1
Aula Kantor PT. Dachtraco Raya
Jl. H. Sufu Yusuf No 1 Kota Kendari
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
BANTUAN PEMERINTAH
FASILITASI KOMUNITAS KESEJARAHAN TAHUN 2019
Event Kesejarahan
i
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
Bantuan Pemerintah
Fasilitasi Komunitas Kesejarahan Tahun 2019
Event Kesejarahan
Panitia Pelaksana
Sukadi Linta, S.Pd, M.Pd. Ketua
Sudarso, S.Pd, M.Pd Sekertaris
Andriani Taufik, S.Pd, M. Pd. Bendahara
Steering Commite:
Dr. Misran Safar, M. Si
Drs. Ali Hadara, M. Hum
Dr. La Ode Ali Basri, S.Pd, M.Si
Pendais Haq, S.Ag, M. Pd
Reviewer:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd
Editor:
Ahmad, S.Pd, M.Pd
ISBN: 978-602-60719-7-2
Penerbit:
Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia
(HISPISI-Sulawesi Tenggara)
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya Prosiding Seminar Nasional Fasilitasi Event Kesejarahan 2019 dengan tema
“Pengembangan Kajian Etnomedisin dalam Memperkuat Karakter Generasi Muda” dapat
diterbitkan.
Tema tersebut dipilih dengan alasan untuk memberikan perhatian pada dunia akademik
mengenai sistem pengobatan tradisional sebagai suatu kearifan lokal dari berbagai suku di
wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, agar terdokumentasi dengan baik serta dapat menjadi
referensi bagi generasi selanjutnya agar sedianya dapat memanfaatkan ataupun membudidyakan
tanaman-tanaman tradisional yang berada di lingkungan tempat tinggalnya sebagai alternatif
pengobatan selain pengobatan modern. Selain sebagai alternatif pengobatan keluarga dan
masyarakat pada umumnya, pemanfaatan dan budidaya tanaman-tanaman obat tradisional juga
dapat dijadikan sebagai sumber untuk membantu ekonomi keluarga/masyarakat.
Seminar ini diikuti oleh berbagai peneliti-peneliti dan pakar dari berbagai bidang
keilmuan seperti; sejarah, sosiologi, farmasi, kedokteran, dan pendidikan, serta dari unsur
pemerintah daerah dan Direktorat Sejarah dari unsur pemerintah pusat. Dengan begitu
diharapkan pengembangan-pengembangan pengobatan berasis kearifan local mampu bersinergi
sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah dan sebaliknya
pemerintah mampu memberi ruang dalam pelestarian budaya pengobatan tradisional yang begitu
kaya dalam masyarakat yang multicultural.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Amanah Kesejahteraan
Masyarakat Pedesaan (YAKMADES) yang telah melaksanakan Tanggung jawab yang diberikan
oleh pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Keudayaan untuk menyelenggarakan seminar nasional ini. Semoga
buku prosiding ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .............................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ii
Pemakalah:
Kebijakan Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Penanaman
Nilai-Nilai Karakter dalam Pendidikan Sejarah ................................................................. 1
Oleh: Dra. Triana Wulandari M. Si
Kearifan Budaya Lokal dalam Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak pada Suku Bajo.... 58
Oleh: Khalidatul Khair Anwar, S.Keb., M. Keb.
iv
KEBIJAKAN DIREKTORAT SEJARAH DIREKTORAT JENDERAL
KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DALAM
PENANAMAN NILAI-NILAI KARAKTER DALAM PENDIDIKAN SEJARAH
Oleh
Triana Wulandari
Direktur Sejarah Ditjen Kebudayaan Kemendikbud
Karakter suatu bangsa mengakar dalam sejarahnya. Terbentuknya sebuah bangsa (nation-
formation) dapat dijelaskan melalui sejarah. Struktur kepribadian nasionalnya tersusun dari
perwatakan yang tumbuh dan melembaga dalam proses pengalaman sepanjang kehidupan
bangsa. Kepribadian nasional, identitas, dan karakternya bertumpu pada pengalaman kolektif
bangsa, yaitu sejarah. Dengan demikian, pengetahuan sejarah mempunya fungsi fundamental
dan strategis dalam penanaman karakter bangsa.
Pembicaraan tentang penguatan karakter bangsa harus diawali dengan kesadaran penuh
bahwa karakter bangsa mesti diletakkan di atas kekhususan sejarah Indonesia sebagai cultural
accountability (pertanggung jawaban kultural) menjadi orang Indonesia. Menelusuri karakter
bangsa di Nusantara saat berinteraksi dan membangun peradaban bangsa pada masa
prakolonial dan merespon penghancuran akar kultural tradisional bangsa Indonesia oleh
kolonialisme, para pendiri bangsa berusaha merumuskan gagasan tentang “karakter dan
jatidiri bangsa”. Di situlah pangkal diskusi tentang “penanaman dan pendidikan karakter”.
Dalam konteks penanaman karakter, sangat dibutuhkan kesadaran nasional untuk
membangkitkan jiwa kewarganegaraan yang penuh dedikasi terhadap bangsa dan negara
(terutama rela berkorban dan cinta tanah air). Agar pembelajaran sejarah mempunyai dampak
afektif yang tinggi, bahan historis yang cukup efektif diberikan sudah barang tentu berupa
biografi atau peristiwa historis yang menggambarkkan role model tentang semangat
pengabdian hidup, kesetiaan terhadap kewajiban, dan integritas yang memenuhi jiwa penuh
pengabdian itu dengan menyisihkan kepentingan pribadi. Role model seperti itu mampu
membangkitkan inspirasi generasi muda sehingga dapat menumbuhkan idealisme yang dalam
masa globalisasi sekarang mudah tertimbun oleh materialisme, konsumerisme, hedonisme,
dan sebagainya. Akhirnya karakter dan etos bangsa pun akan terpetik sebagai kuntum bunga
dari taman sari sejarah bangsa Indonesia.
Dengan demikian, jelaslah bahwa nilai-nilai karakter kebangsaan kita adalah produk
sejarah. Oleh karena itu, usaha untuk memperkuatnya mesti dilandasi oleh usaha untuk
membaca dan mengerti kembali sejarah (melek sejarah). Melek sejarah (kecakapan dalam
memahami sejarah) bagi generasi penerus berperan penting dalam menumbuhkan dan
menguatkan karakter dan identitas bangsa; melek sejarah juga mengokohkan integrasi bangsa
dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebaliknya, amnesia sejarah akan
menghancurkan visi dan kesatuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu melek
sejarah sangat strategis untuk kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi generasi
penerus.
Berlandaskan pada pokok pikiran tersebut, Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggagas Gerakan Melek Sejarah
(GEMES). Gagasan GEMES ini seiring dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Perpres No. 87 Tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter. Gerakan Melek Sejarah ini, goal-nya, akan membangun
kesadaran sejarah yang merupakan sumber inspirasi dan aspirasi yang sangat potensial untuk
membangkitkan sense of pride (kebanggaan) dan sense of obligation (tanggung jawab dan
kewajiban) bagi generasi penerus. Substansi kesejarahan yang adalah philosophy teaching by
Sejarah Muhammadiyah adalah sejarah yang mngandung inspirasi dan karakter untuk
dibanggakan dan diteladani serta mendorong amanat sejarah yang dibawa oleh kiai Haji
Ahmad Dahlan (1868-1923) dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan
(mengemansifasi) kehidupan masyarakat untuk menjadi tanggung jawab dan kewajiban kita
pada masa kini untuk meneruskannya. Beliau tidak hanya seorang ulama (intelektual) yang
mencari dan mengumpulkan ilmu sebagai tujuan utamanya, tetapi beliau juga menerjemahkan
ilmu dan erudisinya menjadi sikap moral atau visi kebudayaan dan gerakan untuk
memperjuangkan kemajuan bangsanya. Beliau mendirikan Muhammadiyah Pada 18
November 1912. Pada tahun 1890 Ahmad Dahlan berangkat ke Mekkah untuk belajar agama
setelah sebelumnya menamatkan pelajaran agama tingkat dasar di lingkungan Kauman,
Yogyakarta. Di Mekkah ia antara lain menjadi murid Syeikh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi. Melalui guru dan bacaan yang ditekuninya, ia banyak menyerap ide-ide
reformasi Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida dari Mesir. Sepulangnya ke Jawa,
Ahmad Dahlan berpikir untuk melakukan reformasi agama di tengah masyarakatnya. Ia risau
dengan kehidupan agama di Kauman dan keraton yang campur baur dengan kepercayaan
lokal. Beliau mengajak umat Islam untuk beragama Islam secara benar
…alat untuk memperbaiki umat Islam itu hanyalah al Quran dan Hadits.
Dikembalikan orang pada tauhid, dibawa umat kepada kehidupan sepanjang kemauan
agama Islam. Hal itu tidaklah berarti bahwa ilmu pengetahuan dipencilkan,
ditinggalkan di belakang saja. Dan salah sekali paham orang jika agama Islam hanya
sembahyang atau ibadat semata-semata. Kita hidup di dunia, dari itu pula kita harus
tahu akan apa-apa yang terjadi di sekelililng tempat kita hidup. (kenangan KH Mas
Mansur terhadap Kiai Ahmad Dahlan , Ketua PP Muhammadiyah 1937-1942 dalam
Adil 3 september 1938).
