan dengan itu, usaha dan langkah ke arah membina masyarakat
Malaysia yang bersatu padu dalam konteks masyarakat majmuk yang kompleks
ini adalah satu cabaran yang perlu diatasi dan paling crucial untuk merealisasikan
negara maju pada tahun 2020.
Menurut Neena Sharma (1985) dalam masyarakat pelbagai etnik,
kesediaan untuk bertoleransi amat penting bagi mengelakkan ketegangan dan

Abdul Aziz Abdul Rahman


282
mewujudkan suasana yang baik ketika proses penyesuaian sosial. Sekitar tahun
1980-an usaha untuk melahirkan masyarakat Malaysia yang bersefahaman,
bersatupadu dan bertoleransi giat dilaksanakan melalui langkah-langkah yang
dilaksanakan oleh Jabatan Perpaduan Negara seperti melalui pembentukan
rukun tetangga dalam komuniti yang melibatkan peranan semua etnik,
penggubalan Rukun Negara dan penonjolan perkataan nasional bagi memenuhi
rupa bangsa di Malaysia. Sebagai pasak keutuhan Negara bangsa, maka
perubahan persekitaran sosial yang berlaku dalam kalangan kaum hendaklah
mengarah kepada sikap saling menghormati, menerima, menghargai dan
mengiktiraf kepelbagaian yang ada antara satu sama lain sebagai satu kekuatan
untuk menjurus kepada pembinaan, pengukuhan dan pemantapan perpaduan
kaum sekaligus menjadi tonggak utama pembinaan negara bangsa yang
bersatupadu, berdaulat dan menghayati nilai-nilai perjuangan bangsa dan aspek
kenegaraan. Segala sikap prejudis yang wujud menandakan masih wujud rasa
tidak percaya dan buruk sangka antara satu sama lain. Hal ini boleh menjadi duri
dalam daging kepada proses pembinaan satu bangsa Malaysia yang harmoni
dan saling bekerjasama. Pembinaan negara yang stabil dan kukuh tidak akan
berlaku jika dalam kalangan pemimpin dan rakyat pada peringkat akar umbi saling
memperbesarkan isu yang kecil dan melabelkan kaum lain dengan pelbagai
identiti negatif sehingga menimbulkan ketidakpuasan hati pelbagai pihak.
Dalam sebuah masyarakat yang berbilang kaum seperti Malaysia, Lee
(1990) berpendapat perlu adanya sikap saling mempercayai dan kesediaan
untuk memelihara kepentingan nasional. Demikian juga pendapat Mohd Noor
Nawawi (1990) dan Cheu Hock Thong (1995) yang melihat pembinaan generasi
muda yang lebih menghargai perpaduan dan semangat kebersamaan perlu
dipertingkatkan dalam persekitaran sosial melalui dorongan budaya positif dan
mengambil tahu antara satu sama lain. Sekaligus usaha-usaha untuk
memperbaiki hubungan diantara kaum haruslah sentiasa dititikberatkan dan
menjadi agenda utama di dalam masyarakat Malaysia.
Jika diamati, setiap kaum masih membawa haluan masing-masing
daripada pelbagai sudut seperti sejarah, pendidikan, sosial, politik, ekonomi
dan sebagainya. Boleh dikatakan kebanyakannya masih lagi bersifatkan
perkauman. Hal ini telah berakar umbi sejak dahulu lagi, sebelum, semasa dan
selepas merdeka. Menurut Abdullah Taib (1984): Apabila didikan dan asuhan

Abdul Aziz Abdul Rahman


283
cenderung mengajar belia sejak zaman kanak-kanak dan remajanya dengan
pemikiran positif terhadap kaum lain, maka nilai ini akan berkembang subur
membentuk pola perilaku yang positif untuk melibatkan diri dalam hubungan
sosial dan interaksi dengan kaum lain tanpa prejudis dan salah faham.

POLA PENYESUAIAN SOSIAL


Secara amnya, terdapat beberapa pola penyesuaian sosial yang wujud
dalam kerangka membentuk satu bangsa dan identiti yang dapat diterima
sebagai mewakili setiap etnik. Masyarakat pluraliti baharu adalah tambahan
kepada masyarakat majmuk sedia ada hasil proses pengindustrian, modenisasi
dan globalisasi. Pola penyesuaian sosial dalam masyarakat plural boleh
melibatkan beberapa bentuk iaitu:
(a) Pola segregasi: hubungan yang bersifat pemisahan di antara etnik-etnik
di dalam sesebuah negara atas faktor kawasan tempat tinggal dan
budaya yang berbeza hingga menyebabkan munculnya jurang
pemisahan dan kekangan yang besar dalam membentuk perpaduan
serta wujudnya semangat perkauman yang menebal sehingga bahasa
kebangsaan gagal untuk menembusi batas sempadan yang telah
dibentuk.
(b) Pola akomodasi: merupakan proses di mana etnik-etnik menyedari
norma dan nilai mereka antara satu dengan lain, namun mereka tetap
mempertahankan budaya hidup masing-masing tetapi lebih terbuka
serta dapat menerima kepelbagaian yang wujud. Walau bagaimanapun,
mereka hidup secara harmoni dan saling menghormati antara satu
dengan lain. Dalam perkataaan lain, akomodasi juga dikenali sebagai
situasi menang-menang (win-win situation) di mana kedua-dua pihak
yang bertentangan pendapat atau matlamat akan memperoleh faedah
daripada satu matlamat baru yang telah dibina secara bersama dan
kolektif. Sebagai contoh, di Malaysia, meskipun bahasa Melayu diiktiraf
sebagai bahasa kebangsaan, namun demikian bahasa-bahasa lain
masih boleh digunapakai selagi ia tidak bertentangan dengan prinsip
perlembagaan.
(c) Pola adaptasi merujuk kepada penyesuaian sosial yang berasaskan
pemahaman dan kesediaan untuk menghargai budaya dan perbezaan
Abdul Aziz Abdul Rahman
284
setiap etnik tanpa sebarang masalah malah turut diterima dan diamalkan
oleh etnik lain secara lazim hingga menjadi sebahagian daripada diri
mereka. Sebagai contoh makanan dan pakaian sesuatu kaum telah
dipakai dan biasa juga digunakan oleh kaum yang lain.
(d) Pola akulturasi: satu proses yang terjadi apabila manusia dalam
kumpulan minoriti menerima norma, nilai, dan pola-pola budaya
golongan majoriti sehingga adakalanya meleburkan nilai-nilai etnik
minoriti dan mengukuhkan nilai-nilai budaya kumpulan majoriti.
Proses ini merupakan proses meminjam atau menerima unsur-unsur
budaya golongan majoriti, sehingga menghakis nilai-nilai etnik. Proses
akulturasi juga boleh berlaku apabila wujud anasir luar yang
mempengaruhi sebilangan anggota masyarakat sehingga menukar
budaya kepada budaya baru yang masuk. Walau bagaimanapun
penyerapan nilai negatif ada juga berlaku dan selalunya ditolak oleh
masyarakat umum dan hanya diamalkan oleh segelintir ahli
masyarakat seperti pengaruh black metal di kalangan anak muda. Isu
penolakan atau keengganan tersebut timbul ekoran wujudnya
perasaan bahawa kebudayaan asing akan menghancurkan serta
merosakkan kebudayaan asal mereka.
(e) Pola asimilasi: Konsep ini menyatakan tentang kemasukan ke dalam
masyarakat dominan. Darjah asimilasi adalah berbeza-beza
bergantung kepada sejauh mana ciri-ciri budaya berbeza dengan
budaya kelompok dominan. Asimilasi boleh mendatangkan dua jenis
kesan yang berbeza. Pertama, kelompok masyarakat yang
diasimilasikan akan berubah menjadi satu kelompok yang baru
dengan menghilangkan kebudayaan serta identiti asalnya. Kedua,
kelompok yang diasimilasikan akan mengamalkan kebudayaan baru
yang dicipta hasil daripada percantuman budaya antara kelompok
dengan kebudayaan asalnya. Proses asimilasi boleh berlaku apabila
golongan minoriti bersedia untuk menyerap budaya golongan majoriti
dan golongan majoriti bersedia menerima golongan minoriti tersebut.
(f) Pola amalgamasi: satu proses yang terjadi apabila budaya atau ras
bercampur untuk membentuk jenis-jenis budaya dan ras yang baru.
Antara proses yang berlaku ialah kahwin campur antara etnik atau ras.

Abdul Aziz Abdul Rahman


285
(g) Pola integrasi merupakan satu lagi bentuk penyesuaian sosial yang
melibatkan gabungan, cantuman dan persepaduan elemen-elemen
etnik hingga tidak lagi diidentikkan sebagai hak milik kaum tertentu
tetapi membudaya menjadi sebahagian daripada amalan kehidupan
rakyat. Menurut Smelser (1988), integrasi ialah penyatuan antara
kelompok yang berbeza tetapi hidup di bawah sistem pemerintahan
yang sama. Setiap kelompok hidup bersama secara aman tanpa mengira
latar belakang dan bebas mengamalkan budaya masing-masing.
Integrasi boleh berlaku melalui proses akomodasi, adaptasi, akulturasi
dan asimilasi.

CABARAN DAN MASA DEPAN


Belia adalah tonggak masa hadapan negara. Mereka adalah pewaris
kepimpinan negara dan bertanggungjawab mencorakkan hala tuju bangsa
pada masa hadapan. Justeru itu, langkah strategik perlu dilakukan untuk
menanamkan dalam jiwa dan semangat golongan belia agar terus
memelihara keamanan yang kini diwarisi. Perkara-perkara sensitif berkaitan
bahasa agama dan budaya seringkali menjadi punca pertikaian dan
perbalahan. Keadaan ini perlu diberikan perhatian melalui pelbagai program
kesedaran tentang kepentingan satu bangsa Malaysia yang saling
menghormati dan dapat bekerjasama dalam menjayakan misi dan visi negara.
Golongan belia sebagai tenaga muda yang bersemangat dan mudah
dilentur perlu dilazimkan dengan amalan budaya positif tanpa memandang
kaum sebagai halangan, sebaliknya mempunyai persepsi yang lebih besar
melihat gambaran satu bangsa yang saling dapat menyesuaikan diri,
berkompromi dan beradaptasi untuk menyongsong kemajuan negara menuju
kestabilan dan perpaduan yang utuh. Ingat kata pepatah: “Tegak rumah kerana
sendi, Tegak bangsa kerana muafakat”. Membentuk sikap muafakat dan saling
bertolak ansur adalah jiwa murni yang penting untuk disemarakkan dalam
kalangan generasi muda agar budaya ini dapat menjadi kelaziman yang akan
terus dijiwai untuk mencorakkan sebuah bangsa yang berdaya saing dan
disegani pada peringkat global. Kita tidak mahu nanti, dalam proses memacu
kemajuan dan pembangunan negara, elemen kaum masih menjadi halangan

Abdul Aziz Abdul Rahman


286
dan rintangan yang boleh menggagalkan wawasan negara dan memusnahkan
keamanan yang telah dikecapi sekian lama.

KESIMPULAN
Proses akomodasi sosial penting agar golongan belia daripada
pelbagai kaum saling kenal mengenali, menerima dan memahami bahawa
mereka mempunyai perbezaan dari segi etnik, bahasa, agama dan budaya
namun perbezaan itu harus dilihat sebagai satu kelebihan untuk mewujudkan
bangsa Malaysia yang unik berbanding negara lain. Proses adaptasi sosial
merupakan langkah menyingkirkan segala persepsi negatif antara kaum, sikap
prejudis dan polarisasi ke arah pembinaan sebuah bangsa yang dapat
menyesuaikan diri dan menyerap unsur kepelbagaian dengan memilih titik
persamaan agar dapat bersama membina sebuah masyarakat yang terbuka,
harmonis dan saling mempercayai antara satu sama lain. Usaha untuk
mengukuhkan semangat toleransi, rasa kebersamaan dan semangat kesatuan
dalam sebuah negara dan bangsa memerlukan pengorbanan dan proses
integrasi antara kaum dan wilayah. Tiada lagi petempatan yang berasaskan
kaum atau bidang pekerjaan yang dimonopoli oleh sesuatu kaum.
Perancangan bandar dan perumahan negara, perlu mewujudkan demografi
yang seimbang dalam taburan petempatan agar semangat muhibbah dapat
dijiwai dalam komuniti. Demikian juga dalam petempatan pekerjaan, proses
integrasi perlu diigerakkan agar setiap kaum saling berhubung dan membina
kepercayaan sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan merdeka.
Konsep Bangsa Malaysia ialah pengiktirafan kepada aneka kepelbagaian
agama, bahasa, sistem nilai dan sosio budaya setiap kaum namun dalam masa
yang sama saling menerima perbezaan untuk mengukuhkan hubungan dan
menyesuaikan diri dalam persekitaran sosial yang majmuk sifatnya dengan setiap
kaum menghormati, menghargai kaum lain dan dapat pula berkompromi dengan
budaya kaum lain tanpa sebarang prasangka dan sentimen perkauman.
Sesungguhnya membentuk bangsa Malaysia yang bersatu padu lahir daripada
amalan toleransi yang wujud dalam kalangan pelbagai kaum. Tanpa toleransi,
impian dan harapan untuk mewujudkan sebuah negara yang aman, makmur
dan stabil tidak akan dapat direalisasikan.

Abdul Aziz Abdul Rahman


287
RUJUKAN
Abdullah Taib. 1984. Integrasi dan Polarisasi Mahasiswa Universiti di Malaysia.
Laporan Teknikal, Biro Perundingan dan Penyelidikan. Bangi : Universiti
Kebangsaan Malaysia (tidak diterbitkan).
Ahmad Fawzi Basri. 1991. Bumi Dipijak, Milik Orang. Kuala Lumpur : Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Cheu Hock Tong. 1995. National Unity in Multi Ethnic in Malaysia. Asian Profile,
23 (4): 297-314.
Freedman, M. 1960. The Growth of a Plural Society in Malaysia. Pacific Affairs,
33 (22): 158-168.
Furnivall, J.S, 1948. Colonial Policy and Practice. Cambridge: Cambridge
University Press.
Kntayya Mariappam. 1995. Micro and Macro Ethnicity: Ethnic Preferrence and
Structures in Malaysia. PhD Thesis: Bristol: University of Bristol.
Lee, R. 1985. Ethnic and Tehtnic Relations in Malaysia. Monograph Series on
Southeast Asian, 12. Northern Illinois University.
Mansor Mohd Noor. 1999. Crossing Ethnic: Borders in Malaysia. Akademia,
55(Julai): 61-82.
ohd Noor Nawawi, 1991. Ethnic, Politics in Malaysia: Emerging Trend. Plural
Societies, 20: 56-68.
Neena Sharma. 1985. Political Sosialization and Its Impact on Attitudinal Change
Towards Social and Political System: A Case Study of Harijan Women of
Delhi. New Delhi: M.C. Mittal.
Putnam, E.D. 1998. Teaching about Patriotism: An Assesment Of Teacher Attitudes
And Classroom Practices. Tesis PhD. University Of Tennessee.
Sanusi Osman, 1989, Ikatan Etnik dan Kelas Di Malaysia, Bangi : Universiti
Kebangsaan Malaysia.
Smith, M.G. 1967. Malay Peasant Society in Jelebu. New York: The Athlone Press.
Wan Halim Wan Othman, 1992. Asas Hubungan Etnik. Pusat penyelidikan dasar:
Universiti Sains Malaysia..
Wan Hashim Wan Teh, 1983. Race relations in Malaysia. Kuala Lumpur:
Hainemann Educational Books.

Abdul Aziz Abdul Rahman


288
PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA DI
SEKOLAH
Hambali, Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang
Corresponding author: unri.hambali@yahoo.com

PENGENALAN
Generasi Y yang hidup pada abad ke-21 adalah generasi knowledge-
based society yang kaya maklumat melalui akses mudah daripada pelbagai
sumber hanya dihujung jari dengan kapasiti maklumat tanpa sempadan dan
sukar dikawal, menyebabkan elemen-elemen negatif dan pemikiran baharu
dari luar mudah mempengaruhi minda sehingga membawa kesan kepada
perwatakan golongan muda tanpa dapat dijangka oleh ibu bapa dan golongan
dewasa. Hal ini cukup membimbangkan, kerana revolusi maklumat tanpa
kawalan tentu sekali akan menghakis moral dan budaya bangsa.
Perkembangan dan cabaran globalisasi yang berteraskan maklumat
ini seringkali mengubah pola fikir malah membentuk budaya baru yang
mengubah watak dan moral masyarakat. Justeru itu, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia (Sudrajat, A. 2011) menganggap betapa pentingnya
pendidikan karakter diketengahkan dalam kerangka menangkis pengaruh luar
dan mengukuhkan keperibadian bangsa dengan memantapkan nilai-nilai
budaya bangsa Indonesia melalui kurikulum pendidikan yang terancang dan
bersepadu.

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia-Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Hambali Universitas Riau dan Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang Fakulti
Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Hambali, dkk.
289
Kebiasaan golongan muda seringkali mencari keseronokan dan
kepuasan sahaja tanpa mempedulikan nilai moral dan budi pekerti sehingga
meresahkan tokoh-tokoh pendidik, budayawan dan masyarakat. Golongan muda
sememangnya cepat terdedah dan terpengaruh dengan apa yang mereka baca,
tonton, amati dan dengar. Benteng moral dan kekuatan dalaman perlu
diperkukuhkan dalam diri generasi muda agar segala pengaruh luar yang
membawa banyak aspek negatif kepada diri individu mahupun masyarakat tidak
sesekali mempan untuk menembusi tembok moral mereka dan menghakis jati
diri bangsa yang sekian lama dipertahankan.

PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER


Pelaksanaan pendidikan karakter bangsa dipercayai dapat
menerapkan kembali nilai-nilai baik serta menyaring segala bentuk elemen
negatif yang boleh mempengaruhi tingkahlaku kanak-kanak dan golongan
remaja. Menurut Innayah (2012) pendidikan karakter tidak mudah dilaksanakan
kerana melibatkan emosi dan sikap, oleh kerana demikian memerlukan
pendekatan dan strategi yang menyeluruh dalam seluruh persekitaran sekolah
baik dalam kegiatan PdP di bilik darjah mahupun kegiatan kokurikulum di
lapangan iaitu di luar bilik darjah, kerana pembinaan karakter dapat dibangunkan
melalui teladan, pendisiplinan, pembiasaan, pengalaman, latihan, penglibatan
dan kerjasama yang melibatkan kaedah knowing the good, feeling the good,
dan acting the good.
Lickona (1996) merujuk pendidikan karakter sebagai pengetahuan
tentang kebaikan, kemudian menimbulkan komitmen (niat) untuk melakukan
kebaikan dan akhirnya benar-benar melaksanakan kebaikan. Karakter tidak
hanya berkaitan apa yang betul dan salah sebaliknya apa yang terbaik perlu
dilakukan oleh seseorang individu. Setiap seorang perlu bertekad untuk sentiasa
menjadikan hari ini lebih baik daripada hari semalam dan hari esok lebih baik
daripada hari ini.
Karakter bermoral tentu sekali memberi kebaikan dan faedah kepada
orang lain dan peranan sekolah sebagai agen nilai dan pembina moral tentu
sekali perlu dipertegaskan melalui pelbagai program yang dikembangkan
terutama ketika latihan ko kurikulum, kerana pembinaan moral dan jati diri pelajar
bukan hanya melalui sillabus yang berasaskan subject matter tetapi merentas

Hambali, dkk.
290
keseluruhan fungsi pendidikan dalam membimbing watak manusia menjadi
baik dan bermoral, terutamanya melalui prinsip permodelan dan keteladanan.
Pada asasnya karakter bangsa merupakan nilai-nilai yang berakar
umbi daripada falsafah hidup atau the way of life sesuatu bangsa yang
melibatkan: (1) nilai-nilai agama, (2) nilai-nilai sosial-budaya (social cultural)
iaitu adat istiadat, tata susila, kebiasaan, sahsiah terpuji dan (3) nilai-nilai normatif
(mematuhi peraturan kemasyarakatan) yang telah dipersetujui secara bersama
dan termaktub dalam tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Seseorang
dianggap berkarakter apabila tingkahlakunya menepati nilai-nilai agama dan
norma-norma masyarakat.

PENGARUH PERSEKITARAN TERHADAP PEMBANGUNAN KARAKTER


Kajian lampau menunjukkan bahawa persekitaran mampu memberi
kesan terhadap penghayatan nilai seseorang (Hassan 1987). Penghayatan
nilai merupakan peringkat akhir dari proses pengukuran sosial yang dibentuk
melalui pembelajaran dengan menggabungkan asas-asas pembelajaran
sosial seperti rangsangan, tindak balas, peneguhan, kepatuhan, identifikasi,
permodelan dan tiruan.
Meskipun ibu bapa merupakan pendidik utama karakter kanak-kanak
terutamanya pada peringkat awal tumbesaran, namun penyelidikan empirikal
menunjukkan bahawa mereka mahu semua orang dewasa yang mempunyai
hubungan dengan anak-anak terutamanya guru menyumbang kepada
pendidikan karakter kanak-kanak tersebut. Hal ini kerana pembangunan
karakter adalah satu proses yang memerlukan usaha sama semua pihak
termasuk ibu bapa dan masyarakat serta pihak sekolah (Berkowitz et al., 2004).
Kebijaksanaan guru dalam menerapkan nilai-nilai yang baik melalui pelbagai
platform persekitaran amatlah penting dan perlu dititikberatkan samada dalam
iklim bilik darjah, iklim sekolah mahupun kegiatan ko kurikulum. Dengan
perkataan lain, setiap aspek perlulah diberi penekanan yang sewajarnya dalam
membentuk pembangunan karakter seseorang pelajar.
Sehubungan itu, Blue Print Pembangunan Karakter Bangsa (2010) di
Indonesia telah mengharapkan langkah-langkah pembudayaan nilai-nilai moral
akan menjadi sebati dalam keperibadian seseorang jika diterima dan diamalkan
dengan penuh kesedaran dan penghayatan. Dalam erti kata lain, sifatnya ternyata
Hambali, dkk.
291
begitu praktikal tidak hanya mengetahui dan berkeinginan untuk melakukan moral
yang baik tetapi juga melakukan kebaikan dalam tingkahlaku dan juga kehidupan
seharian.
Dalam konteks pendidikan karaker, Megawati (2004) mengemukakan
formula 4M yang merangkumi mengetahui, merasai, menginginkan dan
melakukan manakala bagi menjayakan segala bentuk tindakan moral yang baik.
Kerr (1999) pula menggariskan lima kaedah pendidikan karakter yang boleh
dijadikan sebagai garis panduan dalam sistem pendidikan masa kini iaitu:
memberikan tunjuk ajar, menjadi model, menentukan prioriti, pelaziman dan
membuat refleksi. Blue Print Pembangunan Karakter yang dikeluarkan telah
menetapkan empat dimensi persekitaran yang penting sebagai platform bagi
menerapkan nilai-nilai yang baik iaitu iklim bilik darjah, iklim budaya sekolah,
kegiatan ko kurikulum dan interaksi dengan masyarakat.

Pengajaran di Persekitaran Kegiatan Ko Interaksi Dengan


Bilik Darjah > Sekolah > Kurikulum > Masyarakat

Nilai Karakter Rutin Kegiatan Nilai-nilai


Bangsa kebiasaan Sukan, keluarga dan
Merentas dan permainan, masyarakat
Kurikulum pembudayaan persatuan dan yang
nilai pakaian menunjang
seragam karakter
bangsa

Rajah 1
Blue Print Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia, 2010
Sumber:Kilpatrick (1992)dan Muslich (2011)

Pendidikan di sekolah dianggap saluran paling tepat dan berfungsi


sebagai agen dalam menangani masalah kemerosotan nilai dan budaya dalam
kalangan generasi muda kerana pendidikan merupakan satu alternatif yang
bersifat preventif terutama dalam menghadapi asakan globalisasi pada masa
kini.

