Anda di halaman 1dari 23

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/315457016

PENDEKATAN BUDAYA DALAM PEMAHAMAN PERILAKU BUDAYA ETNIK

Conference Paper · September 2015

CITATIONS READS

6 10,047

1 author:

Imam Suyitno
State University of Malang
70 PUBLICATIONS   187 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

argopuro View project

All content following this page was uploaded by Imam Suyitno on 21 March 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PROSIDING
SEMINAR INTERNASIONAL 2015

CONTRIBUTION OF HISTORY
FOR SOCIAL SCIENCES AND HUMANITIES

Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Malang
PROSIDING SEMINAR INTERNASIONAL 2015
CONTRIBUTION OF HISTORY FOR SOCIAL SCIENCES AND HUMANITIES
September 5th, 2015 at Savana Hotel and Convention Center, Malang

ISBN: 978-602-71506-5-2

Editor:
Drs. Dewa Agung G.A., M.Hum.

Penyunting:
1. Dr. Ari Sapto, M.Hum.
2. Drs. Slamet Sujud P.J., M.Hum.
3. Aditya Nugroho Widiadi, S.Pd., M.Pd.
4. Indah Wahyu Puji Utami, S.Pd., M.Pd.
5. Ulfatun Nafiah, S.Pd., M.Pd.
6. Daya Negri Wijaya, S.Pd., M.A.

Desain sampul dan tata letak:


1. Minarti, S.Pd.
2. Purwanto Hadi W., A.Md.

Penerbit:
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang

Redaksi:
Jurusan Sejarah FIS UM
Jl. Semarang No. 5, Malang
Telp. (0341) 585966
e-mail: sejarah.fisum@gmail.com
KATA PENGANTAR

Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, prosiding seminar internasional ini dapat
diterbitkan. Seminar internasional ini berawal dari adanya kesadaran bahwa perubahan
merupakan salah satu ciri penting dari sejarah, dan hal tersebut berdampak pula pada
keberadaan sejarah baik sebagai ilmu, pembelajaran sejarah, dan sumbangannya terhadap
penelitian ilmu-ilmu sosial dan kemasyarakatan. Perkembangan Ilmu-ilmu sosial sedemikian
rupa terlihat dari pesatnya perkembangan teori-teori sosial. Hal ini menyebabkan ilmu-ilmu
sosial semakin lama semakin berhimpitan, saling melengkapi termasuk sumbangannya
terhadap sejarah, baik sebagai ilmu, pembelajaran sejarah dan dalam penelitian-penelitian
sejarah.
Banyak faktor yang mendorong terjadinya perubahan tersebut, misalnya
ditemukannya sumber atau bukti sejarah yang baru sebagai hasil penelitian, berbagai
keputusan yang diambil dalam forum ilmiah serta munculnya berbagai aliran dalam filsafat
ilmu seperti dalam aliran positivisme, postmodernisme, dan sebagainya. Dampak lebih lanjut
dari kondisi ini, diantaranya perlu sinergi antarsejarah sebagai ilmu dan pembelajarannya
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya untuk terciptanya sejarah yang bersifat integrited dan
totalitas.
Memperhatikan perkembangan tersebut, Jurusan Sejarah FIS UM menyelenggarakan
kegiatan seminar internasional dengan tema Contribution of History for Social Sciences and
Humanities dengan sumbtema:
1. Teaching of History
2. History and Social Sciences
3. History and Humanities
Seminar ini mengundang empat pembicara, yaitu Prof. Dr. Hariyono, M.Pd., Prof.
Davisakd Puaksom, Ph.D., Prof. Dr. Peter Carey dan Prof. David Reeve, Ph.D. Namun Prof.
Davisakd Puaksom, Ph.D. tidak dapat hadir dikarenakan sakit. Sementara ketiga pembicara
telah menyampaikan pokok-pokok pikirannya terkait dengan tema seminar internasional.
Dari ketiga pembicara yang hadir tersebut, hanya Prof. David Reeve, Ph.D. yang tidak
memberikan makalahnya sehingga hanya dua makalah yang disajikan dalam prosiding ini.
Semua ini dapat terlaksana tidak lepas dari bantuan semua pihak, karena itu dalam
kesempatan ini ucapan terima kasih disampaikan kepada:
1. Dekan FIS UM yang telah memberikan dukungan dan fasilitas sehingga seminar
internasional terselenggara dengan lancar.
2. Ketua Jurusan Sejarah FIS UM yang telah memberikan bantuan baik moril maupun
materiil sehingga kegiatan ini dapat berlangsung dengan baik.
3. Bapak/Ibu dosen Jurusan Sejarah FIS UM yang telah mendukung mulai tahap
persiapan hingga pelaksanaan seminar internasional.
4. Para peserta yang telah berpartisipasi dalam seminar internasional dan berbagi
pengalaman serta ilmu dalam bentuk artikel ilmiah maupun diskusi sehingga
pelaksanaan kegiatan ini lebih dinamis.
5. Semua panitia, termasuk mahasiswa Jurusan Sejarah FIS UM yang sejak awal
berpartisipasi dari persiapan sampai pada pelaksanaan berjalan sesuai dengan rencana.
Kami sangat menyadari bahwa pelaksanaan seminar internasional ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu kami atas nama panitia mohon maaf yang sebesar-besarnya
apabila ada hal-hal yang tidak berkenan, dan besar harapan agar kegiatan ini bermanfaat serta
dapat ditindaklanjuti dalam kegiatan akademik lain.

Malang, Oktober 2015

Panitia
DAFTAR ISI

KEYNOTE SPEAKER
Hariyono dan Daya Negri Wijaya
KEBIJAKAN HUMANIS RAFFLES DI JAWA, 1811-1816:
PELAJARAN BERHARGA DARI SEJARAH UNTUK KEMANUSIAAN ................... 1

Peter Carey
KONTRIBUSI SEJARAH KEPADA HUMANIORA: BAGAIMANA SAYA
MENJADI
SEJARAWAN SEBUAH REFLEKSI TENTANG EMPAT PULUH TAHUN
PENELITIAN DIPONEGORO DAN PERANG JAWA (1969-2009).............................. 15

TEACHING OF HISTORY
Agus Suprijono dan Corry Liana
DEVELOPING LEARNING HISTORY (IPS/SOCIAL STUDIES) AS
EMANCIPATORY EDUCATION.................................................................................. 29

Harinaredi
BELAJAR DAN SEJARAH: BELAJAR MENUMBUHKAN KARAKTER
KEBANGSAAN ............................................................................................................. 36

Heri Susanto
STRATEGI MENGEMBANGKAN HISTORICAL EMPATHY DALAM PEDAGOGI
SEJARAH ....................................................................................................................... 44

I Ketut Margi
KOMIK TRADISIONAL PRASI BERBASIS INOVASI SUMBER BELAJAR:
MERETAS DOMINASI BUKU TEKS DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH ........... 54

Imaniar Purbasari
MEDIA GAMBAR ILUSTRASI TOKOH NASIONAL WANITA JAWA TENGAH
UNTUK MENGEMBANGKAN KARAKTER BANGSA PADA SISWA SEKOLAH
DASAR KUDUS ............................................................................................................ 63

Indah Wahyu Puji Utami


PEMBELAJARAN SEJARAH SOSIAL EMOTIF DAN REFLEKTIF ........................... 71

Joko Sayono
DESAIN PEMBELAJARAN SEJARAH YANG MENGINSPIRASI ............................. 80

Kasimanuddin Ismain
PENYUSUNAN LEMBAR KERJA MAHASISWA (LKM) UNTUK
MENGANALISIS KURIKULUM SEKOLAH PADA MATAKULIAH KAJIAN
KURIKULUM DAN BUKU TEKS SEJARAH .............................................................. 88

Novi Triana Habsari


KONTRIBUSI PENDIDIKAN SEJARAH DALAM PENGEMBANGAN MODAL
SOSIAL UNTUK MEWUJUDKAN NASIONALISME ................................................. 103
Ofianto
A MODEL OF ASSESSEMENT OF HISTORICAL THINKING SKILLS IN SENIOR
HIGHSCHOOL HISTORY LEARNING ........................................................................ 108

Pi’i
PEMBELAJARAN SEJARAH DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA
DIDIK SMA BERDASARKAN KURIKULUM 2013 .................................................... 118

Siti Malikhah Towaf


PEMBELAJARAN SEJARAH INSPIRATIF DENGAN SISTEM AMONG DALAM
PENDIDIKAN KETAMANSISWAAN DI TAMAN SISWA ......................................... 128

Slamet Sujud Purnawan Jati


MENGUNGKAP NILAI-NILAI HUMANITAS PENINGGALAN MEGALITIK DI
INDONESIA................................................................................................................... 150

