Tema:
“Peran Pascasarjana dalam Pengembangan
IPTEKS terkait Pelestarian Kebudayaan
Nasional di Era 4.0”
Sub tema:
Mengembangkan Intelektual Cendekiawan Untuk Melestarikan
Budaya Bangsa Dalam Rangka Mempertahankan Kebhinekaan
Penerbit
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Jalan Ir. Sutami 36 A Kentingan, Jebres, Surakarta, Indonesia
58126
Telp/Fax. : +62271632450
Email: pascaunssemnas@gmail.com
Laman: http://pasca.uns.ac.id
i
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN BUDAYA
BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih karena
atas rahmat-Nya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni memberikan pengaruh
terhadap dunia pendidikan, khususnya di pendidikan tinggi. Perguruan tinggi yang
menyelenggarakan keterampilan dan penelitian yang tepat dapat membantu negara-negara
seperti Indonesia untuk menjadi lebih produktif, lebih inovatif dan lebih mampu
mempertahankan tingkat pertumbuhan di suatu lingkungan global yang kompetitif.
Progam Pascasarjana UNS 2019 mempunyai misi yang diantaranya menyelenggarakan Tri
Dharma Perguruan Tinggi untuk memenuhi kebutuhan SDM bangsa dalam bidang tertentu dan
menyelenggarakan penelitian yang menghasilkan inovasi dalam pengembangan keilmuan.
Melalui acara Seminar Nasional III Pascasarjana UNS 2019 yang mengangkat tema Peran
Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEKS terkait Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era
4.0 diharapkan dapat membangun kesadaran dan pola pikir pemuda (mahasiswa) terhadap
kondisi Bangsa dan Negara Indonesia.
Tak lupa juga saya menyampaikan selamat berseminar kepada seluruh pemakalah dan peserta,
semoga sukses dan bermanfaat bagi pengembangan IPTEKS. Aamiin.
ii
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN BUDAYA
BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
Alhamdulilah berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
yang merupakan tiga unsur utama kemajuan peradaban manusia dapat memainkan peranan
penting dalam mendukung peningkatan daya saing dan pertumbuhan karena pendidikan tinggi
menyediakan keterampilan dan penelitian tingkat tinggi untuk menerapkan maupun
mengasimilasi, menyesuaikan dan mengembangkan teknologi-teknologi baru. Di sisi lain,
Keluarga Alumni Pascasarjana (KAPAS) UNS 2019 mempunyai visi yaitu mewujudkan
jaringan alumni yang mampu memberdayakan perannya dan bermanfaat bagi masyarakat,
bangsa dan negara. Melalui acara Seminar Nasional III Pascasarjana UNS 2019 yang
mengangkat tema Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEKS terkait Pelestarian
Kebudayaan Nasional di Era 4.0 diharapkan dapat menjadi wadah bagi para mahasiswa,
akademisi, peneliti, praktisi, dan pemerintah dalam berdiskusi, berbagi informasi, dan bertukar
pikiran mengenai isu terbaru dalam IPTEKS di Indonesia.
Terimakasih saya sampaikan kepada semua pemakalah dan peserta yang telah berkontribusi
dalam acara ini, selamat berseminar dan teruslah semangat untuk mengembangkan IPTEKS.
iii
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN BUDAYA
BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih karena
atas rahmat-Nya Prosiding Seminar Nasional III Pascasarjana UNS 2019 dengan tema “Peran
Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEKS terkait Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era
4.0” yang diselenggarakan oleh Pascasarjana UNS beserta Ikatan Alumni Pascasarjana UNS
yang bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Pascasarjana UNS dapat terwujud dan
terselenggarakan dengan baik.
Prosiding ini menyebarluaskan gagasan konseptual, hasil penelitian dan aplikasi teori, serta
tulisan praktis mengenai berbagai bidang ilmu baik eksakta maupun non eksakta. Peran
Pascasarjana baik di lingkungan UNS maupun di luar UNS diharapkan mampu memberikan
kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sains.
