SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)
dalam Ilmu Hadits Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
Oleh :
Junet
NIM : 306180013
JAMBI
2021
MOTTO
ABSTRAK
Penelitian ini di dasari atas fenomena kebiasaan kaum remaja masa kini, yang
cendrung memilih nongkrong dan berkumpul bersama teman-temannya untuk
mengekspresikan luapan emosi. Namun, dari fenomena nonnegatif, mulai obrolan
yang tidak jelas, ledekan terhadap teman sendiri, membicarakan kekurangan orang
lain atau yang disebut dalam agama yaitu ghibah. Bahkan tidak hanya itu, dalam
kegiatan nongkrong terkadang ditemui kegiatan negatif seperti: merokok, berjudi,
minum-minuman keras dan lain-lain. Dengan kebiasaan kegiatan seperti ini
kemungkinan besar maka terbentuklah sebuah komunitas tertentu atau disebut dengan
“genk”, sekumpulan genk motor, premanisme dan lain-lain. Inilah yang disebabkan
kenakalan remaja yang suka nongkrong dipinggir jalan.
PERSEMBAHAN
Segala puji bagi Allah tuhan semesta Alam, yang dengannya kita selalu berharap
untuk dapat ditunjukkan segala macam kebajikan serta dimampukan untuk
merealisasikannya. Dan telah menampakkan segala macam keburukan serta
dimampukan untuk menjauhinya. Kemudian shalawat dan salam tak pernah lupa dan
alpa kita curahkan kepada baginda Rasulullah Saw.
Karya singkat yang sangat sederhana ini, saya persembahkan kepada orang tua yang
tercinta, Ayah Julkifli dan Ibu St Maryam, yang sangat besar kasih dan sayangnya
tidak akan mungkin mampu untuk dinilai dan diperhitungkan.
Kemudian abang-abang saya , Rusdianto, Junaidi, M Ali malar dan Taufik hidayat,
SH. yang ikut menyokong dalam penyelesaian skripsi ini.
Mudah-mudahan Allah dapat menyisakan umur mereka berdua dan kami semua
hingga sampai pada titik akhir dari perjuangan ini, dan dapat merasakan manisnya
buah dari perjuangan ini. Sungguh kekuatan yang terkuat itu adalah kekuatan yang
diberikan oleh mereka berdua, serta atas izin Allah Swt. Harapannya adalah kami
berbahagia sekeluarga didunia lebih-lebih di akhirat kelak.
Kemudian, kepada Pon-Pes Nurul Jadid Rambutan Masam. Tempat pertama saya
dikenalkan dan diberikan jalan menuju tuhan semesta alam. Yang telah menanamkan
nilai Iman dan Ketaqwaan didalam jiwa saya ini.
Begitu banyak pelajaran yang saya timba disana harapannya Allah-lah yang akan
membalas segala macam kebaikan ustadz-ustadzah semua.
Telebih khusus kepada datuk KH, Syamsuddin Ali selaku Pimpinan Pon-Pes Nurul
Jadid Rambutan Masam Kec. Muara Tembesi Kab. Batanghari. Jambi.
Yang terakhir adalah untuk semua temanku yang satu kelas ILHA angkatan tahun
2018.
Mudah-mudahan Allah selalu melindungi kami semua dan memberikan jalan serta
peluang kesuksesan bagi kami semua, tidak sebatas sukses di dunia melainkan sukses
dunia sampai akhirat, karena kesuksesan yang sebenarnya adalah kesuksesan di
akhirat ketika kita bisa berjumpa dengan junjungan kita yakni Rasulullah
Muhammad Saw dan melihat wajah Allah Swt.
KATA PENGANTAR
Adapun tujuan dan maksud penulis ini adalah sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam ilmu hadis Universitas Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Penulis Skripsi ini telah selesai juga berkat dukungan dari berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
Ayahanda Julkifli dan Ibunda St Maryam serta segenap keluarga dan orang terdekat
yang telah membantu dan memotivasi penulis dalam penyelesaian Studi di UIN STS
Jambi ini. Tak lupa pula rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan
kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Su’aidi Asy’ari, MA., Ph. D selaku Rektor UIN STS
Jambi.
2. Ibu Dr. Rofiqoh Ferawati, SE., M. EI, Bapak Dr As’ad Isma, M. pd, dan
Bapak Bahrul Ulum, S. Ag., MA selaku wakil Rektor I, II dan III Universitas
Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Bapak Dr. Abdul Halim, M. Ag Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi
Agama.
4. Bapak Dr. Masiyan, M. Ag Bapak Edy Kusnadi M. Phil dan Bapak Dr. M. Ied
Al-Munir M. Hum selaku Wakil Dekan I, II dan III yang senantiasa
membimbing penulis selama menempuh perkuliahan.
5. Ibu Ermawati S. Ag., MA selaku Ketua Prodi Ilmu Hadis UIN STS Jambi.
6. Bapak Akbar Imanuddin, S. Th. I., M.Ud selaku pembimbing Akademik.
7. Ibu Ermawati, S. Ag., MA selaku pembimbing I yang telah banyak
memberikan kontribusi dan waktu demi terselesaikannya Penulisan Skripsi ini.
8. Bapak Mohd. Kailani, S.Ud., m.Ud selaku pembimbing II yang telah banyak
memberikan kontribusi dan waktu demi terselesaikannya Penulisan skripsi ini.
9. Bapak kepala perpustakaan Ushiluddin dan Studi Agama, beserta staf-stafnya
yang telah memberikan pinjaman buku kepada penulis.
10. Orangtua dan keluarga yang telah memberikan motivasi tidak henti hingga
menjadi kekuatan penguatan pendorong bagi penulis dalam penyelesaian
skripsi ini.
11. Seluruh teman-teman Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama umumnya, dan
prodi Ilmu Hadis Angkatan 2018 khususnya.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
DAFTAR ISI
NOTA DINAS ………………………………………………………………………
PENGESAHAN …………………………………………………………………….
MOTTO ……………………………………………………………………………...
ABSTRAK ………………………………………………………………………….
PERSEMBAHAN …………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………………….
B. Permasalahan ………………………………………………………………….
C. Batasan Masalah ……………………………………………………………….
D. Tujuan dan Mamfaat Penelitian ……………………………………………….
E. Tinjauan Pustaka ………………………………………………………………
F. Metode Penelitian ……………………………………………………………..
G. Sistematika Penulisan …………………………………………………………
A. Kesimpulan ………………………………………………………………..
B. Saran ……………………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA
CURRICULUM VITAE
TRANSLITERASI1
A. Alfabet
1
Tim Penyusun, Panduan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
IAIN STS Jambi (Jambi:Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi, 2014), 136-137
Arab Indonesia Arab Indonesia
ا A ط Th
ب B ظ Zh
ت T ع ‗a
ث Tsa غ Gh
ج J ف F
ح H ق Q
خ Kh ك K
د D ل L
ذ Dz م M
ر R ن N
ز Z ه H
س S و W
ش Sy ء A
ص Sh ي Y
ض Dh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits2 atau Sunnah3 merupakan salah satu sumber ajaran islam yang
menduduki posisi yang sangat signifikan, baik secara struktural maupun fungsional.
Secara struktural menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an, namun jika dilihat secara
fungsional, ia merupakan bayan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ‘am,
mujmal, atau mutlaq.4
2
Hadis berasal dari bahasa arab; al-Hadits Jamaknya al-Ahadits, al-Ahadithan, dan al-
Hudthan. Secara bahasa kata ini memiliki banyak arti, antara ;lain: al-Jadid (yang baru) dan al-Khabar
(kabar atau berita). Lihat Endang Soetari, Ilmu Hadis (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), cet. 2, h. 1.
3
Sunnah secara etimologi bearti “tata cara”. Walaupun secara bahasa Hadis dan Sunnah
berbeda, akan tetapi dari sudut terminologis menurut ahli hadis tidak membedakan keduanya. Menurut
mereka baik perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat beliau dan sifat-sifat ini baik berupa
sifat-sifat fisik, moral, maupun prilaku, dan hal itu baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun
sebelumnya. Lihat Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet. Ke-5, h.32-
33.
4
Said Agil Husain al-Munawwar, Asbabul Wurud (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet.1
h. 3.
5
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), h.14.
6
Al-Faruqi, Prinsip-prinsip Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1997), h.78
Namun banyak faktor yang menjadi pencetus dari kenakalan remaja. Salah
satu yang akan dibahas ini adalah nongkrong dipinggir jalan yang berkaitan dengan
keluarga. Keluarga merupakan sosialisasi manusia yang terjadi pertama kali sejak
lahir hingga pekembangannya menjadi dewasa. Itulah sebabnya sebelum berlanjut
kenakalan remaja yang disebabkan oleh faktor yang lebih banyak lagi, maka akan
lebih baik mulai memeperhatikan dari permasalahan yang paling mendasar yaitu
akibat dari nongkrong tersebut.
7
William J. Goode, Sosiologi Keluarga, terj. Lailahanoum Hasyim (Jakarta: Bina Aksara,
1983), h. 44.
8
Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 89.
9
Darmansyah, Ilmu Sosial Dasar (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 77.
menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungannya,
seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri.10
Kegiatan nongkrong dipingir jalan ini, bukannya dilarang sama sekali. Namun,
karena berada ditempat umum yang terbuka dan bersinggungan dengan kepentingan
banyak orang lain yang juga menggunakan jalan tersebut untuk berbagai keperluan,
maka ada adab-adab yang perlu di perhatikan.11 Asbab hadis ini dijadikan obyek
penelitian ialah adanya pertanyaan dari sahabat tentang hak jalan yuang harus
dipenuhi oleh orang-orang yng duduk dipinggir jalan setelah mereka menyatakan
keberatan atas larangan Nabi Saw.12
ار ع َْن أَبِي ٍ ~~ز يَ ْعنِي ا ْبنَ ُم َح َّم ٍد ع َْن زَ ْي~ ٍد يَ ْعنِي ا ْبنَ أَ ْس~لَ َم ع َْن َعطَ~~ا ِء ْب ِن يَ َس ِ ~َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ َم ْسلَ َمةَ َح َّدثَنَا َع ْب~ ُد ْال َع ِزي
هَّللا
ت قَ~~الوا يَ~~ا َر ُس~و َل ِ َم~~ا بُ~ َّد لَنَ~~ا ِم ْن ُ ُّ
ِ وس بِالط ُرقَا ُ ْ
َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم قَا َل إِيَّا ُك ْم َوال ُجل
َّ َ ِ َس ِعي ٍ~د ْال ُخ ْد ِريِّ أَ َّن َرسُو َل هَّللا
ِ ~ق الطَّ ِري
~ق يَ~~ا ُّ ~ق َحقَّهُ قَالُوا َو َم~~ا َح َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ ْن أَبَ ْيتُ ْم فَأ َ ْعطُوا الطَّ ِريَ ِ ال َرسُو ُل هَّللا َ َث فِيهَا فَقُ َم َجالِ ِسنَا نَت ََح َّد
13 ْ
ُوف َوالنَّ ْه ُي ع َْن ال ُم ْن َك ِر ْ َ أْل
ِ ف ا َذى َو َر ُّد ال َّساَل ِم َوا ْم ُر بِال َم ْعر َ أْل ُّ ص ِر َو َك ْ
َ َال غَضُّ الب َ َُول هَّللا ِ ق َ َرس
Eva Emania Elisa, “Kenakalan Remaja: Penyebab dan Solusinya”, artikel ini di akses
10
B. Permasalahan
C. Batasan Masalah
E. Kajian Pustaka
Salah satu fungsi kajian pustaka adalah sebagai pembeda antara penelitian satu
dengan penelitian lainnya. Untuk menghindari terjadinya pembahasan pada penelitian
ini dengan penelitian yang lain, terlebih dahulu penulis menelusuri kajian-kajian yang
pernah dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan
menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat metodologi atau pendekatan yang
sama, sehingga kajian yang penulis lakukan tidak terkesan plagiat dari kajian yang
telah ada.
