Anda di halaman 1dari 38

KONSEP INTEGRASI PENDIDIKAN AGAMA

DAN UMUM MENURUT MUHAMMAD ABDUH


KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan tingkat
Mu’allimin

Oleh:
NAZHIF MUHAMMAD RANTISI
NIS 131232050062200297

PROGRAM STUDI ILMU AGAMA ISLAM


PESANTREN PERSATUAN ISLAM TAROGONG GARUT
2022
KONSEP INTEGRASI PENDIDIKAN AGAMA
DAN UMUM MENURUT MUHAMMAD ABDUH
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan tingkat
Mu’allimin

Oleh:
NAZHIF MUHAMMAD RANTISI
NIS 131232050062200297

PROGRAM STUDI ILMU AGAMA ISLAM


PESANTREN PERSATUAN ISLAM TAROGONG GARUT
2022

i
ii
iii
iv
RIWAYAT HIDUP

Penulis memiliki nama lengkap Nazhif Muhammad Rantisi, lahir di


Bandung 24 Juni 2005. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara, lahir
dari pasangan bapak Nino Yudiar dan ibu Erma Hermayanti, mempunyai dua kakak
laki-laki yang bernama Allahu yarham Akmal Muhammad Nadzir dan Jaisy
Muhammad Al Ayyubi serta satu adik perempuan yang bernama Qanita Khairatun
Hisan dan satu adik laki-laki yang bernama Anis Muhammad Abqary. Penulis
tinggal di Jl. Soekarno-Hatta Gg Lapang RT/RW 05/04 Kel. Kopo, Kec. Bojongloa
Kaler, Kota Bandung.
Penulis menempuh pendidikan dasar di SDIT AT-Taqwim Katapang, Kab.
kemudian masuk ke Pesantren Persis Tarogong dari jenjang Tsanawiyah hingga
Aliyah. Dalam perjalanannya, penulis pernah menjuarai beberapa perlombaan
diantaranya Juara 1 Lomba Menulis Cerpen FOSIT dan Juara 3 Lomba Menulis
Essay Festival Cinta Tanah Air 2022.
Di bidang organisasi, penulis pernah menjabat sebagai Anggota Bidang
Kebersihan Staf RGT tahun 2019, Koordinator Naqieb Sementara Bidang
Kebersihan tahun 2022, dan menjabat sebagai Bendahara Naqieb Asrama Putra
Masa Jihad 2022-2023.

v
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah Subhanahu wa taala
yang mana telah memberikan rahmat dan karunia-Nya. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada uswah hasanah kita yaitu Nabi Muhammad
Shollallahu alaihi wasallam.
Alhamdulillah rabbil ‘aalamiin, atas segala kemudahan yang Allah
Subhanahu wa taala berikan, juga setelah melalui serangkaian proses pembuatan
karya tulis ilmiah ini. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini
yang berjudul ”KONSEP INTEGRASI PENDIDIKAN AGAMA DAN UMUM
MENURUT MUHAMMAD ABDUH”.
Karangan ilmiah ini juga disusun sebagai tugas akhir tingkat Mu’allimin
yang di mana dalam proses pembuatannya tidak luput dari bantuan dan dorongan
semua pihak yang dalam proses pembuatannya tidak lepas dari saran, masukan dan
bimbingan dari pihak-pihak terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Maka dengan segala hormat, penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Allah subḥãnahu wa ta’ãla yang telah memberikan kesempatan dan
kesehatan bagi penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini.
2. Ustadz KH. Muhammad Iqbal Santoso, selaku pimpinan Pesantren
Persatuan Islam Tarogong.
3. Ustadz Aan Adam, Lc. selaku Mudir Mu’allimin Pesantren Persatuan Islam
Tarogong.
4. Ustadzah Masnun Maesaroh, S.Ud. selaku wali kelas penulis yang selalu
memberikan nasihat dan motivasi tiada hentinya.
5. Tim biro karya tulis ilmiah yang telah bekerja keras untuk membimbing
santri menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
6. Ustadz Agus Solehudin, Lc. yang telah membimbing penulis dan
memberikan masukan serta saran dalam penyusunan karya tulis ini dari
mulai pembuatannya hingga dapat terselesaikan.
7. Seluruh asatidz yang telah memberikan ilmu yang sekian banyaknya
kepada penulis.

vi
8. Kedua orang tua tercinta dan keluarga penulis yang telah memberikan doa
restu dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah
ini.
9. Tempat penulis saling bertukar cerita tentang keluh kesah dalam kendala
mengerjakan karya tulis ini diantaranya, Faiz Fauzan, Salman Naufal,
Rasendriya, Alnan, Fawwaz, Nashirul, dan teman-teman seangkatan
lainnya.
10. Angkatan 35 Young-Smith Asrama Putra/Naqieb Masa Jihad 2022 yang
selalu membantu dan mengingatkan penulis.
11. Kelas XII-IAI 1 Religion Major, juga teman-teman seperjuangan angkatan
38 Roften Mu’allimin Persis Tarogong.
12. Semua pihak yang terlibat dan tidak dapat dicantumkan oleh penulis, yang
secara langsung maupun tidak langsung membantu dalam penulisan karya
tulis ilmiah ini.
Jazaakumullahu khairan katsira, semoga Allah subḥãnahu wa ta’ãla
mencatat sebagai amal saleh dengan balasan dan maghfirah-Nya yang berlipat
ganda. Aamiin.
Demikian pengantar yang bisa penulis sampaikan, penulis memohon maaf
apabila terdapat banyak kesalahan, karena karangan ilmiah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Penulis berharap agar karangan ilmiah ini dapat bermanfaat dan
menberikan pengetahuan baru bagi para pembaca, Aamiin.

Garut, 17 Oktober 2022

Nazhif Muhammad Rantisi

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


SURAT PERNYATAAN ...................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................................. 3
1.4 Metode dan Teknik Penulisan .......................................................................... 4
1.5 Sistematika Penulisan ...................................................................................... 4
BAB II .................................................................................................................... 6
LANDASAN TEORETIS ..................................................................................... 5
2.1 Integrasi Pendidikan......................................................................................... 5
2.2 Pendidikan Agama ........................................................................................... 7
2.3 Pendidikan Umum ........................................................................................... 9
2.4 Dikotomi Pendidikan ..................................................................................... 10
BAB III ................................................................................................................. 12
PEMBAHASAN .................................................................................................. 12
3.1 Biografi Muhammad Abduh .......................................................................... 12
3.2 Pandangan Muhammad Abduh Terhadap Pendidikan ................................... 14
3.3 Konsep Integrasi Pendidikan Muhammad Abduh ......................................... 18
BAB IV ................................................................................................................. 24
PENUTUP ............................................................................................................ 24
4.1 Simpulan ........................................................................................................ 24
4.2 Saran .............................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26

viii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan merupakan hal penting bagi kemajuan perkembangan zaman.
Dengan pendidikan, manusia bisa meningkatkan derajatnya. Manusia yang terdidik
cenderung lebih dihargai dan dianggap dalam masyarakat. Menempuh pendidikan
formal menjadi sebuah keharusan agar manusia terbekali ilmu-ilmu kehidupan.
Begitu pula dalam Agama Islam, Allah subḥãnahu wa ta’ãla menyuruh umatnya
untuk mencari ilmu dan mengenyam pendidikan. Umat Islam mempelajari ilmu
agama secara turun temurun dari Nabi Muhammad ṣallallãhu ‘alaihi wa sallam.
Umat Islam mempelajari ilmu agamanya sendiri demi mendalami kitab dan risalah
yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasul-nya.
Sedangkan, ilmu umum dipelajari untuk berkehidupan sehari-hari atau
sebagai pengetahuan baru penambah wawasan. Ilmu umum penting untuk
dipelajari. Agama pun tidak pernah melarang untuk mempelajari ilmu umum,
sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

‫ضةٌ َعلَى ُك ِِّل ُم ْسلٍِم‬


َ ْ‫ب الْعِلْ ِم فَ ِري‬
ُ َ‫طَل‬
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (HR Ibnu Majah no. 224)
Hadis mengenai perintah menuntut ilmu merupakan perintah bersifat umum, tidak
terkecuali pada ilmu agama atau pun ilmu umum. Sebagaimana tercantum dalam
sabda nabi yang diriwayatkan oleh Muslim.

