Anda di halaman 1dari 28

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PROSIDING SEMINAR NASIONAL


ILMU SOSIAL DAN POLITIK

Tema:
Media Baru dan Wajah Masyarakat
Pasca Revolusi Industri 4.0

Sub Tema:
Komunikasi di Era Revolusi Industri 4.0
Perubahan Sosial di Era Revolusi Industri 4.0
Pemerintahan di Era Revolusi Industri 4.0

Surakarta, 16 November 2019

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik


Universitas Sebelas Maret
Tahun 2019
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ILMU SOSIAL DAN POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Pelindung : Dekan FISIP UNS


Penanggung Jawab : Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UNS
Steering Committee : Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti N., M.Si.
Ketua Pelaksana : Dra. Prahastiwi Utari, M.Si., Ph.D.
Sekretaris : Mira Adita Widianti, S.I.Kom.
Bendahara : Haris Annisari Indah N. R., S.I.Kom.
Internal Reviewer : Dr. Andre Rahmanto, S.Sos., M.Si.
Dr. Didik Gunawan Suharto, S.Sos., M.Si.
Dra. Trisni Utami, M.Si.
Editor : Chairunnisa Widya Priastuty, S.I.Kom
Pramana, S.Sn.
Setter/Layouter : Intan Sani Putri, S.Sos.
Muhamad Najib Shofy, S.Pd.
Desain Cover : Akbar Rhaditstya Putra, S.I.Kom.

Cetakan ke I, November 2019


ISBN : 978-602-61087-3-9
978-602-61087-2-2 (PDF)

Penerbit
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Jalan Ir. Sutami 36A Kentingan, Jebres, Surakarta, Indonesia
57126 Telp/Fax. : +62271663483
Email: fisipunspublisher@gmail.com
Laman: http://fisip.uns.ac.id

ii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS IMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Assalamu’alaikum Rawahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Pemurah dan Maha Pengasih karena atas rahmat-Nya perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni memberikan pengaruh besar
terhadap peningkatan kualitas dunia pendidikan, khususnya di
Pendidikan Tinggi. Perguruan Tinggi sebagai ujung tombak
perkembangan IPTEKS harus mampu memberikan sumbangsih ide
dan karya nyata untuk Bangsa dan Negara, baik dituangkan dalam
artikel ilmiah maupun temuan karya ilmiah lainnya. Temuan–temuan riset akademisi di
Perguruan Tinggi diharapkan mampu membantu bangsa ini lebih produktif, inovatif
dan berdaya saing pada lingkungan global. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNS
berkeinginan turut berkontribusi dalam kemajuan IPTEKS dengan menyelenggarakan
Seminar Nasional yang diharapkan menghasilkan inovasi dalam pengembangan
keilmuan terutama di Bidang Ilmu Sosial dan Politik. Melalui acara Seminar Nasional
“Media Baru dan Wajah Masyarakat Pasca Revolusi Industri 4.0” kami ingin
mempersembahkan rangkuman karya riset dari para pemakalah baik berasal dari
akademisi internal maupun eksternal UNS yang mencoba memaparkan isu Media Baru
dan bagaimana dampaknya tehhadap masyarakat Indonesia pasca revolusi industri 4.0
saat ini. Selamat berseminar kepada seluruh pemakalah dan peserta, semoga sukses dan
bermanfaat bagi pengembangan IPTEKS. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dekan

Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti N., M.Si.

iii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan atas segala rahmat
dan berkat-Nya sehingga Seminar dan Konferensi Nasional: Media
Baru dan Wajah Masyarakat Pasca Revolusi Industri 4.0 yang
diselenggarakan oleh Bidang Akademik Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik (FISIP) UNS dapat terselenggara dengan baik. Dalam
kesempatan kali ini, seminar dan konferensi yang digelar tentunya
memiliki misi untuk turut berkontribusi terhadap negeri atas
perkembangan ilmu pengetahuan saat ini khususnya di bidang sosial dan politik.
Kaitannya dengan tema yang diangkat pada seminar dan konferensi kali ini tentunya tak
lantas ingin berkutat pada permasalahan sosial yang statis namun harus dinamis sesuai
dengan perkembangan dan tren saat ini.
Dengan segala kerendahan hati, saya mewakili segenap penyelenggara memohon maaf
kepada para penulis yang karyanya masih belum dapat dimuat bersama dengan karya
lainnya. Kedepan, besar harapan kami agar karya penulis yang belum berhasil saat ini
dapat dimuat pada gelaran acara mendatang. Tak lupa juga kami haturkan terima kasih
kepada Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti N, M.Si selaku Dekan FISIP UNS dan semua panitia
yang tergabung dalam gelaran acara ini yang telah memberikan loyalitas dan kerja
kerasnya sehingga acara ini dapat sukses dan berjalan lancar. Terakhir, kepada seluruh
pemakalah dan peserta kami sampaikan selamat menuntut ilmu dan memperkaya diri,
semoga sukses dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu di negeri ini. Amin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ketua Pelaksana,

Dra. Prahastiwi Utari, M.Si., Ph.D.

iv
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………. i
Susunan Dewan Redaksi ………………………...………………………….. ii
Sambutan …………………………………………………………………….. iii
Kata Pengantar ……………………………………………………………… iv
Daftar Isi ……………………………………………………………………... v

NO. PENULIS JUDUL MAKALAH HAL.

1. AYU LESTARI PENGELOLAAN KESAN 1


GENERASI MILLENIAL SUKU
BADUY LUAR MELALUI
FACEBOOK

2. IMAM MAHMUD KAMPUNG MERKETER 22


MAHENDRA WIJAYA SEBAGAI PEMBERDAYAAN
DRAJAT TRI KARTONO MASYARAKAT MELALUI
PENDIDIKAN ONLINE
MARKETING DI ERA
REVOLUSI INDUSTRI 4.0

3. ADITYA ARIFIYANTO STORYPOST : STRATEGI 30


PRAHASTIWI UTARI PEMBENTUKAN CITRA
ANDRE RAHMANTO TERHADAP NILAI-NILAI
KEMENTERIAN KEUANGAN
RI

4. ARYOGITO NINDYATMOKO PENGELOLAAN 38


DIDIK G. SUHARTO PENGUNJUNG YANG
BERKELANJUTAN MELALUI
TEKNOLOGI E-RINJANI
PADA BALAI TAMAN
NASIONAL GUNUNG
RINJANI

5. EKAPETRA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN 46


FERNANDA CERDAS COMMAND CENTER
DALAM MEWUJUDKAN VISI
“KOTA MANADO CERDAS
2021”

6. RAHMAT TUNNY MAKNA BERITA 54

v
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

HENNI GUSFA PERATURAN PRESIDEN


TENAGA KERJA ASING
PADA MEDIA ONLINE

7. DEA VARANIDA KEBERAGAMAN 61


PARIWISATA DAN BUDAYA
SEBAGAI IDENTITAS
MASYARAKAT (STRATEGI
KOMUNIKASI PEMASARAN
DINAS PARIWISATA,
PEMUDA DAN OLAHRAGA
DI KOTA SINGKAWANG)