Soebijantoro
PENINGKATAN MUTU LULUSAN PENDIDIKAN SEJARAH MELALUI
PENGAJARAN ENTERPREUNER (STUDI KASUS PADA PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN SEJARAH IKIP PGRI MADIUN) .......................................................... 161

Sri Handayani
MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN SEJARAH MELALUI
SUPERVISI KOLABORASI .......................................................................................... 168

Susanto Yunus Alfian


THE CAUSATION INSTRUCTIONAL STRATEGY AS AN EFFORT TO TEACH A
HISTORICAL THINKING SKILL: MY OPINION AND EXPERIENCE ...................... 177

Ulfatun Nafiah
MENGADIRKAN KOMUNITAS BELAJAR: PEMBELAJARAN SEJARAH
BERBASIS SCHOOLOGY ............................................................................................. 187

Ersis Warmansyah Abbas


NILAI-NILAI KEBANGSAAN PROKLAMASI 17 MEI 1979 DALAM
PEMBELAJARAN SEJARAH ...................................................................................... 199

HISTORY AND SOCIAL SCIENCES

Anggaunitakiranantika
MEKANISME SURVIVAL BERBASIS MODAL SOSIAL BAGI BURUH MIGRAN
INDONESIA DI HONGKONG ...................................................................................... 213

Gatut Susanto
PERAN BAHASA INDONESIA DALAM SEJARAH PERJALANAN POLITIK
BANGSA INDONESIA .................................................................................................. 223
Herry Porda Nugroho Putra
PERJUANGAN RAKYAT KALIMANTAN SELATAN TAHUN 1945-1949
MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DALAM PERSEPEKTIF ILMU-ILMU
SOSIAL .......................................................................................................................... 230

Laely Armiyati
PERLAWANAN PETANI: KAJIAN GERAKAN REKLAIMING WARGA DESA
SIMOJAYAN MALANG SELATAN ............................................................................. 241

M. Jacky
REVOLUSI INTERNET, TEORI BLOGSPHERE DAN ANALISIS HACKING ............. 252

Najib Jauhari
PERSATUAN PERJUANGAN: HUBUNGAN KONFRONTASI DAN DIPLOMASI
DALAM MEMPERTAHANKAN REPUBLIK PEBRUARI 1946 .................................. 267

Ni Luh Putu Sendratari


KANTONG-KANTONG CEKIAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF HISTORIS:
ARENA BEBOTOH PEREMPUAN UNTUK MERAIH KUASA .................................. 276

Refti Handini L.
DISKRIMINASI PEREMPUAN DALAM SEJARAH INDONESIA .............................. 286

Reza Hudiyanto
INCULCATE THE NATIONAL PRIDE, ENCOUNTERING THE SOCIAL
DISCRIMINATION: THE STRUGGLE OF URBAN NOBLE CLASS IN MALANG
1903-1941 ....................................................................................................................... 299

G.M. Sukamto
HISTORY OF KAWI MOUNTAIN: PEOPLE RELIGIOUS EXIXTENCE.................... 307

Sumardi
INTEGRASI NEGARA BAGIAN MADURA KE NKRI DALAM PERSPEKTIF
MANAJEMEN PEMERINTAHAN DAN PENGEMBANGAN SEJARAH LOKAL...... 315

Suparlan Al Hakim
“ORDE BARU” HEGEMONIC POLITICS: A CASE IN MACAPATAN CULTURE
PRACTICE IN TRENGGALEK ..................................................................................... 325

Ufi Saraswati
REPRESENTATION AS MC DONALD FAST FOOD SALES STRATEGIES
PIONERS ....................................................................................................................... 339

Ari Sapto
PRIYAYI, ORANG BIASA, DAN ROVOLUSI: MELACAK LATAR SOSIAL ELITE
DALAM REVOLUSI NASIONAL INDONESIA (1945-1949)....................................... 346
HSTORY AND HUMANITIES

Anindita Prabawati, Inayah, Widha Puspa Tanjung, Fatimah Nur Hidayah, Ayu
Sulistyaning Sugiyarto
TRADISI WIWITAN MASYARAKAT PETANI DESA SEGOROGUNUNG
KECAMATAN NGARYOSO KABUPATEN KARANGANYAR ................................. 358

Deny Yudo Wahyudi


PERKEMBANGAN AGAMA, BUDAYA DAN MASYARAKAT ASA HINDU
BUDHA: DINAMIKA DAN BUKTI-BUKTI SEJARAHNYA ....................................... 367

Dewa Agung Gede Agung, Ahmad Munjin Nasih, I Wayan Legawa


HINDU-ISLAM HARMONIZATION IN BALI (CASE STUDY ON THE GRAVES
OF RADEN AMANGKURAT AND RATU AYU ANAK AGUNG RAI ....................... 384

Nyoman Wijaya
MEMPERSOALKAN KREDIBILITAS TEMUAN PENELITI ASING DALAM
SOAL POLITIK IDENTITAS ORANG BALI ................................................................ 394

Imam Suyitno
PENDEKATAN BUDAYA DALAM PEMAHAMAN PERILAKU BUDAYA ETIK .... 405

Darmawijaya dan Irwan Abbas


NILAI-NILAI KEMANUSIAAN SULTAN NUKU DALAM BERJUANG
MEMBEBASKAN KESULTANAN TIDORE DARI PENGARUH BELANDA DAN
RELEVANSINYA DENGAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL ................. 419

Suswandari
MAKNA SEJARAH DALAM PENGUATAN KARAKTER DAN IDENTITAS
BANGSA........................................................................................................................ 434

Y. Hanan Pamungkas dan Agus Trilaksana


LINGGA YONI WORSHIP TRADITION IN JAVA IN THE 5TH TO THE 15TH
CENTURY: AN ARCHEOLOGICAL STUDY .............................................................. 444

Yudi Prasetyo dan Priyanto Widodo


PESTA DI ATAS DUKA: PROSESI PEMAKAMAN ELITE TIONGHOA BATAVIA
1900-1930 ....................................................................................................................... 455

Yuliati
PENENTANGAN TAMANSISWA TERHADAP ORDONANSI SEKOLAH LIAR
TAHUN 1932 ................................................................................................................. 462
PENDEKATAN BUDAYA DALAM PEMAHAMAN PERILAKU
BUDAYA ETNIK

Imam Suyitno
Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang
email: yitnolis@yahoo.com

Abstrak: Pemahaman perilaku budaya etnik dapat dipahami melalui beragam


pendekatan. Perilaku budaya suatu etnik dapat dikaji berdasarkan sikapnya dalam
kehidupan berketuhanan, kehidupan bermasyarakat, kehidupan pribadi, dan
hubungannya dengan alam. Setiap etnik memiliki karakteristik sikap yang khas
dalam memenuhi tantangan kehidupan di lingkungannya. Dalam kehidupan
etnik Using, sikap budaya tersebut dapat dipahami melalui pesan-pesan tuturan
lagu daerah Banyuwangi. Keyakinan etnik Using dalam kehidupan berketuhanan
melandasi sikap mereka dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai pribadi, dan
hubungannya dengan alam. Tatanan sikap budaya yang demikian ini
menggambarkan kepatuhan etnik terhadap etika lingkungan yang disepakati
bersama sebagai strategi adaptasi untuk mendapatkan jaminan keamanan dalam
kehidupan sosial budaya masyarakatnya.

Kata-kata kunci: pendekatan budaya, perilaku budaya, etnik

Budaya adalah semua jenis aktivitas manusia dan hasilnya yang berpola, baik yang terinderai
maupun yang tidak terinderai (Sadtono, 2002:16). Sejalan dengan pendapat tersebut, budaya
dapat dikelompokkan ke dalam dua pilahan besar, yakni budaya sebagai produk dan budaya
sebagai keseluruhan cara hidup masyarakat. Sebagai produk, budaya di antaranya berwujud
nilai-nilai, kepercayaan, norma-norma, simbol-simbol, dan ideologi, sedangkan sebagai cara
hidup, budaya berupa hubungan antarmanusia dan sikap atau perilaku manusia dalam
menjalin hubungan dengan sesamanya (Thompson, 1990:1).
Dalam kaitannya praktik budaya, Duranti (1997) menjelaskan bahwa budaya (a)
berbeda dengan nature, (b) sebagai pengetahuan, (c) sebagai komunikasi, (d) sebagai sistem
mediasi, dan sebagai sistem praktik. Sebagai perihal yang berbeda dengan perihal yang
bersifat alami (culture is distinc from nature), budaya merupakan sesuatu yang dipelajari,
ditransmisikan, diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, budaya diwariskan
melalui tindakan manusia dalam bentuk interaksi bersemuka dan komunikasi bahasa.
Pembahasan budaya sebagai komunikasi berarti melihat budaya sebagai sistem tanda.
Hal ini menjadi kajian teori semiotika budaya. Dalam hal ini, budaya dipandang sebagai
ekspresi dunia, cara memberikan makna realitas melalui sejarah, mitos, deskripsi, teori,
peribahasa, produk seni, dan kinerja seni. Dalam perspektif ini, produk budaya masyarakat -
seperti mitos, ritual, klasifikasi dunia alami dan sosial – dapat dipandang sebagai contoh
keselarasan hidup manusia melalui kemampuannya untuk menentukan hubungan simbolik
antarindividu, kelompok, atau spesies.
Sebagai sistem mediasi, budaya dipandang sebagai alat atau media yang digunakan
oleh anggota-anggota budaya. Dalam hal ini, budaya meliputi objek material (benda-benda
budaya), dan objek ideasional seperti sistem keyakinan dan kode-kode bahasa. Sebagai sistem

