Anda di halaman 1dari 82

HADIS TENTANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

DALAM PEMAHAMAN MASYARAKAT MUSLIM


SURABAYA

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Ulil Albab
NIM: 1111034000032

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
ii
HADIS TENTANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
DALAM PEMAHAMAN MASYARAKAT MUSLIM
SURABAYA

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Ulil Albab
NIM: 1111034000032

Di bawah bimbingan:

Rifqi Muhammad Fatkhi, MA


NIP. 19770120 200312 1 003

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.

iii
iv
v
ABSTRAK

Ulil Albab
Hadis tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Pemahaman Masyarakat
Muslim Surabaya

Skripsi Ini berjudul Hadis tentang Kepemimpinan Perempuan dalam


Pemahaman Masyarakat Muslim Surabaya, penelitian ini berfokus pada
bagaimana masyarakat muslim Surabaya memandang kepemimpinan perempuan
dari sudut pandang pemahaman hadis sahih yang diriwayatkan oleh Abū Bakrah
yang secara tekstual memberikan larangan terhadap kepemimpinan perempuan
disebabkan akan menuai kegagalan. Makna tekstual ini tentu berbanding terbalik
dengan kemunculan Tri Rismaharini yang dinilai telah menorehkan keberhasilan
selama menjabat Walikota Surabaya.
Penelitian ini berusaha menampilkan potret pemahaman hadis yang ada di
masyarakat sehingga termasuk dalam kategori penelitian lapangan (field
research), dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Mengingat fokus
penelitian ini terkait pemahaman hadis maka perlu spesifikasi tertentu yang
dijadikan sumber data agar mampu memberikan pandangan secara lebih
mendalam, sehingga menggunakan purposive sampling dengan kriteria pimpinan
pesantren, pimpinan Ormas Islam, serta tokoh Muslim yang memiliki pengaruh di
Surabaya melalui wawancara semi terstruktur. Data yang telah dihimpun
kemudian dianalisa dengan metode analisa deskriptif hingga disajikan secara
sistematis.
Hasil temuan penelitian ini yaitu pemahaman masyarakat Surabaya
mengenai hadis kepemimpinan perempuan dapat diklasifikasikan menjadi 2
kelompok, yaitu pemahaman tekstualis dan kontekstualis. Pemahaman tekstualis
memahami hadis tersebut secara harfiah sebagaimana bunyi dari hadis itu
sehingga menganggap bahwa kepemimpinan perempuan tidak bisa dibenarkan.
Kelompok pertama, yakni mereka umumnya menganggap bahwa kepemimpinan
Risma sebagai Walikota Surabaya tidak nampak keberhasilan-keberhasilannya,
dan sebagian kecil lainnya memandang bahwa Risma telah menorehkan
keberhasilan, namun demikian tetap kepemimpinannya tidak dibenarkan.
Sementara kelompok kontekstualis, yakni mereka yang memahami hadis tidak
hanya teks hadis secara harfiah, melainkan meliputi pula konteks-konteks dari sisi
historis dan sosiologisnya, sehingga berkesimpulan bahwa hadis tersebut tidak
mearang kepemimpinan perempuan. Dalam kaitannya kepemimpinan Risma
kelompok ini memberikan apresiasi terhadap kepemimpinannya sebagai Walikota
Surabaya yang telah meraih banyak keberhasilan, di samping masih memiliki
bergbagai kekurangan selama kepemimpinannya.

Kata Kunci: pemahaman hadis, pemimpin perempuan, Surabaya

vi
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا المحمن الرحيم‬

Dengan mengucapkan Alḥamdulillāh sebagai bentuk rasa syukur penulis

kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan kekuatan jasmani, rohani, taufik,

rahmat dan hidayahNya, serta memberikan kemudahan dan kesabaran dalam

menghadapi kendala-kendala dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan

salam semoga senantiasa tercurah dan dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw.

rasul penutup para nabi, serta doa untuk keluarga, sahabat, dan para

pengikutnya di akhir zaman.

Skripsi ini merupakan satu di antara tugas yang harus diselesaikan dalam

rangka mendapatkan gelar Sarjana Agama Islam di Fakultas Ushuluddin, program

studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta. Judul skripsi ini adalah “Hadis tentang Kepemimpinan

Perempuan dalam Pemahaman Masyarakat Muslim Surabaya”. Pada penelitian

ini masih terdapat kekurangan dalam penyusunan, maka tentunya skripsi

memerlukan perbaikan. Oleh karena itu penulis sangat menerima kritikan dan

saran yang bersifat konstruktif.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah

memberikan dukungan terhadap penelitian ini dalam banyak bentuk, yakni

kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta beserta segenap jajaran rektorat.

vii
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah beserta seluruh jajaranya.

3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A, dan Dra. Banun Binaningrum M. Pd, selaku

Ketua dan Sekertaris Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.

4. Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A, selaku dosen pembimbing penulis, serta

guru yang telah memberikan ilmu, pengalaman serta pengarahan selama

proses penulisan skripsi ini.

5. Dr. M. Amin Nurdin, M.A, selaku dosen pembimbing akademik penulis yang

senantiasa mengarahkan semenjak semester pertama hingga mengantarkan

pada kelulusan.

6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah mendidik, memberikan

ilmu, pengalaman, serta pengarahan kepada penulis.

7. Kedua orang tua penulis, Abah H. Sihabudin dan Hj. Sa‟adah yang tiada henti

mencurahkan doa, kasih sayang, dukungan, bimbingan, dan nasihat hingga

ahirnya telah menyelesaikan satu langkah kehidupan berupa penulisan skripsi

ini. Kepada ketiga kakak penulis, yang selalu memberikan dukungan dan

bimbingan juga kepada penulis hingga meraih kelulusan ini. Penulis juga

menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh keluarga besar Bani

Muhammad yang senantiasa memberikan doa dan dukungannya kepada

penulis.

8. Segenap „Alim Ulama dalam jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

(PBNU) khususnya Dr. H. Eman Suryaman, M.M., bagi penulis bukan

sekedar pimpinan namun juga sosok orang tua yang selalu memberikan

viii
nasihat dan dukungan, baik moril maupun materil yang sangat berarti bagi

pennulis hingga saat ini. Kemudian saya sampaikan juga kepada seluruh

Jajaran pengurus Lembaga Perekonomian PBNU, khususnya Sekretaris Bpk.

Arif Rahmansyah Marbun yang telah memberikan arahan, nasihat dan

dukungannya selama ini.

9. Kepada kawan-kawan TH 2011 yang telah berjuang bersama saling

memberikan dukungan yang sangat berarti kepada penulis. Terlebih kawan-

kawan yang lulus di tahun 2018 sebagai keluarga Sektor Sebelas yang sangat

membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

10. Jajaran Abi dan seluruh pengurus Pondok Pesantren Sulaimaniyah,

khususnya cabang Ciputat yang telah mendidik dan mencurahkan

pengetahuan kepada penulis selama menempa ilmu di pesantren

Sulaimaniyah. Kawan-kawan di lingkungan Sulaimaniyah yang telah menjadi

kawan-kawan terbaik dalam perjalan menimba ilmu di pesantren.

11. Segenap senior serta teman-teman organisasi priomordial Ikatan

Mutakharrijin Alumni MAN 2 Cirebon (IMMAN) Jakarta dan Himpunan

Masasiswa Cirebon Jakarta (HIMACITA), penulis bersyukur bisa memiliki

kesempatan untuk belajar organisasi dari kedua organisasi tersebut.

12. Sahabat-sahabat MARKUM, Khoeri, Zaki, Toi, Khamim, dll persahabatan

dengan kalian adalah anugerah yang luar biasa.

13. Kemudian dalam kesempata ini penulis juga menyampaikan ungkapan terima

kasih kepada Riri yang telah menemani penulis dengan selalu mengingatkan

mendukung, dan seantiasa memberikan perhatiannya agar penulis

ix
menyelesaikan skripsi ini. Banyak hal yang tidak bisa disebutkan atas segala

yang diberikannya kepada penulis hingga ahirnya menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikannya.

Akhir kata, pernulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi

pembacanya. Namun demikian penulis juga menyadari bahwa di dalam skripsi ini

masih memiliki kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, penelitian ini menerima

segala saran dan kritikan demi perubahan yang lebih baik untuk penelitian di

masa mendatang.

Ciputat, 12 Juli 2018

Ulil Albab

x
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ................................................................................................ i

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................iii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ v

ABSTRAK ........................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .......................... 8

C. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 9

D. Metodologi Penelitian ...................................................................... 12

E. Sistematika Penulisan ...................................................................... 15

BAB II GAMBARAN UMUM

A. Arti Pemimpin dan Kepemimpinan ................................................. 17

B. Gambaran Umum Kota Surabaya .................................................... 23

C. Tri Rismaharini dan Kepemimpinannya di Surabaya ...................... 28

xi
BAB III KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PANDANGAN

MASYARAKAT MUSLIM SURABAYA

A. Perdebatan Kepemimpinan Perempuan dalam Islam ...................... 35

B. Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Pemahaman Hadis ... 41

C. Pemahaman Masyarakat Surabaya terhadap Hadis Kepemimpinan

Perempuan ....................................................................................... 50

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................... 61

B. Kritik dan Saran ............................................................................... 62

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 63

LAMPIRAN – LAMPIRAN

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tri Rismaharini merupakan figur perempuan yang dianggap berhasil

dalam memegang tampuk kepemimpinan politik, yakni sebagai Walikota

Surabaya. Setelah periode pertama kespemimpinannya telah selesai dan telah

terpilih kembali di tahun 2015, kemudian di pertengahan tahun 2016 Risma

dianggap sebagai calon yang kuat untuk melawan Basuki Tjahaja Purnama pada

kontestasi pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.1 Hal ini lantaran Rekam jejak

Risma di dunia politik tentun memiliki catatan yang membanggakan,2 bahkan

prestasinya selama menjabat Walikota Surabaya sempat mecuri perhatian dunia

internasional.3

Semenjak tahun 2010, yang merupakan periode pertama

kepemimpinannya, Risma telah membuahkan hasil yang cukup memuaskan.

Dirunut dari sepanjang sejarah, Risma merupakan figur perempuan pertama yang

menjadi Walikota Surabaya. Atas keberhasilan Risma tersebut telah menunjukkan

1
Artikel diakses pada 24 Agustus 2016 dari http://www.jawapos.com/read/2016/08/20/
45960/hasil-survey-elektabilitas-ahok-turun-risma-melesat
2
Menjelang akhir kepemimpinan periode pertamanya, Risma dinobatkan sebagai tokoh
perubahan Republika 2014. Risma diberi penghargaan atas keberhasilannya dalam tata kota
dengan smart city, peningkatan ekonomi serta menutup lokalisasi Dolly. “Si Pengubah Wajah
Surabaya,” Republika, 29 April 2014, 1. Apresiasi serupa pernah diulas secara khusus oleh
beberapa media, di antara oleh Majalah Tempo, dengan tajuk Bukan Bupati Biasa dan Majalah
Detik yang bertajuk Risma Super Wali.
3
Majalah Fortun merilis 50 pemimpin terbaik dunia, baik dalam lingkup pemerintahan,
bisnis maupun lembaga sosial. Risma menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia, dan menempati
urutan ke-24. Di lamannya dituliskan “Terpilih sebagai Wali Kota Surabaya pada 2010,
Rismaharini telah mengubah kotanya yang berpenduduk 2,7 juta orang menjadi kota metropolitan
baru di Indonesia yang merayakan ruang hijau dan keberlangsungan lingkungan.‟‟ Berita diakses
pada 28 April 2015 dari http://fortune.com/worlds-greatest-leaders/tri-rismaharini-24/
2

bahwa keberhasilan kepemimpinan dalam dunia politik tidak terbatas hanya bagi

kalangan laki-laki saja, akan tetapi perempuan juga bisa mengukir prestasi sebagai

pemimpin di ranah sosial dan politik.

Keberadaan anggapan bahwa kepemimpinan politik bukanlah ranah untuk

perempuan serta keraguan dan stigma atas kepemimpinnan perempuan merupakan

implikasi dari pandangan bahwa tugas perempuan hanyalah sebatas ranah

domestik, yakni mengurus rumah tangga.4 Dalam ranah politik, stigma ini

disebabkan oleh beberapa faktor, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan

oleh Konrad Adenaur Stiftung,5 di antaranya ialah konstruk sosial yang lebih

mengutakaman budaya patriarki serta buadaya dan dinamika politik yang tak

mendukung.6

Selain kedua faktor di atas alasan yang cukup kuat untuk mengalamatkan

pandangan negatif terhadap kepemimpinan perempuan ialah didasari oleh

penafsiran dari ajaran-ajaran agama. Hal inilah yang terjadi di tengah umat Islam.

Persoalan kepemimpinan perempuan hingga kini menjadi arena perdebatan antara

pro dan kontra. Argumentasi penolakan tersebut didasari oleh pertimbangan atas

QS al Nisā:34, hadis yang diriwayatkan oleh Abū Bakrah, pandangan yang

4
Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam Konsep Islam Modernis (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2004), h. 109
5
Konrad Adenaur Stiftung, merupakan lembaga yang berasal dari Jerman. Lembaga ini
bergerak dalam ranah politik, yang mempunyai lebih dari 120 cabang di seluruh dunia. Orientasi
yang diusung ialah perdamaian, kebebasan, dan kesetaraan. Dalam melakukan penelitian mengenai
perempuan dan politik ini, ia bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
6
Meskipun pemerintah telah mengakomodasi partisipasi perempuan untuk terlibat dalam
perpolitikan dalam bentuk undang-undang No. 10 tahun 2008 yang mensyaratkan keterwakilan
perempuan minimal 30%, namun dalam realitanya perempuan masih terpinggirkan, salah satu
faktornya ialah dari partai itu sendiri yang tidak maksimal dalam memberdayakan perempuan.
Sarah Nuraini Siregar, ed., Perempuan, Partai Politik dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota
Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal (Jakarta: Gading Inti Prima, 2012), h. 7.
3

menyatakan bahwa kodrat perempuan lebih lemah dan tidak sempurna dibanding

laki-laki,7 dan keterbatasan perempuan untuk tampil di muka umum.8

Dari beberapa agrumentasi untuk melarang pemimpin perempuan di atas,

hadis yang secara eksplisit melarang kepemimpinan perempuan adalah hadis yang

diriwayatkan oleh Abū Bakrah berikut ini. 9

‫اَّللُ بِ َكلِ َم ٍة ََِس ْعتُ َها ِم ْن‬


َّ ‫ال لَ َق ْد نَ َف َع ِِن‬ َ َ‫اْلَ َس ِن َع ْن أَِِب بَكَْرةَ ق‬
ْ ‫ف َع ْن‬ ٌ ‫َحدَّثَنَا عُثْ َما ُن بْ ُن ا ْْلَْيثَ ِم َحدَّثَنَا َع ْو‬
َ َ‫اْلَ َم ِل فَأُقَاتِ َل َم َع ُه ْم ق‬ ِ ‫َصح‬ ِ ْ ‫ت أَ ْن أ‬ ِ ْ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم أَيَّ َام‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ ِ ‫رس‬
‫ال‬ ْ ‫اب‬ َ ْ ‫َْلَ َق بأ‬ ُ ‫اْلَ َم ِل بَ ْع َد َما ك ْد‬ َ ‫اَّلل‬ َُ
ِ ِ ِ ِ
‫ال لَ ْن يُ ْفل َح قَ ْوٌم‬ َ َ‫ت ك ْسَرى ق‬ َ ‫س قَ ْد َملَّ ُكوا َعلَْي ِه ْم بِْن‬ ِ َّ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أ‬
َ ‫َن أ َْه َل فَار‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫اَّلل‬
َّ ‫ول‬ َ ‫لَ َّما بَلَ َغ َر ُس‬
‫َولَّْوا أ َْمَرُه ْم ْامَرأَة‬
“Telah menceritakan kepada kami Utsman b. Haitsam Telah menceritakan
kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah dia berkata; Sungguh
Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang
pernah aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang Jamal
tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku
ingin berperang bersama mereka.- Dia berkata; 'Tatkala sampai kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia telah di
pimpin oleh seorang anak perempuan putri raja Kisra, beliau bersabda:
"Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita”.

