Anda di halaman 1dari 67

29 September 2019

1
Aula Kantor PT. Dachtraco Raya
Jl. H. Sufu Yusuf No 1 Kota Kendari
PROSIDING SEMINAR NASIONAL

BANTUAN PEMERINTAH
FASILITASI KOMUNITAS KESEJARAHAN TAHUN 2019
Event Kesejarahan

“PENGEMBANGAN KAJIAN ETNOMEDISIN DALAM MEMPERKUAT KARAKTER


GENERASI MUDA”

AULA KANTOR PT. DACHTRACO RAYA, JL. H. SUFU YUSUF NO 1 KOTA


KENDARI
Kendari, 29 September 2019

HIMPUNAN SARJANA PENDIDIKAN ILMU-ILMU SOSIAL


INDONESIA (HISPISI-SULAWESI TENGGARA)

i
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
Bantuan Pemerintah
Fasilitasi Komunitas Kesejarahan Tahun 2019
Event Kesejarahan

Pengembangan Kajian Etnomedisin


dalam Memperkuat Karakter Generasi Muda

Panitia Pelaksana
Sukadi Linta, S.Pd, M.Pd. Ketua
Sudarso, S.Pd, M.Pd Sekertaris
Andriani Taufik, S.Pd, M. Pd. Bendahara

Steering Commite:
Dr. Misran Safar, M. Si
Drs. Ali Hadara, M. Hum
Dr. La Ode Ali Basri, S.Pd, M.Si
Pendais Haq, S.Ag, M. Pd

Reviewer:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd

Editor:
Ahmad, S.Pd, M.Pd

ISBN: 978-602-60719-7-2

Penerbit:
Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia
(HISPISI-Sulawesi Tenggara)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya Prosiding Seminar Nasional Fasilitasi Event Kesejarahan 2019 dengan tema
“Pengembangan Kajian Etnomedisin dalam Memperkuat Karakter Generasi Muda” dapat
diterbitkan.
Tema tersebut dipilih dengan alasan untuk memberikan perhatian pada dunia akademik
mengenai sistem pengobatan tradisional sebagai suatu kearifan lokal dari berbagai suku di
wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, agar terdokumentasi dengan baik serta dapat menjadi
referensi bagi generasi selanjutnya agar sedianya dapat memanfaatkan ataupun membudidyakan
tanaman-tanaman tradisional yang berada di lingkungan tempat tinggalnya sebagai alternatif
pengobatan selain pengobatan modern. Selain sebagai alternatif pengobatan keluarga dan
masyarakat pada umumnya, pemanfaatan dan budidaya tanaman-tanaman obat tradisional juga
dapat dijadikan sebagai sumber untuk membantu ekonomi keluarga/masyarakat.
Seminar ini diikuti oleh berbagai peneliti-peneliti dan pakar dari berbagai bidang
keilmuan seperti; sejarah, sosiologi, farmasi, kedokteran, dan pendidikan, serta dari unsur
pemerintah daerah dan Direktorat Sejarah dari unsur pemerintah pusat. Dengan begitu
diharapkan pengembangan-pengembangan pengobatan berasis kearifan local mampu bersinergi
sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah dan sebaliknya
pemerintah mampu memberi ruang dalam pelestarian budaya pengobatan tradisional yang begitu
kaya dalam masyarakat yang multicultural.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Amanah Kesejahteraan
Masyarakat Pedesaan (YAKMADES) yang telah melaksanakan Tanggung jawab yang diberikan
oleh pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Keudayaan untuk menyelenggarakan seminar nasional ini. Semoga
buku prosiding ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Kendari, 10 Februari 2020


Editor,

Ahmad, S. Pd, M. Pd.


iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii

Pemakalah:
Kebijakan Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Penanaman
Nilai-Nilai Karakter dalam Pendidikan Sejarah ................................................................. 1
Oleh: Dra. Triana Wulandari M. Si

Prospek Pengembangan Tanaman Obat Tradisional di Sulawesi Tenggara .................... 6


Oleh: Prof. Dr. I. Sahidin, M.Si

Budaya Etnomedisin pada Etnik Tolaki (Perspektif Sejarah Budaya) ........................... 11


Oleh: Dr. Misran Safar, M.Si

Kajian Sejarah Budaya Etnomedik pada Etnik Buton


(Studi Pada Balai Pengobatan Tradisional Patah Tulang dan Keseleo
(BATRA PTK) Kompleks BTN Kendari Permai Kelurahan Padaleu
Kecamatan Kambu Kota Kendari). ...................................................................................... 22
Oleh: Drs. Ali Hadara, M.Hum

Sejarah Etnomedisin pada Suku Moronene ......................................................................... 27


Oleh: Dr. Basrin Melamba, S.Pd., M.A

Perbandingan Sistem Pengobatan Tradisional dan Sistem Pengobatan Modern ............ 37


Oleh: Dr. dr. Asriati, M.Kes

Nila-Nilai Karakter dalam Sejarah Budaya Etnomedisin .................................................. 44


Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd

Pengobatan Tradisional USADA dan Balian Budaya Bali


(Kajian Ilmu Sosial Budaya) .................................................................................................. 52
Oleh: Prof. Dr. I Ketut Suardika, S.Pd., M.Si

Kearifan Budaya Lokal dalam Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak pada Suku Bajo.... 58
Oleh: Khalidatul Khair Anwar, S.Keb., M. Keb.

iv
KEBIJAKAN DIREKTORAT SEJARAH DIREKTORAT JENDERAL
KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DALAM
PENANAMAN NILAI-NILAI KARAKTER DALAM PENDIDIKAN SEJARAH

Oleh
Triana Wulandari
Direktur Sejarah Ditjen Kebudayaan Kemendikbud

Karakter suatu bangsa mengakar dalam sejarahnya. Terbentuknya sebuah bangsa (nation-
formation) dapat dijelaskan melalui sejarah. Struktur kepribadian nasionalnya tersusun dari
perwatakan yang tumbuh dan melembaga dalam proses pengalaman sepanjang kehidupan
bangsa. Kepribadian nasional, identitas, dan karakternya bertumpu pada pengalaman kolektif
bangsa, yaitu sejarah. Dengan demikian, pengetahuan sejarah mempunya fungsi fundamental
dan strategis dalam penanaman karakter bangsa.
Pembicaraan tentang penguatan karakter bangsa harus diawali dengan kesadaran penuh
bahwa karakter bangsa mesti diletakkan di atas kekhususan sejarah Indonesia sebagai cultural
accountability (pertanggung jawaban kultural) menjadi orang Indonesia. Menelusuri karakter
bangsa di Nusantara saat berinteraksi dan membangun peradaban bangsa pada masa
prakolonial dan merespon penghancuran akar kultural tradisional bangsa Indonesia oleh
kolonialisme, para pendiri bangsa berusaha merumuskan gagasan tentang “karakter dan
jatidiri bangsa”. Di situlah pangkal diskusi tentang “penanaman dan pendidikan karakter”.
Dalam konteks penanaman karakter, sangat dibutuhkan kesadaran nasional untuk
membangkitkan jiwa kewarganegaraan yang penuh dedikasi terhadap bangsa dan negara
(terutama rela berkorban dan cinta tanah air). Agar pembelajaran sejarah mempunyai dampak
afektif yang tinggi, bahan historis yang cukup efektif diberikan sudah barang tentu berupa
biografi atau peristiwa historis yang menggambarkkan role model tentang semangat
pengabdian hidup, kesetiaan terhadap kewajiban, dan integritas yang memenuhi jiwa penuh
pengabdian itu dengan menyisihkan kepentingan pribadi. Role model seperti itu mampu
membangkitkan inspirasi generasi muda sehingga dapat menumbuhkan idealisme yang dalam
masa globalisasi sekarang mudah tertimbun oleh materialisme, konsumerisme, hedonisme,
dan sebagainya. Akhirnya karakter dan etos bangsa pun akan terpetik sebagai kuntum bunga
dari taman sari sejarah bangsa Indonesia.
Dengan demikian, jelaslah bahwa nilai-nilai karakter kebangsaan kita adalah produk
sejarah. Oleh karena itu, usaha untuk memperkuatnya mesti dilandasi oleh usaha untuk
membaca dan mengerti kembali sejarah (melek sejarah). Melek sejarah (kecakapan dalam
memahami sejarah) bagi generasi penerus berperan penting dalam menumbuhkan dan
menguatkan karakter dan identitas bangsa; melek sejarah juga mengokohkan integrasi bangsa
dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebaliknya, amnesia sejarah akan
menghancurkan visi dan kesatuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu melek
sejarah sangat strategis untuk kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi generasi
penerus.
Berlandaskan pada pokok pikiran tersebut, Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggagas Gerakan Melek Sejarah
(GEMES). Gagasan GEMES ini seiring dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Perpres No. 87 Tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter. Gerakan Melek Sejarah ini, goal-nya, akan membangun
kesadaran sejarah yang merupakan sumber inspirasi dan aspirasi yang sangat potensial untuk
membangkitkan sense of pride (kebanggaan) dan sense of obligation (tanggung jawab dan
kewajiban) bagi generasi penerus. Substansi kesejarahan yang adalah philosophy teaching by

Seminar Nasional Etnomedisin Page 1


examples (filsafat, nilai-nilai, atau karakter kearifan/kebajikan yang diajarkan melalui contoh-
contoh dalam sejarah) dikemas sedemikian rupa dalam aneka program untuk melahirkan
kebanggaan (sense of pride) sebagai bangsa Indonesia atas karakter, kemulian usaha dan
capaian luhur para pendahulu (untuk diteladani) dan mendorong tanggung jawab dan
kewajiban (sense of obligation) terhadap amanat sejarah tersebut yang harus diteruskan oleh
generasi muda kini untuk memajukan bangsa ini.
Kemudian apakah melek (literasi) sejarah itu? Melek sejarah adalah tujuan dari belajar
sejarah. Orang yang melek sejarah adalah orang yang mempunyai pengetahuan luas tentang
masa lampau, yaitu pengetahuan yang koheren, konseptual, dan penuh makna tentang masa
lampau yang berdasarkan pada penggunaan bukti sejarah yang kritis. Melek sejarah juga dapat
didefinisikan dalam pengertian tradisional yaitu orang yang mampu menulis dan membaca.
Dalam hal ini tujuan melek sejarah adalah memampukan generasi muda dan masyarakat untuk
membaca teks sejarah dengan kritis, menulis dengan penuh pengertian dan permenungan, dan
terlibat dalam diskusi-diskusi yang penuh makna mengenai masa lampau.
Generasi muda harus memahami bahwa pengetahuan sejarah bukanlah kumpulan fakta
yang menunggu untuk dihapal. Pengetahuan sejarah berisi pemahaman tentang masa lampau
yang musti dikonstruksi dari berbagai informasi. Orang yang melek sejarah yang menemui
sumber primer memahami bahwa dokumen tersebut adalah suatu fragmen dari masa lampau.
Hal itu berarti atau tidak berarti bahwa sumber tersebut adalah bukti yang berguna dalam
menyusun argumen tentang apa yang telah terjadi dan mengapa terjadi. Itu artinya
pembelajaran sejarah bukanlah proses yang pasif. Melek sejarah memerlukan keterlibatan
yang aktif dengan fakta, tujuannya adalah pemahaman yang konseptual tentang masa lampau
dan bagaimana masa lampau dihubungkan dengan masa kini.
Untuk membangun pengetahuan sejarah, generasi muda harus mengenal apakah teks-teks
sejarah itu, bagaimana, dan mengapa teks-teks tersebut diciptakan. Orang yang melek sejarah
mengerti bahwa buku sejarah atau film dokumenter di televisi itu adalah tafsiran seseorang
dan bukanlah keseluruhan kebenaran mengenai masa lampau. Masyarakat yang melek sejarah
dapat menilai keabsahan klaim-klaim dalam peristiwa-peristiwa sejarah Indonesia. Mereka
penuh pemahaman dalam menangani perdebatan ini. Mereka dapat mempertanyakan sumber-
sumber sejarah. Mereka mengerti nilai catatan kaki. Singkatnya, mereka dapat mendeteksi
perbedaan-perbedaan antara penggunaan dan penyalahgunaan sejarah.
Pedagogi melek sejarah harus memberikan pengertian kepada generasi muda bahwa masa
lampau mempunyai relevansi untuk masa sekarang. Melek sejarah merumuskan semacam
konsep “masa lampau historis yang dapat digunakan” (usable historical past), masa lampau
yang dapat diterapkan dalam kehidupan mereka sendiri pada saat ini. Sering dijumpai
masyarakat merasa terpisah dan tidak terhubung dengan masa lampau. Menghancurkan
tembok pemisah ini tidak berarti mengaburkan perbedaan atau mengasumsikan bahwa orang-
orang yang hidup pada masa itu adalah persis sama dengan kita, ini adalah sebuah kekeliruan
yang dikenal sebagai “presentisme”. Masa lampau mempunyai relevansi untuk masa sekarang
artinya mengetahui bagaimana masa lampau adalah sama dan berbeda dari masa kini, dan
bagaimana perbandingan seperti itu dapat membantu kita memahami lebih baik dunia tempat
kita hidup. Orang yang melek sejarah adalah orang yang belajar tentang masa lampau untuk
masa kini dan akan datang.
Orang yang melek sejarah musti mampu berpikir historis. Untuk berpikir historis orang
harus mampu:
a. Menentukan suatu peristiwa adalah suatu peristiwa yang penting. Suatu peristiwa
historis. Tidak semua peristiwa di masa lampau menjadi peristiwa penting untuk diingat.
Peristiwa penting adalah peristiwa yang menghasilkan perubahan besar dalam jangka
waktu yang lama untuk banyak orang.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 2


b. Menggunakan bukti sumber primer. Untuk menggunakan sumber sejarah primer
dengan baik, kita menempatkannya dalam konteks sejarahnya dan menyimpulkan dari
sumber tersebut untuk membantu kita lebih memahami apa yang sedang terjadi ketika
sumber tersebut dibuat.
c. Mengidentifikasikan kesinambungan dan perubahan. Salah satu kunci untuk
mengidentifikasi kesinambungan dan perubahan dalam peristiwa sejarah adalah
menelusuri perubahan ketika pengetahuan umum mengesankan bahwa tidak ada
perubahan; menelusuri kesinambungan ketika diasumsikan bahwa ada perubahan. Putusan
kesinambungan dan perubahan dapat dibuat berdasarkan perbandingan suatu peristiwa di
masa lampau dan masa kini, atau di antara dua peristiwa di masa lampau, seperti
Indonesia pada masa Revolusi dan Pascarevolusi. Kita mengevaluasikan perubahan pada
waktu itu dalam aspek struktur sosial dan politik.
d. Menganalisis sebab dan akibat. Faktor “sebab” dalam peristiwa sejarah itu banyak dan
berlapis, meliputi ideologi, institusi, dan kondisi yang berjangka panjang; dan peristiwa,
aksi, dan motivasi yang berjangka pendek. Sebab yang ditawarkan untuk suatu peristiwa
tertentu dapat berbeda berdasarkan skala sejarah dan pendekatan sejarawan.
e. Mempunyai perspektif historis. Mempunyai perspektif historis berarti memahami
keadaan sosial, kultural, intelektual, dan emosional yang membentuk kehidupan
masyarakat dan tindakannya di masa lampau. Pelaku-pelaku sejarah yang berbeda dapat
berbuat berdasarkan keyakinan-keyakinan dan ideologi-ideologi yang yang berlawanan,
maka memahami perspektif yang beragam juga menjadi kunci dalam menumbuhkan
kemampuan mempunyai perspektif historis. Meskipun kadang-kadang dinamakan “empati
historis,” perspektif historis sangat berbeda dengan pikiran umum tentang identifikasi
dengan orang lain. Memang mempunyai perspektif historis menuntut pemahaman
perbedaan-perbedaan yang luas antara kita di masa kini dan mereka di masa lampau.
f. Memahami dimensi etis dalam sejarah. Bagaimana kita mengingat “jugun ianfu” dalam
periode pendudukan Jepang di Indonesia? Persoalan ini adalah bagian dari dimensi etis
dalam sejarah. Ini menciptakan pertentangan yang tidak mudah. Perspektif sejarah
menuntut bahwa kita memahami perbedaan-perbedaan di antara alam etis kita dan alam
etis pada masyarakat lalu. Pada saat yang sama, sejarah yang bermakna tidak
memperlakukan peristiwa itu secara “netral”. Sejarawan berupaya untuk menghalangi
putusan etis secara terang-terangan tentang pelaku-pelaku dalam peristiwa itu, tetapi,
ketika sepanjang dikatakan dan dilakukan, bila kisah tersebut penuh makna, maka ada
putusan etis yang terlibat untuk peristiwa tersebut. Kita harus berharap untuk belajar
sesuatu dari masa lampau yang membantu kita untuk menghadapi persoalan-persoalan etis
di masa kini.
Dengan demikian, melek sejarah Indonesia adalah kecakapan dalam mengerti
sejarah Indonesia untuk memperkuat karakter bangsa.
Program melek sejarah yang digagas Direktorat sejarah antara lain sebagai berikut:
g. Penulisan buku sejarah (termasuk komik sejarah)
h. Pengenalan sumber sejarah
i. Workshop, diklat, bintek kesejarahan
j. Seminar kesejarahan
k. Kemah kesejarahan
l. Olimpiade kesejarahan
m. Media inspiratif kesejarahan (website, film dsb)
n. Peringatan hari-hari bersejarah
o. Digitalisasi kesejarahan
p. Pameran kesejarah

Seminar Nasional Etnomedisin Page 3


q. Festival kesejarahan
r. Lawatan Sejarah
s. Histrionik (drama, sandiwara, pawai sejarah, wayang, tablo, dan sebagainya)
t. Fasilitasi kesejarahan kepada masyarakat

Sejarah Muhammadiyah adalah sejarah yang mngandung inspirasi dan karakter untuk
dibanggakan dan diteladani serta mendorong amanat sejarah yang dibawa oleh kiai Haji
Ahmad Dahlan (1868-1923) dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan
(mengemansifasi) kehidupan masyarakat untuk menjadi tanggung jawab dan kewajiban kita
pada masa kini untuk meneruskannya. Beliau tidak hanya seorang ulama (intelektual) yang
mencari dan mengumpulkan ilmu sebagai tujuan utamanya, tetapi beliau juga menerjemahkan
ilmu dan erudisinya menjadi sikap moral atau visi kebudayaan dan gerakan untuk
memperjuangkan kemajuan bangsanya. Beliau mendirikan Muhammadiyah Pada 18
November 1912. Pada tahun 1890 Ahmad Dahlan berangkat ke Mekkah untuk belajar agama
setelah sebelumnya menamatkan pelajaran agama tingkat dasar di lingkungan Kauman,
Yogyakarta. Di Mekkah ia antara lain menjadi murid Syeikh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi. Melalui guru dan bacaan yang ditekuninya, ia banyak menyerap ide-ide
reformasi Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida dari Mesir. Sepulangnya ke Jawa,
Ahmad Dahlan berpikir untuk melakukan reformasi agama di tengah masyarakatnya. Ia risau
dengan kehidupan agama di Kauman dan keraton yang campur baur dengan kepercayaan
lokal. Beliau mengajak umat Islam untuk beragama Islam secara benar
…alat untuk memperbaiki umat Islam itu hanyalah al Quran dan Hadits.
Dikembalikan orang pada tauhid, dibawa umat kepada kehidupan sepanjang kemauan
agama Islam. Hal itu tidaklah berarti bahwa ilmu pengetahuan dipencilkan,
ditinggalkan di belakang saja. Dan salah sekali paham orang jika agama Islam hanya
sembahyang atau ibadat semata-semata. Kita hidup di dunia, dari itu pula kita harus
tahu akan apa-apa yang terjadi di sekelililng tempat kita hidup. (kenangan KH Mas
Mansur terhadap Kiai Ahmad Dahlan , Ketua PP Muhammadiyah 1937-1942 dalam
Adil 3 september 1938).
Mengenai prinsip beramal sangat ditekankan oleh kiai Ahmad Dahlan. Disebutkan
bahwa pengajian kiai Dahlan berminggu-minggu dan berulang-ulang membahas satu topik
yaitu makna dan isi surah al-Maun. Didorong oleh rasa bosan, seorang jamaah memberanikan
diri bertanya mengapa topik pengajiannya itu-itu saja. Kiai Dahlan menjawab kalian belum
paham dan mengerti. Dijawab oleh jamaah bahwa mereka sudah paham. Belum, kata Kiai
Dahlan, kalian belum mengerti dan belum paham. Orang yang mengerti dan paham adalah
orang yang melaksanakan isinya. kalian belum bertindak, belum menyantuni anak yatim dan
belum memberi makan orang miskin.
Kiai Haji Ahmad Dahlan memang seorang berjiwa besar, memiliki cita-cita besar,
semangat berjuang yang tinggi, dan kemauan untuk selalu berkoraban demi kepentingan
kemurnian Islam dan kesejahteraan umat Islam. Kiai Dahlan lebih dikenal sebagai orang yang
suka beramal. Soekarno, aktivis pegerakan yang memulai perjuangannya sejak Kiai Ahmad
Dahlan masih hidup, mengenal Ahmad Dahlan sebagai seorang yang sepi in pamrih rame ing
gawe, sedikit bicara banyak bekerja.
Keprihatian Muhammadiyah terhadap usaha misionaris Barat tidak diekspresikan
dengan cara menentang usaha mereka melainkan meniru cara misionaris itu agar umat Islam
terhindar dan tidak tertarik pada usaha-usaha yang dilakukan misionaris. Strategi ini
dirancang dan dilaksanakan dengan mendirikan sekolah-sekolah baik sekolah agama maupun
umum. Maka lahirlah di mana-mana folk scholen (sekolah-sekolah rakyat) Muhammadiyah,
HIS (Hollands Inlands School) Muhammadiyah, MULO (Meeruitgebreid Lager Onderwijs)
Muhammadiyah, dan berbagai sekolah kejuruan. Muhammadiyah juga mendirikan lembaga

Seminar Nasional Etnomedisin Page 4


kesehatan dengan nama PKO (Pertolongan Kesejahteraan Oemat) dan juga panti asuhan untuk
anak yatim dan orang terlantar lainnya. Usaha-usaha Muhammadiyah yang dilakukan
perlahan-lahan itu memperoleh sambutan baik di beberapa daerah. Dalam usianya yang ke-13
(1925) Muhammadiyah telah memiliki anggota sebanyak 4000 orang, dan murid sekolah
Muhammadiyah sebanyak 4000 anak pula, 2 klinik di Yogyakarta dan Surabaya, 1 Panti
asuhan anak yatim dan 1 panti orang miskin.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dan Lapian, A.B. Indonesia dalam Arus Sejarah: Masa Pergerakan
Kebangsaan, Jilid V. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012.
Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987.
---------------------. Sekolah dan Politik: Pergerakan kaum Muda di Sumatra Barat 1927-1933
(terj. School and Politics; The Kaum Muda Movement in West Sumatra 1927-1933.
Ithaca: Southesat Asia Program Punblication, 1971). Yogyakarta: Penerbit Suara
Muhammadiyah bekerja sama dengan Pusat Studi Islam dan filsafat Universitas
Muhammadiyah Malang, 2018.
Sartono Kartodirdjo. Ideologi dan Teknologi dalam Pembangunan Bangsa: Eksplorasi
Dimensi Historis dan Sosio-Kultural. Jakarta: Penerbit Pabelan Jayakarta, 1999.
----------------------. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2014.
----------------------. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2016.
Downey, Matthew T and Kelly A. Long. Teaching for Historical Literacy: Building
Knowledge in the History Classroom. New York: Routledge, 2016.
Gilderhus, Mark. T. History and Historians: A Historiographical Introduction. New Jersey:
Prentice Hall, 2010.
Nakamura, Mitsuo, et al. Muhammadiyah Menjemput Perubahan: Tafsir Baru Gerakan
Sosial-Ekonomi, Politik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1996.
Sairin, Weinata. Gerakan Pembaruan Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 2008.
Zuhdi, Susanto. Integrasi Bangsa dalam Bingkai Keindonesiaan. Jakarta: Penerbit Wedatama
Widya Sastra, 2017.
Website: http://historicalthinking.ca/

Seminar Nasional Etnomedisin Page 5


PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT TRADISIONAL
DI SULAWESI TENGGARA
Oleh: Sahidin
(Dosen Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo)

A. Pendahuluan
Provinsi Sulawesi Tenggara terletak di Jazirah Tenggara Pulau sulawesi, secara geografis
terletak di bagian selatan garis khatulistiwa diantara 02 o45‟-06o15‟ Lintang Selatan dan
120°45'-124°30' Bujur Timur serta mempunyai wilayah daratan seluas 38.140 km 2 (3.814.000
ha) dan perairan (laut) seluas 110.000 km2 (11.000.000 ha) dengan jumlah pulau 651 buah,
290 pulau belum bernama dan hanya 86 pulau berpenghuni. Wilayah ini terdistribusi dalam
17 kabupaten/kotamadya dengan jumlah penduduk 714.120 (1971) menjadi 2.448.081 tahun
2016 (bangwilsultrablog, 2019).
Pertambahan jumlah penduduk dunia yang sangat pesat, terutama di negara-negara
berkembang, khususnya di Sulawesi Tenggara paling sedikit menimbulkan tiga masalah serius
yaitu kebutuhan pangan, kesehatan dan energi. Masalah kesehatan banyak muncul disebabkan
oleh perubahan pola hidup manusia dan mutasi penyakit sehingga penyakit tersebut lebih
resisten. Oleh karena itu kebutuhan akan suatu agen atau obat yang dapat mencegah atau
mengobati dari penyakit tersebut mutlak diperlukan keberadaannya.
Salah satu cara pencegahan atau pengobatan adalah kemoterapi, yaitu pengobatan
dengan menggunakan bahan kimia. Keunggulan cara ini adalah obat akan tersebar mengikuti
aliran darah, sehingga posisi penyakit dalam tubuh dimana pun akan terjangkau (Jong, 2005).
Informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa sekitar dua puluh persen obat modern/paten
yang beredar sekarang berasal dari senyawa bahan alam secara langsung, sedangkan sisanya
merupakan hasil modifikasi senyawa bahan alam dan hasil sintesis (Verpoorte, 1999).
Besarnya kontribusi senyawa alam terhadap penemuan obat modern tidak terlepas dari
pendekatan yang dilakukan dalam pencariannya. Pendekatan yang sangat berarti adalah kajian
etnobotani, yaitu kajian berdasarkan penggunaan tanaman tertentu oleh masyarakat sebagai
obat atau lebih umum disebut tanaman obat tradisional. Pendekatan ini minimalnya
memberikan rasa aman atau tidak takut keracunan karena bahan-bahan obat yang digunakan
berasal dari tanaman yang pernah dikonsumsi sebelumnya. Artemisinin sebagai contoh,
berhasil diisolasi dari obat tradisional China Artemesia annua L. tahun 1971, aktif terhadap 55
sel kanker terutama kanker usus dan leukemia. Senyawa tersebut ternyata aktif pula sebagai
antimalaria (Tonmunphean, 2004).
Kekayaan etnobotani berbanding lurus dengan keragaman kebiasaan suatu masyarakat. Setiap
masyarakat dalam suatu kawasan tertentu pasti memiliki cara dalam menjaga kesehatannya
atau mempertahankan hidupnya yang dilakukan secara turun temurun. Masyarakat Sulawesi
Tenggara terdiri dari berbagai macam suku bangsa, antara lain Suku Tolaki Konawe, Tolaki
Mekongga, Buton, Muna, Wolio, Moronene, Kabaena, wawonii, Bajau, dan Bugis sebagai
suku bangsa utama (Suku-dunia blog., 2019). Setiap suku bangsa mempunyai banyak
keluarga. Hal ini menciptakan keragaman cara peramuan dan jenis tanaman yang digunakan
sebagai obat tradisional.
Kekayaan etnobotani tersebut harus tetap dilestarikan. Oleh karena itu, kajian tanaman
obat tradisional meliputi inventarisasi, pengkoleksian (relokasi) di tempat yang mudah
terjangkau dan validasi tanaman obat tradisional tersebut harus dilakukan, sehingga dapat
digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Bila tidak dilakukan pengkajian secepatnya,
dikhawatirkan peneliti asing akan mendahuluinya seperti yang dilakukan oleh peneliti dari

Seminar Nasional Etnomedisin Page 6


Korea terhadap tanaman obat tradisional dari Bogor (Choi, 2005) dan peneliti Amerika
terhadap obat herbal masyarakat Ambon (Buenz, 2005).

B. Roadmap Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat Tradisional (TOT) di


Universitas Halu Oleo
Kajian dan pengembangan TOT masyarakat Sulawesi Tenggara, mengikuti pola yang
tercantum dalam Gambar 1.

Gambar 1. Strategi pengembangan TOT Sulawesi Tenggara


Pelaksanaan kajian TOT seperti tercantum pada Gambar 1 akan menghasilkan banyak
luaran. Luaran utamanya adalah data etnobotani dan aktivitas biologis atau potensinya. Data
tersebut dapat digunakan dalam meningkatkan karier melalui publikasi dan paten, konservasi
alam melalui dokumentasi dan relokasi tanaman, fasiitas pendidikan dengan menjadikannya
sebagai laboratorium lapangan, sarana kerjasama dengan institusi atau negara lain melalui
kajian bersama dan sumber ekonomi baru melalui pengolahan tanaman obat menjadi produk
yang bisa dijual dan obyek wisata.

