Anda di halaman 1dari 129

PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN SANTRI DALAM

SISTEM PONDOK PESANTREN SALAFI MIFTAHUL


HUDA CIHIDEUNG BOGOR

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Agama Islam (S.Pd.I)

Oleh :
Eva Fauziyah
1110011000016

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
ABSTRAK

Eva Fauziyah (NIM: 1110011000016) : Pembentukan Kepribadian Santri Dalam


Sistem Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran secara empiris mengenai


sistem pendidikan pondok pesantren khususnya pada pondok pesantren salafi
Miftahul Huda dalam pembentukan kepribadian santri dan juga pelaksanaan
pendidikan pondok pesantren salafi Miftahul Huda dalam pembentukan kepribadian
santri. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan
deskriptif. Instrumen penelitian yang digunakan adalah obsevasi, interview, dan
dokumentasi. Sedangkan untuk menganalisis, penulis menggunakan teknik analisis
deskriptif kualitatif, yaitu berupa data-data yang tertulis atau wawancara secara lisan
dari orang yang terlibat dalam pondok pesantren tersebut serta perilaku yang di amati,
sehingga dalam hal ini penulis berupaya mengadakan penelitian yang bersifat
menggambarkan secara menyeluruh.
Dalam penelitian ini peneliti mendapatkan informasi dalam kegiatan pendidikan
di pondok pesantren salafi Miftahul Huda meliputi dua hal, yang pertama
pelaksanaan, dan yang kedua evaluasi. Kemudian dalam pelaksanaan pendidikan
yang dapat membentuk kepribadian santri yaitu dengan menggunakan peraturan-
peraturan yang dibuat oleh pihak pondok pesantren yang memiliki sangsi berbeda-
beda sesuai dengan tingkatan kesalahannya untuk membentuk pribadi santri yang
berakhlakul karimah. Selain dengan peraturan-peraturan yang di buat, pesantren juga
mengaji berbagai kitab-kitab akhlak, diantaranya kitab akhlakul banin (kitab yang
mempelajari bagaimana menjadi laki-laki yang berakhlak baik), kitab akhlakul banat
(kitab yang mempelajari bagaimana menjadi perempuan yang berakhlak baik), kitab
fiqih (menjelasakan masalah ibadah dan muamalah), kitab riyadus sholihin, dan kitab
tafsir jalalain, di dalam kajian tersebut menjelaskan masalah kehidupan sehari-hari,
untuk perkembangan kepribadian santri. Pondok pesantren juga mengadakan praktek
langsung mengenai akhlakul karimah, hal ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan
keagamaan seperti dzikir, tadarus al-Qur’an, istighosahan dan lain sebagainya.
Dengan demikian sistem pendidikan pondok pesantren dalam pembentukkan
kepribadian santri di pondok pesantren salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor adalah
sistem salaf (tradisioanal), sedangkan kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
yang dirancang oleh pondok pesantren salafi Miftahul Huda itu sendiri.

Kata Kunci: Pesantren Salafi, Kepribadian Santri

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah dengan segenap jiwa dan raga penulis panjatkan puji syukur
kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya
sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul
"Pembentukan Kepribadian Santri Dalam Sistem Pondok Pesantren Salafi
Miftahul Huda Cihideung Bogor"
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah berhasil membimbing dan menuntun ummat-Nya ke
jalan yang benar dan diridhoi Allah SWT, begitu pula bagi segenap keluarga, para
sahabat serta orang-orang yang meneladani dan mengikutinya.
Suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis karena dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak dapat terlepas dari uluran tangan
berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat :
1. Bapak Suhandi dan Umi Aliyah yang teramat saya sayangi, selaku orang tua
yang telah membesarkan, membimbing, mendidik, membiayai dan mendoakan
dalam setiap langkah saya dengan ketulusan hati serta kasih sayang yang tiada
terbatas demi terselesainnya skripsi ini. Dengan tulus dan sabar serta selalu
mendoakan kesuksesan sehingga menjadikan hidup saya lebih bermakna.
Sungguh sangat terima kasih untuk segala-galanya. Skripsi ini aku persembahkan
untuk kalian.
2. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta beserta stafnya yang telah memberikan kesempatan dan
pelayanan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di kampus UIN Jakarta.

ii
3. Dra. Nurlena Rifai, MA, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah yang telah
memberikan pelayanan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di kampus
UIN Jakarta.
4. Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, selaku ketua Jurusan Pendidikan
Agama Islam dan Ibu Marhamah Saleh, Lc, MA, selaku wakil ketua Jurusan
Pendidikan Agama Islam.
5. Bapak DR. Sapiudin Shidiq, M. Ag, selaku pembimbing yang telah tulus ikhlas
dan penuh kesabaran memberikan bimbingan, arahan dan nasehat kepada penulis
sehingga terselesaikannya skripsi ini. Sungguh sangat terimakasih.
6. Bapak dan Ibu Dosen yang budiman, yang telah banyak membantu dan mengukir
penulis dengan ilmu selama menyelesaikan studi di UIN Jakarta.
7. Bapak K.H. Syahlul Lail, selaku pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda
tempat penulis meneliti hasil dari skripsi ini. Serta ustadz-ustadzah, para santri
yang telah membantu kelancaran penulis dalam meneliti.
8. Keluarga besar dari Umi saya yang telah berupaya membantu mencarikan
berbagai referensi, terimakasih banyak.
9. Nenek Sariah, selaku nenek saya satu-satunya yang ada. Terimakasih atas
doanya.
10. Fatimah, selaku kaka perempuan saya satu-satunya dan adik laki-laki saya satu-
satunya Fauzan Muzadi yang selalu mendoakan dan memberi semangat kepada
saya. Terimakasih banyak.
11. Shadudin, salah satu sahabat terdekat saya yang telah menyemangati, membantu
baik materil maupun spiritual selama tiga tahun belakangan ini. Sehingga dapat
terselesainya studi saya dan sampai pada tugas akhir skripsi ini. Terimakasih
banyak.
12. Sahabat-sahabat terdekat saya Reni Anggraeni, Fitri Handayani, Nur Fauziah,
Debi Utami Rizky, Widya Rafika, Maesaroh yang mengisi hari-hariku selama
dikampus ini dan selalu memberi semangat serta nasihat selama empat tahun
lebih ini. Sungguh terimakasih buat kalian.

iii
13. Sahabat seperjuangan PAI lainnya yang telah banyak membantu penulis baik
materil maupun spiritual demi terselesaikannya penyusunan skripsi ini.
Terimakasih banyak.
14. Teman-teman saya sejak kecil Ela, Amel, Syifa, Devi yang sudah berteman
dengan saya dari taman kanak-kanak hingga sekarang yang tak mungkin saya
lupakan. Terimakasih atas semangat dan doanya.
15. Semua pihak yang ikut membantu dan memberikan sumbangan pikiran dalam
rangka menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga bantuan yang telah diberikan kepada penulis, mendapatkan imbalan
yang lebih besar dari Allah SWT dan dicatat sebagai amal sholeh, Amin. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan dan
masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca yang budiman
sangat penulis harapkan demi mendapatkan hasil yang lebih baik di masa yang akan
datang. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Sekaligus dapat menambah khazanah pengetahuan untuk
mengembangkan cakrawala berfikir terutama dalam dunia pendidikan.

Penulis

iv
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN PENULIS

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

ABSTRAK ……………………………………………………………………….. i

KATA PENGANTAR …………………………………………………………... ii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………... v

DAFTAR TABEL ……………………………………………………………….. vii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………… 1


B. Identifikasi Masalah …………………………………………… 6
C. Pembatasan Masalah …………………………………………... 6
D. Perumusan Masalah …………………………………………… 6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………... 6

BAB II: KAJIAN TEORI

A. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren ……………………….… 8


B. Pembentukkan Kepribadian Santri …………………………….. 20
C. Kerangka Berfikir ……………………………………………… 27
D. Penelitian yang Relevan ……………………………………….. 28

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu ……………………………………………... 30


B. Tahap-Tahap Penelitian ……...………………………………… 30
C. Metode Penelitian ………..……………………………...……... 31

v
D. Teknik Pengumpulan Data ……………...…………………...… 32
E. Pengecekkan Keabsahan Data ……………………….………… 36
F. Teknik Analisis Data ………………..………………………… 37

BAB IV: HASIL PENELITIAN

A. Objek Penelitian ……………………………………….……….. 38


B. Penyajian Data ………………….……………………………… 48
C. Analisa Data ……………………………………………………. 59
D. Pembahasan Hasil Penelitian …………………………………... 60

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………..… 65
B. Saran ………………………………………………………..….. 66

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR LAMPIRAN

vi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Di era modern ini bermunculan pesantren-pesantren modern yang tidak
hanya mempelajari ilmu keislaman saja, melainkan ilmu-ilmu umum, berbagai
macam bahasa, dan ilmu pengetahuan teknologi. Dalam pesantren pada zaman
sekarang masih sangat jauh dari nilai murni pesantren, namun ada beberapa
pesantren yang masih menerapkan sistem pendidikan salafi yang mengutamakan
nilai-nilai keislaman yang sangat kental, bahkan di nilai masih sangat murni.
Namun dalam penampilannya santri di pesantren salafi masih sangat kuno,
santri putra selalu mengenakan sarung untuk melakukan segala aktifitasnya dari
mulai tidur, shalat, mengaji, dan keluar pesantren menggunakan sarung. Santri
putrinya mengenakan pakaian muslimah yang masih terlihat kuno, jilbabnyapun
hanya di songketkan tidak di sematkan menggunakan jarum.
Pengetahuan teknologi para santri cenderung sangat ketinggalan zaman,
membuat santrinya miskin akan pengetahuan teknologi. Karena di dalam
pesantren salafi ini tidak sedikitpun mempelajari ilmu teknologi, bahkan ilmu
umum saja tidak bisa masuk dalam pembelajaran di pondok salafi ini. Jadi
pesantren salafi ini murni hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman saja.
Pembelajarannya menggunakan kitab-kitab klasik diantaranya nahu/syaraf,
fiqh, ushul fiqh, hadis, tafsir, tauhid, akhlakul banat, akhlakul banin, tarikh dan
balaghah. Tidak ada sedikitpun ilmu-ilmu umum yang di pelajari dalam
pesantren ini. Kegiatannya hanya mengaji kitab-kitab klasik saja.
Di balik kekunoan para santri salafi, ada sisi positif yang cenderung berbeda
dengan santri pada pondok pesantren modern yaitu kepribadian. Kepribadian
para santri salafi di sini sangat menarik perhatian masyarakat sekitar. Dari mulai
kesopanan, keramahan, kerjasama yang baik, dan jiwa sosial yang tinggi. Rasa

1
2

hormat mereka kepada orang tua sangatlah tinggi, apalagi hormatnya kepada kiai
atau keluarga kiai. Setiap ada tamu kiai, pasti selalu disambut dengan sangat
ramah dan sopan.
Pesantren yang menjadikan santri seorang yang alim shalih seperti ini
kemudian dalam penempatan cara hidup, nilai, dan prinsip hidup sehari-hari di
pesantren. Nilai-nilai tersebut membentuk perilaku santri yang kemudian
membangunkan nilai-nilai mereka berada dalam sebuah sub-tradisi di pesantren,
seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan keteladanan yang telah
sangat lama dipraktikkan di pesantren dan menjadi ciri khasnya. Seorang kiai,
misalnya, harus rela membuka pintu rumahnya 24 jam untuk melakukan fungsi
pelayanan masyarakat. Ini contoh konkret dari prinsip keikhlasan yang
diteladankan kepada santrinya. Sikap hidup tanpa pamrih atau dalam bahasa
pesantrennya “Lillahi Ta’ala” ini menjadikan pesantren mampu bertahan hidup
sampai berabad-abad lamanya.
Secara lebih luas, ikhlas dalam menuntut ilmu juga dapat diartikan sebagai
kesungguhan dan keseriusan dalam belajar. Selama belajar itu santri
mengesampingkan kegiatan-kegiatan yang tidak relevan dan bahkan kesenangan
sesuai selera pribadinya. Sikap hidup ini menekankan pada proses dari pada
hasil. Implikasinya adalah para santri menjadi individu yang tangguh, berjiwa
besar, dan tidak takut menghadapi kenyataan pahit dalam hidupnya.1
Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan
Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau
secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.2
Sejak lama pesantren dianggap sebagai sebuah sistem pendidikan khusus.
Sampai-sampai pakar pendidikan asing menilainya sebagai sebuah sistem
pendidikan non sekolah yang memiliki corak tersendiri. Output pendidikannya
pun sangat khas. Sistematika pengajarannya juga sangat khusus, dengan jenjang

1
Ibid., h. 50.
2
UUD, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pasal 1
3

pelajaran yang seolah tak ada batas akhirnya.3 Masa belajar tak diukur dengan
jenjang semester maupun tahun, tetapi sasaran pencapaian ilmu yang diperoleh
dari kiai berdasarkan kitab-kitab yang berhasil di-khatam-kan dan dikuasai.
Karena itu, pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan tak mengenal istilah
ijasah atau diploma sebagai bentuk kelulusan pada peserta didik.
Kredibilitas pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan biasanya ditentukan
oleh kredibilitas kiai sebagai Sang Pengajar. Pengakuan masyarakat terhadap
seorang kiai, bukan semata-mata ditandai oleh kedalaman ilmunya. Juga oleh
peranannya sebagai pemimpin informal bagi lingkungannya: sebagai tempat
bertanya segala macam masalah, meminta fatwa dan perlindungan. Bukan saja
tempat bertanya soal-soal agama, juga masalah sosial budaya lainnya seperti
pernikahan, selamatan, pekerjaan dan sebagainya. Dengan demikian pesantren
berkembang menjadi sebuah komunitas khusus itu, seorang kiai tampil sebagai
seorang pemimpin yang penuh kharismatik sehingga masyarakat tunduk
kepadanya dengan sukarela.4 Di masa lalu kelebihan para kiai itu dipandang
sebagai kharisma atau keramat yang bersumber dari keramat yang bersumber
dari bakat yang dianugerahkan.5
Sebelum pembentukkan kepribadian santri, banyak santri yang menyimpang
dari ajaran Islam yang sebenarnya. Di antara mereka, ada yang percaya kepada
Allah SWT dan menjalankan ajaran agama karena berada dalam lingkungan
keluarga yang beriman dan taat beribadah, atau karena lingkungan sosial dan
teman-teman sejawatnya rajin beribadah. Semua itu dilakukan semata-mata
sebagai penyesuaian diri dalam lingkungannya bukan kepercayaan dari individu
itu sendiri.6

3
Abdurrachman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur, pada Jurnal Pesantren dan
Pembaharuan, (Jakarta, LP3ES, 1974), h. 3.
4
Zubadi Habibullah Asy’ari, Moralitas Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta: Lembaga Kajian
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LKPSM), 1996), h. 9.
5
M. Dian Nafi’, dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Instite for Training and
Development (ITD), 2007), h.19.
6
Abdul Muiz Kabry, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Yogyakarta: Imperium, 2013), h. 97.
4

Ada pula hal-hal yang memicu bermacam-macam konflik meliputi:


prasangka buruk, kesalahpahaman, sifat keras kepala atau egois, rasa peka atau
mudah tersinggung, perbedaan interpretasi, perbedaan cara, ketergantungan
dalam melaksanakan pekerjaan, perbedaan kepentingan dan kebutuhan,
perbedaan latar nilai budaya, perbedaan tujuan, persaingan memperebutkan
status, berkurangnya sumber-sumber tertentu seperti kekuasaan dan lain-lain.
Maka setelah diketahui kemungkinan-kemungkinan dimana akan terjadi
konflik dan penyebab-penyebab yang mungkin menimbulkan konflik, para
pemimpin pesantren hendaknya memperhatikannya sebaik mungkin sehingga
tidak akan mengganggu jalannya proses pendidikan di pesantren.7
Dalam hal ini pendidikan sudah tidak lagi memiliki ruh yang mampu
menciptakan sosok peserta didik yang ideal. Target kognisi yang menjadi
prioritas pertama di dalam dunia pendidikan ternyata hanya menjadikan siswa
sosok yang sangat keras dan tidak bernaluri, yang disebabkan oleh gangguan
kesehatan mental psikologis yang terjadi di kalangan mereka. Pendidikan dalam
realitasnya tidak mampu menjangkau sisi batiniah peserta didik yang mampu
mempengaruhi pola pikir dan pola sikap yang mereka miliki. Karena pendidikan
yang ada selama ini hanya menekankan kepada sisi kognisi saja. Maka wajar
ketika kondisi kejiwaan mereka menjadi goncang, terasing dari nilai-nilai agama
dan budayanya.8
Dalam interaksinya, pesantren secara sosiologis berperan sebagai kontrol
sosial terhadap penyimpangan dalam arti seluas-luasnya. Dalam posisi ini,
pesantren juga berperan sebagai agen perubahan kebudayaan (agent of cultural
change) dari kebudayaan yang penuh dengan penyimpangan agama kearah
kebudayaan agamis, yang kemudian dikenal dengan sebutan santri.9

7
Masyhud, dkk, op. cit., h. 59.
8
http://aliahmadzainuri.wordpress.com/2013/09/07/tazkiyatun-nafs-dalam-pembentukan-
akhlak/
9
Imam Bawani, dkk., Pesantren Buruh Pabrik, (Yogyakarta, LKiS, 2011), h. 58.
5

Di samping itu pesantren juga berperan dalam berbagai bidang lainnya


secara multidimensional baik berkaitan langsung dengan aktivitas-aktivitas
pendidikan pesantren maupun di luar wewenangnya. Di mulai dari upaya
mencerdaskan bangsa, dan kemudian terlibat langsung menanggulangi bahaya
narkotika.
Dengan demikian pesantren telah terlibat dalam menegakkan Negara dan
mengisi pembangunan sebagai pusat perhatian pemerintah. Hanya saja dalam
kaitan dengan peran tradisionalnya, sering di identifikasi memiliki tiga peran
penting dalam masyarakat Indonesia: 1) Sebagai pusat berlangsungnya transmisi
ilmu-ilmu Islam tradisional, 2) Sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan
Islam tradisional, dan 3) Sebagai pusat reproduksi ulama. Lebih dari itu,
pesantren tidak hanya memainkan ketiga peran tersebut, tetapi juga menjadi
pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi
masyarakat pedesaan, pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian
lingkungan hidup dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi
disekitarnya.10
Merujuk pada keberadaan pesantren seperti tersebut di atas maka dapat di
katakan bahwa pesantren merupakan sentral bagi segala aktivitas pendidikan
Islam. Sebagai sentral seharusnya pesantren mampu mengantisipasi adanya
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan
memberikan pemikiran dan upaya baru yang lebih relevan dengan tuntunan
zaman. Hal-hal semacam inilah yang mendasari penulisan skripsi dengan
mengangkat sebuah topik permasalahan dengan judul "Pembentukan

Kepribadian Santri Dalam Sistem Pondok Pesantren Salafi


Miftahul Huda Cihideung Bogor".

10
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,
(Jakarta: Erlangga), h. 25.
6

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, dapat
ditemukan beberapa masalah, di antaranya yaitu:
1. Santri tidak mendapatkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan
teknologi sehingga kurangnya pengetahuan santri.
2. Penampilan santri yang tidak kekinian menjadikan mereka di pandang
sebelah mata oleh masyarakat luar.
3. Pembelajarannya hanya menggunakan kitab-kitab klasik dengan cara belajar
yang klasik pula.
C. Pembatasan Masalah
Kajian tentang kegiatan dalam pondok pesantren sangat luas. Oleh karena
itu, pembahasan dalam penelitian ini perlu dibatasi agar tetap fokus pada
rumusan masalah. Batasan tersebut meliputi: Pembentukan kepribadian santri di
pondok pesantren salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor.

D. Perumusan Masalah
Berkaitan dengan judul di atas, maka masalahnya dapat di rumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pendidikan di pondok pesantren salafi Miftahul Huda
dalam pembentukan kepribadian santri?
2. Bagaimana sistem pendidikan di pondok pesantren salafi Miftahul Huda
dalam pembentukan kepribadian santri?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui proses pendidikan di pondok pesantren salafi
Miftahul Huda dalam pembentukan kepribadian santri.
7

2) Untuk mengetahui sistem pendidikan di pondok pesantren salafi


Miftahul Huda dalam pembentukkan kepribadian santri.

