Anda di halaman 1dari 123

MAKNA KATA FITNAH DALAM AL-QUR’AN

ANALISIS PENAFSIRAN AL-SYA'RĀWĪ


Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin


Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.ag)

Oleh:
Khoirul Ritonga
Nim: 11150340000239

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1442/2021
MAKNA KATA FITNAH DALAM AL-QUR’AN
ANALISIS PENAFSIRAN AL-SYA'RĀWĪ

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.ag)

Oleh:
Khoirul Ritonga
Nim: 11150340000239

Di bawah Bimbingan

Drs. Ahmad Rifqi Muchtar. Ma


Nip: 196908221997031002

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1442/2021

i
LEMBAR PERNYATAAN

ii
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul MAKNA KATA FITNAH DALAM AL-QUR'AN


ANALISIS PENAFSIRAN AL-SYA'RĀWĪ telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Februari 2021. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama
(S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.
Jakarta, 28 April 2021
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

19710217 199803 1 002 19820816 201503 1 00

Anggota,
Penguji I, Penguji II,

Dr. Faizah Ali Sibromalisi, MA


19560221 199603 1 001 NIP. 19550725 200012 2 001

Pembimbing,

iii
ABSTRAK
Khoirul Ritonga
MAKNA KATA FITNAH DALAM AL-QUR‟AN ANALISIS
PENAFSIRAN AL-SYA'RĀWĪ
Dalam percakapan sehari-hari istilah Fitnah digunakan dalam
pengertian tuduhan yang dilontarkan kepada seseorang dengan maksud
menjelekkan atau merusak nama baik orang tersebut, padahal dia tidak
pernah melakukan perbuatan buruk sebagaimana yang dituduhkan itu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pun Fitnah diartikan senada, yaitu
perkataan yang bermaksud menjelekkan orang, seperti menodai nama
baik, merugikan kehormatan orang. Untuk menunjukkan bahwa Fitnah itu
sangat keji, masyarakat menyatakan Fitnah itu lebih kejam daripada
pembunuhan. Ungkapan ini sebenarnya terjemahan dari sepotong ayat
dalam Surat al-Baqarah ayat 191. Memang benar dalam ayat tersebut
disebutkan bahwa Fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan,
tetapi apakah Fitnah yang dimaksud dalam ayat tersebut sama artinya
dengan Fitnah yang kita gunakan sehari-hari.
Persoalan yang akan dicari dari penelitian ini adalah pertama
bagaimana penafsiran al- Sya‟rawi terhadap makna kata Fitnah dalam
mahakaryanya tafsir al-Khawatir. Kedua bagaimana relevansi penafsiran
Al-Sya’ra>wi tentang makna Fitnah dalam konteks kehidupan yang terjadi
sekarang ini di masyarakat. Adapun jenis penelitian ini adalah jenis
penelitian pustaka (library research), al-Qur‟an sebagai sumber primer dan
karya cendikiawan lain sebagai data sekunder. Setelah melakukan
penelitian, dapat diketahui bahwa kata Fitnah dalam al-Qur‟an terulang
sebanyak 60 kali dengan aneka macam arti.
Menurut Al-Sya’ra>wi adapun Fitnah berarti cobaan. Jadi, Fitnah
itu bukan sesuatu yang buruk, ketika dikatakan: “sipulan berada dalam
Fitnah”. Sebagai seorang mukmin, hendaklah kita mendoakannya agar
bisa berhasil menghadapinya. Jadi, Fitnah bukan mus}i>bah yang telah
terjadi, dan sebaliknya, mus}i>bah akan terjadi bila gagal menghadapi
tersebut.
Kata kunci: Fitnah Dalam Al- Qur’an; Analisis AL-SYA'RĀWĪ

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan rasa syukur kehadirat Allah SWT.