Contribution of History for Social Sciences and Humanities 405


praktik dan sebagai sistem partisipasi, budaya dipandang memiliki keterkaitan yang erat
dengan aktivitas sosial masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa pada hakikatnya budaya
berkenaan dengan cara hidup manusia. Karena itu, budaya ini mencakup tiga wujud yang
berkenaan dengan apa yang diperbuat oleh manusia, apa yang diketahui atau dipikirkannya,
dan apa yang dibuat atau digunakannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketiga wujud
tersebut oleh Spradley (1985) disebutkan dengan istilah perilaku budaya, pengetahuan
budaya, dan benda-benda budaya. Ia menjelaskan bahwa meskipun perilaku budaya dan
benda-benda budaya dapat dilihat dengan mudah, kedua wujud tersebut hanya merefleksikan
permukaannya. Sebenarnya, yang lebih mendasar dan lebih penting adalah yang tersembunyi
sebagai pengetahuan budaya karena pengetahuan tersebut yang membentuk perilaku dan
menginterpretasi pengalaman-pengalamannya.
Setiap masyarakat memiliki budaya. Namun, jika dikembalikan pada fungsinya
bahwa budaya itu diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ini
menunjukkan bahwa setiap masyarakat juga memiliki budayanya yang khas yang berbeda
dengan budaya masyarakat lainnya. Tidak ada satu pun budaya universal yang dapat
mengatur dan memenuhi kebutuhan hidup semua orang. Bahkan, kenyataan di masyarakat
terdapat sejumlah subsistem budaya yang dimiliki oleh komunitas yang berbeda-beda,
misalnya subsistem budaya untuk komunitas ekonomi, komunitas regional, komunitas sosial,
dan sebagainya. Porter dan Samovar (2005) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan setiap
subsistem budaya yang dimiliki oleh komunitas yang satu dengan subsistem budaya
komunitas lainnya dalam satu budaya atau masyarakat yang melingkupinya.
Budaya adalah cara sebuah masyarakat mengatasi persoalannya sendiri. Karena khas
itu tidaklah fair membandingkan suatu budaya dengan budaya lain dalam posisi hierarkis.
Sumardjo (2005) menjelaskan bahwa budaya mesti dilihat secara jukstaposisi, dalam arti satu
budaya bersanding dengan budaya lainnya dalam posisi sejajar. Hal ini berbeda dengan
peradaban. Peradaban merujuk kepada tingkat kemajuan ilmu pengetahuan (eksak maupun
sosial) dan teknologi. Peradaban suatu masyarakat dapat dibandingkan dengan masyarakat
lainnya. Kemajuan sebuah peradaban bisa dilihat dan diukur karena ada parameter yang jelas.

PENDEKATAN DALAM MASALAH BUDAYA

Perbedaan cara pandang tentang budaya dilandasi oleh perbedaan latar belakang
disiplin keilmuan dan perbedaan kepentingan yang terkait dengan kajiannya. Orang yang
memiliki kepentingan yang berbeda akan melakukan suatu pendekatan yang berbeda
sehingga menghasilkan suatu temuan yang berbeda. Sejalan dengan sudut pandang yang
demikian ini, Saifuddin (2005) mengutip kajian Keesing (1974) yang mengidentifikasi 4
pendekatan terhadap masalah budaya, yakni sistem adaptif, sistem kognitif, sistem struktur,
dan sistem simbol.
Sistem adaptif mendekati budaya sebagai keyakinan atau perilaku yang dipelajari
yang fungsinya adalah untuk menyesuaikan masyarakat manusia dengan lingkungannya.
Pendekatan ini melihat budaya sebagai sistem yang dikembangkan oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya atau sebagai strategi adaptasi untuk menjawab tantangan
lingkungannya. Cara pandang yang demikian ini diasosiasikan dengan ekologi budaya atau
materialisme budaya.

406 Seminar Internasional


Sistem kognitif memandang budaya sebagai pola pikir individu yang dapat diterima
oleh masyarakatnya. Dalam hal ini, budaya merupakan sistem berpikir yang tersusun dari
sesuatu hal yang diketahui melalui proses berpikir menurut cara tertentu. Pendekatan ini
diasosiasikan dengan paradigma yang dikenal dengan nama etnografi baru, antropologi
kognitif, dan etnosains.
Sistem struktur memandang budaya sebagai struktur dari simbol-simbol yang
dimiliki bersama oleh masyarakat. Struktur simbol ini dipandang serupa dengan sistem
pemikiran manusia. Mirip dengan pendekatan ini adalah pendekatan sistem simbol.
Pendekatan yang terakhir ini memandang budaya sebagai simbol-simbol dan makna yang
dimiliki bersama oleh masyarakat. Simbol dan makna ini dapat diidentifikasi dan bersifat
publik. Sistem struktur merupakan ciri dari strukturalisme, sedangkan sistem simbol menjadi
ciri dari antropologi simbolik.
Berbeda dengan keempat pendekatan di atas, Krober dan Kluckhohn seperti dikutip
oleh Sutrisno dan Putranto (2005:9) mengklasifikasikan 6 pandangan dalam melihat budaya.
Keenam pandangan tersebut adalah (a) deskriptif, yakni melihat budaya sebagai totalitas
menyeluruh yang menyusun keseluruhan hidup sosial sekaligus menunjukkan sejumlah ranah
yang membentuk budaya, (b) historis, yakni melihat budaya sebagai warisan yang turun-
temurun, (c) normatif, yakni melihat budaya sebagai aturan dan tata nilai yang membentuk
pola perilaku dan tindakan konkret masyarakat, (d) psikologis, yakni melihat budaya sebagai
piranti pmecahan masalah yang membuat orang dapat berkomunikasi, belajar, atau memenuhi
kebutuhan batinnya, (e) struktural, yakni memandang budaya sebagai hubungan atau
keterkaitan antara aspek-aspek yang terpisah, dan (f) genetis, yakni melihat asal-usul budaya
yang dapat eksis atau tetap dapat bertahan.
Berkaitan dengan beragam cara pandang terhadap masalah budaya tersebut, Harris
dan Moran (2005:63—66) mengajukan rumusan pendekatan sistem terhadap budaya. Sistem-
sistem yang dikemukakannya berkaitan dengan berbagai bidang yang melingkupi kebutuhan
hidup manusia. Sistem yang dimaksud meliputi sistem kekeluargaan, sistem pendidikan,
sistem ekonomi, sistem politik, sistem agama, sistem asosiasi, sistem kesehatan, dan sistem
rekreasi.

IDENTITAS DAN KARAKTERISTIK BUDAYA ETNIK

Identitas budaya selalu dikaitkan dengan hal-hal tertentu. Orang memiliki pandangan
bahwa identitas memiliki kaitan dengan asal atau tradisi orang tersebut. Karena itu, dalam
komunikasi, identitas tidak hanya memberikan makna individu secara pribadi, tetapi menjadi
ciri khas suatu budaya tertentu (periksa Liliweri 2003). Pada tataran hubungan antarindividu,
pengertian identitas merujuk pada cara menempatkan seseorang ke dalam tempat orang lain
(komunikasi yang empatik). Pada tataran ini, identitas dipahami sebagai cara mengidentifikasi
(melalui pemahaman terhadap identitas) atau merinci sesuatu yang dilihat, didengar,
diketahui, atau yang digambarkan, termasuk mengidentifikasi karakteristik fisik, bahkan
mengidentifikasi pikiran seseorang dengan madzhab yang mempengaruhi.
Identitas sering didasarkan pada peran yang dimiliki atau dimainkan oleh anggota
masyarakat atau masyarakat tersebut dalam menjalankan praktik budaya. Secara sosiologis,
peran dapat diartikan sebagai seperangkat harapan budaya terhadap sebuah posisi tertentu.61

61Schneider (2000) menjelaskan bahwa (1) peran itu lebih mengacu pada harapan, bukan sekadar perilaku aktual, dan (2)
peran lebih bersifat normatif, bukan sekadar deskriptif.