Kajian yang penulis lakukan dalam penelitian ini berbeda dengan yang
dilakukan oleh Akhmad Nggufron, walaupun membahas tema yang hampir sama tapi
Akhmad Nggufron hanya fokus pada sanad dan matan hadis, sedangkan penelitian ini
lebih fokus mendalami faktor penyebab dan dampak nongkrong serta bagaimana
kualitas hadis tersebut dan bagaimana memandang kebiasaan nongkrong yang sering
dilakukan oleh masyarakat khususnya para remaja yang sering dijumpai dipinggir
jalan (siang ataupun malam), sehingga Nabi perlu memberi batasan seperti apa
nongkrong yang dianjurkan serta mentakhrij hadis tersebut dan menjelaskan faedah
hadits dan istimbath hukum serta kehujjahan hadits julus fi al-thariq.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah salah satu cara atau teknis yang dilakukan dalam
penelitian ilmiah yaitu proses dalam ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk
memproleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan hati-hati dan sistematis untuk
mewujudkan kebenaran.15 Dalam penulisan penelitian ini,penulis menggunakan
Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara mengkaji dan menelaah sumber atau buku-buku yang ada relevansinya dengan
tema yang akan dikaji lebih dalam. 16 Karena data yang digunakan berasal dari bahan-
bahan kepustakaan.
Adapun jenis-jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yang diambil
yaitu dua jenis data, data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
b. Data sekunder
Sedangkan data sekunder,18 yaitu sumber data yang di ambil dari kiab-kitab
hadits lain dan kitab syarahnya serta data penunjang yang memberikan informasi
tambahan tentang topik yang dibahas, berkaitan dengan nongkrong seperti
Kenakalan Remaja, Problematika Remaja, Kriminologi Remaja serta buku-buku
yang bersifat melengkapi seperti yang sejenisnya.
G. Sistematika Penulisan
Bab III Julus fi al-thariq dalam perspektif hadis yang meliputi pemaknaan
lapadz Julus fi al-thariq, hadits Julus fi al thariq dan Asbab al-wurudnya serta takhrij
hadits tentang Julus fi al-thariq.
Bab V, merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan yang didasarkan pada
keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,
juga memuat saran-saran yang diperlukan.
BAB II
1. Faktor Internal
21
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Jakarta: Citra Press, 2001), h.
123.
22
Sari Yunita, Fenomena dan Tantangan Remaja Menjelang Dewasa (Yogyakarta: Brilliant
Books, 2011), h. 30-31.
Krisis identitas: Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja
memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan
konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan
remaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.
2. Faktor Eksternal
Faktor ini sangat berpengaruh besar terhadap remaja saat ini, antara lain:
23
Atmasasmita Romli, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja (Bandung: Yuridis Sosk
Kriminologi, 1993), h. 56.
24
Jhon W santrock, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), h. 114.
Tujuan utama nongkrong dalam kegiatan positif adalah meningkatkan generasi
muda yang berakhlak mulia, bermoral yang baik, dan berbudi pekerti yang baik,
sedangkan tujuan yang lain adalah menunjang kreativitas generasi muda dan
mengikuti semua kegiatan yang baik guna melancarkan komunikasi antar pelajar,
disamping itu juga meningkatkan minat siswa dan mengembangkan bakat pada diri
siswa, namun bila dikaitkan program di sekolah tujuan “nongkrong” yang bersifat
positif adalah:
1. Menanamkan rasa cinta kepada sang pencipta contohnya mengikuti kegiatan
Rohis (Rohani Islam) seperti pengajian tentang kajian keislaman.
2. Mempererat tali silaturrahmi antar pelajar.
3. Mengarahkan siswa agar tidak terjerumus pada hal-hal yang negatif.
4. Membentuk hubungan ukhuwah Islamiyah yang erat dan kuat.
5. Meningkatkan rasa kepedulian antar siswa.
Hal yang sering dijumpai ketika ada satu perrkumpulan biasanya pembahasan
yang mereka bicarakan tidak luput dari membicarakan seseorang terlebih mereka
sering membahas tentang kekurangannya. Inilah yang dikhawatirkan pula oleh Nabi
Saw sehingga beliau pun juga menganjurkan untuk menjauhi nongkrong di pinggir
jalan (Julus fi al thariq) sebab tepi jalan adalah majelis setan seperti hadis beliau yang
berbunyi;
“Sesungguhnya (tepi) jalanan itu adalah salah satu dari jalan-jalan setan atau
neraka”.25
Berkumpul tanpa tujuan yang jelas, tentu saja menyebabkan membuang waktu
yang sangat beharga dengan percuma. Ketika hal ini dilakukan di pinggir jalan, maka
tidak hanya membuang waktu, kemungkinan untuk menimbulkan keburukan juga
25
Lihat Fath al-Bari, 11/12-13
meningkat. Beberapa kegiatan/aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang yang suka
nongkrong antara lain sebagai berikut:
ُّوب َوقُتَ ْيبَةُ َوابْنُ حُجْ ٍر قَالُوا َح َّدثَنَا ِإ ْس َم ِعي ُل ع َْن ْال َعاَل ِء ع َْن أَبِي ِه ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ أَ َّن َ َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ أَي
َ ~ك أَخَ~ اكَ بِ َم~~ا يَ ْك~ َرهُ قِي
~ل َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل أَتَ ْدرُونَ َما ْال ِغيبَ~ةُ قَ~الُوا هَّللا ُ َو َر ُس~ولُهُ أَ ْعلَ ُم قَ~ا َل ِذ ْك~ ُر
َ ِ َرسُو َل هَّللا
27 َّ
ُأَفَ َرأَيْتَ ِإ ْن َكانَ فِي أ ِخي َما أقُو ُل قَا َل ِإ ْن َكانَ فِي ِه َما تَقُو ُل فَقَ ْد ا ْغتَ ْبتَهُ َوإِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن فِي ِه فَقَ ْد بَهَته
َ َ
Dikisahkan Yahya bin Ayyub dan Qutaiba dan Ibn Hajar mengatakan Ismail
memberitahu kami tentang Ala dari Ayahnya dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah Saw telah bersabda: “Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?”
Para sahabat menjawab, “Allah” dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau
bersabda”(Ghibah itu) adalah engkau mengatakan tentang saudaramu
mengenai apa yang ia benci.” Dikatakan kepada beliau: “Apakah pendapatmu
jika yang ada pada saudaraku sesuai apa yang saya katakan.” Beliau bersabda:
“Jika yang ada padanya sesuai apa yang engkau katakana, maka itulah ghibah,
dan jika tidak sesuai yang ada padanya, maka sungguh engkau telah
mendustakannya.” (HR. Muslim).
2. Merokok
Di antara kemaksiatan yang tersebar di tengah masyarakat muslim dan banyak
orang yang terjebak padanya adalah perbuatan nongkrong yang dibarengi dengan
ghibah dan merokok. Tidak tersembunyi bagi orang yang memahami (Maqosid
Syari’ah) kemaslahatan yang diinginkan oleh syari’at bahwa merokok adalah
perbuatan yang diharamkan, hal itu dilihat dari beberapa segi:
Pertama; Rokok termasuk barang yang buruk dan Allah SWT telah berfirman:
“ (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik
28
Kitab al-Samt no 211, berkata Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini: “Rijal-nya (para perawinya)
tsiqah (teroercaya)”.
29
Abu ‘Abdullah Muhammad al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, terj. Fathurrahman
dan Ahmad Hotib, Ta’liq: Muhammad Ibrahim al-Hifnawi, takhrij: Mahmud Hamid ‘Utsman, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008) juz 16, h.109.
30
Muhammad bin al-Amir al-Shan’ani, Subul al-Salam Syarah Bulugh al-Maram (Beirut: Dar
Ibn Jauzi, 1421), h. 45.
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari
mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka Maka
orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran),
mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-A’raf[7]: 157).
Ketiga, Merokok dapat mengganggu kesehatan badan. Dan para dokter telah
memperingatkan dengan keras terhadap akibat merokok ini, mereka berkata, “Rokok
tersebut mengandung beberapa unsur racun, diantaranya adalah racun nikotin, dan
seandainya dua tetes racun ini diteteskan pada mulut anjing maka dia pasti mati pada
saat yang sama, jika diteteskan pada mulut onta sejumlah lima tetes maka dia akan
mati pada saat yang sama dan seorang dokter pernah berkata, “ Sesungguhnya jumlah
nikotin yang terdapat pada satu batang rokok sudah cukup untuk membunuh manusia
jika dituangkan pada manusia melalui urat leher, dan disebutkan dalam sebuah cerita
bahwa dua orang bersaudara saling bertaruh siapakah diantara mereka berdua yang
31
Al-Bukhari no: 5778 dan Muslim no: 109
32
Al-Bukhari no: 6105 dan Muslim: no:110
paling banyak merokok, maka salah seorang dari merekaka mati sebelum mengisap
rokok yang ke tujuh belas dan yang lain sebelum habis mengisap rokok yang ke
delapan belas.
Tidak diragukan lagi bahwa perokok adalah orang yang paling pemboros,
seandainya kita melihat seseorang yang memegang uang ditangannya lalu dia
membakarnya maka kita akan mengatakan bahwa dia gila.
Kelima, merokok akan menimbulkan bau tidak sedap yang bersumber dari
mulut, badan dan pakaian perokok, dia akan menganggu teman duduknya, terlebih
pada saat memasuki masjid dan bercampur dengan orang-orang yang shalat. Nabi
Muhammad Saw telah memerintahkan kepada orang yang menebarkan bau bawang
untuk keluar dari masjid, padahal kedua barang tersebut dihalalkan oleh Allah Swt,
lantas sekeras apakah larangannya jika perkara tersebut berkaitan dengan perokok?.
Dan Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barang siapa yang telah memakan bawang
merah dan bawang putih serta bawang bakung maka janganlah dia mendekati masjid
kita, sebab para malaikat merasa terganggu dengan sesuatu yang bisa menganggu
anak Adam”.34
33
Musnad Imam Ahmad: 1/313
34
Shahih Muslim: no: 564 dan Shahih al-Bukhari: no: 854
Untuk menanggulangi itu semua sekarang sudah terdapat banyak klinik bagi
kecanduan rokok, yang dikelola oleh orang-orang professional, dan Allah Swt
memberikan mamfaat dengan keberadaannya sebab banyak para pecandu rokok
meninggalkan rokok setelah mereka mendatangi poliklinik ini dan berobat dengan
semestinya.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abi Qatadah dan Abi Dahma’ bahwa
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya tidaklah engkau menininggalkan
sesuatu karena Allah kecuali dia akan menggantikan bagimu dengan sesuatu yang
lebih baik darinya”.35
ٍ َب ْب ِن ِدث
ار ع َْن ِ ض َرا ُر بْنُ ُم َّرةَ أَبُو ِسنَا ٍن ع َْن ُم َح
ِ ار ِ ض ْي ٍل َح َّدثَنَا َ َُح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن نُ َمي ٍْر َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ف
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن النَّبِي ِذ إِاَّل فِي ِسقَا ٍء فَا ْش َربُوا فِي
َ ِ ال َرسُو ُل هَّللا َ َال ق َ ََع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن بُ َر ْي َدةَ ع َْن أَبِي ِه ق
اأْل َ ْسقِيَ ِة ُكلِّهَا َواَل تَ ْش َربُوا ُم ْس ِكرًا40
َ ََح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ْال ُمثَنَّى َو ُم َح َّم ُد بْنُ َحاتِ ٍم قَااَل َح َّدثَنَا يَحْ يَى َوه َُو ْالقَطَّانُ ع َْن ُعبَ ْي ِ~د هَّللا ِ أَ ْخبَ َرنَا نَافِ ٌع ع َْن ا ْب ِن ُع َم َر ق
ال
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل ُكلُّ ُم ْس ِك ٍر خَ ْم ٌر َو ُكلُّ َخ ْم ٍر َح َرا ٌمَ َواَل أَ ْعلَ ُمهُ إِاَّل ع َْن النَّبِ ِّي42
Muslim, Shahih Muslim, bab al-Nahl ‘an al-Intibadhi, juz 13, no.286
40
41
Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari dalam CD ROOM al-Maktabah al-Syamilah (Pustaka
Ridwan: 2008) h.34.
42
Lihat Shahih Muslim, hadits no. 3735.
Kemudian kata al-Maysir, dalam bahasa Arab, judi juga disebut الميسرyang
berasal daripada akar kata yasira atau yasura yang bearti menjadi mudah atau yasara
(memudahkan). Hal ini dapat di pahami karena judi menjanjikan keuntungan tanpa
melalui cara yang wajar ebagaimana diajarkan dalam Islam.
Dari al-Sunnah terdapat sabda Rasulullah Saw dalam Shahih al-Bukhari dan
Muslim.
