Anda di halaman 1dari 128

PERUBAHAN PADA PRAKTEK TRADISI BOKA

DI MASYARAKAT BUTON

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Harsin

NIM 109032200005

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M / 1436 H
ABSTRAK

HARSIN

PERUBAHAN PADA PRAKTEK TRADISI BOKA DI


MASYARAKAT BUTON

Skripsi ini secara umum mendiskripsikan perubahan pada praktek


tradisi Boka yang ada dalam masyarakat Buton. Boka ditinjau dalam
upacara pernikahan masyarakat Buton mulai teruduksi dengan perubahan
nilai. Sebagaimana diketahui tradisi atau ptaktek boka sekarang sudah
banyak mengalami perubahan dari peraktek dan nilai yang disebabkan
beberapa faktor internal dan ekternal. Dan boka akan mengalami
kemirisan yang akan hampir ditinggalkan oleh masyarakat Buton.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan subyek pada


penelitian ini adalah tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat buton
setempat. Sedang tipe penelitian yang dilakukan adalah penelitian
deskriptif yaitu melalui studi pustaka, pengumpulan data, dan wawancara.
Dengan tujuan dapat menghasilkan dan memberikan hasil yang nyata dan
jelas tentang perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat Buton
khususnya dalam kasus praktek tradisi Boka dalam pernikahan.

Dalam hasil penelitian ini menunjukan bahwa perubahan praktek


tradisi Boka pada pernikahan yang terjadi di masyarakat Buton mengalami
perkembangan dinamis seiring dengan perkembangan manusia dan zaman
itu sendiri. Perubahan ini disebabkan oleh kendala dari internal dan
eksternal masyarakat Buton, berlangsung melalui difusi dalam bentuk
percampuran budaya atau disebut akulturasi dengan adanya discovery
dengan dukungan beberapa faktor yaitu, faktor geografis (pesatnya
penduduk dan interaksi kultur budaya, dan faktor ekonomi dan gaya hidup
masyarakat.

i
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬


Alhamdulillahi Robbil ‘alamin. Segala puji syukur kepada Allah SWT Tuhan semesta

alam yang telah memberikan segala rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang telah direncanakan dan dalam

rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar sarjana Sosial (S. Sos) Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi besar

Muhammad SAW, sebagai tauladan dan panutan bagi seluruh umat manusia sampai akhir

zaman.

Dalam melakukan penelitian ini, penulis sangat terbantu oleh partisipasi dari berbagai

pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung dan atas bantuan motivasi

serta masukan terhadap penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu

dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut

membantu, diantaranya;

1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak M. Hasan Ansori, Ph.d, selaku pembimbing skripsi penulis yang senantiasa

membimbing, memotivasi dan menginspirasi penulis, sehingga penulis mampu

menyelesaikan tugas akhir ini Jazakumullah Khoiran Katsiron

3. Ibu Dr. Cucu Nurhayati, M.Si, selaku ketua Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu

Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah yang selalu memberikan ilmu dan motivasi

kepada mahasiswanya.

4. Bapak Husnul Khitam, M.Si selaku sekertaris jurusan yang telah mendukung dan

memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

ii
5. Ibu Joharotul Jamilah selaku dosen pembimbing akademik yang selalu mendukung dan

memotivasi penulis menyelesaikan skripsi.

6. Segenap dosen akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Khususnya Program Studi Sosiologi yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu, atas segala ilmu dan pengetahuan selama penulis menempuh studi

di kampus ini, baik di dalam maupun di luar kelas perkuliahan

7. Surga dan ridho dari Sang Rahman Kedua Orang Tua Penulis yang tercinta kepada

Ayahanda Hamid S.Pd dan Ibunda Nur Ani Sufi S.E yang selalu mendidik, mendukung,

memberi motivasi dan mendoakan penulis setiap waktu, semoga Ananda dapat menjadi

anak yang shaleh, berbakti dan berguna bagi Kalian dan Keluarga serta orang-orang

yang membutuhkan Ananda. Serta untuk Kakak ku Hasfikin Sufi, S.S, M.Hum, dan

Adik-adikku Ed Harman S.E, Nuz Chairul Mugrib, Halim Akmal, Hasanatun niswa yang

selalu menghibur, menyemangati dan medoakan Penulis.

8. Pemerintah Kota Bau-bau dan Kabupaten Buton, para Toko adat dan Agama yang telah

banyak membantu penulis dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan

dalam menyelesaikan skripsi.

9. Teman-teman kelas Sosiologi angakatan 2009 yang tidak dapat penulis sebutkan selalu

memberikan semangat dan motivasi penulis. Keluarga Besar KAHFI Motivator School,

Bpk. Tubagus Wahyudi, KAHFI Angkatan 12, HIPPMIB, PMII, Bengkel Abstrak,

Topeng Ilustrasi serta teman-teman lain yang selalu memberi semangat dan bantuannya

dalam penyelesaian skripsi ini.

10. Teruntuk keluarga yang di Bintaro yang selalu memberikan doa dan dukungannya dalam

penulis menyelesaikan skripsi syukron katsiron ‘alakulli hal.

11. Dan untuk teman seperjuangan Huluq, Awal dan seluruh angkatan El Fata yang penulis

tidak bisa sebutkan terimakasih atas doa dan dukungannya..

iii
Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan Bapak, Ibu, dan Saudara-saudarai

atas semuanya dengan pahala yang berlipat ganda. Dan akhirnya tiada untaian kata yang

mampu mewakili rasa syukur ini kecuali ucapan Alhamdulillah robbil ‘alamin atas rahmat

dan kasih sayang dari Sang Maha Rahman. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis

khususnya dan pembaca umumnya.

Jazaa kumullah khairan katsiraa.

Wassalamualaikum, Wr, Wb
Jakarta, 12 Mei 2015

Harsin

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK……………………………………………………………………………… i

KATA PENGANTAR……………………………………………………………….... ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… iii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah..……………………………………………………….. 1

B. Pertanyaan Penelitian……………..…………………………………………..3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………………… 3

1. Tujuan Penelitian………………………………………………………………

2. Manfaat Penelitian……………………………………………………………

D. Kajian Studi Pustaka………………………………………………………….4

E. Kerangka Teoretis………………………………………………………….... 9

F. Metodologi Penelitian………………………………………………………..11

1. Pendekatan Penelitian………………………………………………..

2. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………..

3. Lokasi Penelitian…………………………………………………….

4. Subyek Penelitian…………………………………………………..

5. Jenis Data…………………………………………………………….

6. Sumber Data…………………………………………………………

7. Tekhnik Analisis Data……………………………………………….

G. Sistematika Penulisan…………………………………………………….… 15
BAB II : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BUTON DAN TRADISI BOKA

A. Wilayah Kekuasaan……………..………………………………………...….16

B. Istilah Kekerabatan dan Sistem Perkawinan………………………………… 19

C. Agama dalam Sistem Nilai Budaya Buton………………………………….. 21

D. Pernikahan/Perkawinan dan Tingkat Peraktek Boka……………………….. 24

BAB III : TEMUAN DAN ANALISA DATA

A. Kondisi Perubahan Tradisi Boka …………………………………………… 29

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Boka……..…….…………. 42

1. Kondisi Geografis-Pesatnya Penduduk dan Interaksi Kultur Budaya…

2. Faktor Ekonomi dan Gaya Hidup……………………………………..

C. Dampak Perubahan Tradisi Boka pada Masyarakat Buton………...………... 49

BAB IV: PENUTUP

A. Kesimpulan……………..………………………………………..……..……. 52

B. Saran…………………………………………………………...……………...53

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….....…...……… vii

LAMPIRAN-LAMPIRAN…………………………………………..…………………….. viii

Lampiran 1 Bukti Bimbingan

Lampiran 2 Surat Pengantar Permohonan Wawancara/Mencari Data Skripsi

Lampiran 3 Transkip Wawancara

Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian


BAB I

PENDAHULUAN

A Pernyataan Masalah

Skripsi ini membahas mengenai “Perubahan pada Praktek Tradisi Boka di

Masyarakat Buton. Buton menurut pengamatan secara geografis dari teritorial terdiri

dari pulau besar dan kecil yang tersebar pada kaki sebelah tenggara dan timur pulau

sulawesi. Menurut letaknya secara geografis, Buton dalam pengertian historis sebagai

salah satu pusat Imperium Kerajaan dan Kesultanan adalah merupakan kesatuan

daerah maritim di kawasan timur Nusantara yang meliputi gugusan pulau-pulau yang

terdiri dari pulau Buton, pulau Muna, pulau Kabaena, pulau Siompu, pulau Kadatua,

pulau Batuatas, gugusan Kawi-Kawia,Adonara, kepulauan Tukang Besi, kepualauan

Tiworo, kepulauan Tiworo, kepulauan Talaga, daratan Poleang dan Rumbia. Kerajaan

Buton saat itu merupakan pusat daerah perdagangan di kawasan timur nusantara

setelah Makasar dan Buton.

Pada zaman bertahtanya Sultan Buton yang keempat, yaitu Sultan Dayan

Ihsanudin (La‟ Elangi), sekitar tahun 1597-1631 perdagangan di kerajaan Buton

mengalami masa kejayaan. Para pedagang dari Melayu, China, Arab, Persia, dan

Gujarat. datang dengan kapal-kapalnya ke kerajaan Buton. Mengingat bahwa semua

transaksi di wilayah kerajaan Buton harus menggunakan uang Kampua, maka

sebelumnya para pedagang tersebut harus menukarkan uang mereka dengan mata

uang Kampua. Berbeda dengan kerajaan lainnya seperti kesultanan lainnya yang

menggunakan mata uang yang dibuat dari emas atau logam, kesultanan Buton

bertransaksi menggunakan mata uang kampua yang terbuat dari kain. Penukaran

1
dilakukan di Money Changer yang banyak terdapat di pelabuhan ataupun di lokasi-

lokasi perdagangan.(Palalloi, 2011: 53)

Pada awal pembuatanya, standard yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu

“bida” (lembar) Kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Namun

dalam perkembangan selanjutnya,standard ini diganti dengan nilai “Boka” di mana

satu Bida sama dengan 30 Boka. Boka adalah suatu standard nilai yang umum

digunakan oleh masyarakat Buton. Namun setelah Belanda mulai memasuki wilayah

Buton sekitar tahun 1851 dan dihapuskannya kesultanan Buton pada 1960 yang

kemudian integrasi total ke dalam tatanan negara Indonesia menyebabkan fungsi boka

sebagai satuan standard nilai mata uang kampua pun hilang. Walaupun demikian boka

masih digunakan pada waktu upacara-upacara adat perkawinan dan

kematian.(Darmawan, 2008: 83)

Dalam perkawinan adat Buton, satuan nilai „boka‟ digunakan sebagai acuan

untuk menentukan jumlah biaya yang akan dikeluarkan untuk serangkaian upacara-

upacara adat perkawinan. Karena masyarakat Buton menganut sistem patrilinear maka

sebagai pihak laki-laki yang akan meminang perempuan harus menyiapkan popolo

(mahar). Besaran mahar tersebut sesuai dengan derajat keluarga pihak perempuan.

Semakin tinggi status sosial calon mempelai perempuan, maka nilai mahar yang harus

dibayar juga semakin tinggi. Begitupula jika perempuan itu memiliki pendidikan yang

tinggi, maka semakin tinggi pula boka yang harus dikeluarkan. Namun seiring dengan

perkembangan zaman, praktek tradisi boka mulai tereduksi. Pada saat ini prinsip-

prinsip yang dipegang dalam praktek tradisi boka mengalami dinamika perubahan.

Sebagian masyarakat Buton sekarang enggan menggunakan ukuran boka yang telah

ditentukan pemuka adat dalam rangkaian proses perkawinan. Soal kerumitan dan

2
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan memungkinkan mereka untuk lebih memilih

bernegosiasi langsung dengan pihak mempelai. (Darmawan, 2008: 86-87)

Atas dasar itulah peniliti tertarik untuk mengetahui lebih mendalam dan

menjelaskan mengenai bagaimana perubahan pada praktek tradisi boka, khususnya

dalam perkawinan adat di masyarakat Buton.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pernyataan masalah yang penulis kemukakan di atas, maka untuk

mempermudah dalam memahami penelitian ini maka penulis membuat rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Pada tataran apa proses perubahaan yang terjadi pada masyarakat Boka ?

2. Faktor apa saja yang menyebabkan perubakan Boka ?

3. Apa dampak perubaan tradisi Boka pada masyarakat Buton secara keseluruan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui proses perubahan boka yang terajadi di masyarakan Buton

a) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan Boka pada

masyarakat Buton

b) Untuk menjelaskan dan memahami terkait perubahan Boka dan dampak

perubahan bagi masyarakat Buton.

2. Manfaat Penelitian

a) Manfaat praktis, bisa bermanfaat bagi pemerintah daera dan dinas setempat

terkait dalam kazanah kebudayaan daerah yang patut untuk dipertahankan

dan dilestarikan khususnya desa Lanto kecamatan Betoambari kabupaten

Buton Selatan.

3
b) Manfaat Akademis, dapat bermanfaat bagi kelangsungaan akademik sekaligus

sebagai khasanah pegetahuan dalam masalah prkembangan disiplin ilmu sosial

serta sebagai bahan masukan bagi peneliti selajutnya untuk melakukan study

yang serupa.

D. Kajian Studi Pustaka

Untuk membatu kelancaran penulisan ini, terdapat beberapa literatur yang

membahas mengenai adat istiadat perkawinan dan konsep mahar dari berbagai daerah

di Indonesia.Karena disetiap daerah memiliki adat budaya perkawinan dan mahar

yang berbeda pula.

Pertama: Tesis tahun 2002 yang ditulis oleh Nurfaidah Said mahasiswa

Universitas Indonesia, fakultas pascasarjana-UI, program studi Ilmu Kajian Wanita,

mengenai “ Tanah Sebagai Mahar Dalam Perkawinan Studi Kasus Perempuan Suku

Bugis-Makassar Di Sulawesi Selatan Yang Menerima Tanah Pada Waktu Menikah”

tahun 2002. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa perempuan dalam perkawinan suku Bugis-Makassar sudah

memahami sejak awal yaitu pada proses pelamaran bahwa ia akan menerima tanah

sebagai mahar dalam perkawinannya. Pemahaman ini sebagai langkah awal untuk

mengetahui hak-hak perempuan atas tanah tersebut.Terdapat tiga pola dalam

pemilikan perempuan atas tanah pemberian yaitu (1) pemilikan tanah pemberian

secara penuh; maksudnya memiliki sertifikat serta menikmati hasilnya (2) pemilikan

tanah pemberian hanya sebagian; maksudnya tidak memiliki sertifikat tetapi

menikmati hasilnya dan (3) pemilikan tanah pemberian hanya sebagai simbol,

maksudnya tidak memiliki sertifikat dan juga tidak menikmati hasilnya. Berdasarkan

pola pemilikan tersebut akses dan kontrol perempuan atas tanah dapat terjawabkan.

Pada pola pemilikan 1 dan 2 perempuan mempunyai akses dan kontrol, sedangkan

4
pada pola ketiga, perempuan sama sekali tidak mempunyai akses maupun kontrol.

Kontrol perempuan atas tanah terbagi dua yaitu kontrol atas penikmatan dan kontrol

atas pemilikan. Perempuan sebagai pemilik tanah yang diterimanya pada waktu

menikah belum terlindungi oleh hukum dalam hal ini Undang-undang pokok Agraria,

karena untuk mendaftarkan tanah tersebut masih diperlukan suratketerangan hibah

dari pihak laki-laki sebagai pemberi kepada perempuan (Nurfaidah Said, 2002).

Kedua: Tesis yang ditulis oleh Rika Suryani mahasiswi Universitas Andalas

mengenai “Teniron dan Mahar Menurut Hukum Adat Perkawinan di Kecamatan

Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues”.Penelitian ini menggunakan pendekatan

kualitatif dengan memakai metode purposive sampling.Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa ketentuan adat Gayo tentang Teniron merupakan lembaga

hukum dalam perkawinan berupa kewajiban menyarahkan sejumlah uang atau barang

kepada keluarga mempelai wanita yang jenis dan jumlahnya telah disepakati.

Ketentuan tentang penetapan teniron dan mahar tergantung pada tingkat pendidikan

atau status sosial perempuan yang akan dinikahi, adapun bentuk-bentuk teniron yang

telah ditetapkan adalah : uang, emas, hewan ternak, sebilah pedang/rencong dan

barang berharga lainnya yang harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah (www.

garuda. dikti. go. id. http: // repository. unad. ac. id / 11608. di unggah tanggal 16

oktober 2012)

Ketiga: Tesis yang ditulis oleh Ayu Rafiqah. tentang “Makna Mahar (Jeulamee)

Sistem Perkawinan Aceh“ study kasus Makna Mahar(jeulamee) pada penghargaan

keluarga istri pada istem perkawinan suku Aceh (Deskriptif Di Kreueng Mane

kecamatan muara batu Aceh utara)”Masyarakat atau Suku Aceh adalah salah satu

suku bagian Negara Indonesia yang bertindak sebagai penganut Islam yang fanatik,

dan sudah sering dikatakan banyak orang. Begitu fanatiknya mereka (masyarakat

5
aceh), sehingga Islam dijadikan sebagai salah satu jati diri mereka Tetapi masih

belum banyak orang yang tau bahwa orang-orang Aceh pada masa lalu, bahkan

sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai masa mendatang, masih

sangat terikat dengan pola kehidupan adat dan adat istiadatnya, terutama dalam daur

hidup keseharian. Dalam adat perkawinan pada masyarakat Aceh harus melalui tahap

pemberian mahar.Dalam pelaksanaannya pemberian tersebut melalui keluarga antara

keluarga pihak mempelai laki-laki dan pihak keluarga mempelai perempuan.Pada

suku Aceh, khususnya kaum perempuan mahar sangat besar artinya.Bagi perempuan

Aceh mahar merupakan sebuah harga diri yang dimiliki serta merta laki-laki wajib

memenuhi pemberian mahar tersebut kepada kaum perempuan.

Hasil penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Makna Mahar dalam

Penghargaan Keluarga Istri pada Sistem Perkawinan Suku Aceh serta berapakah

Jumlah Mahar yang berlaku sekarang ini di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu

Kabupaten Aceh Utara.Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian

kualitatif dengan memakai studi deskriptif. Untuk pengumpulan data yang di

butuhkan adalah proses wawancara dan observasi. Dari hasil penelitian yang telah

dilakukan maka diketahui bahwa mahar dalam masyarakat Aceh sangat

diperhitungkan.Untuk menuju suatu hubungan perkawinan, maka terlebih dahulu

harus dipenuhi syarat dan ketentuan dalam suatu perkawinan, yaitu salah satunya

tercapainya dalam pemberian mahar.Dalam penentuan mahar keluarga perempuan

sangat berperan aktif dalam pengambilan keputusan.Dimana suatu keputusan harus

melalui keluarga.Pemberian mahar yang berlaku saat sekarang ini di Krueng Mane

berkisar 15 manyam, 30, sampai 50 manyam.Hal tersebut dilakukan, suatu adat telah

menetapkan setelah perkawinan dilakukan pihak mempelai laki-laki wajib tinggal

bersama mempelai perempuan/ikut bersama istri dan hidup dilingkungan

6
perempuan.(www. garuda. dikti. go. id. http://repository.unad.ac.id/11608. 16 oktober

2012).

Keempaat: Tesis yang dituliskan oleh Hadiani Fitri mengenai “Kajian

Antropologi terhadap Perubahan Sosial didalam pemberian Maskawin pada adat

perkawinan Sipirok di Kota Medan”, penelitian yang dilakukan dengan endekatan

kualitatif dengan memakai analisis pendekatan yang mendalam dengan mengunakan

sampel penelitian purposive sampling yang diambil dari mereka yang terlibat

langsung dengan teknik wawacara dan informasi, serta turut didalam upacara yang

diselenggarakan sehubung dengan objek yang diteliti (Hadiani Fitri 2007). Penelitian

ini menganalisis pemberian maskawin ketika seorang istri yang dilihat dari suku

Batak Sipirok yang telah merantau ke Medan. Tujuannya adalah untuk mengkaji adat

tersebut masih tetap bertahan atau sudah mengalami perubahan di tengah-tengah

kimunitas Sipirok yang merantau ke Medan (Hadiani Fitri, 2007). Hasil penelitian

diperoleh bahwa perubahan sosial yang terjadi di dalam komunitas Sipirok di Kota

Medan dapat diketahui berdasarkan dua faktor, yaitu intern dan faktor ekstern.Faktor

intern adalah akar budaya yang ada pada masyarakat Sipirok sendiri, senangkan faktor

ekstern adalah berddasarkan faktor agama, ekonomi, pendidikan serta lingkungan

sosial tempat tinggal dimana mereka mengambil tempat sebagai kediaman dan

perkawinan campur.

