DALAM AL-QUR’AN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh
Dwi Siska
NIM: 1113034000195
1440 H/2019 M
ABSTRAK
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
menunjukkan kepada kita Tuhan itu Allah dan mengajarkan syariat-Nya kepada
seluruh umat agar tetap di jalan yang dikehendaki-Nya hingga akhirnya sampai ke
tempat yang abadi. Semoga semua orang yang mengenal dan mengaguminya
mendapatkan syafa‟atnya, di hari saat matahari hanya beberapa senti dari ujung
rambut.
penulis. Kebahagiaan yang tidak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat
mempersembahkan yang terbaik kepada orang tua, seluruh keluarga, dan pihak-
Penulis menyadari, bahwa penulisan skripsi ini selesai bukan semata dari
hasil karya tangan penulis sendiri, tetapi juga karena bantuan dari beberapa pihak
yang dengan tulus meluangkan waktu meski hanya sekedar menuangkan aspirasi
penulisan skripsi ini akan terasa sangat berat. Karena itu, sudah sepantasnya pada
1. Segenap civitas akademi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Dede
ii
Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis
Hadis yang selalu bersedia membantu dan melayani semua proses. Semoga
ini.
5. Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA, selaku dosen pembimbing penulis yang
Burhan Jamil dan Ummi Ulil Azmi Dewi Chafsoh, betapa sabarnya dalam
iii
mendidik dan memberi nasihat kepada penulis.
Mustofa dan ibu Lilik Ummi Kaltsum beserta Putra-putrinya, Arifah Liqa
dan ketaatan kepada-Nya. Kepada seluruh guru saya baik yang formal
maupun nonformal tempat penulis menuntut ilmu dari tingkat dasar hingga
sekarang. Semoga Allah swt memberikan keberkahan usia dan ilmu yang
manfa‟at.
9. Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas pengorbanan kedua orang tua
tercinta penulis, Bapak Supardi dan Ibu Painten yang telah memberikan
Pariyanto, adik Silvia Yuningsih, dan keluarga besar penulis yang maaf
Rif‟ah, Fatimah, Diana, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
iv
ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah
Amin.
kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini.
Dwi Siska
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK...............................................................................................................................I
KATA PENGANTAR........................................................................................................II
1. Al-Birr .................................................................................................... 19
3. Al-Iẖsân .................................................................................................. 26
4. Al-Khair .................................................................................................. 29
vi
5. Al-Sâlih ................................................................................................... 31
PENAFSIRAN .................................................................................................................... 33
A. KESIMPULAN ............................................................................................... 57
B. SARAN......................................................................................................... 58
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Padanan Aksara
ب b be
ث t te
د ts te dan es
ج j je
ر kh ka dan ha
د d de
ر r er
ز z zet
س s es
ش sy es dan ye
viii
ظ z zet dengan garis di bawah
غ gh ge dan ha
ف f ef
ق q ki
ك k ka
ه l el
م m em
ى n en
ّ w we
ٍ h ha
ء ‟ apostrof
ي y ye
B. Vokal
Vokal dalam bahasa arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal, ketentuan alih
ﹷ a fathah
ﹻ i kasrah
ﹹ u dammah
ix
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
ﹷي ai a dan i
ّﹷ au a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
a dengan topi di
ىَا â
atas
i dengan topi di
ْىِ ْي î
atas
u dengan topi di
ُْْْى û
atas
D. Kata Sandang
huruf, yaitu اه, dialihaksarakan menjadi huruf/I/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
E. Syaddah (Tasydîd)
x
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
َّ الtidak
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ضرُّْ َرة
F. Ta marbûta
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf/h/ (lihat
contoh di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf/t/
1 َطريق tarîqah
G. Huruf Kapital
Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
xi
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
tidak „Abd al- Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Ranîrî, tidak Nûr al-Dîn al-
Rânîrî.
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
xii
يُ َؤثِّرُْ ُم ُنْهللا yu‟atstsirukum allâh
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
baik dan buruk. Nilai kebaikan dan keburukan senantiasa akan menjadi sumber
yang baik. Oleh sebab itu, definisi baik adalah sesuatu yang dikejar atau dituju
yang pada intinya terbagi ke dalam dua macam nilai yaitu: kebaikan sebagai alat
duniawi yang menurut mereka merupakan tujuan akhir dari kehidupan ini. Dunia
merupakan tujuan akhir bagi selain orang mukmin, karena mereka tidak meyakini
adanya akhirat.2
menikmati kekayaan yang berada di bumi, karena kekayaan itu merupakan nikmat
makhluk Allah swt yang lain agar berusaha memperoleh penghidupan dan sebagai
1
Burhanudin Salam, Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: Rineka Cipta,
2000), h. 31.
2
Mohammad Motawalli as-Sya‟rawi, Meluruskan Paradigma Tentang Baik dan Buruk.
Penerjemah Usman Hatim (Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah, 2010), h. 9.
1
2
imbalannya iapun dibebani kewajiban baik terhadap Allah swt maupun terhadap
peraturan yang harus ditaati oleh manusia yang pada saatnya akan dimintai
pertanggung jawaban. Dari suatu perbutan manusia tersebut ada hikmah dan
rahasia di balik sesuatu yang ditetapkan Allah swt, yang tidak bisa diketahui
balasan dari Allah swt.4 Allah swt menjanjikan adanya balasan atas kebaikan
“Allah swt telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang
beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ampunan dan pahala yang besar tersebut
merupakan bukti keridhaan Allah swt terhadap mereka.5 Allah swt telah
menjanjikan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang sesuai dengan isi hati
terhadap dosa-dosa mereka dan pahala yang besar baik di dunia maupun di
akhirat.6
manusia dan pembebasannya dari berbagai kotoran, baik yang tampak maupun
3
Abbas Mahmud al-Aqqad, Manusia diungkap al-Qur‟ân, h. 32-34.
4
Anwar Sutoyo, Manusia Dalam Perspektif al-Qur‟ân, cet 1 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015), h. 65-67.
5
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur‟ân di Bawah Naungan al-Qur‟ân. Penerjemah.
Ainur Rafiq Shaleh Tamhid vol. III (Jakarta: Rabbani Press, 2002), h. 537-538.
6
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an. Vol. III
(Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 43.
3
yang tidak tampak dan mempersiapkannya dari sisi rohaninya yang benar-benar
suci dan bersih agar dapat naik ke puncak kemuliaan, keagungan, dan
dan mengambil yang baik dengan mempergunakan kata ṯayyib seperti dalam QS.
al-A„râf[7]: 157
ۚ
ۚ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi
mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma„ruf dan melarang mereka
dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang
yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya
yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur‟an), mereka itulah orang-orang
yang beruntung.”
cukup peka bagi kehidupan keseharian umat islam adalah persoalan halal dan
Dalam al-Qur‟an Allah swt menyuruh para Rasul untuk makan dari yang
7
Muhammad „Alî al-Șabûnî, Qabas min Nûr al-Qur‟an, juz 1-2 (Beirut: Dar al-Qalam,
1988), h. 79.
8
Hamka Haq, syari„at Islam: Wacana dan Penerapannya (Makassar: Yayasan al-Ahkam,
2003), h. 101.
4
Kata al-Ṯayyib âh adalah bentuk jamak dari kata al-Ṯayyib dari segi
bahasa berarti baik, lezat, menentramkan paling utama dan sehat. Makna kata
tersebut dalam konteks makanan adalah makanan yang tidak kotor dari segi
zatnya, rusak, atau tercampur najis. Dapat juga dikatakan ṯayyib dari makanan
Ṯayyib adalah sebuah kata sifat yang merupakan fungsi semantik yang
untuk rasa dan bau seperti, sangat menggembirakan, senang, dan manis.
Semua manusia pasti mencari kebaikan akan tetapi sedikit sekali diantara
manusia mencari kebaikan dunia dan lupa akan kebaikan akhirat. Hal ini jelas
merupakan sebuah pandangan yang keliru, sebab orang Islam yang melakukan
9
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h. 199.
10
Abu al-Hasan Muslim bin al-Hallaj bin Muslim al-Qusyairy, Șaẖîẖ Muslim, juz 1
(Bandung: Maktabah Dahlan, t.th), h. 406.
11
Toshiko Izutsu, Etico-Religius Concepts in the Qur’an. Penerjemah. Agus Fahri Husein
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1993), h. 282.
5
perbuatan yang seperti itu berarti telah menukar sesuatu yang dikira-kira untuk
“Dan diantara mereka ada yang berdoa, Tuhan kami anugrahilah kami
hasanah (kebaikan) di dunia dan hasanah (kebaikan) di akhirat dan peliharalah
kami dari siksa neraka.”
sifatnya hasanah bahkan bukan hanya di dunia tetapi juga memohon hasanah di
akhirat. Oleh karena itu perolehan hasanah belum termasuk keterhindaran dari
keburukan, bisa jadi hasanah itu diperoleh setelah mengalami siksa maka mereka
tercela, dibebani taklif (kewajiban) maka dari itu dapat menjadi makhluk yang
berbuat baik dan dapat pula menjadi makhluk yang berbuat buruk, manusia
12
Mutawalli Sya„rawi, al-Khair wa al-Syar. Penerjemah. Tajuddin (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 1994), h. 58.
13
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an. vol. I,
h. 412.