‫صالِ ٍح‬ ٍ ِ ِ ٍ ٍ
َ ‫ص َدقَة َجا ِريَة أ َْو ع ْل ٍم يُْن تَ َف ُع بِه أ َْو َولَد‬
ِ ٍ ِ
َ ‫ات ا ِإلنْ َسا ُن انْ َقطَ َع َعْنهُ َع َملُهُ إِلا م ْن ثَالَثَة إِلا م ْن‬َ ‫إِ َذا َم‬
ُ‫يَ ْدعُو لَه‬
“Jika seorang manusia mati, maka terputuslah darinya semua amalnya
kecuali dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau
anak saleh yang mendoakannya.” (HR Muslim no. 1631)

Dalam hadis di atas, yang ditekankan adalah apakah ilmu itu bermanfaat
atau tidak. Kriteria ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang ditujukan untuk
mendekatkan diri kepada sang khalik sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya.
Para ilmuwan muslim terkenal mahir dalam berbagai ilmu. Contohnya,
Al-Farabi yang ahli di bidang fiqih, filsafat, kedokteran dan musik. Ibnu Al Nafis

1
2

disebut sebagai Bapak Fisilogi Sirkulasi Kedokteran juga menemukan cara


klasifikasi Ilmu Hadis yang lebih logis. Begitu mereka faham ilmu Qur’an, mereka
pun faham ilmu tentang kedokteran, perbintangan, matematika dan lain-lain.
Karena pada awalnya ilmu itu hanya satu, tidak ada cabang-cabang dalam
mempelajari ilmu sampai adanya dualisme pendidikan yang memisah-misahkan
ilmu agama dan umum.
Ketika Mesir dipimpin oleh Muhammad Ali Pasha, kebijakan pendidikan
terpecah menjadi dua tipe. Sekolah-sekolah agama hanya mempelajari ilmu agama
saja, sedangkan ilmu umum hanya dipelajari di sekolah-sekolah pemerintah dan
militer. Adanya dikotomi pendidikan yang membuat ilmu umum tidak bersinergi
dengan ilmu agama. Menurut Muhammad Abduh (dalam Lubis, 1993) berpendapat:
Yang terjadi di sekolah-sekolah militer, para murid yang umumnya tumbuh
dengan bekal ilmu pengetahuan yang memenuhi otak dan pikiran, tanpa
pengetahuan yang mengisi jiwanya dan membimbingnya untuk bersikap
lebih setia terhadap tugas negara, memelihara disiplin, ataupun bersikap
lebih taat kepada Allah. (hlm. 154)

Pada awal abad ke-20, dikotomi pendidikan terjadi juga di Indonesia akibat
dari adanya politik etis oleh Belanda. Kebijakan tersebut menekankan
pembangunan pendidikan untuk membalas budi apa yang sudah dikerjakan oleh
masyarakat pribumi pada masa kebijakan tanam paksa. Pemerintah Belanda
menekankan sistem pendidikan formal ala barat yang sebenarnya bermaksud
menjauhkan pelajar dari pendidikan agamis pesantren. Karena menurut Belanda,
pesantren dicap berbahaya bagi pemerintah kolonial.
Dalam sudut pandang tokoh Muhammad Abduh yang menggagas
pembaruan sistem pendidikan yang terintegrasi, (dalam Hamid dan Herdi, 2014,
hlm. 70) berpendapat bahwa, “antara ilmu dan iman tidak mungkin bertentangan.
Islam-lah satu-satunya agama yang dengan konsisten menyeru para pemeluknya
untuk menggunakan rasio akal dalam memahami alam semesta”. Dengan adanya
pelajaran umum, maka umat Islam terbuka pikirannya untuk menerima kemajuan
teknologi dan perkembangan zaman. Begitu pula pelajaran dalam pendidikan
umum harus senantiasa terkoneksi dengan prinsip-prinsip ajaran agama Islam,
sesuai dengan Qur’an dan hadis. Gerakan modernisasi yang digaungkan oleh
Muhammad Abduh berupaya untuk membentengi pendidikan umat Islam agar
3

waspada terhadap pemikiran sekularisme dan liberalisme barat, serta menjauhkan


umat dari sikap statis dan taklid buta. Visi dan misi pendidikan akan selalu mengacu
pada norma-norma keagamaan. Pendidikan agama mengambil peranan penting bagi
pembentukan akhlak dan moral generasi. Dengan mempelajari ilmu umum, umat
bisa kembali membangkitkan kemajuan peradaban Islam.
Maka sistem pendidikan yang terintegrasi adalah pilihan yang terbaik juga
solusi dan jawaban atas permasalahan dualisme pendidikan ilmu yang terjadi.
Hingga sekarang, pemikiran Muhammad Abduh diadopsi dan dikembangkan oleh
ulama-ulama lain dengan istilah islamisasi ilmu pengetahuan.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis mencoba untuk mendalami
mengenai sistem pendidikan yang terintegrasi antara pendidikan agama dan umum
dengan membahasnya dalam karya tulis ilmiah yang diberi judul: “KONSEP
INTEGRASI PENDIDIKAN AGAMA DAN UMUM MENURUT
MUHAMMAD ABDUH”, dengan harapan bahwa karya tulis ilmiah ini dapat
memberi pemahaman konsep pendidikan ilmu yang lebih baik bagi umat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan beberapa masalah
yang akan dibahas dalam karya tulis ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan integrasi pendidikan?
2. Bagaimana biografi Muhammad Abduh?
3. Bagaimana konsep integrasi pendidikan agama dan umum menurut
Muhammad Abduh?
1.3 Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah, yang menjadi tujuan penulis dalam
penulisan karya tulis ini adalah:
1. Untuk mengetahui integrasi pendidikan.
2. Untuk mengetahui biografi Muhammad Abduh.
3. Untuk mengetahui konsep integrasi pendidikan agama dan umum
Menurut Muhammad Abduh.
4

1.4 Metode dan Teknik Penulisan


Untuk membahas masalah dalam karangan ilmiah ini, penulis menggunakan
metode deskriptif, yaitu pemaparan atau penggambaran sesuatu sesuai dengan apa
adanya (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, 1996, hlm. 228).
Sedangkan teknik penulisan yang digunakan adalah teknik bibliografi, yaitu
metode berdasarkan pada pengumpulan data dari buku-buku yang ada hubungannya
dengan yang dibahas (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, 1996, hlm.
130).
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan karya tulis ini terdiri dari lima bab dan setiap bab terdiri dari
sub-sub pembahasan dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
a. Bab pertama pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penulisan, metode dan teknik penulisan, serta
sistematika dalam penulisan karya tulis ini.
b. Bab kedua menguraikan tentang landasan teoretis dan konsep-konsep
yang relevan Dengan permasalahan yang dikaji dan mengemukakan
pemecahan masalah yang Pernah dilakukan terkait masalah yang dikaji
dalam penulisan karya tulis ini.
c. Bab ketiga menguraikan hasil kajian dari masalah yang akan dibahas.
Dalam bab ini juga dikemukakan pendapat atau ide gagasan yang sesuai
dengan rumusan masalah dan tujuan yang berlandaskan pada informasi
serta teori-teori yang ada.
d. Bab keempat adalah bagian akhir, yang berisi bab penutup dari
penulisan karya tulis ini, dalam bab disampikan kesimpulan dari karya
yang ditulis sekaligus dipergunakan guna menjawab permasalahan yang
dibahas. Pada bagian ini juga mengemukakan saran atau rekomendasi
yang sejalan dengan gagasan atau kebijakan yang ada.
BAB II
LANDASAN TEORETIS

2.1 Integrasi Pendidikan


Integrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat (2007, hlm. 437). Secara
etimologis, Integrasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris
integrate/integration yang kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia
menjadi Integrasi yang berarti menyatu-padukan, penggabungan atau penyatuan
menjadi satu kesatuan yang utuh. Jadi integrasi berarti proses penggabungan di
antara unsur-unsur yang saling berbeda.
Menurut Safroedin Bahar (dalam Restu, 2021, hlm. 1) berpendapat bahwa
integrasi adalah cara untuk menyempurnakan suatu jalan atau tujuan dengan cara
menyatukan setiap unsur yang sudah mulai terpisah-pisah. Sedangkan menurut
Soerjono Soekanto, integrasi adalah pengendalian terhadap konflik dan
penyimpangan dalam suatu sistem sosial dan membuat suatu keseluruhan dari
unsur-unsur tertentu. (1983, hlm. 157)
Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan
diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan,
atau penelitian. Etimologi kata pendidikan itu sendiri berasal dari bahasa Inggris
yaitu education yang berasal dari bahasa latin yaitu ducare berarti “menuntun,
mengarahkan, atau memimpin”. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan
orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Setiap pengalaman yang
memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat
dianggap pendidikan.
Dalam bahasa Arab, pendidikan sering menggunakan tiga istilah dari
banyaknya istilah mengenai pendidikan yaitu ta’lim (pengajaran), tarbiyah
(pendidikan), dan ta’dib (pembentukan adab). Kata ta’lim hanya mengedepankan
proses pengalihan ilmu pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar
(muta’alim). Misalnya pada Qur’an surat Yusuf ayat 6, berarti ilmu pengetahuan
yang dimaksud, diajarkan atau dialihkan kepada Nabi adalah tabir mimpi.
Kemudian konsep tarbiyyah merupakan proses mendidik manusia dengan tujuan
untuk memperbaiki kehidupan manusia ke arah yang lebih sempurna.

