Anda di halaman 1dari 358

Profil Penerima

PROFIL PENERIMA

ANUGERAH
KEBUDAYAAN
TAHUN 2019

1
Anugerah Kebudayaan dan penghargaan
Maestro Seni Tradisi TAHUN 2019
1
2

2 Anugerah Kebudayaan dan penghargaan


Maestro Seni Tradisi TAHUN 2019
ANUGERAH
KEBUDAYAAN
2019

Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
2019

3
TIM PENYUSUN

Pengarah : Nadjamuddin Ramly


Penanggung Jawab : Yayuk Sri Budi Rahayu
Penulis : Aan Rukmana
Dewi Nova
Dita Darfiyanti
Mohamad Atqa
Rizky Ernandi
Willy Hangguman
Kameramen/Fotografer : Leon Desata Marbun
: M. Rully API
: Simbul Sagala
: Rachmat Gunawan
Editor : Binsar Simanullang
Kenedi Nurhan
Pengolah Data : Dede Semiawan
Desy Wulandari
Retno Raswaty
Desain Cover dan Layout : Sakti
Sekretariat : Jatmiko HW
Lisa Ariesta M
Email : anugerahkebudayaan@gmail.com

DIREKTORAT WARISAN DAN DIPLOMASI BUDAYA DIREKTORAT


JENDERAL KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

4
PENGANTAR
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya

NADJAMUDDIN RAMLY

S
elama ini banyak tokoh, seniman, budayawan yang sebenarnya
telah memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan
kebudayaan dan patut diteladani, namun kurang mendapatkan
penghargaan sebagaimana mestinya.
Kilas balik tentang penghargaan yang pernah diberikan oleh
pemerintah dalam bidang kebudayaan secara sporadis dirintis oleh
beberapa unit yang menangani kebudayaan. Dari hasil penelusuran
sejarahnya, penghargaan di bidang kebudayaan sudah ada sejak
tahun 1970-an yang pada saat itu bernama Hadiah Seni. Sebagaimana
tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1976 Tentang
Hadiah Seni, Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, Pengabdian dan Olah
Raga. Pada saat itu yang menerima penghargaan Hadiah Seni,
sebagian besar adalah kalangan seniman, baik dari seni rupa,
maupun seni pertunjukan yang telah banyak berkontribusi dalam
pengembangan kesenian. Seiring dengan perkembangan tersebut
muncul tokoh-tokoh sastrawan, sejarawan yang banyak melakukan
penulisan kemudian mendapatkan penghargaan.
Pada periode 2000-an, pemerintah memberikan penghargaan
kepada tokoh-tokoh seniman/budayawan yang peduli tradisi yang
kemudian menjadi cikal bakal anugerah kebudayaan dengan ruang
lingkup yang lebih luas yaitu pelestari dan pengembang. Pada saat
ini pemberian penghargaan juga diperluas ke kalangan media massa
yang memiliki kolom khusus tentang kebudayaan dan penulisan
dalam bidang kebudayaan, serta iklan baik televisi maupun cetak
yang berbudaya. Demikian pula institusi penerbitan buku tidak luput
dari perhatian, khususnya untuk penerbitan buku anak.

5
Bagaimana kontribusi penerbitan yang berdedikasi terhadap
perkembangan kebudayaan Indonesia.
Sekitar tahun 2007, untuk melestarikan seni-seni tradisi yang
langka dan nyaris punah dari berbagai pelosok tanah air, pemerintah
menyusun program pemberian penghargaan kepada maestro seni
tradisi. Penghargaan diberikan dengan tujuan agar sang maestro dapat
mewariskan keahlian yang ditekuni kepada generasi penerusnya. Itu
sebabnya penghargaan kepada maestro diberikan setiap tahun dalam
bentuk bantuan biaya operasional sampai akan meninggal dunia. Dalam
perkembangannya, silih berganti pemberian penghargaan dilaksanakan,
ada yang dilanjutkan dan ada yang diubah sesuai dengan perubahan
nomenklatur unit-unit organisasi yang menangani bidang kebudayaan.
Sejalan dengan dibentuknya Direktorat Internalisasi Nilai dan
Diplomasi Budaya tahun 2012, sekarang menjadi Direktorat Warisan dan
Diplomasi Budaya, beberapa kegiatan pemberian penghargaan disatukan
dalam program Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni
Tradisi, dengan penyatuan kategori yang berbeda. Selain kategori
Bintang Mahaputra, Bintang Budaya Paramadarma, dan Satyalancana
Kebudayaan yang SK-nya dari Presiden, juga kategori Pencipta, Pelopor,
dan Pembaru Kesenian, Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya,
Anak dan Remaja yang Berdedikasi terhadap Kebudayaan, dan Maestro
Seni Tradisi yang Surat SK-nya dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Selanjutnya pada tahun 2015 seiring dengan bertambahnya perhatian
pemerintah terhadap pelaku/lembaga yang ber- kontribusi terhadap
pelestarian kebudayaan, maka diberikan juga kepada; Pemerintah
Daerah, Komunitas dan Perorangan Asing yang berkontribusi terhadap
Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan.
Program pemberian penghargaan ini diharapkan tetap
berlanjut dan diselenggarakan lebih baik, untuk itu Direktorat Jenderal
Kebudayaan melalui Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya,
kiranya perlu membuat Pedoman Pemberian Penghargaan di Bidang
Kebudayaan agar setiap pemangku kepentingan dapat melakukan
pengusulan sesuai dengan kategori dan persyaratan yang ditentukan.

6
LATAR
BELAKANG

D
engan disahkannya UU No. 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan, pemerintah mempercepat
upaya untuk menghidupkan, menggelorakan,
melestarikan, serta mengembangkan kebudayaan dalam
pembangunan nasional.
Beberapa pokok pemajuan kebudayaan yang
segera diatur pemerintah di antaranya terkait Pelaksanaan
Pemajuan Kebudayaan; Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan;
Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan dan Strategi
Kebudayaan; Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu;
Penghargaan, Fasilitasi, dan Insentif; serta Izin Pemanfaatan
Objek Kebudayaan oleh Industri Besar dan Pihak Asing.
Sesuai undang-undang, terdapat 10 obyek pemajuan
kebudayaan, yakni tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus,
pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa,
permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
UU tentang Pemajuan Kebudayaan mengakomodir
pemerintah pusat maupun daerah untuk memberikan
penghargaan kepada setiap orang atau pemda yang
berkontribusi signifikan dalam pemajuan kebudayaan
nasional (PP tentang Penghargaan, Fasilitas, dan Insentif
Pemajuan Kebudayaan (Pasal 50,51, dan 52)). Pemberian
penghargaan ditujukan kepada individu atau komunitas atau
pemerintah daerah yang menghidupkan, menggelorakan,
melestarikan, serta mengembangkan 10 obyek pemajuan
kebudayaan sebagaimana yang dimaksud.
Disadari atau tidak, kondisi kini telah terjadi pergeseran
nilai-nilai budaya yang mempengaruhi identitas personal,

7
identitas sosial, maupun identitas budaya yang berkembang
ke arah individualistis, materialistis, hedonistis. Upaya mencari
solusi atas kondisi ini dapat dilakukan melalui beberapa
pendekatan, antara lain dengan pendekatan langsung (face
to face), pendekatan transimisi (baik media tradisional,
media konvensional maupun media sosial), dan pendekatan
keteladanan.
Pedekatan keteladanan adalah salah satu pendekatan
yang cukup efektif yang diterapkan secara simultan untuk
menjebatani kebutuhan generasi muda tentang kehadiran
tokoh atau figur yang dapat diteladani baik dalam tataran
pemikiran, sikap, maupun tindakan dan perilaku. Generasi muda
membutuhkan tokoh yang dapat dipanuti, dijadikan contoh.
Dengan demikian, program apresiasi kepada para
tokoh seniman, budayawan, sejarawan, filsuf, menjadi
sangat penting, bukan saja pada karyanya, tetapi yang lebih
penting lagi adalah pada proses pencapaiannnya. Dari proses
pencapaian ini, banyak hal yang dapat dipetik sebagai inspirasi
baru bagi yang lain. Dengannya kita berharap belajar dan dapat
melanjutkan kerja kehidupan, membangun peradaban, dan
dengan kesadaran tinggi belajar dan bekerja sama dengan para
muda untuk memandang menyiapkan masa depan.
Di samping komitmen pemerintah terhadap
pelestarian (perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan),
terhadap budaya benda dan tak benda, program apresiasi
‘pemberian penghargaan’ adalah untuk menggali dan
mengenali potensi diri dan manfaatnya bagi lingkungan sosial
dan budaya dalam kerangka pembangunan jatidiri, sekaligus
bentuk penguatan karakter.

Maksud dan Tujuan


Pedoman pemberian penghargaan di bidang
kebudayaan dimaksudkan sebagai acuan untuk memberikan

8
penghargaan kepada individu, kelompok, dan/atau lembaga yang
telah berjasa dan berdedikasi tinggi secara terus- menerus dalam
melestarikan dan memajukan kebudayaan Indonesia.
Penyusunan Pedoman Pemberian Penghargaan di
Bidang Kebudayaan bertujuan untuk memberikan rambu-
rambu kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
dalam menyelenggarakan pemberian peng- hargaan di bidang
kebudayaan.

9
DAFTAR ISI
Tim Penyusun Buku ................................................................................................. 4
Kata Pengantar Direktur Warisan dan Deplomasi Budaya ..................................... 5
Latar Belakang.......................................................................................................... 7
Daftar Isi ................................................................................................................... 10
Laporan Direktur Jenderal Kebudayaan ................................................................. 13
Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ................................................... 17

Anugerah Kebudayaan Tahun 2019


Kategori Anak dan Remaja:
n Moch Shabiq Karba Suhaya, Belajar Jadi Dalang dari Kaset Video ................... 21

n Kennard Alvaro Hadinata, Banyak Ukir Prestasi di Tingkat Dunia ..................... 28

n Muhammad Maulidan Anwar, Berawal dari Lomba Karya Tulis Ilmiah ............. 35

n Gita Naomi Gracia, Penerus Tenun Badong ........................................................ 41

n Branjang Pamadi, Suka Tokoh Raksasa............................................................... 46

Kategori Bintang Budaya Paramadharma:


n Karaeng Pattingalloang (alm), Inspirator Pengembang Ilmu Pengetahuan

dari Kerajaan Gowa ............................................................................................. 54


n Mohammad Sjafe’i (1896 - 1969), Bapak Pendidikan Kejuruan ......................... 59

n Siti Baroroh Baried (Almh), Pelopor Kaum Perempuan..................................... 63

Kategori Satyalancana Kebudayaan:


n Ki Entus Susmono (1966-2018), Dalang “mBeling” yang Sempat Jadi Birokrat.... 70

n Sara Djudjuk Djuariah (alm), “Sang Primadona Srimulat” ................................. 78

n Bulyan Mustafa, Pencipta Ratusan Lagu Melayu Sambas ................................ 84

n Robert Ramone, Melayani Umat Melalui Budaya ............................................. 91

n Muhammad Salim (alm), Mengungkap “Sureq Galigo”Wiracarita Tradisi Bugis ... 96

n Salim Haji Said, Dimensi Sosial Politik pada Sastra, Teater, dan Film Indonesia ... 101

n Nurhayati Subakat, Perlu Budaya Kerja Keras .................................................... 107

n Raden Mas Indrosoegondo (alm), Peletak Dasar Penataan Birokrasi Kebudayaan RI ...114

10
Kategori Komunitas:
n Keluarga Kerukunan Tabot, Melawan Tuduhan Syirik yang Menghantui

Prosesi Budaya Tabot .......................................................................................... 121


n Komunitas Salihara, Seni Bentuk Baru yang Merawat Kebebasan Berpikir ..... 128

n Kasepuhan Ciptagelar, Setia Mempertahankan Budaya Tanam Padi ............... 134

n Jember Fashion Carnaval, Mengangkat Busana Nusantara ke Tingkat Dunia.. 141

n Komunitas Barapan Kebo Desa Lamenta, “Barapan Kebo”, Simbol Kebersamaan ... 148

n Komunitas Pondok Seni dan Budaya Boediardjo Bangun Karakter dengan

Seni Budaya .......................................................................................................... 155

Kategori Maestro:
n Maryam, Maestro Senandung Jolo dari Tepian Sungai Kumpeh....................... 163
n Warsad Darya, Maestro Wayang Cepak “Wong Dermayu” ............................... 170

n Usman Ali Penjaga Terakhir Tari Jepin Langkah ................................................. 176

n Gustaf Bame, Menjaga Sungai dengan Mantra .................................................. 181

n Usman Lajanja, Juru Kunci Pelestari Kesenian “Dadendate” ............................ 184

Kategori Pelestari:
n I Wayan Mudita Adnyana, Pelestari Tulisan Daun Lontar .................................. 191

n Haji Abdul Chaer, Meluruskan Persepsi Keliru terhadap Budaya Betawi.......... 196

n Musik Keroncong Tugu, Kebudayaan Nasional yang Lahir di Kampung Tugu..... 203

n Lesi Katik Ara, Pelestari Syair Gayo dan Didong ................................................. 212

n Memed Tjakra Gumelar, Harus Ikhlas dan Rela Berkorban ............................... 217

n Sujana Priya, Menghidupi “Kedok” Hingga di Usia Senja .................................. 224

n Pater Jacques Maessen, Penjaga Kain Tenun Sintang ...................................... 229

n Datu Norbeck, Banting Stir Demi Pelestarian Tradisi Tidung............................. 234

n Kiagus Wirawan Rusdi, Membangkitkan Batang Terendam.............................. 239

n Siti Sutiyah, Seni Tari Harus Masuk Kurikulum ................................................... 246

Kategori Pemerintah Daerah:


n Kabupaten Gianyar .............................................................................................. 254

11
n Kabupaten Ngawi, “Ngawi Ramah, Ngawi Berbudaya” .................................... 260
n Kediri Merawat Warisan Budaya Adiluhung ....................................................... 266
n Kabupaten Sanggau, Pelopor Perda Pemajuan Kebudayaan ............................ 272
n Kabupaten Kulon Progo, “Bela Beli Kulon Progo” ............................................ 278

Kategori Perorangan Asing:


n Karel Stenbrink, Citra Positif Islam dan Budaya Indonesia ................................ 286

n Mahmoud Hamdi Zakzouk, Pahlawan bagi Mahasiswa Indonesia di Mesir ..... 291

n Roesman Darmo Hoetomo, Penggiat dan Pejuang Bahasa Indonesia dan Bahasa

Jawa di Suriname ................................................................................................. 296

Kategori Pelopor Pencipta Pembaharu:


n Purwa Tjaraka, Dari Musik Industri Turun ke Hati .............................................. 304

n Rose Pandanwangi, Sang Pelopor Seriosa Tanah Air......................................... 308

n Restu Imansari Kusumaningrum, Mentransformasi Seni Tradisi Menjadi Seni

Pertunjukan “Avant-garde” ................................................................................ 313


n Eka Kurniawan, Sastra yang Membuka Pintu Dunia .......................................... 320

n Ade Darmawan, Membawa Ekosistem Seni Rupa ke Tingkat Dunia................. 325

n Wiwiek Widiyastuti, Orang Jawa Menjunjung Betawi Lewat Tari ..................... 332

n Amrus Natalsya, Merayakan Hidup, Mencipta Lukisan Kayu ............................ 336

n Aryanto Yuniawan, Film Animasi Harus Jadi Tuan di Negeri Sendiri ................. 341

n Martinus Miroto, Belajar Tari Itu untuk Mengarungi Kehidupan ...................... 348

n Jemek Supardi, Pantomim Mengajak Kita untuk Refleksi Diri........................... 355

12
bentuk koordinasi antara Pemerintah Pusat yaitu Direktorat
Jenderal Kebudayaan dengan Pemerintah Daerah yaitu Dinas
Kebudayaan Provinsi dari seluruh Indonesia, serta UPT kami
yaitu Balai Pelestarian Nilai Budaya dari seluruh Indonesia.
Pertemuan Pemangku Kepentingan ini mensosialisasikan
kembali pentingnya Pencatatan dan Penetapan Warisan Budaya
TakBenda Indonesia, upaya tindak lanjut dari penetapan WBTB
Indonesia serta diskusi konsultasi mengenai usulan dari Dinas
Kebudayaan Provinsi terkait pemberkasan dan substansi kepada
Sekretariat Warisan Budaya Takbenda;
3. Rapat Penilaian WBTb Ke-1 pada tanggal 10 - 12 April 2019 di
Jakarta. Rapat ini membahas evaluasi kegiatan penetapan
tahun 2018. Selain itu dilakukan pembahasan awal 399 usulan
yang masuk dalam Diskusi Terpumpun oleh Tim Ahli serta
menentukan verifikasi budaya takbenda. Dari penilaian tersebut
memutuskan bahwa sebanyak 23 usulan ditangguhkan, 271
usulan dilanjutkan ke Sidang dengan catatan (perbaikan),
36 usulan dilanjutkan ke Sidang tanpa catatan, dan 69 usulan
harus diverifikasi. Setelah Rapat Penilaian WBTb Ke-1, Direktorat
Warisan dan Diplomasi Budaya mengirimkan surat permohonan
perbaikan pada pihak pengusul yaitu Dinas terkait;
4. Verifikasi karya budaya dilaksanakan bulan Mei-Juli 2019
sebanyak 69 usulan dilakukan di 18 Provinsi oleh tim verifikator
ke lapangan untuk memeriksa apakah karya budaya yang telah
dibahas oleh Tim Ahli Warisan Budaya Takbenda Indonesia telah
lengkap dan sesuai dengan fakta yang ada di lapangan;
5. Rapat Penilaian WBTb Ke-2 tanggal 17 -19 Juli 2019 di Jakarta.
Rapat ini membahas usulan karya budaya yang telah diperbaiki
oleh pengusul dan hasil verifikasi. Dalam penilaian kedua tersebut
mendapatkan hasil dilanjutkan ke Sidang dengan catatan 119,
dilanjutkan ke Sidang tanpa catatan 172, ditangguhkan 82 dan
ditolak 3 usulan;
6. Sidang Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia
telah dilaksanakan pada 13 - 16 Agustus 2019 di Jakarta yang
dihadiri oleh Dinas Kebudayaan Provinsi/Kabupaten/Kota

14
KATEGORI ANAK DAN REMAJA

20
Moch Shabiq Karba Suhaya
Belajar Jadi Dalang
dari Kaset Video

Pepatah yang mengatakan “buah jatuh tak


jauh dari pohon” tak berlaku bagi Moch
Shabiq Karba Suhaya. Kedua orangtuanya
dan juga keluarga besarnya, baik dari
pihak ayah maupun ibu, tak ada yang bisa
mendalang. Akan tetapi ternyata bakat
mendalang itu muncul dalam diri Shabiq.

P roses ia menjadi dalang sangat unik. Saat berusia


empat tahun, ketika dibawa ibunya ke pasar untuk
belanja, Shabiq kecil tiba-tiba berhenti di depan toko
kaset video yang sedang memutar wayang golek dan
bodoran yang dimainkan oleh dalang terkenal: Asep
Sunandar Sunaryo.
Dunia wayang golek langsung menyihir Shabiq
kecil. Semenjak itu, ia tak pernah berhenti menonton
kaset video wayang golek dan selalu minta dibelikan
kaset wayang. Dari sekadar menonton, ia kemudian
belajar membuat wayang dari kardus.
Semula, Jasmin Bastian, ayahnya, menilai
perhatian anak keduanya itu pada wayang golek
sekadar hobi saja. Apalagi tak ada riwayat dalam
keluarganya yang dikenal sebagai dalang wayang.
Akan tetapi rupanya sang putra menunjukkan minat

21
yang luar biasa pada wayang golek. Ia dengan tegas
mengutarakan keinginannya menjadi dalang wayang golek
seperti Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya. Ia minta dibelikan
kaset wayang golek, jaipongan dan degung. Ia tak pernah
jemu menonton dan mendengar seni dari tanah Sunda itu.
Ayahnya kemudian memutuskan untuk mendukung
secara total cita-cita anaknya menjadi dalang. Di mata Jasmin,
dalang adalah profesi yang mulia. Apalagi wayang adalah
peninggalan tradisional yang sangat adiluhung. Semua jenis
kesenian ada dalam wayang, mulai dari seni suara, tari,
teater, musik dan sebagainya. “Semuanya komplet,” tegas
Jasmin.
“Anak ini seperti menarik saya untuk mengerti dan
memahami budaya Sunda,” tutur Jasmin yang mengaku
orangtua dan leluhurnya berasal dari Banten dan Bogor.
“Saya mulai kewalahan memenuhi keinginan Shabiq,” lanjut
Jasmin yang sehari-hari berdagang untuk menjaga dapur di
rumah tetap mengebul.

22
Permintaan Shabiq pun makin bertambah demi
mewujudkan cita-citanya. Ketika terbetik berita Ki Aep dari
Leles Garut bakal menggelar wayang golek dalam rangka
peringatan Hari Kemerdekaan, Shabiq merengek ingin
nonton di atas panggung pergelaran. Untunglah panitia
pergelaran wayang golek berbaik hati untuk membolehkan
Shabiq dan ayahnya nonton di atas panggung. Mereka juga
bisa berkenalan dengan Ki Aep.
Shabiq merasa masih ingin bertemu dengan banyak
dalang beken lainnya, seperti yang ditontonnya lewat kaset
video. Ia kembali meminta ayahnya agar bisa bersua dengan
Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya di Bandung dan para
dalang lainnya. Saat itu usianya baru lima tahun. Bersama
ayahnya, Shabiq berangkat ke Jelekong, Bandung, untuk
bertemu dengan Ki Dalang Asep.
Betapa bahagianya Shabiq ketika akhirnya bisa
bertemu dengan sang dalang idolanya. Bila
sebelumnya ia hanya bisa menyaksikan lewat
kaset video, saat itu ia bisa bertemu langsung
dengan sang dalang, bisa bertatapan
langsung. Yang lebih membahagiakan lagi,
Ki Dalang Asep tampaknya terpesona pada
potensi anak tersebut. Ia bisa menilai itu
dari cara Shabiq memegang wayang.
“Ki Dalang Asep bertanya,
Shabiq belajar wayang dari mana.
Saya menjawab belajar otodidak
dengan menonton kaset Abah
Asep,” jelas ayah Shabiq kepada
Ki Dalang Asep. Sebagai kenang-
kenangan, Ki Dalang Asep memberikan
anak itu satu wayang buta.

23
“Saya dikasih sebuah wayang buta yang biasa dipakai
untuk pergelaran Abah Asep,” tutur Shabiq. “Wayang
buta, itu wayang raksasa. Tokoh raksasa,” jelasnya tentang
wayang tersebut. Anak remaja ini sempat bertemu dengan
Ki Dalang Asep sebanyak tiga kali. Pada setiap pertemuan,
Ki Dalang Asep membekalinya dengan wayang golek agar
Shabiq terus belajar dengan rajin. Motivasi itu membuat
anak remaja ini selalu antusias bila mendengar kabar ada
pementasan wayang golek oleh Ki Dalang Asep, dan ia
berusaha menontonnya di atas panggung, di belakang Ki
Dalang Asep.
Shabiq tak berhenti belajar. Ia kemudian bisa
bertemu dengan Abah Babem Karba Suhaya, salah seorang
dalang terkenal dari Bandung. Pertemuan tersebut terjadi
berkat bantuan dari salah seorang kerabat Abah Babem,
yakni Intan. Pertemuan dengan Intan itu bermula dari
seringnya keluarga Shabiq berkunjung ke rumah adiknya di
Cibaduyut, Bandung, dan kemudian berkenalan dengan Pak
Intan.

24
Intan bersedia mengantar Shabiq dan ayahnya untuk
bertemu Abah Babem. Rupanya Abah Babem tertarik pada
kemampuan Shabiq dan bersedia membina dan menjadi
guru bagi anak remaja tersebut. Abah Babem terpesona
pada kemampuan anak remaja yang serius belajar jadi
dalang. Apalagi keinginannya itu datang dari dalam dirinya
sendiri, bukan karena kehendak orangtuanya.
Hubungan Abah Babem dan Shabiq seperti ayah
dan anak. Abah Babem mengajarinya dengan sabar tentang
pedalangan, teknik olah vokal dan berbagai keterampilan
berdalang lainnya. Berkat Abah Babem, kemampuan Shabiq
berkembang pesat. Abah Babem adalah putra dari Abah
Nandang Karba Suhaya, yang merupakan keturunan Mama
Suhaya Atma bin Nurasan. Abah Nandanglah yang “melantik”
Shabiq jadi dalang dalam suatu ritual tawajuhan. Semenjak
itu, Shabiq resmi jadi dalang dan penerus turunan Karba
Suhaya. Maka, di belakang nama Shabiq pun ditambahkan
nama “Karba Suhaya”. Selain Abah Babem, yang juga ikut
membimbing remaja ini adalah Asep Ginanjar MSn dan
Wawan Amung Sutarya.
Demi bakat anaknya, ayah Shabiq rela mengantar
putranya bisa menyaksikan sejumlah pergelaran wayang
golek dengan biaya sendiri, termasuk membeli wayang
dan peralatan gamelan untuk mendukung pengembangan
bakat anaknya. Menariknya, dukungan itu tidak hanya
datang dari keluarganya, tetapi dari sekolahnya, SMP
Negeri1 Selaawi. Kepala SMP Negeri 1 Selaawi, Asep
Nurjamiah, mengemukakan, pendidikan kesenian di sekolah
yang dipimpinnya mendapat perhatian besar. Ia mengaku
bangga dengan prestasi yang diukir oleh Shabiq karena
dapat mengharumkan nama sekolah yang dipimpinnya dan
juga memberi inspirasi bagi anak didik lain untuk mencintai
budaya sendiri.

25
Shabiq sendiri harus berlatih keras agar bisa
memainkan semua peralatan musik gamelan untuk
mendukung pementasannya. “Saya harus bisa semuanya.
Kalau saya tidak menguasai musik, pementasan saya bisa
rusak. Sebagai dalang, saya sebenarnya yang memimpin
pergelaran itu,” ujarnya.
Di rumahnya kini tersedia seperangkat alat gamelan
mulai dari kendang, gong, bonang, saron dsb-nya. Beberapa
teman sekolahnya ikut belajar menabuh instrumen musik
tradisional tersebut bersamanya di Sanggar Gumelar Raharja
2. “Tidak banyak teman-teman saya yang belajar di sini. Kami
ada beberapa orang,” tutur Shabiq.
Sungguh menarik, anak remaja yang berusia 14
tahun telah memutuskan untuk menekuni wayang golek dan
kesenian Sunda pada umumnya. Apalagi ia dengan tegas
dan berani mengatakan, “Siapa lagi yang harus melestarikan
budaya kita sendiri, kalau bukan kita.”
Shabiq tak tergoda dengan seni yang datang dari
luar. Ia telah memutuskan dirinya hanya untuk wayang
golek. Saat ini ia sedikitrnya telah menguasai lakon “Jabang
Tetuka”, “Seta Perlaya”, “Hajat Surya”, “Kumbagkarna
Gugur”, :Hanoman Duta”, “Ramayana”, dan “Brata Yudha”.
Ia mulai naik pentas saat duduk di kelas I SD membawakan
lakon “Jabang Tetuka”. Selain jadi dalang, ia juga bercita-cita
bisa menjadi dosen seni.
Prestasi Shabiq yang bagus itu membuat namanya
cepat dikenal. Ia sempat tampil di MetroTV dalam program

26
“Little VVIP” dengan presenter Cak Lontong, di Festival
Dalang Bocah tahun 2017 di Taman Mini Indonesia Indah,
Jakarta, bahkan diminta untuk pentas pada acara pernikahan.
Harum namanya pun sampai ke luar negeri. Tahun 2018,
undangan dari Taiwan datang agar ia bisa tampil pada Yilan
International Children’s Folklore and Folkgam Festival pada
7-19 Agustus 2018 di kota Dong-shan River Chin-sue Park,
Taiwan. Sayang, Shabiq dan rombongan tidak bisa hadir
karena ketiadaan dana untuk terbang ke sana.
Shabiq tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya
saat mendapat kabar bakal menerima Anugerah Kebudayaan
2019 kategori Anak/Remaja dari Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Saat ditanya perasaannya tentang
anugerah itu, dengan singkat ia menegaskan: “Terlalu
riang.” Ia mengaku penghargaan itu memberinya motivasi
untuk lebih profesional lagi menjadi dalang wayang golek
dan bertekad untuk melestarikan seni tradisi bisa bertahan
di zaman now. ***

BIODATA

Nama : Moch Shabiq Karba Suhaya


Lahir : Garut, 28 Maret 2005
Alamat : Desa Putrajawa, Kecamatan Selaawi, Garut. Jawa Barat
Pendidikan : SMP Negeri 1 Selaawi, Garut
Kegiatan : Dalang Wayang Golek
Grup : Gumelar Raharja 2
Keluarga :- Jasmin Bastian (ayah)
- Euis Supriatin (ibu)
- Khannas Hamzah (kakak)
Penghargaan
2019 : Anugerah Kebudayaan kategori Anak/Remaja dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

27
Kennard Alvaro Hadinata
Banyak Ukir Prestasi
di Tingkat Dunia

Kennard Alvaro Hadinata telah menunjukkan


bakat melukis luar biasa sejak usia
empat tahun. Bakat besar itu tumbuh
subur di tengah keluarganya. Baik ayah
maupun ibunya menyukai dunia seni
lukis. Lingkungan yang mendukung itu
memungkinkan bakat melukisnya bisa
berkembang baik dan menghasilkan karya-
karya seni rupa berkualitas.

B
akat istimewa yang dimiliknya tercermin
jelas dari sejumlah penghargaan yang
dicapainya semenjak 2012. Tidak kurang ia
telah mengantongi 134 penghargaan dan sebagian
besar dari penghargaan itu sebagai pemenang
pertama, antara lain juara I dalam International Art
for Children Painting tahun 2014 di Bulgaria. Eloknya
lagi, kemenangan-kemenangannya itu justru terjadi di
panggung internasional, seperti di Perancis, Inggris,
Jerman, Belanda, Jepang, China, Bulgaria, Meksiko,
Ceko, dan India.
Sebagai ilustrasi, tahun 2015 ia mengikuti
seleksi untuk bisa ikut pameran dalam rangka the 2015
Saatchi Gallery/Deutsche Bank Art Prize for School di

28
London, Inggris. Ken, begitu ia biasa disapa, terpilih sebagai
salah satu dari 20 pelukis yang dinyatakan berhak tampil
dalam pameran khusus tersebut. Padahal yang ikut seleksi
tidak kurang 20.000 pelukis yang datang dari seluruh dunia.
Dengan kaca mata minus satu, Ken yang merasa
bakat melukisnya mendapat dukungan penuh dari
kedua orangtuanya dan teman-temannya di sekolah
mengungkapkan, salah satu karyanya yang paling disukainya
adalah ”Peace, To Live
Together in Harmony” (2018),
yang sempat memenangi
penghargaan 5e prix dalam
The International Visual Art
Competition Louis Francois
di Prancis. Lukisan tersebut
menghadirkan burung
merpati membawa ranting
daun zaitun, sedangkan
di bagian tubuhnya tampil
sosok manusia anak manusia
dari berbagai belahan dunia
dalam kostum budayanya
masing-masing. Dalam keberagaman, mereka jadi satu di
dunia yang satu. Harmoni hanya bisa lahir dari keberagaman.
“Saya suka lukisan tersebut,” katanya singkat.
Tema-tema yang menyentuh selalu hadir di kanvasnya.
Lukisannya bertajuk “I Love You, Mom” menggambarkan
seekor induk orangutan yang sedang menggendong bayinya
dengan penuh kasih sayang. Lukisannya tersebut langsung
“menyapa” yang menontonnya. Maka, tak heran lukisan ini
mendapat penghargaan utama di Polandia pada tahun 2019.
Begitulah, lukisannya telah melalang buana ke
seluruh dunia sampai ke Jerman, Bulgaria, Ukraina, Spanyol,

29
Jepang, Inggris, Latvia, Italia, Belarus, Polandia, AS, Rumania,
Makedonia, Turki, Pdrancis, Slovenia, Belanda, India, Ceko,
Rusia dan lain-lain, meskipun Ken sendiri belum ke sana.
Ken mengaku sangat suka melukis naga dan
dinosaurus atau raksasa. Di beranda Facebook-nya, ia
menulis: “Saya suka naga dan dinosaurus. Saya selalu
bermimpi bahwa di masa depan kita dapat membangun
makhluk realitas virtual seperti naga dan raksasa atau bahkan
menjaga naga peliharaan virtual yang dapat kita kendalikan
dengan remote virtual. Tidak hanya itu, saya bermimpi
bahwa orang-orang dapat berbicara dengan gambar virtual
teman dan keluarga dari tempat yang jauh, sehingga kita
dapat merasa bahwa mereka dekat. Jadi, saya berharap,
ketika orang-orang dari masa depan melihat gambar saya, itu
akan menginspirasi mereka untuk membuatnya terjadi... Ini
akan sangat keren!” Ken banyak mendapat inspirasi melukis
monster dan robot dari film-film animasi atau game-game.
Dalam mengembangkan bakat melukisnya, peran
orangtuanya, khususnya sang bunda Ira Kurnia Santoso,
luar biasa. Ira membimbing dan mengarahkan putra
keduanya itu. Setelah mengetahui bakat melukis
anaknya, Ira yang berlatar belakang seorang desainer
grafis langsung menyiapkan alat-alat menggambar
untuk anaknya, mulai dari kertas sampai warna.
Kemudian Ken dimasukkan ke Daun Sanggar
Lukis Anak binaan Arik S Wartono. Tahun
2016 ia keluar dari sana dan
kemudian belajar Chinese
painting pada Bernadette
Godeliva Fabiola Natasha
yang lebih populer dengan
panggilan Kaza Kashumi.

30
Ken merasa senang belajar Chinese painting.
Sang ibunya pulalah yang giat mencari info tentang
lomba lukis. Saat usia empat tahun, Ken sudah ikut lomba.
Yang pertama kali ia ikut The 4th Yang Ming International
Adolescents Painting Competition tahun 2012 di Taiwan,
dan mendapat penghargaan “Honorary Mention”. Lalu, ia
mengirim lukisannya untuk ikut lomba The 2012 Save The
Froggs! Art Contest di Amerika Serikat, dan ia baru terpilih
sebagai finalis. Masih di tahun 2012, ia menjadi pemenang
untuk Youth for Human Rights International Art Illustration
Contest di Amerika Serikat.
Pada tahun 2013 ia mulai mengecap rasanya menang
dalam lomba saat mendapat medali emas pada 43rd Pentel
International Children's Art Exhibition di Jepang Pada tahun
2014, makin banyak kompetisi diikuti oleh Ken. Penghargaan
yang didapatnya juga kian banyak. Tahun 2014 ia menjadi
pemenang The 12th International Art Competition dengan
karya lukis "Different Look" di Polandia. Lukisannya itu
kemudian jadi ilustrasi cover untuk katalog kompetisi
tersebut. Ia pun menjadi pemenang pertama untuk The
Ocean Pals International Poster Contest di Amerika Serikat,
tahun 2014. Ia juga jadi pemenang dalam kompetisi drawing
berjudul “Build Vincent” di Belanda. Di Spanyol lukisan Ken

31
mendapat penghargaan pertama untuk “The 2014 Peace and
Cooperation School Award Family: Rights And Future”.
Ken mengungkapkan sosok yang ikut berpengaruh
besar terhadapnya saat ia berusia 6 tahun adalah Vladimir
Lopato-Zagorsky, Duta Besar Belarus untuk Indonesia.
“Melihat kembali pada tahun 2014, aku berumur 6 tahun,
ketika seseorang tanpa tahu dapat membuat pengaruh
besar dalam hidup saya... Terima kasih Tuan Vladimir Lopato-
Zagorsky,” tulis Ken di beranda Facebook-nya. Saat itu Ken
mengikuti The 4th International Competition of Children's
Pictorial Creativity: Children are Friends All Over the Planets
(Kompetisi Internasional ke-4 Kreativitas Gambar Anak:
Anak-anak Saling Berteman di Seluruh Dunia).
Dari Jakarta, Vladimir Lopato-Zagorsky mengirim
sepucuk surat kepada Ken untuk mengabarkan bahwa
tidak kurang 31.000 orang dari 26 negara telah mengikuti
kompetisi, dan karya Ken mendapat penghargaan (diploma)
dalam kompetisi tersebut. “Saya harap Anda akan terus
mengembangkan bakat Saudara dan akan mempunyai
banyak pencapaian di masa datang,” tulis duta besar asal
Belarus itu kepada Ken.
Momen lain yang tak terlupakan bagi Ken adalah saat
ia menerima piagam penghargaan berupa Medal The Rose of
Lidice yang diserahkan oleh Duta Besar Republik Ceko untuk
Indonesia, Ivan Hotek, di Jakarta, pada 14 Februari 2019. Ken
mengikuti The 46th International Children’s Exhibition of Fine
Art Lidice tahun 2018 dan mendapat penghargaan tersebut.
Guna menambah wawasan dan pengalamannya,
orangtua Ken mengajak putranya itu untuk melihat karya
seni rupa di sejumlah galeri seperti Museum Seni Rupa dan
Museum Keramik di Jakarta (Kota Tua) pada Februari 2019.
Di sini Ken bisa melihat karya-karya dari maestro seni rupa
Indonesia seperti Raden Saleh, S Sudjojono, Affandi, Basuki

32
Abdullah, Dullah, Lee Man Fong, Antonio Blanco, an Hendra
Gunawan. Ken juga meluncur ke Galeri Nasional Indonesia
untuk menyaksikan pameran Sasya Tranggono, “Seni Rupa
Post Tradisi”, dalam rangka 30 tahun Sasya berkarya, dan
malamnya ia ke Galeri Indonesia Kaya di Grand Indonesia. .
Untuk prestasinya yang luar biasa itu, Pemerintah
RI melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
memberinya Anugerah Kebudayaan kategori Anak/Remaja
tahun 2019. “Saya kaget bukan main ketika mendengar kabar
tentang anugerah kebudayaan dari Ibu saya,” tuturnya.
Anugerah ini, katanya, melecutnya untuk bekerja lebih keras
lagi agar bisa mencetak prestasi yang lebih hebat lagi.***

33
BIODATA

Nama : Kennard Alvaro Hadinata


Lahir : Surabaya, 5 Juli 2008
Sekolah : Xin Zhong School, Surabaya
Cita-cita : Jadi Perupa
Ayah : Iie Hadinata
Ibu : Ira Kurnia Santoso

Penghargaan
2019: Anugerah Kebudayaan kategori Anak/Remaja dari
Kementerian Pendidikan dan KebudayaanI
2018: First Prize dalam The 18th World Habitat Day
Children’s Drawing Contest dengan karya ”Our City
and Water”, UN-HABITAT, Jepang
2018: First Place dan Special Caring Award dalam
International Poster Contest for Youth 2017 lewat
karya “Human Exploration of the Oceans”, Amerika
Serikat
2018: 5e prix dalam The International Visual Art
Competition Louis Francois dengan karya ”Peace, To
Live Together in Harmony” di Perancis
2016: Eco Friend Prize untuk lukisannya “Together
in Kindness with Nature” dalam The 7th Kao
International Environment Painting Contest for
Children yang diadakan di Jepang
2015: Platinum Award untuk karyanya “Different But
Best Friends” (50cm x 70cm) dalam The 7th Tianjin
International Children’s Painting & Exhibition di
China.
2015: One of the 20 Sortlisted Artworks and Selected for
Exhibition among Over 20.000 entries on the 2015
Saatchi Gallery/Deutsche Bank Art Prize for School,
London (Inggris)

34
Muhammad Maulidan Anwar
Berawal dari Lomba
Karya Tulis Ilmiah

“Untuk menjadi orang modern belum tentu


kita harus mengkuti kebudyaaan luar, kita
bisa menjadikan kebudayan tradisional kita
sebagai kebudayaan yang lebih maju, lebih
modern.”

T
radisi lisan lamut atau balamut adalah jenis
tradisi tutur berbentuk syair, pantun, dan
narasi. Lamut didendangkan dengan diiringi
tabuhan tarbang. Tema yang diceritakan dalam
lamut adalah mengenai keberhasilan seorang tokoh
karena menggunakan kekuatan supranaturalnya dan
kemudian dipuji-puji oleh masyarakat.
Kesenian ini terbilang bukan kesenian populer.
Penggiatnya yang masih hidup tinggal Jamhar Akbar,
yang usianya sudah tidak muda lagi. Usaha mencari
dan mengader penerus Jamhar Akbar dilakukan,
salah satunya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
lewat pelatihan lamut dengan peserta sekitar 100
orang. Namun teryata tidak membuahkan hasil karena
banyak yang menyerah lantaran kesulitan mempelajari
catukan dan tabuhannya.

35
Titik cerah pelestarian lamut yang berada di
ambang kepunahan muncul dari sosok Maulidan atau yang
biasa dipanggil Zidan. Siswa SMP ini mengenal lamut ketika ia
mengikuti ayahnya yang seorang wartawan meliput kesenian
ini. Di sinilah ia bertemu dengan Jamhar Akbar, pelestari
lamut terakhir yang pada tahun 2007 diberi penghargaan
sebagai Maestro Seni Tradisi oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Banyak pihak, termasuk dari dinas
kebudayaan, kaget karena ada anak muda yang mempelajari
dan melestarikan lamut.
Ditemui di rumahnya di Banjarmasin Timur,
Kelurahan Sungai Lulut, kedua orangtua Maulidan tampak
bangga mendengar anak bungsu mereka mendapat
penghargaan dari pemerintah. Apalagi Zidan, yang pada
sore itu bercerita bagaimana awal mula ia mengenal
kesenian lamut. Seperti halnya remaja Banjarmasin lain pada
umumnya, semula ia pun sama sekali tidak mengenal apa itu
lamut. Hingga suatu hari ia diajak oleh ayahnya bertandang
ke kediaman Jamhar Akbar, sang maestro lamut. Pada
saat itu ia sempat diajak memainkan lamut oleh Jamhar
Akbar, akan tetapi masih belum muncul ketertarikan untuk
mendalami seni lamut.
Ia baru tertarik pada seni tradisi lamut ketika Zidan
berniat mengikuti Lomba Karya Tulis SMP Tingkat Nasional
yang dilaksanakan oleh Dharma Wanita Pusat bekerja
sama dengan Kemendikbud, Ditjen Pendidikan Dasar dan
Menengah, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Pertama. Ia memutuskan untuk mengambil tema tentang
kesenian tradisional lamut. Sejak itulah, untuk mendukung
penulisan karya tulisnya, ia mulai mendalami dan belajar
lamut. Hasilnya Zidan berhasil mendapat medali emas berkat
lamut yang ia tampilkan dalam lomba tersebut. Melalui

36
proses pembuatan karya tulis inilah yang membuat Zidan
mulai lebih memahami mengenai lamut, juga nasib lamut
yang berada di ambang kepunahan lantaran tidak banyak
generasi muda yang tahu tentang lamut.
Model pembelajaran yang Zidan ikuti ketika belajar
menjadi pelamut pada Jamhar Akbar dilakukan dengan
cara mendengarkan dan menirukan. Jamhar Akbar awalnya
mempraktikkan dendang dan ketukan cerita lamut yang
akan dipelajari, kemudian ditirukan oleh Zidan. Tidak ada
teks ataupun naskah dalam mempelajari lamut. Semua
berdasarkan ingatan Jamhar Akbar. Sesi ini berlangsung
sekitar beberapa jam. Sisanya dilakukan mandiri oleh
Zidan dengan bermodalkan rekaman lamut Jamhar
Akbar.
“Menghapalkan cara balamut juga lebih
sulit. Cerita dalam balamut sebenarnya banyak.
Kira-kira kalau mau habis selawasan enam hari
enam malam atau bisa
tujuh hari tujuh malam,”
kata Zidan. Teks lamut
sebenarnya sudah
dibuat oleh seorang
peneliti bernama Zainul
Hernawan, d o s e n
Universitas L a m b u n g
Mangkurat, untuk disertasi
doktornya pada program Kajian
Tradisi Lisan di Universitas
Indonesia (KTL- UI). Akan tetapi
penggunaannya hanya untuk Jamhar
Akbar saja. “Seniman- seniman senior saja
tidak berani, apalagi kita yang masih baru-baru

37
ini,” ujar Syaiful Anwar, ayah Zidan. Memang Zidan bukan
dari keluarga seniman ataupun dekat dengan keluarga
Jamhar Akbar.
Peran kedua orangtuanya juga sangat besar bagi
Zidan untuk melestarikan lamut. Kesenian lamut bukan
merupakan kesenian yang mudah untuk dipertunjukkan.
Ayah Zidan juga mengungkapkan betapa sulitnya untuk
memasukkan kesenian lamut ke dalam penampilan tetap
seperti di taman budaya. Penampilan-penampilan balamut
yang dipentaskan oleh Zidan umumnya menggunakan
koneksi ayahnya yang seorang wartawan. Kedua orangtua
Zidan mendukung agar pernampilan balamut oleh Zidan lebih
dikembangkan dan adanya inovasi agar lebih menarik bagi
generasi muda. Zidan sempat terpikir untuk menggunakan
alat musik pengiring yang lebih modern, seperti gitar atau
piano yang bisa dimainkan sendiri, dan sedikit mengubah
cerita lamut supaya relevan dengan masa sekarang. Namun
ide ini masih cukup susah direalisasikan karena lamut terikat
pakem atau aturan-aturan tertentu.
Ketertarikan dan semangat Zidan untuk
melestarikan kesenian lamut juga menemui banyak
hambatan. Kesenian lamut yang hampir punah tidak banyak
diketahui orang. Tidak hanya teman-teman sebaya Zidan saja,
guru-guru di sekolah Zidan pun kebanyakan tidak mengenal
lamut. “Teman-teman tidak tahu soal kesenian ini dan
kurang tertarik, apalagi bentuk balamut semacam bercerita,
sehingga mereka merasa bosan, kurang memperhatikan,”
ucap Zidan. Selain itu, untuk tampil di acara-acara juga
bukan hal yang mudah. Lamut aslinya memiliki cerita panjang
yang bisa memakan waktu 1-2 jam untuk menceritakan
keseluruhannya, padahal sekarang penampilan lamut hanya
dibatasi 10-15 menit.

38
Hambatan-hambatan
itu tidak membuat Zidan hilang
harapan. Ia bertekad untuk bisa
lebih giat lagi dalam mendalami
tradisi balamut agar lebih banyak
dikenal orang dan lebih banyak
lagi orang yang tertarik pada
tradisi balamut. Dengan begitu,
tradisi balamut tidak ikut punah
seperti beberapa kesenian khas
Banjar lainnya, seperti bagandut.
Pakem lamut memang
menjadi hambatan dalam inovasi-
inovasi yang ingin dilakukan
oleh Zidan. Namun, baginya, hal
tersebut justru menjadi tantangan
tersendiri untuk membuat lebih
banyak orang, khususnya generasi
muda, untuk lebih tertarik
mengenal lamut. Ia berharap agar
anak muda Indonesia lebih tertarik
terhadap budaya negeri sendiri,
memperhatikan dan melakukan
inovasi agar lebih banyak orang,
khususnya orang luar, yang
tertarik terhadap kebudayaan
Indonesia.

39
BIODATA

Lahir : Banjarmasin, 24 Mei 2003


Ibu : Herawati Sari
Ayah : Syaiful Anwar
Saudara : Muhammad Isra Anwar, Ikhsan Ansyari
Anwar
Pendidikan : SMA Negeri 7 Banjarmasin
SMP Negeri 6 Banjarmasin
SDN Nenegeri Pengambangan 5 Banjarmasin
Alamat : Jalan Veteran Km 5.5 Gg. Gusti Seman No.67
RT.04 RW.01 Kec. Banjarmasin Timur,
Kelurahan Sungai Lulut, Banjarmasin,
Kalimantan Selatan
Keahlian : Balamut
Penghargaan :
- Anugerah Kebudayaan kategori Anak dan Remaja dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2019)
- Medali Emas Lomba Karya Tulis SMP Tingkat Nasional
yang dilaksanakan oleh Dharmawanita Persatuan Pusat
bekerja sama dengan Kemendikbud, Ditjen Pendidikan
Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Pertama (2017)
- Juara II Lomba Bercerita Bahasa Banjar se-SMAN 7
Banjarmasin (2019)
- Juara III Lomba Puisi Gerika Se-Kalimantan Selatan (2017)
- Juara I Lomba Puisi Se-SMPN 6 Banjarmasin (2016)
- Peringkat II Lomba Siswa Berprestasi Se-Kecamatan
Banjarmasin Timur (2013)

40
Gita Naomi Gracia

Penerus Tenun
Badong

Gita Naomi Gracia namanya. Di usianya


yang masih belia (lahir 9 November 2005)
ia telah melakukan kegiatan yang biasanya
dilakukan oleh orang-orang dewasa: menenun
kain badong, kain tenun khas suku Dayak
Benuaq di Kutai Barat. Sebuah aktivitas yang
tidak gampang. Sebab, menenun menuntut
penenunnya memberikan curahan perhatian
khusus, fokus, konsisten dan memiliki daya
tahan agar menghasilkan kain tenun yang
baik, indah, dan bernilai tinggi.

G
ita adalah anak ketiga dari empat bersaudara
dari pasangan Rudi dan Jamah. Kedua
orangtua Gita memang dikenal sebagai
penenun dan pedagang kain tenun. Sang ibu (Jamah)
menenun, sedangkan sang bapak (Rudi) aktif mencari
berbagai peluang untuk memasarkan kain tenun
buatan sang istri dan rekan-rekan di kampungnya.
Pada usia yang ke-10, Gita Naomi Gracia mulai
memberanikan diri untuk belajar menenun. “Aku
melihat menenun itu seru karena dapat menciptakan
kain yang indah,” kata Gita. Selain itu, tambahnya,
kain tenunan juga dapat membantu perekonomian

41
keluarga. Selembar kain tenun badong
dihargai antara Rp 500.000 hingga Rp
800.000.
Keinginan Gita untuk menjadi seorang
penenun bukan tanpa hambatan. Awalnya
ia harus mencuri-curi kesempatan agar
dapat belajar menenun, lantaran hal
itu ia lakukan dengan melanjutkan
pengerjaan kain tenun yang sedang
ditenun oleh ibunya. Begitu sang ibu
sedang beristirahat atau sedang
ada keperluan lain, Gita diam-
diam duduk berselonjor di depan
alat tenun tradisional milik keluarga
mereka dan melanjutkan aktivitas
menenun kain badong yang telah
diawali oleh ibunya.
Beberapa kali sang ibu
heran melihat tenunannya selalu
bertambah jika ditinggal pergi.
Ketika ditanya, Gita pun tidak
mengaku bahwa ia yang meneruskan
kegiatan penenunan. Gita maklum,
takut sang ibu khawatir: alih-alih
membantu menyelesaikan tenunan
menjadi kain, salah-salah malah
dapat merusaknya. Sebab,
jika ada kekeliruan seperti
salah dalam menyusun motif
atau kurang rapi, maka akan sangat sulit
memperbaikinya. Sang ibu tentu saja tahu “ulah” si
Gita kecil, tetapi—sebagai orangtua yang bijak—sengaja tak

42
ia perlihatkan. Terlebih hasil tenunan Gita terlihat bagus dan
rapi, sang ibu malah mengeluarkan pujian, sampai akhirnya
muncul pengakuan Gita bahwa dialah yang melanjutkan
tenunan tersebut.
“Pertama saya bingung, kenapa kain tenun yang
saya kerjakan tidak sama seperti waktu saya tinggalkan.
Karena hasilnya bagus, saya memuji, bukannya memarahi
siapa yang melanjutkan. Akhirnya Gita mau mengaku,” ujar
sang Ibu.
Melihat karya Gita yang bagus dan rapi, ibu dan ayah
Gita membelikan alat menenun khusus untuk dirinya sendiri.
Sejak saat itu, Gita mulai menenun secara terang-terangan.
Setiap sepulang sekolah, Gita menenun. Dua sampai tiga jam
sehari. Alhasil, sampai sejauh ini Gita sudah menghasilkan 25
lembar kain tenun badong. “Semuanya sudah laku terjual,”
kata Gita sambil tersenyum bangga.
Selain keindahannya, motif-motif yang tergambar
di tenun badong juga memiliki makna bagi masyarakat Kutai
Barat, khususnya Kampung Perigiq. “Misalnya badong tumpi,
bentuknya seperti kue tumpi yang dibuat menyerupai bunga.
Kue tumpi adalah makanan khas Kampung Perigiq. Lalu ada
badong perahu, di mana motifnya bergambar persegi yang
melambangkan perahu. Artinya masyarakat di sini hidupnya
dekat sungai dan perahu penting bagi masyarakat,” tutur
Gita.
Gita tinggal di Kampung Perigiq, Kecamatan
Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan
Timur. Lingkungan Gita tinggal berada di pinggir sungai.
Jalan di kampung Gita pun berupa jembatan yang terbuat
dari kayu, yang menghubungkan satu rumah dengan rumah
lain di kampung tersebut. Kampung Perigiq terkenal sebagai
kampung penghasil tenun badong. Tenun badong sudah

43
menjadi bagian sehari-hari di kampung ini. Hampir seluruh
perempuan di sana menjadi penenun. Aktivitas menenun
badong di Kampung Perigiq ini semakin menguat karena
dukungan dan perhatian dari Dewan Kerajinan Nasional
Daerah (Dekranasda) Kutai Barat, antara lain, dalam bentuk
memberikan kesempatan kepada para perajin tenun badong
mengikuti pameran di tingkat provinsi dan nasional.
Lewat dukungan Dekranasda Kutai Barat pula, Gita
mendapatkan kesempatan ikut berpameran di Jakarta,
Balikpapan dan Samarinda. Di Jakarta, Gita diajak mengikuti
INACRAFT pada April 2017. INACRAFT adalah pameran
kerajinan tangan terbesar di Asia Tenggara, yang dilaksanakan
setiap tahun sejak April 1999. Gita mendapatkan kenangan
yang tidak terlupakan dalam kesempatan itu.
Sang Ibu bercerita, “Sewaktu menenun di tempat
(booth) Dekranasda Kutai Barat, Gita dikunjungi oleh Ibu
Mufidah Kalla, (istri Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang juga
adalah Ketua Dewan Kerajinan Nasional). Ibu Mufidah Kalla
senang melihat Gita menenun. Beliau lalu menanyakan Gita:
‘Mau meminta apa (dari dirinya)?’ Gita jawab ingin sepeda.
Sambil bercanda, Ibu Mufidah menjawab bahwa ia bukan
(Presiden) Jokowi. Akhirnya beliau memberikan sejumlah
uang untuk Gita.”
Rasa bahagia dan bangga terpancar dari raut wajah
orangtua Gita, teman-teman sebayany,a dan penenun-
penenun lain di kampungnya mengetahui Gita sebagai
calon penerima Anugerah Kebudayaan 2019 untuk kategori
Anak dan Remaja. Mereka mengakui bahwa Gita memiliki
ketekunan dan keuletan yang luar biasa dalam menenun dan
mengajak kawan-kawan sebayanya untuk menenun. Hingga
saat ini sudah banyak penenun-penenun cilik di Kampung
Perigiq.

44
Sekarang Gita sudah duduk di sekolah menengah
pertama (SMP), yang lokasi sekolahnya itu agak jauh dari
rumah mereka. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat
Gita untuk menenun. Setiap ia pulang sekolah, sesampai di
rumah ia selalu menenun.
Gita yang ingin menjadi apoteker ini pun tidak ingin
meninggalkan aktivitas menenunnya ketika besar nanti.
Ia ingin menimba ilmu dan meluaskan wawasannya untuk
memajukan kain tenun badong. “Aku berharap kain tenun
badong dapat terus lestari dengan semakin banyaknya
penenun dan semakin banyak tempat untuk berjualan.
Buat teman-temanku, jangan gengsi untuk melestarikan
kebudayaan sendiri, walaupun sudah banyak budaya asing.
Sebab, kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?” ujar
Gita. ***

BIODATA

Nama : Gita Naomi Gracia


Lahir : Kampung Perigiq, 9 November 2005
Alamat : Kampung Perigiq, Kecamatan Jempang, Kabupate
Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur
Orangtua : Rudi (ayah) dan Jamah (ibu)
Pendidikan : SD Negeri Kampung Peirigiq
SMP Negeri Tanjung Lesung
Pengalaman Pameran:
- INACRAF di Jakarta (2017)
- Kaltim Fair di Samarinda (2016)
- Festival Kain Tenun se-Kaltim di
Samarinda (2016)
- Pameran Dahau di Barong Tongkok
(2015)

45
Branjang Pamadi
Suka Tokoh Raksasa

Bersimpuh di depan kelir di bawah blencong,


mengenakan blankon, baju jawa dan kain
serta keris di pinggang, Branjang Pamadi
memainkan adegan pertempuran antara
Setyaki dan Aswotomo. Suaranya lantang
dan berat. Tuturnya lancar. Remaja berusia
15 tahun dan berkacamata minus itu
menghadirkan pertarungan dua toko yang
saling berseberangan.

B
ranjang Pamadi adalah salah seorang remaja di
kota gudeg, Yogyakarta, yang memilih menjadi
dalang, bukan musisi atau pemain film seperti
banyak remaja lain. Ia memilih wayang, menjadi
dalang, karena merasa terpanggil. Branjang menyadari
betul seni pewayangan di era digital ini harus berjuang
lebih keras lagi agar bisa bertahan. Generasi milenial
seangkatannya makin tak peduli dengan seni tradisi
tersebut. Terlebih Branjang memilih wayang klasik
atau wayang purwa, bukan wayang kontemporer yang
bisa berkolaborasi dengan genre seni lain, termasuk
seni modern.
Di sekolahnya pun tak banyak temannya yang
tertarik dengan wayang, apalagi menjadi dalang. Malah

46
ia mengaku sempat dirundung (di-bully). Tapi pengalaman
pahit tersebut justru membuatnya kian bersemangat untuk
menggeluti dunia pedalangan. Memang, masih ada teman-
teman sekolahnya yang tertarik dan memberi apresiasi
terhadap apa yang digeluti oleh anak pertama dari pasangan
Dandun Hadi Witono dan Titik Samiarsih ini. Ia mengajak
dan mengajari teman-temannya itu bagaimana memegang
wayang, walaupun ia tahu dirinya sendiri belum sempurna
memegang wayang.
Ibarat pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohon,
Branjang juga lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga
dalang. Kakek buyutnya dalang. Kakeknya RW Cermo
Sutedjo Gondo Sumitro adalah salah satu dalang terkenal di
Yogyakarta. Kedua orangtua Branjang, Dandun Hadi Witono
dan Titik Sumiarsih, juga dikenal sebagai dalang.
“Saya sudah menjadi dalang sejak berada dalam
kandungan,” kata Branjang dengan bangga. Titik Sumiarsih,

47
ibunya, menjelaskan, saat mengandung anak pertamanya
itu ia selalu ikut dalam berbagai pementasan wayang. Saat
masih bocah, Branjang juga sering diajak kakeknya untuk
ikut mendalang. Kakeknya, Sutedjo Gondo Sumitro, sering
memangku cucunya di depan kelir saat sedang mendalang.
Bahkan Branjang suka ikut memainkan anak wayang yang
sedang dimainkan pula oleh kakeknya.
Dalang remaja ini menuturkan, saat masih kecil ia
pernah menderita asma. Saat dirawat ia selalu memegang
wayang. Tampaknya pengalaman memegang wayang
ini langsung merasukinya untuk mencintai seni tradisi
wayang klasik yang banyak mengajarkan nilai kehidupan.
Kepiawaiannya makin bertambah karena darah seni yang
mengalir dalam tubuhnya, bakat yang diturunkan dari
lelehurnya yang semuanya dalang, lalu kakeknya dan kedua
orangtuanya. Lengkap sudah darah seni tradisi pewayangan
yang mengalir dalam dirinya.
Branjang kini telah jadi salah satu dalang remaja yang
tergolong “mantul” alias “mantap betul”. Hal itu terlihat dari
banyaknya penghargaan yang berhasil disabetnya dalam
berbagai kesempatan. Pada tahun 2013 ia menyabet juara I
Festival Dalang Cilik jenjang SD di Yogyakarta. Tahun 2014 ia
merebut juara kedua untuk festival yang sama di kota gudeg
itu. Ia kembali meraih juara pertama tahun 2015. Prestasi
mendalangnya kian mengilap ketika pada tahun 2016 ia
dinobatkan sebagai pemenang pertama Dalang Cilik Tingkat
Nasional. Tak hanya mendalang. Ia juga ikut lomba macapat
dan merebut juara pertama tahun 2017. Lalu, tahun 2018 ia
mengikuti lomba tembang dolanan anak di Pakualaman dan
keluar sebagai juara.
Prestasi yang moncer itu tak turun dari langit. Semua
itu didapat dari kerja keras dan perasan keringat. Branjang

48
menuturkan, setiap hari ia harus menjalani latihan mendalang
yang keras dan penuh disiplin. “Bapak tidak mau saya
cengeng. Kalau saya menangis karena dimarahi saat belajar,
bapak malah tambah keras dalam mendidik saya,” tuturnya.
Akan tetapi Branjang tidak menyesal. Justru pendidikan
yang keras dan penuh disiplin itu telah membentuknya jadi
seorang dalang yang kini cukup piawai. Di rumahnya di
bilangan Gedong Kuning, Bangun Tapa, Bantul, Yogyakarta,
ia menangani peralatan wayang milik keluarga besarnya.
Meski sudah banyak menyabet penghargaan, remaja
ini tak pernah berhenti belajar mendalang. Ia terus belajar
mendalang di Sanggar Kusuma Indria. Kalau tidak di bawah
asuhan sang ayah, ya, sang kakek yang sangat bangga
cucunya bisa mengikuti jejaknya sebagai dalang.
Latihan yang rutin tersebut membentuk dirinya
makin profesional dari hari ke hari. Tak heran ia sering diminta
untuk tampil baik sebagai dalang maupun memainkan lakon-
lakon tertentu. Tahun 2017, misalnya, ia menjadi pemeran
Resi Bala Rama dalam rangka pergelaran purnabakti bakti

49
Budi Hastuti di ISI Yogyakarta. Lalu, di tahun yang sama ia
mendalang dalam rangka kegiatan Hari Wayang Dunia III
di ISI Surakarta. Ia juga jadi peserta Temu Dalang Bocah
Nusantara 7. Pada tahun 2015 ia juga menjadi peserta Temu
Dalang Bocah Nusantara 6. Prestasi yang membanggakannya
adalah ikut pentas Wayang Orang Anak Kusuma Indria dalam
The 7th ASEAN 2013 FETN Steering Committee Meeting dan
pameran tari dalam Sanggar Wayang Bocah Kusuma Indria,
Performing the 7th ASEAN+2 FETN Steering Committee
Meeting.
Ada keunikan dari dalang remaja yang sudah
mendalang sejak kelas III SD ini. Lazimnya, banyak dalang
memiliki tokoh wayang idolanya adalah tokoh yang
membawa misi kebaikan, kebenaran dan sebagainya,
Branjang justru kebalikannya. Ia mengaku tak begitu
menyukai toko protagonis seperti Werkudara, Brotoseno,
Arjuna, atau Bima. Ia lebih suka dengan tokoh
antagonis, seperti buto atau raksasa. “Enggak tau
kenapa begitu. Pokoknya dari kecil suka tokoh
raksasa. Dulu saya pernah diajak ayah pentas
di Prambanan. Saya malah takut dengan tokoh
raksasa karena terlihat sangat serem sehingga
saya sampai menangis. Tetapi di wayang saya
malah suka raksasa. Dulu pernah pentas di UNY
(Universitas Negeri Yogyakarta). Tokoh
Brotoseno dan Werkudara berperang
lawan raksasa. Seharusnya yang menang
Brotoseno. Enggak kalau saya. Saya
memenangkan raksasa,” tuturnya.
Kenapa memenangkan raksasa
yang menjadi simbol kejahatan? “Saya
tidak tahu. Dari dulu suka Werkudara,
Brotoseno, Arjuno dan lain-lain, tapi yang
paling saya suka toko raksasa seperti Buto

50
Cakil. Saya suka tokoh yang kasar-kasar seperti itu,” katanya.
Branjang menjelaskan dalam hidup nyata banyak
tokoh antagonis seperti raksasa itu. Ia mau menghadirkan
tokoh antagonis tak berarti ia sepakat dengan mereka,
tetapi mau menunjukkan dan juga mengingatkan bahwa
dalam hidup kita sehari-hari tokoh antagonis senantiasa
hadir dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Bahwa
yang kemudian keluar sebagai pemenang tokoh protagonis,
hal itu menunjukkan bahwa dalam kehidupan pada akhirnya
kebenaran yang akan tegak, yang akan menang.
Soal dalang idola, ia mengatakan dalang yang
paling disukainya adalah dalang Darma Gondo Darsono
dan Sudirman dari Sragen, Ki Narto Sabdo dari Semarang,
dan kakeknya sendiri, Cermo Sutedjo Gondo Sumitro dari
Yogyakarta. “Cara memainkan wayang oleh kakek, saya
suka,” katanya. Ia juga mengagumi dan belajar dari dalang-
dalang lain.
Karier Branjang masih panjang. Sudah mantap
hatinya untuk menjadi dalang. Namun, di luar itu ia juga
punya impian jadi dosen seni. Sederhana alasannya, ia mau
melestarikan seni tradisi seperti wayang lewat profesinya
sebagai dosen. “Mendalang sambil menjadi dosen,” katanya.
Prestasinya yang bagus di dunia pedalangan
mendorong pemerintah melalui Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan memberinya Anugerah Kebudayaan 2019
untuk kategori remaja. Ia merasa senang bisa mendapatkan
anugerah tersebut dan penghargaan ini sekaligus
memacunya untuk terus mengembangkan diri menjadi
seorang dalang profesional. Ia berharap dunia wayang bisa
terus bertahan, apalagi UNESCO telah mengakui wayang
sebagai milik Indonesia. Yang membuatnya makin optimistis
adalah makin banyak anak sebayanya yang jadi dalang,
belajar tari dan main gamelan. ***

51
BIODATA

Nama: Branjang Pamadi


Lahir: Magelang, 2 November 2004
Pendidikan: SMP
Keahlian: Pedalangan
Orangtua: - Dandung Hadi Witono (ayah)
- Titik Sumiarsih (ibu)
Penghargaan :
- 2019: Anugerah Kebudayaan Kategori Remaja dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
- 2018: Juara I Lomba Tembang Dolanan Anak Hadenging
Kadipaten Pakualaman ke-212
- 2017: - Penghargaan Anugerah Budaya bagi Pelestari dan
Penggiat Budaya
- DIY kategori Anak/Remaja Berprestasi Budaya
- Juara I Lomba Macapat Kemah Budaya Kwarcab
Bantul
- Juara I Asah Terampil Pewayangan, Kemah Budaya
Kwarcab Bantul, DIY
- Penyaji Terbaik I Festival Perang Kembang Dalang
Cilik UNINDRA, Jakarta
- 2016: - Penyaji Lakon Terbaik Festival Dalang Bocah
Juara I Festival Dalang Cilik Tk. Nasional
- 2013: Juara I Dalam Cilik Jenjang SD FLSN2 tahap 2 DIY

Karier
-2017: - Pemeran Resi Bala Rama dalam rangka pergelaran
purnabakti bakti Budi Hastuti di ISI Yogyakarta
- Sebagai Dalang dalam rangka Kegiatan Hari Wayang
Dunia III di ISI Surakarta
- Peserta Temu Dalang Bocah Nusantara 7
-2016: - Pentas Wayang Orang Anak Kusuma Indria dalam The
7th ASEAN
-2013 FETN Steering Committee Meeting
- Pameran tari dalam Sanggar Wayang Bocah Kusuma
Indria. Performing the 7th ASEAN+2 Fetnsteering
Commitee Meeting.
-2015: - Peserta Temu Dalang Bocah Nusantara 6

52
BINTANG BUDAYA PARAMADHARMA

53
Karaeng Pattingalloang (alm)
Inspirator
Pengembang Ilmu
Pengetahuan
dari Kerajaan Gowa

I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng


Pattingalloang Sultan Mahmud Syah, yang
dikenal sebagai Karaeng Pattingaloang,
seorang mangkubumi Kerjaan Gowa pada abad
ke-17. Ia dikenal juga sebagai 'Renaissance Man'
karena kecintaannya pada ilmu pengetahuan,
menguasai banyak bahasa asing dan jago dalam
diplomasi. Ia menerjemahkan naskah-naskah
dan peta pelayaran Eropa ke dalam bahasa
Bugis-Makassar. Peta-peta pelayaran itulah yang
dipakai pelaut-pelaut Bugis-Makassar sampai
berabad-abad kemudian.