yang memberikan taufik, hidayah dan inayahnya begitu pula dengan
nikmatnya yang tak terhingga jumlahnya, dengan atas seizinnyalah skripsi
yang berjudul:
MAKNA KATA FITNAH DALAM AL-QUR‟AN ANALISIS
PENAFSIRAN Al-SYA’RA>WI
Sholawat dan serta salam tak lupa pula kita haturkan kepada
Baginda Nabi Muhammad SAW. kepada keluarganya, sahabatnya, serta
kepada pengikutnya. Kemudian penulis sangat menyadari tanpa adanya
bantuan dan dukungan penuh dari orang tua, keluarga, dosen pembimbing,
begitu juga teman-teman yang selalu mensupport dan mendukung penulis.
Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimah kasih dan rasa haru
sebanyak-banyaknya kepada:
1. Prof. Dr. Amani Burhanuddin Lubis. MA. Selaku rector
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Eva Nugraha, MA. Selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir dan Fahrizal Mahdi, Lc. Selaku sekretaris Jurusan Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir.
4. Drs. Ahmad Rifki Muchtar, MA. Selaku Dosen Pembimbing
Skripsi penulis yang sudah banyak membimbing, memberikan
masukan dan saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga bapak dan keluarga selalu diberikan kesehatan, panjang
umur, diberikan kelancaran dan dimudahkan segala urusannya.

v
vi

5. Dr. Muhammad Rifqi Fatkhi, MA. Selaku Dosen pembimbing


Akademik penulis yang telah banyak membimbing. Memberikan
masukan dan saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga bapak dan keluarga selalu diberikan kesehatan, panjang
umur, dan dimudahkan segala urusannya.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen
jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir. Yang telah sabar dan banyak
memberikan ilmu kepada penulis. Semoga Allah Swt. memberikan
balasan pahala yang berlipat ganda kepada bapak dan ibu, serta
diberikan kesehatan, panjang umur, dimudahkan segala urusannya.
7. Pimpinan dan staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin,
Perpustakaan Utama (PU). Yang telah memberikan pelayan yang
begitu baik kepada penulis ketika dalam penyusunan skripsi ini.
8. Untuk Ibu tercinta dan almarhum ayah, yang selalu senantiasa
mendoakan, memberikan semangat, dan motivasi kepada penulis.
Mungkin tanpa doa dan dukungan yang tulus dari ibu mungkin
penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah Swt
selalu memberikan kesehatan dan panjang umur kepada ibu, dan
murahkan rezekinya dan selalu dalam lindungannya Allah SWT.
9. Untuk abang, kaka dan adik penulis yaitu Mukhlis Humotar
Ritonga, Lili Suryani Ritonga, Muhammad Parlindungan Ritonga
dan khusus kepada Mairo Rambe tercinta yang telah memberikan
semangat dalam penulisan skiripsi ini.
10. Kepada teman-teman jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir angkatan
2015 khususnya kelas TH G, dan KKN EUREKA 034.
11. Dan seluruh sahabat-sahabat seperjuanga, IKADLN, dan teman
satu kosan yang telah memberikan support dan motivasi ketika
dalam penulisan skripsi ini.
vii

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini


masih terdapat banyak kekurangan, bahkan kesalahan dan
kekeliruan dalam penelitian ini memungkinkan untuk terjadi. Oleh
karena itu, penulis mengharapakn kritik dan saran yang sifatnya
konstruktif, bukan dengan tujuan destruktif atau menjatuhkan
penulis agar penulisan karya ilmiah ke depannya menjadi lebih
baik. Harapan penulis semoga skripsi ini menjadi bermanfaat bagi
pembaca untuk menambah wawasan dan semoga Allah Swt.
memberikan ridho-Nya dan balasan yang berlipat ganda.
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 Tahun 1987-Nomor: 054 b/u 198
Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam),
alih aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk
menjaga konsintensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting
diberikan. Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dann
dipahami, tidak saja hanya mahasiswa yang akan menulis tugas akhir,
melainkan juga oleh dosen, khususnya dosen pembimbing dan dosen
penguji, agara terjadi saling control dalam penerapan dan konsistensinya.
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara,
antara lain versi Turabian, Library of Congress, pedoman dari
Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI,
serta versi Paramadina umumnya, kecuali versi Paramadina, pedoman alih
aksara tersebut meniscayakan digunakannya jenis huruf (Font) tersebut,
seperti font Transliterasi, Times New Roman, atau Timen New Arabic.
Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulisan tugas akhir.
1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padananya dalam aksara latin.
No Huruf Huruf
Keterangan
Arab Latin
1. ‫ا‬ Tidak dilambangkan
2. ‫ب‬ B Be
3. ‫خ‬ T Te
4. ‫ز‬ Ṡ Es dengan titik atas
5. ‫ض‬ J Je
6. ‫ح‬ Ḥ h dengan titik bawah