Kelima: Tesis yang ditulis oleh Julia Halim dengan judul “pengaruh perubahan

sosial pada sistem kekerabatan masyarakat keturunan China Tanggerang

selatan”.Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah metode

penelitian kepustakaan dan metode penelitian lapangan (Julia Halim, 2002). Hasil

penelitian menunjukan bahwa perbedaan umur, status perkawinan dan tingkat

7
pendidikan dari respoden masyarakat keturunan China, menjadi salah satu faktor yang

menyebabkan perubahan sosial, disamping faktor-faktor utama lainnya.

Keenaam: Tesis yang ditulis oleh Ridwan Syaukani mengenai “Perubahan

Peran Mamak dalam Perkawinan Bajapuik Pada Masyarakat Adat Minangkabau di

Nagari Sintuok Toboh Gadang Pariaman”.Penelitian ini dilakukan secara kualitatif

dengan dskriptif analitis, mencoba menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi

dalam peran Mamak dalam perkawinan Bajapuik masyarakat Sintuok Toboh Gadang

Padang Pariaman” (Ridwan Syaukani, 2003).Hukum adat Minangkabau menganut

sistem Matrilineal, yang mana dalam menentukan diri dan keluarga hanya ditentukan

oleh garis Ibu. Dalam adat tradisi Minangkabau, seorang laki-laki saudra kandung Ibu

disebut Mamak.Ia sangat berpengaruh terhadap kehidupan kemenakan-

kemenakannya, termasuk perannya dalam prosesi pernikahan kemenakannya. Adapun

hasil temuan penelitiannya menunjukkan, bahwa dalam kenyataan dewasa ini telah

terjadi perubahan fungsi Mamak dalam perkawinan adat Minangkabau masyarakat

Sintuok Toboh Gadang padang Pariaman, khususnya dalam bidang erkawinan

Bajapuik, yang semula mamak bertanggung jawab kepada kemenakannya, tapi

sekarang beralih tanggung jawabnya terhadap kehidupan anak dan istrinya.

Beberapa kepustakaan dan hasil penelitian terdahulu yang memfokuskan pada

hal jender, dan hukum perkawinan. Namun penelitiberbeda dari studi-studi di atas,

dalam hal ini peneliti ingin mengkaji bagaimana perubahan budaya adat yang terjadi

disebabkan perubahan sosial masyakat pada upacara perknikahan khususnya pada

upacara pemberian mas kawina.Dimana dalam penelitian ini dari perubahan tersebut

bisa berdampak terhadap tatanan nilai adat pada budaya.Serta peneliti juga ingin

melihat hal yang menyebabkan terjadinya perubahan budaya pada masyakat tersebut.

8
E. Kerangka Teoretis

Menurut Kingsley Davis (Soerjono, 1990: 341-342), perubahan sosial adalah

perubahan yang terjadi di dalam struktur dan fungsi masyarakat.Sebagaimana yang

dikatakan oleh Selo Soemarjan (Soerjono Soekanto,1990:333-337) bahwa perubahan

sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam

suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalam nilai-nilai

sikap dan pola perilaku kelompok-kelompok di dalam masyarakat. Ciri-ciri perubahan

sosial adalah:

a. Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya karena setiap

masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau secara cepat.

b. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti

dengan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya.

c. Perubahan sosial yang cepat biasanya akan mengakibatkan diorganisasi yang

bersifat sementara karena berada di dalam proses penyesuaian.

Perubahan di suatu bidang secara langsung atau tidak langsung akkan mengakibatkan

perubahan di bidang lain. Seperti halnya perubahan dalam meningkatkan taraf hidup

(pembangunan), maka akan dapat pula mempengaruhi dan mengubah sikap, nilai-

nilai, yang selama ini dianut. Nilai-nilai yang selama ini menjadi pedoman mulai

benturan yang diakibatkan masuknya pengaruh nilai dari luar, hal ini sesuai dengan

pendapat Soerjono Soekanto bahwa, setiap masyarakat selama hidupnya pasti

mengalami perubahan. Perubahan itu dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma

sosial, pola perilaku, organisasi sosial, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-

lapisan sosial dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan

lainnya.Perubahan sosial terjadi pada semua masyarakat dan dalam setiap prosesd an

waktu, dampak perubahan tersebut dapat berakibat positif dan negatif.

9
Soerjono Soekanto (2001:338) berpendapat bahwa ada kondisi-kondisi sosial primer

yang menyebabkan terjadinya perubahan. Misalnya kondisi-kondisi ekonomis,

teknologis dan geografis, atau biologis yang menyebabkan terjadinya perubahan-

perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Sebaliknya ada pula yang

mengatakan bahwa kondisi tersebut sama pentingnya, satu atau semua akan

menghasilkan perubahan-perubahan sosial. Perubahan-perubahan di suatu bidang

secara langsung atau tidak langsung akan mengakibatkan perubahan bidang lain.

Dalam Soerjono Soekanto, (1983: 33), tentang konsep Gillin dan Gillin menyatakan

bahwa perubahan sosial budaya merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang

diterima, yang disebabkan oleh perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil,

komposisi penduduk, ideologi serta adanya difusi atau pun penemuan-penemuan baru

dalam masyarakat.(Sztompka, 2007:35). Seperti halnya perubahan dalam

meningkatkan taraf hidup (pembangunan), maka akan dapat pula mempengaruhi dan

mengubah sikap, nilai-nilai yang selama ini dianut. Nilai-nilai yang selama ini

menjadi pedoman mulai mengalami. Benturan yang diakibatkan oleh masuknya

pengaruh nilai. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Soerjono Soekanto bahwa, setiap

masyarakat selama hidupnya pasti mengalami Perubahan . perubahan itu dapat

mengenai nilai sosial, norma sosial, pola perilaku organisasi sosial, susunan lembaga

kemsyarkatan, lapisan sosial dalam masyarakat, kekuasaan wewenang dan interaksi

sosial.(Wahyu, 2005:53)

Perubahan sosial terjadi pada semua masyarakat dan dalam setiap proses dan

waktu, dampak dari perubahan tersebut dapat berakibat postif dan negatif. Terjadinya

perubahan sosial merupakan gejala yang wajar dalam kehidupan manusia, demikian

parson berpendapat bahwa teori tindakan sama-sama memperhatikan prasyarat

10
stabilitas dan prasyaratan perubahan Namun seiring dengan perkembangan zaman,

praktek tradisi boka mulai tereduksi. Pada saat ini prinsip-prinsip yang dipegang

dalam praktek tradisi boka mengalami dinamika perubahan. Sebagian masyarakat

Buton sekarang enggan menggunakan ukuran boka yang telah ditentukan pemuka

adat dalam rangkaian proses perkawinan. Soal kerumitan dan mahalnya biaya yang

harus dikeluarkan memungkinkan mereka untuk lebih memilih bernegosiasi langsung

dengan pihak mempelai (Zuhdi,2010:72-74).

F. Metodelogi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian digali melalui pendekatan kualitatif deskritif yaitu bertujuan

membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta dan

sifat-sifatpopulasi atau objek tertentu (Kriyantono, 2008: 69) dan menurut

Bogdan dan Taylor, metodelogi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang

menghasilkan data seskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang

dan pelaku yang dapat diamati (Moleong, 1998: 3),selain itu penelitian deskriptif

digunakan untuk menjelaskan secara sistemmatis fakta atau karateristik pada

masalah tertentu.

Penulis mengambil pendekatan penelitian tersebut berdasarkan pertimbangan

bahwa penelitian kualitatif menjelaskan suatu fenomena melalui pengumpulan

data dan menghasilkan data yang jelas tentang pokok permsalahan yang akan di

angkat dalam penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara (interview)

Wawancara merupakan suatu peran antara pribadibertatap muka (face to

face), ketika yakni seorang pewancara mengajukan sejumlah pertanyaan-

11
pertayaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relavan

dengan masalah penelitian kepada seorang informan. (Amiruddin, Zainal,

2004: 82).

b. Studi Dokumentasi

Studi Dokumentasi, yaitu meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari

bahan hukum primer dan hukum sekunder. (Amiruddin, Zainal, 2004: 68).

c. Pengamatan (observasi)

Pengamatan, yaitu kegiatan dalam penelitian yang memperhatikan suatu

keadaan secara jelas dan merumuskan nilai-nilai yang dianggap berlaku

dalam masyarakat tertentu agar hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan

yang menjadi sasaran pengamatan.

3. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan padasatu kabupaten yang berada di Provinsi

Sulawesi Tenggara yaitu kabupaten Buton.Kabupaten ini dipilih karena merupakan

pusat kerajaan Keraton Buton.Dimana adat dan tradisi budayanya masih kental

mengikuti orang-orang terdahulunya dengan aturan keraton tersebut.Apa lagi

dalam tradisi pernikahan. Adapun lokasi penelitian yang akan penulis ambil untuk

melakukan penelitian adalah di wilayah Keraton, Batu Poaro, Tolandona, dan

Lipu. Alasan penulis memilih lokasi tersebut adalah untuk menjelaskan

bahwasanya tradisi Boka untuk mahar dalam pernikahan adat istiadat di Buton

memiliki nilai-nilai tersendiri yang bias dilihat dengan hasil penelitian.

4. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini terdiri masyarakat yang beretempat tinggal di

Buton.Pemilihan informan utama diambil dengan teknik purposive sampling, yaitu

12
teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu, dimana informan

ditentukan berdaarkan criteria atau kualifikasi tertentu, yang dapat memperkaya

data penelitian (Lexy J.Meleong, 2009:186). Adapun masyarakat tersbut daritokoh

adat, tokoh masyarakat setempat, pegawai kantor urusan agama (KUA), Penghulu,

laki-laki dan perempuan masih keturunan keraton, dan laki-laki dan perempuan

orang yang bukan dari keturunan keraton, dan tokoh budaya yang ada ditempat

sebagai informan. Diharapkan dari dari para subyek dapat memberikan informasi

yang lengkap berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.Jumlah

keseluruhan informan utama 10 (sepuluh). Informan utama di wilayah keraton 5

(lima) orang, wilayah murhum 5 (lima) orang.

5. Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data kualitatif,

yaitu penelita menghasilkan data deskritif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang informan.

6. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer, yaitu: data yang diperoleh dari penelitian secara langsung dari

sumber asli. Data primer yang dimaksud adalah data yang dikumpulkan

melalui wawancara terhadap informan.Dalam melakukan wawancara, peneliti

menggunakan tape recording untuk merekam data/informan dari para

informan yang selanjutnya peneliti tulis dalam bentuk transkip.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu, data yang peneliti peroleh secara tidak langsung dari

sumbernya. Peneliti menggunakan teknik studi kepustakaan yaitu,

mempelajari literature yang relavan dengan permasalahan penelitian antara

13
lain; buku, tesis, data internet dan lain-lain. Sumber data sekunder dari

penelitain ini yaitu dengan mengumpulkan data melalui pustaka untuk

menbangun landasan toeri yang sesuai dengan permaslahan penelitain

sehingga dapat membantu dalam pembahasan masalah yang diteliti.

7. Teknik Analisis Data

Analisa data adalah prosedur mangatur urutan data mengorganisasikannya

ke dalam satu pola, kategori, dan dan stuan uruian dasar (Moleong, 1998:

68).Untuk data kualitatif, semua jawaban yang di berikan, terlebih dahulu

dibaca dan diteliti.Sebab itu, pertama; mengorganisasikan data tersebut secara

rapi, sistematis dan selengkap mungkin.Pengorganisasian data yang sistematis

dimasudkan untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan

analisis yang dilakukan, menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam

penyelesaian penelitian.Kedua; koding data pada materi yang diperoleh.Pada

tahap ini merupakan tahap yang paling penting dalam satu penelitian. Koding

data ini memaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data

secara lengkap, utuh dan mendetail sehingga dapat memunculkan gambaran

tentang topik yang dipelajari dan pada akhirnya akan dapat menemukan

makna dari data yang dikumpulkan. ketiga; kepekaan teoritis adalah dapat

mengembangkan teori dari dasar atau peneliti sedang berteori. teknik-teknik

meningkatkan kepekaan teoritis yaitu (1) mengembangkan pertanyaan-

pertanyaan, (2) menganalisis kata, frase, kalimat, (3) analisis tahap lanjut

melalui pembandingan. Keempat; pengujian terhadap dugaan adalah

merupakan kesimpulan sementara.Dugaan yang berkembang harus terus

dipertajam, diuji ketetapannya. Pengujian terhadap dugaan berkaitan erat,

14
bahkan bertumpuk dengan upaya mencari penjelasan-penjelasan yang berbeda

mengenai data yang sama.(Poerwandari, 1998: 86-104).

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam memahami isi skripsi ini, maka penulis

membaginya ke dalam empat bab. Di setiap bab penulisan akan membaginya ke

dalam sub-sub bagian. Adapun sistematika Penulisan skripsi ini ialah sebagai

berikut:

Bab I terdiri dari pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian,

analisi data, teknik penulisan, dan sistematika penulisan

Bab II Menjelaskan tentang gambaran umum wilayah kekuasaan,

masyarakat Buton, Istilah Kekerabatan dan Sistem Perkawinan, Agama dalam

Sistem Nilai Budaya Buton, dan Pernikahan/Perkawinan dan Tingkat Praktek Boka

Bab III tentang temuan dan analisa data dari hasil penelitian mengenai Pada

tataran apa, perubahan terjadi pada tradisi boka, faktor apa saja yang menyebabkan

perubahan boka, dan apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat Buton

secara keseluruhan.

Bab IV Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran dari penelitian skripsi

ini.

15
BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BUTON DAN TRADISI BOKA

A. Wilayah Kekuasaan

Membahas kaitan antara keadaan geografi dengan wilayah kekuasaan suatu

kerajaan di Indonesia, pada masa lampau dengan sumber lokal tidaklah mudah.

Sumber lokal tidak menerangkan batas-batas wilayah kekuasaan secara jelas.

Membicarakan konsep wilayah di kerajaan tradisional Asia Tenggara, pada umumnya

tidak dapat di pisahkan dari penduduk. Di kerajaan agraris Jawa, misalnya wilayah

kekuasaan tidak ada artinya jika konsep cacah dilepaskan. Pulau-pulau dan perairan

yang merupakan wilayah kekuasaan bagi kerajaan maritim seperti Buton, juga tidak

berguna tanpa penduduk yang mendiaminya. Berdasarkan histografi tradisional

Ajonga dan kanturuna, pulau-pulau yang di nyatakan sebagai wilayah kerajaan Buton

berhubungan dengan konsep penduduk (Zuhdi, 2010 : 76)

Suatu wilayah kekuasaan yang disebut sebagai kesultanan umum dikenal

dalam sejarah Indonesia sesudah memasuki Islam. Sebutan Islam ditiru dari negeri-

negeri Arab atau timur Tengah untuk raja yang telah di kenal sebelumnya. Sultan

untuk pertama kali digunkan di Buton oleh Lakilapont bergelar Sultan Qaimuddin

(“peletak Agama”). Sebelu itu, para penguasa tertinggi di wilayah politik Buton

(Zuhdi, 2010: 76).

Lapis ketiga disebut papara. Papara adalah orang yang mendiami komunitas

yang di sebut kadie, suatu wilayah hukum yang dalam tata negara traisional (Anceaux

1987:54). Perbedaan antara kedua lapis sosial yang disebut pertama dengan papara

adalah mengenai asal-usuknya (kamia-nya). Paparah adalah “orang jauh” atau “orang

16
yang tidak diketahui asal-usulnya.” Kaomu dan walaka mempunyai nenek moyang

yang sama, yakni “ Si empat orang” (Mia Patamiana) yang dianggap pendiri kerajaan

Buton. Dalam tradisi lokal mereka datang dari negeri Johor. Lapis keempat adalah

batua atau budak. Dalam kelompok sosial budak dikenal beberapa istila. Batua

mulanya berasal dari papara juga karena tidak mampu membayar utang atau

melanggar adat, maka mereka ditetapkan sebagai budak. Kantinale adalah budak yang

asalnya dari orang merdeka kemudian ditempatkan di suatu kampung tertentu.

Adapun paraka adalah orang yang dirampas dari tangan musuh. (Zuhdi, 2010:77)

Lebih jauh tentang terjadinya pelapisan sosial yang sangat berbeda, antara

kedua teratas yakni koumu dan walaka dengan papara karena asal-usul mereka.

Kaumu dan walaka adalah keturunan dari nenek moyang pembentuk atau suatu

komonitas sosial dan peletak kerajaan Buton. Seperti telah diterangkan di atas, mitos

asal usul yang di akui bersama (myths of common origins), tentang pembentukan

kerajaan Buton adalah pendaratan Sipanjonga beserta pengikutnya di Buton. Kegiatan

membuka semak belukar dalam bahasa Wolio disebut “Welia”. Dan situ terjadi

pemisahan antara kelompok yang menyebut sebagai orang Wolio dan bukan Wolio.

Kemudian terjadi pemilihan antara kaoumu dan walaka. Kaomu golongan bangsawan

dari mana calon sultan dipilih, menyatakan dari mereka keturunan langsung dari

Wakaka pendiri kerajaan Buton. Papara atau rakyat pada umumnya adalah unsur

penting dalam struktur masyarakat Buton karena peran manfaatnya yang besar sekali.

Karena dari dukungan dan peranannya itu, sultan memperoleh kebesarannya, karena

adanya papara, maka keberadaan golongan bangsawan tegak berdiri. Dari sumber

tradisi lokal inilah dapat diterangkan terjadinya tahap-tahap perkembangan wilayah

kekuasaan Buton melalui bertambahnya rakyat (papara). (Zuhdi, 2010:77-78).

17
Pertama apa yang disebut rakyat adalah papara yang dibawa oleh Lakilaponto

kemudian ditetapkan oleh sara (undang-undang kerajaan). Ia anak Raja Muna yang

mengawini putri Raja Buton. Ayah mertuanya kemudian mewarisi Lakilaponto

sebagai sultan. Ketika itulah, ia membawa sejumlah pengikut dari Bombawanulu dan

Lakudo dua daerah di Muna bagian selatan. Ternyata, para pengikut itulah yang

menjadi rakyat pertama bagi kesultanan Buton. Adapun, orang yang berhak memiliki

mereka adalah golongan kaoumu dan walaka. Pemilikan itu telah dimufakati

berdasarkan sara atau undang-undang (kerajaan). (Zuhdi, 2010: 79)

Tahap perkembangan kedua adalah rakyat pusaka yang disebut talubirana,

yaitu golongan ketiga dalam masyarakat Buton. Mereka berasal dari daerah yang di

taklukkan atau budak belian atau penduduk di sebuah negeri ang terhukum (Anceaux,

1987:175). Semua diserahkan kepada kerajaan sebagai pembantu kerajaan. Dalam

perkembangannya terakhir, pertambahan penduduk berasal dari siolipuna sebagai

katagori ketiga. Siolipna harfiah “kampung sembilan”, yang bergabng dengan

kesultanan Wolio. (Zuhdi, 2010:79-80)

Tiworo adalah kerajaan kecil yang berada di bagian utara Pulau Muna. Wuna

atau Muna minus bagian selatan, yaitu Lakudo, dan Mawasangka merupakan daerah

kesutanan kerajaan vassal Muna. Kaledupa adalah kerajaan vassal yang merupakan

gugus kepulauan Tukang Besi. Kerajaan vassal Kulesusu terletak di bagian utara

Pulau Buton. Bagi kerajaan tradisional seperti Buton, konsep tentang wilayah dapat

dipahami tidak dalam arti ruang, tetapi yang penting adalah rakyat atau dalam hal ini

papara. (Zuhdi 2010:81).

18
B. Istilah Kekerabatan dan Sistem Perkawinan

Istilah kekerabatan tidak banyak berbeda di ketiga daerah Baadia, Lia, dan

Rongi. Tidak dibedakan antara hubungan kekerabatan dan pihak bapak atau ibu. Juga

tidak banyak perbedaan antara istilah kekerabatan yang berkaitan dengan kelamin.

Untuk bapak dan ibu di gunakan istilah yang berbeda, tetapi untuk kakek dan nenek

tidak. Perbedaan dapat dibuat antara kakek, buyut lelaki, dan moyang lelaki ayah, bila

seorang ingin membedakan kakek-nenek yang berlainan. Istilah tidak banyak

diperluas ke arah kedua belah pihak. Namun, di ketiga daerah itu, perbedaan penting

dibuat antara saudara sepupu laki-laki dan perempuan pada tingkat pertama, kedua,

ataupun ketiga, dan di Baadia bahkan tingkat keempat. (schoorl, 2003:240-241).

Di ketiga daerah itu istilah hampir sama, yakni tolida, topendua, topentalu,

dan di Baadia untuk sepupu tingkat keempat, topenaba. Perbedaan ini berperan

penting dalam sistem perkawinan. Akan tetapi, dalam hal perkawinan ini arti

hubungan kekerabatan antara ketiga daerah itu berbeda. Di Baadia perkawinan antara

tolida diperkenankan. Di Lia perkawinan antara tolida tidak diperbolehkan, tetapi

perkawinan antara topendua disukai. Di Rongi perkawinan antara topendua dilarang

dan bahkan antara topentalu tidak terlalu disukai. Di sini, perkawinan antara orang

yang tidak mempunyai hubungan keluarga (dalam sistem kekerbatan), lebih disukai.