Hambali, dkk.
292
NILAI KARAKTER BANGSA
Merujuk kepada Blue Print Pembangunan Karakter Bangsa (2010) yang
dikeluarkan oleh Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (PKDPN,
2010) terdapat 18 nilai karakter yang telah dikelompokkan menjadi empat
kumpulan karakter dalam kajian ini (Jadual 1).
Jadual 1
Nilai-nilai Karakter Mengikut Kelompok
Bil Kelompok No Nilai - Nilai Karakter
1. Beragama i Nilai keagamaan
ii Amanah dalam pekerjaan
iii Toleransi dalam tindakan bermasyarakat
iv Mengamalkan disiplin (Patuh)
v Bertanggungjawab
2. Nasionalis i Penyelesaian Masalah (Demokratis)
ii Semangat Nasionalis
iii Kesungguhan Kerja
iv Mengutamakan keamanan
v Cintakan Tanah Air
3. Produktif i Menghargai orang lain (Komunikatif)
ii Peka terhadap persekitaran
iii Adaptasi sosial
iv Berprestasi
4. Kreatif i Santun dalam komunikasi
ii Amalan budaya membaca
iii Berfikiran kreatif
iv Membuat penyelidikan (Ingin Tahu)

Bangsa yang bertamadun dan beradab ialah bangsa yang berbangga


akan negara tumpah darahnya dan selalu menunjukkan sikap dan tingkahlaku
yang mencerminkan perasaan cintakan negara yang merujuk kepada sikap
hidup demokratik iaitu aktif dalam mengemukakan pandangan dan idea untuk
kebaikan bangsa, sentiasa mengutamakan bangsa dalam segala pertimbangan
dengan berpegang kepada moto negara Bhinneka Tunggal Ika yang
diterjemahkan dengan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia, mempunyai
tekad dan keazaman untuk membina kemajuan dan cintakan keamanan dan
kesejahteraan sebagaimana yang termaktub dalam falsafah Pancasila.

Hambali, dkk.
293
PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA MELALUI KEGIATAN
KO-KURIKULUM
Satu kajian tinjauan menggunakan satu set soal selidik yang telah
dibangunkan berdasarkan kajian lampau Lickona (1991) dan Blue Print
Pembangunan Karakter (2010) telah dilakukan di Pekanbaru Indonesia. Dapatan
kajian tersebut menunjukkan tahap penerimaan penerapan nilai karakter dalam
kegiatan ko-kurikulum masih di tahap kurang memuaskan. Sesungguhnya
kegiatan ko-kurikulum merupakan media pembinaan nilai secara tidak formal.
Hal ini selari dengan kajian yang dijalankan oleh Zainal Abidin. R, Esa. A & Wan
Ahmad. W. M. R. (2008) yang mengakui kegiatan kokurikulum di sekolah adalah
medium yang sesuai untuk memberikan pendidikan secara tidak formal terutama
dalam memupuk nilai-nilai keperibadian.
Menurut Baharom Mohamad & Mohamad Johdi Salleh (2009)
pembentukan budaya sekolah yang positif dan cemerlang melalui kegiatan
kokurikulum akan melahirkan nilai-nilai cintakan ilmu, bersikap penyayang,
prihatin, toleransi dan perpaduan sehingga berupaya membentuk modal insan
berkualiti. Manakala antara item yang mempunyai min yang paling rendah ialah
aktiviti kokurikulum memberi peluang kepada saya untuk memimpin rakan
sebaya dalam kegiatan kecergasan serta perkaitan kegiatan ko kurikulum dalam
menerapkan karakter nasionalis dilihat agak dangkal hingga diberi penilaian
yang rendah. Hal ini selari dengan kajian yang dibuat oleh Mohd Fauzi Hamat
dan Mohd Khairul Naim Che Nordin (2012) yang menunjukkan kurangnya
penerapan unsur patriotism ditonjolkan ketika pelaksanaan kegiatan ko
kurikulum.

KARAKTER BERAGAMA, NASIONALIS, KREATIF DAN PRODUKTIF


Jadual 2 berikut ini menunjukkan dapatan yang diperolehi tentang tahap
amalan karakter bangsa dalam kalangan pelajar melalui kegiatan ko kurikulum
yang telah diikuti. Pengaruh kegiatan ko kurikulum terhadap empat kategori
karakter bangsa yang telah dinyatakan adalah seperti berikut:

Hambali, dkk.
294
Jadual 2
Amalan Karakter Bangsa Pelajar
No Item Pernyataan Min Sisihan Interpretasi
Piawai
1 Religius 3.30 0.325 Sederhana
2 Nasionalis 3.81 0.358 Tinggi
3 Produktif 3.16 0.420 Sederhana
4 Kreatif 3.33 0.362 Sederhana
Karakter Bangsa 3.42 0.324 Tinggi

Berdasarkan dapatan di atas, jelas menunjukkan bahawa kegiatan ko


kurikulum sebenarnya berupaya membangunkan keempat-empat karakter iaitu
karakter beragama, nasionalis, produktif dan kreatif dalam diri pelajar tinggal
bagaimana penerapan dilakukan dengan melibatkan semua pelajar melalui
kegiatan yang dapat membangunkan kesedaran dan meningkatkan penghayatan
pelajar dalam konteks kesedaran beragama, kenegaraan, kesungguhan dan
kreativiti. Dapatan menunjukkan guru telah berjaya menjadikan kegiatan ko
kurikulum sebagai medium untuk membangunkan kesedaran nasional iaitu
cintakan tanahair melalui kegiatan lawatan wisata dan sejarah. Jika dinilai setiap
kategori karakter, maka dapatan yang diperolehi ialah seperti berikut :

Jadual 3
Tahap Karakter Beragama dalam kalangan pelajar.

No Item Pernyataan Min Sisihan Interpretasi


Piawai
1 Sikap beragama 3.42 0.392 Tinggi
2 Amanah 3.38 0.446 Sederhana
3 Toleransi 3.50 0.217 Tinggi
4 Disiplin 3.33 0.480 Sederhana
5 Berintegriti 2.87 0.446 Sederhana
Karakter Religius 3.30 0.325 Sederhana
Hasil pelbagai aktiviti yang dilakukan oleh guru melalui kegiatan
kokurikulum, ternyata sikap beragama berjaya dibangunkan pada tahap yang
tinggi kerana melalui kegiatan kokurikulum guru menerapkan nilai-nilai
keagamaan seperti membaca doa ketika memulakan aktiviti, bersalaman dan

Hambali, dkk.
295
memberikan pertolongan kepada orang lain. Semuanya ini terlihat dengan jelas
dalam aktiviti ko kurikulum.
Dapatan juga menunjukkan peranan ko kurikulum yang signifikan
dengan peningkatan tahap amalan nasionalis dalam kalangan pelajar. Kegiatan
ko kurikulum dilihat berupaya membangkitkan semangat kebangsaan dan
meminggirkan perasaan perkauman atas nama semangat kesukanan dan
kerjasama dalam menjalankan kegiatan serta meningkatkan rasa cintakan
Tanah Air. Malahan melalui kegiatan seperti ini, mesej keamanan berjaya
dilestarikan tanpa sebarang prejudis. Masing-masing pelajar menghayati kegiatan
ko kurikulum sepenuh hati kerana kegiatan yang dikendalikan memenuhi
keperluan dan penerapan nilai-nilai karakter dibuat secara tidak langsung.
Jadual 4
Tahap Karakter Nasionalis Dalam Kalangan Pelajar
No Item Pernyataan Min Sisihan Interpretasi
Piawai
1 Penyelesaian Masalah 3.40 0.405 Sederhana
2 Semangat Nasionalis 4.27 0.433 Sangat Tinggi
3 Cintakan Tanah Air 4.28 0.434 Sangat Tinggi
4 Kesungguhan Kerja 2.84 0.462 Sederhana
5 Mengutamakan Keamanan 3.92 0.462 Tinggi
Karakter Nasionalis 3.81 0.358 Tinggi

Pelajar-pelajar juga mengakui melalui kegiatan kokurikulum mereka


dapat mengenal dengan lebih mendalam kebudayaan bangsa yang pelbagai
ragam malahan meningkatkan semangat pelajar-pelajar untuk membela Tanah
Air. Pelajar-pelajar juga berusaha untuk menghayati Falsafah Pancasila dalam
melaksanakan tugasan kokurikulum. Apa yang dilihat pelajar-pelajar dengan
lantang dan berdiri penuh semangat menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap
kali kegiatan ko kurikulum dilaksanakan. Hal ini menghapuskan segala batas
perbezaan dan menyatukan semua pelajar dalam ruang dan dimensi yang sama.
Dapatan juga menunjukkan pelajar-pelajar cintakan keamanan,
menolak pola pemikiran negatif yang bersifat prasangka malahan bersetuju
bahawa keamanan perlu dipelihara melalui kegiatan luar yang membawa mesej
kesejahteraan lingkungan. Pada zaman globalisasi, pelajar-pelajar perlu dilatih
dan dibimbing untuk lebih kompetetif dan dapat berdaya saing melalui sikap
menghargai orang lain dengan corak komunikasi yang efektif, peka terhadap

Hambali, dkk.
296
persekitaran, dapat beradaptasi dalam persekitaran sosial dan menunjukkan
prestasi dalam setiap kegiatan yang dilakukan.
Jadual 5
Tahap Karakter Produktif Dalam Kalangan Pelajar
No Item Pernyataan Min Sisihan Interpretasi
Piawai
1 Menghargai orang lain 3.90 0.259 Tinggi
(Komunikatif)
2 Peka terhadap persekitaran 2.99 0.614 Sederhana
3 Adaptasi sosial 2.99 0.676 Sederhana
4 Berprestasi 2.82 0.437 Sederhana
Karakter Produktif 3.16 0.420 Sederhana

Secara keseluruhannya, tahap karakter produktif dalam kalangan pelajar


pada tahap yang sederhana. Mereka perlu terus diberikan bimbingan dan
panduan untuk lebih peka dengan segala perubahan persekitaran, dapat
menyesuaikan diri dan memiliki sofskill dalam aspek komunikasi dengan orang
lain seperti bagaimana cara menyapa orang lain, penggunaan kata-kata yang
sopan, berbicara dengan jelas dan menggunakan intonasi yang sesuai. Dapatan
juga menunjukkan pelajar-pelajar kurang peka dengan permasalahan sosial
yang berlaku dalam persekitaran. Sikap tidak ambil peduli masih ada dalam diri
mereka yang perlu dipulihkan agar setiap perubahan yang berlaku diberikan
perhatian. Sikap peka boleh mendorong pelajar-pelajar untuk mewujudkan
suasana yang lebih harmoni, sedia mendengar masalah orang lain dan
memberikan bantuan.
Sikap positif pelajar untuk mengutip sampah yang dilihat masih lagi
sederhana. Melalui gerak kerja ko kurikulum, sikap ini dipupuk dan disemai agar timbul
dalam jiwa kesedaran untuk memelihara kebersihan dan tidak membuang sampah.
Menurut Mohd Yusuf Abdullah et.al (2010) memelihara alam sekitar adalah usaha
yang penting dan kritikal kerana alam sekitar menghadapi pelbagai masalah dari
semasa ke semasa. Itu sebabnya isu alam sekitar sentiasa menjadi agenda utama
dalam kebanyakan perbincangan dan mesyarat di peringkat antarabangsa dan
kebangsaan. Adalah merupakan satu kesilapan besar apabila nilai dan cara hidup
manusia tidak mesra kepada penjagaan persekitaran (Sardar and Ziauddin, 1985).
Usaha menjaga dan memelihara ruang persekitaran ini berkait dengan soal kesedaran
dan sikap untuk memastikan persekitaran itu sentiasa bersih dan sehat untuk didiami.

Hambali, dkk.
297
Salah satu indikator penting nilai produktif ialah prestasi atau pencapaian.
Dalam kegiatan ko kurikulum seseorang itu harus sentiasa aktif, berdisiplin,
bersemangat dan berusaha memperbaiki kelemahan. Pelajar-pelajar menunjukkan
tahap yang sederhana aspek-aspek yang dinyatakan.
Jadual 6
Tahap Karakter Kreatif Dalam Kalangan Pelajar
No Item Pernyataan Min Sisihan Interpretasi
Piawai
1 Esteem Kendiri 3.66 0.532 Tinggi
2 Budaya Membaca 2.99 0.614 Sederhana
3 Berfikir Kreatif 2.94 0.375 Sederhana
4 Rasa Ingin Tahu 3.66 0.313 Tinggi
Karakter Kreatif 3.33 0.362 Sederhana
Menurut Sufyan Husin (2013), petanda seseorang berjaya menggunakan
amalan berfikir kreatif ialah mengamalkan pemikiran terbuka, sedia mendengar
pendapat orang lain, sentiasa mengamalkan semangat toleransi, bersedia mengubah
pendirian berdasarkan alasan yang munasabah, berani mengambil keputusan serta
sentiasa bertanya untuk mendapatkan kepastian. Orang yang berfikir selalunya rajin
membaca dan sentiasa dahagakan maklumat. Dalam konteks ini, dapatan
menunjukkan tahap esteem kendiri pelajar adalah tinggi diikuti dengan kemahuan
mereka untuk memenuhi rasa ingin tahu melalui semangat belajar dan membuat
penyelidikan, manakala pemikiran kreatif dan amalan membaca masih lagi pada
tahap yang sederhana. Menurut Shahrom Sulaiman (2007) biar apapun tujuan kita
membaca, suatu kesan yang pasti berlaku kepada diri kita ialah pembacaan menjadikan
kita manusia yang berisi dengan ilmu pengetahuan, berisi dengan cara berfikir dan
pandangan hidup yang luas, kritis dan rasional, berisi dengan kemampuan untuk
membeza sesuatu yang buruk dan yang benar. Dapatan juga menunjukkan kesediaan
pelajar untuk mencari ruang dan peluang bagi meningkatkan prestasi mereka.
Dapatan menunjukkan tidak terdapat perbezaan yang signifikan penerimaan
pelajar terhadap pelaksanaan pendidikan karakter bangsa melalui pengajaran dan
pembelajaran dalam kegiatan ko-kurikulum berdasarkan jantina adalah ditolak
manakala ditinjau perbezaan dari segi pendapatan keluarga diterima. Dapatan juga
menunjukkan bahawa pelajar dengan pendidikan ibu bapa SMP mempunyai
penerimaan terhadap pelaksanaan karakter bangsa dalam kokurikulum yang lebih
tinggi dari pelajar dengan pendidikan ibu bapa SD, pelajar dengan pendidikan ibu
bapa Universiti dan pelajar dengan pendidikan ibu bapa SMA.
Hambali, dkk.
298
AMALAN KARAKTER BANGSA
Amalan karakter bangsa dapat dianalisis berdasarkan latar belakang
sosio-demografi termasuklah dari segi gender, pendapatan dan juga taraf
pendidikan keluarga. Dapatan daripada kajian yang dilakukan mendapati bahawa
majoriti pelajar perempuan mengamalkan karakter beragama dengan lebih
baik berbanding pelajar lelaki kerana tahap kepatuhan dan sikap pelajar
perempuan yang lebih mudah menerima teguran dan bimbingan. Dapatan juga
menunjukkan pelajar daripada kalangan golongan ibu bapa berpendapatan
rendah lebih menunjukkan ketaatan dalam beragama dan nasionalis manakala
kumpulan yang sederhana lebih kreatif dan kumpulan berpendapatan tinggi
memiliki karakter yang produktif.
Jadual 7
Amalan Karakter Bangsa Pelajar Berdasarkan Pendidikan Ibu Bapa
Penerimaan Pendapatan Sisihan Type III Df Jumlah F Sig.
Pelaksanaan Keluarga piawai Sum of kuasa
Squares dua
Beragama SD 0.232 0.047 3 0.016 0.147 0.932
SMP 0.283
SMA 0.326
Universiti 0.362
Nasionalis SD 0.281 0.200 3 0.067 0.519 0.669
SMP 0.292
SMA 0.374
Universiti 0.373
Produktif SD 0.296 0.704 3 0.235 1.334 0.262
SMP 0.372
SMA 0.438
Universiti 0.434
Kreatif SD 0.361 0.001 3 0.000 0.004 1.000
SMP 0.346
SMA 0.370
Universiti 0.357

Berdasarkan jadual di atas, dapat dilihat karakter beragama tidak langsung


dipengaruhi oleh status pendidikan, kerana kewajian beragama adalah tuntutan
dan naluri manusia malahan selaras dengan pancasila dalam Pancasila, maka
semua golongan memperakui tentang kepentingan agama bagi kehidupan mereka
dan sentiasa mengamalkan ajaran agama yang dipegang. Demikian juga karakter

Hambali, dkk.
299
nasionalis dan kreatif. Semua responden tidak mengira samada keluarganya hanya
berpendidikan rendah, menengah atau perguruan tinggi, masing-masing
menunjukkan kecintaan yang amat tinggi kepada negara dan bangsa serta terbuka
dalam menerima pandangan dan pendapat orang lain. Hanya jika ditinjau
pengamalan sikap yang produktif dan berdaya saing, ternyata anak-anak dari
kalangan ibu bapa yang berpendidikan menengah dan tinggi adalah lebih
kompetetif, aktif, cekap dan memiliki kompetensi yang lebih baik. Hasil analisis
menunjukkan hubungan hanya bersifat sederhana di mana penerimaan pelajar
terhadap nilai-nilai Karakter Bangsa ketika kegiatan ko kurikulum belum benar-
benar memberi kesan yang kuat terhadap amalan mereka dalam konteks nilai
beragama, cintakan negara, berdaya saing dan berfikiran kreatif.

PENERIMAAN PELAJAR DAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA


Analisis regresi berganda dijalankan untuk mengenal pasti sumbangan antara
penerimaan pelajar terhadap pelaksanaan pendidikan karakter bangsa melalui kegiatan
ko-kurikulum dengan amalan karakter bangsa. Beberapa data yang boleh mengganggu
kebolehpercayaan dapatan regresi telah digugurkan (melalui analisis Casewise
diagnostics). Selain itu, beberapa andaian regresi linear seperti ujian kesamaan varians
dan ujian normaliti serta aspek-aspek koloneariti turut dijalankan mengikut kaedah
yang ditentukan (Hair et al. 2006). Kajian menunjukkan penerimaan pelaksanaan
pendidikan karakter bangsa melalui kegiatan kokurikulum merupakan varian yang
signifikan yang memberikan peramal terhadap karakter beragama. Manakala
sumbangan pelaksanaan pendidikan karakter bangsa dalam kokurikulum terhadap
karakter nasionalis menyumbang sebanyak 41.8%, Dalam konteks ini, terdapat
kemungkinan baki peratusan yang lain disumbangkan oleh faktor-faktor lain terhadap
karakter nasionalis yang tidak diambil kira dalam kajian ini (Pallant 2005).
Selain daripada itu, sumbangan penerimaan pelaksanaan pendidikan
karakter bangsa dalam kokurikulum terhadap karakter produktif menunjukkan
sumbangan sebanyak 33.4%. Kajian juga menunjukkan penerimaan
pelaksanaan pendidikan karakter bangsa melalui kegiatan kokurikulum terhadap
karakter kreatif menyumbang sebanyak 28.4%. Hazura Abu Bakar, (2009) dalam
kajiannya tentang Hubungan antara penghayatan agama, nilai hidup dan
pengetahuan alam sekitar mengakui bahawa usaha menerapkan nilai perlu
dilaksanakan secara menyeluruh dan merentas kurikulum. Responden kajian ini

Hambali, dkk.
300
juga mengakui keadaan yang sama dan bersetuju bahawa persekitaran karakter
bangsa perlu diterapkan dalam semua mata pelajaran dan kegiatan luar bilik darjah
agar pelajar berada dalam surrounding pembudayaan nilai dan pembinaan karakter.

INDIKATOR PEMBANGUNAN INSAN (MIPI)


Berdasarkan perbincangan yang telah dihuraikan, penyelidik
mengemukakan Model Indikator Pembangunan Insan (MIPI) yang boleh diperluaskan
sebagai panduan dalam kerangka membina dan membangunkan pelajar sejak
dari peringkat awal agar lahir sebagai individu Indonesia yang utuh dan holistic:

BD

Nasionalis

Moral Know
Kreatif Moral feel Produjtif
Moral Act
Kk

Religius

Ps

Pengaruh luar Asas : Keluarga


PS : Persekitaran Sekolah Inti : Sekolah
BD : Bilik Darjah
Kk : Ko Kurikulum

Rajah 1 Model Indikator Pembangunan Insan (MIPI)

Hambali, dkk.
301
MIPI mengemukakan bahawa konsep pelaksanaan (aplikasi)
Pendidikan Karakter berfungsi untuk membentuk nilai-nilai baru dalam diri pelajar
bagi melaksanakan apa yang disebut sebagai moral knowledge, moral feeling
dan moral actions (Lickona,2002). Hal ini bermaksud dalam membina dan
membentuk karakter, pelajar hendaklah mempunyai pengetahuan tentang moral
(nilai-nilai positif) terlebih dahulu, baru lah mereka sedar (moral feeling) dan
akhirnya bertindak dengan berubah ke arah tingkahlaku positif.
Perubahan yang dimaksudkan dalam model ini ialah langkah
pembudayaan empat jenis karakter iaitu karakter beragama, karakter nasionalis,
karakter produktif dan karakter kreatif yang disokong oleh nilai-nilai asas melalui
peranan keluarga, kemudian diperkukuhkan di sekolah melalui persekitaran
bilik darjah, persekitaran sekolah dan kegiatan ko kurikulum. Walau
bagaimanapun kekangan dan halangan ialah pengaruh luar yang datang
daripada masyarakat terutama dalam era digital dan revolusi maklumat. Jika
pengaruh luar ini lebih dominan dan berterusan serta tidak dibendung segala
usaha penerapan nilai-nilai ini akan terancam dan menghadapi kemelut yang
cukup besar.

KESIMPULAN
Amnya, dapatan kajian ini secara keseluruhan menunjukkan
terdapat perbezaan yang signifikan penerimaan pelajar terhadap
pelaksanaan Pendidikan karakter bangsa melalui kegiatan ko-kurikulum
antara pelajar lelaki dan perempuan. Ini disokong oleh kajian Chew Fong
Peng (2001) berkaitan penerimaan nilai-nilai murni mengikut jantina. Dapatan
juga menunjukkan perbezaan penerimaan pelajar ketara dalam persekitaran
terbuka seperti dalam kegiatan ko kurikulum. Dalam perkara-perkara yang
abstrak, biasanya pendapatan keluarga tidak menunjukkan pengaruh yang
ketara (Yahya Buntat & Nor Husna Mohamed, 2011). Pernyataan ini sama
dengan dapatan kajian yang menunjukkan tidak terdapat perbezaan yang
signifikan karakter bangsa beragama, nasionalis, produktif dan kreatif dalam
kalangan pelajar berdasarkan pendapatan keluarga.
Dapatan kajian ini menunjukkan tidak terdapat perbezaan yang
signifikan karakter bangsa dalam kalangan pelajar dari golongan ibu bapa
berdasarkan status pendidikan, malahan pelajar daripada keluarga di mana

Hambali, dkk.
302
ibu bapa berpendidikan rendah tetap boleh bersaing dengan pelajar yang
lain jika dorongan instrinsik dalam diri mereka tinggi. Hal ini selari dengan
pandangan Harackiewicz dan Elliot (1993) bahawa sebarang tujuan adalah
bergantung kepada pencapaian orientasi di mana individu yang mempunyai
motivasi yang tinggi menghasilkan kesan penguasaan jangka panjang
berbanding individu yang kurang bermotivasi tanpa mengira latar belakang
SES dan pendidikan keluarga mereka.
Pelatihan, pelaziman dan permodelan digunakan dalam konteks
interaksi sosial di sekolah bagi membangunkan karakter. Lazimnya segala
apa yang diperhatikan, didengar, dirasa dan dikerjakan oleh pelajar adalah
proses pendidikan dan pembentukan akhlak. Strategi pembudayaan nilai-
nilai karakter di setiap sekolah adalah berbeza melihat cara dan corak
kepimpinan serta kreativiti guru-guru. Kebiasaannya sejak awal datang ke
sekolah, pelajar dilazimkan untuk saling menyapa, mengucapkan salam
ketika bertemu sesama mereka dan guru.
Secara amnya apabila membicarakan tentang nilai moral maka
perbincangan menjurus kepada bagaimana kita memberi reaksi terhadap
orang lain secara baik secara individual mahupun komuniti. Dalam kerangka
pendidikan, pertumbuhan sensitiviti moral (sense of moral) seseorang
tergantung dari pengalaman hidupnya sejak kanak-kanak sampai dewasa.
Brooks dan Goble (2002) menyarankan dalam bukunya The Case for
Character Education agar sistem pendidikan moral tidak lagi memikirkan
tentang nilai-nilai siapa yang akan diajarkan tetapi perlu nilai-nilai apa yang
akan diajarkan (what values should we teach?). Dalam konteks ini, Islamic
Value adalah norma yang paling lengkap untuk dikembangkan dalam watak
dan perwatakan pelajar.