viii
ix

7. ‫خ‬ KH ka dan ha
8. ‫د‬ D De
9. ‫ر‬ Ż Z dengan titik atas
10. ‫س‬ R Er
11. ‫ص‬ Z Zet
12. ‫ط‬ S Es
13. ‫ػ‬ Sy es dan ya
14. ‫ص‬ Ṣ es dengan titik di bawah
15. ‫ض‬ Ḍ de dengan titik di bawah
16. ‫ط‬ Ṭ te dengan titik di bawah
17. ‫ظ‬ Ż zet dengan titik di bawah
18. ‫ع‬ koma terbalik di atas hadap kanan
19. ‫غ‬ G Ge
20. ‫ف‬ F Ef
21. ‫ق‬ Q Ki
22. ‫ك‬ K Ka
23. ‫ه‬ L El
24. ً M Em
25. ُ N En
26. ٗ W We
27. ٓ H Ha
28. ‫ء‬ ˋ Apostrof
29. ٛ Y Ye

2. Vokal
Vokal adalah bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
x

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


ََ A Fatḥah
َِ I Kasrah
َُ U Ḍammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya ada sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َٛ‫ا‬ Ai Fatḥah dan ya


َٗ‫ا‬ Au Fatḥah dan wau

3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Tanda Vokal Latin Keterangan
Arab
‫تا‬ Ā a dengan garis di atas
ْٜ ‫ِت‬ Ī i dengan garis di atas
ُْ٘‫ت‬ Ū u dengan garis di atas

4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl, al-
dīwān bukan ad- dāwān.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydìd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
ّ dalam alih aksara ini dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydìd )َ)
xi

dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda


syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima
tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-
huruf syamsiyah. Misalnya, kata (‫ )اىضشٗسج‬tidak ditulis ad-ḍarūrah
melainkan al-ḏarūrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbūṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku
jika ta marbûah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2).
Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara


1 ‫قح‬ٝ‫طش‬ Ṭarīqah
2 ‫ح‬ٍٞ‫اىجاٍعح اإلعال‬ al-Jāmi„ah al-Islāmiyyah
3 ‫ٗحذج اى٘ج٘د‬ Waḥdat al-wujūd

7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama
bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abū Hāmid al-
Ghazālī bukan Abū Hāmid Al-Ghazālī, al-Kindi bukan Al-Kindi.
xii

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat


diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak
miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu
ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya,
demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbani: Nuruddin
al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-Rānīr.
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ............................ i


LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... ii
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH ........................................ iii
ABSTRAK ................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .............................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN................................. viii
DAFTAR ISI .......................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................ 7
C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah................................. 7
D. Tujuan Penelitian ................................................................ 7
E. Manfaat Penelitian .............................................................. 8
F. Kajian Pustaka .................................................................... 8
G. Metodologi Penelitian ....................................................... 12
H. Jenis Dan Pendekatan Penelitian....................................... 12
I. Sistematika Penulisan ....................................................... 16
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG FITNAH ........................ 17
A. Pengertian Fitnah .............................................................. 17
B. Term-Term Yang Semkna Dengan Fitnah ........................ 26
C. Pendapat Para Ulama Tentang Fitnah ............................... 34
D. Penyebab Dan Dampak Dari Fitnah.................................. 36
BAB III MUHAMMAD MUTAWWLI AL-SYA’RA>WI DAN
TAFSIRNYA .......................................................................... 39
A. Biografi Muhammad Mutawalli Al-Sya‟ra>wi ................ 39
B. Karya-Karya Muhammad Mutawalli Al-Sya‟ra>wi ......... 43
C. Pandangan Ulama Tentang Muhammad Mutawalli
Al-Sya‟ra>wi..................................................................... 47
D. Pengenalan Tafsir Al-Sya‟ra>wi....................................... 52