Di Baadia dan di Lia sangat disukai perkawinan-perkawinan dengan topendua dan

topentalu dan seperti tersebut di atas, di Baadia malahan dengan tolida. Di Baadia dan

Lia terdapat ungkapan bahwa ikatan keluarga diperkuat kembali, dan hubungan

hubungan antara kelurga dipererat lagi melalui perkawinan yang demikian.

Keterangan lain yang membenarkan perkawinan dalam hubungan kekerabatan:

19
kesulitan dalam perbedaan perilaku dan sikap, dihindari. Selanjutnya barang milik

yang diwarisi dari generasi kegenerasi terdahulu, dikumpulkan kembali, yakni harta

pusaka seperti perhiasan dan senjata (keris), juga berbagai ilmu yang sering juga

ditulis dalam dokumen. (Schoorl, 2003:241).

Hal-hal ini tidak terlalu penting di Rongi, karena semua perkawinan di Rongi

dilangsungkan antara penduduk Rongi sendiri. Maka, hampir semua orang adalah

sanak satu sama yang lain, walaupun tidak selalu nampak dalam sistem istilah

kekerabatan. Di ketiga daerah itu perkawinan antara perempuan golongan lebih tinggi

dan laki-laki golongan lebih rendah dilarang. Namun, laki-laki dari golongan lebih

tinggi diperkenanka kawin dengan perempuan dari golongan lebih rendah. Anak-anak

ikut kedudukan bapak.(Schoorl, 2003:241)

Pada zaman dahulu, perkawinan antara waode (perempuan) dan walaka (laki-

laki), misalnya, memang terjadi, akan tetapi dalam hal ini diminta maskawin yang

lebih tinggi (dua atau tiga kali maskawin yang biasa). Kini masih terdapat keengganan

terhadap perkawinan antara wanita golongan lebih tinggi dan laki-laki golongan lebih

rendah. Namun, kedudukan golongan yang biasanya rendah dapat diimbuhi dengan

pendidikan dan pekerjaan yang terhormat. Dalam hal demikian itu, maskawin yang

lebih tinggi (dua atau tiga kali) diminta. Dewasa ini timbul perlawanan dari mereka

secara tradisional berkedudukan lebih rendah, karena hal ini dirasakan sebagai

diskriminasi. Dama perkawinan masih sangat terasa adanya perbedaan sosial

berdasarkan pada adat istiadat. (Schoorl, 2003:242).

Dalam hal perkawinan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kelompok

yang memiliki status sosial (kamia) kaomu sangat mengidealkan bahkan

menganjurkan untuk kawin dengan kelompok dengan kelompok yang memiliki status

20
sosial (kamia) kaomu, kelompok yang memiliki status sosial (kamia) walaka dengan

sesama walaka, demikian juga kelompok yang memiliki status sosial (kamia) papara

juga dengan kelompok papara. Berdasarkan adat masyarakat Buton, nilai mahar

kelompok status sosial (kamia) kaomu adalah sebesar 95, 105 dan 115 boka sedang

kelompok yang memiliki status sosial (kamia) walaka sebesar 32 boka, dan kelompok

papara 12 dan 18 boka.(Fahimuddin, 2011:334).

Perkawinan silang antara dua lapis sosial sangat sulit untuk dihindari terjadi

seiring dengan perubahan kehidupan sehari-hari masyarakat Buton. Oleh karena itu,

perkawinan antara lapis sosial yang sering terjadi adalah antara kelompok kaomu dan

walaka. Seorang laki-laki yang memiliki status sosial (kamia)kaomu kawin dengan

perempuan dengan status sosial (kamia) walaka dapat dengan menggunakan mahar

yang besarnya sesuai dengan besarnya mahar yang berlaku pada kelompok walaka

yaitu 32 boka, sedangkan apabila laki-lakinya adalah yang memiliki status sosial

(kamia) walaka kawin dengan wanita yang memiliki status sosial (kamia) kaomu

maka laki-laki tersebut akan melaksanakan kewajiban membayar mahar pada

kelompok kaomu ditambah denda 100%. (Fahimuddin, 2011:334-335)

C. Agama dalam Sistem Nilai Budaya Buton

Secara historis etnik buton, merupakan gabungan dari berbagai etnik yang dari

penduduk asli dari para pendatang yang berasal dari Melayu dan Tiongkok. Dengan

demikian sejak mula pembentukannya, etnik ini telah mengacu pada prinsip nilai-nilai

kebersamaan, sehingga secara genealogi orang Buton atau disebut juga dengan orang

Wolio, sudah akrab dengan nilai-nilai pluralitas yang mengendalikan pentingnya

toleransi dan penguatan nilai-nilai kebersamaan. (Alifuddin, 2007:140)

21
Menurut Tarimana, empat pilar penyangga etika dan integrasi sosial

masyarakat Buton, berikut empat nilai yang harus dihindari oleh masyarakat

sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang martabat Tujuh kesultanan Buton

didasarkan atas sebua hadis “man arafa nafsahu arafa rabbahu”, artinya barang siapa

yang mengenal keadaan dirinya yang sejati, tentu ia akan mengenal keadaan

Tuhannya yang kekal. Maksudnya hubungan antara Tuhan dan hambanya sedemikian

dekat dan eratnya, dan mengambarkan hubungan erat antara Tuhan dengan hamba,

konsep ini dalam tradisi kearifan Buton dirangkai dalam sebuah untaian kaimat

“poromu inda sanga pogaa inda lolota” artinya, “berkumpul bukannya satu, berantai

tidak berantai”.(Alifuddin, 2007:148)

Substansi “poromu inda sanfu pogaa inda kolota” dalam pespektif budaya

Jawa, mirip dengan ungkapan “Cedhak tanpa senggolan-Adoh tanpa wangenan”

yang merupakan pantulan dari konsep falsafah “manunggaling kawali usti”. seperti

yang terjadi dalam pemahaman budaya masyarakat Jawa mengenai konsep “cedhak

tanpa senggolan-adoh tanpa wangenan, sebagai konsep yang berdimensi keyakinan

kepada Tuhan, konsep “poromu inda sangu pogaa inda kolota” dalam masyarakat

Buton juga terkait erat dengan paham dan keyakinan tentang Tuhan, dalam perspektif

tasawuf dikenal dengan paham ittihad ataupun wihdat al-wujud. (Alifuddin,

2007:148)

Pandangan di atas bukan tanpa alasan, bila merujuk pada corak keberislaman

masyarakat Buton yang dalam berbagai hal lebih menonjolkan aspek mistisme.

Konsep atau ajaran Martabat Tujuh dalam kehidupan masyarakat Buton dapat dilihat

dua perspektif, yaitu sosio kultural dan religio spritual. Dalam prespektif yang

pertama, konsep martabat Tujuh dipatrikan sebagai sistem yang mengatur kedupan

sosial masyarakat Buton, dalam hal ini sebagai undang-undang atau falsafah

22
kenegaraan atau konstitusi resmi kerajaan yang di berlakukan secara formal pada abad

ke 17 sehingga abad ke 19. Sedangkan dalam prespektif religio spritual, konsep ini di

jadikan landasan yang mendasari segala pemahaman dan pengalaman ruhani

masyarakat Buton.(Alifuddin, 2007:150)

Deskripsi singkat di atas menunjukkan, betapa pengaruh mistik Islam

mengenai sifat Ilahi yang menampak dalam wujud insani, memberi warna yang

menyolok dalam sistem dan konsep kekuasaan dan kesultanan Buton yang dalam

konsep mistik Islam tampil dengan istilah hulul, ittihad, tajalli, serta semacamnya.

Dalam bahasa setempat ungkapan tersebut terangkai dalam sebuah kalimat “poromu

inda sangu poga’a inda kolota”. Perwujudan sifat ilahi dalam diri para pemegang

kekuasaan dalam konteks sejarah Buton masa lalu, secara eksplisit digambarkan dan

dituangkan dalam undang-undang Martabat Tujuh kesultanan Buton (Alifuddin,

2007:151)

Pengaruh kuat paham perwujudan sifat ilahi yang nampak dalam wyjudan

insani di Buton, selain disebabkan oleh pengaruh paham mistik moneteistik Islam,

juga dapat dilepaskan dari kemungknan adanya pengaruh budaya lokal atau

peninggalan Hindu. Pandangan ini beralasan mengingat jauh sebelum penduduk lokal

melakukan keonversi agama ke dalam Islam, di daerah ini telah lebih lama terkena

pengaruh ajaran Hindu, dimana dalam filsafat ke Hinduan dikenal konsep:

advaita,angsha, aradhana, dan pathisa. Oleh karena itu, penerimaan konsep mistik

Islam tentang sifat Ilahi yang menampak dalam wujud insani, boleh jadi karena

konsep yang mirip telah terbangun dalam benak masyarakat setempat sebelum Islam

datang, sehingga ketika ajaran Islam dan doktrin yang sama datang dalam bingkai

Islam, maka masyarakat setempat tidak mengalami kesulitan untuk mengomodir

paham tersebut (Hamid, 2011:255)

23
Namun demikian, dengan berakhirnya sistem kesultanan dan terkonversinya

Buton kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat disangkal

berdampak pada tatanan pelapisan sosial, demikian juga pada pemahaman budaya dan

religus masyarakat. Jika dalam prepektif historis, masyarakat Buton dahulunya secara

formal dipandu pleh sistem Budaya yang menjadi undang-undang dasar mereka, yaitu

Martabat Tujuh dengan sultan sebagai pimpinan yang diyakini sebagai manusia

sempurna, maka pandangan tersebut telah hilang terkikis bahkan hilang dari

permukaan (Hamid, 2011:256-257)

Dari uraian sekilas tentang tatanan budaya masyarakat Buton, dan dapat

dinyatakan, bahwa konsep nila budaya masyarakat Buton yang berembang dari

generasi kegenerasi sangat dipengaruhi oleh faktor keyakinan dan kepercayaan

masyarakat. Dengan kata lain, keyakinan dan kepercayaan agama yang dipegang

memiliki pengaruh yang berarti dalam menanamkan nilai-nilai dan norma dalam

dalam kehidupan masyarakat Buton (Hamid, 2011:258). Kalau ditinjau dari sudut

pandang kesejaraan, tradisi beragam orang Buton telah melewati tiga fase

perkembangan yaitu animisme dan dinanisme, fase Hindu Jawa dan tekhir adalah

pengaruh Islam. Dari ketiga fase tersebut, maka fase pengaruh Islamlah yang dapat

dikatakan sebagai ideologi yang memiliki atau memberi dampak budaya yang sangat

besar dan luas. (Alifuddin, 2007: 152).

D. Pernikahan/Perkawinan dan Tingkat Praktek Boka

Persiapan pernikahan, yang berlaku bagi orang keraton (dan Baadia), sangat

rinci dan rumit. Mulku Zahari telah menulis tentang berbagai kebiasaan dalam

perkawinan di Wolio (wilayah keraton dan Baadia serta desa lain yang berhubungan

24
dengan keraton) dalam karyanya, Adat dan Upacara Perkawinan di Wolio,1981.

(Schoorl, 2003:246)

Acara perkawinan, kawia, di Lia terdiri dari dua bagian. Bagian pertama,

yakni akad nikah, dilangsungkan sesuai dengan peraturan agama Islam. Dewasa ini,

nikah dilaksanakan oleh seorang pejabat dari Departemen Agama. Upacara ini

berlangsung dirumah pengantin wanita dan dihadiri oleh para pemimpin masyarakat

desa. Mereka meyampaikan pesan kepada pasangan pengantin, dan nasehat mengenai

hidup yang baik antara kedua mempelai, dan sebagai pemeluk agama yang baik. Juga

pejabat pemerintah itu mengucapkan sepatah dua kata kepada mempelai dan

kemudian pernikahan dilaksanakan. (Schoorl, 2003: 247).

Namun, perkawinan itu tidak dengan langsung „disantap‟. Setelah kira-kira

tiga hari diadakan suatu upacara lagi. Pada saat itu air kelapa dituangkan melalui

lantai ketanah dibawah rumah. Upacara ini disebut tesongkaa, yang berarti

menuangkan. Ketika air kelapa ditungkan, seorang wanita itu menghitung sampai

sembilan dan kini mengatakan semua keburukan telah lenyap. Kemudian seraya

menungkan air itu lagi dan menghitung sampai delapan, ia mengharapkan agar semua

kebaikan akan tinggal. Kemudian wanita tua itu memegang kelapa itu diatas

kemenyan yang mengumpul dan mengambil semua arwah leluhur (sumanga), juga

dari wolio, dan dari seluruh sudut desa sambil memohon kepada mereka agar tidak

marah lagi. Seusai upacara ini pasangan itu benr-benar nikah dan hidup bersama

sebagai suam-istri (Schoorl, 2003: 247)

Bagian penting dari acara pernikahan ialah pembayaran maskawin. Besarnya

uang yang diminta tergantung dari kedudukan wanita dan pria. Pada dasarnya

kedudukan perempuan menentukan jumlahnya. Akan tetapi, jika lelaki lebih rendah

25
kedudukannya, jumlahnya berlipat dua atau tiga dari biasanya. Dahulu Sarana Wolio

mengawasi jumlah maskawin, karena itu mencerminkan kedudukan para mempelai di

masyarakat. Di tiga derah terdapat kecenderungan untuk meratakan perbedaan.

Namun, perbedaan dalam hal pernikahan di antara kaum Laode (bangsawan) masih

saja ada.(Schoorl, 2003: 247)

Uraian Boka pada adat pernikahan masyarakat Buton menurut syara Wolio

dapat di tinjau menerut tingkatnya masing-masing (data adat syara Wolio, Baubau,

2004)

Perhitungan maskawin berdasarkan boka untuk Kaomu,yaitu:

 Popolo 60 boka = Rp. 1.440.000

 Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000

 Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000

 Katalosi 5 boka = Rp. 144.000

 Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000

 Katandui 5 boka = Rp. 144.000

 Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000

Jumlah semua 117,5 boka = RP. 2.892.000

Perhitungan maskawin berdasarkan boka untuk tingkat Walaka, yaitu:

 Popolo 30 boka = Rp. 720.000

 Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000

 Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000

 Katalosi 5 boka = Rp. 144.000

26
 Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000

 Katandui 5 boka = Rp. 144.000

 Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000

Jumlah semua 87,5 boka = RP. 2.172.000

Perhitungan maskawin berdasarkan sara Wolio untuk tingka Papara, yaitu:

 Popolo 30 boka = Rp. 720.000

 Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000

 Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000

 Katalosi 5 boka = Rp. 144.000

 Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000

 Katandui 5 boka = Rp. 144.000

 Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000

Jumlah semua 87,5 boka = RP. 2.172.000

Perhitungan maskawin berdasarkan sara Wolio utuk tingkat kaomu/walaka bagi beda

suku atau bagi orang pendatang, yaitu:

 Popolo 60 boka = Rp. 1440.000

 Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000

 Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000

 Katalosi 5 boka = Rp. 144.000

 Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000

 Katandui 5 boka = Rp. 144.000

 Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000

27
 Karangani 10 boka = Rp. 240.000

Jumlah semua 127,5 boka = RP. 3.132.000

Perhitungan maskawin berdasarkan boka untuk tingkat papara/batua

 Popolo 15 boka = Rp. 360.000

 Kalamboka 15 boka = Rp. 360.000

 Kapobiangi 2 boka = Rp. 48.000

 Katalosi 1 boka = Rp. 24.000

 Bakena kau 3 boka = Rp. 72.000

 Katandui 2 boka = Rp. 48.000

 Kaempesi 1 boka = Rp. 24.000

Jumlah semua 39 boka = RP. 936.000

Dari uraian tinkatan perhitungan maskawin berdasarkan boka sara Wolio

dalam pernikahan, akan mengalami perkembangan sesua dengan sepakat dan mufakat

seluruh toko adat keraton yang berada di Buton.

28
BAB III

TEMUAN DAN ANALISIS DATA

Bab ini akan menjelaskan mengenai temuan dan analisa data tentang

perubahan sosial budaya dalam masyarakat Buton dengan studi kasus

perubahan tradisi Boka dalam pernikahan, mulai dari tatanan Boka terdahulu

hingga sekarang, proses perubahan-perubahan yang terjadi, faktor yang

mempengaruhi perubahan adat Boka, dan dampak tersebut.

A. Kondisi Perubahan Tradisi Boka

Sebuah sistem adat istiadat dalam suatu suku atau wilayah maka wajar

sekali adanya peraturan yang sudah disepakati dan itulah yang dijalankan,

namun pada perjalannya ada juga perubahan yang terjadi guna mengukuti

perkembangan zaman yang terus berubah. Perubahan yang terjadi tentu saja

berdasarkan musyawarah petinggi adat setempat dan atas asas mufakat yang

disatukan. Sama halnya dengan kasus Boka yang terjadi di Buton, tak luput

dari perkembangan dan perubahan dari masa ke masa namun pastinya tidak

melenceng dari ketentuan tradisi Boka yang sudah lama disepakati. Boka

dalam masyarakat Buton sudah menjadi barang wajib yang harus dilaksanakan

bukan hanya sekedar melakukan adat istiadat namun juga melestarikan budaya

asli Buton.

Sebelum penulis menjelaskan kondisi perubahan Boka yang ada pada

masyarakat Buton, saya akan menjelaskan sedikit penjelasan tentang Boka itu

apa? Seperti yang telah dijelaskan Nasrun;

Boka adalah aturan (system) satuan nilai mahar pernikahan dalam


kebudayaan Kesultanan Buton (Wawancara, tokoh agama, Buton, 16
agustus 2014).

29
Kita bisa lihat dari wawancara informan diatas bahwasanya Boka

adalah suatu bentuk sistem adat yang dilaksanakan pada pernikahan masyarakt

Buton untuk mengatur satuan nilai tukar mahar yang akan dikeluarkan sang

mempelai pria untuk mempelai wanita, untuk masyarakat setempat khususnya

pada tataran Kesultanan Buton yang harus wajib mengikuti adat dan tradisi

budaya Buton yang disebut Wolio. Adapun seperti yang dikatakan pak La Ode

Burhanuddin Sahidi bahwasanya besar atau kecilnya jumlah nilai Boka yang

dikonversi dengan satuan nilai rupiah itu akan berbanding dengan tingkatan

masing-masing atau tingkat strata sosial yang telah ditetapkan;

Boka adalah merupakan besaran nilai yang dikeluarkan dan diberikan


oleh seseorang yang melaksanakan kegiatan adat – istiadat yang diatur
berdasarkan tingkatan masing – masing, baik dalam bentuk MAHAR
maupun PASALI (Wawancara, Buton, 15 desember 2014).

Informan yang lain yang sempat kami wawancarai adalah tokoh agama

yang merupakan orang tua mempelai pria sekaligus ketua adat yang

mengetahui jumlah nilai tukar Boka, dan beliau juga memberikan atau

menunjukan bentuk logam yang menjadikan perhitungan boka (lihat gambar

1) dan beliu juga menuturkan sekilas tentang berapa nilai tukar Boka yang di

konversikan kedalam satuan nilai tukar rupiah

BOKA adalah standar nilai tukar yang sering dipakai pada adat yang
berlaku di daerah / Kesultanan Buton.

Contohnya : dalam perkawinan ditentukan dengan 32 Boka

1 Boka = dikonversi dengan rupiah = Rp.24.000,-

Maka yang bersangkutan harus membayar mahar sesuai kedudukannya


waktu atau orang kebanyakan (Walaka) dalam lingkup Kesultanan
Buton 32 Boka x Rp.24.000 (Wawancara, Tokoh Agama, Buton, 7
desember 2014).

30
Dalam tataran ini, adat tradisi Boka di masyarakat Buton merupakan

adat turun temurun menurut yang tidak dikeluarkan sesuka mempelai keluarga

kalau tanpa terkecuali, dan mengetahui silsilah keturunan si mempelai pria dan

wanita, karena menurut tradisi Boka akan menunjukan lapisan sosial yang

akan diangkat; seperti yang diucap Pak La ode Masuk:

Bentuk aturan adat tradisi Boka dalam pernikahan masyarakat


terdahulu adalah berdasarkan klasifikasi dan tingkatan strata sosial
masing – masing untuk melihat lapisan sosial yang mana yang
didudukinya, hingga saat ini tataran itu masih dilakukan dan terlaksana
(Wawancara, Tokoh Agama, Buton, 7 desember 2014).

Haliu, informan yang penulis wawancara ini merupakan tokoh agama

adat masyarakat Buton yang begitu paham juga tentang syara (susunan aparat

pemerintahan kesultanan /SWAPRAJA), beliu sedikit menuturkan seperti ini;

Tataran Boka orang terdahulu semuanya ialah berdasarkan bentuk


klasifikasi dan tingkatan syara yang ada di masyarakat
Wolio.(wawancara, Tokoh Agama, Buton, 15 agustus 2014).