14
Abbas Mahmud al-Aqqad, Manusia diungkap Qur‟ân, cet 1 (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991), h. 11.
6
Ayat ini dapat menjadi salah satu bukti cepatnya Allah swt membalas
ayat ini juga menjadi bukti bagaimana Allah swt dengan cepat mengubah nikmat
atau rahmat-Nya dengan petaka serta betapa buruk sifat manusia yang tidak tahu
berterima kasih. Kata ( )ريخrîh adalah bentuk tunggal, bentuk jamaknya yaitu
(ْ)رياحriyâh untuk angin yang baik dan menyenangkan, dan yang bentuk tunggal
untuk angin yang membawa bencana. Ayat ini menggunakan bentuk tunggal,
kendati yang dimaksud adalah angin yang menyenangkan dan sesuai. Hal ini
dipahami dari penyebutan sifat angina itu, yaitu ( )طيبتṯayyibah yang maknanya
apalagi daerah Arabia yang dipenuhi oleh padang pasir. Adapun pelayaran yang
mereka lakukan antar lain dalam perjalanan musim dingin ke Yaman. Al-Qur‟an
menyebut dua macam perjalanan mereka. Musim panas yaitu ke daerah Syam
(Syria, Palestina, dan Yordania) dan musim dingin ke Yaman. Adapun redaksi
15
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an vol.
VI (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 52-54.
16
Muhammad Mutawalî al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya„râwî (al-Azhar: Mujamma„ al-Buhûs
al-Islamiyyah), h. 5849.
7
yang digunakan dalam ayat ini adalah balasan atas kemantapan syukur yang luar
ۚ
ۚ
ۚ
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang,
melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang,
melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang
kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di
manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka
pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.”
bahwa Allah swt akan memberitakan kepada mereka lalu memberi mereka
balasan dan ganjaran menyangkut apa yang telah mereka kerjakan, memberinya
kedalaman makna yang dikandung al-Qur‟an dengan uslub dan bahasa yang
17
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h. 54.
18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h. 71.
19
Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur‟an Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam
al-Qur‟an, cet. 5 (Jakarta: Penamadani, 2008), h. 189-190.
8
menggunakan kata yang berbeda-beda antara lain: ṯayyib, birr, ma‟rûf, ihsân,
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan agar skripsi ini
permasalahan hanya pada kata kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an.
B. Identifikasi Masalah
Bila diidentifikasi, maka masalah yang akan muncul dari topik di atas
adalah:
al-Qur‟an?
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan agar skripsi ini
permasalahan kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an hanya pada QS.
2. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas
al-Qur‟an.
2. Melengkapi salah satu tugas akhir perkuliahan program strata satu (S-1)
Qur‟ân.
E. Tinjauan Pustaka
Dari tinjaun pustaka yang telah penulis telusuri dari penelitian terdahulu
1. Skripsi karya Ahmad Toib yang berjudul Mutaradif dalam al-Qur‟an Studi
Abu Hayyan dalam tafsir al-Bahr al-Muhit menafsirkan makna kata ṯayyib
bermakna sesuatu yang baik, sesuatu yang suci dan bersih, sesuatu yang
halal, amal shalih, orang yang beriman, dan bias bermakna kalimat tauhid
dan kalimat tahmid. Begitu pun dengan kata hasan memiliki makna sesuai
dengan kata apa yang digandengnya. Bisa bermakna sesuatu yang baik,
niat yang tulus, taat dan patuh, sesuatu yang bagus dan indah, sesuatu yang
3. Disertasi karya Abd Syukur Abu Bakar yang berjudul Konsep al-Ṯayyib
setiap tingkah laku yang baik semata-mata karena Allah swt. Pencapaian
dalam mencari karunia yang disediakan Allah swt dengan cara yang baik
kesejahteraan.
Baqarah[2]:168 yaitu jenis makanan yang halal dan ṯayyib. Makanan halal
halal harus dilihat dari segi halalnya yakni: makanan halal secara zatnya,
dan serta macam-macam makanan yang bergizi. Serta dilihat juga dari
Berangkat dari tinjauan pustaka di atas, maka penelitian yang akan penulis
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
research) yang bersifat murni,20 yang berarti bahwa secara keseluruhan data
pembahasan.
2. Sumber Data
a. Sumber Primer
langsung dari tangan pertama atau merupakan sumber asli.21 Menurut Sumadi
peneliti dari sumber pertamanya.22 Dalam penelitian ini, sumber primernya adalah
ayat-ayat al-Qur‟an.
b. Sumber Sekunder
20
Library murni yang berarti semua bahan yang dibutuhkan bersumber dari bahan-bahan
tertulis. Lihat Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1990), h. 257-
258.
21
S. Nasution, Metodologi Research: Penelitian Ilmiah (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h.
150.
22
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 39.
12
Sumber Sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari sumber yang
kedua dari data yang kita butuhkan.23 Terkait tema yang akan dibahas, sumber
data ini berupa kitab-kitab atau buku-buku, jurnal, karya ilmiah lainnya terkait
dengan masalah yang akan dibahas. Kitab-kitab tafsir yang digunakan dan
dijadikan rujukan oleh penulis dalam skripsi ini adalah tafsir al-Maragi karya
Data-data yang telah dikumpulkan akan diolah dengan metode deskriptif yaitu
dengan mendeskripsikan data-data dan diikuti dengan analisis dan interpretasi terhadap
data tersebut.24 Adapun langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam pengolahan data,
23
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian kuantitatif: Komunikasi Ekonomi, dan
Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana, 2011), h. 132.
24
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik
(Bandung: Tarsito, 1990), h. 139.
25
„Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i. Penerjemah. Suryan A. Jamrah
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 45.
13
masing suratnya.
sebenarnya.
4. Teknik Penulisan
5. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis membaginya dalam empat bab, dimana
yaitu:
14
pentingnya penelitian ini dilakukan. Pada bab ini terdiri dari latar belakang
Bab kedua tentang kebaikan (ṯayyib) dalam al-Qur‟an yang terdiri dari
pengertian kata ṯayyib, derivasi kata ṯayyib, sinonimitas kata ṯayyib: al-birr, al-
Bab ketiga, menjelaskan tentang kata ṯayyib dalam penafsiran yang terdiri
dari tiga sub bab. Sub bab pertama berisi tentang nisbah kata ṯayyib yaitu kota
dalam QS. al-A‟râf[7]: 58, makanan dalam Q.S al-A‟râf[7]: 32, sikap malaikat
yang mencabut nyawa dalam Q.S al-Nahl[16]: 32, angin dalam Q.S Yûnus[10]:
22, dan Akidah dalam Q.S al-Mâidah[5]: 100. Sub bab kedua tentang objek kata
ṯayyib yaitu orang yang bersyukur, orang yang beriman, orang yang mengerjakan
amal shalih. Sub bab ketiga tentang balasan kata ṯayyib yaitu ditumbuhkan
Sebelum berbicara lebih jauh tentang konsep kebaikan (ṯayyib) dalam al-
Qur‟an, maka terlebih dahulu akan dijelaskan tentang definisinya agar dalam
A. Pengertian Ṯayyib
Kata ṯayyib dalam bahasa Arab ( ) adalah masdar dari akar kata
yang terdiri dari tiga huruf yaitu ṯa, alif, dan ba yang bermakna halal, suci, lezat,
asal kata ṯayyib yaitu ṯa, ya, dan ba asalnya hanya satu yang shahih yang
1
Fuad Afrain al-Bustanî, Munjid al-Ṯullâb (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986), h. 450.
2
Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim Arab-
Indonesia (Jakarta: Ciputat Press Group, 2007), h. 401.
15
16
menunjukkan atas lawan dari pada yang kotor.3 Pengertian ṯayyib dalam kitab
Mu‟jam al-Mufradâtli al-Fâḏ al-Qur‟an ṯayyib berasal dari kata ṯâba-yatîbu, ṯâba
perempuan yang baik bagi kamu, kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu, da asal kata ṯayyib makna pokoknya sesuatu yang enak dirasakan oleh
pancaindra, dan dirasakan enak oleh jiwa. Makanan yang ṯayyib menurut syar‟i
adalah yang diperoleh dari jalan yang diperbolehkan dan kemampuan yang
diperbolehkan.4
Dalam kamus al-Munjid kata ṯayyib diartikan dengan baik yaitu sesuatu
yang telah mencapai kesempurnaan.5 Tayyîb adalah kata sifat, yang memiliki
fungsi semantik yang paling dasar untuk menunjukkan berbagai kualitas (sifat)
yang melahirkan suatu pengertian rasa dan bau, khususnya sebagai suatu hal yang
sangat menyenangkan, indah, dan ceria. Akan tetapi kata ṯayyib sering digunakan
untuk menunjukkan sifat makanan, air, wewangian, dan sebagainya. Selain itu
ṯayyib juga digunakan berbagai kombinasi seperti: rîh ṯayyibah6 (angin yang baik)
3
Abu Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakaria, Mu„jam Maqâyis al-Lughah (Beirut: Dâr al-
Turâs al-Arabî, 2001), h. 605.
4
Al-Râghib al-Asfahânî, Mu‟jam al-Mufradât li al-Fâḏ al-Qur‟an (Beirut: Dâr al-Fikr,
2008), h. 321.
5
Lûwîs Ma‟lûf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: T.pn., 1908), h. 476.