xiii
xiv

BAB IV ANALISIS ARTI FITNAH DALAM AL-QUR’AN ............69


A. Fitnah Dalam Surah Al-Nisa Ayat 91 ................................69
B. Fitnah Dalam Surat al-Baqarah Ayat 191 dan 217 ............75
C. Fitnah Dalam Surah al-Anfa>l Ayat 25 .............................85
D. Persamaan Dan Perbedaan Makna Yang Ditunjuk ............91
BAB V PENUTUP................................................................................97
A. Kesimpulan ........................................................................97
B. SARAN ..............................................................................98
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................101
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qura‟an merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada
kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagai pedoman bagi manusia dalam
menata kehidupannya, agar memperoleh kebahagian lahir dan batin, di
dunia dan di akhirat kelak. Konsep-konsep yang dibawa al-Qur‟an
selalu relevan dengan problem yang dihadapi manusia, karena ia turun
untuk berdialog dengan setiap ummat yang ditemuinya, sekaligus
menawarkan pemecahan terhadap problem tersebut, kapan dan dimana
pun mereka berada.1
Sebagai sumber utama ajaran Islam, al-Qur‟an dalam
membicarakan suatu masalah yang sangat unik, tidak tersusun secara
sistematis sebagaimana buku-buku ilmiah yang dikarang manusia. Al-
Qur‟an dalam membicarakan suatu masalah secara rinci, kecuali
menyangkut masalah akidah, pidana dan beberapa tentang hukum
keluarga. Umumnya, al-Qur‟an lebih banyak mengungkapkan suatu
persoalan secara global, parsial dan seringkali menampilkan suatu
masalah dalam prinsip-prinsip dasar dan garis besar.
Keadaan demikian, sama sekali tidak mengurangi keistimewaan
al-Qur‟an sebagai Firman Allah. Bahkan sebaliknya, di situlah letak
keunikan dan keistimewaan al-Qur‟an yang membuat berbeda dengan
kitab-kitab lain dan buku-buku ilmiah. Hal ini membuat al-Qur‟an
menjadi objek kajian yang selalu menarik dan tidak pernah kering bagi
kalangan cendikiawan, baik muslim maupun non muslim, sehingga ia
tetap aktual sejak diturunkan empat belas abad yang silam.

1
Said Agil Husein Al-Munawwar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, (Jakarta: Ciputat perss, 2002), 12.

1
2

Fitnah merupakan kata serapan dari Bahasa Arab yang artinya


cobaan, atau ujian.1 Berasal dari kata fa-ta-na yang berarti membakar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Fitnah diartikan dengan
perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan
dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik,
merugikan kehormatan) yang mana itu adalah perbuatan tidak terpuji.2
Dalam kitab Al- Ta’ri>fa>t Abi Al-Hasan al-Jarjani mendefenisikan
Fitnah sebagi sesuatu yang dapat menjelaskan pribadi manusia, apakah
itu baik atau jahat.3 Sedangkan dalam kamus Al-Munawwir disebutkan
makna Fitnah yaitu memikat, menggoda, membujuk, menyesatkan,
gila, menyimpang, dan masih banyak kata yang mempunyai padanan
makna Fitnah lainnya.4 Namun al-Qur‟an tidak sekalipun menggunakan
makna tersebut. al-Qur‟an menggunakan makna yang beraneka ragam
dalam mengungkapkan makna Fitnah diantaranya kekacauan, bencana,
syirik, cobaan, ujian, dan siksaan.5
Secara umum masyarakat tidak lagi asing mendengar kata Fitnah.
Baik dikalangan umat islam maupun non-islam. Akan tetapi pada
permasalahannya Fitnah oleh sebagian banyak orang hanya diartikan
sebagai kata bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran, hal ini
merupakan dampak kata serapan Bahasa Arab kedalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Akhirnya kini menjadi paham yang mengakar pada
masyarakat Indonesia bahwa makna kata Fitnah adalah sebatas bohong.