Mengenai prinsip beramal sangat ditekankan oleh kiai Ahmad Dahlan. Disebutkan
bahwa pengajian kiai Dahlan berminggu-minggu dan berulang-ulang membahas satu topik
yaitu makna dan isi surah al-Maun. Didorong oleh rasa bosan, seorang jamaah memberanikan
diri bertanya mengapa topik pengajiannya itu-itu saja. Kiai Dahlan menjawab kalian belum
paham dan mengerti. Dijawab oleh jamaah bahwa mereka sudah paham. Belum, kata Kiai
Dahlan, kalian belum mengerti dan belum paham. Orang yang mengerti dan paham adalah
orang yang melaksanakan isinya. kalian belum bertindak, belum menyantuni anak yatim dan
belum memberi makan orang miskin.
Kiai Haji Ahmad Dahlan memang seorang berjiwa besar, memiliki cita-cita besar,
semangat berjuang yang tinggi, dan kemauan untuk selalu berkoraban demi kepentingan
kemurnian Islam dan kesejahteraan umat Islam. Kiai Dahlan lebih dikenal sebagai orang yang
suka beramal. Soekarno, aktivis pegerakan yang memulai perjuangannya sejak Kiai Ahmad
Dahlan masih hidup, mengenal Ahmad Dahlan sebagai seorang yang sepi in pamrih rame ing
gawe, sedikit bicara banyak bekerja.
Keprihatian Muhammadiyah terhadap usaha misionaris Barat tidak diekspresikan
dengan cara menentang usaha mereka melainkan meniru cara misionaris itu agar umat Islam
terhindar dan tidak tertarik pada usaha-usaha yang dilakukan misionaris. Strategi ini
dirancang dan dilaksanakan dengan mendirikan sekolah-sekolah baik sekolah agama maupun
umum. Maka lahirlah di mana-mana folk scholen (sekolah-sekolah rakyat) Muhammadiyah,
HIS (Hollands Inlands School) Muhammadiyah, MULO (Meeruitgebreid Lager Onderwijs)
Muhammadiyah, dan berbagai sekolah kejuruan. Muhammadiyah juga mendirikan lembaga
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dan Lapian, A.B. Indonesia dalam Arus Sejarah: Masa Pergerakan
Kebangsaan, Jilid V. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012.
Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987.
---------------------. Sekolah dan Politik: Pergerakan kaum Muda di Sumatra Barat 1927-1933
(terj. School and Politics; The Kaum Muda Movement in West Sumatra 1927-1933.
Ithaca: Southesat Asia Program Punblication, 1971). Yogyakarta: Penerbit Suara
Muhammadiyah bekerja sama dengan Pusat Studi Islam dan filsafat Universitas
Muhammadiyah Malang, 2018.
Sartono Kartodirdjo. Ideologi dan Teknologi dalam Pembangunan Bangsa: Eksplorasi
Dimensi Historis dan Sosio-Kultural. Jakarta: Penerbit Pabelan Jayakarta, 1999.
----------------------. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2014.
----------------------. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2016.
Downey, Matthew T and Kelly A. Long. Teaching for Historical Literacy: Building
Knowledge in the History Classroom. New York: Routledge, 2016.
Gilderhus, Mark. T. History and Historians: A Historiographical Introduction. New Jersey:
Prentice Hall, 2010.
Nakamura, Mitsuo, et al. Muhammadiyah Menjemput Perubahan: Tafsir Baru Gerakan
Sosial-Ekonomi, Politik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1996.
Sairin, Weinata. Gerakan Pembaruan Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 2008.
Zuhdi, Susanto. Integrasi Bangsa dalam Bingkai Keindonesiaan. Jakarta: Penerbit Wedatama
Widya Sastra, 2017.
Website: http://historicalthinking.ca/
A. Pendahuluan
Provinsi Sulawesi Tenggara terletak di Jazirah Tenggara Pulau sulawesi, secara geografis
terletak di bagian selatan garis khatulistiwa diantara 02 o45‟-06o15‟ Lintang Selatan dan
120°45'-124°30' Bujur Timur serta mempunyai wilayah daratan seluas 38.140 km 2 (3.814.000
ha) dan perairan (laut) seluas 110.000 km2 (11.000.000 ha) dengan jumlah pulau 651 buah,
290 pulau belum bernama dan hanya 86 pulau berpenghuni. Wilayah ini terdistribusi dalam
17 kabupaten/kotamadya dengan jumlah penduduk 714.120 (1971) menjadi 2.448.081 tahun
2016 (bangwilsultrablog, 2019).
Pertambahan jumlah penduduk dunia yang sangat pesat, terutama di negara-negara
berkembang, khususnya di Sulawesi Tenggara paling sedikit menimbulkan tiga masalah serius
yaitu kebutuhan pangan, kesehatan dan energi. Masalah kesehatan banyak muncul disebabkan
oleh perubahan pola hidup manusia dan mutasi penyakit sehingga penyakit tersebut lebih
resisten. Oleh karena itu kebutuhan akan suatu agen atau obat yang dapat mencegah atau
mengobati dari penyakit tersebut mutlak diperlukan keberadaannya.
Salah satu cara pencegahan atau pengobatan adalah kemoterapi, yaitu pengobatan
dengan menggunakan bahan kimia. Keunggulan cara ini adalah obat akan tersebar mengikuti
aliran darah, sehingga posisi penyakit dalam tubuh dimana pun akan terjangkau (Jong, 2005).
Informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa sekitar dua puluh persen obat modern/paten
yang beredar sekarang berasal dari senyawa bahan alam secara langsung, sedangkan sisanya
merupakan hasil modifikasi senyawa bahan alam dan hasil sintesis (Verpoorte, 1999).
Besarnya kontribusi senyawa alam terhadap penemuan obat modern tidak terlepas dari
pendekatan yang dilakukan dalam pencariannya. Pendekatan yang sangat berarti adalah kajian
etnobotani, yaitu kajian berdasarkan penggunaan tanaman tertentu oleh masyarakat sebagai
obat atau lebih umum disebut tanaman obat tradisional. Pendekatan ini minimalnya
memberikan rasa aman atau tidak takut keracunan karena bahan-bahan obat yang digunakan
berasal dari tanaman yang pernah dikonsumsi sebelumnya. Artemisinin sebagai contoh,
berhasil diisolasi dari obat tradisional China Artemesia annua L. tahun 1971, aktif terhadap 55
sel kanker terutama kanker usus dan leukemia. Senyawa tersebut ternyata aktif pula sebagai
antimalaria (Tonmunphean, 2004).
Kekayaan etnobotani berbanding lurus dengan keragaman kebiasaan suatu masyarakat. Setiap
masyarakat dalam suatu kawasan tertentu pasti memiliki cara dalam menjaga kesehatannya
atau mempertahankan hidupnya yang dilakukan secara turun temurun. Masyarakat Sulawesi
Tenggara terdiri dari berbagai macam suku bangsa, antara lain Suku Tolaki Konawe, Tolaki
Mekongga, Buton, Muna, Wolio, Moronene, Kabaena, wawonii, Bajau, dan Bugis sebagai
suku bangsa utama (Suku-dunia blog., 2019). Setiap suku bangsa mempunyai banyak
keluarga. Hal ini menciptakan keragaman cara peramuan dan jenis tanaman yang digunakan
sebagai obat tradisional.
Kekayaan etnobotani tersebut harus tetap dilestarikan. Oleh karena itu, kajian tanaman
obat tradisional meliputi inventarisasi, pengkoleksian (relokasi) di tempat yang mudah
terjangkau dan validasi tanaman obat tradisional tersebut harus dilakukan, sehingga dapat
digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Bila tidak dilakukan pengkajian secepatnya,
dikhawatirkan peneliti asing akan mendahuluinya seperti yang dilakukan oleh peneliti dari
F. Laboratorium Lapangan
Laboratorium lapangan berisi TOT dimaksudkan adalah koleksi TOT yang digunakan
sebagai sarana praktek pelajaran/ mata kuliah terkait seperti Biologi dan
Pertanian/Pertamanan. Hal ini selain akan belajar taksonomi dan morfologi TOT juga para
peserta didik/generasi muda akan mengenal TOT. Hal ini dilakukan melalui program
Pengabdian Masyarakat di SMAN 2 Kendari dan SMAN 1 Ranomeeto.
G. Sarana Kerjasama
Kajian TOT Sulawesi Tenggara tidak dapat dilakukan sendiri, selin memerlukan fasilitas
dan biaya, juga memerlukan sumber daya manusia yang memadai dari seluruh bidang terkait.
Peluang kerjasama dan instansi yang diperlukan tertuang dalam Gambar 4.
I. Penutup
Tanaman obat tradisional di Sulawesi Tenggara sangat banyak jenisnya seiring
banyaknya etnis dan pulau di Wilayah ini. Sayangnya, sumber daya alam ini belum tergali dan
termanfaatkan, bahkan cenderung mulai terlupakan.
Kajian TOT secara serius akan meningkatkan karier, konservasi alam dan budaya, menjadi
fasiitas pendidikan sebagai laboratorium lapangan, sarana kerjasama dengan institusi atau
negara lain serta sumber ekonomi baru.
DAFTAR PUSTAKA
https://bangwilsultrablog.wordpress.com/2016/05/29/sulawesi-tenggara/, diakses 26
September 2019
http://suku-dunia.blogspot.com/2015/05/ragam-suku-di-sulawesi-tenggara.html, diakses 26
September 2019.