8. BRIANT NOR PRADHUKA OPTIMALISASI BANK 4.0 69


BOEDI PRIANTORO TEHADAP EKONOMI
KREATIF INDONESIA

9. YULITA NILAM FRIDIYANTI MEMBANGUN SEMARANG 76


RIFKA RESI PAWESTRI HEBAT DENGAN SMART
CITY

10. MUSTAQBIRIN LAYANAN ASPIRASI DAN 84


ANDRE RAHMANTO PENGADUAN ONLINE
SUDARMO RAKYAT SEBAGAI RUANG
PUBLIK BARU PEMERINTAH
KABUPATEN BOJONEGORO
DI ERA MEDIA BARU

11. ANITA RISQI ANALISIS PENGEMBANGAN 109


NABILLA RIZQI KHASANAH ORGANISASI PUBLIK
TASYA ANANDA DALAM MENGHADAPI ERA
REVOLUSI 4.0 (STUDI
KASUS: KANTOR
PELAYANAN PAJAK
PRATAMA SLEMAN)

12. HETTY MEI RATNAWATI TEKNOLOGI KOMUNIKASI 118


DAN PERUBAHAN
PERILAKU (PENGARUH
PENGGUNAAN APLIKASI
WHATSAPP TERHADAP
PERUBAHAN PERILAKU DI
LINGKUNGAN KERJA
PENYULUH KELUARGA
BERENCANA KOTA
SURAKARTA)

13. AHMAD MUNTAHA KOMUNIKASI 127


WIDODO MUKTIYO TRANSPARANS BADAN

vi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DRAJAT TRI KARTONO PUBLIK STUDI KOMUNIKASI


SUDARMO ORGANISASI INTERNAL
DALAM PELAYANAN
INFORMASI PUBLIK DI
KOTA PEKALONGAN

14. RARAS ARUM WULANDARI LITERASI INFORMASI 141


PRAHASTIWI UTARI SEBAGAI UPAYA
SRI HASTJARJO MELAWAN HOAX
KESEHATAN DI ERA
DIGITAL

15. MARGARETA ENIK ISWANTI DELAPAN LANGKAH 147


PRAHASTIWI UTARI CIPTAKAN BUDAYA
ANDRE RAHMANTO INOVASI ERA 4.0

16. HISYAM ATHAYA DESAIN DAN 155


SHOFFIN NAHWA UTAMA IMPLEMENTASI EVALUASI
TRIANA HARMINIA KINERJA DOSEN ONLINE
(STUDI KASUS
DEPARTEMEN TEKNIK
INFORMATIKA
UNIVERSITAS
DARUSSALAM GONTOR)

17. KHABIB BIMA S. ANALISIS FRAMING 171


ARGYO DEMARTOTO AKTIVISME MEDIA SOSIAL
SUPRIYADI DALAM GERAKAN
SEKOLAH MENULIS BUKU
WIDIA LESTARI

18. MUHAMAD NAJIB SHOFY PERUBAHAN KONSUMSI- 180


MARDIKA NO VIANTI TRANSAKSI ERA NEW
ROFI’I MEDIA
AMBARWATI M. R.

19. MAHARANI KRISNA H. PERAN MEDIA SOSIAL 191


MARTA RATNA H. TERHADAP PARTISIPASI
MIFTAKHUL FIKRI POLITIK PEMILIH PEMULA
DI KABUPATEN KLATEN
PADA PEMILIHAN UMUM
2019

20. MELATI BUDI SRIKANDI BUDAYA POPULER DAN 200


BRAMASTA REYNALDI KOMUNIKASI POLITIK:
PENGGUNAAN MEME
DALAM KOMUNIKASI

vii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

POLITIK

21. MIRA ADITA W. PERAN MEDIA SOSIAL 219


AFIFAH RAHMAYANI INSTAGRAM DALAM
LINTANG ZENY S. PEMBENTUKAN CITRA ELIT
POLITIK DI INDONESIA

22. CHAIRUNNISA WIDYA P. PRABOWO SUBIANTO 234


PRAMANA DALAM PENILAIAN
HARIS ANNISARI I. N. R. GENERASI MILLENIALS
PASCA PERNYATAAN
KONTROVERSIAL PADA
PEMBERITAAN PORTAL
BERITA ONLINE

23. ACHMAD NUR CHAMDI PERAN PERPUSTAKAAN 251


DALAM PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT PEDESAAN
PINGGIRAN HUTAN PASCA
REVOLUSI INDUSTRI 4.0

24. FARIDA HILMI PERUBAHAN SOSIAL 261


YULIUS SLAMET KULTURAL PADA
MAHENDRA WIJAYA MASYARAKAT DESA
PEMENANG TIMUR, PASCA
BENCANA GEMPA BUMI
TAHUN 2018

25. LUKY FITRIANI EKSPEKTASI DALAM 272


HARIS ANNISARI I. N. R. BERKOMUNIKASI ONLINE
PADA KAUM MILENIAL
YANG DAPAT
MENYEBABKAN
KECEMASAN SAAT
BERTUKAR PESAN TEKS
(TEXT ANXIETY)

viii
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BUDAYA POPULER DAN KOMUNIKASI POLITIK:


PENGGUNAAN MEME DALAM KOMUNIKASI POLITIK

Melati Budi Srikandi


Universitas Sebelas Maret
Email: melatibs@student.uns.ac.id

Bramasta Reynaldi
Universitas Sebelas Maret
Email: bramastareynaldi@student.uns.ac.id

ABSTRAK

Studi ini mengekplorasi tentang penggunaan meme dalam komunikasi politik menggunakan
pendekatan studi pustaka. Eksplorasi dilakukan dengan mengkaji penelitian-penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya. Meme merupakan budaya populer yang dikembangkan dengan
mengolah, memodifikasi, dan memberi makna pada sebuah isu yang kemudian disebarluaskan.
Meme politik yang sebagian bernuansa satire banyak ditemukan di media sosial dengan maksud
dan tujuan tertentu. Masyarakat dan elit politik memanfaatkan meme dalam komunikasi politik
untuk menentang atau mengkritik isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan. Dalam era
budaya digital partisipatif yang saat ini berkembang, meme juga diharapan dapat mempengaruhi
orang lain dan untuk mendelegitimasi target meme demi mewujudkan hasil politik yang sesuai
dengan keinginan mereka sendiri.

Kata kunci: Komunikasi Politik, Meme, Kritik, Opini Publik

Pendahuluan

Budaya populer kerap dijadikan sebagai media kritik bagi penguasa tentang
pribadi maupun kebijakan yang ada dalam tubuh pemerintahan. Budaya populer
merupakan produk industri yang setiap hari dikonsumsi oleh masyarakat, baik oleh
masyarakat makro (global) maupun masyarakat mikro. Musik, puisi, novel, film, dan
perkembangan teknologi sebagai budaya populer digunakan untuk menyampaikan
gambaran tentang kondisi masyarakat yang dibayangkan oleh penulisnya. Sebagai ruang
diskusi, khalayak dapat melihat dialog antara dua karakter dengan ideologi berbeda
dalam satu narasi. Seiring dengan perkembangan zaman, pemanfaatan teknologi
menjadi semakin digemari khalayak dalam menyebarkan informasi politik khususnya
melalui media sosial.

