Anda di halaman 1dari 283

Accelerat ing t he world's research.

Universitas Negeri Manado BUKU


PROSIDING Seminar Nasional
yosefina uge lawe

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

JURNAL PENELIT IAN PEMBELAJARAN DKI JAKARTA


seminar penelit ian

RESPON SISWA KELAS X-A SMAN 1 UPAU DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SAINT IFIK PADA KON…
Almira Ulimaz, S.Si, M.Pd

Pembent ukan Karakt er Melalui Penerapan Met ode Quant um Learning dengan Menggunakan Media Al…
Sri Wahyu Widyaningsih
Universitas Negeri
Manado

BUKU PROSIDING
Seminar Nasional
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan dan Gagasan Kreatif
Tabanan, 18--19 April 2016

Diterbitkan oleh Pustaka Larasan untuk:


Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Saraswati Tabanan
Bekerja sama dengan
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Manado
Buku Prosiding Seminar Nasional

INOVASI HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN


DAN GAGASAN KREATIF

Pustaka Larasan
Bekerja sama dengan
FPMIPA IKIP Saraswati Tabanan
dan
FMIPA Universitas Negeri Manado
2016
INOVASI HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN
DAN GAGASAN KREATIF

Penyunting
I Made Sudiana

Tata letak
Slamat Trisila

Penerbit
Pustaka Larasan
Jalan Tunggul Ametung IIIA/11B
Denpasar, Bali
Ponsel: 0817353433
Pos-el: pustaka_larasan@yahoo.co.id

Bekerja sama dengan

FPMIPA IKIP Saraswati Tabanan


dan
FMIPA Universitas Negeri Manado

Cetakan Pertama: 2016

ISBN 978-602-1586-62-4

ii
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, puja dan puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widi
Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kehendak dan perkenan-Nyalah Seminar Nasional
bertemakan Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan dan Gagasan Kreatif dapat terselenggara sesuai
dengan yang telah direncanakan. Seminar Nasional ini digagas oleh Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FPMIPA) IKIP Saraswati yang divisikan sebagai wadah bagi para peneliti,
pemerhati pendidikan, dan pemangku kepentingan bidang pendidikan mempublikasikan hasil-
hasil penelitiannya yang inovatif, unggul dan berkarakter serta gagasan kreatifnya dalam rangka
menemukan solusi terhadap permasalahan kualitas pendidikan di Indonesia.
Materi Seminar sesuai dengan tema di atas terdiri dari enam bidang yaitu: 1) Inovasi
Hasil Penelitian Pendidikan IPA, 2) Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra, 3)
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan IPS, 4) Inovasi Gagasan Kreatif Pendidikan IPA, 5) Inovasi
Gagasan Kreatif Pendidikan Bahasa dab Sastra, dan 6) Inovasi Gagasan Kreatif Pendidikan IPS.
Seminar Nasional diselenggarakan selama dua hari, Senin dan Selasa, 18 – 19 April 2016
dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), di FPMIPA IKIP Saraswati.
Dalam seminar ini menampilkan empat (4) pembicara kunci yaitu Prof. Dr. Endang Susantini,
M.Pd (Ketua Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Negeri Surabaya), Dr. Drs. Dewa Nyoman
Oka, M.Pd (Rektor sekaligus Dosen Pendidikan Biologi IKIP Saraswati), Dr. Herry Maurits
Sumampouw (Dosen Biologi, FMIPA Universitas Negeri Manado), dan Dr. Enny Wijayanti,
M.Pd (Dosen Matematika, FMIPA Universitas Palangkaraya).
Atas nama panitia, izinkanlah saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada para pembicara yang telah memenuhi permintaan panitia sebagai
narasumber dalam Seminar Nasional ini.
Kegiatan seminar nasional dapat terselenggara karena adanya dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, saya mewakili panitia penyelenggara mengucapkan terima
kasih banyak kepada: (1) Dilitabmas Kemristek Dikti dan Rektor IKIP Saraswati atas pendanaan
penelitian yang diberikan, khususnya kepada peneliti dari IKIP Saraswati sehingga para peneliti
dapat melakukan dan mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya; (2) Komite Program yang
telah memberikan dukungannya baik moral maupun material untuk pelaksanaan kegiatan ini,
(3) para Reviewer yang telah bekerja keras dalam proses seleksi artikel-artikel yang masuk; dan
(4) seluruh Panitia Pelaksana atas kerja keras dan dedikasinya demi terselenggaranya kegiatan
seminar nasional ini.
Melalui kesempatan yang baik ini, saya mewakili panitia menyampaikan permohonan
maaf apabila dalam kegiatan seminar terdapat kekeliruan dan keterbatasan fasilitas yang tersedia
untuk berseminar. Sebagai penutup, selamat berseminar kepada seluruh peserta. Semoga kegiatan
seminar yang kita laksanakan ini dapat menjadi motivasi bagi kita untuk dapat meningkatkan
kapasitas penelitian kita, memotivasi kita menciptakan ide-ide kreatif dan inovatif dalam mencari
dan menemukan solusi permasalahan pendidikan, sekaligus memberikan sumbangsih bagi
kemajuan bangsa dan negara kita, khususnya dalam bidang penelitian pendidikan. Terima kasih.

Tabanan, 18 April 2016


Ketua Panitia,

ttd

Drs. I Made Sudiana, M.Si.

iii
SAMBUTAN REKTOR
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Saraswati

Om Swastyastu
Salam Sejahtera Buat Kita Semua

1. Yth. Ketua Yayasan PR. Saraswati Cabang Tabanan


2. Yang saya hormati: Dekan Fakultas MIPA Universitas Manado, Prof. Dr. Endang Susantini,
M.Pd. (Universitas Negeri Surabaya), Dr. Herry Maurits. Sumampouw (Universitas Negeri
Manado), Dr. Enny Wijayanti, M.Pd (Universitas Palangkaraya).
3. Para Dekan, Sekretaris Dekan, Ketua Jurusan dan Kepala UPT di lingkungan IKIP Saraswati
dan para pemakalah oral serta undangan lain yang saya hormati pula.

Mengawali sambutan ini, saya mengucapkan puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang
Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya, saya dan kita semua dapat
bertemu dan berkumpul untuk melaksanakan kegiatan akademik seminar dalam keadaan sehat
walaiat. Sebelum saya melanjutkan sambutan ini, saya atas nama lembaga mengucapkan selamat
datang dan banyak terimakasih atas kehadiran ibu/bapak/sdr di kampus IKIP Saraswati. Kampus
kami tidak besar, jumlah tenaga akademik, jumlah mahasiswa juga tidak terlalu banyak. Namun
demikian, kami selalu berusaha untuk melaksanakan kegiatan akademik sebagai bentuk kontribusi
lembaga kami memajukan kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui pendidikan. Untuk
itu, pada bulan April tahun 2016 ini, dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei
2016, FPMIPA IKIP Saraswati menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk: Inovasi Hasil
Penelitian Pendidikan dan Gagasan Kreatif.

Hadirin yang saya hormati,


Usaha meningkatkan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas
pembelajaran. Jika pembelajaran berkualitas, maka hasil pembelajaran akan mempu mencapai
kriteria capaian pembelajaran yang ditetapkan dalam kurikulum. Capaian hasil pembelajaran
peserta didik sesuai dengan kriteria capaian pembelajaran yang ditetapkan menunjukkan
pendidikan yang diselenggarakan bermutu. Menjadikan pembelajaran berkualitas memerlukan
seorang pendidik yang kreatif dan inovatif dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Seorang
pendidik yang kreatif dan inovatif tidak dilahirkan, akan tetapi terbentuk melalui usaha sadar dari
pendidik bersangkutan untuk mau belajar mengikuti dan mengembangkan cara-cara melakukan
kegiatan pembelajaran yang berkualitas. Salah satu bentuk usaha pendidik untuk meningkatkan
dan mengembangkan kualitas pembelajaran adalah melakukan kegiatan penelitan tentang strategi,
pendekatan, dan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakter materi dan tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai. Selain melakukan kegiatan penelitian, mengkaji berbagai strategi, pendekatan,
dan metode pembelajaran kemudian merumuskannya dalam pemikiran cerdas, juga merupakan
usaha penting yang dilakukan pendidik untuk memberikan solusi alternatif dalam melaksanakan
kegiatan pembelajaran secara berkualitas.

Hadirin yang saya hormati,


Terkait dengan tema seminar tersebut, saya sangat mengapresiasi seluruh tenaga pendidik
(dosen) dan tenaga kependidikan FPMIPA yang mampu merancang dan melaksanakan Seminar
Nasional ini. Sebab untuk dapat melaksanakan sebuah Seminar Nasional seperti ini memerlukan
kerja keras dan kebersamaan antara dosen dan tenaga kependidikan di fakultas. Kerja keras dan
kebersamaan ini terwujud, selain karena rasa memiliki yang tinggi dari dosen dan pegawai, juga

iv
karena kegiatan Seminar Nasional merupakan bagian dari program lembaga dalam rangka terus
meningkatkan eksistensi lembaga dan membangun citra bahwa IKIP Saraswati adalah salah satu
LPTK swasta yang mampu berkiprah dalam temu ilmiah berskala nasional.

Hadirin yang saya hormati,


Seminar Nasional ini merupakan ajang yang sangat strategis dalam menemukan suatu “formula
baru” tentang strategi, pendekatan, dan metode dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran
yang berkualitas. Kita menyadari bahwa para guru dan juga dosen, ketika melakukan kegiatan
pembelajaran/perkuliahan umumnya masih menerapkan metode konvensional, kalaupun ada
guru/dosen sudah melaksanakan pembelajaran inovatif, tampaknya masih terlaksana secara
partial. Oleh karenanya saya berharap, semoga seminar ini bisa menghasilkan suatu model
pembelajaran alternatif yang holistik dan “model Penelitian Tindakan Kelas (PTK)” yang
implementtatif. Sehingga para peserta seminar yang sangat variatif ini (dari unsur mahasiswa,
pendidik, pemerhati pendidikan, dan dosen) memperoleh pemahaman baru bahwa model atau
metode pembelajaran yang holistik dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik. Saya juga
berharap, setelah mengikuti seminar ini bapak/ibu/sdr bisa mempraktikkan bahkan membuktikan
sendiri melalui proses pembelajaran atau PTK di tempat tugas masing-masing.

Hadirin yang saya hormati,


Mengakhiri sambutan saya ini, saya menyampaikan permohonan maaf, jika ada ucapan dan
perilaku saya yang kurang berkenan di hati hadiran sekalian. Akhirnya saya mengucapkan
banyak terimakasih kepada panitia pelaksana dan semua pihak atas partisipasinya dalam kegiatan
seminar ini. Atas asung wara nugraha Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Mahaesa, pada
hari ini Senin, 18 April 2016, Seminar Nasional bertemakan “Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan
dan Gagasan Kreatif”, saya buka secara resmi.

Om santi, santi, santi, Om.

Tabanan, 18 April 2016


Rektor,

ttd

Dr. Drs. Dewa Nyoman Oka, M.Pd.

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. iii


SAMBUTAN REKTOR ............................................................................................................. iv
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. vi

HASIL PENELITIAN 1

Pengembangan Video Pembelajaran Pendekatan Saintiik Untuk Mengembangkan


Keterampilan Mengajar Calon Guru Biologi
(Prof. Dr. Endang Susantini, M.Pd)................................................................................. 3

A Survey of the Termite Subterranean (Isoptera) of an Cempaka-Wasian Plantation in


South Minahasa District, North Sulawesi, Indonesia
(Jantje Ngangi1 and Jantje Pelealu) ................................................................................ 11

Pengembangan Bahan Ajar Biologi Sel Berbasis Metakognitif Dengan Struktur


Didaktik
(Dr. Herry Maurits. Sumampouw).................................................................................. 25

Pengembangan Asesmen Diri Kompetensi Kognitif pada Mahasiswa Pendidikan


Fisika
(Dr. Enny Wijayanti, M.Pd)............................................................................................. 33

Validitas Instrumen Penilaian Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi dalam Mata


Pelajaran Matematika
(Dr. Samritin, S.Pd., M.Pd.)........................................................................................... 47

Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Modiiksai Berbasis Media Peta Pikiran


Terhadap Ketreampilan Metakognisi Siswa SMA 7 Denpasar
(Dr. Drs. Cornelius Sri Murdo Yuwono,M.Si.)............................................................... 57

Proil Dan Motivasi Belajar Pada Pembelajaran Di Laboratorium Kimia Universitas


Mahasaraswati Denpasar
(Gusti Ayu Dewi Setiawati, S.Pd., M.Pd.)....................................................................... 65

Pengaruh Model Pembelajaran Collaborative Teamwork Learning dan Motivasi


Berprestasi Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa SD
(Yoseina Uge Lawe) ...................................................................................................... 73

Karakteristik Tes Prestasi Belajar Berdasarkan Pendekatan Klasik dan Item Response
Theory
(Dr. A.A. Purwa Antara, M.Pd)....................................................................................... 87

vi
Pembelajaran Botani Tumbuhan Tinggi (BTT) dengan Model Inkuiri Menggunakan
Materi Ajar Terintegrasi Etnobotani
(Drs. I Ketut Surata, Drs. I Made Sudiana, M.Si, dan I Wayan Gata)............................. 97

Peningkatan Prestasi Belajar Siswa SD Melalui Pendekatan Saintiik Terintegrasi


Kearifan Lokal Bali Berbasis Ergonomi
(Drs. I Made Sudiana, M.Si & I Gede Sudirgayasa, S.Pd., M.Pd.)................................. 107

Implementasi Materi Ajar IPA SD Terintegrasi Pendidikan Karakter berbasis Tradisi


Lisan
(Drs. I Made Maduriana, M.Si.)....................................................................................... 113

Penilaian Deskriptif Kualitatif: Sebuah Tinjauan Terhadap Penilaian Pencapaian


Kompetensi Sikap Dalam kurikulum 2013
Dra. Ni Putu Seniwati, M.Pd............................................................................................ 119

Peningkatan Kemampuan Guru Produktif Melaksanakan Strategi Pembelajaran


Pelatihan Industri Melalui Kerja Kelompok SMK Pariwisata Tabanan
(Drs. Ida Bagus Anom Sutanaya,M.Pd)........................................................................... 127

Efektiitas Pendekatan Pendidikan Matemetika Realistik Dalam Meningkatkan Pretasi


Belajar Matematika Siswa
Drs. Gede Ngurah Oka Diputra, M.Pd............................................................................. 137

Analisis Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMP Negeri 1 Marga pada Mata Pelajaran
Biologi
(I Gede Sudirgayasa, S.Pd, M.Pd dan Drs. I Ketut Surata, M. For)................................ 145

Pengaruh Pendidikan Matematika Realistik dan Gaya Kognitif terhadap Prestasi


Belajar Matematika Siswa
(I Made Adi Yasa, M.Pd).................................................................................................. 151

Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas X RPL SMK Negeri 2 Tabanan
Menggunakan Aplikasi Geogebra
(Ni Wayan Dian Permana Dewi, S.Pd., M.Pd.).............................................................. 161

Pengaruh Model Problem Based Learning Dalam Pembelajaran IPA Terhadap


Keterampilan Berpikir Kreatif (Creative Thinking)
(Putu Ayu Kusuma Dewi, S.Pd., M.Pd)............................................................................ 167

Pengaruh Model Belajar 5E Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika


(I Gusti Agung Handayani, S,Pd., S.Kom., M.Pd)........................................................... 173

Model Pembelajaran CTL Melalui Pemanfaatan Kebun Sekolah Sebagai Pusat Sumber
Belajar Biologi Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar Biologi
(I Gst Agung Ayu Nova Dwi Marhaeni, S. Pd)................................................................ 183

vii
Penerapan Metode Inkuiri Untuk Meningkatkan Kemampuan Menyimak Melalui
Media Audio Visual
(Ni Made Sueni, Desak Nyoman Alit Sudiarthi, Ni Luh Ayu Nitya Laksmi).................... 191

Multikulturalisme Sebagai Perekat Hubungan Antara Nyama Selam Dan Nyama Bali
(Studi Integrasi Antara Etnik Bugis dan Etnik Bali)
(Nyoman Suryawan dan Ketut Sukanta) ......................................................................... 197

Pengembangan Pembelajaran Pendidikan IPS dalam Konstruksi Kurikulum Sekolah


Dasar
(Dewa Nyoman Wija Astawa dan Ni wayan Sadri) ........................................................ 205

HASIL PEMIKIRAN 213

Implementasi Pola Penataan Pekarangan Tradisional Bali Yang Dilandasi Oleh


Kearifan Lokal Tri Hita Karana Di Sekolah Dapat Membangun Karakter Dan Budaya
Konservasi Siswa
(Dr. Drs. Dewa Nyoman Oka, M.Pd.) ........................................................................... 215

Estimasi True Score dalam Pengukuran Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Teori Tes
Klasik
(Dr. Hj. Dina Huriaty, M.Pd.)........................................................................................... 221

Model Pengembangan Assesmen Dalam Pembelajaran Bermuatan Nilai Karakter


(Ni Made Rai Wisudariani, I Nyoman Sudiana, Ida Bagus Putrayasa, I Wayan Rasna)... 227

Inovasi Pembelajaran pada Pendidikan Inklusif Sekolah Dasar Berbasis


Metapedadidaktik
(Dr. Made Kerta Adhi, M.Pd.)......................................................................................... 235

Pengembangan Dan Pelestarian Sastra Lisan Melalui Model Aktor Dan Aktris
Sekolah
I Nyoman Suaka, I Wayan Soper.................................................................................... 245

Pendidikan Life Skill Merupakan Bagian Dari Inovasi Pendidikan Perguruan Tinggi
dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
(Dr. Drs. I Made Sumada, MM. M.Si.)............................................................................. 255

Pemantapan Pendidikan Karakter Untuk Membangun Generasi Bangsa Yang Tangguh


(I Wayan Gata)................................................................................................................. 261

Kutukan Dewi Uma dalam Naskah Tutur Siwa Gama

(Dr. Dra. Ni Putu Parmini, M.Pd.) .................................................................................. 266

LAMPIRAN ............................................................................................................................... 271

viii
HASIL PENELITIAN

1
2
VIDEO PEMBELAJARAN PENDEKATAN SAINTIFIK:
VALIDITAS, KETERLAKSANAAN PERKULIAHAN, DAN
RESPONS MAHASISWA CALON GURU BIOLOGI

Endang Susantini
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya
e-mail: endangsusantini@unesa.ac.id

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kelayakan video pembelajaran pendeka-
tan saintiik yang meliputi validitas video, keterlaksanaan perkuliahan dan respon maha-
siswa calon guru biologi terhadap video pembelajaran. Data validitas video diperoleh melalui
penilaian ahli, data keterlaksanaan perkuliahan diperoleh menggunakan metode observasi,
sedangkan respon mahasiswa calon guru didapatkan dengan metode angket. Hasil penelitian
menunjukkan validitas video pembelajaran pendekatan saintiik dinyatakan sangat baik (skor
validitas: 3,79). Keterlaksanaan perkuliahan mahasiswa calon guru Biologi dapat terlakasana
dengan sangat baik. Mahasiswa calon guru memberikan respon positif terhadap video Pem-
belajaran Pendekatan Saintiik.

Kata Kunci: kelayakan, video pembelajaran, pendekatan saintiik

Abstract
The purposes of this research was to describe the feasibility of learning video scientiic ap-
proach which include validity, lecturing process, and the responses from pre-service biol-
ogy teachers towards the learning video. The validity of data from the video was obtained
through experts assessment, the process of lecturing obtained by using observation methods,
meanwhile the responses from pre-service teachers was collected by questionnaire. Results
showed that the validity of scientiic approach learning video is valid with total score 3.79.
The lecturing process of pre service biology teachers are able to complete very well. The
pre service teachers also deliver the positive responses towards learning video scientiic ap-
proach.

Keywords: feasibility, learning video, scientiic approach

1. Pendahuluan

P
roses pembelajaran di sekolah berdasarkan Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan sainti-
ik. Pendekatan saintiik pada pembelajaran Kurikulum 2013 ditandai dengan siswa melakukan
kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunika-
si. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat ditambahkan kegiatan mencipta (Depdikbud, 2014).
Prodi Pendidikan Biologi FMIPA Unesa telah mengajarkan beberapa model pembelajaran
yang berorientasi pendekatan saintiik, yakni Problem Based Learning (PBL), Inkuiri-Discovery,
Pembelajaran Kontekstual, dan Pembelajaran Berbasis Proyek pada mata kuliah Pembelajaran
Inovatif. Proses pembelajaran mahasiswa calon guru Biologi pada mata kuliah Pembelajaran
Inovatif belum menggunakan media video pembelajaran untuk melatihkan keterampilan
mengajar. Video pembelajaran dapat membantu mahasiswa calon guru mendapatkan gambaran
langkah-langkah mengajar menggunakan pendekatan saintiik dengan lebih nyata dan membuat
perkuliahan lebih menarik. Pernyataan tersebut sesuai dengan Agommuoh dan Nzewi (2003) yang
menyatakan bahwa video adalah alat instruksional yang memiliki kapasitas untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran, membangkitkan minat dan pemikiran serta mengkonkretkan pengetahuan.
Adelakun (2003) dan Gana (2000) menyatakan video juga memiliki potensi membuat siswa
belajar dengan lebih banyak, lebih lama bertahan dalam ingatan, bahkan mengembangkan

3
Buku Prosiding Seminar Nasional

keterampilan yang diharapkan. Keterampilan yang diharapkan meningkat pada penelitian


ini adalah keterampilan mahasiswa calon guru mengajar menggunakan pendekatan saintiik.
Keterampilan tersebut merupakan komponen penting yang harus dimiliki mahasiswa calon guru
untuk melakukan pembelajaran di sekolah. Dengan demikian, penggunaan video pembelajaran
bagi mahasiswa calon guru sesuai dengan tujuan Renstra Unesa, yakni terkembangkan keilmuan
dan pendidikan untuk mengahasilkan calon guru, pendikdasmen, dan bahan ajar bermutu.
Pengembangan video pembelajaran bagi mahasiswa calon guru juga sejalan dengan Rencana
Induk Penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unesa, yakni meningkatkan
mutu pendidikan tinggi, terutama perkuliahan pada Prodi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian pengembangan video pembelajaran
pendekatan saintiik yang bermutu sekaligus dapat digunakan dalam proses perkuliahan. Topic
yang dipilih dalam pengembangan video adalah hujan asam. Topik tersebut sangat dekat dengan
siswa dan dapat diajarkan dengan pendekatan saintiik secara utuh bahkan sampai tahap mencipta.
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kelayakan video pembelajaran pendekatan
saintiik topic Hujan Asam. Kelayakan video pembelajaran ditinjau dari 1) validitas video; 2)
keterlaksanaan perkuliahan; dan 3) respon mahasiswa calon guru Biologi.

2. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian dan pengembangan (Developmental Research)
yang mengembangkan video pembelajaran pendekatan saintiik untuk mengembangkan keter-
ampilan mengajar mahasiswa calon guru Biologi. Metode yang digunakan pada pengembangan
video adalah ASSURE (Heinich, Molenda, Russell, 2003). secara skematis seperti Gambar 1
berikut ini. • Analisis mahasiswa (usia, motivasi dalam
belajar, pengetahuan prasyarat yang sudah
Analyze
dimiliki)
Learner

• Analisis kurikulum S1 Kependidikan Unesa,


khususnya Kelompok Mata Kuliah Keahlian
Berkarya (Pembelajaran Inovatif II)

State
Merumuskan Indikator/Tujuan Pembelajaran untuk
Objective
topik yang akan dibuat video pembelajaran

• Membuat perangkat pembelajaran Pendekatan Saintifik 5


prodi Biologi


Select Media Membuat skenario video pembelajaran


and Materials Memilih, dan membuat tampilan video
Menelaahkan perangkat pembelajaran, skenario dan video
ke ahli pembelajaran MIPA dan teknologi pendidikan.

Utilize Media • Uji coba terbatas video pembelajaran kepada mahasiswa


Prodi Pend Biologi Unesa
and Materials

• Mengumpulkan data keterlaksanaan & analisis


video

Require
Learner Mengamati aspek keterampilan mengajar mahasiswa
setelah mengamati video pembelajaran di kelas

Performance
Mengumpulkan data berupa respons mahasiswa

• Melakukan evaluasi pada aspek-aspek penting


terkait pengembangan video pembelajaran

Evaluate
Melakukan revisi dan penyempurnaan video
and Revise pembelajaran berdasarkan masukan ahli dan
ujicoba

Gambar 1. Bagan Skematis Prosedur Penelitian

4
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Deskripsi singkat video pembelajaran yang dikembangkan: Video Pembelajaran Pendekatan


Saintiik Berbasis Model Kooperatif pada Topik Hujan Asam berdurasi 24 menit 29 detik. Di
dalam video disajikan seorang Guru Biologi dan 20 Siswa SMA dengan seting kegiatan belajar
mengajar di kelas. Lokasi pengambilan gambar di Laboratorium Pembelajaran Biologi FMIPA
Unesa. Video menayangkan langkah-langkah pembelajaran dengan Pendekatan Saintiik 6 M
(Mengamati, Menanya, Mencoba, Mengasosiasi, mengomunikasi, dan Mencipta) yang berbasis
Model Pembelajaran Kooperatif. Video tersebut juga menayangkan sintaks pembelajaran
kooperatif, yaitu Fase 1 menjelaskan tujuan pembelajaran dan menyiapkan perangkat pembelajaran,
Fase 2 menyajikan informasi, Fase 3 mengorganisasi siswa ke dalam kelompok belajar, Fase 4
membimbing kerja kelompok dan belajar, Fase 5 melakukan evaluasi materi pembelajaran, dan
Fase 6 memberi pengahargaan.
Materi Biologi yang dipilih dalam pengembangan video ini adalah hujan asam. Pada
tayangan tampak siswa mengamati video interaktif ekosisem sungai. Jika pH air sungai diubah-
ubah, maka makhluk hidup yang terdapat pada sungai baik jumlah maupun jenisnya juga berubah.
Kemudian, siswa melakukan percobaan pengaruh pH terhadap pertumbuhan kacang hijau.
Tampak siswa dalam kelompok kooperatif berlatih merumuskan masalah, mengajukan hipotesis
sampai membuat simpulan.
Validitas video pembelajaran diperoleh dari penilaian ahli pembelajaran Biologi menggunakan
Lembar Validasi. Penilaian Video meliputi aspek tampilan isik, aspek penyajian, aspek isi, dan
aspek bahasa. Skor validasi video dihitung dengan menggunakan rumus:

SV =
Keterangan:
1. SV = Skor Validasi
2. Kriteria skor validasi:
1,0 < SV < 1,5 = Kurang Baik
1,6 < SV < 2,5 = Cukup Baik
2,6 < SV < 3,5 = Baik
3,6 < SV < 4 = Sangat Baik

Keterlaksanaan perkuliahan diperoleh dengan teknik observasi menggunakan Lembar


Observasi. Video pembelajaran yang telah divalidasi diujicobakan kepada mahasiswa calon guru.
Skor keterlaksanaan perkuliahan dihitung dengan menggunakan rumus:

Skor Keterlaksanaan Perkuliahan =


Keterangan:
1,0 - 1,5 = Kurang Baik
1,6 - 2,5 = Cukup Baik
2,6 - 3,5 = Baik
3,6 – 4 = Sangat Baik

Respon mahasiswa calon guru Biologi terhadap video Pembelajaran Pendekatan Saintiik
dengan metode kuesioner menggunakan angket. Respon mahasiswa calon guru meliputi aspek
penyajian, aspek isi, dan aspek bahasa.

3. Hasil dan Pembahasan


Video Pembelajaran Pendekatan Saintiik untuk mengembangkan keterampilan mengajar
guru Biologi divalidasi oleh 3 orang ahli pembelajaran. Hasil validasi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Validasi Video Pembelajaran Pendekatan Saintiik

5
Buku Prosiding Seminar Nasional

No. Aspek Skor Kategori


1 Tampilan Fisik 3,91 Sangat Baik
2 Penyajian 3,67 Sangat Baik
3 Isi 3,94 Sangat Baik
4 Bahasa 3,67 Sangat Baik
Nilai validasi semua aspek 3,79 Sangat Baik

Nilai validasi tertinggi didapatkan pada aspek isi, yakni 3,94 sedangkan nilai terendah pada
aspek penyajian dan bahasa yaitu 3,67. Semua aspek pada video mendapatkan kategori sangat
baik. Nilai validasi video Pembelajaran Pendekatan Saintiik adalah 3,79 dengan kategori sangat
baik. Video yang telah divalidasi selanjutnya diujicobakan kepada mahasiswa calon guru Biologi
untuk memperoleh data keterlaksanaan perkuliahan.
Data hasil pengamatan keteralaksanaan perkuliahan disajikan pada Tabel 2. Keterlaksanaan
perkuliahan dengan RPP dilakukan dengan metode observasi menggunakan instrumen lembar
pengamatan keterlaksanaan RPP. Pengamatan dilakukan oleh tiga pengamat.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Keterlaksanaan Pengamatan Video Pembelajaran Pendekatan


Saintiik Berbasis Model Pembelajaran Kooperatif pada Materi Hujan Asam
Skor Rata-
No. Aspek pengamatan Kategori
P1 P2 P3 rata

Pendahuluan
1. Memberikan apersepsi dengan mengingatkan
Sangat
kembali tentang model pembelajaran kooper- 4 4 4 4
baik
atif dan pendekatan saintiik.
2. Menjelaskan tujuan hasil belajar yang diharap-
kan dapat tercapai antara lain mengidentiikasi
langkah model pembelajaran kooperatif, lang-
kah pendekatan saintiik, pengembangan sikap Sangat
4 3 4 3,67
dalam pembelajaran kooperatif, kelebihan dan baik
kekurangan video yang dianalisis, serta mem-
beri masukan perbaikan pada proses pembela-
jaran yang diamati (Fase 1 Kooperatif)
Kegiatan Inti
3. Menjelaskan aturan perkuliahan modelling
Sangat
model pembelajaran kooperatif dengan me- 4 4 4 4
baik
manfaatkan video pembelajaran (Fase 2)
4. Membagi mahasiswa dalam kelompok (Fase 3) Sangat
4 3 4 3,67
baik
5. Membagi LKM kepada setiap mahasiswa Sangat
4 4 4 4
baik
6. Menyajikan video Pendekatan Saintiik Ber-
Sangat
basis Model Pembelajaran Kooperatif pada 4 4 4 4
baik
topik Hujan asam (mengamati).

6
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Skor Rata-
No. Aspek pengamatan Kategori
P1 P2 P3 rata

7. Mahasiswa mengamati video yang disajikan


dan mencatat langkah proses pembelajaran
4 3 3 3,33 Baik
yang terdapat dalam video (mengumpulkan
data atau informasi).
8. Ketika memperhatikan video, mahasiswa di-
minta mengecek keterlaksanaan pembelajaran
Sangat
yang dilaksanakan oleh guru pada tayangan 4 4 4 4
baik
video sesuai dengan pertanyaan pada LKM
(mengumpulkan data atau informasi). (Fase 4)
9. Setelah mengamati proses pembelajaran yang
ada pada video, mahasiswa diminta berdis- Sangat
4 4 4 4
kusi dan mengerjakan LKM berdasarkan hasil baik
pengamatannya.(mengasosiasi)
10. Agar mahasiswa dapat mengerjakan LKM
dengan baik, dosen menyajikan kembali video
Sangat
Pendekatan Saintiik Berbasis Model Pem- 4 4 3 3,67
baik
belajaran Kooperatif pada topik Hujan asam
(mengamati).
11. Memberikan kesempatan mahasiswa untuk
bertanya terkait video yang telah diamati teru-
3 3 3 3 Baik
tama mengenai pendekatan saintiik dan model
pembelajaran kooperatif (menanya)
12. Meminta mahasiswa mengomunikasikan hasil
Sangat
pengamatan yang tertulis dalam LKM (meng- 4 4 4 4
baik
komunikasikan)
13. Kelompok lain memberikan komentar dan
Sangat
dosen memberikan penjelasan jika ada komen- 4 4 4 4
baik
tar yang keliru (Fase 5)
Penutup
14. Memberi penghargaan kepada kelompok ma-
Sangat
hasiswa yang terbaik dalam memberikan saran 4 4 4 4
baik
perbaikan video (Fase 6)
15. Mahasiswa bersama dosen menyimpulkan hasil Sangat
4 4 4 4
pembelajaran baik
Sangat
Rata-rata 3,93 3,73 3,80 3,82
baik

Skor dan kategori:


1,00-1,50 Kurang baik
1,51-2,50 Cukup baik
2,51-3,50 Baik
3,51-4,00 Sangat baik

Kegiatan perkuliahan berlangsung dengan baik dan efektif. Mahasiswa calon guru MIPA
dibagi menjadi tiga kelompok kooperatif dengan beranggotakan 4 mahasiswa tiap kelompok.
Mahasiswa mengamati video pembelajaran dengan baik serta aktif dalam proses pembelajaran.
Alokasi waktu pada proses perkuliahan juga sesuai dengan alokasi waktu sesuai dengan

7
Buku Prosiding Seminar Nasional

perencanaan. Namun pada saat pelaksanaan perkuliahan terdapat beberapa kendala teknis seperti
laptop dan LCD yang kurang kompatibel. Video pembelajaran model kooperatif pada materi Hujan
Asam diputar sebanyak dua kali. Pada pemutaran pertama, mahasiswa fokus mengamati video,
namun pada pengamatan kedua mahasiswa mulai tidak fokus pada video dan lebih aktif berdiskusi
dalam kelompok untuk mengerjakan LKM yang telah dibagikan. Lembar kerja mahasiswa untuk
analisis video pembelajaran menunjukkan bahwa mahasiswa calon guru dapat mengidentiikasi
seluruh fase pembelajaran kooperatif dan pendekatan saintiik pada video pembelajaran dengan
baik.
Tujuan penggunaan video pada perkuliahan adalah agar mahasiswa calon guru dapat
mengetahui bagaimana penerapan pendekatan saintiik pada saat mengajar pada situasi kelas.
Belajar melalui video pembelajaran membantu calon guru untuk menyelesaikan masalah
spesiik yang hanya dapat diketahui dari pengalaman mengajar pada kelas (Kisa, 2013; Lin,
2005). Kegiatan perkuliahan mahasiswa calon guru dengan menggunakan video pembelajaran
pendekatan saintiik berjalan baik. Hasil pengamatan keterlaksanaan perkuliahan memperoleh
kategori sangat baik pada semua aspek. Hal tersebut menunjukkan bahwa video pembelajaran
pendekatan saintiik dapat digunakan untuk kegiatan perkuliahan mahasiswa calon guru Biologi.
Sejalan dengan pernyataan (Star & Strickland, 2008; Yung et al., 2007) bahwa penggunaan
contoh kasus pada video pembelajaran telah dilaporkan dapat diterapkan untuk mempersiapkan
calon guru melatihkan keterampilan mengajar di situasi kelas yang spesiik dan sesuai tujuan
pembelajaran. Video pembelajaran juga menyediakan pembelajaran yang konkrit dengan
mekanisme playback, sehingga peserta didik dapat memutar kembali (replay), memutar ulang
(rewind), dan mempercepat (fast-forward) pada adegan tertentu (Chinna & Dada, 2013).
Hasil respon positif mahasiswa terhadap penggunaan video pembelajaran pendekatan
saintiik pada kegiatan pembelajaran disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Respon Calon Guru Biologi Terhadap Video Pembelajaran Pendekatan Saintiik
Persentase
No Kriteria Jawaban
“ya”
Aspek Penyajian
1 Tampilan gambar pada video pembelajaran terlihat jelas/jernih 100%
2 Tampilan suara video pada pembelajaran terdengar jelas/jernih 91,67%
3 Tampilan tulisan/keterangan pada video pembelajaran terbaca jelas/jernih 91,67%
4 Para pemain guru dan siswa membawakan perannya dengan baik 91,67%
5 Penyajian urutan kegiatan dalam video pembelajaran ini disajikan secara runtut 100%
Aspek Isi
6 Isi materi pada video pembelajaran ini sesuai dengan konsep pada bidang studi
100%
yang dipelajari di Biologi
7 Tujuan kegiatan pada video pembelajaran dapat dicontoh 100%
8 Alat dan bahan yang digunakan pada kegiatan pembelajaran pada video dapat
91,67%
disediakan dengan mudah
9 Kegiatan pembelajaran pada video pembelajaran dapat membantu mengidenti-
100%
ikasi dan mendeskripsikan fase-fase pembelajaran kooperatif secara umum
10 Kegiatan pembelajaran pada video pembelajaran dapat membantu mengidenti-
ikasi dan mendeskripsikan fase menjelaskan tujuan pembelajaran dan meny- 91,67%
iapkan perangkat pembelajaran

8
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Persentase
No Kriteria Jawaban
“ya”
11 Kegiatan pembelajaran pada video pembelajaran dapat membantu mengidenti-
100%
ikasi dan mendeskripsikan fase menyampaikan informasi
12 Kegiatan pembelajaran pada video pembelajaran dapat membantu mengidenti-
91,67%
ikasi dan mendeskripsikan fase mengorganisasi siswa untuk belajar
13 Kegiatan pembelajaran pada video pembelajaran dapat membantu mengidenti-
100%
ikasi dan mendeskripsikan fase membimbing kerja kelompok dan belajar
14 Kegiatan pembelajaran pada video pembelajaran dapat membantu mengidenti-
83,33%
ikasi fase memberi evaluasi
15 Kegiatan pembelajaran pada video pembelajaran dapat membantu mengidenti-
91,67%
ikasi dan mendeskripsikan fase memberi penghargaan
16 Kegiatan pembelajaran pada video pembelajaran dapat membantu mend-
100%
eskripsikan cara pembelajaran saintiik secara umum
17 Kegiatan pembelajaran pada video pembelajaran dapat membantu mend-
83,33%
eskripsikan cara pembelajaran saintiik secara khusus dalam hal mengamati
18 Kegiatan pembelajaran pada video pembelajaran dapat membantu mend-
91,67%
eskripsikan cara pembelajaran saintiik secara khusus dalam hal menanya
19 Kegiatan pembelajaran pada video pembelajaran dapat membantu mend-
eskripsikan cara pembelajaran saintiik secara khusus dalam hal mengumpulkan 66,67%
data/bereksperimen
20 Kegiatan pembelajaran pada video pembelajaran dapat membantu mend-
eskripsikan cara pembelajaran saintiik secara khusus dalam hal mengasosiasi/ 83,33%
mengolah data
21 Kegiatan pembelajaran pada video pembelajaran dapat membantu mend-
eskripsikan cara pembelajaran saintiik secara khusus dalam hal mengkomu- 100%
nikasikan/ mempresentasikan data
22 Kegiatan pembelajaran pada video pembelajaran dapat membantu mend-
91,67%
eskripsikan cara pembelajaran saintiik secara khusus dalam hal berkreasi
Aspek Bahasa
23 Bahasa yang digunakan dalam video pembelajaran ini sesuai dengan penggu-
91,67%
naan Bahasa Indonesia yang baik
24 Bahasa yang digunakan dalam video pembelajaran ini mudah dipahami 100%

Respon positif calon guru terhadap video pembelajaran rata-rata pada semua aspek
adalah 91%. Tingginya respon positif mahasiswa calon guru pada video pembelajaran sesuai
mendukung hasil validasi video yang juga memiliki nilai validasi kategori sangat baik. Video hasil
pengembangan tidak hanya memiliki nilai validasi kategori sangat baik, tetapi juga mendapatkan
respon positif yang tinggi dari mahasiswa calon guru Biologi sebagai pengguna.

4. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan video pembelajaran pendekatan saintiik dinyatakan
layak digunakan dalam pembelajaran. Kelayakan video ditinjau dari validitas, keterlaksanaan
perkuliahan, dan respon mahasiswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan video
pembelajaran Pendekatan Saintiik.

9
Buku Prosiding Seminar Nasional

5. Daftar Pustaka

Adelakun, S. A., 2003. Issues in Science Education for the Visually Impaired. In W. O. Fatokun,
O. A., Adebimpe, O. K. Omoniyi, & T. Ajoblene (Eds), Science and Technology in Special
Education. Oyo: Tobistic Printing and Publishing Ventures.
Agommuoh, P. C., & Nzewi, U. M., 2003. Effects of Videotape Instruction on Secondary School
students Achievement in Physics. Journal of STAN, 38(1&2), 88-93.
Chinna, N.C. & Dada, M.G. (2013). Effects of Developed Electronic Instructional Medium on
Students’ Achievement in Biology. Journal of Education and Learning, 2(2), 1-7
Depdikbud, 2014. Panduan Penguatan Pembelajaran SMP. Jakarta: Direktorat PSMP
Gana, E. N., 2006. The use of instructional videotape in the learning of some geographical
concepts (Map Reading) in Senior Secondary Schools in Minna. Unpublished M. Tech
Education Thesis, Federal University of Technology, Minna.
Harrington, H.L. (1995). Fostering reasoned decisions: Case-based pedagogy and the professional
development of teachers. Teaching and Teacher Education, 11(1), 203-214
Heinich, et al. 2002. Instructional Media and Technologies for Learning. New York: Prentice
Hall.
Kisa, M.K. (2013). Science teachers’ learning to notice from video cases of the enactment of
cognitively demanding instructional class. Retrieved from ProQuest Dissertation &
Theses database. (UMI No. 3577155)
Lin, P. J., 2005. Using research-based video-cases to help pre-service teachers conceptualize
a contemporary view of mathematics teaching. International Journal of Science and
Mathematics Education, 3, 351–377.
McCullagh, J.F. (2012). How can video supported relection enhance teachers’ professional
development. Cultural Studies of Science Education, 7, 137-152
Star, J. R., Strickland, S. K., 2008. Learning To Observe: Using Video To Improve Preservice
Mathematics Teachers’ Ability To Notice. Journal of Mathematics Teacher Education,
11(2): 107-125
Susantini, E., dkk. 2015. Pengembangan Video Pembelajaran Pendekatan Saintiik untuk
Mengembangkan Keterampilan Mengajar Calon Guru MIPA. Laporan Kemajuan
Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi The Development And Upgrading Of Seven
Universities In Improving The Quality And Relevance of Higher Education In Indonesia.
Wong, S. L., Yung, B. H. W., Cheng, M. W., Lam, K. L., Hodson, D., 2007. Setting the Stage for
Developing Pre’service Teachers’ Conceptions of Good Science Teaching: The role of
classroom videos. International Journal of Science and Mathematics Education, 3, 351-
377.
Yung, B.H.W., Wong, S.L., Cheng, M.W., Hui, C.S., Hodson, D. (2007). Tracking Pre-service
Teachers’ Changing Conceptions of Good Science Teaching: The Role pf Progressive
Relection with the Same Video. Research in Science Education, 37, 239-259.

10
A SURVEY OF THE TERMITE SUBTERRANEAN (ISOPTERA) OF
AN CEMPAKA-WASIAN PLANTATION IN SOUTH MINAHASA
DISTRICT, NORTH SULAWESI, INDONESIA

Jantje Ngangi1 and Jantje Pelealu2


1
Departement of Biology, Faculty of Matematic and Natural Science,
Manado State University
2
Departement of Entomology, Sam Ratulangi University, Manado, Indonesia
e-mai1: jantjengangi@yahoo.com

Abstract
The objective of this study were to survey the biodiversity of local subterranean termite from
a public forests Rumoong Lansot Tareran, South Minahasa District of Northern Sulawesi
province. The survey was conducted in ive habitat types: (1) the mixed trees (HPC); (2)
the Cempaka trees (HC); (3) the Cempaka and Wasian trees (HCW); (4) the Wasian trees
(HW); (5) without trees (HTP). Method of sampling using a belt transect according to Jones
and Enggleton (2000). The measured parameters were relative abundance, distribution, and
transect each termite index of diversity. The termites were collected from ive sites in the
Rumoong Lansot area contained ten species, ive genera and two sub-family. The sub family
of the highest species number is Macrotermitinae (eight species, 89.66 percent) followed by
Nasutitermitinae (two species, 10.34 percent). The ive genera are Macrotermes, Pericapri-
termes, Havilanditermes, Odontotermes and Nasutitermes. Ten species were identiied as
O. javanicus, Macrotermes gilvus Holmgren, Havilanditermes atripennis Haviland, Nasu-
titermes matangensis Haviland, O. oblongatus, O. makasarensis, O. longinatus, O. gran-
diceps, Pericapritermes speciosus Haviland Odontotermes sp. Based on the distribution
map, O. javanicus was the dominant and the most widely distributed species in Rumoong
Lansot forest. The HPC type has a total, abundance and diversity of species the highest index,
followed in the habitat of HCW, HC, TP and HW. Most of the habitat was dominated by
termite that has type II, most are wood-feeders, but the group also includes grass-feeders,
litter-feeders, and micro-epiphyte-feeders except habitat dominated by TP, members of ter-
mitidae that feed on soil with a high organic content, and highly decayed wood that has lost
its structure and become soil-like. These termites can be considered organic-rich soil-feeders
group of type III.

Keywords: biodiversity, termites subteran, public forests Rumoong Lansot South Minahasa

1. INTRODUCTION

T ermites are spread widely in tropical and sub-tropical regions. Biomassa number of types
of termites and large enough in the tropics (Krishna and Weesner, 1969). Indonesia is in the
tropics have different types of forest ecosystems that support the growth and development of
nesting termites and very easily found in any place in forests, plantations, rural and urban build-
ings. Termites are known as species that cause signiicant economic losses (Su, 2002; Nandika,
et al., 2003; Quang, et al. , 2012). Some termite species known as wood destroying pests which
are structural components of buildings, agricultural crops and forest products (Intari, 1979; Intari
and Wiriadinata, 1984; Nandika, et al., 2003; Quang, et al., 2012). Termites are an important
component of tropical ecosystems as a major element in the soil fauna play an important role as
decomposers and only a small portion of termites become pests (Calderon and Constantino 2007;
Sugimoto, et al., 2000). Termites are a very important part in the recycling of plant nutrients
through a process of disintegration and decomposition of organic material from wood and plant
litter (Lee and Wood, 1971; Subekti, et al., 2008). Termite activity accelerate the recycling of
nutrients and improve soil structure and fertility (Jouquet, et al., 2004; Baker, et al., 2005; Ali, et

11
Buku Prosiding Seminar Nasional

al., 2013). Termites Odontotermes sp. can signiicantly affect the physical and chemical proper-
ties of the soil (Bama & Ravindran, 2012), as decomposers and make a signiicant contribution
to the low of carbon (Collin, 1981, 1983; Matsumoto and Abe, 1997; Abe, et al., 2000; Mimura
and Matsumoto, 1997). Termites are also a biotic components (Higashi, et al., 1992), thus forming
the basis for food supplies (Lapage, 1991; Deligne, et al., 1981), a source of protein supplement
(Huang, et al., 2012).
South Minahasa District is one of 15 districts/cities in North Sulawesi Province in bio-
geography included in Wallacea region characterized by a blend of lora and fauna of Asia and
Australia with a high degree of endemicity types (WWF, 1980). South Minahasa District has
more than 10,000 ha of forest area and Wasian Cempaka wood and around 1,000 ha in District
Tareran are known as community forest Rumoong-Lansot. Since the 1980s, the community in this
area has been planted spontaneously among other types of timber wood Wasian, Cempaka and
Nantu under the guidance of the North Sulawesi Provincial Forestry Ofice. In the framework of
the economic development community in this area, the conservation of biodiversity of lora and
fauna to be important, particularly biodiversity termites.
This study is a survey of termite activity subteran with a special type of food and wood-
eating termites (Xilophagus) which is able to degrade wood materials in collaboration with the
bacteria that live in the digestive tract. Termite digestive tract contains high levels of microbiota
that only consist of bacteria, while at the low level of termites contain bacteria and protozoa
cellulolytic anaerobic (Breznak and Kane, 1990). Microbiota in the digestive tract diverse and
complex. Complete a survey to determine the spread of the types of termites that exist in Indone-
sia has yet to be done (Nandika, et al., 2003). Surveys conducted termites much limited in Java.
This research is important because there has been no information and scientiic publications that
explain the diversity of species of termites in the area.
The purpose of the survey is to determine the types of termites (dominant species), the
composition of taxonomic groups, the composition and functional diversity index group eating
termites on forest ecosystems folk-Lansot Rumoong Tareran District of South Minahasa District.

2. MATERIAL AND METHODS


This research was conducted in the area of the Village People’s Forest Rumoong Lansot
South Minahasa District of North Sulawesi Province with an area of about 300 ha. Average height
above sea level is 650 m. Land classiied as latosol soil containing 35% clay. Annual rainfall of
about 1500 mm and an average temperature of about 270C. Map location Rumoong Lansot Com-
munity Forests can be followed in igure 1.

Figure 1. Map location Rumoong Lansot Community Forests

12
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

The survey was conducted in several habitats namely: (1) habitat of a mixture of several
plants tree consisting of Cempaka, Wasian, etc. (HPC); (2) habitat dominated by tree crops Cem-
paka (> 90%) (HC); (3) consisting of plant habitat Cempaka (60%) and Wasian (37%) (HCW);
(4) habitat dominated by Wasian plants (> 90%) (HW); (5) habitats dominated by herbaceous
plants (without trees) (HTP). Selected habitat is expected to represent the entire natural habitat of
termites in the community forest area Rumoong Lansot. Description of the type of habitat that is
used as the sampling area as shown in Table 1 below.

Table 1. Characteristics of forest habitat in the study sites Rumoong Lansot


Habitat
Characteristics
HPC HCW HC HW TP
Vegetation Wasian, Cem- C e m p a k a C e m p a k a Wasian Without of tree
paka, (60%), Wasian (>95%) (>95%) (Grass only)
etc (37%), others
(3%)
Trees Number 21 28 46 21 -
Height of Tree 6-25 m 20-25 m 15-20 m 8-12 m -
Diameter of tree 7-100 cm 40-60 cm 15-25 cm 8-15 cm -
Height above see 621 m 655 m 624 m 652 m 630 m
level
GPS position N 01013’37” N 01013’37” N 01013’37” N 01013’37” N 01013’37”
E 124 44’45,5” E 124 44’45,5” E 124 44’45,5” E 124 44’45,5” E 124044’45,5”
0 0 0 0

Explanation: HPC: habitat of a mixture of several plants tree consisting of Cempaka, Wasian, etc.,;
HC: habitat dominated by tree crops Cempaka (> 90%); HCW: consisting of plant
habitat Cempaka (60%) and Wasian (37%); HW: habitat dominated by Wasian plants
(> 90%); HTP: habitats dominated by herbaceous plants (without trees)

Materials and EquipmentMaterials and equipment used in this study is


Material test insects: termites subteran (Termitidae) derived from the location of Community For-
ests Romoong Lansot. Paper labels are used to record the identity of each termites collected from
study sites. Alcohol 70% is used in preserving termites for identiication purposes. Jar of diameter
7.5 cm and height of 12.5 cm was used as a collection of termites. Disecting set consists of a loop,
pingset, scalpels, pingset and others are used for identiication termites. The microscope is used
to observe the morphological characteristics of termites using a digital microscope hirox Digital
Microscope KH 87000. The camera is used to photograph the sampling site, natural nests of ter-
mites using a digital camera Canon Ixus 210. Other tools in the form of a small bottle container
termites, small brush, thermos Claris I-cool, petri dishes and others.
Research procedure using belt transect sampling method according to Jones and Enggleton
(2000). Transect method to determine the relative abundance of termite based on the number of
species in each transect (Jones, 2000). Termite samples obtained from ive transects with a length
of 100 meters and a width of 2 meters. Each transect is divided into 20 units of sample (units
squared) with a size of 5x2m which is spread over ive locations namely at a distance of 2-3 km.
In each transect observation, search and termites colection caught by mikrosite. Mikrosite were
explored to ind termites are ground surface, litter, logs and trees to a height of 2 m from ground
level. The time required to explore the presence of termites on each section is 30 minutes / person
for two collectors. The position of each transect recorded using GPS (Global Positioning System).
Sampling was conducted in January 2014 to March 2014. The sample obtained termites put into
bottles containing 70% ethanol to be identiied in the Laboratory of Entomology and Plant Pests

13
Buku Prosiding Seminar Nasional

Faculty of Agriculture, University of Sam Ratulangi and Biology Laboratory of the Faculty of
Mathematics and Natural Sciences Manado State University. The main characteristics used to
distinguish the genus termite observe the shape and size of the head, fontanelle, labrum, mandi-
bel, marginal tooth position, the number of antennas and pronotum. Measurements are generally
carried out on specimens that have been preserved in alcohol without dissected out or placed on
a petri dish. At the time of measurement of the body is maintained in a horizontal position and
observed under a binocular stereo microscope with micrometer size. All measurements using a
millimeter scale. In general, the measurement of the morphological characteristics observed sol-
diers using literature as follows: Termites of Sabah (East Malaysia) (Thapa, 1981), Termites of
Pensinsular Malaysia (Tho, 1992), Termites: Biology and control them (Nandika, et al., 2003), A
Systematic Key to Termites of Thailand (Somnuwat, et al., 2004), termite fauna of Assam Region,
Eastern India (Roonwal and Chhotani, 1961) and the Keys to the Soldier and Winged Adult Ter-
mites (Isoptera) of Florida (Scheffranhn and Su, 1994 ).
The termites are classiied based group ate according to Donovan, et al., (2001b). This
classiication is based on morphological characters of worker termites and mandibel related to
food. Termites are classiied into groups based on morphology and dining information from the
literature. Based food group, termites are classiied into four groups, as shown in Table 2 below.

Table 2. Classiication of functional groups eat termites subteran according to Donovan, et al.,
(2001b)
Group Speciication
I All termites low level. Food is plant material that is still living and dead
II Members who have a range of termite Termitidae eating habits. Most of the food is
wood, but also including grazing, eating litter and epiphytic micro-eater
III Members Termitidae which food is ground with a high organic content, residual wood and
become like soil. Termites are considered eating soil rich in organic matter (organic-rich
soil-feeders)
IV Termitidae members who take mineral soil with low organic content. This termite eater
regarded as ground (true soil-feeders)

In this study was observed also, among others: the relative abundance, distribution per transect
termites, and termite diversity index. The relative abundance of termites per transect is the num-
ber of sections (section) contained the indings (individuals or colonies) along the transect. If
a species is found in all parts of the transect, the genus is scored abundance of 20. This value
is an indicator of the abundance of good termite intratransek (relative to 20 parts) and between
transects (Jones, et al., 2003). Distribution of termites per transect, which describes the spread of
termites indings along the transect, which is expressed as a proportion of the number of existing
parts of a whole section of termites in the transect. This variable is calculated by the formula: Dis-
tribution of termites per transect = (B / 20) x 100%, with B is the number of the existing sections
of termites. Diversity Index using Shannon-Wiener index (Odum, 1975; Krebs, 2001). Shannon-
Wiener index used to measure the diversity of termites. The dominant species shows the total
amount in each unit sampling (n = 20).

3. RESULTS AND DISCUSSION


The total number of samples are obtained 735 samples were collected from a variety of
forest habitats Rumoong Lansot Tareran District of South Minahasa District. Termites specimens
were analyzed and identiied in the Laboratory of Entomology and Plant Pests Sam Ratulangi
University Faculty of Agriculture and Biology Laboratory of the Faculty of Mathematics and Nat-
ural Sciences in Tondano using a stereo dissecting microscope with a scale of millimeters. Results

14
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

termite identiication to get a total of ten species belonging to ive genera, the two subfamilies
are listed in Table 4. Sub relatives Macrotermitinae the highest number of species (eight species,
equal to 89.66%) followed by Nasutitermitinae (two species, 10:34%). There are ive genera
include genus Macrotermes, Odontotermes, Pericapritermes, Havilanditermes and Nasutitermes.
The number of species of each genus luctuated between one to six species. Genus Odontotermes
dominated by six species and is followed successively by genus Macrotermes, Havilanditermes,
Nasutitermes Dudley, and last Pericapritermes each consisting of one species. Komposis genus
and species as shown in Table 3 below.

Table 3. Composition and number of termite species in forest sites Rumoong subteran Lansot
Percentage
No Scientiic Name number of Species
(%)
Sub-Famili: Macroterminae
1 Genus: Macrotermes Holmgren 1 5.85
Macrotermes gilvus Hagen 43 5.85
2 Genus: Odontotermes Holmgren 6 83.67
Odontotermes javanicus Holmgren 502 68.30
Odontotermes oblongatus Holmgren 21 2.86
Odontotermes longinathus Holmgren 7 0.95
Odontotermes makassarensis Kemner 27 3.67
Odontotermes gandiceps Holmgren 17 2.31
Odontotermes sp (Minahasa) 41 5.58
3 Genus Pericapritermes Silvestri 1 0.14
Pericapritermes speciosus Haviland 1 0.14
Sub-Famili: Nasutitermitinae
4 Genus: Havilanditermes Light 1 4.35
Havilanditermes atripennis Haviland 32 4.35
5 Genus: Nasutitermes Dudley 1
Nasuititermes matangensis Haviland 44 5.99

Genus Odontotermes composition dominated by the highest percentage of 83.67%, fol-


lowed by genus Nasutitermes (5.99%), genus Macrotermes (5.85%), Havilanditermes (4:35%)
and last Pericapritermes (0.54%). A composition based on the number of genera of termites as
shown in Figure 2 below.

Fig. 2. The composition based on the number of termites genus obtained from Rumoong Lansot

15
Buku Prosiding Seminar Nasional

In terms of the quantity of ten species found at the site of Community Forests Rumoong
Lansot, Species of Odontotermes javanicus Holmgren dominated by percentage of 68.30%, fol-
lowed by Nasutitermes matangensis Haviland (5.99%), Macrotermes gilvus Hagen (5.85%),
Odontotermes. sp. (Minahasa) (5:58%), Havilanditermes atripennis Haviland (4:35%), O. makas-
sarensis (3.67%), O. oblongatus (2.86%), O. gandiceps (2:31%), and species in the poor category
is O. longinathus (0.95%), Pericapritermes speciosus Haviland (0:14%). Composition based on
the number of species of termites as shown in Figure 3 below.

Figure 3. The composition based on the number of species found at the site of Community
Forests Rumoong Lansot Tareran South Minahasa

Termite distribution in different habitats namely a mixture of forest trees (HPC), Cempa-
ka forest Wasian (HCW), a type of plantation forests (Cempaka) (HC), a type of plantation forests
(Wasian) (HW), habitat grass and garden plants (HTP) has been elected as quantitative sampling
for analysis of termite distribution characteristics in the community forest location Rumoong
Lansot South Minahasa District. There are 10 species of the genus 5, second sub-family has been
learned from each habitat. Among the ive habitats, forest habitats have a mix of tree species
and the amount of the highest relative abundance (10 species, KR = 19), followed by forest and
Wasian Cempaka (6 species, KR = 18), a type of forest Cempaka (6 species, KR = 12), a type of
forest Wasian (4 species, KR = 12) and habitat lawns and gardens (2 species, KR: 5). Tree forest
habitats mixture (HPC) are dominated by termites type O. javanicus, M. gilvus, H. atripennis, N.
matangensis, and Odontotermes sp. (Minahasa). Wasian tree habitat and Cempaka dominated by
O. javanicus which are found on the surface of the soil, litter and twigs. The relative abundance
of termites in different habitats as shown Table 4 below.

Table 4. The relative abundance in different habitats in private forests Rumoong Lansot
Habitat
Number Scientiic Name ∑
HPC HCW HC HW HTP
1 Macrotermes gilvus 3 2 3 0 0 43
2 Odontotermes javanicus 7 12 6 10 4 502
3 Odontotermes oblongatus 1 1 1 1 0 21
4 Odontotermes longinathus 1 0 0 0 0 7
5 Odontotermes makassarensis 2 0 1 1 1 27

16
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

6 Odontotermes grandiceps 2 1 0 0 0 17
7 Odontotermes sp (Minahasa) 2 0 0 1 1 41
8 Pericapritermes speciosus 1 0 0 0 0 1
9 Havilanditermes atripennis 1 1 1 0 0 32
10 Nasuititermes matangensis 1 2 2 0 0 44

N. matangensis and H. atripennis are found on tree trunks Cempaka, Nantu, and tree
trunks Cloves are still alive, while O. javanicus found in litter, wood waste, twigs and tree Wa-
sian were still alive. In the tree habitat type (HC), termite O. javanicus, and O. makasarensis
commonly found on the surface of the soil, litter, decaying wood waste while N. matangensis,
H.atripennis were found on tree trunks Cempaka. Termites O.javanicus, Odontotermes sp. (Mina-
hasa), O. oblongatus and O. makasarensis found on tree trunks, wood waste, branches and twigs
that fell on the ground. On the plantation habitats without trees (HTP), termite O. javanicus and
Odontotermes sp. (Minahasa) are the most dominant in the rest of the wood, twigs and which has
been fused with the ground.

ba

Termites O. javanicus and M. gilvus as shown in Figure 4 below.


.

Figure 4. Termite soldier caste O. javanicus (a) and M. gilvus (b)

O. javanicus has the following characteristics as head of dark brown or reddish brown,
length and width of the head of each of 2447-2930 and 1686-1855 mm, length 1196-1283 mm
mandibel. At mandibel are marginal teeth on the left mandibel very convex, long marginalized
from the base of the teeth 0193-0255 mm, length and width of pronotum respectively 0698-0753
and 1132-1255 mm. The labrum is longer than the marginal teeth on the left mandibel. Antenna
consists of 17 segments. Total body length of between 6470-7335 mm. M. gilvus has a dark
brown head, left and right mandibel somewhat symmetrical and has no marginal teeth. End of the
labrum is not clear, short and circular. The tip of the labrum has hyaline. Antenna consists of 16-
17. There are two types of the warrior caste of major and minor. Mandibel long head with 3044
mm. 6.170-7.40 mm total body length. Termites Odontotermes sp. and P. speciosus as can be seen
on Figure 12.

ba

Figure 5 Termite soldier caste O. sp (Minahasa) (a) dan P. speciosus Haviland

17
Buku Prosiding Seminar Nasional

Odontotermes sp termites have a noticeable difference compared with termites belong-


ing to the genus odontotermes. One of the striking differences between the other head blackish
brown. Long head with mandibel 2649-2838, 1833-1890 head width. Mandibel length 1215-
1343 mm. The length and width of pronotum respectively 0687-0811 mm and 1289-1366 mm.
Labrumnya very short lower than the marginal teeth with a length of 0057-0098 mm. Obtuse
marginal teeth. Total segment antenna 17. The total body length of 7120-7332 mm. P. specio-
sus obtained in HPC habitat and only comprised a single individual. Head without frontal pro-
jection, the center of the head curved inward. Mandibel long head with 3366 mm long, 3512
mm head with mandibel. Head width 1,895 mm. Mandibel highly asymmetric shape, with man-
dibel left very curved in the middle is shaped like a hook. Antenna consists of 15 segments.
Termite soldier caste H. . matangensis and N atripennis as shown in Figure 6.

ab

Gambar 6 Termite soldier caste H. atripennis (a) and .N. matangensis (b)

H.Atripennis and N. matangensis have characteristics that exist similar. The difference between
them lies in the size of the body, where H. atripennis is larger than N. matangensis. H. atripennis
has a long head to the tip nasus between 2339-2431, 1009-1268 head length, head width between
1264-1431 mm. N. matangensis have yellow globular head, long head with 1:25 Nasut mm, while
the length of the head without Nasut 0652 mm. Head width 0724 mm. mandibel not develop and
function, mandibel without marginal teeth. Biodiversity index calculation in each habitat is shown
in Table 5.

Table 5 Biodiversity Index termites in different habitats


Habitat Number of species Shannon-Wiener Indeks
HPC 10 2.91
HCW 6 2.70
HC 6 2.18
HW 4 2.28
TP 2 1.40

Value index of Shannon-Wiener (H ‘) on ive habitat HPC, HCW, HC, HW and TP re-
spectively turur are 2.91, 2.70, 2:18 and 1:40. Based on these values, biodiversity termites at some
of these habitats are in the medium level. Kenanekaragaman types of low category when H’≤1
(unstable environmental conditions), the diversity of the type of medium category if (1 <H ‘<3)
(medium category), diversity of high category when H’≥3 (stable environmental conditions). In
different habitats, there are differences in the number of species, relative abundance, biodiversity
index and the composition of the group eating. Habitat HPC has the highest biodiversity index
(2.91) followed by successive habitat HCW (2.70), HW (2:28), HC (2.18) and the lowest TP
(1:40). Although there are differences in index values diversity in each of the different habitats,

18
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

but this diversity index values (1≤H’≤3) is still in the category of medium-level diversity. Envi-
ronmental conditions in the habitat HPC stable environmental conditions while approaching the
environmental conditions in the habitat HTP tends towards an unstable environment. The highest
diversity index values contained in subsequent HPC habitat consecutive HCW, HW, HC and HTP.
Factors habitat change is a factor that resulted in a decreased diversity of termites. The highest
termite populations found in habitats that contain lots of litter, wood waste, stems, twigs and
organic ingredients as well as a variety of vegetation but little vegetation cover the soil surface.
The diversity of higher termites found in a more diverse habitat vegetation (Hariri, et al., 2003).
Termite behavior inluenced by changes in land use, so that the variation diversitasnya can be
used as bio-indicators of the quality of an environment (Pribadi, et al., 2011).
Based on the classiication of eating termites according to Donovan, et al. ,, (2001b),
termites are classiied into four groups, as follows: Group I: all low-level termite food in the form
of plants that are alive or dead. Group II: Termitidae termites members that most of their food is
wood, but also including grazing, eating litter and epiphytic micro-eaters. Group III: Termitidae
members which food is ground with a high organic content, residual wood that has been fused
with the ground. Termites are considered eating soil rich in organic matter (Organic-rich soil-
feeders). Group IV: Termitidae members who take mineral soil with low organic content. This
termite eater regarded as ground (true soil-feeders). Based on these food groups, types of termites
that were collected from a variety of private forest habitats of the Lansot Rumoong classiied
in two groups: group II and III. All sampling sites either HPC, HCW, HC, HW and HTP are
dominated by species that have a habit of eating group II (83.61%) and Group II (16:39%). All
sampling sites either HPC, HCW, HC, HW and HTP are dominated by species that have a habit
of eating group II (83.61%) and Group II (16:39%). Percentage group meal functions of termites
in different habitats as shown in Table 6.

Table 6. Percentage group food functions based on different habitats


Kelompok Fungsional makan
Habitat
Type I Type II Type III Type IV
HPC - 83.33% 16.67% -
HCW - 77.78% 22.22% -
HC - 92.31% 7.69% -
HW - 84.62% 15.38% -
TP - 40.00% 60.00% -

Location tree forest has a mixture of the two groups ate the group II (83.33%) and group
III (16.67%). Cempaka forest Wasian has two groups of eating, a group II (77.78%) and group
III (7.69%). Cempaka similar forests and similar Wasian has two groups of eating, a group II
(92.31%; 84.62%) and group III (7.69%; 15:38%). Location habitat dominated by grasses (with-
out trees) has two groups ate the group II (40.00%) and group III (60.00%). At each location is
not found species that had eaten the category of group I and group IV. So, from all types of exist-
ing habitat dominated by genus Odontotermes, Macrotermes, Havilanditermes and Nasutitermes
have members of the species that most of their food is wood, but also including grazing, eating
litter and epiphytic micro-eaters (group II). While a small portion of the Genus Odontotermes
and Macrotermes namely O. javanicus, M. gilvus, Odontotermes sp. (Minahasa) has two groups
ate the groups II and III, in addition to eating wood, litter and soil micro-eaters also epiphytes
with high organic matter content, residual wood that has been fused with the ground. Termites are
considered eating soil rich in organic matter (organic-rich soil-feeders). Eggleton, et al., 1997)
classiies termites eat based groups, namely (1) eat wood; (2) wood-leaf eaters, (3) eating humus-

19
Buku Prosiding Seminar Nasional

soil. So the proportion of wood-eating termites, litter and leftover wood that has been fused with
the land dominates in all habitats HPC, HCW, HC, HW and HTP.
These results indicate that the habitat that has a mix of tree crops (HPC, HCW) has vari-
ous types of trees, the number of species of termites are found more. These habitats provide wood,
rich in humus and mineral soil is very favorable for wood-eating termites. Furthermore, the level
of human activity affecting the composition of termite species. In the two habitats both monocul-
ture forests and forest Cempaka Wasian (HC and HW) number of termite species were found has
decreased. At habitats where human activity is higher in locations dominated by grass plantation
area (HTP) is lower termite wealth.
Climatic conditions and soil, including many kinds of plant species in forest sites Ru-
moong Lansot people strongly support the life of termites. Most of the research location consist-
ing of ive habitats (mikrosite), among others, forest habitat is dominated by trees mix (HPC),
habitat Wasian trees and Cempaka (HCW), monoculture tree habitat Cempaka (HC) and Wasian
(HW) and habitat grass herbage (treeless) (HTP) is a good habitat for many species of termite. Of
the 735 specimens collected termites, after the identiication process through observation prono-
tum shape, labrum, marginal teeth, mandibel and other morphological characteristics measure-
ment that covers the length and width of the head, mandibel length, length and width of pronotum,
body length then obtained some termite species live at this location. Obtain accurate identiication
results that included ten species in ive genus and two sub-family. All types of termites are found
in this location included in the group of high-level termite family Termitidae. Nandika, et al.,
(2003) states that no less than 200 species of termites or termite 10% of the diversity spread across
the world are part of the various types of ecosystems in Indonesia, not only forest ecosystems,
agriculture, plantation, also including settlements or urban ecosystems.
The diversity of species of termites are a mystery in the world of insects due to the high
degree of similarity among species within each family. However, there are ten species of termites
were identiied ranging from the most to the least in a row, among others, O. javanicus (68.30%),
N. matangensis (5.99%), M. gilvus (5.85%), Odontotermes sp. (Minahasa) (5:58%), H. atripen-
nis (4:35%), O. oblongatus (2.86%), O. gandiceps (2:31%), and species in the poor category is
O.longinathus (0.95%), P. speciosus ( 0:14%). Composition of genus and species in each habitat
in Annex 8, Annex 9 and Annex 10. There are differences in the number of species, abundance,
biodiversity index and the composition of functional groups eating termites that live in different
habitats. Habitat HPC has the highest biodiversity index (2.91) followed by successive habitat
HCW (2.70), HW (2:28), HC (2.18) and the lowest TP (1:40). Although there are differences in
index values diversity in each of the different habitats, but this diversity index values (1≤H’≤3)
is still in the category of medium-level diversity. Environmental conditions in the habitat HPC
stable environmental conditions while approaching the environmental conditions in the habitat
HTP tends towards an unstable environment. The highest diversity index values contained in sub-
sequent HPC habitat consecutive HCW, HW, HC and HTP. This value indicates that the changes
in the environment of a habitat can affect the biodiversity of termites on the spot. O. javanicus
is the highest termite population. This is presumably because the people Rumoong Lansot forest
habitat carrying capacity of the environment to its growth and development. The highest termite
populations found in habitats containing litter, wood waste, stems, twigs and organic ingredients
as well as a variety of vegetation but little vegetation cover the soil surface.
In other words, the number of wood-eating termites, leaves, litter and humus soil high in
forest habitats have high kenakeragaman, and lower in the low diversity of forest habitats. Open
canopies allow major luctuations in temperature and humidity levels compared with a closed
canopy area. The system has a closed canopy tropical forest canopy density or high is a key factor
of high species richness of termites (Dibog, et al. ,, 1999; Eggleton, et al. ,, 1995, 1996; Calderon,
2007). Replacement patterns in the community forest canopy system is considered to decrease
the relative abundance of wealth and termites. This is visible on the plantation habitat with no

20
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

trees (HTP) have an impact on soil-eating termites outweigh the wood-eating termites because
of limited sources of energy through food (Bignell, 1994; Eggleton, et al., 1998). Forest habitat
has a complex community structure with the presence of large trees, high plant diversity, and the
rest of the litter timber and provide a nest and food for termites. The limited number of food and
microhabitat nest of wood be contributing to the low wood-eating termites. These results indicate
that the alteration / conversion into new habitats produce elimination group eating the ground,
while the wood-eating and eating litter remains. This can be caused by changes in the microcli-
mate, habitat structure, quality and diversity of litter (Calderon, 2007). In line with the opinion of
Hariri, et al., (2003) that the diversity of higher termites found in a more diverse habitat vegeta-
tion. Termite behavior is inluenced by factors of land use change (Personal, et al., 2011). The
results obtained in this study may be proposed that termites biodiversity parameter variations can
be used as bio-indicators of the quality of the environment.
Finally, compared with plants of different habitats, forests have a more complex
structural (eg large trees, a great diversity of plants and dead wood), provides a nest and
food for termites. This is supported by research from Jones and Prasad (2002) in South Ka-
limantan Tabalong. At habitat dominated by endemic tree monoculture tree Borneo and
penamaman Gamelina get a total of 64 species, getting 29-31 species of forest Endertia spec-
tabilis (in two transects) and only get 5 and 7 species are found in the crop monoculture.
Although termites are considered as pests in plants, but from the results of observations made dur-
ing the study, termites collected from different species, did not show signiicant problems for the
various types of trees in the forest folk-Lansot Rumoong, especially trees and Wasian Cempaka.

4. CONCLUSION
1. The termites were collected from ive sites in the Rumoong Lansot area contained ten
species, ive genera and two sub-family. The sub family of the highest species number
is Macrotermitinae (eight species, 89.66 percent) followed by Nasutitermitinae (two spe-
cies, 10.34 percent). The ive genera are Macrotermes, Pericapritermes, Havilanditermes,
Odontotermes and Nasutitermes. Ten species were identiied as O. javanicus, Macrotermes
gilvus Holmgren, Havilanditermes atripennis Haviland, Nasutitermes matangensis Havi-
land, O. oblongatus, O. makasarensis, O. longinatus, O. grandiceps, Pericapritermes spe-
ciosus Haviland Odontotermes sp.
2. Based on the distribution map, O. javanicus was the dominant and the most widely distrib-
uted species in Rumoong Lansot forest. The HPC type has a total, abundance and diversity
of species the highest index, followed in the habitat of HCW, HC, TP and HW.
3. Most of the habitat was dominated by termite that has type II, most are wood-feeders, but
the group also includes grass-feeders, litter-feeders, and micro-epiphyte-feeders except
habitat dominated by TP, members of termitidae that feed on soil with a high organic
content, and highly decayed wood that has lost its structure and become soil-like. These
termites can be considered organic-rich soil-feeders group of type III .

5. REFERENCES

Ahmad, M. 1958. Key to the IndomalayanTermites. Biologia 4: 1988.

Aini, N.S. 2005. Perlindungan Investasi Konstruksi Terhadap Serangan Organisme Perusak. Pusat
Pengendalian dan Pengembangan Pemukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan,
Departemen Pekerjaan Umum. Bandung.

Ali, I.G., G. Sheridan, J. R. J. French & B.H. Ahmed. 2013. Ecological Beneits of Termite Soil

21
Buku Prosiding Seminar Nasional

Interaction and Microbial Symbiosis in the Soil Ecosystem. Journal of Earth Sciences
and Geotechnical Engineering, vol. 3, no. 4, 2013, 63-85.

Anonim. 2012. Macrotermes sp.: Hama Pada Tanaman Jarak Pagar IP-3M di Kebun Percobaan
Muktiharjo. Infotek Perkebunan, Vol 4 (5) Mei 2012.

Bama, P.S and A.D.Ravindran. 2012. Inluence of Odontotermes spp. on soil mineralogy of the
biogenic moundMaterials. Elixir Agriculture 44 (2012) 7576-757.

Baker, P.B., R.J. Marchosky, Jr., A,J. Yelich. 2005. Arizona Termites of Economic Importance.
Cooperative Extension College of Agriculture and Life Sciences The University of Ari-
zona Tucson, Arizona 85721.

Calderon, R.F. and R. Constantino. 2007. A Survei of the Termite Fauna (Isoptera) of an Eucalypt
Plantation inCentral Brazil. Neotropical Entomology 36(3): 391-395.

Clement, J. L., A. G. Bagneres, P. Uva, L. Wilfert, A. Quintana,J. Reinhard, and S. Dronnet.


2001. Biosystematicsof Reticulitermes termites in Europe: morphologicalchemical and
molecular data. Insectes Soc. 48: 202-215.

Handru, A., H. Herwina dan Dahelmi. 2012. Termites species (Isoptera) at forest of Bukit Tengah
Pulau and palm plantation, Solok Selatan. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio.
UA.) 1(1) – September 2012 : 69-77.

Hariri, A.M., F.X.Susilo, H.Sudarsono. 2003. Populasi rayap pada pertanaman Lada di Way Kan-
an Lampung. J.Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, Vol 3 (2):29-35.

Hemachandra, I.I., J.P. Edirisinghe, W.A.I.P. Karunaratne1 and C.V.S. Gunatilleke. 2011. Di-
versity and Abundance of Termites in a Mahogany Plantation in the Gannoruwa Hills.
Proceedings of the Peradeniya University Research Sessions, Sri Lanka, Vol. 16, 24th
November2011.

Jenkins, T. M., C. J. Baten, R. Dean, S. E. Mitchell, S. Kresovich,and B. T. Forschler. 1998. Ma-


triarchal geneticstructure of Reticulitermes (Isoptera: Rhinotermitidae)

populations. Sociobiology 33: 239-263.

Jenkins, T. M., R. E. Dean, R. Verkerk, and B. T. Forschler.2001. Phylogenetic analysis of two


mitochondrial genesand one nuclear intron region illuminate European subterraneanter-
mite (Isoptera: Rhinotermitidae) gene low,taxonomy, and introduction dynamics. Mol.
Phylogenet.Evol. 20: 286-293.

Jones, D.T. 2000. Termite assemblages in two distinct montane forest types at 1000 m elevation
in Maliau Basin Sabah. Journal of Tropical Ecology, 16: 297-305.

Jones, D.T. & P. Eggleton. 2000. Sampling termite assemblages in tropical forest: testing a rapid
biodiversity assessment protocol. Journal of Applied Ecology, 37: 191-203.

Jones, D.T. & A.H. Prasetyo. 2002. A Survei of the termites (Insecta: Isoptera) of Tabalong dis-
trict, South Kalimantan, Indonesia. The Rafles Bulletin of Zoology 50: (1): 117-128

Jouquet, P. N. Boulain, J. Gignoux, M. Lepage. 2004. Association between subterranean termites


and grasses ina West African savanna: spatial pattern analysis showsa signiicant role for
Odontotermes n. pauperans.Applied Soil Ecology 27 (2004) 99–107.

Kasseney, B.D., T. Deng, and J. Mo. 2011.Effect of Wood Hardness and Secondary Compounds

22
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

on Feeding Preference of Odontotermes formosanus (Isoptera: Termitidae). Journal of


Economic Entomology, 104(3):862-867.

Krishna, K. and F.M. Weesner. 1969. Biology of Termites. Vol. I. Academic Press. Inc., New York.
598 p.

Marini, M., and B. Mantovani. 2002. Molecular relationshipsamong European samples of Reticu-
litermes (Isoptera, Rhinotermitidae). Mol. Phylogenet. Evol. 22:454-459.

Pearce, M. J. 1999. Termites: Biology and Pest Management. CAB international, London.172p.

Pribadi, T., R. Rafiudin, I.S. Harahap. 2011. Termites Community as environmental bioindicators
Mount Slamet, Central Java. Biodiversitas Vol. 12 (3): 235-240.

Roonwall, M.L. 1969. Measurement of termites(Isoptera) for taxonomic purposes.J. Zool.Soc.


India 21(1): 9-66.

Shanbhag, R.R. & R.Sundararaj. 2011. Seasonal wood degradation activity of Odontotermes spp.
(Isoptera: Termitidae)in Bangalore urban district, India. Journal of Biodiversity and Eco-
logical Sciences No 2 (1) : 49-54.

Simon, C., F. Frati, A. Beckenbach, B. Crespi, H. Liu, and P.Flook. 1994. Evolution, weighting,
and phylogenetic utility of mitochondrial gene sequences and a compilation of conserved
polymerase chain reaction primers. Ann. Entomol. Soc. Am. 87: 651-701.

Sornnuwat, Y., Ch Vongkaluang1 & Y Takematsu. 2004. A Systematic Key to Termites of Thai-
land. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 38 : 349 - 368 (2004).

Subekti, N., D. Duryadi, D.Nandika, S.Surjokusumo, S.Anwar. 2008. Sebaran dan Karakter Mor-
fologi Rayap Tanah Macrotermes gilvus Hagen di Habitat Hutan Alam. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Hasil Hutan 1 (1): 27-33

Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Metode analisis populasi dan komunitas.

Szalanski, A. L., J. W. Austin, and C. B. Owens. 2003. IdentiÞcationof Reticulitermes spp. (Isop-
tera: Rhinotermitidae)from south central United States by PCR-RFLP. J.Econ. Entomol.
96: 1514-1519.

Szalanski, A. L., R. H. Scheffrahn, J. W. Austin, J. Krecek, andN.-Y. Su. 2004. Molecular phy-
logeny and biogeographyof Heterotermes (Isoptera: Rhinotermitidae) in the WestIndies.
Ann. Entomol. Soc. Am. 97: 556-566

Tho, Y. P. 1992.Termites of Peninsula Malaysia.Malaysia Forest Records No.36. 224p.

UNEP. 2010. Finding Alternatives To Persistent Organik Pollutants (Pops) For Termite Manage-
ment. Prepared by members of the UNEP/FAO/Global IPM Facility Expert Group on
Termite Biology and Management - established in 2000 to support international activities
on Persistent Organik Pollutants (POPs) covered by the Stockholm Convention.

23
24
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BIOLOGI SEL BERBASIS
METAKOGNITIF DENGAN STRUKTUR DIDAKTIK

Herry M. Sumampouw
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Manado
e-mail: herry_inyo@yahoo.co.id

Abstrak
Revitalisasi pembelajaran biologi sel ke student centered, perlu dikaji dan dikembangkan
materi biologi sel, mahasiswa biologi sebagai calon guru dan dosen. Segitiga didaktik yang
menggambarkan hubungan ketiganya sudah mendesak sehubungan dengan saat ini telah
berada di era bioteknologi modern. Arti kata saat guru merancang sebuah situasi didaktis
sekaligus memikirkan prediksi respons mahasiswa atas situasi tersebut serta antisipasinya
sehingga tercipta situasi baru. Fokus pembelajaran biologi sel, seharusnya memperhatikan
keterampilan metakognitif mahasiswa. Tujuan penelitian ini: 1). Mengungkap kesulitan
keterampilan metakognitif biologi sel mahasiswa. 2). Mengkaji bahan ajar biologi sel
yang disusun berdasarkan struktur didaktik Subyek penelitian mahasiswa yang kontrak
mata kuliah biologi sel berjumlah 148. Data diperoleh melalui achievement test sebelum
perkuliahan dimulai. Hasil yang memahami konsep biologi sel yaitu; sifat-sifat isik, kimia
protoplasma, struktur dan fungsi 54,33% (bentuk kualitatif kurang), miskonsep 37,16 dan
tidak tahu konsep 9,51%. Berdasarkan hasil pengungkapan dibuatkan bahan ajar sesuai
sub-sub konsep untuk dikembangkan yang masih miskonsep dan tidak tau konsep, kemudian
divalidasi. Hasilnya memahami konsep biologi sel meningkat 79,65% (baik), miskonsep 16,40
dan tidak tau konsep 3,95%. Masih sebagian mahasiswa yang miskonsep dan sebagian kecil
yang tidak tau konsep dikarenakan memang cakupan konsep biologi sel yang luas terlebih
standard struktur dan fungsi yang bersifat abstrak perlu dikonkritkan dalam pembelajaran.
Kesimpulan 1. Mahasiswa jenjang S1 yang kontrak mata kuliah biologi sel ada peningkatan
pemahaman konsep biologi sel berbasis keterampiln metakognitif, dari kualiikasi kurang ke
baik, rerata perolehan persentasi miskonsep ada perbaikan konsep, hal yang sama juga terjadi
pada ketidaktahuan konsep peserta didik. 2) Penyusunan bahan ajar biologi sel dengan DDR,
dapat meningkatkan pemahaman biologi sel, dapat mengurangi persentasi miskonsep dan
kesulitan belajar dari peserta didik.

Kata kunci; bahan ajar, biologi sel, didaktik, metakognitif

Abstract
Revitalization of cell biology learning to student centered, needs to be studied and developed
cell biology material, biology students as prospective teachers and lecturers. Didactic triangle
depicting the relationships between the three is urgent since this time has been in the era of
modern biotechnology. In other words, when teachers design a didactic situation once thought
of predictions student response to the situation and anticipation so as to create a new situation.
Focus on learning cell biology, should pay attention to metacognitive skills of students. The
purpose of this study: 1). Assessing cell biology teaching materials are prepared based on
the structure of didactic, 2). Explaining the metacognitive skills of students when using cell
biology teaching materials prepared with didactic structure. The number of subject research
students that taking courses in cell biology are 148. Data obtained through achievement test
before the course begins. Results that understand the concept of cell biology are; physical
characteristic, chemical protoplasm, the structure and function of 54.33% (less qualitative
terms), misconception 37.16 and did not know the concept of 9.51%. Based on the results
of the disclosure made in accordance teaching materials sub-sub concept to be developed
that are still misconceptions and did not know the concept, then validated. The results are
understand the cell biology concept increased 79.65% (good), misconceptions 16.40 and
did not know the concept of 3.95%. There are still some students who misconceptions and
a small portion that does not know the concept of coverage due to extensive cell biology
concepts irst standard structure and function of the abstract should be concrete in learning.

25
Buku Prosiding Seminar Nasional

In conclusion: 1. Bachelor degree students that contract cell biology course, there is an
increased understanding of the concept of metacognitive-based cell biology, from less to
better qualiications. The mean percentage of misconceptions acquisition improvement
concept, the same thing happened to the ignorance concept of learners, 2. Preparation of
cell biology teaching materials with DDR, can improve the understanding of cell biology, to
reduce the percentage of misconceptions and learning dificulties of learners.

Keywords; teaching materials, cell biology, didactic, metacognitive.

1. Pendahuluan

D
i abad bioteknologi dan pengetahuan dewasa ini, hampir setiap saat terjadi reproduksi
pengetahuan dan teknologi dengan cepat. Hal ini tentunya membutuhkan individu
yang mampu beradaptasi dalam perubahan. Atas dasar itu muncul pendapat bahwa
untuk dapat beradaptasi dengan perubahan diperlukan individu yang mampu belajar dan
memiliki keterampilan metakognitif sepanjang hayat. Upaya revitalisasi pembelajaran biologi
sel dari teacher centered ke student centered, perlu dilihat dan dikaji materi biologi sel, guru
dan mahasiswa. Kansanen dalam Suryadi (2010) menyatakan sebagai sebuah segitiga didaktik
yang menggambarkan hubungan didaktik (HD) antara siswa dan materi, hubungan pedagogis
(HP) antara guru dan mahasiswa dan hubungan Antisispasi Didaktis dan Pedagogis (ADP) yakni
hubungan antara guru dan materi. Artinya saat guru merancang sebuah situasi didaktis sekaligus
memikirkan prediksi respons mahasiswa atas situasi tersebut serta antisipasinya sehingga tercipta
situasi baru. Hubungan ADP ini yang yang seharusnya jadi fokus dalam pembelajaran biologi sel.
Mempelajari biologi sel dengan memperhatikan hubungan ADP, dapat dengan mendalam
tepat sasaran, arti kata agar terhindar dari miskonsep biologi sel, maka untuk mendukung hal ini
perlu bahan ajar yang melibatkan hubungan guru-siswa-materi seperti yang digambarkan oleh
Suryadi (2010). Penyiapan bahan ajar dewasa ini jika hanya didasarkan pada model sajian yang
tersedia pada buku-buku acuan saja tanpa proses rekontekstualisasi dan repersonalisasi, demikian
alternative situasi didaktis dan paedagogis yang ditawarkan untuk perbaikan, hanya bersifat
pembelajaran yang kurang efektif. Suryadi (2010) menyatakan bahwa bahan ajar sebaiknya
disusun dengan memperhatikan hubungan diantara konsep agar bermakna bagi pemahaman
peserta didik. Pemahaman konsep-konsep biologi sel dengan baik dan efektif jika ada hubungan
antar konsep (materi), guru, akan meraih peserta didik yang handal dan menguasai IPTEK. Hal
ini menjadi pendukung dan landasan untuk dapat meningkatkan keterampilan metakognitif yang
selanjutnya menguasai konsep bioteknologi modern yang maju dengan pesat. Jika demikian
dengan sendirinya membuka peluang kita meraih peserta didik yang mampu bersaing arti kata
meraih SDM yang handal.
UNIMA adalah PT Lembaga Penghasil Tenaga Kependidikan (LPTK). Jurusan pendidikan
Biologi FMIPA UNIMA, termasuk jurusan yang ada di dalamnya, untuk itu mata kuliah biologi
sel sesuai kurikulum pendidikan biologi diberikan di semester 2, dan berdasarkan pengalaman
mengajar biologi sel maka perlu dilengkapi dengan bahan ajar biologi sel yang mengacuh pada
situasi pemahaman konsep biologi sel/materi peserta didik. Pengadaan bahan ajar biologi sel
ini dimaksudkan agar setiap mahasiswa biologi memiliki keterampilan metakognitif biologi sel
untuk dapat memahami dengan baik, benar dan tepat mata kuliah yang ada di semester berikutnya
(misalnya; genetika, anatomi dan isiologi hewan/tumbuhan, biologi molekuler dll).
Pengalaman peneliti selama mengajar biologi sel selama hampir 20 tahun, walaupun
beragam strategi sudah diterapkan tapi masih saja sebagian besar mahasiswa biologi kurang
baik memahami konsep biologi sel terlebih struktur, komposisi dan fungsi dari sel itu sendiri
karena konsepnya bersifat abstrak. Sehingga sebagian juga diantara mereka ketika menerima
dan mengikuti mata kuliah biologi sel seperti yang telah disebutkan di atas mengalami hambatan
yang cukup berarti untuk penguasaan konsep biologi secara komprehensif. Keadaan ini diikuti

26
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

dengan adanya pengeluhan dosen yang mengajar mata kuliah tersebut terpaksa harus memberikan
pemahaman kembali tentang konsep biologi sel, untuk dapat mengikuti perkuliahan mata kuliah
yang diasuh. Nusantari (2011) menyatakan munculnya prekonsep, miskonsep karena ide-ide
tentang fenomena dan konsep kurang selaras pandangan ilmu pengetahuan, dan juga konsep awal
yang dimiliki sebelum ia memasuki proses tersebut atau disebut prekonsep. Keberadaan ini harus
cepat diantisipasi mengingat perkembangan ilmu biologi yang cepat.
Mewujudkan keadan ini tentunya pembelajaran biologi sel di PT harus ditunjang dengan
adanya bahan ajar yang berbasis metakognitif dengan penyusunan yang lebih menekankan pada
konten pemahaman dengan benar, tepat dan mendalam tentang biologi sel, serta memperhatikan
guru. Jika demikian, maka peran guru menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam pembelajaran
di sekolah dapat dengan mudah tercapai tujuan yang bukan hanya berharap pada predikat lulus
saja tapi bagaimana peserta didik itu dibiasakan dan tau bagaimana prosesnya, karena dengan
demikian peserta didik memiliki dan dilatih keterampilan metakognitif.
Jika calon guru selalu dilatihkan keterampilan metakognitif pada jalur pendidikan formal,
berarti bukan saja mampu memberikan penekanan pada pengetahuan dan kesadaran berpikirnya
sendiri tapi didapat pengetahuan tentang bagaimana belajar, kecakapannya memonitor
belajarnya, merencanakan dan pengendalian, arti kata bagaimana seseorang mampu mengatur
aktivitas kognitifnya secara efektif. Moore (2004) menyatakan metakognitif mengacu pada
pemahaman seseorang pada pengetahuannya sehingga pengetahuan yang mendalam tentang
pengetahuannya akan mencerminkan penggunaan yang efektif atau uraian yang jelas tentang
pengetahuan yang dipermasalahkan. Menurut Ardila, dkk (2013:) dan Sumampouw (2012)
menyatakan ketercapaian tujuan pembelajaran biologi sel dapat terlihat melalui hasil belajar
peserta didik. Hasil belajar disoroti sebagai indikator ketercapaian tujuan pembelajaran adalah
yang terkait dengan keterampilan metakognitif. Hasil keterampilan metakognitif tentunya akan
lebih bermakna jika tidak mudah hilang/dapat ingat kembali. Metakognitif erat kaitannya dengan
kemandirian peserta didik dalam belajar, yang secara langsung akan dapat beradaptasi pada
perubahan-perubahan di abad bioteknologi dan pengetahuan ini. Memaknai hal di atas perlu
dan sangat mendesak demi tercapainya hasil belajar peserta didik yang memiliki keterampilan
metakognitif. Tujuan penelitian ini adalah; 1). Mengungkap kesulitan keterampilan metakognitif
biologi sel mahasiswa. 2). Mengkaji pemahaman konsep bahan ajar biologi sel yang disusun
berdasarkan struktur didaktik

2. Metode Penelitian
Penelitian ini pada tahap pertama merupakan penelitian deskriptif, jenisnya adalah analisis
pemahaman prekonsep peserta didik di awal semester 2, tahun akademik 2014/2015 berjumlah
148 mahasiswa yang kontrak mata kuliah biologi sel, artinya mengungkap pemahaman dan
kesalahan konsep biologi sel, dengan cara mengidentiikasi sub-sub konsep mana pemahaman
baik, tepat dan benar (sudah tau), belum tau dan mana yang miskonsep. Tahap ini bagaimana
mendeskripsikan/mengungkap keterampilan metakognitif konsep biologi sel peserta didik. Peneliti
sebagai pengumpul data, memberikan tes awal konsep biologi sel berbasis metakognitif sebelum
mengikuti perkuliahan biologi sel. Mengkoreksi dengan menggunakan rubrik metakognitif.
Sedangkan Tahap dua rancangan penelitian ini dengan bahan ajar yang dikembangkan berdasarkan
penelitian desain didaktik atau Didactical Design Research (DDR). Model ini merupakan
pengembangan desain berdasarkan identiikasi dan pengungkapan sub konsep biologi sel tahap
I dimana penggalian kesulitan belajar yang sudah berdasarkan struktur didaktik. Hasil penelitian
berdasarkan penggalian kesulitan belajar dijadikan informasi/dasar menyusun bahan ajar yang
baru yaitu desain didaktik berdasarkan keterampilan metakognitif sehingga terbentuk concept
image baru. Hasil pengembangan divalidasi isi/materi dan diuji cobakan, dievaluasi hasil belajar
peserta didik dan diperbaiki sampai memenuhi kriteria dari kualitas atau standar tertentu. Suryadi
(2010) dalam Nusantari menyatakan langkah DDR sebagai berikut; 1) menganalisis dengan

27
Buku Prosiding Seminar Nasional

metapedadiktik dengan menganalisis learning obstacle (kesulitan belajar) dari aspek penyebab
yaitu epistemology obstacle yakni bahan ajar yang menyajikan contoh yang dapat diterapkan, dan
secara ontogenical dapat disesuaikan dengan mental/jenjang kemampuan mahasiswa dan secara
directical adalah tidak ada kesalahan materi yang disajikan yang menyebabkan miskonsep.

3. Hasil dan Pembahasan


Sesuai dengan tujuan penelitian mengungkap kesulitan belajar mahasiswa konsep biologi
sel yang terdiri dari 3 sub konsep yaitu: 1) Sifat isik protoplasma, 2) Sifat kimia protoplasma,
3) Struktur dan fungsi sel. Hasil yang terungkap bahwa yang memahami konsep biologi sel
yaitu; sifat-sifat isik, protoplasma dan kimia protoplasma, struktur dan fungsi 54,33% (kurang),
miskonsep 37,16 dan tidak tahu konsep 9,51%. Setelah peserta didik belajar dan menggunakakan
konsep-konsep biologi sel yang mengacuh pada pengembangan buku biologi sel DDR, maka
diperoleh hasil belajar biologi sel sbb; yang memahami konsep biologi sel meningkat 79,65%
(baik), miskonsep 16,40 dan tidak tau konsep 3,95%. Berdasarkan analisis persentase yang
memahami konsep ada peningkatan 25,32 (+), miskonsep ada perbaikan 20,76, (+) dan yang
tidak tau konsep ada 5,56. (+). Selengkapnya tersaji pada tabel di bawah ini.

Tabel. 1. Deskripsi Pemahaman, Miskonsep dan Tidak Tau Konsep Biologi sel
N 148 Mean Mean Kenaikan Perubahan
1 Memaha 54,33 79,65 25,32 +
37,16 16,40 20,76 +

9,51 3,95 5,56 +

Berdasarkan tabel pada ketiga bagian konsep mulai dari memahami konsep, miskonsep ada
perbaikan/perubahan, dan tidak tau konsep ada perubahan. Hasil belajar ketika memberlakukan
buku biologi sel yang dikembangkan DDR, juga ada peningkatan secara frekuensi persentase
keseluruhan untuk konsep biologi sel. Pemahaman konsep biologi sel dari yang kualiikasi
kurang ke yang baik dari peserta didik dikarenakan rencana pembelajaran biologi sel yang tadinya
diberikan tanpa mempertimbangkan keragaman respon atas situasi didaktik. Ketika pembelajaran
biologi sel yang digunakan berorientasi pada tujuan maka permasalahan terkait proses akan pada
pembelajaran yang mempertimbangkan peserta didik. Pada hal ini respon peserta didik pada
situasi didaktik akan tereksplor sehingga kesulitan belajar teratasi. Suryadi dalam Nusantari
(2011) Sumampouw (2011) menyatakan bahan ajar sebaiknya disusun dengan memperhatikan
hubungan di antara konsep agar dapat dimaknai dan terjadi kontruktivisme. Pembelajaran yang
berlandaskan pada ilosoi konstruktivisme, pada observasi selama perkuliahan peserta didik
lebih aktif atau dengan kata lain peserta didik lebih berperan dengan menggunakan buku dan
membahas pertanyaan. Selanjutnya dikatakan penyusunan bahan ajar harus dilakukan dengan
memperhatikan repersonalisasi keterkaitan konsep. Mana konsep yang harus ada penekanan, agar
keefektifan materi dengan mempertimbangkan kedalaman dan keluasan yang dapat meningkatkan
keterampilan metakognitif.
Perters (2000) dan Sumampouw (2011) menyatakan metakognitif mengacuh pada kecakapan
peserta didik dan memonitor, merencanakan, sehingga terjadi peningkatan pemahaman materi.
Proses yang membutuhkan kemampuan pemahaman bacaan yang tinggi untuk dapat menemukan
gagasan utama dan menuliskannya kembali dalam bentuk berbeda naskah, sehingga wawasan
lebih luas. Keterampilan metakognitif sangat bermanfaat dalam meningkatkan hasil belajar,
pengembangan pengetahuan bagi dirinya dan akan lebih cepat jadi peserta didik yang mandiri.
Susantini (2004) menyatakan bahwa melalui metakognitif peserta didik mampu menjadi mandiri,

28
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

menumbuhkan sikap jujur, berani mengakui kesalahan dan akan dapat meningkatkan hasil belajar
secara nyata.
Bagian lain yang ada perubahan/perbaikan adalah miskonsep. Konsep yang diajukan seperti:
konsep mikrotubula dan mikroilamen merupakan organela yang tersusun dari senyawa yang
sama dan berfungsi sebagai daur Krebs. Sebagian peserta didik masih membenarkan pernyataan
ini singkat kata, mikrotubula dan mikroilamen merupakan organela yang tersusun dari senyawa
protein yang berfungsi sebagai kerangka sel (sitoskeleton) untuk mempertahankan bentuk sel.
Miskonsep dan pemahaman konsep yang dimiliki merupakan pijakan menyusun bahan ajar.
Miskonsep yang terjadi biasa dikarenakan persepsi yang kurang sesuai dengan ilmu. Miskonsep
yang terungkap merupakan kesalahpahaman tentang sitoskeleton/kerangka sel. Chim dan Posner
dalam Nusantari (2011) menyatakan beberapa kesalahpahaman terkadang telah berakar dalam
pikiran walaupun telah memperoleh dalam pembelajaran. Sehubungan dengan hal tersebut
maka perlu pendekatan pembelajaran yang bertujuan untuk memberikan perubahan konseptual
agar berhasil dalam meningkatkan pemahaman konsep-konsep biologi sel sesuai dengan ilmu.
Selanjutnya disampaikan bahwa proses perubahan konsep mirip dengan asimilasi dan tahap
berikut adalah akomodasi. Dengan asimilasi mereka dapat menggunakan konsep apa yang mereka
punyai untuk berhadapan dengan fenomena baru. Para pendidik menggunakan anomaly untuk
memacu perubahan konsep.
Beberapa faktor penyebab miskonsep antara lain; bahan pelajaran, hasil interaksi peserta
didik dan guru. Miskonsep bisa terjadi terjadi karena peserta didik kurang mengaitkan antara
konsep yang satu dengan yang lain, sehingga mengakibatkan proposisi yang salah. Juga dapat
terjadi karena dalam mengajar kurang memperhatikan gagasan anak sebelum mengikuti pelajaran,
pemakaian bahasa, perasaan sendiri.
Adanya persentase perbaikan miskonsep biologi sel, karena adanya pengungkapan
hubungan yang berarti antara konsep satu dengan yang lain yang menekankan pada gagasan
pokok. Pembelajaran peta konsep juga dapat melihat refelksi pengetahuan yang dimiliki peserta
didik, dengan mencermati kompleksitas peta konsep dapat mendeteksi konsep mana yang kurang
tepat dan sekaligus perubahan konsepnya, Pearsal dalam Nusantari (2011) dan Sumampouw
(2012).
Obyek studi biologi sel bersifat mikroskopis, hendaknya sifat materi ini dalam kegiatan
belajar mengajar harus diikuti dengan pemakaian bahan ajar yang detail dan tepat. Hal yang
seperti dikemukakan terdahulu bahwa salah komunikasi dapat saja terjadi karena peserta didik
kurang motivasi, jumlah yang besar sehingga kurang terjangkau secara perorangan. Selanjutnya
juga disampaikan bahwa bahwa sebagian peserta didik menganggap pelajaran biologi melelahkan
dan membosankan.
Bagian lain yang ditemukan adanya sebagian peserta didik yang tidak tau konsep biologi sel,
diduga ada beberapa faktor yang jadi penyebab a.l peserta didik hadir tapi tidak memperhatikan
penjelasan materi biologi sel, ragu-ragu memberikan jawaban karena pemahaman yang tidak
tepat, atau mungkin tidak ingat lagi arti kata lupa. Untuk itu sebagai guru kurangi penjelasan
bersifat informasi verbal. Sumampouw (2012) menyatakan bahwa konsep biologi sel yang
diperoleh melalui pengalaman langsung, hilang kembali (dilupakan) dengan percepatan yang
lebih lambat (1% perbulan) sedangkan konsep yang diperoleh dengan informasi verbal lebih
cepat hilang kembali dengan percepatan 6% per bulan.
Mengkaji uraian di atas maka pengembangan bahan ajar biologi sel untuk mengatasi
miskonsep biologi sel, tidak tahu dan yang sudah paham maka perlu menggunakan Desain
Didakti Research (DDR). Suryadi (2010) menyatakan bahwa bahwa pertama harus melakukan
analisis metadikdaktik, kesulitan belajar dari kesalahan konsep dan yang sudah dipahami.
Perencanaan pembelajaran selalu dapat memenuhi kebutuhan peserta didik agar belajar dengan
benar, melalui peninjauan perangkat pembelajaran. Perbaikan bahan ajar dapat diacuh untuk dapat

29
Buku Prosiding Seminar Nasional

membenahi miskonsep dengan memperhatikan hubungan antara konsep. Perbaikan kualitas


pembelajaran biologi sel dengan strategi yang tepat dengan meminimalkan miskonsep dan
meningkatkan pemahaman biologi sel mendesak dilakukan. Pengembangan bahan ajar dengan
memperhatikan 2 tahap yaitu menentukan konsep yang utama dalam satu kesatuan dan tahap
berikut membuat keterkaitan antara konsep biologi sel. Penting dalam keterkaitan antar konsep
menjelaskan lebih detail struktur antar organela, hubungannya dan membahas fungus bagian-
bagian organela. Pertegas batas perbedaan antara sel prokariotik dan eukariotik (membrane
nucleus), juga membrane sel dan membrane RE, membrane mitokondria dan bagian-bagian lain
penyusunnya dan fungsinya. Berdasarkan hasil perolehan rerata persentase biologi sel tidak ada
perbedaan perolehan mahasiswa, walaupun demikian jika dicermati ketiga sub konsep biologi sel
ada miskonsep, tapi karena pemahaman konsep ketika disusun bahan ajar biologi sel DDR maka
peningkatan ke kualiikasi baik, berpijak pada hasil pengamatan pembelajaran yang sudah ada
peningkatan pemahaman karena sudah ada penyusunan bahan ajar yang memperhatikan kesulitan
belajar peserta didik. Pengungkapan kesulitan belajar peserta didik yang dipertimbangkan dalam
penyusunan bahan ajar sangat membantu pemahaman konsep biologi sel, juga karena kedalaman
konsep biologi sel masing-masing materi kurang mampu memahami konsep secara komprehensif
dan utuh, mengingat jumlah SKS mata kuliah biologi sel hanya 2.
Konsep biologi sel yang belum pernah diterima juga berakibat pada kesulitan memahami
konsep bahkan dapat membawa ke arah ketidaktahuan konsep. Ramlah dalam Nusantari (2011)
dan Sumampouw (2014) menyatakan bahwa berdasarkan hasil tes biologi ditemukan sebagian
kecil peserta didik lebih kecil 25% dipengaruhi oleh ketidaktahuan dan miskonsep yang ditemukan
pada informasi sebelumnya dan juga pada buku teks yang beragam tetapi juga pada penafsiran
peserta didik yang bias kurang sesuai dengan ilmu. Hal ini diperlukan guru yang peka terhadap
ide peserta didik. Selanjutnya Corebima (2010) menyatakan bahwa selama pembelajaran biologi
dalam penyajian konsep berorientasi pada sejarah yakni menyebabkan organisasi konsep terputus-
putus/terpisah satu dengan yang lain, maka hal ini akan menjadi kajian yang sulit. Karena itu
penting untuk melakukan pembelajaran dengan pendekatan konsep seperti pada genetika yang
baru dan selayaknya menggantikan pendekatan sejarah. Terkait hal tersebut dengan biologi sel
maka penyajian organisasi konsep secara utuh dan bermakna agar menjadi utuh, perlu diperhatiakn
penggunaan analogi yan tepat, agar tidak terjadi pengetian yang bias, menggunakan kalimat yang
benar dan menghindari hasil piker yang tidak sesuai dengan rujukan.

4. Kesimpulan
1. Mahasiswa jenjang S1 yang kontrak mata kuliah biologi sel ada peningkatan pemahaman
konsep biologi sel berbasis metakognitif, dari kualiikasi kurang ke baik. Rerata perolehan
persentasi miskonsep ada perbaikan konsep, hal yang sama juga terjadi pada ketidaktahuan
konsep peserta didik.
2. Penyusunan bahan ajar biologi sel dengan DDR, dapat meningkatkan pemahaman biologi sel,
dapat mengurangi persentasi miskonsep dan kesulitan belajar dari peserta didik.

5. Daftar Rujukan

Amin, S. (2013). Pengetahuan Metakognitif. http://yogicahyabagus.blogspot.com/2013/04/pen-


getahuan-metakognitif-istilah-baru.html. [Akses 02-02- 2014. 10:46 AM]
Aqib, Z. (2013). Model-model Media dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (inovatif). Bandung
:YramaWidya
Ardila, dkk. (2013). Hubungan Keterampilan Metakognitif Terhadap Hasil Belajar Biologi dan
Retensi Siswa Kelas X Dengan Penerapan Strategi Pemberdayaan Berpikir Melalui Pertan-

30
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

yaan (PBMP) Di SMAN 9 Malang.Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang


Corebima, A.~D. (2007). Metakognitif: Suatu Ringkasan dan Kajian. Makalah disajikan pada
pelatihan guru biologi SMA se-kota Palangkaraya. UNPAR (LPKM) 23 Agustus.
Corebima, A.D. (2010). Pengalaman Menjadi Guru Profesional. Pidato pengukuhan guru besar
bidang biologi. Malang. UM FMIPA.
Dick, W. and Carey, J. (2001). The Systemic Design of Instructional. Fift edition. New York;
Addison Wesley Educational Publisher Inc.
Diknas . (2008). Strategi Pembelajaran IPA. Jakarta Ditjen PMTK.
Huda. 2012. Cooperative Learning.Yogyakarta :PustakaPelajar
Hartati, dkk. (2012). Model Pembelajaran STAD dan GI Terhadap Retensi Siswa Di MAN. Pro-
gram Studi Pendidikan Biologi FKIP Untan
Hasbullah, (2006). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan.Jakarta : PT Raja Graindo Persada.
KONASPI. 7. (2012). Makalah Utama. Dengan tema Memantapkan Karakter Bangsa menuju
Generasi Emas 2045. UNY: Yogyakarta
Miranda, Y. (2006). Kumpulan Artikel Metacognitive. UniversitasNegeri Malang
Nusantary, E. 2011. Kajian Miskonsep Genetika dan Perbaikannya Melalui struktur Didakti Ba-
han Ajar di PT. Disertasi Program Pascasarjana UM. Malang Tidak diterbitkan.
Suryadi, D. (2010). Didactical Design Research (DDR) dalam pengembangan Pembelajaran.
Disajikan pada Seminar Nasional Pembelajaran MIPA dsi UM Malang 13 Novembr 2010.
Sumampouw , H. M. (1994). Studi Pemahaman dan kesalahan Konsep Biologi Sel siswa dan
Guru SMA se-kab. Minahasa. Tesis IKIP Malang.
Sumampouw, H. M. (1994). Pengantar Biologi Sel. Bahan ajar Untuk Mahasiswa. Jurusan Bi-
ologi FKIE IKIP Manado
Sumampouw, H, M. (2010). Pembelajaran Biologi Berbasis Metakognitif: artikulasi konsep dan
verivikasi empiris. Prosiding Semnas. Makalah disajikan pada Semnas FMIPA UM. 13 Novem-
ber
Sumampouw, H. M. (2014). Misconcep of Biology Cell on Senior High school Student and Teach-
er Based on Metacognitive. Proceeding of the 3rd Internationl Seminar on Quality and Afford-
able Education. Faculty Education University of Malaya. Kuala Lumpur 25-28 November
2014.
Sumampouw, H, M. (2011). Kajian Perkuliahan Genetika Berbasis Keterampilan Metakognitif,
Berpikir Tingkat Tinggi, Ketrampilan Proses dan Retensi Mahasiswa biologi S1 dan S2. Dis-
ertasi PPS UM. Tidak diterbitksn. Malang
Sumampouw, H.M. (2012). Pembelajaran Genetika dengan Strategi RQA. Yogyakarta ; Titah
Surya.
Sudjana. (2006). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung :Alfabeta
Sulistyorini, A. (2009). Biologi 1 Untuk Sekolah menengah Atas/Madrasah Aliyah KelasX .Ja-
karta : PT. Balai Pustaka
Trianto, (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta:
Prestasi Pustaka.

31
Buku Prosiding Seminar Nasional

Uno, (2007). Perencanaan Pembelajaran. Jakarta : PT BumiAksara


Zubaida, S. (2010). Berpikir Kritis. Makalah disampaikan pada Semnas Sains di PPS Unesa. 16
Januari.

32
PENGEMBANGAN ASESMEN DIRI KOMPETENSI KOGNITIF
PADA MAHASISWA PENDIDIKAN FISIKA

Enny Wijayanti
FPMIPA Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah
e-mail: ennywijayanti28@yahoo.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengembangkan asesmen diri mahasiswa (ADM) kompetensi
kognitif yakni: 1) menghasilkan produk ADM kompetensi kognitif sebagai pelengkap
asesmen dalam pembelajaran isika, 2) mengetahui efektivitas ADM, 3) mengetahui
keterpakaian ADM. Prosedur pengembangan meliputi dua tahap, yaitu pengembangan dan
validasi, mengacu pada model pengembangan Cennamo dan Kalk (2005), dengan lima fase
pengembangan. Tahap pengembangan mencakup kegiatan preliminary study, deine, design
dan demonstrate. Tahap ini dihasilkan prototipe I preskripsi ADM yang divalidasi melalui
focus group discussion dan teknik Delphi. Content validity expert judgment diestimasi
melalui formula content validity coeficient Aiken V (1985). Tahap validasi mencakup
develop dan deliver. Uji coba instrumen tes untuk mengetahui tingkat kesulitan dan daya
pembeda butir. Validitas konstruk dianalisis menggunakan perangkat lunak Smart PLS2.0M3,
nilai reliabilitas komposit ADM 0,876; kognitif 0,852. Uji validasi menggunakan desain
quasi- experiment pola pre- and posttest design (Cresswell, 2005). Subjek penelitian adalah
mahasiswa semester enam Pendidikan Fisika Unpar. Hasil penelitian: (1) ADM dapat
digunakan sebagai pelengkap asesmen formatif, (2) Ketercapaian kelompok ADM lebih baik
dari pada kelompok non ADM, selain itu respon mahasiswa menyatakan ADM cukup efektif,
(3) Hasil keterpakaian menunjukkan ADM digunakan sebagai umpan balik terhadap proses
dan kemajuan hasil belajar.