RUJUKAN
Abdul Alim Abd Rahim. 1999. Pengurusan Kokurikulum. Kuala Lumpur: Fajar
Bakti Sdn Bhd.
Ahmad Fadzli Yusof. 2005. Mengurus Kerja Berpasukan. Kuala Lumpur. PTS
Publication

Hambali, dkk.
303
Baharom Mohamad & Mohamad Johdi Salleh. 2009. Mengurus Kualiti Sekolah.
Kuala Lumpur. Institut Terjemahan Negara Malaysia Berhad.
Berkowitz, M. W. and M. C. Bier. 2004. “Research-Based Character Education.”
The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science
591(1), 72-85.
Blue Print Pembentukan Karakter Bagsa Indonesia. 2010. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Brooks dan Goble. 2002. The Education of The Complete Moral Person.
Aberdeen, Scotland : Gordon Cook Foundation.
Chew Fong Peng. 2001. Pembangunan Patriotisme Dalam Pengajaran dan
Pembelajaran Matapelajaran Sejarah Tingkatan Dua. Bangi : UKM
Deborah Hopen, 2002. Guiding Corporate Behaviour : A Leadership Obligation,
Not a Choice. Volume 1. hlmn 15-19.
Hair, J.E., Anderson, R.E. Tatham, R.L. & Black, W.C. 2006. Multivariate Data
Analysis. Ed. ke-5. Upper Saddle River: Prentice Hall.
Hazura Abu Bakar, 2009. Hubungan Antara Penghayatan Agama, Nilai Hidup
dan Pengetahuan Alam Sekitar Pelajar Muslim dengan Sikap dan
Tingkahlaku. Pulau Pinang : USM.
Helen M. Gunter. 2001. Character Education with Resident Assistants: A Model
for Developing Character on College Campuses., Journal of Education,
00220574, 2005, Vol. 186, Issue 1.
Jalaluddin. 2010. Membangun SDM Bangsa Melalui Pendidikan Karakter.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Kerr, D. 1999. “Citizenship Education in the Curriculum: An International Review,”
The School Field. Vol. 10, No. 3-4Kilpatrick 1992.
Krejie, R.V & Morgan, D.W. 1970. Determining sample size for research activities
education and psychological measurement(Dlm) Isaac, S & Michael,
W.B. Handbook in Research and Education. California Edit Publisher.
Kilpatrick, W. 1992. Why Johny can’t tell right from wrong. New York: Simon &
Schuster. Inc.
Lickona, T. 1996. Eleven principles of effective charactereducation. Journal of
Moral Education, 03057240, Mar96, Vol. 25, Issue 1.

Hambali, dkk.
304
Nor Suhara Hj. Fadzil dan Jamil Ahmad 2010
Patton, M.Q. 1990. Qualitative Evaluation and Research method. Newbury Park:
CA Sage.
Ruslinawati Abdul Ghani, Rohana Ahmad dan Jamilah Omar, 2011. Penghayatan
Aqidah dalam kalangan Pelajar Politeknik Sultan Abdul Halim Muadzam
Shah (Polimas). Jitra: Polimas.
Sudrajat,. 2011. “Mengapa Pendidikan Karakter”. Jurnal Pendidikan Karakter.
Th I, No. 1, hlm. 47-58.
Soedarsono, H. 2009. Karakter Mengantarkan Bangsa dari gelap menuju terang.
Jakarta: Kompas Gramedia.
Taylor, S.J & Bogdan, R. 1984. Introduction to qualitative research methods: The
search of meaning. New York: A Wiley Interscience Publications.
Tan Hui Leng. 1998. An evaluation of post graduates teachereducation
programme for science in selected Malaysian Teacher Training Colleges.
Tesis PhD. Universiti Malaya. Kuala Lumpur.
Yahya Buntat & Norhusna Mohamed, 2011. Implikasi Pemikiran Kreatif Dan
Kritis Dalam Pengajaran Guru-Guru Teknikal Bagi Mata Pelajaran
Teknikal Di Sekolah Menengah Teknik Di Negeri Johor. Skudai :
UTMYusuf Abdullah et.al 2010.

Hambali, dkk.
305
Hambali, dkk.
306
PEMBELAJARAN SEJARAH
BERBASIS BERPIKIR HISTORIS DALAM
MEMBANGUN NASIONALISME
Ersis Warmansyah Abbas
ersis_wa@yahoo.con dan ersiswa@unlam.ac.id

ABSTRAK
Arus globalisasi yang tengah melanda dunia membawa dampak positif dan
negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada satu sisi, kita dapat
menyerap informasi atau berbagai kemajuan untuk dimanfaatkan, dan pada sisi
lain, membawa dampak kurang baik dengan ketergerusan nilai-nilai kehidupan.
Terdapat gejala, individualistis menggeser budaya gotong royong, hedonisme
dan sekularisme mengakibatkan intoleransi terhadap keberagaman etnis,
budaya, agama dan lainnya. Dalam konteks pendidikan nasional, jika peserta
didik tidak mampu memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai kebangsaan,
guru belum mampu menginspirasi peserta didik melalui desain pembelajaran
inovatif, materi dan evaluasi yang belum berbasis berpikir tingkat tinggi (HOTS),
tentu berakibat tergerusnya nilai-nilai kebangsaan. Untuk itu, pembelajaran
sejarah yang terjebak penyampaian materi tentang apa, siapa, dimana, dan
kapan, memerlukan inovasi, satu diantaranya, pembelajaran sejarah berbasis
HOTS, khusunya Berpikir Historis.
Kata-kata kunci: pembelajaran sejarah, nasionalisme, Berpikir Historis,
pembelajaran sejarah powerful.

* Dipresentasikan pada Seminar Internasional Pendidikan Sejarah, Patriotisme dan Karakter


Bangsa: Malaysia dan Indonesia, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2 Desember 2015.
* Ersis Warmansyah Abbas dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung
Mangkurat.

Ersis Warmansyah Abbas


307
I. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu dan teknologi dibarengi dengan apa yang
dinotasikan sebagai globalisasi mendatangkan kecemasan bagi sebagian orang.
Globalisasi dengan beragam muatannya, berdimensi positif dan negatif. Pada
satu sisi, globalisasi menjadikan manusia “Satu Bumi”, apa saja yang terjadi
atau “ditemukan” di bagian dunia dalam sekejap sampai pada manusia lainnya.
Hal-hal positif dan negatif di suatu tempat cepat menyebar ke tempat lain.
Dalam pada itu, dalam kaca nasionalisme (kebangsaan), arus
globalisasi membawa nilai-nilai yang, bisa jadi, tidak sejalan atau berlawanan
dengan nilai-nilai kebangsaan suatu negara bangsa (nation state). Dicemaskan,
globalisasi akan menggerus nilai-nilai kebangsaan. Hal tersebut semakin parah,
manakala globalisasi yang dibalut sistem kapitalistik dan liberalistik, sementara
anak bangsa belum tangguh dengan jati dirinya, belum mapan dengan kekentalan
nasionalismenya sehingga dikhawatirkan ke depan bisa mengancam
keberlangsungan bangsa dan negara.
Manakala ditelusuri ke dalam sistem pendidikan nasional Indonesia,
misalnya lebih ditukikkan pada kondisi obyektif pembelajaran sejarah ---mata
pelajaran yang didengung-dengungkan sebagai pembangun nasionalisme---
belum lagi sebagaimana diharapkan. Mata pelajaran sejarah masih tergolong
mata pelajaran membosankan. Masih ada guru sejarah yang masih terjebak
dalam pembelajaran berfokus pada peristiwa; tetang apa, dimana kejadiannya,
kapan waktunya, dan siapa tokohnya. Pembelajaran sejarah belum lagi powerful
karena barulah berfokus pada penyajian dan hapalan fakta-fakta historis.
Agar pembelajaran sejarah powerful diperlukan kreativitas pembelajaran
oleh guru sehingga pembelajaran bermakna, terintegrasi, berbasis nilai,
menantang, dan peserta didik aktif. Pemahaman materi memadai dengan
pemaknaan nasionalistik ditunjang metode dan strategi tepat tidak
mengandalkan kepada (hapalan) fakta-fakta historis, menjadikan pembelajaran
berbasis “Berpikir Historis” menjadi pilihan tepat.
Pembelajaran “Berpikir Historis” adalah pembelajaran merujuk higher
order thinkings skills (HOTS) sebagai garansi bagi pemahaman dan
implementasi pembelajaran sejarah dalam bingkai nasionalisme. Nasionalisme
merupakan internalisasi perasaan kebangsaan.

Ersis Warmansyah Abbas


308
II. NASIONALISME
Nasionalisme adalah suatu paham, yang berpendapat, bahwa kesetiaan
tertinggi individu harus diserahkan kepada negara-kebangsaan. Perasaan sangat
mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan
tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada
di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda (Kohn, 1955: 11).
Definisi Hans Kohn sepemahaman dengan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008: 954) dengan mengartikan nasionalisme sebagai paham
(ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; kesadaran keanggotaan
dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama
mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas,
kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.
Dalam katup demikian, nasionalisme Indonesia pertama-tama ditujukan
untuk ke-Indonesia-an untuk membangun karakter bangsa. Nasionalisme
Indonesia bukan berhenti pada pembangunan kebangsaan saja, melainkan
berlanjut untuk pembangunan “kemanusiaan”. Implikasinya, nasionalisme
Indonesia mengharamkan ekploitasi manusia atas manusia lainnya, tidak
membenarkan satu bangsa mengekploitasi bangsa lainnya.
Dengan kata lain, watak nasionalisme Indonesia bertujuan untuk
membangun dan memperhebat nation and character building. Untuk itu
diperlukan strategi pembelajaran yang dipresentasikan dengan baik. Dalam
kaitannya dengan pembelajaran sejarah, tujuan tidak berhenti pada
membangun nasionalisme, tetapi berlanjut kepada pembangunan nilai-nilai
“kemanusiaan” sebagai makhluk Sang Mahapencipta. Hal tersebut sebagai
konsekuensi dari nasionalisme berlandaskan kemanusiaan, bukan berakhir
pada nasionalisme semata.
Untuk itu diperlukan strategi pembelajaran yang dipresentasikan
dengan baik. Pembelajaran yang baik, diantaranya, sebagaiman diteliti Ersis
Warmansyah Abbas (2013: 275) dengan skema pembelajaran yang disampaikan
dengan tutur kata yang baik dan sopan, memberi teladan, mengajar
menyenangkan, dan tidak pernah kontroversial. Satu diatara pembelajaran yang
baik adalah pembelajaran yang menerapkan Ajaran dan Metode Guru Sekumpul,
metode pembelajaran sangat positif untuk dipraktikkan guru-guru sehingga
pembelajaran powerful.

Ersis Warmansyah Abbas


309
Nasionalisme Indonesia dibangun atas pemahaman yang menjadi
landasan dengan menghormati eksistensi dan kemerdekaan bangsa lain
sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 “bahwa
sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa”, oleh karena itu dalam
nasionalisme Indonesia terkandung sikap anti penjajahan. Semangat yang
demikian dengan sendirinya tidak menumbuhkan keinginan bangsa Indonesia
untuk menjajah bangsa lain. Sebaliknya, bangsa Indonesia ingin bekerja sama
dengan bangsa-bangsa lain untuk mewujudkan perdamaian dunia, menuju
masyarakat maju, sejahtera, dan adil bagi semua umat manusia di dunia. Dengan
demikian, nasionalisme Indonesia juga memberikan penghargaan terhadap
harkat dan martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa
(Utomo, 1995: 30).
Karena itu, nasionalisme Indonesia “mengharuskan” kepada setiap
warga bangsa memiliki dan menjadikan nasionalisme Indonesia sebagai, bukan
saja landasan kehidupan berbangsa, tetapi juga diterapkan secara konsekuen
dalam kehidupan sehari-hari. Nasionalisme Indonesia bukan hanya membangun
jiwa bangsa, tetapi dengan jiwa bangsa tangguh, adalah pula menghormati
bangsa-bangsa lain. Untuk itu, internalisasi nasionalisme menjadi sangat penting.
Internalisasi nilai-nilai nasionalisme (kebangsaan) sesungguhnya merupakan
proses national and character building.
Dengan demikian, pengembangan dan internalisasi nasionalisme
Indonesia sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi
hamparan ruang sosial Manusia Indonesia. Hal tersebut merupakan garansi,
bahwa nasionalisme Indonesia tidak akan tergelincir pada kadar berkelebihan,
dimana nasionalisme tidak dijadikan mantra bangsa menjadi chauvinistik
sebagaimana didengungkan Jerman (Deutschland über alles) di masa lalu yang
kemudian memakan nasionalisme negara lain. Nasionalisme adalah jiwa
kebangsaan untuk kehebatan bangsa tanpa “memakan” bangsa lain. Itulah
nasionalisme Indonesia.
Dalam katup pembelajaran sejarah, khususnya sejarah Indonesia,
nasionalisme yang dikembangkan adalah nasionalisme yang menghargai bangsa
lain, hidup berdampingan dengan bangsa-bangsa lain, yang dalam konstitusi
Indonesai ditegaskan, menegakkan perdamaian dunia. Dengan kata lain,
nasionalisme Indonesia adalah nasional rahmatan lil alamin.

Ersis Warmansyah Abbas


310
III. PEMBELAJARAN BERBASIS HIGHER ORDER THINGKING SKILS
Mengadopsi Powerful Teaching and Learning in the Social Studies yang
dirumuskan NCSS (1994: 162-170) melalui “Curriculum Standard for Social Studies
Expectation Of Excellence”:
1. Pembelajaran bermakna (when they are meaningful),
2. Pembelajaran terintegrasi (when they are integrative),
3. Pembelajaran berbasis nilai (when they are value-based),
4. Pembelajaran menantang (when they are challenging),
5. Pembelajaran aktif (when they are active).
Pembelajaran sejarah bermakna (when they are meaningful) ditujukan
untuk guru dan peserta didik. Metode pengajaran yang sudah dikonstruk oleh
guru harus merasuk hingga pemahaman sosial peserta didik. Bagi guru,
implimentasi dapat dimulai dengan mendorong peserta didik melalui pertanyaan
pancingan untuk menghubungkan ide dari pengetahuan terdahulu dengan
konsep yang ingin diajarkan. Dengan demikian pembelajaran yang bermakna
(meaningful) mampu memberikan ruang praktik bagi “students learn connected
networks of knowledge, skills, beliefs, and attitudes that they will find useful both in
and outside of school” (NCSS, 1994: 163).
Pembelajaran sejarah terintegrasi (when they are integrative) adalah
bentuk penegasan bahwa konten dari IPS (ilmu sosial dan humaniora) memiliki
ragam materi sehingga harus diintegrasikan. Integrasi menjadi ide penting untuk
mencapai kompetensi yang diinginkan. Menurut Sunal dan Haas (1993) kurikulum
IPS yang terintegrasi dapat mengatasi totalitas pengalaman manusia dari waktu
ke waktu dan ruang, menghubungkan dengan masa lalu, terkait saat ini dengan
melihat masa depan (dalam Supardan, 2014: 54). Adapun fokus inti disiplin IPS
termasuk bahan-bahan ajar sangat luas sebab berkenaan dengan fenomena
sosial, hingga lingkungan, terkini baik dalam lingkup lokal, nasional bahkan
global.
Pembelajaran sejarah berbasis nilai (when they are value-based)
menuntut komitmen bagi guru IPS bahwa nilai yang diselipkan ditiap
pembelajaran harus diresapi oleh peserta didik. Kesadaran nilai yang
dikembangkan membuat peserta didik lebih peduli pada lingkungan sekitar dan
permasalahan sosialnya.

Ersis Warmansyah Abbas


311
Pembelajaran IPS berbasis nilai dapat memberikan kesadaran bahwa
dalam membangun hubungan sosial yang positif diperlukan komitmen untuk
menghormati kesetaraan hak antara manusia dan tuhan, manusia dan manusia,
hingga manusia dan alam.
Pembelajaran sejarah menantang (when they are challenging) menurut
Brophy dan Alleman (2008) termasuk pembelajaran yang ketat sebagai disiplin
inti yang berpengaruh dan terus mengembangkan proses penyidikan mendalam
pada isinya (dalam Supardan, 2014: 56). Bentuk stimulan dan tantangan peserta
didik dapat difasilitasi guru dengan menggunakan ragam sumber informasi tanpa
terkecuali rangkaian konflik yang muncul pada isu-isu kontroversial (NCSS, 1994:
167). Intinya, pembelajaran IPS yang menantang, mendorong rasa ingin tahu,
eksplorasi/eksperimen, serta keaktifan diskusi peserta didik sebagai ujung
tombak kesuksesan proses belajar mengajar di kelas.
Pembelajaran sejarah aktif (when they are active) ialah bentuk aplikasi
pembelajaran yang menggunakan reflective inquiry dan pengambilan keputusan
di samping perencanaan dan persiapan pembelajaran (NCSS, 1994: 168). Istilah
reflective inquiry mengasumsikan tipe dari IPS yang mengajarkan peserta didik
untuk belajar bagaimana mereka berpikir. Reflective inquiry sangat bermanfaat,
sebab peserta didik akan mampu meningkat kemampuan intelektual secara
penuh untuk mencari jawaban melalui pertanyaan pengetahuan sebaik dia
memahami nilai yang terkandung didalamnya (Woolever dan Scott, 1987, hlm.
12). Reflective inquiry memberikan jembatan kepada peserta didik untuk
mengaplikasikan pengetahuan secara langsung untuk memecahkan masalah
melalui pengambilan keputusan.
Menurut Banks (1990) pengambilan keputusan (decision making)
adalah sebuah keterampilan yang harus dibina dan dilatih (dalam Sapriya, 2012:
153). Pengambilan keputusan hampir mustahil dilakukan jika pengetahuan
tentang masalah yang dihadapi tidak ada. Berdasarkan asumsi ini dapat
dipahami bahwa sedikitnya ada dua syarat sebelum mengambil sebuah
keputusan: (1) pengetahuan sosial dan (2) metode cara mencapai pengetahuan
(Banks, 1990 dalam Sapriya, 2012: 154). Manfaat dari keterampilan pengambilan
keputusan dimaksudkan agar peserta didik siap menghadapi permasalahan
dan menentukan sikap sebagai warga negara yang berpartisipasi aktif menjaga
keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ersis Warmansyah Abbas


312
III. BERPIKIR HISTORIS DAN PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM
PEMBELAJARAN SEJARAH
Pembelajaran sejarah merujuk disiplin ilmu sejarah berarti menerapkan
berpikir historis (berpikir sejarah). Berpikir sejarah merujuk kepada cara berpikir
kronologis, periodisasi, kausalitas, dan diakronik dan sinkronik.
Berpikir Kronologis sebagai konsekuensi ilmu sejarah sebagai
pengetahuan tentang waktu. Kronologis menurut urutan waktu (KBBI, 2008: 466)
bermakna berpikir historis berbasis urutan waktu berarti yang awal lebih dahulu
dari sesudahnya. Apabila acak, tidak linear, dari awal ke akhir, terkategori cara
berpikir anakronistis; mencampuradukan atau memutarbalikan urutan peristiwa.
Berpikir Periodetatif sebagai “pemotongan” berpikir kronologis yang
linear dari awal sampai akhir dalam rentang waktu panjang. Periodisasi untuk
menyusun sistematika dalam pembagian waktu.
Berpikir Kuasalitas berpikir hubungan sebab akibat antara dua atau
lebih peristiwa. Kausalitas (KBBI, 2008: 398) berarti perihal sebab akibat. Peristiwa
sejarah pasti ada sebabnya. Ada dua teori kausalitas, yaitu monokausalitas dan
multikausalitas. Monokausalitas hubungan sebab akibat deterministik, yakni
mengembalikan kausalitas suatu peristiwa, keadaan, atau perkembangan kepada
satu faktor saja. Multikausalitas hubungan sebab akibat dengan berbagai
penyebab, pandangan terhadap permasalahan yang mendekati dari berbagai
segi atau aspek dan perspektif yang berkaitan pendekatan sistem dimana adanya
saling ketergantungan serta saling berhubungan antara unsur-unsur.
Berpikir Diakronis merupakan kemampuan memahami peristiwa
dengan penelusuran masa lampau berbasis proses peristiwa, memanjang dalam
waktu, mementingkan proses terjadinya sebuah peristiwa.
Berpikir Sinkronik memahami peristiwa memperluas ruang dalam suatu
peristiwa, mementingkan struktur yang terdapat dalam setiap peristiwa, melebar
dalam ruang, serta mementingkan struktur dalam satu peristiwa.
Berpikir historis sebagai metode berpikir keilmuan (ilmiah) dalam
Kurikulum 2013 dikembangkan melalui pendekatan saintifik (Kemdikbud, 2013)
menyandarkan pembelajaran kepada pendekatan ilmiah melalui penalaran
induktif dan penalaran deduktif. Pembelajaran dibangun atas asas bangun logika
dengan kritis (berpikir kritis) dan analitik.

Ersis Warmansyah Abbas


313
Dalam kaitan dengan nasionaliseme, khususnya untuk pemahaman
dan internalisasi nasionalisme, peserta didik menggali informasi melalui
pengamatan, bertanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan bersinergi
dengan berpikir historis sebagaimana terpapar dalam langkah-langkahnya:

Pembelajaran Saintif (Depdikbud RI, 2014).

Dengan demikian pembelajaran sejarah bukanlah dibangun dimana


guru berperan sebagai “panglima’, tidak pula bak ceret yang menuangkan “áir”
pengetahuan kepada peserta didik, tetapi guru berposisi sebagai motivator,
inisiator, dan fasilitator dalam pengembangan potensi peserta didik. Peserta
didik bertindak sebagaimana ilmuwan mengembangkan ilmu.
Melalui motivasi, inisiasi, dan fasilitasi guru peserta didik dikondisikan
untuk mengamati apa yang dipelajari, baik secara langsung atau pun melalui
media sehingga murid melalui pancaindranya mampu melihat’ dan “memahami”
obyek yang dipelajarinya. Dengan pengamatannya peserta didik tentunya lebih
dapat “mengenali” apa yang dipelajarinya sehingga lebih bermakna.
Rangkaian pembelajaran dengan mengamati, menanya, menalar,
mencoba, dan mengkomunikasikan sejalan dengan berpikir historis. Artinya,
dalam pembelajaran sejarah peserta didik sejarah merujuk kepada cara berpikir
kronologis, periodisasi, kausalitas, dan diakronik dan sinkronik sebagai wahana
bagi kemampuan-kemampuan berpikir untuk memahami peristiwa sejarah.
Dengan kata lain, kemampuan berpikir kritis peserta didik diasah dan
diimplementasi, terlepas dari tingkat kadarnya, dalam proses pembelajaran yang
tengah dilakukan. Hal tersebut bukan saja para peserta didik belajar dengan
memakai cara kerja para ilmuan sekaligus mempraktikkan cara kerja berpikir
historis sehingga pembelajaran sejarah lebih bermakna (meaningful).
Ersis Warmansyah Abbas
314
IV. SIMPULAN
Berdasarkan paparan terdahulu disimpulkan bahwa pembelajaran
sejarah berbasis “Berpikir Historis” dengan pendekatan saintifik, merupakan
inovasi pembelajaran sejarah dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran
sejarah yang powerful. Pembelajaran sejarah berbasis “Berpikir Historis” dengan
Pendekatan Saintifik tidak memberi peluang bagi pembelajaran sejarah yang
berfokus kepada penginformasian fakta-fakta sejarah.
Kurikulum 2013 dengan pendekatan saintifik, menjadikan peserta didik
bukan lagi sekadar diperankan sebagai “cangkir” yang dituangkan pengetahuan
dari “ceret pengetahuan” guru. Peserta didik dengan bantuan guru “mencari”
dan “menemukan” pengetehauan (ilmu) dengan bantuan guru. Model semikian
menjadikan peserta didik memahami makna sejarah, bukan hapalan informasi
dan fakta-fakta sejarah.
Dengan demikian, pembelaharan sejarah mampu mencapai sasaran
sebagai pembelajaran bermakna (meaningful), terintegrasi (integrative), berbasis
nilai (value-based), menantang (challenging), dan aktif (active). Hal tersebut
menjadi garansi dalam character and nationalism building.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Ersis Warmansyah. (2013). Nilai-Nilai Budaya Banjar Sebagai Sumber
Pembelajaran IPS (Transformasi Nilai-Nilai Budaya Banjar Melalui
Ajaran dan Metode Guru Sekumpul). Bandung: Sekolah Pascasarjana
UPI Bandung.Abdulgani, Roeslan. 1967. Penggunaan Sejarah. Jakarta:
Prapanca
Utomo, Cahyo Budi. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari.
Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Kemendikbud RI.
Kemendikbud RI. 2014. Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud RI.
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional dan Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid dua.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kohn, Hans. 1955. Nationalism, Its Meaning and History. Terjemahan Sumantri
Mertodipuro: Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Pembangunan.