Penulis akan menjelaskan bentuk tataran budaya dan adat tradisi Boka

yang ada di kalangan masyarakat Buton sesuai data yang kami dapat, seperti

sekilas yang diungkapkan La Ode Masuk:

Tahapan / kedudukan Boka pada Kesultanan Buton antara lain :

Jika perempuan itu berasal dari Kaum Walaka (Kalangan Umum)


berarti si laki – laki harus membayar mahar / Boka sebesar 32 Boka.
Sedangkan jika perempuan berasal dari kaum bangsawan (Wa Ode)
maka si laki – laki (pria) harus membayar mahar / Boka sebesar 100
Boka. (wawancara, Buton, 7 desember 2014).

Banyak hal yang bisa membuat suatu kebudayaan mengalami

perubahan, dan semua perubahan ini merupakan gejala yang melekat disetiap

masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi didalam masyarakat akan

menimbulkan ketidaksesuaian antara unsur-unsur sosial yang ada dalam

31
masyarakat, sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak sesuai

fungsinya dan yang sesuai bagi masyarakat yang bersangkutan.

Saperti Prinsip yang ditanamkan pada masyarakat Buton kususnya

pada aspek agama dan aspek kebudayaan tradisi di masyarakat Buton

dinyatakan bahwasanya adat pernikahan jatuh pada wanita dan seluruh

perhitungan Boka pula jatuh pada wanita. Ketika ada aturan yang dinyatakan

oleh masyarakat yang kental dengan adat, bahwasanya pernikahan orang

keraton (asli masyarakat Buton yaitu Wolio) dengan perempuan Wolio.

pernikahan keturunan bangsawan harus menikah dengan bangsawan, seperti

mempelai pria dari keturunan Koumu harus menikahi wanita dengan

keturunan Koumu sesuai dengan harapan dari pihak keturunan atau keluarga

pria, Walaka dengan Walaka dan Papara dengan Papara atau dibawahnya

yaitu Batua, namun dalam perjalanannya terjadi sesuatu hal yang tidak

dikehendaki, seperti seorang bangsawan yang dari pihak pria menikahi wanita

dari keturunan Papara atau bahkan bukan masyarakat Buton ataupun

sebaliknya wanita Wolio dinikahi oleh masyarakat asing, maka masyarakat

tokoh adat memberikan syarat kepada pihak mempelai pria dengan dinyatakan

adat tradisi Boka jatuh pada mempelai pria dengan hitungan Boka menurut

strata yang dimilikinya dengan tambahan Pasali yaitu bayaran untuk

mengangkat derajat si wanita menjadi strata yang sama dimiliki si pria.

Dan disini ada pemaparan dari tokoh adat mengutarakan seperti,

Adat pernikahan dan penguraian perhitungan Boka jatuh pada pihak


wanita, terkecuali tejadi pernikahan Polasiaka dan pernikahan
Humbuni, maka terjadi syarat untuk adat itu sendiri (wawancara, tokoh
adat, Buton, 5 febuari 2015).

32
Dari penjelasan diatas dan tuturkata wawancara, ini terlihat bahwa

ideologi merupakan salah satu faktor dari perubahan sosial adat masyarakat

Buton.

Menurut Selo Soemardjan, perubahan sosial adalah perubahan yang

terjadi pada lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang

mempengarugi sistem sosial, termasuk didalam nilai-nilai, sikap-sikap, unsur

budaya dan pola perilaku diantara kelompok masyarakat (Elly, et al, 2006:50).

Menurutnya, antara perubahan sosial dan budaya memiliki satu aspek yang

sama, yaitu kedua-duanya bersangkut paut dengan suatu penerimaan cara-cara

baru atau suatu perbaikan cara masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya,

dari pernyataan di atas sama hal dengan yang diucapkan Bahysu salah satu

informan;

Adat tradisi boka yang sebenarnya yang ada Buton Wolio ini kan
menggunakan real untuk memperhitungkan jumlahnya, tapi semenjak
perkembangan waktu, maka perubahan ini sekarang sudah
menggunakan perhitungan rupiah saja tanpa menggunakan real lagi,
Cuma dalam pelaksanaan proses wajib menggunakan boka
(wawancara, Tokoh Masyarakat Keraton, Buton, 9 desember 2014).

Dilihat dari prosesnya perubahan yang terjadi di Buton juga

merupakan suatu proses perubahan budaya yang tidak bisa terlepas dari

perubahan sosial, dikarenakan antra sosial dan budaya saling terikat, hal ini

disebabkan terbentuknya budaya. Perubahan juga terjadi bukan hanya pada hal

nilai atau bentuk dari ritual yang telah ditetapkan oleh masyarakat atau oleh

para tokoh adat, namun perubahan juga terjadi pada masalah status sosial yang

ada pada masyarakat, seperti hal perubahan yang akan terjadi menurut

Soerjono Soekanto adalah system terbuka dalam lapisan-lapisan sosial

masyarakat. Open stratifikasi atau system terbuka memungkinkan adanya

33
gerak sosial vertikal atau horizontal yang lebih luas kepada anggota

masyarakat. Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan status sosial dan

menjalin hubungan dengan sesamanya. Hal memberikan kesempatan para

individu atau kelompok untuk mengembangakan kemampuannya, La Ode

Ma‟asuh mengatakan salah satu informan yaitu;

Pernikahan yang ada di Buton dahulunya merupakan pernikahan


klasifikasi pembentukan masyarakat dengan melihat status sosial dan
keturunan keluarga, bahwasanya keturunan koumu harus menikahi
Koumu dan Walaka, keturunan Walaka menikahi Walaka, dan kalau
dari keturunan Walaka menikahi Koumu maka akan dikenakan Pasali
dan Mata Kupa sesuai adat yang sudah disepakati, namun semenjak
perubahan waktu yang bergulir proses pernikahan sekarang hampir
tigak menengok atau melihat status sosial masyarakat lagi, sehingga
pernikahan adat pun bergeser (wawancara, Buton, 5 febuari 2015).

Masyarakat Buton budaya tradisi Boka dalam pernikahan mempunyai

makna yang sakral dan strategis dari sudut pandang yang berbeda,

dikarenakan peristiwa ini bukan sekedar mengesahkan persatuannya dua jenis

anak manusia yang berbeda kelamin, tetapi juga berfungsi untuk menguatkan

dan mengentalkan kembali hubungan kekerabatan antara family, keluarga,

khususnya bagi mereka yang kawin dengan keluarga yang mempunyai

kedudukan yang lebih tinggi atau sisilah Koumu (bangsawan) untuk

masyarakat Buton, seperti yang dikatakan Husnul yang satu ini, yaitu;

Pertama memaknai dari sisi positif, adalah budaya yang halus


menghargai kebangsawanan, karena dulu setiap bangsawan itu
diwajibkan mempunyai pendidikan yang tinggi dan mereka akan malu
kalau mereka tidak berakhlak mulia, sehingga ukurannya adalah ketika
dia bangsawan berarti dia berpendidikan dan berakhlak baik khusus
wanita, dan itu akan mengukur jumlah boka dia atau jumlah mahar si
wanita, dan ini dalah zaman dulu . Sekarang dilihat dari sisi negatifnya,
seperti yang terjadi pada kakak saya (informan) sangat
menghawatirkan, salah satunya adalah syariat islam kan sudah
menyebar dan mayoritas orang sudah memahaminya, tapi disisi lain

34
orang-orang yang awam atau orang-orang yang tradisional masih
memegang teguh dengal hal seperti adat dan tradisinya, akhirnya
ketika kakak saya (informan) nama depannya tidak mengguanakan La
Ode dan istrinya menggunakan Wa Ode terjadi sedikit kontropersi
disitu, sehingga dua belapihak dari keluarga silaturahminya jadi kurang
baik, dikarenakan perbedaab strata yang mempersusah kakak saya
menduduki strata La Ode melalui proses adat, tapi niat kakak saya
baik, dia ingin merubah kedudukan martabat keluarga saja. Jadi yang
saya maknai adalah boka untuk membentuk keluarga lebih baik dengan
merubah kedudukan keluarga yang berbeda menjadi keluarga yang
mempunyai status. seharusnya boka saat ini harus diadakan
menyuluhan dan harus memberikan pemahaman kepada masyarakat
tentang adat dan tradisi boka secara luas (wawancara, Masyarakat
Keraton, Buton, 2 desember 2014).

Perubahan sosial budaya yang terjadi di Buton, bisa dikatakan melalui

difusi. Menurut Horton dan Hunt (1984:212-213), difusi merupakan proses

penyebaran unsur-unsur budaya dari suatu kelompok lainnya yang dapat

berlangsung baik didalam masyarakat maupun antara masyarakat, dikarenakan

beberapa budaya yang ada ditiap masyarakat pendatang sering dan selalu

melakukan komunikasi maka terjadi pertukaran dan pemasukan unsur-unsur

budaya baru, walau terkadang budaya setempat masih bisa dipertahankan.

Difusi juga merupakan proses discovery dari masyarakat lainnya dan akhirnya

menjadikan budaya tersebut menjadi invention dari budaya yang lama dan

memunculkan budaya innovation pada masyarakat, seperti yang di utarakan

oleh La Ode Ma‟asuh mengatakan yaitu;

Dulu nikah atau perkawinan di Buton Wolio sangatlah susah tidak


semudah sekarang, dikarena semua proses tradisi dalam adat dilakukan
secara detail, dari sebelum pernikahan sampai pernikahan itu selesai,
contoh yang dahulu, sebelum pernikahan keluarga dari pihak laki-laki
mereka itu tidak langsung datang kerumah pihak perempuan, tetapi
memilih salah satu dari orang tua bekas pegawai syarah atau
pemerintah swapraja atau bekas pegawai masjid keraton yang disebut
Tolowea untuk menjadi penghubung. Orang tua ini yang menjadi
penghubung antara orang tua laki-laki dan orang tua perempuan yang

35
akan dipinang. Dari hasil konsultasi penghubung ke pihak keluarga
perempuan dapat diketahui jadi tidaknya pertunangan laki-laki dengan
perempuan yang diinginkan, beda dengan sekarang ini melakukan
lamaran kadang dilakukan sendiri oleh si pria yang datang ke pihak
orang tua si wanita, kemudian si pria ini menyatakan ke pihak orang
tuanya sendiri untuk langsung membantu melamar si wanita tersebut
(wawancara, Tokoh agama, Bau-Bau 5 febuari 2015)

Hal serupa diutarakan oleh masyarakat Ba‟diah yaitu La Ode Hafeudin

mengatakan;

Pernikahan orang dulu dan sekarang berbeda jauh, sekarang anak muda
kalau mau menikah mudah sekali, bisa pilih perempuan yang mana dia
suka dan datang melamarnya tanpa ada proses penghubung, dan kalau
duluhnya mau menikahi anak perempuan itu kita lihat juga
keturunannya siapa si perempuan itu. (wawancara, Buton, 7 febuari
2015)

Mengenai proses dari perubahan yang terjadi dalam masyarakat Buton,

menurut penuturan tokoh adat telah dijelaskan dalam prinsip adat yang

dipahami dan dianut oleh masyarakat Buton, bahwasanya kehidupan

senantiasa akan berubah, begitu pulah dengan adat istiadat. Proses dari

penerimaan unsur-unsur baru yang masuk kemasyarakat Buton pun diterima

secara berangsur-angsur, dengan kata lain hal baru tersebut memberimanfaat

dalam kehidupan masyarakat setempat, sebagaimana yang diucapkan informan

dari tokoh syarah agama keraton;

Pelaksanaan adat Boka dulu dan sekarang mengalami perubahan,


penyebabnya adalah dinamika perkembangan yang terjadi di dalam
masyarakat itu sendiri. Adapun bentuk perubahannya adalah
berlakunya Adat Limba Dolango berubah menjadi adat Mata Kupa
(wawancara, Tokoh agama, Buton, 7 desember 2014).

36
Sebagai informasi limba Dolango adalah bukan suatu ketentuan adat

dan system adat dari syara agama, tapi suatu luapan hati masyarakat yang

dinikahi oleh masyarakat pendatang, dengan Boka yang berlebihan atau bisa

disebut hukuman bagi sipendatang yang menikahi masyarakat Buton. Sedang

perubahan yang terjadi menjadi Mata Kupa (mahar yang diminta dari pihak

mempelai wanita tanpa diuraikan perhitungan Bokanya) artinya bagi

masyarakat pendatang menikahi masyarakat Buton Asli (Wolio) sudah

mendapat hitungan Boka yang tidak ditentukan adat.

Suatu kebudayan akan selalu bertahan dan tetap dilestarikan tergantung

bagaimana masyaraka akan selalu melaksanakan dan mensosialisasikan

kepada anak dan cucunya secara memperkenalkan adat itu sendiri. Seperti

Koentjangrat (1990:229), menyatakan untuk belajar budaya dapat dilakukan

melalui proses sosialisasi, dimana seseorang individu dari anak-anak hingga

masa tua tetap mempelajari atau melestarikan kebudayaan, seperti yang

dikatakan Indrus;

Proses budaya tetap berjalan tetapi kita ini yang sudah tua selalu
mengikuti adat dan mengingatkan pada anak-anak sekarang, biar
mereka mengerti apa yang dilakukan orang tuannya miana
mangengena ou para opuana (orang yang terdahulu dari keturunan)
(wawancara, Tokoh masyarakat keraton, Buton, 10 desember 2014).

Adapun bentuk Boka yang terdahulu dan yang sekarang mengalami

perubahan, seperti yang akan dijelaskan dari informan kita:

Kita berbicarakan adat ini tidak ada habisnya, soalnya masyarakat kita
masih ada artinya dangia miana Wolio. Dan kita lihat dari boka yang
dulu dan yang sekarang jauh sekali perbedaannya, dulu tuh tingkatan
mahar kalau biasa disebut Popolo itu menpunya tingakatan-tingakatan,
seperti yang ditetapkan adat syarah Wolio, tingkatan pertama tuh
dangia popolo lalaki, popolo walaka, popolo maradika, dari tiga
popolo sih dibagi-bagi lagi, tapi sekarang pembagian tingkatan yang
37
itu sudah jarang digunakan, malah sekarang miana (orang) Wolio
melihat itu dari oanana incema ngko sih (dari keturunan siapa anak
ini), itu mi yang kita kasihani dengan ketidak pedulian masyarakat
juga. (wawancara, Tokoh masyarakat Keraton, Buton, 10 desember
2014).

Bentuk Pengamatan Mahar/adat syara Wolio Buton Menurut

tingkatannya masing-masing (data Boka adat syara Wolio, bau-bau, november

2004)

Mahar ( Popolo ) pada syara adat Wolio Buton terbagi atas tiga

tingkatan yaitu;

 Mahar Lalaki (bangsawan)

 Mahar Walaka

 Mahar Maradika

Tingkat Pertama :

Mahar Lalaki (Bangsawan) Wolio (Buton) terbagi menjadi atas tiga

tingkatan:

 Mahar semua Lalaki / Bangsawan di Buton sebagai dasar (popolo

lalaki)

 Sultan Sakiul Darul Alam (Oputa sangia)

 Yang melelui Sultan Idrus (Oputa Moko Baadiana)

Mahar lalaki sebagai dasar Popolo lalaki Wolio / Buton telah

dicantumkan menurut mupakat aparat Sultan / Syara Wolio, dengan dasar Rp.

200. / perak (200 perak Mata kupa) dalam bahasa Buton, dan akan tetapi

setelah dipikirkan kembali (reali dalam bahasa Buton/Wolio), setiap Rp.200.

(200 Mata Kupa) menjadi 36 rupiah (36 Boka). Jadi setiap 200 rupiah berarti

38
sama dengan : 72 atau 60 Boka. Dan jika diuraikan menurut hakekatnya, (data

yang tertulis dalam arsip adat masyarakat Buton, November 2004).

Berikut ini diuraikan mengenai beberapa tingkat Boka yang berlaku

pada masyarakat Buton, menurut data pegangan para tokoh adat:

- Popolo 30 boka = 36 rupiah / perak

- Kalamboko 30 boka = 36 rupiah / perak

- Kapobiangi 10 boka = 12 rupiah / perak

- Katolosi 5 boka = 6 rupiah / perak

- Bakena kau 5 boka = 6 rupiah / perak

- Katandui 5 boka = 6 rupiah / perak

- Kaempesi 2,5 boka = 3 rupiah / perak

Jumlah semua 87,5 boka = 105 rupiah / perak

Kemudian yang disetor pada pihak perempuan hanya sebanyak, 75

boka saja

Dari data yang diatas kita bisa melihat perubahan data yang sekarang

seperti yang di tuturkan La Ode Ma‟asuh, informan:

Hitungan boka mahar atau popolo itu sekarang itu sudah menjadi 1
boka 24000 itu untuk hitungan nilai tukarnya, belom hitungan
keturunan atau tingakatannya (wawancara, Buton, 5 febuari 2015).

Jadi penulis bisa mengambil perhitungan dari data sebelumnya, bahwa

untuk satuan perhitungan boka sekarang sperti yang dibawa ini:

- Popolo 30 boka = Rp. 720.000,-

- Kalamboko 30 boka = Rp. 720.000,-

- Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000,-

39
- Katolosi 5 boka = Rp. 144.000,-

- Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000,-

- Katandui 5 boka = Rp. 144.000,-

- Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000,-

Jumlah semua 87,5 boka = Rp. 2.172.000,-

Kemudian yang disetor pada pihak perempuan hanya sebanyak, 75

Boka saja. Dari penjelasan diatas dan contoh data diatas menggamabarkan

dalam satu bentuk, sedang tingkatan mahar di Buton ada beberapa tingkatan.

Dari gambaran dan pemaparan Boka diatas terjadi perubahan dalam

nominal disebabkan waktu dan zaman, maka perhitungan mahar yang

dikeluarkan mengikuti perkembangan, namun tradisi Boka saat ini masih

dilaksanakan oleh masyarakat Buton, sebagaimana yang telah disampaikan La

Ode Hafeudin, salah satu informan masyarakat Wajo, yaitu;

Memang orang Buton kalau melakukan lamaran dan pernikahan


meraka selalu tidak lepas dari yang namanya adat tradisi Boka,
walaupun jumalah nilai tukar yang di berikan atau dikeluarkan
berbeda-beda sesuai dengan yang disepakati (wawancara, Buton , 7
febuari 2015).

Budaya dan adat tradisi Boka merupakan system adat masyarakat

Buton yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat setempat. Pelaksanaan

Boka dilakukan setelah empat hari dari kedatangan penghubung atau Tolowea

ke pihak keluarga wanita dan memdapatkan persetujuan atau mufakat dengan

membawa Katindana Oda (Kabua-Bua) belum Posua/pingitan biasa juga

disebut PEMONEA dan Katangkana Oni (Kalambe) sudah Posuo (Lihat

gambar 3). Empat hari selanjutnya disusul pula dengan penyerahan suatu
40
pemberian dari pihak pria yang disebut BAKENA KAU (buah-buahan)

penyerahan Bakena Kau dilakukan dua kali pada saat penyerahan Katindana

Oda dan pada saat penyerahan Tauraka (mahar). Pada mempelai wanita ketika

diadakan Posua/pingitan selama delapan hari maka pihak pria membawakan

beberapa penyerahan sebagai berikut ANTONA SUO (isi atau biaya pingitan),

LANGASA (dua potong kain kaci masing-masing panjang dua meter),

MANTOMU (kunyit, berupa buah-buahan dan makanan), BURA (bedak, yakni

berupa padi (gabah) sebanyak 1 balase kurang), dan KASIPO (suapan uang),

semua yang dipaparkan diatas merupakan proses Boka, namun proses adat

tersebut mengalami dinamika perubahan dengan bentuk penyeraha tanpa

proses yang panjang, Boka tersebut diberikan ketika lamaran dilaksanakan dan

keseluruhan Boka dinominalkan ke mata uang. La Ode Ma‟asuh salah satu

informan mengutarakan yaitu;

Tradisi pernikahan di masyarakat Buton Wolio ini, merupakan proses


yang panjang dalam pelaksanaanya, seperti penyerahan Katindana
Oda, Katangkana Oni, Bakena Kau, Antona Suo, Langasa, Mantomu,
Bura, Kasipo dan sampai ke ujung penyerahan Taurakanya semuanya
itu disebut tradisi Boka (wawancara, tokoh adat, Buton, 5 febuari
2015).

Adapun perubahan yang terjadi dalam tradisi Boka tersebut merupakan

proses mengikuti zaman yang akan mengakibatkan tradisi Boka akan begitu

menjadi mudah dalam pelaksanaannya, seperti yang dituturkan oleh La Ode

Ma‟asuh, seperti;

Masyarakat Buton ini akan terpengaruhi perkembangan zaman, yang


menjadikan masyarakat serba cepat, apalagi kalau kita lihat cara
kehidupan sekarang teknologi yang menjadi peran penting di zaman
ini, sehingga proses pemberitahuan lamaran bisa menggunakan
handpond melalui pesan untuk mengungkapkan silaturahmi dari satu
keluarga ke keluarga yang lain dan untuk menyambung suatu ikatan,

41
sehingga urusan lamaranpun bisa dikabari melewati pesan dari
handpond, padahal hak suptantif sebenarnya dalam adat bahwasanya
proses Boka itu harus melewati Tolowea, dari Toloewa itu yang akan
memberitahu lamaran itu diterima atau tidak dan Tolowea pun yang
membawa Boka yang berupa Katindana Oda (wawancara, Buton, 5
febuari 2015).