C. Inventarisasi TOT Sulawesi Tenggara


Inventarisasi TOT di Sulawesi Tenggara di UHO telah dilakukan sejak tahun 2007
terhadap berbagai suku bangsa. Inventarisasi meliputi nama daerah, hasiat, cara meramu dan
cara menggunakannya. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 2.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 7


Gambar 2. Hasil inventarisasi TOT Sulawesi tenggara 2007-sekarang

D. Peningkatan Karier melalui Publikasi dan Paten


Tugas dan kewajiban dosen tertuang dalam tridharma perguruan tinggi yaitu
pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Tujuan dari penelitian antara lain
menggali, menciptakan dan atau mengembangkan ilmu pengetahuan. TOT Sulawesi Tenggara
sudah digunakan secara turun temurun. Pemanfaatan secara empirik tersebut perlu didukung
oleh bukti ilmiah sesuai dengan kepakaran peneliti. Beberapa hasil kajian ilmiah TOT yang
telah dipublikasikan antara lain :
Tentang jenis Wualae/pacikala
Sahidin I1*, Wahyuni1, Muh. Hajrul Malaka1, Jabbar A1, Imran2, Marianti A. Manggau, 2018,
Evaluation Of Antiradical Scavenger Activity Of Extract And Compounds From Etlingera
Calophrys Stems, Asian Journal Of Pharmaceutical and Clinical Research, 11 (2), 238-241.
https://innovareacademics.in/journals/index.php/ajpcr/article/view/22535/13935

Tentang jambu mente


Wahyunia, M. H. Malakaa, N.A. yantib, R. Hartatic, sukrasnoc, and I. Sahidin, 2018, Radical
scavenger and antibacterial potencies of phenolic compounds from Anacardium occidentale l.
Stem barks growing in South East Sulawesi-Indonesia, Indian Journal of Pharmaceutical
Sciences, 80 (1), 143-149.

Tentang jenis Wualae/pacikala


Sahidin, Syefira Salsabila, Wahyuni, Adryan Fristiohady, Imran, 2019, Potensi Antibakteri
Ekstrak Metanol dan Senyawa Aromatik dari Buah Wualae (Etlingera elatior), Jurnal Kimia
Valensi 5(1): 1-7 (terakreditasi Nasional). DOI: https://doi.org/10.15408/jkv.v5i1.8658.
Selanjutnya, contoh paten yang dihasilkan sebagai berikut:

Seminar Nasional Etnomedisin Page 8


E. Konservasi Alam
Konservasi alam di sini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian TOT supaya tidak
punah. Salah satu kegiatan yang telah dilakukan adalah budidaya dan relokasi TOT dari
asalnya di kampus UHO. Tempat penanaman tersebut diberi nama Arboretum kemudian
berubah menjadi Bioscience park dan tahun 2015 menjadi Kebun Raya UHO. Desain awal
Arboretum ditampilkan dalam Gambar 3 dengan luas area sekitar 5 Ha.

Gambar 3. Desain Arboretum (2007)


Pada lahan ini telah ditanam 57 jenis (spesies) tanaman atau sekitar 5700 pohon TOT dari
berbagai wilayah di Sulawesi Tenggara.

F. Laboratorium Lapangan
Laboratorium lapangan berisi TOT dimaksudkan adalah koleksi TOT yang digunakan
sebagai sarana praktek pelajaran/ mata kuliah terkait seperti Biologi dan
Pertanian/Pertamanan. Hal ini selain akan belajar taksonomi dan morfologi TOT juga para
peserta didik/generasi muda akan mengenal TOT. Hal ini dilakukan melalui program
Pengabdian Masyarakat di SMAN 2 Kendari dan SMAN 1 Ranomeeto.
G. Sarana Kerjasama
Kajian TOT Sulawesi Tenggara tidak dapat dilakukan sendiri, selin memerlukan fasilitas
dan biaya, juga memerlukan sumber daya manusia yang memadai dari seluruh bidang terkait.
Peluang kerjasama dan instansi yang diperlukan tertuang dalam Gambar 4.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 9


Gambar 4. Peluang kerja sama Pusat Koleksi TOT dengan instansi lain
H. Sumber Ekonomi Baru
Kajian dan pengembangan TOT yang dituangkan pada Gambar 4, akan dapat
menciptakan sumber ekonomi baru. Kegiatan ini akan melibatkan petani penyedia bahan
baku, para peneliti dan perekayasa produk, industri farmasi serta para pengusaha. Saat ini,
kajian TOT selain memperoleh data yang memperkuat khasiat TOT, juga menghasilkan
senyawa-senyawa ciri atau penanda (marker) suatu tanaman dengan khasiat tertentu. Senyawa
marker tersebut harga cukup mahal, sebagai contoh vincristin dari pohon tapak dara berkhaiat
sebagai anti kanker darah (leukemia) harganya US $ 2 juta/Kg atau Xanthorrizol dari
Curcuma xanthorrhiza atau temu lawak berharga Rp 1,1 juta/mL.

I. Penutup
Tanaman obat tradisional di Sulawesi Tenggara sangat banyak jenisnya seiring
banyaknya etnis dan pulau di Wilayah ini. Sayangnya, sumber daya alam ini belum tergali dan
termanfaatkan, bahkan cenderung mulai terlupakan.
Kajian TOT secara serius akan meningkatkan karier, konservasi alam dan budaya, menjadi
fasiitas pendidikan sebagai laboratorium lapangan, sarana kerjasama dengan institusi atau
negara lain serta sumber ekonomi baru.

DAFTAR PUSTAKA
https://bangwilsultrablog.wordpress.com/2016/05/29/sulawesi-tenggara/, diakses 26
September 2019
http://suku-dunia.blogspot.com/2015/05/ragam-suku-di-sulawesi-tenggara.html, diakses 26
September 2019.
Sahidin I1*, Wahyuni1, Muh. Hajrul Malaka1, Jabbar A1, Imran2, Marianti A. Manggau, 2018,
Evaluation Of Antiradical Scavenger Activity Of Extract And Compounds From
Etlingera Calophrys Stems, Asian Journal Of Pharmaceutical and Clinical Research, 11
(2), 238-241.
https://innovareacademics.in/journals/index.php/ajpcr/article/view/22535/13935
Sahidin, Syefira Salsabila, Wahyuni, Adryan Fristiohady, Imran, 2019, Potensi Antibakteri
Ekstrak Metanol dan Senyawa Aromatik dari Buah Wualae (Etlingera elatior), Jurnal
Kimia Valensi 5(1): 1-7 (terakreditasi Nasional).
DOI: https://doi.org/10.15408/jkv.v5i1.8658.
Wahyunia, M. H. Malakaa, N.A. yantib, R. Hartatic, sukrasnoc, and I. Sahidin, 2018, Radical
scavenger and antibacterial potencies of phenolic compounds from Anacardium
occidentale l. Stem barks growing in South East Sulawesi-Indonesia, Indian Journal of
Pharmaceutical Sciences, 80 (1), 143-149.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 10


BUDAYA ETNOMEDISIN PADA ETNIK TOLAKI
(Perspektif Sejarah Budaya)
Oleh: Misran Safar
(Dosen Jurusan PKn FKIP Universitas Halu Oleo)

A. Pendahuluan
Eksistensi manusia selalu diperhadapkan pada berbagai masalah yang mengancam
dirinya dan kelangsungan hidup kelompoknya, salah satu diantaranya adalah kesehatan dan
penyakit. Prasetya (2009:13) menyatakan bahwa cerita mengenai penyakit selalu muncul
dalam setiap peradaban masyarakat dari masa ke masa. Karena itu etnomedisin setiap etnik
memiliki keunikan dan didasarkan atas makna budaya lokal, dengan mengintegrasikan
kepercayaan dan praktek pengobatan terhadap penyakit.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan berpikir akan selalu
mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya dalam menghadapi dan merespon
masalah dan ancaman terhadap dirinya, termasuk masalah kesehatan dan penyakit. Bentuk
respon manusia terhadap kesehatan dan penyakit bermacam-macam serta dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan, pengetahuan, gagasan, ideologi serta nilai-nilai yang diyakini oleh suatu
masyarakat dalam arti dipengaruhi kebudayaan material dan immaterial.
Manusia dan masyarakat yang menganut kepercayaan-kepercayaan medis modern
yang melandaskan pada rasionalitas akan mencari penyembuh berdasarkan kajian ilmiah
“dokter/paramedis”, akan tetapi manusia yang menganut kepercayaan-kepercayaan medis
tradisional yang di wariskan dari satu generasi ke genarasi berikutnya akan mencari pula
praktisi penyembuh “dukun/tabib” atau istilah lainnya menurut suatu masyarakat dan
kebudayaannya.
Proses medis tradisional ini telah mendorong manusia untuk menyadari adanya suatu
alam “gaib”, supranatural yang tidak dapat ditembusi oleh panca idera penglihatan manusia
dan bahkan diluar batas kemampuan akal manusia. Oleh karena itu manusia dalam
memecahkan masalah atau persoalan hidup yang berada diluar kemampuan akal manusia
dengan ilmu “gaib” atau kepercayaan magic, khususnya mereka yang masih meyakini
kebenaran sistem medis tradisional. Kondisi ini telah dijelaskan Frazer bahwa manusia
memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan
sistem pengetahuan itu ada batasnya (Koentjaraningrat, 1980:221).
Pada etnik Tolaki1 seperti suku-suku bangsa lainnya di Indonesia sejak lama telah
mengenal kepercayaaan-kepercayaan dan pengetahuan yang berhubungan dengan sistem
medis tradisional untuk penyembuhan berbagai penyakit. Dalam konsepsi etnik Tolaki
”segala jenis penyakit yang diderita orang adalah disebabkan oleh roh jahat” Jadi bukan
disebabkan oleh sejenis kuman atau virus menurut seorang dokter (Tarimana, 1989:229).
Dengan demikian penyakit semata-mata disebabkan karena adanya gangguan roh jahat, setan
atau karena penyebab lain misalnya buatan orang yang iri hati, benci melalui apa yang
disebut o’doti polalaeami (ilmu hitam, santet, racun melalui makanan dan minuman dan
dengan perantara benda dan atau cara apapun).
Konsepsi etnik Tolaki tentang kepercayaan-kepercayaan medis tradisional dan
pelaksanaannya sampai saat ini “era 4.0” dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
masih terpelihara dengan baik bahkan kecenderungannya menjadi alternatif utama sebelum
melakukan pengobatan dan atau pasca mengalami kegagalam pada pengobatan dengan
sistem medis modern, karena itu profesi sebagai praktisi penyembuh sistem medis

1
Lihat: M. Yunus Melalatoa, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995, hal. 867-870.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 11


tradisional atau dalam istilah etnik Tolaki mbu’owai, o’sando dan mbu’akoi2 tetap
terpelihara dan bahkan membuka praktek dengan mengadopsi sebagaian pola praktek
dalam sistem medis modern. Dalam konteks inilah pentingnya kajian tentang etnomedisin
etnik Tolaki, dengan fokus masalah sistem-sistem medis tradisional, khususnya etiologi
penyakit menurut etnik Tolaki, dan proses pengobatan tradisional etnik Tolaki, kajian ini
akan di dahului konsep etnomedisin menurut etnik Tolaki.

B. Konsepsi Etnomedisin Etnik Tolaki


Secara etimologi etnomedisin berasal dari kata ethno (etnis) dan medicine (obat) ini
menunjukan bahwa etnomedisin sedikitnya berhubungan dengan dua hal yaitu etnis dan obat.
Etnomedisin merupakan kepercayaan dan praktek-praktek yang berkenaaan dengan penyakit,
yang merupakan hasil dari perkembangan kebudayaan asli dan tidak berasal dari kerangka
konseptual kedokteran modern (Foster dan Anderson, 1986:6).
Etnomedisin pada etnik Tolaki tidak dapat dipisahkan dengan konsepsi mengenai alam
dan isinya, termasuk di dalamnya manusia, yang berasal dari pengalaman-pengalaman
manusia, yang diabstraksikannya menjadi konsepsi-konsepsi dan pendirian-pendirian
(Koentrajaraningrat, 1980:386). Demikian juga sistem keyakinan tentang adanya roh
(animisme, kekuatan saksi dinamisme), dewa-dewa dan sal. Meskipun saat ini mayoritas
etnik Tolaki memeluk Agama Islam yang meyakini satu Tuhan yang mereka sebut Ombu Ala
Ta’ala (Tuhan Allah) atau Ombu Samena (Tuhan yang sesungguhnya), etnik Tolaki tetap
mengenal dan mengakui dewa sebagai wakil Tuhan, semua dewa dianggapnya baik, akan
tetapi jikalau manusia melanggar tata-tertib dan hukum Tuhan, maka dewa memberi hukuman
alam terhadapnya, yakni hukuman yang disebut abalaa (bala dan bencana alam).
Etnik Tolaki meyakini bahwa segala sesuatu, baik makhuk hidup maupun benda-
benda, memiliki roh. Roh ini memungkinkan kehidupan setiap makhluk dan memantapkan
kedududukan setiap benda. Mereka mempunyai kekuatan yang melampaui kekuatan alam
nyata. Mereka bergerak dan berpindah-pindah dan sewaktu-waktu kembali ke dalam tubuh
makhluk atau ke dalam benda yang memilikinya. Kerena demikian sifatnya maka lama
kelamaan roh itu dikonsepsikan sebagai orang, mahkluk halus, yang disangka berdiam di
pohon, khususnya di pohon beringin, di gua, di lobang batu, di sungai, di gunung, di dalam
lobang tanah, di rumah kosong, dimana saja di permukaan bumi.
Etnik Tolaki mempercayai bahwa roh itu ada yang baik dan ada yang jahat sifatnya.
Roh yang baik itu adalah misalnya o’ wali (jin), sanggoleo (semangat) dan onitu mate (roh
orang mati); dan roh yang jahat adalah misalnya o’nitu i ahoma (setan), pondiana
(kuntilanak), o’soo (burung jahat penjelmaan orang), dan o’poo (roh orang jahat yang suka
melancong di malam hari untuk menganggu manusia yang sedang tidur). Karena itu menurut
Etnik Tolaki segala jenis penyakit yang diderita orang adalah disebabkan oleh roh jahat.
Berdasarkan konsepsi tersebut maka etnomedisin berarti kepercayaan dan praktik-
praktik berkaitan dengan penyakit yang merupakan hasil dari perkembangan budaya asli atau
tradisi etnik Tolaki yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Joyomartono
(2007:21) berpendapat bahwa etnomedisin mengkaji pengobatan rakyat (folks medicine)
klasifikasi penyakit yang berbeda, terapi dan preverensi tradisional. Sedangkan Foster dan
Anderson (1986:62) menjelaskan bahwa etnomedisin pada dasarnya untuk memahami
budaya kesehatan dari sudut pandang masyarakat, terutama sistem medis yang telah menjadi
tradisi masyarakat secara turun temurun. Dengan demikian konsepsi etnomedisin dalam
konteks ini adalah aspek yang mucul seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia di

2
Mbu’akoi seseorang yang membantu melakukukan pengobatan pada beberapa jenis gangguan kesehatan fisik
dan jiwa dengan mekanisme membawakan syair lagu, sebagai bentuk ritual meminta kesembuhan kepada
dewa utama “sangia mbu’u atau sangia ilahuene.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 12


bidang medis yang membahas asal mula penyakit, sebab-sebab dan cara pengobatan menurut
kelompok masyarakat tertentu, yang diwariskan secara turun-temurun.

C. Etiologi Penyakit Menurut Etnik Tolaki


Uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa penyebab utama penyakit yang
menyebabkan seseorang tidak bisa menjalankan peran normalnya secara wajar dan bahwa
harus dilakukan sesuatu terhadap situasi tersebut, menurut etnik Tolaki adalah adanya
pengaruh roh jahat, setan, nidoti (disantet/ilmu hitam), nilalaeami (disantet, sihir atau diberi
suatu benda magic), atau niratu (diberi makanan dan minuman yang telah dicampurkan bahan
berbahaya), yang kemudian menyebabkan terganggunya keseimbangan tubuh seseorang.
Etiologi penyakit seperti ini dalam kerangka etnomedisin disebabkan oleh agen (tokoh) seperti
dewa, lelembut, makhluk halus, manusia, dan sebagainya. Pandangan ini oleh Foster dan
Anderson (1986) disebut pandangan personalistik, dan pengobatan untuk penyakit personalitik
banyak digunakan pengobatan dengan ritual dan magis.
Selain pandangan personalisitik, dalam perkembangan pengobatan pada etnik Tolaki
ditemukan bahwa penyakit juga dapat disebabkan terganggunya keseimbangan tubuh karena
unsur-unsur tetap dalam tubuh seperti panas dingin dan sebagainya (ohaki), yang
menyebabkan terganggunya dan menurunnya daya tahan tubuh seseorang yang disebut
“meohaki”. Kajian tentang ini dapat kita klasifikasi apa yang disebut (Foster dan Anderson
(1986) kajian natural atau nonsupranatural. Meskipun demikian di dalam realitas, kedua
prinsip tersebut saling tumpang tindih. Khusus untuk pengobatan penyakit naturalistik ini,
biasanya digunakan bahan-bahan dari tumbuhan (herbalmedicine) dan hewan
(animalmedicine), atau gabungan kedua, termasuk dengan memanfaatkan ritual dan mantera.
Etiologi penyakit menurut etnik Tolaki tersebut memiliki kemiripan dengan etiologi
penyakit pada masyarakat Jawa sebagaimana dijelaskan Geertz (1989) bahwa penyebab
penyakit dapat diklasifikasi menjadi tiga bagian, yaitu: (1) suatu sebab sakit yang dapat
ditemukan sebab sakitnya secara fisik, artinya gejala dan timbulnya sakit yang diderita pasien
dapat diamati dan diobservasi dengan menggunakan panca indera; (2) suatu keadaan sakit
yang diderita pasien tetapi gejala dan kondisi fisiknya tidak ditemukan sebab yang jelas dari
pengobatan sistem medis modern tetapi individu tersebut tetap sakit. Keadaan sakit ini,
menurut pandangan masyarakat Jawa disebabkan intervensi suatu agen yang aktif. Agen aktif
yang dimaksud dapat berupa makhluk supranatural (makhluk gaib atau dewa), makhluk
bukan manusia (seperti hantu, roh leluhur atau roh jahat) ataupun makhluk manusia yang
mampu mengendalikan kekuatan-kekuatan supranatural dan makhluk-makhluk atau agen aktif
tersebut; (3) suatu keadaan sakit yang disebabkan karena masuknya angin ke dalam tubuh,
masuknya panas, atau benda-benda asing ke dalam tubuh melalui sihir.
Pandangan personalisitik menunjuk pada suatu sistem, dimana penyakit (illness3)
disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang aktif, yang dapat berupa makhluk
supranatural (makhluk gaib atau dewa), makhluk yang bukan manusia (seperti o’ nitu (hantu),
roh leluhur (kewisoka), o‟ soo (burung jahat penjelmaan orang) atau o’poo (roh jahat yang
suka melancong di malam hari), pondiana (kuntilanak) maupun makhluk manusia
(padoti/molalaeami/tukang sihir atau tukang tenung/dukun santet). Orang yang sakit adalah
korbannya, objek dari agresi atau hukuman yang ditujukan khusus kepadanya untuk alasan-
alasan yang khusus menyangkut dirinya saja.
Kausalitas sistem medis personalisitik ini, telah lama menjadi perhatian para
antropolog misalnya tulisan Glick (1967) menemukan bahwa penduduk Gimi dari dataran

3
Illness diartikan keadaan sakit sebagai perasaan pribadi seseorang yang mereasa kesehatannya terganggu, yang
tampak dari keluhan sakit yang dirasakannya, seperti tidak enak badan dan sebagainya. Penjelasan lebih lengkap
dapat dilihat: David Field dalam Fauzi, Muzaham, Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan, Jakarta, UI Pres,
1995, hal. 179.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 13


tinggi Nugini, penyakit disebabkan agen-agen yang dengan beberapa cara menjatuhkan
kekuatan mereka atas diri para korban mereka. Agen-agen tersebut dapat berupa makhluk
manusia “manusia super atau bukan manusia, namun senantiasa dipandang sebagai makhluk
yang keras hati, yang tidak bertindak sembarangan melainkan sebagai respon terhadap motif
pribadi yang disadari (Foster dan Anderson, 1986:65).
Peranan sentral dari agen juga ditemukan dikalangan orang Abon di Pantai Gading,
dimana penduduknya mempunyai kepercayaan bahwa orang menjadi sakit dan meninggal
karena beberapa kekuatan terjadi atas diri mereka. Penyakit (disease) bagi orang Abon
meliputi sejumlah agen yang dapat bertanggung jawab atas suatu kondisi khusus, masing-
masing dihubungkan dengan suatu perangkat kemungkinan alasan-alasan untuk menyebarkan
penyakit. Agen-agen itu dapat melintasi alam natural dan supranatural. Orang-orang biasa
yang dilengkapi dengan keterampilan teknis yang tepat “padoti/tukang santet/dukun santet”,
demikian pula berbagai makhluk supranatural yaitu hantu, setan jadi-jadian dan tukang sihir
maupun dewa tertinggi yang mereka sebut “Nyame”, yang bertindak sendiri atau melalui para
dewa yang lebih rendah statusnya, semuanya dapat menyebabkan penyakit (Alland,
1970:161).
Penelitian yang relatif sama dilakukan pula Fortune (dalam Foster dan Anderson,
1986:66) pada orang Dobu Melanesia ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa
penyakit (illness) berasal dari agen, dan terutama akibat rasa iri, semua kecelakaan disebabkan
oleh ilmu sihir. Demikian pula penelitian Harley (1941) pada masyarakat Mano di Liberia
menunjukkan bahwa penyakit (disease) adalah sesuatu yang tidak wajar, akibat dari
masuknya kekuatan-kekuatan luar atau ilmu sihir (Foster dan Anderson, 1986:66). Hasil-hasil
penelitian tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa sebagian besar kausalitas penyakit dalam
pandangan personalistik menonjol dalam data-data medis dan kesehatan yang tercatat dalam
etnografi klasik tentang masyarakat-masyarakat “primitif.” Meskipun demikian kausalitas
yang bersifat personalisitik ini, masih tetap bertahan dan dipertahankan sampai saat ini,
bahkan kecenderungannya semakin meningkat sebagai konsekuensi logis kepercayaan-
kepercayaan pada medis tradisional yang diperkuat oleh realitas berbagai kegagalan-
kegagalan sains modern4 dalam memberikan layanan medis yang memuaskan pasien pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Perkembangan pengobatan pada etnik Tolaki, disamping personalistik ditemukan
bahwa penyakit juga dapat disebabkan terganggunya keseimbangan tubuh karena unsur-
unsur tetap dalam tubuh seperti panas dingin dan sebagainya (ohaki), yang menyebabkan
terganggunya dan menurunnya daya tahan tubuh seseorang yang disebut “meohaki”.
Pandangan ini merupakan sistem medis naturalistik, penyakit (illness) dijelaskan dengan
istilah-istilah sistemik yang bukan pribadi. Sistem-sistem naturalistik, di atas segalanya,
mengakui adanya suatu model keseimbangan, sehat terjadi kartena unsur-unsur yang tetap
dalam tubuh, seperti panas, dingin, cairan tubuh, yin dan yang, berada dalam keadaan
seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan
sosialnya. Apabila keseimbangan ini terganggu, maka hasilnya adalah timbulnya penyakit.
Dikhotomi sistem klasifikasitoris yang hampir serupa dengan aneka terminologi di
atas digunakan pula oleh ahli-ahli antropologi lainnya, Seijas (1973) misalnya membuat
kategori “supranatural” dan nonsupranatural dekat artinya dengan kategori personalistik dan
naturalistik yang dibuat Foster dan Anderson (1986). Seijas (1973) menjelaskan bahwa
kategori-kategori etiologi supranatural merujuk pada penjelasan yang menempatkan asal usul
penyakit (disease) pada kekuatan-kekuatan yang terasa dahsyat, agen-agen, atau tindakan-
tindakan yang tak dapat diobservasi secara langsung. Penjelasan penyakit seperti
nidoti/nilalaeami, santet, sihir dan sebagainya, semuanya masuk ke dalam kategori ini.
4
Lihat: Richard Tarnas, The Passion of The Western Mind”, khususnya bagian “The Crisis of Modern Science,
1993, atau Herman Soewardi, Nalar dan Kontemplasi dan Realita (Revisi Besar), Bandung: PPS, 1998, hal. 3.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 14


Sedangkan tentang penyakit nonsupranatural adalah penjelasan yang seluruhnya didasarkan
atas hubungan sebab-akibat yang dapat diobservasi. Lepas dari persoalan apakah hubungan
yang terbentuk itu keliru atau tidak, disebabkan oleh observasi yang tidak lengkap atau keliru
(Foster dan Anderson, 1986:64).
Penelitian Nurge (dalam Foster dan Anderson (1986:64) membicarakan mengenai
kepercayaan dan pelaksanaan-pelaksaan medis pada sebuah desa di Fhilipina, membicarakan
tentang sebab-sebab yang supranatural” dan “natural”. Yang pertama adalah agen-agen
penyakit” seperti dewa-dewa roh, tukang-tukan sihir, dan tukang tenun. Yang kedua termasuk
makanan-makanan yang tak dapat dicerna, suhu yang tiba-tiba berubah, angin kencang dan
darah atau udara yang “terjebak dalam tubuh.” Penelitian yang relevan dilakukan Simmons
(dalam Foster dan Anderson (1986:64) menunjukkan perbedaan kontras antara etiologi-
etiologi “magis” dan empiris” yakni istilah-istilah yang ia gunakan untuk mendeskripsikan
sistem kepercayaan medis penduduk Mestizo di daerah pantai Peru dan Chili.
Menurut Foster dan Andern (1986) konsep-konsep natural, nonsupranatural dan empiri
adalah istilah-istilah yang sejajar dengan predikat “naturalistik”. Namun istilah
“supranatural” dan “magical” kurang tepat karena keduanya membutuhkan sejumlah agen
yang secara konseptual berbeda. Istilah “supranatural” menunjuk kepada suatu tata kehidupan
yang melewati batas alam nyata atau alam semesta yang terlihat dan dapat diamati, yang
meliputi makhluk-makhluk seperti dewa-dewa, roh, hantu dan kesatuan yang nonmateri
lainnya. Tukang sihir, tukang santet dan tukang tenun tidak termasuk dalam alam
supranatural. Kadang-kadang mereka minta bantuan supranatural, tetapi kekuatan mereka
paling tepat dianggap magis, yang terdiri dari mantera-mantera, jimat-jimat dan magi hitam.
Mengklasifikasikan tukang sihir dan tukang tenun ke dalam kategori supranatural
seperti yang dilakukan Seijas dan Nurge menurut pendapat Foster dan Anderson justru
merusak konsep. Simmons juga menghadapi dilema yang sama, tetapi dari arah yang
berlawanan” “magi adalah istilah yang sesuai bagi karya para tukang sihir, tukang santet dan
tukang tenun, tetapi istilah itu tidak terpat bagi tindakan-tindakan dewa-dewa, roh-roh dan
hantu-hantu. Denominator yang sama dalam hal supranatural dari magi adalah “agen yang
aktif berperan yang menyebabkan korban jatuh sakit. Karena alasan itulah saya mengikuti
Foster dan Anderson yang lebih suka menggunakan istilah personalistik” dari pada istilah lain
yang telah digunakan bagi etiologi supranatural-magi.
Sistem-sistem etiologi personalistik dan naturalistik sudah tentu tidaklah eksklusif satu
sama lainnya. Orang-orang yang menggunkan sebab personalistik untuk menjelaskan tentang
terjadinya penyakit (illness) biasanya mengakui adanya faktor alam atau unsur kebetulan
sebagai penyebab. Masyarakat yang merasakan lebih banyak terjadinya sebab-sebab
naturalistik, kadang-kadang menyatakan bahwa beberapa penyakit merupakan akibat dari sihir
atau makhluk jahat. Walaupun banyak tumpang-tindih, masyarakat pada umumnya sudah
terikat pada salah satu dari prinsip-prinsip penjelasan tersebut untuk menerangkan tentang
sebagian besar penyakit.
Konsep kausalitas dalam sistem medis naturalistik, berlawanan dengan sistem-sietem
personalistik, sistem-sistem naturalistik menjelaskan tentang penyakit (illness) dalam istilah-
istilah sistemik yang bukan pribadi, disini agen yang aktif tidak menjalankan peranannya.
Dalam sistem ini, kedaan sehat sesuai dengan model keseimbangan: apabila unsur-unsur dasar
tubuh manusia “humor”, yin dan yang, serta “dosha” dalam Ayurveda5 berada dalam keadaan

5
Pengobatan menurut kepercayaan masyarakat di India dan negara-negara sekitarnya, pengobatan ini yang
pertama kali muncul dalam tulisan-tulisan Veda pada tahap awal diabad pertama sebelum masehi. Banyak
makanan yang dianggap mempunyai kualitas memanaskan dan mendinginkan, kombinasi dari macam-macam
makanan dan ramuan-ramuan dapat memulihkan keseimbangan dalam tubuh yang terganggu. Makanan garam
(panas meliputi telur, daging, susu, madu, dan gula; makanan tonda (dingin) meliputi sari buah-buahan,
yoghurt, keju, susu, nasi, dan air.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 15


seimbang menurut usia dan kondisi individu, maka tercapailah keadaan sehat. Apabila
kesimbangan ini tergangggu dari luar maupun dari dalam oleh kekuatan-kekautan alam seperti
panas, dingin, atau kadang-kadang emosi yang kuat, maka terjadilah penyakit. Walaupun
prinsip keseimbangan dalam sistem-sistem naturalistik diekspresikan dalam berbagai cara,
tulisan-tulisan masa kini mengungkapkan peranan utama panas dan dingin sebagai ancaman
pokok terhadap kesehatan.
Sistem-sistem medis naturalistik kontemporer hampir serupa satu dengan lainnya
dalam arti historis, bagian terbesar dari penjelasam-penjelasan dan pelaksanaannya mewakili
warisan dari “tradisi besar” media dalam peradaban-peradaban tinggi klasik, terutama dari
Yunani, India, Cina dan Arab, yang kemudian disederhanakan dan dibuat umum. Berbeda
dengan sistem-sietem personalistik yang kebanyakan diketahui melalui studi antropologi
modern, pencatatan historis yang mendeskripsikan tentang sistem-sistem naturalistik berasal
dari 2500 tahun yang lalu. Pengetahuan mengenai asal usul dan perkembangannya sistem-
sistem tersebut memungkinkan kita untuk mengetahui banyaknya bentuk variasi modern
dengan tingkat kejelasan tertentu yang tidak mungkin dipahami apabila kita hanya
mengandalkan keterangan-keterangan etnografi kontemporer semata-mata. Ketiga sistem
pengobatan yang dikenal adalah patologi humoral “humor” (cairan) yang akarnya dari Yunani
mengenai empat unsur (tanah, air, udara, dan api) yang telah dikenal sejak abad ke-6 SM, kini
ditemukan di Amerika Latin), pengobatan Ayurveda (di India dan negara-negara
sekelilingnya) serta pengobatan tradisional Cina.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa muncul kesulitan mengungkap perihal
etnomedisin yang berkenaan dengan konsep-konsep kausalitas (Foster dan Anderson,
1986:63) menyatakan bahwa hanya sedikit sekali kerangka kognitif pada masyarakat-
masyarakat non-Barat yang penting untuk “menjelaskan” tentang adanya penyakit (disease).
Karena itu mereka membagi konsep –lonsep kausalitas dengan istilah personalistik dan
naturalistik, keduanya dapat dipakai untuk menyebut seluruh sistem-sistem medis (tidak
hanya kausal, melainkan juga seluruh tingkahlaku yang berhubungan, yang bersumber pada
pandangan-pandangan tersebut.