Dalam penelitian ini difokuskan terhadap hadis tersebut, yang secara

tekstual melarang kepemimpinan perempuan. Ditinjau dari sisi transmisi sanadnya

hadis ini dinilai otentik, yang setidaknya diriwayatkan oleh Imām al-Bukhārī,

Imām al-Timīdzī, Imām al-Nasā‟ī dan Imām Aḥmad b. Ḥanbal.10 Hadis tersebut

7
„Abbās Maḥmūd al-„Aqqād, Filsafat Qur‟an: Filsafat, Spiritual dan Sosial dalam
Isyarat Qur‟an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) , h. 71.
8
Keterbatasan ini terkait dengan aurat perempuan yang harus dibatasi, bahkan termasuk
suaranya. Syamsul Anwar,” masalah Wanita Menjadi Pemimpin dalam Perspektif Fiqih Siasah”,
h. 39.
9
Salah satu periwayat hadis ini ialah al-Bukhārī. Di dalam kitabnya, Ṣaḥīḥ Bukhārī, hadis
ini terdapat di dua tempat, yakni pada kitāb al-maghāzī dan kitāb al-fitan.
Al-Imām al-Ḥāfiẓ Abī „Abd Allāh Muḥammad b. Ismā‟īl b. Ibrāhīm b. al-Mughīrah al-Ja„fī al-
Bukhārī, Ṣaḥīḥ Bukhārī (Riyāḍ: Maktabah al-Rashad, 2006), h. 603, 978.
10
Hasil takhrīj hadis ini menggunakan dua metode. Pertama, metode lafẓī, mengacu pada
kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Hadīth al-Nabawī. Kata yang digunakan dari hadis
tersebut ialah ‫ يفلح‬. A.J. Wensicnk, dkk, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Hadīth al-Nabawī,
vol. III (Leiden: E. J. Brill, 1936), h. 275. Kedua, metode rāwi al-a‟lā, menggunakan kitab Tuḥfah
4

ketika dipahami secara harfiah, mengisyaratkan bahwa kepemimpinan perempuan

hanyalah akan menuai kegagalan sehingga kepemimpinannya tidak bisa

diterima.11

Pemahaman tekstual inilah yang dianut oleh sebagian ulama sepanjang

lintas sejarah hingga kini.12 Ibn Ḥajar al-„Asqalānī dalam mensyarah hadis

tersebut mengemukakan dua pendapat terkait maksud hadis tersebut. Pendapat

yang menyatakan melarang pemimpin perempuan yakni Al-Khaṭṭābī misalnya,

menyatakan bahwa dalam hadis ini terdapat keterangan bahwa wanita tidak dapat

diangkat menjadi pemimpin maupun hakim.13 Senada dengan pendapat akan hal

ini, menurut Junaidi bahwa Taqiy al-Dīn al-Nabhānī sebagai pendiri Hizb al-

Taḥrīr berpendapat demikian juga bahwa pemimpin hanya untuk laki-laki.14

„Abbās Maḥmūd al-„Aqqād juga secara tegas menyatakan kepemimpinan

hanyalah diperuntukkan bagi laki-laki.15

al-Ashrāf bi Ma‟rifah al-Aṭrāf. Jamāl al-Dīn Abī al-Ḥajjāj Yūsuf al-Mizzī, Tuḥfah al-Ashrāf bi
Ma‟rifah al-Aṭrāf, vol. VIII (Bayrūt:Dār al-Gharb al-Islāmī, 1999), h. 272. Selain terdapat di
Ṣāḥīḥ al-Bukhārī, hadis ini terdapat pula di beberapa kitab berikut. Pertama, Sunan al-Tirmidhī,
al-Imām al-Ḥāfiẓ Abī „Īsā Muḥammad b. „Īsā al-Tirmidhī, al-Jāmi‟ al-Kubrā, vol. IV (tt: Dār al-
Gharb al-Islāmī, 1996), h. 111. Kedua, Sunan al-Nasā‟ī, Abī „Abd al-Raḥmān Aḥmad b. Syu„ayb
b. „Alī, Sunan al-Nasāī, (Riyāḍ: Maktabah al-Ma‟ārif, tt), h. 809. Ketiga, Musnad Aḥmad b.
Ḥambal, lihat Al-Imām Aḥmad b. Ḥambal, Musnad al-Imām Aḥmad b. Ḥambal, (Riyāḍ: Bait al-
Afkār al-Dauliyah, 1998), h. 1498, 1495, 1500, 1503.
11
Isyarat yang demikian ini disinyalir dari diksi lan (‫ )لن‬yang menegasikan untuk masa
yang akan datang, sehingga mengandung penguatan di dalamnya. Ibn Manẓūr, Lisān al-„Arāb,
vol. V (Beirut: Dār al-Ma‟ārif, tt), h. 4082
12
Sofia Rosdanila Andri, “Argumen Penafsiran Tekstualis versus Kontekstualis tentang
Kpemimpinan Perempuan,” Refleksi, vol. 12, no. 6 (April 2014): h. 769.
13
Aḥmad b. „Alī b. Ḥajar al-„Asqlānī, Fatḥ al-Bārī, vol. VIII (Kayra: Maktabah al-
Salafiyah, tt), h. 128
14
A. F. Djunaedi, “Filosofi dan Etika Kepemimpinan dalam Islam,” Al-Mawarid Vol. 16,
(2005): h. 63.
15
„Abbās Maḥmūd al-„Aqqād, Filsafat Qur‟an: Filsafat, Spiritual dan Sosial dalam
Isyarat Qur‟an, h. 74.
5

Berbeda dari pendapat di atas yang melarang kepemimpinan perempuan,

Ibn Ḥajar memuat pendapat Abū Ḥanīfah dan al-Ṭabārī justru lebih longgar,

bahwa keduanya memperbolehkan seorang perempuan memegang tampuk

kepemimpinan, sebagaimana diperbolehkannya menjadi hakim.16 Demikian juga

pendapat yang dikemukakan oleh Muḥammad al-Ghazālī.17

Perbedaan pendapat mengenai pemahaman hadis sebagaimana hadis

kepemimpinan perempuan di atas merupakan suatu keniscayaan, mengingat posisi

Nabi Muḥammad Saw. sebagai nabi akhir zaman yang menjadi tokoh sentral

dalam Islam sehingga menjawab setiap persoalan yang ada. Namun demikian

Nabi hidup dalam kurun ruang dan waktu tertentu, sementara persoalan yang

mengemuka semakin bertambah dan semakin kompleks seiring dengan laju

perkembangan zaman. Karena itulah timbul beragam metode dan pendekatan

dalam memahami hadis. 18

Aktivitas dalam pemahaman hadis telah muncul semenjak Nabi masih

hidup, demikian pula mengenai perbedaan pemahamannya.19 Secara umum,

16
Aḥmad b.„Alī b. Ḥajar al-„Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, vol. VIII, h. 128
17
Al-Ghazālī sampai pada kesimpulan ini melalui metode pemahaman hadis yang ia
gagas, yakni mendudukkan pemahaman hadis dalam kerangka petunjuk al-Qur‟an, yang menjadi
prioritas dalam setiap memahami hadis. Menurutnya, jika hadis ini dipahamai secara tekstual,
maka bertentangan dengan Q.S al-Naml: 23 yang mengisahkan keberhasilan Ratu Balqis. Adapun
mengenai Q.s. al-Nisā`:34 yang secara tekstual diartikan bahwa laki-laki adalah pemimpin
perempuan, menurutnya hal itu terbatas dalam urusan rumah tangga. Oleh karenanya,
kepemimpinan merupakan hal yang tidak perlu dipersoalkan, selama masih menjaga norma-norma
agama, serta tetap menuaikan kewajiban sebagai seorang ibu sekaligus istri bagi suaminya.
Muḥammad al-Ghazālī, al-Sunnah al-Nabawiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīth (Kayra: Dār
al-Kitāb al-Maṣrī, 2013), h. 72
18
Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah atas Pemikiran Muḥammad al-
Ghazālī dan Yūsuf Qaraḍāwī,” (Disertasi Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2004), h. 3.
19
Pemahaman tekstual dan kontekstual telah mungemuka ketika Nabi memerintahkan
sejumlah sahabatnya untuk pergi ke kampung Bani Qurayẓah dan berpesan untuk tidak
melaksanakn salat Ashar kecuali telah tiba di perkampungan tersebut. Kelompok pertama
memahami secara harfiah sesuai bunyi teks tersebut, sementara kelompok kedua memahaminya
6

penggunaan metode dalam memahamai hadis terbagi menjadi dua kelompok,

yakni tekstualis dan kontekstualis.20 Perbedaan metode ini secara langsung

berimplikasi kepada pemahaman dan pengamalan atas hadis. Terkait

kepemimpinan perempuan, implikasi metode pemahaman tersebut ialah kelompok

tekstualis menolak kepemimpinan perempuan, sementara kelompok kontekstualis

memperbolehkannya.

Konteksnya di Indonesia, perbedaan pemahaman pendapat atas keabsahan

perempuan pernah menjadi wacana perdebatan yang pelik di tahun 1999 ketika

Megawati Soekarno Putri mencalonkan diri sebagai Presiden Republik

Indonesia.21 Tidak mengherankan jika pemahaman hadis secara tekstual tersebut

dijadikan pula sebagai alat untuk kepentingan politik tertentu. Oleh karenanya

menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting mengenai pemahaman hadis agar

bisa diaktualisasikan secara tepat di tengah masyarakat luas.

Sarana dalam penyampaian pemahaman hadis kepada masyarakat, baik

dalam hal dakwah maupun kajian mengenai ajaran Islam, tentunya tidak terlepas

dari peranan lapisan top laeader lapisan masyarakat yang mampu menggiring

opini publik, dalam hal ini pimpinan organisasi masa islam, pimpinan majelis, dan

sebagai perintah untuk segera tiba di tempat tujuan agar masih mendapatkan waktu salat Ashar di
sana. Quraish Shihab, Pengantar dalam Muhammad al-Ghazālī, Studi Kritis atas Hadis Nabi
Saw.; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan,
1993), h. 9
20
Kelompok tekstual dalam memahami hadis sangat mengedepankan makna harfiah dari
matan hadis. Bagi mereka, hadislah senantiasa menjadi pegangan, meskipun kebutuhan dan
konteks modern telah berubah dan berbeda dengan konteks lahirnya hadis tersebut. Sedangkan
kelompok kontekstualis memahami hadis dengan menekankan pentingnya melihat konteks sosio-
historis ketika hadis itu muncul dan juga konteks masa kini. Yusuf Rahman, “Penafsiran Tekstual
dan Kontekstual terhadap al-Qur‟ān dan Ḥadīth (Kajian terhadap Muslim Salafi dan Muslim
Progresif)” Jurnal of Qur‟ān and Ḥadīth Studies Vol. 1, No. 2 (2012): 297
21
Endis firdaus, “Kepemimpinan Politik Wanita dalam Islam: Studi Dekonstruktif atas
Pemikiran Tradisi Subordinasi Jender” (Disertasi Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 19
7

pimpinan pesantren. Menurut data sejarah kemunculan pesantren beriringan

dengan dimulainya proses islamisasi di Indonesia pada abad ke-13 M,22 dan

mampu bertahan hingga kini. Setidaknya terdapat dua peran utama yang

dimainkan pesantren, yakni sebagai pusat berlangsungnya transmisi ajaran-ajaran

Islam tradisional dan pusat produksi para ulama.23

Dalam perkembangannya, pesantren tidak hanya berkutat pada kajian

mengenai agama, namun juga berusaha menyentuh pada realitas sosial sekaligus

merespon persoalan masyarakat sekitar.24 Untuk memenuhi kebutuhan sosial ini,

maka tidaklah mengherankan jika pimpinan atau pengasuh pesantren bukan hanya

menjadi tokoh sentral dalam lingkungan internal pesantren, namun juga menjadi

panutan masyarakat sekitarnya, yang dianggap memiliki otoritas dalam hal

persoalan agama. Lebih dari itu mereka pun memiliki peran yang cukup besar

dalam ranah sosial dan politik.25

Oleh karenanya mengingat lapisan masyarakat top leader yang

direpresantasikan oleh sosok pimpinan Organisasi Massa Islam dan pimpinan

pesantren memiliki peran strategis, maka penulis merasa berkepentingan untuk

mengkaji pemahaman hadis mereka. Dalam hal ini terkait hadis yang secara

tekstual melarang kepemimpinan perempuan, yang disandingkan langsung dengan

keberadaan anggapan keberhasilan Risma sebagai Walikota Surabaya. apakah

pemahaman tekstual ini masih bertahan di tengah situasi yang menganggap

22
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Tradisi Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga, tt), h. 9.
23
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Tradisi Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, h. 25.
24
Uci Sanusi, “Transfer Ilmu di Pesantren” Jurnal Ta‟lim, Vol. 11 No. 1 (2013): h. 62
25
Miftah Faridl, “Peranan Sosial Politik Sosial Kyai di Indonesia,” Sosioteknologi No.
11, No. 6 (Agustus, 2007): h. 238
8

keberhasilan Risma? Ataukah pandangan tekstual terbantahkan oleh fenomena

anggapan keberhasilan Risma tersebut?

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

Uraian pada latar belakang di atas, telah memberikan gambaran mengenai

relevansi pemahaman hadis kepemimpinan perempuan, khususnya di Surabaya.

Bertolak dari hal ini, muncul beberapa pertanyaan, bagaimanakah pemahaman

hadis yang relevan terkait kepemimpinan perempuan khususnya di Surabaya?

Apakah masih relevan pemahaman hadis yang menolak kepemimpinan

perempuan? Adakah yang masih mempertahankan pemahaman secara tektual di

tengah penilaian atas keberhasilan Risma sebagai Walikota Surabaya? Apakah

anggapan keberhasilan Risma secara tidak langsung mengikis pemahaman

tekstual yang melarang kepemimpinan perempuan? Bagaimanakah pandangan

tokoh-tokoh masyarakat Islam dan pimpinan pesantren, dalam memandang

fenomena ini?

Berdasarkan uraian identifikasi masalah di atas, dalam penelitian ini

penulis membatasi bahasan dalam pemahaman hadis masyarakat Muslim

Surabaya terhadap kepemimpinan perempuan, dan hadis yang dijadikan dasar

ialah riwayat Abū Bakrah sebagaimana yang telah disinggung di atas. Sehingga

masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah, “Bagaimana pemahaman

masyarakat Muslim Surabaya terhadap hadis kepemimpinan perempuan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
9

Berangkat dari rumusan masalah yang diuraikan, maka tujuan penelitian

ini ialah:

a. Untuk mengetahui pemahaman masyarakat surabaya terkait hadis

kepemimpinan perempuan

b. Mendeskripsikan pandangan masyarakat Surabaya terhadap kepemimpinan tri

Rismaharini sebagai walikotanya.

2. Manfaat Penelitian

Secara akademik, penelitian ini bermanfaat untuk melengkapi hasil

penelitian Wahyu Ismatulloh26 dalam mengkaji pemahaman hadis kepemimpinan

perempuan dari aspek penelitian sosial yang bersentuhan secara langsung dengan

masyarakat agar mengetahui bagaimana pemahaman hadisnya, mengingat

penelitian mengenai hadis yang melibatkan diri ke dalam masyarakat secara

langsung masih sedikit. Sementara manfaat secara praktis yang diperoleh ialah

penelitian ini menjadi rujukan dalam mata kuliah metode pemahaman hadis.

D. Tinjauan Pustaka

Penetapkan tinjauan pustaka meliputi karya-karya yang membahas hadis

kepemimpinan perempuan dan kajian tentang pemahaman hadis. Beberapa karya

yang membahas hadis kepemimpinan perempuan di antaranya ialah skripsi karya

Wahyu Ismatulloh “Kepemimpinan Perempuan dalam Pandangan Masyarakat

Babakan Tasikmalaya dengan judul (analisis terhadap hadis lan yufliḥa al-qaum

26
Arief Hidayat, “Penanggalan Hadis Kepemimpinan Perempuan” (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016).
10

wallaw amrahum imra`ah).27 Skripsi ini, di samping penelitian pustaka, ia juga

memuat penelitian lapangan, yakni mengenai pandangan masyarakat terhadap

pemimpin perempuan, yang kemudian dikonfirmasi dengan hadis. Sisi penelitian

pustakanya memuat kajian terhadap hadis tersebut, baik dikaji dari sisi sanad

maupun matannya. Sementara dari sisi penelitian lapangan, dalam hal

pengambilan data menggunakan sampling melalui menakinsme tertentu secara

acak dengan berdasarkan prinsip-prinsip kuantitatif, dengan populasi seluruh

lapisan masyarakat di desa tersebut. Berdasarkan hasil dari data lapangan,

penelitian berkesimpulan sebagian besar masyarakat masih mempersoalkan

kepemimpinan perempuan, yang sebagian besar karena dipengaruhi budaya

patriarki yang kuat. Selanjutnya, ketika dikonfirmasi mengenai keberadaan hadis

yang diriwayatkan Abū Bakrah, hanya sebagian kecil saja yang mengetahui hadis

ini.

Skripsi Arief Hidayat yang berjudul Penanggalan Hadis Kepemimpinan

Perempuan.28 Dalam penelitiannya, Arief berupaya menggali kesejarahan hadis

dan mendeteksi kapan ini mulai populer. Ia menemukan bahwa hadis ini populer

ketika banyak munculnya banyak fitnah kepada sahabat Nabi, sehingga banyak

hadis-hadis yang digunakan untuk kepentingan menjatuhkan lawan, salah satunya

hadis ini.

Kemudian skripsi karya Maulida Himatun Najih yang berjudul

“Pemahaman dan Praktik Hadis Kepemimpinan Perempuan (Studi Living Hadis

27
Wahyu Ismatulloh, “Kepemimpinan Perempuan dalam Pandangan Masyarakat Babakan
Tasikmalaya: analisis terhadap hadis lan yufliḥa al-qaum wallaw amrahum imra`a ” (Skripsi S1
Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah)
28
Arief Hidayat, “Penanggalan Hadis Kepemimpinan Perempuan” (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016).
11

di Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta)”. 29 Fokus

penelitian skripsi ini ialah mengenai pemahaman dan praktik atas hadis

kepemimpinan perempuan di seluruh komponen Yayasan Ali Maksum yang

meliputi jajaran pengasuh, pengurus, hingga santri-santrinya melalui observasi

partisipan, dengan terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan pesantren. Dari

temuan-temuan yang didapatkan, ia berksimpulan bahwa hadis tersebut tidak

dimaknai secara tekstual, akan tetapi melalui asbāb al-wurūdnya sehingga

kepemimpinan perempuan, yakni Ibu Nyai, merupakan suatu hal yang absah,

dengan syarat kemampuan yang memadai. Dengan demikian kedudukan hadis di

dalamnya hanya bersifat informatif belaka.

Perbedaan penelitian ini dengan ketiga skripsi di atas ialah selain objek

lapangan yang berbeda, dalam skripsi ini yang menjadi latar belakang masalahnya

ialah lantaran adanya figur perempuan menjadi antitesis terhadap pemahaman

hadis secara tekstual. Selain itu, subyek penelitian yang dipilih pun lebih spesifik,

dengan metode purposive sampling yang meliputi Pimpinan Organisasi Massa

Islam, Pimpinan Majelis, dan Pimpinan / pengasuh pesantren.

Tesis karya Duwi Hariono, “Hadis dalam fatwa dan Permasalahan

Kontemporer; Analisa Pemahaman Hadis MUI dalam Keputusan Ijtima Ulama

Komisi Fatwa se-Indonesia III di Padang Panjang Tahun 2009.30 karya di atas

memiliki satu kesamaan, yakni mengkaji secara kritis bagaimana hadis-hadis

29
Maulida Himatun Najih, “Pemahaman dan Praktik Hadis Kepemimpinan Perempuan:
Studi Living Hadis di Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.” (Skripsi S1
Fakultas Ushuludin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga)
30
Duwi Hariono, “Hadis dalam fatwa dan Permasalahan Kontemporer; Analisa
Pemahaman Hadis MUI dalam Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III di Padang
Panjang Tahun 2009,” (Tesis Master Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 2010)
12

digunakan dan dipahami oleh subyek penelitian masing dalam tema tertentu.

Persoalaan kepemimpinan secara khusus, dengan disandingan dengan antitesis

berupa fakta sosial yakni keberhasilan Tri Rismaharini sebagai Walikota

Surabaya, masih terbuka serta belum ditemukan karya yang menelitinya. Di sisi

inilah posisi penelitian ini berlangsung.

Kemudian yang terakhir ialah disertasi karya Nasrullah, “Konstruksi

Sosial Hadis-Hadis Misoginis di Kalangan Aktivis Organisasi Keagaman: Studi

Living Sunnah di Kota Malang.”31 Dalam hal pemahaman hadis, penelitian

disertasi ini menghadirkan wacana sosial, yakni bagaimana aktivis-aktivis Ormas

di Kota Malang tersebut memahami, menerapkan, serta mendakwahkan hadis-

hadis misoginis. Hal yang membedakan disertasi ini dengan penelitian yang

hendak penulis lakukan ialah obyek lapangan dijadikan kajian berbeda, meskipun

hadis kepemimpinan perempuan termasuk dalam penelitian disertasi ini.

