MENURUT AL-GHAZALI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Oleh
HUSNUL KHULUQ
NIM: 206011000047
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahiim
Segala puja dan puji bagi Allah SWT sebagai pagar penjaga nikmat-Nya,
zat yang Maha Menggenggam segala sesuatu yang ada dan tersembunyi di balik
jagad semesta alam, zat yang Maha Meliputi segala sesuatu yang terfikir maupun
yang tidak terfikir. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan bagi seluruh Umat Islam yang
terlena maupun terjaga atas sunnahnya.
Alhamdulillahirrabbil‘aalamiin, penulis mengucapkan rasa syukur
kepada Allah SWT atas segala rahmat dan pertolongan-Nya, sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan. Karena tanpa rahmat pertolongan-Nya tidaklah mungkin
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul “Konsep Etika Belajar Siswa Menurut Al-Ghazali.”
Penulis gunakan untuk memenuhi persyaratan kelulusan yang ditempuh di
Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Penulis tertarik mengangkat karya tulis
ini karena berbekal dari pendidikan merupakan jembatan bagi anak yang akan
menghubungkan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan masyarakat kelak.
Melalui sekolah inilah seorang anak kelak diharapkan menjadi orang dewasa
sebagai seorang warga negara dan warga masyarakat yang baik dan produktif.
Lebih dari itu, sebagai manusia, para siswa pun memiliki tanggung jawab sebagai
khalifah di muka bumi untuk melaksanakan tugas kekhalifahannya dengan sebaik-
baiknya serta bersosialisasi dengan etika-etika dan norma-norma yang berlaku di
lingkungan masyarakat sekitarnya sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak.
Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, penulisan skripsi ini tidak
akan terselesaikan bila tanpa bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, baik
secara moril maupun materil. Sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungannya,
sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada :
ii
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Sapiudin Shiddiq, M.A, Dosen Penasehat Akademik Jurusan Pendidikan
Agama Islam, angkatan 2005. Serta Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah yang telah mengarahkan,
mendidik, membimbing, dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat untuk
penulis.
4. Prof. Dr. H. Moh. Ardani, selaku Dosen Pembimbing skripsi, yang tidak
pernah menutup pintu keluasan waktunya untuk membimbing dan
memberikan semangat dan arahan dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibunda penulis (Siti Choiriyah) dan Ayahanda penulis (alm. R. Ibnu Mukti)
tercinta, atas tirakat suci, doa dan air mata tersebunyi bagi kehidupan penulis,
terima kasih, semoga pintu Rahman dan Rahim-Nya selalu terbuka untuk
pengorbananmu, Amin. Kakanda penulis (Kuni Masrochati dan Khotib Al-
Umam) dan Adinda penulis (Fathul Bari) atas semua persembahan dari surga
ini. Seluruh keluarga; Kakek (almarhum) dan nenek (almarhum), serta
keluarga besar, terima kasih atas doa yang terucap.
6. Dr. Halimi, M.Ag yang telah memberikan dukungan kepada penulis baik
secara moral maupun material, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya.
7. Abu Khaer, terima kasih atas support dan pengorbanannya. I’m so sorry, if I
always disturb your actifity especially time of your sleep.!!
8. Teman-teman seperjuangan, FORMAL (Forum Komunikasi Alumni dan
Santri Lirboyo), teman-teman Watu Congol, sesepuh dan jama’ah Mushalla
Al-Taqwa, teman-teman Majlis Ceria Al-Fikriyah, juga teman-teman yang
lain tanpa mengurangi rasa hormat penulis yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu. Hanya ucapan terima kasih yang selalu terurai yang bisa penulis
sampaikan.
iii
9. Seseorang yang memberikan inspirasi terbesar, Yoyo dan semua personel
PADI, Armand Maulana dan Dewa Budjana, thank you for spirit. Teman-
teman Komunitas Anak Jalanan (ANJAL Community). Teman-teman Anak
Kaki Lima Gunung (Anka 5G). Teman-teman Slanker Rawamangun. Teman-
teman HERS Radio. Teman-teman Milanisti Club dan komunitas lain yang
penulis pernah numpang ngopi. I perfect your struggle.
10. Kawan-kawan seperjuangan Pendidikan Agama Islam Non-Reg angkatan
2006, I miss you full.
11. Staff Perpustakaan Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
atas pelayanannya.
12. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan
kepada penulis baik secara moral maupun material, penulis ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.
Husnul Khuluq
iv
DAFTAR ISI
iii
BAB III BIOGRAFI AL-GHAZALI
1. Sejarah Ringkas Al-Ghazali................................................... 42
2. Karya-karya Al-Ghazali......................................................... 46
3. Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali................................ 47
BAB V PENUTUP
Kesimpulan .................................................................................. 72
Saran ........................................................................................... 72
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), cet. I, h. 107
1
2
bagi kehidupannya dan kehidupan sosialnya. Dan bila hal ini terjadi, akan
berimplikasi pada kebahagiannya di dunia maupun di akhirat.
Dengan demikian, pendidikan idealnya merupakan suatu proses di
dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun komunitas manusia.
Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang
dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan ekploitasi. Disinilah letak tujuan
dari paedagogik, yaitu membebaskan manusia secara konprehensif dari ikatan-
ikatan yang terdapat di luar dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang
mengikat kebebasan seseorang.
Pandangan paedagogisme tersebut memang mempunyai segi-segi
positif yang sangat menghormati perkembangan anak, namun juga
mempunyai berbagai kelemahan karena anak seakan-akan diisolasikan dari
kehidupan bersama di dalam masyarakat. Paedagogisme melahirkan child
centered education yang cenderung melupakan bahwa anak hidup di dalam
suatu masyarakat tertentu dan mempunyai cita-cita hidup bersama yang
tertentu pula. Dengan kata lain, child centered education telah melahirkan
romantisme pendidikan yang berpusat kepada kepentingan anak (child needs).