Seminar Nasional III Pascasarjana UNS 2019 ini mengangkat tema Peran Pascasarjana dalam
Pengembangan IPTEKS terkait Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0 ternyata mendapat
respon yang sangat positif dari para penulis makalah. Dengan rendah hati, panitia mohon maaf
kepada para penulis yang makalahnya belum dapat dimuat dalam prosiding ini. Mudah-
mudahan nantinya para penulis yang masih belum berkesampatan ikut agar dapat berpartisipasi
lagi dalam seminar nasional III yang akan dilaksanakan tahun depan.
Tak lupa juga kami menyampaikan terimakasih kepada Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D selaku
Direktur Pascasarjana UNS, Dr. Prasetya Adi Wisnu W S.S., M. Hum selaku Ketua KAPAS
UNS dan semua editor serta segenap panitia yang telah bekerja keras dan cerdas mendukung
terlaksananya seminar ini. Kepada seluruh pemakalah dan peserta kami menyampaikan selamat
berseminar, semoga sukses dan bermanfaat bagi pengembangan IPTEKS. Aamiin.
Ketua Panitia
iv
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN BUDAYA
BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
SUSUNAN ACARA
SEMINAR NASIONAL III PASCASARJANA UNS
SABTU, 26 OKTOBER 2019, Gedung Pascasarjana UNS (Aula Lt.6)
Tema : Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEKS terkait Pelestarian
Kebudayaan Nasional di Era 4.0
Sub tema : Mengembangkan Intelektual Cendekiawan Untuk Melestarikan Budaya
Bangsa dalam Rangka Mempertahankan Kebhinekaan
v
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN BUDAYA
BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
vi
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
DAFTAR ISI
Sampul i
Sambutan ii
Kata Pengantar iv
Susunan Acara v
Daftar Isi vii
vii
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
viii
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
ix
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
x
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
PRAGMATIK)
xi
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
xii
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
xiii
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
xiv
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
xv
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
xvi
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
SDN 2 KARANGREJA
KABUPATEN PURBALINGGA
xvii
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
TOLERANSI
xviii
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
xix
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
xx
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
xxi
Seminar Nasional “Peran Pascasarjana dalam Pengembangan IPTEK terkait
Pelestarian Kebudayaan Nasional di Era 4.0”
MENGEMBANGKAN INTELEKTUAL CENDEKIAWAN UNTUK MELESTARIKAN
BUDAYA BANGSA DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEBHINEKAAN
xxii
Prosiding Seminar Nasional III (ISBN 978 – 623 – 90740 – 4 – 3)
Pascasarjana UNS 2019
Susanto3
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
Email: susantofibuns@staff.uns.ac.id
ABSTRACT
This article is a research about ethnic Sasak tradition of weave in Sade. This study aim to
looks the changes of the function and meaning of traditions that initially functioned as
women's morality education, turned into economic values in the cultural tourism industry.
This study applies an ethnographic approach with observation and interview techniques,
data obtained through interviews with the community as the manager of local tourism.
The findings show that the weave tradition is currently only used as a "packaging" for
tourism products in order to increase the economic value of the sesek cloth which causes
a change in the function and meaning of the weave tradition. As for the changes that
occur that the weave tradition was a form of moral education for women is now only a
form of "show" tradition for tourists, the weave tradition which was a form of birth bond
for someone has now only become a souvenir, so that which cannot change in the end is
only the history of the weave tradition.
ABSTRAK
Artikel ini merupakan sebuah kajian tentang tradisi nyesek etnis sasak di Dusun Sade.