Pengguna media sosial pada umumnya mengunggah konten yang sudah


direkonstruksi dari konten aslinya. Platform ini kemudian mengundang khalayak (saat
ini lebih dikenal dengan sebutan netizen) untuk berinteraksi dengan orang lain melalui
tindakan seperti menyukai, berkomentar, berbagi, dan retweeting. Interaksi ini

200
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dilakukan untuk memperluas penyebaran informasi dengan maksud dan tujuan tertentu.
Sebuah teori ikatan sosial menunjukkan bahwa interaksi ini adalah suatu cara untuk
menandakan rasa hormat, solidaritas, nilai-nilai bersama, dan berbagi identitas sosial
antara pengguna (Edgerly, Thorson, Bighash, & Hannah, 2016), termasuk nilai-nilai
politik dan kecenderungan politik sebagai bentuk identitas. Khalayak dapat
membagikan informasi politik secara utuh ataupun merekonstruksinya menjadi sebuah
meme.

Istilah meme pertama kali dikernalkan oleh Richard Dawkins dalam bukunya
The Selfish Gene. Sebuah meme dianggap setara dengan budaya sebagai gen bagi
manusia. Meme dinilai mampu mendorong evolusi budaya, seperti Darwinisme budaya
pop. Perluasan definitif dari istilah biologis konsep Dawkins ini kemudian dipakai
untuk menunjuk gejala umum tentang meme culture di internet, yaitu sebuah cara
mengintimidasi ide, disebarkan, dan dimediasi dari orang ke orang, lewat interaksi atau
pembicaraan, baik melalui medium analog maupun digital (Brunello, 2012). Pada tahun
1993, Wired mendefinisikan meme sebagai sebuah gagasan yang menular, sama seperti
virus yang melompat dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Secara teknis, teks tidak dijiplak
atau digandakan, tetapi dibuat, diolah, dimodifikasi, dan diberi makna sedemikian rupa.
Maka, produksi meme tidak dapat disederhanakan sebagai wujud kreatif-teknis,
melainkan justru kreatif-substantif makna. Fenomena meme menandai pergeseran
konsep komunikasi massa tradisional. Teknologi canggih seperti internet memfasilitasi
berkembangnya meme secara bebas dengan menyebarkan konten kritik dan ekspresi
tanpa melalui birokrasi resmi. Meme juga memperkuat perubahan lingkungan
komunikasi masa yang berubah dengan sangat radikal (tempo.co).

Di permukaan, meme internet mungkin tampak dangkal atau kurang berarti,


sebagai bentuk lelucon konyol yang dikirim dan dibagikan berulangkali kemudian akan
segera dilupakan. Meme adalah produk khas budaya digital pada masa kini dan
melambangkan banyak kualitas yang mendasarinya (Milner, 2012; Shifman, 2013).
Meme menyajikan berbagai tujuan sosial, politik hingga budaya sebagai bentuk
menyampaikan perasaan secara interpersonal. Meskipun ada banyak meme dan banyak
variasi di dalam sebuah wacana, tidak semua dapat diterima sebagai bahan budaya yang
cocok. Penggunaan meme internet harus dilihat sebagai bentuk literasi, menggabungkan
pengetahuan langsung tentang pemahaman yang lebih luas (Knobel and Lankshear,

201
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2007). Milner menambahkan bahwa meme merupakan bentuk bahasa visual, membawa
pesan dan respons isyarat. Kontradiksi antara mengikuti konvensi dan membuat konten
inovatif mengakibatkan konfigurasi meme sebagai keseimbangan yang tidak stabil,
sehingga memicu konflik konstan tentang penggunaannya yang "benar".

Meme politik menjadi populer karena menyisipkan humor di dalamnya dan


umumnya bersifat visual. Tindakan yang diterapkan pada meme politik memberikan
jalan untuk berbagi informasi yang mungkin tidak terlihat dan memungkinkan netizen
untuk terus menyebarkannya sebagai bentuk persuasi. Meme politik dinilai sebagai
bentuk lain dari komunikasi politik yang sering diisi dengan debat dan pembagian
pendapat sehingga dapat membantu membentuk atau mempengaruhi pandangan
seseorang tentang kandidat dan kebijakan. Gelombang kritik serta gerakan politik dunia
maya dapat bergerak tanpa lembaga. Netizen dapat dengan mudah membagikan ulang
tautan, seorang pengguna media sosial sudah ikut dalam membesarkan gelombang opini
publik. Akan tetapi potensi penyimpangan jelas bisa terjadi dalam berbagai aspek
kehidupan. Seperti halnya kritik berpotensi besar sebagai materi mempropaganda
massa. Kesederhanaan format visual serta penggunaan verbal yang mudah dicerna,
membuat meme mudah memunculkan citra tersendiri terkait tokoh-tokoh politik yang
dijadikan target (tempo.co).

Meme politik yang sebagian bernuansa satire banyak ditemukan di media sosial
dengan maksud dan tujuan tertentu, utamanya dikendalikan oleh kelompok oposisi.
Menjelang tahun politik, munculnya meme politik menjadi topik hangat yang
diperbincangkan netizen. Meme politik dapat bernuansa dukungan maupun sindiran
terhadap elit maupun kebijakan-kebijakan politik. Dalam konteks di Indonesia
penggunaan internet dan media baru merupakan respon ekspresif masyarakat pasca
berkahirnya tekanan dan ketertutupan era Orde Baru. Meme adalah kegiatan komunal
yang bisa menyenangkan maupun dapat memecah belah (Kassing, 2019). Maka dari itu,
artikel ini bertujuan untuk melihat penggunaan meme dalam komunikasi politik
kaitannya dengan bagaimana masyarakat dan elit politik menggunakan meme dalam
mengkomunikasikan hal-hal bersifat politik dan bagaimana meme mempersuasi
pembacanya sehingga tercipta opini-opini publik dalam memandang elit politik ataupun
kebijakan-kebijakan politik yang menjadi objek meme tersebut.

202
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Metodologi

Kajian mengenai penggunaan meme dalam komunikasi politik di Indonesia ini


dilakukan menggunakan pendekatan studi pustaka dengan mengkaji penelitian-
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Studi pustaka merupakan usaha
menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang
diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian,
karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan,
buku tahunan, ensiklopedia dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik
lain.

Studi pustaka dilakukan untuk menemukan teori-teori yang mendasari masalah


dan bidang yang akan diteliti. Selain itu, peneliti dapat memperoleh informasi terkait
dengan penelitiannya dengan mengkaji penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya. Dengan melakukan studi pustaka, peneliti dapat memanfaatkan semua
informasi dan pemikiran-pemikiran yang relevan dengan penelitiannya. Studi pustaka
memuat sitematis tentang kajian literatur dan hasil penelitian sebelumnya yang ada
hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan dan diusahakan menunjukkan
kondisi mutakhir dari bidang ilmu tersebut. Kaitannya dengan paper ini, studi pustaka
dilakukan untuk melihat penggunaan meme dalam komunikasi politik kaitannya dengan
bagaimana elit politik ataupun kebijakan-kebijakan politik direpresentasikan dalam
meme tersebut. Maka dilakukan studi pustaka mengenai perkembangan budaya populer,
memes culture, dan Participatory Media Culture.