5
6

Ta’dib sebagai istilah yang paling mewakili dari makna pendidikan berdasarkan
Qur’an dan Hadis dikemukakan oleh Syed Naquib Al Attas. Dalam hadis yang
diriwayatkan oleh At-Tabrani dari Ali bin Abi Thalib raḍiyallãhu ‘anhu bahwa
Rasulullah ṣallallãhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ب اَ ْه ِل بَْيتِ ِه َو قَِرأَةُ الْ ُق ْرأَ ِن فَإِ ان َحَْلَةَ الْ ُق ْرأَ ُن ِ ِْف ِظ ِِّل‬
ِِّ ‫ب نَبِيِِّ ُك ْم َو ُح‬
ٍ ‫ث ِخ‬
ِِّ ‫ ُح‬:‫صال‬
َ
ِ ‫اَِِّدب وا اَوَل َد ُكم علَى ثََال‬
َ ْ ْ ُْ
ِ‫هللاِ ي وم َل ِظلٌّ ِظلاه مع اَنْبِيائِِه و اَص ِفيائه‬
َ ْ َ َ ََ ُ َ َْ
“Didiklah anak-anak kalian dengan tiga macam perkara yaitu mencintai
Nabi kalian dan keluarganya serta membaca Al-Qur’an, karena sesungguhnya
orang yang menjunjung tinggi Al-Qur’an akan berada di bawah lindungan Allah,
diwaktu tidak ada lindungan selain lindungan-Nya bersama para Nabi dan
kekasihnya”. (HR. Ad-Dailami)

Menurut Imam Al Ghazali (dalam Suban, 2020, hlm. 87) pendidikan adalah
proses memanusiakan manusia sejak lahir sampai akhir hayatnya melalui berbagai
ilmu pengetahuan. Satu pemahaman dengan pendapat Ki Hajar Dewantara (dalam
Sugiarta, 2019, hlm. 131) menjelaskan bahwa, pendidikan yaitu tuntutan di dalam
hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia
dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya. Pendidikan tiada mengenal batasan usia, karena pada dasarnya
pendidikan akan menjadikan manusia yang terdidik dan lebih faham atas apa yang
telah ia ketahui. Akan tetapi usia muda atau masa remaja merupakan masa-masa
terbaik bagi manusia untuk menempuh pendidikan, dibandingkan dengan seorang
yang sudah menginjak usia tua renta.
Dari beberapa pengertian di atas, pendidikan adalah suatu jalan bagi
manusia untuk memahami segala pengetahuan serta bekal untuk survive dalam
menjalani kehidupan. Jika ilmu adalah jalan, maka pendidikan adalah gerbang
menuju ilmu tersebut. Manusia sebagai hewan yang berpikir dituntut untuk mencari
ilmu melalui kegiatan pendidikan yang tidak mengenal batasan usia dan menaikkan
derajat atau kualitas dirinya agar menemukan arti hidup sesungguhnya.
Maka dapat disimpulkan bahwa integrasi sebagai proses menyatukan dua
unsur yang berbeda sebagai upaya untuk menghasilkan unsur yang lebih baik.
Dalam ruang lingkup pendidikan terpadu, integrasi pendidikan adalah penyatuan
7

pendidikan Agama dengan pendidikan umum, sehingga pendidikan tersebut tidak


saling bersifat individualistik dan dikotomis.
2.2 Pendidikan Agama
Pendidikan Agama Islam merupakan upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan generasi untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani,
bertakwa berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber
utamanya kitab suci Qur’an dan Hadis, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran
latihan, serta penggunaan pengalaman.
Pendidikan Agama Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang
kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Bila disingkat, pendidikan agama Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar
menjadi muslim semaksimal mungkin. (Tafsir, 2002, hlm. 32)
Zakiah Daradjat (2008, hlm. 86) menyatakan bahwa pendidikan Agama
Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar
senantiasa dapat memahami ajaran Islam, secara menyeluruh. Lalu menghayati
tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai
pandangan hidup.
Menurut Abuddin Nata (2012, hlm. 340) berpendapat bahwa pendidikan
Islam adalah upaya membimbing, mengarahkan, dan membina peserta didik yang
dilakukan secara sadar dan terencana agar terbina suatu kepribadian yang utama
sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam sesuai Qur’an dan Hadis.
Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar
transfer of knowledge, tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas
pondasi keimanan dan kesalehan dengan usaha untuk membina manusia kepada
Tuhan-Nya, yaitu suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Allah. Apabila
merujuk pada pengertian kata ta’lim, makan pendidikan agama bermaksud
memberikan pengajaran. Pendidikan Islam membimbing umat agar menghasilkan
para mubaligh serta generasi yang dapat memahami ilmu agama.
Tujuan Pendidikan Agama Islam tiada lain adalah sebuah jalan yang
ditempuh umat Islam untuk mencapai keridhaan-Nya. Berbeda dengan pendidikan
umum, pendidikan agama memiliki tujuan yang lebih kompleks. Dengan kita
menjalani pendidikan yang berorientasi pada akhirat, dunia pun akan
8

mengikutinya. Lebih lanjut Al-Ghazali (dalam Setiawan, 2017, hlm. 15)


menyatakan “Sesungguhnya tujuan dari pendidikan ialah untuk mendekatkan diri
kepada Allah Azza wa Jalla, bukan pangkat dan bermegah megahan, dan
hendaknya janganlah seorang pelajar itu belajar untuk mencari pangkat, harta,
menipu orang-orang bodoh ataupun bermegah-megahan dengan kawan.”
Tujuan pendidikan Islam sama Dengan tujuan kehidupan manusia, tujuan
ini tercermin dalam al Qur’an Surat Al-An’am: 162.

‫ب ٱلْ َعٰلَ ِمني‬ ِِ ِ ِ ِ ‫قُل إِ ان‬


ِِّ ‫اى َوَمََاتى اّلِل َر‬
َ َ‫ص َالتى َونُ ُسكى َوََْمي‬
َ ْ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
Hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.” (QS. Al-An’am: 162)

Tujuan sama halnya dengan niat. Tujuan pendidikan sangat penting untuk
arah kurikulum yang akan diterapkan. Pendidikan Agama ialah membina dan
mendasari kehidupan anak didik dengan nilai-nilai agama dan sekaligus
mengajarkan ilmu agama Islam, sehingga mampu mengamalkan syariat Islam
secara benar sesuai dengan pengetahuan agama.
Muhammad Athiyyah Al-Abrasyi (1970) menekankan bahwa tujuan pokok
dari pendidikan Islam ialah untuk mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa.
Lebih lanjut Athiyyah menyatakan:
Tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk membentuk moral serta
akhlak yang mulia. Para ulama dan para sarjana muslim dengan sepenuh
hati dan perhatiannya berusaha menanamkan akhlak yang mulia,
meresapkan fadhilah ke dalam jiwa para penuntut ilmu, membiasakan
mereka berpegang para moral yang tinggi dan menghindari pada hal-hal
tercela, berfikir secara bathiniyah dan ihsaniyyah (kemanusiaan yang
jernih), serta mempergunakan waktu untuk belajar ilmu-ilmu duniawi dan
ilmu ilmu keagamaan sekaligus tanpa memandang keuntungan keuntungan
materi. (hlm. 25)

Tujuan dalam proses pendidikan Islam adalah idealitas cita-cita yang


mengandung nilai-nilai yang hendak dicapai dalam proses pendidikan yang
berdasarkan ajaran Islam secara bertahap. Tujuan pendidikan Islam dengan
demikian merupakan pengembangan nilai-nilai Islam yang hendak diwujudkan
dalam pribadi manusia didik pada akhir dari proses tertentu.
9