1
Muhammad Abi Bakr Ar-Razi, Mukhtasar Al-Sihab, (Beirut: Dar Al –Ma‟rifah,
2005), 430.
2
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta Balai Pustaka, 2005), 318.
3
Habibuddin, Fitnah Dalam Al-quran (Medan: Tesis IAIN Sumatra Utara, 2012),
21.
4
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab -Indonesia (Yogyakarta: Unit
Pengadaan Buku Ilmiah Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1997), 1032-1033.
5
Perpustakaan Nasional RI, “Fitnah” Ensiklopedia Hukum Islam, ed, Abdul Aziz
Dahlan, et, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoove, 1996), 379.
3

Hal yang senada diungkapkan pula oleh „Abdul Muji>b bahwa Fitnah
merupakan aktivitas menyebarkan berita tanpa kebenaran, yang pada
hakikatnya untuk merugikan orang lain.6 Artinya, di Indonesia makna
Fitnah menjadi implisit mengikat dan lebih sempit. Padahal makna
Fitnah lebih umum daripada itu.
Sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah (2): 191 sebagai berikut:
‫ْس اَ ْخ َشجُْ٘ ُم ٌْ َٗا ْىفِ ْرَْحُ اَ َش ُّذ ٍَِِ ا ْىقَ ْر ِو َٗ ََل‬ ُ ٞ‫ْس َشقِ ْفرُ َُْ٘ ُٕ ٌْ َٗاَ ْخ ِشجُْ٘ ُٕ ٌْ ٍِّ ِْ َح‬ ُ ٞ‫﴿ َٗا ْقرُيُْ٘ ُٕ ٌْ َح‬
َ ‫ ِٔ فَا ِ ُْ ٰقرَيُ ْ٘ ُم ٌْ فَا ْقرُيُْ٘ ُٕ ْۗ ٌْ َم ٰز ِى‬ْٞ ‫ ُٰق ِريُْ٘ ُم ٌْ ِف‬ٝ ّٚ‫ذُ ٰق ِريُْ٘ ُٕ ٌْ ِع ْْ َذ ا ْى ََ ْغ ِج ِذ ا ْى َح َش ِاً َح ٰر‬
﴾ َِْٝ ‫ل َج َض ۤا ُء ا ْى ٰن ِف ِش‬
Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah
mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu
lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi
mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di
tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah
mereka. Demikianlah balasan bagi orang kafir.7
Fitnah yang tercantum pada ayat di atas, menjelaskan bahwa
kaum musyrikin Mekkah telah menganiaya kaum muslimin, menyiksa
kaum muslimin dengan aneka siksaan jasmani, perampasan harta, dan
pemisahan sanak saudara, teror dan pengusiran dari tanah tumpah
darah, bahkan menyangkut agama dan keyakinan, sehingga
pembunuhan dan pengusiran yang diizinkan Allah itu adalah suatu
yang wajar, dan hendaknya semua mengetahui bahwa Fitnah yakni
penganiayaan seperti yang disebutkan di atas, atau kemusyrikan yakni
penolakan mereka atas keesaan Allah lebih keras yakni besar
bahayanya atau dosanya daripada pembunuhan yang diizinkan dan
diperintahkan oleh Allah.8

6
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001),
301.
7
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan)
jilid2. (Jakarta: Lentera Abadi, 2010).
8
Laela Qadriani Makna Kata Fitnah Dalam Al-Qur‟an, (Makassar: Skripsi
Univesitas Hasanuddin, 2017), 4.
4