6
Kata ( )ريخrîh adalah bentuk tunggal. Biasanya al-Qur‟an menggunakan bentuk
jamaknya yakni ( )رياحriyâh untuk angin yang baik dan menyenangkan, dan yang bentuk tunggal
untuk angin yang membawa bencana. Ayat ini menggunakan bentuk tunggal, kendati yang
dimaksud adalah angin yang menyenangkan dan sesuai. Ini dipahami dari penyebutan sifat angina
itu, yakni ( )طيّبتṮayyibah yang maknanya adalah yang sesuai dengan yang diinginkan. Lihat M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an vol. VI QS yunus: 22
(Jakarta: Lentera Hati, 2002(, h. 54.
7
ْ ْصف
ِ عَاadalah angin yang sangat kencang dan menggerakkan dedaunan serta pepohonan.
Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-Tafsir Pilihan Jilid 2 (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2011), h. 614.
8
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur‟an. Penerjemah. Mansurddin Djoely
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, h. 385-387.
17
ṯayyiban berasal dari bahasa Arab ṯabâ yang artinya baik, lezat,
menyenangkan, enak dan nikmat atau berarti pula bersih atau suci.9 Gulan Reza
dalam mengartikan baik dalam bukunya yaitu hati yang bersih merupakan kunci
atau insting alami dapat menemukan akar kebaikan dan keburukan, melalui
petunjuk Allah swt. Dapat menbedakan antara hal yang disukai dan dibenci.10
ۚ
ۚ
“Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah
maha kaya lagi maha terpuji.”
artinya sesuatu yang baik dari harta. Maka atas pengertian ini, yang dimaksud
dengan kata khabits pun bermakna sesuatu yang buruk. Pendapat kedua yaitu
pendapat Ibnu Mas‟ud dan Mujahid bahwa yang dimaksud dengan kata ṯayyib
adalah sesuatu yang halal dan khabits diartikan sesuatu yang haram.11
9
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir
al-Qur‟an (Jakarta: T.pn., 1990), h. 244.
10
Gulan Reza sultan, Hati yang Bersih: Kunci Ketenangan Jiwa (Jakarta: Pustaka Zahra,
2004), h. 1.
11
Rahmat Hidayatullah, “Infak dan Sadaqah dalam al-Qur’an: Kajian Tafsir Tematik,” (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 38-39.
18
oleh agama atau akal yang sehat. Karena apa yang dibolehkan agama pasti tidak
buruk. Bentuk apapun dari keburukan, pasti tidak disukai oleh Allah, Rasul, dan
B. Derivasi Ṯayyib
Terdapat sebanyak 21 kata ṯayyib yang terdapat dalam surah Makkiyyah adalah sebagai
berikut: Q.S. al-A‟râf[7]: 32, 58, 157, dan 160. Q.S. al-Hajj[22]: 24, Q.S. Fâṯir[35]: 10,
Q.S. al-Mu‟minûn[23]: 51, Q.S. al-Nahl[16]: 32, 72, 97, 114, Q.S. al-Isrâ[17]: 70, Q.S.
Ṯâhâ[80]: 81, Q.S. al-Jâtsiyyah[45]: 16, Q.S. al-Ahqâf[46]: 20, Q.S. Ghâfir[40]: 64, Q.S.
al-Nûr[24]: 26, Q.S. Yûnus[ 10]: 22 dan 93, Q.S. Ibrâhîm[14]: 24, Q.S. Sâba‟[34]: 15.
Terdapat 20 kata ṯayyib yang terdapat dalam surah Madaniyyah adalah sebagai berikut:
Q.S. ali-Imrân[3]: 38 dan 179, Q.S. al-Nisâ[4]: 2, 43, 160, Q.S. al-Mâidah[5]: 4,5,6,87,88
dan 100, Q.S. al-Taubah[9]: 72, Q.S. al-Anfâl[8]: 37, 29, 69, Q.S. al-Baqarah[2]: 57,
tunggal), sebanyak 6 kali, dan 4 diantaranya mengenai sifat makanan, contohnya yang
terlihat dalam surat al-Baqarah[2]:[2] : 168 “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. Dan
12
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002 (, h. 215.
13
Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an al-
Karîm (al-Qohirah; Dar al-Hadis, t.t), h. 432-433.
19
kali. Semuanya disebutkan sebagai kata sifat untuk sesuatu yang tidak ada
21 kali. Semuanya merujuk pada 4 pengertian: sifat makanan, sifat usaha atau
al-Sâlih:
1. Al-Birr
Kata birr dalam Kamus Populer Istilah Islam dirtikan dengan kebaikan,14
kata al-birr yang berarti terungkap dalam al-Qur‟an sebanyak 19 kali yang berasal
dari kata barra, yabirru, barran yang artinya menurut, patuh, berbuat baik.15
hamba (manusia). Dihubungkan kepada Allah seperti, innahu huwa al-barru ar-
14
Intan Tri Aisyah, “Baik dan Buruk dalam al-Qur‟an: Penafsiran Lafadz al-Ṯayyib dan
al-Khabith,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Uneversitas Islam Negeri Jakarta, 2015), h. 26
15
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977), h. 22.
16
Al-Ṯur/52: 28
20
dan makhluk lainnya. Jika al-birr dihubungkan kepada manusia “barra al-abdu
hamba yang begitu luas. Ketaatan dan kebaikan hamba kepada Allah tergambar
dalam dua hal yaitu kebaikan dalam amal perbuatan dan kebaikan dalam akidah
(keimanan kepada Allah swt).17ْ Kata birr yang menunjukkan kebaikan dalam
“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang
sombong lagi celaka.”
riwayat ayat tersebut turun berkenaan dengan pertanyaan seorang laki-laki kepada
ۚ
ۚ ۚ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat;
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesem pitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa.”
17
Al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,
t.t.), h. 40.
21
kata barra- yabirru- barran- wa barratan mengandung arti taat, bersikap baik,
benar, banyak berbuat baik. Al-Birru seperti al-barru (daratan). Daratan berbeda
dengan lautan, daratan adalah tempat yang luas untuk bisa banyak berbuat baik.
Kata al-birr juga bisa berarti memperbanyak kebaikan. Menurut istilah syari„ah,
al-birr berarti sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah
Seseorang tidak dinamai orang baik hanya karena shalat semata-mata, tetapi orang
baik, antara lain adalah yang menghiasi jiwanya dengan keimanan serta
sesama manusia khususnya dengan para dhuafa, memegang teguh komitmen serta
Kata al-birr memiliki makna yang mencakup semua jenis kebaikan dapat
juga diartikan dengan segala sesuatu yang mengantarkan manusia dekat kepada
Allah, baik itu berupa keimanan, kesalehan amal, maupun kemuliaan akhlak.
Kebaikan yang hakiki bisa diraih dengan dua syarat: Pertama, harus dilandasi
keimanan. Beriman kepada Allah swt, percaya kepada hari akhir, iman kepada
18
Dudung Abdullah, “Konsep Kebajikan (al-Birr) dalam al-Qur‟an: Suatu Analisis QS.
al-Baqarah[2]:/2: 177 ,” no. 1 (Juni 2015): h.194.
19
Quraish Shihab, al-Lubâb Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah al-Qur‟an,
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 56.
22
amal shaleh, seperti: memberikan hartanya kepada kerabat, anak yatim, orang-
diartikan dengan ganjaran kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Kata al-birr
pada mulanya “keluasan dalam kebaikan”, dan dari akar kata yang sama “daratan”
dinamai al-bar karena luasnya. Kebaikan mencakup segala hal seperti; keyakinan
yang benar, niat yang tulus, kegiatan badaniah, serta menginfakkan harta di jalan
Allah. Kata al-birr adalah sesuatu yang tenang hati dan tenteram jiwa
mengahadapinya.21
2. Al- Ma‟rûf
Ma‟rûf adalah bentuk ism maf‟ûl (objek) dari kata „arafa ( ) yang
tersusun dari huruf „ain, ra, dan fa. Dalam al-Qur‟an terulang sebanyak 71 kali
dalam 11 surat.22 Kata „urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak
dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan.23 Berupa
(adat istiadat) atau hal-hal yang umum diketahui dan diakui oleh masyarakat. Ada
20
Abd Kholiq Hasan, Tafsir Ibadah (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008), h. 204-205.
21
M.Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur „an vol. II
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 142-143.
22
Muhammad Fuad Abdul Bâqiy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur‟ân al-Karîm
(Kohiroh: Dâr al-ẖadîts, t.t.), h. 458-459.
23
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h.
123.
24
Ali Nurdin, Qur‟anic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-Qur‟an
(Jakarta: Erlangga, 2006), h. 165.
23
yang dikenal.”25 Kata Ma‟rûf menurut Ibn Zakaria dalam Mu‟jam Muqayis al-
Lughah bahwa kata ma‟ruf mengandung makna bau yang harum yang dirasakan
setiap orang.26
Menurut al-Ashfahani:
“(ma‟ruf adalah
menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal maupun
agama).”27
“Ma‟rûf adalah Ism Jâmi‟ bagi setiap hal yang dikenal, baik itu berupa
manusia, dan juga termasuk setiap hal-hal baik yang dianjurkan agama untuk
melakukannya dan manjauhkan diri dari hal-hal buruk. Kata ma‟ruf merupakan
suatu hal yang umum dikenal, artinya perkara tersebut sudah lumrah dalam
ۚ
ْ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟rûf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
25
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 263.