2.3 Pendidikan Umum


Secara umum, Indonesia mengenal dua model sistem pendidikan. Pertama,
model pendidikan nasional dan model pendidikan lokal. Model pendidikan
nasional artinya sistem pendidikan yang kurikulum, penilaian, pengawasan dan alat
ukur taraf pendidikan bangsa dikelola dan diawasi oleh negara. Sedangkan
pendidikan lokal merupakan pendidikan yang dikembangkan oleh
individu-individu masyarakat baik kurikulum, sistem penilaian bahkan
evaluasinya. Dalam kaitan dengan pengertian ini, maka pendidikan nasional
umumnya pendidikan yang diselenggarakan oleh negara dan pendidikan lokal yang
diselenggarakan oleh pesantren yang masih tradisional.
Sumaatmadja mengemukakan bahwa pendidikan bebas atau liberal
education merupakan pendidikan yang perhatiannya kepada sejumlah mata
pelajaran (subjeck matter oriented), yang organisasi kurikulumnya terarah pada
pengembangan logika mengikuti garis sistematika bidang-bidang pengetahuan
yang tertuju pada pengembangan intelektual (2015, hlm. 51). Dalam artian
pendidikan bisa bersumber dari mana saja, tidak dituntut untuk mendalami satu
cabang pendidikan saja. Peserta didik disarankan untuk mencari ilmu pengetahuan
sebanyak-banyaknya agar bisa mendapatkan wawasan yang lebih luas. Degan
pendidikan yang bebas, para peserta didik akan menjadi manusia yang merdeka,
bebas dan berhak menentukan sendiri pilihannya.
Sedangkan berdasarkan pendapat Muliana (1999, hlm. 57) pendidikan
umum atau general education adalah upaya mengembangkan keseluruhan
kepribadian seseorang dalam kaitannya dengan masyarakat lingkungan hidup.
Tujuan pendidikan umum yaitu (1) peserta didik memiliki wawasan yang
menyeluruh tentang segala aspek kehidupan, serta (2) memiliki kepribadian yang
utuh. Istilah menyeluruh dan utuh merupakan dua terminologi yang memerlukan isi
dan bentuk yang disesuaikan dengan konteks sosial budaya dan keyakinan suatu
bangsa.
Dalam SK Mendiknas No.008-E/U/1975 disebutkan bahwa pendidikan
umum ialah pendidikan yang bersifat umum, yang wajib diikuti oleh semua Siswa
dan mencakup program pendidikan moral pancasila yang berfungsi bagi pembinaan
warga negara yang baik. Pendidikan umum mempunyai kurikulum yang berfokus
10

pada ilmu-ilmu dunia. Pendidikan Agama tidak dimasukkan ke dalam kurikulum


pendidikan. Pendidikan Agama hanya ada pada pendidikan lokal seperti pesantren
dan sekolah-sekolah Agama. Karena adanya pemisahan ilmu, pendidikan ilmu
Agama beresiko kalah diminati daripada pendidikan umum. Pendidikan umum
berbobot pendidikan yang bebas dan tidak ada suatu pedoman yang mengikat
sampai mana serta untuk apa ilmu itu dicari.
2.4 Dikotomi Pendidikan
Dikotomi ilmu pengetahuan merupakan sebuah paradigma yang selalu
marak diperbincangkan dan tidak berkesudahan. Adanya dikotomi keilmuan ini
akan berdampak terhadap dikotomi model pendidikan. Di satu pihak ada
pendidikan yang hanya memperdalam ilmu pengetahuan modern yang nihil dari
nilai-nilai keagamaan, dan di sisi lain ada pendidikan yang hanya memperdalam
masalah agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan. Secara
teoretis makna dikotomi adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari suatu jenis
menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali tidak dapat
dimasukkan ke dalam yang satunya lagi dan sebaliknya. (Sulaiman, 2001, hlm. 11)
Praktik dualisme pendidikan tersebut sebenarnya disebabkan oleh
kemunduran umat Islam dalam segala bidang. Seiring dengan kemajuan Barat yang
menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan dan berusaha menguak misteri alam
semesta. Maka dalam keadaan ini masyarakat Muslim melihat kemajuan Barat
sebagai suatu yang mengagumkan. Hal itu menyebabkan kaum Muslimin tergoda
oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi.
Akan tetapi, westernisasi telah menjauhkan umat Islam dari ajaran Qur’an dan
Hadis. Padahal Qur’an adalah firman sang pencipta, tiada keraguan dan kerugian
dalam mempelajarinya. Qur’an adalah sumber ilmu yang paling terpercaya.
Sebagaimana Allah Subḥãnahu wa ta’ãla berfirman dalam surat Fussilat Ayat 42
yang berbunyi:
ٍ ‫َح‬
َِ ‫ني ي َدي ِه وَل ِمن خ ْل ِف ِه تَن ِزيل ِمن حكِي ٍم‬ ۢ ِ ِ ِِ
‫يد‬ َ ْ ِّ ٌ َ ْ َ ْ َ ِ َْ‫ال ََيْتيه ٱلْبَٰط ُل من ب‬
“Yang tidak datang kepadanya (Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun
dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji.” (QS Fussilat:42)
11

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya dikotomi ilmu pegetahuan dalam


peradaban Islam. Pertama, hancurnya sarana pengembangan ilmu pengetahuan
dan perpustakaan karena serangan tentara Mongol yang meluluhlantahkan kota
Baghdad serta dihancurkannya kekuatan umat Islam di Spanyol dan terbunuhnya
banyak ilmuwan dalam peperangan itu. (Baiquni, 1995, hlm. 120)
Kedua, hilangnya budaya berpikir rasional di kalangan umat Islam. Dalam
sejarah Islam kita tahu bahwa ada dua corak pemikiran yang selalu memengaruhi
cara berpikir umat Islam, pertama pemikiran tradisionalis (orthodok) yang berciri
sufistik dan kedua pemikiran rasionalis yang berciri liberal terbuka, inovatif, dan
konstruktif. Kedua pemikiran tersebut berkembang pesat pada masa kejayaan Islam
khususnya pada masa Daulah Abbasiyah, yang mana umat Islam tidak
membedakan antara ilmu yang bersumber dari wahyu atau ilmu yang diperoleh dari
analisis berpikir. Semuanya mereka pelajari dan mereka dalami sehingga ilmu
pengetahuan dan kebudayaan berkembang dengan pesatnya. (Suwito, 2005, hlm.
163).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Biografi Muhammad Abduh


Muhammad Abduh, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin
Hasan Khairullah lahir pada tahun 1848 M/1265 H disebuah desa di Propinsi
Gharbiyyah Mesir Hilir. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khairullah,
sementara ibunya yang bernama Junaynah, seorang janda yang mempunyai silsilah
dengan Umar bin Khathab. Abduh lahir di lingkungan keluarga petani yang hidup
sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota
Mahallaj Nashr. Situasi politik yang tidak stabil menyebabkan orang tuanya
berpindah-pindah, dan kembali ke Mahallaj Nashr setelah situasi poltik
mengizinkan (Shihab, 2006, hlm. 6).
Dalam usia 12 tahun Abduh telah hapal Qur’an. Kemudian, pada usia 13
tahun ia dibawa ke Thantha untuk belajar di Masjid Ahmadi. Masjid ini sering
disebut “Masjid Syeikh Ahmad”, yang kedudukannya dianggap sebagai level
kedua setelah al-Azhar dari segi menghapal dan belajar Qur’an. Pelajaran di Masjid
Ahmadi ini ia selesaikan selama 2 tahun. Namun Abduh merasa tak mengerti
apa-apa. Tentang pengalamannya ini Abduh menceritakan: “Satu setengah tahun
saya belajar di Masjid Syeikh Ahmad dengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah
karena metodenya yang salah. Guru-guru mulai mengajak kita untuk menghapal
istilah-istilah tentang nahwu dan fiqih yang tak kita ketahui artinya, guru tak
merasa penting apa kita mengetahui atau tidak mengerti istilah-istilah itu. Inilah
latar belakang dari pokok pembaruannya dalam bidang pendidikan di kemudian
hari.
Pada saat Abduh berumur 16 tahun, tepatnya pada tahun 1865, Abduh
menikah dan bekerja sebagai petani. Namun hal itu hanya berlangsung selama 40
hari. Karena ia harus pergi ke Thantha untuk belajar kembali. Pamannya Abduh,
seorang Syeikh (guru spiritual) Darwisy Khadr, sufi dari Tarekat Syadzili telah
membangkitkan kembali semangat belajar dan antusiasme Abduh terhadap ilmu
dan agama.