Ersis Warmansyah Abbas


315
NCSS. (1994). Curriculum Standar for Social Studies: Expectations of excellence.
Washington DC: NCSS.
Sapriya. 2012. Pendidikan IPS: Konsep dan Pembelajaran. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Supardan, Dadang. 2014. Pendidikan IPS: Persfektif Filosofi, Kurikulum, dan
Pembelajaran. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Wineburg, Sam. 2006. Berpikir Hidstoris: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan
Masa Lalu. Terj. Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ersis Warmansyah Abbas


316
PENYUNTING
Dr. Drs. Ersis Warmansyah Abbas, BA, M.Pd.,
dosen pada FKIP Unlam Banjarmasin. Lahir di
Muaralabuh, Solok Selatan, 15 November 1957. Doktor
Pendidikan (IPS) UPI Bandung (2013), Magister
Pendidikan (Pengembangan Kurikulum) IKIP Bandung
(1995), Sarjana Pendidikan (Sejarah) IKIP Yogyakarta
(1980), Sarjana Muda Pendidikan Sejarah IKIP Padang
(1978). Tamatan PGAN 6 Tahun Padang, PGAN 4 Tahun
Muaralabuh dan SDN 1 Muaralabuh. Pernah kuliah di
FK Filsafat UGM (1982), dan alumnus Pendidikan (Kursus) Teori, Metodologi
dan Aplikasi Antropologi UGM (1993).
Tulisannya dimuat beberapa jurnal, dan atau, dipresentasikan pada
berbagai seminar, baik di dalam maupun di luar negeri, misalnya pada 5th
UPSI-UPI Conference on Education, Selangor Malaysia (2012) dan Universiti
Kebangsaan Malaysia (2015). Untuk mendukung dan mengembangan
keprofesionalannya, Presiden Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan
Pembangunan Kalimantan (LPKPK), Lembaga Pengkajian dan Pengembangkan
Pendidikan Kalimantan Selatan (LPPPKS), dan Pusat Studi Sejarah dan Nilai
Budaya Kalimantan Selatan (PSNBKS), mengikuti berbagai seminar dan
workhsop dalam berbagai bidang dan melakukan kerja sama penelitian dengan
Asia Foundation, PT Djarum Kudus, Pemkab, Pemko dan Pemprov Kalimantan
Selatan serta instansi lainnya.
Ratusan tulisannya dimuat berbagai media cetak, antara lain HU
Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaharuan, Kedaulatan Rakyat, Berita
Nasional, Jayakarta, Pelita, Bandung Pos, Haluan, Radar Banjarmasin, Dinamika
Berita, Banjarmasin Pos, Bandjarbaroe Post, Sinar Kalimantan dan media cetak
lainnya.
Penyunting
317
Pemimpin Umum Bandjarbaroe Post dan majalah GAGAH mengusung
prinsip: Tulis apa yang ada di pikiran bukan memikirkan apa yang akan
ditulis. Tulis apa yang hendak ditulis, pasti jadi tulisan. Publikasi harian
tulisannya dapat diikuti melalui www. ersiswarmansyah.wordpress.com dan
facebook Ersis Warmansyah Abbas.
Sebagai penyaluran kehendak menulis dan memotivasi berbagai
kalangan untuk menulis, Ersis mendirikan dan mengembangkan Gerakan
Persahabatan Menulis (GPM) berbasis dunia maya yang cabang daratnya
berkembang di kota-kota Indonesia dengan pelibat di Singapura, Taiwan,
Hongkong, Mesir, dan berbagai negara lainnya. GPM wilayah melakukan
kegiatan menulis dan telah menerbitkan puluhan buku dan untuk itulah sering
bepergian ke berbagai kota dalam lakon sharing menulis atau pelatihan menulis.
Ersis Warmansyah Abbas menerbitkan beragam buku berbagai tema:
I. TENTANG MENULIS
1. Menulis Sangat Mudah. 2007. Yogyakarta: Mata Khatulistiwa.
2 Menulis Mari Menulis. 2007. Yogyakarta: Mata Khatulistiwa.
3. Menulis dengan Gembira. 2008. Yogyakarta: Gama Media.
4. Menulis Berbunga-Bunga. 2008. Yogyakarta: Gama Media.
5. Virus Menulis Zikir Menulis. 2008: Yogyakarta: Gama Media.
6. Menulis Mudah: Dari Babu Sampai Pak Dosen. 2008: Yogyakarta:
Gama Media.
7. Menulis Tanpa Berguru. 2009. Yogyakarta: Gama Media.
8. Menulis Membangun Peradaban. 2009. Yogyakarta: Gama Media.
9. ‘Jatuh Cinta’ Menulis. 2011: Bandung: Wahana Jaya Abadi.
10. Indonesia Menulis. 2011: Bandung: Wahana Jaya Abadi.
11. Suer, Menulis Itu Mudah. 2012: Jakarta: Elex Media Komputindo, KK
Gramedia.
12. Percaya Ngak Percaya, Menulis Itu Mudah. 2012. Bandung: Wahana
Jaya Abadi.
13. Mudah Menulis Memudahkan Menerbitkan Buku. 2012. Bandung:
Wahana Jaya Abadi.
14. Menulis Menyenangkan. 2012. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
15. Menulis Mudah Memudahkan Menulis. 2013. Bandung: Wahana
Jaya Abadi.
16. Indonesia Menulis: Perjalanan Spiritual. 2013. Bandung: Wahana
Jaya Abadi.
17. Menulis di Otak. 2015. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
18. Menulis Menuliskan Diri. 2015. Bandung: Wahana Jaya Abadi.

Penyunting
318
19. Menulis Mengasyikkan. 2015. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
20. Menulis Membangun Mindset. 2015. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
21. Menulis Menjinakkan Kegagalan. 2015. Bandung: Wahana Jaya
Abadi.
22. Menulis Menghancurkan Belenggu. 2015. Bandung: Wahana Jaya
Abadi.
23. Menulis Enjoy Enjoy Sajalah. 2015. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
24. Mengatasi Kesulitan Menulis. 2016. Bandung: Wahana Jaya Abadi.

II. FIKSI
1. Surat Buat Kekasih. Antologi Puisi. 2006. Yogyakarta: Gama Media.
2. Garunum. Antologi Puisi (Bersama). 2006. Yogyakarta: Gama Media.
3. Taman Banjarbaru, antologi puisi bersama. 2006. Yogyakarta: Gama
Media.
4. Kolaborasi Nusantara. Antologi Puisi (Bersama). 2006. Yogyakarta:
Gama Media.
5. Tajuk Bunga. Antologi Puisi (Bersama). 2006. Yogyakarta: Gama Media.
6. ASAP (Novel). 2010. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
7. Menjaring Cakrawala. 2011. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
8. Zikir Rindu. 2011. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
9. Deru Awang-Awang. 2012. Bandung: Wahana Jaya Abadi.
10. Senyawa Kata Kita. Antologi Puisi (Bersama). 2012. Bandung:
Wahana Jaya Abadi.
11. Astagfirullah, Antologi Cerpen (Bersama). Bandung: Wahana Jaya
Abadi.
12. Bogor Kasohor, Antologi Puisi (Bersama). 2012. Bandung: Wahana
Jaya Abadi.
III. MOTIVASIONAL SPIRITUAL
1. Nyaman Memahami ESQ. 2005. Yogyakarta: Gama Media.
2. Sabar, Ikhlas, dan Bersyukur: Melejitkan Potensi Diri. 2013.
Bandung: Wahana Jaya Abadi.

IV. BUKU AJAR, PEMIKIRAN, DAN PENELITIAN


1. Pemuda dan Kepahlawanan. 1988. Bandung: Materpamur.
2. Bab-Bab Antropologi. 1996. Penyunting tulisan Fudiat Suryadikara.
Banjarmasin: EWA Book Company.
3. Memahami Sejarah. 1997. Banjarmasin: EWA Book Company.

Penyunting
319
4. Pembangunan Kalimantan. 1998. Penyunting tulisan Ismet Ahmad.
Banjarmasin: EWA Book Company.
5. Perjuangan Rakyat Kabupaten Banjar dalam Revolusi Fisik 1945-
1949. 2000. Martapura: Pemkab Banjar dan LPKPK.
6. Tanah Laut: Sejarah dan Potensi. 2000. Pelaihari: Pemkab Tanah
Laut dan LPKPK.
7. Data Dasar Banjarbaru: Banjarbaru Menuju Metropolitan. 2002.
Pemko Banjarbaru dan LPKPK.
8. Banjarbaru. 2002. Banjarbaru: Pemko Banjarbaru dan LPKPK.
9. Menguak Atmosfir Akademik. 2004. Penyunting bersama Sutarto Hadi.
Banjarmasin: FKIP Unlam.
10. Menggugat Kepedulian Pendidikan Kalimantan Selatan. 2005.
Banjarbaru: LPKPK.
11. Nyaman Memahami ESQ. 2005. Yogyakarta: Gama Media.
12. Sejarah Kotabaru. 2010. Bandung: Rekayasa Sains.
13. PDAM Bandarmasih: Primadona Kota Air. 2010. Bandung:
Rekayasa Sains.
14. Mewacanakan Pendidikan IPS. 2013. Penyunting. Bandung:
Wahana Jaya Abadi, dan FKIP-Unlam Press.
15. Pendidikan Karakter. 2014. Penyunting. Bandung: Niaga Sarana
Mandiri dan FKIP-Unlam Press.
16. Building Nation Character Through Education. 2014. Penyunting.
Bandung: Wahana Jaya Abadi dan FKIP-Unlam Press.
17. Pendidikan IPS Berbasis Kearifan Lokal. 2015. Penyunting.
Bandung: Wahana Jaya Abadi, dan FKIP-Unlam Press.
18. Ethnopedagogy. 2016. Penyunting. Bandung: Wahana Jaya Abadi,
dan FKIP-Unlam Press.
19. Pendidikan Sejarah, Patriotisme & Karakter Bangsa: Malaysia-
Indonesia. 2016. Penyunting. Bandung: Wahana Jaya Abadi, dan FKIP-
Unlam Press.
20. Building Education Based on Nationalism Values. 2016. Book I.
Penyunting. Bandung: Wahana Jaya Abadi, dan FKIP-Unlam Press.
21. Building Education Based on Nationalism Values. 2016. Book II.
Penyunting. Bandung: Wahana Jaya Abadi, dan FKIP-Unlam Press.

V. BIOGRAFI
1. Buku Kenangan Purna Tugas M.P. Lambut. 2003. (Editor Bersama).
Banjarmasin: FKIP Unlam.

Penyunting
320
2. Rudy Resnawan: Untukmu Banjarbaru. 2010. Bandung: Rekayasa
Sains.
3. Guru Sekumpul: Biografi Pendidikan Profetik. 2014. Bandung:
Wahana Jaya Abadi.
4. Guru Sekumpul. 2014. Bandung: Wahana Jaya Abadi.

VI TEMA BEBAS
1. Masa Kecil Yang Tak Terlupakan (Bersama). 2011. Malang: Bintang
Sejahtera.
2. Cinta Pertama: Kisah-Kisah Cinta Berhikmah. 2012. Bandung:
Wahana Jaya Abadi.

IV. PROSES TERBIT


Beberapa bukunya dalam proses penerbitan.

V. SEMINAR, SHARING, TALKSHOW, DAN PELATIHAN MENULIS


Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, KAMMI Kalsel, Radio
MQFM Bandung, Tahajud Call Bandung, Masjid Salman ITB Bandung, UIN
Malang, Malang Post Malang, Universitas Pakuan Bogor, IAIN Sunan Ampel
Surabaya, Universitas Brawijaya Malang, Institut Keislaman Hasyim As’ari
Jombang, Politeknik Negeri Banjarmasin, Politeknik Negeri Tanah Laut,
Pesantren Darul Ilmi Banjarbaru, Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren
Banyuanyar Pamekasan, Badiklad Pemprov Kalsel, LPMP Kalsel, SMA/MA, dan
berbagai insitusi dan instansi.

Penyunting
321
PENYUNTING
Professor Madya Dato Dr Abdul Razak Ahmad, 15 Ogos
1962 di Temerloh, Pahang, Malaysia. Profesor Madya,
Jabatan Pendidikan dan Kesejahteraan Komuniti, Fakulti
Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia, 43600,
Bangi, Selangor Bidang Pengkhususan Sosiologi
Pendidikan, Pendidikan Dewasa dan Pendidikan
Sejarah.

Anugerah & Penghargaan:


1. Darjah Kebesaran Ahli Mahkota Pahang (A.M.P), 2002 Darjah
Kebesaran Setia Mahkota Pahang (S.M.P), 2007.
2. Pemenang Anugerah Khidmat Masyarakat Universiti Kebangsaan
Malaysia 2009 Darjah Kebesaran Indera Mahkota Pahang
(D.I.M.P. 2011).

Kelayakkan Akademik:
1. Ph.D Sosiologi Pendidikan, 24 April 2008, Universiti Malaya.
2. Ijazah Sarjana Sosiologi Pendidikan, 1998-1999, Universiti
Kebangsaan Malaysia.
3. Diploma Pendidikan, 1991-1992, Maktab Perguruan, Sultan Abdul
Halim Kedah, Malaysia.
4. Diploma Bahasa Arab, 1990, American University in Cairo.
5. B.A (Hons.) 1986-1987, Universiti Malaya.

Penyunting
322
Kurniaan dan Penghargaan:
1. Darjah Kebesaran Ahli Mahkota Pahang (A.M.P), KDYMM Sultan
Pahang, 24 Oktober 2001.
2. Darjah Kebesaran Setia Mahkota Pahang (S.M.P), KDYMM Sultan
Pahang, 10 April 2007.
3. Pemenang Anugerah Khidmat Masyarakat Universiti Kebangsaan
Malaysia 2009, Universiti Kebangsaan Malaysia, 7 Ogos 2009.
4. Anjakan Gaji (AG) bagi tahun 2010 (Penilaian tahun 2009), Fakulti
Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia, 9 Ogos 2010.
5. Darjah Kebesaran Indera Mahkota Pahang (D.I.M.P.), KDYMM Sultan
Pahang, 24 Ogos 2011.
6. Perlantikan Sebagai Felo Penyelidikan Bersekutu Pusat Kecemerlangan
Pedagogi Peribumi Kebangsaan, Institut Perguruan Tengku Ampuan
Afzan, 16 November 2011.
7. Perlantikan Sebagai Hakim Pertandingan Jurnal Konvensyen
Kebangsaan Pendidikan Guru (KKPG), Institut Pendidikan Guru, 31
Oktober 2011-1 November 2011.
8. Anugerah Perkhidmatan Cemerlang (APC), Fakulti Pendidikan
Universiti Kebangsaan Malaysia, 3 Mei 2013.
9. Pemenang Pingat Emas Karnival Inovasi Pengajaran dan Pembelajaran
(K-Novasi) UKM, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2016.

Penerbit:
1. Maxwell Journal: AbdulRazaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang. 2016.
Culturally Responsive Pedagogy: Socio- Educational Support and
Coomunity Engagement for Educational Development of Abroginal
Students. DOI:10.15804/tner.2016.43.1.13. Index: Scopus. Jurnal
Antarabangsa.
2. Abdul Razaq Ahmad, Ahmad Ali Seman, Mohd Mahzan Awang &
Fadzilah Sulaiman. 2015. Application of Multiple Intelligence Theory
to Increase Student Motivation in Learning History. 7(1): 210219.
ISSN: 1916-9663. Jurnal Antarabangsa.
3. Mohd Mahzan Awang, Noor Azam Abdul Rahman, Noraziah Mohd
Amin dan Abdul Razaq Ahmad. 2015. Mesej Perpaduan Dalam
Buku Teks Bahasa Malaysia Tingkatan 4 dan 5: Analisis Terhadap
Peribahasa Melayu. Jurnal Pendidikan Bahasa Melayu. 5(1):44-52.
ISSN: 2180-4842. Jurnal Kebangsaan.
4. Norwaliza Abdul Wahab, Abdul Razaq Ahmad, Zalizan Mohd Jelas,
Norshariani Abd Rahman, and Lilia Halim. 2014. The Role and

Penyunting
323
Perspectives of Administrators inthe Schools of Orang Asli Students:
A Case Study in the State of Pahang. International Journal of Learning
and Teaching Vol. 1, No. 1. Jurnal Kebangsaan.
5. Abdul Razaq Ahmad, Najamuddin Hj. Bachora. Interaction for Unity
among Trainee Teachers at Selected Teacher Training Institutes in
East Malaysia. IIUM Journal of Educational Studies, 2:2. 2014. 5-21.
ISSN: 2289-8085. INDEX: Google Scholar, DOAJ (Directory of Open-
Access Journals), MyCite. Jurnal Kebangsaan
6. Ruslin Amir, Anisa Saleha, Zalizan Mohd Jelas, Abdul Razaq Ahmad
& Hutkemri. 2014. Student’s Engangement by Age and Gender: A
Cross-Sectional Study in Malaysia. Middle-East Journal of Scientific
Research 21 (10): 1886-1892. ISSN: 1990-9233. INDEX: ISI
Thomson. Jurnal Antarabangsa.
7. Alfitri, Mohd Mahzan Awang dan Abdul Razaq Ahmad. 2014.
Culturally-Responsive Strategies for Resolving Social Conflict in
Rural Community. Mediterranean Journal of Social Sciences 5(20):
2267. Jurnal Antarabangsa.
8. Alfira, Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad dan Mohd Khairi
Ahmad. 2014. Social-Educational Support And Arabic Language
Practices Among Secondary School Students. Journal of Language
and Literature 5(3): 219-228. ISSN: 2078-0303. Jurnal Antarabangsa.
9. Abdul Razaq Ahmad. Determination Of Teaching Aids And Methods
To Inculcate Thinking Skills In History Subjects. Tawarikh International
Journal For Historical Study. Vol.5 (3) Oktober 2014. ISSN 2085-
0980. Aspensi Bandung Indonesia. Jurnal Antarabangsa.
10. Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang and Tajuddin Mohd
Yunus. 2014. Mentoring Practices In Schools: The Roles of Senior
Subject Teachers as Perceived by Heads and Teachers. Journal of
Education and Sociology. 5(2): 65-75. ISSN: 2078-032X. Jurnal
Antarabangsa.
11. Norwaliza Abdul Wahab, Abdul Razaq Ahmad, Zalizan Mohd Jelas,
Norshariani Abd Rahman and Lilia Halim. 2014. The Role And
Perspectives of Administrators in the Schools of Orang Asli Students:
A Case Study in the State of Pahang. International Journal of
Learning and Teaching. 1(1): 60-64. Jurnal Antarabangsa.
12. Abdul Razaq Ahmad, Najamuddin Hj. Bachora. 2014. Interaction
for Unity among Trainee Teachers at Selected Teacher Training
Institutes in East Malaysia. IIUM Journal of Educational Studies.
2(2):5-21. ISSN: 2289-8085. Jurnal Kebangsaan.

Penyunting
324
13. Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad dan Mohd Muhaimi
Abdul Rahman. 2014. Penggunaan Peta Minda oleh Pelajar Pintar
Cerdas dalam Pembelajaran Sejarah. Jurnal Pendidikan Malaysia.
39(2): 95-100. Jurnal Kebangsaan.
14. Abdul Razaq Ahmad & Tajuddin Mohd Yunus. 2014. Performance
Of The Senior Subject Teachers In School: Evaluation By The
Administrators. Australian Journal of Basic and Applied Sciences,
8(13) August 2014, Pages: 90-97. ISSN: 1991-8178 [Q3]. INDEX.
Thomson Reuters (Formerly Known As ISI), Ulrich Periodicals,
Ebsco Host, Cabi (Cab International). Jurnal Antarabangsa.
15. Norshariani Abd Rahman, Lilia Halim, Abdul Razaq. 2014.
Environmental Knowledge Among Aboriginal Students. Journal Of
Education and Social Research. ISSN 2239-978X, ISSN 2240-0524.
Vol. 4 No.6, September 2014. INDEX. EBSCO-Electronic Journal
Service, DOAJ - Directory of Open Access Journal, UlrichsWeb -
Global Serial Solutions, Cabell’s Publishing – Directories of
Academic Journal, Jurnal Antarabangsa.
16. Jalaludin Abdul Malek, Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang,
Juhari Ahmad & Alfitri. 2014. Sustainable Environmental
Management and Preservation Knowledge among Multi-athnic
Residents. Asian Journal Of Scientific Research. ISSN: 1992-1454.
[Q3] . INDEX. ASCI-Database, Chemical Abstract Services, Directory
of Open Access Journals, Google Scholar, SCIMAGO, SCOPUS.
Jurnal Antarabangsa.
17. Jalaludin Abdul Malek, Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang
& Alfitri. 2014. Symbiotic Relationship Between Telecentre And
Lifelong Learning For Rural Community Development: A Malaysian
Experience. TOJET: The Turkish Online Journal of Educational
Technology-July 2014. Volume 13, Issue 3. 48-155. INDEX.
Education Research Index, ERIC, SCOPUS Database and others.
Jurnal Antarabangsa.
18. Norwaliza Abdul Wahab, Ramlee Mustapha, Abdul Razaq Ahmad
& Zalizan Mohd Jelas. Vocational Education and Skills Training for
Indigenous Community in Malaysia. Journal of Education and
Practice. ISSN 2222-1735. Vol. 5, No. 11. 2014. INDEX. EBSCO
(U.S.), Index Copernicus (Poland), Ulrich’s Periodicals Directory
(ProQuest, U.S.), JournalTOCS (UK), PKP Open Archives Harvester
(Canada), SCI-Edge (U.S.) and others. Jurnal Antarabangsa.

Penyunting
325
19. Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang & Fong Peng CHEW.
Adult Student Perspectives on Computer Literacy Programme.
Pensee Journal. Espaces Marx. ISSN: 0031-4773 Vol 76, No. 1 (Jan
2014). INDEX. ISI Thomson Reuters, Scopus Elsevier, CSA
(ProQuest), EBSCO and others. Jurnal Antarabangsa.
20. Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad et al. Examining Gaps
Between Students’ Expectations and Experiences Iin a Private
University. Mediterranean Journal of Social Sciences. ISSN: 2039-
2117 (online), Vol 5, No 8 (May 2014). INDEX. Jurnal Antarabangsa.
21. Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang & Alfitri. Culturally-
Responsive Strategies For Resolving Social Conflict In Rural
Community. Mediterranean Journal of Social Sciences. Universiti
Sriwijaya dan Universiti Kebangsaan Malaysia. ISSN 2039-2117
(online) Vol 5 No 20. September 2014. INDEX. Jurnal Antarabangsa.
22. Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang, Ahmad Ali Seman,
Ramle bin Abdullah. The Skills of Using History Textbooks in
Secondary School. Asian Social Science. 9(12):229-236. 2013.
Canadian Center of Science and Education ISSN: 1911-2017. [Q3].
INDEX. SCOPUS, Australian Business Deans Council, DOAJ
(Directory of Open-Access Journals), Lockss, Open J-Gate,
ProQuest and others. Jurnal Antarabangsa.
23. Najamuddin Bachora, Abdul Razaq Ahmad & Zalizan Mohd Jelas.
2013. Perhubungan Etnik Antara Guru Pelatih di Salah Sebuah
Institusi Pendidikan Guru Zon Sabah. Jurnal Penyelidikan
Pendidikan.
24. Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad, Jamalul Lail Abdul
Wahab, Nordin Mamat. Effective Teaching Strategies To Encourage
Learning Behaviour. IOSR Journal for Humanities and Social
Science. 8(2):35-40. 2013. ISSN: 2279-0845. Jurnal Antarabangsa.
25. Abdul Razaq Ahmad, Zalizan Mohd Jelas, Zahiah Kassim. Social
Intelligence of the Indigenous Pupils. Australian Journal of Basic
and Applied Sciences. 7(8):1004-1010. 2013. INSInet Publications.
ISSN: 1991-8178. [Q3] INDEX: Thomson Reuters (Formerly Known
As ISI), Ulrich Periodicals, Ebsco Host, Cabi (Cab International).
Jurnal Antarabangsa.
26. Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad, Manisah Mohd Ali.
Professional Teachers‘ Strategies for Promoting Positive Behaviour
in Schools. Asian Social Science. 9 (12): 205-211. 2013. Canadian
Center of Science and Education. ISSN: 1911-2017. [Q3] INDEX