26
Abu Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakaria, Mu„jam Maqâyis al-Lughah, h. 732.
27
Al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an, h. 331.
28
Ibnu Manẕûr, Lisân al-Arab (T.tp.: Dâr al-Ma‟ârif, t.t.), h. 2900.
24
Allah swt berfirman: dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang
atau umat bangkit untuk berwasiat dengan perintah Allah swt dalam dakwah
mengajak kepada kebajikan dan menyeruh kepada yan ma‟rûf (baik) dan
melarang dari yang keji. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Al-
Ḏuẖâk berkata: mereka dikhususkan kepada sahabat dan juga khusus kepada
yakni para mujahidin dan para ulama. Dan Abû Bâqir berkata: Rasulullah saw
membaca ayat tersebut kemudian beliau bersabda: kebaikan yaitu mengikuti al-
Qur‟an dan mengikuti pula sunahku (H.R. Ibn Mardawaihi).
Ma‟rûf adalah yang baik menurut pandangan suatu masyarakat umum dan
yang telah mereka kenal luas, selama ia sejalan dengan al-khair (kebajikan), yaitu
memerintahkan yang ma‟rûf dan mencegah yang mungkar.” Nilai-nilai Ilahi tidak
boleh dipaksakan, tetapi disampaikan secara persuasive dalam bentuk ajakan yang
baik dan bersifat sekedar mengajak. Selanjutnya setelah mengajak, siapa yang
akan beriman silahkan beriman, dan siapa yang kufur silahkan pula, masing-
tergantung dari obyeknya, bisa hukumnya wajib jika obyeknya wajib dan bias
29
Abû al-Fidâ Muhammad bin Ismâ‟îll bin Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-Aḏîm al-musammâ
Tafsir ibn Katsir (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t), h. 482.
30
M. Quraish Shihab, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah swt (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 144-145.
25
daridan didasarkan pada tipe moralitas Jahiliyyah. Ini menunjukkan bahwa al-
integral dalam suatu sistem etika yang baru. Ma‟rûf secara etimologis berarti
terkenal, yakni apa yang dianggap sebagai terkenal dan sudah lazim, serta diakui
dalam konteks kehidupan sosial. Antitesanya adalah munkar yang berarti apa
yang tidak terkenal dan asing. Tampak bahwa masyarakat kesukuan Arab
Jahiliyah telah menggunakan kata ma‟rûf untuk menunjukkan suatu yang terkenal
dan sudah lazim sebagai hal yang baik dan suatu yang asing sebagai hal yang
buruk.32
lebih terbatas dari pengertian yang lazim. Semantikisme kata ma‟rûf menurut al-
Qur‟an dilakukan dengan memeriksa terlebih dahhulu beberapa ayat yang juga
menggunakan kata ma‟rûf dengan tujuan memperoleh petunjuk penting bagi kita
mengenai apa yang dimaksudkan oleh al-Qur‟an itu sendiri jika ia menggunakan
kata ini, diantaranya: QS. al-Baqarah[2]: 231,33 23334, QS. al-Nisâ‟[4]: 1935, QS.
31
M. Matsna, Orientasi SemantiK al-Zamakhsyari (Jakarta: Anglo Media, 2006), h. 144.
32
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur‟an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h.
348.
33
Artinya berbunyi: “apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati waktu
iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma‟rûf , atau ceraikanlah mereka dengan cara
yang ma‟rûf pula. Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sesungguhnya ia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.”
26
yang baik disini menunjukkan cara-cara bertutur kata yang benar-benar pantas
bagi para istri Nabi, yaitu dengan cara yang cukup terhormat, memiliki
kewibawaan dan martabat yang cukup tinggi agar tidak memberikan kesempatan
senantiasa dipengaruhi oleh gejolak hawa nafsu untuk berbuat hal-hal yang tidak
merujuki perempuan yang ditalak dengan dengan merujuki mereka dengan paksa
atau memberi kemudharatan. Hal ini mengesankan bahwa dengan ma‟rûf berarti
melakukan dengan cara yang baik-baik. Baik di sini dimaksudkan dengan apa
3. Al-Iẖsân
berbuat baik. Kata iẖsan disebut dalam al-Qur‟an sebanyak 193 kali dalam 50
34
Artinya berbunyi: “para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi orang-orang yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para oibu dengan cara yang ma‟rûf.”
35
Artinya berbunyi: “hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, maka bersabarlah. Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
36
Artinya berbunyi: “hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain,
jika kamu benar-benar bertakwa kepada Allah maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan
yang ma‟rûf .”
37
Artinya berbunyi: “bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dia ibu bapakmu. Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan-Ku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu (yaitu berhala), maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” 21760014
38
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur‟an, h. 349.
39
Muhammad Fuad Abdul Bâqiy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur‟ân al-Karîm
(Kohiroh: Dâr al-Hadîs, t.t.), h. 202-205.
27
sesuatu yang menyenangkan dan disukai, baik berdasarkan pandangan akal, hawa
nafsu, dan dari segi pandangan secara fisik. Pengertian lain penggunaan al-
ۚ
ۚ ۚ ۚ
yakni di akhirat. Selain itu ayat di atas mereka menduga bahwa mereka dapat
peperangan. Bahwa kematian akan datang kepada meraka yang sudah ajalnya
kendati pun mereka di dalam benteng-benteng yang kokoh dan tersusun dengan
yakni sesuatu yang menggembirakan, mereka mengatakan, “ini dari sisi Allah”,
40
Al-Raghîb al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟ân (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,
t.t), h. 118.
28
dan kalau mereka ditimpa suatu bencana, yakni sesuatu yang tidak
Sûrah al-Taubah/29: 52, Sûrah al-Mâidah/5: 50, bahwa kebaikan Allah hanya
akan terang dan jelas bagi orang yang yakin terhadapnya dengan memelihara dan
Kata ihsan adalah isyarat terhadap pengawasan dan ketaatan yang baik.
ihsan adalah berbuat baik dalam segenap pekerjaan, yaitu mengerjakan amal
perbuatan dengan tulus, ikhlas, bagus, dan rapi, baik yang wajib maupun yang
jawab kepada Allah swt. Seluruh prilaku yang mendatangkan manfaat dan
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 494.
42
Enoh, “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (keburukan) dalam al-Qur‟an,” no. 1
(Januari 2007): h. 31.
43
Ahmady, “Konsep Ihsan dalam al-Qur‟an: Pendekatan Semantik,” (Tesis S2 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2012), h.
135-136.
29
Dari hadis tersebut terlihat bahwa susunan dasar agama islam terdiri dari
iman, islam, dan iẖsan. Ketiganya merupakan tiga satuan ajaran islam, yang
antara satu dengan yang lain saling terkait. Iman tidak sempurna tanpa islam, dan
islam tidak sempurna tanpa iẖsan. Sebaliknya iẖsan mustahil ada tanpa iman dan
islam.45
“ahsanta kadzâ artinya engkau telah berbuat baik dengan melakukan sesuatu.
Aẖsanta ilâ fulân artinya engkau telah memberikan sesuatu yang bermanfaat
baginya. Namun, pengertian iẖsan disini yang pertama, melakukan ibadah dengan
baik. Makna kedua seperti orang yang ikhlas beribadah, sebenarnya ia telah
melakukan kebaikan dengan niat ikhlas atas dirinya. Iẖsan dalam ibadah adalah
4. Al-Khair
Kata khâra jamaknya khuyûr lawan dari kata syirr.47 Kata khair
penggunaannya kata ini bisa berfungsi sebagai ism (kata benda), sebagai ism tafḏîl
(tingkat perbandingan), dan bisa pula berfungsi sebagai sifah musyabbahah (kata
44
„Abî „Abdillah Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Shaẖîẖ al-Bukhârî (Kohiroh: al-
Qudus,2014) h. 33.
45
„Abdul „Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve,
1997), h. 650.
46
Falih bin Muhammad bin Falih Ash-Shughayyir, Meraih Puncak Ihsan. Penerjemah.
Darwis (Jakarta: Darus Sunah, 2009), h. 29-30.
47
Lûwîs Ma‟lûf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: T.pn., 1908), h. 201.
30
yang serupa dengan kata sifat). Dalam al-Qur‟an kata khair disebut 176 kali.48
Sedangkan kata khair yang ada kaitannya dengan rezeki atau harta terulang
Menginfakkan harta untuk diri sendiri, orang tua, dan kaum kerabat terdapat
Khair adalah segala sesuatu yang disenangi semua orang seperti, keadilan
yang disenangi akal dan sesuatu yang bermanfaat. Kebaikan berdasarkan kata ini
dibagi dua, yaitu khair mutlaq dan khair muqayyad. Khair mutlaq yaitu sesuatu
yang dipandang lebih baik oleh Allah dan dianggap baik dalam setiap keadaan
dan situasi oleh setiap orang, seperti surga. Sebagaimana yang dijelaskan dalam
Sûrah al-Nahl[16]: 30. Sedangkan khair Muqayyad yaitu baik dan buruk yang
berhubungan, terutama dalam arti yang khusus yang bisa memberikan kebaikan
dan keburukan seperti: harta yang banyak.50 Sebagaimana yang dijelaskan dalam
ۚ ۚ ۚ ۚ ۚ ۚ ۚ ۚ
ۚ ۚ ۚ ۚ ۚ ۚ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Harta yang banyak bisa memberikan manfaat kepada diri sendiri dan orang
lain, dengan harta yang banyak seseorang bisa bersedekah, membantu yang
48
M. Quraish Shuhab, Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati,
2007), h. 448.