Contribution of History for Social Sciences and Humanities 407


Misalnya, seseorang dikatakan berperan direktur jika ia menampilkan identitas diri,
kepribadian, perilaku verbal dan nonverbal sebagaimana layaknya seorang direktur.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa peran sebagai suatu identitas
berkaitan erat dengan struktur budaya dan struktur sosial. Struktur budaya adalah pola
persepsi, pikiran, dan perasaan, sedangkan struktur sosial adalah pola-pola perilaku sosial.
Dalam pengertian sederhana, identitas budaya adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah
budaya yang dimiliki oleh sekelompok penutur yang diketahui batas-batasnya ketika
dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri budaya penutur lain. Hal ini berarti bahwa
untuk mengidentifikasi identitas budaya suatu masyarakat tidak cukup hanya didasarkan pada
ciri fisik, tetapi perlu diperhatikan pula tatanan berpikir, merasa, dan bertindak suatu
masyarakat tersebut.
Berkenaan dengan identitas budaya tersebut, dapat dikemukakan identitas budaya
etnik Using. Masyarakat asli Bnyuwangi yang lebih dikenal dengan etnik Using terikat erat
dengan lagu-lagu Banyuwanginya. Karena itu, lagu-lagu daerah Banyuwangi sebagai wujud
ekspresi budaya etnik Using dapat dipandang sebagai identitas budaya etnik Using. Melalui
ekspresi budaya dalam lagu, dapat dipahami budaya penuturnya.62 Selain itu, proses
pemaknaan tuturan lagu tersebut dianggap cukup penting sehingga pada gilirannya karya itu
dapat menjadi ajang kontestasi untuk bisa menjadi ekspresi identitas budaya masyarakatnya
(Kleden-Probonegoro, 2004).
Identitas sosial budaya suatu masyarakat dapat dikenakan pada identitas gender,
identitas umur, ras, etnik, agama, kelas, bangsa, wilayah, dan pribadi. Melalui
pengelompokan identitas tersebut, tercipta kategori sosial dan stratifikasi sosial. Yang
dimaksud dengan kategori sosial adalah kategori suatu masyarakat berdasarkan identitas-
identitas sosial tertentu yang diduga dapat menampilkan pola komunikasi antarbudaya
tertentu pula. Adapun, stratifikasi sosial berkaitan dengan cara pandang masyarakat terhadap
lapisan-lapisan sosial yang terbentuk karena adanya perbedaan dominasi dalam relasi
antarkelompok.(Liliweri, 2003:91).
Untuk menandai bahwa suatu komunitas memiliki identitas yang berbeda dengan
komunitas lainnya, diperlukan suatu sarana yang menyimbolkan perbedaan identitas tersebut.
Harris dan Moran (2005:58—62) mengidentifikasi ada beberapa hal yang dapat digunakan
untuk menelaah perbedaan komunitas tersebut. Hal-hal yang dimaksudkan meliputi (a)
komunikasi dan bahasa, (b) pakaian dan penampilan, (c) makanan dan kebiasaan makan, (d)
waktu dan kesadaran akan waktu, (e) penghargaan dan pengakuan, (f) hubungan-hubungan,
(g) nilai dan norma, (h) rasa diri dan ruang, (i) proses mental dan belajar, dan (j) kepercayaan
dan sikap.
Dalam kehidupan di masyarakat, ciri komunitas yang secara langsung dapat dikenali
perbedaannya adalah ciri yang berkaitan dengan sistem komunikasi dan sistem penampilan
dalam masyarakat. Sistem komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, membedakan suatu
komunitas dari komunitas lainnya. Bahasa yang digunakan oleh komunitas pendidikan
berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam komunitas militer. Demikian juga dalam hal
penampilan diri, dapat segera dikenali dari komunitas mana orang tersebut. Penampilan ini

62 Liliweri (2003) mengutip pendapat Burke yang menjelaskan bahwa untuk menentukan identitas budaya sangat
bergantung pada bahasa. Bagaimana ekspresi bahasa menjelaskan sebuah kenyataan, atas semua identitas yang dirinci
kemudian dibandingkan. Menurutnya, penamaan identitas seseorang atau sesuatu selalu meliputi konsep penggunaan
bahasa. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa untuk mengetahui identitas seseorang diperlukan pemahaman secara total
karena identitas budaya merupakan totalisasi budaya. Totalitas budaya tidak selalu tampak. Karena itu, untuk memahami
identitas budaya, dilakukan reka-reka: ciri fisik, bahasa, pakaian, makanan.

408 Seminar Internasional


meliputi pakaian dan dandanan luar serta dekorasi tubuh yang cenderung berbeda secara
kultural. Orang yang berjilbab adalah komunitas Islam, orang yang memakai kalung bersalib
adalah komunitas nasrani, dan sebagainya.
Ragam makanan dan cara menyajikannya juga menunjukkan ciri budaya tertentu.
Dalam setiap daerah atau masyarakat tertentu, terdapat jenis-jenis makanan khas yang
menjadi identitas budaya daerah tersebut. Sebagai contoh, makanan yang berupa rujak soto,
rujak singgul, rujak wuni, rujak lethok adalah ciri khas makanan dari masyarakat
Banyuwangi, gudeg ciri masyarakat Yogyakarta, dan sebagainya. Demikian juga, cara
penyajiannya setiap budaya memiliki cara yang berbeda-beda, yakni ada yang makan dengan
tangan saja, ada yang selalu menggunakan sendok dan garpu, dan ada pula yang memakai
sumpit. Semua hal itu merupakan aspek budaya yang dapat digunakan sebagai sarana
penelaahan identitas budaya masyarakat.
Kesadaran akan waktu berbeda antara budaya yang satu dengan budaya lainnya.
Sebagian orang tepat waktu dan sebagian lainnya merelatifkan waktu. Lewis (2004:51—57)
menjelaskan bahwa budaya-budaya menganut pandangan dunia yang bervariasi, dan juga
konsep yang bervariasi untuk melukiskan pandangan kaleidoskopik mengenai sifat realitas.
Ada budaya yang memiliki konsep bahwa waktu linear, tetapi ada pula budaya yang
memandang bahwa waktu itu siklik. Konsep bahwa waktu itu linear dimiliki oleh orang-orang
yang multiaktif, yakni orang yang bersifat aktif linear. Umumnya, sikap yang demikian ini
dimiliki oleh budaya Barat. Sementara, konsep bahwa waktu itu siklik dimiliki oleh orang-
orang dari budaya yang memandang waktu selaras dengan peristiwa siklik alam, yakni bahwa
akan kembali lagi ke masa depan.
Setiap masyarakat memiliki kebutuhan hidup yang berbeda-beda sehingga mereka
memiliki nilai-nilai yang berbeda terhadap apa yang diperlukan dan apa yang harus
dilakukan. Ada budaya yang lebih menghargai persahabatan daripada materi, tetapi ada pula
budaya yang lebih menganggap penting materi karena hal itu diperlukan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup mereka. Nilai-nilai tersebut mempengaruhi sikap para individu dalam
menjalankan aktivitas mereka dalam kehidupan bermasyarakat.

NILAI BUDAYA DAN SIKAP BUDAYA ETNIK

Sistem nilai budaya merupakan nilai inti dalam kehidupan manusia


bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut dijunjung tinggi, dihormati, dan ditaati untuk diterapkan
dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem nilai ini merupakan aturan yang mengarahkan
perilaku anggota masyarakat dalam menjalankan aktivitas sosial budaya. Koentjaraningrat
(2003) menyebutkan bahwa sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi
kelakuan manusia. Nilai-nilai tersebut telah melekat pada diri setiap anggota masyarakat
sehingga sulit diganti atau diubah dalam jangka waktu yang singkat karena menyangkut
masalah-masalah utama bagi kehidupan manusia (Sukidin, Basrowi, dan Wiyaka, 2003:10—
11).
Selain nilai-nilai budaya, dalam kehidupan di masyarakat terdapat norma-norma
budaya. Nilai dan norma ini pada hakikatnya merupakan kaidah-kaidah kemasyarakatan yang
mengendalikan dan mengatur aktivitas sosial budaya suatu masyarakat. Nilai dan norma
budaya ini menjadi pedoman dan pegangan hidup yang dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh
seluruh anggota masyarakat. Nilai-nilai budaya tersebut bersifat abstrak dan berisi gagasan-
gagasan yang dianggap baik, benar, dan dikehendaki bersama oleh anggota masyarakat.