Sahidin I1*, Wahyuni1, Muh. Hajrul Malaka1, Jabbar A1, Imran2, Marianti A. Manggau, 2018,
Evaluation Of Antiradical Scavenger Activity Of Extract And Compounds From
Etlingera Calophrys Stems, Asian Journal Of Pharmaceutical and Clinical Research, 11
(2), 238-241.
https://innovareacademics.in/journals/index.php/ajpcr/article/view/22535/13935
Sahidin, Syefira Salsabila, Wahyuni, Adryan Fristiohady, Imran, 2019, Potensi Antibakteri
Ekstrak Metanol dan Senyawa Aromatik dari Buah Wualae (Etlingera elatior), Jurnal
Kimia Valensi 5(1): 1-7 (terakreditasi Nasional).
DOI: https://doi.org/10.15408/jkv.v5i1.8658.
Wahyunia, M. H. Malakaa, N.A. yantib, R. Hartatic, sukrasnoc, and I. Sahidin, 2018, Radical
scavenger and antibacterial potencies of phenolic compounds from Anacardium
occidentale l. Stem barks growing in South East Sulawesi-Indonesia, Indian Journal of
Pharmaceutical Sciences, 80 (1), 143-149.
A. Pendahuluan
Eksistensi manusia selalu diperhadapkan pada berbagai masalah yang mengancam
dirinya dan kelangsungan hidup kelompoknya, salah satu diantaranya adalah kesehatan dan
penyakit. Prasetya (2009:13) menyatakan bahwa cerita mengenai penyakit selalu muncul
dalam setiap peradaban masyarakat dari masa ke masa. Karena itu etnomedisin setiap etnik
memiliki keunikan dan didasarkan atas makna budaya lokal, dengan mengintegrasikan
kepercayaan dan praktek pengobatan terhadap penyakit.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan berpikir akan selalu
mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya dalam menghadapi dan merespon
masalah dan ancaman terhadap dirinya, termasuk masalah kesehatan dan penyakit. Bentuk
respon manusia terhadap kesehatan dan penyakit bermacam-macam serta dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan, pengetahuan, gagasan, ideologi serta nilai-nilai yang diyakini oleh suatu
masyarakat dalam arti dipengaruhi kebudayaan material dan immaterial.
Manusia dan masyarakat yang menganut kepercayaan-kepercayaan medis modern
yang melandaskan pada rasionalitas akan mencari penyembuh berdasarkan kajian ilmiah
“dokter/paramedis”, akan tetapi manusia yang menganut kepercayaan-kepercayaan medis
tradisional yang di wariskan dari satu generasi ke genarasi berikutnya akan mencari pula
praktisi penyembuh “dukun/tabib” atau istilah lainnya menurut suatu masyarakat dan
kebudayaannya.
Proses medis tradisional ini telah mendorong manusia untuk menyadari adanya suatu
alam “gaib”, supranatural yang tidak dapat ditembusi oleh panca idera penglihatan manusia
dan bahkan diluar batas kemampuan akal manusia. Oleh karena itu manusia dalam
memecahkan masalah atau persoalan hidup yang berada diluar kemampuan akal manusia
dengan ilmu “gaib” atau kepercayaan magic, khususnya mereka yang masih meyakini
kebenaran sistem medis tradisional. Kondisi ini telah dijelaskan Frazer bahwa manusia
memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan
sistem pengetahuan itu ada batasnya (Koentjaraningrat, 1980:221).
Pada etnik Tolaki1 seperti suku-suku bangsa lainnya di Indonesia sejak lama telah
mengenal kepercayaaan-kepercayaan dan pengetahuan yang berhubungan dengan sistem
medis tradisional untuk penyembuhan berbagai penyakit. Dalam konsepsi etnik Tolaki
”segala jenis penyakit yang diderita orang adalah disebabkan oleh roh jahat” Jadi bukan
disebabkan oleh sejenis kuman atau virus menurut seorang dokter (Tarimana, 1989:229).
Dengan demikian penyakit semata-mata disebabkan karena adanya gangguan roh jahat, setan
atau karena penyebab lain misalnya buatan orang yang iri hati, benci melalui apa yang
disebut o’doti polalaeami (ilmu hitam, santet, racun melalui makanan dan minuman dan
dengan perantara benda dan atau cara apapun).
Konsepsi etnik Tolaki tentang kepercayaan-kepercayaan medis tradisional dan
pelaksanaannya sampai saat ini “era 4.0” dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
masih terpelihara dengan baik bahkan kecenderungannya menjadi alternatif utama sebelum
melakukan pengobatan dan atau pasca mengalami kegagalam pada pengobatan dengan
sistem medis modern, karena itu profesi sebagai praktisi penyembuh sistem medis
1
Lihat: M. Yunus Melalatoa, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995, hal. 867-870.
2
Mbu’akoi seseorang yang membantu melakukukan pengobatan pada beberapa jenis gangguan kesehatan fisik
dan jiwa dengan mekanisme membawakan syair lagu, sebagai bentuk ritual meminta kesembuhan kepada
dewa utama “sangia mbu’u atau sangia ilahuene.
3
Illness diartikan keadaan sakit sebagai perasaan pribadi seseorang yang mereasa kesehatannya terganggu, yang
tampak dari keluhan sakit yang dirasakannya, seperti tidak enak badan dan sebagainya. Penjelasan lebih lengkap
dapat dilihat: David Field dalam Fauzi, Muzaham, Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan, Jakarta, UI Pres,
1995, hal. 179.
5
Pengobatan menurut kepercayaan masyarakat di India dan negara-negara sekitarnya, pengobatan ini yang
pertama kali muncul dalam tulisan-tulisan Veda pada tahap awal diabad pertama sebelum masehi. Banyak
makanan yang dianggap mempunyai kualitas memanaskan dan mendinginkan, kombinasi dari macam-macam
makanan dan ramuan-ramuan dapat memulihkan keseimbangan dalam tubuh yang terganggu. Makanan garam
(panas meliputi telur, daging, susu, madu, dan gula; makanan tonda (dingin) meliputi sari buah-buahan,
yoghurt, keju, susu, nasi, dan air.
6
Wawacara telah saya lakukan dengan Siradjuddin Umur 70 tahun, Suku Tolaki, pekerjaan Kepala Desa, Tokoh
Adat (mbusehe) dan Tokoh Agama tinggal di Kabupaten Konawe; Ir. Alex , Umur 71 tahun, suku Tolaki,
Pekerjaan Pensiunan PNS, tokoh masyarakat, tinggal di Kabupaten Konawe Utara.
Hasil wawancara dan pengamatan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Raodah
(2019) Pengetahuan Lokal Tentang Pemanfaatan Tanaman Obat Pada Masyarakat Tolaki Di
Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara, bahwa: “Mantra digunakan dalam pengobatan
Orang Tolaki, Mantra ini adalah sesuatu yang lahir dari masyarakat sebagai perwujudan dari
keyakinan atau kepercayaan. Dalam masyarakat tradisional, mantra atau dalam bahasa Tolaki
disebut o’doano bersatu dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari, seorang mbu’owai
(dukun) yang ingin menghilangkan dan menyembuhkan suatu penyakit”. Lebih lanjut Raodah
menjelaskan bahwa dalam ilmu pengobatan tradisional masyarakat Tolaki, dukun atau
mbu’owai dapat menyembuhkan penyakit karena kemampuan mantra yang dibacakan sebagai
suatu kekuatan sakral dan sakti yang diperoleh melalui proses belajar dan pewarisan dari
para pendahulunya.
Dalam makalah ini saya mengutip secara lengkap hasil wawancara Raodah (2019)
dengan salah seorang dukun Jamaluddin (55 tahun) pada tanggal 7 Oktober 2017, bahwa
mantra-mantra yang dipergunakan untuk mengobati pasien pada umumnya bersumber dari
bacaan Al-Qur‟an dan bercampur dengan bahasa Tolaki. Salah satu mantra yang biasa
digunakan untuk mengobati berbagai penyakit berbunyi: “Bismillahirrahmanirrahim kuonggo
wowai’i…..(sebut nama pasien yang diobati) ari-arino ronga taariarino ombulataalah
tumoorike”. Mantra ini bermakna kesembuhan suatu penyakit hanya Tuhan yang
menentukan, jadi manusia hanya berusaha dan bermohon kepada Yang Maha Kuasa.
Selain itu hasil penelitian Fitri Yunita Maranai (2011) tentang Analisis Mantra Suku
Tolaki Tanggawuku (Ketahanan Tubuh) secara lengkap menuliskan mantra ketahanan Tubuh
(tanggawuku) sebagai berikut: “Bismillahirrah-manirrahim Nabihaluru nabihelere
Patonggopa owuta Patonggopa wotolu Iwoi dumagai’aku Nggo meokanggona Pehere-
here’anggu Ombu ta’ala Pepoi- poindi’anggu Nabi Muhammad”. Mantra ini merupakan
mantra yang digunakan untuk membuat tulang kuat agar tidak mudah lelah. Mantra ini
dilafazkan dalam rangka untuk meminta kesehatan badan dalam beraktivitas sehari-hari.
Seperti pada umumnya, mantra ini pun dimulai dengan basmalah.