12
13

Dari Thantha, Muhammad Abduh menuju ke Kairo untuk belajar di


al-Azhar, yaitu pada bulan Februari 1866. Harapannya itu tak terpenuhi. Ia keluar
karena proses belajar yang berlangsung menonjolkan ilmu dan hapalan luar kepala
tanpa pemahaman, seperti pengalamannya di Thantha. Sistem pengajaran di ketika
di kampus tidak berkenan di hatinya, karena menurut Abduh: “Kepada para
mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa
mengantarkan mereka pada usaha penelitian, perbandingan dan penarjihan.” Inilah
juga yang melatarbelakangi Abduh ingin mengadakan pembaruan dalam bidang
pendidikan.
Namun, di perguruan ini dia sempat berkenalan dengan sekian banyak
dosen yang dikaguminya, antara lain; (1) Syaikh Hasan ath-Thawil, yang
mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina dan logika karangan
Aristoteles. Padahal kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di al-Azhar pada waktu itu.
(2) Muhammad al-Basyumi, seorang yang banyak mencurahkan perhatian dalam
bidang sastra dan bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa, melainkan melalui
kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikannya (Shihab, 2006a).
Pada saat itu, Syaikh Darwisy kembali tampil demi membangkitkan
semangat Abduh untuk kembali belajar di tempat yang sama. Kali ini bukan lagi
hanya belajar materi agama seperti fiqih, tauhid dan semacamnya, tetapi juga
mempelajari logika, matematika dan sains. (Nasution, 2005, hlm. 13) Pengalaman
ini menjadikan Abduh sangat toleran dan bebas berpikir, yakni suatu sikap berpikir
yang masih jarang ditemukan ketika itu.
Tiga tahun setelah Abduh di Al-Azhar, Jamaluddin al-Afghani datang ke
Mesir. Segera saja Abduh bergabung bersamanya. Di bawah bimbingan
al-Afghani, Abduh mulai memperluas studinya sampai meliputi filsafat dan ilmu
sosial serta politik. Perjumpaannya dengan Afghani ini, mempunyai implikasi yang
sangat besar bagi perkembangan pemikiran rasional Abduh. Muhammad Abduh
yang ketika itu baru berumur 26 tahun, telah menulis dengan mendalam tentang
aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf serta mengkritik
pendapat-pendapat yang dianggapnya salah. Di samping itu, Abduh juga menulis
artikel-artikel pembaruan di surat kabar al-Ahrâm, Kairo. Melalui media ini, gema
tulisan tersebut sampai ke telinga para pengajar di al-Azhar yang sebagian besar
14

tidak menyetujuinya. Namun, berkat kemampuan ilmiahnya serta pembelanya,


Syaikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi, yang ketika itu menduduki jabatan
“Syaikh al-Azhar”, Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan mencapai tingkat
tertinggi di al-Azhar (Ridha, 1931, hlm. 102-103). Ketika itu, Muhammad Abduh
dalam usia 28 tahun (1877 M).
Muhammad Abduh jatuh sakit dan meninggal pada tanggal 11 Juli 1905.
Banyaknya orang yang memberikan hormat di Kairo dan Alexandria, membuktikan
betapa besar penghormatan orang kepada dirinya. Meskipun Abduh mendapat
serangan sengit karena pandangan dan tindakannya yang reformatif, sangat terasa
ada pengakuan bahwa Mesir dan Islam merasa kehilangan atas meninggalnya
seorang pemimpin yang terkenal lemah lembut dan mendalam spiritualnya .
Beberapa faktor yang memengaruhi pemikiran Muhammad Abduh adalah:
(1) Faktor sosial berupa sikap hidup yang dibentuk oleh lingkungan keluargannya
dan guru-gurunya. (2) Faktor kebudayaan berupa ilmu yang diperolehnya. (3)
Faktor politik yang bersumber pada masanya. Semasa hidupnya, Muhammad
Abduh pernah menjabat sebagai dosen al-Azhar dan terpilih untuk memperbaiki
sistem di al-Azhar serta menjadi mufti (orang yang menetapkan fatwa) bagi
pemerintahan Mesir.
3.2 Pandangan Muhammad Abduh Terhadap Pendidikan
Pendidikan menjadi tolak ukur berkembang atau tidaknya suatu generasi,
jika pendidikan bukanlah prioritas, maka generasi akan menurun kualitasnya. Salah
satu faktor kemunduran Islam yaitu ketika umat mengesampingkan pendidikan
keagamaan dan enggan untuk mempelajari pendidikan umum. Ada beberapa
kemuduran umat yang menjadi dasar pertimbangan Muhammad Abduh untuk
melakukan pembaruan sistem pendidikan, yaitu:
Pertama, Muhammad Abduh berpandangan bahwa penyakit yang melanda
negara-negara Islam adalah adanya kejumudan pemikiran agama di kalangan umat
Islam sebagai konsekuensi datangnya peradaban Barat, serta adanya tuntutan dunia
modern. Selama beberapa abad di masa lalu, kaum Muslimin telah menghadapi
kemunduran dan sebagai hasilnya mereka tidak mempunyai solusi untuk
menghadapi situasi yang kritis ini. Keinginan untuk mempelajari ilmu agama
terkalahkan dengan eksistensi pendidikan barat yang dinilai lebih modern yang
15

berguna bagi kehidupan sehari-hari. Akibat tidak adanya tokoh yang membuat
pergerakan dan ide pembaruan, umat Islam kehilagan arah dan malah bersikap
statis yang mana seharusnya dinamis.
Abduh (1954, hlm. 77) mengungkapkan bahwa “kehancuran nilai-nilai
pendidikan peradaban Islam lebih disebabkan oleh umat Islam itu sendiri. Umat
Islam menganggap ilmu umum sebagai satu-satunya pendidikan yang dibutuhkan.
Meskipun pada awalnya disebabkan oleh satu sisi, nyatanya ada dua sisi yang
menghancurkan peradaban Islam. Ia berpendapat kembali bahwa sebab yang
membawa kemunduran umat Islam bukan karena ajaran Islam itu sendiri, tapi umat
yang telah kehilangan arah dan terpengaruhi sikap jumud yang dibawa ke tubuh
Islam oleh orang-orang yang bukan Arab, yang merampas puncak kekuasaan
politik di dunia Islam. Mereka juga membawa faham animisme, tidak
mementingkan pemakaian akal, bodoh dan tidak kenal ilmu pengetahuan. Rakyat
harus dibutakan dalam hal ilmu pengetahuan agar tetap bodoh dan tunduk pada
pemerintah.
Kedua, tertutupnya pintu ijtihad. Dibuka pintu ijtihad adalah satu hal yang
perlu ditonjolkan. Abduh melihat ajaran-ajaran yang terdapat dalam Qur’an dan
Hadis bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya, ajaran-ajaran mengenai hidup
kemasyarakatan umat hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip umum tidak
terperinci, serta sedikit jumlahnya. Oleh karena sifatnya yang umum tanpa
perincian, maka ajaran tersebut dapat disesuaikan dengan zaman. Penyesuaian
dasar-dasar itu dengan situasi modern dilakukan dengan mengadakan interpretasi
baru. Untuk orang yang telah memenuhi syarat Ijtihad di bidang muamalah dan
hukum kemasyarakatan, bisa didasarkan langsung pada Qur’an dan hadis agar
disesuaikan dengan zaman. Sedangkan ibadah tidak menghendaki perubahan
menurut zaman. Kehidupan dunia dan akhirat memerlukan ilmu untuk
menjalaninya. Masing-masing masih saling berhubungan, seperti dalam hadis
riwayat Ahmad berikut ini.

‫ َوَم ْن أ ََر َاد ُُهَا فَ َعلَْي ِه ِبِلعِْل ِم‬،‫اآلخَرهَ فَ َعلَْي ِه ِِبلْعِلْ ِم‬
ِ ‫ ومن أَراد‬،‫من أَراد الدُّنْيا فَعلَي ِه ِِبْلعِلْ ِم‬
َ َ ْ ََ َْ َ ََ َْ
“Barang siapa yang hendak menginginkan dunia, maka hendaklah ia
menguasai ilmu. Barang siapa menginginkan akhirat, hendaklah ia menguasai
ilmu. Dan barang siapa yang menginginkan keduanya (dunia dan akhirat),
hendaklah ia menguasai ilmu,” (HR Ahmad).
16

Dengan dibukanya pintu Ijtihad bukan semata-mata pada keinginian pribadi


melalui hawa nafsunya hati tetapi pada kesadaran akal pikiran. Qur’an memberikan
kedudukan yang tinggi bagi akal. Islam menurutnya adalah agama yang rasional
karena mempergunakan akal adalah salah satu dasar Islam. Iman seseorang takkan
sempurna tanpa adanya akal dan hasilnya agama serta akal akan mengikat tali
persaudaraan. Abduh mengemukakan bahwa “dasar pembinaan Islam ialah
penelitian yang berdasarkan akal, penelitian menurut Islam merupakan jalan untuk
mencapai iman yang benar” (1954a). Wahyu tidak dapat membawa hal-hal yang
bertentangan dengan akal. Kalau zahir ayat atau hadis bertentangan dengan akal,
maka harus dicari interpretasi yang membuat ayat dapat dipahami secara rasional.
Abduh memperjelas bahwa ketika dalil naqli belum diketahui maknanya (masih
lemah untuk memahaminya) maka ditakwilkan sesuai dengan tata bahasa yang
ditetapkan oleh akal agar dipahami. Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar
peradaban bangsa.
Ketiga, kemunduran umat Islam disebabkan tidak adanya penggalian sains
dan penanaman semangat mempelajari ilmu umum. Kemajuan Eropa tercipta
karena belahan dunia ini telah mengambil ilmu-ilmu, pengetahuan dan penemuan
terbaik dari ajaran Islam. Salah satu contohnya, ilmu aljabar yang dikembangkan
oleh Barat berasal dari penemuan ilmuwan muslim al-Khawārizmī. Sehingga
Muhammad Abduh membantah bahwa Islam tidak mampu beradaptasi dengan
dunia modern, apalagi anggapan Islam adalah ajaran agama yang ketinggalan
zaman. Ia ingin membuktikan bahwa Islam adalah agama rasional yang dapat
menjadi basis kehidupan modern.
Muhammad Abduh memperbaiki kurikulum pendidikan untuk
mengembalikan cetak sejarah lahirnya ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang,
dan menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran dari tidur
panjangnya. Dengan mempelajari ilmu umum maka kita akan lebih mengetahui
kebesaran Allah di dunia ini. Ilmu umum yang kini lebih berkembang di Barat perlu
dipelajari untuk mencapai hal tersebut, meskipun pada awalnya ilmu-ilmu itu
berasal dari peradaban umat Islam yang bersumber dari Qur’an dan Hadis.
Sebagaimana Allah subḥãnahu wa ta’ãla berfirman:
17