Hal ini akan memberikan reaksi terhadap pendidikan yang tidak melihat
kepada hakikat anak sebagai makhluk manusia yang hidup di dalam dunianya
sendiri sehingga perlu memperoleh perlakuan-perlakuan khusus di dalam
proses mendewasakannya.2
Di sisi lain, pendidikan merupakan elemen yang sangat signifikan
dalam menjalankan roda kehidupan. Karena dari sepanjang perjalanan
manusia, pendidikan merupakan barometer untuk mencapai pematangan nilai-
nilai kehidupan. Oleh karena itu, pemerintah melalui UU RI SISDIKNAS No.
20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 menyatakan:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman
2
H.A.R. Tilaar, Ed., Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia,
Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h. 19-20
3
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab .3
3
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI
Tentang Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), h. 8-9
4
4
Imam Malik ibn Anas, Al-Muwaththo’, (Darul Hadits), Juz 2, h. 690
5
Al-Ghazali, Mizan al-'Amal, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1989 M), cet. I, h. 143
5
belajar siswa di sini adalah etika siswa kepada guru baik di lingkungan kelas
maupun di luar kelas (kehidupan sehari-hari).
Agar penulisan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi
permasalahan pada hal sebagai berikut:
1. Pembahasan dibatasi hanya dalam tata-cara beretika yang bekenaan
dengan situasi belajar dalam proses pendidikan.
2. Penulisan skripsi ini membahas etika siswa dalam belajar yang semestinya
dilakukan dalam kerangka pendidikan universal berdasarkan pendapat Al-
Ghazali yang terdapat dalam karya-karyanya, terkait dengan masalah
pendidikan.
Adapun masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah etika belajar siswa menurut Al-Ghazali?
2. Bagaimana mengaplikasikannya dalam proses pembelajaran siswa sehari-
hari?
D. Tinjauan pustaka
1. Analisis teori
Kegiatan belajar mengajar dikatakan sebagai suatu sistem
intruksional yang didalamnya terdapat seperangkat komponen yang saling
bergantung antara yang satu dengan yang lain. Komponen-komponen
tersebut meliputi tujuan, metode, bahan atau materi pelajaran, alat atau
media dan evaluasi.
Belajar mengajar merupakan suatu kegiatan yang bernilai edukatif.
Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dengan anak
7
Jadi, antara ilmu dan amal harus seimbang dan saling melengkapi,
searah dan setujuan maksudnya. Dengan kata lain, ilmu haruslah amaliah
dan amal haruslah ilmiah, sehingga dapat tercapai keharmonisan antara
6
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Komptensi;
Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), cet. Ke-3,
h. 135
7
M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet.1,
h. 28
8
Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1994 M), cet. I, h. 104
8
9
Eva Y, N, Femmy S., Jarot W., Poerwanto, Rofik S., Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam
Modern, (Bandung: Mizan, 2001), h. 111
9
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini bersifat Kualitatif. Riset kualitatif memproses
pencarian gambaran data dari konteks kejadian secara langsung sebagai
upaya melukiskan peristiwa sepersis kenyataannya, yang berarti membuat
pelbagai kejadiannya seperti merekat dan melibatkan perspektif yang
partisipatif di dalam pelbagai kejadian, serta menggunakan penginduksian
dalam menjelaskan gambaran fenomena yang diamatinya. 10 Dengan
demikian, pendekatan kualitatif menekankan analisanya pada data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati. Pendekatan kualitatif penulis gunakan untuk menganalisis
pemikiran Al-Ghazali tentang konsep etika belajar siswa. Maka dengan
sendirinya penganalisaan data ini lebih difokuskan pada Penelitian
Kepustakaan (Library Research), yakni dengan membaca, menelaah dan
mengkaji buku-buku dan sumber tulisan yang erat kaitannya dengan
masalah yang dibahas.
Sedangkan dipilihnya metode deskriptif karena data yang
dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Penelitian
deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu tetapi hanya
menggambarkan apa adanya tentang sesuatu variabel, gejala atau
keadaan.11 Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi
kunci terhadap apa yang diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan
berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan
tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah atau dokumen lainnya.
2. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
10
Septiawan Santana K, Menulis Ilmiah; Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2007), ed. 1, h. 29-30
11
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 234
10
12
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, h. 234
11
BAB II
KAJIAN TEORI
3
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. Ke-
1, h. 5
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 263
5
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI
Tentang Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), h. 5
6
M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan
Keluarga; Sebagai Pola Pengembangan Metodologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet. ke. 4, h.
14
7
M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet.1,
h. 6
13
8
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan Pendidikan,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), cet. Ke-1, h. 119
9
Drs. Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), cet. Ke.
4, h. 2
10
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2005), Ed. 6, h. 49
14
11
Dra. Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), cet.
Ke. 7, h. 12
12
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam..., h. 51
13
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), cet. Ke-2,
h. 13
15
14
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam..., h. 16
16
b. As-Sunnah
Hadits merupakan jalan atau cara yang pernah dicontohkan
Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan kehidupannya melaksanakan
15
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), cet. Ke-1, h. 95-96
16
Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al-Quran DEPAG, 1995), h. 1079
17
dakwah Islam. Contoh yang diberikan beliau dapat dibagi kepada tiga
bagian. Pertama, hadits qauliyat yaitu yang berisikan ucapan,
pernyataan dan persetujuan Nabi Muhammad SAW. Kedua, hadits
fi’liyat yaitu yang berisi tindakan dan perbuatan yang pernah dilakukan
Nabi. Ketiga, hadits taqririyat yaitu yang merupakan persetujuan Nabi
atas tindakan dan peristiwa yang terjadi.
Kesemua contoh yang telah ditunjukkan Nabi merupakan
acuan dan sumber yang dapat digunakan umat Islam dalam seluruh
aktifitas kehidupannya. Hal ini disebabkan, meskipun secara umum
bagian terbesar dari syari’ah Islam telah terkandung dalam Al-Qur’an,
namun muatan hukum yang terkandungbelum mengatur berbagai
dimensi aktivitas kehidupan ummat secara terperinci dan analitis.
Untuk itu diperlukan keberadaan hadits Nabi sebagai penjelas
dan penguat hukum-hukum dalam Al-Qur’an sekaligus sebagai
pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspeknya.
Dari sini dapat dilihat bagaimana posisi dan fungsi hadits Nabi sebagai
sumber pendidikan Islam yang utama setelah Al-Qur’an.17
Dalam dunia pendidikan, Rasulullah SAW, seperti dalam
hadits, menyerukan untuk menuntut ilmu pengetahuan sebagai bekal
dalam pendidikan dengan sabdanya: “Menuntut ilmu adalah suatu
kewajiban atas setiap muslim.”18
Mencermati hadits di atas menunjukan bahwa penguasaan ilmu
pengetahuan sangat penting untuk dijadikan sebagai bekal dalam
memasuki dunia yang penuh dengan problematika kehidupan, bahkan
untuk mempersiapkan diri memasuki kehidupan yang lebih kekal dan
abadi, yaitu kehidupan akhirat.19
Rasulullah SAW adalah sosok pendidik yang agung dan
pemilik metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik.
17
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 97-98
18
Al-Ghazali, Ihya’ ’Ulum al-Din, (Surabaya: al-Hidayah, t.t), Juz I, h. 9
19
Muhammad Atyhiyah Al-Abrasy, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Jogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1996), h. 5
18
bahwa:
pendidikan Islam pada masa Rasulullah SAW berbeda jauh dengan tujuan
tanpa melepaskan diri pada nilai-nilai ilahiah dan tujuan umumnya, yaitu
sebagai bagian dari suatu ibadat. Akibat dinamikanya ini, para ahli muslim
batasan bahwa tujuan pendidikan Islam itu adalah membina kesadaran atas
diri manusia itu sendiri dan atas sistem sosial yang Islami. Sikap dan rasa
20
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 105
21
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 106
22
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI
Tentang Pendidikan..., h. 8
21
c. Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik
diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu
kurikulum pendidikan formal.
d. Tujuan operasional yaitu tujuan praktis yang hendak dicapai dengan
sejumlah kegiatan pendidikan tertentu, yang menuntut kemampuan dan
keterampilan tertentu yang lebih ditonjolkan pada sifat penghayatan
dan kepribadian.23
Jelaslah bahwa tujuan pendidikan Islam lebih berorientasi kepada
nilai-nilai luhur dari Tuhan yang harus diinternalisasikan ke dalam diri
individu anak didik melalui proses pendidikan.
i. Metode Motivasi
Yaitu cara memberikan pelajaran dengan memberikan
dorongan (motivasi) untuk memperoleh kegembiraan bila
mendapatkan sukses dalam kebaikan, sedangkan bila dalam keadaan
tidak sukses karena tidak mau mengikuti petunjuk yang benar maka
akan mendapat kesusahan. Metode ini juga disebut sebagai metode
targhieb dan tarhieb (hadiah dan ancaman). Yang memberikan
dorongan untuk selalu berbuat baik dalam hal-hal yang bersifat positif.
j. Metode Taubat dan Ampunan
Metode taubat dan ampunan yaitu cara membangkitkan jiwa
dan rasa frustasi kepada kesegaran hidup dan optimisme dalam belajar
seseorang dengan memberikan kesempatan bertaubat dari
25
25
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam..., h, 110-125
26
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam..., h 16
26
27
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 124
28
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam..., h. 125
27
B. Konsep Etika
1. Pengertian Etika
a. Pengertian Etika menurut Bahasa
Secara etimologi, kata etika berasal dari bahasa Latin "ethicus",
yang berarti kesusilaan atau moral. Maksudnya adalah tingkah laku
yang ada kaitannya dengan norma-norma social, baik yang sedang
berjalan maupun yang akan terjadi. Di samping itu terdapat pendapat
bahwa kata etika berasal dari bahasa Yunani, "ethos" artinya watak
kesusilaan.29 Etika seringkali juga dikaitkan dengan moral. Hal ini
dikarenakan kata moral selalu mengacu pada tindakan yang baik atau
yang buruk yang dilakukan oleh manusia. Moral berasal dari bahasa
Latin "mores", jamak dari "mos" yang berarti kebiasaan.30 Dalam
bahasa Arab disebut "akhlak" artinya budi pekerti. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak).31
Memperhatikan beberapa pengertian etimologi dari pendapat di
atas menunjukkan bahwa etika sama artinya dengan moral atau akhlak,
29
Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2008), h. 23
30
Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1992), h. 26
31
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 309
28
32
Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika..., h. 25
33
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (terj). Prof. K.H. Farid Ma'ruf, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1995), cet. ke-8, h. 3
34
Hamzah Ya'qub, Etika Islam; Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar),
(Bandung: CV. Diponegoro, 1996), cet. ke-7, h. 12
29
baik dan mana yang buruk dengan melihat perbuatan manusia sejauh
yang dapat diketahui oleh akal pikiran.35
Dari beberapa batasan pengertian tersebut di atas, tampak
sekali, walaupun mengemukakan dalam bahasa yang berbeda, namun
pada prinsipnya sama antara yang satu dengan yang lainnya saling
melengkapi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki dengan meliputi
berbagai aspek, yaitu tentang baik dan buruk, tentang apa dan
bagaimana perbuatan dan tujuan manusia, mengandung nilai-nilai dan
norma-norma yang dapat dijadikan peraturan hidup dalam kehidupan
manusia.
2. Ruang Lingkup Etika
Lapangan penelitian etika memiliki cakupan yang sangat luas
sehingga pembahasannya memerlukan pembagian. Oleh karena itu lingkup
persoalan etika dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Etika deskriptif, yaitu ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan etika
yang berusaha untuk membuat deskripsi yang secermat mungkin
tentang yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik, yang
berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika deskriptif ini hanya
melukiskan tentang nilai dan tidak memberikan penilaian.
b. Etika normatif, yaitu etika yang berkaitan ddengan penyelesaian
ukuran-ukuran kesusilaan yang dianggap benar yang dilaksanakan oleh
seseorang atau sekelompok orang. Dalam arti bahwa etika normatif
menjelaskan tentang tindakan-tindakan yang seharusnya terjadi atau
yang semestinya dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.
Dengan demikian etika normatif tidak menggambarkan norma yang
ada melainkan menentukan benar atau tidaknya tingkah laku atau
anggapan moral yang ada di dalam masyarakat.
c. Etika praktis, yaitu etika yang mengacu pada pengertian sehari-hari,
yakni persoalan etis yang dihadapi seseorang ketika berhadapan
dengan tindakan nyata yang harus diperbuat dalam tindakannya sehari-
35
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Wijaya, 1978), cet. 5, h. 63
30
hari. Dengan kata lain bahwa etika praktis sama dengan etika terapan
yang membicarakan masalah-masalah kesusilaan yang kongkrit.
d. Etika individual dan etika sosial.
Etika individual adalah etika yang bersangkutan dengan manusia
sebagai perseorangan saja. Sedangkan etika sosial adalah etika yang
membicarakan hubungan antar perorangan dengan sekumpulan
masyarakat. Sehingga dapat dipahami bahwa etika individual
berhubungan dengan sikap atau tingkah laku perbuatan dari
perseorangan. Sedangkan etika sosial berhubungan dengan tingkah
laku yang dilakukan oleh perseorangan sebagai bagian kesatuan yang
lebih besar.36
3. Perbedaan Antara Etika dengan Akhlak
Banyak orang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak.
Persamaan itu memang ada karena keduanya membahas masalah baik
buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat
ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu
dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang
dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha
mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan karena pandangan masing-
masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran
(kriteria) yang berlainan. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-
sendiri.37
Sebagai cabang dari filsafat, maka etika bertitik tolak dari akal
pikiran, tidak dari agama. Di sinilah letak perbedaannya dengan etika
Islam yang lebih dikenal dengan akhlak.
Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak ialah suatu ilmu pengetahuan
yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan
ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran agama Islam sesuai dengan fitrah dan
akal pikiran yang lurus.
36
Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika..., h. 44-52
37
Hamzah Ya'qub, Etika Islam; Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar)..., h.
13
31
38
Sudarsono, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), Cet.
ke-2, h. 39-41
39
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006), h. 86-87
32
40
Hamzah Ya'qub, Etika Islam; Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar)..., h.
14
33
C. Konsep Belajar
1. Pengertian Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, belajar adalah 1. berusaha
memperoleh kepandaian atau ilmu; 2. berlatih; 3. berubah tingkah laku
atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.41
Sedangkan secara terminologi, belajar dapat diartikan sebagai
suatu proses perubahan tingkah laku akibat adanya interaksi antara
individu dengan lingkungannya. Secara umum, menurut Mardiyanto,
belajar adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan untuk
mengadakan perubahan di dalam diri seseorang yang mencakup perubahan
tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan keterampilan dan
sebagainya.42 Selanjutnya Syaiful Bahri Djamarah menyatakan bahwa
belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam
interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut aspek kognitif, afektif
dan psikomotor.43
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa belajar merupakan proses
penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari proses
pembelajaran serta perubahan tingkah laku akibat adanya interaksi antara
individu dengan lingkungannya untuk dapat tumbuh dan berkembang
secara baik dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan etika belajar adalah
serangkaian upaya pembentukan perilaku yang mengandung nilai-nilai dan
norma-norma yang dapat dijadikan peraturan hidup, terutama dalam
proses belajar baik dalam proses penguasaan pengetahuan atau
keterampilan serta tercapainya perubahan tingkah laku akibat adanya
interaksi antara individu dengan lingkungannya untuk dapat tumbuh dan
berkembang secara baik.
41
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 17
42
Mardiyanto, Psikologi Pendidikan; Landasan Bagi Pengembangan Strategi Pembelajaran,
(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), cet. I, h. 35
43
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), ed. 2, h. 13
35
2 Ciri-ciri Belajar
Mengingat bahwa hakikat belajar adalah perubahan tingkah laku,
maka ada beberapa perubahan tertentu yang dimasukkan ke dalam ciri-ciri
belajar, yaitu:
a. Perubahan yang terjadi secara sadar
Hal ini berarti individu yang belajar akan menyadari terjadinya
perubahan itu atau sekurang-kurangnya individu merasakan
telahterjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya. Misalnya ia
menyadari bahwa pengetahuannya bertambah, kecakapannya
bertambah, kebiasaannya bertambah.
b. Perubahan dalam belajar bersifat fungsional
Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri individu
berlangsung terus menerus dan tidak statis. Suatau perubahan yang
terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna
bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya. Misalnya, jika
seorang anak belajar menulis maka ia akan mengalami perubahan dari
tidak menulis menjadi dapat menulis . disamping itu, dengan
kecakapan menulis yang telah dimilikinya ia dapat memperoleh
kecakapan-kecakapan lain. Misalnya, dapat menulis surat, menyalin
catatan-catatan, mengerjakan soal-soal dan sebagainya.
c. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu selalu bertambah
dan tertuju untuk memperoleh suatu yang lebih baik dari sebelumnya.
Dengan demikian, makin banyak usaha belajar yang dilakukan, makin
banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang
bersifat aktif artinya bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan
sendirinya melainkan karena usaha individu sendiri. Misalnya,
perubahan tingkah laku karena proses kematangan yang terjadi dengan
sendirinya karena dorongan dari dalam, tidak termasuk perubahan
dalam pengertian belajar.
36
Suatu sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan
45
tanpa pertimbangan.
Asal sikap mental itu adakalnya dari watak dan ada pula dari kebiasaan
dan latihan. Dengan demikian sangatlah penting menegakkan akhlak yang benar
dan sehat. Sebab dengan landasan tersebut akan melahirkan perbuatan-perbuatan
baik tanpa kesulitan.
Karena pentingnya akan pembinaan akhlak, Ibnu Miskawaih memberikan
perhatian yang besar terhadap etika mulia yang harus dibina dengan menekankan
pada pembentukan jiwa terlebih dahulu yang mencakup daya dan kemampuan
yang ada pada anak, yaitu daya berfikir, daya marah dan daya keinginan. Hal ini
sesuai dengan analisis Muhammad Yusuf Musa terhadap pemikiran Ibnu
Miskawaih yang menyatakan bahwa:
, ,
,
Jiwa memiliki tiga daya. Pertama adalah daya berfikir daya mengamati
hakekat sesuatu, kedua adalah daya yang berkaitan dengan sifat marah,
44
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar..., h. 15-17
45
Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam wa Shilatuha bi al-Falsafat al-
Ighroqiyyah, (Kairo: al-Khoniji, 1963), Cet. ke. 3, h. 85
38
sifat berani dan sifat-sifat lainnya dan ketiga adalah daya keinginan yang
akan menimbulkan kepuasan inderawi dan hal-hal lainnya.46
46
Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam wa Shilatuha bi al-Falsafat al-
Ighroqiyyah..., h. 85
39
Orang yang memiliki etika baik dapat bergaul dengan masyarakat secara
luwes karena dapat melahirkaan sifat saling mencintai dan tolong-menolong.
Etika yang baik bukanlah semata-mata teori yang muluk-muluk, melainkan etika
baik yang timbul sebagai tindak-tanduk manusia yang bersumber dari hati. Etika
baik merupakan sumber dari segala perbuatan yang sewajarnya sehingga suatu
perbuatan yang terlihat merupakan gambaran dari sifat-sifat yang tertanam dalam
jiwa.
Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa konsep etika belajar siswa
menurut Ibnu Miskawaih terbagi menjadi tiga hal, yaitu:
1. Daya berfikir, siswa dilatih dengan baik terutama pada perkembangan akal
serta sistematika berfikirnya sehingga pada akhirnya dapat menguasai segala
ilmu pengetahuan baik yang bersifat ukhrawi maupun yang bersifat duniawi
2. Daya yang berkaitan dengan emosi atau marah, berani dan kendali diri
diterapkan untuk meminimalisir serta mengarahkan daya marah dan sifat
berani yang dimilikinya menuju sikap dan perilaku yang positif
3. Daya yang menimbulkan kepuasan inderawi, yaitu sifat dasar manusia yang
menginginkan kebebasan beraktualsasi untuk meraih kepuasan-kepuasan
tertentu. Orang yang memiliki daya tersebut dapat menimbulkan sifat-sifat
pemurah, pemalu, sabar, toleransi, sederhana, suka menolong, cerdik dan
tidak rakus
, .
,
,
40
, .
.
47
Ahmad Syamsyuddin, Al-Farabi; Hayatuhu, Atsaruhu, Falsafatuhu, (Beirut, Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1990), Cet. ke. 1, h. 140
41
1
Yusuf Qardhawi, Pro Kontra Pemikiran Al-Ghazali, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997),
h. 9
2
Eva Y, N, Femmy S., Jarot W., Poerwanto, Rofik S., Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam
Modern, (Bandung: Mizan, 2001), h. 111
42
43
3
Sulaiman Dunya, Al-Haqiqatu fi Nazhari Al-Ghazali, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971),
cet. Ke-3, h. 18
4
Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof, alih bahasa oleh Ahmad
Rofi’ ‘Utsmani, (Bndung: Pustaaka, 1987), cet. Ke-1, h. 8
5
Abu al-Wafa al-Ganimi at-Taftazani, Sufi dari Zaman-ke Zaman, alih bahasa oleh
Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1997), cet. Ke-2, h. 148
6
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Menurut Al-Ghazali, alih bahasa oleh Dr.
Z.S. Nainggolan, M.A. dan Drs. Hadri Hasan, M.A., (Jakarta: Dea Press, 2000), h. 25
44
7
Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof..., h. 9
8
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), cet. 1, h.
78-79
45
Hamid yang telah meninggal dunia ketika masih kecil. Karena itulah beliau
sering disebut dengan sebutan Abu Hamid.
Ketenaran Al-Ghazali tidak terbatas hanya pada masanya saja, tetapi
sampai sekarangpun masih diakui oleh masarakat pencinta ilmu. Ia memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ulama dan pemikir lainnya. Sehingga
tidak mengherankan jika kemudian ia mendapat gelar Hujjah al-Islam dan
dianggap sebagai Pembaharu Abad V Hijriyah. Banyak ulama yang memuji
serta menyanjungnya, di antaranya:
1. Imam al-Haramain, salah satu gurunya, mengatakan, ”Al-Ghazali adalah
lautan ilmu yang luas.”
2. Imam Muhammad ibn Yahya, seorang murid Al-Ghazali berkata, ” Al-
Ghazali adalah Imam Syafi’i yang kedua.”
3. Abu al-Hasan Abd al-Ghafir al-Farisi, salah seorang ulama yang hidup
semasa dengannya mengatakan, ”Al-Ghazali adalah Hujjatul Islam dan
hujjah bagi seluruh umat Islam. Ia adalah imam dari semua tokoh agama.
Mata manusia tidak pernah melihat orang yang setara dengannya dalam
kefasihan lisan, kehebatan berbicara dan kepandaian ilmunya serta
karakternya.”
4. Ibnu Najjar berkata, ” Al-Ghazali adalah imam bagi seluruh para fuqaha.
Disepakati sebagai insan rabbani bagi umat Islam, mujtahid pada masanya
serta kenyataanruang dan waktunya.”
5. Abu al-Abbas al-Mursi, seorang tokoh sufi mengatakan, ”Aku bersaksi
bahwa Al-Ghazali telah mencapai derajat shiddiqin.”.
6. Ibn Katsir, pengarang kitab al-Bidayah wa al-Nihayah, mengatakan, ” Al-
Ghazali menguasai berbagai cabang ilmu secara baik. Ia memiliki karya
tulis di berbagai bidang. Ia termasuk cendikiawan kaliber dunia dalam
semua hal yang dibicarakannya. Ia telah menjadi tokoh pada masa muda,
bahkan mengajar di al-Nadzamiyah dalam usia 34 tahun.”,
7. Ibn al-Imad al-Hambali dalam kitabnya Al-Syadzarat, mengatakan, ”Al-
Imam Zainuddin, Hujjatul Islam, Abu Hamid adalah salah seorang tokoh
yang telah menyusun berbagai karangan, memiliki hafalan kuat,
46
B. Karya-karya Al-Ghazali
Al-Ghazali selain mahir berbicara juga amat produktif menulis. Karya
tulisnya relative banyak, baik berupa buku atau risalah dalam berbagai bidang
ilmu: tasawuf, teologi, filsafat, logika, fiqih dan lain-lain. Karya tulisnya yang
paling terkenal luas adalah Ihya’ Ulumuddin, kitab yang mengupas –
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah serta dengan semangat tasawuf- masalah
ilmu, akidah ibadat, muamalat, keajaiban hati, akhlak dan latihan jiwa.
Dan di antara buku-bukunya adalah:
1. Maqashid al-Falasifah (Tujuan-tujuan para Filsuf), sebagai karangannya
yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafat
2. Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pikiran para Filsuf), kitab ini dikarang
sewaktu beliau berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan.
Dalam buku ini, Al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan
keras.
3. Mi'yar Al-'Ilmi (Kriteria Ilmu-ilmu)
4. Ihya' Ulum Al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), kitab ini
merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa
tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara kota Damaskus, Yerusalem,
Hijaz dan Thus yang berisikan paduan antara fiqh, tasawuf dan filsafat.
5. Al-Munqiz Min Al-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan), kitab ini
merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali sendiri dan
merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan
mencapai Tuhan.
9
Yusuf Qardhawi, Pro Kontra Pemikiran Al-Ghazali..., h. 10-12
47
10
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam..., h. 78-79
11
Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin
Press, 1997, cet. 1, h. 86
48
. , :
, ,
Hai anak! Ilmu yang tidak disertakan dengan amal itu namanya gila,
dan amal tanpa ilmu itu akan sia-sia dan ketahuilah bahwa semata-
mata ilmu saja tidak akan menjauhkan maksiat di dunia ini, dan tidak
akan membawa kepada taat dan kelakpun di akhirat tiada akan
memeliharamu (menjagamu, menghindarkan) daripada neraka
jahannam.13
Jadi antara ilmu dan amal harus seimbang dan saling melengkapi,
searah dan setujuan maksudnya atau dengan kata lain, ilmu haruslah amaliah
dan amal haruslah ilmiah, sehingga dapat tercapai keharmonisan antara ilmu
dan amal.
Al-Ghazali melukiskan tujuan pendidikannya sesuai dengan
pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kemudian
ia meletakkan metode ilmu yang menurut pendapatnya sesuai bagi tujuan dan
sasaran pendidikan. Maka ia mengadakan pembagian ilmu-ilmu, diberikan
nilainya dan diterangkan faedah-faedahnya bagi murid. Kemudian menyusun
dan mengaturnya menurut kepentingan dan manfaatnya. Kemudian
diterangkan dasar-dasar yang harus dilalui guru sesuai dengan ilmu-ilmu itu
pada waktu melaksanakan tugas mengajar dan mendidik supaya dapat
melaksanakan tugas ini dengan jalan yang paling sempurna. Demikianlah Al-
12
Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1989 M), cet. I, h. 143
13
Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1994 M), cet. I, h.
104
49
14
Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Gazali dan Plato; Dalam Aspek Pendidikan, alih bahasa
oleh H.M Mochtar Zoerni, BA dan Baihaki Shafiuddin, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD,
1986.), h. 14
BAB IV
ANALISIS ETIKA BELAJAR SISWA MENURUT AL-GHAZALI
Dari konsep dasar ini maka untuk menilai baik buruk suatu
perbuatan etika belajar siswa tidak bisa dilihat dari aspek lahiriahnya saja,
1
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulûm al-Dîn, (Surabaya: Al-Hidayah, t.t ), Juz 3, h. 56
50
51
namun juga harus dilihat dari unsur kejiwaannya. Oleh karena itu
perbuatan lahir harus dilihat dari motif dan tujuan melakukannya.
Al-Ghazali mempergunakan istilah siswa dengan beberapa kata,
seperti Al-Shobiy (anak), al-Muta’allim (pelajar), dan Tholibul ‘Ilmi
(penuntut ilmu pengetahuan). Oleh karena itu, siswa dapat diartikan orang
yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal
terciptanya dan merupakan obyek utama dari pendidikan dalam arti luas.
Kemudian, terkait dengan etika belajar siswa Al-Ghazali
mengatakan bahwa:
2
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulûm al-Dîn…, h. 59
52
,
,
53
3
Al-Ghazali, Mizan al-'Amal, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1989 M), cet. I, h. 143
54
pendidikan yang berjiwa budi pekerti dan akhlak yang bertujuan untuk
mencapai akhlak yang sempurna bagi para penuntut ilmu.4
Abdullah Nasih Ulwan juga menyatakan bahwa etika belajar siswa
pada diri sendiri merupakan serangkaian sendi moral, keutamaan tingkah
laku dan naluri yang wajib dilakukan anak didik, dibiasakan dan
diusahakan sejak kecil.5
Masalah moral secara normatif seharusnya sudah implisit dalam
setiap program pendidikan, atau dengan kalimat lain meskipun dalam
setiap satuan pelajaran telah disisipkan pendidikan moral, namun
konseptualisasi sistem pendidikan moral secara khusus tetap diperlukan
guna memberikan arah atau panduan kepada pelaku pendidikan dalam
menjalankan sistem pendidikan moral.
Dengan demikian, kajian tentang etika belajar siswa pada diri
sendiri secara spesifik bukan suatu hal yang mengada-ada dan tumpang
tindih (overlapping) dengan konsep etika belajar siswa pada diri sendiri
secara umum.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan etika belajar
siswa pada diri sendiri menurut Al-Ghazali adalah terbentuknya moral dan
jasmani yang baik pada anak didik sesuai landasan agama. Adapun tujuan
akhir dari etika pada diri adalah mencapai kebahagiaan utama.
, : ,
,
, ,
4
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. H.