Dengan demikian jelas bahwa setiap mbu’owai atau o sando memiliki mantra yang
digunakan untuk mengobati pasiennya, sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki. Pada umumnya mantra dalam proses pengobatan tradisional Etnik Tolaki “saat ini”
diawali pembacaan basmalah, realitas ini menunjukkan besarnya pengaruh agama Islam di
kalangan Etnik Tolaki sekaligus isyarat bahwa etnik Tolaki meyakini secara sungguh-
sungguh eksistensi Ombu Laa Taala (Allah Taala) sebagai Sang Pencipta dan Penguasa
Alam Semesta. Dalam pandangan para mbu’owai, o’sando, mbu’akoi dan masyarakat Tolaki
umumnya meyakini bahwa Ombu Laa Taala (Allah Taala) yang menentukan segalanya,
E. Penutup
Budaya etnomedisin pada setiap etnik memiliki keunikan tersendiri berdasarkan
makna budaya lokal dengan mengintegrasikan kepercayaan-kepercayaan dan praktek
pengobatan medis tradisional. Etnomedisin sebagai salah satu unsur kebudayaan di bidang
medis muncul dan berkembang sebagai mekanisme untuk mempertahankan eksistensi
manusia dan masyarakatnya, karena itu budaya ini dikenal, disadari, dipertahankan, dan
diwariskan serta diamalkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan masyarakat.
Etnik Tolaki berpandangan bahwa penyebab utama seseorang tidak bisa menjalankan
peran normalnya secara wajar dan bahwa harus dilakukan sesuatu terhadap situasi tersebut
“meohaki” (sakit) adalah adanya pengaruh roh jahat/makhluk halus/setan/nidoti (disantet/ilmu
hitam), nilalaeami (diberi magic, sihir dan santet), atau niratu (diberi makanan atau minuman
yang dicampurkan bahan berbahaya/racun), yang menyebabkan terganggunya keseimbangan.
Selain itu mereka juga menerima dan memiliki pengetahuan yang menarik tentang sakit yang
bersifat fisik (dapat di observasi) atau menunjukkan tanda-tanda pada badan seseorang yang
menderita sakit badaniah.
Proses pengobatan medis tradisional etnik Tolaki dilakukan mbu’owai, o’sando dan
mbu’akoi, melalui beberapa tahapan, yakni: tahap diagnosa melalui wawancara/perhitungan,
intuisi dan meditasi, tahap mempersiapkan media/alat/bahan penunjang, tahap pelaksanaan
melalui pembacaan mantera dan doa-doa permohonan kepada penguasa alam jagad raya
Ombu La Taala (Allah SWT) atau kepada sangia mbu’u atau sangia i’lahuene (dewa utama
atau dewa di atas langit) dan tahap pemberian jenis obat atau ramuan kepada seseorang, dalam
berbagai bentuk yang disesuaikan dengan jenis penyakit yang diderita. Dalam
perkembangannya proses pengobatan medis tradisional etnik Tolaki telah memadukan
“mengadopsi” sebagian dari sistem pengobatan “modern”, khususnya pemanfaatan
herbalmedicine dan animalmedicine atau gabungan keduanya.
Bagi generasi muda mengenal dan memahami budaya etnomedisin pada etniknya akan
memberikan kepercayaan diri bahwa peningkatan kapasitas dan kualitas fisik dan mental
manusia, tidak hanya dapat dilakukan melalui sains modern dan sistem pengobatan medis
modern, tetapi dapat pula dilakukan dengan mengembangkan dan memanfaatkan pengetahuan
medis tradisional yang berbasis pada nilai-bilai budaya etniknya sendiri.
A. Pendahuluan
Toppuge, suatu istilah di kalangan masyarakat Buton (utamanya Kepulauan Wakatobi)
yang mengandung arti „patah‟. Dalam kaitan dengan masalah tulang, dinamakan
toppugebhuku (artinya patah tulang) atau „patah tebu‟. Termasuk dalam kaitan masalah
tulang ada yang dinamakan tolesua artinya keseleo (pergeseran pada tulang persendian).
Belakangan muncul hal baru yang berkaitan dengan masalah „tulang-belulang‟, yaitu geger
otak (dari kata „gegar otak‟), belum ada istilah lokalnya karena masalah baru.
Dalam tradisi etnomedik orang Buton, ketiga jenis penyakit yang berkaitan dengan
masalah tulang pada dasarnya dapat diobati secara tradisional dengan satu profesi yang
mereka namakan pande pisi (tukang pijit) atau pande andu (tukang urut). Pengetahuan dan
keterampilan seorang pande pisi atau pande andu diperoleh secara turun-temurun utamanya
dari kedua orang tua, dan karena itu menjadi warisan leluhur dan tradisi mereka. Sistem
pengobatan patah tulang ini mempunyai keunikan tersendiri yang sudah barang tentu berbeda
dengan sistem pengobatan patah tulang pada etnik lain.
Belum diketahui dengan pasti kapan dan bagaimana tradisi pengobatan tulang (patah
tulang, keseleo, gegar otak) ini bisa hidup, tumbuh kemudian berkembang di kalangan orang
Buton. Belum diketahui dengan pasti pula apakah tradisi pengobatan ini asli milik orang
Buton atau tradisi yang dibawa dari luar kemudian masuk ke Buton. Seandainya berasal dari
luar maka dengan mudah dipahami bahwa „diaspora‟ orang Buton yang berlayar dan merantau
kemana-mana boleh jadi telah ikut membawa dan memperkenalkan tradisi pengobatan tulang
kepada masyarakat Buton. Tentang diaspora Buton ini telah dijelaskan oleh James J. Fox
(Southon, 1995 : viii). Fox mensejajarkan orang Buton dengan orang Bugis dan Makassar
dengan istilah „BBM‟ sebagai tiga etnik paling dominan dan ekspansif di kawasan perairan
Timur Indonesia. David Hughes (1984) juga mensejajarkan Buton dengan Madura, Mandar,
Makassar, Bugis, dan Bajau sebagi the six maritime ethnic groups in Indonesia.
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya sistem pengobatan
tulang pada masyarakat Buton, khususnya pada komunitas Wakatobi. Penulis membatasi pada
tradisi pengobatan tulang sebagai salah satu dari sekian banyak etnomedik orang Buton,
karena satu-satunya tradisi pengobatan mereka yang masih tersisa, namun terus eksis hingga
saat ini, dan terbukti mampu menyembuhkan pasiennya, meskipun jumlah „tenaga ahlinya‟
tinggal dihitung jari. Karena itu perlu diperkenalkan kembali (reenact) melalui tulisan ini agar
tidak „tertelan‟ oleh perjalanan waktu, sekaligus menjadi bagian dari penerapan UU No. 5
Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
B. Tradisi Pewarisan
Di kalangan etnik Buton pada umumnya, tradisi pewarisan suatu pengetahuan dan
keterampilan tertentu, termasuk pengobatan tulang, berlangsung dari orang tua kepada sang
anak, melalui pendekatan bottom up (arus bawah) dan prosesnya bersifat „rahasia‟. Seorang
anak yang ingin memiliki suatu pengetahuan atau keterampilan tertentu terlebih dahulu harus
„bertanya‟ atau mengikuti sebuah proses „magang‟ kepada orang tuanya. Setiap kali orang tua
mengobati pasien, sang anak selalu ikut menyaksikan secara sukarela tanpa paksaan. Pada
saat bersamaan sekali-kali melontarkan pertanyaan kepada orang tuanya. Pada kondisi inilah
Ali Hadara, 2014 : Gau Satoto Dalam Perspektif Sejarah Wakatobi, Makalah disampaikan pada
Seminar Budaya Internasional tentang Pengarusutamaan Budaya Sebagai Basis Revolusi
Mental, Diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi, Patuno Resort Wakatobi, 10-11
November.
Ali Hadara, 2019 : Prosedur dan Pendekatan Dalam Penelitian dan Penulisan Sejarah, Sekar Langit,
Kendari
David Hughes, 1984 : The Indonesian Cargo Sailing and The Problem of Technology Choice
for Sea Transport in a Developing Country : a Study of The Consequences of Perahu
Motorization Polyce in The Context of The Economic Regulation of Inter-island
Shipping. PhD Thesis, Departemen of Maritime Studies, UWIST.
Michael Southon, (1995) : The Naval of The Perahu : Meaning dan Values in The Maritime
Trading Economy of A Butonese Village, Departement of Anthropology, Research
School of Pasific and Asia Studies, The Australian National University, Canberra.
Pim Schoorl, 2003 : Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton, Jambatan Kerjasama dengan
KITLV-Jakarta.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.
Sumber Lisan
La Ode Untung, SE, 59 tahun, pendiri Balai Pengobatan Tradisional Patah Tulang dan
Keseleo (BATRA PTK) Kendari, pensiunan PNS pada Pemkot Kendari, Alamat Jalan
Torada, Kelurahan Bende, Kecamatan Kadia, Kota Kendari. Mulai menekuni profesi
pande pisi pada usia 10 tahun ketika baru duduk di bangku Kelas IV SD. Selama kurang
lebih 49 tahun menekuni profesi pande pisi, sudah mendekati angka seribu
pasien berhasil diobati.