Kemudian perbedaan yang paling mendasar ialah penelitian ini berangkat dari

fenomena sosial berupa figur perempuan yang berhasil menjadi walikota dan hal

ini menjadi antitesis terhadap kalangan tekstualis.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini tergolong kedalam jenis penelitian lapangan (field research)

yang meneliti secara langsung pemahaman hadis masyarakat muslim Surabaya

31
Nasrullah, “Konstruksi Sosial Hadis-Hadis Misoginis di Kalangan Aktivis Organisasi
Keagaman: Studi Living Sunnah di Kota Malang,” (Disertasi Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2013)
13

terkait hadis kepemimpinan perempuan, dengan menggunakan metode kualitatif.32

Pertimbangan menggunakan metode kualitatif ialah didasari atas kebutuhan untuk

menjawab rumusan pertanyaan di atas, yakni dengan karakteristik dari metode ini

ialah ketika melihat fenomena dari sudut pandang subyek penelitian,

pendeskripsian yang lebih rinci yang menekankan pada konteks dan lebih

fleksibel dalam penngumpulan data.33

2. Sumber Data

Seumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kategori, yaitu

sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh penulis selama

penelitian lapangan melalui teknik wawancara setelah melakukan sampling

terlebih dahulu. Kemudian data sekunder diperoleh penulis dari buku, jurnal,

artikel, dan karya ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penilitian ini wawancara

mendalam dengan teknik wawancara semi berstruktur, yakni wawancara hanya

dengan panduan yang bersifat umum dan pemetaan poin-poin informasi yang

hendak digali. Jenis pertanyaan yang diajukan ialah jenis pertanyaan

pendalaman,34 yakni pertanyaan yang bermaksud menggali lebih dalam mengenai

32
Metode kualitatif ialah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subyek penelitian, dalam hal ini pandangan, persepsi, secara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus. Lexy J. Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosda, 2013), h. 6.
33
Riatti Raffiudin (ed), Panduan Praktis Metode Penelitian Sosial, (Depok: Pusat Kajian
Politik Universitas Indoesia, 2014), h. 21.
34
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 193.
14

pandangan atas kepemimpinan Risma dan pemahaman hadis kepemimpinan

perempuan.

Sebelum wawacara dilakukan, peneliti melakukan pemilihan informan

dengan menggunakan teknik sampel bertujuan (purposive sampling), yakni

informan yang dipilih berdasarkan kriteria yang sesuai dengan kebutuhan untuk

menjawab rumusan pertanyaan35. Menurut Spradley seperti yang dikutip oleh

Sanafiah Faisal menyatakan bahwa sampel sebagai sumber data atau sebagai

informan sebaiknya memenuhi kriteria berikut: 1) mereka yang menguasai atau

memahami sesuatu melalui proses enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar

diketahui, tapi juga dihayatinya, 2) mereka yang tergolong masih dalam kegiatan

yang sedang diteliti, 3) mereka yang memiliki waktu memadai untuk dimintai

informasi, 4) mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil

kemasannya sendiri, dan 5) mereka yang tergolong cukup asing dengan peneliti

sehingga lebih menarik untuk dijadikan sebagai narasumber.36

Berdasarkan kriteria di atas, pemilihan informan dalam penelitian ini

berdasarkan atas kriteria-kriteria berikut, 1) informan memiliki pengetahuan yang

cukup seputar hadis kepemimpinan perempuan, 2) informan merupakan

penduduk atau memiliki aktivitas di Kota Surabaya, 3) informan memiliki

pengetahuan tentang pemerintahan Kota Surabaya, 4) bersedia untuk

diwawancarai, 4) informan merupakan orang yang belum dikenali oleh peneliti, 5)

informan merupakan kalangan dari pimpinan Ormas Islam, pimpinan pondok

pesantren, ataupun tokoh masyarakat muslim lainnya.

35
Riatti Raffiudin (ed), Panduan Praktis Metode Penelitian Sosial, h. 29.
36
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2014), h. 57.
15

Adapun jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, karena

pertimbangan yang ditekankan di sini ialah variasi data yang didapatkan. Jika

tidak ada data yang meluas dan lebih variatif, maka penarikan sampel pun dapat

diahiri.37 Dalam hal ini penulis telah menemukan informan sejumlah 23 orang

sebagaimana yang telah penenulis lampirkan.

4. Analisis Data

Analisis data ialah prosses mencari dan menyusun secara sistematis data

yang diperoleh dari wawancara dan bahan-bahan lain sehingga dapat dengan

mudah dipahami, yang kemudian temuan ini dapat diinformasikan kepada orang

lain. Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah deskriptif

analitik. Artinya, ketika data sudah terkumpul, kemudian disusun, dianalisis, dan

dipetakan. Selanjutnya melaporkan apa adanya dan diambil kesimpulan yang

logis. Analisis terhadap data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara induktif

dengan melakukan pola-pola dan kategori-kategori yang dibangun dari bawah ke

atas yang merupakan interpretasi atas apa yang dipahami dari subyek penelitian.

F. Sistematika penulisan

Bab Pertama, memuat pendahuluan yang memuat narasi yang menjadi

latar belakanmg dari penelitian ini, kemudian dirumusankan permasalahannya.

Untuk melengkapi dasar penelitian, maka memuat pula tinjauan pustaka, dengan

disertai metode penelitian agar hasil dari penelitian terukur dan dinilai ilmiah.

Selanjutnya ialah sistematika penulisan guna menyusun hasil penelitian secara

sistematis.

37
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 237
16

Bab Kedua, memuat gambaran umum dengan memuat mengulas profil

Kota Surabaya serta kepemimpinan Tri Rismaharini sebagai Walikotanya,

perjalanan karirnya di lingkungan pemerintahan Kota Surabaya dan prestasi-

prestasi yang telah dicapai Risma. Kemudian mengulas seputar pengertian

kepemimpinan. Hal ini merupakan pengembangan dari latar belakang masalah

yang dibahas di bab pertama.

Pada bab berikutnya memuat kajian lanjutan dari bab kedua dengan

memberikan ulasan mengenai perdebatan soal kepemimpinan perempuan dan

kajian kepemimpinan perempuan dalam perspektif pemahaman hadis. Selanjutnya

pada sub bab terahir merupakan analisis mengenai pemahaman masyarakat

muslim Surabaya terhadap hadis kepemimpinan perempuan.

Bab Keempat, merupakan hasil ahir dari peneliatian yang memuat

jawaban-jawaban atas masalah yang telah dikemukakan pada bab pertama.

Perumusan masalah tersebut dijawab pada bab ini dalam kesimpulan.


BAB II

GAMBARAN UMUM

A. Arti Pemimpin dan Kepemimpinan

Manusia merupakan makhluk sosial yang perlu hidup secara

berdampingan satu sama lain agar dapat melangsungkan hidupnya. Ketika antar

individu hidup berdampingan secara bersama-sama maka disadari atau tidak,

dibutuhkan akan adanya seorang pemimpin di dalamnya. Demikian halnya

sebagaimana disinyalir oleh hadis yang diriwiyatkan oleh Abū Dāwud

sebagaimana berikut:1

‫يل َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َع ْج ََل َن َع ْن نَافِ ٍّع َع ْن‬ ِ‫حدَّثَنَا علِي بن ََب ِر ب ِن ب ِر ٍّي حدَّثَنَا ح ِاِت بن إِ ْْسع‬
َ َ ُْ ُ َ َ ّ َّ ْ ْ ُ ْ ُّ َ َ
‫ال إِذَا َخَر َج ثَََلثَةف ِي‬ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َِّ ‫ول‬ ٍّ ِ‫أَِِب سلَمةَ عن أَِِب سع‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ‫اَّلل‬ َ ‫َن َر ُس‬ ِّ ‫اْلُ ْد ِر‬
َّ ‫ي أ‬ ْ ‫يد‬ َ َْ َ َ
ِ
َ ‫َس َف ٍّر فَ ْليُ َؤّم ُروا أ‬
‫َح َد ُه ْم‬
Telah menceritakan kepada kami ‘Alī bn Baḥr bn Barri, Telah
menceritakan kepada kami Ḥātim bn Ismā'īl, telah menceritakan kepada
kami Muḥammad bn 'Ajlān, dari Nāfi', dari Abū Salamah, dari Abu Sa'īd
al-Khudri, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "Apabila ada tiga orang
yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaknya mereka menunjuk
salah seorang dari mereka sebagai pemimpin

Tidak bisa dinafikan bahwa bahwa keberhasilan dalam suatu kelompok,

baik dari lingkup terkecil hingga organisasi setingkat negara, ditentukan oleh

siapa yang memimpinnya. Sehingga perihal tentang kepemimpinan bukanlah

persoalan kecil, karena turut menentukan pula nasib kelompok atau masyarakat

yang dipimpinnya. Oleh karenanya kepemimpinan merupakan kebutuhan demi

1
Abī Dāwud Sulaymān bn al-Asy„ats al-Sijistānī al-Azadī, Sunan Abī Dāwud, vol III,
(Beirut: Maktabah al-„Aṣriyah, tt), h. 36.

17
18

tercapainya kemaslahatan bersama. Sebelum membahas lebih jauh mengenai

kepemimpinan perempuan dalam Islam, berikut ini disajikan terlebih dahulu

mengenai pengertian kepemimpinan secara umum.

Kepemimpinan berasal dari kata pimpin dengan mendapat awalan me

menjadi memimpin yang berarti menunjukkan jalan dan membimbing. Perkataan

memimpin bermakna sebagai kegiatan, sedangkan yang melaksanakannya disebut

pemimpin. Bertolak dari kata pemimpin itulah berkembang pula istilah atau

perkataan kepemimpinan yakni mempunyai makna menunjukkan pada semua

perihal dalam memimpin termasuk juga kegiatannya itu sendiri.2

Pemimpin didefinisikan sebagai seorang pribadi yang memiliki kecakapan

dan kelebihan dalam suatu bidang, sehingga ia mampu memengaruhi orang lain

untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu

tujuan.3 Sementara menurut Henry Pratt Fairchild didefinisikan sebagai orang

yang memimpin dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur,

mengarahkan, mengorganisir, atau mengontrol usaha orang lain, kekuasaan atau

posisi. Sementara dalam pengertian sempit pemimpin diartikan sebagai seorang

yang membimbing, memimpin dengan bantuan-bantuan kualitas-kualitas

persuasifnya, dan penerimaan secara sukarela oleh pengikutnya.4

Terkait kepemimpinan cukup banyak memiliki difinisi yang dikemukakan

para ahli namun tetap memiliki benang merah yang sama, yakni mengenai

2
Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), h. 1075.
3
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), h. 28.
4
Syamsul Arifin, Leadirship Ilmu dan Seni Kepemimpinan (Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2012), h. 1.
19

pengaruh mengakomodir untuk meraih tujuan bersama. Di antaranya ialah

menurut Henry Pratt Fairchild mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah

aktivitas memengaruhi orang-orang untuk bekerja sama menuju kepada

kesesuaian tujuan yang mereka inginkan. Hampir sama dengan defini tersebut, H.

Goidhamer dan E.A Shils mendefinisikan kepemimpinan sebagai tindakan

perilaku yang dapat mempengaruhi tingkah laku orang lain yang dipimpinnya.5

Menurut G. R. Terry memberikan definisi kepemimpinan sebagai usaha untuk

mempengaruhi sesorang agar mencapai tujuan bersama.6 Kemudian Malayu S.P

Hasibuan mengemukakan kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin

memengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerjasama secara produktif untuk

mencapai tujuan organisasi.

Dalam perspektif al-Qur‟an terdapat beberapa kata yang memiliki makna

pemimpin, seperti khalīfah, imām, dan ulū al-amr.7 Kata khalīfah berasal dari kata

khalafa memiliki makna mengganti, belakang, perubahan atau suksesi.8 Kata

khalīfah termuat dalam Q.S. al-Baqarah: 30 dan Q.S. Ṣād: 26 memiliki arti

pemimpin dan penegak hukum-hukum Allah Swt. di muka bumi, termasuk di

dalamnya berupa pemimpin politik yang menjalankan kekuasaan dan pengelolaan

wilayah tertentu dalam suatu komunitas.9 Kemudian imām pada mulanya berarti

pemimpin salat, orang yang diikuti jejaknya dan didahulukan urusannya. 10 Imām

5
Abu Ahmadi, Psikologi Sosial (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 114.
6
Brantas, Dasar-Dasar Manajemen (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 125.
7
Bahruddin dan Umairson, Kepemimpinan Pendidikan Islam: Antara Teori dan Praktik
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012) h. 80.
8
Abū Husain Ahmad ibn Fāris ibn Zakariyā, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, II (Beirut: Dār
Kutub al-„Ilmiyah, 1999), h. 374.
9
Abd Rahim, “Khalīfah dan Khilāfah menurut Al-Qur‟an”, Hunafa: Jural Studi Islamika
Vol. 9 No. 1 2012, h. 49.
10
Ibn Fāris, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, h. 82.
20

dalam perspektif sunni tidak bisa dibedakan dengan khalīfah. Namun dalam

tradisi Syi‟ah. Bagi kaum Syi‟ah Imām tidak saja terkait dengan konteks politik,

melainkan juga meliputi aspek agama secara keseluruhan dan telah disepakati

bahwa imām harus berasal dari Ahl al-Bayt dengan garis keturunan dari Alī b Abī

Ṭālib. Selain itu imāmah merupakan kepercayaan absolut sebagai bentuk

penegasan dari keimanan yang termuat dalam salah satu rukun iman.11

Sementara ulū al-amr terdiri dari dua kata yakni ulū yang memiliki arti

pemilik dan al-amr berarti perintah, tuntutan melakukan sesuatu, atau urusan.12

Ketika dua kata tersebut dijadikan menjadi satu artinya ialah pemilik urusan atau

pemilik kekuasaan. Dengan demikian, dalam ringkasnya pengertian pemimpin

dengan istilah ulū al-amr ini mencakup setiap pribadi yang memegang urusan

kehidupan dengan hirarkinya masing-masing dari tingkat pribadinya sendiri

hingga tingkatan negara. Meskipun berbeda-beda dalam kata yang digunakan

sebagai padanan kata pemimpin dengan cakupan wilayah dan konteksnya masing-

masing, namun demikian pada memiliki pengertian yang sama bahwa pemimpin

mengandung makna ahli atau membidangi, berpengalaman, visioner serta

memiliki gaya tarik untuk memengaruhi orang lain dan bertanggung jawab atas

amanah yang telah diberikan.13

Mengingat Kepemimpinan merupakan faktor determinan dalam

menentukan nasib suatu kelompok, keluarga, organisasi bahkan negara maka

kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting dan memiliki peran strategis

11
Zulkarnain “Konsep Imāmah dalam Perspektif Syi‟ah”, TAPIs Vol.7 No.13 2011, h.58.
12
Ibn Fāris, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, h. 139.
13
Musa Asy‟arie, Islam dan Keseimbangan Rasionalitas, Moralitas, dan Spiritualitas
(Yogyakarta: Lesfi, 2005), h. 152.
21

mengingat keberhasilan suatu kelompok, organisasi, negara ditentukan pula oleh

siapa pemimpinnya. Oleh karenanya, mendudukkan seorang yang tepat sebagai

pemimpin yang ideal dan diterima oleh seluruh elemen yang dipimpinnya

bukanlah perkara yang mudah. Hal ini mengingat diperlukan seperangkat

karakter-karakter tertentu yang menunjang efektivitas kepemimpinan sehingga

mengantarkan keberhasilan - keberhasilan yang telah ditentukan bersama.

Menurut Stogdill dalam bukunya Personal Factor Associated with

Leadership dalam Kartini Kartono Ada beberapa syarat-syarat kepemimpinan

yang harus ada dalam seorang pemimpin. Syarat-syarat tersebut merupakan hal

yang pokok yang harus dimiliki seorang pemimpin agar dalam memimpin ia

mempunyai kekuasaan dan wibawa sebagai seorang pemimpin. Ia mengatakan

bahwa pemimpin itu harus mempunyai kelebihan-kelebihan. Pertama, kapasitas

meliputi kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara dan kemampuan

menilai. Kedua, Ilmu pengetahuan yang luas, bertanggung jawab, mandiri,

berinisiatif, tekun, ulet, percaya diri, agresif, dan punya hasrat untuk unggul.

Ketiga, partisipasi aktif, memiliki sosialibilitas tinggi, mampu bergaul, kooperatif,

atau suka bekerja sama, mudah menyesuaikan diri, punya rasa humor. Keempat,

memiliki status yang meliputi kedudukan sosial ekonomi yang cukup tinggi,

populer, dan tenar.14

Sementara di dalam Al-Qur‟an, menurut Quraish Shihab bahwa terkait

syarat-syarat menjadi seorang pemimpin, sedikitnya disinyalir dua karakter utama

yang harus dimiliki seorang pemimpin, yakni kapabilitas dan kredibilitas. Kedua

14
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001),
22

karakter tersebut diabadikan dalam al-Qur‟an terkait ucapan putri Syu„aib yang

berkehendak menjadikan Nabi Musa sebagai pendampingnya (Q.S. Al-Qaṣāṣ:26),

pernyataan raja Mesir ketika mengangkat Nabi Yūsuf sebagai Kepala Badan

Logistik Kerajaan (Q.S. Yūsuf:54), serta dasar dipilihnya Malaikat Jibril sebagai

penyampai wahyu (Q.S al-Takwīr:19-21).15

Untuk melahirkan sosok pemimpin yang ideal berbagai konsepsi

ditawarkan. Selain mengacu pada karakter yang disinggung al-Qur‟an di atas,

kemudian para ahli menjabarkan lebih jauh terkait syarat-syarat untuk menjadi

pemimpin. Tokoh yang menjabarkan tentang ukuran-ukuran ideal bagi seorang

pemimpin di antaranya ialah Ibn Khaldun. Tokoh yang dianggap sebagai bapak

sosiologi modern ini dalam muqaddimahnya memberikan lima syarat yakni,

pengetahuan yang luas, keadilan, kesanggupan, anggota badan dan indra yang

sehat, terbebas dari kecacatan serta keturunan Quraisy. Kriteria terakhir yang

disinggung tersebut menurutnya masih diperdebatkan.16

Kedua, Abū Ḥasan al-Māwardī. Menurutnya, syarat-syarat seorang

pemimpin ialah keadilan yang meliputi segala hal, ilmu pengetahuan yang sampai

hingga level ijtihad, kesejahteraan pada indera dan anggota badan, kecerdasan

yang mampu memimpin rakyat dan kesejahteraannya, keberanian dan ketabahan,

serta keturunan Quraisy.17 Ketiga, menurut Junaidi menyataka bahwa seorang

tokoh Hizbut Tahrir, Taqiyyuddin al-Nabhānī, mensyaratkan seperti persyaratan

15
M. Quraish Shihab, Lentera al-Qur`an, (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2012), h.
318-319.
16
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), h. 238.
17
Abū al-Ḥasan „Alī bin Muḥammad bin Ḥabīb al-Baṣrī al-Baghdādī al-Māwardī, al-
Aḥkām al-Sulṭāniyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1960) h. 6.
23

yang sebelumnya kemudian ditambahkan laki-laki sebagai syarat mutlaknya.18

Menjadikan laki-laki sebagai salah satu syarat seorang pemimpin ini menuai

perdebatan berkepanjangan bahkan hingga dewasa kini. Perdebatan mengenai

keabsahan seorang menjadi pemimpin akan dijelaskan di sub bab berikutnya.