Meskipun bentuk-bentuk pelaksanaan Boka pada masyarakat Buton itu

mengalami perubahan, namun tidak merubah makna adat. Artinya walaupun

ada bagian kecil yang berubah, tetapi secara garis besar adat Boka itu masih

ada dan masih dijaga serta dilestarikan dan yang ini disebut proses innovation.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Boka

Sudah disinggung di atas bahwa perubahan dalam sebuah system adat

istiadat pada suatu suku dapat berubah tentu dengan musyawarah dan

keputusan bersama. Namun banyak hal yang bisa membuat suatu kebudayaan

mengalami perubahan. Baik itu yang dilatarbelakangi dari luar masyarakat itu

sendiri maupun dari dalam masyarakat.

Menurut Gillin dan Gillin (John Luwis Gillin dan John Philip Gillin)

mengatakan bahwa perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi dari cara

hidup yang telah diterima karena adanya perubahan disebabkan baik karena

perubahan kondisi geografis, kebudayaan materil, komposisi penduduk,

ideologi maupun karena adanya difusi ataupun perubahan-perubahan baru

dalam masyarakat tersebut (Elly, et al, 2006;50).

Namun hal dikarenakan Boka termasuk dalam hukum adat maka

perubahannya sudah tentu tidak biasa terlalu sering, mengingat patutnya

menjaga keaslian dari sebuah adat istiadat. Di bawah ini ada beberapa hal

yang dapat menyebabkan perubahan pada sistem Boka:

42
a) Kondisi Geografis (Pesatnya Penduduk dan Interaksi Kultur Budaya)

Letak geografis dan posisi suatu daerah bisa mempengaruhi kehidupan

masyarakat setempat. Posisi Buton sebagai derah transit, menjadikan ini ramai

dikunjungi oleh pendatang luar. Masuknya para pendatang ke Buton sedikit

banyaknya membawa dampak perubahan sosial budaya di wilayah ini, sebab

para pendatang kemuadian menetap di wilaya Buton, jelas membawa dan

menjalin komunikasi dengan budaya yang mereka anut sebelumnya. Proses

interaksi sosial yang terjadi antara penduduk lokal dengan para pendatang

menyebabkan terjadinya akulturasi dan asimilasi budaya.

Akulturasi merupakan faktor mendorong terjadinya cultural contact

berarti suatu kebudayaan tertentu yang dihadapkan dengan unsur-unsur

kebudayaan asing yang sedemikian rupa sehingga lambat laun unsur-unsur

kebudayaan asing tersebut melebur kedalam kebudayaan sendiri, tetapi tidak

menyebabkan hilangnya kepribadian lokal (Elly, et al.2006;159). Interaksi

antara masyarakat yang berbeda dapat menjadikan kelompok-kelompok

manusia saling bergaul secara intensif dalam kurun waktu yang lama,

sehingga dari dua kelompok atau dari dua budaya yang berbeda seperti Buton

dan Jawa itu masing-masing berubah watak khasnya dan unsur-unsur

kebudayaannya saling berubah sehingga memunculkan suatu watak

kebudayaan yang baru/campuran. Hal tersebut terjadi serupa dengan informan

Hafeudin menuturkan;

Saya sendiri punya saudara sepupuh ada tujuh orang, dari tujuh orang
salah satu dari mereka, anak ke empat menikah dengan orang Jawa. Biasa
karena pekerjaannya sepupuku itu pedagang dia yang selalu kirim barang
orderan belanjaan untuk di jual di Buton. Dia selalu menetap di Jawa terus dia
sudah lama di Jawa akhirnya dia dapat orang Jawa dan menikah sama orang

43
Jawa. Di pernikannya itu dia make adat Jawa dan Buton (wawancara, 7 febuari
2015)

Menurut Soerjono Soekanto, faktor yang heterogen, artinya

masyarakat heterogen dengan latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang

berbeda akan menjadi pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan

sosial, dengan keadaan demikian dapat merupakan terjadinya perubahan-

perubahan baru dalam masyarakat untuk mencapai keselarasan sosial,

sebagaimana penuturan masyarakat keraton La Ode Hafeudin yaitu sebagai

berikut;

Di Buton sekarang ini bayak masyarakatnya imigran yang datang dari


Jawa, Bali dan Cina. bahkan orang Jawa pun dapat menikahi penduduk
asli Buton dan orang-orang Buton sendiripun banyak yang merantau
ke jawa khususnya di daerah Jakarta dan menikah dengan orang Jawa
pula (wawancara, masyarakat keraton, Buton, 7 febuari 2015).

Menurut Soerjono Soekanto, terjadinya kontak atau sentuhan dengan

kebudayaan lain. Bertemunya budaya yang berbeda menyebabkan manusia

saling berinteraksi dan mampu menghimpun berbagai penemuan yang telah

dihasilkan, baik dari budaya asli maupun budaya asing, dan bahkan hasil

perpaduannya. Hal ini dapat mendorong terjadinya perubahan dan tentu akan

memperkaya kebudayaan yang ada.

Percampuran budaya lokal dengan budaya yang dibawa oleh para

pendatang adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, karena terjadi secara

alami, diantaranya melalui sebuah interaksi sosial yang berlangsung ditengah

masyarakat. Hal ini disebabkan karena sudah makin banyaknya jumlah

imigrasi sehingga banyak pendatang baru yang mulai menetap di Buton. Disisi

lain letak geografis Buton merupakan tempat masuknya perdagangan, seperti

yang diucap informan kita ini;

44
Bagi saya sih kedatangan mereka seperti orang Jawa, Bali dan Cina ke
Buton itu hanya mencari kehidupan yang lebih baik, karena di Buton
ini masih banyak sekali tempat penghasilan yang bisa diperoleh oleh
mereka. apa lagi kita bisa lihat letak geografis di Buton setengahnya
lautan dan setengahnya hutan, dari kedatangan mereka kan pasti terjadi
interaksi antara penduduk kita, makanya darisitulah terjadi
percampuran budaya. (wawancara, Buton, 7 febuari 2015).

Ini juga menyebabkan terbentuknya masyarakat heterogen dengan

masyarakat yang pendatang dari segala penjuru. Akhirnya heterogenitas inilah

yang selalu berinteraksi dan menghasilkan pengaruh pada perubahan sosial.

Keadaan keragaman itulah yang mendorong perubahan-perubahan untuk

mencari keselarasan sosial.

Transformasi sosial yang berkembang membentuk pergeseran sistem

dan pola pandang masyarakat yang terjadi sebagai dampak dari masuknya

budaya luar dalam masyarakat Buton, khusunya pada bidang adat dan tradisi

system Boka yang terjadi invention dan menjadi proses pebaruan.

Penduduk pendatang juga merupakan salah satu faktor perubahan

budaya serta menjadi gejala-gejala sosial dimasyarakat dalam pertumbuhan

dan perkembangan ekonomi suatu daerah dan wialayah, halnya yang

diucapkan informan;

Umbe (iya) dengan kedatangan miana (orang) Cina, miana (orang)


Jawa sih, mempengaruhi anak muda sekarang dalam pengetahuan,
pergaulan dan cara hidup samapai melupakan budaya Wolio, seperti
sekarang mana ada anak muda sekarang bisa berbahasa Wolio, padahal
dalam acara adat Wolio kan menggunakan bahasa Wolio, khususnya
kawi tauraka popolo sopea bokana (pernikahan yang harus
mengeluarkan maharnya dan berapa jumlah perhitungan bokanya)
(wawancara, Buton, 15 agustus 2014).

Jadi maksud dari jumlah penduduk yang banyak yang disebabkan

pendatang juga menjadikan perubahan yang tidak dikehendaki, artinya

45
perubahan ini terjadi disebabkan percampuran kultur dan budaya sehingga

diluar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menimbulkan akibat-

akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat, serta itu menjadi percampuran

unsur budaya dan membentuk asimilasi tersebut. Bisa melihat gambar 2

pernikahan masyarakat suku buton dan suku lain (Papua) masih

mengguanakan adat tradisi boka, tapi dengan menggunakan cara simple atau

cara pernikahan sederhana yang dihadiri dua pihak keluarga dan saksi.

b) Faktor Ekonomi dan Gaya Hidup

Secara umum, persoalan budaya materil merupakan lintasan budaya

terkait dengan perkembangan dari suatu wilayah bagian didunia

mempengaruhi atau dipengaruhi. Persoalan lintas budaya materil dapat

diartikan pula sebagai perkembangan modernisasi yang berkebang terus

menjadi globalisasi. Globalisasi adalah system atau tatanan yang meyebabkan

suatu budaya dan Negara tidak mungkin mengisolasi diri akibat kemajuan

teknologi dan komunikasi (Rusmin, et al, 2010:192).

Menurut Lauer (1989:211) budaya materil ini mencakup teknologi

(gaya hidup) dan ekonomi (mata pencaharian). Kita bisa melihat keberadaan

teknologi telah meningkatkan alternatif-alternatif baru bagi masyarakat,

mempengaruhi dan mengubah pola interaksi dalam kehidupan. Hal ini

tercerminkan dalam pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Buton, terutama

dalam proses pemberian Boka dalam pelaksanaan proses pernikahan, yang

dulu dimana pada masyarakat Buton pemberian mahar dalam system tradisi

Boka menggunakan perhitungan real untuk menentukan berapa nilai tukar

pada Boka. Sebagaimana dinyatakan oleh Idrus salah satu informan:

46
Menurut saya ada sedikit perubahan dengan yang saya lihat selama ini,
yaitu perubahan yang berbeda hanya nilai tukar dari boka itu sendiri
sesuai dengan kenaikan nilai tukaran. Yang dulu kita memakai
hitungan nilai tukar real, sekarang hitungan nilai tukar rupiah,
dikarenakan hitungan real sekarang ini sudah tidak digunakan lagi.
(wawancara, Buton, 10 desember 2014).

Dari penjelasan informan sendiri bahwasanya kehidupan globalisasi atau

kehidupan era modernisasi menjadikan perubahan juga pada bentuk artifek,

sistem dan nilai.

Jenis lain dari kebudayaan materil ini adalah ekonomi, hal ini terkait

terhadap kebutuhan dasar sangan, pangan dan papan manusia yang terus

meningkat dan mengalami perkembangan. Penulis menemukan bahwa akibat

dari faktor ekonomi berbagai tahapan-tahapan adat perkawinan berangsur

mengalami perubahan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh informan selaku

masyarakat yang tinggal di lingkungan keraton mengatakan:

Kalau kita lihat sekarang ini perhitungan boka sangat sedikit nilai
tukarnya untuk membangun rumah tangga bagi yang baru-baru nikah
khusunya yang menggunakan adat dengan benar dan mengikuti aturan
prosesnya. Sekarang kita lihat seperti kalamboko atau mbooresa
(tempat tidur) berapa boka? Untuk hitungan nilai tukar mahar Dala
Iyoputa Sangia, kalamboko 30 boka dan 1 boka 24000 iya kan.
Sedangkan barang-barang matras, ranjang dan seperangkat langit-
langit kamarnya, kolambunya (perangakat ranjang) itu semua melebihi
dari 5 juta, toapa (bagaiamana)? Pastinya kan kita ikut adat tapi ada
uang haroa (uang pesta) untuk menambahkan itu semua. Dikarenakan
kebutuhan masyarakat kita sekarang ini sangat banyak (wawancara,
masyarakat keraton, Buton, 15 agustus 2014).

Berdasarkan penjelasan informan diatas, perkembangan zaman dan ekonomi

saat ini bisa merubah sedikit-sedikit dari budaya menjadi berkembang, tapi

tidak merubah esensi nilai budaya sebelemnya, dan penulis juga sempat

mempertanyakan kepada salah satu tokoh adat selaku informan saya tentang

bagaimana Boka ini menghadapi perkembangan zaman:

47
Adat ini kan ditetapkan oleh para tokoh adat keraton dan dimufakatkan
hasilnya, dulu juga dari 1 boka nilai tukar 18000- menjadi 1 boka nilai
tukar 24000- dan ini pasti akan ada perubahan lagi dari kesepakatan
selanjutnya, karana nilai tukar Boka ke rupiah harus mengikuti
ekonomi masyarakat (wawancara, masyarakat keraton, Buton, 7
febuari 2015).

Ogburn berpendapat bahwa perubahan kebudayaan materi yaitu

ekonomi dan gaya hidup cenderung lebih cepat dibandingkan perubahan

immaterial. Ketidak seimbangan perubahan kebudayaan materiel dengan

kebudayaan imateriel disebut kesenjangan kebudayaan. Kesenjangan

kebudayaan adalah pertumbuhan atau perubahan unsur kebudayaan tidak sama

cepatnya. Keseimbangan dalam kehidupan masyarakat (social equlibirium)

tidak selalu berarti tidak menginginkan perubahan atau berhenti pada suatu

titik. Tetapi maksudnya, perubahan yang terjadi dalam satu unsur tidak

mengganggu unsur lain atau unsur yang lain diharapkan menyesuaikan diri

sehingga terjadi keseimbangan (Tumanggor, Rusmin, et al, 2010:193).

Bahwasanya perkembangan ekonomi dan gaya hidup merupakan suatu

unsur yang merubah tradisi Boka secara perlahan-lahan, sehinga adat dan

budaya pun mengikuti perkembangan waktu dengan mencampur kan unsur

tradisi adat yang ada pada masyarakat tanpa menghilangkan tradisi tersebut,

dengan tujuan meberikan keseimbangan sosial budaya, seperti yang di

tuturkan salah satu informan Bahysu, yaitu;

Berdasarkan musyawarah parah tokoh adat dan tokoh syarah agama


dan seluruh Swapraja yang ada di masjid keraton Buton, memutuskan
bahwasanya tradisi Boka akan diperhitungkan lagi nilai tukar yang
sudah ada pada masyarakat, dikarenakan disetiap wilayah Buton
mengalami perbedaan dikarenakan ketidak sesuaian denga kehidupan
ekonomi masyarakat (wawancara, Buton, 9 desember 2014).
Berarti dari pemaparan para informan, penulis akan membantu

menjelaskan tentang nilai proses tradisi yang ada di masyarakat buton masih

48
bisa dipertimbangkan dengan tujuan menyeimbangkan antara budaya leluhur

dengan perkemabangan zaman. Sehingga dua unsur tersebut tidak membentuk

kesenjangan budaya.

C. Dampak Perubahan Tradisi Boka pada Masyarakat Buton

Perubahan sosial budaya akan merubah adat, kebiasaan, cara pandang,

bahkan ideologi suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya juga secara

langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak, baik negatif maupun

positif, seperti hal yang terjadi pada masyarakat Buton. Sebagaimana

diungkapkan oleh informan Idrus yaitu;

Ada dua dampak yang terjadi pada masyarakat Buton, Dampak


positifnya Boka dapat dijangkau oleh siapapun yang berniat
menyelenggarakan kegiatan adat istiadat dan Dampak negatifnya
perubahan Boka, jati diri dan indentitas adat – istiadat masyarakat adat
Buton makin lama makin punah (wawancara, Buton, 10 desember
2014).

pernyataan informan yang diatas mengambarkan bahwasanya dampak

positifnya perubahan sosial budaya dalam Boka bagi masyarakat Buton adalah

semua dapat dijangkau oleh masyarakat dalam pelaksanaan adat tradisi Boka,

dikarenakan tradisi sudah dipermuda oleh masyarakat sendiri dan nilai tukar

pada nominal dipermudah yang menyebabkan hal tersebut terdapat

percampuran unsur budaya tradisi dan unsur budaya baru. Perubahan dapat

terjadi jika masyarakat dengan kebudayaan mampu menyesuaiakan diri

dengan perubahan, maka keadaan masyarakat yang memiliki kemampuan

dalam penyesuaian atau disebut adjusemen, sedang bentuk penyesuan dengan

gerak perubahan disebut integrasi. Berikut ini hal-hal positif pada masyarakat

akibat adanya perubahan sosial budaya; 1).Memunculkan ide-ide budaya baru

yang sesuai dengan perkembangan zaman, 2).Membentuk pola pikir

49
masyarakat yang lebih ilmiah dan rasioanal, 3).Terciptanya penemuan-

penemuan baru yang dapat membantu aktivitas manusia, dan 4).Munculnya

tatanan kehidupan masyarakat baru yang lebih modern dan ideal (Soekanto,

1983:63).

Dari beberapa icon diatas sangat berkaitan dengan dampak perubahan

tradisi Boka yang terjadi pada masyarakat Buton, dimana masyarakat Buton

dapat menggabungakan tradisi adat leluhur yang begitu rumit menjadi mudah

dilakukan dengan ide-ide baru. Masyarakat Buton membentuk tatanan

kehidupan yang baru, seperti open stratification atau system terbuka dalam

lapisan sosial, seperti yang dituturkan La Ode Ma‟asuh, yaitu;

Pernikahan sebenarnya kan membangun keluarga yang baik dan


harmonis bukan membentuk suatu kelompok kekuasaan dalam suatu
keturunan bangsawan lagi (wawancara, Buton, 5 febuari 2015).
Hal tersebut berkaitan dengan ide, pola piker dan tatanan kehiduapan

yang modern, salah satu informan mengatakan;

Bagi masyarakat miana Wolio (Buton) perubahan yang terjadi pada


proses tradisi Boka membuat masyarakat dipermuda dalam
melaksanakan pernikahan, segala hal yang berkaitan Boka dulunya
diuraikan dengan bentuk peyerahan yang bemacam-macam dan saat ini
semua hal sudah dapat dipermudah dengan menominalkan dengan
uang, sehingga proses lamaran dan penyerahanpun sangat cepat
(wawancara, Buton , 7 febuari 2015).

Dampak negative yang terjadi apabila masyarakat dengan

kebudayaannya tidak mampu menyesuaikan diri dengan gerak perubahan,

maka ketidak mampuan dalam penyesuain diri disebut maladjusumen.

Maladjasumen akan menimbulkan disintegrasi. Berikut ini hal-hal negative

akibat adanya perubahan sosial budaya; 1).Tergesernya bentuk-bentuk budaya

nasional oleh budaya asing yang terkadang tidak sesuai dengan kaidah

50
budaya-budaya nasional, 2).Adanya beberapa kelompok masyarakat yang

mengalami ketertinggalan kemajuan budaya dan kemajuan zaman, baik dari

sisi pola pikir ataupun dari sisi kehidupan (cultural lag atau kesenjangan

budaya), 3).Munculnya bentuk-bentuk penyimpangan sosial baru yang makin

kompleks, dan 4).Lunturnya kaidah-kaidah atau norma budaya lama, sangat

berkaitan dengan yang di tuturkan La Ode Hafeudin, selaku informan;

Kalau orang-orang Buton dulu tuh melakukan pernikana itu disambut


dengan meriah dan kemudian proses adatnya itu banyak sekali,
sekarang ini pernikahan kayanya sudah menjadi biasa saja, apalagi
penyerahan Boka itu kaya penyerahan mahar seperti pernikahan
umumnya seperti yang di tv-tv sudah tidak ada nilai sakralnya lagi
(wawancara, Buton, 7 febuari 2015).

Seperti hal yang di ungkapkan La Ode Ma‟asuh tentang pandangannya,

yaitu:

Dampaknya itu kita bisa lihat di perkembangan zaman, banyaknya


sekali efek-efek yang menjadikan budaya masyarakat kita ini
bercampur, terutama dalam pola kehidupan. Kita lihat sekarang
pernikahan yang ada di masyarakat kita ini hampir 40% melaksanakan
pernikahan dengan metode biasa, tanpa menggunakan tradisi boka,
35% lagi menikah dengan cara percampuran unsur budaya dan suku
dan itu akan mengeser kebudayaan, dan sisanya itu hanya 25% yang
melakukan pernikahan dengan menggunakan tradisi boka. Kalau kita
lihat sekarang ya masyarakat kita ini sudah tidak ada kepedulian lagi
pada budaya dan adatnya khusunya para anak muda sekarang, hampir
tidak tahu apa itu boka. Dan para orang tuapun sudah lupa untuk
mengingatkan ke anak dan cucunya tentang budaya kita ini.

Bagi seluruh masyarakat Buton juga merasakan dampak perubahan tradisi

tersebut membuat kekhawatiran budaya yang akan pudar dan hilang di masa

perkembangan zaman ini, khususnya para tokoh masyarakat adat, tokoh syara

agama, dan sparaja menganggap norma budaya lama akan mengalami

kemunduran atau berdamapak negatif bagi masyarakat Buton kelak

51
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil penelitiaan ini menunjukkan bahwa terdapat perubahan dalam tataran

nominal Boka dalam tradisi masyarakat perkawinan Buton. Perubahaan tersebut

melalui ketetapan dari para tokoh adat berdasarkan pertimbangan meningkatnya

kebutuan masyarakat. Selain itu perubahan pada nominal Boka disebabkan oleh

adanya kesepakatan (negoisasi) dari kedua belah pihak keluarga mempelai.