A. Pendahuluan
Jika kita membaca perkembangan historiografi di Indonesia pada aspek sejarah
kesehatan. Sangat sedikit kita jumpai yang membahas dunia etnomedisin. Padahal dinamika
perkembangan kesehatan khususnya dalam hal sejarah pengobatan dengan etnomedisin atau
pengobatan tradisional sangat menarik untuk dikaji. Ada beberapa kendala sehingga para
sejarawan kurang tertarik mengkaji masalah ini. Pertama, masalah histroy sources atas
sejarah etno medichine umumnya mengandalkan sumber oral tradition, karena arsip maupun
dokumen mengenai rekaman pengobatan tradisional sangat langkah dan jarang dilaporkan
oleh pemerintah Kolonial. Padahal masyarakat secara turun temurun senantiasa mengadalkan
sistem pengobatan dengan sistem etnomedisin.8 Kedua, tema yang khusus membicarakan
akan hal ini masih perawan, memang diakui sudah ada beberapa tema tetapi kebanyakan
fokus pada aspek pelayanan kesehatan dan kebijakan kesehatan. Tidak ada catatan tertulis,
sehingga tidak mungkin untuk melacak praktek pengelolaan yang tepat yang berhubungan
dengan sistem nilai dan kepercayaan setempat, dan bagaimana pengetahuan tradisional
tersebut berkembang dalam kelompok-kelompok masyarakat. Oleh karena itu, penelitian
pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan perlu digali, terutama pada masyarakat Moronene.
Sebagian besar penelitian etnobotani9 maupun etnomedisin yang telah dilakukan pada
masyarakat suku bangsa lain yang ada di Indonesia menyebutkan daun merupakan bagian
tumbuhan yang sering dimanfaatkan untuk pengobatan. Penggunaan daun sebagai bagian
untuk pengobatan selain tidak merusak spesies tumbuhan obat, bagian daun juga mudah
dalam hal pengambilan dan peracikan ramuan obat. Tidak berbeda dengan suku bangsa lain,
pada masyarakat tradisional suku Moronene bagian tumbuhan yang paling banyak
dimanfaatkan adalah bagian daun. Daun-daunan ini sebagai perawatan pra melahirkan.
Walaupun masyarakat setempat telah diperkenalkan cara pengobatan modern, namun mereka
tidak meninggalkan cara pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan sebagai
bahan ramuan obat tradisional.
Riste atau penelitian etnobotani di Indonesia sudah banyak dilakukan oleh ahli-ahli
Botani Biologi, Kehutanan, Farmasi, Sejarah, Linguistik, Lingkungan, Arkeologi serta
Antropologi. Di antara pengetahuan-pengetahuan tentang tumbuhan yang dimiliki oleh
masyarakat, ada yang bersifat spiritual, magis dan ritual. Demikian pula mengenai
pemanfaatannya banyak ragamnya. Salah satu diantaranya ialah pemanfaatannya di bidang
upacara-upacara adat. Antara tumbuhan dan manusia terjadi suatu hubungan timbal balik yang
saling menguntungkan, tumbuhan tersebut mempunyai nilai lebih dalam aspek kehidupan
manusia, yang mengandung nilai-nilai baik dan buruk, yang tercermin dalam pandangan
masyarakat itu sendiri.
7
Disampaikan pada Seminar Nasional Etnomedisin sebuah kajian Sejarah dilaksanakan oleh
YAKMADES Sultra, bekerjasama dengan DIREKTORAT SEJARAH di Aula dachtraco Taxy Kendari 29
Oktober 2019.
8
Etnomedisin yakni kepercayaan dan praktek-praktek yang berkenaan dengan penyakit yang merupakan
hasil dari perkembangan kebudayaan asli dan yang eksplisit tidak berasal dari kerangka konseptual kedokteran
modern (Foster and Anderson, 1986).
9
Etnobotani meliputi berbagai bidang, termasuk Botani, Biokimia, Farmakognisi, Toksikologi,
Kedokteran, Nutrisi, Pertanian, Ekologi, Evolusi, Perbandingan Agama, Sosiologi, Antropologi, Linguistik,
Studi Kognitif, Sejarah, dan Arkeologi. Sifat multidisipliner Etnobotani memungkinkan untuk berbagai macam
pendekatan dan aplikasi, dan menyajikan sebuah tantangan bagi peneliti mendekati lapangan dari disiplin
manapun.
10
Studi tentang pengetahuan tradisional adalah tema dari etnosains cabang dari studi yang muncul sebagai
perpaduan bidang yang terus berkembang dalam pertukaran antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.
Perspektif kognitif telah dimulai sekitar tahun 1950-an, ketika para ilmuwan mulai menyadari studi etnosains
dengan fokus klasifikasi etnobiologi dan pengetahuan ilmiah tradisional yang menggunakan metode linguistik
(semantik) dan antropologi (Harris, 1976:85).
11
Lihat Storm, C.G. Met stukken over de literatuur en taalkunde van Moronene, Z.O.-Celebes; met een
vertaling van het evangelie van Markus; correspondentie met andere zendelingen. KITLV-Inventaris 77 (Or.
585). Collectie G.C. Storm.
Jenis tumbuhan diatas digunakan untuk pengobatan tradisional oleh suku Moronene.
Masih banyak jenis tanaman yang belum diidentifkasi sebagai sumber dan bergunakan bagi
pengobatan secara tradisional.
Orang Moronene mengenal adanya pengobatan tradisional. Jenis pengobatan ini masih
banyak dilakukan terutama pada masyarakat pedesaan. Pemilihan pengobatan tradisional
dilakukan karena alasan masyarakat masih percaya dengan hal yang berbau mistis atau magis
religious ataupun gaib. Pada keadaan tertentu tempat atau orang yang mampu mengobati
secara tradisional sangat mudah komunikasi, disamping itu biaya juga relatif mudah dijangkau
bahkan mereka dapat mendapatkan pelayanan gratis.
E. Penutup
Masalah medis dalam melaksanakan pengobatan masyarakat suku Moronene pada masa
lalu lebih mengutamakan dengan cara alami. Secara universal masyarakat Moronene masih
mempercaya dan meyakini sistem pengobatan tradisional etnomedisin secara turun temurun
dari generasi ke generasi dilakukan oleh dukun. Khususnya pada pada penyembuhan baik itu
sumbernya dari maha kuasa, intervensi manusia maupun mahluk halus. Masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Andersen, T. David. 2000. Pedoman Ejaan Bahasa Moronene. Kendari: BPMD Provinsi
Sultra dan Summer Institute of Linguistics (SIL) Rukun Keluarga Moronene.
Andersen, T. David. 2006. Sastra dan Budaya Moronene. Kendari: SIL dan BPM Sulawesi
Tenggara.
Agoes Aswar. 1992. Antropologi Kesehatan Indonesia. Jakarta: UI
Ahmad H. 1990. Pengobatan Tradisional Pada Masyarakat Pedesaan Daerah Kalimantan
Timur. Jakarta: Depdikbud.
Afriastini, 1994. Daftar Nama Tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya.
Awang, San Afri, Dkk. 2005. Menuju Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional Kasus Taman
Nasional Rawa Aopa Watumohai. Kendari: CARE International Indonesia Southeast
Sulawesi
Baha‟uddin. “Pelayanan Kesehatan Masyarakat Pada Masa Kolonial” dalam Lembaran
Sejarah. Volume 2, Nomor: 2 Tahun 2000. ISSN 1410-4962.
Bhurhanuddin, B. 1978/1979. Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Proyek
Inventarisasi Kebudayaan Daerah.
Cotton, 1996. Ethnobotany: Principle and Applications. England: John Wiley & Sons Ltd.
Chichester
Dharmono. 2007. ”Kajian Etnobotani Tumbuhan Jalukap (Centella Asiatica L.) Di Suku
Dayak Bukit Desa Haratai 1 Loksado”. BIOSCIENTIAE. 4(2): 71-78.
Foster dan Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI.
Ford, 1978. “Introductions. In, RL Ford, ed., The nature and status of ethnobotany. Pages 29-
32”. dalam Anthropological Papers No. 67. Museum of Anthropology, University of
Michigan, Ann Arbor.
Gerungan, W.A. 1987. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco.
Jongeling. 1976. Benih yang Tumbuh X Suatu Survey Mengenai Gereja Protestan Sulawesi
Tenggara (Gepsultra). Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-Gereja di
Indonesia.
Melamba, Basrin. 2019. Kristen Protestan dan Perubahan Sosial Budaya Pada Masyarakat
Tolaki dan Moronene di Sulawesi Tenggara, 1915-2006. Disertasi. Bandung: FIB
Unpad.
Muthalib, Abdul, dkk. 1991. Struktur Bahasa Moronene. Jakarta: Depdikbud
Poerwanto, Hari. 2008. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Limba, Rekson, S, Melamba, Basrin., dkk. 2014. Sejarah Peradaban Moronene. Yogyakarta:
Lukita.
Lomenta, Benyamin. 1988. Penyakit, Citra Alam dan Budaya. Jakarta: Kanisises.
Reksodihardjo, Soedibyo, Soetomo. 1990. Pengobatan Tradisional Pada Masyarakat
Pedesaan Jawa Tengah. Jakarta: Depdikbud.
Seminar Nasional Etnomedisin Page 34
Rugayah, M. Rahayu, Sunardi dan Hilman, 2005, Keanekaragaman dan Pemanfaatan
Tumbuhan di Pulau Kabaena, Laporan Teknik Keanekaragaman Dan Pengungkapan
Potensi Biota Pulau-Pulau Kecil Sulawesi Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi –
LIPI.
Suratman dan Siregar. 1991. Pengobatan Tradisional Pada Masyarakat Bali. Yogyakarta:
Kanisius.
Storm, C.G. Met stukken over de literatuur en taalkunde van Moronene, Z.O.-Celebes; met
een vertaling van het evangelie van Markus; correspondentie met andere zendelingen.
KITLV-Inventaris 77 (Or. 585). Collectie G.C. Storm.