ب قَا َل أَ ْخبَ َرنِي ُح َم ْي ُد بْنُ َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن أَ َّن أَبَا ه َُري َْرةَ قَا َل ٍ ْث ع َْن ُعقَيْل ٍ ع َْن ا ْب ِن ِشهَا ُ َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ بُ َكي ٍْر َح َّدثَنَا اللَّي
ت َو ْال ُع َّزى فَ ْليَقُلْ اَل إِلَهَ إِاَّل هَّللا ُ َو َم ْن قَا َل
ِ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن َحلَفَ ِم ْن ُك ْم فَقَا َل فِي َحلِفِ ِه بِالاَّلَ ِ قَا َل َرسُو ُل هَّللا
َ َك فَ ْليَت
ص َّد ْق َ ْاحبِ ِه تَ َعا َل أُقَا ِمر
ِ صَ ِل
Menceritakan kepada kami Yahya bin Bakir memberitahu kami Laith tentang
‘Aqil Ibn Shihab mengatakan kepada saya Humaid bin ‘Abd al-Rahman
sesungguhnya Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa
yang menyatakan kepada saudaranya, ‘Mari, aku bertaruh denganmu’ maka
hendaklah dia bersedekah” (HR.Bukhari dan Muslim).43
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab kullu lahwi bi ithli idza shahalihi, juz 21, no. 74.
43
Muslim, Shahih Muslim, bab man halafa bi illati wa al-izzi, jiz 5, no. 81.
agar setiap individu mau menghormati dan mematuhi segala perintah yang sudah
ditentukan.44
Berawal dari kegiatan sekedar nongkrong, anak-anak muda yang mengatas
namakan solidaritas akan menciftakan satu perkumpulan demi mendukung aksi
mereka. Menurut beberapa psikolog, remaja itu cendrung hidup berkelompok (geng)
dan selalu igin diakui identitas kelompoknya dimata orang lain. Oleh sebab itu, sikap
prilaku yang muncul diantara mereka itu sulit untuk dilihat perbedaannya. Tidak
sedikit para remaja yang terjrumus kedalam dunia hitam, karena pengaruh teman
pergaulannya. Karena takut dikucilkan dari kelompok/gengnya, maka seorang remaja
cendrung menurut saja dengan segala tindak-tanduk yang sudah menjadi consensus
anggota geng tanpa berfikir lagi plus-minusnya.
Dengan demikian pengertian geng motor adalah “Geng delinquen yang
banyak tumbuh dan berkembang di kota-kota besar, dan bertanggung jawab atas
banyaknya kejahatan dalam bentuk pencurian, perusak milik orang lain, denga
sengaja melangar dan menentang otoritas orang dewasa serta moralitas yang
konvensional, melakukan tindakan kekerasan meneror lingkungan dan lain-lain. Pada
umumnya anak-anak remaja ini sangat agresif sifatnya, suka berbaku hitam dengan
siapapun tanpa suatu sebab yang jelas, dengan tujuan sekedar untuk mengukur
kekuatan kelompok sendiri serta membuat onar ditengah lingkungan”.45 Adapun
Yesmil Anwar Adang membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis yaitu:
1. Kenakalan yang menimbulkan koban fisik pada orang lain: perkelahian,
perkosaan, pembunuhan, dan lain-lain.
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian,
pencopetan, pemerasan dan lain-lain.
3. Kenakaln sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak orang lain:
pelacuran, penyalahgunaan obat.
4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status orang tua
dengan cara mingat dari rumah atau membantah perintah mereka dan
sebagainya.46
44
Mulyana, Kusumah, Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup Kriminologi, (Bandung:
Alumni, 1981), h.14.
45
Yesmil Anwar Adang, Kriminologi, (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 391.
46
Ibid.
BAB III
Pada bab ini adalah bab inti dari penelitian yang penulis lakukan. Penulis
dalam bab ini melakukan metode takhrij hadis (dari segi pemaknaan matan hadits dan
sanad hadits).
Langkah pertama dalam bab ini, Penulis menampilkan makna lafadz hadits
yang akan di teliti. Kegiatan selanjutnya, Penulis akan menampilkan matan hadits
serta terjemahannya. Selanjutnya, Penulis akan melakukan kegiatan takhrij hadits
(untuk memudahkan mengetahui hadits-hadits dengan jalur sanad yang lain, redaksi-
redaksi yang sama, ataupun makna hadits yang sama).
ت ُّ
ِ الط ُرقَا Adalah jama’ dari kata طرق, mufrodnya adalah طريقsehingga kalimat
ini adalah merupakan ( الجمع جمعdobel jama’).
ُّ ال َك
ف Yaitu menahan.
ف اأْل َ َذى
ُّ َك Tidak mengganggu orang yang lewat, baik dengan ucapan maupun
perbuatan.
Ibn Hajar menjelaskan bahwa konteks hadits dapat diketahui bahwa larangan
itu bersifat tanzih (menjauhi hal-hal yang dibenci atau tidak baik), agar orang yag
duduk tidak kewalahan menunaikan kewajibannya. Adapun perintah untuk
menundukkan pandangan adalah sebagai isyarat untuk menghindari fitnah (godaan)
yang ditimbulkan oleh orang yang lewat, seperti wanita dan lainnya. Sedangkan
perintah menahan gangguan adalah sebagai isyarat untuk menjauhkan diri dari
perbuatan menghina dan membicarakan keburukan orang lain. Lalu, perintah
menjawab salam adalah sebagai isyarat untuk menghormati orang lewat. Sementara
amar ma’ruf nahi munkar adalah isyarat untuk menerapkan semua yang diisyaratkan
dan meninggalkan semua yang tidak disyaratkan.47
Ibn Hajar juga menjelaskan bahwa makna hadits di atas terdapat hujjah bagi
mereka yang mengatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan metode sad al-
dzari’ah (menutup pintu kerusakan) hanya merupakan anjuran melakukan perbuatan
yang lebih utama, bukan suatu keharusan, sebab pada awalnya Nabi melarang
nongkrong (duduk-duduk) untuk menghilangkan kerusakan dari akarnya. Namun,
ketika mereka mengatakan “Tidak ada pilihan lain bagi kami kecuali duduk ditempat
itu”.48 Dengan demikian, larangan pertama hanya sebagai bimbingan kepada apa yang
lebih baik, termasuk kebiasaan remaja pada saat ini.
Dari makna lafadz hadits diatas dapat disimpulkan bahwa menolak kerusakan
lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan. Hal itu dikarenakan pada mulanya
Nabi Saw menganjurkan mereka untuk tidak nongkrong dijalanan, meskipun bagi
yang menunaikanhak jalan akan mendapatkan pahala. Yang demikian itu karena
berhati-hati untuk mencapai keselamatan lebih ditekankan dari pada ingin
mendapatkan tambahan kebaikan.49
ار ع َْن أَبِي ٍ يز يَ ْعنِي ا ْبنَ ُم َح َّم ٍد ع َْن َز ْي ٍد يَ ْعنِي ا ْبنَ أَ ْسلَ َم ع َْن َعطَا ِء ب ِْن يَ َس ِ َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ َم ْسلَ َمةَ َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َع ِز
ت قَالُوا يَا رسَو هَّللا ِ َما بُ َّد لَنَا ِم ْن ُّ ِوس ب
ِ الط ُرقَا َ ُصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل إِيَّا ُك ْم َو ْال ُجل َ ِ َس ِعي ٍد ْال ُخ ْد ِريِّ أَ َّن َرسُو َل هَّللا
ِ ق الطَّ ِر
يق يَا َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ ْن أَبَ ْيتُ ْم فَأ َ ْعطُوا الطَّ ِري
ُّ ق َحقَّهُ قَالُوا َو َما َح َ ِ ال َرسُو ُل هَّللا َ َث فِيهَا فَقُ َم َجالِ ِسنَا نَتَ َح َّد
Al-Imam al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, terj.
47
Amiruddin, Fath al-Bari: Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.57.
48
Al-Imam al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, terj.
Amiruddin, Fath al-Bari: Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.57.
49
Ibid.
ِ ُول هَّللا ِ ق الطَّ ِر
َ يق يَا َرس ِ ف اأْل َ َذى َو َر ُّد ال َّساَل ِم َواأْل َ ْم ُر بِ ْال َم ْعر
ُّ ُوف َحقَّهُ قَالُوا َو َما َح َ َُول هَّللا ِ قَا َل غَضُّ ْالب
ُّ ص ِر َو َك َ َرس
ِ ف اأْل َ َذى َو َر ُّد ال َّساَل ِم َواأْل َ ْم ُر بِ ْال َم ْعر
ُوف َ َقَا َل غَضُّ ْالب
ُّ ص ِر َو َك
2. Asbab al-Wurudnya
Asbab al-wurud hadits yang dijadikan sebagai obyek penelitian ialah adanya
pertanyaan dari sahabat tentang hak jalan yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang
duduk di pinggir jalan setelah mereka menyatakan keberatan atas larangan dari Nabi
Saw.52 Dalam redaksi Hadits yang diteliti terdapat susunan kata ( ) والجلوس اياكم, yang
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Madzalim(46), Bab Afnaitu al-Dur wa al-Julus
50
Fiha(22). Lihat Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Al-Lu ‘lu wa Marjan Fima Ittaqafa ‘Alaihi al-
Shaikhani al-Bukhari wa Muslim, terj. Arif Rahaman Hakim, Kumpulan Hadis Shahih Bukhari-
Muslim (Sukaharjo Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2013), cet. 11, h. 641-642
51
Arent Jan Wensinnck, Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, Leiden: Brill,
1926, juz 1, h. 259.
52
Ibn Hamzah al-Husaini al-Hanafi, Al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-
Sharif, vol. 2 (Madinah: Al-Thaqafah, 1999), h. 118.
menurut ulama ahli nahwu disebut sebagai susunan ير الثحذ. Tahzir adalah ungkapan
untuk untuk mengingatkan mukhatab agar menjauhi hal yang dibenci. Pada dasarnya
susunan tahdzir mencakup pada tiga hal, yaitu: 1) Al-Muhadhdhir, ialah orang yang
mengingatkan; 2) Al-Muhadhdar, ialah orang yang diingatkan; dan 3) Al-Muhadhdar
minhu, ialah sesuatu yang diharapkan untuk dijauhi.53 Tiga komponen diatas apabila
diterapkan dalam susunan tahzir yang terdapat dalam matan Hadits, maka al-
Muhadhdhir-nya adalah Rasulullah Saw. Sedangkan al-Muhadhdar-nya adalah
sahabat Nabi, dan Muhadhdhar minhu-nya adalah berbentuk aktifitas duduk-duduk di
jalan. Substansi makna yang terkandung dalam Hadits tersebut pada dasarnya berisi
larangan untk melakukan aktifitas duduk-duduk di pinggir jalan. Hal ini bisa dilihat
dari adanya tegur Nabi kepada para sahabatnya yang sedang melakukan aktifitas
duduk-duduk di pinggir jalan.
Imam al-Qurtubi berkata bahwa para ulama memahami larangan tersebut buka
ْ
bersifat haram, tetapi larangan tersebut lebih mengarah pada الذراىع ( سدmencegah
sesuatu yang menjadi perantara timbulnya perbuatan negatif) dan menunjukkan
sesuatu kebaikan.54
53
Jamal al-Din ‘Abdullah bin Hisham, Audlah al-Masalik, vol. 4 (Lebanon: Dar al-Fikr,
1994), h. 70.
54
Badr al-Din Abi Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Aini, ‘Umdah al-Qari Sharh Shahih
al-Bukhari, vol. 13 (Lebanon: Dar al-Fikr, t.th), h. 13.
55
[Lihat Fath al-Bari, 5/135].
didukung oleh apa yang tersebut dalam Mursal Yahya bin Ya’mur, disana terdapat
kata-kata maka mereka mengira bahwa hal itu merupakan keharusan (kewajiban).56
Perkataan jika kalian tidak bisa melainkan harus duduk-duduk, maka berilah
hak jalan tersebut. Ibn Hajar berkata, “Dari alur pembicaraan ini jelaslah, bahwa
larangan (duduk-duduk di tepi jalanan atau semisalnya) dalam hadits ini adalah untuk
tanzih (yang bermakna makruh bukan haram), agar tidak mengendurkan orag yang
duduk-duduk untuk memenuhi hak (jalan) yang wajib ia penuhi”. Imam al-Nawawi
rahimahullah berkata, “dan maksudnya adalah bahwa duduk-duduk di tepi jalan itu di
makruhkan”.57
Menurut Al-Qadli ‘Iyad, larangan ini tidak menunjukkan hukum wajib sebab
jika di fahami demikian niscaya para sahabat tidak menyatakan rasa keberatannya atas
ُ َما بُ َّد لَنَا ِم ْن َم َجالِ ِسنَا نَتَ َح َّدungkapan inilah yang menjadi
larangan Nabi seraya berkata: ث فِيهَا
landasan bahwa larangan itu tidak wajib. Al-Hafizh Ibn Hajar berkata bahwa
pernyataan sahabat tersebut mengandung kemungkinan ada harapan sahabat supaya
hukum larangan tersebut di-naskh oleh Nabi Saw.58 Mendengar keberatan para
sahabatnya atas larangan itu, maka Nabi Saw mensyaratkan pada mereka beberapa hal
َ إِ ْن أَبَ ْيتُ ْم فَأ َ ْعطُوا الطَّ ِري
yang harus di patuhi ketika duduk-duduk dijalan seraya bersabda: ق
ِ ق الطَّ ِر
يق ُّ َحقَّهُ قَالُوا َو َما َحagar terhindar dari hal-hal yang bisa menimbulkan kerusakan.