Bustami dan Johar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) h. 1
5
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan
Jiwa, Terj. Khalilullah Ahmad Masykur (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1990) h. 169
55
,
, ,
, , ,
Dari uraian di atas, banyak cara yang dapat dilakukan seorang siswa
dalam rangka beretika terhadap seorang guru ketika belajar menurut Al-
Ghazali, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Memulai memberi hormat dan salam kepada gurunya
2. Sedikit bicara di hadapan gurunya
3. Tidak membicarakan yang tidak ditanyakan gurunya
4. Tidak bertanya sebelum mohon izin terlebih dahulu
6
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1988 M), cet. I, h.
79
56
7
Amin Abdullah, Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, penerj. Hamzah, (Bandung:
Mizan, 2002), h.82
58
.
, . ,
.
Ketahuilah.! Bahwasannya ilmu itu terbagi dua, yakniilmu
mukasyafah dan ilmu mu’amalah. Ilmu mukasyafah adalah ilmu
batin yang menjadi puncak dari semua pengetahuan. Kedua
adalah ilmu mu’amalah yakni ilmu mengenai keadaan hati.
a. Ilmu Mukasyafah
8
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din…, Juz I, h. 31-32
9
S. Waqar Ahmad Hussain, Sistem Pembangunan Masyarakat Islam, diterjemahkan oleh
Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983), h. 100
59
batin yang berhubungan dengan keadaan hati dan akhlak jiwa terbagi
menjadi tercela dan terpuji.10 Dengan kata lain ilmu Muamalah adalah
ilmu mengenai keadaan hati yang mengajarkan nilai-nilai mulia dan
melarang tindakan yang melanggar kesusilaan pribadi dan etika sosial
syari’ah.
Fathiyah Hasan Sulaiman menyimpulkan gradasi materi
pendidikan akhlak dari karya-karya Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
1. Urutan pertama: al-Qur’an al-karim dan ilmu-ilmu agama seperti
fiqh, sunnah dan tafsir.
2. Urutan kedua ilmu-ilmu bahasa, seperti ilmu Nahwu, serta
artikulasi huruf dan lafal karena ilmu tersebut melayani agama.
3. Urutan ketiga ilmu yang termasuk kategori ilmu wajib kifayah.
4. Urutan keempat ilmu yang berkaitan dengan budaya, sejarah serta
sebagian cabang filsafat, seperti matematika, logika dan lain
sebagainya.11
Disamping ilmu sarana kedua mencapai kebaikan moral dan
tujuan moral adalah amal. Menurut Al-Ghazali amal adalah
penyempurna ilmu untuk mencapai tujuan yang semestinya. Amal
dalam konteks ini adalah mengekang nafsu jiwa mengontrol amarah
dan menekankan pertimbanagan sehingga benar-benar tunduk terhadap
akal.12
Konsep etika belajar siswa dalam memilih pelajaran diperkuat
oleh Hasyim Asy’ari ketika menjelaskan etika belajar penuntut ilmu
hendaknya mendahulukan pelajaran yang wajib, yaitu:
1. Ilmu Tauhid tentang hal-hal yang berhubungan dengan dzat Tuhan
(Hakikat Tuhan/ Tauhid).
10
S. Waqar Ahmad Hussain, Sistem Pembangunan Masyarakat Islam…, h. 94
11
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran Dalam Pendidikan, terj. Ahmad Hakim dan
Imam Aziz (Jakarta: P3M,1990), hal. 28
12
Majid Fakhry, Etika dalam Islam (Ethical Theories In Islam), (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar bekerja sama dengan Pusat Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta: 1995), h.
127
60
2. Ilmu tentang sifat-sifat wajib bagi Tuhan yang dua puluh dan sifat-
sifat mustahil-Nya.
3. Ilmu Fiqih yang membahas tata cara ibadah, seperti thaharah,
shalat, dan puasa
4. Ilmu tentang sikap dan tingkah laku serta maqam-maqam (tingkat
kedudukan) ibadah dan hal-hal yang memengaruhi jiwa manusia
baik pengaruh negatif maupun positif.
Emile Durkheim berbeda dengan konsep etika belajar siswa
dalam memilih pelajaran sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
Imam Al-Ghazali dan Hasyim Asy’ari di atas.
Gagasan Emile Durkheim tentang etika belajar siswa lebih
difokuskan pada memilih materi pendidikan yang rasional yang tidak
memasukan unsur-unsur agama di dalamnya. Etika belajar siswa
bukan sekedar sistem perilaku yang menjadi kebiasaan melainkan
suatu sistem perilaku yang ditetapkan oleh aturan-aturan yang menjadi
kesepakatan bersama. Dalam hal ini etika didasarkan pada beberapa
unsur sebagaimana telah dikemukakan oleh Durkheim. Unsur-unsur
tersebut adalah semangat disiplin, ikatan pada kelompok dan
otonomi.13
13
Majid Fakhry, Etika dalam Islam…, h.127
61
. , :
, . ,
.
, . ,
14
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah..., h. 80-82
15
Ayuhan Asmara, Merajut Ukhuwah
Islamiyah,http://www.umj.ac.id/main/artikel/index.php?detail=20100922143210, diakses pada
tanggal 10 Desember 2010 pukul 8.00 WIB.
63
16
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab,
(Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 69
65
17
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Menurut Al-Ghazali, alih bahasa oleh
Nainggolan, Hadri Hasan, (Jakarta: Dea Press, 2000), h. 12
66
18
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi Ulul Albab…, h.
68-74
67
satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi
seperti itu.
3. Metode pendidikan Islam
Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode barang
kali tidak ditemukan, namun secara umum ditemukan dalam karya-karyanya.
Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan
hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan
pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang
penguatan akidah. 19
Pendidikan agama kenyataannya lebih sulit dibandingkan dengan
pendidikan lainnya karena pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan
menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu, usaha
Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan
menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa
kebenaran akal atau rasio bersifat sempurna, maka agama bagi murid dijadikan
pembimbing akal.
Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari
metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan di atas.
Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat
berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu, membina dan
melatih fisik dan psikis siswa itu sendiri sebagai penggunaan metode pendidikan.
Azyumardi Azra dalam pengantar karya ilmiah Armai Arif Reformulasi
Pendidikan Islam, mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin
dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang
komunikatif.20 Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat
sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan
koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini.
19
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), h. 75
20
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Ciputat: CRSD Press, 2007), h. x
68
Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam Al-
Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.
Berdasarkan uraian di atas, berikut ini akan dikemukakan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Keutuhan pribadi Al-Ghazali dapat diketahui dengan memahami hasil
karyanya disemua bidang dan disiplin ilmu yang telah diselaminya dan
bukan pada satu segi saja misalnya segi tasawuf, dengan demikian kesan
Al-Ghazali hanya sebagai sufi yang skeptis, hanya bergerak di bidang
ruhani dan perasaan jiwa.
2. Pendidikan Islam menurut imam Al-Ghazali adalah sarana perekayasaan
sosial bagi umat Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk
menuju kesempurnaan hidup manusia hingga mencapai insan kamil yang
bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan kesempurnaan manusia
yang bertujuan meraih kebahagiaan didunia dan di akhirat kelak.
Pencapaian lesempurnaan hidup melalui proses pendidikan juga
merupakan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.
3. Materi pendidikan Islam menurut al-Ghazali yang berdasarkan al-Quran
dan as-Sunnah ialah berasaskan berbagai ilmu pengetahuan sebagai sarana
yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya, sehingga ia mendekatkan
diri secara kualitatif kepada-Nya. Dan dengan begitu sipenuntut ilmu
dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak.
Namun di satu sisi, pembagian al-Ghazali terhadap ilinu menjadi yang
fardhu ‘ain dipelajari dan fardhu kifayah, ilmu agama dan ilmu umum,
mendapatkan kritikan tajam. Menurut Fazlurrahman pembagian ilmu menjadi
religius dan intelektual “merupakan pembedaan paling malang yang pernah di
buat dalam sejarah intelektual Islam”. Memang sarjana Muslim tidak menolak
ilmu intelektual tetapi kemunduran Islam, salah satu sebabnya adalah “pengabaian
ilmu intelektual”. 21
21
Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung :
Mizan,1997), h. 247
69
Guru sebagai sosok yang memberi manfa’at yang menyebar lebih agung
daripada murid yang hanya membawa manfa’at kepada diri sendiri.24
Hal lain yang perlu dikritisi terhadap konsep pendidikan menurut Imam al-
Ghazali berkenaan dengan etika Contextual Teaching Learning (CTL). Amin
Abdullah mengungkapkan tentang perbedaan dan persamaan teori etika antara dua
tokoh filosof besar Al-Ghazali dan Imanuel Kant serta konsukuensi-
konsekuensinya. Al-Ghazali dan Kant sama-sama menganggap bahwa etika lebih
unggul atas metafisika. Dari studi yang cermat atas pemikiran filsafat mereka,
dapat diketahui bahwa Al-Ghazali dan Kant memiliki jalur utama yang sama.
Bahkan rangkaian kronologis dalam cara mereka meletakkan ide-ide utama
mereka sama.
Al-Ghazali berangkat dengan Tahafut al-Falasifah ketika mengkritik
metafisika dan berakhir dengan Ihya’-nya ketika membangun etika mistiknya,
sedangkan Kant memulai dengan Kritik Der Reinen Vernuft untuk mengkritik
metafisika spekulatif-dogmatik dan berakhir dengan Metaphysik der Sitten dan
karya-karya terkait lainnya untuk mengkontruksikan bangunan utama teori etika
22
Mahdi Gulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur'an, (Bandung Mizan 1986), h. 44-45
23
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1995), h. 31
24
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiayah; 1989), h. 34
70
25
Amin Adullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah
(Bandung; Mizan: 2002), h. 120
26
Amin Adullah, Antara Al-Ghazali dan Kant…,h. 121
27
Amin Adullah, Antara Al-Ghazali dan Kant…,h. 122
71
28
Amin Adullah, Antara Al-Ghazali dan Kant…,h. 123
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
72
73
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Komptensi;
Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006, Cet. ke-3
Abdullah, M. Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, penerj.
Hamzah, Bandung: Mizan, 2002
Abdullah, M. Yatimin, Pengantar Studi Etika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006
_____, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. H. Bustami dan Johar Bahry
Jakarta: Bulan Bintang, 1970
Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ganimi, Sufi dari Zaman-ke Zaman, alih bahasa
oleh Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, Bandung: Pustaka, 1997, Cet. ke-2
Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), (terj). Prof. K.H. Farid Ma'ruf, Jakarta: Bulan
Bintang, 1995, Cet. ke-8
Ardani, Moh., Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Ciputat: PT. Mitra
Cahaya Utama, 2008
Asmara,Ayuhan,MerajutUkhuwahIslamiyah,http://www.umj.ac.id/main/artikel/in
dex.php?detail=20100922143210, diakses pada tanggal 10 Desember 2010
Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, Ed. 2
Eva Y, N, Femmy S., Jarot W., Poerwanto, Rofik S., Ensiklopedi Oxford, Dunia
Islam Modern, Bandung: Mizan, 2001
Ihsan, Fuad, Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005, Cet. ke.
4
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, Cet. 1
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997,
Cet. ke-1
Sabri, M. Alisuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005,
Cet.1
Sudarsono, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta, 1991,
Cet. ke-2
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Al-Gazali dan Plato; Dalam Aspek Pendidikan, alih
bahasa oleh H.M Mochtar Zoerni, BA dan Baihaki Shafiuddin, Singapura:
Pustaka Nasional PTE LTD, 1986
77
_____, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan, terj. Ahmad Hakim dan Imam Aziz ,
Jakarta: P3M,1990
_____, Sistem Pendidikan Menurut Al-Ghazali, alih bahasa oleh Dr. Z.S.
Nainggolan, M.A. dan Drs. Hadri Hasan, M.A., Jakarta: Dea Press, 2000
Thobroni, Pendidikan yang Menghormati Guru dan Murid (Refleksi Maulid Nabi),
http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/pendidikan-yang-menghormati-
guru-dan-murid-refleksi-maulid-nabi/, diakses tanggal 11 Desember 2010
Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet.
ke-2
Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof, alih bahasa oleh
Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, Bandung: Pustaaka, 1987, Cet. ke-1