Kata kunci: Asesmen Diri dan Kompetensi isika

Abstract
This study aimed to: 1) develop Students’ Self-Assessment (SSA) as supplementary assessment
on physics teaching and learning, 2) ind out the construct of the SSA, 3) ind out the usefulness
of the SSA.The development procedure consisted of two stages: development and validation,
based of the spiral model from Cennamo and Kalk, with ive phases. The development stage
coveraged the preliminary study, deine, design, and demonstrate. That resulted in prototype
I prescription of SSA that was valiated through focus group discussion and Delphi technique.
The content validity expert judgment was estimated through validity coeficient Aiken V. The
validation stage covered of developing and delivering. The instrument tryout was conducted
to ind out the dificulty index and discrimination index. The construct validity in this tryout
was analyzed using software SmartPLS2.0M3, with composite reliability value SSA 0.876;
cognitive 0.852. The validation was tested using quasi-experiment with pre- and posttest
design (Creswell, 2005). The subjects of this study were students’ six semester on Physics
Education at Unpar. The result of the study can be concluded as follows: (1) SSA can be used
as supplementary assessment, (2) The effectiveness of group SSA is better than group non
SSA, besides students’ response declares SSA are reasonably effective, 3) The usefulness
shows that SSA can be used as feedback for the process of progress and the results of the
students’ study. The results of feedback are used to improve the learning process and the
result of learning.

Keywords: Self-assessment, Physics competency

33
Buku Prosiding Seminar Nasional

1. Pendahuluan

U
ndang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 58 ayat (1) tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyebutkan, bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh
pendidik bertujuan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar
secara berkesinambungan. Oleh karena itu kegiatan asesmen yang dilakukan pada semua jenjang
pendidikan harus berpedoman pada undang-undang tersebut. Hal ini mengisyaratkan peran
dosen sangat dominan dalam mengases pencapaian kompetensi mahasiswa. Untuk melaksanakan
perintah undang-undang tersbut, maka dalam proses pembelajaran dilakukan tes formatif. Tes
formatif berguna untuk mengetahui sejauhmana mahasiswa telah menguasai suatu kompetensi
setelah mengikuti pembelajaran. Artikel ini difokuskan pada asesmen formatif karena banyak
manfaatnya, antara lain, dapat berfungsi sebagai penelusuran (checking-up), mengecek apa
kelemahan-kelemahan yang yang dialami mahasiswa dalam proses pembelajaran. Pencarian
(inding-out), mencari dan menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan
kesalahan dalam proses pembelajaran. Hasil tes juga dapat digunakan sebagai summing-up, untuk
menyimpulkan apakah mahasiswa telah menguasai materi yang sudah diajarkan.
Informasi hasil tes tersebut berfungsi sebagai umpan balik (feedback) bagi dosen maupun
mahasiswa. Oleh karena itu, sebaiknya mahasiswa segera mendapatkan informasi dari hasil
kinerjanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Amien (1987, p 99) menyatakan bahwa memberikan
umpan balik dengan segera perlu dilakukan dalam pembelajaran, agar mahasiswa dapat segera
mengetahui kekuatan dan kelemahannya dalam memahami materi. Namun sering dalam praktik
asesmen di perguruan tinggi, hal tersebut masih jarang dilakukan oleh dosen, apalagi jika jumlah
mahasiswa banyak dan beban dosen mengajar juga banyak. Mengingat bahwa hasil asesmen
yang dilakukan dosen digunakan sebagai pemamtauan proses pembelajaran, kemajuan belajar
dan prestasi belajar mahasiswa. Oleh karena itu, maka ketiga hal tersebut menjadi tuntutan pokok
pada pelaksanaan asesmen oleh dosen, guna meningkatkan kualitas pendidikan.
Upaya peningkatan kualitas pendidikan memerlukan upaya peningkatan kualitas proses
pembelajaran, karena muara dari berbagai program pendidikan adalah pada terlaksananya program
pembelajaran yang berkualitas. Oleh karena itu usaha meningkatkan kualitas pendidikan tidak
akan tercapai tanpa adanya peningkatan kualitas proses pembelajaran. Upaya peningkatan proses
pembelajaran memerlukan informasi hasil asesmen pada pembelajaran sebelumnya. Berdasarkan
hasil asesmen tersebut dapat diketahui kekuatan dan kelemahan atau kesulitan mahasiswa dalam
mengikuti pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Nitko (1989, p.447) menyatakan bahwa
evaluasi seharusnya terintegrasi dengan pembelajaran, artinya terdapat kaitan erat antara asesmen
dan pembelajaran. Dengan demikian, upaya perbaikan mutu pendidikan tidak dapat dilepaskan
dari pemanfaatan hasil asesmen
Ujung tombak perbaikan mutu pendidikan adalah perbaikan pembelajaran, sehingga
sistem asesmen harus dipakai sebagai bagian dari upaya perbaikan mutu (Kumaidi, 2001a).
Hal ini menunjukkan bahwa asesmen merupakan komponen penting yang tak terpisahkan dari
proses pendidikan, pembelajaran dan asesmen merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Peningkatan kualitas pembelajaran melalui asesmen, menurut Assessment Reform Group (1999,
p.4) bergantung pada lima faktor kunci, yaitu: (1) siapkan umpan balik, (2) libatkan secara aktif
mahasiswa dalam pembelajaran, (3) sesuaikan pengajaran dengan informasi hasil penelitian, (4)
penghargaan sangat mempengaruhi asesmen, yang akan meningkatkan motivasi dan kesadaran diri
(self-esteem), (5) mahasiswa perlu mengases penguasaan kompetensi diri sendiri dan memahami
bagaimana memperbaikinya agar hasil belajar meningkat.
Keberhasilan proses belajar dapat dilihat dari hasil belajar yang dicapai. Keberhasilan ini
selalu dikaitkan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Berkaitan
dengan prestasi belajar isika menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Hal ini terlihat dari
hasil tes formatif pada mata kuliah keilmuan dan keterampilan I (MKK I) hasilnya hampir tujuh
puluh persen (70%) mahasiswa belum mencapai standar minimal lulus. Hasil ini tentu saja

34
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

mengusik keprihatinan para dosen pengampu mata kuliah MKK I di Prodi Pendidikan Fisika
FPMIPA Unpar. Adanya kendala pada implementasi asesmen formatif dalam pembelajaran
isika sesuai dengan hasil penelitian Kusairi (2010, p.7) menyebutkan bahwa ada kendala pada
implementasi asesmen formatif dalam pembelajaran isika. Menurut Kusairi penyebabnya adalah:
(1) perencanaan dan pelaksanaan asesmen formatif memerlukan keterampilan, sementara masih
banyak guru belum mendapatkan pelatihan profesional tentang teknik-teknik asesmen formatif;
(2) pengengembangan instrumen, implementasi dan analisis data-data asesmen formatif belum
banyak dilakukan guru. Informasi ini menunjukkan bahwa pembelajaran isika belum seperti
yang diharapkan, artinya ada kendala yang terjadi dalam proses pembelajaran, terutama dalam
pemanfaatan hasil asesmen formatif guna memperbaiki pembelajaran selanjutnya
Hasil penelitian Kumaidi (2001a), menunjukkan bahwa guru kurang memanfaatkan hasil
tes atau ujian untuk perbaikan proses pembelajaran. Selain itu guru kurang memiliki pemahaman
dan keterampilan pengujian, antara lain pengembangan tes, penulisan butir soal, telaah silang,
perbaikan soal dan keterampilan melakukan analisis diagnostik (2001b). Hal ini menunjukkan
bahwa ada kendala yang berkaitan dengan asesmen hasil belajar. Berdasarkan kendala-kendala
yang terjadi pada praktik asesmen formatif perlu dicari penyelesaian yang sesuai. Untuk
mengatasi kelemahan dalam praktik asesmen formatif yang selama ini dilakukan perlu suatu
asesmen pelengkap yang melibatkan mahasiswa dalam kegiatan asesmen terhadap pencapaian
kompetensinya. Asesmen pelengkap tersebut salah satunya adalah asesmen diri (self-assessment).
Keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan/proses asesmen merupakan bagian mendasar dari
kesetimbangan asesmen (Tola, 2010, p.18). Selanjutnya Assessment Reform Group (1994, p.4)
menyatakan bahwa untuk memperbaiki pembelajaran melalui asesmen diantaranya mahasiswa
perlu mengases penguasaan kompetensi diri sendiri dan memahami bagaimana memperbaikinya.
Keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan asesmen diri terhadap pencapaian kompetensinya
khususnya kognitif, akan mendapatkan informasi terkait dengan kesulitan-kesulitan pada butir
yang dianggap sulit maupun pada atribut-atribut. Berdasarkan informasi tersebut mahasiswa
dapat segera memperbaiki. Umpan balik yang diperoleh mahasiswa dari hasil asesmen akan
menimbulkan motivasi untuk segera memperbaiki cara belajarnya, menggunakan waktu belajar
secara efektif, dan sebagainya. Bila hal ini terjadi maka dapat dikatakan bahwa hasil asesmen
formatif dapat digunakan sebagai usaha perbaikan belajar. Hasil asesmen formatif berguna bagi
dosen untuk mengetahui sejauhmana materi yang sudah diajarkan telah atau belum dikuasai
oleh mahasiswa. Informasi ini digunakan untuk memperbaiki proses belajar berikutnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Black & william (1998, p.143) yang menyatakan bahwa self-assessment
merupakan komponen utama dalam assessment for learning.
Atribut adalah kompetensi yang harus dimiliki peserta tes untuk menyelesaikan suatu butir
soal. Perumusan atribut asesmen kognitif yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari
Tatsuoka (2009, p.4). Menurut Tatsuoka asesmen kognitif (cognitive assessment) dipilah menjadi
tiga atribut, yaitu atribut isi (content attributes), atribut proses (process attributes), dan atribut
skil atau (skill attributes). Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa
melibatkan mahasiswa dan dosen dalam kegiatan asesmen mahasiswa (ADM) terhadap proses
dan hasil belajar adalah penting. Pada kegiatan asesmen diri, mahasiswa dilibatkan secara aktif
dalam mengases penguasaan kompetensi diri sendiri secara jujur, hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui ketercapaian tujuan belajarnya, posisinya, dan bagaimana mengatasi kesenjangan
antara tujuan dan ketercapaian kompetensi. Informasi yang diperoleh dari asesmen diri digunakan
sebagai umpan balik, untuk segera dilakukan tindakan perbaikan dalam belajar. Pembaharuan
asesmen dalam bidang pendidikan diperlukan pada saat ini adalah asesmen yang menunjang
proses pembelajaran di kelas. Jadi dengan mengembangkan ADM sebagai pelengkap asesmen
formatif diharapkan akan memberikan kontribusi yang berarti pada perbaikan proses pendidikan.
Format asesmen diri pada penelitian ini diadopsi dari Khan, et al. (2001), perumusan
releksi kegiatan ADM dalam penelitian ini diadopsi dari Tatsuoka (2009), bentuknya adalah

35
Buku Prosiding Seminar Nasional

kuesioner yang dilengkapi alasan, kenapa memilih option tersebut. Kuesioner ini berisi tingkat
keyakinan atas jawaban benar, baik rumus yang digunakan maupun langkah dan hasil akhir.
Kesulitan mahasiswa dalam menyelesaikan tes, di lihat pada atribut mana mahasiswa mengalami
kesulitan. Hasil asesmen diri ini secara jelas merupakan umpan balik yang sangat detail dan betul-
betul merupakan introspeksi bagi mahasiswa yang sebelumnya yakin kalau jawabannya benar
tetapi ternyata salah. Prosedur pelaksanaan asesmen diri mahasiswa dirancang seiring dengan
pelaksanaan pembelajaran. Pada setiap akhir kegiatan, tes, mahasiswa melakukan asesmen
diri menggunakan kriteria yang sesuai dengan jenis kegiatan yang dilakukan. Jika kegiatan itu
merupakan tes kemampuan kognitif maka kriteria yang digunakan adalah ‘pedoman penskoran’,
namun jika kegiatan tersebut adalah ketrampilan proses di laboratorium maka kriteria yang
digunakan adalah ‘rubrik’

2. Kerangka Teori
Asesmen diri yang lebih dikenal dengan istilah self-assessment merupakan salah satu
pendekatan asesmen pembelajaran formatif, untuk mengases kemampuan diri oleh dirinya sendiri.
Hal ini sesuai dengan pendapat Sluijsman, et al. (1998: 11), menegaskan bahwa asesmen diri pada
umumnya digunakan untuk asesmen formatif dengan tujuan agar mahasiswa dapat mereleksikan
proses dan hasil belajarnya. Releksi terhadap proses dan hasil pembelajaran, dengan melakukan
asesmen diri atas proses pembelajaran yang ditempuh, Guskey & Stiggins (Noonan & Duncan,
2005: 1). Sementara Gronlund & Cameron (Noonan & Duncan, 2005: 2), menyatakan bahwa
bahwa asesmen formatif penting karena bertujuan untuk memonitor progres dari pembelajaran
dan memberikan arahan korektif untuk meningkatkan pembelajaran.
Menurut Black & William (1998; 14), menyatakan bahwa self-assessment merupakan
komponen penting dalam asesmen formatif jika digunakan untuk meningkatkan pembelajaran.
Pendapat yang sama dikatakan oleh McDonald & Boud (2003: 214), mendeskripsikan bahwa self-
assessment berhubungan dengan
skill yang harus dikembangkan
mahasiswa, mempunyai efek
positif pada performans mahasiswa.
Secara umum kemampuan self-
assessment untuk kehidupan nyata
(real life) menjadikan mahasiswa
mandiri dan pengajar sebagai
fasilitator. Selanjutnya, menurut
Boud & Falchikov (Sluijsmans,
1998: 11; Ellington, et al. 1997:
2), menyatakan bahwa asesmen
diri merujuk pada pelibatan
mahasiswa dalam pembuatan
keputusan mengenai pembelajaran
yang dilakukan, termasuk menilai
hasil belajarnya sendiri. Asesmen
diri mahasiswa berkaitan dengan
kemampuan mahasiswa dalam
menentukan tujuan pembelajaran
yang hendak dicapai dan
membuat keputusan mengenai
kemampuannya sendiri.
Kerangka asesmen Gambar 1. Kontribusi Asesmen Diri terhadap Belajar
diri adalah suatu model yang (Diadopsi dari: Ross & Rolheiser, 2002: 6)

36
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

berhubungan antara hakekat asesmen diri dengan hasil belajar mahasiswa (Noonan & Duncan,
2005: 5-6). Model menunjukkan bahwa hasil belajar mahasiswa adalah hasil pencapaian prestasi
berdasarkan tujuan dan usaha yang telah dirancang sebelumnya. Belajar yang keras menghasilkan
kinerja yang tinggi, dan mengerjakan tugas, latihan dengan benar akan menghasilkan prestasi pula.
Berdasarkan model ini, usaha mahasiswa mempengaruhi kemampuanya bagaimana mencapai
tujuan lebih baik. Ilustrasi kontribusi asesmen diri terhadap belajar dapat dilihat pada Gambar 1.
Asesmen diri meliputi tiga proses, di mana regulasi diri mahasiswa mengamati dan
menafsirkan perilaku dirinya, (Ross & Rolheiser, 2002: 6): Pertama, mahasiswa menghasilkan
observasi sendiri yang berfokus pada aspek kinerja khusus yang relevan dengan standar
kesuksesan. Kedua, mahasiswa membuat pertimbangan sendiri dengan menentukan bagaimana
tujuan dapat tercapai. Ketiga, mahasiswa melakukan reaksi diri, menafsirkan tingkat pencapaian
tujuan, dan menghayati kepuasan hasil reaksi dirinya. Asesmen diri berkontribusi terhadap
kepercayaan keberhasilan diri. Prestasi yang diraih tergantung pada seberapa besar usaha yang
dilakukan untuk mencapai tujuan belajar.
Asesmen diri mahasiswa berkontribusi terhadap kepercayaan keberhasilan diri, yaitu
persepsi kemampuan mahasiswa terhadap kinerja yang dilakukan. Kesuksesan adalah suatu
kepercayaan bahwa mahasiswa akan melanjutkan keberhasilan dimasa datang. Mahasiswa dengan
kepercayaan, akan mempunyai usaha yang lebih tinggi untuk mencapai target belajar, dan lebih
suka memisualisasikan kesuksesannya dari pada kegagalannya. Mahasiswa merancang standar
kinerja lebih tinggi untuk diri sendiri. Ekspektasi mahasiswa tentang kinerja masa depan juga
mempengaruhi usahanya (effort). Mahasiswa tidak tertekan oleh kegagalan tetapi mahasiswa
merespon kegagalan dengan memperbaiki kembali kebelakang melalui usaha-usaha perbaharuan.
Asesmen diri mahasiswa mampu memainkan aturan dalam mengarahkan siklus belajar ketika
ADM adalah positif. Asesmen diri mahasiswa positif mendorong mahasiswa untuk merancang
tujuan yang lebih tinggi. Asesmen diri mahasiswa adalah negatif apabila mahasiswa menemukan
konlik belajar, menyeleksi tujuan yang tidak realistik, mengadopsi strategi belajar yang tak
efektif, dan usaha rendah.
Pentingnya pelibatan peran mahasiswa dalam penerapan self-assessment menurut Black
& William, 1998 (Noonan & Duncan, 2005: 2), adalah untuk keperluan pembuatan keputusan
mengenai pekerjaannya sendiri. Strategi ini menuntut mahasiswa tidak sekedar melibatkan
pembuatan asesmen, namun lebih dari itu dapat memberi keuntungan bagi eksplorasi proses
asesmen secara mendasar. Self-assessment secara ideal dapat berlangsung setiap hari dengan
ragam bentuk, tidak harus memerlukan sesi formal, dan asesmen ini dapat ditingkatkan melalui
pernyataan pikiran dan gagasan mahasiswa (state of mind). Berdasarkan pendapat di atas tampak
bahwa penerapan self-assessment atau ADM memberi penekanan pada peran aktif mahasiswa
dalam mengases dirinya sendiri, karena pelibatan mahasiswa dapat menjadi dasar pembuatan
keputusan untuk mencapai keberhasilannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka penggunaan ADM dirasa perlu, karena kegiatan ADM
dalam pembelajaran untuk mengetahui pencapaian tujuan atau penguasaan kompetensi dan
koreksi diri terhadap proses dan pencapaian hasil belajar. Ketika mahasiswa melakukan kegiatan
ADM artinya mahasiswa belajar mengembangkan kebiasaan untuk mereleksi diri sendiri.
Kegiatan mereleksi diri merupakan kegiatan yang diharapkan agar mahasiswa mempunyai
kemampuan antara lain: (1) mampu belajar dan bekerja yang lebih baik; (2) mampu menimbang
kembali kinerja yang telah dilakukan; (3) mampu melakukan analisis terhadap kinerjanya sendiri
secara jujur dan merasakan apakah ada peningkatan; dan (4) mampu merancang tujuan personal
(individu). Semua komponen-komponen tersebut merupakan analisis kualitatif mahasiswa
dengan arahan diri sendiri. Oleh karena itu diharapkan mahasiswa terlibat aktif pada proses dan
pencapaian hasil belajar. Mengingat kegiatan ini baru pertama dilakukan, sehingga kemungkinan
terjadi kesalahan yang dilakukan mahasiswa dalam melakukan asesmen diri. Untuk mengatasi
terjadinya perbedaan dalam kegiatan asesmen ini, maka asesmen dari dosen sebagai acuan untuk

37
Buku Prosiding Seminar Nasional

konirmasi apakah asesmen diri yang dilakukan mahasiswa arahnya off the track atau on the track.
Hasil Asesmen diri perlu dikaji lebih dahulu, untuk melihat apakah ADM dapat digunakan
sebagai pelengkap asesmen formatif, syaratnya ADM harus mempunyai kesejajaran dengan
asesmen dosen (AD) yang digunakan sebagai kriterium. Untuk menguji kesejajaran antara
ADM dan AD perlu dilakukan uji menggunakan rumus korelasi Product Moment dari Pearson
(Suharsimi, 2007, p.72). Hasil perhitungan korelasi kemudian dibandingkan dengan nilai r pada
tabel r Poduct Moment. Jika nilai r > r tabel, maka korelasinya signiikan, artinya kedua asesmen
yaitu ADM dan AD mempunyai kesejajaran. Penggunaan ADM belum banyak dilakukan oleh
dosen dalam pembelajaran pada umumnya serta pembelajaran isika pada khususnya, Oleh karena
itu perlu dikaji keefektifan ADM, serta perlu dikaji apakah ADM dapat meningkatkan pencapaian
kompetensi kognitif bila digunakan dalam pembelajaran isika. Asesmen diri mahasiswa yang
digunakan sebagai pelengkap asesmen formatif menjadi sangat penting, karena dapat memberikan
informasi yang lebih banyak tentang kemampuan mahasiswa. Asesmen terhadap dirinya berguna
sebagai releksi terhadap apa yang telah dikerjakan, bukan sekedar memperoleh informasi respon
salah atau benar dari dosen. Oleh karena itu perlu dikembangkan dalam rangka mengungkap
unjuk kerja kompetensi kognitif secara seimbang. Hal ini akan dapat meningkatkan motivasi
belajar dan untuk memperbaiki pembelajaran.

3. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian pengembangan dis-
ertai dengan eksperimen semu
(quasi experiment). Asesmen
teman sejawat dan asesmen
diri mahasiswa mengintegra-
sikan kegiatan pengukuran
hasil belajar dengan keseluru-
han proses pembelajaran. Oleh
karena itu dipilih model Spi-
ral Cennamo dan Kalk (2005,
p.6), dikenal dengan lima
fase pengembangan yaitu: (1)
pendeinisian (deine), (2) de-
sain (design), (3) peragaan
(demonstrate), (4) pengem-
bangan (develop) dan (5) pe-
nyajian (deliver).
Pengembangan ini di-
lakukan dalam dua tahap,
yaitu tahap pengembangan
dan tahap validasi. Pada tahap
pengembangan, data dikum-
pulkan melalui (a) wawancara,
(b) observasi, (c) kuesioner,
(d) dokumentasi, (e) focus
group discussion (FGD), dan
(f) teknik Delphi, sedangkan
tahap validasi dilakukan uji
keterbacaan dan review ahli,
uji kelompok kecil, uji kelom- Gambar 2. Diagram Alur Pengembangan ADM

38
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

pok diperluas dan uji validasi ADM. Diagram alur pengembangan ADM disajikan pada Gambar
2.
Penelitian pengembangan produk dilakukan mulai 29 Januari 2013 sampai Agustus 2013.
Subjek uji coba terbatas adalah mahasiswa di Program Studi Tadris Fisika Jurusan Tarbiyah STAIN
Palangka Raya dan uji coba diperluas adalah mahasiswa di Prodi Pendidikan Fisika Unpar yang
sudah menempuh mata kuliah getaran gelombang. Subjek uji validasi ADM, adalah mahasiswa
semester enam yang sedang menempuh mata kuliah getaran gelombang, terbagi dalam dua kelas.
Kelas A sebagai kelompok pembanding dan kelas B sebagai kelompok uji validasi ADM.
Pada tahap pengembangan meliputi kegiatan fase deine, design dan demonstrate. Kegiatan
awal melakukan preliminary study, melakukan review pustaka dan kajian penelitian yang relevan,
observasi dan identiikasi terhadap proses pembelajaran isika yang terjadi, dan asesmen hasil
belajar yang dipakai. Hal ini untuk mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan pembelajaran
serta kesulitan mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan isika, juga dilakukan wawancara
terhadap dosen pengampu mata kuliah getaran gelombang serta mahasiswa. Informasi yang
diperoleh digunakan untuk menyempurnakan draft rancangan pengembangan asesmen. Kegiatan
selanjutnya merumuskan, merancang learning continuum kompetensi kognitif, pedoman
penskoran, serta releksi ADM. Pada tahap pengembangan menghasilkan prototipe 1 preskripsi
ADM Sampel materi terdiri dari tiga materi pokok, yaitu getaran, gelombang dan bunyi, yang
disusun dalam tujuh SAP. Oleh karena itu diperlukan waktu tujuh kali tatap muka, atau tujuh
minggu, ditambah satu minggu untuk sosialisasi melatih mahasiswa menggunakan pedoman
penskoran.
Tahap validasi, melanjutkan rancangan yang sudah dihasilkan pada tahap pengembangan,
selanjutnya dilakukan uji keterbacaan dan review ahli, analisis dan revisi 1 yang menghasilkan
prototipe 2 preskripsi ADM, serta instrumen pendukung. Hasil analisis selanjutnya dilakukan
uji coba terbatas, untuk melihat ketercukupan waktu, reliabilitas instrumen. Namun sebelum
instrumen digunakan, sebelumnya sudah dilakukan analisis content validity coeficient
menggunakan formula Aiken melalui judgment raters. Hasilnya semua instrumen valid secara
konten. Selanjutnya hasil uji coba dilakukan analisis dan revisi 2, menghasilkan model tentatif.
Uji coba diperluas dilakukan pada mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika FKIP Unpar yang sudah
menempuh mata kuliah getaran gelombang. Uji coba diperluas untuk melihat reliabilitas komposit,
tingkat kesukaran dan daya pembeda butir.
Untuk mengetahui nilai reliabilitas komposit digunakan program SmartPLS2.0M3. Hasil uji
coba diperluas, kemudian dilakukan analisis dan revisi 3. Selanjutnya instrumen ADM beserta
instrumen pendukung digunakan dalam uji validasi ADM secara empiris di dalam pembelajaran
isika yang dilakukan selama tujuh kali tatap muka. Berdasarkan hasil uji empiris ini dianalisis
menggunakan program SmartPLS 2.0M3, untuk melihat validitas konstruk, reliabilitas komposit.
Pada tahap uji validasi ini dirancang menggunakan metodologi tersendiri yaitu quasi
experiment dengan rancangan pre-and post test design (Creswell, 2005: 314). Prosedur untuk
mendapatkan kelompok coba dan kelompok kontrol seharusnya dilakukan secara random. Namun,
karena keterbatasan subjek penelitian maka penentuan sampel tidak dapat secara random karena
subjeknya intact kelas.
Validitas isi data pra uji coba, untuk melihat apakah semua instrumen yang akan digunakan
sudah valid secara konten, menggunakan formula Aiken’s V (1985, p.132-133) sebagai berikut.

V=
Keterangan:
c = banyaknya kategori r = skor penilaian rater
n = banyaknya rater lo = skor rating minimal
s = r – lo (skor dari rater-skor terendah) untuk setiap butir

39
Buku Prosiding Seminar Nasional

Kriteria yang digunakan untuk menentukan butir-butir tersebut valid secara konten adalah
dengan membandingkan harga V hitung dengan tabel V pada Tabel Right-tail Probabilities (p) for
selected values of the validity coeficient (V) dengan p = 0,05 pada kategori rating 4 (empat) dan
banyaknya rater (n) = 9 (sembilan), pada tabel menunjukkan harga 0,74. Jika V hitung > harga
tabel 0,74, maka instrumen tersebut valid secara konten.
Untuk menghitung besarnya koeisien reliabilitas inter rater diadopsi dari Aiken (1980: 959).
Rumus koeisien reliabilitas inter rater Aiken’s berikut.

R=1-
Keterangan:
nij : banyaknya sel pada tabel matriks 3x3
N : banyaknya rater dan
c : banyaknya kategori

Reliabilitas uji coba terbatas untuk tes formatif digunakan rumus CronbachAlpha. Teknik
analisis data uji coba diperluas, tingkat kesukaran (TK) dan daya pembeda (DP) bentuk tes uraian
objektif dihitung menggunakan program excel. Menurut Crocker & Algina (1986, p.311), Ebel
& Frisbie (1986, p.231), Gulliksen (1950, p.366), Linn, & Gronlund (2009, p.356), Reynolds,
Livingston, & Willson (2010, p. 148-149). Kesulitan butir dideinisikan sebagai proporsi dari
jawaban-jawaban yang benar. Dengan demikian, menurut Ebel & Frisbie (1986, p.231), semakin
tinggi indeks kesulitan semakin mudah butir/tes yang bersangkutan. Berdasarkan deinisi
kesukaran butir di atas, maka persamaan untuk kesulitan butir dengan skor politomus dapat
dituliskan sebagai berikut:

Keterangan:
: proporsi jawaban benar atau indeks kesulitan butir ke-j.
n : ukuran sampel
: skor maksimal untuk butir ke-j
: jumlah skor butir ke-j dari peserta tes ke-i, dengan i mulai dari 1 sampai ke n.

Menurut McDonald (1999, p.78), Miller, Linn, & Gronlund (2009, p.357), Reynolds,
Livingston, & Willson (2010, p.150) diskriminasi butir atau daya pembeda butir adalah suatu
indeks yang merujuk pada derajat bagaimana suatu butir membedakan antara peserta tes yang
mendapatkan skor tinggi dan skor rendah pada butir tes tertentu. Menurut Ebel & Frisbie (1986,
p.230) jika tujuan utama seleksi butir adalah untuk memaksimalkan reliabilitas tes, maka butir
yang memiliki diskriminasi tinggi adalah butir yang harus dipilih. Rumus untuk menghitung
indeks daya pembeda butir sebagai berikut.

Daya Pembeda (DP) =

Data hasil uji validasi empiris digunakan untuk mendeskripasikan keefektifan, dan keterpakaian
ADM dianalisis dengan program excel. Teknik analisis data kualitatif digunakan untuk menjelaskan
prosedur pengembangan ADM.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Pengembangan ADM ini difokuskan untuk mengukur penguasaan kompetensi kognitif

40
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

mahasiswa. Pengembangan ADM diawali dengan proses kajian teoritik, hasil penelitian
yang relevan, dilanjutkan dengan observasi terhadap praktik pembelajaran isika di lapangan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh digunakan untuk membuat draft pengembangan asesmen.
Merumuskan dan merancang draft instrumen ADM kompetensi kognitif yang dirumuskan
melalui learning continuum materi getaran gelombang. Dasar perumusan learning continuum
adalah indikator-indikator yang telah disepakati bersama pada kegiatan FGD. Kegiatan pada
tahap pengembangan menghasilkan prototipe 1, sedangkan kegiatan tahap validasi secara
umum merupakan kegiatan uji coba. Uji coba terbatas, uji coba diperluas, analisis dan revisi,
menghasilkan model tentatif. Untuk melihat konstruk, keefektifan dan keterpakaian ADM,
dilakukan secara empiris di dalam pembelajaran isika. Rangkuman hasil uji content validity dari
Aiken’s, secara keseluruhan hasilnya disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan hasil analisis Content Validity Aiken, menunjukkan bahwa semua instrumen
yang digunakan pada penelitian ini memenuhi validitas konten, meskipun masih ada sedikit revisi.
Bila hasil raters tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif, hasilnya seperti yang nampak pada
Tabel 2.
Tabel 3 menunjukkan bahwa skor rata rata untuk semua instrumen nilainya di atas rentang
skor pada kategori sangat baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan penilaian
raters, semua instrumen berada pada kategori sangat baik. Selanjutnya dilakukan analisis untuk
melihat koeisien reliabilitas antar rater dengan rumus Aiken’s, hasil perhitungan disajikan pada
Tabel 3.

Tabel 1. Hasil Uji Content Validity Instrumen


Instrumen V V
No. Kategori
Rata-rata Tabel

1. Pedoman Penskoran 0,95 0,74 Valid


2. Releksi ADM 0,94 0,74 Valid
3. Tes Formatif 0,94 0,74 Valid

Tabel 2. Kategorisasi Penilaian Instrumen Pra Uji Coba


No. Instrumen Rata-rata Rentang Kategori
skor
1. Pedoman Penskoran 30,44 X > 26 Sangat Baik
2. Releksi ADM 49,56 X > 42,25 Sangat Baik
3. Tes Formatif 81 X > 81 Sangat Baik

Tabel 3. Reliabilitas Antar Rater


No. Instrumen Koeisien Reliabilitas Keterangan
Antar Raters (R)
1. Pedoman Penskoran 0,94 Reliabel

2. Releksi ADM 0,96 Reliabel

3. Tes Formatif 0,94 Reliabel

41
Buku Prosiding Seminar Nasional

Tabel 4. Analisis Tingkat Kesulitan (TK) dan Daya Pembeda (DP) Butir Kognitif

Tabel 3 di atas, menunjukkan bahwa semua nilai reliabilitas draft instrumen pada tahap pra uji
coba nilai reliabilitas > dari 0,70, dapat disimpulkan bahwa semua instrumen reliabel, reliabilitas
uji coba terbatas sebesar 0,73. Selanjutnya hasil analisis uji coba diperluas, meliputi tingkat kesuli-
tan, indeks daya pembeda, reliabilitas komposit, secara berturut-turut disajikan pada Tabel 4
Tabel 4 di atas menunjukkan nilai TK untuk seluruh butir berada pada rentang 0,30-0,70, kat-
egori sedang. Oleh karena itu seluruh butir dapat diterima untuk digunakan lebih lanjut. Nilai DP
untuk butir 9, 20, dan 21 berada pada rentang 0,30-0,40, sehingga butir-butir tersebut memiliki DP
yang tinggi. Butir-butir lainnya memiliki nilai DP ≥ 0,40, atau memiliki nilai DP pada kategori san-
gat tinggi. Dengan demikian DP butir-butir tes kognitif dapat diterima, sehingga butir-butir tersebut
dapat digunakan ke tahap lebih lanjut. Selanjutnya hasil perhitungan reliabilitas komposit dilakukan
menggunakan program SmartPLS2.0M3, hasil reliabilitas komposit disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Reliabilitas Komposit Uji Validasi instrumen ADM
No. Konstruk Komponen Composite Reliability
1. Kognitif GT 0,735
GL 0,745
BN 0,773
KOG 0,852
2. ADM GT 0,788
GL 0,822
BN 0,744
ADM 0,876

42
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Validitas konstruk hasil uji coba ini dilakukan secara bertingkat. Statistik yang digunakan
adalah bobot regresi (weight) yang pada dasarnya adalah koeisien regresi terstandar (path
coeficient) yang di uji dengan uji t. Sebagai kriteria digunakan nilai kritis untuk uji t pada taraf
signiikansi α = 5% yaitu 1,96. Result for Outer Weights menunjukkan bahwa semua indikator
konstruk ADM valid, jika nilai T-statistik yang dihasilkan > 1,96 (Imam Ghazali, 2012, p.133).

4.1 Keefektifan Penerapan ADM


Bila dilihat dari hasil ketercapaian rata-rata asesmen kognitif, antara kelompok ADM & dan
kelompok non ADM. Kelompok Hasil Ketercapaian kompetensi kognitif disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Ketercapaian Kompetensi Kognitif


No. Materi Skor Skor Ketercapaian
Max Rata Rata-rata (%)
Kelompok
A B A B
1. Osilasi Pegas 30 4 11 11 34
2. Ayunan Matematis 26 5 17 18 62
3 Persamaan Getaran 60 4 17 17 27
4. Gelombang Stasioner 40 5 16 11 40
5. Energi Gelombang 40 5 29 12 71
6. Taraf Intensitas 30 6 23 19 75
Bunyi
7. Efek Doppler 42 6 32 16 75

Tabel 6 di atas, menunjukkan kelompok ADM (B) lebih baik dari kelompok non ADM (A).
Ada tren kenaikan ketercapaian, walaupun dalam kategori cukup namun sangat berarti bila
dibandingkan dengan kelompok B. Penggunaan ADM ternyata sangat membantu mahasiswa
mengetahui jawaban benar. Informasi umpan balik digunakan mahasiswa untuk mereleksi
kinerjanya termasuk cara belajarnya, seberapa besar usaha yang telah dilakukan. Hasil tersebut di
atas memang belum seperti yang diinginkan, tetapi sudah menunjukkan ada perbedaan hasil antara
kelompok A dan B. Bila hasil keefektifan ditinjau dari respon mahasiswa, hasilnya menunjukkan
bahwa ADM efektif digunakan dalam pembelajaran isika. Hal ini nampak dari tren kenaikan hasil
belajar mahasiswa. Diagram garis keefektifan ADM ditinjau dari respon mahasiswa disajikan
pada Gambar 3.

Gambar 3. Keefektifan ADM ditinjau dari respon Mahasiswa

4.2 Keterpakaian ADM


Hasil keterpakaian ADM, berdasarkan uji validasi secara empiris, banyak informasi yang
diperoleh sebagai umpan balik terhadap mahasiswa maupun dosen sebagai pengampu mata
kuliah. Informasi yang diperoleh hasil keterpakaian ADM antara lain: (1) analisis kesulitan
mahaiswa pada asesmen kognitif terkait pada atribut, (2) butir-butir soal yang dianggap sulit

43
Buku Prosiding Seminar Nasional

oleh mahasiswa, (3) ketercapaian dan ketuntasan, berdasarkan hasil tersebut mahasiswa dapat
mengetahui posisinya dan tujuan belajar yang belum tercapai. Dengan demikian diharapkan
mahasiswa segera memperbaiki cara belajar. Hasil releksi ADM secar berturut- turut disajikan
pada gambar berikut. Releksi ADM tentang keyakinan atas jawaban benar menunjukkan, masih
banyak mahasiswa yang over conident seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4. Frekuensi
butir-butir yang dianggap sulit oleh mahasiswa disajikan pada Gambar 5.

Gambar 4. Tingkat Keyakinan Atas Jawaban Benar

Gambar 5. Butir-butir Tes yang Dianggap Sulit

Pada Gambar 4 di atas, nampak bahwa mahasiswa banyak yang merasa yakin jawabannya
benar, namun ternyata salah berdasarkan asesmen dosen. Informasi ini bermanfaat sebagai releksi
diri, terhadap kinerjanya. Dengan demikian mahasiswa belajar mengembangkan kebiasaan untuk
mereleksikan diri. Gambar 5 di atas, merupakan hasil releksi ADM, butir sulit yang paling
banyak dipiliholeh mahasiswa, yaitu butir nomor 2 dan nomor 3. Sebagian besar mahasiswa
merasakan bahwa ADM memberikan umpan balik yang positif terhadap kenaikan hasil belajar,
respon mahasiswa terhadap ADM digambarkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Respon Mahasiswa terhadap ADM

44
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Hasil releksi ADM menunjukkan bahwa mahaiswa masih banyak mengalami kesulitan pada
atribut-atribut asesmen kognitif. Namun kesulitan yang paling menonjol dialami mahasiswa,
yaitu pada atribut C2, P1, P2 dan S6. Releksi kesulitan mahasiswa pada atribut asesmen kognitif
adopsi dari Tatsuoka disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Diagram Garis Kesulitan Mahasiswa pada Atribut

5. Simpulan
Hasil penelitian dan pembahasan terhadap ADM, yang dikembangkan dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. Hasil empirik menunjukkan bahwa ADM dapat digunakan sebagai pelengkap asesmen formatif.
Melalui kegiatan ADM mahasiswa secara langsung mendapatkan umpan balik terhadap
penguasaan kompetensinya. Informasi yang diperoleh dalam ADM digunakan sebagai umpan
balik terhadap proses pembelajaran, hasil belajar dan perbaikan hasil belajar secara kontinyu.
Dengan demikian ADM dapat digunakan sebagai pelengkap asesmen formatif.
2. Hasil analisis deskriptif ketercapaian menunjukkan bahwa kelompok ADM ketercapaian
cukup baik bila dibandingkan dengan kelompok non ADM. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa ADM cukup efektif digunakan sebagai pelengkap asesmen formatif, khususnya dalam
pembelajaran isika.
3. Berdasarkan hasil analisis keterpakaian dan releksi ADM menunjukkan bahwa keterpakaian
ADM sangat bermanfaat. Informasi yang diperoleh secara langsung sangat mendukung, karena
mahasiswa mengetahui kekurangan dan kelebihannya. Dengan demikian mahasiswa segera
dapat mengambil tindakan perbaikan terhadap belajarnya, sebaliknya bagi yang mendapat
hasil baik akan meningkatkan motivasinya, agar di pertemuan berikutnya bisa mendapatkan
hasil yang lebih baik. Kesimpulannya bahwa hasil keterpakaian ADM dapat dipergunakan
untuk memantau kemajuan belajar serta perbaikan hasil belajar mahasiswa secara kontinyu.

6. Daftar Pustaka

Aiken, L.R. (1980). Content validity and reliability of single item or queationnaires. Educational and
Psychological Measurement, 40, 955 – 959.
................... (1985). Three coeficients for analyzing the reliability and validity of ratings. Educational
and Psychological Measurement, 45, 131 – 142.
Amien, M. (1987). Mengajarkan ilmu pengetahuan alam (IPA) dengan menggunakan metode “dis-
covery dan inquiry”. Jakarta: Dirjen Dikti.
Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R.. (Ed.). (2001). A taxonomy for learning teaching and assessing:
A revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives (Complete ed.). New York: Longman.
Assessment Reform Group. (1990. Assessment for Learning: Beyond the blackbox. University of cam-
bridge School of Education. Diakses tanggal 30 mei 2010 dari http://www.assessment-reform-

45
Buku Prosiding Seminar Nasional

group.org.uk.
Birenbaum, M., & Dochy, F. (1996). The use of self-, peer-and co-assessment in higher education.
Dalam Sluijsmans, et al. Educational Technology Expertise Centre Otec p. 13. Nederlands: Uni-
versity of the Netherlands.
Black, P., & Wiliam, D. (1998). Inside the black box: Raising standards through classroom assessment.
Phi Delta Kappan. 80, 2, 139-148. Diambil 30 Juni 2011 dari http;//www.academicleadership.org/
articles/9/1_full.html.
Black, P., et al. (2004). Working in side the black box: Assessment for learning in the classroom. Phi
Delta Kappan. 86, 1, 8-14.
Cennamo, K., & Kalk, D. (2005). Real world instructional design. Australia: Thomson Learning
Creswell, J, W. (2005). Educational research planning, conducting, and evaluating quantitative and
qualitative research. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Croker, L., & Algina, J. (1986). Intoduction to classical and modern test theory. Newyork, NY: CBS
College Publishing.
Depdiknas. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, Tahun 2005, tentang Standar
Nasional Pendidikan.
------------- ((2003). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20, Tahun 2003, pasal 58 ayat (1)
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ghozali, I., & Latan, H. (2012). Partial least squares konsep, teknik dan aplikasi menggunakan Smart-
PLS 2.0 M3. Semarang: Badan penerbit Undip.
Gronlund, N. E. (1976). Measurement and Evaluation in teaching (3th ed). New York: Macmillan Pub-
lishing Co., Inc.
Gronlund, N. E., & Linn, R.L. (1990). Measurement and evaluation in teaching. (6th ed.). New York:
Publishing Company.
Khan, K. S., et al. (2001). Formative self-assessment using multiple true-false question on the internet:
feedback according to conidence about correct knowledge. Medical Teacher, 23, 2, 158-163. Bir-
mingham: Taylor & Francis Ltd.
Kumaidi., & Manfaat, B. (2013). Pengantar metode statistika teori dan terapannya dalam penelitian
bidang pendidikan dan psikologi Cirebon: Eduvision Publishing.
Kumaidi (2001a). Pengujian sebagai bagian peningkatan kualitas pembelajaran. Pidato pengukuhan
guru besar madya dalam ilmu evaluasi pada Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang.
---------- (2001b). Model pengujian untuk menilai perkembangan mutu pendidikan. Laporan penelitian.
Padang: Universitas Negeri Padang.
Kusairi, S. (2011). Analisis asesmen formatif isika SMA berbantuan computer. Disertasi tidak diterbit-
kan. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Mardapi, D. (2012). Pengukuran, penilaian & evaluasi pendidikan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Nitko, A. J., & Brookhart, S. M. (1989). Designing tests that are integrated with instruction. Dalam
Linn, R. Educational assessment of students (5th ed.), p. 447. Columbus, Ohio: Pearson Merrill
Prentice Hall.
Noonan, B., & Duncan, C.R. (2005). Peer and self-assessment in high school. Practical Assessment,
Research & Evaluation, 4, 17, 1-10.
Sluijsmans, D. (2002). Student involvement in assessment: The training of peer assessment skills. Ker-
krade: Open universiteit Nederland.
Sluijsmans, D., Dochy, F., & Moerkerke, G. (1998). The use of self-, peer-and co-assessment in higher
education. Nederland: Otec Publisher
Suharsimi Arikunto. (2007). Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Tatsuoka, K. K. (2009). Cognitive assessment. New York: Routledge

46
VALIDITAS INSTRUMEN PENILAIAN KETERAMPILAN
BERPIKIR TINGKAT TINGKAT TINGGI DALAM MATA
PELAJARAN MATEMATIKA

Samritin
FKIP, Universitas Muhammadiyah Buton, Baubau, Sulawesi Tenggara
e-mail: samritin75@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan untuk memperoleh
bukti validitas instrumen penilaian keterampilanberpikir tingkat tinggi (KBTT) dalam mata
pelajaran matematika. Validitas isi instrumen diperoleh melalui forum FGD, teknik Delpi,
dan penilaian kuantitatif dari para pakar. Validitas konstruk diperoleh melalui analisis data
hasil uji coba. Uji coba instrumen dilakukan satu kali yang melibatkan 264 peserta. Subjek
uji coba penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP. Analisis data dilakukan secara deskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa instrumen penilaian KBTTdalam mata pelajaran
matematika telah memenuhi kriteria validitas.Hasil analisis validitas isi disimpulkan bahwa
instrumen valid yang didukung oleh indeks validitas setiap butir di atas 0,79. Hasil analisis
validitas konstruk menyimpulkan bahwa instrumen valid, yang ditunjukkan oleh nilai χ2
=75,64 dengan p-value = 0,15; Root Mean Square Errorof Approximation (RMSEA) = 0,03

Kata Kunci: validitas, instrumen penilaian, berpikir tingkat tinggi.

Abstract
This study was a development study. This study aims to ind out an instrument validity
for assessing higher order thinking skills (HOTS) in mathematics. The instrument content
validity was obtained through the FGD forum, Delphi technique, and quantitative judgement
by experts. The construct validity was ind out through the tryout data analysis. The instrument
tryoutwas involving264participants.The tryout partisipants of in this research is junior high
school students. The results of the study indicate that the instrument for assessing HOTS
in mathematics has satisied the validity criteria. From the results of the content validity
analysis, it can be conducted that the instrumen is valid, it was supported by the items validity
indices above of 0.79. From the results of the construct validity analysis, it can be concluded
that the instrument is valid, as indicated by the value of χ2 = 75.64, with p-value = 0.15, Root
Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.03.

Keywords: validity, assessment instrument, higher order thinking.

1. Pendahuluan

P
embelajaran di kelas merupakan wahana pengembangan potensi peserta didik. Salah
satu potensi yang dikembangkan adalah potensi berpikir. Kemampuan atau keterampilan
berpikir siswa dapat dikembangkan tidak hanya tingkat rendah tetapi juga tingkat
tinggi. Keterampilan berpikir tingkat tinggi (KBTT) dideinisikan sebagai proses kognitif yang
melibatkan analisis, sintesis, dan evaluasi (Stanley & Moore, 2010: 10). Seorang siswa yang
berkembang KBTT-nya akan memiliki ketajaman analisis, kemampuan mensintesis, serta memiliki
kemampuan evaluasi yang baik. KBTT dalam matematika dideinisikan sebagai kecakapan untuk
melakukan proses-proses matematika atau menyelesaikan tugas-tugas atau soal-soal matematika
yang melibatkan koneksi, pemecahan masalah dan penalaran matematika.
Koneksi adalah kemampuan untuk melihat dan membuat hubungan antarkonsep
matematika, antara matematika dengan objek-objek lain, dan antara matematika dengan situasi
nyata (Kaur & Lam, 2012: 2). Memecahkanmasalahberarti mencarijalan keluar darikesulitan
untuk mencapaitujuanyangtidak segeradicapai (Polya, 1981: ix). Memecahkan masalah berarti

47
Buku Prosiding Seminar Nasional

menemukan tindakan (Polya, 1981: 117). Masalah adalah situasi yang menuntut seseorang atau
sekelompok orang untuk menyelesaikan tugas yang mana tidak ada prosedur tertentu yang dapat
diterapkan secara langsung (Lester, 1980: 287). Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka
tugas atau soal dikatakan sebagai masalah bila memuat tantangan atau kesulitan yang mana tidak
ada prosedur tertentu yang dapat diterapkan secara langsung untuk menemukan penyelesaiannya.
Dalam pemecahan masalah, jawaban yang benar bisa saja terdapat lebih dari satu, demikian juga
cara penyelesaian yang ditempuh. Cara yang ditempuh untuk menyelesaikan suatu masalah dapat
berbeda-beda tetapi masing-masing cara menghasilkan solusi yang benar.
Penalaran matematikaadalah kemampuan yang melibatkan pengumpulanbukti,
membuatdugaan, generalisasi, menyusunargumen, danmenarik kesimpulanlogis (Peressini
& Webb, 1999: 156). Penalaran matematika mencakuph wawasan matematis, penilaian dan
generalisasi matematis (Russel, 1999: 1). Kemampuan penalaran merupakan aspek penting
dalam matematika (NCTM, 2004: 402). Pencapaian kemampun level ini terlihat dari kemampuan
melakukan matematisasi, menganalisis, menilai, komunikasi, melakukan interpretasi,
mengembangkan model dan strategi sendiri, membuat argumen, dan generalisasi.
Pengembangan KBTT dalam matematika dapat dilakukan melalui pemberian stimulus
berupa pemberian soal atau masalah matematika yang menuntut siswa melakukan analisis, menilai
atau mengevaluasi, mengemu-kakan alasan, menafsirkan, menyajikan ide-ide, menemukan dan
menerapkan konsep-konsep matematika. Pemberian berbagai masalah baru akan menuntun siswa
untuk mengeksplorasi dan mensintesa konsep-konsep secara logis sebagai langkah kreatif yang
dapat mengantar-kannya menemukan solusi yang tepat. Gerakanreformasidalam pendidikan
matematika memberikan penekanan pada pembelajaran yang bermakna serta penilaianKBTT
(Thomas, et al., 2002: 1). Ini berarti bahwa pembelajaran matematika harus memfasilitasi
pengembangan KBTT. Pendapat ini juga menekankan agar KBTT siswa harus diperhatikan dalam
penilaian. Hasil penilaian tersebut akan memberikan dampak terhadap pelaksanaan pembelajaran.
Hasil penilaian KBTTakan meningkatkan prestasi dan motivasi belajar siswa (Brookhart,
2010: 9). Pernyataan ini menunjukkan bahwa untuk mendorong pengembangan potensi siswa
secara maksimal penilaian KBTT tidak boleh dibaikan. Oleh karena itu seyogyanya tes-tes yang
digunakan di kelas, seharusnya tidak hanya menuntut keterampilan matematika pada level rendah
tetapi juga pada level tinggi. Tidak dimuatnya butir-butir tes yang menuntut kemampuan level
tinggi berakibat pada hasil-hasil tes yang tidakdapat memberikan informasi yang komprehensif
tentang kemampuan siswa. Hal ini berimplikasi pada perbaikan proses pembelajaran berdasarkan
hasil-hasil tes tidak maksimal.
Tes sebagai sebagai instrumen yang digunakan untuk memperoleh informasi perkembangan
kemampuan siswa seharusnya diperoleh dari proses pengembangan yang sistematis. Melalui
proses pengembangan tersebut, dapat diperoleh tes yang berkualitas. Dengan demikian tes yang
digunakan memiliki kualitas yang baik dan dikembangkan sesuai dengan prosedur pengembangan
instrumen. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan instrumen adalah
validitas. Validitas menunjukkan kemampuan suatu tes untuk mengukur apa yang hendak diukur
(Wiliam, 2008: 123). Validitas merupakan karakteristik paling penting suatu tes (Miller, 2008;
11). Menurut AERA, APA, & NCME(1999: 9) validitas tes merupakan bukti teoritik dan empirik
dalam menafsirkan skor tes sesuai dengan tujuan penggunaan tes. Oleh karena itu, proses validasi
menyangkut pengumpulan bukti-bukti untuk menunjukkan dasar saintiik penafsiran skor sesuai
dengan yang direncanakan. Validitas adalah penafsiran skor tes seperti yang tercantum pada
tujuan penggunaan tes.
Terdapat beberapa cara untuk mengumpulkan bukti validitas. Validitas secara umun
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu validitas isi (content validity), validitas kriteria
(criterion-related validity) dan validitas konstruk (construct validity) (Allen & Yen, 1979: 95;
Rubio, et al., 2003; Westen & Rosenthal, 2003). Validitas isi merupakan tipe validitas yang

48
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

menunjukkan keakuratan penilaian terhadap tujuan pembelajaran (Miller, 2008: 11). Berdasarkan
pendapat ini dapat dikatakan bahwa validitas isi suatu instrumen menunjukkan kualitas tes yang
berkaitan dengan representasi keterwakilan isi materi pembelajaran pada suatu tes. Validitas
kriteria menunjukkan hubungan empiris suatu tes dengan variabel kriteria yang relevan. Menurut
Djemari Mardapi (2008: 23) variabel kriteria yang relevan yaitu variabel eksternal yang bisa
berupa kriteria bahwa tes diharapkan memprediksi, seperti hubungan dengan tes lain yang
mengukur hal yang berbeda.
Validitas konstruk yaitu validitas yang menunjukkan sejauhmana hasil pengukuran dapat
ditafsirkan sesuai deinisi yang digunakan. Deinisi atau konsep yang diukur berasal dari teori
yang digunakan (Djemari Mardapi, 2008: 21; Wiliam, 2008: 127). Pendapat tersebut sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Messick (1988: 33) validitas tes merupakan suatu integrasi
pertimbangan evaluatif secara empiris yang mendasarkan pemikiran teoretis yang mendukung
ketepatan dan kesimpulan berdasarkan pada skor tes. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut,
dapat dikatakan bahwa proses validasi konstruk suatu tes diawali dengan pendeinisian variabel
yang hendak diukur berdasarkan teori yang mendasarinya. Berdasarkan teori ini diambil suatu
konsekuensi praktis mengenai hasil pengukuran yang akan diuji pada kondisi tertentu. Suatu
tes dianggap memiliki validitas konstruk yang baik apabila hasil pengukuran menggunakan tes
tersebut sesuai dengan yang diharapkan.
Validitas suatu instrumen dapat diketahui dari bukti-bukti tentang validitas itu. Djemari
Mardapi (2008: 17) mengemukakan bahwa bukti validitas dapat dilihat dari bukti yang ada
berdasarkan isi tes, proses respons, struktur internal dan hubungannya dengan variabel lain. Bukti
validitas berdasar isi dapat dipenuhi menggunakan penilaian para pakar pada bidang yang diukur
dan pakar bidang pengukuran melalui suatu diskusi panel. Penilaian para pakar sangat tergantung
pada subjektivitas individual pakar sesuai dengan latar belakang pengetahuannya. Validitas
isi tampak dari kisi-kisi tes atau spesiikasi domain isi tes yang dibuat oleh pengembang tes.
Spesiikasi domain ini menjelaskan isi secara rinci, sering dengan cakupan isi dan tipe butir-butir
tes.
Validitas isi juga berkaitan dengan ketercakupan keseluruhan materi atau bahan yang
ingin diukur pada instrumen. Bukti validitas tersebutdiperoleh dari analisis rasional terhadap
isi tes yang dilakukan oleh para pakar.Sehubungan dengan hal ini Djemari Mardapi (2008: 18)
mengungkapkan bahwa walaupun subjektif, namun yang terlibat dalam proses validasi adalah
beberapa pakar pada bidang yang diukur dalam suatu forum diskusi sehingga hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan. Hasil-hasil diskusi dari para pakar tersebut merupakan bukti untuk
menunjukkan bahwa isi tes sesuai dengan materi yang ingin diujikan.
Bukti validitas berdasarkan proses respon dapat diperoleh dari analisis teori dan empirik
terhadap respon atau jawaban peserta tes. Apabila tujuan tes ingin mengungkap kemampuan
higher order thinking siswa dalam mata pelajaran matematika, maka isi tes berupa pertanyaan
yang berkaitan dengan kemampuan higher order thinking siswa dalam mata pelajaran matematika.
Djemari Mardapi (2008: 21) menjelaskan bahwa bukti validitas berdasarkan respon mencakup
validitas konstruk. Pengumpulan bukti validitas konstruk ini terus berlanjut sejalan dengan
perkembangan konsep mengenai sifat (trait) yang diukur. Validitas hubungannya dengan variabel
lain dilakukan dengan mendudukan variabel lain sebagai kriteria.
Dalam penelitian ini, validitas instrumen dilihat dari dua aspek yaitu validitas isi dan
validitas konstruk. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti validitas instrumen
penilaian keterampilanberpikir tingkat tinggi dalam mata pelajaran matematika.Penelitian ini
sangat penting dilakukan karena instrumen penilaian KBTT di samping harus memenuhi kriteria
validitas isi dan validitas konstruk juga harus memiliki butir-butir yang belum pernah dikerjakan
oleh peserta tes.

49
Buku Prosiding Seminar Nasional

2. Metode Penelitian
2.1 Jenis dan Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan untuk memperoleh
bukti validitas instrumen penilaian KBTTdalam mata pelajaran matematika. Untuk mencapai
tujuan tersebut,penelitian ini menerapkan prosedur pengembangan instrumen. Pengembangan
instrumen mengacupada prosedur dari Djemari Djemari Mardapi (2008: 88) yang terdiri atas
sembilan langkah, yakni (1) menyusun spesiikasi tes, (2) menulis soal tes, (3) menelaah soal
tes, (4) melakukan uji coba tes, (5) menganalisis butir soal, (6) memperbaiki tes, (7) merakit tes,
(8) melaksanakan tes, dan (9) menafsirkan hasil tes. Dalam penelitian ini, kesembilan langkah
pengembangan tersebut dibagi menjadi dua tahapan yaitu tahap perancangan dan tahap uji coba.
Tahap perancangan mencakup aktivitas pada langkah pertama sampai langkah ketiga dan tahap
uji coba mencakup aktivitas dari langkah keempat sampai langkah kesembilan.

2.2. Tahap perancangan


Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah (1) menyusun spesiikasi tes (2) menulis butir
soal (3) menelaah dan memperbaiki butir-butir tes.

2.2.1. Menyusun Spesiikasi Tes


Spesiikasi tes berisi tentang uraian yang menggambarkan keseluruhan karakteristik yang
dimiliki tes. Penyusunan spesiikasi tes mencakup kegiatan (a) menentukan tujuan tes, (b)
menyusun kisi-kisi, dan (c) memilih bentuk tes. Spesiikasi tes berfungsi sebagai petunjuk praktis
bagi penyusun tes dalam merencanakan isi mata pelajaran yang diujikan, aspek tingkah laku yang
diukur, bentuk tes, dan panjang tes.
Kisi-kisi tes disajikan dalam bentuk matriks yang memuat komponen-komponen: materi
yang diujikan, aspek tingkah laku yang diukur, dan tingkatan kognitif yang akan diukur. Aspek
kognitif yang hendak diukur dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan deinisi operasional
KBTTdalam matematika. Aspek kognitif tersebut terdiri atas (1) koneksi (K) dan (2) pemecahan
masalah dan penalaran matematika (PM). Aspek isi atau materi ditetapkan berdasarkan hasil
kajian tentang materi matematika yang mendukung pencapaian standar kompetensi (SK) dan
kompetensi dasar (KD) dalam standar isi (SI) mata pelajaran matematika. Materi matematika
yang digunakan dalam penelitian ini difokuskan pada materi kelas VIII sekolah menengah
pertama semester pertama. Materi yang diujikan, tingkah laku serta aspek kognitif yang diukur
dituangkan dalam kisi-isi. Bentuk tes yang dikembangkan dalam penelitian ini berbentuk uraian.

2.2.2. Menulis Butir Tes


Banyaknya butir tes yang dibuat untuk setiap indikator minimal satu butir yang disesuaikan
dengan aspek kognitif yang diukur. Dalam penulisan butir tes dipertimbangkan kesesuaiannya
dengan kriteria tes KBTT, yaitu menggunakan materi atau bahan baru (novelty) (Brookhart,
2010: 25), butir tes menuntut pemikiran yang kompleks, menggunakan kalimat yang sederhana
namun jelas sasaran pertanyaannya, dan menggunakan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Setiap butir tes yang dibuat disertai dengan kunci dan pedoman penskoran atau rubrik. Hasil yang
diperoleh pada tahap ini disebut naskah draf-1.

2.2.3. Menelaah dan Memperbaiki Butir-butir Tes


Naskah draf-1ditelaah oleh para ahli melalui forum focus group discussion (FGD). Kegiatan
ini melibatkan pakar pendidikan matematika dan pakar pengukuran. Kegiatan ini dilakukan untuk
memperoleh bukti validitas isi secara kualitatif.Kegiatan penelaahan tes disertai penelaahan kisi-
kisi, kunci jawaban, dan rubrik penskoran. Secara umum telaah butir-butir tes yang dilakukan
yaitu telaah materi tes, telaah konstruksi tes, dan telaah bahasa. Hasil penilaian dan masukan
dari para ahli baik lisan maupun yang tertulis selanjutnya dianalisis. Berdasarkan hasil analisis

50
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

tersebut dilakukan revisi. Hasil revisi ini diperoleh draf-2. Draf-2 ditelaah lagi oleh pakar melalui
teknik Delpi yang melibatkan lima orang pakar pendidikan matematika. Pada tahap ini diperoleh
draf naskah tes draf-3. Draf-3 selanjutnya dilakukan penilaian secara kuantitatif oleh para pakar
pakar. Hasil penilaian kuantitatif ini selanjutnya dianalisis dan diperoleh indeks validitas butir.
Setelah dinilai oleh para pakar, selanjutnya butir-butir tes tersebut dirakit menjadi paket tes. Paket
tes tersebut disebut naskah draf-4. Dalam perakitan paket tes, butir-butir tes diatur berdasarkan
urutan materi atau topik yang dipelajari siswa. Hal ini dimaksudkan agar peserta tes tidak bingung
dalam menghadapi tes akibat tidak teraturnya struktur materi tes. Paket tes yang telah selesai
dirakit selanjutnya diujicobakan untuk memperoleh data empirik.

2.3. Kegiatan Uji Coba

2.3.1. Desain dan Subjek Uji Coba


Naskah tes draf-4 yang telah valid berdasarkan penilaian para pakar selanjutnya diuji coba di
sekolah guna memperoleh data empiris. Kegiatan ini dilakukan di Kota Baubau, Provinsi Sulawesi
Tenggara. Subjek yang terlibat dalam kegiatan ini sebanyak 264 peserta dari dua sekolah yaitu
SMP Negeri 1 Baubau dan SMP Negeri 3 Baubau. Subjek uji coba dalam penelitian ini adalah
siswa SMP kelas VIII. Banyaknya sekolah yang digunakan untuk uji coba disesuaikan dengan
banyaknya subjek uji coba yang dibutuhkan untuk mengerjakan tes. Crocker & Algina (1986:
322) mengatakan bahwa jumlah peserta tes 200 orang sudah dapat diterima.
Kegiatan uji coba didahului oleh kegiatan uji keterbacaan yang melibatkan 10 siswa SMP
kelas delapan dan satu orang guru matematika di SMP Negeri 6 Raha. Uji keterbacaan ini di
samping dimaksudkan untuk melihat keterbacaan tes oleh siswa juga untuk memperoleh informasi
tentang kebaruan butir-butir tes. Data hasil uji coba dianalisis dan dijadikan dasar untuk merevisi
instrumen. Penentuan apakah naskah tes sudah inal (uji coba dinyatakan selesai) atau dilanjutkan
pada uji coba berikutnya didasarkan pada hasil analisis data uji coba yang telah dilakukan.

2.4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data


Pengumpulan bukti-bukti validitas instrumen yang digunakandalam penelitian ini meliputi
bukti validitas isi dan bukti validitas konstruk.Baktu validitas isi dikumpulkan melalui proses
penilaian instrumen yang dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Validasi secara kualitatif
dilakukan melalui proses penilaian pakar dalam focus group discussion (FGD) dan teknik Delpi.
Pemilihan FGD untuk memvalidasi instrumen didasarkan pertimbangan bahwa dalam FGD para
ahli secara bersama-sama dapat memberikan masukan dan penilaian secara langsung tentang
instrumen yang dikembangkan. Dengan demikian, segala masalah atau kelemahan dan kekurangan
yang ada pada instrumen dapat langsung didiskusikan dan diselesaikan bersama para ahli.
Diskusi yang dilakukan melalui forum FGD diperoleh rekomendasi atau saran-saran
yang harus ditindaklanjuti oleh pengembang instrumen dengan revisi atau perubahan. Untuk
mendiskusikan kembali hasil revisi tersebut dapat ditempuh dengan teknik Delpi. Penggunaan
teknik Delpi dapat mengatasi masalah sulitnya mempertemukan para pakar dalam satu forum
karena alasan waktu. Dalam teknik Delpi dimungkinkan adanya diskusi secara langsung dengan
pakar penilai. Kegiatan ini ditindaklanjuti dengan revisi tes. Hasil revisi tersebut selanjutnya
dilakukan penilaian secara kuantitatif oleh para pakar.
Validasi isi secara kuantitatif dianalisis menggunakan formula validitas isi dari Aiken yang
dikenal dengan V Aiken (Aiken, 1985: 132, Azwar, 2012: 134). Analisis validitas isi menggunakan
formula ini menghasilkan indeks validitas setiap butir tes berdasarkan penilaian dari sejumlah
pakar. Proses untuk menentukan indeks validitas dimulai dari pemberian nilai terhadap suatu butir
tes oleh sejumlah penilai (pakar). Formula untuk menghitung V Aiken sebagai berikut:

V = S/(n(c-1), di mana S = ∑ni(r-lo).

51
Buku Prosiding Seminar Nasional

Keterangan:
V = indeks validitas
ni = banyaknya penilai yang memilih kriteria (rating) ke-i,
r = kriteria ke-i,
lo = kriteria terendah,
n = banyaknya semua penilai
c = banyaknya kriteria

Untuk memperoleh penilaian kuantitatif dari para pakar digunakan instrumen penilaian yang
terdiri atas lima kriteria. Dalam penelitian ini penilai instrumen secara kuantitatif melibatkan
enam pakar. Aiken (1985: 134) menetapkan batas nilai terendah hasil perhitungan indeks V Aiken
tergantung pada jumlah pakar dan kriteria yang digunakan. Batas nilai terendah untuk 6 pakar dan
5 kriteria adalah 0,79.
Validitas konstruk diperoleh berdasarkan analisis data empirik dari hasil uji coba lapangan.
Validitas instrumen berdasarkan data empirik dianalisis menggunakan analisis faktor konirmatori
(Mueller, 1996: 112). Instrumen dikatakan valid bila model it dengan data. Kriteria yang
digunakan untuk mengambil keputusan bahwa model it dengan data didasarkan pada: (1) p-value
dari Chi-Squre ( c 2 ) > 0,05, (2) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) < 0,5
(Schumacker & Lomax, 2004: 82).

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Instrumen yang dikaji validitasnya dalam penelitian ini yaitu tes matematika untuk menilai
kemampuan berpikir tingkat tinggi jenjang kelas VIII sekolah menengah pertama semester ganjil.
Ada dua aspek validitas yang dikaji dalam penelitian ini yaitu validitas isi dan validitas konstruk.
Pengumpulan bukti-bukti validitas tersebut dimulai dari tahap penyusunan sampai tahap uji coba
tes.Penyusunan instrumen dimulai penjabaran kompetensi dasar ke dalam indikator-indikator.
Indikator-indikator tersebut dimuat di dalam kisi-kisi instrumen. Selanjutnya butir-butir instrumen
ditulis. Butir-butir tes yang ditulis berbentuk uraian. Butir-butir instrumen tersebut kemudian
dirakit menjadi naskah tes yang terdiri atas 18 butir. Setiap butir tes dilengkapi dengan uraian
jawaban/alternatif jawaban dan rubrik penskorannya. Naskah tes yang dihasilkan disebut sebagai
draf-1.

3.1. Validitas Isi Instrumen


Bukti validitas isi instrumen diperoleh dari hasil penilaian pakar baik secara kualitatif
maupun secara kuantitatif. Penilaian secara kualitatif dilakukan terhadap draf-1 melalui forum
focus group discussion (FGD). Penilaian kualitatif melalui FGDdilakukan oleh empat orang
pakar pengukuran dan empat orang pakar pendidikan matematika. Dalam kegiatan ini para pakar
melakukan telaah terhadap draf-1 yang telah disusun termasuk uraian jawaban/alternatif jawaban,
rubrik penskoran dan kisi-kisi instrumen. Berdasarkan diskusi para pakar tersebut diperoleh saran-
saran: (i) beberapa butir instrumen harus diganti atau direvisi karena merupakan soal-soal yang
belum sesuai dengan kriteria tes BTTdalam mata pelajaran matematika, dan (ii) redaksi beberapa
butir instrumen perlu revisi agar lebih cocok dengan kondisi siswa.
Berdasarkan saran-saran para pakar, dilakukan revisi terhadap instrumen yang dimulai
dari revisi kisi-kisi. Hasil revisi tersebut selanjutnya didiskusikan kembali dengan para pakar
melalui teknik Delpi. Diskusi tersebut diakhiri setelah diperoleh butir-butir tes yang valid. Hasil
diskusi melalui teknik Delpi diperoleh naskah tes yang terdiri 15 butir. Kelima belas butir tersebut
selanjutnya dinilai secara kuantitif oleh enam orang pakar. Nilai yang diberikan para pakar
didasarkan pada pertimbangan relevansi butir terhadap indikatornya. Terdapat lima kriteria yang
digunakan dalam penilaian tersebut, yaitu nilai 1 jika butir sangat tidak relevan, nilai 2 jika butir
tidak relevan, nilai 3 jika butir kurang relevan tetapi dapat digunakan, nilai 4 jika butir relevan,

52
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

dan nilai 5 jika butir sangat relevan. Berdasarkan hasil penilaian para pakar selanjutnya indeks
validitas setiap butir dihitung menggunakan formula dari Aiken (1985: 132). Langkah-langkah
yang ditempuh untuk memperoleh indeks validitas dari Aiken terlebih dahulu dihitung banyaknya
penilai pada kriteria ke-i setiap butir, kemudian indeks V Aiken dihitung. Hasil estimasi tersebut
disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Graik indeks validitas butir instrumen

Setiap butir tes pada Gambar 1 tampak memiliki indeks validitas yang tinggi. Setiap
butir memiliki indeks di atas kriteria minimal untuk 6 orang penilai dan 5 kriteria yaitu 0,79.
Indeks validitas berada pada rentang 0,83 – 0,96. Berdasarkan indeks yang dimiliki setiap butir
tersebut disimpulkan bahwa instrumen valid dari aspek isi. Oleh karena itu ditetapkan bahwa
instrumen valid dari aspek isi. Butir-butir instrumen yang telah memenuhi kriteria validitas isi
tersebut selanjutnya dirakit kembali kemudian dilakukan uji keterbacaan. Hasil uji keterbacaan
menunjukkan bahwa tes, sudah layak untuk diujicobakan. Dari kegiatan uji keterbacaan juga
diperoleh informasi bahwa semua tes benar-benar baru bagi siswa.

3.2. Validitas Konstruk Instrumen


Bukti validitas konstruk instrumen dianalis. Lembar jawaban siswa yang mengikuti kegiatan
uji coba tes diskor. Penskoran dilakukan menggunakan rubrik penskoran. Setiap butir tes memiliki
rubrik yang sesuai dengan butir tersebut. Dalam penyusunan rubrik penskoran, aspek keadilan
dipertimbangkan agar siswa tidak dirugikan dalam penskoran. Rubrik penskoran yang digunakan
yaitu rubrik analitik. Sebelum digunakan, rubrik penskoran ditelaah pakar bersama butir-butir tes
yang dikembangkan baik melalui Focus Group Discussion maupun teknik Delpi.
Penskoran dilakukan oleh dua orang penilai. Penggunaan dua penilai dalam penskoran ini
dimaksudkan agar efek kesalahan penafsiran terhadap jawaban siswa serta efek kelelahan atau
efek lainnya dapat dihindari. Penskoran dilakukan terhadap jawaban siswa dengan cara menskor
satu butir dalam satu waktu. Penskoran yang dilakukan oleh dua orang menghasilkan dua data
skor. Oleh karena itu untuk menghasilkan data skor tunggal dilakukan veriikasi oleh kedua
penilai. Veriikasi skor dilakukan terhadap skor yang berbeda. Veriikasi skor dilakukan oleh
kedua penilai dengan memeriksa kembali lembar jawaban secara bersama-sama. Berdasarkan
hasil variikasi tersebut diperoleh satu data skor yang akurat. Data skor yang telah diveriikasi
tersebut, selanjutnya dianalisis.
Validitas konstruk instrumen dianalisis menggunakan analisis faktor konirmatori
(conirmatory factor analysis, (FA). CFA dilakukan dengan bantuan program Lisrel. Data yang
digunakan dalam CFA yaitu data hasil veriikasi skor. CFA dilakukan setelah diperoleh hasil
pengujian asumsi normalitas. Hasil pengujian normalitas menunjukkan bahwa data memiliki
ketidaknormalan univariate, yang ditunjukkan oleh p-value dari Skewness and Kurtosis setiap
variabel (butir instrumen). Semua butir tes memiliki p-value = 0,00 < 0,05. Hasil test of multivariate

53
Buku Prosiding Seminar Nasional

normality juga diperoleh p-value = 0,00 untuk Skewness and Kurtosis. Hal ini menunjukkan
bahwa data memiliki ketidaknormalan multivariat. Untuk melakukan analisis faktor terhadap
data yang tidak memenuhi syarat normalitas Lisrel diperlukan data tambahan berupa asymptotic
covariance matrix (ACM) agar hasil estimasi tidak bias (Schumacker & Lomax, 2004: 34).
Analisis validitas berdasarkan data empirik hasil uji coba dilakukan tanpa mengikutkan
dua butir yangtidak direspon oleh peserta tes. kedua butir dikeluarkan dari analisis karena kedua
butir menghasilkan data untuk dianalisis. Hasil analisis validitas diperoleh c 2 = 75,64dengan
p-value = 0,15, dan RMSEA = 0,03, yang mengindikasikan bahwa model it (cocok) dengan
data. Model dinyatakan it dengan data berarti instrumen valid berdasarkan data empirik hasil uji
coba pertama. Graik pada gambar Gambar 2 menunjukkan muatan faktor setiap butir tes. Hasil
analisis pada Gambar 3 juga menunjukkan bahwa butir-butir instrumen mempunyai hubungan
yang signiikan terhadap KBTT.

Gambar 2. Graik Muatan Faktor Butir-butir Instrumen

Gambar 3. Graik Hasil Estimasi Nilai t

54
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Pada gambar 2 terlihat bahwa muatan faktor butir-butir instrumen paling rendah sebesar
0,47 dan muatan faktor paling tinggi sebesar 0,68. Sementara itu pada gambar 3 terlihat bahwa
muatan faktor setiap butir signiikan pada α = 0,05. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat
sepasang butir instrumen yang memiliki kovariansi kesalahansebesar 0,16, yang siginiikan pada
α = 0,05. Signiikansi tersebut ditunjukkan oleh nilai t hitung sebesar 3,05 lebih dari tα=0,05 = 1,96.
Adanya kovariansi kesalahan tersebut menunjukkan adanya hubungan pada pasangan butir itu.
Kedua butir memiliki kovariansi kesalahan merupakan butir yang dirumuskan dari indikator yang
sama. Kedua butir ini memiliki gambar pengantar yang sama sehingga kedua butir ini saling
berhubungan. Namun demikian jawaban kedua butir tes tidak saling ketergantungan, sehingga
jawaban butir setiap butir tidak dipengaruhi oleh jawaban pada butir lainnya.

4. Simpulan
Berdasarkan pembahasandi atas diperoleh simpulan sebagai berikut:
1. Butir-butir instrumen penilaian keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam mata pelajaran
matematika telah memenuhi kriteria kebaruan.
2. Instrumen penilaian keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam mata pelajaran matematika
yang dihasilkan dalam penelitian ini telah memenuhi validitas baik dari aspek isi maupun
aspek konstruk. Bukti validitas isi diambil dari hasil penilaian kualitatif para pakar dan
didukung oleh indeks validitas butir-butir instrumen yang berada di atas 0,79, sedangkan
bukti validitas konstruk berdasarkan data empirik ditunjukkan oleh nilai c 2 = 75,64dengan
p-value = 0,15, dan RMSEA = 0,03.

5. Daftar Pustaka

AERA, APA, & NCME. (1999). Standards for educational and psychological testing. Washington,
DC.: American Educational Research Association.
Aiken L, R. (1985). Three coeficients to analyzing the reliability and validity of rating. Educational
and Psychologycal Measurement, 45, 131-142.
Allen, M.J. & Yen, W.M. (1979). Introduction to measurement theory. Monterey, CA: Brooks/
Cole Publishing Company.
Atkin, J.M. (2003). Assessment in support of instruction and learning.Workshop report.
Washington, DC.: The National Academies Press.
Azwar, S. (2009). Penyusunan skala psikologi (Cetakan XII). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Brookhart, S.M. (2010). How to assess higher order thinking skills in your classroom. Alexanderia:
ASCD.
Crocker, L. & Algina, J. (1986). Introduction to classical and modern test theory. New York: CBS
College Publishing.
de Lange, J. (1999). Framework for classroom assessment in mathe-matics. Diambil tanggal 12
Januari 2012 darihttp://www.i.uu.nl/catch/products/fra-mework/de_lange_frameworkinal.
pdf
Djemari Mardapi. (2008). Teknik penyusunan instrumen tes dan nontes. Jogjakarta: Mitra
Cendekia Press.
Kaur, B. & Lam, T.T. (Eds.). (2012). Reasoning, communication and connections in mathematics.
Singapore: World Scientiic
Lester, F.K. (1980). Research on mathematical problem solving. Dalam Shumway, R.J. (Eds.).

55
Buku Prosiding Seminar Nasional

Research in Mathematics Education, pp. 286-323. Reston, VA: NCTM.


Messick, S. (1988). The once and future issues of validity. Dalam H. Wainer & H. L.Braun
(Eds.).Test validity.(pp. 33-40). Hilladale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Miller, P.W. (2008). Measurement and teaching. Munster, Indiana: Patric W. Miller & Association.
Mueller, R.O. (1996). Basic analysis of structural equation modeling. New York: Springer-Verlag
New York, Inc.
Muraki, E. & Bock, R.D. (1998). Parscale: IRT item analysis and test scoring for rating scale
data. Chicago: Scientiic Software International, Inc.
Nitko, A.J. & Brookhart, S.M. (2007). Educational assessment of students. Boston: Pearson
Prentice Hall.
Nunnally, J.C. (1981). Psychometric theory. New Delhi:McGraw Hill.
Peressini, D. & Webb, N. (1999). Analyzing mathematical reasoning in students’ response across
multiple performance assessment tasks. Dalam Stiff, L.V. & Curcio, F.R. (Eds.). Developing
Mathematical Reasoning in Grades K-12. pp. 156 – 174. Reston, VA: NCTM.
Polya, G. (1981). Mathematical discovery: On understanding, learning, and teaching problem
solving. NY: John Wiley & Sons, Inc.
Rubio, D.M., Berg-Weger, M., Tebb, S.S., et al. (2003). Objectiiying content validity: Conducting
a content validity study in social work research [Versi elektronik]. Social Work Researh,
27(2), 94 – 104.
Russel, S.J. (1999). Mathematical reasoning in the elementary grades. Dalam Stiff, L.V. & Curcio,
F.R. (Eds.). Developing Mathematical Reasoning in Grades K-12. pp. 1 – 12. Reston, VA:
NCTM.
Schumacker, R.E. & Lomax, R.G. (2004). A beginner’s guide to structural equation modeling
(2nd Ed.). NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Shafer, M.C. & Foster, S. (1997). The changing face of assessment [Versi elektronik]. Principled
practice in mathematics & science education.1(2),1-12.
Stanley, T. & Moore, B. (Critical thinking and formative assessment. Lachmont, NY: Eye On
Education, Inc.
Thomas, D.A., Okten, G., & Buis, P. (2002). On-line assessment of higher-order thinking: A java-
based extension to closed-form testing. ICOTS6, 1-4. Diakses tanggal 6 Juni 2013 dari http://
www.stat.auckland.ac.nz/~iase/ publications/1/6d4_thom.pdf
Urbina, S. (2004). Essential of psychologycal testing. NJ: Johnn Wiley & Sons, Inc.
Westen, D. & Rosenthal, R. (2003). Quantifying construct validity [Versi elektronik]. Journal of
Personality and Social Psychology, 2003, 84(3), 608 -618.
Wiliam, D. (2008). Quality in assessment. Dalam S. Swafield (Eds.) Unlocking Assessment.
Albany, New York: Routledge.

56
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF JIGSAW MODIFIKASI
BERBASIS MEDIA PETA PIKIRAN TERHADAP KETERAMPILAN
METAKOGNISI SISWA SMA NEGERI 7 DENPASAR

Cornelius Sri Murdo Yuwono


Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Mahasaraswati Denpasar, Bali
e-mail: cornelius_smy@yahoo.co.id

Abstrak
Keterampilan metakognisi merupakan salah satu faktor penting bagi keberhasilan
pembelajaran. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keterampilan metakognisi
siswa, yaitu dengan penerapan model pembelajaran yang dapat mendorong siswa
mengembangkan keterampilan metakognisinya. Model dan media pembelajaran yang dapat
meningkatkan keterampilan metakognisi adalah model pembelajaran kooperatif Jigsaw
Modiikasi dan media peta pikiran. Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis penerapan
model pembelajaran kooperatif Jigsaw Modiikasi berbasis media peta pikiran berpengaruh
terhadap keterampilan metakognisi siswa SMA Negeri 7 Denpasar. Penelitian ini merupakan
penelitian quasi experimental dengan rancangan Pre-test and Post-test Nonequivalent
Control Group Design. Sampel pada penelitian ini adalah siswa kelas X MIA 1 sebagai
kelompok eksperimen dan X MIA 3 sebagai kelompok kontrol. Keterampilan metakognisi
diukur dengan rubrik yang terintegrasi dari soal uraian dan hasil media peta pikiran diukur
dengan rubrik penilaian media peta pikiran tiga dimensi. Isntrumen terlebih dahulu diuji
validitas dengan menggunakan validitas konstruk dan validitas isi menggunakan uji korelasi
Product Moment, dan reliabilitas dengan menggunakan uji Alpha Cronbach’s. Analisis data
menggunakan uji Mann Whitney U-test dengan taraf signiikansi (p<0,05). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Modiikasi
berbasis media peta pikiran berpengaruh nyata (p=0,000<0,05) terhadap keterampilan
metakognisi siswa.

Kata kunci : keterampilan metakognisi, Jigsaw Modiikasi, peta pikiran

Abstract
Metacognitive skill is one of the important factors for the success of the learning process.
The effort that can be done to increase the students’ metacognitive skills is the application of
learning strategy that can encourage them to develop their metacognitive skill. The learning
model and media that can develop this skill is a cooperative Jigsaw Modiication and mind-
mapping media. The purpose of this research is to analyze the application of cooperative
learning model type Jigsaw Modiication with mind-mapping media basis that take effect
towards metacognitive skill of students. This research is a quasi experimental with the Pre-
test and Post-test Nonequivalent Control Group Design plan. The sample in this research is
X MIA 1 class students as the experimental group and X MIA 3 class students as a control
group. Metacognitive skill is measured by using the integrated rubric from the question and
the result of mind-mapping media is measured by using appraisal rubric of mind-mapping
media. The instrument is foremost being tested for its validity and reliability. The data
collection is gathered by doing the pretest and posttest. Data analysis is being done by Mann
Whitney U-test with the signiicant degree (p<0,05). The result of this research shown that
the application of cooperative learning model type Jigsaw Modiication with mind-mapping
media basis signiicant (p=0,000<0,05) effect on metacognitive students.

Keywords: Metacognitive skill, Jigsaw Modiication, mind-mapping media

57
Buku Prosiding Seminar Nasional

1. Pendahuluan

P
embelajaran pada kenyataannya masih banyak yang semata-mata berorientasi pada
upaya mengembangkan dan menguji daya ingat siswa sehingga kemampuan berpikir
siswa direduksi dan sekedar dipahami sebagai kemampuan untuk mengingat (Harsanto,
2005). Selain itu Sugiarto (2004) menyatakan bahwa siswa menjadi terhambat dan tidak berdaya
menghadapi masalah-masalah yang menuntut pemikiran dan pemecahan masalah secara kreatif.
Sudiarta (2006) menambahkan bahwa siswa sering berhasil memecahkan masalah tertentu,
tetapi gagal jika konteks masalah tersebut sedikit diubah. Hal ini disebabkan karena siswa belum
terbiasa berpikir tingkat metakognitif. Pengetahuan metakognisi kurang mendapatkan perhatian
di kalangan pendidik, padahal metakognisi ini berperan penting dalam menyelesaikan masalah
pembelajaran. Livingstone (1997) dan Suzana (2004) menyatakan bahwa, pembelajaran dengan
pendekatan keterampilan metakognisi sebagai pembelajaran yang menanamkan kesadaran
bagaimana merancang keterampilan perencanaan diri, keterampilan pemantauan diri, serta
keterampilan mengontrol tentang hal-hal yang mereka ketahui.
Model pembelajaran kooperatif yang digunakan dalam pembelajaran di kelas dapat
meningkatkan keterampilan metakognisi (Suratno (2009). Model pembelajaran biologi dalam
mengatasi kesenjangan yang juga dapat membuka kesempatan mengevaluasi dan memperbaiki
pemahaman metakognisi pada diri siswa adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dicirikan dengan adanya saling bergantungan positif
antara kelompok asal dan kelompok ahli, jika diberdayakan dengan baik akan meningkatkan
keterampilan metakognisi siswa. Kekurangan dari model pembelajaran kooperatif Jigsaw dalam
meningkatkan keterampilan metakognisi, dapat diperbaiki dengan mengembangkan model
pembelajaran kooperatif Jigsaw Modiikasi yang tidak menyimpang dari sintaks pembelajaran
Jigsaw secara umum (Yuwono, 2012). Model pembelajaran kooperatif Jigsaw Modiikasi lebih
meningkatkan tanggungjawab individu pada saat mempelajari materi, yang berakibat siswa
dapat melakukan kegiatan perencanaan diri, keterampilan pemantauan diri, serta keterampilan
mengontrol tentang hal-hal yang mereka ketahui. Dari hasil penelitian Yuwono (2012) model
pembelajaran kooperatif Jigsaw Modiikasi, dan Jigsaw asli Aronson mempunyai potensi yang
setara untuk meningkatkan keterampilan metakognisi pada kemampuan akademik bawah.
Perpaduan antara model pembelajaran dengan media pembelajaran yang digunakan dapat
meningkatkan keterampilan metakognisi. Salah satu media yang dapat digunakan adalah
media peta pikiran. Peta pikiran selama ini masih bersifat dua dimensi, sehingga siswa kurang
mampu untuk mengembangkan keterampilan metakognisinya. Hal tersebut dapat diatasi dengan
mengembangkan peta pikiran dalam bentuk tiga dimensi. Media peta pikiran tiga dimensi yang
diintegrasikan dengan aspek etnosains dilakukan sebagai upaya untuk memberikan pengaruh
positif terhadap peningkatan keterampilan metakognisi. Keunggulan dari penggunaan media peta
pikiran tiga dimensi dibandingkan dengan media peta pikiran dua dimensi adalah siswa dapat
merancang terlebih dahulu desain atau rancangan sesuai dengan kreavitas mereka selanjutnya
membangun rancangan tersebut sesuai dengan rancangannya. Selain itu, dapat memberikan
dorongan kepada siswa untuk berkreatiitas dan mengeksplorasi kemampuan yang dimilikinya.
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis peningkatan keterampilan metakognisi siswa
melalui model pembelajaran Jigsaw Modiikasi yang berbasis media peta pikiran tiga dimensi.
Hipotesis penelitian Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Modiikasi berbasis media peta
pikiran berpengaruh terhadap keterampilan metakognisi siswa SMA Negeri 7 Denpasar

2. Metode Penelitian
Penelitian eksperimen semu (Quasi Experimental) dengan rancangan Pre-test and Post-
test Nonequivalent Control Group Design (Sugiyono, 2011). Populasi penelitian adalah seluruh
siswa kelas X SMA Negeri 7 Denpasar tahun ajaran 2014/2015 berjumlah sepuluh kelas. Sampel
diambil secara acak, sehingga didapatkan kelas X MIA 1 sebagai kelas eksperimen dengan jumlah

58
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

34 orang siswa, sedangkan kelas kontrol adalah kelas X MIA 3 dengan jumlah 34 orang siswa.
Penelitian dilaksanakan mulai pada bulan september sampai November 2015.
Pada kelas eksperimen pembelajaran dilakukan dengan model pembelajaran kooperatif Jigsaw
Modiikasi berbasis media peta pikiran melalui sintaks Jigsaw Modiikasi dimulai kelompok ahli,
kelompok asal, presentasi kelas untuk unjuk kerja hasil peta pikiran, dan pemberian penghargaan
kelompok. Pengamatan keterampilan metakognisi melalui rubrik yang terintegrasi dengan tes
uraian dengan menggunakan skala Hart (Corebima, 2009). Pada kelas kontrol pembelajaran
dilakukan secara konvensional berbasis media peta pikiran. Sumber belajar dalam pendekatan
pembelajaran konvensional lebih banyak berupa informasi verbal yang diperoleh dari buku dan
penjelasan guru. Sumber-sumber inilah yang sangat mempengaruhi proses belajar siswa.
Variabel terikat yang diteliti adalah keterampilan metakognisi diukur dengan rubrik
terintegrasi dengan tes soal uraian dan hasil peta pikiran diukur dengan rubrik penilaian peta
pikiran. Sebelum digunakan tes uraian tersebut dilakukan uji coba terlebih dahulu, selanjutnya
dilakukan uji validitas dengan menggunakan uji korelasi Product Moment dan uji reliabilitas
dengan menggunakan Alpha Cronbach. Adapun butir soal yang valid dari 20 butir soal, yaitu
nomor 1, 2, 3, 5, 8, 10, 11, 13, 14, 15, 18, 19, 20, 21, 23, 24, 25, 27, 28, dan 30 dengan Alpha
Cronbach 0,753. Rubrik penilaian peta pikiran divalidasi dengan menggunakan Construct
Validity. Data dianalisis dengan menggunakan Gain Skor (Hake, 1998) untuk mendeskripsikan
keterampilan metakognisi dan hasil peta pikiran berdasarkan pada rubrik penilaian dan secara
inferensial menggunakan uji Mann Whitney U-test untuk menguji hipotesis penelitian.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Analisis Keterampilan Metakognisi Siswa
Keterampilan metakognisi siswa dinilai dengan menggunakan rubrik Corebima (2009) yang
terintegrasi dari tes uraian. Tes uraian untuk mengukur keterampilan metakognisi siswa mencakup
ranah kognitif yaitu C2, C3, C4, C5, dan C6 yang berjumlah 20 butir soal. Tes uraian diberikan
sebelum perlakuan (pretest) dan sesudah perlakuan (post test) pada kelas eksperimen maupun
kelas kontrol. Perbandingan hasil keterampilan metakognisi siswa antara kelas eksperimen
dengan kelas kontrol disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Hasil Keterampilan Metakognisi Siswa antara Kelas


Eksperimen dan Kelas Kontrol
Mean Rank
No. Kelas
Pre test Post test
1. Eksperimen 40,37 51,34
2. Kontrol 28,63 17,66
3. Signiikansi (p=0,014<0,05) (p=0,000<0,05)

Berdasarkan hasil perbandingan yang disajikan pada Tabel 1 bahwa hasil mean rank pre-test
keterampilan metakognisi siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan hasil mean
rank pre-test siswa kelas kontrol. Pada post-test hasil mean rank siswa pada kelas kontrol lebih
rendah dibandingkan dengan hasil mean rank siswa kelas eksperimen.
Selain perbedaan nilai mean rank, berikut dipaparkan mengenai kategori dari keterampilan
metakognisi siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berdasarkan nilai gain skor pada
Tabel 2, terdapat perbedaan hasil gain score antara kelas eksperimen dan pada kelas kontrol. Nilai
gain score pada kelas eksperimen berada pada kategori sangat baik yang berjumlah 30 orang
(88,24%), kategori baik berjumlah 4 orang (11,76%), kategori cukup tidak ada (0%), sedangkan
pada kelas kontrol pada kategori sangat baik yang berjumlah 3 orang (8,24%) kategori baik
berjumlah 30 orang (88,24%), dan kategori cukup berjumlah 3 orang (2,94%).

59
Buku Prosiding Seminar Nasional

Tabel 2. Gain Score Kategori Keterampilan Metakognisi Siswa pada Kelas


Eksperimen dan Kelas Kontrol
Siswa Kelas
No Interval Gain Score Klasiikasi Eksperimen (N=34) Kontrol (N=34)
∑ % ∑ %
1 ≥ 0,7 Sangat Baik 30 88,24 3 8,82
2 > 0,3 - < 0,7 Baik 4 11,76 30 88,24
3 < 0,3 Cukup 0 0 1 2,94

Perbandingan hasil analisis keterampilan metakognisi antara kelas eksperimen dan kelas kontrol
yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2, selanjutnya dianalisist dengan uji Mann Whitney
U Test untuk menguji hipotesis penelitian. Hasil analisis keterampilan metakognisi siswa
memperlihatkan hasil yang diperoleh adalah berbeda nyata dengan nilai (p= 0,000<0,05).

3.2 Analisis Hasil Peta Pikiran Tiga Dimensi Siswa


Pada saat proses pembelajaran, siswa dalam kelompok asal yang mempunyai keahlian
berbeda saling berkontribusi dalam membuat peta pikiran tiga dimensi yang menjadi tugas
kelompok mereka. Hasil peta pikiran tiga dimensi dinilai dengan melakukan pengamatan terhadap
7 aspek penilaian meliputi Rancangan (R), Warna (W), Ide dan Konteks (IK), Kata Kunci (KK),
Menggabungkan Ide (MI), Tingkat Hierarki (TH), dan Konsep Presentasi (KP). Penilaian hasil
peta pikiran tiga dimensi siswa dilakukan terhadap hasil peta pikiran selama penerapan model
pembelajaran kooperatif Jigsaw Modiikasi oleh dua orang observer. Hasil peta pikiran tiga
dimensi antara kelas eksperimen dan kontrol ditampilkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

(a) (b)
Gambar 1.Hasil Media Peta Pikiran Tiga Dimensi Kelas Eksperimen. (a) Materi Mollusca, (b) Materi
Arthrophoda

(a) (b)
Gambar 2. Hasil Media Peta Pikiran Tiga Dimensi Kelas Kontrol. (a) Materi Mollusca, (b) Ma-
teri Arthrophoda

60
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Ditinjau dari masing-masing aspek yang terdapat pada rubrik penilaian media peta
pikiran tiga dimensi terdapat perbedaan antara kelas eksperimen kelas kontrol. Adapun hasil
analisis data peta pikiran tiga dimensi untuk materi Mollusca dan Arthropoda pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Perbandingan Hasil Media Peta Pikiran Tiga Dimensi Kelas Eksperimen dan
Kelas Kontrol

Keterangan :
D = Desain (rancangan)
W = Warna
IK = Ide dan konteks
KK = Kata kunci
MI = Menggabungkan ide-ide (kata kunci)
TH = Tingkat hierarki
KP = Konsep presentasi

Berdasarkan Gambar 3 menunjukkan bahwa, media peta pikiran tiga dimensi antara materi
Mollusca dan Arthropoda pada kelas eksperimen dan kelas kontrol mengalami peningkatan. Skor
tertinggi dari hasil media peta pikiran tiga dimensi pada materi Mollusca pada kelas eksperimen
dan kontrol terdapat pada kriteria KP, sedangkan skor terendah di kelas eksperimen terdapat pada
kriteria KK dan di kelas kontrol terdapat pada kriteria W dan MI. Pada materi Arthropoda hasil
media peta pikiran tiga dimensi untuk skor tertinggi di kelas eksperimen terdapat pada kriteria
TH dan di kelas kontrol terdapat pada kriteria TH dan KP, sedangkan skor terendah di kelas
eksperimen terdapat pada kriteria IK dan di kelas kontrol terdapat pada kriteria MI.
Dari perbandingan hasil jumlah nilai pada penilaian media peta pikiran tiga dimensi yang
ditunjukkan pada Gambar 3, selanjutnya diperkuat dengan menggunakan uji Mann Whitney
U-test dengan hasil (p=0,000<0,05). Sehingga, hipotesis penelitian diterima yaitu penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Modiikasi berpengaruh terhadap hasil media peta
pikiran tiga dimensi siswa.

3.3 Pembahasan
Hasil media peta pikiran tiga dimensi siswa ditinjau dari masing-masing kriteria mendapatkan
skor yang tinggi pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, tetapi skor yang didapatkan pada kelas

61
Buku Prosiding Seminar Nasional

eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Hal ini terjadi karena ketika media
peta pikiran tiga dimensi pada materi Mollusca selesai dipresentasikan, guru melakukan evaluasi
mengenai hal-hal yang perlu diperbaiki, sehingga media peta pikiran tiga dimensi pada materi
Arthrophoda mendapatkan hasil yang lebih baik. Skor tertinggi terletak pada kriteria tingkat
hierarki untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol, hal ini disebabkan guru sangat menekankan
agar hubungan kata kunci pada cabang utama dan cabang lainnya terlihat jelas dan saling berkaitan.
Pada kelas kontrol skor tertinggi juga terdapat pada kriteria konsep presentasi, hal ini disebabkan
karena siswa sudah mempersiapkan dengan baik materi yang dipresentasikan sehingga siswa
menguasai materi yang dipresentasikan. Skor terendah pada kelas eksperimen terdapat pada
kriteria ide dan konteks, hal ini dikarenakan pada saat berdiskusi dalam kelompok ahli siswa
belum memperdalam ide-ide yang mewakili konsep yang penting dari disiplin ilmu yang berbeda
tetapi masih mewakili ide yang berasal dari disiplin ilmu yang sama, dalam hal ini ilmu biologi.
Pada kelas kontrol skor terendah terdapat pada kriteria menggabungkan ide-ide atau kata kunci,
hal ini karena siswa lebih banyak menyalin ide-ide atau kata kunci yang berasal dari pemikiran
orang lain, dan bukan berasal dari pemikirannya sendiri. Berdasarkan pengamatan dan hasil
analisis data didapatkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Modiikasi
menunjukkan perbedaan yang nyata pada masing-masing kriteria penilaian yaitu kriteria desain,
warna, ide dan konteks, kata kunci, menggabungkan ide-ide (kata kunci), dan tingkat hierarki
dengan nilai (p= 0,000<0,05), serta konsep presentasi dengan nilai (p=0,007<0,05) terhadap hasil
media peta pikiran tiga dimensi siswa. Media peta pikiran tiga dimensi sebenarnya hampir mirip
dengan media peta pikiran dua dimensi. Perbedaan antara media peta pikiran dua dimensi dengan
tiga dimensi yaitu hasil media peta pikiran dua dimensi berupa gambar yang hanya bisa dilihat
saja, sedangkan hasil dari media peta pikiran tiga dimensi berupa peta pikiran yang berbentuk
nyata dan dapat disentuh serta dapat dilihat dari segala sudut pandang, dan tidak lagi dalam bentuk
gambar dua dimensi. Pendapat tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitri
(2010) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa penggunaan media peta pikiran (mind mapping)
lebih efektif terhadap motivasi dan prestasi belajar biologi dibandingkan dengan penggunaan
media secara konvensional pada materi Sistem Pernapasan siswa XI-IPA MAN Purworejo.
Pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Modiikasi
berbasis media peta pikiran tiga dimensi, dapat memberikan pengalaman belajar dan mendorong
siswa untuk lebih aktif dan kreatif, serta dapat meningkatkan keterampilan metakognisi siswa.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kardiasari,dkk (2011), bahwa terdapat
perbedaan pengaruh antara penerapan model pembelajaran kooperatif Jigsaw Modiikasi dan
konvensional terhadap keterampilan perilaku kelompok dalam materi jaringan tumbuhan dan
jaringan hewan siswa kelas XI IPA SMA Dharma Praja Badung Tahun Pelajaran 2011/2012.
Keunggulan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Modiikasi terhadap hasil
media peta pikiran tiga dimensi pada kelas eksperimen adalah dilakukannya kegiatan rekognisi
tim oleh guru dengan cara menghitung skor berdasarkan rubrik penilaian media peta pikiran tiga
dimensi dari hasil evaluasi materi Mollusca dan Arthropoda. Kegiatan rekognisi tim dilakukan
untuk memberikan motivasi kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan belajarnya sehingga
memiliki kesempatan untuk memberikan kontribusi nilai yang maksimal untuk keberhasilan
kelompoknya dalam menuntaskan tujuan-tujuan pembelajaran.
Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw Modiikasi berbasis media peta pikiran tiga dimensi berpengaruh terhadap keterampilan
metakognisi. Berdasarkan pengamatan dan analisis data yang telah dilakukan terhadap keterampilan
metakognisi siswa menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p=0,000<0,05) antara
kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kelas kontrol hasil mean rank pre test siswa yaitu
19,74 dan hasil mean rank post test mengalami penurunan menjadi 17,66. Pada kelas eksperimen
sebelum diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Modiikasi berbasis media
peta pikiran tiga dimensi nilai mean rank pre-test siswa yaitu 49,26, dan setelah diterapkannya

62
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

model dan media tersebut hasil post test siswa menunjukan nilai mean rank menjadi 51,34. Hal
tersebut karena penerapan model pembelajaran yang berbeda antara kelas kontrol yang tidak
menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Modiikasi dan kelas eksperimen yang
menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Modiikasi. Selain itu penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Modiikasi lebih melibatkan siswa dalam proses pembelajaran
sehingga siswa menjadi aktif dan saling ketergantungan positif antar anggota kelompok, sehingga
keterampilan metakognisi siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas
kontrol. Sedangkan dari hasil perbandingan gain skor antara kelas eksperimen dan kelas kontrol,
pada kelas eksperimen siswa lebih banyak berada pada kategori sangat baik 88,24 (%), sedangkan
pada kelas kontrol siswa lebih banyak berada pada kategori baik 88,24 (%). Hal ini disebabkan
karena model pembelajaran konvensional lebih menekankan pada penyampaian informasi yang
berlangsung secara satu arah yaitu dari guru ke siswa, sehingga siswa menjadi individu pasif yang
hanya mendengarkan, mencatat, menghafal, dan bukan memahami materi dengan baik, sehingga
materi yang disampaikan mudah dilupakan.
Pendapat tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuwono (2012) mendapatkan
bahwa model pembelajaran kooperatif Jigsaw Modiikasi, dan Jigsaw asli Aronson mempunyai
potensi yang setara untuk meningkatkan keterampilan metakognisi pada kemampuan akademik
bawah. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Modiikasi berbasis media peta pikiran tiga dimensi mampu
meningkatkan keterampilan metakognisi siswa, hal ini dikarenakan proses pembelajaran berpusat
pada siswa, sehingga siswa menjadi lebih bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan,
serta antar siswa memiliki hubungan yang saling ketergantungan yang positif satu sama lainnya.
Dengan menerapkan model dan media pembelajaran tersebut siswa dapat memahami materi
pelajaran dengan lebih baik.

4. Simpulan dan Saran


Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Modiikasi berbasis media peta
pikiran tiga dimensi berpengaruh nyata (p=0,000<0,05) terhadap keterampilan metakognisi, dan
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Modiikasi berbasis media peta pikiran tiga
dimensi berpengaruh nyata (p=0,000<0,05) pada masing-masing kriteria terhadap hasil media
peta pikiran tiga dimensi siswa SMA Negeri 7 Denpasar.
Saran yang dapat disampaikan, diharapkan siswa untuk memanfaatkan bahan-bahan daur
ulang dalam membuat media peta pikiran tiga dimensi sebagai upaya peduli terhadap lingkungan;
kepada guru untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Modiikasi berbasis
media peta pikiran tiga dimensi pada topik pembelajaran yang berbeda dalam upaya meningkatkan
keterampilan metakognisi siswa dalam mengembangkan dan menggunakan model serta media
pembelajaran yang kreatif dan inovatif dalam proses belajar mengajar; penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Modiikasi berbasis media peta pikiran tiga dimensi dapat
dijadikan salah satu model dan media pembelajaran alternatif oleh sekolah tidak hanya dalam
mata pelajaran biologi, tetapi juga dapat dijadikan alternatif pada mata pelajaran lainnya untuk
memperbaiki situasi proses belajar mengajar, sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan
di sekolah.

5. Daftar Rujukan

Corebima, A.D. (2009). Pemahaman tentang assesmen autentik. Makalah disajikan dalam Rangka
Diklat Sertiikasi Guru. Malang : Universitas Negeri Malang.
Fitri, A.K. (2010). Efektivitas Penerapan Metode Mind Map Dilihat Dari Motivasi Dan Prestasi
Belajar Biologi Siswa Man Purworejo. [PDF document]. Diambil dari catatan kuliah online

63
Buku Prosiding Seminar Nasional

dalam alamat http://digilib.uin-suka.ac.id


Hake,R.R. 1998. Interactive-engagement versus traditional method: A six- thousand-student
survey of mechanics test data for introductory physics courses. American Journal Physics.
Volume 5, Nomor 1.
Harsanto, R. (2005). Melatih anak berpikir analisis, kritis, dan kreatif. Jakarta: Gramedia.
Kardiasari, N.L., Puspawati, D.A., Diarta, I Made. (2011). Penerapan Pembelajaran Kooperatif
Jigsaw Modiikasi Melalui Lesson Study Terhadap Keterampilan Perilaku Kelompok Siswa
SMA Dharma Praja Tahun 2011/2012. Jurnal Santiaji Pendidikan Vol. 3 Nomor 1, Juli
2013. Denpasar: Unmas.
Livingstone, J.A. (1997). Metacognition: An Overview. Tersedia pada http://www.gse.buffalo.
edu/fas/shuell/CEP564/Metacog.html.
Sudiarta, P. (2006). Pengembangan Model Pembelajaran Berorientasi Pemecahan Masalah
Openended Berbantuan LKM Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Dan Hasil Belajar
Mahasiswa Matakuliah Pengantar Dasar Matematika. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran
UNDIKSHA 39 Nomor 2, April 2006. Singaraja: UNDIKSHA.
Sugiarto, Iss. (2004). Mengoptimalkan daya kerja otak dengan berpikir holistik & kreatif. Jakarta:
Gramedia Utama.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Suratno. (2009). Pengaruh Strategi Kooperatif Jigsaw dan Reciprocal Teaching terhadap
Ketrampilan Metakognisi dan Hasil Belajar Biologi Siswa SMA Berkemampuan Atas dan
Bawah di Jember. Disertai tidak diterbitkan, Malang: Program Pasca – sarjana Universitas
Negeri Malang (UM).
Suzana, Y. (2004). Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif untuk Meningkatkan
Kemampuan Pema-haman Matematik Siswa SMU. Disajikan pada Seminar Nasional
Matematika: Matematika dan Kontribusinya terhadap Peningkatan Kualitas SDM dalam
Menyongsong Era Industri dan Informasi. Bandung, 15 Mei 2004.
Yuwono, C.S.M. (2012). Peningkatan Keterampilan Metakognisi Siswa dengan Pembelajaran
Kooperatif Jigsaw-Modiikasi. Disertasi doktor tidak terpublikasi. Malang: Universitas
Negeri Malang.

64
PROFIL DAN MOTIVASI BELAJAR PADA PEMBELAJARAN DI
LABORATORIUM KIMIA UNIVERSITAS MAHASARASWATI
DENPASAR

Gusti Ayu Dewi Setiawati


Program Studi Pendidikan Biologi, Universitas Mahasaraswati Denpasar
e-mail: dewisetiawatigustiayu@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proil pembelajaran mahasiswa di
laboratorium kimia Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar dan mendeskripsikan
motivasi belajar mahasiswa tersebut pada pembelajaran di laboratorium kimia. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara,
dokumentasi, dan kuisioner dengan menggunakan deskriptif kualitatif sebagai analisis data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran di laboratorium kimia Unmas Denpasar
telah sesuai dengan ketentuan proses pembelajaran di laboratorium, yaitu; memiliki prinsip-
prinsip pembelajaran di laboratorium dan pelaksanaan eksperimen telah terdiri dari tahap
persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut. Terdapat kendala yang dihadapi dalam proses
pembelajaran, seperti kurang memadainya; peralatan dan bahan-bahan praktikum, fasilitas
penunjang pembelajaran, luas laboratorium serta keselamatan kerja. Selain itu, pengaturan
jadwal penggunaan laboratorium masih belum dipatuhi secara konsisten. Motivasi belajar
mahasiswa pada pembelajaran di laboratorium kimia sudah termasuk kategori tinggi, yaitu
dengan rata-rata skor 116 yang menunjukkan bahwa mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi
memang memiliki keseriusan dalam mengikuti pembelajaran di laboratorium kimia.

Kata kunci: proil pembelajaran laboratorium kimia, motivasi belajar

Abstract
This study aimed to describe the proile of student learning in the chemistry laboratory of
Mahasaraswati Denpasar University (Unmas Denpasar) and describe the students’ learning
motivation on learning in the chemistry laboratory. This study used a qualitative approach.
The collection of data through observation, interviews, documentation, and questionnaire
by using descriptive qualitative data analysis. The results show that learning in Unmas
Denpasar chemistry laboratory in accordance with the provisions of the learning process in
the laboratory, namely; have learning principles in the laboratory and experimentation has
consisted of the preparation, implementation and follow-up. There are obstacles encountered
in the learning process, such as lack of adequate; laboratory equipment and materials, learning
support facilities, spacious laboratory and occupational safety. In addition, scheduling the
laboratory use is still not adhered to consistently. Students’ learning motivation on learning
in the chemistry laboratory has been categorized as high, with an average score of 116 which
indicates that the student of Biology Education Study Program does have seriousness in
following the learning process in the chemistry laboratory.