Teori

1. Komunikasi Politik
Chaffee (dalam Lynda Lee Kaid, 2004) menjelaskan “Political
communication is the role of communication in the political process”. Definisi
singkat yang ditawarkan oleh Chaffee menjelaskan komunikasi politik sebagai
semua aktivitas komunikasi baik verbal maupun non-verbal, yang berada dalam
proses politik. Pengertian “proses politik” dalam definisi tersebut tidak
menunjukkan pada proses politik sebagaimana yang terdapat dalam konsepsi
“sistem politik,” melainkan pada semua kegiatan politik. Sedangkan Pippa Norris

203
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menyatakan bahwa komunikasi politik merupakan sebuah proses yang interaktif


mengenai transmisi informasi di antara para politisi, media dan publik. Proses
tersebut bersifat downward dari institusi pemerintah kepada masyarakat, bersifat
horizontal di antara para aktor politik, dan bersifat upward melalui opini publik
kepada penguasa.
Kemudian, Norris mengemukakan tiga bagian penting dalam komunikasi
politik, yaitu produksi pesan, isi pesan dan efek pesan. Proses produksi pesan yang
dimaksud adalah bagaimana pesan dihasilkan oleh politisi seperti partai atau
kelompok kepentingan, lalu ditransmisikan menggunakan saluran langsung (seperti
iklan politik) atau saluran tidak langsung (seperti koran, radio dan televisi).
Sedangkan isi pesan mencakup jumlah dan bentuk reportase politik yang
ditampilkan dalam berita di televisi, keseimbangan partisan dalam pers, ulasan
mengenai kampanye dan event tertentu dalam pemilihan, reportase agenda setting
dalam isu-isu politik, dan representasi kaum minoritas dalam pemberitaan media.
Kemudian, efek pesan menaruh perhatian pada tingkat masyarakat. Isu kuncinya
terfokus pada analisis dampak potensial yang mungkin muncul di tengah masyarakat
seperti pada pengetahuan politik dan opini publik, sikap politik dan nilai-nilai
politik, serta pada tingkah laku politik.
Menurut Franklin B, seperti dikutip Ioannis Kolovos dan Phil Harris,
komunikasi politik terfokus pada analisis dari; (1) Konten politik pada media; (2)
Para aktor dan agen yang terlibat dalam memproduksi konten politik; (3) Dampak
konten politik media pada audiens dan/atau pada kebijakan pembangunan; (4)
Dampak sistem politik pada sistem media; dan (5) Dampak sistem media pada
sistem politik. Dari argumentasi Franklin di atas terdapat gambaran bahwa bidang
analisis komunikasi terpetakan pada empat unsur, yakni media, aktor politik, sistem
politik dan audiens. Empat unsur tersebut bisa dijadikan acuan untuk melihat
cakupan komunikasi politik. Namun dalam studi komunikasi politik, ada beberapa
pakar yang secara eksplisit memberikan cakupan dalam komunikasi politik,
misalnya Dan Nimmo dan Kraus dan Davis.
Dan Nimmo (2005) menyatakan cakupan komunikasi politik terdiri dari
komunikator politik, pesan politik, persuasi politik, media, khalayak komunikasi
politik, dan akibat-akibat komunikasi politik. Sementara Kraus dan Davis

204
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

membaginya menjadi komunikasi massa dan sosialisasi politik, komunikasi massa


dan proses pemilu, komunikasi dan informasi politik, penggunaan media dan proses
politik, serta konstruksi realitas politik di tengah masyarakat. Dari keduanya terlihat
bahwa cakupan yang diberikan Kraus dan Davis tampak terbatas pada pembahasan
komunikasi melalui media massa atau komunikasi massa. Berbeda dengan cakupan
yang dikonseptualisasikan Dan Nimmo yang tampak lebih luas.
Memasuki kebebasan berkomunikasi pasca reformasi politik di Indonesia,
pembicaraan politik di forum terbuka yang mengkritisi kebijakan pemerintah
menjadi hal yang biasa. Padahal, sebelumnya tidak mudah mengungkapkan kritik
terhadap pelayanan publik di Indonesia. Terlebih lagi jika kritik dan
ketidaksepakatan menyangkut pusat-pusat kekuasaan, yang mengendalikan roda
pemerintahan, jelas sebagai tindakan yang sulit ditemukan. Perubahan sistem politik
di Indonesia sejak tahun 1998, membawa dampak kompleks dalam kebebasan
mencari, menggunakan dan menyampaikan pendapat kepada rakyat. Hal itu
dikarenakan pada satu sisi, menerima dengan gegap gempita kebebasan
berkomunikasi, di pihak lainnya, justru merasa terganggu dan memposisikan
demokrasi berkomunikasi merupakan sember dari berbagai masalah yang dihadapi
bangsa dan negara.
Masyarakat kini bebas mengekspresikan pendapatnya melalui media baru
yang mudah diakses oleh siapapun. Banyak kritik yang kemudian menjadi viral
berawal dari media baru, khususnya media sosial. Pengguna media sosial yang
terdiri dari seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai kelompok usia membuat
pemerintah sulit mengontrol opini yang muncul ke publik. Salah satu bentuk kritik
yang kerap muncul di media sosial adalah “meme”. Meme muncul dengan berbagai
topic dan ide baik kritik, sindrian, maupun bentuk dukungan.
2. Budaya Populer dan Perkembangannya
John Storey, dalam Cultural Theory and Popular Culture, membahas enam
definisi. Definisi kuantitatif, suatu budaya yang dibandingkan dengan budaya
“luhur” (Misalnya: festival-festival kesenian daerah) jauh lebih disukai. “Budaya
pop” juga didefinisikan sebagai sesuatu yang “diabaikan” saat kita telah
memutuskan yang disebut “budaya luhur”. Namun, banyak karya yang melompati
atau melanggar batas-batas ini misalnya Shakespeare, Dickens, Puccini-Verdi-