B. Gambaran Umum Kota Surabaya

Kota Surabaya memiliki sejarah yang cukup panjang sehingga termasuk

sebagai salah satu kota tertua di Indonesia. Kota Surabaya secara resmi berdiri

sejak tahun 1293, terkenal sebagai kota pelabuhan yang secara tidak langsung

mengantarkan Surabaya sebagai kota Perdagangan dan jasa, serta merupakan jalur

strategis yang menghubungkan regional di tengah dan Timur Indonesia. Dengan

populasi penduduk sekitar 3 juta orang, Surabaya telah menjadi kota Metropolis

dengan beberapa keanekaragaman yang kaya di dalamnya. Selain itu,

Surabaya saat ini juga telah menjadi pusat bisnis, perdagangan, industri, dan

pendidikan di Indonesia.19

Surabaya merupakan pelabuhan utama dan pusat perdagangan komersial

di wilayah timur Indonesia, dan sekarang menjadi salah satu kota terbesar di

Asia Tenggara. Bersama dengan Lamongan di barat laut, Gresik di barat,

Bangkalan di timur laut, Sidoarjo di selatan, Mojokerto dan Jombang di

barat daya menjadi kesatuan yang dinamakan Gerbang Kertosusila (Gresik,

Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya dan Lamongan), seperti Jabodetabek

di Jakarta dan sekitarnya. Sebagai ibukota provinsi, Surabaya juga merupakan

18
A. F. Djunaedi, “Filosofi dan Etika Kepemimpinan dalam Islam”, Al-Mawarid 2005
XIII, h. 56-61.
19
Dinas Komunikasi dan Informatika Surabaya, Profil Kota Surabaya 2016 (Surabaya:
Dinas Kominfo, 2016), h. 69.
24

rumah bagi banyak kantor dan pusat bisnis. Perekonomian Surabaya juga

dipengaruhi oleh pertumbuhan baru dalam industri asing dan beberapa segmen

industri yang akan terus berkembang, terutama dalam hal properti, di mana

gedung pencakar langit, mall, plaza, apartemen dan hotel berbintang akan terus

terbangun setiap tahunnya.

Kota Pahlawan adalah sebuah identitas khas untuk kota Surabaya,

karena Kota Surabaya berkaitan erat dengan revolusi kemerdekaan Republik

Indonesia sejak penjajahan Belanda maupun Jepang. Pertempuran 10

November 1945 dengan pengakuan Pemerintah pada tahun 1946 sebagai

Hari Pahlawan, memberikan wajah khusus bagi kota Surabaya sebagai kota

perjuangan dan juga sebagai Kota Pahlawan. Dalam medan perjuangan

munculnya Surabaya dalam berbagai peristiwa sejarah telah terjadi di Surabaya.

Dalam suasana yang mencekam dan terancam dari bahaya luar yaitu Sekutu,

lahirlah pemimpin Arek Suroboyo yang memberikan darma baktinya kepada

Bangsa dan Negara yang baru saja merdeka.

Selain memiliki sejarah yang vital terhadap islamisasi di pulau Jawa, Kota

Surabaya juga merupakan kota kelahiran organisasi Nahdlatul Ulama yang berdiri

pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M, yang kemudian menjadi

organisasi Islam terbesar di Indonesia. Hal ini tidak terlepas bahwa Surabaya

menjadi kota penting dalam perjalanan sejarah Islam di Indonesia. Memiliki luas

wilayah 326,81 km2,20 dan secara demografis menurut data Badan Pusat Statistik

(BPS) Kota Surabaya, penduduk Muslim merupakan mayoritas dengan populasi


20
Data diakses pada tanggal 28 Mei 2017 dari
https://surabayakota.bps.go.id/statictable/2018/01/30/581/ luas-wilayah-kota-surabaya-menurut--
kelurahan-2016--.html
25

sebesar 2.432.502 jiwa atau 84,76 % dari total penduduk Kota Surabaya yang

berjumlah 2.869.959 jiwa.21 Selengkapnya dapat dilihat di tabel berikut:

Banyaknya Pemeluk Agama Menurut Jenisnya 2009 - 2014 (Jiwa)


Agama
2014 2013 2012 2011 2010 2009

Islam 2.432.502 3.030.012 2.576.576 2.377.104 2.373.720 2.376.576

Katolik 116.703 114.717 122.787 148.715 145.240 119.121

Kristen 266.608 648.717 1.722.000 295.714 295.186 279.539

Hindu 8.436 18.146 92.520 27.314 27.115 11.665

Budha 45.150 36.611 54.083 48.433 48.824 54.083

Konghucu 389 13 - 396 - -

Lainnya 171 346 - 955 - -

TOTAL 2.869.959 3.848.562 4.567.966 2.850.198 2.890.085 2.840.984

Tabel 3.1: Populasi Penduduk Surabaya Menurut Agamanya

Berdasarkan populasi masyarakat muslim di kota tersebut, maka hampir

bisa dipastikan juga bahwa mayoritas muslim mendukung Tri Rismaharini dalam

Pemilihan Walikota Surabaya periode kedua pada tahun 2015. Kembali

terpilihnya Risma sebagai walikota di periode kedua ini menunjukkan bahwa

mayoritas muslim di kota tersebut mendukung hadirnya sosok pemimpin

perempuan, yang mana bagi sebagian kalangan lain masih menjadi persoalan.

21
https://surabayakota.bps.go.id/statictable/2016/01/21/496/banyaknya-pemeluk-agama-
menujut-jenisnya-2008-2014.html
26

Perlu diketahui bahwa selain sebagai kota metropolitan, pusat bisnis dan

pemerintahan Provinsi Jawa Timur, Kota Surabaya juga memiliki peran strategis

dalam islamisasi di Jawa. Hal ini terlihat dari sejarah Raden Rahmat atau yang

masyhur dikenal sebagai Sunan Ampel yang situsnya kini berada di wilayah

Kecamatan Semampir, Surabaya. Sunan Ampel merupakan generasi kedua dalam

penyebaran Islam di pulau Jawa, dan berhasil meletakkan model pendidikan Islam

dengan yang kini disebut sebagai pesantren.22 Model pendidikan ini berhasil

mencetak santri-santri unggul yang kemudian setelah dinyatakan lulus akan

mengemban misi dakwah di daerahnya masing-masing. Hingga kini situs Sunan

Ampel menjadi destinasi wisata religi yang setiap harinya tidak pernah sepi

diziarahi masyarakat Muslim Indonesia.

Sebagai kota yang menjadi pusat dakwah dan tempat berdirinya pesantren

untuk pertama kali, saat ini pesantren di Surabaya masih bertahan dengan

perkembangan coraknya masing-masing. Sarana dalam penyampaian pemahaman

hadis kepada masyarakat, baik dalam hal dakwah maupun kajian mengenai ajaran

Islam, tentunya tidak terlepas dari peranan pesantren. Menurut data sejarah

kemunculan pesantren beriringan dengan dimulainya proses islamisasi di

Indonesia pada abad ke-13 M,23 dan mampu bertahan hingga kini. Setidaknya

terdapat dua peran utama yang dimainkan pesantren, yakni sebagai pusat

22
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
& XVIII. Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2018), h. 12
23
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Tradisi Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga, tt), h. 9.
27

berlangsungnya transmisi ajaran-ajaran Islam tradisional dan pusat produksi para

ulama.24

Dalam perkembangannya, pesantren tidak hanya berkutat pada kajian

mengenai agama, namun juga berusaha menyentuh pada realitas sosial sekaligus

merespon persoalan masyarakat sekitar.25 Untuk memenuhi kebutuhan sosial ini,

maka tidaklah mengherankan jika pimpinan atau pengasuh pesantren bukan hanya

menjadi tokoh sentral dalam lingkungan internal pesantren, namun juga menjadi

panutan masyarakat sekitarnya, yang dianggap memiliki otoritas dalam hal

persoalan agama. Lebih dari itu mereka pun memiliki peran yang cukup besar

dalam ranah sosial dan politik.26

Persoalan kepemimpinan perempuan memang tidak pernah usai

diperdebatkan dan selalu menjadi kajian menarik. Sebagai entitas yang tak

terpisahkan dari realitas sosial, pesantren memiliki peran strategis di tengah

persoalan-persoalan yang mengemuka di masyarakat, terlebih di tengah

masyarakat yang mayoritasnya muslim. Pimpinan atau pengasuh pesantren, yang

biasa disebut kiyai memiliki peran strategis dalam merespon dan memberikan

solusi atas persoalan yang ada. Maka dari itu, berikut ini akan dikaji bagaimana

respon mereka sebagai pimpinan pesantren, sekaligus sebagai tokoh masyarakat

terhadap persoalan kepemimpinan perempuan yang yang berada di tengah

masyarakat Surabaya serta keabsahannya menurut pandangan Islam.

24
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Tradisi Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, h. 25.
25
Uci Sanusi, “Transfer Ilmu di Pesantren” Jurnal Ta’lim, XI no. 1 (2013): 62
26
Miftah Faridl, “Peranan Sosial Politik Sosial Kyai di Indonesia,” Sosioteknologi XI no.
6 (Agustus, 2007): h. 238
28

C. Tri Rismaharini dan Kepemimpinannya di Surabaya

Tri Rismaharini atau yang akrab disapa Risma merupakan sosok

pemimpin yang dikatakan berhasil selama menjabat sebagai walikota Surabaya.

Risma, sapaan akrabnya dipercaya kembali di periode kedua untuk memimpin

kota pahlawan tersebut melalui Pilkada langsung pada 9 Desember 2015, dengan

meraih kemenangan telak yang mampu mengantongi suara sebanyak 86%.27

Bahkan melalui kuantifikasi elektabilitasnya, sehingga kemenangan tersebut telah

dideklarasikan oleh tim suksesnya sebelum Pemilihan Walikota itu dilaksanakan.

Kemenangan besar ini tentu dapat dijadikan sebagai representasi atas kepuasan

dan apresiasi atas kiprahnya selama menjabat sebagai walikota Surabaya di

periode pertama, yakni tahun 2010 hingga 2015.

Nama Pasangan Calon Walikota


No Jumlah Suara
dan Wakil Walikota

1 Sutadi dan Mazlan Mansur 52.718

2 Ir. H. Fandi Utomo dan Kol. (P) Yulius Bustami 105.736

3 Arif Afandi dan Adies Kadir 327.834

4 Ir. Tri Rismaharini dan Drs. Bambang DH 367.472

5 Fitradjaja Purnama dan Naen Suryono 45.459

Jumlah Suara Sah 899.219

Tabel 2.2: Perolehan Suara Pasangan Risma-Bambang pada Pilkada 2010

27
Sumber, http://www.kpu-surabayakota.go.id
29

No Nama Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Jumlah Suara

1 Dr. Rasiyo, M.Si. dan Dra. Lucky Kurniasih 141.324

2 Ir. Tri Rismaharini, M.T. dan Whisnu Sakti Buana, S.T. 893.087

Jumlah Suara Sah 1034.411

Tabel 2.3: Perolehan Suara Pasangan Risma-Bambang pada Pilkada 2015

Sosok Risma cukup dikenal bukan hanya bagi masyarakat Surabaya,

bahkan secara nasional terlebih ketika isu yang bergulir di media bahwa ia akan

diajukan sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017. 28 Ditelusuri

dari riwayat hidupnya, Risma lahir di Kediri pada 20 November 1961 namun

kemudian tumbuh besar di Surabaya. Masa kecilnya ia habiskan di Kediri hingga

lulus Sekolah Dasar pada tahun 1973, kemudian pindah ke Surabaya dengan

melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya di SMP Negeri 10 Surabaya lulus

pada tahun 1976 dan SMU Negeri 5 Surabaya lulus tahun 1979. Di kota yang

sama, Risma melanjutkan studinya di Institut Teknologi Sepuluh November

Surabaya dengan jurusan arsitektur, lulus tahun 1987. Masih di almamater yang

sama Risma melanjutkan studi Menejemen Pembangunan Kota hingga lulus tahun

2002.29

Semenjak menjadi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kota

Surabaya, banyak hal penting yang telah ia kerjakan. Karirnya semakin meningkat

28
Tak Jadi Calon Gubernur, Ini Alasan Risma. Artikel Diakses pada 12 Februari 2017 dari
https://nasional.tempo.co/read/752600/tolak-jadi-calon-gubernur-dki-ini-alasan-risma.
29
Abdul Hakim, Tri Rismaharini (Jakarta: Change, 2014), h. 14.
30

seiring dengan dengan prestasi kinerjanya dalam mengubah wajah Surabaya

menjadi lebih baik. Karir birokratnya dimulai dari jabatannya sebagai Kepala

Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Badan Perencanaan Pembangunan Kota

(tahun 1997-2000), Kepala Seksi Pendataan dan Penyuluhan Dinas Pembangunan

Kota Surabaya (tahun 2001-2002), Kepala Cabang Dinas Pertanaman (tahun

2002), Kepala Bagian Bina Pembangunan (tahun 2002-2005), Kepala Badan

Penelitian dan Pengembangan (tahun 2005), Kepala Dinas Kebersihan dan

Pertanaman (tahun 2005-2008), Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota

(tahun 2005-2010), kemudian sebagai Walikota Surabaya semenjak tahun 2010

sampai dengan saat ini.30

Sebetulnya banyak prestasi yang diraih Risma selama berkarir di

lingkungan Pemerintah Kota Surabaya. Tiga hal penting yang Risma ciptakan

ialah terkait pembangunan E-Goverment, Tata Ruang Kota, dan Pengelolaan

Sampah. Atas prestasinya di dalam tiga bidang ini Kota Surabaya meraih berbagai

penghargaan bahkan di kancah internasional.

Pertama, e-govermen telah ia rintis semenjak menjadi Kepala Bina

Pembangunan pada tahun 2003, Risma berhasil menciptakan sistem baru dalam

pengadaan barang dan jasa dengan sistem yang terintegrasi secara daring yang

dikenal sebagai e-Procurement yang selanjutnya disebut sebagai e-Proc. Sistem e-

Proc ini memiliki beberapa keunggulan terutama dalam hal transparansi, sehingga

masyarakat dapat turut memantau setiap pekerjaan yang dikerjakan oleh pemkot.

Selain itu berkat e-Proc pula mampu meminimalisir potensi-potensi praktek

30
Profil Walikota Surabaya. Artikel diakses pada 12 Februari 2017 dari
https://surabaya.go.id/berita/37813-profil-walikota-surabaya.
31

korupsi, serta bisa menghemat anggaran belanja 20% - 30%, lantaran lelang

pekerjaan pengadaan barang dan jasa secara daring dirasa lebih efisien. 31 Hal ini

menjadikan Kota Surabaya sebagai pelopor dalam pembangunan sistem lelang

elektronik, sehingga menjadi rujukan sistem lelang nasional.

Pembangunan e-government terus dibangun dan diintegrasikan dengan

seluruh unit kerja mulai dari rencana anggaran (e-Budgeting), pemaketan

pekerjaan (e-Project Planning), administrasi kontrak dan dokumen keuangan (e-

delivery), pemantauan dan evaluasi (e-Controlling) sampai dengan pengukuran

kinerja (e-Performance), sehingga menjadi satu kesatuan sistem yang dikenal

sebagai Goverment Resources Management System (GRMS).32 Usaha-usaha

gerakan modernisasi dan reformasi birokrasi ini pembangunan e-government

membuahkan hasil, atas prestasinya ini Surabaya memperoleh penghargaan di

tingkat Asia Pasific melalui ajang penghargaan FutureGov33 Award 2013 yang

meraih dua kategori, yakni kategori Data Center dan kategori Data Inclusion.

Penghargaan itu diterima langsung oleh Risma sebagai Wali Kota Surabaya di

Angsana Laguna Phuket, Thailand, 25 Oktober 2013.

Kedua, mengenai tata ruang kota yang merupakan hal paling dikenal

sebagai kepiawaian Risma. Ketika menjadi Kepala Dinas Kebersihan dan

Pertamanan Surabaya, Risma bertekad untuk mengubah wajah Surabaya yang saat

itu sangat gersang lantaran merupakan daerah pesisir menjadi lebih indah, asri,

31
Abdul Hakim, Tri Rismaharini, h. 13.
32
Abdul Hakim, Tri Rismaharini, h. 15.
33
FutureGov merupakan perusahaan asal Inggris yang bergerak di bidang pembangunan
pelayanan masyarakat secara digital. Dengan membawa misi untuk pelayanan publik yang lebih
efektif dan efisien yang berbasis pada teknologi informatika. Get to Know Us, artikel diakses pada
14 Februari 2017 dari https://www.wearefuturegov.com
32

dan bersih. Lahan-lahan kosong yang ada di tepi jalan di bawah jembatan layang

dimanfaatkan sebagai taman kota, hingga kini Surabaya memiliki puluhan taman

kota yang berfungsi juga sebagai daerah resapan untuk mencegah banjir. Atas

prestasinya ini Risma kemudian diangkat menjadi Kepala Badan Perencanaan

Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya. Tekad inilah yang kemudian terus

dikembangkan hingga ia menjadi Walikota, sehingga Surabaya mendapat julukan

sebagai Kota Sejuta Taman.34 Walhasil Surabaya mendapat ganjaran selalu

memperoleh penghargaan Adipura semenjak tahun 2008 hingga tahun 2014.35

Ketiga, dalam bidang pengelolaan sampah Surabaya menjadi salah satu

kota yang mampu mengelola sampahnya dengan baik. Program pengelolaan

sampah di Surabaya dapat dikatakan berhasil melalui program 3R (reduse, reuse,

recycle) yang dicanangkan Risma semenjak menduduki jabatan sebagai Kepala

Dinas Kebersihan dan Pertanaman. Dengan mengajak peran serta masyarakat

dalam pengelolaan sampah secara mandiri untuk mengurangi jumlah sampah dan

dalam rangka mengambil nilai ekonomis dari sampah melalui bank sampah. Tak

hanya menyasar masyarakat secara umum, program penanganan sampah juga

melibatkan sekolah-sekolah melalui program edukasi dan penanaman budaya

ramah lingkungan melalui program 3R tersebut. Atas prestasinya ini Surabaya

menjadi role model negara-negara di Asia Pasific dalam hal pengelolaan

sampah.36

Satu dari sekian banyak prestasinya, terdapat satu pencapaian besar yang

yang berhasil diraih, yakni penutupan secara resmi lokalisasi terbesar di Asia
34
Abdul Hakim, Tri Rismaharini, h. 22.
35
http://surabaya.go.id/berita/8230-penghargaan.
36
Abdul Hakim, Tri Rismaharini, h. 27.
33

Tenggara yang terkenal dengan sebutan Gang Dolly pada 18 Juni 2014.37 Prestasi

inilah yang membuat namanya semakin melambung sehingga lebih dikenal lebih

luas lagi secara nasional kemudian di tahun yang sama ia mendapatkan

penghargaan sebagai Tokoh Perubahan Republika 2014.