Penyunting
326
SCOPUS, Australian Business Deans Council, DOAJ (Directory of
Open-Access Journals), Lockss, Open J-Gate, ProQuest and others
Jurnal Antarabangsa.
27. Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang, Wan Hasmah Wan
Mamat. The Effectiveness of Human Development Programmes in
Improving Community Wellbeing. Australian Journal of Basic and
Applied Sciences. 7(9):51-57. 2013. INSInet Publications. ISSN: 1991-
8178. [Q3]. INDEX. Thomson Reuters (Formerly Known As ISI), Ulrich
Periodicals, Ebsco Host, Cabi (Cab International). Jurnal Antarabangsa.
28. Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad, Nora‘asikin Abu Bakar,
Sayuti Abd Ghani, Asyraf Nadia Mohd Yunus, Mohd Asrul Hery Ibrahim,
Jaya Chitra Ramalu, Che Pee Saad, Mohd Jasmy Abd Rahman.
Students’ Attitudes and Their Academic Performance in Nationhood
Education. International Education Studies. 6(11):21-28. 2013.
Canadian Center of Science and Education. ISSN: 1913-9039. [Q4].
INDEX. DOAJ, Google Scholar, Lockss, NewJour, Open J-Gate,
ProQuest, SCOPUS and others. Journal Antarabangsa.
29. Abdul Razaq Ahmad, Mohamad Johdi Salleh, Mohd Mahzan
Awang, Nazifah Alwaani Mohamad. Investigating Best Practice and
Effectiveness of Leadership Wisdom among Principals of Excellent
Secondary School Malaysia: Perceptions of Senior Assistants.
International Education Studies. 6 (8): 38-46. 2013. Canadian Center
of Science and Education. ISSN: 1913-9039. [Q4]. INDEX. DOAJ,
Google Scholar, Lockss, NewJour, Open J-Gate, ProQuest,
SCOPUS and others. Jurnal Antarabangsa.
30. Abdul Razaq Ahmad, Ahamad Rahim, Ahmad Ali Seman. Active
Learning Through History Subject Towards Racial Unity in Malaysia.
The Social Sciences 8 (1): 19-24. 2013. Medwell Journal. ISSN:
1818-5800. Jurnal Antarabangsa.
31. Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad, Jamalul Lail Abdul
Wahab, Nordin Mamat. Effective Teaching Strategies To Encourage
Leaning Behaviour. IOSR Journal Of Humanities And Social
Sciences (IOSR-JHSS). 8(2): Jan-Feb. 2013. e-ISSN 2279-0837.
P-ISSN-:2279-0845 www.iosrjournals.org. INDEX. UlrichWeb
(Global Serial Directory), Cabell’s Directories, Google scholar, Jour
Informatics and others. Jurnal Antarabangsa.
32. Zarina MD Yasin, Zahara Aziz, Abdul Razaq Ahmad, Ruslin Amir.
2013. Kemahiran Pemikiran (KPS) Dalam Kalangan Guru
Menengah Atas: Satu Penilaian. Jurnal Pendidikan Pendidikan. Jilid
14. INDEX. Jurnal Kebangsaan.
Penyunting
327
33. Abdul Razaq Ahmad, Ahmad Ali Seman. 2012. Diversity As A Medium
to Reinforce Ethnic Tolerance in History Subject In Malaysia.
International Journal of Academic Research in business and Social
Sciences. 2(12). ISSN 2222-6990. INDEX. UlrichWeb (Global Serial
Directory), USA,Cabell’s Directories, USA,ProQuest, United Kingdom,
Index Copernicus, Poland, EBSCO, Gale | Cengage Learning,
Database of Open Access Journals (DOAJ), Journal Seek, Academic
Resources (ourGlocal.com), Electronic Journals and Newsletters
(Open New Jour) and others. Jurnal Antarabangsa.
34. Azwani Ismail, Zahara Aziz, Sharipah Nor Puteh, Abdul Razaq
Ahmad. 2012. Kesan Model STAD terhadap Sikap dan Kemahiran
Berkomunikasi Pelajar dalam Matapelajaran Sejarah. Jurnal
Pendidikan dan Latihan.Bil.1. Jilid 4. Ms 65. Jurnal Pendidikan dan
Latihan. Majlis Amanah Rakyat. ISSN: 1985-9597. Jurnal Kebangsaan.
35. Ahmad Ali Seman, Abdul Razaq Ahmad, Warti Kimi. 2012. Student’s
Centered And Creativity Of Teachers During History Class.
International Journal of Arts and Commerce. Vol:1, No:4, September
2012. ISSN : 1929-7106. Publisher: Centre For Enhancing
Knowledge, UK. Indexed in Copernicus, ProQuest, Ulrichsweb,
GoogleBeta, Hoschulbibliothek Reutlingen, Newjour. Journal
Antarabangsa Indexed.
36. Hambali, Abdul Razaq Ahmad. 2011. Membentuk Karakter Bangsa
Melalui Budaya Sekolah. Jurnal Sosiologi Universitas Sriwijaya.
Volume 14, bil.2, Ogos-Disember. ISSN 1412-1411. Publisher: UNRI
Press. Jurnal Antarabangsa.
37. Ahamad b. Rahim, Azwani b. Ismail, Abdul Razaq Ahmad, Zahara
bt Aziz dan Sharifah Nor Puteh. 2011. Kurikulum Sejarah ke Arah
Pembentukan Perpaduan Kaum di Malaysia. Jurnal Pendidikan dan
Latihan. Bil 1. Jilid 3. ms 1-18. ISSN 1985-9597. Penerbitan Majlis
Amanah Rakyat (MARA). Jurnal Kebangsaan.
38. Abdul Razaq Ahmad, Norhasni Zainal Abiddin, Zalizan Mohd Jelas,
Anisa Saleha. 2011. Teachers’ Perspectives toward Schools Diversity
in Malaysia. International Journal of Business and Social Science
Vol. 2, No. 4, m.s 178-189. ISSN 2219-1933 (Print), 2219-6021 (Online).
Penerbitan Centre for Promoting Ideas (CPI). Jurnal Antarabangsa.
39. Aminuddin Hassan, Norhasni Zainal Abiddin & Abdul Razaq Ahmad.
2011. Islamic Philosophy as the Basis to Ensure Academic
Excellence. Jurnal Vol. 7, No. 3, m.s 37-41. ISSN: 1911-2017 (print).
ISSN 1911-2025 (online). INDEX. AMICUS, Canadiana (The National

Penyunting
328
Bibliography), DOAJ (Directory of Open-Access Journals),
EBSCOhost, Google Scholar, Library and Archives Canada, Lockss,
Open J-Gate, PKP Open Archives Harvester, ProQuest, The
Excellence in Research for Australia, Ulrich’s, Universe Digital Library,
Wanfang Data. Jurnal Antarabangsa.
40. Abdul Razaq Ahmad, Ahmad Rafaai Ayudin. 2011. History
Curriculum Development Model Towards Nation Building of
Malaysia. International Journal of History Education (Historia).Vol.
XII, No.1. ISSN 2086-3276. Penerbitan Association of History
Educators and Reseachers. Jurnal Antarabangsa.

Penerbitan Buku:
1. Ahmad Rafai bin Ayudin, Abdul Razaq Ahmad, Zuraini Husain.
Sejarah Dunia SPM Tingkatan 4. Penerbit: RAFNI ENTERPRISE.
ISBN 978-9834124-47-3. Penulis bersama. Kebangsaan.
2. Ahmad Rafai bin Ayudin, Abdul Razaq Ahmad, Zuraini Husain.
Sejarah Dunia SPM Tingkatan 5. Penerbit: RAFNI ENTERPRISE.
ISBN 978-9834124-47-3. Penulis bersama. Kebangsaan.
3. Zamri Mahamod, Mohd Izham Mohd Hamzah, Abdul Razaq Ahmad
& Mahdum. 2013. Himpunan Penyelidikan Pendidikan Serantau.
ISBN: 978-983-2267-53-9. Editor. Kebangsaan.
4. Abdul Razaq Ahmad, Ahmad Ali Seman & Rahmat Ghazali. 2011.
Perjuangan ke Puncak : Adunan Kisah Ke arah Merealisasikan Impian
dan Cita-Cita. Yayasan Istana Abdulaziz. Penulis bersama.
Kebangsaan.
5. Abdul Razaq Ahmad & Anuar Ahmad. 2011. Pendidikan dan
Hubungan Etnik, Penerbit UKM. ISBN 978-983-2267-28-7Hubungan
Etnik. Penulis. Kebangsaan.

Tulisan Bab Dalam Buku:


1. Norwaliza Abdul Wahab, Razaq Ahmad, Zalizan Mohd Jelas: Sinergi
Peribumi. 2014. Penglibatan Komuniti Dalam Pendidikan Orang Asli
pg 40-61 ISBN: 978-983-44636-6-3. Bab Dalam Buku.
2. Ahmad Rafaai Ayudin, Abdul Razaq Ahmad & Ahmad Ali Seman:
Sumbangan Kualiti Instruksional Dalam Membentuk Orientasi. 2013.
Amalan Pembelajaran Dan Pengajaran Dalam Pendidikan pg. 259-
270. ISBN: 978-983-2267-53-9. Bab Dalam Buku.

Penyunting
329
3. Abdul Razaq Ahmad, Ahamad Rahim& Ahmad Ali Seman:
Hubungan Gaya Pembelajaran Aktif Ke Arah Meningkatkan
Penghayatan Pembelajaran Sejarah. 2013. Amalan Pembelajaran
Dan Pengajaran Dalam Pendidikan pg. 271-283. ISBN: 978-983-
2267-53-9. Bab Dalam Buku.

Prosiding:
1. Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang. 2015. Penerokaan
Minat dan Potensi Kerjaya Murid Orang Asli: Satu kajian Kes. Seminar
Pendidikan Pedagogi Peribumi Kebangsaan di Institut Pendidikan
Guru Kampus Tengku Ampuan Afzan pada 6-8 Oktober 2015. 142-
152. ISBN 978-967-11496-9-0. Kebangsaan.
2. Siti Hasmah Bandu, Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang,
2015. Patriotism: Issues and Challenges in Malaysia. 2nd International
Conference on Current Issues in Education (ICCIE) at Yogyakarta
State University, Indonesia on 25-26 August 2015. 116 – 120. ISSN
2460-7185. Antarabangsa.
3. Noor Idayu Md Nasir & Abdul Razaq Ahmad, 2015. Higher Order
Thinking Skills in Learning History Subject. 2 nd International
Conference on Current Issues in Education (ICCIE) at Yogyakarta
State University, Indonesia on 25-26 August 2015. 171 – 179. ISSN
2460-7185. Antarabangsa.
4. Zunaida Zakaria, Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang,
2015. Museum as Learning Institutions in the Teaching of History: Its
Funtions, Strategies and Process of Implementation. 2nd International
Conference on Current Issues in Education (ICCIE) at Yogyakarta
State University, Indonesia on 25-26 August 2015. 222 – 227. ISSN
2460-7185. Antarabangsa.
5. Samni Suraji, Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang. 2015.
The Effectiveness of Learning thought Play Approaches for Pre School
Education. 2 nd International Conference on Current Issues in
Education (ICCIE) at Yogyakarta State University, Indonesia on 25-26
August 2015. 326 – 329. ISSN 2460-7185. Antarabangsa.
6. Mohamad Iskandar Shah Sitam, Abdul Razaq Ahmad & Mohd
Mahzan Awang. 2015. A Development of Conceptual Framework in
Researching School Admission Preferences in A Multi- Ethnic Society.
2nd International Conference on Current Issues in Education (ICCIE)
at Yogyakarta State University, Indonesia on 25-26 August 2015. 397–
403. ISSN 2460-7185. Antarabangsa.

Penyunting
330
7. Abdul Aziz Abdul Rahman, Abdul Razaq Ahmad & Noria Munirah
Yakub. 2015. Creating Tolerance Among People of Various Ethnics
in Malaysia Trough Patriotism. 2 nd International Conference on
Current Issues in Education (ICCIE) at Yogyakarta State University,
Indonesia on 25-26 August 2015. 433-439. ISSN 2460-7185.
Antarabangsa.
8. Mima Suriati Shamsuddin, Mohd Mahzan Awang & Abdul Razaq
Ahmad. 2015. The Relationship Between Students Learning Style
and Their Academic Achievements: A Literature Review. 2 nd
International Conference on Current Issues in Education (ICCIE) at
Yogyakarta State University, Indonesia on 25-26 August 2015. 451-
456. ISSN 2460-7185. Antarabangsa.
9. Norazrinie Abdul Tahar Ariffin & Abdul Razaq Ahmad. 2015. The
Concept of Adult Learning. 2nd International Conference on Current
Issues in Education (ICCIE) at Yogyakarta State University, Indonesia
on 25-26 August 2015. 468 – 469. ISSN 2460-7185. Antarabangsa.
10. Nurul Hidayati Hamid, Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan
Awang. Leisure Time Activities and Quality of Life in Community.
2015. 2nd International Conference on Current Issues in Education
(ICCIE) at Yogyakarta State University, Indonesia on 25-26 August
2015. 479-482. ISSN: 2460-7185. Antarabangsa.
11. Noor Rosmawati Yusuf, Abdul Razaq Ahmad & Mohd Mahzan
Awang. 2015. Transfer of Training Studies In Polytechnic Malaysia.
2nd International Conference on Current Issues in Education (ICCIE)
at Yogyakarta State University, Indonesia on 25-26 August 2015. 529.
ISSN 2460-7185. Antarabangsa.
12. Nurul Adila Hamdan, Izyan Safwani Ismail, Mur Izdihar Che Cob@ Ab
Ghaffar & Abdul Razaq Ahmad. 2015. Sikap Pelajar Sekolah Luar
Bandar Terhadap Media Massa dan Hubungannya dengan
Kecekapan Berbahasa Inggeris. Seminar Penyelidikan dan
Pendidikan Masyarakat Terpinggir. M.s 240. ISBN 978-983-2267-
76-8. Antarabangsa.
13. Nurul Nadian Ahmad Sobri, Soffian Hashnuddin, Nor Fariha Aniza
Md Isa & Abdul Razaq Ahmad. 2015. Analisis Trend Penyertaan
dan Keciciran di Kalangan Pelajar Orang Asli. M.s 170. ISBN 978-
983-2267-76-8. Antarabangsa.
14. Muhd Zuber Abd. Majid, Nor Fariha Aniza Md Isa, Wan Muhd Faizudin
Wan Mat Zin & Abdul Razaq Ahmad (2015). Projek Keusahawanan

Penyunting
331
dan Hubungan dengan Literasi Kewangan Pelajar Universiti. M.s 1.
ISBN 978-983-2267-76-8. Antarabangsa.
15. Nurul Anith Nasihah Che Azmi, Nur Syahirah Fatin Mohd Zamri,
Engku Dewi Noraniza Engku Mansor & Abdul Razaq Ahmad. 2015.
Tahap Pengetahuan, Motivasi dan Sokongan untuk Aktiviti
Keusahawanan dan hubungannya dengan Penglibatan Pelajar
dalam Aktiviti Keusahawanan Di Universiti. M.s 17. ISBN 978-983-
2267-76-8. Antarabangsa.
16. Anita Abu Hasan, Abdul Razak Ahmad & Zahara Aziz (2013).
Keberkesanan Kursus Murid dan Alam Belajar Dalam Membantu
Program Praktikum di Sekolah dari Persepsi Guru Pelatih di Institusi
Pendidikan Guru. 6th International Seminar on the Regional
Education (UKM-UR): Quality and Excellence in Education / Faculty
of Education, UKM. Antarabangsa.
17. Norwaliza Abdul Wahab, Abdul Razak Ahmad, Zalizan Mohd Jelas,
Wan Hasmah Wan Mamat, Ramle Abdullah. 2012. The Role Of
Administrators in The School of Aboriginal Students: A Case study in
the State Of Pahang, Malaysia. 1 st International Conference On
Current Issues in Education. M.s 411. ISBN 978-602-18661-1-5.
INDEX. EBSCO, CNKI, DOAJ, WorldCat, Google Scholar, Ulrich’s
Periodicals. Antarabangsa.
18. Mohd Richard Neles, Abdul Razaq Ahmad, Fazilah Idris. 2012.
Application Of Rationale Choice Theory and Theory of Planned
Behaviour in The Multiethnic Classroom Management towards Ethnic
Tolerance in Malaysia. 1st International Conference On Current Issues
in Education. M.s 340. ISBN 978-602-18661-1-5. Antarabangsa.
19. Mohd Fauzi Ali, Abdul Razaq Ahmad, Ahmad Ali Seman. 2012. Historical
Thinking Skills in Malaysian Integrated Secondary School Curriculum.1st
International Conference On Current Issues in Education.M.s 334.Aditya
Media. ISBN 978-602-18661-1-5. Antarabangsa.
20. Mastura Kamarudin, Abdul Razaq Ahmad & Zalizan Mohd Jelas.
2012. The Influence of Motivation towards Achievement of English
Languge among Students in Pahang Rural Areas.1st International
Conference On Current Issues in Education.M.s 19.Aditya Media.
ISBN 978-602-18661-1-5. Antarabangsa.
21. Abdul Aziz Rahman, Abdul Razaq Ahmad. 2012. Streghtening The
Identity of Various Communities in Nation Building: Issues and
Challenges. 1st International Conference On Current Issues in
Education.M.s 1. Aditya Media. ISBN 978-602-18661-1-5. Antarabangsa.

Penyunting
332
22. Ramle b. Abdullah, Abdul Razaq Ahmad, Wan Hasmah Wan
Mamat, Zalizan Mohd Jelas. 2012. Pembangunan Pendidikan
Masyarakat Orang Asli Suku Kaum Semelai: Peranan Ibu Bapa dan
Jabatan Kemajuan Orang Asli. International Seminar on Educational
Comparative in Competency Based Curriculum Between Indonesia
and Malaysia. M.s 1302. Rizqi Press. ISBN 979-602-9098-44-0.
Antarabangsa.
23. Mohd Nasaruddin b. Mohd Nor,Abdul Razaq Ahmad, Anuar
Ahmad,Ahamad Rahim. 2012. Pendidikan dan Kerjaya Dalam
Kalangan Pelajar Orang Asli di Malaysia. International Seminar
Educational Comparative in Competency Based Curriculum
Between Indonesia and Malaysia. M.s 2183. Rizqi Press. ISBN 979-
602-9098-44-0. Antarabangsa.
24. Haslina Mohd Yunus, Abdul Razaq Ahmad, Irwan affendi Md Naim,
Zainal Jantan. 2012. Isu dan Cabaran Keciciran Orang Asli Di Negeri
Pahang. International Seminar Educational Comparative in
Competency Based Curriculum Between Indonesia and Malaysia.
M.s 1244. Rizqi Press. ISBN 979-602-9098-44-0. Antarabangsa.
25. Siti Syazwani Abdul Mubin, Abdul Razaq Ahmad, Ramle Abdullah,
Ahamad Rahim. 2012. Faktor-Faktor Keciciran Murid Orang Asli
Dalam Pendidikan. International Seminar Educational Comparative
in Competency Based Curriculum Between Indonesia and Malaysia.
M.s 1231. Rizqi Press. ISBN: 979-602-9098-44-0. Antarabangsa.
26. Jusliani bte Jaapar, Abdul Razaq Ahmad, Ahamad b. Rahim. 2012.
Tabiat Merokok dalam Kalangan Pelajar Sekolah Menengah.
International Seminar Educational Comparative in Competency
Based Curriculum Between Indonesia and Malaysia. M.s 1173. Rizqi
Press. ISBN: 979-602-9098-44-0. Antarabangsa.
27. Norwaliza Abdul Wahab, Abdul Razaq Ahmad, Ahamad Rahim
2012. Amalan Pedagogi guru di Sekolah Masyarakat Orang Asli:
Satu Kajian Kes di Negeri Pahang. International Seminar
Educational Comparative in Competency Based Curriculum
Between Indonesia and Malaysia M.s 1087. Rizqi Press. ISBN 979-
602-9098-44-0. Antarabangsa.
28. Mohd Fauzi b. Ali, Abdul Razaq Ahmad, Ahmad Ali Seman. 2012.
Kompetensi Guru Sejarah di Malaysia. Isu dan Cabaran.
International Seminar Educational Comparative in Competency
Based Curriculum Between Indonesia and Malaysia .M.s 938. Rizqi
Press. ISBN 979-602-9098-44-0. Antarabangsa.

Penyunting
333
29. Mohd Richard Neles Abdullah, Abdul Razaq Ahmad, Fazilah Idris.
2012. Penerapan Teori Pilihan Rasional dan Teori Tingkah Laku
Terancang dalam Meningkatkan Pengaruh Positif Agama Terhadap
Toleransi Etnik di Malaysia. International Seminar Educational
Comparative in Competency Based Curriculum Between Indonesia
and Malaysia m.s 948. Rizqi Press. ISBN 979-602-9098-44-0.
Antarabangsa.
30. Ahmad Rizal Md Rais, Najamuddin Hj. Bachora, Abdul Razaq
Ahmad, Mastura Kamarudin, Norina Nordin. 2012. International
Seminar Educational Comparative in Competency Based
Curriculum Between Indonesia and Malaysia .M.s 854. Rizqi Press.
ISBN 979-602-9098-44-0. Antarabangsa.
31. Abdul Razaq Ahmad, Ahamad b.Rahim, Ahmad Ali Seman,
Norwaliza Abdul Wahab. 2012. Pembelajaran aktif Dalam
Matapelajaran Sejarah Kearah Perpaduan Kaum di Malaysia.
International Seminar Educational Comparative in Competency
Based Curriculum Between Indonesia and Malaysia m.s 650. Rizqi
Press. ISBN 979-602-9098-44-0. Antarabangsa.
32. Zunaida Zakaria, Abdul Razaq Ahmad, Ramle Abdullah 2012.
Gaya Pembelajaran dan Hubungan Dengan Pencapaian Pelajar
orang Asli. International Seminar Educational Comparative in
Competency Based Curriculum Between Indonesia and Malaysia.
M.s 633. Rizqi Press. ISBN 979-602-9098-44-0. Antarabangsa.
33. Hidayah Harun, Abdul Razaq Ahmad, Ahamad b.Rahim, Ramle
Abdullah. 2012. Sikap dan Tahap Pencapaian Akademik Rendah
Murid Orang Asli Di Malaysia: Faktor-Faktor dan Penyelesaian.
International Seminar Educational Comparative in Competency
Based Curriculum Between Indonesia and Malaysia. Ms 559-563.
Rizqi Press. ISBN 979-602-9098-44-0. Antarabangsa.
34. Wan Hasmah Wan Mamat, EdD, Abdul Razaq Ahmad, PhD, Ramle
Abdullah, PhD, Ahmad Ali Seman. 2012. Perspektif Murid Orang Asli
Tentang Sekolah dan Pendidikan. International Seminar Educational
Comparative in Competency Based Curriculum Between Indonesia
and Malaysia. m.s 419. Rizqi Press. ISBN 979-602-9098-44-0.
Antarabangsa.
35. Ahmad Ali Seman,Abdul Razaq Ahmad, Fadzilah Sulaiman.(2012).
Keberkesanan Aplikasi Teori Kecerdasan Pelbagai (TKP) Untuk
Meningkatkan Pencapaian dan Motivasi Pelajar Berpencapaian
Akademik Rendah Dalam Matapelajaran Sejarah. International

Penyunting
334
Seminar Educational Comparative in Competency Based
Curriculum Between Indonesia and Malaysia. m.s 369. Rizqi Press.
ISBN 979-602-9098-44-0. Antarabangsa.
36. Norshariani Abd Rahman, Arbaat Hassan, Lilia Halim, Abdul Razaq
Ahmad. 2012. Kompetensi Guru Dalam Penerapan Alam Sekitar.
International Seminar Educational Comparative in Competency
Based Curriculum Between Indonesia and Malaysia. m.s 265. Rizqi
Press. ISBN 979-602-9098-44-0. Antarabangsa.
37. Ramle b. Abdullah dan Abdul Razaq Ahmad. 2011. Potensi
Pendidikan Masyarakat Orang Asli Suku Kaum Semelai di Malaysia.
International Seminar Educational Comparative in Curriculum for
Active Learning Between Indonesia and Malaysia. Rizqi Press. ISBN
978-602-9098-12-9. Antarabangsa.
38. Norwaliza Abdul Wahab, Abdul Razaq Ahmad, Zalizan Mohd Jelas
dan Abdul Rashid Johar. 2011. Perspektif Guru dalam Pendidikan
Orang Asli: Satu Kajian Kes Di Negeri Pahang,Malaysia. International
Seminar Educational Comparative in Curriculum for Active Learning
Between Indonesia and Malaysia. Rizqi Press. ISBN 978-602-9098-
12-9. Antarabangsa.
39. Mareena Mohamad, Norhasni Zainal Abidin dan Abdul Razaq
Ahmad. 2011. Tinjauan Hubungan Gaya Organisasi dan Sub
Budaya Terhadap Komitmen Pekerja. International Seminar
Educational Comparative in Curriculum for Active Learning Between
Indonesia and Malaysia. Rizqi Press. ISBN 978-602-9098-12-9.
Antarabangsa.
40. Juhari Ahmad, Norshariani Abd Rahman, Jalaluddin Abdul Malek dan
Abdul Razaq Ahmad. 2011. Amalan Penjagaan Alam Sekitar Dalam
Kalangan Masyarakat Malaysia. International Seminar Educational
Comparative in Curriculum for Active Learning Between Indonesia
and Malaysia. Rizqi Press. ISBN 978-602-9098-12-9. Antarabangsa.
41. Abdul Razaq Ahmad, Zahiah Kassim dan Zalizan Mohd Jelas.
2011. Kompetensi Kecerdasan Sosial Pelajar Orang Asli Di Malaysia.
ms. International Seminar Educational Comparative in Curriculum
for Active Learning Between Indonesia and Malaysia. Rizqi Press.
ISBN 978-602-9098-12-9. Antarabangsa.
42. Norshariani Abd Rahman, Lilia Halim, Abdul Razaq Ahmad, Arba’at
Hassan. 2011. Penerapan Pendidikan alam Sekitar Dalam Kalangan
Pelajar Orang Asli Di Malaysia. Ms 397. International Seminar
Educational Comparative in Curriculum for Active Learning Between

Penyunting
335
Indonesia and Malaysia. Rizqi Press. ISBN 978-602-9098-12-9.
Antarabangsa.
43. Liza Md.Isa, Abdul Razaq Ahmad. 2011 .Kurikulum Sejarah Ke
Arah Pembentukan Perpaduan Kaum di Malaysia. International
Seminar Educational Comparative in Curriculum for Active Learning
Between Indonesia and Malaysia. Rizqi Press. ISBN 978-602-9098-
12-9. Antarabangsa.
44. Ahamad Rahim, Abdul Razaq Ahmad, Zunaida Zakaria. 2011.
Kurikulum Sejarah Ke arah Pembentukan Bangsa di Malaysia.
International Seminar Educational Comparative in Curriculum for
Active Learning Between Indonesia and Malaysia.m.s 231. Rizqi
Press. ISBN 978-602-9098-12-9.6. Antarabangsa.
45. Ahamad b. Rahim, Abdul Razaq Ahmad, Anuar Ahmad dan Azwani
Ismail. 2011. Hubungan Gaya Pembelajaran Aktif ke Arah
Meningkatkan Penghayatan Pembelajaran Sejarah di Malaysia.
Prosiding Seminar Pendidikan Serantau ke 5. Vol 2. ms 715-727.
ISBN 978-602-19531-0-5. Antarabangsa.
46. Abdul Razaq Ahmad dan Ahmad Rafaai Ayudin. 2011. Sumbangan
Kualiti Pengajaran Guru dalam Membentuk Orientasi Belajar
Sejarah di Malaysia.Prosiding Seminar Pendidikan Serantau ke 5.
Vol 2. M.s 756-766. ISBN 978-602-19531-0-5. Antarabangsa.