2. Manfaat Penelitian
1) Bagi pesantren penelitian ini kiranya dapat dijadikan salah satu sarana
monitoring dan evaluasi, untuk membantu pembentukan kepribadian
santri.
2) Sebagai sumbangan informasi dan evaluasi yang nantinya dapat
dijadikan sebagai bahan percontohan terhadap pondok pesantren salafi
lainnya.
3) Dari hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan untuk bahan
penelitian selanjutnya.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren


1. Pengertian Sistem Pendidikan Pesantren
Sistem pendidikan adalah totalitas interaksi dari seperangkat unsur-unsur
pendidikan dan bekerja sama secara terpadu, dan saling melengkapi satu sama
lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang telah menjadi cita-cita
bersama pelakunya. Jadi sistem pendidikan pesantren adalah kumpulan dasar-
dasar umum tentang bagaimana lembaga pendidikan di selenggarakan dalam
rangka membekali pengetahuan kepada siswa yang di dasarkan kepada al-
Qur‟an dan sunah.1
Sistem pendidikan terdiri dari berbagai unsur (subsistem) yang semuanya
memiliki kaitan fungsional, tak terpisahkan untuk mewujudkan tujuan yang
diterapkan. Masing-masing unsur memiliki fungsi tertentu, yang tak bisa
diabaikan sama sekali. Kekurangan satu unsur saja akan menjadi kendala bagi
proses pendidikan dan langsung berpengaruh pada pencapaian tujuannya.
Secara esensial, sistem pendidikan pesantren yang dianggap khas ternyata
bukan sesuatu yang baru jika dibandingkan sistem pendidikan sebelumnya.
I.P. Simanjuntak menegaskan bahwa masuknya Islam tidak mengubah hakikat
pengajaran agama yang formil. Perubahan yang terjadi sejak pengembangan
Islam hanyalah menyangkut isi agama yang dipelajari, bahasa yang menjadi
wahana bagi pelajaran agama itu, dan latar belakang para santri. Dengan
demikian, sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dalam banyak hal
merupakan hasil adaptasi dari pola-pola pendidikan yang telah ada dikalangan

1
Ahmad Syahid (edt), Pesantren dan Pengembangan Ekonomi Umat, (Depag dan INCIS,
2002), h. 30.

8
9

masyarakat Hindu-Budha sebelumnya. Jika ini benar, ada relevansinya dengan


suatu statement bahwa pesantren mendapat pengaruh dari tradisi lokal.2
Sistem pendidikan pesantren juga melakukan kegiatan sepanjang hari.
Santri tinggal di asrama dalam satu kawasan bersama guru, kiai dan senior
mereka. Oleh karena itu, hubungan yang terjalin antara santri-guru-kiai dalam
proses pendidikan berjalan intensif, tidak sekedar hubungan formal ustadz-
santri di dalam kelas. Dengan demikian kegiatan pendidikan berlangsung
sepanjang hari dari pagi hingga malam hari.3
Sistem penyelenggaraan pendidikan di pesantren pada mulanya memiliki
keunikan tersendiri dibanding sistem pendidikan di lembaga pendidikan lain.
Sistem pendidikan di pesantren tersebut sebagaiman dijelaskan oleh Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakkir dapat digambarkan sebagai berikut:
1) Menggunakan sistem pendidikan tradisional, dengan ciri adanya kebebasan
penuh dalam proses pembelajarannya, terjadinya hubungan interaktif antara
kiai dan santri.
2) Pola kehidupan di pesantren menonjolkan semangat demokrasi dalam
praktik memecahkan masalah-masalah internal non-kurikuler.
3) Peserta didik (para santri) dalam menempuh pendidikan di pesantren tidak
berorientasi semata-mata mencari ijazah dan gelar, sebagaimana sistem
pendidikan di sekolah formal.
4) Kultur pendidikan diarahkan untuk membangun dan membekali para santri
agar hidup sederhana, memiliki idealisme, persaudaraan, persamaan,
percaya diri, kebersamaan dan memiliki keberanian untuk siap hidup
dimasa depan.

2
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,
(Jakarta: Erlangga), h.62.
3
Ibid., h. 64.
10

5) Dalam sejarahnya, alumni pesantren umumnya tidak bercita-cita untuk


menjadi atau menguasai kedudukan (jabatan) di pemerintahan, karena itu
mereka juga sulit untuk bisa dikuasai oleh pemerintah.4
2. Karakteristik Sistem Pendidikan Pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan merupakan sub sistem
pendidikan nasional yang memiliki karakteristik menonjol dalam hal-hal
tertentu dibanding dengan pendidikan sistem sekolah formal, karakteristik
tersebut antara lain adalah:
1) Sifat patuh, tunduk kepada seorang guru adalah simbol dari “pakaian”
mereka dengan agama sebagai jantungnya. Secara umum hal ini tidak kita
temukan dalam dunia pendidikan zaman sekarang, maka sebagai akibat
timbul manusia bunuh membunuh dalam suatu keluarga, serakah harta, dan
lain sebagainya.
2) Jiwa solidaritas yang tinggi, terpatri dalam jiwa mereka. Kenyataan ini juga
tidak bisa kita temukan dalam dunia pendidikan lain, terlebih di Barat,
dalam satu lembaga saling menjatuhkan, selalu individualis dan lain-lain.5
Ciri umum yang dapat diketahui adalah pesantren memiliki kultur khas
yang berbeda dengan budaya sekitarnya. Beberapa peneliti menyebut sebagai
sebuah sub-kultur yang bersifat idiosyncratic (istimewa). Cara pengajarannya
pun unik. Sang kiai, yang biasanya adalah pendiri sekaligus pemilik
pesantren, membacakan manuskrip-manuskrip keagamaan klasik berbahasa
Arab (dikenal dengan sebutan “kitab kuning”), sementara para santri
mendengarkan sambil memberi catatan pada kitab yang sedang dibaca.
Metode ini disebut bandongan atau layanan kolektif (collective learning
process). Selain itu, para santri juga ditugaskan membaca kitab, sementara
kiai atau ustadz yang sudah mahir menyimak, mengoreksi dan mengevaluasi

4
A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.
243.
5
Ibid., h. 254.
11

bacaan dan performance seorang santri. Metode ini dikenal dengan istilah
sorogan atau layanan individual (individual learning process). Kegiatan
belajar mengajar diatas berlangsung tanpa penjenjangan kelas dan kurikulum
yang ketat, dan biasanya dengan memisahkan jenis kelamin siswa.6
Selain itu, karakteristik pesantren juga dapat dilihat dari segi struktur
organisasinya. Struktur organisasi dan lingkungan kehidupan pesantren
meliputi potensi yang kompleks. Setiap pesantren akan memiliki corak yang
khas, dilihat dari: (1) status kelembagaan, (2) struktur organisasi, (3) gaya
kepemimpinan, dan (4) kaderisasi atau regenerasi kepemimpinannya. Dilihat
dari statusnya, sebuah lembaga pesantren dapat menjadi milik perorangan atau
lembaga/yayasan yang menampilkan perspektif berbeda dalam merespon
sistem pendidikan nasional. Kedua macam status pesantren memberikan
implikasi berbeda pula terhadap struktur organisasi pesantren. Pesantren milik
pribadi kiai struktur organisasinya lebih sederhana dibandingkan dengan
pesantren yang dikelola yayasan yang menampilkan kultur pesantren relatif
berbeda antara keduanya. Yang pertama lebih menonjolkan tanggung jawab
untuk melestarikan nilai absolute (mutlak) pesantren dengan kiai sebagai
sumber kepatuhan, pimpinan spiritual dan tokoh kunci pesantren, sedangkan
yang kedua lebih memperhatikan managemen, dimana beberapa tugas
pesantren telah didelegasikan oleh kiai sesuai uraian pekerjaan yang
disepakati (job description).7
Kepemimpinan kiai di pondok pesantrennyapun sangat unik karena
mereka memakai sistem kepemimpinan pra-modern. Relasi sosial antara kiai-
ulama-santri dibangun atas landasan kepercayaan. Ketaatan santrinya kepada
kiai lebih dikarenakan mengharap barakah (grace), sebagaimana dipahami
dari konsep sufi. Tetapi, itu bukan hanya satu-satunya sumber kepemimpinan

6
Sulthon Masyhud, M, dkk, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), h.
3.
7
Ibid., h. 74.
12

pra-modern. Sebab, sebelum tradisi pondok pesantren muncul, ada tradisi


Hindu-Budha yang juga mempraktikkan hubungan guru-murid sebagai mana
dilakukan pondok pesantren.8
Sisi kepemimpinan kiai yang demikian itu sangat penting. Selain
berkaitan dengan problem bagaimana seorang kiai harus memperhatikan
relasinya dengan masyarakat, pada dimensi lain ia juga harus mengikuti kiai
sepuh di dalam lingkungan pondok pesantren itu. Di sini, kita harus menguji
sejauh mana kepemimpinan kiai dalam perspektif pendidikan. Dalam masalah
ini muncul faktor yang sangat penting, bahwa syarat dalam tradisi Islam
seorang kiai adalah pemegang ilmu-ilmu doktrinal. Tugas ini tidak dapat
dilimpahkan kepada masyarakat umum, karena berhubungan dengan
kepercayaan bahwa kiai adalah pewaris Nabi SAW. Maka, dengan landasan
itu, ulamalah yang mempunyai otoritas penuh untuk menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur‟an dan Hadis Nabi SAW. Konsep inilah yang kemudian dijadikan
framework dalam proses pengajaran ilmu-ilmu agama yang dikembangkan di
pondok pesantren secara turun temurun.9
Ciri dominan yang selalu menjadi acuan prinsipil dari tradisi pesantren
adalah tertanamnya ajaran-ajaran yang termanifestasi dalam keikhlasan,
ketulusan, kemandirian, kebersahajaan, dan keberanian. Semuanya itu
merupakan karakteristik yang diteladankan dalam kehidupan sehari-hari
(yawmiyyah) oleh sang kiai kepada para santrinya. Sikap kiai ini melahirkan
keseganan tersendiri di kalangan santri untuk bersikap semaunya kepada sang
kiai. Dari sikap seperti inilah kemudian muncul sikap mengidolakan kiai dan
tumbuhlah penghormataan yang kadang berlebihan kepada sang kiai.10
Sebagaimana konsep hidup menyatu dan seimbang menurut konsep al
Qur‟an, Surat al-Qashash ayat 77:

8
Siradj, dkk, op. cit., h. 14.
9
Ibid., h.15.
10
Ibid., h. 134.
13

           

       


     


        

“Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)


kehidupan akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagian dari (kenikmatan)
hidup di dunia, dan berbuat baiklah (dengan sesama) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
muka bumi, karena yang sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77)11

3. Komponen Pendidikan Pesantren


Persyaratan-persyaratan pokok suatu lembaga pendidikan baru dapat
digolongkan sebagai pesantren itu perlu dilihat apabila telah mencukupi
komponen pokok pesantren. Komponen-komponen pokok pesantren itu
adalah: pondok, masjid, kiai, santri, dan pengajaran kitab-kitab klasik.
Kelima komponen pokok tersebut bila diuraikan secara global dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a. Pondok
Istilah pondok pesantren berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti
hotel, tempat bermalam. Istilah pondok juga diartikan dengan asrama.
Dengan demikian, pondok mengandung makna sebagai tempat tinggal.
Sebuah pesantren mesti memiliki asrama tempat tinggal santri dan kiai.
Ditempat tersebut selalu terjadi komunikasi antara santri dan kiai.

11
Yasin, op. cit., h. 256.
14

Di pondok seorang santri patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan


yang diadakan, ada kegiatan pada waktu tertentu yang mesti dilaksanakan
oleh santri. Ada waktu belajar, shalat, makan, tidur, istirahat, dan
sebagainya, bahkan ada juga waktu untuk ronda dan jaga malam.12
Pondok dalam sejarahnya menunjukkan simbol kesederhanaan.
Artinya pondok-pondok untuk penginapan santri itu dibangun karena
kondisi jarak antara santri dan kiai cukup jauh sehingga memaksa mereka
untuk mewujudkan penginapan sekedarnya dalam bentuk bilik-bilik kecil
di sekitar masjid dan rumah kiai.13
Dalam perkembangannya, asrama (pemondokan) yang seharusnya
sebagai penginapan santri-santri yang belajar di pesantren untuk
memperlancar proses belajarnya dan menjalin hubungan guru-murid secara
lebih akrab, yang terjadi di beberapa pondok justru hanya sebagai tempat
tidur semata bagi pelajar-pelajar sekolah umum. Mereka menempati
pondok bukan untuk thalab „ilm al-Din, melainkan karena alas an
ekonomis. Istilah pondok juga seringkali digunakan bagi perumahan-
perumahan kecil di sawah atau lading sebagai tempat peristirahatan
sementara bagi para petani yang sedang bekerja.14
b. Masjid
Masjid diartikan secara harfiah adalah tempat sujud karena di tempat
ini setidak-tidaknya seorang muslim lima kali sehari semalam
melaksanakan shalat. Fungsi masjid tidak saja untuk shalat, tetapi juga
mempunyai fungsi lain seperti pendidikan dan lain sebagainya. Di zaman
Rasulullah masjid berfungsi sebagai tempat ibadah dan urusan-urusan
sosial kemasyarakatan serta pendidikan.15

12
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 62.
13
Qomar, op. cit. h. 88.
14
Ibid., h.1.
15
Daulay, op. cit., h. 63.
15

Selain sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar, masjid


merupakan sentral sebuah pesantren karena disinilah pada tahap awal
bertumpu seluruh kegiatan di lingkungan pesantren, baik yang berkaitan
dengan ibadah, shalat berjama‟ah, zikir, wirid, do‟a, i‟tikaf, dan juga
kegiatan belajar-mengajar.16
Dalam perspektif sejarah Islam, masjid bukanlah sarana kegiatan
peribadatan belaka, lebih jauh dari itu masjid menjadi pusat bagi segenap
aktivitas Nabi Muhammad dalam berinteraksi dengan umat. Masjid
menurut Nurcholish Majid dapat juga dikatakan sebagai pranata terpenting
masyarakat Islam. Dalam pandangan Nurcholish Majid, pembangunan
masjid adalah modal utama Nabi ketika berjuang menciptakan masyarakat
beradab.17
c. Kitab-kitab
Kitab-kitab Islam klasik yang lebih populer dengan sebutan “kitab
kuning”. Kitab-kitab ini ditulis oleh ulama-ulama Islam pada zaman
pertengahan. Kepintaran dan kemahiran seorang santri diukur dari
kemampuannya membaca, serta mensyarahkan (menjelaskan) isi kitab-
kitab tersebut. Untuk tahu membaca sebuah kitab dengan benar, seorang
santri dituntut untuk mahir dalam ilmu-ilmu bantu, seperti nahu, syaraf,
balaghah, ma‟ani, bayan dan lain sebagainya.
Kitab-kitab klasik yang diajarkan dipesantren dapat digolongkan
kepada delapan kelompok: nahu/syaraf, fikih, ushul fikih, hadis, tafsir,
tauhid, tasawuf dan etika, serta cabang-cabang ilmu lainnya seperti tarikh
dan balaghah.18
Dominasi kitab bahasa dan fiqih melahirkan popularitas suatu jenis
kitab. Dunia Islam memandang sepertinya lambang pesantren diukur dari

16
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.64.
17
Ibid., h.65.
18
Daulay, op. cit., h. 63.
16

literaturnya, sehingga dapat diwakili kitab-kitab yang popular ini. Ada dua
kitab yang paling popular di pesantren pada abad ke-20 hingga ke-21 ini
yaitu kitab Alfiyyah dan Taqrib. Alfiyyah melambangkan dominasi bahasa
sedang Taqrib menunjukkan dominasi fiqih. Saefuddin Zuhri menilai
bahwa kitab Alfiyyah (berisi suatu bait nazham dalam bentuk puisi atau
syair) karangan seorang ahli nahwu, Muhammad Ibn Malik dari Andalusia,
Spanyol. Dalam pandangan dunia Islam, kitab tersebut menjadi standar
penguasaan seseorang tentang grammar atau syntax (tata bahasa) dalam
bahasa Arab. Artinya, siapa pun yang ingin menguasai tata bahasa Arab,
minimal ia harus memahami dan menghayati „Alfiyyat Ibn Malik‟. Hampir
tidak seorang pun dari ulama besar yang tidak menguasai isi kitab kuning
ini. 19
Kitab-kitab di pesantren ada tiga jenis yaitu kitab matan, kitab syarh
(komentar) dan kitab hasyiyah (komentar atas sifat komentar). Tiga jenis
kitab ini juga menunjukkan tingkat kedalaman dan kesulitan tertentu. Kitab
matan paling mudah dikuasai, kitab hasyiyah paling rumit, sedangkan kitab
syarh berada di antara keduanya. Tampaknya kitab syarh ini paling banyak
dipakai di pesantren.20
d. Santri
Santri merupakan peserta didik atau objek pendidikan, tetapi di
beberapa pesantren, santri yang memiliki kelebihan interaksi intelektual
(santri senior) sekaligus merangkap tugas mengajar santri-santri yunior.
Santri ini memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu. “Santri memberikan
penghormatan yang terkadang berlebihan kepada kiainya”. Kebiasaan ini
menjadikan sntri bersikap sangat pasif karena khawatir kehilangan
barokah. Kekhawatiran ini menjadi slah satu sikap yang khas pada santri

19
Qomar, op. cit., h.126.
20
Ibid., h.127.
17

dan cukup membedakan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh siswa-siswi


sekolah maupun siswa-siswi lembaga khusus.21
Santri adalah siswa yang belajar di pesantren, santri ini dapat
digolongkan kepada dua kelompok:
1) Santri mukim, yaitu santri yang berdatangan dari tempat-tempat yang
jauh yang tidak memungkinkan dia untuk pulang kerumahnya, maka
dia mondok (tinggal) dipesantren. Sebagai santri mukim mereka
memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
2) Santri kalong, yaitu santri yang berasal dari daerah sekitar yang
memungkinkan mereka pulang ketempat kediaman masing-masing.
Santri kalong ini mengikuti pelajaran dengan cara pulang pergi antara
rumahnya dengan pesantren.
Di dunia pesantren bisa saja dilakukan seorang santri pindah dari satu
pesantren kepesantren lain, setelah seorang santri telah cukup lama di satu
pesantren, maka dia pindah ke pesantren lainnya. Biasanya kepindahan itu
untuk menambah dan mendalami suatu ilmu yang menjadi keahlian dari
seorang kiai yang di datanginya itu.22

e. Kiai
Kiai adalah tokoh sentral dalam satu pesantren, maju mundurnya suatu
pesantren ditentukan oleh wibawa dan karisma sang kiai.
Menurut asal-usulnya, perkataan kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk
tiga jenis gelar yang saling berbeda:
1) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat
umpamanya “kiai garuda kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas
yang ada di keraton Yogyakarta.

21
Ibid., h. 20
22
Daulay, op. cit., h.64.
18

2) Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.


3) Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama
Islam yang memiliki pesantren saja. Sudah banyak juga gelar kiai
digunakan terhadap ulama yang tidak memiliki pesantren. Istilah
ulama kadang kala digunakan juga istilah lain seperti: Buya di
Sumatera Utara, Tengku di Aceh, Ajengan di Jawa Barat, dan Kiai di
Jawa Tengah dan Jawa Timur.23
Kiai disebut alim bila ia benar-benar memahami, mengamalkan dan
memfatwakan kitab kuning. Kiai demikian ini menjadi panutan bagi santri
pesantren, bahkan bagi masyarakat Islam secara luas. Akan tetapi dalam
konteks kelangsungan pesantren kiai dapat dilihat dari perspektif lainnya.
Muhammad Tholachah Hasan melihat kiai dari empat sisi yakni
kepemimpinan ilmiah, spiritualitas, sosial, dan administrasinya. Jadi ada
beberapa kemampuan yang mestinya terpadu pada pribadi kiai dalam
kapasitasnya sebagai pengasuh dan pembimbing santri.24
Keberadaan seorang kiai dalam lingkungan sebuah pesantren laksana
jantung dalam kehidupan manusia. Intensitas kiai memperlihatkan peran
yang otoriter disebabkan karena kiailah perintis, pendiri, pengelola,
pengasuh, pemimpin, dan bahkan juga pemilik tunggal sebuah pesantren.25
Kepemimpinan di pesantren selama ini lazimnya bercorak alami.
Pengembangan pesantren maupun proses pembinaan calon pemimpin yang
akan menggantikan pemimpin yang ada, belum memiliki bentuk yang
teratur dan menetap. Hanya saja ada kebiasaan bahwa kiai yang paling tua
adalah pemegang otoritas penuh dalam kepemimpinan pesantren. Tetapi
dalam kasus lain, banyak pengasuh pesantren yang sebenarnya tidak siap
secara ilmu dan kepribadian tetap saja dipasang karena kebetulan ia adalah

23
Daulay, op. cit., h. 62.
24
Qomar., op. cit., h. 20
25
Yasmadi, op. cit., h. 63
19

putera mahkota. Sebenarnya yang merusak pesantren itu adalah feodalisme


semacam ini, yang masuk dalam tubuh pesantren.26
Mengenai suksesi kepemimpinan, kiai adalah pemimpin seumur hidup.
Selagi belum meninggal, kepemimpinan pesantren tetap dipegangnya. Pada
waktu masih hidup, kiai berupaya melakukan pengkaderan yang
diharapkan sebagai penerusnya. Kaderisasi dipusatkan pada anak-anaknya.
Jika kaderisasi gagal, jalan pintas yang ditempuh adalah mengambil
menantu yang paling cerdas di antara santrinya, atau menjodohkan putrinya
dengan putra kiai lain. Bagi kiai, kelanjutan dan pengembangan pesantren
berikutnya harus dikendalikan oleh keturunan sendiri. Kiai tidak member
peluang sama sekali kepada orang luar sebagai pemimpin pesantren yang
dibinanya. Orang luar hanya sebagai ustadz (orang yang dipercaya ikut
mengasuh santri).27
4. Pendekatan Sistem Pendidikan Pesantren
Sistem pendidikan pesantren memang menunjukkan sifat dan bentuk
yang lain dari pola pendidikan nasional. Maka pesantren menghadapi dilema
untuk megintegrasikan sistem pendidikan yang di miliki dengan sistem
pendidikan nasional. Di tinjau dari awal mula sejarah berdirinya pesantren
memang tidak dimaksudkan untuk meleburkan dalam sistem pendidikan
nasional. Bahkan ketika menghadapi penjajah Belanda, pesantren memiliki
strategi isolasi dan konservasi. Akibatnya seperti dituturkan Muhammad Nuh
Sholeh, berbagai citra negatif diarahkan pada pesantren. Pesantren sering kali
dinilai sebagai sistem pendidikan yang “isolasionis” terpisah dari aliran utama
pendidikan nasional, dan konservatif yakni kurang peka terhadap tuntutan
perubahan zaman dan masyarakat. Fungsi yang kedua ini (konservasi) terlihat
pada upayanya menjaga ajaran Islam.28

26
Qomar, op. cit., h. 39.
27
Ibid., h. 41.
28
Ibid., h. 66.
20

Oleh karena itu, sistem pendidikan pesantren masih belum memiliki


kesamaan dasar diluar penggunaan buku-buku wajib (kutub al-muqarrarah).
Keragaman ini timbul karena ketidak samaan dalam sistem pendidikannya,
ada pesantren yang menyelenggarakan pengajian tanpa sekolah/madrasah, ada
pesantren yang hanya menggunakan sistem pendidikan madrasah secara
klasikal, dan ada pula pesantren yang menggabungkan sistem pengajian dan
sistem madrasah secara non klasikal. Pada sistem madrasah non klasikal ini
materi pelajaran diberikan secara berurutan dari kitab-kitab lama yang sudah
umum dipakai dalam pengajian. Maka tidak mungkin ada penyatuan
kurikulum pesantren selama masih ada perbedaan-perbedaan cukup besar
dalam sistem pendidikan yang dianut.29

B. Pembentukan Kepribadian Santri


1. Pengertian Kepribadian Santri
Kepribadian berasal dari kata personality (bahasa Inggris) yang berasal
dari kata persona (bahasa Latin) yang berarti kedok atau topeng. Yaitu tutup
muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung, yang maksudnya
untuk menggambarkan perilaku, watak, atau pribadi seseorang. Hal itu
dilakukan karena terdapat ciri-ciri yang khas yang hanya dimiliki oleh
seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik, ataupun yang
kurang baik.30
Begitu juga dengan orang Arab menyebut kepribadian dengan istilah
َ " dari kata "ْ‫" َشخص‬
ْ "ْ‫شخْصْي َّة‬ yang berarti orang seorang. Maka dari

pengertian kedua istilah tersebut belum bisa menjawab apa itu kepribadian
karena masih bersifat umum dan kabur. Tetapi dalam bahasa Indonesia ada
istilah yang cukup menjawab, walau belum cukup jelas, yaitu istilah jati diri

29
Ibid., h. 67.
30
Agus Sujanto, Psikologi Kepribadian, (Semarang: Bumi Akasara, 2006), h. 189.
21

yang berarti keadaan diri (sendiri) yang sebenarnya (sejati). Di sana kita
dapati pengertian kepribadian adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat
khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang
diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga
bawaan seseorang sejak lahir. Kepribadian seseorang akan berpengaruh
terhadap akhlak, moral, budi pekerti, dan etika orang tersebut ketika
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-
hari di manapun ia berada. Artinya, etika, moral, norma, dan nilai yang
dimiliki akan menjadi landasan perilaku seseorang sehingga tampak dan
membentuk menjadi budi pekertinya sebagai wujud kepribadian orang itu.31
Dari sejarah pengertian kata tersebut, tidak heran kita jika kata persona
yang mula-mula berarti topeng, kemudian diartikan pemainnya itu sendiri
(orangnya) yang memainkan peranan seperti digambarkan dalam topeng
tersebut. Akhirnya kata persona itu menunjukkan pengertian tentang
kualitas/watak dari karakter yang di dalam sandiwara itu. Kini kata
personality oleh para ahli psikologi di pakai untuk menunjukkan sesuatu yang
nyata dan dapat dipercaya tentang individu, untuk menggambarkan bagaimana
dan apa sebenarnya individu itu.32
Di samping itu, kepribadian sering juga diartikan atau dihubungkan
dengan ciri-ciri tertentu yang menonjol pada diri individu. Contohnya, kepada
orang yang pemalu dikenakan atribut “kepribadian pemalu”, kepada orang
yang supel dikenakan atribut “kepribadian supel”, dan kepada orang yang
suka bertindak keras dikenakan atribut “berkepribadian keras”. Selain itu
bahkan sering pula kita jumpai ungkapan atau sebutan “tidak berkepribadian”.
Yang terakhir ini biasanya dialamatkan kepada orang-orang yang lemah, plin-
plan, pengecut, dan semacamnya.33

31
Ahmad Daes, Konsep Kepribadian Dalam Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: t.p., 1989), h. 9.
32
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remadja Karya, 1985), h. 152.
33
Koswara, Teori-Teori Kepribadian, (Bandung: Eresco, 1991), h. 10.
22

Secara umum, kepribadian dapat diartikan sebagai keseluruhan kualitas


perilaku individu yang merupakan cirri khas dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.34 Jadi kepribadian santri adalah sifat khas dari diri seorang
santri yang bersumber dari lingkungan, yang akan berpengaruh terhadap
akhlak, moral, budi pekerti, dan etika santri tersebut.
2. Dasar dan Tujuan Pembentukan Kepribadian Santri
Sebagian besar perkembangan kepribadian manusia merupakan produk
pengalaman pribadi yang diperoleh dalam suatu kelompok. Nilai, norma, dan
kepercayaan yang ada dalam kelompok juga membantu terbentuknya
kepribadian. Tanpa pengalaman kelompok ini, kepribadian tidak akan
berkembang. Meskipun para individu menjadi anggota kelompok yang sama,
pengalaman mereka dalam kelompok tersebut tidak sama. Perbedaan
pengalaman inilah yang selanjutnya mempengaruhi variasi kepribadian dalam
batas-batas tertentu.35
Maka para pengasuh pesantren, sebagai ulama pewaris para Nabi,
terpanggil untuk meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam
membentuk kepribadian masyarakat melalui para santrinya. Para pengasuh
pesantren mengharapkan santri-santrinya memiliki integritas kepribadian yang
tinggi (shalih).
Tujuan lain pembentukan kepribadian santri agar dengan ilmu agamanya
mereka sanggup menjadi mubaligh yang menyebarkan ajaran Islam dalam
masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.36
3. Proses Pembentukan Kepribadian Santri
Islam adalah agama yang lurus mengajarkan pemeluknya untuk
senantiasa melakukan perintah dan larangannya yang didasarkan pada al-

34
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 169.
35
Ujam Jaenudin, Psikologi Kepribadian, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 188.
36
Yasin., op. cit., h. 243.
23

quran dan hadis. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana seseorang yang
mengaku sebagai muslim yang baik akan selalu berusaha melakukan
perbuatan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam menjadi pilihan dalam
bagaimana seorang muslim bercermin.
Tingkah laku manusia itu banyak yang dibentuk oleh kebiasaan-
kebiasaan yang berlangsung dalam waktu yang lama secara terus-menerus.
Karena kebiasaan itu akan bisa menjadikan segala sesuatu itu menjadi mudah.
Apa yang dibiasakan seseorang dalam waktu lama secara terus menerus,
misalnya: omongan yang baik, tingkah laku yang sopan dan lembut, atau
sebaliknya yang kasar, jorok atau kotor, menyakitkan hati dan lain
sebagainya.
Pembentukkan kepribadian pada dasarnya adalah upaya untuk mengubah
sikap-sikap kearah kecenderungan terhadap nilai-nilai keislaman. Dan
pembentukkan kepribadian itu sendiri berlangsung secara bertahap, tidak
sekali jadi, melainkan sesuatu yang berkembang. Oleh karena itu
pembentukkan kepribadian itu sendiri merupakan proses.37
Idealisasi out put santri menjadi seorang yang „alim shalih seperti ini
kemudian diterjemahkan dalam penempatan cara hidup, nilai, dan prinsip
hidup sehari-hari dipesantren. Nilai-nilai tersebut membentuk perilaku santri
yang kemudian membangunkan nilai-nilai mereka berada dalam sebuah sub-
tradisi di pesantren, seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan
keteladanan yang telah sangat lama dipraktikkan di pesantren dan menjadi ciri
khas. Seorang Kiai, misalnya, harus rela membuka pintu rumahnya 24 jam
untuk melakukan fungsi pelayanan masyarakat. Ini contoh konkrit dari prinsip
keikhlasan yang diteladankan kepada para santrinya. Sikap hidup tanpa
pamrih atau dalam bahasa pesantrennya “lillahi ta‟ala” ini menjadikan
pesantren mampu bertahan hidup sampai berabad-abad lamanya. Secara lebih

37
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 195.
24

luas, ikhlas dalam menuntut ilmu juga dapat diartikan sebagai kesungguhan
dan keseriusan dalam belajar. Selama belajar itu santri mengesampingkan
kegiatan-kegiatan yang tidak relevan dan bahkan kesenangan sesuai selera
pribadinya. Sikap hidup ini lebih menekankan pada proses dari pada hasil.
Implikasinya adalah para santri menjadi individu yang tangguh, berjiwa besar,
dan tidak takut menghadapi kenyataan pahit dalam hidupnya.
Prinsip ikhlas ini juga ditopang dengan prinsip kesederhanaan. Pola hidup
sederhana terlihat mulai dari cara santri berpakaian, menyediakan makanan
dan minuman sederhana. Sederhana tidak berarti kekurangan, namun sikap
hidup sederhana yaitu tidak berlebihan, meskipun halal. Prinsip hidup
sederhana ini juga tampak pada nilai yang dikembangkan, yaitu selalu hidup
sabar, tawakkal, zuhud dan wira‟i.38
Semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka
semakin jelas tindakan, kebiasaan, dan kepribadian unik dari masing-masing
individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki sistem
kepercayaan (belief system), citra diri (self-image), dan kebiasaan (habit)
yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan selaras, kepribadiannya
baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan
semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaan tidak selaras,
kepribadiannya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya
akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.39
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa pembentukkan itu merupakan
proses. Proses pembentukkan kepribadian itu dapat dilakukan melalui tiga
macam pendidikan, yaitu:
a. Pra natal education (pendidikan sebelum lahir)

38
Nafi‟, dkk., op. cit., h. 51.
39
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2011), h. 18.
25

Pendidikan ini dilakukan sebelum anak lahir, seperti dimulai dari


mencari calon suami atau istri, atau perilaku orang tua yang Islami
ketika anak masih dalam kandungan.
b. Education by another (pendidikan orang lain)
Proses pendidikan ini dilakukan secara langsung oleh orang lain, orang
tua, guru dan pemimpin dalam masyarakat.
c. Self education (pendidikan sendiri)
Proses ini dilaksanakan melalui kegiatan pribadi tanpa bantuan orang
lain, seperti membaca buku-buku, majalah, Koran dan sebagainya,
atau melalui penelitian untuk menemukan hakikat segala sesuatu tanpa
bantuan orang lain.40
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepribadian Santri
Perkembangan kepribadian individu menurut Freud, dipengaruhi oleh
kematangan dan cara-cara individu mengatasi ketegangan. Kematangan
adalah pengaruh asli dari dalam diri manusia. Ketegangan dapat timbul karena
adanya frustasi, konflik, dan ancaman. Upaya mengatasi ketegangan ini dapat
dilakukan dengan identifikasi, sublimasi, dan mekanisme pertahanan ego.41
Kepribadian itu berkembang dan mengalami perubahan-perubahan, tetapi
di dalam perkembangan itu semakin terbentuklah pola-pola yang tetap dan
khas, sehingga mempengaruhi ciri-ciri yang unik bagi individu. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dan pembentukan
kepribdian itu dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
a. Faktor Biologis
Yaitu faktor yang berhubungan dengan keadaan jasmani atau yang
sering disebut dengan faktor fisikologis. Keadaan fisik, baik yang berasal
dari keturunan yang merupakan pembawaan yang dibawa sejak lahir itu
melainkan peranan yang penting pada kepribadian seseorang, tidak ada
40
Ramayulis, op. cit., h.199.
41
Jaenudin., op. cit., h.208.
26

yang mengingkarinya. Namun demikian itu hanya merupakan salah satu


faktor saja. Kita mengetahui bahwa dalam perkembangan dan
pembentukan kepribadian selanjutnya faktor-faktor yang lain terutama
faktor lingkungan dan pendidikan yang tidak dapat kita abaikan.
b. Faktor Sosial
Faktor sosial disini yakni manusia-manusia lain di sekitar individu
yang mempengaruhi individu yang bersangkutan. Termasuk kedalam
faktor sosial ini juga tradisi-tradisi, adat istiadat, peraturan-peraturan,
bahasa, suasana keluarga dan sebagainya berlaku dalam masyarakat.
c. Faktor Kebudayaan
Kita mengetahui bahwa kebudayan itu tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat. Kita dapat mengenal bahwa kebudayan tiap daerah
atau negara berlainan. Perkembangan dan pembentukan kepribadian pada
diri masing-masing anak atau orang tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat dimana anak itu dibesarkan.42
5. Upaya Pondok Pesantren Pembentukan Kepribadian Santri
Dalam melatih perilaku, Skinner mengemukakan istilah shaping, yaitu
upaya secara bertahap untuk membentuk perilaku, mulai bentuk yang paling
sederhana sampai bentuk yang paling kompleks.43
Seperti kita ketahui sistem pendidikan pondok pesantren dibanggakan
sebagai yang tidak terpaku pada penumpukan pengetahuan dan pengasahan
otak belaka, tetapi juga mementingkan pembinaan kepribadian dan karakter
manusia oleh karena itu pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang
berorientasi pada agama, maka nilai-niali etika (akhlak) yang dijadikan
pegangan adalah bersumber dari falsafah keagamaan yang harus dipatuhi oleh
mereka yang terproses di dalamnya secara menyeluruh tanpa syarat. Adapun

42
Purwanto, op. cit., h.158.
43
Jaenudin., op. cit., h. 212.
27

dalam membina kepribadian santri yang berlangsung di pondok pesantren


secara garis besarnya adalah:
a. Penanaman nilai-nilai pembinaan dengan pengajaran kitab-kitab akhlak
Dalam penanaman nilai-nilai akhlak dengan pengajaran kita-kitab ,
secara tradisional sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren,
memilahkan secara tegas aspek pengembangan intelektual dan aspek
pembinaan kepribadian. Untuk membina kepribadian anak didik (santri),
di pondok pesantren memakai kitab-kitab akhlak seperti Akhlakul Banat,
Akhlakul Banin dan Kitab tafsir Qur'an yang menafsirkan beberapa ayat
Al-Qur'an dan hadits yang berkitan dengan budi pekerti dan kewajiban-
kewajiban seorang Muslim.
b. Membiasakan Hidup Berakhlak
Tingkah laku yang menyimpang terdapat pada individu sebagai hasil
pengalaman pengondisian yang keliru (faulty of conditioning). Karena itu
tugas pertama dari seseorang adalah menghapus tingkah laku yang
menyimpang, dan membentuk tingkah laku baru yang layak melalui
pemerkuatan atas tingkah laku yang layak itu.44
Sikap jiwa agama yang bersungguh-sungguh, jauh dari olok-olokan
dan kekesalan. Jika seseorang menderita cobaan atau musibah, ia tidak
akan mengeluh karena di samping penderitaan itu, ia mempunyai jalan
untuk terlepas dari pada kesukaran tersebut. Sebaliknya kalau gembira
dan mendapat keuntungan, maka dia tidak akan melonjak-lonjak
kegembiraan, atau tertawa-tawa.45

C. Kerangka Berfikir
Belajar merupakan salah satu usaha yang dapat merubah kepribadian dan
tingkah laku setiap individu. Dalam kegiatan sehari-hari terkadang santri
44
Koswara., op. cit. h. 97.
45
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 19.
28

mengalami hambatan dan kesulitan dalam mengatasi masalah kedisiplinan,


kesopanan, kepatuhan, dan lain sebagainya.
Berhasil atau tidaknya membentuk pribadi santri yang baik, salah satunya
bergantung pada cara atau sistem pendidikan yang dilakukan oleh pengurus
pondok pesantren. Bagaimana pengurus menciptakan perangai yang baik kepada
para santrinya. Oleh karena itu pengurus harus mampu menerapkan peraturan-
peraturan agar terbentuknya kepribadian santri yang baik. Salah satu cara yang
dapat digunakan pengurus untuk membentuk kepribadian santri adalah dengan
membentuk kesadaran dalam diri masing-masing santri.
Melalui kesadaran, santri diharapkan dapat merubah perangainya menjadi
lebih baik. Sehingga santri mempunyai kepribadian yang muncul dari dalam
dirinya sendiri.

D. Penelitian Yang Relevan


Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain penelitian
yang dilakukan oleh:
1. Khoirul Ummah, dengan judul Sistem Pembelajaran Pondok Pesantren
Dalam Membentuk Kepribadian Santri Di Pondok Pesantren Syalafiyah
Syafi‟iyah Nurul Huda Mergosono Malang. Penelitian ini menyatakan bahwa
sistem pembelajaran yang di selenggarakan di pondok pesantren Salafiyah
Safi'iayah Nurul Huda adalah merupakan sistem pembelajaran gabungan
antara sistem salafi (tradisioanal) dan sistem modern, sedangkan kurikulum
yang digunakan adalah kurikulum yang di rangcang oleh pondok Pesantren
Salafiyah Safi'iyah Nurul Huda itu sendiri.
2. Agustina Fajar Kurnia, dengan judul Sistem Pendidikan Modern Pondok
Pesantren Terpadu Darul „Amal Sukabumi. Penelitian ini menyatakan bahwa
sistem pendidikan yang di selenggarakan di pondok pesantren Darul „Amal
29

Sukabumi merupakan sistem pendidikan gabungan antara sistem pendidikan


yang berkulikulum Diknas dan kurikulum pesantren.
BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian kualitatif atau


dengan kata lain peneliti yang bersifat non statistik. Jenis penelitian kualitatif ini
mengacu pada prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari pelaku yang dapat diamati.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan tentang sistem pendidikan


pesantren dalam pembentukkan kepribadian santri di pondok pesantren salafi
Miftahul Huda Cihideung Bogor. Peneliti akan mengkaji proses pendidikan
pesantren, yang dilakukan dengan observasi, dokumentasi, dan wawancara.