Maksudnya adalah jika seseorang tidak dapat menghindar kecuali harus duduk-duduk
di jalan untuk mengadakan perjanjian, membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan
urusan-urusan agama maupun kemaslahatn urusan dunia, dan menghibur diri dengan
berbicara sesuatu yang diperbolehkan oleh Syara’, maka ia harus mematuhi hak-hak
jalan yang diajarkan oleh Nabi Saw.59
56
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Shahih Bukhari, vol. 11
(Lebanon: Dar al-Fikr, 1996). h. 11.
57
[Fath al-Bari, 5/135].
58
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Shahih Bukhari, vol. 11
(Lebanon: Dar al-Fikr, 1996). h. 11.
59
Ibid. h. 11
dibolehkannya duduk di pinggir jalan. Dengan demikian, jelaslah perbedaan antara
larangan Nabi Saw dan pembolehannya. Hadits ini juga menunjukkan boleh
mempergunakan jalan-jalan umum untuk menjalankan aktifitas selama tidak
menimbulkan bahaya bagi para pengguna jalan.60
Secara akal hak-hak yang harus dipenuhi tersebut bukan hak yang harus
diberikan kepada jalan tetapi hak tersebut merupakan hak yang harus diterima oleh
para penggua jalan. Karena jalan merupakan benda mati yang tidak mungkin untuk
dapat menerima hak-hak tersebut. Hal ini dianalogikan dengan firman Allah Swt yang
artinya, “dan bertanyalah pada desa”, secara logikaa tidak mungkin seseorang
bertanya pada desa yang merupakan benda mati, tetapi yang dimaksud adalah
bertanya pada penduduk desa tersebut.
Oleh karena itu Nabi memberi batasan kepada ummatnya yang gemar Julus fi
al-thariq/nongkrong di pinggir jalan seperti: menundukkan pandangan, tidak
mengganggu, menjawab salam dan menyuruh pada keaikan dan melarang kejelakan.
Jika di antara batasan-batasan diatas tidak dapat dipenuhi maka Nabi
menganjurkannya untuk menghindari dari nongkrong di pinggir jalan karena
mudloratnya lebih besar daripada mamfaatnya.
60
Abi Ja’far al-Tahawi, Musykil al-Athar, vol. 1 (Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t,th),
h. 43.
61
Wensich A.J. Mu’jam al-Mufahras li al-Fazh al-Hadits, vol. 1 (Lieden: E.J. Brill, 1936), h.
359
menghasilkan haditsالطريق Sedangkan penelusuran menggunakan kata kunci
tersebut terdapat dalam Shahih Al-Bukhari di kitab al-Isti’dzan; Al-Jami’ al-Shahih
kitab al-Libas dan kitab Salam; dan Musnad bin Hambal.62
Shahih Bukhari
ار ع َْن أَبِي َس ِعي ٍد ْال ُخ ْد ِريِّ ضالَةَ َح َّدثَنَا أَبُو ُع َم َر َح ْفصُ بْنُ َم ْي َس َرةَ ع َْن َز ْي ِد ب ِْن أَ ْسلَ َم ع َْن َعطَا ِء ب ِْن يَ َس ٍ َح َّدثَنَا ُم َعا ُذ بْنُ فَ َ
ت فَقَ~~الُوا َم~~ا لَنَ~~ا بُ~ ٌّد إِنَّ َم~~ا ِه َي ~وس َعلَى ُّ
الط ُرقَ~~ا ِ ص~لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي~ ِه َو َس~لَّ َم قَ~~ا َل إِيَّا ُك ْم َو ْال ُجلُ~ َ ض~ َي هَّللا ُ َع ْن~هُ ع َْن النَّبِ ِّي َ َر ِ
ُ َّ
ق َحقهَا قَالوا َو َما َّ
س فَأ ْعطوا الط ِري َ ُ َ ْ اَّل َ ُ
َم َجالِ ُسنَا نَت ََح َّدث فِيهَا قَا َل فَإ ِ َذا أبَ ْيتُ ْم إِ ال َم َجالِ َ
ْ ْ ص ِر اأْل َ َذى َو َر ُّد ال َّساَل ِم َوأ ْم ٌر بِال َم ْعر ِ
ُوف َونَ ْه ٌي ع َْن ال ُمن َك ِر ْ َ يق قَا َل غَضُّ ْالبَ َ ق الطَّ ِر ِ َ 63ح ُّ
Shahih Muslim
ار ع َْن أَبِي َس ~ ِعي ٍد ْال ُخ~ ْد ِريِّ َح َّدثَنِي ُس َو ْي ُد بْنُ َس ِعي ٍد َح َّدثَنِي َح ْفصُ بْنُ َم ْي َس َرةَ ع َْن َز ْي ِد ْب ِن أَ ْسلَ َم ع َْن َعطَا ِء ْب ِن يَ َس ٍ
ت قَالُوا يَا َرسُو َل هَّللا ِ َما لَنَ~~ا بُ~ ٌّد ِم ْن َم َجالِ ِس~نَا نَت ََح~ َّدثُ الط ُرقَا ِ وس فِي ُّ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل إِيَّا ُك ْم َو ْال ُجلُ َ ع َْن النَّبِ ِّي َ
س فَأ َ ْعطُوا ل
َ ِ َ جْ م ْ
ال اَّل إ م ُ تيْ بَ
ِ َ َ َ ِ َ ْ ِ أ ا َ
ذ إَ ف مَّ ل سو ه ْ
ي َ لعَ ُ هَّللا ىَّ ل ص
ِ َ هَّللا ل
ُ ُو س فِيهَا قَا َل َر
َّ
ُوف َوالن ْه ُي ع َْن ْ َ أْل
ف ا ذى َو َر ُّد ال َّساَل ِم َوا ْم ُر بِال َم ْعر ِ َ َ أْل ص ِر َو َك ُّ ْ
ال غَضُّ البَ َ ُ
ق َحقَّهُ قَالوا َو َما َحقهُ قَ َ
ُّ الطَّ ِري َ
يز بْنُ ُم َح َّم ٍد ْال َم َدنِ ُّي ح و َح َّدثَنَاه ُم َح َّم ُد بْنُ َرافِ ٍع َح َّدثَنَا ْال ُم ْن َك ِر و َح َّدثَنَاه يَحْ يَى بْنُ يَحْ يَى أَ ْخبَ َرنَا َع ْب ُد ْال َع ِز ِ
65
ك أَ ْخبَ َرنَا ِه َشا ٌم يَ ْعنِي ا ْبنَ َس ْع ٍد ِكاَل هُ َما ع َْن َز ْي ِد ْب ِن أَ ْسلَ َم بِهَ َذا اإْل ِ ْسنَا ِد ِم ْثلَهُ ابْنُ أَبِي فُ َد ْي ٍ
ار ع َْن أَبِي ~ز يَ ْعنِي ا ْبنَ ُم َح َّم ٍد ع َْن زَ ْي~ ٍد يَ ْعنِي ا ْبنَ أَ ْس~لَ َم ع َْن َعطَ~~ا ِء ْب ِن يَ َس~ ٍ َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ َم ْسلَ َمةَ َح َّدثَنَا َع ْب~ ُد ْال َع ِزي~ ِ
َ هَّللا
ول ِ َم~~ا بُ~ َّد لنَ~~ا ِم ْن ُ َ
ت ق~~الوا يَ~~ا َر ُس~ َ َ ُّ
وس بِالط ُرقا ِ ْ
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم قا َل إِيَّاك ْم َوال ُجل َ
ُ ُ َ َّ َس ِعي ٍ~د ْال ُخ ْد ِريِّ أَ َّن َرسُو َل هَّللا ِ َ
ق الطَّ ِري~ ِ
~ق يَ~~ا ق َحقَّهُ قَالُوا َو َم~~ا َح~ ُّ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ ْن أَبَ ْيتُ ْم فَأ َ ْعطُوا الطَّ ِري َال َرسُو ُل هَّللا ِ َ ث فِيهَا فَقَ ََم َجالِ ِسنَا نَت ََح َّد ُ
66
َ ْ ْ ْ َّ
ُوف َوالن ْه ُي عَن ال ُمنك ِر ْ َ أْل اَل ُّ
ص ِر َوكف ا ذى َو َرد ال َّس ِم َوا ْم ُر بِال َم ْعر ِ َ َ أْل ُّ َ ْ
ال غَضُّ البَ َ ُول هَّللا ِ قَ َ َرس َ
Sunan Al-Tirmidzi
63
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, vol. 3 (Lebanon: Dar al-Fikr, 2000), h. 103.
64
Ibid…, vol, 7, 126
65
Muslim, Al-Jami’ al-Shahih, vol. 7 (Lebanon: Dar al-Fikr, tt), h. 2.
66
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, vol. 1 (Lebanon: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah, 1996), h. 476.
67
Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, vol. 4 (Lebanon: Dar al-Fikr, 1994), h. 333.
Shahih Al-Darimi
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم َّر ق ع َْن ْالبَ َرا ِء أَ َّن َرس َ
ُول هَّللا ِ َ أَ ْخبَ َرنَا أَبُو ْال َولِي ِد الطَّيَالِ ِس ّي ُ َح َّدثَنَا ُش ْعبَةُ َح َّدثَنَا أَبُو إِ ْس َح َ
ظلُو َم قَ َ
ال ار فَقَا َل إِ ْن ُك ْنتُ ْم اَل بُ َّد فَا ِعلِينَ فَا ْهدُوا ال َّسبِي َل َوأَ ْف ُشوا ال َّساَل َم َوأَ ِعينُوا ْال َم ْ ص ِ س ِم ْن اأْل َ ْن َ بِنَاس ٍ ُجلُو ٍ
ق ِم ْن ْالبَ َرا ِءيث أَبُو إِ ْس َح َُ 68ش ْعبَةُ لَ ْم يَ ْس َم ْع هَ َذا ْال َح ِد َ
ال قَ َ
ال ار ع َْن أَبِي َس ِعي ٍد ْال ُخ ْد ِر ِّ
ي قَ َ َح َّدثَنَا َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن َح َّدثَنَا ُزهَ ْي ُر بْنُ ُم َح َّم ٍد ع َْن َز ْي ِد ْب ِن أَ ْسلَ َم ع َْن َعطَا ِء بْن ِ يَ َس ٍ
ت قَالُوا يَا َرسُو َل هَّللا ِ َما لَنَا ِم ْن لط ُرقَا ِوس فِي ا ُّ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِيَّا ُك ْم َو ْال ُجلُ َ َرسُو ُل هَّللا ِ َ
يق قَا َل َّ
ق الط ِر ِ هَّللا
ُول ِ فَ َما َح ُّ ُ
ق َحقهُ قَالوا يَا َرس َ َّ َّ ُ
س فَأ ْعطوا الط ِري َ َ ْ َ َ
ث فِيهَا قَا َل فَأ َّما إِ َذا أبَ ْيتُ ْم إِاَّل ال َمجْ لِ َ َم َجالِ ِسنَا بُ ٌّد نَتَ َح َّد ُ
ْ
ُوف َوالنَّ ْه ُي ع َْن ال ُم ْن َك ِر ْ َ أْل
ف ا َذى َو َر ُّد ال َّساَل ِم َوا ْم ُر بِال َم ْعر ِ َ أْل ص ِر َو َك ُّ 69غَضُّ ْالبَ َ
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ي ع َْن النَّبِ ِّي َ ار ع َْن أَبِي َس ِعي ٍد ْال ُخ ْد ِر ِّ ك َح َّدثَنَا ِه َشا ٌم ع َْن َز ْي ٍد ع َْن َعطَا ِء ْب ِن يَ َس ٍ َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َملِ ِ
ُ هَّللا
ت قَالوا يَا َرسُو َل ِ َما لَنَا ِم ْن َم َجالِ ِسنَا بُ ٌّد نَت ََح َّدث فِيهَا قَال ُ قا ِ ُّ
وس بِالط ُر َ ال إِيَّا ُك ْم َو ْال ُجلُ َ قَ َ
ُوف َ
ِ ر عْ م ْ
ال ب
َ ْ ِ َ ر
ُ م َ أْلا و ى َ
ذ َ أْلا ُّ
ف كَ و ر
َ َ ِ َص بالْ َضُّ غ ل اَ ق هَّللا
ِ ِ َ َ َ ِ َ ل ُوس ر ا ي يقرَّ الط ُّ
ق ح ا
َ َ َم و وا ُ ل اَ ق ا ه
َ َ َّ ق ح قَ ي رِ َّ الط واُ ط ْ
ع فَأ َ
َوالنَّ ْه ُي ع َْن ْال ُم ْن َك ِر 70
Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, vol. 3 (Lebanon: Dar al-Kutub
69
Pada penyajian kualitas para perawi, penulis menggunakan teori yang pertama
yakni al-jarh didahulukan atas ta’dil karena yang men-jarh mengetahui sesuatu
yang tidak diketahui oleh mu’addil. Sedangkan yang dijadikan dasar oleh mu’addil
adalah persangkaan baik semata. Dibawah ini akan disajikan penjelasan tentang
kualitas para periwayat dan persambungan sanad antara seorang murid dan
gurunya.