‫ك أَناهۥُ َعلَ ٰى ُك ِِّل َش ْى ٍء‬ ِ ‫ٱْل ُّق أَوَلْ يك‬


َ ِِّ‫ْف بَِرب‬ ِ ِ ِ
َ ‫َسنُ ِري ِه ْم ءَايَٰتنَا ِِف ْٱلءَافَاق َوِِف أَن ُفس ِه ْم َح ا ّٰت يَتَ بَ ا‬
َ َ َْ ُ‫ني ََلُْم أَناه‬
‫َش ِهي ٌد‬
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran)
Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa
Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS Fushilat:53)

Dari beberapa kemunduran-kemunduran umat Islam di atas, yang paling


banyak disebutkan terkait dengan pendidikan umat Islam. Adanya sikap
jumud/statis, tidak dibukanya pintu Ijtihad, tidak adanya penggalian ilmu umum
dari Barat, hingga jauhnya umat dari ajaran Qur’an dan sunah membuat umat
terperosok dari kejayaannya. Pendidikan merupakan salah satu cara yang efektif
dan strategis untuk menyelesaikan masalah umat Islam dan membangkitkan
mereka dari keterbelakangan dan keterpurukan yang dialami. Akhirnya
Muhammad Abduh memiliki inisiatif membuat gagasan pendidikan yang lebih
baik untuk kedepannya.
Ketika Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849, di tahun itu juga
pemimpin Mesir Muhammad Ali Pasha meninggal dunia. Kebijakan pendidikan
Muhammad Ali Pasha ikut menjadi objek penilaian Abduh terhadap kemunduran
Islam. Meskipun tidak sezaman, Abduh mengkritisi lembaga pendidikan
pemerintahan Muhammad Ali yang berfokus pada pemahaman ilmu umum dan
menyebabkan adanya dualisme pendidikan. Muhammad Ali Pasha sendiri tidak
begitu paham ilmu agama karena pemikirannya cenderung berkiblat kepada Barat.
Sekolah-sekolah umum mulai didirikan diantaranya Sekolah Militer di
tahun 1815, Sekolah Kedokteran tahun 1827, Sekolah Apoteker tahun 1829,
Sekolah Pertambangan tahun 1839, Sekolah Pertanian tahun 1836, dan Sekolah
Penerjemahan tahun 1836 jauh sebelum Abduh dilahirkan. Guru-guru yang
mengajar pun didatangkan dari Barat. Selain dengan mendirikan banyak lembaga
pendidikan modern, Muhammad Ali Pasha juga melakukan modernisasi
pendidikan melalui penerjemahan ilmu-ilmu pengetahuan Barat ke dalam bahasa
Arab sepeti buku filsafat, ilmu militer, ilmu fisika, antropologi. Dikarenakan
ilmu-ilmu tadi datangnya dari barat, ada resiko bahwa ilmu tersebut memiliki
pemahaman yang jauh dari nilai-nilai keagamaan.
18

Namun sementara itu, sistem pendidikan tradisional yang sudah ada tetap
dipertahankan adanya di bawah pembinaan dan bimbingan al-Azhar. Pada
umumnya, ulama-ulama al-Azhar ini pun sangat menentang masuknya
sekolah-sekolah modern tersebut karena dianggap akan mampu mengikis dan
melunturkan nilai-nilai agama yang telah dibangun dan dipertahankan selama ini.
(Rohmaturrasyidah, 2018, hlm. 9)
Ada dua tipe pendidikan, tipe sekolah yang pertama memproduksi para
ulama serta tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan cenderung
untuk mempertahankan tradisi. Tipe sekolah yang kedua melahirkan kelas elite
generasi muda, hasil pendidikan yang dimulai pada abad ke-19, dengan ilmu-ilmu
barat yang mereka peroleh dari ide-ide yang datang dari Barat.
Sebagai tanggapan dari adanya permasalahan dalam sistem pendidikan
pemerintah, Abduh berupaya untuk memperbarui pendidikan agama dan pelajaran
modern. Maksudkan agar para ulama kelak tahu kebudayaan modern dan mampu
menyelesaikan persoalan modern. Begitupun pelajar akan mengetahui ilmu umum
agar terhindar dari keterbelakangan ilmu. Muhamad Abduh melihat dari dua sudut
pandang, bagi seseorang yang fokus mendalami ilmu agama, perlu juga untuk
mempelajari ilmu umum dan bagi seorang pelajar di sekolah pemerintah, perlu juga
untuk mempelajari ilmu agama. Masing-masing perlu mengetahui keadaan zaman,
yang mana mereka harus bisa menyesuaikan dan mempunyai pertahan diri dari
pengaruh luar. Pendidikan adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia dan
dapat merubah segalanya.
3.3 Konsep Integrasi Pendidikan Muhammad Abduh
Adanya sikap jumud/statis, tidak dibukanya pintu Ijtihad, dan tidak adanya
penggalian ilmu umum dari Barat hingga jauhnya umat dari ajaran Qur’an dan
sunah membuat umat terperosok dari kejayaannya. Didorong karena permasalahan
di negara asalnya, Abduh menjadikan hal itu sebagai cita-citanya untuk
memperbarui sistem pendidikan umat. Dengan adanya masalah-masalah yang
melanda umat Islam tersebut, ditambah dengan derasnya arus modernisasi ketika
itu, Muhammad Abduh pun tergerak untuk melakukan aksi pembaruan atau
modernisasi di berbagai bidang, khususnya di bidang pendidikan.
19

Maka integrasi pendidikan adalah salah satu pendekatan untuk suatu


penyelesaian jangka panjang atas berbagai persoalan umat Islam saat ini dan pada
masa yang akan datang. Oleh karena itu, proses integrasi dalam modernisasi
pendidikan Islam adalah sesuatu yang penting dalam melahirkan sebuah peradaban
Islam yang modern (Husein dan Ashraf, 1994, hlm. 6). Pendapat tersebut
merupakan pembaruan pendidikan Muhammad Abuh, yang mana ia meninjau dan
melihat dari kejadian yang dialaminya dan membuat terciptanya sebuah gagasan
pembaruan pendidikan. Untuk mengatasi corak pendidikan yang dikhawatirkan
cenderung lebih memperbarui pendidikan agama, dikemudian hari ulama generasi
berikutnya mengembangkan ide Muhammad Abduh menjadi Islamisasi ilmu
pengetahuan.
Muhammad Abduh melihat segi-segi negatif dari kedua bentuk pendidikan
tersebut. Ia memandang bahwa pemikiran yang pertama tidak dapat dipertahankan
lagi, jika dipertahankan juga akan menyebabkan Islam tertinggal jauh, terdesak
oleh arus kehidupan dan pemikiran modern. Sedangkan pemikiran kedua justru
beresiko adanya bahaya yang mengancam sendi-sendi agama dan moral yang akan
tergantikan oleh pemikiran modern yang mereka serap. Dari situlah Muhammad
Abduh melihat penting mengadakan perbaikan di dua instansi tersebut, sehingga
jurang yang lebar bisa dipersempit.
Situasi yang demikian melahirkan pemikiran Muhammad Abduh dalam
bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan, esensi tujuannya adalah
menghapuskan dualisme pendidikan yang tampak dengan adanya kedua institusi di
atas. Untuk itu Abduh membuat awal mula perbaikan pendidikan yang dirumuskan
sebagai berikut:
Tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya
kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat (Nasution, 2005, hlm. 190). Di samping pendidikan akal, ia juga
mementingkan pendidikan spiritual yang akan melahirkan generasi yang mampu
berpikir dan mempunyai akhlak yang mulia serta jiwa yang bersih. Tujuan
pendidikan yang demikian ini wujudkan dalam seperangkat kurikulum sejak dari
tingkat dasar sampai ke tingkat perguruan tinggi. Kurikulum tersebut adalah:
20