Contribution of History for Social Sciences and Humanities 409


Karena nilai budaya bersifat abstrak dan umum, dimungkinkan terjadinya berbagai perilaku
sosial yang berbeda-beda antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain. Selama
keberagaman perilaku tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut, konflik antaranggota
masyarakat dalam satu etnik yang sama tidak akan terjadi. Sementara, norma budaya
merupakan pedoman perilaku budaya yang lebih khusus. Dalam hal ini, norma mengatur dan
mengarahkan cara berperilaku, berpikir, bertutur individu anggota masyarakat dalam situasi
tertentu (Conklin, 1984).
Nilai-nilai dan norma budaya suatu masyarakat selalu mengatur dan mengarahkan cara
individu anggota masyarakat dalam bersikap dan bertindak sesuai dengan yang diharapkan
oleh masyarakatnya. Nilai-nilai dan norma-norma budaya ini terpantul dalam cara pandang
dan sikap budaya anggota masyarakat dalam menjalankan praktik budaya. Cara pandang dan
sikap budaya anggota masyarakat dapat dilihat dari 5 masalah pokok bagi kehidupan
manusia. Kelima masalah pokok tersebut meliputi (a) hakikat hidup manusia, (b) hakikat
karya bagi manusia, (c) hakikat waktu bagi manusia, (d) hakikat alam bagi manusia, dan (e)
hakikat hubungan antarindividu. Berdasarkan kelima masalah pokok itu, Thompson, dkk.
(1990) menyebutkan ada 5 cara pandang dan sikap masyarakat terhadap kehidupan sosial
budaya, yakni hirarkhi, egalitarian, fatalistik, individualistik, dan otonomi (. Kelima cara
pandang tersebut membentuk dan menentukan corak kehidupan sosial budaya masyarakat.
Dalam kaitannya dengan masalah pokok dalam kehidupan manusia, Sukidin, Basrowi,
dan Wiyaka (2003) menjelaskan sikap hidup manusia dalam kaitannya dengan hakikat hidup
dan hakikat karya. Menurut mereka, ada 3 pandangan dasar yang mengungkapkan makna
hidup bagi manusia, yakni (a) hidup untuk bekerja, (b) hidup untuk beramal dan berbakti, dan
(c) hidup untuk bersenang-senang. Sementara, makna karya bagi manusia adalah (a) untuk
mencari nafkah, (b) untuk mempertahankan hidup, (c) untuk kehormatan, (d) untuk kepuasan
dan kesenangan, dan (e) untuk amal ibadah. Sikap terhadap hakikat hidup dan hakikat karya
ini dapat ditemukan dalam kehidupan etnik Using. Misalnya, sikap yang menyatakan bahwa
hidup untuk bersenang-senang dapat dilihat dalam pernyataan mereka yang tertuang dalam
tuturan lagu yang berjudul Nyik Nyik Madhamin berikut ini.
.../Nyik Nyik Madhamin munyika sithik bain/Wong mbesengut katon tuwek
peraupane/Wong susah loro ngenes nong endi parane/Timbang susah alok seneng-
senenga/Gemuyu tetembangan lan suka-suka/Wong seneng iku awet enome/...
(.../Nyik-nyik Madamin senyumlah sedikit saja/Orang cemberut tampak tua roman
mukanya/Orang susah sakit merana ke mana akhirnya/Daripada susah lebih baik senang-
senanglah/Tertawa bernyanyi-nyanyi dan suka-suka/Orang senang itu tahanlama
mudanya/…)
Tuturan lagu tersebut mengungkapkan bahwa hidup itu untuk bersenang-senang,
bukan untuk bersusah-susah. Orang yang senang itu dapat menjadi awet muda dan panjang
umurnya. Sementara, orang yang selalu susah tidak ada gunanya karena orang yang terus-
menerus susah tidak panjang umurnya. Berdasarkan pesan lagu tersebut, tecermin sikap hidup
masyarakat Using dalam memandang hakikat hidup. Sementara, dalam memandang dan
menyikapi hakikat kerja, dapat ditelaah dari tuturan lagu berjudul Tapeng Embel-embel
berikut ini.
.../Tapeng ya gedhang bakaran/Dipangan yara sak anake/Sapa patheng tetanduran/ Ya
bakal ngundhuh dina mburine/Tapeng yara gedhang sempring/Dipangan yara sak
anake/Sapa patheng njala – njaring/Mangana yara sing repot iwake/Tapeng yara gedhang
sale/Dipangan ya cager manise/Ayo kang patheng megawe/ Methentheng yara akeh
picise/

410 Seminar Internasional


(.../Tapeng adalah pisang dibakar/Dimakan dengan anak-anaknya/Siapa yang rajin
menanam/Dia akan panen hari berikutnya/Tapeng adalah pisang sempring/ Dimakan
bersama anak-anaknya/Siapa yang rajin menjala menjaring/Kalau makan tidak repot
ikannya/Tapeng adalah pisang sale/Dimakan ya sungguh manisnya/ Ayolah rajin
bekerja/Kerja keras pasti banyak uangnya/)
Tuturan lagu tersebut mengungkapkan bahwa orang yang rajin bekerja akan memetik
hasilnya, yakni akan senang hidupnya. Mereka tidak akan mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Di samping itu, mereka juga akan mendapatkan uang
banyak. Dari pesan yang dituturkan dalam lagu tersebut, dapat digambarkan bahwa hakikat
kerja bagi masyarakat Using adalah (a) untuk mencari nafkah, (b) untuk mempertahankan
hidup, dan (c) untuk kesenangan.

KELOMPOK ETNIK, KELAS SOSIAL, BUDAYA, DAN BAHASA

Kelompok etnik didefinisikan sebagai suatu kesatuan sosial yang memiliki sejarah,
tradisi budaya, dan bahasa (Singh, 1999). Setiap kelompok etnik merupakan kelompok
masyarakat yang dibatasi oleh identitas budaya tertentu dan membentuk kelompok
masyarakat yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Secara sosial, kelompok
etnik tersebut diciritandai oleh bahasa, keyakinan, nenek moyang, gaya hidup, tradisi budaya,
nasionalisme, dan kadang-kadang oleh ciri fisik (Conklin, 1984:197)
Etnisitas atau rasa kemasyarakatan kelompok etnik diturunkan dari generasi ke
generasi melalui proses sosial. Sejak dini, anak berada dalam lingkungan kelompok etniknya
dan belajar tentang gaya hidup, bahasa, dan tradisi budaya yang berlaku di lingkungan
tersebut. Gaya hidup, bahasa, dan tradisi budaya yang dimiliki oleh kelompok etnik
menciptakan batas antarkelompok sosial. Bahkan, anggota-anggota kelompok etnik saling
berbagi pengalaman dan mengembangkan pola-pola interaksi yang hanya terjadi dan berlaku
di kalangan etnik tersebut. Pola interaksi suatu etnik dapat dikaji melalui pilihan dan ragam
bahasa yang digunakannya dalam interaksi tersebut (Holmes, 2001:175).
Ada dua konsep tentang kelompok etnik, yakni mayoritas etnik dan minoritas etnik
(Singh, 1999). Mayoritas etnik mengacu kepada kelompok etnik yang memegang kekuatan
sosial dan politik pada suatu bangsa, sedangkan minoritas etnik mengacu pada kelompok
yang kurang memiliki atau bahkan tidak memiliki kekuatan sosial dan politik.63 Mayoritas
etnik membangun kelompok budaya yang dominan dalam membentuk infrastruktur bangsa,
sebagai contoh, sistem pemerintahan dan sistem pendidikan. Afiliasi budaya mayoritas etnik
(contoh: keyakinan agama dan penggunaan bahasa) menjadi utama karena kelompok tersebut
memiliki kekuatan untuk menekan mereka melalui institusi yang mapan.64 Akhirnya,
masyarakat mengikuti hal-hal yang telah dibentuk oleh keyakinan mayoritas etnik sebagai
norma.

63 Pada umumnya, mayoritas etnik dibentuk oleh sebagian besar populasi suatu bangsa, sedangkan minoritas etnik diikuti
oleh sebagian kecil dari populasi tersebut. Namun, populasi yang besar dari segi jumlah tidak selalu memiliki kekuatan
sosial politik. Dalam kenyataan, dapat dilihat bahwa ada kelompok minoritas yang mampu memimpin kelompok
mayoritas secara sosial atau pun politik.
64 Meskipun faktanya bahwa perilaku budaya kelompok minoritas dipengaruhi dan ditetapkan oleh kelompok mayoritas,

anggota kelompok minoritas dapat memilih dan tetap memelihara perbedaannya dengan kelompok mayoritas. Anggota
kelompok minoritas tetap berpartisipasi dalam budaya, agama, praktik berbahasa yang membedakan mereka dari norma
kelompok mayoritas. Dalam hal penggunaan bahasa, kelompok minoritas tetap mempertahankan bahasa ibunya yang
berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh kelompok mayoritas.