Tosepu, Ramadan. 2019. Pelayanan Kesehatan Pada Masyarakat Tolaki di Konawe. Dalam
Buku Kapita Selekta Orang Tolaki. Kendari: Yayasan Cipta Anak Bangsa. Hlm. 241-
256.
Wulandari, Early. 2010. Tumbuhan Moronene; Relasi Antara Budaya Dan Falsafah Hidup
Masyarakat Moronene. (Tesis). Yogyakarta: FIB UGM.
Young, James C. 1980. A Model of Ilnes Treatment Decisious in a Tarascan Town. Dalam
American Etnologist, 7 (1): 106-131.
A. Pendahuluan
Sakit merupakan suatu keadaan yang menimbulkan perasaan tidak nyaman pada
seseorang, keadaan ini menyebabkan orang berusaha untuk menghilangkan rasa tidak nyaman
yang dialaminya. Berbagai macam cara dilakukan untuk menghilangkan sakit yang diderita.
Tindakan manusia dalam menghilangkan rasa tidak nyaman karena sakit tersebut
mengakibatkan terjadinya pemanfaatan pelayanan kesehatan yang ada baik pengobatan
tradisional maupun pengobatan modern.(Notoatmojo,2014).
Berdasarkan data World Health Organization pada tahun 2008, 23% penduduk amerika
serikat menggunakan pengobatan alternatif, 41% klinik terapi di spanyol menggunakan
pengobatan tradisional, 70% di Kanada,dan 82% di Australia, bahkan di Singapura dan Korea
76% dan 86 % penduduknya masih menggunakan pengobatan tradisional (WHO, 2013).
Kondisi Pengobatan tradisional di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan pada
tahun 2013 diperoleh angka cakupan Pengobatan kesehatan sebesar 53,6% (223
Kabupaten/Kota) dari 416 Kabupaten/Kota di Indonesia. Dari cakupan wilayah tersebut,
Puskesmas yang sudah menyelenggarakan Pengobatan tradisional mencapai 793 Puskesmas
dari data yang diambil pada 9671 puskesmas, mencakup akupuntur dan akupresur
(Kementerian Kesehatan, 2013).
B. Sejarah Pengobatan
Sejak zaman prasejarah, manusia telah menggunakan produk alami, seperti tanaman,
hewan, mikroorganisme, dan organisme laut, dalam obat-obatan untuk mengurangi dan
mengobati penyakit. Menurut catatan fosil, penggunaan tanaman oleh manusia sebagai obat
dapat ditelusuri kembali setidaknya 60.000 tahun yang lalu. Penggunaan produk alami sebagai
obat menghadirkan tantangan luar biasa bagi manusia purba. Sangat mungkin bahwa ketika
D. Penutup
Walaupun demikian, efek samping obat herbal tidak bisa disamakan dengan efek
samping obat modern. Pada tanaman obat terdapat suatu mekanisme yang disebut penangkal
atau dapat menetralkan efek samping tersebut yang dikenal dengan istilah SEES (Side Effect
Eliminating Subtanted).
DAFTAR PUSTAKA
A. Pendahuluan
Biodiversitas adalah kekayaan bangsa dengan nilai yang tidak terhitung besarnya,
karena ancaman terhadap kepunahan biodiversitas akan mengancam kelestarian dan eksistensi
suatu bangsa. Indonesia tidak saja dikenal memiliki kekayaan biodiversitas tumbuhan dan
hewan yang tinggi, namun juga memiliki kekayaan atas keragaman budaya yang terekspresi
dari beragamnya suku bangsa. Kekayaan keaneka ragaman hayati dan budaya tersebut
menjadi 42ocal nasional yang harus dimanfaatkan dan dikembangkan untuk meningkatkan
ketahanan dan kedaulatan bangsa. Demikian juga terhadap kekayaan tumbuhan obat dan
pengetahuan tradisional terkait pemanfaatan tumbuhan obat untuk pengobatan. Kekayaan
sumberdaya tumbuhan obat memiliki potensi untuk dikembangkan sekaligus potensi ancaman
di masa mendatang.
Pengelolaan yang tepat akan berdampak pada kesejahteraan bangsa dan di sisi lain juga
mengancam kedaulatan akibat praktek biopirasi dan kepunahan spesies karena rusaknya
ekologi. Dengan demikian sangat pentingnya tersusun suatu data basis terkait kekayaan
biodiversitas tumbuhan obat dan pengetahuan tradisional masyarakat dalam penggunaan
tumbuhan sebagai obat. Data basis ini merupakan upaya perlindungan 42ocal nasional dari
berbagai ancaman baik yang 42ocal42 secara internal maupun eksternal. Data basis tumbuhan
obat, ramuan obat tradisional, dan kearifan 42ocal dalam pengelolaan pemanfaatan tumbuhan
obat, akan dikembangkan berdasarkan kegiatan penelitian terstruktur dan berkelanjutan yang
disebut Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA). Riset ini akan memetakan dan
menginventarisasi pengetahuan tradisional setiap etnis dalam memanfaatkan tumbuhan untuk
pengobatan dan kesehatan dari sumber informasi pengobat tradisional, melakukan koleksi
langsung tumbuhan obatnya, dan mendata kearifan 42ocal dalam pengelolaan serta
pemanfaatan tumbuhan obat. Data basis ini menjadi 42ocal Nasional dalam upaya
perlindungan sekaligus upaya pengembangan kekayaan nasional demi sebesar besarnya
kesejahteraan bangsa, sekaligus untuk ketahanan dan kedaulatan Indonesia (Purwadi, 2015).
Riset Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan Tumbuhan Obat Berbasis
Komunitas di Indonesia, yang selanjutnya disebut RISTOJA, merupakan riset pemetaan
pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan obat berbasis suku yang dilaksanakan
oleh Badan Litbang Kesehatan. Riset ini dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan informasi
terkait data tumbuhan obat dan ramuan tradisional yang digunakan oleh setiap suku di
Indonesia. Maraknya biopiracy yang dilakukan oleh pihak luar terhadap kekayaan plasma
nutfah tumbuhan obat Indonesia harus segera diantisipasi dengan penyediaan basis data atas
kepemilikan dan autentitas jenis tersebut sebagai kekayaan biodiversitas Indonesia.
Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas tumbuhan terbesar kedua di dunia. Di
dalam biodiversitas yang tinggi tersebut, tersimpan pula potensi tumbuhan berkhasiat obat
yang belum tergali dengan maksimal. Potensi tersebut sangat besar untuk menjamin kesehatan
dan kesejahteraan masyarakat apabila dimanfaatkan dengan baik. Disamping kekayaan
keanekaragaman tumbuhan tersebut, Indonesia juga kaya dengan keanekaragaman suku dan
budaya. Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Indonesia memiliki 1.068 suku bangsa yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing suku memiliki khasanah yang berbeda-
beda. Pada setiap suku, terdapat beraneka ragam kekayaan kearifan lokal masyarakat,
termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan tradisional.
Eksplorasi dan inventarisasi tumbuhan obat beserta pemanfaatannya di masyarakat yang
berbasis kearifan lokal perlu dilakukan. Riset untuk mendapatkan data-data fitogeografi,
agroklimat, pemanfaatan berbasis kearifan lokal, fitokimia dan social ekonomi dari tumbuhan
2. Nilai Disiplin
Keanekaragaman jenis tumbuhan obat Fasilitas kesehatan modern terdapat di lokasi
penelitian, namun sando masih berperan dalam pengobatan penyakit dan perawatan pra dan
paska persalinan (Rahayu, 2006). Waktu panen yang baik menurut Tabib Lansau adalah pagi
hari dan bagian tanaman yang dipanen adalah daun yang dekat dengan pucuknya karena pagi
hari adalah waktu ketika embun masih ada dan matahari baru saja akan menyinari yang dalam
nilai filosofisnya iklim masih dalam keadaan suci dan murni. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan metabolit sekunder pada tanaman di waktu pagi belum hilang karena belum terjadi
fotosintesis oleh matahari. Kandungan metabolit tiap tanaman dapat berbeda-beda
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat tumbuh tanaman tersebut menyebabkan
kandungan kimia dapat berbeda sehingga khasiat juga akan berbeda meskipun pada jenis
tanaman yang sama (Sari dkk, 2017).
Kegiatan dukun menolong seorang ibu yang akan melahirkan, biasanya sangat terikat
dengan waktu. Artinya dukun tidak bisa menunda-nunda untuk berlama-lama baru pergi
menolong persalinan seseorang, terutama saat menjelang melahirkan. Demikian pula
pertolongan kepada seseorang yang menderita penyakit, seperti: sakit perut, munta bera, dll.
6. Nilai Bersahabat/Komunikatif
Pengetahuan tumbuhan obat sebagai salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat
merupakan pengetahuan yang didapat dari proses interaksi manusia dengan lingkungan, baik
melalui pengalaman pencobaan atau juga karena mencontoh makhluk hidup yang lain.
Pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan obat didapat oleh masyarakat desa DDJ dari
generasi sebelumnya. Hal ini ditunjukkan ketika wawancara mereka selalu menyarankan agar
bertanya pada orang yang lebih tua, karena orang tua lebih banyak pengalaman dan juga
banyak mengetahui informasi mengenai tumbuhan yang bisa digunakan sebagai obat.