Selama meniti karirnya menjadi birokrat di pemerintah Kota Surabaya

terlebih ketika menjabat sebagai walikota Surabaya, Risma mengalami banyak

tantangan yang menghalangi demi terwujudnya program yang ia canangkan.

Tantangan terbesar yang dihadapi Risma ialah ketika ketika DPRD Kota Surabaya

menggunakan hak angketnya untuk memakzulkan pemerintahan Risma sebagai

Walikota Surabaya. Peristiwa ini terjadi sebelum usia jabatan walikotanya genap

setahun dalam programnya untuk mencegah munculnya hutan reklame yang

berpotensi mengurangi pemandangan kota dan juga bisa mengancam keselamatan

warga. Dalam pelaksanaan kebijakan ini Risma dianggap tidak memiliki payung

hukum yang kuat dalam menerbitkan surat keputusan tentang kenaikan pajak

reklame lantaran tidak melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait

dalam penyusunan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 56 tahun 2010 tersebut.38

Berdasarkan evaluasi masyarakat Surabaya terhadap kinerja pemerintahan

Risma berada di angka yang memuaskan, dalam arti pemerintahannya

37
Hal ini dilakukan Risma lantaran menurutnya lokalisasi tersebut jauh lebih banyak
membawa dampak buruk pada lingkungan sosial di Surabaya, seperti peredaran narkoba dan
pengaruh buruk lainnya pada anak-anak yang berada di sekitar lingkungan tersebut. Tidak sekedar
menutup lokalisasi namun Pemerintah Kota Surabaya yang bekerjasama dengan Kemnterian
Sosial RI dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, melakukan pembinaan kepada pelaku prostitusi di
lingkungan Dolly dengan menyediakan pekerjaan yang layak dan pemulangan ke kampung asal
bagi warga di luar Kota Surabaya. Risma Belum Puas Terima Penghargaan, artikel diakses dari
www.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/05/01/nnmsnv-risma-belum-puas-terima-
penghargaan pada tanggal 16 Maret 2017.
38
Abdul Hakim, Tri Rismaharini, h. 85.
34

mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Survei ini dilakukan oleh Selengkapnya

dapat dilihat di diagram berikut ini:39

Diagram 3.1: Evaluasi masyarakat Surabaya terhadap Kinerja Risma

Survey Massa Survey Opinion Leaders

85.70%
68.90%

31.10%
14.30%

Puas Kurang Puas

Hasil survei terkait evaluasi tersebut menunjukkan bahwa kinerja Risma

dinilai memenuhi tingkat kepuasan masyarakat surabaya, sehingga mendapatkan

apresiasi dari masyarakat Surabaya atas kepemimpinannya.

39
Ali Sahab, “Realitas Citra Politik tri Rismaharini”, Masyarakat, Kebudayaan, dan
Politik, vol. 30, no.1 (2017), h. 20
BAB III

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PANDANGAN MASYARAKAT

MUSLIM SURABAYA

A. Kepemimpinan Perempuan dalam Islam

Pembahasan mengenai kepemimpinan perempuan dalam sudut pandang

Islam menjadi perdebatan panjang dan tak kunjung usai. Di Indonesia, Meskipun

semakin banyak tokoh-tokoh politik dari kalangan perempuan yang mengemuka

dalam rangka memenuhi standar minimum keterlibatan perempuan di ranah

politik, namun demikian keterlibatan perempuan dalam ranah politik masih

terhadang oleh stereotip-stereotip yang merugikan terhadap keterlibatan

perempuan dalam ranah politik. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, di antara

yang paling berpengaruh adalah mengenai faktor budaya patriarki yang masih

melekat di masyarakat. Budaya patriarki menempatkan posisi perempuan ke

dalam posisi yang tidak menguntungkan, yaitu hanya sebatas ranah domestik

seputar urusan di dalam rumah.

Di samping budaya patriarki yang mengakar, diperkuat dengan

pemahaman-pemahaman terhadap al-Qur‟an dan hadis secara tekstual yang

berimplikasi terhadap kedudukan perempuan yang menempatkan pada ranah

domestik belaka dan tidak mendukung untuk berperan di ranah publik. Dasar yang

digunakan ialah Q.S. al-Nisā‟:34 yang telah telah dipahami bahwa laki-laki lebih

utama dari perempuan. Menurut al-Rāzi dalam tafsirnya mengatakan bahwa

35
36

kelebihan laki-laki meliputi dua hal yaitu ilmu pengetahuan dan kemampuan

fisiknya. Akal dan pengetahuan laki-laki menurutnya melebihi dari akal dan

pengetahuan perempuan dan untuk pekerjaan-pekerjaan keras lebih sempurna.1

Senada dengan al-Rāzī, al-Zamakhsyārī mengatakan bahwa laki-laki memiliki

kelebihan dibanding perempuan dalam hal akal, ketegasan, tekad yang kuat, fisik

yang lebih kuat serta secara umum memiliki kemampuan menulis dan kebenaran.2

Buya Hamka dalam tafsirnya pun demikian bahwa laki-laki memiliki kelebihan-

kelebihan yang merupakan kodrat dari Allah Swt. sehingga kepemimpinan

hanyalah milik laki-laki.3

Keutamaan dan kelebihan laki-laki atas perempuan terdapat pula dalam

hadis-hadis, yang mengatakan bahwa perempuan kurang akal dan agamanya.4

Berikut ini salah satu redaksi hadis tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh

Imam Bukhārī:

‫اض بْ ِن‬ ِ َ‫َسلَ َم َع ْن ِعي‬ ْ ‫َخبَ َرِِن َزيْ ٌد ُى َو ابْ ُن أ‬ َ َ‫َخبَ َرنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َج ْع َف ٍر ق‬
ْ ‫ال أ‬ ْ ‫ال أ‬ ُ ِ‫َحدَّثَنَا َسع‬
َ َ‫يد بْ ُن أَِِب َم ْرََيَ ق‬
ََ ِ ‫َض َحى أ َْو ِِْْ ٍر‬ ْ ‫اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِِف أ‬َّ ‫صلَّى‬ َ ‫اَّلل‬
َِّ ‫ول‬ ُ ‫ال َخَر َج َر ُس‬ َ َ‫ي ق‬ ِّ ‫اْلُ ْد ِر‬
ْ ‫يد‬ ٍ ِ‫اَّللِ عن أَِِب سع‬
َ
ِ
ْ َ َّ ‫َعْبد‬
‫ص َّدقْ َن َِِإِِّن أُِريتُ ُك َّن أَ ْكثَ َر أ َْى ِل النَّا ِر َِ ُق ْل َن َوِِبَ يَا‬ ِ ِ
َ َ‫ال يَا َم ْع َشَر النّ َساء ت‬ َ ‫صلَّى َِ َمَّر َعلَى النِّ َس ِاء َِ َق‬َ ‫الْ ُم‬
‫الر ُج ِل‬
َّ ‫ب‬ ِ ِ ‫ات َع ْق ٍل وِدي ٍن أَ ْذ َى‬ ِ ‫ال تُكْثِر َن اللَّعن وتَ ْك ُفر َن الْع ِشري ما رأَيت ِمن نَاقِص‬ َِّ ‫ول‬
ّ ُ‫ب لل‬ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ َ ْ ْ َ َ‫اَّلل ق‬ َ ‫َر ُس‬
ِ‫ص‬ ِ ِِ َ َ‫اَّللِ ق‬ َ ‫صا ُن ِدينِنَا َو َع ْقلِنَا يَا َر ُس‬ ِ ِ ْ
‫ف‬ ْ ‫س َش َه َادةُ الْ َم ْرأَة مثْ َل ن‬ َ ‫ال أَلَْي‬ َّ ‫ول‬ َ ‫اْلَا ِزم م ْن ِ ْح َدا ُك َّن قُ ْل َن َوَما نُ ْق‬

1
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, X (Teheran: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, tt), h.
88.
2
Abū al-Qāsim Maḥmūd ibn „Umar Al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, II (Riyāḍ, Maktabah
„Abikan, 1998) h. 67.
3
Prof. Dr. Hamka, Tafsir al-Azhar Juz IV (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002) h. 46.
4
Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa rāwī yang tersebar di beberapa kitab hadis. Selain
Imām al-Bukhārī, hadis ini juga diriwayatkan oleh Imām Muslim, Imām Abū Dāwud, Imam al-
Tirmidzī, Imām Ibn Mājah dan Imām Aḥmad ibn Hanbal. Lihat A.J. Wensicnk, dkk, al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfāẓ al-Hadīts al-Nabawī, vol. VI (Leiden: E. J. Brill, 1936), h. 539.
37

ِ ِ ‫ك ِمن نُ ْق‬
ِ ِ َ َ‫الرج ِل قُ ْلن ب لَى ق‬ ِ
ُ َ‫ص ِّل َوََلْ ت‬
‫ص ْم قُ ْل َن بَلَى‬ َ ُ‫ت ََلْ ت‬ َ ‫س ِذَا َح‬
ْ ‫اض‬ َ ‫صان َع ْقل َها أَلَْي‬
َ ْ ‫ال َِ َذل‬ َ َ ُ َّ ‫َش َه َادة‬
‫ان ِدينِ َها‬ ِ ِ َ َ‫ق‬
ِ ‫ك ِمن نُ ْقص‬
َ ْ ‫ال َِ َذل‬
Telah menceritakan kepada kami Sa„īd bn Abū Maryam berkata,
telah mengabarkan kepada kami Muḥammad bn Ja„far berkata, telah
mengabarkan kepadaku Zaid -yaitu Ibn Aslam- dari „Iyīḍ bn „Abd Allāh
dari Abu Sa„īd al-Khudrī ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pada hari raya Idul Aḍha atau Fitri keluar menuju tempat shalat,
beliau melewati para wanita seraya bersabda: "Wahai para wanita!
Hendaklah kalian bersedekahlah, sebab diperlihatkan kepadaku bahwa
kalian adalah yang paling banyak menghuni neraka." Kami bertanya, "Apa
sebabnya wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "Kalian banyak melaknat
dan banyak mengingkari pemberian suami. Dan aku tidak pernah melihat
dari tulang laki-laki yang akalnya lebih cepat hilang dan lemah agamanya
selain kalian." Kami bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apa tanda dari
kurangnya akal dan lemahnya agama?" Beliau menjawab: "Bukankah
persaksian seorang wanita setengah dari persaksian laki-laki?" Kami
jawab, "Benar." Beliau berkata lagi: "Itulah kekurangan akalnya. Dan
bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?"
Kami jawab, "Benar." Beliau berkata: "Itulah kekurangan agamanya.
Kemudian terdapat juga hadis lain menyudutkan posisi perempuan juga

sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imām Bukhārī, Imam Ibn Mājah, Imam al-

Dārimī, dan Imām Aḥmad b. Ḥanbal. Berikut ini adalah matan yang diriwayatkan

oleh Imām al-Bukhārī:

‫ْي بْ ُن َعلِ ٍّي َع ْن َزائِ َد َة َع ْن َمْي َسَرَة ْاْلَ ْش ََجعِ ِّي‬ ِ


ُ ْ ‫وسى بْ ُن حَزٍام قَ َاَل َحدَّثَنَا ُح َس‬ َ ‫ب َوُم‬ ٍ ْ‫َحدَّثَنَا أَبُو ُكري‬
َ
‫صوا‬ ُ ‫استَ ْو‬ َّ ِ
ْ ‫اَّللُ َعلَْيو َو َسل َم‬َّ ‫صلى‬ َّ ِ
َ ‫اَّلل‬
َّ ‫ول‬ ُ ‫ال َر ُس‬َ َ‫ال ق‬ َّ ‫َع ْن أَِِب َحا ِزٍم َع ْن أَِِب ُىَريْ َرةَ َرض َي‬
َ َ‫اَّللُ َعْنوُ ق‬ ِ
ِ ‫الضلَ ِع أَع ََله َِِإ ْن َذىب‬ ِ ٍ ِ ِ ْ ‫بِالنِّس ِاء َِِإ َّن الْمرأََة خلِ َق‬
ُ‫يموُ َك َسْرتَو‬ُ ‫ت تُق‬ َ َْ ُ ْ ّ ‫ت م ْن ضلَ ٍع َوِ َّن أ َْع َو َج َش ْيء ِِف‬ ُ َْ َ
ِ‫وِ ْن ت رْكتو ََل ي زْل أَعوج َِاست وصوا بِالنِساء‬
َ ّ ُ ْ َ ْ َ َ ْ ََ ْ ُ َ ََ َ
“Telah bercerita kepada kami Abū Kuraib dan Mūsā bn Ḥizām keduanya
berkata, telah bercerita kepada kami Ḥusain bn „Ali dari Zā‟idah dari
Maisarah al-Asyja„ī dari Abū Ḥazim dari Abū Hurairah Ra. berkata,
Rasulullah Swa. bersabda: "Nasehatilah para wanita karena wanita
diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok dari
tulang rusuk adalah pangkalnya, jika kamu mencoba untuk meluruskannya
maka dia akan patah namun bila kamu biarkan maka dia akan tetap
bengkok. Untuk itu nasehatilah para wanita”
38

Secara tekstual hadis tersebut menggambarkan penciptaan perempuan dari

tulang rusuk laki-laki menempatkan perempuan di bawah kelas laki-laki.

Nampaknya pemahaman tekstual yang didasarkan terhadap ayat al-Qur‟an dan

hadis di atas mempengaruhi pandangan para ulama khususnya di periodisasi awal

atau masa klasik sehingga berkesimpulan bahwa kepemimpinan hanyalah untuk

kaum laki-laki karena dipandang lebih memiliki kompetensi dibanding kaum

perempuan.

Terkait pemimpin perempuan telah dikisahkan dalam al-Qur‟an bahwa

terdapat kepemimpinan perempuan yaitu ialah Ratu Balqis pemimpin Negeri

Saba‟5 yang ia pimpin memperoleh berbagai keberhasilan dengan cara

kepemimpinan yang dilandasi keadilan, salah satunya melalui sistem musyawarah

dalam menyikapi setiap persoalan.6 Meskipun dalam kisah kepemimpinan

perempuan ini termuat dalam al-Qur‟an yang digambarkan sebagai negeri yang

sejahtera, tidak kemudian bisa dijadikan dalih sebagai pembenaran atas

memperbolehkan kepemimpinan perempuan, karena menurut Lajnah Pentashihan

Al-Qur‟an bahwa sejarah tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum. 7 Kemudian

lebih jauh menjelaskan bahwa sesungguhnya yang digambarkan ialah seorang ratu

5
Negeri Saba‟ terletak di bagian selatan Jazirah Arab, tepatnya di Yaman pada abad VIII
sebelum masehi yang terkenal dengan peradabannya yang tinggi. Sementara kerajaan Nabi
Sulaymān berada di Jazirah Arab bagian utara. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Tangerang:
Lentera Hati, 2007) h. 211
6
Kisah mengenai hal ini termuat dalam QS. Al-Naml. Dikisahkan bahwa Negeri Saba‟
yang makmur dipimpin oleh seorang perempuan bernama Ratu Balqis yang hidup satu zaman
dengan Nabi Sulaymān. Ditengah keberhasilannya dalam memimpin Negeri Saba‟, sayangnya dia
dan kaumnya menyembah matahari. Hal ini menjadi tugas utama sebagai misi dakwah Nabi
Sulaymān untuk mengajak mereka agar beriman kepada Allah Swt. Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid
XIX(Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), h. 132
7
Lajnah Pentashihan Al-Qur‟an Kemenag RI, Buku Tafsir Tematik (Kedudukan dan
Peran Perempuan (Jakarta: Lajnah Pentashihan Al-Qur‟an, 2017) h. 70
39

yang tidak berhasil membangun nilai-nilai keimanan dan ketauhidan yang

disinyalir akan berdampak pada pembangunan di bidang sosial kemasyarakatan

lainnya. Kemudian bangunan argumentasi secara naqli yang secara langsung

berbicara kepemimpinan perempuan ialah hadis yang diriwayatkan oleh Abū

Bakrah. Sebagaimana yang telah dikemukakan di pendahuluan bahwa hadis ini

banyak dipahami secara tekstual sehingga dijadikan basis penolakan

kepemimpinan perempuan.

Berbeda dari pandangan-pandangan di atas, mengenai kepemimpinan

perempuan Abū Ḥanīfah dan al-Ṭabarī tergolong lebih memberi longgar dalam

hal penetapan syarat untuk menjadi pemimpin, yakni memperbolehkan seseorang

perempuan untuk menjadi seorang hakim atau pemimpin.8 Sedangkan

Muḥammad al-Ghazalī membahas secara khusus tentang tema ini yang

membolehkan kepemimpinan perempuan. Menurutnya penolakan kepemimpinan

perempuan dengan dasar hadis tersebut, maka akan bertentangan dengan Kisah

Ratu Balqis yang merupakan sosok perempuan yang kisah keberhasilannya

sebagai pemimpin diabadikan dalam Q.S. al-Naml:18-44. Dengan segala

kepiawaiannya dalam memimpin sehingga menjadikan negerinya makmur, yang

kemudian menjadi muslim dengan berserah diri kepada Allah Swt. bersama Nabi

Sulaiman.9

8
Aḥmad b. „Alī b. Ḥajar al-„Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, vol. VIII, 128.
9
Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis Hadis Nabi Muhammad Saw. Antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual., terj. Muhammad Al-Baqir (Bandung: Penerbit Mizan,
1993), h. 71.
40

Dalam konteksnya di Indonesia juga tak luput dari polemik mengenai

kepemimpinan perempuan. Hal ini mencuat dan menjadi perdebatan terlebih

ketika bersinggungan dengan dunia politik, yakni pada tahun 1988 ketika Mega

Wati Soekarno Putri mencalonkan sebagai presiden Republik Indonesia.

Perdebatan panas ini sempat membanjiri media massa, antara golongan yang

mendukung pemimpin perempuan serta golongan yang meolaknya. Hadis riwayat

Abū Bakrah diantaranya sebagai landasan dan kampanye untuk menyerang

pencalonan Megawati sebagai presiden. Di antara penolakan tersebut ialah

sebagaimana yang disuarakan oleh MUI DKI Jakarta pada tanggal 20 Oktober

1998 melalui rekomendasi yang berisikan penolakan keras terhadap

kepemimpinan perempuan. Satu bulan kemudian penolakan yang cukup keras

disuarakan oleh Kongres Ummat Islam Indonesia (KUII) III di Pondok Gede, 4-7

November 1998 yang menerbitkan fatwa bahwa Presiden Indonesia harus laki-laki

yang beragama Islam.10

Namun demikian menguatnya penolakan terhadap kepemimpinan

perempuan melalui rekomendasi bahkan fatwa melalui kongres di atas, tidak

berarti bahwa tidak ada yang berbeda dengannya. Azyumardi Azra

mengemukakan pendapatnya di Harian Merdeka, pada Selasa 20 Oktober 1998

yang menyatakan tidak adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan,

sehingga keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi presiden.