71
Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, vol.10,
(Lebanon: Dar al-Fikr, 1994), h. 487.
72
Ibid., vol. 12, 69.
73
Ibid., vol. 6, 343.
Murid-murid beliau antara lain: Al-Bukhari, Ya’qub bin ‘Ubaid, Ya’qub
bin Saibah, Ya’qub bin Sufyan, Hilal bin Bisyr al-Bashry, Abu Hatim Muhammad
bin Idris al-Razy dan Muhammad bin Musa al-Balkha.74
74
Ibid., vol. 18, 175.
75
Ibid., vol. 5, 71.
Guru-guru beliau antara lain: Abdullah bin Numair, Abndur Rahman bin
Mahdi, Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi, Abdul Wahid bin Ziyad dan
Fudlail bin ‘Iyadl.
Murid-murid beliau antara lain: Al-Bukhari, Muslim, Ishaq bin Rahawaih,
Ahmad bin Salam al-Naisaburi, Abdullah bin Abdur Rahman, al-Darimy dan
Ubaidillah bin Fadlalah bin Ibrahim al-Nasa’i.76
76
Ibid., vol. 20, 235.
77
Ibid ., vol. 11, 524
78
Ibid ., vol. 3, 205
Murid-murid beliau antar lain: Al-Bukhari, Muslim,, Abu Dawud, Al-
Tirmidzi, Al-nasa’I, Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, Muhammad bin
Nu’aim al-Naisaburi dan Muhammad bin ‘Uqaid al-Khaza’i.79
5. Ibn Abi Fudaik
Nama lengkap beliau ialah Muhammad bin Isma’il bin Muslim bin Abi
Fudaik, Abu Isma’il al-Madani (w. 200 H). Beliau termasuk rijal Al-Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’I, dan Ibn Majah.
Guru-guru beliau antara lain: Musa bin Ya’qub al-Zam’y, Hisyam bin
Sa’d, Muhammad bin Abdur Rahman bin Dzi’b, Muhammad bin Sa’id,
Muhammad bin Hilal al-Madani dan ‘Amr bin Utsman bin Hani’.
Murid-murid beliau antara lain: Muhammad bin Rafi’nal-Naisaburi,
Harun bin Abdullah al-Hammal, Qutaibah bin Sa’id, Muhammad bin Idris al-
Syafi’iy dan Husain bin ‘Isa al-Basthani.80
6. Hisyam ibn Sa’d
Nama lengkap beliau ialah Hisyam bin Sa’d al-Madani, Abu ‘Ubbad (w.
160 H). Beliau termasuk rijal Al-Bukhari ta’liqan, Muslim, Abu Dawud, Al-
Tirmidzi, Al-Nasa’I, dan Ibn Majah.
Guru-guru beliau antara lain: Zaid bin Aslam, Abi Hazim Salamah bin
Dinar, Utsman bin Hayyan al-Dimisyqy, Nafi’ maula Ibn Umar, Muhammad bin
Muslim bin Syihab al-Zuhri dan Abi al-Zubair al-Makky.
Murid-murid beliau antara lain: Abdullah bin Wahb, Muhammad bin
Isma’il bin Abi Fudaik, Mu’awiyah bin Hisyam, Waki’ bin al-Jarah, Abu ‘Amir
al-‘Aqdi dan Mufadldlal bin Fadlalah.81
c. Skema tungal pada Sunan Abi Dawud
83
Ibid., vol. 6, 425.
84
Ibid ., vol. 13, 77.
Murid-murid beliau antara lain: ‘Atab bin Hunain, ‘Atha’ bin Abi Rabah,
‘Atha’ bin Abi Yazid, ‘Atha’ bin Yasar, Yasr bin Sa’id, Jabir bin Abdullah, Al-
hasan al-Bashri dan Hafsh bin ‘Ashim.85
6. Musaddad bin Musarhad
Nama lengkap beliau ialah Musaddad bin Musarhad bin Musarbal bin
Mustaurad al-Asady (w. 228 H). Beliau termasuk thabaqat X dari kubbar al-
akhidzin min tubba’ al-atba’. Musaddad termasuk rijal Al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Al-Tirmidzi dan Ibn Majah.
Guru-guru beliau antara lain: Ismail ibn ‘Ulayyah bin Khalid, Bisyr ibn al-
Mufadldlal, Juwairiyah bin Asma’, Al-Harits bin ‘Ubaid, Sufuan bin ‘Uyainiyyah
dan Abdullah bin Dawud al-Kharaby.
Murid-murid beliau antara lain: Al-Bukhar, Abu Dawud, Isma’il bin Ishak
al-Qadly, Hammad bin Ishak al-Qadly.86
7. Bisyr ibn al-Mufadldlal
Nama lengkapnya adalah Bisyr bin al-Mufadldlal bin Lahiq al-Raqasyi,
Abu Ismail al-Bashri (w. 186/187 H). beliau termasu thabaqat VIII dari al-Wusta
min atba’ al-tabi’in. beliau termasuk rijal Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-
Tirmidzi Al-Nasa’I, dan Ibn Majah.
Guru-guru beliau antara lain: Abdul Khaliq bin Salamah al-Syaibani,
Abdur Rahman bin Ishak al-Madani, Abdullah bin ‘Aun, Abdullah bin
Muhammad bin ‘Uqail.
Murid-murid beliau antara lain: Musaddad bin Musarhab, Abu al-Walid
Hisyam bin Abdul Malik al-Taylisi.87
8. Abdur Rahman bin Ishaq
Nama lengkapnya adalah Abdur Rahman bin Ishaq bin Abdullah bin al-
Harits bin Kinanah al-Qurasy al-‘Amiri al-Madani. Beliau termasuk thabaqat VI
dari orang-orang yang sezaman dengan para shighar al-tabi’in. Abdur Rahman
termasuk rijal Al-Bukhari fi al-adab al-mufrad, Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmidzi,
Al-Nasa’I dan Ibn majah.
Guru-guru beliau antara lain: Al-Hasan al-Bashri, Zaid bin Abi ‘Attab, Sa’d
bin Ibrahim, Sa’id al-Maqbari, Abi Hazim Salamah bin Dinar al-Madani.
85
Ibid ., vol. 7, 106.
86
Ibid., vol. 13, 473.
87
Ibid., vol. 3, 94.
Murid-murid beliau antara lain: Ibrahim bin Thuhman, Abu Ishaq bin
Muhammad bin al-harits al-Fazari, Isma’il bin ‘Ulayyah dan Bisyr bin al-
Mufadldlal.88
9. Sa’ad al-Maqbari
Nama lengkapnya adalah Sa’id bin Abi Sa’id, Kaisan al-Maqbari (w. 120
H). beliau termasuk thabaqat III al-Wusta min al-tabi’in. Sa’id termasuk rijal Al-
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’I dan Ibn Majah.
Guru-guru beliau antara lain: Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, Abu
Hurairah, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Sa’id l-Maqbari, dan Abi Ishaq al-Qurasy.
Murid-murid beliau antara lain: Abdullah bin Yunus, Abdullah bin Sa’id al-
Maqbari, Abdur Rahman bin Ishaq al-Madani, Abdur Rahman bin Yazid bin
Jabir, Abdul hamid bin Ja’far al-Anshari, dan ‘Ubaidillah bin ‘Umar al-‘Umari.89
Nama lengkapnya adalah Abdur Rahman bin Sakhr, Abdur Rahman bin
Ghanam, Abdullah bin ‘Aids, Abdullah bin ‘Amir dan lain sebagainya (58/59 H).
beliau termasuk thabaqat I shahaby. Abu Hurairah termasuk rijal Al-Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’I dan Ibn Majah.
Guru-guru beliau ialah Rasulullah SAW., Ubay bin Ka’ab, Usamah bin
Zaid bin Haritsah, Bashrah bin Abi Bashrah al-Ghifari, Umar bin al-Khatthab, Al-
Fadl bin al-Abbas, Ka’ab al-Ahbar, Abu Bakar al-Shiddiq dan ‘Aisyah.
Murid-murid beliau antara lain: Al-Aghar Abu Muslim, Bisyr bin Sa’id, Al-
hasan al-bashri, Hafs bin ‘Ashim bin Umar bin al-Khatthab, Humaid bin Abdur
Rahman bin ‘Auf, Sa’id bin Abi Sa’id al-Maqbari dan Abdullah bin ‘Abbas.90
Nama lengkapnya adalah Al-Hasan bin ‘Isa bin Masarjas al-Masarjasi, Abu
Ali al-Naisaburi (w. 240 H). beliau termasuk rijal Muslim, Abu Dawud dan Al-
Nasa’i. Guru-guru beliau antara lain: Jarir bin Abdullah, Hummad bin Qirath al-
88
Ibid., vol. 11, 100.
89
Ibid., vol. 12, 246.
90
Ibid., vol. 12, 262.
Naisaburi, Sufyan bin ‘Uyaynah, Abdullah bin al-Mubarak dan Abdus Salam bin
Harb.
Murid-murid beliau antara lain: Muslim, Abu Dawud, Ibrahim bin Ishaq
bin Yusuf al-Almathi, Abu Ya’la Ahmad bin Ali bin al-Mutsanna al-Mushily dan
Ahmad bin Muhammad bin Salim.91
Guru-guru beliau antara lain: Usamah bin Zaid al-Laitsi, Jarir bin Hazim,
Zakariyya bin Abi Zaidah, Ya’qub bin Qa’qa, Yunus bin Yazid al-Aila dan
Hisyam bin ‘Urwah.
Murid-murid beliau antara lain: Hiban bin Musa al-Marwazi, Al-Hasan bin
‘Isa bin Masarjas, Zakariyya bin ‘Adi, Abdullah bin Utsman ‘Addan dan Ali bin
al-Hasan bin Syaqiq al-Marwazi.92
Nama lengkapnya ialah Jarir bin Hazim bin Abdullah al-Azdy (w. 170 H).
beliau termasuk rijal Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’I
dan Ibn Majah.
Guru-guru beliau antara lain: Ishaq bin Suwaid, Ayyub bin Abi Tamimah
Kaisan, Tsabit bin Aslam, Zaid bin al-Harits bin Abdul Karim, Sulaoman bin
Mahran dan Humaid bin Hilal bin Hubairah.
91
Ibid., vol. 10, 418.
92
Ibid., vol. 10, 446.
93
Ibid., vol. 3, 344.
14. Ishaq bin Suwaid
Nama lengkapnya ialah Ishaq bin Suwaid bin Hubairah al-‘Adawi al-
tamimy al-Bashri (w. 131 H). beliau termasuk rijal Al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud dan Al-Nasa’i.
Guru-guru beliau antara lain: Abdur Rahman bin Abi Bakrah, Abdullah bin
Umar bin al-Khaththab , Ibn Hujair al-‘Adawi, Mu’adzah al-‘Adawiyah an
al-‘Ala, bin Ziyad al-‘Adawi.
Murid-murid beliau antara lain: Isma’il bin ‘Ulayyah, Jarir bin Hazim,
Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, al-Hasan bin Dinar dan Syu’bah bin al-
Hajjaj.94
Ibn Hujair termasuk rawi yang mastur. Beliau meriwayatkan hadits si atas
Umar bin al-Khattab dan menyampaikan hadits tersebut kepada Ishaq bin Suwaid.
Ibn Hujair ini rijal Abu Dawud.