Kajian ini melihat perubahan fungsi dan makna tradisi yang awalnya berfungsi sebagai
pendidikan moralitas perempuan, kemudian berubah menjadi nilai ekonomi dalam
industri pariwisata budaya. Penelitian ini menerapkan pendekatan etnografi dengan teknik
observasi dan wawancara, data diperoleh melalui wawancara dengan masyarakat selaku
pengelola pariwisata lokal. Temuan menunjukkan bahwa tradisi nyesek pada saat ini
hanya dijadikan sebagai “kemasan” untuk produk pariwisata agar meningkatkan nilai
ekonomi pada kain sesek yang menyebabkan berubahnya fungsi maupun makna tradisi
nyesek. Adapun perubahan yang terjadi yaitu tradisi nyesek yang dahulu merupakan
bentuk pendidikan moral bagi perempuan kini hanya sebagai bentuk “pertunjukan” tradisi
bagi wisatawan, tradisi nyesek yang dahulu merupakan wujud ikatan lahir bagi seseorang
kini hanya menjadi sebuah suvenir, sehingga yang tidak dapat berubah pada akhirnya
hanya sejarah dari tradisi nyesek itu sendiri.
Pendahuluan
Pariwisata merupakan salah satu sektor yang diharapkan mampu meningkatkan
perekonomian nasional untuk pemerintah dan masyarakat melalui penerimaan devisa.
Sektor pariwisata memberi dampak yang sangat besar bagi masyarakat, terutama
masyarakat yang berada di kawasan atau lokasi yang menjadi tujuan wisatawan (Ethika,
2016:134).
Lokasi wisata tentu harus memiliki obyek wisata yang dapat menarik wisatawan,
menurut Spillane (1987:63) obyek wisata harus memiliki lima unsur pokok agar
wisatawan dapat menikmati perjalanan diantaranya: attractions (keindahan alam, iklim
dan cuaca, kebudayaan, sejarah, ethnicity, dan accessibility), facility, infrastruktur,
transportation, hospitality. Dari kelima unsur diatas attractions khususnya memiliki
peran penting dalam menarik minat wisatawan, seperti Indonesia yang sering kali
menjadi tujuan wisatawan karena dikenal sebagai negara yang kaya akan ragam budaya
dan etnis sehingga indonesia dikenal dengan wisata budayanya.
Salah satu daerah yang menjadika budaya sebagai daya tarik wisata yaitu
Lombok dengan tradisi nyesek atau membuat kain Sesek. Kain sesek merupakan kain
asli Suku Sasak yang diwarisan secara turun temurun melalui garis keturunan
perempuan (ibu / inaq). Kain sesek atau yang lebih dikenal dengan nama kain tenun
menurut Suwati (1986:2) sudah ada sejak zaman prasejarah di Indonesia dan diketahui
dibuat dengan cara ikat lungsi untuk menghasilakan corak. Di Dusun Sade kain sesek
dibentuk dari hasil persilangan antara benang lungsi dan benang pakan.
478
Prosiding Seminar Nasional III (ISBN 978 – 623 – 90740 – 4 – 3)
Pascasarjana UNS 2019
Tradisi tersebut diikuti perempuan Sade dari generasi ke generasi dan dijaga
melalui hukum adat yang masih berlaku sehingga tradisi nyesek di Dusun tersebut tetap
lestari. Tradisi nyesek yang dimiliki Dusun Sade mulai mendapat perhatian dari pihak
pemerintah pada tahun 1989 untuk lebih dikembangan dengan menjadikan kain sesek
sebagai daya tarik pariwisata dan menetapkannya sebagai Dusun sentra kain sesek.
Dijadikannya tradisi nyesek sebagai daya tarik wisata secara berlahan mengubah cara
pandang masyarakat Sade terhadap kain sesek, kini tradisi nyesek hanya sebagai
“kemasan” dari produk kebudayaan bernilai ekonomi yang dipromosikan melalui
pariwisata.