Jika memandang pada al-Quran Allah menjadikan harta dan


anak-anak sebagai bagian dari nikmat yang ia beri, oleh sebab itu
keduanya bisa memberikan efek terlena, dan menjadi cobaan dalam
kehidupan. Ibn Kas\i>r menambahkan bahwa Allah menganugrahkan
keduanya, untuk mengetahui apakah hambanya akan bersyukur dan
menjadikannya semakin patuh dan taat kepada-Nya, atau sebaliknya.9
Contoh dari penggunaan term Fitnah yang digunakan dalam Al-Quran
untuk menyuratkan makna ujian atau cobaan dapat ditemukan misalnya
dalam QS. al-Anfa>l /8: 28.
ٰ
َ ّ َُّ َ‫﴿ َٗا ْعيَ َُ ْْٓ٘ا اََّّ ََآْ اَ ٍْ َ٘اىُ ُن ٌْ َٗاَْٗ ََل ُد ُم ٌْ فِ ْرَْحٌ ۙ َّٗا‬
﴾ ࣖ ٌٌ ْٞ ‫ّللا ِع ْْذ َْٓٓ اَجْ ٌش َع ِظ‬
Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah
sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang
besar.
Ayat di atas menggunakan istilah Fitnah untuk
mengaksestuasikan makna cobaan, yang pada konteks ayat ke-28 surah
al-Anfa>l tersebut dikaitkannya dengan harta benda serta anak-anak
bentuk dari ujian tuhan terhadap manusia. Harta benda serta anak-anak
merupakan bagian dari nikmat yang di berikan Allah, yang boleh jadi
karenanya menyebabkan seorang kemudian terlena sehingga lalai dari
ketaatannya. Oleh karena itu lewat ayat tersebut Al-Quran
mengingatkan manusia akan bahaya dari daya Tarik kedua bentuk
nikmat di atas, sebagai bahan ujian dan cobaan. Tiap individu
diingatkan agar tidak lemah menghadapi ujian, serta mengabaikan
seruan jihad, tanggung jawab, amanah, serta perjanjian untuk mengikuti
panggilan Allah dan Rasulnya. 10
Ibn Kas\i>r memberikan penafsiran terhadap ayat ini, bahwasanya
harta benda dan keturunan merupakan bagian dari cobaan dan ujian

9
Ismai‟l Ibn Kas\i>r, Tafsir Al-quran Al-A‟zim (Gizah: Maktabah As-Syeikh Wa
Awladihi Li At-Turas, 2000), 57.
10
Ani, Konsep Fitnah Dalam Alqur‟an (Makssar: Skripsi Uin Allaudin, 2017), 2.
5

dari Allah bagi kamu, dan ketika Allah menganugrahkan keduanya


kepada kamu, tujuannya adalah sekedar ingin tahu apakah kamu
bersyukur dengan semua itu dan menjadikanmu semkain taat kepada-
Nya, atau sebaliknya justru kamu hanya disibukkan dengan semua itu
dan membuatmu berpaling dari-Nya.11
Az-zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kassyaf menjelaskan, harta
dan keturunan dikategorikan sebagai Fitnah, karena pada dasarnya
merekalah yang menjadi jatuhnya seseorang kedalam jurang Fitnah
yaitu dosa dan siksa, atau keduanya merupakan ujian dari Allah dalam
menguji kualitas iman seseorang, apakah ia menjaga dan
12
mempergunakanya dengan aturan-aturan Allah swt.
Puluhan ayat dalam Al-Quran di dalamnya terdapat kata Fitnah,
kendati pun ditemukan adanya kemiripan makna antara satu dengan
yang lain, namun ditemukan juga makna yang sedikit berbeda dengan
yang lainnya.
Perlu pengkajian lebih lanjut untuk mengetahui maksud dari
Fitnah yang sebenarnya dalam konsepsi Al-Quran analitik ayat demi
ayat penting untuk dilakukan, demi terungkapnya hakikat dari makna
Fitnah yang sebenarnya. Lalu apakah ada perbedaan maksud antara
ayat-ayat Fitnah yang turun pada priode Makkah dan Madinah.
Beberapa ulama di Indonesia seperti M. Quraish Shihab
menafsirkan kata Fitnah lebih umum dari biasanya, di dalam tafsirnya
di katakana bahwa bencana alam seperti sunami, gempa, longsor dan
lain yang menimpa suatu daerah merupakan Fitnah karena jika di
defenisikan sebagai mus}i>bah maka hal ini kurang tepat, lebih lanjut
Qurash Shihab menafsirkan bahwa mus}i>bah terjadi karena adanya