49
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
RI, “Suhuf: Jurnal Kajian al-Qur‟an dan Kebudayaan,” 1, no. 1 (2008): h. 48.
50
Al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟ân (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,
t.t), h. 160
31
sedang membutuhkan. Di sisi lain dengan harta yang banyak seseorang bisa
menjadi sombong dan lupa akan segalanya. Al-Khair yang diartikan harta untuk
kepentingan wasiat.
sebagaimana yang dijelaskan dalam Sûrah ali-Imrân[3]: 104, dan dapat pula
sebagai sifat pada wazan af‟ala dalam sûrah al-Baqarah[2]: 106 dan 197.
al-Khair secara umum diartikan dengan sesuatu yang disukai. Dalam kata ini
mengandung tiga hal yaitu: sesuatu yang baik, sesuatu yang lebih baik, dan
5. Al-Sâlih
tidak rusak dan patut. Sedangkan shâlih merupakan ism fail dari kata tersebut
berarti orang yang baik, orang yang tidak rusak dan orang yang patut. Sedangkan
51
Enoh, “Konsep baik (Kebaikan) dan Buruk (Keburukan) dalam al-Qur‟an, no.1 (Januari
2007): h. 32.
52
Yulia Rahmi, “Makna Khair dalam al-Qur‟an,”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Agama, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2014), h. 3.
53
Muhammad Fuad Abdul Bâqiy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur‟ân al-Karîm
(Kohiroh: Dâr al-Hadîs, t.t.), h. 410-412
54
Muhammad Hisyam, “Shalih Menurut al-Qur‟an,” artikel diakses pada 20 Maret 2017
dari http://beritalangitan.com>fakta-opini
32
“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang
berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam
hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah
dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari
yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan; mereka itu
termasuk orang-orang yang saleh.”
Kata sâlihât adalah bentuk jamaknya dari bentuk tunggal al-Sâlih. Dalam
konsepsi al-Qur‟an sering diantonimkan dengan kata fasid yang berarti rusak.
negatif, keburukan, kejelekan atau ketidak patutan sehingga amal shalih adalah
55
Muhammad Shalikhin, Menyatu Diri dengan Ilahi (Yogyakarta: Penerbit Narasi,
2010), h. 397-398.
BAB III
PENAFSIRAN
ۚ ۚ
Ayat diatas merupakan gambaran bagi hati yang baik dan yang buruk,
yang tidak terlepas dari suasana pemandangan yang ditampilkan, tujuannya hanya
hakikatnya. Hati yang baik di dalam al-Qur‟an dan hadis Nabi Muhammad saw
diserupakan dengan negeri yang baik dan tanah yang subur, adapun hati yang
buruk diserupakan dengan negeri yang buruk dan tanah yang tandus.2
perumpamaan bagi orang mukmin yang mau mendengarkan nasehat, lalu nasehat
itu bermanfaat baginya sedangkan tanah yang mengandung garam dan bebatuan
yang tidak ada faedahnya adalah perumpamaan bagi orang-orang kafir yang tidak
mau mengambil nasehat dan dakwah islam. Orang-orang yang bersyukur kepada
1
Q.S al-A‟râf[7]: 58.
2
Sayyid Qutb, Fi Dzilal al-Qur’an: di Bawah Naungan al-Qur’an. Penerjemah As’ad Yasin
(Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 221-222.
33
34
Allah swt atas segala nikmat-Nya khusus disebut, karena merekalah orang-orang
tanah dengan tanaman, demikian pula juga ada perbedaan antara kecenderungan
dan potensi jiwa manusia dengan jiwa manusia yang lain. Tanah yang baik yakni
tanah yang tidak subur dan Allah swt tidak memberinya potensi untuk
menumbuhkan buah yang baik. Demikian ini adalah balasan bagi orang-orang
yang bersyukur yakni yang mau menggunakan anugerah Allah swt sesuai dengan
Bumi itu diantaranya ada yang tananhya baik dan pemurah, yang tanam-
tanamannya keluar dengan mudah dan tumbuh dengan cepat. Dan ada pula
diantaranya yang tanahnya buruk, seperti tanah hitam berbatu, dan tanah tandus
3
Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-tafsir Pilihan. Penerjemah. Yasin,
jilid. 2 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 316-317.
4
Mahmûd al-Alûsî al-Baghdâdî, Rûh al-Ma‟ânî fî Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm wa al-Sab‟î
al-Matsânî (Beirut: Dâr al-Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1985), h. 148.
5
M.Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur „an vol. II
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 124.
35
Allah swt antara orang mukmin dengan orang kafir, yakni orang yang berbuat
baik dan orang yang berdosa. Demikian bagi mereka yang bersyukur atas nikmat-
nikmat-Nya berhak menerima tambahan dari Allah dan dibalasi pahala. Ayat ini
diakhiri dengan kata karena sasaran ayat ini adalah agar orang mengambil
“Perumpamaan dari petunjuk dan ilmu yang dengan itu Allah swt
membangkitkan aku adalah seperti halnya hujan yang banyak. Hujan itu mengenai
bumi, di antara bumi itu ada tanahnya yang bersih, ia menerima air lalu
ditumbuhkanya tumbuh-tumbuhan dan rumput yang banyak. Dan ada pula tanah
yang tandus yang tidak mau menyerap dan menampung air, lalu Allah
memanfaatkan tanah itu bagi oranng lain. Mereka dapat minum, mengairi sawah
dan menanam, bahkan air itu mengenani bagian tanah yang lainnya, yang tidak
lain adalah tanah yang datar yang tidak menahan air dan tidak menumbuhkan
rumput. Hal itu merupakan perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah
swt dan bermanfaat padanya yang dengan itu Allah swt membangkitkan aku.
Orang itupun berilmu dan mengajarkannya kepada orang lain. Perumpamaan
orang yang dengan adanya ilmu dan petunjuk itu tidak sombong dan tidak
menerima petunjuk Allah swt, yang dengan itu aku telah diutus disini.”
6
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar.
(Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1992), h. 329-330.
7
Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Shaẖîẖ al-Bukhârî, (T.tp.: Dâr al-Alamiyyah, 2014),
h. 35.
36
Negara yang dalam bahasa Arabnya adalah al-bilâd ditemukan dalam al-
kata balada berulang sebanyak 8 kali, kata baladan 1 kali, kata biladî 5 kali, kata
15 menjelaskan sebuah konsep Negara yang baik dan ideal. Konsep Negara
Pertama: agama yang dihayati. Agama pada suatu Negara yang diperlukan
sebagai penyeimbang dan pengendali hawa nafsu serta pengawas melekat atas hati
dan membina Bangsa dan Negara untuk mencapai saran-sarannya yang luhur.
menikmati ketenangan batin dan daya kreasi akan berkembang dikalangan rakyat.
bahan makananan dan kebutuhan materi yang lain dapat terpenuhi.9 Kelima:
8
Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an al-
Karîm (al-Qohirah; Dar al-Hadis, t.t), h.170.
9
Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 61-62.
37
dalam negeri.10
Keenam, harapan yang optimis. Generasi sekarang hanya punya kaitan erat
dengan generasi yang akan datang, maka generasi sekarang pewaris generasi yang
lalu.11 Dengan mencukupkan pada enam kriteria baldatun ṯayyibatun seperti yang
disebutkan di atas akan terwujud Negara tersebut masyarakat yang zuhud, yakni
sekelompok yang mementingkan ibadah. Keadilan sebagai ciri khas Negara yang
ideal. Keadilan merupakan hokum Allah swt dimuka bumi, keadilan mencakup
yang berhak.12
masa Nabi Muhammad saw yang diistilahkan dengan Negara Madinah al-
Pada awalnya, piagam Madinah terdiri atas dua bagian. Satu bagian
yahudi, dan yang kedua, menguraikan komitmen, hak-hak dan kewajiban antara
10
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, dan Pemikiran (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 277.
11
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Kairo: Dar al-Syibah, 1950), h. 122.
12
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, dan Pemikiran, h. 226.
38
sebelum terjadinya perang badar, dokumen kedua, ditulis setelah perang badar.13
perjanjian damai antara kaum Muslimin dengan kaum Yahudi, ditanda tangani
oleh Nabi Muhammad saw pertama kali tiba di Madinah. Dokumen ini mencatat
Madinah sebelum islam menjadi kuat dan sebelum diperintahkan jizyah dari para
ahl al-Kitab. Kedua, Islam menjadi kuat setelah terjadinya perang Badar.
menyatakan bahwa segenap kaum Muslimin adalah mengakui hak asasi kaum
adalah tanggung jawab seluruh warga Negara, Madinah sebagai Negara harus
ۚ
ۚ
13
Lihat Arkam Dhiyauddin Umari, Madinan Society at the Time of the Prophet: Its
characteristics and Organization. Penerjemah. Mun‟in A. Sirry dengan judul Masyarakat Madani:
tinjauan Hidtoris Kehidupan Zaman Nabi (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 108.