Keywords: chemistry laboratory learning proile, learning motivation

1. Pendahuluan
Pembelajaran merupakan suatu proses yang tidak harus dilakukan di kelas. Laboratorium
juga dapat menjadi sumber belajar. Pembelajaran di laboratorium juga tidak kalah pentingnya
untuk membantu pemahaman pebelajar. Mahasiswa merupakan akademisi yang memerlukan
keberadaan laboratorium, terutama mahasiswa calon guru yang nantinya akan bergelut dalam
dunia pendidikan.
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Mahasaraswati (Unmas)

65
Buku Prosiding Seminar Nasional

Denpasar juga memerlukan sarana laboratorium sebagai sumber belajar untuk memperdalam
pemahaman terhadap konsep-konsep biologi. Selama ini, mahasiswa sudah mempergunakan
fasilitas laboratorium yang ada di Unmas Denpasar, termasuk laboratorium kimia. Walaupun
sudah tersedia laboratorium biologi Unmas Denpasar sebagai sumber belajar, namun keberadaan
laboratorium kimianya juga tidak kalah penting karena terdapat beberapa mata kuliah dalam
Program Studi (Prodi) Pendidikan Biologi yang menggunakan fasilitas laboratorium kimia,
seperti; Kimia Umum dan Biokimia. Namun, laboratorium kimia Unmas Denpasar tidak hanya
dimanfaatkan oleh Prodi Biologi saja, melainkan oleh beberapa fakultas seperti; Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fakultas Pertanian (FP), dan Fakultas Kedokteran Gigi
(FKG). Dengan demikian peran laboratorium kimia cukup signiikan bagi civitas akademika
Unmas Denpasar.
Hasil observasi terhadap pembelajaran di laboratorium kimia, serta wawancara terbuka
dengan pengelola laboratorium kimia yang terdiri dari kepala laboratorium dan laboran
menunjukkan bahwa memang pembelajaran sudah dapat berlangsung di laboratorium kimia.
Namun, proses pembelajaran serta pihak pengelola masih menghadapi kendala yang tentunya
berpengaruh pada keberadaan laboratorium tersebut ke depannya. Dengan adanya aktivitas
penggunaan laboratorium yang padat oleh 3 Fakultas tersebut, serta adanya berbagai kendala
yang ditemukan dalam laboratorium, maka laboratorium kimia memerlukan suatu pengujian
terkait proses pembelajaran yang berlangsung. Hal ini perlu dilakukan untuk menjamin mutu
dari pembelajaran di laboratorium. Berdasarkan studi pendahuluan, maka perlu dikaji mengenai
proil proses pembelajaran di laboratorium kimia, serta perlu pula diteliti tentang motivasi belajar
mahasiswa pada pembelajaran di laboratorium kimia Unmas Denpasar.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proil pembelajaran di
Laboratorium Kimia Universitas Mahasaraswati Denpasar, dan mendeksripsikan motivasi belajar
yang dimiliki mahasiswa pada pembelajaran di laboratorium kimia tersebut. Adapun kajian
teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tentang; pembelajaran, pembelajaran di kelas,
laboratorium dan lapangan, dan motivasi belajar.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Moleong, 2008). Dalam
penelitian ini digunakan rancangan penelitian deskriptif kualitatif. Prosedur dalam penelitian
deskriptif kualitatif yaitu mengidentiikasi atau menggambarkan fenomena yang terjadi secara
apa adanya pada pembelajaran yang terjadi di laboratorium kimia. Tidak meneliti tentang standar
fasilitas atau kelayakan peralatan laboratorium dan sejenisnya. Subyek dalam penelitian ini
ditentukan secara pusposive sampling yaitu komponen yang terkait dengan laboratorium kimia
saja, yaitu pengelolanya, dosen pengampu mata kuliah serta mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi
yang memanfaatkan Laboratorium Kimia Unmas Denpasar sebagai sumber belajar. Karena
keterbatasan waktu dan juga tenaga dalam penelitian ini, subyek penelitian terbatas pada pengelola
laboratorium kimia, 4 dosen Prodi Pendidikan Biologi yang memanfaatkan Laboratorium Kimia
Unmas Denpasar serta mahasiswa dari Prodi Pendidikan Biologi semester II yang menempuh
mata kuliah Biokimia yang berjumlah 37 orang. Obyek penelitian berupa proil pembelajaran di
Laboratorium Kimia Universitas Mahasaraswati Denpasar, dan motivasi belajar mahasiswa pada
pembelajaran di laboratorium kimia tersebut.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut. (1) Observasi
atau pengamatan, pengamatan merupakan cara yang sangat baik untuk meneliti tingkah laku
manusia (Miles & Huberman, 1992). Selama observasi berlangsung, peneliti melakukan
kegiatan pencatatan, pendeskripsian dan penginterpretasian terhadap fenomena yang terjadi pada
pembelajaran di laboratorium kimia. (2) Wawancara dilakukan secara purposive yaitu berdasarkan

66
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

tujuan penelitian, yaitu terhadap pengelola laboratorium kimia, beberapa dosen pengampu mata
kuliah dan mahasiswa yang memanfaatkan laboratorium kimia. (3) Dokumentasi, menurut
Moleong (2008) metode dokumentasi ini merupakan metode pengumpulan data yang berasal
dari sumber non-manusia. Data yang diperoleh melalui metode ini adalah foto, rekaman tertulis
dan tidak tertulis. (4) Kuisioner Motivasi Belajar Mahasiswa pada Pembelajaran di Laboratorium
Kimia. Instrumen kuesioner motivasi belajar dikembangkan dengan menggunakan skala Likert.
Pengolahan data ini dilakukan sesuai langkah-langkah yaitu, analisis data dan tabulasi, deskripsi
data, eksplanasi dan interpretasi serta penarikan simpulan. Data yang diperoleh tentang proses
pembelajaran di laboratorium kimia dianalisis menggunakan standar proses pembelajaran di
laboratorium dari Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2008. Sedangkan untuk data motivasi
belajar mahasiswa pada pembelajaran di laboratorium dapat diketahui dengan menggunakan
teknik statistik deskriptif.

3. Pembahasan
3.1 Proil Pembelajaran di Laboratorium Kimia
Laboratorium Kimia Universitas Mahasaraswati Denpasar merupakan laboratorium yang
telah lama berdiri untuk mendukung pembelajaran. Bahkan, laboratorium kimia memang telah
ada sebelum Unmas Denpasar berdiri Tahun 1982. Namun dalam perjalanannya, Laboratorium
Kimia Unmas Denpasar telah mengalami berbagai perubahan. Standar proses pembelajaran di
laboratorium dari Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2008 menyatakan bahwa laboratorium
digunakan untuk kegiatan pembelajaran yaitu; (1) mendemonstrasikan konsep atau teori, (2)
mendemonstrasikan suatu alat atau proses tertentu, dan (3) mencari dan menemukan sesuatu
melalui cara dan prosedur kerja tertentu. Berdasarkan standar tersebut, laboratorium kimia Unmas
Denpasar memang telah digunakan sebagai tempat kegiatan pembelajaran. Mahasiswa Prodi
Pendidikan Biologi semester II tahun akademik 2015/2016 sudah menggunakan laboratorium
kimia selama menempuh 2 mata kuliah, yaitu Kimia Umum dan Biokimia. Adapun temuannya
dapat dilihat melalui Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Kegiatan Pembelajaran Mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi di Laboratorium


Kimia
No. Standar Proses Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran di Laboratorium Kimia Unmas Den-
pasar
1 Mendemonstrasikan konsep atau Mahasiswa telah menggunakan laboratorium untuk mendemon-
teori strasikan konsep dan teori dalam materi-materi Kimia Umum dan
Biokimia
2 Mendemonstrasikan suatu alat atau Mahasiswa juga telah menggunakan laboratorium kimia untuk
proses tertentu mendemonstrasikan atau menggunakan alat atau proses yang telah
ditentukan di dalam petunjuk praktikum yang telah diberikan oleh
dosen pengampu mata kuliah atau sumber belajar yang digunakan
3 Mencari dan menemukan sesuatu Mahasiswa mempraktikkan prosedur kerja atau langkah kerja
melalui cara dan prosedur kerja ter- yang ada pada petunjuk praktikum, baik pada Mata Kuliah Kimia
tentu Umum maupun Biokimia untuk mendapatkan hasil temuan prak-
tikum.

Dalam standar proses pembelajaran di laboratorium kimia juga terdapat prinsip pembelajaran
di laboratorium. Hasil temuan juga telah sesuai dengan prinsip tersebut yang dapat dijabarkan
melalui Tabel 2 berikut.

67
Buku Prosiding Seminar Nasional

Tabel 2. Prinsip Pembelajaran di Laboratorium Kimia


No. Standar Proses Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran di Laboratorium Kimia Unmas Den-
pasar
1 Belajar untuk berbuat Mahasiswa melakukan praktikum di laboratorium, baik untuk
mencari, menemukan maupun memahami suatu proses atau prose-
dur tertentu, misalnya melakukan pengujian terhadap karbohidrat,
lemak dan protein. Dosen dalam hal ini sedikit melakukan kontak
dengan mahasiswa karena dosen membiarkan mahasiswa bekerja
sesuai dengan pemahamannya. Apabila mahasiswa mengalami
kesulitan dalam proses tersebut, barulah dosen memberikan ban-
tuan.

2 Keingintahuan (curiousity) Sebelum praktikum berlangsung, dosen pengampu mata kuliah


bekerja sama dengan laborannya merangsang pengetahuan awal
tentang praktikum yang akan berlangsung. Dosen memberikan
petunjuk sebelumnya sambil meningkatkan keingintahuan maha-
siswa dengan cara menanyakan fungsi atau alat yang berperan da-
lam praktikum. Pada saat membantu mahasiswa yang mengalami
masalah dalam mengikuti langkah kerja, dosen dan laboran turut
serta memberikan arahan sambil merangsang rasa penasaran ma-
hasiswa.

3 Berpikir ilmiah Mahasiswa melakukan prosedur kerja sesuai dengan petunjuk prak-
tikum yang telah tersusun secara sistematis. Jika mengalami kesu-
litan, proses kerja tidak akan dilakukan, namun bertanya dahulu
untuk memperoleh kejelasan dari dosen, sehingga dapat melanjut-
kan praktikum yang telah tersusun secara sistematis, empiris dan
terkontrol. Selain itu, setelah praktikum, mahasiswa menuangkan
hasil praktikum dalam laporan praktikum yang juga membutuh-
kan keterampilan berpikir ilmiah yang harus dimiliki agar laporan
tersebut terwujud.

Selain kegiatan serta prinsip pembelajaran yang telah sesuai, pelaksanaan pembelajaran
di laboratorium dalam wujud eksperimen juga mengikuti standar pembelajaran. Dalam proses
pembelajaran melalui eksperimen, mahasiswa diberikan kesempatan mengalami atau melakukan
sendiri suatu proses, mengamati suatu obyek, menganalisis serta membuktikan dan menarik
kesimpulan sendiri tentang suatu obyek dalam keadaan atau proses tertentu. Adapun temuan
penelitian yang diperoleh terkait dengan pelaksanaan pembelajaran di laboratorium dalam wujud
eksperimen dijabarkan melalui Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Pelaksanaan Eksperimen di Laboratorium Kimia


No. Standar Proses Pembelajaran Pelaksanaan Eksperimen di Laboratorium Kimia Unmas Den-
pasar
1 Persiapan
• Menentukan tujuan eksperimen Sudah dilakukan. Dosen memberikan penjelasan untuk membuka
dengan jelas dan terukur jalannya praktikum dengan menekankan pada tujuan. Biasanya te-
lah tercantum pada petunjuk praktikum.
• Persiapan alat dan bahan Sudah dilakukan. Persiapan alat dan bahan dilakukan oleh laboran
kimia.
• Penjelasan tentang prosedur atau Sudah dilakukan. Penjelasan tentang prosedur atau langkah prakti-
langkah eksperimen kum dilakukan pada awal kegiatan praktikum tersebut.
• Prosedur keselamatan kerja Belum dilakukan. Prosedur keselamatan kerja belum dilakukan
karena berkaitan sarana keselamatan kerja yang belum memadai.

68
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

2 Pelaksanaan Eksperimen
• Dosen membiarkan mahasiswa Sudah sesuai, yaitu dengan membiarkan mahasiswa bekerja aktif,
aktif memperoleh pengalaman baik perorangan maupun kelompok.
sendiri
• Jika berkelompok, dosen berperan Sudah sesuai, yaitu dengan memperhatikan kinerja perorangan da-
sebagai manager yang mengatur lam kelompok, jika ada yang pasif maka akan diberikan teguran
anggota kelompok agar tidak dan diatur agar aktif pula dalam kelompoknya.
pasif
• Dosen mengontrol jalannya Sudah sesuai, di mana dosen memang membiarkan mahasiswa
eksperimen agar tidak keluar dari aktif bekerja dalam kelompoknya, namun bersama-sama laboran
jalurnya turut meninjau jalannya praktikum dengan melihat hasil praktikum
yang diperoleh, kemudian mengarahkannya jika hasil yang diper-
oleh tidak sesuai dengan tujuan praktikum.
3 Tindak Lanjut

• Membersihkan dan merapikan Sudah dilakukan, setiap usai mengerjakan praktikum. Sehingga
peralatan dan bahan seusai meja laboratorium kembali bersih dan rapi.
eksperimen
• Melaporkan hasil eksperimen Sudah dilakukan, setiap usai mengerjakan praktikum, mahasiswa
untuk diberikan umpan balik membuat hasil temuan atau data dalam secarik kertas kemudian
ditunjukkan pada dosen untuk diberikan umpan balik. Kemudian,
hasil tersebut diberikan bukti umpan balik berupa tanda tangan
dosen yang bersangkutan.
• Mendiskusikan temuan dan Belum dilakukan secara kontinu. Hal ini disebabkan waktu eks-
masalah yang muncul dari hasil perimen yang terbatas. Biasanya dituangkan di dalam laporan
kerjanya praktikum.

(a) (b)

Gambar 1. (a) Mahasiswa Sedang Mengikuti Petunjuk Praktikum, Setiap Anggota Kelompok
Berperan dalam Praktikum. (b) Mahasiswa Mengamati Hasil Temuan yang Diperolehnya.

3.2 Kendala Yang Dialami dalam Proses Pembelajaran


Dari proil dapat diidentiikasi berbagai kendala yang dialami oleh laboratorium yaitu, sebagai
berikut.
1) Alat dan bahan praktikum dalam laboratorium kimia yang kurang memadai sehingga
belum mampu mendukung keseluruhan kegiatan praktikum yang semestinya diperoleh
mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi. Walaupun alat dan bahan sudah diamprahkan oleh
pengelola laboratorium, namun jangka waktu realisasi pengamprahan yang terlampau lama
mengakibatkan mahasiswa masih memanfaatkan alat dan bahan seadanya yang tentunya
mengurangi kualitas pembelajaran di laboratorium kimia itu sendiri.

69
Buku Prosiding Seminar Nasional

2) Fasilitas penunjang pembelajaran di laboratorium kimia juga kurang memadai, seperti kipas
angin dan lampu penerangan.
3) Luas bangunan laboratorium yang kurang memadai, di mana ruangan laboratorium yang sempit
juga mempengaruhi suasana laboratorium pada saat praktikum. Hal ini juga mempengaruhi
jumlah maksimal mahasiswa yang praktikum di laboratorium adalah ± 20 orang. Sehingga
dalam sehari bisa ada beberapa gelombang kelompok mahasiswa yang masuk untuk praktikum
sehingga memperngaruhi pula stamina dosen dan laboran yang mendampingi praktikum bagi
kelas dengan jumlah besar. Apalagi, durasi waktu praktikum adalah 2 jam perkuliahan.
4) Keselamatan kerja belum menjadi prioritas padahal itu telah ada dalam standar pembelajaran
di laboratorium. Hal ini disebabkan karena tidak tersedianya peralatan keselamatan kerja
yang memadai. Di laboratorium kimia hanya tersedia tabung pemadam kebakaran.
5) Pengaturan jadwal penggunaan laboratorium masih belum dipatuhi secara konsisten oleh
mahasiswa. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, sebenarnya laboratorium kimia
sudah memiliki jadwal pemakaian laboratorium baku yang dirancang dari hasil diskusi
dengan dosen-dosen pengampu mata kuliah. Namun, mahasiswa yang seharusnya mengikuti
jadwal tersebut banyak yang tidak mematuhinya dengan alasan bekerja.

3.3 Motivasi Belajar Mahasiswa pada Pembelajaran di Laboratorium Kimia


Berdasarkan hasil kuisioner yang diberikan pada 37 orang mahasiswa Prodi Pendidikan
Biologi (yang mengambil mata kuliah Biokimia pada tahun akademik 2015/2016) dengan kuisioner
yang terdiri atas 30 butir pertanyaan diperoleh skor tertinggi adalah 144 dari skor maksimal yang
bisa dicapai oleh mahasiswa yaitu 150, skor terendah adalah 103 dari skor terendah yang bisa
dicapai yaitu 30. Untuk mengetahui tingkat kecenderungan skor motivasi belajar mahasiswa
Prodi Pendidikan Biologi dalam pembelajaran di laboratorium kimia diperoleh dengan mencari
mean ideal (Mi) dan standar deviasi ideal (SDi). Kemudian, nilai Mi dan SDi dikonversikan ke
dalam tabel kecenderungan dengan 5 (lima) kategori.
Skor motivasi belajar mahasiswa terbanyak pada interval 100 - < 120 yaitu sebanyak 26
orang atau 70,27 %, sedangkan sisanya sebanyak 29,73% berada pada interval 120 – 150. Rata-
rata skor motivasi belajar sebesar 116 terletak pada rentangan skor 100 - < 120 yaitu termasuk
dalam kategori tinggi. Berikut ini disajikan histogram perolehan skor motivasi belajar.
skor

mahasiswa

Gambar 2. Histogram Perolehan Skor Motivasi Belajar Mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi
pada Pembelajaran di Laboratorium Kimia Unmas Denpasar

70
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Berdasarkan hasil pemaparan analisis data tersebut menunjukkan bahwa rata-rata


mahasiswa memang memiliki motivasi yang tinggi dalam mengikuti proses pembelajaran di
laboratorium kimia. Hal ini dapat diketahui pula dari latar belakang mahasiswa yang memang
memilih Prodi Pendidikan Biologi sebagai prodi pilihan sehingga secara sadar mereka mengikuti
perkuliahan baik di kelas maupun di laboratorium dengan serius. Motivasi belajar mahasiswa
Prodi Pendidikan Biologi memang telah membuktikan bahwa mahasiswa memiliki keseriusan
dalam pembelajaran di labotorium kimia. Namun, motivasi ini masih perlu ditingkatkan lagi
dengan karena hanya 29,73% mahasiswa yang memiliki motivasi ideal yakni sangat tinggi atau
dengan kata lain benar-benar antusias dalam pembelajaran di laboratorium kimia. Hal ini sesuai
dengan pernyataan bahwa motivasi merupakan kemauan demi mengerjakan sesuatu, di mana
kemauan tersebut akan nampak dari usaha seseorang untuk mengerjakan sesuatu (Azwar, 2010).
Sejalan dengan (Frith, 2006) yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki motivasi tinggi
akan lebih keras berusaha daripada seseorang yang memiliki motivasi rendah. Pebelajar dengan
motivasi belajar yang tinggi nampaknya akan memperoleh prestasi yang lebih tinggi. Motivasi
tersebut muncul karena adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan. Secara umum, hal yang
mempengaruhi motivasi intrinsik seseorang dalam belajar adalah keingintahuan (curiosity),
kepercayaan diri akan keberhasilan (self eficacy), sikap (attitude), dan kebutuhan (need).
1) Curiosity (keingintahuan)
Keingintahuan adalah sesuatu yang membuat orang mencari lebih jauh tentang sesuatu. Rasa
ingin tahu membuat mahasiswa ingin mengetahui bagaimana hasil praktikum yang sesuai dengan
tujuan praktikum sehingga mengikuti langkah-langkah dalam petunjuk praktik dengan cermat.
Rasa ingin tahu yang lebih tinggi juga akan mengakibatkan mahasiswa bertanya jika merasa
bahwa langkah pengerjaan dalam praktikum sudah dilakukan tetapi belum memperoleh tujuan
atau tidak sesuai dengan tujuan praktikum tersebut.
2) Self-Eficacy (kepercayan diri akan keberhasilan)
Kepercayaan diri terjadi apabila mahasiswa sudah mencapai tingkat pemahaman. Jika mahasiswa
sudah berhasil menemukan tujuan praktikum dan memahaminya di sana akan tampak bahwa
mahasiswa tersebut akan termotivasi kembali untuk memecahkan masalah-masalah yang lainnya.
3) Attitude (sikap)
Sikap ini penting dalam menentukan motivasi seseorang. Jika mahasiswa bersikap positif terhadap
pembelajaran yang dilakukan, maka akan termotivasi untuk belajar. Sikap lebih merupakan
komoditas atau karakteristik seseorang yang abstrak. Sikap adalah karakteristik intrinsik
seseorang, namun sangat menentukan hasil pembelajarannya.
4) Need (kebutuhan)
Kebutuhan merupakan hal yang sangat besar artinya bagi seseorang. Seorang yang memiliki
kebutuhan akan berupaya untuk memenuhinya. Dalam hal ini, mahasiswa yang merasakan memiliki
kebutuhan akan pemahaman dan nilai yang baik dalam mata kuliah akan berupaya memenuhi
kebutuhan tersebut dengan mengikuti pembelajaran dengan serius, baik itu pembelajaran di kelas,
laboratorium maupun lapangan.

4. Simpulan dan Saran


Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut.
1) Pembelajaran di laboratorium kimia Unmas Denpasar telah sesuai dengan ketentuan proses
pembelajaran di laboratorium, yaitu; memiliki prinsip-prinsip pembelajaran di laboratorium
dan pelaksanaan eksperimen telah terdiri dari tahap persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut.
Terdapat kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran, seperti; kurang memadainya
peralatan dan bahan-bahan praktikum, fasilitas penunjang pembelajaran, luas laboratorium
serta keselamatan kerja. Selain itu, pengaturan jadwal penggunaan laboratorium masih belum
dipatuhi secara konsisten.
2) Motivasi belajar mahasiswa pada pembelajaran di laboratorium kimia sudah termasuk

71
Buku Prosiding Seminar Nasional

kategori tinggi, yaitu dengan rata-rata skor 116 yang menunjukkan bahwa Mahasiswa
Prodi Pendidikan Biologi memang memiliki keseriusan dalam mengikuti pembelajaran di
labotorium kimia.
Dari hasil penelitian ini, peneliti memandang perlu menyampaikan saran-saran sebagai
berikut.
1) Peralatan dan bahan-bahan di laboratorium kimia perlu ditingkatkan dari segi kuantitas
maupun kualitas karena akan berpengaruh pada proses pembelajaran di laboratorium tersebut.
2) Diadakan perbaikan dan penambahan jumlah fasilitas penunjang, seperti misalnya kipas
angin/AC agar proses pembelajaran semakin optimal.
3) Diperlukan fasilitas atau peralatan keselamatan kerja di laboratorium kimia, mengingat
banyaknya zat-zat berbahaya serta keadaan ruangan yang cukup sempit sehingga keselamatan
kerja pengguna laboratorium kimia perlu diberikan prioritas utama.
4) Kurangnya kesadaran terhadap keselamatan kerja di Laboratorium Kimia Universitas
Mahasaraswati Denpasar, mengakibatkan perlunya diadakan semacam pelatihan yang
memberikan pengenalan prosedur keselamatan kerja di laboratorium kimia.

5. Daftar Pustaka

Azwar, Saifuddin. (2010). “Motivasi dalam Belajar”. Laman web: http://azwar.staff.ugm.ac.id/


iles/2010/05 [diakses 16 April 2016].
Beratha,D.G. (2011). “Pengaruh Pembelajaran Berbasis Proyek Dipadukan dengan Kecerdasan
Ganda terhadap Aktivitas dan Motivasi Belajar Siswa SMP”. Tesis, Universitas
Pendidikan Ganesha.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). “Proses Pembelajaran di Kelas, Laboratorium dan
Lapangan”. Materi Diklat yang disusun oleh dosen LPTK dan widya iswara dari LPMP
dan P4TK.
Frith. (2006). “Motivation to Learn”. laman web: www.arcsmodel.com [diakses 14 Juni 2015].
Miles, M.B. & Huberman, H.M. (1992). Analisis Data Kualitatif (Buku Sumber tentang Metode-
Metode Baru). Jakarta: UI-Press.
Miru, Allmuddin S. (2009). “Hubungan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar Mata Diklat
Instalasi Listrik Siswa SMK Negeri 3 Makassar”. Jurnal MEDTEK, volume 1 nomor 1.
Moleong, L. J. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdikarya.
Sardiman. (2005). Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: RajaGraindo Persada.

72
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN COLLABORATIVE
TEAMWORK LEARNING DAN MOTIVASI BERPRESTASI
TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA SD

Yoseina Uge Lawe


STKIP Citra Bakti, Ngada, NTT
e-mail: yoseinaugelawe@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Collaborative
Teamwork Learning dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar IPA. Instrumen Penelitian
yang digunakan adalah kuesioner dan tes hasil belajar IPA. Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan statistik deskriptif dan inferensial. Pengujian hipoetsis menggunakan ANAVA
dua jalur. Hasil analisis data adalah sebagai berikut. Pertama, terdapat perbedaan hasil belajar
IPA antara siswa yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork Learning
dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional, sesuai hasil analisis anava
dengan nilai FA = 10,70. Kedua, hasil belajar IPA siswa yang memiliki motivasi berprestasi
tinggi yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning lebih baik
daripada siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional, dengan hasil uji t-scheffe =
4.10. Ketiga, hasil belajar IPA pada siswa yang mengikuti model pembelajaran collaborative
teamwork learning dan konvensional pada siswa yang mempunyai motivasi berprestasi
rendah tidak mengalami tingkat signiikan dengan hasil uji t-scheffe = 0,60, karena hasil
belajarnya tidak jauh beda. Keempat, terdapat pengaruh antara model pembelajaran dengan
motivasi berprestasi siswa terhadap hasil belajar IPA, sesuai hasil analisis anava dengan
nilai FAB = 4,76. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa model pembelajaran
collaborative teamwork learning dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi.

Kata kunci: collabirative teamwork learning, motivasi berprestasi, Hasil Belajar

Abstract
This study aimed to determine the effect of learning Collaborative Teamwork Learning models
and achievement motivation toward natural science learning outcomes. Research instruments
used are questionnaires and test of natural sciences learning outcomes. Data were analyzed
using descriptive and inferential statistics. Testing hipoetsis using ANOVA two paths. The
results of the data analysis are as follows. First, there are differences in natural science learning
outcomes between students who take collaborative teamwork Learning models and students
who take the conventional learning models, according to the results of ANOVA with value FA
= 10.70. Second, natural science learning outcomes of students who have high achievement
motivation that follows the collaborative teamwork learning model better than students
who take the conventional learning model, with the results of Scheffe’s t-test = 4.10. Third,
the natural sciences learning outcomes in students who take the collaborative teamwork
learning and conventional learning model in students with low achievement motivation
did not experience signiicant levels with the results of Scheffe’s t-test = 0.60, because the
study results are not much different. Fourth, there is the inluence of the learning models and
achievement motivation of students natural science learning outcomes, according to the results
Anova analysis with FAB value = 4.76. The results provide an indication that the collaborative
teamwork learning model can improve students natural sciences learning outcomes who have
high achievement motivation.

Keywords: collabirative teamwork learning, achievement motivation, learning outcomes

73
Buku Prosiding Seminar Nasional

1. Pendahuluan

D
alam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, pemerintah telah menetapkan
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang
tersebut mengamanatkan bahwa, Standar Nasional Pendidikan dijadikan landasan atau
pedoman pengembangan satuan pendidikan dan pengendalian mutu pendidikan. Undang-Undang
tersebut dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria
minimal tentang berbagai aspek yang relevan dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional
yang harus dipenuhi oleh penyelenggaraan satuan pendidikan yang berlaku di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional Pendidikan mencakup standar isi, tenaga
kependidikan, sarana-prasarana, pembiayaan, proses pendidikan, proses pegelolaan, penilaian,
dan kompetensi lulusan (Depdiknas, 2006:17).
Mengingat begitu pentingnya IPA di sekolah seperti yang disebutkan di atas, diperlukan
suatu strategi yang tepat dalam pembelajaran agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai sesuai
yang diinginkan. IPA merupakan salah satu pelajaran yang digemari oleh siswa terkait dengan
kegunaannya. Kenyataannya keluhan dan kekecewaan terhadap hasil yang dicapai siswa dalam
IPA hingga kini masih sering diungkapkan. Umumnya siswa mengatakan IPA merupakan
pelajaran yang sulit dan membosankan, tidak menarik, dan bahkan penuh misteri. Ini disebabkan
karena pelajaran IPA dirasakan sukar, gersang, dan tidak tampak kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari.
Pada kenyataanya masih terdapat kesenjangan yang cukup besar antara apa yang diharapkan
dalam belajar IPA dengan kenyataan yang dicapai. Hal ini menjadi dilema bagi para pendidik
dan para ahli, karena di satu pihak IPA itu sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya nalar
dan dapat melatih siswa agar mampu berpikir logis, kritis, sistematis, dan kreatif. Di pihak lain
banyak siswa tidak menyenangi dan mengalami kesulitan dalam mempelajari IPA.
Namun pada kenyataannya, hasil belajar siswa masih rendah. Rendahnya hasil belajar
erat kaitannya dengan masalah proses pembelajaran yang dialami siswa, salah satunya adalah
penyampaian materi pelajaran. Penyampaian materi pelajaran adalah kegiatan yang penting
dalam proses pembelajaran, karena proses belajar mengajar menentukan berhasil tidaknya suatu
proses pembelajaran yang berlangsung dan yang bertugas untuk itu adalah guru.
Seorang guru memiliki fungsi utama untuk mengajar, mendidik, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Dalam menjalankan tugasnya, guru secara
langsung berhubungan dengan kepentingan dan kebutuhan peserta didik untuk tumbuh dan
berkembang ke arah kedewasaan dan kemandirian melalui proses pembelajaran. Melalui interaksi
edukatif antara guru dengan siswa akan dapat mengembangkan proses kognitif, afektif, dan
psikomotor, sehingga dihasilkan suatu hasil belajar yang berguna untuk masa depan anak didik,
masyarakat, dan bangsa.
Teknik mengajar dan variasi mengajar guru dalam menggunakan multimetode juga sangat
menentukan kualitas dari output yang dihasilkan. Kebiasaan umum guru dalam cara mengajar
hanyalah berpusat pada guru saja. Pembelajaran yang berpusat pada guru sangat membosankan,
karena guru hanya mengaktifkan ingatan jangka pendek siswa dan tidak memotivasi siswa
untuk aktif dalam pembelajaran, sehingga siswa tidak memahami lebih mendalam apa yang telah
diajarkan.
Cara mengajar yang berpusat pada guru tersebut juga digunakan pada semua guru di SD
se-Gugus II kecamatan Golewa Barat kabupaten Ngada. Berdasarkan obsevasi di kelas dan
wawancara yang telah dilakukan dengan guru mata pelajaran IPA. Hal ini menyebabkan dampak
negatif pada hasil belajar siswa. Rendahnya hasil belajar IPA, dapat dilihat dari banyaknya siswa
yang harus mengikuti remidi setelah diberikanya tes akhir oleh guru.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di SD se-gugus II kecamatan Golewa Barat,
Kabupaten Ngada, memperoleh data bahwa hasil belajar IPA masih cenederung rendah yaitu

74
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

masih ada siswa yang belum mencapai KKM yang ditetapkan oleh gugus tersebut yaitu 70 hal
ini disebabkan oleh cara mengajar guru yang cenderung menggunakan metode konvensional
mengakibatkan siswa memiliki motivasi rendah dan tidak bisa menggali pengetahuan sendiri
berdasarkan petunjuk-petunjuk dari guru. Hal tersebut berdampak pada pengetahuan yang dimiliki
siswa tidak bersifat ingatan jangka panjang, sehingga tidak jarang ada siswa yang melupakan
materi pelajaran dengan begitu cepat karena konsep yang dimiliki hanya bersifat hapalan, bukan
pemahaman.
Keberhasilan suatu proses pembelajaran juga tergantung pada motivasi belajar yang dimiliki
siswa. Motivasi belajar tersebut tidak saja dari guru atau keluarga di rumah secara eksternal,
tetapi juga dari siswa itu sendiri secara internal. Tumbuhnya motivasi secara internal jauh lebih
penting jika dibandingkan dengan motivasi eksternal, karena motivasi internal ini merupakan
tingkat kesadaran siswa yang memahami kewajiban dirinya sebagai seorang siswa. Jika siswa itu
menyadari dengan kewajiban-kewajiban dirinya, maka dengan sendirinya ia harus menumbuhkan
motivasi untuk berprestasi dalam setiap mata pelajaran.
Motivasi berprestasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses belajar. Hal ini
berarti bahwa siswa yang memiliki motivasi beprestasi yang tinggi akan menunjukkan intensitas
usaha yang lebih tinggi. Makin tinggi motif berprestasi yang dimilikinya, maka makin tinggi pula
usaha yang ditunjukkannya, sehingga makin tinggi pula hasil belajar yang dicapainya. Sebaliknya,
siswa yang memiliki motif berprestasi yang rendah akan menunjukkan intensitas usaha yang
kurang, sehingga hasil belajarnya kurang dapat diharapkan.
Pada kenyataannya, ada siswa yang memiliki motif berprestasi yang tinggi, menunjukkan
intensitas yang sangat tinggi, tetapi hasil belajar yang dicapainya rendah. Sebaliknya, siswa yang
memiliki motif berprestasi rendah menunjukkan intensitas usaha yang rendah, tetapi hasil belajar
yang dicapainya tinggi. Demikian juga halnya dengan kenyataan yang ada di Sekolah Dasar se- se-
Gugus IV kecamatan Golewa Barat kabupaten Ngada, bahwa siswa belajar pada hakikatnya ingin
menjadi juara atau peringkat kelas, misalnya ingin menjadi juara kelas. Kenyataannya mereka
mengalami masalah dalam memenuhi keinginannya sebagai juara untuk memperoleh peringkat,
tidaklah semudah yang mereka bayangkan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhinya, baik
yang bersifat internal maupun eksternal, seperti motivasi berprestasi.
Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya perbaikan dalam strategi pembelajaran yang lebih
mengaktifkan siswa serta dapat mengembangkan daya nalarnya. Salah satu model pembelajaran
tersebut adalah model pembelajaran konstrktivistik. Pada model pembelajaran ini guru tidak
mengharuskan siswa menghafalkan fakta-fakta tetapi guru hendaknya mendorong siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. Selain itu, guru juga harus berusaha
membuat siswa ikut terlibat dalam pembelajaran. Dengan demikian, melalui model pembelajaran
collaborative Teamwork Learning siswa diharapkan belajar melalui “mengalami” bukan
menghafal.
Model pembelajaran Collaborative Teamwork Learning merupakan suatu model pembelajaran
yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan kemampuan bekerja secara kolaboratif
dalam tim. Dimitriadou, et al., (2008) menyatakan bahwa kolaborasi merupakan proses kerja
sama dengan menerima tujuan dan ilsafat, serta karakteristik pemahaman dari individu (seperti
kompetensi, pengetahuan, kepribadian, dan perilaku) yang esensial. Pembelajaran Kolaboratif
atau Collaborative Learning adalah situasi dimana terdapat dua atau lebih orang belajar atau
berusaha untuk belajar sesuatu secara bersama-sama. Tidak seperti belajar sendirian, orang yang
terlibat dalam collaborative learning memanfaatkan sumber daya dan keterampilan satu sama lain
(meminta informasi satu sama lain, mengevaluasi ide-ide satu sama lain, memantau pekerjaan satu
sama lain, dll). Lebih khusus, collaborative learning didasarkan pada model di mana pengetahuan
dapat dibuat dalam suatu populasi di mana anggotanya secara aktif berinteraksi dengan berbagi
pengalaman dan mengambil peran asimetri (berbeda).
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini

75
Buku Prosiding Seminar Nasional

adalah. 1) Apakah terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran Collaborative Teamwork Learning dengan kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V SD se-Gugus II Kecamatan Golewa Barat
Kabupaten Ngada?. 2) Apakah terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang
mengikuti model pembelajaran Collaborative Teamwork Learning dengan kelompok siswa yang
mengikuti model pembelajaran konvensional pada kelompok siswa yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi pada siswa kelas V SD se-Gugus II Kecamatan Golewa Barat Kabupaten
Ngada?. 3) Apakah terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran Collaborative Teamwork Learning dengan kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran konvensional pada kelompok siswa yang memiliki motivasi berprestasi
rendah pada siswa kelas V SD se-Gugus II Kecamatan Golewa Barat Kabupaten Ngada?. 4)
Apakah terdapat pengaruh interaksi model pembelajaran Collaborative Teamwork Learning dan
motivasi berprestasi terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V SD se-Gugus II Kecamatan Golewa
Barat Kabupaten Ngada?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah. 1) Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar IPA
antara kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran Collaborative Teamwork Learning
dengan kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V
SD se-Gugus II Kecamatan Golewa Barat Kabupaten Ngada. 2) Untuk mengetahui perbedaan
hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran Collaborative
Teamwork Learning dengan kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional
pada kelompok siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi pada siswa kelas V SD se-Gugus
II Kecamatan Golewa Barat Kabupaten Ngada. 3) Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar IPA
antara kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran Collaborative Teamwork Learning
dengan kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional pada kelompok
siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah pada siswa kelas V SD se-Gugus II Kecamatan
Golewa Barat Kabupaten Ngada. 4) Untuk mengetahui pengaruh interaksi model pembelajaran
Collaborative Teamwork Learning dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar IPA siswa kelas
V SD se-Gugus II Kecamatan Golewa Barat Kabupaten Ngada

2. Metode Penelitian
2.1 Jenis Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah eksperimen semu karena tidak semua variabel dikontrol
secara ketat artinya dalam kegiatan eksperimen, siswa tidak dipisah secara nyata antara yang
memiliki motivasi berprestasi tinggi dan motivasi berprestasi rendah.
Dengan memperhatikan variabel-variabel yang di atas, maka penelitian ini menggunakan
rancangan dua faktor versi faktorial 2 x 2. Faktor pemilahnya adalah variabel kendali motivasi
berprestasi siswa. Pemilahan dibagi atas dua kelompok, yaitu siswa dengan model pembelajaran
collaborative teamwork learning yang memiliki motivasi berprestasi tinggi dan motivasi
berprestasi rendah, model pembelajaran konvensional yang memiliki motivasi berprestasi tinggi
dan motivasi berprestasi rendah. Desain penelitian ini dapat dilihat pada tabel 01.

Tabel 01 Desain Penelitian Faktorial 2 x 2


Model Pembelajaran (A)
CTL Konvensional
(A1) (A2)
Motivasi Berprestasi (B)
Motivasi Tinggi (B1) A1B1 A2B1
Motivasi Rendaah (B2) A1B2 A2B2

Keterangan:

76
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

A : Model pembelajaran
A1 : Kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
CTL.
A2 : Kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
konvensional.
B : Motivasi berprestasi
B1 : Kelompok siswa yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi
B2 : Kelompok siswa yang mempunyai motivasi berprestasi rendah

2.2. Subjek/Objek Peneltian


Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD, sedangkan Objek dalam penelitian ini
adalah motivasi berprestasi dan hasil belajar IPA.

2.3 Teknik/Instrumen Pengumpulan Data


2.3.1 Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah (1) data tentang hasil belajar IPA siswa
kelas V SD se-gugus II kecamatan Golewa Barat kabupaten Ngada yang telah melaksanakan
pembelajaran IPA; (2) data tentang motivasi berprestasi siswa kelas V SD se-gugus se-gugus II
kecamatan Golewa Barat kabupaten Ngada.
Dalam pengumpulan data seperti tersebut di atas, maka dalam penelitian ini akan digunakan
metode tes dan kuesioner. Untuk dapat mengumpulkan data dalam suatu penelitian itu perlu
dibuat dengan memperhatikan syarat-syarat pengumpulan instrument, sehingga merupakan
alat ukur yang dapat dipertanggung jawabkan. Untuk pengumpulan data dalam instrument ini
digunakan dua jenis alat (instrument) penelitian yaitu, berupa kuesioner motivasi berprestasi dan
seperangkat tes hasil belajar IPA.
Berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, maka ada dua jenis data
yang diperlukan, yaitu data tentang hasil belajar IPA siswa dan motivasi berprestasi. Untuk
mengumpulkan kedua jenis data penelitian yang diperlukan, maka digunakan instrument
penelitian berupa metode kuesioner untuk motivasi berprestasi dan metode tes untuk menentukan
hasil belajar IPA yang dibagikan kepada semua siswa yang menjadi subyek penelitian. Pemberian
kuesioner merupakan teknik pengumpulan data tentang motivasi berprestasi siswa kelas V SD se-
gugus II kecamatan Golewa Barat kabupaten Ngada, sedangkan pemberian post-test merupakan
teknik pengumpulan data tentang hasil belajar siswa kelas V SD se-gugus II kecamatan Golewa
Barat kabupaten Ngada.

2.3.2 Instrumen Penelitian


Data primer dalam penelitian ini diperoleh setelah tahap akhir penelitian yaitu dengan
memberikan post-tes kepada subyek dalam penelitian ini yaitu kelas V SD se-gugus II kecamatan
Golewa Barat kabupaten Ngada. Berikutnya data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis
dengan menggunakan rumus Anava-AB.
Adapun instrument dan validasi instrumen dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 02.

Tabel 02 Instrumen dan Validasi Instrumen


No Jenis Data Sumber Instrumen Validitasi Instrumen
Data
1. Hasil Belajar IPA Siswa Tes hasil belajar a. Validitas butir
b. Reliabilitas tes
2. Motivasi Berprestasi Siswa Kuesioner a. Validitas butir
b. Reliabilitas tes

77
Buku Prosiding Seminar Nasional

Tes hasil belajar IPA yang dikembangkan digunakan untuk mengumpulkan data hasil belajar
siswa dalam pembelajaran IPA setelah diberikan perlakuan. Berdasarkan tabel instrumen tersebut
di atas, langkah-langkah penyusunan instrumen tes hasil belajar IPA adalah sebagai berikut: (1)
mengidentiikasi standar kompetensi, (2) mengidentiikasi kompetensi dasar (3) mengidentiikasi
dan menjabarkan indikator pencapaian, (4) menyusun kisi-kisi soal tes hasil belajar, (5)
menentukan kriteria penilaian (6) menulisan butir-butir tes, (7) uji lapangan, (8) analisis hasil uji
lapangan, (9) revisi butir, dan (10) inalisasi instrumen. Instrumen motivasi berprestasi disusun
mengikuti langkah-langkah, yaitu: (1) menyusun kisi-kisi kuesioner motivasi berpreastasi, (2)
menentukan kriteria penilaian, (3) penulisan butir-butir kuesioner, (4) uji lapangan, (5) analisis
uji lapangan, (6) revisi butir, dan (7) inalisasi instrumen.
Kuesioner motivasi berprestasi ini berjumlah 40 butir. Kuesioner ini menggunakan skala
Likert, yaitu kuesioner/instrument skala lima, alternatif jawaban terhadap lima buah serta skor
berkisar 1 sampai 5. Dalam pengisian kuesioner motivasi ini dengan mengisi tanda (X) pada
salah satu kolom alternatif jawaban yang paling sesuai dengan pilihan siswa (responden). Dalam
kuesioner ini alternatif jawaban yang disediakan adalah Selalu (SL), Sering (SR), Kadang-
kadang (KD), Jarang (JR), dan Tidak Pernah (TP). Skor instrument ini bergerak dari 1 sampai 5,
skor 1 diberikan pada siswa yang menjawab tidak pernah dan skor 5 diberikan pada siswa yang
jawabannya selalu pada pernyataan yang positif. Sebaliknya, untuk pernyataan negatif, skor 1
diberikan pada siswa yang menjawab selalu dan skor 5 diberikan pada siswa yang menjawab
tidak pernah.

2.4 Metode Analisi Data


Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis statistik deskriptif dan statistik
inferensial dalam hal ini yaitu anava dua jalur. Dalam menggunakan analisis varian harus dilakukan
uji prasyaratan analisis terlebih dahulu. Uji analisis data meliputi uji normalitas dan homogenitas.

1.1.1 Uji Prasyarat Analisis


1) Uji Normalitas Sebaran Data
Sebelum anava digunakan, maka persyaratan yang harus dipenuhi adalah: data setiap
kelompok berdistribusi normal, data semua kelompok harus homogen, dan data-data dipilih
secara acak (random). Distribusi normal sebagai alat statistik yang terpenting untuk melakukan
analisis lebih lanjut dari data keadaan kelompok, sehingga dapat dianalisis perbedaan maupun
hubungan, serta meramalkannya (statistik parametrik dapat digunakan).
H 0 : fo = fh → normal
H 1 : fo ≠ fh → tidak normal

Uji normalitas sebaran data dilakukan untuk menyajikan bahwa sampel benar-benar
berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji normalitas sebaran data dilakukan dengan
analisis Chi-Square dengan rumus sebagai berikut.

c2 =∑
( fo − fe )2
(Koyan, 2009:87)
Keterangan: fe
c2 = koeisien Chi-Kuadrat
fo = frekuensi pengematan (observasi)

Kriteria pengujian sampel jika, X hitung > X tabel maka sampel tidak berdistribusi
fe = frekuensi harapan

normal dan jika X hitung < X tabel maka sampel berdistribusi normal. Pengujian dilakukan pada
2 2
2 2

taraf signiikansi 5% dengan derajat kebebasan untuk dk = k-1.


2) Uji Homogenitas Varians
Uji homogenitas data dilakukan untuk menyajikan bahwa perbedaan yang terjadi pada uji

78
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

hipotesis benar-benar terjadi akibat perbedaan dalam kelompok. Uji homogenitas varian untuk

H0 = s 1 = s =s =s
kedua kelompok digunakan uji F dari Havley dengan rumus sebagai berikut.
2 2 2 2
2 3 4

H 1 = salah satu tanda ≠ tidak berlaku

F=
S12
S 22
Keterangan:
S12 = varians yang lebih besar
S22 = varians yang lebih kecil
Kriteria pengujian homogenitas, data mempunyai varians homogenitas bila, Fhitung < Ftabel
= F1-α (db pembilang, db penyebut). Pengujian dilakukan pada taraf signiikansi 5% dengan α = 0,05.
3) Uji Hipotesis
Uji hipotesis yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Analisis Varians
(ANAVA) dua jalur.
Hipotesis statistik yang diajukan dan yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1) H o : µA1 = µA2
H1 : µA1 ≠ µA2
2) H o : µA1 B1 = µA2 B1
H1 : µA1 B1 ≠ µA2 B1
3) H o : µA1 B2 = µA2 B2
H1 : µA1 B2 ≠ µA2 B2
4) H 0 : µAB = 0
H1 : µAB ≠ 0 (Koyan, 2009:36)
Keterangan:
µA1 : Rata-rata hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran dengan mengunakan model
pembelajaran collaborative teamwork learning.
µA2 : Rata-rata hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran konvensional.
µA1 B1 : Rata-rata hasil belajar siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yang mengikuti
pembelajaran menggunakan model pembelajaran collaborative teamwork learning.
µA2 B1 : Rata-rata hasil belajar siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yang mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran konvensional.
µA1 B2 : Rata-rata hasil belajar siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah yang mengikuti
pembelajaran menggunakan model pembelajaran collaborative teamwork learning.
µA2 B2 : Rata-rata hasil belajar siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah yang mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran konvensional.
AB : Interaksi antara model pembelajaran collaborative teamwork learning dengan motivasi
berprestasi.

Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini yaitu
dengan menggunakan analisis varian dua jalur, dengan rumus sebagai berikut.
a) Menghitung Jumlah Kuadrad Total (JKtot):

JKtot = ΣΧ tot 2 −
(ΣΧ ) tot 2
2

N
b) Menghitung Jumlah Kuadrad Antar Kelompok (JKantar):

= ∑
(∑ X ) (∑ X ) A
2
tot
2

JKantara A −
nA N
(∑ X ) (∑ X ) 2 2

∑ −
79
∑ ∑
∑ − − − JK
ΣΧ
ΣΧ −

Buku Prosiding Seminar Nasional ∑ ∑


∑ nA

N

= ∑
(∑ X ) (∑ X )
B
2
tot
2

JKantara B −
nB N
(∑ X ) (∑ X ) 2 2


AB tot
JKinter AB = − − JK A − JK B
n AB N
c) Menghitunng Jumlah Kuadrad Dalam Kelompok (JKdal):
2
⎛ ΣΧ ΑΒ ⎞
JKdal = ΣΧ tot 2 − Σ⎜⎜ ⎟⎟
⎝ n ΑΒ ⎠
d) JKtot = JKA + JKB + JKAB + JKdal
e) Menghitung Derajat Kebebasan (db):
db A = a-1
db B = b-1
db inter AB = db A x db B
db dalam = N – ab
f) Menghitung Mean Kuadrad Antar Kelompok (MKantar):
MKA = JKA : dbA
MKB = JKB : dbB
MKAB = JKAB dbAB
g) Menghitung Mean Kuadrad Dalam Kelompok (MKdal)
MKdalam = JKdal : dbdal
h) Menghitung analisis varians menggunakan uji F (Fisher) dengan rumus:
FA = MKA : MKdalam
FB = MKB : MKdalam
FAB = MKAB:MKdalam
i) Konsultasikan pada tabel F dengan db pembilang dan db penyebut.
j) Aturan keputusan : Jika F hitung lebih besar daripada F tabel pada taraf signiikansi
5%, maka Ha diterima dan H0 ditolak.
k) Membuat kesimpulan, apakah terdapat perbedaan yang signiikan atau tidak.
l) Membuat tabel ringkasan analisis varians untuk menguji hipotesis

B signiikan maka, dilanjutkan dengan uji hipotesis 2 dan 3 dengan uji t-Scheffe,
Jika F A
maka rumusnya adalah sebagai berkut:
X1 − X 2
t= , dimana db t = db dalam
2 xMKdal (Koyan, 2009:32)
n
Keterangan:
X1 = rata-rata sampel 1
X2 = rata-rata sampel 2
MKdal = mean kuadrat dalam
n = jumlah sampel
db = derajat kebebasan

3. Pembahasan Hasil
1.1 Analisis Data dan Pengujian Hipotesis
1) Uji Prasyaratan Analisis
Sebelum data dianalisis terlebih dahulu dilakukan uji prasyaratan analisis. Untuk analisis
yang menggunakan analisis varians dua jalur, uji prasyaratannya meliputi uji normalitas dan uji
homogenitas.

80
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

(1) Uji Normalitas Sebaran Data


Uji normalitas dilakukan untuk meyakinkan bahwa uji statistik yang digunakan dalam
pengujian hipotesis benar-benar bisa dilakukan. Hal ini penting, karena jika data tidak normal
maka uji analisis varians (ANAVA) dua jalur tidak bisa dilakukan. Uji normalitas dalam penelitian
ini menggunakan rumus Chi-kuadrat ( c 2 ) pada keenam kelompok data.
Kelompok pertama adalah data hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model
pembelajaran collaborative teamwork learning. Kelompok kedua adalah data hasil belajar IPA
siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Kelompok ketiga, data hasil belajar
IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi. Kelompok keempat, data hasil belajar IPA siswa yang mengikuti
model pembelajaran collaborative teamwork learning yang memiliki motivasi berprestasi rendah.
Kelompok kelima, data hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional
yang memiliki motivasi berprestasi tinggi. Kelompok keenam, data hasil belajar IPA siswa yang
mengikuti model pembelajaran konvensional yang memiliki motivasi berprestasi rendah.
2
Penghitungan uji Chi-kuadrat ( c 2 ) menunjukkan bahwa harga c hitung lebih kecil
2
daripada harga c tabel untuk semua kelompok data. Ini berarti H0 diterima (gagal ditolak), maka
keenam kelompok data berdistribusi normal. Ringkasan uji normalitas untuk keenam kelompok
tersebut di atas disajikan pada tabel 04.

Tabel 04. Rekapitulasi Hasil Uji Normalitas

No Kelompok Sampel Jumlah Sampel 2 2 Kesimpulan


c hitung c tabel
1 A1 36 5,457 11,07 Normal
2 A2 36 8,001 11,07 Normal
3 A1B1 18 1,048 11,07 Normal
4 A1B2 18 1,110 11,07 Normal
5 A2B1 18 3,989 11,07 Normal
6 A2B2 18 5,483 11,07 Normal

(2) Uji Homogenitas Varians


Uji homogenitas varians dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa perbedaan yang
diperoleh dari uji ANAVA dua jalur benar-benar berasal dari perbedaan antar kelompok, bukan
disebabkan oleh perbedaan di dalam kelompok.
Uji homogenitas varians dilakukan terhadap, pertama: dua kelompok data yaitu (1) data
hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning
(kelompok eksperimen) dan (2) data hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran
konvensional (kelompok kontrol), kedua: kelompok data hasil belajar IPA yaitu: (1) data hasil belajar
IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi, (2) data hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran
collaborative teamwork learning yang memiliki motivasi berprestasi rendah, (3) data hasil belajar
IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional yang memiliki motivasi berprestasi
tinggi, dan (4) data hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional
yang memiliki motivasi berprestasi rendah. Uji homogenitas yang dilakukan adalah uji F dari hasil
perhitungan uji homogenitas, pertama: dua kelompok data yaitu (1) data hasil belajar IPA siswa
yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning (kelompok eksperimen)
dan (2) data hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional (kelompok
kontrol). Sedangkan, perhitungan uji F pada keempat kelompok data yaitu: (1) data hasil belajar
IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning yang memiliki

81
Buku Prosiding Seminar Nasional

motivasi berprestasi tinggi, (2) data hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran
collaborative teamwork learning yang memiliki motivasi berprestasi rendah, (3) data hasil belajar
IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional yang memiliki motivasi berprestasi
tinggi, dan (4) data hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional
yang memiliki motivasi berprestasi rendah.
Pengujian homogenitas varians menggunakan uji F pada taraf signiikansi 5% (α =
0,05). dapat dilihat bahwa nilai F hitung untuk rasio varians data hasil belajar IPA siswa antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebesar 1,38 yang lebih kecil dari F tabel pada taraf
signiikansi 5% dengan db = (36,36) sebesar 1,72. Hal ini berarti bahwa data hasil belajar IPA
siswa antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol mempunyai varians yang homogen.

1.2 Pengujian Hipotesis Penelitian


Ada empat hipotesis utama yang diuji dalam penelitian ini secara operasional. Adapun
keempat hipotesis tersebut antara lain hipotesis nihil dan hipotesis alternatif dapat diuraikan
sebagai berikut.
a. Hipotesis nihil: tidak terdapat perbedaan yang signiikan terhadap hasil belajar IPA antara
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran collaborative
teamwork learning dengan kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran konvensional pada siswa kelas V se-Gugus II Kecamatan
Golewa Barat
Hipotesis alternatif: terdapat perbedaan yang signiikan terhadap hasil belajar IPA antara
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran collaborative
teamwork learning dengan kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran konvensional pada siswa kelas V se-Gugus II Kecamatan
Golewa Barat
b. Hipotesis nihil: tidak terdapat perbedaan yang signiikan terhadap hasil belajar IPA antara
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran collaborative
teamwork learning dengan kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran konvensional pada kelompok siswa yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi pada siswa kelas V SD se-Gugus II Kecamatan Golewa
Barat
Hipotesis alternatif: terdapat perbedaan yang signiikan terhadap hasil belajar IPA antara
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran collaborative
teamwork learning dengan kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran konvensional pada kelompok siswa yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi pada siswa kelas V SD se-Gugus II Kecamatan Golewa
Barat
c. Hipotesis nihil: tidak terdapat perbedaan yang signiikan terhadap hasil belajar IPA antara
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran collaborative
teamwork learning dengan kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran konvensional pada kelompok siswa yang memiliki motivasi
berprestasi rendah pada siswa kelas V SD se-Gugus II Kecamatan Golewa
Barat
Hipotesis alternatif: terdapat perbedaan yang signiikan terhadap hasil belajar IPA antara
kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran collaborative
teamwork learning dengan kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran konvensional pada kelompok siswa yang memiliki motivasi
berprestasi rendah pada siswa kelas V SD se-Gugus II Kecamatan Golewa
Barat
d. Hipotesis nihil: tidak terdapat pengaruh yang signiikan antara model pembelajaran

82
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

collaborative teamwork learning dan motivasi berprestasi terhadap hasil


belajar IPA siswa kelas V se-Gugus II Kecamatan Golewa Barat
Hipotesis alternatif: terdapat pengaruh yang signiikan antara model pembelajaran
collaborative teamwork learning dan motivasi berprestasi terhadap hasil
belajar IPA siswa kelas V se-Gugus II Kecamatan Golewa Barat
Keempat hipotesis di atas secara simultan diuji tingkat signiikansi statistiknya menggunakan
teknik analisis varians dua jalur. Bila diketahui ada interaksi antara model pembelajaran dengan
motivasi berprestasi siswa terhadap hasil belajar IPA, maka dilanjutkan dengan uji t-scheffe untuk
mengetahui kelompok mana yang lebih baik.

1) Uji Hipotesis Pertama


Terdapat perbedaan yang signiikan terhadap hasil belajar IPA antara kelompok siswa
yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning dengan kelompok
siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V se-Gugus II
Kecamatan Golewa Barat
Hipotesis yang pertama, pernyataan hipotesis nol dan hipotesis alternatifnya adalah

H o : mA1 = mA2
sebagai berikut.

H 1 : mA1 ≠ mA2

Hasil perhitungan alanisis varians dua jalur mengenai perbedaan hasil belajar IPA
siswa yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning dengan model
pembelajaran konvensional menghasilkan FA hitung = 10,70 ternyata lebih besar dari nilai Ft = 3,98
pada taraf kepercayaan 0,05 dengan dk = 1/68.
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka terdapat perbedaan hasil belajar IPA siswa
yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning dengan model pembelajaran
konvensional pada taraf signiikan α (alpha) = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis yang
berbunyi terdapat perbedaan yang signiikan terhadap hasil belajar IPA antara kelompok siswa
yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning dengan kelompok siswa
yang mengikuti model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V se-Gugus II Kecamatan
Golewa Barat Kabupaten Ngada diterima (H0 ditolak) pada taraf signiikansi 5%. Rangkuman
analisis varians dua jalur dapat dilihat pada tabel 05.

Tabel 05. Rangkuman Anava Dua Jalur


SUMBER JK dk MK Fhitung Ftabel INTERPRETASI
ANTAR A 391,99 1 391,99 10,70 3,98 Signiikan
ANTAR B 1200,49 1 1200,49 32,76 3,98 Signiikan
INTER AB 174,24 1 174,24 4,76 3,98 Signiikan

DALAM 2491,22 68 36,64

TOTAL 4257,94 71

Berdasarkan tabel di atas, dapat dibaca bahwa hasil perhitungan anava dua jalur yang
menggunakan Excel menunjukkan antar A FA hitung = 10,70. Dengan Ftabel dengan α = 0,05 nilai
FA hitung > Ftabel , sehingga H0 ditolak dan H1 diterima (signiikan). Untuk antar B FB hitung = 32,76.
Dengan Ftabel dengan α = 0,05 nilai FB hitung > Ftabel , sehingga H0 ditolak dan H1 diterima (signiikan).
Interaksi AB, FAB hitung = 4,76. Dengan Ftabel dengan α = 0,05 nilai FAB hitung > Ftabel , sehingga H0

83
Buku Prosiding Seminar Nasional

ditolak dan H1 diterima (signiikan). Ini berarti dalam penelitian ini terdapat pengaruh antara
model pembelajaran dengan motivasi berprestasi.
2) Uji Hipotesis Kedua
Terdapat perbedaan yang signiikan terhadap hasil belajar IPA antara kelompok siswa
yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning dengan kelompok
siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional pada kelompok siswa yang
memiliki motivasi berprestasi tinggi pada siswa kelas V SD se-Gugus II Kecamatan
Golewa Barat
Hipotesis yang kedua, pernyataan hipotesis nol dan hipotesis alternatifnya adalah sebagai
berikut.
H o : µA1 B1 = µA2 B1
H1 : µA1 B1 ≠ µA2 B1

Berdasarkan deskripsi data penelitian, rata-rata skor hasil belajar IPA siswa yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi
A Byang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning
adalah 81,5 dengan simpangan
≠ AB baku sebesar 5,618. Sedangkan, rata-rata skor hasil belajar IPA
siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yang dibelajarkan dengan model pembelajaran
konvensional adalah 73,72 dengan simpangan baku sebesar 7,676.
Perbedaan hasil belajar IPA siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yang
: AB = 0
mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning dengan siswa yang mengikuti
: AB ≠ 0
model pembelajaran konvensional diuji dengan uji t-scheffe. Ringkasan hasil perhitungan dengan
uji t-scheffe disajikan dalam tabel 06.

Tabel 06. Perbedaan Hasil Belajar IPA pada Siswa yang Memiliki Motivasi Berprestasi
Tinggi
Collaborative T
Model Pembelajaran Konvensional T hitung
teamwork learning tabel
Rata-rata hitung 81,5 73,72
Rata-rata Jumlah Kuadrat Dalam (MK)dalam 36,64 4,10 1,98
Derajat Kebebasan 68

Uji t-scheffe menghasilkan Thitung = 4,10 ternyata lebih besar dari Ttabel = 1,98 dengan db
= 68 pada taraf signiikansi α = 0,05. Dengan hasil tersebut, maka H0 ditolak dan H1 diterima.
Hal ini berarti siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran collaborative teamwork learning hasil belajar IPA lebih baik dari pada siswa yang
memiliki motivasi berprestasi tinggi yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional
pada taraf signiikansi 5%.
3) Uji Hipotesis Ketiga
Terdapat perbedaan yang signiikan terhadap hasil belajar IPA antara kelompok siswa
yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning dengan kelompok
siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional pada kelompok siswa yang
memiliki motivasi berprestasi rendah pada siswa kelas V SD se-Gugus II Kecamatan
Golewa Barat
≠ ketiga, pernyataan hipotesis nol dan hipotesis alternatif adalah sebagai
Hipotesis yang
berikut.

H o : µA1 B2 = µA2 B2
H1 : µA1 B2 ≠ µA2 B2

84 : AB = 0
: AB ≠ 0
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Berdasarkan deskripsi data penelitian, rata-rata skor hasil belajar IPA siswa yang memiliki
motivasi berprestasi rendah yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork
learning adalah 70,222 dengan simpangan baku sebesar 5,725. Sedangkan, rata-rata skor hasil
belajar IPA siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah yang mengikuti model pembelajaran
konvensional adalah 68,667 dengan simpangan baku sebesar 4,826.
Perbedaan hasil belajar IPA siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah yang
mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning dengan siswa yang mengikuti
model pembelajaran konvensional diuji dengan uji t-scheffe. Ringkasan hasil perhitungan dengan
uji t-scheffe disajikan dalam tabel 06.

Tabel 06. Perbedaan Hasil Belajar IPA pada Siswa yang Memiliki Motivasi Berprestasi
Rendah
Collaborative T
Model Pembelajaran Konvensional T hitung
teamwork learning tabel
Rata-rata hitung 70,222 68,667
Rata-rata Jumlah Kuadrat Dalam 3xyjl(MK)dalam 36,64 0,60 1,98
Derajat Kebebasan 68

Uji t-scheffe menghasilkan Thitung = 0,60 ternyata lebih besar dari Ttabel = 1,98 dengan db =
68 pada taraf signiikansi α = 0,05. Dengan hasil tersebut, maka H0 diterima dan H1 ditolak. Hal ini
berarti tidak terdapat perbedaan hasil belajar IPA untuk siswa yang memiliki motivasi berprestasi
rendah yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning dengan siswa yang
mengikuti model pembelajaran konvensional. Siswa yang memiliki motivasi berpresatsi rendah
yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik harus berkomitmen memiliki motivasi berprestasi yang tinggi. Hasil belajar
IPA tergantung motivasi berprestasi yang dimiliki siswa, sesuai dengan hipotesis yang keempat
motivasi berprestasi berinteraksi dengan model pembelajaran.

4) Uji Hipotesis Keempat
Terdapat pengaruh yang signiikan antara model pembelajaran collaborative teamwork
learning dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V se-Gugus II
Kecamatan Golewa
≠ Barat
Hipotesis yang keempat, pernyataan hipotesis nol dan hipotesis alternatifnya adalah
sebagai berikut.
H 0 : µAB = 0
H1 : µAB ≠ 0
Berdasarkan hasil perhitungan anava dua jalur diperoleh nilai FAB hitung = 4,76 yang ternyata
lebih besar dari Ftabel = 3,98 untuk taraf signiikansi 0,05. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat
pengaruh antara model pembelajaran dengan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar siswa di
kelas V SD se-Gugus II Kecamatan Golewa Barat Kabupaten Ngada pada taraf signiikansi 5%,
sehingga dengan demikian H0 ditolak, sedangkan H1 diterima. Karena H1 diterima, maka dapat
diinterpretasikan bahwa adanya pengaruh antara model pembelajaran dan motivasi berprestasi
terhadap hasil belajar IPA siswa.

4. Simpulan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, maka dalam penelitian ini diperoleh simpulan
sebagai berikut. 1) Rata-rata hasil belajar IPA siswa kelas V SD se-Gugus II Kecamatan
Golewa Barat Kabupaten Ngada yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork

85
Buku Prosiding Seminar Nasional

learning lebih baik dibandingkan dengan yang mengikuti model pembelajaran konvensional. 2)
Terdapat perbedaan hasil belajar IPA pada kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran
collaborative teamwork learning dengan kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran
konvensional yang memiliki motivasi berprestasi tinggi, dimana kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran collaborative teamwork learning yang memiliki motivasi berprestasi tinggi
cenderung nilai pembelajaran IPAnya lebih baik. 3) Tidak terdapat perbedaan hasil belajar IPA
pada kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran collaborative teamwork learning
dengan kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional yang memiliki
motivasi berprestasi rendah, karena kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran
collaborative teamwork learning yang memiliki motivasi berprestasi rendah tidah jauh berbeda
hasil pembelajarannya dibandingkan dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran
konvensional yang memiliki motivasi berprestasi rendah pula. 4) Terdapat pengaruh antara model
pembelajaran collaborative teamwork learning dengan motivasi berprestasi. Ini mencerminkan
dalam proses pembelajaran collaborative teamwork learning akan lebih cocok diterapkan pada
siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi.

5. Daftar Pustaka

Depdiknas. (2001). Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SD. Jakarta:
Pusat Kurikulum dan Pengembangan.

-------, (2005). Matematika (Materi Latihan Terintegrasi). Jakarta: Derektorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah.

.Koyan, Wayan. (2007). Telaah Kurikulum. Jurusan Pendidikan Dasar. FIP Undiksha Singaraja.

-------, (2009). Statistik Dasar dan Lanjut (Teknik Analisis Data Kauantitatif). Singaraja: Program
Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Program Pasca Sarjana Undiksha Singaraja.

86
KARAKTERISTIK TES PRESTASI BELAJAR BERDASARKAN
PENDEKATAN KLASIK DAN ITEM RESPONSE THEORY

Anak Agung Purwa Antara


Pendidikan Matematika, FP MIPA, IKIP Saraswati Tabanan, Bali
e-mail: purwa.antara@gmail .com

Abstrak
Penelitian ini adalah penelitian empirik dengan tujuan untuk mengetahui (1) karakteristik
tes prestasi belajar yang dianalisis dengan pendekatan teori tes klasik, (2) karakteristik tes
prestasi belajar yang dianalisis dengan pendekatan Item Response Theory(IRT), dan (3)
perbandingan tingkat daya beda butir tes prestasi belajar yang dianalisis dengan pendekatan
Klasik dan IRT. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar di Kabupaten Tabanan dengan
pengambilan data menggunakan teknik stratiied random sampling. Karakteristik tes yang
disusun dianalisis menggunakan Program Parscale (Muraki & Bock, 1977) dengan estimasi
Marginal Maximum likelihood. Hasil analisis berdasarkan pendekatan klasik menunjukkan
bahwa nilai rerata koeisien korelasi Pearson 0.373 dan rerata koeisien korelasi Polyserial
0.460 lebih dari 0.2 yang berarti secara umum tes yang disusun memiliki daya beda yang
baik. Hasil analisis dengan pendekatan IRT menunjukkan bahwa nilai minimum probability
0.198 (lebih dari 0.05) yang berarti it dengan model. Rerata slope 0.644, lebih besar dari
0.2. Hal ini berarti tes yang disusun memiliki daya beda butir yang baik. Demikian pula nilai
location dari tes sebesar -.0.430, yang berati tes yang disusun memiliki tingkat kesukaran
butir yang sedang. Analisis tes dengan pendekatan IRT memiliki rerata slope lebih besar dari
tes yang dianalisis dengan pendekatan klasik. Hal ini berarti analisis tes dengan pendekatan
IRT lebih teliti dalam membedakan kemampuan siswa yang satu dengan yang lainnya.

Kata kunci: Daya beda, Pendekatan Klasik, Pendekatan IRT

Abstract
This research is empirical study in order to determine (1) the characteristics of achievement
test which analyzed with classical approach, (2) the characteristics of achievement test
which analyzed with Item Response Theory (IRT) approach and, (3) the comparison of
slope that analyzed with classical and IRT approaches. This research was conducted in an
elementary school in Tabanan with data retrieval using stratiied random sampling technique.
Characteristics of the test analyzed using Parscale Program (Muraki & Bock, 1977) with
Marginal Maximum likelihood estimation. The results of the analyzed based on the classical
approach shows that the average value of coeficient Pearson correlation 0.373 and the
average of coeficient Polyserial correlation 0.460 more than 0.2 That means the general
tests that arranged have good slope.. The results of analysis IRT approach indicated that the
minimum value of probability 0.198 (greater than 0.05), which means it with the model. The
mean of slope 0.644, greater than 0.2. That means the tests have good slope. Similarly, the
value of location of the test -.0.430, that means the tests have moderate level of dificulty.
Analysis of test with IRT approach have an average slope greater than tests that analyze
with classical approach. That means the analysis test with IRT approach more careful in
distinguishing abilities of students with one another.

Keywords: Slope, Classical Approach, IRT Approach

1. Pendahuluan

F
ocus utama penyelelenggaraan pendidikan nasional seperti diamanatkan oleh Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 adalah peningkatan kompetensi
lulusan dari suatu lembaga pendidikan. Peningkatan kompetensi lulusan tersebut tidak
terlepas dari aspek materi yang harus dipelajari atau diajarkan, proses pembelajaran (meliputi

87
Buku Prosiding Seminar Nasional

metode atau strategi yang digunakan dalam pembelajaran sehingga materi atau pengetahuan yang
mesti dikuasai siswa dapat diserap secara maksimal oleh siswa) dan evaluasi terhadap program
pembelajaran yang telah dilakukan sehingga diperoleh informasi yang akurat apakah tujuan
pembelajaran telah tercapai sesuai dengan harapan.
Menurut Mardapi (2005: 5) peningkatan kompetensi lulusan dari suatu lembaga pendidikan
tersebut dapat dimulai dari pengkatan kualitas program pembelajaran dan peningkatan kualitas
penilaian yang dilakukan guru di dalam kelas. Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa penilaian
yang berkualitas akan mampu memberikan informasi yang akurat tentang program pembelajaran
yang telah dilakukan, apakah tujuan pembelajaran yang diharapkan telah dapat dicapai atau tidak.
Informasi yang akurat akan berdampak pada pengambilan keputusan yang tepat dalam rangka
perbaikan kualitas hasil belajar atau kompetensi lulusan.
Penilaian hasil belajar pada suatu program pembelajaran tidak terlepas dari program
pengukurannya. Artinya penilaian yang berkualitas hanya dapat diperoleh melalui hasil
pengukuran yang berkualitas. Pengukuran yang berkualitas memerlukan instrument atau alat ukur
yang berkualitas pula. Untuk mendapatkan alat ukur atau tes yang berkualitas diperlukan analisis
yang akurat dan cermat. Analisis tes selain dilakukan secara teori yang meliputi telaah butir
berdasarkan aspek isi, konstruksi, dan bahasa, perlu juga dilakukan analisis butir secara empirik.
Analisis butir secara empirik dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan
teori tes klasik dan pendekatan teori respons butir (Item Response Theory, IRT). Teori tes klasik
(classical test theory; CTT) berkembang dan digunakan secara luas di Indonesia dan menjadi
teori utama di kalangan ahli psikologi dan pendidikan, serta bidang kajian perilaku (behavioral)
yang lain, selama 20 dekade (Embretson & Reise, 2000). Teori tes klasik atau disebut teori skor
murni klasik (Allen & Yen, 1979:57) didasarkan pada suatu model aditif, yakni skor amatan
merupakan penjumlahan dari skor sebenarnya dan skor kesalahan pengukuran. Secara matematis
dituliskan dengan: X = T + E, di mana X adalah skor amatan, T skor murni, dan E skor kesalahan
pengukuran
Analisis tes menggunakan teori tes klasik memiliki kelemahan karena karena bersifat
examinee sample dependent dan item sample dependent (Hambleton & Swaminathan, 1985;
Hambleton, Swaminathan, & Rogers, 1991). Artinya statistik yang digunakan dalam model tes
klasik seperti tingkat kesukaran dan daya pembeda soal sangat tergantung pada sampel yang
dipergunakan dalam analisis. Rerata tingkat kemampuan, rentang, dan sebaran kemampuan siswa
yang dijadikan sampel dalam analisis sangat mempengaruhi nilai statistik yang diperoleh. Sebagai
contoh, tingkat kesukaran soal akan tinggi apabila sampel yang akan digunakan mempunyai
kemampuan lebih tinggi dari rerata kemampuan siswa dalam populasinya. Daya pembeda soal
akan tinggi apabila tingkat kemampuan sampel bervariasi atau mempunyai rentang kemampuan
yang besar. Demikian pula dengan reliabilitas tes. Skor siswa yang diperoleh dari suatu tes sangat
terbatas pada tes yang digunakan. Kesimpulan hasil tes tidak dapat digeneralisasikan di luar tes
yang digunakan. Skor perolehan seseorang sangat tergantung pada pemilihan tes yang digunakan
bukan pada kemampuan peserta tes tersebut. Karena keterbatasan penggunaan skor tes, teori tes
klasik tidak mempunyai dasar untuk mempelajari perkembangan kemampuan siswa dari waktu
ke waktu, kecuali jika siswa tersebut menempuh tes yang sama dari waktu ke waktu. Konsep
reliabilitas tes dalam konteks teori tes klasik didasarkan pada kesejajaran perangkat tes yang
dalam prakteknya sangat sukar untuk dipenuhi. Jika prosedur tes retes digunakan, sampel yang
diambil sangat tidak mungkin berperilaku sama pada saat tes dikerjakan untuk yang kedua kalinya.
Teori tes klasik tidak memberikan landasan untuk menentukan bagaimana respons seseorang
peserta tes apabila diberikan butir tertentu. Tidak adanya informasi ini tidak memungkinkan
melakukan desain tes yang bervariasi sesuai dengan kemampuan peserta tes (adaptive or tailored
testing). Indeks kesalahan baku pengukuran diasumsikan sama untuk setiap peserta tes. Padahal
seseorang peserta tes mungkin berperilaku lebih konsisten dalam menjawab soal dibandingkan
peserta tes lainnya. demikian sebaliknya, dan masih ada kelemahan-kelemahan lainnya.

88
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Kelemahan-kelemahan yang muncul dalam teori tes klasik memicu munculnya teori baru
yang lebih memadai, yaitu teori respon butir (Item Response Theory; IRT), yang dikenal pula
dengan nama latent traits theory. Menurut Embretson & Reise (2000) kelebihan IRT dibandikan
CTT antara lain (1) simpangan baku pengukuran atau standard error of measurement (SEM)
memiliki nilai yang berbeda-beda antar skor (atau pola-pola respon), tetapi bersifat umum antar
populasi; (2) tes yang lebih pendek bisa jadi lebih reliabel dibanding tes yang lebih panjang;
(3) perbandingan skor-skor tes antar berbagai format akan optimal jika tingkat kesulitan tes
bervariasi antar pes erta; (4) estimasi-estimasi yang tidak bias bisa diperoleh dari sampel yang
tidak representatif; (5) skor tes memiliki arti manakala dibandingkan dengan karakteristik item-
itemnya; (6) skala yang bersifat interval dicapai dengan menggunakan model pengukuran yang
lebih logis; (7) tes dengan format item campuran dapat menghasilkan skor tes yang optimal;
(8) skor -skor yang berubah dapat dibandingkan secara berarti jika tingkat skor awal berbeda;
(9) hasil analisis faktor pada data skor kasar item menghasilkan sebuah full information factor
analysis ; dan (10) sifat-sifat item sebagai stimulus dapat secara langsung berhubungan dengan
sifat-sifat psikometriknya.
Prinsip dasar Teori Respons Butir (IRT) menurut Hambleton, Swaminathan, & Rogers
(1991: 5) adalah,
The desirable features of an alternative test theory would include (a) item characteristics that
are not group-dependent, (b) scores describing examinee proiciency that are not test-dependent,
(c) a model that is expressed at the item level rather than at test level, (d) a model that does not
require strictly parallel tests for assessing reliability, and (e) a model that provides a measure of
precision for each ability score.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tujuan teori respons butir adalah membentuk statistik
butir yang tidak bergantung pada kelompok, membentuk skor tes yang dapat menggambarkan
kemampuan subjek tanpa bergantung pada indeks kesukaran butir tes, membentuk model tes yang
asumsi-asumsinya mempunyai dukungan kuat, membentuk model tes yang tidak memerlukan
asumsi paralel dalam pengujian reliabilitasnya, dan membentuk model tes yang dapat memberikan
dasar pencocokan antara butir tes dan tingkat kemapuan subjek.
Landasan pemikiran pada teori respons butir didasarkan pada dua postulat, yaitu: (a)
performansi subjek pada suatu butir dapat diprediksi oleh seperangkat faktor yang disebut
latent traits atau kemampuan laten, dan (b) hubungan antara performansi subjek pada suatu
butir dan perangkat kemampuan laten yang mendasarinya digambarkan oleh fungsi monoton
naik yaitu kurva karakteristik butir (Hambleton, Swaminathan & Rogers, 1991: 7). Pernyataan
tersebut menunjukkan bahwa performansi peserta tes dalam merespons suatu butir tes tergantung
dari kemampuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kemampuan yang dimiliki semakin baik
performansi yang ditampilkan peserta tes, sebagai mana digambarkan dengan kurva monoton
naik.
Model matematis IRT mengekspresikan probabilitas menjawab benar oleh peserta tes
bergantung kepada kemampuan yang dimiliki dan karakteristik butir soal. Model IRT memuat
sekumpulan asumsi tentang data terhadap model yang digunakan yaitu unidimensi, independensi
lokal dan invariansi parameter (Hambleton, Swaminathan & Rogers, 1991: 8).
Asumsi unidimensi dimaksudkan bahwa setiap tes hanya mengukur satu kemampuan. Jika
butir-butir soal mengukur lebih dari satu kemampuan, maka respons terhadap butir soal tersebut
merupakan kombinasi dari berbagai kemampuan peserta tes. Kontribusi setiap kemampuan
terhadap respons peserta tidak diketahui, dan hal ini bertentangan dengan tujuan IRT.
Asumsi independensi lokal menyatakan bahwa kinerja seseorang pada suatu butir soal tidak
mempengaruhi kinerja pada butir soal lain. Jika kemampuan yang mempengaruhi kinerja dibuat
konstan, maka respons subjek terhadap butir soal manapun akan bebas secara statistik.
Asumsi invariansi parameter menyatakan bahwa karakteristik butir soal tidak berubah
meskipun subjek yang menjawab butir tersebut berubah-ubah dan berbeda tingkat kemampuannya.

89
Buku Prosiding Seminar Nasional

Fungsi logistik digunakan untuk mengembangkan fungsi probabilitas model IRT yang terdiri
dari: (a) model 1-P dengan parameter tingkat kesulitan, (b) model 2-P dengan parameter tingkat
kesulitan dan daya beda, (c) model 3-P dengan parameter tingkat kesulitan, daya beda dan tebakan,
untuk butir soal dikotomus. Model 1-P yang dikenal dengan sebutan model Rasch dikembangkan
menjadi model politomus Partial Credit Model (PCM) yaitu dengan menjabarkan lokasi butir
menjadi beberapa katagori. Muraki (1992) mengembangkan kembali PCM yang memungkinkan
butir dalam skala memiliki perbedaan dalam hal parameter lereng. Model ini kemudian diberi
nama Generalized Partial Credit Model (GPCM).
Pendekatan teori tes klasik dan IRT secara fundamental memang berbeda, walaupun demikian
teori klasik memiliki hubungan erat dengan IRT. Hubungan tersebut dapat dijadikan dasar dalam
tahap awal untuk memahami IRT. Hasil pengamatan di Bali, sebagian besar guru masih terpaku
pada penggunaan teori tes klasik dalam analisis tes untuk mengukur hasil belajarnya, sehingga
informasi yang diperoleh masih sangat terbatas. Oleh karena itu penelitian tentang perbandingan
karakteristik tes berdasarkan pendekatan teori tes klasik dan IRT perlu dilakukan. Guru perlu
memperoleh informasi bagaimana melakukan analisis tes hasil belajar berdasarkan teori yang ada
sehingga dapat diperoleh informasi hasil belajar yang telah dilakukan secara cermat dan akurat.
Studi yang relevan telah dilakukan oleh beberapa ahli seperti, Using Classical Test Theory in
Combination With Item Response Theory (Bechger, Maris, Verstralen, & Beguin, 2003), Item
Response Theory and Classical Test Theory: An Empirical Comparison of Their Item/Response
Pers on Statistics (Fan, 1998), dan A Monte Carlo Comparison of Item and Person Statistics
Based on Item Response Theory Versus Classical Test Theory (McDonald & Paunonen, 2002).
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar, pada pelajaran matematika dengan menggunakan
tes model campuran. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui (1) karakteristik tes prestasi
belajar matematika jika dilakukan analisis dengan pendekatan klasik; (2) karakteristik tes prestasi
belajar matematika jika dianalisis dengan pendekatan IRT; (3) perbandingan tingkat daya beda
butir tes jika dianalisis menggunakan pendekatan klasik dan IRT.
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan
pengukuran dalam pendidikan matemaika, antara lain: (1) memberikan informasi tentang analisis
karakteristik tes prestasi belajar dengan pendekatan klasik dan IRT yang lebih dikembangkan
untuk jenjang SMP dan SMA/SMK; (2) memberikan informasi tentang analisis karakteristik tes
dengan pendekatan Klasik dan IRT untuk bidang-bidang strudi IPA lainnya.
Secara praktis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam: (1) melakukan seleksi butir
dalam menyusun tes yang berkualitas; (2) memberikan petunjuk bagi guru, dalam menyusun tes
secara professional sehingga mampu melakukan pembelajaran lebih profesional dan bertanggung
jawab.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian empirik yang diawali dengan pengembangan intrumen (tes)
prestasi belajar matematika model campuran untuk kelas VI Sekolah Dasar yang diujikan pada
semester 2 (tes sumatif) yang disusun berdasarkan pokok bahasan bilangan, geometri, pengukuran
dan pengolahan data. Penyusunan kisi-kisi dan penulisan soal dilakukan oleh tim yang terdiri dari
dua orang guru senior mata pelajaran matematika Sekolah Dasar. Validitas isi dan keterbacaan
soal melibatkan dua ahli (expert) dalam bidang pendidikan matematika dan pengukuran, 10 guru
dan 20 orang siswa kelas VI Sekolah Dasar. Instrumen (tes) yang telah diperbaiki berdasarkan
analisis expert diujicoba di lima belas Sekolah Dasar. Data hasil ujicoba dianalisis menggunakan
pendekatan Klasik dan IRT menggunakan program Parscale (Muraki & Bock, 1977) dengan
estimasi Marginal Maximum Likelihood (MML).
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan stratiied random sampling melibatkan
sampel sebanyak 260 siswa kelas VI. Penerapan random dilakukan pada tingkat sekolah,

90
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

sedangkan penentuan strata sekolah dengan memperhatikan letak sekolah dan katagori sekolah.
Respon siswa dikoreksi oleh dua orang rater untuk mendapatkan skor yang baik. Untuk menjamin
konsistensi penilaian, skor dari dua orang rater tersebut diuji relabilitasnya dengan menggunakan
uji reliabilitas inter rater dengan pendekatan Hoyt (Mardapi, 2012: 86).
Pemenuhan asumsi unidimensi dan validitas konstruk dari tes dilakukan dengan analisis
faktor exploratori dan konirmatori. Banyaknya dimensi yang diukur oleh tes, dilihat dari sree
plot nilai Eigen. Hal ini sesuai dengan pendapat Demars (2010: 39) bahwa eigenvalue dari inter-
item matrik korelasi adalah salah satu metode yang simple untuk uji dimensionalitas. Pengujian
kecocokan model hipotetik pengukuran terhadap data empiris menggunakan analisis faktor
konirmatori. Program yang digunakan adalah Lisrel 8.54 dengan indikator goodness of it
(Joreskog & Sorbom, 1996: 27)

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Koeisien reliabilitas (r11) inter-rater skor diperoleh sebesar 0.926. (lebih dari 0.700 sesuai
kriteria). Hal tersebut berarti bahwa kedua rater memberikan penilaian yang konsisten. Dengan
demikian skor yang diberikan oleh kedua rater dapat digunakan secara acak. Hal ini juga berarti
unsur subjektivitas dari masing-masing rater (penilai) tidak berpengaruh terhadap pemberian
skor pada tes, sehingga skor yang diberikan dapat digunakan sebagai data penelitian.

Tabel 1 Ringkasan Reliabilitas Hoyt

Sumber Variasi JK dk RJK


r11
Antar-penilai 11366.629 1 11366.629 0.926
Antar-butir 841523.800 34 24750.700
Interaksi 62649.343 34 1842.628
Total 915539.771

Nilai Chi-Square pada uji Bartlet tes kelas VI sebesar 1786.476 dengan derajat kebebasan
596 dan niali-p kurang dari 0.01. Hasil ini menunjukkan bahwa ukuran sampel sebesar 260 yang
digunakan pada penelitian telah cukup.

Tabel 2 KMO and Bartlett’s Testa


Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .865
Bartlett’s Test of Sphericity Approx. Chi-Square 1786.476
df 596
Sig. .000

Hasil scree plot tes kelas VI (Gambar 1) menunjukkan bahwa nilai Eigen tampak mulai landai
pada faktor ke dua. Hal ini menunjukkan terdapat satu faktor yang dominan yaitu kemampuan
matematika. Faktor-faktor yang lain berkaitan dengan kemampuan matematika tersebut. Dengan
demikian tes yang disusun hanya mengukur satu dimensi atau satu kemampuan saja yaitu
kemampuan matematika.

91
Buku Prosiding Seminar Nasional

Gambar 1 Scree Plot Nilai Eigen Tes Kelas VI

Hasil running lisrel (Gambar 2) mendapatkan nilai chi-square sebesar 122.07 dengan
df = 100 dan p =0.066, Nilai Root Mean Square Error Approximation (RMSEA) = 0.045,
2
nilai Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.963, Comparative Fit Index (CFI) = 0.969 dan c /
df = 122.07/100=1.22< 3. Hal tersebut menunjukkan hipotesis nol diterima artinya model
yang digunakan it dengan data, dimana nilai p-valuae = 0.066 lebih besar dari nilai α=0,05.
Dukungan terhadap model yang dikembangkan oleh data empirik (sampel) dapat dilihat juga dari
besarnya RMSEA =0.045 yang lebih kecil dari α=0.08 dan nilai index kesesuaian yang diperoleh
menggambarkan kesesuaian model dengan data sebesar 0.879. Hasil ini menggambarkan bahwa
tes matematika yang dikonstruk atas 4 variabel laten dengan 16 indikator it dengan model.

F1=Bilangan, F2=Geometri, F3=Pengukuran, F4=Pengolahan Data

Gambar 2. Diagram Path Hasil Runing Lisrel

a. Karakteristik Butir Tes Berdasarkan Teori Tes Klasik


Karakteristik butir tes dengan pendekatan Klasik dibaca pada output Parscale PH1. Daya
beda butir yaitu sejauh mana butir tesebut mampu membedakan antara siswa yang mampu dan
kurang mampu ditunjukkan oleh korelasi Pearson & polyserial. Butir yang memiliki nilai korelasi
Pearson (rp) & Polyserial (rps) >0.2 adalah butir yang baik.
Tabel 3 menunjukkan bahwa rerata skor dari tes kelas VI adalah 27.660 berarti sedikit di atas
rerata ideal (24.50). Varians skor keempat tes cukup besar ini berarti distribusi skor cukup besar.
Hal ini juga ditunjukkan oleh rentang skor yang cukup lebar. Rentang skor tes terletak antara 10
dan 42. Distribusi skor siswa membentuk curve sedikit juling ke kiri, karena nilai reratanya lebih

92
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

rendah dari median. Curve yang juling ke kiri menunjukkan sebagian besar siswa mendapat skor
tinggi, sedang curve yang juling ke kanan sebaliknya. Nilai rerata koeisien korelasi Pearson
adalah 0. 373 dan rerata koeisien korelasi Polyserial adalah 0. 460. Semuanya berada di atas 0.2
yang berarti tes yang disusun (tes kelas IV) secara umum memiliki daya beda yang baik.

Table 3 Karakteristik Tes Berdasarkan Pendekatan Teori Tes Klasik


Component Characteristics Test
Mean score 27.660
Variance 46.822
Standard Deviation 6.843
Skewness -0.090
Curtosis -0.614
Minimum Score 10
Maximum Score 42
Median 28
Mean korelasi pearson (rp) 0.373
Mean korelasi point biserial(rps) 0.460
Test length 35
Subject 260

b. Karakteristik Butir Tes Berdasarkan Pendekatan IRT


Analisis butir tes menurut IRT menggunakan model campuran dikotomus dan politomus
GPCM. Karakteristik butir pada masing-masing tes meliputi slope (daya beda), location (tingkat
kesukaran), dan items it statisticts (probability) yang dibaca pada output Parscale PH2. Suatu
butir dikatakan baik jika memiliki nilai slope (a) terletak pada interval 0.2 < a < 2, nilai location
(b) antara -2 dan 2 dan nilai probability (p) lebih dari 0.05 (Hambleton & Swaminathan (1985:
37). Berikut disajikan nilai rerata, standar deviasi, varians, nilai minimum, nilai maksimum,
median, skewnwss, dan kurtosis dari parameter-parameter tersebut.

Table 4 Karakteristik Tes Berdasarkan Pendekatan IRT


Characteristics
Component
Slope Location Probability
Mean 0.654 -0.430 0.590
Standard Deviation 0.317 0.309 0.218
Variance 0.100 0.095 0.047
Minimum 0.255 -1.243 0.198
Maximum 1.502 0.029 0.962
Skewness 1.364 -0.881 -0.001
Curtosis 1.242 0.575 -0.893
Median 0.533 -0.351 0.586
Test Length 35
Respondents 260

Nilai probabilitas (probability) dari butir pada tes kelas VI yang ditunjukkan oleh tabel 4
memiliki nilai lebih besar dari 0.05 yang berarti semua butir pada tes tersebut it dengan model.
Hal itu dapat dilihat dari nilai minimum probability tes sebesar 0.198. Nilai rerata parameter slope

93
Buku Prosiding Seminar Nasional

adalah 0.654, lebih besar dari 0.2. Hal ini berarti tes yang disusun memiliki daya beda butir yang
baik. Demikian pula nilai location dari tes sebesar -.0.430, berada di sekitar titik nol yang berati
tes memiliki tingkat kesukaran butir yang sedang.
Informasi hubungan antara fungsi informasi tes dengan kesalahan baku pengukuran
(Standard Error of Measurement) ditunjukkan Gambar 3.
9 0.63

0.51
7

0.38

Standard Error
Information

4
0.25

2
0.13

0 0
-3 -2 -1 0 1 2 3
Scale Score

Gambar 3. Graik Hubungan skor dan Standard Error Tes Kelas VI

Keterangan: -------- = Kesalahan Baku Pengukuran


= Informasi Tes

Gambar 3 menunjukkan bahwa tes yang disusun memiliki error yang rendah pada
rentang skala berkisar dari -2 dampai dengan +2 skala logit, artinya tes akan memberikan informasi
yang optimal jika digunakan untuk mengukur kemampuan siswa pada rentang kemampuan antara
-2 sampai dengan +2 skala logit. Hal ini sesuai dengan pendapat Hambleton, Swaminathan, &
Rogers, (1991: 13) yang menyatakan bahwa parameter b akan diterima pada nilai yang berkisar
antara -2.0 hingga +2.0 skala logit. Nilai b kurang dari -2.0 dikatakan butir tersebut sangat mudah
atau memiliki probability of endorsement sangat tinggi dan di atas +0.2 dikatakan sulit atau
probabilitas kemendukungan sangat rendah.

c. Perbandingan Tingkat Daya beda butir Tes yang dianalisis dengan Pendekatan Klasik
dan IRT
Hasil analisis tes dengan menggunkan pendekatan teori tes klasik memperoleh rerata daya
beda sebesar 0.373 atau 0.460. Nilai tesebut ditunjukkan oleh koeisien korelasi Pearson atau
koeisien korelasi polyserial yang dapat dibaca pada output parscale PH1. Hali ini menunjukkan
bahwa tes yang disusun mampu mengestimasi perbedaan kemampuan siswa menjadi 4 kelompok
atau lima kelompok. Sedangkan hasil analisis tes menggunakan pendekatan IRT menunjukkan
nilai rerata daya beda tes sebesar 0.644 yang ditunjukkan oleh nilai rerata slope yang dapat dibaca
pada output parscale PH2. Hali ini berarti daya beda tes yang dianalisis dengan pendekatan IRT
mampu mengestimasi perbedaan kemampuan siswa menjadi tujuh kelompok. Jika hasil analisis
kedua pendekatan tersebut dibandingkan tampak bahwa penggunaan pendekatan IRT dalam
analisis daya beda tes lebih teliti dibandingkan pendekatan teori tes klasik.

3. Simpulan dan Saran


Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa (1) analisis
tes prestasi belajar matematika bentuk campuran menggunakan teori tes klasik menghasilkan daya
beda sebesar 0.373 atau 0.460 yang berarti bahwa tes yang disusun mampu mengelompokkan

94
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

kemampuan siswa menjadi 4 kelompok atau lima kelompok; (2) analisis tes prestasi belajar
matematika bentuk campuran menggunakan pendekatan IRT memperoleh rerata slope sebesar
0.654 yang berarti tes yang disusun mampu mengelompokkan kemampuan siswa menjadi tujuh
kelompok, dan (3) analisis tes dengan pendekatan IRT lebih teliti dalam menentukan perbedaan
kemampuan siswa.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi guru dalam
menyusun tes untuk mengukur prestasi belajar siswanya. Tidak terpaku pada penggunaan teori tes
klasik tetapi juga menggunakan pendekatan IRT sehingga diperoleh informasi yang lebih akurat.

5. Daftar Rujukan

Allen, M.J. & Yen, W.M. (1979). Introduction to measurement theory. Belmont, CA : Wadsworth,
MC.

Bechger, T. M., Maris, G., Verstralen, H. H., & Beguin, A. A. (2003). Using Classical Test Theory
in Combination With Item Response T heory. Applied Psychological Measurement, 27
(5), 319–334.

Depdiknas, (2003). Undang-Undang RI Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan
Nasional.

DeMars, C. (2002). Incomplete data and item parameter estimates under JMLE and MML
estimation. Applied Measurement in Education, 15, 15-31.

Embretson, S. E., & Reise, S. P. (2000). Item Response Theory for Psychologist. NJ: Lawrence
Erlbaum Associates Inc.

Fan, X. (1998). Item Response Theory and Classical Test Theory: An Empirical Comparison of
Their Item/Response Person Statistics. Educational and Psychological Measurement, 58
(3), 357-381

Hambleton, R.K., & Swaminathan, H. (1985). Item response theory. Boston, MA: Kluwer Inc.

Hambleton, R.K., Swaminathan, H., & Rogers, H. J. (1991). Fundamental of item response theory.
Newbury Park, CA: Sage Publication Inc.

Joreskog, K.G. & Sorbom, D. (1996). LISREL 8: structural equation modeling. Chicago: Scientiic
Software International.

Mardapi, D. (2008). Teknik penyusunan tes dan nontes. Yogyakarta: Mitra Cendikia

______ . (2012). Pengukuran, penilaian, & evaluasi pendidikan. Yogyakarta: Nuha Medika

McDonald, P., & Paunonen, S. V. (2002). A Monte Carlo Comparison of Item and Person
Statistics Based on Item Response Theory Versus Classical Test Theory. Educational and
Psychological Measurement, 62 (6), 921-94

Muraki, E. (1992). A generalized partial credit model. Aplication of an algorithm. Applied


Psychological Measurement, 16, 159-176.

Muraki,E., & Bock, R.D. (1997). Parscale : IRT item analysis and test scoring for rating-scale
data. Chicago: Scientiic Software International.

95
Buku Prosiding Seminar Nasional

Ridho A. (2005). Karakteristik Psikometrik Tes Berdasarkan Pendekatan Teori TesKlasik dan
Teori Respon Aitem. Fakultas Psikologi UIN. Malang

Ridho A. (2007). Karakteristik Psikometrik Tes Berdasarkan Pendekatan Teori TesKlasik dan
Teori Respon Aitem Jurnal Psikologi INSAN, 2 (2), 1- statslab-rshiny.fmipa.unej.ac.id

96
PEMBELAJARAN BOTANI TUMBUHAN TINGGI (BTT)
DENGAN MODEL INKUIRI MENGGUNAKAN MATERI AJAR
TERINTEGRASI ETNOBOTANI

I Ketut Surata 1, I Made Sudiana 2 I Wayan Gata3


1,2,
Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP Saraswati, Tabanan, Bali
3
Pendidikan Sejarah, FPIPS, IKIP Sraswati, Tabanan, Bali
e-mail: atasurata@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini dilakukan di Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Saraswati
bertujuan untuk menganalisis pengaruh pembelajaran dengan penerapan model inkuiri
menggunakan materi ajar Botani Tumbuhan Tinggi (BTT) terintegrasi etnobotani. Penelitian
ini termasuk jenis penelitian eksperimen dengan desain The One-Group Pretest-Posttest
Design. Subjek penelitian adalah mahasiswa semester 3 Tahun Akademik 2015/2016 yang
mengambil mata kuliah BTT berjumlah 13 orang mahasiswa. Data dikumpulkan dengan
metode tes, observasi dan kuisioner. Data yang dikoleksi berupa data skor hasil pretest dan
postest, hasil observasi pembelajaran, dan respon mahasiswa. Data dikumpulkan dengan test
prestasi belajar, lembar observasi, dan kuesioner. Analisis data hasil tes, respon siswa, dan
observasi aktivitas belajar siswa dilakukan dengan analisis deskriftif kualitatif. Sedangkan
sampel dependent untuk mengetahui perbedaan rata-rata hasil pretest dan posttest dianalisis
dengan uji-t. Berdasarkan rangkuman hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: (1) terdapat
perbedaan signiikan antara nilai rata-rata hasil pretest dan posttest mahasiswa. Hasil ini
menunjukkan bahwa penerapan model inkuiri menggunakan materi BTT terintegrasi
etnobotani, berhasil meningkatkan kualitas proses pembelajaran sehingga prestasi belajar
mahasiswa mampu mencapai ketentuan prestasi belajar mata kuliah BTT yang ditetapkan
dalam kurikulum; (2) penerapan model inkuiri menggunakan materi ajar BTT terintegrasi
etnobotani mampu merangsang minat dan keingintahuan mahasiswa untuk belajar, karena itu
kegiatan pembelajaran direspon positif.

Kata kunci: model inkuiri, etnobotani, prestasi belajar

Abstract
This research was conducted in Biology Education Studies Program, Faculty of Natural
Science Education, Saraswati Teachers’ Training of College, aims to analyze the effect of
learning with the application with the inquiry model of teaching using lectures materials
integrated ethnobotany. This research includes experimental research design with The One-
group pretest-posttest design. Subjects were students of third semester of the 2015/2016
academic year amounted to 13 students. Data collected by the method of testing, observation
and questionnaire. Data were collected in the form of a data score pretest and post-test results,
the observation of learning, and student response. Data collected by the learning achievement
test, observation sheets and questionnaires. Analysis of test data, student responses, and
observation of student learning activities conducted by qualitative descriptive analysis.
While dependent samples to determine differences in the average pretest and posttest results
were analyzed by t-test. Based on the summary of the results, it can concluded that: (1) there
is a signiicant difference between the average value of the results of pretest and posttest
students. These results indicated that the application of the inquiry model using lectures
material integrated ethnobotany, managed to improve the quality of the learning process so
that the achievement of students reach to provision of learning achievement on the Height
Plant Botany lecture speciied subjects in the curriculum; (2) application of the inquiry
model using lecture material integrated ethnobotany able to stimulate interest and curiosity
of students to learn, therefore learning activities responded positively.

Keywords: inquiry model, ethnobotany, learning achievements.

97
Buku Prosiding Seminar Nasional

1. Pendahuluan

P
embelajaran Botani Tumbuhan Tinggi (BTT) memerlukan inovasi, baik pada proses
pembelajaran maupun pada konten dan pengembangan materi ajarnya. Inovasi dalam
pembelajaran BTT diperlukan agar sejalan dengan kebutuhan belajar mahasiswa dengan
mengadopsi perkembangan teori-teori pembelajaran yang terus berkembang dan berubah
begitu cepat. Perkembangan teori pembelajaran dilakukan untuk meningkatkan kualitas proses
pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajaran yang menuntut kompetensi yang semakin tinggi.
Sejalan dengan itu, di perguruan tinggi (PT) dilakukan penyempurnaan kurikulum dari kurikulum
berbasis kompetensi (KBK) menjadi kurikulum pendidikan tinggi (K-DIKTI). Penyempurnaan
KBK menjadi K-DIKTI dilakukan dalam rangka menjawab terjadinya persaingan yang semakin
ketat di era global ini.
Dalam pengembangannya, K-DIKTI mengacu kepada kerangka kulaiikasi nasional
Indonesia (KKNI). Sesuai dengan KKNI, maka lulusan PT di Indonesia harus memiliki standar
kompetensi lulusan (SKL) yang sepadan dengan level tertentu dari 9 jenjang KKNI. Dengan
memiliki kompetensi sepadan dengan level KKNI tertentu sesuai dengan jenjang pendidikan
tinggi yang ditempuh, maka lulusan mahasiswa dari PT di Indonesia akan setara dengan lulusan
dari PT di luar negeri. Dengan demikian, lulusan dari PT di Indonesia diakui kompetensinya
secara internasional.
Pada jenjang pendidikan strata 1 (S1), sesuai dengan rumpun ilmu program studi yang
ditempuh, lulusannya harus memliliki kompetensi sesuai dengan level 6 dari KKNI yaitu mampu
mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau
seni pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang
dihadapi (Lampiran Peraturan Presiden RI Nomor 8 Tahun 2012).
Atas dasar itu, agar lulusan mahasiswa S1 memiliki kompetensi sepadan dengan level 6
KKNI, maka capaian pembelajaran (CP) mahasiswa pada semua mata kuliah yang diprogramkan
dalam kurikulumnya, harus diarahkan untuk mencapai level 6 KKNI tersebut. Untuk mencapainya,
proses pembelajaran yang dilaksanakan dosen, materi ajar yang digunakan, dan evaluasi yang
dilakukan haruslah berkualitas tinggi.
Sehubungan dengan itu, guna melaksanakan proses pembelajaran yang berkualitas,
banyak teori pembelajaran yang dapat dipilih dan digunakan sebagai dasar pijkan dalam kegiatan
proses pembelajaran. Dalam kaitan dengan pembelajaran BTT di PT, teori dasar yang sesuai
yaitu pembelajaran konstruktivisme. Dalam pembelejaran konstruktivis mahasiswa memperoleh
pengalaman langsung dalam belajar. Mahasiswa mampu mengkonstruk pengetahuannya sendiri
berdasarkan pengalaman belajar yang diperolehnnya. Dengan pengetahuan yang dibangun sendiri
oleh mahasiswa, pengetahuan tersebut menjadi mudah diaplikasikan dalam kehidupan nyata
mahasiswa.
Pembealajaran yang didasarkan pada teori konstruktivisme salah satunya adalah model
pembelajaran inkuiri. Pembelajaran model inkuiri ini memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada mahasiswa dalam memenuhi rasa ingin tahunya tentang pengetahuan yang
sedang dipelajari. Ini berarti bahwa model pembelajaran ikuiri mengadopsi hakekat mahasiswa
atau siswa merupakan individu yang penuh rasa ingin tahu akan segala sesuatu.
Hakikat siswa/mahasiswa sebagai manusia yang ingin tahu segala sesuatu inilah yang
menginspirasi Suchman (http://saipuleffendiipunk.blogspot) dalam menyusun teorinya dengan
landasan pemikiran yang mendasari model pembelajaran ini, yaitu 1) Secara alami manusia
mempunyai kecenderungan untuk selalu mencari tahu akan segala sesuatu yang menarik
perhatiannya; 2) Mereka akan menyadari keingintahuan akan segala sesuatu tersebut dan
akan belajar untuk menganalisis strategi berpikirnya tersebut; 3) Strategi baru dapat diajarkan
secara langsung dan ditambahkan/digabungkan dengan strategi lama yang telah dimiliki siswa;
4) Penelitian kooperatif (cooperative inquiry) dapat memperkaya kemampuan berpikir dan
membantu siswa/mahasiswa belajar tentang suatu ilmu yang senantiasa bersifat tentatif dan

98
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

belajar menghargai penjelasan atau solusi altematif.


Selanjutnya Rohman menjabarkan bahwa model inkuiri merupakan salah satu model
pembelajaran yang menitikberatkan kepada aktiitas siswa/mahasiswa dalam proses belajar.
Pembelajaran dengan model inkuiri pertama kali dikembangkan oleh Richard Suchman tahun 1962
(Joyce, 2000). Ia menginginkan agar siswa/mahasiswa bertanya mengapa suatu peristiwa terjadi,
kemudian ia mengajarkan pada siswa/mahasiswa mengenai prosedur dan menggunakan organisasi
pengetahuan dan prinsip-prinsip umum. Siswa/mahasiswa melakukan kegiatan, mengumpulkan
dan menganalisa data, sampai akhirnya siswa menemukan jawaban dari pertanyaan itu.Dalam
pembelajaran dengan model inkuiri, siswa/mahasiswa terlibat secara mental maupun isik untuk
memecahkan permasalahan yang diberikan guru/dosen. Dengan demikian siswa/mahasiswa akan
terbiasa bersikap seperti sikap ilmuan sains yang teliti, tekun/ulet, objektif/jujur, menghormati
pendapat orang lain dan kreatif (http://saipuleffendiipunk.blogspot).
Tujuan utama dari modelpembelajaran inkuiri training adalah membuat siswa/mahasiswa
menjalani suatu proses tentang bagaimana pengetahuan diciptakan. Untuk mencapai tujuan ini,
siswa dihadapkan pada sesuatu (masalah) yang misterius, belum diketahui, tetapi menarik.Namun,
perlu diingat bahwa masalah, tersebut harus didasarkan pada suatu gagasan yang memang dapat
ditemukan (discoverable ideas), bukan mengada-ada. Gagasan tersebut kemudian dirumuskan
siswa/mahasiswa melalui suatu pertanyaan yang nantinya akan dicari jawabannya.
Mulyasa, 2003 (dalam Maksum, 2006: 28) menulis bahwa inquiri pada dasarnya adalah
cara menyadari apa yang telah dialami, karena itu inquiri menuntut peserta didik berpikir.
Metode ini menempatkan peserta didik pada situasi yang melibatkan mereka dalam kegiatan
intelektual. Metode ini menuntut peserta didik memproses pengalaman belajar menjadi sesuatu
yang bermakna dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, melalui metode ini peserta didik
dibiasakan untuk produktif, analitis dan kritis. Selanjutnya Jone 1979 (dalam Maksum, 2006:
10) menyatakan pandangannya bahwa metode Inquiri ialah suatu metode pembelajaran yang
dirancang dengan suatu sistem kegiatan belajar mengajar yakni menyangkut metode, teknik
dan strategi pembelajaran yang memungkinkan para peserta didik mendapatkan jawaban sendiri
secara optimal.
Semua penjelasan di atas sudah menjelaskan bahwa model inkuiri menuntut kemampuan
siswa/mahasiswa untuk menemukan sendiri sesuai arti inkuiri dari bahasa aslinya Inquiri yang
berarti meneliti, menginterogasi, memeriksa materi yang telah diteliti, telah dimengerti, telah
diperiksa merupakan sesuatu yang dialami sendiri oleh siswa/mahasiswa yang akan dijadikan
pusat perhatian untuk memikirkan hal-hal yang terkait dengan materi tersebut yang disebut
kegiatan intelektual. Apa yang telah diteliti, diamati, diperiksa dan diinterogasi akan diproses
dalam alam pikiran mereka dan akan menjadi sesuatu yang bermakna dalam kehidupan mereka
kelak. Dalam upaya mengerti materi yang diamati dan diteliti mereka dibiasakan untuk produktif,
mampu membuat analisis serta membiasakan mereka berpikir kritis.
Pembelajaran dengan model ini dipandang mampu meningkatkan prestasi belajar
mahasiswa dalam pembelajaran BTT, selain seperti disebutkan di atas, model inkuiri mempunyai
keunggulan sanatara lain 1) Model pembelajaran inquiri meningkatkan potensi intelektual
siswa/mahasiswa; 2) Siswa/mahasiswa yang telah berhasil menemukan sendiri sehingga dapat
memecahkan masalah yang ada akan meningkatkan kepuasan intelektualnya yang justru datang
dari dalam diri siswa/mahasiswa; 3) Siswa dapat belajar bagaimana melakukan penemuan, yang
hanya melalui proses melakukan penemuan itu sendiri; 4) Belajar melalui inkuiri dapat menunjang
proses ingatan atau konsep yang telah dipahami siswa/mahasiswa lebih lama dapat diingat; 5)
Belajar melalui inquiri, siswa/mahasiswa dapat memahami konsep-konsep dan ide-idenya dengan
baik; 6) Pengajaran menjadi lebih berpusat pada siswa/mahasiswa; 7) Proses pembelajaran
inkuiri dapat membentuk dan mengembangkan konsep diri; 8) Melalui pembelajaran inkuiri
dimungkinkan tingkat harapan bertambah; 9) Model pembelajaran inkuiri dapat mengembangkan
bakat akademik; 10) Model pembelajaran inkuiri dapat menghindarkan siswa/mahasiswa dari

99
Buku Prosiding Seminar Nasional

belajar dengan hafalan; 11) Model pembelajaran inkuiri dapat memberikan waktu kepada siswa/
mahasiswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi informasi (Bruner; dalam Putrayasa, 2005).
Dari semua yang telah dipaparkan di atas, bila dihubungkan dengan tuntutan proses
pembelajaran yang berkualitas, yaitu pembelajaran yang interaktif, inspiratif, memotivasi,
menantang, menyenangkan serta yang memberi ruang yang cukup untuk prakarsa, kreativitas,
kemandirian sesuai bakat, minat dan perkembangan isik dan psikologis siswa/mahasiswa, maka
model pembelajaran inkuiri sangat cocok dan sangat mendukung tuntutan lulusan PT memiliki
standar kompetensi sesuai dengan KKNI.
Pada sisi lain, pembelajaran yang berkualitas harus didukung dengan konten materi
ajar yang berkualitas juga dalam memenuhi rasa ingin tahu dan kebutuhan siswa/mahasiswa
untuk memperoleh pengetahuan yang luas, mendalam, memenuhi kecukupan, dan rinci. Untuk
itu, dalam pembelajaran BTT, materi ajar dikembangankan dengan cara mengintegrasikan
dengan pengetahuan masyarakat lokal (Bali) dalam mengenal, mengklasiikasi, memberi nama,
dan memanfaatkan tumbuhan dalam kehidupan masyarakat (etnobotani). Pengintegrasian ini
dilakukan, selain bertujuan memperluas cakupan materi ajar, memperdalam konten, mencukupi
kebutuhan mahasiswa, juga bertujuan agar mahasiswa mengenal pengetahuan lokal yang penuh
dengan kearifan dalam memanfaatkan tumbuhan dan melakukan pelestarian tumbuhan.
Materi ajar BTT diintergrasikan dengan etnobotani, karena konten materi ajar yang selama
ini digunakan sebagai referensi dalam pembelajaran BTT belum mengadopsi dan mengadaptasi
pengetahuan tradisional/lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat yang ternyata
mengandung pengetahuan yang bersifat ilmiah serta mengandung nilai-nilai kearifan etika dan
moral dalam memanfaatkan tumbuhan. Sebagai akibat tidak terakomodasinya pengetahuan lokal
dalam materi ajar, mahasiswa menjadi kurang dan bahkan tidak mengenal pengetahuan lokal
masyarakt. Karena kurang mengenal pengetahuan lokal tersebut, mahasiswa kurang mampu
mengaitkan dan mengaplikasikan pengetahuan yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak yang ditakutkan bahwa mahasiswa tidak lagi mengenal pengetahuan lokal masyarakat
sehingga bisa tercerabut dari akar budayanya.
Sehubungan dengan itu, pengintegrasian materi ajar BTT dengan etnobotani menjadi
sangat urgen dan mendesak digunakan sebagai referensi. Diyakini dengan menggunakan materi
ajar BTT terintegrasi etnobotani melalui kegiatan proses pembelajaran berpendekatan inkuiri,
prestasi belajar mahasiswa dapat meningkat. Selain itu, mahasiswa memilki respek tinggi terhadap
pengetahuan tradisional/lokal sehingga berusaha untuk menggunakan dan melestarikannya.

2. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di IKIP Saraswati, Program Studi Pendidikan Biologi menggunakan
desain The One-Group Pretest-Posttest Design, karena hanya melibatkan kelompok tunggal yaitu
mahasiswa S1 Pendidikan Biologi yang sedang menempuh mata kuliah BTT Tahun Akademik
2015/2016. Sesuai dengan desain penelitian tersebut, prestasi belajar mahasiswa diukur sebelum
kegiatan pembelajaran dilakukan (pretest) dan setelah kegiatan pembelajaran dilakukan (postest)
(Fraenkel, J. R. & Wallen. N. E., 2009) dengan penerapan model ikuiri menggunakan materi ajar
terintegrasi etnobotani.
Subjek penelitian sebanyak 13 orang sesuai dengan jumlah mahasiswa yang sedang
menempouh mata kuliah BTT. Data dikumpulkan dengan triangulasi data melalui tes prestasi
belajar BTT, respon mahasiswa terhadap pembelajaran, dan observasi aktivitas mahasiswa dalam
proses pembelajaran. Instrumen tes berupa tes uraian sebanyak 5 soal dengan bobot masing-
masing soal berbeda dan skor total jawaban benar adalah 100. Perolehan skor rata-rata prestasi
belajar mahasiswa dikonversi mengacu pada konversi nilai skala absolut (Sudjana, 2005) yang
tersaji pada Tabel 1.