11
Habibuddin, Fitnah Dalam Al-qu‟an (Tesis: AIN Sumatra Utara, 2012), 10.
12
Az-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kassyaf, (Riyad: Maktabah Al- „Abikan, 1998), 574.
6

kesalahan manusia. Sedangkan bencana alam menimpa siapa pun baik


yang bersalah maupun tidak.13
Selanjutnya, banyak Mufassir Indonesia yang juga menafsirkan
term Fitnah ini. Salah satunya adalah Haji Abdul Malik Abdul karim
Amrullah (Hamka), beliau adalah seorang ulama sekaligus sastrawan
berkebangsaan Indonesia, yang aktif menulis dan menghasilkan banyak
karya. Al-Azhar adalah salah satu karya tafsirnya yang terkenal sangat
monumental karena dipandang sebagai tafsir terbaik pada masanya. 14
Dari ulama yang menafsirkan kata Fitnah di atas penulis ingin
mengupas makna Fitnah dari pandangan imam al-Sya’ra>wi penulis
ingin mengupas dan mengelompokkan pemaknaan kata Fitnah dalam
Al-Quran dalam kajian tafsir al-Sya’ra>wi. Dalam hal ini penulis
membatasi masalah pada makna Fitnah dalam tafsir al-Sya’ra>wi penulis
mengambil penafsir Muhammad Mutawalli al-Sya’ra>wi karena beliau
adalah salah satu ahli tafsir al-Qur‟an yang terkenal pada masa modern
dan merupakan tokoh masa kini, beliau memiliki kemampuan untuk
menginterpretasikan masalah agama dengan sangat mudah dan
sederhana, beliau juga memiliki usaha yang luar biasa besar dan mulia
dalam bidang dakwah islam.
Untuk itu penulis merasa tertarik untuk mengkaji, selanjutnya
penulis merumuskan tema penelitian dan sebagai judul skripsi yaitu
Makna Penyebutan Kata Fitnah Dalam al-Qur‟an Analisi Penafsiran
Al- Sya’ra>wi.

13
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2010),
781.
14
Islah Gusmian, “Hasanah Tafsir Indonesia “, Vol 1, 2015, 23.
7

B. Identifikasi Masalah
Untuk membentuk kejelasan pada skripsi ini penulis
mengidentifikasikan masalah dengan beberapa hal:
1. Banyaknya kata Fitnah dalam al-Qur‟an yang redaksi makna dan
tafsir ayatnya berbeda.
2. Pemahaman masyarakat akan makna Fitnah sangat „awam karena
serapan Bahasa arab terhadap Indonesia.
3. Timbulnya dampak Negatif dari makna Fitnah dikalangan
nasyarakat.

C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah


Dari latar belakang yang telah dipaparkan, dan berdasarkan
identifikasi masalah di atas serta melihat akan luasnya pembahasan,
langkah berikutnya penulis akan membatasi permasalahannya dalam
kajian tafsir al-Sya’ra>wi dan merumuskan permasalahannya sebagai
berikut:
1. Bagaimana penafsiran kata Fitnah dalam al-Qur‟an menurut al-
Sya’ra>wi?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui hakikat Fitnah, supaya masyarakat awam betul-
betul memahami kandungan dan maksud dari pada ayat Fitnah yang
peneliti ungkap.
2. Memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian keislaman terutama
yang berhubungan dengan tafsir.
3. Mengatahui makna kata Fitnah dalam setiap ayat dan surah,
khususnya analisis imam al-Sya’ra>wi.
8