Menurut Alcorn 2) pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai obat diwariskan dari
generasi ke generasi. 2) Interaksi penduduk dengan suku lain Pengetahuan tentang tumbuhan
obat pada masyarakat di desa DDJ juga berasal dari interaksi mereka dengan suku-suku lain
yang ada di sekitarnya. Pola perdagangan sumberdaya alam antar pulau berdampak tidak saja
pada peningkatan ekonomi tetapi juga adanya pertukaran pengetahuan. Ketika masyarakat
DDJ menjual hasil perkebunannya ke kota Kendari mereka bertemu dengan berbagai suku
lain yang ada di kota tersebut, saat itulah terjadi pertukaran ekonomi, informasi, dan juga
pengetahuan. Pola interaksi dengan suku atau Pengetahuan Lokal Tumbuhan Obat (Indrawati,
2014).
Sebanyak 96 persen persen tempat tinggal hattra adalah di daerah pedesaan. Lima etnis
dalam penelitian ini tidak termasuk dalam etnis besar yang mendiami kota-kota di Sulawesi
Selatan. Sebaliknya, kebanyakan mereka mendiami daerah yang terpencil, seperti etnis
Bonerate dan Kalaotoa di Kepulauan yang jarak tempuh dari daratan utama mencapai belasan
jam dengan moda transportasi yang terbatas. Lokasi pedesaan juga menyediakan sumber daya
alam yang lebih banyak untuk dimanfaatkan sebagai pengobatan. Lokasi yang terpencil
memaksa masyarakat untuk menggunakan pengobatan tradisional karena akses pelayanan
kesehatan formal yang terbatas.
Pengetahuan pengobatan tradisional hattra tidak hanya diperoleh dari satu sumber,
namun lebih dari 80 persen berasal dari keluarga Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan
empiris pengobatan tradisional, tidak diwariskan kepada sembarang orang dan hanya pada
anggota keluarga terpilih yang diyakini mampu untuk meneruskan ilmu pengobatan tersebut.
Pendidikan dalam keluarga termasuk pendidikan informal. Menurut Sugiharto et al.
(2016), pendidikan informal mempunyai peran yang sangat vital dalam proses pewarisan
Seminar Nasional Etnomedisin Page 49
kearifan lokal kepada generasi berikutnya, hal ini dilandasi bahwa pewarisan kearifan lokal
hanya dapat terakomodasi oleh pendidikan informal.
Gambar 3. Sukora
Keterangan:
1. Tanda + Posisi Matahari
2. Tanda – Posisi Bulan
3. Tanda Petunjuk Arah Perhitungan.
Seorang penderita yang mulai jatuh sakit pada terbit bulan di langit:
1. 1, 10, 19, 28 Pasarannya adalah Akoi (Ino’akoi) artinya cara pengobatannya adalah
dengan upacara sesajen pada roh halus, jin dan setan yang diduga
mengganggunya sehingga yang bersangkutan jatuh sakit.
2. 2, 11, 20, 29 Pasarannya adalah Pepeowai artinya cara pengobatannya harus kepada
Dukun.
3. 3, 12, 21, 30 Pasarannya adalah Elengua artinya penyakit sipenderita akan semakin
bertambah parah kemungkinan tidak tertolong.
4. 4, 13, 22 Pasarannya adalah Kedadoha artinya sipenderita akan semakin parah
akibat ada tambahan penyakit lain.
5. 5, 14, 23 Pasarannya adalah Waraka artinya sipenderita akan segera sembuh dari
penyakit.
6. 6, 15, 24 Pasarannya adalah Gaugaura artinya sihir orang .
7. 7, 16, 25 Pasarannya adalah Mondudali artinya kesetanan.
8. 8, 17, 26 Pasarannya adalah Rarambate artinya penyakit tidak terlalu parah
hanya saja sipenderita terlalu manja.
9. 9, 18, 27 Pasarannya adalah Bara’asala artinya menginjak sihir secara tidak
sengaja yang disimpan seseorang untuk orang lain (Al-Ashur, 2000).
Pengetahuan masyarakat diwariskan melalui kebudayaan yang ada dan berkembang di
masyarakat. Menurut Sugiharto et al. (2016), pengobatan tradisional merupakan kearifan lokal
yang berfokus pada upaya kesehatan, dan hal ini telah diturunkan dalam konsep kekeluargaan.
Adanya proses pewarisan kearifan lokal diperkuat oleh Settaboonsang (2006) dalam
Mungmachon (2012) yang menjelaskan bahwa pengetahuan masyarakat ditularkan melalui
tradisi.
D. Penutup
Terdapat berbagai jenis TO yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh
masyarakat Bagian (organ) tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional meliputi daun,
batang, kulit batang, buah, rimpang, umbi, dan getah.Pemanfaatan tumbuhan obat
dilakukandengan beragam cara diantaranya dengan cara direbus, ditumbuk, diperas, direndam,
dibakar, digoreng, digosok, dilumerkan, diremas dan tanpa pengolahan yang ke mudian
digunakan baik secara tunggal maupun campuran Khasiat tumbuhan obat tradisional untuk
mengobati penyakit panas (demam), sakit mata, sakit telinga, sakit gigi, sakit uluhati, sakit
kuning, luka baru, sakit kulit, keseleo, patah tulang, sakit kepala, diare, darah tinggi, batuk,
diabetes, muntah darah, perawatan pasca melahirkan, kencing batu, sembelit (susah buang air
besar), maag, penyakit dalam, penghilang rasa capek.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ashur, Arsamid. 2003. Suatu Analitik tentang Arti Lambang Bilangari, Sukora dan
Andalahaeba dalam Wujud Aksaran Tolaki. Unaaha. Dokumen Peribadi.
Ningsih, Indah Yulia. 2016. “Tudi Etnofarmasi Penggunaan Tumbuhan Obat Oleh Suku
Tengger di Kabupaten Lumajang dan Malang, Jawa Timur”. Pharmacy, Vol. 13 No. 01
Juli 2016.
A. Pendahuluan
Pada umumnya Bali memiliki pengobatan tradisional yang ternyata cukup manjur
dan masih dipercayai oleh masyarakatnya untuk menanggulangi penyakit yang ada.
Peninggalan budaya ini hendaknya tetap dipelihara dan dilestarikan,sehingga mampu
dipergunakan untuk menunjang pembangunan manusia Indonesia seutuhnya lahir dan bathin.
Dewasa ini pengetahuan orang Bali tentang penyembuhan (usada) masih mempunyai
kehidupan yang sungguh-sungguh berhubungan dengan agama Hindu, hanya sedikit orang
yang mau mempelajari secara seksama. Hal ini disebabkan bahwa masyarakat Bali mengalami
hambatan sosio-psikologis untuk mempelajari lontar (usada dan tutur). Karena ada wacana
yang ditafsirkan dan ditransformasikan secara keliru sehingga masyarakat merasa sungkan
dan ragu serta takut untuk mempelajari teks lontar. Misalnya adanya wacana aywa wera
(pengendalian diri atau agar hati-hati) dalam belajar, hal ini diartikan tidak boleh diberitahu
atau dipelajari. Pengobatan tradisional Bali (usada) yang dikenalkan oleh para leluhur
merupakan ilmu pengetahuan penyembuhan yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu.
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya sistem Masyarakat
Bali masih percaya bahwa pengobatan tradisional dengan usada banyak maanfaatnya untuk
menyembuhkan orang sakit. Walaupun telah banyak ada Puskesmas tersebar merata di setiap
kecamatan,tetap berobat ke pengobat tradisional Bali (balian) masih merupakan pilihan yang
tidak dapat dikesampingkan begitu saja baik bagi orang desa maupun orang kota.
Karena itu perlu diperkenalkan kembali (reenact) melalui tulisan ini agar tidak „tertelan‟ oleh
perjalanan waktu, sekaligus sebagai generasi muda sebaiknya kita perlu melestarikannya.
F. Penutup
Usada adalah pengetahuan pengobatan tradisional Bali, sebagai sumber konsep untuk
memecahkan masalah di bidang kesehatan. Dengan menguasai konsep usada tersebut dan
memanfaatkannya dalam kerangka konseptual di bidang pencegahan,pengobatan, rehabilitasi
serta penelitian berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan.
Manusia disebut sehat, apabila semua sistem dan unsur pembentuk tubuh
(panca maha bhuta) yang terdiri dari tiga unsur yang disebut dengan tri dosha (vatta=unsur
udara, pitta =unsur api, dan kapha = unsur air).
Secara umum penyakit ada tiga jenis, yakni penyakit panes (panas), nyem (dingin), dan sebaa
(panas-dingin). Demikian pula tentang obatnya. Ada obat yang berkasihat anget (hangat), tis
(sejuk), dan dumelada (sedang). Untuk melaksanakan semua aktifitas ini adalah Brahma,
Wisnu, dan Iswara. Disebut juga dengan Sang Hyang Tri Purusa atau Tri Murti atau Tri
Sakti wujud Beliau adalah api, air dan udara. Penyakit panes dan obat yang berkasihat
anget, menjadi wewenang Bhatara Brahma. Bhatara Wisnu bertugas untuk mengadakan
penyakit nyem dan obat yang berkasihat tis. Bhatara Iswara mengadakan penyaki sebaa dan
obat yang berkasihat dumelada.
Masyarakat di Bali masih percaya bahwa pengobatan dengan usada banyak
maanfaatnya untuk menyembuhkan orang sakit. Walaupun telah banyak ada Puskesmas
tersebar merata di setiap kecamatan,tetap berobat ke pengobat tradisional Bali (balian) masih
merupakan pilihan yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja baik bagi orang desa maupun
orang kota.