Nama lengkap beliau ialah Umar bin al-Khaththab bin Nufail bin Abdul
‘Uzza bin Rayyah bin Abdullah bin Qirath bin Razan bin ‘Adiy Abu Hafsh (w. 23
H). beliau termasuk rijal Al-Bukhari, Muslim, Abu Daawud, Al-Tirmidzi, Al-
Nasa’I dan Ibn Majah.
Guru-guru beliau ialah Rasulullah SAW., Abu Bakar al-Shiddiq, dan Ubai
bin Ka’ab. Sedangkan murid-murid beliau antara lain: Ibrahim bin Abdur Rahman
bin ‘Auf, Ibn Hujair al-‘Adawi, Abu Bakar bin Sulaiman bin Abi Hatsamah
Abdullah bin Hudzaifah, “Aisyah dan Hafsah binti Umar bin al-Khaththab.95
94
Ibid., vol. 2, 48.
95
Ibid., vol. 14, 50.
4 Abu Dawud Periwayat IV Sanad II
5 Mahmud bin Ghailan Periwayat V Sanad I
6 Al-Tirmidzi Periwayat VI Mukharij Hadits
Nama lengkap beliau adalah Mahmud bin Ghailan al-‘Adawi, Abu Ahmad
al-Marwazi (w. 239). Beliau termauk rijal Al_Bukhari, Muslim, Al-Tirmidzi, Al-
Nasa’I dan Ibn Majah.
Guru-guru beliau antara lain: Abu Dawud al-Tahylisy, Bisyr bin al-Sari,
Abi Usamah Hammad bin Usamah, Sa’id bin ‘Amir al-Dlaba’y, Abdur Razzaq bin
Hammam dan Ubaidillah bin Musa.
2. Abu Dawud
Nama lengkap beliau ialah Sulaiman bin Dawud bin al-Jarud, Abu Dawud
al-Thaylisy al-Bashri (w. 204 H). beliau termasuk rijal Al-Bukhari ta’liqan,
Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’I dan Ibn majah.
Guru-guru beliau antara lain: Aban bin Yazid al-‘Aththar, Jarir bin Hazim,
Hard bin Syadad, Sufyan al-Tsauri, Syu’bah bin al-Hajjaj, Abdullah bin al-
Mubarak dan Abdul Aziz bin Abdullah bin Abi Salamah al-Majisyun.
3. Syu’bah
Nama lengkap beliau ialah Syu’bah bin al-Hajjaj al-Wardy, Abu Bustham
al-Wasithy (w. 160 H). beliau termasuk rijal Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Al-Tirmidzi, Al-Nasa’I dan Ibn Majah.
96
Ibid., vol. 17, 478.
97
Ibid., vol. 8, 34.
Guru-guru beliau antara lain: Ya’la bin ‘Atha’, Abi Ishaq al-Suba’iy, Abi
Bakr bin Hafsh, Abi Bakr bin al-Munkadir, Abi Jamrah al-Dlaba’iy, Abi Imran al-
Jauni dan ‘Abi ‘Aun al-Tsaqafy.
Murid-murid beliau antara lain: Yazid bin Zurai’, Abu Dawud al-Thaylisy,
Abu Amir al-‘Aqdi, Ya’qub bin Ishak al-Khadlramy, Yazid bin Harun dan Yahya
bin Sa’id al-Qatthan.98
4. Abi Ishaq
Nama lengkap beliau ialah ‘Amr bin Abdullah bin ‘Ubaid ibn Abi
Syua’irah al-Handany, Abu Ishaq al-Suba’iy al-Kufy (w. 129 H). beliau termasuk
rijal Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’I, dan Ibn Majah.
Guru-guru beliau antara lain: Al-Aswad bin Yazid al-Nakha’iy, Anas bin
Malik, al-barra’ bin ‘Azib, Jabir bin Samurah, al-harits bin Abdullah al-A’war,
Zaid bin Arqam dan Sa’id bin Zubair.
Murid-murid beliau antara lain: Abu al-Ahwash salam bin Sulaim, Syarik
bin Abdullah, Syu’bah bin al-Hajjaj, Yusuf bin Iahaq bin Abi Iahaq, Muhammad
bin ‘Ajlan dan Umar bin Abi Zaidah.99
5. Al-Bara’
Nama lengkap beliau ialah Al-Bara’ bin ‘azib bin al-harits bin ‘Adi al-
Anshari (w. 72 H). beliau temauk rijal Al-bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-
Tirmidzi, Al-Nasa’I dan Ibn Majah.
Guru-guru beliau antara lain: Rasulullah SAW., Bilal bin Rabah, Ali bin
Abi Thalib, Umar bin al-Khaththab, Abi Ayyub Khalid bin Zaid al-Anshari dan
Tsabit bin Wadi’ah al-Ansari.
Murid-murid beliau antara lain: Abdur Rahman bin Abi Laila, ‘Ubaid bin
al-Barra; bin ‘Azib, ‘Ubaid bin Fairuz, Ady bin Tsabit, abu Ishaq ‘Amr bin
Abdullah al-suba’iy dan Muhammad bin Malik.100
e. Skema tunggal pada Sunan al-Darimy
1. Abdur Rahman
Nama lengkap beliau ialah Abdur Rahman bin Mahdy bin Hissan bin
Abdur rahman al-Anbary (135-198 H). beliau termasuk rijal Al-Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’I dan Ibn majah.
Guru-guru beliau antara lain: Jarir bin Hazim, Hammad bin Salamah,
Dawud bin Qais al-Fara’, Zuhair bin Muhammad, Sufyan al-Tsaury dan Syu’bah
bin al-Hajjaj. Sedangkan murid beliau antara lain Ahmad bin Muhammad bin
Hambal, Ishaq bin Rahawaih, Ishaq bin Manshur al-Kusaj, Abu Khaitsamah
Zuhair bin Harb dan Sufyan bin Waki’ bin al-Jarah.102
BAB IV
101
Ibid., vol. 19, 262.
102
Ibid., vol. 11, 386.
KONTEKSTUALISASI PEMAKNAAN JULUS FI AL-THARIQ DALAM
PERSPEKTIF FAHMIL HADITS
104
Elly M. Setiadi (dkk), Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana Penanda Media
Group, 2007), h. 90.
apabila duduk di pinggir jalan dapat membuat sempit bagi pengguna jalan, tidak
termasuk hal yang di bolehkan oleh Rasulullah Saw. perkara seperti ini hukumnya
sebagaimana yang tercantum dalam hadits Sahl bin Mu’adz al-Juhani dari ayahnya,
“Ketika areal perumahan sudah semakin sempit hingga orang-orang menutup jalan
untuk perumahan, maka beberapa peperangan Rasulullah Saw memerintahkan
untuk diumumkan bahwa barangsiapa yang rumahnya sempit lantas ia menutup
jalan untuk perumahan maka tidk ada jihad baginya”.105
Sesungguhnya beliau berbicara kepada mereka agar mereka benar-benar
berada diatas aturan agama mereka, di atas adab yang berlaku dalam agama mereka,
dan hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam agama mereka. Dan hendaklah ia
mengetahui bahwa tidak ada pertentangan di dalam hukum-hukum tersebut. Dan
setiap makna yang beliau lontarkan kepada mereka yang mengandung lafadz
bertentangan dengan lafadz sebelumya merupakan lafadz yang memiliki makna
yang sejenis dan dicari dari masing-masing kedua makna tersebut. Apabila terdetik
dalam hati mereka adanya pertentangan atau perbedaan, bearti makna tersebut bukan
seperti yang mereka duga. Dan apabila sebagian orang tidaak mengetahui makna
tersebut, itu dikarenakan kelemahan ilmunya, bukan karena adanya pertentangan
sebagaimana apa yang mereka sangka. Sebab Allah telah menjamin tidak ada
pertentangan didalamnya Allah berfirman:
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari
sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (QS.al-
Nisa’[4]: 82).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fath al-Bari’, “Seluruh hadits-hadits
ini mengandung 14 adab yang disusun dalam bait-bait berikut, “Kukumpulkan
beberapa adab untuk mereka yang ingin duduk di pinggir jalan. Dari sabda manusia
terbaik. Tebarkan salam dan ucpan baik, mengucapkan tasymit bagi yang bersin,
membalas salam dengan baik, membantu sesame dan menolong yang teraniaya,
member minum bagi yang haus serta menunjukkan jalan dan kebaikan, menyruh
berbuat baik, melarang kemungkaran dan tidak mengganggu, menundukkan
pandangan dan banyak berdzikir kepada Allah”. Dan termasuk penyebab
terlarangnya duduk di pinggir jalan karena akan berhadapan dengan bahaya fitnah
105
Abu Ja’far ath-Thahawi, Kitab Musykil al-Atsar, juz 1. h. 158.
wanita-wanita muda dan dikhawatirkan munculnya fitnah setelah melihat mereka
padahal para wanita tidak terlarang melitas di jalan-jalan untuk suatu keperluan.
Demikian juga jika ia berada dirumahnya, tentunya ia tidak akan berhadapan dengan
hak-hak Allah dan hak kaum muslimin di mana ia tidak sendirian dan harus
melakukan apa yang wajib dilakukan, seperti ketika ia melihat kemungkaran dan
terhentinya kebaikan, maka pada saat itu seorang muslim wajib menyuruh berbuat
baik dan melarang kemungkaran tersebut. Sebab meninggalkan itu semua bearti
telah berbuat maksiat. Demikian juga, ia akan bertemu dengan orang yang akan
melintas maka mereka harus menjawab salam mereka. Dan mungkin akan membuat
nya bosan jika pelintas yang memberi salam semakin banyak, sementara menjawab
salam itu hukumnya wajib. Jika ia tidak jawab salam tentunya ia akan mendapat
dosa. Oleh karena itu, orang yang diperintahkan untuk tidak menghadang fitnah dan
menyuruh untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan untuk tidak menghadang
fitnah dan menyuruh untuk melakukan sesuatu yang diperkirakan ia sanggup
melakukannya. Untuk menghindari masalah inilah syari’at menganjurkan mereka
agar tidak duduk di pinggir jalan.106
Ketika para sahabat menyebutkan pentingnya tempat tersebut bagi mereka
untuk beberapa maslahat, tempat berjumpa, tempat membincangkan masalah agama
dan dunia atau untuk tempat istirahat dengan berbicara dengan hukumnya , maka
Rasulullah saw menunjukkan kepada mereka perkara-prkara di atas yang dapat
menghilangkan kerusakan yang timbul akibat duduk di pinggir jalan.107
Penjelasan (syarh) Hadits
Suatu saat Rasululah Saw berjalan melewati beberapa orang sahabat yang
seang duduk-duduk dipekarangan rumah. Di antara mereka adalah Abu Talhah ra,
lalu beliau menegur mereka agar tidak melakukan hal itu. Namun para sahabat
menyampaikan kepada Rasulullah Saw, bahwa mereka perlu duduk-duduk untuk
memperbincangkan suatu urusan. Lalu Nabi Saw berpesan kepada mereka, bahwa
jika memang hal itu diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan maka mereka wajib
memenuhi hak-hak orang lain yang melewati mereka, di antaranya yang di sebutkan
dalam hadits Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lainnya ada empat macam hak,
yaitu:
106
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-
Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari,
Pustaka Imam Syafi’I,: 2006, h. 3/330-331.
107
Ibid.,
1. Menundukan Pandangan
َ َ( غَضُّ ْالبgadhda al-basar) bearti menahan, mengurangi atau
Secara bahasa ص ِر
menundukkan pandangan.108 Namun bukan bearti menutup atau memejamkan mata
َ َ غَضُّ ْالبdi sini adalah
hingga tidak melihat sama sekali. Yang di maksud ص ِر
menjauhkan atau menjaga pandangan dari sesuatu yang di haramkan.109 Seperti
melihat wanita-wanita yang melintas atau menggunakan jalan. Memandang pada
sesuatu yang diharamkan rentan dengan timbulnya fitnah dan perbuatan maksiat.
Untuk menghindari timbulnya fitnah tersebut, maka bagi orang-orang yang duduk-
duduk di jalan harus mampu untuk menjaga pandangan mereka dari sesuatu ang
dapat menimbulkan fitnah dan perbuatan dosa.
Nabi Muhammad Saw memerintahkan kepada orang-orang yang sedang
duduk di pinggir jalan untuk menjaga pandangan, agar mereka terhindar dari
timbulnya fitnah sebab memandang orang-orang yang lewat baik laki-laki maupun
perempuan.110
Maka subtansi makna yang terkandung di dalamnya akan memberikan sesuatu
pemahaman tentang hak yang harus diterima oleh para pengguna jalan. Pemahaman
tentang adanya hak tersebut di ambil dari kesimpulan redaksi matan yang
menjelaskan tentang kewajiban bagi oran-orang yang duduk di pinggir jalan.