P
attingalloang adalah putra dari Raja Tallo ke-
6, Imalingkaang Daeng Manyondri Kaaeng
Katangka Awalul Islam. Pattingaloang juga
bapak mertua pahlawan nasional Sultan Hasanuddin.
Setelah empat abad berselang, penasihat utama
Sultan Muhammad Said (1639-1653) ini pun akhirnya
mendapat anugerah dari Pemerintah RI berupa Gelar
Tanda Kehormatan untum kategori Bintang Budaya
Paramadharma pada tahun 2019.

54
Pada masa Pattingalloang menjadi mangkubumi,
kerajaan maritim Gowa ada dalam puncak kejayaan,
sebelum akhirnya dikalahkan VOC dalam Perang Makassar.
Kerajaan Gowa masa itu berpusat di Somba Opu, tidak jauh
dari muara Sungai Jeneberang—saat ini beberapa kilometer
sebelah selatan kota Makassar. Pada pertengahan abad ke-
17 Somba Opu merupakan kota perdagangan yang sangat
ramai dan memiliki mangkubumi yang kecakapannya tidak
hanya dikenal di kerajaan tetapi hingga ke Eropa. Menurut
budayawan Prof. Dr. Halilintar Latief, budayawan Sulawesi
Selatan, Pattingaloang menguasai delapan bahasa dunia.
Ia memilki perpustakaan yang besar dan cinta pada ilmu
pengetahuan.
Hal itu dibenarkan oleh Ikumala Daeng Sila Karaeng
Lembang Parang Batara Goa ke -3, Raja Goa ke-38—Somba
Ri Goa. Menurut Somba Ri Goa, nenek moyangnya itu tidak
hanya terbuka terhadap ilmu pengetahuan dari Barat,
Pattingalloang juga menyusun pengetahuannya dalam
lontar. Ia juga menerjemahkan isi naskah lontar dari bahasa
lontar ke bahasa Bugis dan Makassar sehingga pengetahuan
dapat diakses oleh masyarakat yang lebih luas. Naskah
lontar tersebut antara lain naskah lontar Badele yang berisi
pengetahuan tentang senjata dan Pitikah Waktu tentang
pengetahuan pertanian. Pattingalloang juga menulis pesan-
pesan tasawuf.
Namun demikian, tidak mudah menelusuri buku-buku
koleksi perpustakaan dan pemikiran Pattingalloang. Menurut
Halilintar Latief, Perang Makassar yang menghancurkan
Kerajaan Gowa kemungkinan turut menghancurkan
perpustakaan dan naskah-naskah lontar di masa itu.
Kekalahan Kerajaan Gowa oleh VOC itu juga, menurut
Karaeng Lembang mengubah suasana Kerajaan Gowa dari
yang bergairah dalam tradisi berpikir menjadi kerajaan yang

55
harus terus disibukkan oleh peperangan dan perpecahan
dalam kerajaan. Sebagian keluarga kerajaan, antara lain
Arupalaka—anak angkat Karaeng Pattingalloang—saat
itu bersekutu dengan VOC. Halilintar Latief menambahkan,
situasi setelah Perang Makassar, karakter mereka
terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama yang
mengakomodasi perubahan kekuasaan dan menjadi raja-raja.
Kelompok kedua
yang menentang
keras VOC dan
meninggalkan
Makassar. Mereka ini
kemudian menyebar
ke Jawa, Lombok,
Riau, Malaysia
dan Kalimantan.
Kelompok ketiga,
kelompok yang
melawan dengan
tarekat. Yang hingga
hari ini diidentifikasi
terdapat sembilan
guru ilmu budaya
dan kebangsaan
pada tarekat-tarekat
tersebut.
Meskipun bukti-bukti tertulis kemudian menjadi
sulit dan sedang terus ditelusuri, kemunculan Karaeng
Pattingalloang telah memberikan inspirasi pada masyarakat
di Sulawesi hingga saat ini. Inspirasi tersebut tampak pada,
misalnya, museum budaya dan balai pertemuan yang
diberi nama Pattingalloang. Bahkan perahu perpustakaan
yang diinisiatif anak muda di Mandar, Sulawesi Barat, juga

56
diberi nama Pustaka Perahu Pattingalloang. Tahun 2018,
Pusbang Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
juga memproduksi fIlm dokumenter Karaeng Pattingalloang
yang akan menjadi bagian dari penelusuran tersebut.
Dalam konteks Sulawesi saat ini, penelusuran
pemikiran Pattingalloang, menurut Halilintar Latif, sejalan
dengan upaya pemulihan semangat kebaharian. Hal itu
relevan dengan konsep tol laut. Dalam upaya revitalisasi
semangat bahari, Karaeng Lembang sebagai keturunan
ke-38 raja Gowa telah dilantik sebagai Raja Gowa pada
23 September 2018, bersamaan dengan Hari Bahari.
Juga diselenggarakan Festival Selat Makassar yang akan
merevitalisasi, antara lain, dengan menelusuri sembilan
kelompok tarekat yang melestarikan kebudayaan Gowa.
Sebelumnya juga akan dilakukan pelantikan ritual bissu
(pengelola adat Kerajaan Bone), setelah keberadaan bissu
ditiadakan oleh pemerintah Orde Baru sejak tahun 1965.
Secara khusus, Somba Ri Goa menyampaikan
keinginannya untuk mendirikan Universitas Pattingalloang
di Kabupaten Gowa, dan mengajak akademisi, pemerintah
dan masyarakat untuk mewujudkannya. Ia juga berharap
Karaeng Pattingalloang selalu menjadi inspirator yang
mendorong generasi muda dan masyarakat Indonesia
agar dapat memajukan Indonesia, terutama dalam bidang
pendidikan dan kebudayaan.
Raja Gowa ke-38 inii juga menyampaikan terima kasih
kepada Presiden RI yang telah memberikan Gelar Tanda
Kehormatan untuk kategori Bintang Budaya Paramadharma
kepada (alm) Karaeng Pattingalloang. “Semoga gelar
tanda kehormatan ini menjadi monumen untuk memajukan
kebudayaan di Sulawesi Selatan,” ujarnya.

57
BIODATA
Nama lengkap : I Mangadacinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud
Syah (putra Raja Tallo ke-6). Dikenal sebagai
Karaeng Pattingaloang
Nama orang tua : Imalingkaang Daeng Manyondri Kaaeng
Katangka Awalul Islam (Raja Tallo ke-6)
Lahir : Tak ada catatan tertulis (Hidup di masa
periode Kerajaan Gowa abad ke-17)
Keahlian : Pengembang ilmu pengetahuan dan
diplomasi
Penghargaan : Gelar Tanda Kehormatan dari Presiden RI
kategori Bintang Budaya Paramadharma
(2019)

58
Mohammad Sjafe'i (1896 - 1969)

Bapak Pendidikan
Kejuruan

Gajah mati meninggalkan gading, Mohammad


Sjafe'i ( Engku Sjafe'i) wafat—di RSCM Jakarta
pada 5 Maret 1969—meninggalkan INS Kayu
Tanam. Lembaga pendidikan yang mengelola
sekolah menengah ini berdiri di atas tanah seluas
18 hektar. Terletak sekitar 60 km di sebelah
utara kota Padang, Sumatera Barat, persis di
pinggir jalan raya Padang-Bukit Tinggi. INS Kayu
Tanam mengembangkan sistem pendidikan
arah aktif, yang mengutamakan pengetahuan,
keterampilan, dan ahlak mulia. Di atas tiga pilar:
otak, tangan dan hati.

S
elain itu, Engku Sjafe'i meninggalkan tiga
anak kandung, buah dari pernikahannya
tahun 1953 di INS dengan Johamma
Sirie (almh), keponakan tokoh terkenal Moh Natsir.
Ketiga anak kandung Engku Sjafe'i sudah berkeluarga
dan tinggal di Bintaro, Banten: Jusafri Sjafei ( lahir di
Padang 11 September 1955), Elvira Sjafe'i atau Evie
(lahir di Padang, 2 Februari 1958), dan Linda Sjafe'i
(lahir di Padang 9 Aprl 1962). Ketiga anaknya ini
menghadiahkan limacucu dan dua cicit. Selama ini

59
ketiga anak Engku Sjafe'i mengaku menderita batin karena
dianggap tidak ada. Stigma yang telanjur beredar di Padang :
Sjafe'i tidak punya ahli waris. Kalau pun ada Evie hanya anak
angkat.
Padahal yang anak angkat itu adalah Engku Sjafe'i,
yang lahir 31 Oktober 1896 di Matan, Pontianak, Kalimantan
Barat. Si anak yatim ini diangkat anak oleh tokoh pendidik
Marah Soetan (dan istrinya Andung Chalijah). Ketika itu,
awal abad ke-20, Marah Soetan bertugas di Pontianak.
Sjafe'i sekolah
di Kweekschool atau
Sekolah Raja di Bukit
Tinggi tahun 1908-1914.
Kemudian ke Batavia,
berniat belajar melukis
dan mengajar di Sekolah
Kartini. Belajar melukis
urung karena lebih
tertarik terjun ke politik
bersama tokoh-tokoh
Boedi Oetomo. Tahun
1922 Sjafe'i melanjutkan
pendidikan ke Belanda.
Di sana ia bergabung
dengan "Perhimpunan
Indonesia" sebagai ketua seksi pendidikan. Tahun 1925 ia
kembali ke Tanah Air. Pada tahun itu pula ia menciptakan
lagu "Indonesia Subur". Setahun kemudian Engku Sjafe'i
mendirikan sekolah INS (Indonesiche Nederlanshe School)
Kayu Tanam, atau hanya berselang setelah empat tahun Ki
Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta.
Bangunan gedung sekolahnya beberapa kali

60
mengalami pembangunan
ulang, antara lain karena
hancur pada jaman
Jepang, dan clash kedua
1948. Saat ini dikelola
dibawah Yayasan Badan
Wakaf "Ruang Pendidik"
INS Kayu Tanam.
Engku Sjafe'i
dengan sangat jelas dan rinci
menjabarkan konsep pendidikan INS
dalam dua buah buku: Arah Aktif dan Dasar-
dasar Pendidikan. Buku yang disebut belakangan dicetak
dan diterbitkan oleh CSIS, 1979. "Sepulang ke Indonesia,
penulis dirikanlah INS yang dasarnya pergabungan antara
ilmu umum dan kejuruan yang diilhamkan oleh alam lepas
dan keadaan benua lain-lain," tulisnya. Walhasil, alumni
INS Kayu Tanam banyak menjadi tokoh-tokoh penting di
pemerintahan hingga dunia kesenian dan kesusasteraan. Di
antaranya wartawan/sastrawan Mochtar Lubis, koreografer
Huriah Adam, dan Bustanil Arifin.
Semasa hidupnya Sjafe'i bersahabat dengan Ki
Hadjar Dewantara. Bahkan seolah mereka berbagi peran.
INS Kayu Tanam menitik beratkan pada sekolah kejuruan
berdasarkan bakat dan minat (seni, kerajinan, pertukangan,
pertanian, olahraga, dll), mandiri, berkarakter, dan cinta
Tanah Air. Adapun Taman Siswa di jalur sekolah progresif
yang berpedoman pada Patrap Triloka: ing ngarsa sung
tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Pencipta pepatah "alam terkembang jadi guru"
ini pernah menjabat Ketua Badan Penyelidik Persiapan
Kemerdekaan Sumatera (ketika Indonesia Merdeka),

61
Menteri Pengajaran (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1947) pada
Kabinet Sjahrir II dan anggota DPA. Penghargaan yang
pernah diterima, antara lain, mendapat gelar Doctor
Honoris Causa (Dr HC) atas jasa-jasanya di bidang pendidikan
dari IKIP Padang (1968). Tahun 2000, pada era Presiden KH
Abdurrahman Wahid, Engku Sjafe'i menerima Piagam Tanda
Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana.
Melihat perkembangan INS Kayu Tanam sekarang,
anak-cucu kandung Sjafe'i hanya bisa prihatin. Khususnya
Evie, ia selalu terngiang ucapan Buya Syafii Maarif, mantan
Ketua Umum PP Muhammadiyah: "Kalau INS mau maju,
libatkan ahli waris Engku Sjafe'i dalam pengelolaan INS." ***

BIODATA

Nama : Mohammad Sjafe'i


Lahir : Matan, Pontianak, Kalbar, 31 Oktober 1896
Wafat : Jakarta, 5 Maret 1969
Ahli Waris : Elvira Sjafe'i (Evie)
Alamat Ahli Waris : Bintaro Palma Twon House, Jl. Palem
Puri, Ciputat, Tangerang Selatan
Jasa : Guru dan Pendiri INS Kayutanam,
Sumatera Barat
Jabatan : - Ketua Badan PenyelidikPersiapan
Kemerdekaan Sumatera
(ketika Indonesia medeka)
- Menteri Pengajaran dalam Kabinet Syahrir II
(12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946, dan menjadi
anggota DPA
Penghargaan : - Doctor Honoris Causa (Dr.HC) dari IKIP
Padang (1968)
- Bintang Mahaputera Adipradana (2019)
Karya : Lagu Nasional "Indonesia Subur" (1925)

62
Siti Baroroh Baried (Almh)

Pelopor Kaum
Perempuan

Siti Baroroh Baried lahir di Yogyakarta pada


23 Mei 1923. Ayahnya, H Thamim bin Dja’far,
adalah kemenakan Siti Walidah, istri pendiri
Muhammadiyah. Siti Baroroh Baried merupakan
sosok yang memiliki visi dan misi bagi kemajuan
pendidikan, khususnya kaum perempuan. Sejak
muda, ia punya semboyan: “Hidup saya harus
menuntut ilmu.”.

B
agi Siti Baroroh Baried, emansipasi perempuan
harus tetap berada di jalur yang benar, tidak
melampaui kodrat. Siti Baroroh Baried sempat
membuat gempar dunia pendidikan nasional. Pada 27
Oktober 1964, di usia 39 tahun, ia diangkat menjadi
guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah
Mada (UGM). Pengangkatan ini amat istimewa.
Ia mencetak sejarah sebagai perempuan pertama
tercatat sebagain guru besar di Indonesia. Ia mengajar
di beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta. Di
Fakultas Sastra UGM ia mulai mengajar sejak tahun
1949 dan pernah menjadi dekan selama dua periode
(1965-1971).

63
Siti Baroroh merupakan akademisi sekaligus aktivis
yang menyerukan dan memberikan kontribusi terutama
untuk perkembangan kaum perempuan untuk lebih maju.
Munculnya sosok Siti Baroroh Baried pada masa itu sangatlah
langka, khususnya di kalangan Muhammadiyah. Ia mampu
membawa angin segar di kalangan kaum perempuan untuk
lebih berani dalam mengambil bagian dalam kehidupan
berorganisasi maupun bermasyarakat.
Pendidikan yang ia tempuh tidak sebatas di tingkat
nasional, Siti Baroroh Baried melanjutkan pendidikan di
Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia memilih bidang keahlian yang
tak banyak peminat: filologi. Pada masa itu, perempuan yang
melanjutkan pendidikan ke luar negeri tergolong langka.
Akan tetapi, hal itu justru merupakan wujud perjuangan
sekaligus pembuktian dalam hal emansipasi perempuan di
kancah internasional.
Siti Baroroh Baried yakin, sebelum Kartini muncul
sebetulnya sudah ditemukan “kesadaran individual”
perempuan Indonesia akan betapa pentingnya emansipasi

64
wanita atau pembelaan terhadap perempuan. Hal tersebut
diungkapkan Siti Baroroh melalui tulisannya berjudul “Islam
dan Modernisasi Wanita”, yang terangkum dalam buku
Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara suntingan
Taufik Abdullah (1988: 147).
Perjuangan gigih akan pendidikan dan kemajuan
kaum perempuan dicurahkan sejak usia dini. Jasanya di dalam
dunia pendidikan, salah satunya adalah mengembangkan
pendidikan pra-sekolah, yaitu Taman Kanak-kanak Bustanul
Athfal (TK ABA) maupun sekolah-sekolah kejuruan kebidanan
dan keperawatan sampai keluar daerah Yogyakarta.
Selain aktif di dunia pendidikan, Siti Baroroh Baried
juga aktif dalam berbagai organisasi perempuan, salah
satunya adalah Aisyiyah, sayap organisasi Muhammadiyah.
Sebagai putri asli Kauman, Yogyakarta, Siti Baroroh Baried
merupakan kader Aisyiyah sejati. Ia merintis perannya di
organisasi perempuan yang bergerak di bidang keagamaan
dan kemasyarakatan ini dari jenjang paling bawah hingga
menempati posisi tertinggi sebagai ketua umum.
Siti Baroroh tercatat sebagai pengurus dan
pemimpin ‘Aisyiyah selama lima periode (1965-1985) dengan
penuh keteladanan, tegas tapi juga humanis. Selama 20
tahun ia menjadi nahkoda Aisyiyah, sekaligus membesarkan
nama organisasi tersebut hingga ke luar negeri. Siti Baroroh
selalu membawa nama Aisyiyah ke forum-forum global
untuk mensyiarkan pandangan Islam berkemajuan dan
tentunya juga perempuan berkemajuan serta menjalin relasi
dengan badan-badan internasional seperti Unicef, UNESCO,
WHO, The Asia Foundation, World Conference of Religion
and Peace, UNFPA, UNDP, World Bank, dan masih banyak

65
lagi yang lainnya. Sebelum
menjadi ketua umum, ia
pernah menjabat sebagai
Ketua Biro Hubungan
Luar Negeri Aisyiyah.
Selain itu, Siti Baroroh
juga pernah tercatat
sebagai pengurus
MUI Pusat dan Ikatan
Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI).
Melalui Aisyiyah,
Siti Baroroh melakukan banyak
pemberdayaan pada wanita. Salah satunya
dengan memberikan konsep keluarga sejahtera
dengan mendorong ibu rumah tangga untuk memperkaya
diri dengan kegiatan positif. Di masanya, ia juga sering
mengirimkan banyak wanita Aisyiyah ke luar negeri guna
memperkaya pengetahuaan mereka. Berkat rintisan Siti
Baroroh dan para pendahulunya, Aisyiyah saat ini memiliki
berbagai amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan,
sosial, ekonomi, juga pemberdayaan masyarakat. Di sektor
pendidikan saja, Aisyiyah kini mengelola lebih dari 4.560 amal
usaha: mulai dari kelompok bermain, pendidikan anak usia
dini, taman kanak-kanak, tempat penitipan anak, sekolah
dasar, sekolah menengah pertama, sekolah kejuruan,
bahkan sekolah tinggi.
Kuatnya kemauannya itu terinspirasi oleh pendiri
Aisyiyah ,yaitu Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan), yang juga
masih kerabat Siti Baroroh. Menurut Ferry, anak angkat Siti

66
Baroroh Baried, tujuan ibunya adalah untuk “memintarkan
kaum perempuan”. Bagi Siti Baroroh, seorang perempuan
bisa diterima untuk berkarier di luar rumah. Hanya saja, pada
saat yang sama ia juga harus tetap memerhatikan tertib
perilaku yang selama ini diasosiasikan dengan kodrat dasar
perempuan, khususnya sebagai istri yang menangani urusan
internal rumah tangga.
Kesibukannya dengan dunia akademisi dan
organisasi tidak serta melupakan kodratnya sebagai seorang
perempuan, seorang istri, dan juga sebagai seorang ibu.
Menurut Ferry, sang ibu selalu menyiapkan dan menanyakan
kebutuhan keluarga terlebih dahulu, dari hal kecil sampai hal
besar, seperti bahan makanan di rumah hingga kebutuhan
sekolah anak. Selain itu, perempuan yang bekerja di luar
rumah perlu batasan-batasan tertentu sehingga tidak keluar
dari kodratnya sebagai perempuan dan posisinya sebagai
istri, seperti—antara lain—harus seizin suami, tidak sampai
menelantarkan pendidikan, dan perhatian untuk anak-
anaknya. Setinggi dan sebesar apa pun pencapaian yang
diraih Siti Baroroh dalam karier, ia tetap menjalani peran
sebagai istri dan ibu dengan sebaik-baiknya.
Peran dan jasa Siti Baroroh Baried dalam memajukan
pendidikan dan kebudayaan, khususnya di kalangan
perempuan, sangatlah besar. Berbagai langkah ia ambil,
seperti melalui organisasi dan dunia akademisi, dengan
harapan agar perempuan Indonesia dapat lebih maju baik
di bidang pendidikan ataupun di sektor lain yang lebih besar.
Sebab, menurutnya, perempuan adalah dasar dari majunya
sebuah bangsa. ***

67
BIODATA

Nama : Siti Baroroh Baried


Tempat,Tgl Lahir : Yogyakarta, 23 Mei 1923
Wafat : 9 Mei 1999
Pendidikan : Mendalami Bahasa Arab di Al Azhar, Kairo,
Mesir, tahun 1953-1955
Melanjutkan di Fakultas Sastra Universitas
Indonesia tahun 1952
Sarjana Mudah Fakultas Sastra Univeritas
Gadjah Mada
MULO HIK Muhammadiyah
SD Muhammadiyah
Penghargaan : 1. Tanda Kehormatan Bintang Budaya
Paramadharma (2019)
2. Tanda Kehormatan Satyalancana Karya
Satya Tingkat I
Karya :
. Bahasa Arab dan Perkembangan Bahasa Indonesia (1970)
. Bahasa Indonesia sebagai Infrastruktur Pembangunan (1980)
. Panji: Citra Pahlawan Nusantara (1980)
. Pengantar Teori Filologi (1985)
. Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia (1985)
. Kedatangan Islam dan Penyebarannya di Indonesia (1989)
. “Islam dan Modernisasi Wanita” dalam Tradisi dan Kebangkitan
Islam di Asia Tenggara suntingan Taufik Abdullah 1988).
. “Aisyiyah and The Social Change Woman of The Indonesian”
(Suara ‘Aisyiyah, Volume 76, 1999: 9).

68
SATYALANCANA KEBUDAYAAN

69
Ki Entus Susmono (1966-2018)

Dalang “mBeling” yang


Sempat Jadi Birokrat

Suatu ketika, dalam satu pementasan,


penonton dibuat terhenyak saat melihat ulah
Ki Enthus Susmono mendalang. Tiba-tiba, di
tengah pertunjukan ia berdiri dari tempat
duduknya, lalu serta-merta menghajar wayang
raksasa setinggi hampir dua meter. Wayang
itu pun dihajarnya habis-habisan hingga
“babak belur”. Sehabis dihajar, wayang
raksasa itu dilempar begitu saja oleh sang
dalang ke arah penonton.

U lah Enthus Susmono itu memang bikin kaget


banyak penonton, terutama mereka yang
sebelumnya lebih banyak menyaksikan pertunjukan
wayang oleh para dalang yang selalu setia pada
pakem. Akan tetapi tidak di kalangan para pengamat
pewayangan dan atau para dalang muda kreatif yang
sudah terbiasa dengan inovasi di dunia pewayangan.
Paling-paling kata yang terucap dari mereka, “Dasar
dalang edan, dalang mbeling!”
Lalu, menanggapi itu semua, sang dalang
mbeling itu pun berkata, “Saya memang mendobrak
pakem pewayangan. Para penonton tidak butuh
pakem karena yang mereka perlukan adalah seni yang

70
menghibur dan mencerahklan. Siapa yang masih mau makan
pakem, ya, silakan…”
Begitulah tipikal sosok Ki Enthus Susmono, yang
dalam setiap pertunjukannya di atas panggung kerap bikin
“heboh” karena “keberaniannya” menerobos pakem dunia
pewayangan yang sudah baku. Pakem yang, menurut Ki
Enthus, sangat membelenggu inovasi dan kreativitas dalang
dan perkembangan dunia pewayangan itu sendiri. Kalau,
misalnya, ada dalang atau siapa pun yang mengeluhkan
pertunjukan wayang kian sepi penonton, tak lagi banyak
peminat, lalu menyalahkan masyarakat-penonton, kalangan
generasi muda, menurutnya tudingan semacam itu justru
salah alamat. Menurut dia, yang patut disalahkan, ya, dalang
itu sendiri.
Dalam berbagai kesempatan kepada wartawan yang
mewawancarainya, Enthus Susmono selalu mengingatkan
bahwa di tengah masyarakat yang heterogen di mana
kehidupan penuh pergolakan, seorang dalang dituntut
harus mampu mengikuti perkembangan zaman. Artinya,
lewat tokoh-tokoh pewayangan yang dimainkan mesti selalu
menghadirkan pesan-pesan yang aktual.
“Catat ini, ya, tidak usah off the record. Kalau
generasi muda tidak suka wayang, jangan salahkan mereka.
Yang salah adalah dalangnya… Kalau ada dalang yang tidak
laku, ya, salah sendiri. Jangan sedikit-sedikit menyalahkan
orang lain. Itu tandanya dalang tersebut tidak melihat
perkembangan zaman. Bagi saya, biar saja mereka tidak
laku. Iya toh? Lha, kalau saya ndalang, yang nonton bisa
sampai 10.000 orang,” kata ki Enthus seperti dikutip majalah
Adiluhung Edisi 04/2014, majalah dengan tagline “Pelestari
Budaya Nusantara”.
Ceplas-ceplos, bahkan terkadang misuh-misuh,
menjadi ciri khas Enthus Susmono. Bagi yang tidak

71
mengenalnya lebih dekat, gaya bicaranya itu terkesan
sombong dan arogan. Akan tetapi, sesungguhnya, apa
yang ia ucapkan selalu muaranya adalah untuk kebaikan
bersama. Ki Enthus Susmono sendiri dikenal sebagai sosok
yang sederhana dan rendah hati. Bahkan setelah ia terpilih
sebagai bupati untuk memimpin Kabupaten Tegal periode
2014-2019 sekalipun.
Benarkah dalam setiap pertunjukan Ki Enthus,
penonton selalu mem-bludak? Penggalan informasi di laman
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, yang
diunggah pada Sabtu, 24 November 2012, berikut barangkali
bisa dijadikan sedikit rujukan.
“Pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Enthus
Susmono yang dihelat di alun-alun Maron Genteng,
Jumat (23/11), berlangsung marak dan spektakuler. Yang
mengagumkan lagi, pertunjukan yang mengambil judul
‘Pendowo Syukur’ ini ditonton ribuan pecinta wayang kulit
dari penjuru Kabupaten Banyuwangi. Bahkan penonton
sudah mulai menyemut dan memadati stadion kebanggaan
masyarakat Banyuwangi itu sejak sore hari. Jalanan di Kota

72
Genteng menjadi macet total menjelang malam. Padahal
wayang kulit baru akan dimulai pukul 20.30 WIB.”
Enthus Susmono berasal dari keluarga dalang. Enthus
lahir pada 21 Juni 1966 di Desa Dampyak, Kecamatan Kramat,
Kabupaten Tegal. Ia anak satu-satunya Soemarjadihardja,
dalang wayang golek terkenal di Tegal, dari istri ketiganya
yang bernama Tarminah. Dalam diri Enthus Susmono
juga mengalir darah leluhurnya, RM Singadimedja, dalang
terkenal di wilayah Bagelen pada masa pemerintahan Sunan
Amangkurat di Mataram.
Saat berusia 18 tahun, ketika ia masih duduk di
bangku SMA, sang ayah berpulang. Sebagai anak sulung,
ia mengambil alih tanggung jawab membiayai kehidupan
keluarga. Karena itu, meski sempat diterima di Jurusan
Biologi Universitas Negeri Sebelas Maret lewat jalur PMDK,
Enthus mudah lebih memilih bekerja mencari uang. Sebelum
dikenal luas sebagai dalang tahun 1988, Enthus sempat
“masuk” ke Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Solo
(kini Institut Seni Indonesia [ISI] Surakarta). Bukan sebagai
mahasiswa, melainkan sebagai pesuruh yang bertugas
membuat minuman para dosen dan karyawan ASKI.
Di sela-sela pekerjaannya itulah ia menyaksikan
mahasiswa ASKI berlatih karawitan. Bakat mendalangnya
menggelora. Diam-diam Enthus melatih diri, sampai
kemudian datang kesempatan ikut Festival Dalang Remaja
Se-Jawa Tengah di Wonogiri. Enthus pun tampil sebagai juara,
dan sejak itu nama Enthus Susmono mulai jadi perbincangan
di kalangan penggemar dan pengamat wayang. Berkat
warna baru dalam setiap pementasannya, Enthus menjadi
semacam magnet dalam jagat pewayangan Indonesia. Ia bisa
memainkan dengan lincah wayang golek dan wayang kulit
dalam saat bersamaan. Narasi-narasi yang disampaikannya

73
pun selalu segar, memikat, sehingga mampu memukau
penonton.
Enthus pun menjadi fenomena baru dalam dunia
pewayangan di Tanah Air. Namanya pun berkibar. Lalu,
ketika tersiar kabar Ki Enthus Susmono mencalonkan diri
sebagai bupati pada Pilkada 2013, banyak orang kaget. Dia
kemudian terpilih menjadi bupati Tegal periode 2014-2019.
“Jadi bupati itu, kalau bisa melihat filosofi wayang maka
akan selamat,” katanya dalam satu segmen acara “Mata
Najwa” di Metro TV. “Tepati janji kampanye dan kemudian
memberi reward serta punnishment. Saya punya kewajiban
dunia akhirat untuk memenuhi apa yang menjadi tuntutan
rakyat,” tambahnya.
Menjadi bupati tidak mengubah jadwal pentasnya
mendalang. Ia terus saja memenuhi permintaan orang
untuk mendalang. Soal tarif? “Sak anane, seadanya. Berapa
dia punya saya tidak menolak. Sekarang ini masyarakat
semakin bangga bisa mengundang saya pentas. Karena
bisa membayar bupati-ne… hahahhaha,” kata dalang
mbeling yang menjadi birokrat tanpa mesti alih profesi itu,
sebagaimana dikutip majalah “Pelestari Budaya Nusantara”,
Adiluhung.
Pada Senin (14/5/2018) sekitar pukul 19.15 WIB, pesan
berantai di media sosial diramaikan oleh berita duka dari Slawi,

74
Jawa Tengah: dalang kondang yang juga Bupati (non aktif)
Tegal Ki Enthus Susmono telah berpulang. Saat itu Enthus
sedang cuti (baca: non-aktif) sebagai bupati lantaran sebagai
petahana ia sedang berkampanye karena mencalonkan diri
untuk masa jabatan keduanya. Jagat pewayangan di Tanah
Air kembali tersentak, kaget, mendengar berita bahwa
dalang “sejuta umat” itu meninggal dunia di usia yang relatif
tergolong masih muda: 52 tahun!
Tahun-tahun terakhir sebelum ia berpulang, Ki Enthus
tampak gencar mementaskan apa yang dinamakan wayang
santri dengan dua tokoh sentralnya: Lupid dan Slentheng.
Mengenai hal ini, lagi-lagi Adiluhung sempat mencatat
bahwa dua tokoh karikatur ini selalu muncul dengan kritikan-
kritikannya yang pedas, terutama terkait soal akhlak dan
moral manusia. “Meski kisahnya fiktif, tapi tidak ngawur.
Saya mesti konsultasi dulu dengan para sesepuh, dengan
para kiai ternama, boleh tidak membawakan ini atau itu.
Setelah dapat lampu hijau karena tidak bertentangan dengan
ajaran agama, baru saya berani pentas. Soal kritik sana kritik
sini, itu biasa,” ujar Ki Enthus Susmono.

75
Itulah Ki Enthus Susmono. Kepergiannya
meninggalkan banyak catatan bagi perkembangan dunia
pewayangan Indonesia. Atas sumbangsih almarhum
dalam jagat pewayangan di Tanah Air, pemerintah
melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun
menganugerahinya Gelar Tanda Kehormatan berupa
Satyalancana Kebudayaan. Boleh jadi benar seperti yang ia
katakan, bahwa “…dalam kurun waktu seratus tahun tidak
akan lahir dalang seperti Enthus Susmono. Saya ini dilahirkan
oleh zaman. Saya ini dibutuhkan oleh zaman. Jadi, saya harus
bisa menyuarakan tanda-tanda zaman…” ***

BIODATA

Nama : Enthus Susmono (1966-2018)


Lahir : Dampyak, 21 Juni 1966
Wafat : Slawi, 14 Mei 2018
Istri : Nurlaela
Anak : - Firman Haryo Susilo
- Firman Haryo Susilo
- Firman Djafar Tantowi
- Firma Nurjannah
- Firman Jendra
Karier : Bupati Tegal (2014-2018)
Keahlian : Mendalang dan Mencipta Figur Wayang Kreasi
Penghargaan (di antaranya):
- Gelar Tanda Kehormatan berupa Satyalancana
Kebudayaan dari Pemerintah RI (2019)
- Juara I Festival Dalang Remaja Tingkat Jawa Tengah
di Wonogiri (1988)
- Dalang Terbaik se-Indonesia dalam Festival Wayang
Indonesia (2004)
- Dalang Terbaik se-Indonesia dalam Festival Wayang
Indonesia (2005)

76
- Gelar Doktor Honoris Causa bidang Seni Budaya dari
International Universitas Missouri, USA; dan Laguna
College of Bussines of Arts, Calamba, Philippines
(2005)
- Pemuda Awards tahun Bidang Seni dan Budaya dari
DPD HIPMI Jawa Tengah (2005)
- Rekor Muri sebagai dalang terkreatif dengan kreasi
jenis wayang terbanyak dengan jumlah 1491 wayang
(2007)
- Mewakili Indonesia dalam event Festival Wayang
International di Denpasar, Bali (2008)

Pameran Wayang Kreatif:


- Pameran Wayang Rai Wong dalam Pekan Wayang Kebangsaan
di Galeri Cipta II TIM, Jakarta (2007)
- Pameran bersama Wayang Indonesia, diselenggarakan oleh
Museum Wayang Indonesia, di Jakarta (2007)
- Pameran Wayang Grand Launching Wayang Rai Wong di Galeri
Seni Rupa Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta (2006)
- Pameran Wayang Rai Wong, di galeri merah Putih, Balai Putih
Surabaya (2006)
- Pameran Wayang bertajuk Wayang adalah Rohku dalam
Rangka Dies Natalis STSI Surakarta (2003)

77
Sara Djudjuk Djuariah (alm)

“Sang Primadona
Srimulat”

Nama Sara Djudjuk Djuariah atau lebih akrab


dipanggil dengan nama Djudjuk Srimulat, tidak
dapat dilepaskan dari grup Srimulat. Inilah
grup lawak legendaris Indonesia yang didirikan
tahun 1950 oleh Teguh Slamet Rahardjo, yang
tidak lain adalah suami “sang primadona
Srimulat”: Sara Djujuk Djuariah!

T ahun 1970, Teguh menikahi Djudjuk setelah istri


pertamanya, Raden Ajeng Srimulat, meninggal
dunia. Semenjak menikah dengan Teguh Slamet
Rahardjo, Djujuk mendampingi sang suami dalam
mengurus grup lawak yang memiliki banyak anggota
tersebut. Peranan dan pengabdian Djujuk dalam
membesarkan Srimulat sebagai sebuah komunitas
kelompok penghibur menjadi sebuah fenomena
sekaligus melahirkan semacam subkultur baru.
Berbeda dengan kebanyakan pementasan yang sarat
akan pesan dan kritik sosial, Srimulat hadir sepenuhnya
untuk menghibur.
Srimulat sangat lekat dengan kosmologi
kebudayaan Jawa. Srimulat sebagai sebuah subkultur
dan Jawa sebagai kultur. Keberadaan Srimulat

78
berkaitan erat dengan seni tradisi yang ada lebih dahulu di
tanah Jawa, seperti wayang wong, ketoprak, dan ludruk.
Bentuk humor yang disajikan oleh Srimulat pun tak bisa
dilepaskan dari sosiologisme humor masyarakat Jawa itu
sendiri, seperti paseman, plesetan, dan guyonan. Srimulat
merupakan pewaris plesetan humor Jawa, dengan tingkah-
polah pemainnya. Genre lawakan Srimulat juga bukan
termasuk genre lawakan kritis maupun alternatif. Semboyan
Srimulat: “lucu adalah aneh, aneh adalah lucu!”
Pada saat para pemain Srimulat bertingkah konyol
di perannya, sebaliknya karakter Djudjuk adalah sebagai
pemancing atau tokoh yang kalem, halus yang berlawanan
dengan pemain lainnya. Djudjuk Djuariah adalah seorang
seniman yang serba bisa. Ia mengabdikan dirinya untuk
seni, terutama seni tari dan seni ketoprak. Sejak remaja ia
bergabung dengan kelompok kesenian Aneka Ria Srimulat.
Menurut anaknya, Mas Koko, Djudjuk mulai
berkecimpung di dunia kesenian sejak umur 12 tahun. Dari
kecil Djudjuk sudah diajak menyanyi berkeliling oleh ayahnya,
seperti di pasar malam dan sebagainya. Motivasi Djudjuk

79
terjun di dunia seni karena selain untuk memenuhi kehidupan
ekonomi, juga karena ia merasa senang menghibur orang.
Menurutnya Djudjuk, dihargai di tengah masyarakat luas
dengan karyanya merupakan suatu kebanggan tersendiri.
Dalam perkembangannya, kelompok Srimulat
mendirikan panggung-panggung tetapnya di Surabaya,
Solo, Semarang, dan Jakarta. Selama kurun waktu tahun
1970-an hingga 1980-an, Srimulat berhasil mengukuhkan
dirinya sebagai kelompok lawak
yang sukses dengan Djudjuk sebagai
penyanyinya. Perempuan bernama
asli Djudjuk Djuariah ini merupakan
primadona grup lawak legendaris
Srimulat. Penonton akan protes
jika dalam setiap pertunjukan tidak
menampilkan Djudjuk. Pada masanya,
Djudjuk memang pernah menjadi
magnet bagi Srimulat.
Pengalaman di bidang seni
peran sudah banyak dilakoni oleh
Djujuk, bahkan bersama grup Srimulat
pernah menjadi penghibur rutin
setiap bulan di era Presiden Soeharto selama kurang lebih
dua tahun. Selain menjadi seorang seniman, Djujuk juga aktif
di dunia fashion sebagai perias, penari dan penyayi. Ia juga
aktif dalam Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia
(HAMKRI) dan juga menjadi Kepala Himpunan Artis
Surakarta.
Srimulat Jakarta dibubarkan pada tahun 1989 karena
berbagai alasan. Selang beberapa lama Djudjuk berusaha
untuk mengumpulkan kembali anggota-anggotanya dalam
sebuah pentas reuni. Ternyata pentas reuni tersebut

80
mendapat sambutan positif dari
masyarakat yang menginginkan
Srimulat kembali tampil di televisi. Selain
mengurus Aneka Ria Srimulat, Djudjuk
juga aktif dalam kegiatan sosial dan kegiatan
kesenian dengan bergabung dalam organisasi
kesenian maupun membuka kursus bagi seniman
muda yang mau mengasah bakat mereka agar dapat
tampil di pentas nasional.
Selain aktif membesarkan Srimulat, Djudjuk juga
cukup aktif bermain peran di layar lebar. Dia telah ikut serta
di dalam beberapa judul film, antara tahun 1984 hingga 2013,
Walang Kekek (1974), Mayat Cemburu (1976), Raja Pungli
(1977), Untung Kehadiran Diri sendiri (1982), Gepeng Mencari
Untung (1983), Gepeng Bayar Kontan (1983), Montir-Montir
Cantik (1984), Finding Srimulat (2013).
Setelah tahun 1996, kondisi Srimulat mati suri. Tidak
ada lagi kontrak baru di televisi. Srimulat kalah bersaing
dengan lawakan-lawakan modern, sementara untuk kembali
ke panggung tidak mungkin lagi dikarenakan selera penonton
sudah berubah. Djudjuk sendiri, sejak masa kontrak Srimulat
dengan sebuah stasiun televisi swasta berakhir, memilih
kembali ke Solo, berbeda dengan sebagian besar anggota
Srimulat yang memutuskan tetap tinggal di Jakarta. Banyak
di antara mereka yang kemudian berhasil “menaklukkan”
Jakarta. Sebutlah seperti Basuki, Timbul (keduanya sudah
meninggal), Tarsan, Tessy, Nunung, Mamiek, Kadir, dan
Thukul Arwana.
Menurut Mas Koko, lawakan Srimulat sekitar 37
tahun yang lalu masih menjadi hiburan yang dapat dinikmati
semua kalangan. Humor dari panggung ke panggung sudah
biasa dilakukan oleh Djudjuk bersama grup Srimulat untuk

81
menghibur masyrakat di Surabaya, Solo, Semarang sampai
Jakarta. Karena kemajuan teknologi, dan berkembangnya
hiburan televisi, Djudjuk merasa model lawakan dari
panggung ke panggung sudah tidak relevan lagi. Ia juga
menyangsikan hal tersebut dapat dihidupkan kembali karena
tidak praktis.
Tak ada lagi gaya kenes dan kemayu Djudjuk Djuariah.
Perempuan njawani yang identik dengan grup lawak Srimulat
ini menghebuskan napas terakhir tanggal 6 Februari 2015
pada usia 66 tahun di RS Sardjito, Yogyakarta. Meskipun
sudah tidak ada, akan tetapi jasanya dalam membesarkan
grup lawak Srimulat dan mencetak bibit pelawak muda yang
dapat melanjutkan jejaknya tidak dapat terhitung jumlahnya.
Dengan nasihat dan bimbinganya yang bersifat keibuan,
njawani dan peduli budaya tradisional, ia selalu mengajarkan
kepada anak, murid dan sesama pelawak tentang kedisiplinan
dan kejujuran dalam menjalani kehidupan. ***

BIODATA

Nama : Sara Djudjuk Djuariah


Lahir : Surakarta, 20 Maret 1947
Wafat : Yogyakarta, 6 Februari 2015
Pendidikan : Pendidikan formal sampai dengan SMP
Pendidikan non-formal rias pengantin
Penghargaan :
2019 - Tanda Kehormatan Satyalandana Kebudayaan

82
83
Bulyan Mustafa
Pencipta Ratusan
Lagu Melayu
Sambas

Ratusan lagu yang ia ciptakan memiliki ciri khas:


menggunakan bahasa Melayu-Sambas dalam
setiap liriknya, menggambarkan kebudayaan
Melayu-Sambas di setiap cerita lagu, memiliki
cita rasa, dan simbol-simbol penuh makna yang
mengandung pesan berharga. Lagu Melayu-
Sambas lahir dari seorang Bulyan Mustafa yang
menjadikannya dikenal seantero dunia Melayu.

L agu daerah merupakan satu kesatuan antara lagu


dan musik yang terdiri atas susunan berbagai
nada yang khas, menggunakan lirik bahasa daerah
sebagai identitas yang paling dominan. Syairnya
menggambarkan kehidupan sehari-hari, ungkapan
perasaaan situasi dan kondisi kejiwaan, maupun
semangat yang berbeda-beda, dengan iringan alat
musik tradisional maupun kontemporer.
“Saya menciptakan lagu sebagai ungkapan
perasaan cinta kepada Tanah Air, kebanggaan terhadap
hasil budaya, ungkapan keberanian, kegelisahan, dan
cita-cita luhur kami,” kata Bang Bul atau Pak Ende,
nama akrab Bulyan.

84
Di usianya yang senja, pria kelahiran Pemangkat, 28
Oktober 1933, ini masih tegap semangat dalam berupaya
mengangkat khazanah budaya Melayu-Sambas melalui
lagu-lagunya. Dia telah berkiprah pada tingkat nasional
dan internasional. Lagu-lagu ciptaannya menjadi semacam
proteksi bagi kebudayaan Sambas dari klaim-klaim budaya
pihak luar.
Kejeniusannya dalam membaca notasi, menggiring
jiwanya untuk merangkai kata di bawah untaian tangga
nada. Semasa remaja, Bang Bul sudah akrab dengan ritme,
bersahabat dengan irama, dan sangat berpiawai dalam
memainkan berbagai alat musik, sehingga menjadikannya
seorang “jenderal” seni di daerahnya. Dengan kombinasi
apik tersebut, lantunan lagu-lagu Melayunya menghasilkan
harmonisasi bunyi yang memecah keheningan malam, yang
mendayu menyayat kalbu, dengan syair yang menawan. Lirik
lagu-lagu ciptaannya memiliki banyak pesan moral tentang
budi pekerti dan jatidiri bangsa.
Lihat saja lagu ciptaan Bang Bul
berjudul “Kaing Lunggi”. Dinilai banyak orang
sebagai lagu yang sangat berkualitas karena
di dalamnya memiliki unsur pendidikan,
budaya, wisata, dan memberikan motivasi
terhadap masyarakat untuk lebih
giat berkarya, menenun kain
kebanggaan daerah Sambas.
Lagu “Kaing Lunggi” merupakan
suatu informasi, sejarah tenun,
tata cara adat pemakaian kaing
lunggi, kapan memakainya, siapa
saja yang bisa memakainya,
dengan memberikan pesan

85
bahwa busana Melayu-Sambas mengedapankan etika dan
estetika berpakaian.
Pertama kali berkarya tahun 1952, saat itu Bang Bul
hanya memegang marakas, sebuah alat musik perkusi yang
dibuat dari tempurung kelapa. Dengan perlahan dan selalu
gigih belajar, kemudian berbagai alat musik dimainkannya.
“Saya juga belajar bermain klarinet dengan menyewa dan
membayarnya dengan beras, serta belajar bermain akordion
dari usaha perkebunan saya,” ungkapnya.
Awal berkarier di musik, Bang Bul dikenal oleh
masyarakat melalui lagu-lagu aliran musik keroncong Melayu,
yang menjadi cikal bakal dan tonggak awal kegemilangan
kariernya. Pada saat itu, keroncong merupakan primadona
dengan lagu ciptaan pertamanya berjudul “Kota Pemangkat”
(1954). Dia membentuk kelompok musik keroncong dengan
nama “Pantai Harapan”. Bulyan berlaku sebagai pemimpin,
pelatih, dan pemain gitar melodi. Menariknya, pada masa
ini alat-alat musik dibuat sendiri oleh anggotanya, kecuali
selo dan drum yang dibeli dari Jakarta. Pada tahun 1960, ia
mengganti grup musik kroncong ini menjadi orkes Melayu.

86
Mulai saat itu sampai sekarang, Bang Bul telah menciptakan
lebih dari 100 lagu, sebagian besar lagu Melayu dan lagu
anak-anak. “Tahun 1963, saya mengirimkan lagu anak-anak
ke Jakarta, kemudian ditayangkan di TVRI. Kala itu jarang
sekali ada lagu anak-anak di Indonesia,” imbuh seniman yang
masih melajang ini.
Lagu-lagu Bang Bul di tahun 1970-1980-an menjadi
populer, khususnya di Serawak, Kuching, dan Jakarta. Lagu-
lagu yang ia ciptakan dinyanyikan oleh penyanyi-penyanyi
seriosa terkenal Malaysia. Bang Bul bahkan sudah berkali-
kali mendapat tawaran hijrah kewarganegaraan yang
bisa menjadikannya komposer kenamaan di negeri jiran
itu. “Saya ingin sukses di daerah, karena saya punya cita-
cita memajukan daerah. Saya cinta daerah kelahiran saya.
Bukan saya tidak mau ke Kuching, Serawak, atau Jakarta.
Kalau semua berpikiran demikian, siapa lagi yang akan mau
memajukan seni di daerah Kalimantan Barat ini,” ujarnya.
Selain ratusan karya yang telah dihasilkannya, putra
pasangan Musthafa dan Arfiah dan putra kedelapan dari 13
bersaudara ini memperoleh puluhan piagam penghargaaan:
mulai dari Wakil Presiden RI, menteri, gubernur, dan
bupati, serta institusi lainnya. Pada tahun 2008, dia pernah
mendapatkan Hadiah Seni dari Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata. Bang Bul juga berjasa membawa
Kabupaten Sambas sebagai juara umum Festival Budaya
Bumi Khatulistiwa dalam Indo Tourism di Surabaya, tahun
1993. Lalu, pada tahun 1994, Bang Bul menuju Amerika
Serikat mengikuti delegasi Indonesia mewakili Kalimantan
(Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
dan Kalimantan Timur) dalam Tournament of Roses ke-105
sebagai pemain akordion.. Hingga kini, di tengah hirup-pikuk
kesenian kontemporer, Bang Bul menjadi pembina sekaligus

87
mengasuh grup-grup kesenian tanjidor yang merupakan
musik khas Sambas.
Bang Bul mencerminkan sebagai sosok seniman
yang tak lapuk kena hujan dan tak lekang kena panas. Dia
seakan tidak pernah kehabisan ide kreatif dan cemerlang
dalam menulis lagu indah, sampai sekarang. Hanya saja,
di usia senjanya ini, Bang Bul tinggal sendiri di rumahnya.
Kertas-kertas yang berisikan not balok dan syair-syair lagu
yang ingin dia ciptakan tampak berserakan. Tidak ada benda
berharga di rumahnya. Hanya sebuah keyboard yang rusak,
hibah dari pemerintah daerah setempat. “Saya sudah tidak
bisa berkarya lagi. Saya sangat membutuhkan keyboard agar
ilham-ilham selama ini saya miliki dapat dituangkan dalam
lagu-lagu,” katanya lirih.
Meski begitu, tertanam pelajaran yang hakiki yang
dapat kita petik dan contoh, bahwa dalam darah Bang Bul
terdapat jiwa seni tanpa pamrih, tanpa mementingkan
material, walau itu perlu dan penting, akan tetapi ia lebih
fokus pada karya-karyanya. Seniman senior ini sangat
konsisten dan tulus memperjuangkan kemajuan budaya,
terbukti dari perjalanan karirnya yang hingga kini masih ia
geluti di dunia musik. ***

BIODATA

Nama : Bulyan Mustofa


Lahir : Pemangkat, 28 Oktober 1933
Profesi : Pencipta Lagu Budaya Melayu Sambas
Alamat Rumah : Jl. Anom No 21, Kecamatan Pemangkat,
Sambas

Prestasi dan penghargaan:


- Kubu Raya Award (2015) sebagai pelestari budaya.
- Penghargaan sebagai Pencipta, Pelestari Musik Lagu

88
Daerah/Nasional dari Pemerintah Kabupaten Sambas (2013)
- Penghargaan dari Pemerintah Kabupaten Sambas sebagai
Pelestari Budaya Melayu-Sambas (2012)
- Anugerah Seni Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
(2008)
- Penghargaan sebagai Budayawan/Seniman dari Gubernur
Kalimantan Barat (2007)
- Penghargaan sebagai Pengembangan Dunia Musik Indonesia
dari PAPPRI (Persatuan Artis, Penyanyi, Pencipta Lagu dan
Penata Musik Rekaman Indonesia) (2002)
- Penghargaan dari Bupati Sambas atas jasanya
mengembangkan karya seni lagu daerah Kabupaten Sambas
(2001)
- Perwakilan Indonesia di Tournament of Roses di Pasadena,
California (1994)
- Penghargaan dari Bank Simpanan Daerah Kalimantan Barat
sebagai Pencipta Lagu Simpanan Pembangunan Daerah
Tingkat Nasional (1991)

Karya lagu-lagu:
n Karya lagu-lagu Sambas:
n Linsai
n Kaing Lunggi
n Sayang Uddah Tikanna’
n Bahgienye Dunie
n Ti Ti Sinambung
n Putri Luwing I
n Putri Luwing II
n Nawae’ Ke Nawa’ Kan

Karya lagu Anak-anak Indonesia:


n Wajib Sekolah
n Aku Sekolah
n Pancasila
n Pesan dari Ibuku
n Selamat Ulang Tahun

89
n Lagu Anak-anak Daerah:
n Arapan Urang Tue
n Jagelah Kebersehan
n Kasian Dienye

n Tikannang Urang Tue


n Rap Simarrap

n Kap Kap Undang

n Lagu-Lagu Pop Indonesia:

n Dewi Asmara

n Semoga Kau Bahagia

n Empedu Berpalut Madu

n Mengapa Jatuh Cinta

n Hauslah Kenangan

n Hai Jumpa Kembali

n Mendung

n Negeri Sambas

n Lembaran Peristiwa

90
Robert Ramone
Melayani Umat
Melalui Budaya

Resah sekaligus gelisah! Itulah gambaran


suasana hati dan pikiran Robert Ramone ketika
melihat bahwa kebudayan yang dia cintai
mulai dilupakan oleh masyarakatnya sendiri.
Masyarakat Sumba lebih banyak tertarik pada
kebudayaan dari luar yang dibalut dengan
kemajuan teknologi. Begitulah yang dirasakan
Robert Ramone sekitar 25 tahun lalu, yang kini
menjadi pastur yang membudaya.

T erlahir dari keluarga petani di desa terpencil


Gallu Wawi, Kodi Bangedo, Sumba Barat Daya,
Robert Ramone besar dengan didikan orangtua yang
kental budaya Sumba. Tak mengherankan bila pastor
Katolik itu paham detail budaya Sumba. Berawal dari
kegundahan tersebut, dia mulai berusaha membangun
dan melestarikan budaya Sumba melalui karya-karya
fotografi. Berbagai karya budaya seperti rumah adat,
kehidupan masyarakat Sumba, tempat bersejarah,
atau keindahan alamnya didokumentasikan dengan
baik.
Hasil jepretan Robert Ramone sudah banyak
dikoleksi dalam berbagai bentuk, seperti kartu pos

91
dan buku kumpulan foto. Bahkan salah satu hasil bidikannya,
yakni dokumentasi kegiatan adat pemakaman khas budaya
Sumba, dibeli dan ditampilkan oleh National Geographic
Irlandia. Lewat foto-fotonya itu, dia berharap kehidupan
masyarakat Sumba dapat selaras dengan alam dan budaya.
Untuk dapat memberikan kontribusi yang jauh lebih
besar terhadap pelestarian budaya Sumba, pada tahun 2010,
di atas tanah seluas 50 hektar, Robert Ramone mendirikan
Rumah Budaya Sumba yang bertransformasi menjadi
Lembaga Studi dan Pelestarian Budaya Sumba. Tujuan
didirikannya lembaga ini tak lain adalah untuk menyimpan,
melestarikan, dan mengembangkan budaya Sumba. Pada
Rumah Budaya Sumba terdapat museum kembar yang
dibangun berhadapan. Di tengah lantai pelataran tersemat
huruf C. Kehadiran huruf itu bukan tanpa arti. C mewakili
Cor dalam bahasa Latin, yang berarti hati. C dapat berarti
center, culture. Harapan Robert Ramone, semua yang
datang membawa cinta, pergi, lalu datang lagi juga dengan
membawa cinta.
Museum itu menjadi tempat menyimpan berbagai
tradisi budaya Sumba. Mulai dari totem, menhir, perhiasan,
peralatan masak, serta memamerkan berbagai hasil

92
jepretan alam dan budaya Sumba. Adapun museum kain
tenun terdapat di salah satu bangunan. Di rumah budaya
ini juga dilakukan kegiatan sanggar dan pentas seni budaya
Sumba setiap tanggal 11 (setiap padang bulan). Terdapat
beberapa relawan yang rutin melatih anak-anak Sumba
mengembangkan bakat seni musik dan tarinya. Tentu saja
lembaga ini bukan milik pribadi Robert Ramone, akan tetapi
menjadi milik konggregasi Redemtoris.
Rumah Budaya ini sebagai wadah guna meyakinkan
pihak sponsor untuk datang dan mengulurkan kebaikannya
membangun Sumba. Setelah lembaga ini terbentuk, sudah
ada pembangunan kembali rumah-rumah adat di dua desa,
yakni di Ratengaro dan di Sumba Timur. Sejak lembaga ini
didirikan, sampai tahun 2019 sudah ada sekitar 150 rumah
adat di seluruhPpulau Sumba yang direvitalisasi. Selain
rumah adat, revitaslisasi sanggar tari yang ada di Sumba
juga mendapat perhatian Robert Ramone. Melalui donator
swasta, Yayasan Tirto Utomo Jakarta, sekarang telah ada 15
sanggar tari di seluruh Sumba.
Dorongan untuk melestarikan budaya Sumba bukan
hanya karena tanah Sumba merupakan tanah kelahirannya,
tetapi karena kebudayaan Sumba mempunyai keunikan
yang diwariskan oleh nenek moyang yang harus dijaga
nilai-nilai luhurnya. Pada prosesnya, berbagai hambatan
selalu menghadang. Mengingat rumah budaya ini adalah
lembaga swasta, kata Robert Ramone, maka kebutuhan
finansial dicari sendiri dan terkadang hampir kehabisan
napas. Membangun budaya Sumba menurutnya tidak hanya
berhenti di bangunannya saja, tetapi juga membangun
manusianya, martabatnya, beserta nilai luhur yang ada di
dalamnya.
Warisan yang ditinggalkan leluhur, menurut Romo

93
Robert, merupakan titik api untuk refleksi diri terhadap
kehidupan dari lahir sampai mati. Untuk itu, dalam usaha
melestarikan warisan budaya Sumba kepada generasi muda,
ia mendirikan apa yang ia namakan Sekolah Pelestarian
Budaya (Sepeda) di dalam Lembaga Pelestarian Budaya
Sumba ini. Di sini anak-anak dikumpulkan dan diajarkan
tentang budaya Sumba. Melalui Sepeda, anak muda
diharapkan bisa mempertahankan jati diri sebagai orang
Sumba. Pada perkembanganya, untuk membantu anak-anak
Sumba yang masih gagap membaca, didirikan Gafa Sumba
pada tingkatan SD-SMP. Pendidikan membaca oleh lembaga
ini tidak dipungut biaya alias gratis. Sampai saat ini yang
sudah ikut dalam Gafa berjumlah sekitar 150 murid.
Sebagai seorang pastur, Romo Robert mempunyai
jiwa melayani umat. Rumah Budaya lahir atas kemauan
berbuat baik dari seorang Robert Ramone, yang tujuan
besarnya adalah kembali ke budaya Sumba. Robert berkata
bahwa menjadi pastur tidak lantas membatasinya dalam
pelayanan umat, bukan umat gereja saja, tetapi menjadi
pastur adalah melayani seluruh umat. Berbekal moto
bahwa “hidup adalah perjuangan, dimulai dari mimpi yang
besar”, menuntun Romo Robert selalu bersemangat dalam
melestarikan budaya Sumba.
Harapan Robert Ramone, setelah adanya Lembaga
Pelestarian Budaya Sumba, tidak hanya lembaga swasta yang
tergerak untuk melestarikan budaya Sumba, tetapi pihak
pemerintah juga turut berpartisipasi. Misalkan, kata Romo
Robert, Rumah Budaya dapat dijadikan ruang-ruang untuk
melakukan rapat kegiatan pelestarian budaya Sumba. Nilai
pewarisan dapat disampaikan lewat diskusi-diskusi dengan
paguyuban desa-desa adat bersama pemerintah. ***

94
BIODATA

Nama : Robert Ramone


Lahir : Sumba Barat Daya, 29 Agustus 1962
Pendidikan : Filsafat dan Teologi di Seminari Tinggi St
Paulus Kentungan, Yogyakarta
Penghargaan
2010 : NTT Academia Award 2010
2011 : Promotor Pariwisata Sumba dari wakil Presiden RI
2011 : Pelestari Budaya dari Corporoate Social
Suistanable, School of La Tofi, Jakarta
2014 : Penghargaan kategori Pelestari Cagar Budaya
dan Permuseuman dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan
2019 : Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan

Karya
n Pendiri Lembaga Studi dan Pelestarian Budaya Sumba, 2010
n Kartu pos tentang budaya Sumba dari hasil fotografi
Robert Ramone
n Buku Sumba Forgotten Island, 2011

95
Muhammad Salim (alm)
Mengungkap
“Sureq Galigo”
Wiracarita Tradisi Bugis

Atas sumbangsihnya sebagai transliterator dan


penerjemah sureq Galigo—wiracarita Bugis
kuno yang lebih panjang dari Mahabarata—
Muhammad Salim membantu dunia mengungkap
kembali sumber pengetahuan Bugis. Atas jasanya
itu, Muhammad Salim menerima Gelar dan
Tanda Kehormataan dari Presiden RI kategori
Satyalanca Kebudayaan (2019) dan Piagam
Hadiah Seni dalam bidang penyelamatan naskah
kuno dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI
(2004).

P royek besar untuk menyelami 12 jilid sureq Galigo—


yang terdiri atas 13.000 halaman folio—itu ia
selesaikan dalam waktu 5 tahun 2 bulan (1989-1994)
atas dukungan Koninklijke Instituut voor Taal-, Land-
, en Volkenkunde (KITLV, Lembaga Kerajaan untuk
Ilmu Bahasa, Geografi, Etnologi) di Belanda. Peneliti
di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan (YBSS) ini
semasa hidupnya juga melahirkan buku-buku yang
merekam kebudayaan suku-suku di Sulawesi.
Muhammad Salim belajar membaca dan
menulis aksara Bugis kuno dari neneknya yang

96
mengumpulkan, memperbaiki dan menyalin lontaraq.
Lontaraq-lontaraq itu berisi pengetahuan masyarakat
Bugis kuno yang ditulis menggunakan aksara Bugis kuno
atau aksara Arab dan bahasa Bugis kuno. Di Sidrap, Tanete
Allakuang, Sulawesi Selatan, Salim membantu neneknya
menekuni lontaraq-lontaraq tersebut. Sejak masa sekolah
dasar (sekolah rakyat) itulah Salim memutuskan menjadi
orang yang ahli dalam menyalin naskah-naskah lontaraq.
Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi, Salim
mengawali kariernya sebagai guru bahasa Bugis di sekolah
rakyat. Ketekunannya merawat tradisi Bugis membawanya
pada jenjang karier pegawai negeri sipil di bidang
kebudayaan. Suami dari Hj Jamiah ini pernah menduduki
beberapa jabatan di bidang budaya, antara lain Kepala
Bidang Sejarah dan Nilai Tradisional Kanwil Depdikbud
Provinsi Sulawesi Selatan. Ia juga memberikan pengajaran
teks klasik termasuk sureq Galigo di IAIN Alauudin dan
penerjemah untuk proyek Penerjemahan Naskah Kuno
Lontaraq di Universitas Hasanudin.
Nurdinah Salim (putri ke-2 Muhammad Salim, dari
tiga bersaudara) mengenang ketelatenan ayahnya mencari
lontaraq dari rumah ke rumah, sejak ayahnya menjadi guru
SR (1960-an). Seringkali usaha ayahnya mencari lontaraq
itu tidak langsung berhasil. Sebagian masyarakat Bugis
menyimpan dan tidak bersedia menunjukan lontaraq
karena mereka memahaminya sebagai naskah yang sakral.
Tetapi setelah Salim memberikan pengertian pada mereka,
biasanya ia diizinkan untuk menyalinnya.
Ketekunannya itu menghasilkan beberapa karya
transliterasi dan terjemahan lontaraq dari bahasa Bugis kuno
ke bahasa Indonesia, juga buku-buku terkait kebudayaan di
Sulawesi. Prestasi mengagumkan adalah ketika ia terpilih
sebagai translitetaror (alih aksara) dan penerjemah karya

97
terlengkap dari sureq Galigo dalam proyek Transliterasi dan
Terjemahan sureq Galigo, kerja sama antara Pemerintah
Indonesia dan Belanda melalui Rijkuniversiteit Te Leiden
(1989). Selama lima tahun dua bulan (1989-1994), ayah dari
tiga anak ini berhasil menyelesaikan 4.000 halaman alih
aksara dari aksara Bugis kuno ke aksara Latin dan 4.000
halaman terjemahan dari bahasa Bugis kuno ke bahasa
Indonesia. Karya ini diterbitkan menjadi 12 jilid buku La Galigo
versi dwi-bahasa: Bugis-Indonesia.
Dalam buku I La Galigo (Change Performing Art in
patnership with Bali Purnati Foundation for the Art: May,
2004), Salim menjelaskan banyak masalah yang harus ia atasi
dalam menyelesaikan proyek transliterasi tersebut. Masalah
itu antara lain beberapa halaman naskah yang tak terbaca,
makna berbagai kata (bahasa Bugis kuno) yang sudah sulit
diketahui, dan sifat teks yang penuh metafora. Hal itu karena
bahasa dan tradisi sureq Galigo telah lindap berabad-abad.
Lindapnya tradisi itu terkait dinamika politik di Sulawesi
Selatan. Perubahan pemerintah dari sistem banyak kerajaan
menjadi republik mengurangi kebutuhan lantunan syair La
Galigo yang sebelumnya banyak dilantunkan pada upacara-
upacara kerajaan. Selanjutnya, gerakan Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan yang berupaya
mengubah Indonesia menjadi negara Islam, mengakibatkan
pembakaran atas naskah Galigo. Sebab, mereka menganggap
naskah Galigo mewakili sistem pra-Islam yang politeistik,
yang dapat menggiring orang mencampuradukkan agama
lama dengan Islam. Akibatnya, sureq Galigo nyaris tak pernah
dibaca, kemudian orang semakin tak memahami bahasa dan
maknanya.
Menurut Salim, di masa kini teks sureq Galigo
dipandang dari berbagai cara. Bagi cendekiawan dan ahli
budaya, sureq Galigo dipandang sebagai teks karya seni
yang agung. Beberapa sejarawan percaya kisah dalam sureq
Galigo merupakan cerita yang didasarkan pada kejadian

98
nyata. Karena itu ia dapat dijadikan sumber pengetahuan
tentang Bugis pra-sejarah. Sementara para bissu, keturunan
keluarga kerajaan dan masyarakat Tolotang—sekte
relijius di Amparita, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan—
memandangnya sebagai teks suci. Sebagian masyarakat
Amparita melantunkan sureq Galigo sebagai bagian upacara
suci sebelum menanam dan memanen padi, merayakan
selesainya rumah baru, dan dalam upacara perkawinan.
Atas kecintaan Salim terhadap tradisi leluhurnya,
wiracarita sureq Galigo yang hampir dilupakan, perlahan-
lahan dapat dipelajari kembali: tidak hanya oleh masyarakat
Bugis, tapi juga masyarakat dunia.
Untuk mewariskan kecintaanya tersebut, di masa
hidupnya Salim berpesan kepada Hamdan Salim (putra
ketiganya) dan Abdul Muin Asman (menantunya) agar
karya-karya transliterasi dan karya tulisnya disusun dengan
rapi dalam bentuk museum mini dan perpustakaan. Dengan
demikian para peneliti dan masyarakat luas dapat mengakses
sumber pengetahuan Bugis dan suku-suku lain di Sulawesi
yang ia kumpulkan, terjemahkan, dan ia
tuliskan kembali dalam beberapa
buku.
Penghargaan Satyalancana
Kebudayaan dari Pemerintah
RI yang diberikan kepada (alm)
Muhammad Salim, tentu saja,
disambut rasa syukur oleh
keluarganya. Mereka berharap
melalui penghargaan tersebut
dukungan negara terhadap
pelestarian kebudayaan di
Sulawesi dapat terus berlanjut
dan pesan almarhum terkait
kehadiran museum dan
perpustakaan dapat terwujud.

99
BIODATA

Lahir : Sidrap, Tanete Allakuang, Sulawesi Selatan, 4 Mei 1936


Meninggal : Makassar, 27 Maret 2011
Pendidikan: UVRI Makassar (1979), PGLTP Makassar (1968), SGA
Pare Pare (1960), SGB Sidrap (1955), SDN Sidrap (1951),
Pesantren Allakkuang, Siddenreng Rappang
Keahlian : Transliterasi (alih aksara) teks pada lontaraq dari
aksara Bugis kuno ke aksara Latin dan
menerjemahkannya dari bahasa Bugis kuno ke
bahasa Indonesia.
Jabatan : Peneliti di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan (YBSS)
Dosen mata kuliah teks klasik termasuk sureq Galigo
di IAIN Alauudin, Makassar
Penata TK I III/d Kanwil Depdikbud Provinsi Sulawesi Selatan
Kepala Bidang Sejarah dan Nilai Tradisional Kanwil
Depdikbud Provinsi Sulawesi Selatan
Kepala Kantor Pemb.Keb. Kabupaten Sidrap
Guru SRN Daerah Pare Pare
Karya transliterasi dan penerjemahan lontaraq:
n 12 jilid I La Galigo dwi bahasa Bugis-Indonesia
n I la galigo Arung Pancana Toa
n Musuh Maranna lagaligo
n Pau Paunna Meong Meong Palo
Karya buku:
n Tiga dari Galigo (2011)
n Gelora Kebudayaan Daerah (1969)
Penghargaan :
n Gelar dan Tanda Kehormataan dari Presiden RI kategori
Satyalanca Kebudayaan (2019)
n Piagam Hadiah Seni dalam bidang Penyelamatan Naskah Kuno
dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI (2004)
n Celebes Award untuk Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan
Sulawesi Selatan dari Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan (2003)

100
Salim Haji Said
Dimensi Sosial Politik
pada Sastra, Teater,
dan Film Indonesia

Prof Dr Salim Haji Said adalah kritikus sastra,


teater dan film berlatar belakang ilmu sosial-
politik. Selain menyajikan dimensi artistik,
tulisannya tentang sastra dan seni kaya akan
dimensi sosial-politik. Pernah menjadi wartawan
film ke berbagai negara dan menjabat Ketua
Bagian Internasional Festival Film Indonesia (FFI),
Salim Said melahirkan banyak buku mengenai
sastra, teater dan film, antara lain Shadows
on the Silver Screen: A Social History on
Indonesian Film, Profil Dunia Film Indonesia,
dan Dari Festival ke Festival.