100
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Tabel 1. Pedoman Konversi Skor Presatasi Belajar Mahsiswa


Skor rata-rata Keterangan
90-100 Sangat baik
80-89 Baik
70-79 Sedang
60-69 Kurang
< 60 Sangat kurang
(Sudjana, 2005)

Respon mahasiswa terhadap penerapan model inkuiri menggunakan materi ajar BTT
terintegrasi etnobotani berjumlah 20 pernyataan dengan lima kategori respon (sangat setuju
dengan skor 5, setuju dengan skor 4, kurang setuju dengan skor 3, tidak setuju dengan skor 2, dan
sangat tidak setuju dengan skor 1). dengan kriteria penggolongan respon mahasiswa didasarkan
pada skor rata-rata responnya (X), mean ideal (MI) dan standar deviasi ideal (SDI). Berdasarkan
MI dan SDI dari skor rata-rata respon mahasiswa, maka kriteria kualiikasi respon mahasiswa
sebagai berikut (Tabel 2).

Tabel 2. Kualiikasi Respon Mahasiswa


Nilai Rata-rata Kategori
Sangat setuju
≥ 79,99
Setuju
66,66 ≤ < 79,99
Kurang setuju
53,33 ≤ < 66,66
Tidak setuju
40,00 ≤ < 53,33
Sangat tidak setuju
≤ 40,00

Sedangkan observasi terhadap aktivitas belajar mahasiswa dilakukan dengan observasi


terbuka dengan melakukan pencatatan secara sistematis terhadap segala bentuk kegiatan dalam
proses pembelajaran.
Analisis data hasil tes, selain mencari persentase peningkatan prestasi belajar mahasiswa
dari pretest ke posttest, juga menentukan perbedaan rata-rata hasil pre dan posttest dengan
melakukan uji-t sampel berpasangan (paired samples test) karena menggunakan mahasiswa
yang sama. Sebelum melakukan uji-t, semua data pre dan posttest diuji dengan uji Kolmogorof-
Smirnov maupun Shapiro-Wilk pada tarap signiikansi sebesar 0,05.
Respon mahasiswa terhadap pembelajaran, dan observasi aktivitas belajar mahasiswa
dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif. Seluruh analisis dilakukan dengan bantuan
Microsoft Ofice Excel 2007 dan softwere IBM SPSS 20.

3. Pembahasan Hasil
Berdasarkan hasil analisis terhadap prestasi belajar siswa sebelum pembelajaran (pretest)
dan setelah pembelajaran (posttest), dirangkum pada Tabel 3.

101
Buku Prosiding Seminar Nasional

Tabel 3. Rangkuman Hasil Pretest dan Posttest Mahasiswa S1 Pendidikan Biologi IKIP Saraswati
Tahun Akademik 2015/2016
NO Nama Mahasiswa Pre-test Kualiikasi Pos-test Kualiikasi
1 Gusti Ayu Alit Mirah Purnami 70 Sedang 90 Sangat baik
2 Ni Luh Putu Yeni Sita Dewi 65 Kurang 80 Baik
3 Natalia Krisna Datong 50 Sangat kurang 75 Sedang
4 Natalia Lonika Nganul 55 Sangat kurang 80 Sedang
5 Helena Nita 65 Kurang 80 Baik
6 I Gusti Putu Arya Gunawam 60 Kurang 80 Baik
7 Albinia Vivi Maning 50 Sangat kurang 80 Baik
8 Ni Putu Ima Vrecylia 75 Sedang 85 Baik
9 Hendrikus Namur 60 Sedang 80 Baik
10 Kadek Susi Triyanti 45 Sangat kurang 75 Sedang
11 I Gede Rai Arimbawa 50 Sangat kurang 75 Sedang
12 Vinsensia Irma 55 Sangat kurang 80 Baik
13 Ni Luh Putu Kusumadewi 70 Sedang 90 Sangat baik
Jumlah 770 1050
Rata-rata 59,23 Kurang 80,77 Baik
(Surata, dkk. :2015)

Berdasarkan data pada Tabel 3, dapat diketahui bahwa perstasi belajar mahasiswa sebelum
pembelajaran masih kurang, dimana nilai rata-rata pretest hanya sebesar 59,23, sedangkan
prestasi belajar mahasiswa setelah pembelajaran dalam kualiikasi baik, dengan nilai rata-rata
postest sebesar 80,77. Bila dibandingkan keduanya, terjadi peningkatan nilai rata-rata dari pre
ke posttest sebesar 36,375%. Ini berarti bahwa prestasi belajar mahasiswa setelah pembelajaran
memenuhi ketentuan canpaian hasil pembelajaran yang ditetapkan di Program Studi Pendidikan
Biologi, FPMIPA IKIP Saraswati Tabanan yaitu dalam kualiikasi sedang dengan rentangan nilai
antara 70 – 79 (Tabel 1).
Berdasarkan data dalam Tabel 3, dapat dilukiskan perbandingan nilai rata-rata pretest dan
posttest mahasiswa seperti tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1.Perbandingan Nilai Rata-rata Pretest dan Posttest Mahasiswa S1 Pendidikan Biologi
IKIP Saraswati Tabanan Tahun Akademik 205/2016

102
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Berdasarkan hasil uji normalitas menunjukkan bahawa semua data pre dan posttest yang
diuji dengan kolmogorof maupun shapiro wilk menunjukkan nilai signiikan yang lebih besar
dari tarap signiikansi 0,05 (Tabel 4). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa data terdistribusi
normal sehingga uji-t dapat dilakukan.

Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Sampel


Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
pretest ,147 13 ,200* ,951 13 ,609
posttest ,331 13 ,100 ,815 13 ,410

Hasil uji-t, menunjukkan bahwa nilai t-hitung pada taraf signiikasni 0,000, sebesar
-13,139 (Tabel 5), lebih kecil dari taraf signiikansi yang ditentukan sebesar 0,05. Ini berarti
bahwa nilai rata-rata antara pretest dan posttest berbeda siginiikan. Dengan kata lain nilai rata-
rata posttets lebih baik dari nilai rata-rata pretest.

Tabel 5. Output Hasil Uji-t dependent


Paired Differences

95% Coni- 95% Coni-


dence Interval dence Interval
Std. Devia- of the Differ- of the Differ- t
Mean Std. Error Mean df Sig. (2-tailed)
tion ence ence
Lower Upper
-21,53846 5,91066 1,63932 -25,11024 -17,96669 -13,139 12 ,000

Analisis data hasil isian kuesioner respon mahasiwa terhadap pembelajaran, semua
mahasiswa merespon positif pelaksanaan kegiatan pembalajaran. Nialai rata-rata respon
mahasiswa sebesar 83,08 (Tabel 6). Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa sebagian besar
mahasiswa sangat setuju dan setuju terhadap penerapan pembelajaran BTT dengan model inkuiri
menggunakan materi ajar terintegrasi etnobotani.

Tabel 6. Rangkuman Skor Hasil Kuesioner Respon Mahasiswa S1 Pendidikan Biologi IKIP
Saraswati Tahun Akademik 2015/2016
Skor total Skor rata-rata
1080 83,08

Respon positif mahasiswa terhadap pembelajaran, tampak dari aktivitas mahasiswa


selama kegiatan proses pembelajaran berlangsung. Rangkuman catatan hsil observasi terhadap
aktivitas mahasiswa adalah sebagai berikut. Mahasiswa antusias dan tampak sangat senang
melakukan kegiatan pembelajaran. Tidak dijumpai mahasiswa yang tidak aktif mengerjakan
tugas dalam kegiatan diskusi kelompok. Tugas yang dikerjakan selesai tepat waktu sesuai dengan
alokasi waktu yang diberikan. Hasil tugasnya tersusun dengan baik, sistematis, runtut, logis, dan
jelas. Pada saat diskusi kelas, mahasiswa aktif bertanya, menjawab, mengemukakan pendapat,
dan menyanggah pendapat mahasiswa lainnya yang tidak sesuaai dengan kebenaran teoritis dari
materi yang dipelajari.
Merujuk pada prestasi belajar, respon, dan aktivitas mahasiswa seperti yang dipaparkan

103
Buku Prosiding Seminar Nasional

di atas, dapat sidimpulkan bahwa penerapan model inkuiri menggunakan materi ajar BTT
terintegrasi etnobotani secara nyata berhasil menghantarkan mahasiswa mencapai prestasi sesuai
dengan tuntutan capaian hasil belajar BTT yang ditetapkan dalam kurikulm.
Keberhasilan ini terjadi karena melalui penerapan model inkuiri karena hakekat mahasiswa
sebagai individu yang penuh rasa ingin tahu akan segala sesuatu dapat terpenuhi dalam kegiatan
proses pembelajaran (Suchman, http://saipuleffendiipunk.blogspot). Terpenuhinya rasa ingin
tahu mahasiswa akan pengetahuan yang dipelajarinya menyebabkan mahasiswa aktif dalam
kegiatan proses pmebelajaran sebagimana keinginan Richard Suchman tahun 1962 (dalam Joyce,
2000) pada saat pertama kali mengembangkan model inkuiri ini. Ia menginginkan agar peserta
didik bertanya mengapa suatu peristiwa terjadi, mampu menggunakan organisasi pengetahuan
dan prinsip-prinsip umum, melakukan kegiatan, mengumpulkan dan menganalisa data, sampai
akhirnya peserta didik menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Dalam prosesn pembelajaran,
peserta didik terlibat secara mental maupun isik untuk memecahkan permasalahan yang
diberikan guru/dosen. Dengan demikian peserta didik menjadi terbiasa bersikap seperti sikap
ilmuan sains yang teliti, tekun/ulet, objektif/jujur, menghormati pendapat orang lain dan kreatif
(http://saipuleffendiipunk.blogspot). Atas dasar itu, Rohman menjabarkan bahwa model inkuiri
menitikberatkan pada aktivitas peserta didik dalam proses belajar.
Titik berat pada aktivitas dalam proses pembelajaran membuat peserta didik menjalani
suatu proses tentang bagaimana pengetahuan diciptakan, peserta didik dihadapkan pada sesuatu
(masalah) yang realistis, belum diketahui pemecahannya, tetapi menarik sebagaimana tujuan
daripada model inkuiri ini dikembangakan. Dengan menjalani langsung proses belajar terjadi
proses berpikir sehingga mahasiswa mampu memproses pengalaman belajar menjadi sesuatu
yang bermakna dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, melalui metode ini mahasiswa menjadi
produktif, analitis dan kritis (Mulyasa, 2003; dalam Maksum, 2006: 28).
Capaian presatasi belajar mahasiswa yang tinggi, selain karena tingginya aktivitas belajar
mahasiswa karena penerapan model inkuiri dalam pembelajaran, juga karena materi ajar BTT
yang digunakan menarik minat dan rasa ingin tahu mahasiswa. Hal ini terbutki dari positifnya
tingginya respon mahasiswa terhadap penerapan model dan penggunaan materi ajar BTT yang
diintergrasikan dengan etnobotani. Mahasiswa menjadi berminat dan tertarik memperlajari BTT,
karena konten materi ajar mengadopsi dan mengadaptasi pengetahuan tradisional/lokal yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat yang sesungguhnya telah dikenal mahasiswa, akan tetapi
belum diinformasikan secara ilmiah dalam pendidikan formal.
Untuk itulah, dalam rangka mengenalkan pengetahuan lokal masarayakat dalam mengelola
tumbuhan (etnobotani), dilakukan pengintegrasian. Adanya pengintegrasian ini menjadikan
materi ajar memiliki keunikan tersendiri. Konten materi ajar menjadi lebih kaya, bersifat
kontekstual, memiliki keluasan dan kedalaman mencukupi kebutuhan mahasiswa, serta disusun
menarik dengan gambar-gambar tumbuhan yang mudah ditemukan dalam kehidupan dunia nyata
mahasiswa.
Berbeda dengan materi ajar BTT yang selama ini digunakan sebagai referensi, hanya
mengadopsi pengetahuaan dari Dunia Barat, tanpa diadaptasi dan dinintegrasikan dengan
pengetahuan lokal. Akibatnya materi ajar menjadi kering, kurang menarik dan mahasiswa kurang
dan bahkan tidak mengenal pengetahuan lokal masyarakat dalam mengelola tumbuhan. Padahal
cara pengelolaan tumbuhan dengan pengetahuan lokal, mengandung kebenanaran pengetahuan
yang bersifat ilmiah karena pengetahuan lokal memiliki landasan umum dengan yang sama dengan
pengetahuan modern, yaitu sama-sama berdasarkan hasil observasi, pengalaman, eksperimen
dan interpretasi (Becker & Ghimire, 2003).
Selain bersifat ilmiah, pengetauan lokal mengandung nilai-nilai kearifan etika dan moral
dalam memanfaatkan tumbuhan. Battiste (2002) menyatakan pengetahuan lokal mengandung
kearifan/kebijaksanaan lokal yang dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan pada tingkat
lokal dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal memiliki multifungsi, salah

104
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

satu adalah dalam pengelolaan tanaman, seperti sistem klasiikasi tanaman, pengendalian hama
hayati, pemuliaan tanaman dan konservasi lingkungan.
Atas dasar itu, pembelajaran BTT menggunakan materi ajar tidak diintegrasikan dengan
pengetahuan lokal masyarakat dalam mengelola tumbuhan, menyebabkan aktivitas belajar
mahasiswa rendah, karena materi ajar kurang menarik minatnya untuk belajar. Masalah tentang
pengelolaan tumbuhan yang diberikan kurang kontekstual sehingga mahaasiswa mengalami
“lompatan budaya” cukup jauh dari kehidupan nyatanya. Dengan demikian, kualitas proses
pembelajaran menjadi rendah. Muara dari semua itu, menyebabkan prestasi belajar mahsiswa
menjadi rendah. Hal ini terbukti dari prestasi belajar BTT mahasiswa sebelumnya hanya berada
dalam kategori sedang (hasil evaluasi peneiti sebagai pengampu mata kuliah BTT)
Sehubungan dengan itu, materi ajar BTT terintegrasi etnobotani menujukkan keunggulannya
karena terbukti mampu meningkatkan minat dan rasa ingin tahu mahasiswa untuk mempelajari
lebih jauh materi tersebut. Keunngulan materi ajar terintegrasi, selain menyebabkan prestasi belajar
mahasiswa tinggi, yang jauh lebih substansial, mahasiswa memahami dan mampu melestarikan
pengetahuan lokal masyarakat dalam mengelola tumbuhan. Dengan begitu, mahasiswa sebagai
anggota masyarakat tidak tidak tercerabut dari akar budayanya dan kekhawatiran terhadap
hilangnya pengetahuan lokal dalam pengelolaan tuimbuhan karena tidak ada pewarisnya dapat
dihilangkan.
Berdasarkan dari semua di atas, tingginya aktivitas belajar mahasiswa yang bermuara pada
tingginya prestasi belajar yang diperolehnya, mengindikasikan bahwa kualitas proses pembelajaran
yang tinggi. Cirinya yaitu pembelajaran berlangsung interaktif, inspiratif, memotivasi, menantang,
menyenangkan serta memberi ruang yang cukup untuk prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai
bakat, minat dan perkembangan isik dan psikologis mahasiswa. Dengan demikian, maka
penerapan model pembelajaran inkuiri dengan materi ajar BTT terintegrasi etnobotani dipandang
mampu menghasilkan lulusan PT sesuai tuntutan SKL setara dengan level 6 dari KKNI.

4. Simpulan
Merujuk pada rangkuman hasil dan pembahasan hasil penelitian, dapat dikemukakan
bererapa kesimpulan yaitu: 1) Terdapat perbedaan yang signiikan prestasi belajar mahasiswa
sebelum pembelajaran dibandingkan dengan setelah dilakukan pembelajaran. Nilai rata-rata
prestasi belajar mahasiswa setelah pembelajaran dalam kategori dengan nilai rata-rata posttest
80,77, lebih tinggi 36.75% dibandingkan dengan prestasi sebelum pembelajaran dengan nilai
rata-rata pretest 59,23. Hasil ini menunjukkan bahwa pembelajaran BTT dengan model iknuri
menggunakan materi ajar terintegraasi etnobotani menyebabkan tingginya kualitas proses
pembelajaran sehingga berhasil menghantarkan mencapai prestaasi belajar sesuai dengan
ketentuan prestasi belajar minimal dalam mata kuliah BTT seperti ditetapkan dalam kurikulum.
2) Tingginya pretasi belajar mahasiswa karena tingginya aktivitas mahasiswa dalam kegiatan
proses pembelajaran. Mahasiswa aktif dalam pembelajaran karena penerapan model inkuiri dan
penggunaan materi ajar BTT terintegrasi etnobotani mampu merangsang minat dan keingintahuan
mahasiswa, karena itu mahasiswa merespon positif kegiatan pembelajaran.

5. Daftar Pustaka

Battiste M. (2002). Indigenous knowledge and pedagogy in irst nations education. A literature
review with recommendations. Makalah yang disiapkan untuk the National Working
Group for Education and the Minister of Indian Affairs Indian and Nothern Affairs Canada
(INAC), Ottawa, 31 October 2002.

Becker CD, Ghimire K. (2003). Synergy between traditional ecological knowledge and

105
Buku Prosiding Seminar Nasional

conservation science supports forest preservation in Ecuador. Conservation Ecology 8(1):


1. [Online]. http://www.consecol.org/vol8/iss1/art1, diakses 26 November 2007.

Fraenkel, J. R. & Wallen. N. E. (2009). How to Design and Evaluate Research in Education (7th
Ed.). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Joyce, Bruce & Marsha Weil. (2000). Models of Teaching. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka
Kualiikasi Nasional Indonesia.

Maksum, Ahmad, (2006). Pengaruh Metode Pembelajaran Inquiri terhadap Hasil Belajar
Sejarah dan Sikap Nasionalisme Siswa Kelas XI SMA Negeri1 Sukamulia, Lombok Timur,
NTB. Tesis. Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha. Program Pascasarjana.

Putrayasa, Ida Bagus. (2005). Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Inquiri dalam Upaya
Meningkatkan Aktivitas, Kreativitas, dan Logikalitas. (Tesis). Singaraja. Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Negeri Singaraja.

Sudjana, N. (2005) Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.

Surata, IK., I W. Gata. (2015). Pengembangan Materi Pembelajaran Sains Botani Tumbuhan
Tinggi Berbasis Etnobotani di Perguruan Tinngi. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing
Lanjutan (Tidak diterbitkan). Dibiayai dari DIPA Dilitabmas Kemristek Dikti 2015.

106
PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR IPA SISWA SD MELALUI
PENDEKATAN SAINTIFIK TERINTEGRASI KEARIFAN
LOKAL BALI BERBASIS ERGONOMI

I Made Sudiana1, I Gede Sudirgayasa2


Pendidikan Biologi, FP MIPA, IKIP Saraswati, Tabanan, Bali1
Pendidikan Biologi, FP MIPA, IKIP Saraswati, Tabanan, Bali2
e-mail: m_sudiana@rocketmail.com

Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh pembelajaran berpendekatan saintiik
dengan materi yang diintegrasikan dengan kearifan lokal Bali berbasis ergonomi terhadap
prestasi belajar IPA dan respon siswa sekolah dasar. Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen dengan desain The One-Group Pretest-Posttest Design. Subjek penelitian adalah
siswa kelas 4 SD Saraswati Tabanan Tahun Pelajaran 2015/2016. Data yang dikumpulkan
berupa skor hasil pretest, skor hasil postest, data hasil observasi pembelajaran, dan data
respon siswa. Data dikumpulkan dengan test prestasi belajar, lembar observasi, dan kuesioner.
Analisis data hasil tes, respon siswa, observasi aktivitas belajar siswa, dan kuisioner
dilakukan dengan analisis deskriftif kualitatif. Sedangkan t-test sampel dependent dilakukan
untuk mengetahui perbedaan rata-rata hasil pretest dan posttest. Berdasarkan rangkuman
hasil penelitian, dapat dsimpulkan bahwa 1) Terdapat perbedaan yang signiikan antara nilai
rata-rata hasil pretest dan posttest siswa. Hasil ini menunjukkan bahwa pendekatan saintiik
dengan materi terintegrasi kearifan lokal masyarakat Bali berbasis ergonomi, mampu
meningkatkan prestasi belajar IPA siswa SD. 2) Siswa merespon positif pembelajaran dengan
pendekatan saintiik menggunakan materi ajar terintegrasi kearifan lokal masyarakat Bali
berbasis ergonomi tersebut.

Kata kunci: pendekatan saintiik, kearifan lokal, prestasi belajar

Abstract
This study was conducted to analyze the effect of scientiic approach learning with content
integrated with the local wisdom of Bali-based ergonomics to natural science learning
achievement and responses of elementary school students. This study was an experimental
study with The One-group pretest-posttest design. Subjects were students in the 4th grade
elementary school Saraswati Tabanan in the academic year 2015/2016. Data collected
in the form of score results of the pretest, posttest, data from observational learning, and
student response. Data collected by the learning achievement test, observation sheets,
and questionnaires. Analysis of test data, observation of the student learning activities,
and questionnaires was analyzed with descriptive qualitative and dependent sample t-test
to determine differences in the average results of pretest and posttest. From the research
results, we can conclude 1) There is a signiicant difference between the average value of the
results of pretest and posttest students. These results indicated that the scientiic approach
learning with content integrated the local wisdom of Bali-based ergonomics that we apply
can improve students natural science learning achievement. 2) Students responded positively
to learning with an scientiic approach learning used content integrated the local wisdom of
Bali-based ergonomics.

Keywords: scientiic approach, local wisdom, learning achievements

107
Buku Prosiding Seminar Nasional

1. Pendahuluan

P
erkembangan pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari inovasi teori-teori
pembelajaran hasil penelitian para ahli pendidikan yang sebagian besar berasal dari
“negara barat”. Inovasi tersebut mulai menginspirasi untuk melakukan perubahan
guna meningkatkan kualitas pendidikan menuju tujuan utama pendidikan nasional. Semua
perubahan yang dilakukan sedapat mungkin mengadopsi inovasi terbaru dalam dunia pendidikan
oleh para ahli. Perubahan terus dilakukan mulai dari penyempurnaan kerangka kurikulum dari
tahun ke tahun. Standar pendidikan juga terus ditingkatkan mengacu pada paradigma pendidikan
masa depan (Mendikbud, 2013). Perubahan struktur kurikulum dan standar pendidikan diikuti
dengan perubahan konten, pendekatan, model, metode, strategi, evaluasi, media, perangkat dan
sumber dalam pembelajaran.
Mengadopsi inovasi hasil penelitian para ahli luar negeri dalam dunia pendidikan dapat
memicu permasalahan jangka panjang. Inovasi ahli luar negeri khususnya pada bidang IPA yang
dituangkan dalam konten, pendekatan, model, metode, strategi, evaluasi, media, perangkat dan
sumber dalam pembelajaran, tentunya secara tidak langsung terkait dengan budaya luar sang
inovator. Hal ini dapat memicu kebingungan siswa akan kegiatan pembelajaran IPA yang belum
tentu familiar untuk seluruh siswa. Dampaknya adalah rendahnya prestasi belajar IPA siswa.
Disamping itu, dapat memicu ketidaktahuan siswa akan kearifan lokal budayanya yang adi
luhung sehingga dapat mengikis kecintaannya akan nilai-nilai kebangsaan yang pada ujungnya
menurunkan rasa nasionalisme dalam dirinya.
Untuk meminimalisir permasalahan di atas, tim peneliti mencoba menjawabnya dengan
melakukan eksperimen melalui pembelajaran dengan pendekatan saintiik dengan materi
terintegrasi kearifan lokal masyarakat Bali berbasis ergonomi. Pendekatan ini merupakan cara-cara
belajar tradisional yang diuraikan dalam cabang ilsafat Hindu. Pendekatan ini dalam pendidikan
umat Hindu dikenal dengan istilah Tri Pramana (tiga jalan menguatkan keyakinan). Tri Pramana
sebagai cara belajar yang unsur-unsurnya terdiri dari: 1) tenaga (bayu) yaitu untuk melakukan
pembelajaran yang menggunakan tenaga, misalnya melakukan praktikum, melakukan percobaan,
observasi, dan lain-lain; 2) kemampuan suara atau bahasa (sabda) untuk melakukan pembelajaran
yang berbasis informasi, misalnya mendengarkan informasi dari guru, membaca buku, dan lain-
lain; dan 3) kemampuan akal pikiran (idep) yaitu untuk melakukan pembelajaran menggunakan
pikiran, misalnya melakukan analisis fenomena alam, melakukan pemecahan masalah, penerapan
pengetahuan, konsep, prinsip yang telah dipelajari pada situasi lain (Subagia dan Wiratma, 2006).
Eksperimen dilakukan di sekolah dasar (SD). Pemilihan jenjang pendidikan SD karena merupakan
pendidikan dasar, dimana pada jenjang tersebutlah sebagai pondasi pembentukan karakter dan
peletakan dasar ilmu pengetuhuan. Ibarat sebuah bangungan, jika pondasinya kuat, maka semua
bagian yang berada di atas pondasi dapat disangga dengan kuat, sehingga bangunan menjadi
kokoh. Begitu juga sebaliknya, jika pondasi tidak kuat, maka semua elemen sebagus apapun yang
berada di atasnya akan mudah roboh. Oleh karenanya, pengimbasan kearifan lokal dari tingkat
dasar akan memudahkan pengembangan pada tingkat selanjutnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah penerapan pembelajaran dengan pendekatan saintiik
dengan materi terintegrasi kearifan lokal masyarakat Bali berbasis ergonomi tersebut, mampu
meningkatkan prestasi belajar IPA siswa SD? Apakah siswa merespon positif pembelajaran dengan
pendekatan saintiik terintegrasi kearifan lokal masyarakat Bali berbasis ergonomi tersebut?

2. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen dengan desain penelitian The
One-Group Pretest-Posttest Design. Desain penelitian ini melibatkan kelompok tunggal yang
tidak hanya mengukur atau mengobservasi setelah diberikan perlakuan eksperimen, tetapi juga
sebelumnya. Pengukuran yang dimaksud berupa pretest dan posttest (Fraenkel, J. R. & Wallen.
N. E., 2009).

108
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Subjek penelitian adalah siswa kelas 4 SD Saraswati Tabanan Tahun Pelajaran 2015/2016
dengan jumlah siswa sebanyak 25 orang. Jumlah 25 orang siswa tersebut diambil secara acak dari
siswa kelas 4 unggulan dan kelas 4 reguler. Sebanyak 10 siswa dari kelas unggulan dan sisanya
sejumlah 15 siswa dari kelas reguler. Penggabungan dilakukan untuk menjamin validitas penelitian
berkaitan dengan randomisasi sampel. Data dikumpulkan dengan triangulasi data melalui tes
prestasi belajar IPA, respon siswa terhadap pembelajaran dan observasi proses pembelajaran.
Adapun instrumen yang digunakan berupa tes (pretest dan posttest) dengan jumlah item 25 soal
obyektif, kuesioner respon siswa berjumlah 20 pernyataan dengan lima kategori respon (sangat
setuju dengan skor 5, setuju dengan skor 4, kurang setuju dengan skor 3, tidak setuju dengan skor
2, dan sangat tidak setuju dengan skor 1. Observasi dilakukan dengan observasi terbuka dengan
mencatat secara sistematis segala bentuk kegiatan dalam proses pembelajaran.
Konversi skor rata-rata respon siswa mengacu pada konversi nilai skala absolut (Sudjana,
2005), tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1. Pedoman Konversi Skor Presatasi Belajar Siswa


Skor rata-rata (%) Keterangan
90-100 Sangat baik
80-89 Baik
70-79 Sedang
60-69 Kurang
< 60 Sangat kurang
(Sudjana, 2005)

Analisis data hasil tes dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif dan uji-t sampel
dependent untuk mengetahui perbedaan rata-rata hasil pretest dan posttest. Analisis respon dan
observasi juga dilakukan dengan analisis deskriftif kualitatif. Seluruh analisis dilakukan dengan
bantuan Microsoft Ofice Excel 2007 dan softwere IBM SPSS 20.

3. Pembahasan Hasil
Berdasarkan hasil pretest dan posttest siswa yang terkumpul dirangkum pada Tabel 2 di
bawah.

Tabel 2. Rangkuman Hasil Pretest dan Posttest Siswa Kelas 4 SD Saraswati Tabanan Tahun
Pelajaran 2015/2016
Keterangan Pretest Posttest
Nilai total 1492 2051
Nilai rata –rata 59,68 82,04
Peningkatan nilai rata-rata 22,36
Peningkatan dalam % 37,47%
Ketuntasan klasikal 88%

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa, nilai rata-rata pretest sebesar 59,68 sedangkan
nilai rata-rata posttest sebesar 82,04, dengan peningkatan sebesar 22,36 (37,47%). Dari 25 orang
siswa, 22 orang (88%) tuntas belajar dan hanya 3 orang (12%) yang tidak tuntas belajar sesuai
dengan standar ketuntasan minimal kompetensi inti 3 dan 4 pada kurikulum 2013 dengan rentang
nilai skala 100 sebesar 66 sampai 70, dan skala 4 sebesar 2,66 (predikat B). Atas dasar itu,
ketuntasan belajar siswa secara klasikal tergolong tinggi.
Berdasarkan data dalam Tabel 2, dapat dilukiskan perbandingan nilai rata-rata pretest dan

109
Buku Prosiding Seminar Nasional

posttest siswa seperti tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1. Perbandingan Nilai Hasil Pretest dan Posttest Siswa Kelas 4 SD Saraswati Tabanan
Tahun Pelajaran 205/2016

Untuk meenentukan signikansi perbedaan antara nilai rata-rata pretest dan posttest
dilakukan uji-t. Berdasarkan hasil uji-t , ternyata terdapat pebedaan yang signiikan antara nilai
rata-rata pretest dengan nilai rata-rata posttest siswa. Nilai t-hitung pada taraf signiikasni 0,000,
sebesar 8,349 (Tabel 3), jauh lebih kecil dari taraf signiikansi yang ditentukan sebesar 0,05. Ini
berarti bahwa nilai rata-rata antara pretest dan posttest berbeda siginiikan. Dengan kata lain nilai
rata-rata posttets lebih baik dari nilai rata-rata pretest.

Tabel 3. Output Hasil Uji-t Dependent


Paired Differences

95% Coni- 95% Coni-


dence Interval dence Interval
Std. Devia- of the Differ- of the Differ- t
Mean Std. Error Mean df Sig. (2-tailed)
tion ence ence
Lower Upper
-22,36000 13,39117 2,67823 -27,88760 -16,83240 -8,349 24 ,000

Guna menjamin bahwa perbedaan ini terkait dengan efektiitas pendekatan saintiik yang
diterapkan dalam kegiatan pembelajaran dengan menggunakan materi ajar terintegrasi kearifan
lokal masyarakat Bali berbasis ergonomi, maka respon siswa terhadap pemebalajaran menjadi
sangat penting untuk diketahui.
Berdasarkan hasil analisis kuesioner respon siswa terhadap pendekatan saintiik
yang diterapkan menggunakan materi ajar terintegrasi kearifan lokal masyarakat Bali berbasis
ergonomi, disajikan rangkumannya pada Tabel 4.

Tabel 4. Rangkuman Skor Hasil Kuesioner Respon Siswa Kelas 4 SD Saraswati Tabanan Tahun
Pelajaran 2015/2016
Skor total Skor rata-rata
2218 87,72

110
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Hasil analisis isisan kuisioner respon siswa dalam pamebalajaran (Tabel 4), dapat
diketahui bahwa rata-rata respon siswa sebesar 88, 72, termasuk dalam kategori baik. Dengan
demikian, ini berarti bahwa sebagian besar siswa sangat setuju dan setuju terhadap penerapan
pembelajaran IPA berpendekatan saintiik menggunakan materi ajar terintegrasi kearifan lokal
masyarakat Bali berbasis ergonomi
Berdasarkan rangkuman catatan tim peneliti terhadap hasil observasi selama kegiatan
pembelajaran berlangsung, dapat disimpulkan bahwa siswa secara umum antusias dalam
mengikuti pelajaran. Mereka terlihat senang saat guru menyampaikan pelajaran yang dikaitkan
dengan gambar-gambar yang sudah familiar yang terdapat dalam buku materi ajar. Siswa juga
terlihat antusias mengerjakan tugas sesuai dengan prosedur kerja yang termuat dalam buku ajar.
Karena tugas yang dikerjakan siswa menggunakan bahan dan alat sederhana yang sangat sering
dilihat dan mudah mereka jumpai. Minat siswa secara lebih mengkhusus lebih besar lagi saat guru
membuka diskusi yang berkaitan dengan materi khusus yang merangkum apa yang telah mereka
pelajari dikaitkan dengan kebesaran Tuhan dan kearifan lokal. Pada tahap ini terlihat 85 persen
siswa mengangkat tangan untuk bertanya sehingga diskusi menjadi lebih aktif.
Siswa antusias melaksanakan kegiatan pembelajaran, selain karena siswa memperoleh
pengalaman belajar secara langsung, juga karena konten materi ajar terintegrasi denagn kearifan
lokal berbasis ergonomi, mampu menarik minat siswa untuk ingin tahu. Hal ini sesuai dengan
teori-teori yang terdapat dalam buku-buku psikologi pendidikan, misalnya karangan Slavin
(2008) dan Santrock (2011), yang menyatakan bahwa antusias siswa terkait dengan minat mereka
terhadap pembelajaran. Minat terkait dengan segala hal yang baru dan menarik bagi mereka.
Dalam kaitan ini, hal yang baru dan menarik ini hadir dalam bentuk pendekatan saintiik dengan
materi terintegrasi kearifan lokal Bali berbasis ergonomi. Sesungguhnya minat minat awal siswa
sudah tinggi, untuk mempertahankannya bahkan meningkaytkan minat belajarnya, peneliti
memodiikasi kegiatan-kegiatan untuk mengasah keterampilan siswa dengan cara lebih sederhana
dan menyenangkan. Sederhana yang dimaksudkan yaitu semua alat dan bahan yang diperlukan
sangat mudah ditemukan siswa dalam kehidupan nyatanya sehingga siswa sudah sangat familiar
dengan alat dan bahan tersebut. Sedangkan menyenangkan maksudnya setiap kegiatan siswa
pembelajaran memberikan akses dan ksempatan belajar secara bebas tapi terkontrol melalui belajar
berkelompok sehingga siswa merasakan bahwa belajar seakan-akan melakukan kegiatan bermain.
Cara belajar seperti ini menyebabkan siswa tidak tertekan belajar dan pembelajaran berlansung
demokratis. Siswa diberi kesempatan menunjukkan hasil meereka. Menunjukkan hasil karya
sangatlah penting bagi siswa sekolah dasar. Hal tersebut terkait dengan tahapan perkembangan
mereka pada tahap operasional konkret yang sangat senang jika berhasil mengerjakan sesuatu
dan selalu ingin menunjukkannya kepada oran lain. Dengan demikian siswa menjadi lebih aktif
mengekspresikan diri dalam pembelajaran yang menarik minat mereka. Dalam kaitan inilah
lingkungan belajar, alat, dan media belajar secara ergonomis menujukkan perannya.
Respon positif siswa muncul dalam kegiatan pembelajaran, karena adanya stimulus positif
yang mampu mearik minat mereka belajar. Berdasar teori pembelajaran dari Gredler (2011) dan
Schunk (2012), bahwa sesuai naluri alamiah, stimulus positif merangsang respon yang juga
positif. Ini artinya respon positif siswa terhadap pembelajaran, mencerminkan bahwa peneliti
memberikan stimulus yang positif kepada siswa yaitu pembelajaran dengan pendekatan saintiik
menggunakan materi ajar terintegrasi kearifan lokal berbasis ergonomi.
Atas dasar hubungan antara stimulus-respon seperti di atas, penggunaan materi ajar
terintegrasi kearifan lokal berbasis ergonomi dalam memfasilitasi siswa belajar IPA berhasil
meningkatkan prestasi belajar siswa. Keberhasilan siswa dalam pembelajaran IPA menggunakan
materi ajar terintegrasi tersebut, karena materi ajar – sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi
prestasi belajar – disusun secara unik, familiar, menarik, efeftif dan eisien. Dengan demikian
mampu merangsang faktor intrinsik siswa yaitu menarik minatnya untuk belajar sehingga mampu
mendorong siswa berprestasi dalam belajar.

111
Buku Prosiding Seminar Nasional

Dibandingkan dengan prestasi belajar IPA pada siswa yang menggunakan materi ajar
tanpa terintegrasi kearifan lokal, prestaasi belajar IPA pada siswa yang menggunakan materi ajar
terintegrasi kearifan lokal berbasis ergonomi, memiliki kelebihan tersendiri. Kelebihannya antara
lain: 1) Kompetensi pengetahuan siswa terhadap IPA menjadi lebih luas, lebih mendalam, dan
lebih kaya serta yang sangat penting, siswa sejak dini memamahi pengetahuan/kearifan lokal
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan dan lingkungan; 2) Kompetensi afketif siswa
menjadi tumbuh dengan baik seperti munculnya respek tulus terhadap pengetahuan lokal yang
mengadung kearifan, menjujung etika, moral, dan kebaikan. Dengan demikian, selain siswa
memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, jauh lebih penting dari itu, siswa tidak tercerabut
dari akar budanya; 3) Sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya kompetensi pengetahuan dan
kompetensi afektif siswa, kompetensi psikomotorik siswa juga berkembang seperti siswa terampil
untuk memanfaatkan pengetahuan IPA yang diperoleh dalam kehidupan nyata siswa.

4. Simpulan
Berdasarkan rangkuman hasil penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1) terdapat perbedaan yang signiikan antara nilai rata-rata hasil pretest dan posttest siswa. Hasil
ini menunjukkan bahwa pendekatan saintiik dengan materi terintegrasi kearifan lokal masyarakat
Bali berbasis ergonomi mampu meningkatkan prestasi belajar IPA siswa SD. 2) Meningkatnya
prestasi belajar siswa karena siswa merespon positif kegiatan pembelajaran. Munculnya respon
positif siswa dalam kegiatan pembelajaran karena adanya situmulus positif yaitu pendekatan
saintiik menggunakan materi ajar terintegrasi kearifan lokal masyarakat Bali berbasis ergonomi.

5. Daftar Pustaka

Fraenkel, J. R. & Wallen. N. E. (2009). How to Design and Evaluate Research in Education (7th
Ed.). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Mendikbud.(2013). Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 67


Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar/ Madrasah
Ibtidaiyah. Jakarta: Depdikbud.

Santrock, J.W. (2011). Educational Psychology. USA. McGraw-Hill.

Schunk, D. H. (2012). Learning Theories : An Educational Perspective (6th ed). Boston: Pearson
Education, Inc

Slavin, R.E. (2008). Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek Jilid 2. Jakarta: Indeks.

Subagia dan Wiratma.(2006). Potensi-Potensi Kearifan Lokal Masyarakat Bali Dalam Bidang
Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja No. 3 Th XXXIX
Juli 2006. Hal. 552-568.

Sudjana, N. (2005) Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.

112
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER PADA
PEMBELAJARAN IPA SD BERBASIS TRADISI LISAN

I Made Maduriana
Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP Saraswati Tabanan, Bali
e-mail: maduriana@gmail.com

Abstrak
Menurut Barokah, W (2013), menyatakan suatu fakta yang tidak bisa dibantah bahwa akibat
globalisasi saat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai dari yang berorientasi moral spiritual
ke orientasi isikal material. Gaya hidup religius dan bersahaja sebagaimana dianut oleh
masyarakat Indonesia zaman, dahulu telah bergeser menjadi gaya hidup materialistis, dan
hedonis. Pentingnya pendidikan karakter diterapkan sejak usia dini, tidak hanya dibebankan
pada mata pelajaran PPKn dan agama saja, tetapi diintegrasikan dalam mata pelajaran
lain termasuk IPA di SD. Pendidikan karakter terintegrasi dalam mata pelajaran IPA perlu
didukung dengan penyediaan materi ajar berupa buku tematik. Tradisi lisan yang berkembang
di masyarakat banyak mengandung nilai-nilai pendidikan karakter. Tujuan penelitian ini
adalah terwujudnya materi pendidikan karakter terintegrasi dalam pembelajaran IPA di
sekolah dasar berbasis tradisi lisan. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan
acuan alternatif pada konsep pendidikan karakter. Metode penelitian dengan melakukan uji
coba terhadap draft buku ajar tematik IPA SD terintegrasi pendidikan karakter berbasis tradisi
lisan pada siswa kelas 4. Data yang diambil berupa respon siswa terhadap buku yang dipakai
bahan ajar, aktivitas siswa selama pembelajaran dan prestasi belajar siswa. Hasil penelitian
menunjukkan siswa memberikan respon setuju terhadap buku ajar yang diuji coba dan respon
tertinggi pada kelayakan isi dan terendah pada penyajian. Aktivitas siswa meningkat pada
setiap pertemuan dari kurang aktif menjadi aktif, mengindikasikan materi yang disampaikan
dapat menarik perhatian siswa. Prestasi siswa mengalami peningkatan sebesar 31,19%.
Karena belajar akan menjadi lebih mudah jika dimulai dari akar budayanya.

Kata kunci: implementasi, pendidikan karakter, tradisi lisan, pelajaran IPA

Abstract
According Barokah, W (2013), stating a fact that is indisputable that due to the current
globalization has been a shift in the values of the spiritual and moral oriented to the physical
orientation of the material. Religious lifestyle and unpretentious as adopted by the ancient
Indonesian society has shifted into a materialistic lifestyle, and hedonist. The importance of
character education is applied from an early age, not just imposed on the PPKn and religion
educations only, but integrated in other subjects including science in elementary school.
Character education is integrated in science subjects need to be supported by the provision of
teaching materials such as books thematic. Oral tradition that developed in many communities
containing the values of character education. The aim of this research is to establish character
education materials integrated in learning science in elementary school-based oral tradition.
The results of this study would be useful to provide a reference to the concept of character
education alternative. The research method with a test against the draft textbook thematic
IPA SD integrates character education based on the oral tradition at grade 4 student. Data
taken the form of students’ response to the book used teaching materials, student activities
for learning and student achievement. The results showed students responded to agree to the
textbook tested and the highest response on the feasibility of the content and the lowest in
the presentation. Activities of students increased at each teach from the less active to active,
indicating the material presented to attract the attention of students. Student achievement has
increased by 31.19%. Because learning will be easier if starting from its cultural base.

Keywords: implementation, character education, oral traditions, science lessons

113
Buku Prosiding Seminar Nasional

1. Pendahuluan

K
emerosotan moral anak bangsa telah menjadi keresahan masyarakat kita saat ini. Dari
kasus tawuran anak sekolah, pornograi, narkoba, korupsi, perampokan dan terorisme.
Suatu fakta yang tidak bisa dibantah bahwa akibat globalisasi saat ini telah terjadi
pergeseran nilai-nilai dari yang berorientasi moral spiritual ke orientasi isikal material. Gaya
hidup religius dan bersahaja sebagaimana dianut oleh masyarakat Indonesia zaman, dahulu telah
bergeser menjadi gaya hidup materialistis, dan hedonis (Barokah, W. 2013). Permainan tradisional
yang biasa dilakukan saat terang bulan, mengajarkan kejujuran, sopan, peduli, kerjasama, desiplin
dan bertanggung jawab (Windhu, I.B.O. dkk. 1986). Kini permainan tradisional telah tergantikan
dengan permainan modern yang cendrung individualis dan materialis. Kalau dahulu sebelum tidur
anak diceritakan suatu dongeng, mitos, legenda, makna ritual dan adat kebiasaan yang memberikan
contoh kebaikan, kini telah tergantikan oleh instrumen canggih internet, televisi, dan handphone.
dan playstation. Piranti ini sering menayangkan adegan yang tidak sesuai untuk anak-anak, dan
menjauhkan anak dari interaksi sosialnya. Maduriana dan Seniwati (2014)), hasil penelitiannya
menemukan tradisi lisan yang ada di masyarakat Bali dapat dijadikan dasar pendidikan karakter
di sekolah dasar. Banyak tradisi lisan yang berkembang di Bali relevan dengan materi IPA di
sekolah dasar.
Pendidikan karakter selama ini seolah dibebankan pada pendidikan agama dan PPKn
saja. Sehingga pendidikan karakter dirasa masih kurang. Pemerintah berniat mengembalikan
pendidikan karakter dengan mengintegrasikan pada mata pelajaran lain seperti IPA dan mata
pelajaran lain di luar kedua mata pelajaran tadi. Tujuan penelitian ini adalah: terwujudnya materi
pendidikan karakter terintegrasi dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar berbasis tradisi lisan.
Materi pendidikan karakter dapat dikembangkan dengan menggali dari kearifan lokal (tradisi
lisan) yang ada di masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan acuan
alternatif pada konsep pendidikan karakter bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Pemerintah Daerah/Kabupaten Kota, sekolah dasar, mahasiswa calon guru, dan dunia pendidikan.

2. Metode Penelitian
Secara keseluruhan desain penelitian ini adalah penelitian tipe pengembangan “Prototipycal
Studies” (Akker, 1999) dan Plomp (2001) dengan melalui fase analisis hulu-hilir (front-end
analysis), fase pengembangan prototipe (prototyping phase), dan fase penilaian (assessment
phase) atau evaluasi sumatif.
Sebagai fase awal penelitian dilakukan dengan menggali tradisi lisan yang berkembang di
masyarakat. Penelusuran dilakukan pada delapan perpustakaan yang ada di Bali. Penelusuran
materi tradisi lisan yang relevan dengan pendidikan karakter dan materi pembelajaran IPA di
sekolah dasar dilakukan dengan studi kepustakaan, studi lapangan pada guru dan siswa, wawancara
mendalam, diskusi kelompok terarah. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kwalitatif.
Data yang berhasil di input pada tahun pertama diolah memakai fase analisis hulu-hilir (front-end
analysis). Materi pendidikan karakter yang diperoleh selanjutnya diinput sebagai draft buku ajar
IPA SD kelas 4.
Draft buku aiar terdiri atas dua tema yakni tema 2 tentang “Hemat Energi dan tema 3 tentang
“Peduli terhadap Makhluk Hidup”. Draft buku ajar yang telah tersusun (draft I) selanjutnya
dimintakan penilaian kelayakan pada guru kelas 4 sebagai pemakai buku di kelas, Dilanjutkan
kegiatan diskusi (expert judgment) untuk mendapatkan kesatuan tafsir oleh para guru. Dengan
keterbatasan peneliti maka penilaian draft buku ajar baru sampai validitas isi, dan uji eksperimental
secara terbatas.
Pelaksanaan uji secara terbatas dilaksanakan pada Sekolah dasar Saraswati Tabanan. Alasan
pemilihan Sekolah Dasar Saraswati Tabanan adalah karena merupakan sekolah pavorit di kota
Tabanan, yang menerapkan kurikulum 2013. Siswa yang belajar di sekolah ini dari berbagai etnis,
sehingga dari segi heterogenitas sekolah ini cukup heterogen. Siswa kelas empat Sekolah Dasar

114
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Saraswati Tabanan terdiri atas kelas unggulan dan regular. Peneliti dalam uji coba terbatas ini
memilih dua kelas yakni kelas satu kelas unggulan dan satu kelas regular. Data yang diinput pada
uji coba ini adalah data respon siswa, data aktivitas siswa dan prestasi siswa sebelum dan sesudah
melaksanakan pembelajaran memakai materi dari buku ajar yang diuji cobakan. Respon siswa
diukur dengan menggunakan angket repon yang berisi 20 pernyataan mengenai isi, penyajian,
kebahasaan dan kegraikan dari buku tersebut. Respon diberikan dalam lima katagori yakni sangat
tidak setuju, tidak setuju, kurang setuju, setuju dan sangat setuju. Data respon siswa diolah secara
deskriptif kwalitatif.
Data aktivitas diukur memakai lembar observasi terdiri atas 10 item dengan skor masing-
masing item antara 1 – 5 dengan kriteria sangat kurang aktif, kurang aktif, cukup aktif, aktif, dan
sangat aktif. Aktivitas diukur pada setiap pertemuan selama tiga kali pertemuan pembelajaran.
Pedoman observasi yang digunakan untuk mengumpulkan data berisikan deskriptor-deskriptor
dan indikator prilaku siswa yang akan diamati selama proses belajar mengajar. Adapun indikator
perilaku yang diamati memuat 5 perilaku yaitu:
1. Antusiasme siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
2. Interaksi siswa dengan guru.
3. Interaksi siswa dengan siswa yang lain.
4. Kerjasama kelompok.
5. Aktivitas siswa antara satu kelompok.
Jika semua aktivitas teramati pada seorang siswa, maka siswa tersebut diberi skor 5 (lima),
jika tidak diberi skor 1 (satu). Skor aktivitas diperoleh dengan menjumlahkan skor yang didapat
siswa bersangkutan untuk tiap aktivitas Data aktivitas diolah dengan mencari skor rata-rata,
mean ideal (MI), dan Standar Deviasi Ideal (SDI). Sesuai dengan Nurkancana dan Sunartana
(1992), kriteria katagori aktivitas siswa berdasarkan adalah sebagai berikut.

MI + 1,5 SDI ≤ → sangat aktif


MI + 0,5 SDI ≤ < MI + 1,5 SDI → aktif
MI - 0,5 SDI ≤ < MI + 0,5 SDI → cukup aktif
MI - 1,5 SDI ≤ < MI - 0,5 SDI → kurang aktif

Prestasi siswa diukur dengan tes formatif model pilihan ganda sebanyak 20 soal diakhir
pembelajaran. Data prestasi siswa dicari nilai rata-rata pretest dan post test, kemudian dihitung
prosentase perubahannya. Semua proses analisis memakai bantuan Microsoft Ofice Excel 2007.

3. Hasil dan Pembahasan


Uji coba terbatas dilakukan untuk mengetahui efektivitas buku ajar IPA bermuatan
pendidikan karakter berbasisi tradisi lisan jika dipakai oleh siswa sebagai stakeholder. Uji coba ini
adalah uji coba draft II hasil revisi draft I yang telah dilakukan oleh guru berdasarkan komponen
isi, penyajian, kebahasaan dan kegraikan. Uji coba terbatas dilakukan pada siswa kelas 4 Sekolah
Dasar Saraswati Tabanan. Sekolah Dasar Saraswati Tabanan adalah sekolah dasar pavorit di kota
Tabanan, yang menerapkan kurikulum 2013. Siswa yang belajar di sekolah ini dari berbgai etnis,
sehingga dari segi heterogenitas sekolah ini cukup heterogen.
Pelaksanaan uji coba ini melibatkan guru kelas yang mengajar di kelas terpilih. Kelas
yang dipilih sebagai sampel adalah kelas unggulan dan kelas regular. Kelas unggulan adalah
kelas dengan kemampuan siswa lebih dari kelas reguler. Kegiatan uji coba di awali dengan
mengadakan pre test, kegiatan ini untuk mengukur kemampuan awal siswa mengenai isi buku
yang akan di uji cobakan. Diakhir uji coba dilakukan post test dan mengisi angket respons siswa.
Dilanjutkan dengan kegiatan pembelajaran oleh guru kelas dengan materi yang diambil dari
buku ajar yang diujicobakan. Setiap kali pelaksanaan uji coba kepada siswa diberikan lembar

115
Buku Prosiding Seminar Nasional

kerja siswa (LKS) untuk dikerjakan. LKS ada bersifat mandiri dan kelompok. Hasil kerja LKS
kelompok dipresentasikan di depan kelas, kelompok siswa yang lain memberikan tanggapan
ditambah penjelasan guru. Tugas mandiri yang lain adalah siswa diminta membuat booklet sesuai
materi dalam draft buku sub tema tiga. Booklet dibuat di rumah karena memerlukan kreativitas
artistik. Booklet dinilai oleh guru untuk mendapatkan gambaran kreativitas dan pemahaman siswa
pada suatu konsep.

Respon siswa
Respon siswa terhadap buku ajar yang diberikan akan memberikan gambaran seberapa
besar tanggapan siswa terhadap buku tematik IPA berbasis tradisi lisan sebagai bahan pelajaran
IPA di SD. Respon yang diberikan oleh siswa dengan memberikan jawaban pada angket respon
mengisyaratkan jawaban siswa terhadap isi, penyajian, kebahasaan dan kegraikan dari buku
tematik berbasis tradisi lisan yang dipelajari. Respon siswa diukur dengan menggunakan angket
repon yang berisi 20 pernyataan mengenai isi, penyajian, kebahasaan dan kegraikan dari buku
tersebut. Respon diberikan dalam lima katagori yakni sangat tidak setuju, tidak setuju, kurang
setuju, setuju dan sangat setuju. Hasil analisis angket respon memberikan rata-rata nilai seluruh
komponen 4,39 berada dalam katagori setuju dengan buku tematik berbasis tradisi lisan dipakai
sebagai bahan ajar. Respon setuju dari siswa menunjukkan materi yang disajikan dalam buku
dapat diterima oleh siswa. Tanggapan siswa terhadap buku tematik berbasis tradisi lisan tiap
komponen seperti tersaji dalam gambar 1 berikut.

Gambar 1. Graik respon siswa pada buku tematik berbasis tradisi lisan

Dari gambar 1 di atas terlihat respon tertinggi siswa pada buku tematik berbasis tradisi lisan
adalah pada komponen kelayakan isi, disusul komponen kegraikan. Nilai terendah diperoleh
pada komponen penyajian. Keadaan ini sesuai dengan hasil penilaian para guru yang memberikan
nilai terendah pada komponen penyajian. sesuai dengan saran dari guru kelas penyajian perlu
didukung dengan materi matematika tiap sub komponen dan penyajian kurang runtut. Perlu
penambahan ilustrasi uantuk memperkuat penyajian. Keterpaduan dalam penyajian sangat
penting untuk diperhatikan. Penyajian sebaiknya memperhatikan keterlibatan siswa. Semua saran
yang diberikan akan ditindak lanjuti sebagai hasil penelitian. Buku masih perlu ditambah dengan
tugas-tugas mandiri siswa.

Aktivitas Siswa
Pengukuran aktivitas siswa bertujuan mendapatkan gambaran tentang kesungguhan

116
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

siswa dalam proses pembelajaran dengan memakai media buku ajar IPA bermuatan pendidikan
karakter berbasis tradisi lisan. Hasil penilaian terhadap aktivitas siswa dapat dijadikan pedoman
dalam menentukan kelayakan sebuah buku ajar dijadikan media pembelajaran dapat menambah
aktivitas siswa. Data pengamatan aktivitas siswa setiap pertemuan pembelajaran seperti pada
tabel 1 berikut.

Tabel 1. Rata-rata Nilai Aktivitas Siswa


Pertemuan pembelajaran Rata-rata aktivitas belajar Kategori
Pertemuan 1 23,45 Kurang Aktif
Pertemuan 2 28,77 Cukup Aktif
Pertemuan 3 36,18 Aktif

Data pada tabel 1 menunjukkan aktivitas siswa meningkat pada tiap pertemuan karena
materi yang disajikan pada buku berangkat dari akar budayanya, yang telah siswa alami dan
saksikan dalam kehidupan di masyarakat. Sesuai dengan pendapat Wisudarini (2013), menyatakan
belajar yang berakar dari pendidikan budaya anak itu sendiri akan lebih mudah memahami suatu
materi sebagai bagian upaya pembangunan identitas bangsa, dan sebagai penyaring (ilter)
dalam penyeleksian pengaruh globalisasi

Pre test dan post test


Kegiatan pemberian pre test dan post tes bertujuan mengukur prestasi siswa sebelum dan
sesudah dilakukan pembelajaran dengan memakai buku yang diuji cobakan. Pelaksanaan pre test
dilakukan sebelum kegiatan pembelajaran dengan memakai buku yang diuji coba dimulai. Hasil
pre test diperiksa oleh guru dan skor siswa dicatat. Materi pembelajaran disesuaikan dengan sub
tema yang sedang berjalan di kelas sampel. Materi dipilih sesuai pembentukan karakter dengan
orientasi spiritualisme. Dalam uji coba terbatas ini sedang membahas materi tema 3 sub tema
3 yakni “ayo mencintai lingkungan”. Materi dalam draft buku yang diuji coba dipilih konsep
Tri Hita Karana. Konsep tiga penyebab kebahagiaan yakni hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam lingkungan. Dalam
tradisi lisan di Bali dikenal dengan konsep Tri Hita Karana, yakni konsep yang mengajarkan
hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Konsep ini menyadarkan siswa bahwa manusia
tidak dapat hidup tanpa alam lingkungan. Kesehatan dan kebahagiaan manusia sangat dipengaruhi
oleh kesehatan dan kebahagiaan alam lingkungannya. Setelah selesai sub tema yang diberikan
siswa diminta mengerjakan post test, skor yang diperoleh siswa dalam post test diinput untuk
selanjutnya dianalisis. Hasil pre test dan post test yang diperoleh siswa rata-rata terlihat dalam
gambar 2 berikut.

Gambar 2. Graik Skor Pre test dan post test

117
Buku Prosiding Seminar Nasional

Rata-rata nilai ujian siswa pre test sebesar 63.884615 dan post tes sebesar 83.81. Terdapat
peningkatan prestasi siswa sebesar 19,92 atau 31,19%. Berdasarkan gambar 2, ada peningkatan
prestasi siswa setelah diberikan draft buku. Peningkatan ini disebabkan oleh adanya buku sebagai
media pembelajaran yang dapat menambah pengetahuan mereka tentang tradisi lisan. Belajar dari
budaya yang berkembang di sekitar siswa akan menambah pemahaman siswa akan suatu materi.
Beberapa materi yang dipilih disesuaikan dengan materi IPA SD kelas 4 berdasarkan kurikulum
2013.

4. Simpulan
Setelah melakukan penelitian dan melakukan pengolahan datanya, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. Siswa memberikan respon setuju terhadap buku ajar tematik IPA terintegrasi pendidikan
karakter berbasis tradisi lisan dengan nilai rata-rata angket respon 4, 39.
2. Respon tertinggi berada pada nilai kelayakan isi dan terrendah pada komponen penyajian.
3. Aktivitas siswa, pada setiap pertemuan semakin meningkat menuju semakin aktif, karena
materi disajikan bersumber dari tradisi lisan yang berkembang di masyarakat.
4. Prestasi siswa mengalami peningkatan sebesar 31,19% pada post test dari nilai pre test.
5. Peningkatan prestasi karena pemakaian buku tematik IPA terintegrasi pendidikan karakter
berbasisi tradisi lisan yang dikembangkan dari adat dan budaya masyarakat Bali.

5. Daftar Pustaka

Akker, J.V. (1999). Principles and Methods of Development Research. In J. vam den Akker,R
Branch,K Gustafson, N Nieveen and Tj.Plomp (Eds). Design Approaches and Tools in
Education and Training (hlm. 1-14). Dodrecht : Kluwer Academic Publisher

Barokah, W. (2013). Kearifan Lokal Dalam Sastra Lisan Sebagai Materi Pembelajaran Karakter
Di Sekolah Dasar. Surabaya: UPBJJ-UT

Maduriana, I. M dan Seniwati, N.P. (2014). Integrasi Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Lisan
dalam Pembelajaran IPA di SD. Suluh Pendidikan/Jurnal Ilmu-ilmu Pendidikan ISSN:
1829-894X. Volume 12 Nomor 1.

Nurkancana & Sunartana. (1992). Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Usaha Nasional.

Wisudariani, Ni Made Rai. (2013). Nilai-nilai Kearifan Lokal Sastra Bali Sebagai Pilar Pendidikan
Karakter (Kajian Tembang Macepat/ Pupuh Ginada). Prosiding Seminar Nasional
Mengurai Tradisi Lisan Merajut Pendidikan Karakter. Tabanan: Bekerja sama dengan
FPBS IKIP Saraswati Tabanan, Bali Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia (ATLI) Bali.

Windhu, I.B.O, dkk. (1986). Permainan Rakyat Daerah Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

118
PENILAIAN DESKRIPTIF KUALITATIF: SEBUAH TINJAUAN
TERHADAP PENILAIAN PENCAPAIAN KOMPETENSI SIKAP
DALAM KURIKULUM 2013

Ni Putu Seniwati
Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP Saraswati Tabanan, Bali
e-mail: deyana.gede@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan (1) penerapan penilaian kualitatif pada ranah sikap
di sekolah dasar dan (2) hambatan-hambatan yang dihadapi oleh guru dalam penerapannya.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan di SD Negeri No 1
Sibanggede Badung dengan subjek penelitian adalah guru kelas II, IV, dan V. Pengumpulan
data dilakukan melalui metode observasi, angket dan wawancara. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa penilaian sikap belum sepenuhnya dilakukan oleh para guru. Hambatan-
hambatan yang dihadapi guru berupa hambatan psikologi dan keterbatasan kemampuan.
Guru merasa terbebani dengan sistem penilaian Kurikulum 2013 yang sangat kompleks
dan menyita banyak waktu. Sistem penilaian dalam kurikulum 2013 menuntut guru mampu
mengamati satu per satu siswanya secara kualitatif. Guru harus mampu mendeskripsikan
semua perilaku siswa di dalam kelas. Guru memerlukan waktu yang lama untuk dapat
menyesuaikan diri dan memproses hasil pembelajaran siswa untuk menjadi nilai. Instrumen
penilaian sikap yang beragam membuat guru kebingungan sehingga guru masih menerapkan
pola-pola penilaian lama, yang hanya menilai hasil ulangan harian siswa.

Kata-kata kunci: penilaian deskriptif kualitatif

Abstract
This study aims to describe (1) the application of qualitative judgment on the realm of
attitudes in elementary schools and (2) the obstacles faced by teachers in its application. This
research is a qualitative descriptive study conducted in SD Negeri No. 1 Sibanggede Badung
with research subjects are classroom teachers II, IV, and V. The data was collected through
observations, questionnaires and interviews. The results of this study indicate that the ratings
have not been fully performed by the attitude of the teachers. The obstacles faced by teachers
in the form of psychological barrier and lack of expertise. Teachers feel burdened with
curriculum assessment system in 2013 were very complex and time consuming. The scoring
system in 2013 curriculum requires teachers to observe one by one students qualitatively.
Teachers should be able to describe all student behavior in the classroom. Teacher takes a long
time to be able to adjust and process student learning outcomes to be of value. Assessment
instruments diverse attitudes create confusion teachers so that teachers still apply the old
patterns of assessment, which only assesses the results of daily tests of students.

Key words: qualitative descriptive study

1. Pendahuluan

K
urikulum 2013 secara terbatas mulai dilaksanakan tahun 2013 pada sekolah-sekolah
yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan secara selektif. Kurikulum 2013 merupakan
pengembangan dari kurikulum sebelumnya yang dirancang untuk merespons berbagai
tantangan-tantangan internal dan eksternal dari waktu ke waktu. Titik tekan pengembangan
Kurikulum 2013 adalah penyempurnaan pola pikir, penguatan tata kelola kurikulum, pendalaman
dan perluasan materi, penguatan proses pembelajaran, dan penyesuaian beban belajar agar dapat
menjamin kesesuaian antara apa yang diinginkan dengan apa yang dihasilkan.

119
Buku Prosiding Seminar Nasional

Pengembangan kurikulum 2013 didasarkan pada beberapa prinsip utama. Pertama, standar
kompetensi lulusan diturunkan dari kebutuhan. Kedua, standar isi diturunkan dari standar
kompetensi lulusan melalui kompetensi inti yang bebas mata pelajaran. Ketiga, semua mata
pelajaran harus berkontribusi terhadap pembentukan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta
didik. Keempat, mata pelajaran diturunkan dari kompetensi yang ingin dicapai. Kelima, semua
mata pelajaran diikat oleh kompetensi inti. Keenam, keselarasan tuntutan kompetensi lulusan, isi,
proses pembelajaran, dan penilaian. Aplikasi yang taat asas dari prinsip-prinsip ini menjadi sangat
esensial dalam mewujudkan keberhasilan implementasi Kurikulum 2013.
Desain pembelajaran dalam kurikulim 2013 dimulai dari perencanaan pembelajaran,
pelaksanaan pembelajaran, dan penilaian serta pengawasan pembelajaran. Perencanaan
pembelajaran dirancang dalam bentuk Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang
mengacu pada standar isi. Perencanaan pembelajaran meliputi penyusunan rencana pelaksanaan
pembelajaran dan penyiapan media dan sumber belajar, perangkat penilaian pembelajaran, dan
skenario pembelajaran (Hamzah, 2009:112). Penyusunan silabus dan RPP disesuaikan dengan
pendekatan pembelajaran yang digunakan. Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi
dari RPP, meliputi kegiatan pendahuluan, inti dan penutup. Penilaian proses pembelajaran
menggunakan pendekatan penilaian autentik (authentic assesment) yang menilai kesiapan
siswa, proses, dan hasil belajar secara utuh. Keterpaduan penilaian ketiga komponen tersebut akan
menggambarkan kapasitas, gaya, dan perolehan belajar siswa atau bahkan mampu menghasilkan
dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect) dari
pembelajaran.
Dalam kurikulum 2013, penilaian dilakukan secara komperehensif untuk menilai masukan
(input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran yang meliputi: ranah sikap, pengetahuan
dan keterampilan (Permendikbud No. 66 tahun 2013). Penilaian autentik menilai kesiapan
peserta didik serta proses dan hasil belajar secara utuh. Dalam penilaian autentik setiap pendidik
mengetahui perkembangan siswa dalam setiap proses kegiatan belajar mengajar di kelas (Sunarti
dan Selly Rahmawati, 2014:3). Setiap komponen yang ada di kelas, termasuk antarsiswa ikut
terlibat dalam penilaian autentik ini. Pada kurikulum sebelumnya penilaian menggunakan skala
0 hingga 100, sedangkan aspek afektif menggunakan huruf A, B, C, dan D. Pada kurikulum 2013
skala nilai tidak lagi 0–100, melainkan 1–4 untuk aspek kognitif dan psikomotor, sedangkan
untuk aspek afektif menggunakan SB = Sangat Baik, B = Baik, C = Cukup, K = Kurang.
Selain perbedaan tersebut, Kurikulum 2013 membagi kompetensi sikap menjadi dua, yaitu
sikap spiritual yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan
sikap sosial yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri,
demokratis, dan bertanggung jawab. Sikap spiritual sebagai perwujudan dari menguatnya interaksi
vertikal dengan Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan sikap sosial sebagai perwujudan eksistensi
kesadaran dalam upaya mewujudkan harmoni kehidupan.
Pada jenjang SD, kompetensi sikap spiritual mengacu pada KI-1: menerima dan menjalankan
ajaran agama yang dianutnya sedangkan kompetensi sikap sosial mengacu pada KI-2: memiliki
perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi
dengan keluarga, teman, dan guru. Berdasarkan rumusan KI-1 dan KI-2 di atas, penilaian sikap
pada jenjang SD mencakup sikap spiritual (menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianut),
sikap sosial (jujur, disiplin, tanggung jawab, toleransi, gotong royong, santun, dan percaya diri).
Guru dapat menambahkan sikap-sikap tersebut menjadi perluasan cakupan penilaian sikap.
Perluasan cakupan penilaian sikap didasarkan pada karakterisitik kompetensi dasar pada KI-1
dan KI-2 setiap mata pelajaran. Acuan penilaian ini adalah indikator, karena indikator merupakan
tanda tercapainya suatu kompetensi. Indikator harus terukur. Dalam konteks penilaian sikap,
indikator merupakan tanda-tanda yang dimunculkan oleh peserta didik, yang dapat diamati atau
diobservasi oleh guru sebagai representasi dari sikap yang dinilai.

120
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Dalam buku Panduan Pedoman Penilaian Sikap dalam Kurikulum 2013 disebutkan bahwa
setidaknya ada empat teknik yang digunakan oleh guru dalam menilai kompetensi sikap siswa.
keempat teknik tersebut yakni teknik observasi, penilaian diri, penilaian antarpeserta didik, dan
jurnal. Bentuk instrumen yang digunakan untuk observasi adalah pedoman observasi yang berupa
daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik. Daftar cek digunakan untuk
mengamati ada tidaknya suatu sikap atau perilaku. Sedangkan skala penilaian menentukan posisi
sikap atau perilaku peserta didik dalam suatu rentangan sikap. Pedoman observasi secara umum
memuat pernyataan sikap atau perilaku yang diamati dan hasil pengamatan sikap atau perilaku
sesuai kenyataan. Pernyataan memuat sikap atau perilaku yang positif atau negatif sesuai indikator
penjabaran sikap dalam kompetensi inti dan kompetensi dasar. Rentang skala hasil pengamatan
antara lain berupa (1) selalu, sering, kadang-kadang, tidak pernah, (2) sangat baik, baik, cukup
baik, kurang baik. Pedoman observasi dilengkapi juga dengan rubrik dan petunjuk penskoran.
Rubrik memuat petunjuk/uraian dalam penilaian skala atau daftar cek.
Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk
mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian kompetensi.
Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian diri menggunakan daftar cek atau skala
penilaian (rating scale) yang disertai rubrik. Skala penilaian dapat disusun dalam bentuk skala
Likert atau skala semantic differential. Skala Likert adalah skala yang dapat dipergunakan untuk
mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang mengenai suatu gejala
atau fenomena. Sedangkan skala semantic differential yaitu skala untuk mengukur sikap, tetapi
bentuknya bukan pilihan ganda maupun checklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum di
mana jawaban yang sangat positif terletak di bagian kanan garis, dan jawaban yang sangat negatif
terletak di bagian kiri garis, atau sebaliknya.
Penilaian antarpeserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta
didik untuk saling menilai terkait dengan pencapaian kompetensi. Instrumen yang digunakan
untuk penilaian antarpeserta didik adalah daftar cek dan skala penilaian (rating scale) dengan
teknik sosiometri berbasis kelas. Guru dapat menggunakan salah satu dari keduanya atau
menggunakan dua-duanya. Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam dan di luar kelas yang
berisi informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkaitan
dengan sikap dan perilaku. Kelebihan yang ada pada jurnal adalah peristiwa/kejadian dicatat
dengan segera. Dengan demikian, jurnal bersifat asli dan objektif dan dapat digunakan untuk
memahami peserta didik dengan lebih tepat. sementara itu, kelemahan yang ada pada jurnal adalah
reliabilitas yang dimiliki rendah, menuntut waktu yang banyak, perlu kesabaran dalam menanti
munculnya peristiwa sehingga dapat mengganggu perhatian dan tugas guru, apabila pencatatan
tidak dilakukan dengan segera, maka objektivitasnya berkurang.
Keempat penilaian sikap dalam Kurikulum 2013 merupakan hal yang sangat baru
sehingga guru memerlukan waktu yang lebih lama untuk dapat menyesuaikan diri dan
memproses hasil pembelajaran siswa untuk menjadi nilai, khususnya dalam menilai aspek sikap.
Pemberitaan di media massa seperti Koran Megapolitan, 14 November 2014, Kedaulatan Rakyat,
14 Oktober 2014, maupun Koran Kompas menunjukkan bahwa permasalahan terbesar guru
dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 adalah pada aspek penilaian. Sebagian besar guru
mengalami kesulitan dalam menilai sikap. Hal ini menjadi dasar penulis untuk melakukan kajian
lebih lanjut tentang penerapan penilaian kualitatif pada ranah sikap di sekolah dasar dan hambatan-
hambatan yang dihadapi oleh guru dalam penerapannya. Hasil kajian ini dapat digunakan sebagai
bahan releksi capaian penerapan kurikulum 2013 pada aspek penilaian sikap.

2. Metode Penelitian
Penelitian dirancang dalam bentuk penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di
SD Negeri No 1 Sibanggede Badung. Subjek penelitian adalah guru kelas II, IV, dan V sebanyak 3

121
Buku Prosiding Seminar Nasional

orang guru. Pemilihan tempat dan subjek penelitian berdasarkan teknik purposive. Dipilihnya SD
Negeri 1 Sibanggede Badung didasarkan atas beberapa pertimbangan, di antaranya (1) merupakan
salah satu sekolah di Kabupaten Badung yang tetap menerapkan Kurikulum 2013, dan (2) sekolah
ini memiliki fasilitas yang memadai.
Objek penelitian meliputi (1) penerapan penilaian sikap dalam pembelajaran dan (2)
hambatan-hambatan yang dihadapi oleh guru dalam menerapkan penilaian sikap. Penelitian ini
menggunakan metode observasi, angket dan wawancara. Metode observasi dan angket digunakan
untuk mendapatkan data pelaksanaan penilaian sikap. Metode wawancara digunakan untuk
memeroleh data hambatan-hambatan yang dihadapi oleh guru dalam menerapkan penilaian sikap.
Instrumen utama dalam penelitian yaitu peneliti sendiri. Di samping peneliti sebagai instrumen,
dalam penelitian juga menggunakan pedoman observasi, angket, dan pedoman wawancara.
Untuk mengecek keabsahan data, peneliti menggunakan triangulasi data dengan tujuan agar
data yang diperoleh lebih valid. Adapun triangulasi yang dipakai peneliti meliputi triangulasi
metode, triangulasi teori, dan triangulasi dengan ahli atau teman sejawat. Triangulasi metode
dilakukan dengan cara mencermati kembali tahapan-tahapan atau prosedur penelitian yang telah
digunakan. Untuk data sejenis yang diperoleh dengan metode tertentu peneliti bandingkan dengan
yang diperoleh dari metode lain.
Triangulasi teori dilakukan dengan cara membaca sumber-sumber pustaka yang mendukung
serta relevan dengan penelitian ini yaitu terkait dengan pengimplementasian penilaian sikap
dalam pembelajaran. Triangulasi dengan ahli dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara
atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan tenaga ahli yang mendalami
bidang ilmu yang sama untuk mendapatkan data yang valid antara data yang ditemukan di
lapangan dengan data yang diperlukan untuk membahas hasil penelitian. Di samping dengan
tenaga ahli, peneliti juga melakukan diskusi dengan teman sejawat yang mendalami bidang ilmu
yang sama.
Metode analisis data yang diguna-kan yaitu analisis deksriptif kualitatif. Data yang diperoleh
tidak dituangkan dalam bilangan atau angka statistik, tetapi disajikan dalam bentuk kualitatif.
Model analisis data yang digunakan yaitu model Miles dan Huberman. Adapun aktivitas dalam
analisis data, yaitu data reduction (reduksi data), data display (penyajian data), dan conclusion
drawing/veriication (penyimpulan dan veriikasi data).

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Untuk mengetahui bagaimana penerapan penilaian sikap dalam pembelajaran dan
hambatan-hambatan yang dihadapi oleh guru dalam penerapan penilaian sikap, berikut dipaparkan
hasil dan pembahasan penelitian ini.

Hasil Observasi
Hasil observasi terhadap para guru menunjukkan bahwa semua guru belum mengisi
pedoman observasi dan jurnal. Begitu pula dengan penilaian diri peserta didik dan penilaian
antarpeserta didik belum terisi sama sekali. Padahal ketika penulis melakukan observasi ke
lapangan, siswa di SD Negeri 1 Sibanggede sudah selesai ulangan umum. Hal ini mengindikasikan
bahwa penilaian tidak langsung diberikan oleh guru setelah selesai mengajar. Dalam hal ini,
penilaian sikap sangat membutuhkan perangkat dan sistem penilaian yang tepat agar evaluasi
siswa berguna untuk ukuran tingkat capaian sekaligus landasan peningkatan kompetensi siswa.

Hasil Angket
Selain melakukan wawancara, penulis juga meminta para guru untuk mengisi angket.
Berikut disajikan hasil angket untuk penilaian sikap.

122
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Tabel 1. Angket Penilaian Sikap


No. Butir Peryataan Tanggapan Responden
1 2 3 4 5
1 Dalam mengajar saya selalu mengamati 3
perilaku siswa
2 Perilaku siswa yang saya amati langsung se- 1 2
lalu saya catat pada pedoman observasi
3 Selesai mengajar saya selalu mencatat 3
perilaku yang menjadi kelemahan dan kekua-
tan siswa di dalam kelas
4 Saya selalu meminta siswa untuk menilai 3
dirinya melalui lembar penilaian diri
5 Saya selalu meminta siswa untuk menilai si- 3
kap siswa lain melalui lembar penilaian an-
tarsiswa
Keterangan
1 = sangat kurang setuju
2 = kurang setuju
3 = cukup setuju
4 = setuju
5 = sangat setuju

Hasil respons melalui angket tertutup sederhana ini menunjukkan kesesuaian dengan hasil
wawancara dan observasi. Guru belum sepenuhnya menerapkan penilaian sikap sesuai dengan
amanat kurikulum 2013.

Hasil Wawancara
Hasil wawancara menunjukkan bahwa para guru mengeluhkan aspek penilaian dalam
kurikulum 2013. Metode penilaian sangat kompleks dan menyita waktu sehingga membingungkan
guru dan mengalihkan fokus guru dari memberi perhatian sepenuhnya pada siswa pada administrasi
penilaian. Sistem penilaian autentik menuntut guru mengamati satu per satu siswanya secara
kualitatif. Terkait dengan kompetensi spiritual dan sikap, guru mengatakan bahwa hal ini terlalu
dipaksakan sehingga menganggu substansi keilmuan dan menimbulkan kebingungan dan beban
administratif berlebihan bagi para guru.
Terkait dengan kompetensi inti satu (KI1) yang memiliki unsur agamais guru juga mengakui
kebingungan melakukan penilaian. Semua kegiatan dihubungkan dengan agama padahal mata
pelajaran agama berdiri sendiri, tidak dimasukkan dalam tematik integratif. Guru mengalami
kesulitan untuk mengukur sikap spiritual. Banyak aspek yang harus diperhatikan guru dalam
memberikan penilaian, seperti sikap, observasi, jurnal, dan evaluasi dari murid itu sendiri. Guru
mengakui bahwa dari tahun pelajaran baru di mulai sampai sekarang, guru belum pernah mengisi
salah satu instrumen penilaian sikap. Guru baru sebatas mengamati siswa tetapi belum sampai
pada proses pencatatan perilaku siswa. Guru menganggap bahwa semua sikap siswa masih baik-
baik saja.
Puncak kebingungan guru pada akhir semester terjadi ketika guru harus mengumpulkan
fortofolio siswa dan mengisi rapor. Selama ini siswa tidak memiliki tugas-tugas yang bisa dijadikan
portofolio oleh guru. Hal ini dikarenakan siswa mengerjakan semua tugas pada bukunya. Selain
itu, format rapor yang sangat berbeda dengan format rapor sebelumnya cukup memberi beban
bagi para guru. Selain aspek yang dinilai begitu banyak, rapor pun harus dibuat deskrispsinya.

123
Buku Prosiding Seminar Nasional

Padahal, saat pelatihan Kurikulum 2013, guru mengakui sama sekali tidak mendapatkan pelatihan
terkait penilaian dan pengisian rapor. Akhirnya guru menyeragamkan penilaian spiritual dalam
bentuk deskripsi. nilai. Para guru sangat terbebani dengan pengisian rapor Kurikulum 2013.
Selain itu, guru juga menuturkan bahwa ada imbauan dari dinas harus menaikkan semua siswa.
Imbauan harus naik kelas membuat para guru khawatir siswa akan malas belajar karena sudah ada
jaminan otomatis naik kelas.

4. Simpulan
Penilaian kompetensi sikap dalam pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan yang
dirancang untuk mengukur sikap peserta didik sebagai hasil dari suatu program pembelajaran.
Penilaian sikap juga merupakan aplikasi suatu standar atau sistem pengambilan keputusan
terhadap sikap. Kegunaan utama penilaian sikap sebagai bagian dari pembelajaran adalah releksi
(cerminan) pemahaman dan kemajuan sikap peserta didik secara individual.
Setidaknya ada empat teknik dan bentuk instrumen dalam penilaian sikap, yakni observasi,
penilaian diri, penilaian antarsiswa, dan jurnal. Observasi merupakan teknik penilaian yang
dilakukan secara berkesinambungan dengan menggunakan indera, baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan menggunakan instrumen yang berisi sejumlah indikator perilaku yang
diamati. Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk
mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian kompetensi.
Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian diri menggunakan daftar cek atau skala
penilaian (rating scale) yang disertai rubrik.
Penilaian antarpeserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik
untuk saling menilai terkait dengan pencapaian kompetensi. Instrumen yang digunakan untuk
penilaian antarpeserta didik adalah daftar cek dan skala penilaian (rating scale) dengan teknik
sosiometri berbasis kelas. Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam dan di luar kelas yang
berisi informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkaitan
dengan sikap dan perilaku.
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, masalah terbesar yang dihadapi oleh guru
dalam penerapan Kurikulum 2013 adalah sistem penilaian. Guru belum mampu menerapkan
penilaian sikap dengan baik. Guru merasa terbebani dengan sistem penilaian Kurikulum 2013
yang sangat kompleks dan menyita banyak waktu. Sistem penilaian dalam kurikulum 2013
menuntut guru mampu mengamati satu per satu siswanya secara kualitatif. Guru harus mampu
mendeskripsikan semua perilaku siswa di dalam kelas. Guru memerlukan waktu yang lama untuk
dapat menyesuaikan diri dan memproses hasil pembelajaran siswa untuk menjadi nilai. Instrumen
penilaian sikap yang beragam membuat guru kebingungan sehingga guru masih menerapkan
pola-pola penilaian lama, yang hanya menilai hasil ulangan harian siswa.
Berangkat dari hal tersebut, ada beberapa saran yang dapat penulis ajukan. Penilaian sikap,
utamanya membutuhkan perangkat yang sederhana dan sistem yang baik. Bagi pemangku
kebijakan, aspek penilaian kualitatif mesti dikaji lebih lanjut terkait keefektifan teknik dan
instrument penilaiannya. Bagi guru yang kebingungan menerapkan penilaian sikap sebaiknya
mengisi saja terlebih dahulu apa yang bisa diisi karena penilaian yang baik adalah penilaian yang
tepat waktu dan tepat sasaran. Selain itu, menurut hemat penulis, penilaian kualitatif seperti ini
sebenarnya sudah dilakukan oleh guru TK dalam evaluasi. Guru yang paling siap untuk melakukan
penilaian kualitatif adalah guru TK. Semestinya diadakan pengkajian lebih lanjut terkait kelebihan
dan kelemahan penilaian kualitatif dan pengkajian lebih lanjut tentang gradasi umur peserta didik
dengan menerapkan penilaian kualitatif pada beberapa aspek dalam kurikulum. Jangan sampai
proses penilaian kualitatif rumit dan kompleks tetapi tetap saja hasil penilaiannya seragam.

124
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

5. Daftar Pustaka

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia. (2013). Pedoman Penilaian Hasil Belajar.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Jakarta

Daniel J. Mueller. (1992). Mengukur Sikap Sosial Pegangan Untuk Peneliti dan Praktisi. Bumi
Aksara. Jakarta.

Hamzah, B.Uno. (2009). Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Hamzah B. Uno dan Satria Koni. (2012). Assessment Pembelajaran. Bumi Aksara. Jakarta.

Koran Megapolitan. (2014). Kepada Menteri Anies, Guru dan Siswa Keluhkan Kurikulum Baru.
Koran Online, 14 November 2014. Tersedia dalam http://megapolitan.kompas.com/
read/2014/11/14/15032791/ Kepada.Menteri.Anies.Guru.dan.Siswa.di.Depok.Keluhkan.
Kurikulum.Baru)

Koran Kedaulatan Rakyat. (2014). Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013:Guru Bingung Sistem
Penilaian Siswa. Koran Online, 14 Oktober 2014. Tersedia dalam http://krjogja.com/
read/233929/guru-bingung-sistem-penilaian-siswa.kr)

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian.

Saifuddin Azwar. (2013). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Stevenson, N. (2006). Young Person’s Character Education Hand Book, Indianapolis, Jist Life.

Sunarti dan Selly Rahmawati. (2014). Penilaian dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta: ANDI.

125
126
PENINGKATAN KEMAMPUAN GURU PRODUKTIF
MELAKSANAKAN STRATEGI PEMBELAJARAN PELATIHAN
INDUSTRI MELALUI KERJA KELOMPOK SMK SARASWATI 3
TABANAN

Ida Bagus Anom Sutanaya


Pendidikan Matematika,FPMIPA, IKIP Saraswati,Tabanan,Bali
e-mail: anomsutanaya@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan meningkatkan kemampuan guru bidang studi
produktif di SMK Saraswati 3 Tabanan dalam melaksanakan Strategi Pembelajaran Pelatihan
Industri melalui Kerja Kelompok. Penelitian ini adalah penelitian tindakan sekolah dengan
subjek penelitiannya 20 orang guru produktif. Penelitian dilakukan dalam dua siklus dan
tiap siklus terdiri dari empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan releksi.
Indikator keberhasilan ditetapkan apabila rerata kemampuan guru melaksanakan Strategi
Pembelajaran Pelatihan Industri ≥ 70,00 dengan katagori B(Baik), dan A(Amat baik), dapat
dikatakan yang dilakukan berhasil. Pada analisis tiap siklus diperoleh hasil : (1) Terjadi
peningkatan kemampuan guru produktif SMK Saraswati 3 Tabanan dalam melaksanakan
Pembelajaran Pelatihan Industri dengan rerata 62,85% pada Pra siklus, 69,38% pada siklus I,
dan 74,86% pada siklus II; (2) Terjadi peningkatan jumlah guru produktif di SMK Saraswati
3 Tabanan yang memperoleh Nilai B(Baik), dan A(amat baik) dengan capaian sebesar
20,00% pada Pra Siklus, 50,00% pada Siklus I, dan 90,00% pada Siklus II. Dengan temuan
ini disimpulkan bahwa kerja kelompok dapat meningkatkan kemampuan guru produktif
dalam melaksanakan Strategi Pembelajaran Pelatihan Industri SMK Saraswati 3 di Tabanan.
Implikasi penelitian ini adalah model kerja kelompok dapat dipilih sebagai alternatif yang
digunakan sekolah dalam melakukan pembinaan atau peningkatan mutu guru di sekolah
menengah kejuruan pariwisata.

Kata kunci : TWI, kerja kelompok, Bidang studi Produktif.

Abstract
This study aims to description and increase the capability of teachers ield of study productive
in SMK Saraswati 3 Tabanan in execute the strategy learning training industry group through
work. This research is school action research with the subject research are 20 productive
teachers. The research was done in two cycle and each cycle consisting of four stage including
planning , the implementation of the , observation , and relection .Indicators success set
when the average capability teachers execute the strategy learning training industry : ≥ 70,00
with categories B ( good ) , and A(very good) , it can be said done successfully. In the analysis
each cycle the results: ( 1 ) occurring teacher capacity building productive in SMK Saraswati
3 Tabanan in implementing learning training industry with average 62,85 % in pre cycle ,
69,38 % in cycle I , and 74,86 % in cycle II; ( 2 ) An increasing number of teachers productive
in SMK Saraswati 3 Tabanan who received scores of B ( good ) , and scores A(very good)
that of 20.00 % in pre cycle , 50,00 % in cycle I , and 90,00 % in cycle II. Implication
this research is model of a work groups can chosen as an alternative used school in doing
guidance or enhance the quality of teachers in high school vocational tourism.

Keyword: TWI , working group , ield of productive study

1. Pendahuluan

S
trategi merupakan usaha untuk memperoleh kesuksesan dan keberhasilan untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Dalam dunia pendidikan Strategi dapat diartikan sebagai a plan,
method, or series of activities designed to achieves a particular education goal (J.R.

127
Buku Prosiding Seminar Nasional

David, dalam Depdiknas, 2008). Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang
berisi rangkaian kegiatan tertentu. Strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian
kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan
dalam pembelajaran yang disusun untuk mencapai tujuan tertentu.
Pengajaran merupakan upaya membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir,
pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui
pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi pebelajar yang otonom
dan mandiri (Ibrahim dan Nur dalam Trianto, 2010 :96). Pembelajaran juga merupakan upaya
memacu keinginan siswa untuk mengetahui, memotivasi mereka untuk melanjutkan pekerjaannya,
sehingga mereka menemukan jawabannya dan siswa juga belajar memecahkan masalah secara
mandiri dan memiliki keterampilan berpikir kritis karena mereka harus selalu menganalisis dan
memahami informasi (Nurhadi,dkk, 2004 : 72). Berbagai model atau pendekatan dapat dilakukan
dalam pembelajaran yang memicu berpikir dan keterampilan siswa. Menurut Piaget (dalam Ratna
Wilis Dahar, 1988 : 151) menyatakan deinisi fungsional dari pendekatan pembelajaran sebagai
suatu upaya yang mempersiapkan situasi peserta didik untuk melakukan eksperimen sendiri.
Khusus dalam pelaksanaan program pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Pariwisata dan pada lembaga pendidikan kejuruan pariwisata lainnya, pembelajaran yang
dipandang memegang peran penting adalah pembelajaran praktik kejuruan. Hal ini dapat
dimaklumi karena sekolah-sekolah kejuruan yang sangat mengutamakan keterampilan, melalui
kegiatan pembelajaran praktik ini siswa akan dapat menguasai keterampilan kerja secara optimal.
Pembelajaran praktik kejuruan pada dasarnya merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan
pada bidang studi kejuruan, seperti tata graha(House Keeping), tata hidangan(Food and Baverage),
tata boga(Kitchen) dan kantor depan (Front Ofice).
Menurut Starr,dkk (dalam Made Wena, 2009:100). Dinyatakan bahwa Pendidikan kejuruan
mempunyai kaitan erat dengan dunia kerja dan industri, maka pembelajaran dan pelatihan praktik
memegang peranan kunci untuk membekali lulusannya agar mampu beradaptasi dengan lapangan
kerja. Dengan demikian, siswa pada sekolah kejuruan harus dibentuk melalui serangkaian latihan
atau pembelajaran dan pelatihan praktik yang hampir menyerupai dunia kerja. Raiser & Gagne
(dalam Made Wena, 2009 : 100) mengemukakan bahwa keterampilan kerja hanya dapat diajarkan
dengan baik, apabila siswa dilatih secara langsung dengan peralatan sebenarnya. Dengan demikian
dapat dikatakan keterampilan kerja hanya berhasil diajarkan melalui serangkaian kegiatan praktik.
Nolker & Schoenfeldt (dalam Made Wena, 2009 : 100) menyatakan bahwa : Hal yang paling
penting dalam pembelajaran dan pelatihan praktik kejuuan adalah penguasaan keterampilan
praktis serta pengetahuan dan perilaku yang bertalian langsung dengan keterampilan tersebut.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kemampuan
siswa dalam menguasai keterampilan kerja sesuai dengan yang diharapkan, maka guru yang
mengajar bidang studi praktik kejuruan di SMK harus mampu menerapkan strategi pembelajaran
pelatihan praktik.
Untuk mengajarkan praktik keterampilan dasar kejuruan perlu digunakan strategi tertentu
agar siswa paham, baik secara kognitif dan sekaligus secara motorik langkah-langkah dasar suatu
keterampilan kerja kejuruan. Nolker & Schoenfeldt (dalam Made Wena,2009:100) menyebutkan
“Salah satu strategi pembelajaran untuk mengajarkan keterampilan dasar kejuruan adalah strategi
pembelajaran pelatihan industri (Training Within Industry/TWI) yang terdiri dari 5 tahap
kegiatan pembelajaran, yaitu:

1. Persiapan
Secara garis besar kegiatan guru dalam tahap ini adalah mempersiapkan lembar kerja
(job sheet), yang menjelaskan tujuan pembelajaran dan pelatihan, menjelaskan arti pentingnya,
membangkitkan minat siswa, menilai dan menetapkan kemampuan awal siswa. Secara pokok
kegiatan guru dalam tahap ini adalah merencanakan, menata, dan memformulasikan kondisi-

128
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

kondisi pembelajaran dan pelatihan sehingga ada kaitan secara sistematis dengan strategi yang
akan diterapkan.

2. Peragaan
Dalam tahap ini guru atau instruktur sudah mulai memasuki tahap implementasi. Dengan
penggunaan strategi pembelajaran dan pelatihan yang tepat harus mulai dipertimbangkan.
Variabel strategi pembelajaran dan pelatihan yang perlu yang mendapat penekanan adalah strategi
penyampaian. Dalam tahap ini strategi penyampaian yang digunakan harus sesuai dengan media
pembelajaran dan pelatihan praktik yang tersedia. Jika tersedia media audio visual akan lebih
baik, terlebih dahulu siswa diperagakan pekerjaan yang harus dipelajari melalui media audio
visual tersebut. Selanjutnya siswa diberi waktu untuk memberi umpan balik terhadap apa yang
dilihatnya melalui media audio visual. Langkah selanjutnya guru memperagakan secara nyata
pekerjaan yang harus dipelajari, menjelaskan cara kerja yang baik, dalam hubungan dengan
keseluruhan proses, sambil mengambil proses yang sedemikian rupa sehingga siswa dapat
mengikuti proses kerja dari sudut pandangan yang sama dengan guru.

3. Peniruan
Setelah tahap peragaan dilaksanakan dengan seksama, dilanjutkan dengan tahap peniruan.
Pada tahap ini siswa melakukan kegiatan kerja menirukan aktivitas kerja yang diperagakan
oleh guru. Kiranya hal yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah variabel strategi yang
berkaitan dengan pengelolaan dan pengorganisasian pembelajaran serta pelatihan praktik. Dalam
melakukan kegiatan peniruan, siswa harus ditata dan diorganisasikan kegiatan belajar praktiknya,
sehingga siswa benar-benar mampu memahami dan melakukan kegiatan kerja sesuai dengan
tujuan pembelajaran dan pelatihan praktik. Guru harus sangat memperhatikan tahap-tahap kerja
yang dilakukan siswa dan memonitor proses kerja siswa. Apabila ada hal yang kurang sesuai,
guru harus menyuruh siswa melakukan pengulangan kerja dan membantu siswa sampai dapat
melakukan tugas kerja secara benar.

4. Praktik
Setelah siswa mampu meniru cara kerja dengan baik, dilanjutkan dengan pelaksanaan
kegiatan praktik. Pada tahap ini siswa mengulangi aktivitas kerja yang baru dipelajari sampai
keterampilan kerja yang dipelajari benar-benar dikuasai sepenuhnya. Hal penting yang
perlu dilakukan dan diperhatikan guru tahap ini adalah pengaturan strategi pengelolaan dan
pengorganisasian pembelajaran dan pelatihan praktik, sehingga siswa mampu melakukan kegiatan
belajar praktik secara optimal, yang dipengaruhi oleh kondisi pembelajaran dan pelatihan praktik,
juga dipengaruhi oleh penerapan strategi atau metode yang sesuai dengan tujuan.

5. Evaluasi
Dalam strategi pembelajaran dan pelatihan praktik model Training Within Industry, kegiatan
evaluasi dilakukan pada tahap praktik. Oleh karena itu, dalam tulisan inipun kegiatan evaluasi
pembahasannya pada kegiatan praktik. Kenyataannya kegiatan evaluasi dilakukan sepanjang
proses belajar mengajar dan juga setelah selesai kegiatan proses belajar mengajar. Untuk
mengevaluasi pembelajaran dan pelatihan praktik, digunakan alat tes perbuatan. Untuk menyusun
alat penilaian tersebut menyangkut keterampilan isik berbeda dengan cara menilai kemampuan
mental. Umumnya cara ini dilakukan dengan skala rating dengan member skor 1, 2, 3, 4, 5 dan
seterusnya terhadap keterampilan yang dinilai dengan pedoman observasi.

Tahap evaluasi merupakan tahap akhir dalam setiap proses pembelajaran dan pelatihan,
terutama dalam pembelajaran dan pelatihan praktik kejuruan. Dengan melakukan evaluasi
terhadap pembelajaran dan pelatihan praktik, siswa akan mengetahui kemampuannya dengan jelas

129
Buku Prosiding Seminar Nasional

sehingga siswa dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran dan pelatihannya.
Kegiatan evaluasi juga amat penting bagi guru sebab hasil evaluasi yang dilakukan dapat diketahui
sampai dimana tujuan yang telah ditetapkan tercapai. Disamping itu dengan evaluasi seseorang
dapat memahami kelemahan pembelajaran dan pelatihan yang telah dilakukan sehingga evaluasi
juga dapat berfungsi sebagai salah satu teknik memperbaiki program pembelajaran dan pelatihan.
Kata kelompok adalah kata sifat yang artinya kumpulan orang; yang tidak mengerjakan
sendiri-sendiri (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Konotasi lain dar kata kelompok adalah
berkumpul, kata kumpul adalah kata sifat yang artinya bersama-sama menjadi satu kesatuan
atau kelompok(tidak terpisah-pisah); (http://ainamul yana.blogspot.com/2012/02/metode-kerja-
kelompok.html). Kata kelompok dan golongan dalam bahasa Inggris disebut “goup” yang
berfungsi sebagai kata sifat dimana kata bendanya adalah in group, yang berarti berkelompok
atau berkumpul. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelompok berarti bersama-sama
atau berkumpul. Kerja kelompok mempunyai arti berkarya bekerja secara bersama-sama. Kerja
kelompok dan belajar kelompok dapat diartikan sebagai kelompok beberapa individu dalam
satu wadah mengadakan kerjasama untuk melaksanakan tugas-tugas bekerja dan belajar untuk
mencapai tujuan yang sama. Metode belajar kelompok maupun kerja kelompok mempunyai peran
amat penting dalam meningkatkan kemampuan menguasai materi tertentu secara bersama-sama,
karena dengan metode ini memberi kesempatan kepada semua anggota kelompok mengeksplor
bakat, minat, untuk belajar dan bekerja secara bersama-sama, sehingga anggota kelompok dapat
menguasai semua pengetahuan yang diharapkan serta dengan metode ini juga dapat melatih
anggota kelompok berpikir dan bekerja bersama agar pengetahuan yang diperoleh lebih banyak,
lebih luas dibandingkan dengan bekerja dan belajar secara sendiri-sendiri.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa metode kerja kelompok adalah
metode yang diterapkan peneliti dalam menciptakan situasi kerja yang didalamnya guru bidang
studi produktif dapat bekerja atau belajar bersama-sama agar dapat mencapai hasil yang maksimal.
Dengan model kerja kelompok, peranan diskusi dan komunikasi sangatlah penting. Dalam proses
komunikasi yang sederhana selalu terjadi urutan pemindahan pesan dari sumber pesan kepada
penerima pesan. Komunikasi dikatakan efektif bila pesan dapat mudah ditangkap dan dipahami
oleh penerima pesan secara utuh. Diskusi merupakan komunikasi dimana khalayak berbicara
dengan orang lain, saling membagi gagasan dan pendapat. Diskusi dilakukan guru untuk mencapai
empat tujuan pembelajaran yaitu : memperbaiki pemikiran siswa dan membantu mereka menyusun
pemahaman materi akademis; mendorong keterlibatan dan keikutsertaan siswa mengutarakan
ide-ide mereka sendiri; memotivasi siswa untuk ikut terlibat dalam pembicaraan di kelas; dan
membantu siswa belajar keterampilan komunikasi dan berpikir kritis (Arends’2004). Metode
diskusi merupakan metode pembelajaran yang menghadapkan siswa pada suatu permasalahan
dengan tujuan utamanya untuk memecahkan permasalah, menjawab pertanyaan, menambah dan
memahami pengetahuan serta untuk membuat suatu keputusan (Depdiknas;2008).
Secara umum ada dua jenis diskusi yang dilakukan dalam proses pembelajaran, dalam
penelitian ini diskusi kelompok digunakan dalam kegiatan membimbing guru dalam kemampuannya
melaksanakan pembelajaran, pada diskusi ini permasalahan yang disajikan peneliti dipecahkan
oleh kelompok guru. Pelaksanaan diskusi dimulai dari memnyajikan masalah dengan beberapa
submasalah yang disampaikan guru. Proses diskusi diakhiri dengan laporan setiap kelompok.
Untuk mencapai hasil yang baik, hal yang harus diperhatikan dalam kerja kelompok adalah :1)
Perlu adanya motivasi yang kuat untuk bekerja pada setiap anggota kelompok; 2) Pemecahan
masalah dapat dipandang sebagai satu unit dipecahkan bersama, atau masalah dibagikan untuk
dikerjakan secara individual. Hal ini tergatung kepada kompleks tidaknya masalah yang akan
dipecahkan; 3) Persaingan yang sehat antar anggota kelompok biasanya mendorong anggota
kelompok untuk belajar; 4) Siatuasi yang menyenangkan antar anggota kelompok banyak
menentukan berhasil tidaknya kerja kelompok.
Mendasarkan diri pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar

130
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Nasional Pendidikan ditegaskan bahwa salah satu standar yang harus dikembangkan berkenaan
dengan strategi pelaksanaan pembelajaran pada setiap satuan pendidikan adalah standar proses.
Standar proses adalah standar nasional yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada
satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Dalam standar proses tercantum kriteria
minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan
dasar dan menengah pada pendidikan formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit
semester.
Berdasarkan ketentuan jabatan guru dinyatakan bahwa jabatan guru adalah jabatan
professional, dalam hal ini guru diharapkan memiliki sejumlah kompetensi seperti kemampuan
melaksanakan tugas yang ditandai dengan adanya tingkah laku atau perumusan yang nyata, baik
dalam bentuk kemampuan kognitif, afektif maupun psikomotorik. Kemampuan ini pada hakikatnya
adalah pencerminan dari kompetensi tenaga pendidik. Penilaian kompetensi professional guru
dapat dilaksanakan dengan melihat berbagai indikator kompetensi. Salah satu diantaranya
adalah kompetensi paedagogik yaitu kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran.
Dalam penelitian ini kemampuan guru dilihat berdasarkan kemampuannya melaksanakan strategi
pembelajaran pelatihan industri(Training Within Industry), setelah guru diberi pembinaan model
kerja kelompok.
Hasil observasi awal menunjukkan bahwa kemampuan guru-guru bidang studi produktif
di SMK Saraswati 3 Tabanan dalam pelaksanaan strategi pembelajaran pelatihan industri
(Training Within Industry) masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini dapat diketahui dari hasil
survey yang dilakukan menunjukkan pada aspek pelaksanaan pembelajaran belum mencapai
indikator yang ditetapkan yaitu rata-rata kemampuan guru 70,00%. Dari hasil survey tersebut
dapat diketahui bahwa salah satu penyebab rendahnya kemampuan guru produktif melaksanakan
strategi pembelajaran pelatihan industri (Training Within Industry) adalah karena sebagian besar
guru-guru bidang studi produktif yang mengajar di sekolah tersebut belum memahami secara
benar strategi pembelajaran inovatif yang sedang berkembang sebagai model yang banyak
dipilih dan digunakan dalam pembelajaran. Sebagian besar guru-guru bidang studi produktif
masih melaksanakan pembelajaran dengan metode pembelajaran konvensional seperti ceramah
dan tanya jawab. Strategi Pembelajaran Pelatihan Industri (Training Within Industry), sangat
relevan dengan paradigm pembelajaran modern yang mampu memfasilitasi kepentingan siswa
sesuai dengan karakteristik siswa itu sendiri. Meskipun ada guru bidang studi produktif di SMK
Saraswati 3 yang telah menerapkan strategi pembelajaran pelatihan industri (Training Within
Industry) , namun dalam pelaksanaannya masih jauh dari sempurna dan oleh sebab itulah perlu
dilakukan tindakan nyata yang mampu membekali guru dalam memahami dan melaksanakan
strategi pembelajaran pelatihan industri (Training Within Industry) atas dasar menemukan
sendiri konsep dan karakteristiknya.
Dengan hasil survey yang dilakukan walaupun ada guru yang melaksanakan strategi
pembelajaran pelatihan industri (Training Within Industry) namun belum sempurna dan ada
juga guru yang belum melakukannya, maka dapat diidentiikasi permasalahan yang terjadi
seperti, rendahnya tingkat pemahaman guru tentang model-model pembelajaran inovatif,
kreatif, menantang, dan menyenangkan, termasuk pemahaman tentang strategi pembelajaran
pelatihan industri (Training Within Industry). Rendah kemampuan guru mengoperasionalkan
strategi pembelajaran pelatihan industri (Training Within Industry) ke dalam langkah-langkah
pembelajaran yang sesuai dengan landasan teorinya.
Dari latar belakang masalah dan identiikasi permasalahan di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut. 1) Bagaimanakah kemampuan guru bidang studi produktif dalam
melaksanakan Strategi Pembelajaran Pelatihan Industri (Training Within Industry) melalui kerja
kelompok pada SMK Saraswati 3 Tabanan ? 2) Apakah melalui kerja kelompok dapat meningkatkan
kemampuan guru bidang studi produktif dalam melaksanakan Strategi Pembelajaran Pelatihan

131
Buku Prosiding Seminar Nasional

Industri (Training Within Industry) pada SMK Saraswati 3 Tabanan ?


Penelitian yang ini dilakukan untuk: 1) Mendeskripsikan kemampuan guru di SMK Saraswati
3 Tabanan dalam melaksanakan pembelajaran berbasis masalah melalui kerja kelompok; 2)
Meningkatkan kemampuan guru di SMK Saraswati 3 Tabanan dalam melaksanakan Strategi
Pembelajaran Pelatihan Industri (Training Within Industry) melalui kerja kelompok.
Penelitian ini akan memberikan pengalaman mengajar mengesankan, karena melalui
kerja kelompok guru dilatih menemukan sendiri model Stategi Pembelajaran Pelatihan Industri
(Training Within Industry) sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan berimplikasi
pada peningkatan prestasi belajar siswa, dan dapat meningkatkan pemahaman pada Strategi
Pembelajaran Pelatihan Industri (Training Within Industry) sehingga dapat dijadikan alternatif
bagi guru dalam menyusun strategi pembelajaran sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Sekolah (PTS), dimana penelitian dilakukan
terhadap SMK Saraswati 3 Tabanan yang memberikan bidang keahlian: Tata Graha (House
Keeping), Tata Hidangan(Food and Baverage Service), Kantor Depan (Front Ofice), dan Tata
Boga(Kitchen). Subjek penelitian ini adalah guru bidang studi Tata Graha (House Keeping), Tata
Hidangan(Food and Baverage Service), Kantor Depan (Front Ofice), dan Tata Boga(Kitchen)
di SMK Saraswati 3 Tabanan dengan sebarannya guru bidang studi Tata Graha (House Keeping)
sebanyak 5 orang, guru bidang studi Tata Hidangan(Food and Baverage Service) sebanyak 5
orang, guru bidang studi Kantor Depan (Front Ofice), dan guru bidang studi Tata Boga(Kitchen)
sebanyak 5 orang pula. Objek penelitian ini adalah kemampuan guru bidang studi produktif
melaksanakan strategi pembelajaran industri masih rendah. Dalam pelaksanaan penelitian ini
diharapkan terjadi kolaborasi pelaksanaan tugas yang dapat berdampak pada efektiitas penerapan
strategi pembelajaran praktik yang dilaksanakan oleh guru. Penelitian dilaksanakan pada awal
Desember 2015 dan berakhir pada bulan Pebruari 2016 karena pada bulan ini pembelajaran sudah
mengarah pada praktik kerja industri.
Untuk mengevaluasi pembelajaran dan pelatihan praktik, digunakan alat tes perbuatan.
Untuk menyusun alat penilaian tersebut menyangkut keterampilan isik berbeda dengan cara
menilai kemampuan mental. Umumnya cara ini dilakukan dengan skala rating dengan memberi
skor 1, 2, 3, 4, 5 dan seterusnya terhadap keterampilan yang dinilai dengan pedoman observasi.
Penentuan indikator keberhasilan guru, digunakan pedoman penskoran supervisi pelaksanaan
pembelajaran dari Direktorat Tenaga Kependidikan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan
Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan Nasional yang menyatakan tingkat ketercapaian
86% - 100% adalah baik sekali, 70%-85% adalah baik; 55%-69% adalah cukup, dan ibawah
55% adalah kurang. Berdasarkan pedoman tersebut pada penelitian ini indikator keberhasilan
yang ditetapkan adalah rata-rata kemampuan guru melaksanakan strategi pembelajaran pelatihan
industri sebesar ≥ 70,00% yaitu berkatagori baik. Bila guru telah mencapai rata-rata ≥ 70,00%,
maka tindakan yang dilakukan telah mencapai tujuan penelitian yang ditetapkan, sedangkan bila
guru belum mencapai rata-rata ≥ 70,00%, maka tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini
belum mencapai tujuan penelitian yang ditetapkan dan harus dilanjutkan ke siklus berikutnya.
Data yang diperoleh di analisis dengan analisis deskriptif dengan memberikan kesimpulan hasil
penelitian tiap siklus yang dilaksanakan menggunakan indikator yang telah ditetapkan.

3. Pembahasan Hasil
Dari hasil pengumpulan data awal sebelum dilaksanakan penelitian melalui kerja kelompok
ditemukan kemampuan guru bidang studi produktif di SMK Saraswati 3 Tabanan melaksanakan
strategi pembelajaran pelatihan industri masih sangat lemah. Dari analisis deskriptif terhadap 5
aspek yang diteliti dalam mengukur kemampuan guru seperti Persiapan, peragaan, peniruan,
praktik, dan evaluasi semuanya belum memenuhi indikator yang ditetapkan, dengan perincian

132
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

yang diketahui paling dominan belum dikuasai guru adalah pada aspek praktik yang memperoleh
rata-rata 62,85% dan jumlah guru yang memperoleh nilai B hanya 4 orang (20%), sedangkan
yang memperoleh nilai mendekati tingkat kebenaran adalah aspek persiapan, dengan memperoleh
rata-rata 63,63%. Melihat keadaan demikian diputuskan untuk memperbaiki beberapa langkah
yang belum pernah dilaksanakan pada pra siklus dengan melakukan siklus I dengan hasil rata-rata
kemampuan guru produktif melaksanakan strategi pembelajaran pelatihan industri meningkat
menjadi 69,38 % pada aspek praktik dan jumlah guru yang memperoleh nilai baik 10 orang(50%).
Dari hasil yang diperoleh pada siklus I menunjukkan kemampuan guru melaksanakan strategi
pembelajaran pelatihan industri masih belum sepenuhnya menunjukkan hasil sesuai dengan
indikator keberhasilan yang ditetapkan sebesar 70,00% atau berada pada katagori baik. Setelah
diadakan releksi terhadap hasil yang diperoleh, diputuskan untuk memperbaiki beberapa langkah
dalam strategi pembelajaran pelatihan industri. Kelemahan yang ditemukan pada pelaksanaan
siklus I antara lain (1) guru dalam praktik dan evaluasi belum menunjukkan kompetensi yang
memadai; (2) guru kurang berani mengajukan permasalahan yang dihadapinya dengan teman
kelompok kerja, dengan pendamping, maupun peneliti, (3) peneliti dan teman sejawat juga belum
mampu menciptakan suasana yang menjamin kelancaran dan keamanan guru dalam melaksanakan
praktik strategi pembelajaran pelatihan industri. Terhadap masalah yang ditemukan, diputuskan
memperbaiki beberapa langkah yang belum optimal yang terjadi pada siklus I dengan teknik
memantapkan pelaksanaan diskusi melalui kelompok kerja, menghubungkan topik dengan
pengalaman guru sehari-hari, dan memberi penguatan terhadap pemahaman guru dalam
menggunakan langkah-langkah strategi pembelajaran pelatihan industri. Untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan pelaksanaan strategi pembelajaran pelatihan industri dan untuk mencapai
hasil penelitian yang ditetapkan, maka tindakan penelitian dilanjutkan dengan siklus II, sehingga
kemampuan guru produktif melaksanakan strategi pembelajaran pelatihan industri meningkat
menjadi 74,86 pada aspek praktik dan jumlah guru yang memperoleh nilai baik 18 orang (90%).
Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang hasil penelitian ini, dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:

Tabel 1 : Rangkuman hasil penelitian dari Pra siklus ke siklus I dan ke siklus II.
Kemampuan Guru produktif
Keterangan
Pra siklus Siklus I Siklus II
Rata-rata 62,85 69,38 74,86
Nilai ≥ B(or) 4 10 18
Nilai ≥ B( % ) 20,00 50,00 90,00

Untuk mengetahui besarnya peningkatan hasil penelitian dari pra siklus ke siklus I dan ke
siklus II , maka dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 : Peningkatan hasil penelitian dari Pra siklus ke siklus I dan ke siklus II.
Peningkatan
Keterangan
Pra siklus ke siklus I Siklus I ke Siklus II Total
Rata-rata 6,53 5,49 12,01
Nilai ≥ B(or) 6 8 14
Nilai ≥ B( % ) 30,00 40,00 70,00

Berdasarkan hasil analisis pada tiap siklus menunjukkan peningkatan kualitas kemampuan
guru bidang studi produktif SMK Saraswati 3 Tabanan melaksanakan strategi pembelajaran

133
Buku Prosiding Seminar Nasional

pelatihan industri (Training Within Industry) dari pra siklus ke siklus I sebesar 6,53% yakni
dari 62,85% pada pra siklus menjadi 69,38% pada siklus I, dan meningkat lagi dari siklus I ke
siklus II sebesar 5,49% yaitu dari 69,38% pada siklus I menjadi 74,86% pada siklus II. Demikian
juga jumlah guru yang memperoleh nilai B (Baik) atau A (amat baik) meningkat dari pra siklus
ke siklus I sebesar 30,00% yakni dari 20,00% pada pra siklus menjadi 50,00% pada siklus I,
meningkat lagi dari siklus I ke siklus II sebesar 40,00% yakni dari 50,00% pada siklus I menjadi
90,00% pada siklus II.
Hasil ini menunjukkan bahwa kerja kelompok dapat meningkatkan kemampuan guru bidang
studi produktif SMK Saraswati 3 Tabanan melaksanakan strategi pembelajaran pelatihan industry
(Training Within Industry). Hasil penelitian ini sesuai dengan konsep teori kerja kelompok yang
menyatakan bahwa dengan bekerja secara kelompok tingkat keberhasilan dalam pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan lebih besar dan lebih mudah tercapai. Strategi pembelajaran
pelatihan industri (Training Within Industry) merupakan pembelajaran dimana guru dan siswa
mempelajari berbagai aktivitas dengan menggunakan alat-alat praktik yang sebenarnya sehingga
dengan demikian terbangun keterampilan yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh dunia
kerja dan dunia industri secara nyata.
Proses belajar melalui kerja kelompok dapat membentuk dan mengembangkan keterampilan
berpikir dan keterampilan tingkat tinggi pada guru maupun pada siswa yang dilatihnya. Hal ini
juga mengindikasikan kemampuan guru yang baik dalam melaksanakan Strategi pembelajaran
pelatihan industri (Training Within Industry), akan memungkinkan terjadinya hasil belajar
dan pengalaman belajar yang baik pada siswa. Dengan dasar pemikiran itu maka dalam upaya
meningkatkan mutu pendidikan, salah satu yang dapat diupayakan adalah dengan meningkatkan
mutu guru.

4. Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan hal-
hal sebagai berikut : 1) melalui kerja kelompok dapat meningkatkan kemampuan guru bidang
studi produktif SMK Saraswati 3 Tabanan dalam melaksanakan Strategi Pembelajaran Pelatihan
Industri (Training Within Industry) dari pra siklus ke siklus I dan dari siklus I ke siklus II, dengan
rata-rata 72,85% pada pra siklus, 69,38% pada siklus I, dan 74,86% pada siklus II; 2) melalui
kerja kelompok dapat meningkatkan jumlah guru bidang studi produktif SMK Saraswati 3
Tabanan yang memperoleh nilai B (Baik) dan A(Amat Baik) dari pra siklus ke siklus I dan dari
siklus I ke siklus II dengan capaian sebesar 20,00% pada pra siklus, 50,00% pada siklus I, dan
90,00% pada siklus II. Dengan hasil penelitian ini, diharapkan kepada guru produktif SMK
Saraswati 3 agar meningkatkan kemampuannya dalam pemahaman strategi pembelajaran
pelatihan industri sehingga terampil dalam melaksanakan pembelajaran yang berdampak pada
meningkatnya kemampuan siswa dalam belajar praktik kerja industri; demikian pula diharapkan
kepada pemegang kebijakan di SMK Pariwisata di Kabupaten Tabanan memberikan fasilitas
kepada guru bidang studi produktif dalam rangka meningkatkan kemampuannya melaksanakan
strategi pembelajaran pelatihan industri yang dapat mendukung peningkatan prestasi sekolah.

5. Daftar Pustaka

Arends, (2004). Learning to Teach, New York : Mc. Graw-Hill Companies

Depdiknas, (2008). Strategi Pembelajaran dan pemilihannnya, Direktorat Tenaga Kependidikan


Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Jakarta :
Departemen Pendidikan Nasional

Nurhadi,dkk, (2004). Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning /CTL) dan

134
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Penerapannya dalam KBK, Malang, Universitas Negeri Malang.

Sadiman, (1990). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung : Tarsito.

Sujana,Nana.(1989). Dasar-dasar Proses Belajar, Bandung : Sinar Baru.

Trianto, (2010). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif, Jakarta: Kencana Predana
Media Group.

Wena Made, (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer suatu Tinjauan Konsepsional
Operasional. Jakarta. PT Bumi Aksara.

Winaputra,Udin S dkk,(2006), Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Universitas Terbuka.

Wina Sanjaya, (2011). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta :
Kencana Predana Media.

…………., Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

135
136
EFEKTIFITAS PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMETIKA
REALISTIK DALAM MENINGKATKAN PRETASI BELAJAR
MATEMATIKA SISWA

Gede Ngurah Oka Diputra


Pendidikan Matematika, FP MIPA IKIP Saraswati Tabanan, Bali

Abstrak
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas, yang dilaksananan dalam dua siklus,
dimana tiap siklus terdiri dari 4 tahapan yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) observasi
dan evaluasi, (4) releksi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa adalah penerapan
pendidikan matematika realistik efektif dalam meningkatkan pretasi belajar matematika
pada materi pecahan siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri 1 Sembung Gede Kecamatan
Kerambitan. Hal ini dapat dilihat dari pencapaian skor rata–rata prestasi belajar siswa ( X )
pada siklus I sebesar 66,36 sedangkan pada siklus II sebesar 71,59 berarti ada peningkatan
sebesar 5,23. atau ada peningkatan sebesar 8%.

Kata kunci : pendidikan matematika realistik, prestasi belajar matematika pada materi
pecahan.

Abstract
This research is action based research that was conducted in two cycles in which every cycle
consists of 4 stages; they are (1) planning, (2) action, (3) observation and evaluation, (4)
relection. The research inding shows that the application of realistic mathematics education
could effectively increase the students’ mathematics achievement on fraction material at 4th
grade of Sekolah Dasar Negeri 1 Sembung Gede Kecamatan Kerambitan. It could be seen
from the average achievement score of students ( X ) on the irst cycle was 66, 36 while on
the second cycle was 71, 59, that there was an increase of 5, 23 or an increase of 8%.

Key word : realistic mathematics education, students’ mathematics achievement on fraction


material

1. Pendahuluan

P
emilihan strategi pembelajaran pada dasarnya merupakan salah satu hal penting yang harus
dipahami oleh setiap guru, mengingat proses pembelajaran merupakan proses komunikasi
multiarah antar siswa, guru, dan lingkungan belajar. Karena itu pembelajaran harus diatur
sedemikian rupa sehingga akan diperoleh dampak pembelajaran secara langsung (instructional
effect) ke arah perubahan tingkah laku sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pembelajaran.
Harapan yang selalu guru inginkan adalah bagaimana bahan pelajaran yang disampaikan
dapat dikuasai oleh peserta didik secara tuntas. Ini merupakan masalah yang cukup sulit yang
dirasakan oleh guru. Kesulitan itu dikarenakan anak didik bukan hanya sebagai individu dengan
segala keunikannya, tetapi mereka juga sebagai makhluk sosial dengan latar belakang berbeda.
Paling sedikit ada tiga aspek yang membedakan anak didik yang satu dengan yang lainnya, yaitu
aspek intelektual, psikologis, dan biologis. (Syaiful, 2013)
Ketiga aspek tersebut diakui sebagai akar permasalahan yang menyebabkan perbedaan sikap
dan tingkah laku peserta didik di sekolah. Hal itu pula yang menjadi tugas berat guru dalam
mengelola kelas dengan baik. Keluhan-keluhan guru sering muncul akibat masalah sukarnya
mengelola kelas. Akibat kegagalan guru mengelola kelas, tujuan pengajaran pun sukar untuk
dicapai. Namun, hal ini tidak perlu terjadi karena masih banyak usaha yang dapat dilakukan oleh

137
Buku Prosiding Seminar Nasional

guru, diantaranya dengan menerapkan metode pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student
oriented).
Perkembangan intelektual siswa Sekolah Dasar pada umumnya bergerak dari konkret ke
abstrak. Menurut Peaget mengatakan bahwa anak adalah seorang yang aktif, membentuk atau
menyusun pengetahuan mereka sendiri pada saat mereka menyesuaikan pikirannya sebagaimana
terjadi ketika mereka mengekplorasi lingkungan dan kemudian tumbuh secara kognitif terhadap
pemikiran-pemikiran yang logis. Teori ini nampaknya menekankan bahwa penciptaan lingkungan
belajar menjadi sorotan penting. Lingkungan yang baik membuat anak bekerja melakukan
eksplorasi. Dengan cara demikian anak mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Seperti diketahui
bahwa anak sekolah dasar pada umumnya senang bermain dengan benda-benda di sekitarnya. Oleh
karena itu pemanfaatan pengetahuan siswa melalui benda-benda di sekitarnya perlu diperhatikan.
Belajar matematika tidak hanya sekedar belajar tentang konsep-konsep tetapi belajar secara
bermakna. Bermakna dalam hal ini siswa tahu tujuan mereka belajar matematika. Siswa belajar
bermakna jika materi dalam pembelajarannya dikaitkan dengan kehidupan nyata yang dekat
dengan keseharian siswa. Salah satu tujuan belajar matematika adalah untuk mempersiapkan siswa
agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari
dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, sehubungan dengan itu siswa memerlukan
matematika untuk memenuhi kehidupan praktis dan memecahkan persoalan dalam kehidupan
sehari-hari, selain itu agar siswa mampu memahami bidang study lain, berpikir logis, kritis,
rasional, praktis serta bersifat positif dan kreatif. Pembelajaran dengan pendekatan pendidikan
matematika realistik adalah suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat. Dengan konsep seperti itu, maka proses pembelajaran akan berlangsung
secara bermakna. Proses pembelajaran akan berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan
bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan matematika realistik akan
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk terlibat langsung dalam proses
pembelajaran dan membangun sendiri pengetahuannya, artinya pengetahuan yang dimiliki siswa
tidak secara langsung ditanamkan oleh guru. Selain itu, dengan memberikan masalah nyata
di awal pembelajaran yang sesuai dengan keseharian siswa yang sudah dipahami dan dapat
dibayangkan, maka siswa akan belajar secara bermakna. Siswa belajar secara bermakna karena
siswa tahu tujuan mereka belajar dengan melihat keterkaitan antara apa yang mereka pelajari
dengan pengalaman sehari-hari, sehingga siswa akan merasakan manfaatnya belajar matematika.
Dengan mengetahui manfaat belajar matematika bagi kehidupan mereka, maka mereka tidak lagi
menganggap matematika itu hanya sekumpulan rumus-rumus yang tidak berguna dan abstrak.
Suasana belajar matematika tidak lagi kaku dan menakutkan melainkan sangat menyenangkan.
Pada proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika realistik, kegiatan
yang menonjol adalah adanya kebebasan pada siswa menyampaikan pengetahuan informal siswa
melalui masalah-masalah kontekstual sebagai awal dari proses pembelajaran. Masalah kontekstual
yang dipakai untuk membangun konsep formal matematika dengan alasan bahwa anak ke sekolah
tidak dengan kepala kosong, melainkan sudah membawa ide-ide matematika. Di samping itu,
konsep yang mendasari pendekatan matematika realistik adalah bahwa matematika merupakan
aktivitas manusia, dan belajar matematika merupakan proses melalui penemuan. Dengan
perkataan lain bahwa pengetahuan itu adalah konstruksi dari seseorang yang sedang belajar. Ini
berarti, siswa diberi keleluasaan untuk mengekspresikan jalan pikirannya, menyelesaikan masalah
menurut dirinya sendiri, mengkomunikasikannya, dan dapat belajar dari ide teman-temannya.
Siswa dilibatkan secara penuh dalam proses menemukan dan merumuskan kembali konsep yang
sedang ingin dituju, dengan guru sebagai pembimbingnya. Pendekatan pendidikan matematika
realistik menampilkan konteks nyata sebagai awal dari proses pembelajaran. Dengan adanya

138
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

konteks nyata ini kelihatan bahwa belajar matematika ada manfaatnya dalam kehidupan anak.
Karena matematika dipandang ada manfaatnya, maka siswa cendrung berminat mempelajari
matematika dan didorong oleh motivasi sehingga prestasi belajarnya meningkat.
Dari uraian di atas, sebagai permasalahannya adalah apakah penerapan pendekatan
pendidikan matematika realistik dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa Sekolah
Dasar ?
Filosoi pendidikan matematika realistik mengacu pada asumsi bahwa matematika harus
dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti, matematika
harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai
aktivitas manusia maksudnya, manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali
ide-ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Grevemeijer,1994, dalam
Surata, 2003). Dengan perkataan lain, landasan ilosois pendidikan matematika realistik dekat
dengan ilsafat kontruktivisme yang menyebutkan bahwa pengetahuan itu adalah kontruksi dari
seseorang yang sedang belajar (Suparno, 1997). Ini berarti, pendidikan matematika realistik lebih
menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa, dimana siswa harus aktif, tidak boleh
pasif. Siswa harus aktif mengkontruksi pengetahuan matematika itu dan guru lebih banyak berperan
sebagai fasilitator. Artinya siswa harus didorong dan diberi keleluasaan untuk mengekspresikan
jalan pikirannya, menyelesaikan masalah menurut idenya, mengkomunikasikan, dan belajar dari
teman-temannya.
De Lange (1987) (dalam Zulkardi, 2001) mengatakan bahwa pendekatan matematika
realistik mempunyai lima karakteristik yaitu:

1.1. Menggunakan Masalah Kontekstual (Dunia Nyata)


Selama ini siswa diberikan masalah sehari-hari (realistik) oleh guru bila siswa telah
mempelajari konsep-konsep matematika. Dalam pendekatan matematika realistik masalah
kontekstual di samping digunakan sebagai pengaplikasian konsep-konsep matematika juga
digunakan sebagai pangkal tolak pembelajaran. Gambar berikut menunjukkan dua proses
matematisasi yang berupa siklus, yaitu dunia nyata tidak hanya sebagai sumber matematisasi,
tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika.

Gambar 1. Matematisasi Konseptual (De Lange, 1987; dalam Suharta, 2004)

Sesuai dengan uraian di atas, dalam pendidikan matematika realistik diawali dengan masalah
kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman
sebelumnya secara langsung. Siswa mengerjakan masalah kontekstual dengan menggunakan
cara-cara informal yang telah dimilikinya. Dengan aktivitas matematisasi disertai dengan releksi,

139
Buku Prosiding Seminar Nasional

siswa dapat mengkontruksi konsep-konsep matematika, melalui diskusi kelas dan interaksi siswa
mengabstraksi serta memformalisasi konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika
formal yang telah ditemukan. Selanjutnya, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep
matematika ke bidang baru atau ke “dunia nyata” (applied mathematization). Oleh karena itu,
untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu
dilakukan matematisasi pengalaman anak sehari-hari dan penerapan konsep-konsep matematika
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga memperkuat pemahaman konsep.

1.2. Menggunakan Model-Model


Menggunakan model-model (pemodelan) merupakan jembatan antara pengetahuan
kehidupan riil dengan pengetahuan formal. Pemodelan dapat diklasiikasikan menjadi dua yaitu:
(1) sebagai bentuk tranlasi, (2) sebagai bentuk pengorganisasian.
Pemodelan sebagai tranlasi dimaksudkan, siswa menstranlasi situasi real ke bentuk
matematika, sedangkan sebagai pengorganisasian menekankan bahwa pemodelan sebagai
aktivitas. Dalam konsep ini suatu model adalah hasil dari aktivitas pengorganisasian. Sehingga
model dalam hal ini berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan
oleh siswa sendiri. Peranan pengembangan model-model sendiri merupakan jembatan bagi siswa
dari situasi konkret ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.
Dengan kata lain, siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Terlebih dahulu,
siswa membuat model situasi yang sesuai dengan masalah. Dengan malakukan formalisasi dan
generalisasi, model situasi berubah menjadi model tentang (model-of) masalah tersebut. Dengan
melakukan penalaran matematik, model tentang (model-of) akan bergeser menjadi menjadi
model untuk (model-for) masalah yang sejenis. Dengan matematisasi vertikal model-for berubah
menjadi pengetahuan formal. Dengan demikian, model-model dalam pendekatan matematika
realistik terdiri atas: model situasi, model-of, model-for, dan pengetahuan formal.

1.3. Menggunakan Produksi dan Konstruksi oleh Siswa


Pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan pendidikan matematika realistik
adalah menggunakan masalah kontekstual sebagai pangkal tolak pembelajaran. Siswa diberikan
kesempatan memecahkan masalah kontekstual tersebut dengan menggunakan cara-cara informal.
Dalam hal ini, semua cara informal dihargai dan melalui diskusi, serta interaksi dipilih cara-
cara yang paling efektif dapat digunakan sebagai antisipasi prosedur-prosedur formal. Cara-cara
informal yang digunakan merupakan produksi siswa yang sangat penting artinya karena digunakan
sebagai alat (tools) pengembangan pembelajaran lebih lanjut, agar siswa dapat mengkotruksi
konsep-konsep atau pengetahuan matematika formal.

1.4. Menggunakan Interaktif


Filosoi dari pendekatan pendidikan matematika realistik adalah memandang matematika
sebagai aktivitas manusia. Itu berarti aktivitas akan berlangsung efektif bila terjadi interaksi sosial
selama proses pembelajaran di antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Secara eksplisit
bentuk-bentuk interaksi itu adalah negosiasi, diskusi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak
setuju, dan pertanyaan/respon. Melalui interaksi ini, dapat ditingkatkan releksi dalam proses
matematisasi.

1.5. Menggunakan Keterkaitan


Pada proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika realistik,
kegiatan yang menonjol adalah adanya kebebasan pada siswa menyampaikan pengetahuan informal
siswa melalui masalah-masalah kontekstual sebagai awal dari proses pembelajaran. Masalah
kontekstual yang dipakai untuk membangun konsep formal matematika dengan alasan bahwa
anak ke sekolah tidak dengan kepala kosong, melainkan sudah membawa ide-ide matematika.

140
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Dengan adanya keterkaitan antara informasi baru dengan pengetahuan yang tersimpan dalam
memori siswa, maka akan memudahkan siswa dalam proses pemecahan masalah.
Pada proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pendidikan matematika
realistik, kegiatan yang menonjol adalah adanya kebebasan pada siswa menyampaikan
pengetahuan informal siswa melalui masalah-masalah kontekstual sebagai awal dari proses
pembelajaran. Masalah kontekstual yang dipakai untuk membangun konsep formal matematika
dengan alasan bahwa anak ke sekolah tidak dengan kepala kosong, melainkan sudah membawa
ide-ide matematika. Di samping itu, konsep yang mendasari pendekatan matematika realistik
adalah bahwa matematika merupakan aktivitas manusia, dan belajar matematika merupakan proses
melalui penemuan. Dengan perkataan lain bahwa pengetahuan itu adalah konstruksi dari seseorang
yang sedang belajar. Ini berarti, siswa diberi keleluasaan untuk mengekspresikan jalan pikirannya,
menyelesaikan masalah menurut dirinya sendiri, mengkomunikasikannya, dan dapat belajar dari
ide teman-temannya. Siswa dilibatkan secara penuh dalam proses menemukan dan merumuskan
kembali konsep yang sedang ingin dituju, dengan guru sebagai pembimbingnya. Pendekatan
matematika realistik menampilkan konteks nyata sebagai awal dari proses pembelajaran. Dengan
adanya konteks nyata ini kelihatan bahwa belajar matematika ada manfaatnya dalam kehidupan
anak. Karena matematika dipandang ada manfaatnya, maka siswa cendrung berminat mempelajari
matematika dan didorong oleh motivasi sehingga prestasi belajarnya meningkat.
Dari uraian diatas tampaknya peluang besar dari pendekatan pendidikan matematika
realistik dalam meningkatkan prestasi belajar siswa, sehingga hipotesis yang diajukan adalah
penerapan pendekatan pendidikan matematika realistik efektif dalam meningkatkan prestasi
belajar matematika siswa Sekolah Dasar.

2. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research )
yang dilaksanakan pada siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri 1 Sembung Gede Kecamatan
Kerambitan sebanyak 22 orang, sedangkan objek penelitian adalah pendekatan pendidikan
matematika realistik dan prestasi belajar matematika pada materi pelajaran pecahan. Penelitian
ini menggunakan rancangan penelitian model Kemmis dan Taggart ( dalam Suharsimi Arikunto,
2006 ) yang dilaksanakan dengan sistem siklus di mana sitiap siklus terdiri dari empat tahapan
yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) observasi dan evaluasi, dan (4) releksi.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data hasil belajar yang dikumpulkan
melalui tes hasil belajar pecahan. Tes hasil belajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah
soal essay yang diberikan pada setiap akhir siklus dan kemudian dianalisis secara deskriptif unyuk

∑X
menentukan skor masing –masing siswa dan rata-rata kelas ( X ) dengan rumus :

(X ) =
N
Keterangan :
( X ) = Nilai rata-rata kelas
∑ X = Jumlah nilai siswa
N = Banyaknya siswa
(Nurkencana, Sumartana, 1992)

Untuk mengetahui berhasil tidaknya siswa memahami materi pecahan, maka dianalisis dengan
kriteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu 65,00. Jika siswa mendapat nilai 65, maka siswa
tersebut telah tuntas dalam belajar, sedangkan jika siswa mendapat nilai < 65, maka siswa tersebut
belum tuntas dalam belajar pecahan sehingga di ulang pada siklus berikutnya. Penelitian ini
dilaksanakan dalam 2 siklus, dimana tiap siklus dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan, yaitu 3 kali
pertemuan untuk pembelajaran pecahan dan 1 kali untuk pertemuan tes.

141
Buku Prosiding Seminar Nasional

Dari tes prestasi belajar pecahan yang dilakukan pada akhir siklus I diperoleh rata-rata
kelas 66,36 dengan kriteria 14 orang telah tuntas dan 8 orang belum tuntas, sedangkan nilai rata-
rata kelas pada slklu II diperoleh 71,59, semua siswa telah tuntas dalam belajar materi pecahan.

3. Pembahasan Hasil
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam dua siklus yang berlangsung selama
delapan kali pertemuan dengan rincian pada siklus I terdiri dari tiga kali pertemuan dan satu
kali tes, sedangkan pada siklus II terdiri dari terdiri dari tiga kali pertemuan dan satu kali tes.
Berdasarkan analisis data, pemberian tindakan pada siklus I menunjukan bahwa pada pertemuan
pertama diperoleh skor rata–rata prestasi belajar siswa ( X ) pada siklus I adalah 66,36, dengan
14 siswa sudah tuntas dan 8 siswa belum tuntas, serta kendala–kendala yang mungkin menjadi
penyebab kurang berhasilnya pembelajaran yang dilaksanakan.
Berdasarkan data yang diperoleh sampai akhir siklus I, dapat direleksikan kendala-kendala
sebagai berikut.
1. Selama proses pembelajaran, aktivitas belajar siswa belum optimal. Hal ini dikarenakan
siswa belum terbiasa belajar dengan diberi permasalahan dan berdiskusi dalam kelompok.
Selama ini siswa cenderung diberitahu langsung oleh guru tentang konsep dan prinsip
yang harus dipahami.
2. Dengan belajar melalui masalah sehari-hari yang biasa dialami siswa seperti tersaji
dalam LKS dan dibantu dengan media pembelajaran yang biasa ditemukan siswa dalam
kehidupan sehari-hari, pemahaman dan kemampuan siswa dalam memahami konsep
arti pecahan, pecahan senilai, membandingkan pecahan, mengurutkan pecahan, dan
menyederhanakan pecahan cenderung mengalami peningkatan namun belum optimal.
3. Menyamakan penyebut merupakan kendala utama yang dialami siswa dalam mengerjakan
soal-soal yang diberikan. Selain itu, siswa juga harus terus melatih kemampuan
membacanya untuk dapat memahami soal-soal yang diberikan, karena tanpa kemampuan
membaca yang baik, siswa akan kesulitan memahami soal-soal yang diberikan.
4. Pembelajaran dengan pendekatan pendidikan matematika realistik dengan teknik kerja
kelompok menuntut siswa untuk duduk bersama dengan siswa lain dalam kelompoknya
masing–masing serta berdekatan dengan kelompoknya dimana anggota kelompoknya
sudah ditentukan oleh guru, sehingga pada siklus I banyak waktu kegiatan belajar
mengajar di kelas yang tersita oleh siswa hanya untuk mencari tempat duduk sesuai
dengan kelompoknya.
Berdasarkan kendala-kendala di atas, upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggulangi di
antaranya adalah sebagai berikut.
1. Dalam mengerjakan tugas, dilakukan pembagian kerja. Sehingga, siswa yang agak
kurang kemampuannya dapat dibantu oleh siswa yang lebih pandai dan mereka memiliki
tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan. Sehingga dapat meningkatkan aktivitas
belajar kelompok .
2. Dalam LKS, permasalahan disajikan menggunakan kalimat yang lebih sederhana,
sehingga siswa lebih mudah memahami kalimat dalam LKS. Selain itu, siswa diberikan
permasalahan yang lebih kontekstual sesuai dengan kemampuan dan pengalaman siswa.
3. Saat pembelajaran berlangsung, bimbingan dilaksanakan dengan lebih intensif kepada
setiap kelompok dan siswa dalam kelompok. Pemahaman siswa diarahkan pada cara
menyamakan penyebut pecahan menggunakan Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK)
atau pecahan senilai.
4. Pada saat pembelajaran atau pelaksanaan tindakan siklus ke II, siswa sudah diharuskan
sudah duduk dalam kelompoknya menjelang diskusi kelompok. Diskusi kelompok
dilaksanakan selama proses pembelajaran tepatnya setelah guru menyampaikan indikator
pembelajaran yang telah ditetapkan. Apabila diskusi yang dilakukan sudah cukup atau

142
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

sesuai dengan alokasi waktu yang telah direncanakan guru, maka guru kembali melanjutkan
pembelajaran dengan menyampaikan indikator pembelajaran berikutnya dan setelah itu
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk diskusi. Tindakan ini dilakukan secara
kontinu sesuai dengan banyaknya indikator pembelajaran yang ditetapkan dalam rencana
pengajaran.
Dengan penyempurnaan dan perbaikan tindakan pada siklus I akan dilaksanakan
pembelajaran pada siklus II. Berdasarkan analisis data pemberian tindakan pada siklus II
menunjukan bahwa skor rata–rata prestasi belajar pada siklus ke II ( X ) adalah 71,59. Jika
dibandingkan dengan skor rata–rata prestasi belajar siswa pada siklus I yaitu 66,36, berarti terjadi
peningkatan sebesar 5,23. Jadi ada peningkatan sebesar 8 % . Pada siklus II diperoleh sebanyak
22 orang memperoleh nilai pecahan ≥ 65,00. Dari kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pada
siklus ke II sudah memenuhi kriteria ketuntasan minimal.

4. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka kesimpulan dari
penelitian ini adalah penerapan pendidikan matematika realistik efektif dalam meningkatkan
pretasi belajar pecahan pada siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri 1 Sembung Gede Kecamatan
Kerambitan. Hal ini dapat dilihat dari pencapaian skor rata–rata prestasi belajar siswa ( X ) pada
siklus I sebesar 66,36 sedangkan pada siklus II sebesar 71,59 berarti ada peningkatan sebesar
5,23. atau ada peningkatan sebesar 8%.

5. Daftar Pustaka

Bahri, Syaiful. (2013). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurkancana, Wayan dan P.P.N Sunartana, (1992). Evaluasi Pendidikan. Surabaya : Usaha
Nasional.

Paul Suparno. (1997). Filsafat Kuntruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Suharsimi Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT Rineka
Cipta.

Suharta. (2004). “Pembelajaran Pecahan di Sekolah Dasar dengan Menggunakan Pendekatan


Matematika Realistik”. Disertasi (tidak dipublikasikan). Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya.

Surata. (2003). “Pengaruh Pembelajaran Matematika Berdasarkan Pendekatan Matematika


Realistik terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa Sekolah Dasar”. Tesis (tidak
dipublikasikan). Singaraja: Fakultas Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja.

Zulkardi. (2001). “Cas Cade-Imei Lingkungan Belajar Pendidikan matematika Realistik untuk
Calon Guru Matematika Di Indonesia”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Realistic Mathematies Education (RME). FMIPA UNESA. Surabaya 24 Pebruari 2001.

143
144
ANALISIS KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMP
NEGERI 1 MARGA PADA MATA PELAJARAN BIOLOGI

I Gede Sudirgayasa, I Ketut Surata


Pendidikan Biologi FP MIPA, IKIP Saraswati, Tabanan, Bali
e-mail: sudirgagede@ymail.com

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kualiikasi keterampilan berpikir
kritis siswa secara umum dan membandingkan keterampilan berpikir kritis antara siswa laki-
laki dan siswa perempuan SMP Negeri 1 Marga pada mata pelajaran biologi tahun pelajaran
2014/2015. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan penelitian survei
yang tepatnya cross-sectional survey design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
siswa SMP Negeri 1 Marga. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik simple random
sampling dari populasi target. Teknik ini dilakukan dengan pemilihan acak untuk memilih 4
kelas yang akan dijadikan kelas sampel. Variabel dalam penelitian ini adalah keterampilan
berpikir kritis siswa. Data keterampilan berpikir kritis siswa diukur dengan menggunakan
kuesioner. Pengujian hipotesis melalui analisis data dilakukan dengan dua teknik analisis
yaitu analisis deskriptif dan analisis statistik. Teknik Analisis deskriptif digunakan untuk
mendeskripsikan kualiikasi nilai keterampilan berpikir kritis siswa secara umum dan nilai
keterampilan berpikir kritis siswa laki-laki dan perempuan. Analisis data untuk menguji
hipotesis penelitian kedua dilakukan dengan uji-t sampel independen. Pengujian dilakukan
dengan bantuan software IBM SPSS 20 for windows.Berdasarkan hasil penelitian, dapat
disimpulkan bahwa: 1) Keterampilan berpikir kritis siswa tergolong rendah. 2) Tidak
terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis antara siswa laki-laki dan siswa perempuan.

Kata kunci : berpikir kritis, biologi, laki-laki, perempuan

Abstract
The purpose of this study was to determine the level of students’ critical thinking skills
qualiications in general and to compare the critical thinking skills among male students
and female students of public junior high school 1 Marga on the biology subject academic
year 2014/2015. This research is a quantitative survey research design that precisely a cross-
sectional survey design. The population in this study were all students of public junior high
school 1 Marga. The variable in this study is students’ critical thinking skills. Data critical
thinking skills of students was measured using a questionnaire Hypothesis testing through
data analysis performed by two techniques of analysis are descriptive analysis and statistical
analysis. Descriptive analysis techniques is used to describe the qualiications value students’
critical thinking skills in general and the value of critical thinking skills of male and female.
Analysis of data to test the hypothesis of a second study conducted by t-test independent
samples. Testing is done with the help of IBM software SPSS 20 for windows. Based on the
results, it can be concluded that: 1) Students’s critical thinking skills pertained low. 2) There
is no difference in students’ critical thinking skills among male and and female students.

Keywords: critical thinking, biology, male, female

Pendahuluan

K
eterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan yang wajib dimiliki oleh setiap
insan manusia di abad XXI ini. Oleh karena itu, berpikir kritis harus mampu ditanamkan
melalui proses pendidikan. Berpikir kritis merupakan sebuah kemampuan yang
membantu peserta didik untuk yakin dalam membuat keputusan dalam kehidupan mereka.
Berpikir kritis dapat meningkatkan kemampuan peserta didik untuk menyesuaikan dengan situasi

145
Buku Prosiding Seminar Nasional

baru, mengembangkan kapasitas penilaian dirinya, serta membantu untuk memperoleh informasi
dengan melalui pertentangan yang sulit. Ketrampilan berpikir kritis sangat dibutuhkan untuk
mengidentiikasi strategi yang tepat dan pengambilan keputusan dalam memecahkan masalah
secara efektif.
Menyadari begitu pentingnya kemampuan berpikir kritis, berbagai inovasi di bidang
pendidikan telah banyak diupayakan oleh pemerintah, baik dalam pendidikan dasar, menengah
sampai pendidikan tinggi guna mendukung meningkatkan keterampilan berpikir kritis peserta
didik. Ada tiga poin utama yang disoroti dalam peningkatan mutu pendidikan, yaitu pembaharuan
kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran dan efektiitas metode pembelajaran.
Kurikulum yang diimplementasikan di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan.
Perubahan tersebut di antaranya perubahan kurikulum 1994 menjadi kurikulum berbasis
kompetensi (KBK), kemudian disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan yang terakhir dikembangkan lagi kurikulum 2013 menuju paradigma pembelajaran
abad XXI. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, proses pembelajaran pada setiap satuan
pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi dilakukan berdasarkan rambu-rambu yang
telah dikembangkan dalam kurikulum berdasarkan paradigma pembelajaran abad XXI. Prinsip
pembelajaran yang digunakan yaitu: 1) pola pembelajaran yang berpusat pada pendidik menjadi
pembelajaran berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap
materi yang dipelajari untuk memiliki kompetensi yang sama; 2) pola pembelajaran satu arah
(interaksi pendidik-peserta didik) menjadi pembelajaran interaktif (interaktif pendidik -peserta
didik-masyarakat-lingkungan alam, sumber/media lainnya); 3) pola pembelajaran terisolasi
menjadi pembelajaran secara (peserta didik dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana
saja yang dapat dihubungi serta diperoleh melalui internet); 4) pola pembelajaran pasif menjadi
pembelajaran aktif-mencari (pembelajaran siswa aktif mencari semakin diperkuat dengan model
pembelajaran pendekatan sains); 5) pola belajar sendiri menjadi belajar kelompok (berbasis
tim); 6) pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis alat multimedia; 7)
pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan memperkuat
pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik; 8) pola pembelajaran
ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline) menjadi pembelajaran ilmu pengetahuan jamak
(multidisciplines); dan 9) pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran kritis.
Seluruh upaya yang dilakukan oleh insan pendidikan berdasarkan prinsip pembelajaran
abad XXI di atas secara langsung maupun tidak langsung, seharusnya mampu memfasilitasi
peserta didik untuk mempelajari, melatih dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis sejak
dini. Namun demikian, apakah segala upaya pembaharuan kurikulum dan peningkatan kualitas
pembelajaran dan efektiitas metode pembelajaran menunjukkan hasil yang sesuai dengan yang
diharapkan di lapangan?
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dan mengingat keterbatasan sumber daya
peneliti, peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian untuk mengetahui tingkat keterampilan
berpikir kritis siswa yang di awali dari siswa SMP Negeri 1 Marga pada mata pelajaran biologi
tahun pelajaran 2014/2015. Penelitian juga dilakukan untuk membandingkan keterampilan
berpikir kritis antara siswa laki-laki dan siswa perempuan SMP Negeri 1 Marga pada mata
pelajaran biologi tahun pelajaran 2014/2015.

2. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan untuk menguji kedua hipotesis penelitian yaitu: 1) Keterampilan
berpikir kritis siswa SMP Negeri 1 Marga pada mata pelajaran biologi tahun pelajaran 2014/2015
tergolong tinggi. 2) Terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis antara siswa laki-laki dan
siswa perempuan SMP Negeri 1 Marga pada mata pelajaran biologi tahun pelajaran 2014/2015.

146
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan penelitian survei yang
tepatnya cross-sectional survey design. Pemilihan rancangan survei tersebut berdasarkan tujuan
penelitian untuk mendeskripsikan tingkat keterampilan berpikir kritis siswa dan membandingkan
keterampilan berpikir kritis antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. Rancangan cross-
sectional survey design digunakan karena pengambilan data dilakukan sekali pada waktu tertentu
(Creswell, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 1 Marga.
Populasi target dalam penelitian ini adalah siswa kelas IX SMP Negeri 1 Marga yang terdistrubusi
ke dalam 10 kelas. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling dari
populasi target. Teknik ini dilakukan dengan pemilihan acak untuk memilih 4 kelas yang akan
dijadikan kelas sampel. Adapun kelas yang terpilih menjadi kelas sampel tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi Siswa Kelas Sampel


Jumlah siswa
Kelas Total
Laki-laki Perempuan
IX. A 12 15 27
IX. B 6 18 24
IX. C 9 19 28
IX. D 14 12 26
Total 41 64 105

Adapun variabel dalam penelitian ini adalah keterampilan berpikir kritis. Keterampilan
berpikir kritis yang dimaksud dalam penelitian ini secara konseptual adalah keterampilan berpikir
yang meliputi berpikit logis dan rasional (dapat dalam bentuk membandingkan, klasiikasi,
sebab-akibat, analogi, mengemukakan rangkaian, deduktif, induktif, perencanaan, hipotesis, dan
mengkritisi. Secara operasional, yang dimaksud keterampilan berpikir kritis dalam penelitian ini
adalah nilai keterampilan berpikir kritis yang diperoleh responden (siswa dalam kelas sampel)
setelah menjawab kuesioner yang dikembangkan berdasarkan aspek dan indikator keterampilan
berpikir kritis yang dijabarkan oleh Cottrell (2005).
Data keterampilan berpikir kritis siswa diukur dengan menggunakan instrumen berupa
kuesioner. Kuesioner terdiri dari 15 item pertanyaan yang dikembangkan mengacu pada aspek
dan indikator-indikator keterampilan berpikir kritis yang dijabarkan Cottrell (2005). Kuesioner
dikembangkan dengan mempertimbangkan tahapan perkembangan kognitif siswa kelas IX
sekolah menengah pertama yang secara umum berada pada tahapan operasional formal awal.
Pengujian hipotesis melalui analisis data dilakukan dengan dua teknik analisis yaitu analisis
deskriptif dan analisis statistik. Teknik Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan
nilai keterampilan berpikir kritis siswa secara umum dan nilai keterampilan berpikir kritis siswa
laki-laki dan perempuan. Analisis deskriptif dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel 2007 for
windows. Kualiikasi data keterampilan berpikir kritis siswa dilakukan dengan membandingkan
data tersebut dengan pedoman penilaian absolut skala lima dalam Ariin (2012). Analisis data
untuk menguji hipotesis penelitian kedua dilakukan dengan uji-t sampel independen.
Analisis uji t-tes mensyaratkan normalitas data. Uji normalitas dengan SPSS berdasarkan
pada teknik Kolmogorov-Smirnov. Tarap signiikansi (α) ditetapkan 0,05. Apabila bilangan
signiikansi (sig.) lebih besar dari pada taraf signiikansi (α) maka bilangan statistik yang diperoleh
tidak signiikan, artinya data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Begitu
juga sebaliknya. Pengujian hipotesis nol dengan uji t-tes dilakukan dengan taraf signiikansi
(α) 0,05. Apabila bilangan signiikansi (sig.) pada kolom t-test for equality of means lebih kecil
dari pada taraf signiikansi 0,05, maka bilangan statistik yang diperoleh signiikan, artinya
terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis yang signiikan antara siswa laki-laki dan siswa
perempuan SMP Negeri 1 Marga pada mata pelajaran biologi tahun pelajaran 2014/2015. Begitu
juga sebaliknya. Seluruh pengujian dilakukan dengan bantuan software IBM SPSS 20 for windows

147
Buku Prosiding Seminar Nasional

3. Pembahasan Hasil
Rangkuman deskripsi umur dan nilai keterampilan berpikir kritis siswa masing-masing kelas
sampel tersaji sesuai pada Tabel 2

Tabel 2. Deskripsi Umur dan Nilai Keterampilan Berpikir Kritis Siswa.


Umur rata- Nilai rata-rata
Kelas rata Kualiikasi
(Tahun) Laki-laki Perempuan Total
IX.A 14,52 64,07 64,09 64,33 Rendah
IX.B 14,88 64,07 59,51 61,79 Rendah
IX.C 14,50 58,77 60,12 59,44 Sangat rendah
IX.D 14,77 58,41 64,26 61,34 Rendah
Rata-rata seluruh kelas 14,67 60,98 61,77 61,37 Rendah

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa umur rata-rata siswa sampel adalah 14,67 tahun.
Nilai rata-rata keterampilan berpikir kritis total siswa sampel sebesar 61,37 yang termasuk ke
dalam kualiikasi rendah. Apabila dipilah sesuai gender/ jenis kelamin, nilai rata-rata keterampilan
berpikir kritis siswa laki-laki sebesar 60,98 yang termasuk dalam kualiikasi rendah. Di lain pihak,
nilai rata-rata keterampilan berpikir kritis siswa perempuan sebesar 61,77 yang termasuk dalam
kualiikasi rendah.
Uji normalitas sebaran data dilakukan pada data dua kelompok yaitu kelompok siswa laki-
laki dan siswa perempuan. Uji normalitas dirangkum sesuai dalam Tabel 3.

Tabel 3 Hasil Uji Normalitas


Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Gender
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Laki-laki 0,116 41 0,180 0,957 41 0,126
Nilai
Perempuan 0,101 64 0,173 0,969 64 0,114

Berdasarkan Tabel 3, ditunjukkan bahwa angka-angka signiikansi lebih besar dari 0,05
untuk statistik Kolmogorov-Smirnov. Berdasarkan kriteria uji normalitas, dapat disimpulkan
bahwa sebaran data pada semua unit analisis berdistribusi normal. Dengan demikian uji-t dapat
dilanjutkan. Selanjutnya pengujian hipotesis penelitian kedua dijabarkan menjadi pengujian
hipotesis statistik nol (Ho) melawan hipotesis alternatif (H1). Keputusan hipotesis kedua diambil
berdasarkan data pada tabel rekapitulasi hasil uji-t yang tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Rekapitulasi Hasil Uji t-test


Levene’s Test for Equality
t-test for Equality of Means
of Variances
Sig.
F Sig. t df
(2-tailed)
Equal variances assumed 4,841 0,030 -,752 103 0,454
Nilai Equal variances not as-
-,709 69,226 0,480
sumed

Berdasarkan Tabel 4.3, dapat diinterpretasikan bahwa perhitungan dilakukan dengan


asumsi varian kedua data kelompok homogen dengan nilai signiikansi sebesar 0,03. Hasil
uji-t menunjukkan bilangan signiikansi (sig.) pada kolom t-test for equality of means sebesar
0,454 lebih besar dari pada taraf signiikansi 0,05. Dengan demikian Ho diterima dan H1 ditolak.
Artinya bahwa tidak terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis yang signiikan antara siswa
laki-laki dan siswa perempuan SMP Negeri 1 Marga pada mata pelajaran biologi tahun pelajaran

148
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

2014/2015.
Keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan yang wajib dimiliki oleh setiap insan
manusia di abad XXI ini. Oleh karena itu, berpikir kritis harus mampu ditanamkan melalui proses
pendidikan. Berpikir kritis merupakan sebuah kemampuan yang membantu peserta didik untuk
yakin dalam membuat keputusan dalam kehidupan mereka. Berpikir kritis dapat meningkatkan
kemampuan peserta didik untuk menyesuaikan dengan situasi baru, mengembangkan kapasitas
penilaian dirinya, serta membantu untuk memperoleh informasi dengan melalui pertentangan
yang sulit. Ketrampilan berpikir kritis sangat dibutuhkan untuk mengidentiikasi strategi yang
tepat dan pengambilan keputusan dalam memecahkan masalah secara efektif.
Kurikulum dan pembelajaran sains telah dirancang, direncanakan, dilaksanakan dan
dievaluasi mengacu pada paradigma pembelajaran abad XXI berbasis pembelajaran yang berpusat
pada siswa berpendekatan saintiik (Mendikbud, 2013). Pengembangan kurikulum dan paradigma
baru pembelajaran abad XXI secara langsung maupun tidak langsung sangat mendukung dalam
hal memberikan pengalaman kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis
layaknya ilmuwan. Pengalaman tersebut difasilitasi mulai dari buku paket, modul, model
pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran yang berbasis teknologi informasi,
jaringan internet sekolah, serta teknik evaluasi yang dilakukan. Dengan demikian, berbekal
tahap perkembangan kognitif siswa serta kurikulum dan pembelajaran paradigma abad XXI yang
dikembangkan, seharusnya siswa sekolah menengah pertama memiliki keterampilan berpikir
kritis yang tinggi.
Namun fakta empiris temuan hasil penelitian menunjukkan hasil yang berbeda dari apa
yang penulis harapkan sesuai dengan alur logika pikiran di mana keterampilan berpikir kritis
siswa SMP Negeri 1 Marga pada mata pelajaran biologi tahun pelajaran 2014/2015 tergolong
rendah. Perbedaan tersebut menegaskan bahwa hipotesis serunut dan selogis bagaimanapun tetap
bersifat falsiiable seperti yang diungkapkan oleh ilsuf Karl Popper dalam karyanya tahun 1963.
Popper (dalam Marczyk, 2005) menyatakan bahwa peneliti harus mampu menunjukkan bahwa
hipotesis tersebut adalah salah. Jika hipotasis tidak bersifat bisa salah maka sains tidak dapat
digunakan untuk menguji hipotesis tersebut.
Keterampilan berpikir kritis siswa yang rendah membuka peluang untuk dilakukan kajian
mengenai penyebab dan cara meningkatkannya. Secara teori ada 2 faktor yang mempengaruhi
kompetensi siswa yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik (Slavin, 2008; Santrock, 2011). Kedua
faktor ini harus saling mendukung satu sama lain untuk meningkatkan keterampilan berpikir
kritis siswa yang sangat penting artinya pada zaman postmodern ini. Faktor ekstrinsik yang
merupakan faktor dari luar atau lingkungan siswa dalam hal ini faktor guru, pembelajaran maupun
sekolah pada umumnya harus mampu memfasilitasi siswanya untuk berlatih menjadi pemikir
kritis. Implementasi apa yang dipersyaratkan dalam kurikulum wajib dilakukan dan dibiasakan
dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada. Ini artinya faktor ekstrinsik siswa juga
dituntut kreatif dalam memfasilitasi siswa berpikir kreatif. Guru dalam hal ini dapat merancang,
melaksanakan, serta mengevaluasi pembelajaran berbasis paradigma pembelajaran abad XXI.
Dengan dukungan faktor ekstrinsik, diharapkan faktor intrinsik yang merupakan faktor dari
dalam diri siswa sendiri dapat dirangsang untuk ikut terlibat, berminat dan termotivasi dalam
upaya menjadi siswa pemikir kritis menuju generasi emas Indonesia yang harus mampu menjadi
para pengambil keputusan tepat nantinya.
Berkaitan dengan perbedaan gender, beberapa penelitian merujuk bahwa otak kanan pada
laki-laki lebih berkembang baik dan sebaliknya otak kiri anak perempuan lebih berkembang baik
(Santrock, 2011). Akibat adanya perbedaan perkembangan otak kiri dan kanan dari laki-laki dan
perempuan maka tentu saja akan terdapat perbedaan dalam ketrampilan berpikir antara laki-laki
dan perempuan. Dengan demikian dapat diduga terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis
antara siswa laki-laki dengan perempuan.
Namun faktanya di lapangan berdasarkan temuan hasil penelitian, juga menunjukkan hasil

149
Buku Prosiding Seminar Nasional

yang berbeda dengan hasil pemikiran logis dalam hipotesis di mana tidak terdapat perbedaan
keterampilan berpikir kritis antara siswa laki-laki dan siswa perempuan SMP Negeri 1 Marga
pada mata pelajaran biologi tahun pelajaran 2014/2015. Perbedaan ini kembali menegaskan bahwa
hipotesis serunut dan selogis bagaimanapun tetap bersifat falsiiable seperti yang diungkapkan
oleh ilsuf Karl Popper dalam karyanya tahun 1963.
Penjelasan logis kembali dibutuhkan untuk memberikan mengapa perbedaan tersebut
muncul. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa perkembangan manusia dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dari dalam diri dan faktor ekstrinsik dari luar atau
lingkungan. Perbedaan biologis struktur anatomi dan isiologi otak laki-laki dan perempuan yang
merupakan faktor intrinsik secara umum memberikan kecenderungan pola pikir yang berbeda
(Santrock, 2011). Fakta yang menunjukkan tidak adanya perbedaan keterampilan berpikir
kritis siswa laki-laki dan perempuan kemungkinan dipengaruhi oleh faktor eksternal dalam
hal ini lingkungan sekolah. Pola pembelajaran, sumber belajar, perangkat pembelajaran yang
sama di sekolah yang diterima oleh siswa sepertinya memberikan pengaruh yang kuat dalam
memfasilitasi siswa berpikir kritis. Pola pembelajaran, sumber belajar, perangkat pembelajaran
yang mendukung dalam melatih siswa mengembangkan keterampilan berpikir kiritis secara teori
akan mampu mencetak siswa yang terampil berpikir kritis. Sebaliknya pola pembelajaran, sumber
belajar, perangkat pembelajaran yang kurang mendukung dalam melatih siswa mengembangkan
keterampilan berpikir kiritis secara teori kurang mampu mencetak siswa yang terampil berpikir
kritis. Namun demikian, diperlukan adanya suatu eksperimen untuk membuktikan teori tersebut.
Sesuai dengan tujuan awal penelitian, penelitian tidak bertujuan untuk membuktikan
keabsahan teori tertentu namun semata-mata untuk mendeskripsikan serta membandingkan
keterampilan berpikir kritis siswa. Hasil penelitian dapat dijadikan bahan releksi diri oleh para
pemangku kepentingan untuk mengevaluasi apakah harapan dunia pendidikan sudah sesuai
dengan apa yang dicita-citakan bersama menuju generasi emas bangsa Indonesia.

4. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diuraikan simpulan sebagai berikut.
1) Keterampilan berpikir kritis siswa SMP Negeri 1 Marga pada mata pelajaran biologi tahun
pelajaran 2014/2015 tergolong masih rendah. 2) Tidak terdapat perbedaan keterampilan berpikir
kritis antara siswa laki-laki dan siswa perempuan SMP Negeri 1 Marga pada mata pelajaran
biologi tahun pelajaran 2014/2015.

5. Daftar Pustaka
Ariin, Z. (2012). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Creswell, J.W. (2012). Educational Research : Planning, Conducting, And Evaluating Quantitative
And Qualitative Research. Boston: Pearson Education.
Cottrell, S. (2005). Critical Thinking Skills, Developing Effective Analysis and Argument. New
York: Palcrave Macmillan.
Marczyk, G., DeMatteo, D., & Festinger, D. (2005). Essentials of Reasearch Design and
Methodology. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Mendikbud.(2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013
Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah. Jakarta: Depdikbud.
Santrock, J. W. (2011). Educational Psychology (5th ed.). New York: McGraw-Hill Companies,
Inc.,
Slavin, R. E. (2008). Psikologi Pendidikan:Teori dan Praktek. Jakarta: Indeks.

150
PENGARUH PENENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
DAN GAYA KOGNITIF TERHADAP PRESTASI BELAJAR
MATEMATIKA SISWA

I Made Adi Yasa


Pendidikan Matematika, FP MIPA IKIP Saraswati Tabanan, Bali
e-mail: naumiadi@yahoo.com

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 1) pengaruh pendidikan matematika realistik
terhadap prestasi belajar matematika siswa, 2) pengaruh gaya kognitif terhadap prestasi
belajar matematika siswa, 3) interaksi antara pendidikan matematika realistik dan gaya
kognitif terhadap prestasi belajar matematika siswa kelas VII semester I SMP Negeri 1 Kediri.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu dengan menggunakan desain Posttest Only
Control Group Design, dan melibatkan sampel sebanyak 164 orang siswa. Data tentang gaya
kognitif dalam penelitian ini dikumpulkan dengan tes gaya kognitif, sedangkan data prestasi
belajar dikumpulkan dengan instrumen tes prestasi belajar dalam bentuk tes objektif pilihan
ganda. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan statistik uji ANAVA dua jalur. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 1) terdapat pengaruh yang signiikan pendidikan matematika
realistik terhadap prestasi belajar matematika siswa, 2) terdapat pengaruh yang signiikan
gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika siswa, 3) terdapat interaksi pendidikan
antara matematika realistik dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika siswa.

Kata kunci: pendidikan matematika realistik, pembelajaran kooperatif tipe STAD, gaya
kognitif, prestasi belajar.

Abstract
The purpose of this study was to determine 1) the effect of applying realistic mathematical
learning model to mathematics student’s achievement, 2) the inluence of cognitive style
on mathematics student’s achievement, 3) the interaction of realistic mathematical models
of learning and cognitive style on mathematics achievement of students of class VII irst
semester of SMP Negeri 1 Kediri. This study was an experimental research that using Posttest
Only Control Group Design, and involved a sample of 164 students. The data of cognitive
styles in this study was collected by tests of cognitive style, while learning achievement
data was collected by achievement tests in multiple choice form. The data in this study were
analyzed by TWO WAY ANOVA and then continued bay a sceffe test as advanced test. The
results show that 1) there is a signiicant effect of realistic mathematical learning model
for mathematics student’s achievement, 2) there is a signiicant effect of cognitive style on
mathematics student’s achievement, 3) the interaction of realistic mathematical learning
models and cognitive style on mathematics student’s achievement.

Key words: realistic mathematic education, cooperative learning with STAD type, cognitive
style, learning achievement.

1. Pendahuluan

M
atematika dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dapat dijadikan alat bantu manusia
untuk memahami dan menyelesaikan permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Andi
Nurmalia (2012:1) menjelaskan bahwa pentingnya belajar matematika tidak lepas dari
peran matematika dalam segala jenis dimensi kehidupan, seperti banyaknya persoalan kehidupan
yang memerlukan kemampuan menghitung dan mengukur. Dalam kurikulum berbasis kompetensi
dijelaskan bahwa untuk mampu hidup di tengah-tengah persaingan dunia sekarang ini diperlukan
sumber daya manusia yang handal dan memiliki keterampilan yang tinggi, memiliki pemikiran

151
Buku Prosiding Seminar Nasional

kritis, sistematis, kreatif, dan kemampuan bekerjasama yang efektif (Depdiknas, 2001:1). Cara
berpikir semacam ini dapat dikembangkan melalui pendidikan matematika. Hal ini sangat
memungkinkan karena matematika memiliki struktur dengan keterkaitan yang kuat dan jelas
dengan mengembangkan pola pikir yang bersifat deduktif dan konsisten (Depdiknas, 2001:1).
Melihat pentingnya penguasaan matematika dalam peningkatan mutu sumber daya manusia
dan manfaatnya dalam kehidupan keseharian, sudah sewajarnya sejak sekolah dasar dan bahkan
sejak taman kanak-kanak pelajaran matematika mulai diperkenalkan untuk membekali peserta
didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan
bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan
memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang
selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di
masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Dengan demikian tujuan
pembelajaran matematika pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah memberi
penekanan pada penataan nalar, pembentukan sikap positif siswa, dan keterampilan siswa dalam
menerapkan matematika (Depdiknas, 2007).
Mengingat begitu pentingnya matematika di sekolah seperti yang disebutkan di atas,
seyogyanya matematika merupakan salah satu pelajaran yang digemari oleh siswa. Kenyataannya,
keluhan dan kekecewaan terhadap hasil belajar yang dicapai siswa dalam matematika hingga
kini masih sering diungkapkan. Siswa masih beranggapan bahwa matematika merupakan
pelajaran yang sulit dan membosankan, tidak menarik, dan bahkan penuh misteri. Pelajaran
matematika dirasakan sukar, gersang, dan tidak tampak kaitanya dengan kehidupan sehari-
hari. Menurut Suharta (2004) karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat
abstrak. Sifat abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam belajar
matematika. Hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor diantaranya, siswa mengalami masalah
secara komprehensif atau secara parsial dalam matematika. Selain itu, pembelajaran matematika
belum bermakna. Pembelajaran sejauh ini belum melibatkan siswa secara aktif dalam penemuan
konsep sehingga terkesan monoton dan timbul kejenuhan pada siswa. Siswa kurang diberikan
kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide matematika berdasarkan
pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari. Van De Heuvel-Penhuizen seperti dikutip
Muhamad Nur (2001) mengatakan bahwa bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman
mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika. Hal
tersebut cenderung berdapak pada rendahnya prestasi belajar matematika siswa.
Menurut Kurniawan (2012) terdapat banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar tidak terlepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhi proses belajar itu sendiri. Winkel (1998) mengungkapkan bahwa faktor-faktor
tersebut adalah faktor dari luar siswa (eksternal) dan faktor dari dalam diri siswa (internal). Faktor
eksternal terdiri atas lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Lingkungan keluarga mencakup perhatian dan dukungan orang tua, hubungan antar anggota
keluarga, dan kondisi sosial ekonomi. Lingkungan sekolah mencakup hubungan antara siswa
dengan siswa, siswa dengan guru. Jika guru menunjukkan sikap sopan, hangat, dan sabar kepada
siswa, serta mampu memilih dan menggunakan metode pembelajaran dengan baik, maka siswa
akan merasa senang dalam belajar. Lingkungan masyarakat mencakup media massa, teman
bergaul, kegiatan dalam masyarakat, dan pola hidup lingkungan. Faktor internal adalah faktor
yang datang dari dalam individu itu sendiri, yang terdiri atas faktor isiologis dan faktor psikologis.
Faktor isiologis meliputi kondisi isik secara umum dan kondisi panca indra. Faktor psikologi
meliputi intelegensi, bakat, motivasi, perasaan, kecemasan, sikap dan minat.
Dari uraian tersebut, salah satu faktor ekternal yang mempengaruhi prestasi belajar adalah
faktor sekolah, yang mencakup metode pembelajaran. Sehingga agar prestasi dapat optimal,
maka guru harus dapat menentukan dan memilih metode mengajar yang tepat dan mengelolanya
dengan baik. Sedangkan faktor internal yang harus diperhatikan seorang guru adalah kemampuan

152
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

awal yang dimiliki siswa sebelum mengikuti pelajaran. Dengan demikian prestasi belajar siswa
di sekolah dipengaruhi oleh berbagi faktor dan merupakan interaksi dari faktor-faktor tersebut.
Untuk itu, agar tercapai prestasi belajar matematika yang diharapkan, maka faktor-faktor tersebut
harus dapat dikelola dengan baik.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk dapat membantu meningkatkan prestasi belajar
siswa seperti, penerapan model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok,
dimana setiap siswa dalam kelompok memiliki tingkat kemampuan yang berbeda-beda (siswa
berkemampuan tinggi, rendah, sedang). Model pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja
sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan kemampuan, pengetahuan, dan
ketrampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Slavin (1995) pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok. Siswa dalam satu kelas
dijadikan kelompok-kelompok yang terdiri dari 4 sampai 5 orang untuk memahami konsep yang
difasilitasi oleh guru. Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dengan setting
kelompok-kelompok kecil dengan memperhatikan keberagaman anggota kelompok sebagai
wadah siswa bekerjasama dan memecahkan suatu masalah melalui interaksi sosial dengan teman
sebayanya, memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mempelajari sesuatu dengan baik
pada waktu yang bersamaan, dan ia menjadi nara sumber bagi teman yang lain.
Terdapat bermacam-macam tipe dalam model pembelajaran kooperatif, salah satunya
adalah pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achiviment Division). Pembelajaran
kooperatif tipe STAD menekankan pada proses menumbuh-kembangkan kemampuan kerja
sama untuk menyelesaikan suatu permasalahan, membantu siswa berikir kritis dan teoritis
dalam memecahkan permasalahan-permasalahan dan dalam mengembangkan sikap sosial
siswa. Dalam hal ini siswa yang mempunyai kemampuan pemahaman yang lebih tinggi bisa
membantu temannya untuk memberikan penjelasan tentang materi pelajaran kepada siswa lain
yang mempunyai kemampuan sedang dan rendah dalam satu kelompok belajar, sehingga terjadi
interaksi dan kolaborasi antara siswa yang satu dengan siswa yang lain dalam kelompok tersebut
untuk memahami materi pelajaran.
Selain menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD, upaya lain juga dapat
dilakukan untuk membantu siswa meningkatkan prestasi belajarnya adalah pendidikan
matematika realistik (PMR). Pembelajaran ini dilandasi oleh konsep Feudenthal (dalam suharta,
2004) yaitu matematika harus dihubungkan dengan kenyataan, berada dekat dengan siswa,
relevan dengan kehidupan masyarakat, dan materi-materi dalam pembelajaran matematika harus
dapat ditransmisikan sebagai aktivitas manusia. Pendidikan matematika realistik (PMR) adalah
suatu teori dalam pendidikan matematika yang dikembangkan pertama kali di negeri Belanda.
Teori ini berdasarkan pada ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus
dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber
pengembangan dan sebagai area aplikasi melalui proses matematisasi baik horizontal maupun
vertikal (Suharta, 2004). PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk
Matapelajaran matematika.
De Lange (1987) menyatakan bahwa PMR mempunyai lima karakteristik yaitu: (1)
menggunakan masalah realistik (masalah realistik sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak dari
mana matematika yang diinginkan dapat muncul), (2) menggunakan model atau jembatan
(perhatian diarahkan pada pengembangan model, skema, dan simbolisasi), (3) menggunakan
kontribusi siswa (kontribusi yang besar pada proses pembelajaran diharapkan dari kontruksi siswa
sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal ke arah yang lebih formal atau standar),
(4) interaktivitas (negosiasi secara eksplisit, intervensi, kooperatif, dan evaluasi sesama siswa dan
guru adalah faktor penting dalam proses belajar secara konsruktif dimana strategi informal siswa
digunakan sebagai jantung untuk mencapai yang formal), (5) integrasi dengan topik pembelajaran
lainnya (holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak dapat tercapai secara terpisah tetapi
keterkaitan dan keterintegrasian harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah).

153
Buku Prosiding Seminar Nasional

Menurut Traffers (1991) ada dua jenis matematisasi yaitu matematisasi horisontal dan
vertikal. Matematisasi horisontal berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
sebelumnya bersama intuisi mereka sebagai alat untuk menyelesaikan masalah dari dunia nyata,
sedangkan matematisasi vertikal berkaitan dengan proses organisasi kembali pengetahuan yang
telah diperoleh dengan simbol-simbol matematika yang lebih abstrak. Ardana (2007) mengatakan
bahwa matematisasi horisontal merujuk pada proses transformasi masalah (dari masalah realistik
ke masalah matematika atau dari masalah informal ke masalah formal). Dengan kata lain, proses
menghasilkan pengetahuan (konsep, prinsip, model) matematis dari masalah realistik termasuk
matematisasi horisontal. Sedangkan matematisasi vertikal adalah proses dalam matematika itu
sendiri (menyelesaikan masalah matematika secara formal). Dengan kata lain proses matematisasi
vertikal menghasilkan konsep, prinsip, model matematis baru dari pengetahuan matematika.
Sehingga dapat dikatakan matematisasi horisontal adalah proses matematisasi dari dunia nyata
siswa ke dunia matematika, sedangkan proses matematisasi vertikal adalah proses yang terjadi di
dalam matematika itu sendiri.
Selain proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran inovatif secara
umum, guru juga harus memperhatikan berbagai macam karakteristik yang dimiliki siswa.
Gaya kognitif merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pembelajaran.
Sehubungan dengan hal itu guru harus mengetahui tabiat, kecenderungan, kebiasaan, perasaan,
dan gaya kognitif anak-anak sehingga guru tidak salah dalam membelajarkan siswa. Ada beberapa
pengertian tentang gaya kognitif (cognitive styles) yang dikemukakan oleh beberapa ahli, namun
pada prinsipnya pengertian tersebut relatif sama. Thomas (1990:610) mengemukakan bahwa
cognitive styles merujuk pada cara seseorang memproses informasi dan menggunakan strategi
untuk menanggapi suatu tugas. Woolfolk (1993:128) mengemukakan bahwa cognitive styles
adalah bagaimana seseorang menerima dan mengorganisasikan informasi dari dunia sekitarnya.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan cognitive styles
adalah cara seseorang dalam memproses, menyimpan, maupun menggunakan informasi untuk
menanggapi suatu tugas atau menanggapi berbagai jenis situasi lingkungannya.
Menurut Thomas (1990) implikasi gaya kognitif berdasarkan perbedaan psikologis pada
siswa dalam pembelajaran adalah sebagai berikut: siswa yang memiliki gaya kognitif ield-
independent cenderung memilih belajar individual, menanggapi dengan baik, dan bebas (tidak
tergantung pada orang lain). Mereka dapat mencapai tujuan dengan motivasi intrinsik, dan
cenderung bekerja sendiri.
Menurut Liu dan Ginter (1999) ciri-ciri individu ield independent dalam belajar, yaitu 1)
memfokuskan diri pada materi kurikulum secara rinci; 2) memfokuskan diri pada fakta dan prinsip;
3) jarang melakukan interaksi dengan guru; 4) interaksi formal dengan guru hanya dilakukan
untuk mengerjakan tugas, dan cenderung memilih penghargaan secara individu; 5) lebih suka
bekerja sendiri; 6) lebih suka berkompetisi; dan 7) mampu mengorganisasikan informasi secara
mandiri.
Kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa yang memiliki gaya kognitif ield-
independent belajar secara maksimal menurut Musser (1997) antara lain: (1) pembelajaran yang
menyediakan lingkungan belajar secara individual; (2) disediakan lebih banyak kesempatan untuk
belajar dan menemukan sendiri suatu konsep atau prinsip; (3) disediakan lebih banyak sumber
dan materi belajar; (4) pembelajaran yang hanya sedikit memberikan petunjuk dan tujuan; (5)
mengutamakan instruksi dan tujuan secara individual; (6) disediakan kesempatan untuk membuat
ringkasan, pola, atau peta konsep berdasarkan pemikirannya.
Siswa yang memiliki gaya kognitif ield-dependent cenderung memilih belajar dalam
kelompok dan sesering mungkin berinteraksi dengan guru, memerlukan ganjaran/penguatan yang
bersifat ekstrinsik. Untuk siswa dengan gaya kognitif ield-dependent ini guru perlu merancang
apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Mereka akan bekerja kalau ada tuntunan
guru dan motivasi yang tinggi berupa pujian dan dorongan.

154
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Ciri-ciri individu ield dependent dalam belajar menurut Liu and Ginter (1999), yaitu 1)
menerima konsep dan materi secara umum; 2) agak sulit menghubungkan konsep-konsep dalam
kurikulum dengan pengalaman sendiri atau pengetahuan awal yang telah mereka miliki; 3)
suka mencari bimbingan dan petunjuk guru; 4) memerlukan hadiah atau penghargaan untuk
memperkuat interaksi dengan guru; 5) suka bekerjasama dengan orang lain dan menghargai
pendapat serta perasaan orang lain; 6) lebih suka bekerjasama daripada bekerja sendiri; 7) lebih
menyukai organisasi materi yang disiapkan oleh guru.
Kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa yang memiliki gaya kognitif ield
dependent, agar dapat belajar secara maksimal menurut Musser (1997) antara lain 1) belajar
secara kelompok atau belajar dalam lingkungan sosial; 2) diberi lebih banyak petunjuk secara
jelas dan eksplisit; 3) disediakan strategi tertentu sebelum melakukan suatu instruksi; dan 4)
disajikan lebih banyak umpan balik.
Berdasarkan hal tersebut guru perlu menyesuaikan strategi mengajar dengan gaya kognitif
yang dimiliki siswa. Penyesuaian yang dilakukan guru dalam pembelajaran dapat memudahkan
siswa memproses dan mengorganisasikan informasi atau konsep, baik itu konsep yang diajarkan
guru maupun konsep yang didapat dari pengalaman siswa itu sendiri. Penerapan model
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik yang dimiliki siswa dapat memberikan kesempatan
kepada siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran matematika, menemukan
konsep yang tepat untuk menyelesaikan suatu permasalahan, menentukan keterkaitan antar konsep
yang mereka temukan serta memberikan pengalaman belajar yang baru sehingga pembelajaran
menjadi bermakna bagi siswa. Kemampuan siswa dalam menerima, mengelola dan menggunakan
informasi atau konsep hendaknya menjadi pertimbangan dalam menentukan model pembelajaran
yang tepat untuk digunakan dalam pembelajaran matematika. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa penentuan model pembelajaran yang dapat memberikan perlakuan yang sesuai dengan
karakteristik yang dimiliki siswa dapat membantu siswa untuk lebih memahami konsep-konsep
yang dipelajarai dalam pembelajaran matematika, sehingga dapat membantu meningkatkan
prestasi belajar matematika siswa. Atas dasar ini, peneliti merasa perlu meneliti tentang pengaruh
penerapan model pembelajaran matematika realistik (PMR) dan gaya kognitif terhadap prestasi
belajar matematika siswa kelas VII Semester I SMP Negeri 1 Kediri Tahun Pelajaran 2012/2013.
Tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui pengaruh pendidikan matematika realistik
(PMR) terhadap prestasi belajar matematika siswa, 2) Untuk mengetahui pengaruh gaya kognitif
terhadap prestasi belajar matematika siswa, 3) Untuk mengetahui ada tidaknya interaksi antara
pendidikan matematika realistik (PMR) dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika
siswa.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan eksperimen semu (quasy experiment) terhadap siswa-siswa dalam
suatu kelas. Rancangan eksperimen yang dugunakan adalah posttest-only control group design.
Dalam menetapkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan secara acak terhadap
kelas-kelas yang ada. Kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa pendidikan matematika
realistik (PMR), sedangkan kelompok kontrol diberi perlakuan berupa model pembelajaran
kooperatif tipe STAD. Dalam jangka waktu tertentu, kemudian kedua kelompok dikenai
pengukuran yang sama. Perbedaan hasil pengukuran merupakan akibat dari perlakuan. Rancangan
penelitian ini disajikan dalam gambar berikut.

Kelompok Perlakuan Post test


Kontrol X1 OK
Eeksperimen X2 OE

155
Buku Prosiding Seminar Nasional

Keterangan :
X1 = Model pembelajaran kooperatif tipe STAD
X2 = Pendidikan matematika realistik
OE = Hasil belajar matematika kelompok eksperimen
OK = Hasil belajar matematika kelompok control

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII semester I SMP Negeri 1
Kediri, sebanyak sembilan kelas dengan jumlah keseluruhan siswa adalah 375 orang. Untuk lebih
meyakinkan bahwa semua kelas merupakan kelas yang setara, peneliti melakukan uji F untuk
mengetahui ada tidaknya perbedaan rata-rata skor prestasi belajar matematika pada seluruh kelas
tersebut. Sampel dalam penelitian ini ditetapkan 4 kelas yang setara yaitu kelas VIIA dan VIIB
yang berjumlah 78 orang siswa sebagai kelompok eksperimen dan kelas VIIC dan VIID yang
berjumlah 86 orang siswa sebagai kelompok kontrol.
Berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, data tentang gaya kognitif
siswa diperoleh dengan menggunakan tes gaya kognitif. Data prestasi belajar matematika siswa
diperoleh dengan menggunakan tes objektif dalam bentuk pilihan ganda, yang telah diuji cobakan
dan dikonsultasikan kepada ahli (expert judgement), dan dianalisis validitas tes, reliabilitas tes,
daya pembeda, dan tingkat kesukaran tes.
Pengujian persyaratan analisis dilakukan sebelum mengkaji hipotesis yaitu uji normalitas
sebaran data dan uji homogenitas varians dengan menggunakan bantuan SPSS.11.5 for windows.
Untuk melakukan uji hipotesis menggunakan uji ANAVA dua jalur, yang bertujuan untuk
mengetahui 1) apakah terdapat pengaruh pendidikan matematika realistik (PMR) terhadap
prestasi belajar matematika siswa, 2) apakah terdapat pengaruh gaya kognitif terhadap prestasi
belajar matematika siswa, 3) apakah terdapat interaksi antara pendidikan matematika realistik
(PMR) dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika siswa.

3. Pembahasan Hasil
Berdasarkan hasil analisis data dapat ditemukan hal-hal berikut. 1) terdapat perbedaan
prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti pendidikan matematika realistik (PMR)
dengan prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe
STAD ( > pada taraf signiikansi
5%). Kelompok siswa yang mengikuti pendidikan matematika realistik (PMR) memiliki rata-rata
skor prestasi belajar matematika sebesar 73,487. Sedangkan kelompok siswa yang mengikuti
model pembelajaran kooperatif tipe STAD memiliki rata-rata skor prestasi belajar matematika
sebesar 58,023. Hal itu menunjukkan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti
model pembelajaran matematika realistik lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa
yang mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe STAD. 2) terdapat perbedaan prestasi
belajar matematika siswa yang memiliki gaya kognitif ield independent dan gaya kognitif
ield dependent ( > pada taraf
signiikansi 5%). Kelompok siswa yang memiliki gaya kognitif ield independent memiliki rata-
rata skor prestasi belajar matematika sebesar 64,047. Sedangkan kelompok siswa yang memiliki
gaya kognitif iled dependent memiliki rata-rata skor prestasi belajar matematika sebesar 62,506.
Hal ini menunjukkan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang memiliki gaya kognitif
ield independent lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang memiliki gaya
kognitif ield dependent. 3) terdapat interaksi antara pendidikan matematika realistik (PMR)
dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika siswa (
pada taraf signiikansi 5%).
Ketiga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima, setelah dilakukan
analisis dengan ANAVA dua jalur. Pengujian ketiga hipotesis yang diajukan pada penelitian
ini telah menghasilkan rincian hasil uji hipotesis dengan pembahasan bahwa 1) prestasi belajar
matematika siswa yang mengikuti pendidikan matematika realistik lebih baik daripada prestasi

156
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

belajar matematika siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe STAD, 2) prestasi
belajar matematika siswa yang memiliki gaya kognitif ied independent lebih baik daripada
prestasi belajar siswa yang memiliki gaya kognitif ield dependent, 3) terdapat interaksi antara
pendidikan matematika realistik dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika siswa.
Proil interaksi antara Pendekatan pembelajaran (pendidikan matematika realistik dan kooperatif
tipe STAD) dengan gaya kognitif (ield dependent dan ield independent) terhadap prestasi belajar
matematika siswa disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Proil Interaksi Model Pembelajaran dengan Gaya Kognitif terhadap Pencapaian Prestasi
Belajar Matematika Siswa

Berdasarkan Gambar 1. tampak bahwa interaksi yang terjadi antara pendidikan matematika
realistik dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika siswa merupakan interaksi
ordinal (tidak bersilangan). Pengaruh perlakuan yang diberikan (pendidikan matematika realistik)
terhadap peningkatan prestasi belajar siswa bergantung gaya kognitif siswa. Dengan kata lain,
peningkatan prestasi belajar matematika siswa yang dihasilkan oleh kedua kelompok sampel
tidak hanya akibat dari perlakuan (pendidikan matematika realistik) yang diberikan, melainkan
terdapat faktor lain yang mempengaruhi yaitu gaya kognitif yang dimiliki siswa (ield dependent
dan ield independent). Berdasarkan Gambar 1. juga dapat dikatakankan bahwa walaupun terjadi
interaksi antara pendidikan matematika realistik dan gaya kognitif, tetapi peningkatan prestasi
belajar matematika untuk siswa ield dependent maupun ield independent yang belajar dengan
pendidikan matematika realistik masih lebih baik daripada siswa yang belajar dengan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD. Dengan kata lain, pendidikan matematika realistik cocok
diterapkan dalam pembelajaran matematika untuk siswa yang memiliki gaya kognitif ield
dependent maupun siswa yang memiliki gaya kognitif ield independent.
Jika dilihat dari karakteristik siswa ield dependent yang cenderung suka bekerja kelompok,
memerlukan motivasi ekstrinsik, memerlukan banyak bimbingan dari guru, maka siswa yang
memiliki gaya kognitif ield dependent akan memperoleh prestasi belajar yang lebih optimal
ketika dibelajarkan dengan model pembelajaran yang mengutamakan adanya kerja kelompok.
Dengan kata lain siswa yang memiliki gaya kognitif ield dependent seharunya cocok dibelajarkan
dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Namun, berdasarkan hasil penelitian ini
menunjukkan prestasi belajar matematika siswa yang memiliki gaya kognitif ield dependent yang
dibelajarkan dengan pendidikan matematika realistik (PMR) lebih baik dari pada prestasi belajar
matematika siswa yang memiliki gaya kognitif ield dependent yang dibelajarakan dengan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, hal ini disebabkan
oleh terjadinya diskusi kelompok antara siswa yang satu dengan siswa lain yang duduk berdekatan
(teman sebangku). Pada saat pembelajaran di kelas, tidak dilakukan perubahan formasi tempat

157
Buku Prosiding Seminar Nasional

duduk. Setiap satu bangku ditempati oleh dua orang siswa sehingga dalam penerapan pendidikan
matematika realistik (PMR) tidak dapat dihindarkan terjadinya diskusi.
Penelitian ini membuktikan bahwa keefektifan suatu model pembelajaran dalam meningkatkan
prestasi belajar matematika siswa berkaitan dengan karakteristik yang dimiliki siswa yaitu gaya
kognitif ield dependent dan ield independent. Berdasarkan hal tersebut, maka implikasi yang
dapat diberikan adalah sebagai berikut. Pertama, keefektifan jalannya pembelajaran dalam
meningkatkan prestasi belajar siswa dapat dibantu dengan mempertimbangkan, memperhatikan,
dan menyertakan karakteristik yang ada pada siswa yaitu gaya kognitif siswa. Kedua, pendidikan
matematika realistik merupakan kondisi yang sesuai bagi siswa yang memiliki gaya kognitif
ield independent dalam meningkatkan prestasi belajar. Dalam pendidikan matematika realistik,
siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran dan menganalisis permasalahan yang terdapat dalam
kehidupan sehari-hari merupakan tantangan bagi siswa yang memiliki gaya kognitif ield
independent. Motivasi intrinsik yang dimiliki oleh siswa ield independent menyebabkan siswa
tersebut memiliki kemampuan untuk belajar secara mandiri tanpa menunggu perintah guru. Peran
guru dalam hal ini hanya sebagai fasilitator dan mediator. Ketiga, dengan menerapkan model
pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa baik
siswa yang memiliki gaya kognitif ield dependent maupun siswa yang memiliki gaya kognitif
ield independent. Hal ini didasarkan atas hasil penelitian yang menunjukkan bahwa walaupun
terjadi interaksi antara model pembelajaran matematika realistik dengan gaya kognitif, tetapi
secara deskriptif proil interaksi menunjukkan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang
memiliki gaya kognitif ield dependent dan ield independent untuk kelompok siswa yang belajar
dengan model pembelajaran matematika realistik lebih baik daripada siswa yang mengikuti model
pembelajaran kooperatif tipe STAD.

4. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan temuan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa: 1)
Terdapat pengaruh pendidikan matematika realistik (PMR) terhadap prestasi belajar matematika
siswa. Model pembelajaran matematika realistik (PMR) lebih baik daripada model pembelajaran
kooperatif tipe STAD, 2) Terdapat pengaruh gaya kognitif (ield dependent dan ield independent)
terhadap prestasi belajar matematika siswa, 3) Terdapat interaksi antara pendidikan matematika
realistik (PMR) dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika siswa.
Beberapa saran terkait dengan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) pendidikan
matematika realistik (PMR) perlu diperkenalkan kepada guru bidang studi matematika sebagai
pendekatan alternatif melalui kegiatan-kegiatan seminar, pelatihan-pelatihan maupun dalam
pertemuan MGMP. Kepada teman-teman guru, khususnya guru matematika, disarankan untuk
mencoba menggunakan pendidikan matematika realistik (PMR), karena telah terbukti dapat
meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. 2) Guru perlu melakukan identiikasi terhadap
permasalahan-permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan materi pelajaran
matematika. 3) Untuk dapat menerapkan langkah-langkah pendidikan matematika realistik
(PMR) dengan baik, maka perlu dilakukan pemilihan materi yang cocok dengan karakteristik
pendidikan matematika realistik. 4) Guru perlu memperhatikan gaya kognitif yang dimiliki
masing-masing siswa dalam kelas dan memahami kelebihan serta kekurangan masing-masing
gaya kognitif (ield dependent dan ield independent). 5) Guru perlu melakukan pembagian
kelompok siswa yang heterogen antara siswa yang memiliki gaya kognitif ield dependent dan
ield independent. Pengelompokan siswa yang heterogen ini dimaksudkan agar siswa yang
memiliki gaya kognitif ield dependent mampu berinteraksi dengan siswa yang memiliki gaya
kognitif ield independent. 6) Guru perlu memberikan perhatian lebih pada siswa yang memiliki
gaya kognitif ield dependent terutama saat melakukan pembelajaran dengan model pembelajaran
inovatif. Siswa yang memiliki gaya kognitif ield dependent perlu lebih banyak dituntun pada
kegiatan-kegiatan yang memerlukan analisa. 7) Perlu dikaji kembali terkait dengan keefektifan

158
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

pendidikan matematika realistik (PMR), mengingat implementasi pendidikan matematika


realistik (PMR) pada siswa yang berkemampuan relatif menengah kebawah belum optimal. Para
peneliti yang berminat dapat mengkaji keefektifan pendidikan matematika realistik (PMR) pada
tingkat kemampuan siswa yang berbeda, untuk mengetahui pada kondisi siswa yang bagaimana
model pembelajaran matematika realistik dapat memberikan hasil yang lebih optimal. Selain itu,
dalam mengimplementasikan pendidikan matematika realistik (PMR) perlu mempertimbangkan
pengetahuan awal siswa agar pembelajaran dapat berlangsung lebih efektif. 8) Guru perlu
memperhatikan setting kelas yang sesuai untuk melaksanakan pendidikan matematika realistik
(PMR) untuk menghindari terjadinya diskusi antar siswa sehingga hasil belajar yang dicapai
memang benar-benar mencerminkan kemampuan siswa itu sendiri setelah proses pembelajaran
berlangsung. 9) Penelitian ini dilakukan pada sampel yang terbatas. Para peneliti lain yang tertarik
disarankan untuk melakukan penelitian terhadap sampel yang lebih banyak, tingkat kelas yang
lebih beragam, dan diharapkan hasil penelitian yang lebih akurat sehingga dapat dipergunakan
untuk mengambil suatu kebijakan

5. Daftar Pustaka

Ardana, I M. (2007). Pendidikan Matematika Realiatik Indonesia (PMRI). Makalah. Disampaikan


pada Seminar Nasional Matematika Regional Bali November 2007 di Undiksha Singaraja.

De Lange, (1987). Mathematics Insight an Meaning. Utrecht: Ow & Oc

Depdiknas, (2001). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdikbud.

Depdiknas, (2007). Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Kurniawan, B. (2012). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah dan Asesmen Otentik


Terhadap Prestasi belajar Matematika ditinjau dari Keterampilan berikir kritis. Tesis
(tidak diterbitkan). Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.

Liu, Y & Ginter, D. (1999). Codnitive stylesand distance education. http://www.westga.edu/-


distance/liu23.html. Diakses tanggal 12 Desember 2012.

Musser, T. (1997). Individual difference-indefference affects learners. http://www.personal.psu.


edu/staff/t/x/txm4/paper1.html. Diakses tanggal 12 desember 2012

Nur, M. (1998). Pendekatan Konstruktivis dalam Pembelajaran.Surabaya:IKIP Surabaya.

Nurmalia, A. (2012). Pengaruh Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan Penalaran Formal
Siswa Terhadap Prestasi Belajar Siswa. Tesis (tidak diterbitkan). http://jurnalarupalakka.
blogspot.com/2012/06/pengaruh-pembelajaran-matematika.html diakses tanggal 22
februari 2013

Suharta, I G.P. (2004). Pembelajaran Pecahan di Sekolah Dasar dengan Menggunakan


Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi. Tidak Dipublikasikan. Surabaya: UNESA.

Traffers, (1991). “Didactical Background of a Mathematics Program for Primary Education”.


Realistic mathematics Education in Primary School. Utrecht: Freudenthal Institute.

Winkel, (1998). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

159
160
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA
KELAS X RPL SMK NEGERI 2 TABANAN MENGGUNAKAN
APLIKASI GEOGEBRA

Ni Wayan Dian Permana Dewi


Pendidikan Matematika, FPMIPA, IKIP Saraswati, Tabanan, Bali
theyan_devil1@yahoo.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar matematika SMK kelas
X jurusan Rekayasa Perangkat Lunak pada SMK Negeri 2 Tabanan. Penelitian ini merupakan
penelitian tindakan kelas yang terdiri dari dua siklus, tiap siklus terdiri dari perencanaan,
tindakan, observasi dan releksi. Data penelitian ini diperoleh dari tes, observasi, angket,
dan dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan ketuntasan belajar
Matematika dengan menggunakan Aplikasi Geogebra. Hal ini dibuktikan dengan data yang
diperoleh pada releksi awal ketuntasan hasil belajar siswa hanya mencapai 47,22%. Setelah
dilakukannya penelitian, pada tindakan siklus I, hasil belajar siswa mengalami peningkatan
mencapai 72,22%, dan pada siklus II meningkat kembali mencapai 91,67%. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan aplikasi geogebra dapat
meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas XI RPL SMK Negeri 2 Tabanan Pada
Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015.

Kata kunci: pembelajaran matematika, geogebra, hasil belajar

Abstract
This study aims to determine the learning outcome math class X SMK majoring in Software
Engineering at SMK Negeri 2 Tabanan. This research is a class act consisting of two
cycles, each cycle consisting of planning, action, observation and relection. This research
data obtained from the tests, observations, questionnaires, and documentation. Analysis
of the data in this study using a qualitative descriptive approach. The results of this study
showed an increased mastery learning Mathematics with Applications using GeoGebra. This
is evidenced by the data obtained on the thoroughness of the early relections of student
learning outcomes only reached 47.22%. After doing research, on the actions of the irst
cycle, the learning outcomes of students has increased reaching 72.22%, and the second cycle
increased again reached 91.67%. Based on these results it can be concluded that the use of
GeoGebra application can improve learning outcomes RPL math class XI student of SMK
Negeri 2 Tabanan In Semester Academic Year 2014/2015.

Keywords : mathematics, GeoGebra, learning outcomes

1. Pendahuluan

B
elajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar
individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan
proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar juga proses melihat, mengamati
dan memahami sesuatu. Belajar matematika bagi siswa merupakan pembentukan pola pikir
dalam memahami suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan diantara pengertian
tersebut (Erman Suherman, 2003; 56). Upaya tersebut dapat dilakukan diantaranya melalui
perbaikan pembelajaran.
Berdasarkan pengamatan peneliti dan informasi guru Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) menunjukkan bahwa kebanyakan siswa (mendekati 90%) mengalami kesulitan dalam

161
Buku Prosiding Seminar Nasional

menyelesaikan soal-soal pada materi sistem persamaan linier. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-
larut, maka akan semakin banyak siswa mengalami kesulitan memahami konsep matematika
khususnya pada materi sistem persamaan linier. Apabila kita cermati, hal ini mengindikasikan
bahwa hasil belajar siswa masih sangat rendah. Sistem persamaan linear merupakan salah satu
materi yang sering dirasakan sulit oleh siswa, tetapi materi ini sangat esensial dalam belajar
matematika dan banyak aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.. Dalam hal inilah perlu
diinovasikan alat bantu pembelajaran yang lebih memacu siswa untuk tertarik terhadap pelajaran
matematika, terutama terkait dengan perubahan kurikulum yang telah ditetapkan.
Perubahan inovasi pembelajaran sudah sepatutnya sarana TIK (Teknologi Informasi dan
Komunikasi) diintegrasikan dalam poses pembelajarn. Dalam hal ini Sarana TIK yang digunakan
berupa program Aplikasi Geogebra. Program tersebut akan sangat berguna untuk membantu
mengenal konsep sistem persamaan linier dan memeriksa kebenaran jawaban dari soal-soal yang
berkaitan dengan sistem persamaan linier.
Ketika proses pembelajaran matematika sedang berlangsung, tidak semua siswa dapat
merespon pembelajaran dengan baik. Proses pembelajaran matematika malah dimanfaatkan
siswa untuk melakukan aktivitas lain. Ketika proses pembelajaran berlangsung, terlihat perhatian
siswa berkurang (tidak lagi fokus), bersamaan dengan berlalunya waktu hal tersebut dapat dilihat
dengan adanya siswa yang asik berbincang-bincang (mengobrol di luar konteks pembelajaran)
dengan teman sebelahnya dan siswa yang tertidur di saat pembelajaran sedang berlangsung.
Karena pembelajaran matematika dianggap kurang begitu menarik bagi siswa yang mengakibatkan
proses pembelajaran menjadi tidak kondusif yang berdampak pada rendahnya hasil belajar
matematika siswa kelas X RPL SMK Negeri 2 Tabanan. Alokasi waktu yang tersedia pada mata
pelajaran. Dengan alokasi waktu yg disediakan, guru kurang memanfaatkan jam pelajaran untuk
memberikan materi dengan berbagai variasi sehingga tidak nampak adanya vasiasi atau media
yang digunakan saat proses pembelajaran berlangsung. Padahal pembelajaran dapat dilakukan
dengan berbagai bentuk maupun cara. Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus memiliki kiat
maupun seni untuk memadukan antara bentuk pembelajaran dan media yang digunakan salah
satunya menggunakan aplikasi Geogebra, sehingga mampu menciptakan proses pembelajaran
yang harmonis.
Berdasarkan permasalahan yang telah diungkapkan di atas, untuk itu perlu adanya solusi
kongkrit untuk memecahkan masalah tersebut sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Tugas guru dalam hal ini adalah menggunakan pendekatan mengajar yang berorientasi pada media
pembelajaran, salah satunya menggunakan aplikasi geogerba. Aplikasi ini akan sangat membantu
menentukan daerah penyelesaian dari sistem persamaan linier. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui peningkatan hasil belajar matematika SMK kelas X jurusan Rekayasa Perangkat
Lunak pada SMK Negeri 2 Tabanan.

2. Metode Penelitian
Rancangan dalam penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan
kelas model Kemmis dan Mc Taggart. Rancangan tersebut terdiri dari beberapa tahapan yaitu: 1)
Perencanaan, 2) Tindakan, 3) Observasi, dan 4) Releksi. Keempat tahapan tersebut dilaksanakan
dalam masing-masing siklus penelitian. Dari perencanaan pada siklus I, penelitian dilanjutkan ke
pelaksanaan tindakan siklus I, dalam pelaksanaan tindakan ini dilaksanakan juga tahap observasi
yang diakhiri dengan releksi dari siklus I itu sendiri. Berdasarkan hasil releksi dari siklus I
didapatkan data-data seperti hasil belajar, catatan-catatan selama pelaksanaan siklus, termasuk
juga kelemahan, kekurangan dan kendala yang ditemui dalam pelaksanaan siklus I. Berdasarkan
hal tersebut dibuatlah perencanan siklus II, segala macam kendala dan kekurangan yang ditemui
dalam pelaksanaan siklus I diperbaiki dalam perencanaan siklus II sehingga hasil yang didapatkan
nantinya akan menjadi lebih baik. Tahapan dalam pelaksanaan tindakan siklus II juga diperlakukan
sama seperti siklus I, yang terdiri dari perencanaan, kemudian melaksanakan hasil perencanaan

162
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

dalam tahap tindakan yang dilakukan bersamaan dengan observasi, kemudian diakhiri dengan
melaksanakan tahap releksi.
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas X RPL SMK Negeri 2 Tabanan Tahun
Pelajaran 2014/2015, dengan jumlah siswa dalam kelas tersebut adalah 36 anak yang terdiri dari
12 orang siswa laki-laki dan 24 orang siswa perempuan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Februari 2015 sampai dengan bulan April 2015 pada Tahun Pelajaran 2013/2014.
Dalam penelitian ini dipergunakan beberapa teknik untuk memperoleh data yang diperlukan.
Teknik tersebut antara lain:
1) Tes
Tes dilaksanakan untuk mengetahui perkembangan hasil belajar siswa melalui penggunaan
aplikasi geogebra dan dibandingkan dengan hasil belajar yang diperoleh sebelum dilaksanakan
penelitian.
2) Observasi
Observasi ini dilaksanakan untuk melihat sejauh mana aktivitas dan keaktifan siswa
dalam mengikuti proses pembelajaran. Aspek-aspek yang diobservasi dalam penelitian ini
terutama pada saat berjalannya proses pembelajaran seperti: 1) Keseriusan siswa mengikuti
pembelajaran, 2) Keaktifan dalam bertanya, menjawab dan menyatakan pendapat, 3) Motivasi
untuk belajar, 4) Kejujuran dalam mengerjakan soal, dan 5) Penampilan dalam presentasi.
3) Angket
Angket diberikan kepada siswa untuk memperoleh data terkait pelaksanaan pembelajaran
dengan menggunakan aplikasi geogebra. Angket ini juga berfungsi sebagai bahan releksi
tentang aktivitas guru dalam menerapkan media pembelajaran ini sehingga apa yang
diinginkan siswa dalam pembelajaran dan apa yang tidak disenangi siswa dapat terjawab.
4) Dokumentasi
Dokumentasi dipakai untuk mengumpulkan data-data seperti hasil belajar siswa melalui
daftar nilai yang telah disiapkan, lembar observasi, lembar angket, soal-soal tes, dan rencana
pembelajaran yang disiapkan.
Setelah semua data mentah diperoleh dalam pelaksanaan tindakan di masing-masing
siklus, data tersebut kemudian diolah untuk dapat disajikan dalam bentuk tabel dan graik. Hal ini
bertujuan untuk dapat melihat perkembangan dan peningkatan hasil di masing-masing siklus.
Untuk menghitung hasil belajar siswa yang didapatkan melalui tes dipergunakan rumus:

Keterangan:
N : Nilai tes siswa
r : Jumlah jawaban benar
n : Jumlah soal
Skor kelompok dihitung dengan merata-ratakan nilai individu (N) siswa dalam satu kelompok.
Prosentase ketuntasan hasil belajar didapatkan dengan rumus:

Keterangan:
% : Prosentase ketuntasan hasil belajar
t : Jumlah siswa tuntas
k : Jumlah siswa keseluruhan dalam kelas

Keaktifan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran ditentukan dengan menentukan modus
dari semua aspek observasi dengan ketentuan:

163
Buku Prosiding Seminar Nasional

Modus B : Siswa aktif dalam pembelajaran


Modus C : Siswa kurang aktif dalam pembelajaran
Modus K : Siswa kurang aktif dalam pembelajaran

1. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Dari pelaksanaan tindakan siklus I dengan menerapkan media pembelajaran berupa
aplikasi geogebra dalam pembelajaran matematika kelas X RPL SMK Negeri 2 Tabanan
didapatkan beberapa keterangan terkait hasil belajar dan aktiitas siswa selama proses pembelajaran
berlansung. Dari data yang diperoleh pada tahap releksi awal sebelum penelitian, siswa hanya
mampu menuntaskan hasil belajar sampai pada angka 47,22%. Kemudian setelah dilaksanakannya
penelitian ini pada siklus I terjadi peningkatan sebesar 25% menjadi 72,22%. Perkembangan nilai
klasikal antara tahap pra siklus dengan siklus I dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 1. Nilai Klasikal Pra Siklus dan Siklus I


Nilai
No Aspek Peningkatan
Pra Siklus Siklus I
1 Rata-rata Klasikal 69,31 77,78 8,47
2 Prosentase Ketuntasan (%) 47,22 72,22 25

Hal ini berbanding lurus dengan hasil observasi aktivitas siswa dalam pembelajaran. Dari 36
jumlah seluruh siswa di kelas RPL, 63,89% (23 orang siswa) tergolong aktif pada saat pembelajaran
berlangsung sehingga suasana pembelajaran matematika di kelas X RPL ini menjadi lebih hidup
daripada suasana sebelum penelitian yang tanpa menggunakan media pembelajaran. Pada saat
pelaksanaan siklus I ini terdapat beberapa kendala yang ditemui sehingga pembelajaran kurang
optimal. Beberapa kendala tersebut seperti:
1) Siswa kurang paham akan teknis pembelajaran menggunakan aplikasi geogebra
2) Dalam pembagian kelompok, siswa masih mencari teman yang tergolong pintar, sehingga
terjadi ketidakseimbangan antara kelompok satu dengan kelompok lain.
3) Beberapa siswa masih kebingungan menentukan daerah penyelesaian dari sistem persamaan
linier menggunakan aplikasi geogebra.
4) Sumber belajar yang dipakai masih terbatas.
Beberapa kendala tersebut dicarikan solusi pemecahannya agar dalam siklus II tidak muncul lagi
hal serupa sehingga hasil yang didapatkan lebih maksimal.

Laporan Siklus II
Penelitian ini dilanjutkan kepada siklus II setelah terlebih dahulu melakukan releksi pada
pelaksanaan siklus I. beberapa perbaikan dan penyempurnaan dilakukan dalam siklus II yang
mengacu pada hasil releksi yang diperoleh di siklus I. perbaikan-perbaikan tersebut seperti:
1) Mencari dari berbagai sumber tentang media pembelajaran menggunakan aplikasi geogebra
agar dalam menjelaskan kepada siswa tentang teknis pembelajaran siswa menjadi lebih
paham.
2) Dalam pembagian kelompok ditentukan oleh guru sendiri dengan membagi kelompok
secara heterogen untuk mendapatkan kemampuan yang merata antara kelompok satu dengan
kelompok lainnya.
3) Sub tema materi dibagikan secara acak sehingga tidak ada lagi kelompok yang mendapatkan
materi sama dengan kelompok lain.
4) Berkoordinasi dengan Kepala Perpustakaan SMA Negeri 1 Baturiti terkait literatur yang
dapat dipakai sebagai sumber dalam pembelajaran.
Ketuntasan hasil belajar siswa pada siklus II ini mencapai 91,67% meningkat 19,45% dari

164
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

ketuntasan yang diperoleh dari pelaksanaan siklus I. hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut
ini.

Tabel 02. Nilai Klasikal Siklus I dan Siklus II


Nilai
No Aspek Peningkatan
Siklus I Siklus II
1 Rata-rata Klasikal 77,78 82,50 4,72
2 Prosentase Ketuntasan (%) 72,22 91,67 19,45

Jika dibandingkan dengan hasil observasi yang telah dilakukan, penaikan ketuntasan hasil
belajar Matematika ini sejalan dengan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Yang awalnya
pada siklus I hanya 23 orang siswa tergolong aktif, dalam siklus II ini 34 orang siswa masuk
dalam kategori aktif dalam pembelajaran. Bisa dikatakan suasana pembelajaran antara sebelum
penelitian ini dilaksanakan berbeda jauh dengan setelah penelitian dilaksanakan, dimana siswa
menjadi lebih aktif mengikuti pembelajaran dan penguasaan siswa terhadap materipun menjadi
lebih baik.

Pembahasan
Pembelajaran dengan menerapkan model Group Investigation memang dapat memicu
siswa untuk lebih aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal tersebut dikarenakan model
pembelajaran ini memberikan siswa keleluasaan dalam belajar, siswa bebas mengekspresikan
teknik belajar mereka melalui diskusi kelompok dengan teman-temannya. Dalam penelitian
ini, terjadi perkembangan/peningkatan hasil belajar Matematika antara sebelum model Group
Investigation ini diterapkan dan sesudah model ini diterapkan dalam pembelajaran. Hal tersebut
dapat diperhatikan melalui tabel berikut :

Tabel 03. Nilai Klasikal Pra Siklus, Siklus I, dan Siklus II


Nilai
No Aspek
Pra Siklus Siklus I Siklus II
1 Rata-rata Klasikal 69,31 77,78 82,50
2 Ketuntasan Klasikal (%) 47,22 72,22 91,67

Untuk lebih jelasnya perbandingan hasil penelitian dari pra siklus (releksi awal), dengan siklus I
dan siklus II dapat dilihat melalui graik berikut ini :

Gambar 01. Perbandingan hasil pra siklus, siklus I, dan siklus II pada pembelajaran
matematika di kelas X RPL.

165
Buku Prosiding Seminar Nasional

Dari graik di atas dapat dilihat perkembangan ketuntasan hasil belajar Matematika di kelas
X RPL SMK Negeri 2 Tabanan terus mengalami peningkatan dari tahap pra siklus, siklus I, dan
siklus II. Pada tahap pra siklus ketuntasan hanya 47,22%, kemudian mengalami peningkatan
pada siklus I menjadi 72,22%, dan meningkat kembali pada siklus II menjadi 91,67%. Dari hasil
penelitian ini sudah dapat disimpulkan penggunaan media pembelajaran berupa aplikasi geogebra
dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa di kelas X RPL SMK Negeri 2 Tabanan Tahun
Pelajaran 2014/2015.

2. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, dapat disimpulkan penerapan
model pembelajaran Group Investigation dalam pembelajaran Matematika di kelas XI IPA 2 SMA
Negeri 1 Baturiti dapat meningkatkan hasil belajar Matematika siswa di kelas tersebut. Hal ini
dibuktikan dengan data ketuntasan hasil belajar pada penelitian ini dimana pada tahap pra siklus
siswa hanya mampu mencapai ketuntasan hasil belajar Matematika pada angka 47,22%. Setelah
dilaksanakan penelitian dengan menerapkan media pembelajaran berupa aplikasi geogebra, pada
siklus I ketuntasan hasil belajar siswa meningkat menjadi 72,22% dan pada siklus II menjadi
91,67%. Dengan kata lain, media pembelajaran ini sangat efektif untuk meningkatkan hasil
belajar matematika terutama di kelas X RPL SMK Negeri 2 Tabanan.

3. Daftar Pustaka

Abdussakir. (2010). Penggunaan Komputer untuk Pembelajaran Matematika. Tersedia pada


http://abdussakir.wordpress.com/2009/01/25/pembelajaran-geometri-dan-teori-van-
hiele/ (diakses tanggal 5 Mei 2013).

Depdiknas. (2013). Modul Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta : Kementrian
Pendidikan Nasional

Depdiknas. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 64


Tahun 2013 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta
: Kementrian Pendidikan Nasional

Depdiknas. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 65 Tahun
2013 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta :
Kementrian Pendidikan Nasional

Nieveen, N. (1999). Prototyping to Reach Product Quality. Jan Van den Akker, Robert Maribe
Braneh, Ken Gustafson, and Tjeerd Plomp (Ed), London: Kluwer Academic Plubishers

Plomp, dalam Proses siklik Model McKenney (Plomp, 2010). Metodelogi Penelitian.

Suherman, E. (2003). Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.

Sumardyono, (2004). Karakteristik Matematika Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran


Matematika. Yogyakarta : Depertemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar Dan Menengah Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika.

Susiantoro. (2007). Panduan Praktikum Teknologi Informasi dan Komunikasi. Kediri

166
PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING DALAM
PEMBELAJARAN IPA TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR
KREATIF (CREATIVE THINKING)

Putu Ayu Kusuma Dewi


Pendidikan Matematika, FPMIPA, IKIP Saraswati, Tabanan, Bali
e-mail: ayu.kusuma80@yahoo.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan keterampilan berpikir kreatif antara
siswa yang mengikuti model problem based learning dengan siswa yang mengikuti model
inkuiri terbimbing. Jenis penelitian ini adalah penelitian quasi experiment dengan desain
penelitian pretest posttest non-equivalent kontrol group design. Populasi penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Tabanan. Pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan teknik random sampling sehingga diperoleh 2 kelas sebagai kelas eksperimen
dan 2 kelas sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian berupa tes keterampilan berpikir
kreatif. Data dianalisis dengan menggunakan uji ANAVA. Hasil penelitian menunjukan
bahwa terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif siswa antara siswa yang belajar
menggunakan modell problem based learning dan model inkuiri terbimbing (F = 38,288 ; p
< 0,05)

Kata kunci: Problem Based Learning, Berpikir Kreatif

Abstract
This study aimed at analyzing the differences in creative thinking skill between the learning
of students who took the learning through problem based leaning model with students who
took the learning through guided inquiry model. This study was quasi experiment used pretest
posttest non-equivalent kontrol group design. The population of this study was the grade VIII
of SMP 3 Tabanan. The sample of this study used random sampling technique consisted of
two experimental groups and two kontrol groups. The research instruments was creative
thinking questioners. The data was analyzed by using ANAVA. The results of this study
was the differences in creative thinking skill between the learning of students who took the
learning through problem based leaning model with students who took the learning through
guided inquiry model (F = 38,288 ; p < 0,05).

Keywords: Problem Based Learning, Creative Thinking

1. Pendahuluan

P
endidikan adalah salah satu faktor yang merupakan kunci keberhasilan suatu bangsa.
Berpatokan pada visi dan misi pendidikan nasional dapat disimpulkan bahwa di era
globalisasi seperti sekarang ini tidak hanya dituntut pada aspek pengetahuan saja namun
aspek keterampilan juga sangat berpengaruh. Keterampilan berpikir kreatif disini juga sangat
berpengaruh demi mewujudkan visi dan misi pendidikan nasional karena sumber daya manusia
yang memiliki keterampilan berpikir kreatif sangat diperlukan untuk memajukan bangsa dan
menghadapi tantangan karena zaman selalu berubah.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana
tujuan pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (Depdiknas, 2004). Tujuan pendidikan nasional tersebut bermakna bahwa diharapkan

167
Buku Prosiding Seminar Nasional

penerus bangsa memiliki jiwa kreatif yang salah satunya bisa diwujudkan dengan mengembangkan
keterampilan berpikir kreatif demi memajukan bangsa.
Selain itu, Sari (2012) menyatakan tujuan pembelajaran IPA adalah siswa memiliki tiga
kemampuan dasar IPA, yaitu: (1) kemampuan untuk mengetahui apa yang diamati, (2) kemampuan
untuk memprediksi apa yang belum terjadi, dan kemampuan untuk menguji tindak lanjut hasil
eksperimen, (3) dikembangkannya sikap ilmiah. Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan
nasional dan tujuan pembelajaran IPA tersebut maka guru sebagai tenaga pendidik diharapkan
untuk mengasah keterampilan berpikir siswa termasuk keterampilan berpikir kreatif didalamnya.
Namun, pada kenyataannya guru sebagai tenaga pendidik seringkali hanya berpatokan kepada
kemampuan siswa untuk menjawab pertanyaan yang berupa hapalan saja tanpa menuntut
siswa untu memberikan pendapat atau jawaban yang bersifat mengasah keterampilan berpikir
kreatifnya. Hal tersebut menyebabkan keterampilan berpikir kreatif siswa menjadi lemah. Oleh
karena itu, tenaga pendidik diharapkan lebih terfokus dalam menumbuhkembangkan kemampuan
berpikir siswa sehingga siswa memiliki pemahaman yang baik dan dapat menerapkan konsep
yang dipahaminya dalam kehidupan nyata mereka untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
tersebut diantaranya perbaikan kurikulum yaitu perubahan kurikulum misalnya dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) kemudian
sejak tahun 2013 mulai diujicobakan kurikulum 2013. Selain perubahan kurikulum, serangkain
usaha misalnya pengembangan materi pembelajaran, perbaikan system evaluasi, pengadaan
buku, dana, alat-alat pembelajaran, perbaikan sarana pendidikan, peningkatan kompetensi guru,
serta peningkatan mutu kepala sekolah telah dilakukan. Namun, kenyataannya pendidikan
di Indonesia belum mencapai hasil maksimal. Hal tersebut terbukti dari rendahnya peringkat
pendidikan Indonesia di dunia. Menurut Education For All Global Monitoring Report 2012 yang
dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahunnya, pendidikan Indonesia berada di peringkat ke-64
untuk pendidikan di seluruh dunia dari 120 negara. Selain itu, pada data Education Development
Index (EDI) Indonesia, pada 2011 Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 127 negara.
Hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) 2012 juga menunjukkan
sistem pendidikan Indonesia masih sangat rendah yaitu dari 65 negara anggota PISA, pendidikan
Indonesia berada di bawah peringkat 64. Adapun skor literasi sains berada di peringkat 64 dengan
skor 382 (Swasty, 2013). Pada TIMSS bidang sains, Indonesia berada di urutan ke-40 dengan
skor 406 dari 42 negara yang siswanya dites di kelas VIII (Kompas, 2012). Hal ini terjadi salah
satunya tercermin dari taraf berpikir kreatif siswa masih sangat rendah. Keterampilan berpikir
kreatif siswa ini mempengaruhi prestasi belajar siswa, seharusnya keterampilan berpikir kreatif
mulai dilatih untuk mewujudkan tujuan pendidikan.
Kenyataan ini didukung dengan penelitian-penelitian yang menyatakan bahwa dalam
proses pembelajaran keterampilan berpikir kreatif masih kurang diasah. Suastra et al (2007)
menemukan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa belum mendapat perhatian serius dan
belum dikembangkan dengan baik. Selain itu, Priyantini (2012) berpendapat masalah kecerdasaan
anak saat ini, baik di sekolah, masyarakat dan jajaran birokrasi telah terfokus pada kecerdasan
di bidang bahasa dan logika matematika dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada
mereka. Meskipun pada kenyataannya, tiap anak mempunyai kecerdasan berbeda-beda yang
sebenarnya patut diberikan apresiasi yang layak. Kecerdasan yang berbeda-beda tersebut jika
diberikan tugas belajar yang sama, maka tidak dapat melatih kecerdasan siswa. Hal ini sering
dilupakan oleh guru, sehingga guru menjadi lebih aktif dan kemampuan berpikir kreatif siswa
menjadi terhambat.
Munandar (2004) memaparkan bahwa berpikir kreatif adalah kemampuan untuk membuat
kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, dan unsur-unsur yang ada. Menurut beliau, berpikir
kreatif ini terdiri dari empat aspek, diantaranya kelancaran, keluwesan (leksibilitas), orisinalitas
dalam berpikir, dan kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya,

168
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

memperinci) suatu gagasan. Meskipun pemerintah telah berupaya mewujudkan suatu pendidikan
nasional yang baik namun terdapat kesenjangan antara teori dan prakteknya. Hal ini disebabkan
oleh beberapa penyimpangan terhadap aturan yang telah ditetapkan. Dewi (2013) berpendapat
dalam pembelajaran IPA, pendidik cenderung memfokuskan peserta didik dalam menghapal atau
mengingat dan memahami yang merupakan low order of thinking. Selain itu, pendidik cenderung
memberikan soal yang jawabannya dengan mudah dapat siswa salin di buku. Pendidik juga lebih
sering memberikan soal yang persis sama dengan contoh soal yang telah dikerjakan olehnya
tanpa ada variabel yang diubah. Praktikum yang akan dilakukan oleh siswa juga sudah dirancang
guru dengan memberikan langkah-langkah praktikum sehingga siswa hanya mengerjakan tanpa
berusaha memikirkan, mencari tau serta merancang praktikum sesuai ide mereka. Hal tersebut
dapat melumpuhkan pemikiran kreatif siswa. Pelaksanaan pembelajaran yang masih berpusat
pada guru (teacher centered) cenderung mendominasi proses pembelajaran sehingga siswa
kurang aktif dalam mengembangkan keterampilan berpikir kreatifnya. Hal tersebut terjadi karena
metode atau model pembelajaran yang digunakan guru kurang melibatkan aktivitas siswa secara
langsung.
Keterampilan berpikir kreatif dapat dikembangkan dengan menggunakan model
pembelajaran yang inovatif misalnya problem solving dan problem based learning. Perbedaan
antara problem solving dan Problem Based Learning (PBL) terletak pada waktu penyampaian
masalah yang harus dipecahkan siswa. Pada problem solving, siswa akan memecahkan masalah
di akhir setelah penjelasan yang sudah diberikan guru, namun pada Problem Based Learning
(PBL) permasalahan telah diberikan di awal dan siswa dituntut untuk memecahkan permasalahan
tersebut dengan mencari tahu sendiri tanpa penjelasan guru terlebih dahulu. Oleh karena itu,
model Problem Based Learning (PBL) dirasa lebih cocok digunakan untuk menumbuhkan
keterampilan berpikir kreatif siswa dimana siswa dituntut proses pemikiran dan kreativitasnya
dengan pemberian masalah di awal pembelajaran. Arends (2007) mengungkapkan bahwa PBL
merupakan suatu model pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik
dengan maksud menyusun pengetahuan sendiri, mengembangkan inkuiri dan kemampuan
berpikir tingkat tinggi, serta mengembangkan kemandirian dan percaya diri.
Barrows dan Myers (dalam Sadia et al, 2009) menyatakan langkah-langkah model Problem
Based Learning (PBL), yaitu (1) pendahuluan (starting a new class), (2) setting permasalahan
(starting new problem), (3) tindak lanjut permasalahan (problem follow-up), (4) presentasi
(performance presentation), (5) simpulan ilmiah (after conclusion of problem). Dari langkah-
langkah model Problem Based Learning (PBL) tersebut terdapat di antaranya setting permasalahan
(starting new problem), tindak lanjut permasalahan (problem follow-up) dan presentasi.
Pada kegiatan setting permasalahan (starting new problem), dengan adanya pengajuan
permasalahan dapat merangsang pemikiran kreatif siswa dalam berpikir lancar yang ditandai
dengan mengajukan beberapa pertanyaan terkait permasalahan, kemudian pada kegiatan tindak
lanjut permasalahan (problem follow-up), dengan adanya proses pemecahan masalah, siswa
dapat mengemukakan banyak alternatif jawaban dalam menyelesaikan permasalahan (berpikir
lancar), jawaban siswa juga dapat beranekaragam ( berpikir luwes), dimana pengetahuan siswa
yang satu dengan yang lain berbeda sehingga dapat memunculkan suatu ide yang baru (berpikir
orisinil), selain itu jawaban siswa dalam kelompok juga dapat dirangkum agar menjadi detail dan
terperinci (berpikir elaboratif), dan pada kegiatan presentasi meliputi mempresentasikan hasil dari
kegiatan yang dilakukan siswa untuk memecahkan permasalahan dapat membantu meningkatkan
kemampuan berpikir elaboratif siswa.
Berdasarkan latar belakang, adapun rumusan permasalahan dalam penelitian ini yaitu apakah
terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif antara siswa yang mengikuti model Problem
Based Learning (PBL) dengan siswa yang mengikuti model inkuiri terbimbing?
Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan keterampilan berpikir kreatif antara siswa
yang mengikuti model problem based learning dengan siswa yang mengikuti model inkuiri

169
Buku Prosiding Seminar Nasional

terbimbing.

2. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu (quasi experiment) yang meneliti
hubungan sebab akibat. Dalam penelitian ini digunakan desain eksperimen non-equivalent
pretest-posttest control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas
VIII SMP Negeri 3 Tabanan pada tahun pelajaran 2014/2015 yang terbagi dalam 10 kelas, yaitu
kelas VIII A, VIII B, VIII C, VIII D, VIII E, VIII F, VIII G, VIII H, VIII I, dan VIII J. Sampel
pada penelitian ini diambil dengan teknik simple random sampling (Arikunto, 2009). Pemilihan
sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama, dari banyaknya kelas
VIII di SMP Negeri 3 Tabanan yang menjadi populasi, dipilih empat kelas paralel sebagai sampel
dengan cara undian. Dari empat kelas yang telah terpilih yaitu VIII F, VIII G, VIII H, dan VIII
I, selanjutnya diambil secara acak dua kelas mendapat perlakuan model problem based learning
(kelompok eksperimen) yaitu kelas VIII F dan VIII H sedangkan dua kelas sampel lain mendapat
perlakuan model inkuiri terbimbing (kelompok kontrol) yaitu kelas VIII G dan VIII I.
Variabel bebas pada penelitian ini adalah model pembelajaran yang terdiri dari model
problem based learning dan model pembelajaran inkuiri terbimbing. Variabel terikatnya adalah
keterampilan berpikir kreatif. Test yang digunakan untuk mengukur keterampilan berpikir kreatif
siswa berupa soal essay. Skor-skor keterampilan berpikir kreatif siswa dikumpulkan dengan
tes keterampilan berpikir kreatif siswa yang terdiri dari dari 20 butir soal yaitu 5 butir dimensi
kelancaran, 5 butir dimensi keluwesan, 5 butir dimensi orisinalitas, dan 5 butir elaborasi. Tes
ini terdiri dari 6 sub tes yaitu: (1) Menyebutkan kata sebanyak mungkin, (2) Menyusun kata
sebanyak mungkin, (3) Menyebutkan sebanyak mungkin benda yang memiliki sifat sama, (4)
Menyebutkan berbagai macam kegunaan benda, (5) Memberikan ide yang tidak biasa (unik),
(6) Mengemukakan berbagai kemungkinan dari suatu kejadian. Total skor yang diperoleh para
siswa mencerminkan keterampilan berpikir kreatif yang dimilikinya. Setiap soal memiliki skor
maksimum 4 dan skor minimum 0 sehingga skor total maksimum sebesar 80 dan skor minimum
sebesar 0. Untuk mengukur keterampilan berpikir kreatif siswa digunakan selisih antara skor
pretest dan skor posttest yang sudah ternomalisasi (gain skor ternormalisasi).
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis maka data penelitian harus memenuhi syarat analisis
meliputi uji normalitas sebaran data, dan uji homogenitas varian. Uji normalitas data digunakan uji
Kolmogorov Smirnov terhadap kelompok data yang diteliti sehingga diperoleh data berdistribusi
normal kemudian dilanjutkan dengan uji homogenitas varian menggunakan Levene’s Test of
Equality of Error Variance sehingga diperolehvarian data bersifat homogen. Selanjutnya data
dianalisis secara deskriptif dan dengan menggunakan uji ANAVA.

3. Pembahasan Hasil
A. Deskripsi umum hasil pretest dan posttest keterampilan berpikir kreatif
Deskripsi umum data hasil penelitian memaparkan deskripsi skor rata-rata (M), median (Me),
modus (Mo), dan standar deviasi (SD) pada masing-masing sel perlakuan berdasarkan model
problem based learning dan model pembelajaran inkuiri terbimbing. Hasil pretest keterampilan
berpikir kreatif dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Deskripsi nilai pretest keterampilan berpikir kreatif


Statistika A1 A2
Mean 31 34
Median 33 36
Modus 16 43
Standar Deviasi 11.92 10.58
Kualiikasi Sangat kurang kurang

170
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Adapun hasil posttest keterampilan berpikir kreatif dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Deskripsi nilai posttest keterampilan berpikir kreatif


Statistika A1 A2
Mean 58 54
Median 59 56
Modus 61 52
Standar Deviasi 6.09 6.38
Kualiikasi Tinggi Sedang

Keterangan:
A1 = Kelompok siswa yang menggunakan model problem based learning (eksperimen)
A2 = Kelompok siswa yang menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing (kontrol)

Berdasarkan pada Tabel 1 dan 2 di atas dapat dilihat bahwa ada peningkatan nilai dari
nilai pretest ke nilai posttest. Pada kelompok eksperimen yang menggunakan model problem
based learning, siswa memperoleh peningkatan nilai rata-rata pretest - posttest dari 31 dengan
kualiikasi sangat kurang menjadi 58 dengan kualiikasi tinggi. Pada kelompok kontrol yang
menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing, siswa memperoleh peningkatan nilai rata-
rata pretest - posttest dari 34 dengan kualiikasi kurang menjadi 54 dengan kualiikasi sedang.
Adapun hasil pretest dan posttest berdasarkan aspek berpikir kreatif dijelaskan pada Tabel 3.

Tabel 3. Skor masing-masing aspek keterampilan berpikir kreatif


A1 A2
Aspek
Pretest Postest Pretest Postest
Lancar 5 15 8 15
Luwes 6 14 9 15
Orisinal 9 14 9 13
Elaboratif 11 16 8 10

Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan nilai rata-rata pretest
dan posttest untuk setiap aspek keterampilan berpikir kreatif. Pada aspek berpikir lancar, siswa
memperoleh peningkatan nilai pretest-posttest dari 5 menjadi 15 pada kelompok eksperimen
sedangkan pada kelompok kontrol, siswa memperoleh peningkatan nilai pretest-posttest dari 8
menjadi 15. Pada aspek berpikir luwes, siswa memperoleh peningkatan nilai pretest-posttest dari
6 menjadi 14 pada kelompok eksperimen sedangkan pada kelompok kontrol, siswa memperoleh
peningkatan nilai pretest-posttest dari 9 menjadi 15. Pada aspek berpikir orisinal, siswa memperoleh
peningkatan nilai pretest-posttest dari 9 menjadi 14 pada kelompok eksperimen sedangkan pada
kelompok kontrol, siswa memperoleh peningkatan nilai pretest-posttest dari 9 menjadi 13. Pada
aspek berpikir elaboratif, siswa memperoleh peningkatan nilai pretest-posttest dari 11 menjadi 16
pada kelompok eksperimen sedangkan pada kelompok kontrol, siswa memperoleh peningkatan
nilai pretest-posttest dari 8 menjadi 10.

B. Deskripsi Umum Nilai Gain Skor Ternormalisasi


Deskripsi umum gain ternormalisasi meliputi nilai tertinggi, nilai terendah, skor rata-
rata (M) dan standar deviasi (SD), dan kualiikasi nilai gain ternormalisasi pada masing-masing
model sel perlakuan berdasarkan model problem based learning dan model pembelajaran inkuiri
terbimbing sesuai Tabel 4.

171
Buku Prosiding Seminar Nasional

Tabel 4. Deskripsi gain ternormalisasi keterampilan berpikir kreatif


Uraian A1 A2
Nilai Tertinggi 0,72 0,61
Nilai Terendah 0,35 0,27
Rata-rata 0,53 0,43
Standar Deviasi 0,10 0,08
Kualiikasi sedang sedang

Keterangan:
A1 = Kelompok siswa yang menggunakan model problem based learning (eksperimen)
A2 = Kelompok siswa yang menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing (kontrol)

Tabel 4 menunjukkan nilai rata-rata gain ternormalisasi pada model problem based learning
memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan model pembelajaran inkuiri
terbimbing.
Deskripsi skor rata-rata nilai gain ternormalisasi pada masing-masing indikator keterampilan
berpikir kreatif kelompok problem based learning (A1) dan inkuiri terbimbing (A2) dapat dilihat
pada Table 5.

Tabel 5. Deskripsi gain ternormalisasi sesuai aspek keterampilan berpikir kreatif


Uraian A1 A2
Lancar 0,64 0,62
Luwes 0,52 0,49
Orisinal 0,41 0,30
Elaboratif 0,38 0,17

Keterangan:
A1 = Kelompok siswa yang menggunakan model problem based learning (eksperimen)
A2 = Kelompok siswa yang menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing (kontrol)

Tabel 5 menunjukkan nilai rata-rata gain ternormalisasi pada model problem based learning
memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan model pembelajaran inkuiri
terbimbing jika dilihat dari aspek berpikir lancar, berpikir luwes, berpikir orisinal, dan berpikir
elaboratif dengan urutan dari yang tertinggi.

C. Pengujian Hipotesis
Uji Normalitas Sebaran Data
Hasil uji normalitas data gain ternormalisasi pada kelompok model pembelajaran tersaji
pada Tabel 6.

Tabel 6. Ringkasan hasil uji normalitas keterampilan berpikir kreatif kelompok eksperimen
dan kontrol
Kolmogorov-Smirnov
Sumber Data
Statistic df Sig.
Model Problem Based Learning 0,125 38 0,141
Model Inkuiri Terbimbing 0,121 38 0,175

Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai signiikansi berada di atas 0,05 untuk kelompok model
pembelajaran baik kelas eksperimen (problem based learning) maupun kelas kontrol (inkuiri

172
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

terbimbing). Hal ini menunjukkan bahwa sebaran data pada semua unit analisis berdistribusi
normal yaitu di atas taraf signiikansi 0,05.

Uji Homogenitas Varian


Uji homogenitas varian antar kelompok dilakukan dengan menggunakan Levene’s Test of
Equality of Error Variance. Ringkasan hasil uji homogenitas ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil uji homogenitas varian antar kelompok data


Kelompok data Levene Statistic df1 df2 Sig.
Kelompok model pembelajaran 0,833 1 74 0,364

Tabel 7 menunjukkan bahwa hasil pengujian homogenitas varian terhadap data yang
diperoleh menunjukkan angka signiikansi yang lebih besar daripada 0,05. Hal ini menyatakan
bahwa varian data bersifat homogen.

Uji Anava
Ringkasan hasil uji analisis varian (ANAVA) dengan menggunakan SPSS 16.0 for Windows
tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8. Ringkasan hasil uji ANAVA


Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 0,479 3 0,160 30,573 0,000
Intercept 17,780 1 17,780 3401,583 0,000
MP 0,200 1 0,200 38,288 0,000
M 0,228 1 0,228 43,563 0,000
Error 0,376 72 0,005
Total 18,636 76
Corrected Total 0,856 75

Adapun rumusan hipotesis sebagai berikut:


Terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif antara siswa yang belajar dengan model
pembelajaran problem based learning dan siswa yang belajar dengan model inkuiri terbimbing.
Secara statistic dapat ditulis sebagai berikut:
H0(1) : μ A1 = μ A2
HA(1) : μ A1 ≠ μ A2

Berdasarkan hasil uji ANAVA diperoleh nilai F adalah 38,288 (p < 0,05) maka H0 ditolak.
Jadi, berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan keterampilan
berpikir kreatif antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran problem based learning
dan siswa yang belajar dengan model inkuiri terbimbing.
Berdasarkan hasil yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa nilai keterampilan
berpikir kreatif dengan menggunakan model problem based learning relatif lebih baik daripada
menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing. Hal ini dikarenakan permasalahan yang
diseting di awal pembelajaran menyebabkan siswa dapat membangun ide-ide kreatif untuk
memecahkan masalah yang diberikan sedangkan pada model inkuiri terbimbing peran guru lebih
banyak dibandingkan pada model problem based learning.

173
Buku Prosiding Seminar Nasional

Langkah-langkah pelaksanaan PBL dalam pembelajaran terdiri dari lima fase, yaitu (1)
pendahuluan (starting a new class), (2) setting permasalahan (starting new problem), (3) tindak
lanjut permasalahan (problem follow-up), (4) presentasi (performance presentation), (5) simpulan
ilmiah (after conclusion of problem).
Kegiatan pada setting permasalahan (starting new problem), meliputi pengajuan permasalahan
yang dapat merangsang pemikiran kreatif siswa dalam berpikir lancar yang ditandai dengan
mengajukan beberapa pertanyaan terkait permasalahan. Kegiatan pada tindak lanjut permasalahan
(problem follow-up), meliputi kegiatan siswa dalam proses pemecahan masalah. Pada proses
pemecahan masalah, siswa melakukan diskusi kelompok dan memberikan berbagai macam ide
yang nantinya digunakan untuk memecahkan permasalahan dalam kelompoknya. Dalam tahapan
ini, aspek berpikir kretif melipui berpikir lancar, luwes, original dan elaboratif dapat diransang.
Siswa dapat mengemukakan banyak alternatif jawaban dalam menyelesaikan permasalahan
(berpikir lancar), jawaban siswa juga dapat beranekaragam ( berpikir luwes), dimana pengetahuan
siswa yang satu dengan yang lain berbeda sehingga dapat memunculkan suatu ide yang baru
(berpikir orisinal), selain itu jawaban siswa dalam kelompok juga dapat dirangkum agar menjadi
detail dan terperinci (berpikir elaboratif). Kegiatan pada presentasi meliputi mempresentasikan
hasil dari kegiatan yang dilakukan siswa untuk memecahkan permasalahan. Kegiatan ini dapat
membantu meningkatkan kemampuan berpikir elaboratif siswa. Pada pembelajaran menggunakan
model problem based learning siswa dapat membuat hipotesis sesuai keterampilan berpikirnya
kemudian merancang percobaan sendiri. Berbeda halnya dengan model inkuiri terbimbing
dimana kegiatan siswa lebih dibatasi, prosedur kegiatan sdah disiapkan oleh guru sehingga
siswa dapat langsung mempergunakan. Oleh karena itu model PBL dapat memberikan pengaruh
yang lebih signiikan terhadap keterampilan berpikir kreatif siswa dibandingkan dengan model
pembelajaran inkuiri terbimbing. Hal ini sejalan dengan Faiq (2014) yang menyatakan bahwa
PBL dapat meningkakan keterampilan berpikir tingkat tinggi.

4. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif siswa antara siswa yang belajar menggunakan
modell problem based learning dan model inkuiri terbimbing (F = 38,288 ; p < 0,05).

5. Daftar Pustaka

Arends. R. I. (2007). Learning to teach. New York: McGraw-Hill.

Arikunto, S. (2009). Manajemen penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Departemen Pendidikan Nasional. (2004). Materi pelatihan terintegrasi SAINS. Jakarta :


Depdiknas

Dewi,P.A.K. (2013). Implementasi model Problem Based Learning (PBL) untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif (creative thinking) siswa kelas VIII.11 SMP Negeri 2
Singaraja Tahun Pelajaran 2012/2013. Skripsi (tidak diterbitkan). Universitas Pendidikan
Ganesha.

Faiq, Muhammad. (2014). Model pembelajaran berbasis masalah. Tersedia pada : http://
penelitiantindakankelas.blogspot.com/2014/06/model-pembelajaran-berbasis-masalah.
html. Diakses pada tanggal 1 November 2014

Kompas. (2012). Prestasi sains dan matematika Indonesia menurun. Tersedia pada: http://edukasi.
kompas. com/read/2012/12/14/09005434/Prestasi.Sains.dan.Matematika.Indonesia.

174
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Menurun. Diakses pada 6 Desember 2014.

Munandar, U.(2004). Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Priyantini, N. P. T. (2012). Pengaruh model pembelajaran berbasis proyek dipadukan dengan


kecerdasan ganda terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa kelas X SMA Negeri 2
Singaraja tahun pelajaran 2011/2012. Skripsi (tidak diterbitkan). Universitas Pendidikan
Ganesha.

Sadia, I W., Subagia, W., & Natajaya, I Y. (2009). Pengembangan model dan perangkat
pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis (critical thinking skill)
siswa sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Laporan
penelitian (tidak diterbitkan). Universitas Pendidikan Ganesha.

Sari, Milya. (2012). Hakekat pembelajaran sains. Tersedia pada: http://kajianipa.wordpress.com


/2012/03/28/hakekat-pendidikan-sians/. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2014

Suastra, I W., Tika, I K., & Kariasa, N. (2007). Pengembangan model pembelajaran bagi
pengembangan kemampuan berpikir kreatif siswa sekolah dasar. Laporan penelitian
(tidak diterbitkan). Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.

Swasty. (2013). Pendidikan Indonesia Peringkat 64 dari 65 Negara. Tersedia pada: http://M.
metrotvnews.com/read/news/2013/12/06/199491/Pendidikan-Indonesia-Peringkat-64-
dari-65-negara. Diakses pada 6 Desember 2014.

175
176
PENGARUH MODEL SIKLUS BELAJAR 5E TERHADAP
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA

I Gusti Agung Handayani


Pendidikan Matematika, FPMIPA, IKIP Saraswati, Tabanan, Bali
e-mail: agunghandayani_22@yahoo.co.id

Abstrak
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui: (1) apakah kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yang dibelajarkan dengan Model Siklus Belajar 5E lebih baik daripada
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dengan pembelajaran Konvensional (2)
apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran (Siklus Belajar 5E dan Konvensional)
dengan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Penelitian dilaksanakan di SMP
Negeri 1 Abiansemal, dengan populasi seluruh siswa kelas VII tahun ajaran 2013/2014 yang
banyaknya 154 siswa. Jenis penelitian adalah eksperimen semu (quasi eksperiment), dengan
rancangan penelitian faktorial 2x2. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple
random sampling. Data kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dikumpulkan
berturut-turut melalui tes kemampuan pemecahan masalah dalam bentuk tes essay. Data
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dianalisis dengan menggunakan statistik
deskriptif dan uji ANAVA. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan hasil sebagai berikut:
(1) kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dibelajarkan dengan Model
Siklus Belajar 5E lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
dengan pembelajaran Konvensional (Q = 10,05; p < 0,05); (2) terdapat interaksi antara
model pembelajaran (Siklus Belajar 5E dan Konvensional) dengan kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa (F = 10,259; p < 0,05).

Kata kunci: Model Siklus Belajar 5E dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Siswa

Abstract
The aims of research are : (1) Is the student’s ability in solving the mathematic problem by
using ‘5E Learning Cycle Model’ better than the student’s ability in solving the mathematic
problem (2) Is there interaction between the two learning models (5E learning cycle and
conventional) with the student’s ability in solving mathematic problem (high and low).
Research is done in SMP Negeri 1 Abiansemal, with the population of all class VII students
in learning year of 2013/2014 is as much as 154 students. The type of this research is quasi
experiment, with research design factorial 2x2 . The taking of sample is done by simple
random sampling technique. The data of student’s pre- knowledge, and the student’s ability
in solving mathematic problem are collected continously through pre-knowledge test and
ability test in solving the problem in the form of essay test. The data of pre/initial competence
and the ability of students in solving the mathematic problem is analyzed by using descriptive
statistic and ANAVA test. Based on analysis result, is found the results as following : (1) the
student’s ability in solving mathematic problem by using 5E learning cycle model better
than the student’s ability in solving the mathematic problem with conventional learning (Q
= 10,05 ; p < 0,05) ; (2) there is an interaction between the two learning models (5E learning
cycle and conventional) with the student’s ability in solving the mathematic problem (hing
and low) (F = 10,259; p < 0,05).

Key words : 5E learning cycle model, student’s ability in solving the mathematic problem

177
Buku Prosiding Seminar Nasional

1. Pendahuluan

M
atematika berasal dari kata latin mathematica yang mulanya dari perkataan Yunani,
Mathematike yang berarti relating to learning. Perkataan itu mempunyai akar kata
mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu. Matematika merupakan ilmu yang
mengkaji konsep-konsep dasar dan digunakan untuk mengembangkan ilmu-ilmu lainnya.
Sehingga matematika dapat dikatakan sebagai ilmu murni. Matematika merupakan ilmu dasar
yang menjadi tolak ukur bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Matematika dapat memberikan kemampuan untuk berikir logis dalam memecahkan masalah,
memberikan keterampilan tinggi dalam berikir logis, sistematis, dan kreatif untuk memecahkan
masalah. Hal tersebut adalah modal utama dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk menghadapi persaingan global. Selain itu matematika juga dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah dalam dunia nyata.
Tujuan pembelajaran matematika pada kurikulum 2013 adalah agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut: 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar
konsep dan mengaplikasikan konsep, atau algoritma secara luwes, aktual, eisien, dan tepat dalam
pemecahan masalah. 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat-sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan
pernyataan matematika. 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4)
Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah. 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap
percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006). Berdasarkan tujuan pembelajaran
tersebut, sudah sepantasnya pemecahan masalah matematika mendapat perhatian dan perlu
dikembangkan. Oleh karena itu, dipandang perlu menerapkan salah satu model pembelajaran
inovatif yang lain supaya pembelajaran menjadi lebih menantang dan menarik. Adapun salah satu
model pembelajaran inovatif tersebut adalah model learning cycle.
Model learning cycle merupakan model pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
konstruktivis (Wena, 2009). Model pembelajaran ini berpusat pada siswa, dimana guru hanya
sebagai fasilitator. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran pada kurikulum 2013. Kurikulum
2013 merupakan sebuah kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan
berkarakter. Disini siswa dituntut untuk memahami materi, aktif dalam diskusi dan presentasi,
serta memiliki sopan santun dan disiplin yang tinggi. Pada awalnya learning cycle terdiri dari
tiga fase yaitu exploration, concept introduction, dan concept application. Selanjutnya tiga fase
tersebut dikembangkan menjadi lima fase yang terdiri dari engagement, exploration, explanation,
elaboration, dan evaluation.
Pada tahap engagement, guru berusaha membangkitkan minat dan keingintahuan siswa
tentang topik yang akan diajarkan. Hal ini dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan tentang
proses faktual dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan pokok bahasan. Dengan
demikian siswa akan memberi respons/jawaban, dan hal tersebut dijadikan pijakan oleh guru
untuk mengetahui pengetahuan awal siswa tentang pokok bahasan.
Pada fase exploration, peserta didik diberi kesempatan untuk bekerja dalam kelompok-
kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru. Dalam kelompok, peserta didik didorong
untuk melakukan penyelidikan, membuat hipotesis ataupun melakukan percobaan. Peserta didik
diharapkan mampu mengumpulkan informasi tentang materi yang dibahas, serta memunculkan
atau menggali pengetahun yang telah mereka miliki sebelumnya untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi dalam diskusi.
Pada fase explanation, guru dituntut mendorong peserta didik untuk menjelaskan suatu
konsep dengan kalimat atau pemikiran sendiri, meminta bukti dan klariikasi atas penjelasan
peserta didik, dan saling mendengar secara kritis penjelasan antar kelompok. Dengan adanya

178
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

diskusi antara kelompok tersebut, peserta didik diharapkan mampu menjelaskan serta mampu
membuat kesimpulan tentang materi yang dibahas. Guru berperan sebagai fasilitator dan dapat
pula memberikan pelurusan tentang konsep yang telah mereka temukan dalam diskusi tersebut.
Pada fase elaboration, peserta didik menerapkan konsep dan keterampilan yang telah
diperoleh sebelumnya kedalam situasi baru atau konteks yang berbeda. Dengan demikian, peserta
didik akan dapat belajar secara bermakna, karena telah dapat menerapkan/mengaplikasikan
konsep yang baru dipelajari. Hal ini akan dapat memperluas pengetahuan siswa tentang konsep
yang dipelajari.
Pada fase evaluation, guru dapat menilai pengetahuan atau pemahaman siswa dalam
menerapkan konsep baru serta dapat mengamati proses pembelajaran yang telah berlangsung.
Selain itu, siswa dapat melakukan evaluasi diri dengan cara mencermati kembali soal-soal
yang telah dipelajari sebelumnya, mengajukan pertanyaan terbuka dan mencari jawaban yang
menggunakan observasi, bukti, dan penjelasan yang diperoleh sebelumnya.
Pada penelitian-penelitian sebelumnya oleh Ari Wibowo, dkk. (2009) menyatakan bahwa
model pembelajaran siklus belajar 5E merupakan salah satu alternatif model pembelajaran yang
mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Purwanto (2008) menyatakan pengaruh pembelajaran
learning cycle dapat meningkatkan prestasi belajar siswa ditinjau dari kemampuan awal siswa.
Apriyani (2009) menyatakan bahwa penerapan model learning cycle “5E” dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka
diduga penerapan model pembelajaran learning cycle “5E” dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa, karena model pembelajaran diduga dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dirasakan kurang maksimal, hal ini
terlihat dari hasil ulangan siswa yang relatif rendah. Masih banyak siswa yang belum mencapai
KKM yang telah ditetapkan. Hal ini terlihat dari kemampuan siswa dalam menjawab soal-soal
matematika yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, kemampuan siswa dalam menjawab
soal essay, serta kemampuan siswa dalam memberi penjelasan terhadap masalah yang diberikan.
Selain itu, aktiitas siswa juga dirasakan monoton, yaitu mendengarkan penjelasan guru, mencatat,
kemudian menjawab soal yang diberikan. Dari berbagai hal tersebut, maka penulis ingin meneliti
tentang pengaruh model pembelajaran learning cycle “5E” terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) apakah kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa yang dibelajarkan dengan Model Siklus Belajar 5E lebih baik daripada
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dengan pembelajaran Konvensional; (2)
apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran (Siklus Belajar 5E dan Konvensional)
dengan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa (tinggi dan rendah).

2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimen semu (quasi
eksperimental) dimana eksperimen dilaksanakan pada kelompok belajar (kelas) yang sudah
ada karena peneliti tidak mungkin mengubah struktur kelas yang sudah ada dan tidak mungkin
mengontrol semua variabel yang muncul dan kondisi eksperimen secara ketat (full randomize)
sehingga penelitian eksperimen semu. Dalam penelitian ini hanya akan diteliti pengaruh dari
variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat, dengan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa sebagai variabel terikat, pembelajaran dengan model learning cycle “5E”
sebagai variabel bebas dan pengetahuan awal siswa sebagai variabel moderator. Rancangan
penelitian ini mengikuti rancangan penelitian faktorial 2x2.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 1 Abiansemal
tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 154 orang siswa. Sedangkan sampel adalah bagian
dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2006). Setiap anggota

179
Buku Prosiding Seminar Nasional

populasi mendapat peluang yang sama untuk menjadi anggota sampel. Karena dalam penelitian
ini anggota populasi terdistribusi pada kelas yang utuh, maka pemilihan sampel dilakukan pada
kelas-kelas tersebut. Hal ini dilakukan karena tidak mungkin melakukan sistem random terhadap
individu-individu. Penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
simple random sampling (random dilakukan hanya pada pemilihan kelas). Sebelum menentukan
sampel, dilakukan pengujian untuk mengetahui kesetaraan antar kelas dalam populasi yang
dilakukan berdasarkan pengukuran nilai ulangan umum matematika. Sampel dalam penelitian ini
berjumlah 60 orang yang terbagi atas dua kelas.
Data yang dikumpulkan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini meliputi data
kemampuan pemecahan masalah matematika. Selanjutnya dilakukan uji validasi isi instrumen
yang diuji oleh para pakar. Instrument yang sudah dinilai oleh pakar selanjutnya diujicobakan
ke lapangan untuk menguji validitas butir soal dan reliabilitas soal. Adapun untuk analisis data
dilakukan dengan uji normalitas dan uji homogenitas varians yang kemudian dilanjutkan dengan
uji hipotesis.
Uji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan melalui metode statistik dengan menggunakan
analisis varians (ANAVA) faktorial 2 x 2 menggunakan program komputer SPSS 16.0 for Windows.
ANAVA faktorial 2 x 2 uji univariat bermaksud untuk meneliti pengaruh masing-masing variabel
independent terhadap variabel dependent secara bersama-sama. Selanjutnya untuk mengetahui
perbedaan yang signiikan antar kelompok, dilakukan dengan uji lanjut ANAVA yaitu uji Tukey.

3. Pembahasan Hasil
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa. Ringkasan hasil perhitungan skor data kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yang tersaji pada tabel berikut.

Tabel 1. Ringkasan Hasil Perhitungan Data Penelitian


A1 A2 A 1Y 1 A2Y1 A2Y2 A 1Y 2
Mean 86,10 79,63 88,00 79,27 84,20 80,00
Median 86,00 80,00 88,00 80,00 84,00 80,00
Modus 90,00 80,00 90,00 81,00 82,00 80,00
Standar Deviasi 3,21 2,24 2,14 2,09 3,00 2,39
Varians 10,30 5,00 4,57 4,35 9,03 5,71
Max 90,00 85,00 90,00 82,00 90,00 85,00
Min 81,00 76,00 84,00 76,00 81,00 76,00

Keterangan :
A1 : Model siklus belajar 5E
A2 : Model pembelajaran konvensional
Y1 : Kemampuan pemecahan masalah tinggi
Y2 : Kemampuan pemecahan masalah rendah
A1Y1 : Model siklus belajar 5E dan kemampuan pemecahan masalah tinggi
A1Y2 : Model siklus belajar 5E dan kemampuan pemecahan masalah rendah
A2Y1 : Model pembelajaran konvensional dan kemampuan pemecahan masalah tinggi
A2Y2 : Model pembelajaran konvensional dan kemampuan pemecahan masalah rendah

Dari tabel 1 didapat bahwa rata-rata nilai matematika siswa yang mengikuti pembelajaran
5E dengan kemampuan pemecahan masalah yang tinggi dalam memecahkan masalah matematika

180
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

adalah sebesar 88,00 dengan kategori sangat baik, dan rata-rata nilai matematika siswa yang
mengikuti pembelajaran 5E dengan kemampuan pemecahan masalah siswa yang rendah dalam
memecahkan masalah matematika adalah sebesar 80,00 dengan kategori baik. Rata-rata nilai
matematika siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional dengan kemampuan pemecahan
masalah yang tinggi dalam memecahkan masalah matematika adalah sebesar 79,27 dengan
kategori baik dan rata-rata nilai matematika siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional
dengan kemampuan pemecahan masalah yang rendah dalam memecahkan masalah matematika
adalah sebesar 84,20 dengan kategori baik.
Hasil uji hipotesis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa : Pertama, kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa yang dibelajarkan dengan siklus belajar 5E lebih
baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dibelajarkan dengan
pembelajaran konvensional. Hal ini ditunjukkan oleh hasil uji Tukey, dengan nilai Qhitung sebesar
13,91 sedangkan Qtabel pada taraf signiikansi 0,05 sebesar 3,79. Telah dijelaskan pada penelitian
sebelumnya oleh Apriyani (2009) bahwa learning cycle “5E” dapat meningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa. Pembelajaran siklus belajar 5E dapat memberikan peluang
yang lebih besar kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya, karena siswa diberikan
kesempatan untuk memecahkan permasalahan sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing
(jawaban informal). Selanjutnya terjadi negosiasi antara siswa dengan guru untuk mencapai
pemahaman konsep matematika formal. Hal ini memudahkan siswa untuk memecahkan masalah
matematika yang mereka hadapi. Pada pembelajaran siklus belajar 5E, siswa dituntut secara aktif
untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Hal ini membuat siswa cenderung lebih aktif untuk
menyelesaikan masalah sendiri sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Selain itu, peran guru
sangat membantu dalam proses pembelajaran, dimana guru senantiasa memberikan motivasi atau
dorongan supaya siswa mau berusaha memecahkan masalah secara mandiri. Kedua, berdasarkan
hasil uji hipotesis yang telah dilakukan terhadap data yang diperoleh dalam penelitian, maka
ditemukan adanya efek utama (main effect) yang menunjukkan bahwa adanya interaksi antara
model pembelajaran dan pengetahuan awal siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa. Efek utama ini dilihat dari besaran koeisien ANAVA (F) yaitu 13,025, yang
signiikan 0,001 (p < 0,05).
Hal ini dapat dilihat pula dari adanya kesesuaian antara ciri siswa yang memiliki kemampuan
yang tinggi dalam memecahkan masalah yang diperlukan dalam siklus belajar 5E yaitu cenderung
aktif mengerjakan tugas yang menantang dan memiliki rasa ingin tahu yang kuat untuk terus
berkembang sehingga mampu menemukan konsep matematika secara individual. Sedangkan
pada siswa yang memiliki kemampuan yang rendah dalam memecahkan masalah, membutuhkan
keaktifan peran serta guru dalam memfasilitatori proses pembelajaran, sehingga kegiatan
pembelajaran cenderung bersifat teacher center. Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat
interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

4. Simpulan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut.
Pertama, kemampuan pemecahan masalah matematika yang dibelajarkan dengan Model
Siklus Belajar 5E lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematika dengan
pembelajaran Konvensional (Q = 13,91 (p < 0,05). Kedua, terdapat interaksi antara model
pembelajaran (siklus belajar 5E dan konvensional) dan pengetahuan awal siswa (tinggi dan rendah)
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa (F = 13,025 (p < 0,05)). Berdasarkan
hasil penelitian ini, maka dapat diajukan beberapa saran guna peningkatan kualitas pembelajaran
matematika antara lain sebagai berikut. Pertama, hendaknya dalam proses pembelajaran
menggunakan siklus belajar 5E sebagai salah satu model alternatif supaya pembelajaran menjadi
lebih bervariasi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa model siklus

181
Buku Prosiding Seminar Nasional

belajar 5E mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika. Kedua, materi


pelajaran pada penelitian ini hanya pada pokok bahasan pecahan sehingga hasil-hasil penelitian
hanya terbatas pada materi tersebut. Jadi, disarankan kepada pihak lain untuk melakukan penelitian
sejenis pada pokok bahasan dengan karakteristik yang berbeda untuk mengetahui keefektifan
pembelajaran siklus belajar 5E.

5. Daftar Pustaka

Apriyani. (2009). Penerapan model learning cycle “5E” dalam upaya meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa SMP N 2 Sanden kelas VIII pada pokok bahasan
prisma dan limas. Tesis.

Ari Wibowo, dkk. (2009). Penerapan model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E
dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya.

Gardner, H. 1991. The unschooled mind: How Children think and how schools should teach. New
York: Basic Books.

Jensen, E. (1998). Teaching with the brain inmind. Alexandria,VA: Association for Supervision
and Curriculum Development

Purwanto. (2008). Pengaruh pembelajaran menggunakan learning cycle pada pokok bahasan
bangun ruang sisi lengkung terhadap prestasi belajar matematika ditinjau dari
kemampuan awal siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Grobogan. Tesis

Suherman, E et. Al. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:


Universitas Pendidikan Indonesia.

Sulaiman. (2001). Pendekatan Realistic Mathematics (RME) Pada Beberapa Materi di Sekolah.
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Realistic Mathematics Education (RME),
FMIPA UNESA, Surabaya, 24 Februari.

Sumarmo, U. (2003). Daya dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa dan Bagaimana
Dikembangkan pada Siswa Sekolah Dasar dan Menengah. Makalah disajikan pada
Seminar Sehari di Jurusan Matematika ITB, Oktober 2003.

Suradi. (2001). Pembelajaran Terpadu di Sekolah Dasar. Makalah disajikan dalam Seminar
Nasional Realistic Mathematics Education (RME), FMIPA UNESA, Surabaya, 24
Februari.

Sutawidjaja, A. (1998). Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika. disajikan dalam


Seminar Nasional Program Pasca Sarjana IKIP Malang.

Wena, M. (2012). Stategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara.

Yuwono, I. (2001). RME (Realistics Mathematics Education) dan Hasil Studi Awal Implementasinya
di SLTP. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Realistic Mathematics Education
(RME), FMIPA UNESA, Surabaya, 24 Februari.

182
MODEL PEMBELAJARAN CTL MELALUI PEMANFAATAN
KEBUN SEKOLAH SEBAGAI PUSAT SUMBER BELAJAR
BIOLOGI MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR
BIOLOGI

I Gst Agung Ayu Nova Dwi Marhaeni


Pendidkan Biologi, IKIP Saraswati, Tabanan, Bali
e-mail: nova.marhaeni123@gmail.com

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan aktivitas dan hasil belajar
siswa dengan penerapan model pembelajaran CTL dengan pemenfaatan kebun sekolah
sebagai pusat sumber belajar Biologi. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas
(PTK) dengan subyek penelitian adalah siswa kelas X IPA 1 SMA Negeri 2 Tabanan Tahun
Pelajaran 2015/2016 dengan jumlah 40 orang siswa. Obyek penelitian ini adalah aktivitas
dan hasil belajar Biologi siswa. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus yang terdiri dari
4 tahapan yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan releksi. Pengumpulan data
aktivitas menggunakan lembar observasi aktivitas, sedangkan pengumpulan data hasil
belajar menggunakan tes hasil belajar. Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif
kualitatif. Rata-rata aktivitas belajar siswa pada releksi awal sebesar 24,42 (kurang aktif)
rata-rata aktivitas belajar siswa pada siklus I meningkat sebesar 27,87 (cukup aktif), dengan
peningkatan sebesar 14,12%. Aktivitas belajar siswa pada siklus II sebesar 33,65 (aktif).
Peningkatan aktivitas belajar dari siklus I ke siklus II sebesar 20,73%. Rata-rata hasil belajar
siswa pada releksi awal sebesar 61,44 meningkat menjadi 68,05 pada siklus I dengan
peningkatan sebesar 10,75% dan pada siklus II sebesar 70,62. Peningkatan rata-rata hasil
belajar siswa dari siklus I ke siklus II sebesar 3,77%. Ketuntasan klasikal pada releksi
awal sebesar 10,00% meningkat menjadi 15,00% pada siklus I dengan peningkatan sebesar
5,00%. Ketuntasan klasikal pada siklus II sebesar 32,50% peningkatan rata-rata hasil belajar
siswa dari siklus I ke siklus II sebesar 17,50%. Daya serap pada releksi awal sebesar 61,44%
meningkat menjadi 68,05% pada siklus I dengan peningkatan sebesar 6,61%. Daya serap
pada siklus II sebesar 70,62% dan peningkatan dari siklus I ke siklus II sebesar 2,57%.

Kata kunci: CTL, kebun sekolah, aktivitas, hasil belajar

Abstract
The purpose of this study was to determine the increase in activity and learning outcomes of
students with learning model application CTL to use school gardens as a learning resource
center of Biology . This research is a classroom action research ( PTK ) with research
subjects are 40 students of class X IPA 1 SMAN 2 Tabanan in the academic year 2015/2016.
Object of this research is the activity and learning outcomes in subject Biology. This study
was conducted in two cycles consisting of four stages, there are planning, implementation
, evaluation and relection . The data of activity was collected by using observation sheet
activities , while learning outcomes data was collected by using achievement test . Data were
analyzed descriptively qualitative.The average activity of students in the early relections of
24.42 (underactive) Average activity of students in the irst cycle increased by 27.87 (quite
active), with an increase of 14.12%. Activities of students in the second cycle of 33.65 (active).
Increased activity of learning from the irst cycle to the second cycle of 20.73%. The average
student learning outcomes in the early relections of 61.44 increased to 68.05 in the irst
cycle with an increase of 10.75% and in the second cycle of 70.62. Average increase student
learning outcomes of the irst cycle to the second cycle of 3.77%. Classical completeness
in the early relections of 10.00% increase to 15.00% in the irst cycle with an increase
of 5.00%. Classical completeness in the second cycle of 32.50% average increase student
learning outcomes of the irst cycle to the second cycle at 17.50%. Absorptive capacity in the
early relections of 61.44% increase to 68.05% in the irst cycle with an increase of 6.61%.

183
Buku Prosiding Seminar Nasional

Absorptive capacity in the second cycle of 70.62% and an increase from the irst cycle to the
second cycle of 2.57%.

Key word: CTL, school garden, activity, learning outcomes

1. Pendahuluan

S
alah satu masalah yang tengah dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia saat ini adalah
lemahnya proses pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dan tujuan belajar yang ingin
dicapai menjadi kurang maksimal. Dalam proses pembelajaran umumnya siswa kurang
didorong untuk mengembangkan kemampuannya dalam berpikir (Sanjaya, 2008: 1). Proses
pembelajaran juga hanya dilakukan di dalam kelas dengan menggunakan kajian-kajian yang
kurang kontekstual sehingga siswa cenderung pasif dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran merupakan suatu sistem. Dengan demikian pencapaian standar proses
untuk meninggkatkan kualitas pendidikan dapat dimulai dari menganalisis seetiap komponen
yang dapat membentuk dan mempengaruhi proses pembelajaran (Sanjaya, 2008). Dalam hal ini
selain peran pendidik untuk melengkapi salah satu komponen yang dapat mempengaruhi proses
belajar tersebut komponen lain yang harus diusahakan untuk dipenuhi dalam usaha meningkatkan
proses pembelajaran adalah sarana pembelajaran berupa media dan sumber belajar. Dalam proses
pembelajaran terutama pembelajaran biologi perlu adanya komunikasi yang baik antara pendidik
dan peserta didik. Karena pada hakekatnya pembelajaran biologi bersumber dari alam dan dapat
kita rasakan sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Namun kenyataannya proses pembelajaran
yang ada di sekolah justru lebih banyak menggunakan hafalan dalam proses memahami kejadian
alam di sekitar sehingga siswa tidak mampu memahami dan menjelaskan makna kejadian alam
yang ada di sekitar mereka. Rendahnya aktivitas dan hasil belajar biologi dapat terjadi karena
kurangnya pemanfaatan lingkungan sekitar sebagai media dan sumber belajar yang kontekstual.
Dari hasil wawancara yang dilakukan di SMA Negeri 1 Kerambitan, SMP Negeri 2 Tabanan
dan SMP Negeri 5 Tabanan, hampir semua sekolah belum memanfaatkan kebun sekolah sebagai
pusat belajar yang kontekstual dalam pembelajaran Biologi. Pembelajaran hanya dilakukan di
dalam kelas dan jarang sekali melakukan kegiatan belajar di luar kelas, kegiatan pembelajaran di
luar kelas hanya dilaksanakan di laboratorium. Sebagian besar SMA dan SMP yang telah memiliki
kebun hortikultura juga mengaku jarang menggunakan kebun hortikultura tersebut sebagai pusat
belajar Biologi. Hal ini terlihat dari kurangnya antusiasme siswa dalam pembelajaran Biologi
dan rendahnya hasil belajar Biologi karena kurangnya pemahaman tentang materi pelajaran serta
metode pembelajaran yang digunakan tidak kontekstual.
Banyak metode dan media pembelajaran yang digunakan oleh guru untuk membantu siswa
dalam memahami materi pelajaran serta meningkatkan aktivitas belajar siswa, namun guru yang
belum menyadari bahwa di sekitar tempat mengajar mereka terdapat alam buatan berupa kebun
sekolah yang disediakan pihak sekolah tidak hanya sebagai penghias dan perindang tempat
belajar namun dapat pula dijadikan sebagai pusat belajar Biologi yang kontekstual. Di dalam
kebun sekolah banyak sekali kegiatan belajar yang dapat dilakukan oleh pendidik dan peserta
didik dalam proses pembelajaran. Dengan menggunakan kebun sekolah sebagai subjek dan objek
belajar biologi diharapkan dapat mendorong siswa untuk lebih aktif dan mampu memahami
pelajaran Biologi dengan lebih baik dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang membantu siswa lebih aktif belajar
dan meningkatkan hasil belajar dalam pelajaran biologi dengan judul “Model Pembelajaran
CTL Melalui Pemanfaatan Kebun Sekolah Sebagai Pusat Sumber Belajar Biologi Meningkatkan
Aktivitas dan Hasil Belajar Biologi”.
Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi permasalahan adalah apakah penerapan
model pembelajaran CTL melalui pemanfaatan kebun sekolah sebagai pusat sumber belajar

184
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Biologi dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar Biologi siswa kelas X IPA 1 SMA Negeri
2 Tabanan Tahun Pelajaran 2015/2016? Untuk mengetahui peningkatan aktivitas dan hasil belajar
Biologi siswa kelas X IPA 1 SMA Negeri 2 Tabanan Tahun Pelajaran 2015/2016 dengan penerapan
model pembelajaran CTL melalui pemanfaatan kebun sekolah sebagai pusat sumber belajar Biologi
perlu diadakan penelitian tentang hal tersebut. Melalui pemanfaatan kebun sekolah sebagai pusat
belajar Biologi diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar Biologi siswa serta
meningkatkan minat belajar Biologi siswa dengan memberikan pengalaman belajar yang menarik
dengan proses belajar yang menyenangkan karena dapat langsung bersentuhan dengan lingkungan
sekitar dalam memahami konsep Biologi secara kontekstual. Bagi Guru hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai bahan referensi dalam menentukan model pembelajaran yang sesuai sebagai
upaya meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran Biologi di
sekolah. Memberikan masukan atau saran bagi sekolah dalam upaya mengembangkan proses
pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dengan memanfaatkan
kebun sekolah sebagai pusat belajar biologi. Meningkatkan pemeliharaan dan penataan terhadap
kebun sekolah yang kini bukan hanya digunakan sebagai pelengkap keindahan sekolah namun
juga dapat digunakan sebagai pusat sumber belajar Biologi.

2. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan di kelas X IPA 1 SMA N 2 Tabanan merupakan jenis penelitian
tindakan kelas (PTK). Dalam penelitian ini dilakukan berbagai tindakan dalam proses pembelajaran
dengan metode yang tepat bertujuan mengetahui pencapaian aktivitas dan hasil belajar siswa serta
menganalisis keefektifan metode CTL dengan pemanfaatan kebun sekolah sebagai pusat sumber
belajar Biologi.
Lokasi penelitian ini dilakukan di kelas X IPA 1 SMA N 2 Tabanan karena di kelas ini
merupakan kelas awal yang perlu ditingkatkan aktivitas, pemahaman dan hasil belajar Biologinya
untuk memudahkan siswa dalam menempuh mata pelajaran Biologi pada jenjang kelas selanjutnya.
Lokasi penelitian di SMA N 2 Tabanan juga memiliki kebun sekolah yang cukup bagus namun
kurang dalam pemanfaatan untuk kegiatan belajar. Waktu penelitian yang dilakukan di SMA N
2 Tabanan kurang lebih selama 2 bulan, mulai tanggal 11 Januari 2016 sampai dengan tanggal 1
Maret 2016.
Adapun subyek penelitian ini adalah siswa kelas X IPA 1 SMA N 2 Tabanan Tahun Pelajaran
2015/2016, dengan jumlah siswa sebanyak 40 orang yang terdiri dari 18 orang laki-laki dan 22
orang perempuan dengan alasan: (1) skor rata-rata hasil belajar siswa masih dibawah 75 (KKM
SMA Negeri 2 Tabanan) dan ketuntasan kelas (KK) belum mencapai 85%; (2) proses pembelajaran
hanya dilakukan di kelas saja dan cenderung guru yang mendominasi informasi (teacher centre);
(3) dalam memahami materi pelajaran Biologi kurang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari
siswa (non-contextual) sehingga pembelajaran kurang bermakna bagi siswa. Objek penelitian
meliputi: aktivitas dan hasil belajar Biologi siswa kelas X IPA 1 SMA Negeri 2 Tabanan Tahun
Pelajaran 2015/2016.
Sebelum mengadakan PTK, terlebih dahulu penulis melakukan pengamatan tentang masalah
yang tengah dihadapi oleh guru mata pelajaran Biologi di kelas X SMA N 2 Tabanan mengenai
aktivitas dan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Biologi. Setelah mengetahui hasilnya
kemudian penulis dapat menentukan tindakan yang dilaksanakan. Atas dasar itu, kegiatan PTK
dilakukan dalam dua siklus. Dalam tiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu tahap perencanaan,
tahap pelaksanaan, tahap observasi dan evaluasi serta tahap releksi.

3. Pembahasan Hasil
Berdasarkan analisis data hasil observasi pada siklus I menunjukan bahwa setelah diberikan
tindakan, terjadi perubahan aktivitas belajar dan hasil belajar dibandingkan dengan saat releksi
awal. Hal ini terjadi karena pembelajaran CTL dengan pemanfaatan kebun sekolah sebagai

185
Buku Prosiding Seminar Nasional

pusat sumber belajar Biologi memberikan nuansa baru dalam kegiatan belajar siswa. Metode
pembelajaran ini bertujuan membantu siswa untuk menggali pengetahuannya sendiri dan mampu
mengaitkan pengetahuan yang didapat dengan kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa lebih aktif
untuk belajar dan mampu meningkatkan hasil belajarnya (Aqib, 2013).
Dari analisis data aktivitas siswa pada siklus I, didapatkan skor rata-rata aktivitas siswa
sebesar 27,87 yang dikategorikan cukup aktif. Aktivitas belajar ini meningkat sebesar 14,12 %
dari skor rata-rata aktivitas belajar pada releksi awal yaitu 24,42 yang dikategorikan kurang aktif.
Sedangkan hasil belajar siswa pada siklus I didapatkan skor rata-rata kelas ( ) sebesar 68,05
mengalami penigkatan sebesar 10,75% dari releksi awal dengan skor rata-rata kelas ( ) sebesar
61,44. Ketuntasan klasiskal (KK) didapatkan sebesar 15% (6 orang siswa) menigkat sebesar
5,00% dari releksi awal dengan ketuntasan klasikal (KK) sebesar 10,00 % (4 orang siswa). Daya
serap (DS) sebesar 68,05 % meningkat sebesar 6,61 % dari refeksi awal dengan daya serap 61,44
%. Hasil belajar siklus I belum memenuhi standar ketuntasan belajar minimal (SKBM) yang
ditetapkan oleh SMA Negeri 2 Tabanan Tahun Pelajaran 2015/2016.
Belum tuntasnya belajar siswa pada siklus I kemungkinan terjadi karena: (1) banyak
siswa yang kurang teliti dalam melakukan pengamatan di lingkungan kebun sekolah sehingga
mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal diskusi yang terdapat pada LKS; (2) siswa banyak
bermain-main dalam melakukan pengamatan di lingkungan kebun sekolah karena pembelajaran
di luar kelas baru pertama kali mereka lakukan; (3) siswa belum termotivasi untuk menggali
informasi lebih dalam mengenai hal yang dipelajari di linggkungan kebun sekolah. Tes pada akhir
siklus menunjukan bahwa siswa yang memiliki skor aktivitas rendah cenderung juga memiliki
skor hasil belajar yang rendah, walaupun beberapa siswa yang memiliki skor aktivitas tinggi
justru memiliki skor hasil belajar rendah pada saat dilakukan tes.
Masalah-masalah yang ditemui pada siklus I selanjutnya dievaluasi serta didiskusikan denga
guru pengampu mata pelajaran untuk menemukan solusi dari masalah tersebut. Solusi yang
disepakati, guru perlu menekankan pada aktivitas belajar siswa dengan melakukan pengawasan
dan memotivasi siswa tentang materi pembelajaran yang sedang dipelajari dengan memberikan
contoh-contoh nyata yang bisa ditemui di lingkungan kebun sekolah.
Berdasarkan hasil releksi dan evaluasi pada siklus I, maka akan dilakukan tindakan pada
siklus II. Tindakan pada siklus II merupakan perbaikan dari tindakan yang dilakukan pada siklus
I. Pada siklus I siswa belum teliti dalam melakukan pengamatan oleh karena itu guru berusaha
memberikan pembekalan sebaik-baiknya kepada siswa sebelum melakukan pengamatan di
lingkungan kebun sekolah, agar siswa tidak mengalami kesulitan dalam melakukan pengamatan
dan mengerjakan soal diskusi yang terdapat dalam LKS. Guru juga memberikan pengawasan dan
pendampingan pada siswa saat melakukan pengamatan serta memberikan tugas kepada masing-
masing anggota kelompok sehingga siswa tidak ada yang bermain-main. Selain itu guru juga
memotivasi siswa dengan cara mengajukan pertanyaan lisan selama proses pengamatan agar
siswa termotivasi dalam menggali informasi lebih di linggkungan kebun sekolah.
Dalam proses pembelajaran siklus II, siswa telah memiliki pengalaman tentang strategi
pembelajaran yang diterapakan oleh guru. Hal ini tercermin dari sikap siswa yang lebih aktif dan
teratur dalam melakukan pengamatan di linggkungan kebun sekolah. Akibatnya aktivitas belajar
siswa mengalami peningkatan dari siklus I dengan skor rata-rata aktivitas belajar sebesar 27,87
dengan aktegori cukup aktif menjadi 33,65 pada siklus II dengan kategori aktif. Peningkatan
aktivitas belajar dari siklus I ke siklus II sebesar 20,73 % (Tabel 3.1).

186
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Tabel 3.1 Rekapitulasi Hasil Belajar Biologi Siswa


Data yang diam- Penigka- Peningka-
No. Releksi Awal Siklus I Siklus II
bil tan tan

Aktivitas belajar
1. 24,42 27,87 14,12% 33,65 20,73 %
siswa
2 Kategori Kurang aktif Cukup aktif Aktif

Hasil belajar juga mengalami peningkatan dari siklus I yaitu skor rata-rata kelas ( )
sebesar 70,62 mengalami penigkatan sebesar 3,77% dibandingkan dengan siklus I dengan skor
rata-rata kelas ( ) sebesar 68,05. Ketuntasan klasiskal (KK) didapatkan sebesar 32,50 % (13
orang siswa) menigkat sebesar 17,50 % dari siklus I dengan ketuntasan klasikal (KK) sebesar
15,00 % (6 orang siswa). Daya serap (DS) sebesar 70,62% meningkat sebesar 2,57 % dari siklus
I dengan daya serap 68,05%. Hasil belajar pada sklus II belum memenuhi standar ketuntasan
belajar minimal (SKBM) yang ditetapkan SMA Negeri 2 Tabanan tahun pelajaran 2015/2016
(Tabel 3.2).

Tabel 3.2 Rekapitulasi Hasil Belajar Biologi Siswa


No. Data yang diambil Releksi Awal Siklus I Penigkatan Siklus II Peningkatan
1. Rata-rata hasil belajar 61,44 68,05 10,8 % 70,62 3,77%
Ketuntasan Individu (KI)

2. a. Tuntas 10,00 % 15,00 % 5,00 % 32,50 % 17,50 %

b. Tidak tuntas 90,00% 85,00 % 5,00% 67,50 % 17,50 %


3. Ketuntasan Klasikal (KK) 10,00 % 15,00 % 5,00 % 32,50% 17,50 %
4. Daya Serap (DS) 61,44 % 68,05% 6,6 1% 70,62 % 2,57%

Berdasarkan hasil penelitian pada siklus I dan II menunjukkan bahwa hasil belajar siswa
sudah mengalami peningkatan namun belum dapat memenuhi standar ketuntasan belajar minimal
(SKBM) yang ditetapkan SMA Negeri 2 Tabanan Tahun Pelajaran 2015/2016. Kriteria ketuntasan
yang ditetapkan oleh SMA Negeri 2 Tabanan yaitu, (1) skor ketuntasan individu (KI) seluruh
siswa harus ≥ 75; (2) ketuntasan klasikal (KK) mencapai ≥ 85 %. Hal ini menunjukan bahwa
penelitian yang dilakukan penulis belum memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan.
Penulis kembali mengadakan analisa mengenai kemungkinan faktor lain yang menyebabkan
hal ini dapat terjadi. Dilihat dari metode pembelajaran yang digunakan yaitu model CTL dengan
pemanfaatan kebun sekolah sebagai pusat sumber belajar biologi. Metode tersebut sudah baik dan
sesuai dengan materi pelajaran dunia tumbuhan (kingdom plantae) dan dunia hewan (kingdom
animalia). Prosedur penelitian tindakan kelas yang dilakukan juga sudah sesuai dan dilakukan
dengan baik. Oleh karena itu penulis mencoba menganalisa tentang kemungkinan ada faktor
teknis dari sekolah seperti penentuan kriteria ketuntasan minimal (KKM) di SMA Negeri 2 yang
ditetapkan terlalu tinggi.
Kriteria ketuntasan minimal (KKM) ditetapkan pada awal tahun pelajaran dan ditetapkan
oleh forum MGMP sekolah. Nilai KKM dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat dengan rentang
nilai 0 sampai 100. Skolah dapat menetapkan KKM di bawah nilai ketuntasan belajar maksimal
(nilai 100). Kriteria penetapan KKM didasarkan pada 3 hal yaitu kompleksitas (tingkat kerumitan
materi), daya dukung (sarana dan prasarana) dan intake siswa. Dalam penetapan KKM ada 2 cara
yaitu format A dan format B, masing-masing format menfsirkan kriteria penetapan KKM menjadi

187
Buku Prosiding Seminar Nasional

nilai (Depdiknas, 2006).


Berdasarkan kriteria penentuan KKM tersebut penulis mencoba memprediksi, KKM yang
seharusnya ditetapkan di SMA Negeri 2 Tabanan tidak sebesar itu (≥ 75) dari hasil analisa yang
sudah dilakukan. Oleh karena kompleksitas materi pelajaran yang diPTKkan tergolong sulit, yaitu
materi tentang dunia tumbuhan (Kingdom Plantae) dan dunia hewan (Kingdom Animalia) dengan
alokasi waktu yang cukup padat. Sehingga penulis memberi poin 1 untuk kriteria kompleksitas
materi pelajaran. Daya dukung sekolah dikategorikan tinggi karena sarana dan prasarana yang
tersedia di SMA Negeri 2 Tabanan cukup lengkap dengan kondisi kebun sekolah yang memadai
untuk digunakan sebagai media pembelajaran serta tenaga pengajar Biologi profesional yang
minimal berjenjang Strata 1. Sehingga penulis memberikan poin 3 untuk kriteria daya dukung
sekolah. Intake siswa dikategoriakan sedang, hal ini didasarkan pada nilai pencapaian KKM siswa
pada semester sebelumnya yang rata-ratanya 61,44. Sehingga penulis memberikan poin 2 untuk
kategori intake siswa. Jika dirata-ratakan, hasil nilai KKM yang didapatkan penulis adalah 66,66
sedangkan KKM yang ditetapkan oleh SMA Negeri 2 Tabanan adalah 75. Dalam hal ini penulis
melihat telah terjadi kekeliruan dalam penentuan KKM di SMA Negeri 2 Tabanan sehingga hanya
sedikit siswa yang mampu memenuhi standar ketuntasan belajar minimal (SKBM) SMA Negeri
2 Tabanan.
Walaupun belum mencapai ketuntasan belajar sebagai akibat ketidakcermatan dalam
menentukan KKM, akan tetapi aktivitas belajar siswa sudah mengalami peningkatan dan pada
siklus II sudah sesuai dengan kriteria keberhasilan yang ditetapkan. Peningkatan aktivitas siswa
juga menyebabkan hasil belajar siswa mengalami peningkatan. Trends peningkatan bersifat linier
dari siklus I ke siklus II. Ini berarti bahwa penerapan model CTL dengan pemanfaatan kebun
sekolah sebagai pusat sumber belajar biologi dapat dikatakan berhasil meningkatkan aktivitas
dan hasil belajar biologi siswa kelas X IPA 1 SMA Negeri 2 Tabanan Tahun Pelajaran 2015/2016.

4. Simpulan
Berdasarkan analisis data dan pembehasan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut.
Penerapan model pembelajaran CTL melalui pemanfaatan kebun sekolah sebagai pusat sumber
belajar biologi meningkatkan aktivitas belajar biologi siswa kelas X IPA 1 SMA Negeri 2 Tabanan
Tahun Pelajaran 2015/2016. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya aktivitas siswa dari 24,42
pada releksi awal, menjadi 27,87 pada siklus I dengan peningkatan sebesar 14,12% dan meingkat
kembali menjadi 33,65 pada siklus II dengan peningkatan sebesar 20,73%. Secara kualitatif,
aktivitas belajar siswa meningkat dari kurang aktif, menjadi cukup aktif dan aktif.
Penerapan model pembelajaran CTL melaui pemanfaatan kebun sekolah sebagai pusat sumber
belajar biologi juga meningkatkan hasil belajar biologi siswa kelas X IPA 1 SMA Negeri 2
Tabanan tahun pelajaran 2015/2016. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya nilai rata-rata hasil
belajar dari 61,44 pada releksi awal menjadi 68,05 pada siklus I dan meningkat lagi menjadi
70,62 pada siklus II. Daya serap meningkat dari 61,44 % dan 68,05% pada releksi awal dan
siklus I menjadi 70,62% pada siklus II. Ketuntasan klasikal meningkat dari 10,00% dan 15,00%
pada releksi awal dan siklus I menjadi 32,50 % pada siklus II. Namun belum memenuhi standar
ketuntasan belajar minimal yang ditetapkan oleh SMA Negeri 2 Tabanan.

5. Daftar Pustaka

Aqib, Z. (2013). Model-model, Media dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (Inovatif).


Bandung: Yrama Widya

Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP). Jakarta: Pusat Kurikulum
Depdiknas

188
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Hamalik, O. (2008). Proses Belajar Mengajar.Jakarta: PT Bumi Aksara

Rohman, A. (2009). Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: LaksBang


Mediatama Yogyakarta

Sagala, S. (2008). Konsep dan Makna Pembelajaran Untuk membantu Memecahkan Problematika
Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta CV

Sanjaya, W. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:


Kencana Perdana Media

189
190
PENERAPAN METODE INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN MENYIMAK MELALUI MEDIA AUDIO VISUAL

Ni Made Sueni1, Desak Nyoman Alit Sudiarthi2, Ni Luh Ayu Nitya Laksmi3
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Saraswati, Tabanan, Bali1,2
Mahasiswa S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Saraswati,
Tabanan, Bali3
email: nityalaksmi@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa kelas VIII B Sekolah Menengah
Pertama Negeri 1 Kediri Tahun Pelajaran 2015/2016 dalam menyimak laporan perjalanan
wisata melalui media audio visual setelah menerapkan metode inkuiri serta peningkatan
kemampuan siswa setelah menggunakan metode inkuiri. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode pengumpulan data yaitu observasi dan metode tes. Sedangkan
metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis dekskriptif. Penelitian ini
dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kediri dengan subjek penelitian siswa
kelas VIII B yang berjumlah 29 orang. Pada penelitian awal didapatkan 25 siswa dari 29
orang siswa memperoleh skor kurang dari 75. Pada kegiatan pembelajaran berikutnya,
model pembelajaran yang diterapkan adalah metode inkuiri. Model pembelajaran ini ternyata
dapat meningkatkan kemampuan menyimak laporan perjalanan wisata melalui audio visual
Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kediri Tahun Pelajaran 2015/2016. Hal ini dapat
dibuktikan melalui nilai rata-rata yang diperoleh sebelum menggunakan metode inkuiri
atau pada prasiklus adalah 48,28. Pada siklus I, nilai rata-rata siswa mengalami peningkatan
menjadi 72,76. Pada siklus II, nilai rata-rata kemampuan menyimak laporan perjalanan
wisata melalui media audio visual mengalami peningkatan menjadi 91,72. Oleh karena
itu, disarankan kepada guru bahasa Indonesia agar menerapkan metode inkuiri pada proses
belajar pembelajaran bahasa Indonesia.

Kata kunci : laporan perjalanan wisata, media audio visual, metode inkuiri.

Abstract
This study aims to determine the ability of class VIII B School SMP Negeri 1 Kediri in the
school year 2015/2016 in listening to reports and travel through audio-visual media after
applying the method of inquiry as well as an increase in the ability of the students after using
the inquiry method. The method used in this research is data collection methods of observation
and test methods. While the method of data analysis used analysis method dekskriptif. This
research was conducted at the School SMP Negeri 1 Kediri with research subjects students
of class VIII B totaling 29 people. At the beginning of the study obtained 25 students from
29 students obtained a score of less than 75. In the next learning activities, model of applied
learning is a method of inquiry. This model was found to increase the ability of listening to
reports and travel through the audio-visual School SMP Negeri 1 Kediri in the academic year
2015/2016. This can be evidenced by the average value obtained before using the inquiry
method or the prasiklus is 48.28. In the irst cycle, the average value of students increased
to 72.76. In the second cycle, the average value of listening skills reports and travel through
audio-visual media has increased to 91.72. Therefore, it is advisable to Indonesian teachers in
order to implement the method of inquiry on the teaching and learning Indonesian.

Keywords: travel trip reports, audio-visual media, inquiry method

191
Buku Prosiding Seminar Nasional

1. Pendahuluan

D
alam metodologi pengajaran ada dua aspek yang paling menonjol yakni metode mengajar
dan media pendidikan sebagai alat bantú mengajar. Sedangkan penilaian adalah untuk
mengukur atau menentukan taraf tercapai tidaknya tujuan pengajaran. Kedudukan media
pendidikan sebagi alat bantú mengajar ada dalam komponen metodologi, sebagai salah satu
lingkungan belajar yang diatur oleh guru
Dalam menunjang beberapa kompetensi guru berikut maka diperlukan adanya media
sebagai alat bantu penentu keberhasilan dalam proses pembelajaran di kelas. Dewasa ini semakin
berkembang media pembelajaran berbasis tekhnologi seperti ada media grais, media audio
maupun audio visual yang semuanya ini perlu dipahami oleh guru dalam pengelolaan proses
pembelajaran. Pentingnya pendekatan teknologis dalam pengelolaan tersebut dimaksudkan agar
dapat membantu proses pendidikan dalam pencapaian tujuan pendidikan
Di samping itu, sarana pendidikan sebagai bagian kebudayaan merupakan sarana penerus
nilai-nilai dan gagasan-gagasan sehingga setiap orang mampu berperan serta dalam transformasi
nilai demi kemajuan bangsa dan negara. Oleh karena itu, untuk mewujudkan pendidikan yang
berkualitas, salah satu yang harus ada adalah guru yang berkualitas. Guru yang berkualitas ini
adalah guru yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Yakni
yang memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi
professional. Kompetensi pedagogik merupakan salah satu kemampuan yang mengharuskan guru
menggunakan media pembelajaran. Terlebih dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia,
terdapat keterampilan berbahasa yaitu menyimak dimana dalam rangka menunjang proses
menyimak tersebut sangat memerlukan media pembelajaran.
Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh
perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi
atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara
melalui ujaran atau bahasa lisan (Tarigan 1994:28). Dengan kata lain, menyimak membutuhkan
pemahaman dan perhatian secara lebih untuk mendapatkan suatu informasi. Akhadiah (dalam
Sutari, dkk 1997:18-19) berpendapat bahwa menyimak adalah suatu proses yang mencakup
kegiatan mendengarkan bunyi bahasa, mengidentiikasi, menginterpretasikan, dan mereaksi atas
makna yang terkandung di dalamnya. Dalam keterampilan menyimak, kemampuan menangkap
dan memahami makna pesan baik tersurat maupun yang tersirat yang terkandung dalam bunyi,
unsur kemampuan mengingat pesan, juga merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh
keterampilan menyimak. Oleh karena itu, menyimak dapat diartikan sebagai proses mendengarkan,
menyimak, serta menginterpretasikan lambang-lambang lisan.
Menyimak secara singkat merupakan proses mendengarkan untuk mendapatkan suatu
informasi yang diperlukan. Oleh karena itu, menyimak mempunyai tujuan yang berbeda-beda.
Tarigan (1994:56) menyatakan bahwa tujuan menyimak, yaitu (1) menyimak untuk belajar dan
memperoleh pengetahuan dari bahan ujaran sang pembicara, (2) menyimak untuk menikmati
keindahan audio, yaitu menyimak dengan menekankan pada penikmatan terhadap sesuatu dari
materi yang diujarkan, diperdagangkan atau dipagelarkan (dalam bidang seni), (3) menyimak
untuk mengevaluasi. Menyimak dengan maksud menilai apa yang disimak (baik-buruk, indah-
jelek, dan lain-lain), (4) menyimak untuk mengapresiasi materi simakan. Menyimak dengan
maksud menikmati serta menghargai apa yang disimak, misalnya pembacaan puisi, musik, dan
lain-lain, (5) menyimak untuk mengomunikasikan ide-idenya sendiri. Orang menyimak dengan
maksud agar dapat mengomunikasikan ide, gagasan, maupun perasaannya kepada orang lain
dengan lancar dan tepat, (6) menyimak dengan maksud dan tujuan membedakan bunyi-bunyi
dengan tepat, (7) menyimak untuk memecahkan masalah secara kreatif dan analisis. Menyimak
dengan maksud memperoleh banyak masukan dari sang pembicara, dan (8) menyimak sang
pembicara untuk meyakinkan dirinya terhadap suatu masalah atau pendapat yang selama ini
diragukan atau menyimak secara persuasif. Sutari, dkk (1997:22) merinci lebih jauh tujuan

192
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

menyimak, yaitu (1) mendapatkan fakta; (2) menganalisis fakta dan ide. Setelah mendapatkan
fakta atau data, penyimak kemudian melakukan analisis terhadap fakta atau ide tersebut dengan
mempertimbangkan hasil simakan dengan pengetahuan dan pengalamannya; (3) mengevaluasi
fakta atau ide. Dalam mengevaluasi fakta, fakta yang diterima penyimak cukup dinilai akurat dan
relevan dengan pengetahuan dan pengalaman penyimak berarti fakta itu dapat diterima. Sebaliknya
apabila fakta yang diterima kurang bermutu, tidak akurat dan kurang relevan dengan pengetahuan
dan pengalaman penyimak, maka penyimak akan menolak fakta tersebut; (4) mendapatkan
inspirasi. Melalui kegiatan menyimak dapat memperoleh berbagai macam cara untuk membantu
dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi; (5) mendapat hiburan. Untuk memperoleh
hiburan antara lain dapat melakukan dengan menyimak. Misalnya mendengarkan nyanyian lewat
radio, melihat televisi, dan melihat pertunjukan secara langsung; (6) memperbaiki kemampuan
berbicara.
Audio visual adalah sebagai alat-alat yang mempunyai dua sifat dasar, yakni audible artinya
yang dapat didengarkan dan visible yang dapat dilihat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
audio dimaknai dengan sesuatu yang bersifat dapat didengar atau alat peraga yang bisa didengar
(dalam Alwi, 2005: 76) dan visual adalah hal-hal yang dapat dilihat dengan indera penglihatan/
mata (Alwi, 2005: 1262).
(Munadi, 2012:117) menyatakan bahwa media audio visual yaitu jenis media yang selain
mengandung unsur suara juga mengandung unsur gambar yang bisa dilihat, misalnya rekaman
video, berbagai ukuran ilm, slide suara, dan lain sebagainya. Kemampuan media ini dianggap
lebih baik dan lebih menarik, sebab mengandung kedua unsur jenis media yang pertama dan
kedua. Media visual yang menggabungkan penggunaan suara memerlukan pekerjaan tambahan
untuk memproduksinya. Salah satu pekerjaan penting yang diperlukan dalam media audio-visual
adalah penulisan naskah dan storyboard yang memerlukan persiapan yang banyak, rancangan,
dan penelitian.Yang didalamnya terdapat media audio dan visual seperti televisi, headphone,
video player, radio cassette, dan alat perekam. Pada awal pelajaran media harus mempertunjukan
sesuatu yang dapat menarik perhatian semua siswa. Hal ini diikuti dengan salinan logis keseluruhan
program yang dapat membangun rasa berkelanjutan-sambung-menyambung dan kemudian
menuntut kepada kesimpulan atau rangkuman. Kontinuitas program dapat dikembangkan melalui
penggunaan cerita atau permasalahan yang memerlukan pemecahan dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses
berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari masalah
yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara
guru dan siswa. Metode pembelajaran ini sering juga dinamakan strategi heuristic yang berasal
dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti saya menemukan (Sanjaya, 2006:196).
Ada beberapa hal yang menjadi ciri utama metode inkuiri menurut Sanjaya (2012 : 197)
meliputi :
Pertama, metode inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari
dan menemukan artinya metode inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dalam proses
pembelajaran, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru
secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu
sendiri.
Kedua, seluruh aktivitas pembelajaran dilakukan siswa dan diarahkan untuk mencari
dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat
menumbuhkan sikap percaya diri. Dengan demikian, metode inkuiri menempatkan guru bukan
sebagai subjek belajar melainkan sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa.
Ketiga, tujuan dari penggunaan pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan
berpikir secara sistematis, logis dan kriris atau mengembangkan kemampuan intelektual. Sebagai
bagian dari proses mental.
Dengan demikian, pembelajaran dengan inkuiriberarti siswa tidak hanya dituntut untuk

193
Buku Prosiding Seminar Nasional

menguasai materi pelajaran tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan potensi yang dimiliki.
Pembelajaran inkuiri merupakan bentuk dari pendekatan yang berorientasi pada siswa sehingga
siswa dalam hal ini memegang peranan yang sangat penting dan dominan dalam proses
pembelajaran.
Metode inkuiri dianjurkan untuk diterapkan pada proses pembelajaran karena memiliki
beberapa keunggulan, diantaranya :
1) Inkuiri merupakan strategi pembelajaran yang menekankan kepada pengembangan aspek
kognitif, afektif dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran melalui strategi ini
dianggap lebih bermakna.
2) Inkuiri dapat memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar
mereka.
3) Inkuiri merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar
modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya
pengalaman.
4) Keuntungan lain adalah strategi pembelajaran ini dapat melayani kebutuhan siswa yang
memiliki kemampuan di atas rata – rata. Artinya siswa yang memiliki kemampuan belajar
bagus tidak terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar (Sanjaya, 2006:208)
“Laporan adalah suatu cara komunikasi dimana penulis menyampaikan informasi
kepada seseorang atau suatu badan karena tanggung jawab yang dibebankan kepadanya” (Keraf,
2001:284). Laporan juga berupa isi informasi yang didukung oleh data yang lengkap sesuai
dengan fakta yang ditemukan. Data disusun sedemikian rupa, sehingga akurasi informasi yang
diberikan dapat dipercaya oleh pembaca dan mudah untuk dipahami.Dalam memuat laporan
perjalanan harus memuat semua hasil perjalanan yang telah dilakukan. Hal yang paling penting
dalam laporan perjalanan adalah evaluasi dari perjalanan tersebut, sehingga kita dapat belajar dari
kesalahan apabila ada kesempatan untuk melakukan perlajanan lagi.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan menyimak laporan perjalanan wisata dengan menerapkan metode inkuiri melalui
media audio visual siswa kelas VIII B Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kediri Tahun
Pelajaran 2015 / 2016. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas ini
menggunakan model Kurt Lewin (dalam Suyanto, Ibnu dan Susilo, Amin 2011 : 6). Penelitian
ini berbentuk siklus yang meliputi empat langkah, yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan
evaluasi, serta releksi.
Prosedur yang ditempuh dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian
tindakan kelas ini dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki pembelajaran di kelas.Penelitian
ini diadakan sebagai upaya agar seorang guru dalam berbagai kegiatan yang dilakukan dapat
memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran di kelas.Wardani (2004:4) menyatakan
“PTK adalah penelitian yang dilaksanakan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui releksi
diri dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa menjadi
meningkat. Prosedur tindakan kelas ini dilaksanakan dalam bentuk siklus, setiap siklus terdiri
(1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan evaluasi, serta (4) releksi
tindakan.
Pada penelitian ini digunakan model siklus dengan tujuan agar semua siswa dapat mencapai
nilai dengan kategori tuntas.Dengan demikian, jika pada siklus I masih ada siswa yang tidak
tuntas dalam menyimak laporan perjalanan wisatamaka diadakan siklus II hingga siswa yang
dinyatakan tidak tuntas tersebut menjadi tuntas. Selanjutnya, jika pada siklus IIternyata semua
siswa telah berhasil atau telah mencapai nilai yang ditentukan, yaitu nilai minimal 75 maka
pelaksanaan siklus diakhiri.Akan tetapi, jika pada siklus II masih ada siswa yang tidak tuntas
maka dilanjutkan dengan tindakan siklus III demikian seterusnya hingga semua siswa dinyatakan

194
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

tuntas.Pada siklus II, kegiatan yang dilakukan pada dasarnya sama,tetapi pada tahap ini diadakan
sedikit modiikasi, yaitu perbaikan atau penyempurnaan berdasarkan kelemahan yang ditemukan
pada siklus sebelumnya.
Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kediri Tahun Pelajaran
2015/2016 pada siswa kelas VIII B yang berjumlah dua puluh sembilan orang dengan jumlah
laki – laki 10 orang dan jumlah perempuan 19 orang. Siswa ini dipilih sebagai subjek penelitian
karena berdasarkan penelitian awal dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam menyimak
laporan perjalanan wisata masih sangat kurang dan siswa juga banyak yang tidak begitu aktif
dalam proses pembelajaran serta takut salah untuk menjawab pertanyaan yang diberikan guru.
Hal ini disebabkan oleh ketidaktepatan guru di dalam menerapkan metode pembelajaran
ketika kegiatan pembelajaran berlangsung. Guru juga kurang menggunakan media pembelajaran
yang mampu menarik perhatian siswa untuk dapat menyimak dengan baik .Oleh sebab itu, siswa
kurang tertarik untuk mengikuti kegiatan belajar pembelajaran, sehingga nilai yangdiperoleh
rendah, yaitu 67. Sesuai dengan aturan yang berlaku untuk menyatakan bahwa siswa dikatakan
tuntas apabila dapat mencapai nilai minimal 75. Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti
memandang perlu bahwa metode pembelajaran dan media pembelajaran yang digunakan selama
ini harus diubah yaitu dengan menerapkan metode inkuiri dan media audio visual.

Refleksi Awal Rencana tindakan I Rencana tindakan II


iIIIIIIIIIII

Pelaksanaan tindakan Pelaksanaan tindakan


I II

Observasi dan evaluasi Observasi dan evaluasi


I iiiiiiiIiiiiiiIIIIIIIiiI ii I II

Refleksi I Refleksi tindakan II

Memutuskan
tindakan terbaik

Gambar 1. Rancangan Prosedur Penelitian

3. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil tes yang dilakukan pada releksi awal diketahui bahwa tingkat kemampuan
siswa menyimak laporan perjalanan wisata masih sangat kurang. Hasil tes tersebut mendapatkan
nilai rata-rata Sebelum menerapkan metode inkuiri dalam pembelajaran bahasa Indonesia,
khususnya tentang menyimak laporan perjalanan wisata melalui media audio visusl, nilai rata-
rata pada prasiklus sebesar 48,28 dengan perincian 4 orang siswa mendapat nilai 80, termasuk
dalam kategori baik dengan pesentase 13,79%. Siswa yang tidak tuntas 2 orang mendapat nilai
60, termasuk dalam kategori cukup dengan persentase 6,90%. 8 orang siswa mendapat nilai 50,
termasuk kategori tidak cukup dengan persentase 27,59%. 11 orang siswa mendapat nilai 40,
termasuk kategori kurang dengan persentase 37,93%. 4 orang siswa mendapat nilai 30, termasuk
kategori sangat kurang dengan persentase 13,79%

195
Buku Prosiding Seminar Nasional

Siklus I adalah pembelajaran menyimak perjalanan wisata melalui media audio visual dengan
menerapkan metode inkuiri tahap pertama. Siklus I ini sebagai usaha peningkatan kemampuan
siswa dalam menyimak. Hasil tes releksi awal akan diperbaiki pada siklus 1. Berdasarkan catatan
observasi siklus I diperoleh : (1) Aspek perhatian memperoleh predikat baik perlu ditingkatkan
lagi. (2) Aspek sikap tanggap dan kritismemperoleh predikat cukup (C), sangat perlu ditingkatkan
lagi.(3) Aspek keaktifan dan kreativitas memperoleh predikat cukup (C) sangat perlu ditingkatkan
lagi.(4) Aspek keberanian memperoleh redikat cukup (C), maka perlu ditingkatkan lagi.
Berdasarkan hasil tes pada siklus I nilai rata-rata siswa mengalami peningkatan menjadi
72,76 dengan rincian 7 orang siswa mendapat nilai 90, termasuk dalam kategori sangat baik
dengan persentase 24,14%. 10 orang siswa mendapat nilai 80, termasuk dalam kategori baik
dengan persentase 34,48%., 2 orang siswa mendapat nilai 70, termasuk dalam kategori lebih
dari cukup dengan persentase 6,90%, 5 orang siswa mendapat nilai 60, termasuk dalam kategori
cukup dengan persentase 17,24%, 4 orang siswa mendapat nilai 50, termasuk kategori tidak
cukup dengan persentase 13.79%, 1 orang siswa mendapat nilai 40, termasuk kategori kurang
dengan persentase 3,45%.Berdasarkan hasil siklus I, maka penelitian dilanjutkan pada siklus II
ini diharapkan lebih baik dari hasil pembelajaran siklus I.
Hasil tes siklus II menunjukkan adanya peningkatan, yaitu rata-rata siswa sebesar 91,72
dengan rincian dengan rincian 10 orang siswa mendapat nilai 100, termasuk dalam kategori
istimewa dengan persentase 34.48%. 14 orang siswa mendapat nilai 90, termasuk dalam kategori
sangat baik dengan persentase 48,28% dan 5 orang siswa mendapat nilai 80, termasuk dalam
kategori baik dengan persentase 17,24%.

4. Simpulan
Dari hasil temuan-temuan yang telah dipaparkan penulis pada bagian-bagian sebelumnya,
maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Pertama, penggunaan metode inkuiri dapat
diterakpan dalam meningkatkan kemampuan menyimak laporan perjalanan wisata melalui audio
visual, hal ini dapat dilihat dari rata-rata hasil kemampuan menyimak laporan perjalana wisata
siswa pada prasiklus sebesar 48,28, siklus I sebesar 72,76, dan siklus II sebesar 91,72. Kedua,
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan yaitu dengan penerapan metode inkuiri ternyata
terbukti dapat digunakan dalam meningkatkan kemampuan menyimak laporan perjalanan wisata
melalui bantuan media audio visual dalam proses pembelajaran siswa.

5. Daftar Pustaka

Amin, Moh. (2011). Panduan Praktis Penelitian Tindakan Kelas Untuk Penilaian Angka Kredit
Guru. Inspirasi: Grobogan
Alwi, Hasan. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Tarigan, Hery Guntur. (2008). Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung:Angkasa.
Sanjaya, Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta
: Kencana
Margono. (2000). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Munadi, Yudhi. (2013). Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta : Referensi
Keraf, Gorys. (2001). Diksi Dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wardani I.G.A.K, dkk.( 2004). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka

196
MULTIKULTURALISME SEBAGAI PEREKAT HUBUNGAN
ANTARA NYAMA SELAM DAN NYAMA BALI
(Studi Integrasi Antara Etnik Bugis dan Etnik Bali)

Nyoman Suryawan1) , Ketut Sukanta2)


Pendidikan Sejarah, FPIPS, IKIP Saraswati, Tabanan , Bali1,2)

e-mail: suryawannyoman @rocketmail.com

Abtrak
Bali sebagai destinasi pariwisata yang dikenal melalui keragaman budaya dan keindahan
alam yang dimiliki ternyata menyimpan fenomena ka na yang unik. Di antara penduduknya
yang mayoritas menganut agama Hindu terdapat komunitas dari etnik Bugis beragama Islam.
Keberadaan dari komunitas tersebut sudah lama ketika berlakunya ka na Kerajaan di Bali.
Begitu dekatnya hubungan di antara kedua etnik tersebut, selanjutnya mereka menamakan
dirinya dengan sebutan “Nyama Bali dan Nyama Selam Selam”. Sehubungan dengan itu,
permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) bagaimana keberadaan etnik Bugis tersebut
hingga berdiam di Kelurahan Serangan dan Tanjung Benoa, dan 2) bagaimanakah praktik
multikulturalisme yang berlangsung antara etnik Bali dan etnik Bugis di daerah tersebut.
Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif untuk menghasilkan data yang bersifat
diskriptif dari objek yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang dilakukan mencakup,
observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Proses Analisis data
dilakukan melalui; pengumpulan data, katagorisasi data, penyusunan data dan dilanjutkan
dengan interpretasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan etnik Bugis selain
karena migrasi melalui jalur pelayaran, juga terkait dengan masalah politik yang terjadi pada
masa kerajaan Badung. Ada beberapa beberapa bentuk multikulturalisme yang menjadi ka
na integrasi yang dilakukan oleh etnik Bugis dan etnik Bali diantaranya adalah 1) kawin
campur, 2) berbagi makanan, 3) saling membantu, 4) pertukaran kesenian dan, 5) latar
belakang sejarah, dan 6) keterbukaan.

Kata Kunci: Etnik, Bugis, Bali, Multikulturalisme, Integrasi

Abstract
Bali as a tourism destination known through cultural diversity and natural beauty possessed
turned out to save a unique social phenomenon. Among the population is largely made
up of Hindu religion there is a group of ethnic Bugis Muslims. The existence of such
a community is long when the enactment of the Kingdom of system in Bali. So close a
relationship between the different ethnic, then they named themselves as “Nyama Bali dan
Nyama Selam”. In connection with that, the problem in this study were 1) how the existence
of the ethnic Bugis to dwell in the village of Serangan and Tanjung Benoa, and 2) how the
practice of multiculturalism which took place between ethnic Balinese and ethnic Bugis in
the area. This study uses qualitative analysis to produce data that is descriptive of the object
under study. Data collection techniques are applied including, participant observation, in-
depth interviews, and documentation. Data analysis was performed through the process; data
collection, categorization of data, data preparation and continued with data interpretation.
The results showed that the presence of ethnic Bugis apart by migration through the cruise
line, also related to the political problems that occurred in the kingdom of Badung. There are
some some form of multiculturalism that is a factor of integration carried out by ethnic Bugis
and ethnic Bali include 1) intermarrying, 2) share a meal, 3) mutual aid, 4) exchange of the
arts and, 5) the historical background, and 6) openness

Keywords: Ethnic, Bugis, Bali, Multiculturalism, Integration

197
Buku Prosiding Seminar Nasional

1. Pendahuluan

N
egara Indonesia sebagai Negara yang berpaham Bhineka Tunggal Ika tercermin dari
keberagaman suku (etnik) dan agama yang dianutnya. Hampir semua agama-agama
besar yang ada di dunia terwakili di Indonesia seperti agama Hindu, Budha, Kristen,
Islam dan Kong Futsu. Kemajemukan Negara Indonesia sebagaimana yang digambarkan tersebut
pada dasarnya memiliki dua sisi, artinya di satu sisi jika kondisi tersebut dikelola dengan baik
akan dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, sebaliknya jika dibiarkan begitu saja
akan berpotensi menimbulkan konlik yang berbasis etnik maupun agama.
Dalam mengantisipasi konlik yang terjadi, multikulturalisme sebagai gagasan ka nada
mengenai kerukunan, toleransi dan upaya saling menghargai antara satu dengan yang lain perlu
diketengahkan. Tidak ada oposisi biner yang melekat pada suatu ka na yang menjastiikasi
bahwa suatu kelompok lebih berkuasa dibandingkan dengan yang lain. Kondisi seperti ini jika
dibiarkan tanpa kendali akan berpengaruh terhadap terjadinya ka n rimba dimana yang besar dan
merasa kuat akan memenangkan pertarungan, sedangkan yang kecil dan tidak berdaya akan kalah
dan tergusur. Praktik-praktik seperti itu hendaknya perlu dihindari untuk menghindari adanya
perpecahan di antara anak bangsa. Kondisi tersebut hanya cocok terjadi di hutan sebagaimana
yang berlaku dalam ka n rimba yakni struggle of the ittest. Manusia sebagai ciptaan tuhan yang
dibekali dengan pemikiran dan hati nurani haruslah dapat membedakannya dengan binatang.
Perasaan saling menghargai dan menjunjung konsep kesetaraan dalam keberagaman dalam hidup
berbangsa dan bernegara di alam demokrasi seperti ini hendaknya tetap dijaga untuk menghindari
adanya perpecahan terhadap Bangsa Indonesia yang secara susah payah telah dibentuk melalui
perjuangan yang mengorbankan jiwa dan raga oleh pahlawan-pahlawan yang telah gugur di
medan laga.
Bali sebagai destinasi pariwisata yang telah dikenal di manca Negara dan Indonesia
dengan keragaman budaya yang dimilikinya juga menyimpan fenomena yang unik. Di tengah
penduduknya yang mayoritas menganut agama Hindu terdapat komunitas dari etnik lain yang
beragama Islam yang lokasinya berada di tengah-tengah daerah tersebut. Etnik dimaksud di
antaranya adalah etnik Bugis yang menurut hasil pengamatan lokasinya di tengah permukiman
warga Bali yang beragama Hindu (Suryawan: 2014). Keberadaan dari komunitas Bugis tersebut,
sudah lama ketika berlakunya ka na pemerintahan berbentuk kerajaan di Bali. Selanjutnya kedua
komunitas tersebut karena kedekatan emosinya kemudian menamakan dirinya sebagai nyama
Bali dan nyama Selam.
Eksistensi kedua komunitas tersebut di Bali hingga kini masih tetap rukun di tengah dinamika
masyarakat yang terus berkembang. Sehubungan dengan itu permasalahan yang coba ditelusuri
dalam penelitian ini adalah bagaimana keberadaan nyama selam tersebut hingga mendiami
beberapa daerah di Bali terutama yang di jumpai di Kelurahan Serangan dan Kelurahan Tanjung
Benoa, dan bagaimanakah bentuk praktik multikulturalisme sebagai perekat integrasi yang
tampak dari kedua etnik sehingga keberadaannya masih tetap eksis hingga sekarang.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif untuk menghasilkan data yang bersifat
diskriptif dari objek yang diteliti. Lokasi penelitian dilakukan di Kelurahan Serangan, Denpasar
selatan dan Tanjung Benoa,Badung dengan pertimbangan bahwa di daerah tersebut terdapat fakta
adanya toleransi antar etnik yang amat kental antara etnik minoritas Bugis yang beragama Islam
dengan etnik mayoritas Bali yang beragama Hindu. Hubungan tersebut masih tetap terbina mulai
zaman kerajaan hingga sekarang.
Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang ada di Kelurahan Serangan dan
Tanjung Benoa baik yang beragama Islam maupun Hindu. Penentuan informan dilakukan
melalui cara snow ball yang diawali dengan penunjukan informan kunci sebagai informan utama.
Selanjutnya informan ini akan memberikan informasi terhadap informan berikutnya. Oleh sebab

198
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

itu dalam penelitian ini besarnya informan tidak dibatasi.


Teknik pengumpulan data yang dilakukan mencakup, observasi partisipatif, wawancara
mendalam, dan dokumentasi. Teknik Observasi partisipatif dilakukan dengan cara terlibat
langsung di tengah-tengah kehidupan masyarakat di lokasi penelitian. Teknik wawancara
mendalam dilakukan dengan melakukan ka n jawab dengan masyarakat Kelurahan Serangan dan
Tanjung Benoa berkenaan dengan objek yang diteliti. Teknik pencatatan dokumen dipergunakan
untuk mendapatkan data sekunder melalui kajian terhadap beberapa dokumen yang ada baik
dalam bentuk awig-awig desa adat , proil desa, monograi dan dokumen lainnya.
Analisis data dilakukan melalui beberapa langkah tertentu yaitu, penggalian data,
katagorisasi data, penyusunan data dan dialanjutkan dengan interpretasi data melalui pendekatan
diskriptif kualitatif (Bogdan dan Taylor 1975). Melalui cara tersebut akan diperoleh gambaran
riil tentang praktik multikulturalisme yang dialami dalam kehidupan masyarakat ka nadac di
Kelurahan Serangan dan Tanjung Benoa

3. Pembahasan Hasil
3.1 Keberadaan Etnik Bugis di Tengah Kehidupan Masyarakat Hindu
a. Keberadaan Etnik Bugis Di Kelurahan Serangan
Kelurahan Serangan yang memiliki luas 481 ha termasuk dalam wilayah kecamatan Denpasar
Selatan. Penduduk yang menghuni daerah tersebut bersifat heterogen karena terdiri atas beragam
etnis dan agama. Fenomena yang menarik tampak pada hubungan yang sangat erat antara etnik
Bugis (Makasar) yang beragama Islam dan etnik Bali yang beragama Hindu. Hubungan di antara
keduannya tersebut telah berlangsung sejak lama ketika Bali masih berbentuk kerajaan.
Keeratan hubungan antara umat Hindu Bali dengan umat Islam Kampung Bugis di
Kelurahan Serangan dilatarbelakangi oleh suatu sejarah panjang yang terjadi berpuluh-puluh
tahun yang lalu. Menurut penuturan tetua masyarakat Bugis yang bernama Haji Mansur,
keberadaan Kampung Bugis berawal dari sekelompok nelayan Bugis yang terombang–ambing
di lautan pada abad XVII. Di tengah rasa putus asa, mereka melihat sebuah pulau kecil, yakni
pulau Serangan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk berlabuh di pulau tersebut. Selanjutnya,
para nelayan Bugis yang berjumlah empat puluh orang itu tinggal sementara di daerah yang saat
itu dikuasai oleh Cokorda Pemecutan III. Mendengar kedatangan nelayan yang tidak dikenal,
sang raja kemudian mengirim utusan untuk menjemput nelayan tersebut. Berdasarkan peraturan
yang berlaku, siapa pun yang menginjakkan kaki di bumi Serangan harus menghadap kepada
raja, yakni Raja Badung. Berkenaan dengan hal itu nelayan Bugis yang dipimpin oleh Syekh Haji
Mumin kemudian menghadap Raja Badung. Kedatangan mereka diterima dengan baik oleh Raja
Badung.
Kedatangan etnis Bugis di Serangan ketika itu, bersamaan dengan peristiwa Kerajaan Badung
yang tengah berperang dengan Kerajaan Mengwi. Oleh karena merasa kewalahan menghadapi
pasukan Kerajaan Mengwi, Raja Badung memutuskan untuk meminta bantuan kepada nelayan
Kampung Bugis. Melihat tipikal masyarakat Bugis yang kuat, Raja Badung merasa tidak ragu,
apalagi didukung oleh rasa tanggung jawab para nelayan Bugis yang memiliki prinsip di mana
pun tanah dipijak di situ langit dijunjung. Di samping itu, mereka juga memiliki tanggung jawab
untuk membela serta membantu daerah tersebut apabila ditimpa masalah.
Berbekal tekad yang kuat serta memikul tanggung jawab yang besar, akhirnya keempat puluh
nelayan Bugis tersebut ikut berperang bersenjatakan badik (pisau kecil). Akhirnya, kemenangan
ada di pihak Raja Badung. Atas jasa para nelayan Bugis, raja Badung memberikan wilayah
kepada nelayan Bugis sebagai tempat tinggal. Raja Badung mengetahui bahwa para nelayan
Bugis memiliki keahlian di bidang pelayaran dan niaga. Melihat potensi yang demikian Syekh
Haji Mumin beserta pengikutnya diberikan lahan di bagian selatan Pulau Serangan. Semenjak itu
hubungan antara nelayan Bugis yang mayoritas beragama Islam semakin erat dengan Kerajaan
Badung yang beragama Hindu. Bahkan para nelayan Bugis dipercaya oleh Raja Badung untuk

199
Buku Prosiding Seminar Nasional

menjadi penghubung pelayaran. Para nelayan Bugis pula yang mengajarkan para penduduk
Serangan tentang cara–cara berlayar.
Masyarakat Serangan meyakini penyebutan Serangan untuk pulau kecil ini berawal dari
rasa sira angen (siapa saja merasa ka na/kangen). Artinya siapa pun menikmati keindahan Pulau
Serangan, pasti diliputi perasaan ka na dan senantiasa mengangeninya (Poniman: 2012). Dalam
konteks tersebut, ada kemungkinan perasaan sira angen itu yang dirasakan nelayan-nelayan Bugis
sehingga memutuskan bahwa Serangan sebagai tempat mereka menetap. Nelayan–nelayan Bugis
yang hidup di sebelah selatan Pulau Serangan saat ini sudah semakin berkembang. Kampung
seluas 2,5 hektar ini berjumlah 70 kepala keluarga, yakni meliputi sekitar 300 jiwa bermukim di
sana. Kehidupan mereka dikelilingi perkampungan Hindu dengan sejumlah pura. Salah satunya
adalah Pura Sakenan yang termasuk Pura Dang Kahyangan di Bali (Madyapadma-online.com).
Desa Pakraman Serangan yang terletak di Kecamatan Denpasar Selatan ka dikatakan
sebagai sebuah potret desa di Bali yang sangat menghargai perbedaan. Selain didukung enam
banjar adat yang penduduknya beragama Hindu, pulau kecil di tenggara Pulau Bali ini juga
dihuni oleh etnik Bugis pemeluk Islam yang taat. Komunitas non-Hindu tersebut terkonsentrasi di
kompleks permukiman di bagian selatan desa yang lebih dikenal dengan Kampung Bugis.
Berdasarkan penuturan dari Mudana Wiguna mantan kepala desa adat Serangan dikatakan
bahwa meskipun menganut kepercayaan yang berbeda, jalinan persaudaraan antara komunitas
Hindu dengan non-Hindu di daerahnya tetap terjalin hubungan yang harmonis. Belum pernah
terjadi gesekan serius yang membuat mereka terpecah belah. Masyarakat ka n di Serangan tidak
pernah menjadikan perbedaan itu sebagai sumber perpecahan. Sebaliknya, perbedaan itu justru
dijadikan motivasi dalam mengembangkan sikap toleransi, saling menghargai, dan menghormati
antara satu dengan yang lain.

a. Keberadaan Etnik Bugis di Tanjung Benoa


Etnik Bugis dilihat dari geograisnya di Badung juga dijumpai di Kelurahan Tanjung
Benoa. Etnik ini jika ditelusuri berasal dari ka nad asal Sulawesi selatan yang beragama islam
dan hidup secara berkelompok. Mata pencaharian dari masyarakat Bugis sebagian besar sebagai
nelayan. Kedatangan etnik tersebut menurut (Ardana, 2011 : 46 ) diawali dengan adanya hubungan
dagang antara orang-orang Bugis dari Sulawesi selatan dengan orang Bali yang bertempat tinggal
di wilayah kerajaan Badung abad ke-17. Hubungan baik tersebut tampak ketika Kerajaan Badung
menyerang kerajaaan mengwi, Raja Badung memerlukan bantuan prajurit andalan dari orang-
orang Bugis. Selain karena ka na historis tersebut keberadaan Bugis di Badung ka nad belakangi
oleh adanya motivasi merantau dengan kegigihannya sebagai pelaut yang yang gentar mengarungi
lautan luas ke daerah lain di Indonesia dengan tujuan sebagai nelayan dan berdagang ( Naim:
1979: 2) . Pada mulanya nelayan bugis banyak bertransaksi dengan masyarakat ka n dalam
perdagangan penyu. Akan tetapi saat ini seiring dengan kemajuan pariwisata dan dilarangnya
perdagangan penyu untuk kepentingan komsumsi, maka banyak di antara mereka sudah berubah
untuk mendapatkan pencaharian di ka na jasa khususnya pariwisata.
Pola permukiman penduduk etnik Bugis di Kelurahan Benoa menunjukkan komunitas
tersendiri dan tinggal dalam satu lingkungan yang disebut Panca Bhineka. (Sulanjari 2011:174)
Pola ini menunjukkan pola tempat tinggal yang mengelompok dibandingkan masyarakat Jawa
dan cina yang juga ada di daerah yan tinggal berbaur dengan orang Bali. Kondisi tersebut tampak
dari perkampungannya yang ada di tengah –tengah dari etnik lainnya.

3.2 Praktek Multikultalisme Sebagai Modal Integrasi Antar Etnik


Bali sebagai bagian dari ka nad dunia juga tidak lepas dari adanya kontak, baik melaui
perdagangan maupun pariwisata yang menyebabkan daerah ini kental dengan beragam budaya
yang dibawa oleh pendukungnya masing-masing. Sebagai akibatnya, Bali tidak hanya dihuni
oleh etnik Bali, tetapi banyak etnik lain, seperti etnik Jawa, etnik Bugis, etnik Sasak, dan banyak

200
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

lagi etnik lainnya. Apa pun bentuk-bentuk keberagam yang dimiliki akan erat kaitannya dengan
multikulturalisme. Ada banyak pengertian yang terkait dengan istilah tersebut. Dalam pandangan
Syaiffudin (2006:4) multikulturalisme diartikan sebagai gagasan ka nada mengenai kerukunan,
toleransi, dan upaya saling menghargai sehingga dengan demikian, akan terbentuk suatu masyarakat
yang harmonis saling menghargai perbedaan dan hak masing-masing kebudayaan penyusun suatu
bangsa. Dalam pandangan lain Soenarto (2005:222) mengatakan bahwa multikulturalisme adalah
ide yang menekankan pentingnya penghormatan antarberbagai kelompok masyarakat yang
memiliki kebudayaan berbeda atau suatu penghormatan yang memungkinkan setiap kelompok,
termasuk kelompok minoritas untuk mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa mengalami
prasangka buruk dan permusuhan. Senada dengan hal tersebut Binyamin Molan dkk. (2009:16)
menyatakan bahwa multikulturalisme bukan merupakan cara pandang yang menyamakan
kebenaran-kebenaran ka n, melainkan justru mencoba membantu pihak-pihak yang saling
berbeda pandangan agar membangun sikap saling menghormati antara satu dengan yang lainnya,
untuk menghargai perbedaan dan kemajemukan yang ada agar tercipta perdamaian sehingga
kesejahteraan dapat dinikmati oleh seluruh umat.
Bertolak dari beberapa pandangan tersebut maka multikulturalisme dapat diartikan sebagai
suatu ajaran tentang penyadaran individu atau kelompok terhadap keberagaman kebudayaan
yang pada gilirannya mempunyai kemampuan untuk mendorong lahirnya sikap toleransi, dialog,
serta kerja sama di antara beragam etnik dan ras. Kondisi tersebut sebagaimana pernyataan yang
mengungkapkan bahwa multikulturalitas tidak saja menyangkut keragaman kultur, tetapi juga
menyangkut kepentingan individu dan atau kelompok ka na dalam struktur ka na (Liliweri,
2009:70).
Ada beberapa bentuk prektik multikulturalisme sebagai dasar terjadinya integrasi antar
“Nyama Bali dan Nyama Selam” di antaranya:
a. Ngejot (berbagi makanan)
kerukunan antar etnik beragama di Pulau Serangan sudah terjalin dari generasi ke generasi.
Sehubungan dengan itu, baik warga mayoritas maupun minoritas tidak pernah mengembangkan
sikap eksklusivitas yang hanya akan memicu tumbuhnya benih-benih perpecahan diantara
mereka. Dalam menjalani rutinitas kehidupan sehari-hari, semua warga ka berbaur dan
saling mendukung antara satu dengan yang lain tanpa ada perasaan saling curiga. Ada tradisi
unik yang terus berkembang sebagai bukti begitu eratnya jalinan persaudaraan antara umat
Hindu dan non-Hindu. Saat hari raya besar Hindu, seperti Galungan dan Kuningan tiba, ka
n Hindu biasanya ngejot (berbagi makanan) ke rumah-rumah saudaranya yang beragama
Islam. Sebaliknya, hal serupa juga dilakukan oleh warga Islam pada saat hari raya Idul Fitri.
Fenomena unik tersebut tidak diketahui secara pasti sejak kapan mulai berkembang. Akan
tetapi, yang pasti leluhur-leluhur Serangan yang terbiasa hidup dalam perbedaan itu sudah
mengembangkan kearifan ka n itu sejak dahulu sebagai bentuk ikatan kekeluargaan. Sampai
saat ini, tradisi yang terlihat sederhana itu tetap dilestarikan dan justru difungsikan sebagai
bentuk pendidikan multikulturalisme untuk semakin memperkokoh ikatan kekeluargaan di
antara semeton (saudara) di Kelurahan Serangan. Makanan yang dijadikan jotan, walaupun
nilai ekonominya kecil, akan tetapi makna simboliknya sangat besar. Kondisi tersebut
tersebut menurut Pageh (2013:74) disebabkan karena ejotan akan dapat memupuk modal
ka na antarkerabat, antartetangga dan antarteman yang berbeda agama. Kegiatan ngejot,
begitu juga ritual ka na makan bersama yang melibatkan antar etnik betapun kecilnya, akan
tetapi sangat penting dilihat dari pelestarian budaya yang berujung pada toleransi antar umat
beragama.
b. Ngayah (gotong royong saling membantu)
Ketika umat Hindu mempersiapkan upacara keagamaan seperti pujawali (upacara agama)
di Pura Sakenan yang jatuh setiap Saniscara Kliwon Kuningan, umat Islam ikut bekerja
secara ikhlas dalam kegiatan tersebut. Mereka ikut aktif membantu umat Hindu dalam

201
Buku Prosiding Seminar Nasional

mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pujawali. Bahkan, warga non-Hindu
itu juga dilibatkan dalam kepanitiaan. Biasanya mereka diberi tanggung jawab untuk menjaga
ketertiban dan kenyamanan pemedek (umat yang sembahyang) serta menjaga kebersihan
lingkungan Pura Sakenan. Selain itu, masyarakat Bugis juga diberikan kesempatan ikut
berjualan pada saat pujawali untuk bersama-sama menangguk rezeki yang ka na setiap enam
bulan sekali. Sebaliknya, partisipasi aktif umat Hindu juga terlihat saat umat Islam menyambut
hari-hari besar keagamaan mereka. Apabila ada warga Islam yang pulang dari naik haji,
warga Hindu akan menyambut mereka dengan tetabuhan baleganjur sebagai pertanda ikut
berbahagia. Demikian pula ketika malam takbiran yang dilakukan menjelang hari raya idul
itri, warga Hindu ikut serta keliling desa menyemarakkan takbiran yang kemudian diakhiri
dengan makan bersama di masjid setempat. Saat acara sunatan maupun perkawinan, menurut
salah seorang warga muslim Bugis Serangan yang bernama Nurhayati, biasanya disertai
dengan pementasan atau pertunjukan yang melibatkan umat Hindu dan muslim dalam bentuk
kesenian tari ka na dan kesenian qasidah. Sampai saat ini, tradisi-tradisi itu tetap berlangsung
dengan baik. Masyarakat kedua etnik sepakat untuk terus melestarikan harmonisasi hubungan
yang sudah diwariskan para leluhur yang sudah berlangsung dari masa ke masa.
Gambaran unik lainnya berkenaan dengan multikulturalisme juga disampaikan
oleh Muhadi kepala lingkungan Kampung Bugis, yaitu pada saat umat Hindu ada upacara
kematian atau ngaben, umat muslim ikut berpartisipasi. Ketika malam hari warga prianya
ikut berpartisipasi di rumah duka hingga larut malam berbaur dengan umat Hindu. Sedangkan
warga perempuan Bugis akan terlibat membantu bekerja apa saja demi dapat meringankan
keluarga yang punya kematian. Kebersamaan tersebut kemudian dilanjutkan hingga selesai
prosesi penguburan atau pengabenan di kuburan setempat.
c. Penggunaan Bahasa dan Nama Lokal
Hal yang tdak kalah menariknya adalah bahasa yang digunakan oleh umat muslim jika
berkomunikasi dengan umat Hindu, yakni bahasa Bali. Begitu kentalnya hubungan tersebut
mengakibatkan mereka sudah tidak memperkarakan adanya perbedaan prinsip dianatra kedua
etnik yang sebenarnya sangat berbeda secara prinsip tentang apa yang menjadi ajarannya.
Penggunaan bahasa daerah milik masing-masing etnik seperti bahasa Bugis, atau bahasa jawa
akan dipergunakan secara internal atau dalam lingkungan keluarga saja. Kondisi tersebut
dapat dikatakan bahwa di daerah tersebut telah terjadi akulturasi budaya. Pemanfaatan
bahasa daerah tersebut umumnya dilakukan secara informal saja sedangkan penggunaan
secara formal dalam pertemuan yang dilakukan tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai
pengantar. Selain itu yang menarik adalah dipergunakannya nama panggilan ka n masyrakat
Hindu seperti Gede, Made, Nyoman, Ketut oleh etnik Bugis. Nama –nama tersebut umum
digunakan masyarakat Bugis untuk ka na panggilan pada keluarga mereka, sehingga tidak
heran kita akan mendengar sebutan nyoman kotijah, Gede Mohamad Ibrahim dan sebutan
sejenis lainnya. Sebutan yang mengadopsi nama Bali untuk digunakan oleh umat Muslim
tersebut pada dasarnya adalah bentuk integrasi yang saling menghargai dan bentuk keakraban
yang menunjukkan adanya penyatuan yang kental di antara dua etnik yang ada.
d. Kawin Saling Seluk ( kawin campur )
Perkawinan saling seluk (kawin campuran) yang terjadi di antara kedua etnik yang berbeda
agama sudah umum ditemukan baik di Kelurahan Tanjung Benoa maupun di Kelurahan
Serangan. Kadariyah, seorang perempuan Hindu yang sudah pindah menjadi agama muslim
dan mengikuti suaminya tinggal di lingkungan ka nad Bugis Kelurahan Serangan mengatakan
bahwa saat ini telah ada sekitar 20 orang melakukan hal yang sama baik dari warga Hindu
menjadi muslim maupun sebaliknya dari muslim menjadi Hindu. Meskipun terjadi perkawinan
campuran, mereka senantiasa hidup rukun dan saling menghargai antara satu dengan yang
lainnya. Penghargaan terhadap budaya yang berbeda meskipun jumlahnya tidak terlalu
banyak dibandingkan dengan populasi yang ada mestinya tetap dapat dipertahankan, karena

202
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

dalam masyarakat yang multikultur harus mengakui dan dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan baik secara individu maupun kebudayaan.
e. Pertukaran Kesenian
Integrasi antar enik melalui pertukaran kesenian biasa ditemukan pada di lokasi penelitian baik
di Kelurahan Serangan maupun Tanjung Benoa. Praktik tersebut tampak pada saat masing-
masing etnik memiliki hajatan seperti pernikahan atau acara syukuran. Tari rodat atau tarian
rebana akan ditampilkan pada saat orang Hindu memiliki hajatan perkawinan. Demikian
sebaliknya tari ka na (muda-mudi) akan digelar saat orang muslim melakukan syukuran atau
kegiatan lainnya. Pertukaran budaya melalui kesenian tersebut menunjukkan bahwa masing-
masing etnik tidak merasa dirinya paling superior dibandingkan dengan yang lain. Justru
yang terjadi adalah saling menghargai antara budaya yang berbeda yang merupakan penciri
dari berlangsungnya multikulturalisme.
f. Nilai Keterbukaan dan Nilai Historis
Adanya nilai keterbukaan warga Kampung Bugis dapat dijadikan dasar bagi mereka dalam
mengatasi konlik ka na dan agama yang marak terjadi di beberapa daerah. Sikap keterbukaan
yang dibangun di antara kedua etnik yang sudah tampak pada era kerajaan masih diterapkan
hingga kini yang berguna dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Apalagi di tengah
maraknya rasa curiga masyarakat Hindu Bali terhadap penduduk ka nad Bugis yang beragama
islam. Dengan adanya keterbukaan antara masyarakat Kampung Bugis dan masyarakat Hindu
di sekitarnya serta melalui interaksi ka na yang baik akan dapat meredam rasa curiga yang ada.
Secara historis, kisah tentang nelayan ka nad Bugis baik yang ada di Serangan dan
Tanjung Benoa memiliki ikatan erat dengan Kerajaan Badung dan umat Hindu umumnya.
Keeratan tersebut mengandung nilai–nilai penting yang mengakibatkan mereka semakin dewasa
dalam memahami satu dengan lainnya. Disharmonisasi hubungan di antara nyama Selam dan
nyama Bali ka na dikatakan tidak pernah terjadi. Adanya nilai kepahlawanan dalam sejarah
keberadaan Kampung Bugis yang terjadi saat para nelayan Bugis membantu Kerajaan Badung
melawan Kerajaan Mengwi juga memperkuat hubungan tersebut. Komunitas Bugis di kedua
daerah tersebut memiliki prinsip di mana kaki berpijak disanalah langit dijunjung. Bertolak dari
prinsip yang demikian, secara moral mereka pun harus turut membantu daerah tersebut apabila
tertimpa masalah. Hal itu membuktikan bahwa masyarakat Islam Bugis peduli terhadap persoalan
di tempat mereka tinggal. Dengan demikian sangat tidak etis apabila mereka merusak daerah
tempat mereka tinggal karena itu akan melanggar prinsip hidup yang mereka junjung.
Beberapa contoh praktik multikulturalusme sebagaimana yang disebutkan, pada dasarnya
sesuai dengan pandangan dari Talcot Parson tentang teori Struktural fungsional dalam Watra
(2015:88). Inti dari teori tersebut sering dirumuskan dengan AGIL (adaptation, goal attainment,
integration dan ka nad).
Adaptation adalah fungsi penyesuaian yang tampak dari aktivitas umat muslim Bugis
sebagai minoritas untuk senatiasa melakukan penyesuaian terhadap lingkungannya berada,
seperti tampak dalam peyisipan identitas nama ka n Bali (Gede, Made,Nyoman atau Ketut) ke
dalam nama depan dari keluarga mereka. Fenomena tersebut dapat dikenali dari penyebutan anak
dari keluarga Bugis dengan nama seperti Gede Ibrahim atau Putu Fatimah.
Goal atau pencapaian, tujuan tampak dalam aktivitas-aktivitas tertentu yang dilakukan
oleh kedua etnik baik di Kelurahan Tanjung Benoa maupun di Kelurahan Serangan yang tujuan
utamanya adalah mencapai tujuan yakni kerukunan umat beragama. Goal yang ingin dicapai
tentunya sesuai dengan budaya ka n yang sifatnya universal yaitu tri hita karana sebagai konsep
harmonisasi atau keselarasan baik yang menyangkut manusia dengan Tuhan, manusia dengan
manusia lainnya dan manusia dengan lingkungannya.
Integration atau penyatuan, fungsi ini tampak dalam bentuk pengaturan-pengaturan
yang dilakukan di antara ke dua etnik seperti dalam hal melakukan aktivitas peribadatan dimana
masing-masing etnik saling bertoleransi satu dengan lainnya. Hal tersebut tampak dalam peribatan

203
Buku Prosiding Seminar Nasional

perayaan besar dimana umat muslim membantu ngayah (gotong royong ) dalam hari piodalan
umat Hindu demikian juga sebaliknya .
Latency atau fungsi tidak tampak diwujudkan melalui upaya pemeliharaan pola-pola
yang sudah ada. Berkaitan dengan itu, masing-masing etnik akan mempertahankan, memperbaiki
dan memperbaharui baik melalui motivasi individu maupun pola –pola budaya yang dimiliki
yang dapat mempertahankan kerukunan yang berlangsung antar umat yang ada.