D. Proses Pengobatan Medis Tradisional Etnik Tolaki


Berdasarkan etiologi penyakit yang telah dijelaskan sebelum, pada bagian ini saya
akan menunjukkan bagaimana proses pengobatan yang ditempuh praktisi medis tradisional
etnik Tolaki dalam mengobati penyakit. Berdasarkan hasil wawancara 6 yang saya lakukan
beberapa hari yang lalu diperoleh informasi bahwa:
“Proses pengobatan pada etnik Tolaki melalui diagnosa nama, tanggal lahir
dan umur, serta waktu mendapatkan penyakit, melalui intusi dan meditasi yang
dilanjutkan dengan interview pasien. Melakukan persiapan, dengan memanfaatkan
media “alat/benda” sebagai media penunjang, Pelaksanaan dengan pembacaan
mantera dan doa-doa permohonan kepada ombu la taala (Allah SWT) penguasa alam
jagad semesta raya atau dalam bentuk ritual, selanjutnya pemberian jenis obat atau
ramuan kepada si pasien dalam berbagai bentuk, menyentuh bagian yang sakit,
memberi minuman atau makanan, memberi benda-benda yang
digosokkan/ditempelkan di badan atau ditempat yang sakit atau untuk peralatan mandi,
tidur, bepergian atau dalam bentuk lainnya. Cara pengobatan ini sangat tergantung
pada jenis penyakit (o’ haki) yang diderita pasisen dan alat/benda yang dianggap
mbuowai, o’sando atau mbu’akoi tepat untuk suatu jenis penyakit.”

6
Wawacara telah saya lakukan dengan Siradjuddin Umur 70 tahun, Suku Tolaki, pekerjaan Kepala Desa, Tokoh
Adat (mbusehe) dan Tokoh Agama tinggal di Kabupaten Konawe; Ir. Alex , Umur 71 tahun, suku Tolaki,
Pekerjaan Pensiunan PNS, tokoh masyarakat, tinggal di Kabupaten Konawe Utara.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 16


Proses pengobatan tradisional tersebut, relevan dengan pengalaman saya
“beberapa tahun yang lalu mengantarkan kerabat/sahabat dalam meminta bantuan
medis tradisional di wilayah Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan
setelah “kerabat/sahabat” gagal menjalani pengobatan medis modern. Proses
pengobatannya melalui tahapan wawancara dalam bentuk dialog yang saya sebut
sebagai proses diagnosa, dengan menanyakan berbagai hal tentang identitas pasien,
perasaan dan kodisi yang dirasakan, kemudian persiapan pengobatan atau
mempersiapkan benda/alat/bahan yang diperlukan, dilanjutkan pembacaan mantra dan
doa-doa permohonan, dan diakhiri pemberian obat/alat/benda kepada pasien yang
dapat disentuhkan pada badan/atau tempat yang sakit, untuk digunakan mandi, tidur,
keluar rumah atau diminum/dihirup dan atau dimakan. Mekanisme pengobatan ini
secara teknis sangat tergantung pada penyakit yang diderita pasien serta
benda/alat/bahan yang digunakan praktisi medis taradisional.”

Hasil wawancara dan pengamatan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Raodah
(2019) Pengetahuan Lokal Tentang Pemanfaatan Tanaman Obat Pada Masyarakat Tolaki Di
Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara, bahwa: “Mantra digunakan dalam pengobatan
Orang Tolaki, Mantra ini adalah sesuatu yang lahir dari masyarakat sebagai perwujudan dari
keyakinan atau kepercayaan. Dalam masyarakat tradisional, mantra atau dalam bahasa Tolaki
disebut o’doano bersatu dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari, seorang mbu’owai
(dukun) yang ingin menghilangkan dan menyembuhkan suatu penyakit”. Lebih lanjut Raodah
menjelaskan bahwa dalam ilmu pengobatan tradisional masyarakat Tolaki, dukun atau
mbu’owai dapat menyembuhkan penyakit karena kemampuan mantra yang dibacakan sebagai
suatu kekuatan sakral dan sakti yang diperoleh melalui proses belajar dan pewarisan dari
para pendahulunya.
Dalam makalah ini saya mengutip secara lengkap hasil wawancara Raodah (2019)
dengan salah seorang dukun Jamaluddin (55 tahun) pada tanggal 7 Oktober 2017, bahwa
mantra-mantra yang dipergunakan untuk mengobati pasien pada umumnya bersumber dari
bacaan Al-Qur‟an dan bercampur dengan bahasa Tolaki. Salah satu mantra yang biasa
digunakan untuk mengobati berbagai penyakit berbunyi: “Bismillahirrahmanirrahim kuonggo
wowai’i…..(sebut nama pasien yang diobati) ari-arino ronga taariarino ombulataalah
tumoorike”. Mantra ini bermakna kesembuhan suatu penyakit hanya Tuhan yang
menentukan, jadi manusia hanya berusaha dan bermohon kepada Yang Maha Kuasa.
Selain itu hasil penelitian Fitri Yunita Maranai (2011) tentang Analisis Mantra Suku
Tolaki Tanggawuku (Ketahanan Tubuh) secara lengkap menuliskan mantra ketahanan Tubuh
(tanggawuku) sebagai berikut: “Bismillahirrah-manirrahim Nabihaluru nabihelere
Patonggopa owuta Patonggopa wotolu Iwoi dumagai’aku Nggo meokanggona Pehere-
here’anggu Ombu ta’ala Pepoi- poindi’anggu Nabi Muhammad”. Mantra ini merupakan
mantra yang digunakan untuk membuat tulang kuat agar tidak mudah lelah. Mantra ini
dilafazkan dalam rangka untuk meminta kesehatan badan dalam beraktivitas sehari-hari.
Seperti pada umumnya, mantra ini pun dimulai dengan basmalah.
Dengan demikian jelas bahwa setiap mbu’owai atau o sando memiliki mantra yang
digunakan untuk mengobati pasiennya, sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki. Pada umumnya mantra dalam proses pengobatan tradisional Etnik Tolaki “saat ini”
diawali pembacaan basmalah, realitas ini menunjukkan besarnya pengaruh agama Islam di
kalangan Etnik Tolaki sekaligus isyarat bahwa etnik Tolaki meyakini secara sungguh-
sungguh eksistensi Ombu Laa Taala (Allah Taala) sebagai Sang Pencipta dan Penguasa
Alam Semesta. Dalam pandangan para mbu’owai, o’sando, mbu’akoi dan masyarakat Tolaki
umumnya meyakini bahwa Ombu Laa Taala (Allah Taala) yang menentukan segalanya,

Seminar Nasional Etnomedisin Page 17


termasuk sehat dan sakitnya seorang hamba. Manusia boleh berusaha, boleh berdoa tetapi
hasil akhirnya tetap berada pada kehendak Allah Subhanahu Wata’ala.
Praktisi penyempuh medis tradisional pada etnik Tolaki mbu’owai, o’ sando
dan mbu’akoi dalam proses pengobatan penyakit tidak hanya mengakui eksisitensi Ombu
Laa Taala (Allah SWT), tetapi juga menerima pandangan kedokteran modern dan
mempunyai pengetahuan yang menarik mengenai masalah sakit-sehat, utamanya “mbu’owai”.
Mereka mengartikan sakit (illness) adalah sakit badaniah, yang artinya ada tanda-tanda
penyakit di badannya seperti demam dengan suhu badan yang tinggi, cacar, penglihatan
lemah, sulit makan, tidur terganggu, dan badan lemah atau tidak kuat bekerja, perasaan
hampa, seluruh badan terasa sakit, dan tanda-tanda fisik lainnya yang menunjukkan bahwa
seseorang sedang menderita sebuah penyakit. Selain yang bersifat fisik (dapat diobservasi)
jenis penyakit lainnya yang bersifat batin dalam arti tidak ada tanda-tanda di badan seseorang,
tetapi bisa diketahui dan terdeteksi melalui intuisi dan meditasi dan berkomunikasi dengan
alam gaib.
Etnik Tolaki berpandangan, penyakit dapat dikategorikan penyakit biasa yang tidak
menular dan tidak berbahaya dan penyakit menular dan berbahaya. Adapun penyakit yang
dianggap tidak berbahaya, misalnya luka ringan seperti luka bakar atau luka terkena benda
tajam, bisul, kutil, gatal. Sedangkan penyakit yang dianggap berbahaya dan menular menurut
masyarakat Tolaki memerlukan jangka waktu yang lama dalam pengobatannya, misalnya
penyakit ongamba (levra), humongo molua o beli (batuk dan muntah darah), morewiwi
(malaria), haki te’meako o watu (penyakit pinggang dan kencing batu), tewuta pe’ua (muntah
berak), pekeaba (kusta).
Dalam perkembangannya proses pengobatan medis tradisional orang Tolaki baik
terhadap penyakit “tidak berbahaya dan berbahaya” telah dilakukan modifikasi dengan
mengadopsi beberapa sistem pengobatan medis “modern” terutama kemampuan mbu’owai
dan o’sando dalam memanfaatkan berbagai bahan dari tumbuhan (herbalmedicine) dan hewan
(animalmedicine) untuk dijadikan alat/bahan dan media penyembuhan, selain mantera,
kekuatan batin dan doa-doa permohonan kesembuhan yang disampaikan kepada Ombu La
Taala (Allah Taala).
Sedangkan penyakit yang disebabkan oleh makhluk halus atau roh jahat maka o
sando (dukun) melakukan pengobatan dengan cara yang disebut mowea (memisahkan
atau melepaskan), maksudnya memisahkan atau mengeluarkan penyakit yang ada dalam
tubuh penderita dan dikembalikan kepada makhluk halus penyebab dari suatu penyakit.
Pengobatan melalui mowea tersebut dilakukan dengan menggunakan kalo dalam versinya
yang lain disebut o‘eno (kalung emas) yang dilengkapi dengan kain sarung, wadah
anyaman sebagai pengalas sarung, dan hulo taru (lampu lilin). Melalui perantara kalo itu
o’sando (dukun) memanggil roh halus melalui mantera-mantera. Kalo dengan mantera-
mantera yang dipersembahkan kepada makhluk halus yang bersangkutan dapat
berdamai dengan si sakit karena pada dasarnya penyakit yang ditimbulkan oleh makhluk
halus adalah akibat dari penyakit atau keluarganya yang menganggu ketentramannya atau
karena hubungan antara manusia dengan dunia gaib tidak harmonis.
Dalam versi lainnya pengobatan karena gangguan roh halus dan roh jahat dapat
dilakukan oleh seorang mbu’akoi dengan melakukan akoi dengan menyampaikan mantera
dalam bentuk syair lagu permohonan agar makhluk halus dan atau roh jahat yang
menganggu pasien dapat meninggalkan tubuh pasien. Proses pengobatan ini menggunakan
berbagai alat/benda dengan perlengkapannya, misalnya menggunakan telur atau ayam
sebagai media untuk memindahkan roh halus atau jahat tersebut, yang selanjutnya telur
dipecahkan dan ayam di dipotong sebagai simbol pemisahan roh halus/roh jahat dari tubuh
pasien.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 18


Proses pengobatan medis tradisional etnik Tolaki tersebut, memiliki kemiripan dengan
proses pengobatan tradisional penyempuhan penyakit pada masyarakat Jawa seperti telah
dejelaskan Geertz (1989:123-127) dan Geertz (2013:18) bahwa pengobatan medis tradisional
dalam masyarakat Jawa dilakukan dalam dua tahap, yaitu: (a) Diagnosa dan pemilihan metode
yang tepat, pelaksanaan diagnosa menggunakan salah satu cara atau kombinasi dari tiga
metode, yakni: Numerologi (perhitungan), Pengetahuan secara intuisi melalui meditasi, dan
Penganalisaan simpton (gejala); (b) Penerapan pengobatan, proses penerapan pengobatan
menurut sistem pengobatan lokal ada tiga elemen dasar yang berpengaruh, yaitu: Obat itu
sendiri, Mantera, dan Kondisi pemberi obat (condition of the performer). Pada konteks ini
kekuatan batin seorang dukun, kemampuannya untuk memusatkan pikiran sedemikian rupa,
sehingga mantra itu sampai ke telingan Tuhan atau roh kembar yang melindungi pasien. Di
Jawa aspek yang ketiga, yakni kondisi pemberi obat (conditing of the performer) dianggap
sebagai elemen yang sangat penting.
Pramono (2015:47) menjelaskan bahwa khusus untuk pengobatan penyakit
naturalistik, biasanya digunakan bahan-bahan dari tumbuhan (herbalmedicine) dan hewan
(animalmedicine), atau gabungan kedua. Sementara untuk penyakit personalistik banyak
digunakan pengobatan dengan ritual dan magis. Salah satu cabang etnomedisin adalah
animalmedicine. Model pengobatan ini dapat dibagi menjadi dua jenis. Pertama, pengobatan
dengan memanfaatkan bagian tubuh hewan, seperti mengambil empedu kobra, penis kuda,
cula badak, fetus (bayi) kijang, dan sebagainya. Kedua, pengobatan dengan memanfaatkan
aktivitas atau produksi hewan, misalnya menggunakan susu, madu, telur, lintah untuk
menyedot darah, sengatan labah. Pengobatan ini tidak menyakitkan hewan.
Proses pengobatan tradisional yang dilakukan dalam penyembuhan penyakit menurut
etnik Tolaki juga relevan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan pada
beberapa wilayah di Indonesia, dengan tahapan sebagai berikut:
Tahap pertama adalah diagnosa serta pemilihan metode pengobatan yang tepat.
Diagnosa dapat didasarkan pada salah satu dari tiga metode utama atau kombinasi dari
ketiganya yakni: numerology (perhitungan), pengetahuan intuitif melalui meditasi dan analisis
terhadap gejala-gejala. Proses perhitungan biasanya dilihat dari tanggal lahir pasien yang
bersangkutan dalam hubungannya dengan hari jatuhnya sakitnya. Berdasarkan perhitungan
yang telah dilakukan dukun bisa menghasilkan angka yang berkitan dengan bentuk
pengobatan (biasanya obat ramuan tumbuh-tumbuhan) dan dalam beberapa kasus juga
menunjukan sebabnya sakit. Metode pengetahuan intiutif melalui meditasi lebih sukar, karena
memerlukan praktik bertahun-tahun. Setelah melakukan proses meditasi yang cukup lama
kemudian dukun akan memberitahu pasien mengenai penyakit yang diderita dan
pengobatannya.
Tahap kedua penentuan obat yang dilakukan oleh dukun ditandai dengan dominannya
mantera, jampi-jampi atau doa-doa. Alat-alat yang digunakan biasanya berupa benda-benda
yang berkaitan dengan simbol atau ritual keagamaan tertentu, benda-benda bersejarah (antik)
atau benda-benda langka dan unik (alamiah atau buatan). Bahan-bahan juga yang digunakan
bermacam-macam seperti air bening, bagian-bagian dari tumbuhan (akar, batang, daun,
bunga, getah, dan sebagainya). Organ tubuh hewan (mulai dari bulu atau rambut, kulit,kuku
atau cakar, hati, darah, telur, hingga kotoran), serta berbagai bahan lain seperti minyak wangi,
dupa, kemenyan dan sebagainya (Wahjudi P, Luthviatin N, Muslichah S. (2015:6),
Berdasarkan urain di atas jelas bahwa pengobatan dengan sisten medis tradisional
adalah pengobatan yang dilakukan melalui bantuan seseorang yang pintar mengobati
penyakit yang ilmunya didapatkan oleh nenek moyang atau lewat mimpi dan bantuan
makhluk ghaib. Pengobatan tradisional ditangani oleh seorang yang melakukan pengobatan
dan memiliki kemampuan dalam pengobatan medis tradisional (mbuowai/ sando/mbuakoi).
Pengobatan tradisional bersifat alamiah dan tanpa bahan kimiawi. Keterampilan dari praktisi

Seminar Nasional Etnomedisin Page 19


penyembuh medis tradisional para mbuowai/ sando/mbuakoi sebaiknya dilanjutkan melalui
pendidikan untuk menambah pengetahuan medis modern. Mekanisme pendidikan dan latihan
yang terarah membuat skill mbuowai/ sando/mbuakoi dalam menolong/membantu pasien
lebih baik dari sebelumnya. Pendidikan dalam konteks ini menurut (Anwar, 2014:vi-vii)
adalah pendidikan yang bisa membentuk manusia secara utuh, baik dari sisi dimensi jasmani
(materi) maupun dari sisi mental atau immateri (ruhani, akal, rasa dan hati).

E. Penutup
Budaya etnomedisin pada setiap etnik memiliki keunikan tersendiri berdasarkan
makna budaya lokal dengan mengintegrasikan kepercayaan-kepercayaan dan praktek
pengobatan medis tradisional. Etnomedisin sebagai salah satu unsur kebudayaan di bidang
medis muncul dan berkembang sebagai mekanisme untuk mempertahankan eksistensi
manusia dan masyarakatnya, karena itu budaya ini dikenal, disadari, dipertahankan, dan
diwariskan serta diamalkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan masyarakat.
Etnik Tolaki berpandangan bahwa penyebab utama seseorang tidak bisa menjalankan
peran normalnya secara wajar dan bahwa harus dilakukan sesuatu terhadap situasi tersebut
“meohaki” (sakit) adalah adanya pengaruh roh jahat/makhluk halus/setan/nidoti (disantet/ilmu
hitam), nilalaeami (diberi magic, sihir dan santet), atau niratu (diberi makanan atau minuman
yang dicampurkan bahan berbahaya/racun), yang menyebabkan terganggunya keseimbangan.
Selain itu mereka juga menerima dan memiliki pengetahuan yang menarik tentang sakit yang
bersifat fisik (dapat di observasi) atau menunjukkan tanda-tanda pada badan seseorang yang
menderita sakit badaniah.
Proses pengobatan medis tradisional etnik Tolaki dilakukan mbu’owai, o’sando dan
mbu’akoi, melalui beberapa tahapan, yakni: tahap diagnosa melalui wawancara/perhitungan,
intuisi dan meditasi, tahap mempersiapkan media/alat/bahan penunjang, tahap pelaksanaan
melalui pembacaan mantera dan doa-doa permohonan kepada penguasa alam jagad raya
Ombu La Taala (Allah SWT) atau kepada sangia mbu’u atau sangia i’lahuene (dewa utama
atau dewa di atas langit) dan tahap pemberian jenis obat atau ramuan kepada seseorang, dalam
berbagai bentuk yang disesuaikan dengan jenis penyakit yang diderita. Dalam
perkembangannya proses pengobatan medis tradisional etnik Tolaki telah memadukan
“mengadopsi” sebagian dari sistem pengobatan “modern”, khususnya pemanfaatan
herbalmedicine dan animalmedicine atau gabungan keduanya.
Bagi generasi muda mengenal dan memahami budaya etnomedisin pada etniknya akan
memberikan kepercayaan diri bahwa peningkatan kapasitas dan kualitas fisik dan mental
manusia, tidak hanya dapat dilakukan melalui sains modern dan sistem pengobatan medis
modern, tetapi dapat pula dilakukan dengan mengembangkan dan memanfaatkan pengetahuan
medis tradisional yang berbasis pada nilai-bilai budaya etniknya sendiri.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 20


DAFTAR PUSTAKA

Alland, Alexander, Jr. 1970. Adaptation in Cultural Evolution: An Approach to Medical


Antropology. New York: Columbia University Press.
Anwar, Chairul. 2014. Hakikat Manusia dalam Pendidikan: Sebuah Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: SUKA-Press.
David Field, Davis. 1995. Pengertian Masyarakat Tentang Sakit. Dalam Fauzi Muzaham,
Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan, Jakarta, UI Pres.
Foster, F. George M. dan Barbara, Gallatin Anderson. Medical Antropology. Antropologi
Kesehatan. Di Indonesiakan Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta
Swasono. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press.
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan
Aswab Mahasisin. Jakarta: Pustaka Jaya.
Geertz, Clifford. 2013. Agama Jawa; Abangan Santri Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa.
Depok: Komunitas Bambu.
Joyomartono, Mulyono. 2003. Materi Kuliah: Pengantar Antropologi Kesehatan. Semarang:
FIS UNNES Press.
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Antropologi, Jakarta: Aksara Baru.
Maranai, Fitri Yunita. 2011. Menganalis Mantra Suku Tolaki Tanggawuku (Ketahanan
Tubuh) Interpretasi Semiotik Riffaterre. Skripsi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu
Pendidikan Universitas Haluoleo Kendari.
Melalatoa, M. Yunus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Pramono, Rona Almos. 2015. “Leksikon Etnomedisin Dalam Pengobatan Tradisional
Minangkabau”. Dalam Jurnal Arbitrer Univetsitas Andalas, Vol.2 (April 2015).
Prasetya. K. Bayu. 2009. Bahan Ajar Antropologi Kesehatan. Semarang: FIS UNNES.
Raodah. 2019. Pengetahuan Lokal Tentang Pemanfaatan Tanaman Obat Pada Masyarakat
Tolaki Di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara (Local Knowledge Regarding
The Use Of Traditional Medicinal Plants Among The Tolaki Of The Konawe
Regency In Southeast Sulawesi), Dalam Jurnal Pangadereng, Vol. 5 No. 1, Juni
2019.
Richard, Tarnas. 1993. The Passion of The Western Mind. New York: Ballantine Books.
Soewardi, Herman . 1998. Nalar dan Kontemplasi dan Realita (Revisi Besar). Bandung:
PPS UNPAD.
Tarimana, Abdurrauf. 1989. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka
Wahjudi P., Luthviatin N., Muslichah S. 2015. “Pengobatan tradisional suku osing
Banyuwangi: Metode dan dampaknya terhadap kesehatan”. Laporan Penelitian
Fundamental Universitas Jember. Jember : Universitas Jember.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 21


KAJIAN SEJARAH BUDAYA ETNOMEDIK PADA ETNIK BUTON
Studi Pada Balai Pengobatan Tradisional Patah Tulang dan Keseleo (BATRA PTK)
Kompleks BTN Kendari Permai Kelurahan Padaleu Kecamatan Kambu Kota Kendari
Oleh: Ali Hadara
(Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Halu Oleo)

A. Pendahuluan
Toppuge, suatu istilah di kalangan masyarakat Buton (utamanya Kepulauan Wakatobi)
yang mengandung arti „patah‟. Dalam kaitan dengan masalah tulang, dinamakan
toppugebhuku (artinya patah tulang) atau „patah tebu‟. Termasuk dalam kaitan masalah
tulang ada yang dinamakan tolesua artinya keseleo (pergeseran pada tulang persendian).
Belakangan muncul hal baru yang berkaitan dengan masalah „tulang-belulang‟, yaitu geger
otak (dari kata „gegar otak‟), belum ada istilah lokalnya karena masalah baru.
Dalam tradisi etnomedik orang Buton, ketiga jenis penyakit yang berkaitan dengan
masalah tulang pada dasarnya dapat diobati secara tradisional dengan satu profesi yang
mereka namakan pande pisi (tukang pijit) atau pande andu (tukang urut). Pengetahuan dan
keterampilan seorang pande pisi atau pande andu diperoleh secara turun-temurun utamanya
dari kedua orang tua, dan karena itu menjadi warisan leluhur dan tradisi mereka. Sistem
pengobatan patah tulang ini mempunyai keunikan tersendiri yang sudah barang tentu berbeda
dengan sistem pengobatan patah tulang pada etnik lain.
Belum diketahui dengan pasti kapan dan bagaimana tradisi pengobatan tulang (patah
tulang, keseleo, gegar otak) ini bisa hidup, tumbuh kemudian berkembang di kalangan orang
Buton. Belum diketahui dengan pasti pula apakah tradisi pengobatan ini asli milik orang
Buton atau tradisi yang dibawa dari luar kemudian masuk ke Buton. Seandainya berasal dari
luar maka dengan mudah dipahami bahwa „diaspora‟ orang Buton yang berlayar dan merantau
kemana-mana boleh jadi telah ikut membawa dan memperkenalkan tradisi pengobatan tulang
kepada masyarakat Buton. Tentang diaspora Buton ini telah dijelaskan oleh James J. Fox
(Southon, 1995 : viii). Fox mensejajarkan orang Buton dengan orang Bugis dan Makassar
dengan istilah „BBM‟ sebagai tiga etnik paling dominan dan ekspansif di kawasan perairan
Timur Indonesia. David Hughes (1984) juga mensejajarkan Buton dengan Madura, Mandar,
Makassar, Bugis, dan Bajau sebagi the six maritime ethnic groups in Indonesia.
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya sistem pengobatan
tulang pada masyarakat Buton, khususnya pada komunitas Wakatobi. Penulis membatasi pada
tradisi pengobatan tulang sebagai salah satu dari sekian banyak etnomedik orang Buton,
karena satu-satunya tradisi pengobatan mereka yang masih tersisa, namun terus eksis hingga
saat ini, dan terbukti mampu menyembuhkan pasiennya, meskipun jumlah „tenaga ahlinya‟
tinggal dihitung jari. Karena itu perlu diperkenalkan kembali (reenact) melalui tulisan ini agar
tidak „tertelan‟ oleh perjalanan waktu, sekaligus menjadi bagian dari penerapan UU No. 5
Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

B. Tradisi Pewarisan
Di kalangan etnik Buton pada umumnya, tradisi pewarisan suatu pengetahuan dan
keterampilan tertentu, termasuk pengobatan tulang, berlangsung dari orang tua kepada sang
anak, melalui pendekatan bottom up (arus bawah) dan prosesnya bersifat „rahasia‟. Seorang
anak yang ingin memiliki suatu pengetahuan atau keterampilan tertentu terlebih dahulu harus
„bertanya‟ atau mengikuti sebuah proses „magang‟ kepada orang tuanya. Setiap kali orang tua
mengobati pasien, sang anak selalu ikut menyaksikan secara sukarela tanpa paksaan. Pada
saat bersamaan sekali-kali melontarkan pertanyaan kepada orang tuanya. Pada kondisi inilah

Seminar Nasional Etnomedisin Page 22


orang tua sudah bisa membaca dan memahami bahwa sang anak ada bakat menerima warisan
pengobatan dan siap mengemban amanah.
Filosofi orang Buton menyatakan bahwa seorang guru tidak akan mewariskan suatu
pengetahuan tertentu kecuali kepada orang-orang yang mau „bertanya‟ dalam arti „berguru‟.
Seorang guru tidak akan pernah „menjual‟ ilmunya kepada siapapun juga yang tidak mau
„berguru‟, sekalipun terhadap anaknya. Jadi tidak melalui proses publikasi layaknya ilmu
pengetahuan biasa. Mengapa demikian, menurut filosofi para tetua Buton, karena hanya
orang-orang yang berguru atau yang suka bertanyalah yang dapat mengemban amanah dan
dengan demikian memiliki „wadah‟ untuk menyimpan dan memelihara ilmu dengan baik.
Hanya dalam kondisi dan pengetahuan tertentu, seorang ayah atau ibu berusaha sedapat
mungkin mewariskan pengetahuan yang dimiliki hanya kepada anak, meskipun sang anak
enggan bertanya. Kelemahannya bahwa karena sifat rahasia dan hanya kepada orang tertentu
yang mau berguru itulah sehingga ilmu yang dimiliki oleh para tetua Buton itu menjadi
langka, bahkan bisa menjadi punah karena dibawa sampai mati.