A. Tempat dan Waktu


Tempat yang dijadikan objek penelitian adalah Pondok Pesantren Salafi
Miftahul Huda Cihideung yang beralamat di Kp. Pasir Tengah RT. 013 RW. 003
Cihideung Cijeruk Bogor. Adapun waktu penelitian terhitung dari bulan
September 2014.

B. Tahap-Tahap Penelitian
Tahap-tahap penelitian memberikan gambaran keseluruhan tentang
perencanaan, pelaksanaan, pelaksanaan pengumpulan data, analisis dan
penafsiran data (temuan) sampai pada penulisan laporan. Tahap-tahap penelitian
itu ada tiga sebagaimana penulis kutip dala buku “Metode Penelitian Kualitatif”
karangan Dr. J. Meleong, M.A. adalah sebagai berikut:
1. Tahap pra-lapangan
Ada tujuh kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini, kegiatan tersebut
yaitu:
a. Menyusun rancangan penelitian
b. Memilih lapangan penelitian

30
31

c. Mengurus perizinan
d. Menjajaki dan menilai lapangan
e. Memilih dan memanfaatkan informan
f. Menyiapkan perlengkapan penelitian
g. Etika penelitian lapangan
2. Tahap pekerjaan lapangan
Tahap kegiata lapangan ini dibagi atas tiga bagian, yaitu:
a. Memahami latar penelitian dan persiapan diri
b. Memasuki lapangan, seperti keakraban hubungan, mempelajari bahasa,
dan peranan penelitian
c. Berperan serta sambil mengumpulkan data
3. Tahap analisis dan interpretasi data
Tahap analisis data meliputi tiga pokok persoalan, yaitu:
a. Konsep dasar analisis data, maksudnya adalah proses mengatur data,
mengorganisasikannya ke dalam sebuah polo, kategori, dan satuan uraian
dasar.
b. Interpretasi data merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang
lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang
dilakukan.1

C. Metode Penelitian
Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.2
Pengertian metode penelitian adalah anggapan dasar tentang suatu hal yang
dijadikan pijakan berpikir dan bertindak dalam melaksanakan penelitian.
Misalnya, peneliti mengajukan asumsi bahwa sikap seseorang dapat diukur

1
Lexy J. Meleong, op. cit., h.127.
2
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2013), h.3
32

dengan menggunakan skala sikap. Dalam hal ini, ia tidak perlu membuktikan
kebenaran hal yang diasumsikannya itu, tetapi dapat langsung memanfaatkan
hasil pengukuran sikap yang di perolehnya. Asumsi dapat bersifat substantive
atau metodologis. Asumsi substantive berhubungan dengan permasalahan
penelitian, sedangkan asumsi metodologis berkenaan dengan metodologi
penelitian.3
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan
data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.4 Penelitian skripsi ini menggunakan
metode deskriptif yaitu penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala,
peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang. Penelitian deskriptif memusatkan
perhatian pada masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian
berlangsung. Melalui penelitian deskriptif, peneliti berusaha mendeskripsikan
peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa memberikan
perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut. Variable yang diteliti bisa tunggal
(satu variable) bisa juga lebih dari satu variable.5

D. Teknik Pengumpulan data


Untuk memperoleh data yang diperlukan penulis menggunakan metode yang
sekiranya sesuai dengan masalah yang diteliti dalam hal ini penulis
menggunakan:
1. Observasi
Metode observasi adalah metode yang digunakan dengan jalan
mengadakan pengamatan terhadap objek yang diteliti sebagaimana yang
diungkapkan Sutrisno Hadi: “Metode observasi bisa dikatakan sebagai

3
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.
254.
4
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2012),
h. 2.
5
Ibid., h. 34.
33

pengamatan dan pencatatan dengan sistematis terhadap fenomena-


fenomena yang diselidiki, dalam arti yang luas, observasi tidak hanya
terbatas pada pengamatan yang dilakukan baik secara langsung maupun
tidak langsung”.6
Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang
spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan
kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi dengan
orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga obyek-obyek
alam yang lain.7
Tindakan observasi dilakukan peneliti pada umumnya menpunyai
tujuan agar dapat mengamati dan mencatat fenomena yang muncul dalam
variabel terikat sebagai akibat dari adanya kontrol dan manipulasi
variabel.8
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam observasi yaitu topografi,
jumlah dan durasi, intensitas atau kekuatan respons, stimulus control
(kondisi di mana perilaku muncul), dan kualitas perilaku.9
2. Dokumentasi
Dokumentasi adalah suatu metode yang dilakukan dengan cara
meneliti terhadap buku-buku, catatan, arsip-arsip tentang suatu masalah
yang ada hubungannya dengan hal-hal yang diteliti, Suharsimi Arikunto
mengatakan: “Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal
atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya”.10

6
Sutrisno Hadi, Metodologi Research II (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), h.126.
7
Sugiyono., op. cit., h. 145.
8
Juliansyah., op. cit., 114.
9
Ibid., h. 141.
10
Husaini Usman, dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2003), h.57.
34

Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia yaitu berbentuk surat,
catatan harian, cendera mata, laporan, artefak, dan foto. Sifat utama data
ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga member peluang kepada
peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam.
Secara detail, bahan documenter terbagi beberapa macam, yaitu
autobiografi, surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial, klipping,
dokumen pemerintah atau swasta, data server dan flashdisk, dan data
tersimpan di web site.11
Dengan demikian metode ini dipakai untuk memperoleh data tentang
keberadaan pondok pesantren yang meliputi sarana dan prasarana, jumlah
tenaga pendidik, siswa dan struktur organisasinya.
3. Interview (wawancara)
Salah satu yang menjadi keharusan dalam penelitian kualitatif adalah
penggunaan metode dalam bentuk interview (wawancara). Interview
(wawancara) adalah tanya jawab, antara dua orang atau lebih secara
langsung. Pewawancara disebut interviewer, sedangkan orang yang
diwawancarai disebut interviewe.12
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu.13
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila
peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan
permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin

11
Juliansyah, lop. cit., h. 141.
12
Usman., op. cit., h.57.
13
Lexy J. Meleong., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
2013), h.186.
35

mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah


respondennya sedikit/kecil. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan
diri pada laporan tentang diri sendiri atau self-report, atau setidak-
tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi.14
Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti saat
mewawancarai responden yaitu intonasi suara, kecepatan berbicara, dan
sensitivitas pertanyaan, kontak mata, dan kepekaan nonverbal. Dalam
mencari informasi, peneliti melakukan dua jenis wawancara, yaitu
autoanamnesis (wawancara yang dilakukan dengan subjek atau responden)
dan aloanamnesisi (wawancara dengan keluarga responden). Beberapa tips
saat melakukan wawancara yaitu mulai dengan pertanyaan yang mudah,
mulai dengan informasi fakta, hindari pertanyaan multiple, jangan
menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building report, ulang kembali
jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan positif, dan control emosi
negatif.15
Dalam penelitian ini yang dijadikan subjek adalah:
a. Kiai Pondok Pesantren Miftahul Huda
Subjek pertama yang akan dipilih adalah informasi kunci, yaitu
informasi yang dipandang sangat menguasai aspek-aspek yang akan
diteliti, dengan pertimbangan tersebut, yang dipilih sebagai informan
kunci adalah Kiai, karena beliau dianggap subjek yang paling
mengetahui dalam sistem pendidikan di pesantren ini.
b. Ustadz dan Ustadzah Pondok Pesantren Miftahul Huda
Subyek kedua yang akan dipilih adalah informasi pengelola, yaitu
informasi sebagai pengelola para santri yang dipandang mampu
menyampaikan aspek-aspek yang akan diteliti.
c. Santriwan dan santriwati Pondok Pesantren Miftahul Huda

14
Sugiyono, op. cit., h. 137.
15
Juliansyah, op. cit., h. 139.
36

Untuk mencari data dari para santri peneliti hanya mengambil


sebagian populasi yang dipandang bisa mewakili. Sedangkan yang
diambil sebagai sampelnya adalah random sampling. Yaitu
pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak
antara santri lama dan santri baru.

E. Pengecekan Keabsahan Data


Pengecekan keabsahan data digunakan untuk memenuhi nilai kebenaran dari
data dan informasi yang dikumpulkan.16
Dalam hal ini ada beberapa cara yang dilakukan, diantaranya adalah :
1. Triangulasi
Triangulasi data adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik
triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan
menggunakan sumber lainnya.17 Pada penelitian ini, penulis
membandingkan data yang di peroleh dari observasi dengan hasil
wawancara beberapa siswa dan guru dalam rangka membantu peneliti
dalam meningkatkan derajat kepercayaan data yang di peroleh. Melalui
pengecekan tersebut ternyata data yang diperoleh penulis terdapat banyak
persamaan dengan pernyataan beberapa sumber yang diwawancarai.
2. Diskusi Teman Sejawat
Dalam hal ini peneliti melakukan diskusi analitik dengan beberapa
teman sejawat. Dengan melakukan sebuah diskusi yang sering dilakukan
oleh peneliti ini, diharapkan peneliti bisa bersikap terbuka dalam

16
Nasution, Metodologi Penelitian Naturalistic Kualitatif, (Bandung: Trsito,1988), h.126
17
Ibid, h.334
37

mengungkapkan peristiwa yang terjadi, mampu bersikap jujur dan lapang


dada dalam menerima kritik dan saran dari teman-teman sejawat.
3. Kecukupan Referensi
Kecukupan referensi disini artinya adanya data pendukung untuk
membuktikan data yang telah ditemukan dilapangan. Sebagai contoh,
hasil wawancara perlu didukung dengan rekaman hasil wawancara. Data
tentang interaksi manusia atau gambaran suatu keadaan perlu didukung
oleh foto-foto.18

F. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data adalah proses mengorganisaikan data ke dalam pola,
kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa pekerjaan analisis data adalah mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberikan kode dan mengatagorikannya. Pengorganisasian
dan pengolahan data tersebut bertujuan menemukan tema dan hipotesis kerja
yang akhirnya diangkat menjadi teori substansif.19 Dengan demikian, analisis
data disini adalah proses pemberian makna kepada data yang diperoleh dari
lapangan dengan melakukan pengaturan, pengelompokkan, pengurutan dan
sebagainya sehingga data tersebut dapat dengan mudah dipahami.
Dalam penelitian ini penulis melakukan teknik analisis data dengan langkah-
langkah sebagai berikut. Pertama, data utama dan data pendukung ditranskipkan.
Kemudian, transkip yang diperoleh dari hasil wawancara diseleksi dan
dideskripsikan, diterjemahkan dan dianalisa sehingga memperoleh jawaban dari
pertanyaan penelitian.

18
Ibid, h.375
19
Lexi.J.Moloeng, op.cit, h.3
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Objek Penelitian
1. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren
Pesantren Miftahul Huda di dirikan oleh almarhum bapak K.H. Sofyan
Sauri bin Misbahudin, yang berdiri pada tahun 1969. Pada awalnya pendiri
pondok pesantren ini, beliau menjadi santri di beberapa pesantren yang pada
akhirnya di tahun 1969 beliau pulang dari pesantren dan berusaha untuk
mendirikan pondok pesantren. Pada saat itu beliau belum berkeluarga, lalu
setahun kemudian setelah mendirikan pesantren beliau menikah dengan
istrinya yang bernama ibu Hj. Khodijah yang berasal dari sukabumi.
Proses belajar mengajar pada saat itu sangat memprihatinkan, hanya ada
satu bangunan yang terbuat dari bambu atau bilik dengan jumlah santri yang
hanya sebelas orang pada saat itu. Tetapi tidak dari wilayah setempat saja,
ada juga dari wilayah luar daerah cijeruk, seperti ada dari karawang, bekasi,
dan bandung.
Sebelumnya, pesantren ini didirikan oleh orang tua dari bapak K.H.
Sofyan Sauri yang bernama K.H. Misbahudin. Beliau sudah mengelola
madrasah diniyah sejak tahun 1932 sebelum kemerdekaan, yang sampai saat
ini diniyahnya masih berjalan, namun dengan bangunan yang terpisah tapi
pada proses megajarnya masih terus berkaitan, sehingga almarhum ini di
pesantren dan madrasah diniyah tetap di pegangnya.
Perlahan dengan keprihatinan yang ada pesantren dikembangkan dari
mulai fasilitas bangunan yang sangat sederhana akhirnya beliau berusaha
untuk membangun dari awal dengan bangunan yang permanen, kemudian
dengan fasilitas yang lebih baik dari pada sebelumnya. Sehingga pesantren
itu menjadi sebuah daya tarik juga bagi masyarakat yang lainnya sehingga
banyak yang berdatangan pula para santrinya. Dua tahun kemudian ada 40

38
39

orang santri, dan terus menerus semakin meningkat sehingga mencapai 70


orang santri yang pada saat itu baru ada di pesantren putera. Kemudian pada
tahun 1997 beliau mempunyai putera dan puteri, salah satu puterinya yang
bernama ibu Hj. Deudeu Murlotul Hidayah di tahun ini pulang dari
pesantrennya yang beliau mulai masuk pesantren pada tahun 1985. Setelah
pulang dari pesantren, ibu Hj. Deudeu menikah dengan laki-laki lulusan dari
pondok pesantren Sunnanul Huda sukabumi yang bernama H. Syahlul Lail,
yang berasal dari kayu manis bogor. Setelah menikah mereka beristikomah di
pesantren. Dan timbullah keinginan untuk mendirikan pondok pesantren
puteri, kemudian di bangunlah pondok pesantren untuk puteri tersebut.
Keinginan mendirikan pesantren tersebut di dukung oleh masyarakat
sekitar pondok, maupun daerah yang lain banyak berdatangan untuk mengaji
di pesantren tersebut, sehingga jumlah santri puteri pada tahun 1997
berjumlah 119 orang. Santri-santri tersebut hanya mengaji, belum di
pondokkan di asrama, mereka pulang kembali ke rumahnya masing-masing.
Dari jumlah santri yang lumayan banyak, di bangunlah gedung untuk asrama
puteri. Dan dari 119 santri hanya 60 orang yang bermukim di asrama puteri
tersebut. Itu pun belum ada satu aturan yang mengikat sehingga
mengharuskan mereka terus tinggal, karena memang masing-masing santri
itu rumahnya dekat sehingga mereka sering pulang ke rumahnya, kemudian
datang kembali.
Seiring berjalannya waktu, sehingga pesantren puteri ini sudah mulai di
kenal. Tidak hanya di daerah sekitar, namun dari luar daerah seperti
karawang, bekasi, parung, ciputat, cicurug, sukabumi. Almarhum K.H.
Sofyan ini kesehariannya tidak hanya mendidik anak-anak santri, akan tetapi
menjadi seseorang yang di sepuhkan oleh banyak orang, sehingga banyak
masyarakat yang berdatangan kepada beliau dengan masalah dan untuk
mendapatkan solusi dari beliau. Karena keahlian yang beliau miliki ini adalah
40

keahlian dalam ilmu falakiyah sehingga banyak sekali orang-orang yang


berdatangan.
Dampak dari banyaknya tamu yang berdatangan untuk meminta bantuan
kepada beliau, akhirnya para santri agak sedikit mengurang. Sehingga
kepemimpinannya di serahkan kepada abi Syahlul selaku menantunya, suami
dari ibu H.J. Deudeu, puterinya. Setelah itu beliau mulai memiliki penyakit
dan terus mengalami penurunan dalam kesehatannya, sehingga beliau
meninggal dunia. Setelah kepemimpinan di pegang oleh abi syahlul banyak
mengalami kendala, namun beliau dapat menangani dan mengembangkan
pondok pesantren ini hingga sekarang dengan jumlah santri yang mukim ada
107 santri.1
2. Visi dan Misi
a. Visi
Terbentuknya insan yang beriman, bertakwa, berakhlakul karimah,
berilmu, berwawasan luas, cakap, terampil, mandiri, kreatif, inopatif, dan
bertanggung jawab.
b. Misi
1) Pemahaman keimanan, ketakwaan kepada Allah SWT.
2) Pendidikan akhlakul karimah.
3) Pendidikan pengembangan wawasan.
4) Keterampilan dan keahlian.
5) Pendidikan kesehatan dan lingkungan.
3. Tujuan dan Target
a. Tujuan
Membentuk santri dan santriwati menjadi ihsan yang berilmu, berakhlak
mulia.

1
Hasil Wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.28 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
41

c. Target yang ingin di capai


Santri dan santriwati setelah selesai pesantren atau pulang, mereka dapat
berkiprah di masyarakat dengan bekal ilmunya, dan selalu siap di
berbagai bidang.2
4. Keadaan Pendidik
Salah satu faktor yang menentukan kegiatan belajar mengajar di dalam
pondok pesantren adalah ustadz dan ustadzah. Ustadz dan ustadzah yang
memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, terampil menerapkan metode-
metode pengajaran, tanggung jawab, sabar, dan berakhlak mulia, itu sebagai
figur pengajar yang sangat dibutuhkan pada pondok pesantren.
Adapun pengajar dan pengurus pondok pesantren salafi Miftahul Huda
dapat dilihat sebagai berikut.3
Pengajar Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda Cihideung
Bogor Pada Periode 2014-2015
No. Nama Pendidikan Terakhir Mengajar
1. K.H. Sahlul Lail S1 Tafsir Jalalen
2. Ust. Burhannudin Aliyah Nahu Sorof
3. Ust. Juliansyah S1 Safinatunnajah
4. Ust. Nasrudin Aliyah Zubad
5. Ust. Yusuf Aliyah Akhlakul Banin
6. Ustz. Lilis Lahmidati Aliyah Akhlakul Banat
7. Ustz. Siti Sa‟diyah Aliyah Nasoihul Ibad
8. Ustz. Nurhasanah Aliyah Nahu Sorof

2
Dokumentasi PPS Miftahul Huda
3
Ibid.,
42

Pengajar Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda Cihideung


Bogor Pada Periode 2014-2015

Pimpinan Pondok Pesantren

K.H. Sahlul Lail

Wakil Pimpinan PonPes

Ust. Arifin Abdurrahman

Dewan Penasehat Dewan Pembina


KH. Hasbullah Hj. Deudeh M. H
H. Tunggal Slamet

Staf Pengajar Pondok

Ust. Burhannudin
Ust. Juliansyah
Ust. Nasrudin
Ust. Yusuf
Ustdzah. Lilis Lahmidati
Ustdzah. Siti Sa‟diah
Ustdzah. Nurhasanah

Seksi-Seksi

Pendidikan Keagamaan Kedisiplinan Keamanan Kesehatan


43

5. Sarana dan Prasarana


Sarana dan prasarana yang terdapat di pondok pesantren salafi Miftahul
Huda ini sama seperti yang terdapat di pondok pesantren yang lain, yang
meliputi kamar santri, ruang kiai, ruang ustadz-ustadzah, majlis dinniyah,
toilet pegawai, toilet santri, dapur utama, dan dapur santri.
Namun sarana masjid tidak terdapat di pondok pesantren salafi Miftahul
Huda ini, hanya majlis yang dipakai untuk melakukan ibadah shalat, mengaji,
dan ibadah-ibadah lainnya.4
Adapun sarana dan prasarana yang dimiliki Pondok Pesantren Miftahul
Huda dapat dilihat pada tabel yang terdapat pada lampiran tabel 4.1.
6. Aktivitas Santri Yang Dilakukan Di Pondok Pesantren
Miftahul Huda
Kehidupan santri setiap hari sangat padat dengan kegiatan, baik itu
kegiatan yang berkaitan dengan pondok maupun di luar pondok hal ini
menunjukkan dinamika para santri dalam melaksanakan aktifitas kehidupan,
terutama dalam mencari ilmu. Namun dengan demikian, tidak menutup
kemungkinan ada sebagian santri yang agak luang dalam memanfaatkan
waktunya. Mereka hanya melaksanakan aktivitas pokok saja, seperti mengaji
setelah sholat berjamaah. Selain waktu itu, mereka tidak melaksanakan
apapun. Santri yang demikian jumlahnya tidak banyak, hanya sebagian kecil
saja.
Berdasarkan dokumentasi pondok pesantren Salafi Miftahul Huda (1997-
Sekarang), kegiatan santri setiap hari diatur sebagai berikut:
a. Jam 03.00 - 04.00 Qiyamul lail, yaitu rutinitas santri setiap sepertiga
malam melakukan shalat tahajud bersama di majlis taklim, di ikuti
dengan membaca surat waqi‟ah dan bersolawatan selagi menunggu
waktu adzan subuh.