1. Tingkat Sekolah Dasar


Abduh beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama
hendaknya sudah dimulai semenjak masa kanak-kanak. Oleh karena itu,
mata pelajaran agama hendaknya dijadikan sebagai inti semua mata
pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama
Islam merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan
memiliki jiwa kepribadian Muslim, masyarakat akan memiliki jiwa
kebersamaan dan nasionalisme untuk dapat mengembangkan sikap hidup
yang lebih baik, sekaligus dapat meraih kemajuan.
Pada pendidikan tingkat dasar, tujuan institusionalnya adalah
pemberantasan buta huruf, sehingga murid mampu membaca teks yang
tersurat dan dapat berkomunikasi melalui tulisan. Mereka juga diharapkan
bisa berhitung sehingga dapat menunjang kegiatan sehari-hari mereka
sebagai petani, pedagang, pengusaha, pegawai maupun sebagai guru dan
pemimpin. Di samping anak bisa menulis, membaca dan berhitung
diharapkan agar setelah anak didik menyelesaikan studinya di sekolah
tingkat dasar juga sudah mempunyai dasar-dasar pendidikan agama yang
kuat dan dapat pula mengamalkan pokok-pokok ajaran agama, sesuai
dengan kemampuan intelektualnya (Imarah, 1972, hlm. 76)
2. Tingkat Atas
Perlunya memasukkan pelajaran Sejarah dan Kebudayaan Islam ke
dalam sekolah menegah pemerintah yang dikhususkan menghasilkan ahli
dalam berbagai profesi administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan
sebagainya. Melalui lembaga pendidikan ini, Abduh merasa perlu untuk
memasukan beberapa materi, khususnya pendidikan agama, Sejarah dan
Kebudayaan Islam. Selebihnya beberapa mata pelajaran yang harus
diajarkan pada anak didik, yaitu Ilmu Logika (fann al-manthiq),
Dasar-Dasar Penalaran (al-ushûl an-nazhari) dan Ilmu Debat atau Diskusi
(adâb al-jadal). Ketiga pelajaran di atas tidak dapat dipisahkan, namun
sebagai dasarnya adalah Ilmu Logika (Ridha, 1931, hlm. 513)
21

3. Tingkat Perguruan Tinggi


Kurikulum Perguruan Tinggi al-Azhar disesuaikannya dengan
kebutuhan masyarakat pada masa itu. Dalam hal ini, ia memasukkan ilmu
filsafat, logika dan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum al-Azhar.
Upaya ini dilakukan agar output-nya dapat menjadi ulama modern
(Ramayulis, 2005, hlm. 47). Pada kurikulum pendidikan tinggi, Abduh juga
menawarkan materi-materi Tafsir Qur’an, Hadis, Bahasa Arab, Ushûl Fiqih,
Pelajaran Akhlak, Sejarah Islam, Retorika dan Dasar-dasar Diskusi, dan
Ilmu Kalâm. Abduh mengatakan, di dalam Qur’an terdapat rahasia-rahasia
kesuksesan umat Islam terdahulu. Oleh karena itu agar umat Islam sekarang
bisa sukses, mereka harus mempelajari secara mendalam tentang Qur’an
beserta metode penafsirannya, serta ilmu-ilmu alat lain (Ridha, 1931, hlm.
515).
Di madrasah-madrasah yang berada di bawah naungan al-Azhar, Abduh
mengajarkan ilmu Mantik, Falsafah dan tauhid. Di rumahnya, Muhammad Abduh
mengajarkan pula kitab Thazib al-akhlak susunan ibnu Maskawayh. Dan kitab
sejarah Peradaban Eropa susunan seorang Perancis yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab dengan judul al-Tuhfar al-Adaabiyah fi Tarikh Tamaddun
al-Mamalik al-Awribiyah. (Ramayulis & Nizar, 2005, hlm. 48)
Ketiga paket kurikulum di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum
pelajaran agama yang diberikan dalam setiap tingkat. Dalam hal ini, Muhammad
Abdul tidak memasukkan ilmu-ilma barat ke dalam kurikulum yang direncanakan.
Karena pada dasarnya mempelajari ilmu umum dipelajari berlandaskan nilai-nilai
agama. Dengan demikian, dalam bidang pendidikan formal Muhammad Abduh
menekankan pemberian pengetahuan yang pokok yaitu fikih, sejarah Islam, akhlak,
dan bahasa Arab.
Meskipun kurikulum yang dirancang Muhammad Abduh sulit diterapkan
secara utuh, selebihnya di sekolah umum seperti yang diharapkan nya, tetapi dari
materi-materi pelajaran yang demikian dapat diketahui bahwa pemikirannya yang
menghargai ilmu-ilmu agama, sama dengan penilaiannya terhadap ilmu-ilmu
umum. Abduh ingin menghilangkan dualisme pendidikan yang ada pada saat itu.
22

Dia menginginkan agar sekolah-sekolah umum menerapkan kurikulum


rumusannya, seperti al-Azhar mengubah sistem pengajarannya, antara lain dengan
menerapkan ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Dalam penyusunan materi ini ia
selalu merujuk kepada tujuan pendidikan yang titik sentralnya adalah mencapai
tujuan akhir pendidikan Islam ke arah pengembangan yang seimbang antara akal
dan jiwa guna mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Usaha awal reformasi sistem pendidikan dimulai di Universitas al-Azhar.
Muhammad Abduh memperjuangkan mata kuliah yang dianggap sebagai barang
haram oleh para ulama al-Azhar, yaitu mata kuliah filsafat dan mantiq untuk
diajarkan di al-Azhar. Menurutnya, dengan mempelajari kedua ilmu tersebut,
semangat intelektualisme Islam yang padam diharapkan dapat kembali bersinar.
Dalam bidang metode pengajaran ia pun membawa cara baru dalam dunia
pendidikan saat itu. Ia mengkritik dengan tajam penerapan metode hafalan tanpa
pengertian yang umumnya dipraktikkan di sekolah-sekolah saat itu, terutama
sekolah agama. Abduh tidak menjelaskan dalam tulisan-tulisannya metode apa
yang sebaiknya diterapkan, tetapi dari apa yang dipraktikkannya. Ketika ia
mengajar di al-Azhar tampaknya bahwa menerapkan metode diskusi akan
memberikan pengertian yang mendalam pada muridnya. Ia menekankan
pentingnya pemberian pengertian dalam setiap pelajaran yang diberikan.
Memperingatkan para pendidik untuk tidak mengajar murid dengan metode
menghafal, karena metode demikian hanya akan merusak daya nalar, seperti yang
dialaminya ketika belajar di Sekolah formasi di Masjid Ahmadi di Thanta.
Muhammad Abduh menyebutkan perlu adanya usaha perbaikan. Dalam hal
ini Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama dalam hal
mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang utama adalah:
1. Menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar.
2. Mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka
lupakan (ilmu agama) ataupun yang belum mereka ketahui (ilmu umum).
3. Meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta pada negara, tanah air, dan
pemimpin.
Pemerintah harus memperbaiki sistem pendidikan yang terdahulu kepada
pendidikan yang lebih terpadu. Maknanya, pemerintah dapat mendukung
23