C. Syarat dan Pantangan


Seseorang yang ingin menjadi pande pisi atau pande andu harus memenuhi syarat
tertentu. Menurut penuturan nara sumber bernama La Ode Untung (Wawancara, 22
September 2019) menyebutkan paling tidak ada lima syarat penting yang harus dimiliki oleh
seorang pande pisi, yaitu :
(1) Bagus ibadah agamanya;
(2) Bekerja dengan penuh keikhlasan;
(3) Memiliki kemahiran dan keterampilan yang memadai;
(4) Mengetahui jenis-jenis ramuan dan cara meramunya;
(5) Harus fokus, serius mengerjakannya.
Mengenai umur dan jenis kelamin tidak ada ketentuan. Baik laki-laki maupun
perempuan memiliki posisi yang sama, tua atau muda pun demikian, dan dari kelas
masyarakat manapun, jadi sifatnya demokratis. Bagi seorang pasien dipersyaratkan pantang
merokok selama proses pengobatan berlangsung, dilarang minum obat vitamin berdosis tinggi
selama proses pengobatan, terutama Vitamin C.

D. Jenis-Jenis dan Tingkat Kesembuhan


Ada tiga jenis pengobatan tulang pada etnik Buton, yaitu patah tulang atau patah tebu
(toppugebhuku), keseleo (tolesua) dan gegar otak. Meskipun baru ditemukana, gegar otak
adalah yang paling mudah dikerjakan dan cepat proses penyembuhannya. Hanya dalam
hitungan jari sesi pengobatan gegar otak sudah bisa sembuh total. Sedangkan keseleo adalah
yang paling sulit tingkat dan proses penyembuhannya. Namun demikian pengobatan masalah
tulang jenis manapun menganut prinsip semakin cepat ditangani semakin mudah
disembuhkan, sebaliknya semakin lama tidak terurus semakin lama proses penyembuhannya
dan memakan waktu hingga berbulan-bulan. Selama kurang lebih 49 tahun bekerja sebagai
pande pisi, La Ode Untung tidak pernah menerima keluhan, klaim, apalagi tuntutan hukum di
pengadilan dari sekitar seribu pasien yang sudah ditangani, maka ia berkesimpulan tidak ada
masalah dan berarti semua sembuh (Wawancara, 22 September 2019).

E. Bahan-Bahan dan Prosedur Pengobatan


Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pengobatan tulang pada etnik Buton,
utamanya komunitas Wakatobi, adalah bahan-bahan yang mudah didapatkan dan tersedia di
lingkungan sekitar, yaitu :
(1) Daun pisang kering (kombalu), dari jenis pisang manapun;
(2) Minyak urut, diramu tersendiri, campuran dari berbagai bahan;

Seminar Nasional Etnomedisin Page 23


(3) Air panas, tidak harus mendidih; dan
(4) Ramuan bedak, terbuat dari daun-daunan.
Khusus ramuan „minyak urut‟ dan „ramuan bedak‟ tidak boleh dipublikasikan, kecuali
kepada orang-orang tertentu saja yang mau berguru, kemudian mendapatkan kepercayaan dan
bimbingan. Pada dasarnya, baik pengobatan patah tulang, keseleo maupun gegar otak,
prosedurnya sama, mengikuti langkah-langkah berikut :
(1) Panasi air hingga hangat tapi tidak sampai mendidih pada wadah tertentu. Pemanasan air
berlangsung terus-menerus hingga pelaksanaan pengobatan selesai;
(2) Celupkan daun pisang kering ke dalam air hangat. Daun pisang yang telah dicelupkan
tidak boleh diperas atau dibilas melainkan titik-titik air dibiarkan melekat pada daun;
(3) Basuhkan sambil menggesekan daun pisang berair tadi pada bagian tulang yang patah
atau pada persendian yang sakit atau pada bagian kepala yang retak secara berulang-
ulang;
(4) Sambil membasuhkan, tekan (pijat) atau urut dengan menggunakan jari-jari tangan pada
bagian tulang yang patah atau persendian yang sakit atau pada bagian kepala yang retak.
Dalam kondisi tertentu bisa menggunakan jari atau telapak kaki supaya daya tekannya
lebih efektif;
(5) Tarik bagian-bagian tulang yang patah atau keseleo sambil menggerak-gerakan ke kiri
dan ke kanan beberapa kali secara pelan-pelan;
(6) Oleskan ramuan bedak pada bagian yang sakit secara merata kemudian lapisi dengan
papan (semacam gips) kemudian dibungkus.
Sekali sesi pengobatan berlangsung sekitar 1 jam. Proses pengobatan berlangsung
berkali-kali, bahkan bisa puluhan kali dan berbulan-bulan, tergantung kadar penyakitnya.
Semakin cepat ditangani semakin mudah dikerjakan dan cepat sembuh. Perlu ditegaskan
bahwa sebelum proses pengobatan dimulai, seorang pande pisi terlebih dahulu berniat,
memohon petunjuk dan perlindungan dari Allah SWT. Niat diikuti dengan semacam sumpah
yang dalam beberapa bahasa di Buton dinamakan bhatata yang konten bacaannya
dirahasiakan.

F. Praktek Klinik dan Kemitraan


Semula praktek pengobatan tulang diselenggarakan secara individual di rumah pemilik
pande pisi. Pada tahun 2000, praktek pengobatan patah tulang, selain tetap diselenggarakan di
rumah, namun khusus rawat inap mulai diselenggarakan di klinik Balai Pengobatan
Tradisional Patah Tulang dan Keseleo (BATRA PTK), Kompleks BTN Kendari Permai, Jalan
H.E. Agussalim Mokodompit, Lorong Lailaingi, Kelurahan Padaleu, Kecamatan Kambu, Kota
Kendari. Gedung berlantai satu dengan kapasitas 11 kamar inap tipe kelas ekonomi, itu
dibangun atas bantuan pemerintah Swedia melalui Program Keberdayaan Masyarakat (PKM),
atas usul Kelompok Masyarakat (Kopmas). Pasiennya berdatangan dari berbagai penjuru, dari
Sulawesi Selatan hingga Papua, bahkan ada pasien yang berasal dari Filipina bernama Dr.
Nico. Sejak mulai beroperasinya BATRA PTK tersebut, kemitraan dengan Pemerintah
Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kota Kendari mulai terjalin secara rutin dengan baik
terutama dalam kapasitas sebagai pelatih.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 24


Daftar Gambar

Seminar Nasional Etnomedisin Page 25


DAFTAR PUSTAKA

Ali Hadara, 2014 : Gau Satoto Dalam Perspektif Sejarah Wakatobi, Makalah disampaikan pada
Seminar Budaya Internasional tentang Pengarusutamaan Budaya Sebagai Basis Revolusi
Mental, Diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi, Patuno Resort Wakatobi, 10-11
November.
Ali Hadara, 2019 : Prosedur dan Pendekatan Dalam Penelitian dan Penulisan Sejarah, Sekar Langit,
Kendari
David Hughes, 1984 : The Indonesian Cargo Sailing and The Problem of Technology Choice
for Sea Transport in a Developing Country : a Study of The Consequences of Perahu
Motorization Polyce in The Context of The Economic Regulation of Inter-island
Shipping. PhD Thesis, Departemen of Maritime Studies, UWIST.
Michael Southon, (1995) : The Naval of The Perahu : Meaning dan Values in The Maritime
Trading Economy of A Butonese Village, Departement of Anthropology, Research
School of Pasific and Asia Studies, The Australian National University, Canberra.
Pim Schoorl, 2003 : Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton, Jambatan Kerjasama dengan
KITLV-Jakarta.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.

Sumber Lisan

La Ode Untung, SE, 59 tahun, pendiri Balai Pengobatan Tradisional Patah Tulang dan
Keseleo (BATRA PTK) Kendari, pensiunan PNS pada Pemkot Kendari, Alamat Jalan
Torada, Kelurahan Bende, Kecamatan Kadia, Kota Kendari. Mulai menekuni profesi
pande pisi pada usia 10 tahun ketika baru duduk di bangku Kelas IV SD. Selama kurang
lebih 49 tahun menekuni profesi pande pisi, sudah mendekati angka seribu
pasien berhasil diobati.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 26


Sejarah Etnomedisin Pada Suku Moronene7
Oleh: Basrin Melamba
(Dosen Jurusan Sejarah FIB Universitas Halu Oleo)

A. Pendahuluan
Jika kita membaca perkembangan historiografi di Indonesia pada aspek sejarah
kesehatan. Sangat sedikit kita jumpai yang membahas dunia etnomedisin. Padahal dinamika
perkembangan kesehatan khususnya dalam hal sejarah pengobatan dengan etnomedisin atau
pengobatan tradisional sangat menarik untuk dikaji. Ada beberapa kendala sehingga para
sejarawan kurang tertarik mengkaji masalah ini. Pertama, masalah histroy sources atas
sejarah etno medichine umumnya mengandalkan sumber oral tradition, karena arsip maupun
dokumen mengenai rekaman pengobatan tradisional sangat langkah dan jarang dilaporkan
oleh pemerintah Kolonial. Padahal masyarakat secara turun temurun senantiasa mengadalkan
sistem pengobatan dengan sistem etnomedisin.8 Kedua, tema yang khusus membicarakan
akan hal ini masih perawan, memang diakui sudah ada beberapa tema tetapi kebanyakan
fokus pada aspek pelayanan kesehatan dan kebijakan kesehatan. Tidak ada catatan tertulis,
sehingga tidak mungkin untuk melacak praktek pengelolaan yang tepat yang berhubungan
dengan sistem nilai dan kepercayaan setempat, dan bagaimana pengetahuan tradisional
tersebut berkembang dalam kelompok-kelompok masyarakat. Oleh karena itu, penelitian
pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan perlu digali, terutama pada masyarakat Moronene.
Sebagian besar penelitian etnobotani9 maupun etnomedisin yang telah dilakukan pada
masyarakat suku bangsa lain yang ada di Indonesia menyebutkan daun merupakan bagian
tumbuhan yang sering dimanfaatkan untuk pengobatan. Penggunaan daun sebagai bagian
untuk pengobatan selain tidak merusak spesies tumbuhan obat, bagian daun juga mudah
dalam hal pengambilan dan peracikan ramuan obat. Tidak berbeda dengan suku bangsa lain,
pada masyarakat tradisional suku Moronene bagian tumbuhan yang paling banyak
dimanfaatkan adalah bagian daun. Daun-daunan ini sebagai perawatan pra melahirkan.
Walaupun masyarakat setempat telah diperkenalkan cara pengobatan modern, namun mereka
tidak meninggalkan cara pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan sebagai
bahan ramuan obat tradisional.
Riste atau penelitian etnobotani di Indonesia sudah banyak dilakukan oleh ahli-ahli
Botani Biologi, Kehutanan, Farmasi, Sejarah, Linguistik, Lingkungan, Arkeologi serta
Antropologi. Di antara pengetahuan-pengetahuan tentang tumbuhan yang dimiliki oleh
masyarakat, ada yang bersifat spiritual, magis dan ritual. Demikian pula mengenai
pemanfaatannya banyak ragamnya. Salah satu diantaranya ialah pemanfaatannya di bidang
upacara-upacara adat. Antara tumbuhan dan manusia terjadi suatu hubungan timbal balik yang
saling menguntungkan, tumbuhan tersebut mempunyai nilai lebih dalam aspek kehidupan
manusia, yang mengandung nilai-nilai baik dan buruk, yang tercermin dalam pandangan
masyarakat itu sendiri.

7
Disampaikan pada Seminar Nasional Etnomedisin sebuah kajian Sejarah dilaksanakan oleh
YAKMADES Sultra, bekerjasama dengan DIREKTORAT SEJARAH di Aula dachtraco Taxy Kendari 29
Oktober 2019.
8
Etnomedisin yakni kepercayaan dan praktek-praktek yang berkenaan dengan penyakit yang merupakan
hasil dari perkembangan kebudayaan asli dan yang eksplisit tidak berasal dari kerangka konseptual kedokteran
modern (Foster and Anderson, 1986).
9
Etnobotani meliputi berbagai bidang, termasuk Botani, Biokimia, Farmakognisi, Toksikologi,
Kedokteran, Nutrisi, Pertanian, Ekologi, Evolusi, Perbandingan Agama, Sosiologi, Antropologi, Linguistik,
Studi Kognitif, Sejarah, dan Arkeologi. Sifat multidisipliner Etnobotani memungkinkan untuk berbagai macam
pendekatan dan aplikasi, dan menyajikan sebuah tantangan bagi peneliti mendekati lapangan dari disiplin
manapun.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 27


Jika menilik studi sejarah kesehatan di Sulawesi Tenggara sepanjang informasi yang
penulis ketahui belum atau sangat minum mengenai tema ini. Untuk itu melalui seminar ini
kami menyajikan makalah mengenai perkembangan system pengobatan orang Moronene.
Pengobtan tersebut merupakan peninggalan warisan leluar yang sebagian besar sudah tidak
digunakan atau diketahui. Pada secara medis bahwa sistem pengobatan tradisional memiliki
keunggulan karena disamping menggunakan bahan-bahan alami bukan unsur kimiawi juga
pasien bisa terhindar dari efek pengobatan atau penggunaan obat kimiawi.
Pengetahuan orang Moronene akan berbagai jenis etno botani, serta kemampuan mereka
menggunakan maupun keterampilan yang mereka miliki dalam meracik apa yang disediakan
oleh alam.10 Sistem pengobatan etnomedisin sangat membantu bagi kesehatan perkembangan
dalam bertahan hidup. Padahal hubungan antara keanekaragaman hayati dengan budaya
masyarakat tersebut sedikit banyak terkena tekanan global yang mengakibatkan hilangnya
kekayaan hayati dan pengetahuan lokal suku bangsa di Indonesia. Termasuk hilangnya para
orang tua yang mengetahui eksistensi tumbuhan dan khasiatnya bagi pengobatan masyarakat
lokal.

B. Sejarah Kesehatan; Penanganan Penyakit Pada Masyarakat Moronene


Pada zaman kerajaan tradisional penduduk setempat belum mengenal sistem pengobatan
modern. Pada zaman kerajaan Moronene ditetapkan sebuah jabatan yang secara spesifik
melaksanakan pengobatan kepada Mokole atau Pauno dan keluarga Kerajaan. Adapun petugas
kesehatan yang khusus menggobati raja dan keluarganya disebut “Miano Pontoori” sebagai
sando atau dukun lipu Ibombana atau wita Moronene. Bahkan dalam sumber lokal berupa
historiografi tradisional Moronene berupa epos kada dijelaskan mengenai kisah pengobatan
yang dilakukan oleh seorang dukun sando dan dianggap sebagai pahlawan karena telah
menyelamatkan sang raja (mokole) Bombana (lihat Strom, 1922).
Zaman pemerintah Hindia Belanda seiring dengan kebijakan di wilayah ini aspek
kesehatan kurang diperhatikan kecuali beberapa ibu kota Onderafdeeling di buka sebuah
poliklinik. Daerah tersebut meliputi di Kota Kendari, Kolaka, Muna dan Bau-bau. Sedangkan
di wilayah Moronene dianggap belum penting disamping secara administrasi maupun jarak
sulit dijangkau, disamping itu wilayah distrik Rumbia dan Poleang jauh dari kekuasaan politik
Onderafdeeling Boeton. Serta daerah –daerah distrik belum menjangkau pelayanan bidang
kesehatan. Selain itu wilayah Moronene letaknya terpencil berada di daerah pedalaman
(vorstelanden). Di daerah Moronene pelayanan kesehatan zaman Hindia Belanda, oleh
penduduk setempat baru dirasakan pada saat masuknya agama Kristen Protestan di wilayah
ini. Dimana zending membuka poliklinik, serta para pendeta keliling melakukan pengobatan
gratis kepada penduduk. Mereka juga melakukan penyuluhan kesehatan sebagai bentuk
pelayanan kepada penduduk pribumi.
Pada saat itu salah satu pendeta yang giat melayani penduduk pribumi adalah Ds. G. J
Strom. Selain sebagai pendeta, juga mempunyai keahlian dalam bidang kesehatan. Situasi
yang dijumpai oleh Strom di Taubonto adalah praktik penyembuhan melalui dukun (bahasa
Moronene sando) terhadap penyakit diderita oleh masyarakat seperti: penyakit kumbi
(frambusia), malaria, sakit perut, tjatjar, kematian bayi, penularan TBC, dan beri-beri.
Para zending berhasil melatih para dukun beranak untuk menangani para ibu hamil dan
sampai saat melahirkan. Para guru zending ini diberi tugas untuk memberi pertolongan

10
Studi tentang pengetahuan tradisional adalah tema dari etnosains cabang dari studi yang muncul sebagai
perpaduan bidang yang terus berkembang dalam pertukaran antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.
Perspektif kognitif telah dimulai sekitar tahun 1950-an, ketika para ilmuwan mulai menyadari studi etnosains
dengan fokus klasifikasi etnobiologi dan pengetahuan ilmiah tradisional yang menggunakan metode linguistik
(semantik) dan antropologi (Harris, 1976:85).

Seminar Nasional Etnomedisin Page 28


terhadap perawatan dan pengobatan penduduk di kampung tersebut, serta membantu warga
dalam proses persalinan, karena di daerah ini angka kematian ibu dan anak meningkat sejak
kurun waktu 1925-1936.
Pelayanan kesehatan untuk menjamin masyarakat Eropa di Hindia-Belanda steril dari
penyakit menular, khususnya kuli perkebunan yaitu: TBC, kusta, kolera, malaria, dan lainnya.
Pemerintah Hindia-Belanda dan yayasan zending pun kemudian tidak dapat mengabaikan
begitu saja “kewajiban moralnya” untuk terlibat dalam penyebaran Injil. Termasuk
memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduk, tetapi dikalangan penduduk lokal juga
mengenal pengobatan dengan cara sederhana yaitu dengan memakai ramuan dan magic.
Untuk memberikan pelayanan kesehatan maka zending berupaya mendirikan poliklinik pada
beberapa wilayah resort zending di antaranya yaitu: di Lambuya, Mowewe, Sanggona, dan
Taubonto (Rumbia) poliklinik milik zending dibuka dengan obat yang dibagikan
(Bhurhanuddin, dkk., 1978/1979; Jong, 2010: 10; Jongeling, 1976; Klift, 1925; Melamba,
2019).
Keadaan sesudah perang sulit sekali, kesehatan masyarakat umum terganggu. Di distrik
Rumbia-Poleang keadaan sangat menyedihkan. Selama sepanjang tahun tiada seorang dokter
yang mengunjungi daerah ini, walaupun raja selalu melaporkan mengenai kekurangan di
bidang kesehatan rakyat. Selain itu, memberikan bantuan berbentuk obat, pakaian dan
petunjuk-petunjuk bagaimana membuat perkampungan yang baik (Jongeling, 1976: 2, 9).
Meningkatnya jumlah pasien dan kesadaran penduduk pribumi untuk berobat pada dokter,
juga disebabkan oleh upaya para zendeling mensosialisasikan secara terus menerus manfaat
berobat di rumah sakit maupun poliklinik, dan cara hidup yang layak dari segi kesehatan
(Melamba, 2019).
Pendeta Strom dalam melaksanakan pelayanan kesehatan maupun pendidikan senantiasa
memberikan pengaruh. Dalam kegiatannya tidak lepas atau bekerjasama dengan dukun
kampung di pedalaman Moronene. Hal ini dijelaskan bahwa, “Setiap hari dia mengelola
poliklinik, yang dikunjungi oleh orang-orang dari dekat dan jauh ke Taubonto, pada awalnya
dia menampung lebih dari 100 orang pasien tiap hari. Serta selalu bersama seorang dukun
kampong sebagai juru bahasa dan membantu menangani penyakit yang dialami penduduk
setempat.11
Orang Moronene yang bermukim di wilayah Sultra memiliki ragam kebiasaan dalam
menentukan tempat pelayanan kesehatan. Masyarakat yang tinggal di kampong atau pedesaan
penentuan pengobatan didasarkan pada keyakinan yang telah dianut secara turun temurun.
Sando atau tabib adalah salah satu yang menjadi pilihan utama mereka. Pada masyarakat yang
tinggal diperkotaan, pilihan pengobatan berangsur-angsur berpindah pada pengobatan
modern, hal ini didukung tersedianya dan mudahnya akses pelayanan kesehatan Puskesmas
dan Rumah Sakit Umum. Namun, terdapat juga orang Moronene yang menggabungkan antara
pengobatan tradisional dengan modern.
Sebelum dibukanya Rumah Sakit Umum di Kabupaten Bombana maupun fasilitas jalan
yang menghubungkan ibu kota kabupaten maupun provinsi. Biasanya jika masyarakat
Moronene merasakan sakit menurut pengalaman empiris ditangani terlebih dahulu dengan
pengobatan tradisional.
Dalam usaha pelayanan kesehatan ini, sering terjadi benturan antara traditional medicine
dan modern medicine. Seperti telah diketahui bahwa hampir semua kelompok masyarakat
suku di Indonesia ini mempunyai budaya sendiri termasuk bidang pengobatan, baik

11
Lihat Storm, C.G. Met stukken over de literatuur en taalkunde van Moronene, Z.O.-Celebes; met een
vertaling van het evangelie van Markus; correspondentie met andere zendelingen. KITLV-Inventaris 77 (Or.
585). Collectie G.C. Storm.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 29


pengobatan magic (spiritual) ataupun pengobatan yang yang diperoleh dari alam (akar-akaran,
daun, tumbuhan, dan sebagainya. Benturan ini terjadi disebabkan adanya dua kepentingan
yang berbeda, disatu pihak masyarakat pribumi ingin tetap mempertahankan kepercayaan
mereka terhadap pengobatan tradisional yang telah menjadi budaya yang mengakar di
dalamnya untuk menangani kasus-kasus penyakit yang timbulkan, sementara di pihak lain
pemerintah Belanda ingin menerapkan cara pengobatan modern secara paksa (Baha‟Uddin,
2000: 119).
Di dalam peraturan pemerintah nomor 103 tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan
tradisional menyebutkan terdapat pelayanan kesehatan tradisional empiris dan komplementer.
Pelayanan kesehatan tradisional empiris adalah penerapan kesehatan tradisional yang manfaat
dan keamanannya terbukti secara empiris. Pelayanan kesehatan tradisional yang
memanfaatkan ilmu bio medis dan bio kultural dalam penjelasannya serta manfaat dan
keamanannya terbukti secara science ilmiah. Dengan adanya peraturan tersebut memberikan
peluang bagi penyelenggara pengobatan tradisional untuk mengobati masyarakat. Dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan harus terintegrasi dengan tenaga kesehatan.

C. Pengetahuan Jenis Tumbuhan etnomedicine dan etno botani Suku Moronene.


Pengetahuan tradisional (traditional knowledge) adalah tubuh kumulatif dari
pengetahuan tentang (apa yang diketahui dan bagaimana cara mengetahui) ”know-how” dari
sekelompok orang tentang lingkungan sekelilingnya. Pengetahuan ini berisi praktek hidup
yang dikembangkan oleh mereka berdasarkan pengalaman sejarah yang sudah membudaya
dengan lingkungan alamnya. Pengetahuan tradisional meliputi bagaimana cara suatu
komunitas lokal memahami, menginterpretasi makna yang ditampilkan oleh lingkungannya,
lalu kemudian mereka merumuskan melalui bahasa, simbol-simbol, makanan, penamaan,
praktek penggunaan sumber daya, spiritualitas, dan pandangan dunia dalam suatu klasifikasi
sistem.
Selain itu orang Moronene memiliki pengetahuan mengenai jenis tumbuhan yang dapat
dimanfaatkan untuk pengobatan. Diantara tumbuhan tersebut yaitu tumbuhan resam dalam
bahasa Moronene disebut “nene”. Tumbuhan nene memiliki berbagai macam kegunaan bagi
masyarakat lokal tidak hanya berkaitan dengan cerita rakyat, alat pengikat, tetapi juga
memiliki khasiat bagi pengobatan tradisional. Dari segi utilitarian, tumbuhan nene
dimanfaatkan mulai dari batang, buah hingga daunnya. Batangnya; digunakan untuk pengikat
atap rumah atau pagar dan bahan anyaman. Serat dalam batangnya; digunakan untuk
mendapatkan sumber api, dan mengobati luka. Daunnya; sebagai pembungkus makanan dan
pengobatan, buahnya; dapat dimakan. Disamping sebagai tumbuhan obat, peralatan dan
teknologi lokal, bahan tali-temali, sumber energi bahan bakar, tumbuhan nene juga digunakan
dalam upacara perkawinan (mowindahako) sebagai perlengkapan tuamentaa berupa
bentangan yang dipasang pada rumah adat Moronene (Lihat Wulandari, 2010).
Rugayah dkk mencatatkan tidak kurang dari 60 jenis tumbuhan yang digunakan untuk
keperluan sehari-hari oleh masyarakat dan 25 jenis tumbuhan digunakan dalam pengobatan
tradisional. Jenis-jenis tumbuhan yang banyak digunakan oleh masyarakat setempat sebagai
bahan bangunan antara lain: cendana atau angsana (Pterocarpus indicus), belenge
(Pterospermum celebicum), kara (Planchonella nitida), andowenge (Planchonella sp) dan keu
moita (Diospyros sp). Tumbuhan obat yang umum dijumpai antara lain: kame
(Cardiaspennum halicacabum), keu mea (Palaquittm obovatum) sebagai obat sakit mata
merah dan gatal, eo kuma (Arcangelisia flava) sebagai obat penyakit dalam, dan tanga
(Jatropha curcas) sebagai obat tetes telinga (2005;79-84; lihat Wulandary, 2011: 11).

Seminar Nasional Etnomedisin Page 30


Tabel 1
Klasifikasi Masyarakat Moronene tentang Tumbuhan Moronene dan Nene
Nama Habitat dan Morfologi Pemanfaatan
Indonesia Pola Distribusi
Nene Resam Pinggiran sungai, Daun; lebar dan tebal, Daun; perawatan pra
(berkelompok banyak sumber berwarna hijau persalinan,
atau serumpun) air, tumbuh pembungkus
berkelompok makanan
Batang; tegak lurus Batang; Pengikat
dan bercabang, pagar, pengikat atap
kulitnya kuat dan tebal, rumah/kebun, obat
serat dalam batangnya luka ringan/berat
mengandung air
Pohon; tinggi, bisa Pohon; perlengkapan
mencapai tinggi anak tuamentaa (bentangan
remaja yang dipasang pada
rumah adat
Moronene) dalam
upacara perkawinan
(mowindahako)
Buah; berwarna merah, Buah; dimakan anak-
bentuknya kecil, anak
rasanya manis
Moronene Sejenis Daun; hanya satu, Pohon; bahan ritual
tumbuhan yang ukurannya panjang dan dalam setiap upacara-
menyerupai tidak lebar, berwarna upacara adat
pohon resam hijau
(nene) Batang; tegak lurus
dan tidak bercabang,
ukurannya lebih kecil
Pohon; pendek,
tingginya hanya
sampai selutut orang
dewasa

Sumber: Wulandary, 2010

Jenis tumbuhan diatas digunakan untuk pengobatan tradisional oleh suku Moronene.
Masih banyak jenis tanaman yang belum diidentifkasi sebagai sumber dan bergunakan bagi
pengobatan secara tradisional.
Orang Moronene mengenal adanya pengobatan tradisional. Jenis pengobatan ini masih
banyak dilakukan terutama pada masyarakat pedesaan. Pemilihan pengobatan tradisional
dilakukan karena alasan masyarakat masih percaya dengan hal yang berbau mistis atau magis
religious ataupun gaib. Pada keadaan tertentu tempat atau orang yang mampu mengobati
secara tradisional sangat mudah komunikasi, disamping itu biaya juga relatif mudah dijangkau
bahkan mereka dapat mendapatkan pelayanan gratis.