4
Hasil dari Observasi dan Dokumentasi di PPS Miftahul Huda.
44

b. Jam 04.30 - 05.30 Berjama‟ah Shalat Shubuh, seluruh santri di pondok


pesantren ini melaksanaan solat subuh berjamaah tanpa di pisah ruang
shalat antara santri putri dan santri putra.
c. Jam 05.30 - 06.30 Pengajian Kitab tafsir jalalen, pengajian kitab ini
untuk santri dewasa menggunakan sistem balaghan. Karena kitab ini
dasar dari tafsir-tafsir al-Qur‟an. Dan santri yang aula di perbolehkan
melakukan kegiatannya di dalam kobong.
d. Jam 06.30 - 07.30 Bersih-bersih, santri putra dan putri di biasakan untuk
melakukan kegiatan bersih-bersih setiap selesai mengaji pagi. Santri di
bagi tugas untuk membersihkan lingkungan pesantren, rumah kiai, dan
masing-masing dari kobong santri. Ada juga santri yang bertugas
memasak makanan untuk sarapan pagi di masing-masing kobongnya, ada
juga yang bertugas memasak makanan untuk keluarga kiai di rumahnya.
Dan yang bukan bagian tugas piket, biasanya santri mencuci baju
kotornya, atau menyetrika baju yang telah kering.
e. Jam 07.30 - 08.00 Sarapan Pagi, seluruh santri yang sudah selesai
melakukan pekerjaannya masing-masing, barulah mereka sarapan pagi
bersama santri yang lainnya.
f. Jam 08.00 - 09.30 Pengajian Kitab Nahu Sorof seperti kitab zurumiah
dan imriti menggunakan sistem sorogan. Pengajian kitab ini untuk santri
aula yang berusia tiga belas sampai lima belas tahun. Kitab ini untuk
memudahkan santri membaca kitab kuning yang belum ada syakalnya
serta memahami artinya. Dan santri dewasanya di perbolehkan
melakukan kegiatannya di dalam kobong.
g. Jam 10.00 - 11.00 Shalat Dhuha dan Menghafal doa-doa, di waktu ini
santri melaksanakan shalat dhuha di tempat yang terpisah antara santri
laki-laki dan santri perempuan. Setelah selesai shalat dhuha, di lanjutkan
dengan hafalan doa-doa seperti doa selesai shalat tahajud, shalat hajat,
shalat dhuha, dan shalat-shalat sunnah lainnya. Selain menghafal doa-
45

doa, santri juga di tugaskan untuk menghafal kitab-kitab yang telah di


kaji.
h. Jam 11.00 - 11.30 Istirahat, biasanya santri mempergunakan waktu
istirahat ini dengan bersantai-santai di kobong masing-masing atau
bermain di halaman pesantren bagi santri aula.
i. Jam 11.30 - 14.00 Berjama‟ah Shalat Dzuhur dan Mengaji Kitab Safinah,
santri melaksanakan shalat dzuhur berjamaah ditempat yang terpisah
antara santri laki-laki dan santri perempuan. Lalu di lanjutkan dengan
mengaji kitab safinah untuk santri aula menggunakan sistem sorogan.
Kitab ini di kaji untuk mengetahui dasar-dasar ilmu fiqh seperti tata cara
berwudhu, tata cara shalat, dan lain sebagainya. Dan bagi santri yang
sudah dewasa, setelah selesai shalat berjamaah di perbolehkan
melakukan kegiatannya di dalam kobong masing-masing santri.
j. Jam 14.00 - 15.30 Istirahat siang biasanya dilakukan santri untuk tidur
atau bercengkrama dengan santri-santri yang lain.
k. Jam 15.30 - 17.30 Berjama‟ah Shalat Ashar dan Mengaji Kitab zubad,
yaitu Kitab yang menjelaskan tentang berbagai macam ilmu fiqh, namun
dalam kitab ini lebih banyak menjelaskan tentang isi ilmu fiqh
muamalah. Kitab ini di kaji oleh santri dewasa karena isi kitab ini
tentang fiqh yang lebih mendalam dengan menggunakan sistem
balaghan. Dan bagi santri aula setelah shalat berjamaah di perbolehkan
melakukan kegiatan di dalam kobong.
l. Jam 17.30 - 19.00 Berjama‟ah Shalat Magrib dan Mengaji Al-Qur‟an.
Waktu ini di peruntukkan bagi semua santri aula dan santri dewasa, yang
di pisahkan antara ruang santri putra dan santri putri. Setelah shalat
dilanjutkan dengan tadarus al-Qur‟an, bagi santri aula tadarus al-
Qur‟annya di simak oleh santri yang lebih dewasa hingga menunggu
datangnya waktu shalat isya.
46

m. Jam 19.00 - 20.30 Berjama‟ah Shalat Isya dan Mengaji kitab akhlakul
bannat dan akhlakul banning menggunakan sistem sorogan. Pengajian
kitab ini untuk semua santri putra dan putri, namun kitab ini di kaji
dalam ruang yang terpisah antara santri putra dengan santri putri. Santri
putra mengaji kitab akhlakul banin, karena kitab ini menjelaskan tentang
bagaimana menjadi pribadi yang baik. Dan kitab akhlakul banning untuk
santri putrid, kitab ini juga menjelaskan tentang bagaimana menjadi
muslimah yang baik.
n. 20.30 – 22.00 Mengaji Kitab Nasoihul ibad menggunakan sistem
balaghan, yaitu kitab yang isinya menjelaskan nasihat-nasihat Allah
untuk hambanya. Kitab ini untuk santri yang sudah dewasa, karena
isinya sebagai petunjuk bagi umat manusia agar tidak terjerumus dalam
dosa. Dan santri aula setelah shalat isya berjamaah dan mengaji kitab
akhlakul banin dan akhlakul bannat di perbolehkan melakukan
kegiatannya di kobong atau di persilahkan untuk tidur.
o. Jam 22.00 - 03.00 Istirahat. Setelah semua kegiatan di lakukan oleh
semua santri sepanjang hari, santri diperbolehkan untuk tidur sampai
kembali bangun di waktu shalat malam.
Jadwal di atas disusun sesuai dengan keadaan, baik keadaan pengasuh
maupun santri. Adanya jadwal yang jelas tersebut bertujuan untuk mendidik
para santri agar menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.5
7. Keberadaan Santri
Sejalan dengan perkembangan zaman, keadaan santri di Pesantren Salafi
Miftahul Huda pada saat ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan
sebagaimana yang di katakana oleh Kiai Pondok Pesantren Salafi Miftahul
Huda, yaitu K.H Syahlul Lail. Bahwa santri dari tahun ke-tahun mengalami
perkembagan yang sangat pesat jumlahnya.

5
Hasil Observasi di PPS Miftahul Huda.
47

Seluruh santri diwajibkan mengikuti seluruh kegiatan yang sudah


diprogramkan oleh Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda, santri di
wajibkan untuk mengikuti jama‟ah shalat lima waktu, para santri juga
diwajibkan untuk mengikuti pengajian kitab yang sudah terjadwal.
Penerimaan santri di pondok pesantren salafi disini yang di perbolehkan
dari usia tiga belas tahun, karena di pesantren ini memiliki keterbatasan
pengasuh jadi anak di bawah usia tiga belas tahun belum boleh masuk
pondok pesantren salafi ini. Batasan usia santrinya tidak dibatasi oleh pihak
pesantren, yang penting santri itu ingin belajar mengaji bersama yang
lainnya.
Pengajian setiap harinya dipisahkan antara santri yang masih kecil
dengan santri yang sudah dewasa. Pengajian kelas aula, dari usia tiga belas
tahun sampai lima belas tahun pengajian ta‟lim dengan mempelajari nahu
sorof yaitu kitab zurumiah dan kitab imriti, kemudian kitab safinatunnajah
yaitu menjelaskan tentang dasar-dasar ilmu fikih pada siang dan sore hari
menggunakan sistem sorogan, dengan tempat pengajian yang terpisah antara
santri putri dengan santri putra. Sedangkan santri yang dewasa mengaji kitab
tafsir jalalen, kitab zubad, kitab nasoihul ibad pada waktu ba‟da subuh dan
ba‟da isya menggunakan sistem balaghan, dengan menggunakan satu ruang
pengajian yang sama namun antara santri putri dan santri putra ada
sekatannya.
Adapun jumlah santri dari tahun ke-tahun dapat dilihat pada lampiran
tabel 4.2.6

6
Ibid,.
48

B. Penyajian Data
1. Proses Pendidikan dalam Membentuk Kepribadian
Setelah data terkumpul dengan menggunakan metode observasi,
dokumentasi dan wawancara, peneliti dapat menganalisis hasil penelitian
dengan teknik kualitatif deskriptif, artinya peneliti akan menggambarkan,
menguraikan dan menginter pretasikan data-data yang telah terkumpul
sehingga akan memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang
hal yang sebenarnya.
Dalam penyajian data ini maka penulis akan memaparkan secara sekilas
dari hasil yang di dapat dari lapangan yang berkaitan dengan rumusan
masalah.
a. Proses Pendidikan Di Pondok Pesantren Miftahul Huda
Berdasarkan observasi proses pendidikan dilakukan setiap hari di
mulai dari hari senin sampai minggu dari jam 03.00 pagi sampai jam
22.00 malam, namun pada hari jumat kegiatan mengaji seluruh santri di
liburkan, hanya ada kegiatan shalat berjamaah di waktu subuh dan
kegiatan mengaji anak yatim dan ibu-ibu disekitar pondok pada jam
08.00 pagi.
Setiap harinya santi di tuntut untuk disiplin waktu dan mematuhi
peraturan-peraturan yang telah di buat oleh pondok pesantren.
Kedisiplinan ini agar santri dapat menjadi pribadi yang menghargai
waktu dan bertanggung jawab. Hal ini berdasarkan hasil wawancara
peneliti dengan ustadzah yang bernama Lilis Lahmidati, bahwa:
“…dari yang terkecil sampai yang benar-benar besar gitu yah
sampai menyebabkan akibat yang fatal itu sudah di atur, dari mulai
yang terkecil. Dari mulai mereka berpakaian, dari mulai mereka
49

berbicara, dari mulai mereka apa yah melakukan tanggung jawab –


tanggung jawabnya, disitu semuanya sudah diatur, gitu”.7
Dari hasil wawancara di atas dapat kita ketahui bahwa pesantren ini
menggunakan peraturan untuk membentuk pribadi santri yang berakhlak
dan bertanggung jawab dengan apa yang mereka lakukan.
Hal ini berdasarkan wawancara peneliti dengan ustadz, yakni Juli
Ardiansyah, bahwa:
“Dengan menerapkan aturan-aturan yang tidak memberatkan,
namun di sangsi tersebut ketika ada santri yang melanggar kita
ta‟jir, di antaranya kalo misalnya ada yang ngelanggar yah kita
ta‟jir. Misalkan tidak shalat berjamaah atau pulang tanpa izin kita
menta‟jir dengan hafalan juz „amma atau kitab-kitab yang lain”.8
Dari hasil wawancara di atas dapat kita ketahui bahwa santri wajib
mentaati peraturan-peraturan yang ada, jika di langgarnya maka ada
sangsi-sangsi tersendiri terhadap pelanggaran apa yang santri perbuat.
Hal tersebut untuk menjadikan santri bertanggung jawab dengan
pelanggaran yang mereka perbuat.
Hasil wawancara peneliti juga dengan salah satu santri, yakni Siti
Nurani, bahwa:
“Umumnya pelajar yah, umumnya pelajarkan kadang patuh,
kadang jenuh sama peraturan gitu yah, begitupun saya pribadi
kadang saya patuh dengan peraturan pondok, kadang pula saya
sedikit jenuh atau merasa tidak butuh sama peraturan gitu, jadi
ujung-ujungnya saya juga kadang engga patuh gitu, tapi itu jarang
yah ka”.9
Dari hasil wawancara di atas bahwa bagi santri terkadang peraturan
pondok itu membuat mereka jenuh, sehingga kejenuhan itu memaksa

7
Hasil Wawancara dengan Ustadzah Lilis Lahmidati, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul
07.25 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
8
Hasil Wawancara dengan Ustadz Juli Ardiansyah, Pada Kamis 16 Oktober 2014 Pukul 09.49
WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
9
Hasil Wawancara dengan Santri Siti Nurani, Pada Rabu 15 Oktober 2014 Pukul 21.29 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
50

mereka untuk melanggar peraturan yang sudah di buat oleh pondok


pesantren tersebut.
Di pesantren ini juga setiap harinya santri dididik agar menjadi
pribadi yang berakhlak baik, dari mulai berpakaian, menjaga perkataan,
kehormatan dan menjaga kesopanan terhadap yang lebih tua maupun
yang lebih muda. Hal ini berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan
pimpinan pondok yang bernama K.H. Sahlul Lail, bahwa:
“Ada suatu kitab yang namanya aklakul banat dan akhlakul banin.
Akhlakul banin itu akhlak-akhlak yang mendidik buat santri-santri
putera agar mereka tau, begitupun puteri yaitu akhlakul bannat.
Pada intinya keduanya sama, isinya adalah tentang akhlak
bagaimana caranya akhlak terhadap khalik, yang artinya akhlak
dia terhadap Allah SWT yang intinya melalui ibadah-ibadah.
Kemudian akhlak terhadap sesama, sesama ini ada terhadap yang
lebih tua, terutama kepada orang tua, kemudian kepada guru,
kepada kaka, keluarga termasuk kita biasakan di pondok pesantren
ini yunior yang pemula kita didik mereka untuk menghormati
kepada senior, apalagi umurnya sudah tua, gitu. Sehingga dari segi
bahasa memanggilpun kita tidak anjurkan memanggil nama, tapi
dengan sebutan atau panggilan yang hormat. Kalo kita di daerah
sunda ini kepada yang lebih tua teteh, yaa seperti itu”.10
Dari hasil wawancara diatas dapat kita ketahui bahwa selain dengan
peraturan pondok pesantren, pembentukan pribadi santri juga dibentuk
melalui pembelajaran kitab-kitab akhlak yang menjelaskan tentang
bagaimana membentuk akhlak yang baik.
Hal ini berdasar hasil wawancara peneliti dengan santri, Siti Nurani,
bahwa:
“Kesopanan kita, dalam berpenampilan, umumnya sebagai wanita
penampilan seperti apa gitu, yang sesuai dengan syar‟i, tidak boleh
ini, tidak boleh itu, terus bertutur kata harus sopan. Karna kan kita
di sini juga di ajarkan bagaimana cara berbicara yang baik, terus
bagaimana cara kita bertingkah laku di depan yang muda, di depan

10
Hasil wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.17 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
51

yang tua itu kita harus tau bagaimana cara kita untuk sopan,
gitu”.11
Dari hasil wawancara diatas dapat kita ketahui bahwa selain mengaji
Al-Quran dan kitab-kitab, di pesantren ini juga diajarkan bagaimana
melatih pribadi yang baik, yang sesuai agama Islam. Para santri harus
berpakaian sopan agar dapat mencerminkan pribadi santri sehingga
terciptanya ketertiban dan kerapihan dalam berbusana serta bertutur kata
yang baik.
Di pesantren ini juga setiap harinya santri mengurusi semuanya
sendiri, dari mulai masak, makan, dan kebutuhan pribadi maupun
kebutuhan kelompok lainnya. Hal ini berdasarkan wawancara peneliti
dengan santri yang bernama Siti Nurani, bahwa:
“Jadi memang kalau kita sudah di pesantren pasti kita harus
mandiri, gitu. Soalnya kalo di pesantren kan kita tidak dengan ibu,
tidak dengan ayah, kita tidak dengan kakak atau keluarga,
siapapun itu pasti kita sendiri disini, dan bertemu dengan orang-
orang banyak dan disitu apa namanya disitu kita harus bisa
menyesuaikan semuanya dengan sendiri, gitu. Seperti kita mau
makan kita harus nyari sendiri, masa kita harus nyuruh orang kan
engga. Terus kita udah pake baju, kalo kotor kan kita harus cuci
sendiri, nah itu kan sudah belajar supaya kita mandiri. Bagaimana
baju itu dari yang bersih, kotor kemudian bersih lagi itu kita harus
tau caranya, gitu. Nyucinya, jemurnya itu kan sudah termasuk
belajar mandiri, gitu”.12
Dari hasil wawancara di atas dapat kita ketahui bahwa seorang
santri wajib memiliki sifat yang mandiri, yang bisa melakukan
semuanya sendiri. Karena kalau santri tidak bisa mandiri, ia tidak akan
pernah bisa hidup di pesantren berbaur dengan santri yang lainnya.
Hasil wawancara peneliti dengan pimpinan pondok K.H. Sahlul
Lail, bahwa:

11
Hasil Wawancara dengan Santri Siti Nurani, Pada Rabu 15 Oktober 2014 Pukul 21.29 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
12
Ibid,.
52

“Di tengah-tengah istirahat santri digunakan untuk memasak,


karena mayoritas disini santri masak sendiri, tidak beli, tidak
seperti di pesantren yang modern lain yang kost”.13
Dari hasil wawancara peneliti di atas dapat kita ketahui bahwa
kemandirian santri diantaranya makan dan masak sendiri. Karena disini
dididik semuanya melakukan sendiri tanpa mengandalkan orang lain.
Kemandirian santri yang di tuntut didalam pondok pesantren ini
membuat santrinya saling berbagi, saling menghargai, saling melengkapi
dalam sebuah kebersamaan. Hal ini berdasarkan wawancara peneliti
dengan santri yang bernama Siti Nurani, bahwa:
“Dimana saya dapat berkumpul, bertukar fikiran, bercanda, dan
mencurahkan perasaan yang kadang kala mengundang air mata.
Itu semua ada di pondok, semua itu terasa seperti keluarga, seperti
saudara, makan senampan bersama, tidur sekasur bersama,
pokonya mah istimewa”.14
Dari hasil wawancara peneliti di atas dapat kita ketahui bahwa
kebersamaan yang ada di dalam pondok pesantren memberi kesan
kekeluargaan yang menambah keakraban para santrinya.
Pondok Pesantren Miftahul Huda ini mempunyai peraturan-
peraturan yang dapat membentuk kepribadian santri agar mempunyai
kesadaran tentang tugas dan tanggung jawab mereka. Hal ini
berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan pimpinan pondok K.H.
Sahlul Lail, bahwa:
“Awalnya kita paksa dengan peraturan yang ada, tetapi dengan
terbiasanya melakukan aturan yang ada, maka mereka akhirnya
terbiasa. Karena sudah terbiasa akhirnya tidak ada yang merasa
terbebani dan menjalaninya dengan kesadaran diri masing-
masing”.15
13
Hasil Wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.17 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
14
Hasil Wawancara dengan Santri Siti Nurani, Pada Rabu 15 Oktober 2014 Pukul 21.29 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
15
Hasil Wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.17 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
53

Dari hasil wawancara di atas dapat kita ketahui bahwa membentuk


kesadaran santri itu awalnya menggunakan berbagai macam peraturan
yang di ikuti dengan sangsinya masing-masing, sehingga membuat
santri takut akan sangsi yang di jalaninya nanti, maka dari itu
terbentuklah kesadaran dari diri santri tanpa terbebani oleh peraturan
yang ada.
Hasil wawancara peneliti dengan seorang ustadzah yang bernama
Lilis Lahminati, bahwa:
“…jadi kesadaran sendiri, dari mulai di suruh-suruh terus jadi
mereka berfikir “ah kenapa harus disuruh-suruh terus!” jadi
mereka itu jadi merasa kebutuhan gitu yah. Jadi kalo misalkan
engga ngaji, ih kaya nya rugi gitu kan. Gak jamaah, ih kayanya
rugi gitu, jadi mereka bukan hanya mengikuti peraturan aja, jadi
mereka merasa jadi kebutuhan gitu kan, seperti halnya mereka
makan. Kalo gak makan kayanya lapar gitu. Ah kalo ga jamaah
jadinya rugi,jadi mereka bukan lagi mengikuti peraturan, mereka
merasa membutuhkan, gitu. Jadi kalo tidak melakuan, ada rasa
kekurangan”.16
Dari wawancara di atas dapat kita ketahui bahwa kesadaran santri di
bentuk dari aturan dan paksaan. Yang pada awalnya santri bermalas-
malasan dan lalai akan tugas-tugasnya sebagai santri, melalui peraturan
dan paksaan setiap harinya, sehingga membangun kesadaran dalam diri
santrinya itu sendiri tanpa harus di ingatkan terus-menerus.
Hasil wawancara peneliti juga dengan salah satu santri, Siti Nurani,
bahwa:
“Awalnya pasti karena peraturan yah, adanya peraturankan untuk
membentuk kita supaya patuh gitu, jadi awalnya karena peraturan,
hmm karna niat karna kita terbiasa dengan peraturan tersebut

16
Hasil Wawancara dengan Ustadzah Lilis Lahmidati, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul
07.25 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
54

akhirnya kita jadi terbiasa dan mengalir gitu menjadi itu jadi
kemauan kita sendiri, gitu”.17
Dari hasil wawancara di atas di jelaskan bahwa kesadaran santri
memang awalnya karena peraturan-peraturan yang memiliki sangsi.
Dari peraturan dan sangsi itu membuat santri jera dan menimbulkan
sedaran dari dalam diri sendiri untuk menjalankan semua kewajiban-
kewajibannya tanpa harus di ingatkan dan di paksa lagi.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan para responden dapat
di ketahui bahwa Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda ini
mempunyai peraturan yang di ikuti dengan sangsinya masing-masing,
kemudian dilengkapi dengan kajian kitab-kitab akhlak untuk
membangun kesadaran santri, membentuk kesederhanaan, membentuk
kebersamaan, juga membentuk sifat yang saling menghargai dan
menghormati.
b. Evaluasi Pendidikan
Evaluasi atau penialian merupakan bagian yang sangat penting
dalam kualiatas mengajar, yang berfungsi untuk mengetahui kemajuan
belajar peserta didik dan mengukur tingkat keberhasilan kegiatan belajar
mengajar. Penilainan yang dilakukan ketika proses pendidikan
berlangsung dan setelah kegiatan pendidikan berlangsung (penilain
hasil). Penilain yang dilakukan mengcakup hafalan dan pemahaman.
Berdasarka hasil wawancara dengan pimpinan PPS Miftahul Huda K.H.
Sahlul Lail, bahwa :
“Evaluasi dilakukan pertama setiap selesai pengajian, yang di
evaluasi hasil dari pengajian. Kemudian mingguan, evaluasi hasil
belajar selama satu minggu, kemudian ada bulanan, hasil

17
Hasil Wawancara dengan Santri Siti Nurani, Pada Rabu 15 Oktober 2014 Pukul 21.29 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
55

pengajian dalam satu bulan, tahunan, melalui musabaqoh setiap


bulan ramadhan”.18
Berdasar hasil observasi di sana bahwa penilain yang dilakukan di
PPS Miftahul Huda melalui empat cara. Yang pertama pada saat selesai
mengaji selalu di evaluasi hasil kajian saat itu. Kedua, setiap minggu
sekali di evaluasi hasil belajarnya dalam satu minggu itu. Ketiga,
penilaian setiap bulan yang biasanya di laksanakan pada akhir bulan. Dan
yang terakhir penilaian setiap tahunnya yang biasanya di laksanakan pada
bulan ramadhan.
Evaluasi yang dilakukan para pengajar untuk mengetahui hasil
pembelajaran santri menggunakan dua cara dalam mengevaluasi kitab
yang telah di pelajari, yaitu:
1. Kitab Tafsir Jalalen.
Kitab ini di kaji oleh santri dewasa dengan menggunakan sistem
balaghan, yaitu dimana kiai atau ustadz/ustadzah mengartikan isi dari
kitab ini, di lanjutkan dengan mendeskripsikan dan menjelaskan tafsir
dari kitab ini. Dan santrinya mendengarkan, memahami, dan mencatat
tafsir-tafsir yang telah di jelaskan kiai atau ustadz/ustadzahnya. Lalu
dalam melakukan evaluasi pengajian kitab ini di lakukan dengan cara
sorogan, yaitu santrinya membaca kitab yang telah di kaji dan kiai
sebagai pendengar bacaan dan penafsiran santri, jika terdapat
kesalahan kiailah yang membenarkan bacaannya.
2. Kitab Nahu Sorof (Imriti dan Zurumiah)
Pengajian kitab nahu sorof diantaranya imriti dan zurumiah. Kitab ini
dikaji dengan menggunakan sistem sorogan yang di pelajari oleh
santri aula. Kitab imriti membahas nahu sorof tingkat awal dan kitab
zurumiah nahu sorof tingkat selanjutnya. Evaluasinya dengan sistem

18
Hasil Wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.33 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
56

balaghan yang dimana kiai menanyakan tentang isi kitab tersebut


kepada santri-santri secara bergantian. Ini bertujuan agar santrinya
mampu memahami dan menghafal isi dari kitab-kitab tersebut.
3. Kitab Safinatunnajah
Kitab ini juga di peruntukkan kepada santri aula, karena isi kitab ini
menjelaskan tentang dasar-dasar ilmu fiqh yang bertujuan agar
memudahkan santri memahami ilmu fiqh dari dasarnya. Kitab ini di
kaji dengan sistem sorogan, dan mengevaluasinya dengan sistem
balaghan.
4. Kitab Zubad
Kitab ini di kaji oleh santri dewasa yang di pimpin oleh kiai dengan
menggunakan sistem balaghan, karena kitab ini adalah kitab fiqh yang
lebih mendalam dan bercabang ilmu fiqhnya, namun dalam kitab ini
lebih banyak menjelaskan tentang muamalah, agar santrinya
mengetahui bagaimana cara melakukan muamalah yang benar.
Evaluasinya dengan menggunakan sistem sorogan, dimana santri
dewasa ini menjelaskan apa yang sebelumnya di kaji oleh kiai, agar
santrinya dapat aktif dalam proses pengajian tersebut.
5. Akhlakul Banin dan Akhlakul Banat
Kitab-kitab ini terbagi untuk dua kategori, yang pertama kitab
akhlakul banin yaitu kitab yang menjelaskan bagaimana menjadi laki-
laki yang baik, kitab ini hanya diperuntukkan kepada santri putra. Dan
akhlakul banin menjelaskan bagaimana menjadi wanita yang baik,
kitab ini hanya diperuntukkan kepada santri putri. Pengajian kitab ini
di pisah antara ruang pengajian santri putra dan santri putrid, namun
antara santri aula dan santri dewasanya tidak dipisahkan.
6. Nasoihul Ibad
Kitab ini menjelaskan tentang nasihat-nasihat Allah kepada
hambaNya. Yang mengaji kitab ini hanya santri dewasa saja, karena
57

pembahasannya lebih mendalam dan hanya mudah di mengerti oleh


santri yang sudah dewasa. Pengajian kitab ini menggunakan sistem
balaghan, dan evaluasinya kiai memberikan pertanyaan kepada
seluruh santrinya secara bergantian mengenai isi dari kitab nasoihul
ibad ini.
7. Bacaan Doa-Doa
Bacaan doa-doa ini di peruntukkan kepada seluruh santri di pondok
pesantren ini tanpa pengecualian, karena santri yang mengaji di sini
harus bisa menghafal doa-doa yang telah di pelajari dengan cara
menghafal doa-doa yang di perintahkan oleh kiainya. Namun dalam
doa-doa yang di hafal ada perbedaan antara doa-doa untuk santri aula
dan santri dewasa. Santri aula menghafal doa-doa yang di baca sehari-
hari seperti doa ketika hujan, doa kebaikan dunia akhirat, doa minta
rizki, doa memohon perlindungan, dan sebagainya. Lalu untuk santri
yang dewasa menghafal doa-doa setelah solat lima waktu, doa-doa
shalat sunnah, doa hadiah ahli kubur, dan sebagainya.
Mengevaluasinya dengan menyetor hafalan semua doanya, ini
bertujuan agar kiai dapat mengetahui sejauh mana pencapaian tujuan
pembelajarannya. Sehingga seluruh santrinya dapat menghafal
seluruh bacaan doa yang ditentukan oleh kiai.
Ketika seorang peserta didik dimasukkan ke dalam lembaga
pendidikan, baik itu pendidikan formal maupun non formal yang
diharapakan oleh orang tua adalah perubahan tingkah laku, pengetahuan
dan pengalaman mereka. Hal itu dapat dikatagorikan sebagai prestasi
untuk mengukur peserta didik dalam proses pembelajaran di PPS
Miftahul Huda.
58

2. Sistem Pendidikan Di Pondok Pesantren Miftahul Huda


Sistem pendidikan yang diterapkan di PPS Miftahul Huda yaitu
menggunakan kurikulum tradisional. Di dalam metode tradisional tidak
hanya terdapat metode balaghan dan sorogan saja, tetapi terdapat juga
metode ceramah, dan hafalan.
a. Kurikulum Pendidikan Yang Dilakukan Di Pondok Pesantren Miftahul
Huda
Pondok pesantren salafi Miftahul Huda ini memiliki kurikulum yang
berbeda dengan pondok pesantren modern, PPS ini menggunakan
kurikulum tradisional yaitu kurikulum yang di susun oleh pihak pondok
pesantren sendiri tanpa berkiblat kepada kementrian Agama. Penyusunan
ini bertujuan agar pondok pesantren mampu menjadikan santrinya faham
dengan apa yang di sampaikan oleh kiai atau pengajar lainnya.
Sistem pendidikan di PPS ini menggunakan dua sistem, yang
pertama sistem balaghan yaitu sistem pendidikan dimana santri sebagai
penerima saja dan kiai atau pengajar sebagai penyampai isi materi dari
kitab yang di kaji. Setelah pengajian selesai, kiai atau pengajarnya
mempersilahkan santri-santrinya secara bergantian untuk menjelaskan isi
kitab yang di sampaikan kiainya tadi. Sedangkan yang kedua adalah
sistem sorogan yaitu sistem pendidikan dimana santri yang lebih aktif
dalam pengajian, santri membacakan kitab yang di kaji, mengartikan dan
memaknai isi dari sebuah kitab yang di kaji, dan kiai atau seorang
pengajarnya bertugas mendengarkan apa yang di sampaikan oleh
santrinya dan mengoreksi bacaan dan juga arti dari apa yang santri
ucapkan.
Kurikulum yang ada dipondok pesantren salafi Miftahul Huda ini,
seperti yang dijelaskan dari hasil wawancara dengan pimpinan PPS K.H.
Sahlul Lail, selaku penyusun kurikulum bahwa:
59

“Kurikulum pesantren yang kita gunakan disini dengan


pembelajaran terhadap anak-anak melalui dua sistem yang kita
bahasakan dipesantren ini ada yang pertama sistem balaghan, yang
kedua sistem sorogan.”
“… Jadi itu dua sistem yang kita lakukan di sini seperti itu yang
kemudian nanti penjabarannya selesai pengajian itu, kita berikan
bahwa santri itu harus menjabarkan apa yang tadi di sampaikan
oleh pak ustad atau pak kiainya”.19

Dari penjelasan di atas bahwa kurikulum yang ada di PPS Miftahul


Huda adalah rangcangan yang dibuat oleh PPS Miftahul Huda sendiri,
tidak berpatokan pada kurikulum dari Departemen Agama.

C. Analisa Data
Pondok pesantren salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor sebagai sebuah
lembaga pendidikan Islam yang mempunyai sistem pendidikan salafiyah
(tradisional), memiliki ciri pondok pesantren tradisional pada umumnya. Di
pondok pesantren Miftahul Huda ciri yang dominannya dapat dilihat dari: tidak
adanya sekolah formal dan pengkajian kitab-kitab kuning.
Dalam proses belajar mengajar, pondok pesantren salafi Miftahul Huda telah
menerapkan sistem tradisional dengan tidak adanya penjenjangan kelas, namun
proses belajar mengajarnya tetap dilakukan dalam satu ruangan yang sama.
Tetapi untuk para santri yang sudah termasuk senior atau santri lama, ada
pengajian tambahan setelah pengajian intinya selesai.
Kurikulum yang dipakai di pondok pesantren salafi Miftahul Huda
menggunakan kurikulum yang dibuat oleh pihak pesantren sendiri, tidak
mengkiblatkan kepada kurikulum Departemen Agama. Materi pelajaran
keagamaan diambil dari kitab-kitab klasik yang membelajarannya menggunakan
sitem balaghan, sorogan, dan hafalan.

19
Hasil Wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.17 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
60

Dilaksanakannya evaluasi hasil belajar dengan empat waktu, yaitu: pertama,


di setiap selesai pengajian setiap harinya, kedua, di setiap akhir minggu
pengajian, ketiga, disetiap akhir bulan pengajian, dan keempat, dilaksanakan
setiap akhir tahun hijriah. Evaluasinya seperti: ujian lisan, hafalan kitab-kitab,
hafalan juz „amma, dan hafalan do‟a-do‟a.
Penggunaan media dan metode pembelajarannya di pondok pesantren salafi
Miftahul Huda kurang baik. Media pembelajarannya hanya menggunakan kitab-
kitab saja, tidak ada media apapun sebagai pendukung kelancaran proses belajar
mengajar. Metode yang digunakan disesuaikan dengan materi dan tujuan
pembelajaran yang ingin disampaikan.
Sedangkan sarana dan prasarana sebagai pendukung kegiatan belajar
mengajar guna tercapainya tujuan pembelajaran, sudah cukup memadai.
Meskipun dalam beberapa hal masih ada yang kurang namun ada usaha dari
pihak pondok pesantren untuk memfasilitasi dan melengkapi.

D. Pembahasan Hasil Penelitian


Ada beberapa hasil penelitian yang penting untuk dibahas lebih lanjut.
Dalam pembahasan ini, hasil penelitian yang akan dibahas dengan menganalisis
data. Pembahasan tersebut sebagai berikut:
1. Suasana Proses Pendidikan Pondok Pesantren Salafi Miftahul
Huda Cihideng Bogor
Di pondok pesantren ini hubungan antara santri dengan kiai dan santri
dengan ustadz dan ustadzah tidak ada batasan, sangat terlihat sekali ketika
seorang santri yang sedang mengaji kitab-kitab dengan penuh antusias,
karena menurut mereka pengajaran yang disampaikan oleh para pengajar
dapat dipahami dengan baik. Seperti yang kita ketahui bahwa pengajian kitab
di pesantren ini beranekaragam, diantaranya: Kitab Tafsir Jalalen, Kitab
Nahu Sorof, Kitab Safinatunnajah, Kitab Zubad, Kitab Akhlakul Banin,
61

Kitab Akhlakul Banat, dan Kitab Nasoihul Ibad. Yang di ajarkan dengan
ustadz dan ustadzah yang berbeda-beda setiap kitabnya.
Sebelum mengaji rutinitas yang wajib dilakukan oleh seluruh santri
adalah shalat berjamaah terlebih dahulu, setelah shalat santri melantunkan
sholawat-sholawat nabi, kemudian di lanjutkan dengan mengaji kitab sesuai
jadwal yang telah disepakati bersama. Setiap hari santri secara bergantian
mengimami shalat dan memimpin shalawat seusai shalat dengan jadwal yang
telah ditentukan. Setelah itu para pengajar langsung memulai pengajian
kitabnya sesuai jadwal yang ditentukan dengan ruang yang berbeda antara
santri putra dan santri putri. Waktu mengajinya dibedakan antara santri aula
dengan santri dewasa, hal ini dilakukan agar para santrinya dapat menyerap
pelajaran sesuai dengan umurnya masing-masing. Dalam sistem
pengajarannyapun berbeda, santri aula mengaji dengan menggunakan sistem
sorogan yakni kiai atau ustadz/ustadzah mempersilahkan santrinya membaca
baris kitab yang telah ditentukan, mengartikan isinya, dan menjelaskan
maksud dari kitab yang ia baca. Lalu kiai atau ustadz/ustadzahnya menyimak
bacaan santri, mengkoreksi, dan menjelaskan kembali isi kitab tersebut.
Sistem ini bertujuan agar santrinya dapat aktif dalam mengaji, dan mudah
memahami setiap bagian-bagian di dalam kitab yang di bacanya. Kemudian
santri dewasa mengajinya menggunakan sistem balaghan, yaitu sistem
dimana santri sebagai pendengar, penyimak untuk memahami isi kitab yang
disampaikan oleh pengajar. Kiai atau ustadz/ustadzah menjelaskan isi dari
kitab yang di kaji, setelah selesai pembahasan isinya kiai mempersilahkan
santrinya secara bergantian menjelaskan kembali apa yang di jelaskan oleh
kiai dengan bagian-bagian yang berbeda, ini bertujuan agar santrinya
memahami isi kitab yang di jelaskan oleh kiai secara menyeluruh.
Setelah mengaji kitab-kitab, santri di berikan waktu untuk bersih-bersih
lingkungan pesantren, kobong, dan rumah kiainya. Kegiatan senggang ini
adapula yang di pakai santri untuk mencuci, menyetrika, dan memasak untuk
62

persiapan makan. Bagi santri aula, di berikan kesempatan untuk bermain dan
berkumpul santai bersama santri aula lainnya sambil menunggu makanan
yang di masak oleh santri yang bertugas, dan melakukan makan bersama di
dalam kobongnya masing-masing.
2. Pembetukkan Kepribadian Santri
Di pondok pesantren ini setiap harinya santri di tuntut untuk disiplin
waktu dan mematuhi peraturan-peraturan yang telah di buat oleh pihak
pondok pesantren. Kedisiplinan ini agar santri dapat menjadi pribadi yang
menghargai waktu dan bertanggung jawab. Apabila santri melanggar
peraturan yang di buat oleh pondok pesantren maka ada sangsi tersendiri
terhadap pelanggaran apa yang santri perbuat. Misalnya tidak shalat
berjamaah atau pulang tanpa izin, maka akan di ta‟zir dengan hafalan juz
amma atau kitab-kitab yang lainnya. Dari peraturan-peraturan yang sering di
langgar oleh santrinya, maka dengan sendirinya santri tersebut akan
melaksanakan tugasnya sebagai santri tanpa melihat peraturan-peraturan yang
dibuat oleh pondok pesantren tersebut. Selain peraturan-peraturan yang
membentuk kepribadiannya ada juga pembelajaran kitab akhlakul banat dan
akhlakul banin. Akhlakul banat yaitu kitab yang menjelaskan bagaimana
menjadi laki-laki yang baik dan akhlakul banin yaitu kitab yang menjelaskan
bagaimana jadi wanita yang baik.
Selain peraturan dan kitab-kitab, di pesantren ini juga ada pembiasaan
diri, yaitu santri di biasakan untuk melakukan semua pekerjaannya sendiri.
Dari mulai masak, mencuci baju, menyetrika, dan bersih-bersih bagian
kobong atau halaman pesantren. Maksud pembiasaan ini agar semua
santrinya menjadi mandiri, tidak bergantung kepada orang lain, karena dalam
pesantren salafi ini tidak ada istilah “ibu cuci” seperti di pondok pesantren
modern lainnya.
63

Pembiasaan bertutur kata dengan baik, sopan santun kepada yang lebih
tua, dan berpakaian sesuai kode etik pesantren juga di terapkan oleh pihak
pondok pesantren. Pembiasaan-pembiasaan ini di terapkan agar santri-santri
di pondok pesantren ini memiliki kepribadian yang baik, sesuai dengan apa
yang ada dalam tujuan pondok pesantren, yakni mencetak generasi yang
mempunyai kepribadian baik.20
3. Sistem Pembelajaran Pondok Pesantren
Di pondok pesantren ini mempunyai dua sistem dimana sistem tersebut
di susun oleh pihak pondok pesantren itu sendiri.
a. Sistem balaghan adalah sistem yang di pakai oleh PPS Miftahul Huda
untuk pengajian santri dewasa, yaitu dengan cara:
1) Kiai membacakan kitab dari bait perbait, lalu di ikuti dengan
menterjemahkan kata perkata, kemudian di simpulkan makna kitab
yang di bacanya.
2) Santri mengikuti bacaan kiai di dalam hati, kemudian santri menulis
apa yang di baca dan di terjemahkan oleh kiainya.
3) Kiai mempersilahkan santrinya secara bergantian membaca dan
menterjemahkan kitab yang di kaji sebelumnya, lalu kiai
mendengarkan dan mengkoreksi bacaan serta terjemahan yang di
bacakan oleh santri.
4) Kiai membacakan kembali bacaan yang benar jika terdapat kesalahan
dalam bacaan dan terjemahan yang di bacakan oleh santrinya.21
b. Sistem sorogan adalah sistem yang di pakai oleh PPS Miftahul Huda
untuk pengajian santri aula, yaitu dengan cara:
1) Santri menunggu giliran di panggil oleh kiainya untuk membacakan
kitab yang telah di kaji bersama sebelumnya.

20
Hasil Pengamatan Peneliti di PPS Miftahul Huda
21
Hasil Observasi Peneliti Pada Pengajian Kitab Zubad, pada jam 16.30 WIB, di Majlis PPS
64

2) Santri menyodorkan kitab yang ingin di bacanya kepada kiai,


kemudian santri membacakan kitab dari pengajian yang sebelumnya
dan menterjemahkan dari bait perbait.
3) Kiai mendengarkan bacaan santri dan mengkoreksi bacaan serta
terjemahan yang di bacakan santri dari bait perbait.
4) Kiai membacakan bacaan kitab dan terjemahan jika ada santrinya
yang salah dalam membaca dan menterjemahkan kitab.
5) Kiai menunjuk santrinya secara acak dan di persilahkan untuk
membaca dan menterjemahkan kitab dalam pengajian sebelumnya
dengan bait yang telah di tentukan oleh kiainya.22

22
Hasil Observasi Peneliti Pada Pengajian Kitab Zurumiyah, pada jam 08.00 WIB, di Majlis
PPS
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang peneliti paparkan pada bab ini, maka ada
beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan, adapun kesimpulan yang dapat
peneliti lakukan antara lain sebagai berikut:
1. Proses pendidikan yang dilakukan oleh pondok pesantren salafi Miftahul
Huda, meliputi dua hal. Yang pertama proses pendidikan dan yang kedua
evaluasi pendidikan. Dalam proses pendidikan menggunakan peraturan-
peraturan yang dibuat oleh pihak pondok pesantren yang memiliki sangsi
berbeda-beda sesuai dengan tingkatan kesalahannya untuk membentuk
kepribadian santri yang berakhlakul karimah. Selain dengan peraturan-
peraturan yang di buat, pesantren juga mengakaji berbagai kitab-kitab akhlak,
diantaranya kitab akhlakul bannin (kitab yang mempelajari bagaimana
menjadi laki-laki yang berakhlak baik), kitab akhlakul bannat (kitab yang
mempelajari bagaimana menjadi perempuan yang berakhlak baik), kitab fiqih
(menjelasakan masalah ibadah dan muamalah), kitab riyadus sholihin, dan
kitab tafsir jalalin, di dalam kajian tersebut menerankan masalah kehidupan
sehari-hari, untuk perkembangan kepribadian santri. Pondok pesantren juga
mengadakan praktek langsung mengenai akhlakul karimah, hal ini dapat
dilihat dari kegiatan-kegiatan keagamaan seperti dzikir, tadarus al-Qur’an,
istighosahan dan lain sebagainya. Dan dalam evaluasi pendidikan, melakukan
empat kali penilaian. Yang pertama, pada saat selesai mengaji selalu di
evaluasi hasil kajian saat itu. Kedua, setiap seminggu sekali di evaluasi hasil
belajarnya dalam satu minggu itu. Ketiga, penilaian setiap bulan yang
biasanya di laksanakan pada akhir bulan. Dan yang terakhir penilaian setiap
tahunnya yang biasanya di laksanakan pada bulan ramadhan.

65
66

2. Sistem pendidikan yang diselenggarakan di pondok Pesantren Salafi Miftahul


Huda adalah sistem pendidikan salafi (tradisioanal). Sedangkan kurikulum
yang digunakan adalah kurikulum yang di rancang oleh pondok Pesantren
Salafi Miftahul Huda itu sendiri yaitu menggunakan kurikulum sorogan dan
balaghan. Sedangkan sistem pendidikan yang dapat membentuk kepribadian
santri yaitu mananamkan nilai keagamaan dan juga membiasakan hidup
bermoral serta didukung oleh materi-materi yang dapat membentuk
kepribadian santri seperti, pembelajaran Ahklaq, Fiqih, Thasawuf serta ilmu
lain yang berkaitan dengan ahklaq, dan tazkiyah.

B. Saran-Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka saran yang dapat diberikan oleh
peneliti adalah sebagai berikut:
1. Kepada Kiai
Kiai harus lebih memberikan peraturan yang lebih tegas lagi kepada para
santrinya, agar santrinya dapat mematuhi semua peraturan yang ada untuk
menghindari santri mengulangi kesalahannya.
2. Bagi Ustadz-ustadzah
Guru harus lebih intensif dan rutin dalam mengawasi aktivitas keseharian
santri di kobong masing-masing. Dan juga guru harus lebih memahami
psikologi santri agar guru memahami kepribadian (akhlak) para santrinya.
3. Bagi Santri
Santri harus lebih patuh pada semua peraturan yang ada dalam pondok
pesantren. Santri sebaiknya mengetahui perbuatan mana yang harus ditiru dan
perbuatan apa yang tidak harus ditiru, santri juga harus membentengi diri
dengan iman dan taqwa supaya tidak terpengaruh terhadap perbuatan-
perbuatan yang tidak di inginkan. Di samping itu santri hendaknya tetap
menjaga prilakunya, baik dalam pondok maupun di luar pondok.
DAFTAR PUSTAKA

Asy’ari, Zubadi Habibullah. Moralitas Pendidikan Pesantren. Yogyakarta: Lembaga


Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LKPSM), 1996

Bawani, Imam, dkk. Pesantren Buruh Pabrik. Yogyakarta: LKiS, 2011

Daes, Ahmad. Konsep Kepribadian Dalam Al-Quran dan Hadits. Jakarta: t.p., 1989

Darajat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1970

Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di


Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2007

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research II. Yogyakarta: Andi Offset, 1984

Hartati, Netty, dkk. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004

Jaenudin, Ujam. Psikologi Kepribadian. Bandung: Pustaka Setia, 2012

Kabry, Abdul Muiz. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Yogyakarta: Imperium, 2013

Koswara. Teori-Teori Kepribadian. Bandung: Eresco, 1991

Majid, Abdul. dan Andayani, Dian. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2011

Masyhud, Sulthon, dkk. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka, 2005

Meleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2013

Nafi’, Dian, dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: Instite for Training
and Development (ITD), 2007

Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,


2011

Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remadja Karya, 1985

Qomar, Mujamil. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi


Institusi. Jakarta: Erlangga
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002

Siradj, Sa’id Aqiel, dkk. Pesantren Masa Depan. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D. Bandung: Alfabeta, 2012

_______. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D).


Bandung: Alfabeta, 2013

Sujanto, Agus. Psikologi Kepribadian. Semarang: Bumi Akasara, 2006

Syahid, Ahmad. Pesantren dan Pengembangan Ekonomi Umat. Depag dan INCIS,
2002
Tohirin. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005

Usman, Husaini. dan Akbar, Purnomo Setiady. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2003

UUD, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pasal 1

Wahid, Abdurrachman. Pesantren Sebagai Subkultur, pada Jurnal Pesantren dan


Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1974

Yasin, Fatah. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN-Malang Press, 2008

Yasmadi. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat Press, 2002

http://aliahmadzainuri.wordpress.com/2013/09/07/tazkiyatun-nafs-dalam-
pembentukan-akhlak/
LEMBAR UJI REFERENSI

Nama : Eva Fauziyah

NIM : 1110011000016

Dosen Pembimbing : DR. Sapiudin Shidiq, M.Ag

Judul Skripsi :

Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Dalam Pembentukkan


Kepribadian Santri Di Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda
Cihideung Bogor

No. Judul Buku Referensi Halaman Paraf

BAB I
1. Sulthon Masyhud, dkk. Manajemen Pondok 1, 59, 3,
Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka, 2005 74
2. UUD, Pendidikan Agama dan Pendidikan 1
Keagamaan, Pasal 1
3. Abdurrachman Wahid . Pesantren Sebagai 3
Subkultur, pada Jurnal Pesantren dan Pembaharuan.
Jakarta: LP3ES, 1974
4. Zubadi Habibullah Asy’ari. Moralitas Pendidikan 9
Pesantren. Yogyakarta: Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia (LKPSM),
1996
5. Dian Nafi’, dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren. 19, 20, 50,
Yogyakarta: Instite for Training and Development 51
(ITD), 2007
6. Abdul Muiz Kabry. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. 97
Yogyakarta: Imperium, 2013
7. http://aliahmadzainuri.wordpress.com/2013/09/07/ta
zkiyatun-nafs-dalam-pembentukan-akhlak/
8. Imam Bawani, dkk. Pesantren Buruh Pabrik. 58
Yogyakarta: LKiS, 2011
9. Mujamil Qomar. Pesantren dari Transformasi 25, 62, 64,
Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: 88, 1, 126,
Erlangga 127, 20,
39, 41, 66,
67
BAB II
10. Ahmad Syahid. Pesantren dan Pengembangan 30
Ekonomi Umat. Depag dan INCIS, 2002
11. Sa’id Aqiel Siradj, dkk. Pesantren Masa Depan. 13, 14, 15,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1999 135, 134
12. Fatah Yasin. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. 243, 254,
Malang: UIN-Malang Press, 2008 256
13. Haidar Putra Daulay. Sejarah Pertumbuhan dan 62, 63, 64
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Prenada Media Group, 2007
14. Yasmadi. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat 64, 65, 63
Press, 2002
15. Agus Sujanto. Psikologi Kepribadian. Semarang: 189,
Bumi Akasara, 2006
16. Ahmad Daes. Konsep Kepribadian Dalam Al-Quran 9
dan Hadits. Jakarta: t.p., 1989
17. Netty Hartati, dkk. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT 117
Raja Grafindo Persada, 2004
18. Ngalim Purwanto. Psikologi Pendidikan. Bandung: 152, 158
PT Remadja Karya, 1985
19. Koswara. Teori-Teori Kepribadian. Bandung: 10, 97
Eresco, 1991
20. Tohirin. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama 169
Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005
21. Ujam Jaenudin. Psikologi Kepribadian. Bandung: 188, 50,
Pustaka Setia, 2012 208, 212
21. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam 195, 199
Mulia, 2002
23. Abdul Majid. dan Dian Andayani. Pendidikan 18
Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011
24. Zakiah Darajat. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan 19
Bintang, 1970
BAB III
25. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan 3
(Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D).
Bandung: Alfabeta, 2013
26. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif 2, 34, 145,
Dan R & D. Bandung: Alfabeta, 2012 137, 147
27. Juliansyah Noor. Metodologi Penelitian. Jakarta: 254, 114,
Kencana Prenada Media Group, 2011 141, 139,
163
28. Sutrisno Hadi. Metodologi Research II. Yogyakarta: 126
Andi Offset, 1984
29. Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar. 157, 57
Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2003
30. Lexy J Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. 186, 127,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013 149

Diket.
Dosen Pembimbing

DR. Sapiudin Shidiq, M. Ag


NIP. 19670328 200003 1 001
Tabel 4.1

Keadaan Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Salafi


Miftahul Huda Cihideung Bogor

Keadaan
No. Jenis Banyaknya Ket
Baik Rusak

Rusak
1. Kobong laki-laki 9 8 1
Ringan

Rusak
2. Kobong perempuan 10 8 2
Ringan

3. Ruang Kiai 1 1 0

4. Ruang Ustadz 1 1 0

5. Ruang TU 1 1 0

6. Majlis dinniyah 2 2 0

7. Toilet Pegawai 1 1 0

8. Toilet Santri 4 4 0

9. Dapur Utama 1 1 0

10. Dapur Santri Putra 2 2 0

11. Dapur Santri Putri 4 4 0


Tabel 4.2
Jumlah Santri dari Tahun ke Tahun
Di Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda Cihideng Bogor

Jenis Kelamin

No. Tahun Jumlah

Laki-laki Perempuan

1. 2010-2011 75 28 47

2. 2011-2012 90 39 51

3. 2012-2013 85 28 57

4. 2013-2014 101 41 60

5. 2014-2015 107 38 69
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 2 : Surat Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 3 : Surat Pernyataan Bukti Penelitian

Lampiran 4 : Tujuan dan Target Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda

Lampiran 5 : Visi dan Misi Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda

Lampiran 6 : Susunan Kepengurusan Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda

Lampiran 4 : Kegiatan Santri di Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda

Lampiran 5 : Sarana dan Prasarana di Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda

Lampiran 6 : Kisi-kisi Wawancara Penelitian di Pondok Pesantren Miftahul Huda

Lampiran 7 : Pedoman Wawancara Penelitian di Pondok Pesantren Miftahul Huda

Lampiran 8 : Hasil Wawancara di Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda


4.1 KEGIATAN SANTRI SEHARI-HARI

4.1.1 Kegiatan Qiyamul Lail

4.1.2 Kegiatan Sholat Berjamaah


4.1.3 Kegiatan Santri Menghafal Al-Qur’an Setiap Selesai Shalat Dhuha

4.1.4 Kegiatan Santri Yasinan Setiap Malam Jumat


4.1.5 Kegiatan Mengaji Santri
4.1.6 Kegiatan Bersih-Bersih Santri Di Lingkungan Pesantren
4.1.7 Bersih-Bersih Di Rumah Kiai
4.1.8 Kegiatan Masak Setiap Hari Di Rumah Kiai

4.1.9 Kegiatan Masak Setiap Hari Di Kobong Santri


4.1.10 Kegiatan Santri Saat Istirahat
4.1.11 Kegiatan Makan Bersama Setiap Hari
4.2 KEGIATAN TAHUNAN

4.2.1 Merayakan tahun baru Islam


4.2.2 Santunan Anak Yatim
4.2.3 Cerdas Cermat Pekan Muharam
4.2.4 Sunatan Masal
4.3 SARANA DAN PRASARANA

4.3.1 Pondok/Asrama Putri


4.3.2 Kamar (kobong) Santri Puteri
4.3.3 Pondok/Asrama Putera
4.3.4 Dapur Santri
4.3.5 Rumah Kiai

4.3.7 Ruang Kiai


4.3.6 Ruang Ustadz/Ustadzah
4.3.8 Majlis
No. Indikator Subyek Nomor Butir Soal
1. Menjelaskan kurikulum pesantren. Kiai 1

2. Menjelaskan waktu menjabat. Kiai, Ustadz/Ustadzah, Santri 2, 1, 1

3. Menjelaskan hambatan kepemimpinan. Kiai 3

4. Menjelaskan materi yang diajarkan. Kiai, Ustadz/Ustadzah, Santri 4, 2, 8 dan 9

5. Menjelaskan cara membimbing santri. Kiai, Ustadz/Ustadzah 5, 4

6. Menjelaskan cara membentuk kepribadian. Kiai 6

7. Menjelaskan cara membentuk kesadaran. Kiai, Ustadz/Ustadzah, Santri 7, 10, 10

8. Menjelaskan kajian kitab. Kiai, Santri 8, 6

9. Menjelaskan keberadaan santri. Kiai 9

10. Menjelaskan fungsi masjid. Kiai 10

11. Menjelaskan cara mengasuh. Ustadz/Ustadzah 3

12. Menjelaskan kepatuhan. Ustadz/Ustadzah, Santri 5, 3

13. Menjelaskan peraturan pesantren. Ustadz/Ustadzah, Santri 6, 2

14. Menjelaskan pelanggaran santri. Ustadz/Ustadzah 7


15. Menjelaskan sangsi. Ustadz/Ustadzah 8

16. Menjelaskan ruangan santri. Ustadz/Ustadzah 9

17. Menjelaskan kebersamaan. Santri 4

18. Menjelaskan kesopanan. Santri 5

19. Menjelaskan kemandirian. Santri 7


PEDOMAN WAWANCARA

(Kiai)
Nama :

Jabatan :

Hari/Tanggal Wawancara :

1. Bagaimana dengan kurikulum yang ada di pesantren ini pak?


2. Sejak tahun berapa bapak menjadi pemimpin pondok pesantren ini?
3. Apakah ada kendala selama bapak memimpin pesantren ini?
4. Sebagai pemimpin, apakah bapak merangkap juga sebagai pengajar? Materi
apa yang diajarkan pak?
5. Bagaimana cara bapak membimbing para santri di pesantren ini?
6. Apakah di pesantren ini mengajarkan cara membentuk kepribadian kepada
para santri?
7. Dengan cara apa bapak membentuk kesadaran santri dalam melakukan
ibadahnya?
8. Di pesantren, kitab apa saja yang bapak kaji setiap harinya?
9. Apakah semua santri yang mengaji di pesantren tinggal dan menetap di
pondok/asrama atau ada yang pulang ke rumah?
10. Masjid di pesantren ini apakah hanya dipakai untuk shalat atau untuk kegian
lainnya?
PEDOMAN WAWANCARA

(Ustadz/Ustadzah)
Nama :

Jabatan :

Hari/Tanggal Wawancara :

1. Bapak/ibu sudah berapa lama mengajar di pesantren ini?


2. Materi apa yang bapak/ibu ajarkan kepada santri?
3. Bagaimana cara bapak/ibu mengasuh santri disini?
4. Dengan cara apa bapak/ibu membimbing para santri agar menjadi mandiri?
5. Usaha apa yang bapak/ibu lakukan untuk membuat santrinya patuh?
6. Peraturan apa saja yang terdapat di pesantren ini?
7. Apakah ada peraturan yang sering dilanggar santri?
8. Apakah sangsi bagi santri yang melanggar peraturan?
9. Di pesantren ini terdapat berapa ruang tidur (kobong) untuk santri? Lalu satu
ruangan untuk berapa orang santri?
10. Apakah upaya bapak/ibu dalam membentuk kesederhanaan santri?
PEDOMAN WAWANCARA

(Santri)
Nama :

Jabatan :

Hari/Tanggal Wawancara :

1. Sudah berapa lama anda pesantren disini?


2. Selama di pesantren apakah anda sudah patuh dengan semua peraturan yang
ada?
3. Selama kegiatan dari pagi sampai malam hari apakah anda melakukannya
dengan ikhlas atau hanya karena tuntutan pesantren?
4. Selama belajar di pesantren, kebersamaan seperti apa yang anda rasakan?
5. Sebagai santri, kesopanan sudah melekat dalam jiwanya. Apakah kesopanan
yang anda terapkan kepada kiai dan para pengajar disini hanya karena
mentaati peraturan atau keinginan dari diri sendiri?
6. Selama di pesantren, kitab apa yang biasa anda kaji?
7. Apakah pihak pesantren menuntut anda mandiri? Dalam hal apa?
8. Dalam kegiatan pembelajaran metode apa yang sering di pakai para pengajar
untuk menyampaikan materi?
9. Apakah cara pengajaran para ustadz/ustadzah mudah di pahami oleh anda?
10. Kesederhanaan seperti apa yang di ajarkan di pesantren ini?
Hasil Wawancara