Senada dengan Azra, Abudrrahman Wahid (Gus Dur) menyuarakan bahwa

10
Endis Firdaus, “Kepemimpinan Politik Wanita dalam Islam. Kajian Berperspektif
Gender atas Ajaran Islam Menuju Kontekstualisasinya di Indonesia” (Disertasi Sekolah Pasca
Sarjana UIN Jakarta, 2005), h. 18-19.
41

seorang syarat utama seorang calon presiden dan wakilnya bukan dari jenis

kelaminnya, melainkan kemampuannya menciptakan keadilan, beriman dan

bertakwa kepada Allah, serta ia betul-betul dipilih oleh rakyat.11

Sebagian umat Islam keberatan atas pencalonannya, karena berlandaskan hukum

Islam yang melarangnya. Namun, di lain pihak berpendapat lebih longgar dengan

memperbolehkan pencalonan tersebut.

B. Kepemimpinan Perempuan dalam Persepktif Pemahaman Hadis

Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya bahwa argumen atas

penolakan terhadap kepemimpinan perempuan tidak terlepas dari hadis yang

diriwayatkan oleh Abū Bakrah yang tentu berkualitas sahih. Namun yang menjadi

persoalan ialah mengenai pemahahaman atas hadis tersebut, karena persoalan

pemahaman ini sebagai penentu atas lahirnya suatu hukum. Hal ini menjadi

persoalan tersendiri lantaran Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir yang

merupakan figur dan keteladanannya berlaku tidak mengenal ruang dan waktu,

sementara hadis-hadis muncul dalam kurun ruang dan waktu yang terbatas.12 Oleh

karenanya pada sub bab ini memuat ulasan mengenai pemahaman hadis yang

diaplikasikan terhadap hadis riwayat Abū Bakrah tentang kepemimpinan

perempuan.

11
Azyumardi Azra, Harian Merdeka, (Jakarta) Selasa 20 Oktober 1998, h. 3 dalam Endis
Firdaus “Kepemimpinan Politik Wanita dalam Islam. Kajian Berperspektif Gender atas Ajaran
Islam Menuju Kontekstualisasinya di Indonesia”, h. 20.
12
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang,
2009) h. 4.
42

Aktivitas dalam menggali Pemahaman hadis memiliki beberapa istilah

yakni, syarḥ al-ḥadīts, fiqh al-ḥadīts dan fahm al-ḥadīts. Meskipun berbeda dalam

istilah namun ketiganya memiliki persamaan yakni menampakkan sisi yang lain

dari makna suatu hadis, memberi pemahaman yang jelas tentang makna tersirat

dan tersurat suatu hadis dengan memperhatikan segala aspek yang mungkin

terkanduung di dalamnya dengan bantuan logika, latar sejarah, serta situasi dan

kondisi kemunculan suatu hadis baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan

sebagaianya yang kemudian diupayakan untuk diamalkan sesuai konteks

kekininan.13

Dalam upaya pemahaman hadis beberapa sarjana telah memberikan

tawaran metode dalam memahami hadis. Misalnya Muḥammad al-Ghazālī

menawarkan empat prinsip yang harus dipenuhi dalam pemahaman hadis yakni,

pengujian dengan al-Qur‟an, pengujian dengan hadis, pengujian dengan fakta

historis, dan pengujian dengan kebenaran ilmiyah. M. Syuhudi Ismail

menekankan pentingnya mengkaji segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi

dan suasana yang melatarbelakangi ataupun yang menyebabkan terjadinya hadis,

agar bisa didapati apakah dipahami secara tekstual atau kontekstual, sehingga

ajaran yang terkandung di dalam hadis tersebut dapat teridentifikasi batasannya

antara ajaran yang bersifat universal, temporal, dan atau lokal.14

Dalam kaitannya terhadap hadis tentang kepemimpinan perempuan yang

diriwayatkan oleh Abū Bakrah, dengan mengacu pada pengertian dan metode di

13
Ahmad Irfan Fauji, “Pergeseran Metode Pemahaman Hadis Ulama Klasik Hingga
Kontemporer” (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 26.
14
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h.7.
43

atas, dengan ini penulis berupaya melakukan pengujian hadis tersebut dengan al-

Qur‟an, pengujian dengan hadis, serta kajian historis untuk menggali konteks

yang melingkupi ketika hadis tersebut muncul.

1. Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Qur‟an

Memahami hadis melalui petunjuk al-Qur`an merupakan pokok

terpenting agar terhindar dari kekeliruan, mengingat fungsi hadis sebagai bayān

terhadap al-Qur‟an. Secara logis, sesuatu yang menjelaskan tidak mungkin

betentangan dengan yang dijelaskan. Bilamana didapati kontradiksi pada

keduanya, maka hal tersebut disebabkan oleh hadis itu tidak sahih, pemahaman

yang kurang, atau sebatas praduga semata.15

Ayat al-Qur‟an yang berkenaan dengan kepemimpinan perempuan ialah

kisah Ratu Bilqis, seorang pemimpin Negeri Saba‟. Bertolak dari sini, secara tidak

langsung mengisyaratkan bahwa perempuan pun layak menjadi pemimpin16. Akan

tetapi terdapat pula penggalan ayat yang menjadi alasan untuk melarang

keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan publik, yakni Q.S al-Nisā` ayat 34,

laki-laki itu qawwāmūn bagi perempuan. Kata qawwāmūn dengan berbagai

bentuk derivasinya berarti pelindung, pemimpin, atau pihak yang memiliki

kewenangan dan kekuasaan. Tentunya, perbedaan tersebut membuahkan

penafsiran yang berbeda.

15
Yūsuf Qarḍāwī, Kayfa Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, hal. 93
16
Lajnah pentashihan Mushaf al-Qur`an, Tafsir al-Qur`an Tematik: Kedudukan dan
Peran Perempuan (Jakarta: Kementrian RI, 2012), hal. 6. Lihat pula, M Quraish Shihab,
Perempuan (Tangerang: Lentera Hati, 2011), h. 383.
44

Dengan pemaknaan secara lahiriah tersebut mengesankan bias jender

yang cenderung memberi keutamaan pada laki-laki, dan tidak bermaksud

merendahkan derajat perempuan. Untuk itu, perlu seperangkat pengetahuan dan

kaidah agar terhindar dari kekeliruan dalam menafsiri ayat-ayat jender tersebut.

Seperti diketahui ayat-ayat mengenai perempuan pada umumnya mempunyai

riwayat sabāb al-nuzūl, jadi bersifat sangat historis. Sehingga cenderung bersifat

informatif belaka, sebagai potret dari kondisi sosiologis ketika itu.17

Di sisi lain, dalam pandangan Nasaruddin Umar menyatakan bahwa al-

Qur‟an membawa pesan pembebasan perempuan yang ketika terbelenggu budaya

jahiliah yang menempatkan wanita di posisi yang tidak menguntungkan. Al-

Qur‟an membawa misi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dengan batasan

tertentu, atas dasar argumentasi bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama

sebagai hamba (Q.S. al-Dhāriyāt:56), sebagai khalīfah di bumi (Q.S. al-

Baqarah:30 dan al-A‟rāf: 165 ), menerima perjanjian primordial (Q.S al-

A‟rāf:172), Adam dan Hawa sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis

(Q.S. al-Baqarah:35 dan 187, Q.S. al-A‟rāf:20-23,), serta laki-laki dan perempuan

berpotensi sama dalam meraih prestasi secara maksimal (Q.S. Alī „Imrān:195,

Q.S. al-Nisā`:124, Q.S. al-Naḥl:97 dan Q.S. Ghāfir:40).18

17
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA., Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci (Jakarta:
Fikahati Aneska, 2000) hal. 37-38, 77-94. Bias jender dalam al-Qur`an disebabkan oleh pengaruh
dinamika sejarah perjalanan al-Qur`an dan tafsirnya baik dari sisi internal maupun eksternalnya.
Di antaranya, pembakuan tanda baca, tanda huruf dan qira`at; pengertian kosakata; penetapan kata
ganti; bias dalam struktur bahasa Arab, kamus, metode tafsir, isra`iliyat; dan pengaruh dari yahudi.
Lihat, Nasaruddin Umar, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Jender dalam Islam
(Yogyakarta: PWS IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan McGill-ICHIEP, 2002), h. 90.
18
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA., Teologi Jender: Antara Mitos dan teks Kitab Suci
(Jakarta: Pustaka Cicero, 2003), h. 246.
45

Melalui petunjuk al-Qur‟an dengan semangat kesetaraan kesetaraan

antara laki-laki dan perempuan, maka hadis ini jika dipahami secara harfiah akan

terkesan bias dan cenderung bertolak belakang dengan spirit kesetaraan dalam al-

Qur`an yang telah dikemukakan d atas. Satu hal yang menjadi perbedaan seorang

hamba ialah ketakwaannya, tanpa memandang jenis kelamin, suku bangsa

maupun etnis tertentu sebagaimana pesan yang disampaikan dalam Q.S. al-

Hujurat: 13

2. Pemahaman Hadis dengan Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema

Metode yang kedua ini merupakan paduan dari dua metode, yakni

metode kedua dan ketiga. Pertimbangan penulis memadukan dua metode ini

karena adanya kesamaan dalam langkah praktisnya. Dengan penghimpunan hadis

semacam ini yang kemudian dengan metode jam’ ataupun tarjīh akan

memperoleh pemahaman mengenai yang muṭlaq-muqayyad, ‘ām-khāṣ, dan

mutashabbih-muḥkām. Dengan demikian akan menjadi jelas bahwa tidak ada

kotradiktif antar hadis tersebut.19

Di antara hadis yang secara eksplisit membicarakan tentang

kepemimpinan perempuan memang tidak ditemukan selain riwayat Abū Bakrah

ini. Namun yang menyangkut tentang pemimpin ialah hadis dari Ibn „Umar,

berikut ini.

‫اَّللِ بْ ِن ُع َمَر َر ِض َي‬ َّ ‫اَّللِ َع ْن َعْب ِد‬


َّ ‫اَلُ بْ ُن َعْب ِد‬ِ ‫ال أَخب رِِن س‬ ِ
َ َ َ ْ َ َ‫ي ق‬ ِّ ‫الزْى ِر‬
ُّ ‫ب َع ْن‬
ٌ ‫َخبَ َرنَا ُش َعْي‬
ْ ‫َحدَّثَنَا أَبُو الْيَ َمان أ‬
ِْ َِ ‫ول َع ْن َرعِيَّتِ ِو‬
‫اْل َم ُام َر ٍاع‬ ُ ‫اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم يَ ُق‬
ٌ ُ‫ول ُكلُّ ُك ْم َر ٍاع َوَم ْسئ‬ َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ َ ‫اَّللُ َعْن ُه َما أَنَّوُ ََِس َع َر ُس‬
َ ‫اَّلل‬ َّ

19
Yūsuf Qarḍāwī, Kayfa Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, h. 103.
46

‫اعيَةٌ َوِى َي‬


ِ ‫ت زوِجها ر‬ ِ ِ ِِ ِ
َ َ ْ َ ‫ول َع ْن َرعيَّتو َوالْ َم ْرأَةُ ِف بَْي‬ ٌ ُ‫الر ُج ُل ِِف أ َْىلِ ِو َر ٍاع َوُى َو َم ْسئ‬ َّ ‫ َع ْن َر ِعيَّتِ ِو َو‬a‫ول‬ ٌ ُ‫َوُى َو َم ْسئ‬
‫ول‬ِ ‫ال َِس ِمعت ى ُؤََل ِء ِمن رس‬ ِِ ِ ٌ ُ‫اْلَ ِاد ُم ِِف َم ِال َسيِّ ِدهِ َر ٍاع َوُى َو َم ْسئ‬ ْ ‫َم ْسئُولَةٌ َع ْن َرعِيَّتِ َها َو‬
َُ ْ َ ُ ْ َ َ َ‫ول َع ْن َرعيَّتو ق‬
ٌ ُ‫الر ُج ُل ِِف َم ِال أَبِ ِيو َر ٍاع َوُى َو َم ْسئ‬ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صلَّى‬ ِ ‫اَّلل علَي ِو وسلَّم وأ‬ َِّ
‫ول‬ َّ ‫ال َو‬ َّ ِ‫ب الن‬
َ ‫َِّب‬ ُ ‫َحس‬ ْ َ َ َ َ ْ َ َُّ ‫صلَّى‬ َ ‫اَّلل‬
‫ول َع ْن َر ِعيَّتِ ِو‬ ٌ ُ‫َع ْن َر ِعيَّتِ ِو َِ ُكلُّ ُك ْم َر ٍاع َوُكلُّ ُك ْم َم ْسئ‬
“Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan
kepada kami Syu'aib berkata, dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan
kepadaku Salim bin 'Abdullah dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu
'anhuma bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
telah bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin
akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam (kepala
Negara) adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas
rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan
diminta pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah
pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya dan akan diminta
pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang
pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya dan akan diminta
pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut". Dia
('Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma) berkata: "Aku mendengar
semua itu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan aku munduga
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda"; "Dan seorang laki-laki
pemimpin atas harta bapaknya dan akan diminta pertanggung jawaban
atasnya dan setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan
diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya”20
Persebaran hadis tersebut cukup banyak, misalnya dalam Ṣaḥīḥ al-

Bukhārī, terdapat 8 hadis, Sunan al-Dārimī serta Aḥmad bin Ḥanbal.21 Dari sekian

banyak hadis, yang menjadi pembanding ialah hadis yang terdapat di Ṣaḥīḥ al-

Bukhārī nomor 7138. Dari hadis ini membahas lebih berat terhadap

pertanggungjawaban dari statusnya. Berangkat dari sini, setiap peran yang

diemban, maka akan ada pertanggungjawaban di sana. Dalam hadis ini disebutkan

bahwa seorang wanita menjadi pemimpin atas rumah suaminya, namun yang

dimaksud ialah seorang status istri, bukan jenis perempuannya.

20
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukkhārī, h. 321, 133, 338, 371, 143, 744, 982.
21
A .J. Wensicnk, dkk, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Hadīth al-Nabawī. (Leiden: E.
J. Brill, 1936), vol. 3, hal. 275.
47

Sehingga, berangkat dari sini didapatkan pemahaman setiap status sosial

akan dipertanggungjawabkan, baik itu seorang yang berjenis laki-laki maupun

perempuan. Kemudian mengenai kata imām (pemimpin sosial-politik), yang

menunjukkan maskulinitas bukan berarti menutup kemungkinan bagi perempuan

untuk menempati posisi tersebut, meskipun menggunakan bentuk maskulin. Hal

ini disebabkan karena kata imām tidak memiliki bentuk mu’annasnya.

1. Penyesuaian Hadis Sesuai Latar Belakang, Situasi, Kondisi serta Tujuannya

Sabab al-wurūd dari hadis ini secara bersamaan terdapat dalam

periwayatan hadisnya, yakni ketika Nabi mendengar kabar berita tentang

pengangkatan Buwaran sebagai ratu Persia. Ditinjau dari historisnya, peristiwa ini

terjadi pada tahun 7 H / 586 M.22 Mendengar kabar tersebut Nabi bersabda,

“Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita”. Menurut

Arief dalam skripsinya yang menelusuri kesejarahan hadis ini menemukan bahwa

hadis tersebut baru populer belakangan yakni setelah sekitar 20 tahun wafatnya

Rasulullah. Pada saat itu banyak bermunculan fitnah-fitnah kepada sahabat nabi,

sehingga banyak sekali hadis-hadis yang digunakan untuk kepentingan golongan

tertentu. Hadis ini diriwayatkan oleh Abū Bakrah di tengah peristiwa tersebut,

serta ia pula yang mempopulerkannya.23 Selengkapnya dapat dilihat pada diagram

sanad berikut:

22
Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Rahmat,
(Jakarta: Robbani Press, 2010) h. 523.
23
Arief Hidayat, “Penanggalan Hadis Kepemimpinan Perempuan” (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016).
Nabi

Jābir b. Samarah Al-Aḥnaf b. Qays (67 H) Abū Bakrah (51 H)


(51 H) Abū Bakr al-
CL Ṣiddiq (13 H)

‘Abd al-
Rahmān b. Al-Ḥasan bin Abī al- ‘Abd al-‘Azīz b. ‘Umar b.
Abī Bakrah Ḥasan (110 H)
Simāk b. Abī Bakrah ‘Abd al-Rahmān Jawsyan Hajanna‘
(96 H)
Ḥarb

‘Utaybah b. ‘Abd al- ‘Abd al-Rahmān


Sulayman Yūnus b. Humayd b. Abī ‘Uyaynah b. ‘Abd al- ‘Aṭā b. al-Sā’ib
Raḥmān al-Tsaqafī ‘Awf b. Jamīlah b. Mu‘āwiyah al-
al-Anṣarī ‘Ubayd al- Mubarak b. Fa 1e0dālah (164 H) Rahmān Jawsyan (136 H)
(60-146 H) Humayd (142 H) Bakrāwī
‘Abdī (136 H)

Al-Wadhā b. Khālid b. Hammād


Al-Ḍaḥāk b. Baqiyyah b. ‘Alī b. ‘Āṣim al- ‘Abd al-Jabbar
‘Abdullah al-Ḥārits b. Salamah Abū Dāwud al-
Makhlad al-Walīd Tamimī (201 H) b. ‘Abbās al-
(176 H) (186 H) (167 H) Ṭayālisi (204 H) Hamdānī

‘Abd al- Muhammad Salim b. Hāsim b. Fa ḍal b. Dukayn


Rahmān b. Al-Ḥusain b. Nu’aim b. Muhammad ‘Usmān b. Ṣafwān b. Musaddad b. Aswad Yazid b. Muslim b. Muhamma Yazid b. Yahya b. Abū Bakr b.
b. al- Qutaybah al- Ahmad al-Walīd d b. Bakr
‘Amrū b. Sahl b. ‘Abd Hammād b. Yahya al- al-Haitsam ‘Isa al-Qādī Musaddad al- b. ‘Āmir Hārūn Ibrahīm Hārūn Sa‘id Abī Syaybah al-Malā’ī (218 H)
Jabalah Mutsanna Sya‘irī b. Yūnus al-Hurwi
al-‘Azīz (228H) Azdī (220 H) Suddiy (228 H) (208 H) (206 H) (222 H) al-Barsānī (206 H) (198 H) (235 H)
(167-252 H) (240 H) (203 H)