Contribution of History for Social Sciences and Humanities 411


Dalam praktik budaya, identitas kelompok mayoritas tidak selalu ditampakkan dalam
suatu tuturan, sedangkan identitas kelompok minoritas selalu disampaikan secara eksplisit.
Stereotipe negatif dari kelompok minoritas etnik sering diabadikan. Sebagai contoh, kulit
hitam sering digunakan sebagai kata-kata negatif untuk mengungkapkan kebencian,
pertengkaran, keributan, dan sebagainya. Berkaitan dengan stereotipe negatif tersebut, Dijk
(1987) menunjukkan bahwa topik-topik negatif ‘kriminal’ sering dilakukan dengan
penyebutan kelompok etnik tertentu, tetapi jika topik tersebut positif jarang difokuskan pada
masalah etnik. Untuk menetapkan label sebagai pemarkah positif untuk identitas etnis tidak
mudah. Namun, untuk membuat label negatif tidak sulit karena label tersebut terus digunakan
sebagai istilah makian terhadap etnik.
Sebagai suatu kesatuan sosial yang memiliki sejarah, tradisi budaya, dan bahasa yang
sama, kelompok etnik dapat dikategorisasikan berdasarkan kelas-kelas sosialnya. Perbedaan
kelas sosial ini berpengaruh terhadap perilaku budaya yang tercermin dalam penggunaan
bahasanya. Namun, untuk mendefinisikan kelas sosial secara pasti tidak mudah. Sebagai
acuan dalam pembatasan kelas sosial tersebut, Jones (1999) mengelompokkan kelas sosial
anggota masyarakat berdasarkan keturunan, pendidikan, jabatan, dan ekonomi.
Penggunaan bahasa suatu kelompok sosial sering ditandai oleh penggunaan aksen dan
dialek. Aksen mengacu pada pelafalan, yakni cara penuturan kata-kata yang dikaitkan dengan
area geografis tertentu, sedangkan dialek mengacu pada tatabahasa dan kosakata (leksis).
Dalam bahasa lisan, suatu dialek sering dikaitkan dengan aksen tertentu. Penutur yang
menggunakan dialek regional juga akan menggunakan aksen regional tersebut. Namun, tidak
semua dialek dan aksen tersebut merupakan variasi regional.
Ragam bahasa regional dan ragam bahasa sosial tidak dipisahkan secara tegas. Dialek
regional biasanya juga dialek sosial. Penutur dari berbagai daerah tertentu cenderung juga
dikaitkan dengan kedudukannya dalam skala sosial. Maka dari itu, dua orang yang berasal
dari daerah yang sama akan memiliki cara bertutur yang berbeda bergantung pada posisi
sosialnya. Dari penjelasan ini, dapat dikemukakan bahwa ciri tuturan memiliki keterkaitan
dengan kelompok sosial tertentu. Anggota kelompok sosial akan menggunakan bahasa yang
sesuai dengan kelompok sosialnya. Untuk memperoleh informasi sosial, dapat dilakukan
dengan memanfaatkan aksen. Kedududukan sosial seseorang sering ditunjukkan oleh tipe
aksen dan dialek yang digunakannya (Jones, 1999).
Beberapa ahli sosiolinguistik mengkaji bahasa dalam kaitannya dengan kelas sosial.
Labov (1972) meneliti variasi bahasa dalam kaitannya dengan kelas sosial, yang
pengelompokan kelas sosial tersebut didasarkan pada kriteria pendidikan, jabatan, dan hasil
yang diperoleh. Berdasarkan pengelompokan tersebut, diperoleh kategorisasi kelas bawah,
kelas pekerja, kelas menengah bawah, dan kelas menengah atas. Trudgill (1983)
mengelompokkan informan penelitiannya berdasarkan pada penghasilan, pendidikan,
pemilikan rumah, lokalitas, dan jabatan orang tuanya.
Berkaitan dengan kajian yang dilakukan oleh Labov dan Trudgill tersebut, Jones
(1999) menjelaskan bahwa ada hal penting yang perlu diperhatikan, yakni sampai saat ini
kajian klasik tentang ragam bahasa didasarkan pada pandangan yang merupakan konsensus
dari kelas sosial. Pandangan ini berkeyakinan bahwa masyarakat pada umumnya sependapat
dengan norma perilaku yang bergengsi, dan biasanya mereka mengarah pada norma
bergengsi tersebut. Sementara itu, ahli bahasa yang lain memusatkan perhatian pada faktor
lain, yakni memahami ragam bahasa yang didasarkan pada jaringan sosial dan pandangan
konflik dari divisi sosial. Dalam hal ini, pemertahanan bentuk-bentuk yang menyimpang dari

412 Seminar Internasional


norma baku dipandang sebagai pemarkah positif anggota kelompok dan dianggap sebagai
penolakan terhadap norma kelompok sosial bergengsi.
Uraian di atas menggambarkan bahwa dalam kelompok etnik terdapat sejumlah
kelompok sosial. Setiap kelompok sosial tersebut memiliki budaya yang berbeda-beda. Hal
ini dapat dilihat dari ciri-ciri bahasa yang dituturkannya. Terdapatnya ciri bahasa pada tuturan
kelompok sosial tersebut, menurut Farb (2005), disebabkan oleh lingkungan yang membentuk
dan mewariskannya. Pada dasarnya, menurutnya, manusia tidak lahir bebas. Ia mewarisi
suatu bahasa yang penuh dengan ungkapan-ungkapan pelik, kata-kata kuno, dan cara-cara
mapan tertentu yang membelenggu pikirannya.
Pada dasarnya manusia memiliki sikap, watak, dan kondisi psikologis yang berbeda-
beda. Perbedaan ini membawa pengaruh pada cara penyampaian pesan yang terwujud dalam
penggunaan bahasanya. Dalam kaitannya dengan perbedaan cara penyampaian pesan
tersebut, Littlejohn (1992) menyampaikan tiga macam penjelasan secara psikologis, yakni (1)
penjelasan sifat (trait explanations), (2) penjelasan keadaan (state explanations), dan (3)
penjelasan proses (process explanations).
Penjelasan sifat memfokuskan pada karakteristik individu yang relatif tetap. Penjelasan
tersebut juga berusaha menerangkan cara-cara individu menghubungkan sifat yang
dimilikinya dengan sifat-sifat dan variabel-variabel lain. Teori ini mengaitkan antara tipe
kepribadian tertentu dengan jenis pesan tertentu. Pada hakikatnya teori ini mengajarkan
bahwa jika seseorang memiliki sifat kepribadian tertentu, ia cenderung akan berkomunikasi
dengan cara-cara tertentu. Sebagai contoh, orang yang suka membantah, ia cenderung
memaksakan kehendaknya dan menolak pendapat orang lain.
Penjelasaan keadaan memfokuskan pada kondisi pikiran yang dialami seseorang
selama periode tertentu. Keadaan atau kondisi individu secara relatif tidak tetap atau berubah.
Teori tersebut menerangkan bagaimana suatu keadaan mempengaruhi jenis pesan yang
disampaikan dan cara pesan tersebut dipahami. Teori ini juga menyampaikan bahwa ketika
individu terlibat penuh dalam suatu topik karena topik tersebut penting dalam kehidupannya,
ia cenderung tidak merasakan pesan tertentu tentang topik itu.65
Penjelasan proses menerangkan cara-cara komunikasi terjadi. Ada beberapa sifat
individu yang mempengaruhi cara mereka berkomunikasi. Sifat tersebut adalah (a) rasa takut
untuk berkomunikasi yang disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri, (b) perhatian pada
diri sendiri, sikap pada orang lain, dan sikap pada situasi, (c) dominatif, dramatik, suka
mendebat, animasif, impresif, rileks, terbuka, ramah, dan sebagainya, dan (d) asertif,
argumentatif, permusuhan, dan keagresifan verbal. Sifat asertif dan argumentatif termasuk
sifat positif, sedangkan sifat permusuhan dan keagresifan verbal termasuk sifat negatif.

SIKAP BUDAYA ETNIK USING

Sikap setiap individu manusia dalam hubungannya dengan dirinya, sesamanya, alam
merupakan hubungan yang bersifat seruan sekaligus paradoks (Snijders, 2004:143),.

65 Penjelasan sifat dan penjelasan keadaan dapat digunakan bersama-sama satu dengan lainnya. Teori ini mengakui
bahwa manusia memiliki banyak karakter yang relatif stabil. Pada waktu yang bersamaan, teori ini menunjukkan bahwa
perilaku kita tidak seluruhnya ditentukan oleh sifat kita. Para peneliti membedakan mana perilaku yang merupakan sifat
seseorang dan mana perilaku yang merupakan suatu kedaan. Untuk mengukur sifat, peneliti berusaha menemukan
kecenderung perilaku seseorang dalam berbagai peristiwa. Sementara, untuk mengukur keadaan pikiran seseorang,
peneliti mengukur watak seseorang pada saat komunikasi tersebut. Suatu keadaan tertentu merupakan hasil interaksi
antara sifat seseorang dan situasi komunikasi. Dengan kata lain, cara seseorang berkomunikasi merupakan kombinasi dari
sifat komunikator dengan situasi tempat komunikator bertutur (Littlejohn, 1992).