D. Jenis Penyakit dan Sistem Pengobatan Orang Moronene


Orang Moronene memiliki pengetahuan mengenai etnomedisin konsepsi masyarakat
Bombana tentang sakit dan penyakit menyangkut sakit (rungku/haki), dimana kondisi
sebagian atau keseluruhan anggota tubuh melemah dan perasaan tidak enak yang tidak biasa
dialami dimana fungsinya terganggu sehingga tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasa.
Orang Moronene memiliki pengetahuan tersendiri berkenaan etiologi penyakit yang
disebabkan oleh adanya hubungan dari mahluk halus. Secara kultur bahwa munculnya
penyakit sangat erat hubungannya dengan adanya campur tangan manusia disebut (doti-doti)

Seminar Nasional Etnomedisin Page 31


serta campur tangan mahluk halus (konantonuana) dan pengaruh alam. Orang Moronene
mengenai berbagai macam jenis penyakit antara lain molua rea (muntah darah), mopeo rapu,
mongkonai (panas demam), peha (bisul), morara api, halite (bengkak pada tangan), kasuwia,
rungku mopila (keputihan), rontia (sakit perut) dan sebagainya.
Pada masa lalu penangganan ibu hamil dan saat melahirkan ditangani oleh dukun
kampung Sando, dengan sistem tradisional mulai dari saat melahirkan, memotong tali
plasenta, perawatan bayi, hingga penanganan ibu nifas usai melahirkan. Mowoinahu bagi ibu
hamil menggunakan daun kateba yang dicampur dengan air panas kemudian diletakan dan
diletakan pada areal perut bagi ibu yang telah melahirkan.
Dari wawancara yang dilakukan dengan dukun kampung, seorang ibu hamil akan
mendatangi dukun secara berkala pada masa kehamilan delapan atau bulan kesembilan. Pada
masa ini, dukun akan melakukan perawatan bagi ibu yang akan melahirkan. Dukun akan
menyarankan ibu hamil untuk mandi di sungai sambil dilakukan perawatan. Pada tahap ini
dukun mulai melakukan pemijatan untuk memperbaiki posisi bayi dalam rahim. Daun
tumbuhan nene atau resam diambil tujuh lembar yang perwakannya masih bagus dan utuh dan
disatukan. Daun yang sudah tertumpuk dioleskan dan diusap secara lembut pada perut ibu
tersebut sebanyak tujuh kali dengan gerakan memutar sambil membaca shalawat nabi.
Tumbuhan ini dipercaya dapat memperlancar proses persalinan, bayi menjadi bersih,
menghilangkan gumpalan darah (taba-taba) setelah melahirkan dan dapat mengeluarkan sisa-
sisa darah kotor yang ada di dalam rahim ibu-ibu yang baru melahirkan. Akibat pelatihan
yang dilaksanakan oleh bidan desa, angka kematian ibu dan anak di daerah Moronene
menurun, karena para ibu ditangani oleh mantere dan sando yang sudah dilatih oleh para
dokter dan bidan melalui program dukun beranak.
Berikut kami akan jelaskan beberapa jenis penyakit yang dikenal dikalangan
masyarakat Moronene. Misalnya sakit panas “mongkonai” menurut kepercayaan masyarakat
Moronene akibat dari roh halus. Ia dapat diobati dengan sando orang tua dengan car popurio
dengan memakai mantera. Untuk penyakit darah tinggi diobati dengan e’eni atau air kelapa.
Dianjurkan jenis buah kelapa yang berwarna merah, dengan cara kelapa dipanjat kemudian
buah kepala digendong agar kelapa tidak langsung dijatuhkan ke tanah. Setelah kelapa
dikupas atau dibelah maka air kelapa tersebut dibacakan salawat nabi.
Jenis penyakit seperti bisul bagi orang Moronene memiliki pengetahuan cara
pengobatannya. Yaitu dengan menggunakan bahan kapur dan kunyit dicampur kemudian
diletakan pad areal tempat bisul, ini dimaksudkan agar bisul tersebut cepat mengeluarkan air
nanah dan pusat bisul dapat di tangani.
Untuk jenis penyakit muntah darah atau tuberculosis disebut mulua rea,
pengobatannya yaitu dimana orang yang sakit dianjurkan untuk mengkomsumsi sayur hounu
dan daun gedi secara berkesinambungan. Daun ini dipercaya mampu mengobati penyakit
dalam dan mengeluarkan darah serta dapat menyembuhkan mulua rea secara permanen.
Untuk kasus patah tulang bagi orang Moronene, cara pengobatannya disamping diurut
secara tradisional dengan mengembalikan posisi tulang maupun urat. Setelah dilaksanakan
penanganan dengan mengembalikan posisi urat maupun tulang. Maka areal tempat patah
kemudian dibungkus atau dibalut menggunakan serei diluarnya menggunakan bambu yang
dianyam. Bambu yang dianyam berfungsi sebagai penahan agar anggota tubuh yang patah
tidak mudah goyang atau bergeser.
Pada luka bakar oleh orang Moronene disebut morara api pengobatannya dengan
menggunakan siu atau madu. Tempat atau areal luka bakar disimpankan repiso agar terjadi
pendinginan dan perlahan-lahan areal luka bakar akan kering. Bahkan hasil yang dicapai dapat
menggembalikan kulit baru.
Jenis penyakit pengori (kudis), obatnya menggunakan kapur yang dicampur dengan
telur. Setelah dicampur, kemudian keduanya diaduk dalam bentuk adonan. Setelah matang

Seminar Nasional Etnomedisin Page 32


dan diyakini sudah tercampur dengan baik, ambil campuran tadi sekucupnya kemudian
diletakan pada areal penyakit kudis. Hamper mirif dengan penanganan penyakit keaba dalam
bahasa Moronene disebut “kasuwia berupa madu atau siu sebagai obat yang cocok bagi
penyembuhannya.
Pada masa lalu para wanita Moronene memiliki penyakit perempuan penyakit tersebut
dikenal dengan sebutan keputihan. Keputihan bagi orang Moronene disebut rungku mopila
obatnya berupa daun siri e’ee bite. Dimana air daun siri diperah kemudian disirimkan pada
areal vagina perempuan atau dengan cara roo mekabusaako obite. Sedangkan penyakit sakit
perut “roontia” atau mencret maupun muntaber obatnya menggunakan bawang, kemudian
bawang tersebut ditiupkan mantera oleh sando.
Tumbuhan yang paling dekat dengan Moronene adalah tumbuhan nene atau pohon
resam. Pohon nene ini diyakini dapat memberikan kesembuhan. Masyarakat meyakini
tumbuhan nene sangat ampuh untuk mengobati penyakit luka. Bagian tumbuhan yang
digunakan adalah air dalam serat batangnya. Cara penggunaanya batang tumbuhan dibuka
kulit luarnya sehingga yang tersisa kulit dalamnya (serat batang). Serat batangnya ditumbuk
sampai halus lalu diperas untuk diambil airnya kemudian dioleskan pada bagian yang
sakit/luka. Dibandingkan obat luka lainnya yang tersedia dalam bentuk kemasan yang
diperdagangkan, tumbuhan ini sangat cepat mengeringkan luka mulai dari luka ringan seperti
gigitan atau sayatan sampai pada luka berat seperti luka bakar dan sebagainya.
Daun nene dipergunakan untuk obat tetes mata, dimana daun yang masih belum mekar
berisi air diteteskan pada mata, dengan menggunakan mantera. Dipercaya mampu
menyembuhkan sakit mata disamping itu mereka mengenal bawang sebagai obat tetes mata,
dimana bawang dikupas hingga didapatkan bawah yang bersih dan kulitnya berkualitas
kemudian disimpan pada sebuah kain, selanutnya di peras hasil tetesan air bawah diteteskan
pada mata.
Tradisi pengobatan tradisional pada masyarakat Moronene telah dikenal sejak zaman
kerajaan tradisional. Kemunculan tradisi pengobatan etno medicine ini seiring dengan
knowledge dan cara mereka memanfaat tumbuhan oleh para leluhur. Meskipun saat ini
pengenalan akan sistem pengobatan modern tidak membuat system pengobtan tradisional
ditinggalkan. Adapun pertimbangan yaitu selain terbukti, murah efektif dan efisien dalam
proses penyembuhan penyakit. Serta bahanya mudah didapatkan pada lingkungan sekitar serta
dapat ditemukan di areal hutan sekitar tempat bermukim.
Penangan atas penyakit diatas bagi masyaraat Moronene telah menjadi sebuah tradisi
yang diyakini dapat memberikan solusi bagi penanganan kesehatan mereka. Ackerknecht
dalam Foster dan Anderson (1986), mengemukakan bahwa sebenarnya sakit dan cara
pengobatan suatu penyakit tidak merupakan proses biologis semata tetapi fakta dimana
seseorang menderita sakit. Penyakit apa yang dideritanya dan pengobatan apa yang
diterimanya tergantung pad faktor-faktor sosial budaya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa,
penyakit adalah fakta yang universal didalam kehidupan manusia karena penyakit dapat
timbul pada setiap saat dan setiap tempat. Hal ini terjadi karena semua kelompok-kelompok
didalam masyarakat mengembangkan metode untuk mengatasi penyakit yang timbul, serta
masyarakat mengembangkan kepercayaan, pengetahuan dan persepsi untuk menjelaskan
penyakit sesuai dengan kebudayaannya.

E. Penutup
Masalah medis dalam melaksanakan pengobatan masyarakat suku Moronene pada masa
lalu lebih mengutamakan dengan cara alami. Secara universal masyarakat Moronene masih
mempercaya dan meyakini sistem pengobatan tradisional etnomedisin secara turun temurun
dari generasi ke generasi dilakukan oleh dukun. Khususnya pada pada penyembuhan baik itu
sumbernya dari maha kuasa, intervensi manusia maupun mahluk halus. Masyarakat

Seminar Nasional Etnomedisin Page 33


mempertahankan pengobatan yang diajarkan oleh pewarisnya yang telah terbukti kasiatnya
dalam proses penyembuhan.
Kemajuan sistem pengobatan dan penyembuhan penyakit tidak membuat tradisi ini
hilang, malah sekarang orang atau kalangan ilmuwan maupun dokter mengajurkan sistem
pengobatan kembali kepada alam atau back to nature. Selain pengobatan ini murah dan
mudah didapatkan sumbernya juga memiliki value (nilai) dan meaning (makna) bagi
masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Utamanya pada masyarakat Moronene sangat
mengganggap bahwa tumbuhan nene atau resam memiliki nilai khusus dalam berbagai
dinamika kehidupan agama, upacara, ekonomi, bahkan nilai kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Andersen, T. David. 2000. Pedoman Ejaan Bahasa Moronene. Kendari: BPMD Provinsi
Sultra dan Summer Institute of Linguistics (SIL) Rukun Keluarga Moronene.
Andersen, T. David. 2006. Sastra dan Budaya Moronene. Kendari: SIL dan BPM Sulawesi
Tenggara.
Agoes Aswar. 1992. Antropologi Kesehatan Indonesia. Jakarta: UI
Ahmad H. 1990. Pengobatan Tradisional Pada Masyarakat Pedesaan Daerah Kalimantan
Timur. Jakarta: Depdikbud.
Afriastini, 1994. Daftar Nama Tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya.
Awang, San Afri, Dkk. 2005. Menuju Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional Kasus Taman
Nasional Rawa Aopa Watumohai. Kendari: CARE International Indonesia Southeast
Sulawesi
Baha‟uddin. “Pelayanan Kesehatan Masyarakat Pada Masa Kolonial” dalam Lembaran
Sejarah. Volume 2, Nomor: 2 Tahun 2000. ISSN 1410-4962.
Bhurhanuddin, B. 1978/1979. Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Proyek
Inventarisasi Kebudayaan Daerah.
Cotton, 1996. Ethnobotany: Principle and Applications. England: John Wiley & Sons Ltd.
Chichester
Dharmono. 2007. ”Kajian Etnobotani Tumbuhan Jalukap (Centella Asiatica L.) Di Suku
Dayak Bukit Desa Haratai 1 Loksado”. BIOSCIENTIAE. 4(2): 71-78.
Foster dan Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI.
Ford, 1978. “Introductions. In, RL Ford, ed., The nature and status of ethnobotany. Pages 29-
32”. dalam Anthropological Papers No. 67. Museum of Anthropology, University of
Michigan, Ann Arbor.
Gerungan, W.A. 1987. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco.
Jongeling. 1976. Benih yang Tumbuh X Suatu Survey Mengenai Gereja Protestan Sulawesi
Tenggara (Gepsultra). Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-Gereja di
Indonesia.
Melamba, Basrin. 2019. Kristen Protestan dan Perubahan Sosial Budaya Pada Masyarakat
Tolaki dan Moronene di Sulawesi Tenggara, 1915-2006. Disertasi. Bandung: FIB
Unpad.
Muthalib, Abdul, dkk. 1991. Struktur Bahasa Moronene. Jakarta: Depdikbud
Poerwanto, Hari. 2008. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Limba, Rekson, S, Melamba, Basrin., dkk. 2014. Sejarah Peradaban Moronene. Yogyakarta:
Lukita.
Lomenta, Benyamin. 1988. Penyakit, Citra Alam dan Budaya. Jakarta: Kanisises.
Reksodihardjo, Soedibyo, Soetomo. 1990. Pengobatan Tradisional Pada Masyarakat
Pedesaan Jawa Tengah. Jakarta: Depdikbud.
Seminar Nasional Etnomedisin Page 34
Rugayah, M. Rahayu, Sunardi dan Hilman, 2005, Keanekaragaman dan Pemanfaatan
Tumbuhan di Pulau Kabaena, Laporan Teknik Keanekaragaman Dan Pengungkapan
Potensi Biota Pulau-Pulau Kecil Sulawesi Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi –
LIPI.
Suratman dan Siregar. 1991. Pengobatan Tradisional Pada Masyarakat Bali. Yogyakarta:
Kanisius.
Storm, C.G. Met stukken over de literatuur en taalkunde van Moronene, Z.O.-Celebes; met
een vertaling van het evangelie van Markus; correspondentie met andere zendelingen.
KITLV-Inventaris 77 (Or. 585). Collectie G.C. Storm.
Tosepu, Ramadan. 2019. Pelayanan Kesehatan Pada Masyarakat Tolaki di Konawe. Dalam
Buku Kapita Selekta Orang Tolaki. Kendari: Yayasan Cipta Anak Bangsa. Hlm. 241-
256.
Wulandari, Early. 2010. Tumbuhan Moronene; Relasi Antara Budaya Dan Falsafah Hidup
Masyarakat Moronene. (Tesis). Yogyakarta: FIB UGM.
Young, James C. 1980. A Model of Ilnes Treatment Decisious in a Tarascan Town. Dalam
American Etnologist, 7 (1): 106-131.

PERBANDINGAN SISTEM PENGOBATAN TRADISIONAL DAN SISTEM


PENGOBATAN MODERN

Oleh: Asriati dan Adius Kusnan


(Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo)

A. Pendahuluan
Sakit merupakan suatu keadaan yang menimbulkan perasaan tidak nyaman pada
seseorang, keadaan ini menyebabkan orang berusaha untuk menghilangkan rasa tidak nyaman
yang dialaminya. Berbagai macam cara dilakukan untuk menghilangkan sakit yang diderita.
Tindakan manusia dalam menghilangkan rasa tidak nyaman karena sakit tersebut
mengakibatkan terjadinya pemanfaatan pelayanan kesehatan yang ada baik pengobatan
tradisional maupun pengobatan modern.(Notoatmojo,2014).
Berdasarkan data World Health Organization pada tahun 2008, 23% penduduk amerika
serikat menggunakan pengobatan alternatif, 41% klinik terapi di spanyol menggunakan
pengobatan tradisional, 70% di Kanada,dan 82% di Australia, bahkan di Singapura dan Korea
76% dan 86 % penduduknya masih menggunakan pengobatan tradisional (WHO, 2013).
Kondisi Pengobatan tradisional di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan pada
tahun 2013 diperoleh angka cakupan Pengobatan kesehatan sebesar 53,6% (223
Kabupaten/Kota) dari 416 Kabupaten/Kota di Indonesia. Dari cakupan wilayah tersebut,
Puskesmas yang sudah menyelenggarakan Pengobatan tradisional mencapai 793 Puskesmas
dari data yang diambil pada 9671 puskesmas, mencakup akupuntur dan akupresur
(Kementerian Kesehatan, 2013).

B. Sejarah Pengobatan
Sejak zaman prasejarah, manusia telah menggunakan produk alami, seperti tanaman,
hewan, mikroorganisme, dan organisme laut, dalam obat-obatan untuk mengurangi dan
mengobati penyakit. Menurut catatan fosil, penggunaan tanaman oleh manusia sebagai obat
dapat ditelusuri kembali setidaknya 60.000 tahun yang lalu. Penggunaan produk alami sebagai
obat menghadirkan tantangan luar biasa bagi manusia purba. Sangat mungkin bahwa ketika

Seminar Nasional Etnomedisin Page 35


mencari makanan, manusia purba sering mengonsumsi tanaman beracun, yang menyebabkan
muntah, diare, koma, atau reaksi beracun lainnya, bahkan mungkin kematian. Namun, dengan
cara ini, manusia purba dapat mengembangkan pengetahuan tentang bahan yang dapat
dimakan dan obat-obatan alami (yuan H et all, 2016)
pengetahuan yang didapat berdasarkan pengalaman dan kondisi yang dialami tentang
bahan yang dapat dimakan dan obat-obatan alami menyebabkan manusia belajar untuk
mengembangkan obat baru. Obat baru yang di kembangkan dengan memanfaatkan produk
alami berupa Obat-obatan tradisional dan sangat penting. Bentuk pengobatan seperti
pengobatan tradisional Tiongkok (TCM), Ayurveda, Kampo, pengobatan tradisional Korea
(TKM), dan Unani menggunakan produk alami dan telah dipraktikkan di seluruh dunia selama
ratusan atau bahkan ribuan tahun, dan telah berkembang secara teratur. namun pengetahuan
tersebut masih banyak kelemahan yang ditemukan, tetapi pengetahuan yang berkembang
merupakan gudang pengetahuan manusia yang berharga.
Pada awal abad ke-19, era obat-obatan "modern" dimulai. Pada 1805, morfin, senyawa
aktif farmakologis pertama diisolasi oleh seorang apoteker muda Jerman, Friedrich Sertürner,
dari pabrik opium. Selanjutnya, senyawa aktif yang tak terhitung jumlahnya telah dipisahkan
dari produk alami. produk alami penting untuk pengembangan obat baru, dan produk ini terus
digunakan. Beberapa jenis obat-obatan, seperti antikanker, antihipertensi, dan obat
antimigraina, telah mendapat manfaat besar dari produk alami. Produk alami yang telah
berevolusi selama jutaan tahun, memiliki keanekaragaman kimia yang unik, yang
menghasilkan keragaman dalam aktivitas biologis dan sifat seperti obat. Produk alami akan
terus digunakan untuk memenuhi kebutuhan mendesak dalam mengembangkan obat yang
efektif, dan memainkan peran utama dalam penemuan obat untuk mengobati penyakit
manusia. (yuan H et all, 2016).
Menurut Purwaningsih E (2013) Sejarah pengobatan tradisional di Indonesia diketahui
dengan ditemukannya fosil di tanah Jawa berupa lumpang, alu dan pipisan yang terbuat dari
batu yang menunjukkan, bahwa penggunaan ramuan untuk kesehatan telah dimulai sejak
zaman mesoneolitikum. Penggunaan ramuan untuk pengobatan tercantum di prasasti sejak
abad 5 M antara lain relief di candi Borobudur, candi Prambanan dan candi Penataran abad 8-
9 M. Usada Bali merupakan uraian penggunaan jamu yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno,
Sansekerta dan bahasa Bali di daun lontar pada tahun 991-1016 M. Istilah djamoe dimulai
sejak abad 15-16 M yang tersurat dalam primbon di Kartasuro. Uraian jamu secara lengkap
terdapat di serat centini yang ditulis oleh Kanjeng Gusti Adipati Anom Mangkunegoro III
tahun 1810-1823. Pada tahun 1850 R. Atmasupana II menulis sekitar 1734 ramuan jamu.
Djamoe merupakan singkatan dari djampi yang berarti doa atau obat dan oesodo (husada)
yang berarti kesehatan. Dengan kata lain djamoe berarti doa atau obat untuk meningkatkan
kesehatan. Pemanfaatan jamu di berbagai daerah dan/atau suku bangsa di Indonesia, selain
Jawa, belum tercatat dengan baik. Abad 18-20 Menurut Pols, sejak zaman penjajahan Belanda
pada awal abad ke-17, para dokter berkebangsaan Belanda, Inggris ataupun Jerman tertarik
mempelajari jamu sampai beberapa di antaranya menuliskannya ke dalam buku, misalnya
“Practical Observations on a Number of Javanese Medications” oleh dr. Carl Waitz pada tahun
1829. Isi buku antara lain menjelaskan bahwa obat yang lazim digunakan di Eropa dapat digantikan oleh
herbal/tanaman (jamu) Indonesia, misalnya rebusan sirih (Piper bettle) untuk batuk, rebusan kulit kayu
manis (Cinnamomum) untuk demam persisten, sedangkan daunnya digunakan untuk gangguan pencernaan
pada tahun 1850, seorang ahli kesehatan Geerlof Wassink membuat kebun tanaman obat dan
menginstruksikan kepada para dokter agar menggunakan herbal untuk pengobatan. Hasil pengobatan
tersebut dipublikasikan di Medical Journal of the Dutch East Indies.
Seorang ahli farmasi, Willem Gerbrand Boorsma yang saat itu bertugas sebagai direktur “Kebon Raya
Bogor” pada tahun 1892 berhasil mengisolasi bahan aktif tanaman dan membuktikan efeknya secara
farmakologis yaitu morfin, kinin dan koka. Pada abad ke-19 diterbitkan buku (900 halaman) tentang
pemanfaatan jamu di Indonesia oleh dr. Cornelis L. van der Burg yaitu Materia indica.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 36


Dengan ditemukan teori baru tentang bakteri oleh Pasteur dan ditemukannya sinar X, pemanfaatan
jamu menurun drastis pada awal tahun 1900. Pada akhir tahun 1930, dr. Abdul Rasyid dan dr. Seno
Sastroamijoyo menganjurkan penggunaan jamu sebagai upaya preventif untuk menggantikan obat yang
sangat mahal. Pada tahun 1939, IDI mengadakan konferensi dan mengundang dua orang pengobat
tradisional untuk mempraktikkan pengobatan tradisional di depan anggota IDI. Mereka tertarik untuk
mempelajari seni pengobatan tradisional Indonesia dan pada tahun yang sama, di Solo diadakan konferensi
I tentang jamu yang dihadiri juga oleh para dokter. Penggunaan jamu meningkat tajam saat penjajahan
Jepang. Dalam kurun waktu tersebut, terdapat tiga pabrik jamu besar yaitu PT Jamoe Iboe Jaya (1910), PT
Nyonya Meneer (1919) dan PT Sido Muncul (1940).
Pada tahun 1966, diadakan konferensi II tentang jamu, juga di Solo untuk mengangkat kembali
penggunaan jamu setelah hampir 20 tahun terlupakan terutama akibat perang dunia II yang berdampak pada
sosial-ekonomi masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Sejak saat itu, banyak pabrik jamu bermunculan
terutama di Jawa Tengah.(purwaningsih E,2013)
Saat ini penggunaan obat tradisional dalam pengobatan diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan No 006 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional, dan no 007 tahun
2012 tentang registrasi obat tradisional. Dalam peraturan tertuang penjelasan tentang kategori
obat tradional yaitu Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Obat tradisional dilarang mengandung: a.
etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan
pengenceran; b. bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat;
c. narkotika atau psikotropika; dan/atau d. bahan lain yang berdasarkan pertimbangan
kesehatan dan/atau berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan. Obat tradisional
dilarang dibuat dan/atau diedarkan dalam bentuk sediaan: a. intravaginal; b. tetes mata; c.
parenteral; dan d. supositoria, kecuali digunakan untuk wasir (permenkes,2012)
Departemen Kesehatan sendiri telah mengadopsi pengobatan herbal dalam pelayanan
medis dengan sebutan pengobatan komplementer melalui Kepmenkes
1109/Menkes/Per/IX/2007 mengenai Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer Alternatif
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan Kepmenkes 1076/Menkes/SK/VII/2003 mengenai
Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional.
Ilmu kedokteran modern berkembang pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 di
Inggris, Jerman, dan Perancis. Disebut juga ilmu kedokteran ilmiah dimana setiap pengobatan
yang diberikan harus dibuktikan melalui proses uji klinis. Kedokteran berdasarkan bukti
(evidence-based medicine) ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan cara kerja yang
efektif dengan menggunakan metode ilmiah serta informasi sains global yang
modern.(combifar,2015)
Nil Sari, seorang ilmuwan yang berasal dari Cerrahpasha Medical School, Universitas
Istanbul, Turki mengungkapkan temuan ilmuwan Muslim bernama Ibnu al-Baitar atas ramuan
obat kanker atau tumor bernama "Hindiba" pada abad ke-12 M.Obat kanker warisan
peradaban Islam itu kemudian dipatenkan oleh Prof Nil Sari pada 1997 (Abad ke-20).
Dalam sejarah Islam, dikenal beberapa tokoh penemu dibidang kesehatan dan
kedokteran. Ibnu Sina (980-1037 M) atau dikenal di Barat dengan nama Avicenna adalah
tokoh yang paling terkemuka atas karya monumentalnya “Qanun fit Al-Thib” (The Canon of
Medicine), sebuah ensiklopedia pengobatan (pharmacopedia) yang berisi satu juta kata. Ibnu
Sina memberi sumbangan pada Bakteriologi yakni Ilmu yang mempelajari kehidupan dan
klasifikasi bakteri. Ibnu Sina juga digelari Bapak Kedokteran Modern atas rekomendasinya
pada tujuh aturan dasar dalam uji klinis atas suatu obat. Selama dua abad (Abad ke-15 dan
Abad ke-16) karya tersebut dicetak ulang sebanyak 35 kali dan menjadi rujukan kedokteran
Eropa dan dunia hingga abad ke-18.
Abu al-Qasim al-Zahrawi (930-1013 M) atau dikenal di Barat dengan nama Abulcasis
pada tahun 1000 M (Abad 11) mempublikasikan temuannya dalam ilmu bedah seperti 200 alat

Seminar Nasional Etnomedisin Page 37


bedah dan plester sehingga digelari Bapak Ilmu Bedah Modern. Ada empat buah buku yang
dihasilkannya, salah satunya adalah berjudul, „Al-Tastif Liman Ajiz‟an Al-Ta‟lif‟.Buku
tersebut, sebuah ensiklopedi terdiri atas 30 jilid memuat alat-alat bedah yang belum pernah
ditemukan sebelumnya dalam karya-karya kedokteran kuno seperti Hippocrates maupun
kedokteran Yunani (seperti Unani) dan Persia (Akademi Gundishapur). Al-Zahrawi
menerapkan cautery untuk mengendalikan pendarahan, menggunakan alkohol dan lilin untuk
menghentikan pendarahan dari tengkorak selama membedah tengkorak. Al-Zahrawi adalah
dokter istana pada masa Khalifah Abdel Rahman III dan pernah menempuh pendidikan di
Universitas Cordoba, Spanyol. Selama hidupnya mendedikasikan untuk menulis buku-buku
kedokteran dengan spesialisasi masalah bedah, meski salah satu bukunya mengupas tentang
operasi gigi.
Pada abad ke-9, tokoh Islam lainnya Ishaq bin Ali Rahawi menulis kode etik kedokteran
pertama kali di dunia bernama Kitab Adab al-Tabib. Kitab tersebut terdiri atas 20 bab yang
menganjurkan pertama kali diadakan Peer-Review atas setiap pendapat baru dalam dunia
kedokteran. Didalam bukunya dianjurkan untuk memeriksa catatan medis sang dokter apabila
ditemukan pasien meninggal dunia guna memastikan tindakan dokter sesuai dengan standard
layanan medic atau tidak. Rekomendasi Rahawi hingga kini digunakan dalam kode
etikkedokteran, termasuk pemeriksaan pasien dalam rumah sakit dengan penggunaan rekam
medis (medical record). Masih pada abad ke-9, Al-Kindi menunjukkan aplikasi matematik
untuk kuantifikasi di bidang kedokteran seperti untuk pengukuran derajat penyakit dengan
menggunakan sejenis thermometer, mengukur kekuatan obat dan kemampuan menaksir saat-
saat kritis pasien.
Pada Abad ke-12, Ibnu Rusdy atau Averroes (1126-1198 M) memberikan kontribusinya
dalam ilmu kesehatan berupa karya berjudul „Al- Kulliyat fi Al-Tibb‟ (Colliyet) berisi
rangkuman ilmu kedokteran serta buku berjudul „Al-Taisir‟ mengupas praktik-praktik
kedokteran. Ibnu Rusdy adalah seorang dokter kelahiran Granada, Spanyol dan dikagumi oleh
banyak sarjana di daratan Eropa hingga kini. Dari dataran Eropa, khususnya Spanyol dikenal
beberapa nama dokter Muslim terkemuka seperti Al-Ghafiqi, seorang tabib yang mengoleksi
tumbuh-tumbuhan dari Spanyol dan Afrika; Ibnu Wafid Al-Lakhm, seorang dokter yang
terkemuka di Spanyol; dan Ibnu Tufails, tabib yang hidup sekitar tahun 1100-1185 M.
Kemudian pada abad ke-10 Abu-BakrMuhammad ibn Zakariya Ar-Razi (841-926 M)
dikenal di Barat dengan nama Razes memulai eksperimen dan observasi klinis sehingga
berhasil membangun dasar-dasar penyakit dari analisis urin dan menemukan kemoterapi.
Metode yang dilakukan Ar-Razi sangat berbeda dengan metode Aristoteles dan Galen yang
membangun pemikiran dan pendapatnya bukan melalui eksperimen sehingga tidak dapat
diverifikasi. Buku kedokteran yang ditulisnya berjudul „Al-Mansuri‟ (Liber Al-Mansofis)
yang menyoroti tiga aspek penting dalam kedokteran, antara lain: kesehatan publik,
pengobatan preventif, dan perawatan penyakit khusus. Buku lain yang dihasilkannya berjudul
„Al-Murshid‟ yang membahas tentang pengobatan berbagai penyakit seperti pengobatan cacar
air, sementara bukunya berjudul „Al-Hawi‟ menjadi salah satu rujukan sekolah kedokteran di
Paris yang terdiri dari 22 volume. Al Razi adalah dokter istana Pangeran Abu Saleh Al-
Mansur, penguasa Khorosan kemudian menjadi dokter pribadi khalifah sekaligus dokter
kepala di RS Baghdad.
Pada tahun 1242 (Abad 13), Ibnu An-Nafis (1208 – 1288 M) merintis bedah pada
manusia sehingga digelari Bapak Fisiologi peredaran darah. Sementara di negeri-negeri Barat,
nanti pada tahun 1628 baru ditemukan oleh William Harvey. Ibnu An-Nafistercatat
menghasilkan sejumlah buku kedokteran diantaranya adalah berjudul „Mujaz Al-Qanun‟berisi
kritik dan penambahan atas kitab yang ditulis Ibnu Sina. Ibnu An-Nafisjuga pernah menjadi
kepala RS Al-Mansuri di Kairo. Namun kelahiran berada pada era awal meredupnya
perkembangan kejayaan kesehatan Islam.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 38


Setelah abad ke-13 M, perkembangan ilmu kesehatan yang dipelopori para cendekiawan
dan sarjana Muslim memasuki masa stagnasi.Meski berada pada era keredupan pemikiran
kesehatan Islam, pada Abad ke-15 diberitakan pada sebuah rumah sakit Khalifah Ustmani
sudah terdapat seorang dokter bedah perempuan pertama kali di dunia. Sumbangsih para
ilmuwan Islam beberapa abad lalu hingga sekarang memiliki kontribusi besar pada Ilmu
Kedokteran Modern.
Yunani dan Romawi mempunyai pengaruh yang besar pada Hellenic, Ayurvedic dan
obat tradisional spanyol. Mereka juga tulang punggung dari semua pengetahuan ahli botani
Muslim dan dokter Islam. kemudian pengobatan tradisional amerika secara langsung
dipengaruhi oleh teks-teks tertentu dari Jerman dan Belanda yang dikembangkan selama abad
ke-16.
Obat tradisional. Agar setara dengan obat modern, harus melalui berbagai tingkatan uji
klinis. Berdasarkan tingkatan uji klinisnya, obat tradisonal dapat digolongkan menjadi jamu
(empirical based herbal medicine), obat ekstrak alam (obat herbal terstandar/scientific based
herbal medicine), dan fitofarmaka (clinical based herbal medicine). Jamu adalah jenis herbal
yang belum melalui proses uji kelayakan, hanya berdasarkan pengalaman masyarakat,
sedangkan obat tradisional telah diuji khasiat dan toksisitasnya (kandungan racun), namun
belum diujicobakan penggunaannya pada pasien.
Tingkat herbal yang saat ini telah diakui oleh ilmu kedokteran modern adalah yang telah
melalui tiga uji penting, yaitu uji praklinik (uji khasiat dan toksisitas), uji teknologi farmasi
untuk menentukan identitas atau bahan berkhasiat secara seksama hingga dapat dibuat produk
yang terstandardisasi, serta uji klinis kepada pasien. Agar setara dengan obat modern, obat
tradisional harus melewati berbagai proses tersebut. Apabila telah lulus uji klinis, obat herbal
tersebut kemudian disebut fitofarmaka yang layak diresepkan oleh dokter dan dapat beredar di
pusat pelayanan kesehatan.
Sebenarnya ilmu kedokteran modern tidak menyangkal efektivitas metoda pengobatan
tradisional untuk penyakit tertentu, selama telah dibuktikan melalui uji klinis yang memadai,
atau pengobatan dengan metoda konvensional sudah tidak bermanfaat.
Metode pengobatan modern (Barat) banyak mendominasi dunia medis, sementara untuk
metode pengobatan yang lain (herbal/tradisional) masih dianggap kurang berkembang karena
sedikitnya orang yang tertarik mendalaminya atau sedikitnya orang yang berobat dengan
metode tersebut.
Pemilihan metode pengobatan pada umumnya berdasarkan kepercayaan penderita
terhadap metode pengobatan yang akan dipilih.
Dari semua perbedaan antara metode pengobatan moderen dan pengobatan tradisional,
namun ada satu persamaan antara keduanya yaitu sama-sama bertujuan untuk meningkatkan
derajat kesehatan yang menderita suatu penyakit.