kurikulum pendidikan yang lebih cocok di kalangan masyarakat islami. Dengan


adanya sistem pendidikan seperti diatas, maka permasalahan dikotomi ilmu akan
teratasi.
Muhammad Abduh berupaya menyatukan kegiatan pedidikan agama dan
umum dengan cara mereformulasikan kurikulum pendidikan dengan kurikulum
hasil rancangannya. Terwujudnya gagasan itu membutuhkan tahapan-tahapan
penerapan dan proses percobaan yang relatif berkembang seiring waktu. Para
ulama lainnya yang menyadari perlunya solusi dikotomi ilmu membuat gerakan
berupa integrasi ilmu umum dan ilmu keislaman. Istilah dalam konteks integrasi ini
adalah Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Tokoh-tokoh terkenal yang merumuskannya
adalah Prof. Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi.
Proses islamisasi pengetahuan memiliki inti pendidikan terintegrasi,
maknanya adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu umum dalam pendidikan
umat Islam. Maka bahan pendidikan ilmu umum akan berlandaskan prinsip-prinsip
keislaman (keimanan/tauhid) dan bukan adopsi ilmu umum yang sekuler dan
bertentangan dengan Islam. Kebangkitan pendidikan Islam tak akan terwujud jika
kurikulum pendidikan tidak segera diperbaiki. Pengetahuan agama akan menjadi
sesuatu yang langsung berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, sedangkan
pengetahuan modern bisa dibawa ke dalam kerangka Islam. Gagasan ini tidak jauh
berbeda dengan pemikiran Muhammad Abduh, malahan lebih melengkapi
celah-celah kekurangannya dan berkembang menjadi lebih padu.
Permasalahan dikotomi pendidikan sangat krusial bagi kemajuan umat.
Muhammad Abduh menawarkan gagasannya berupa kurikulum pendidikan yang
terintegrasi adalah solusi untuk permasalahan tersebut. Tidak ada pemisahan dan
dualisme dalam pendidikan, sehingga umat Islam tetap bisa mendapatkan
pendidikan umum berlandaskan pedoman agama dan pendidikan agama yang
diikuti pemahaman umum sesuai dengan perkembangan zaman. Upaya dan
perjuangan yang telah dilakukan Muhammad Abduh dalam melakukan pembaruan
atau modernisi terhadap sistem pendidikan merupakan penggerak pembaruan dan
usaha yang sangat bermanfaat bagi umat Islam dan perlu diapresiasi.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan tentang konsep integrasi pendidikan agama dan
umum menurut Muhammad Abduh, penulis menyimpulkan bahwa:
1. Integrasi dikenal sebagai proses menyatukan dua unsur yang berbeda
sebagai upaya untuk menghasilkan unsur yang lebih baik. Maka,
integrasi pendidikan adalah penyatuan pendidikan Agama dengan
pendidikan umum, sehingga pendidikan tersebut tidak saling
individualistik dan dikotomis.
2. Muhammad Abduh lahir pada tahun 1848 M/1265 H disebuah desa di
Propinsi Gharbiyyah Mesir Hilir. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan
Khairullah, sementara ibunya yang bernama Junaynah, seorang janda
yang mempunyai silsilah dengan Umar bin Khathab. Muhammad
Abduh dikenal sebagai ahli tafsir, sosok yang sangat peduli terhadap
kemajuan umat Islam dan kritis pada penjajahan bangsa barat. Abduh
pernah menjabat sebagai dosen di al-Azhar serta mufti di Mesir.
Cita-citanya ingin memperbaiki sistem pendidikan di Mesir khususnya
di al-Azhar dan akhirnya pada tahun 1899 beliau ditunjuk untuk
melakukan pembaruan sistem pendidikan di Universitas al-Azhar.
Abduh meninggal pada tanggal 11 Juli 1905.
3. Sebagai solusi dari permasalahan diktomi ilmu, Muhammad Abduh
membuat gagasan kurikulum pendidikan yang terintegrasi sebagai
berikut:
a. Tingkat Dasar: Di samping anak bisa menulis, membaca dan
berhitung, diharapkan agar mempunyai dasar-dasar pendidikan
agama yang kuat dan dapat pula mengamalkan pokok-pokok ajaran
agama, sesuai dengan kemampuan intelektualnya.
b. Tingkat Atas: Perlunya memasukkan pelajaran Sejarah dan
Kebudayaan Islam ke dalam sekolah pemerintah ditambah Ilmu
Logika (fann al-manthiq), dasar-dasar Penalaran (al-ushûl
an-nazhari) dan Ilmu Debat atau Diskusi (adâb al-jadal).

24
25

c. Tingkat Perguruan Tinggi: Abduh memasukkan ilmu filsafat,


logika dan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum al-Azhar.
Upaya ini dilakukan agar output-nya dapat menjadi ulama modern.
Abduh juga menawarkan materi-materi baru pada Universitas
umum berupa Tafsir Qur’an, Hadis, Bahasa Arab, Ushûl Fiqih,
Pelajaran Akhlak, Sejarah Islam, Retorika dan Dasar-dasar Diskusi,
dan Ilmu Kalâm.
4.2 Saran
Setelah penulis menyimpulkan karya tulis ini, tanpa mengurangi rasa
hormat dan kerendahan hati, penulis memberikan beberapa saran yaitu:
1. Seorang pelajar hendaknya selalu mempelajari ilmu tanpa pandang pilih,
artinya bahwa semua cabang ilmu saling memiliki hubungannya. Ketika
mencari ilmu, selalu berhati-hati serta berpegang teguh pada Qur’an dan
hadis, agar tidak menyeleweng ke jalan yang salah. Sebagai pelajar muslim,
pendidikan yang dipelajari haruslah selalu berada dalam ruang lingkup
keislaman.
2. Bagi para pengajar untuk menyesuaikan kegiatan pembelajaran sesuai
dengan perkembangan pelajar. Kegiatan pembelajaran dikhususkan supaya
anak didik dapat memahami materi yang disampaikan dan dibuat lebih
menarik dan muda dipahami.
3. Arah tujuan pendidikan difokuskan untuk mencetak generasi yang memiliki
keimanan kokoh, ilmu pengetahuan yang luas dan mampu mendakwahkan
Islam (amar ma’ruf nahyi munkar) dengan metode yang dicontohkan oleh
Nabi Muhammad ṣallallãhu ‘alaihi wa sallam.
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, M. (1954). Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen. Mesir:
Diponegoro.

Athiyah al-Abrasyi, M. (1970). Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta:


Bulan Bintang.

Baiquni, A. (1995). Al-Qur'an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: Dana


Bhakti Wakaf.

Burhanuddin,T,R.(2015). Pendidikan Umum Dalam Prespektif Pendidikan Islam


Dan Pendidikan Kewarganegaraan

Hamid, H. & Herdi, A. (2014). Pengembangan Pemikiran Modern dalam Islam.


Bandung : Penyebar Ilmu.

Husein, S. & Ashraf, A. (1994). Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, terj.


Rahmâni Astuti. Bandung: Gema Risalah Press.

Imarah, M. (1972). Al-A’mâl al-Kâmilah II al-Imâm Muhammad ‘Abduh, jilid III.


Beirut: al-Muassasah al-Arabiyah II al-Dirasah wa al-Nasyr.

Lubis, A. (1993). Pemikiran Muhammaddiyah dan Muhammad Abduh. Jakarta : PT


Bulan Bintang.

Muhaimin, (2001). Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan


Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Muliana, R. (1999), Cakrawala Pendidikan Umum; Suatu Upaya Mempertegas


Body of Knowledge. , Bandung: Ikatan Mahasiswa dan Alumni Pendidikan
Umum (IMA-PU) PPS IKIP.

Nasution, H. (2005). Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah. Jakarta :


Universitas Indonesia.

Nata, A. (2012). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

Nizar, S. (2008). Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan


Era Rasulullah Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana.

Ramayulis. & Nizar, S. (2005). Ensiklopedia Pendidikan Islam Mengenal Tokoh


Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia. Jakarta: Quantum
Teaching.

26
Ramayulis. & Nizar, S. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Restu (2021). Integrasi: Pengertian, Jenis dan Faktor Terbentuknya. [Online].


Diakses Dari Integrasi: Pengertian, Jenis, dan Faktor Terbentuknya -
Gramedia Literasi

Ridha, M. (1931). Târikh al-Ustâdz al-Imâm al-Syaikh Muhammad ‘Abduh. Kairo:


Percetakan al-Manâr.

Rohmaturrasyidah, S. (2018) Ijtihad Dan Modernisasi Pendidikan Islam


Muhammad Abduh. [Online]. Diakses dari
https://ejournal.stital.ac.id/index.php/alibrah/article/download/52/42/

Setiawan, E. (2017). Konsep Pendidikan Akhlak Anak Perspektif Imam Al Ghazali.


Jurnal Kependidikan, 5(1), 43²54.

Shihab, Q. (2006). Rasionalitas Al-Qur’ân: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar.


Jakarta: Lentera Hati.

Suban, A. (2020). Konsep Pendidikan Islam Perspektif Al-Ghazali. [Online].


Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/338017-konsep-pendidikan-isl
am-perspektif-al-gh-0a0acbc4.pdf

Sugiarta, M. (2019). Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara. [Online]. Diakses


dari
https://media.neliti.com/media/publications/120733-ID-pembaruan-pendid
ikan-islam-menurut-muham.pdf

Sulaiman & Baiquni, A. (2001). Tuhan dan Sains : Mengungkap Berita-Berita


Ilmiah dalam Al-Qur’an. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta.

Sumaatmadja, N. (2002), Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung


: Al-Fabeta.

Suwito. (2005). Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta : Prenada Media.

Tafsir, A. (2000). Metodologi Pengajaran Agama Islam; Suplemen Modul-modu


Program Penyetaraan D-2 GPPAI SD/MI. Bandung : Fakultas Tarbiyah
IAIN Sunan Gunung Djati.

Zakiah Daradjat, Dkk. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.

27
28
29

Anda mungkin juga menyukai