205
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pavarotti-Nessun Dorma. Storey menekankan pada kekuatan dan relasi yang


menopang perbedaan-perbedaan tersebut seperti misalnya sistem pendidikan.
Storey menekankan bahwa budaya populer muncul dari urbanisasi akibat
revolusi industri, yang mengindentifikasi istilah umum dengan definisi “budaya
massa”. Penelitian terhadap Shakespeare (oleh Weimann atau Barber Bristol,
misalnya) menemukan banyak vitalitas karakteristik pada drama-drama Shakespeare
dalam partisipasinya terhadap budaya populer Renaissance. Sedangkan, praktisi
kontemporer, misalnya Dario Fo dan John McGrath, menggunakan budaya populer
dalam rasa Gramscian yang meliputi tradisi masyarakat kebanyakan (Ludruk
misalnya).
Budaya Pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan
waktu. Budaya pop membentuk arus dan pusaran, dan mewakili suatu perspektif
interdependent-mutual yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi
masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Misalnya, beberapa
arus budaya pop mungkin muncul dari (atau menyeleweng menjadi) suatu subkultur,
yang melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan budaya pop mainstream
begitu sedikit. Berbagai hal yang berhubungan dengan budaya pop sangat khas
menarik spektrum yang lebih luas dalam masyarakat. Menurut William kata ”pop”
diambil dari kata ”populer”. Terhadap istilah ini Williams memberikan empat
makna yaitu, banyak disukai orang, jenis kerja rendahan, karya yang dilakukan
untuk menyenangkan orang, dan budaya yang memang dibuat oleh orang untuk
dirinya sendiri.
Kebudayaan pop dipandang sebagai makna dan praktik yang dihasilkan oleh
audiens pop pada saat konsumsi dan studi tentang kebudayaan pop terpusat pada
bagaimana dia digunakan. Argumen-argumen ini menunjukan adanya pengulangan
pertanyaan tradisional tentang bagaimana industri kebudayaan memalingkan orang
pada komoditas yang mengabdi kepada kepentingannya dan lebih suka
mengeksplorasi bagaimana orang mengalihkan produk industri menjadi kebudayaan
pop yang mengabdi kepada kepentingannya (dalam Chris Barker, 2004).
Kebudayaan popular berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat
dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu seperti mega bintang,
kendaraan pribadi, fashion, model rumah, perawatan tubuh, dan sebagainya.

206
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Menurut Ben Agger Sebuah budaya yang akan masuk dunia hiburan maka budaya
itu umumnya menempatkan unsure popular sebagai unsure utamanya. Budaya itu
akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai
penyebaran pengaruh di masyarakat (dalam Burhan Bungin, 2009).
Kebudayaan popular berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat
dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu seperti mega bintang,
kendaraan pribadi, fashion, model rumah, perawatan tubuh, dan sebagainya.
Menurut Ben Agger Sebuah budaya yang akan masuk dunia hiburan maka budaya
itu umumnya menempatkan unsur popular sebagai unsur utamanya. Budaya itu akan
memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai penyebaran
pengaruh di masyarakat.
3. Internet Memes
Konsep memes diciptakan oleh Richard Dawkins dalam buku The Selfish
Gene (1976). Dawkins menggunakan istilah "meme" dengan mengacu pada unit
informasi budaya minimum yang ditransfer antara individu dan/atau generasi,
melalui proses replikasi atau transmisi (Dawkins, 2006). Menurut definisi ini, meme
bisa berupa lagu, mode, slogan, atau gambar - struktur hidup apa pun yang
kemungkinan memperluas cakupannya.
Internet Memes digambarkan sebagai "penyebaran konten seperti lelucon,
rumor, video, atau situs web dari satu orang ke orang lain melalui Internet
”(Shifman, 2013:362) dan setelah disebarkan dalam bentuk aslinya, akan mengalami
derivasi dan adaptasi oleh pihak lain atau anggota individu dari komunitas (meme
creator). Hal ini menyebabkan Internet memes lebih umum didefinisikan sebagai
"kumpulan dari berbagai hal yang disebarkan dalam berbagai karakteristik umum
dari konten, bentuk dan / atau sikap, yang diciptakan, diubah, dan diedarkan oleh
banyak partisipan platform digital” (Gal, Shifman dan Kampf, 2016: 1700).
Internet Memes diproduksi dalam berbagai bentuk, tetapi sebagian biasanya
berbentuk file GIF, klip YouTube dan gambar makro atau gambar dengan imbuhan
teks di atasnya. Gambar makro meme disebarkan secara bebas dan masif karena
kemudahan adaptasi dan pemahaman yang ada. Namun, Blommaert dan Varis
memberi catatan bahwa tidak semua meme beredar di Internet dengan “kecepatan
dan skala yang luar biasa”(Blommaert & Varis, 2015:7). Selain itu, Blommaert dan

207
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Varis juga memaparkan banyak meme yang dibuat berkaitan dengan masalah yang
mungkin tidak pernah disebarkan. Oleh karena itu, keberhasilan atau viralnya meme
tergantung pada berbagai faktor sosial yang menyelaraskan di tempat yang tepat dan
pada waktu yang tepat dalam kaitannya dengan masalah yang benar dan besar.
Meme beroperasi dengan memanfaatkan media baru (new media) atau
internet. Jika media secara umum dilihat sebagai salah satu locus politica -tempat di
mana tema-tema politik diulas, dan bahkan menjadi “panggung” kontestasi politik
itu sendiri, maka media baru harus disentuh bukan saja karena mencari tahu
pengaruh penetrasi politik atasnya, melainkan juga melihat bagaimana media
dengan karakteristik terbuka dan bebas seperti internet menjadi locus penting dari
diskursus politik.
4. Participatory Media Culture
Konsep Participatory Media Cultures dikembangkan oleh Henry Jenkins.
Jenkins menguraikan cara-cara budaya media baru menawarkan khalayak untuk
secara bersama-sama mengambil peran sebagai konsumen media dan produsen
media sekaligus. Jenkins berpendapat bahwa dalam Participatory Media Culture,
orang mampu secara kreatif menanggapi isi media dengan menciptakan komoditas
budaya mereka sendiri sebagai upaya mereka untuk menguraikan dan menemukan
makna di dalam produk media dan pesan yang ada. Dalam Participatory Media
Culture masyarakat dapat lebih mudah merespon dan memberikan kontribusi dan
pesan kepada media.
Apabila penelitian terdulu berfokus pada masyarakat kontemporer seperti
masalah ketenagaan kerja, politik, industrialisasi, globalisasi dan masalah literasi.
Adanya konvergensi media ini salah satunya dikaitkan dengan harapan tentang
masa depan dimana masyarakat berpatisipatif ke dalam media sering dijadikan
sebagai konsumen akan tetapi fenomena New Media, budaya konsumen telah
bergerak maju dengan menolak adanya konsumen pasif yang dikendalikan oleh
kapitalis, karena dalam new media setiap individu memiliki kesempatan untuk
mengambil peran dan berpatisipatif aktif dalam produksi, diseminasi, dan
interprestasi budaya (Jenkins, 2006).
Participatory Media Cultures oleh Jenkins (2009) dikelompokkan
berdasarkan bentuk komunikasi dari Participatory Media Cultures (dalam hal ini

208
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dikaitkan dengan teknologi komunikasi yang memungkinkan interaktifitas) dapat


berupa:
a. Affiliations – keanggotaan, baik formal maupun informal dalam
komunitas online, seperti Friendster, Facebook, Myspace, forum dan lain
sebagainya.
b. Expressions – produksi bentuk kreatif baru, seperti digital sampling, fan
fiction, fan video dan lain sebagainya.
c. Collaborative Problem Solving – bekerja sama dalam tim, baik secara
formal maupun informal, untuk menyelesaikan tugas dan
mengembangkan pengetahuan baru.
d. Circulations – membentuk alur media, seperti podcasting dan blogging.
Jenkins (2004) mengidentifikasi ketrampilan sosial berkaitan dengan literasi
budaya partisipatif dalam media baru, yaitu : 1) Keterampilan yang berorientasi
pada interaksi dengan dan dalam lingkungan, improvisasi dan eksperimentasi
terhadap identitas seseorang dengan lingkungan sekitarnya; 2) Keterampilan
berkaitan dengan kemampuan untuk mencari, mengakses, mengubah dan
mendistribusikan konten; 3) etrampilan berkaitan dengan kemampuan untuk
menyimpan, mengolah, dan mengambil informasi-secara individual, dengan bantuan
piranti digital atau dalam sekelompok orang yang mengumpulkan
informasi/pengetahuan untuk mencapai tujuan bersama; 4) Keterampilan berkaitan
dengan kemampuan untuk mengalihkan perhatian di antara beberapa aliran
informasi atau mengikuti alur cerita dari beberapa format media; 5) Keterampilan
berkaitan dengan kemampuan untuk mengolah, menafsirkan dan menampilkan
informasi (simulasi dan visualisasi); 6) Keterampilan berkaitan dengan kemampuan
untuk secara kritis mengevaluasi/menilai informasi.