Tabel 1. Perbedaan Standar Obat Herbal dan Obat Modern

No Obat Modern Obat Tradisional


1. Uji evidence based Non uji evidence based
2. Dosis jelas Nondosis
3. evidence based Non evidence based
4. Zat aktif kandungan terukur Zat aktif kandungan tidak terukur
5. Pada umumnya baru Pada umumnya sudah lama digunakan
6. Memiliki efek samping Tidak memiliki fefek samping
7. Diarahkan pada sumber penyebab penyakit dan Lebih diarahkan untuk menghilangkan
perbaikan fungsi serta organ-organ yang rusak. gejala-gejalanya saja.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 39


8. Reaksi cepat, namun bersifat destruktif artinya Bersifat rekonstruktif atau memperbaiki
melemahkan organ tubuh lain, terutama jika organ dan membangun kembali organ-organ,
dipakai terus-menerus dalam jangka waktu jaringan atau sel-sel yang rusak.
lama.

9. Bersifat kuratif artinya benar-benar Bersifat paliatif artinya penyembuhan yang


menyembuhkan karena pengobatannya pada bersifat spekulatif, bila tepat penyakit akan
sumber penyebab penyakit sembuh, bila tidak endapan obat akan
menjadi racun yang berbahaya.
10. Lebih diutamakan untuk mencegah penyakit, Lebih diutamakan untuk penyakit-penyakit
pemulihan penyakit-penyakit komplikasi yang sifatnya akut (butuh pertolongan
menahun, serta jenis penyakit yang segera) seperti asma akut, diare akut, patah
memerluakan pengobatan lama. tulang, infeksi akut dan lain-lain.
11.
12. Efek samping yang bisa ditimbulkan iritasi Efek samping hampir tidak ada, asalkan
lambung dan hati, kerusakan ginjal, diramu oleh herbalis yang ahli dan
mengakibatkan lemak darah. berpengalaman

C. Kelebihan dan Kelemahan Obat Herbal


Seiring berkembangnya zaman, pemikiran-pemikiran yang didasari ketidakpuasan atas
metode pengobatan modern mulai muncul. Akibatnya metode alternative semakin
berkembang dan ikut menambah porsi peranannya dalam pengobatan. Rasa tidak puas dari
metode pengobatan medis Modern biasanya disebabkan,

Tabel 2. Kelebihan Obat Moderen dan Obat Herbal


No Modern/ Obat Kimiawi Tradisional/alternatif/herbal
1. Saat ini merupakan metode pengobatan Relatif aman dari efek samping untuk
terhadap suatu penyakit yang paling luas dikonsumsi dalam jangka waktu lama.
cakupannya.
2. Mempunyai efek terapi yang cepat sehingga Sesuai untuk gangguan kesehatan terutama
sesuai untuk mengobati penyakit penyakit penyakit kronik dan degeneratif seperti
yang bersifat emergency (gawat darurat) hipertensi, kencing manis, rematik, asma,
penyebaran sel-sel kanker, dan lain-lain.
3. Mempunyai berbagai macam teori-teori Metode herbal menggunakan unsur-unsur obat
tentang kesehatan yang paling banyak yang lebih alami sehingga diharapkan tubuh
digunakan pada saat ini dan mudah untuk lebih mudah untuk menerima dan bisa
disebarkan. menolerirnya
4. Mempunyai tempat pelayanan pengobatan Bisa menyembuhkan beberapa penyakit tertentu
yang luas dan menjangkau sampai daerah- yang tidak bisa diobati dengan cara medis
daerah sulit.
5. Mempunyai sistem pengajaran yang lebih Mengandung motivasi psikis, keyakinan,
fleksibel dan efektif melalui berbagai kepasrahan yang tinggi sehingga dapat
lembaga pendidikan sehingga bisa mudah meningkatkan semangat dalam berobat untuk
disebarluaskan. mencapai kesembuhan
6. Menggunakan metode penelitian yang lebih
rinci dan detail terhadap suatu produk obat
atau cara pengobatan secara ilmiah sehingga
bisa dipertanggungjawabkan
7. Menggunakan izin resmi dari pemerintahan
terkait praktek pengobatannya sehingga Iebih
bisa dipertanggungjawabkan.

Tabel 3. Kelemahan Obat Moderen dan Obat Herbal


Seminar Nasional Etnomedisin Page 40
No Modern/ Obat Kimiawi Tradisional/alternatif/herbal
1. Adanya beberapa penyakit yang sama sekali Membutuhkan waktu lebih lama untuk
tidak bisa diobati dengan metode pengobatan mendapatkan khasiat obat sehingga harus
medis modern. Hal inilah yang membuat dikonsumsi secara rutin
seseorang harus mencari metode alternative
yang diyakini bisa memberikan pengobatan
2. Pada beberapa penyakit memerlukan biaya Sulit mendapatkan bahan dasar obat yang
pengobatan yang mahal sehingga hanya dimaksud jika harus dalam bentuk segar (untuk
orang-orang tertentu yang bisa mengurangi masalah ini sekarang telah dibuat
memanfaatkannya dalam berbagai ekstrak)
3. Pada beberapa kasus pengobatan secara Khasiat obat yang membutuhkan waktu relatif
medis lebih rumit dan memerlukan prosedur lama, maka tidak dianjurkan untuk gangguan
yang ketat-mungkin juga birokrasi yang kesehatan yang gawat darurat. Misal asma pada
berbelit-belit sehingga kadang kadang keadaan serangan, jantung saat serangan,
membuat kelelahan sebelum tujuan perdarahan, patah tulang, infeksi yang
pengobatan itu tercapai dan pembengkalan membutuhkan penanganan cepat, dan lain-lain
biaya pengobatan
4. Efek samping yang muncul relative lebih Membutuhkan motivasi tinggi karena jalan yang
berbahaya sehingga membutuhkan ditempuh kurang familier di kalangan
pengawasan yang lebih ketat masyarakat umum
5. Pada beberapa penyakit memerlukan cara- Bahan baku belum standar
cara pengobatan yang dianggap menakutkan,
seperti operasi/pembedahan, radiasi,
kemoterapi dan lain-lain

D. Penutup
Walaupun demikian, efek samping obat herbal tidak bisa disamakan dengan efek
samping obat modern. Pada tanaman obat terdapat suatu mekanisme yang disebut penangkal
atau dapat menetralkan efek samping tersebut yang dikenal dengan istilah SEES (Side Effect
Eliminating Subtanted).

DAFTAR PUSTAKA

World health organization, traditional medicine strategy 2014-2023 geneva 2013


Haidan Yuan 1,2, Qianqian Ma 1 , Li Ye 1 and Guangchun Piao The Traditional Medicine
and Modern Medicine from Natural Products , Molecules journal 2016, 21, 559;
doi:10.3390/molecules21050559 www.mdpi.com/journal/molecules
Ernie H. Purwaningsih Jamu, Obat Tradisional Asli Indonesia Pasang Surut Pemanfaatannya
di Indonesia, ejki volume 1 no2 agustus 2013,Departemen Farmasi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta
https://www.combiphar.com/id/healthy-living/pengobatan-tradisional-vs-pengobatan-modern
10 april 2015 diakses tanggal 19 september 2019
https://www.primamedika.com perbedaan pengobatan tradisional dan modern diakses tanggal
19 sep 2019
Nil Sari, 2009 "Hindiba: A Drug for Cancer Treatment, Cerrahpasha Medical School,
Universitas Istanbul, Turki.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 41


NILA-NILAI KARAKTER DALAM SEJARAH BUDAYA ETNOMEDISIN
Oleh: Anwar Hafid
(Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Halu Oleo)

A. Pendahuluan
Biodiversitas adalah kekayaan bangsa dengan nilai yang tidak terhitung besarnya,
karena ancaman terhadap kepunahan biodiversitas akan mengancam kelestarian dan eksistensi
suatu bangsa. Indonesia tidak saja dikenal memiliki kekayaan biodiversitas tumbuhan dan
hewan yang tinggi, namun juga memiliki kekayaan atas keragaman budaya yang terekspresi
dari beragamnya suku bangsa. Kekayaan keaneka ragaman hayati dan budaya tersebut
menjadi 42ocal nasional yang harus dimanfaatkan dan dikembangkan untuk meningkatkan
ketahanan dan kedaulatan bangsa. Demikian juga terhadap kekayaan tumbuhan obat dan
pengetahuan tradisional terkait pemanfaatan tumbuhan obat untuk pengobatan. Kekayaan
sumberdaya tumbuhan obat memiliki potensi untuk dikembangkan sekaligus potensi ancaman
di masa mendatang.
Pengelolaan yang tepat akan berdampak pada kesejahteraan bangsa dan di sisi lain juga
mengancam kedaulatan akibat praktek biopirasi dan kepunahan spesies karena rusaknya
ekologi. Dengan demikian sangat pentingnya tersusun suatu data basis terkait kekayaan
biodiversitas tumbuhan obat dan pengetahuan tradisional masyarakat dalam penggunaan
tumbuhan sebagai obat. Data basis ini merupakan upaya perlindungan 42ocal nasional dari
berbagai ancaman baik yang 42ocal42 secara internal maupun eksternal. Data basis tumbuhan
obat, ramuan obat tradisional, dan kearifan 42ocal dalam pengelolaan pemanfaatan tumbuhan
obat, akan dikembangkan berdasarkan kegiatan penelitian terstruktur dan berkelanjutan yang
disebut Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA). Riset ini akan memetakan dan
menginventarisasi pengetahuan tradisional setiap etnis dalam memanfaatkan tumbuhan untuk
pengobatan dan kesehatan dari sumber informasi pengobat tradisional, melakukan koleksi
langsung tumbuhan obatnya, dan mendata kearifan 42ocal dalam pengelolaan serta
pemanfaatan tumbuhan obat. Data basis ini menjadi 42ocal Nasional dalam upaya
perlindungan sekaligus upaya pengembangan kekayaan nasional demi sebesar besarnya
kesejahteraan bangsa, sekaligus untuk ketahanan dan kedaulatan Indonesia (Purwadi, 2015).
Riset Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis
Komunitas di Indonesia, yang selanjutnya disebut RISTOJA, merupakan riset pemetaan
pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan obat berbasis suku yang dilaksanakan
oleh Badan Litbang Kesehatan. Riset ini dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan informasi
terkait data tumbuhan obat dan ramuan tradisional yang digunakan oleh setiap suku di
Indonesia. Maraknya biopiracy yang dilakukan oleh pihak luar terhadap kekayaan plasma
nutfah tumbuhan obat Indonesia harus segera diantisipasi dengan penyediaan basis data atas
kepemilikan dan autentitas jenis tersebut sebagai kekayaan biodiversitas Indonesia.
Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas tumbuhan terbesar kedua di dunia. Di
dalam biodiversitas yang tinggi tersebut, tersimpan pula potensi tumbuhan berkhasiat obat
yang belum tergali dengan maksimal. Potensi tersebut sangat besar untuk menjamin kesehatan
dan kesejahteraan masyarakat apabila dimanfaatkan dengan baik. Disamping kekayaan
keanekaragaman tumbuhan tersebut, Indonesia juga kaya dengan keanekaragaman suku dan
budaya. Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Indonesia memiliki 1.068 suku bangsa yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing suku memiliki khasanah yang berbeda-
beda. Pada setiap suku, terdapat beraneka ragam kekayaan kearifan lokal masyarakat,
termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan tradisional.
Eksplorasi dan inventarisasi tumbuhan obat beserta pemanfaatannya di masyarakat yang
berbasis kearifan lokal perlu dilakukan. Riset untuk mendapatkan data-data fitogeografi,
agroklimat, pemanfaatan berbasis kearifan lokal, fitokimia dan social ekonomi dari tumbuhan

Seminar Nasional Etnomedisin Page 42


obat akan sangat penting dalam membangun sebuah basis data yang dapat digunakan sebagai
informasi penting dalam proses domestikasi tumbuhan obat untuk peningkatan produktivitas
baik dari segi kualitas maupun kuantitas, serta rintisan untuk kemandirian obat berbasis
tumbuhan.
RISTOJA 2017 dilaksanakan di 11 provinsi. Data yang dikumpulkan meliputi data
demografi penyehat tradisional, jenis ramuan yang digunakan, jenis gejala/penyakit yang
diobati oleh penyehat tradisional dan data tumbuhan obat (TO). Pengumpulan data dilakukan
secara serentak pada bulan Mei 2017 oleh tim pengumpul data yang terdiri dari
antropolog/sosiolog, biolog/botani, dan tenaga kesehatan dengan kriteria tertentu.
Pengumpulan data di lapangan dilaksanakan dengan cara wawancara, observasi, dan
okumentasi. Data yang telah dikumpulkan oleh tim pengumpul data perlu disusun dalam
bentuk laporan agar dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang membutuhkan.
Pengobatan secara tradisional dilakukan menggunakan satu atau beberapa jenis
tumbuhan serta berbagai bagian organ tumbuhan yang diperkirakan bermanfaat dengan cara
bagian tanaman tersebut direbus, ditumbuk, diminum, dibobokkan atau dibalurkan, dan
dioleskan pada bagian yang sakit. Selain menggunakan tumbuhan, pengobatan tradisional
masyarakat Tengger yang utama dilakukan dengan media suwuk berupa pembacaan mantera
serta pilis dengan tanah (Batoro et al., 2010).
Masyarakat Tengger yang berada di Kabupaten Lumajang dan Malang dipandang paling
banyak terpengaruh oleh budaya luar, sehingga pengetahuan lokalnya mengenai tumbuhan
yang digunakan dalam pengobatan perlu digali lebih jauh agar dapat dilestarikan. Berdasarkan
harga UVs dan ICF yang tinggi, terdapat beberapa tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat
Tengger di kedua kabupaten tersebut yang berpotensi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut,
yaitu adas (F. vulgare), sempretan (B. pilosa), pulosari (A. reinwardtii), tepung otot (B.
laevis), jambu wer (E. longifolius), dan dringu (A. calamus) (Ningsih, 2016).
Meningkat karena digunakan sebagi pilihan terapeutik yang aman dan pada banyak
institusi medis telah dibuktikan secara klinik. Kepercayaan terhadap obat tradisional oleh
masyarakat juga didukung oleh kepercayaan bahwa obat tradisional lebih sedikit memiliki
efek samping dibanding obat konvensional serta keyakinan bahwa produk alam itu lebih aman
dan lebih baik dibanding produk sintetik sehingga istilah back to nature menjadi semakin
populer dikalangan masyarakat karena memberikan jaminan yang lebih baik tersebut.
Walaupun demikian penggunaan obat tradisional yang dianggap aman oleh masyarakat perlu
menjadi perhatian karena setiap bahan atau zat memiliki potensi bersifat toksik tergantung
takarannya dalam tubuh (Ihsan, dkk, 2016).
Dalam dunia Melayu ditemukan penelitian pengobatan tradisional yang menggunakan
naskah sebagai sumbernya, yakni yang dilakukan oleh A Samad Said (2005). Penelitian
tersebut berjudul Warisan Perubatan Melayu yang menyajikan suntingan teks pengobatan
tradisional dari naskahnaskah melayu. Selain edisi teks, penelitinya juga membuat klasifikasi
jenis penyakit dan obat yang digunakan.
Kajian model pengobatan ini di Indonesia masih sangat langka. Kajian ini pernah
menjadi bagian dari kajian folkor yang termasuk dalam konteks pembicaraan mengenai hewan
sebagai makanaan manusia (bukan obat) (Danandjaya, 1996). Oleh karena langkanya kajian
tentang animalmedicine ini, maka perlu kirannya hal tersebut segera diteliti sehingga
informasi tentang animalmedicine yang terdapat dalam naskah tidak hilang begitu saja.

B. Beberapa Konsep terkait dengan Etnomedisin


Etnomedisin merupakan kepercayaan dan pelaksanaan medis para warga masyarakat
tradisional. Secara teoritis: kepercayaan-kepercayaan medis dan pelaksanaanya merupakan
unsur utama dalam tiap kebudayaan. Secara praktis: pengetahuan mengenai kepercayaan

Seminar Nasional Etnomedisin Page 43


medis pribumi dan pelaksanaanya penting untuk perencanaan progran kesehatan dan dalam
pengadaan pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat tradisional.
1. Etnomedisin, yakni cabang antropologi kesehatan yang membahas tentang asal mula
penyakit, sebab-sebab, dan cara pengobatan menurut kelompok masyarakat tertentu.
Aspek etnomedisin merupakan aspek yang muncul seiring perkembangan kebudayaan
manusia. Di bidang antropologi kesehatan, etnomedisin memunculkan termonologi yang
beragam. Cabang ini sering disebut pengobatan tradisional, pengobatan primitif, tetapi
etnomedisin terasa lebih netral (Foster dan Anderson, 1986: 62).
2. Etnis atau suku adalah kelompok masyarakat yang dibedakan atas dasar bahasa, budaya
dan lokasi asal.
3. Etnobotani adalah ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuh-tumbuhan dalam
keperluan kehidupan sehari-hari dan adat suku bangsa.
4. Etnofarmakologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kegunaan tumbuhan yang
memiliki efek farmakologi dalam hubungannya dengan pengobatan dan pemeliharaan
kesehatan oleh suatu suku bangsa.
5. Fitogeografi adalah ilmu tentang masalah penyebaran tumbuhan.
6. Kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan
sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan di dalam tradisi dan mitos
yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama. Kearifan lokal atau kearifan
tradisional yaitu semua bentuk keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan
atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas
ekologis. Kearifan lokal/tradisional merupakan bagian dari etika dan moralitas yang
membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan,
bagaimana harus bertindak khususnya di bidang pengelolaan lingkungan dan sumber
daya alam.
7. Biopirasi adalah pencurian sumber daya hayati atau pengetahuan tradisional untuk
kepentingan komersial oleh pihak tertentu dan merugikan pihak lainnya. Komunitas
masyarakat adat adalah kelompok yang paling rentan dengan biopirasi ini, karena
memiliki banyak pengetahuan yang bisa diambil begitu saja tanpa mendapatkan
kompensasi yang layak dari pengetahuan mereka tersebut.
8. Bioprospeksi adalah upaya untuk mencari kandungan kimiawi baru pada makhluk hidup
(baik mikroorganisme, hewan, dan tumbuhan) yang mempunyai potensi sebagai obat-
obatan atau untuk tujuan komersil lainnya.
9. Biodiversitas (keanekaragaman hayati) adalah keanekaragaman organisme yang
menunjukkan keseluruhan variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah.
10. Koleksi spesimen TO adalah seluruh bagian tumbuhan obat yang memungkinkan untuk
diambil dan dikeringkan sebagai herbarium.
11. Komunitas lokal adalah suatu kelompok orang (masyarakat) yang hidup dan saling
berinteraksi di dalam daerah tertentu
12. Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan sumber daya alam secara teratur untuk
mencegah kerusakan dan kemusnahan melalui pemanfaatan secara bijaksana dan
menjamin kesinambungan ketersediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keragamannya.
13. Pendekatan etik dan emik merupakan kajian kebudayaan melalui makna bahasa yang
digunakan oleh suatu masyarakat budaya. Etik merupakan kajian makna yang diperoleh
dari pandangan orang di luar komunitas budaya tersebut. Sebaliknya, emik merupakan
nilai-nilai makna yang diperoleh melalui pandangan orang yang berada dalam komunitas
budaya tersebut
14. Ramuan adalah beberapa bahan/tumbuhan yang digabung menjadi satu kesatuan
digunakan dalam pengobatan tradisional.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 44


C. Nilai-nilai Karakter dalam Budaya Etnomedisin
1. Nilai Religius
Salah satu ramuan tradisional yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai ramuan
obat berkhasiat adalah Lansau yang ada pada Suku Muna. Lansau telah digunakan selama
ratusan tahun oleh Suku Muna yang terdiri dari 44 macam campuran bahan tumbuhan yang
diambil berdasarkan kepercayaan dan nilai filosofis yang dianut oleh masyarakat Suku Muna.
Penggunaan Lansau masih diminati oleh masyarakat suku Muna. Hal ini didasari oleh
kepercayaan masyarakat bahwa obat herbal aman dikonsumsi karena tidak menimbulkan efek
samping. Lansau oleh masyarakat Suku Muna dipercaya dapat mengobati segala jenis
penyakit terutama penyakit dalam. Selain itu pengobatan dengan herbal oleh masyarakat
dianggap lebih ekonomis dibanding pengobatan dari dokter. Bahan obat lansau selain terdiri
dari daun-daunan dan rumput juga terdiri dari kulit kayu atau batang. Kandungan filosofis
yang terdapat dalam pengobatan yang menggunakan Lansau serta sugesti, saran dan doa dari
tabib menjadikan masyarakat memperlakukan Lansau sebagai obat bagi seluruh masalah yang
dihadapi terutama terkait penyakit.
Lansau terdiri dari 44 macam jenis tumbuhan yang secara khusus diambil dari
pemaknaan terhadap asal kejadian manusia. Nilai filosofis yang terkandung dari Lansau
terkait erat dengan nilai spiritual yang dianut oleh masyarakat suku Muna sebagai penganut
agama Islam yang bercorak tasawuf dan membentuk sebagian besar budaya dalam masyarakat
Muna. Hal ini terjadi karena Islam yang masuk di Nusantara oleh para saudagar Arab-Persia
maupun yang berasal dari Campa di Vietnam adalah bercorak tasawuf dan Syiah yang juga
kental tradisi tasawufnya.
Menurut penjelasan tabib Lansau, angka 44 merujuk pada proses kejadian pasangan
manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhan Allah SWT yaitu Adam dan Hawa. Adam
diyakini diciptakan dengan 12 pasang tulang yang kemudian sepasang di berikan ke Hawa
yaitu tulang rusuk sehingga tersisa 11 pasang ruas tulang. Penggunaan angka 12 tidak
dijelaskan lebih lanjut oleh tabib Lansau, namun tulang punggung manusia benar terdiri dari
12 ruas. Penggunaan angka 12 dan 4 banyak terdapat dalam Al Qur‟an seperti dalam surat At
Taubah (9) ayat 36: “Sungguh bilangan bulan pada sisi Allah ialah 12 bulan, dalam ketetapan
Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya 4 bulan haram”. [4]. Angka 4
tersebar dalam Al Qur‟an seperti dalam QS.An Nisa (4) ayat 3, QS Fatir (35) ayat 1. Dalam
hadist, angka 4 secara implisit disebutkan ketika Nabi Muhammad saw menyebut
penghormatan kepada Ibu 3 kali dan ditambah Ayah 1 kali (HR Muttafaq “Alaih). Jumlah 4
juga banyak terdapat dalam alam semesta seperti jumlah basa nukleotida penyusun rantai
DNA yaitu adenine (A), sitosin (G), guanin (G) dan timin (T). Molekul dasar pembentuk sel
juga terdiri dari 4 unsur oksigen (O), karbondioksida (C), hydrogen (H) dan nitrogen (N).
Dalam sistem bilangan juga dikenal 4 sistem bilangan yaitu sistem biner, system oktal, sistem
desimal dan sistem heksadesimal. Dalam sistem pengobatan Cina juga dikenal 4 unsur
pembentuk manusia dan alam semesta yaitu unsur air, api, tanah dan angin.
Angka 12 adalah jumlah kalimat Ar rahman Ar Rahim pada kalimat pembuka Al Qur‟an
Bismillahi Rahmani Rahim. Dalam salah satu surat dalam Al Qur‟an yang bermakan kasih
sayang yaitu surat Ar Rahman terdapat ucapan yang sama yaitu kalimat “fabi ayya ala
irabbikuma tukadzziban” di ulang sebanyak 31 kali dengan pembagian 12 kali merujuk
peristiwa sebelum kiamat sampai terjadinya kiamat dan 19 kali merujuk pada peristiwa
setelah kiamat. Hal ini dapat dilihat bahwa ayat 37 mengatakan tentang kiamat yang
dikomentari dengan ayat 38 yang merupakan pengulangan yang ke 12 kali. Oleh karena itu
dunia diwakili oleh angka 12. Oleh karenanya penggunaan angka 12 dan 4 dalam sistem
pengobatan Suku Muna yang menggunakan Lansau memiliki kaitan dengan pemaknaan
terhadap konsep pada kitab suci Al Qur‟an dan pemahaman pada pola alam semesta.
Pemaknaan terhadap penciptaan Adam-Hawa ini juga di ambil dari penafsiran atas Al-Qur‟an

Seminar Nasional Etnomedisin Page 45


Surat An Nisa ayat 1 bahwa Allah menciptakan Hawa dari jenis yang sama seperti Adam “Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri
yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu” (Ihsan, dkk, 2016).
Sebagian besar Hattra pada 5 etnis di Sulawesi Selatan ini adalah perempuan (64%). Hal
ini kemungkinan karena kebanyakan hattra merupakan merupakan dukun bayi. Pengaruh
Islam yang kuat juga dapat menyebabkan berkembangnya jumlah hattra perempuan, karena
ada larangan dalam agama bagi laki-laki menyentuh wanita yang bukan muhrimnya.
Umumnya kepercayaan tentang kegunaan atau kekhasiatan suatu jenis tumbuhan obat
tidak hanya diperoleh dari pengalaman, tetapi seringkali dikaitkan dengan nilai-nilai religius.
Persepsi masyarakat Wawonii tentang sakit tergantung dari sudut pandang masing-masing
orang. Secara umum dapat dikatakan bahwa sakit adalah keadaan yang tidak seimbang,
sehingga dapat mempengaruhi kegiatan sehari-harinya. Penyebab penyakit bermacammacam,
ada yang datang dari Sangia (Sang Pencipta) dan ada yang berasal dari makhluk halus/jahat.
Oleh karena itu para sando selalu mengadalkan pengobatannya dengan senantiasa memohon
pertolongan kepada Sang Pencipta (Rahayu, dkk, 2006).

2. Nilai Disiplin
Keanekaragaman jenis tumbuhan obat Fasilitas kesehatan modern terdapat di lokasi
penelitian, namun sando masih berperan dalam pengobatan penyakit dan perawatan pra dan
paska persalinan (Rahayu, 2006). Waktu panen yang baik menurut Tabib Lansau adalah pagi
hari dan bagian tanaman yang dipanen adalah daun yang dekat dengan pucuknya karena pagi
hari adalah waktu ketika embun masih ada dan matahari baru saja akan menyinari yang dalam
nilai filosofisnya iklim masih dalam keadaan suci dan murni. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan metabolit sekunder pada tanaman di waktu pagi belum hilang karena belum terjadi
fotosintesis oleh matahari. Kandungan metabolit tiap tanaman dapat berbeda-beda
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat tumbuh tanaman tersebut menyebabkan
kandungan kimia dapat berbeda sehingga khasiat juga akan berbeda meskipun pada jenis
tanaman yang sama (Sari dkk, 2017).
Kegiatan dukun menolong seorang ibu yang akan melahirkan, biasanya sangat terikat
dengan waktu. Artinya dukun tidak bisa menunda-nunda untuk berlama-lama baru pergi
menolong persalinan seseorang, terutama saat menjelang melahirkan. Demikian pula
pertolongan kepada seseorang yang menderita penyakit, seperti: sakit perut, munta bera, dll.