“I
barat penerjun payung, saya menggunakan
beberapa parasut,” demikian Salim Said
menggambarkan dirinya yang malang
melintang di dunia sastra, teater, film, jurnalistik,
hubungan internasional, kemudian dikenal sebagai
pengamat militer. Pafahal, pada awalnya kepergian
Salim Said dari tanah kelahirannya di Parepare,
Sulawesi Selatan, ke Pulau Jawa, sesungguhnya ia
bercita-cita untuk menjadi seniman.

101
Usia 14 tahun, Salim Said sudah tergabung dalam
Organisasi Seniman Muda (Orsenim) dan menghasilkan
karya sajak, cerita pendek dan esai yang diterbitkan koran-
koran di Makassar. Menurut Salim Said, di masa itu, di
Parepare referensi sastra sangat terbatas. Hanya ada satu
toko buku kecil yang menjual buku-buku lama terbitan Balai
Pustaka. Perkembangan sastra hanya dapat ia akses sampai
masa pembaharuan puisi oleh Chairin Anwar. Pengetahuan
itu pun ia dapat dari buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45
karya HB Jassin, oleh-oleh dari ayah temannya yang pernah
bertugas ke Jakarta. Saat itu, Parepare juga terkepung
ancaman gerombolan bersenjata. Bila masyarakat ingin
melakukan perjalanan antar-kota, diperlukan konvoi
dengan pengawalan militer. Karena itu, selain dorongan
untuk berkesesian, bagi Salim Said, merantau juga sebagai
keputusan membebaskan diri dari ketakutan, rasa tertekan
dan terisolasi.
Seniman Orsenim ini memututskan melanjutkan
pendidikan SMA di Solo, tempat ia juga semakin mendalami
dunia teater. Kemudian melanjutkan kuliah di Jakarta.
“Agar lebih mudah membiayai sendiri uang kuliah dan turut
meramaikan Taman Ismail Marzuki (TIM) yang baru dibuka
oleh Gubernur DKI Ali Sadikin,” tuturnya.
Salim Said awalnya mengambil studi di Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia, kemudian pindah ke FISIP
Universitas Indonesia. Malam harinya ia belajar di Akademi
Teater Nasional Indonesia (ATNI). Di masa itu, ia berguru,
antara lain, pada Asrul Sani, Usmar Ismail dan Tati Maryati.
Kemudian ia menyutradarai pertunjukan teatear di Fakultas
Psikologi UI, menjadi aktor pada pertunjukan perdana
Teater Kecil—yang ikut ia dirikan bersama Arifin C. Noer.
Salim Said juga menulis sejumlah kritik dan artikel sastra.
Kemudian banyak menulis kritik film untuk majalah Tempo,

102
yang turut ia dirikan bersama Wim Umboh. Menjelang lulus
sarjana sosiologi ia mendapat tawaran sekolah perfilman di
University of California Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat.
Tetapi ia tidak melanjutkan rencana sekolah di UCLA, setelah
universitas tersebut meminta transkrip nilainya selama
belajar di ATNI, yang masa itu masih bersifat seperti kursus
teater.
Pekerjaannya sebagai wartawan mempertemukan
ia dengan sejarawan dari Ohio University, yang membawa
ia pada peluang bea siswa untuk belajar hubungan
internasional. Kemudian ia mengambil studi master dan
doktoral ilmu politik di Ohio State University. Adapun
perjumpaannya dengan dunia militer, itu terjadi sejak ia
bekerja sebagai wartawan Angkatan Bersenjata. Perpaduan
dirinya sebagai wartawan dan mahasiswa yang mendalami
ilmu politik melahirkan dua buku akademis terkait militer,
yaitu Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi (Aksara Karunia:
2002) dan Genesis of Power: General Sudirman and the
Indonesian Military in Politics. Genesis adalah buku dari
disertasinya yang mengkritik militer. Karena itu, karyanya
ini, hanya memungkinkan diterbitkan dalam bahasa
Inggris oleh penerbit di luar Indonesia, yaitu
oleh Institute of Southesat
Asian Studies, pada tahun
1991. Muri memberikan Muri
Awards kepada Salim Said
sebagai doktor pertama yang
menulis disertasi dengan judul
peran politik militer Indonesia
(2015).
Keilmuannya di bidang
politik ini yang membawanya
pada dunia pendidikan. Ia menjadi

103
dosen di beberapa universitas di Indonesia, antara lain di
FISIP UI, Sekolah Staf Komando Tentara Nasional Indonesia
(Sesko TNI), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan
di Universitas Pertahanan. Ia juga menjadi dosen tamu di
luar negeri, antara lain di di Ohio University, Tammasat
University, dan University of Malaya. Kemudian ia menjadi
penasihat Kapolri dan peneliti senior di
Center for National Stategy. Keilmuannya di
bidang hubungan internasional, ia wujudkan
saat mengemban tugas sebagai Duta Besar
RI untuk Republik Ceko.
Dalam pengembangan ranting-
ranting pengetahuan dan peran yang terus
bertambah, kecintaan Salim Said terhadap
seni tak pernah teralihkan. Tesisnya untuk
meraih master di bidang hubungan
internasional mengenai sejarah sosial film
Indonesia. Ia juga menjabat peran strategis
dalam seni dan sastra, yaitu Ketua Dewan
Kesenian Jakarta, Anggota Dewan Film,
dan Ketua Bagian Internasional Festival
Film Indonesia (FFI). Tulisan terbarunya
mengenai teater dan film terbit dalam buku
Krisis Aktor, Teater, Sutradara, dan Pasar
(Balai Pustaka, 2018). Buku terbarunya
di bidang sastra, Jangan Banyak Tanya, Ini
Cuma Dongeng (2018) memuat tinjauannya
terhadap naskah sastra kontemporer, diterbitkan oleh Balai
Pustaka pada ulang tahun ke-100 penerbit itu sekaligus
untuk mengenang “Paus Sastra Indonesia”, HB Jassin.
Hingga tahun 2018, tak kurang dari 16 buku sudah ia
tulis, baik yang terkait seni dan sastra maupun sosial politik.

104
Lalu, bagaimana ia mewariskan semangat dan karyanya
dalam bidang seni? Menurut Salim Said, ia memang tidak
mewariskan apa kepada siapa. Tetapi ia berharap hal-hal
yang sudah ia kerjakan dalam bidang sastra, tetaer dan
film dikembangkan oleh generasi muda. “Misalnya buku-
buku yang saya tulis, saya tidak berpretensi sempurna. Saya
mendorong peneliti muda untuk menyempurnakannya,”
tuturnya. Ia juga telah bekerja sama dengan Perpustakaan
Nasional agar buku-bukunya terkait film yang berjumlah
10.000 dapat diberikan kepada perpustakaan negara itu,
untuk dapat diakses publik.
Mengenai gelar dan tanda kehormataan dari
Presiden RI kategori Satyalancana Kebudayaan yang
diberikan kepadanya, Salim Said mengucapkan alhamdulillah
dan terima kasih. “Saya senang sekali dan merasa dihormati,
diakui, apa yang saya lakukan bertahun-tahun dan tidak
membayangkan mendapatkan penghargaan,” demikian
Salim Said menutup percakapan. ***

BIODATA

Nama : Salim Haji Said


Lahir : Parepare, Sulawesi Selatan, 10 November 1943
Isteri : Herawaty
Pendidikan :
- PhD Ilmu Politik, Ohio State University, Colombus, Amerika Serikat,
1985
- MA Ilmu Politik, Ohio State University, Colombus, Amerika Serikat,
1985
- MA Hubungan Internasional, Ohio University, Amerika Serikat, 1980
- Doctorandus Sosiologi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1976
Keahlian : Kritikus Sastra Film dan Teater

105
Karier :
- Duta Besar RI untuk Republik Czech Cecnya (2006-2010)
- Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1990-1998)
- Anggota Badan Pekerja MPR (1998-1999)
- Anggota Dewan Film dan Ketua Bagian Internasional Festival
Film Indonesia (FFI).
- Dosen tamu di Ohio University - Ohio, Tammasat University –
Bangkok dan University of Malaya – Kuala Lumpur
- Dosen Ilmu politik di Universitas Pertahanan Indonesia, sejak
2011
- Dosen di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, sejak 2002 –
sekarang
- Dosen FISIP Universitas Indonesia sejak 1994 - sekarang
- Wartawan luar negeri majalah mingguan Tempo (1971-1987)

Karya Buku :
- Krisis Aktor, Teater Sutradara dan Pasar (Balai Pustaka, 2018)
- Jangan Banyak Tanya, Ini Hanya Dongeng (Balai Pustaka, 2018)
- Jokowi Melawan Debt Collector (Penjuu Ilmu Sejjati, 2017)
- Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Suharto, (Mizan,
2016)
- Militer Indonesia dalam Politik (sinar Harapan, 2001)
- Shadows on the Silver Screen: A Social History on Indonesian
Film (Lontar, 1991)
- Profil Dunia Film Indonesia (Grafiti, 1982)

Penghargaan :
- Gelar dan Tanda Kehormataan dari Presiden RI kategori
Satyalanca Kebudayaan (2019)
- Penghargaan Achmad Bakrie di bidang pemikiran sosial (2018)
- Muri Awards sebagai doktor pertama yang menulis disertasi
dengan judul peran politik militer Indonesia (2015)
- Habibi Awards untuk anugerah bidang ilmu politik (2014)

106
Nurhayati Subakat
Perlu Budaya Kerja
Keras

Siapa yang tak mengenal kosmetik Wardah


saat ini. Kosmetik itu begitu populer. Wardah
kini menguasai pasar kosmetik dalam negeri
dan kini sudah mulai merambah ke luar
negeri. Menariknya, Wardah telah berhasil
menyalib produk-produk kosmetik perusahaan
multinasional atau global yang selama ini
menguasai pasar di Tanah Air.

W ardah yang berarti “bunga mawar” (bahasa


Arab) adalah produk dari PT Paragon Technology
and Innovation. Paragon juga menghasilkan produk
kosmetik Make Over dan sampo Putri dan IX. Belum
lama ini, Paragon meluncurkan kosmetik untuk anak
muda, yakni Emina. Seperti makna katanya “yang
dikasihi”, Emina pun dengan cepat “dikasihi” oleh
generasi muda.
Produk kosmetik dari Paragon yang memenuhi
standar halal itu melejit pertumbuhannya, mencapai
per tahun, bahkan pernah mencapai 130 persen. Tahun
2017, perusahaan ini menjadi perusahaan nomor enam
di dunia yang tinggi pertumbuhannya. Keberhasilan
itu membuat sejumlah perusahaan kosmetik

107
multinasional belajar kepadanya kenapa mampu menguasai
pasar. Bila selama ini perusahaan kosmetik nasional suka
meniru produk dari perasaan kosmetik multinasional,
kini yang terjadi justru terbalik. Perusahaan-perusahaan
multinasional itu mulai ikut mengeluarkan produk kosmetik
halal yang telah dirintis Paragon sejak tahun 1990-an.
Sosok penting yang berada di
belakang keberhasilan tersebut adalah
Nurhayati Subakat, yang pada April
2019 mendapat gelar Doktor Honoris
Causa untuk bidang farmasi dari Institut
Teknologi Bandung (ITB), almamaternya.
Nurhayati jadi perempuan pertama
dalam satu abad perjalanan ITB yang
mendapat gelar Doktor Honoris Causa.
Apa yang membuat Paragon
dengan produk Wardah dan kemudian
Emina bisa melejit? Tentu itu tidak
bisa lepas dari filosofi hidup Nurhayati
sendiri. Perempuan asal Padang Panjang,
Sumatera Barat, itu memiliki filosofi
hidup yang menjadi nilai budayanya
dalam mengelola perusahaannya. “Saya
senang bisa menyenangkan orang lain.
Dengan dasar itu, dalam perjalanan
usaha, saya banyak mendapatkan
kemudahan. Ya, karena bisa menyenangkan orang lain. Kami
memberi beasiswa, umroh, pemberdayaan perempuan,
pendidikan, dan kesehatan,” kata Nurhayati.
Ketika perusahaannya mengalami cobaan karena
terbakar, semula ia mau memutuskan hubungan kerja
karyawannya. Namun karena tak ingin mengecewakan

108
orang, selain ingin menyenangkan orang, ia mengajak
karyawannya untuk bangkit bersama-sama lagi. Bermula
Bermula dari menjalankan usaha di rumah seluas hanya 300
meter persegi, dengan dua karyawan, kini ia memimpin
sekitar 11.000 karyawan Paragon di seluruh Indonesia dan
memiliki lahan sekitar 20 hektare. Dengan dasar nilai budaya
tersebut, CEO PT Paragon ini menetapkan besarannya CSR
dari perusahaannya tidak lagi satu persen seperti yang
diberlakukan oleh pemerintah, tetapi 10 persen.
Nilai tersebut kemudian dirumuskan untuk nilai
perusahaan yang dipimpinnya dengan membuat agent
of changes agar kultur itu tetap terjaga. Kultur itu, kata
Nurhayati, adalah ketuhanan, keteladanan, kekeluargaan,
tanggung jawab, fokus pada pelanggan, dan inovasi. Sebagai
pemimpin perusahaan, ia selalu disiplin, bekerja keras, dan
mengutamakan kejujuran. Ia harus bisa memberi teladan
untuk bawahannya. “Kami juga fokus pada customer.
Kami berusaha mempertahankan apa yang sudah kuat dan
memperbaiki apa yang perlu ditingkatkan lagi,” paparnya.
Saat tamat dari ITB, ia memilih bekerja sebagai
apoteker di sebuah rumah sakit di Padang. Tak lama,
ia kemudian pindah ke Jakarta dan bekerja di sebuah
perusahaan kosmetik multinasional pada 1979-1985, dan
mendapat jabatan yang bagus. Tahun 1985, pemimpin baru
perusahaannya tempat bekerja memintanya untuk bekerja
penuh waktu. Sebelumnya waktunya lebih fleksibel sehingga
ia masih punya waktu untuk mengurus anak-anaknya yang
masih kecil. Ia membayangkan betapa repotnya kalau ia
bekerja penuh waktu karena ia tinggal di daerah Ulujami,
Jakarta Selatan, sementara perusahaan kosmetik tersebut di
Bogor. Akhirnya ia memilih mundur dan memutuskan untuk
membuka usaha sendiri.

109
Ia memulai usahanya di rumah dengan dua orang
karyawan. Produknya berupa sampo Putri dengan skala
industri rumahan. Dengan latar belakang sebagai lulusan
terbaik dari Jurusan Farmasi ITB dan pengalamannya bekerja
di sebuah perusahaan kosmetik multinasional, ia membuat
produk sampo yang berkualitas dengan harga bersaing. Ia
mengaku saat itu tidak memiliki modal besar. Akan tetapi ia
memiliki rumah dan mobil sebagai aset. Dengan mobilnya
ia bisa membawa produknya untuk jualan dan rumah untuk
tempat produksi.
Mulanya ia menawarkan Putri di salon-salon di
daerah pinggiran Tangerang. Usahanya berkembang.
Lalu ia mendirikan PT Pusaka Tradisi Ibu yang kemudian
bertransformasi menjadi PT Paragon Technology and
Innovation. Dalam perjalanannya, salah seorang koleganya
menyarankannya agar membuat kosmetik yang lebih Islami.
Dari sanalah lahir kemudian produk dan nama Wardah
muncul. Namun perjalanan Wardah pada awalnya tidak
begitu mulus.
Putra tertuanya, yakni Salman Subakat, ikut
membesarkan Paragon. Dilakukan pembenahan dan
branding Wardah diperbaiki. Lalu, pada tahun 2009, Wardah
di-rebranding secara besar-besaran. Hasilnya mulai terlihat.
Penjualan naik terus dan tahun 2012 pernah mencapai 100
persen. Apa yang membuat Wardah bisa meroket? Nurhayati
memperkenalkan formula “5P” waktu itu, yakni product,
pricing, positioning, promotion dan pertolongan dari Tuhan.
Kini Wardah menjadi nomor satu di kategori make-up,
peringkat pertama untuk penjualan moisturizer (pelembab),
nomor satu di skin care (perawatan kulit), dan menduduki
peringkat ketiga penjualan produk cleanser atau face care
(perawatan wajah). Pertumbuhan nilai (value growth)
Wardah mencapai 40,1 persen. Ia tidak hanya mengungguli

110
brand dalam negeri, tetapi juga brand global yang selama ini
menguasai pasar kosmetik dalam negeri.
Masih ada yang mau dikejar oleh Nurhayati? “Saya
ingin Wardah menjadi global brand. Masuk sebagai 10 besar
brand kosmetik di dunia. Sekarang semua langkah yang
kami lakukan menuju ke sana. Saya memang ingin produk
lokal Indonesia bisa bicara di tingkat global,” ujarnya penuh
semangat.
Sosok Nurhayati Subakat merupakan salah satu
dari sekian banyakwanita pengusaha sukses Indonesia.
Perempuan yang selalu tampil apik ini merupakan anak
keempat dari delapan bersaudara. Ia menuturkan, ayahnya
sangat memperhatikan pendidikan rohani dan keilmuan dari
anak-anaknya. Karena itu, ayahnya mengirimnya belajar di
Pondok Pesantren Diniyyah Puteridi Padang Panjang untuk
SMP.
Saat duduk di SMP, ayahnya meninggal. Ia dan
saudara-saudaranya dibesarkan oleh orangtua tunggal, yakni
ibunya. “Ibu saya selalu bilang kalau kita ada
kesulitan, Allah akan membantu. Itu saja.
Dalam perjalanan hidup, saya merasakan
kalau kita tekun dan berikhtiar terus,
ada saja jalannya,” jelasnya.
Dari pondok pesantren ia lantas
masuk SMA dan selepas SMA ia
berhasil lolos di Jurusan Farmasi
ITB. Setelah menyelesaikan
kuliah tepat waktu, ia pulang
ke kampung halamannya
di Sumatera Barat dan
bekerja di rumah sakit di
Padang sebagai seorang

111
apoteker. Setelah lama bekerja di rumah sakit, ia pindah
ke Jakarta dan bekerja di perusahaan kosmetik global yang
terkenal sebagai staf quality control. Setelah mengundurkan
diri dari sana ia mendirikan perusahaannya sendiri dan
kini sukses dengan PT Paragon Technology and Innovation
dengan produk terkenalnya, kosmoetik Wardah.
Atas prestasinya itu, Presiden RI Joko Widodo
memberinya Gelar Tanda Kehormatan Satyalancana pada
2019. “Bagi saya, Presiden beri penghargaan untuk tim kami.
Tim anak-anak muda. Ini jadi penambah semangat kepada
tim saya. Ini karya anak bangsa yang bisa mengalahkan
kosmetik multinasional,” katanya tentang gelar tanda
kehormatan itu.
Gelar tanda kehormatan itu, menurutnya, juga
memberinya tambahan semangat agar perusahaan
kosmetiknya bisa menembus masuk 10 besar perusahaan
kosmetik dunia. Pada 201,7 perumbuhan perusahaan
kosmetiknya berada di peringakat keenam di tingkat dunia.
Nurhayati mengusulkan agar perempuan Indonesia
harus membiasakan diri menggunakan make up. “Mari
kita beramai-ramai memakai make up karena perermpuan
yang rajin memakai make up akan merasa lebih bahagia,
energik dan lebih muda. Kita akan lebih produktif dalam
membangun bangsa,” kata Nurhayati yang tampak lebih
muda dari usianya menjelang 70 tahun.***

112
BIODATA

Nama :Nurhayati Subakat


Lahir :Padang Panjang, 27 Juli 1950
Suami :Subakat Hadi
Profesi :CEO dan BOD PT Paragon Technology and
Innovation
Produk Kosmetik:
-Wardah
-Emina
-Make Over
-Sampo Putri dan IX
Pendidikan:
- Doktor Honoris Causa dari ITB (2019)
- Jurusan Farmasi ITB (angkatan 1971)
Penghargaan:
- Gelar Tanda Kehormatan Satyalancara Kebudayaan dari
Pemerintah RI, 2019
- Tokoh Perubahan Republika, 2016
- People of the Year Koran Sindo, 2014
- Customer Satisfaction Award dari Frontier Consulting
Group Top Brand, 2014

113
Raden Mas Indrosoegondo (alm)
Peletak Dasar
Penataan Birokrasi
Kebudayaan RI

Boleh jadi nama Indrosoegondo tidak banyak


dikenal orang. Padahal, dia boleh dibilang
tokoh yang sangat berpengaruh dalam
menata birokrasi kebudayaan di Indonesia.
Indrosoegondo adalah direktur jenderal
(dirjen) kebudayaan pertama di republik
ini, yang diangkat langsung oleh Presiden
Sukarno. Sebelum menjadi dirjen kebudayaan,
Indrosoegondo menjabat sebagai Arase
Kebudayaan pada KBRI di Amerika Serikat.

I ndrosoegondo lahir di Yogyakarta tahun 1907.


Ia masih memiliki darah keraton karena ayahnya
adalah KGPA Paku Alam II. Sebelum pindah ke Jakarta,
Indrosoegondo tinggal di perumahan Pakualaman,
tepatnya di Jalan Sukun atau Ki Mangunsarkoro No
34, Yogyakarta. Tempat tersebut kini telah diwakafkan
kepada Yayasan Pendidikan Muhammadiyah
Yogyakarta dan dijadikan gedung SMP Muhammadiyah
4 Yogyakarta, di mana keaslian bangunan induknya
masih dipertahankan sampai sekarang.
Istrinya adalah Raden Nganten Sutinah atau
RAy Indrosoegondo, putri RM Prawirowisoto dari

114
Madiun. Istri Indrosoegondo
merupakan salah satu pendiri
Himpunan Ahli Rias Pengantin
“HARPI MELATI”. Sebagai perias
dari Puro Pakualaman yang
terkenal, baginya sudah terbiasa
merias orang-orang penting,
termasuk dari kalangan istana.
Selain menjadi seorang
pemikir di bidang kebudayaan,
Indrosoegondo juga mempunyai darah
seni sejak usia muda, terutama di bidang seni tari dan
lukisan. Kala itu, pendopo di samping rumahnya digunakan
untuk berlatih dan mengajarkan seni tari. Di sampingnya
terdapat gudang yang berisi seperangkat gamelan untuk
mengiringi kegiatan Indroseogondo.
Terkait kiprahnya di dunia seni lukis, Nunus Supardi
dalam buku Melacak Jejak Direktur Jenderal Kebudayaan
(2016) menyebutkan bahwa Indrosoegondo tercatat
dalam keanggotaan beberapa perkumpulan seni lukis di
Yogyakarta. Di antaranya Pusat Tenaga Pelukis Indonesia
(PTPI) pada tahun 1945; Seniman Indonesia Muda (SIM)
pada tahun 1946; dan Pelukis Rakyat pada tahun 1947.
Bahkan, Nunus Supardi mencatat bahwa pada tahun
1949 Indrosoegondo menggagas didirikannya lembaga
pendidikan seni tingkat akademi. Pada tanggal 15 Desember
1949, melalui Surat Keputusan Menteri PP & K Nomor 32/
Kebudayaan, didirikanlah lembaga pendidikan seni dengan
nama Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), yang sekarang
berubah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Selain melukis, Indrosoegono merupakan penari dan
pengajar tari. Pada tahun 1964 dan 1965, demikian Nunus
Supardi mengutip penjelasan Prof Sardono W Kusumo,

115
Indrosoegondo mempunyai peran besar di usianya yang
masih muda (19 tahun) dalam pertunjukan seni pada persiapan
penyelenggaraan New York World’s Fair (NYWF). Nama
Indrosoegondo tercatat dalam The New York Public Library
for the Performing Arts, sebuah blog yang diselenggarakan
dan dikelola oleh Jerome Robbins Dance Division New York
sebagai Artistic Director of Indonesian Pavilion World’s Fair.
Latihan tari untuk persiapan NYWF memanfaatkan pendopo
yang ada di rumahnya. Hal ini membuat Indrosoegondo
berjasa dalam pengenalan budaya, khususnya seni tari
tradisi Jawa, ke mancanegara.
Dalam hal kesenian, Indrosoegondo juga mempunyai
jasa sebagai guru sejarah
kesenian. Ia mengajar
sejarah kesenian di Sekolah
Seni Drama dan Film
pimpinan Sri Moertono,
pada tahun 1950, sampai
akhirnya tahun 1952
menerbitkan bukunya
berjudul Sejarah Kesenian
Indonesia.
Selama menjabat
menjadi Direktur Jenderal
Kebudayaan, Kementerian
Pengajaran RI, pada
periode Juli 1966 sampai dengan 1 Juni 1968, Indroseogondo
telah melakukan berbagai lompatan untuk memajukan
kebudayaan Indonesia. Sebelum menjabat sebagai direktur
jenderal kebudayaan, beberapa sumber menyebutkan bahwa
ia memulainya dengan bekerja di “Bahagian Kebudayaan”
Kementerian Pengajaran RI (1945-1948), kemudian di Bagian

116
“D”, bagian yang mengurus kebudayaan (1949-1964), dan
Direktorat Kebudayaan (1964-1966).
Meskipun sebagai pegawai Kementerian PP & K,
tetapi Indrosoegondo banyak menghabiskan waktu tugas di
luar negeri sebagai atase kebudayaan di mana ia ikut terlibat
mempromosikan dan mengenalkan kebudayaan Indonesia
ke luar negeri. Sebelum menjadi Atase Kebudayaan pada
KBRI di Amerika Serikat, Indrosoegono juga pernah
menjabat sebagai Atase Kebudayaan pada KBRI di Republik
Rakyat Tiongkok (RRT).
Indrosoegondo punya tugas cukup berat untuk
meletakkan dasar-dasar kebudayaan di Tanah Air. Untuk
mewujudkan program yang sejalan dengan kebijakan
pemerintah dengan tujuan membuat tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang didasarkan
pada kebudayaan, beberapa langkah yang dilakukan
oleh Indrosoegondo, antara lain: menata kelembagaan
kebudayaan di pemerintah maupun di masyarakat; menata
ketenagaan; serta menata konsep, kebijakan dan strategi
pemajuan kebudayaan. Hal ini dijalankan Indrosoegondo
dengan menata kelembagaan kebudayaan yang tersusun
dalam satuan kerja “direktorat”, yang terdiri atas: (1)
Direktorat Kesenian; (2) Direktorat Pendidikan Kesenian; (3)
Direktorat Museum; (4) Direktorat Bahasa dan Kesusastraan.
Sementara untuk mengurus administrasi direktorat jenderal
dibentuk Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Pekerjaan Indrosoegondo tidak terhenti di
pembentukan lembaga saja. Bahkan untuk urusan penataan
SDM kebudayaan ia juga punya tugas berat, yakni bagaimana
menertibkan masalah kepegawaian di mana pada masa itu
indikasi keterlibatan pegawai dalam peristiwa Gerakan 30
September tidaklah sedikit. Indrosoegondo menertibkan
berbagai pusat kegiatan kesenian dengan mengadakan

117
pembinaan, pengawasan dan pengendalian langsung
terhadap pelaksanaan kegiatan kesenian yang ada di pusat
maupun di daerah. Indrosoegondo ingin mengembalikan
kebudayaan pada ranah tradisi yang selama ini sudah
tercampur dengan ideologi politik dan sebagai media
penyalur politik.
Sebagai seorang budayawan dan birokrat,
Indrosoegondo memiliki kebijakan untuk pengembangan
dan kemajuan kebudayaan dengan menyelenggarakan
musyawarah kesenian, simposium kebudayaan nasional,
serta simposium bahasa dan kesusasteraan Indonesia.
Salah satu tujuan diselenggarakannya musyawarah, seperti
musyawarah kesenian nasional, adalah guna menjaring
dan mengumpulkan pemikiran-pemikiran para tokoh dan
budayawan untuk menjadikan semboyan “Kebudayaan yang
Berkepribadian” menjadi garis haluan dalam memajukan
kebudayaan Indonesia.
Selain berperan besar dalam pembangunan kesenian
yang bersifat kelembagaan dan kesenian, Indrosoegondo
juga punya andil besar dalam pemugaran Candi Borobudur.
Pada tahun 1967, Presiden RI mengirim surat ke UNESCO
untuk meminta bantuan dalam pemugaran Borobudur.
Indrosoeondo sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan
Kementerian PP & K membentuk Badan Pemugaran Candi
Borobudur. Kerja besar pemugaran Candi Borobudur yang
melibatkan UNESCO akhirnya terwujud beberapa tahun
kemudian, yakni secara resmi dimulai pada 10 Agustus 1973
dan berakhir pada 23 Februari 1983.
Melihat berbagai jasa dan peran Indrosoegondo
dalam bidang kebudayaan, dapat dikatakan bahwa ia
menjadi peletak dasar institusi kebudayaan dengan
membentuk lembaga kebudayaan hingga penataan sumber

118
daya manusianya. Hal ini tak lain karena Indrosoegondo
berharap kebudayaan dapat menjadi jatidiri bangsa yang
berkepribadian, mandiri, unggul serta dapat menjadi alat
pemersatu bangsa. ***

BIODATA

Nama : Raden Mas (RM) Indrosoegondo


Tempat, Tgl Lahir
: Yogyakarta, diperkirakan Januari 1907
Wafat : 7 November 1976 (69 tahun)
Pendidikan : -
Penghargaan :
1. 2019 - Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan
2.1993 - Penghargaan Anugerah Budaya, sebagai Pembina
Seni dari Pemerintah Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta pada
Karya : Sejarah Kesenian Indonesia (1952)

119
KOMUNITAS

120
Keluarga Kerukunan Tabot
Melawan
Tuduhan Syirik yang
Menghantui
Prosesi Budaya Tabot

Meskipun budaya tabot sudah terbukti memiliki


pesona luar biasa, mampu menyedot perhatian
ratusan ribu orang, tetapi tidak banyak orang
yang mengetahui apa yang sesungguhnya
“tersirat” dalam setiap tahap prosesi tabot.
Penyebabnya, hampir tidak pernah ada catatan
tentang tradisi perayaam tabot.

P ara pendahulu hanya berkisah lisan tentang tabot


sebagai rangkaian upacara tradisional masyarakat
Bengkulu untuk mengenang kisah kepahlawanan dan
kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali
bin Abi Thalib, dalam peperangan dengan pasukan
Ubaidillah bin Zaid di Padang Karbala, Irak, pada 10
Muharam 61 Hijriah. Keluarga Kerukunan Tabot (KKT)
hadir sebagai penyelamat ingatan-ingatan yang sejak
lama tersimpan dalam riwayat turun-temurun tentang
tradisi perayaan tersebut.
KKT merupakan organisasi kemasyarakat
(ormas) yang bergerak di bidang kebudayaan dan
tradisi. Mereka hadir dan berperan dalam memelihara
dan mengembangkan tradisi seni dalam upacara ritual
tabot bencoolen (baca: Bengkulu). KKT bertujuan untuk
menghimpun masyarakat seni budaya tabot, menjaga

121
nilai-nilai, melestarikan, memelihara, mengembangkan dan
memanfaatkan budaya tabot bencoolen sebagai budaya
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Melayu-
Bengkulu sejak ratusan tahun lalu. KKT juga berperan dalam
melestarikan dan memelihara norma moral, etika dan nilai-
nilai tabot sebagai budaya bangsa, khususnya budaya yang
hidup dalam masyarakat Provinsi Bengkulu.
Atas perannya itu, pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan memberi Anugerah Kebudayaan
kategori Komunitas untuk Keluarga Kerukunan Tabot (KKT).
“Kami berharap nilai-nilai dari tradisi tabot ini disosialisasikan,
jangan hanya gebyar-gebyarnya saja,” ujar Achmad Syiafril
selaku ketua KKT. Menurutnya, pemerintah harus ambil
andil dalam sosialisasi nilai tabot ke sekolah-sekolah melalui
seminar. Selama ini perayaan tabot hanya dimanfaatkan
untuk menarik wisatawan, tanpa adanya pewarisan nilai-nilai
yang terkandung dalam ritual tabot.
“Tabot yang menjadi bukti nyata terjadinya asimilasi
dan akulturasi budaya seringkali mengalami keteganggan
dalam prosesnya,” terang Achmad Syiafril.

122
Tuduhan syirik dan prasangka memanggil jin, setan,
atau iblis yang dialamatkan kepada pewaris budaya tabot
bencoolen hingga kini belum juga reda. Tuduhan itu sebagai
akibat ketidakpahaman tentang tradisi ritual budaya tabot, di
mana yang dilihat hanya kulit-kulitnya. Mereka tidak pernah
mencermati ritual itu secara saksama, misalnya apa dan
bagaimana sesungguhnya yang mestinya dimaknai di balik
keberadaan tabot. Selain itu, pihak-pihak yang berprasangka
negatif itu umumnya hanya bertolak dari pemikiran antipati,
provokatif, dan fanatik keagamaan secara sempit dalam
melihat tradisi perayaan tabot. Akibatnya terjadilah benturan
sesama satu umat dan tarik-menarik antara berbagai pihak.
Guna menjawab tuduhan syirik tentang tabot, KKT
meluncurkan semacam buku putih, Tabot Bencoolen, yang
mengulas makna, asal usul dan ritual tabot yang digelar
masyarakat guna mengenang mati syahidnya Husein—cucu
Nabi Muhammad SAW—di Padang Kerbala, 10 Muharram 61
Hijriyah. “Buku tersebut juga untuk meluruskan pemahaman
masyarakat umum tentang tradisi tabot di daerah ini,” tutur
Achmad Syiafril.
Tradisi tabot merupakan warisan budaya yang sangat
bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Ia dilindungi oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, yang diperbaharui
menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang
Cagar Budaya, Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007
Tentang Pengesahan Konvensi untuk Perlindungan Warisan
Budaya Tak Benda, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
52 Tahun 2007 Tentang Pelestarian dan Pengembangan Adat
Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat, dan pada 12
Desember 2013 “Upacara Tabot” ditetapkan sebagai Warisan
Budaya Tak Benda Indonesia.
Tradisi budaya tabot masuk ke kota Bengkulu seiring
dengan penyiaran Islam yang menggunakan perayaan tabot

123
sebagai media penarik penyiaran
Islam. Sebelum terjadinya
peristiwa di Padang Karbala,
sebagaimana tertuang dalam
catatan sejarah, syi’ar Islam
ke Pulau Sumatera sudah
berlangsung sejak tahun
48 Hijriah (670 Masehi).
Prosesnya berlangsung secara
terus menerus, secara bertahap
dibawa oleh orang-orang Arab ke
Nusantara. Hanya saja, orang-orang
Arab ini umumnya bermukim terlebih dulu
di Persia (Iran) Sind atau Punjab Pakistan (Punjab sebagai
wilayah paling banyak disinggahi dan tempat hijrah orang
Arab) atau Dacca Benggala, Bengali Bangladesh (orang dari
Dacca tidak ke wilayah Nusantara).
Achmad Syiafril berpesan agar upacara tabot
yang sudah berlangsung setiap tahun dapat berlangsung
terus-menerus dan sesuai dengan ritual aslinya. Dalam
pelaksanaannya, ritual tabot dikelompokkan menjadi 13
macam kegiatan yang berlangsung mulai dari dua hari
terakhir bulan Dzulhijah sampai pada puncak klimaks-nya di
tanggal 10 Muharram, sebelum berakhir pada 13 Muharam.
Adapun 13 macam kegiatan dimaksud, seusuai
urutan pelaksanaannya, adalah sebagai berikut. Pertama,
doa mohon izin kepada Allah SWT di Mushala Karbela pada
28 atau 29 Dzulhijjah: salat magrib, yassinan, tahlil, dan doa
mohon izin untuk memulai ritual tabott, ditutup dengan
salat isya (juga di Musala Karbela di kompleks mashad Imam
Senggilo).
Kedua, doa mohon keselamatan kepada Allah pada
29 atau 30 Dzulhijjah. Maksudnya adalah memohon kepada

124
Allah SWT agar terhindar dari bencana atau malapetaka,
baik dari gunung maupun dari laut. Bersamaan dengan itu
dilangsungkan ritual “ambik tanah” (mengingat umat akan
mati, mengenang asal mula kejadian manusia dari tanah
kembali ke tanah dan mengenang detik-detik Amir-Hussein
menuju Karbala.
Ketiga, “duduk penja” sebagai simbol menegakkan
pilar Islam (salah lima waktu), penghormatan kepada Amir-
Hussein, mengajak umat untuk selalu menyucikan diri, dan
berdoa memohon hanya kepada Allah semata.
Keempat, “malam menjara”, yakni perjalanan
panjang malam hari mengenang detik-detik menuju Musala
Karbela (sebagai representasi Padag Karbala). Ritual ini
dilaksanakan pada malam ke-6 dan malam ke-7 Muhharam.
Ritual ini sekarang menjadi ajang
silaturahmi antar-mereka. Pada
kesempatan ini diperdengarkan
tabuhan dol (alat perkusi
khas Bengkulu) dengan irama
lagu “malam menjara” serta
pemaknaan irama lagu tabugan
dol dimaksud.
Kelima, “meradhai’,
yakni pemberitahuan/
pengabaran atau sosialisasi
bahwa Amir-Hussein mati syahid
& panggilan partisipasi untuk
gotong royong.
Keenam, “arak penja/
arak jejari”. Ritual ini simbol
dari menjunjung pilar Islam (salat lima waktu). Sebagai
simbol tauhid lima huruf sang pencipta, simbol salat lima
waktu, maka sudah sepatutnya semua itu dijunjung tinggi

125
melalui suatu prosesi budaya keindahan yang disebut “arak
penja”, yang lebih dikenal dengan sebutan arak jari-jari atau
arak jejari.
Ketujuh, “arak seroban” sebagai simbol menjujung
kemuliaan Imam yang dipresentasikan dengan kemuliaan,
kesucian, dam kebesaran Amir-Hussein. Seroban adalah
aksesoris yang dipakai sebagai ikat penutup kepala,
sebagai mahkota kehormatan kebesaran Amir-Husein, yang
diriwayatkan disita atau dirampas tak menentu beserta
barang-barang pakaian lainnya.
Kedelapan, “hari gham”. Inilah hari bersedih,
berbelasungkawa paling dalam, merenung detik-detik
kejadian menjelang 10 Muharram 61 Hijriyah. Di sinilah ruang
untuk merenung, sebuah periode paling krusial bagi umat
setelah Amir-Hussein syahid pada tanggal 9 Muharam.
Kesembilan, “tabot naik puncak”, yakni menaikkan
simbol kejayaan yang gemilang. Naik puncak adalah ritual
menyambungkan bagian atas (bagian puncak dan bawah
tabot dengan cara menaikkan bagian puncak tabot, baik
tunggal maupun banyak, yang di atasnya terdapat serangkai
bola dunia ke buah ‘kutun’ dan bulan bintang atau khusus
Tabot Imam sampai dengan payung kehormatan) pada
posisi di atas puncak tebing tabot bagian bawah.
Kesepuluh, “gendang dan tabut besanding”. Rituasl
ini dilaksanakan pada malam 10 Muharram, dimkasudkan
sebagai simbol mengenang kejayaan Islam yang dimulai
pada abad VII dan mencapai puncaknya pada abad XIII. Arak
gedang adalah sebagai sebutan mengarak tabot dari gerga
masing-masing tabot menuju tanah lapang, yang dalam hal ini
adalah Lapangan Merdeka “Bencoolen View Tower” sebagai
arena malam puncak ritual tradisi budaya tabot pada malam
10 Muharram. Ritual ini sekaligus sebagai acara penutupan

126
Festival Tabot oleh gubernur Bengkulu, difasilitasi oleh
satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait.
Kesebelas, “soja”, yakni tradisi menghormati yang
tua atau yang dituakan dan menghormati imam/pemimpin
pada hari 10 Muhharam.
Keduabelas, ritual “tabot tebuang”, yakni semacam
ziarah atau ekspedisi belasungkawa, sekaligus untuk
mengubur kebiadaban, keburukan dan kesombongan.
Dalam ritual ini dilakukan arak-arakan (prosesi) “tabot
tebuang” hingga sepanjang empat kilometer, dari Gedung
Daerah (kediaman gubernur
Bengkulu) sampai ke Karbela
Bencoolen. Biasanya, arak-arakan ini
dilepas oleh gubernur dari halaman
beranda Gedung Daerah pada pukul
14.15 tanggal 10 Muharram.
Ketigabelas, “menyucikan
penja”, yakni simbol penyucian diri
dan menjauhkan diri dari syetan,
manusia setan dan iblis. Ritual
“menyucikan penja” sekaligus
merupakan kegiatan penutup dari
rangkaian ritual tabot Bengkulu. ***

PROFIL

Nama : Perkumpulan Keluarga Kerukunan Tabot


Bencoolen
- Terdaftar secara resmi di Kemenhukam 11 Januari Tahun
2016 yang diperbaharui pada tahun 2018
- Alamat : Kelurahan Pasae Melintang, Bengkulu

127
Komunitas Salihara
Seni Bentuk Baru
yang Merawat
Kebebasan Berpikir

Komunitas Salihara merupakan pusat


kebudayaan alternatif yang bertujuan
memelihara kebebasan berpikir dan berekspresi,
menghormati perbedaan dan keragaman.
Komunitas ini menumbuhkan dan menyebarkan
kekayaan artistik dan intelektual melalui
kegiatan kesenian-kesenian baru yang
kreatif terhadap berbagai warisan kesenian
Indonesia dan dunia.

B erlokasi di Jakarta Selatan, kompleks


Komunitas Salihara menyediakan Teater
Salihara, Galeri Salihara, Anjung Salihara dan
ruang perkantoran. Komunias Salihara meraih
“The Best Art Space” (2010) dari majalah Time Out
Jakarta dan sebagai satu dari “10 Tempat Terunik
di Jakarta” (2010) versi Metro TV. Arsitektur
Komunitas Salihara juga dinobatkan sebagai
“karya arsitektur yang menerapkan aspek ramah
lingkungan” oleh Green Design Award 2009.
Pada tahun 2019, Salihara menerima Anugerah
Kebudayaan kategori Komunitas dari Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan.

128
Komunitas Salihara bediri sejak 2008, ditumbuhkan
oleh penulis, seniman dan aktivis yang sering berkumpul
di Utan Kayu sejak tahun 1990-an. Dalam perjalannya,
komunitas Utan Kayu ini memikirkan sebuah art center
yang lebih memadai untuk mewujudkan gagasan dan karya
mereka. Sebuah art center yang dapat menjadi media bagi
lahir dan pertunjukan seni baru atau kontemporer yang
merawat kebebasan berpikir publik. Tahun 2008, mereka
menemukan area di Jalan Salihara, Jakarta Selatan. Art
center ini kemudian mereka namakan Komunitas Salihara.
Menurut Satrio Pinandhita, Manager Komunikasi
Komunitas Salihara, sebagai art center, komunitas ini
membangun tujuan bersama untuk merawat kebebasan
berpikir masyarakat. Yang cara pencapaiannya melalui
sastra dan kesenian. Sebab, komunitas ini meyakini, melalui
kesenian masyarakat dapat lebih berempati kepada sesama,
menghormati opini orang lain dan perbedaan yang ada di
masyarakat. Komunitas ini didukung oleh dewan kurator
Asiqin Hasan untuk seni rupa, Ayu Utami dan Hasif Amin
untuk sastra, Tony Prabowo untuk tari dan musik, Nirwan
Dewanto sebagai direktur program dan tokoh, Ening
Nurjanah sebagai manager program, Zen Hae sebagai
manajer penerbitan, dan tokoh Goenawan Mohamad.
Mereka menyajikan berbagai kegiatan seni dan gagasan
yang multi-disiplin dengan lingkup pemutaran film, pameran
seni rupa, pertunjukan teater, tari, seni rupa, kelas menulis,
dan program gagasan mencakup ceramah budaya dan kelas

129
filsafat yang membahas pemikiran baru. Kegiatan-kegiatan
tersebut dapat berupa kegiatan yang lingkupnya kecil
maupun kegiatan festival yang menyajikan karya kelas dunia
dan melibatkan seniman mancanegara.
Seperti LIFEs (Literature & Ideas Festival), yang pada
tahun 2019 mengangkat topik “Kisahku Sejarah Bersama”
(My Story Shared Story). LIFEs ini memandang sejarah sebagai
cerita dan sastra memberi ruang luas pada keragaman cerita.
Tujuannya mengajak penulis dan pembaca untuk merayakan
keragaman cerita individu dalam rangka mengisi ruang-ruang
kosong dalam sejarah besar bangsa dan antarbangsa. Ini
adalah langkah awal untuk memulai penulisan sejarah yang
lebih inklusif. Pada perlehatan sastra ini, Komunitas Salihara
mengundang para penulis Indo Belanda, para penulis yang
berakar Indonesia dan hidup di Belanda.
Di bidang seni pertunjukan, Komunitas Salihara
menyelenggarakan Salihara International Performing-
arts Festival (SIPFest). Pada festival tahun 2018 mereka
menghadirkan seniman dan kelompok seni tari, teater,
musik dengan reputasi tinggi. Sebutlah seperti Lucy Guerin
Inc, Quatuor Bozzini (bersama empat komponis Indonesia:
Marisa Sharon Hartanto, M. Arham Aryadi, Stevie Jonathan
Sutanto dan Matius Shan Boone), Ju Percussion Group,
Quasar Quatuor de Saxophones, Toccata Studio, Five Arts
Centre, Compagnie X-Press, Ayelen Parolin, naskah Nassim
Soleimanpour (bersama Reza Rahadian dan Sita Nursanti).
Secara khusus Komunitas Salihara juga memproduksi
karya tari kontemporer berdasarkan khazanah lengger

130
Banyumasan bersama koreografer Otniel Tasman dan
sebuah karya teater Monolog Sutan Sjahrir bersama
sutradara Rukman Rosadi, aktor Rendra Bagus Pamungkas
dan penulis naskah Ahda Imran. Juga ceramah pertunjukan,
bersama Ananda Sukarlan (musik), Didik Nini Thowok (tari)
dan Jim Adhi Limas (teater). D isamping show case, forum
juga diperuntukkan bagi karya-karya para seniman tari
dan teater yang sedang tumbuh. Mengusung tema Di seni
senang (Happy go artsy), SIPFest tahun 2018 mengajak publik
untuk merayakan seni yang menyenangkan dan mengajak
kita menyelami kehidupan lebih dalam.
Kegiatan dan pertunjukan lainnya berupa Forum
Seniman Perempuan Salihara, menyertai Hari Perempuan
Sedunia pada 8 Maret dan Hari Kartini pada 21 April,
Helateater Salihara/Salihara Theaterfest, Salihara Jazz Buzz,
Helatari Salihara/Salihara Dancefest, Diskusi Bulanan Salihara
dan Seri Kuliah Umum Salihara dan World Music Forum,
yang diadakan sejak tahun 2015. Untuk menyelenggarakan
kegiatan tersebut Komunitas Salihara bekerja sama dengan
banyak seniman dan lembaga, antara lain pemerintah DKI
dan pusat-pusat kebudayaan asing.
Tantangan yang masih mereka hadapi, menurut
Satrio, minat masyarakat yang belum memadai terhadap
kesenian. Walaupun berbagai pertunjukan kesenian semakin
tumbuh, baik yang diselenggarakan Komunitas Salihara
maupun komunitas seni yang lain, akana tetapi “Orang
belum merasa seni sebagai sesuatu yang krusial dalam
kehidupan sehari-harii. Karena itu, Komunitas Salihara akan

131
lebih fokus pada program pendidikan sebagai jembatan
agar masyarakat lebih dapat mengapresiasi seni. Melalui
pelibatan masyarakat dalam kesenian itu, kami berharap
masyarakat dapat berempati, menghargai pendapat dan
perbedaan lainnya,” tutur Satrio.
Ia juga berharap negara tetap dan meningkatkan
dukungan pada institusi seni. Institusi seni layak didukung
negara karena membantu negara menghadirkan pendidikan
yang berguna bagi masyarakat. Kepada generasi muda,
Satrio juga mengajak untuk berkarya atau mengapresiasi
karya seni. Sebab, melalui karya seni generasi muda akan
lebih mudah untuk berempati pada sesama dan menghargai
keragaman di masyarakat.
Menanggapi anugerah yang diterima dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Satrio
menyampaikan, “Kami sangat senang. Sebagai lembaga yang
mengadakan acara sastra dan kesenian, kami termotivasi
untuk konsisten dan merawat keberadaan kami di tengah
masyarakat Indonesia.” ***

132
BIODATA

Pediri : Sejumlah sastrawan, seniman, jurnalis, dan


peminat seni
Berdiri : 8 Agustus 2008
Alamat : Jalan Salihara 16, PasarMinggu, Jakarta Selatan 12520,
http://salihara.org
Kontribusi kegiatan :
- Lebih dari 100 mata acara pentas tari dan teater, konser musik,
pembacaan dan diskusi sastra, pameran seni rupa, pemutaran
film, dan workshop tari, sastra dan musik
- Salihara International Performing Arts Festival (SIPFEST), dua
tahun sekali sejak 2008
- Bienal Sastra Internasional, setiap dua tahun sekali sejak 2001
- Forum Seniman Perempuan Salihara, menyertai Hari
Perempuan Sedunia pada 8 Maret dan Hari Kartini pada 21 April
- Helateater Salihara/Salihara Theaterfest
- Salihara Jazz Buzz
- Helatari Salihara/Salihara Dancefest
- Diskusi Bulanan Salihara dan Seri Kuliah Umum Salihara
- World Music Forum, yang diadakan sejak tahun 2015
Penghargaan :
- Anugerah Kebudayaan kategori Komunitas dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (2019)
- The Best Art Space dari majalah Time Out Jakarta (2010)
- 10 TempatTerunik di Jakarta dari Metro TV (2010)
- Karya Arsitektur yang Menerapkan Aspek Ramah Lingkungan
dari Green Design Award (2009)

133
Kasepuhan Ciptagelar
Setia Mempertahankan
Budaya Tanam Padi

Setelah melewati beberapa bukit, menuruni


beberapa lembah, akhirnya perjalanan itu sampai
juga di Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar.
Kampung adat ini berada di “jantung” Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak dan kawasan
hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani.

M Emang, untuk bisa sampai ke sana pengunjung


harus melewati jalan yang berbukit-bukit
dengan kondisi jalan berbatu. Ada bagian jalan yang
telah diaspal, tentu tidak selicin jalan ber-hotmix,
dan ada bagian jalan yang telah dibeton. Lebar jalan
pas untuk satu mobil. Mobil harus kuat agar bisa
mendaki sampai ke Ciptagelar. Sekadar gambaran,
jarak Jakarta–Ciptagelar sekitar 170 km (berdasarkan
Google Maps), Sukabumi-Ciptagelar 105 km, dan
Bandung-Ciptagelar 200 km.
Akan tetapi jarak yang relatif jauh itu akan
terbayar dengan suasana kampung yang terasa damai,
di mana kehidupan di sini tidak terasa tergesa-gesa
seperti di Jakarta. Panoramanya sawah dan ladang
yang seolah “bertengger” di lereng-lereng bukit terasa
indah. Lalu, bangunan-bangunan rumah yang khas

134
menyuguguhkan pemandangan arsitektur tradisional yang
menawan. Di pinggir kampung berdiri berderet lumbung-
lumbung padi.
Kampung ini berada di ketinggian sekitar 1.200
meter di atas permukaan laut. Sudah pasti udaranya sejuk
dan bersih, jauh dari polusi. Suhunya berkisar antara 21-28
derajat Celsius. Pada musim kemarau seperti sekarang,
suhunya akan bertambah dingin pada malam hari. Ya,
Citpagelar adalah Pusat Kasepuhan Adat Ciptagelar,
terletak di Kampung Sukamulya, Desa Sinar Resmi,
Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat.
Abah Ugi Sugriwa
Raka Siwi (34 tahun) yang
menjadi pemimpin Kasepuhan
Ciptagelar menuturkan bahwa
Kasepuhan Ciptagelar berdiri
tahun 1368. Kasepuhan ini berasal
dari Kerajaan Pajajaran-Bogor yang
diyakini oleh masyarakat adat ini
berada di seputar Batu Tulis, Bogor,
sekarang. Ketika Kerajaan Pajajaran
ditaklukkan oleh Sultan Maulana Yusuf
dari Banten, sebagian dari keturunan dari
kerajaan ini memilih mengungsi ke Lebak Binong, Kabupaten
Lebak, Provinsi Banten. Selama periode yang panjang itu
komunitas Kasepuhan Ciptagelar ini beberapa kali berpindah
tempat.
Dari tahun 1957 sampai sekarang pusat komunitas
ini mengalami beberapa kali pindah. Pada tahun 1957,
Pusat Kasepuhan berada di Kampung Cikaret, Sirnaresmi,
Sukabumi. Lalu pada tahun 1972, pusatnya pindah ke
Kampung Ciganas, Sirnarasa, Sukabumi. Sepuluh tahun

135
kemudian, tepatnya tahun 1982 pusatnya kembali pindah ke
Kampung Lebak Gadok, Linggarjati.
“Tahun 1985, almarhum ayah Abah, Abah Encup
Sucipta (Abah Anom) pindah ke Ciptarasa. Kemudian tahun
2001 ayah Abah mendapat wangsit pindah ke Ciptagelar. Di
Kampung Ciptagelar pada awalnya hanya ada tujuh rumah,
namanya Cikaranjang. Dan, pada saat perpindahan tahun
2001, pindah ke kampung ini, almarhum ayah Aba selaku
pemimpin mengubah Cikaranjang menjadi Ciptagelar,” jelas
Abah Ugi. Nama Ciptagelar diambil dari nama Abah Anom
“cipta” dan “gelar”. Artinya, kata Abah Ugi, saatnya pusat
kasepuhan ini terbuka untuk masyarakat luas.
Abah Ugi memegang tampuk kepemimpinan di
kasepuhan setelah ayahnya, Abah Anom, meninggal dunia.
Ia mulai memimpin saat masih berusia 23 tahun, yaitu tahun
2008. Wilayah Kasepuhan Ciptagelar saat ini tersebar di tiga
kabupaten dan dua provinsi, yakni Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat) serta Kabupaten Lebak
(Banten).
Salah satu titipan leluhur yang wajib dijalankan
oleh warga Kasepuhan Ciptagelar, menurut dia, adalah
mempertahankan budaya menanam padi. Ada 168
varietas padi yang ditanam secara turun-temurun. Pola
penanamannya pun harus tetap secara tradisional. Ada dua
pola penanaman, yaitu di huma (ladang) dan sawah. “Untuk
bersawah kita baru kenal kira-kira 300 tahun lalu. Aslinya
kita menanam padi di ladang,” jelasnya.

136
Dalam menanam padi itu warga Kasepuhan
Ciptagelar tidak boleh menggunakan pupuk kimia, alat
teknologi modern seperti traktor, dan hanya boleh menanam
padi satu kali saja dalam setahun. Hasil panen juga tidak
boleh dijual demi ketahanan pangan. Hasilnya disimpan
di lumbung untuk stok pangan warga kasepuhan yang
tersebar di 368 kampung di tiga kabupaten dan dua provinsi
itu. Jumlah lumbung padi di kasepuhan itu sekitar 8.000.
Itu merupakan stok bagi sekitar 30.000 warganya. Intinya,
warga di kasepuhan ini tidak pernah resah akan kelaparan
berkat adanya stok beras mereka.
Berkaitan dengan budaya menanam padi itu, ada
serangkaian ritual yang harus diselenggarakan, yakni
upacara “ngaseuk”, yaitu menanam padi di ladang, lalu diikuti
menanam padi di sawah; upacara “mipit”, yaitu menuai padi
di ladang, lalu di sawah; upacara “nganyaran”, yaitu menanak
atau memasak nasi hasil panen; upacara “ponggokan”, yaitu
perwujudan permintaan maaf kepada Ibu Bumi yang telah
diolah untuk keperluan pertanian; dan puncaknya adalah
upacara “Seren Taun”, yaitu bentuk syukur kepada Sang
Pencipta bahwa panen telah berhasil dengan memuaskan.
Pada 6-8 September 2019, komunitas Kasepuhan Ciptagelar
menyelenggarakan upacara “Seren Taun” ke-651.
Kearifan lokal tersebut, kata Abah Ugi, adalah
amanah dari leluhur yang diajarkan secara turun-temurun,
dari orangtua kepada anak yang juga akan menjaga wasiat
dari orangtuanya. “Kalau kita tidak melaksanakannya, kita
akan mendapat hukuman adat. Ibaratnya kalau kita tidak
patuh pada orangtua, kita akan kualat. Itu juga salah satu
cara menjaga kearifan lokal di tempat Abah. Menanak nasi
pun tidak boleh pakai rice cooker,” jelasnya.
Kalau ada yang tidak melakukan amanat yang
diwariskan leluhur, menurut dia, secara tidak langsung akan

137
dikeluarkan dari aturan adat keluarga besar Kasepuhan
Ciptagelar. Abah Ugi membagi dua jenis masyarakatnya,
yaitu “warga dalam” dan “warga luar”. “Warga dalam”
tetap masih menanam padi secara tradisional, sedangkan
“warga luar” ada yang menanam dan ada yang tidak.
Meskipun berada di “jantung” Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak dan pedalaman hutan Perum
Perhutani, tidaklah berarti Kampung Gede Ciptagelar jauh
dari teknologi modern. Masyarakat adat di sini justru memiliki
stasiun radio sendiri. Saat masih sekolah di Sukabumi, Abah
Ugi yang bercanda mengaku memiliki gelar “S3”, yaitu
tamat SD, SMP, dan SMA, meminta izin kepada ayahnya agar
dibolehkan membuat radio komunitas. Ia akhirnya mendapat
izin untuk itu. Lalu, tahun 2004, radio komunitas FM dibuat
dan masih memancar sampai sekarang.
Pada tahun 2009 Abah Ugi malah mendirikan saluran
TV komunitas, yakni CigaTV. Alasannya, masyarakat kasepuhan
selama lima tahun hanya mendengar audio, sementara
kasepuhan sebenarnya banyak memiliki dokumentasi video
yang tersimpan begitu saja. Aba Ugi merasa sayang kalau
dokumentasi video tersebut tidak digunakan.
Kemudian muncul pemikiran untuk memanfaatkan
dokumentasi tersebut untuk televisi komunitas. Kontennya,
60 persen untuk lokal, sisanya dari luar. Kanal TV ini juga
banyak menampilkan kearfian lokal budaya Nusantara. “Ini
dibuat untuk menyeimbangkan saluran televisi lain yang
masuk ke seni. Stasiun TV nasional jarang memperlihatkan
kearfian lokal. Kita kasih TV muatan lokal. Warga senang,”
tuturnnya.
Masyarakat di Kampung Gede Ciptagelar tidak hanya
dapat menikmati siaran radio dan televisi, tetapi juga bisa
menggunakan alat komunikasi seperti gawai. Bahkan bagi
masyarakat telah disediakan akses Wifi secara bebas. Aba
Ugi punya alasan untuk membolehkan warganya bebas
menggunakan ponsel, khususnya generasi mudanya.

138
Yang penting, katanya, bagaimana generasi muda atau
masyarakat umumnya bisa menggunakan alat komunikasi
itu dengan bijak dan ia tak bosan memberi literasi untuk itu.
Itu lebih baik, katanya, daripada mereka menggunakannya
secara diam-diam di belakang punggung tanpa bimbingan
orangtua.
Masyarakat di sana juga menggunakan teknologi
terbarukan. Untuk penerangan, misalnya, mereka
menggunakan pembangkit listrik turbin dan solar. Sosok
Abah Ugi yang akrab dengan teknologi berhasil membawa
masuk listrik lewat kepiawaiannya merakit alih teknologi.
Abah berhasil membawa kampung adat dapat menikmati
modernisasi. Meski berada di tengah-tengah pegunungan,
warga Ciptagelar tidak pernah kehilangan informasi. Mereka
juga tetap terbuka dengan perkembangan teknologi
meskipun tetap selektif dalam menyerap teknologi baru
dalam kehidupan mereka.
Tapi, untuk tradisi budaya menanam padi, Abah Ugi
tetap menjaganya dengan ketat. “Kalau Abah di sini cukup
menjaga amanah mengenai tradisi budaya menanam padi. Itu
sama sekali tidak ada ‘koma’, tetapi ‘titik’ hukumnya ketika
kita berhubungan dengan padi. Itu tetap seperti itu. Dan, hal
yang berhubungan dengan padi hukumnya juga ‘titik’. Tidak
boleh berubah,” ujarnya dengan tegas. Itu adalah amanah
dari para leluhur yang harus dijaga kelestariannya.
Tatkala mendengar kabar Kasepuhan Ciptagelar
mendapat Anugerah Kebudayaan dari Pemerintah Republik
Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Abah Ugi merngungkapkan rasa syukurnya. Abah berharap
adanya pengakuan dari pemerintah secara tertulis
terhadap Kasepuhan Ciptagelar yang dipimpinnya. “Kalau
ada suratnya, seperti apa. Kita belum tahu. Mungkin ada di
pemerintah. Kita ingin tahu seperti apa pengakuan itu. Kalau
diakui kita lebih bangga lagi ke depannya,” harap Abah
Ugi.***

139
Profil Kasepuhan Ciptagelar

Pemimpin: Abah Ugi Sugriwa Raka Siwi


Generasi: Ke-10
Berdiri: Tahun 1368
Pusat Komunitas:
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar (sejak 2001),
Dusun Sukamulya, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi (Kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak)
Jumlah Warga: Sekitar 30.000 jiwa
Jumlah Kampung: 368
Wilayah Kasepuhan: Tersebar di tiga kabupaten dan
dua provinsi, yakni Kabupaten Bogor dan Kabupaten
Sukabumi (Jawa Barat) serta Kabupaten Lebak (Banten)
Penghargaan:
Anugerah Kebudayaan 2019 kategori Komunitas dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

140
Jember Fashion Carnaval
Mengangkat Busana
Nusantara ke Tingkat
Dunia

Tak ada yang menyangka mimpi Dynand Fariz


menggagas dan melahirkan Jember Fashion
Carnaval (JFC) bakal jadi hebat seperti sekarang.
Sampai tahun 2019, JFC masih menjadi karnaval
terbaik di Asia dan menempati peringkat ketiga
di dunia setelah Rio de Janeiro Carnaval di Brasil
dan Pasadena Flower Carnaval di Los Angeles,
Amerika Serikat.

D i Indonesia sendiri, JFC sudah tiga kali berturut-


turut masuk sebagai Top 10 dari Daftar 100 CoE
Kementerian Pariwisata. Mimpi Dynand agar kota
kelahirannya, Jember, bisa terkenal ke seluruh dunia
lewat JFC terwujud sudah. Semua itu didapatnya
dengan peluh dan pengorbanan yang tidak kecil.
Adapun yang membuat karnaval JFC ini
mendunia ialah tema busana yang tegas dirujuk dari
kenusantaraan dan dikombinasikan dengan hal-hal
yang sedang viral dan trending di dunia nyata maupun
dunia maya. Lebih uniknya lagi, semua busana yang
dibuat dalam bentuk kostum terbuat dari bahan-
bahan seadanya, yang menunjang nilai estetika dari
busana itu sendiri. JFC ini membawa karakter fashion

141
busana yang tegas, cerah, menarik, dan berumbai-rumbai
sesuai dengan kota tercintanya yaitu Kota Jember.
Budi Setiawan, yang sekarang menjadi Deputi Event
Director di Yayasan JFC, menuturkan bahwa tahun 2001
Dynand memulainya dengan kecil-kecilan bersama stafnya
di rumah modenya di Jember. Saat itu, setahun sekali ia
meminta komunitasnya untuk mengenakan baju sesuai
dengan tema yang ditentukannya. Baju-baju itu tidak perlu
baju baru, tetapi bisa modifiksi dari apa yang ada.
Kemudian, di tahun ketiga, timbul pemikiran gaimana
agar mereka tidak hanya menampilkan fashion yang mereka
pakai di rumah mode saja, tetapi di jalan umum, bahkan di
alun-alun kota Jember. Semua sepakat. Dynand yang harus
bolak-balik Jakarta-Jember karena harus mengajar di Sekolah
Mode Esmond, mengajari sekitar 20 anggota komunitasnya
bagaimana cara berjalan. Dia berjalan di depan dan yang lain
mengikuti dari belakang.
Respons masyarakat ternyata bagus. Dynand
memutuskan untuk menggelar karnaval pada 2003,
meskipun tak semua anggota komunitasnya setuju. Ia jalan
terus. Pokoknya, mulai dulu. Prinsipnya, karnaval itu akan
sukses kalau dipersiapkan
dengan baik dan matang.
Maka, ia turun tangan
sendiri untuk mendidik
komunitas-komunitas yang
ingin ikut dalam karnaval.
Maka, lahirlah Jember
Fashion Carnaval yang
terus meroket dari tahun
ke tahun, meskipun cukup
banyak juga tantangan
yang harus dilalui.

142
JFC jadi besar dan tak hanya melahirkan banyak
komunitas yang mendukung karnaval, tetapi juga mulai
menggerakkan sektor kehidupan lain, seperti ekonomi,
wisata, kuliner, perhotelan, transportasi di kota Jember dan
sekitarnya. Bahkan banyak kota kabupaten dan pemerintah
kota di Indonesia mulai meniru dan belajar bagaimana
menggelar karnaval karena dianggap bisa menjadi pintu
untuk memajukan suatu daerah.
David K Susilo, yang kini menjadi Program &
Development Director di Yayasan JFC, baru saja melakukan
kajian dampak ekonomi dan sosial kemasyarakatan selama
JFC, khususnya untuk penyelenggaraan tahun 2018 dan 2019.
Even JFC yang merupakan parade karnaval yang menempuh
run way etape pertama sepanjang 1,8 km dan etape grand /
penutup menempuh jarak 3,6 km, telah membuka potensi
yang luar biasa sebagai even budaya kreatif tingkat nasional
dan internasional.
Menurut David, JFC bagi masyarakat Jember bukan
hanya soal sisi ekonomi saja. Akan tetapi pada sisi jendela
budaya dan dari sisi ekonomi, saat ini Jember memiliki
sekitar 700 pelaku karnaval yang sudah berkembang dan
tersebar merata di
setiap kecamatan
Kabupaten Jember,
“Setiap peserta
karnaval mampu
memproduksi berbagai
jenis kostum karnaval,
yang meliputi bahan
baju kostum, sepatu
karnaval, asesoris
karnaval, make up
karnaval, tukang las

143
dalam membuat konstruksi kostum karnaval, pengukir ukiran
karnaval yang menjadi ciri khas Jember Fashion Carnaval.
Selain itu, setiap pembuat kostum karnaval melibatkan
beberapa sektor keahlian/pekerja, toko kain, toko asesoris,
penjahit, pengrajin sepatu, tukang las, pengukiran cat, salon
make up,” kata David.
JFC telah meningkatkan jumlah wisatawan
Nusantara datang ke Jember. Tahun 2018 jumlahnya 100.000
orang, dan naik jadi 150.000 pada tahun 2019. Sementara
wisatawan mancanegara yang datang tahun 2018 berjumlah
325 orang, dan meningkat jadi 385 pada tahun 2019. Mereka
tinggal di Jember raya-rata tiga hari dua malam. Kebutuhan
akan kamar hotel juga meningkat drastis. Tahun 2018 jumlah
kamar yang dibutuhkan 1.900 kamar dan behasil menyerap
Rp 1,95 miliar, dan tahun 2019 jumlah kamar meningkat jadi
2.200 kamar dan menyerap Rp- 2,53 miliar. Usah kuliner juga
meningkat dari 67 lokasi tahun 2018 dengan omset Rp 601
juta, pada tahun 2019 jumlahnya menjadi 78 lokasi dan
menyerap Rp 793 juta. Secara keseluruhan, JFC tahun 2019
berhasil menyerap pendapatan Rp 7, 077 miliar hanya dalam
tempo empat hari karnaval berlangsung.
“Oleh karena itu, peserta karnaval ini bisa menjadi
salah satu lahan untuk menyerap tenaga kerja. Sementara
dari jendela budaya, upaya ini juga menjadi art fashion
yang menjadikan kebudayaan Indonesia sebagai sumber
inspirasi yang kaya akan makna,” kata David yang melakukan
pengkajian tentang dampak JFC.
Komunitas JFC terhenyak ketika pada 17 April 2019,
Dynand Fariz berpulang untuk selama-lamanya. Apakah
JFC bisa berlanjut terus? Itulah pertanyaan yang muncul
di masyarakat. Budi Setiawan yang biasa disapa Iwan
menjelaskan, almarhum Dynand Fariz bercita-cita JFC
menjadi satu perjalanan panjang. Proses regenerasi telah

144
disiapkan Dynand jauh-jauh hari sebelumnya.
“Ketika Mas Dynand berpulang, hampir semua
sahabatnya bertanya bagaimana kelanjutannya. Lalu, apa
yang mereka bisa bantu atau kolaborasikan. Termasuk
Bunda Anne Avantie. Kehadiran Bunda Avantie (desainer)
memberikan angin segar kepada generasi baru,” kata Iwan.
Iwan dan timnya kemudian membentuk Yayasan
JFC untuk meneruskan JFC. Yayasan JFC yang diketuai oleh
Suryanto berhasil menggelar JFC 2019, event pertama tanpa
Dynand Fariz. JFC dibuka oleh Bupati Jember Hj Fariza, MMR,
Anne Avantie, dan Iwan.
Dukungan dari kolega Dynand boleh dibilang luar
biasa. Desainer terkenal Anne Avantie menampilkan 20
model profesional yang mengenakan 25 karya terbaiknya,
yaitu busana kebaya yang dipadukan dengan batik dominan
warna emas dan hitam. Avantie mempersembahkan itu
untuk sahabatnya, pendiri dan Presiden JFC, Dynand Fariz.
Selain itu juga ikut ambil bagian artis Cinta Laura.
JFC ke-18 mengangkat tema “Tribal Grandeur”,
yang artinya keagungan suku-suku bangsa dengan
delapan defile yang ditampilkan, yakni suku bangsa Aztec
(Meksiko), Mongol (Mongolia), Zulu (Africa Selatan), Viking
(Norwegian), Karen (Thailand), Polynesia, dan Indonesia.
Selama ini JFC selalu hadir dengan tema-tema khusus.
JFC banyak menghadirkan kekayaan budaya
Nusantara dan kemudian mengemasnya dengan tampilan
modern. Karena itu, setiap tahun selalu hadir tema fashion
dari Indonesia. Kali ini diwakili oleh Minahasa (Sulawesi
Utara) dan Hudoq (Kalimantan Timur). David yang menangani
program JFC mengemukakan, “Budaya Nusantara yang
sudah mengakar tak perlu kita cabut, tetapi kita petik
buahnya. Itulah Jember Fashion Carnaval.”