Penyelidikan:
1. Modul Kawalan Ekstrimisme dalam Kalangan Belia. 2016-2017.
(RM61,200). Ketua (Aktif).
2. Menghasilkan Databes dan Maklumat dalam Skop Kelestarian
Pendidikan dan Kesejahteraan Hidup. 15 Jun 2015-30 September
2016. DPP-2015-093. (RM5000). Ahli bersama (Aktif).
3. Pelaksanaan Pendidikan Inklusid untuk Kanak-kanak berkeperluan
Khas di Sekolah. 15 Jun 2015-30 September 2016. DPP-2015-095
(RM5000). Ahli bersama (Aktif).
4. Keberkesanan Program Intervensi Akademi Menara Gading (AMG)
Terhadap Motivasi dan Kemahiran Insaniah Pelajar. Jun 2014-Jun
2015. Geran Luar Yayasan Istana Abdulaziz. (RM45,000). Ketua.
5. Aspirasi Kepimpinan Politik Negara Dari Perspektif Belia Pelbagai Etnik.
1 Ogos 2015- 31 Disember 2015. GG-2015-004. (RM30,000). Ketua.
6. Kemahiran Soft Skills Pada Komunitas Pelajar: Suatu Perbandingan
Indonesia Dan Malaysia. 28 Oktober 2013- 21 Disember 2015. GG-
2014-009. (RM30,000). Ketua.

Penyunting
336
7. Memperkasakan Kesejahteraan Hidup Melalui Pendidikan
Sepanjang Hayat. 1 Januari 2013-31 Mac 2014. DPP-2013-178
(RM37,000). Ahli bersama.
8. Ketelibatan Murid Bekeperluan Khas Di Sekolah. 1 Januari 2013-31
Mac 2014. DPP-2013-182. (RM28,000). Ahli bersama.
9. Memperkasakan Kesejahteraan Hidup Melalui Pendidikan
Sepanjang Hayat. 01 April 2014-31 Mac 2015. DPP-2014-093.
(RM20,000). Ahli bersama.
10. Pelaksanaan Pendidikan Inklusif Untuk Kanak-Kanak Berkeperluan Khas
di Prasekolah. 1 April 2014-31 Mac 2015. DPP-2014-103. Ahli bersama.
11. Kelab Kerjaya Komuniti Orang Asli Negeri Pahang. 19 Feb 2013-
19 Ogos 2015. GG-2013-007. (RM10,500). Ahli bersama.
12. Positive Behaviour Enhancement Model for National Secondary. 16
Mei 2013-16 Mei 2015. GPM-2013-042. (RM93,200). Ahli bersama.
13. Bimbingan Kerjaya Komuniti Orang Asli mengunakan modul RIASEK. 10
Mei 2013-09 Mei 2015. KOMUNITI-2013-023. (RM25,000). Ahli bersama.
14. Positive Behaviour Enhancement Model for National Secondary. 16 Mei
2013-16 November 2015. GGPM-2013-042. (RM30,000). Ahli bersama.
15. Pembinaan Modul Pembelajaran Kendiri berasaskan Pemodelan
untuk meningkatkan Kemahiran Penyelidikan Pelajar Pascasiwazah
Jurusan Sosiologi. 01 Ogos 2014-31 Ogos 2015. PTS-2014-024.
(RM10,000). Ahli bersama.
16. Meningkatkan Kreativiti dan Inovasi dalam Kaedah Pengajaran Mikro
GE2113 di Fakulti Pendidikan UKM. 1 Jun 2012-30 Jun 2014. PTS-
2012-018. (RM10,000). Ahli bersama.
17. Bantuan Kewangan Bahan Penyelidikan (BKBP). 1 Mac 2013-28
Jun 2014. BKBP-FPEND-K007416. Ketua (Tamat).
18. Memperkukuhkan Kaedah Penilaian Kemahiran Generik Dalam
Kursus Sains Kehidupan Menggunakan Web 3.0. 1 April 2011- 30
Jun 2013. UKM-PTS-100-2010(2). Ahli bersama.
19. Meningkatkan Kreativiti dan Inovasi dalam Kaedah Pengajaran Mikro
GE2113 di Fakulti Pendidikan. 1 Jun 2012-1 Jun 2013. PATS-2012-
018. Ahli bersama.
20. Dana Operasi Universiti Penyelidikan. 1 Januari 2012 – Disember
2012. UKM 3.2.8/244/6/2/1. Ahli bersama.
21. OUP Kumpulan. 1 Januari 2012-31 Disember 2012. OUP-2012-
028. (RM30,000). Ahli kumpulan.
22. OUP Kumpulan. 1 Januari 2011-31 Disember 2011. UKM-OUP-
CMNB-07-28/2011. Ahli kumpulan.

Penyunting
337
23. OUP Kumpulan. 1 Januari 2010-31 Disember 2010. UKM-OUP-
CMNB-07-28/2010. (RM30,000). Ahli kumpulan.
24. Jatidiri Kebangsaan, Negara Bangsa, Kepelbagaian Budaya dan
Globalisasi. 1 Januari 2010-31 Disember 2010. UKM3.2.8/244/6/3
Ahli bersama (tamat).
25. Halatuju Pendidikan dan Kerjaya Pelajar Orang Asli di Negeri
Pahang. Ogos 2010-Feb 2012. GG/006/2010 (GL). (RM 100,000).
Ketua (tamat).
26. Pembinaan Kurikulum Sejarah ke Arah Pembentukan Perpaduan
Kaum di Malaysia. Mac 2010-Mac 2012. UKM-SK-05-FRGS0070-
2010. (RM 31,000). Ketua (tamat).
27. Pembudayaan Pembangunan Lestari Menerusi “Problem Oriented
projek Based Learning” dalam kalangan pelajar Sarjana Muda.
2009-2010. Geran UKM (12,000) UKM-PTS-110-2009. Ahli.
28. Penilaian Tahap Penguasaan dan Pembentukan Modul Kemahiran
Komunikasi Dalam Kalangan Pelajar Tahun Akhir Program Sarjana
Muda. 1 Jun 2008-31 Ogos 2010. UKM.GUP.KRIB-9/2008. Geran
UKM (120,000). Ahli bersama (Tamat).
29. Pembentukan Indeks Tingkahlaku Sosial di Kalangan Pelajar-Pelajar
Institut Pengajian Tinggi Ke arah Perpaduan di Malaysia. Nov 2006–
Okt 2008. UKM-GG-05-FRGS. (RM 60,000). Ahli (Tamat).
30. Projek Kajian Pendidikan Non-Formal Bagi Orang Dewasa anjuran
KEMAS di Semenanjung Malaysia. 2005–2006. GG/002/2005.
Geran UKM. (RM 4,348). Ketua (Tamat).
31. Strategi Pembelajaran dan Hubungan Dengan Pencapaian
Akademik Pelajar Melayu Luar Bandar: Pengaruh Modul Latihan
Pendidikan dan Rakan Sebaya. 15 Jun 2000-15 Dec 2001. (G3/
2000). Geran UKM (RM6,200). Ketua (Tamat).

Khidmat Masyarakat/Khitmad profesional Penglibatan Dalam


Pembangunan Masyarakat:
1. Pengurus dan penceramah Akademi Menara Gading selama 11
tahun dari kohort I sesi 1999/2001 hingga kini kohort VI sesi 2010/
2012 Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dengan kerjasama Universiti
Kebangsaan Malaysia. Program ini telah berjaya membantu 500
pelajar miskin dan anak yatim dari seluruh Negeri Pahang
melanjutkan pelajaran ke universiti di seluruh tanah air. Akademi
Menara Gading juga membantu mereka dalam meningkatkan tahap
pendidikan mereka.

Penyunting
338
2. Ceramah Keibubapaan dan kecemerlangan pelajar yang telah
melibatkan seramai 8000 orang ibu bapa dan 50,000 pelajar dari
seluruh negeri Pahang dari tahun 1995 hingga kini melalui pelbagai
program khidmat masyarakat yang telah dianjurkan oleh Yayasan
Istana Abdulaziz, Universiti Kebangsaan Malaysia, Majlis Belia
Malaysia, Ahli Dewan Undangan Negeri Daerah Temerloh, Kuantan,
Jerantut dan Pekan serta program yang dilaksanakan oleh Pejabat
Pelajaran Daerah Kuantan, Pejabat Pelajaran Daerah Pekan,
Pejabat Pelajaran Daerah Temerloh, Pejabat Pelajaran Daerah
Raub, Pejabat Pelajaran Daerah Jerantut, dan Pejabat Pelajaran
Daerah Kuala Lipis. Khidmat masyarakat ini juga dijalankan di
Selangor dan Wilayah Persekutuan yang melibatkan masyarakat
Setinggan.
3. Pengurus dan penceramah Kem 1: Motivasi dan Pembangunan
Personaliti. Akademi Menara Gading Kohort VI sesi 2012-2014
anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Kem Pertanian Jubli
Perak SAS, Kuantan, Pahang, 13-15 Jun 2012.
4. Pengurus dan Penceramah Program Pembangunan Pendidikan
Orang Asli Pahang bagi Suku Kaum Semakberi dan Jakun. SK Kota
Perdana dan Kg. Batu Sawah, Pekan, Pahang. 10-13 Mei 2012.
5. Penasihat dan penceramah Operasi Khidmat Masyarakat (OPKIM)
anjuran Fakulti Pendidikan UKM. Pos Iskandar, Bera, Pahang. Ogos
2010.
6. Pengurus dan penceramah Dari Desa ke Menara Gading anjuran
Biro Pendidikan Umno. Majlis Derah Temerloh. 7 Julai 2010.
7. Pengurus dan Penceramah Program Keibubapaan. Anjuran Yayasan
Istana Abdulaziz. Majlis Derah Temerloh. 5 Ogos 2010.
8. Pengurus dan Penceramah Program Keibubapaan Anjuran Yayasan
Istana Abdulaziz. Majlis Derah Kuantan. 3 Julai 2010.
9. Pengurus dan Penceramah Program Keibubapaan. Anjuran Yayasan
Istana Abdulaziz. Balok, Kuantan. 4 Disember 2010.
10. Pengurus dan Penceramah Kem 2 Kemahiran Belajar dan
Interpersonal Akademi Menara Gading Balok 2010/2012. Aman Sari
Beach Resort, Kuantan. 24-26 September 2010.
11. Pengurus dan penceramah Kem 1: Motivasi dan Pembangunan
Personaliti Akademi Menara Gading Kohort VI sesi 2010-2012
anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Universiti Malaysia
Pahang. 7-9 Mei 2010.

Penyunting
339
12. Pengurus dan Penceramah Kem 8: Pemilihan Pelajar Ke IPT
Akademi Menara Gading Kohort V sesi 2008-2010. Anjuran Yayasan
Istana Abdulaziz dan UKM. Lembaga Kemajuan Perempuan Islam
Pahang. 19-20 Mac 2010.
13. Pengurus dan Penceramah Program Kecemerlangan Pelajar Miskin
Peringkat Kuantan dan Pekan Akademi Menara Gading Kohort VI
sesi 2010-2012. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Dewan
Pejabat Agama Islam, Kuantan. 2 Mac 2010.
14. Pengurus dan Penceramah Program Smart Learning Peringkat
Daerah Temerloh Akademi Menara Gading Kohort VI sesi 2010-
2012. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Dewan Tun Abdul
Razak, Temerloh. 3 Mac 2010.
15. Program Pembangunan Setinggan Bersama Mahasiswa Peringkat
Wilayah Persekutuan. Anjuran Universiti Kebangsaan Malaysia.
Sekitar Wilayah Persekutuan. Dari Mac hingga April 2010.
16. Penyelaras Program Khidmat Masyarakat bagi Orang Asli anjuran
Universiti Kebangsaan Malaysia. RPS Banun, Semelor, Sg. Raba.
3–6 September 2009.
17. Pengurus dan Penceramah Kem 7: Kecemerlangan Milik Bersama
Akademi Menara Gading Kohort V sesi 2008-2010. Anjuran Yayasan
Istana Abdulaziz dan UKM. Sekolah Sains Selangor, Seri Puteri, Alm
Shah, SM Dato Abdul Razak. 25-30 Ogos 2009.
18. Pengurus dan Penceramah Kem 6: Kecemerlangan SPM Akademi
Menara Gading Kohort V sesi 2008-2010. Anjuran Yayasan Istana
Abdulaziz dan UKM. Universiti Kebangsaan Malaysia. 15-18 Julai 2009.
19. Ceramah Kaedah Pembelajaran Dewasa yang Berkesan dan
Strategi Pembelajaran dan Kaunseling Akademik Pelajar Dewasa
anjuran Polis Diraja Malaysia. Maktab Polis Diraja Malaysia Kuala
Lumpur. 15-16 Jun 2009.
20. Pengurus dan Penceramah Kem 5: Komunikasi dan Pembelajaran
Berkesan Akademi Menara Gading Kohort V sesi 2008-2010. Anjuran
Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Lembaga Kemajuan
Perempuan Islam Pahang. 1-3 Jun 2009.
21. Pengurus dan Penceramah Kem 4: Kepimpinan dan Kecemerlangan
Akademik AMG Kohort V sesi 2008-2010. Anjuran Yayasan Istana
Abdulaziz dan UKM. Dirasmikan oleh: YB. Dato’ Saifuddin Abdullah,
Timbalan Menteri Pengajian Tinggi Universiti Kebangsaan
Malaysia. 30 April –6 Mei 2009.
22. Pengurus Kem 3: Pembinaan Waja Diri Ke Arah Kecemerlangan
Akademik. Akademi Menara Gading Kohort V sesi 2008-2010
Penyunting
340
anjuran Yayasan Istana Abdulaziz, UKM dan Rejimen 505 Askar
Wataniah. Dirasmikan oleh Dato’ Setia Amar Segara Dato’ Hj Halim
bin Ibrahim. Kem Wataniah 505, Teluk Sisek, Pahang. 20–24
Februari 2009.
23. Pengurus dan penceramah Kem 1: Psikologi dan Pembangunan Diri.
Akademi Menara Gading Kohort V sesi 2008-2010 anjuran Yayasan
Istana Abdulaziz dan UKM. Dirasmikan oleh YB Dato’ Hj. Wan Adnan
Wan Mamat, SIMP, DSAP, D.I.M.P. Pengerusi Jawatankuasa Belia
dan Sukan Negeri Pahang. Lembaga Kebajikan Perempuan Islam
Pahang. 25-27 Mei 2008.
24. Ceramah Kecemerlangan Pelajar. SMK. Bandar Baru Bangi. 10
April 2008.
25. Pengurus Kem Pemilihan Peserta Amg. Kohort V sesi 2008-2010 dari
daerah Pekan Rompin, Kuantan anjuranYayasan Istana Abdulaziz dan
UKM. Majlis Ugama Islam. Kuantan Pahang. 19 Mac 2008.
26. Pengurus dan Penceramah Kem 8: Pemilihan Pelajar Ke IPT
Akademi Menara Gading Kohort IV sesi 2006-2008 anjuran Yayasan
Istana Abdulaziz dan UKM. Lembaga Kemajuan Perempuan Islam
Pahang. 19-20 Mac 2008.
27. Pengurus dan Penceramah Kem 7: Kecemerlangan adalah bagi
Semua. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Sekolah Alam
Shah, Sekolah Seri Puteri. 1-5 September 2007.
28. Pengurus dan Penceramah Kem 6: Bengkel Kecemerlangan SPM
Akademi Menara Gading Kohort IV sesi 2006-2008 Anjuran Yayasan
Istana Abdulaziz dan UKM. Universiti Kebangsaan Malaysia. 20-24
Julai 2007.
29. Pengurus & Penceramah Kem 5: Komunikasi dan Pembelajaran
Berkesan. Akademi Menara Gading Kohort IV sesi 2006-2008
anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM yang dirasmikan oleh
YH Dato’ Hashim Wahab. Kolej Islam Pahang Kuantan. 7 Jun 2007.
30. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading Kohort IV sesi 2006-
2008. Kem 4: Kepimpinan dan Kecemerlangan Akademik.
AnjuranYayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Universiti Kebangsaan
Malaysia. 1 – 5 Mac 2007.
31. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading Kohort IV sesi 2006-
2008. Kem 3: Pembinaan Waja Diri ke arah Kecemerlangan Akademi
anjuranYayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Dirasmikan KDYTM
Tengku Mahkota Pahang. Kem Wataniah 505, Teluk Sisek, Kuantan,
Pahang. 17 -21 Nov 2006.

Penyunting
341
32. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading Kohort IV sesi 2006-
2008. Kem 2: Kemahiran Belajar dan Interpersonal anjuran Yayasan
Istana Abdulaziz dan UKM. IKIP, Jalan Dato’ Bahaman, Kubang
Buaya, Kuantan, Pahang. 28 – 30 Julai 2006.
33. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading Kohort IV sesi 2006-
2008. Bengkel Penulisan Modul Mata Pelajaran Projek Menara
Gading Fasa IV. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Hotel
Shahzan Inn, Kuantan, Pahang. 26 – 27 Mei 2006.
34. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading Kohort IV sesi 2006-
2008. Kem 1: Kecemerlangan Diri dan Akademik. AnjuranYayasan
Istana Abdulaziz dan UKM. Dewan Lembaga Perempuan Islam
Malaysia (Pahang). 7 – 9 April 2006.
35. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading Kohort IV sesi 2006-
2008. Kem Pemilihan Projek Menara Gading IV 2006-2008. Dewan
Jabatan Agama Islam Pahang. 19 Mac 2006.
36. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading Kohort III sesi 2004-
2006. Kem 9: Seminar dan Taklimat Kemasukan ke Institusi Pengajian
Tinggi. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Rumah Rehat
Bentong, Pahang. 16–17 Mac 2006.
37. Penceramah Motivasi Bersama. Anjuran Petronas Malaysia.
Petronas Twin Tower. 25 Ogos 2006.
38. Penceramah Sempena Bulan Penghayatan Disiplin dan Kempen
Nilai Murni Tahun 2006 Anjuran Unit Disiplin. Anjuran Unit Sekolah
Berasrama Penuh Malaysia. SMK Jalan Empat. 28 Feb 2006.
39. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading Kohort III sesi 2004–
2006. Kem 4: Kepimpinan dan Kecemerlangan Akademik.
AnjuranYayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Universiti Kebangsaan
Malaysia, Bangi, Selangor. Disember 2005.
40. Pengurus dan Fasilitator bagi Projek Menara Gading, Kohort 3, Sesi
2004–2006. Kem 8: Latih Tubi SPM. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz
dan UKM. Pusat Rekreasi Top Range, Raub, Pahang. 29 Sept– 2
Okt 2005.
41. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading III sesi 2004-2006.
Kem 7: Bengkel Kecemerlangan SPM Anjuran Yayasan Istana
Abdulaziz dan UKM. SMK Clifford, Kuala Lipis, Pahang. 26–28 Ogos
2005.
42. Pengurus dan Fasilitator bagi Projek Menara Gading, Kohort 3, Sesi
2004–2006. Kem 6: Kecemerlangan adalah bagi Semua. Anjuran
Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM

Penyunting
342
43. Sekolah Alam Shah, Sekolah Seri Puteri dan Sekolah Sains Dato’
Abdul Razak. 20–30 Jun 2005.
44. Penceramah Motivasi Pelajar-pelajar SPM. Sekolah Menengah
Pasir Panjang, Klang. 2005.
45. Penceramah Projek Menara Gading Kohort III sesi 2004–2006. Kem
5: Komunikasi dan Pembelajaran Berkesan Anjuran Yayasan Istana
Abdulaziz dan UKM. Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi,
Selangor. Februari 2005.
46. Pengurus dan Penceramah Kem 4: Kepimpinan dan
Kecemerlangan Akademik Projek Menara Gading Kohort III sesi
2004-2006. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Universiti
Kebangsaan Malaysia. 13-19 Mac 2005.
47. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading Kohort III sesi 2004–
2006. Kem 3: Pembinaan Waja Diri ke Arah Kecemerlangan
Akademik. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Kem
Wataniah 505 Teluk Sisek, Kuantan. 23–26 September 2004.
48. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading Kohort III sesi 2004–
2006. Kem 2: Kemahiran Belajar dan Interpersonal. Anjuran Yayasan
Istana Abdulaziz dan UKM. Pusat Latihan UMNO, Janda Baik,
Pahang. 6-8 Ogos 2004.
49. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading Kohort III sesi 2004–
2006. Kem 1: Motivasi ke Arah Kecemerlangan Diri Anjuran Yayasan
Istana Abdulaziz dan UKM. Selesa Hill Home & Golf Resort Bukit
Tinggi. 6-8 Jun 2004.
50. Pengurus & Panel Pemilih Kem Pemilihan Projek Menara Gading III
2004-2006. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Dewan Jubli
Majlis daerah Raub. 3 April 2004.
51. Pengurus & Penceramah Kem 7: Kemasukan Ke Menara Gading.
Projek Menara Gading Kohort 2 sesi 2001-2003 anjuran Yayasan
Istana Abdulaziz dan UKM. IKIP, Kuantan, Pahang. 3-5 Mac 2003.
52. Penceramah “Sesi Bersama Pensyarah Universiti”. Anjuran Universiti
Kebangsaan Malaysia dengan kerjasama Kolej Tunku Kursiah. Kolej
Tunku Kurshiah, Seremban. 7 Oktober 2002.
53. Penceramah “Sesi Bersama Pensyarah Universiti”. Anjuran Universiti
Kebangsaan Malaysia dengan kerjasama Sekolah Dato’ Abdul
Razak. Sekolah Dato’ Abdul Razak, Seremban. 4 Oktober 2002
54. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading 2. Kem 6:
Kecemerlangan Milik Bersama. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz

Penyunting
343
dengan kerjasama Fakulti Pendidikan UKM. Sekolah-sekolah
asrama penuh. 4-11 Oktober 2002.
55. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading 2. Kem 5:
Pembangunan Diri dan Interpersonal . Projek Menara Gading Kohort
2 sesi 2001-2003. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Resort
Tamu Kami, Pantai Balok, Kuantan. 23-25 Ogos 2002.
56. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading 2. Kem 4: Kemahiran
dan Kecemerlangan Akademik. Projek Menara Gading Kohort 2 sesi
2001-2003 anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Universiti
Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor. 30 April–5 Mei 2002.
57. Program Keibubapaan. Anjuran Pejabat Pelajaran Rompin. Kawasan
Daerah Muazam/Rompin. 14-15 April 2002.
58. Program Keibubapaan. Anjuran Pejabat Pelajaran Pekan dan
Kuantan. Daerah Kuantan, Pekan dan Felda Gugusan Lepar. 7-8
April 2002.
59. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading 2. Kem 3: Waja
Diri Berteraskan Akademik. Projek Menara Gading Kohort 2 sesi
2001-2003. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Kem
Wataniah 505, Teluk Sisek, Kuantan. 14-17 Febuari 2002.
60. Pengarah Bengkel Penulisan Modul bagi Guru Pakar Projek Menara
Gading 2. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Hotel Shahzan
Inn, Kuantan. 16 Febuari 2002.
61. Pengurus & Penceramah Kem 2: Kepimpinan dan Kecemerlangan
Akademik. Projek Menara Gading Kohort 2 sesi 2001-2003 anjuran
Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. IKIP, Kuantan. 22 - 25 Oktober 2001.
62. Ahli Jawatankuasa Majlis Perasmian Projek Menara Gading 2 dan
Mushaf Al Quran. Dirasmikan oleh KDYMM Sultan Pahang Tuanku
Sultan Hj. Ahmad Shah Ibn Almarhum Tuanku Abu Bakar al-Haj.
Dewan Jubli Perak, Kuantan. Julai 2001.
63. Pengurus & Penceramah Projek Menara Gading 2. Kem 1: Motivasi
Kearah Kecemerlangan Diri. Projek Menara Gading Kohort 2 sesi
2001-2003 anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. IKIP,
Kuantan, Pahang. 26-29 Julai 2001.
64. Penceramah Jemputan bagi Lawatan ke Sekolah Daerah Kuantan
bagi memantau pelajar. Projek Menara Gading Kohort 2 sesi 2001-
2003. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Sek. Men. Paya
Besar, Sek. Men. Keb. Beserah, SMK Tg. Lumpur. April 2001.
65. Pengurus & Penceramah “English Camp” Daerah Kuantan dan
Pekan Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan Pejabat Pelajaran
Daerah Pekan. Daerah Kuantan dan Pekan. 2003.