3. Nilai Rasa Ingin Tahu


Penelitian mengenai Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat
Berbasis Komunitas di Indonesia perlu dilakukan untuk menggali pengetahuan lokal
etnomedisin sebagai bagian kearifan lokal masing-masing etnis dan keanekaragaman TO yang
menjadi dasar bagi pengembangan riset berkelanjutan dalam bidang etnomedisin dan
tumbuhan obat. Penelitian Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat
Berbasis Komunitas di Indonesia ini juga dikenal dengan istilah Riset Tumbuhan Obat dan
Jamu (RISTOJA). RISTOJA 2012 telah dilaksanakan di 26 provinsi seluruh wilayah
Indonesia kecuali provinsi di pulau Jawa dan Bali, bekerja sama dengan 25 Perguruan Tinggi
terkemuka di masing-masing wilayah. Etnis yang diteliti meliputi 209 etnis dengan jumlah
titik pengamatan 254. Terdapat 15.773 informasi ramuan, sebagian besar berkaitan dengan
perilaku hidup sehat, seperti demam, sakit kepala, sakit kulit serta sakit perut, terdapat juga
gejala/penyakit yang berkaitan dengan metabolisme atau penyakit degenerative seperti

Seminar Nasional Etnomedisin Page 46


kanker/tumor dan darah tinggi. Selain itu terdapat ramuan untuk malaria sebanyak 486
ramuan, TBC 75 ramuan dan HIV/AIDS 13 ramuan. Tumbuhan yang digunakan dalam
pengobatan berjumlah 19.738 informasi, 13.576 berhasil diidentifikasi hingga tingkat spesies
yang terdiri 1.740 spesies/jenis dari 211 familia (Purwadi, 2015).
Pengetahuan tradisional masyarakat terhadap tumbuhan obat cukup baik dan telah
diturunkan dari generasi ke generasi, namun saat ini mulai terancam punah akibat perubahan
sosio-budaya yang secara umum mempengaruhi nilai-nilai sosial, dimana generasi mudanya
mencari alternatif pengobatan yang lebih praktis. Pengetahuan obat tradisional mereka hanya
terbatas oleh generasi tua. Generasi muda cenderung lebih memilih berobat kepada mantri,
Puskesmas, Polindes, dan bidan. Peran dukun bayi pun hanya terbatas pada pembacaan suwuk
(doa) dan perawatan setelah melahirkan (Ningsih, 2016).
Riset Khusus Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis
Komunitas di Indonesia yang dilaksanakan di Etnis Osing Provinsi Jawa Timur diperoleh
hasil sebagai berikut:
a. Pengamatan ristoja di Etnis Osing Provinsi Jawa Timur dilakukan di wilayah Osing Ndeles
yaitu Desa Kemiren Kecamatan Glagah, Desa Penataban Kecamatan Giri, Desa Licin
Kecamatan Licin, Desa Pesucen Kecamatan Kalipuro dan Desa Temu Asri Kecamatan
Sempu dengan 5 pengobat tradisional H. Djohadi Timbul, H. Slamet Utomo, H. Hanik
Jaelani, Abdul Hadi, Anang Mahmud.
b. Ramuan yang berhasil didata dari 5 orang Hattra berjumlah 165 ramuan yang digunakan
untuk pengobatan 211 penyakit, dengan gejala/penyakit dari penyakit yang diderita oleh
bayi, anak-anak dan orang dewasa. Teknik yang digunakan oleh Hattra dalam mengobati
pasien, memadukan beberapa teknik yaitu pijat, ramuan jamu, spiritual dan supranatural.
c. Dari Hattra diperoleh 254 informasi TO yang digunakan dalam beberapa ramuan, sehingga
sebenarnya hanya terdapat 148 nama lokal TO teridentifikasi 146 spesies dari 62 familia.
Dari 148 TO tersebut yang berhasil dikoleksi 109 specis yang digunakan untuk 526
herbarium dan 397 DNA. Bagian tanaman yang banyak digunakan Antara lain : daun
(29,7%), rimpang (19,5%) dan buah (13,2%).
d. TO yang sulit diperoleh berjumlah 20 TO , 15% diupayakan menanam sendiri, dan 85%
diperoleh dengan membeli ataupun mencari di tempat lain. Dari 148 spisies yang
teridentifikasi terdapat 6 jenis tanaman langka di Indonesia yaitu Pasak Bumi, Purwaceng,
Keningar, Pule, Masoyi, Kemenyan (Purwadi, 2015). Usaha konservasi TO yang sulit telah
dilakukan baik oleh masyarakat secara mandiri dan swakelola juga dilakukan oleh
pemerintah daerah dan instansi terkait melalui program TOGA (Tanaman Obat Keluarga),
baik di tingkat keluarga maupun masyarakat. Pembinaan dan arahan pembuatan jamu
secara higienis dan sesuai standar, serta gerakan minum jamu menjadi program resmi
daerah.

4. Nlai Peduli Lingkungan


Bentuk konservasi dimana tumbuhan obat yang tadinya diperoleh di hutan atau gunung,
diambil dan ditanam di pekarangan rumah, sehingga mudah diperoleh saat dibutuhkan dalam
pembuatan ramuan. Data menunjukkan bahwa sebagian besar bahan baku ramuan diperoleh
dari alam, hanya 42,03% yang telah dibudidayakan. Pengambilan bahan ramuan secara
langsung di alam yang terus menerus dilakukan tanpa upaya pelestarian dapat menyebabkan
kelangkaan tumbuhan obat di kemudian hari. Budidaya tumbuhan obat bermanfaat bagi
Penyehat Tradisional (HATTRA), pasien maupun ekosistem, karena dengan
membudidayakan tumbuhan obat yang merupakan bahan baku ramuan, maka Hattra dapat
memperoleh tumbuhan obat setiap saat ketika diperlukan. Selain itu, tumbuhan obat hasil
budidaya juga terjaga kualitasnya dan ekosistem liar tetap terjaga dari kelangkaan. Hattra
membutuhkan penyuluhan dalam upaya pelestarian tumbuhan obat melalui budidaya.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 47


Kearifan Pengelolaan Tumbuhan Obat tertuang dalam UU No.32 Tahun 2009. Kearifan
lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat antara lain yaitu
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Kearifan lokal juga dapat
didefinisikan sebagai segala bentuk kebijaksanaan yang didasari oleh nilai-nilai kebaikan
yang dipercaya, diterapkan dan senantiasa dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu
yang cukup lama (secara turun-temurun) oleh sekelompok orang dalam lingkungan atau
wilayah tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka. Dalam RISTOJA 2017, kearifan lokal
yang akan dibahas adalah kearifanlokaldalam pengelolaan tumbuhan obat (Sari dkk, 2017).
Jumlah total tumbuhan obat yang sulit diperoleh sebanyak 127jenis. Sebanyak 57 jenis
tumbuhan obat telah dilakukan upaya pelestarian oleh Hattra. Upaya pelestarian yang
dilakukan Hattra antara lain dengan cara menanam tumbuhan obat (45 jenis) yang digunakan
dalam ramuan di kebun atau pekarangan rumah sendiridan mengambil tumbuhan obat secara
selektif (8 jenis), dalam artian mengambil seperlunya dengan memperhatikan kondisi
tumbuhan obat. Budidaya merupakan salah satu bentuk konservasi SDA sebagai mana
tercantum dalam UU No.32 tahun 2009 yang berperan penting dalam menjamin
kesinambungan ketersediaan bahan baku ramuan obat tradisional dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Oleh karena itu, perlu digalakkan
upaya budidaya tumbuhan obat baik oleh Hattra maupun masyarakat pada umumnya (Sari
dkk, 2017).
Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di
Indonesia yang dilaksanakan di pada 16 etnis di Provinsi Sulawesi Tengah, diperoleh hasil
sebagai berikut:1.Pengamatan RISTOJA pada16 etnisdi Provinsi Sulawesi Tengah, meliputi
80penyehat tradisional.Ramuan yang berhasil didata berjumlah 919 ramuan. Sakit pinggang
merupakan penyakit terbanyak yang diobati oleh Hattra, sementara batuk dan mencret masih
menjadi jenis gejala/penyakit dominan terkait perilaku hidup bersih dan sehat, disusul dengan
gejala/penyakit yang berkaitan dengan gangguan metabolisme seperti kencing manis dan
darah tinggi.2.Tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan berjumlah 1.729 informasi,
1.437 diantaranya telah diidentifikasi (terdiri dari 325 spesies/jenis). Bagian TO yang paling
banyak digunakan adalah daun. Koleksi tumbuhan obat dalam bentuk herbarium sebanyak
728.3. Hattra yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan TO sebanyak 53 orang.
Tumbuhan obat yang setahun terakhir sulit didapatkan sebanyak 86 dengan penyebab terbesar
adalah jumlahnya yang semakin berkurang. Sejumlah 57 TO telah diupayakan pelestariannya
oleh Hattra (Sari dkk, 2017).

5. Nilai Peduli Sosial


Jumlah ramuan yang dimiliki Informan sesuai kemampuan untuk mengobati berbagai
macam penyakit dengan jumlah ramuan sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah ramuan yang digunakan dalam pengobatan oleh informan di
Etnis Osing Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur, RISTOJA 2015
No Nama Dukun Jumlah Ramuan Keterangan
1 H. Djohadi Timbul 32
2 H. Slamet Utomo 28
3 H. Hanik Jaelani 42
4 Abdul Hadi 27
5 Anang Mahmud 36
Jumlah 165
Jumlah rata-rata ramuan yang dimiliki adalah 30 ramuan/informan, dimana pada
informan nomer 3 yaitu Bapak H. Hanik Jaelani memiliki jumlah ramuan yang sangat banyak
(42), beliau merupakan Hattra yang dalam mengobati memadukan teknik pijat refleksi dengan
minum ramuan/jamu, ramuan yang dimiliki sangat bervariasi Sedangkan Bapak Abdul Hadi
memiliki 27 ramuan, meskipun demikian jumlah pasiennya jauh lebih banyak dari informan
Seminar Nasional Etnomedisin Page 48
yang lain (600 pasien/bulan). Bapak Abdul Hadi oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai
dukun pijat dan suwuk yaitu metode pengobatan dengan supranatural, teknik pengobatan Pak
Abdul Hadi memadukan teknik pijat, minum ramuan/jamu, dan suwuk, penggunaan 3 teknik
tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan pasien. Pasien dari bayi hingga orang
dewasa.
Rata-rata informan ditanya tentang murid yang dimiliki, mereka menjawab tidak
memiliki murid. Namun demikian, diantara mereka anak mereka mulai berprofesi seperti
ayahnya, artinya ada yang mewarisi keterampilan dan ilmu mengobati bahkan ada yang sudah
praktek seperti ayahnya. Data mengenai murid informan sebagai berikut.

Tabel 4. Jumlah Murid Informan yang telah Mandiri di Etnis Osing


di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur, RISTOJA 2015
No Nama Dukun Jumlah Murid Mandiri Keterangan
1 H. Djohadi Timbul 1
2 H. Slamet Utomo 6
3 H. Hanik Jaelani 0
4 Abdul Hadi 0
5 Anang Mahmud 0
Jumlah 7

6. Nilai Bersahabat/Komunikatif
Pengetahuan tumbuhan obat sebagai salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat
merupakan pengetahuan yang didapat dari proses interaksi manusia dengan lingkungan, baik
melalui pengalaman pencobaan atau juga karena mencontoh makhluk hidup yang lain.
Pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan obat didapat oleh masyarakat desa DDJ dari
generasi sebelumnya. Hal ini ditunjukkan ketika wawancara mereka selalu menyarankan agar
bertanya pada orang yang lebih tua, karena orang tua lebih banyak pengalaman dan juga
banyak mengetahui informasi mengenai tumbuhan yang bisa digunakan sebagai obat.
Menurut Alcorn 2) pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai obat diwariskan dari
generasi ke generasi. 2) Interaksi penduduk dengan suku lain Pengetahuan tentang tumbuhan
obat pada masyarakat di desa DDJ juga berasal dari interaksi mereka dengan suku-suku lain
yang ada di sekitarnya. Pola perdagangan sumberdaya alam antar pulau berdampak tidak saja
pada peningkatan ekonomi tetapi juga adanya pertukaran pengetahuan. Ketika masyarakat
DDJ menjual hasil perkebunannya ke kota Kendari mereka bertemu dengan berbagai suku
lain yang ada di kota tersebut, saat itulah terjadi pertukaran ekonomi, informasi, dan juga
pengetahuan. Pola interaksi dengan suku atau Pengetahuan Lokal Tumbuhan Obat (Indrawati,
2014).
Sebanyak 96 persen persen tempat tinggal hattra adalah di daerah pedesaan. Lima etnis
dalam penelitian ini tidak termasuk dalam etnis besar yang mendiami kota-kota di Sulawesi
Selatan. Sebaliknya, kebanyakan mereka mendiami daerah yang terpencil, seperti etnis
Bonerate dan Kalaotoa di Kepulauan yang jarak tempuh dari daratan utama mencapai belasan
jam dengan moda transportasi yang terbatas. Lokasi pedesaan juga menyediakan sumber daya
alam yang lebih banyak untuk dimanfaatkan sebagai pengobatan. Lokasi yang terpencil
memaksa masyarakat untuk menggunakan pengobatan tradisional karena akses pelayanan
kesehatan formal yang terbatas.
Pengetahuan pengobatan tradisional hattra tidak hanya diperoleh dari satu sumber,
namun lebih dari 80 persen berasal dari keluarga Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan
empiris pengobatan tradisional, tidak diwariskan kepada sembarang orang dan hanya pada
anggota keluarga terpilih yang diyakini mampu untuk meneruskan ilmu pengobatan tersebut.
Pendidikan dalam keluarga termasuk pendidikan informal. Menurut Sugiharto et al.
(2016), pendidikan informal mempunyai peran yang sangat vital dalam proses pewarisan
Seminar Nasional Etnomedisin Page 49
kearifan lokal kepada generasi berikutnya, hal ini dilandasi bahwa pewarisan kearifan lokal
hanya dapat terakomodasi oleh pendidikan informal.

Gambar 3. Sukora

Keterangan:
1. Tanda + Posisi Matahari
2. Tanda – Posisi Bulan
3. Tanda Petunjuk Arah Perhitungan.
Seorang penderita yang mulai jatuh sakit pada terbit bulan di langit:
1. 1, 10, 19, 28 Pasarannya adalah Akoi (Ino’akoi) artinya cara pengobatannya adalah
dengan upacara sesajen pada roh halus, jin dan setan yang diduga
mengganggunya sehingga yang bersangkutan jatuh sakit.
2. 2, 11, 20, 29 Pasarannya adalah Pepeowai artinya cara pengobatannya harus kepada
Dukun.
3. 3, 12, 21, 30 Pasarannya adalah Elengua artinya penyakit sipenderita akan semakin
bertambah parah kemungkinan tidak tertolong.
4. 4, 13, 22 Pasarannya adalah Kedadoha artinya sipenderita akan semakin parah
akibat ada tambahan penyakit lain.
5. 5, 14, 23 Pasarannya adalah Waraka artinya sipenderita akan segera sembuh dari
penyakit.
6. 6, 15, 24 Pasarannya adalah Gaugaura artinya sihir orang .
7. 7, 16, 25 Pasarannya adalah Mondudali artinya kesetanan.
8. 8, 17, 26 Pasarannya adalah Rarambate artinya penyakit tidak terlalu parah
hanya saja sipenderita terlalu manja.
9. 9, 18, 27 Pasarannya adalah Bara’asala artinya menginjak sihir secara tidak
sengaja yang disimpan seseorang untuk orang lain (Al-Ashur, 2000).
Pengetahuan masyarakat diwariskan melalui kebudayaan yang ada dan berkembang di
masyarakat. Menurut Sugiharto et al. (2016), pengobatan tradisional merupakan kearifan lokal
yang berfokus pada upaya kesehatan, dan hal ini telah diturunkan dalam konsep kekeluargaan.
Adanya proses pewarisan kearifan lokal diperkuat oleh Settaboonsang (2006) dalam
Mungmachon (2012) yang menjelaskan bahwa pengetahuan masyarakat ditularkan melalui
tradisi.

7. Nilai Tanggung Jawab


Di Pulau Sulawesi, hattra dikenal dengan sebutan sando, berasal dari Bahasa Tolaki
yang bermakna dukun (Suryaningsi 2015). Demikian pula halnya dengan Provinsi Sulawesi
Selatan, menurut informasi masyarakat setempat, penyehat ini disebut sebagai sando.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 50


Sebagian Hattra berpendapat bahwa pengobat bukanlah pekerjaan, namun suatu kegiatan
sosial untuk menolong orang lain. Selain itu Hattra biasanya memahami bahwa pasien yang
datang berkunjung berasal dari masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga tidak menuntut
mereka untuk membayar pengobatannya.
Menurut penelitian Suryaningsi (2015), salah satu alasan masyarakat berobat ke hattra
adalah karena ia tidak meminta bayaran akan tetapi menurut keikhlasan dan dapat diberikan
lain waktu jika sudah ada rejeki. Dari hasil RISTOJA 2017 di Sulawesi Selatan, beberapa
pertolongan Hattra tidak dibalas dengan uang, tapi dengan barang lain seperti ayam, ikan dan
hasil kebun pasien. Bahkan pemberian tersebut dapat ditunda sampai panen, atau sampai
pasien mendapatkan rejekinya.
Sebagian besar hattra di Sulawesi Selatan pada penelitian ini tidak sekolah atau tidak
tamat SD (60%). Hal ini berkaitan dengan usia. Di Pulau Sulawesi, hattra dikenal dengan
sebutan sando, berasal dari Bahasa Tolaki yang bermakna dukun (Suryaningsi 2015).
Demikian pula halnya dengan Provinsi Sulawesi Selatan, menurut informasi masyarakat
setempat, penyehat ini disebut sebagai sando. Sebagian Hattra berpendapat bahwa pengobat
bukanlah pekerjaan, namun suatu kegiatan sosial untuk menolong orang lain. Selain itu Hattra
biasanya memahami bahwa pasien yang datang berkunjung berasal dari masyarakat
berpenghasilan rendah, sehingga tidak menuntut mereka untuk membayar pengobatannya. Hal
ini berkaitan dengan usia hattra yang sebagian besar lebih dari 61 tahun, sehingga
kemungkinan pada masa tersebut akses pendidikan sulit karena factor jarak dan biaya. Hingga
saat ini pun sebagian lokasi Hattra berada pada daerah terpencil. Selain itu ada kemungkinan
bila mereka bersekolah tinggi dan keluar daerah asalnya, maka yang bersangkutan tidak
tertarik lagi untuk menjadi hattra.
Sukora adalah ilmu ramalan dukun dalam memberi diagnosis terhadap penderita
penyakit untuk mengetahui berbagai hal tentang sipenderita meliputi: apa penyakitnya, apa
penyebab sakitnya, bagaimana kondisi pasiennya, bagaimana cara pengobatannya, dan siapa
yang akan mengobatinya. Sukora sangat terkait erat dengan Anadalahaebu dalam hal
penentuan pasarannya sesuai perputaran bulan di langit saat sipenderita mulai jatuh sakit (lihat
gambar).

D. Penutup
Terdapat berbagai jenis TO yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh
masyarakat Bagian (organ) tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional meliputi daun,
batang, kulit batang, buah, rimpang, umbi, dan getah.Pemanfaatan tumbuhan obat
dilakukandengan beragam cara diantaranya dengan cara direbus, ditumbuk, diperas, direndam,
dibakar, digoreng, digosok, dilumerkan, diremas dan tanpa pengolahan yang ke mudian
digunakan baik secara tunggal maupun campuran Khasiat tumbuhan obat tradisional untuk
mengobati penyakit panas (demam), sakit mata, sakit telinga, sakit gigi, sakit uluhati, sakit
kuning, luka baru, sakit kulit, keseleo, patah tulang, sakit kepala, diare, darah tinggi, batuk,
diabetes, muntah darah, perawatan pasca melahirkan, kencing batu, sembelit (susah buang air
besar), maag, penyakit dalam, penghilang rasa capek.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ashur, Arsamid. 2003. Suatu Analitik tentang Arti Lambang Bilangari, Sukora dan
Andalahaeba dalam Wujud Aksaran Tolaki. Unaaha. Dokumen Peribadi.
Ningsih, Indah Yulia. 2016. “Tudi Etnofarmasi Penggunaan Tumbuhan Obat Oleh Suku
Tengger di Kabupaten Lumajang dan Malang, Jawa Timur”. Pharmacy, Vol. 13 No. 01
Juli 2016.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 51


Almos, Rona dan Pramono. 2015. Leksikon Etnomedisin dalam Pengobatan Tradisional
Minangkabau. Jurnal Arbitrer Universitas Andalas. Vol. 2, April 2015 (hal. 44-53).
Purwadi; Kriswiyanti; Eniek; Aliffiati; Wahyuni, I Gusti Ayu Sugi; Puspita Ningsih, Dewi.
2015. Riset Khusus Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat
Berbasis Komunitas di Indonesia Etnis Osing Provinsi Jawa Timur. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Ribadan Penelitian dan Pengembangan Kesehatanbalai Besar
Penelitian dan Pengembangantanaman Obat dan Obat Tradisional.
Sari, Aniska Novita; Rahmawati, Nuning; Erlan, Ahmad; dan Ningsi. 2017. Eksplorasi
Pengetahuan Lokal Etnomedisindan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitasdi Indonesia
Provinsi Sulawesi Tengah. Jakarta: Kementerian Kesehatan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat
dan Obat Tradisional.
Ihsan, Sunandar; Kasmawati, Henny; dan Suryani. 2016. “Studi Etnomedisin Obat Tradisional
Lansau Khas Suku Muna Provinsi Sulawesi Tenggara”. Pharmauho, Majalah Farmasi,
Sains, dan Kesehatan. Volume 2, No. 1, Hal. 27-32.
Foster, George dan Anderson, Barbara 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press.
Danandjaja, James. 1996. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta:
Grafiti Press.
Pramono. 2009. “Teks Mantra dalam Naskah-naskah Minangkabau”. Persidangan antar
Bangsa Manuskrip Melayu Jabatan Sejarah Fakulti Sastra dan Sain Sosial Jabatan
Kesusastraan Melayu, Akademi Kajian Melayu, University Malaya. Pada 23-15
November 2009.
Andri, Wirma. 2012. “Pengobatan Tradisional dalam Naskah Kuno Koleksi Surau Tarekat
Syattariyah di Pariangan: Transliterasi dan Analisis Etnomedisin”. (skripsi). Padang :
Fakultas Ilmu Budaya Universitas AndalaS.
Sugiharto, F.B., Luar, P. & Negeri, S.P., 2016. “Transfer of Knowledge Keterampilan
Pengobatan Tradisional Pijat Sangkal Putung”. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian,
dan Pengembangan, Volume 1 Nomor 9, (Hal.1864–1868).
Suryaningsi, T., 2015. Peranan Sando dalam Pengobatan Tradisional pada Masyarakat
Onembute. Walasuji, Volume 6 Nomor 2, (Hal. 479–493).
Mungmachon, M.R., 2012. Knowledge and Local Wisdom : Community Treasure.
International Journal of Humanities and Social Science, 2(13), pp.174–181. Available
at: http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_2_No_13_July_2012/18.pdf.
Mustofa, Fanie Indrian Dan Mujahid, Rohmat. 2017. Eksplorasi Pengetahuan Lokal
Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia Provinsi Sulawesi
Selatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Rahayu, Mulyati; Sunarti, Siti; Sulistiarini, Diah; dan Prawiroatmodjo, Suhardjono. 2006.
“Pemanfaatan Tumbuhan Obat secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal di Pulau
Wawonii Sulawesi Tenggara”. Dalam Biodiversitas. Volume 7, Nomor 3 (Hal. 245-
250).
Indrawati; Sabilu, Yusuf; dan Ompo, Alda. 2014. Pengetahuandan Pemanfaatan Tumbuhan
Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara.
Biowallacea Vol. 1 (1), April 2014,: (Hal. 39-48).

Seminar Nasional Etnomedisin Page 52


PENGOBATAN TRADISIONAL USADA DAN BALIAN BUDAYA BALI
(KAJIAN ILMU SOSIAL BUDAYA)
Oleh: I Ketut Suardika
(Dosen Jurusan PGSD FKIP Universitas Halu Oleo)

A. Pendahuluan
Pada umumnya Bali memiliki pengobatan tradisional yang ternyata cukup manjur
dan masih dipercayai oleh masyarakatnya untuk menanggulangi penyakit yang ada.
Peninggalan budaya ini hendaknya tetap dipelihara dan dilestarikan,sehingga mampu
dipergunakan untuk menunjang pembangunan manusia Indonesia seutuhnya lahir dan bathin.
Dewasa ini pengetahuan orang Bali tentang penyembuhan (usada) masih mempunyai
kehidupan yang sungguh-sungguh berhubungan dengan agama Hindu, hanya sedikit orang
yang mau mempelajari secara seksama. Hal ini disebabkan bahwa masyarakat Bali mengalami
hambatan sosio-psikologis untuk mempelajari lontar (usada dan tutur). Karena ada wacana
yang ditafsirkan dan ditransformasikan secara keliru sehingga masyarakat merasa sungkan
dan ragu serta takut untuk mempelajari teks lontar. Misalnya adanya wacana aywa wera
(pengendalian diri atau agar hati-hati) dalam belajar, hal ini diartikan tidak boleh diberitahu
atau dipelajari. Pengobatan tradisional Bali (usada) yang dikenalkan oleh para leluhur
merupakan ilmu pengetahuan penyembuhan yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu.
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya sistem Masyarakat
Bali masih percaya bahwa pengobatan tradisional dengan usada banyak maanfaatnya untuk
menyembuhkan orang sakit. Walaupun telah banyak ada Puskesmas tersebar merata di setiap
kecamatan,tetap berobat ke pengobat tradisional Bali (balian) masih merupakan pilihan yang
tidak dapat dikesampingkan begitu saja baik bagi orang desa maupun orang kota.
Karena itu perlu diperkenalkan kembali (reenact) melalui tulisan ini agar tidak „tertelan‟ oleh
perjalanan waktu, sekaligus sebagai generasi muda sebaiknya kita perlu melestarikannya.

B. Pengertian Usada dan Balian


Usada adalah pengetahuan pengobatan tradisional Bali, sebagai sumber konsep
untuk memecahkan masalah di bidang kesehatan. Dengan menguasai konsep usada tersebut
dan memanfaatkannya dalam kerangka konseptual di bidang pencegahan, pengobatan,
rehabilitasi serta penelitian berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
di bidang kesehatan.
Kata usada berasal dari kata ausadhi (bahasa. Sansekerta) yang berarti tumbuh-tumbuhan
yang mengandung khasiat obat-obatan (Nala, 1992:1). Kata usada ini tidaklah asing bagi
masyarakat di Bali, karena kata usada sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari
dalam kaitan dengan mengobati orang sakit. Menurut Sukantra (1992:124) menyatakan usada
adalah ilmu pengobatan tradisional. Masyarakat di Bali masih percaya bahwa pengobatan
dengan usada banyak maanfaatnya untuk menyembuhkan orang sakit.
Balian adalah pengobat tradisional Bali yakni, orang yang mempunyai
kemampuan untuk mengobati orang sakit. Kemampuan untuk mengobati ini diperoleh dengan
berbagai cara yaitu :

1. Jenis balian berdasarkan pengetahuan yang diperoleh


a. Balian katakson adalah balian yang mendapat keahlian melalui taksu. Taksu adalah
kekuatan gaib yang masuk kedalam diri seseorang dan mempengaruhi orang
tersebut, Baik cara berpikir, berbicara maupun tingkah lakukanya. Karena
kemasukan taksu inilah orang tersebut mampu untuk mengobati orang yang sakit.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 53


b. Balian kapican adalah orang yang mendapat benda bertuah yang dapat dipergunakan
untuk menyembuhkan orang sakit. Benda bertuah ini disebut pica. Dengan
mempergunakan pica yang di dapatkan balian tersebut mampu menyembuhkan
penyakit.
c. Balian usada adalah seseorang dengan sadar belajar tentang ilmu pengobatan, baik
melalui guru waktra (dukun berobat), belajar pada balian, maupun belajar sendiri
melalui lontar usada.
d. Balian campuran adalah balian tatakson maupun balian pica yang mempelajari
usada.

2. Jenis balian berdasarkan tujuannya


a. Balian panengen (baik)
b. Balian Pangiwa (jahat)

3. Jenis balian berdasarkan profesi


a. Lung (patah tulang)
b. Manak (beranak)
c. Apun (lulur)
d. Wuut (urut)
e. Kacekel (pijat)
Jenis - jenis balian tersebut diatas masih banyak yang ditemukan di masyarakat di
Bali ( hampir semua desa memiliki yang namanya balian), maupun masyarakat di luar Bali
termasuk di Provinsi Sulawesi Tenggara misalnya terdapat di Konawe Selatan, Desa Ura,
Desa Jati Bali, Desa Kondoano Mowila dan di Kolaka desa Ladongi hampIr di setiap warga
daerah transmigrasi pasti ada salah satu jenis baliannya (sesuai pengamatan dan pengalaman
penulis pada saat menjadi Pengurus Lembaga Umat Hindu Yang Tertinggi yaitu Parisada
Hindu Dharma Indonesia Provinsi Sulawesi Tenggara).