4. Simpulan
Bali yang sudah dikenal sebagai destinasi pariwisata ka nada maupun mancanegara karena
keindahan alam dan ketinggian budayanya juga memiliki keunikan terpendam yang dapat
dijadikan contoh bagi masyarakat lainnya sebagai penterapan multikulturalisme sesuai dengan
paham Bhineka Tunggal Ika atau unity in diversity. Adanya toleransi yang tinggi antar etnik
dengan keragaman agama yang dianutnya dan semangat multikulturalisme yang dijalankan
diupayakan untuk senantiasa tetap terjaga sehingga proses integrasi ka na diharapkan dapat
berjalan dengan baik.
Selain itu, praktik multikulturalisme yang mendukung integrasi antar etnik yang dijumpai di
Kelurahan Serangan, Denpasar dan Kelurahan Tanjung Benoa, Badung dari pengamatan
dan wawancara yang dilakukan dapat bersumber dari beberapa ka na diantaranya adalah
perkawinan campuran, pertukaran kesenian, peminjaman ka na budaya, berbagi (ngejot) nilai
keterbukaan dan ka na historis.

5. Daftar Pustaka

Ardana, Ketut, Soenaryo, dkk. (2011). Masyarakat Multikultural Bali (Tinjauan Sejarah,Migrasi
dan Integrasi). Denpasar : Pustaka Larasan
Bogdan , R &Taylor.(1975). Intruduction to Qualitative Research Metohods). Newyork : John
Wiley
Liliweri,Halo.2009. Prasangka dan Konlik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur.
Yogyakarta: PT Lkis Printing Cemerlang.
Molan, Benyamin dkk.( 2009). Multikulturalisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan.
Jakarta : PT. Indeks
Naim,Mochtar,1979. Merantau Pola Migrasi Suku Minagkabau Yogayakarta : Gajah Mada
Iniversity Press
Poniman, 2012. Proil Kelurangan Serangan. Denpasar
Pageh, Made, Wayan Sugiarata dkk. (2013). Model Integrasi Masyarakat Multi Etnik Belajar dari
Enclaves Muslimdi Bali. Denpasar: Pustaka Larasan
Sulanjari, (2011). Harmoni, Prevensi Konlik, dan Peran Multikulturalisme (dalam Ardana dkk.
Ed.).Denpasar: Pustaka Larasan
Saifffudin,A.F. (2006). Membangun Multikulturalisme di Indonesia. Jurnal Antropologi Sosial
Budaya Etnovisi,Vol.II,No.1, April 2006
Soenarto,(1993). Pengantar Sosiologi. Jakarta : Fak. Ekonomi UI
Suryawan,Nyoman, (2014). “Harmonisasi Hubungan antara Etnik Bali dan Etnik Bugis sebagai
bentuk Pendidikan Multikulturalisme di Kelurahan Serangan,Denpasar Selatan. Suluh
Pendidikan”,13(2): 91-100
Watra,I Wayan. (2015):.Filsafat Toleransi Beragama di Indonesia (PerspektifAgama dan
Kebudayaan). Surabaya : Paramita

204
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS
DALAM KONSTRUKSI KURIKULUM SEKOLAH DASAR

Dewa Nyoman Wija Astawa1), Ni wayan Sadri2)


Pendidikan Kewarganegaraan, FP IPS, IKIP Saraswati, Tabanan, Bali1,2)
e- mail : dw.wija@gmail.com

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk: “menemukan” dan “merekonstruksi” ide kurikulum
atau “gagasan kurikulum” pembelajaran IPS di sekolah dasar berdasarkan perspektif teori
rekonstruksi sosial Vygotsky. Penelitian ini menggunakan desain penelitian pengembangan
dengan menganalisis data tentang phenomena didaktik-instruktional, aspek sosial-budaya
siswa, dan kendala-kendala yang dihadapi oleh siswa dan guru dengan teknik analisis
menggunakan pola judgement-expert melalui panel group discussion. Sementara data tentang
kevalidan dan kepraktisan produk penelitian akan dianalisis secara deskriptif sehingga
akan diperoleh sebuah inovasi terstruktur terkait dengan ”jatidiri pendidikan IPS” sebagai
alternatif akademis dalam pengembangan kurikulum IPS khususnya untuk jenjang sekolah
dasar. Penelitian ini menghasilkan kurikulum IPS SD yang secara ontologi, epistemologi,
dan aksiologi menurut teori rekonstruksi sosial Vigotsky sangat valid dan praktis sehingga
layak digunakan.

Kata Kunci: rekonsruksi sosial, kurikulum IPS SD.

Abstract
The purpose of this study is to: “ind” and “reconstruct” or “curriculum ideas” learning
social studies at the elementary school level based on the perspective of Vygotsky’s theory
of social reconstruction style. This study research design development by analyzing data on
phenomena of didactic - instruktional, and the constraints faced by the students and teachers
will be analyzed using pattern-expert judgment through group discussion panel. While data on
the validity and practicality of research products will be analyzed descriptively so that it will
be obtained a structured innovation associated with “social studies edge” as an alternative-
academic curriculum development sosial studies especially for elementary school level.
This study resulted in elementary social studies curriculum that ontology, epistemology, and
axiology according to the theory of social reconstruction Vigotsky very valid and practical
so it’s worth used.

Keywords: social reconstruction, social studies elementary curriculum.

1. Pendahuluan

P
endidikan yang ideal selalu bersifat antisipatoris dan prepatoris, yakni selalu mengacu ke
masa depan, dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan masa depan yang
jauh lebih baik, bermutu, dan bermakna (Buchori, 2001). Akan tetapi, dari hasil releksi
dan kajian kritis-relektif Buchori (2001) dan Lasmawan (2007), terhadap pemikiran dan praktik
pendidikan di Indonesia, pendidikan ideal seperti itu telah kehilangan momentum, karena masih
bermuara pada transfer ilmu dan belum membangun karakter siswa. Kurikulum yang diyakini
sebagai komponen vital dan strategis dalam keseluruhan sistem pendidikan, juga belum menjadi
instrumen efektif bagi terwujudnya pendidikan nasional yang ideal, karena masih kental dengan
content oriented yang berbasis keilmuan. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pun, masih sangat kental dengan paradigma esensialisme.
Indikasinya dapat dilihat dari rumusan pengertian pengetahuan sosial di dalam konsep KBK 2004
dan KTSP (Depdiknas, 2006). Ditegaskan oleh Farisi (2006) bahwa deinisi yang menyatakan

205
Buku Prosiding Seminar Nasional

IPS sebagai simpliikasi ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu sosial yang dibelajarkan di sekolah,
adalah deinisi yang dikembangkan dari pandangan esensialisme, yang lebih menekankan pada
penguasaan kompetensi dasar bidang keilmuan, sehingga belum mengacu pada pengakuan
kompetensi diri siswa secara integratif dan holistik. Dilihat dari perspektif siswa, kelemahan
utama kurikulum esensialistik terletak pada pandangan bahwa siswa hanya diperankan sebagai
passive recipient terhadap realitas dan kebenaran yang secara ontologis berada di luar dirinya
(Winataputra, 2001). Implikasi langsung dari kondisi tersebut adalah pembelajaran IPS kurang
diminati siswa.
Sebagian besar pakar IPS meyakini bahwa keniscayaan kurikuler esensialistik semacam
itu, dapat menghambat perkembangan modalitas akademik dan modalitas sosial siswa, serta
mendistorsi genuine concepts atau indigenous science mereka tentang alam semesta yang dibangun
dan dikembangkan dari keseharian pengalaman sosial dan kulturalnya (Ellis, 1998; Abidjani,
2006). Kondisi ini juga dapat mendistorsi atau merusak self-concept siswa yang merupakan faktor
esensial bagi pembentukan identitas atau karakter siswa itu sendiri.
Sejalan dengan perubahan paradigma pembelajaran IPS, yang dimulai pada era 1980-an,
yaitu dari paradigma mainstream academic knowledge ke paradigma transformative academic
knowledge (Banks, 1995), para pakar dan pengembang pembelajaran IPS sepakat untuk
merekonstruksi dasar-dasar pemikiran kurikulum IPS sejalan dengan perkembangan paradigma
pendidikan mutakhir, yakni teori rekonstruksi sosial Vygotsky (NCSS, 2004). Teori rekonstruksi
sosial Vygotsky juga diprediksi akan menjadi salah satu pilar pembelajaran IPS abad 21, dan
menggeser kebiasaan behaviorisme (Winataputra . 2001). Namun demikian, komitmen untuk
menjadikan teori rekonstruksi sosial sebagai paradigma baru IPS di Indonesia belum banyak
didukung oleh hasil-hasil penelitian kontekstual. Beberapa penelitian yang telah dilakukan belum
menjangkau dimensi-dimensi lain dari kurikulum IPS.
Berangkat dari fakta tersebut, permasalahan dan produk yang dihasilkan dalam penelitian ini
merupakan sesuatu yang sangat baru dan aktual dalam kaitannya dengan pengembangan pendidikan
IPS di Indonesia. Melalui penelitian ini dapat dirumuskan secara benar dan bermakna esensi,
tujuan, isi, dan pembelajaran IPS yang sesuai dengan karakteristik dan paradigma teori rekonstruksi
sosial. Di sisi lain, penelitian ini juga diarahkan pada upaya pengembangan standar kompetensi
IPS yang relevan dan memihak pada kepentingan belajar siswa, serta model pengorganisasian
dan struktur isi kurikulum IPS yang valid, praktis, dan produktif bagi kepentingan belajar siswa.
Terakhir, penelitian ini juga diarahkan pada upaya penemuan cara yang tepat tentang pengelolaan
lingkungan kelas yang cocok dikembangkan agar pembelajaran IPS mengacu pada aplikasi teori
rekonstruksi sosial dan kepentingan belajar siswa secara komprehensif dan holistik.

2. Metode
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali, dengan menjadikan sekolah
dasar yang tersebar di 9 kecamatan sebagai latar alamiah pengembangan dan pengujiannya.
Sampel penelitian diambil secara purposive random sampling dan keseluruhan data penelitian
dikumpulkan dengan menggunakan beberapa instrumen, yaitu: studi dokumentasi, ceklist,
pedoman wawancara, lembar observasi, quisioner, lembar penilaian produk, uji pakar, focus
group discussion, studi laboratorium, dan studi lapangan.
Untuk analisis data, penelitian ini menggunakan beberapa teknik analisis, yaitu: data
tentang phenomena didaktik-instruktional, aspek sosial-budaya siswa, dan kendala-kendala
yang dihadapi oleh siswa dan guru dianalisis menggunakan pola judgement-expert melalui
panel group discussion. Sementara data tentang kevalidan dan kepraktisan produk penelitian
yang dikumpulkan dengan tes hasil belajar dan wawancara dianalisis secara deskriptif sehingga
diperoleh sebuah inovasi terstruktur terkait dengan jatidiri pendidikan IPS sebagai alternatif-
akademis dalam pengembangan kurikulum IPS khususnya untuk jenjang sekolah dasar.

206
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

3. Hasil dan Pembahasan


Isi dan tujuan Pembelajaran IPS
IPS adalah suatu bahan kajian yang terpadu yang merupakan penyederhanaan, adaptasi,
seleksi, dan modiikasi yang diorganisasikan dari konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan
Sejarah, Geograi, Sosiologi, Antropologi, dan Ekonomi (Puskur, 2001 : 9). Materi pelajaran
IPS merupakan penggunaan konsep-konsep dari ilmu sosial yang terintegrasi dalam tema-
tema tertentu. Misalnya materi tentang Pasar harus ditampilkan kapan atau bagaimana proses
berdirinya (Sejarah), dimana pasar itu berdiri (Geograi), bagaimana hubungan antara orang-orang
yang berada di pasar (Sosiologi), bagaimana kebiasaan-kebiasaan orang menjual atau membeli
di pasar (Antropologi) dan berapa atau jenis-jenis barang yang diperjualbelikan (Ekonomi).
Muriel Crosby menyatakan bahwa IPS diidentiikasi sebagai studi yang memperhatikan pada
bagaimana orang membangun kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan anggota keluarganya,
bagaimana orang memecahkan masalah-masalah, bagaimana orang hidup bersama, bagaimana
orang mengubah dan diubah oleh lingkungannya (Kenworthy, 1981 : 7). IPS menggambarkan
interaksi individu atau kelompok dalam masyarakat baik dalam lingkungan isik dan lingkungan
sosial. Interaksi antarindividu dalam ruang lingkup lingkungan mulai dari yang terkecil misalkan
keluarga, tetangga, rukun tetangga atau rukun warga, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten,
provinsi, negara dan dunia. Pembelajaran IPS lebih menekankan pada aspek pendidikan daripada
concept transfers. Artinya, penekanan dalam pembelajaran IPS bukan pada cara-cara siswa
mampu menghafal konsep, data, dan fakta semata-mata, melainkan cara-cara guru mampu
mengembangkan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa memperoleh pemahaman yang
komprehensif mengenai materi yang dibelajarkan, dan mengembangkan serta melatih sikap,
nilai, moral, dan keterampilan-keterampilan sosial yang dimilikinya secara optimal (Hasan, 1996:
NCSS, 2004: Van Cleaf, 1991). Dengan demikian pembelajaran IPS harus diformulasikan dan
ditekankan pada aspek kependidikannya.
Beranjak dari beberapa pengertian di atas, dalam hubungannya dengan penelitian ini
pengertian IPS yang digunakan adalah pengertian IPS sebagaimana yang terdapat dalam buku
pedoman guru IPS di sekolah dasar berdasarkan kurikulum IPS SD 1994, yang memberikan
pengertian IPS sebagai mata pelajaran yang merupakan perpaduan dari sejumlah mata pelajaran
sosial yang mengajarkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan kepada siswa untuk memahami
lingkungan dan masalah-masalah sosial di sekitarnya. Secara akademis, IPS erat kaitannya dengan
ilmu sosial. Ilmu sosial merupakan ilmu pengetahuan yang membahas hubungan manusia dengan
masyarakat dan juga membahas tingkah laku manusia dalam masyarakat. Mengenai pengertian
IPS, The Board of Directors of the National Council for the Social Studies (NCSS), the Primary
membership Organization for the Social Studies Educator, menyatakan bahwa Social studies is
the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence (NCSS,
2004: 3). Selanjutnya dikatakan pula bahwa social studies yang diberikan secara terkoordinasi
dan sistimatis dalam program pendidikan sekolah, pada dasarnya mengandung berbagai disiplin
ilmu, seperti antropologi, arkeologi, ekonomi, ilmu bumi, sejarah, hukum, ilsafat, ilmu politik,
psikologi, agama, dan sosiologi yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Sementara itu,
Depdikbud (1993:1) mengatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah mata pelajaran
yang mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian geograi, ekonomi,
sejarah, antropologi, sosiologi, dan tata negara. Sementara itu, Chapin and Messick (1985:5)
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan IPS adalah Traditionally the social studies draw upon
seven diciplines: history, geography, economics, political science, antrophology and psychology.
Berdasarkan pandangan dan pendapat di atas, kurikulum IPS SD tahun 1994 tampaknya
menganut aliran kedua dalam kelompok pertama sebagaimana yang dikatakan oleh Hamid Hasan
(1990), yang berpandangan IPS merupakan fusi dari berbagai disiplin ilmu sosial sehingga tidak lagi
dikenal ada batas-batas setiap disiplin ilmu. Selanjutnya, pembelajaran IPS pada jenjang sekolah
dasar dikatakan juga bersifat integrated sehingga materi yang diajarkan dalam IPS merupakan

207
Buku Prosiding Seminar Nasional

akumulasi dari sejumlah disiplin ilmu sosial. Pembelajaran IPS lebih menekankan pada aspek
pendidikan daripada concept transfers. Artinya, penekanan atau stressed dalam pembelajaran
IPS bukan pada bagaimana siswa mampu menghafal konsep, data, dan fakta semata-mata,
melainkan bagaimana guru mampu mengembangkan iklim pembelajaran yang memungkinkan
siswa memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai materi yang dibelajarkan, dan
mengembangkan serta melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilan-keterampilan sosial yang
dimilikinya secara optimal. Dengan demikian, pembelajaran IPS harus diformulasikan dan
ditekankan pada aspek kependidikannya.
Beranjak dari beberapa pengertian di atas, dalam hubungannya dengan penyajian
hasil penelitian ini dalam bentuk buku ajar, pengertian IPS yang digunakan adalah pengertian
IPS sebagaimana yang terdapat dalam buku pedoman guru IPS di sekolah dasar berdasarkan
kurikulum IPS SD 2006, yang memberikan pengertian IPS sebagai mata pelajaran yang
merupakan perpaduan dari sejumlah mata pelajaran sosial yang mengajarkan pengetahuan, nilai,
sikap, dan keterampilan kepada siswa untuk memahami lingkungan dan masalah-masalah sosial
di sekitarnya, serta sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Analisis Domain Standar Kompetensi Siswa dalam Pembelajaran IPS


Berdasarkan hasil pengkajian dan analisis terhadap kurikulum IPS SD 2006, dalam dinamika
historis-epistemologisnya, konsep dan model pendidikan berbasis kompetensi sebenarnya bukan
wacana baru. Sejak permulaan abad 20, telah banyak para pakar dan pengembang IPS yang
disebut sebagai the Old Master seperti Dewey, Counts, Charles, Beard, dan Rugg telah menggagas
perlunya pendidikan berbasis kompetensi (PBK). Bahkan, konsep pendidikan berbasis kompetensi
yang berorientasi pada produktivitas ekonomi dan pekerja kritis menurut Hursch & Ross (2000)
sudah muncul bersamaan dengan kelahiran konsep IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan yang
berorientasi pada pembentukan warga negara yang arif, kritis, dan partisipatif, yang memadukan
antara dimensi sosio-ekonomis dan sosio-kultural.
Berdasarkan hasil studi kepustakaan (bibliograi research), diperoleh data bahwa tipologi
kompetensi yang umum berlaku dan diberlakukan dalam kurikulum IPS SD 2006, mencakup
aspek: (1) pengetahuan (knowledge), (2) keterampilan (skill), (3) nilai (value), dan (4) sikap
(attitude) dengan beberapa variasi di dalam unsur-unsur substantif dan penekanannya. Ada pula
pakar yang menggunakan terma lain, tetapi memiliki maksud yang sama. Di antaranya adalah
buah pemikiran dari Michaelis (1976) yang menggunakan tema-tema conceptual, process,
(social) skill, dan affective. Sementara pakar lain seperti Martorella (1985) mengklasiikasikan
kompetensi IPS menjadi relective (head), competent (hand), dan concerned citizen (heart); atau
Schuncke (1988) yang membuat tipologi kompetensi IPS SD dalam terma knowing, doing,
dan caring. Zevin (1992) menggunakan terma didactic, relective, dan affective; dan Alleman &
Brophy (1996) menggunakan terma understanding, appreciation, dan life application. Comission
of Social Studies (CSS) juga menggunakan terma social feeling, social thought, dan social
action sebagai tiga kompetensi dalam konteks community civics-nya. Kajian-kajian konseptual
kompetensi ke-IPS-an tersebut, membuktikan bahwa secara konseptual, pemaknaan terhadap
kompetensi dalam IPS dikalangan para ahli masih cukup beragam, sehingga aktualisasinyapun
dalam kurikulum sangat beragam.
Berdasarkan temuan dan argumentasi di atas, tipologi kompetensi yang direkonstruksi di
dalam studi ini pun, berbeda dengan tipologi yang umum dikenal seperti dikemukakan di atas.
Kompetensi yang direkonstruksi di dalam penelitian ini, tidak dirumuskan atas dasar tiga tradisi
besar pembelajaran IPS menurut tipologi Barr, Barth, & Shermis, atau lima tradisi IPS menurut
tipologi Martorella yang didasarkan dan dikembangkan dari tipologi Barr, Barth, & Shermis,
Engle, Nelson dan Michaelis. Namun beberapa kompetensi yang dirumuskan di dalam kajian ini
memiliki kesamaan dengan kedua tipologi tersebut tetapi dengan maksud, tujuan, dan pemaknaan
yang berbeda.

208
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Kompetensi-kompetensi yang dikaji dan dirumuskan dalam studi ini lebih terbatas, karena
tidak dirumuskan berdasarkan rincian substantif dari topik materi atau pokok bahasan yang terdapat
di dalam kurikulum IPS SD 2006, sehingga jumlahnya tidak sebanyak butir-butir kompetensi
ke-IPS-an yang berhasil diidentiikasi dalam konstruk kurikulum IPS 2006, atau identiikasi
kompetensi seperti di dalam berbagai kepustakaan IPS SD lainnya. Dasar pemikiran utama di
dalam menyusun tipologi dan jenis kompetensi IPS SD di dalam studi ini adalah kemampuan-
kemampuan dasar alamiah (native capacities, natural capabilities) yang sudah dimiliki oleh
siswa untuk mengembangkan jati dirinya sebagai makhluk personal, sosiokultural, dan intelektual
(Dewey, 1964). Dengan demikian, kompetensi-kompetensi yang dirumuskan di dalam studi ini
benar-benar bersifat mendasar bagi siswa dalam upaya membentuk dan membangun sendiri
struktur pengetahuan/ pengertian, keterampilan, nilai, sikap, dan tindakannya baik dalam konteks
kehidupan pribadi, sosial, dan kultural; serta menjadi bagian integral dalam setiap ikhtiar siswa
untuk membangun dan mengembangkan identitas, karakter, atau jatidirinya sebagai makhluk
personal, sosiokultural dan intelektual. Dengan kata lain, kompetensi yang dimaksudkan di
dalam penelitian ini lebih dimaknai sebagai karakter, atau dalam konteks Kurikulum Berbasis
Karakter, bukan dalam pengertian kompetensi yang dipahami selama ini. Sebagaimana sifatnya
yang mendasar, kompetensi-kompetensi yang dirumuskan di dalam studi ini diyakini kenyal dan
terbuka terhadap berbagai perubahan kurikulum yang niscaya tak terhindarkan di masa-masa
mendatang.
Berdasarkan hasil kajian awal terhadap kurikulum IPS-SD sesuai dengan yang tercandra
dalam KTSP, dapat disimpulkan bahwa kompetensi-kompetensi siswa dalam konteks ke-
IPS-an yang secara kontekstual, konseptual, dan ilosois meliputi: (1) kompetensi personal:
konsep dan pengertian diri, sikap obyektif terhadap diri-sendiri, aktualisasi diri, kreativitas
diri, dan penghayatan terhadap nilai dan sikap keberagamaan dalam kehidupan pribadi dan
sosial; (2) kompetensi sosial: pemahaman dan kesadaran atas hakikat diri sebagai anggota
atau bagian dari masyarakat, pemahaman dan kesadaran atas tatakrama/sopan santun dalam
kehidupan bermasyarakat, kemampuan berkomunikasi, kemampuan interaksi sosial, kemampuan
bekerjasama dengan sesama, sikap prososial atau altruisme, kemampuan partisipasi sosial, dan
kemampuan pemahaman dan kesadaran terhadap keberbedaan dan kesederajatan (gender, etnis,
dan budaya); dan (3) kompetensi intelektual: berpikir kritis-relektif, berpikir kontekstual, berpikir
pragmatis, kemampuan keruangan/spasial (keterampilan geograis), pemahaman dan kesadaran
tentang waktu, kemampuan logika-matematika, dan pemahaman dan kesadaran kesejarahan
(Lasmawan, 2007).

Pola Organisasi Isi Kurikulum IPS SD


Secara paradigmatik, isi kurikulum IPS Sekolah Dasar dipandang memiliki sebuah pola
organisasi dan struktur, apabila tercipta dalam bentuk sebuah jalinan atau relasi sistemik yang
saling berkaitan penuh makna di antara satu bagian materi dengan bagian materi yang lain,
hingga membangun sebuah totalitas atau kesatuan bidang-materi (subject matter); berdasarkan
prinsip sirkularitas atau siklus-berjenjang, serta sejalan dengan mekanisme-mekanisme personal,
interpersonal, dan sosiologis.
Berdasarkan konteks dan prinsip di atas, maka gagasan rekonstruksi pola organisasi materi
IPS Sekolah Dasar di dalam penelitian ini didasarkan prinsip a student’s psychological, socio-
cultural, and intellectual horizons reconstructions character-based, yakni bawa materi-materi
kurikulum IPS Sekolah Dasar: (1) dapat dimengerti, dijelaskan, dan dimaknai secara personal
(individually deined). Artinya, bahwa pola organisasi isi kurikulum harus assimilatif, akomodatif,
dan adaptif dengan mekanisme-mekanisme dan fungsi internal siswa. (2) merupakan alat-alat
psikologis (psychological tools) yang bersifat sosiokultural yang dapat dijadikan mediasi dan
jembatan bagi siswa untuk melakukan modiikasi dan tranformasi struktur dan fungsi internalnya
(kognitif, afektif, dan motorik) ketika interaksi dan komunikasi pembelajaran terjadi (a

209
Buku Prosiding Seminar Nasional

sociocultural learning mediated). (3) memiliki relevansi dan signiikansi tinggi secara sosial,
kultural, dan historikal (a socially, culturally, and historically relevant excellence). (4) merupakan
suatu jalinan atau relasi yang saling berkaitan penuh makna (a meaningful systemic organization)
di antara satu bagian materi dengan bagian materi yang lain, menjadi sebuah totalitas atau kesatuan
materi (subject matter). (5) mengikuti pola sirkular, spiral, atau siklus-berjenjang dengan
cakupan materi yang semakin luas, kaya, variatif, dan berlapis. (6) memungkinkan siswa mampu
melakukan rekonstruksi-rekonstruksi terhadap konstruksi pengetahuan, domain pengalaman,
dan jaringan struktur pengetahuan (faktual, deklaratif/konseptual, prosedural, metakognitif, dan
normatif/afektif) yang ada, menjadi sesuatu yang baru, dan lebih baik. Agar rekonstruksi terjadi,
isi kurikulum harus menantang dan sarat masalah yang dapat menstimulasi dan menuntut siswa
terlibat secara aktif, kritis, dan relektif untuk menemukan pemecahannya. (7) berpijak pada dan
bertujuan mengembangkan kompetensi-kompetensi personal, sosial, dan intelektual, sebagai dasar
bagi siswa untuk melakukan rekonstruksi-rekonstruksi pengetahuan, nilai, sikap, dan tindakan
secara mandiri di dalam konteks kehidupan personal dan sosial. (8) mampu menyinambungkan,
memperkuat, dan memperluas struktur alamiah dan sosiokultural siswa dan masyarakat yang
menjadi konteks kehidupan siswa sebagai makhluk sosio-kultural, kultural, dan historikal. Untuk
mewadahi kedelapan prinsip yang didasarkan pada konteks dan prinsip pengorganisasian struktur
internal siswa di atas, maka materi IPS Sekolah Dasar perlu direkonstruksi secara terintegrasi
dalam suatu jalinan tematikal (thematic approach) dalam bentuk topik-topik, gagasan-gagasan,
kejadian-kejadian, praktik-praktik, proses-proses, kasus-kasus, dan/atau masalah-masalah yang
saling terkait antara yang satu dengan yang lain, baik pada tataran individual maupun dalam
tataran kehidupan masyarakat (keluarga hingga global).
Berdasarkan kajian dan temuan empiris, maka dapat disimpulkan bahwa ada dua
kontribusi penting pemikiran Vygotsky yang bisa digunakan sebagai pijakan dalam rekonstruksi
struktur isi kurikulum IPS Sekolah Dasar, yaitu: (1) bahwa hakikat struktur isi kurikulum adalah
sosiokultural (their nature are sociocultural character; becoming culturally and socially informed
and organized); (2) bahwa struktur isi kurikulum harus menjadi sebagai alat-alat psikologis yang
mampu memediasi dan menjembatani kemungkinan bekerjanya fungsi-fungsi psikologis yang
terdapat pada diri siswa.

4. Simpulan
Penelitian ini menghasilkan kurikulum IPS SD yang secara ontologi, epistemologi,
dan aksiologi menurut teori rekonstruksi sosial Vigotsky sangat valid dan praktis sehingga
layak digunakan. Dalam perspektif konstruktivisme personal, sosiokultural, dan sosiologis
sebagaimana konstruk teori rekonstruksi sosial Vygotsky, kompetensi-kompetensi siswa yang
dikembangkan di dalam kurikulum IPS SD, secara ontologis merupakan perwujudan dari karakter
dan kapasitas alamiah dan sosiokultural siswa sebagai makhluk personal, sosial dan intelektual;
secara epistemologis, dibangun dan dikembangkan di dalam berbagai latar kebidupan keseharian
personal dan sosiokultural sebagai konteks pembentukannnya; dan secara aksiologis digunakan
di dalam membangun kesadaran personal dan sosiokultural siswa, dan dalam membangun
pengertian, nilai, sikap, dan tindakannya di dalam latar kehidupan personal dan sosiokulturalnya.
Penelitian ini juga sudah menghasilkan dua buah buku yang sudah divalidasi oleh dua oang pakar
dari Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, yaitu buku bahan ajar ilmu pengetahuan sosial
untuk SD ISBN 978-602-1698-06-8 (no.jil.lengkap); ISBN 978-602-1698-07-5 (jil.1); ISBN
978-602-1698-08-2 (jil.2).

5. Daftar Pustaka

Abijhani, P.V. (2006). The Social Studies Breaking Concepts. tersedia di: www.spartan.

210
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

ac.brocku. ca/~lward/dewey/dewey1910.html [diakses tanggal 10 Januari 2006].

Alleman & Brophy. (1996). Principle and Methods of Development Research. Dodrecht: Kluwer
Academic Publisher.

Banks, J.A. (1995). Transformative Challenges to the Social Sciences Disciplines: Implications
for Social Studies Teaching and Learning.. Theory and Research in Social Education,
XXIII(1), 2-20.

Buchori, M. (2001). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.

Cleaf, Van. (1991). The Process of Education. Cambridge: Harvard University Press.

Chapin and Messick. (1985). Social Studies for the Elementary Teacher. Boston: Allyn and
Bacon.

Depdiknas. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi Matapelajaran Pengetahuan Sosial


dan Kewarganegaraan Sekolah Dasar. Jakarta: Pusbangkurrandik.

Depdikbud. (1993). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusbangkurrandik,


Depdikbud.

Dewey, J. (1964). Democracy and education: An Introduction to the Philosophy of


Education. New York: Mcmillan Co.

Ellis, A.K. (1998). Teaching and Learning Elementary Social Studies. (6th ed). Boston: Allyn &
Bacon.

Farisi, M.I. (2006). Rekonstruksi Pendidikan IPS-SD Berdasarkan Perspektif Kepentingan Belajar
Siswa (Laporan Penelitian). Universitas Terbuka.

Kenworthy, (1981). The Conditions of Learning. New York: Holt, Rinehart & Winston.

Hursch & Ross. (2000). Teaching High School Social Studies: Problems in Relective Thinking
and Social Understanding. New York: Harper & Brothers Publisher.

Hasan, Said Hamid. (1996). Tujuan Kurikulum Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Jurnal Pendidikan
Ilu-ilmu Sosial (JPIS), edisi perdana. 92-101.

Hasan, Said Hamid (1990). Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial. (Buku Dua). Bandung: Jurusn
Pendidikan Sejarah FPIPS-IKIP.

Lasmawan, W. (2007). Studi Evaluative Kesiapan Guru IPS Memberlakukan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan di Kota Singaraja (laporan penelitian). Singaraja: Lembaga Penelitian
Undiksha.

Lasmawan, W. (2008). Pengembangan Model Buku Ajar Berwawasan Sosial-Budaya dalam


Pembelajaran IPS Sekolah Dasar (Laporan Penelitian). Singaraja: Lembaga Penelitian
Undiksha.

Martorella. (1985). The Revolution of Socil Concept. USA: Agraware Ltd.

Michaelis. (1976). Psychological Tools. A Socio-cultural Approach to Education. London:


Harvard University Press.

NCSS. (2004). Expectations of Excellence: Curriculum Standards for Social Studies. Washington:
NCSS.

211
Buku Prosiding Seminar Nasional

NCSS. (2007). Science-Technology-Society (STS) in Social Studies: Position Paper. Washington


DC: NCSS.

Puskur, (2001). Masalah IPA dan IPS, dalam Sindhunata (ed). Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang
Zaman. Yogyakarta: Kanisius. 251-255.

Scuncke. (1988). Comparing Theories of Child Development. Belmont, California: Wadsworth


Publishing Company, Inc.

Somantri, (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Dedi Supriadi & Rohmat Mulyana
(ed). Bandung: PPS-FPIPS UPI dan PT. Remadja Rosda Karya.

Winataputra, U.S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kèwarganegaraan sebagai Wahana Sistemik


Pendidikan Demokrasi (Suatu kàjian kònseptual dalam kònteks Pendidikan IPS).
Disertasi, Bandung: PPS-UPI.

…………. Reorientasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Mengantisipasi Perubahan Sosial


di Era Global. Makalah Seminar Nasional dan Kongres Forum Komunikasi X Pimpinan
FPIPS/FIS/FKIP Universitas/IKIP se Indonesia serta Kongres HISPIPSI, 22-24 Oktober.

Wiriaatmadja, R. (2003). Pembelajaran IPS di Tingkat Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Ilmu
Sosial. No.20 Tahun XI, Januari – Juni 2003. 22-27

Zevin. (1992). Socil Studies in Schools: A History of The Early Years. New York: State University
of New York Press.

212
HASIL PEMIKIRAN
(GAGASAN KREATIF)

213
214
IMPLEMENTASI POLA PENATAAN PEKARANGAN
TRADISIONAL BALI YANG DILANDASI OLEH KEARIFAN
LOKAL TRI HITA KARANA DI SEKOLAH DAPAT MEMBANGUN
KARAKTER DAN BUDAYA KONSERVASI SISWA

Dewa Nyoman Oka


Pendidikan Biologi, FP MIPA, IKIP Saraswati, Tabanan, Bali
e-mail: dewanyoman_oka@yahoo.co.id

Abstrak
“Tri Hita Karana” artinya tiga penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan yang bersumber
dari keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia
dengan sesamanya, dan manusia dengan alam lingkungannya. Pola penataan pekarangan
tradisional Bali secara garis besar dibagi menjadi 3 area (Tri Mandala). “Parhyangan” atau
“utama mandala” merupakan hulu pekarangan tempat dibangunnya “Sanggah Pemrajan”,
yaitu tempat manusia berhubungan dengan Tuhan. “Pawongan” atau “madya mandala”
merupakan bagian badan “pekarangan”.Pada area ini dibangun tempat tinggal, tempat
manusia berhubungan dengan sesamanya. “Palemahan” atau “nista mandala” merupakan
bagian dari kaki “pekarangan”. Pada area ini dibangun kandang ternak dan ditanam bebagai
jenis tanaman, tempat manusia berhubungan dengan lingkungannya. Semua sekolah di Bali
seharusnya mengimplementasikan kearifan lokal “Tri Hita Karana”. pada area “Parhyangan”
sekolah, di bangun pura sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk membangun karakter siswa.
Di bagian “pawongan” sekolah dimanfaatkan sebagai tempat berlangsungsungnya proses
pembelajaran dan tempat berinteraksinya seluruh warga sekolah. Pada bagian “palemahan”
sekolah dimanfaatkan sebagai tempat pembelajaran yang berkaitan dengan tanaman dan
hewan serta hubungan timbal balik antara berbagai komunitas mahkluk hidup yang ada di
“palemahan” dengan lingkungan abiotiknya sebagai obyek pembelajaran. Karena digunakan
sebagai obyek pembelajaran, diharapkan akan terbangun budaya konservasi untuk merawat
dan melestarikan lingkungan alam sekolah.

Kata kunci: tri hita karana, karakter, konservasi

Abstract
“Tri Hita Karana” means three causes of prosperity and happiness that comes from balance
and harmonious relationship between humans and God, humans and neighbor, and humans
with the natural environment. Structuring the pattern of traditional Balinese courtyard broadly
divided into three areas (Tri Mandala). “Parhyangan” or main “mandala” is upstream where
he built “Sanggah Pemrajan”, where the man in touch with God. “Pawongan” or middle
“mandala” is part of the body. in this area was built shelter, where people interact with each
other. “Palemahan” or insult “mandala” is part of the foot yard. In this area cattle sheds built
and planted trending plant species, where people interact with their environment. All schools
in Bali should implement local wisdom “Tri Hita Karana”. “Parhyangan” or school’s temple,
can be used to build the character of students. At the school’s “pawongan” can be used as
a learning process and interaction betwen school community. At the school’s “palemahan”
can used as a place of learning related to plants and animals as well as the interrelationships
between the various communities living things that exist in the environment can be learning
objects. Because it is used as an object of study, expected to be awakened conservation
culture to care for and preserve of the school’s natural environment.

Key words: tri hita karana, character, conservation

215
Buku Prosiding Seminar Nasional

1. Pendahuluan
Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kebahagiaan yang bersumber pada
keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya,
dan manusia dengan alam lingkungannya. Dengan menerapkan falsafah tersebut diharapkan
dapat menggantikan pandangan hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme dan
materialisme. Membudayakan Tri Hita Karana akan dapat memupus pandangan yang mendorong
konsumerisme, pertikaian dan gejolak. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara
satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup dengan menghindari diri
pada segala tindakan buruk. Hidupnya akan seimbang, tenteram, dan damai.
Pola penataan pekarangan tradisional Bali yang dilandasi oleh falasafah Tri Hita Karana
secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu utama, madya dan nista mandala.
Utama mandala merupakan bagian kepala/ hulu dari pekarangan yang disucikan oleh orang
Bali. Di sini dibangun bangunan yang benilai utama seperti pemrajan/ Pura keluarga. Madya
Mandala merupakan bagian badan/ tengah dari pekarangan di sini ditempatkan bangunan yang
bernilai madya seperti tempat tinggal penghuni. Nista Mandala merupakan bagian kaki/ hilir dari
pekarangan pada bagian ini ditempatkan bangunan yang bernilai nista misalnya kandang ternak.
Di Nista Mandala selain dipelihara ternak juga tumbuh berbagai jenis tanaman hortikultura.
Populasi berbagai tanaman dan ternak berinteraksi satu sama dengan yang lainnya membentuk
komunitas. Komonitas ini berinteraksi secara langsung atau tidak langsung dengan lingkungan
abiotik membentuk sebuah ekosistem yang sangat dinamis.
Dari uraian di atas, timbul pertanyaan sebagai berikut. 1) Apakah pola penataan pekarangan
tradisional Bali yang dilandasi oleh kearifan lokal (local wisdom) Tri Hita Karana sudah
diimplentasikan di sekolah? 2) Apa manfaat implementasi pola penataan pekarangan tradisional
Bali yang dilandasi kearifan lokal Tri Hita Karana bagi siswa?

2. Pembahasan
2.1 Hakekat Tri Hita Karana
Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan/ kebahagiaan.
(Tri = tiga, Hita = sejahtera/ kebahagiaan, Karana = penyebab). Hakikat mendasar Tri Hita
Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan
hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya , dan manusia dengan alam
lingkungannya. Dengan menerapkan falsafah tersebut diharapkan dapat menggantikan pandangan
hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme dan materialisme. Membudayakan
Tri Hita Karana akan dapat memupus pandangan yang mendorong konsumerisme, pertikaian
dan gejolak. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya. Apabila
keseimbangan tercapai, manusia akan hidup dengan menghindari diri pada segala tindakan buruk.
Hidupnya akan seimbang, tenteram, dan damai.
Dalam hal hubungan manusia dengan lingkungannya manusia harus menyadari bahwa
hidupnya sangat tergantung kepada lingkungannya. Oleh karena itu manusia harus selalu
memperhatikan situasi dan kondisi lingkungannya. Lingkungan harus selalu dijaga dan dipelihara
serta tidak dirusak. Lingkungan harus selalu bersih dan rapi. Lingkungan tidak boleh dikotori atau
dirusak. Hutan tidak boleh ditebang semuanya, binatang-binatang tidak boleh diburu seenaknya,
karena dapat menganggu keseimbangan alam. Lingkungan justru harus dijaga kerapiannya,
keserasiannya dan kelestariannya. Lingkungan yang ditata dengan rapi dan bersih akan
menciptakan keindahan. Keindahan lingkungan dapat menimbulkan rasa tenang dan tenteram
dalam diri manusia.

2.2 Pola Penataan Pekarangan Tradisional Bali yang Dilandasi FasafahTri Hita Karana
Pola penataan pekarangan tradisional Bali secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri
Mandala) yaitu: (1) Parhyangan/ utama mandala merupakan bagian kepala/hulu dari pekarangan

216
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

yang disucikan oleh orang Bali. Di sini dibangun bangunan yang bernilai utama seperti Sanggah
Pemrajan/ pura keluarga. Dibangunnya Sanggah Pemrajan pada parhyangan/ utama mandala
sebagai tempat yang suci, sakral, dan luhur dimaksudkan sebagai tempat dan wahana melakukan
pemujaan kepada leluhur untuk mencapai tujuan keharmonisan hidup. Semua umat Hindu memiliki
Sanggah Pemrajan dan meyakini sebagai bagian dari penghormatan kepada leluhur. Konsep ini
kemudian menyebabkan adanya penghormatan kepada orang tua sebagai guru rupake dalam
pendidikan informal di rumah atau keluarga. Dengan adanya pemrajan dapat mengembangkan
dan melestarikan budaya Agama Hindu, mengembangkan rasa keindahan dan kehalusan budhi
pekerti. Kalau dikaitkan dengan alam semesta dan lintasan matahari, utama mandala letaknya
di arah Gunung/ matahari terbit; (2) Pawongan/ madya mandala merupakan bagian badan/
tengah dari pekarangan disini ditempatkan bangunan yang bernilai madya seperti tempat tinggal
penghuni. Tempat tinggal atau rumah yang dibangun di pawongan/ madya mandala mempunyai
makna untuk menjaga harmonisasi hubungan sesama manusia, pengembangan potensi diri,
inisiatif dan kreativitas manusia, kebutuhan hidup bersama, tolong menolong, norma dan etika.
Kalau dikaitkan dengan alam semesta dan lintasan matahari, madya mandala letaknya di dataran/
matahari mencapai titik kulminasi; (3) Palemahan/ nista mandala merupakan bagian kaki/ hilir
dari pekarangan pada bagian ini ditempatkan bangunan yang bernilai nista misalnya kandang
ternak. Selain kandang ternak, di palemahan/ nista mandala mereka menanam berbagai jenis
tanaman hortikultura seperti tanaman mangga, nangka, rambutan, manggis, durian, kelapa, wani,
sentul, juwet, jambu biji dan lain-lainnya. Di samping itu di palemahan/ nista mandala juga
dipelihara berbagai jenis hewan terutama ayam, itik, dolong, babi dan sapi. Berbagai proses daur
ulang dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan berlangsung di sini. Hal
ini dapat memberi manfaat ganda bagi manusia yaitu meningkatkan gisi dan pendapatan keluarga,
tempat pembuangan sampah serta sumber oksigen. Kalau dikaitkan dengan alam semesta dan
lintasan matahari, nista mandala letaknya di arah laut/ matahari terbenam.

Gambar 1 Konsep Tri Angga pada Alam Lingkungan (Adhika, 2004)

217
Buku Prosiding Seminar Nasional

2.3 Implementasi Pola Penataan Pekarangan Tradisional Bali yang Dilandasi Oleh
Kearifan Lokal Tri Hita Karana Di Sekolahdapat Membangun Karakter dan Budaya
Konservasi Siswa
Menurut undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 Tahun 2003, tujuan
pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut perlu dilakukan berbagai upaya
dan inovasi dalam proses pembelajaran.Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan
mengimplementasikanpola penataan pekarangan tradisional Bali yang dilandasi oleh kearifan
lokal Tri Hita Karana di sekolah.Pola penataan pekarangan sekolah di yang dilandasi falsafah
Tri Hita Karana yang secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu (1)
parahyangan/ utama mandala merupakan bagian kepala/ hulu dari pekarangan, di sini di bangun
Pura Sekolah. Dibangunnya pura sekolah pada utama mandala sebagai tempat yang suci,
sakral, dan luhur dimaksudkan sebagai tempat dan wahana melakukan pemujaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa untuk mencapai tujuan keharmonisan hidup. Keberadaan pura sekolah dapat
meningkatkan pengintegrasian pola pikir, sikap hidup dan kecerdasan spiritual. Dengan adanya
pura sekolah siswa dapat mengembangkan dan melestarikan budaya Bali, mengembangkan rasa
keindahan dan kehalusan budhi pekerti. Parhyangan berupa pura sekolah sangat membantu
penumbuhan keimanan, ketakwaan, budaya melayani, kebersamaan, saling menghormati,
berbudaya kerja, budaya belajar, menghilangkan egoisme, merubah sifat eksklusif menjadi
integratif, membangun kekuatan moral & keteguhan mental, cermat, pengembangan bakat minat
seni budaya sebagai jati diri bangsa Indonesia; (2) pawongan/ madya mandala merupakan bagian
badan/ tengah dari pekarangan di sini ditempatkan bangunan yang bernilai madya seperti ruangan
pimpinan, ruangan guru, ruangan pegawai dan ruangan tempat siswa belajar. Di sini akan terjadi
harmonisasi hubungan sesama guru, sesama pegawai sesama siswa, guru dengan pegawai dan
siswanya. Di sini juga terjadi pengembangan proses pembelajaran, potensi diri, inisiatif dan
kreativitas siswa. Harmonisasi kebutuhan hidup bersama, tolong menolong, norma dan etika;
(3) palemahan/ nista mandala merupakan bagian kaki/ hilir dari pekarangan pada bagian ini
ditempatkan bangunan ternak untuk percobaan dan kebun sekolah. Unsur palemahan meletakkan
konsep keseimbangan dan harmonisasi hubungan antara manusia dengan alam.Pemanfaatan
palemahan, pengorganisasian palemahan, kesempatan hidup sehat, bugar, dan produktif bersama
alam, kesejahteraan dari alam, pelestarian alam, pengindaran bencana alam.
Parhyangan berupa pura sekolah sangat membantu penumbuhan keimanan, ketakwaan,
budaya melayani, kebersamaan, saling menghormati, berbudaya kerja, budaya belajar,
menghilangkan egoisme, merubah sifat eksklusif menjadi integratif, membangun kekuatan moral
& keteguhan mental, cermat, pengembangan bakat minat seni budaya sebagai jati diri bangsa
Indonesia.Parhyangan pura sekolah sangat membantu terbentuknya kesadaran ke Tuhan-an pada
diri siswa sehingga mereka lebih merasa tenang, aman, pikirannya lebih terarah pada pelajaran
di sekolah sehingga pendidikan di sekolah menjadi semakin kondusif. Lingkungan pendidikan
yang aman, nyaman, dan kondusif sangat membantu pelaksanaan pendidikan berkualitas di
sekolah.Hal ini sangat penting di tengah-tengah situasi pendidikan di Indonesia yang masih
banyak mengalami gangguan kekerasan dan tawuran antar pelajar. Dalam bidang pengembangan
kompetensi siswa, lingkungan belajar yang tenang, nyaman, aman, dan terkondisi baik secara
sosial maupun secara akademis di laboratorium atau bengkel akan membantu dan mendukung
siswa untuk mengembangkan ketrampilan/ skill secara kreatif. Keberadaan parhyangan pura
sekolah sangat bermanfaat dalam peningkatan pengintegrasian pola pikir dan sikap hidup bersih
jasmani rokhani, gotong royong, kerja sama, ngayah, kekeluargaan, saling melayani, komunikasi,
tanggungjawab, budaya belajar, pengembangan seni dan budaya, ekspresi karya seni, spiritual,
dana punia.

218
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Pengembangan pendidikan dengan kearifan lokal Tri Hita Karana membutuhkan


keharmonisan dan keseimbangan unsur manusia warga sekolah dalam pengembangan budaya
belajar, budaya melayani, dan budaya kerja berdasarkan falsafah Tri Hita Karana dalam
membangun kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bersama. Sekolah sebagai lembaga
pendidikan sangat tepat digunakan sebagai basis inovasi dan pengembangan kualitas pendidikan
untuk menjawab tantangan menurunnya nilai-nilai budaya untuk menghasilkan output pendidikan
yang memiliki identitas dan daya saing internasional.
Keberlangsungan mutu dan relevansi pendidikan di Bali sangat ditentukan oleh kemampuan
lembaga pendidikan dalam menerapkan kearifan lokal Bali secara terencana dan terprogram
dengan tetap menyerap standar nasional dan internasional. Sebagai salah satu kearifan
lokal masyarakat Bali yang telah diakui oleh UNESCO, Tri Hita Karana adalah kristal bagi
pengembangan pendidikan di Indonesia yang dapat dikembangkan secara global. Tri Hita Karana
sangat baik digunakan sebagai framework pendidikan di Indonesia yang berfungsi sebagai
penyaring pengaruh negatif globalisasi. Tri Hita Karana dapat digunakan sebagai penguat dan
pemupuk tumbuhnya pendidikan yang mengakar kepada kearifan lokal dengan perspektif global
untuk pembangunan pendidikan berkelanjutan.
Implementasi Tri Hita Karana di sekolah diharapkan dapat melahirkan manusia yang
memiliki kemampuan mengelola hidup dengan baik dan benar. Tanpa membangun karakter
yang luhur pendidikan itu akan menimbulkan dosa sosial. Kalau sekolah menyelenggarakan
pendidikan untuk mengajar peserta didik hanya untuk mencari nafkah, maka pendidikan itu
tidak akan membawa perbaikan hidup dalam masyarakat. Menyadari hal ini pendidikan harus
diselenggarakan dengan nilai tambah moralitas dan kebudayaan Bali berlandaskan Tri Hita
Karana. Internalisasi ideologi Tri Hita Karana di sekolah sangat kuat terlihat dalam penataan dan
pemanfaatan bangunan fasilitas gedung dan pura sekolah, penataan lingkungan areal sekolah, dan
adanya unsur manusia atau warga sekolah.Semua sekolah di Bali mestinya dilengkapi dengan
parhyangan berupa pura sekolah yang dibangun di bagian utama mandala sebagai lokasi hulu
dari sekolah.
Unsur palemahan sebagai unsur ketiga dalam konsep Tri Hita Karana juga menjadi bagian
yang tidak terpisahkan di sekolah. Penataan kerindangan, keindahan dan kenyamanan sekolah
dengan berbagai tanaman sangat mendukung program pemerintah yang disebut dengan green
school. Penghijaun dan penanaman tanaman hortikultura (tanamam buah-buahan, tanaman sayur-
sayuaran, tanaman obata-obatan dan tanaman hias) memiliki nilai fungsi yang sangat tinggi. Selain
sebagai penghasil oksigen segar, memilikiki nilai seni, nilai ekonomi dan dapat menambah nilai
gisi keluaraga tananam ternyata menjadi obyek belajar yang sangat bagus bagi siswa. Bukan
hanya tanaman, hewan-hewan percobaan yang lucu yang dilepas di kebun sekolah juga dapat
dipakai obyek belajar. Bahkan hubungan timbal balik secara langsung maupun tidak langsung
antara berbagai komonitas hewan dan tanaman dengan lingkunan abiotiknya dapat digunakan
sebagai media dalam pembelajaran ekosistem. Di mana media pembelajaran ekosistem ini
memiliki manfaat sebagai berikut. (1) dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga
dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar. (2) dapat meningkatkan dan
mengarahkan perhatian anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih
langsung antara siswa dan lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk belajar sendiri-sendiri
sesuai dengan kemampuan dan minatnya. (3) dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang dan
waktu. (4) dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa di
lingkungan mereka, serta memungkinkan terjadinya interaksi langsung dengan guru, masyarakat,
dan lingkungannya.Oleh karena digunakan sebagai obyek belajar, maka siswa terikat perilaku
memelihara dan merawat. Akibatnya siswa memiliki budaya konservasi untuk merawat dan
melestarikan lingkungan alam sekolah.

219
Buku Prosiding Seminar Nasional

3. Simpulan
1. Tri Hita Karana artinya tiga penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan yang bersumber
dari keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara: (1) manusia dengan Tuhan
(parhyangan); (2) manusia dengan sesamanya (pawongan); (3) manusia dengan alam
lingkungannya (palemahan). Harmonis berarti melakukan hal-hal yang mengandung
kebaikan, kesucian yang dimulai dari pikiran, terucap dalam perkataan dan terlihat dalam
tindakan/ perbuatan
2. Pola penataan pekarangan tradisional Bali secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri
Mandala) yaitu (1) Parhyangan/ utama mandala merupakan bagian kepala/ hulu dari
pekarangan yang disucikan oleh orang Bali. Di sini dibangun bangunan yang bernilai utama
seperti sanggah pemrajan/ pura keluarga; (2) Pawongan/ madya mandala merupakan
bagian badan/ tengah dari pekarangan di sini ditempatkan bangunan yang bernilai madya
seperti tempat tinggal penghuni; (3) Palemahan/ nista mandala merupakan bagian kaki/
hilir dari pekarangan pada bagian ini ditempatkan bangunan yang bernilai nista misalnya
kandang ternak. Pada pekarangan tradisional Bali yang dilandasi kearifan lokal Tri Hita
Karana akan terjadi hubungan yang sangat harmonis antatara manusia dengan Tuhan ,
manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam lingkungannya.
3. Semua sekolah di Bali semestinya mengimplementasikan kearifan lokal Tri Hita Karana
di sekolah. Artinya sekolah dilengkapi dengan (1) Parhyangan berupa pura sekolah yang
dibangun di bagian utama mandala sebagai lokasi hulu dari sekolah, dimanfaatkan untuk
membangun karakter siswa; (2) Pawongan berupa gedung sekolah, dimanfaatkan sebagai
tempat berlangsungsung proses pembelajaran dan tempat berinteraksinya seluruh warga
sekolah; (3) unsur palemahan sebagai unsur ketiga dalam konsep Tri Hita Karana juga
menjadi bagian yang tidak terpisahkan di sekolah dapat dimanfaatkan sebagai tempat
pembelajaran, dengan menggunakan tanaman dan hewan serta hubungan timbal balik antara
berbagai komunitas mahluk hidup yang ada di palemahan dengan lingkungan abiotiknya
sebagai obyek pembelajaran. Oleh karena digunakan sebagai obyek belajar, maka siswa
terikat perilaku memelihara dan merawat. Pada akhirnya mampu menumbuhkan budaya
konservasi pada diri siswa dan warga sekolah untuk merawat dan melestarikan lingkungan
alam mulai dari lingkungan sekolah mereka.

4. Daftar Pustaka

Adhika, I M. (2004). Pola Penataan Ruang Unit Pekarangan di Desa Bongli Tabanan.Jurnal
Pemukiman Natah, 2 (1): 1 – 55
Dwijendra, N.K.A. (2003). Perumahan dan Pemukiman Tradisional Bali. Jurnal Pemukiman
“Natah,” 1 (1): 1 - 24
Equtari, K. E., Suhirman. (2016). Pola Berkelanjutan Prisip Tri Hita Karana dalam penglolaan
sumber Daya air untuk Pertanian Berbasis Subak di Kawasan Perkotaan (Studi Kasus:
Subak ayung, Sbak gaji, Subak Seminyak, Kabupaten Badung, Provinsi Bali). Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota BSAPPK, 2 (1): 142 – 148
Mudra. I W. (2010).Rumah Tinggal Tradisional Bali dari Aspek Budaya dan Antropometri.Jurnal
Seni Budaya, 26 (1): 95 – 106.
Sudira. (2016). Praksis Tri Hita Karana dalam Struktur dan Kultur Pendidikan Karakter Kejuruan
pada SMK di Bali. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Wikipedea. (2013). Tri Hita Karana (online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Tri_Hita_Karana),
diakses 9 April 2013.

220
ESTIMASI TRUE SCORE DALAM PENGUKURAN PENDIDIKAN
BERDASARKAN PENDEKATAN TEORI TES KLASIK

Dina Huriaty
Program Studi Pendidikan Matematika, STKIP PGRI, Banjarmasin, Kalimantan Selatan
e-mail:dina_rty@yahoo.co.id

Abstrak
Tes prestasi belajar merupakan salah satu alat pengukuran pendidikan yang digunakan oleh
pendidik dalam mengambil keputusan. Keputusan yang diambil dapat berupa penentuan
nilai dan penentuan lulus tidaknya seorang peserta didik. Skor atau nilai yang diperoleh
merupakan gambaran prestasi atau kemampuan peserta didik pada kompetensi tertentu.Skor
yang diperoleh peserta didik pada suatu tes merupakan skor amatan (observed score), yang
disebut juga sebagai skor tampak (X). Setiap peserta didik yang memperoleh skor tampak
X, terdapat pula angka lain yang disebut skor sesungguhnya. Skor sesungguhnya ini adalah
angka performansi yang benar dan merupakan representasi murni yang tidak dapat diketahui
besarnya dan tidak dapat diungkap secara langsung oleh suatu tes. Skor sesungguhnya ini
disebut skor murni (true score T). Kajian ini memberikan deskripsi tentang true score dan
metode estimasi true score.Mengestimasi true score merupakan salah satu tujuan dalam
pengukuran pendidikan dan psikologi. Distribusi true score merupakan sesuatu yang esensial
untuk memahami proses pengukuran, efek dari kesalahan pengukuran, dan sifat skor amatan
yang bisa saja terjadi kesalahan dalam pengukurannya.

Katakunci:true score, teori tes klasik

Abstract
Achievement test is one of educational measurement tools that used by educators in making
decisions. The decisions can be value determination and student’s determination of pass/
fail. Scores or grades which are obtained is a picture of achievement or ability of students
in a particular competency. Scores which is obtained by students in a test is a observed
score (X). Each student which have a observed score, also have another score called the true
score. True Score is a true performance scores and a pure representation of the unknowable
magnitude and could not be resolved directly by a test. This study provides a description
of the true score and the true score estimation method. Estimating the true score is one of
the goals in the measurement of education and psychology. Distribution of true score is
essential to understand the measurement process, the effects of error measurement , and
nature observed scores could have been an error in the measurement.

Keywords: true score, classical test theory

1. Pendahuluan

T
es prestasi belajar merupakan salah satu alat pengukuran pendidikan yang digunakan
oleh pendidik dalam mengambil keputusan. Keputusan tersebutberhubungan dengan
penentuan nilai ataululus tidaknya seorang peserta didik. Keputusan terhadap kemampuan
peserta didik pada kompetensi tertentu biasanya didasari atasskor yang diperoleh peserta didik
atau siswa pada suatu tes.Skor tersebut dalam pengukuran pendidikan disebut skor perolehan
atau skor tampak, yang disebutjugaobserved score. Menurut teori tes klasik, selainskor tampak
terdapat pula angka lain yang disebut skor sesungguhnya atau true score.
Interpretasi skor tes dapat dilakukan dengan estimasi titik dan estimasi interval kepercayaan.
Nilai yang diperoleh oleh siswa pada suatu tes merupakan estimasi titik dari skor tampak. Estimasi
titik untuk true score berkaitan dengan kesalahan yang termuat dalam pengukuran. Kesalahan

221
Buku Prosiding Seminar Nasional

pengukuran pada suatu tes berdistribusi bebas dengan true score pada tes yang sama. Sehingga
true score individu dapat ditempatkan sebagai parameter.True score dapat diestimasi melalui skor
tampak, dalam hal ini true score siswa pada suatu tes dapat diestimasi melalui skor yang diperoleh
siswa.
Konsep true score sebagai elemen dari model matematika dapat digunakan untuk membuat
prediksi tertentu tentang sifat dari skor tampak.Beberapa metode estimasi pada masing-masing
pendekatan, baik berdasarkan Teori tes klasik maupun Teori respons butir, digunakan dalam
mengestimasi true scores. Beberapa metode untuk mengestimasi true score dinyatakan oleh
beberapa ahli. Estimasi true score dapat dinyatakan dalam bentuk estimasi titik dan estimasi
interval.
Kajian berikut akan menguraikan tentang distribusi true score, kesalahan pengukuran baku,
dan beberapa metode dalam mengestimasi true score.Kajian ini diharapkandapat memberikan
sumbangan bagi perkembangan teori tes klasik dan khususnya bagi pengembang tes, pendidik,
dan pembuat kebijakandiharapkan estimasi terhadap true scoreini dapat menjadi salah satu
alternatif bagi penentuan skor dan pelaporan hasil pengukuran bagi peserta didik.

2. Pembahasan
2.1. True Score menurut Teori Tes Klasik
Pengukuran hasil belajar dilakukan dengan menggunakan tes. Tujuan akhir dari suatu tes
adalah untuk menunjukkan “suatu skor” yang mereleksikan tingkat pencapaian keterampilan
seseorang (atau tingkat perolehan suatu atribut) yang diukur dengan tes.Skor harus dapat
diinterpretasikan dengan hati-hati dan valid untuk kegunaan yang dikehendaki.
Skor hasil pengukuran adalah banyaknya respon benar dari individu. Banyaknya skor benar
merupakan estimasi tidak bias terhadap true score individu, tetapi selalu menjadi dasar dalam
penentuan skor perolehannya dalam suatu tes. Skor perolehan ini disebut juga skor tampakX.
Pada setiap individu yang memperoleh skor tampak X, terdapat juga skor lain yang merupakan
skor sesungguhnya. Skor sesungguhnya ini disebut sebagai true scoreT. True score merupakan
angka performansi yang benar dan tidak dapat diketahui secara langsung melalui tes. Selain skor
tampak dan true score, dalam setiap pengukuran terdapat juga kesalahan (error E) yang besarnya
pada setiap individu pada suatu tes juga tidak diketahui.
Hubungan antara skor tampak, true score, dan kesalahan pengukuran dijelaskan dalam
teori tes klasik.Hubungan tersebut dinyatakan sebagai X = T + E. Beberapa asumsi dibuat
terkait tiga komponen tersebut (Allen & Yen, 1979; Crocker & Algina, 1986).Asumsi-asumsi
yang berhubungan dengan skor tampak, true score, dan kesalahan pengukuran, adalah: (1) skor
tampak terdiri dari true score dan skor kesalahan pengukuran, (2) nilai harapan skor perolehan
sama dengan true score, (3) true score dan skor kesalahan yang dicapai oleh suatu populasi
pada suatu tes tidak berkorelasi satu sama lain, (4) skor-skor kesalahan pada dua tes (tes yang
mengukur atribut yang sama) tidak saling berkorelasi, (5) jika ada dua tes yang dimaksudkan
untuk mengukur atribut yang sama, maka skor-skor kesalahan pada tes pertama tidak berkorelasi
dengan true scores pada tes kedua, (6) dua tes yang menghasilkan skor yang memenuhi kelima
asumsi pertama disebut parallel test jika skor sebenarnya dan variansi kesalahan pengukuran

asumsi pertama disebut essentially τ-equivalent tests jika selisih skor sebenarnya yang diperoleh
yang diperoleh peserta tes sama, dan (7) dua tes yang menghasilkan skor yang memenuhi kelima

peserta tes pada tes pertama dan pada tes kedua merupakan bilangan konstan (Allen & Yen,
1979:57; Sumadi Suryabrata, 2000:12-22).
Instrumen tes yang baik harus memenuhi bukti kesahihan (validitas) dan kehandalan
(reliabilitas). Validitas dapat dinyatakan sebagai sejauhmana skor tampak mendekati besarnya
true score. Semakin nilai skor tampak mendekati true score, akan semakin tinggi validitas tes,

222
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

demikian juga sebaliknya. Mengingat hubungan antara skor tampak, true score, dan kesalahan
pengukuran, yaitu X = T + E, dapat dilihat bahwa, jika semakin kecil kesalahan pengukuran
maka besaran skor tampak akan mendekati besarnya true score, sehingga semakin valid suatu
tes. Hal ini menunjukkan bahwa suatu alat ukur yang validitasnya tinggi mempunyai kesalahan
pengukuran yang kecil.
Menurut Lord (1969) distribusi estimasi true score dapat digunakan untuk menggambarkan
dan mengevaluasi sifat tes yang spesiik yang dianggap sebagai instrumen pengukuran. Suatu
tes yang memiliki varians kesalahan yang kecil mengukur true score peserta tes lebih reliabel
dibandingkan dengan tes yang memiliki varians kesalahan yang besar. Reliabilitas tes menunjuk
pada besarnya kesalahan pengukuran.Semakin reliabel suatu tes, semakin kecil kesalahan
pengukuran yang terjadi, sehingga pembicaraan mengenai true score tidak terlepas dari
permasalahan kesalahan dan reliabilitas suatu tes. Kesalahan baku pengukuran digunakan untuk
melihat kesalahan yang sifatnya acak atau random. Kesalahan bakupengukuran ini mempengaruhi
skor perolehan. Kesalahanbaku pengukuran dapat dihitung dari koeisien reliabilitas.

2.2. Kesalahan Pengukuran Baku (SEM)


Salah satu tujuan pengukuran pendidikan dan psikologis adalah untuk memperkirakan
true score peserta tes. Estimasi titik untuktrue score mungkin tidak begitu bermakna tanpa
diiringi dengan beberapa ukuran kesalahan yang terlibat dalam prosedur pengukuran. Kesalahan
pengukuran baku(SEM) biasanya digunakan untuk melaporkan sejumlah kesalahan pengukuran
pada skor tes.Secara tradisional, intervalkepercayaan telahdibangun menggunakan asumsi yang
kuat bahwa kesalahan pengukuran berdistribusi normal dan kesalahan standar pengukuran adalah
sama untuk semua peserta tes.
Dalam pengukuran pendidikan, kemampuan akademik, kepribadian, sikap, adalah variabel
abstrak, sehingga setiap pengukuran pendidikan tidak terlepas dari kesalahan pengukuran.
Kesalahan pengukuran ini dapat diperoleh dari perhitungan dalam menilai kemampuan akademik
peserta didik.Kesalahan pengukuran pada skor digunakan dalam prosedur skoring.
Kesalahan pengukuran standar (SEM) adalah deviasi standar kesalahan pengukuran yang
berkaitan dengan nilai tes dari kelompok peserta tes tertentu. Ketika digunakan untuk menghitung
band kepercayaan di sekitar skor tes yang diperoleh, SEM dapat membantu dalam mengungkapkan
ketidakreliabelan skor tes individu dengan cara yang dimengerti. Skor band juga bisa digunakan
untuk menafsirkan perbedaan skor intraindividual dan inter-individual. SEM adalah penentuan
jumlah variasi atau sebaran kesalahan pengukuran untuk sebuah tes. Kesalahan pengukuran
adalah selisih antara skor yang nyata atau skor perolehan dan penyeimbang teori true score.
SEM adalah nilai numerik yang umum digunakan dan sering disalahgunakandalam menafsirkan
dan melaporkan skor tes individu dan perbedaan skor pada tes.
Kegagalan dalam mempertimbangkan kesalahan pengukuran dapat menyebabkan
pengambilan keputusan pendidikan yang salah. Menggunakan nilai rata-rata pada hasil
pengukuran, dan menambahkan kesalahan pengukuran (baik pada teori tes klasik atau teori respon
butir) pada skor tes atau menetapkan interval kepercayaan dalam mengestimasi true scoresakan
membantu untuk mengukur kemampuan peserta didik dengan layak (Tan, 2010).Salah satu yang
sangat praktis dalam penggunaan SEM adalah dalam membuat kesimpulan tentang true score
peserta tes melalui interval kepercayaan atau estimasi interval.
Menurut Lee, et al. (2006), SEMs dan interval kepercayaan dapat dinyatakan dalam skor
mentah dan skor skala yang ditransformasi. Beberapa prosedur telah dikembangkan untuk
memperkirakan/mengestimasi conditional SEMs untuk skor skala.Prosedur ini dapat digunakan
untuk membangun suatu interval kepercayaan bersyarat untuk true scale score individu.
Skor kesalahan adalah bagian dari skor perolehan yang tidak sistematis, acak, dan karena

223
Buku Prosiding Seminar Nasional

kebetulan. Ini adalah efek akumulasi dari semua faktor yang tidak terkendali dan tidak ditentukan,
termasuk skor tes.

2.3. Metode Estimasi True Score


Beberapa metode estimasi dengan pendekatan Teori tes klasik digunakan dalam mengestimasi
true scores. Estimasi true score dapat dinyatakan dalam bentuk estimasi titik dan estimasi
interval.Lord (1969) mengungkapkan bahwa masalah estimasi ini merupakan masalah estimasi
empirik Bayes dalam mengestimasi distribusi prior. Distribusi true score yang diestimasi dapat
digunakan untuk menggambarkan konklusi praktis yang sangat penting pada berbagai hasil skor
tampak yang bervariasi. Permasalahan dalam mengestimasi true score adalah problem compound
statistical decision. Perlu diasumsikan bahwa distribusi yang disyaratkan dari skor tampak untuk
true score adalah distribusi binomial. Jika asumsi ini benar, maka distribusi true score dapat
dinyatakan sebagai distribusi skor tampak populasi. Pendekatan empirik Bayes digunakan dalam
teori tes mental untuk menentukan estimasi titik dari true scores dan skor karakteristik laten.
Prosedur ini dinyatakan secara esensial sebagai metode penskoran tes, seperti estimasi titik yang
berkorespondensi dengan setiap skor tampak.
Menurut Kearns& Meredith(1975), untuk menentukan estimasi titik dari true scores dan
skor karakteristik laten digunakan pendekatan empirik Bayes. Prosedur ini dinyatakan secara
esensial sebagai metode penskoran tes, sepertiestimasi titik yang berkorespondensi dengan setiap
skor amatan. Tes yang diestimasi diasumsikan berdasarkan beberapa model teori tes, yaitu model
kesalahan Binomial, model kesalahan kompoun Binomial, model kesalahan Poisson, model
Rasch, dan modiikasi model untuk guessing pada tes pilihan ganda.
Pada beberapa kondisi, estimasi titik tidak dapat memberikan informasi yang cukup
tentang suatu parameter. Salah satu bentuk lain adalah score band (ban skor). Score band adalah
jangkauan skor tes, sebagai pengganti nilai tunggal. Score band dapat juga digunakan dalam
mengestimasi true score dan hasil tes lainnya untuk menginterpretasi skor tes.Score band disebut
juga conidence interval band atau conidence interval estimates (estimasi interval kepercayaan).
Panjang interval kepercayaan pada skor amatan penting untuk mengukur kualitas informasi
yang diperoleh dari sampel. Panjangnya interval kepercayaan menunjukkan kepercayaan kita
terhadap interval sesungguhnya yang mengandung true score.Berdasarkan penelitian Jarjoura,
conidence interval yang ditoleransi untuk estimasi true score adalah 95%, 68%, dan 50% (Lee,
et al, 2002).Menghitung score band untuk mengestimasi true score berguna untuk membuat
keputusan dalam pendidikan, misalnya dalam keputusan penetuan lulus atau tidak lulus dalam
ujian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode interval kepercayaan yang dikondisikan
menggunakan kesalahan pengukuran standar yang dikondisikan lebih direkomendasikan
dibandingkan metode interval kepercayaan tradisional yang menggunakan kesalahan pengukuran
standar, khususnya pada tingkat nominal yang lebih rendah. Metode interval kepercayaan Bayes
dan interval kredibilitas cenderung memberikan probabilitas yang nyata yang mendekati tingkat
nominal secara rata-rata. Hasil untuk interval skala skor menunjukkan penggunaan metode
endpoints conversion dalam konversi true score, lebih baik dibandingkan metode normal
approximation.
Metode lain adalah dengan menggunakan Formula Gulliksen. Formula Gulliksen adalah
salah satu metode untuk mengestimasi true score dalam bentuk estimasi interval. Enam prosedur
interval yang dapat digunakan untuk mengestimasi true score, yaitu: (1) interval kepercayaan
bersyarat dengan menggunakan conditional SEMs, (2) interval kepercayaan tradisional
menggunakan overall SEM, (3) interval keyakinan skor, (4) interval kepercayaan dari Bayes,
(5) interval kepercayaan exact Clopper-Pearson, dan (6) interval kredibilitas. Studi simulasi

224
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

yang dilakukan oleh Lee, et al. (2006)menunjukkan bahwa dari keenam metode estimasi interval
tersebut, untuk penggunaan praktis, interval kredibilitas dapat dipilih, karena interpretasi Bayesian
dan probabilitas cakupan yang relatif akurat. Demikian juga dengan interval kepercayaan dari
Bayes, menunjukkan performa yang akurat.

4. Simpulan
Skor terhadap hasil pengukuran biasanya diberikan berdasarkan skor amatan dan
menggunakan estimasi titik. Penggunaan estimasi interval pada true scoredapat menjadi salah
satu alternatif bagi pelaporan hasil pengukuran dan dalam penetapan keputusan menentukan lulus
atau tidak lulus individu pada suatu tes atau ujian, misalnya pada ujian berskala besar seperti ujian
nasional.

5. Daftar Pustaka

Allen, M. J. & Yen, W. M. (1979). Introduction to measurement theory. Monterey, CA: Brook/
Cole Publishing Company.

Crocker, L. & Algina, J. (1986). Introduction to classical and modern test theory. New York:
Holt, Rinehart and Winston.

Hanson, B.A. (1990). An investigation of methods for improving estimation of test score
distributions. ACT Research Report Series, 90-4. Diambil tanggal 20 September 2010,
dari http://www.act.org/ research/reports/pdf/ACT_RR90-04.pdf

Harvill, L. M. (1991). An NCME instructional module on standard error of measurement.Diambil


pada tanggal 6 Juli 2010, dari http://www.ncme.org/pubs/ items/16.pdf.

Kearns, J. & Meredith, W. (1975). Methods for evaluating empirical bayes point estimates of
latent trait scores. Psychometrika Vol. 40, No. 3.Diambil pada tanggal 11 Desember 2010,
dari http://www. springerlink.com/content/ 7663t5213250l866/fulltext.pdf

Kolen, M. J. & Brennan, R. L. (2004).Test equating, scaling, and linking: Methods and practices(2nd
ed.). New York: Springer.

Lee, W-C., Brennan, R. L., & Kolen, M. J. (2002).Interval estimation for true scores under various
scale transformations.ACT research report series 2002-5. Diambil pada tanggal 5 Juli
2010.

---------------------. (2006). Interval estimation for true, raw, and`scale scores under the binomial
error model. Journal of educational and behavioral statistics.Diambil pada tanggal 30
September 2010, dari http://jebs.aera.net.

Lord, F. M. (1969). Estimating true score distributions in psychological testing (An empirical
bayes estimation problem). Psychometrika.Vol. 34, No. 3.Diambil pada tanggal 11
Desember 2010, dari http://www.springerlink.com/content/ v832633375658100/fulltext.
pdf.

Sumadi Suryabrata.(2000). Pengembangan alat ukur psikologis. Yogyakarta: Andi.

TAN, Seref. (2010).The effect of standard error of measurement to appropriateness of educational

225
Buku Prosiding Seminar Nasional

evaluation. Diambil pada tanggal 18 Desember 2010, dari http://yordam.manas.kg/ekitap/


pdf/Manasdergi/sbd/sbd14/sbd-14-16.pdf

Thissen, D. & Wainer, H. (2001). True score theory: The traditional method dalam Thissen,
David & Wainer, Howard (ed), Test scoring (p.23-72). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum
Associates Publishers.

226
MODEL PENGEMBANGAN ASSESMEN DALAM
PEMBELAJARAN BERMUATAN NILAI KARAKTER

Ni Made Rai Wisudariani, I Nyoman Sudiana, Ida B. Putrayasa, I Wayan Rasna


Program Studi Bahasa, Program Pascasarjana Undiksha
e-mail: rai.wisudariani@pasca.undiksha.ac.id

Abstrak
Pembelajaran berbasis pendidikan karakter haruslah membawa himbas pula pada jenis
assesmen yang tepat. Dengan demikian, komponen assesmen dalam pembelajaran pun harus
mampu dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan karakter. Tingkat keberhasilan pemahaman
dan penginternalisasian materi dan nilai karakter harus dapat diukur melalui assesmen yang
tepat. Salah satu jenis assesmen yang memungkinkan untuk digunakan dalam pembelajaran
berbicara bermuatan nilai karakter adalah asesmen berbasis kompetensi dan unjuk kerja
dengan menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan karakter. Ada dua model evaluasi
yang bisa dikembangkan dalam pembelajaran bermuatan nilai karakter. Model yang dapat
dikembangkan antara lain model Deining Issue Test (DIT) dan model Releksi.

Kata-kata kunci: assesmen, nilai karakter

Abstract
Learning-based character education must bring Himbas also the right kind of assessment.
Thus, the assessment component in the learning must also be able to be associated with the
values of character education. The success rate of understanding and penginternalisasian
matter and the character value should be measured through proper assessment. One type of
assessment that allows it to be used in learning to speak charged character value is competency-
based assessment and performance to internalize the values of character education. There are
two models of evaluation that can be developed in a learning-charged character value. The
model can be developed among other models Deining Issues Test (DIT) and the model of
Relection.

Key words: assessment, the value of character

1. Pendahuluan

P
endidikan idealnya merupakan sarana humanisasi bagi peserta didik. Pendidikan memberi
ruang bagi pengajaran etika moral dan segenap aturan luhur yang membimbing peserta
didik mencapai humanisasi. Melalui proses itu, peserta didik menjadi terbimbing dan
tercerahkan dari tabir ketidaktahuannya sehingga mereka mampu mengikis bahkan meniadakan
aspek-aspek yang mendorong dehumanisasi. Wibowo (2013a) menyatakan bahwa ancangan
pendidikan humanisme yang dilandasi pendidikan karakter tidak saja menggaransikan keluaran
manusia sejati, tetapi juga sosok yang kaya akan visi humanisme dalam kerangka kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Pendidikan yang membangun karakter dan jati diri bangsa merupakan
cita-cita luhur yang harus diwujudkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang terarah dan
berkelanjutan.
Walaupun dalam sejarah pembangunan pendidikan di Indonesia telah banyak upaya dilakukan
dan berbagai kebijakan telah dikeluarkan, sikap moral peserta didik belum benar-benar terbentuk
seperti yang diharapkan. Perilaku sebagian peserta didik tidak kunjung berbudi pekerti baik. Hal
ini bisa dilihat dari maraknya berbagai kasus kriminal yang melibatkan para pelajar maupun
mahasiswa yang santer diberitakan dalam media elektronik maupun media cetak. Keadaan ini

227
Buku Prosiding Seminar Nasional

senada dengan identiikasi Lickona (2012) tentang kecenderungan menurunnya karakter pada
diri remaja. Lickona mengidentiikasi sepuluh gejala penurunan moral, yakni 1) kekerasan dan
tindakan anarkis, 2) pencurian, 3) tindakan curang, 4) pengabaian terhadap aturan yang berlaku,
5) tawuran antarsiswa, 6) ketidaktoleran, 7) penggunaan bahasa yang tidak baik, 8) kematangan
seksual yang terlalu dini dan penyimpangannya, 9) sikap perusakan diri, dan 10) tumbuhnya
ketidaktahuan sopan santun.
Pada lingkungan kampus, perbincangan tentang penurunan karakter mahasiswa juga sering
didengar. Cara berkomunikasi sampai gaya berbusana mahasiswa banyak dikeluhkan oleh para
dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Ganesha.
“Buk mo minta tanda tangan, di mana nich”, potongan pernyataan tersebut merupakan sebuah
contoh kutipan pesan singkat yang dikirimkan oleh mahasiswa semester tiga ketika melakukan
bimbingan rencana kuliah semester ganjil tahun 2015. Gaya komunikasi mahasiswa melalui
sms tersebut terkesan mengintruksi dan tidak sopan kepada dosen yang dihubungi. Selain
ketidaksantunan ketika berkomunikasi dengan para dosen, dalam kegiatan rapat kepengurusan
himpunan mahasiswa jurusan, ketua HMJ JPBSI periode 2014/2015 juga menuturkan bahwa
terjadinya konlik ketika rapat kegiatan HMJ dikarenakan adanya perbedaan pendapat yang
dilontarkan oleh peserta rapat dengan pilihan kata yang kasar sehingga rapat terkadang menjadi
ajang pertikaian dan debat kusir. Bukan hanya pada tataran ucapan yang tidak sopan, perilaku
kekerasan, perkelahian mahasiswa juga pernah terjadi pada tahun 2015 lantaran tersinggung
mendengarkan ujaran yang disampaikan oleh temannya.
Bahasa pesan singkat mahasiswa maupun bahasa lisan mahasiswa dalam berkomunikasi
belum menunjukkan kesantunan dalam berinteraksi di lingkungan kampus. Keadaan ini
merupakan salah satu indikator bahwa nilai-nilai pendidikan karakter belum mampu sepenuhnya
ditanamkan dalam diri mahasiswa. Gejala penurunan karakter ini merupakan salah satu cerminan
hasil pendidikan di tanah air. Hasil pendidikan yang dicapai seolah memberi indikasi bahwa
ada sesuatu yang hilang (missing) yang belum dapat diwujudkan dalam pendidikan nasional.
Kemerosotan moral akhlak memberi sinyalemen kuat bahwa pendidikan di tanah air sedang
menghadapi dilema. Sekelumit fakta ini merupakan bukti bahwa pendidikan karakter belum
terlaksana secara maksimal pada tataran perguruan tinggi.
Chanifah (2015) menyatakan bahwa pendidikan karakter di perguruan tinggi merupakan
tahapan pembentukan karakter yang tidak kalah pentingnya dari pembentukan karakter pada
tingkat sekolah. Dalam hal ini, perguruan tinggi mengemban tanggung jawab dan kewajiban
yang besar, khususnya dalam melahirkan sumber daya intelektual yang diharapkan nantinya bisa
memberikan teladan dan kontribusi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia bangsa ini.
Pendidikan pada jenjang perguruan tinggi harus diselenggarakan secara sistematis dan disertai
dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga peserta didik mampu bersaing, memiliki
etika yang baik, dan mampu berinteraksi dengan masyarakat. Wibowo (2013b) menyebut peran
perguruan tinggi sebagai menara gading, yang kualitas lulusannya dicita-citakan dan senantiasa
dikejar oleh masyarakat untuk memperbaiki berbagai permasalahan sosial yang terjadi.
Menyikapi keadaan ini, Universitas Pendidikan Ganesha sebagai salah satu gardu pencetak
calon guru telah merancang pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam semua lini mata kuliah
yang diprogramkan. Berdasarkan surat edaran Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha tahun
2012, semua jurusan di lingkungan Fakultas Bahasa dan Seni diwajibkan oleh pimpinan fakultas
untuk menginsersikan nilai-nilai karakter dalam perencanaan pembelajaran pada masing-masing
mata kuliah yang diampu. Namun, pemuatan nilai pendidikan karakter hanya pada penyusunan
silabus dan RPS belumlah efektif dalam menanamkan nilai pendidikan karakter dalam diri
mahasiswa. Sangat diperlukan perangkat pembelajaran hingga assessmen yang benar-benar

228
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

mampu mengukur penanaman nilai pendidikan karakter dalam diri mahasiswa.


Westhoff (2009) menegaskan bahwa perihal lain dari perangkat pembelajaran yang juga
tidak kalah penting yang mesti diperhatikan adalah penyusunan asesmen yang berkualitas yang
disesuaikan dengan proses pembelajaran. Instrumen asesmen adalah alat penilaian yang digunakan
sebagai dasar untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan pembelajaran. Asesmen yang
berkualitas dapat digunakan untuk mengukur apakah materi kuliah yang dipelajari bermakna dan
dapat dibermaknakan untuk kebutuhan mahasiswa dalam kehidupan mereka sehari-hari Assesmen
dapat digunakan sebagai acuan oleh dosen dan mahasiswa dalam mengukur keberhasilan belajar.
Dengan demikian, komponen assesmen dalam pembelajaran bermuatan nilai pendidikan
karakter pun harus mampu dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan karakter. Tingkat keberhasilan
pemahaman dan penginternalisasian materi dan nilai karakter harus dapat diukur melalui assesmen
yang tepat, bukan hanya mengukur ranah kognitif tetapi harus mampu mengukur ranah afektif
maupun psikomotorik. Salah satu jenis assesmen yang memungkinkan untuk digunakan dalam
pembelajaran bermuatan karakter adalah assesmen bermuatan nilai-nilai karakter. Mengingat
pentingnya komponen assesmen dalam pembelajaran, bahasan tentang assesmen bermuatan nilai-
nilai karakter menjadi fokus kajian dalam tulisan ini.

2. Pembahasan
Assesmen Bermuatan Nilai Karakter
Pemaknaan terhadap assesmen bermuatan karakter membawa pendeinisian tersendiri
terhadap pengertian assesmen dan pengertian nilai karakter dan keterkaitannya. Asesmen
merupakan kegiatan untuk mengungkapkan kualitas proses dan hasil pembelajaran (Muslich
(2011); Aries (2011); Padmadewi dan Putu Dewi Merlyna (2014), Santyasa (2014), dan Yusuf
(2015)). Asesmen yang dirancang dalam kegiatan perkuliahan bertujuan untuk mengetahui
kemajuan peserta didik, mengecek ketercapaian kemampuan, mendeteksi kesalahan, dan
menyimpulkan. Asesmen dilakukan dengan berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini (1) tujuan
utama asesmen adalah memperbaiki belajar peserta didik, (2) asesmen bertujuan untuk mendukung
belajar peserta didik, (3) obyektif bagi semua peserta didik, (4) berkolaborasi secara profesional
dengan sekelompok pendidik lain, (5) melibatkan partisipasi pihak terkait dalam pengembangan
asesmen, (6) menjelaskan keteraturan dan kejelasan komunikasi mengenai peserta didik kepada
peserta didik, dan (7) meninjau dan memperbaiki asesmen. Teknik asesmen digolongkan
menjadi dua macam, yaitu teknik tes dan non-tes.
Tes adalah suatu teknik atau cara dalam rangka melaksanakan kegiatan evaluasi, yang di
dalamnya terdapat berbagai item atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau dijawab
oleh peserta didik, kemudian pekerjaan dan jawaban itu menghasilkan nilai tentang perilaku
peserta didik tersebut evaluasi dengan teknik tes ini bisa dilakukan secara tertulis atau non-tulis.
Tes tertulis, yaitu tes yang menuntut jawaban dari peserta didik secara tertulis. Tes ini, terbagi lagi
menjadi 2 macam, yaitu tes uraian dan tes objektif. Tes uraian merupakan tes yang menuntut
peserta didik untuk menguraikan jawabannya secara tertulis dengan kata-kata sendiri dalam
bentuk, teknik, dan gayanya sendiri. Tes objektif, yaitu tes yang menuntut peserta didik untuk
memilih jawaban yang benar di antara kemungkinan jawaban yang telah disediakan, memberikan
jawaban singkat, dan melengkapi pernyataan yang belum sempurna. Tes objektif terdiri atas
beberapa bentuk, yaitu benar-salah, pilihan ganda, menjodohkan, melengkapi pernyataan tidak
utuh, dan menjawab singkat. Sedangkan tes non-tulis, adalah tes yang tidak menuntut peserta
didik untuk menjawab secara tertulis, melainkan dengan cara yang lain. Tes non-tulis dibedakan
menjadi dua, yaitu tes lisan, yaitu suatu bentuk tes yang menuntut jawaban peserta didik dalam
bentuk bahasa lisan. Peserta didik akan mengucapkan dengan kata-katanya sendiri sesuai dengan

229
Buku Prosiding Seminar Nasional

pertanyaan ataupun perintah yang diberikan. Tes perbuatan, unjuk kerja yaitu suatu bentuk tes
yang menuntut jawaban peserta didik dalam bentuk perilaku, tindakan, atau perbuatan. Peserta
didik bertindak sesuai dengan apa yang diperintahkan dan ditanyakan.
Tehnik nontes berarti melaksanakan penilaian dengan tidak mengunakan tes. Tehnik
penilaian ini umumnya untuk menilai kepribadian peserta didik secara menyeluruh meliputi
sikap, bakat, minat, keterampilan, dan lain-lain, yang berhubungan dengan kegiatan belajar
dalam pendidikan, baik secara individu maupun secara kelompok. Non-tes cenderung digunakan
untuk mengukur proses belajar daripada hasil belajar peserta didik. Teknik evaluasi non- tes
banyak ragamnya, seperti observasi, wawancara, angket, daftar cocok, riwayat hidup, dan masih
banyak lagi. Observasi merupakan suatu pengamatan langsung terhadap peserta didik dengan
memperhatikan tingkah lakunya. Secara umum observasi adalah cara menghimpun bahan-
bahan keterangan (data) yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan
secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan.
Observasi dapat dilakukan pada berbagi tempat misalnya kelas pada waktu perkuliahan, di luar
kelas, dan lain-lain.
Wawancara adalah suatu cara yang dilakukan secara lisan yang berisikan pertanyaan-
pertanyaan yang sesuai dengan tujuan informsi yang hendak digali. Wawancara merupakan suatu
tehnik penilain yang dilakukan dengan jalan percakapan (dialog). Angket adalah sebuah daftar
pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan diukur (responden). Pada umumnya tujuan
penggunaan angket atau kuesioner dalam proses pembelajaran terutama adalah untuk memperoleh
data mengenai latar belakang peserta didik sebagai salah satu bahan dalam menganalisis tingkah
laku dan proses belajar mereka. Daftar cocok adalah sebuah daftar yang berisikan pernyataan
beserta dengan kolom pilihan jawaban. Penjawab diminta untuk memberikan tanda silang (X)
atau cek (√) pada jawaban yang dianggap sesuai. Riwayat hidup, evaluasi ini dilakukan dengan
mengumpulkan data dan informasi mengenai objek evaluasi sepanjang riwayat hidup objek
evaluasi tersebut.
Koyan (2012) menyatakan bahwa dalam pendidikan bermuatan nilai karakter, assesmennya
pun harus dimuati dengan nilai-nilai karakter. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pendidikan
berbasis kompetensi dan karakter, pendidik harus mampu memilih dan melaksanakan sistem
asesmen yang tepat, yakni assessment bermuatan karakter dengan mengintegrasikan nilai-nilai
karakter. Assessment bermuatan karakter merupakan sistem penilaian yang berkesinambungan, di
mana semua komponen indikator dibuat butir soalnya dengan mengintegrasikan nilai pendidikan
karakter yang sesuai dengan materi yang dipelajari. Hasilnya dianalisis untuk menentukan
kompetensi dan sikap yang telah dimiliki dan yang belum dimiliki.
Dalam pengembangan sistem assesmen ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan (1)
deinisi tentang apa yang dipelajari dan apa yang dinilai, (2) spesiikasi peringkat unjuk kerja,
dan (3) komparasi antara unjuk kerja peserta didik dan standar atau kriteria yang dirancang.
Pengassesmenan bermuatan nilai karakter menekankan pada pencapaian kompetensi dasar
dengan menggunakan berbagai teknik penilaian dalam upaya untuk memantau dan menentukan
program perbaikan.

Model Assesmen Berbasis Kompetensi dan Karakter


Ada beberapa model assesmen bermuatan nilai karakter yang bisa dikembangkan dalam
pembelajaran. Model yang dapat dikembangkan antara lain model Deining Issue Test (DIT) dan
model Releksi. Model DIT dikembangkan oleh Rest dari Universitas Minnesota. Koyan (2012:11)
menyatakan bahwa model ini menggunakan bentuk tes pilihan ganda dengan menggunakan tema

230
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

atau cerita-cerita yang mengandung dilemma sosial. Dalam pembelajaran, model DIT ini dapat
kita kembangkan dalam dua bentuk tes, yakni tes pilihan ganda dan tes uraian. Model ini berguna
bagi anak didik untuk mengukur kamampuan anak didik dalam menyerap materi yang diuraikan
pada setiap materi pembelajaran. Hasil pengukuran melalui model ini dapat dijadikan sebagai
penentu ketuntasan pemahaman anak didik dalam setiap unit bahan ajar.
Perwujudan soal pilihan ganda dalam assesmen dapat diketik dalam dua buah kolom,
kolom sebelah kiri berisi pertanyaan, sedangkan kolom sebelah kanan berisi pilihan jawaban
dan anak didik bisa melingkari salah satu jawaban yang benar. Pertanyaan pilihan ganda terkait
dengan sikap anak didik jika dihadapkan pada sebuah konteks situasi. Sedangkan untuk soal
uraian, unjuk kerja, pertanyaan sangat terkait dengan pengetahuan kognitif, pemahaman anak
didik terhadap materi, dan sikap anak didik dalam menghadapi sebuah situasi. Beberapa contoh
kasus pada submateri Etika Bertelepon dipaparkan sebagai berikut.
Kasus 1 (Soal Pilihan Ganda)
Suatu ketika, Anda dihadapkan pada sebuah situasi di mana pimpinan mendadak berhalangan
untuk mengadakan rapat dengan perusahaan relasi. Anda diminta oleh pimpinan untuk
menghubungi perusahaan relasi terkait dengan pembatalan rapat hari itu. Kalimat yang manakah
yang akan Anda gunakan untuk menyampaikan maksud pimpinan?
a. Berhubung Bapak pimpinan menghadiri pemakaman kerabatnya, kami mohon maaf untuk
pembatalan rapat hari ini.
b. Kami harapkan Bapak bersabar untuk mengikuti rapat karena hari ini Bapak pimpinan masih
ada urusan lain.
c. Menimbang banyaknya acara yang dilakukan Bapak pimpinan, rapat hari ini kami undur.
d. Karena Bapak pimpinan berhalangan hadir, kami mohon maaf untuk pengunduran jadwal
rapat hari ini.
e. Karena Bapak pimpinan harus pergi ke pemakaman kerabatnya, kami mohon maaf atas
pembatalan jadwal rapat yang tidak sesuai agenda.

Kasus 2 (Soal Uraian)


Pada suatu ketika Anda mendapati teman Anda mendapatkan musibah di jalan. Sepeda motor
rekan Anda ditabrak oleh sebuah truk, sehingga teman Anda harus dilarikan segera ke rumah
sakit. Oleh dokter, Anda diminta untuk menguhubungi keluarga korban. Anda mengetahui bahwa
orang tua korban sering mengalami serangan jantung, namun Anda wajib menyampaikan keadaan
teman Anda. Uraikanlah cara Anda untuk menyampaikan keadaan teman Anda kepada orang
tuanya melalui telepon!

Model Releksi adalah model yang dikembangkan dari pendekatan kontekstual. Dalam
pendekatan kontekstual (contekstual teaching and learning) terdapat komponen releksi. Releksi
adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa
yang sudah dilakukan. Peserta didik mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur
pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.
Melalui model penilaian releksi dalam pembelajaran, peserta didik akan mampu menilai sejauh
mana nilai karakter yang diajarkan tertanam dalam diri mereka. Keberhasilan pendidikan karakter
tidak akan dapat diukur hanya dengan pengetahuan peserta didik terhadap teori yang dipaparkan.
Daya kekuatan individu dalam menilai dirinya sendiri ini menjadi titik pijak bagi penilaian
pendidikan karakter. Berikut dipaparkan beberapa contoh butir pertanyaan yang bisa digunakan
dalam bagian releksi.

231
Buku Prosiding Seminar Nasional

Contoh Soal Releksi


1. Selama melakukan praktik bertelepon, apakah kalian telah menggunakan
bahasa efektif dan santun dalam berkomunikasi? Uraikanlah jawaban kalian!

2. Setelah membaca materi Unit 1, Tuliskanlah nilai-nilai pendidikan karakter


yang tertanam dalam diri kalian!

3. Adakah saran-saran yang dapat kalian sampaikan agar pelajaran ini lebih
bermakna? Jika ada, tuliskan!

3. Simpulan
Pembelajaran bermuatan nilai karakter tidak sekadar mengarahkan pembelajaran pada
teori maupun keterampilan peserta didik, tetapi juga mengikutsertakan dampak pengiring berupa
penanaman nilai pendidikan karakter. Pembelajaran bermuatan nilai karakter haruslah membawa
himbas pula pada jenis assesmen yang tepat. Komponen assesmen dalam pembelajaran harus
mampu dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan karakter. Tingkat keberhasilan pemahaman dan
penginternalisasian materi dan nilai karakter harus dapat diukur melalui assesmen yang tepat,
bukan hanya mengukur ranah kognitif tetapi harus mampu mengukur ranah afektif maupun
psikomotorik.
Jenis assesmen yang memungkinkan untuk digunakan dalam pembelajaran bermuatan
karakter adalah assesmen bermuatan nilai karakter dengan menginternalisasikan nilai-nilai
pendidikan karakter. Setidaknya ada dua model assesmen yang bisa dikembangkan, yakni model
Deining Issue Test (DIT) dan model Releksi.
Model DIT mengarah pada gambaran situasi sosial yang dihadapi oleh masyarakat
dewasa ini. Dalam situasi sosial tersebut peserta didik diharapkan mampu memilah dan memilih
tindakan mana yang akan diambil untuk mengatasi permasalahan yang ada. Dalam model
releksi, peserta didik dapat menilai sendiri kompetensi dan karakter yang mampu ditanamkan
dalam pembelajaran. Daya kekuatan individu dalam menilai dirinya sendiri ini menjadi titik pijak
yang sesungguhnya bagi penilaian yang mengacu pada nilai pendidikan karakter.
Model assesmen bermuatan nilai karakter yang dipaparkan dalam tulisan ini dapat
dijadikan salah satu alternative model pengassesmenan dalam pembelajaran yang dirancang
oleh pendidik dengan mengadaptasi kejadian-kejadian sosial yang memungkinkan peserta didik
mencerminkan sikap berdasarkan materi yang dipaparkan dalam pembelajaram. Model ini masih
terbatas pada kasus-kasus sosial yang mampu dikaitkan dengan materi pembelajaran. Oleh karena
itu, bagi peneliti lain diharapkan melakukan kajian yang lebih mendalam terkait jenis-jenis kasus
sosial yang memungkinkan digunakan dalam perancangan assesmen bermuatan nilai karakter.

4. Daftar Pustaka

Aries, Erna Febru. (2011). Asesmen dan Evaluasi. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.

Chanifah, Nur. (2015). “Desain Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Umum”. Prosiding
Seminar Nasional Senari III. 2015: 47-51.

Koyan, I Wayan. (2012). Pendidikan Berbasis Kompetensi dan Karakter. Makalah. Disajikan pada

232
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Pelatihan Dosen Undiksha tentang Pengembangan Model Pembelajaran dan Assesmen


Berbasis Karakter, Tanggal 26 September 2012 di Undiksha.

Lickona, Thomas. (2012). Educating ryor Character: Mendidik untuk Membentuk Karakter,
Bagaimana Sekolah dapat Mengajarkan Sikap Hormat dan Tanggung Jawab. Jakarta:
Bumi Aksara.

Muslich, Masnur. (2011). Authentic Assessment: Penilaian Berbasis Kelas dan Kompetensi.
Bandung: PT Reika Aditama.

Padmadewi, Ni Nyoman dan Putu Dewi Merlyna Y.P. (2014). Asesmen Kurikulum. Yogyakarta:
Graha Ilmu.

Santyasa, I Wayan. (2014). Asesmen dan Evaluasi Pembelajaran Fisika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Westhoff, Gerard J. (2009). “A Priori Assessment of Language Learning Tasks by Practitioners”.


Journal Assessing Language Learning. Vol 42:2.

Wibowo, Agus. (2013a). Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Internalisasi Nilai-Nilai Karakter
Melalui Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

---------- (2013b). Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi: Membangun Karakter Ideal


Mahasiswa di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yusuf, Muri. (2015). Asesmen dan Evaluasi Pendidikan: Pilar Penyedia Informasi dan Kegiatan
Pengendalian Mutu Pendidikan. Jakarta: Prenamedia Group.

233
234
INOVASI PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PADA PENDIDIKAN INKLUSIF SEKOLAH DASAR BERBASIS
METAPEDADIDAKTIK

Made Kerta Adhi


IKIP Saraswati, Tabanan, Bali
e-mail:kadhi358@gmail.com

Abstrak
Pendidikan inklusif merupakan representasi dari penyelenggaraan pendidikan yang
menghargai keanekragaman dan tidak diskriminatif. Karena dalam proses pembelajaran
anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) digabungkan bersama anak-anak normal. Namun,
realitanya ABK mengalami kesenjangan dalam mengikuti proses pembelajaran, bahkan
guru pun mengalami kesulitan dalam membelajarkan IPA bagi ABK. Oleh karena itu,
perlu dikembangkan model pembelajaran IPA pada pendidikan inklusif SD berbasis
metapedadidaktik. Pembelajaran IPA pada pendidikan inklusif Sekolah Dasar memiliki
keunikan tertentu yang berbeda dengan sekolah reguler. Pembelajaran IPA SD yang bersifat
tematik dapat dikembangkan dengan model Metapedadidaktik. Model ini mengacu pada
teori Metapedadidaktik dari Suryadi (2010), bahwa dalam proses pembelajaran terjadi
hubungan tiga serangkai (segitiga) antara guru, siswa dan materi.Segitiga didaktis yang
menggambarkan hubungan pedagogis (HP) antara guru dengan siswa serta hubungan
didaktis (HD) antara siswa dengan materi serta antisipasi situasi didaktis yang terjadi dalam
pembelajaran baik secara pegagogis maupun didaktis (ADP).Dalam konteks ini, peran guru
adalah menciptakan suatu situasi didaktis (didactical situation) sehingga terjadi proses belajar
dalam diri siswa (learning situation). Guru selain perlu menguasai materi ajar, juga perlu
memiliki pengetahuan lain yang terkait dengan siswa ABK. Guru perlu memiliki kemampuan
untuk menciptakan relasi didaktis (didactical relation) antara siswa dan materi ajar sehingga
tercipta suatu situasi didaktis ideal bagi siswa. Implementasi model Metapedadidaktik dalam
pembelajaran IPA pada pendidikan inklusif SD, sebagai berikut (1) guru memodiikasi
ADP, HD dan HP sebagai suatu kesatuan utuh; (2) mengembangkan tindakan pembelajaran
sehingga tercipta sitausi didaktis dan pedagogis yang sesuai dengan kebutuhan siswa ABK;
(3) mengidentiikasi serta menganalisis respon siswa ABK sebagai akibat tindakan didaktis
maupun pedagogis yang dilakukan; serta (4) melakukan tindakan didaktis maupun pedagogis
lanjutan berdasarkan hasil analisis respon siswa ABK menuju pencapaian target pembelajaran
yang optimal. Berdasarkan hasil penelitian Brousseau (1997) dan Toom (2006) ternyata model
Metapedadidaktik dapat mengoptimalkan proses pembelajaran. Oleh karena itu, disarankan
kepada para guru pendidikan inklusif SD agar mengembangkan model pembelajaran berbasis
Metapedadidaktik sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan pembelajaran IPA pada
pendidikan inklusif sekolah dasar.

Kata kunci : anak berkebutuhan khusus, pendidikan inklusif, dan metapedadidaktik

Abstract
Inclusive education is a representation of the organization of education who appreciate and
non-students diversity or non - discriminatory. Because in the learning process of children
with special needs (ABK) is mingled together with normal children. However, the reality is
that ABK children experiencing gaps in the learning process, therefore teachers get dificulty
in teaching science for ABK. Therefore, it is necessary to develop a model of learning science
in elementary inclusive education based metapedadidaktik. Learning science on inclusive
education Elementary School has a certain uniqueness that is different from regular schools.
Elementary School Science thematic Learning can be developed with Metapedadidaktik
models. This model refers to the theory Metapedadidaktik of Suryadi (2010), that in the
process of learning occurs triad relationship (triangle) between teachers, students and
materials. Triangle describe didactic pedagogical relationship (HP) between teachers and
students as well as didactic relationship (HD) between students with didactic materials
and anticipate situations that occur in both pedagogic learning and didactic (ADP). In this

235
Buku Prosiding Seminar Nasional

context, the role of the teacher is to create a situation of didactic that resulted in the student
learning process. Teachers need to master the addition to teaching materials, also need to have
knowledge of any other matters related to ABK students.Teachers need to have the ability
to create a didactic relationship between the student and teaching materials so as to create
an ideal situation for students didactic. The implementation of Metapedadidaktik models in
science teaching in elementary inclusive education is as follows: (1) the teachers modify
ADP, HD and HP as a uniied whole; (2) develop learning actions so as to create didactic and
pedagogical situation appropriate to the needs of students ABK; (3) identify and analyze the
students’ response crews as a result of a didactic or pedagogical actions taken; and (4) take
any action or didactic advanced pedagogical basis of analysis ABK student response towards
the achievement of optimal learning. Based on the research results Brousseau (1997) and
Toom (2006) turned out to be a model Metapedadidaktik can optimize the learning process.
Therefore, it is suggested to teachers in order to develop inclusive education elementary
Metapedadidaktik based learning model as an alternative to improve science teaching in
primary schools inclusive education.

Keywords: children with special needs, inclusive education, and metapedadidaktik

1.Pendahuluan

P
endidikan inklusif dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi isu yang sangat
menarik dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan, pendidikan inklusif
memberikan perhatian pada pengaturan para siswa yang memiliki kelainan atau anak
berkebutuhan khusus (ABK) untuk mendapatkan pendidikan pada sekolah-sekolah umum atau
reguler sebagai ganti dari sekolah luar biasa (segregasi). Hambatan utama anak berkelaian untuk
maju, termasuk dalam mengakses pendidikan setinggi mungkin bukan pada kecacatannya, tetapi
pada penerimaan sosial masyarakat. Selama ada alat dan mendapat penanganan khusus, maka
mereka dapat mengatasi hambatan kelainan itu. Justru yang sulit dihadapi adalah hambatan
sosial. Bahkan, hambatan dari dalam diri anak yang berkelainan itupun umumnya disebabkan
oleh pandangan sosial yang negatif terhadap dirinya. ABK yang diterima secara sosial dalam
kelas reguler akan mampu memberikan prestasi gemilang sesuai potensinya. Hal ini, sesuai
dengan hasil penelitian Meyer (2001) dalam Direktrorat PPK dan LKPD (2015:19), bahwa siswa
yang memiliki kecacatan yang cukup ditemukan untuk memiliki keberhasilan yang lebih besar
manakala mereka memperoleh pendidikan dalam lingkungan yang menerima mereka, khususnya
yang berkaitan dengan hubungan sosial dan persahabatan mereka dengan masyarakatnya. Untuk
itulah, pendidikan hendaknya memberikan jaminan bahwa setiap anak mendapatkan pelayanan
untuk mengembangkan potensinya secara individual dengan keberterimaan mereka secara sosial
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif merupakan jawaban atas apa yang mengemuka terhadap perlakuan
anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusif merupakan wujudnyata dari tuntutan
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama
memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula
memperoleh kesempatan yang sama dengan anak normal dalam pendidikan. Pendidikan inklusif
merupakan representasi dari penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekragaman dan
tidak diskriminatif. Pendidikan inklusif memperhatikan bagaimana menstransformasikan sistem
pendidikan sehingga mampu merespon keanekaragaman siswa dan guru untuk merasa nyaman
dengan keanekaragaman tersebut dan melihatnya lebih sebagai suatu tantangan dan pengayaan
dalam lingkungan belajar daripada melihatnya sebagai suatu masalah. Proses pembelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di sekolah dasar reguler menggunakan kurikulum 2013 (K-13).
Pembelajaran IPA sekolah dasar bersifat tematik yang menyeimbangkan antara soft skiils dan
hard skills, meliputi kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan melalui pendekatan sains

236
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

(scientiic approach). Standar proses dalam pembelajaran IPA SD reguler terdiri atas mengamati,
menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan dan mencipta (Maduriana, 2015: 27).
Pembelajaran IPA pada pendidikan inklusif tentu berbeda dengan pembelajaran IPA di sekolah
dasar pada umumnya. Materi pembelajaran jangan terlalu menekankan pada aspek kognitif, tetapi
pembelajaran dilakukan dengan menyeimbangkan aspek sintetik dan praktikal. Dalam proses
pembelajaran guru harus mampu mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai
bakat, minat dan potensinya atau disesuaikan dengan karakteristik belajar peserta didik. Jika
kurikulum disamakan antara ABK dengan anak normal maka pembelajaran tidak akan memberi
efek apapun, seperti pernyataan Baska (2005), pembelajaran tidak memberi efek apapun pada
hasil jika kurikulum ABK disamakan dengan reguler. Hearner (2008 ) menyatakan siswa ABK
dipersyaratkan adanya modiikasi dalam pembelajaran bukan sekedar kurikulum reguler; serta
diperlukan kurikulum yang berdiferensiasi sebagai persyaratan pokok dalam penyelenggaraan
layanan pembelajaran kelas inklusif (Croft, 2003 dalam Jagra, 2015).
Kurikulum pembelajaran IPA pada pendidikan inklusif SD dalam tataran tuntutan regulasi
dan teks-teks normatif sangatlah ideal, antara lain dengan memodiikasi pembelajaran maupun
dengan mengemas kurikulum secara diferensiasi. Namun, realitanya dalam pelaksanaan
pembelajaran IPA pada pendidikan inklusif SD, siswa ABK mengalami kesenjangan, bahkan
guru pun mengalami kesulitan dalam membelajarkan IPA bagi ABK. Apalagi sistem pendidikan
nasional yang menerapkan layanan pembelajaran dengan model “ketuntasan hasil belajar
bersama” melalui bentuk belajar klasikal. Hal ini berdampak kurang memberikan keleksibelan
penerapan pendidikan inklusif, terutama bagi ABK dengan kondisi kemampuan mental rendah.
Pendidikan inklusif sebagai suatu sistem layanan ABK yang disatukan dengan sekolah reguler,
menunjukkan hanya ada satu sistem pembelajaran dalam sekolah inklusif yang mengakomodasi
perbedaan kebutuhan belajar setiap individu. Hasil Diskusi antara guru dan kepala sekolah
penyelenggara inklusif peserta pelatihan di Yogyakarta, 2009 dalam Ishartiwi (2010), dinyatakan
banyak harapan dalam penerapan pendidikan inklusif, namun fakta menunjukkan masih terdapat
banyak permasalahan dalam pelaksanaannya, yaitu (1) masih ada kesulitan menyelaraskan antara
standar layanan persekolahan reguler dan variasi kebutuhan belajar ABK; (2) sekolah inklusif
belum menerima siswa ABK; (3) sekolah belum mampu menyediakan program yang tepat, bagi
ABK dengan kondisi kecerdasan di bawah rata-rata (tunagrahita); (4) belum ada sistem evaluasi
hasil belajar (formatif dan sumatif) yang tepat sesuai kebutuhan ABK; (5) kurangnya sarana dan
sumber belajar aksesabilitas untuk mengakomodasi kebutuhan mobilitas dan belajar ABK; (6)
belum semua guru regular memiliki kompetensi memberikan layanan ABK dan masih minimnya
guru khusus di sekolah inklusif, meskipun bukan suatu keharusan (identik) antara guru khusus
dan sekolah inklusif; (7) belum seluruh warga sekolah memiliki kesepahaman tentang pendidikan
inklusif dan layanan ABK; (8) masih adanya anggapan keberadaan ABK akan mempengaruhi
ketuntasan hasil belajar akhir tahun, akibatnya ABK dipindahkan di SLB menjelang ujian; (9)
layanan inklusif masih belum menyatu dalam sistem dan iklim sekolah, sehingga ada dua label
siswa ABK dan reguler; (10) belum semua pengambil kebijakan termasuk bidang pendidikan
memahami tentang sistem inklusif; (11) Secara pengelolaan pelaksanaan pendidikan inklusif
kurang dipersiapkan dengan komprehensif; dan (12) belum optimalnya penyediaan bahan ajar
sesuai kebutuhan ABK.
Berdasarkan fenomena di atas, tentu sangat berat bagi ABK dalam mengikuti pembelajaran.
Permasalahan yang timbul akibat kesenjangan antara ABK dengan siswa reguler dalam pendidikan
inklusif adalah bagaimanakah pengembangan pembelajaran IPA yang inovatif pada pendidikan
inklusif SD berbasis Metapedadidaktik. Hal ini sesuai dengan pendapat Sunardi (1995), yang
menyatakan dasar utama pendidikan inklusif adalah “ABK dan ketepatannya mendapat layanan
pembelajaran”. Oleh karena itu, dicoba ditawarkan satu model alternatif dalam pengembangan
pembelajaran IPA yang inovatif pada pendidikan inklusif SD berbasis Metapedadidaktik. Tujuan
tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan esensi pendidikan inklusif dan teori Metapedadidaktik

237
Buku Prosiding Seminar Nasional

serta model pengembangannya dalam pembelajaran IPA pendidikan inklusif sekolah dasar.
Memberikan pemikiran kreatif tentang pengembangan model pembelajaran IPA pada pendidikan
inklusif SD berbasis Metapedadidaktik.