145
Dalam melangkah ke depan, komunitas JFC lewat
Yayasan JFC telah merancang program jangka pendek,
menengah dan panjang. Program jangka pendek adalah,
pertama, melakukan kolaborasi dengan badan/lembaga/
perguruan tinggi untuk melakukan kajian ilmiah terhadap
dampak positif JFC. Kedua, melahirkan peraturan daerah
(perda), yaitu menggunakan hasil kajian ilmiah untuk
mendorong dilahirkannya perda tentang keberlangsungan
event JFC. Ketiga, menarik investor untuk berinvestasi
mewujudkan kota satelit di kota Jember, yakni Kota Wisata
Karnaval.
Adapun program jangka menengah (2019-2024)
adalah JFC menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga
perguruan tinggi di Jember, Kementerian Luar Negeri,
Badan Ekonomi Kreatif, Esmod Jakarta, Indonesia Fashion
Week, untuk tampil di karnaval Rio de Jenairo, Brasil, dan
menggelar pameran karya seni instalasi dengan inspirasi
tema JFC sebagai ikonik kota Jember.
Program jangka panjang (2025-2030), yaitu
membangun kota karnaval baru sebagai kota satelit
Jember yang di dalamnya ada Indonesia Carnaval Institute
(ICI), Museum JFC, Workshop JFC, venue karnaval JFC,
mewujudkan JFC sebagai trend setter fashion dan karnaval
dunia, menjadikan JFC sebagai media untuk menggali
tambang kreativitas SDM Indonesia yang memiliki daya
saing global, dan membangun hotel, restoran, real estate
dan pusat-pusat belanja kelas dunia.
Keberhasilan Komunitas JFC menggelar JFC yang
berkelas internasional dan menjadi yang terbaik ketiga di
dunia, mendorong Pemerintah RI—dalam hal ini Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan—untuk memberikan Anugerah
Kebudayaan kategori Komunitas tahun 2019. “Ini sejarah bagi
kami. Kami merasa bangga karena ini bagian dari perjuangan

146
Mas Dynand mulai dari pertama kali ini diselenggarakan,”
ujar Iwan dengan bahagia sekaligus juga terharu.
“Kami sangat berterima kasih. Besyukur ada
yang melihat ini sebagai kegiatan yang tidak sia-sia. Ini
penghargaan yang luar biasa dan dalam bagi kami, bisa
menjadi semangat tambahan untuk perjuangan panjang,”
lanjutnya. Iwan berharap anugerah kebudayaan tersebut
bisa mengokohkan eksitensi
JFC tidak saja di Jember, tetapi
juga di Indonesia dan di mata
dunia.***

Profil Komunitas Jember Fashion Carnaval

Pendiri/Penggagas : Dynand Fariz (1963-2019)


Berdiri : Tahun 2001
Anggota : Komunitas Pelaku Karnaval dari Jember dan
dari luar Jember
Pengurus JFC
CEO: Suryanto
Event Director: Intan Ayundavira
Deputi Event Director: Budi Setiawan
General Secretary: Hendy Rendrawan
Program & Development Director: David K. Susilo
Deputy Program & Development Director: Fefi Nurdiana
Marketing Director: Arbullsan Sako Marpaung
Deputy Marketing: Djoko Wahyu Widodo
Creative Director: Ivan Fhanany
Ambassador: Tiara Adinda Sari

Penghargaan
- Anugerah Kebudayaan kategori Komunitas dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2019

147
Komunitas Barapan Kebo Desa Lamenta

“Barapan Kebo”,
Simbol Kebersamaan

Komunitas Barapan Kebo di Desa Lamenta,


Kecamatan Empang, Kabupaten Sumbawa,
Nusa Tenggara Barat, mendapat Anugerah
Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan pada 2019. Komunitas ini dinilai
setia mempertahankan dan mengembangkan
tradisi “barapan kebo” atau karapan kerbau yang
merupakan warisan secara turun-temurun dari
nenek moyang.

H aji Jibril yang menjadi pemimpin komunitas


itu merasa amat bahagia atas penghargaan
yang sungguh di luar dugaannya. Ia mengaku
mempertahankan tradisi “barapan kebo” karena itu
warisan nenek moyangnya. Sebagai kuturunannya, ia
dan komunitasnya berkewajiban untuk melanjutkan
tradisi tersebut.
“Kami sangat bahagia mendapat anugerah
ini dari pemerintah. Kami berharap pemerintah terus
mendukung barapan kebo karena tradisi ini hanya
satu-satunya di dunia dan dapat mengharumkan nama
tidak saja Kabupaten Sumbawa dan Provinsi Nusa
Tenggara Barat, tetapi juga Indonesia di mata dunia,”

148
ujar Haji Jibril yang tampak sumringah mendengar kabar
tersebut.
Ia menjelaskan, barapan kebo tidak hanya menjadi
upacara bagi para petani di desanya menjelang musim tanam
tiba, tetapi juga menjadi sarana untuk bersilaturahim untuk
menjalin persaudaraan di antara masyarakat di Kabupaten
Sumbawa. Kegiatan tersebut dapat menghimpun orang dari
berbagai tempat dan kemudian bersama-sama menggelar
barapan kebo. Dengan demikian, barapan kebo telah menjadi
simbol persaudaraan.
Dulu, barapan kebo diselenggarakan untuk
menyambut awal musim tanam. . Barapan kebo harus
diselenggarakan di atas sawah yang berair dan kerbau-
kerbau yang ikut dalam lomba selalu berpasang-pasangan.
Namun dengan majunya irigasi saat ini, lomba ini sudah bisa
diselenggarakan tiap pekan, berpindah dari satu tempat ke
lain tempat berdasarkan zona-zona. “Kita selenggarakan
seperti F-1 (balapan mobil Formula 1), berpindah dari satu
tempat ke lain tempat,” jelas Syamsu Ardiansyah, Kurator,
Direktur Literasi Sumbawa Institute dan Direktur JKPI
Kabupaten Sumbawa.
Desa Lamenta cukup disegani dalam lomba ini
karena desa ini memiliki dua pasang kerbau yang selalu

149
menang pada berbagai ajang barapan. Kedua pasang kerbau
jagoan itu adalah “Angin Paris” dan “Arjuna”. Pasangan
yang terakhir milik Haji Jibril.
Barapan kebo memainkan peran penting dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat di Kabupaten Sumbawa.
Ia bisa menjadi permainan rakyat yang dapat menjadi sarana
untuk integrasi sosial, pertunjukan budaya, ikut memperkuat
kemandirian ekonomi, dan spiritualitas sosial.
Haji Jibril, ketua Komunitas Barapan Kebo Desa
Lamenta, menjelaskan, kerbau memiliki peran penting dalam
kehidupan petani di desanya, khususnya untuk mengangkat
kehidupan perekonomian masyarakat desa. Selain untuk
membajak sawah, kerbau juga digunakan untuk membantu
menggiling tebu. “Kerbau yang ikut barapan biasanya
harganya langsung melonjak tinggi. Ada saja yang mau beli.
Kerbau balapan tidak dipakai untuk membajak sawah,”
ujarnya.
Kerbau juga memungkinkan seseorang untuk bisa
berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.
“Dengan menjual lima ekor kerbau, seseorang sudah bisa
mengongkosi perjalanannya untuk ibadah haji,” jelasnya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Sumbawa, Haji Sahril, mengungkapkan banyak hal yang bisa
dipetik dari komunitas balapan kerbau yang dikembangkan
secara turun-temurun oleh masyarakat Sumbawa, khususnya
di Desa Lamenta. “Banyak nilai historis dan religius yang
terkandung di dalam barapan kebo,” katanya.
Sahril menjelaskan, dari segi ekonomi, kerbau
akan membantu perekonomian masyarakat Sumbawa,
khususnya masyarakat petani dan peternak. Dari segi
religiositas, barapan kebo menyatukan semua komponen
masyarakat Sumbawa. Di sini terjadi silaturahim, transaksi-

150
transaksi berlangsung. Karena itulah, sangat pantaslah
pemerintah memberikan apresiasi terhadap budaya ini agar
bisa dikembangkan terus karena di dalamnya terkandung
nilai budaya dan adat istiadat yang tidak boleh dilupakan.
Melihat peran itu, masyarakat di Desa Lamenta,
dan juga masyarakat pada umumnya berlomba-lomba
memelihara kerbau. Bahkan sejak kanak-kanak masyarakat
Sumbawa sudah diperkenalkan dengan kerbau seperti
diajarkan bagaimana memegang tali kerbau. Komunitas
Barapan Kebo Desa Lamenta yang dipimpin Haji Jibril
memainkan peran penting untuk memperkenalkan tradisi
memelihara kerbau dan segala kegiatan berkaitan dengan
itu. Di Desa Lamenta kini penduduknya aktif mengikuti
kegiatan barapan kerbau dan menyiapkan diri dengan baik
untuk perlombaan tersebut.
“Kerbau yang ikut barapan diberi makanan bergizi
agar kuat berlari saat berlomba,” katanya. “Kerbau-kerbau
kami di sini yang mau ikut berlomba harus berlatih setiap
Kamis. Dengan alat pengukur kecepatan, kami mencatat
rekor larinya dan terus memacu agar rekornya makin tajam,”
katanya.
Menggelar barapan kebo di seluruh wilayah
Kabupaten Sumbawa dapat membakitkan semangat
masyarakat untuk mencintai karapan kerbau. Hal itu
bermanfaat tidak saja untuk pelestarian budaya, tetapi
menjadi salah satu nilai tambah bagi kerbau sehingga
masyarakat terpacu untuk tetap memelihara kerbau.
Lokasi atau arena barapan kebo adalah sawah yang
telah basah atau sudah digenangi air sebatas lutut. “Air dan
tanah bersatu serta hadirnya manusia dan kerbau adalah
gambaran keseimbangan hidup dan kerja sama dua ekor
kerbau, yang dituntun oleh ketangkasan joki di atas ‘kareng’,

151
yaitu kayu yang membentuk huruf ‘V’ sebagai simbol
perdamaian global,” kata Ardiansyah.
Kerbau-kerbau peserta diukur tinggi dan usianya
agar dapat ditentukan dalam kelas apa kerbau-kerbau
tersebut dapat dilombakan. Joki yang mengendarai kerbau
tidak cukup bisa sampai ke garis finis, tetapi harus bisa
menyentuh “sakak”, kayu pancang tanda finis. “Sakak”
adalah simbol tujuan hidup yang dicapai dengan semangat
berlari kencang secara linier. Bersama kerbaunya, sang joki
berusaha melawan berbagai rintangan hidup agar bisa
mencapai tujuan yang telah ditargetkan secara yakin dan
sadar. Tentu saja butuh kerja keras untuk mencapai “sakak”
itu. “Tidak jarang terjadi, kerbau itu mendadak membelok
saat mendekat sakak,” kata Haji Jibril.
Menurut Ardiansyah, barapan adalah ritus perjalanan
waktu dari titik awal menuju “sakak”. Hal itu dapat dibaca
sebagai bagian dari gambaran dan orientasi dalam
mengarungi hidup yang dilakukan secara lurus, bersemangat
dan harus mencapai tujuan dari hidup itu sendiri. “Sakak”
adalah titik tujuan secara kolektif untuk menggapai cita-cita
hidup.

152
Beberapa istilah yang menarik dalam momen barapan
kebo antara lain “noga”, “kareng”, “mangkar”, “sandro”,
“lawas”, dan “ngumang”. “Noga” adalah kayu penjepit leher
penyatu sepasang kerbau balapan. “Kareng” adalah tempat
berdiri atau bilah pijakan kaki sang joki barapan yang dirakit
berbentuk segitiga atau huruf “V”. Sementara “mangkar”
adalah pelecut atau pecut pemacu kerbau lomba. “Sandro”
adalah orang sakti dengan ilmu supranaturalnya. Ia biasanya
berpakaian khas berwarna serba hitam yang berkewajiban
menjaga kerbau yang ikut lomba agar lepas dari berbagai
gangguan atau hambatan.
“Lawas” adalah lantunan syair pantun daerah
Sumbawa yang dilakukan di antara teriakan kemenangan
sang joki, saat kerbaunya mampu menyentuh dan
menjatuhkan “sakak” tanpa sedikit pun terjatuh dari kareng-
nya. Dan, “ngumang” adalah sesumbar kemenangan sebagai
pemikat wanita penonton barapan dan merayu-rayu dengan
lantunan “lawas” yang dikuasainya.
Barapan kebo yang merupakan salah satu agenda
kegiatan Festival Moyo (Fesmo) dilaksanakan setiap tahun.
Barapan ini kian menarik perhatian wisatawan. Pada 2019,
balapan kerbau yang digelar di Sirkuit Sumer Payung, Karang
Dima, Sumbawa, telah mendapat perhatian dari wisatawan
dan komunitas yachter dari berbagai negara. Mereka masuk
dari Australia dan berlabuh di Teluk Saleh, Sumbawa. Banyak
yachter yang bertahan karena tertarik barapan kebo dan
bahkan mereka menambah waktu tinggal dari empat hari
menjadi enam hari.
Kerbau dan Sumbawa ibarat sekeping mata uang
yang tidak bisa dipisahkan dalam bingkai sejarah, peradaban
dan tradisi serta keyakinan dan kepercayaan masyarakatnya.
Sebagai satwa, kerbau sangat dekat dengan manusia. “Kita
tidak membuat karapan sapi karena sapi tidak sejinak kerbau.

153
Sapi bisa saja menendang kita, kerbau tidak,” jelas Haji Jibril.
Kini masyarakat Sumbawa sedang bersemangat
dan gencar memajukan barapan kebo dan mereka tampak
sangat bangga dengan tradisi tersebut. Bahkan mereka
menggalakkan barapan kebo tidak saja pada tingkat lokal,
tetapi juga pada tingkat nasional dan global. Barapan kebo
memang satu-satunya yang ada di dunia. Kerbau dipandang
sebagai kendaraan untuk berjumpa dalam semangat
perdamaian dan kemanusiaan.
Sumbawa kian berjuang menictrakan diri sebagai
tempat barapan kebo. Kini di sudut-sudut kota Sumbawa
Besar, ibu kota Kabupaten Sumbawa, muncul patung
barapan kebo. Dengan demikian Sumbawa tidak saja dikenal
karena Pulau Moyo-nya di mana selebritas dunia mampir di
sana seperti petenis dunia Maria Sharapova, tetapi juga
karena barapan kebo-nya, satu-satunya di dunia. Di sini peran
komunitas barapan kebo seperti yang ada di Desa Lamenta
memainkan peran pentingnya untuk melestarikan dan
memajukan karapan kerbau.***

Profil Komunitas Barapan Kebo Desa Lamenta

Pemimpin : Haji Jibril


Anggota : Penduduk Desa Lamenta, Kecamatan Empang,
Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat

Penghargaan
- Anugerah Kebudayaan kategori Komunitas dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2019

154
Komunitas Pondok Seni dan
Budaya Boediardjo
Bangun Karakter
dengan Seni Budaya

Ketika purnama tiba, Borobudur jadi meriah.


Pada malam itu, di bawah terang purnama,
masyarakat Borobudur menggelar pesta
kesenian rakyat. Tidak hanya kegiatan seni yang
ditampilkan, kegiatan ekonomi kreatif pun jalan
serta roda wisata ikut berputar.

P ada setiap purnama, pesta kesenian rakyat yang


juga populer dengan sebutan kegiatan Padang
Bulan digelar di Borobudur yang sedang dikembangkan
jadi “Bali baru” itu. Yang datang dalam pesta kesenian
rakyat itu tidak hanya masyarakat Borobudur, akan
tetapi juga masyarakat yang berasal dari daerah
sekitar candi terbesar di dunia tersebut.
Itulah antara lain kegiatan seni budaya yang
digelar oleh Komunitas Pondok Seni dan Budaya
Boediardjo (PSBB), yang dilakukan sebelas kali dalam
setahun. Komunitas PSBB dibentuk oleh almarhum
Boediardjo, tokoh budaya putra asli Borobudur, tahun
1991.
Boediardjo yang meraih pangkat marsekal
madya di kesatuan TNI Angkatan Udara dan
dipercayakan memegang banyak jabatan. Sebelum

155
didaulat menjadi Menteri Penerangan (1968-1973), ia
tercatat sebagai Duta Besar RI untuk Kamboja (1965-1968).
Selepas jeda waktu dari jabatan Menteri Penerangan,
Bordiardjo kembali ditugaskan sebagai duta besar, yakni
di Spanyol (1976-1979), sebelum pulang kampung dan
dipercaya sebagai Direktur Utama PT Taman Wisata Candi
Borobudur & Prambanan (1979-1985). Boediardjo memang
lahir dan besar di sekitar Borobudur. Ia lahir di Desa Tingal
pada 16 November 1921 dan meninggal di Jakarta, pada
15 Maret 1997. Pencinta dunia fotografi itu dimakamkan di
pemakaman umum Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur.
Muhammad Reza, cucu Boediardjo yang kini ditunjuk
menjadi Ketua Komunitas PSBB untuk periode 2019-2014,
mengemukakan bahwa ia ditugaskan oleh keluarga besarnya
untuk melanjutkan kegiatan seni budaya yang telah dirintis
oleh sang kakek. “Pondok Seni dan Budaya Boediardjo
didirikan oleh kakek saya memang untuk melestarikan
seni dan budaya yang ada di sekitar Candi Borobudur. Itu
menjadi tujuan pertama komunitas ini. Tujuan kedua adalah
mengajak anak muda sekarang untuk tidak melupakan
budaya yang ada,” ujar Reza.
Sang kakek, menurut Reza, memang telah berpesan
kepada anak-cucunya agar melanjutkan dan melestarikan
kegiatan budaya yang telah ia rintis. “Sangat penting untuk
tidak melupakan tradisi itu. Itu bagian dari budaya,” lanjut
Reza seperti mengulang pesan sang kakek.
Reza harus meninggalkan pekejaannya di Jakarta
untuk mengurus komunitas PSBB dan mengelola Rumah
Tingal Hotel Borobudur. Ketika pertama kali datang ke
Borobudur, yang pertama-tama dilakukannya adalah
mencoba membenahi apa yang menurutnya masih kurang
dan bagaimana mencari dana untuk membiayai kegiatan
seni budaya tersebut. Kegiatan PSBB tidak hanya Padang

156
Bulan. Masih ada seabrek kegiatan budaya lain. Sebut saja
pergelaran wayang, dongeng, anak, pengajian, latihan tari,
dan pencak silat yang dalam bahasa Jawa disebut konto.
Eko Sanyoto yang duduk dalam kepengurusan
komunitas untuk seksi pewayangan dan kesenian rakyat
menjelaskan, kegiatan dongeng anak diselenggarakan
karena mendongeng bisa menjadi media yang ampuh untuk
mengajarkan kearifan lokal dan membangun karakter.
Juga lewat dongeng orang bisa mempelajari perjalanan
bangsanya karena bangsa yang besar tak pernah melupakan
sejarahnya.
Pergelaran wayang juga dilakukan rutin tiap bulan,
sebanyak sebelas kali dalam setahun. Sampai saat ini
sudah digelar 266 pentas wayang. Aktivitas ini termasuk
paling banyak diminati. Sejumlah dalang ternama di negeri
ini pernah mendalang di sini. Eko mengemukakan, dalang
kondang Ki Anom Suroto dan putranya Bambang Pamungkas,
misalnya, pernah juga mendalang di sini. Pergelaran wayang
diselenggarakan setaiap hari Sabtu pada minggu keempat
tiap bulan dan berdurasi sekitar tiga jam.

157
Tidak cuma pergelaran wayang. Komunitas PSBB
juga menggelar kegiatan lomba wayang anak dan remaja,
bertujuan agar bisa lahir generasi baru yang siap melestarikan
dan mengembangkan wayang. Hasilnya, cukup banyak anak
muda yang kemudian melanjutkan studinya di bidang seni,
khususnya pedalangan.
Eko
mengungkapkan,
selain pementasan
wayang, kegiatan lain
yang digelar adalah
melakukan “perjalanan
wayang”. Anak-anak
sekolah diminta
membawa satu
wayang dan batik, lalu
mereka bersama-sama
berziarah ke pelataran
Candi Borobudur,
dimulai dari Museum Wayang Sasana Guna Rasa yang
didirikan Boediardjo. Setelah berdoa di pelataran Candi
Borobudur, anak-anak itu diminta untuk bertukar cerita
tentang tokoh wayang yang masing-masing mereka bawa.
Pada November 2019, kegiatan serupa digelar kembali dan
diikuti 432 anak.
Desa Tingal tempat komunitas PSBB menggelar
aktivitas seni budaya, kata Eko, sejak dulu telah dikenal
dengan sebagai pusat budaya. “Sekarang jadi desa wisata.
Tidak hanya kesenian, tetapi juga kerajinan tangan masih
terjaga sampai sekarang. Ini yang harus kita jaga,” tegasnya.
Ia menambahkan, kegiatan penting lainnya adalah pengajian.
Pada setiap Sabtu, komuniras PSBB menyelenggarakan
latihan tari oleh Sanggar Kinnara Kinnari Borobudur yang

158
dipimpin oleh Eko sendiri. Tari yang diajarkan di sini tidak saja
tari klasik, tetapi juga kreasi baru, dan tari Nusantara. Di luar
itu sanggar ini juga menjadi sanggar pedalangan, karawitan,
dan wayang orang. Sementara latihan konto atau pencak
silat diselenggarakan pada setiap hari Minggu.
Pembiayaan seluruh kegiatan seni dan budaya di
komunitas PSBB berasal dari Yaasan Boediardjo. Reza yang
kini memimpin komunitas PSBB mengaku mencari jalan
agar bisa membiayai secara rutin kegiatan seni budaya di
komunitas seni dan budya tersebut.
Setelah beberapa waktu tinggal di Borobudur, Reza
mulai paham kenapa kegiatan seperti itu harus dibiayai.
Memang kegiatan ini belum menghasilkan uang, akan
tetapi ia mulai paham kenapa budaya harus dilestarikan.
Budaya dapat memainkan peran penting untuk membangun
industri pariwisata, termasuk di Borobudur yang kini menjadi
salah satu dari empat destinasi wisata penting di Tanah Air.
Apalagi Borobudur niscaya bakal kuat bila ditopang dengan
wisata budayanya.
Di Kompleks Pondok Tingal Hotel, Borobudur,
Magelang, Jawa Tengah, tempat utama PSBB menggelar
berbagai aktivitas seni dan budaya, berdiri Museum Wayang
Sasana Guna Rasa. Museum ini didirikan tahun 1991 oleh
Boediardjo. Minat mantan Ketua Umum Yayasan Pembinaan
Pewayangan Indonesia (Nawangi) itu terhadap wayang telah
tumbuh sejak kecil dalam dirinya. Ia belajar tentang dunia
wayang dari pamannya yang juga dalang kondang pada
zamannya, yaitu Tjokrowihardjo di Walitelon, Kecamatan
Temanggung, Kabupaten Temanggung.
Ia banyak mengoleksi wayang dan sejak tahun 1991
koleksinya dipindahkan dari rumah tinggalnya di Dusun
Tingal, Desa Wanurejo, ke Kompleks Pondok Tingal yang
dibangunnya di tepi Jalan Balaputera Dewa, Kecamatan

159
Borobudur. Tepatnya sekitar 500 meter dari rumah tinggalnya.
Luas bangunan museum sekitar 1.500 meter persegi,
yang berada di barat Pendapa Saraswati Kompleks Pondok
Tingal. Di sini disimpan beraneka wayang yang terbuat dari
kulit, kayu, bambu, dan batu. Juga ada lukisan kaca tentang
para tokoh wayang, topeng kayu, dan seperangkat gamelan
slendro serta pelog.
Asal usul koleksi wayang juga beragam. Wayang
Indonesia berasal dari beberapa daerah seperti Jawa,
Cirebon, Bali, dan Lombok. Bahkan, museum itu juga
menyipan wayang Kedu yang diperkirakan dibuat tahun
1880. Koleksi dari luar negeri berasal dari China, Kamboja,
dan Turki.
Ada keunggulan dari museum ini, yakni koleksi
bukunya yang berjumlah sedikitnya 694 judul buku dalam
berbagai bahasa yang mengupas tentang wayang. Juga
terdapat 83 kaset rekaman wayang sejak 1971 hingga 1994
dan 59 kaset video rekaman pergelaran wayang sejak 1980
hingga 1990.
Menariknya, museum ini tak hanya memajang
koleksi wayang, tetapi juga rutin menggelar pertunjukan
wayang sekali sebulan pada tiap Sabtu pekan keempat
dalam bulan berjalan. Durasi pementasan tiga jam. Bila
wayang yang dibutuhkan untuk pementasan masih kurang,
koleksi wayang di museum sering kali digunakan untuk
pementasan wayang secara rutin di Pendopo Sawitri, depan
Museum Wayang Sasana Guna Rasa.
Pada tahun 2019, pemerintah memberikan Anugerah
Kebudayaan kategori Komunitas untuk PSBB. Reza mengaku
senang bukan main saat mendengar kabar tersebut. “Saya
sangat bangga dan berterima kasih dengan apa yang
didapat. Penghargaan ini membuat saya sebagai cucu lebih

160
bersemangat lagi untuk mengembangkan dan melestarikan
seni dan budaya di sini. Saya merasa terpecut,” ujar Reza.
Cucu Boediardjo itu berharap pemerintah lebih
memerhatikan nasib komunitas seperti PSBB agar komunitas
dapat berkembang dalam melestarikan seni dan budaya
yang hidup dan tumbuh di suatu komunitas seni budaya.
Sebab, kekuatan utama bangsa ini adalah seni budaya.***

PROFIL KOMUNITAS PONDOK SENI DAN BUDAYA


BEODIARDJO

Berdiri : Tahun 1991


Pendiri : Boediardjo (1921-1997)
Visi dan Misi: Melestarikan seni budaya
Pengurus Periode 2019-2014
- Ketua: Muhammad Reza
- Sekretaris: Asif Rifa’i dan Rachel Louise Harrison
- Bendahara: Iwan Wiwoho Boediardjo
- Koordinator Pertunjukan/Pagelaran: H. Lukito Sari
- Seksi Pewayangan: Susilo Anggoro, SE dan Eko Sanyoto
- Seksi Dongeng Anak: Drs. Budi Ismoyo
- Seksi Pengajian: Hasan Basuki dan H. Muhlasin
- Seksi Kesenian Rakyat: Eko Sanyoto dan Tandang Satoto
- Seksi Konsumsi: Tipluk
- Koordinator Pelestari & Pengembangan:
-Ir. H. Wiyoto
-Susilo Handoyo, Ssen
-ST Sukiman

161
MAESTRO

162
Maryam
Maestro Senandung
Jolo dari Tepian
Sungai Kumpeh

Suara Wak Maryam terdengar lirih ketika


melantunkan pantun pembuka pada setiap
pertunjukan senandung jolo. Ditingkahi suara “tak-
tak tung… tak-tak tung-tak-tak tung… tak-tak
tung” dalam irama monoton yang dihasilkan oleh
instrumen musik dari bilah-bilah kayu dan kendang
yang dipukul para pengiringnya, Wak Maryam
terus mengulang-ulang sampiran dan isi pantun
pembuka tersebut. //Kalulah tuan dik oii naek
perahu/Jangan lupo dik membawa jalo/Kalu tuan
dik oii ingin tau/Ikolah diok senandung jolo…//

P enduduk usia paruh baya di kampung itu


umumnya memanggil dia dengan sapaan Wak
Maryam. Sementara di kalangan generasi muda di
sana ia lebih dikenal dengan sebutan Nek Maryam si
penyenandung jolo. Dan, sebagaimana seniman tradisi
pada umumnya, Maryam alias Wak Maryam pun hidup
dalam kesahajaan. Bahkan di saat musim bertanam
padi, ia kerap tinggal sendirian di pondok ladang
anaknya yang tak seberapa jauh dari kampungnya,
menunggu sekaligus menjaga padi yang tengah
menguning dari gangguan burung di pipit di siang hari
dan ancaman babi hutan pada malam hari.

163
Meski serba kekurangan, ia tidak hidup dari seni
tradisi yang membuat namanya terkenal hingga ke ibu kota
provinsi. Apalagi menggantungkan hidup dari kesenian ini.
Sebaliknya, kalau mau jujur, justru Wak Maryam bersama
dua kerabatnya—Wak Zuhdi dan Wak Begam—lah yang
menghidupi sekaligus menghidupkan seni tradisi senandung
jolo. Dalam kaitan ini, Wak Maryam dan dua kerabatnya
itu pulalah yang ikut mengangkat nama Jambi ke tingkat
nasional, menyusul ditetapkannya senandung jolo sebagai
Warisan Budaya Tak-Benda (WBTB) Indonesia pada 2014.
Dialah maestro seni tradisi dari Desa Tanjung,
Kecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi
Jambi. Bersama Zuhdi (lahir 2 Mei 1955) dan Alfian alias Wak
Begam (lahir tahun 1950), Maryam tampil bahu-membahu
sebagai trio senandung jolo dari tepian Sungai Kumpeh,
yang di akhir September 2019 tengah dilanda bencana asap
akibat kebakaran hutan dan lahan di sana. Mereka bertiga
pula-lah yang kerap tampil dalam berbagai perhelatan seni
budaya. Namun, seperti diakui Wak Zuhdi dan Wak Begam,
selain paling dituakan, Wak Maryam-lah semacam sinden-nya
dalam pertunjukan senandung jolo.

164
Maryam tidak tahu sejak kapan senandung jolo
hadir menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat
Desa Tanjung di Kumpeh Ilir. Alih-alih menelusuri sejarah
keberadaan kesenian tradisi ini, dia sendiri bahkan tidak tahu
tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya. Yang dia ingat, dulu
orangtuanya menuliskan “akta kelahiran”-nya di dinding
rumah mereka. Tapi rumah itu sudah lama dibongkar, tanpa
ada yang mengingatkan akan pentingnya membuat salinan
“akta kelahiran” tersebut.
Bertahun-tahun kemudian, hanya karena “akta”
itu dibutuhkan untuk keperluan data kependudukan, usia
sang seniman tradisi ini pun dikira-kira, hingga “ditemukan”-
lah tahun kelahirannya: 1950. Tanggal dan bulan? Lewat
‘rembuk kekeluargaan’ dengan pihak terkait, maka mengacu
peraturan perundang-undangan terkait administrasi
kependudukan, bahwa: “mereka yang tak ingat tanggal
dan bulan kelahiran boleh memilih di awal (1 Januari),
pertengahan (1 Juli) atau di akhir (31 Desember) tahun”.
Akhirnya Maryam pun bisa “memilih” sendiri tanggal dan
bulan kelahirannya: 1 Januari 1950, sebagaimana tertera di
kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) miliknya. Tanggal
dan bulan kelahiran yang kemudian dijadikan isu besar oleh
pihak-pihak yang tidak paham tentang sistem administrasi
kependudukan pada sengketa Pilpres 2019.
Namun, satu hal yang selalu Maryam ingat, jolo
atau bajolo adalah kebiasaan yang telah ada sejak dulu,
diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Ia ingat betul ketika beranjak dewasa, di saat setiap ikut
menanam padi secara beramai-ramai di sawah tadah hujan
milik penduduk Desa Tanjung, mereka pun saling bajolo,
bersahut pantun secara spontan. Bahkan tak jarang saling
mematahkan isi pantun “lawan”, sehingga yang tak mampu
menjawab dianggap “kalah” dalam bajolo.

165
Tradisi bajolo, konon, pada awalnya lebih banyak
bertumbuh di kalangan muda-mudi. Biasanya berawal
dari seorang pemuda yang jatuh cinta pada seorang gadis.
Sebagai bentuk ungkapan kasih, yang bersangkutan
menggunakan pantun (jolo) sebagai media komunikasi.
Pantun berisi maksud hati yang tersembunyi itu ia “bunyikan”
secara berirama dalam bentuk nyanyian, kemudian disahut
oleh sang calon kekasih, juga dalam bentuk pantun yang
dinyanyikan (bajolo). Tradisi bajolo ini kemudian berkembang
ke wilayah sosial yang lebih luas. Di sawah saat musim tanam
dan merawat padi hingga panen, di sungai saat menangkap
ikan, hingga ke acara seperti syukuran dan atau untuk
memeriahkan pesta pernikahan.
Sebetulnya, jauh di masa lalu, tak ada nama khusus
yang ditabalkan pada seni tradisi ini kecuali sebutan jolo
atau bajolo, yang dalam bahasa Indonesia berarti pantun
atau berpantun. “Orang-orang tua dulu hanya menyebutnya
jolo atau bajolo. Cuma itu. Entah sejak kapan ia dinamakan
senandung jolo. Kami ikut sajo-lah,” kata Maryam. Banyak
kalangan menduga, munculnya kata senandung di depan
sebutan jolo atau bajolo, sehingga nama “resmi”-nya kini
menjadi senandung jolo, hal itu lebih karena ketika mereka
bajolo, pantun tersebut disampaikan dalam bentuk nyanyian
atau bersenandung.
Dengan kata lain, senandung jolo sebagai sebuah
nama adalah sebutan baru yang datang dari luar, bukan dari
pemilik tradisi untuk sendiri yang sejatinya hanya mengenal
istilah jolo atau bajolo. Terlebih, kosa kata “senandung” itu
sendiri baru pada beberapa dekade terakhir menjadi kosa
kata umum yang akrab di telinga warga Desa Tanjung dan
sekitarnya, yakni sejak seni tradisi jolo atau bajolo yang
mereka warisi turun-temurun itu dil-“baku”-kan namanya

166
menjadi senandung jolo.
Kalau saat ini pentas senandung jolo selalu diiringi
tabuhan musik, itu pun perkembangan kemudian. Pada
mulanya ia hanya berupa “permainan” pantun yang
disajikan dalam bentuk nyanyian. Sekadar pelepas lelah
atau untuk menghibur hati duka-gembira. Belakangan
muncul instrumen musik pengiring, terbuat dari bilah-bilah
kayu, sejenis gambang. Dalam perkembangan berikutnya,
sejak awal 2000-an ketika senandung jolo berkembang
menjadi seni pertunjukan seperti sekarang, instrumen musik
pengiring aktivitas seni bajolo ditambah kendang kayu dan
gong.
Jolo atau bajolo berasal dari masa lalu yang belum
terlacak awal mula kehadirannya. Ia berkembang lewat sistem
pewarisan tradisional dalam arti tidak secara terstruktur,
melainkan dengan cara melihat dan mendengar dari tradisi
yang hidup (living traditions), kemudian menjadi semacam
ingatan kolektif yang tersimpan di masyarakat bersangkutan
tentang tradisi tersebut. Sebagai sebuah ingatan ia bersifat
seperti cairan. Ketika ingatan akan tradisi itu dikukuhi,
dihidupi, ia menjadi liat dan berkembang. Sebaliknya, ia pun
begitu mudah dipengaruhi sumber “pengetahuan” baru dari
luar sehingga ingatan kolektif itu gampang luluh. Artinya,
kepunahan—atau paling tidak proses pelupaan, pengabaian
dan atau peminggiran—selalu mengancam keberadaan seni
tradisi.
Pada satu ketika, jolo atau bajolo juga mengalami
masa-masa itu. Seperti diakui Wak Maryam—dan diiyakan
oleh Wak Zuhdi dan Wak Begam, dua dekade di penghujung
abad lalu tradisi bajolo sempat mati suri. Masuknya gambus
dan calung ke Desa Tanjung pada tahun 1980-an disebut-
sebut sebagai awal dari proses pelapukan yang menimpa

167
tradisi bajolo. Perangkat alat musik itu disumbangkan oleh
seorang pengurus salah satu partai politik menjelang pesta
demokrasi Pemilu 1982. Dalam waktu singkat, kesenian
dari tanah Sunda itu mulai mengisi sebagian ruang sosial
masyarakat setempat, yang sebelumnya arena hiburan
tersebut lebih banyak menampilkan pertunjukan bajolo.
Sejak itu senandung jolo mulai kehilangan
panggung. Panggung hiburan untuk mengisi acara
pernikahan, syukuran, khitanan dan lain sebagainya tak
lagi menghadirkan senandung jolo. Yang tersisa hanya
kenangan. Trio senandung jolo dari Sanggar Seni Mengorak
Silo, Wak Maryam berserta Wak Zuhdi dan Wak Begum, pun
banting setir: kembali ke khittah, menghidupi kembali tradisi
bajolo. Meski tertatih-tatih, di awal abad ke-21 titik terang
mulai terasa.
Setelah hampir 20 tahun dilupakan, secara perlahan
seni bajolo mulai kembali ditoleh, meski sejauh ini apresiasi
itu datang masih lebih banyak dari kalangan terdidik.
Institusi kebudayaan mulai memanggungkan mereka,
seperti dilakukan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Cabang Jambi
bersama Balai Bahasa Jambi lewat Panggung Pertunjukan
Seni Tradisi. Sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi—sebutlah seperti dari Program Studi Etnomusikologi
Universitas Sumatera Utara, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Jambi, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang,
hingga dari Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia
(ISI) Surakarta—pun menjadikan senandung jolo sebagai
objek penelitian untuk penulisan skripsi (S1) dan tesis (S2)
mereka.
Walau tak banyak, anak-cucu dari trio senandung
jolo Sanggar Seni Mengorak Silo kini mulai ada yang tertarik
belajar seni bajolo. “Ado satu cucu sayo yang sedang belajar

168
bajolo, tapi sekarang lagi mondok di pesantren,” ujar Wak
Maryam. Meski tak rutin, Wak Maryam cukup terhibur dan
berharap, kelak sang cucu mau meneruskan tradisi bajolo.
“Agar seni moyang ini tidak mati. Sedih sayo kalau tak ado
yang meneruskan tradisi bajolo ini,” tambahnya.
Di akhir perjumpaan, seperti halnya di penghujung
pertunjukan senandung jolo di atas pentas, selarik pantun
(jolo) pun ia lantunkan: //Mangkuk sabun berisi minyak/Biji
karanji bawa ke toko/Mintak ampun pado yang banyak/Kami
bajolo sampai di siko…// ***

BIODATA

Nama : Maryam
Lahir : 1 Januari 1950
Keahlian : “Bajolo” (bersenandung jolo); berpantun
Alamat : Desa Tanjung, Kecamatan Kumpeh Ilir,
Kabupaten Muaro Jambi, Peovinsi Jambi

Penghargaan :
- Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (2019)
- Maestro Senandung Jolo dari Pemerintah Provinsi Jambi
(2012)

169
Warsad Darya
Maestro Wayang Cepak
“Wong Dermayu”

Tak usah heran jika sekali waktu saat menonton


pertunjukkan wayang cepak dari Indramayu,
secara tiba-tiba adegan tokoh-tokoh yang
tengah dimainkan ki dalang ‘dipaksa’ undur
diri. Lalu, yang muncul kemudian suara
sinden menyanyikan lagu cirebonan atau
beberapa nomor lagu dari musik campursari.
Suara alat musik dari instrumen modern pun
“bergemuruh”, mengambil alih ruang seni
pertunjukan tradisi wayang cepak.

I tulah pasar seni pertunjukan tradisional wayang


cepak hari ini. Selain berada di wilayah pinggiran,
peran sentral sang dalam dalam sebuah pertunjukan
juga ikut terpinggirkan. Tak terkecuali pada
pementasan dalang wayang cepak kondang macam Ki
Warsad Darya dari Desa Gadingan, Kecamatan Siliyeg,
Kabupaten Indramayu.
Sekali waktu Warsad menghadirkan lakon
pertarungan antara Nyi Hindang Darma dengan
Pangeran Wiralodra dari Babat Dermayu terkait
“sejarah” awal mula Indramayu. Saat cerita sedang
seru-serunya, tiba-tiba masuk surat dari penonton

170
yang minta agar segera dilantunkan beberapa lagu khas
cirebonan. Warsad Darya tak berani menolak bisikan dari
belakang panggung, lalu ia pun menghentikan pertunjukan.
Nyi Hindang Darma dan Pangeran Wiralodra pun harus ikut
mengalah, dan terpaksa menunggu di gedebok pisang yang
jadi tempat para tokoh wayang cepak “berdiam” selama
pertunjukan.
“Kalau permintaan mereka diabaikan, penonton bisa
ngamuk,” kata Warsad sedikit tertawa dalam nada getir.
Begitulah nasib pertunjukan tradisi wayang cepak
dari Indramayu. Dalang tak lagi jadi penentu “hitam-putih”
pergelaran di atas panggung. Tuan rumah dan penonton kini
sudah ikut ambil bagian. Setiap kali pentas wayang cepak—
yang sejak tiga dekade terakhir kian berkurang—itu digelar,
permintaan lagu dari penonton di luar urusan lakon yang
dimainkan terus mengalir. Belum lagi dari pihak tuan rumah,
yang tak jarang ikut menentukan arah cerita dari lakon yang
mesti dimainkan.
Kalau kemudian ki dalang Warsad Darya masih bisa
bertahan dengan berbagai kompromi yang terpaksa harus ia
jalani, termasuk ‘investasi’—lewat anaknya yang juga mulai
ikut mendalang—pada peralatan musik masa kini, hal itu tak
lain karena semangat untuk bertahan hidup dalam pengertian
yang sesungguhnya. Bahkan untuk itu, salah satu anaknya,
Cas Oni (lahir, 1982), secara khusus “mengembangkan”
model pementasan wayang cepak dalam format baru alias
plus pertunjukan musik cirebonan. Adapun Warsad Darya
tetap murni di jalur tradisi, meski anak dan bapak itu berada
dalam satu payung: Sanggar Jaka Baru.

171
Wayang cepak sesungguhnya memiliki banyak
kemiripan dengan wayang golek pada umumnya. Karena itu,
namanya pun kerap disebut wayang golek cepak. Namun
ada unsur pembeda. Pertama-tama tentu saja dari nama
“cepak” atau disebut juga “pak-pak” itu sendiri. Jika bentuk
kepala tokoh-tokoh wayang golek pada umum sedikit agak
meruncing, pada wayang golek cepak, ya, berbentuk cepak
pada bagian belakangnya.
Perbedaan lain ada pada lakon cerita yang
ditampilkan. Jika wayang golek pada umumnya banyak
mengambil kisah tokoh-tokoh dari cerita Ramayana atau
Mahabrata, wayang cepak dari Indramayu lebih fokus pada
cerita tentang tokoh sejarah atau mengambil karakter tokoh
dari dunia nyata. Sebutlah kisah tentang Sunan Gunung Jati
atau para sunan lainnya (baca: walisongo), Raden Kiang
Santang, Pangeran Wiralodra, atau raja-raja dari Kerajaan
Mataram. Bahkan cerita dengan tokoh-tokoh seperti
gubernur dan bupati pun tidak dianggap sebagai kisah di luar
pakem wayang cepak.
Bagi Warsad, wayang cepak adalah sejarah hidupnya.
Jauh sebelum jadi dalang pada sekitar tahun 1962, Warsad
muda hidup dalam keluarga berkekurangan. Bermacam
pekerjaan ia lalui. Mulai dari membantu sang ibu berjual
gorengan dari kampung ke kampung, mengurug tanah di
kampung orang, menjadi perawat kuda di daerah Cirebon,
hingga sempat jadi “juragan” tahu bermodalkan kepercayaan
orang lain. Cerita sebagai “juragan” tahu ini ia ulang-ulang
dalam nada penuh kebanggaan: dia sendiri yang membeli
bahan baku berupa kedelai di Jatibarang, membuatnya
sendiri, lalu dia pula yang bertidak sebagai penjualnya.
“Pertama-tama saya beli satu kilo kedele, lalu dibuat
tahu dan dijual. Besoknya bisa beli dua kilo, besoknya lagi

172
tiga kilo, hingga bisa beli lima kilo. Pemilik toko di Jatibarang
heran, untuk apa jauh-jauh mengayuh sepeda dari Gadingan
hanya beli 1-2 kilo kedele. Setelah saya cerita, dia langsung
bilang, ‘kamu mau tidak kalau saya utangi 15 kilo’. Sejak itu
saya bisa bikin tahu lebih banyak, lebih banyak lagi, sampai
diutangi hingga 100 kilo, dan saya bisa beli sendiri alat untuk
membuat tahu,” tutur Warsad.
Terlahir sebagai anak pertama dari sembilan
bersaudara, Warsad muda diakui oleh warga kampungnya
sebagai pekerja yang rajin dan ulet. “Sampai-sampai ada
seorang bapak yang ingin mengambil saya sebagai mantu.
Tapi saya tidak mau, lalu untuk menghindar saya pergi
merantau. Usaha jualan tahu saya tinggalkan,” katanya.
Sekitar dua tahun meninggalkan kampung,
Warsad pulang ketika mendapat berita salah satu adiknya
meninggal dunia. Di sinilah titik balik sejarah hidup Warsad
bergeser. Sepeninggal kepergian adik kesayangannya itu, ia
lebih banyak termenung, lalu iseng-iseng mencoret-coret,
menggambar tokoh-tokoh pewayangan. Di malam hari, di
hadapan anak-anak kampung, gambar-gambar itu kemudian
ia mainkan sebagai anak wayang. Hampir setiap malam.
Anak-anak pun bertambah ramai menonton Warsad
muda menirukan cara dalang tampil di pertunjukan
wayang.
“Lalu ada orang
tua datang melihat. Dia
mengatakan kepada
saya bahwa leluhur kita
punya pertunjukan wayang,
namanya wayang cepak. Sejak
itulah saya mencari tahu
tentang wayang cepak.

173
Saya belajar dengan tanya sana-sini. Tak ada guru. Setelah
lebih setahun, baru berani mentas. Kalau tidak salah, itu
sekitar tahun 1962,” ujar Warsad.
Tanpa disangka, pentas perdananya di kelurahan
tersebut ternyata sekaligus menjadi tempat di mana Warsad
diakui oleh warga kampung sebagai dalang wayang cepak.
Sejak itu nama ki dalang Warsad mulai dikenal di luar
kampung. Tak tanggung-tanggung, dia langsung dipesan
untuk manggung pada musim panen berikutnya.
Sebuah lompatan besar. Selama tahun 1960-an
itu, kata Warsad, rata-rata per tahun tak kurang dari 80
pertunjukan wayang cepak yang ia tampilkan. Bahkan di
tahun 1970-an menjadi tahun kejayaan pentas wayang cepak
ki dalan Warsad. “Kalau dirata-ratakan, sepanjang tahun
1970-an bisa mentas 120-150 kali per tahun. Bahkan pernah
dalam sehari saya harus mentas di empat kampung yang
berbeda,” tuturnya. Pada tahun-tahun ini, nama Warsad
semakin moncer. Ia pun mulai membuat sendiri karakter
tokoh-tokoh wayang cepak-nya, tak lagi menyewa seperti di
era 1960-an.
Namun memasuki era 1980-an, masa kejayaan itu
perlahan meredup. Permintaan masih terus mengalir, tetapi
tak sepadat di era 1970-an. Pertunjukan sandiwara dan tarling
mulai menjadi saingan wayang cepak. Bahkan memasuki
tahun 1990-an, peminat pertunjukan wayang cepak
seperti menuju titik balik, seiring mulai menjamurnya seni
pertunjukan baru yang berbasis perangkat musik modern
seperti pertunjukan organ tunggal. Kini, di milenium ketiga
yang ditandai dengan kehadiran anak-anak muda kampung
yang serba terhubung dengan dunia digital berkat kemajuan
teknologi informasi, wayang cepak pun kian ditinggalkan.
Dari enam dalang cepak yang sempat eksis di
Indramayu pada era 1970-an hingga 1980-an, kini tingal dua

174
orang yang masih bertahan. Selain Warsad Darya dengan
Sanggar Seni Jaka Baru-nya di Desa Gadingan-Siliyeg, ada Ki
Achmadi dari daerah Anjun, Paoman, Indramayu. “Hanya
tinggal kami berdua,” kata Warsad.
Soal regenerasi dalang wayang cepak, Warsad tak
khawatir. Dua dari tiga anak lelakinya, Suyatno dan Cas Oni,
saat ini pun sudah berprofesi sebagai dalang wayang cepak.
Kalau ada anak-anak muda tertarik untuk belajar menjadi
dalang wayang cepak versi Indramayu, dengan lantang dan
tegas Warsad berucap, “Saya siap, sanggup, mengajarkan.”
***

BIODATA

Nama : Warsad Darya


Lahir : Indramayu, 13 April 1942
Istri : Daspen
Anak :
- Cinati (lahir, 1970)
- Suyatno (lahir, 1973)
- Rasnoto (lahir, 1978)
- Cas Oni (lahir, 1982)
- Ruweti (lahir, 1986)
Keahlian : Dalang Wayang Cepak Indramayu dan membuat
wayang cepak
Penghargaan :
- Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2019

175
Usman Ali
Penjaga Terakhir Tari
Jepin Langkah

Pada satu masa, tari jepin langkah sangat dikenal


dan amat digandrungi. Seringkali dipanggungkan
dalam acara-acara penting atau saat pesta rakyat.
Seiring perjalanan zaman, kesenian ini semakin
ditinggalkan dan bahkan dilupakan. Padahal, jepin
tidak hanya tarian, ia punya makna dan deskripsi,
nilai historis, serta akar budaya di masyarakatnya.

M eski mulai dilupakan oleh kalangan generasi


muda, semangat Usman Ali masih terus
menggelora dalam mengajarkan tari jepin.
Kekhawatiran yang muncul adalah jika suatu saat ia
telah tiada dan belum sempat mewariskan keahliannya
itu kepada generasi muda, maka tari jepin pun
terancam sekarat, bahkan bisa punah, hilang di telan
bumi.
Tari jepin merupakan satu di antara jenis tari
yang ada di Nusantara, yang menyebar luas ke daerah
pesisir Melayu, termasuk di Kalimantan Barat. Di
beberapa wilayah di luar Kalimantan Barat tari jenis ini
dikenal dengan nama jepin: jepin-Melayu. Tari jepin di
Kalimantan Barat memiliki berbagai jenis, yaitu jepin
langkah, jepin lembut, dan jepin arab. Tari jepin langkah

176
ini memiliki ciri khasnya sendiri, yang lahir dan berkembang
di Desa Penibung Darat, Kecamatan Mempawah Hilir.
Saat ini, pengampu tari jepin langkah adalah Usman
Ali. Belum ada yang bisa mewarisi keseluruhan teknik tari
jepin langkah yang dimiliki oleh pria berusia 73 tahun itu.
Apalagi tidak cukup mudah untuk mempelajari tarian ini
karena identik dengan kekhasan gerak kaki yang melangkah,
menapak, melompat, dan berputar.
Jepin langkah terdiri atas berbagai macam bagian,
yaitu jepin rotan, jepin tembung, jepin bui, jepin kerangkang,
jepin tali bintang, jepin keriang, dan jepin bendera. Tari
jepin langkah juga mempunyai 12 ragam gerak langkah.
Masing-masing langkah mengandung perbedaan langkah
kaki pada hitungan, dan mempunyai keunikan tersendiri
dari beberapa jenis langkah.
Seperti halnya tari jepin yang berkembang di
Sumatera, tari jepin di Kalimantan Barat ini pun merupakan
khazanah tarian rumpun Melayu yang bernapaskan Islam
karena mendapat pengaruh dari Arab. Awalnya tari ini
merupakan tarian hiburan untuk para raja di istana kesultanan
Melayu yang dibawa oleh para pedagang dari Yaman pada
awal abad ke-15. Sebelum tahun 1960, tari jepin hanya boleh
ditarikan oleh kaum lelaki dengan jumlah penari dua orang.
Aakan tetapi, seiring perkembangan zaman, sekarang tari
jepin sudah boleh ditarikan oleh kaum perempuan, bahkan
secara campuran antara laki-laki dan perempuan, yang
disajikan dalam bentuk tari kelompok.
Tari jepin adalah identitas Melayu dan digunakan
sebagai media dakwah lewat syairnya sekaligus hiburan.
“Jika tari jepin tidak dilestarikan, maka Melayu akan
kehilangan salah satu identitasnya. Tari ini identik dengan
Islam karena syair yang dinyanyikan biasanya pesan kebaikan
yang diajarkan dalam nilai-nilai Islam,” tegas Usman Ali. Jepin

177
langkah ini dipertunjukkan dalam berbagai acara, seperti
khataman Al-Quran, pesta pernikahan, khitanan, serta
acara adat lainnya yang sering dilakukan oleh masyarakat
setempat.
Menurut Usman Ali, tari jepin berkembang cukup
pesat di Kabupaten Mempawah pada rentang 1960-1970-
an. Saat itu, sekitar tahun 1961, ia belajar tari jepin langkah
penibong ketika kelas VI SD, dari gurunya yang bernama
Tok Bacok, kakeknya sendiri. “Saat ini saya satu-satunya
murid Tok Bacok yang masih hidup,” kata pria kelahiran 16
September 1946 yang memiliki tujuh orang anak ini.
Ia menjelaskan, dengan menguasai tari jepin langkah
penibong maka semua tari tarian tradisi yang berada di
Kabupaten Mempawah bisa ditarikan, seperti tari jepin
rotan, jepin tali, jepin tembung atau belantan. “Hal ini karena
semua jenis tarian yang ada memiliki dasar dari jepin langkah
itu sendiri. Karena itu jepin langkah ini sangat penting
dipelajari,” kata Usman Ali, pria yang sehari-hari bekerja
sebagai petani dan menjual alat-alat nelayan.
Pada aspek musik pengiring tari jenpin langkah,
instrumen yang digunakan adalah satu buah gambus

178
selodang dan tiga buah beruas. Gambus selodang merupakan
melodi utama di dalam iringan tari jepin langkah. Tiga beruas
yang digunakan masing-masing memainkan tabuhan, yaitu
induk (dua beruas) dan anak (satu beruas). Beruas adalah istilah
lokal untuk merujuk pada instrumen perkusi musik melayu,
yang tergolong dalam klasifikasi Membranofon, yakni alat musik
yang sumber bunyinya berasal dari kulit atau selaput hewan
Usman Ali mengusai keseluruhan keahlian tari jepin
langkah ini. Selain sebagai pemetik gambus selodang, ia
juga mahir dalam “belangkah” (sebutan untuk penari/
gerak/langkah penari). Tentu saja ia pun menguasai
keseluruhan ragam gerak tari jepin yang memiliki dua
belas langkah. Keunikan pada tarian ini terletak pada gerak
yang lincah, meloncat-loncat, memiliki hitungan yang
gantung, melangkah dengan hentakan yang kuat sehingga
memberikan semangat bagi penari dan penontonnya.
Hal tersebut yang membedakan dengan tarian lain pada
umumnya yang memiliki gerakan lemah lembut. Penari
membentuk berbagai macam posisi seperti melingkar, anak
panah, persegi, dan posisi lainnya yang dapat mendukung
keindahan di dalam gerak.
“Dua belas ragam gerak dalam tari jepin langkah ini
dibedakan pada arah dan posisi hitungan. Hitungan yang
dimaksud adalah di mana setiap penyelesaian ragam gerak
selanjutnya selalu dimulai dengan awalan yang disebut
tahto,” jelas Usman Ali.
Dia menambahkan, tarian jepin langkah memiliki tiga
gugus, yakni gugus langkah bujur gantung, gugus langkah
bujur pesisir gantung serong, dan gugus langkah pancar
bulan gantung. Masing-masing gerakan memiliki filosofi yang
berkenaan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, gerakan
gugus langkah bujur gantung memiliki filosofi di mana
manusia adalah makhluk sosial yang memiliki ketergantungan

179
dengan manusia lainnya. Hal ini digambarkan dalam gerakan
di mana kaki penari bergantung dan mengandalkan kaki
sebelahnya untuk bertumpuh atau berdiri.
Meski sudah berusia lanjut, semangat Usman Ali
dalam berkesenian, khususnya merawat dan menghidupi tari
jepin langkah, tampak masih sangat kuat. Dia mengajarkan
gerak jepin langkah dan musik iringan tari jepin tersebut
kepada anak-anak yang masih berada di tingkat sekolah
dasar. Dalam nada suara terdengar lirih, Usman Ali berucap,
“Saya sangat berharap akan ada lebih banyak pemuda yang
mau belajar seni tradisi, terutama tari jepin langkah ini.”
Usman Ali mengaku telah sejak lama tidak
ada pergelaran dan ajang festival di daerahnya untuk
mengembangkan tari jepin. Ia sempat kebingungan harus
menyalurkan kreasi tariannya. “Sekarang ini sekadar hiburan,
habis ditonton selesai,”ungkapnya.
Keprihatinan lain Usman Ali adalah belum tercatat
atau didokumentasikan secara akurat semua ragam gerak
tari jepin yang tumbuh dan berkembang di Kalimantan
Barat. Menurutnya, hal yang mendesak untuk dilakukan
adalah menginventarisasi ragam gerak tari jepin untuk
pembelajaran tentang khazanah tari jepin. “Belum lagi
karena faktor kehilangan peminat dari generasi muda akan
kesenian ini, dan para penari jepin yang sudah banyak
dipanggil Yang Maha Kuasa,” imbuh pengurus Sanggar Tari
Jepin Langkah Penibung ini. ***

BIODATA

Nama : Usman Ali


Lahir : Mempawah, 16 September 1946
Anak : 7 orang anak
Keahlian : jepin langkah
Penghargaan :
- Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2019

180
Gustaf Bame
Menjaga Sungai
dengan Mantra

Bafit om oo, Batoho oo, Maria, Pilipus, Uon Afu


oo, Nma o, Nri boo, Rae mek tak oo..., Mgias boo,
Nama, Nerif bo, Ro mhof, Befek wer misuok, Su
aeoo.... (Arwah dari Balifo om, Hewa Batoho,
Maria, Pilipus, Uon Afu, Mari datang, jagalah
sungai kita, Tunjukkan hal-hal baik. Beri kami
ikan yang banyak. Udang yang banyak. Jauhkan
kami dari kematian tak wajar, jatuh ke dalam
sungai, dipagut ular…)

D engan vokalnya yang khas, Gustaf Bame (75), lelaki


berkulit hitam dengan mengenakan ikat kepala
dari manik-manik berhiaskan bulu Cenderawasih,
membacakan mantra ritual "Hamamos" di tepi Sungai
Auk di Mare yang dijaganya. Ia memanggil Fre atau
semua roh leluhur maupun yang masih hidup, untuk
dimintai bantuannya agar sungai tetap sejahtera dan
menyejahterakan warga. Pada acara adat ini, semua
warga hadir bersuka cita.
Gustaf Bame bukan orang sembarangan. Di
antara sekian ratus penjaga Sungai Auk sepanjang
250-an kilometer, yang membentang dari Ayawasi
di Kabupaten Maybrat hingga Kalbra di Kabupaten

181
Sorong, ia senior dan konsisten. Sejak kecil telah diajak
orangtuanya untuk menjaga sungai itu. Setelah orangtuanya
meninggal, ia melanjutkan tugas adat menjaga dan "memberi
makan" Sungai Auk—terutama pada kilometer 28 hingga
kilometer 30—itu sampai sekarang.
Berbekal "sertifikat alam", ia kuasai semua mantra
warisan leluhur, yang diperlukan untuk menjaga sungai
dengan segala tata cara, termasuk sesaji dan pantangan-
pantangan untuk diri sendiri maupun warga. Mantra
"Hamamos" di bagian awal tulisan ini termasuk salah satu
yang sakral. Ada pula "Wabur", yaitu doa memanggil ikan
pada waktu mau mancing, dengan sarana dedaunan dan
lumut. Juga mantra “Mvo-Efo”, yaitu doa untuk memproleh
ikan dengan cara dituba.
Gustaf mengenyam pendidikan Zending (Belanda)
hingga kelas II sekolah rakyat (sekarang SD) di Rufa. Ia suka
bermain musik, terutama meniup seruling. Selain tampil di
gereja, juga pada acara-acara perayaan Papua dan peringatan
Kemerdekaan RI. Di masa muda, pernah membantu dokter
Belanda melakukan pelayanan di daerahnya. Juga pernah
menjadi Kepala Kampung Seya selama 39 tahun (1969 - 2008).

182
Selama dia menjadi kepala kampung, maupun sesudah ia
pensiun, tugas sebagai penjaga Sungai Auk di Seya (berjarak
lebih dari 170 km dari kota Sorong) tetap ia lakukan dengan
penuh tanggung jawab dan setulus hati.
Sungai Auk yang lebar dan berair jernih, dalam
perjalanan dari mata air menuju muara membelah banyak
perkampungan, permukinan, sawah ladang, hingga hutan.
Menurut sebuah sumber, dulu air Sungai Auk bisa diminum
secara langsung. Tapi kini, seiring bertambahnya jumlah
penduduk dan meningkatnya aktivitas pembangunan demi
mengejar kesejahteraan hidup sesuai kemajuan zaman,
sejak tahun 2000 airnya tak lagi bisa diminum langsung. Di
situ letak masalahnya, mantra-mantra Gustaf, bersama
kawan-kawannya sesama penjaga Sungai Auk, menghadapi
realitas (baca: pencemaran lingkungan) ini.
Saat ditemui di Papua Barat, akhir Agustus 2019, ayah
lima anak ini berpesan dengan sungguh-sungguh agar jangan
merusak lingkungan Sungai Auk. Bahkan mengajak semua
orang untuk menjaganya. Sebab di sana ada macam-macam
pohon dan buah-buahan yang menghidupi warga."Sungai
Auk ini untuk anak cucu kita hari ini dan yang akan datang.
Kalau kalian rusak lingkungan sungai ini, akan matilah anak
cucu kita nanti," tuturnya. ***

BIODATA

Nama .......................................................................................
: Gustaf Bame
Lahir : Seya, Kab. Sorong, Papua Barat, 1944
Alamat : Seya, Kab. Maybrat, Papua Barat.
Pendidikan : Zending (Belanda) hingga kelas II Sekolah
Rakyat (sekarang SD) di Rufa, Sorong (kini
Maybrat), Papua Barat.
Jabatan : - Penjaga Sungai Auk, kilometer 28-30.
- Kepala Kampung Seya (1969 - 2008).

183
Usman Lajanja
Juru Kunci
Pelestari Kesenian
“Dadendate”

Bukan perkara gampang untuk bisa menguasai


kesenian dadendate, seni bertutur khas masyarakar
etnis Kaili di Sulawesi Tengah. Selain harus mampu
mengungkapkan suatu masalah atau satu peristiwa
lewat syair yang baik dan bersifat spontan, juga
butuh bakat berimprovisasi yang mumpuni. Pilihan
kata pun tak boleh sembarangan, akan tetapi mesti
menggunakan kata-kata dalam bahasa Kaili yang sarat
nilai sastranya yang indah-memesona .