Kondisi geografis yang strategis dan meningkatnya keutuhan ekonomi merupakan

faktor yang mempengaruhi perubahan Boka, dampak postif bagi masyarakat ialah

makin rendah nilai Boka maka makin rendah untuk dijangkau masayarkat. Hal itu

memicu open stratifikasi ssehingga memungkinkan adanya negosiaasi, selain itu

terdapat pula dampak negatif diantaranya ialah makna tinggi nilai boka maka makin

sulit dijangkau oleh sistem perkawian tradisional yang tergeser oleh sistem modern,

adat istiadat yang nantinya akan semakin ditinggalkan

B. Saran

Dari kesimpulan yang ditulis diatas, akhirnya penulis dapat memberikan saran

sebagai berikut:

a) Bagi para mahasiswa yang hendak melakukan penelitian serupa, hendaknya

bisa lebih menyeluruh, terutama metode penelitian yang digunakan. Peneliti

dalam hal ini sadar akan berbagai kelemahan dalam penelitian ini. Namun

setidaknya penelitian ini dapat memberikan kontribusi wawasan atau

pengetahuan dalam penelitian dengan objek yang serupa.

52
b) Bagi para tokoh dan cendikiawaan budayawan daerah bisa lebih mengekspor

lagi masalah tentang adat-adat di Buton

c) Bagi masyarakat yang ingin mengetahui tentang tradisi boka, lebih baik

mencari tahu informasinya secara langsung dari sumber tokoh adat di kerato

d) Dan hendaknya para tokoh adat lebih bekerjasama lagi pada mahasiswa sekitar

atau luar daerah agar budaya dan adat masyarakat buton bisa di eksport dalam

pengetahuan mahasiswa.

53
DARTAR PUSTAKA

Palalloi, Hamzah, Kota Baubau sejarah dan Perjalanannya, Badan Komunikasi

Informasi dan Pengolahan Data Kota Baubau 2011

Alifuddin. ISLAM BUTON, Interaksi Islam dengan Budaya Lokal. Badan Litbang dan

Diklat Departemen Agama RI, Oktober 2007

Amiruddin. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; PT

RajaGrafindo Persada, 2004). Cet ke-1

Anceaux, Barringtonia Asiatica, 1987

Darmawan, Yusran. Menyibak Kabut di Keraton Buton (Bau-Bau:Past, Present, and

Future). Bau-Bau. Respect, 2008

Darul Butuni: Sejarah dan Adatnya Unpublished manuscript. 1980

Fahimuddin, Mu’min, Menafsirkan Ulang Sejarah & Budaya Buton, (Bau-Bau,

RESPECT, 2011).

Hamid, ABD Rahman, Orang BUTON suku Bangsa Bahari Indonesia, (Yogyakarta,

Ombak, 2011).

http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1992756-dampak-perubahan-sosial

budaya

Internet.www.garuda.dikti.go.id. http://repository.unad.ac.id/11608. di unggah tanggal 16

oktober 2012

vii
Kriyantono, Rachman Teknik Praktis Riset, 2008

Lakebo, Berthyn, Zeth Meusu, A. Mulku Zahari, La Ode Ibu, Hasanuddin, Adat dan

Upacara Pernikahan Daerah Sulawesi Tenggara, Proyek Penelitian dan

Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, 1978/1979

Lauer, H Robert, Perspektif tentang perubahan Sosial, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993).

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1998).

Moleong, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remajarosda, 2009

Poerwandari, E. Kristi. Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi, Jakarta;

lembaga pengembangan sarana pengukuran dan pendidikan Psikologi Fak.

Psikologi Universitas Indonesia

Schoorl, Pim. Masyarakat, Sejarah dan budaya Buton, Djambatan-bekerja sama dengan

perwakilan KITLV-Jakarta. 2003.

Setiadi, Elly M. Kama A. Hakam. Ridwan Effendi. Ilmu Sosial & Budaya Dasar.

KENCANA. (Jakarta, 2006).

Soekanto, Soerjono. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta; Ghalia

Indonesia 1983

Soerjono Soekanto, 1990. Sosiologi Suatu Penantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta, Prenada 2007).

viii
Tumanggor, Rusmin, Kholis Ridho, Nurochim, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta,

Kencana, 2010).

Wahyu, Perubahan Sosial dan Pembangunan, Jakarta: 2005. Hecca Publishing

Zahari, Abdul Mulku. Sejarah dan Adat Fij Darul Butuni ( Buton), 3 vols. (Jakarta :

Depdikbud RI, 1977).

Zuhdi, Susanto, Sejarah Buton Yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana,(Jakarta,

Rajawali Pers, 2010)

Wawancara

Wawancara dengan Nasrun pada 16 agustus 2014

Wawancara dengan La Ode Burhanuddin Sahidi pada 15 desember 2014

Wawancara dengan La Ode Masuk pada 7 desember 2014

Wawancara dengan Bahysu pada 9 desember 2014

Wawancara dengan La Ode Ma’asuh pada 5 febuari 2015

Wawancara dengan La Ode Husnul pada 2 febuari 2015

Wawancara dengan La Ode Hafeudin pada 7 febuari 2015

Wawancara dengan Idrus pada 10 desember 2014

Wawancara dengan Haliu pada 15 agustus 2014

ix
x
FOTO DOKUMENTASI
Gambar 1

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar 1 logam-logam ini adalah nilai tukar untuk perhitungan boka


FOTO DOKUMENTASI
Gambar 1

Sumber : Dokumentasi Pribadi


FOTO DOKUMENTASI
Gambar 1

Sumber : Dokumentasi Pribadi


Foto dokumentasi

Gambar 2

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gamabar 2 ini, menjelaskan tentang pernikahan dua suku, mempelai pria berasal dari Irian Jaya
dan mempelai wanita asli tanah Buton, pernikahan ini yang ada di gambar ini melalui jalur
Uncura , yaitu artinya duduk yakni langsung saja duduk dirumah orang tua perempuan aau gadis
yang telah dipilih untuk teman hidup, dengan permintaan untuk menikah dengan jalan ini tidak
perlu melalui cara pertunangan lebih dahulu atas kesepakatan adat.

Sumber : Dokumentasi Pribadi


Foto dokumentasi

Gambar 2

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar ini menjelaskan dalam pernikahan ini hanya dihadiri moji, dan keluarga mempelai pria
dan wanita saja, karena metode pernikahan dua suku ini tidak menggunakan proses katindana
oda dan katangkana oni, tapi langsung cara penyerahan tauraka dan popolo atau disebut
maskawin.
Foto dokumentasi

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar 2 ini menjelaskan proses akad nikah dengan membacaan tauraka dan berapa boka
yang akan dikeluarkan mempelai pria tersebut. Dalam pernikahan Uncura ini mempelai pria
menggunakan pakaian papara yang berwarna kuning.
Foto dokumentasi

Gamabar 3

Sumber : Dokumentasi Pribadi


Foto dokumentasi

Gambar 3 ini menjelaskan proses pernikahan Pobaisa dalam satu suku, dari strata walaka dan
kaomu, dalam proses ini dihadiri moji, tokoh adat, syara (swapraja) dan proses ini yang disebut
dengan Katindana Oda dan Katangkana Oni

Sumber : Dokumentasi Pribadi


Foto dokumentasi

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Pernikahan dalam bentuk Pobaisa, dalam pernikahan ini pengantin akan menggunakan dua baju
pengantin kebesaran keraton yang bercorak sisik naga dengan warna hijau dan sisik buah nanas
dengan warna kuning dan baju itu hanya di gunakan strata kaoumu dan walaka.
FOTO DOKUMENTASI
Foto bersama toko adat setelah melakukan wawancara

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Lampiran I

DAFTAR PERTANYAAN

Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi

Pernikahan Masyarakat Buton

A. Identitas Informan

Nama : LA ODE BURHANUDDIN SAHIDI

Umur : 56 tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

Jabatan : Tokoh Adat

1. Apa yang anda mengerti tentang boka?

Boka adalah merupakan besaran nilai yang dikeluarkan dan diberikan oleh seseorang

yang melaksanakan kegiatan adat-istiadat yang diatur berdasarkan tingkat masing-masing

baik dalam bentuk mahar maupun pasali

2. Bagaimana anda memaknai adat dan tradisi boka yang ada selama ini?

Adat termasuk tatakrama yang dibuat oleh masyarakat dan menjadi pengatur untuk

masyarakat dalam lingkup Kesultanan Buton khususnya, kalau tradisi boka itu bagian

dari aturan adat yang telah menjadi kebiasaan yang berlaku diwilayah Kesultanan Buton

yang melindungi pelaksanaan jalan pernikahan misalnya ketika laki-laki itu setelah
membayar boka/mahar maka berarti dia telah syah untuk menggauli isterinya. Oleh

karena itu tradisi boka ini akan terus berlanjut sampai generasi ke genarasi

3. Bagaimana tataran boka menurut orang terdahulu?

Bagi orang-orang dulu kalau melakukan pernikahan itu dilihat dari silsilah keturunannya,

karena silsilah keturunan di masyarakat Buton sangat penting untuk menjadikan keluarga

itu terpandang, kemudian melakukan pernikahan juga dilalui dengan waktu yang sangat

panjang di karenakan proses memberian boka dalam pernikahan tidak sekali pemberian

melaikan beberapakali sesuai aturan yang di tetapkan swapraja

4. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?

seperti yang saya bilang tadi, bahwasanya boka merupan adat yang sudah di tetapkan

oleh kerajaan dan kesultanan melalui mufakat swapraja dan menjadi aturan bagi

pelaksanaan pernikahan, jadi aturan dan batasan yang terdapat pada perhitungan boka itu

tergantung dari siapa yang menikahi dan dinikahinya

5. Siapa saja yang boleh mendapatkan boka tersebut?

Kalau menurut adat ya, yang mendapatkan dan menirima boka itu hanya pihak dari

keluarga wanita itu pun yang berada di tempat ketika pelaksanaan lamaran usai

dilaksanakan, setelah itu bokanya boleh di bagikan ke pihak keluarga si wanita, selain

keluaga si wanita pihak moji juga berhak mendapatkan boka, karena sebagai

penghubunga untuk menyatuhkan dua keluarga.


6. Apakah ada aturan adat yang membedakan pemberian boka pada masyarakat

tertentu dengan masyarakat lainnya?

Ya, pastinya karena disetiap masyarakat itu kan mempunyai adat masing-masing dan

pastinya mempunyai aturan juga, tapi kalau di Buton itu diatur sesuai aturan tradisi

perhitungan boka itu sendiri yang telah ditetapkan oleh swapraja

7. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka dulu dengan sekarang, jika ada

bagaimana perubahan itu terjadi dan apa penyebabnya?

Ya, ada perubahan seperti pelaksanaan tolowea itu sudah tidak ada, terus katindana oda

dan katangkana oni itu ada yang menggunakan dan ada juga yang tidak melakukannya,

terus banyak aturan aturan yang dilewatkan, seperti sekarang ini kebanyakkan orang yang

melalukan pernikahan halnya pernikahan umum. Akhirnya tradisi boka yang ada

dimasyarakat Buton dipermuda dalam pelaksanaannya. Sebenarnya itu kalau ada yang

mengerti adat dan menghargainya pastinya dia akan melakukan sesuai aturan adat, karena

masyarakat yang begitu pastinya tidaka akan mau meninggalkan adat dan budayanya.

Dan intinya pula perubahan juga tidak terjadi dengan keseluruhan hanya beberapa unsur

yang di akulturasikan dengan perkembangan zaman ini.

8. Apakah boleh adat boka ini berlaku pada masyarakat pendatang? jika boleh,

bagaimana prosesnya dan jika tidak boleh, kenapa?


Untuk adat pernikahan tradisi boka ini boleh dilakukan atau dilaksanakan oleh para

pendatang asalkan si pendatang menikah dengan orang Buton juga, contoh kalau orang

Jakarta atau Jawa datang di Buton dan menikahi wanita Buton maka tradisi boka bisa di

laksanakan dan diterapkan dalam pernikahan tersebut dan apabila tidak dilaksanakan juga

tidak apa-apa, tapi kebanyakan dari masyarakat dan seluruh tokoh adat mengatakan

bahwa adat tradisi boka jatuh pada wanita, karena wanita temapat jatuhnya perhitungan

mahar yang dikeluarkan.

9. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang,

apakah adat boka masih berlaku?

kalau masyarakat kita ini pastinya sangat menjaga tradisi budayanya walaupun dan

seaidainya penikahan antara masyarakat asli Buton dengan masyarakat pendatang

terlaksana maka aturan akan berlaku sesuai dengan kesepakatan dua keluarga dan ketua

adat , tapi lagi-lagi di masyarakat kita ini sangat jarang sekali wanita dari Buton

mengikuti adat dari si laki-laki entah dari Jawa, Makasar dan Sumatra, di karenakan adat

di Wolio jatuh pada wanita.

10. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat Buton?

Kalau berbicara masalah adat dan dampaknya itu saya melihat boka itu sampai sekarang

tidak berubah. Toh juga kita lihat para toko adat dan seluruh masyarakat Wolio ini masih

melaksanakan tradisi boka dengan jumalah dan aturan yang ditetapkan swapraja,

mungkin cuma perhitungan nilai tukar di Buton itu sudah menjadi 1 boka 24000 rupia.
11. Apakah tradisi adat boka ini berlaku diluar daerah Buton untuk masyarakat Buton

yang tinggal daerah tertentu?

Sebenarnya semua masyarakat kita ini selalu membawa adat dan budaya kemanapun kita

pergi dan untuk masalah pernikahan itu tergantung dari keluarga masing-masing, kalau

seumpanya adat Buton yang dipakai dalam pelaksanaan pernikahan maka tradsi boka

juga pasti akan terlaksana, tapi sekarang-sekarang ini sangat jarang sekali tradis boka

dipake diluar daerah Buton

12. Apakah ada upaya tertentu yang dilakukan untuk mempertahankan adat dan

tradisi boka dikampung ini, apa saja upayanya?

Ada upaya untuk mengajarkan agar tradisi kita ini tetap terjaga, biasanya seluruh orang

tua di Buton ini pasti mengajarkan keseluruh anak-anak dan cucunya untuk mengenal

budaya Buton dan sebenarnya bukan hanya pada tradisi boka tapi keseluruhan adat dan

budaya kita ajarkan ke anak dan cucu. Guru-guru juga membantu untuk mengajrakan

tentang budaya dan bahasa Buton pada pelajaran muatan local daerah

13. Apakah ada perbedaan pelaksanaan tradisi boka yang dilakukan adat dengan

pemerintah? Jika ada sebutkan saja perbedaannya, jika tidak seperti apakah peran

serta KUA dalam melaksanakan adat tradisi boka di kampong ini?

Di masyarakat kita ini pelaksanaan pernikahan masih mengikuti aturan pemerintah,

seperti menikah untuk umur laki-laki itu harus berumur 20an sedangkan untuk usia umur

wanita itu 17an, itu semua kita masih ikuti, karena syara agama kita mengajarkan untuk
pernikahan ketika wanita itu sudah di posuo, Cuma yang membedakan proses pernikahan

di Buton kan menggunakan tradisi adat budaya kita, dari proses penyerahan tauraka atau

maskawin
Lampiran II

DAFTAR PERTANYAAN

Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi

Pernikahan Masyarakat Buton

A. Identitas Informan

Nama : HALIU

Umur : 60 Tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

1. Apa yang anda mengerti tentang boka?

Ongkita te miana mancuana boka sih adato miana wolio so kawi, boka yitu dulu

semacam nilai tukar benda ke benda, berapa nilai benda itu diganti dengan benda yang

sama nilainya. Tuh miana Wolio dulu kan belum ada mata uang orang-orang masyaraka

itu mau balanja atau lingka idawa tidak membawa mata uang karena dulu belum sejenis

uang pada wa’tuna (waktunya) mereka itu dulu cuma bawa barang-barang yang mau di

tukar idawa (pasar), wewesih (sekarang-sekarang ini) boka itu sudah menjadi aturan yang

ditetapkan masyarakat untuk perkawinan, mati, haroa dll, tapi yang sering di lakukan

untuk perkawinan.
2. Bagaimana anda memaknai adat dan tradisi boka yang ada selama ini?

Adat tradisi boka di masyarakat Wolio masih terus dilaksanakan, dimana para syara,

tokoh adat dan orang tua disitu memliki peran penting dalam menjaga dan

mengajarkannya ke anak-anak dan cucunya, biar bisa terlaksana samapai saat ini

3. Bagaimana tataran boka menurut orang terdahulu?

Tataran boka orang terdahulu semuanya ialah berdasarkan bentuk klasifikasi dan tingkat

syara yang ada di masyarakat Wolio

4. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?

Umbe, Indana boka sih dangia aturana. Kalau kita lihat sekarang ini perhitungan boka

sangat sedikit nilai tukarnya untuk membangun rumah tangga bagi yang baru-baru nikah

khusunya yang menggunakan adat dengan benar dan mengikuti aturan prosesnya.

Sekarang kita lihat seperti kalamboko atau mbooresa (tempat tidur) berapa boka? Untuk

hitungan nilai tukar mahar Dala Iyoputa Sangia, kalamboko 30 boka dan 1 boka 24000

iya kan. Sedangkan barang-barang matras, ranjang dan seperangkat langit-langit

kamarnya, kolambunya (perangakat ranjang) itu semua melebihi dari 5 juta, toapa

(bagaiamana)? Pastinya kan kita ikut adat tapi ada uang haroa (uang pesta) untuk

menambahkan itu semua. Dikarenakan kebutuhan masyarakat kita sekarang ini sangat

banyak.

5. Apakah ada aturan adat yang membedakan pemberian boka pada masyarakat

tertentu dengan masyarakat lainnya?

Ya ada aturannya dari syara Wolio untuk masyarakat lain selain masyarakat Wolio
6. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka dulu dengan sekarang, jika ada

bagaimana perubahan itu terjadi dan apa penyebabnya?

Ya ada perubahan, perkawinan mengugunakan adat tradisi boka yang dulu itu sangat

tradisional dan berbudaya khas masyarakat kerajaan kesultanan Buton, kalau sekarang itu

pernikahan itu sudah menggunakan campuran-campuran adat, seperti adat Buton dengan

Kolaka, Buton dengan Muna apa lagi sekarang ini banyaknya orang Jawa yang ada di

tanah Wolio ini, pernikahan orang Jawa juga masuk dalam percampuran pernikahan adat

masyarakat kita, itu juga yang merusak budaya kita sendiri.

7. Apakah boleh adat boka ini berlaku pada masyarakat pendatang? jika boleh,

bagaimana prosesnya dan jika tidak boleh, kenapa?

Ingkana miana wolio pogau boleakah boka, tauraka te miana sagana ndapokia, sabutuna

budayana te adatana campuru, ingkana te kawina miana aou bawinena miana Wolio

tapakea adatana Wolio sih adatana boka.

8. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang,

apakah adat boka masih berlaku?

Adat boka itu masih berlaku kapanpun dan dimanapun, yang penting ada perbincangan

antara dua keluarga dan adat masing-masing, itu seperti anaknya La Ode H. Anewu

anaknya kana ada yang kawin sama orang Jawa dan saya juga kemarin itu ikut kumpul

untuk keputusan adat apa yang akan dilaksanakannya, dari musyawarah syara Wolio ma
orang tua oua para mancuana sih ambil keputusan adatnya Buton, apalagi anaknya

sarona (namanya) Wa Ode…., dan akhirnya kawina te adatana boka.

9. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat Buton?

Kalau melihat sekarang ini boka berubah bagi pandangan pemikiran saya ya, saya tidak

tau kalau masyarakat dan para tokoh adat yang lain, apa akan berbicara seperti saya.

Bahwasanya perubahan zaman berdampak pada budaya yang percampuran. Umbe (iya)

dengan kedatangan miana (orang) Cina, miana (orang) Jawa sih, mempengaruhi anak

muda sekarang dalam pengetahuan, pergaulan dan cara hidup samapai melupakan budaya

Wolio, seperti sekarang mana ada anak muda sekarang bisa berbahasa Wolio, padahal

dalam acara adat Wolio kan menggunakan bahasa Wolio, khususnya kawi tauraka popolo

sopea bokana (pernikahan yang harus mengeluarkan maharnya dan berapa jumlah

perhitungan bokanya)

10. Apakah tradisi adat boka ini berlaku diluar daerah Buton untuk masyarakat Buton

yang tinggal daerah tertentu?

Ya, berlaku bagi yang mau melaksakannya khususnya orang-orang yang sadar atas

kepemilikan budaya dan adanya mau dia berada di luar negri atau di daerah orang lain

tetap akan berlaku.

11. Apakah ada upaya tertentu yang dilakukan untuk mempertahankan adat dan

tradisi boka dikampung ini, apa saja upayanya?