C. Konsep Sehat–Sakit Menurut Budaya Bali


Biasanyan manusia yang disebut sehat, apabila semua sistem dan unsur pembentuk
tubuh (panca maha bhuta) yang berhubungan dengan aksara panca brahma (Sang, Bang,
Tang, Ang, Ing) serta cairan tubuhnya berada dalam keadaan seimbang dan dapat berfungsi
dengan baik. Sistem tubuh dikendalikan oleh suatu cairan humoral.Cairan humoral ini terdiri
dari tiga unsur yang disebut dengan tri dosha (vatta=unsur udara, pitta =unsur api, dan
kapha = unsur air).
Dalam hal ini ada tiga unsur cairan yang biasa disebut dengan: tri dosha (Unsur
udara, unsur api, dan unsur air) dalam pratek pengobatan oleh balian dan menurut agama
Hindu di Bali (Siwasidhanta), Ida Sang Hyang Widhi atau Bhatara Siwa (Tuhan) yang
menciptakan semua yang ada di jagad raya ini. Beliau pula yang mengadakan penyakit
dan obat. Dalam beberapa hasil wawancara dengan balian dan sesuai dengan yang tertera
dalam lontar (Usada Ola Sari, Usada Separa, Usada Sari, Usada Cemeng Sari) disebutkan
siapa yang membuat penyakit dan siapa yang dapat Menyembuhkannya. Secara umum
penyakit ada tiga jenis, yakni penyakit panes (panas), nyem (dingin), dan sebaa (panas-
dingin). Demikian pula tentang obatnya. Ada obat yang berkasihat anget (hangat), tis (sejuk),
dan dumelada (sedang). Untuk melaksanakan semua aktifitas ini adalah Brahma, Wisnu,
dan Iswara. Disebut juga dengan Sang Hyang Tri Purusa atau Tri Murti atau Tri Sakti
wujud Beliau adalah api, air dan udara. Penyakit panes dan obat yang berkasihat anget,
menjadi wewenang Bhatara Brahma. Bhatara Wisnu bertugas untuk mengadakan penyakit
nyem dan obat yang berkasihat tis. Bhatara Iswara mengadakan penyaki sebaa dan obat yang
berkasihat dumelada.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 54


Penyakit seperti kita ketahui, tidaklah hanya merupakan gejala biologi saja,tetapi
memiliki dimensi yang lain yakni sosial budaya. Menyembuhkan suatu penyakit tidaklah
cukup hanya ditangani masalah biologinya saja, tetapi harus digarap masalah sosial
budayanya. Masyarakat pada umumnya mencari pertolongan pengobatan bukanlah karena
penyakit yang patogen, tetapi kebanyakan akibat adanya kelainan fungsi dari tubuhnya.
Masyarakat di Bali masih percaya bahwa pengobatan dengan usada banyak maanfaatnya
untuk menyembuhkan orang sakit. Walaupun telah banyak ada Puskesmas tersebar merata di
setiap kecamatan,tetap berobat ke pengobat tradisional Bali (balian) masih merupakan pilihan
yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja baik bagi orang desa maupun orang kota.

D. Sistem Pemeriksaan dan Pengobatan Tradisional


Sistem pemeriksaan dan mendiagnosa suatu penyakit, balian menyimpulkan
berdasarkan hasil wawancara/anamnesis, hasil pemeriksaan seperti pemeriksaan fisik seperti
melihat aura tubuh, sinar mata, menggunakan kekuatan dasa aksara, chakra, kanda pat dan
tenung. Sedangkan pada balian kapican, yang menjadi alat pemeriksaan adalah benda bertuah
yang diperoleh sebagai pica.
Sistem pengobatan tradisional/penatalaksanaan suatu penyakit dalam usadha terdiri
atas berbagai pendekatan, meliputi pengobatan tradisional (tamba) seperti loloh (bahan dari
daun dan umbi-umbian seperti kencur,kunyit dll), boreh (daun cengkeh, dicampur berbagai
macam daun – daunan yang disesuaikan dengan sakitnya) dan minyak/lengis yang didasarkan
atas lontar taru pramana; penggunaan banten-bantenan yang disesuaikan dengan tenung dan
lontar; dan penggunaan rerajahan aksara suci.
Selain pengobatan yang bersifat kuratif, usadha juga mengenal sistem pengobatan
tradisiopnal dengan cara preventif/pencegahan yaitu mencegah kekuatan jahat akibat penyakit
yang dibuat orang lain, leak/desti dan racun/cetik. Sarana yang digunakan dapat berupa
mempasupati benda keramat yang dapat sebagai bekal seperti batu permata, rerajahan dan
tumbal.

E. Konsep Sehat-Sakit Menurut Masyarakat


Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada
faktor–faktor lain diluar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama faktor sosial
budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat
dipahami dalam konteks pengertian yang lain.Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi,
sosiologi, kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan
pengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah
sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan
manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio
budaya.
Definisi sakit: seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun
(kronis), atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja/kegiatannya
terganggu. Walaupun seseorang sakit (istilah sehari -hari)
seperti masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan kegiatannya,
maka ia di anggap tidak sakit.
Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan resultante dari
berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, social
budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat
yang disebut sebagai psycho socio somatic health well being , merupakan resultante dari 4
faktor yaitu:
a. Environment atau lingkungan.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 55


b. Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan
ecological balance.
c. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan
sebagainya.
d. Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif,
kuratif, dan
rehabilitatif.
Kempat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang paling
besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan.masyarakat.
Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan di pandang sebagai disiplin biobudaya yang
memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia,
terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia
yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit.Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya, hal ini
karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran
normalnya secara wajar.Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara
daerah yang satu dengan daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan
berkembang dalam masyarakat tersebut.Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan
ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat, dapat turun dari satu generasi ke
generasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas.

F. Penutup
Usada adalah pengetahuan pengobatan tradisional Bali, sebagai sumber konsep untuk
memecahkan masalah di bidang kesehatan. Dengan menguasai konsep usada tersebut dan
memanfaatkannya dalam kerangka konseptual di bidang pencegahan,pengobatan, rehabilitasi
serta penelitian berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan.
Manusia disebut sehat, apabila semua sistem dan unsur pembentuk tubuh
(panca maha bhuta) yang terdiri dari tiga unsur yang disebut dengan tri dosha (vatta=unsur
udara, pitta =unsur api, dan kapha = unsur air).
Secara umum penyakit ada tiga jenis, yakni penyakit panes (panas), nyem (dingin), dan sebaa
(panas-dingin). Demikian pula tentang obatnya. Ada obat yang berkasihat anget (hangat), tis
(sejuk), dan dumelada (sedang). Untuk melaksanakan semua aktifitas ini adalah Brahma,
Wisnu, dan Iswara. Disebut juga dengan Sang Hyang Tri Purusa atau Tri Murti atau Tri
Sakti wujud Beliau adalah api, air dan udara. Penyakit panes dan obat yang berkasihat
anget, menjadi wewenang Bhatara Brahma. Bhatara Wisnu bertugas untuk mengadakan
penyakit nyem dan obat yang berkasihat tis. Bhatara Iswara mengadakan penyaki sebaa dan
obat yang berkasihat dumelada.
Masyarakat di Bali masih percaya bahwa pengobatan dengan usada banyak
maanfaatnya untuk menyembuhkan orang sakit. Walaupun telah banyak ada Puskesmas
tersebar merata di setiap kecamatan,tetap berobat ke pengobat tradisional Bali (balian) masih
merupakan pilihan yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja baik bagi orang desa maupun
orang kota.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 56


DAFTAR PUSTAKA

White, Kevin. 2011. Pengantar Sosiologi Kesehatan dan Penyakit.Jakarta: Kharisma Putra
Utama Offset.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI.
Badrujaman, Aip. 2010. Sosiologi Keperawatan. Jakarta: CV Trana Info Media.
http://www.padmabhuana.com/usada-bali.html

Seminar Nasional Etnomedisin Page 57


KEARIFAN BUDAYA LOKAL DALAM PELAYANAN KESEHATAN
IBU DAN ANAK PADA SUKU BAJO
Oleh: Khalidatul Khair Anwar
(Dosen pada Jurusan Kebidanan Politeknik Kementerian Kesehatan RI di Kendari)

A. Pendahuluan
Salah satu target yang akan dicapai dalam sustainable development goals pada tahun
2030 adalah menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Hal ini merupakan tantangan dari
semua pihak yang terkait termasuk dari masyarakat itu sendiri. Berbagai cara telah dilakukan
oleh pemerintah dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian pada ibu dan bayi, antara
lain mengharuskan semua persalinan ditolong oleh petugas kesehatan. Pihak medis berusaha
mencari cara terbaik dengan menerapkan teknologi yang berkembang untuk memberikan
pelayanan terbaik bagi ibu dan bayi/anak. Bidan terus dididik dan didistribusikan ke seluruh
desa di berbagai pelosok Indonesia untuk membantu melaksanakan program “persalinan
aman” dan memberikan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Pemerintah ingin
membawa kesehatan ibu dan anak ke arah lebih baik dengan menyediakan fasilitas kesehatan
yang terjangkau oleh masyarakat sampai di tempat terpencil (Gobell dkk, 2018).
Kendala yang dihadapi oleh petugas kesehatan misalnya rendahnya pemahaman dan
ekonomi masyarakat sehingga memilih melahirkan pada dukun. Tidak semua masyarakat
mengetahui program pemerintah yang menggratiskan persalinan pada tenaga kesehatan
melalui jaminan persalinan. Masyarakat enggan untuk mengunjungi petugas kesehatan karena
memikirkan biayanya sehingga masih dijumpai pelayanan kesehatan tradisional dan perilaku
pencarian pertolongan persalinan yang jauh dari jalur medis.
Peran sosial budaya merupakan kondisi yang sudah melekat dalam masyarakat
tertentu. Indonesia dengan geografi wilayah yang sangat luas memiliki tidak kurang dari 520
kelompok etnis dan memiliki kearifan lokal yang sangat beragam. Kondisi ini membutuhkan
cara-cara intervensi yang lokal spesifik dan tidak dapat digeneralisasi secara nasional.
Kesehatan ibu hamil merupakan salah satu indikator status kesehatan masyarakat. Masalah
kelahiran dan kehamilan berkaitan erat dengan unsur budaya di masyarakat. Bila kita lihat
dari bentangan wilayah, hampir semua budaya dari Sabang hingga Merauke memiliki tradisi
dalam proses kehamilan, persalinan dan kelahiran bayi. Pemerintah telah menerbitkan
Permenkes No. 97 tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Ibu yang sudah cukup
komprehensif ditambah dengan Permenkes No. 4 tahun 2019 tentang Standar Teknis
Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar pada Bidang Kesehatan. Namun demikian, masih tampak
adanya kesenjangan dalam implementasinya terutama menyangkut inovasi-inovasi oleh
Pemerintah Daerah (Provinsi, kabupaten/kota) yang saat ini berhubungan dengan masalah
otonomi daerah. Hasil-hasil penelitian kualitatif menunjukkan, pengaruh faktor budaya dalam
pemanfaatan fasilitas kesehatan (faskes) ibu masih kuat pada beberapa etnis yang ada di
Indonesia (Aryastami dan Mubasyiroh, 2019).
Tradisi dan budaya masyarakat terkait kesehatan ibu dan anak di Indonesia
menunjukkan masih tingginya perilaku kesehatan tradisional di masyarakat, khususnya di
daerah/ wilayah terpencil. Perbedaan mencolok dalam ketersediaan fasilitas kesehatan antara
satu tempat dengan tempat yang lain sering kali dikaitkan dengan ketidakmampuan
pemerintah melakukan pembangunan yang merata. Luas wilayah Indonesia yang terdiri atas
beribu-ribu pulau, yang dihuni oleh berbagai etnis dengan karakteristik dan adat budaya,
tingkat sosial ekonomi, dan pendidikan yang berbeda menjadi alasan pembenar pembangunan
kesehatan yang belum merata (Angkasawati dkk, 2018).
Permasalahan pembangunan kesehatan yang belum merata sehingga banyak
masyarakat menerima pelayanan kesehatan yang jauh dari layak, yaitu melalui dukun dan

Seminar Nasional Etnomedisin Page 58


cara-cara tradisional, atau fasilitas kesehatan yang seadanya. Di beberapa etnis yang ada di
Indonesia, dukun masih dianggap sebagai orang yang dapat memberikan pengobatan dan
perawatan termasuk menjaga kesehatan ibu dan anak. Hal tersebut bertolakbelakang dengan
anggapan pemangku kebijakan, dukun tradisional selalu dipersalahkan sebagai penyebab
angka kematian ibu yang tinggi, namun mereka masih tetap mendapat tempat di hati
masyarakat.

B. Pengaruh Budaya dalam Kesehatan


Upaya kesehatan diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat kesehatan
masyarakat setinggi-tingginya. Dalam hal pelayanan kesehatan meliputi pula pelayanan
kesehatan berbasis masyarakat, di dalamnya termasuk pengobatan dan cara-cara tradisional
yang terjamin keamanan dan khasiatnya. Masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) terkait
sosial budaya masyarakat menjadi permasalahan yang memerlukan suatu kajian lebih
mendalam dan spesifik di setiap daerah dengan etnis tertentu. Wujud budaya dapat berupa
ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain sebagainya, yang sering diistilahkan sebagai
adat istiadat. Wujud budaya yang lain berupa sistem sosial, yaitu aktivitas serta tindakan
berpola manusia dalam masyarakat. Wujud budaya bisa pula berupa benda atau hal-hal yang
dapat dilihat, diraba, dan difoto, yaitu hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya seperti
alat sunat, alat penumbuk jamu, dan lain sebagainya. Wujud budaya tersebut merefleksikan
budaya dan identitas sosial masyarakatnya. Pengembangan atau inovasi, dengan melibatkan
sosial budaya lokal yang bermanfaat bagi upaya KIA, sungguh dibutuhkan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tersebut melalui suatu intervensi yang dapat
diterima oleh masyarakat (Angkasawati dkk, 2018).
Kebanyakan permasalahan KIA yang muncul merupakan masalah kesehatan yang
lokal spesifik terkait sosial budaya setempat. Hal ini perlu digali guna mengetahui
permasalahan mendasar sehingga dapat segera dilakukan perbaikan atau pemberdayaan
budaya yang berdampak positif bagi kesehatan. Orientasi budaya menggambarkan sikap,
pandangan, dan persepsi atas masalah kehidupan, termasuk kesehatan, yang dapat
memberikan dampak positif maupun negatif terhadap status kesehatan masyarakat secara
umum.
Pemahaman tentang budaya masyarakat terkait masalah kesehatan sangat penting
untuk diperhatikan sebagai faktor penentu menuju keberhasilan program-program kesehatan
yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup individu maupun masyarakat. Gambaran tersebut
dapat dimanfaatkan oleh para petugas kesehatan untuk mengetahui, mempelajari, dan
memahami semua hal yang berlaku di masyarakat. Berdasarkan budaya yang sudah terpantau
tersebut, program kesehatan dapat dirancang untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan
anak sesuai dengan permasalahan lokal secara spesifik. Dengan demikian, kekayaan budaya
Indonesia yang baik dapat terus dikembangkan, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara lokal,
bahkan bila memungkinkan secara nasional.
Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari masalah sosial, budaya, maupun
lingkungan setempat. Dalam proses ini pendekatan budaya merupakan salah satu cara penting
dan tidak bisa diabaikan. Kini semakin disadari bahwa budaya tidak bisa diabaikan dalam
pengaruhnya terhadap status kesehatan masyarakat, Pemahaman budaya secara spesifik,
dengan menggali kearifan lokal, akan dapat digunakan sebagai dasar strategi upaya kesehatan
yang tepat secara lokal. Secara objektif setiap kelompok masyarakat mempunyai persepsi
kesehatan (konsep sehat sakit) yang berbeda. Hal ini ditentukan oleh kebudayaan masyarakat
setempat terutama pada masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi sukunya
seperti pada masyarakat suku Bajo.
Budaya menunjukkan pola perilaku yang ditularkan antargenerasi dan memberikan
kerangka konseptual untuk memahami inti semua perilaku manusia, termasuk perilaku

Seminar Nasional Etnomedisin Page 59


kesehatan. Maka, dapat dipahami bahwa tiap-tiap komunitas budaya memiliki cara pandang
dan perilaku yang berbeda-beda dan faktor budaya juga sebaiknya dilibatkan atau dimasukkan
sebagai faktor penting dalam pemecahan masalah kesehatan (Winkelman, 2009). Pengaruh
budaya dalam kesehatan dapat ditemukan mulai dari fungsi dasar biologis untuk bertahan
hidup, penataan interaksi dengan lingkungan fisik, konsep sehat dan sakit, sampai pencarian
pertolongan kesehatan. Fungsi dasar biologis dan kebutuhan dasar berlaku bagi masing-
masing manusia, contohnya seperti pertahanan diri, makan dan minum, reproduksi, dan
sebagainya. Namun, pelaksanaan pemenuhan kebutuhan dasar tersebut dapat berbeda pada
masing-masing budaya. Dalam konsep pencarian pertolongan kesehatan, Kalangie
menyatakan konsep multisistem dan integrasi kebudayaan dalam kesehatan. Dalam konsep
tersebut, pada setiap masyarakat etnik dapat dijumpai tiga sistem atau sumber pelayanan dan
perawatan kesehatan, yaitu sistem keprofesionalan, sistem tradisional atau keprametraan, dan
sistem kerumahtanggaan. Dalam konteks Indonesia, sistem keprofesionalan adalah pelayanan
dan perawatan kesehatan melalui tenaga-tenaga medis modern (biomedis) seperti dokter,
perawat, bidan, puskesmas, dan lain sebagainya. Sistem tradisional atau keprametraan
dilakukan oleh para praktisi medis tradisional (prametra). Para prametra berpegang pada
kepercayaan, pengetahuan, pengobatan, dan praktik-praktik pelayanan kesehatan tradisional
yang telah dikenal dan diajarkan secara turun-temurun dalam bentuk personalistik maupun
naturalistik, atau keduanya. Pranata yang terakhir adalah pranata kerumahtanggaan. Kalangie
menyatakan bahwa pranata ini ada di setiap rumah tangga meskipun dalam skala sederhana.
Pranata rumah tangga merupakan perawatan yang mendahului perawatan biomedis atau
keprametraan, dan bahkan tetap digunakan ketika menjalankan sistem perawatan yang lain.
Dengan kata lain, jika ada anggota rumah tangga yang sakit, maka akan diobati terlebih
dahulu berdasarkan pengalaman yang ada di rumah tangga tersebut dan obatobatan yang
dibutuhkan dapat dibeli dengan bebas tanpa harus diracik oleh prametra atau dokter
(Kalangie, 1994).

C. Bentuk Kearifan Budaya Suku Bajo dalam Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Salah satu program kesehatan adalah kesehatan ibu dan anak. Kesehatan ibu dan anak
(KIA) di Indonesia tidak lepas dari pengaruh budaya yang ada di masyarakat. Perilaku seputar
prahamil, kehamilan, persalinan, nifas, Keluarga Berencana (KB), dan pengasuhan anak
cenderung berbeda pada masing-masing budaya, meskipun memiliki konsep yang sama-sama
memperhatikan kesehatan dan keselamatan ibu dan anak. Setiap suku memiliki konsep sehat
dan sakit yang unik yang terkadang bertolakbelakang dengan konsep medis profesional.
Suku Bajo memiliki sistem etika dan kebudayaan sendiri. Sistem tersebut menjadi
pedoman hidup mereka dan mengarahkan kehidupan keseharian mereka dari generasi ke
generasi. Budaya mereka mencakup berbagai aturan yang dihasilkan dari pengalaman dan
spiritualitas mereka dengan kehidupan mereka yang bergantung sepenuhnya pada alam
(Artanto, 2017). Suku Bajo memanfaatkan sumberdaya hayati laut berdasarkan norma-norma
dan nilai-nilai budaya yang telah melembaga dan dipatuhi serta dipertahankan melalui
pengendalian sosial (social control) oleh setiap komunitasnya berdasarkan sistem kepercayaan
yang bersumber dari idigenous knowledge yang diwarisi dari generasi ke generasi (Arief,
2008). Pada pelayanan KIA di budaya Suku Bajo, sistem medis profesional (bidan desa,
perawat, Puskesmas, Posyandu) bersaing dengan sistem medis tradisional (dukun atau dukun
bayi) dalam praktik kehamilan, persalinan, nifas, dan perawatan bayi.
Ibu hamil di masyarakat Suku Bajo dalam mengatasi penyakitnya ada yang berobat ke
tenaga kesehatan dan masih ada yang ke dukun dengan cara diurut dan dijappi kemudian
dibuatkan air yang sudah dibaca dengan mantra. Kemudian diberikan kepada ibu yang sakit
lalu diminum dan daerah yang sakit juga diberikan air. Pada ibu melahirkan jika sakit, cara
mengatasinya dengan dengan berobat ke dukun atau Puskesmas. Jika penyakit setelah berobat

Seminar Nasional Etnomedisin Page 60


ke pelayanan kesehatan atau tenaga kesehatan tidak sembuh – sembuh biasanya ke dukun dan
sebaliknya. Orang bajo menyakini ada penyakit yang bisa disembuhkan oleh dokter ada juga
yang tidak, jadi kehadiran seorang dukun di masyarakat Suku bajo masih dibutuhkan.
Pada ibu hamil dalam mempertahankan kesehatannya ada beberapa hal dilakukan
seperti melakukan aktivitas, nutrisi harus terpenuhi, mematuhi larangan yang sudah ditetapkan
oleh budaya setempat seperti magrib tidak boleh duduk didekat tangga, kalo bangun pagi-pagi
buka pintu, baru ambil air diminum, disemburkan sebanyak tiga kali (disembur) dan diniatkan
“pakoro massuuwe ditimuta mappakora mesu anakta”. Tujuannya adalah ibu hamil
melahirkan tidak ada gangguan, ibu dan anak sehat. Menurut kepercayaan pada masyarakat
Suku bajo kegiatan ini disebut mappelomo. Ibu hamil dilarang mandi menghadapi ke sumur
supaya tidak kembar air, harus bangun pagi supaya tidak susah melahirkan (Harjati dkk,
2012).
Pada ibu melahirkan dalam mempertahankan kesehatannya ada beberapa rangkaian
kegiatan yang dilakukan. Ibu melahirkan biasanya dilakukan pengurutan pada seluruh
tubuhnya yang bertujuan untuk mempelancar sirkulasi darah, kemudian ibu dimandikan
setelah itu meminum air yang sudah dimantra-mantra yang bertujuan untuk mengembalikan
stamina ibu. Suku bajo menganggap bahwa pada waktu melahirkan putus empat puluh saraf
sehingga perlu dilakukan pemulihan dengan minum air tersebut. Rangkaian selanjutnya
adalah mapparape untuk membuat intim wanita kembali seperti semula sebelum ibu hamil
melahirkan dan dipercaya oleh mereka hal ini dapat membuat rapat lagi setelah melahirkan
(Harjati dkk, 2012).
Suku Bajo menyelenggarakan upacara dalam kaitannya terhadap kesehatan ibu dan
anak. Pelaksanaan upacara adat dianggap sebagai daya tangkal dari bahaya yang akan
menimpa termasuk penyakit. Adapun beberapa upacara yang masih dilestarikan oleh
masyarakat Suku Bajo tersebut menurut Syukur (2007) adalah sebagai berikut:
1. Upacara Sangkina (kehamilan)
Upacara ini merupakan salah satu warisan budaya turun temurun pada masyarakat
Suku Bajo untuk menjaga ibu hamil dari terkena penyakit dan keguguran. Prosesi ini
dilaksanakan pada masa kehamilan ibu 2-3 bulan yang dianggap masa kritis pada masa
kehamilan. Upacara ini melibatkan dukun beranak sebagai pemimpin upacara
Keluarga ibu hamil akan menyediakan dua sisir pisang, satu butir telur ayam
kampung, dan empat buah daun sirih yang sudah dilipat dalam bentuk empat (empe di
luppi). Pada pagi hari, dukun akan membacakan mantra pada bahan-bahan tersebut,
kemudian daun sirih digantung di tempat tidur (mamanik) ibu hamil sedangkan telur dan
pisang dihanyutkan di laut pada sore hari sebagai sesajen untuk penguasa laut.
2. Upacara Campaniga
Pada saat ibu hamil merasakan bayinya akan lahir, maka segera dipasang tenda yang
terbuat dari train di atas tempat tidurnya. Setelah bayi lahir, mamanik yang dipakai
sewaktu Upacara Sangkina digantung pada tenda. Setelah pemotongan tali pusat, sang
bayi lalu dimandikan dengan air laut sebagai perkenalan pertama dengan taut, sembari
berdoa; “oh Papuk, nako na'alamuno nabad tuna nakona patanuannui mabotilu” (artinya:
Ya Tuhan kami, jika dilipat segi empat dan seuntai kalung engkau akan mengambil anak
ini, maka ambillah disaat begini, jika engkau menghendaki sakit maka sakitkanlah disaat
begini).
Ari-ari bayi dicampur dengan garam, asam dan sebagainya, kemudian dibungkus
train putih dan dimasukkan di dalam tempurung kelapa untuk dihanyutkan ke laut. Orang
Bajo menganggap bahwa bayi baru lahir sampai umur 40 hari adalah milik tuhan (Papuk
Allah Taala)
Pengalaman dua dokter yaitu dr. Ratih dan dr. Andi yang direkam dalam program
dokumenter “Doctors Go Wild” yang diselenggarakan oleh Kompas TV memperlihatkan tata

Seminar Nasional Etnomedisin Page 61


cara serta keunikan pengobatan tradisional yang dilakukan suku Bajo di Desa Mola Pulau
wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Bagi suku Bajo di Mola,
masalah kesehatan termasuk KIA dapat diselesaikan dengan mendatangi dukun setempat yang
dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Masyarakat Bajo percaya bahwa
segala penyakit disebabkan oleh adanya gangguan dari 'saudara' mereka yang ada di laut.
Yang dimaksud dengan saudara adalah ari-ari mereka, karena memang masyarakat Bajo
memiliki tradisi membuang ari-ari bayi yang baru lahir, yang dianggap saudara dari bayi
tersebut, ke laut. Sehingga apabila terjadi penyakit, mereka mengembalikan semua ke laut.
Mereka memohon dan memberi sesajen bagi saudara si sakit yang ada di laut untuk
menyembuhkan penyakit yang diderita melalui bantuan sang dukun (Kompas.com tanggal 1
April 2014 Pukul 13.57 WIB).

D. Penutup
Tradisi pengobatan Suku Bajo terdapat tingkatan pengobatan. Apabila ibu atau bayi
sakit maka anggota keluarga akan memulai pengobatan dari yang paling sederhana yaitu
menyiapkan sedikit sesajen. Jika belum sembuh, maka jumlah sesajen akan terus ditingkatkan
sampai kelas yang paling tinggi yang akan dirangkaikan dengan prosesi Duata, pemberian
sesajen secara besar-besaran yang membutuhkan dana tidak sedikit.
Dalam penanggulangan sakit terhadap kesehatan ibu dan anak di masyarakat Suku Bajo
masih menggunakan pengobatan tradisional. Tindakan ini diambil karena adanya kepercayaan
bahwa ada penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh dokter dan hanya bisa sembuh dengan
pengobatan tradisonal.

DAFTAR PUSTAKA

Angkasawati TJ, Handayani L, dan Laksono AD, 2013. Simpang Jalan Pelayanan Kesehatan
Ibu dan Anak, Yogyakarta: Kanisius.
Arief A, 2008. “Sistem Pengetahuan Lokal Masyarakat Nelayan dalam Eksploitasi
Sumberdaya Hayati Laut di Sulawesi Selatan”, Jurnal Sains dan Teknologi, Vol. 8
No. 2 : 88 – 94.
Artanto YK, 2017. “Bapongka, Sistem Budaya Suku Bajo dalam Menjaga Kelestarian Sumber
Daya Pesisir”, Jurnal Sabda, Vol. 12 No. 1: 52-69.
Aryatasmi NK dan Mubasyiroh R, 2019. Peran Budaya dalam Pemanfaatan Layanan
Kesehatan Ibu hamil. Jakarta: Badan Litbangkes.
Gobel, FA dkk. 2018. “Aspek Sosial Budaya dalam Pemilihan Pertolongan Persalinan Pada
Suku Bajo Pomalaa Sulawesi Tenggara”, Seminar Nasional Sinergitas Multidisiplin
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SMIT).
Harjati; Ridwan MT; dan Sudirman N, 2012. Konsep Sehat Sakit terhadap Kesehatan Ibu dan
Anak Pada Masyarakat Suku Bajo, Kabupaten Bone; Sulawesi Selatan, Jurnal Pasca
Unhas.
Kalangie, N., 1994. Kebudayaan dan Kesehatan. Pengembangan Kesehatan Primer Melalui
Pendekatan Sosiobudaya, Jakarta: Megapoin.
Kompas.com tanggal 1 April 2014 Pukul 13.57 WIB
Syukur, M, 2007. Sistem Sosial dan Kepercayaan Suku Bajo. Attoriolong Vol. IV No. 1 tahun
2007.
Winkelman, M. 2009. Culture and Health: Applying Medical Anthropology. San Francisco:
Jossey-Bass.

Seminar Nasional Etnomedisin Page 62

Anda mungkin juga menyukai