T ak hanya kemampuan bertutur, kesenian


dadendate juga menuntut penguasaan
memainkan kecapi dan mbasi-mbasi (sejenis suling)
sebagai instrumen alat musik pengiringnya. Untuk
bisa memainkan mbasi-mbasi (alat musik tiup terbuat
dari bamboo dan rotan sepanjang kurang lebih 20 cm)
misalnya, perlu teknik khusus, mengingat alat ini mesti
ditiup terus-menerus tanpa terputus. Di sini, teknik
“mengambil” napas menjadi kunci utama. Begitupun
dalam memetik dawai kecapi khas Kaili, yang hanya
memilki dua tali (dulu terbuat dari tali enau, kini
umumnya menggunakan kawat kecil terbuat dari baja

184
atau tali rem sepeda), juga butuh teknik khusus untuk bisa
mengiringi pertunjukan dadendate.
Meski tak gampang menguasai jenis seni tradisi ini,
kan tetapi masih ada sosok yang setia menjaganya. Adalah
Usman Lanjanja yang kini menjadi semacam juri kunci dalam
pelestarian dadendate. Usman adalah orang yang paling
menguasai jenis kesenian ini, seni tradisi tutur yang dulu
sangat populer di kalangan masyarakat suku Kaili, suku
mayoritas yang mendiami kota Palu, Donggala, Kulawi,
Parigi, dan Ampana.
Namun masa kejayaan seni bertutur dadendate
tinggal hanya kenangan. Saat ini pertunjukan dedendate
sudah merupakan peristiwa langka. Jika dulu berbagai acara
adat atau acara syukuran setiap usai membangun rumah,
merayakan kelulusan dari lembaga pendidikan, orang
mengundang pemain dadendate; kini hampir tak ada lagi
acara-acara semacam itu menghadirkan sosok sepertiUsman
Lanjanja untuk bertutur mengenai perjalanan sekaligus
memaknai peristiwa daur kehidupan yang telah mereka lalui
tersebut.
Alhasil, yang terpampang di layar masa depan kita
adalah bahwa kesenian yang telah diwariskan dari generasi
ke generasi ini sudah bisa dikatakan terancam keberadaannya
alias hampir musnah. “Generasi muda sekarang malah
malu menjadi bagian dari kesenian ini. Mereka bilang kuno.
Mereka lebih senang bernyanyi dengan gitar, organ, atau
dangdutan sampai tengah malam,” tutur Usman saat ditemui
di rumahnya di Desa Taripa, Kecamatan Sindue, Kabupaten
Donggala, Sulawesi Tengah, awal September 2019.
Bahkan kebanyakan generasi muda suku Kaili tidak
tahu-menahu kesenian dadendate. “Apalagi dalam hal
memainkan alat musik dan melantunkan syair-syair. Sulit
sekali mencari anak didik yang mau belajar kesenian ini. Anak

185
saya sendiri tidak tertarik sama sekali,” ujar ayah dari enam
anak ini dalam nada suara lirih.
Biasanya Usman membawakan kesenian
ini memainkan suling bersama tiga orang teman
seperjuangannya, yakni Lafante sebagai pembawa kecapi
dan penyair, Simalia sebagai penyair, dan Ali Musa sebagai
pemain mbasi-mbasi. “Belum ada orang lain yang bisa
memainkan secara baik selain saya dan teman-teman saya
itu,” jelas Usman, yang sehari-hari bekerja sebagai pengambil
rotan dan berkebun kakao.
Menurut Usman, kesenian
dadendate dimainkan minimal oleh tiga
orang dan maksimalnya tidak terbatas.
Jika dimainkan oleh tiga orang, maka dua
orang menjadi pelantun syair, di mana
salah seorang dari pelantun tersebut
sambil bermain kecapi. Sementara satu
orang lagi menggunakan alat musik
mbasi-basi. Namun sebaiknya, lanjut
Usman, harus ada dua orang pelantun,
satu orang pemain kecapi, dan satunya
lagi peniup mbasi-mbasi.
Usman hidup di tempat di mana
kesenian dadendate tercipta, tumbuh, dan populer pada
masanya, yakni di Desa Taripa, Kecamatan Sindue. Usman
mengaku belajar dari sepupunya sejak kecil ketika di bangku
sekolah dasar (SD), yang bernama Tombualah. Tidak banyak
yang dia ingat mengenai sejarah dan asal mula kesenian ini.
“Yang saya tahu, dulu, kesenian ini menjadi kesenian wajib
dan sering digunakan pada setiap acara penting,” ungkap
Usman, lelaki kelahiran Taripa, tahun 1946.
Namun, menurut Muhammad Jaruki, peneliti sastra
lisan dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan,

186
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebetulnya
dadendate telah tumbuh di tengah masyarakat Desa Taripa
sejak abad ke-18. Pada mulanya dadendate hanya berupa
alat musik berbentuk perahu kecil, tanpa alunan lagu, dan
fungsinya hanya sebagai pelampiasan kerinduan seseorang
untuk berlayar ke lautan. Dalam perkembangannya,
dadendate dinyanyikan (berbalas pantun) dan diiringi alat
musik seperti kecapi, gimba, kodi, mbasi-mbasi, yori, dan
pare’e. Dadendate pun akhirnya mendapat perhatian dari
masyarakat luas, kemudian sering
dipentaskan pada saat pesta panen,
pesta perkawinan, khitanan, dan lain
sebagainya.
Secara etimologi, dadendate
berasal dari kata dade yang berarti
nyanyian dan ndate (bahasa Kaili dialek
Kori) yang berarti panjang atau tinggi.
Dadentate, dengan demikian, secara
harfiah adalah nyanyian orang yang
melakukan perjalanan dengan menaiki
atau mendaki bukit hingga sampai ke
tujuan. Oleh karena itu, dadendate
sebagai seni tradisi tutur dapat diartikan
lagu yang mengisahkan sesuatu dari bawah ke atas alias
dari awal sampai akhir cerita, di mana isi ceritanya bersifat
menanjak menuju puncak: dari paparan umum hingga cerita
mencapai klimaks.
“Penciptaan syair dadendate secara spontanitas
sesuai dengan keperluan, misalnya untuk pengobatan atau
hiburan. Fungsi dadendate sebagai hiburan dilantunkan pada
pesta panen raya (movunja), pesta sunatan (mokeso), pesta
perkawinan, hari-hari besar, dan pesta syukuran (kelahiran,
menempati rumah baru). Dadendate juga dapat dimainkan

187
pada acara mengenang seratus hari atau satu tahun orang
yang telah meninggal.
“Pelantunan dadendate dapat dilaksanakan kapan
saja, baik pada waktu siang, malam, maupun semalam suntuk,
bahkan berhari-hari sesuai dengan permintaan masyarakat
yang memerlukan,” kata Jaruki (lihat, “Pesan Bijak dan
Pesan Moral dalam ‘Dadendate’: Tradisi Lisan Masyarakat
Taripa”). Dadendate itu sendiri mengandung makna dan fungsi
sosial kemasyarakat, berisikan pesan bijak untuk mengajak
masyarakat agar berbuat yang bermanfaat dan kebaikan, untuk
memelihara persatuan dan keutuhan, menyampaikan berita
atau informasi, serta menceritakan sejarah atau peristiwa.
Usman menjelaskan, para pelantun berbagi peran
dalam dadendate, ada yang melontarkan pertanyaan dan
ada yang menjawab pertanyaan. Sahut-sahutan sampai
semuanya terceritakan, maka tidak menuntut kemungkinan
sampai berhari-hari. Jika dadendate diundang dalam acara
syukuran atas selesainya seseorang dari perguruan tinggi
atau universitas, maka orang tersebut diceritakan dari awal
menempuh pendidikan sampai meraih gelar sarjana. Semua itu
termasuk halangan dan rintangan, prestasi, dan segala hal yang
berkaitan dengan hal itu, bahkan dana yang dihabiskan selama
menjalani pendidikan. Tak jarang orang-orang yang hadir dalam
acara tersebut juga ikut diceritakan dalam kesenian ini.
Usman terus menggolarakan semangatnya untuk
melestarikan kesenian dadendate ini. Di tengah kemajuan
zaman dan pusaran arus deras perubahan sosial-budaya di
banyak tempat, tradisi lisan dalam bentuk seni bertutur seperti
yang dilakoni Usman memang mulai kehilangan pijakan dan
bahkan tempat bergayut. Seperti suara dari masa silam yang
terdengar semakin lirih, sayup dan terus menjauh, begitu pula
seni tradisi pada umumnya yang kian tersingkir oleh anak-anak
zaman.
Dia sangat berharap pemerintah dapat melakukan
pembinaan terhadap pelaku seni dan generasi muda di Desa

188
Taripa untuk pelestarian kesenian dadendate. Apabila keadaan
sekarang dibiarkan terus berlanjut, dikhawatirkan—cepat
ataupun lambat—dadendate akan hilang atau musnah seiring
dengan tidak adanya lagi penerus atau pewaris kesenian ini.
“Sekarang ini paling hanya 3-5 kali dalam setahun saya
diundang untuk memainkan kesenian dadendate pada acara
hajatan atau lainnya,” imbuh Usman. Meski begitu Usman
dapat tersenyum lebar dan matanya berkaca-kaca ketika
diberitahukan akan dinobatkan sebagai Maestro Seni Tradisi
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. “Sampai akhir
hayat, saya akan terus mencoba melestarikan dan mengajarkan
dadendate. Saya tidak ikhlas apabila dadendate hilang dari bumi
ini,” tegasnya.
Selama hidupnya, Usman sudah malang melintang
memainkan dan mengajarkan kesenian dadendate di sekitar
Palu, Donggala, Manado, bahkan sampai Bali, Lampung,
Yogjakarta dan Jakarta. Dadendate memang tidak banyak
memberinya penghasilan, tetapi lewat kemampuan bertutur
serta memetik kecapi dan meniup mbasi-mbasi, paling tidak
ia—bersama rekannya Lagum Puyuh dan Lafante—sempat
diundang tampil di sejumlah panggung tingkat nasional:
Festival Tradisi Lisan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (1999);
Festival Tradisi Lisan di Lampung (2001); dan Festival Tradisi
Lisan di Manado (2003). ***

BIODATA

Tempat, Tanggal Lahir : Taripa, 2 Desember 1956


Seorang pelestari tradisi Dade Ndate asal Sulawesi Tengah ini
sejak kecil sudah mendalami kesenian ini sebagai peniup Mbasi-
mbasi. Usman sering diundang dalam berbagai event kebudayaan
seperti di Taman Ismail Marzuki (1999), di Yogyakarta (2000),
Lampung (2009) dan masih banyak lagi. Sampai sekarang Usman
terus giat mengajrakan kesenian Dade Ndate kepada generasi
muda agar tidak punah.

189
PELESTARI

190
I Wayan Mudita Adnyana
Pelestari Tulisan
Daun Lontar

Bertemu dengan sosok I Wayan Mudita Adnyana,


seniman Bali yang dihormati dan ahli dalam
penulisan daun lontar dan prasi, memperlihatkan
umur hanya sekadar angka dan tidak dapat
memudarkan semangat berkarya. Pada usia 88
tahun, keteguhan hatinya masih tergambar dari
sorot mata dan intonasi suaranya. Sebuah semangat
yang tidak redup dalam melestarikan kesenian Bali,
khususnya penulisan daun lontar dan prasi.

I Wayan Mudita memiliki darah seni yang diwariskan


oleh ayahnya yang juga seorang penulis daun lontar.
Namun ia tidak pernah belajar pada ayahnya karena
ayahnya meninggal ketika usianya baru empat tahun.
Keahlian menulis aksara Bali di atas kertas dimilikinya
dengan berguru pada I Gusti Bagus Sugriwa di
Singaraja pada 1943.
Sekembalinya Ia dari Singaraja, I Wayan Mudita
mulai mengembangkan teknik menulis daun lontarnya
sendiri. Umumnya, penulis daun lontar menggunakan
meja sebagai landasan menaruh daun lontar, akan
tetapi ia menggunakan bantal untuk menopang
lengan kanannya yang dijadikan landasan daun lontar.

191
Kecintaannya terhadap kitab-kitab kuno agama
Hindu membuatnya ingin mengoleksi untuk dirinya sendiri.
Suatu saat ia pernah meminjam kitab Sutasoma yang tertulis
di daun lontar untuk ia salin karena ingin sekali memiliki sendiri
kitab tersebut. Menurutnya, kitab Sutasoma mengandung
ajaran yang lembut dan baik. Selama dua tahun ia menyalin
kitab setebal 120 lembar itu.

Ia tidak pernah terburu-buru dalam menulis.


“Sebelum pikiran tenang, tidak bisa menulis. Niat harus
punya,” ungkapnya. Selama dua tahun menyalin sekaligus
membuat kitab Sutasoma untuk dirinya, I Wayan Mudita juga
memperbaiki lembar-lembar yang rusak dari kitab Sutasoma
yang ia pinjam dari sesepuh di lingkungannya itu.
Selama 60 tahun berkarya, I Wayan Mudita sudah
banyak menulis ulang atau memperbaiki tulisan dari
kitab-kitab agama Hindu yang tertulis di daun lontar.
Beberapa di antaranya adalah kitab Baratayudha, Sutasoma,
Sarascamucaya, Bhagawad Gita, Tantri, Kakawin Lubdaka,
Bomantaka, dan Gatotkacasraya. Ia juga akif dalam penulisan
awig-awig desa adat, menyalin prasasti, babad, dan
pemancangah. Tak hanya pandai menyalin tulisan kuno di

192
daun lontar, I Wayan Mudita juga mengiasai seni pedalangan
dan macapat.
Kecintaannya terhadap pelestarian seni dan
budaya Bali ia ejahwantahkan dengan membina dan
mengembangkan berbagai organisasi masyarakat dan
perpustakaan setempat. Ia mulai membina perpustakaan
desa bernama Widhi Sastra pada 1970. Ia juga memelopori
pembuatan kakawin bergambar
Bharata Yudha dan Ramayana di
Desa Tenganan Pegringsingan
pada 1972, serta membentuk
sekaa wayang yang bernama
Dharma Kusuma pada 1980.
Berkat kemampuan dan
pribadinya yang ramah, I Wayan
Mudita pernah dikunjungi
sekaligus mengembangkan
jejaring dengan tokoh-
tokoh dari Indonesia dan
dunia internasional. Ada tiga kepala negara yang pernah
mengunjunginya, yakni Presiden Italia Sandro Pertini pada 6
Juli 1983, Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark pada
7 Januari 1988, dan Presiden RI Megawati Soekarnoputri
pada 31 Desember 2001. Ia juga menjalin jejaring dengan
AA Teeuw, ilmuwan Belanda yang berdedikasi tentang riset
sastra di Indonesia. Jadi, tak usah heran bila I Wayan Mudita
juga memiliki murid yang bekerja di perpustakaan di Belanda.
Kebesarannya sebagai seniman penulisan daun
lontar tertua di Bali tidak membuatnya tinggi hati. I Wayan
Mudita menyadari tidak ada daya yang ia miliki tanpa
pertolongan Tuhan. Karena itu, setiap kali ingin memulai
proses penulisan, ia selalu berdoa kepada Dewi Saraswati.
Rasa baktinya itu ia wujudkan dengan mengawali setiap

193
karyanya dengan ungkapan bahasa Bali yang artinya adalah
“semoga tidak ada halangan”.
Beberapa tahun belakangan, I Wayan Mudita mulai
sulit menulis di daun lontar. Kedua tangannya tidak semantap
sewaktu beberapa tahun lalu. Tangannya mulai bergetar
kala Ia harus memantapkan posisi agar dapat menggoreskan
huruf-huruf di daun
lontar dengan baik. Ia
sangat berharap dapat
mewariskan keahliannya
kepada generasi muda.
Jika ada calon murid
atau lembaga yang
mengajaknya mengajar
teknik penulisan di daun
lontar, ia membuka lebar
pintu rumahnya untuk
mengajar.
Sebagai tokoh
yang sangat layak
menerima Anugerah
Kebudayaan 2019 untuk
kategori Pelestari, I Wayan
Mudita tidak pernah
melandasi usahanya
dengan harapan menerima
berbagai penghargaan.
Ketika ditanya apa rahasianya dapat melakukan itu, ia
menyampaikan kutipan ajaran Maha Raja Khrisna kepada
Arjuna, “Orang yang bekerja itu jangan memikirkan dalam
hati kita bekerja. Orang yang tidak bekerja tetapi pikirannya
bekerja.” ***

194
BIODATA

Nama : I Wayan Mudita Adnyana


Lahir : Tenganan, Karangasem, 31 Desember 1930
Alamat : Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten
Karangasem.
Penghargaan:
n Penghargaan Seni Piagam Dharma Kusuma Madia, Dalam
Bidang Sastra, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali (1987)
n Pemenang II Lomba Menulis Lontar dan Prasi, Gubernur
Kepala Tingkat I Bali (1984)
n Seniman Penulis Lontar dari Taman Budaya Denpasar (1990)
n Seniman Sastra, Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem
(1991)
n Peserta Sayembara Sastra Daerah Kabupaten Karangasem
(1973)
n Narasumber dalam Temu Seniman Tua, Taman Budaya
Denpasar (1996)
n Sertifikat Pengharrgaan sebagai partisipan acara
Kebudayaan Kecunduk pada Desember 2018 dari Konsulat
Jenderal Jepang di Denpasar

195
Haji Abdul Chaer
Meluruskan Persepsi
Keliru terhadap
Budaya Betawi

Abdul Chaer adalah seorang linguis yang


memberikan perhatian pada bahasa dan budaya
Betawi. Ia menulis empat kamus dan 41 buku
yang banyak mengupas bahasa dan budaya
Betawi, antara lain, Kamus Dialek Jakarta dan
Folklor Betawi. Atas kepeduliannya tersebut,
pensiunan lektor kepala mata kuliah lingustik
pada Universitas Negeri Jakarta ini menerima
penghargaan Anugerah Kebudayaan kategori
Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2019.

A bdul Chaer mendalami kebudayaan Betawi sejak


ia menyusun kamus Kamus Dialek Melayu Jakarta-
Bahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh Nusa Indah
pada 1976. Di masa itu, seorang teman sejawatnya
dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
menunjukkan kamus bahasa Betawi-Jerman yang
disusun oleh warga Jerman. Kamus yang ditulis orang
asing itu membuatnya—sebagai orang Betawi—
tergerak untuk menyusun kamus bahasa ibunya.
Dalam perjalanannya menyusun kamus bahasa
Betawi, ia kemudian menemukan varian yang kaya
dari dialek Betawi. Dialek Betawi di Ciputat berbeda

196
dengan dialek Betawi di Tanah Abang. Demikian juga dengan
dialek Betawi di tempat asalnya, di Karet Kubur. Seperti
ungkapan berapah (dialek Ciputat), berapeu (Tanah Abang)
dan berape (Karet Kubur). Dengan banyaknya varian dialek
tersebut, dalam penyusunan kamus dialek Betawi, Abdul
Chaer memutuskan untuk menggunakan salah satu dialek,
yaitu dialek Karet Kubur.
Sejak penyusunan kamus
tersebut, guru dan dosen bahasa
Indonesia ini banyak didatangi oleh
perorangan atau lembaga untuk berkarya
dalam bidang bahasa dan budaya Betawi.
Antara lain, ia diminta oleh Lembaga
Kebudayaan Betawi (LKB) untuk menjadi
anggota pakar. Kepercayaan dari LKB
tersebut mendorongnya untuk semakin
menekuni budaya Betawi. Dorongan
itu semakin tumbuh ketika Abdul Chaer
berjumpa dengan Penerbit Komunitas
Bambu di Depok, yang memberikan
ruang terbitnya buku-buku mengenai
kebudayaan Betawi.
Semakin ia mendalami budaya
Betawi, semakin banyak varian
kebudayaan Betawi yang menurutnya
berkaitan dengan penguasaan tanah-tanah di Jakarta dan
sekitarnya di masa Gubernur Jenderal Herman Willem
Daendels (era penjajahan Belanda). Ketika VOC dibubarkan
karena korup dan digantikan Pemeritah Hindia Belanda
(1799). Hindia Belanda yang saat itu tidak memiliki banyak
uang, melalui Gubernur Jendral Daendels, menjual tanah di
Batavia dan sekitarnya agar dapat membangun jalan dari
Anyer sampai Panarukan. Ia menjual tanah-tanah kepada

197
sesama orang Belanda, Tionghoa dan Arab, yang kemudian
dapat menguasai tanah secara mutlak, termasuk pajak dari
tanah-tanah tersebut.
Di Tangerang, Cengkareng, tanah-tanah banyak
dibeli oleh tuan tanah Tionghoa. Para tuan tanah ini, dalam
hal kesenian sering meminta orang Betawi setempat
menyajikan hiburan yang juga dapat dinikmati oleh tuan
tanah. Karena itu seni Betawi yang berkembang di daerah
yang tuan tanahnya Tionghoa berakulturasi dengan seni
Tionghoa, seperti tarian Cokek dan gambang kromong.
Sementara di Cileungsi, yang tuan tanahnya orang Belanda,
berkembang Tanjidor, seni Betawi yang menggunakan alat
musik dari Eropa dan tarian Topeng yang disenangi orang
Eropa. Di Karet dan Condet berkembang kesenian Betawi
berupa gambus dan tari Japin, pengaruh dari tradisi bangsa
Arab. Penelitian Abdul Chaer tersebut tertuang dalam buku-
buku yang ia tulis.
Setelah pensiun dari pekerjaan mengajar, Abdul
Chaer semakin produktif menulis buku-buku mengenai
kebudayaan Betawi, antara lain buku Folklore Betawi
yang sudah dua kali cetak. Buku ini mendokumentasikan
kebudayaan Betawi yang diwariskan turun-temurun secara
lisan, antara lain cerita-cerita Betawi, adat istiadat, hingga
pembuatan obat-obat tradisional.
Dalam mendokumentasikan bahasa dan kebudayaan
Betawi, banyak tantangan yang Abdul Chaer hadapi. Di
antaranya persepsi keliru terhadap budaya Betawi. Misalnya
terkait watak orang Betawi yang menyukai humor. Banyak
film, lenong di teve, dan penampilan stand up komedi
yang menyajikan humor Betawi dengan cara mengejek,
merendahkan sesama dan menggambarkan orang Betawi
yang bodoh. “Orang Betawi itu suka humor. Humor sudah
menjadi ciri masyarakat Betawi, tetapi lucunya orang Betawi

198
itu tidak menghina, melainkan membalikkan akal, agar kreatif
berpikir,” jelas Abdul Chaer. Karena itu, ia terdorong untuk
menulis buku yang mengupas humor Betawi. Tujuannya agar
masyarakat lebih memahami hakikat humor Betawi, seperti
buku Cekakak-Cekikik Betawi dan Ketawa-Ketiwi Betawi. Ia
juga menulis buku humor Betawi yang mengkritisi keadaan
masyarakat saat ini pada bukuny,a Kebijakan dan Politik
dalam Ketawaan.
Demikian juga dalam bahasa Betawi, masyarakat
sering keliru bahwa satu-satunya bahasa Betawi itu bahasa
percakapan lu-gue. Padahal, menurutnya, masyarakat
Betawi hanya menggunakan bahasa tersebut dalam
percakapan sehari-hari dan dengan lawan bicara yang setara.
Seseorang yang lebih muda tidak menggunakan bahasa lu-
gue kepada orang yang lebih tua. Demikian juga dalam acara
resmi, seperti pernikahan atau sunatan, masyarakat Betawi
menggunakan bahasa Melayu tinggi yang sekarang dikenal
sebagai bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah provinsi
dan pemerintah pusat memberikan perhatian yang lebih
baik untuk keberlanjutan bahasa dan budaya
Betawi. Sebagaimana yang pernah dilakukan
o l e h Gubernur Ali Sadikin, yang
progresif mendirikan
Taman Ismail Mardzuki,
antara lain, untuk
memberi ruang,
menghidupkan
kembali seni tradisi
Betawi. Pengajar
bahasa ini juga
berharap dukungan
untuk kelestarian dan

199
perkembangan budaya-budaya ini dilakukan di seluruh
Indonesia. “Harapan saya, pemerintah pusat atau pemerintah
di daerah lebih mengembangkan kebudayaan masing-masing
daerah, sehingga kita satu jadi orang Indonesia. Tidak seperti
sekarang, terpecah, sebagai bangsa Indonesia,” tuturnya.
Untuk mewariskan pengetahuan mengenai bahasa
dan budaya Betawi, sejak menjadi dosen ia mendorong
mahasiswanya untuk mendalami bahasa dan budaya Betawi.
Hingga saat ini, ia juga terbuka dengan para peneliti yang
ingin berdialog bersamanya mengenai bahasa dan budaya
Betawi. Penulis 41 buku ini juga terus produktif untuk
menuliskan pengetahuan bahasa dan budaya Betawi. Saat
ini Abdul Chaer bersama penerbit Komunitas Bambu sedang
menyelesaikan penerbitan buku yang berjudul Betawi dalam
Perkembangan Kota dan Penduduk Jakarta.
Terkait penghargaan yang diterimanya dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Abdul
Chaer menyampaikan: “Alhamdulillah, dengan adanya
penghargaan ini, pemerintah telah menaruh perhatian pada

200
pelaku kebudayaan. Saya merasa gembira, bangga, bersyukur
bahwa pemerintah memberikan pengharaan pada upaya-
upaya untuk meningkatkan kebudayaan Indonesia. Semoga
upaya ini dapat dilanjutkan oleh generasai selanjutnya,”
ujarnya. ***

BIODATA

Nama : Drs H Abdul Chaer


Lahir : Jakarta, 8 November 1940
Istri : Dra Hafsah Oya
Pendidikan :
- Post Graduate Bidang Linguistik, Universitas Leiden
- Sarjana Pendidikan, IKIP Jakarta
- Sarjana Muda, IKIP Jakarta
- SGA, Jakarta
- SGB, Jakarta
- SR, Jakarta
Keahlian :
Penyusun kamus bahasa Betawi dan penulis budaya Betawi
Karier :
- Anggota penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai
Pustaka)
- Anggota penyusun Kamus Bahasa Indonesia (Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa)
- Anggota penyusun Kamus Sinonim Bahasa Indonesia (Nusa
Indah)
- Anggota penyusun Kamus Ejaan Standar (Lembaga Bahasa
Nasional)
- Dosen Jurusan Bahasa Indonesia, FBS, IKIP Jakarta
- Dosen luar biasa Universitas Prof Dr Hamka
- Guru SMA Regina Pacis, Jakarta
- Guru SD, Jakarta
Karya Kamus :
- Kamus Bahasa Malaysia-Indonesia (Rineka Cipta, 2004)

201
- Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (Rineka Cipta, 1997, 1998)
- Kamus Idiom Bahasa Indonesia (Nusa Indah, 1984, cetakan II
1986, cetakan III 1993)
- Kamus Dialek Melayu Jakarta- Bahasa Indonesia (Nusa Indah,
1976, cetakan II 1982)
Karya 41 buku, antara lain :
- Potret Ibu Kota Kita
- Dongeng Betawi
- Tenabang Tempo Doeloe
- Betawi Tempo Doeloe
- Filsafat Bahasa
- Pembinaan Bahasa
- Folklor Betawi
- Ragam Bahasa Ilmiah
- Cekakak-Cekikik Betawi
- Ketawa-Ketiwi Betawi
Penghargaan :
- Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (2019)
- Penghargaan sebagai Pelaku Budaya dari Bentara Budaya
Jakarta (2017)
- Anugerah Budaya sebagai Budayawan dari Gubernur DKI
Jakarta (2011)
- Etnikom Award dari Persatuan Radio Radio Swasta Sumatera
Selatan, Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat (2002)
- Penghargaan atas Kepedulian terhadap Bahasa dan Budaya
Betawi dari Gubernur DKI Jakarta (2002)

202
Musik Keroncong Tugu
Kebudayaan
Nasional yang Lahir
di Kampung Tugu

Musik keroncong Tugu dikreasi warga keturunan


Portugis di Kampung Tugu, Jakarta Utara,
sejak 1661. Meskipun alat musik yang digunakan
mengadaptasi alat musik Portugis, jenis musiknya
khas kreasi warga Kampung Tugu. Cikal bakal
ragam aliran musik keroncong di Indonesia ini
diwariskan dari generasi ke generasi. Beberapa
grup yang melestarikan musik keroncong Tugu,
antara lain grup Orkes Keroncong Cafrinho Tugu,
Muda Mudi Cornelis dan Krontjong Toegoe.

T ahun 2015 musik keroncong Tugu dinobatkan


sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Pemprov
DKI Jakarta. Tahun 2019, musik yang memperkaya
kebudayaan nasional ini menerima Anugerah
Kebudayaan kategori Pelestari dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Seni musik keroncong Tugu lahir dari
masyarakat keturunan Portugis yang tinggal di
kampung Tugu, Jakarta Utara. Menurut Guido
Quiko—pemimpin Orkes Keroncong Cafrinho Tugu,
ketika Malaka (yang dikuasai Portugis) jatuh ke
tangan Belanda (1641), sekitar 800 tawanan Portugis

203
diasingkan ke Batavia. Dari tawanan tersebut, pada tahun
1661, 23 keluarga dimerdekakan dan diberi kebebasan untuk
tinggal tanpa membayar pajak di area seluas 20 hektar di
Kampung Tugu, dengan persyaratan berpindah keyakinan
dari Katolik ke Kristen Protestan. Sejak itu, banyak nama
fam Portugis kemudian diubah menjadi nama fam Belanda
seperti Andres, Cornelis, Mihils, Abraham dan Browne.
Kecuali fam Quiko, karena saat itu sesepuh dari fam Quiko
seorang penginjil.
Di Kampung Tugu, yang masa itu masih hutan lebat,
23 keluarga Portugis hidup dari bercocok tanam, berburu,
dan memancing ikan. Di kawasan rawa-rawa Cilincing
itulah eks orang buangan yang dijuluki kaum Mardikers ini
membangun komunitas yang kini dikenal sebagai orang
“Kampoeng Toegoe”.
Untuk menikmati hiburan, mereka harus berjalan
kaki dengan jarak tempuh yang jauh dan melalui hutan lebat,
ke area Kota Tua. Karena itu, mereka membuat alat musik
sendiri yang dibuat dari batang kayu bulat, dari beberapa
jenis pohon antara lain pohon nangka, kenanga dan waru.
Mereka membuat gitar kecil menyerupai tapakkunyo—alat
musik tradisi Portugis. Mereka menyebutnya alat kreasinya,
macina. Terbuat dari kayu yang dibobok di bagian tengah
dan diberi senar dari kulit pohon waru. Alat musik macina
ini menghasilkan bunyi crong.. croong… crooong. Ketika
mereka sedang memainkan macina, orang Betawi di masa

204
itu menyebutnya “orang Tugu lagi crang crong”. Pada
perkembangan selanjutnya, musik masyarakat Tugu itu
disebut musik keroncong.
Musik keroncong itu pada mulanya dimainkan
masyarakat Tugu untuk melepas lelah setelah berladang. Di
waktu petang, mereka beristirahat minum kopi, bernyanyi
sambil memainkan macina. Lama-kelamaan banyak orang
Betawi dan orang Belanda yang menyukainya, datang ke
Kampung Tugu untuk menikmati musik crang crong itu.
Kemudian para pemusik Indies menyerap cara bermain
musik masyarakat Kampung Tugu dengan menggunakan
ukulele. Banyak orang Betawi juga yang memainkan musik
crang crong ini ke Tugu sambil membawa alat musik mereka,
seperti suling dan rebana. Musik tradisi Tugu yang kemudian
dikenal sebagai musik keroncong ini belakangan dibawa ke
beberapa wilayah oleh penggemarnya dan melahirkan musik
keroncong dengan kekhasannya sendiri-sendiri. Seperti di
Gambir berkembang musik keroncong Old Batavia, di Pasar
Baru berkembang Life Java, di Kemayoran berkembang the
Crocodile.
Di masyarakat Tugu sendiri mulai terbentuk kelompok
keroncong yang dipimpin Yosep Quiko. Ia mengumpulkan
para pemuda di Tugu untuk bergabung dalam Himpunan
Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe, anno 1925.
Menginjak tahun 1935, himpunan ini dikelola oleh adiknya,
Jacobus Quiko. Mulai tahun 1950 himpunan keroncong ini

205
semakin menunjukkan pakem, gaya permainan yang menjadi
ciri khas keroncong Tugu.
Pada tahun kemerdekaan RI, 1945, banyak
pemberontakan yang mengatasnamakan etnis, agama,
suku, yang ingin menyerang masyarakat keturunan
Portugis di Kampung Tugu. Bersyukur ada seorang tokoh
masyarakat, Haji Nasrum, yang membela orang Kampung
Tugu dan menyatakan bahwa keturunan Portugis di
Kampung Tugu juga termasuk orang pribumi. Di masa itu,
sebagian masyarakat Kampung Tugu eksodus ke Papua
dan Belanda. Hal itu, sebagaimana juga dituturkan Arthur
James Michiels—pemain bas dari grup Krontjong Toegoe.
Ayahnya, Arend Juan Michiels, termasuk yang mengalami
eksodus pada 31 Desember 1950. Pertama mereka eksodus
ke Penjambon lalu ke Belanda. Sejak itu musik keroncong
Tugu sempat mengalami vakum hingga tahun 1970-an.
Keadaan berubah setelah Gubernur DKI (saat
itu) Ali Sadikin mengintruksikan masyarakat Tugu untuk
menunjukkan kembali potensi yang ada di Kampung Tugu,
termasuk musik keroncong Tugu. Tujuannya agar keberadaan
masyarakat Tugu diakui pemerintah. Gereja Tugu yang
dibangun sejak keturunan Portugis membuka lahan ini pun,
oleh Ali Sadikin diangkat statusnya menjadi cagar budaya.
Di masa itu, Jacobus selaku pemimpin Orkes
Poesaka Krontjong Moresco Toegoe, anno 1925 mengajak
masyarakat Tugu untuk menghidupkan kembali seni mereka.
Tahun 1978, Jacobus meninggal, kemudian digantikan
anaknya selama dua tahun. Karena anaknya seorang pelaut,
kepemimpinan grup keroncong ini dialihkan kepada Samuel
Quiko. Di masa kepemimpinan Samuel Quiko ini banyak
upaya dilakukan agar pemerintah semakin mengenali dan
mendukung keberadaan musik keroncong Tugu. Upaya itu
meraih pengharggaan budaya dari Pemerintah Provinsi DKI

206
Jakarta. Hingga saat ini keroncong Tugu mulai tampil di
berbagai tempat, antara lain di Pasar Malam Besar (saat ini
dikenal Tongtong Festival) di Belanda.
Namun, akibat kurangnya minat kaum muda
terhadap musik keroncong, Orkes Poesaka Krontjong
Moresco Toegoe, anno 1925 ini pun perlahan-lahan redup
alias mati suri. Pada tahun 1988, Arend Michiels merasa
terpanggil untuk mengangkat kembali kejayaan musik leluhur
mereka itu. Ia pun lalu mendirikan Grup Kerontjong Toegoe,
di mana seluruh anggota pemainnya adalah orang-orang
muda. “Sejak itu, proses regenerasi dalam Grup Kerontjong
Toegoe terus dipertahankan,” kata Adre Juan Michiels,
yang pada akhir 1990-an mengambil alih kepemimpinan
Grup Keroncong Toegoe sejak sang papa, Arend Michiels,
meninggal dunia.
Empat Michiels bersaudara—Adre, Arthur James,
Sartje Margaretta, dan Milton Augustino—menjadi motor
Grup Kerontjong Toegoe bersama anak-anak “Kampoeng

207
Toegoe” lainnya, termasuk mereka yang sudah bermukim
di luar Kampung Tugu. Di penghunjung 1990-an hingga
awal 2000-an, mereka berlatih tiap Rabu malam di rumah
kontrakan Andre di kawasan Kampung Tugu.
Sementara itu, tahun 2006 Samuel Quiko selaku
Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe, anno 1925
meninggal dunia. Kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya,
Guido Quiko. “Sepeninggalan papa, saya menarik kembali
orang-orang Tugu untuk mempertahankan tradisi agar tetap
murni dan lestari,” tutur Guido. Hingga saat ini, di kediaman
Guido diselenggarakan latihan rutin setiap Selasa malam
dan terus merawat lagu-lagu yang diciptakan oleh generasi
Tugu sebelumnya, untuk disajikan kepada masyarakat yang
lebih luas. Himpunan Orkes Poesaka Kerontjong Morescho
Toegoe – Anno 1661 kini bernama Orkes Keroncong Cafrinho
Tugu, yang dikenal Keroncong Tugu.
Grup Orkes Keroncong Cafrinho Tugu mengeluarkan
dua album yang memuat lagu-lagu ciptaan nenek moyang
mereka, antara lain lagu KR Moresco. Pertunjukan Orkes
Keroncong Cafrinho Tugu juga terus berjalan. Begitu pula
Grup Kerontjong Toegoe, juga terus eksis. Di Indonesia,
mereka memberikan pertunjukan hampir di setiap pulau.
Mereka juga tampil hingga ke mancanegara, antara lain:
Timor Leste, Malaka, Jepang dan Belanda. Pemerintah DKI
memberikan dukungan pada musik keroncong Tugu sebagai
salah satu kantong budaya di DKI dan menjadikan keroncong
Tugu sebagai Warisan Cagar Budaya Tak Benda sejak tahun
2015.
Selain grup Orkes Keroncong Cafrinho Tugu terdapat
beberapa grup musik keroncong yang turut menghidupkan
kembali musik nasional ini, antara lain grup Kerontjong
Toegoe yang digagas oleh Arend Michiels. Tahun 1963,
Arend Michiels kembali ke Kampung Tugu dari negara tujuan

208
eksodusnya –Belanda. Ia mengumpulkan anak muda di
kampung Tugu dari fam Cornelis, Abraham, Michiels dan
fam lainnya. Tahun 1988 mereka membuat grup yang diberi
nama Krontjong Toegoe yang dikoordinir oleh Franky
Abraham. Franky Abraham kemudian menyerahkan estafet
kepemimpinan grup kepada Andre Juan Michiels. Banyak
kota dan negara yang telah didatangi oleh grup ini dalam
rangka memperkenalkan musik keroncong Tugu antara
lain Bandung, Aceh, Sawah Lunto, Padang Panjang, Solo,
Ternate, Tanjung Enim bahkan sampai ke negara Belanda,
Portugal, Singapura, Tokyo dan Malaka.
Di tengah berkembangnya aliran
musik keroncong, apakah yang menjadi kekhasan dari
musik keroncong Tugu? Kedua grup ini menyampaikan
pandangannya sebagai berikut: Menurut Guido dari Orkes
Keroncong Cafrinho Tugu, kekhasan keroncong Tugu ada
pada warna musiknya. “Musiknya tidak berlebihan, tidak
harus bermain musik di kunci atau cord yang sulit. Karea itu,
keroncong Tugu itu dikenal juga sebagai keroncong lugu,”
tutur Guido. Namun demikian, mereka memainkannya
dengan penjiwaan dan permainan yang memesona,
sehingga para pendengar dapat menikmatinya. Kekhasan
lainnya ada pada alat musik macina yang diciptakan nenek
moyang mereka dan rebana, alat musik yang diserap dari
kebudayaan Betawi. Tentu juga dengan lagu-lagu yang lahir
di Kampung Tugu, antara lain Old Batavia dan Bunga Teratai.
Selain itu, kekhasannya terletak pada kostum sadaria yang
mereka kenakan.
Arthur dari Krontjong Toegoe juga menjelaskan
keistimewaan musik keroncong Tugu, selain menggunakan
alat musik rebana—yang tidak dimainkan pada keroncong
gaya Soloan—juga minus alat musik tiup. Lagu-lagu yang
mereka sajikan juga beragam: dari lagu yang berbahasa

209
Portugis, Indonesia, hingga yang berbahasa kreol (bahasa
Portugis yang sudah diadaptasi sedemikian rupa di
masyarakat Tugu). Lagu berbahasa kreol ini, antara lain,
yang berjudul Yan kaga leti (dalam penulisan bahasa Kreol)
atau Jan Cagar Letie (dalam penulisan bahasa Portugis).
Artinya Yan: nama seorang pendeta Belanda di Kampung
Tugu; Kaga = buang air besar; leti = susu. Maksudnya lagu
ini mengisahkan wabah kolera yang pernah menyerang
masyarat Kampung Tugu di masa penjajahan Belanda.
Untuk merawat kelestarian musik keroncong Tugu,
kedua grup ini juga membina grup keroncong anak muda.
Orkes Keroncong Cafrinho Tugu membina grup Keroncong
Tugu Junior. Keroncong Tugu Junior terdiri dari para pemusik
dan penyanyi dari usia SD hingga SMA. Seniman-seniman
yang terlatih di Keroncong Tugu Junior ini yang kelak
diharapkan dapat melanjutkan estafet perjalanan Orkes
Keroncong Cafrinho Tugu. Sementara Grup Kerontjong
Toegoe membina grup anak muda De Mardijkers (dalam
bahasa Belanda artinya orang-orang yang dimerdekakan).
Grup Kerontjong Toegoe juga memberikan workshop
musik keroncong pada generasi muda, dan ekstrakurikuler
musik keroncong di sebuah sekolah katolik di Jakarta.
Juga dukungan informasi dan konsultasi bagi mahasiswa
yang melakukan tesis mengenai musik keroncong. Selain
itu, mereka juga melahirkan empat album yaitu: Romantic
Souvenir, Keroncong Tugu in Blue, Di Pesisir Utara, dan
the Mardikers. Grup yang sudah 31 tahun dibentuk ini
juga pernah diundang oleh Presiden RI Susilo Bambang
Yudoyono dan Presiden RI Joko Widodo untuk menyajikan
musik keroncong, terutama bila Indonesia dikunjungi tamu
dari Portugal.
Atas anugerah budaya dari Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan terhadap seni musik keroncong Tugu, Guido

210
menyampaikan, “Saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas penghargaan untuk pelestarian dan
upaya pemerintah yang telah berbuat untuk seniman kecil
seperti kami. Ini membuat saya terharu. Semoga anugerah
kebudayaan ini dapat berguna buat kita semua, amin.” Hal
senada disampaikan Arthur. “Kami akan sangat bersyukur
karena perjuangan kami tidak sia-sia. Semoga, melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seni keroncong
misa masuk ke sekolah mulai dari SD hingga SMA. Karena,
menurut saya, untuk membentuk seseorang yang mencintai
negerinya melalui pendekatan budaya, bukan pendekatan
politik atau agama,” kata Arthur.***

BIODATA

Tahun berdiri : sejak 1661


Pediri : Masyarakat Kampung Tugu, Jakarta Utara
Karya : Genre musik keroncong
- Alat musik “macine”
- Lagu-lagu keroncong, antara lain:
- Orkes Keroncong Cafrinho Tugu: Old Batavia dan Bunga
Teratai (Orkes Keroncong Cafrinho Tugu); Romantic Souvenir,
Keroncong Tugu in Blue, Di Pesisir Utara, dan the Mardikers
(Grup Kerontjong Toegoe)

Penghargaan :
- Anugerah Kebudayaankategori Pelestari dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2019)
- Warisan Budaya Tak Benda dari Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta (2015)

211
Lesi Katik Ara
Pelestari Syair Gayo
dan Didong

“Pengembara udara danau, Bisikkan daku


rahasiamu, mengatur ombak, hingga perahu
berlayar atas desahmu. Ikan berenangan di bawah
lenganmu…” demikianlah sepenggal bait puisi
karya Lesi Katik Ara yang akrab disapa LK Ara.
Melalui penggalan bait puisi yang berjudul “Angin
Laut Tawar” itu, LK Ara seakan menyampaikan
kerinduan yang teramat dalam akan kampung
halamannya di Aceh Tengah. Kerinduan yang
terpatri mendalam dalam jiwa LK Ara yang
memang sejak kecil hidup di tengah keindahan
panorama Laut Tawar di Takengon.

P engalaman masa kecil yang akrab bermain di


tengah-tengah alam yang indah mematrikan LK
Ara kehalusan budi sehingga kelak menjadikan L.K.
Ara menjadi sosok penyair yang dikenal tekun dan
produktif dalam berkarya. Dari tangannya sudah lahir
ribuan puisi yang bercerita banyak persoalan alam,
manusia dan Tuhan. Pria yang lahir di Takengon, Aceh,
12 November 1937, ini memiliki apresiasi yang sangat
tinggi baik terhadap dunia puisi, sastra pada umumnya,
budaya sampai pada cerita anak-anak, cerita-cerita
rakyat dan lain sebagainya.

212
Ara juga aktif dalam mendokumentasikan dan
melestarikan kesenian khas Aceh. Satu di antara tradisi yang
ikut dilestarikan oleh LK Ara adalah pendokumentasian syair-
syair Gayo dan tradisi Didong.
L.K. Ara sendiri membedakan antara syair Gayo dan
Didong. Menurutnya, kendati keduanya sama-sama didengungkan
akan tetapi keduanya memiliki perbedaan. Didong
sendiri lebih banyak membicarakan
masalah duniawi, sementara syair Gayo
lebih banyak membicarakan tema-tema
religius yang biasanya menggunakan
serta memakai tradisi Islam sebagai media
penyampaiannya.
Semenjak LK Ara memasuki
masa pensiun dari Balai Pustaka pada
1985, di samping menulis cerita untuk anak-anak
ia juga aktif dalam mendokumentasikan syair-
syari Gayo yang biasa didendangkan oleh seniman-
seniman Gayo, yang sayangnya syair-syair tersebut belum
terdokumentasikan dengan baik. Berangkat dari keprihatian
tersebut, Ara akhirnya memutuskan untuk mengumpulkan
semua syair Gayo meski menggunakan modal sendiri untuk
mengumpulkanya. Ia sering mengundang para seniman
Aceh untuk datang ke rumahnya sambil mendendangkan
syair-syair Gayo. Setiap merek datang itulah, Ara menuliskan
langsung lirik-lirik syair tersebut, yang disalin lewat rekaman
kaset yang tebalnya sudah ribuan halaman. Menurut
Ara, andai teks-teks puisi dalam bahasa Gayo tersebut
diterjemahkan dari bahasa Gayo ke dalam bahasa Indonesia,
bisa mencapai 2 juta halaman lebih.
LK Ara sudah melakukan pendokumentasian
tersebut selama berpuluh-puluh tahun. Selama itu, berbagai
tantangan datang: mulai dari modal yang makin berkurang,

213
hingga termasuk syair-syair tersebut yang tercecer dan hanya
dihafal oleh para seniman sendiri. Menurut Ara, para penyair
biasanya tidak terlalu peduli dengan pendokumentasian,
sehingga untuk mengumpulkan syair-syair tersebut ia harus
berkeliling menjumpai orang-orang yang masih memiliki
ingatan kuat akan syair-syair Gayo dan Didong. Misalnya,
kata Ara, bagaimana ketika ia berusahan mengumpulkan
syair-syair Teuku Yahya di mana ia harus menjumpai langsung
istri sang penyair. Usaha tersebut pun tidak berhasil karena
istri Teuku Yahya juga tidak banyak mengingat syair-syair
suaminya. Tanpa mengenal lelah dan putus asa, Ara pun
melanjutkan pencarian informasi melalui murid-murid Teuku
Yahya, sehingga pada akhirnya datanglah Siti Juariah yang
ternyata masih ingat semua lagu-lagu gurunya tersebut.
Di samping mendokumentasikan syair-syair tersebut,
Ara memiliki keinginan untuk memperkenalkannya lebih
luas kepada masyarakat syair-syair Gayo dan Didong. Ia pun
bersama beberapa kawannya, seperti K Usman, Rusman
Sutiasumarga dan M Taslim Ali memfasilitasi seniman dari
Gayo, yaitu Adul Kadir To’et, untuk tampil di beberapa event
di Indonesia. Demikianlah beberapa kontribusi Ara terkait
dengan pelestarian syair-syair Gayo dan Didong.
Selain aktif mendatangi kawan-kawan lainnya untuk
membantu mereka, Ara tetap terus aktif berkarya. Karya-

214
karya LK Ara tersebar luas, baik yang dipublikasikan di dalam
negeri maupun luar negeri. Di antara sebagian puisinya
dapat ditemukan dalam Tonggak (1995), Horison Sastra
Indonesia 1 (2002), dan Sajadah Kata (Syaamil, 2003). Adapun
karya-karya lain yang pernah terbit, yaitu Angin Laut Tawar
(Balai Pustaka, 1969); Namaku Bunga (Balai Pustaka, 1980);
Kur Lak Lak (Balai Pustaka, 1982); Cerita Rakyat dari Aceh 1
– 2 (Grassindo, 1995); Seulawah: Antologi Sastra Aceh Sekilas
Pintas (ed. YN 1995); Aceh Dalam Puisi (Syaamil, Bandung);
Belajar Puisi (Syaamil, Bandung, 2003); Langit Senja Negeri
Timah (YN 2004); Pangkal Pinang Berpantun (ed. DKKP, YN,
2004); Syair Tsunami (Balai Pustaka, 2006); Puisi Didong
Gayo (Balai Pustaka 2006); Tanoh Gayo Dalam Puisi (YMA,
2006); Kemilau Bener Meriah (YMA, 2006); Ekspresi Puitis
Aceh Menghadapi Musibah (BRR, 2006); Sastra Aceh (Pena,
2008); Antologi Syair Gayo (Pena, 2008); Ensiklopedi Aceh I
(ed. YMAJ, 2008); Malim Dewa dan Cerita Lainnya (ed. YMAJ,
2009); dan Ensiklopedi Aceh II (ed. YMAJ, 2009).
Berkat ketekunannya dalam dunia puisi dan budaya
pada akhirnya mengantarkan LK Ara untuk menduduki
beberapa posisi penting, seperti menjadi redakstur budaya
harian Mimbar Umum di Medan, menjadi pegawai Sekretariat
Negara, sampai ia bekerja di Balai Pustaka hingga pensiun
(1963–1985). Bersama beberapa kawannya, seperti K Usman,
Rusman Setiasumarga dan M Taslim Ali, ia mendirikan Teater
Balai Pustaka (1967). Ia pun banyak memperkenalkan penyair
tradisional Gayo, To’et, untuk tampil di kota-kota besar di
Indonesia.
Beberapa pertemuan penting pun banyak yang
diikutinya, seperti Kongres Bahasa Melayu Dunia, Kuala
Lumpur (1995), Pertemuan Sastrawan Nusantara IX di
Kayutanam, Sumatera Barat (1997), Pertemuan Dunia Melayu
Dunia Islam, Pangkal Pinang, Bangka (2003), Pertemuan

215
Dunia Melayu Islam, Malaka, Malaysia (2004). Ia pun
sempat mengikuti Festival Kesenian Nasional di Mataram
NTB (2007), Kongres Bahasa Indonesia di Jakarta (2008)
dan lain sebagainya. Berkat ketekunan dan keterlibatannya
yang maksimal di dalam dunia seni, pada tahun 2009 LK Ara
mendapatkan penghargaan Hadiah Seni dari Pemerintahan
Daerah Aceh.
Penyair yang mengidolai Motinggo Busye dan Taufiq
Ismail ini memiliki disiplin hidup yang patut menjadi insprasi
bagi siapa pun. Di luar kapasisitas dirinya sebagai penyair
pada umumnya, LK Ara masih meluangkan banyak waktunya
untuk kegiatan pelestari seni Gayo dan Didong. Berkat
kesabaran dan ketekunan inilah pada akhirnya Gayo memiliki
sistem dokumentasi seni dan sastra yang jauh lebih baik.
Atas ketekunannya itu, pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan memberinya Anugerah
Kebudayaan untuk Kategori Pelestari dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Karya-karya LK Ara dapat
dengan mudah dijumpai di media sosial, mulai dari Facebook
hingga grup WA Ruang Sastra dan Grup WA Seniman Aceh.
Inilah satu cara LK Ara untuk tetap eksis dalam jagad seni
puisi di Tanah Air, termasuk melestarikan syair Gayo dan
Didong di Indonesia. ***

BIODATA

Nama : Lesi Katik Ara


Lahir : Takengon, 12 November 1937.
Profesi : Penyair
Penghargaan:
- Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2019.

216
Memed Tjakra Gumelar
Harus Ikhlas
dan Rela Berkorban

Usianya sudah tidak muda lagi. Namun semangat


Memed Tjakra Gumelar untuk melestarikan
wayang golek dan seni tradisi Sunda umumnya
selalu menyala-nyala. Di usianya yang telah
menginjak 84 tahun, ia masih kuat mengunjungi
berbagai tempat untuk membina seniman-seniwati
muda agar regenerasi dalang dapat berjalan.

M emed Tjakra Gumelar juga aktif di berbagai


kesenian seperti teater rakyat, sinden, nayaga,
pencak silat, dan calung. “Abah baru pulang dari
Kuningan dan sempat tinggal di sana beberapa hari
untuk membagi pengalaman dengan pelaku seni
di sana. Yang penting doanya agar Abah kuat dan
sehat dalam menjalankan tugas,” tutur Memed Tjakra
Gumelar di rumahnya di Kampung Cikepok, Jampang
Tengah, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Untuk urusan wayang golek dan seni Sunda
pada umumnya, Memed tidak berpikir panjang bila
diminta untuk membina para pelaku seni di mana saja.
Bahwa untuk itu ia harus mengeluarkan biaya sendiri,
tak jadi soal baginya. Merupakan kebahagiannya
kalau ia bisa berbagi ilmu dan pengalamannya. Sebab,
dengan demikian ia merasa bisa ikut melestarikan

217
wayang golek dan seni Sunda lainnya yang penuh muatan
nilai kehidupan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia
dan alam semesta saat ini.
Yang mendorong Abah—begitu ia biasa disapa
ataupun mendaku dirinya, baik di rumah maupun komunitas
seninya—wayang golek dan kesenian lainnya adalah
bagian dari budaya bangsa yang beraneka ragam. Karena
keanekaragaman itulah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) bisa tetap berdiri tegak sampai sekarang karena NKRI
berdiri di atas keberagaman.
S o a l
manfaat, Ki Memed
menegaskan,
wayang golek dan
seni Sunda lainnya
memiliki banyak
manfaat. Selain
banyak pengetahuan
yang bisa ditimba
dari sana, juga
banyak ajaran
kehidupan yang
bisa digali demi menopang kehidupan itu sendiri. “Wayang
golek besar manfaatnya untuk hidup di dunia dan akhirat,”
tegas Ki Memed. Ia menjelaskan, kisah dalam wayang golek
yang bersumber dari kitab Mahabharata dan Ramayana
mengajarkan ilmu kehidupan agar hidup manusia makin
damai dan sejahtera.
Tentu tantangan untuk melestarikan itu tidak mudah.
“Banyak gangguan dari luar dan dalam,” katanya. Budaya
pop yang datang dari luar negeri seperti organ tunggal telah
menjadi gangguan yang bisa menggusur wayang golek dari
kehidupan sehari-hari. Tidak sedikit contoh seni dari luar

218
telah meminggirkan seni tradisi. Seni dari luar itu biasanya
datang dengan kekuatan besar dan pesona yang luar biasa.
Gangguan dari dalam negeri juga tidak kalah
besarnya. Memed tertarik dengan kebiasaan di Jawa
Tengah di mana pementasan wayang tidak hanya ditonton
oleh masyarakat biasa, tetapi juga para pejabat. Bahkan
jenderal pun ikut menonton. Ia merasa prihatin karena di
daerahnya di Sukabumi, dan Jawa Barat pada umumnya,
wayang golek belum dihayati dengan baik. Bahkan ada
yang mengharamkannya. Kenyataan itu justru membuat Ki
Memed makin bersemangat untuk melestarikan wayang
golek peninggalan nenek moyang itu.
Pelaku budaya ini menyadari betul untuk
melestarikan wayang golek, juga seni Sunda lainnya,
dibutuhkan pengorbanan. Pengorbanan tidak saja dalam
bentuk finansial, tetapi memberi waktu dan tenaga serta
empati. Tidak heran bila ia rela datang dari satu sanggar
ke sanggar lain untuk mengajar murid-muridnya. Ia juga
tak segan datang ke rumah muridnya bila muridnya tak
punya sanggar. Muridnya tersebar di sejumlah daerah dan
ia merasa bahagia karena masih ada generasi muda yang
mau memberikan perhatian pada keberlangsungan hidup
wayang golek serta seni lainnya.
Apa yang harus dilakukan untuk melestarikan itu?
“Pertama-tama kita harus ikhlas dan mau korban perasaan,”
ujarnya. Demi upaya pelestarian itu, ia tidak mau memungut
bayaran. Malah tidak jarang ia mengeluarkan dana sendiri.
“Bila perlu kita ikut beli nasi bungkus. Kayak budaya orang
dulu dalam melestarikan budaya. Tidak ada istilah tidak
punya ongkos,” tutur ayah enam anak yang masing-masing
telah memiliki pekerjaan yang mapan ini.
Sasaran utama pembinaannya adalah generasi
muda karena di pundak merekalah masa depan budaya

219
ada. Ia mengungkapkan dirinya harus mempelajari apa yang
disukai generasi muda. Karena itu, tidak jarang ia melakukan
terobosan agar anak-anak muda zaman now mau ikut
mencintai wayang golek dan seni tradisi lainnya, dan pada
gilirannya akan ikut melestarikannya. Tidak segan-segan
ia berdialog dengan mereka dan mau mendengarkan apa
yang mereka inginkan. Ternyata jurus dialog jadi jitu dalam
menjaring anak-anak muda. Perhatian mereka mulai tumbuh.
Kini, ia memiliki sekitar 20 orang di beberapa daerah.
“Di Kuningan ada dua, Sumedang ada dua, di
Banten ada, Bogor ada. Hampir di tiap kabupaten ada. Hal
itu membuat Abah keliling untuk memonitor. Sekarang
kami lebih banyak mendorong anak-anak muda. Yang tidak
punya padepokan, ya, kita langsung ke rumah. Kita belajar
bersama. Itu metodenya. Metode yang paling asyik adalah
kasih sayang,” ujarnya. Setelah berhenti mendalang tahun
1990, ia memutuskan mengajar generasi muda untuk jadi
dalang wayang golek.
Yang membuatnya kian bangga, animo murid-
muridnya untuk belajar mendalang cukup besar. Ada yang
masih duduk di bangku SMP tetapi telah mampu mendalang.
Di usianya yang sudah tergolong uzur, ia secara rutin harus
melakukan perjalan dari satu ke lain tempat agar bisa bertemu
dengan murid-muridnya. Semuanya itu ia laksanakan dengan
penuh suka cita. Seperti air, ia terus mengalir.
Ia merasa terpanggil untuk melestarikan wayang
golek dan seni tradisi Sunda lainnya karena mereka
mencintainya. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau
melestarikannya. Kapan lagi, kalau bukan sekarang. Itulah
program Abah,” ujarnya.
Ia menyadari wayang golek dan seni tradisi lainnya
sedang mengalami ujian saat ini agar tetap bisa bertahan.
Seperti roda, ada saatnya bagian tertentu dari roda ada di

220
bawah, dan bagian lainnya ada di atas, ia yakin akan tiba
saatnya wayang golek akan kembali mendapat perhatian
luas dari masyarakat. Yang penting, katanya, kita tetap mau
belajar. “Ingat, dengan ilmu kita mudah, agama buat kita
terarah, dan budaya buat indah,” ia memberi petuah.
Dalam melaksanakan misinya melestarikan wayang
golek dan seni tradisi Sunda lainnya, ia bisa melenggang
dengan ringan karena mendapat dukungan
penuh dari keluarga. Baginya, itu modal paling
utama. Ia menyadari betul, tanpa dukungan
keluarga dan anak-anaknya, upayanya untuk
melestarikan seni wayang golek tak bakal
berjalan mulus.
Memang, tidak ada satu pun
dari anak-anaknya yang mengikuti
jejaknya dalam berkesenian. Tetapi
Abah Memed tetap bahagia
karena banyak generasi muda yang
dianggapnya sebagai anaknya mau
ikut melestarikan seni tradisi tersebut
bersamanya.
Di usia 84 tahun, ia masih tampak
sehat. Resepnya, kata dia, sederhana.
Yang pertama adalah terus membagi ilmu
yang dimiliki. Bahkan ia tidak segan-segan
membagi ilmunya kepada orang asing
yang mau belajar padanya. Yang kedua,
tidak makan yang haram seperti uang
korupsi, dan cari hidup yang halal.
Hal lain yang membuat hidupnya
lebih rileks adalah kesukaannya terhadap
humor sebab ia sadar humor memiliki
banyak manfaat dalam hidup. Tidak

221
jarang di tengah percakapan dengannya selalu menyelipkan
humor, kadang humor yang pahit untuk melukiskan keadaan
masyarakat kita hari ini.
Abah Memed tak bisa menutup rasa haru dan
bahagianya ketika mendapat kabar bakal mendapatkan
Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari dari pemerintah
melalui Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia
berterima kasih karena pemerintah mau mengapresiasi apa
yang telah dilakukannya selama ini.
Ia menegaskan, upaya melestarikan wayang golek
dan seni tradisi Sunda lainnya selama ini dilakukannya bukan
untuk mengejar anugerah. Ada tidak ada anugerah, ia tetap
akan mengabdikan hidupnya untuk melestarikan wayang
golek dan tradisi lainnya. Baginya, itu adalah bagian dari
berbuat baik, bagian dari ibadah. Anugerah kebudayaan
yang kini diterimanya, katanya, memberinya semangat untuk
makin meningkatkan upaya melestarikan wayang golek dan
seni tradisi Sunda lainnya. Ia yakin semuanya akan bangkit
dan berkembang lagi serta makin banyak orang tertarik
padanya dan merasa bangga memiliki wayang golek dan seni
tradisi lainnya. ***

BIODATA

Nama : Memed Tjakra Gumelar


Lahir : Sukabumi, 1 Juni 1935
Istri : Tini Sutini

Anak :
- Drs H. Iyep Candra. H
- Heni Mulyani Spd
- Yeti Nurhayati Spd

222
- Diah Tjakrawati
- Ade Rucita Hudaya
- Asep Cakra Pangestu

Alamat : Kampung Cikepok, Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi


Pekerjaan: Pensiunan Kepala Sekolah Dasar

Penghargaan:
- 2019: Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
- 2017: Penghargaan dari Senawangi
- 2012: Piagan Penghargaan sebagai Pengabdi dan Pejuang
Pendidikan di Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi
- 1983: Piagam Penghargaan pada Pekan Wayang Indonesia IV
di Jakarta

223
Sujana Priya
Menghidupi “Kedok”
Hingga di Usia Senja

Wayang wong dari Cirebon memang sudah sekarat,


tetapi perajin “kedok”-nya masih tetap sehat di
usianya yang merangkak senja. Adalah Sujana Priya
yang tetap setia menghidupinya. Setiap hari, penari
wayang wong cirebonan dari Desa Suranenggala
Lor ini tiada henti mencungkil-cungkil potongan
kayu jaran yang bergeletakan di teras rumahnya
untuk dijadikan kedok alias topeng.

S ujana Priya adalah satu dari sedikit pembuat kedok—


sebutan orang-orang Cirebon dan sekitarnya untuk
topeng terbuat dari kayu—yang masih bersetia
menjaga seni tradisi warisan leluhur mereka. Baginya,
menjadi perajin kedok bukan semata karena ia bisa
mendapatkan penghasilan darl penjualan aneka
karakter kedok tersebut, tapi lebih dari itu apa yang ia
lakukan menjadi semacam panggilan hidup.
Aneka jenis topeng itu ia tatah dengan
pengerjaan sepenuh hati. Dimulai dari bonggol atau
potongan kayu jaran yang telah ia persiapkan, Sujana
pun duduk di atas dingklik kayu di teras rumahnya di
gang sempit di Desa Suranenggala Lor. Pahat besar
seperti bersaing dengan alat yang menyerupai cangkul

224
mini, menyisir bonggol kayu berbentuk segitiga yang ia
letakkan di atas bantalan kayu bulat-pipih. Merasa tak cukup
leluasa kerja di teras rumah, menjelang sore Sujana beringsut,
pindah ke halaman. Seperangkat alat tatah berupa pahat
dalam berbagai ukuran dan bentuk, dari yang besar hingga
yang paling kecil, ia gelar begitu saja. Sujana kembali bekerja,
menorehkan pahatan sedikit demi sedikit, sampai kemudian
terbentuklah wujud kasar karakter kedok—umumnya
berhidung runcing dengan mata besar dan berbibir tebal—
yang ia inginkan.
“Peralatan ini saya pesan khusus ke tukan pandai
besi. Lebih dari dari 20 jenis ukuran dan bentuknya,” ujar
Sujana sambil terus bekerja, tanpa menoleh ke lawan bicara
yang mengunjungi pada satu sore di awal September 2019.
Setelah lama tak lagi jadi penari topeng dalam
pertunjukan wayang wong cirebonan, lantaran panggilan
untuk naik pentas kian langka, maka membuat kedok menjadi
ruang pengabdian Sujana dalam upaya ikut melestarikan
seni tradisi ini. Sesekali ia bisa tersenyum lebar bila ada
kesempatan tampil unjuk kebolehan dalam membawakan
tari topeng. Undangan untuk pertunjukan wayang wong
memang semakin berkurang, tetapi menari dengan kedok
menutup muka juga bisa dilakukan sebagai penari tunggal
untuk jenis pertunjukan yang mereka sebut topeng babakan.
Menurut Sujana, dulu ada lebih 40 jenis kedok.
Masing-masing memiliki karakter sendiri-sendiri. Sekarang
malah berkembang hingga lebih dari 70 jenis kedok. Akan
tetapi penggunaannya dalam seni pertunjukan, khususnya
dalam tari topeng babakan, semua itu tetap saja masuk dalam
lingkup apa yang ia sebut sebagai “panca wanda” (baca:
topeng lima rupa): topeng panji, topeng samba/pamindo,
topeng rumiang, topeng tumenggung/patih, dan topeng

225
kalana/kelana. Tiap lingkup
kategori itu merepresentasikan
simbol perjalanan hidup
“manusia Cirebon”.
Mengutip Theodoor
Gautier Thomas Pigeaud
(1889-1988) dalam
Javaansche Volkvertoning,
Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional (BKSNT, kini Balai Pelestarian
Nilai Budaya, BPNB) Bandung melaporkan, sejak
dulu memang terdapat dua jenis tari topeng gaya cirebonan.
Pertama, pertunjukan topeng yang di dalamnya ada cerita
atau lakon wayang. Pegeaud menyebutnya groot maskerspel,
yang dalam khazanah kesenian tradisional Cirebon dinamakan
wayang wong cirebonan. Kedua, pertunjukan topeng yang
hanya menggunakan tari-tarian tunggal (disebut Pegeaud
sebagai kleine maskerspel), tanpa cerita khusus, yang
kemudian dinamakan tari topeng babakan.
Adapun “panca wanda” yang mempresentasikan
simbol perjalanan hidup “manusia Cirebon”, yang mendasari
tarian topeng babakan, tervisualisasi lewat beragam karakter
dari masing-masing jenis tari topeng yang disajikan. Pada
topeng panji, bentuk karakternya halus berwarna putih-bersih
seperti bayi yang baru lahir. Sementara pada topeng samba
atau pamindo, bentuk topeng menggambarkan karakter
manusia menginjak masa remaja, hiasan umumnya berwarna
putih atau hijau dengan bibir sedikit terbuka; dalam wujud
tarian, biasanya ia tervisualisasi lewat gerakan yang lincah, tapi
juga centil dan lucu. Lalu pada topeng rumiang, karakter yang
ditonjolkan simbol dari puncak keremajaan dengan hiasan
rambut merah muda dan bibir tersenyum; gerak tarinya pun
semakin terlihat tegas.

226
Dua jenis topeng lainnya lebih merepresentasikan
“manusia Cirebon” yang sudah memasuki usia dewasa. Pada
topeng temenggung atau kerap juga disebut topeng patih,
wujud manusia dewasa itu digambarkan lewat mata yang
terbuka, berkumis, dengan wajah lebar berwarna merah
jambu; dalam pertunjukan tari, sang penari melengkapi
penampilannya dengan penutup kepala berupa topi. Adapun
pada topeng kelana, karakter yang ingin ditampilkan adalah
sosok manusia dewasa yang bengis, angkuh dan terlihat
sombong. Dengan tampilan kumis yang lebih tebal dengan
sorot mata tajam, dan dalam tarian ia tervisualisasikan lewat
gerak-gerak yang sangat ekspresif dan eksplosif.
Adalah keahlian Sujana untuk menerjemahkan
katakter-karakter itu ke tiap kedok yang ia buat. Berkat
ketekunan sejak muda belajar pada Ki Kandeg Padmajawinta,
sosok seniman Cirebon serba bisa yang sangat melenggenda
pada 1970-an, Sujana Priya pun diakui oleh banyak kalangan
mampu mewarisi bakat dan keterampilan sang guru. Terlebih
di bidang pembuatan kedok, Sujana Priya bahkan disebut-
sebut sebagai salah satu murid Ki Kandeg yang konsisten
dengan idealisme tinggi untuk bersetia pada tradisi pembuatan
kedok sesuai pakem. Malah ada yang menyebut Sujana Priya
semacam reinkarnasi Ki Kandeg. Tingkat keterampilan dan
kualitas kedok buatan Sujana Priya dinilai setara dengan
garapan Ki Kandeg.
“Ki Kandeg memang guru saya. Bukan hanya dalam
hal membuat kedok, tapi juga dalam hal menari topeng dan
menggarap wayang wong,” kata Sujana.
Meski dikenal sluas ebagai seniman tradisi, khususnya
sebagai pembuat kedok, tetapi pekerjaan tetapnya—sesuai
yang tertera di kartu tanda penduduk alias KTP—Sujana
Priya tetaplah seorang petani. Dari lahan sawahnya seluas
setengah bahu atau sekitar 3.500 meter persegi, sekali

227
panen ia bisa membawa pulang sekitar dua ton padi. Dari
sanalah sumber utama penghidupannya, termasuk biaya
renovasi rumahnya di Desa Suraneggala Lor yang sempat
lima tahun ia tinggalkan dan “mengungsi” ke bangunan
milik pemerintah di Dusun Astana Gunung Jati, Cirebon.
Sujana Priya memang berasal dari keluarga seniman
tradisi. Paling tidak bakat dan minat seni yang ada padanya
mengalir dari sang bapak, Suradi, yang smasa hidupnya
dikenal sebagai penabuh karawitan, khususnya pada
alat musik gambang atau saron. Kini,
didampingi Asiti yang ia nikahi tahun 1973,
Sujana Priya tetap bersetia pada seni
tradisi yang ia hidupi sejak belia. Meski
tidak begitu banyak “menyumbang”
materi untuk hidupnya sehari-hari, akan
tetapi tradisi yang ia geluti tersebut
telah ikut memberinya kepuasan batin
dan mengantarkan dirinya meraih
Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari
dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. ***

Biodata

Nama : Sujana Priya


Lahir : Desa Suraneggala Lor, Cirebon, 9 Juli 1950
Istri : Asiti (lahir, 1958)
Anak (dari istri pertama) : Sukimin (lahir, 1969)
Keahlian : - Membuat “kedok” untuk tari topeng dan
wayang wong cirebonan
Karya : Ratusan topeng cirebon
Penghargaan :
- Anugerah Kebudayaan untuk kategori Pelestari dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2019

228
Pater Jacques Maessen

Penjaga Kain Tenun


Sintang

Kongregasi Katolik, Serikat Maria Monfortan,


menugaskan dia berkarya di Sintang, Kalimantan
Bara. Berangkat dari Belanda pada April 1968,
dia baru sampai di Pontianak pada Juli 1968. Dari
Pontianak, perjalanan dilanjutkan dengan perahu
selama 88 jam menyusuri Sungai Kapuas untuk
mencapai Sintang. Setelah menjelajahi Kalimantan
Barat, ia pun jatuh cinta, lalu memutuskan pindah
kewarganegaraan pada 28 November 1983.