2. Pembahasan
2.1 Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak
berkelainan secara formal. Prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah selama memungkinkan,
semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan
yang mungkin ada pada mereka, prinsip ini dikemukakan oleh Salamanca pada koferensi dunia
tentang pendidikan berkelainan. Sapon-Shevin (O’Neil,1995) menyatakan, pendidikan inklusi
sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani
di sekolah-sekolah terdekat, dikelas reguler bersama-sama teman seusianya. Selanjutnya Freiberg
(1995) menyatakan melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak
lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, yang dilandasi oleh kenyataan
bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat
dipisahkan sebagai suatu komunitas (dalam http://dunia-blajar.blogspot.co.id). Permendiknas
Nomor 70 tahun 2009 pendidikan inklusif adalah “sistem penyelenggaraan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam
lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”(Direktorat
PPK dan LKPD, Dirjen Dikdas, 2015: 10 ).
Pendidikan inklusif yang diterapkan di Indonesia mempunyai landasan ilosois, yuridis,
pedagogis dan emperis yang kuat, yaitu (1) landasan ilosois, bahwa bangsa Indonesia yang
berbudaya dengan lambang Burung Garuda dan semboyan Bhineka Tunggal Ika, mengakui
keragaman etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa
yang tetap dijunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam NKRI, pandangan Agama, antara lain
manusia diciptakan untuk berbeda-beda untuk saling silaturahmi (inklusif), pandangan universal
Hak azasi manusia, bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan,
hak kesehatan dan hak pekerjaan; (2) landasan yuridis, yakni UUD 1945 pasal 31 ayat 1 :setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan, UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat 1
setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu,
UU No.23/2002 tentang perlindungan anak pasal 48 pemerintah wajib menyelenggarakan
pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak, UU No.4 tahun 1997 tentang penyandang
cacat, pasal 5 setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala
aspek kehidupan dan penghidupan, PP No.17/2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan, Permendiknas No.70/2009 tentang pendidikan inklusif, SE Dirjen Dikdasmen
No..380/2003, setiap kabupaten/kota diwajibkan menyelenggarakan dan mengembangkan
pendidikan inklusif sekurang-kurang 4 sekolah (SD,SMP,SMA DAN SMK), Deklarasi Bandung
8-14 agustus 2004 Indonesia menuju pendidikan inklusif, Salamanca statement and framework
for action on special needs education, dan Deklarasi Bukit Tinggi tahun 2005; pendidikan untuk
semua; (3) landasan pedagogis sesuai pasal 3 UU No.20/2003 melalui pendidikan peserta didik
berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertangung jawab; serta (4)
landasan emperis, berdasarkan hasil penelitian pendidikan inklusi, yang dipelopori oleh The
National Academy of Sciences (Amerika Serikat) hasilnya menunjukkan bahwa klasiikasi dan
penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif.
Berdasarkan konsep pendidikan inklusif seperti di atas, dapat diketahui esensi pendidikan
inklusif adalah memberlakukan “sama“ antara anak ABK dan anak normal. Pendidkan inklusi
adalah pendidikan yang didasari semangat multikultural, terbuka untuk merangkul semua kalangan
dalam pendidikan. Hal ini sesuai dengan tujuan diselenggarakannya pendidikan inklusif adalah (a)

238
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan
isik, emosional, mental dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;
dan (b) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan
tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Oleh karena itu, satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan inklusif menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi
kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai bakat, minat dan potensinya. Pembelajaran pada
pendidikan inklusif mempertimbangkan prinsip-prinsip pembelajaran yang disesuaikan dengan
karakteristik belajar peserta didik. Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya
pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik, serta setiap kabupaten/kota diwajibkan
menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan inklusif sekurang-kurangnya empat sekolah,
yang terdiri atas SD, SMP, SMA, dan SMK. Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya
sumberdaya pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang ditunjuk, serta pemerintah dan
pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya pendidikan inklusif (Permendiknas,
No.70/2009).
Model pendidikan ABK tertua adalah model segregasi. Menurut Renolds dan Birch (1988),
antara lain model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan
potensi secara optimal karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa.
Model yang muncul pada pertengahan abad 20 adalah model Mainstreaming, artinya seorang
anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak terbatas menurut potensi
dan jenis/tingkat kelainannya (http://dunia-blajar.blogspot.co.id).
Banyak model sekolah inklusif yang dilaksanakan di berbagai negara, tetapi pada
prinsipnya mempunyai kesamaan dalam implementasinya. Pelaksanaan sekolah inklusif
di Indonesia mengacu pada pendapat Vaughn, Vaughn, Bos & Schumn dalam Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007: 6-10) bahwa dalam praktik, istilah inklusi dipakai
secara bergantian dengan istilah “mainstreaming” yang diartikan sebagai penyediaan layanan
pendidikan yang layak bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus sesuai dengan
kebutuhan individualnya. Dengan demikian penempatan anak berkelainan harus dipilih yang
paling bebas di antara alternatif layanan yang disediakan dan didasarkan pada potensi dan
jenis serta tingkat kelainannya. Penempatan ABK tidak permanen, tetapi sifatnya sementara
dengan demikian siswa berkelainan dimungkinkan secara leksibel pindah dari satu alternatif
layanan ke alternatif lainnya, dengan asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubah-ubah.
Filosoinya inklusi, tetapi dalam prakteknya menyediakan berbagai alternatif layanan yang sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan mereka. Model ini sering disebut dengan inklusi moderat.
Penempatan anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus di sekolah inklusif di Indonesia
dapat dilakukan dengan berbagai model, yaitu : (a) Kelas reguler “ Full Inclusion”, yakni anak
berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain sepanjang hari
di kelas reguler/inklusif dengan menggunakan kurikulum yang sama; (b) Kelas reguler dengan
cluster, anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain di
kelas reguler/inklusif dalam kelompok khusus; (c) Kelas reguler dengan pull out, yakni anak
berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain di kelas reguler/
inklusif, namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik/keluar dari kelas reguler/ inklusif ke ruang
sumber untuk belajar dan mendapat layanan bimbingan dari Guru Pembimbing Khusus; (d) Kelas
reguler dengan cluster dan pull out,yakni anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus
belajar bersama dengan anak lain di kelas reguler/inklusif dalam kelompok khusus, dan dalam
waktu-waktu tertentu ditarik/keluar dari kelas reguler/inklusif ke ruang sumber untuk belajar dan
mendapat layanan bimbingan dari Guru Pembimbing Khusus; (e) Kelas khusus dengan berbagai
pengintegrasian, yakni anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar dan mendapat
layanan bimbingan dari Guru Pendidikan Khusus/Guru Pembimbing Khusus di dalam kelas
khusus pada sekolah reguler/inklusif; tetapi dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama

239
Buku Prosiding Seminar Nasional

anak lain di kelas reguler/inklusif; (f) Kelas khusus penuh, yakni anak berkelainan/berkebutuhan
pendidikan khusus belajar dan mendapat layanan bimbingan dari Guru Pendidikan Khusus/Guru
Pembimbing Khusus di dalam kelas khusus pada sekolah reguler/inklusif (http://staff.uny.ac.id/).
Dengan demikian satuan pendidikan atau SD yang akan menentukan model pendidikan
inklusif di sekolahnya didasarkan pada potensi dan jenis serta tingkat kelainannya atau menyediakan
berbagai alternatif layanan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan mereka. Model ini
sering disebut dengan inklusi moderat. Penempatan ABK dilakukan secara leksibel, sehingga
siswa ABK dimungkinkan pindah dari satu alternatif layanan ke alternatif lainnya, dengan asumsi
bahwa intensi kebutuhan khususnya berubah-ubah dan sesuai dengan karakteristik mereka.

2.2 Teori Metapedadidaktik


Dalam proses pembelajaran tidak bisa dilepaskan dari aktivitas pedagogis yang menyoal
seni dan ilmu mengajar yang menggamit (menyentuh) hubungan guru dan siswa serta proses
didaktis antara siswa dan materi yang dipelajari. Proses pedagogis juga menggamit prinsip
bahwa domain kognitif dan afektif tidak bisa berada dalam suasana kering (Danim, 2010). Dalam
konteks hubungan guru dengan siswa dan materi dalam aktivitas pedagogis dan didaktis dalam
satu kesatuan yang utuh, Suryadi (2010) memodiikasi konsep Kansanen (2003) menjadi terori
Metapedadidaktik, bahwa dalam proses pembelajaran terjadi hubungan tiga serangkai (segitiga)
antara guru, siswa dan materi.Segitiga didaktis yang menggambarkan hubungan pedagogis (HP)
antara guru dengan siswa serta hubungan didaktis (HD) antara siswa dengan materi serta antisipasi
situasi didaktis yang terjadi dalam pembelajaran baik secara pedagogis maupun didaktis (ADP).
Aktivitas guru dalam pembelajaran difokuskan bukan pada siswa dan materi secara terpisah tetapi
difokuskan terhadap hubungan antara siswa dan materi pada saat pembelajaran berlangsung.
Peran guru yang paling penting dalam konteks segitiga adalah menciptakan suatu situasi didaktis
(didactical situation) sehingga terjadi proses belajar dalam diri siswa (learning situation). Ini
berarti seorang guru selain perlu menguasai materi ajar, juga perlu memiliki pengetahuan lain
yang terkait dengan siswa serta mampu menciptakan situasi didaktis yang dapat mendorong
proses belajar secara optimal. Metapedadidaktik ini terkait dengan suatu peristiwa pembelajaran,
maka hal ini dapat digambarkan sebagai sebuah limas dengan titik puncaknya adalah guru yang
memandang alas limas sebagai segitiga didaktis yang dimodiikasi, sebagai gambar berikut.

Gambar1 Metapedadidaktik Dilihat dari Sisi ADP, HD, dan HP


(Sumber: http://didi-suryadi.staf.upi.edu)

Metapedadidaktik meliputi tiga komponen yang terintegrasi, yaitu kesatuan, leksibilitas,


dan koherensi. Komponen kesatuan berkenaan dengan kemampuan guru untuk memandang
sisi-sisi segitiga didaktis yang dimodiikasi sebagai sesuatu yang utuh dan saling berkaitan erat.
Sebelum peristiwa pembelajaran terjadi, guru tentu melakukan proses berpikir tentang skenario
pembelajaran yang akan dilaksanakan. Hal terpenting yang dilakukan dalam proses tersebut adalah
berkaitan dengan prediksi respon siswa sebagai akibat tindakan didaktis maupun pedagogis yang
akan dilakukan. Berdasarkan prediksi tersebut selanjutnya guru juga berpikir tentang antisipasi

240
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

atas berbagai kemungkinan yang akan terjadi, yakni, bagaimana jika respon siswa sesuai
dengan prediksi guru, bagaimana jika hanya sebagian yang diprediksikan saja yang muncul, dan
bagaimana pula jika apa yang diprediksikan ternyata tidak terjadi. Semua kemungkinan ini tentu
harus sudah terpikirkan oleh guru sebelum peristiwa pembelajaran terjadi.
Dalam suatu peristiwa pembelajaran, guru tentu saja akan memulai aktivitas sesuai skenario
yang memuat antisipasi didaktis dan pedagogis. Pada saat guru menciptakan sebuah situasi
didaktis, terdapat tiga kemungkinan yang bisa terjadi terkait respon siswa atas situasi tersebut
yaitu seluruhnya sesuai prediksi guru, sebagian sesuai prediksi, atau tidak ada satupun yang
sesuai prediksi. Walaupun secara keseluruhan hanya ada tiga kemungkinan seperti itu, akan tetapi
pada kenyataannya respon siswa tersebut tidak mungkin muncul seragam untuk setiap siswa.
Artinya apabila respon siswa seluruhnya sesuai dengan prediksi guru, bukan berarti setiap siswa
memberikan respon yang sama melainkan secara akumulasi respon yang diberikan siswa sesuai
prediksi. Dengan kata lain, jika dilihat dari sisi siswanya, maka akan ada siswa yang memberikan
respon sesuai prediksi, ada siswa yang sebagian responnya sesuai prediksi, ada yang responnya
tidak sesuai prediksi, dan mungkin pula ada yang tidak memberikan respon. Situasi seperti ini
tentu menjadi tantangan bagi guru untuk mampu mengidentiikasi setiap kemungkinan yang
terjadi, menganalisis situasi tersebut, serta mengambil tidakan secara cepat dan tepat.
Tindakan yang diambil guru setelah melakukan analisis secara cepat terhadap berbagai
respon yang muncul, bisa bersifat didaktis maupun pedagogis. Dalam kenyataannya, yang
menjadi sasaran tindakan tersebut juga bisa bervariasi tergatung hasil analisis guru yaitu bisa
kepada individu, kelompok, atau kelas. Akibat dari tindakan yang dilakukan tersebut tentu akan
menciptakan situasi baru yang sangat tergantung pada jenis tindakan serta sasaran yang dipilih.
Pada saat suatu situasi didaktis dan atau pedagogis terjadi, maka pada saat yang sama guru
akan berpikir tentang respon siswa yang mungkin beragam, keterkaitan respon siswa dengan
prediksi serta antisipasinya, dan tindakan apa yang akan diambil setelah sebelumnya melakukan
identiikasi serta analisis yang cermat. Dengan demikian, selama proses pembelajaran berjalan
guru akan senantiasa berpikir tentang keterkaitan antara tiga hal yaitu antisipasi didaktis-
pedagogis, hubungan didaktis siswa-materi, dan hubungan pedagogis guru-siswa.
Komponen leksibilitas. Skenario, prediksi renspon siswa, serta antisipasinya yang sudah
dipikirkan sebelum peristiwa pembelajaran terjadi pada hakekatnya hanyalah sebuah rencana
yang belum tentu sesuai kenyataan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, respon siswa tidak
selalu sesuai prediksi guru sehingga berbagai antisipasi yang sudah disiapkan perlu dimodiikasi
sepanjang perjalanan pembelajaran sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Hal ini sangat penting
untuk dilakukan sebagai konsekuensi logis dari pandangan bahwa pada hakekatnya siswa
memiliki otoritas untuk mencapai suatu memampuan sesuai kapasitasnya sendiri. Sementara
guru sebagai fasilitator, hanya bisa melakukan tindakan didaktis atau pedagogis pada saat siswa
benar-benar membutuhkan yaitu ketika berusaha mencapai kemampuan potensialnya. Dengan
demikian, antisipasi yang sudah disiapkan perlu senantiasa disesuaikan dengan situasi didaktis
maupun pedagogis yang terjadi.
Komponen koherensi atau pertalian logis. Situasi didaktis yang diciptakan guru sejak awal
pembelajaran tidaklah bersifat statis karena pada saat respon siswa muncul yang dilanjutkan dengan
tindakan didaktis atau pedagogis yang diperlukan, maka akan terjadi situasi didaktis dan pedagogis
baru. Karena kejadian tersebut berkembang sepanjang proses pembelajaran dan sasaran tindakan
yang diambil guru bisa bersifat individual, kelompok, atau kelas, maka milieu yang terbentuk
pastilah akan sangat bervariasi. Dengan demikian, situasi didaktispun akan berkembang pada
tiap milieu sehingga muncul situasi yang berbeda-beda. Namun demikian, perbedaan-perbedaan
situasi yang terjadi harus dikelola sedemikian rupa sehingga perubahan situasi sepanjang proses
pembelajaran dapat berjalan secara lancar mengarah pada pencapaian tujuan. Untuk mencapai hal
tersebut, maka guru harus memperhatikan aspek pertalian logis atau koherensi dari tiap situasi
sehingga proses pembelajaran dapat mendorong serta memfasilitasi aktivitas belajar siswa secara

241
Buku Prosiding Seminar Nasional

kondusif mengarah pada pencapaian hasil belajar yang optimal.


Konsep metapedadidaktik yang meliputi tiga komponen terintegrasi, seperti kesatuan,
leksibilitas, dan koherensi dalam hubungan tiga serangkai (segitiga) antara guru, siswa dan
materi tampaknya relevan diadopsi dalam pembelajaran IPA pada pendidikan inklusif SD.
Segitiga didaktis yang menggambarkan hubungan pedagogis (HP) antara guru dengan siswa serta
hubungan didaktis (HD) antara siswa dengan materi serta antisipasi situasi didaktis yang terjadi
dalam pembelajaran baik secara pedagogis maupun didaktis (ADP) menjadi perhatian pula dalam
pendidikan inklusif. Oleh karena itu, teori dan model ini relevan diadopsi dalam pembelajaran
IPA bagi ABK, sebab dalam pendidikan inklusif juga sangat memperhatikan hubungan yang
utuh dari ketiga komponen tersebut dengan tetap memperhatikan karakteristik siswa ABK dan
materi/tema pembelajarannya. Bahkan peran guru sangat dominan dalam konteks segitiga, yakni
menciptakan suatu situasi didaktis (didactical situation) sehingga terjadi proses belajar dalam diri
siswa (learning situation).

2.3 Inovasi Pembelajaran IPA Pada Pendidikan Inklusif SD Berbasis Metapedadidaktik


Pembelajaran IPA pada sekolah dasar reguler bersifat tematik yang menyeimbangkan antara
soft skiils dan hard skills, meliputi kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan melalui
pendekatan sains (scientiic approach). Standar proses dalam pembelajaran IPA SD reguler terdiri
atas mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan dan mencipta (Maduriana,
2015: 27).
Pembelajaran IPA pada pendidikan inklusif SD, mengacu pada kurikulum sekolah reguler
(kurikulum nasional) yang dimodoikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan
anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat
kecerdasannya. Modiikasi kurikulum dilakukan terhadap: alokasi waktu, isi/materi kurikulum,
proses belajar-mengajar, sarana prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas.
Pemerintah menyatakan bahwa kurikulum yang dipakai satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan inklusif adalah kurikulum reguler dengan mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan
peserta didik sesuai dengan bakat, minat dan potensinya. Model kurikulum pendidikan inklusif
terdiri atas model kurikulum reguler, model kurikulum reguler dengan modiikasi, dan model
kurikulum Program Pembelajaran Individual (PPI).
Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang mengikut sertakan peserta didik berkebutuhan
khusus untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang
sama. Model kurikulum reguler dengan modiikasi, yaitu kurikulum yang dimodiikasi oleh guru
pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap
mengacu pada kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Di dalam model ini bisa terdapat
siswa berkebutuhan khusus yang memiliki PPI. Model kurikulum PPI yaitu kurikulum yang
dipersiapkan guru program PPI yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan
guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.
Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individuali zed Education Program (IEP) merupakan
karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusif. Konsep pendidikan inklusif berprinsip
adanya persamaan, mensyaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap
perbedaan individu.
Menurut Suryadi (2010), suatu kemampuan penting yang harus dikuasai guru adalah
metapedadidaktik, yaitu suatu kemampuan guru untuk : (1) memandang komponen-komponen
segitiga didaktis yang dimodiikasi yaitu ADP, HD, dan HP sebagai suatu kesatuan utuh, (2)
mengembangkan tindakan sehingga tercipta situasi didaktis dan pedagogis yang sesuai dengan
kebutuhan siswa, (3) mengidentiikasi serta menganalisis respon siswa sebagai akibat tindakan
didaktis maupun pedagogis yang dilakukan, (4) melakukan tindakan didaktis maupun pedagogis
lanjutan berdasarkan hasil analisis respon siswa menuju pencapaian target pembelajaran.
Berdasarkan konsep di atas, maka inovasi pembelajaran IPA pada pendidikan inklusif SD

242
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

berbasis metapedadidaktik dapat diilustrasikan sebagai berikut.

Gambar 2 Metapedadidaktik (Dindin dalam http://ile.upi.edu)

Gambar 2 memberikan makna, bahwa peran guru dalam pendidikan inklusif SD yang
membelajarkan IPA sangat penting, guru harus memperhatikan hubungan ketiga komponen secara
utuh, HD,HP dan ADP, kemudian mengembangkan tindakan pembelajaran sesuai karakteristik
ABK sehingga tercipta situasi didaktis dan pedagogis yang sesuai dengan kebutuhan siswa
ABK, mengidentiikasi serta menganalisis respon siswa sebagai akibat tindakan didaktis maupun
pedagogis yang dilakukan, serta melakukan tindakan didaktis maupun pedagogis lanjutan
berdasarkan hasil analisis respon siswa menuju pencapaian target pembelajaran.

3. Simpulan
Pendidikan inklusi merupakan jawaban atas kesamaan hak bagi anak untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi. Model pendidikan inklusi yang dilaksanakan di
masing-masing satuan pendidikan harus leksibel sesuai dengan ilosoi pendidikan inklusif dan
karakteristik ABK. Pendidikan inklusif relatif masih baru, sehingga pelaksanaannya di masing-
masing satuan pendidikan sangat variatif. Begitu pula halnya dalam pembelajaran IPA pada
pendidikan inklusif SD belum berjalan optimal masih banyak masalah dalam implementasinya,
baik yang dialami oleh sekolah, siswa maupun guru. Guru dalam melakukan aktivitas pegagogis
pada pembelajaran IPA ABK sering mengalami kesulitan, antara lain dalam memilih strategi
pembelajaran. Sebab pembelajaran IPA SD pada anak normal tentu berbeda dengan ABK.
Untuk itu, ditawarkan alternatif pengembangan pembelajaran IPA berbasis Metapedadidaktik
dengan mengacu pada teori Metapedadidaktik dari Suryadi (2010). Model metapedadidaktik ini
terkait dengan suatu peristiwa pembelajaran, yang dapat digambarkan sebagai sebuah limas dengan
titik puncaknya guru. Guru memandang alas limas sebagai segitiga didaktis yang dimodiikasi.
Dengan demikian, implementasi model Metapedadidaktik pada pembelajaran IPA bagi siswa
ABK, dituntut kemampuan guru untuk memandang komponen-komponen segitiga didaktis
yang dimodiikasi yaitu Antisipasi Didaktis-Pedagogis (ADP), Hubungan Didaktis (HD), dan
Hubungan Pedagogis (HP) sebagai suatu kesatuan yang utuh, mengembangkan tindakan sehingga
tercipta situasi didaktis dan pedagogis yang sesuai kebutuhan siswa ABK, mengidentiikasi serta
menganalisis respon siswa sebagai akibat tindakan didaktis maupun pedagogis yang dilakukan,
serta melakukan tindakan didaktis dan pedagogis lanjutan berdasarkan hasil analisis respon siswa
menuju pencapaian target pembelajaran. Dalam hal ini, guru harus memperhatikan materi atau
tematik pembelajaran IPA (ADP) serta karakteristik siswa ABK (HP) dan kesesuaian tematik
pembelajaran IPA dengan karakteristik siswa ABK (HD). Pembelajaran IPA pada pendidikan
inklusif SD yang diinovasi berbasis Metapedadidaktik cenderung dapat meningkatkan
pembelajaran ABK, hal ini didukung hasil penelitian Brousseau (1997) dan Toom (2006),
bahwa model Metapedadidaktik dapat mengoptimalkan proses pembelajaran. Oleh karena itu,

243
Buku Prosiding Seminar Nasional

disarankan kepada para guru pendidikan inklusif SD agar mengembangkan model pembelajaran
berbasis Metapedadidaktik sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan pembelajaran IPA
pada pendidikan inklusif sekolah dasar.

4. Daftar Pustaka

Creswell, J.W. (2012). Educational Research : Planning, Conducting, And Evaluating Quantitative
And Qualitative Research. Boston: Pearson Education.
Brouseau, G. (1997). Theory of Didactical Sitruation in Mathematics. Dordrecht: Kluwer Academic
Publishers.
Danim, Sudarman. (2010). Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi. Bandung: Alfabeta.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, Dirjen Dik-
das, Kemdikbud. Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi
Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bbakat
Istimewa.
http://didi-suryadi.staf.upi.edu/proil/ “Proil Prof. Dr. Didi Suryadi, M.Ed.” Diunduh tang-
gal 11 April 2016.
http://dunia-blajar.blogspot.co.id/2015/10/hakekat-pendidikan-inklusi.html. “Konsep Pendidikan
Inklusi”. Diunduh tanggal 12 April 2016.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/iles/pendidikan/”Hakikat Pendidikan Inklusi”Diunduh tanggal 12
April 2016.
http://didi-suryadi.staf.upi.edu/iles/2011/06/Metapedadidaktik-dalam-Pembelajaran-Matematika-
Suatu-Strategi- Pengembangan-Diri-Menuju-Guru-Matematika-Profesional.pdf. Diunduh
tanggal 12 April 2016.
Dindin Abdul Muiz Lidinillah. “Educational Design Research : a Theoretical Framework for Ac-
tion” “http://ile.upi.edu/Direktori/kd-tasikmalaya. Diunduh tanggal 12 April 2016.
Ishartiwi. “Implementasi Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Sitem
Persekolahan Nasional” .Jurnal Pendidikan Khusus ISSN 1858-0998 Vol.6 No.1 Mei 2010.
Yogyakarta: UNY.
Jagra, Wayan Gede. (2015). “Implementasi Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus”. Makalah.
Workshop Peningkatan Profesionalisme Guru SLB se-kabupaten Tabanan.
Kansanen, P. (2003).”Studying-the Realistic Bridge Between Instruction and Learning. An Attempt
to a Conceptual Whole of the Teaching-Studying Learning Process”. Educational Studies,
Vol. 29,No. 2/3, 221-232.
Maduriana, I Made dan Ni Putu Seniwati. (2015). “Pengembangan Materi dan Model Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa Berbasis Tradisi Lisan Berorientasi Spritualisme Berbantuan
Modul Terintegrasi Dengan Pembelajaran IPA di SD”. Laporan Kemajuan Hibah Bersa-
ing. Tabanan: IKIP Saraswati.
Sunardi. (1995). Kecenderungan Dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Dikti,Depdikbud.
Suryadi, Didi. (2010).”Didactical Design Research Dalam Pengembangan Pembelajaran Matema-
tika1. Makalah.Seminar Nasional Pembelajaran MIPA di UM Malang 13 November 2010.
Toom, A. (2006). Tacit Pedagogical Knowing At The Core of Teacher’s Professionality.
Helsinki:University of Helsinki.

244
PENGEMBANGAN DAN PELESTARIAN SASTRA LISAN
MELALUI MODEL AKTOR DAN AKTRIS SEKOLAH

I Nyoman Suaka, I Wayan Soper


Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Saraswati Tabanan, Bali
e-mail: imansuaka@yahoo.co.id

Abstrak
Tulisan ini bertujuan mengkaji dan mengembangkan sastra lisan untuk mencegah terjadinya
kepunahan sastra lisan. Metode yang digunakan adalah observasi, dokumen, sosio drama
dan perekaman. Pemberdayaan masyarakat peduli tradisi lisan dapat dilakukan melalui
lembaga pendidikan baik tingkat pendidikan usia dini, pendidikan dasar, menengah dan
perguruan tinggi. Guru-guru dan pihak sekolah memiliki peran strategis untuk melestarikan
dan mengembangkan sastra lisan. Model yang ditawarkan melalui pembentukan sanggar
sastra dengan kegiatan bermain peran seperti sandiwara sekolah, teater sekolah, dan drama
remaja. Siswa dan siswi menjadi aktor dan aktris dalam pementasan tersebut. Bahkan aktor
dan aktris sekolah ini menjadi model pelestarian dan pengembangan sastra lisan. Sandiwara
yang dipentaskan mengambil sastra lisan dalam bentuk cerita-cerita rakyat yang tersebar di
tanah air. Siswa dapat mengekspresikan tradisi lisan melalui deklamasi, berbalas pantun,
pembacaan sajak, monolog dan menceritakan cerita (story telling). Aktivitas kreatif ini tidak
saja dilakukan di ruang kelas, tetapi juga di arena terbuka dengan latar yang menyesuaikan
ide cerita. Untuk menambah motivasi guru dan siswa, permainan peran (sosio drama) tersebut
agar direkam melalui kamera layaknya shooting sebuah ilm. Dengan demikian, siswa akan
lebih tertarik tentang sastra lisan karena marasa dirinya terlibat sebagai aktor dan aktris.

Kata kunci: pelestarian, sastra lisan, aktor dan aktris.

Abstract
This paper aims to study and develop oral literature to prevent the extinction of oral literature.
The method used is observation, documents, socio drama and recording. Empowering
communities do care about the oral tradition through educational institutions both levels of
early childhood education, primary education, secondary and higher education. The teachers
and the school has a strategic role to preserve and develop oral literature. The model offered
through the establishment of a literary workshop with activities such as playing the role of a
school play, a theater school, and the teen drama. Male and female students become actors
and actresses in the play. Even actors and actresses this school a model of conservation
and development of oral literature. The play is staged taking oral literature in the form of
folk tales spread across the country. Students can express oral tradition through declamation,
unrequited rhyme, poetry readings, monologues and tells the story (story telling). This
creative activity does not just happen in the classroom, but also in an open arena with a
background that adjusts story ideas. To increase the motivation of teachers and students, play
a role (socio drama) so that recorded by the camera like shooting a movie. Thus, students will
be more interested about oral literature as marasa himself involved as actors and actresses.

Keywords: conservation, oral literature, actors and actresses.

1. Pendahuluan

S
eiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, sastra lisan seperti dongeng,
dan cara mendongeng mengalami perubahan. Salah satu perubahan itu disebabkan oleh
budaya tutur tergeser oleh budaya baca. Kini ketika budaya baca itu belum mantap,
telah tergantikan oleh budaya visual. Dengan demikian, keberadaan tradisi sastra lisan seperti
mendongeng yang tersebar di daerah-daerah di Indonesia, sangat memprihatinkan. Pendongeng-

245
Buku Prosiding Seminar Nasional

pendongeng mahir di tanah air telah dikenal sejak lama. Di Bali misalnya, dikenal dengan istilah
tukang satua (pendongeng professional), di kalangan masyarakat Betawi tempo dulu disebut tukang
cerite atau shohibul hikayat. Di Sumatera disebut tukang kaba atau penglipur lara. Pendongeng
di Jawa disebut tukang kentrung yaitu kelompok pengembara yang membawa semacam tambur
untuk mengamen dari rumah ke rumah membawakan cerita-cerita bernafas magis dan religius.
Mendongeng yang merupakan bagian dari bentuk sastra lisan kini menghadapi tantangan
baru karena pengaruh budaya audiovisual. Tradisi mendongeng, diambang kepunahan. Kondisi
ini kalau tidak dicarikan solusinya, maka dipastikan tradisi lisan itu akan lenyap akibat kegagalan
generasi sekarang karena kurang menghargai warisan budaya nenek moyang. Keadaan tersebut
diperparah lagi karena pembicaraan tentang sastra lisan dalam buku-buku pelajaran sastra sampai
tahun 1980-an kurang mendapat perhatian (Amir, 2013:1).
Pendapat yang berbeda dikatakan oleh Ahmadi (2012 : ii) bahwa kajian sastra lisan saat
ini mulai menggeliat seiring dengan konsep berpikir global bertindak lokal. Pengangkatan nilai-
nilai lokalitas, baik pengetahuan lokal, kearifan lokal, bahasa lokal dan sastra lokal benar-benar
menarik untuk disimak, diteliti dan diperbincangkan. Tujuan masyarakat Indonesia mengangkat
nilai-nilai lokalitas agar bangsa ini mencuat dan mampu berdiri sejajar dengan masyarakat global.
Bagi orang Bali, sastra lisan merupakan bagian dari kehidupan sosial budayanya. Akan
tetapi sejalan dengan perkembangan teknologi dan pariwisata di Bali, kehidupan sastra lisan
termarginalkan terutama dalam kehidupan generasi muda. Kebudyaan Bali yang semula bersifat
agraris sebagai tempat berkembangnya sastra lisan, telah bergeser pada budaya industri pariwisata
yang mengikis tradisi lisan. Para orang tua sibuk mencari nafkah, sementara itu, ana-anak telah
mendapat hiburan alternatif yang lebih menarik di media elektronik, seperti televisi, game on
line, video dan sejenisnya. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan masyarakat dan pemerintah
daerah Bali karena kebudayaan Bali, khususnya satra lisan bisa hilang di tengah hiruk pikuknya
kehidupan modern.
Terdesaknya sastra lisan dalam kehidupan masyarakat Bali sebenarnya sudah dirasakan
mulai tahun 1960-an (Sudewa, 2013 : 1). Melihat keadaan seperti itu, pada tahun 1978 Gubernur
Bali, IB. Mantra memiliki gagasan untuk menyelenggarakan Pesta Kesenian Bali (PKB). Tujuan
PKB untuk melestarikan dan mendokumentasikan kebudayaan Bali termasuk sastra lisan.
Walaupun tujuan PKB belum diarasakan secara maksimal, tetapi banyak bentuk kesenian yang
telah didokumentasikan dan diselamatkan dari kepunahan, termasuknya di dalamnya sastra lisan
Bali. Bahkan setiap diadakan PKB selalu diadakan lomba mendongeng (mesatua) bagi generasi
muda, dan mendapat respon yang positif. Lomba sejenis juga sering diselenggarakan di sekolah,
kampus dan instansi terkait di Bali.
Penelitian sastra lisan pernah dilakukan Ahmadi (2006) meneliti cerita rakyat di Pulau
Raas Madura. Karsa (2006) meneliti sastra lisan dalam tradisi mendongeng (mesatua) di Desa
Sekardadi, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli Propinsi Bali. Peneliti lain Adriyetti Amir
(2007) memetakan sastra Lisan Minangkabau. Dalam sejarah sastra lisan di Indonesia ditemukan
peneliti-peneliti asing yang menulis tentang sastra lisan seperti R.O. Winstedt, Hooykaas dan
Liauw Yock Fang, sedangkan sajana Indonesia yang tertarik dengan sastra lisan, Sutan Takdir
Alisyahbana, Zuber Usman, HB Jassin dan lain-lain.
Secara umum peneliti sastra lisan lebih tertarik dengan upaya inventarisasi satra lisan,
mencari bentuk, fungsi dan makna sastra lisan. Padahal, kenyataan yang sangat memprihatinkan
adalah posisi sastra lisan termarginalisasikan, kalah bersaing dengan teknologi terutama
tradisi penyampaiannya (mendongeng). Era teknologi informasi dan komunikasi melalui
televisi sekarang ini turut mempercepat marginalisasi tradisi tersebut. Cerita-cerita rakyat kini
ditayangkan di setiap stasiun televisi berupa tayangan ilm kartun. Namun, cerita-cerita dalam
ilm kartun itu merupakan cerita impor dari Inggris, Amerika, Jepang dan Malaysia. Jarang sekali
cerita rakyat asli Indonesia dikemas dalam industr budaya sehingga anak-anak semakin jauh dari
lingkungan budayanya. Berdasarkan pemantauan yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA)

246
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

terhadap 1.106 tayangan anak yang diputar di 10 stasiun televisi pada tahun 2006, hanya 27
persen yang aman dari kekerasan dan seks, sedangkan 73 persen lainnya dinilai berbahaya bagi
anak. Sementara itu sumber tayangan anak yang ditampilkan di televisi juga kebanyakan produk
impor sebanyak 84 persen dan sisanya 16 persen produk lokal (Triwardani dan Wicandra, 2007).
Anak-anak Indonesia sangat gemar menonton Supermen, Batman, Spiderman, Doraemon,
Sailormoon, Sinchan, Micky Mouse dan Power Rangers. Namun dibalik tayangan tersebut,
tanpa disadari oleh anak banyak mengandung unsur kekerasan, kata-kata kasar, tipuan, kelicikan
yang kurang baik ditonton oleh anak. Maka dari itu, sudah saatnya menggali sastra lisan yang
tersebar di nusantara untuk diadaptasi menjadi ilm kartun atau sejenisnya. Proses digitalisasi
ini, tidak menggantikan sepenuhnya tradisi lisan mendongeng, tetapi memerlukan pendampingan
ketika anak-anak menonton tayangan tersebut baik dari orang tua, kakek, nenek maupun guru di
sekolah.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana upaya pelestarian dan pengembangan sastra lisan dan bagaimana peran lembaga
pendidikan dalam pelestarian dan pengembangan sastra lisan tersebut.

2. Pembahasan

2.1 Pelestarian dan Pengembangan Sastra Lisan


Kekhawatiran akan punahnya sastra lisan amat dirasakan oleh kalangan birokrat,
akademisi, praktisi pendidikan, sastrawan, dan budayawan serta masyarakat. Hal ini dipandang
mendesak untuk dicarikan solusinya. Tradisi sastra lisan merupakan warisan budaya yang diakui
Unesco sebagai warisan budaya dunia yang bersifat non isik (ingatable cultural heritage).
Pelestarian dan pengembangan sastra lisan sampai saat ini perlu digalakkan di lembaga
pendidikan seperti sekolah-sekolah baik tingkat dasar menengah maupun perguruan tinggi.
Dalam proses belajar mengajar tampaknya hal ini diabaikan hanya bersifat penjelasan sambil
lalu dalam materi pelajaran seperti bahasa, sastra, agama, sosiologi dan lainnya. Tradisi lisan
terutama sastra lisan selama ini menjadi materi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, namun
mendapat porsi yang kecil dalam kurikulum dibandingkan materi kebahasaan (linguistik). Seiring
dengan pendidikan berbasis karakter, tradisi lisan memiliki andil yang besar karena siswa diajak
bermain, belajar, bernyanyi, berpikir, berdialog dan bercerita.

Gambar 1. Cerita rakyat Bali, Tuwung Kuning dipentaskan ke bentuk teater oleh mahasiswa
Jurusan Pendidikn Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Saraswati Tabanan

Pendidikan tempo dulu pernah memasukkan pelajaran sandiwara atau bermain drama
sebagai wahana bermain, belajar, dan berdialog. Kini materi tersebut hampir menguap dari
ruangan kelas karena dikejar untuk mendapatkan nilai kognitif agar lulus dalam ujian. Tradisi

247
Buku Prosiding Seminar Nasional

lisan yang mudah didapat di masyarakat baik berupa mitos, legenda, nyanyian rakyat, dan cerita
rakyat dapat dijadikan ide dasar cerita untuk dipentaskan. Anehnya, cerita-cerita rakyat tadi
sudah dikemas dalam bentuk animasi yang ditayangkan di televisi. Dengan demikian, anak-anak
semakin jauh dari tradisi leluhurnya karena hanya bisa menonton tanpa dialog kejiwaan. Berbeda
halnya dengan bermain sandiwara. Siswa terlibat langsung, memerankan, menghayati, menjiwai
dan berpikir sesuai dengan karakter yang diperankan.
Merumuskan pemberdayaan masyarakat peduli tradisi dapat dilaksanakan melalui lembaga
sekolah. Bahkan lembaga ini sangat tepat karena mendidik generasi muda agar berurat akar dengan
nilai-nilai tradisi yang ada di ligkungannya. Upaya menggairahkan itu dengan jalan memberikan
kesempatan seluas-luasnya untuk tampil melalui klompok sandiwara, teater sekolah atau drama
remaja. Pementasan teater itu tidak sekadar tampil tetapi dapat direkam melalui video sebagai
upaya digitalisasi. Digitalisasi melalui VCD, DVD atau sejenisnya akan menambah semangat
siswa karena mereka bagaikan aktor dan aktris dalam dunia sinetron dan ilm.
Sebagai produk industri budaya, saya yakin siswa akan peduli dengan tradisi terutama sastra
lisan. Digitalisasi melalui kemasan budaya pop ini sangat digandrungi oleh generasi muda karena
dia dapat menyaksikan dirinya sendiri atau sahabatnya sebagai akktor dan aktris. Melalui sastra
digital ini sebagai dokumen, sewaktu-waktu dapat ditayangkan kembali. Pada akhirnya sekolah-
sekolah dapat menjadi rumah produksi (production house) yang karyanya dapat dijual kepada
stasiun televisi dan sponsor (para pengiklan). Peluang tersebut sangat besar karena bermunculan
televisi-televisi lokal di berbagai daerah yang mengangkat potensi daerah sebagai mata acara
siaran. Televisi nasional pun kini membuka diri dengan kewajiban menayangkan 20 persen acara
bermuatan lokal.

Gambar 2. Bermain peran model aktor dan aktris sebagai Pengembangan dan pelestarian cerita
rakyat

2.2 Model Aktor dan Aktris


Model merupakan kerangka konseptual suatu pandangan terdiri atas komponen-komponen
kritis yang merupakan variabel penting. Model juga mejelaskan hubungan antarvariabel yang
memberi konsep. Di dalam model terdapat sejumlah landasan ilosois yang mendasari penafsiran
dan pengorganisasian data ke dalam suatu model (Huitt dalam Subyantoro (2013:14). Senada
dengan pengertian tersebut, Anglin (dalam Subyantoro, 2013:14) mengatakan, model dianggap
sebagai suatu abstraksi dan penyederhanaan pada sistem referen yang diartikan yang memiliki
beberapa ketaatan pada sistem referen.
Untuk meneliti kualitas sebuah model dapat digunakan kriteria sebagaimana diungkapkan oleh
Reigeluth (dalam Subyantoro, 2013:15) sebagai berikut:
1. Konsistensi internal.
2. Batasan dan pembatasan yang eksplisit,

248
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

3. Tidak bertentangan dengan data empiris,


4. Sifat hemat yaitu kesederhaan (variable yang lebih sediit yang lebih baik),
5. Kegunaan,
6. Kelengkapan,
7. Optimal,
8. Keluasan pemakaian.
Data emperis dalam penelitian ini adalah sastra Bali (baik lisan dan tulisan) berbahasa
Bali atau Indonesia sebagai media penyampaiannya. Model yang dinilai representatif dalam
pelestarian dan pengembangan sastra lisan Bali akan digunakan model bermain peran. Model
bermain peran itu dapat berupa bermain drama atau teater dan bercerita. Pengertian drama sedikit
berbeda dengan teater, walaupun belakangan ini kedua istilah tersebut sering dipakai untuk
maksud yang sama. Sujiman (1984:20) memberi batasan drama adalah karya sastra yang bertujuan
menggambarkan kehidupan dengan tikaian atau konlik dan emosi lewat lakuan dan dialog dan
lazimnya dirancang untuk pementasan di panggung. Sastrawan Sarumpaet (1977:21) mengatakan
drama adalah ragam sastra dalam bentuk dialog yang dimaksudkan utuk dipertunjukan di atas
pentas. Secara lebih khusus, drama menunjukkan pada lakon yang serius, dapat berakhir suka,
maupun duka dengan masalah yang serius pula, sekalipun tanpa pamrih menjadikan suatu drama
duka
Melihat pengertian diatas, maka dapat ditegaskan beberapa hal tentang drama yakni, drama
dalah jenis karya sastra yang memiliki konlik atau tikaian. Drama merupakan seni pertunjukkan
yang didukung oleh aktor dan aktris (pemain, pelaku peran tokoh) di atas pentas. Teknik
penyajiannya dapat berupa gerak atau percakapan (baik dialog maupun monolog).
Hampir sama dengan drama, teater memiliki arti yang lebih luas, sekaligus menyangkut
seluruh kegiatan dan proses penjadian dari proses penciptaan, penggarapan, penyajian atau
pementasan dan penikmatan (Satoto, 2012:5). Menurut Satoto, membicarakan teater sebenarnya
membicarakan soal proses kegiatan dari lahirnya (penciptaan ide, dalam bentuk naskah lakon),
penggarapan, penyajian atau pementasan, sampai dengan timbulnya tanaggapan atau reaksi
penonton atau publik (2012:4). Kini istilah teater bukan saja berarti gedung tempat petunjukkan,
namun memiliki arti yang lebih luas lagi menyangkut seluruh kegiatan dan proses kegiatan
tersebut.
Mengingat antara sastra dengan drama dan dengan teater merupakan satu kesatuan, maka
dalam model pelestarian dan pengembangan sastra lisan di Bali dipilih model pembelajaran
bermain peran (bermain drama atau teater). Model bermain peran pada awalnya dikembangkan
oleh Fannie dan Shaftel. Bermain peran sebagai model pengajaran terkait dengan dimensi
personal dan sosial pendidikan. Pada tingkat yang paling sederhana bermain peran berkaitan
dengan masalah tindakan, masalah digambarkan, dilakukan dan didiskusikan.

Gambar 3. Tokoh I Pudak diperankan oleh Andi sebagai penjudi sedangkan isterinya oleh Nitya

249
Buku Prosiding Seminar Nasional

Dalam bermain peran ini, menurut Subyantoro (2013 : 22-23), seseorang menempatkan
dirinya dalam posisi orang lain dan kemudian mencoba berinteraksi dengan yang lainnya yang
juga bermain peran. Empati, simpati, kemarahan dan kasih sayang kesemuanya menyeluruh
selama berinteraksi bermain peran, jika dilakukan dengan baik maka akan menjadi bagian
yang hidup. Selanjutnya dikatakan, inti dari bermain peran adalah keterlibatan partisipan dalam
pengamat suatu masalah nyata dan hasrat utuk memecahkan dan memahami keterlibatan itu.
Bermain peran memberikan contoh langsung prilaku manusia yang meyediakan sarana
bagi siswa untuk:
1. Mengeksplorasi perasaan
2. Memperoleh wawasan bagi sikap, nilai-nilai dan persepsi mereka
3. Mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan sikap mereka
4. Mengeksplorasi subjek materi dengan berbagai cara.
Model bermain peran dapat digambarkan sebagai berikut.

Analisis nilai dan


Fakta Tentang tingkah laku pribadi
Masalah dan
Nilai Sosial
Model
Permainan Strategi untuk
Peran memecahkan
Keleluasaan masalah
dalam interpersonal
Berpendapat

Empati/simpati
kasih sayang

Catatan.
_________ = efek institusional
--------------- = efek samping

Gambar 4. Bagan Model bermain peran (Dimodiikasi dari Subyantoro, 2013:23)

Bagian-bagian yang dimainkan disebut peran. Peran merupakan rangkaian terpola dari perasaan,
perkataan dan tindakan. Peran merupakan kebiasaan yanag unik dan tak biasa dalam berhubungan
dengan orang lain. Melalui bermain peran (drama/teater) siswa dapat meningkatkan kemampuan
mereka untuk mengenali perasaan mereka sendiri dan orang lain. Mereka dapat belajar prilaku
orang lain, mereka dapat belajar prilaku lain untuk mengatasi situasi sulit sebelumnya. Mereka
dapat meningkatkan keterampilan menyelesaikan masalah mereka. Model bermain peran dapat
mengantarkan kegiatan siswa yang lebih menarik.
Menurut Subyantoro (2013:24) peran merupakan rangkaian terpola dari perasaan, perkataan
dan tindakan. Peran merupakan kebiasaan yang unik dan tak biasa dalam berhuungan dengan
orang lain. Kecuali jika kita mencarinya, terkadang sulit untuk merasakan konsistensi dan pola
dalam sikap. Tetapi biasanya mereka ada. Istilah seperti ramah, lucu, lugu, kasar, sombong, sok
tahu untuk menggambarkan karakteristik respon seseorang.

2.3 Bermain Peran (Sosio Drama)


Berdasarkan uraian tersebut, maka model bermain peran dapaat diaplikasikan dalam
beberapa tujuan pendidikan. Melalui bermain peran siswa dapat meningkatkan kemampuan

250
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

mereka untuk mengenali perasaan mereka sendiri dan orang lain, mereka dapat belajar prilaku
orang lain untuk mengatasi siatuasi sulit sebelumnya, dan mereka dapat menyelesaikan masalah
mereka. Model bermain peran juga membawa kegiatan menjadi lebih menarik. Para siswa dapat
menikmati emosi, aksi dan akting ibarat sebagai aktor dan aktris. Tahapan-tahapan model tidak
berakhir dengan sendirinya, tetapi mereka membantu menunjukkan nilai-nilai, perasaan, prilaku
dan solusi masalah.
Bermain peran dalam bentuk drama/teater dilakukan oleh kelompok teater mahasiswa Jurusan
pendidikan bahasa dan sastra Indonesia Fakultas pendidikan Bahasa dan Sen IKIP saraswati
tabanan. Dipilihnya mahasiswa ini karena terkait dengan kuliah-kuliah yang diberikan dosen
pengampu seperti mata kuliah Kesusastraan Lama, Prosa Fiksi dan Drama serta Teater. Mereka
diberikan materi yang cukup memadai baik menyangkut teori maupun praktek. Di samping itu,
Jurusan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia IKIP saraswati tabanan memiliki fasilitas berupa
laboratorium teater. Mahasiswa yang terlibat dalam kelompok teater 15 orang yang terdiri dari
dua kelompok. Sebelumnya mereka juga diberikan sosialisasi mengenai sastra lisan Bali dalam
bentuk dongeng, legenda, mitos dan fable. Judul dongeng dan tema cerita dipilih oleh mahasiswa.
Dari sepuluh judul dongeng, maka yag dipilih adalah cerita Tuwung Kuning dan cerita I Bawang
Teken I Kesuna (Bawang Merah dan Bawang Putih).

Gambar 4. Tokoh Tuwung Kuning diperankan oleh Wiwik, sedangkan ayah dan ibunya
diperankan oleh Puja dan Amel

Langkah selanjutnya mereka membagi peran melalui diskusi antarteman dalam satu kelompok
teater. Latihan berlangsung 4 kali, gladi bersih 1 kali dan pementasan satu kali. Pementasan
terakhir itu langsung direkam melalui kamera di ruangan laboratorium teater IKIP Saraswati
Tabanan. Hasil rekamaan ini didokumentasikan melalui VCD sehingga sewaktu-waktu dapat
ditayangkan kembali sebagai bahan evaluasi dan interospeksi diri para pemain. Berdasarkan hasil
wawancara kepada para pemain, mereka sangat senang mementaskan cerita itu karena, ibarat
seorang aktor dan aktris ilm dan sinetron yang sedang shoting. Melalui shoting tersebut, mereka
lebih serius dan berlomba-lomba memerankan tokoh yang dibawakan. Dengan demikian melalui
pemanfaatan industri budaya ini diperoleh hasil pementasan yang maksimal dibandingkan dengan
cara konvensional, tanpa shoting.
Kelompok teater dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester VI Kelas A Jurusan
Pendidkkan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Saraswati
Tabanan. Mereka terbagi dalam dua kelompok teater masing-masing teater I dan teater II. Masing-

251
Buku Prosiding Seminar Nasional

masing kelompok ini membawakan naskah drama yang berbeda tapi kedua naskah diambil dari
cerita rakyat yang sangat populer di Bali. Grup teater I menampilkan drama berjudul Tuwung
Kuning dan grup teater II menampilkan I Bawang tekan I Kesuna (Bawang Merah dengan
Bawang Putih).
Para pendukung teater tersebut (Nitya, Amel, Wiwik, Puja, Tika dan Andi) menilai
sangat baik pengembangan dan pelestarian sastra lisan itu melalui teater. Bahkan Nitya dalam
wawancara dengan peneliti, Senin 11 April 2016 mengatakan, untuk mengatasi kepunahan cerita
rakyat dapat dilakukan melalui aktor dan aktris sekolah. Walaupun belum menjadi aktor dan
aktris ilm, tetapi teater di tingkat sekolah dan kampus akan sangat menarik sebagai media
pelestarian yang sekaligus sebagai antisipasi untuk mencegah kepunahan sastra lisan. Para aktor
dan aktris sekolah tersebut dapat mengambil cerita rakyat lainnya untuk dipentaskan. Dengan
demikian, pembelajaran sastra akan menjadi apresiatif karena muncul inovasi, kreativvitas dan
terlibat langsung sebagai aktor dan aktris.

3. Simpulan
Mengatasi kepunahan sastra lisan khususnya di Bali dilakukan melalui pembelajaran sastra
dan pembelajaran lainnya. Pembelajaran tersebut harus bersifat inovatif, kreatif dan apresiatif.
Model pembelajaran seperti itu ditempuh dengan permainan sandiwara atau teater sekolah dengan
mengadaptasi cerita rakyat. Para pendidik di sekolah atau kampus membentuk sanggar sastra
dengan melibatkan siswa sebagai aktor dan aktris dalam pementasan tersebut.
Para aktor dan aktris ini merupakan group pelestari sastra lisan. Mereka juga sekaligus
mencegah kepunahan cerita rakyat yang kini keadaannya sangat memprihatinkan. Kegiatan teater
ini dapat direkam melalui kamera video layaknya seperti aktor dan aktris ketika shooting ilm.
Dengan demikian, para siswa sebagai aktor dan aktris sekolah akan memiliki motivasi yang tinggi
untuk terlibat dalam pelestarian warisan leluhur mereka. Di samping itu, aktor dan aktris sekolah
ini tak ubahnya seperti bintang ilm.

4. Daftar Pustaka

Ahmadi, Anas. (2012). Sastra Lisan dan Psikologi. Surabaya : Unesa Uiversity Press.

Amir, Adriyetti. (2013). Sastra Lisan Indonesia. Yogjakarta : Andi

Artika, I Wayan. (2006). “Tuwung Kuning” dan Men Brayut : Kajian Kritis tentang Perempuan
Bali dan KDRT.” Denpasar : Jurnal Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Udayana,
Vol. 3 No. 6. Juli.

Endraswara, Suwardi. (2008). Sanggar Sastra Wadah Pebelajaran dan Pengembangan Sastra.
Yogjakarta : Ramadhan Press.

Karsa, I Wayan. (2006). “Satua sebagai Media Pendidikan Agama Hindu pada Lingkngan keluarga
di Desa Sekardadi, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli,” Denpasar : Program
Parcasarjana IHDN.

Renggani, Titik. (2014). Drama Radio Penulisan dan Pementasan. Yogjkarta : Ombak.

Sarumpaet, Riris K.( 1977). Istilah Drama dan Teater. Jakarta : FSUI

Satoto, Soediro. (2012). Analisis Drama dan Teater 1.Yogjakarta : Ombak

Suastika, I Made. (2012). Tradisi Sastra Lisan (Satua) di Bali Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna.
Denpasar : Pustaka Larasan.

252
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Subyantoro. (2013). Pembelajaran Bercerita. Model Bercerita Untuk Meningkatkan Emosi


dalam Bersastra. Yogjkarta : Ombak.

Sudewa, I Ketut. (2013). “Folklor dalam Perspekif Pelestarian Lingkungan Hidup di Bali,” dalam
Prosiding Folklor dan Folklife dalam Kehiduan Dunia Modern. Yogjakarta : Ombak.

Sujiman, Panuti (Editor). (1984). Kamus Istilah Sastra : Jakarta : PT Gramedia.

Siswiyanti, Frida dan Yuni Pratiwi. (2014). Teori drama dan Pembelajarannya. Yogjakarta :
Ombak.

Triwardani, Reni dan Obed Bima Wicandra. (2007). “Kajian Kritis Praktek Anak Menonton Film
Kartun di Televisi dalam Aktivitas Keseharian di Banyuwangi.” Dalam Jurnal Desain
Komunikasi Visual vol. 9 No. 1. Januari.

Udayana, I Dewa Gede Alit. (2010). Pesan-pesan Kebijaksanaan Bali Klasik dalam Dongeng,
Lagu, Syair dan Pertanda Alam. Denpasar : Pustaka Bali Post.

253
254
PENDIDIKAN LIFE SKILL MERUPAKAN BAGIAN DARI
INOVASI PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI UNTUK
MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)

I Made Sumada, Ni Wayan Suastini


e-mail :imadesumada@yahoo.co.id

Abstrak
Saat ini masalah “life skills” melalui pendidikan formal menjadi aktual untuk dibahas
karena berbagai alasan yang sangat rasional seperti meningkatnya lulusan pendidikan dasar
yang tidak melanjutkan ke jenjang sekolah menengah, lulusan sekolah menengah yang
tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, serta tingginya angka pengangguran terbuka bagi
lulusan perguruan tinggi yang tidak dibekali dengan kemampuan. Seperti data Kemendikbud
tahun 2013, yaitu pengangguran terbuka yang ditamatkan oleh perguruan tinggi sebesar
441.048 orang. Pendidikan life skill merupakan bagian dari inovasi pendidikan tinggi
untuk meningkatkan kwalitas lulusan, disamping perguruan tinggi mencetak lulusan yang
cerdas dibidang akademik juga diharapkan menguasai kemampuan hidup yang berupa life
skill untuk bisa bersaing di pasar kerja terutama dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) sekarang ini. Inovasi pendidikan Perguruan tinggi yang dapat dilakukan
dengan memiliki kewenangan yang luar biasa untuk menyusun kurikulum masing-masing
pendidikan tinggi, sesuai dengan hamanah peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dengan harapan agar nantinya para lulusan berkwalitas sehingga dapat bersaing, dengan
cara memasukan keunggulan local ke dalam kurikulum serta meningkatkan jenis Usaha
Kegiatan Kemahasiswaan (UKM) tidak lagi bersifat konpensional tetapi ditingkat dibidang
kewirausahaan.

Kata kunci : Life skill dan inovasi pendidikan.

Abstract
This time the problem of “life skills” through formal education becomes actual to be
discussed for various reasons were very rational as increasing basic education graduates who
do not continue to secondary school level, high school graduates who do not go to college,
and high rates of unemployment for graduates universities are not equipped with skills. Such
data Kemendikbud in 2013, the unemployment attained by a college of 441 048 people.
Life skill education is part of the innovation of higher education to improve the quality of
graduates, in addition to college scored graduates clever in academic is also expected to have
mastered the ability to live the form of life skills to compete in the job market, especially in
the face of the Asean Economic Community (AEC) today. Innovation education colleges to
do with the authority that is incredible to develop curricula each higher education, according
to hamanah legislation in force, with the hope that in the future graduates of a quality that
can compete, by entering the advantages of local into curriculum and increasing the types
of Student Activities Enterprises (SMEs) are no longer konpensional but level in the ield of
entrepreneurship.

Keywords :Life skills education and innovation.

1. Pendahuluan

M
anusia sebagai makhluk individu dan juga sekaligu sebagau makhluk sosia secara alami
senantiasa berusaha memiliki pemenuhan persyaratan hidup yang lebih baik sebab
keinginan secara individual maupun secara social dipengaruhi doronnan persyaratan
sebagai anggota oranisasi di mana yang bersangkutan berada. Secara folosopy manusia memiliki
dua bagian body atau badan, pertama, bagian di atas leher disebut kepala, yang berfungsi sebagai

255
Buku Prosiding Seminar Nasional

pemikir membutuhkan suatu pembiasaan untuk menalar secara rasional. Output kepala manusia
ini adalah ilmu pengetahuan.Kedua bagain di bawah leher, terutama tangan dan kaki, berfungsi
sebagai pekerja dengan membutuhkan keterampilan.Output tangan dan kaki manusia ini adalah
kemampuan kerja yang ditandai dengan kualitas dan kuantitas hasil kerjanya (Makmur,2008:27).
Kehidupan manusia yang berkualitas adalah menusia yang memilki kemampuan untuk
mengkorelasikan dan mensigniikansikan secara fositif atara kemampuan kepala, yang akan
menghasilkan pemikiran yang berwawasan keilmuan (sciences), dengan kemampuan bagian
manusia di bawah leher, terutama tangan dan kaki yang dapat menghasilkan keterampilan (skill)
yang dibuktikan dari hasil setiap pekerjaannya yang dapat diselesaikan dengan baik. Agar terjadi
kesehibangan antara badan atas dengan badan bagian bawah telah dilakukan melalui berbagai
macam pendidikan. Salah satunya danyang terpenting namun sering dilupakan adalah life skill
atau kecakapan hidup.
Saat ini masalah “life skills” melalui pendidikan formal menjadi aktual untuk dibahas karena
berbagai alasan yang sangat rasional seperti meningkatnya lulusan pendidikan dasar yang tidak
melanjutkan ke jenjang sekolah menengah, lulusan sekolah menengah yang tidak melanjutkan ke
perguruan tinggi, serta tingginya angka pengangguran terbuka bagi lulusan perguruantinggi yang
tidak dibekali dengan kemampuan. Seperti data Kemendikbud tahun 2013, yaitu pengangguran
terbuka yang ditamatkan oleh perguruan tinggi sebesar 441.048 orang.
Berkaitan dengan data tersebut diatas, Life skill erat kaitannya dengan kecakapan atau
kemampuan yang diperlukan seseorang agar menjadi independen dalam kehidupan. Pendidikan
life skills mengorientasikan mahasiswa untuk memiliki kemampuan dan modal dasar agar dapat
hidup mandiri dan survivedi lingkungannya. Pendidikan life skills diperlukan dan mendesak
untuk diterapkan di Indonesia karena muatan kurikulum di Indonesia cenderung memperkuat
kemampuan teoritis-akademik (academic skills).Pembelajaran life skill merupakan salah satu
alternatif sebagai upaya mempersiapkan peserta didik agar memiliki sikap dan kecakapan hidup
sebagai bekal bagi kehidupannya kelak melalui sebuah kegiatan pembelajaran yang aktif, kretis
dan menyenangkan.
Dalam kaitan antisipasi menghadapi penerapan MEA, pendidikan yang memiliki komtensi
atau kemampuan (life skil) merupakan unsurpenting yang harus mendapat prioritas utama.Melalui
pendidikan, setiap orang hendaknya dapat diberdayakan untukberpikir mandiri dan kritis.Dalam
dunia yang terus berubah dan diwarnai oleh inovasi social dan ekonomi, pendidikan tampak
sebagai salah satu kekuatan pendorong untuk meningkatkankualitas imajinasi dan kreativitas
sebagai ungkapan dari kebebasan manusia dan standarisasitingkah laku perorangan.Kesempatan
atau peluang perlu diberikan kepada generasi mudauntu melakukan percobaan dan menemukan
sesuatu yang baru (UNESCO, 1996: 94).

2. Pembahasan
Untuk meningkatkan peran pengembangan masyarakat, maka perlu dilakukan diversiikasi
program dan kegiatan Kecakapan Hidup (lifeskills) hingga ilmu pengetahuan yang baru dapat
didayagunakan dalam proses pendidikan life skills secara berkelanjutan untuk membangun
manusia yang memiliki paham ilmu pengetahuan, potensi kemasyarakatan, dan pembangunan
wilayah. Hal ini bertujuan untuk penciptakan Sumber Daya Manusia yang produktif dan
berdaya saing sehingga tidak hanya menjadi penempa nilai-nilai spiritual saja, tetapi juga mampu
meningkatkan kecerdasan sosial, dan keterampilan dalam membangun masyarakat di sekitarnya.
Ini dimulai dari kemampuan untuk memberdayakan potensi-potensi yang ada di lingkungannya
yang dilakukan oleh Sumber Daya Manusia yang ada.
LifeSkill (kecakapan hidup) adalah kemampuan dan keberanian untuk menghadapi
problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif, mencari dan menemukan solusi untuk
mengatasinya (Wintoro Sukirman, 2008). Kecakapan hidup merupakan orientasi pendidikan yang
mensinergikan mata pelajaran atau mata kuliah menjadi life skill yang diperlukan seseorang,

256
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

dimanapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya (Wintoro Sukirman, 2008).
Pengertian life skilllebih luas dari keterampilan vokasional atau keterampilan untuk bekerja.
Orang yang tidak bekerja, misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pensiun, tetap
memerlukan kecakapan hidup.Seperti halnya orang yang bekerja, mereka juga menghadapi
berbagai masalah yang harus dipecahkan. Orang yang sedang menempuh pendidikan pun
memerlukan kecakapan hidup , karena mereka tentu juga memiliki permasalahannya sendiri
(Rahman Mustofa, 2002). Kecakapan hidup itu bersifat umum, yaitu bersikap dan berlaku
produktif (to be a productive people).Artinya, apapun bidang kejuruan atau pekerjaan yang
dipelajari, bersikap dan berperilaku produktif harus dikembangkan.Bidang pekerjaan biasanya
dibedakan menjadi pekerjaan yang lebih menekankan pada keterampilan manual dan bidang
pekerjaan yang menekankan pada kecakapan berpikir.Terkait dengan itu, pendidikan life skill
yang bersifat spesiik juga dapat dipilah menjadi kecakapan akademik (academic skill) dan
kecakapan vokasional (vocational skill) (Aziz Masyuri, 2002).
Berbekalkan life skillyang baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema
kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang
tidak melanjutkan pendidikannya (Rahardjo Dawam, 1995).Sumber Daya Manusia diberikan
kemampuan pendidikan dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan masyarakatnya, serta
tumbuh dan berkembang secara bottom up, dan bukan ditentukan terlebih dahulu sebagai ekspektasi
formal suatu kurikulum pendidikan baik pendidikan dasar menengah maupun pendidikan tinggi.
Oleh karena itu, pembangunan pendidikan memerlukan keterlibatan elemen-elemen masyarakat
dan pemerintahan daerah. Dalam upaya mencari model yang tepat agar peranmasyarakat dan
pemerinath dalam membangun wilayah berjalan efektif, pemda perlu merangkul perguruantinggi
sebagai mitra. Hal ini dikarenakan memiliki sumbr daya yang memadai dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan kegiatan riset (SM Ismail, 2002).
Pendidikan diharapkan mempunyai outcome berupa life skill, yang menjadi bagian
konsep dasar pendidikan nasional.Life skill merupakan kemampuan, kesanggupan dan
ketrampilan yang harus dimiliki dalam menjalani proses kehidupan. Sehingga sanggup
bersaing dan terampil dalam menjaga kelangsungan hidup dan tantangan pada masa depan
(M Takdir Ilahi, 2012). Hal yang perlu disiapkan dalam menghadapi MEA adalah Sumber
Daya Manusia (SDM) yang handal mampu bersaing dengan sumber daya manusia dari
anggota MEA itu sendiri.
Penyiapan sumber daya manusia yang dilakukan salah satunya melalui jalur
pendidikan tinggi yaitu pada mahasiswa-mahasiswa yang ada di kampus.Mahasiswa yang
rata-rata berusia 20 tahun, merupakan aset bangsa yang sangat berharga karena mahasiswa
masih berada pada masa-masa keemasan dalam mencari jati diri. Perguruan tinggi menjadi
ladang yang sangat luas untuk mengali ilmu yang diperlukan di masa depan. Sehingga
mahasiswa lulus dengan harapan sudah mempunyai beberapa kompetensi atau memiliki
kemampuan (skill) pada dirinya.
Kompetensi mahasiswa lulus dan siap untuk menghadapi MEA bukan hanya
kompetensi akademik (intelektual) saja yang dibutuhkan. Karena persaingan yang sangat
terbuka dengan telah diberlakukannya MEA dalam ajang mencari sumber daya manusia yang
mempunyaikualiikasi dan sertiikasi keahlian tertentu.Maka lulusan perguruan tinggi harus
benar-benarmemberikan outcome dalam memenuhi harapan dalam dunia MEA nantinya.
Lulusan perguruan tinggi dituntut harus memiliki hard skills dan sekaligus soft skills
(karakter). Kemampuan hard skills merupakan kemampuan penguasaan pada aspek teknis
dan pengetahuan yang harus dimiliki sesuai dengan kepakaran ilmunya. Soft skills adalah
keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal skills)
danketerampilandalam mengatur dirinya sendiri (intrapersonal skills) yang mampumengembangkan
unjuk kerja secara maksimal. Soft skillsmerupakan keterampilan dan kecakapan hidup, baik untuk
sendiri maupunkecakapan dengan orang lain. Hardskills dan soft skills merupakan satu kesatuan

257
Buku Prosiding Seminar Nasional

yang tidak bisa dipisahkan, di dalam implementasi kehidupan saling beriringan.Sehingga


terjadi keseimbangan dalam mencapai tujuan hidup. Oleh sebab itu,pembinaan karakter pada
mahasiswa perlu dibangun atau dikuatkan contohnya membangun kepercayaan diri, motivasi
diri, manajemenwaktu, mempunyai kreatif dan inovatif berpikir positif, serta membangun
komunikasi denganorang lain. Selain itu, menumbuhkan jiwa berwirausaha pada mahasiswa juga
sangat pentingdilihat sebagai sasaran MEA adalah bagaimana sistem perdagangan menjadi tujuan
utama,dan karakter-karakter lain yang perlu dibangun dandikembangakan dalam diri mahasiswa.
Kemampuan-kemampuan tersebut dapat dilatih dan dikembangkan melalui pendidikan,organisasi
dan pelatihan-pelatihan khusus.Dengan demikian, pendidikan tinggi berperanpenting dalam
pembentukan life skill anak bangsa.
Pembahasan tentang bagaimana pendidikan, khususnya pendidikan tinggi harus
merespon dengan tepat agar dapat menyiapkan SDM yang berkualitas agar siap menghadapi
MEA dengan cara penguatan disamping akademik juga diterapakn tentang perlunya
pendidikan kemampuan diri atau pendidikan life skill.Dengan menambahkanpendidikan
life skill pada mahasiswa diharapkan mampu menciptakan generasi-generasi bangsa yang
siap bersaing pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
Aktualisasi dari life skill seseorang, yang mana karakter merupakan
cara berpikir dan perilaku yang menunjukkan cirri khas dari seseorang dan bekerjasama
dengan orang lain dan mampu bertanggungjawab dengan apa yang menjadi keputusannya.
Maka life skill pada individu (mahasiswa) bisa dibangun dan dikembangkan, oleh karena itu
pengembangan lifeskill melalui berbagai pelatihan.
Menurut Elindri, dkk. (2011:68) menyatakan hasil penelitian psikologi sosial
menunjukkan bahwa orang yang sukses di dunia ditentukan oleh peranan ilmu sebesar 18%,
sisanya 82% dijelaskan oleh ketrampilan emosional soft skills dan jenisnya. Dunia kerja
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lulusan yang “high competence” yaitu mereka
yang memiliki kemampuan dalam aspek teknis dan sikap yang baik.Suatu program studi
dinyatakan baik oleh perguruan tinggi, jika lulusannya memiliki waktu tunggu yang singkat
untuk mendapatkan pekerjaan pertama, namun dunia kerja mengatakan bukan itu, melainkan
seberapa tangguh seorang lulusan untuk memiliki komitmen atas perjanjian yang telah
dibuatnya pada pekerjaan pertama. Oleh karena itu, setiap kelulusan Perguruan Tinggi harus
dibekali dengan pembangunan life skill yang terintegrasi pada proses kegiatan perkuliahan.
Sesuai dengan Fungsi Pendidikan Nasional yang tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Hal tersebut menegaskan bahwa tujuan pendidikan bukan hanya
sekedar pengajaran ilmu, tetapi juga bertujuan membina dan mengembangkan potensi subjek
didik menjadi manusia yang berbudaya, sehingga diharapkan mampu memenuhi tugasnya
sebagai manusia yang diciptakan Tuhan dan sekaligus menjadi warga
negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu Negara.
Susilo Bambang Yudhoyo (Masaong, 2012) mengemukakan bahwa pada waktu
menjadi Presiden Republik Indonesia mengatakan bahwa ada lima agenda utama pendidikan
nasional, yaitu (1) pendidikan dan pembentukan watak (character building), (2) pendidikan
dan kesiapan menjalani kehidupan, (3) pendidikan dan lapangan kerja, (4) membangun
masyarakat berpengetahuan, (5) membangun budaya inovasi.
Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Pasal 97 menyatakan bahwa kurikulum
perguruan tinggi dikembangkan dan dilaksanakan berbasis kompetensi (KBK).Pernyataan
ini telah menegaskan kembali Kepmendiknas No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan

258
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, serta No. 045/U/2002
tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi.Implementasi KBK seharusnya telah terlaksana di
seluruh perguruan tinggi (PT) mulai akhir tahun 2002.Namun pada kenyataannya belum seluruh
PT telah menerapkan KBK sesuai dengan Kepmendiknas No. 232/U/2000 dan No. 045/U/2002
karena berbagai kendala antara lain masih beragamnya pemahaman tentang makna KBK serta
implementasinya dalam pembelajaran.
Dalam upaya melakukan kualiikasi terhadap lulusan perguruan tinggi di Indonesia,
pemerintah telah menerbitkan Perpres No.08 tahun 2012 tentang Kerangka Kualiikasi Nasional
Indonesia (KKNI) danyang menjadi acuan dalam penyusunan capaian pembelajaran lulusan dari
setiap jenjang pendidikan secara nasional, juknis Perpres ini Permendikbud no.73 Tahun 2013.
Terbitnya Perpres No. 08 tahun 2012 dan UU PT No. 12 Tahun 2012 Pasal 29 ayat (1), (2), dan
(3) telah berdampak pada kurikulum dan pengelolaannya di setiap program. Kurikulum yang pada
awalnya mengacu pada pencapaian kompetensi menjadi mengacu pada capaian pembelajaran
(learning outcomes). Secara ringkas KKNI terdiri dari Sembilan level kualiikasi akademik SDM
Indonesia.
Dengan adanya KKNI ini diharapkan akan mengubah cara melihat kompetensi seseorang,
tidak lagi semata Ijazah tapi dengan melihat kepada kerangka kualiikasi yang disepakati secara
nasional sebagai dasar pengakuan terhadap hasil pendidikan seseorang secara luas (formal, non
formal, atau in formal) yang akuntanbel dan transparan. Pelaksanaan KKNI melalui 8 tahapan
yaitu melalui penetapan Proil Kelulusan, Merumuskan Learning Outcomes, Merumuskan
Kompetensi Bahan Kajian, Pemetaan LO Bahan Kajian, Pengemasan Matakuliah, Penyusunan
Kerangka kurikulum, Penyusuan Rencana Perkuliahan. Kompetensi adalah akumulasi
kemampuan seseorang dalam melaksanakan suatu deskripsi kerja secara terukur melalui asesmen
yang terstruktur, mencakup aspek kemandirian dan tanggung jawab individu pada bidang
kerjanya. Capaian Pembelajaran (learning outcomes) merupakan internalisasi dan akumulasi ilmu
pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan kompetensi yang dicapai melalui proses pendidikan yang
terstruktur dan mencakup suatu bidang ilmu/keahlian tertentu atau melalui pengalaman kerja.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, usaha inovasi pendidikan semestinya yang dilakukan
oleh perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu lulusannya, meningkatkan Usaha Kegiatan
Kemahasiswaaan seperti misalnya memasukkan mata kuliah kewirausahaan ke dalam kurikulum.
Karana berdasarkan peraturan perguruan tinggi memeiliki kewenangan untuk mengatur
kurikulumnya, akan tetapi hal ini kurang diperhatikan oleh perguruan tinggi.

3. Simpulan
Pendidikan life skill merupakan bagian dari inovasi pendidikan tinggi untuk meningkatkan
kwalitas lulusan, disamping perguruan tinggi mencetak lulusan yang cerdas dibidang akademik
juga diharapkan menguasai kemampuan hidup yang berupa life skilluntuk bisa bersaing di pasar
kerja terutama dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sekarang ini.
Inovasi pendidikan Perguruan tinggi yang dapat dilakukan denganmemiliki kewenangan
yang luar biasa untuk menyusun kurikulum masing-masing pendidikan tinggi,sesuai dengan
hamanah peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan harapan agar nantinya para
lulusan berkwalitas sehingga dapat bersaing, dengan cara memasukan keunggulan local ke dalam
kurikulum serta meningkatkan jenis Usaha Kegiatan Kemahasiswaan (UKM) tidak lagi bersifat
konpensional tetapi ditingkat dibidang kewirausahaan.

4. Daftar Pustaka

Dawam, Rahardjo. (1995). Dunia Pesantren Dalam Peta Pembaruan, dalam Pesantren dan
Pembaruan. Jakarta: LP3ES.

259
Buku Prosiding Seminar Nasional

Elindri, dkk. (2011). Soft Skills untuk Pendidik. Praninta Offset

Illah Sailah, (2007). Pengembangan Soft Skills di Perguruan Tinggi, Sosialisasi Pengembangan
Soft Skills di Kopertis VII Surabaya

Ismail, SM, (2002). Pengembangan Pesantren Tradisional, Sebuah Hipotesis Mengantisipasi


Perubahan Sosial. Pestaka Pelajar: Yogyakarta.

Makmur,H. (2008). Filsafat Ilmu Administrasi.Jakarta: Bumi Aksara

Musthofa, Rahman, (2002). Menggugat Menejemen Pendidikan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Sukirman, Wintoro. Life Skill, Swintoro’s Weblog, http://swintoro.wordpress.com/, April 7,


2008 (online).

Masaong, A.K.. (2012). Pendidikan Karakter Berbasis Multiple Intelligence. Jurnal Konaspi
VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012

Masyuri, Azis. Kontribusi Pesantren Terhadap Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia,
Makalah Seminar Nasional “Implementasi Akhlak Qur’ani”. Panitia MAN-V, PT
Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Bandung, 23 April 2002).

UNESCO. (1996). Learning: Treasure Within. New York: UNESCO Publishing

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Tinggi Republik Indonesia

260
PEMANTAPAN PENDIDIKAN KARAKTER
UNTUK MEMBANGUN GENERASI BANGSA YANG TANGGUH

I Wayan Gata
Pendidikan Sejarah, FPIPS, IKIP Saraswati, Tabanan, Bali

Abstrak
Dalam membangun SDM bangsa yang tangguh, pendidikan karakter mempunyai peranan
yang sangat penting. Di negara Indonesia, sampai sekarang sudah banyak wacana dan
buku-buku tentang pendidikan karakter, tetapi hasilnya belum maksimal. Permasalahan-
permasalahan moral yang dihadapi bangsa ini masih sangat kompleks dimulai dari para
pemimpin sampai lapisan masyarakat terbawah. Masalah moral generasi sekarang
merupakan gabungan dari kesalahan pendidikan masa lalu yang kurang membudayakan
pendidikan karakter dalam pembelajaran, yang dimulai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
sampai pada tingkat perguruan tinggi. Pendidikan hanya mengejar kemampuan intelaktual
saja, sehingga menghasilkan manusia yang pintar tapi tidak bermoral baik. Pada dasarnya
manusia pintar tapi tidak baik ini akan sangat membahayakan, karena sangat berpotensi untuk
berbuat kecurangan. Maka untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang harus
menjadi manusia yang cerdas dan berbudi luhur. Dalam rangka menciptakan peradaban
bangsa yang dicita-citakan tersebut, maka diperlukan pemantapan pendidikan karakter.
Dengan cara mengoptimalkan penanaman nilai-nilai luhur diawali dari keluarga, dunia
pendidikan, dan masyarakat. Di mana nilai-nilai luhur tersebut menjadi suatu kebiasaan dan
juga dibutuhkan pemantapan dukungan dari pemerintah berupa kebijakan, sarana prasarana,
komitmen pemangku kepentingan, dan lingkungan. Semua cara pemantapan tersebut akan
dapat sempurna apabila seluruh generasi bangsa ini melandasinya dengan jiwa perjuangan
dan pengabdian (nasionalisme) terhadap bangsa dan negara.

Kata kunci : pendidikan karakter, moral, pengabdian.

Absrtact
To develop a tough human resources of the nation, character education has a very important
role. In the country of Indonesia, until now has many discourses and books on character
education, but the results have not been up. Moral issues facing this nation is still very
complex started with the leaders until the bottom layers of society. Moral issues present
generation is a combination of past mistakes less education cultivate character education
in learning, which started from Early Childhood Education (ECD) up to the college level.
Education is pursuing the capability of Intellectual alone, resulting in a man who is smart but
not good morale. Basically, smart but not a good man will be very dangerous, because it has
the potential for cheating. So for the present generation and future generations must be a man
intelligent and virtuous. In order to create a civilization that is aspired so, the stabilization
of character education. By optimizing cultivation of noble values starting from the family,
education, and community. In which the noble values it becomes a habit and also required
the consolidation of support from the government in the form of policies, infrastructure,
stakeholder commitment, and the environment. All the way the consolidation will be perfect
if all underlying generation of this nation with the soul of struggle and devotion (nationalism)
to the nation and the state.

Keywords: character, education, moral, devotion.

1. Pendahuluan

M
asalah yang hadapi bangsa ini sungguh kompleks. Bangsa ini mengalami miskin moral,
miskin ilmu, miskin ekonomi, dan miskin pemimpin. Miskin moral, Masalah moral
masyarakat bangsa ini cukup banyak hingga bangsa ini tekenal pemalas, pelupa, tidak

261
Buku Prosiding Seminar Nasional

jujur, tidak disiplin dsb. Contoh kasus moral yang baru-baru terjadi: pelecehan seksual pada anak
usia taman kanak-kanak di Jakarta Internasional School (JIS), pembunuhan sadis anak terhadap
orang tuanya, budaya menjaplak saat ujian, pembajakan, dan banyak lagi yang lainnya.
Penduduk Indonesia yang sangat banyak ini kalah dengan penududuk singapura yang
hanya berjumlah sekitar 2% dari penduduk Indonesia. Singapura saat ini sudah memiliki Visi IT
yang luar biasa bila dibandingkan dengan Indonesia cukup jauh tertinggal, dulu Malaysia butuh
guru-guru orang Indonesia sekarang mereka hanya butuh TKI/ TKW Indonesia, dan itu artinya
Bangsa Indonesia telah mengalami miskin ilmu. Pendidikan di Indonesia ditempuh dengan waktu
yang cukup lama tatapi kualitasnya masih dipertanyakan. Sistem pendidikan nasional negeri ini
masih belum dapat menyelesaikan masalah bangsa, pengangguran dan kemiskinan masih banyak
kita temui, yaitu 11,37% penduduk miskin (Sensus Ekonomi Maret 2013).
Di sektor perekonomian, kita banyak yang dikuasai oleh pihak asing karena dulu kita
tidak mampu mengolahnya dan karena kebijakan yang membolehkan. Ibaratnya seperti
mempersilahkan pencuri dalam rumah kita. Kerugiannya pun kita rasakan sampai sekarang
karena terikat kontrak yang panjang. Kita juga mendapat julukan menjadi buruh di negeri sendiri
sungguh menghawatirkan.
Dari segi Kepemimpinan banyak pemimpin kitayang kurang memberi keteladan yang
baik seperti pada kasus korupsi,Kolusi,Nepotisme dan saling suap hingga Indonesia mendapat
peringkat 114 dari 177 negara dunia versi Transparency International (TI) dan peringkat dua se-
Asia versi Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Tidak heran mendapat peringkat
tersebut, Kasus yang tergolong parah salah satu hakim MK, hakim yang mempunyai wewenang
menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar tersebut tersandung kasus korupsi dan
kasus pencucian uang. Itulah pemimpin kita yang bisa saya katakana miskin kepemimpinan
Kasus kasus permasalahan itu yang pertama harus kita benahi adalah kemiskinan moral.
Karena moral lah yang mendasari masalah-masalah yang lain. Lalu bagaimana membenahinya?Hal
ini tentu sangat sulit untuk membenahinya karena sifat-sifat tersebut diatas sudah menjadi tradisi
bahkan sudah membudaya . Kemudian Apa yang bisa kita lakukan mengenai masalah tersebut?

2. Pembahasan
Pemantapan Pendidikan karakterlah .kita akan mengatasi permaslahan Generasi bangsa ini.
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang mempunyai peranan yang sangat strategis dalam
membangun SDM bangsa yang Tangguh Pada dasarnya sudah banyak wacana-wacana tentang
pendidikan karakter, tapi hasilnya belum maksimal. Karena dalam praktiknya pendidikan kita
kurang menekankan pendidikan karakter dan lingkungan yang kurang mendukung (Rusman
2015:15). Pendidikan kita lebih menekankan pengembangan intelektual, mengejar nilai dalam
bentuk angka.
Masalah Generasi bangsa sekarang ini merupakan gabungan kesalahan dimasa lalu entah
siapa yang salah ,dalam mendidik generasi bangsa. Dimana pada massa lalu kita mendidik anak-
nak hanya mengejar nilai berupa angka, dan sekarang sudah jadi birokrat, ekonom, ahli hukum
politikus. karena mengutamakan pengetahuan tapi karakternya kurang bagus maka akhirnya bisa
kita saksikan besama banyak kebohongan ketidak jujuran korupsi yang terus menerus.
Kedepannya hancur atau baiknya Negara ini tergantung tangan kita, tangan para generasi
masa kini. Agar kesalahan tidak akan terulang maka dari diri sendiri, dari yang terkecil, dan dari
sekarang kita menyiapkan generasi yang tangguh dimasa yang akan datang ,tidak hanya IQ,EQ
tapi juga SQ.
Menciptakan peradaban bangsa yang diinginkan tersebut, maka diperlukan pemantapan
pendidikan karakter. Dengan cara mengoptimalkan penanaman nilai-nilai luhur yang dimuai dari
dalam keluarga, masyarakat dan dunia pendidikan.
Penanaman nlai-nilai luhur yang dimulai dari dalam keluarga , masyarakat dan dunia

262
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

pendidikan, sangat dibutuhkan sesuatu yang bernama keteladanan. Pada intinya kehidupan ini
meniru. Banyak siswa yang menjaplak saat ujian, itu karena mereka meniru para pemimpin kita
yang koruptor. Maka mulai dari diri sendiri, dari yang terkecil dan dari sekarang kita memberi
tauladan . dimanapun kita berada, entah orang mengenal kita atau tidak kita selalu memberikan
yang terbaik. Contoh misalnya dimaklan hari kendatipun sepi tidak ada kendaraan yang lewat
jika lampu merah dengan sadar kita harus berhenti. Dimalam hari walaupun sepi kendaraan yang
melintas, bila mendapat lampu berhentilah. Contoh lain selalu menjadi contoh dan memberi
contoh pada semua orang dalam hal jangan buang sampahg sembarangan,buang pada tempat
sampah artinya mulai dari diri sendiri yang walaupun kelihatan spele namun akan memberikan
konteribusi yang sangat positif kedepannya.
Guru dalam penanaman pendidikan karakter sangatlah penting. Apalagi sekarang ada
kebijakan sertiikasi guru, dimana guru dituntut untuk professional. Maka mereka harus bekerja
sesuai aturan yang ada, sertiikasi jangan dijadikan formalitas saja, tapi harus mengutamakan
pendidikan negara ini secara optimal.
Guru mempunyai peran sebagai motivator, artinya seworang guru dapat menghadirkan
biograi-biograi orang yang berpengaruh dalam kehidupan, biograi para pahlawan, biograi
orang sukses, agar peserta didik termotivasi oleh tokok-tokok tersebut, juga guru dapat memberi
semangat motipator dengan kata kata mutiara yang dapat memotivasi pedidik.
Keluarga dan lingkungan keluarga merupakan faktor pertama pembentuk karakter anak.
Anak usia 0-6 tahun terdapat masa peka. Massa dimana suatu fungsi berkembang sebaik-baiknya.
pada masa ini para orang tua harus memberikan ketauladan yang baik pada putra putrinya.
Nah ketika masa peka ini yang timbul hanya sekali dalam hidupnya maka harus digunakan dan
diberipelayanan yang sebaik baiknya.
Keteladanan dan nilai-nilai yang luhur tersebut mari kita jadikan suatu kebiasaan.Dorothy
Law Notle dalam Dryden dan Vos (dalam Furqon Hidayatullah, 2010: 50) menyatakan bahwa :
anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki,
anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi,
anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian,
anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri,
anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Pendidikan karakter dalam keluarga dan dalam dunia pendidikan dibutuhkan dukungan
dari pemerintah dapat berupa kebijakan sistem pendidikan, meyediakan sarana prasarana secara
optimal seperti media televise, LCD, laptop dan mnedia yang lainnya, komitmen pemangku
kepentingan.
Cara-cara tersebut akan dapat maksimal apabila seluruh bangsa ini melandasinya dengan
jiwa perjuangan dan pengabdian (patriotisme dan nasionalisme) terhadap Bangsa dan Negara ini.
Bila kita ingat. perjuangan para pahlawan yang rela mengorbankan jiwa dan raga untuk meraih
kemerdekaan Sehingga sekarang kita dapat berdiri dengan bebas di bumi Indonesia ini. Jikalau
pahlawan zaman sekarang ini apabila semua perbuatan yang dilakukan didasarkan pada cinta,
pengabdian dan pengorbanan. Tidak perlu jauh-jauh memulainya, pengabdian itu dapat dimulai
dari hal kecil seperti mencintai lingkungan disekitar kita (desa, sekolah, kecamatan, kabupaten) .
Juga berusaha untuk membuat Baik .

3. Simpulan
Dalam mewujudkan peradaban Generasi bangsa yang tangguh, maka diperlukan pemantapan
pendidikan karakter. Dengan cara mengoptimalkan penanaman nilai-nilai luhur yang dimuali
dari keluiarga, dan masyarakat dan dunia pendidikan Serta menjadikan nilai-nilai luhur tersebut
suatu kebiasaan dan juga dibutuhkan pengoptimalan dukungan dari pemerintah berupa kebijakan,
sarana prasarana, komitmen pemangku kepentingan. Dari pemantapan dukungan dari semua pihak
tersebut akan berhasil dengan baik jika dilandasi dengan jiwa Patriotisme dan Nasionalisme yang

263
Buku Prosiding Seminar Nasional

kuat dan kontnew (berkesinaambungan).

4. Daftar Pustaka

Chasiyah, dkk. (2009). Perkembangan Peseta Didik. Surakarta: Inti Media Surakarta.Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.

Hidayatullah, M. F. (2010). Pendidikan Karakter; Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta:


Yuma Pustaka.

Rusman, (2015). Pembelajaran tematik terpadu, Pt.Raja graindo 2015 jakarta.

Saleh, Muwaik. (2012). Membangun Karakter dengan Hati Nurani.Jakarta : Erlangga.

Samani, Muchalas dan Hariyanto. 2012. Pendidikan karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Santrock, John W. (2007). Perkembangan anak.Jakarta : Penerbit Erlangga.

264
KUTUKAN DEWI UMA DALAM NASKAH TUTUR SIWA GAMA

Ni Putu Parmini
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Saraswati Tabanan, Bali

Abstrak
Tujuan tulisan ini adalah untuk menemukan struktur naratif naskah Tutur Siwa Gama terkait dengan
kutukan Dewi Uma. Permasalahan yang diteliti adalah struktur naratif naskah Tutur Siwa Gama
terkait naskah kutukan Dewi Uma; fungsi wacana kutukan Dewi Uma dalam naskah Tutur Siwa
Gama. Dalam naskah tersebut ada narasi menarik tentang wacana kutukan Dewi Uma. Keunikan
yang lebih menarik, wacana kutukan Dewi Uma tersebut diimplementasikan dalam budaya
nglawang barong. Nglawang barong adalah pertunjukan barong keliling desa pada saat hari raya.
Untuk melestarikan budaya nglawang barong sebagai aset budaya spritual daerah Bali, naskah Tutur
Siwa Gama sangat penting dan menarik untuk dikaji.

Kata Kunci: kutukan, Tutur Siwa Gama, implementasi sastra

Abstract
The purpose of this paper is to ind the structure of narrative texts oracle of Siwa Gama related to
the Dewi Uma bane. The problem under study is a narrative structure text oracle of Siwa Gama
related to the Dewi Uma bane, discourse function in the script oracle of Siwa Gama. In the text there
are compelling narrative about the Dewi Uma discourse. The uniqueness of the more interesting
discourse Dewi Uma is implemented in nglawang barong culture. Nglawang barong is performing
around the village during the holidays. To preserve cultural assets nglawang barong spiritual culture
of the Balinese, oracle script Siwa Gama very important and interesting to study.

Keywords : bane, oracle of Siwa Gama, implementation literature

1. Pendahuluan

P
emahaman generasi muda tentang aset budaya spiritual bangsa pada era globalisasi perlu
ditingkatkan baik melalui ceramah, seminar maupun melalui karya sastra. Karya sastra
sebagai produk manusia yang mengandung nilai-nilai sosial, seni, etika, agama, dan wajib
dipahami secara berkelanjutan. Menurut Roehayah dan Suhayati (1996: 86), sastra tidak dapat
dilepaskan dari tata nilai kehidupan dan dinamika sosial. Sastra memiliki potensi yang sangat
urgen dalam pembinaan mental dan moral bangsa. Melalui karya sastra dapat disampaikan pesan-
pesan moral untuk meningkatkan karakter masyarakat.
Sastra klasik sebagai warisan bangsa yang kaya akan inspirasi dan dapat dikembangkan
melalui berbagai model implementasi dalam kehidupan. Melalui implementasi tesebut dapat
dijadikan sebagai media/penunjang pemahaman masyarakat akan konsep-konsep budaya. Di
samping itu menyediakan peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan kebudayaan sehingga
ke depan akan berdampak positif terhadap taraf ekonomi manusia.
Naskah Tutur Siwa Gama merupakan karya sastra berupa naskah klasik peninggalan nenek
moyang bangsa perlu dilestarikan. Agastia (1982: 3) menyatakan bahwa naskah klasik peninggalan
nenek moyang bangsa Indonesia menyimpan berbagai buah pikiran adiluhung sebagai curahan
pengalaman jiwa para leluhur yang mencerminkan kehidupan sosial, budaya dan religius pada
zamannya. Warisan yang berupa naskah sastra tersebut perlu dilestarikan dan dibina untuk
kepentingan memperoleh informasi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Nilai-nilai positif dari
naskah klasik tersebut semestinya diteruskan pada generasi muda karena merupakan kekayaan
intelektual dan kearifan bangsa.

265
Buku Prosiding Seminar Nasional

Khasanah naskah lontar sebagai sumber informasi, kekayaan intelektual dan sumber nilai-
nilai tersebut perlu dikaji dalam rangka revolusi mental atau pendidikan karakter bangsa. Dengan
demikian gagasan, ide-ide yang merupakan hasil kreativitas pengarang yang terkandung dalam
karyanya bermanfaat banyak dalam kehidupan ini. Naskah warisan leluhur itu diantaranya
mengungkapkan buah pikiran atau pesan moral kepada masyarakat. Dalam naskah Tutur Siwa
Gama tersurat dan tersirat berbagai ajaran seperti ajaran ilsafat, etika, dan ritual.
Robson (1978: 5) mengungkapkan lebih jauh tentang naskah-naskah atau sastra klasik bahwa
dalam karya sastra lama ada terkandung sesuatu yang sangat penting dan berharga yakni sebagai
warisan rohani bangsa Indonesia. Di samping itu sastra klasik merupkan pembendaharaan pikran
dan cita-cita nenek moyang.
Naskah Tutur Siwa Gama sebagai karya sastra klasik yang berkualitas dari segi nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya. Hal itu terlukis dari tindakan tokoh-tokoh cerita yang bertindak
atas dasar ajaran agama, seperti tokoh Siwa yang selalu menuntut kebenaran dan kejujuran. Beliau
menganggap perbuatan yang tidak jujur itu adalah perbuatan terkutuk. Beliau tidak pandang bulu
dalam menghukum orang bersalah. Istrinya Dewi Uma pun dikutuk atas perbuatannya yang dinilai
tidak jujur. Uniknya naskah Tutur Siwa Gama yang mengungkap masalah perbuatan terkutuk itu
akan dapat memberikan gambaran kepada pembaca tentang perbuatan-perbuatan terkutuk dan
perbuatan baik yang diarahkan.

2. Pembahasan
2.1 Cuplikan Narasi Naskah Tutur Siwagama
Diceritakan bahwa Sanghyang Ghana dan Kumara yang mendapat anugrah kata-kata bertuah
dan kitab suci ramalan dari Hyang Guru. Bhatara Brahma yang berkepala lima dan satu kepalanya
dikubur oleh Bhatara Guru di lereng gunung Kampud yang kemudian tumbuh menjadi pohon
kelapa. (381-39b).
Diceritakan Bhatara Guru menobatkan Sang Pancadewata. Bhatari Uma tidak diperkenankan
mendengarkan ajaran itu. Kemudian Bhatari uma disuruh mencari air susu lembu hitam betina.
Dinyatakan dalam hal ini kesetiaan Bhatari Uma diuji oleh Bhatara Guru. Bhatara Guru menjelma
menjadi Rary-Angon dan lembunya yang putih dijadikan hitam. Bhatari Uma mengembara dan
akhirnya bertemu Rary-Angon yang sedang mengembalakan lembunya. Untuk mendapatkan air
susu lembu hitam betina itu, menyatakan bahwa Bhatari Uma menuruti permintaan Sang Rary-
Angon dan menyerahkan dirinya. Setelah mendapatkan air susu, Bhatari Uma lalu kembali ke
siwaloka. (39b-41a).
Selanjutnya diterangkan tentang lahirnya Sang Pancakosika, terbakarnya Pusaka Tenung
Sanghyang Ghana menjadi abu oleh bhatari Uma, Sang Kumara yang menjadi dewanya anak-anak
yang tidak boleh dihukum dan bagi anak yang giginya belum tanggal tidak boleh membuka pintu
Sanghyang Saraswati. Cerita tentang penjelmaan Sanghyang Semara-Ratih ke dunia. Danghyang
Tekenwuwung seorang Brahmana yang sombong dan tidak sopan. Ia mendapat hukuman dari
Bhatara Iswara karena berbuat yang tidak sesuai dengan “sesama”. (41a-46a).
Pada bagian keenam diceritakan bahwa Sri Kulapati dan Sri Kulinidewi yang ketika turun
ke dunia tidak berpamitan kepada Bhatara Guru akibatnya Dewi Kasingi (putrinya) mengalami
kebutaan dari sejak kecil. Bhatara Trisamaya yang menghadap Bhatara Guru memohon
untuk ikut bertapa. Pendeta itu dinamakan Wiku Hijo. Selanjutnya diceritakan kematian
Sanghyang Dharmaraja yang jasadnya dipikul oleh Catur Lokapala untuk dikubur di punggung
Gunung Mahameru dan daerah itu kemudian disebut dengan Susuk Simabrata. (46a-54b).
Diceritakan bangkitnya Sanghyang Dharmaraja dari dalam Gunung Mahameru yang
menyebabkan puncak gunung bergoyang, pecah terbagi tiga, disertai guruh dan angin topan. Catur
muka sebagai pintu gerbang Sanghyang Dharmaraja serta sumpah Bhatara Guru di bumi Jawa
yaitu jika ada pendeta muda menjadi pertapa muda, lahir dari celah Sanghyang Mahameru, tanpa
ayah ibu, dinyatakan berhak dijadikan junjungan seluruh dunia karena beliau adalah penjelmaan

266
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Sanghyang Dharmaraja. (54b-57b).


Pada bagian ketujuh diterangkan mengenai tempat pertapaan dari Siddhayoga yang berada di
bagian barat sungai Mayana dan tempat pertapaan Sri Kili Sidhhayogi berada di seberang timur
sungai Mayana. Adapun putra dari beliau berdua yaitu Sang Gagakaking dan Sang Bubuksah.
Bahwa Bhatari Sri yang turun ke bumi Jawa. Dikutuknya Bhatari Uma menjadi Bhairawi
Durga oleh Bhatara Guru karena Bhatari Uma ingin membunuh putranya (Sang Kumara) yang
mengatakan ibunya sebagai jalan bagi dirinya. Selanjutnya diceritakan Bhatara Guru yang
mengutuk dirinya menjadi Kalarudra berwajah siluman karena beliau sadar telah berbuat salah
mengutuk Bhatari Uma menjadi Pancadurga dulu. Kemudian Sanghyang Trisamaya menggelar
upacara caru pancasia dan mementaskan wayang dengan lakon cerita perjalanan Bhatara Guru
dan Bhatari Durga, yang kemudian menjadi asal mula adanya wayang di Jawa dan Barong di Bali.
Setelah upacara itu digelar Bhatara Guru, Bhatari Durga dan para Bhuta Kala Dengen berubah
wujud menjadi lemah lembut. Diceritakan pula penjelmaan Bhatara Brahma menjadi mpu
Tapawangkeng dan Bhatara Wisnu menjadi Bhagawan Lotatya yang diangkat menjadi guru oleh
Sri Batatipati dan diminta mengajarkan Sri Rupinidewi, Sang Gagakaking dan Sang Bubuksah.
(57b-67a).
Bagian kedelapan menceritakan tentang pengruatan Bhatari Durga oleh Sanghyang
Gana dan berubah menjadi lemah lembut. Mpu Barang melakukan tapa di kuburan kaliasem
(setragandhamayu) menuju Bhairawa dengan memakan mayat orang yang sudah meninggal
dan sebagai tempat minumnya merupakan tengkorak manusia sebagai tutup kepala. Pembagian
kerajaan Singhasari menjadi empat wilayah yaitu Gegelang, Koripan, Singhasari, dan Mamenang.
Dinyatakan bahwa Bhagawan Salukat meruwat pohon beringin pendek, medori, bambu sula, dan
air kumuh sehingga dapat dipakai upacara. (67a-78a).

2.2 Fungsi Kutukan Dewi Uma dalam Naskah Tutur Siwa Gama
Implementasi kutukan terhadap Dewi Uma yang akhirnya berwujud Durga yang menyeramkan,
diimplementasikan di masyarakat khususnya di Bali dalam wujud nglawang barong. Di samping
itu juga diimplementasikan dalam wujud pertunjukan calon arang. Nglawang Barong sebagai
implementasi dari upaya Dewa Siwa (Bhatara Guru) mencari bukti kutukan bahwa Dewi Uma
itu di marcapada berwujud Durga (rangda) yang menyeramkan. Barong yang difungsikan
mewujudkan kedamaian di masyarakat. Sampai saat ini ngelawang barong masih dilakukan oleh
generasi muda di kelurahan Ubud, tetapi sudah semakin pudar. Hal itu terjadi, karena konsep
atau sumber dilakukannya nglawang barong umumnya tidak diketahui. Pada umumnya mereka
beranggapan bahwa nglawang barong dilakukan hanya semata-mata mencari ongkos nglawang
barong setara dengan pengamen (hasil wawancara dengan penari topeng di Peliatan, Maret 2016).
Nglawang barong sebagai aset warisan nenek moyang harus diketahui sumbernya atau
konsepnya sehingga dapat dilakukan dengan lebih baik. Di samping itu Ubud sebagai daerah
pariwisata sebaiknya dapat menjelaskan konsepnya kepada para wisatawan yang menonton
pertunjukkan nglawang barong.
Made Bakeri (2000: 3-4) menyatakan rangda dan barong merupakan salah satu kebudayaan
lokal daerah Bali, perlu dikaji ulang secara serius untuk memperkaya budaya nasional. Rangda
dan barong ilsafatnya perlu dijelaskan kepada generasi muda supaya identitas perkembangan
sejarah budaya lokal daerah Bali tidak simpang siur. Demi lestarinya aset budaya spritual
bangsa yang terdapat pada kesenian rangda dan barong. Perlu disikapi secara hati-hati agar tidak
menyimpang dari sumbernya. Berdasarkan naskah Tutur Siwa Gama ternyata nglawang barong
itu ada sumbernya bukan sekedar main-mainan atau sejenis pengamen. Masih banyak masyarakat
Hindu Bali khususnya mayarakat Ubud belum memiliki pemahaman yang jelas tentang budaya
nglawang barong. Melalui tulisan yang berjudul Wacana Kutukan Dewi Uma dalam Naskah Tutur
Siwa Gama diharapkan masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu dapat meningkatkan
pemahaman tentang budaya nglawang barong serta berupaya untuk melestarikan warisan budaya

267
Buku Prosiding Seminar Nasional

bangsa yang adiluhung. Dengan demikian dapat berfungsi memberikan:


1. Informasi yang bermanfaat dalam pembentukan karakter masyarakat.
2. Informasi tentang sumber dan konsep budaya nglawang barong.
3. Informasi tentang Naskah Tutur Siwa Gama (sastra klasik) yang ditranspormasi ke dalam
pertunjukkan ngalawang barong mencerminkan ilsafat rangda dan barong yang bermanfaat
sebagai penunjang identitas perkembangan sejarah budaya lokal daerah Bali.
4. Informasi tentang transpormasi naskah Tutur Siwa Gama (sastra klasik) ke dalam pertunjukan
nglawang barong dapat dijadikan model implementasi sastra.
5. Informasi tentang transpormasi naskah Tutur Siwa Gama (Sastra klasik) ke dalam pertunjukan
nglawang barong dapat dimanfaatkan sebagai konsep penunjang pengembangan produk
pariwisata budaya Bali.

Kutukan Dewi Uma dalam Naskah Tutur Siwa Gama berfungsi strategis yang sangat mendasar
terkait dengan upaya pelurusan sumber tradisi serta nilai-nilai yang terkandung dalam naskah Tutur
Siwa Gama sebagai salah satu warisan budaya bangsa yang patut dilestarikan. Pengungkapan
secara mendasar dan terinci mengenai budaya nglawang barong sebagai implementasi dari
Kutukan Dewi Uma dalam Naskah Tutur Siwa Gama. Di samping itu, dijadikan dasar tentang
konlik yang dialami Dewa Siwa dan Dewi Uma dalam naskah Tutur Siwa Gama, sehingga
dapat dijadikan sebagai cermin kehidupan. Meluruskan pemahaman masyarakat dan penanaman
pengetahuan pada masyarakat tentang budaya nglawang barong sebagai implementasi sastra.
Khususnya generasi muda di daerah Ubud yang merupakan salah satu obyek wisata terkenal,
sangat perlu memahami konsep dan sumber budaya nglawang barong. Dengan pemahaman itu
generasi muda di daerah Ubud akan lebih termotivasi untuk melestarikan nglawang barong serta
ke depan akan mampu memberikan penjelasan atau promosi budaya kepada para wisatawan.
Melalui penelitian ini dapat diperoleh sebuah model dalam upaya pelestarian aset budaya spiritual
bangsa. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, (1) sebagai salah satu unsur
pengukuh nilai agama Hindu yang terimplementasi dalam budaya nglawang barong. Adanya
nilai agama Hindu yang menjiwai budaya nglawang barong diharapkan dapat dijadikan alternatif
strategi penguatan kebudayan Bali, (2) memberikan kontribusi yang berharga kepada masyarakat
dalam menanamkan pendidikan karakter, dan (3) memberikan kontribusi dalam pengembangan
produk pariwisata budaya Bali.

3. Penutup
Wacana Kutukan Dewi Uma dalam Naskah Tutur Siwa Gama sangat penting dijadikan model
implementasi sastra dalam dalam upaya melestarikan kebudayaan nasional. Kajian sastra ini
dapat memberikan manfaat yang sangat penting bagi pengembangan ilmu sastra dan kebudayaan.
Di samping itu kajian sastra ini dapat dijadikan salah satu dasar menentukan kebijakan dalam
pengembangan pariwisata budaya dan pengembangan pendidikan karakter.

4. Daftar Pustaka

Agastia, Ida Bagus Gede. 1982. Sastra Jawa Kuna. Denpasar: Wyasa Sanggraha.
Agastia, Ida Bagus Gede. 1994. Ida Pedanda Made Sidemen: Pengarang Besar Bali Abad ke-20.
Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
Alsa, Asmadi. 2004. Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian
Psikologi: Suatu Uraian Singkat dan Contoh Berbagai Tipe Penelitian. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

268
Inovasi Hasil Penelitian Pendidikan Dan Gagasan Kreatif

Barthes, Roland. 1987. “Theory of The Text dalam Young R.,ed untying the text: a poststructure
Reader”. London dan New York: Routledge al Kegan Paul.
Depdikbud. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Janesick, Valerie. 2009. “Tarian Desain Penelitian Kualitatif Metafora Melodolatri, dan Makna”
(dl. Handbook of Qualilative ResearchNormank, Denzim dan Young Lincoln, eds).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Genette, Gerand. 1983. Narative Discourse. United Kingdom: Oxford.
Jendra, I Wayan. 2006. Karmaphala: Pedoman dan Tuntunan Moral Hidup Sejahtera, Bahagia
dan Damai. Denpasar: Empat Warna Komunikasi.
Made Bakeri. 2000. Rangda dan Barong. Lampung: Rama Dewa.
Robson, S.O. 1997. “Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia”. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi Robert Stanton. Jakarta: Pustaka Pelajar.

269
270
LAMPIRAN

SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL


INOVASI HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN GAGASAN KREATIF
TAHUN 2016

Komite Program:

• Dr. A.A. Purwa Antara, M.Pd (IKIP Saraswati)

• Dr. Ir. I Gusti Ngurah Raka Haryana, M.S (IKIP Saraswati)

• Drs. I Ketut Surata, M.For (IKIP Saraswati)

• Drs. Gede Ngurah Oka, Diputra, M.Pd (IKIP Saraswati)

• Drs. I Wayan Sudiarta, M.P (IKIP Saraswati)

• Drs. I Made Aryantha, M.Pd (IKIP Saraswati)

• Drs. I Made Yasna, M.Pd (IKIP Saraswati)

• Drs. Ida Bagus Anom Sutanaya, M.Pd (IKIP Saraswati)

• I Made Adiyasa, M.Pd (IKIP Saraswati)

Reviewer:

• Prof. Dr. Endang Susantini, M.Pd (Universitas Negeri Surabaya)

• Dr. Drs. Dewa Nyoman Oka, M.Pd (IKIP Saraswati)

• Dr. Heroike Dennie Rompas, M.Si (Universitas Nergeri Manado)

• Dr. Herry Sumampaw (Universitas Negeri Manado)

• Dr. Samritin S.Pd., M.Pd (Universitas Muhammadiyah, Buton Sultra)

• Dr. Enny Wijayanti, M.Pd (Universitas Palangkaraya)

• Dr. Samritin, S.Pd., M.Pd (Universitas Muhammadiyah Buton, Sultra)

• Dr. Hj. Dina Huriaty, M.Pd (STKIP Barnjamasin)

• Dr. Drs. Cornelius Sri Murdo Yuwono, M.Pd (Universitas Mahasaraswati)

• Dr. Drs. A.A. Purwa Antara, M.Pd (IKIP Saraswati)

• Dr. Drs. Made Kerta Adhi, M.Pd (IKIP Saraswati)

• Dr. Drs. Nyoman Suaka, M.Si (IKIP Saraswati)

• Dr. Drs. Nyoman Suryawan, M.Si (IKIP Saraswati)

271
• Dr. Dra. Ni Nyoman Karmini, M.Hum (IKIP Saraswati)

• Dr. Dra. Ni Putu Parmini, M.Pd (IKIP Saraswati)

Panitia Pelaksana:

Ketua Pelaksana : Drs. I Made Sudiana, M.Si.

Sekretaris : I Gede Sudirgayasa, S.Pd., M.Pd.

Bendahara : Dra. Ni Putu Seniwati, M.Pd

Makalah/Prosiding : Drs. I Made Maduriana, M.Si

Sidang : Drs. I Wayan Nayun, M.Pd

Sekretariat : I Gusti Agung Ayu Nova Dwi Marhaeni, S,Pd

Tabanan, April 2016

Ketua Panitia

272
U
saha meningkatkan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan
meningkatkan kualitas pembelajaran. Jika pembelajaran berkualitas,
maka hasil pembelajaran akan memapu mencapai kriteria capaian
pembelajaran yang ditetapkan dalam kurikulum. Capaian hasil pembelajaran
peserta didik sesuai dengan kriteria capaian pembelajaran yang ditetapkan
menunjukkan pendidikan yang diselnggarakan bermutu. Menjadikan
pembelajaran berkualitas memerlukan seorang pendidik yang kreatif dan inovatif
dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Seorang pendidik yang kreatif dan
inovatif tidak dilahirkan, akan tetapi terbentuk melalui usaha sadar dari
pendidik bersangkutan untuk mau belajar mengikuti dan mengembangkan cara-
cara melakukan kegiatan pembelajaran yang berkualitas. Salah satu bentuk
usaha pendidik untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas
pembelajaran adalah melakukan kegiatan penelitan tentang strtategi,
pendekatan, dan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakter materi dan
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Selain melakukan kegiatan penelitian,
mengkaji berbagai strategi, pendekatan, dan metode pembelajaran kemudian
merumuskannya dalam pemikiran cerdas, juga merupakan usaha penting yang
dilakukan pendidik untuk memberikan solusi alternatif dalam melaksanakan
kegiatan pembelajaran secara berkualitas.

Dr. Drs. Dewa Nyoman Oka, M.Pd.


Rektor IKIP Saraswati, Tabanan, Bali

Anda mungkin juga menyukai