Yahya b. ‘Abdullah b. Muhammad b. Muhamm Muhammad Muhammad Naṣr b. Dāwud


Bakkar b. Al-Haitsam b. Aḥmad Muhammad b. ‘Alī b. ‘Abd
Isḥāq b. al-Bukhāri Zayd b. ‘Abd al- Aḥmad al- Wadhdhaḥ (280 ad b. b. Ma‘mar
‘Abd al-Wārits b. Ibn Qāni‘ Mūsa b. Qutaibah al- Muhammad al- Khalaf al-Daurī b. al-‘Azīz b. Isḥāq (270 al-Ṣāgānī (271
Ibrāhīm Abū al-Ḥasan (256 H) Ahzam Rahmān al- Syaybānī (290 H) Manṣūr (250 H) H)
(351 H) Zakariyya Qādī Dzahli (267 H) (307 H) Manṣūr (286 H) H)
‘Ubaidah al-Ḥarbī Sāmī (301 H) H)

Ibn
Hanbal
(241 H)
Al-Ṭabrānī Aḥmad b. Muhammad b. Muhammad b. Ḥusayn b. Aḥmad b. Aḥmad b. Wahb b. Muhammad b. Al-A‘rābī Ibn Bakr al- ‘Abdullah b.
Abī Ṭāhir Ibrāhīm b. Ja‘far al- Masarrah (346 Ya‘kūb al-Amwi Muhammad b.
( 360 H ) ‘Ubaid al- Ya’kub al-Amwi Ya‘kub al-Syaibānī ‘Alī b. Yazīd (340 H) Maṭīrī (335 H)
al-Dzahlī Jāmi’ Qaṭi’i H) (346 H) Ibrāhim
Ṣaffār (247-346 H) (344 H)
(393 H) al-Tirmidzī al-Nasā’ī al-Bazzār
(256 H) (303 H) (292 H)

‘Abd al-Rahmān b. Ibn Ḥajar al-


‘Alī b. Aḥmad Ibn Hibban Al-Ḥasan b. ‘Alī Aḥmad b. Muhammad Al-Ḥākim al-
al-Ḥakim ‘Amr al-Kindī Jasūrī ‘Asqalānī
b. ‘Abdān (415 (354 H) al-Tamimī Naysāburī (405
(405 H) (323-416 H) (852H)
H) H)

Al-Baihāqi Hibbatullah b. Ibn Ḥazm (456


Al-Syihāb
(458H) Muhammad al- H)
48

(454 H)
Syaibānī

Ibn Jawzī (597 H)


49

Kemunculan hadis ini ketika menjelang perang Jamal yang terjadi tahun

656 M,24 ketika kelompok „Āisyah yang menuntut qiṣāṣ kepada „Ālī atas

terbunuhnya „Utsmān bin „Affān. Salah satu dari kelompok ini ialah Abū Bakrah,

yang menolak untuk turut serta berperang lantaran dipimpin oleh seorang

perempuan, yakni „Ā‟isyah atas dasar sabda nabi tersebut.25

Ketika berbicara kondisi dan situasi ketika Nabi bersabda, hendaknya kita

memasuki lorong sejarah pada masa itu. berdasarkan konteks sosial masyarakat

Arab Jahiliyah saat itu menggambarkan bahwa nasib kaum perempuan sangat

tidak menguntungkan kala itu, yang dianggap sebagai subordinasi dari laki-laki,

hanya sebatas pembantu untuk laki-laki, bahkan dianggap layaknya benda yang

bisa ditukar atau diperjualbelikan26. Kondisi tersebut meliputi dataran Timur

tengah, termasuk Persia itu sendiri. Maka wajar jika kemudian terkait

pengangkatan Buwaran sebagai Ratu Persia Nabi memberikan komentar

demikian, mengingat kondisi wanita yang terkekang dan tidak mendapat

penghormatan. Kemudian, bagaimana akan berhasil jika seorang pemimpin –

Buwaran- tidak memiliki kapabilitas dan kredibilitas yang merupakan pokok

terpenting seorang pemimpin sebagaimana telah disinggung di muka. Dan perlu

ditegaskan, hal tersebut dikarenakan kondisi budaya dan sistem sosial yang

berlaku saat itu, bukan karena faktor internal jenis perempuan itu sendiri, namun

juga keadaan perebutan kekuasaan di lingkungan kerajaan yang terus berlangsung.

24
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi,
2002), h. 224
25
Aḥmad bn „Alī bin Ḥajar al-„Asqlānī, Fatḥ al-Bārī, Juz. 35 terj. Amiruddin (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), h. 190-191.
26
Leila Ahmed, Wanita dan Jender dalam Islam, terj. Ms. Nasrullah, (Jakarta: Lentera
Basritama, 2000) h. 23
50

Dari ketiga metode tersebut, persoalan mengenai kepemimpinan

perempuan kiranya tidak menjadi permasalahan. Lagi pula, hadis tersebut tidak

menunjukkan sifat keumumannya, akan tetapi khusus terhadap Kerajaan Persia

ketika itu. Kesuksesan ratu Balqis memimpin negeri Saba yang diabadikan al-

Qur`an, bisa menjadi contoh bahwa perempuan pun layak menjadi pemimpin.

C. Pemahaman Masyarakat Surabaya terhadap Hadis Kepemimpinan

Perempuan

Seperti yang telah dijelaskan di pendahuluan bahwa perbedaan

pemahaman terhadap hadis sudah ada pada masa Rasulullah. Kondisi ini dapat

ditelusuri melalui peristiwa perang Bani Quraidzah. Ketika Rasulullah

mengirimkan sejumlah sahabatnya ke daerah musuh dan memerintahkan agar

mereka tidak melaksanakan shalat asar kecuali ketika sampai pada tempat yang

dituju. Ternyata shalat asar telah masuk waktunya ketika mereka masih dalam

perjalanan. Melihat keadaan ini, sejumlah sahabat melaksanakan shalat asar di

tengah perjalanan dengan alasan bahwa tentu bukan maksud Rasulullah

menangguhkan shalat, melainkan ada alasan lain yaitu agar mereka bergegas

dalam perjalanan, sehingga mereka sampai pada tempat tujuan tepat pada

waktunya. Sementara sahabat yang lainnya menjalankan shalat asar setelah tiba di

tempat tujuan ketika hari telah menjelang malam, karena mematuhi perintah

Rasulullah secara harfiah. Ketika hal ini disampaikan kepada Rasulullah, beliau

diam saja. Para sahabat menganggap hal ini sebagai persetujuan beliau (taqrir)

terhadap tindakan kedua kelompok sahabat tersebut, karena jika ada kesalahan

dari mereka tentu Rasulullah meluruskannya.


51

Kasus ini menunjukkan bahwa yang dipandang penting dan mendasar

adalah kepatuhan kepada perintah Nabi. Kedua kelompok sahabat tersebut sama-

sama memperlihatkan kesetiaan mereka kepada Nabi. Kelompok pertama

mematuhi perintah Nabi dengan berusaha menemukan spirit perintah tersebut,

sedangkan kelompok kedua mematuhi perintah Nabi secara literal. Kasus tersebut

secara jelas juga menunjukkan betapa hadis dapat dipahami secara dinamis dan

kreatif oleh para sahabat.

Sehubungan dengan hal itu, khususnya terkait dengan subyek penelitian

ini yaitu masyarakat Surabaya yang direpresentasikan oleh pimpinan organisasi

massa islam, pimpinan pesantren, dan tokoh agama islam lainnya sebagai subyek

penelitian ini dengan jenis non probability sampling dengan menggunakan teknik

purposive sampling. maka dapat dijabarkan bahwa mereka pun terbagi menjadi

dua kelompok dalam memahami hadis kepemimpinan perempuan; yaitu

kelompok tekstualis dan kelompok kontekstualis.

1. Kelompok Tekstualis

Secara metodologis, kelompok ini memahami hadis melalui makna

harfiahnya, sangat tergantung pada bunyi teks hadis, seperti tertulis apa adanya

dan terlepas sama sekali dari konteks. Teks menjadi satu-satunya sumber

legitimasi. Mereka mencoba kembali pada masa keemasan Islam, kepada suatu

tatanan negara adil dan sempurna yang diciptakan oleh Nabi Muhammad.

Menurut mereka, umat Islam wajib kembali pada Islam yang lurus dan sederhana,

dimana hal itu bisa diperoleh hanya dengan kembali pada penerapan literal
52

terhadap perintah-perintah dan sunnah Nabi serta pelaksanan yang ketat terhadap

praktik-praktik ritual.27

Berdasarkan makna harfiah hadis kepemimpinan perempuan tersebut,

HTI28 memutuskan bahwa perempuan dilarang menjadi pemimpin (kepala negara)

perempuan dan tidak perlu menafsirkan ulang karena bagi mereka petunjuk dari

hadis tersebut sudah jelas. Kemudian diperkuat lantaran hadis ini diriwayatkan

oleh Imam Bukhāri yang sudah pasti kesahihannya. Bagi HTI makna tekstual

sudahlah final, bahwa ukuran keberhasilan bukan sekedar diukur dengan materi

akan tetapi yang terpenting harus mendapatkan rida Allah Swt.

“saya pernah mendapat penjelasan ustad saya menyampaikan


begini bahwa makna keberuntungan itu kan ada keridhaan Allah atau
tidak, kemurkaan Allah atau keridhaan Allah. Iya jadi, kalau maknanya
seperti itu artinya bisa jadi orang itu dari sisi ukuran matreal dia sukses
berhasil tapi Allah gak ridha begitu, kalau ukurannya itu materil wajar,
kalau ukurannya materi maka orang itu dikatakan sukses banyak
keberhasilan disana sini. Tapi karena dalam islam itu bahwa
keberuntungan itu tidak hanya materi tidak sekedar materi, dalam islam itu
kan keberuntungan itu kan keberhasilan dan kesuksesan itukan harus
dilihat dalam kacamata apakah Allah itu ridha atau tidak dengan amal.
Walau secara materil ada banyak pembenahan perbaikan disana sini tapi
kalau bicara dengan apakah Alllah ridha atau tidak, orang itu dari sisi
materi dia sukses tetapi dalam pandangan Allah orang ini gagal”29

27
Umi Aflaha, “Kajian Ormas-Ormas Islam di Indonesia; Analisa Pemahaman Hadis NU
dan Muhammadiyah Terhadap Hadis-hadis Misoginis,” (Tesis Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, 2011), h. 96
28
Hizbut Tahrir merupakan partai politik Islam yang mempunyai misi pembentukan
Khilafah Islamiyah sebagai salah satu agenda terbesarnya. Partai politik yang berideologi Islam ini
telah tersebar ke berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia, dengan jargonnya yaitu Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI). Gerakan ini berupaya menegakkan kembali negara Islam sehingga dapat
merealisasikan syariat Islam sebagaimana yang dilakukan pada masa Nabi Muhammad. Nilda
Hayati, “Konsep Khilafah Islamiyah Hizbut Tahrir Indonesia” Episteme, vol.XII, no. 1 (Juni,
2017) h. 171.
29
Wawancara dengan Ustd Solahuddin Fatih (DPD HTI Jawa Timur) 22 Oktober 2016
53

Selain berkutat pada makna tekstualnya sebagian juga memahami hadis

tersebut dengan hadis yang mengatakan bahwa perempuan kurang akan dan

agamanya. Tentunya hadis ini pun dipahami secara tekstual.

“akal sepuluh juz. yang sembilan dikasihken orang lak-laki yang


satu dikasihken orang perempuan, jadi orang laki-laki sama orang
perempuan masalah akal itu ya menangan orang laki-lakikan yah.. sembila
banding satu kok. kemudian Allah menciptakan sahwat itu juga sepuluh,
yang sembilan dikasihken orang perempuan yang satu dikasihken orang
laki-laki. Makanya nggak ada orang perempuan itu beli obat kuat, itu gak
ada yah yah, kebanyakan laki-laki. jadi karena orang perempuan itu
sahwatnya lebih Sembilan, orang laki-laki satu berarti orang perempuan itu
nalurinya sangat tinggi, perasaan batinnya yah. karena sahwatnya tinggi,
jadi kecemburuannya juga tinggi yah. kemudian keinginannya juga tinggi
yah. itu aja selebihnya sampean cari lagi itu sendiri. Itu aja pedoman
saya”30

Demikianlah pemahaman kelompok tekstualis tanpa terlebih dahulu

mempertimbangkan masalah konteks sosio-historis suatu hadis. Mereka

cenderung kepada penerapan harfiyah hadis Nabi, terlebih ketika telah telah

ditetapkan oleh ulama-ulama besar pada masa lalu. Beberapa pengasuh pesantren

masih sangat tergantung dengan hasil ijtihad ulama-ulama terdahulu.

“Di dalam al-Qur‟an Q.S. al-Nisa:34 bahwa Allah memberikan


kelebihan kepada laki-laki. Dalem rumah tangga itu loh Allah memberikan
kepemimpinan kepada laki-laki, pada satu keluarga opo maning negara.
Saya mengikuti hukum-hukum yang telah dirumuskan ulama-ulama
terdahulu”31

Kelompok yang mempertahankan makna tekstual juga ditemukan di tubuh

LDII32 yang memahami hadis ini yang disandingkan Q.S. al-Nisa:34 dengan

30
Wawancara dengan KH. Mas Abu Mansur (Pengasuh PP Attauhid) 19 Oktober 2016
31
Wawancara dengan KH. Mas Abdullah Muhajir (Pengasuh PP Annajiyah) 19 Oktober
2016.
32
Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya pada Bab I Pasal 1,
menerangkan bahwa organisasi ini adalah Lembaga Dakwah Islam Indonesia atau disingkat LDII
54

makna umumnya yang menganggap bahwa laki-laki lebih memiliki keutamaan-

keutamaan dibandingkan perempuan. Meskipun mengetahui latar belakang

kemunculan hadis ini, namun tetap pada pijakan bahwa perempuan tidak

diperkenaankan menjadi pemimpin.

“secara umum menurut penjelasan dalam qur‟an maupun hadits


bahwa di dalam al-qur‟an surat an-nisa‟ itu ya.. an-nisa ayat 34 itu arijalu
qawamun ala nisa‟ secara umum yah, sampean inshaAllah sudah tahu.
iyah.. jadikan, kenapa begitu, ehh.. bima fadalallahu ba‟duhum ala ba‟din..
karena memang Allah memberikan kelebihan seorang laki-laki dengan
permpuan gak sama. Artinya dari ayat tersebut Allah lebih memberikan,
kemampuan yang lebih kepada orang laki-laki. Menurut ayat tersebut.
Kemudian di dalam hadits juga begitu. Di dalam hadits, i.allah di dalam
hadits bukhari ada juga ada tiga, ketika nabi mendengar. Ketika nabi
Muhammad mendengar bahwa di kerajaan kisrah Persia. Kalau sekarang
yo.. sekarang jadi nama, irak po iran itu.. itu ketika nabi mendengar saatitu
bahwa kisrah meninggal, kisrah yang ke berapa,.. kisrah kan satu dua tiga,
seperti fir‟aun juga.. itu meninggal, kemudian rakyatnya mengangkat yang
jadi pemimpin itu kan, ibnata kisra, namanya buran,.. siapa namanya buron
atau siap itu. Nah itu waktu nabi mendengar itu langsung nabi
menyampaikan apa namnya,.. sabdanya, nabi mengatakan begini..
layuflihal qaumun walau amrohum al-amra‟ati kan begitu ya.
Kesimpulannya menurut syariat islam menurut hukum islam bahwa kalau
yang saya tahu yah bahwa pemimpin itu sebaiknya adalah laki-laki”

Dapat diketahui bahwa HTI berpegang teguh pada pemikiran Taqiyyudin

an-Nabhani sebagai pendiri HT. Mereka ini berlindung pada literalisme yang

ketat, dimana teks menjadi satu-satunya sumber ligetimasi. Sedangkan yang

menjadikan sebagian kiyai-kiyai yang menjadi pengasuh pondok pesantren dan

LDII memahami hadis secara tekstual adalah kecendrungan mereka terhadap

hukum-hukum fiqih yang ditetapkan oleh para ulama pada masa lalu. Pemahaman

sebagai kelanjutan organisasi sosial kemasyarakatan Lembaga Karyawan Dakwah Islam Indonesia
yang didirikan pada tanggal 1 Juli 1972 di Surabaya, Jawa Timur. Kemudian pada pasal 10
menjelaskan bahwa tugasnya adalah melaksanakan dakwah Islam dengan berpedoman pada kitab
suci Al-Qur‟an dan Al-Hadits dengan segenap aspek pengamalan dan penghayatan beragama
sehingga dapat memberikan hikmah dan dorongan untuk mewujudkan tujuan Organisasi. Sumber,
55

semacam ini lebih gigih mempertahankan tradisionalisme Islam dan memberikan

perhatian lebih kepada warisan pengkajian Islam ulama salaf. Ketika beristinbat

langsung dari sumber primer (al-qur‟an dan hadis) cenderung kepada pengertian

ijtihad mutlak. Atas dasar itu, istinbat ini masih sangat sulit dilakukan mengingat

adanya keterbatasan-keterbatasan yang didasari mereka, terutama berkaitan

dengan ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang

mujtahid.

2. Kelompok Kontekstualis

Kelompok ini telah dijelaskan di awal bahwa mereka memahami hadis

tidak hanya melalui makna harfiahnya, tetapi juga memperhatikan unsur-unsur

yang terkait dengan hadis tersebut, seperti asbab al-wurud, dalil dari ayat-ayat al-

Qur‟an dan hubungannya dengan kondisi masyarakat masa lalu dan masa kini.

Selain itu, mereka terlebih dahulu melakukan penilaian terhadap kualitas sanad

dan matan hadis untuk menentukan otentisitas dan validitas hadis. Ada pula yang

menguji kebenaran matan hadis dengan hadis yang lain yang setema, atau fakta

historis, atau dan kebenaran ilmiah.33

Dalam penelitian Ummi Aflaha, mengemukakan bahwa pemahaman

Muhammadiyah menghubungkan hadis larangan perempuan menjadi pemimpin

dengan Q.S. al-Taubah: 71.

           

              

33
Pengujian seperti ini sering dilakukan oleh Muhammad al-Ghazali dalam kritiknya
terhadap matan hadis. Suryadi, Metode Kontemporer Pemahaman Hadis Nabi (Yogyakarta: Teras,
2008), h. 82.
56

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka


(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.”

Ayat ini menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan bertanggungjawab

atas kegiatan amar ma’ruf nahi munkar untuk menegakkan keadilan dan

menghapuskan kezaliman. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa menjadi

pemimpin dalam bidang publik termasuk kegiatan amar ma’ruf nahi munkar yang

dapat dilakukan oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Di samping

itu, dari informasi yang direkam oleh asbab al-wurud hadis, Muhammadiyah

melihat hadis tersebut sebagai ungkapan sementara yang dikaitkan dengan situasi

tertentu pada masa tertentu yang pernah dialami oleh ummat manusia di masa

lalu. Berarti ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah menganggap hadis ini

mengandung ajaran yang bersifat temporal.34

Kemudian Nahdlatul Ulama, selanjutnya disebut NU juga dapat

dimasukkan dalam kelompok ini khususnya ketika tidak menerima adanya

larangan perempuan menjadi pemimpin. Terkait hadis yang melarangnya

merupakan ijtihad Nabi SAW berdasarkan fakta pada saat itu yang tidak mungkin

seorang perempuan memimpin negara. Namun realitas sosial dan sejarah modern

membuktikan bahwa telah ada sejumlah perempuan yang mampu menjadi kepala

negara, kepala pemerintahan, gubernur, ketua parlemen, ketua partai politik dan

34
Umi Aflaha, “Kajian Ormas-Ormas Islam di Indonesia; Analisa Pemahaman Hadis NU
dan Muhammadiyah Terhadap Hadis-hadis Misoginis.” (Tesis Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, 2011), h. 108
57

sebagainya. Sehingga pada saat ini tidak ada alasan untuk melarang perempuan

menjadi pemimpin di wilayah publik.