White, Kevin. 2011. Pengantar Sosiologi Kesehatan dan Penyakit.Jakarta: Kharisma Putra
Utama Offset.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI.
Badrujaman, Aip. 2010. Sosiologi Keperawatan. Jakarta: CV Trana Info Media.
http://www.padmabhuana.com/usada-bali.html
A. Pendahuluan
Salah satu target yang akan dicapai dalam sustainable development goals pada tahun
2030 adalah menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Hal ini merupakan tantangan dari
semua pihak yang terkait termasuk dari masyarakat itu sendiri. Berbagai cara telah dilakukan
oleh pemerintah dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian pada ibu dan bayi, antara
lain mengharuskan semua persalinan ditolong oleh petugas kesehatan. Pihak medis berusaha
mencari cara terbaik dengan menerapkan teknologi yang berkembang untuk memberikan
pelayanan terbaik bagi ibu dan bayi/anak. Bidan terus dididik dan didistribusikan ke seluruh
desa di berbagai pelosok Indonesia untuk membantu melaksanakan program “persalinan
aman” dan memberikan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Pemerintah ingin
membawa kesehatan ibu dan anak ke arah lebih baik dengan menyediakan fasilitas kesehatan
yang terjangkau oleh masyarakat sampai di tempat terpencil (Gobell dkk, 2018).
Kendala yang dihadapi oleh petugas kesehatan misalnya rendahnya pemahaman dan
ekonomi masyarakat sehingga memilih melahirkan pada dukun. Tidak semua masyarakat
mengetahui program pemerintah yang menggratiskan persalinan pada tenaga kesehatan
melalui jaminan persalinan. Masyarakat enggan untuk mengunjungi petugas kesehatan karena
memikirkan biayanya sehingga masih dijumpai pelayanan kesehatan tradisional dan perilaku
pencarian pertolongan persalinan yang jauh dari jalur medis.
Peran sosial budaya merupakan kondisi yang sudah melekat dalam masyarakat
tertentu. Indonesia dengan geografi wilayah yang sangat luas memiliki tidak kurang dari 520
kelompok etnis dan memiliki kearifan lokal yang sangat beragam. Kondisi ini membutuhkan
cara-cara intervensi yang lokal spesifik dan tidak dapat digeneralisasi secara nasional.
Kesehatan ibu hamil merupakan salah satu indikator status kesehatan masyarakat. Masalah
kelahiran dan kehamilan berkaitan erat dengan unsur budaya di masyarakat. Bila kita lihat
dari bentangan wilayah, hampir semua budaya dari Sabang hingga Merauke memiliki tradisi
dalam proses kehamilan, persalinan dan kelahiran bayi. Pemerintah telah menerbitkan
Permenkes No. 97 tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Ibu yang sudah cukup
komprehensif ditambah dengan Permenkes No. 4 tahun 2019 tentang Standar Teknis
Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar pada Bidang Kesehatan. Namun demikian, masih tampak
adanya kesenjangan dalam implementasinya terutama menyangkut inovasi-inovasi oleh
Pemerintah Daerah (Provinsi, kabupaten/kota) yang saat ini berhubungan dengan masalah
otonomi daerah. Hasil-hasil penelitian kualitatif menunjukkan, pengaruh faktor budaya dalam
pemanfaatan fasilitas kesehatan (faskes) ibu masih kuat pada beberapa etnis yang ada di
Indonesia (Aryastami dan Mubasyiroh, 2019).
Tradisi dan budaya masyarakat terkait kesehatan ibu dan anak di Indonesia
menunjukkan masih tingginya perilaku kesehatan tradisional di masyarakat, khususnya di
daerah/ wilayah terpencil. Perbedaan mencolok dalam ketersediaan fasilitas kesehatan antara
satu tempat dengan tempat yang lain sering kali dikaitkan dengan ketidakmampuan
pemerintah melakukan pembangunan yang merata. Luas wilayah Indonesia yang terdiri atas
beribu-ribu pulau, yang dihuni oleh berbagai etnis dengan karakteristik dan adat budaya,
tingkat sosial ekonomi, dan pendidikan yang berbeda menjadi alasan pembenar pembangunan
kesehatan yang belum merata (Angkasawati dkk, 2018).
Permasalahan pembangunan kesehatan yang belum merata sehingga banyak
masyarakat menerima pelayanan kesehatan yang jauh dari layak, yaitu melalui dukun dan
C. Bentuk Kearifan Budaya Suku Bajo dalam Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Salah satu program kesehatan adalah kesehatan ibu dan anak. Kesehatan ibu dan anak
(KIA) di Indonesia tidak lepas dari pengaruh budaya yang ada di masyarakat. Perilaku seputar
prahamil, kehamilan, persalinan, nifas, Keluarga Berencana (KB), dan pengasuhan anak
cenderung berbeda pada masing-masing budaya, meskipun memiliki konsep yang sama-sama
memperhatikan kesehatan dan keselamatan ibu dan anak. Setiap suku memiliki konsep sehat
dan sakit yang unik yang terkadang bertolakbelakang dengan konsep medis profesional.
Suku Bajo memiliki sistem etika dan kebudayaan sendiri. Sistem tersebut menjadi
pedoman hidup mereka dan mengarahkan kehidupan keseharian mereka dari generasi ke
generasi. Budaya mereka mencakup berbagai aturan yang dihasilkan dari pengalaman dan
spiritualitas mereka dengan kehidupan mereka yang bergantung sepenuhnya pada alam
(Artanto, 2017). Suku Bajo memanfaatkan sumberdaya hayati laut berdasarkan norma-norma
dan nilai-nilai budaya yang telah melembaga dan dipatuhi serta dipertahankan melalui
pengendalian sosial (social control) oleh setiap komunitasnya berdasarkan sistem kepercayaan
yang bersumber dari idigenous knowledge yang diwarisi dari generasi ke generasi (Arief,
2008). Pada pelayanan KIA di budaya Suku Bajo, sistem medis profesional (bidan desa,
perawat, Puskesmas, Posyandu) bersaing dengan sistem medis tradisional (dukun atau dukun
bayi) dalam praktik kehamilan, persalinan, nifas, dan perawatan bayi.
Ibu hamil di masyarakat Suku Bajo dalam mengatasi penyakitnya ada yang berobat ke
tenaga kesehatan dan masih ada yang ke dukun dengan cara diurut dan dijappi kemudian
dibuatkan air yang sudah dibaca dengan mantra. Kemudian diberikan kepada ibu yang sakit
lalu diminum dan daerah yang sakit juga diberikan air. Pada ibu melahirkan jika sakit, cara
mengatasinya dengan dengan berobat ke dukun atau Puskesmas. Jika penyakit setelah berobat
D. Penutup
Tradisi pengobatan Suku Bajo terdapat tingkatan pengobatan. Apabila ibu atau bayi
sakit maka anggota keluarga akan memulai pengobatan dari yang paling sederhana yaitu
menyiapkan sedikit sesajen. Jika belum sembuh, maka jumlah sesajen akan terus ditingkatkan
sampai kelas yang paling tinggi yang akan dirangkaikan dengan prosesi Duata, pemberian
sesajen secara besar-besaran yang membutuhkan dana tidak sedikit.
Dalam penanggulangan sakit terhadap kesehatan ibu dan anak di masyarakat Suku Bajo
masih menggunakan pengobatan tradisional. Tindakan ini diambil karena adanya kepercayaan
bahwa ada penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh dokter dan hanya bisa sembuh dengan
pengobatan tradisonal.
DAFTAR PUSTAKA
Angkasawati TJ, Handayani L, dan Laksono AD, 2013. Simpang Jalan Pelayanan Kesehatan
Ibu dan Anak, Yogyakarta: Kanisius.
Arief A, 2008. “Sistem Pengetahuan Lokal Masyarakat Nelayan dalam Eksploitasi
Sumberdaya Hayati Laut di Sulawesi Selatan”, Jurnal Sains dan Teknologi, Vol. 8
No. 2 : 88 – 94.
Artanto YK, 2017. “Bapongka, Sistem Budaya Suku Bajo dalam Menjaga Kelestarian Sumber
Daya Pesisir”, Jurnal Sabda, Vol. 12 No. 1: 52-69.
Aryatasmi NK dan Mubasyiroh R, 2019. Peran Budaya dalam Pemanfaatan Layanan
Kesehatan Ibu hamil. Jakarta: Badan Litbangkes.
Gobel, FA dkk. 2018. “Aspek Sosial Budaya dalam Pemilihan Pertolongan Persalinan Pada
Suku Bajo Pomalaa Sulawesi Tenggara”, Seminar Nasional Sinergitas Multidisiplin
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SMIT).
Harjati; Ridwan MT; dan Sudirman N, 2012. Konsep Sehat Sakit terhadap Kesehatan Ibu dan
Anak Pada Masyarakat Suku Bajo, Kabupaten Bone; Sulawesi Selatan, Jurnal Pasca
Unhas.
Kalangie, N., 1994. Kebudayaan dan Kesehatan. Pengembangan Kesehatan Primer Melalui
Pendekatan Sosiobudaya, Jakarta: Megapoin.
Kompas.com tanggal 1 April 2014 Pukul 13.57 WIB
Syukur, M, 2007. Sistem Sosial dan Kepercayaan Suku Bajo. Attoriolong Vol. IV No. 1 tahun
2007.
Winkelman, M. 2009. Culture and Health: Applying Medical Anthropology. San Francisco:
Jossey-Bass.