I a adalah Pater Jacques Maessen, penjaga budaya


sekaligus lingkungan hidup di Sintang. Pastor asal
Belanda ini hampir separuh hidupnya dihabiskan di
Sintang, Kalimantan Barat. Pada tahun 1996, Pater
Maessen mendirikan Yayasan Kobus Sintang sebagai
wadah kegiatan seni budaya, khususnya seni tenun
ikat Sintang. Kini, sedikitnya 300 warga yang tersebar
di sejumlah dusun di seantero Sintang ia berdayakan
untuk membuat tenun ikat Sintang sehingga tetap
lestari.
Di Kobus, pelbagai tenunan dan perangkat
budaya Dayak jamak dijumpai. Melalui Kobus inilah
ia menjaga warisan tenunan leluhur suku Dayak.
Pendirian Kobus didasarkan keprihatinan Maessen

229
atas pudarnya kecintaan masyarakat terhadap seni dan
budaya, terutama tenun ikat Sintang yang ia sebut sangat
indah dan bernilai. “Awal tiba di Sintang, saya begitu kagum
pada kain adat dan budaya di sini,” jelasnya.
Tak jauh dari Kobus, terdapat sebuah Museum
Kapuas Raya Sintang, yang berisikan berbagai koleksi tenun
ikat milik Pater Maessen. “Saya dapat koleksi itu dari nenek-
nenek mereka di sini. Saya melihat sebuah kain tua, lalu
memintanya, tapi tidak diperbolehkan tuan rumah. Mereka
menolak dan membuang kain itu. Mereka malah memberi
saya kain yang dibeli di pasar. Akhirnya kain itu berhasil saya
ambil. Dan, betapa mengejutkan, kain tenun itu sangat jarang
dibuat lagi. Orang itu tidak menghargai budaya sendiri,” ujar
Jacques Maessen.
Seiring berjalannya waktu, Maessen melihat ada
pergeseran selera. Anak-anak muda cenderung suka
berpakaian kaos oblong (T-shirt) dan celana jins produk luar
negeri. Menurut mereka, kata Maessen, pakaian berbahan
tenun itu kuno dan tak bagus dipakai.
Melihat kenyataan ini, Maessen memutuskan
untuk merevitalisasi tenun ikat Sintang. Ia tahu cara terbaik
mewariskan budaya. Kebudayaan, jelasnya, diwariskan

230
kepada generasi muda melalui ibu-ibu. Bahkan motif-motif
yang ada dalam tenun ikat merupakan pesan moral seorang
ibu kepada anak-anaknya.
Langkah Maessen merevitalisasi tenun ikat Sintang
dimulai dengan membeli kacamata untuk ibu-ibu di sana.
Sebab, ide ini hanya menarik bagi ibu-ibu lanjut usia. Padahal
ibu-ibu itu umumnya tidak dapat lagi melihat dengan jelas.
Akhirnya para ibu di rumah betang atau rumah panjang khas
suku Dayak berhasil dibujuknya untuk menekuni pembuatan
tenun ikat. Lalu Maessen memasok bahan baku, memastikan
keberhasilan pemasaran, dan lain-lain, dengan mendirikan
Koperasi Jasa Menenun Mandiri.
“Puji Tuhan, sampai sekarang ada sekitar 300
perempuan yang tersebar di 30 kampung belajar menenun,”
ungkapnya. Para perempuan ini, lanjutnya, memiliki
penghasilan yang bahkan kadang melebihi pendapatan
suami mereka. “Siapa yang salah sehingga istri lebih banyak
duit daripada suami?” kata Maessen sambil tertawa kecil.
Maessen pun rajin menghubungi koleganya sesama
penggemar tenun asli Indonesia’ untuk melebarkan
pemasaran, sekaligus belajar merevitalisasi tenun ikat. Dia
juga aktif memberikan informasi kepada pencinta tekstil di

231
seluruh dunia. Tahun 2005, misalnya, sekelompok pencinta
kain Indonesia yang dipimpin Pia Alisjahbana mencarter
pesawat dari Pontianak untuk menyaksikan peragaan
busana anak Sintang dengan busana terbuat dari tenun ikat.
Maessen mempunyai obsesi untuk membangun
museum tenun ikat di Sintang lantaran melihat banyak
tenun ikat Sintang maupun dari wilayah lain di Kalimantan
yang berpindah ke tangan kolektor negara lain. Dia juga
berencana membuat buku corak dan motif tenun ikat
Sintang sehingga tidak punah. Di kampung, mereka tidak
punya kain lagi karena langsung dijual. “Maka kita coba bikin
buku, dengan isi foto tenunan terbagus agar dapat ditiru,”
kata Maessen. Studi hingga ke negeri Belanda guna meneliti
kain-kain tenun ikat Indonesia yang dikoleksi di Belanda telah
pula ia lakukan.
Atas jasanya, Maessen diganjar berbagai
penghargaan, baik dari organisasi maupun pemerintah.
Misalnya, pada 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memberikan penghargaan Upakarti atas upayanya merawat
dan memperhatikan kebudayaan, khususnya kain tenun
Dayak. Atas kegigihannya merevitalisasi tenun ikat Sintang
juga, Maessen dianugerahi Pemerintah Kabupaten Sintang
penghargaan sebagai Pelestarian Kebudayaan pada tahun
2010.
Selain itu, Yayasan Kobus yang didirikannya itu
berjasa dalam membantu penyelamatan orang utan. Upaya
penyelamatan itu bekerja sama dengan Balai Konservasi
Sumber Daya Alam Kalimantan Barat. Komitmen untuk
menyelamatkan orang utan tertuang dalam kesepakatan
antara Balai Konservasi dengan Yayasan Kobus tentang
pengelolaan pusat penyelamatan orang utan Sintang,
Kalbar, tanggal 9 Maret 2012. Tindak lanjut kerja sama
tersebut, Kobus kembali menerima orang utan titipan dari

232
Balai Konservasi karena memiliki tempat penampungan di
Sintang
Atas jasanya dalam menyelamatkan orang utan,
pemerintah menghibahkan tanah seluas sekitar 100 hektar
kepada Maessen untuk lokasi pelepasan orang utan ke
habitat aslinya. Dia prihatin dan tidak suka jika orang utan
dibawa keluar dari Kalimantan. Untuk kepentingan kebun
binatang, misalnya, kadang orang utan dibawa ke Jawa
atau tempat lain. “Lebih baik tetap di Kalimantan sesuai
habitatnya,” sambungnya. Maessen juga memelihara dua
ekor buaya di rumahnya, selain burung merpati, anjing,
kucing, ikan, dan binatang lainnya. ***

BIODATA

Nama : Pater Jacques Maessen


Lahir : Hoensbroek, Belanda, 21 Juni 1941
Pendidikan:
• SD di Hoensbroek (1946-1952)
• Seminari Menengah di Belanda (1952-1958)
• Seminari Tinggi di Belanda (1959-1965)
• Komunikasi Sosial Université Catholique de Lyon (1994)
• Kursus Teologi dan Komunikasi Universitas Gregoriana Roma (1995)
Penghargaan:
• Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (2019)
• Penghargaan Kebudayaan dari Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata (2012)
• Upakarti dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2010)
• Penghargaan dari Museum Tekstil Jakarta kepada Yayasan
Kobus bentukan Pater Maessen (2004)
• Penghargaan atas Konservasi Lingkungan oleh Borneo
Research Council

233
Datu Norbeck
Banting Stir Demi
Pelestarian Tradisi
Tidung

Keprihatinan Datu Norbeck akan masa depan


seni budaya suku Tidung Pesisir mendorong
keinginannya untuk menyejajarkan budaya
pesisir dengan budaya Dayak sebagai maskot
kota Kalimantan. Perpegang pada kata bijak
“dengan ilmu hidup jadi mudah, dengan seni
hidup jadi indah, lalu kenapa kita yang berilmu
tidak berkesenian supaya hidup menjadi mudah
dan indah”, ia banting stir dari sarjana hukum
menjadi pelestari tradisi Tidung.

P erjuangannya dalam melestarikan


Tidung telah mendorong pemerintah, dalam
tradisi

hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,


memberinya Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari,
tahun 2019. Datu Norbeck merasa sangat bersyukur
bisa mendapatkan penghargaan dari pemerintah
tersebut.
“Anugerah ini menjadi kebahagian tersendiri
bagi saya, walaupun pada awalnya tidak ada target
untuk mendapatkan penghargaan. Saya hanya ingin
berbuat dan saya juga menyadari kemampuan saya
terbatas. Dengan adanya penghargaan ini berarti

234
pemerintah selaku pengelola negara memerhatikan dan
memahami apa yang saya lakukan bermanfaat untuk orang
banyak,” ujar Datu Norbeck.
Datu Norbeck tinggal di Gang Pagun Taka, Jalan
Cenderawasih RT. 12 No 10 Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
Sekitar 50 meter dari Jalan Cenderawasih berdiri rumah
panggung di atas rawa dengan papan nama “Sanggar
Budaya Tradisional Pagun Taka”. Di rumah itulah Datu
Norbeck tinggal, sekaligus menjadi tempat kegiatan
Sanggar Budaya Tradisional Pagun Taka. Rumah yang cukup
sederhana untuk seorang pengabdi tradisi Tidung yang
tidak pernah pemungut biaya dari anak didik di sanggar
miliknya.
Datu Norbeck lahir di Tarakan, 14 Mei 1956. Ayah
dari lima anak ini mulai berkiprah di dunia seni pada tahun
1985 dengan memotori sebuah kelompok yang bernama
Grup Tari Pagun Taka, di bawah binaan Lembaga Kesenian
dan Kebudayaan Tidung. Pada tahun 2000, Grup Tari Pagun
Taka berubah nama menjadi Sanggar Budaya Tradisional
Pagun Taka. Perubahan nama ini lantaran ruang lingkup
kegiatan sudah meluas ke bidang seni budaya yang lain,
termasuk kegiatan protokoler yang berhubungan dengan
tradisi adat suku Tidung, seperti penyambutan tamu penting
oleh pemerintah. Selanjutnya, pada 2010, Sanggar Budaya
Tradisional Pagun Taka menyempurnakan kepengurusan
dan status organisasi dengan akte notaris Nomor 68 tanggal
28 Oktober 2010.

235
Bermukim di lingkungan masyarakat suku Tidung
Pesisir (Ulun Pagun) menjadikan budaya suku Tidung
Pesisir sebagai orientasi awal talenta seninya. Namun, ia
juga berupaya memahami budaya tradisi suku serumpun,
yaitu penduduk asli Kalimantan Utara. Bersama Sanggar
Budaya Tradisional Pagun Taka yang dipimpinnya selama
lebih 32 tahun, ia tetap konsisten berolah seni. Ia menggali,
mempelajari dan menata kembali seni budaya tradisional
yang pernah ada dan menjadikannya referensi sumber karya
yang kemudian ditampilkan sesuai perkembangan zaman.
Di bidang seni tari, Datu Norbeck telah membuat
beberapa tarian dengan melakukan penataan ragam gerakan,
mendesain busana, menata musik pengiring dan menulis lirik
lagu yang bersumber dari beberapa jenis kesenian tradisional.
Sumber tersebut antara lain dari kesenian jepin, rudot (hadrah),
joget Melayu-Tidung, del muluk, kelintangan dan kombinasi.
Kreasi tari-tariannya inilah yang menjadi materi pelajaran
di Sanggar Budaya Tradisional Pagun Taka.
“Trik khusus menyampaikan sesuatu dengan
cara sederhana adalah memberi contoh. Contoh
tidak hanya materi, tetapi juga konsep manajemen.
Konsep manajemen yang paling penting adalah
disiplin waktu. Jadi pelatih jangan pernah
terlambat. Sekali terlambat, nilai wibawa kita
sebagai pembimbing sudah berkurang” ujar
Datu Norbeck.
Selain seni tari, Datu Norbeck juga
melakukan penggalian, pelestarian dan
penggembangan dalam bidang seni musik,
seni rupa, seni arsitektur, adat perkawinan
dan pesta adat Iraw Tengkayu. Setelah
Tarakan diresmikan menjadi kota madia
tanggal 15 Desember 1997, acara Iraw

236
Tengkayu—secara harfiah berarti pesta laut—dilaksanakan
untuk merayakan peringatan HUT Kota Tarakan yang secara
rutin dilakukan dua tahun sekali. Datu Norbeck selaku
inspirator dan konseptor awal acara Iraw Tengkayu berperan
sebagai pengarah ritual penurunan padaw tuju dulung
(perahu tujuh haluan), yaitu perahu sesaji yang berbentuk
khas yang merupakan maskot acara Iraw Tengkayu.
Upaya-upaya kreatif, inovatif dan konsistensi
sepanjang sejarah pelaksanaan Iraw Tengkayu tidaklah sia-
sia. Dengan semakin meningkatnya perhatian dan minat
masyarakat untuk menyaksikan acara ini, pesta adat Iraw
Tengkayu kini sudah masuk dalam salah satu kalender
event pariwisata Kementerian Pariwisata RI. Tahun 2016,
Iraw Tengkayu bahkan mendapat predikat terbaik pertama
sebagai atraksi budaya terpopuler di Indonesia dari hasil
polling yang dilakukan oleh Kementerian Pariwisata. Selain
predikat tersebut, Iraw Tengkayu juga masuk dalam “Top
100 Event Wisata Dunia”. Ritual penurunan padaw tuju
dulung yang merupakan acara utama dalam Iraw Tengkayu
juga sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Indonesia pada 22 Agustus 2017 oleh Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. ***

BIODATA

Nama : Datu Norbeck


Lahir : Tarakan, 14 Mei 1956
Penghargaan (antara lain):
- Penghargaan selaku Pelopor Pelestarian, Pembaharuan dan
Pengembangan Kesenian Tradisional Daerah Tarakan dari
Dewan Kesenian Kota Tarakan, 2011
- Penghargaan selaku Inspirator dan Konseptor Acara Iraw
Tengkayu dari Dinas Budaya, Pariwisata, Pemuda dan

237
Olahraga Kota Tarakan, 2013.
- Penghargaan atas upaya menginventarisir dan melakukan
penataan sesuai perkembangan zaman prosesi adat
perkawinan suku Tidung Ulun Pagun oleh Lembaga Lembaga
Adat Tidung Ulun Pagun Kota Tarakan, 2015
- Penghargaan sebagai Tokoh Seni Budaya dari Wali Kota
Tarakan, 2015

Daftar Karya
Kesenian Jepin:
1. Tari “Untun Belanay” (1985)
2. Tari “Suara Siam (Jepin Kinsat)” (1995)
3. Tari “Indung-indung” (2011)
4. Tari “Yadu Yaki” (2013)
5. Tari “Tulud Pempulu” (2015)
6. Tari “Busak Kambang” (2017)
Kesenian Rudot (Hadrah) :
- Tari “Ya Muhaimin” (2012)
- Kesenian Joget Melayu Tidung :
1. Tari “Iluk Tengkayu” (2009)
2. Tari “Ma’jun” (2011)
3. Tari “Iluk Pengelungan” (2013)
4. Tari “Betetuyang” (2015)
5. Tari “Iluk Sedungan” (2017)
Kesenian Del Muluk :
1. Tari “Ayakan” (2011)
2. Tari “Ampuanku” (2013)
Kesenian Kelintangan :
1. Tari “Tungal Lingkuda” (1994)
2. Tari “Sarung Kuku” (2009)
3. Tari “Kadandiyu” (2015)
4. Tari “Ulin Lingkuda” (2017)

238
Kiagus Wirawan Rusdi
Membangkitkan
Batang Terendam

Tak banyak orang tahu bahwa tradisi wayang


kulit juga ada di Palembang. Setelah hampir tiga
dasawarsa ia tenggelam di dasar ingatan wong
kito, kini wayang palembang muncul kembali ke
permukaan. Tidak terkenal, memang, akan tetapi
paling tidak ia telah bangkit dari mati suri-nya
sejak abad lampau.

A dalah Kiagus Wirawan Rusdi, anak muda yang


meng-“hidup”-kan dan menghidupi kembali
wayang kulit palembang. Apa yang dia lakukan
itu ibarat (meminjam peribahasa Melayu lama)
membangkitkan batang yang terendam. Itu pun tidak
sekali jadi. Perlu waktu bertahun-tahun, bahkan untuk
sekadar belajar bagaimana cara memegang ‘anak”
wayang berikut memainkannya.
Keinginan untuk “menghidupkan” kembali
wayang palembang itu, diakui Iwan (begitu ia biasa
dipanggil oleh teman kerabatnya), pada mulanya
tidaklah muncul begitu saja dari dalam dirinya. Kalau
saja pada tahun 2002 tidak ada bantuan berupa
sumbangan seperangkat wayang berikut dana
pembinaan dari UNESCO bekerja sama dengan
Sekretariat Nasional Wayang Indonesia (Senawangi)

239
kepada ki dalang Rusdi Rasyid, orangtua Iwan, sangat
boleh jadi nasib wayang palembang benar-benar mati untuk
selamanya. Sebab, sejak rumah mereka di gang kecil di
daerah Tangga Buntung, Kecamatan Gandus, terbakar pada
tahun 1980-an—yang ikut menghanguskan semua peralatan
wayang yang ada, sejak itu pula wayang palembang hilang
dari peredaran.
Di awal milenium kedua, UNESCO—lembaga PBB
untuk urusan pendidikan, sains dan kebudayaan—sedang
berupaya melakukan semacam program revitalisasi terhadap
sejumlah kesenian tradisi yang terancam punah. Di bidang
seni pewayangan, UNESCO menggandeng Senawangi. Bagai
ketiban bintang, salah satu yang dijadikan objek revitalisasi
adalah wayang palembang. Ki dalang Rusdi Rasyid pun mulai
mencari bakat-bakat terpendam dalam wilayah pewayangan.
Namun atmosfer kesenian wayang di Palembang tak bisa
disandingkan dengan di Jawa. Alih-alih untuk jadi dalang dan
pengrawit, mencari penonton wayang saja bukanlah perkara
gampang. Alhasil, hingga Rusdi Rasyid berpulang pada 2004,
wayang palembang masih tetap tertidur pulas.
Berpulangkan ki dalang Rusdi Rasyid justru menjadi
semacam titik balik bagi perjalanan wayang palembang.
Dalam sebuah pertemuan keluarga, Wirawan yang

240
merupakan sulung dari sembilan anak ki dalang Rusdi
didaulat untuk menggantikan sang bapak sebagai dalam
wayang palembang. “Waktu itu kato mamang (paman—
pen), ‘Biasonyo di dalam suatu keluargo, begitu wongtuo kito
meninggal mako yang mesti ngambil peran dan tanggung
jawab, yo, anak paling tuo’,” tutur Iwan seraya mengenang
awal mula ia menetapkan hati untuk menjadi dalang wayang
palembang.
Tanggung jawab! Alangkah mulia kata itu, tetapi
betapa sulit mengembannya. Itu pula yang dirasakan
Wirawan. Berbeda sewaktu Rusdi Rasyid (alm) menjadi dalang
meneruskan profesi ayahnya (Abdul Rasyid, kakek Wirawan).
Ketika itu Rusdi Rasyid sudah ikut menggeluti wayang
palembang semenjak sang bapak masih aktif mendalang. Ia
bisa belajar langsung pada sang empu. Sementara Wirawan
“dipaksa” menjadi dalang setelah sang bapak meninggal,
dan jauh sebelum itu sang bapak tak lagi memainkan anak
wayang alias ketika wayang palembang sedang tertidur
pulas. Praktis masa kecil Wirawan tak lagi bersentuhan
dengan dunia pewayangan yang digeluti sang bapak.
Namun, keberuntungan selalu memberi celah untuk
sebuah keberhasilan. Berbekal sejumlah kaset rekaman saat
sang bapak mendalang, sedikit demi sedikit Wirawan mulai
belajar menirukan suara yang ada di pita kaset. Hingga tengah
malam, di saat orang lain tengah tertidur pulas, Wirawan
mempelajari intonasi suara, penggunaan bahasa Palembang
alusan (semacam bahasa Jawa kromo inggil) sebagai media
penyampai pesan, hingga cerita yang dimainkan. Begitupun
musik pengiring pertunjukan, ia pelajari hanya lewat suara
dari tape recorder yang ia beli khusus untuk memutar pita
kaset rekaman pertunjukan wayang peninggalan sang bapak.
“Sebetulnya pihak UNESCO mau memfasilitas saya
agar mengikuti pendidikan kilat selama dua-tiga bulan

241
belajar mendalang ke Solo atau Yogya.
Akan tetapi ditolak oleh Pak Dalyono
(pejabat kesenian di Kanwil Depdikbud
Sumsel ketika itu yang kerap
mendampingi Wirawan). Dia takut
kebiasaan-kebiasaan (mendalang)
di Jawa terbawa-bawa di sini. Kata
Pak Dalyono kepada orang UNESCO,
‘Biarlah dia belajar sendiri kebiasaan-kebiasaan (mendalang)
di sini’,”
Dua tahun lamanya proses “menjadi” dalang
itu berlangsung. Belakangan ia mendapat kiriman dari
Senawangi berupa rekaman dalam bentuk kaset video (VCD)
pertunjukan ayah di Jakarta. Proses belajar menjadi dalang
wayang palembang pun kian “menjadi”, lantaran lewat
gambar hidup itu ia bisa melihat bagaimana sang bapak
memainkan anak wayang: bukan hanya sekadar lewat suara.
Pada saat bersamaan, Wirawan mengajak sejumlah
orang untuk belajar menjadi pengrawit, termasuk dua
adiknya: M Ali Imron dan Hidyatullah. Seperti halnya
Wirawan belajar mendalang lewat suara pita rekaman, para
calon pengrawit ini pun belajar membuat pukulan pada
peralatan gamelan juga dengan mendengar bunyi rekaman
kemudian ditirukan. Tak mudah, memang, tetapi itulah yang
bisa mereka lakukan.
“Kadang sampai berminggu-minggu, bahkan
berbulan-bulan, baru dapat ‘pukulan’ yang pas sama denga
yang ada di kaset rekaman itu,” kata Ali Imran. “Pokoknyo,

242
dicocok-cocok-kelah agar samo,” timpal M Haris, adik ipar
Wirawan.
Begitulah proses “menjadi” itu berlangsung pelan,
terlebih dalam mencari para pengrawit. Untuk sampai pada
komposisi pengrawit yang mengiringinya setiap tampil
mendalang saat ini, Wirawan mendapatkannya setelah
melalui tiga gelombang perekrutan. Gelombang pertama
dan kedua bubar. Pada perekrutan ketiga baru cocok.
“Pengrawit generasi ketigalah yang masih ikut
sampai sekarang. Namun untuk mengumpulkan mereka
tidak mudah, karena kesibukan dan tempat tinggal yang
jauh,” katanya.
Setelah lebih dua tahun terus belajar tapa guru,
baru pada tahun 2006 Wirawan berani tampil mendalang
di depan publik. “Itu pun karena dipaksa Pak Dalyono,”
katanya. Momen tersebut datang pada peringatan ulang
tahun Kerukunan Keluarga Palembang (KKP). “Nunggu
kapan lagi? Pokok-nyo, salah-benar, maen. Lagi pulo, wong
laen idak akan tau kalu itu salah,” turur Wirawan menirukan
ucapan Dalyono (alm) ketika itu.
Alhasil, lakon “Petruk Munggah Ratu” pun menandai
pentas pertama ki dalang Kiagus Wirawan. Sejak saat itu,
kepercayaan dirinya makin tumbuh dan tekadnya untuk
meneruskan tradisi mendalan wayang palembang kian
mantap. Sejak itu pula, orang mulai mengenalnya sebagai
dalang wayang palembang dan sesekali diundang untuk
merayakan suatu hajatan. Bahkan beragam festival pun
telah poula dia ikuti.
Secara umum, tak ada perbedaan mendasar antara
wayang kulit versi wayang palembang dengan wayang
kulit di Indonesia—khususnya di Jawa—pada umumnya.
Baik cerita maupun tokoh-tokoh umumnya sama, kecuali
beberapa perbedaan kecil di sana-sini. Misalnya, kalau dalam

243
dunia pewayangan Jawa ada tokoh Togog selain Semar,
Petruk, Gareng; dalam wayang palembang tokoh Togog
tidak ada.
Salah satu pembeda utama adalah pada medium
bahasa yang digunakan, yang narasi dan dialog disampaikan
dalam bahasa Palembang; baik bahasa Palembang alusan
maupun bahasa Palembang sehari-hari. Pembeda lain—dan
ini menurut Kiagus Wirawan merupakan saah satu ciri khas
wayang palembang—adalah barisan raja yang keluar lebih
dahulu, baru diikuti bawahan-bawahannya.
“Ini untuk memberi semacam pesan kepada
penonton bahwa dalam kehidupan sehari-hari maka orang
tua dulu yang mesti memberi contoh. Kalau di kantor, ya,
pimpinan mesti datang lebih dahulu daripada bawahannya.
Bukan sebaliknya,” kata Wirawan.
Jika semula ia seolah terpaksa meneruskan
tradisi mendalang di keluarganya, kini perasaan itu mulai
terkikis dan berganti menjadi semacam panggilan (untuk
tidak menyebutkanya sebagai tanggung jawab) demi
kelangsungan wayang palembang. Dia sadar betul bahwa
seni tradisi ini bukanlah ladang penghasilan, mengingat
dalam setahun paling hanya 2-3 kali mereka diundang
untuk tampil. Bahkan ia mengaku pernah selama dua tahun

244
vakum lantaran tak satu pun permintaan ataupun undangan
pementasan wayang ke Sanggar Wayang Kulit Sri Palembang
yang ia pimpin.
Namun semangat untuk melestarikan wayang
palembang tak membuatnya surut. Bahkan kini ia mulai bisa
tersenyum. Dua anak muda yang belia, Novi Ananda dan
M Syafri Rizki, kini sudah mulai mengikuti jejaknya sebagai
dalang. “Kalau satu saat ada permintaan manggung dan
saya berhalangan, saya tak perlu lagi khawatir karena sudah
ada yang bisa menggantikan,” kata Wirawan.***

BIODATA

Nama : Kiagus Wirawan Rusdi


Lahir : Palembang, 13 April 1973
Alamat : Jln Pangeran Sido Ing Lautan, Lorong Cek Latah, 36 Ilir,
Kecamatan Gandus, Palembang
Istri : Yosi Evianti (42)
Anak : Sri Risky Aryanti

Pendidikan :
- SDN 116 Palembang
- SMP Negeri 5 Palembang
- SMEA PGRI 1 Palembang
Penghargaan
- Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (1019)
- Lifetime Contribution In Sumatera MICE & Tourism dari
Sumatera Mice & Tourism award (2014)
- Wayang Summit dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
(2012)
- Pergelaran Wayang Nusantara dari Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Museum Wayang (2010)
- Festival Wayang Indonesia Tingkat Nasional Ke-2 dari
Persatuan Perdalangan Indonesia (2008)

245
Siti Sutiyah
Seni Tari Harus
Masuk Kurikulum

Semangat Siti Sutiyah untuk melestarikan tari


Jawa klasik Keraton Yogyakarta tidak pernah
padam. Dari kursi rodanya ia tak bosan memberi
tahu anak didiknya yang ikut belajar menari di
Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa di
nDalem Puja Kusuman, Yogyakarta.

S iti memberi masukan bagaimana gerak-gerak yang


pas untuk tari Jawa klasik yang sedang dipelajari
para siswa. Ia memang tak bisa memberi contoh lagi
karena sakit. Kalau ia butuh untuk memperagakan
gerakan yang diinginkannya, maka ia meminta asisten-
asistennya untuk melakukannya.
“Asisten saya itu dulunya murid saya. Mereka
melakukan pekerjaan itu dengan sukarela. Kami
belum bisa memberikan penghargaan yang layak
kepada mereka. Penghargaan masih minim sekali.
Penghargaannya hanya cukup untuk beli bensin.
Yayasan belum bisa memberi lebih,” ujar Siti yang
mendapat nama KRT Dwijosamintomurti dari Keraton
Yogyakarta. Ia memuji para asistennya dalam mengajar
di sanggar yang didirikan tahun 1962 oleh suaminya, KRT
Sasmintodipuro (alm), maestro tari gaya Yogyakarta.

246
Kegiatan di sanggar tari itu berlangsung setiap hari
dengan kelas berbeda. Saat ini muridnya tidak kurang 200
orang. Umumnya mereka berasal dari masyarakat di luar
keraton, bahkan ada juga dari luar negeri yang sedang belajar
di ISI Yogyakarta.
Siti sebenarnya tidak hanya mengajar peserta di
sanggar tersebut, tetapi pernah juga mengajar tari kelima
putri Sultan Hamengku Buwono X. Ketika Sultan HB X
masih memimpin pabrik gula Madukismo, secara rutin Siti
datang untuk melatih putri-putri Sultan. Sultan, menurut
dia, menghendaki putri-putrinya bisa menari. “Sultan
sangat disiplin agar putrinya belajar menari dengan serius.
Dulu Sultan adalah Direktur Madukismo. Saya dipanggil ke
sana untuk mengajar. Kalau saya sampai di sana dan putri-
putrinya belum siap, Sultan akan marah. ‘Gurunya sudah
datang, belum mandi? Cepat mandi’,” kata Siti menirukan
Sultan waktu itu.
Bahkan Sultan meminta putri-putrinya untuk belajar di Puja
Kusuman. “Beliau konsekuen. Beliau sendiri datang mengantar
putrinya untuk belajar menari. Malah ditungguin. Sultan sangat
disiplin,” tutur Siti tentang pengalamannya mengajar putri-putri
Sultan. “Proses pelestarian itu akhirnya jalan karena Sultan juga turun
tangan sendiri,” lanjutnya.
Saat ini ia tak bisa turun sendiri untuk mengajar putri-putri
Sultan menari tari klasik Keraton Yogyakarta. Akan tetapi ia telah
menyiapkan seorang asisten, yaitu Putria Retno Pujiastuti Candradewi,
untuk melanjutkan kegiatannya mengajar putri-putri Sultan menari.

247
Perjuangan melestarikan tari Jawa klasik dimulai
Siti justru dari keluarganya sendiri. Putra tunggalnya
dari perkawinannya dengan Romo Sas, begitu KRT
Sasmintodipuro biasa disapa, yakni Alin Nursetia Nugroho,
juga mengikuti jejak kedua orangtuanya. Bahkan cucunya,
Titia Saraswati Herwening, juga suka belajar menari. “Saya
senang cucu saya suka menari. Tanpa paksaan,” katanya
bangga.
Kemampuan Siti dalam seni tari sebenarnya
komplet. Ia juga mampu menembang dengan baik. Pada
saat bersamaan ia juga melakonkan hidup sebagai pengajar.
Ia merasa bahagia dengan peran mengajar karena dengan
mengajar ia bisa ikut melestarikan tari klasik Jawa.
Sebagai seorang pensiunan guru dan pegawai negeri,
ia mengungkapkan alasan kuatnya untuk ikut melestarikan
tari Jawa klasik adalah mau mendidik generasi sekarang. Tari
adalah alat pendidikan yang bagus karena di sana diajarkan
etika. Selain itu, dan ini alasan yang penting, tari-tari klasik
yang telah diciptakan itu adalah karya-karya yang sangat
bagus dan indah. “Sayang sekali kalau tari-tari klasik itu
tidak dilestarikan. Belum tentu kita bisa menciptakan tari
sebagus seperti yang telah mereka ciptakan pada masa lalu.
Nilai yang terkandung di dalamnya juga luar biasa,” katanya
memberi alasan.
Siti mulai tertarik dengan tari klasik keraton saat
masih duduk di bangku sekolah dasar. Suatu hari ia diajak
ayahnya untuk menonton tari di keraton. Tari itu benar-
benar menyihirnya. Gerakan para penarinya terasa halus.

248
Begitu pulang ke rumah, ia meminta pada ayahnya agar ia
bisa ikut latihan menari. Ternyata saat berlatih ia tidak hanya
belajar bagaimana gerak tari, akan tetapi juga tata krama
kehidupan.
Rupanya bakat tarinya menonjol. Setelah tamat SD
ia langsung masuk SMP, lalu dilanjutkan di Konservatori
Tari Indonesia dan SMKI. Ternyata gurunya melihat bakat
besar yang ada dalam dirinya. Ia diminta untuk mengajar
di Taman Siswa, termasuk
murid-murid SPG (sekolah
pendidikan guru).
Tentu saja Siti agak
gugup menerima tawaran
tersebut. Apalagi yang mau
diajarnya masih sebaya
dengannya. Tetapi gurunya
membesarkan hatinya
bahwa ia bisa. Maka,
sebelum mengajar ia dimita
untuk datang ke rumah
gurunya. “Kalau kamu
mengajar, kamu harus menguasai apa yang kamu mau ajar,“
begitu pesan gurunya. Ia pun dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik.
Setelah menggondol gelar sarjana seni ia tidak saja
aktif menari dan menembang, tetapi juga mengajar sebagai
profesi utamanya. Ia mengajar tidak saja di Yogyakarta, tetapi
melalang buana keluar negeri. Pada tahun 1979 dan 1986
ia diundang mengajar tari di UCLA, Amerika Serikat. Lalu,
pada 2008, mengajar tari di sanggar Lontang Sisik di Osaka,
Jepang, dan di sanggar Gan A Tsui di Taipei, Taiwan. Tahun
berikutnya ia memberi lokakarya di Fukuoka University,
Jepang.

249
“Tahun ini (2019) sebetulnya ada permintaan dari
Taipei. Saya bilang, saya mengirim asisten karena keadaan
saya lagi kurang sehat. Mereka bilang, ‘kami meminta Anda.’
Ya, saya tidak bisa berangkat ke sana,” tuturnya.
Sebagai penari ia masih tetap tampil di keraton. Saat
menginjak usia 50 tahun ia sempat ikut pentas Tari Bedoyo
di keraton selama 2,5 jam dan masih kuat untuk jongkok.
Semua itu terjadi karena latihan yang penuh disiplin pada
masa mudanya.
Ia juga tidak hanya pentas di keraton atau dalam
negeri, tapi juga di mancanegara. Ia beberapa kali pentas di
Eropa, seperti di Inggris, Jerman, Belanda, Belgia, dan Italia.
Di Asia ia pernah tampil di Hong Kong Art Festival.
Ada pengalaman yang paling berkesan ketika pentas
di Sao Paulo, Brasil, tahun 1993. Pementasan itu bersamaan
dengan pementasan Michael di Sao Paulo. Tempat
pementasan Siti dan rombongannya berhadapan dengan
tempat Michael Jackson manggung.
“Saya minder, jangan-jangan pentas kami tidak akan
ada yang menonton. Tempat pementasannya berhadapan.
Yang terjadi kemudian, di tempat Michael Jackson penuh
sesak, di tempat kami juga penuh sesak. Saya merasa
bangga sekali. Ternyata tidak semua orang tertarik dengan
pertunjukan besar seperi Michael Jackson. Masih ada
yang tertarik nonton pentas tari klasik. Waktu itu kami
membawakan frgamen Ramayana,” kenangnya.
Siti juga banyak menciptakan tari seperti “Srimpi Catur
Mangala Retno” (2015), “Beksan Kuraisin Widaningrum”
(2014), “Tari Manggala Retno” (2011), “Rekonstruksi
Bedhaya Kuwung-kuwung ciptaan HB VII” (2005), dan
“Sumantri Ngenger” (1980). Dari semua ciptaannya yang
paling disukainya adalah “Sumantri Ngenger”, karena
banyak mengandung pesan moral seperti kalau kita sudah

250
dibantu orang kita tidak boleh melupakan jasa orang yang
telah membantu kita.
Menanggapi Anugerah Kebudayaan kategori
Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
yang diterimanya, Siti merasa sangat bersyukur karena
apa yang dikerjakannya selama ini mendapat apresiasi
dari pemerintah. Anugerah itu memotivasinya makin
bertanggung jawab sebagai pelestari. “Saya mau konsekuen
sebagai pelestari agar penghargaan ini tidak sia-sia. Harus
ada buktinya,” ujarnya.
Ia berharap, pendidikan seni tari perlu dimasukkan
dalam kurikulum di sekolah-sekolah agar tari yang ada di
seluruh Indonesia bisa dilestarikan. “Kalau hanya pelaku
seni yang melestarikan, pasti tidak akan kuat. Pemerintah
harus mendukung dengan cara memasukkan seni tari dalam
kurikulum. Apalagi seni tari itu baik untuk pendidikan.
Indonesia boleh kalah dari sudut teknologi, tetapi dalam soal
budaya Indonesia sangat hebat. “Tari itu bisa membantu
mengembangkan karakter bangsa. Juga karakter anak,”
ujarnya.***

BIODATA

Nama : Siti Sutiyah


Lahir: Yogyakarta, 15 Agustus 1946
Pekerjaan: Guru Tari di Keraton Yogyakarta
Pendidikan: S1 Seni
Keahlian: Seni Tari

Penghargaan
- Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari dari Kemenyterian
Pendidikan dan Kebudayaan (2019)

251
- Penghargaan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Megawati (2004)
- Piagam dari sanggar Kartika & Kusuma Tokyo, Jepang (2009)
- Sertifikat dari MEIO University Jepang (1998)
- Penghargaan Duta Besar RI untuk Brazil (1993)
Karier
- Guru tari Keraton Yogyakarta (1974 – sekarang)
- Mengajar tari di UCLA, AS, pada 1979 dan 1986
- Mengajar tari di sanggar Lontang Sisik di Osaka Jepang dan di
sanggar Gan A Tsui di Taipei (2008)
- Memberi workshop di Fukuoka University, Jepang (2009)
- Mengajar di SMKI – KONRI (1976 – 2006)
Karya
- “Srimpi Catur Mangala Retno” (2015)
- “Beksan Kuraisin Widaningrum” (2014)
- “Tari Manggala Retno” (2011)
- “Rekonstruksi Bedhaya Kuwung-kuwung ciptaan HB VII” (2005)
- “Sumantri Ngenger ‘ (1980)

252
PEMERINTAH DAERAH

253
Kabupaten
Gianyar

Pulau Bali terkenal karena keindahan alam dan


kekayaan budaya serta masyarakatnya yang
rukun. Sebagai tempat yang memiliki banyak
potensi budaya, menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah untuk mengelolanya agar
dapat menyejahterakan rakyat. Kabupaten
Gianyar adalah salah satu kabupaten di Bali yang
melandaskan pengembangan budayanya melalui
pembangunan di desa-desa.

U bud adalah salah satu desa di Kabupaten Gianyar


yang terkenal hingga ke mancanagera. Bahkan
Desa Ubud sempat dijadikan latar tempat film Eat,
Pray, Love yang diperankan oleh aktris papan atas
Hollywood, Julia Roberts. Nama desa ini juga dijadikan
nama sebuah event tahunan pertemuan para penulis
dunia: Ubud Writers Festival.
Kabupaten Gianyar menjadi salah satu
penerima Anugerah Kebudayaan 2019 untuk kategori
Pemerintah Daerah. Berbagai keunggulan yang
dimiliki kabupaten ini di antaranya: telah menerbitkan
Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2013 tentang Subak;
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Pelestarian Warisan Budaya Kabupaten Gianyar;

254
mengelola Museum Subak; serta pendukungan di dunia
kesenian dan kebudayaan. Selain keunggulan yang sudah
disebutkan di atas, Kabupaten Gianyar membangun desa-
desanya menjadi desa wisata berlapikkan tradisi dan budaya
yang dikelola untuk menyejahterakan masyarakatnya.
Kabupaten Gianyar berdiri sejak 1960 sebagai
wIlayah daerah tingkat II menggantikan swatantra tingkat
II yang sudah ada sejak zaman Republik Indonesia Serikat
(RIS). Bupati Gianyar pertama adalah Tjokorde Ngurah
yang memimpin pada periode (1960-1963). Jika ditarik lebih
ke belakang, Kabupaten Gianyar dahulu adalah sebuah
kota kerajaan yang telah berdiri pada 19 April 1771 dengan
dibangunnya Puri Agung Gianyar oleh Ida Dewata Manggis
Sakti. Sejak saat itu, Gianyar menjadi satu di antara sembilan
kerajaan besar di Bali, selain Klungkung, Karangasem,
Buleleng, Mengwi, Bangli, Payangan, Badung dan Tabanan.
Dewasa ini, pembangunan pariwisata dan
kebudayaan di Kabupaten Gianyar terbagi dalam lima
zona berdasarkan letak geografis dan karakteristiknya.
Zona utara meliputi Kecamatan Payangan, Tegalalang dan
Tampaksiring mempunyai potensi sebagai daerah konservasi
air, pengembangan argowisata, warisan budaya, pertanian
dan perkubanan. Zona selatan meliputi Kecamatan Sukawati
yang mempunyai potensi sebagai tempat industri kerajinan,
perdagangan seni dan wisata berbelanja. Di zona barat ada
Kecamatan Ubud yang memiliki potensi perhotelan dan
restoran, pengembangan seni dan budaya serta industri
kerajinan. Di bagian timur ada Kecamatan Gianyar sebagai
pusat pemerintahan dan industri pengolahan.
Pengelolaan subak di Kabupaten Gianyar terbilang
baik. Subak adalah suatu organisasi masyaarkat hukum
adat yang memiliki karakteristik sosio-agraris religius yang
berbasis petani yang mengelola irigasinya di lahan sawah

255
dan lembaga yang mandiri. Subak telah diakui oleh UNESCO
sebagai Warisan Dunia pada 2012 karena mengandung
berbagai nilai universal, seperti pengelolaannya yang
mengandung nilai-nilai demokrasi dan mandiri serta
memengaruhi bentang alam di Pulau Bali secara luas. Sistem
irigasi subak dikelola oleh pura yang merefleksikan konsep
Tri Hita Karana, yaitu menjaga keserasian hubungan antara
dunia dewa, manusia dan alam. Subak di Kabupaten Gianyar,
tepatnya berada di Kecamatan Tampaksiring, meliputi area
aliran Sungai Pakerisan, Pura Pagulingan, Tirta Empul, Pura
Mangening, Subak Pulagan, Subak Kulub Atas dan Subak
Kulub Bawah.
Pentingnya pengetahuan akan subak ini
diejawantahkan dengan pembangunan Museum Subak di
Kawasan Masceti. Museum ini bertujuan menjadi media
penyampaian pengetahuan tentang subak kepada generasi
muda dan wisatawan. Pembangunan museum ini dicetuskan
oleh Para Pekaseh Subak Pengempon Pura Khayangan
Jagat Masceti pada 2010. Kabupaten Gianyar mendorong
pembangunan museum ini dan bekerja sama dengan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pembangunan
museum ini dilakukan bertahap, dari 2012 hingga 2018.
Museum ini memiliki ruang utama yang berisi diorama subak
yang ditampilkan secara bertahap dan dijelaskan melalui
layar multimedia di setiap diorama. Fasilitas lainnya adalah
perpustakaan, ruang audiovisual yang mampu menampung
kurang lebih 100 orang, serta ruang pameran tidak tetap.
Dari museum, pengunjung juga dapat menikmati keindahan
Pantai Masceti.
Pemerintah Kabupaten Gianyar juga aktif dalam
penyelenggaraan seminar tentang subak. Pada 2016,
Gianyar menjadi tuan rumah BIFS (Bali International
Field School). Bupati Gianyar (2013-2018) AA Gde Agung

256
Bharata menyambut baik BIFS yang dihadiri akademisi dari
Universitas Indonesia dan Universitas Kyoto. Ia berharap
dari hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi nyata
terhadap perkembangan sistem subak.
Pengelolaan subak di Gianyar semakin diperhatikan
dengan terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar
Nomor 9 Tahun 2013 tentang Subak. Dalam perda ini diatur
beberapa hal yang berkaitan dengan subak, seperti tugas
dan wewenang subak; pembinaan dan hubungan kerja;
pemekaran dan pembentukan subak; prajuru subak; dan
majelis subak. Setiap pengelolaan subak dilandasi oleh
Catur Dresta yang memunculkan berbagai variasi dalam
pengelolaannya, bergantung pada pemerintahan dan adat
istiadatnya.
Dalam hal kesenian, terutama seni rupa, bidang ini
di Gianyar telah berkembang sejak zaman kerajaan. Namun,
perkembangan itu semakin pesat ketika jatuhnya Bali ke
tangan Belanda, di mana pusat seni lukis Bali berpindah dari
Klungkung (Kamasan) ke Gianyar (Ubud). Hal itu ditambah

257
dengan datangnya Walter Spies (Jerman) dan Rudlof Bonet
(Belanda) ke Ubud yang mendorong lahirnya seni lukis
modern Bali. Dari Ubud pula, muncul seniman-seniman seni
rupa seperti I Gusti Nyoman Lempad, AA Gede Sobrat, Ida
bagus Made Poleng dan kelompok Pita Maha dan Young
Artis sebagai pemula organisasi seni lukis di Bali.
Bidang kerajinan di Gianyar juga bervariasi dan telah
berkembang sejak lama. Seni topeng di Gianyar bermula pada
abad ke-19 di Desa Singapadu dengan tokohnya Ida Cokorda
Geni, keturunan Raja Sukawati. Seni patung tradisional
berbahan batu padas berkembang di Desa Batubulan dan
Silakarang, sedangkan patung kayu berkembang di Desa
Guwang dan Pakudui. Seni ukir tulang, tempurung kelapa,
kerajinan emas, anyam-anyaman, gamelan dan tenun endek
masing-masing berkembang di Desa Tampaksiring, Desa
Celuk, Desa Bona, Desa Blega, Blahbatuh dan Desa Beng.
Atas kiprah dan perhatiannya pada dunia seni dan
budaya, Kabupaten Gianyar diakui oleh dunia internasional
dengan diberikannya penghargaan sebagai Kota Pusaka
Dunia (World Heritage) oleh INTO dan UNESCO pada 2017
dan sebagai Kota Kerajinan Dunia (World Craft City) oleh Asia
Pacific World Craft Council pada 2019. ***

258
PROFIL KABUPATEN GIANYAR

Berdiri: 1771
Bupati: I Made Mahayastra ( 2018 – 2023)
Wakil Bupati: AA Gde Mayun (2018 – 2023)

Kondisi Umum:
Luas: 368 kilometer persegi
Populasi: 469.777 jiwa: terdiri dari 237.493 laki-laki
dan 232.284 perempuan*
Kepadatan: 1.277 jiwa/km2
*Menurut sensus penduduk tahun 2010

Administrasi:
Kecamatan: 7 Kecamatan
Kelurahan: 6 Kelurahan
Desa: 65 Desa
Dusun: 504 Dusun/banjar

Tradisional:
Desa Adat: 271 Desa Adat
Subak: 36 Subak Abian dan 517 Subak Yeh

Peraturan Daerah Bidang Kebudayaan:


n Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2013 tentang Subak;
n Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Pelestarian Warisan Budaya Kabupaten Gianyar

259
Kabupaten Ngawi
“Ngawi Ramah,
Ngawi Berbudaya”

Kata Ngawi berasal dari kata “awi” (Jawa kuno),


yang artinya bambu, yang selanjutnya mendapat
imbuhan “ng” seningga menjadi “Ngawi”. Seperti
halnya nama-nama di daerah lain yang banyak
berasal dari nama tempat (desa) yang dikaitkan
dengan nama tumbuh-tumbuhan, Ngawi pun
merunuk ke suatu tempat di sekitar pinggir
Bengawan Solo dan Bengawan Madiun yang
banyak ditumbuhi bambu.

T erlepas dari asal-usul nama tersebut, Kabupaten


Ngawi merupakan salah satu daerah yang
memiliki potensi wisata alam dan kebudayaan yang
beragam. Potensi yang ada di Kabupaten Ngawi ini
dapat menjadi tonggak kemajuan kebudayaan dan
perekonomian masyarakat. Ada berbagai macam
kesenian, kuliner, adat istiadat serta alam yang dapat
menjadi objek pariwisata.
Sebagian wilayah Kabupaten Ngawi terletak di
lereng Gunung Lawu, yang menawarkan wisata alam
pegunungan sebagai daya tarik utama. Namun tidak
hanya itu, kabupaten yang dikenal dengan slogan
“Ngawi Ramah” ini juga memiliki wisata sejarah dan

260
budaya. Sebutlah seperti situs purba Trinil dan bangunan
bersejarah peninggalan Belanda yang bernama Benteng Van
Den Bosch.
Usaha untuk memajukan kebudayaan dan pariwisata
telah diupayakan oleh Kabupaten Ngawi dalam 10 tahun
terakhir. Semenjak berdirinya Dinas Pariwisata Kebudayaan
Pemuda dan Olahraga (Dispariyapura) Ngawi pada tahun
2008, Pemerintah Kabupaten Ngawi mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang mengatur pengembangan
kebudyaan dan pariwisata. Di antaranya lewat rencana
strategis dengan menyusun peraturan daerah (perda)
Kabupaten Ngawi tentang retribusi, membentuk unit
pelaksana teknis (UPT) destinasi wisata Taman Wisata Tawun
pada tahun 2013, mencanangkan Tahun Kunjungan Wisata
Ngawi 2012 (Visit Ngawi 2012), menyusun Rencana Aksi Kota
Pusaka (RAKP) untuk menggali potensi budaya dan wisata,
serta melaksanakan kebijakan pemerintah pusat dalam apa
yang mereka namalan Program Sapta.
Salah satunya program Visit Ngawi sudah
dicanangkan dari 2012 hingga 2017, bertujuan untuk
menguatkan dan mempromosikan Ngawi ke masyarakat
luas. Berbagai perhelatan tahunan sudah digelar guna
mendukung program-program yang sudah dicanangkan.
Beberapa kegiatan tersebut, antara lain kirab budaya pada
hari jadi Kabupaten Ngawi, jamasan pusaka, ritual keduk beji,
upacara adat gumbrengan, Festival Orek-orek. Pemerintah
Kabupaten Ngawi melalui Dispariyapura berupaya untuk
terus melestarikan tradisi dan meningkatkan perekonomian
rakyat melalui jalur kebudayaan.
Selain perihal wisata, Pemerintah Kabupaten Ngawi
mengeluarkan kebijakan yang menjadi payung hukum untuk
pelindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan
kebudayaan. Dukungan Pemerintah Kabupaten Ngawi

261
antara lain pemberian bantuan gamelan ke sekolah sebagai
penunjang kesenian sebagai muatan lokal daerah, pemberian
tempat (pendopo rumah bupati) untuk latihan sanggar-
sanggar seni tari dan lain sebagainya, serta mewajibkan pada
setiap kegiatan resmi harus memakai bahasa Jawa halus.
Untuk yang disebut terakhir, keberadaannya didukung
kebijakan Pemerintah Kabupaten Ngawi, yaitu lewat Surat
Edaran Bupati Ngawi Nomor: 065/02.47/404.031/2012
tentang Penggunaan Bahasa Jawa dan Pemutaran Langgam/
Gending Jawa Khas Daerah di Lingkungan Pemerintah
Kabupaten Ngawi.
Masih ada beberapa perda lain, di antaranya:
(1) Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2013 tentang
Pelestarian Cagar Budaya, dan Seni Budaya Tradisional;
(2) Keputusan Bupati Ngawi Nomor 188/130/404.033/2018
tentang Pembentukan Tim Ahli Pelestarian Cagar Budaya
Kabupaten Ngawi; (3) Keputusan Bupati Ngawi Nomor
188/201/404.033/2018 tentang Penetapan Benteng Van Den

262
Bosch/Benteng Pendem sebagai Bangunan Cagar Budaya
Peringkat Kabupaten; dan (4) Keputusan Bupati Ngawi
Nomor 188/204/404.033/2018 tentang Penetapan Pokok
Pikiran Kebudayaan Daerah Kabupaten Ngawi.
Beragamnya seni tradisi dan budaya yang ada
di Kabupaten Ngawi akan berkembang dengan baik
jika didukung oleh para generasi muda. Pembinaan dan
pewarisan untuk generasi muda yang telah dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Ngawi, salah satunya, adalah dengan
mengadakan lomba cerita asal-usul daerah (toponimi). Juga
lomba dalang cilik yang pernah masuk rekor MURI pada 7
September 2017, dengan pertunjukan dalang cilik yang
melibatkan 116 orang serta kelir terpanjang hingga 120
meter. Selain itu, bentuk-bentuk kesenian tradisional juga
sudah masuk ke dalam dunia pendidikan di Ngawi lewat
program ekstrakurikuler di sekolah-sekolah, seperti seni tari,
seni musik, dan kesenian wayang (karawitan).
Berada di tengah-tengah “persimpangan”
kebudayaan Jawa Tengah dan Jawa Timur, membuat
kebudayaan Kabupaten Ngawi berakulturasi dan berasimilasi
dengan kebudayaan kedua provinsi tersebut. Tidak aneh
bila beragam seni tari, misalnya, yang ada di Ngawi memiliki
beberapa kemiripan dengan seni tari yang ada di Jawa
Tengah.
Potensi yang ada di Kabupaten Ngawi sudah
mulai ditunjang berbagai fasilitas memadai, yang dapat
memberikan peluang bagi pariwisata berbasis kebudayaan.
Salah satu faktor pendukungnya adalah letak strategis
Kabupaten Ngawi yang berada di jalur perlintasan utama
Jawa Tengah dan Jawa Timur dan juga menjadi jalur alternatif
antarkota. Melihat hal tersebut, tidak menutup kemungkinan
jika kelak Kabupaten Ngawi dapat menjadi salah satu tujuan
wisata budaya di Tanah Air.

263
Pemerintah Kabupaten Ngawi dengan sloganya
“Ngawi Ramah” berupaya membangun pariwisata yang
berbasis kebudayaan. Selain guna menarik para pengunjung
untuk datang dan mengenalkan seni budayanya, Pemerintah
Kabupaten Ngawi juga ingin memberikan wisata yang
mengedukasi baik untuk masyarakat dari luar maupun
masyarakat Ngawi sendiri. Beberapa di antaranya adalah
Museum Trinil, Benteng Pendem (Van Den Bosch), rumah
tokoh pergerakan dr KRT Radjiman Wedyaningrat, sentra
kerajinan bonggol jati, dan lain sebagainya.
Dua unggulan wisata berbasis edukasi dan budaya
Kabupaten Ngawi adalah Museum Trinil dan Benteng Van Den
Bosch. Pertama, Museum Trinil merupakan penyimpanan
fosil manusia kera berjalan tegak atau yang dikenal dengan
Phitecantropus erectus yang ditemukan oleh Dubois pada
tahun 1981 sampai dengan tahun 1892. Selain itu, di situs
ini juga ditemukan fosil banteng dan gajah purba yang
sangat berguna bagi penelitian dan pendidikan, khususnya
di bidang sejarah kepurbakalaan. Kedua, Benteng Van Den
Bosch merupakan peninggalan pada masa kolonial Belanda
yang dibangun antara tahun 1839-1845, sebagaiomanai yang
tertulis pada gerbangnya yang memiliki ukuran bangunan
165 m x 80 m dengan luas tanah 15 hektar. Di dalam benteng
ada bangunan yang di dalamnya terdapat barak bagi tentara
berpangkat tinggi, dapur serta makam KH Muhammad
Nursalim. Muhammad Nursalim adalah tokoh penyebar
agama Islam pertama di Kabupaten Ngawi serta pahlawan
bangsa pengikut Pangeran Diponegoro.
Melihat berbagai potensi yang dimiliki oleh
Kabupaten Ngawi, pelestarian kebudayaan sangat penting
untuk menjadi dasar perkembangan Kabupaten Ngawi, baik
itu dari segi ekonomi maupun pariwisata menuju “Ngawi
Ramah” yang berbudaya. Lewat pemberian Anugerah

264
Kebudayaan 2019 diharapkan mampu mendorong semangat
masyarakat Ngawi untuk dapat lebih jauh menggali
potensi yang dimilikinya serta melakukan pelindungan,
pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan guna
kesejahteraan masyarakat Kabupaten Ngawi. ***

PROFIL KABUPATEN NGAWI

Berdiri : Melalui Surat Keputusan Nomor


188.70/34/1986 tanggal 31 Desember 1986,
DPRD Kabupaten Dati II Ngawi telah
menyetujui tentang penetapan Hari Jadi
Ngawi, yaitu pada tanggal 7 Juli 1358 M. Dan
ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati
KDH Tk II Ngawi Nomor 04 Tahun 1987 pada
tanggal 14 Januari 1987.

Bupati : Budi Sulistyono (2016- sekarang)


Penduduk : 830.090 jiwa (405.807 laki-laki dan 424.283
perempuan)
Luas wilayah : 1.295,98 km2, berbatasan langsung dengan
Provinsi Jawa Tengah Wilayah ini terbagi
ke dalam 19 kecamatan, 217 desa dan 4
kelurahan (Data BPS, Kabupaten Ngawi Dalam
Angka 2019)

Penghargaan :
· Anugerah Kebudayaan 2019 kateogri Pemerintah Daerah
· Anugerah Parahita Ekapraya, 2018
· Anugerah Adipura Tahun 2018 dari Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan

265
Kediri
Merawat Warisan
Budaya Adiluhung

Tentu tak ada yang tak mengenal Kediri. Kediri


adalah salah satu kerajaan tua di Indonesia.
Memang kerajaan itu tak meninggalkan istana
dan sampai sekarang pun belum ditemukan
di mana tapak istananya. Akan tetapi bukti
kerajaan itu pernah ada dan tidaklah sedikit.

D i sini telah ditemukan banyak peninggalan


arkeologis yang menguatkan bahwa pada masa
lalu pernah berdiri kerajaan yang megah, Kerajaan
Kediri. Peninggalan itu antara lain berupa arca, keris,
prasasti, kisah cerita Panji dan banyak peninggalan
lain. Juga ada Sungai Brantas yang sangat historis
membelah kota Kediri.
Belum ditemukannya letak pusat Kerajaan
Kediri sama sekali tak mengurangi keberadaan kota
Kediri sebagai kota budaya yang memiliki banyak
warisan sejarah yang masih bisa dibuktikan sampai
sekarang. Pemerintah Kota Kediri yang sekarang (2019)
dinakodai oleh Abdullah Abu Bakar, SE, membangun
kota itu dengan berbagai program berbasis budaya
dan bagaimana kekayaan atau peninggalan budaya
tersebut bisa disinergikan dengan pertumbuhan

266
ekonomi. Ujung-ujungnya adalah bagaimana warisan budaya
itu bisa ikut menyejahterakan kehidupan masyarakat banyak
di kota Kediri.
Abdullah Abu Bakar yang biasa disapa Mas Abu
mengemukakan, sebagai salah satu kota tertua di Indonesia,
Kediri memiliki kekayaan sejarah dan budaya yang luar biasa.
Pemerintah Kota Kediri berupaya merawat warisan budaya
adiluhung tersebut dengan berbagai program pemerintah
yang berpihak pada pelestarian budaya.
Wali kota Kediri ini menyadari seni dan budaya tidak
bisa lepas dari kehidupan manusia karena hal itu memberi ciri
khas untuk suatu kota. Untuk itu, memang dibutuhkan narasi
budaya yang kuat dan pada gilirannya bisa sinkron dengan
bidang lain seperti ekonomi. Karena itu, harus ada cerita
tentang kota Kediri dan berbagai sejarah yang berkaitan
dengan kota itu, seperti tempat ramalan Joyoboyo. Harus
ada cerita sehingga hal itu berdampak pada masyarakat.
Budayanya kuat, seninya kuat, dan juga berdampak pada
masyarakat. Ada efek sampingan yang bisa dirasakan oleh
masyarakat.
Langkah yang dilakukan, di antaranya adalah
merawat cerita Panji yang diyakini menjadi kekayaan
kebudayaan Kediri melalui pertunjukan seni, karnaval budaya,
fashion show Panji maupun pergelaran Selomangleng yang
melibatkan seniman dari berbagai negara. Pemerintah Kediri
juga merawat peninggalan fisik berupa arca, keris Kediren
dan Candi Klotok serta mendirikan Museum Airlangga di
kawasan Gua Selomangleng. “Kami berharap upaya ini tak
hanya memberikan rasa bangga kepada peradaban leluhur,
tetapi juga berdampak secara ekonomi kepada masyarakat
kota Kediri demi kesejahteraan bersama,” ujar sang wali
kota.
Saat ini, misalnya, Pemerintah Kota Kediri tiap tahun
menggelar Kediri Night Carnaval. Keberagaman budaya di
Kota Tahu itu dihadirkan kepada masyarakat. Komunitas

267
seni dari berbagai tempat, termasuk dari Jember Fashion
Carnaval, tampil di sini. Dampak karnaval ini mulai tampak
untuk menggerakkan sektor ekonomi. Para pelaku ekonomi
mulai hadir pada Kediri Night Carnaval. Memang belum ada
kerja sama antar-pemerintahan, tetap kegiatan ekonominya
mulai menggeliat.
Mas Abu selalu berusaha agar mengaitkan
kegiatan budaya dengan program lainnya sehingga bisa
saling bersinergi. Juga ada pergelaran Selomangleng di
dekat Kawasan Gua Selomangleng. “Kita harus membuat
kolaborasinya dengan harapan tidak ada yang tertinggal. Di
sini terdapat cerita-cerita zaman dahulu seperti cerita panji.
Ternyata cerita panji juga ada di Thailand. Kami berupaya
bagaimana budayawan dan sejarawan bisa menghadirkan
dampak ekonomi dari itu. Semua bisa ikut menikmatinya,
seperti pelaku ekonomi dan masyarakat,” harap Mas Abu.
Kota Kediri memiliki museum terkenal, yakni
Museum Airlangga, yang berada di dekat Kawasan Gua
Selomangleng. Koleksi museum yang didirikan tahun 1992
ini banyak yang menarik. Banyak koleksi yang mengandung
nilai historis tinggi. Salah satu koleksinya yang menarik
adalah jambangan batu. Sederhanyanya, jambangan batu
ini ini seperti bathtub di era modern, akan tetapi bathtub ini
terbuat dari batu andesit. Koleksi ini diletakkan di tengah
ruang pamer museum, menjadi pusat perhatian banyak
pengunjung. Tak jauh dari bathtub itu ada narasinya.
Bathtub batu ini terbuat dari batu andesit dengan
ukuran panjang 152 cm, lebar 86 cm, dan tinggi 76 cm.
Jambangan batu ini bukan sembarangan bathtub. Ia
dimanfaatkan untuk upacara ritual membersihkan diri agar
bebas dari dosa. Jadi, bukan sekadar tempat untuk mandi
seperti fungsi bathtub sekarang.
Berdasarkan informasi yang disediakan museum,
bathtub batu ini telah berusia 1.001 tahun. Artinya, usianya
sudah mencapai satu milenial. Bentuknya lonjong dan

268
dindingnya kaya dengan ragam hias bunga padma. Masing-
masing sudut berhiaskan motif tengkorak menggigit bulan
seperti dalam mitologi raksasa memakan Dewi Candra.
Di bagian dalam bathtub batu ini terdapat tempat
landasan teratai untuk bersila. Dari situ jelas bagi kita, bathtub
ini pada masanya dibuat untuk upacara ritual membersihkan
diri dari segala dosa. Bathtub ini disimbolkan bagai rahim
seorang ibu di mana bayi yang ada dalam kandungan tanpa
dosa. Dengan melaksanakan ritual mandi suci, seorang
tokoh atau pemimpin akan kembali bersih.
Pemerintah Kota Kediri, menurut Mas Abu, telah
memberi perhatian besar pada keberadaan Museum
Airlangga. Apalagi koleksi yang dimiliki museum tidak saja
menarik untuk dilihat, tetapi juga membawa pesan kepada
masyarakat zaman now lewat narasi-narasi koleksi tersebut.
“Kami mempunyai program bulan kunjungan ke
museum. Kita perkenalkan kepada anak didik di sekolah-
sekolah dan mengajak mereka datang berkunjung ke sana.
Animo masyarakat berkunjung ke museum juga bagus.
Mereka suka membawa tamu dari luar untuk melihat
museum. Banyak yang bertanya Kerajaan Kediri seperti
apa. Kalau Yogyakarta jelas karena ada istananya. Kerajaan
Kediri, ya, lokasi istananya masih mengira-ngira. Memang
ada prasasti, tulisan, peninggalan lainnya. Yang bisa kita
tunjukkan, ya, itu,” ujar Mas Abu.
Masyarakat juga didorong untuk berkunjung
ke perpustakaan yang dikelola oleh pemerintah kota.
Yang membahagiakan, kata Abdullah Abu Bakar, animo
masyarakat, terutama pelajar, untuk datang ke perpustakaan
makin tinggi.
Perhatian pada budaya diwujudkan di dunia
pendidikan dengan hadirnya muatan lokal seperti
mengajarkan cerita Panji di sekolah-sekolah. Menurut Mas
Abu, kisah Panji membawa pesan nilai kesetaraan dalam
hidup, yakni duduk sama rendah berdiri sama tinggi.

269
Pemerintah kota juga mengembangkan batik lokal
dan tenun ikat asli Kediri. Batik lokal menggunakan motif
kuda lumping. Batik itu dikembangkan dengan desain
internasional sehingga dapat memberi dampak ekonomi dan
faedah kepada masyarakat luas.
Kain tenun asli Kota Kediri juga sedang populer. Mas
Abu ikut terjun memopulerkan tenun asli dari kotanya. Ia
memakai baju dari tenun asli Kediri. Kain tenun Kediri sudah
dipamerkan di luar negeri seperti di Turki. Juga dipamerkan
di Jakarta Fashion. Beberapa tokoh masyarakat seperti
Mahfud MD dan Pramono Anung juga memakai baju dari
tenun asli Kediri.
Keberagaman di kota ini juga terawat dengan baik.
Berbagai elemen masyarakat dengan latar belakangnya
masing-masing bisa hidup berdampingan satu sama lain
dengan rukun. “Saya memberikan ruang yang sama kepada
seluruh masyarakat. Kita ingin hidup saling tolong-menolong.
Dan, ekonomi Kediri itu jalan, ekonomi tumbuh 22 persen,
karena kita kondusif. Saya berpikir kalau keadaan kondusif,
maka investasi akan tumbuh,” ujarnya.
Pada lamannya, Pemerintah Kota Kediri menyebut
dirinya “Kediri, The Service City”. Maksudnya, pemerintah
kota menerapkan berbagai layanan untuk memberikan
kemudahan bagi calon investor. Salah satunya adalah
pembentukan Badan Penanaman Modal (BPM) Kota Kediri
yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian urusan
pemerintah daerah di bidang penanaman modal, yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian sesuai
dengan kebijakan wali kota Kediri.
Pemerintah kota juga berbenah dalam peningkatan
pelayanan prima kepada masyarakat. Untuk itu, pemerintah
melakukan perbaikan gedung pelayanan di seluruh kelurahan
yang ada di kota Kediri. Tidak hanya gedung pelayanannya,
tetapi sarana dan prasarana pendukung pelayanan juga
diperbaiki. Diharapkan, suasana baru bisa tumbuh, sehingga

270
mendorong gairah dan semangat kerja produktif dalam
melayani masyarakat.
Tahun 2019, pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan memberi Anugerah Kebudayaan
Kktegori Pemerintah Daerah/Pemerintah Kota untuk
Pemerintahan Kota Kediri atas perhatiannya pada pemajuan
kebudayaan. “Anugerah itu bagus dan sangat luar biasa,”
kata Abdullah Abu Bakar.
Namun ia berharap pemerintah pusat mau
membantu pemerintah kota untuk membangun fasilitas
budaya, seperti museum atau gedung kesenian, karena hal
itu akan jauh lebih bermanfaat bagi daerah. “Itu harapan
saya,” ujarnya.***

PROFIL PEMERINTAH KOTA KEDIRI

Wali Kota : Abdullah Abu Bakar


Wakil Wali Kota: Lilik Muhibbah
Penduduk : 312.999 orang/jiwa per 2015
Luas Kota : 63,40 km2 atau 6,340 hektare per 2016
Julukan : Kota Tahu
Somboyan : “Djojo ing Bojo” atau ”Mengalahkan Marabahaya”
Hari lahir : 27 Juli 879

Penghargaan:
- Anugerah Kebudayaan kategori Pemda/Pemkot dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2019
- Kota Terbaik Idalam Penghargaan Pembangunan Daerah
Provinsi Jawa Timur Tahun 2019, 2019
- Penghargaan Kota Layak Anak Tingkat Madya, 2019
- Penghargaan Sistem Akuntabiltas Kinerja Instansi Pemerintah
2018, 2018
- Penghargaan atas Laporan Keunganan Pemerintah Daerah
(LKPD) Tahun 2016 dengan Capaian Standar Tertinggi, 2017

271
Kabupaten Sanggau
Pelopor Perda
Pemajuan Kebudayaan

Mereka menyadari betul bahwa kebudayaan itu


penting. Sebab, persoalan budaya sudah melekat,
dan menjadi pakaian hidup, serta sebagai harga
diri bagi masyarakat pendukungnya. Mereka
pun menyadari betul akan keberagaman dan
kekayaan budaya yang mereka miliki. Kesadaran
itu membuat Pemerintah Kabupaten Sanggau
melakukan terobosan pemajuan kebudayaan
dalam berbagai dimensi pembangunan daerahnya.

D engan disahkannya UU Nomor 5 Tahun 2017


tentang Pemajuan Kebudayaan, muncul
kebutuhan untuk menangani kegiatan budaya
dengan merangkai, menghubungkan, dan merajut
kondisi budaya yang beragam secara lebih sistematis.
Seluruh pemerintah daerah, baik provinsi maupun
kabupaten/kota, diminta komitmennya dalam
pemajuan kebudayaan. Langkah awal yang ditempuh
adalah membangun komitmen yang tertuang dalam
peraturan daerah (perda). Perda ini menjadi dasar
kesepakatan pemajuan kebudayaan, sekaligus strategi
diplomasi budaya sesuai dengan kearifan lokal masing-
masing daerah.