Contribution of History for Social Sciences and Humanities 413


Hubungan dengan sesamanya mengarah pada satu kesatuan, tetapi setiap individu dalam
kesatuan hubungan tersebut mengarah pada keunikan dirinya yang sebenarnya. Dalam
hubungannya dengan alam, manusia menjadi diri dengan memanusiakan alam. Selanjutnya,
sebagai makhuk yang berbudaya, manusia mengaku dirinya sebagai makhluk yang beragama.
Dimensi religius ini oleh Snijders dikatakan bersumber dari diri manusia masing-masing dan
menjadi bahan refleksi juga untuk memperdalam paham tentang diri manusia itu sendiri.
Dalam refleksi atas paham atas penghayatan relegius, manusia menemukan dirinya terarah
kepada Tuhan.
Sikap seseorang dalam kehidupan di masyarakat dilandasi dan diarahkan oleh
pandangan hidupnya. Koentjaraningrat (1981) menjelaskan bahwa pandangan hidup adalah
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang dipilih secara selektif oleh para individu dan
golongan di dalam masyarakat. Pandangan hidup ini berfungsi sebagai tata kelakuan yang
mengatur, mengedali, dan memberi arah kepada tata kelakukan dan perbuatan manusia dalam
masyarakat. Seluruh dari tata kelakuan manusia itu berpola menjadi suatu pranata yang dapat
dirinci menurut fungsi-fungsi khasnya dalam masyarakatnya.
Pada masyarakat etnik Using terdapat suatu pranata-pranata, baik dalam hubungan
dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia/sesamanya, hubungan manusia dengan
dirinya sendiri, maupun hubungan manusia dan dengan alam/lingkungan. Pranata-pranata ini
memiliki dasar konsep dan pedoman hidup dalam sistem nilai yang kuat yang sejak dulu
(nenek moyangnya) ada dan turun-temurun sampai sekarang. Dalam pandangan Daldjoeni
dan Suyitno (1986), relasi antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan
lingkungannya, serta manusia dengan Tuhan Peciptanya merupakan etika lingkungan. Ketiga
unsur itu saling mengkait dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat diabaikan salah satu
unsurnya. Di dalam setiap masyarakat memiliki etika lingkungan yang berbeda-beda
mengacu pada budaya yang berlaku di daerah tempat mereka tinggal.
Etnik Using memiliki tata cara/perilaku, adat-istiadat tersendiri yang
menunjuk/beorientasi pada sistem nilai (sebagai konsep dan pandangan hidup) yang
merupakan warisan nenek moyang dan masih berlaku hingga sekarang. Dalam kaitannya
dengan kehidupan berketuhanan, tuturan lagu daerah Banyuwa-ngi menunjukkan bahwa dua
sikap budaya etnik Using dalam hubungannya dengan Tuhan, yakni keyakinan terhadap
kekuasaan Tuhan dan pengakuan akan sifat-sifat Tuhan. Terhadap kekuasaan Tuhan, mereka
memiliki keyakinan bahwa Tuhan memiliki kekuasaan yang mahatinggi. Ia dapat melakukan
apa saja sesuai dengan kehendak-Nya. Manusia dan alam selalu berada dalam kekuasaan dan
kehendak-Nya. Sebagai Zat yang Mahatinggi, Tuhan memiliki berbagai sifat yang kepada-
Nya manusia dapat menyampaikan permohonan.
Keyakinan masyarakat Using tentang kekuasaan Tuhan yang terekam dalam tuturan
lagu meliputi keyakinan tentang (a) kekuasaan dan kesempurnaan ilmu Tuhan, (b) kekuasaan
Tuhan atas nasib dan takdir, (c) kekuasaan Tuhan dalam menentukan hidup dan mati, (d)
kekuasaan Tuhan atas alam dan peristiwa-nya, dan (e) kekuasaan Tuhan atas kehidupan
manusia. Keyakinan akan kekusaan Tuhan menumbuhkan pengakuan akan sifat-sifat Tuhan
yang meliputi sebagai (a) pelindung dan penyelamat kehidupan, (b) penolong manusia yang
memerlukan, (c) pemberi rejeki kepada manusia yang mau berusaha, (d) pengasih dan penya-
yang kepada umatnya, (e) adil dalam segala urusan, dan (f) pemberi petunjuk.
Keyakinan terhadap kekuasaan dan sifat-sifat Tuhan menumbuhkan sikap positif pada
diri individu masyarakat Using untuk tidak menyombongkan diri atas kemampuan yang
dimilikinya. Keyakinan ini juga menumbuhkan sikap pasrah kepada Tuhan tentang segala

414 Seminar Internasional


usaha yang telah dilakukannya. Manusia hanya wajib berusaha, tetapi hasil dari usaha tersebut
Tuhan yang menentukan. Untuk mencapai apa yang dicita-citakan, manusia harus berikhtiar
dan memohon kepada Tuhan yang terwujud dalam perilaku beribadah.
Jabaran keyakinan tersebut, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Using, tampak
pada hubungan yang harmonis dalam kehidupan bermasyarakat. Walaupun berbeda agama
atau kepercayaannya, mereka hidup rukun. Daldjoeni dan Suyitno (1986) menjelaskan bahwa
dalam hidup di dunia ini manusia memi-liki etika lingkungan yang tidak dapat dilepaskan
dengan iman manusia beragama. Dalam etika tersebut, setiap manusia harus bertanggung
jawab kepada Tuhan. Untuk menunjukkan tanggung jawab tersebut, masyarakat Using selalu
menjalan-kan ibadahnya sesuai dengan aturan dalam agama mereka masing-masing.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, menurut de Vos (dalam Mardimin,1994), manusia
dijadikan menurut gambaran Tuhan. Karena itu, manusia harus tahu kepada Tuhannya yang
dapat diwujudkan dengan cara selalu berbuat baik, jujur, menghormati sesama, dan tidak lupa
selalu ingat kepada Tuhan dengan rajin beribadah. Selain itu, juga harus bertanggung jawab
terhadap alam walaupun manusia mampu menguasai alam.
Sebagai masyarakat akrab dengan tardisi ritual, banyak masyarakat Using memiliki
keyakinan tentang adanya kekuasaan Tuhan yang diaktualisasikan dengan menggunakan
media perantara secara religius untuk menyampaikan permohonan kepada Sang Pencipta. Hal
ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Using di desa Kemiren. Mereka
masih meyakini adanya cikal bakal desa Kemiren (Eyang Buyut Cili) yang berfungsi sebagai
media untuk menyampaikan permohonan kepada Tuhan. Mereka masih meyakininya karena
dalam kenyataannya, permohonan mereka banyak terkabul sehingga kepercayaan ini hingga
sekarang masih kuat.
Selain sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dalam dimensi kemasyarakatan, manusia juga
sebagai makhluk sosial. Mereka hidup bersama di dalam masyarakat dan mereka memiliki
tanggung jawab untuk saling memahami antara yang satu dengan yang lainnya. Kebebasan
mereka dibatasi oleh kebebasan orang lain. Mereka terikat oleh nilai-nilai, norma-norma,
hukum, dan aturan yang berlaku dan melandasi hidup mereka di masyarakat. Menurut
Sumaatmadja (2005:40—41), mereka juga dituntut untuk memiliki jiwa ”kewiraan” yang
meliputi unsur-unsur keberanian, kejujuran, kedisiplinan, dan tanggung jawab. Tanpa adanya
sikap itu, mereka akan hidup terpencil dalam kehidupannya di masyarakat sehingga sulit
untuk mengembangkan potensi dirinya.
Dalam lagu-lagu daerah Banyuwangi, dapat diidentifikasi dua prinsip yang melandasi
sikap etnik Using dalam kehidupan bermasyarakat, yakni kerukunan, dan keharmonisan.
Nilai-nilai kerukunan tersebut dalam aktivitas sosial di masyarakat terealisasi dalam berbagai
bentuk, yakni tolong-menolong, bergotong royong, dan mempertahankan kebersamaan.
Sementara, prinsip keharmonisan direalisasikan dalam sikap baik yang meliputi menjunjung
tinggi kesopanan, berusaha menepati janji, menghargai/menghormati hak orang lain, peduli
pada kesulitan orang lain, menyelesaikan masalah secara kompromi, tahu akan kewajiban,
dan saling menjaga perasaan antarsesama.
Bagi masyarakat Using, hubungan antarmanusia menduduki tempat yang penting
sehingga mereka harus menunjukkan sikap yang selalu menjunjung tinggi hubungan
horisontal dengan sesamanya. Karena pentingnya hubungan ini , masyarakat Using selalu
berusaha menjaga hubungan baik dengan sesamanya. Hal ini dilakukan dengan pemikiran
bahwa manusia itu tidak dapat hidup sendiri tanpa ada orang lain. Dengan kata lain, manusia
dalam hidupnya juga bergantung kepada orang lain. Berangkat dari pemahaman ini,