Piyanto dan Dyah Safitri (2015) melihat bagaimana potensi potensi budaya yang
dimiliki suatu desa sebagai daya tarik pariwisata budaya. Ethika, Diana Takariandinda
(2016) melihat bagaimana pemerintah dan masyarakat membangun pariwisata berbasis
budaya berdasarkan ketentuan UU no. 10 tahun 2009. I Gusti Bagus Rai Utama (2011)
melihat perbedaan tujuan pada pariwisata berbasis budaya antara tujuan pelestarian dan
pemberdayaan ekonomi. Zulfajri, T (2019) melihat festival kebudayaan menampilkan
kesenian secara berbeda sebagai daya tarik wisata.
Penelitian ini melihat bagaimana sejarah tradisi nyesek sebagai modal utama
daya tarik pariwisata berbasis budaya. Kemudian bagaimana industri pariwisata melihat
nilai komoditi pada kain sesek. Penelitian ini berfokus pada apakah kain sesek sebagai
obyek wisata saat ini mampu menjaga nilai tradisi yang terdapat pada kain sesek atau
justru hanya sebagai daya tarik wisata dengan memanfaatkan sejarah dan cerita-cerita
tentang nyesek yang berkembang di masyarakat.
479
Prosiding Seminar Nasional III (ISBN 978 – 623 – 90740 – 4 – 3)
Pascasarjana UNS 2019
Data akan diambil dari hasil observasi di Dusun Sade dan wawancara terhadap
budayawan Lombok yang mengetahui sejarah tradisi nyesek, untuk memperkuat argument
akan diambil data sekunder yang bersumber dari wawancara dengan masyarakat terutama
pengelola pariwisata lokal untuk mengetahui pandangan mereka tentang tradisi nyesek.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori wisata budaya dan objek wisata
atau daya tarik wisata yang dikenal dengan istilah culture tourism dan Tourism Attraction.
Hubungan antara pariwisata dan budaya menggambarkan pasar pariwisata budaya dalam
proses konvergensi yang lama. Dimana sebelumnya pariwisata dan budaya dipandang sebagai
ruang praktik sosial yang terpisah (Richards, 2003:2). Tetapi hambatan antara budaya dan
pariwisata menghilang karena adanya budaya masyarakat dimana obyek dan orang menjadi
semakin mobile sehingga batas-batas antara budaya yang sebelumnya berbeda semakin
dihilangkan, dan budidaya praktik pariwisata dimana wisatawan tidak hanya mengkonsumsi
berbagai tanda selama liburan mereka, tetapi tanda-tanda yang melekat pada perjalanan
semakin banyak diproduksi dan diedarkan oleh industri budaya sehingga pariwisata itu sendiri
telah menjadi budaya (John Urry 1995).
Jika dilihat dari apa yang memotivasi wisatawan untuk mengunjungi obyek wisata
budaya, pariwisata budaya merupaakan "semua aspek perjalanan, di mana para pelancong
belajar tentang sejarah dan warisan orang lain atau tentang cara hidup atau pemikiran
kontemporer mereka” (Mclntosh dan Goeldner, 1994). Dengan kata lain, wisatawan budaya
termotivasi untuk belajar tentang produk dan proses budaya lain (Richard, 2003:4). Tetapi
pariwisata budaya tidak hanya tentang mengunjungi situs, dan monumen yang cenderung
berbau tradisional tetapi juga melibatkan konsumsi cara hidup daerah yang dikunjungi.
Sehingga pariwisata budaya dapat diartikan sebagai “Pergerakan orang ke tempat-tempat
480
Prosiding Seminar Nasional III (ISBN 978 – 623 – 90740 – 4 – 3)
Pascasarjana UNS 2019
budaya menjauhi tempat tinggal normal mereka, dengan maksud untuk mengumpulkan
informasi dan pengalaman baru untuk memenuhi kebutuhan budaya mereka” (Richards,
1996). Hal tersebut menunjukkan jika wisata budaya tidak hanya mengkonsumsi produk
budaya masa lalu tetapi juga budaya kontemporer.
Dalam pariwisata budaya tentu dibutuhkan daya tarik untuk mendatangkan wisatawan.