Hasil dan Pembahasan

1. Media Sosial sebagai Sarana Penyebaran Meme Politik


Meme politik yang sebagian bernuansa satire banyak ditemukan di media
sosial dengan maksud dan tujuan tertentu, utamanya dikendalikan oleh kelompok
oposisi. Menjelang tahun politik, munculnya meme politik menjadi topik hangat

209
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang diperbincangkan netizen. Meme politik dapat bernuansa dukungan maupun


sindiran terhadap elit maupun kebijakan-kebijakan politik.
Pengguna media sosial pada umumnya mengunggah konten yang sudah
direkonstruksi dari konten aslinya. Platform ini kemudian mengundang khalayak
(saat ini lebih dikenal dengan sebutan netizen) untuk berinteraksi dengan orang lain
melalui tindakan seperti menyukai, berkomentar, berbagi, dan retweeting. Interaksi
ini dilakukan untuk memperluas penyebaran informasi dengan maksud dan tujuan
tertentu.
Penelitian yang dilakukan oleh Sreekumar dan Shobha Vadrevu (2013)
menganalisis mengenai meme yang diposting di halaman Facebook oleh elit politik
Singapura yang menunjukkan bahwa media sosial digunakan untuk mengaktifkan
warga negara yang didepolitisasi, bahkan dengan melakukan pencitraan semiotik
yang kuat, membutuhkan konteks dukungan sosial, politik dan budaya yang lebih
besar. Memes telah menjadi alat yang penting untuk mengekspresikan pandangan
politik di Singapura dan telah menunjukkan lonjakan minat dalam menggunakan
platform media baru untuk keterlibatan politik sejak media mainstream dilihat
sebagai pro-kemapanan dan konservatif.
Hasil penelitian Sreekumar dan Vadrevu (2013) juga sesuai dengan teori
Participatory Media Culture yang dikemukakan Jenkins, bahwa orang mampu
secara kreatif menanggapi isi media dengan menciptakan komoditas budaya mereka
sendiri sebagai upaya mereka untuk menguraikan dan menemukan makna di dalam
produk media dan pesan yang ada. Dalam Participatory Media Culture masyarakat
dapat lebih mudah merespon dan memberikan kontribusi dan pesan kepada media.
Muhamad Bayu Cahya & Pinckey Triputra (2016) telah melakukan studi
pada khalayak media sosial path di kalangan mahasiswa mengenai motif-motif yang
mempengaruhi participatory culture internet meme. Berdasarkan analisis regresi
linier berganda, maka dapat dilihat bahwa yang paling berpengaruh terhadap
variabel partisipasi meme internet adalah variable entertainment. Oleh karena itu
bahwa khalayak ikut berpatisipasi dalam meme internet pada media sosial Path
karena memiliki alasan atau didorong alasan untuk mendapatkan hiburan. Cahya
dan Triputra (2016) juga menemukan motif kedua tertinggi dalam menggunakan
Path adalah self-expression. Khalayak berpartisipasi dalam internet meme pada

210
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

media sosial path karena didorong keinginan untuk mengekspresikan apa yang ada
di dalam pikiran dan perasaannya. Hal ini menunjukkan internet meme bisa menjadi
sarana bagi khalayak yang ingin agar postingannya tidak hanya sekedar menjadi
sarana ekspresi pemikirannya dan perasaanya namun juga ditanggapi oleh khalayak
lainnya.
Meski demikian, sebuah studi tentang dampak internet memes sebagai alat
dalam mengkomunikasikan satir politik yang dilakukan oleh Anushka Kulkarni
(2017) menunjukkan tidak adanya pergeseran paradigma yang berarti dalam alat
yang digunakan karena datangnya media baru. Media tradisional masih lebih disukai
sebagai media untuk komunikasi dengan digital migran. Media tradisional maupun
baru adalah digunakan untuk berkomunikasi dengan penduduk asli digital. Meme
diproduksi dan didistribusikan. Meme diterima oleh orang-orang untuk
mengkomunikasikan ide mereka tetapi tidak berdampak pada perilaku memilih atau
pandangan politik seseorang. Namun, Kulkarni tidak memungkiri jika adanya media
sosial tetap berpengaruh dalam menarik massa dalam jumlah yang lebih besar
dibandingkan dengan yang dilakukan melalui media tradisional.
2. Meme Politik sebagai Media Kritik
Gelombang kritik serta gerakan politik dunia maya dapat bergerak tanpa
lembaga. Netizen dapat dengan mudah membagikan ulang tautan, seorang pengguna
media sosial sudah ikut dalam membesarkan gelombang opini publik. Akan tetapi
potensi penyimpangan jelas bisa terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti
halnya kritik berpotensi besar sebagai materi mempropaganda massa.
Kesederhanaan format visual serta penggunaan verbal yang mudah dicerna,
membuat meme mudah memunculkan citra tersendiri terkait tokoh-tokoh politik
yang dijadikan target (tempo.co).
Anushka Kulkarni (2017) melakukan sebuah studi tentang dampak internet
memes sebagai alat dalam mengkomunikasikan politik satir. Kulkarni memaparkan
jika bukan hanya perseorangan atau oknum-oknum saja yang memanfaatkan meme
dalam komunikasi politik, melainkan partai politik juga menggunakan meme untuk
menentang atau mengkritik masalah-masalah tertentu. Meme ini digunakan melalui
platform jejaring sosial untuk mengkomunikasikan ide untuk audiens yang lebih