Contribution of History for Social Sciences and Humanities 415


umumnya masyarakat Using selalu mengedepankan hidup tolong-menolong, bergotong-
royong, dan tanpa pamrih dalam berbagai kegiatan yang ada di desanya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia juga perlu mengembangkan dirinya. Karena
itu, selain sebagai makhluk sosial, manusia juga sebagai individu yang memiliki hubungan
dengan dirinya sendiri, yakni sebagai pribadi. Yang dimaksud sebagai pribadi ini, menurut
Horton dan Hunt (1982:81), adalah keseluruhan perilaku seseorang yang merupakan interaksi
antara kecenderungan-kecenderungan bawaan dengan berbagai rentetan situasi yang
melingkupi hidupnya. Dalam pandangan Polak (1984: 67-68), kepribadian merupakan sikap,
kelaziman, dan pikiran yang dimiliki oleh seseorang dan berhubungan dengan peranan dan
kedudukannya dalam berbagai kelompok yang mempengaruhi kesadaran dirinya. Dalam
kaitannya dengan kehidupan pribadi ini, orang-orang Using memiliki bermacam-macam
sikap. Beberapa sikap etnik Using yang ditemukan dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi
meliputi sikap etis dan sikap nonetis. Sikap-sikap tersebut dapat diamati berdasarkan (a)
keuletan dalam berusaha, (b) keaktifan dan kekreatifan dalam berkarya, (c) kebanggaan
sebagai orang Using, (d) keberanian dalam bertindak, (e) kepasrahan dalam menerima
kenyataan.
Masyarakat Using juga menjalin hubungan dengan alam. Dalam tuturan lagu-lagu
daerah Banyuwangi, sikap masyarakat Using dalam hubungannya dengan alam dapat
dikelompokkan berdasarkan fungsi atau perannya bagi dirinya. Atas dasar fungsi atau peran
tersebut, masyarakat Using memandang dan menyikapi alam sebagai (a) tempat yang
menyediakan kebutuhan hidup manusia, (b) sumber inspirasi dalam mengatasi kesulitan
hidup, (c) sumber pengetahuan, (d) teladan dalam melakukan tindakan, (e) sarana
memperoleh kesenangan atau hiburan, (f) sarana berkomunikasi dengan Tuhan, dan (g)
tempat berlindung.
Bertolak dari temuan penelitian yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap
budaya dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi mencerminkan sikap budaya masyarakat
Using. Beragam sikap budaya dalam tuturan tersebut merupakan sebagian dari sikap budaya
yang benar-benar ada dan terealisasi dalam kehidupan nyata di masyarakat Using. Beragam
sikap budaya tersebut terwujud sesuai dengan pandangan hidupnya. Sikap masyarakat dalam
kehidupan berketuhanan, bermasyarakat, berpribadi, dan dalam hubungannya dengan alam
dilandasi oleh pandangan hidupnya tentang Tuhan, masyarakat, dirinya, dan alam.
Jika dikaitkan dengan faham tentang hubungan manusia dengan alam, sikap
masyarakat terhadap alam dapat dikatakan mengikuti faham posibilisme atau probabilisme
(Sumaatmadja, 2005:73). Mereka memandang alam bukan sebagai faktor penentu, melainkan
sebagai faktor pengontrol. Alam juga disikapi sebagai pemberi peluang yang mempengaruhi
kegiatan serta budaya manusia. Dalam hal ini, masyarakat Using dipandang telah mampu
memanfaatkan alam sesuai dengan kebutuhannya.

PENUTUP

Perilaku budaya etnik dapat dipahami dengn menggnakan berbagai pendekatan.


Pendekatan dalam memahami perilaku budaya suatu etnik dapat dilakukan melalui
pendekatan dengan sistem adaptif, sistem kognitif, sistem struktur, dan sistem simbol. Melalui
berbagai pendekatan tersebut dapat dikenali budaya suatu etnik dalam kehidupan
berketuhanan, kehidupan bermasyarakat, kehidupan pribadi, dan hubungannya dengan alam.
Sikap setiap individu manusia dalam hubungannya dengan dirinya, sesamanya, alam

416 Seminar Internasional


merupakan hubungan yang bersifat seruan sekaligus paradoks,. Hubungan dengan sesamanya
mengarah pada satu kesatuan, tetapi setiap individu dalam kesatuan hubungan tersebut
mengarah pada keunikan dirinya yang sebenarnya. Dalam hubungannya dengan alam,
manusia menjadi diri dengan memanusiakan alam. Selanjutnya, sebagai makhuk yang
berbudaya, manusia mengaku dirinya sebagai makhluk yang beragama. Dimensi religius ini
bersumber dari diri manusia masing-masing dan menjadi bahan refleksi juga untuk
memperdalam paham tentang diri manusia itu sendiri.
Dalam refleksi dalam penghayatan relegius, manusia menemukan dirinya terarah
kepada Tuhan. Keyakinan etnik dalam kehidupan berketuhanan melandasi sikap mereka
dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai pribadi, dan hubungannya dengan alam. Mereka
selalu menjaga kerukunan dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat, menjaga sikap etis,
dan mempertahankan keselarasan hidupnya dengan alam. Mereka menjalankan tradisi budaya
dan adat kepercayaan dalam kehidupannya sehari-hari. Tatanan sikap yang demikian ini
merupakan etika lingkungan yang dianut oleh kelompok etnik sebagai strategi adaptasi dalam
pemertahanan dan keamanan kehidupan sosial budaya masyarakatnya.

DAFTAR RUJUKAN
Conklin, John E. 1984. Sociology: An Introduction. New York: Macmillan Publishing Co.,
Inc.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University
Press.
Farb, Peter. 2005. Manusia, Budaya, Bahasa. Dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat
(Eds.). Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan orang-orang
Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Harris, Phiplip R. dan Moran, Robert T. 2005. Memahami Perbedaan-perbedaan Budaya.
Dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (Eds.). Komunikasi
Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan orang-orang Berbeda Budaya.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman.
Jones, Jason. 1999. Language and Class. Dalam Linda Thomas dan Shan Wareing (Eds.).
Language, Society, and Power. New York: Routledge.
Keesing, Roger M. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Terjemahan oleh
Samuel Gunawan. 1992. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kleden-Probonegoro, Ninuk. 2004. Ekspresi Karya (Seni) dan Politik Multikultural: Sebuah
Pengantar, dalam Antropologi Indonesia 75, 2004 1 (Online),
(http://www.jai.or.id/jurnal/2004/75/02ktp_nnk75.pdf, diakses 15 Desember,
2005).
Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Labov, William. 1972. Sociolinguistic Patterns. Philadelphia: University of Pennsylvania.
Lewis, Richaed D. Komunikasi Bisnis Lintas Budaya. Terjemahan oleh Deddy Mulyana.
2004. Bandung: PT Remaja Roesdakarya.
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dan Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKIS.

Contribution of History for Social Sciences and Humanities 417


Littlejohn, Stephen W. 1992. Theories of Human Communication. California: Wadsworth
Publishing Company.
Mardimin, Johanes. 1994. Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat
Indonesia Moderen. Yogyakarta: Kanisius.
Porter, Richard E. dan Samovar, Larry A. 2005. Suatu Pendekatan terhadap Komunikasi
Antarbudaya. Dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (Eds.).
Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan orang-orang Berbeda
Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sadtono, E. 2002. Perlukah Kita Memahami Kebudayaan Asing? Makalah disajikan dalam
Kursus Pramuwisata Muda Jatim di Surabaya pada 7—11 Oktober 2002.
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis
Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.
Singh, Ishtla. 1999. Language and Ethnicity. Dalam Linda Thomas dan Shan Wareing (Eds.).
Language, Society, and Power. New York: Routledge.
Snijders, Adelbert. 2004. Antropologi Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan. Jogyakarta:
Kanisius.
Spradley, James P. 1985. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Sukidin, Basrowi, dan Agus Wiyaka. 2003. Pengantar Ilmu Budaya. Surabaya: Insan
Cendekia.
Sumaatmadja, Nursid. 2005. Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan
Hidup. Bandung: CV Alfabeta.
Sumardjo, Jakob. 2005. Ekologi dalam Seni Tardisi, (Online), ( http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2005/1205/17/02.htm, diakses 6 Februari 2006)
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (Eds.). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Thompson, M., Ellis, R., dan Wildavsky, A. 1990. Cultural Theory. Oxford: Westview Press.
Trudgill, Peter. 1983. Sociolinguistics: An Introduction to Language and Society.
Harmondsworth: Penguin.
Van Dijk, Teeun A. 1987. Communicating Racism : Ethnic Prejudice in Talk and Thought.
London: Sage.

418 Seminar Internasional

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai