Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Agama Islam (S.Pd.I)
Oleh :
Eva Fauziyah
1110011000016
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah dengan segenap jiwa dan raga penulis panjatkan puji syukur
kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya
sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul
"Pembentukan Kepribadian Santri Dalam Sistem Pondok Pesantren Salafi
Miftahul Huda Cihideung Bogor"
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah berhasil membimbing dan menuntun ummat-Nya ke
jalan yang benar dan diridhoi Allah SWT, begitu pula bagi segenap keluarga, para
sahabat serta orang-orang yang meneladani dan mengikutinya.
Suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis karena dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak dapat terlepas dari uluran tangan
berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat :
1. Bapak Suhandi dan Umi Aliyah yang teramat saya sayangi, selaku orang tua
yang telah membesarkan, membimbing, mendidik, membiayai dan mendoakan
dalam setiap langkah saya dengan ketulusan hati serta kasih sayang yang tiada
terbatas demi terselesainnya skripsi ini. Dengan tulus dan sabar serta selalu
mendoakan kesuksesan sehingga menjadikan hidup saya lebih bermakna.
Sungguh sangat terima kasih untuk segala-galanya. Skripsi ini aku persembahkan
untuk kalian.
2. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta beserta stafnya yang telah memberikan kesempatan dan
pelayanan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di kampus UIN Jakarta.
ii
3. Dra. Nurlena Rifai, MA, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah yang telah
memberikan pelayanan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di kampus
UIN Jakarta.
4. Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, selaku ketua Jurusan Pendidikan
Agama Islam dan Ibu Marhamah Saleh, Lc, MA, selaku wakil ketua Jurusan
Pendidikan Agama Islam.
5. Bapak DR. Sapiudin Shidiq, M. Ag, selaku pembimbing yang telah tulus ikhlas
dan penuh kesabaran memberikan bimbingan, arahan dan nasehat kepada penulis
sehingga terselesaikannya skripsi ini. Sungguh sangat terimakasih.
6. Bapak dan Ibu Dosen yang budiman, yang telah banyak membantu dan mengukir
penulis dengan ilmu selama menyelesaikan studi di UIN Jakarta.
7. Bapak K.H. Syahlul Lail, selaku pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda
tempat penulis meneliti hasil dari skripsi ini. Serta ustadz-ustadzah, para santri
yang telah membantu kelancaran penulis dalam meneliti.
8. Keluarga besar dari Umi saya yang telah berupaya membantu mencarikan
berbagai referensi, terimakasih banyak.
9. Nenek Sariah, selaku nenek saya satu-satunya yang ada. Terimakasih atas
doanya.
10. Fatimah, selaku kaka perempuan saya satu-satunya dan adik laki-laki saya satu-
satunya Fauzan Muzadi yang selalu mendoakan dan memberi semangat kepada
saya. Terimakasih banyak.
11. Shadudin, salah satu sahabat terdekat saya yang telah menyemangati, membantu
baik materil maupun spiritual selama tiga tahun belakangan ini. Sehingga dapat
terselesainya studi saya dan sampai pada tugas akhir skripsi ini. Terimakasih
banyak.
12. Sahabat-sahabat terdekat saya Reni Anggraeni, Fitri Handayani, Nur Fauziah,
Debi Utami Rizky, Widya Rafika, Maesaroh yang mengisi hari-hariku selama
dikampus ini dan selalu memberi semangat serta nasihat selama empat tahun
lebih ini. Sungguh terimakasih buat kalian.
iii
13. Sahabat seperjuangan PAI lainnya yang telah banyak membantu penulis baik
materil maupun spiritual demi terselesaikannya penyusunan skripsi ini.
Terimakasih banyak.
14. Teman-teman saya sejak kecil Ela, Amel, Syifa, Devi yang sudah berteman
dengan saya dari taman kanak-kanak hingga sekarang yang tak mungkin saya
lupakan. Terimakasih atas semangat dan doanya.
15. Semua pihak yang ikut membantu dan memberikan sumbangan pikiran dalam
rangka menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga bantuan yang telah diberikan kepada penulis, mendapatkan imbalan
yang lebih besar dari Allah SWT dan dicatat sebagai amal sholeh, Amin. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan dan
masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca yang budiman
sangat penulis harapkan demi mendapatkan hasil yang lebih baik di masa yang akan
datang. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Sekaligus dapat menambah khazanah pengetahuan untuk
mengembangkan cakrawala berfikir terutama dalam dunia pendidikan.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……………………………………………………………………….. i
BAB I: PENDAHULUAN
v
D. Teknik Pengumpulan Data ……………...…………………...… 32
E. Pengecekkan Keabsahan Data ……………………….………… 36
F. Teknik Analisis Data ………………..………………………… 37
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………..… 65
B. Saran ………………………………………………………..….. 66
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
hormat mereka kepada orang tua sangatlah tinggi, apalagi hormatnya kepada kiai
atau keluarga kiai. Setiap ada tamu kiai, pasti selalu disambut dengan sangat
ramah dan sopan.
Pesantren yang menjadikan santri seorang yang alim shalih seperti ini
kemudian dalam penempatan cara hidup, nilai, dan prinsip hidup sehari-hari di
pesantren. Nilai-nilai tersebut membentuk perilaku santri yang kemudian
membangunkan nilai-nilai mereka berada dalam sebuah sub-tradisi di pesantren,
seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan keteladanan yang telah
sangat lama dipraktikkan di pesantren dan menjadi ciri khasnya. Seorang kiai,
misalnya, harus rela membuka pintu rumahnya 24 jam untuk melakukan fungsi
pelayanan masyarakat. Ini contoh konkret dari prinsip keikhlasan yang
diteladankan kepada santrinya. Sikap hidup tanpa pamrih atau dalam bahasa
pesantrennya “Lillahi Ta’ala” ini menjadikan pesantren mampu bertahan hidup
sampai berabad-abad lamanya.
Secara lebih luas, ikhlas dalam menuntut ilmu juga dapat diartikan sebagai
kesungguhan dan keseriusan dalam belajar. Selama belajar itu santri
mengesampingkan kegiatan-kegiatan yang tidak relevan dan bahkan kesenangan
sesuai selera pribadinya. Sikap hidup ini menekankan pada proses dari pada
hasil. Implikasinya adalah para santri menjadi individu yang tangguh, berjiwa
besar, dan tidak takut menghadapi kenyataan pahit dalam hidupnya.1
Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan
Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau
secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.2
Sejak lama pesantren dianggap sebagai sebuah sistem pendidikan khusus.
Sampai-sampai pakar pendidikan asing menilainya sebagai sebuah sistem
pendidikan non sekolah yang memiliki corak tersendiri. Output pendidikannya
pun sangat khas. Sistematika pengajarannya juga sangat khusus, dengan jenjang
1
Ibid., h. 50.
2
UUD, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pasal 1
3
pelajaran yang seolah tak ada batas akhirnya.3 Masa belajar tak diukur dengan
jenjang semester maupun tahun, tetapi sasaran pencapaian ilmu yang diperoleh
dari kiai berdasarkan kitab-kitab yang berhasil di-khatam-kan dan dikuasai.
Karena itu, pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan tak mengenal istilah
ijasah atau diploma sebagai bentuk kelulusan pada peserta didik.
Kredibilitas pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan biasanya ditentukan
oleh kredibilitas kiai sebagai Sang Pengajar. Pengakuan masyarakat terhadap
seorang kiai, bukan semata-mata ditandai oleh kedalaman ilmunya. Juga oleh
peranannya sebagai pemimpin informal bagi lingkungannya: sebagai tempat
bertanya segala macam masalah, meminta fatwa dan perlindungan. Bukan saja
tempat bertanya soal-soal agama, juga masalah sosial budaya lainnya seperti
pernikahan, selamatan, pekerjaan dan sebagainya. Dengan demikian pesantren
berkembang menjadi sebuah komunitas khusus itu, seorang kiai tampil sebagai
seorang pemimpin yang penuh kharismatik sehingga masyarakat tunduk
kepadanya dengan sukarela.4 Di masa lalu kelebihan para kiai itu dipandang
sebagai kharisma atau keramat yang bersumber dari keramat yang bersumber
dari bakat yang dianugerahkan.5
Sebelum pembentukkan kepribadian santri, banyak santri yang menyimpang
dari ajaran Islam yang sebenarnya. Di antara mereka, ada yang percaya kepada
Allah SWT dan menjalankan ajaran agama karena berada dalam lingkungan
keluarga yang beriman dan taat beribadah, atau karena lingkungan sosial dan
teman-teman sejawatnya rajin beribadah. Semua itu dilakukan semata-mata
sebagai penyesuaian diri dalam lingkungannya bukan kepercayaan dari individu
itu sendiri.6
3
Abdurrachman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur, pada Jurnal Pesantren dan
Pembaharuan, (Jakarta, LP3ES, 1974), h. 3.
4
Zubadi Habibullah Asy’ari, Moralitas Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta: Lembaga Kajian
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LKPSM), 1996), h. 9.
5
M. Dian Nafi’, dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Instite for Training and
Development (ITD), 2007), h.19.
6
Abdul Muiz Kabry, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Yogyakarta: Imperium, 2013), h. 97.
4
7
Masyhud, dkk, op. cit., h. 59.
8
http://aliahmadzainuri.wordpress.com/2013/09/07/tazkiyatun-nafs-dalam-pembentukan-
akhlak/
9
Imam Bawani, dkk., Pesantren Buruh Pabrik, (Yogyakarta, LKiS, 2011), h. 58.
5
10
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,
(Jakarta: Erlangga), h. 25.
6
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, dapat
ditemukan beberapa masalah, di antaranya yaitu:
1. Santri tidak mendapatkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan
teknologi sehingga kurangnya pengetahuan santri.
2. Penampilan santri yang tidak kekinian menjadikan mereka di pandang
sebelah mata oleh masyarakat luar.
3. Pembelajarannya hanya menggunakan kitab-kitab klasik dengan cara belajar
yang klasik pula.
C. Pembatasan Masalah
Kajian tentang kegiatan dalam pondok pesantren sangat luas. Oleh karena
itu, pembahasan dalam penelitian ini perlu dibatasi agar tetap fokus pada
rumusan masalah. Batasan tersebut meliputi: Pembentukan kepribadian santri di
pondok pesantren salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor.
D. Perumusan Masalah
Berkaitan dengan judul di atas, maka masalahnya dapat di rumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pendidikan di pondok pesantren salafi Miftahul Huda
dalam pembentukan kepribadian santri?
2. Bagaimana sistem pendidikan di pondok pesantren salafi Miftahul Huda
dalam pembentukan kepribadian santri?
2. Manfaat Penelitian
1) Bagi pesantren penelitian ini kiranya dapat dijadikan salah satu sarana
monitoring dan evaluasi, untuk membantu pembentukan kepribadian
santri.
2) Sebagai sumbangan informasi dan evaluasi yang nantinya dapat
dijadikan sebagai bahan percontohan terhadap pondok pesantren salafi
lainnya.
3) Dari hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan untuk bahan
penelitian selanjutnya.
BAB II
KAJIAN TEORI
1
Ahmad Syahid (edt), Pesantren dan Pengembangan Ekonomi Umat, (Depag dan INCIS,
2002), h. 30.
8
9
2
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,
(Jakarta: Erlangga), h.62.
3
Ibid., h. 64.
10
4
A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.
243.
5
Ibid., h. 254.
11
bacaan dan performance seorang santri. Metode ini dikenal dengan istilah
sorogan atau layanan individual (individual learning process). Kegiatan
belajar mengajar diatas berlangsung tanpa penjenjangan kelas dan kurikulum
yang ketat, dan biasanya dengan memisahkan jenis kelamin siswa.6
Selain itu, karakteristik pesantren juga dapat dilihat dari segi struktur
organisasinya. Struktur organisasi dan lingkungan kehidupan pesantren
meliputi potensi yang kompleks. Setiap pesantren akan memiliki corak yang
khas, dilihat dari: (1) status kelembagaan, (2) struktur organisasi, (3) gaya
kepemimpinan, dan (4) kaderisasi atau regenerasi kepemimpinannya. Dilihat
dari statusnya, sebuah lembaga pesantren dapat menjadi milik perorangan atau
lembaga/yayasan yang menampilkan perspektif berbeda dalam merespon
sistem pendidikan nasional. Kedua macam status pesantren memberikan
implikasi berbeda pula terhadap struktur organisasi pesantren. Pesantren milik
pribadi kiai struktur organisasinya lebih sederhana dibandingkan dengan
pesantren yang dikelola yayasan yang menampilkan kultur pesantren relatif
berbeda antara keduanya. Yang pertama lebih menonjolkan tanggung jawab
untuk melestarikan nilai absolute (mutlak) pesantren dengan kiai sebagai
sumber kepatuhan, pimpinan spiritual dan tokoh kunci pesantren, sedangkan
yang kedua lebih memperhatikan managemen, dimana beberapa tugas
pesantren telah didelegasikan oleh kiai sesuai uraian pekerjaan yang
disepakati (job description).7
Kepemimpinan kiai di pondok pesantrennyapun sangat unik karena
mereka memakai sistem kepemimpinan pra-modern. Relasi sosial antara kiai-
ulama-santri dibangun atas landasan kepercayaan. Ketaatan santrinya kepada
kiai lebih dikarenakan mengharap barakah (grace), sebagaimana dipahami
dari konsep sufi. Tetapi, itu bukan hanya satu-satunya sumber kepemimpinan
6
Sulthon Masyhud, M, dkk, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), h.
3.
7
Ibid., h. 74.
12
8
Siradj, dkk, op. cit., h. 14.
9
Ibid., h.15.
10
Ibid., h. 134.
13
11
Yasin, op. cit., h. 256.
14
12
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 62.
13
Qomar, op. cit. h. 88.
14
Ibid., h.1.
15
Daulay, op. cit., h. 63.
15
16
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.64.
17
Ibid., h.65.
18
Daulay, op. cit., h. 63.
16
literaturnya, sehingga dapat diwakili kitab-kitab yang popular ini. Ada dua
kitab yang paling popular di pesantren pada abad ke-20 hingga ke-21 ini
yaitu kitab Alfiyyah dan Taqrib. Alfiyyah melambangkan dominasi bahasa
sedang Taqrib menunjukkan dominasi fiqih. Saefuddin Zuhri menilai
bahwa kitab Alfiyyah (berisi suatu bait nazham dalam bentuk puisi atau
syair) karangan seorang ahli nahwu, Muhammad Ibn Malik dari Andalusia,
Spanyol. Dalam pandangan dunia Islam, kitab tersebut menjadi standar
penguasaan seseorang tentang grammar atau syntax (tata bahasa) dalam
bahasa Arab. Artinya, siapa pun yang ingin menguasai tata bahasa Arab,
minimal ia harus memahami dan menghayati „Alfiyyat Ibn Malik‟. Hampir
tidak seorang pun dari ulama besar yang tidak menguasai isi kitab kuning
ini. 19
Kitab-kitab di pesantren ada tiga jenis yaitu kitab matan, kitab syarh
(komentar) dan kitab hasyiyah (komentar atas sifat komentar). Tiga jenis
kitab ini juga menunjukkan tingkat kedalaman dan kesulitan tertentu. Kitab
matan paling mudah dikuasai, kitab hasyiyah paling rumit, sedangkan kitab
syarh berada di antara keduanya. Tampaknya kitab syarh ini paling banyak
dipakai di pesantren.20
d. Santri
Santri merupakan peserta didik atau objek pendidikan, tetapi di
beberapa pesantren, santri yang memiliki kelebihan interaksi intelektual
(santri senior) sekaligus merangkap tugas mengajar santri-santri yunior.
Santri ini memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu. “Santri memberikan
penghormatan yang terkadang berlebihan kepada kiainya”. Kebiasaan ini
menjadikan sntri bersikap sangat pasif karena khawatir kehilangan
barokah. Kekhawatiran ini menjadi slah satu sikap yang khas pada santri
19
Qomar, op. cit., h.126.
20
Ibid., h.127.
17
e. Kiai
Kiai adalah tokoh sentral dalam satu pesantren, maju mundurnya suatu
pesantren ditentukan oleh wibawa dan karisma sang kiai.
Menurut asal-usulnya, perkataan kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk
tiga jenis gelar yang saling berbeda:
1) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat
umpamanya “kiai garuda kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas
yang ada di keraton Yogyakarta.
21
Ibid., h. 20
22
Daulay, op. cit., h.64.
18
23
Daulay, op. cit., h. 62.
24
Qomar., op. cit., h. 20
25
Yasmadi, op. cit., h. 63
19
26
Qomar, op. cit., h. 39.
27
Ibid., h. 41.
28
Ibid., h. 66.
20
pengertian kedua istilah tersebut belum bisa menjawab apa itu kepribadian
karena masih bersifat umum dan kabur. Tetapi dalam bahasa Indonesia ada
istilah yang cukup menjawab, walau belum cukup jelas, yaitu istilah jati diri
29
Ibid., h. 67.
30
Agus Sujanto, Psikologi Kepribadian, (Semarang: Bumi Akasara, 2006), h. 189.
21
yang berarti keadaan diri (sendiri) yang sebenarnya (sejati). Di sana kita
dapati pengertian kepribadian adalah ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat
khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang
diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga
bawaan seseorang sejak lahir. Kepribadian seseorang akan berpengaruh
terhadap akhlak, moral, budi pekerti, dan etika orang tersebut ketika
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-
hari di manapun ia berada. Artinya, etika, moral, norma, dan nilai yang
dimiliki akan menjadi landasan perilaku seseorang sehingga tampak dan
membentuk menjadi budi pekertinya sebagai wujud kepribadian orang itu.31
Dari sejarah pengertian kata tersebut, tidak heran kita jika kata persona
yang mula-mula berarti topeng, kemudian diartikan pemainnya itu sendiri
(orangnya) yang memainkan peranan seperti digambarkan dalam topeng
tersebut. Akhirnya kata persona itu menunjukkan pengertian tentang
kualitas/watak dari karakter yang di dalam sandiwara itu. Kini kata
personality oleh para ahli psikologi di pakai untuk menunjukkan sesuatu yang
nyata dan dapat dipercaya tentang individu, untuk menggambarkan bagaimana
dan apa sebenarnya individu itu.32
Di samping itu, kepribadian sering juga diartikan atau dihubungkan
dengan ciri-ciri tertentu yang menonjol pada diri individu. Contohnya, kepada
orang yang pemalu dikenakan atribut “kepribadian pemalu”, kepada orang
yang supel dikenakan atribut “kepribadian supel”, dan kepada orang yang
suka bertindak keras dikenakan atribut “berkepribadian keras”. Selain itu
bahkan sering pula kita jumpai ungkapan atau sebutan “tidak berkepribadian”.
Yang terakhir ini biasanya dialamatkan kepada orang-orang yang lemah, plin-
plan, pengecut, dan semacamnya.33
31
Ahmad Daes, Konsep Kepribadian Dalam Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: t.p., 1989), h. 9.
32
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remadja Karya, 1985), h. 152.
33
Koswara, Teori-Teori Kepribadian, (Bandung: Eresco, 1991), h. 10.
22
34
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 169.
35
Ujam Jaenudin, Psikologi Kepribadian, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 188.
36
Yasin., op. cit., h. 243.
23
quran dan hadis. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana seseorang yang
mengaku sebagai muslim yang baik akan selalu berusaha melakukan
perbuatan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam menjadi pilihan dalam
bagaimana seorang muslim bercermin.
Tingkah laku manusia itu banyak yang dibentuk oleh kebiasaan-
kebiasaan yang berlangsung dalam waktu yang lama secara terus-menerus.
Karena kebiasaan itu akan bisa menjadikan segala sesuatu itu menjadi mudah.
Apa yang dibiasakan seseorang dalam waktu lama secara terus menerus,
misalnya: omongan yang baik, tingkah laku yang sopan dan lembut, atau
sebaliknya yang kasar, jorok atau kotor, menyakitkan hati dan lain
sebagainya.
Pembentukkan kepribadian pada dasarnya adalah upaya untuk mengubah
sikap-sikap kearah kecenderungan terhadap nilai-nilai keislaman. Dan
pembentukkan kepribadian itu sendiri berlangsung secara bertahap, tidak
sekali jadi, melainkan sesuatu yang berkembang. Oleh karena itu
pembentukkan kepribadian itu sendiri merupakan proses.37
Idealisasi out put santri menjadi seorang yang „alim shalih seperti ini
kemudian diterjemahkan dalam penempatan cara hidup, nilai, dan prinsip
hidup sehari-hari dipesantren. Nilai-nilai tersebut membentuk perilaku santri
yang kemudian membangunkan nilai-nilai mereka berada dalam sebuah sub-
tradisi di pesantren, seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan
keteladanan yang telah sangat lama dipraktikkan di pesantren dan menjadi ciri
khas. Seorang Kiai, misalnya, harus rela membuka pintu rumahnya 24 jam
untuk melakukan fungsi pelayanan masyarakat. Ini contoh konkrit dari prinsip
keikhlasan yang diteladankan kepada para santrinya. Sikap hidup tanpa
pamrih atau dalam bahasa pesantrennya “lillahi ta‟ala” ini menjadikan
pesantren mampu bertahan hidup sampai berabad-abad lamanya. Secara lebih
37
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 195.
24
luas, ikhlas dalam menuntut ilmu juga dapat diartikan sebagai kesungguhan
dan keseriusan dalam belajar. Selama belajar itu santri mengesampingkan
kegiatan-kegiatan yang tidak relevan dan bahkan kesenangan sesuai selera
pribadinya. Sikap hidup ini lebih menekankan pada proses dari pada hasil.
Implikasinya adalah para santri menjadi individu yang tangguh, berjiwa besar,
dan tidak takut menghadapi kenyataan pahit dalam hidupnya.
Prinsip ikhlas ini juga ditopang dengan prinsip kesederhanaan. Pola hidup
sederhana terlihat mulai dari cara santri berpakaian, menyediakan makanan
dan minuman sederhana. Sederhana tidak berarti kekurangan, namun sikap
hidup sederhana yaitu tidak berlebihan, meskipun halal. Prinsip hidup
sederhana ini juga tampak pada nilai yang dikembangkan, yaitu selalu hidup
sabar, tawakkal, zuhud dan wira‟i.38
Semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka
semakin jelas tindakan, kebiasaan, dan kepribadian unik dari masing-masing
individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki sistem
kepercayaan (belief system), citra diri (self-image), dan kebiasaan (habit)
yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan selaras, kepribadiannya
baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan
semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaan tidak selaras,
kepribadiannya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya
akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.39
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa pembentukkan itu merupakan
proses. Proses pembentukkan kepribadian itu dapat dilakukan melalui tiga
macam pendidikan, yaitu:
a. Pra natal education (pendidikan sebelum lahir)
38
Nafi‟, dkk., op. cit., h. 51.
39
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2011), h. 18.
25
42
Purwanto, op. cit., h.158.
43
Jaenudin., op. cit., h. 212.
27
C. Kerangka Berfikir
Belajar merupakan salah satu usaha yang dapat merubah kepribadian dan
tingkah laku setiap individu. Dalam kegiatan sehari-hari terkadang santri
44
Koswara., op. cit. h. 97.
45
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 19.
28
B. Tahap-Tahap Penelitian
Tahap-tahap penelitian memberikan gambaran keseluruhan tentang
perencanaan, pelaksanaan, pelaksanaan pengumpulan data, analisis dan
penafsiran data (temuan) sampai pada penulisan laporan. Tahap-tahap penelitian
itu ada tiga sebagaimana penulis kutip dala buku “Metode Penelitian Kualitatif”
karangan Dr. J. Meleong, M.A. adalah sebagai berikut:
1. Tahap pra-lapangan
Ada tujuh kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini, kegiatan tersebut
yaitu:
a. Menyusun rancangan penelitian
b. Memilih lapangan penelitian
30
31
c. Mengurus perizinan
d. Menjajaki dan menilai lapangan
e. Memilih dan memanfaatkan informan
f. Menyiapkan perlengkapan penelitian
g. Etika penelitian lapangan
2. Tahap pekerjaan lapangan
Tahap kegiata lapangan ini dibagi atas tiga bagian, yaitu:
a. Memahami latar penelitian dan persiapan diri
b. Memasuki lapangan, seperti keakraban hubungan, mempelajari bahasa,
dan peranan penelitian
c. Berperan serta sambil mengumpulkan data
3. Tahap analisis dan interpretasi data
Tahap analisis data meliputi tiga pokok persoalan, yaitu:
a. Konsep dasar analisis data, maksudnya adalah proses mengatur data,
mengorganisasikannya ke dalam sebuah polo, kategori, dan satuan uraian
dasar.
b. Interpretasi data merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang
lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang
dilakukan.1
C. Metode Penelitian
Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.2
Pengertian metode penelitian adalah anggapan dasar tentang suatu hal yang
dijadikan pijakan berpikir dan bertindak dalam melaksanakan penelitian.
Misalnya, peneliti mengajukan asumsi bahwa sikap seseorang dapat diukur
1
Lexy J. Meleong, op. cit., h.127.
2
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2013), h.3
32
dengan menggunakan skala sikap. Dalam hal ini, ia tidak perlu membuktikan
kebenaran hal yang diasumsikannya itu, tetapi dapat langsung memanfaatkan
hasil pengukuran sikap yang di perolehnya. Asumsi dapat bersifat substantive
atau metodologis. Asumsi substantive berhubungan dengan permasalahan
penelitian, sedangkan asumsi metodologis berkenaan dengan metodologi
penelitian.3
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan
data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.4 Penelitian skripsi ini menggunakan
metode deskriptif yaitu penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala,
peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang. Penelitian deskriptif memusatkan
perhatian pada masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian
berlangsung. Melalui penelitian deskriptif, peneliti berusaha mendeskripsikan
peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa memberikan
perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut. Variable yang diteliti bisa tunggal
(satu variable) bisa juga lebih dari satu variable.5
3
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.
254.
4
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2012),
h. 2.
5
Ibid., h. 34.
33
6
Sutrisno Hadi, Metodologi Research II (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), h.126.
7
Sugiyono., op. cit., h. 145.
8
Juliansyah., op. cit., 114.
9
Ibid., h. 141.
10
Husaini Usman, dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2003), h.57.
34
Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia yaitu berbentuk surat,
catatan harian, cendera mata, laporan, artefak, dan foto. Sifat utama data
ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga member peluang kepada
peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam.
Secara detail, bahan documenter terbagi beberapa macam, yaitu
autobiografi, surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial, klipping,
dokumen pemerintah atau swasta, data server dan flashdisk, dan data
tersimpan di web site.11
Dengan demikian metode ini dipakai untuk memperoleh data tentang
keberadaan pondok pesantren yang meliputi sarana dan prasarana, jumlah
tenaga pendidik, siswa dan struktur organisasinya.
3. Interview (wawancara)
Salah satu yang menjadi keharusan dalam penelitian kualitatif adalah
penggunaan metode dalam bentuk interview (wawancara). Interview
(wawancara) adalah tanya jawab, antara dua orang atau lebih secara
langsung. Pewawancara disebut interviewer, sedangkan orang yang
diwawancarai disebut interviewe.12
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu.13
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila
peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan
permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin
11
Juliansyah, lop. cit., h. 141.
12
Usman., op. cit., h.57.
13
Lexy J. Meleong., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
2013), h.186.
35
14
Sugiyono, op. cit., h. 137.
15
Juliansyah, op. cit., h. 139.
36
16
Nasution, Metodologi Penelitian Naturalistic Kualitatif, (Bandung: Trsito,1988), h.126
17
Ibid, h.334
37
18
Ibid, h.375
19
Lexi.J.Moloeng, op.cit, h.3
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Objek Penelitian
1. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren
Pesantren Miftahul Huda di dirikan oleh almarhum bapak K.H. Sofyan
Sauri bin Misbahudin, yang berdiri pada tahun 1969. Pada awalnya pendiri
pondok pesantren ini, beliau menjadi santri di beberapa pesantren yang pada
akhirnya di tahun 1969 beliau pulang dari pesantren dan berusaha untuk
mendirikan pondok pesantren. Pada saat itu beliau belum berkeluarga, lalu
setahun kemudian setelah mendirikan pesantren beliau menikah dengan
istrinya yang bernama ibu Hj. Khodijah yang berasal dari sukabumi.
Proses belajar mengajar pada saat itu sangat memprihatinkan, hanya ada
satu bangunan yang terbuat dari bambu atau bilik dengan jumlah santri yang
hanya sebelas orang pada saat itu. Tetapi tidak dari wilayah setempat saja,
ada juga dari wilayah luar daerah cijeruk, seperti ada dari karawang, bekasi,
dan bandung.
Sebelumnya, pesantren ini didirikan oleh orang tua dari bapak K.H.
Sofyan Sauri yang bernama K.H. Misbahudin. Beliau sudah mengelola
madrasah diniyah sejak tahun 1932 sebelum kemerdekaan, yang sampai saat
ini diniyahnya masih berjalan, namun dengan bangunan yang terpisah tapi
pada proses megajarnya masih terus berkaitan, sehingga almarhum ini di
pesantren dan madrasah diniyah tetap di pegangnya.
Perlahan dengan keprihatinan yang ada pesantren dikembangkan dari
mulai fasilitas bangunan yang sangat sederhana akhirnya beliau berusaha
untuk membangun dari awal dengan bangunan yang permanen, kemudian
dengan fasilitas yang lebih baik dari pada sebelumnya. Sehingga pesantren
itu menjadi sebuah daya tarik juga bagi masyarakat yang lainnya sehingga
banyak yang berdatangan pula para santrinya. Dua tahun kemudian ada 40
38
39
1
Hasil Wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.28 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
41
2
Dokumentasi PPS Miftahul Huda
3
Ibid.,
42
Ust. Burhannudin
Ust. Juliansyah
Ust. Nasrudin
Ust. Yusuf
Ustdzah. Lilis Lahmidati
Ustdzah. Siti Sa‟diah
Ustdzah. Nurhasanah
Seksi-Seksi
4
Hasil dari Observasi dan Dokumentasi di PPS Miftahul Huda.
44
m. Jam 19.00 - 20.30 Berjama‟ah Shalat Isya dan Mengaji kitab akhlakul
bannat dan akhlakul banning menggunakan sistem sorogan. Pengajian
kitab ini untuk semua santri putra dan putri, namun kitab ini di kaji
dalam ruang yang terpisah antara santri putra dengan santri putri. Santri
putra mengaji kitab akhlakul banin, karena kitab ini menjelaskan tentang
bagaimana menjadi pribadi yang baik. Dan kitab akhlakul banning untuk
santri putrid, kitab ini juga menjelaskan tentang bagaimana menjadi
muslimah yang baik.
n. 20.30 – 22.00 Mengaji Kitab Nasoihul ibad menggunakan sistem
balaghan, yaitu kitab yang isinya menjelaskan nasihat-nasihat Allah
untuk hambanya. Kitab ini untuk santri yang sudah dewasa, karena
isinya sebagai petunjuk bagi umat manusia agar tidak terjerumus dalam
dosa. Dan santri aula setelah shalat isya berjamaah dan mengaji kitab
akhlakul banin dan akhlakul bannat di perbolehkan melakukan
kegiatannya di kobong atau di persilahkan untuk tidur.
o. Jam 22.00 - 03.00 Istirahat. Setelah semua kegiatan di lakukan oleh
semua santri sepanjang hari, santri diperbolehkan untuk tidur sampai
kembali bangun di waktu shalat malam.
Jadwal di atas disusun sesuai dengan keadaan, baik keadaan pengasuh
maupun santri. Adanya jadwal yang jelas tersebut bertujuan untuk mendidik
para santri agar menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.5
7. Keberadaan Santri
Sejalan dengan perkembangan zaman, keadaan santri di Pesantren Salafi
Miftahul Huda pada saat ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan
sebagaimana yang di katakana oleh Kiai Pondok Pesantren Salafi Miftahul
Huda, yaitu K.H Syahlul Lail. Bahwa santri dari tahun ke-tahun mengalami
perkembagan yang sangat pesat jumlahnya.
5
Hasil Observasi di PPS Miftahul Huda.
47
6
Ibid,.
48
B. Penyajian Data
1. Proses Pendidikan dalam Membentuk Kepribadian
Setelah data terkumpul dengan menggunakan metode observasi,
dokumentasi dan wawancara, peneliti dapat menganalisis hasil penelitian
dengan teknik kualitatif deskriptif, artinya peneliti akan menggambarkan,
menguraikan dan menginter pretasikan data-data yang telah terkumpul
sehingga akan memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang
hal yang sebenarnya.
Dalam penyajian data ini maka penulis akan memaparkan secara sekilas
dari hasil yang di dapat dari lapangan yang berkaitan dengan rumusan
masalah.
a. Proses Pendidikan Di Pondok Pesantren Miftahul Huda
Berdasarkan observasi proses pendidikan dilakukan setiap hari di
mulai dari hari senin sampai minggu dari jam 03.00 pagi sampai jam
22.00 malam, namun pada hari jumat kegiatan mengaji seluruh santri di
liburkan, hanya ada kegiatan shalat berjamaah di waktu subuh dan
kegiatan mengaji anak yatim dan ibu-ibu disekitar pondok pada jam
08.00 pagi.
Setiap harinya santi di tuntut untuk disiplin waktu dan mematuhi
peraturan-peraturan yang telah di buat oleh pondok pesantren.
Kedisiplinan ini agar santri dapat menjadi pribadi yang menghargai
waktu dan bertanggung jawab. Hal ini berdasarkan hasil wawancara
peneliti dengan ustadzah yang bernama Lilis Lahmidati, bahwa:
“…dari yang terkecil sampai yang benar-benar besar gitu yah
sampai menyebabkan akibat yang fatal itu sudah di atur, dari mulai
yang terkecil. Dari mulai mereka berpakaian, dari mulai mereka
49
7
Hasil Wawancara dengan Ustadzah Lilis Lahmidati, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul
07.25 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
8
Hasil Wawancara dengan Ustadz Juli Ardiansyah, Pada Kamis 16 Oktober 2014 Pukul 09.49
WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
9
Hasil Wawancara dengan Santri Siti Nurani, Pada Rabu 15 Oktober 2014 Pukul 21.29 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
50
10
Hasil wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.17 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
51
yang tua itu kita harus tau bagaimana cara kita untuk sopan,
gitu”.11
Dari hasil wawancara diatas dapat kita ketahui bahwa selain mengaji
Al-Quran dan kitab-kitab, di pesantren ini juga diajarkan bagaimana
melatih pribadi yang baik, yang sesuai agama Islam. Para santri harus
berpakaian sopan agar dapat mencerminkan pribadi santri sehingga
terciptanya ketertiban dan kerapihan dalam berbusana serta bertutur kata
yang baik.
Di pesantren ini juga setiap harinya santri mengurusi semuanya
sendiri, dari mulai masak, makan, dan kebutuhan pribadi maupun
kebutuhan kelompok lainnya. Hal ini berdasarkan wawancara peneliti
dengan santri yang bernama Siti Nurani, bahwa:
“Jadi memang kalau kita sudah di pesantren pasti kita harus
mandiri, gitu. Soalnya kalo di pesantren kan kita tidak dengan ibu,
tidak dengan ayah, kita tidak dengan kakak atau keluarga,
siapapun itu pasti kita sendiri disini, dan bertemu dengan orang-
orang banyak dan disitu apa namanya disitu kita harus bisa
menyesuaikan semuanya dengan sendiri, gitu. Seperti kita mau
makan kita harus nyari sendiri, masa kita harus nyuruh orang kan
engga. Terus kita udah pake baju, kalo kotor kan kita harus cuci
sendiri, nah itu kan sudah belajar supaya kita mandiri. Bagaimana
baju itu dari yang bersih, kotor kemudian bersih lagi itu kita harus
tau caranya, gitu. Nyucinya, jemurnya itu kan sudah termasuk
belajar mandiri, gitu”.12
Dari hasil wawancara di atas dapat kita ketahui bahwa seorang
santri wajib memiliki sifat yang mandiri, yang bisa melakukan
semuanya sendiri. Karena kalau santri tidak bisa mandiri, ia tidak akan
pernah bisa hidup di pesantren berbaur dengan santri yang lainnya.
Hasil wawancara peneliti dengan pimpinan pondok K.H. Sahlul
Lail, bahwa:
11
Hasil Wawancara dengan Santri Siti Nurani, Pada Rabu 15 Oktober 2014 Pukul 21.29 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
12
Ibid,.
52
16
Hasil Wawancara dengan Ustadzah Lilis Lahmidati, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul
07.25 WIB, di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
54
akhirnya kita jadi terbiasa dan mengalir gitu menjadi itu jadi
kemauan kita sendiri, gitu”.17
Dari hasil wawancara di atas di jelaskan bahwa kesadaran santri
memang awalnya karena peraturan-peraturan yang memiliki sangsi.
Dari peraturan dan sangsi itu membuat santri jera dan menimbulkan
sedaran dari dalam diri sendiri untuk menjalankan semua kewajiban-
kewajibannya tanpa harus di ingatkan dan di paksa lagi.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan para responden dapat
di ketahui bahwa Pondok Pesantren Salafi Miftahul Huda ini
mempunyai peraturan yang di ikuti dengan sangsinya masing-masing,
kemudian dilengkapi dengan kajian kitab-kitab akhlak untuk
membangun kesadaran santri, membentuk kesederhanaan, membentuk
kebersamaan, juga membentuk sifat yang saling menghargai dan
menghormati.
b. Evaluasi Pendidikan
Evaluasi atau penialian merupakan bagian yang sangat penting
dalam kualiatas mengajar, yang berfungsi untuk mengetahui kemajuan
belajar peserta didik dan mengukur tingkat keberhasilan kegiatan belajar
mengajar. Penilainan yang dilakukan ketika proses pendidikan
berlangsung dan setelah kegiatan pendidikan berlangsung (penilain
hasil). Penilain yang dilakukan mengcakup hafalan dan pemahaman.
Berdasarka hasil wawancara dengan pimpinan PPS Miftahul Huda K.H.
Sahlul Lail, bahwa :
“Evaluasi dilakukan pertama setiap selesai pengajian, yang di
evaluasi hasil dari pengajian. Kemudian mingguan, evaluasi hasil
belajar selama satu minggu, kemudian ada bulanan, hasil
17
Hasil Wawancara dengan Santri Siti Nurani, Pada Rabu 15 Oktober 2014 Pukul 21.29 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
55
18
Hasil Wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.33 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
56
C. Analisa Data
Pondok pesantren salafi Miftahul Huda Cihideung Bogor sebagai sebuah
lembaga pendidikan Islam yang mempunyai sistem pendidikan salafiyah
(tradisional), memiliki ciri pondok pesantren tradisional pada umumnya. Di
pondok pesantren Miftahul Huda ciri yang dominannya dapat dilihat dari: tidak
adanya sekolah formal dan pengkajian kitab-kitab kuning.
Dalam proses belajar mengajar, pondok pesantren salafi Miftahul Huda telah
menerapkan sistem tradisional dengan tidak adanya penjenjangan kelas, namun
proses belajar mengajarnya tetap dilakukan dalam satu ruangan yang sama.
Tetapi untuk para santri yang sudah termasuk senior atau santri lama, ada
pengajian tambahan setelah pengajian intinya selesai.
Kurikulum yang dipakai di pondok pesantren salafi Miftahul Huda
menggunakan kurikulum yang dibuat oleh pihak pesantren sendiri, tidak
mengkiblatkan kepada kurikulum Departemen Agama. Materi pelajaran
keagamaan diambil dari kitab-kitab klasik yang membelajarannya menggunakan
sitem balaghan, sorogan, dan hafalan.
19
Hasil Wawancara dengan K.H. Sahlul Lail, Pada Jum‟at 17 Oktober 2014 Pukul 08.17 WIB,
di PPS Miftahul Huda Cihideung Bogor.
60
Kitab Akhlakul Banat, dan Kitab Nasoihul Ibad. Yang di ajarkan dengan
ustadz dan ustadzah yang berbeda-beda setiap kitabnya.
Sebelum mengaji rutinitas yang wajib dilakukan oleh seluruh santri
adalah shalat berjamaah terlebih dahulu, setelah shalat santri melantunkan
sholawat-sholawat nabi, kemudian di lanjutkan dengan mengaji kitab sesuai
jadwal yang telah disepakati bersama. Setiap hari santri secara bergantian
mengimami shalat dan memimpin shalawat seusai shalat dengan jadwal yang
telah ditentukan. Setelah itu para pengajar langsung memulai pengajian
kitabnya sesuai jadwal yang ditentukan dengan ruang yang berbeda antara
santri putra dan santri putri. Waktu mengajinya dibedakan antara santri aula
dengan santri dewasa, hal ini dilakukan agar para santrinya dapat menyerap
pelajaran sesuai dengan umurnya masing-masing. Dalam sistem
pengajarannyapun berbeda, santri aula mengaji dengan menggunakan sistem
sorogan yakni kiai atau ustadz/ustadzah mempersilahkan santrinya membaca
baris kitab yang telah ditentukan, mengartikan isinya, dan menjelaskan
maksud dari kitab yang ia baca. Lalu kiai atau ustadz/ustadzahnya menyimak
bacaan santri, mengkoreksi, dan menjelaskan kembali isi kitab tersebut.
Sistem ini bertujuan agar santrinya dapat aktif dalam mengaji, dan mudah
memahami setiap bagian-bagian di dalam kitab yang di bacanya. Kemudian
santri dewasa mengajinya menggunakan sistem balaghan, yaitu sistem
dimana santri sebagai pendengar, penyimak untuk memahami isi kitab yang
disampaikan oleh pengajar. Kiai atau ustadz/ustadzah menjelaskan isi dari
kitab yang di kaji, setelah selesai pembahasan isinya kiai mempersilahkan
santrinya secara bergantian menjelaskan kembali apa yang di jelaskan oleh
kiai dengan bagian-bagian yang berbeda, ini bertujuan agar santrinya
memahami isi kitab yang di jelaskan oleh kiai secara menyeluruh.
Setelah mengaji kitab-kitab, santri di berikan waktu untuk bersih-bersih
lingkungan pesantren, kobong, dan rumah kiainya. Kegiatan senggang ini
adapula yang di pakai santri untuk mencuci, menyetrika, dan memasak untuk
62
persiapan makan. Bagi santri aula, di berikan kesempatan untuk bermain dan
berkumpul santai bersama santri aula lainnya sambil menunggu makanan
yang di masak oleh santri yang bertugas, dan melakukan makan bersama di
dalam kobongnya masing-masing.
2. Pembetukkan Kepribadian Santri
Di pondok pesantren ini setiap harinya santri di tuntut untuk disiplin
waktu dan mematuhi peraturan-peraturan yang telah di buat oleh pihak
pondok pesantren. Kedisiplinan ini agar santri dapat menjadi pribadi yang
menghargai waktu dan bertanggung jawab. Apabila santri melanggar
peraturan yang di buat oleh pondok pesantren maka ada sangsi tersendiri
terhadap pelanggaran apa yang santri perbuat. Misalnya tidak shalat
berjamaah atau pulang tanpa izin, maka akan di ta‟zir dengan hafalan juz
amma atau kitab-kitab yang lainnya. Dari peraturan-peraturan yang sering di
langgar oleh santrinya, maka dengan sendirinya santri tersebut akan
melaksanakan tugasnya sebagai santri tanpa melihat peraturan-peraturan yang
dibuat oleh pondok pesantren tersebut. Selain peraturan-peraturan yang
membentuk kepribadiannya ada juga pembelajaran kitab akhlakul banat dan
akhlakul banin. Akhlakul banat yaitu kitab yang menjelaskan bagaimana
menjadi laki-laki yang baik dan akhlakul banin yaitu kitab yang menjelaskan
bagaimana jadi wanita yang baik.
Selain peraturan dan kitab-kitab, di pesantren ini juga ada pembiasaan
diri, yaitu santri di biasakan untuk melakukan semua pekerjaannya sendiri.
Dari mulai masak, mencuci baju, menyetrika, dan bersih-bersih bagian
kobong atau halaman pesantren. Maksud pembiasaan ini agar semua
santrinya menjadi mandiri, tidak bergantung kepada orang lain, karena dalam
pesantren salafi ini tidak ada istilah “ibu cuci” seperti di pondok pesantren
modern lainnya.
63
Pembiasaan bertutur kata dengan baik, sopan santun kepada yang lebih
tua, dan berpakaian sesuai kode etik pesantren juga di terapkan oleh pihak
pondok pesantren. Pembiasaan-pembiasaan ini di terapkan agar santri-santri
di pondok pesantren ini memiliki kepribadian yang baik, sesuai dengan apa
yang ada dalam tujuan pondok pesantren, yakni mencetak generasi yang
mempunyai kepribadian baik.20
3. Sistem Pembelajaran Pondok Pesantren
Di pondok pesantren ini mempunyai dua sistem dimana sistem tersebut
di susun oleh pihak pondok pesantren itu sendiri.
a. Sistem balaghan adalah sistem yang di pakai oleh PPS Miftahul Huda
untuk pengajian santri dewasa, yaitu dengan cara:
1) Kiai membacakan kitab dari bait perbait, lalu di ikuti dengan
menterjemahkan kata perkata, kemudian di simpulkan makna kitab
yang di bacanya.
2) Santri mengikuti bacaan kiai di dalam hati, kemudian santri menulis
apa yang di baca dan di terjemahkan oleh kiainya.
3) Kiai mempersilahkan santrinya secara bergantian membaca dan
menterjemahkan kitab yang di kaji sebelumnya, lalu kiai
mendengarkan dan mengkoreksi bacaan serta terjemahan yang di
bacakan oleh santri.
4) Kiai membacakan kembali bacaan yang benar jika terdapat kesalahan
dalam bacaan dan terjemahan yang di bacakan oleh santrinya.21
b. Sistem sorogan adalah sistem yang di pakai oleh PPS Miftahul Huda
untuk pengajian santri aula, yaitu dengan cara:
1) Santri menunggu giliran di panggil oleh kiainya untuk membacakan
kitab yang telah di kaji bersama sebelumnya.
20
Hasil Pengamatan Peneliti di PPS Miftahul Huda
21
Hasil Observasi Peneliti Pada Pengajian Kitab Zubad, pada jam 16.30 WIB, di Majlis PPS
64
22
Hasil Observasi Peneliti Pada Pengajian Kitab Zurumiyah, pada jam 08.00 WIB, di Majlis
PPS
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang peneliti paparkan pada bab ini, maka ada
beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan, adapun kesimpulan yang dapat
peneliti lakukan antara lain sebagai berikut:
1. Proses pendidikan yang dilakukan oleh pondok pesantren salafi Miftahul
Huda, meliputi dua hal. Yang pertama proses pendidikan dan yang kedua
evaluasi pendidikan. Dalam proses pendidikan menggunakan peraturan-
peraturan yang dibuat oleh pihak pondok pesantren yang memiliki sangsi
berbeda-beda sesuai dengan tingkatan kesalahannya untuk membentuk
kepribadian santri yang berakhlakul karimah. Selain dengan peraturan-
peraturan yang di buat, pesantren juga mengakaji berbagai kitab-kitab akhlak,
diantaranya kitab akhlakul bannin (kitab yang mempelajari bagaimana
menjadi laki-laki yang berakhlak baik), kitab akhlakul bannat (kitab yang
mempelajari bagaimana menjadi perempuan yang berakhlak baik), kitab fiqih
(menjelasakan masalah ibadah dan muamalah), kitab riyadus sholihin, dan
kitab tafsir jalalin, di dalam kajian tersebut menerankan masalah kehidupan
sehari-hari, untuk perkembangan kepribadian santri. Pondok pesantren juga
mengadakan praktek langsung mengenai akhlakul karimah, hal ini dapat
dilihat dari kegiatan-kegiatan keagamaan seperti dzikir, tadarus al-Qur’an,
istighosahan dan lain sebagainya. Dan dalam evaluasi pendidikan, melakukan
empat kali penilaian. Yang pertama, pada saat selesai mengaji selalu di
evaluasi hasil kajian saat itu. Kedua, setiap seminggu sekali di evaluasi hasil
belajarnya dalam satu minggu itu. Ketiga, penilaian setiap bulan yang
biasanya di laksanakan pada akhir bulan. Dan yang terakhir penilaian setiap
tahunnya yang biasanya di laksanakan pada bulan ramadhan.
65
66
B. Saran-Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka saran yang dapat diberikan oleh
peneliti adalah sebagai berikut:
1. Kepada Kiai
Kiai harus lebih memberikan peraturan yang lebih tegas lagi kepada para
santrinya, agar santrinya dapat mematuhi semua peraturan yang ada untuk
menghindari santri mengulangi kesalahannya.
2. Bagi Ustadz-ustadzah
Guru harus lebih intensif dan rutin dalam mengawasi aktivitas keseharian
santri di kobong masing-masing. Dan juga guru harus lebih memahami
psikologi santri agar guru memahami kepribadian (akhlak) para santrinya.
3. Bagi Santri
Santri harus lebih patuh pada semua peraturan yang ada dalam pondok
pesantren. Santri sebaiknya mengetahui perbuatan mana yang harus ditiru dan
perbuatan apa yang tidak harus ditiru, santri juga harus membentengi diri
dengan iman dan taqwa supaya tidak terpengaruh terhadap perbuatan-
perbuatan yang tidak di inginkan. Di samping itu santri hendaknya tetap
menjaga prilakunya, baik dalam pondok maupun di luar pondok.
DAFTAR PUSTAKA
Daes, Ahmad. Konsep Kepribadian Dalam Al-Quran dan Hadits. Jakarta: t.p., 1989
Hartati, Netty, dkk. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004
Kabry, Abdul Muiz. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Yogyakarta: Imperium, 2013
Majid, Abdul. dan Andayani, Dian. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2011
Masyhud, Sulthon, dkk. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka, 2005
Nafi’, Dian, dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: Instite for Training
and Development (ITD), 2007
Siradj, Sa’id Aqiel, dkk. Pesantren Masa Depan. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D. Bandung: Alfabeta, 2012
Syahid, Ahmad. Pesantren dan Pengembangan Ekonomi Umat. Depag dan INCIS,
2002
Tohirin. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005
Usman, Husaini. dan Akbar, Purnomo Setiady. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2003
http://aliahmadzainuri.wordpress.com/2013/09/07/tazkiyatun-nafs-dalam-
pembentukan-akhlak/
LEMBAR UJI REFERENSI
NIM : 1110011000016
Judul Skripsi :
BAB I
1. Sulthon Masyhud, dkk. Manajemen Pondok 1, 59, 3,
Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka, 2005 74
2. UUD, Pendidikan Agama dan Pendidikan 1
Keagamaan, Pasal 1
3. Abdurrachman Wahid . Pesantren Sebagai 3
Subkultur, pada Jurnal Pesantren dan Pembaharuan.
Jakarta: LP3ES, 1974
4. Zubadi Habibullah Asy’ari. Moralitas Pendidikan 9
Pesantren. Yogyakarta: Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia (LKPSM),
1996
5. Dian Nafi’, dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren. 19, 20, 50,
Yogyakarta: Instite for Training and Development 51
(ITD), 2007
6. Abdul Muiz Kabry. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. 97
Yogyakarta: Imperium, 2013
7. http://aliahmadzainuri.wordpress.com/2013/09/07/ta
zkiyatun-nafs-dalam-pembentukan-akhlak/
8. Imam Bawani, dkk. Pesantren Buruh Pabrik. 58
Yogyakarta: LKiS, 2011
9. Mujamil Qomar. Pesantren dari Transformasi 25, 62, 64,
Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: 88, 1, 126,
Erlangga 127, 20,
39, 41, 66,
67
BAB II
10. Ahmad Syahid. Pesantren dan Pengembangan 30
Ekonomi Umat. Depag dan INCIS, 2002
11. Sa’id Aqiel Siradj, dkk. Pesantren Masa Depan. 13, 14, 15,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1999 135, 134
12. Fatah Yasin. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. 243, 254,
Malang: UIN-Malang Press, 2008 256
13. Haidar Putra Daulay. Sejarah Pertumbuhan dan 62, 63, 64
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Prenada Media Group, 2007
14. Yasmadi. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat 64, 65, 63
Press, 2002
15. Agus Sujanto. Psikologi Kepribadian. Semarang: 189,
Bumi Akasara, 2006
16. Ahmad Daes. Konsep Kepribadian Dalam Al-Quran 9
dan Hadits. Jakarta: t.p., 1989
17. Netty Hartati, dkk. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT 117
Raja Grafindo Persada, 2004
18. Ngalim Purwanto. Psikologi Pendidikan. Bandung: 152, 158
PT Remadja Karya, 1985
19. Koswara. Teori-Teori Kepribadian. Bandung: 10, 97
Eresco, 1991
20. Tohirin. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama 169
Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005
21. Ujam Jaenudin. Psikologi Kepribadian. Bandung: 188, 50,
Pustaka Setia, 2012 208, 212
21. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam 195, 199
Mulia, 2002
23. Abdul Majid. dan Dian Andayani. Pendidikan 18
Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011
24. Zakiah Darajat. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan 19
Bintang, 1970
BAB III
25. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan 3
(Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D).
Bandung: Alfabeta, 2013
26. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif 2, 34, 145,
Dan R & D. Bandung: Alfabeta, 2012 137, 147
27. Juliansyah Noor. Metodologi Penelitian. Jakarta: 254, 114,
Kencana Prenada Media Group, 2011 141, 139,
163
28. Sutrisno Hadi. Metodologi Research II. Yogyakarta: 126
Andi Offset, 1984
29. Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar. 157, 57
Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2003
30. Lexy J Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. 186, 127,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013 149
Diket.
Dosen Pembimbing
Keadaan
No. Jenis Banyaknya Ket
Baik Rusak
Rusak
1. Kobong laki-laki 9 8 1
Ringan
Rusak
2. Kobong perempuan 10 8 2
Ringan
3. Ruang Kiai 1 1 0
4. Ruang Ustadz 1 1 0
5. Ruang TU 1 1 0
6. Majlis dinniyah 2 2 0
7. Toilet Pegawai 1 1 0
8. Toilet Santri 4 4 0
9. Dapur Utama 1 1 0
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
1. 2010-2011 75 28 47
2. 2011-2012 90 39 51
3. 2012-2013 85 28 57
4. 2013-2014 101 41 60
5. 2014-2015 107 38 69
DAFTAR LAMPIRAN
(Kiai)
Nama :
Jabatan :
Hari/Tanggal Wawancara :
(Ustadz/Ustadzah)
Nama :
Jabatan :
Hari/Tanggal Wawancara :
(Santri)
Nama :
Jabatan :
Hari/Tanggal Wawancara :
Jabatan : Santri
Pewawancara : Selama disini apakah teteh patuh sama peraturan yang ada?
Rani : Umumnya pelajar yah, umumnya pelajarkan kadang patuh, kadang jenuh
sama peraturan gitu yah, begitupun saya pribadi kadang saya patuh dengan
peraturan pondok, kadang pula saya sedikit jenuh atau merasa tidak butuh
sama peraturan gitu, jadi ujung-ujungnya saya juga kadang engga patuh
gitu, tapi itu jarang yah ka yah. Hehee
Pewawancara : Hmm terus selama belajar di pesantren ini, kebersamaan seperti apa yang
teteh rasakan?
Rani : Kebersamaannya tuh, hmm luar biasa. Kalo saya jabarin yah, pokonya
luar biasa deh. Dimana saya dapat berkumpul, bertukar fikiran, bercanda,
dan mencurahkan perasaan yang kadang kala mengundang air mata. Itu
semua ada di pondok, semua itu terasa seperti keluarga, seperti saudara,
makan senampan bersama, tidur sekasur bersama, pokonya mah istimewa.
Pewawancara : Kalo sebagai santri kesopanan yang sudah melekat dalam jiwanya tuh
apa yah?
Rani : Kesopanan kita, dalam berpenampilan, umumnya sebagai wanita
penampilan seperti apa gitu, yang sesuai dengan syar‟i, tidak boleh ini,
tidak boleh itu, terus bertutur kata harus sopan. Karna kan kita di sini juga
di ajarkan bagaimana cara berbicara yang baik, terus bagaimana cara kita
bertingkah laku di depan yang muda, di depan yang tua itu kita harus tau
bagaimana cara kita untuk sopan, gitu.
Pewawancara : oh gitu, kalo sama kiai itu nurutnya, patuhmya itu karena peraturan atau
karena emang dari diri sendiri buat patuh?
Rani : Awalnya pasti karena peraturan yah, adanya peraturankan untuk
membentuk kita supaya patuh gitu, jadi awalnya karena peraturan, hmm
karna niat karna kita terbiasa dengan peraturan tersebut akhirnya kita jadi
terbiasa dan mengalir gitu menjadi itu jadi kemauan kita sendiri, gitu.
Pewawancara : Selama satu tahun disini, kitab apa yang biasa dikaji?
Rani : Banyak yah, tapi kan saya dari dasar yah, ada tingkat-tingkatnya. Ada
yang dasar yah ada yang sudah lama, saya sih dari dasar dari fikihnya ada
fikih wadi‟, ada kitab fikih safinatunnajah, terus dari nahu sarafnya, dari
mulai jurumiyah, imriti, yakulu, ditambah juga apa namanya dengan
program amsilati. Ada pula kitab akhlaknya, akhlakul bannat, terus kitab
kurtubi,tambi‟ul ghafilin, dan kihul qaul.
Pewawancara : Kalau boleh tau akhlakul bannat seperti apa yah?
Rani : Akhlakul bannat itu mempelajari tentang akhlak, jadi tentang akhlaknya
seorang wanita tuh harus seperti apa, gitu. Baiknya menurut islam tuh
seperti apa. Bagaimana cara mengeluarkan suara,bagaimana cara
berbicara,bagaimana cara bertingkah laku yang baik dan enak dipandang
islam, dipandang orang banyak, gitu.
Pewawancara : Dari pihak pesantren itu menurut teteh apa udah menuntut mandiri? Dari
pesantrennya itu dalam hal apa yang dituntut mandiri?
Rani : Kalo setiap pesantrenkan pasti yang dituntut bukan penuntutannya, jadi
memang kalau kita sudah di pesantren pasti kita harus mandiri, gitu.
Soalnya kalo di pesantren kan kita tidak dengan ibu, tidak dengan ayah,
kita tidak dengan kakak atau keluarga, siapapun itu pasti kita sendiri disini,
dan bertemu dengan orang-orang banyak dan disitu apa namanya disitu
kita harus bisa menyesuaikan semuanya dengan sendiri, gitu. Seperti kita
mau makan kita harus nyari sendiri, masa kita harus nyuruh orang kan
engga. Terus kita udah pake baju, kalo kotor kan kita harus cuci sendiri,
nah itu kan sudah belajar supaya kita mandiri. Bagaimana baju itu dari
yang bersih, kotor kemudian bersih lagi itu kita harus tau caranya, gitu.
Nyucinya, jemurnya itu kan sudah termasuk belajar mandiri, gitu.
Pewawancara : Kalo muhadharoh itu biasanya itu semuanya kebagian tugas atau gimana?
Rani : Iyah semuanya kebagian tugas, tapi digilir. Misalkan malem minggu ini
yang tugas ada tujuh orang, terus nanti berarti malam minggu depan ada
tujuh orang lagi digilir terus sudah habis di orang yang kemarin berarti
terus aja diulang lagi, gitu.
Pewawancara : Lalu kesederhanaan apa yang diajarkan di pesantren ini teh?
Rani : Kesederhanaan yang tadi saya bilang yah, kesederhanaan yang diajarkan
disini tuh kesederhanaan dalam berprilaku, kesederhanaan dalam
berpenampilan, kesederhanaan dalam bertutur kata, jadi kita tidak harus
muluk-muluk, tidak harus kan gak mungkin yah seorang santri harus
banyak emasnya, yah kan. Jadi, apa namanya disini kita belajar bahwa kita
tuh sama walaupun disini ada anak tentara, ada anak, dokter, ada anak
sampai ada anak tukang-tukangpun disini sama rata. Jadi kita diajarkan
kesederhanaan dalam berprilaku, gitu.
Hasil Wawancara
Jabatan : Pengajar
Nama : Dian
Jabatan : Pengajar
Pewawancara : Diisini dengan cara apa yah ustad mengajarkan santrinya untuk belajar
mandiri?
Narasumber : Pertama dengan cara mengayomi, memperhatikan, serta menerapkan
kedisiplinan-kedisiplinan yang tidak terlepas dari norma-norma ajaran
Islam.
Pewawancara : Usaha apa yang ustad lakukan disini agar membuat santrinya patuh? Apa
dengan peraturan atau gimana?
Narasumber : Dengan menerapkan aturan-aturan yang tidak memberatkan, namun
disangsi tersebut ketika ada yang melanggar kita ta‟zir.
Pewawancara : Sangsinya apa itu ustad?
Narasumber : Diantaranya kalo misalnya ada yang melanggar, misalnya tidak shalat
berjamaah, pulang tanpa izin, kita menta‟zir dengan cara talaran juz
„amma dan kitab-kitab lainnya di talaran juga. Jadi kita menta‟zirnya
dengan hal seperti itu.
Pewawancara : Kalo disini peraturannya apa aja yah ustad kalo boleh tau?
Narasumber : Peraturan disini diantaranya, harus bangun shalat subuh tapi sebelumnya
itu harus tahajjud, shalat lima waktu dengan cara berjamaah, menjaga
etika, tidak berbicara kotor, yaa di antaranya itu peraturan di sini.
Pewawancara : Lalu disini bagaimana caranya yah ustad membentuk kesederhanaan
santrinya?
Narasumber : Dibiasakan dari cara hidup sehari-hari, pola makan, pola berpakaian,
terlebih kami mengupayakan cara berfikir santri agar menjadi mandiri.
Pewawancara : Ini kesederhanaannya dilihat dari masak sendiri atau gimana yah ustad?
Narasumber : Iya, kita menerapkan juga mulai masak sendiri, terus dari cara tidur juga
kita tidak memberikan fasilitas yang seperti pesantren-pesantren pada
umumnya. Dan disini sebelum masak juga ada yang ke pasar terlebih
dahulu.
Pewawancara : Itu masak sendiri ada gilirannya atau tugas tetap?
Narasumber : Dari piket, jadi ada yang piket harian buat masak, ada juga jadwal ronda
itu buat santri putra.
Hasil Wawancara