Ibn Hajar al-Asqalani menceritakan, “Maka Nabi Saw menyebutkan gadhdh
al-basar (menundukkan pandangan) untuk mengisyaratkan keselamatan dari fitnah
karena lewatnya para wanita (yang bukan mahram) maupun yang lainnya.
Menyebutkan kaff al-adha (tidak mengganggu atau menyakiti orang) untuk
mengisyaratkan keselamatan dari perbuatan menghina, mengunjing, orang lain
ataupun yang serupa. Menyebutkan perihal ‘menjawab salam’ untuk mengisyaratkan
keharusan memuliakan atau menghormati orang yang melewatinya. Menyebutkan
perihal ‘memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran’ untuk
mengisyaratkan keharusan untuk mengamalkan apa yang di syari’atkan dan
meninggalkan apa yang tidak disyaria’atkan”.
Berasal dari kata ُّ غَضyang bearti ( كفmenahan) atau ( نقصmengurangi) atau
108
Bagaimana jika tidak sengaja melihat kepada sesuatu yang diharamkan untuk
melihatnya? Jawaabannya ada pada hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu
Dawud tentang pesan Nabi Saw kepada ‘Ali bin Abi Thalib:
Artinya: Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali binAbi Thalib: Wahai ‘Ali,
janganlah engkau ikutkan pandangan pertama dengan pandangan yang lain
(berikutnya), sesungguhnya bagimu pandangan yang pertama tidak pandanan
yang lainnya (berikutnya).
2. Tidak Mengganggu
Abu Tayyib menjelaskan yang di maksud ialah mencegah perbuatan, ucapan,
maupun isyarat yang bisa menyakiti orang-orang yang lewat dan mengauli mereka
dengan baik.114 Defenisi tersebut memberikan suatu pengertian bahwa bagi orang-
orang yang duduk dijalan harus menjauhi segala perbuatan, ucapan maupun isyarat
yang bisa menyakiti para pengguna jalan. Termasuk kategori ف اأْل َ َذى
ُّ َكadalah
Al-Allamah al-Muhaqqiq al-Muhaddits al-Kabir Abu Tayyib Muhammad Shams al- Haq
114
bin Amir Ali bin Maqsud al-Azim Abadi, ‘Aun Al-Ma’bud, ‘Ala Sharh Sunan Abu Dawud, Ta’liq:
Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), vol. 13, h. 116. Juga lihat Ibnu
Hamzah al-Husairi, al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbabi Wurud al-Hadits, vol. 2, h. 118.
menjauhi ghibah, berprasangka buru,, menghina orang yang lewat, mempersempit
jalan, menakut-nakuti dan mencegah orang yang lewat jalan tersebut.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani berkata bahwa kemungkinan yang
dikehendaki dengan ف اأْل َ َذى
ُّ َكialah mencegah seseorang jangan sampai menyakiti
orang lain. Maksudnya, bahwa bagi orang yang duduk dijalan harus mampu untuk
mencegah dirinya maupun orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang dapat
menyakiti orang lain.
Menurut al-Qadli ‘Iyad bahwa yang dikehendaki dengan ف اأْل َ َذى
ُّ َكialah
mencegah dari menyakiti orang-orang yang lewat dengan cara duduk-duduk di jalan
sehingga menyebabkan jalan menjadi sempit. Termasuk ف اأْل َ َذى
ُّ َكadalah berkata
dengan baik. Karena perkataan yang baik bisa menyebabkan keharmonisan
hubungan diantara sesama.115 Nabi Saw, memerintahkan ف اأْل َ َذى
ُّ َكkepada orang-orang
yang duduk di pinggir jalan agar mereka terhindar dari melakukan perbuatan atau
ucapan yang bisa menyakiti orang lain.116
3. Menjawab Salam
Ibn hajar menjelaskan yang dikehendaki dengan َر ُّد ال َّساَل ِمdi sini ialah
menjawab salam dari orang-orang yang lewat yang mengucapkan salam kepadanya.
Dalam menjawab salam ini juga mengindikasikan adanya menghormati kepada
orang-orang yang lewat sehingga mereka merasa aman dan nyaman dalam melewati
jalan.117
Dalam redaksi matan hadits menjelaskan tentang kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh orang-orang yang ingin tetap melakukan aktifitas duduk-duduk di
pinggir jalan. Kewajiban tersebut ialah menjawab salam dari orang-orang yang
lewat.
Redaksi matan tersebut juga memberikan suatu isyarat tentang suatu hak yang
seharusnya diterima oleh para pengguna jalan. Hak tersebut ialah dihormati dan
dijawab salamnya apabila ia mengucapkan salam kepada orang-orang yang duduk di
pinggir jalan.
Sedangkan dalam redaksi hadits lain menyebutkan bahwa termasuk kewajiban
yang harus dilakukan oleh orang-orang yang duduk di pinggir jalan ialah
menebarkan sala. Sebagaimana redaksi Haduits dibawah ini:
115
Ibn Hajar, Fath al-Bari…, vol. 11, 12.
116
Badr al-Din, ‘Umdah…, vol. 13, 13.
117
Ibn Hajar, Fath al-Bari…, vol. 5, 406; Ibn Majah, Al-Bayan wa…, vol. 2, h. 118
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َ ق ع َْن ْالبَ َرا ِء أَ َّن َرس
َ ِ ُول هَّللا َ أَ ْخبَ َرنَا أَبُو ْال َولِي ِد الطَّيَالِ ِس ّي ُ َح َّدثَنَا ُش ْعبَةُ َح َّدثَنَا أَبُو إِ ْس َح
ُ ْ ْ ُ َ ُ ْ َ
ار فَقَا َل إِ ْن ُك ْنتُ ْم اَل بُ َّد فَا ِعلِينَ فَا ْهدُوا ال َّسبِي َل َوأفشوا ال َّساَل َم َوأ ِعينوا ال َمظلو َم ِ صَ س ِم ْن اأْل َ ْن
ٍ َم َّر بِنَاس ٍ ُجلُو
118
Artinya: Uqbah bin Mukram telah menceritakan pada saya, Abu ‘Asim telah
menceritakan pada kami dari Ibn Juraij Tahwil al-Sanad Muhammad bin
Marzuq telah menceritakan kepada saya, Rauh telah menceritakan pada kami,
Ibn Juraij telah bercerita pada kami Ziyad telah menceritakan pada saya
bahwa Tsabit telah bercerita kepadanya, bahwa ia telah mendengar Abu
Hurairah berkata: Rasulullah Sawa bersabda: Hendaknya orang yang naik
kendaraan memberi salam pada orang yang berjalan kaki, orang yang
berajalan mengucapkan salam pada orang yang duduk, dan orang yang
jumlahnya sedikit member salam pada orang yang jumlahnya banyak. (HR.
Muslim no. 4019).
Merealisasikan amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu sebab utama
diperbolehkan kebaikan dan kejayaan oleh pendahulu umat ini (para sahabat),
sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt:
120
Shahih Muslim, no. 2161.
121
Hadits Suanan Abu Dawud, no. 4181.
Banyak berdzikir kepada Allah, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Sahl
bin Hanif ra dalam riwayat al-Tabarani.
Membimbing oran yang binggung, seperti yang terpaparkan dalam hadits
Wahshi bin Harb ra dalam riwayat al-Tabarani.
Kemudian Ibn Hajar mengatakan: “semua yang terdapat dalam hadits-hadits
tersebut ada 14 belas adab”.122 Hal-hal yang tersebut di atas mengandung faedah
tentang kesempurnaan Islam yang mengajarkan kepada umatnya tentang berbagai
aspek kehidupan, termasuk yang berkaitan dengan hak-hak jalan dan adab-adab
ketika duduk-duduk di tempat-tempat yang biasa dilewati oleh khalayak manusia.
Sekaligus menunjukkan kebaikan dan keindahan ajaran Islam, yakni apabila hal-hal
di atas diamalkan oleh manusia, niscaya akan mendatangkan kedamaian dan
ketentraman dalam kehidupan mereka di dunia.
122
Ahmad bin ‘Ali bin hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Shahih Bukhari, vol. 11, h.
13.
1. Memicingkan mata dan mengekangnya dari melihat hal yang haram; sebab
“jalan” juga digunakan oleh kaum wanita untuk lewat dan memenuhi
kebutuhan mereka. Jadi, memicingkan mata atau memejamkan mata dari hal-
hal yang diharamkan termasuk kewajiban yang patut diindahkan dalam setiap
situasi dan kondisi. Allah berfirman: “katakanlah kepada laki-laki yang
beriman: “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS al-Nur[24]:
30).
2. Mencegah adanya gangguan terhadap orang-orang yang berlalu lalang dalam
segala bentuknya, baik skalanya besar ataupun kecil seperti menyakitinya
dengan ucapan yang tidak layak; cacian, makian, ghibah, ejekan dan sindiran.
Bentuk lainnya adalah gangguan yang berupa pandangan kea rah bagian dalam
rumah orang lain tanpa seizinnya. Termasuk juga dalam kategori gangguan
tersebut; bermain bola di halaman rumah orang, sebab dapat menjadi biang
pengganggu bagi tuannya dan lainnya.
3. Menjawab salam; para ulama secara ijma’ menyepakati wajibnya menjawab
salam. Allah Swt berfirman: “Apabila kamu dihormati dengan suatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau
balaslah (dengan yang serupa)…”. (QS al-Nisa’[14]: 86)
Dalam hal ini, seperti yag sudah diketahui bahwa hukum memulai salam
adalah sunnah dan pelakunya diganjar pahala. Salam adalah ucapan hormat
kaum muslimin yang berisi do’a keselamatan, rahmat dan keberkahan serta
ampunan.
4. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar; ini merupakan hak peringkat keempat
dalam hadits diatas secara khusus disinggung disini karena jalan dan
semisalnya merupakan sasaran kemungkinan terjadinya banyak kemungkaran.
5. Banyak nash-nash baik dari al-Kitab maupun al-Sunnah yang menyentuh
prinsip yang agung, diantaranya firman Allah Swt: “Dan hendaklah ada
diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan dan
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar..”. (QS Ali
Imran[3]: 104).
6. Dalam hadits Nabi Saw bersabda: ‘Barangsiapa diantara kamu yang melihat
kemungkaran, maka hendaklah dia mencegahnya dengan tangannya; jika dia
tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan
hatinya; yang demikian itulah selemah-lemah iman”.
Banyak sekali nash-nash lain yang menyebutkan sebagian dari kode etik yang
wajib diketahui dan dipatuhi oleh para pengguna jalan, diantaranya:
1. Berbicara dengan baik
2. Menjawab orang yang bersin (orang yang bersin harus menggucapkaan
Alhamdulillah sedangkan orang yang menjawabnya adalah dengan dengan
menggucapkan kepadanya yarhamukallah).
3. Membantu orang yang mengharapkan bantuan
4. Menolong orang yang lemah
5. Menunjuki jalan bagi orang yang sesat dijalan
6. Member petunjuk kepada orang yang di landa kebingungan
7. Mengembalikan kedzaliman orang yag dzalim, yaitu dengan cara
mencegahnya.
َ ُ ) إِيَّا ُك ْم َو ْال ُجلbiasanya digunakan untuk member peringatan
Kemudian kata ( وس
sebagai perintah agar menjauhi sesuatu yang buruk dan maknanya sama dengan
melarangnya. Jadi maknanya adalah “jauhilah oleh kalian hal tersebut” atau
“janganlah kalian melakukan hal itu”. Seperti dalam sebuah hadits Nabi Saw
bersabda yang artinya, “jauhilah perkataan dusta” atau “janganlah alian berdusta”.
Tapi apakah suatu perintah itu harus bearti wajib, atau apakah suatu larangan harus
bearti haram? berikut penjelasannya.
ُّ ) اadalah bentuk jamak dari ( ) طرق, sedangkan ( ) طرقadalah
ِ لط ُرقَا
1. Kata (ت
bentuk jamak dari ( ) طريقyang artinya adalah jalan. Al-Imam al-Bukhari
menyebutkannya dalam judul bab untuk hadits ini dalam kitab al-Mazalim
dengan ungkapan ( ) ثالصعداguna menunjukkan kesamaan makna antara
keduanya. Hal itu di kuatkah oleh hadits Abu Talhahra dalam Shahih Muslim,
hadits no 2161 ketika Nabi Saw mengungkapkan dengan kata ( ) ثالصعداdan
Imam Muslim menyebutkannya dalam judul bab untuk hadits ini dalam kitab
al-salam dengan kata ( ) طرقالkemudian Imam al-Bukhari dalam judul bab
yang sama di kitab al-Mazalim menyebutkan kata ( ) الزورافنيةyang artinya
adalah pekarangan (halaman rumah), guna menunjukkan lesamaan hukumnya
dengan jalanan (selama pekarangan atau halaman rumah tersebut terbuka dan
biasa dilewati oleh orang banyak). Itu didukung dengan hadits Abu Talhah ra
dan Muslim, keika Abu Talhah berkata:
Artinya : Ketika kami sedang duduk-duduk di halaman (pekarangan rumah),
lalu datanlah Rasulullah Saw kemudian berkata, “Kenapa kalian
duduk-duduk di di (tepi) jalan?”