Penyunting
344
66. Konsultan Pendidikan Yayasan Istana Abdulaziz Pahang. Pahang.
2000–2010.
67. Penceramah Bengkel Kecemerlangan Pelajar dan Keterampilan
Ibu Bapa Anjuran Puspanita Kebangsaan. Kuala Lumpur. 11–13
Ogos 2000.
68. Pengurus & Penceramah Perkhemahan Bahasa Inggeris Anjuran
Fakulti Pendidikan, Kampung Akademik, Majlis Belia Malaysia, Shell
Malaysia dan Telekom. Kuala Lumpur. 2000.
69. Timbalan Pengarah & Penceramah Kursus Penjana Wawasan
Anjuran Persatuan Pendidikan Malaysia Anjuran Majlis Belia
Malaysia. Kuala Lumpur. 2000.
70. Pengurus dan Penceramah Kem 10: Perkhemahan Akademik Jiwa
Murni Projek Menara Gading Kohort 1sesi 1999-2001. Anjuran
Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Casuarina Cottage Pekan. 13-
15 Oktober 2000.
71. Pengurus dan Penceramah Kem 9: Pembangunan Pendidikan
Masyarakat Melayu: Satu Tanggungjawab Bersama Projek Menara
Gading Kohort 1 sesi 1999-2001. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz
dan UKM yang dirasmikan oleh YB. Dato’ Seri Adnan Yaakob. Dewan
Tun Abdul Razak Temerloh. 22-24 September 2000.
72. Pengurus dan Penceramah 8: Kecemerlangan Pelajar Melayu
Kawasan Parlimen Jerantut, Pahang Projek Menara Gading Kohort
1sesi 1999-2001. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM yang
dirasmikan oleh Y.A.M Tengku Dato’ Azlan Ibni Sultan Abu Bakar.
Majlis Perbandaran Daerah Jerantut. 18-20 Ogos 2000.
73. Pengurus dan Penceramah Kem 7: Kecemerlangan Milik Bersama
Projek Menara Gading Kohort 1 sesi 1999-2001. Anjuran Yayasan
Istana Abdulaziz dan UKM yang dirasmikan oleh YB. Dato’ Mahadzir
Mohd Khir. Sekolah Alam Shah, Sekolah Seri Puteri dan SM Sanis
Selangor. 17-25 Jun 2000.
74. Pengurus dan Penceramah Kem 6: Ke Arah Kecemerlangan
Peperiksaan Projek Menara Gading Kohort 1 sesi 1999-2001
anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Pejabat Pendidikan
Daerah Temerloh. 28 April-30 April 2000.
75. Pengurus dan Penceramah Kem 5: Pembinaan Waja Diri Ke arah
Kecemerlangan Akademik Projek Menara Gading Kohort 1sesi 1999-
2001. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM yang dirasmikan
oleh Timbalan Komander Askar Wataniah 505 Kuantan Pahang. Kem
wataniah 505 Teluk Sisik Kuantan Pahang. 25-27 Februari 2000.

Penyunting
345
76. Pengurus dan Penceramah Kem 4: Persekitaran Pembelajaran
Merangsang Kecemerlangan Akademik Projek Menara Gading
Kohort 1sesi 1999-2001. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM
yang dirasmikan oleh KDYTM Tengku Mahkota Pahang. Fakulti
Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia. 30 Nov-7 Dis 1999.
77. Pengurus dan Penceramah Kem 3: Kepimpinan dan Kecemerlangan
Akademik Projek Menara Gading Kohort 1 sesi 1999-2001. Anjuran
Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM yang dirasmikan oleh Y.M Tengku
Dato’ Uzir Bin Tengku Ubaidillah. Universiti Kebangsaan Malaysia.
30 September - 3 Oktober 1999.
78. Pengurus dan Penceramah Kem 2: Kemahiran Belajar dan
Kecemerlangan Mata Pelajaran Peperiksaan Projek Menara Gading
Kohort 1 sesi 1999-2001. Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM.
Dirasmikan oleh Senator Dato’ Aziz Abdul Rahman. Institut Latihan
RISDA, Pekan Awah Temerloh Pahang. 26-29 Ogos 1999.
79. Pengurus dan Penceramah Kem 1: Motivasi Ke Arah Kecemerlangan
Diri Projek Menara Gading Kohort 1 sesi 1999-2001. Anjuran
Yayasan Istana Abdulaziz dan UKM. Dewan Tun Razak. 25-28 Julai
1999.
80. Jawatan kuasa Pelancaran Projek Menara Gading Sesi 1999-2001.
Anjuran Yayasan Istana Abdulaziz dengan kerjasama Fakulti
Pendidikan UKM dilancarkan oleh KDYTM Tengku Mahkota
Pahang. Muadzam Shah Pahang. 21 Mei 1999.
81. Pengurus & Penceramah Program Kecemerlangan Akademik
Sekolah-sekolah Agama Anjuran Fakulti Pendidikan, UKM dan
Sekolah Menengah Agama Temerloh & Sekolah Menengah Agama
Al-Khairiah. Sekolah Menengah Agama Temerloh & Sekolah
Menengah Agama Al-Khairiah. 22–23 Mac 1997.
82. Pengurus & Penceramah Program Rakan Sebaya Anjuran Fakulti
Pendidikan dengan kerjasama Pejabat Pendidikan Daerah
Temerloh. Temerloh, 1997.
83. Pengurus & Penceramah Seminar Kepimpinan Puteri Islam Malaysia
Ke arah Abad 21 anjuran Puteri Islam Malaysia. Kuala Lumpur, 19
Julai 1997.
84. Pengurus & Penceramah Bengkel Motivasi dan Kecemerlangan
Akademik Anjuran Puspanita dan Fakulti Pendidikan, UKM 1996.
Fakulti Pendidikan, UKM, 1996.

Penyunting
346
PENYUNTING
Dr Mohd Mahzan Bin Awang lahir Lahir di Kelantan 5
September 1973. Bidang Sosiologi Pendidikan,
Pendidikan Komuniti dan, kepakaran Pendidikan Sejarah
& Kewarganegaraan. Memulakan kerjaya sebagai guru
di Sekolah Kebangsaan (Orang Asli) Kedaik, Rompin
Pahang pada tahun 1994. Beliau terlibat aktif dalam
usaha pembangunan pendidikan anak-anak Orang Asli
termasuklah membantu badan-badan NGO yang
membuat penyelidikan pembangunan masyarakat Orang Asli di Kawasan
tersebut. Atas minat yang tinggi dalam bidang pembangunan peribumi dan
masyarakat, beliau melanjutkan pengajian Sarjanamuda di Akademi Pengajian
Melayu, Universiti Malaya dengan membuat pengkhusuan dalam bidang Sosio-
Budaya Melayu dan telah tamat dengan Kepujian Kelas Dua Tinggi pada tahun
1999. Beliau kemudiannya bertugas sebagai pensyarah di Institute of Advertising
& Communication Training di Damansara dan seterusnya berkhidmat di Universiti
Infrastruktur Kuala Lumpur. Setelah menamatkan Sarjana Sosiologi Pendidikan
di Fakulti Pendidikan, UKM pada tahun 2005, beliau telah menerima Hadiah
Latihan Skim Latihan Akademik Universiti (SLAI) Kementerian Pengajian Tinggi
Malaysia untuk pengajian kedoktoran di Universiti Dundee, United Kingdom.
Beliau telah menamatkan PhD dengan jayanya pada tahun 2012 dan berkhidmat
di Fakulti pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia sehingga kini.

Penyunting
347
Anugerah dan Penghargaan:
1. Anugerah Skim Latihan Akademik Universiti, Universiti Kebangsaan
Malaysia 2008.
2. Anugerah Perkhidmatan Cemerlang (APC), Fakulti Pendidikan
Universiti Kebangsaan Malaysia, 2014.
3. Anugerah Kertas Terbaik ACER-N Conference 2015, ACER-N, 2015.
4. Anugerah Idea Terbaik bulan Julai 2015 ‘Cabaran Idea Perdana
UKM’, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2015.
5. Lonjakan nama UKM di Media Massa, Universiti Kebangsaan
Malaysia, 2016
6. Penghargaan Pencapaian Sistem Pengajaran dan Pembelajaran
(SPPP) untuk subjek Sosiologi dan Pendidikan Sejarah, Fakulti
Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia, 2013-2016.

Kelayakan Akademik:
1. Ijazah Doktor Falsafah, 1 Oktober 2012, Universiti Dundee, Scotland,
United Kingdom.
2. Ijazah Sarjana Pendidikan (Sosiologi Pendidikan), 2012-2015,
Universiti Kebangsaan Malaysia.
3. Ijazah Sarjanamuda Pengajian Melayu (Sosio-Budaya Melayu),
1996-1999, Universiti Malaya.
4. Sijil Perguruan Malaysia (Pendidikan Sekolah Rendah-Pengajian
Melayu), 1992-1994, Maktab Perguruan Ipoh Perak.

Sejarah Kerjanya;
1994–1996 Pegawai Perkhidmatan Bukan Siswazah, Sekolah
Kebangsaan Kedaik, Pahang
1999–2000 Pensyarah, Institute of Advertising & Communication
Training, Damansara, Petaling Jaya
2000–2008 Ketua, Centre of Foundation Studies & Continuing Education,
Infrastructure University Kuala Lumpur, Kajang, Selangor
2008–2013 Pensyarah, Jabatan Asas Pendidikan, Fakulti Pendidikan UKM
2013– kini Pensyarah Kanan, Jabatan Pendidikan & Kesejahteraan
Komuniti, Fakulti Pendidikan UKM.M

Sumbangan Komuniti:
1. Mendidik murid Orang Asli untuk kejayaan dalam bidang akademik
dan non-akademik, RPS Kedaik, Rompin Pahang, 1994-1996.
Penyunting
348
2. Program pembangunan masyarakat Orang Asli keturunan Jakun di
RPS Kedaik, Rompin Pahang, Kedaik, Pahang, 1994-1996.
3. Menerbitkan artikel tentang strategi dan kemajuan dakwah Islamiah
dalam kalangan Orang Asli, Penerbitan dalam Utusan Malaysia, 2000.
4. Mengenal potensi, bakat dan kemahiran murid Orang Asli dalam
pembangunan masa depan kerjaya. Membangunkan profail minat
kerjaya murid Orang Asli, Sungai Mas, Kuantan, 2013-2016.
5. Menubuhkan Kelab Kerjaya Komuniti Orang Asli dengan sokongan
UKM dan Yayasan Istana Abdulaziz bagi memastikan murid-murid
Orang Asli memiliki hala tuju kerjaya jelas, Sungai Mas & Sungai
Lembing, Pahang, 2013-2016.
6. Dokumentasi aktiviti pelajar Akademi Menara Gading, UKM, 2013-
2016.
7. Membantu kejayaan pelajar dari keluarga tidak bernasib baik di
Pahang menerusi Akademi Menara Gading, Kuantan & Temerloh,
2014-2016.
8. Membuat penilaian terhadap keberkesanan program Akademi
Menara Gading, Kuantan, Pahang, 2015.
9. Dilantik sebagai ahli jawatankuasa Akademi Menara Gading, Yayasan
Istana Abdulaziz, Pahang Darul Makmur, Kuantan, Pahang, 2015.
10. Menganjurkan Seminar Penyelidikan dan Pendidikan Masyarakat
Terpinggir, anjuran bersama Majlis Bekas Wakil rakyat Malaysia
(MUBARAK), Yayasan IstanaAbdulaziz, dan UKM, Kuantan, Pahang, 2015.
11. Ceramah Motivasi kepada para pelajar Akademi Menara Gading,
Kuantan, Pahang, 2015
12. Pemerkasaan pembelajarah Sejarah Malaysia-Indonesia anjuran
Yayasan Istana Abdulaziz, dan UKM, Palembang, Indonesia, 2015.
13. Penceramah dalam kepimpinan pelajar Akademi Menara Gading,
UKM, 2016.

Keanggotaan Badan Ikhtisan:


1. Persatuan Sejarah Malaysia, Wisma Sejarah, Kuala Lumpur, Ahli
Seumur Hidup.
2. Kelab Kakitangan Akademik, UKM Bangi, Ahli.
3. Koperasi UNIKEB, UKM Bangi, Ahli.
4. ASEAN Comparative Education Research Network, Malaysia,
Setiausaha.
5. Yayasan Istana Abdul Aziz, Kuantan, Pahang, Jawatankuasa Pentadbiran.

Penyunting
349
Pewasit Jurnal:
1. School Population and Teachers’ Effectiveness in Kwara State Basic
Schails, Nigeria, Jurnal Pendidikan Malaysia, Accepted with minor
revision.
2. Sensitiviti Kepelbagaian Budaya dalam Kalangan Guru Pelbagai
Etnik di Sekolah Menengah Kebangsaan di Malaysia, Jurnal
Pendidikan Malaysia, Terima untuk penerbitan.
3. Global Trends in Higher Education: A Cross Cultural Qualitative Approach
in the Context of Pakistan, ASEAN Journal of Teaching and Learning in
Higher Education (AJTHLE), Accepted with minor revision.
4. The Influence of Individual Characteristic and Organization Climate
on Job Satisfaction and Its Impact on Employee Performance, Sains
Humanika, Accepted with minor revision.

Penerbitan Jurnal:
1. Abdul Aziz Rahman, Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang,
Jalaludin Abdul Malek. (2016). Social Involvement and Acculturation
of Noble Values among Residents in a Modern City. The Social
Sciences. 11(6), 958-964.
2. Abdul Razaq Ahmad, Ahmad Ali Seman, Mohd Mahzan Awang,
Fadzilah Sulaiman. 2015. Application of Multiple Intelligence Theory
to Increase Student Motivation in Learning History. Asian Culture and
History. 7(1), 210-219.
3. Nur Hadi Ibrahim, Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad.
2015. The Effectiveness of Intensive Workshop Activities for
Enhancing Students‘ Understanding on Educational and
Sociological Theories. International Journal of Education and Social
Science. 2(12), 37-40.
4. Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang, Tajuddin Mohd Yunus.
2015. Senior teachers’ perception on the roles and responsibilities of
middle managers in schools. European Journal of Scientific Research.
132 (3), 278-291.
5. Mohd Mahzan Awang, Noor Azam Abdul Rahman, Noraziah Mohd
Amin, Abdul Razaq Ahmad. 2015. Mesej Perpaduan dalam Buku
Teks Bahasa Malaysia Tingkatan 4 dan 5: Analisis terhadap
Peribahasa Melayu. Jurnal Pendidikan Bahasa Melayu. 5(1), 44-52.
6. Abdul Razaq Ahmad, Ahmad Ali Seman, Mohd Mahzan Awang,
Fadzilah Sulaiman. 2014. Application of Multiple Intelligence Theory

Penyunting
350
to Increase Student Motivation in Learning History. Asian Culture and
History. 7(1), 210-219.
7. Mohd Mahzan Awang, Faridah Mydin Kutty, Abdul Razaq Ahmad. 2014.
Perceived Social Support and Well Being: First-Year Student Experience
in University. International Education Studies. 7(13), 261-270.
8. Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang, Tajuddin Mohd Yunus.
2014. Mentoring Practices In Schools: The Roles of Senior Subject
Teachers As Perceived By Heads and Teachers. Journal of Education
and Sociology. 5(2), 65-75.
9. Jalaluddin Abdul Malek Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang,
Juhari Ahmad, Alfitri. 2014. Sustainable Environmental Management
and Preservation Knowledge among Multi-ethnic Residents. Asian
Journal of Scientific Research. 7(4), 546-560.
10. Alfitri, Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad, Mohd Khairi
Ahmad. 2014. Socio-educational Supports for Improving Arabic
Language Learning among Muslim Youth. Mediterranean Journal
of Social Sciences. 5(3), 219-228.
11. Alfitri, Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad. 2014. Culturally-
Responsive Strategies for Resolving Social Conflict in Rural Community.
Mediterranean Journal of Social Sciences. 5(20), 2267-2277.
12. Anita Abu Hasan, Mohd Isa Hamzah, Mohd Mahzan Awang. 2014.
Inculcating Noble Values for Pre-Service Teachers. International
Education Studies, 7 (11), 111-119.
13. Mohd. Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad, Nora’asikin Abu Bakar,
Sayuti Abd Ghani, Che Pee Saad, Saliza Husin, Zaharuddin Hashim,
Mohd Asrul Hery Ibrahim, Alfitri. 2014. Examining Gaps between
Students’ Expectations and Experiences in a Private University.
Mediterranean Journal of Social Sciences. 5(8). 396-401.
14. Mohd. Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad, Alfitri, Norila La Ulu.
2014. The Images of Japanese Army in Malaysian and Indonesian
History Textbooks. Journal of Language and Literature, 5 (4) 37-45.
15. Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang, Fong Peng Chew.
(2014). Adult Student Perspectives on Computer Literacy
Programme. Pensee Journal. 76(1) 31-40.
16. Jamalullail Abdul Wahab, Azlin Norhaini Mansor, Mohd Mahzan
Awang & Norazlina Mohamad Ayob. 2013. Managing Learners’
Behaviours in Classroom through Negative Reinforcement
Approaches. Asian Social Science. 9(16), 61-73.

Penyunting
351
17. Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad, Nora’asikin Abu Bakar,
Sayuti Abd Ghani, Asyraf Nadia Mohd Yunus, Mohd Asrul Hery Ibrahim,
Jaya Chitra Ramalu, Che Pee Saad & Mohd Jasmy Abd Rahman.
2013. Students’ Attitudes and Their Academic Performance in
Nationhood Education. International Education Studies. 6(11), 21-28
18. Awang, M.M., Jindal-Snape, D. & Barber, T. 2013. A Documentary
Analysis of the Government’s Circulars on Positive Behaviour
Enhancement Strategies. Asian Social Science. 9(5), 203-208.
19. Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad, Jamalul Lail Abdul
Wahab & Nordin Mamat. 2013. Effective teaching strategies to
encourage learning behaviour. IOSR Journal for Humanities and
Social Sciences. 8 (2). 35-40.
20. Abdul Razaq Ahmad, Mohamad Johdi Salleh, Mohd Mahzan
Awang & Nazifah Alwani Mohamad. 2013. Investigating Best
Practice and Effectiveness of Leadership Wisdom among Principals
of Excellent Secondary School Malaysia: Perceptions of Senior
Assistants. International Education Studies. 6(8), 38-46.
21. Mohd Mahzan Awang, Abdul Razaq Ahmad, Manisah Mohd Ali.
2013. Professional Teachers‘ Strategies for Promoting Positive
Behaviour in Schools. Asian Social Science. M9(12), 205-211.
22. Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang, Ahmad Ali Seman,
Ramle bin Abdullah. 2013. The Skills of Using History Textbooks in
Secondary School. Asian Social Science. 9(12), 229-236.
23. Abdul Razaq Ahmad, Mohd Mahzan Awang, Wan Hasmah Wan
Mamat. 2013. The Effectiveness of Human Development
Programmes in Improving Community Wellbeing. Australian Journal
of Basic and Applied Sciences. 7(9), 51-57.
24. Rhoda D.B., Muhammad Imran, Y., Mohd. Mahzan, A., Asif, N.R.
2011. The effect of prior knowledge in understanding chemistry
concepts by senior secondary school students. International Journal
of Academic Research. 3(2), 607-611.
25. Mohd. Mahzan, A., Muhammad Imran, Y., Sayuti, A.G. (2011) A
study of preferred socio-religious activities by Muslim Youth.
European Journal of Social Sciences. 18(4), 596-601.

Penerbitan Buku:
1. Sosiologi Pendidikan, Fakulti Pendidikan UKM, Pengaran.
2. Pengajian Malaysia, Ikram College of Technology, Pengarang.

Penyunting
352
3. Pendidikan untuk Masyarakat Terpinggir, Fakulti Pendidikan UKM,
Editor
4. Asian Social Science Journal (Special Edition), Canadian Center of
Science and Education, Guest Editor.
5. Pendidikan Masyarakat Marginal, Universitas Sriwijaya, Pengarang.
6. Education and development, Universitas Riau, Editor.

Prosiding:
1. Mahiran Mohamed, Mohd Amar Md. Arif, Izzati Mohd Yusop, Mohd
Mahzan Awang. 24-25 Feb. 2014. Kepuasan pengisian masa
senggang dan aspirasi kerjaya. International Seminar on Global
Education II : Educational Transformation Towards a Developed
Country/Fakulti Pendidikan UKM. 1985-1999
2. Nurhijrah Zakaria, Sharifah Nor Puteh, Amla Mohd Salleh, Zuria Mahmud,
Mohd Izham Mohd Hamzah, Ruhizan Mohd Yasin, Mohd Mahzan
Awang. 24-25 Feb. 2014. Kompetensi pelbagai budaya dalam
pengajaran dan pembelajaran: apa kata guru Sejarah? International
Seminar on Global Education II : Educational Transformation Towards
a Developed Country/Fakulti Pendidikan UKM.2538-2560
3. Thong Pui Yee, Mohd Mahzan Awang. (24-25 Feb. 2014). Sikap
dan pemikiran keusahawanan dalam kalangan mahasiswa/i
Malaysia dan Guang Zhou International Seminar on Global
Education II : Educational Transformation Towards a Developed
Country / Fakulti Pendidikan UKM. 1278-1291
4. Nor Aini Mohamad Ibrahim, Mohd Mahzan Awang. Abdul Razaq
Ahmad. 24-25 Feb. 2014. Modal sosial dalam kalangan pelajar
universiti International Seminar on Global Education II : Educational
Transformation Towards a Developed Country / Fakulti Pendidikan
UKM. 2397-2410
5. Mohd Mahzan Awang, Mohd Isa Hamzah, Amla Salleh. 5-6 Jan
2013. Teaching and Preaching Islam in 21st Century: Approaches
and Challenges. International Conference on Islam and
Multiculturalism: Islam, Modern Science and Technology. Organised
by Waseda University and Institute of Asia-Europe. University of Malaya
Kuala Lumpur. 206-217
6. Ahmad Rizal Md. Rais, Hafidzah Omar, Norhaidawati Mohd Noor,
Juliya Hapido, Mohd. Mahzan Awang & Abd. Razaq Ahmad. Aktiviti
Masa Senggang Pelajar Lelaki Di Malaysia Dan Indonesia. Prosiding

Penyunting
353
Seminar Antarabangsa Pendidikan Serantau ke-6. 22-23 Mei 2013.
NIOSH Bangi, Malaysia.
7. Mahaslina Mat Yacob, Hidayah Harun, Nor Haidawati Mohd Noor,
Abd Razaq Ahmad & Mohd Mahzan Awang. Konsep Pendidikan
Masa Senggang Dari Perspektif Timur Dan Barat. Prosiding Seminar
Antarabangsa Pendidikan Serantau ke-6. 22-23 Mei 2013. NIOSH
Bangi, Malaysia.
8. Abdul Jamir Md Saad, Siti Rahimah Ahmad, Mardiah Ali, Norma
Jusof, Siti Nazila Omar, Mohd Mahzan Awang & Abd Razaq Ahmad.
Penggunaan Laman Sosial Facebook Untuk Tujuan Pembelajaran
Dalam Kalangan Pelajar Kolej MARA. Prosiding Seminar
Antarabangsa Pendidikan Serantau ke-6. 22-23 Mei 2013. NIOSH
Bangi, Malaysia.
9. Mohd Iskandar Shah Sitam, Mohd Amar Md Arif, Izzati Mohd Yusop,
Norhazwah Estiar, Noriha Kasim, Mohd Mahzan Awang & Abdul
Razaq Ahmad. Kajian Perbandingan terhadap Penyesuaian Sosial
dan Strategi Menangani Buli dalam kalangan Pelajar di Pekanbaru
dan Hulu Langat. Prosiding Seminar Antarabangsa Pendidikan
Serantau ke-6. 22-23 Mei 2013. NIOSH Bangi, Malaysia.
10. Mohammad Zulhilmi Monel, San Kamaruzzaman Rahim, Nor Aini
Mohammad, Aziani Yusof, Mohd Mahzan Awang & Abdul Razaq
Ahmad. Pengisian Masa Senggang Mahasiswa/i Di Malaysia Dan
Indonesia. Prosiding Seminar Antarabangsa Pendidikan Serantau
ke-6. 22-23 Mei 2013. NIOSH Bangi, Malaysia.
11. Mohd. Mahzan Awang. 2012. Effective strategies to promote
positive behaviour in a school context. In Abdul Ghafar Ismail &
Roosfa Hashim. Prosiding Seminar Hasil Penyelidikan.
Kementerian Pengajian Tinggi Malaysia. P. 8-16.
12. Mohd. Mahzan Awang, Sayuti Abd. Ghani, Che Pee Saad & Md.
Sabri Adenan. 25 – 26 July 2008. Surau sebagai institusi sosial ke
arah pembangunan insan: Kajian kes di institusi pengajian tinggi.
Proceeding of Wacana Pendidikan Islam ke-7. Universiti
Kebangsaan Malaysia.
13. Mohd Mahzan Awang, Raja Mohd Salahuddin Raja Mamat. 20 –
21 April 2016. Menelusuri Isu, Cabaran dan Harapan dalam
Memajukan Pendidikan Orang Asli. Prosiding Persidangan
Antarabangsa Sains Sosial dan Kemanusiaan (PASAK2016). Kolej
Universiti Islam Antarabangsa Selangor (KUIS).