Nama : Siti Nurani

Jabatan : Santri

Tanggal : 15 Oktober 2014

Waktu : Jam 21.29 WIB

Pewawancara : Selama disini apakah teteh patuh sama peraturan yang ada?
Rani : Umumnya pelajar yah, umumnya pelajarkan kadang patuh, kadang jenuh
sama peraturan gitu yah, begitupun saya pribadi kadang saya patuh dengan
peraturan pondok, kadang pula saya sedikit jenuh atau merasa tidak butuh
sama peraturan gitu, jadi ujung-ujungnya saya juga kadang engga patuh
gitu, tapi itu jarang yah ka yah. Hehee
Pewawancara : Hmm terus selama belajar di pesantren ini, kebersamaan seperti apa yang
teteh rasakan?
Rani : Kebersamaannya tuh, hmm luar biasa. Kalo saya jabarin yah, pokonya
luar biasa deh. Dimana saya dapat berkumpul, bertukar fikiran, bercanda,
dan mencurahkan perasaan yang kadang kala mengundang air mata. Itu
semua ada di pondok, semua itu terasa seperti keluarga, seperti saudara,
makan senampan bersama, tidur sekasur bersama, pokonya mah istimewa.
Pewawancara : Kalo sebagai santri kesopanan yang sudah melekat dalam jiwanya tuh
apa yah?
Rani : Kesopanan kita, dalam berpenampilan, umumnya sebagai wanita
penampilan seperti apa gitu, yang sesuai dengan syar‟i, tidak boleh ini,
tidak boleh itu, terus bertutur kata harus sopan. Karna kan kita di sini juga
di ajarkan bagaimana cara berbicara yang baik, terus bagaimana cara kita
bertingkah laku di depan yang muda, di depan yang tua itu kita harus tau
bagaimana cara kita untuk sopan, gitu.
Pewawancara : oh gitu, kalo sama kiai itu nurutnya, patuhmya itu karena peraturan atau
karena emang dari diri sendiri buat patuh?
Rani : Awalnya pasti karena peraturan yah, adanya peraturankan untuk
membentuk kita supaya patuh gitu, jadi awalnya karena peraturan, hmm
karna niat karna kita terbiasa dengan peraturan tersebut akhirnya kita jadi
terbiasa dan mengalir gitu menjadi itu jadi kemauan kita sendiri, gitu.
Pewawancara : Selama satu tahun disini, kitab apa yang biasa dikaji?
Rani : Banyak yah, tapi kan saya dari dasar yah, ada tingkat-tingkatnya. Ada
yang dasar yah ada yang sudah lama, saya sih dari dasar dari fikihnya ada
fikih wadi‟, ada kitab fikih safinatunnajah, terus dari nahu sarafnya, dari
mulai jurumiyah, imriti, yakulu, ditambah juga apa namanya dengan
program amsilati. Ada pula kitab akhlaknya, akhlakul bannat, terus kitab
kurtubi,tambi‟ul ghafilin, dan kihul qaul.
Pewawancara : Kalau boleh tau akhlakul bannat seperti apa yah?
Rani : Akhlakul bannat itu mempelajari tentang akhlak, jadi tentang akhlaknya
seorang wanita tuh harus seperti apa, gitu. Baiknya menurut islam tuh
seperti apa. Bagaimana cara mengeluarkan suara,bagaimana cara
berbicara,bagaimana cara bertingkah laku yang baik dan enak dipandang
islam, dipandang orang banyak, gitu.
Pewawancara : Dari pihak pesantren itu menurut teteh apa udah menuntut mandiri? Dari
pesantrennya itu dalam hal apa yang dituntut mandiri?
Rani : Kalo setiap pesantrenkan pasti yang dituntut bukan penuntutannya, jadi
memang kalau kita sudah di pesantren pasti kita harus mandiri, gitu.
Soalnya kalo di pesantren kan kita tidak dengan ibu, tidak dengan ayah,
kita tidak dengan kakak atau keluarga, siapapun itu pasti kita sendiri disini,
dan bertemu dengan orang-orang banyak dan disitu apa namanya disitu
kita harus bisa menyesuaikan semuanya dengan sendiri, gitu. Seperti kita
mau makan kita harus nyari sendiri, masa kita harus nyuruh orang kan
engga. Terus kita udah pake baju, kalo kotor kan kita harus cuci sendiri,
nah itu kan sudah belajar supaya kita mandiri. Bagaimana baju itu dari
yang bersih, kotor kemudian bersih lagi itu kita harus tau caranya, gitu.
Nyucinya, jemurnya itu kan sudah termasuk belajar mandiri, gitu.
Pewawancara : Kalo muhadharoh itu biasanya itu semuanya kebagian tugas atau gimana?
Rani : Iyah semuanya kebagian tugas, tapi digilir. Misalkan malem minggu ini
yang tugas ada tujuh orang, terus nanti berarti malam minggu depan ada
tujuh orang lagi digilir terus sudah habis di orang yang kemarin berarti
terus aja diulang lagi, gitu.
Pewawancara : Lalu kesederhanaan apa yang diajarkan di pesantren ini teh?
Rani : Kesederhanaan yang tadi saya bilang yah, kesederhanaan yang diajarkan
disini tuh kesederhanaan dalam berprilaku, kesederhanaan dalam
berpenampilan, kesederhanaan dalam bertutur kata, jadi kita tidak harus
muluk-muluk, tidak harus kan gak mungkin yah seorang santri harus
banyak emasnya, yah kan. Jadi, apa namanya disini kita belajar bahwa kita
tuh sama walaupun disini ada anak tentara, ada anak, dokter, ada anak
sampai ada anak tukang-tukangpun disini sama rata. Jadi kita diajarkan
kesederhanaan dalam berprilaku, gitu.
Hasil Wawancara

Nama : Lilis Lahminati

Jabatan : Pengajar

Tanggal : 17 Oktober 2014

Waktu : 07.25 WIB

Pewawancara : Disini teteh ngajarin apa yah?


Narasumber : Alhamdulillah disini ikut membantu dalam menyampaikan materi fikih,
akhlak, dan tauhidnya, terus juga nahu sorofnya yang mulai dari dasar-
dasarnya aja, untuk membantu santri-santri yang istilahnya kurang
mengerti dari abi langsung ditambah lagi apa yah, dipermudah lagi untuk
penyampaian ke anak-anak.
Pewawancara : Teteh kalo di poondok ngasuhnya bagaimana?
Narasumber : Mengasuhnya itu dengan cara, membuat mereka itu merasa seperti berada
di dalam keluarganya, itu yah walaupun mereka jauh dari orang tuanya, dia
pindah dari rumah ke sini, tetapi mereka masih merasakan kenyamanan
seperti halnya di rumah gitu yah. Terus di berikan kasih sayang, gitu.
Terus bimbingan, terus diayomi gitu jadi mereka itu tidak merasa
terpisahkan dari orang tuanya menuju ke sini, gitu.
Pewawancara : Oh gitu, lalu bagaimana caranya biar santri jadi mandiri?
Narasumber : semuanya sudah di berikan tanggung jawabnya masing-masing yah,
untuk pribadinya dari individunya sama perkelompoknya gitukan.
Alhamdulillah di sini dari mulai mereka bangun tidur sampai ke tidur lagi
semuanya di tuntut untuk menjadi manusia-manusia yang mandiri, gitu.
Dari mulai individunya, mereka mengetahui barang-barangnya sendiri,
gitu. Mengklasifikasikan ini punya mereka masing-masing, terus ada juga
kemandirian dalam berkelompoknya, gitu kan yah. Dikasih tugas masing-
masing kelompoknya, nanti mereka kebagian piketnya, terus kerjasamanya
sama kelompok lain juga, terus sama mandirinya dia di masing-masingnya,
jadi terus aja di apa yah namanya, di awasi juga gitu.
Pewawancara : Kelompoknya itu perkobong atau di pisah-pisah gitu?
Narasumber : Nah kalo dari masalah perkelompoknya itu yah, mereka kan bobonya
misalkan yah, jadi mereka punya tugasnya masing-masing di kamarnya
masing-masing. Terus nanti ada tugas lagi di luarnya seperti kebagian
piketnya gitu kan, di sini bagiannya berapa orang, di sana berapa orang.
Jadi mereka masing-masing merasa bertanggung jawab sama pekerjaannya
masing-masing.
Pewawancara : Kan saya sudah liat kobong-kobongnya yah, itu ka nada dapur di setiap
kobong, itu berarti masak-masaknya sendiri?
Narasumber :Iyah, itu jadi menimbulkan rasa kemandirian gitu. Individu dan
kelompoknya di situ, jadi dapurnya itu satu jadi untuk semuanya gitu. Jadi
kita itu satu untuk semuanya, gitu. Jadi, kalo misalkan mau masak gitu kan
yah, jadi semuanya ada bagiannya. Ada bagian piketnya setiap harinya itu
dig anti-ganti. Jadi semuanya itu punya rasa tanggung jawabnya masing-
masing. Jadi misalnya hari ini dia yang piket, dia yang tanggung jawab
semuanya. Terus besoknya diganti lagi.
Pewawancara : Lalu di sini untuk membuat santrinya patuh itu bagaimana usahanya?
Narasumber : Diadakannya peraturan dan sangsi supaya menjadi patuh.
Pewawancara : Peraturan dan sangsi seperti apa yah teh?
Narasumber : Banyak yah, dari yang terkecil sampai yang benar-benar besar gitu yah
sampai menyebabkan akibat yang fatal itu sudah di atur, dari mulai yang
terkecil. Dari mulai mereka berpakaian, dari mulai mereka berbicara, dari
mulai mereka apa yah melakukan tanggung jawab – tanggung jawabnya,
disitu semuanya sudah diatur, gitu.
Pewawancara : Kalo peraturan yang sering di langgar santri itu kira-kira seperti apa yah?
Narasumber :Kebanyakannya ya gitu mereka itu sebagian besar atau sebagian kecil kali
yah adanya peraturan untuk di langgar biasanya gitu. Kayanya kurang seru
kalo misalkan ada peraturan tapi ga ada yang melanggar gitu yah. Seperti
halnya misalkan gak boleh keluar gitu kan yah kecuali memang yang
dibolehkan keluar pada hari itu yang piket gitukan yah setiap hari kita
digilir untuk keluar gitukan. Jadi yang hari itu piket, merekalah yang boleh
keluar, tapi ada santri-santri yang suka nyusup gitu keluar jadi itu
diberikan sangsi berupa hafalan, berupa ta‟jiran gitu. Terus kalo misalkan
ada peraturan wajib berjamaah shalat, nah disitu ada ta‟jirannya kalo
misalkan ada yang engga jamaah tanpa alas an yang kita lihatnya tidak
masuk di akal misalnya gitu yah. Nah disitu ada juga ta‟jirnya, terus wajib
ngaji gitu kan yah harus ada setiap waktu pengajian, dia juga tidak hadir,
itupun ada ta‟jirannya. Yang gak piket, gitu kan. Terus yang suka egonya
masih terlalu besar itu adalah disaat mereka tidak boleh membawa hp, nah
disitu yang paling susah yah. Mereka kadang yang punya egonya tinggi
gitu kan yah kenapa gak boleh bawa hp, kadang mereka suka mengumpet-
ngumpet bawa hp, padahal yang diperbolehkan yang sudah diberikan
amanat sama mimi gitu yah pengurusnya. Alhamdulillah disini ada tiga
yang udah diperbolehkan membawa hp, itupun untuk kepentingan yang
lain juga gitu kan bukan untuk kepribadi aja.
Pewawancara : Itu kira-kira kalo ada yang ketauan bawa hp bagaimana?
Narasumber : Iyah itu langsung diambil hpnya, tapi kita tidak langsung memfonis dia
bersalah, tapi kita berikan kesempatan gitukan, nasehati dulu, kalo satu
engga bisa yaa di coba lagi sampai ketiga kalinya baru nanti dipanggil
orang tuanya, gitu kan. Kalo masalah hp sih kalo udah ketauan hpnya,
diambil nanti mereka berjanji dan di balikin udah selesai masalahnya. Ada
yang istilahnya sampai perbuatan-perbuatan yang sampai fatal gitu yah,
yang sampai mencemarkan nama baik pesantren misalnya gitu. Nah nanti
ada ketegasan tersendiri gitu, jadi nanti orang tuanya bener-bener
dipanggil langsung disuruh dibawa aja pulang anaknya dan gak usah
dikembalikan lagi kepondok. Jadi bener-bener di pertegas gitu.
Pewawancara : Itu sekian banyaknya santri yah, bagaimana cara membentuk kesadaran
santrinya tanpa harus melihat peraturan-peraturannya?
Narasumber : Jadi, emang dari awalnya kita selalu mengingatkan seperti waktu jamaah
selalu di ingatkan, “jamaah jamaah!” misalnya gitu kan. Tapi lambat laun
karna mereka sudah menyadari atas tanggung jawab mereka masing-
masing. Waktunya shalat, mereka langsung ke kamar mandi langsung ke
majlis gitu yah. Waktunya ngaji, lagsung berduyun-duyun gitu kan ke
majlis. Tapi itu juga tidak lepas dari bimbingan dan pengawasan dari kita
sendiri, gitu. Sayapum engga sendiri mengawasinya, sama yang sudah
agak lamanya di pondok sama teteh-tetehnya yang sudah bisa mengayomi.
Jadi dibagi-bagi, giliran hari ini siapa. Jadi misalkan ada yang berhalangan
bisa di gantikan mengawasinya.
Pewawancara : Oh jadi nanti juga jadi sadar sendiri gitu teh yah?
Narasumber : Iyah gitu jadi kesadaran sendiri, dari mulai di suruh-suruh terus jadi
mereka berfikir “ah kenapa harus disuruh-suruh terus!” jadi mereka itu jadi
merasa kebutuhan gitu yah. Jadi kalo misalkan engga ngaji, ih kaya nya
rugi gitu kan. Gak jamaah, ih kayanya rugi gitu, jadi mereka bukan hanya
mengikuti peraturan aja, jadi mereka merasa jadi kebutuhan gitu kan,
seperti halnya mereka makan. Kalo gak makan kayanya lapar gitu. Ah kalo
ga jamaah jadinya rugi,jadi mereka bukan lagi mengikuti peraturan,
mereka merasa membutuhkan, gitu. Jadi kalo tidak melakuan, ada rasa
kekurangan.
Pewawancara : Jadi sudah terbiasa gitu teh yah?
Narasumber : Iyah jadi sudah terbiasa. Sedikit-sedikit jadi mereka itu menyadarinya
sendiri gitu, walaupun awalnya di kerasin, awalnya di bawelin gitu tapi
makin lama mereka terbiasa sendiri.
Hasil Wawancara

Nama : Dian

Jabatan : Pengajar

Tanggal : 16 Oktober 2014

Waktu : 09.49 WIB

Pewawancara : Diisini dengan cara apa yah ustad mengajarkan santrinya untuk belajar
mandiri?
Narasumber : Pertama dengan cara mengayomi, memperhatikan, serta menerapkan
kedisiplinan-kedisiplinan yang tidak terlepas dari norma-norma ajaran
Islam.
Pewawancara : Usaha apa yang ustad lakukan disini agar membuat santrinya patuh? Apa
dengan peraturan atau gimana?
Narasumber : Dengan menerapkan aturan-aturan yang tidak memberatkan, namun
disangsi tersebut ketika ada yang melanggar kita ta‟zir.
Pewawancara : Sangsinya apa itu ustad?
Narasumber : Diantaranya kalo misalnya ada yang melanggar, misalnya tidak shalat
berjamaah, pulang tanpa izin, kita menta‟zir dengan cara talaran juz
„amma dan kitab-kitab lainnya di talaran juga. Jadi kita menta‟zirnya
dengan hal seperti itu.
Pewawancara : Kalo disini peraturannya apa aja yah ustad kalo boleh tau?
Narasumber : Peraturan disini diantaranya, harus bangun shalat subuh tapi sebelumnya
itu harus tahajjud, shalat lima waktu dengan cara berjamaah, menjaga
etika, tidak berbicara kotor, yaa di antaranya itu peraturan di sini.
Pewawancara : Lalu disini bagaimana caranya yah ustad membentuk kesederhanaan
santrinya?
Narasumber : Dibiasakan dari cara hidup sehari-hari, pola makan, pola berpakaian,
terlebih kami mengupayakan cara berfikir santri agar menjadi mandiri.
Pewawancara : Ini kesederhanaannya dilihat dari masak sendiri atau gimana yah ustad?
Narasumber : Iya, kita menerapkan juga mulai masak sendiri, terus dari cara tidur juga
kita tidak memberikan fasilitas yang seperti pesantren-pesantren pada
umumnya. Dan disini sebelum masak juga ada yang ke pasar terlebih
dahulu.
Pewawancara : Itu masak sendiri ada gilirannya atau tugas tetap?
Narasumber : Dari piket, jadi ada yang piket harian buat masak, ada juga jadwal ronda
itu buat santri putra.
Hasil Wawancara

Nama : K.H. Syahlul Lail

Jabatan : Pimpinan PonPes

Tanggal : 17 Oktober 2014

Waktu : 08.17 WIB

Pewawancara : Kurikulum pesantren disini apa yah bi?


Narasumber : Kurikulum pesantren yang kita gunakan disini dengan pembelajaran
terhadap anak-anak melalui dua sistem yang kita bahasakan dipesantren ini
ada yang pertama sistem balaghan, yang kedua sistem sorogan. Balaghan
disini adalah seorang ustad memberikan pengajaran terhadap para
santrinya dengan kitab yang sesuai dengan materi yang ada pada kiaab
yang diajarkan dengan sistem atau cara kiai membacakan tekstual dari
kitab itu sendiri kemudian memberikan terjemahan, yang kita lakukan
disini dengan tiga bahasa, yang pertama diartikan dengan bahasa jawa,
yang kedua bahasa sunda, yang ketiga dengan bahasa Indonesia.
Kemudian santri mencatat dengan apa yang diartikan oleh ustadnya.
Bahasa kita disini santri itu melogat kitab yang sedang dibacakan oleh pak
ustad. Selain melogat, ustadpun menjelaskan kembali apa yang tadi
dibacakan dengan mengambil dasar yang tadi dibaca. Sorogan disini
adalah kebalikan dari balaghan. Disini santrinya yang lebih aktif dengan
cara mereka membawa satu kitab apa yang mereka kehendaki,santri baca
dihadapan ustad yang kemudian dikoreksi oleh ustadnya. Jadi itu dua
sistem yang kita lakukan di sini seperti itu yang kemudian nanti
penjabarannya selesai pengajian itu, kita berikan bahwa santri itu harus
menjabarkan apa yang tadi di sampaikan oleh pak ustad atau pak kiainya
Pewawancara : Dalam masalah akhlak santri, bagaimana cara abi membimbingnya?
Narasumber : Berbicara tentang akhlak santri, memang mayoritas usia anak santri disini
usia remaja. Masa-masanya ingin mencari jati diri. Itu ada satu ekstra yang
abi buat untuk bagaimana caranya membentuk akhlak mereka. Insya Allah
sudah kita jalankan dengan metode persuasive atau metode pendekatan
terhadap anak-anak santri terutama yang baru, tentunya dengan dasar
menempatkan diri kita sebagai orang tuanya, sebagai kakanya, sebagai
saudaranya supaya anak-anak disini terasa ada pengganti orang tuanya
dirumah.
Pewawancara : Dalam pembentukkan akhlaknya, apakah terbentuk dengan peraturan atau
karena belajar kitab-kitab tertentu bi?
Narasumber : Ada suatu kitab yang namanya aklakul banat dan akhlakul banin.
Akhlakul banin itu akhlak-akhlak yang mendidik buat santri-santri putera
agar mereka tau, begitupun puteri yaitu akhlakul bannat. Pada intinya
keduanya sama, isinya adalah tentang akhlak bagaimana caranya akhlak
terhadap khalik, yang artinya akhlak dia terhadap Allah SWT yang
intinya melalui ibadah-ibadah. Kemudian akhlak terhadap sesama,
sesama ini ada terhadap yang lebih tua, terutama kepada orang tua,
kemudian kepada guru, kepada kaka, keluarga termasuk kita biasakan di
pondok pesantren ini yunior yang pemula kita didik mereka untuk
menghormati kepada senior, apalagi umurnya sudah tua, gitu. Sehingga
dari segi bahasa memanggilpun kita tidak anjurkan memanggil nama, tapi
dengan sebutan atau panggilan yang hormat. Kalo kita di daerah sunda
ini kepada yang lebih tua teteh, yaa seperti itu.
Pewawancara : Dalam ibadah santri bagaimana cara abi untuk membentuk kesadaran
mereka tanpa mereka terbebani dengan peraturan?
Narasumber : Karena usia anak masih tergolong usia anak yang meningkat remaja,
memang pada awalnya kita memaksakan terhadap mereka, kita paksakan
untuk mengikuti peraturannya. Tetapi dengan terbiasanya melakukan
aturan yang ada, maka mereka akhirnya terbiasa dank arena sudah terbiasa
dan akhirnya tidak ada yang merasa terbebani. Karena kita juga peraturan
disesuaikan dengan diimbangi adanya sangsi. Ketika melanggar aturan
yang ada maka mereka kita sangsi, dan sangsinya inipun bertahap. Insya
allah kita memberikan sangsi yang mendidik, contoh ketika melanggar
satu kali kita bebani mereka untuk menghafal satu kitab. Jadi awalnya
membebani santri dengan hafalan, jadi santri yang awalnya merasa
terbebani lama-lama menjadi kesadaran sendiri. Beban sangsi juga ada
manfaatnya buat santri, yang awalnya mereka tidak mempunyai hafalan
yang banyak, setelah disangsi menghafa jadi banyak hafalan yang didapat.

Anda mungkin juga menyukai