Ingkita sih miana mancuana dangiana upaya, ingkita cuma berharap te maina mogena

sa sih, mengerti adatana te budayana, makida to pogaou wolio ingkita sih syukuri
12. Apakah ada perbedaan pelaksanaan tradisi boka yang dilakukan adat dengan

pemerintah? Jika ada sebutkan saja perbedaannya, jika tidak seperti apakah peran

serta KUA dalam melaksanakan adat tradisi boka di kampung ini?

Masyarakat kita ini punya adat dan tradisi sendiri dalam mengkawinkan anak dan cucu

dan itu semua lewat tradisi keturunan, kalau pemerintah itu cuma mengikuti adat dan

memperhatikan adat agar tidak kelaur dari jalur ketetapan dari kesepakatan dan mufakat

pemerintah dan tokoh adat kita, karena masyarakat kita ini terlahir dengan adat dan

budaya seperti haroa, dimana-mana kan orang melaksakanan haroa, begitu juga di

perkawinan.
Lampiran III

DAFTAR PERTANYAAN

Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi

Pernikahan Masyarakat Buton

A. Identitas Informan

Nama : LA ODE HUSNUL

Umur : 35 tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

1. Apa yang anda mengerti tentang boka?

Boka itu adalah bisa di bilang suatu proses atau alat untuk digunakan oleh masyarakat

sebagai penumu antara laki-laki dan perempuan dalam suatu proses adat, jadi sampai

akhir ini artinya adalah mahar. Jadi alat itu lah yang akan di pake untuk mengukur apakah

layak seorang yang lamar dan yang melamar.

2. Bagaimana anda memaknai adat dan pelaksanaannya di daerah anda?

Pertama memaknai dari sisi positif, adalah budaya yang halus menghargai

kebangsawanan, karena dulu setiap bangsawan itu diwajibkan mempunyai pendidikan

yang tinggi dan mereka akan malu kalau mereka tidak berakhlak mulia, sehingga

ukurannya adalah ketika dia bangsawan berarti dia berpendidikan dan berakhlak baik

khusus waniya, dan itu akan mengukur jumlah boka dia atau jumlah mahar si wanita, dan
ini dalah zaman dulu . Sekarang dilihat dari sisi negatifnya, seperti yang terjadi pada

kakak saya sangat menghawatirkan, salah satunya adalah syariat islam kan sudah

menyebar dan mayoritas orang sudah memahaminya, tapi disisi lain orang-orang yang

awam atau orang-orang yang tradisional masih memegang teguh dengal hal seperti adat

dan tradisinya, akhirnya ketika kakak saya nama depannya tidak mengguanakan La Ode

dan istrinya menggunakan Wa Ode terjadi sedikit kontropersi disitu, sehingga dua

belapihak dari keluarga silaturahminya jadi kurang baik, tapi sebenarnya itu hanya ingin

merubah kedudukan martabat keluarga saja, dikarena kan cuma perbedaan strata. Jadi

yang saya maknai adalah boka untuk membentuk keluarga lebih baik dengan merubah

kedudukan keluarga yang berbeda menjadi keluarga yang mempunyai status. seharusnya

boka saat ini harus diadakan menyuluhan dan harus memberikan pemahaman kepada

masyarakat tentang adat dan tradisi boka secara luas.

3. Bagaimana anda memaknai adat dan tradisi boka yang ada selama ini?

Saat ini ada beberapa jumlah masyarakat memaknai boka sekedar formalitas saja, artinya

tidak menentukan syah atau tidaknya sebuah syarat pernikahan, karena melihat

perkembangan zaman, boka juga harus mengikuti atau menyalaraskan nilai ekonomi

sekarang.

4. Bagaimana tataran boka menurut orang terdahulu?

Sejauh yang saya tau, boka itu kalau di gunakan La Ode menikahi Wa Ode maka

bokanya sekian sesuai dengan perhitunga adat dan itu rasional dan bisa di jangkau, tapi

kalau misalkan perempuannya bukan Wa Ode tetapi laki-lakinya La Ode, itu tidak jadi
maslah, di karenakan yang biayai mahar atau bayar mahar laki-laki, tapi yang luar biasa

itu ketika perempuan itu Wa Ode dan laki-laki bukan La Ode, seperti yang terjadi pada

kakak ipar ku, itu lah tataran yang berbeda antara Wa Ode dan bukan Wa Ode atau Antra

kaomu dan bukan kaomu, misalkan dia hanya “La” bukan La Ode, itu ada takaran

ukurannya juga, hanya kalau sudah menikah denga Wa Ode kemudian si laki-laki bukan

La Ode itu lah yang akan menjadi suatu yang menarik dan dia harus banyak

mengeluarkan mahar dari hitungan boka, dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang

mempunya jabatan tinggi, atau orang-orang yang mempunyai materi, sehingga dia

mampu melamar si Wa Ode, dengan akhirnya si laki-laki kan menjadi gelar La Ode.

5. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?

Kalau dulu ada aturan dan batasan yang di tetapkan dan tidak bisa diubah, kalau sekarang

kita sudah mengikuti perkembangan zaman dan aturan tetap ada, tapi harus

menyesuaikan dengan nilai ekonomi zaman, contoh dalam tradisi boka kan ada yang

namanya kolema atau memberikan ranjang dan kolambunya, sedang harga ranjang, kasur

dan kolambu udah mahal, tidak mungkin si laki-laki cuma memberikan jumlah boka yang

ditentukan, dan itu tidak mampu untuk membeli ranjang untuk diserahkan, oleh karena

itu menurut saya aturan dan batasan ada tapi harus menyesuaikan waktu dan menurut

pendapat saya juga bahwa atauran itulah yang membentuk keharmonisan proses

pernikahan
6. Siapa saja yang boleh mendapatkan boka tersebut?

Boka itu untuk istri, kalau semacam keluarganya itu bukan boka lagi, tapi upah, sedang

yang mendapatkan upah ini yang menikahkan dan orang yang dating di hari akadnya.

7. Apakah ada aturan adat yang membedakan pemberian boka masyarakat tertentu

dengan masyarakat lainnya (berdasarkan stratifikasi social)?

Yang namanya boka atau adat Buton itu haru mengikuti wanita, jadi misalkan laki-laki

ini masyarakat lain (Kolaka, Jawa) dia harus mengikuti adat siperempuan dan bukan

perempuan yang mengikuti adat laki-laki. Untuk perempuan buton harus mengikuti adat

Wolio, ketika perempuan ini bukan dari Wolio si peremuan tidak bias menggunakan boka

contoh si perempuan bugis berarti dia harus menggunakan adat bugisnya. Yang jelas

untuk perempuan harus mengikuti adat yang ditentukan karena dari situ si wanita bias

mengespresikan budayanya.

8. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka dulu dengan sekarang, jika ada

bagaimana perubahan itu terjadi dan apa penyebabnya? Lalu seperti apa bentuk-

bentuk perubahannya?

Ya sudah berubah kalau ditanya berubah dan bagaimana perubahannya adalah pertama

difaktori oleh budaya yang sudah dilupakan kemudian budaya yang dilupakan terlihat

dari menipisnya orang tahu bahasa Wolio atau bahasa asli Buton, sehingga nilai-nilai

boka atau bahasa-bahasa yang selalu di ucapkan dalam prosesi boka menggunakan

bahasa Wolio dan orang sudah kurang mengerti dan itu salah satu bukti bahwa budaya

atau tradisi Buton sudah mulai di abaikan sama masyarakat, kemudian yang ke dua itu
dipengaruhi oleh perkembangan zaman teknologi istilahnya sebuah budaya yang

sebenarnya itu didasari oleh agama dan yang terjadi ini adalah nilai agama yang pudar

atas kuatnya pengaruh teknologi, dan faktor ke tiga adalah kesepakatan artinya dari

kesepakata yang ditentukan dari dua keluarga juga dapat merubah nilai jumlah boka yang

sudah didasari atau ditetapkan dan akhirnya merusak atau merubah nilai-nilai tradisi adat

tertentu tanpa mereka tidak sadari.

9. Apakah boleh adat boka ini berlaku pada masyarakat pendatang? jika boleh,

bagaimana prosesnya dan jika tidak boleh, kenapa?

Kalau masyarakat pendatangnya laki-laki boleh karena yang di nikahi misalkan Wa Ode

ataupun bukan Wa Ode karena ini tidak terkait dengan syariat sekarang, kalau dulu ini

tidak boleh karena ini sakral, artinya laki-laki pendatang menikahi perempuan ini asli

buton tapi dia sudah lama di Buton itu boleh-boleh saja mereka melakukan adat itu,

contoh seperti teman saya menikahi orang kolaka dan dia bukan La Ode, tapi dia

melakukan adat itu hanya kan dia mengikuti istrinya.

10. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang,

apakah adat boka masih berlaku?

Masih berlaku mau dimana si perempuan berada ketika dia melakukan pernikahan

adatnya akan berlaku, kata kuncinya adalah wanita yang di maharin artinya laki-laki

harus memberikan mahar sesuai adatnya, Itu dalam adat Buton. Karena dalam tradisi adat

buton menikah tanpa melakukan prosesi adat boka serasa ada yang kurang dalam

pernikahan.
11. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat asli dan pendatang?

Untuk penduduk yang asli akan menghargai aturan adat mereka dan pasti mengikuti

proses adat yang ditentukan, tapi kalau pendatang saya rasa pasti mengerti dengan adat

yang di ikuti.

12. Apakah tradisi adat boka ini berlaku diluar daerah Buton untuk masyarakat Buton

yang tinggal daerah tertentu?

Berlaku dan adat akan berlaku dimana saja mereka berada bagi masyarakat Buton

khususnya wanita. Karana menurut saya adat sekarang bukan sekedar adat, tapi sudah

menjadi fesion, artinya ketika mereka menikah dengan pernak pernik pakaian adat dan

proses tradisi adat itu mereka akan bangga karena itu staylis hidup dan menjadi gaya

hidup dan tiap keturunannya.

13. Apakah ada upaya tertentu yang dilakukan untuk mempertahankan adat dan

tradisi boka dikampung ini, apa saja upayanya?

Kalau saya sendiri sih upayanya kembali lagi pada peraturan-peraturn yang dulu seperti

apa yang dikatakan orang tua dulu. Bahwasanya melestarikan adat dan tradisi tanpa

mencapurkan zaman.
14. Apakah ada perbedaan pelaksanaan tradisi boka yang dilakukan adat dengan

pemerintah? Jika ada sebutkan saja perbedaannya, jika tidak seperti apakah peran

serta KUA dalam melaksanakan adat tradisi boka di kampong ini?

Yang saya tau antra KUA dan para adat pastinya ada komunikasi terdahulu, intinya saat

ini adat adalah symbol dan sebenarnya hanya upaya para ulama sultan-sultan

menetapakan adat tetap berjalan seperti boka, kabanti dan yang lainnya, tapi syariat tetap

dijalankan dan dilakukan oleh kementrian agama dan adat ini yang dilakukan tokoh adat

dan dulu ulama mengitregarasikan keduanya itu untuk menyiarkan islam.


Lampiran IV

DAFTAR PERTANYAAN

Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi

Pernikahan Masyarakat Buton

A. Identitas Informan

Nama : BAHYSU

Umur : 51 Tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

1. Apa yang anda mengerti tentang boka?

Boka itu kalau dalam bahasa yaitu sebongka artinya sebuah atau benda, yang sekarang di

jadikan aturan nilai tukar untuk sistem pernikahan dimasyarakat Buton dahulu dan

sampai sekarang

2. Bagaimana anda memaknai adat dan tradisi boka yang ada selama ini?

Ya Alhamdulillah kalau masalah adat di masyarakat kita ini, masih banyak yang

melaksanakannya, samapai di daerah Muna, Kolaka dan Kendari saja masih ada yang

melakukan adat tradisi boka ini, itu pun orang-orang asli keturunan kaomu atau istilah

yang menggunakan nama La Ode atau Wa Ode, dan itu pun sudah kesepakan dan aturan

syara Wolio sih


3. Bagaimana tataran boka menurut orang terdahulu?

Sebagaimana yang kita lihat sekarang ini, tradisi boka dari tempo dulu dan sampai saat

ini masih berpegang pada aturan adat pernikahan, dengan menggunakan silsislah

keturunan atau status sosial, bagi orang dulu atau para sultan pernikahan merupakan

sistem pembentukan kekuasaan untuk wilayah, sehingga boka saat ini di perhitungkan

melalui silsilah keturunannya

4. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?

Menurut syara Wolio adat itu adalah aturan yang dibuat oleh mufakat masyarakat keraton

dan keputusan petuah tokoh adat, sedangkan boka itu mrupana bagian adat, berarti dalam

tradsi boka mempunyai atruuan dan batasan dalam perhitungannya, tapi dilihat dari

klasifikasi masyarakat tadi, seperti itu kalau dalam penjelasannya, karena saya juga

termaksut bagian orang-orang yang selalu mengikuti ketika ada perkumpulan syara

agama, tokoh adat, seluruh moji.

5. Apakah ada aturan adat yang membedakan pemberian boka pada masyarakat

tertentu dengan masyarakat lainnya?

Ya, dalam tatanan dan aturan adat yang telah disepakati terdapat pembedaan dalam

mengeluarkan jumlah boka yang akan diberikan, tetapi bagi masyaraakt lain itu biasanya

kalau mau melamar gadis msyarakat buton akan diterapkan dengan sebutan limba

dalango. Limba dalango itu merupakan kesepakantan masyarakat setempat untuk

memberikan pembelajaran bagi masyarakat lain karena telah berani meminang

masyarakat Buton, dangan hitungan boka yang nominalnya besar


6. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka dulu dengan sekarang, jika ada

bagaimana perubahan itu terjadi dan apa penyebabnya?

Adat tradisi boka yang sebenarnya yang ada di Buton Wolio ini kan menggunakan real

untuk memperhitungkan jumlahnya, tapi semenjak perkembangan waktu, maka

perubahan ini sekarang sudah menggunakan perhitungan rupiah saja tanpa

mengguanakan real lagi, cuman dalam pelaksanaan proses wajib menggunakan boka.

Penyebabnya itu seperti perkembangan zaman ini, orang kan tidak akan berdiam saja

pastinya akan bergerak walau yang kita bawa adalah tradisi dan budaya.

7. Apakah boleh adat boka ini berlaku pada masyarakat pendatang? jika boleh,

bagaimana prosesnya dan jika tidak boleh, kenapa?

Ya boleh, karena dalam tatanan aturan adat yang ada pada masyarakat kita seperti

pelaksanaan boka itu boleh diterapakan pada masyarakat pendatang yang terpenting si

pendatang ini menikahi wanita yang asli masyarakat Buton, maka adat tradisi boka yang

digunakan dalam pelamaran pernikahan tersebut dan masalah proses pastinya sama

dengan pernikahan masyarakat Wolio pada umumnya hanya ada sedikit perbedaan dalam

hitungan jumlah nilai boka yang akan di keluarkan si pria untuk melamar si wanita.

8. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang,

apakah adat boka masih berlaku?

Ketika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang itu sudah hal yang

biasa bagi masyarakat Buton untuk saat ini, sedangkan boka ya dan pastinya masih tetap

berlaku, terkecuali dari pihak wanita atau laki-laki tidak menyetujui pernikahan tersebut

dengan menggunakan adat masyarakat kita, kalau dibandingkan dengan orang dulu
pernikahan antara penduduk asli dengan pendatang itu sangat membuat dan merusak

sisilah keturunan dan bagi masyarakat Buton menganggap akan terjadi kepunahan

keturunan atau hilangnya silsilah, makanya bagi masyarakat kita khususnya para

mancuana selalu mengingatkan anak-anak dan cucunya untuk menikah dengan satu

daerah atau satu suku saja.

9. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat Buton?

Kalau berbicara soal perubahan dan dampak yang di alami masyarakat kita ini di hal

ekonomi, karena disetiap masyarakat nilai ekonominya berbeda-beda. Akhirnya

berdasarkan musyawarah parah tokoh adat dan tokoh syarah agama dan seluruh swapraja

yang ada di masjid keraton Buton, memutuskan bahwasanya tradisi boka akan di

perhitungkan lagi nilai tukar yang sudah ada pada masyarakat, dikaenakan disetiap

wilayah Buton mengalami perbedaan dikarenakan ketidak sesuaian dengan kehidupan

ekonomi masyarakat

10. Apakah tradisi adat boka ini berlaku di luar daerah Buton untuk masyarakat Buton

yang tinggal daerah tertentu?

Sebenarya kalau berbicara hakiki adat masyarakat kita ini boka itu dilakukan dalam

lingkungan kesultanan keraton Buton dan masyarakat Wolio saja, tapi kita lihat sekarang

orang Buton sudah ada dimana-mana, ada mi yang di Surabaya, Jakarta, Makasar,

Ambon dan terkadang meraka ini yang merantau membuat satu paguyuban khusus orang-

orang Buton dan kehidupannya juga disamakan dengan kehidupan layaknya di tanah

Buton, contoh yang di Ambon di Batu Atas disitu ada kampung orang Buton semua,

keadaan dan kehidupan mereka lakukan layaknya tanah kelahiran dan pastinya boka juga
mereka lakukan dalam pernikahn di antara sesukunya atau antara masyarakat Buton

sendiri dengan adat tradisi pernikahan masyarakat Buton

11. Apakah ada upaya tertentu yang dilakukan untuk mempertahankan adat dan

tradisi boka dikampung ini, apa saja upayanya?

Upaya yang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan dan menjaga kelestarian boka

ini dengan menikahkan anak dan cucu itu sesam satu suku, biar adat dan budaya yang ada

pada kita ini melekat secara turun temurun terus sampai kita yang tua ini atau para

mancuana sih bisa berharap pada kalian ini yang muda-muda.


Lampiran V

DAFTAR PERTANYAAN

Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi

Pernikahan Masyarakat Buton

A. Identitas Informan

Nama : IDRUS

Umur : 53 Tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

1. Bagaimana masyarakat mempertahankan dan melestarikan ada dan budaya tradisi

boka di Buton?

Proses budaya tetap berjalan, tetapi kita ini yang sudah tua selalu mengikuti adat dan

mengingatkan pada anak-anak sekarang, biar mereka mengerti apa yang dilakukan orang

tuannya miana mangengena ou para opuana .

2. Bagaimana masyarakat buton melestarikan adat dan budaya tradisi?

Bolimo karo somano lipu, bolimo lipu somano syara, bolimo syara somano agama,

maksudnya kita boleh lupa pada diri kita, tapi jangan lupa pada lingkungan kita atau

tempat lahir kita, kita boleh lupa pada lingkungan kita, tapi kita jangan lupa pada syara

tanpa syara pasti ada agama, keyakinan miana wolio sih miana agama, sedangkan adat si

merupakan bentuk tindakan hasil dari orang-orang dulu, contoh kenapa kita lakukan

shalat karena pemimpin kita au nabi kita Rasullah melakukannya toh, seperti ini juga
kaitannya boka kita lakukan dan mensosialisasika karena tidak bertentangan dengan syara

agama.

3. Apa kah dalam tradisi boka ada perubahan?

Umbe, boka sih mengikuti syara agama, walaupun boka harus berubaha system

pertukaran popolnya, kalambokona, kapobiangi nda pokia, tidak apa-apa yang penting

agama masih membolehkan.

4. Apa pengaruh masyarakat pendatang terhadap tradisi budaya adat ini?

Umbe dengan kedatangan miana cina, miana jawa sih, mempengaruhi anak muda

sekarang dalam pengetahuan, pergaulan dan cara hidup samapai melupakan budaya

wolio, seperti sekarang mana ada anak muda sekarang bisa berbahasa wolio, padahal

dalam acara adat wolio kan menggunakan bahasa wolio, khususnya kawi tauraka popolo

sopea bokana

5. Bagaimana anda memaknai adat dan pelaksanaannya di daerah anda?

Budaya dan adat istiadat merupakan prilaku keturunan masyarakat setempat yang sudah

lama dibentuk dan di jadikan patokan untuk kelompok masyarakat tertentu, sama halnya

ketika kita melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan orang-orang terdahulu

kita, seperti halnya di masyarakat Buton melakukan kegiatan haroa itu adalah kegiatan

yang tidak pernah kita pelajari tapi kita mampu melakukannya saat ini dengan terjadinya

hal tersebut, maka kita sudah mengikturi aturan adat yang ada
6. Bagaimana adat tradisi boka menurut orang terdahulu?

Kita berbicarakan adat ini tidak ada habisnya, soalnya masyarakat kita masih ada artinya

dangia miana Wolio. Dan kita lihat dari boka yang dulu dan yang sekarang jauh sekali

perbedaannya, dulu tuh tingkatan mahar kalau biasa disebut Popolo itu menpunya

tingakatan-tingakatan, seperti yang ditetapkan adat syarah Wolio, tingkatan pertama tuh

dangia popolo lalaki, popolo walaka, popolo maradika, dari tiga popolo sih dibagi-bagi

lagi, tapi sekarang pembagian tingkatan yang itu sudah jarang digunakan, malah sekarang

miana (orang) Wolio melihat itu dari oanana incema ngko sih (dari keturunan siapa anak

ini), itu mi yang kita kasihani dengan ketidak pedulian masyarakat juga

7. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?