14
Lihat Arkam Dhiyauddin Umari, Madinan Society at the Time of the Prophet: Its
characteristics and Organization. Penerjemah. Mun‟in A. Sirry dengan judul Masyarakat
Madanii: tinjauan Hidtoris Kehidupan Zaman Nabi, h. 115.
15
Muhammad Jamaluddin Surur, Qiyam al-Daulah al-„Arabiyyah al-islamiyyah (Kairo:
Dâr al-Nahdah, 1952), h. 78-79.
39
bahwa ada rezeki yang dinamakan tidak baik dan sifatnya buruk serta diharamkan
Allah swt. Manusia dituntun untuk menggunakan rezeki yang baik dan
mengandung apa yang sesuai dengan kondisi manusia, baik dalam kedudukannya
sebagai jenis, maupun pribadi demi pribadi. Manusia sebagai makhluk yang
ruhani dan jasmani, sehingga tidak semua rezeki yang terhampar di bumi dapat
digunakan. Hal ini dapat digambarkan dengan ilustrasi bahwa ada hyang sesuai
dengan kondisi anak kecil, tetapi tidak sesuai dengan orang dewasa dan pakaian
untuk pria dan adapula yang tidak wajar yang dipakai oleh wanita. Begitupula
kaum musyrikin yang telah mengharamkan segala yang dihalalkan, bahwa yang
berhak menentukan halal dan haram hanya Allah swt semata. Selain itu, Allah swt
menyatakan bahwa semua perhiasan pakaian itu dihalalkan bagi orang yang
16
Q.S al-A‟râf[7]: 32
17
M.Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur „an, h. 78.
40
beriman, demikian pula makanan yang baik lezat, sedang di akhirat hanya khusus
Perhiasan, makanan dan minuman yang baik di dunia itu disediakan bagi
pada hari kiamat semuanya itu hanya dikhususkan kepada orang-orang mukmin
saja, sedang orang-orang kafir tidak seorangpun dari mereka yang menikmati di
kafir. Demikian ini tanda-tanda syariat kepada orang-orang yang mau berangan-
yang telah Allah swt titipkan pada fitrah mereka, berupa menyukai pada
swt pada seluruh yang Dia ciptakan di alam yang mereka tempati. Sesungguhnya
perhiasan dan rejeki yang baik-baik adalah untuk orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, yang dalam hal itu mereka dibarengi pula oleh umat lain yang
ikut menikmati perhiasan dan rejeki yang baik-baik itu, sekali pun mereka tidak
18
Abû al-Fidâ Muhammad bin Ismâ‟îl bin Katsîr, Tafsir al-Qur‟an al-Adzîm al-
Musammâ Tafsîr ibn Katsîr (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t), h. 399.
19
Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-tafsir Pilihan. Penerjemah. Yasin,
jilid. 2 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 297.
41
rejeki yang baik-baik itu akan diberikan secara khusus kepada orang-orang yang
ۚ
“(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para
malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salaamun‟alaikum, masuklah
kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.”21
yang bertakwa yaitu peristiwa yang penuh dengan kelembutan, kemudahan, dan
kemuliaan.22 Menurut al-Raghib al-Ashfahani, orang yang baik adalah orang yang
buruk, serta berhias diri dengan ilmu, iman dan perbuatan-perbuatan yang baik.23
Ayat tersebut menegaskan bahwa sesorang yang wafat, yakni mati dalam
Kematian menurut al-Qur‟an, sesuatu kejadian yang tidak bias dihindari oleh
setiap makhluk yang bernyawa.24 Ketika manusia mati, ia menuju kea lam akhirat
dan tidak seorangpun yang akan dapat menebus dosa orang lain, 25 tiada tolong
20
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar. h. 238-
239.
21
Q.S al-Nahl[16]: 32
22
Sayyid Qutb, Fi Dzilal al-Qur‟an: di Bawah Naungan al-Qur‟an. Penerjemah As‟ad
Yasin (Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 269-270.
23
Al-Raghîb al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,
t.t), h. 309.
24
QS. ali Imrân[3]: 185.
25
QS. al-An’âm[6[: 164.
26
QS. al-Shaffât[37]: 25-26.
42
27
(suatu keadaan yang dengannya orang meninggal,
daan berpisahnya ruh dengan jasad). Kematian dengan kata al-Mawt dalam al-
dengan kata al-hayah yang juga disebut sebanyak 145 kali dalam al-Qur‟an.
d. Kematian adalah hampir sama dalam keadaan tidur, dan karena itu
tidur disebut kematian kecil sebagaimana yang dipahami dalam QS. al-
27
Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dâr al-Masriq, 1977), h. 778.
28
Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an al-
Karîm (Beirut; Dâr al-Fikr,1992), h. 842-853.
29
Al-Raghîb al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an, h. 781.
30
Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin. terjemahan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), h. 821.
43
ۚ
ۚ ۚ
“Dan tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang
akan dikerjakannya besok, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi
mana diaa akan mati. Sesungguhnya Allah swt maha mengetahui lagi maha
mengenal.”
pula al-yaqin sebab menurutnya kematian adalah keyakinan dan semua orang
yakin akan mati, tidak disertai keraguan sedikitpun.31 Sejalan dengan QS. al-
(ajal)”, ayat ini bahwa masalah kematian harus diyakini, walaupun ia menjadi
rahasia Allah swt kapan waktu dan tempatnya. Dimanapun orang bersembunyi,
tidak ada tabir yang menghalangi rahasia tentang pengetahuan Allah swt
terhadapnya, dan karena itu pula walau ada benteng yang menutup untuk
bersembunyi dari jangkauan manusia, pasti kematian seorang tetap akan dating
ۚ
“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu kendatipun
kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.”
dalam QS. al-Nahl[16]: 32, dimasukkan dalam surga yang disebut dengan al-
jannah, penuh kenikmatan yang tiada taranya, kenikmatan yang bias digambarkan
31
M. Quraish Shihab, Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-ayat
Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 12.
44
dengan bahasa manusia. Surga ini disediakan kepada mereka yang mati dalam
keadaan ṯayyib dan bertakwa kepada Allah swt, mereka tergolong di dalamnya
adalah orang-orang yang beriman dan tetap melaksanakan amal shalih saat di
dunia.
akhlak yang utama dan perangai yang indah, bersih dari segala perbuatan yang
kotor, tidak menyibukkan diri dengan alam syahwat dan kelezatan jasmaniyah.
Kebaikan ini diikuti oleh kebaikan keadaan ketika nyawa mereka dicabut, karena
ini, orang yang bertakwa tidak merasakan sakitnya kematian. Mereka masuk surga
yang telah disediakan dan dijanjikan Allah swt, karena perbuatan, ketakwaan serta
dari kata ṯayyib ( ). Kata ini dipahami juga dalam arti bebasnya segala sesuatu
ini, berarti kehidupan itu nyaman dan sejahtera dan tidak disentuh oleh rasa takut
atau sedih dan bila ia menyifati ucapan seperti ungkapan al-qaul al- ṯayyib
(ucapan yang baik) maka kata-kata yang halus tidak mengandung kebohongan
32
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar, h. 135-
136.
45
keadaan ṯayyibîn berarti mereka mati dalam keadaan yang sangat baik.
terhindar dari su‟ul al-khâtimah dan kesulitan sakarat al-maut. Berbeda dengan
anugerah-Nya kepada manusia seraya berfirman, “Dialah Allah swt yang telah
Dengan alat angkutan tersebut kamu dapat mencapai berbagai keinginanmu dan
untuk bersenang-senang.”
33
M.Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur „an, h. 219-
220.
34
Q.S Yûnus[10]: 22
46
diuji dan dicoba oleh Allah swt sehingga tampak jelas watak dan tabiatnya, yang
diibaratkan Allah swt sebagai berikut: dengan kesanggupan yang diberikannya itu,
manusia membuat sebuah bahtera yang dapat mengarungi samudera luas. Tatkala
mereka telah berada dalam bahtera itu dan berlayar membawa mereka dengan
bantuan hembusan angin yang baik dan ombak yang tenang, merekapun
dari segenap penjuru, sehingga timbulah kecemasan dalam hati mereka. Karena
itu mereka berdoa seraya merendahkan diri dengan penuh keikhlasan, agar Allah
swt melepaskan mereka dari gulungan ombak yang dahsyat itu, lalu berkata
“wahai Tuhan kami, sesungguhnya jika engkau lepaskan kami dari malapetaka
yang akan menimpa kami, tentulah kami menjadi orang-orang yang mensyukuri
penumpang gembira karena angina yang baik itu. Tiba-tiba kapal itu diterpa angin
yang sangat kencang, mereka dikelilingi oleh ombak lautan dari segala penjuru
dan mereka yakin akan binasa. Mereka memurnikan doa kepada Allah swt saja
Mereka hanya memohon kepada Allah swt dan lupa memohon kepada
sesembahannya, hal ini menjadi dalil yang menjelaskan bahwa apabila dalam
keadaan terdesak maka mereka hanya memohon kepada Allah swt. Orang yang
35
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h.
293-294.
36
Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-tafsir Pilihan. Penerjemah. Yasin,
jilid. 2 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 615-616.