Pandangan NU secara resmi terkait kedudukan perempuan diputuskan

secara formal dalam forum Munas Alim Ulama yang dilaksanakan oleh Pengurus

Besar Nahdlatul Ulama di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada tahun 1997. NU

memandang bahwa dalam Islam perempuan memiliki derajat yang mulia dengan

tidak menempatkan posisi perempuan sebagai subordinat dalam tatanan

kehidupan. Antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk

memberikan pengabdian kepada agama, nusa, bangsa, dan negara.35 Hal ini

ditegaskan di dalam al-Qur‟an maupun hadis, di antaranya ialah QS. Al-

Mu‟min:40 sebagai berikut:

                 

     

Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka Dia tidak akan dibalasi


melainkan sebanding dengan kejahatan itu. dan Barangsiapa mengerjakan
amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam
keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di
dalamnya tanpa hisab.

Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh Imam Aḥmad, Abū

Dāwud, dan al-Tirmidzī sebagai berikut:36

ِّ ‫ِ َّن النِّساء َش َقائِ ُق‬


‫الر َج ِال‬ ََ
“Sesungguhnya wanita itu laksana saudara kandung laki-laki”

35
Tim Lajnah Ta‟lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Ahkamul Fuqaha (Surabaya: Khalisa,
2011), h. 781-785
36
Hadis ini secara lengkap terdapat di beberapa kitab berikut. Sunan Abū Dāwud Kitāb al-
Ṭaharah bab ke-82, Sunan al-Darimī Kitāb Wuḍū‟ bab ke-76, Musnad Aḥmad Juz VI halaman
256, 377. Lihat A.J. Wensicnk, dkk, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Hadīth al-Nabawī, vol.
III, h. 162.
58

Demikian juga yang diungkapkan oleh ketua Pengurus Cabang NU

(PCNU) Kota Surabaya yang mengatakan bahwa dari latar belakang hadis

tersebut merupakan respon Nabi terhadap pengangkatan pemimpin perempuan di

lingkungan kerajaan Persia. Komentar Nabi tersebut wajar, karena kondisi

perempuan saat itu masih terkungkung sehingga kapasiitas pengetahuan,

wawasan, dan pengalamannya sangat terbatas.

“…Dalam pemahaman saya tentang hadis itu, itu tidak brimplikasi


pada suatu lararangan, tetapi itu merupakan satu informasi atau kalam
khabari. Mungkin itu terkait dengan satu fenomena itu sebuah kaum yang
tidak sejahtera dipimppin perempuan….”37

Sedangkan NU yang memiliki beragam pandangan, hal ini dikarenakan

terjadinya perkembangan pemikiran dalam tubuh NU sebagaimana dikatakan oleh

Dr. KH. Syafruddin Syarif38 bahwa di dalam NU perbedaan pandangan

merupakan perkara yang sudah biasa, karena pemikiran yang terus dinamis.

Namun demikian dalam persoalan hukum fiqih, NU memiliki rujukan pedoman

berupa Ahkam la-Fuqaha yang merupakan kompilasi produk-produk hukum yang

telah disepakati dalam forum atau konsensus yang diwadahi dalam munas alim

ulama di lingkungan NU.

Di antara perbedaan dalam pandangan tersebut bisa terbagi menjadi tiga

kelompok. Pertama, kelompok yang menerima pandangan ulama-ulama klasik

sebagai suatu kebenaran final sehingga tidak perlu lagi berijtihad langsung pada

al-qur‟an dan hadis. Kelompok ini pada umumnya dikiuti oleh para kiai „sepuh‟

hasil didikan pesantren tradisional yang konservatif dan para kiai „biasa‟ kiai

37
Wawancara dengan Dr. H. Ach Muhibbin Zuhri, MA (Ketua PCNU Surabaya) pada 04
Oktober 2016.
38
Wawancara dengan Dr. KH. Syafruddin Syarif (Katib Pengurus NU Jawa Timur) pada 4
Oktober 2016.
59

pesantren dan kiai „kampung‟ yang lebih mengedepankan mazhab. Kedua,

kelompok yang memandang kebenaran yang masih dapat digunakan sebagai

solusi bagi problem-problem masyarakat masa kini, akan tetapi perlu

dikontekstualisasikan dengan mengacu kepada kemaslahatan masyarakat.

Kelompok ini diikuti oleh para kiai NU yang berpendidikan pesantren plus

sarjana. Mereka menguasai ilmu-ilmu Islam klasik dan memiliki wawasan

keilmuan modern. Ketiga, kelompok yang memandang produk-produk fiqih

ulama terdahulu sebagai sesuatu yang sudah ketinggalan zaman dan telah hilang

konteksnya sehingga tidak perlu dijadikan rujukan untuk menjawab berbagai

persoalan kekinian yang kompleks. Untuk itu, perlu dilakukan ijtihad sendiri

berdasarkan kemaslahatn umat. Kelompok ini diikuti oleh sebagian kecil

intelektual NU, kalangan muda NU yang berasal dari kampus yang berlatar

pendidikan pesantren dan mengikuti pemikiran-pemikiran Barat kontemporer atau

liberal.

Kelompok yang tergolong kontekstualis pula lebih menekankan kepada

terkait kuasa kepemimpinan. Mereka berpendapat bahwa kepemimpinan

perempuan diperbolehkan selama bukan pada level khalifah. Namun demikian

mengingat kekhalifahan untuk masa kini telah tiada, maka kepemimpinan

perempuan hingga level presiden pun diperbolehkan selama memenuhi syarat dan

memiliki kapasitas yang mumpuni.

“...tidak akan menang kan kaum kalau dipimpin oleh perempuan. Itu
hadisnya kita pakai, para ulama terbagi dua dalam menafsirkan hadis ini,
pertama bahwa ketidakberhasilannya itu karena gender, dan yang kedua
karena kapasitasnya. Di antara dua pendapat itu saya lihat maslahatnya
kalau di suatu daerah seorang perempuan punya kabalitas ya boleh-boleh
saja, karna itu tadi dari interpretasi itu. Dan juga yang sekarang ini bukan
60

imām al-a’ẓam, melaksanakan tugas dari hasil DPR dan DPRD yang
menjadi legislative”39

Meskipun pandangan demikian tetap merujuk pendapat-pendapat ulama

terdahulu, namun demikian lebih memilih pendapat yang memperbolehkan

kepemimpinan perempuan mengingat konteks zaman yang berbeda dengan masa

lampau yang menempatkan peran perempuan sebatas ranah domestik belaka.

Konteksnya di Surabaya, bagi kelompok tekstualis memandang kepemimpinan

Tri Rismaharini sebagai walikota membawa banyak perubahan-perubahan positif

sehingga menunjukkan bahwa keberhasilann suatu kepemimpinan tergantung dari

kapasitas, kapabilitas, dan integritas personalnya, baik itu laki-lakki maupun

perempuan.

39
Wawancara dengan KH. Abdurrahman Nafis (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda)
pada 4 Oktober 2016.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya maka pada kesimpulan

pemahaman masyarakat Surabaya terhadap hadis kepemimpinan perempuan

terbagi menjadi dua kelompok, yakni mereka yang memahami secara tekstualis

dan mereka yang memahaminya secara kontekstualis. Kelompok tekstualis

tekstualis yang memahami hadis tersebut secara harfiah tanpa melihat konteks-

konteks ketika kemunculan hadis tersebut maupun konteks masa kini. Demikian

pula memahami mengenai petunjuk-petunjuk pemahamannya dari al-Qur’an,

sehingga kelompok ini pada ahirnya pada kesimpulan bahwa kepemimpinan

perempuan dalam politik tidak bisa dibenarkan.

Sementara kelompok yang memahami hadis tersebut secara kontekstual

memahami hadis tersebut dengan memandang pula konteks kemunculan hadis

tersebut dan juga konteks masa kini. Kelompok kontekstualis ini memandang

kondisi zaman dahulu ketika hadis tersebut muncul kondisi perempuan hanya

berperan sebatas ranah domestik belaka, berbeda dengan konteks masa kini yang

melibatkan pula perempuan di ranah publik, sehingga menurut mereka

kepemimpinan perempuan dalam politik tidaklah dilarang.

61
62

B. Kritik dan Saran

Penullis menyadari betul masih banyak keurangan dalam penelelitian ini.

Oleh karenanya di dalam skripsi ini tentu tidak bisa terhindar dari berbagai

kesalahan dan kekurangan. Di antaranya sampling subyek dari penelitian ini

masih sangat spesifik, sehingga belum bisa dijadikan parameter untuk

mendeskripsikan pemahaman masyarakat Surabaya terhadap pemahaman hadis

kepemimpinan perempuan.

Oleh karena itu besar harapan bagi penulis agar ada penelitian lanjutan

yang megembangkan penelitian sosial dengan sudut pandang yang berbeda agar

bisa mendapatkan gambaran pemahaman-pemahaman melekat di masyarakat baik

terhadap al-Qur’an maupun hadis.

62
63

DAFTAR PUSTAKA

Adib, Shohibul. “Pemahaman Hadis dalam Tradisi Nahdlatul Ulama; Telaah


Terhadap Bahsul Masail Tahun 1926-2004.” Tesis Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2009
Aflaha, Umi. “Kajian Ormas-Ormas Islam di Indonesia; Analisa Pemahaman Hadis
NU dan Muhammadiyah Terhadap Hadis-hadis Misoginis.” Tesis Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2011.
Ahmadi, Abu. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta, 2009
Ahmed, Leila. Wanita dan Jender dalam Islam, terj. Ms. Nasrullah, (Jakarta: Lentera
Basritama, 2000
al-„Aqqād, „Abbās Maḥmūd. Filsafat Qur’an: Filsafat, Spiritual dan Sosial dalam
Isyarat Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
al-„Asqlānī, Aḥmad b. „Alī b. Ḥajar. Fatḥ al-Bārī. Kayra: Maktabah al-Salafiyah,tt
Andri, Sofia Rosdanila. “Argumen Penafsiran Tekstualis versus Kontekstualis
tentang Kpemimpinan Perempuan” Refleksi XII no. 6 (April, 2014).
Arfa, Faisar Ananda. Wanita dalam Konsep Islam Modernis. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2004
Arifin, Syamsul. Leadirship Ilmu dan Seni Kepemimpinan. Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2012.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII. Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2018
Ḥanbal, Imām Aḥmad bn. Musnad al-Imām Aḥmad b. Ḥambal. Riyāḍ: Bait al-Afkār
al-Dawliyah, 1998.
Bahruddin, Umairson, Kepemimpinan Pendidikan Islam: Antara Teori dan Praktik
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012
Brantas, Dasar-Dasar Manajemen. Bandung: Alfabeta, 2009
al-Bukhārī, Abī „Abd Allāh Muḥammad b. Ismā‟īl b. Ibrāhīm b. al-Mughīrah al-Ja„fī.
Ṣaḥīḥ Bukhārī, Riyāḍ: Maktabah al-Rashad, 2006.
Dandy, Sugono dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008
64

Dinas Komunikasi dan Informatika Surabaya, Profil Kota Surabaya 2016 (Surabaya:
Dinas Kominfo, 2016
Djunaedi, A.F. “Filosofi dan Etika Kepemimpinan dalam Islam,” Al-Mawarid (2005).
Faridl, Miftah “Peranan Sosial Politik Sosial Kyai di Indonesia,” Sosioteknologi XI
no. 6 (Agustus, 2007
Faridl, Miftah. “Peranan Sosial Politik Sosial Kyai di Indonesia,” Sosioteknologi XI
no. 6 (Agustus, 2007).
Fauji, Ahmad Irfan “Pergeseran Metode Pemahaman Hadis Ulama Klasik Hingga
Kontemporer” (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018
al-Ghazālī, Muḥammad. al-Sunnah al-Nabawiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-
Ḥadīth. Kayra: Dār al-Kitāb al-Maṣrī, 2013
Hakim, Abdul, Tri Rismaharini (Jakarta: Change, 2014
Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid XIX(Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002
Hariono, Duwi. “Hadis dalam fatwa dan Permasalahan Kontemporer; Analisa
Pemahaman Hadis MUI dalam Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-
Indonesia III di Padang Panjang Tahun 2009, Tesis Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
Hitti, Philip K. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Serambi,
2002.
ibn Zakariyā, Abū Husain Ahmad ibn Fāris. Mu’jam Maqāyis al-Lughah. Beirut:
Dār Kutub al-„Ilmiyah, 1999.
Ismail, Syuhudi M, Hadis Yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang,
2009.
Ismatullah, Wahyu. “Kepemimpinan Perempuan dalam Pandangan Masyarakat
Babakan Tasikmalaya: analisis terhadap hadis lan yufliḥa al-qaum wallaw
amrahum imra`ah.” Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2014.
Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001.
Khaldun, Ibn. Muqaddimah Ibnu Khaldun , terj. Jakarta: Pustaka Firdaus, 201.1
65

Krisdinanto, Glandy Burnama dan Nanang “Stereotiping Risma: Pemb.gkaian Sosok


Tri Rismaharini di Majalah Detik dan Tempo,” Jurnal Skriptura Vol. IX no. 1
(Juli, 2014)
Manẓūr, B. Lisān al-‘Arāb, Bairūt: Dār al-Ma‟ārif, tt.
al-Mizzī, Jamāl al-Dīn Abī al-Ḥajjāj Yūsuf. Tuḥfah al-Ashrāf bi Ma’rifah al-Aṭrāf.
Kayra: Dār al-Gharb al-Islāmī, 1999.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda, 2013.
al-Mubarakfury Syaikh Shafiyyur Rahman. Sejarah Hidup Muhammad, terj.
Rahmat. Jakarta: Robbani Press, 2010
Najih, Maulida Himatun. “Pemahaman dan Praktik Hadis Kepemimpinan
Perempuan: Studi Living Hadis di Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren
Krapyak Yogyakarta.” Skripsi S1 Fakultas Ushuludin, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013
al-Nasā„ī, Abī „Abd al-Raḥmān Aḥmad b. Shu‟ayb b. Alī. Sunan al-Nasā‘ī. Riyāḍ:
Maktabah al-Ma‟ārif.
Nasrullah, “Konstruksi Sosial Hadis-Hadis Misoginis di Kalangan Aktivis Organisasi
Keagaman: Studi Living Sunnah di Kota Malang.” Disertasi Program
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2013.
Qaraḍāwī, Yūsuf. Kayfa Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-nabawiyah. Kayra: Dār al-
Wafā, 1992.
Qomar, Mujamil Pesantren: Dari Tradisi Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga, tt
Qomar, Mujamil. Fajar Baru Islam Indonesia. Bandung: Mizan, 2012.
Raffiudin, Riatti ed. Panduan Praktis Metode Penelitian Sosial. Depok: Pusat Kajian
Politik Universitas Indoesia, 2014.
Rahim, Abd. “Khalīfah dan Khilāfah menurut Al-Qur‟an”, Hunafa: Jural Studi
Islamika Vol. 9 No. 1 2012
Rahman, Yusuf “Penafsiran Tekstual dan Kontekstual terhadap al-Qur‟ān dan Ḥadīth:
Kajian terhadap Muslim Salafi dan Muslim Progresif” Jurnal of Qur’ān and
Ḥadīth Studies I, no. 2 (2012)
al-Rāzī, Fakhr al-Dīn .al-Tafsīr al-Kabīr. Teheran: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, tt
66

RI, Lajnah Pentashihan Al-Qur‟an Kemenag. Buku Tafsir Tematik (Kedudukan dan
Peran Perempuan. Jakarta: Lajnah Pentashihan Al-Qur‟an, 2017
al-Ṣāliḥ, Ṣubḥi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997.
Sanusi, Uci “Transfer Ilmu di Pesantren” Jurnal Ta’lim,” XI no. 1 (2013).
Shihab, M Quraish. Perempuan. Tangerang: Lentera Hati, 2011.
--------, M. Quraish. Lentera al-Qur`an. Tangerang: Lentera Hati, 2012
--------, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Tangerang: Lentera Hati, 2007
Siregar, Sarah Nuraini, ed. Perempuan, Partai Politik dan Parlemen: Studi Kinerja
Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal. Jakarta: Gading Inti Prima,
2012.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2010.
Sulaymān, al-Imām al-Ḥāfiẓ al-Muṣannif al-Muttaqin Abī Dāwud bn al-Asy„ats al-
Sijistānī al-Azadī, Sunan Abī Dāwud, Juz III, (Beirut: Maktabah al-„Aṣriyyah,
tt)
Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah atas Pemikiran Muḥammad al-
Ghazālī dan Yūsuf Qaraḍāwī,” Disertasi Program Pascasarjana, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004.
al-Tirmidzī, al-Imām al-Ḥāfiẓ Abī „Īsā Muḥammad b. „Īsā. al-Jāmi’ al-Kubrā. Kayra:
Dār al-Gharb al-Islāmī, 1996
Umar, Nasaruddin. Teologi Jender: Antara Mitos dan teks Kitab Suci. Jakarta:
Pustaka Cicero, 2003
Wensicnk, A.J., dkk, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Hadīth al-Nabawī. Leiden:
E.J. Brill, 1936.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Al-Zamakhsyarī, Abū al-Qāsim Maḥmūd ibn „Umar al-Kasysyāf. Riyāḍ: Maktabah
„Abikan, 1998
Zulkarnain “Konsep Imāmah dalam Perspektif Syi‟ah”, TAPIs Vol.7 No.13 2011
Lampiran-Lampiran

PEDOMAN WAWANCARA

A. Pertanyaan Seputar Kepemimpinan Perempuan

1. Apakah jenis kelamin mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan?

2. Bagaimana memandang kepemimpinan Risma selama menjadi walikota?

B. Pertanyaan seputar hadis riwayat Abū Bakrah tentang kepemimpinan

perempuan

1. Bagaimana Maksud dari hadis tersebut?

2. Apa derajat kesahihan hadis tersebut?

3. Apa yang menjadi penguat / pendukung maksud hadis di atas?

4. Bagaimana asbāb al-wurūd hadisnya?

5. Dari mana sumber / dasar maksud hadis yang telah dijelaskan di atas?

6. Bagaimana relevansi hadis tersebut dalam konteksnya saat ini khususnya

di Surabaya?

Anda mungkin juga menyukai