Penyunting
354
Penulisan Media:
1. Cabaran Pendidikan Komuniti ASEAN, Rencana, 29 September 2015,
m.s. 10. Utusan Malaysia.
2. Keperluan Dana ASEAN Atasi Jerebu, Rencana 14 September 2015
m.s 10, Utusan Malaysia.
3. Budayakan Perniagaan Beretika, Rencana 4 Februari 2015 m.s 10,
Utusan Malaysia.
4. Alurkan Cinta dan Sikap Positif, Rencana 9 September 2015 m.s 10,
Utusan Malaysia.
5. Mencari Formula Baru Perbincangan Isu Sensitif, Rencana 13 Mei
2015 m.s 10, Utusan Malaysia.
6. Prasyarat Kelestarian Kemerdekaan, Rencana, 26 Ogos 2014, ms.
10, Utusan Malaysia.
7. Nudism, Gaya Hidup Songsang Berpotensi Pengaruhi Masyarakat,
Rencana, 29 Ogos 2014, ms. 13, Utusan Malaysia.
8. Menghormati Sensitiviti Kaum di Malaysia, Rencana 24 Julai 2013,
ms. 11, Utusan Malaysia.
9. Hormati Simbol Kebesaran Negara, Rencana 28 Ogos 2013, ms.
11, Utusan Malaysia.
10. Cegah Jenayah Terhadap Kanak-Kanak, Rencana, 6 Feb 2013,
ms. 10, Utusan Malaysia.
11. Sokongan Seimbang dan Persediaan Akhir Calon UPSR, Rencana
6 Sept. 2013, ms. 10, Utusan Malaysia.
12. Kelestarian Keharmonian Menerusi Belajar Hidup Bersama,
Rencana 27 Mei 2013, ms. 11, Utusan Malaysia.
13. Mohd. Mahzan bin Awang. Kenali Aspek Positif Pelajar Kurang Disiplin.
Januari 2010, Majalah Pendidik, Bil. 68, hal. 53 – 55, Utusan Malaysia.
14. Mohd. Mahzan bin Awang. Mekanisme Mengumpul Pandangan
Uakyat. 15th of March 2010, Rencana, Utusan Malaysia.
15. Mohd. Mahzan bin Awang. Persekitaran Sesuai Mampu Galak
Tabiat membaca kanak-kanak. 24th of March 2010, Rencana,
16. Pendidikan Alternatif di Britain, Rencana Julai 2010, Utusan Malaysia.
17. Aliran Autonomi Sekolah di Britain, Rencana 2010, Utusan Malaysia.
18. Harapan UK Pada Penjenamaan Semula Pendidikan, Rencana
2010, Utusan Malaysia.
19. Teknologi Satelit Bantu Didik Pemandu Ingkar, Rencana 2010,
Berita Harian.
20. Mekanisme Mengumpul Pandangan Rakyat, Rencana 2010, Utusan
Malaysia.

Penyunting
355
21. Persekitaran Sesuai Mampu Galak Tabiat Membaca Kanak-Kanak,
Rencana 2010, Utusan Malaysia.
22. Cara Finland Martabatkan Guru, Rencana 2009, Utusan Malaysia.
23. Kurikulum perlu sesuai keperluan setempat, Rencana 2009, Utusan Malaysia.
24. Bincang Secara Rasional, Rencana 2009, Utusan Malaysia.
25. Jadikan Penyelidikan Budaya Untuk Kemajuan Malaysia, Rencana
2009, Utusan Malaysia.
26. Alternatif Pembelajaran Sewaktu Kuarantin, Rencana 2009, Utusan
Malaysia.
27. Cara Finland Martabatkan Guru, Rencana 16 Dis. 2009, Rencana,
Utusan Malaysia.

Penyelidikan:
1. Bimbingan Kerjaya Komuniti Orang Asli mengunakan modul RIASEK,
Geran Galakan Universiti-Komuniti (KOMUNITI-2013-023),
RM25,000, Ketua Projek 2013-2015.
2. Kelab Kerjaya Komuniti Orang Asli, Yayasan Istana Abdulaziz,
RM10,500, Ketua Projek 2013-2015.
3. Positive Behaviour Enhancement Model for National Secondary
Schools, Geran Galakan Penyelidik Muda (GGPM-2013-042),
RM30,000, Ketua Projek 2013-2015.
4. Aplikasi Dan Pembudayaan ICT Dalam Kalangan Guru Sekolah
Menengah: Penelitian Perbandingan Di Indonesia Dan Malaysia,
Geran Luar GG-2013-006, RM30,000, Ahli.
5. Kemahiran Soft Skills Pada Komunitas Pelajar: Suatu Perbandingan
Indonesia Dan Malaysia, Geran luar GG-2014-009, RM30,000, Ahli.
6. Pembentukan Model Baharu Pendaftaran Tanah Wakaf di Malaysia,
Fundamental Research Grant Scheme (FRGS/1/2013/SSI03/
UPNM/02/1), RM80,000, 2013-2015, Ahli.
7. Inventori Kesejahteraan Diri Masyarakat Malaysia, Fundamental
Research Grant Scheme (FRGS/1/2013/SSI09/UKM/02/7),
RM60,000, 2013-2015, Ahli.
8. Peranan Lembaga Penasihat Penyelarasan Pelajaran & Pendidikan
Agama Islam (LEPAI) Dalam Membantu Negeri dan Jemaah
Pengurusan Sekolah Membangunkan Sistem Pendidikan Islam,
Geran Galakan Penyelidikan Universiti-Industri (INDUSTRI-2013-
041), RM25,000, 2013-2015, Ahli.
9. Kesepaduan Sosial Negara, Long-Term Research Grant Scheme
Bottom-Up (LRGS-BU) LRGS/BU/2011/UKM/CMN, RM3,507,000,
2012-2015, Ahli.
Penyunting
356
10. Kesukarelawanan Pendidikan Melalui Kelab Kerja Rumah Untuk
Kanak-Kanak Kurang Bernasib Baik, Geran Galakan Universiti
Komuniti (KOMUNITI-2012-022), RM25,000, 2012-2014, Ahli.
11. A study of student and professional expectations and their
experiences on academic and social life in a private higher
education institution, Geran
12. Luar KLIUC GG/009/2012 (GL), RM7,000, 2012-2013, Ketua Projek.
Surau sebagai institusi sosial ke arah pembangunan insan: Kajian
persepsi dan sikap dalam kalangan pelajar, Dana Penyelidikan
KLIUC, RM4000, 2007-2008, Ketua Projek.
13. Learning To Live Together Through Education In The Asia-Pacific
Region UNESCO Asia-Pacific Regional Bureau For Education
(UNESCO Bangkok), UNESCO Asia - Pacific Regional Bureau For
Education (UNESCO Bangkok), RM12,000, Ahli.
14. Assessment Methods And Student‘S Performance In Mathematics
And Statistic: A Case Study Of Engineering Student‘s Attitude At IUKL,
Geran Luar GG-IUKL-2014-001, RM5,400, Ahli.
15. Kajian Kesahan Dan Kebolehpercayaan Inventory Nilai Malaysia,
Dana Pembangunan Penyelidikan Kumpulan Penyelidikan (DPP-
2013-150), RM37,000, Ahli.
16. Modul Komprehensif Pencegahan Buli dan Gangsterism Pelajar
Sekolah Menengah, FRGS/1/2015/SSI09/UKM/02/3, RM70,700, Ketua.
17. Pembangunan Indeks Jati Diri Pelajar Aliran Pendidikan Di Institusi
Pengajian Tinggi Awam Malaysia, FRGS/1/2015/SS06/UKM/01/1,
RM77100, 2015-2017, Ahli.
18. Aspirasi Kepimpinan Politik Negara dalam Kalangan Belia Pelbagai
Kaum, Geran Luar (Kementerian Belia & Sukan), RM30,000, Ahli.
19. Indeks Jati Dri Pelajar Keguruan Malaysia, FRGS, RM70,000, 2015-
1017, Ahli.
20. Modul Pencegahan Buli dan Gangsterisme Pelajar Sekolah
Menengah, FRGS, RM70,000, 2015-2017, Ketua.

Perundingan:
1. Grand Challenge Fakulti Pendidikan: Kualiti Pendidikan Komuniti
B40, 2016–kini, Universiti Kebangsaan Malaysia, Ahli.
2. Projek Penyelidikan Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan
Pendidikan Masyarakat Melayu, 2 Nov 2015 – 1 Jan 2016, Universiti
Malaya, Panel.
3. Penyelesaian Masalah / Inovasi Remaja, 25 Ogos 2015, Fakulti
Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia, Fasilitator
Penyunting
357
4. Program Kursus Pensijilan Profesional Pendidikan Khas (Masalah
Pembelajaran), 12 Okt 2014–Mac 2015, Jabatan Pengajian Kolej
Komuniti, Pensyarah.
5. Bengkel Pendidikan Sejarah dan Pendidikan Pancasila, 25 Mei 2016,
Universitas Sriwijaya, Indonesia, Perunding.
6. Mesyuarat Memperkukuhkan Perpaduan Melalui matapelajaran
Pendidikan Islam, Moral dam Elemen Sivik dalam Kurikulum, 8 Okt
2013, Bahagian Pembangunan Kurikulum Kementerian Pendidikan
Malaysia, Panel.
7. Program Jati Diri dan Kepimpinan Tingkatan 4, 26 Mac 2016, Sekolah
Sultan Alam Shah, Penceramah.
8. Program ASEAN Komuniti Sekolah-Sekolah Daerah Sepang, 20 Nov
2016, Pejabat Pendidikan Daerah Sepang, Penceramah.
9. Social Conflicts in the Classroom: Teaching Problem Solving Skills to Young
Children, 27 Apr 2016, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Penceramah.
10. Teambuilding, 24 Jan 2016, Sekolah Sri Al-Amin Bangi, Penceramah.
11. Persidangan Meja Bulat Program Kesepaduan Sosial Negara, 30
Mei 2013, Institut Kajian Etnik (KITA) Universiti Kebangsaan
Malaysia, Penyelidik.
12. Bengkel Intensif Sosiologi Penyelidikan Aliran Ekonomi, 4–5Apr
2016, PTS 201 –024 Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan
Malaysia, Penceramah.

Sumbangan Kepada Fakulti dan Universiti:


1. Kunjungan Delegasi Universitas Negeri Makassar, 23 Jan 2014,
Antarabangsa, Ahli.
2. Seminar Siswazah 6/2013 Fakulti Pendidikan, 23 Nov 2013, Universiti,
Pengerusi Sesi.
3. International Conference on Education for Learner Diversity, 17–18
Sep 2014, Antarabangsa, AJK.
4. Regional Conference on School Structure and Teacher Competence,
Duties and Character 2013 (ReCSTec), 27–28 Jun 2013,
Antarabangsa, AJK Abstrak & Prosiding.
5. ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015,
7–8 Okt 2015, Antarabangsa, Setiausaha.
6. Bengkel Penulisan Tesis Pantas dan Mandeley Gaya UKM, 14 Apr
2016, Universiti, Pengarah Program.
7. Seminar Kebangsaan Pendidikan Negeri Kali ke 16–17 Dis 2015,
Kebangsaan, AJK.
Penyunting
358
PENYUNTING
Heri Susanto, M.Pd., dosen Pendidikan Sejarah pada
FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
dengan jabatan Fungsional Lektor. Lahir di Jangglengan,
02 September 1982. Mata kuliah yang diampu: Strategi
Pembelajaran Sejarah, Sejarah Australia-Oceania,
Sejarah Afrika, Media Pembelajaran Sejarah, dan
Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Dapat dihubungi di
alamat email iniherisusanto@unlam.ac.id.
Menempuh pendidikan S1 pada program studi Pendidikan Sejarah
2001-2006 di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dengan skripsi
“Dampak Sosial-Ekonomi Keberadaan Transmigran Terhadap Penduduk
Setempat di Desa Kambitin I Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong tahun 1984-
1991”. Pendidikan S2 di Universitas Sebelas Maret Surakarta, Pendidikan Sejarah
2010-2012 dengan tesis: “Hubungan Pemahaman Sejarah Masa Revolusi Fisik
di Kalimantan Selatan dan Persepsi Terhadap Keberagaman Budaya di
Kalimantan Selatan dengan Sikap Nasionalisme Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin”.

Pengalaman Penelitian:
1. Pengembangan Daerah Konsesi Maluka pada masa Pemerintahan
Inggris di Kalimantan Tenggara tahun 1811-1816 (2009) Sumber
dana DIPA (PNBP) FKIP Unlam.

Penyunting
359
2. Sosial Maping Aktivitas Hulu Migas di Kalimantan Selatan dan
Tengah (2012) Pertamina (BPH Migas).
3. Paringin dari Kecamatan Menjadi Ibukota Balangan (Melacak
Perjalanan Sejarah Sebuah Kota di Daerah Hulu Sungai Kalimantan
Selatan) (2012) Dana BOPTN Unlam 2012.
4. Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Kurikulum 2013 (Studi
Pembelajaran Sejarah pada SMAN 2 dan SMAN 3 Banjarmasin
(2013) Dana BOPTN Unlam tahun 2013.
5. Pemetaan Uji Kompetensi Guru (UKG) jenjang Pendidikan SMPN dan
SMAN di Kota Banjarmasin (2013) Suber Dana Bappeda Kota Banjarmasin.
6. Kajian Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pendidikan pada
Pendidikan Dasar dan Menengah di Kabupaten Tabalong (2013)
Sumber Dana; Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak Kemdikbud)
dan Jaringan Penelitian (Jarlit) Kabupaten Tabalong. Dasar,
keputusan Kepala Bappeda Kabupaten Tabalong No: 188.45/58/
Bappeda-Litdal/050/7/2013.
7. Pemetaan Sarana-Prasarana Pendidikan Tingkat Dasar dan
Menengah di Kabupaten Tabalong (2014) Sumber Dana; Pusat
Penelitian Kebijakan (Puslitjak Kemdikbud) dan Jaringan Penelitian
(Jarlit) Kabupaten Tabalong. Dasar, keputusan Kepala Puslitjak
Kemdikbud RI No: 7024/H2/LT/2014.
8. Analisis Muatan Karakter dan Keunggulan Lokal pada Kurikulum
Kejuruan di Kabupaten Tabalong (2015) Sumber Dana; Pusat
Penelitian Kebijakan (Puslitjak Kemdikbud) dan Jaringan Penelitian
(Jarlit) Kabupaten Tabalong. Dasar, keputusan Kepala Puslitjak
Kemdikbud RI.
9. Kearifan Lokal dalam Usaha Non Pertanian Oleh Petani di Lahan
Basah Pada Musim Kemarau dan Musim Hujan di Kabupaten Barito
Kuala Kalimantan Selatan (2015) Sumber dana; Hibah PUPT IDB–
Dikti (Development and Upgrading of Seven Universities in Improving
the Quality and Relevance of Higher Education in Indonesia).
10. Kesesuaian Aspek Pedagogi Pendekatan Saintifik dan Penilaian
Autentik dalam Pembelajaran Sejarah (2015) Sumber dana; DIPA
PNBP FKIP Unlam

Penyunting
360
Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat:
1. Sosialisasi Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Sejarah pada Guru Mata
Pelajaran Sejarah se-Kota Banjarmasin (2013) Dana BOPTN Unlam 2013.
2. Pelatihan Penyusunan Perangkat Pembelajaran Mata Pelajaran
Sejarah Kurikulum 2013 (2013) Dana BOPTN Unlam 2013.
3. Penyuluhan Implementasi Kurikulum 2013 di SMPN 8 Martapura
Kabupaten Banjar (2015) DIPA (PNBP) FKIP Unlam 2014/2015.
4. Program Pendampingan Kurikulum 2013 (2015), LPMP Prov
Kalimantan Selatan.
5. Pendampingan Implementasi Pembelajaran Saintifik Mata Pelajaran
Sejarah Kurikulum 2013 (2016) Sumber dana; DIPA PNBP FKIP
Unlam.

Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah Dalam Jurnal:


1. Dinamika Sosial Ekonomi Transmigran di Desa Kambitin I
Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong 1984-1991, Volum 14,
Nomor 1, Mei 2012, Jurnal Wiramartas.
2. Kontribusi Program CD (Community Depelovment) dan CSR
(Corporate Social Responsibillity) dalam Pengembangan Pendidikan
di Tabalong, Volum 15, Nomor 1, Mei 2013, Jurnal Wiramartas.
3. Understanding Regional History and Perception of Cultural Diversity
in Developing Nationalism, Volume 14 Nomor 1, tahun 2013, Historia
International Journal of History Education.
4. Analisis Ketersediaan Sarana-Prasarana Pendidikan dan Kesiapan
Implementasi Kurikulum 2013 di Kabupaten Tabalong, Jilid 27
Nomor 7, Oktober 2015, Vidya Karya Jurnal Kependidikan.

Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral Pada Seminar Ilmiah:


1. Seminar Nasional Pendidikan Sejarah dan Revitalisasi Nasionalisme
(Penanaman Nasionalisme Melalui Pembelajaran Sejarah yang
Adaptif) Surakarta, 26 Mei 2011.
2. Seminar Nasional Inovasi Pembelajaran Sebagai Upaya
Meningkatkan Efektivitas Pembelajaran IPS (Pendekatan Cross-
Indigenous Pembelajaran IPS dalam Mengajarkan Nilai-Nilai
Multikulturalisme) Bandung 12 Mei 2012.

Penyunting
361
3. Seminar Nasional Implementasi Kurikulum 2013 dan Aktualisasi
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Upaya Memantapkan
Insan Berkarakter (Pembelajaran IPS Berbasis Multikulturalisme
dalam Membentuk Karakter Kebangsaan) Banjarmasin, 3-4 Mei 2013.
4. Seminar Nasional Pendidikan Sejarah “Menyongsong Kurikulum Sejarah
2013 (Pemahaman Sejarah Daerah dan Persepsi Terhadap Keberagaman
Budaya dalam Membina Sikap Nasionalisme: Studi Korelasi Pada
Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Unlam) Jakarta, 18 Mei 2013.
5. Semiloka Hasil-hasil Penelitian Pendidikan (Kajian Implementasi
Desentralisasi: Korelasi Ketersediaan Sarana-Prasarana Pendidikan
dengan Prestasi Pendidikan pada Pendidikan Dasar dan Menengah
di Kabupaten Tabalong) Jakarta, 28-30 November 2013.
6. International Seminar on Character Education (Kemampuan Berfikir
Kritis dalam Pedagogi Sejarah Sebagai Upaya Membangun Karakter
Peserta Didik) Banjarmasin, 24 Mei 2014.
7. The International Conference: The Social Studies Contribution to
Reach Periodic Environmental Education Into Stuning Generation
2045 (Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Berwawasan Etika
Lingkungan) Bandung, 17-18 September 2014.
8. Seminar Nasional dan Lokakarya: Pembelajaran Sejarah di Tengah
Perubahan (Implementasi Kurikulum 2013 dan Tantangan Pembelajaran
Saintifik Bagi Guru Sejarah) Malang, 27-28 September 2014.
9. Seminar Nasional Pendidikan IPS Berbasis Kearian Lokal (Cross-
Indigenous Pembelajaran IPS dalam Mengajarkan Nilai-nilai
Multikulturalisme) Banjarmasin, 30 Mei 2015
10. Konvensi Nasional Pendidikan IPS III (Tantangan Pedagogi Sejarah
Untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Berpikir
Kreatif) Bandung, 11-12 Agustus 2015.
11. International Conference of Contributing History for Social Sciences
and Humanities (Strategi Mengembangkan Historical Empathy
dalam Pedagogi Sejarah) Malang, 5 September 2015.
12. International Seminar on Ethnopedagogy (Nilai-nilai Kearian Lokal
dalam Kegiatan Peternakan Kerbau Rawa oleh Masyarakat di Desa
Tabatan Baru Kecamatan Kuripan Kabupaten Barito Kuala (Tim))
Banjarmasin, 14 November 2015.
13. Seminar Nasional dan Pertemuan Asosiasi Pendidik dan Peneliti
Sejarah (Menghadirkan Kelas Konstruktivis Dalam Melatih

Penyunting
362
Kemampuan Berpikir Historis Melalui Model Latihan Penelitian)
Banjarmasin, 27-28 November 2015.
14. Seminar Nasional “Revitalisasi Kearifan Lokal untuk Membangun
Martabat Bangsa” Surabaya, 21 Mei 2016.
15. International Seminar on Building Education Based on Nationalism
Values. Banjarmasin, 8 Oktober 2016.
15. Seminar Nasional “Kajian Kesesuaian Kurikulum Sejarah di
Perguruan Tinggi dengan Kurikulum Sejarah di Sekolah. Yogyakarta,
19 Oktober 2016.
16. Seminar Nasional “Sejarah Indonesia dalam Perspektif Regional”
Malang, 2 November 2016
.17. 2nd International Conferences Education & Training (ICET) on:
“Improving the Quality of Education and Training Through
Strengthening Networking” Malang, 6 November 2016.
18. International Social Studies Association (ISSA) on: “Social Studies
and Entrepreneurship in Digital Era” Surabaya, 12 November 2016.

Pengalaman Penulisan Buku/Editor Artikel Ilmiah:


1. Prosiding Seminar Nasional Implementasi Kurikulum 2013 dan
Aktualisasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Upaya
Memantapkan Insan Berkarakter, 2013 (Editor) Jurusan Pendidikan
IPS FKIP Unlam dan Pascasarjana Pendidikan IPS.
2. Seputar Pembelajaran Sejarah (Isu, Gagasan dan Strategi
Pembelajaran), 2014, Aswaja Pressindo.
3. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Asosiasi Pendidik dan
Peneliti Sejarah, 2015 (Editor), Program Studi Pendidikan Sejarah
FKIP Unlam.
Pengalaman penulisan buku/editor artikel ilmiah:
1. Penyunting Jurnal Vidya Karya (2016) FKIP Unlam Banjarmasin.
2. Penyunting Jurnal Prabayaksa (2013-2016) Program Studi Pendidikan
Sejarah FKIP Unlam Banjarmasin.
3. Penyunting Jurnal Wiramartas (2012-2014) Jurusan Pendidikan IPS
FKIP Unlam Banjarmasin.

Penyunting
363
Pengalaman Organisasi Profesi:
1. Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial (Hispisi), 2013–
sekarang, Wakil Sekretaris.
2. Asosiasi Pendidik dan Peneliti Sejarah (APPS), 2014–sekarang, Wakil
Sekretaris.
3. Asean Comparative Research Network (ACER-N), 2015–sekarang,
Anggota.

Penyunting
364

Anda mungkin juga menyukai