Susunan dan perhitunga 1 boka 24000 ribu, merupakan mufakat para syara dan tokoh

adat, perhitungan boka ini yang menjadikan aturan dan batasannya

8. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka sekarang?

Menurut saya ada sedikit perubahan dengan yang saya lihat selama ini, yaitu perubahan

yang berbeda hanya nilai tukar dari boka itu sendiri sesuai dengan kenaikan nilai tukaran.

Yang dulu kita memakai hitungan nilai tukar real, sekarang hitungan nilai tukar rupiah,

dikarenakan hitungan real sekarang ini sudah tidak digunakan lagi

9. Bagaimana adat perkawinan penduduk asli Buton?

Menurut adat di Buton dan seluruh masyarakat Wolio, kalau menjali dan mengikat

keluarga hanya dengan melakukan adat pernikahan dengan beberapa jalan, ada yang
menikah dengan cara pobaisa, uncura, polasiaka dan humbuni, empat cara ini yang ada

dalam adat budaya pernikahan masyarakat Wolio

10. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat Buton?

Ada dua dampak yang terjadi pada masyarakat Buton, Dampak positifnya Boka dapat

dijangkau oleh siapapun yang berniat menyelenggarakan kegiatan adat istiadat dan

Dampak negatifnya perubahan Boka, jati diri dan indentitas adat – istiadat masyarakat

adat Buton makin lama makin punah


Lampiran VI

DAFTAR PERTANYAAN

Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi

Pernikahan Masyarakat Buton

A. Identitas Informan

Nama : NASRUN

Umur : 58 Tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

Jabatan : Tokoh Agama

1. Apa yang anda mengerti tentang boka?

Boka itu adalah aturan sistem satuan nilai mahar pernikahan dalam kebudayaan

kesultanan Buton

2. Bagaimana anda memaknai adat dan pelaksanaannya di daerah anda?

Menurut saya adat itu seperti agama yang kita lakukan ketika waktunya tiba, dan dalam

agama pula kan terdapat aturan-aturan agama, seperti dalam agama kita agama islam di

wajibkan untuk shalat lima waktu. Shalat lima waktu kan aturan yang wajib dilakukan

ketika waktunya tiba, sama halnya dengan adat dan tradisi, ketika waktunya tiba maka

boka ini akan dilakukan dan dilaksanakan susai aturan adat dan budaya kita.

3. Bagaimana anda memaknai adat dan tradisi boka yang ada selama ini?

Kalau pendapat saya toh melihat dan memaknai adat ini sudah mengalami perubahan

sudah banyak sekali mengikuti budaya barat, contoh dalam pernikahan saja budaya boka
itu kadang tidak semua wilayah memakai atau melaksanakannya, atau mungkin

kurangnya kontrol dari tiap penghulu adat atau lebih kuat unsur budaya barat yang

masuk, atau masarakat kita ini yang pingin jadi modern kah.

4. Bagaimana tataran boka menurut orang terdahulu?

Tataran boka itu semuanya ada di mesium keraton ada pada naskah-naskah lama yang

sekarang kayanya tidak pernah lagi dilihat, kalau yang sekarang kita lakukan ini

semacam kegiatan tradisi yang dari mancuana-mancuana biasa yang mengajarkan anak-

anak dan tolida dengan mengenalkan tradisi boka hanya ketika ada pernikahan saja.

5. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?

Ya, ada aturan dan perhitungannya, seperti kaomu dan walaka kalau menikah itu nilai

tukar hitungan bokanya besar dan berbeda dengan walaka yang menikahi papara itu

perhitungannya kecil.

6. Siapa saja yang boleh mendapatkan boka tersebut?

Yang boleh menapat kan boka itu moji, penghulu, kerabat dari pihak wanita mempelai.

7. Apakah ada aturan adat yang membedakan pemberian boka pada masyarakat lokal

dengan masyarakat lainnya?

Ada, didalam adat Buton pemberian yang dikeluarkan oleh mempelai pria itu disebut

limbah dolango dengan jumlah nilai perhitungan boka sesuai dari kemauan pihak

mempelai wanita

8. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka dulu dengan sekarang, jika ada

bagaimana perubahan itu terjadi dan apa penyebabnya? Lalu seperti apa bentuk-

bentuk perubahannya?
Menurut saya perubahanya sih ada dan pengguanaan tradisi boka dalam proses

pernikahan itu ada yang berubah seperti nilai tukar perhitungan, terus semacam tahapan

proses penyerahan boka juga ada dan terkadang dilewatkan seperti katindana oda dan

katangkana oni itu dilewatkan, sekarang ini banyaknya masyarakat yang langsung ke

tahap kemudahan dalam pelaksanaannya seperti taurakanya langsung ke perhitungan

maskawin atau mahar padahal katindana oda termasuk bagian proses tradis penyerahan

boka juga, sehingga masyarakat kita ini sudah mengikuti budaya barat yaitu budaya serba

cepat.

9. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang,

apakah adat boka masih berlaku?

Dalam suku masyarakat Buton tidak akan melarang suku Buton dinikahi atau menikahi

suku lainnya, itu tidak ada larangannya, tetapi adat tradisi boka itu pasti dilakukan, walau

dengan metode campuran budaya, separti pernikahan orang suku Jawa dengan suku

Buton.

10. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat Buton?

Karena perkembangan zaman masyarakat kita ini sudah ikut berkembang dari pola hidup,

gaya hidup, budaya, ekonomi, dan politik, sehingga memberiakan dampak pada

masyarakat dan menjadikan masyarakat kita lupa dengan budayanya sendiri, kita lihat

saja masyarakat seluruhnya bukan saja di Buton ini, pasti mereka lupa dengan adat dan

budaya mereka yang sebenarnya.

11. Apakah ada upaya tertentu yang dilakukan untuk mempertahankan adat dan

tradisi boka dikampung ini, apa saja upayanya?


Untuk upaya sih ada, setiap orang tua juga selalu mengajarkan ke anak, cucu dan

keturunannya itu melalui kerajinan tangan, nyanyian daerah dan lebih khusus lagi bahasa

daerah, karena dari bahsa anak-anak itu pasti akan memahami adat dan budayanya.
Lampiran VII

DAFTAR PERTANYAAN

Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi

Pernikahan Masyarakat Buton

A. Identitas Informan

Nama : LA ODE MASUK

Umur : 65 Tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

Jabatan : Tokoh Agama

1. Apa yang anda mengerti tentang boka?

BOKA adalah standar nilai tukar yang sering dipakai pada adat yang berlaku di daerah /

Kesultanan Buton, Contohnya : dalam perkawinan ditentukan dengan 32 Boka

1 Boka = dikonversi dengan rupiah = Rp.24.000,- Maka yang bersangkutan harus

membayar mahar sesuai kedudukannya waktu atau orang kebanyakan (Walaka) dalam

lingkup Kesultanan Buton 32 Boka x Rp.24.000

2. Bagaimana Aturan dan memaknai adat tradisi boka yang ada selama ini?

Bentuk aturan adat tradisi Boka dalam pernikahan masyarakat terdahulu adalah

berdasarkan klasifikasi dan tingkatan strata sosial masing – masing untuk melihat lapisan
sosial yang mana yang didudukinya, hingga saat ini tataran itu masih dilakukan dan

terlaksana

3. Bagaimana kedudukan perhitungan boka bagi masyarakat?

Tahapan / kedudukan Boka pada Kesultanan Buton antara lain :

Jika perempuan itu berasal dari Kaum Walaka (Kalangan Umum) berarti si laki – laki

harus membayar mahar / Boka sebesar 32 Boka. Sedangkan jika perempuan berasal dari

kaum bangsawan (Wa Ode) maka si laki – laki (pria) harus membayar mahar / Boka

sebesar 100 Boka

4. Siapa saja yang boleh mendapatkan boka tersebut?

Ada beberapa orang yang mendapatkan boka atau hasil dari penyerahan tauraka, seperti

pihak dari wanita yang dilamar, trus saksi, bilal/moji, penghulu dan pembawa tauraka

biasanya dua anak kecil.

5. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka dulu dengan sekarang, jika ada

bagaimana perubahan itu terjadi dan apa penyebabnya? Lalu seperti apa bentuk-

bentuk perubahannya?

Pelaksanaan adat Boka dulu dan sekarang mengalami perubahan, penyebabnya adalah

dinamika perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Adapun bentuk

perubahannya adalah berlakunya Adat Limba Dolango berubah menjadi adat Mata Kupa
6. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang,

apakah adat boka masih berlaku?

Maslah kawin dengan suku yang lain itu bukan suatu larangan sebetulnya, dalam agama

saja itu tidak ada larangannya juga apa lagi dalam adat kita, dan apakah boka berlaku

untuk masyarakat asing atau pendatang, ya berlaku, asalkan ada kesepakatan dari dua

pihak keluarga dan masyarakat adat, karena kawin yang ada di Indonesia ini hampir

keseluruhannya itu kawin adat.

7. Apakah ada upaya tertentu yang dilakukan untuk mempertahankan adat dan

tradisi boka dikampung ini, apa saja upayanya?

Biasanya upaya yang dilakukan itu menikah sesame satu suku, mengikuti aturan adat dan

mentaati mancuana adat, karena dalam pepatah Wolio itu pobinci-binci kuli
Lampiran VIII

DAFTAR PERTANYAAN

Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi

Pernikahan Masyarakat Buton

A. Identitas Informan

Nama : LA ODE SAHIDU

Umur : 55

Jenis kelamin : Laki-Laki


Lampiran IX

DAFTAR PERTANYAAN

Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi

Pernikahan Masyarakat Buton

A. Identitas Informan

Nama : LA ODE MA’ASUH

Umur : 55thn

Jenis kelamin : Laki-Laki

1. Apa yang anda mengerti tentang boka dan tradisinya?

Boka itu bagian kecil dari adat yang menjadi aturan dan patokan untuk nilai tukar pada

proses pernikahan, khususnya pada nilai ganti kedudukan mahar, seperti hitungan boka

mahar atau popolo itu sekarang itu sudah menjadi 1 boka 24000 itu untuk hitungan nilai

tukarnya, belom hitungan keturunan atau tingakatannya.

Tradisi pernikahan di masyarakat Buton Wolio ini, merupakan proses yang panjang

dalam pelaksanaanya, seperti penyerahan Katindana Oda, Katangkana Oni, Bakena Kau,

Antona Suo, Langasa, Mantomu, Bura, Kasipo dan sampai ke ujung penyerahan

Taurakanya semuanya itu disebut tradisi Boka

2. Bagaimana pelaksanaan pernikahan di Buton?

Pernikahan bagi masyarakat Buton dimasa kerajaan dan kesultanan Murhum itu termasuk

pembentukan kekuatan dan kekuasaan dalam perebutan wilayah. Masa kesultanan juga

membentuk kehidupan yang berlapis dengan tingakatan sosialnya dan itu dimasa kerajaan
dulu, namun berbeda dengan pandangan kita saat ini bagi masyarakat pernikahan

sebenarnya itu kan membangun keluarga yang baik dan harmonis bukan membentuk

suatu kelompok kekuasaan dalam suatu keturunan bangsawan lagi.

Dulu nikah atau perkawinan di Buton Wolio sangatlah susah tidak semudah sekarang,

dikarena semua proses tradisi dalam adat dilakukan secara detail, dari sebelum

pernikahan sampai pernikahan itu selesai, contoh yang dahulu, sebelum pernikahan

keluarga dari pihak laki-laki mereka itu tidak langsung datang kerumah pihak perempuan,

tetapi memilih salah satu dari orang tua bekas pegawai syarah atau pemerintah swapraja

atau bekas pegawai masjid keraton yang disebut Tolowea untuk menjadi penghubung.

Orang tua ini yang menjadi penghubung antara orang tua laki-laki dan orang tua

perempuan yang akan dipinang. Dari hasil konsultasi penghubung ke pihak keluarga

perempuan dapat diketahui jadi tidaknya pertunangan laki-laki dengan perempuan yang

diinginkan, beda dengan sekarang ini melakukan lamaran kadang dilakukan sendiri oleh

si pria yang datang ke pihak orang tua si wanita, kemudian si pria ini menyatakan ke

pihak orang tuanya sendiri untuk langsung membantu melamar si wanita tersebut. Adat

pernikahan dan penguraian perhitungan Boka jatuh pada pihak wanita, terkecuali tejadi

pernikahan Polasiaka dan pernikahan Humbuni, maka terjadi syarat untuk adat itu sendiri

3. Bagaimana pernikahan adat di Buton dan apa perubahan yang berkaitan dengan

Boka?

Pernikahan yang ada di Buton dahulunya merupakan pernikahan klasifikasi pembentukan

masyarakat dengan melihat status sosial dan keturunan keluarga, bahwasanya keturunan

koumu harus menikahi Koumu dan Walaka, keturunan Walaka menikahi Walaka, dan

kalau dari keturunan Walaka menikahi Koumu maka akan dikenakan Pasali dan Mata
Kupa sesuai adat yang sudah disepakati, namun semenjak perubahan waktu yang bergulir

proses pernikahan sekarang hampir tigak menengok atau melihat status sosial masyarakat

lagi, sehingga pernikahan adat pun bergeser

4. Apa penyebab dari perubahan tersebut?

Masyarakat Buton ini akan terpengaruhi perkembangan zaman, yang menjadikan

masyarakat serba cepat, apalagi kalau kita lihat cara kehidupan sekarang teknologi yang

menjadi peran penting di zaman ini, sehingga proses pemberitahuan lamaran bisa

menggunakan handpond melalui pesan untuk mengungkapkan silaturahmi dari satu

keluarga ke keluarga yang lain dan untuk menyambung suatu ikatan, sehingga urusan

lamaranpun bisa dikabari melewati pesan dari handpond, padahal hak suptantif

sebenarnya dalam adat bahwasanya proses Boka itu harus melewati Tolowea, dari

Toloewa itu yang akan memberitahu lamaran itu diterima atau tidak dan Tolowea pun

yang membawa Boka yang berupa Katindana

5. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat?

Dampaknya itu kita bisa lihat di perkembangan zaman, banyaknya sekali efek-efek yang

menjadikan budaya masyarakat kita ini bercampur, terutama dalam pola kehidupan. Kita

lihat sekarang pernikahan yang ada di masyarakat kita ini hampir 40% melaksanakan

pernikahan dengan metode biasa, tanpa menggunakan tradisi boka, 35% lagi menikah

dengan cara percampuran unsur budaya dan suku dan itu akan mengeser kebudayaan, dan

sisanya itu hanya 25% yang melakukan pernikahan dengan menggunakan tradisi boka.

Kalau kita lihat sekarang ya masyarakat kita ini sudah tidak ada kepedulian lagi pada

budaya dan adatnya khusunya para anak muda sekarang, hampir tidak tahu apa itu boka.
Dan para orang tuapun sudah lupa untuk mengingatkan ke anak dan cucunya tentang

budaya kita ini.


Lampiran X

DAFTAR PERTANYAAN

Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi

Pernikahan Masyarakat Buton

A. Identitas Informan

Nama : LA ODE HAFEUDIN

Umur : 51thn

Jenis kelamin : Laki-Laki

1. Bagaimana anda memaknai adat dan tradisi boka yang ada selama ini?

Kalau pendapat saya melihat perkembangan zaman sekarang, adat yang kita jalankan

selama ini terutama di Wolio itu hampir atau sudah mulai terlihat ada campur aduk

dengan adat adat lainnya terutama itu kebanyakan diambil dari adat Kolaka dan adat

secara umumnya, seperti pernikahan dengan menggunakan seperangkat alat shalat, tapi di

Buton memiliki adat tersendiri, yaitu penggunaan boka untuk menukarkan nilai dan

system yang sudah dibentuk oleh masyarakat. Memang orang Buton kalau melakukan

lamaran dan pernikahan meraka selalu tidak lepas dari yang namanya adat tradisi Boka,

walaupun jumalah nilai tukar yang di berikan atau dikeluarkan berbeda-beda sesuai

dengan yang disepakati. Adat ini kan ditetapkan oleh para tokoh adat keraton dan

dimufakatkan hasilnya, dulu juga dari 1 boka nilai tukar 18000- menjadi 1 boka nilai

tukar 24000- dan ini pasti akan ada perubahan lagi dari kesepakatan selanjutnya, karana

nilai tukar Boka ke rupiah harus mengikuti ekonomi masyarakat


2. Apa yang anda pahami pada perubahan tradisi boka?

Pernikahan bagi masyarakat merupakan kepatuan pada syara agama dan pelaksanaan adat

khusunya boka merupakan ketaatan aturan adat dan budaya. Boka merupakan tradisi

dalam pernikahan yang turun temurun untuk dilestarikan, namun kita bisa melihat

sekarang boka pun mengalami perubahan yang dapat kita lihat dari gambaran suatu

pernikahan orang dulu dan sekarang berbeda jauh, sekarang anak muda kalau mau

menikah mudah sekali, bisa pilih perempuan yang mana dia suka dan datang melamarnya

tanpa ada proses penghubung, dan kalau duluhnya mau menikahi anak perempuan itu kita

lihat juga keturunannya siapa si perempuan itu

3. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka dulu dengan sekarang, jika ada

bagaimana perubahan itu terjadi dan apa penyebabnya? Lalu seperti apa bentuk-

bentuk perubahannya?

Kalau dulu saya menikah itu prosesnya lama sekali, dan pernikahan saya dulu tuh

persetujuan antara orang tua yang menyampaikan ke orang tua perempuan dengan

tolowea atau seorang moji sebagai penghubung, tolowea mendatangi keluarga si

perempuan tuh dengan membawa beberapa boka katindana oda dan kaangkana oni,

sesudah itu pihak keluarga saya datang kesekian klainya bersama tolowea, untuk

membicarakan tauraka. Tp sekarang prosesnya sangat mudah sekali, menikah cukup

mempersiapakn materi dan hari itu sudah bisa terlaksana dengan mendatangkan

penghulu, kalau dulu penghulu tidak cukup harus ada tokoh adat, moji, tolowea, karean

semua itu merupakan proses penypean boka yang hakiki dan benar melalui tatanan wolio.
4. Apakah boleh adat boka ini berlaku pada masyarakat pendatang? jika boleh,

bagaimana prosesnya dan jika tidak boleh, kenapa?

Di Buton sekarang ini bayak masyarakatnya imigran yang datang dari Jawa, Bali dan

Bali. Bahkan orang Jawa pun dapat menikahi penduduk asli Buton dan orang-orang

Buton sendiripun banyak yang merantau ke jawa khususnya di daerah Jakarta dan

menikah dengan orang Jawa pula. Bagi saya sih kedatangan mereka seperti orang Jawa,

Bali dan Cina ke Buton itu hanya mencari kehidupan yang lebih baik, karena di Buton ini

masih banyak sekali tempat penghasilan yang bisa diperoleh oleh mereka. apa lagi kita

bisa lihat letak geografis di Buton setengahnya lautan dan setengahnya hutan, dari

kedatangan mereka kan pasti terjadi interaksi antara penduduk kita, makanya darisitulah

terjadi percampuran budaya. Saya sendiri punya saudara sepupuh ada tujuh orang, dari

tujuh orang salah satu dari mereka, anak ke empat menikah dengan orang Jawa. Biasa

karena pekerjaannya sepupuku itu pedagang dia yang selalu kirim barang orderan

belanjaan untuk di jual di Buton. Dia selalu menetap di Jawa terus dia sudah lama di

Jawa akhirnya dia dapat orang Jawa dan menikah sama orang Jawa. Di pernikannya itu

dia make adat Jawa dan Buton, dan sekarang kalau tidak salah sudah tinggal di jawa

timur.

5. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat?

Bagi masyarakat miana Wolio (Buton) perubahan yang terjadi pada proses tradisi Boka

membuat masyarakat dipermuda dalam melaksanakan pernikahan, segala hal yang

berkaitan Boka dulunya diuraikan dengan bentuk peyerahan yang bemacam-macam dan

saat ini semua hal sudah dapat dipermudah dengan menominalkan dengan uang, sehingga

proses lamaran dan penyerahanpun sangat cepat. Itu kalau dilihat dari sisi
pelaksanaannya, dan itu banyak juga terjadi di daerah Kakudo, Gu dan wanci dan acara

pesta atau haroanya tidak terlalu menonjolkan dan memperlihakan khas keadatan tradisi

budaya Buton, padahal Kalau orang-orang Buton dulu tuh melakukan pernikana itu

disambut dengan meriah dan kemudian proses adatnya itu banyak sekali, sekarang ini

pernikahan kayanya sudah menjadi biasa saja, apalagi penyerahan Boka itu kaya

penyerahan mahar seperti pernikahan umumnya seperti yang di tv-tv sudah tidak ada nilai

sakralnya lagi.

Anda mungkin juga menyukai