Williams dan Darma Putra, (1997:1) mengatakan bahwa dalam strategi promosi pariwisata
biasanya selalu menghubungkan tradisi dan budaya, lebih lanjut Cuellar berpendapat bahwa
tidak ada pariwisata tanpa budaya, artinya kalau sebuah daerah mempromosikan pariwisata
sebenarnya mereka mempromosikan budaya di sebuah destinasi tersebut. Walaupun dalam
kenyataannya para pelaku bisnis juga menawarkan fasilitas yang mewah tapi sebenarnya yang
menarik untuk dipasarkan adalah keunikan dari budaya tersebut (Lanfant at al, 1995 dikutip
oleh Williams dan Darma Putra, 1997:1). Daya tarik wisata menurut Yoeti (2002:5) yaitu
segala sesuatu yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung pada suatu daerah tujuan
wisata. Ismayanti Dalam buku Pengantar Pariwisata (2010:147) mendefinisikan, ”…Daya
tarik Wisata adalah fokus utama penggerak pariwisata di sebuah destinasi.” Hal ini berarti
bahwa daya tarik wisata merupakan penggerak utama yang memotivasi wisatawan untuk
mengunjungi suatu tempat.
481
Prosiding Seminar Nasional III (ISBN 978 – 623 – 90740 – 4 – 3)
Pascasarjana UNS 2019
adat di dusun tersebut. Masyarakat Sade menjunjung tinggi warisan-warisan tradisi dari
leluhur mereka, salah satu tradisi yang masih lestari hingga saat ini yaitu tradisi nyesek
atau cara membuat kain sesek.
Kain sesek memiliki nilai penting dalam kehidupan masyarakat Sade karena
memiliki makna sebagai bentuk ikatan lahir dari seseorang. Mamiq Agus (09-08-2019)
mengatakan “kain sesek pertama yang ada di Suku Sasak yaitu jenis kain sesek datar
dimana ketika seorang anak akan lahir ke bumi maka ibu akan membuatkan anak
tersebut sebuah kain sesek yang kemudian disebut sebagai kereng umbaq. Kain ini
kemudian digunakan pada setiap upacara yang dilalui oleh si anak semasa hidupnya
mulai dari upacara akikah, pernikahan, hingga ketika meninggal kereng umbaq tersebut
berubah menjadi kain usap sebagai penutup jenazah dari si anak”. Tak jarang
dibeberapa keluarga terkadang menyimpan kereng umbaq dari nenek moyang mereka
hingga kini.
Selain sebagai bentuk dari ikatan lahir, kain sesek juga digunakan dalam
kehidupan sehari-hari mulai dari sebagai baju, kain, selendang, maupun pada upacara-
upacara adat seperti ritual keagamaan, pernikahan, dan kematian. Hal ini menunjukkan
tradisi nyesek memiliki nilai yang penting dalam kehidupan masyarakat Sade.
Pentingnya nilai dari kain sesek juga ditunjukkan melalui tradisi pernikahan, “di Dusun
Sade terdapat sebuah peraturan bahwa jika seorang perempuan belum bisa menyesek
maka perempuan tersebut dipandang belum pantas untuk menikah” (amaq Ririn, 05-08-
2019). Hal ini bisa jadi merupakan sebuah peraturan yang sengaja diciptakan oleh
leluhur masyarakat Sade agar tradisi nyesek dapat lestari.
482
Prosiding Seminar Nasional III (ISBN 978 – 623 – 90740 – 4 – 3)
Pascasarjana UNS 2019
Dusun Sade ditetapkan sebagai desa wisata tentu karena memiliki daya tarik
wisata sebagai penggerak utama wisatawan untuk berkunjung. Pariwisata terjadi karena
adanya daya tarik wisata di destinasi wisata baik berupa daya tarik alam maupun daya
tarik budaya yang memiliki nilai jual (Nuansya, 2017:5). Jika dilihat dari elemen
budaya yang diungkapkan oleh Shaw dan Wiliam (1997) maka elemen budaya yang
menjadi daya tarik di Dusun Sade berupa tradisi nyesek. Tradisi merupakan peristiwa
budaya yang diwariskan secara turun temurun dari para pendahulu dan telah
mewariskan nilai budaya yang tinggi sehingga menjadi identias yang kuat dan
mengakar dikalangan masyarakat (Purwadi, 2007:246). Hal ini terbukti dengan
ditetapkannya Dusun Sade sebagai sentra kain sesek, menunjukkan bahwa nilai tradisi
nyesek yang diwariskan telah mengakar kuat dan menjadi identitas masyarakat Sade
sehingga diakui oleh masyarakat lainnya. Selain elemen budaya, untuk menjadi sebuah
daya tarik wisata yang baik maka tradisi nyesek harus terkait dengan empat hal yaitu;
Originalitas; yaitu seberapa jauh suatu produk tidak terkontaminasi atau tidak
mengadopsi nilai yang berbeda dengan nilai aslinya. Lokasi Dusun Sade yang jauh dari
perkotaan sedikit tidaknya membantu dalam pemperlambat proses modernisasi di
483
Prosiding Seminar Nasional III (ISBN 978 – 623 – 90740 – 4 – 3)
Pascasarjana UNS 2019
tempat ini, tetapi nilai tradisi nyesek yang sebelumnya dijaga kini sedikit demi sedikit
telah mulai terpengaruh oleh hadirnya industri pariwisata.
Daya tarik wisata yang dimiliki oleh tradisi nyesek cukup baik didukung dengan
masyarakat dan lingkungan yang sesuai, sebagai contoh ketika berkunjung ke Sade
wisatawan akan disuguhkan pemandangan yang indah mulai dari arsitektur bangunan
rumah adat Suku Sasak, perempuan-perempuan yang sedang nyesek, serta galeri-galeri
art shop yang menjual hasil kerajinan masyarakat Sade mulai dari kain sesek, gelang,
tas, baju, dan serba serbi lainnya yang terbuat dari kain sesek. Tradisi yang masih
terjaga ini tentu menarik bagi masyarakat modern yang membutuhkan sentuhan baru
dan unik ditengah modernitas dan gaya hidup yang semakin kompleks. Sehingga tradisi
yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Sade dipandang
unik, orijinal, dan otentis oleh wisatawan karena tidak ditemukan pada daerah lain.
Sejarah seputar tradisi nyesek dan perempuan pun turut menjadi penunjang dalam
menjadikan kain sesek sebagai modal daya tarik wisata yang menjual. Nilai-nilai inilah
yang kemudian dimanfaatkan sebagai daya tarik dan modal oleh industri pariwisata dan
aktor-aktor yang terlibat di dalamnya baik itu pemerintah maupun masyarakat Dusun
Sade sendiri dalam melihat nilai jual kain sesek.
484
Prosiding Seminar Nasional III (ISBN 978 – 623 – 90740 – 4 – 3)
Pascasarjana UNS 2019
Seperti untuk memenuhi kebutuhan pasar kain sesek yang meningkat akibat
gencarnya promosi yang dilakukan oleh pemerintah, menciptakan peluang bagi industri
tekstil untuk memproduksi kain dengan motif kain sesek secara massal. Kini kain sesek
485
Prosiding Seminar Nasional III (ISBN 978 – 623 – 90740 – 4 – 3)
Pascasarjana UNS 2019
yang beredar di Lombok banyak didatangkan dari daerah industri tenun di pulau Jawa
seperti Klaten, Jember, Gresik, Bojonegoro. Hal ini disebabkan proses pembuatan kain
sesek yang asli membutuhkan waktu sekitar 3-4 minggu. Selain itu harga kain sesek
yang relatif mahal yaitu mulai dari harga 450.000-2.000.000,-an membuat kain sesek
kalah saing dengan kain bermotif kain sesek yang dipasarkan mulai dari harga 45.000-
200.000 di pasaran. Hal ini tentu mendatangkan keuntungan bagi para pembisnis yang
memanfaatkan daya tarik wisata dari kain sesek, bahkan banyak pedagang keliling
disekitar lokasi wisata Sade seperti pantai Kute dan Aan yang menjajakan kain-kain
dengan motif kain sesek dan mengatakan kain tersebut merupakan hasil sesekan asli
dari perempuan-perempuan di Sade.
Potensi budaya yang dimiliki kain sesek sebagai daya tarik wisata, pada ahirnya
masuk ke dalam industri budaya. Strinati (dalam Setiawan, 2011: 52) memberikan
penjelasan bahwa masuknya produk budaya ke dalam industri budaya, berarti dia
tunduk kepada hukum ekonomi sehingga dia berubah menjadi budaya Massa. Domain-
domain dan institusi-institusi sosial yang perhatiannya tidak hanya memproduksi
komoditas dalam pengertian ekonomi yang sempit tentang barang-barang yang akan
dijual, tetapi bagaimana diorganisasikan dan dikonseptualisasikan dari segi produksi,
distribusi, dan konsumsi komoditas. Perubahan ini berimplikasi terhadap nilai
kebudayaan yang tidak lagi mengikuti kehendak pembuatnya, tetapi tunduk kepada
mekanisme pasar. Akhirnya produk budaya terlepas dari pengalaman estetis dan terkena
fetisisme komoditi sehingga nilai gunanya dilepaskan, diganti dengan nilai tukar.
Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu tradisi nyesek sebagai daya
tarik wisata memberikan pengaruh dan dampak yang cukup besar bagi perubahan pada nilai-
nilai tradisi tersebut. Dengan terjadinya perubahan tentu berdampak pada fungsi maupun
makna tradisi nyesek. Diantaranya nyesek yang dahulu merupakan bentuk pendidikan moral
bagi perempuan kini hanya sebagai bentuk “pertunjukan” tradisi bagi wisatawan, tradisi
nyesek yang dahulu merupakan wujud ikatan lahir bagi seseorang kini hanya menjadi sebuah
suvenir. Sehingga yang tidak dapat berubah pada akhirnya hanya sejarah dari tradisi nyesek itu
sendiri.
486
Prosiding Seminar Nasional III (ISBN 978 – 623 – 90740 – 4 – 3)
Pascasarjana UNS 2019
Referensi
Barker, C. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Bentang.
Nuansya, A. 2017. Daya Tarik Wisata Budaya Festival Cian Cui Di Kota Selat Panjang
Provinsi Riau. JOM FISIP, 4 (2) hal 1-17.
Priyanto, dan Safitri, D. 2016. Pengembangan Potensi Desa Wisata Berbasis Budaya
Tinjauan Terhadap Desa Wisata Di Jawa Tengah. Jurnal Vokasi Indonesia, 4
(1).
Ratna, N. K. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya Dan lmu sosial Humaniora
Pada Umumnya. Jakarta Pusat.
Richards, G. 2003. What is Cultural Tourism? In: van Maaren, A. (ed.), Erfgoed voor
Toerisme. Weesp: Nationaal Contact Monumenten.
487
Prosiding Seminar Nasional III (ISBN 978 – 623 – 90740 – 4 – 3)
Pascasarjana UNS 2019
Sari, N. K. dan Nugroho, S. 2018. Dampak Sosial Budaya Pengembangan Dusun Sade
Sebagai Dusun Wisata Di Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal Destinaasi
Pariwisata, 6 (1), 159-164.
Setiawan, K. I. 2011. Pemanfaatan Pusaka Budaya Pura Tirta Empul Sebagai Daya
Tarik Wisata Di Bali. Juriusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana
488