Sa’id bin Mansur menambahkan dengan menukil dari Mursal Yahya
bin Ya’mur ungkapan sebagai berikut:
Artinya : sesungguhnya (tepi) jalanan itu adalah salah satu dari jalan-jalan
setan atau neraka.123
Itulah alasan kenapa Nabi Saw melarang mereka duduk-duduk di tepi
jalanan atau semisalnya. Termasuk pula warung-warung dan balkon-balkon yang
tinggi yang berada di atas orang-orang yang lewat.124
1. Perkataan para sahabt “sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk
berbincang-bincang” Dalam riwayat Muslim (hadits no 2161) dan hadits Abu
Talhah ra terdapat tambahan kata-kata “dan saling mengingatkan
(menasihati)” Dari riwayat ini pula diketahui, bahwa mengucapkan perkataan
tersebut adalah Abu Talhah. 125 Al-Qadl ‘Iyad berkata, dalam perkataan sahabat
tersebut terdapat dalil yang menunjukkan bahw perintah Rasulullah Saw
kepada mereka itu tidak untuk kewajiban melainkan bersifat anjuran dan
keutamaan karena kalau mereka memahami sebagai kewajiban, tentu mereka
tidak akan merajuk kepada Rasulullah Saw seperti itu. Dan hal ini dijadikan
dalil oleh mereka yang berpendapat bahwa perintah-perintah itu tidak
mengandung kewajiban. Ibn Hajar berkomentar: “Namun, ada kemungkinan
bahwa mereka mengharapkan adanya naskh (penghapusan hukum kewajiban
tersebut) untuk meringankan apa yang mereka adukan perihal keperluan
mereka melakukan itu, dan hal ini didukung oleh apa yang tersebut dalam
Mursal bin Yahya bin Ya’mur, di sana terdapat kata-kata maka mereka
mengira itu merupakan keharusan (kewajiban)”.126
2. Perkataan “jika kalian tidak bisa melainkan harus duduk-duduk, maka berilah
hak jalan tersebut. “Ibnu Hajar berkata; Dari alur pembicaraan ini jelaslah,
bahwa larangan (larangan duduk-duduk di tepi jalan atau semisalnya) dala
123
Lihat Fath al-Bari, 11/12-13
124
Fath al-Bari’ 5/135
125
Ibid
126
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih Bukhari, 12.
hadits ini adalah untuk tanzih (yang bermakna makruh bukan haram), agar
tidak mengendurkan orang yang duduk-duduk untuk memenuhi hak (jalan)
yang wajib ia penuhi. Iam an-Nawawi rahimahullah berkata, dan maksudnya
adalah bahwa duduk-duduk di tepi jalanan itu dimakruhkan.
3. Perkataan “(hak jaan adalah) ghadd al-basar (menundukkan pandangan), kaf
al-adza (tidak mengganggu atau menyakiti orang), menjawab salam,
memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran”.127
4. Beliau melanjutkan, “Dalam hal ini terdapat dalil bagi yang berpendapat
bahwa sadd al-dzara’I (menutup jalan menuju keburukan) merupakan bentuk
keutamaan saja bukan suatu kewajiban, karena (dalam hadits ini), pertama kali
yang Nabi larang adalah duduk-duduk (ditempat tersebut) guna
memberhentikan mereka dari hal itu” lalu ketika para sahabat mengatakan
kami perlu duduk-duduk”, barulah Nabi Saw menjelaskan tujuan pokok dari
larangan Nabi Saw sehingga diketahuilah, bahwa larangan yang pertama kali
itu adalah untuk mengarahkan kepada yang lebih baik. Dari sini pula diambil
kaidah, bahwa mencegah keburukan lebih diutamakan dari pada
mendatangkan kebaikan”.128
5. Imam al-Nawawi berkata, Nabi Saw telah mengisyaratkan tentang alasan
larangan beliau, bahwa hal itu dapat menjerumuskan kepada fitnah dan dosa
ketika ada para wanita (yang bukan mahramnya) atau selainnya yang melintasi
mereka, dan bisa berlanjut hingga memandang kea rah wanita-wanita tersebut
(secara bebas), atau membayangkannya, berprasangka buruk terhadap wanita-
wanita tersebut, atau terhadap setiap orang yang lewat dan diantara bentuk
mengganggu atau menyakti manusia adalah menghina (mengejek) orang yang
lewat, berbuat ghibah (mengunjingnya), atau yang lainnya, atau terkadang
tidak menjawab salam mereka, tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar,
serta alasan-alsan lainnya yang bila dia berada dirumah dapat selamat dari hal-
hal seperti itu. Termasuk menyakiti (orang lain) pula bila mempersempit jalan
orang-orang yang ingin lewat, atau menghalangi para wanita atau yang lainnya
yang ingin keluar menyelesaikan kebutuhan mereka dikarenakan ada orang-
orang yang duduk di tepi jalanan.129
127
Syarh Shahih Muslim, 14/120.
128
Fath al-Bari., 5/135.
129
Syarah Shahih Muslim, 14/20
Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa hasil penelitian matan tidak
mesti sejalandengan hasil penelitian sanad. Karena penelitian hadits integral satu
dengan lainnya yaitu antara unsur-unsur hadits, maka otomatis penelitian
terhadap sanad harus diikuti dengan penelitian terhadap matan untuk mengetahui
kualitas matan hadits ini bisa dilakukan dengan cara:
1. Membandingkan hadits satu dengan hadits yang lain yang temanya sama. Kalu
dilihat dari beberapa redaksi hadits diatas, maka hadits yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hambal, tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam matan haditsnya. Ada satu hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan al-darimi berbeda redaksi matannya. Namun,
substansi hadits tersebut tidak bertentangan dengan makna hadits yang
lainnya.
2. Hadits tersebut juga tidak bertentangan dengan akal dengan alasan bahwa
larangan melakukan aktifitas nongkrong di pinggir jalan bagi orang yang tidak
mampu untuk melaksanakan kewajibannya, maka akan membawa kebaikan
bagi dirinya dan juga orang lain. Begitu juga, adanya pembolehan melakukan
aktifitas seperti itu disyaratkan harus dapat melaksanak ketentuan-ketentuan
dari nabi Saw sehingga dapat terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan.
3. Tidak bertentagan dengan syari’at Islam, karena tujuan agama Islam ialah
menciftakan kedamaian dan menolak sesuatu yang dibenci.130 Dengan adanya
tuntunan dalam hadits tersebut, maka akan tercifta saling hormat-menghormati
dan terhindar dari sesuatu yang dibenci.
4. Kandungan hadis di atas tidak bertentangan dengan al-Qur’an, bahkan ada
kesesuaian dengan surat al-Nur (24) ayat 30 dan 31, al-Hujurat (49) ayat 11
dan 12, al-Nisa’ (4) ayat 86, dan al-Taubah (9) ayat 71.
130
Shihab al-Din Abi al-‘Abbas Ahnad bin Muhammad, Irshad al-Sari li Sharh Sahih al-
Bukhari, vol. 13 (Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), h. 238.
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada
wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan
janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-
putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-
saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah
mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS al-Nur[24]:
30-31)
C. Kehujjahan Hadits
Dari segi kehujjahan hadits tentang nongkrong di pinggir jalan sudah jelas
bahwa hadits ini adalah hadits yang shahih, dilihat dari para perawi yang
meriwayatkan hadits ini seperti Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-
Tirmidzi, al-Darimi dan Ahmad bin Hambal yang sudah teruji kredibilitasnya maka
hadits tentang nongkrong di pinggir jalan ini layak untuk dijadikan pegangan atau
hujjah.
Dengan demikian hadits ini bisa dijadikan sebagai hujjah atau landasan
dalam pengambilan senuah hukum serta bisa diamalkan. Sebab kandungan ajaran
moral yang terkandung dalam hadits ini tidak bertentangan dengan beberapa tolak
ukur yang dijadikan barometer dalam penilaian, bahkan kandungan hadits ini selaras
dengan pesan moral terdapat dalam al-Qur’an al-Karim.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:
Nongkrong di pinggir jalan adalah kegiatan yang biasa dilakukan oleh para
sahabat, pada awalnya, Nabi Saw melarang sahabat yang biasa nongkrong di pinggir
jalan karena melihat banyaknya mudlorat yang ditimbulkan di dalamnya. Namun
karena memjadi suatu kebiasaan dan tidak semua nongkrong menimbulkan dampak
negatif maka Nabi Saw membolehkan dengan member ketentuan-ketentuan di
dalamnya seperti:
1) Terhindar dari pandangan orang yang duduk di jalan yang bisa menimbulkan
fitnah;
2) Terhindar dari ucapan maupun perbuatan yang negative dari orang-orang
yang duduk di pinggir jalan;
3) Diperintah untuk melakukan kebaikan dan dicegah dari perbuatan yang
munkar.
B. Saran
Manusia yang mulia bukanlah orang yang banyak harta bendanya, tinggi
kedudukannya, tampan rupanya ataupun keturunan bangsawan, akan tetapi yang
terpuji akhlaknya. Baik akhlak terhadap Allah Swt, maupun akhlak terhadap sesame
manusia.
Kunci akhlak yang baik adalah dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih
adalah hati yang selalu mendapatkan cahaya dan sinar dari Allah Swt. Dengan sinar
itu, hati yang akan dapat melihat dengan jelas mana akhlak yang baik dan mana
akhlak yang buruk. Mana perbuatan yang terpuji dan mana perbuatan yang tercela.
Maka dari itu, berdo’alah kepada Allah Swt, adalah upaya yang tepat untuk
mendapatkan cahaya dari-Nya.
Aktifitas duduk di pinggir jalan merupakan perbuatan yang sudah biasa dan
menjamur di masyarakat. Perbuatan tersebut seharusnya diimbangi dengan
pengetahuan mereka terhadap tatanan agama yang mengatur berbagai prilaku
manusia diantaranya ialah yang berkaitan dengan hak yang haru diberikan kepada
para pengguna jalan. Sehingga perbuatan tersebut tidak membawa dampak yang
negatif bagi orang lain.
Kajian terhadap hadits tentang julus fi al-thariq dalam skripsi ini tentunya
masih banyak sekali kekurangan-kekurangan yang perlu untuk disempurnakan,
untuk itu diharapkan kajian ini dapat lanjutkan dengan lebih teliti dan mendalam.
Sehingga kajian ini akan menjadi kontribusi bagi masyarakat pada umumnya lebih-
lebih bagi umat Islam dan khususnya bagi penulis sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
al- ‘Abbas Ahmad bin Muhammad, Shihab al-Din Abi, Irsyad al-Sari li Sharh
Shahih al-Bukhari, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009
Husnan, Ahmad. 1993 Kajian Hadits Metode Takhrij. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.
Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Imam al-Hafiz. Fath al-Bari Syarh sahih al-
Bukhari, ter. Amiruddin, Fath Baari: Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007.
………, Fath al-Bari bi Syarh Shahih Bukhari, Lebanon: Dar al-Fikr, 1996.
Abdullah bin Hisyam, Jamaluddin. 1994. Audlah al-Masalik. Lebanon: Dar al-
Fikr.
Ahmad ibn Muhammad, Abu Abdillah. 1993. Musnad Ahmad bin Hambal.
Lebanon: dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Muslim bin al-Hajjaj, Abu Husain. Tt. Al-Jami’ al-Shahih. Lebanon: Dar al-
Fikr.
Muhammad ‘Isa bin saurat. Abu Isa. 1994. Sunan al-Tirmidzi. Lebanon: Dar
al-Fikr.
Ahmad ibn Hambal, Abu Abdillah. 1993. Musnad Ahmad bin Hambal.
Lebanon: Dar al-Fikr.
al-Tahawi, abi Ja’far. Musykil al-Athar, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t. th.
Al-‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. 1996. Fath al-Bari bi Syarh Shahih
al-Bukhari. Lebanon: Dar al-Fikr