272
Pemerintah Kabupaten Sanggau meresmikan Perda
Pemajuan Kebudayaan pada Agustus 2019. Sebuah teroboson
yang luar biasa. Kebijakan itu sekaligus menjadikan Sanggau
sebagai pelopor di antara kabupaten/koya yang ada di
Provinsi Kalimantan Barat yang memiliki Perda Pemajuan
Kebudayaan. Kepeloporan Pemerintah Kabupaten Sanggau
didasari atas kekayaan budaya yang dimilikinya, sehingga
membutuhkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan
dan pengelolaan kebudayaan, serta keberlangsungan
ekosistem budaya di masa yang akan datang.
Sanggau adalah miniatur Indonesia dengan
keberagaman etnis, adat dan budaya. Kabupaten yang ibu
kotanya terletak 175 kilometer dari kota Pontianak sebagai
pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat ini memiliki
perbatasan langsung dengan negara tetangga (baca:
Serawak, Malaysia), yakni di Kecamatan Entikong. Sanggau
dihuni oleh penduduk dari beragam suku bangsa, yaitu
Melayu, Dayak, Tionghoa, Batak, Sunda, Jawa, Minang, dan
lain-lainnya. Juga beragam agama, kepercayaan, dan bahasa
ikut mewarnai Sanggau.
Di tengah keberagaman di berbagai aspek itulah
Pemerintah Kabupaten Sanggau melakukan pengelolaan
sejumlah kegiatan budaya. Sebutlah seperti Gawai Dayak,
yang diselenggarakan setiap tanggal 7 Juli dan diikuti
masyarakat Dayak dari tiap-tiap kecamatan yang ada di
Sanggau. Rumah betang Dori Mpulor yang berada di sisi
jalan raya di Dusun Sungai Mawang dijadikan tempat
pelaksanaannya. Rumah adat kebanggaan suku Dayak ini
berdiri di atas lahan seluas tujuh hektar dengan bentuk
bangunan memanjang dan memiliki 16 pintu atau bilik, yang
mencerminkan sub-sub suku Dayak yang ada di Sanggau.
Rumah betang ini tidak dijadikan tempat tinggal, melainkan

273
digunakan sebagai tempat upacara dan kegiatan-kegiatan
adat.
Lalu ada lagi kegiatan yang mereka namakan
Paradje Pasaka Negeri. Paradje yang dilakukan setiap bulan
September ini merupakan tradisi Melayu di Sanggau sejak
dulu dan masih bertahan hingga sekarang. Tradisi yang
dilakukan di halaman Keraton Surya Negara Sanggau ini
bertujuan untuk menangkal dan menolak bala bencana. Acara
ini dihadiri oleh para raja domestik hingga mancanegara,
seperti Kesultanan Brunei Darussalam dan Malaysia, serta
raja dari Ketapang, Sekadau, Tayan, dan Landak. Acara ini
dimulai dengan pawai berjalan kaki, dimulai dari pusat kota
Sanggau menuju keraton, dengan membawa sejumlah benda
pusaka, sesaji, dan panji keraton dengan iringan doa dan
salawat. Setelah tiba di Keraton Surya Negara Sanggau yang
telah berdiri sejak abad ke-4 Masehi ini, mereka disambut
dengan tarian tradisional dan ritual adat seperti tolak ajong
dan tepung tawar.
Pesta adat yang dinamakan Gawai Serumpun
Tampun Juah tak kalah serunya. Pesta adat ini begitu
meriah sehingga menarik kunjungan wisatawan lintas-

274
batas, erutama dari Sabah, Serawak, Kuching, dan Brunei.
Gawai ini menjual keelokan nilai-nilai budaya Tampun Jauh
yang menceritakan kisah berpindahnya suku Dayak Iban
yang tersebar di seluruh Pulau Kalimantan hingga Serawak
dan Brunei. Acara seremonial ini dilakukan sebagai upaya
menegakkan kedaulatan identitas masyarakat adat Dayak
Iban berupa sejarah, wilayah, adat istiadat, lembaga, dan
hukum adat. Pemerintah Kabupaten Sanggau menggunakan
momen ini sebagai pengikat emosional dan mempererat
kekerabatan untuk mengundang berbagai keturunan Dayak
Iban yang berada di negara Malaysia dan Brunei.
Di luar itu, masih ada berbagai atraksi yang
mencerminan keragaman budaya, etnis, agama di Sanggau.
Sebutlah seperti pertunjukan wayang kulit dan untuk
memperingati 1 Suro yang dikelola oleh Guyup Gawe
Guna; perayaan Cap Go Meh yang dilaksanakan setiap hari
ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru
Imlek; mandi bedel dan perang ketupat yang dikelola oleh
Keraton Pakunegara-Tayan; “Malam Badendang” yang
diselenggarakan untuk masyarakat Minang; atraksi budaya
Pasundan; hingga acara bertajuk “Titian Muhibah”, yakni
pergelaran budaya dua negara (Indonesia- Malaysia).
Seperti dikatakan Bupati Sanggau Paolus Hadi,
“Setiap tahun kami adakan kegiatan kebudayaan. Kalau suku
Dayak kita akomodir gawai-nya, Melayu dengan paradje’-
nya, dendang Melayu untuk suku Padang (baca: Minang).
Ada suku Jawa, Sunda, dan tahun ini kita kembangkan tradisi
Batak. Kita dukung semua suku bangsa di Sanggau untuk
menuju Sanggau berbudaya dan beriman.”
Selain kegiatan budaya, Pemerintah Kabupaten
Sanggau telah berhasil mengajukan pengerih, yang
merupakan tradisi suku Dayak Pandu di Sanggau, menjadi
warisan budaya takbenda Indonesia. Pengerih berarti

275
gotong royong, yang merupakan aktivitas kerja antarsesama
warga untuk saling membantu tanpa upah. Tradisi pengerih
ini merupakan warisan budaya takbenda kedua untuk
Kabupaten Sanggau yang ditetapkan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan setelah paradje.
Kabupaten Sanggau juga dikenal sebagai salah satu
kabupaten yang telah mengakui dan melindungi masyarakat
adat melalui pelaksanaan reforma agraria, perhutanan
sosial, dan moratorium perkebunan sawit pada tahun 2018.
Presiden melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
menetapkan adanya hutan adat bagi Masyarakat Adat Besar
Tiong Kandang. Hutan adat ini berada di Desa Tae, Kecamatan
Balai, Sanggau, seluas 2.189 hektar. Kini Pemerintah
Kabupaten Sanggau berupaya mengembangkan kegiatan
pemberdayaan masyarakat adat dari sisi kebudayaan,
misalnya rencana penetapan Tiong Kandang sebagai situs
budaya.
Di sisi lainnya, sejak 2016, Sanggau memiliki destinasi
wisata budaya Kabana (Kantu, Benua, dan Istana) untuk
menarik wisatawan asal Kuching dan Sarawak masuk
ke Indonesia. Wisata budaya ini berada di tepi sungai
di Kecamatan Kapuas, di mana dibangun gazebo untuk
bersantai, tempat makan dengan pemandangan sungai,
Masjid Jami Sultan Ayub, dan Keraton Surya Negara.
Destinasi ini dirancang oleh Pemerintah Kabupaten Sanggau
menjadi ajang atraksi-atraksi budaya dan kuliner agar Kabana
semakin banyak dikunjungi.
Hal menarik lainnya adalah program fasilitasi
Lumbung Budaya yang digagas Pemerintah Kabupaten
Sanggau sejak tahun 2018. Pembentukan Lumbung Budaya
dilakukan di 15 kecamatan yang ada di Sanggau. Lumbung
Budaya merupakan suatu gagasan proyek perubahan
agar kesenian dan SDM kebudayaan dapat memajukan

276
kebudayaan daerah. Setiap tahun, pemerintah setempat
secara rutin memberikan anggaran dan diharapkan
berdampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat lewat
pemberian lapangan kerja dan menjadi lahan usaha hasil
kreativitas masyarakat. Lumbung Budaya ini sekaligus
dimaksudkan menjadi pusat data dan informasi tentang
kebudayaan, penelitian, wisata budaya, pembelajaran
muatan lokal, dan kesenian untuk pendidikan. ***

PROFIL KABUPATEN SANGGAU

Bupati Sanggau : Paolus Hadi, S.IP, M.Si


Wakil Bupati Sanggau : Drs. Yohanes Ontot, M.Si
Jumlah Penduduk : 483.981 jiwa (2017)
Luas : 12.857,70 Km² terdiri dari 15 Kecamatan.
Batas wilayah :
Utara : Malaysia Timur (Serawak)
Selatan : Kabupaten Ketapang
Timur : Kabupaten Sekadau
Barat : Kabupaten Landak
Penghargaan :
n Penghargaan TOP 99 Inovasi Pelayanan Publik tahun 2018 dari
Kementerian PAN RB, 19 September 2018.
n Penghargaan Predikat Kepatuhan Tinggi tahun 2018 dari
OMBUDSMAN Republik Indonesia, 10 Desember 2018.
n Penghargaan Kabupaten Cukup Peduli HAM pada tahun 2017,
Jakarta 5 Desember 2018.
n Penghargaan Unit Penyelenggaraan Pelayanan Publik Kategori
Baik tahun 2018, untuk Rumah Sakit Umum Daerah Mth. Djaman
Sanggau, dari Kementerian PAN RB, 27 November 2018.
n Penghargaan Unit Penyelenggaraan Pelayanan Publik Kategori
Baik tahun 2018, untuk Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kabupaten Sanggau, dari Kementerian PAN RB, 27
November 2018.
n Penghargaan Kabupaten Layak Anak Kategori Pratama tahun
2019, Jakarta, 23 Juli 2018.

277
Kabupaten Kulon Progo
“Bela Beli Kulon
Progo”

Begitu banyaknya daerah di Yogyakarta, nama


Kabupaten Kulon Progo mungkin tidak terlintas di
pikiran banyak orang. Sunyi, senyap, dan jauh dari
hiruk-pikuk membuat daerah ini seperti tertutupi
tirai besar di balik kebesaran nama Daerah
Istimewa Yogyakarta. Meskipun demikian, bukan
berarti daerah ini tidak memiliki potensi dan
prestasi apa pun yang dapat dibanggakan.

T erbaru, yang dapat dibanggakan masyarakat


Kulon Progo, adalah dibangunnya Bandara
Yogyakarta International Airport (YIA). Ini akan
membuka “pintu” bagi dunia luar untuk datang
mengetahui dan mengenal lebih jauh mengenai
keberagaman dan keindahan Kulon Progo. Berbagai
inovasi dan potensi yang berhasil digali pemerintah
Kabupaten Kulon Progo dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir membuat daerah ini menjadi salah satu
daerah yang maju dan berkembang pesat di berbagai
sektor, seperti kesehatan, pariwisata, perekonomian
dan kebudayaan.
Potensi yang dimiliki Kulon Progo sudah
saatnya ditumbuhkembangkan melalui langkah-

278
langkah yang kreatif, inovatif, dan kompetitif. Terlebih
mengingat jalur-jalur lalu lintas kepariwisataan dan ekonomi
diperkirakan akan meningkat di wilayah ini. Sebagai contoh
kecil, adanya produksi kuliner geblek, growol, tempe
benguk, serta produk lainnya yang punya ciri khas setempat
masih layak dan perlu dikembangkan dan dikemas secara
profesional. Termasuk seni dan budaya sebagai kearifan
lokal, bisa dikemas sedemikian rupa sekaligus diperkenalkan
kepada wisatawan yang nantinya banyak berkunjung.
Berbagai program dan kebijakan telah dibuat untuk
memajukan Kabupaten Kulon Progo. Salah satunya, yaitu
lewat semacam tagline “Bela Beli Kulon Progo”, yang dimulai
pada tahun 2012. Ada beberapa inovasi dan kreasi yang telah
dilakukan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo.
· Gerakan mengenakan batik geblek renteng khas Kulon
Progo bagi pelajar dan aparatur sipil negara (ASN) setiap
hari Kamis. Kebijakan ini telah mampu mendongkrak
usaha kerajinan batik setempat.
· Pada bidang pertanian, gerakan membeli beras
petani bagi ASN telah banyak membantu meningkat
kesejahteraannya para petani.
· Memproduksi air minum kemasan sendiri dengan
merk AirKu yang bisa menyerap konsumen/pelanggan
setempat. Dalam setiap, acara baik di pemerintahan
hingga pertemuan-pertemuan masyarakat, Pemerintah
Kabupaten Kulon Progo mengimbaiu agar produk Air-Ku
bisa dijadikan pilihan utama untuk minuman masyarakat.
· Membuat kesepakatan mimimarket waralaba dengan
koperasi sekitar dengan membuka toko dengan nama
“Tomira” (Toko Milik Rakyat). Sistem kerja sama ini
melalui skema bagi hasil selama tiga tahun. Setelah itu
Tomira sepenuhnya menjadi milik koperasi tersebut.
Di Tomira ini, selain produk-produk konvensional yang

279
dijual, juga menjadi tempat bagi UMKM Kulon Progo
menjual produknya.
· Selain bidang perekonomian dan kebudayaan,
Pemerintah Kabupaten Kulon Progo juga memperhatikan
bidang kesehatan, di antaranya lewat gerakan “Tak Takut
Miskin dengan Anti-Rokok”. Alhasil, ketika mengunjungi
Kabupaten Kulon Progo hampir tidak ada iklan rokok
atau semacamnya terpajang di sana.
· Program kesehatan untuk rakyat kecil tanpa pandang
bulu juga dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kulon
Progo guna melayani masyarakatnya. Sejak 10 tahun
terakhir diberlakukan program “free of charge” bagi
siapa pun warga yang sakit, dengan nilai mencapai Rp
5 juta per orang. Tidak hanya bebas biaya, Pemerintah
Kabupaten Kulon Progo juga memberikan kebebasan
layanan kesehatan tanpa dibedakan menurut kelas.

280
Jadi, rakyat miskin juga bisa diurus di kamar-kamar kelas
I dan juga VIP ketika kelas lainnya penuh.

Melalui beberapa program tersebut, Kulon Progo


ternyata mampu menurunkan angka kemisikinan: dari 22,54
persen pada 2013 menjadi 16,74 persen pada 2014. Kreativitas
dan inovasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Kulon Progo menjadi kunci tetap hidup dan berkembangnya
berbagai sektor kehidupan yang ada di tengah-tengah
masyarakat.
Program-program itu tentu saja didukung dengan
kebijakan dan peraturan daerah yang diterbitkan oleh
Pemerintah Kabupaten Kulon Progo. Hadirnya Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta, yang salah satunya mengatur
soal kebudayaan, dijadikan modal dalam upaya pemajuan
kebudayaan di daerah ini. Misalnya, Pemerintah Kabupaten
Kulon Progo membuat OPD Dinas Kebudayaan tingkat
kabupaten pertama yang ada di Yogyakarta pada tahun 2016.
Hal ini membuat penanganan kebudayaan dapat terintegrasi
dengan segala kegiatan di Kulon Progo. Selain itu, dalam
membentuk karakter dan kepribadian yang mengedepankan
nilai-nilai luhur, dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda)
Nomor 8 Tahun 2015, yaitu tentang (1) religiusitas anak; (2)
penanaman nilai Pancasila; dan (3) pendidikan kemataraman
sebagai upaya memasukkan nilai dan kultur Jawa.
Berbagai kegiatan seni budaya, baik yang sifatnya
tradisi maupun kreasi kontemporer, diberikan wadah oleh
Pemerintah Kabupaten Kulon Progo. Hal ini dibuktikan
dengan pembangunan Taman Budaya Kulon Progo (TBK)
seluas 4,2 hektar pada tahun 2018. Mengingat Kulon Progo
statuis administrasinya termasuk daerah tingkat II, memiliki
taman budaya yang mandiri merupakan pencapaian yang

281
tinggi sebagai wadah penunjang segala bentuk kegiatan
kebudayaan. Adapun kegiatan yang dilakukan di Taman
Budaya Kulon Progo, beberapa di antaranya: macapatan,
senam angguk, permainan tradisional nglarak blarak
(kombinasi antara budaya, permainan, dan olahraga
tradisisional), pembelajaran dalang cilik, dan masih banyak
lagi.
Fasilitas pendukung segala aktivitas masyarakat
Kulon Progo dalam hal kebudayaan dikembangkan oleh
pemerintah tidak hanya di taman budaya, akan tetapi di
beberapa lokasi lain di Kulon Progo. Sebutlah seperti Museum
Bale Agung. Museum ini merupakan salah satu bangunan
bersejarah di kawasan kompleks kantor pemerintahan
Kabupaten Kulon Progo. Fungsi Bale Agung adalah sebagai
tempat penyimpanan benda cagar budaya peninggalan
Mataram-Hindu. Barang-barang tersebut meliputi patung
ganesha, lesung batu, batu lumpang, yoni, batu bata kuno,
mata uang kuno dan kentongan gorobongso.
Sementara di Kampung Jemparingan, Pemerintah
Kabupaten Kulon Progo mencoba melestarikan warisan
leluhur berupa olahraga tradisional. Lewat olahraga
ini, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo berharap nilai-
nilai budaya Mataram bukan hanya tertanam di dalam
masyarakat, tetap juga lestari dan dapat diwariskan secara
turun-temurun. Setiap akhir pekan, warga setempat maupun
penggemar jemparingan dari berbagai daerah datang ke
sana untuk belajar dan berlatih bersama.
Adapun di Kampung Giripen, setiap tahun digelar
Giripeni Expo Festival. Giripeni Expo Festival merupakan
salah satu program unggulan Kabupaten Kulon Progo dalam
usaha melestarikan, mengembangkan dan memanfaatkan
kebudayaan, baik potensi kerajinan, kuliner, kesenian serta
pendidikan. Setiap tahun ada stand-stand yang memamerkan

282
potensi maupun produk unggulan dari delapan pedukuhan
yang ada di Giripeni. Ada pula produk kerajinan batik ciprat
hasil kreasi para penyandang disabilitas dari Kelompok
Swadaya Masyarakat (KSM) Disabilitas Girikasih. Giripeni
Expo bertujuan untuk mempererat silaturahmi dan
menggalang solidaritas kekeluargaan di antara warga serta
sebagai ajang memperkenalkan potensi desa.
Lewat itu semua, dengan mengembangkan potensi
yang ada serta menjaga nilai-nilai budaya masa lampau
agar tetap lestari, Kabupaten Kulon Progo mencoba
menyongsong masa depan yang gemilang. Semoga! ***

283
PROFIL KABUPATEN KULON PROGO

Berdiri: 15 Oktober 1951


Bupati: Sutedjo (2019-sekarang)
Hasto Wardoyo (2011-2019)
Penduduk: 425.758 jiwa
(209.600 laki-laki dan 216.158 perempuan)
Luas wilayah : 586,28 km²
. Kabupaten Kulon Progo terdiri atas 12 kecamatan,
yang dibagi lagi atas 87 desa dan 1 kelurahan, serta 933
Pedukuhan
. (Data BPS, Kabupaten Kuon Progo Dalam Angka 2019)

Penghargaan:
· Anugerah Kebudayaan Kategori Pemerintah Daerah
tahun 2019
· Nominasi Prestasi Kinerja Tertinggi dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah tahun
2017
· TOP 99 Inovasi Pelayanan Publik “ Mengganti Beras
Miskin (Raskin) menjadi Beras Daerah (Rasda) di
Kabupaten Kulon Progo” dari Menteri PAN dan RB RI
tahun 2016
· Penghargaan sebagai Kabupaten Nominasi Anugrah
Pangripta Nusantara tahun 2016

284
PERORANGAN ASING

285
Karel Stenbrink
Citra Positif
Islam dan Budaya
Indonesia

Sosok Indinesianis yang bersahaja, begitu para


kolega mengenal Karel Stenbrink. Di usianya yang
ke-77 tahun, saat ini ia masih aktif memberikan
ceramah dan seminar di berbagai event baik, di
Belanda maupun Indonesia. Sebagai profesor
rmeritus intercultural theology di Universitas
Utrech dan Leiden, Belanda, Stenbrink banyak
menulis tentang perbandingan agama dan sejarah
Islam di Indonesia.

S tenbrink menjadi bagian penting bagi pengenalan


wajah Islam di Eropa, khususnya di Belanda: bahwa
Islam Indonesia tidak sama dengan negara asalnya. Islam
Indonesia sangat sejalan dengan budaya Indonesia yang
beragam tetapi tetap bisa sejalan dengan masyarakatnya
yang beragam pula. Sumbangsih Stenbrink yang
menonjol adalah membantu dan membimbing dosen-
dosen Indonesia untuk belajar di Belanda yang dibiayai
oleh Pemerintah Belanda.
Stenbrink pernah tinggal sekitar delapan
tahun di Indonesia, mengajar di Institut Agama Islam
Negeri ( IAIN) Jakarta dan IAIN Yogyakarta (sekarang
UIN). Di kedua institut agama Islam tersebut ia aktif
mengajar dan membuka dialog serta membantu

286
membuka kesempatan para
mahasiswa Indonesia melanjutkan
studi ke jenjang pendidikan ke luar
negeri. Stenbrink juga membantu
peningkatan mutu dosen melalui
program kerja sama Indonesia
dengan Universitas Leiden, Belanda,
sehingga menghasilkan sejumlah
doktor Islamologi sehingga
memungkinkan IAIN menjadi
universitas. Selain itu, Karel Stenbrink
berjasa dalam menyumbang secara
positif hubungan Pemerintah
Republik Indonesia dan Belanda,
terutama kerja sama di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Kontribusi Karel Stenbrink dalam mengenalkan wajah
Islam Indonesia yang humanis dan damai serta sejalan dengan
Bhineka Tunggal Ika dikuatkan oleh pendapat Imam Masjid Al
Hikmah, ustaz Ahmad Iman Hambali Maksum. Saat itu, ustaz
Ahmad Hambali memimpin jemaah masjid yang awalnya
berupa gereja dan kini mengadi pusat kegiatan Persatuan
Pemuda Muslim Se-Eropa di Den Haag. Di masjid inilah Karel
Stenbrik sering memberikan seminar dan dialog terbuka
tentang perbandingan agama dan dinamika Indonesia dari
sudut pandang agama dan budaya.
Karel Stenbrink sebagai ilmuwan Barat non-Muslim
yang memiliki kecintaan luar biasa terhadap Indonesia. Ia
sangat memahami kultur pesantren Indonesia dan banyak
menulis tentang perkembangan Islam dan Kristen di Indonesia.
Stenbrink juga sangat fasih berbahasa Indonesia dan memiliki
murid-murid yang hingga kini masih terus berkomunikasi dan
membantu kemudahan studi mereka, maupun berupa bantuan
buku-buku koleksinya yang banyak dikirimkan ke Indonesia.

287
Kariernya dimulai pada tahun 1973-1978 sebagai
guru agama pada School di Eindhoven, lalu tahun 1978-
1989 berkesempatan mengikuti program kerja sama antara
Universitas Leiden dan IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta.
Sejak 1989-sampai sekarang Stenbrink sebagai peneliti senior
pada IIMO (Interuniversitair Instituut voor Missiologie en
Oecumenica), juga di the Interuniversity Institute of Islamic
Studies, McGill University di Montreal, Kanada.
Hasil penelitiannya berjudul Recente Ontwikkelingen
in Indonesisch Islamonderricht. Hasil studi untuk disertasinya
ini telah dibukukan dan diterjermahkan ke bahasa Indonesia,
Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern. Disertasinya ini yang menjelaskan tentang proses
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejak awal abad
ke-20.
Pada 1978-1979, di Universitas Leiden, Stenbrink
menjadi pemimpin proyek studi dan penelitian untuk sembilan
dosen dari beberapa dosen IAIN di Indonesia. Antara 1981-1988
ia mengajar di IAIN Jakarta dan Yogyakarta dalam rangka kerja
sama Indonesia dan Belanda. Ia mengajar “Perkembangan
Teologi Kristen Modern” di fakultas ushuluddin serta “Sejarah
Islam di Indonesia” dan “Orientalisme” pada program
pascasarjana.
Pada 1992-1993 diundang sebagai visiting profesor
di McGill University, Kanada. Kemudian bekerja di IIMO
(Interuniversitair Instituut voor Missiologie en Oecumenica),
lembaga penelitian di Universitas Utrecht, Belanda, untuk
mengembangkan profil pemikiran ekumenis Kristen yang
juga menyangkut hubungan yang harmonis dengan agama
lain, khususnya dengan umat Islam. Stenbrink juga pernah
menjadi pemimpin redaksi jurnal Begrip (saling pengertian),
dan redaktur pelaksana jurnal Exchange, yang bertujuan
meningkatkan hubungan antar agama, khususnya Islam dan

288
Kristen.
Saat ini, bersama istri, ia tinggal di apartemen yang
dirancang khusus untuk orang lanjut usia. Namun, semangat
Stenbrinkvtidak menunjukkan usianya yang memasuki senja.
Ia masih aktif memberikan bimbingan-bimbingan kepada
mahasiswa secara informal (karena sudah purnatugas)
dan masih aktif menulis. Kebiasaannya yang tidak berubah
sejak ia masih aktif sebagai dosen hingga sekarang adalah
mengundang para mahasiswanya untuk makan bersama di
malam Natal, di mana selain menyuguhkan berbagai makanan
halal, beliau melakukan pertunjukkan wayang sederhana.
Kecintaannya terhadap Indonesia juga sangat terlihat
dari beberapa buku koleksi juga tulisan-tulisannya, khususnya
tentang Islam di Indonesia, bahkan Stenbrink juga masih
mengikuti perkembangan situasi Indonesia sampai saat
ini. Keterkaitan Stenbrink pada perkembangan lembaga
pendidikan Islam—terutama IAIN Jakarta
dan IAIN Yogyakarta yang kini sudah
menjadi universitas (baca: UIN)—
berawal dari keikutsertaannya
bersama beberapa rekannya, di
antaranya Profesor Nico Kaptein
dan Profesor Martin, dalam sebuah
proyek penelitian tentang Islam
Indonesia. Keikutsertaan pada
proyek tersebut kemudian membuka
cakrawala baru Stenbrink tentang
agama Islam dan budaya Indonesia
sendiri. ***

289
BIODATA

Nama: Dr. Karel A. Steenbrink


Tempat,Tgl Lahir: Breda, 16 Januari 1942
Pendidikan: 1970 MA Theology, Catholic University of Nijmegen1974
Doctoral Christian and Islamic theology, the Radboud University of Nijmegen
dan Pondok Pesantren Darussalam di Gontor 1989 Meraih gelar Professor
pada Intercultural Theology
Penghargaan:
2007 pada masa purna tugasnya, sebuah Festschrift oleh 27 penulis berjudul
On the Edge of Many World
Karya:
1. ‘Pesantren, Madrasah, Sekolah’ (Disertasi Doktoral/Ph.D., 1974;
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia pada 1986);
2. ‘Beberapa Aspek mengenai Islam di Indonesia Abad ke-19’ (Tesis,
Jakarta:Bulan Bintang, 1984, beberapa kali dicetak ulang);
3. ‘Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis mengenai Agama di
Indonesia’, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988;
4. ‘Dutch Colonialism and Indonesian Islam’, Amsterdam: Atlanta, 1993;
(Terjemahan Indonesia oleh Mizan, 1994. Kawan dalam Pertikaian: Kaum
Kolonial Belanda dan Islam).
5. ‘A trilogy of 2000 pages Catholics in Indonesia 1808-2010’ (Volume Kedua,
Leiden: KITLV, 2003-2007 dan Volume Ketiga, Leiden: Brill, 2015),
Dipublikasikan di Indonesia: ‘Orang-orang Katolik di Indonesia, Volume
1-3’, Ledalero Press, 2006-2018.
6. Islam dari perspektif Studi Alquran: on Jewish and Christian prophets in the
Islamic tradition: Adam Redivivus, Muslim elaborations of the Adam saga
with special reference to the Indonesian literary traditions (Zoetermeer:
Meinema, 1998);
7. ‘De Korte hoofdstukken van de Koran’ (2002; pada Surat 79-114) dan
Jezusverzen in de Koran (2006).
8. (Diterjemahkan dalam Bahasa Indoneisa oleh mahasiswa UIN Sunan
Kalijaga di Yogyakarta di bawah pengawasan Prof. Dr. Sahiron Syamsuddin
dengan judul ‘Nabi Isa dalam Al-Qur’an, Sebuah Interpretasi Outsider atas
al-Qur’an,’ Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2015);
9. Buku Keempat dengan Interpretasi Alquran, ‘Een kleine Koran. Hulp bij het
zelfstandig lezen van de Korana aan de hand van de tweede soera’, (bersama
Gé Speelman, Gorinchem: Narratio, 2011).

- Dan artikel-artikel lainnya.

290
Mahmoud Hamdi Zakzouk
Pahlawan bagi
Mahasiswa Indonesia
di Mesir

Menteri Wakaf Mesir tahun 1995 sampai 2011 ini


adalah seorang pemuka agama, akademisi, dan
politisi yang berjasa terhadap kelangsungan studi
ribuan mahasiswa Indonesia. Ketika krisis moneter
terjadi di Indonesia tahun 1997 sampai 1999,
banyak orangtua mahasiswa yang mengalami
kesulitan membiayai putra-putrinya di di Negeri
Seribu Menara ini. Sumbangan profesor bidang
filsafat ini adalah membantu keberlangsungan
mahasiswa Indonesia. Dengan bantuan itu,
mahasiswa Indonesia dapat melanjutkan
pendidikannya di Universitas Al-Azhar.

M enurut Cecep Taufikurrohman, mantan murid


S3 Zakzouk asal UIN Jakarta yang belajar di
Universitas Al-Azhar, “Perhatian Zakzouk sebagai
Menteri Wakaf Mesir saat itu kepada mahasiswa
Indonesia sungguh luar biasa, sehingga mahasiwa
Indonesia masih bisa terus melanjutkan studinya
dan lulus, lalu kembali ke Tanah Air. Bahkan saat itu
para mahasiswa Indonesia kebanjiran bantuan yang
melimpah ruah.”

291
Zakzouk yang kelahiran
Mansoura tahun 1933 ini adalah
profesor filosofi dan mengajar di
Universitas Al Azhar. Dia bergabung
di universitas ini sejak tahun 1968
dan pernah menjabat sebagai
Dekan Fakultas Ushuluddin,
Wakil Presiden Universitas
Al Azhar (1995), dan Ketua
Dewan Tertinggi untuk Urusan
Islam (1996). Selain itu, ia aktif
sebagai anggota Akademi Penelitian Islam,
Akademi Ilmu Pengetahuan dan Seni Eropa di Salzburg, dan
Kepala Masyarakat Filosofi Mesir. Mulai tahun 1972 sampai
1976 dia menjadi visiting professor di Libya, dan tahun 1980
sampai 1984 di Qatar.
Program sarjananya ditempuh di Universitas Al-
Azhar, Fakultas Bahasa Arab, dan selesai pada tahun
1959, kemudian melanjutkan program magisternya di
Universitas yang sama. Pada tahun 1968, ia menempuh
program doktoralnya di Universitas Munchen, Jerman.
Dari universitas ini ia menggondol gelar PhD dengan judul
disertasi mengenai perbandingan metodologi filsafat al-
Ghazali dan René Descartes.
Zakzouk merupakan seorang yang terdidik yang
berasal dari tradisi keilmuan yang mendalam di Al-Azhar
dan mampu memadukan dengan kedalaman keilmuan dan
metodologi yang berkembang di dunia Barat. Ia, dengan
kepakarannya, juga kerap mendiskusikan pemikiran
dan berbagai macam isu keislaman di Indonesia. “Dia
beranggapan bahwa Indonesia merupakan cerminan Islam
masa depan dengan wajah Islam yang moderat dan toleran,”
kata Cecep.

292
Selain kiprahnya di dunia akademik, Zakzouk pun
terjun di dunia sosial-politik dan kemasyarakatan. Pada
tahun 1995, ia diangkat sebagai Menteri Wakaf pada masa
kekuasaan Presiden Hosni Mubarok. Selama ia menjabat
sebagai Menteri Wakaf (1995- 2011), banyak gebrakan yang
ia punggawai. Salah satu contohnya, ia memegang kendali
lebih dari 60.000 kepengurusan mesjid yang ada di Mesir,
dengan tujuan mencegah segala pemikiran-pemikiran
yang radikal, atau keyakinan yang tak sejalah dengan nalar
kolektif.
Zakzouk juga orang yang aktif untuk menyarankan
Grand Sheik Al-Azhar agar membantu mahasiswa Indonesia
di Mesir. Peranan Al-Azhar sangat signifikan terhadap
keberlangsungan mahasiswa Indonesia di Mesir. “Dalam satu
bulan, Al-Azhar memberikan bantuan kepada mahasiswa
Indonesia sekitar Rp 20 miliar. Ada 6.000 mahasiswa yang
sekarang ini belajar secara gratis di Al-Azhar. Belum lagi
mahasiswa yang mendapat beasiswa berupa uang saku
yang jumlahnya cukup signifikan. Belum lagi mahasiswa
Indonesia yang mendapat asrama atau tempat tinggal di Al-
Azhar. Banyak juga mahasiswa yang mendapat tiket gratis
pulang-pergi setelah diterima di kampus Al-Azhar. Bahkan
kebijakan terbaru Grand Syeikh Al-Azhar adalah memberikan
tiket pulang-pergi kepada mahasiswa Indonesia yang dapat
naik tingkat dua tahun secara berturut-turut. Masih ada lagi
bantuan non-material yang diberikan masyarakat Mesir yang
luar biasa,” imbuh Cecep.
Cecep menambahkan, di era kepemimpinan Zakzouk,
diterbitkan buku seri tafsir Al-Quran modern dan mudah
dipahami bagi mereka yang belajar tafsir. Perhatian Zakzouk
terletak pada kebijakannya untuk menerjemahkan ke dalam
berbagai bahasa di dunia, terutama bahasa Indonesia yang
menjadi prioritas utamanya. Penerjemahannya dibiayai oleh

293
Kementerian Wakaf Mesir dengan melibatkan mahasiswa-
mahasiswa Indonesia. Buku ini disebarluaskan secara masif
dan tidak diperjualbelikan, sehingga sangat bermanfaat bagi
para mahasiswa Indonesia.
“Ini menunjukkan perhatian khusus Zakzouk pada
perkembangan umat Islam di Indonesia. Beliau berharap
umat Islam di Indonesia dapat membaca dari sumber
yang benar, terutama ketika mempelajari Al-Quran. Jika
mempelajari Al-Quran dari sumber yang tidak tepat, maka
akan melahirkan pemahaman keislaman yang tidak tepat
sehingga menjadi sumber persoalan. Inilah bentuk perhatian
dari Zakzouk kepada umat Islam di Indonesia, yakni supaya
belajar Islam dengan benar, belajar Islam dengan baik, yakni
dengan belajar buku tafsir yang diterbitkan oleh Kementerian
Wakaf Mesir,” jelas Cecep.
Di tahun 2016, Zakzouk ikut serta bersama
rombongan Grand Syeikh Al-Azhar Prof Dr Syekh Ahmad
Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb dalam kunjungan ke Jakarta
untuk bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka.
Pertemuan tersebut untuk membahas kerja sama lebih
lanjut antara Universitas Al-Azhar dan Pemerintah Indonesia
yang semakin kokoh. Presiden Jokowi juga mengapresiasi
pertemuan itu karena para pemuda-pemudi Indonesia
dapat menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar. "Kampus
Al-Azhar merupakan universitas terkenal dan ada 3.500
mahasiswa asal Indonesia yang belajar di sana," ujarnya.
Karya-karya Zakzouk banyak dipublikasikan dalam
bentuk artikel dan buku, di antaranya On Philosophy
Culture and Peace in Islam (1987), On the Role of Islam in the
Development of Philosophical Thought (1989), Al Ghazalis
Philosophie im Vergleich mit Descartes (Comparison of Al
Ghazali's Philosophy with that of Descartes, 1992), Fragen zum
Thema Islam (Questions on Islam, 1999) dan Einführung in den

294
Islam (Introduction to Islam, 2000). Dia juga menulis buku
berjudul The End of Tolerance? (2002) yang menekankan
kajian pada toleransi keberagamaan. Zakzouk menerima
Penghargaan Negara dalam Ilmu Sosial dari Dewan
Kebudayaan Tertinggi pada tahun 1997.
Di usia yang ke-86 tahun, Zakzouk mengalami
penurunan kondisi kesehatan. Saat ini ia sedang dalam
masa pemulihan dan berobat di Jerman. Melalui surat
resminya kepada KBRI di Kairo, dia menyatakan apresiasi
yang tinggi terhadap penghargaan Anugerah Kebudayaan
kategori Perorangan Asing yang diterimanya. Dia mengutus
Dekan Universitas Al-Azhar, Prof Dr Abdelfatah Abdelghany
Al-Awwary, dan ajudannya, Mohsen Albdelhamid Shehafa
Ghowail, untuk menerima penghargaan tersebut. ***

BIODATA

Mahmoud Hamdi Zakzouk


Lahir : Mansoura-Mesir, 27 December 1933
Pekerjaan:
Menteri Wakaf Mesir (1995-2011), pemuka agama,
akademisi, dan politisi

Pendidikan:
- S1 di Universitas Al-Azhar, Mesir
- S2 di Universitas Al-Azhar , Mesir
- S3 di Universitas Munchen, Jerman

295
Roesman Darmo Hoetomo
Penggiat dan
Pejuang Bahasa
Indonesia
dan Bahasa Jawa
di Suriname

Namanya memiliki unsur bunyi bahasa Jawa yang


kental: Roesman Darmo Hoetomo! Akan tetapi
ia bukan penduduk Jawa, juga bukan warga
negara Republik Indonesia. Saat ini ia memegang
paspor Suriname. Akan tetapi leluhurnya berasal
dari tanah Jawa, yang “terdampar” di sana
pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda
berkuasa di Nusantara. Saat itu, banyak orang
Jawa didatangkan ke Suriname untuk bekerja di
perkebunan-perkebunan milik Belanda.

M eskipun telah jauh pergi ke bagian dari


wilayah Benua Amerika, khususnya Amerika
Tengah, banyak penduduk berkebangsaan Surniame
keturunan Jawa tak pernah lupa tanah lelehur mereka.
Minimal tak melupakan bahasanya. Tak terkecuali
Roesman Darmo Hoetomo. Saat ini ia adalah salah
seorang penggiat bahasa Jawa dan bahasa Indonesia
di negerinya.
Roesman yang menyadari punya akar kuat
dengan tanah Jawa, dan tentunya dengan Indonesia,
merasa terpanggil untuk mengikuti kursus bahasa
Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)

296
di Paramaribo, tahun 1987. Roesman termasuk perintis
berdirinya kursus bahasa Indonesia di KBRI Paramaribo
saat itu. Ia juga merasa perlu meningkatkan kemampuan
berbahasa Jawa-nya. Maka, ia mengikuti kursus bahasa
Jawa pada 2000. Ia juga mendirikan Ikatan Alumni Kursus
Bahasa Jawa (IKA-KBJ) dan Ikatan Alumni Kursus Bahasa
Indonesia (IKA-KBI).
Keterpesonaannya pada bahasa tanah leluhurnya ia
wujudkan dengan ikut melestarikan baik bahasa Indonesia
maupun bahasa Jawa di negerinya, Suriname, yang
penduduknya banyak keturunan Jawa. Mantan pegawai
negeri di Kementerian Pertanian, Peternakan dan Perikanan
Suriname itu menjadi penyiar radio berbahasa Jawa dan
Indonesia sejak 1990 sampai sekarang. Ia pun aktif menjadi
pengajar kursus bahasa Indonesia di KBRI Paramaribo sejak
1996 sampai sekarang. Kemudian, ia juga menjadi pengajar
kursus bahasa Jawa di KBRI Paramaribo.
Roesman tak berhenti mengembangkan dirinya
agar bisa menguasai bahasa Indonesia dan Jawa dengan
baik. Jauh-jauh dari Suriname ia masih belajar terus dengan
mengikuti kongres bahasa Indonesia dan Jawa. Agar
pengetahuannya tentang bahasa Indonesia kian meningkat,
ia mengikuti Kongres Bahasa Indonesia 2018, pada 28-31
Oktober, di Jakarta. Lima belas tahun sebelumnya, ia juga
mengikuti Kongres Bahasa Indonesia 2003, pada 14-17
Oktober, di Jakarta.

297
Guna memperdalam pengetahuan dan kemampuan
bahasa Jawa ia telah mengikuti tiga kali Kongres Bahasa
Jawa, yakni Kongres Bahasa Jawa III pada 15-20 Juli 2001
di Yogyakarta, Kongres Bahasa Jawa IV pada 5-10 Juli 2006
di Semarang, dan Kongres Bahasa Jawa V pada 27-30
November 2011 di Surabaya. Ia tidak menjadi peserta pasif,
tetapi aktif. Saat kongres di Surabaya, ia sempat menjadi
panelis mewakili negaranya.
Kecintannya pada bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa tak perlu diragukan
lagi. "Bapak Roesman Darmo
Hoetomo adalah penggiat dan
pejuang dalam mengajarkan
dan melestarikan bahasa
Jawa dan mengajarkan
bahasa Indonesia di
kalangan masyarakat Jawa
di Suriname," tulis Dubes
RI untuk Suriname, Julang
Pujianto.
KBRI Paramaribo
pulalah yang kemudian mengusulkan Roesman untuk
mendapatkan Anugerah Kebudayaan kategori Perorangan
Asing, tahun 2019. Dalam surat yang ditandatangani oleh
Julang Pujianto pada awal Mei 2019, dikemukakan bahwa
Roesman Darmo Hoetomo telah menunjukkan dedikasi yang
luar biasa tanpa pamrih sebagai pejuang dan pegiat bahasa
Jawa dan bahasa Indonesia di Suriname sejak tahun 1990.
Hingga saat ini, tulis Dubes Julang Pujianto, di usianya
yang hampir 80 tahun Roesman masih aktif mengajar dan
mengisi siaran bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di radio
dan televisi di Suriname. Selain itu, ia juga aktif melakukan
kaderisasi pengajar bahasa Indonesia dan bahasa Jawa

298
dalam kursus yang diselenggarakan oleh KBRI Paramaribo.
Maka, tulis Julang Pujianto, mengingat tingginya
kontribusi yang diberikannya, KBRI di Suriname mengusulkan
agar dipertimbangkan secara positif sebagai wujud apresiasi
Pemerintah Republik Indonesia atas upayanya tanpa
henti untuk melestarikan bahasa Jawa dan memajukan
pengajaran bahasa Indonesia di Suriname.
Berkaitan dengan kegiatan belajar bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa, di laman https://fathh.com/suriname/
nieuws, media di Suriname, ditulis dalam rangka merayakan
25 tahunnya berlangsungnya kursus bahasa Indonesia dan
Jawa, para alumnus kursus ini dikabarkan telah mendirikan
ikatan alumni di mana Roesman ikut berperan penting di
dalamnya. Para guru kursus bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa menyadari tidak mudah mempelajari kedua bahasa
tersebut seperti yang mereka ungkapkan dalam buku
berbahasa Indonesia dan Belanda dalam rangka peringatan
25 tahun berlangsungnya kursus tersebut.
Dalam buku itu, Roesman Darmo Hoetomo—mantan
siswa dan sekarang guru dan koordinator kursus—membawa
pembaca kembali ke tahun 1954 ketika ia pergi ke Waterfront
pada usia 15 tahun untuk melihat kapal Langkoeas dengan

299
seribu orang Jawa dari Indonesia. "Selain cerita hebat yang
kami bagikan satu sama lain selama pertemuan klub, kami
juga ingin mengatur lebih banyak kegiatan," kata Darmo
Hoetomo yang berusaha agar bisa digelar pertunjukan seni
asal Indonesia.
Roesman juga ikut ambil bagian dalam pembahasan
tentang nasib bahasa Jawa ketika masyarakat Suriname
keturunan Jawa memperingati peringatan 127 tahun
imigrasi Jawa datang ke Suriname, pada 12 Agustus 2017,
untuk membahas pentingnya bahasa Jawa dipelajari. Saat
itu mereka menggelar kongres di gedung yang bernama
khas Jawa, yakni Sana Budaya di Paramaribo.
Dalam laporan di http://www.starnieuws.com
dikemukakan, kongres yang bertajuk “Ngurati Basa Jawa”
menyadarkan para peserta tentang pentingnya bahasa
Jawa. Para imigran menyadari bahasa Jawa adalah salah satu
identitas budaya mereka. Oleh karena itu bahasa tersebut
harus tetap dilestarikan demi mempertahankan identitas
tersebut. Pada kongres tersebut mereka
sepakat bahasa sebagai warisan budaya
takbenda.
Pada kongres tersebut mereka,
termasuk Roesman, menyadari bila ingin
belajar bahasa maka harus dimulai dari rumah
ketika berbicara dengan keluarga atau teman.
Bahasa adalah bagian penting untuk memahami
budaya. Dan, untuk transfer budaya apa pun,
penting untuk memahaminya dan itu dimulai
dengan bahasa.
Roesman yang ikut ambil bagian dalam
kongres itu mengemukakan, jangan membuat
pelajaran bahasa menjadi ketat seperti di kelas,
tetapi mulailah dengan bermain-main. Itu cara yang

300
inovatif. Salah satu caranya adalah menyarankan agar siswa
mempelajari bahasa melalui menulis puisi atau memainkan
drama. Anak-anak bakal terbiasa dengan bahasa dan belajar
berkomunikasi lebih cepat.
Saat ini jumlah penutur bahasa Jawa di Suriname
sekitar 65.000 orang. Warga keturunan Jawa merupakan
penduduk terbanyak ketiga setelah orang India dan Afrika.
Bahasa Jawa yang berkembang di Suriname merupakan
perkembangan dari bahasa orang-orang Jawa. Dulu mereka
dikirim ke Guyana, sekarang Suriname, untuk dijadikan
pekerja di perkebunan gula dan atau perkayuan. Mereka
diberangkatkan dalam kurun waktu 1890 sampai 1939. Tidak
kurang 33.000 orang yang dikirim ke sana waktu itu.
Di tanah rantau itu mereka tetap berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa Jawa. Nama-nama mereka
masih mencerminkan hubungannya dengan nama Jawa.
Dalam pertumbuhannya, bahasa Jawa-Suriname telah
mendapat pengaruh dari bahasa Belanda dan Sranan Tongo.
Meski begitu, pengaruh itu tak memengaruhi fonologinya
sehingga masih terasa Jawanya.
Meskipun telah lama meninggalkan tanah Jawa,
penduduk Suriname keturunan Jawa masih tetap menjalin
hubungan dengan tanah leluhurnya. Bahkan ada yang
sudah bertemu dengan kerabat mereka di Jawa atau yang
lain menjalin hubungan lewat surat elektronik. Bahkan di
Facebook sudah ada grup Sambung Roso yang mengikat tali
persaudaraan antara Jawa Suriname-Indonesia.
Orang Jawa Suriname juga telah banyak terlibat
dalam hampir berbagai aspek kehidupan di Suriname,
termasuk dunia politik. Cukup banyak warga Jawa-Suriname
yang berhasil merebut kursi di parlemen setempat. Bahkan
ada beberapa putra keturunan Jawa yang berhasil mendapat

301
kepercayaan untuk duduk di kabinet pemerintahan Republik
Suriname. Dengan perannya sendiri, Roesman melestarikan
bahasa Jawa dan mengajar bahasa Indonesia di negerinya,
Suriname. ***

BIODATA

Nama: Roesman Darmo Hoetomo


Lahir: Commewijne, Suriname, 27 November 1939
Kebangsaan: Suriname
Pekerjaan: Pensiunan PNS dan Pengusaha

Penghargaan
- Anugerah Kebudayaan kategori Perorangan Asing dari Pemerintah
RI melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2019
- Piagam Penghargaan dari Kepala Perwakilan RI Paramaribo
atas jasa dalam ikut mengembangkan bahasa Indonesia di
Suriname,1998
- Pemenang Lomba Pidato Berbahasa Indonesia dalam rangka 5
tahun Kursus bahasa Indonesia di Suriname, 1992

Pengalaman terkait bahasa Indonesia dan bahasa Jawa


- Kursus Bahasa Indonesia di KBRI Paramaribo (1987-1990)
- Penyiar Radio Bahasa Indonesia dan Jawa (1980)
- Mengajar dan mempromosikan Bahasa Indonesia di KBRI Paramaribo
(1996-sekarang)
- Pengajar Kursus Bahasa Jawa di KBRI Paramaribo (2000-sekarang)
- Ikut Kongres Bahasa Jawa ke-3 pada 15-20 Juli 2001 di Yogyakarta
(2001)
- Ikut Kongres Bahasa Indonesia pada 14-17 Oktober 2003 di Jakarta
(2003)
- Ikut Kongres Bahasa Jawa ke-4 pada 5-10 Juli 2006 di Semarang
(2006)
- Ikut Kongres Bahasa Jawa ke-5 pada 27-30 November 2011 di
Surabaya (2011)
- Ikut Kongres Bahasa Indonesia pada 28-31 Oktober 2018 di Jakarta
(2018)

302
PELOPOR PENCIPTA PEMBAHARU

303
Purwa Tjaraka
Dari Musik Industri
Turun ke Hati

Tokoh musik industri yang satu ini tidak bisa


dipanggil dengan satu julukan. Sebab, dalam
dirinya dikaruniai multi-talenta. Namun, yang
pasti, ia dikenal luas sebagai penata musik rekaman
untuk para artis papan atas Indonesia, hingga
pendidik musik yang ingin menghaluskan budi,
menyeimbangkan otak dan hati, melalui Lembaga
Pendidik Musik PCMS yang dipimpinnya.

D ia telah mencatatkan namanya sebagai penata


musik untuk puluhan event nasional hingga
internasional. Juga penata musik/ilustrator untuk
telesinema. Penata musik/ilustrator untuk puluhan
sinetron produksi Sinemart, Karnos Film, Persari
Film, Kharisma Star Vision, Assabelina Film. Dia juga
komposer dan penata musik untuk musik tema, mars,
atau jinggle untuk berbagai produk iklan mulai dari J
& J Jewelry, Universitas Ciputra, sampai Unilever dan
Daihatsu.
Dialah Purwa Tjaraka, salah satu musisi papan
atas Indonesia. Lahir di Beograd, Yugoslavia, 31 Maret
1960, ia mulai belajar piano di usia 10 tahun pada A
Becalel, seorang guru piano berkebangsaan Hungaria
di Bandung. Selain mengikuti kursus Electone Yamaha

304
sampai dengan grade tujuh, ia pun pernah mengikuti
kursus pendek untuk arranging music di University of
Maryland-Baltimore County, AS, tahun 1985. Di luar musik,
ia penyandang gelar insinyur teknik industri dari Institut
Teknologi Bandung (ITB) 1986.
Selain berbagai julukan di atas, Kang Purwa—
demikian panggilan akrabnya—masih punya julukan lain,
yakni produser pergelaran operet serta pembawa group
vokal dan Band Anak Purwa Caraka Music Studio ke berbagai
festival musik di luar negeri. Juga sering menjadi juri dan
pembicara di berbagai seminar maupun diskusi. Dan, yang
tak kalah penting, ia adalah pendiri Lembaga Pendidikan
Musik Purwa Caraka Music Studio (PCMS).
Dari seabrek predikat dengan aneka ragam kegiatan
tersebut, Kang Purwa telah menerima ganjaran berbagai
penghargaan. Di antaranya Juara I Festival Organ se-
Indonesia (1978), Piala Vidia sebagai Penata Musik untuk
Si Doel Anak Sekolahan pada Festival Sinetron Indonesia
1995, HDX Award sebagai penata musik terbaik, AMI Award
sebagai penata musik terbaik album Natasha, serta Piala
Vidia, sebagai Penata Musik FTV terbaik di Festival Sinetron
Indonesia 2006.
A d a p u n Lembaga Pendidikan Musik
P C M S yang didirikan persis
pada 1 Oktober 1988
di Bandung, kini telah
meluas ke berbagai
daerah di Indonesia,
mencapai 92 cabang.
Jumlah siswanya
sekitar 20.000
orang, dengan 1.500
tenaga pengajar musik yang

305
kompeten. Lembaga pendidikan musiknya ini memang lebih
banyak mengajarkan musik Barat, terutama piano klasik,
biola klasik, drum, vokal, dan gitar. Hal itu untuk memenuhi
kebutuhan pangsa pasar masyarakat Indonesia, khususnya
yang berwawasan global. Agar mereka ini "membumi",
juga ditanamkan kesadaran untuk mengenal, menggarap,
dan memainkan alat-alat musik dan lagu-lagu dari berbagai
daerah. Bahkan dia sendiri mengoleksi ratusan alat musik
tradisional, sebagai bekal cita-citanya kelak memiliki museum
musik sendiri.
Terkait dengan peralatan musik tradisi, di luar
pengetahuan banyak orang maupun media, 11 tahun
belakangan ini pihaknya telah menyumbang perangkat
musik tradisi (angklung, degung, dll) maupun modern,
disertai bimbingan pada 116 SD di Kabupaten Bandung. Hal
ini merupakan respons nyata, atas keprihatiannya terhadap

306
pendidikan musik di sekolah kita, yang pada umumnya minim
fasilitas, minim alokasi waktu pendidikan seni (musik), dan
minim guru seni.
Purwa sadar bahwa pendidikan seni (musik)
berperan dalam menghaluskan budi, menyeimbangkan otak
dan hati. "Untuk apa kita mencetak orang pintar-pintar kalau
enggak punya hati," tandasnya. Idealisme turut menciptakan
masyarakat yang punya hati, melalui seni (musik) inilah,
yang terus menyala dalam hatinya, sehingga ia tak pernah
merasa bosan dan letih berkiprah di dunia musik, termasuk
pendidikan musik. ***

BIODATA

Purwa Tjaraka
Lahir : Beograd-Yugoslavia, 31 Maret 1960
Alamat : Jl.Jalak I No 22 Komplek DPR - Pondok Ranji
Bintaro Jaya Sektor 2 - Jakarta Selatan.
Pekerjaan : Musisi dan Founder Purwa Caraka Music Studio
Pendidikan : Teknik Industri - Institut Teknologi Bandung (ITB)
lulus 1986
: Short Course untuk Arranging Music di University
of Maryland Baltimore County, USA tahun 1985
Penghargaan:
- Juara I Festival Organ se-Indonesia, 1978
- Piala Vidia sebagai Penata Musik Terbaik, untuk sinetron "Si Doel
Anak Sekolahan, FSI 1995
- HDX Award sebagai Penata Musik Terbaik
- AMI Award sebagai Penata Musik Terbaik album Natasya
- Piala Vidia sebagai Penata Musik FTV terbaik,FFI 2006
Pengalaman :
Sejak 1 Oktober 1988, mengelola Lembaga Pendidikan Musik
PCMC, memiliki 92 Cabang se Indonesia.

307
Rose Pandanwangi

Sang Pelopor Seriosa


Tanah Air

"... Di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan


bunda, tempat berlindung di hari tua, tempat
akhir menutup mata."

A lunan lagu "Indonesia Pusaka", disusul lagu


"Sepasang Mata Bola" ciptaan Ismail Marzuki
(alm), pada akhir Agustus 2019, di ruang tamu
rumahnya yang merangkap S Sudjojono Center, di
Perumahan Bali View, Tangerang Selatan, terasa
seperti konser kecil kemerdekaan. Meski duduk di
kursi roda, dalam usianya 90 tahun, vibrasi dan vitalitas
vokal seriosanya masih bertenaga, artikulasinya masih
jernih, fonetiknya masih terang, sistem pernapasannya
pun terjaga. Dalam iringan musik Lany Sihombing,
nyanyian Rose terasa merdu.
Di sekitar dia duduk, benda-benda bersejarah
ditata rapi. Seperti piano tua, kostum opera "Madame
Butterfly", serta foto-foto kenangan antara lain saat
mengenakan kebaya menari lenso jadi banner Youth
Festival di Berlin 1951. Piala-piala juara Bintang Radio
RRI Jakarta kategori seriosa tingkat DKI maupun
nasional yang diraih tahun 1950-1960-an, khususnya
saat mengalahkan penyanyi seriosa legenderis Norman

308
Sanger, dipasang berjajar. Poster-poster pergelaran, serta
sederet lukisan dirinya, di antaranya "My Queen" karya S
Sudjojono, suami Rose di pernikahan kedua yang legendaris
sebagai Bapak Seni Rupa Modern Indonesia.
Semua itu adalah "saksi bisu" perjalanan hidup
Rose di dua dunia: musik dan seni rupa. Pada seni musik,
sebagai pemain/guru piano, juga pelopor penyanyi seriosa
Tanah Air; sedangkan di seni rupa ia menjadi tangan kanan,
model hingga motivator S Sudjojono dalam melukis. Nama
Rose Pandanwangi adalah pemberian Sudjojono setelah
mereka menikah tahun 1959, sekaligus menggantikan nama
sebelumnya, Rose Sumabrata. Pernikahan dengan Sudjojono
membuahkan tiga anak: Alexandra Pandanwangi, Germania
Menang Djuang, dan Mariano Dara Putih.
Nama aslinya Rosalina Wilhelmina Poppeck. Lahir
di Makassar, Sulawesi Selatan, 26 Januari 1929. Ayahnya
Gustav Poppeck, keturunan Jerman, dan ibunya Sara
Elizabeth Font, keturunan Spanyol-Manado. Sejak kecil ia
digembleng mendengar lagu klasik dan opera, latihan vokal
dan piano. Saat SMP di Makassar, ia sudah bercita-cita jadi
penyanyi seriosa.

309
Tahun 1947, atau setelah dua tahun Indonesia
merdeka, Rosa dan adiknya dikirim oleh orangtuanya ke
Belanda, melanjutkan sekolah dan kuliah di sana. Tidak selesai
kuliah hukum, Rose belajar privat vokal di sekolah musik
di Utrecht. Pembimbingnya, Mevrow Maas Geesteranus,
menasihati agar jangan sekali-kali meninggalkan dunia seni
suara. Di Belanda ia menikah dengan Yahya Sumabrata,
mahasiswa kedokteran di Rijks Universiteit-Utrecht. Dari
perkawinan pertamanya ini Rose Sumabrata membuahkan
tiga anak: Sri Sara, Amirul Gustav, dan Sri Rosewiati.
Setelah lima tahun malang melintang di Belanda,
tahun 1952, Rose bersama keluarga kembali ke Indonesia.
Kemudian berkarier di RRI Jakarta, menjadi pengisi tetap
acara lagu seriosa dan Indonesia, mengudara sekali seminggu
diiringi musik Soenarto Soenarjo/ Soedarnoto. Tahun 1953
ia diundang ikut rombongan Indonesia ke Festival Pemuda
ke-4 di Bukares, Rumania. Di situlah Rose pertama kali ikut
kompetisi, meraih medali perunggu dan menjadi penyanyi
seriosa Indonesia pertama yang tampil di panggung
internasional.
Dalam buku Kisah Mawar Pandanwangi tulisan
Sori Siregar, Jennifer Lindsay—Honorary Associate
Profesor di The School of Asia and the Pacific, ANU, yang
meneliti mengenai kebudayaan Indonesia—menyatakan,
"Rose Pandanwangi merupakan pelopor nyanyian

310
seriosa Indonesia. Dia adalah salah satu 'jembatan' yang
menghubungkan dunia musik di Indonesia pada zaman awal
republik ini dengan musik internasional... Dan, dia juga turut
memopulerkan lagu seriosa di Indonesia setelah pulang ke
Tanah Air."
Di Indonesia istilah "seriosa" yang mulai digunakan
pada tahun 1950-an, dan diperkenalkan lewat RRI, bukanlah
musik klasik pada umumnya. Akan tetapi merupakan
nyanyian—terutama nyanyian solo—khas Indonesia dalam
gaya Barat klasik, dan terutama dengan iringan piano.
Tak heran bila Presiden Sukarno sampai terpukau ketika
mendengarkan Rose menyanyikan lagu "Kisah Mawar
di Malam Hari" gubahan Iskandar, di Istana Bogor tahun
1958, dan memuji cara menyanyi Rose yang khas itu sangat
Indonesia. Tak usah heran pula bila cara menyanyi Rose
“ditetapkan” sebagai standar dalam bernyanyi seriosa.

311
Pasca-masa jayanya pada dekade 1960-an dan 1970-
an, Rose mengaku tetap menyanyi di berbagai acara. Anak-
anaknya tidak ada yang mengikuti jejaknya, maupun jejak
suaminya, menjadi seniman. Kini nyanyian seriosa sudah
redup. Tapi Rose terus menyanyi rutin karena itu suaranya
tetap merdu. Ia pun berharap RRI maupun TVRI dan TV
lainnya mau membangkitkan kembali seriosa di Tanah Air.
***

BIODATA

Rose Pandanwangi
Lahir : Makassar, Sulawesi Selatan, 26 Januari 1929.
Alamat : Tamansari Pesona Bali (Bali View) Jl. Denpasar I, Blok
D IV, No. 10 Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan 15419
Profesi : Penyanyi seriosa
Pendidikan
: Privat vokal di sekolah musik di Utrecht. Di bawah
bimbingan Mevrow Maas Geesteranus
Karier : - Tahun 1950-an mulai berkarier sebagai penyanyi seriosa
Radio Republik Indonesia (RRI), bersama musisi
Soenarto Soenarjo dan Soedarnoto
Penghargaan :
- Tahun 1950-an - 1960-an berkali-kali Juara Bintang Radio,
tingkat Jakarta maupun nasional, untuk kategori seriosa.
- Tahun 1953 ikut rombongan Indonesia ke Festival Pemuda
ke-4 di Bukares, Rumania. Meraih medali perunggu dan
menjadi penyanyi seriosa Indonesia pertama yang tampil di
panggung internasional.
- Tahun 1958, Presiden Soekarno "menetapkan " cara
bernyanyi Rose sebagai standar bernyanyi seriosa.

312
Restu Imansari Kusumaningrum
Mentransformasi
Seni Tradisi Menjadi
Seni Pertunjukan
“Avant-garde”

Restu Imansari Kusumaningrum adalah seorang


seniman tari, direktur artistik dan produser
independen untuk karya seni pertunjukan avant-
garde kelas dunia. Melalui Yayasan Bali Purnati
yang ia dirikan, Kusumaningrum mewujudkan
visinya menjadi agen transformasi mengeksplorasi
pemikiran baru melalui kolaborasi dan pertukaran
budaya, intelekual, dan artistik antara seniman
Indonesia dan seniman mancanegara.

B eberapa pertunjukan telah ia produksi: “I La


Galigo” karya Robert Wilson; “Dionysus” karya
Tadashi Suzuki; “Sakti” komposisi gamelan Rahayu
Supanggah; “Under the Vulcano” karya Yusril Katil;
“Heri Dono” Voyage-Trokomod untuk Venice Biennale
2015; dan Paviliun Indonesia di Venice Biennale
2013. Atas berbagai sumbangsihnya itu, pemerintah
melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
memberinya penghargaan berupa Anugerah
Kebudayaan 2019 untuk kategori Pencipta, Pelopor,
Pembaharu. Sebelumnya, Kusumaningrum menerima
penghargaan Ordine della Stella d’Italia (2014) dari
Pemerintah Italia atas perannya mempromosikan
ikatan budaya dan sosial antara Italia dan Indonesia.

313
Karya terbarunya, “The Journey of Life”—kolaborasi
Restu Kusumaningrum (pengarah dan penata seni) dan
Takada Midori (penata musik)—dipentaskan di Olimpiade
Teater ke-12 di Jepang pada September 2019. Di tahun
yang sama, Kusumaningrum diundang oleh Singapore
International Festival of Art 2019 sebagai pembicara untuk
sesi From Traditional to Contemporary.
Kusumaningrum tertarik dengan seni tari dan
vokal sejak usia lima tahun. Ia tumbuh dalam keluarga
yang mencintai kesenian. Neneknya adalah seorang

seniman batik di Magelang, Jawa Tengah. Di masa remaja,


Kusumaningrum belajar tari Jawa klasik. Selesai pendidikan
dasar, Kusumaningrum melanjutkan pendidikan Arsitektur
Lanskap dan Teknologi, Universitas Trisakti, Jakarta. Di waktu
bersamaan, ia diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Seni
Tari, Institut Kesenian Jakarta. Kusumaningrum terus belajar
menari di beberapa tempat di Indonesia dan mancanegara,
antara lain di Sanggar Tirtasari di Peliatan, Ubud-Bali, dan
shamanistik ekstatik di Korea Selatan. Di bidang teater, ia
berguru pada Prapto di Solo dan Anak Agung Gede Mandra
di Bali.

314
Selanjutnya ia berkeliling dunia melakukan pentas
tari karya Robert Wilson, I Gusti Kompyang Raka, Chen Shi-
Zeng dan Guruh Sukarnoputra. Atas kerja kerasnya sebagai
seniman berbakat ia mendapat grant dari Asia Cultural Counsil
dan Asia Cultural Society, yang memungkinkannya tinggal
dan berkarya di Manhattan, New York, AS. Di masa itulah
ia mulai memperhatikan opera dan festival-festival serius
untuk seni pertunjukan. Ia pun mulai merasakan perbedaan
antara pertunjukan seni dan seni hiburan, pertunjukan
industri dan yang bukan industri (yang diabadikan). Sejak
itu kesadarannya tergugah: bagaimana dengan nasib
kebudayaan Indonesia?
Kesadaran itu membawa Kusumanginrum bersama
beberapa mitra mendirikan pusat kesenian Yayasan Bali
Purnati. Ayahnya lalu membelikannya mesin fax—di masa
itu belum ada teknologi internet—untuk membantu
Kusumaningrum berkomunikasi dengan jaringan kerja di
negara-negara lain guna mengawali perwujudan mimpinya.
Pada umurnya yang ke-30, Kusumaningrum sudah dapat
membangun Yayasan Bali Purnati di atas lahan satu hektar,
di Bali. Ia juga mendirikan Taut Seni dan Yayasan Losari.
Yayasan Losari merupakan yayasan konservasi dan tempat
pemberdayaan para pembatik.
Melalui organisasi-organisasi yang dilahirkannya, ia
ingin mengejar ketertinggalan budaya Indonesia di tingkat
dunia. “Bumi Purnati ingin mengejar dari segi artistik
dan jaringan kerja di tingkat dunia untuk memproduksi
pertunjukan yang intangible (nir-benda) nilainya,” tuturnya.
Salah satu pertunjukan yang diproduksi Yayasan Bali Purnati
berkolaborasi dengan Change Performing Arts adalah “I La
Galigo”. Sebuah pertunjukan musik-teater yang terinspirasi
dari sureq Galigo, sebuah wiracarita tentang sumber
pengetahuan Bugis dari Sulawesi Selatan.

315
Selama kurang lebih tiga tahun (2001-2003)
Kusumaningrum mempersiapkan pertunjukan “I La Galigo”.
Hal pertama yang ia lakukan: menemui tetua adat di Luwuq,
Sulawesi Selatan—tempat naskah sakral sureq Galigo
tumbuh—untuk meminta persetujuan. Setelah mendapat
persetujuan dari mereka, Kusumaningrum mencari penari
dan pemusik berbakat untuk memaikan pertunjukan “I
La Galigo”. Kemudian ia membangun kerja sama dengan
seniman kelas dunia, antara lain Robert Wilson yang kemudian
menjadi sutradara, Rhoda Graurer yang melakukan adaptasi
teks dan dramaturgi, Rahayu Supanggah sebagai komposer-
pengarah musik, produser Elisabetta di Mambro dan Franco
Laera dari Change Performing Arts. Ia juga menemui orang-
orang penting, antara lain transliterator sureq Galigo,
Muhammad Salim, sebagai penasihat. Kusumaningrum
sendiri berperan sebagai produser dan direktur artistik.
Langkah selanjutnya mempertemukan 80 seniman dari
Sulawesi Selatan, Bali, Papua, Jawa Tengah, Jakarta, Amerika
Serikat, Kanada, Jerman, Italia, dan Perancis untuk berlatih
bersama mengkreasi pertunjukan musik-teater “I La Galigo”.
Tahun 2004, “I La Galigo” tampil perdana di
Teater Esplanade, Singapura. Dari Esplanade, “I La Galigo”
pentas di New York (AS), lalu berkeliling bertahun-tahun
di gedung-gedung ternama di Eropa dari Italia, Belanda,
Spanyol, Perancis sampai kemudian pulang kampung dan
dipanggungkan di Benteng Rotterdam Makassar pada
tahun 2011. Pertunjukan terbaru “I La Galigo” dimainkan
bulan Juli 2019 di Gedung Ciputra Artpreneur, Jakarta.
Tahun 2008, pertunjukan ini meraih hadiah utama dari
Festival Melbourne. Menurut Kusumaningrum, “I La Galigo”
sebagai karya seni telah hidup dan akan terus memberikan
pertunjukan ke berbagai belahan dunia.

316
Melalui Bali Purnati tak hanya seni pertunjukan
Indonesia yang dipromosikan kepada dunia, tapi juga seni
rupa. Kusumaningrum menginisiasi Paviliun Indonesia pada
Venice Biennalle. Itu pertama kalinya Indonesia memiliki
paviliun resmi di biennale tertua di dunia. Pertunjukan lain
yang ia produksi adalah “Dionysus” karya Tadashi Suzuki,
“Sakti” komposisi gamelan karya Rahayu Supanggah,
“Under the Vulcano” karya Yusril Katil, “Heri Dono” Voyage-
Trokomod untuk Venice Biennale 2015.
Saat ini Kusumaningrum sedang mempersiapkan
karya pertunjukan selanjutnya terkait kemaritiman di
Nusantara. Diskusi dengan para peneliti sedang ia lakukan
untuk menelusuri perjalanan kapal dari Samudra Pasai.
“Saya masih mencari bentuknya apakah tentang perjalanan
rempah-rempah atau perjalanan penyebaran Islam, tapi ingin
mengangkat maritim,” jelasnya dengan mata berbinar-binar.
Kekuatan dari karya pertunjukan Kusumaningrum
adalah daya ciptanya yang berangkat dari tradisi, kemudian
ia hidupkan kembali dalam bentuk yang dapat diterima oleh
masyarakat hari ini dan di masa depan. “Apakah itu disebut
avant-garde atau kontemporer, monggo, audiens yang
menilai,” tuturnya.
Spirit itu muncul, menurutnya, karena ia lahir dari
keluarga pejuang. Ia ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa

317
beradab dan mengembangkan kebudayaan yang tinggi.
Menurutnya, tradisi Indonesia sumber yang luar biasa
untuk teater kontemporer dunia. Dalam pementasan “I La
Galigo” musiknya ditata Rahayu Supanggah yang mengolah
kekayaan musik Nusantara. Sementara kostum “Dionysus”
dirancang desainer muda Indonesia,
Auguste Soesastro, yang menggunakan
bahan-bahan sutra Indonesia. Dalam
setiap pementasan selalu didahului
diskusi-diskusi mengenai bagaimana
tradisi multikultural Indonesia bisa
menyumbang teater kontemporer.
“Mudah-mudahan
penghargaan ini bisa dilanjutkan
kepada orang-orang yang telah
memberikan waktu, uang,
kreativitas, terutama di dunia kesenian
yang tak terlihat nilainya, yang beguna untuk masyarakat
luas dan bukan untuk kepentingan pribadi,” katanya terkait
Anugerah Kebudayaan untuk kategori Pencipta, Pelopor,
dan Pembaharu yang ia terima tersebut.***

318
BIODATA

Lahir : Bogor, 5 Mei 1965


Pendidikan :
- Jurusan Arsitektur Lanskap dan Teknologi, Universitas Trisakti,
Jakarta
- Institut Kesenian Jakarta, Jurusan Tari
Keahlian :
- Seniman tari, direktur artistik dan produser independen
Jabatan :
- Pediri dan direktur kreatif Yayasan Bali Purnati
- Pediri PT Bumi Purnati
- Pediri dan Ketua Yayasan Losari
- Koordinator sekretariat dan penerbit pameran tahunan seni
lukis di Jakarta
- Humas Festival Wayang Orang
Karya yang diproduksi:
- “I La Galigo” karya Robert Wilson
- “The Journey of Life” kolaborasi Restu (pengarah dan penata
seni) dan Takada Midori (penata musik)
- “Dionysus” karya Tadashi Suzuki
- “Sakti” komposisi gamelan Rahayu Supanggah
- “Under the Vulcano” karya Yusril Katil
- “Heri Dono” Voyage-Trokomod untuk Venice Biennale 2015
Paviliun Indonesia World Expo Shanghai 2010

Penghargaan :
- Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni kategori Pencipta,
Pelopor, Pembaharu dari Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan RI (2019)
- Ordine della Stella d’Italia dari pemerintah Italia (2014)

319
Eka Kurniawan
Sastra yang
Membuka Pintu
Dunia

“Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu


bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu
tahun kematian”. Begitulah kalimat dalam novel
Cinta Itu Luka karya Eka Kurniawan. Novel inilah
yang mengantarkan Eka Kurniawan meraih World
Readers Award tahun 2016.

E ka Kurniawan lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat,


25 November 1975. Kecintaannya terhadap
tulisan sudah muncul sejak kecil, ketika Eka berusia
11 tahun. Karena memutuskan bercita-cita menjadi
penulis, Eka semakin serius membaca sastra. Ia tidak
cuma membaca, tapi juga mempelajari gaya dan
pola ceritanya. Pada 1999, Eka akhirnya mengirim
cerpennya yang pertama. Ia memasukkan ke koran
lokal di Yogyakarta dan ternyata dimuat. Setelahnya,
ia pun menulis dan terus menulis.
Atas ketekunan membaca dan menulis,
berbagai karya telah diterbitkannya, baik di dalam
maupun di luar negeri. Di antaranya Corat-coret di
Toilet (2000), Cantik Itu Luka (2002), Lelaki Harimau
(2004), Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya (2005),
Cinta Tak Ada Mati (2005), Seperti Dendam, Rindu
Harus Dibayar Tuntas (2014), serta O (2016). Salah satu

320
novelnya, Cantik itu Luka', telah diterjemahkan ke dalam 34
bahasa, di antaranya bahasa Inggris, Rusia, Perancis, dan
bahasa Jepang. Berbagai penghargaan juga diraihnya atas
kerja kerasnya selama ini. Selain Cantik Itu Luka, ada Lelaki
Harimau atau Man Tiger yang membawa Eka masuk daftar
nominasi penghargaan sastra bergengsi internasional, Man
Booker International Prize tahun 2016. Meski tidak menjadi
juara, Eka menjadi sastrawan Indonesia pertama dan satu-
satunya yang masuk daftar Man Booker International Prize.
Tak heran jika karya-karyanya yang dinilai unik ini sering
disejajarkan dengan penulis Gabriel Garcia Marquez dan
Haruki Murakami.
Dalam menghasilkan karyanya, Eka mengaku belajar
dari karya-karya banyak penulis dan sastrawan dalam negeri
maupun dari luar negeri. Sebutlah seperti Pramoedya
Ananta Toer, Abdullah Harahap, Gabriel Garcia Marquez,
hingga Knut Hamsun. Dari para sastrawan tersebut, Eka

321
akhirnya menemukan gayanya sendiri. Lulusan Filsafat
Universitas Gadjah Mada (UGM) ini seringkali memadukan
elemen tradisi, sejarah dari mulut ke mulut, pencak silat,
hingga komik horor untuk menggambarkan pengalaman
masyarakat yang sangat berlapis.
Pada setiap tulisannya, Eka seperti sudah berkeliling
dunia dengan berkunjung pada sudut-sudut terpencil,
dengan membentangkan detail-detail setiap perjalanan,
sejarah, serta proses suatu peristiwa
yang ada. Banyak sastrawan yang ia
sebut di sana adalah bukti bagaimana
dunia sastra begitu digelutinya.
Salah satu tokoh yang
mempunyai andil dalam perjalanan
Eka menjadi sastrawan yang mendunia
adalah Benedict Richard O'Gorman
Anderson, yang memeriksa dan
membantu karya-karyanya bisa terbit
dalam bahasa Inggris dan Perancis.
Ben Anderson-lah yang mendorong
Eka Kurniawan untuk menerbitkan
karyanya di luar negeri, hingga akhirnya
Eka bertemu dengan Annie Tucker yang
menerjemahkan salah satu bukunya yang
berjudul Cantik Itu Luka (Beauty is a Wound). Menurut Eka
Kurniawan, menerjemahkan suatu karya penting dilakukan
khususnya karya bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia.
Kalau karya-karya terbaik di luar masuk ke Indonesia, kita
bisa membaca karya-karya bagus, dan kalau kita membaca
karya-karya bagus, kita akan menghasilkan karya-karya yang
bagus juga.
Dalam menghasilkan karya-karyanya, Eka Kurniawan
hampir tidak pernah melakukan riset untuk tulisan karena

322
novelnya tidak pernah secara spesifik berisi tema tertentu.
Ketika menulis, ia mengandalkan dari pengetahuan dan
pengalamannya. Misalnya, novel pertamanya merupakan
manifestasi dari apa yang telah dilihat dan dibaca
sebelumnya. Jika pun ada riset, mungkin hanya dalam level
ricek, memastikan kebenaran tentang apa yang ditulisnya.
Lokalitas dalam sebuah karya, menurutnya, adalah hal yang
penting. Menurutnya, sebuah cerita harus tertanam pada
lokasi tertentu untuk bisa membuat karya tersebut bisa
dipercayai oleh pembacanya.
Selain cerpen, novel, skenario, Eka Kurniawan rajin
menulis di blog pribadinya dan blog lainnya seperti di New
York Times dan New Yorker yang peduli dengan
dunia sastra. Menurutnya, media internet
harus juga dimanfaatkan sebagai salah satu
sarana untuk berkarya. Dalam kesusastraan
dan dunia internet, blog adalah sesuatu yang
unik.
Perkembangan sastra Indonesia,
menurutnya, pada level tertentu
semakin menurun. Karya-karya
terbaik yang dimiliki Indonesia
justru lahir di era 1945, era
pertama sastra Indonesia
setelah kemerdekaa.
Dahulu ada Chairil Anwar,
Pramoedya, Abdullah Idrus,
sampai Mochtar Lubis.
Mereka adalah raksasa-raksasa
dalam sastra Indonesia, bahkan
hingga sekarang. Setelah era
1965, bahkan hingga 1998, banyak

323
nama yang muncul, tapi tidak ada yang bisa menandingi
generasi pertama sastra Indonesia itu. Sisi baiknya dari
era itu, generasi sekarang lebih banyak literasi yang dapat
dipelajari dan dibaca untuk membangun dan membuat suatu
karya yang lebih baik lagi. Harapan Eka Kurniawan, dunia
sastra Indonesia bisa mendunia, tidak hanya dikenal, tetapi
diperhatikan oleh masyarakat luas, baik di dalam negeri
maupun di luar negeri. ***

BIODATA

Nama : Eka Kurniawan


Tempat,Tgl Lahir : Tasikmalaya, 28 November 1975
Pendidikan : SMA Negeri 1 Tasikmalaya SMA PGRI
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta (1999)
Penghargaan :
- IKAPI’s Book of the Year 2015 for Man Tiger
- Foreign Policy’s Global Thinkers of 2015
- World Readers’ Award 2016 for Beauty Is a Wound
- Financial Times/ Oppenheirmer Funds Emerging Voices 2016
Fiction Award for Man Tiger
- Penghargaan Sastra Badan Bahasa untuk Cinta Tak Ada Mati tahun 2018
- Prince Claus Award 2018
-Anugerah Kebudayaan kategori Pencipta, Pelopor dan
Pembaru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2019
Karya :
- Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (1999)
- Corat-Coret di Toilet (Kumpulan Cerita Pedek, 2000)
- Cantik Itu Luka (Novel, 2002)
- Lelaki Harimau (Novel, 2004)
- Cinta tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya (Kumpulan Cerita Pendek, 2005)
- Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya (Kumpulan Cerita Pendek, 2005)
- Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (Novel, 2014)
- Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui
Mimpi (Kumpulan Cerpen, 2015)
- O (Novel, 2016)

324
Ade Darmawan
Membawa
Ekosistem Seni Rupa
ke Tingkat Dunia

Ade Darmawan memandang seni rupa


kontemporer tidak sebatas karya, tapi juga
proses pertukaran ide dan kolaborasi berbagai
komunitas. Kesadarannya itu membawa pediri
Ruang Rupa ini pada pemikiran pengembangan
seni sebagai ekosistem antara proses artistik-
pengetahuan, penciptaan, dan distribusi karya.
Spirit ekosistem ini yang mendorong ia dan
Ruang Rupa membangun Gudskul, studi kolektif
dan ekosistem seni rupa kontemporer yang
melibatkan lintas entitas dari beberapa provinsi
di Indonesia.

P engembangan ekosistem seni tersebut, kemudian


ia kembangkan di tingkat dunia melalui perannya
sebagai direktur artistik Documenta. Sebuah
perlehatan seni rupa bergengsi, yang diadakan
setiap lima tahun sekali di kota Kassel, Jerman. Atas
dedikasinya pada dunia seni rupa, pemrakarsa Yayasan
Jakarta Binnale ini menerima hibah dari Aschberg
Bursaries for Artists dari Unesco (1998) dan Anugerah
Kebudayaan kategori Pencipta, Pelopor, Pembaharu
dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
pada tahun 2019.

325
Ade Darmawan lahir dari keluarga yang sebagian
besar guru matematika dan menyukai seni. Sejak kecil, kedua
orangtuanya yang bekerja sebagai guru, memperkenalkan
Ade pada musik dan seni rupa. “Dari kecil bapak mengajari
saya menggambar. Setelah dewasa saya mengerti apa yang
bapak ajarkan kepada saya melampaui dari yang seharusnya
saya pelajari di umur saat itu,” kenang Ade. Waktu kecil,
gambarnya dimuat di acara TV RI yang dipandu Pak Tino
Sidin. Kelas III SMP karya kartunnya dimuat di harian Kompas.
Memasuki masa SMA, Ade mulai mendesain gambar untuk
kaos.
Ade semakin mendalami seni rupa ketika ia menjadi
mahasiswa jurusan Seni Grafis di Institut Seni Indonesia
(ISI), Yogyakarta. Di masa mahasiswa itu, pameran tunggal
pertamanya Deodorant Display Power di buka di Cemeti
Galeri, Yogya (1997). Melaui pameran itu, ia mendapat akses
untuk mengikuti program residensi di Rijksakademie Van
Beeldende Kunsten, Amsterdam rec, di Amsterdan, Belanda.
Selama satu tahun (1998-1999) Ade melakukan riset dan
eksperimen seni rupa di akademi tersebut.

326
Kembali ke Indonesia, sekitar tahun 2000, Ade
bersama rekan-rekannya mendirikan Ruang Rupa. Berangkat
dari ide sederhana karena terbatasnya ketersediaan ruang
bagi seniman muda untuk bereksperimen, melakukan riset,
pameran yang sesuai dengan keinginan mereka. Ruang
pameran atau eksperimen yang tersedia saat itu, seperti
Taman Ismail Marzuki, menurutnya masih birokratis, atau
kalau ada galeri masih terlalu mahal, hanya memadai bagi
seniman yang sudah mapan.
Diawali dengan pertukaran gagasan mahasiswa
seni rupa Yogyakarta dan Jakarta, Ade dan rekan-rekan
mengontrak rumah kecil untuk pameran dan belajar
bersama. Tahun 2015, Ruang Rupa pindah ke Gudang Sarinah.
Kemudian, Ruang Rupa bersama secara kolektif membuat
ekosistem seni rupa, dari mulai pendidikan alternatif seni
dan pasar seni. “Ide membuat sekolah lahir di Gudang
Sarinah, karena sejak awal Ruang Rupa juga sudah seperti
sekolah tempat berkumpulnya generasi muda,” tutur Ade.
Tahun 2018, Ruang Rupa membuka Gudskul
ekosistem yang dihidupkan dari beberapa kolektif dan
entitas yang latar belakangnya berbeda. Ide ekosistem
berawal dari bagaimana seniman dapat berkembang secara
bersama dalam belajar; belajar dari perbedaan yang dimiliki
setiap pembelajar dan saling membutuhkan. Karena seniman
tidak mungkin bertahan hidup sendiri. “Kami berkeputusan
bersama, berbagi dana, sumber daya. Kami punya lumbung
yang terdiri atas beberapa unit bisnis. Uangnya dikumpulkan
di satu lumbung. Demikian juga dengan peralatan,
perpustakaan, dan dalam merancang, menjalankan program
kami lakukan secara kolektif, sehingga bisa memotong biaya
dan memperkaya kolaburasi,” tutur Ade.
Tiga pilar yang dibangun dalam ekosistem ini yaitu
artistik-pengetahuan, penciptaan dan distribusi. Mereka

327
memiliki 24 studio dengan harga sewa terjangkau yang dapat
digunakan oleh penerbit, perancang, dan seniman lainnya.
Kemudian Gudskul, sekolah seni yang mentransformasi
pengetahuan melalui studi kolektif dan kerja kolaborasi.
Terdapat 11 subjek yang dipelajari, antara lain: spasial,
sustainability atau model-model bertahan hidup baik secara
ide maupun finansial, sejarah kolektif seni rupa dan dunia,
collective intelegence—bagaimana mengelola diri sendiri
dan berkeputusan bersama. Saat ini Gudskul diikuti 12 orang,
empat orang berlatar belakang seniman, yang lainnya dari
studi ekonomi, komunikasi dan politik. Mereka anak-anak
muda dari dari Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa
yang melakukan kolaborasi seni selama satu tahun. Melalui
pendidikan berbasis pengalaman, Ade berharap ketika
kembali ke daerah asal mereka dapat mengembangkan
ekosistem seni rupa di kota asal mereka, terutama di daerah
yang tidak mudah untuk menemukan sekolah seni, seperti
Kalimantan.
Selain sekolah seni selama satu tahun, terdapat
kursus singkat selama dua bulan untuk proses belajar
bersama yang lebih praktis, seperti: menulis lirik lagu;
membuat video musik; pengantar kuratoria; art handling,
yaitu keterampilan untuk melakukan pengepakan, shipping,
display, install karya seni; dan reporting—kondisi karya
seni untuk kebutuhan pameran dan musium. Ekosistem
ini juga menyediakan audoiorium, ruang pamer dan ruang
untuk aktifitas publik dan fasilitas radio on line yang dapat
mempublikasikan kegiatan yang berlangsung di ekosistem.
Di samping mengembangkan ekosistem, ia juga
melakukan berbagai pameran karyanya dan menjadi
kurator seni rupa, baik di Indonesia maupun di luar
negeri. Ade kemudian terpilih menjadi kurator utama
Dokumenta, sebuah perlehatan seni rupa bergengsi yang

328
diadakan setiap lima tahun sekali
di kota Kassel, Jerman. Sejak 1955,
Documenta dikenal menyuguhkan
karya seni rupa dunia yang matang,
reflektif, memiliki bobot sosial,
kontroversial dan memengaruhi
wacana seni rupa dunia sesudahnya.
Ade yang menjabat Direktur Ruang
Rupa membawa warna ekosistem pada perhelatan
seni rupa kelas dunia tersebut. Suatu konsep edukasi
alternatif, ekosistem, ekologi, sustainability gagasan dan
finansial sebagaimana yang menjadi roh Gudskul yang ia
perluas cakupanya, dari tingkat Indonesia ke tingkat dunia.
Misalnya, edukasi alternatif yang ia riset di beberapa negara
akan Ade jadikan sumber belajar edukasi alternatif dan
kolaborasi seniman antarnegara. “Mudah-mudahan proses
di Documenta menjadi circle lagi yang akan menghubungkan
tidak saja Indonesia dengan Jerman, tapi juga negara-negara
lain dengan Jerman,” harap Ade.
Saat ditanya mengapa ia menelateni budaya,
menurutnya budaya memberi ruang imajinasi yang sangat
penting dan selalu relevan untuk menjalankan masyarakat.
Masyarakat tanpa imajinasi akan mati. Ia menyayangkan
banyak praktik dalam masyarakat yang mematikan
imajinasi, temasuk sistem pendidikan di sekolah. Menurut
Ade, imajinasi bagian penting untuk dirayakan, dipelihara,
dikembangan. Melalui imajinasi dapat timbul gagasan,
pengertian, pemahaman, misalnya pemahaman terhadap
perbedaan, pemahaman atas sesuatu yang baru dan
yang lain. Hal-hal Itu hanya dapat dicapai melalui imajinasi.
Karena itu, Ade mengajak generasi muda agar dapat melihat
segala sesuatu lebih sensible. “Kita selalu merasa kurang,
tapi mungkin bisa dicoba dengan melihat lebih sensible lagi.

329
Mulailah berpikir dari yang kita punya dan pelihara selalu
imajinasi kita,” katanya.
Ade juga berharap agar negara dapat lebih membaca
inisiatif warga. Kemudian negara memfasilitasi kolaborasi
antar-inisiatif warga tersebut. “Warga kita sangat imajinatif
dan punya spirit swakelola yang tinggi. Negara harusnya
lebih men-triger, mendukung, memfasilitasi, memediasi
melalui dukungan kebijakan, jaringan atau pertukaran
pengetahuan dan infra struktur,” tambahnya.
Atas penghargaan yang ia terima dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Ade menyampaikan,
“Perasaan saya senang, menjadi bagian dari warga yang
menerima penghargaan atas kerja budaya dan berkontribusi
pada masyarakat. Terima kasih, saya akan memastikan
penghargaan ini akan saya bagikan kepada teman-teman
yang selama lebih dari 20 tahun ini bersama saya.” ***

330
BIODATA

Nama : Ade Darmawan


Lahir : 1974
Pendidikan :
- Rijksakademie Van Beeldende Kunsten, Amsterdam
- Seni Grafis, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
Keahlian : Perupa dan kurator seni rupa
Jabatan :
- Direktur Ruang Rupa
- Direktur Artistik Documenta 15 pada tahun 2022
- Direktur Eksekutif Jakarta Biennale pada tahun 2017
- Anggota Dewan Kesenian Jakarta 2006-2009
- Dosen Fakultas Disain Komunikasi Visual Univ. Tarumanegara
Karya Pameran Seni Rupa:
- Deodorant Display Power di Rumah Seni Cemeti (1997)
- Please Help Us Preserve Them di De Schone Kunsten Gallery
(1990)
- Suplay and Deman di CCF Jakarta (2003)
Penghargaan :
- Anugerah Kebudayaan kategori Pencipta, Pelopor, Pembaharu
dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2019)
- Menerima hibah dari Aschberg Bursaries for Artists dari
UNESCO (1998) dan dari Dutch Ministry of Foreign Affairs
(BUZA/DCO/CO)

331
Wiwiek Widiyastuti
Orang Jawa
Menjunjung Betawi
Lewat Tari

Bertolak dari peribahasa Melayu, “di mana bumi


dipijak, di situ langit dijunjung”, perempuan Jawa
berdarah biru asal Yogyakarta ini sejak akhir 1970-
an tak henti menjunjung Betawi. Begitulah Wiwiek
Widiyastuti beralkulturasi melalui puluhan tarian
kreasi baru ciptaannya, yang kini telah menjadi ikon
budaya tradisional Betawi di tengah masyarakat
metropolitan yang multikultur.

K isah Wiwiek Widiyastuti "menjadi" orang Betawi


dimulai saat bersama Pusat Latihan Tari Bagong
Kussudihardjo pentas tarian kolosal "Pangeran
Jayakarta" di Jakarta, tahun 1977, pada acara
pelepasan Gubernur Ali Sadikin. Budiarman, Kepala
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta waktu itu, minta Wiwiek
pindah ke Jakarta, membantu Dinas Kebudayaan DKI.
Tawaran itu ia terima, meski untuk itu Wiwiek harus
meninggalkan bangku kuliah di Akademi Seni Tari
Indonesia/ASTI (kini ISI—Institut Seni Indonesia)
Yogyakarta, 1973-1976.
Sambil kerja di Dinas Kebudayaan DKI, ia kuliah
di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ),
sekarang Institut Kesenian Jakarta (IKJ), tahun 1978-
1979. Dari situ ia bergaul dan belajar pada tokoh-

332
tokoh tari, seperti Julianti Parani, Sardono W Kusumo,
Sal Murgiyanto. Juga bergaul dengan tokoh-tokoh lain di
lingkungan Taman Ismail Marzuki (TIM), yang waktu itu
menjadi kiblat seni Indonesia.
Melalui proyek pembinaan DKI tahun 1980-an,
Wiwiek melakukan penelitian, ikut program pelatihan,
belajar dari tokoh-tokoh tua Betawi, termasuk Bu Manih,
hingga berhasil menciptakan
suatu gaya yang digemari secara
luas sebagai ikon Betawi. "Sebagai
invention tradition yang berguna
bagi masyarakat urban semacam
Jakarta bagi pembangunan budaya
kebangsaan, di mana yang tradisional
senantiasa diperlukan sebagai akar
dasar ikonik," tutur Julianti Parani,
mentornya.
Namanya meroket sejak
tahun 1978, setelah ikut Pekan Penata
Tari Muda Dewan Kesenian Jakarta,
dengan karyanya "Gado-gado
Jakarta". Sebelumnya, tari "Tapak
Tangan" ciptaannya memenangi
Lomba Karya Tari Remaja se-DKI
Jakarta.
Karya-karya Wiwiek pada umumnya diwarnai
oleh tempo cepat, gerakan dan pola lantai yang dinamis,
kostumnya menyala, ekpresinya semeleh tetapi rongeh (ceria,
kemayu, genit), mengambil roh Betawi. Sesungguhnya itu
juga "potret" dirinya sendiri, yang sejak kecil menyukai tarian
dinamis, dibanding tari (Jawa) yang lambat. Padahal dia
dibesarkan dalam lingkungan keraton Yogyakarta dengan
stigma serba halus, menep, dan pelan. Eyangnya pelatih tari

333
Jawa alusan, tapi ia memilih belajar tari kreasi baru di Pusat
Latihan Tari Bagong Kussudihardjo Yogyakarta, 1966-1977.
Belajar sejak klas IV SD, saat SMA menjadi penari inti, dan
saat kuliah menjadi pengajar di situ.
Tahun 1985 ia
terpilih menjadi anggota
Dewan Kesenian
Jakarta di Komite Tari
(1985-1990). Tahun
itu jug, ia mendirikan
Laboratorium Tari
Indonesia, Jakarta,
yang dipimpinnya
sampai sekarang. Anak
didiknya sudah ada yang
jadi penari profesional
dan koreografer muda.
Dari berbagai pementasannya di dalam dan luar negeri,
seperti Italia, China, Turki, Belgia, hingga Korea, ia banyak
memperoleh penghargaan. Di antaranya Anugerah Budaya
2011 dari Gubernur DKI, dan Dubes RI untuk Austria atas
peran serta dalam menyukseskan kegiatan Galang Budaya
Nusantara di Wina, 2004. Tahun 2008, ia purna tugas dari
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta,
dengan jabatan terakhir Kasi Masyarakat Subdis Pembinaan.
Menurut Julianti Parani, Wiwiek adalah koreografer
kontemporer, pencipta tari Betawi kreasi baru yang gaya
tariannya telah banyak memberi ilham dan menjadi referensi
bagi pengkreasian tari Betawi kreasi baru bersifat tradisional
sebagai pertunjukan pada masa kini. Bahkan karya tarinya
masuk program ekstra kurikuler di seluruh sekolah DKI
Jakarta sebagai ikon budaya tradisional Betawi.

334
Keberadaan karya-karya Wiwiek menjadi penting
karena pada hakikatnya tarian Betawi merupakan tarian
rakyat yang dilaksanakan dalam perhelatan masyarakat
multikultur, sementara masyarakat Betawi tidak memiliki
tari tradisi yang jelas. Kecuali, tentu saja, mendapat
pengaruh lingkungan budaya etnik lain yang mengental,
seperti tari topeng betawi dari wilayah timur Jakarta:
Karawang, Indramayu dll; tari cokek dari lingkungan
peranakan Tionghoa; sambrah dari Melayu; zapin dari Arab,
dan sebagainya. Melalui puluhan tari kreasi baru ciptaannya,
Wiwiek ikut memperkaya ikon budaya “tradisional” Betawi
di tengah masyarakatnya yang metropolis. ***

BIODATA

Wiwiek Widiyastuti
Lahir : Yogyakarta, 31 Juli 1952
Alamat : Jl. Kemuning 4 Blok A 1/No. 6 RT 001/RW 06 Peruahan
Pondok Pucung Indah Tahap II, Pondok Aren, Tangsel
Pendidikan :
- Pusat Latihan Tari Bagong Kussudihardjo, Yogyakarta tahun 1966 - 1977
- Akademi Seni Tari Indonesia (kini ISI) Yogyakarta, tahun 1973-1976
- Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) tahun 1978 -1979
- Sarjana Ekonomi (SE), Universitas Tama Jagakarsa Jakarta
Jabatan :
- Direktur Laboratorium Tari Indonesia (1985-sekarang)
- Pegawai Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI
Jakarta ( purna bakti 2008)
- Anggota Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (1985-1990)
- Secretary of FIDAF Indonesia (Federation of International
Dance Festival)
- Tenaga Ahli / Pengajat Tari pada Balai Latihan Tari Jakarta.
Karya Tari : antara lain "Ronggeng Blantek" (1979), "Topeng Putri
Tiga" (1980, "Gondesan" (1981), "Tari Topeng Tiga " (1980),
"Ngarojeng" (1982), "Tari Sirih Kuning" (1982), "Cokek",
(1984), "Topeng Gong" (1985), "Bada' Hattam" (1983),
"Lenggang Sado" (1987), "Lenggang Nyai" (1997), "Kembang
Lambang Sari" (2000) "Ganda Arum" (2004).

335
Amrus Natalsya
Merayakan Hidup,
Mencipta Lukisan
Kayu

Siapa yang tidak kenal dengan kepopuleran


Amrus Natalsya, sosok pelukis kayu yang pernah
memimpin Sanggar Bumi Tarung (SBT) ini. Ia
memiliki segudang prestasti luar biasa di bidang
lukisan kayu. Meski tahun ini (baca: 2019) usianya
sudah menginjak 86 tahun, akan tetapi berkat
energi kreatif yang dibalut vitalitas, tenaga
spartannya yang kekar masih nampak membekas
lewat tubuhnya yang semakin menua.

S udah banyak gelondongan kayu yang ia kupas


menjadi karya patung yang ekspresif. Ratusan
keping kayu dengan berbagai tema seputar kehidupan,
lahir dari tangan kreatifnya. Karya-karya fenomenal
seperti “Perahu Nabi Nuh”, “Perahu Cheng Ho”, atau
“Pecinan” menjadi bukti atas keandalannya melukis
di atas kayu. Selain dikenal sebagai pematung, Amrus
juga merupakan perupa yang melukis di atas kanvas-
kanvas besar. Di usianya yang semakin senja, Amrus
terus berkarya dalam bidang lain yang tidak kalah
hebatnya, yaitu dunia sastra. Ia menulis ratusan puisi
yang dibukukan dalam Puisi-Puisi Amrus Natalsya.

336
Amrus Natalsya adalah seorang perupa Indonesia
yang hidup dan merasakan langsung beberapa kepemimpinan
negeri, sejak zaman Bung Karno, Soeharto, Habibie, Gus Dur,
Megawati, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), sampai masa
Joo Widodo alias Jokowi saat ini. Dalam masa kepemimpinan
tujuh presiden ini namanya begitu harum sebagai seorang
perupa realis revolusioner, yang memiliki kekuatan teknik
berkarya yang khas mengangkat dan memperjuangkan
soal-soal kehidupan masyarakat bawah yang terpinggirkan.
Hingga kini, ia tetap tajam menyoroti perihal kemanusiaan
yang terdesak oleh ketidakadilan yang terjadi.
Amrus kecil lahir di kota Medan, Sumatera Utara, 21
Oktober 1933, sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara.
Ayahnya, Rustam Syah Alam, adalah seorang pegawai swasta
di sebuah perusahaan perkapalan, Horison Grossfield, di
Medan. Sementara ibunya, Aminah, adalah seorang ibu
rumah tangga yang sederhana. Mereka berdua berasal dari
Natal di Pesisir Tapanuli Selatan, sebuah kota di bagian barat
Sumatera Utara di bibir pantai Samudra Hindia.
Amrus sendiri mewarisi bakat seni dari kakeknya,
Syah Alam, seorang pemain biola terkenal di kota Natal. Sejak
kecil, di sekolah dasar (SD) nilai pelajaran menggambarnya
terbilang yang paling tinggi, bahkan bisa mendapatkan
nilai 10. Dari masa mudanya ia dikenal sebagai pribadi yang
suka “memberontak” terhadap hal-hal yang sudah mapan.

337
Ia selalu berikhtiar secara kreatif agar keluar dari sesuatu
yang dianggap mapan. Maka, sejak menginjak usia remaja,
ia memutuskan masuk Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI),
dan itu terwujud pada tahun 1954.
Di Yogyakarta inilah sikap batinnya sebagai seorang
pematung dan pelukis yang andal terbentuk. Ia mengalami
tempaan yang luar biasa pada masa-masa Revolusi
Kemerdekaan, masa di mana ia mengalami kehidupan
politik yang keras pada zamannya. Di ASRI ini pula ia pernah
memamerkan karya lukisan kayu pertamanya, yang kemudian
dibeli oleh Bung Karno. Sejak kuliah di ASRI inilah ia banyak
belajar dari kawan dekatnya, yaitu Micahel Wowor, seorang

pematung. Persahabatan yang terjalin, meskipun tidak lama,


memberikan bekas serta arah baru bagi kehidupan Amrus
di masa-masa kemudian. Ia pun terdorong untuk terus
mendalami seni pahat kayu yang di antaranya lahir dengan
judul “Orang Buta yang Terlupakan.”
Pada tahun 1961, bersama kawan-kawannya seperti
Misbach Tamrin, Isa Hasanda, Djoko Pekik, Amrus mendirikan

338
Sanggar Bumi Tarung di Yogyakarta. Gara-gara sanggar ini
pula, Amrus Natalsya harus mendekam di penjara selama
lima tahun (1968-1973) karena dianggap memiliki hubungan
dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Selepas
dari penjara, Amrus terus melanjutkan karyanya dengan
memusatkan kegiatan seni rupanya di Pasar Seni Ancol. Ia
banyak mendapatkan kayu-kayu bekas yang berasal dari
tebangan kayu dari perluasan Pasar Seni Ancol.
Di usianya yang kian senja, Amrus terus berkarya,
tidak lagi melalu patung-patung melainkan melalui puisi-
puisi. Sejak tahun 2012 hingga tahun 2015, Amrus mampu
menuliskan puisi lebih dari 300 puisi dalam antologi setebal
612 halaman. Sebuah manifestasi ekspresi yang seakan
terpendam sebelumnya. Ia merasa tenaganya sudah tidak lagi
memungkinkan untuk memahat. Oleh karena itu energinya
saat ini banyak dilampiaskan pada kegiatan menulis puisi.
Ketika ditemui di Sanggar Amrus Bumi Tarung di daerah
Lido-Sukabumi yang sejuk, ia banyak bercerita tentang masa
kejayaannya dulu. Bahkan ia merasa hidupnya sudah sangat
cukup karena telah ia isi dengan berbagai perjuangan dalam
merayakan kehidupan. Dia sendiri saat ini sudah menyiapkan
sendiri tanah yang nanti akan digunakan untuk dirinya ketika
kembali kepada Yang Maha Pencipta.
Amrus memiliki pesan khusus serta filsafat hidup
yang menjadi modal utamanya dalam berkarya, yaitu kerja
keras, berani, dan percaya diri. Ketiga nilai itulah yang ia
pegang erat-erat selama hidupnya dan menjadi modal
utamanya. Ia pun menyadari bahwa saat ini tidak mudah
kita menjumpai sosok yang memiliki tiga nilai tersebut
secara sekaligus. Bahkan ia pun menyadari anak-anaknya
sendiri tidak ada yang memiliki ketiga nilai tersebut secara
bersamaan. Barangkali karena tantangan hidup saat ini yang
berbeda dengan suasana zaman di kala Amrus muda.

339
Menurut Amrus, untuk bisa sukses seseorang harus
berani berdiri sendiri, berani menjalani hidup penuh susah
payah, dan bekerja dengan sepenuh hati. Alangkah sia-sianya
kita bekerja jika kita tidak menjalaninya dengan hati yang
penuh. Kini Amrus sudah menjadi legenda di bidangnya,
dan tidak mudah mencari tandingannya pada masa-masa
sesudahnya. Ia menjadi contoh hidup bahwa dengan kerja
keras, keberanian dan percaya diri, berbagai gelombang
hidup dapat dilewati dengan selamat.***

BIODATA

Nama : Amrus Natalsya


Lahir : Medan, 21 Oktober 1933
Profesi : Pemahat, Pelukis Patung (Kayu)

Penghargaan:
- Anugerah Kebudayaan kategori Pencipta, Pelopor,
Pembaharu dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2019

340
Aryanto Yuniawan

Film Animasi Harus


Jadi Tuan di Negeri
Sendiri

Semangat, cekatan dan trengginas. Itulah


penampilan Aryanto Yuniawan. Nama Ary, begitu
ia biasa disapa, menjulang berkat film animasi
dua dimensinya: Battle of Surabaya, yang dirilis
tahun 2015. Ary tidak saja menulis skenario film
animasi tersebut, tetapi juga menyutradarai dan
memproduksinya bersama Rektor Universitas
AMIKOM Prof Dr M Suyanto, di bawah bendera
MSV Pictures.

F ilm ini berlatar tentang kisah pertempuran


Surabaya yang meletus pada 10 November 1945.
Ini pertempuran besar di Asia setelah Perang Dunia
II. Awalnya cikal bakal film animasi ini ditawarkan ke
sejumlah stasiun televisi, tetapi ditolak. Waktu itu
nama film juga bukan Battle of Surabaya. Kegagalan
tersebut rupanya memberi inspirasi bagi Ary dan Prof
Suyanto untuk merombak film animasi tersebut dan
kemudian menulis dan memproduksinya dengan judul
Battle of Surabaya.
Ary dan Prof Suyanto memilih judul bahasa
Inggris untuk film yang baru ini karena memang
diniatkan untuk pasar global dan di dalam negeri
ditujukan untuk kalangan generasi milenial yang sudah

341
cas-cis-cus ngomong Inggris. Judul itu juga jauh terasa lebih
keren di telinga generasi muda. Kalau bilang ‘Pertempuran
Surabaya’, menurut Ary, pasti tak begitu menarik perhatian
mereka yang jadi target pasar dan target edukasi dari film
itu. Tentu akan lain dampaknya kalau diberi judul Battle of
Surabaya. Mendengar nama itu, perhatian mereka akan
langsung terasosiasi dengan games online yang juga banyak
menggunakan judul “battle”.
Film ini menceritakan
petualangan Musa, remaja
tukang semir sepatu yang menjadi
kurir bagi perjuangan pejuang
arek-arek Suroboyo dan TKR
alias Tentara Keamanan Rakyat
dalam peristiwa pertempuran
dahsyat 10 November 1945 di
Surabaya. Film Battle of Surabaya
mencetak sejumlah prestasi.
Ini film animasi dua dimensi
pertama produksi Indonesia yang
berhasil menembus bioskop di
Tanah Air. Film ini juga diputar di
sejumlah maskapai penerbangan
dalam dan luar negeri. Belum
lagi penghargaan yang berhasil
diperolehnya.
Ary, sang sutradara, memang berasal dari keluarga
yang mencintai seni. Tak heran bila darah seni mengalir
dalam dirinya. Ayahnya sangat senang mendengar musik
tradisi. Kakeknya seorang pemain siter. Ia sendiri juga suka
main musik dan bahkan sempat jadi anak band, memegang
gitar bas. Bandnya memilih musik metal dan tidak jarang
mereka memainkan lagu-lagu dari grup Metallica.

342
Soal penyutradaraan? Saat masih duduk di bangku
SMA, Ary dan teman-temannya suka menggelar pertunjukan
drama. Dalam setiap pementasan ia selalu didaulat
untuk menjadi sutradara. Tampknya dari sanalah bakat
penyutradaraannya tumbuh.
Ary yang lahir di Magelang tetapi tinggak di
Yogyakarta ini mengaku tak begitu pandai menggambar,
akan tetapi ia justru memilih memproduksi film animasi.
Tahun 2002 ia bersama rekan-rekannya mendapat
proyek memproduksi animasi di Jakarta. Kesempatan itu
dijadikannya momen untuk belajar membuat animasi saat
bertandang ke studi animasi di Ibu Kota.
Saat proyek selesai, ia balik ke Yogyakarta, lalu
mengumpulkan semua orang yang bisa menggambar.
Film animasi pertama yang dibuat adalah Jatayu. Biaya
produksi ditanggung
oleh Prof Suyanto yang
memiliki minat besar untuk
mengembangkan animasi.
Sejak itu, sejumlah film
animasi keluar dari dapur
MSV Pictures. Di sini anak-
anak muda berkumpul
menghasilkan karya-karya
dengan penuh disiplin
dan suasana kerja yang
menyenangkan.
Ary menjelaskan, lewat film-film animasinya ia selalu
menawarkan kearifan lokal dari nilai tradisi Nusantara yang
sangat kaya. Akan tetapi generasi “zaman now” belum
banyak yang mau belajar dari kearifan lokal itu. Mereka lebih
senang dengan budaya pop dari luar. Di era postkolonialisme,
banyak dari kita lebih senang pada semua yang datang dari

343
luar dan kurang menghargai budaya sendiri. Sementara
orang asing justru banyak datang untuk mempelajari tradisi
Nusantara.
Fenomena itu, bagi Ary, sungguh menantang.
Terutama bagaimana menghadirkan kearifan lokal dalam
film-film animasinya tetapi sesuai dengan selera generasi
milenial. Maka, ia mengemas nilai-nilai tradisi dalam filmnya
dengan cara modern. “Saya coba menggabungkan budaya
klasik itu dengan budaya populer jadi satu,” katanya.
Dalam film Battle of Surabaya, misalnya, ia
menghadirkan nilai-nilai kearifan lokal seperti kewajiban anak
mencium tangan orangtua, berdoa sebelum makan, juga ada
unsur busana Nusantara, seni ukiran dan lainnya. Ia yakin
dengan memasukkan unsur-unsur itu maka penghargaan
akan nilai tradisi yang mulai dilupakan akan hidup kembali.
Lewat film Battle of Surabaya pula ia memberi
gambaran baru bahwa para pejuang kita pada pertempuran
itu adalah orang-orang yang cerdas. Mereka yang terlibat
dalam petempuran itu tidak dilukiskan bertelanjang dada
dan hanya bermodalkan bambu runcing seperti yang banyak
dilukiskan selama ini.
“Saya mengangkat Battle of Surabaya agar saya
membawa image baru bahwa orang-orang kita tidak seperti

344
yang digambarkan bertelanjang dada, miskin, bodoh. Dalam
film Battle of Surabaya saya membuat orang-orang kita
cerdas. Kita sudah mempunyai spionase waktu itu. Bahkan
Bung Tomo sudah menggunakan musik keroncong sebagai
kode-kode untuk perintah. Ada spionase kecil (lewat tokoh
Musa). Kita ingin membuat Indonesia besar seperti pada
zaman Majapahit di mana kita bisa menguasai sampai di luar
Nusantara,” ujar Ary penuh semangat.
Ary dan timnya kini sedang menyiapkan film animasi
Ajisaka. Kisah film ini pun diangkat dari tradisi dalam negeri.
Ia mengemasnya dengan selera modern seperti dalam games
yang banyak ditonton oleh generasi milenial pada gawai di
tangan mereka. “Kami, misalnya, menampilkan keris atau
motif-motif asli kita dalam kostum pemain. Saya yakin, kalau
generasi tertarik dengan itu mereka akan menggali lebih
dalam dari tradisi kita,” ujarnya.
Menurut dia, MSV Studio yang dipimpinnya harus
menawarkan nilai kebaikan yang dapat membawa inspirasi
bagi penonton film animasinya. Karena itu, kisah dalam film
itu harus bisa memberi harapan (hope), suka cita/kebahagiaan
(happiness), kesopanan (decency), budaya (culture), inovasi
(innovation), kualitas hidup (quality), edukasi (education),
dan bercerita/mendongeng (storytelling).
Oleh karena itu, Ary menegaskan MSV Pictures
tidak akan memproduksi film animasi horor, kecuali
anak perusahaan MSV. Perusahaan filmnya akan terus
memproduksi film yang menawarkan nilai kehidupan dan
memberi inspirasi bagi penontonnya. Kalau pun film laga,
film laga itu harus banyak mengandung eduksi.
Ary pun merasa bangga karena film Battle of Surabaya
telah menjadi sumber inspirasi untuk penelitian ilmiah, baik
untuk disertasi doktor maupun skripsi mahasiswa jenjang
strata satu. Misalnya, AS Arnoud Arps dari Universitas

345
Leiden, Belanda, menulis disertasi
berjudul “Remembering Violence:
Cultural Memory, Popular Culture
and the Indonesian War of
Independence”; Manggar Satria
dari Univesitas Mercu Buana
menulis skripsi “Akulturasi Karakter
Anime Jepang dalam Film Animasi
Indonesia ‘Battle of Surabaya’”.
Mengenai prospek film
animasi, Ary merasa sangat
optimistis. Sebagian besar penduduk
Indonesia adalah anak muda yang
rata-rata gemar animasi. Itu adalah
potensi pasar. Jumlah anak muda
saat ini sangat besar. Tantangannya
adalah apakah bisa menghadirkan
tontonan yang sesuai dengan selera
mereka. MSV Studio juga membuka jejaring sampai ke luar
negeri, termasuk ke Hollywood, untuk membangun pasar
film animasi.
Saat mendapat kabar bakal menerima Anugerah
Kebudayaan 2019 kategori Pencipta Pelopor Pembaru
dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, reaksi Ary:
“Saya gementaran. Saya tidak menyangka pemerintah
memberikan apresiasi kepada kami, organisasi yang baru
berkembang di mana kami mengembangkan film animasi
dengan mengangkat potensi budaya Indonesia.“
Ia berharap, makin banyak lagi anak bangsa mengikuti
jejak apa yang telah dilakukannya untuk mengangkat budaya
Indonesia ke dalam film animasi dengan kemasan modern
yang sesuai selera generasi milenial. “Saya berharap film
animasi kita bisa menjadi tuan di negeri sendiri dan menjadi

346
pusat perhatian dunia untuk film animasi,” harapnya. “Untuk
mewujudkan cita-cita itu,” kata dia, “kita harus berani
memulai dari sekarang, berusaha sembari belajar, dan tak
usah takut. Itulah yang telah saya lakukan dengan Battle of
Surabaya”’. ***

BIODATA

Nama : Aryanto Yuniawan


Lahir : Magelang, 18 Juni 1977
Pendidikan : Master dari Universitas AMIKOM (2017)
Pekerjaan:
- Dosen Universitas AMIKOM (2017)
- Sutradara, Penulis dan Produser Film
- CEO Mataram Surya Visi Pictures (MSV Pictures)

Penghargaan
- Anugerah Kebudayaan Kategori Pencipta Pelopor Pembaru
dari Kemdikbud (2019)
- Anugerah Kekayaan Intelektual Nasional dari Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual, Kemenkumham (2016)
- Animasi Terbaik di The International Filmmaker Festival of
World Cinema, France untuk “Battle of Surabaya” (2017)
- Gold Remi Award, Houston International Film Festival, USA
(2016) Grand Prize. Seoul International Cartoon and Animation
Festival (2016)
- Animasi Terbaik. Noida Festival Film International, India (2016)

Filmografi:
- Battle of Surabaya (2015)
- Profesional (2012)
- Petualangan Abdan (2011)
- Good Bye World (2010)
- Jatayu (2009)

347
Martinus Miroto
Belajar Tari Itu
untuk Mengarungi
Kehidupan

Sore itu sekitar pukul tiga sore, di pinggir Kali


Bedog di rumah dan Studio Tari Banjarmili
yang didirikan tahun 2001, Martinus Miroto
bangkit dari duduknya. Ia menyibak layar hitam
studionya, lalu membiarkan sinar mentari sore
itu turun ke lantai studionya dari balik rimbunan
bambu, beringin dan enau.

H anya diiringi bunyi aliran sungai dan didukung


cahaya sore mentari ia mulai menari. Sejumlah
gerakan tari kontemporer diperagakannya sembari
mengejar bayangannya yang jatuh di lantai. Begitulah,
tubuh realisnya dan tubu virtualnya (bayangan)
menari bersama pada sore yang terik itu.
Selesai menari ia menjelaskan, “Saya ingin
mengeksplorasi bayangan tubuh saya yang dihasilkan
oleh sinar matahari yang terpantul di lantai studio. Inilah
yang saya sebut magic our di sini. Permainan bayangan
ini ditemukan ketika saya melakukan kegiatan belajar
dalam program Belajar Bersama Maestro (BBM) dari
Kementerian Pendidiian dan Kebudayaan,” jelasnya.
Program BBM diselenggarakan pada 1-14 Juli 2019.
Ada 20 maestro seni yang ikut, termasuk dirinya. Tiap
maestro dititipi 15 anak didik.

348
Di dunia seni tari nama Miroto telah dikenal luas,
bahkan sampai ke mancanegara. Ia tidak hanya penari, tetapi
juga seorang koreografer dan dosen seni tari di Institut Seni
Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia mulai berkenalan dengan dunia
seni tradisi Yogyakarta sejak kanak-kanak. Ayahnya, Setio
Martono, seorang pemain gender, suka mengajaknya ikut
saat ada pementasan wayang, ketoprak dan tari. Pengelanan
itu membuatnya menyukai seni tradisi Jawa.
Miroto baru benar-benar jatuh cinta pada seni
tari saat menyaksikan pementasan tari “Srimpi” di Gereja
Maria Asumpta, Gamping, Sleman, Yogyakarta. Ia tidak saja
terpesona pada gerak tari para penari, tetapi juga pada
kostum yang mereka pakai.
Sesampai di rumah, ia bertanya banyak kepada
ayahnya tentang tari itu dan mengungkapkan niatnya untuk
belajar tari klasik Keraton Yogyakarta. Ayahnya menjelaskan
bahwa tari “Srimpi” dibawakan penari perempuan,
sedangkan tari untuk pria juga ada. Pada usia sembilan
tahun ia mulai belajar tari klasik Jawa di Krida Beksa Wirama.
Bahkan ayahnya mendatangkan Slamet Asmoro Hadi ke
rumahnya untuk melatih Miroto kecil menari. Dari sana ia
kemudian belajar di Konservatori Tari Indonesia dan pada
tokoh tari kontemporer Bagong Kussudiardjo.

349
Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Karawitan
Indonesia (SMKI) Yogyakarta tahun 1976-1980 dan belajar
pada empu tari Bagong Kassudiardjo, ia mendapat beasiswa
untuk belajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ, 1980-1981).
Dari IKJ ia kembali ke Yogyakarta, belajar seni tari di ISI
Yogyakarta, tahun 1981-1986.
Saat di IKJ ia berguru pada Sardono W Kusumo
untuk belajar tari kontemporer. “Dia (Sardono) melepaskan
saya dari tari Jawa klasik yang saya pelajari. Bentuk-bentuk
kejawaan itu diruntuhkan oleh Sardono. Ia sudah masuk
dalam post-modern. Kemudian saya dinolkan begitu. Ia
percaya bahwa every single movement is dance. Jadi, tiap
gerak itu tari,” tutur Miroto tentang proses belajar tarinya.
Kenapa memilih menari? Miroto kadang tidak mudah
menjawab pertanyaan itu. Menjadi penari memang minatnya
sejak kecil. Ia mau hidup dari tari. Tapi dalam kenyataannya,
katanya, dunia tari juga memilih dirinya supaya di dunia tari
itu ada Miroto-nya. “Kadang-kadang saya lagi malas menari,
tapi ada orang meminta saya menari. Kesempatan menari
di mana-mana. Itu kan berarti saya terus-menerus diajak
menari, menari, menari,” katanya.
Miroto yang telah menggagas dan menggelar
Bedog Arts Festival yang diselenggarakan tiap tahun telah
menciptakan banyak tarian, akan tetapi ada tiga yang
benar-benar penting dalam kariernya. Standar penting yang
ia pakai adalah apakah karya tarinya itu telah memberikan
pengaruh terhadap dirinya dan lingkungan. Ketiga tari itu
adalah “Sampah” (1986), “Penumbra” (1992), dan “Body in
Between” (2014).
Tari “Sampah” diciptakannya tahun 1986 untuk Pekan
Penata Tari Muda di Jakarta. Tari tersebut terinspirasi dari
keadaan Yogyakarta kala itu yang dipenuhi banyak sampah,
dan banyak orang yang tidak berumah terpaksa hidup dari

350
memulung sampah. Seusai pementasan, salah seorang
penonton menghampirinya. Orang itu dari bagian program
di Goethe Institut. Orang tersebut memberinya surat untuk
beasiswa belajar tari di Folkswang Dance Academy, Jerman
(1987).
Miroto juga mengungkapkan, meskipun tari
tersebut telah dipentaskan 33 tahun silam, ada saja orang
yang mengaku kepadanya pernah menonton tari tersebut.
“Tari itu membuat saya bisa sekolah di Jerman dan orang lain
tetap mengingat tari tersebut,” katanya.
Tari kedua yang dianggapnya penting adalah
“Penumbra”. Saat mementaskan tari tersebut ia
menggunakan topeng. Sampai saat ini, 27 tahun setelah tari
itu dipentaskan pertama kali, masih ada saja yang meminta
untuk dipentaskan. Bahkan pada November 2019 ia harus
terbang ke Eropa untuk menarikannya. Tahun 2020 sudah
ada agenda untuk pentas di luar negeri.
“Jadi, ini semacam masterpiece saya. ‘Penumbra’
adalah tari yang sangat simpel, karyanya pendek sekali,
hanya enam menit. Tapi di mana-mana dipentaskan,
penonton sejauh ini biasanya sangat senang. Image-nya

351
sangat kuat, kontemporernya sangat kuat, tapi Jawa-nya
juga sangat kuat. ‘Penumbra’ telah membawa tubuh saya ke
mana-mana, pokoknya lima benua,” tuturnya. “Penumbra”
juga telah memberinya honor yang cukup banyak sehingga
ia bisa membangun studio tarinya.
Tari penting ketiga baginya adalah “Body in
Between” (2014). “Ini karya saya yang terbaru, yang
sebenarnya merupakan disertasi saya. Saya menemukan
genre baru, yakni virtual reality,” katanya. Dalam tari ini, ia
menggunakan teleholografis, sesuatu yang baru di dunia
seni tari.
Dalam tarinya itu ia menggabungkan dunia realis
dengan virtual. Pada pementasannya, Miroto tidak hanya
menari sendiri di panggung, tetapi juga menari bersama
penari lain yang berada New York (Amerika Serikat), Tokyo
(Jepang) dan Taipei (Taiwan) pada saat yang sama meskipun
tinggal berjauhan. Para penari dari tiga kota itu muridnya.
Miroto membuat panggung khusus untuk
mempertemukan tubuh realis dengan tubuh virtual yang
ada di tiga kota besar dunia tersebut. “Kami hadir dalam
waktu yang nyata tapi dalam ruang virtual, ruang yang satu
di New York, yang satu lagi di Tokyo, dan lainnya di Taipei.
Tapi time-nya real,” jelas Miroto.
Menurut dia, penggunaan hologram bisa
mendekatkan dunia seni tradisi dengan generasi milenial.
Kenapa? Visualnya anak-anak milenial adalah virtual.
Sementara yang realis tidak dianggap oleh mereka. Ia yakin
dengan menggunakan teknologi hologram, seni tradisi akan
menjadi menarik bagi generasi milenial. Misalnya, adegan
kebakaran bisa ditampilkan dan bakal membuat penonton
terkejut. Namun kebakaran tersebut hanya virtual.
Martinus Miroto sangat terharu saat mendapat kabar
menerima Anugerah Kebudayaan 2019 dari pemerintah

352
yang mengapresiasi karyanya selama ini. “Saya tidak pernah
berpikir akan mendapat anugerah dari pemerintah. Saya
merasa sangat dihargai,” ujarnya singkat.
Ia berharap pemerintah mendukung riset akan
pentingnya seni tari dalam kehidupan manusia. Saat ini seni
tari lebih banyak dipandang sebagai seni menghibur dengan
medium tubuh. Miroto tak menyangkal manfaat menghibur
pada tari. Tapi, manfaat tari sebenarnya lebih dari itu. Dosen
tari di ISI Yogyakarta ini merasa iri dengan riset yang dilakukan
di Eropa dan Amerika terhadap seni tari yang telah demikian
maju. Riset mereka tidak lagi sekadar mencari data, sejarah
dan perkembangan seni tari, tetapi bagaimana hubungannya
dengan dunia psikologi, neuorologi, matematika, kehidupan
sosial, politik, dan sebagainya.
“Belajar tari itu untuk mengarungi kehidupan itu
sendiri. Sudah diteliti, siswa yang pernah belajar tari memiliki
motivasi belajar lebih kuat daripada siswa yang tidak pernah
belajar tari. Bahkan saya yakin kalau kita bicara toleransi,
dalam dunia tari ada aspek toleransinya karena tari selalu

353
mengagungkan harmoni: bagaimana menghargai suara
musik, tata busana, menghargai ruang, menghargai waktu.
Semuanya harus selalu sensitif. Kalau tidak, tariannya pasti
rusak,” jelasnya.***

BIODATA

Nama : Martinus Miroto


Lahir : Yogyakarta, 23 Februari 1959
Pekerjaan : Penari, koreografer, dosen ISI Yogyakarta
Pendidikan:
- Institut Kesenian Jakarta (IKJ), 1980-1981
- Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, 1981-1986
- Master of Fine Arts University of California Los Angeles (UCLA)
di bidang seni tari, 1995
- Pascasarjana (gelar doktor) Seni Tari di ISI Yogyakarta, 2014
Penghargaan:
- Anugerah Kebudayaan 2019 kategori Pencipta Pelopor Pembaru
dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Karier:
- Memberikan workshop di Amerika Serikat, Belanda, Malaysia,
Korea Selatan, Taiwan, Australia, Jepang, dan Zimbabwe
- Mengikuti American Cultural Dance Festival di Durham, North
Carolina, AS, 1992
- Penari klasik dalam rombongan Keraton Yogyakarta untuk
tampill berkeliling Amerika Serikat dalam rombongan KIAS, 1991
Karya Tari:
- “Sampah” (1986)
- “Penumbra” (1992)
- “Body in Between” (2014)
Film:
- Penata tari untuk film Opera Jawa (2006) karya Garin Nugroho

354
Jemek Supardi

Pantomim Mengajak
Kita untuk Refleksi
Diri

Jemek Supardi bangkit dari duduknya. Di


hadapannya ada sebuah kotak kaca. Ia menunjuk
ke salah satu sudut dengan jari telunjuk dan
mimik yang serius. Tiba-tiba jari itu menunjuk
dirinya sendiri. Tak berapa lama kemudian ia
mengarahkan pandangannya ke kota kaca.

J emek terperanjat karena di dalam kota kaca


terbaring sebuah topeng putih yang mulutnya
terjahit dan di salah satu sudut bibir topeng ada peniti
yang ikut menjahit bibir itu. Dengan penuh hati-hati
ia mengangkat topeng itu. Memandangnya dengan
tajam dan penuh curiga. Ia bangkit dan terus menatap
topeng putih tersebut. Seperti ada dialog antara
dirinya dan topeng itu. Ia menyandingkan wajah
topeng itu dengan wajahnya sendiri.
Mendadak Jemek mengenakan topeng
tersebut. Tapi topeng tersebut tak memberinya rasa
aman dan nyaman. Beberapa saat kemudian ia melepas
topeng dari wajahnya dan segera meletakkannya
kembali ke kotak kaca.
Topeng tersebut mendadak telah
menakutkannya. Jemek segera bangkit, lalu melangkah
mundur dan sesekali mencuri pandang ke topeng yang

355
ada di dalam kotak kaca. Ia kemudian menyembunyikan
dirinya di balik pintu. Sekali lagi ia membuka pintu dan
memandang topeng itu dengan rasa takut dan cemas. Lalu,
buru-buru menutup pintu dan bersembunyi di baliknya.
Ia tak mau lagi memandang topeng itu. Dan, pementasan
pantomim bertajuk “Terjebak” pun selesai.
Inilah karya terbarunya tahun 2019, yang pada
siang itu dipentaskan secara spontan di rumahnya di
daerah seputar Jalan Brigjen Katamaso, Yogyakarta. Dalam
berkarier sebagai pemain pantomim, sejak 1980, tak jarang
Jemek menciptakan karya-karyanya secara spontan. Lainnya
diciptakan dengan persiapan matang dari rumah. Sudah
banyak karya yang diciptakannya. Jemek sendiri tak tahu
persis berapa jumlahnya.

356
Saat ini ia juga sedang menyiapkan karyanya berjudul
“Pedot”, sebuah karya yang menggambarkan situasi
masyarakat kita saat ini. Ia melukiskan kadang hubungan
antarsesama anak bangsa terputus karena kepentingan
politik dan kepentingan-kepentingan lainnya. Tetapi
tali silaturahmi yang putus itu bisa tersambung kembali
saat munculnya kesadaran pentingnya persaudaraan di
antara sesama anak bangsa, pentingnya keberagaman. Ia
berencana mementaskan “Pedot” pada tahun 2020 untuk
merayakan 40 tahun ia berkarier sebagai pemain pantomim.
Dari sekian karya tersebut, salah satu yang sempat
bikin geger adalah “Pak Jemek Pamit Pensiun”, tahun 1997.
Ia mengisahkan, saat Festival Kesenian Yogyakarta (FKY)
digelar tahun 1997, ia tak disertakan. Ia kecewa berat. Maka,
dengan mengenakan kaus hitam-hitam dan muka dicat
putih, ia berangkat dari rumahnya dengan becak ke Pasar
Seni FKY. Sial, petugas keamanan di Benteng Vredeburg
mencegat dan menggelandangnya. Sebagai protes, ia lantas
menggelar pantomim di Jalan Malioboro dengan judul
“Pak Jemek Pamit Pensiun”. Gara-gara pementasannya,
Malioboro macet total.
Jemek tersenyum simpul mengenang peristiwa
tersebut. “Saat itu saya berpikir ada waktunya dalam hidup ini
untuk pensiun. Saya juga. Lha, Pak Umar Kayam saja pensiun
waktu itu, kenapa saya tidak,” kenangnya akan peristiwa
heboh tersebut saat benih-benih gerakan reformasi mulai
bersemi.
Karya-karyanya banyak mengangkat tema-tema
sosial. Bagi Jemek, tema-tema sosial terasa lebih seksi dan
selalu menarik perhatian penonton. Ia juga punya prinsip,
seorang seniman seperti dirinya memang mempunyai tugas
untuk mengangkat tema-tema sosial ke hadapan penonton.

357
“Tema-tema seperti itu selalu memberi saya inspirasi,”
tuturnya.
Ada hal lain yang juga menarik dari penampil
pantomim ini. Ia suka menggelar karya-karyanya di tempat
yang tidak lazim, seperti di jalanan, pasar, rumah sakit jiwa,
dan kuburan. Tentu hal itu dilakukannya bukan sekadar mau
mengejar sensasi atau mau “viral” dalam bahasa zaman now.
Ia punya alasan yang kuat melakukan pementasan di tempat-
tempat seperti itu. Selain ingin memperkenalkan pantomim
lebih luas lagi, ia mau meletakkan pantomim pada panggung
kehidupan itu sendiri. Panggung yang telah memberikan roh
kehidupan bagi seni pantomim.
Ketika ia melakukan pementasan di kuburan,
bukannya ia tak punya pesan istimewa. “Di kuburan selalu
terasa sepi. Tetapi di balik kesepian itu sebetulnya ada
keramaian. Itu yang saya tafsir,” jelasnya. Dalam pentasnya
di kuburan, ia membaringkan dirinya dalam peti mati. Tapi
kemudian ia bangkit lagi dan melayani orang-orang yang
datang melayat. Dan, sosok penting yang telah mengajaknya
bermain pantomim di kuburan adalah Romo Sindhunata.
Lain lagi kisahnya saat pentas di pasar. Pasar adalah
simbol riuhnya aktivitas ekonomi. Ada banyak manusia di
pasar. Dalam tafsir Jemek, sebetulnya ada kesepian yang luar
biasa di pasar. Ada pedagang yang sibuk melayani pembeli
dan itu ramai dan riuh. Tetapi tidak sedikit pedagang yang
menanti pembeli dalam kesepian yang maha amat. “Saya
menangkap ada kekonyolan dalam keramaian itu,” jelasnya.
Adapun pesan yang mau ia sampaikan saat pentas di rumah
sakit jiwa adalah perlunya kita merenung dalam hidup ini.
Jemek Supardi adalah sosok yang setia dengan
profesinya sebagai pemain pantomim selama pancawindu.
Ia telah melakonkan perannya itu sejak 1980 dan masih setia
sampai sekarang. Bahkan ia kini menjadi salah satu pemain

358
pantomim terkemuka di negeri ini. “Saya memang tidak bisa
hidup dari pantomim. Saya berdagang agar dapur bisa terus
mengepul. Saya jualan batu akik. Tapi jiwa saya lebih banyak
untuk pantomim,” tuturnya.
Menjadi pemain pantomim bukanlah cita-citanya.
Apalagi ia bukan berasal dari keluarga yang suka seni.
Ayahnya seorang tukang borongan dan ibunya berdagang
kecil-kecilan. Darah seni muncul karena lingkungan
kehidupan Yogyakarta yang kental dengan aktivitas seni.
Sejak kecil ia sudah terbiasa menonton ketoprak dan wayang.
Pengalaman tersebutlah yang menumbuhkan benih seni
dalam dirinya.
Ketika masih remaja ia bertemu dengan Azwar
AN dan mau ikut dengan kegiatannya tahun 1974. Saat itu
ia baru tahu adanya kegiatan yang bernama drama. “Oh,
drama itu sandiworo toh,” ia menyimpulkan saat pertama

359
kali berkenalan dengan Teater
Alam yang dipimpin Azwar.
Dua tahun setelah itu (1976)
ia bergabung dengan Teater
Dinasti yang dipimpin oleh
Fajar Suharno. Di dunia teater
itulah ia mendapat nama
panggung “Jemek”.
Sepertinya kariernya
di bidang teater tidak berjalan
mulus. “Saya sangat susah
menghafal naskah. Kalau
teman-teman saya bisa
menghafal naskah dalam satu
hari, saya butuh tiga hari.
Ya, jelas saya menghambat
yang lain,” ia mengaku terus
terang. Tapi ia memiliki
gerakan-gerakan tubuh yang
ekspresif. Teman-teman
di teater bilang ia memiliki
bakat bermain pantomim.
Menyadari kekurangan
dalam menghafal naskah
dan kekuatannya untuk
berpantomim, maka tahun
1980 Jemek memutuskan
untuk mengambil jalur
pantomim, jalur yang masih
“sunyi” saat itu. Sejak saat
itu ia tak henti-hentinya
mengeksplorasi dirinya untuk
dunia pantomim.

360
Suka duka mengembangkan karier tersebut tentu
banyak, datang silih berganti. Ia mengaku paling sebel dan
sampai tak bisa tidur saat dianggap sebagai pemain badut. Ia
menjelaskan, target seorang badut agar bisa bikin penonton
tertawa dalam suatu sirkus. Pemain pantomim justru
mengajak orang untuk berpikir, merenung, dan menafsir apa
pesan pemain pantomim lewat gerakan-gerakan tubuhnya.
Di usianya yang tidak muda lagi sebagai pemain
pantomim, Jemek tak pernah berhenti berpikir untuk
regenerasi. Ia senang banyak yang mengikuti lomba
pantomim atau yang belajar meski hanya sebentar. Setelah
mendapat sertifikat atau piala, rata-rata mereka tak menekuni
dunia pantomim dengan tabah dan telaten. “Banyak yang
bisa main pantomim, tapi tidak banyak yang menekuni
dunia pantomim sebagai profesi kesenimanannya,” katanya
dengan suara memelas dan matanya berkaca-kaca sembari
memandang jauh ke depan.
Jemek merasa sangat terharu dengan Anugerah
Kebudayaan kategori Pencipta Pelopor Pembaru yang
diberikan Pemerintah RI lewat Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan pada tahun 2019. “Ini jadi cambuk bagi saya
untuk menghasilkan karya lebih bagus lagi. Tidak sia-sia
perjuangan saya,” ujarnya penuh haru.
Ia berharap seni pantomim perlu mendapat
dukungan dari pemerintah agar seni itu tidak mati. “Bangsa
kita perlu menonton banyak pantomim karena seni
pantomim mengajak penontonnya untuk melakukan refleksi
dan merenung,” harap Jemek yang mempunyai filosofi
bahwa hidup itu harus mengalir dan “sumeleh”. ***

361
BIODATA

Nama : Jemek Supardi


Lahir: Pakem, Yogyakarta, 14 Maret 1953
Penghargaan:
- Anugerah Kebudayaan Kategori Pelopor Pencipta Pembaru dari
Kemdikbud RI (2019)
- Penghargaan Seni dari Sultan Hamengku Buwono IX
Karier:
1974: Bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar AN
1976: Bergabung dengan Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno
1980: Berkarier di bidang pantomim

Karya:
- Terjebak (2019)
- Jemek Ngudarasa (2013)
- Buku Harian si Tukang Cukur (2012)
- Calegbrutussaurus (2009)
- Pisowanan (2008)
- Menunggu (Kabar) Kematian (2008)
- Mata-Mati Maesongan 2 (2008)
- Air Mata Sang Buddha (2007)
- Kaca (2007)
- Topeng-topeng (2002)
- 1000 Cermin Pak Jemek (2001)
- Eksodus (200)
- Pak Jemek Pamit Pensiun (1997)

362
363
Anugerah Kebudayaan dan penghargaan
Maestro Seni Tradisi TAHUN 2019
5
364
6 Anugerah Kebudayaan dan penghargaan
Maestro Seni Tradisi TAHUN 2019

Anda mungkin juga menyukai