47
memohon itu akan dijawab doanya meskipun dia orang kafir. Mereka berjanji
Ayat ini dapat menjadi salah satu bukti cepatnya Allah swt membalas
ayat ini juga menjadi bukti bagaimana Allah swt dengan cepat mengubah nikmat
atau rahmat-Nya dengan petaka serta betapa buruk sifat manusia yang tidak tahu
berterima kasih. Kata ( )ريخrîh adalah bentuk tunggal, bentuk jamaknya yaitu
(ْ)رياحriyâh untuk angin yang baik dan menyenangkan, dan yang bentuk tunggal
untuk angin yang membawa bencana. Ayat ini menggunakan bentuk tunggal,
kendati yang dimaksud adalah angin yang menyenangkan dan sesuai. Hal ini
dipahami dari penyebutan sifat angin itu, yaitu ( )طيبتṯayyibah yang maknanya
apalagi daerah Arabia yang dipenuhi oleh padang pasir. Adapun pelayaran yang
mereka lakukan antar lain dalam perjalanan musim dingin ke Yaman. Al-Qur‟an
menyebut dua macam perjalanan mereka. Musim panas yaitu ke daerah Syam
(Syria, Palestina, dan Yordania) dan musim dingin ke Yaman. Adapun redaksi
37
Imam al-Qurthubi, Tafsiral-Qurthubi. Penerjemah. Ahmad Rijali Kadir (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), h. 800-801.
38
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an vol.
VI (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 52-54.
39
Muhammad Mutawalî al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya„râwî (al-Azhar: Mujamma„ al-Buhûs
al-Islamiyyah), h. 5849.
48
yang digunakan dalam ayat ini adalah balasan atas kemantapan syukur yang luar
biasa.40
(al-Rîh) adalah udara bergerak (angin). Angin itu ada empat penjuru,
yaitu angin utara dan angin selatan. Kedua angin itu disebut menurut nama arah
dari mana keduanya mengalir. Ketiga angin saba atau angin qabul, yang
dimaksud adalah angin timur. Mereka beranggapan angin ini dating dari Nejed,
sebagaimana angin selatan mereka anggap dari Yaman, sedang angina utara dari
Syam. Keempat, angin dabur yaitu angin barat. Dalam al-Qur‟an Allah swt
“katakanlah: tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya
yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah swt, hai orang-orang
yang berakal agar kamu mendapat keberuntungan.”42
Ayat ini adalah sebuah peringatan untuk orang-orang yang memiliki akal
sehat agar menjauhi dan meninggalkan perkara yang haram dan selalu cukup
dengan yang halal. Karena yang sedikit namun halal dan bermanfaat itu lebih baik
40
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h. 54.
41
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar, h. 319
42
Q.S al-Mâidah[5]: 100
49
daripada banyak tapi haram dan merugikan. Peringatan ini agar mereka mendapat
Dalam hidup ini ada yang baik dan ada yang buruk. Ada tuntunan Allah,
ada tuntunan setan, dan ada rayuan nafsu. Peringatan jangan sampai kuantitas
sedikit. Sedikit tapi berkualitas lebih baik daripada yang banyak tetapi tidak
agama atau akal yang sehat. Karena apa yang dibolehkan agama pasti tidak buruk
atau bentuk apapun dari keburukan pasti tidak disukai Allah swt, Rasulullah saw,
Perumpamaan yang dibuat Allah swt utuk membedakan yang halal dan
haram. Hal ini berlaku umum dalam semua urusan yang berkenaan dengan
pekerjaan, amal perbuatan manusia dan sebagainya. Keburukan yang berasal dari
semua itu tidak akan mendapatkan keberuntungan dan tidak menghasilkan sesuatu
yang baik walaupun banyak, sedangkan kebaikan walaupun sedikit pasti akan
bermanfaat, terpuji, dan berakhir dengan indah. Allah swt akan memberikan
43
ShafiyyurrahmanAl-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah Abu Ihsan al-
Atsari (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2014), h. 234.
44
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h.
197.
45
Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-tafsir Pilihan. Penerjemah. Yasin,
jilid. 2 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 109.
50
bersifat umum, dari keduanya memiliki turunan di bawahnya, yaitu harta dan
Ada dua hakikat yang berbeda dari masing-masing balasan yang sesuai
dengan perbuatan, yaitu tidaklah sama yang buruk dengan yang baik di antara
banyaknya yang buruk itu telah menarik hatimu, namun sesungguhnya yang
sedikit dari yang halal itu lebih baik daripada yang banyak tetapi haram, dilihat
dari akibatnya yang baik di dunia dan di akhirat. Demikian halnya dengan manu
sia. Manusia yang sedikit tetapi baik adalah lebih baik daripada yang banyak
tetapi buruk. Golongan yang sedikit dari orang-orang yang berakal dan pandai
banyak dari orang-orang bodoh. Sebab itu, yang dijadikan pengangan ulama
adalah sifat, bukan jumlah. Jumlah yang banyak tidak menjadi jaminan yang lebih
Secara bahasa syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat baik atas
apa yang dilakukan kepadanya. Syukur adalah kebalikan dari kata kufur 48 hakikat
46
Muhammad bin Yûsuf al-Syahîr bin Abû Hayyan al-Andalusiy, Tafsîr Bahr al-Muhît
(Beirut: Dâr al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1993), h. 30.
47
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar.
(Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1992), h. 62.
48
Amir an-Najar, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern. Penerjemah. Ija Suntana
(Bandung: PT Mizan Publika, 2004), h. 90.
51
Menurut sebagian ulama, syukur berasal dari kata syakara yang artinya membuka
atau menampakkan. Jadi, hakikat syukur adalah menampakkan nikmat Allah swt yang
dikaruniakan padanya baik dengan cara menyebut nikmat tersebut atau dengan cara
ۚ ۚ ۚ ۚ ۚ ۚ ۚ
“Maka ingatlah kepada-Ku, Akupun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.”
Ayat ini mengandung perintah untuk mengingat Allah swt melalui dzikir,
hamdalah, tasbih, dan membaca al-Qur‟an dengan penuh penghayatan, perenungan, serta
pemikiran yang mendalam sehingga menyadari kebesaran, kekuasaan, dan keesaan Allah
swt. Menjauhi larangan yang Allah swt tetapkan, sehingga dibukakan pintu kebaikan.52
ۚ ۚ ۚ ۚ ۚ
“Berkata musa: hai kaumku, jika kamu breriman kepada Allah swt maka
bertawakallah kepada-Nya saja jika kamu benar-benar orang yang beserah diri.”53
49
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Berbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), h. 216.
50
Aura Husna, Kaya dengan Bersyukur: Menemukan Makna Sejati, Bahagia, dan
Sejahtera dengan Mensyukuri Nikmat Allah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 110-
111.
51
Abû Hâmid al-Ghazâlî, Ihyâ‟ „Ulum al-Dîn (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), h. 80.
52
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah. Bahrun Abu Bakar.
(Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1993), h. 30.
53
QS. Yunus[10]: 84.
52
Kata ْ( ا َه ٌْخُ ْنkamu beriman) itu sama dengan arti kata َْسلِ ِويْي
ْ ُهyang kata kerjanya
ْ اَ ْسلَ َنsehingga orang yang bertawakal kepada Allah swt itu adalah orang yang diakui
keimanan dan keislamanannya, dan sebaliknya orang yang tidak bertawakal kepada Allah
Orang beriman adalah orang-orang yang taat, yang hatinya senantiasa menyebut
nama Allah swt sehingga mampu menimbulkan rasa kagum yang sangat kuat, dan
sepanjang hidupnya ditentukan oleh suasana hati ketaatan yang mendalam. Sehingga
55
perwujudan ini meupakan suatu indikasi bahwa orang mukmin adalah orang yang taat.
Seorang mukmin yang akan taat akan selalu menjalankan perintah agama. Orang
yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah swt maka
terminologis maknanya ialah semua aktifitas yang bermuara pada ketaatan yang
dianjurkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya kepada orang-orang beriman untuk
dipatuhi.57 Amal shalih adalah amal-amal perbuatan yang dapat memperbaiki diri
54
Mahmud Sujuthi, Hasanuddin Amin, Akidah Akhlak (Surabaya: Sinar Wijaya, 1984), h.
5.
55
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur‟an. Penerjemah. Mansuruddin
Djoely (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 300.
56
Nanda Cita Aliffah, “Representasi Orang Beriman dalam Kartun Animasi Upin dan
Ipin Episode Puasa dan Zakat Fitrah,” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), h. 2.
57
M. Said Mahmud, “Konsep Amal Shaleh dalam al-Qur‟an: Telaah Etika Qur‟ani
dengan Pendekatan Metode Tafsir Tematik,” (Disertasi Institut Agama Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 1995), h. 266.
53
manusia dalam akhlaknya, adab sopan santunnya dan hal ihwalnya, baik secara
Kata shalih biasa diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan good atau
berarti baik dalam bahasa Indonesia. Izutsu menyoroti kata itu harus terpisah
terhadap konteks al-Qur‟an memaknai kata shalih seperti apa adanya dan al-
Qur‟an memberi pemahaman atau menjelaskan dirinya sendiri. Bahwa kata shalih
mempunyai kaitan dengan kata iman, iman atau keyakinan yang dimiliki manusia
yang berada dalam hati dapat dimanifektasikan dalam perbuatan tertentu yaitu
shalih itu sendiri. Hubungan yang sangat erat tersebut berasumsi bahwa iman dan
banyak ayat bahwa Dialah yang sesungguhnya menghidupkan bumi, mengeluarkan biji-
bijian, menumbuhkan tanaman, mengalirkan air sungai, dan menurunkan hujan. Ayat-
58
Muhammad Rasyid Ridâ, Tafsir al-Manar (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, t.t), h. 436.