211
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

besar. Partai politik mengembangkan Internet Memes dengan menyunting sebuah


konten politik sebagai alat untuk propaganda.
Penggunaan meme oleh partai dalam komunikasi politik pada hakikatnya
sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai jembatan penghubung antara suprastruktur
dan infrastuktur yang bersifat interdepedensi dalam ruang lingkup negara. Meme
sebagai sarana mengungkapkan pendapat ini bersifat timbal balik atau merupakan
respon yang dilakukan sehingga dapat mencapai rasa saling pengertian dan muncul
prioritas sebesar - besarnya untuk kepentingan rakyat.
Sementara itu, Rendy Pahrun Wadipalapa (2015) dalam artikelnya yang
berjudul “Meme Culture & Komedi-Satire Politik: Kontestasi Pemilihan Presiden
dalam Media Baru” mengemukakan meme culture merupakan gejala yang sangat
baru dalam konteks media Indonesia. Oleh karenanya, ia merupakan respon baru
dari audiens/user atas peristiwa-peristiwa politik nasional. Wadipalapa (2015)
menyebutkan media baru merupakan konteks strategis yang menjadi arena
pertarungan politik berjalan lewat permainan teks meme. Meme dilihat bukan
sebagai teks yang diam, pasif, dan selesai begitu ia diproduksi. Sebaliknya, ia adalah
strategi yang dinamis dan bergerak, didiseminasikan dengan jangkauan tanpa batas
dan mempermainkan formalitas politik lewat komedi-satire.
Wadipalapa (2015) juga menemukan bahwa meme culture harus dilihat
sebagai gerakan politik meski dalam wilayah virtual. Meme dibuat sebagai respon
alternatif dari semua saluran kritik dan protes atas elit politik. Apatisme politik
seringkali tidak diimbangi dengan partisipasi dan pemaparan sikap publik atas apa
dan bagaimana politik hari ini. Meme memperjelas sikap itu, entah kritik entah
dukungan atas data dan peristiwa politik. Kebuntuan respon konvensional seperti
demonstrasi yang kehilangan perhatian publik, dijawab oleh meme dengan cara yang
lebih populis karena memanfaatkan popularitas dan kosmopolitanisme media baru.
Meme politik memberikan implikasi dalam dunia politik. Masyarakat dapat
berpartisipasi secara langsung dengan mengekspresikan opininya melalui meme
politik. Meme politik dapat mengindikasikan dukungan dan penolakan kepada
seorang calon. Apabila hal ini dikelola dengan baik akan menghasilkan strategi
kampanye kreatif dan efektif, terutama untuk meraih publik yang aktif di dunia
maya dan terbiasa dengan budaya pop. Kebanyakan dari pencipta (creator) meme

212
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menggunakan meme untuk mengungkapkan kekecewaan atau kritik terhadap


pemerintah ataupun elit politik yang aktif.
Nimmo (2006) menjelaskan, partisipan dalam komunikasi politik adalah
anggota khalayak yang aktif yang tidak hanya memperhatikan apa yang dikatakan
oleh para pemimpin politik, tetapi juga menanggapi dan bertukar pesan dengan para
pemimpin itu, ringkasnya partisipan politik melakukan kegiatan bersama dan
bersama-sama dengan para pemimpin politik, yaitu sama-sama merupakan
komunikator politik. Sedangkan menurut Rush dan Phillip Altohoff (2007:121123)
partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai bermacam-macam tingkatan
dalam tingkatan politik. Dalam hal ini, masyarakat dapat berpeeran aktif
menanggapi kebijakan-kebijakan politik menggunakan meme dengan makna-makna
yang tersirat.
3. Meme Politik Membentuk Opini Publik
Meme politik berkembang dengan karakteristik yang unik dan populer
menyisipkan humor di dalamnya dan umumnya bersifat visual. Tindakan yang
diterapkan pada meme politik memberikan jalan untuk berbagi informasi yang
mungkin tidak terlihat dan memungkinkan netizen untuk terus menyebarkannya
sebagai bentuk persuasi. Meme politik dinilai sebagai bentuk lain dari komunikasi
politik yang sering diisi dengan debat dan pembagian pendapat sehingga dapat
membantu membentuk dan mempengaruhi pandangan seseorang tentang kandidat
dan kebijakan.
William Albig (Arifin, 2003) menjelaskan pandangan atau opini publik
merupakan hasil interaksi antara orang-orang dalam suatu kelompok, sedang Whyte
menyebutkan sebagai suatu sikap rakyat mengenai suatu masalah yang menyangkut
kepentingan umum. Sehingga bisa dicirikan sebagai (a) pendapat, sikap, perasaan,
ramalan, pendirian dan harapan-harapan dari individu, kelompok dalam masyarakat
tentang masalah yang berhubungan dengan kepentingan umum atau persoalan
sosial; (b) hasil interaksi, diskusi, atau penilaian sosial antarindividu berdasarkan
pertukaran pikiran secara sadar dan rasional; (c) pendapat umum akan dapat
dikembangkan, dirubah dan dibentuk oleh media massa; (d) bisa dilakukan pada
penganut paham demokratis (keterbukaan).

213
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penelitian yang dilakukan Andrew S. Ross dan Damian J. Rivers (2017)


mengenai “Internet Memes and the Discursive Delegitimization of the 2016 U.S
Presidential Candidates” menemukan bahwa para pencipta meme terkait Donald
Trump dan Hilary Clinton dalam pemilihan presiden U.S tahun 2016 terlibat dalam
tindakan politik partisipasi yang menyampaikan sikap ideologis mereka. Ross dan
Rivers menemukan hal tersebut telah dicapai melalui strategi (de)legitimasi
otorisasi, evaluasi moral, rasionalisasi dan mythopoesis. Dalam budaya digital
partisipatif, strategi ini dijalin ke dalam meme iteration tidak hanya untuk membantu
pencipta berbagi pandangan mereka dan menyebarkan pesan mereka, namun
diharapan dapat mempengaruhi orang lain dan untuk mendelegitimasi target meme
demi mewujudkan hasil politik yang sesuai dengan keinginan mereka sendiri.
Hasil analisis Ross dan Rivers (2017) tentang partisipasi aktif khalayak
dalam menyampaikan sikap politiknya sejalan dengan yang dijelaskan Pippa Norris
bahwa komunikasi politik merupakan sebuah proses yang interaktif mengenai
transmisi informasi di antara para politisi, media dan publik. Strategi (de)legitimasi
otorisasi, evaluasi moral, rasionalisasi dan mythopoesis dilakukan melalui
rekonstruksi materi seperti gambar dengan kata-kata juga dapat dikategorikan
sebagai sebuah proses yang bersifat upward atau proses melalui opini publik kepada
penguasa/pemerintah.
Rendy Pahrun Wadipalapa (2015) dalam artikelnya yang berjudul “Meme
Culture & Komedi-Satire Politik: Kontestasi Pemilihan Presiden dalam Media
Baru” menjelaskan meme culture dibentuk dan berpusat pada kreativitas politik unit
individu. Basis kreativitas visual ini membuatnya sangat sulit untuk ditebak dan
diramalkan, serta menyulitkan siapa pun untuk membatasi persebarannya.
Akibatnya, gambaran politik di dunia maya menjadi imajinasi yang tidak ada
batasnya. Komedi-satire mampu menjangkau dan merespon peristiwa politik
dengan cara yang tidak terduga.
Opini publik yang kerap muncul sebagian berkaitan dengan citra politik yang
dibentuk. Menurut Roberts (1977) komunikasi tidak secara langsung menimbulkan
pendapat dan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara khalayak
mengorganisasi kan citranya tentang lingkungan, citra (image) adalah gambaran
seseorang yang tersusun melalui persepsi yang bermakna melalui kepercayaan, nilai

214
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan pengharapan. Menurut Dan Nimmo (2000) citra politik terjalin melalui pikiran
dan perasaan secara subjektif yang akan memberikan penilaian dan pemahaman
terhadap peristiwa politik tertentu.
Di sisi lain, Anushka Kulkarni (2017) beranggapan Internet Memes tidak
membantu dalam mengkomunikasikan politik satir serta tidak memiliki dampak
perubahan dalam perilaku memilih, pendapat politik dan ideologi seseorang. Meme
dianggap hanya sebagai sumber entertainment. Selain itu, internet memes dinilai
dapat membantu organisasi media untuk membingkai masalah dalam pikiran
audiens.
Meme beroperasi dengan memanfaatkan media baru (new media) atau
internet. Jika media secara umum dilihat sebagai salah satu locus politica -tempat di
mana tema-tema politik diulas, dan bahkan menjadi “panggung” kontestasi politik
itu sendiri, maka media baru harus disentuh bukan saja karena mencari tahu
pengaruh penetrasi politik atasnya, melainkan juga melihat bagaimana media
dengan karakteristik terbuka dan bebas seperti internet menjadi locus penting dari
diskursus politik.

Simpulan

Meme merupakan salah satu jenis budaya populer yang marak di media sosial.
Artikel ini menunjukkan bahwa setidaknya meme memiliki fungsi sosial yang
signifikan. Meme di media sosial digandrungi berbagai kalangan baik dari masyarakat
maupun elit politik. Penggunaan meme dalam komunikasi politik di media sosial oleh
masyarakat dan elit politik dinilai efektif untuk mengkespresikan pandangan politik
mereka masing-masing. Meme yang diposting media sosial menunjukkan bahwa media
sosial dapat dimanfaatkan untuk mengaktifkan warga negara yang didepolitisasi, bahkan
dengan melakukan pencitraan semiotik yang kuat dapat menumbuhkan konteks
dukungan sosial, politik dan budaya yang lebih besar.
Selain itu, masyarakat dan elit politik juga memanfaatkan meme dalam
komunikasi politik untuk menentang atau mengkritik masalah-masalah tertentu. Partai
politik bahkan mengembangkan Internet Memes dengan menyunting sebuah konten
politik sebagai alat untuk propaganda. Di sisi lain, masyarakat melihat meme culture

215
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sebagai gerakan politik meski dalam wilayah virtual. Meme dibuat sebagai respon
alternatif masyarakat dari semua saluran kritik dan protes atas elit politik.
Sebagai tindak lanjut dari meme yang digunakan sebagai saluran kritik,
selanjutnya muncul harapan meme akan mempengaruhi opini publik. Dalam era budaya
digital partisipatif yang saat ini berkembang, meme tidak hanya untuk membantu
pencipta (creator) berbagi pandangan dan menyebarkan pesan mereka, namun
diharapan dapat mempengaruhi orang lain dan untuk mendelegitimasi target meme demi
mewujudkan hasil politik yang sesuai dengan keinginan mereka sendiri.

Referensi
Edgerly, S., Thorson, K., Bighash, L., & Hannah, M. 2016. “Posting about politics:

Media as resources for political expression on Facebook”. Journal of Information


Technology & Politics, 1–18. Doi:10.1080/19331681.2016. 1160267

Barker, Chris. 2004). Cultural Studies Theory and Practice. New Delhi: Sage.
Publication.

Bayu Cahya, Muhamad dan Pinckey Triputra. 2016. “Motif-Motif yang

Mempengaruhi Participatory Culture Internet Meme : Studi pada Khalayak Media


Sosial Path di Kalangan Mahasiswa”. JURNAL Komunikasi Indonesia. Volume
V, Nomor 1, April 2016, ISSN 2301-9816

Bungin, Burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursi


Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.

Ibrahim, Idi Subandi. 2005. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat
Komoditas Indonesia, Edisi Kedua. Yogyakarta: Jalasutra.

Jenkins, Henry. 2004. Convergence Culture: Where Old and New Media Collide, New
York: New York University Press.

Jenkins, Henry. et. al, 2009. Confronting The Challengess of Participatory Culture:
Media Education for the 21st Century, Massachusetts: MIT Press.

Kaid, Lynda Lee. 2004. Handbook of Political Communication Research. New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates.

Kassing, J. W. 2019. Messi hanging laundry at the Bernabeu: The production and
consumtion of Internet Sports Memes as trash talk. Discourse, Context & Media,
https://doi.org/10.1016/j.dcm.2019.100320

216
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kolovos, Ioannis and Phil Harris. 2010. Political Marketing and Political
Communication: The Relationship Revisited. http://eprints.otago.ac.nz/32/1/pm-
pc.pdf.

Knobel, M and Lankshear, C. 2007. “Online memes, affinities and cultural production”.
A New Literacies Sampler. New York: Peter Lang, pp. 199–227.

Kulkarni, Anushka. 2017. "Internet meme and Political Discourse: A study on the

impact of internet meme as a tool in communicating political satire". Journal of


Content, Community & Communication. Vol. 6 Year 3, June -2017 [ISSN: 2395-
7514 (Print)]

Kurniasih, Nuning. 2016. "Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 dalam Meme:

Sebuah Analisa Isi Terhadap Meme-meme di Dunia Maya". Prosiding Seminar


Nasional dan Kebudayaan , Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP)
Universitas Padjadjaran, 24-25 Oktober 2016. Penerbit: Unpad Press, Bandung.
Halaman: 279-284

McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication, Third Edition. New


York: Routledge.

Milner, R. M. 2012. The world made meme: discourse and identity in participatory
media. PhD Thesis, University of Kansas, Lawrence, KS.

Nimmo, Dan. 1980. Communication Yearbook 4. New Jersey: ICA.

Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik; Komunikator, Pesan dan Media. Bandung:
Rosdakarya.

Norris, Pippa. Political Communication. http://www.hks.harvard.edu/fs/pnorris/


Acrobat/Political%20Communications%20encyclopedia2.pdf.

Pahrun Wadipalapa, Rendy. 2015. “Meme Culture & Komedi-Satire Politik:

Kontestasi Pemilihan Presiden dalam Media Baru”. Jurnal ILMU KOMUNIKASI VL -


12. 10.24002/jik.v12i1.440.

Perloff, Richard M. 1998. Political Communication: Politic, Press and Public in


America. New Jersey: Lawrence Erlbaum.

Ross, Andrew S. dan Damian J. Rivers. 2017. Internet Memes and the Discursive

Delegitimization of the 2016 U.S Presidential Candidates. Discourse, Context and


Media, http://dx.doi.org/10.1016/j.dcm.2017.01.001

Shifman, L. 2013. Memes in Digital Culture. Cambridge, MA: MIT Press.

Sreekumar dan Shobha Vadrevu. 2013. "Online Political Memes and Youth

217
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Political Engagement in Singapore". Selected Papers of Internet Research 14.0, 2013:


Denver, USA

Memahami Meme Sebagai Kritik Sosial. https://indonesiana.tempo.co/read/120561


/2017/12/16/chaterinetika/memahami-meme-sebagai-kritik-sosial (Diakses pada
9 Mei 2018).

218

Anda mungkin juga menyukai