59
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur‟an. Penerjemah. Mansuruddin
Djoely, h. 245-246.
60
QS. Ibrâhîm[14]: 24-26 artinya “tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya
menjulang ke langit….”, QS. al-„An‟âm[6]: 99 artinya “dan Dialah yang menurunkan air hujan
dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami
keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau.”
54
ۚ
ۚ
“Dialah yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu
sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-
tumbuhan, yang pada tempat tumbuhnya kamu menggembalakan ternakmu. Dia
menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanaman-tanaman: zaitun, kurma,
anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar tanda kekuasan Allah bahi kaum yang memikirkan.”62
“Lalu dengan air itu Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma
dan anggur, di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak
dan sebahagian dari buah-buahan itu kamu makan.”63
Qur‟an berkaitan dengan beragamnya hasil pertanian. Ayat-ayat itu secara khusus
merupakan gambaran variasi jenis tanaman yang ditanam, yaitu jenis rerumputan
dan pepohonan.64
Kata rezeki yang dalam al-Qur‟an disebutkan berulang-ulang sebanyak 123 kali
61
Nadia Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Qur’an:Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman
Allah (Jakarta: Zaman, 2013), h. 652.
62
QS. al-Nahl[16]: 10-11
63
QS. al-Mu‟minun[23]: 19
64
Nadia Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Qur’an:Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman
Allah, h. 658.
65
Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an al-
Karîm (al-Qohirah; Dar al-Fikr, t.t), h. 394.
55
Rezeki dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan segala sesuatu yang
dipakai untuk memelihara kehidupan yang diberikan Tuhan, dapat berupa makanan
66
sehari-hari, nafkah, pendapatan, keuntungan dan sebagainya. Sebagaimana dalam surah
al-Baqarah[2]: 22
ۚ
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai
atap, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui.”
Masalah rezeki adalah masalah yang begitu dekat dengan kehidupan manusia
sehari-hari, bahkan masyarakat memandang ini sebagai hal yang paling penting,
sehari-hari, susah ataupun senanag hidup seseorang tidak bisa terlepas dari masalah ini.67
Manusia dianuger ahi Allah swt sarana yang lebih sempurna yaitu akal, ilmu, pikiran dan
sebagainya, sebagai bagian dan jaminan rezeki Allah swt. Tetapi sekali-kali jaminan
68
rezeki yang dijanjikan itu bukan berarti memberinyaa tanpa usaha.
3. Disediakan Surga
Kenikmatan surga adalah kenikmatan abadi yang terdiri dari berbagai aspek
sebagaimana kehidupan dan kenikmatan dunia. Perbedaan bukan hanya pada tempat
tinggal, pelayanan, makanan, minuman, pakaian, dan perhiasan, tetapi juga pada hakikat
66
Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (jakarta: Balai Pustaka,
1989), h. 747.
67
Yusuf Abdussalam, Bertanya Tuhan tentang Rezeki (Yogyakarta: Media Insani, 2004),h.
5.
68
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata (jakarta: lentera Hati,
2007), h. h. 828.
69
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Keniscayaan Hari Akhir: Tafsir al-Qur’an
Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2010), h. 454.
56
Al-Qur‟an dan sunnah menegaskan bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa
menandingi surga. Tidak seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka,
yaitu bermacam-macam nikmat yang menyengkan hati sebagai balasan terhadap apa yang
mereka kerjakan (QS. al-Sajdah[32]: 17). Tidak seorangpun yang mengetahui betapa
besar nikmat yang akan diberikan kepada mereka dan betapa besar kelezatan yang akan
70
mereka peroleh sebagai pembalasan atas amalan-amalannya yang shalih. Kekekalan
surga ditunjukkan al-Qur‟an, hadis, dan kesepakatan ulama Ahlu Sunnah. Dian tara dalil
al-Qur‟an yang menegaskan kekekalan surga sebagaimana dalam surah al-Nisâ[4]: 57.
ۚ ۚ
“Adapun orang-orang yang beriman dan megerjakan kebaikan kelak akan Kami
masukkan ke surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Di sana mereka mempunyai pasangan-pasangan yang suci, dan Kami
masukkan mereka ketempat yang teduh lagi nyaman.”
70
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur (Semarang:
Pustaka Rezki Putra, 2000), h. 3240.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
dan buruk. Nilai kebaikan dan keburukan senantiasa akan menjadi sumber rujukan
agama atau akal yang sehat. Kata ṯayyib juga diartikan dengan kata sifat, yang
memiliki fungsi semantik yang paling dasar untuk menunjukkan berbagai kualitas
(sifat) yang melahirkan suatu pengertian rasa dan bau, khususnya sebagai suatu
hal yang sangat menyenangkan, indah, dan ceria. Akan tetapi kata ṯayyib sering
Allah swt memberikan balasan kebaikan dari kata ṯayyib bagi orang yang
selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah dikaruniakan-Nya, orang yang
beriman yang hatinya senantiasa menyebut nama Allah swt, dan orang yang
balasan yang Allah swt berikan berupa ditumbuhkan tanaman yang subur,
57
58
B. Saran
penelitian ini. Hal tersebut bisa jadi disebabkan pembacaan penulis yang masih
tidak langsung, dengan tema kajian. Penyebab lainnya, bisa jadi karena
penguasaan penulis yang masih lemah terhadap teori yang diaplikasikan dalam
ditemukan, terutama bukan oleh penulis sendiri, melainkan lewat pembaca. Oleh
DAFTAR PUSTAKA
Katsîr, Abû al-Fidâ Muhammad bin Ismâ‟îl bin. Tafsir al-Qur‟an al-Adzîm al-
Musammâ Tafsîr ibn Katsîr. Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang,
1994.
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama RI. “Suhuf: Jurnal Kajian al-Qur‟an dan Kebudayaan.” I, no. I.
2008.
------- Pentashihan Mushaf al-Qur‟an. Keniscayaan Hari Akhir: Tafsir al-Qur‟an
Tematik. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, 2010.
Mahmud, M. Said. “Konsep Amal Shaleh dalam al-Qur‟an: Telaah Etika Qur‟ani
dengan Pendekatan Metode Tafsir Tematik.” Disertasi Institut Agama
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1995.
Ma‟luf, Lûwîs. al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977.
-------, Lûwîs. al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: T.pn., 1908.
Manẕûr, Ibnu. Lisân al-Arab. T.tp.: Dâr al-Ma‟ârif, t.t.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Penerjemah. Bahrun Abu Bakar.
Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1992.
Marjuni,Kamaluddin Nurdin. Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim
Arab-Indonesia. Jakarta: Ciputat Press Group, 2007.
Matsna, M. Orientasi SemantiK al-Zamakhsyari. Jakarta: Anglo Media, 2006.
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-DinI. Kairo: Dar al-Syibah, 1950.
Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah. Abu
Ihsan al-Atsari. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2014.
Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an
al-Karîm (al-Qohirah; Dar al-Fikr, t.t), h. 394.
Nadia. Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Qur‟an: Mengerti Mukjizat Ilmiah
Firman Allah.
An-Najar, Amir. Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern. Penerjemah. Ija
Suntana. Bandung: PT Mizan Publika, 2004.
Nasution, S. Metodologi Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara,
2001.
62
Nurdin, Ali. Qur‟anic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-
Qur‟an. Jakarta: Erlangga, 2006.
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah, Ajaran, dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1995.
Al-Qurthubi, Imam. Tafsiral-Qurthubi. Penerjemah. Ahmad Rijali Kadir. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.
Al-Qusyairy, Abu al-Hasan Muslim bin al-Hallaj bin Muslim. Șaẖîẖ Muslim.
Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.
Qutb, Sayyid. Fi Dzilal al-Qur‟an: di Bawah Naungan al-Qur‟an. Penerjemah.
As‟ad Yasin. Jakarta: Gema Insani, 2003.
-------, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur‟ân di Bawah Naungan al-Qur‟an.
Penerjemah. Ainur Rafiq Shaleh Tamhid, vol. III. Jakarta: Rabbani Press,
2002.
Al-Raghîb al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an (Beirut: Dar al-
Ma‟rifah, t.t), h. 309.
Rahmi, Yulia. “Makna Khair dalam al-Qur‟an.”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Agama, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2014.
Ridâ, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, t.t.
Al-Șabûnî, Muhammad „Alî. Qabas min Nûr al-Qur‟an, juz. I-XI. Beirut: Dar al-
Qalam, 1988.
Salam, Burhanudin. Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: Rineka
Cipta, 2000.
Shalikhin, Muhammad. Menyatu Diri dengan Ilahi. Yogyakarta: Penerbit Narasi,
2010.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Tafsir al-Qur‟an al-Majid al-Nur.
Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2000.
Shihab, M. Quraish. Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata. Jakarta: lentera
Hati, 2007.
-------, M. Quraish. Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah swt.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
-------, M. Quraish. Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-
ayat Tahlil. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
63
WEBSITE
Muhammad Hisyam, “Shalih Menurut al-Qur‟an,” artikel diakses pada 20 Maret
2017 dari http://beritalangitan.com>fakta-opini