E. Manfaat Penelitian
Setelah penulis mengetahui analisis penafsiran imam al-
Sya’ra>wi tentang ayat Fitnah, selanjutnya penulis berharap penelitian
ini dapat memberikan sumbangsih khazanah keilmuan bagi para
akademisi maupun lembaga. Memberi banyak kontribusi dan solisusi
bagi para mahasiswa khususnya mahasiswa yang tengah menyusun
tugas akhir.
Selain itu penelitian juga disusun untuk memenuhi salah satu
syarat tercapainya gelar sarjana agama di bidang ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Kajian Pustaka
Berdasarkan hasil penelusuran penulis mengenai tema tentang
ayat-ayat Fitnah, ditemukan beberapa penelitian yang sudah membahas
tema tersebut, diantaranya:
Yang pertama, Skripsi Siti Nurfitriah dengan judul Fitnah
Perspektif Qurish Shihab (Telaah Ayat-Ayat Fitnah dalam Tafsir al-
Misbah) dari jurusan Ilmu A-quran Dan Tafsir Fakultas Ushuluddin,
Adab dan Dakwah IAIN Ponorogo. Di dalam skripsi ini hanya
menafsirkan kata Fitnah menurut pandangan Quraish Shihab. Menurut
M. Quraish Shihab dalam karyanya tafsir al-Misbah kata Fitnah
memiliki beragam makna di antaranya: Fitnah berarti kezaliman atau
penganiyayaan, membakar secara mutlak yaitu brupa az\ab neraka,
dapat juga berarti setan karena dia adalah cobaan bagi manusia, siksaan
atau hukuman, malapetaka dan cobaan atau ujian yang secara rinci
dapat digambarakan dalam berbagai bentuk yaitu harta dan anak-anak,
keburukan dan kebaikan, sihir, nikmat hidup, godaan dan pengaruh
luar yang dapat menjadikan seseorang melanggar perintah Allah,
9

kekacauan dan kerancuan berpikir, kemunafikan, gila, kesesatan dan


lain-lain.15
Yang kedua, Skripsi Syaefullah Anwar dengan judul Penapsiran
al-Razi Terhadap Fitnah Dalam Al-Quran (Studi Deskriptif Analisis
Terhadap tafsir Mafa>tih al-Ghai>b) dari Jurusan Ilmu AL-Quran dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam
skripsi ini hanya dijelaskan pengertian Fitnah dan macam-macam
makna Fitnah menurut penafsiran al-Razi dalam Mafa>tih al- Ghai>b.
Dalam skripsi ini syaefullah Anwar fokus terhadap penafsiran Al- Razi
tentang makna kata Fitnah kitab tafsir Mafa>tih al-Gaib dengan
menggunakan metode deskriptif- analisis.16
Yang ketiga, Skripsi Ani dengan judul konsep Fitnah Dalam al-
Qur‟an (Suatu Kajian Tahlili atas Surat al-Anfa>l ayat 25) dari jurusan
Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, Filsapat, dan politik
UIN Alaudin Makassar. Skripsi ini menjelaskan mengenai ayat-ayat
Fitnah dalam surah al-Anfa>l dan menafsirkannya dari beberapa kitab
tafsir. Dan memberikan dengan beberapa kesimpulan diantaranya
hakikat Fitnah, wujud Fitnah, dan dampak dari Fitnah. Hakikat Fitnah
yang dimaksud adalah cobaan dan siksaan, dan sebab-sebab
dijatuhkannya Fitnah yang Allah timpakan manusia akibat perbuatan
manusia itu sendiri, yang dapat menimbulkan berbagai macam bencana
yang tidak hanya menimpa pelaku kejahatan, akan tetapi juga menimpa
orang di sekitarnya. Wujud Fitnah adalah banyaknya makna atau jenis
Fitnah yang dapat mengenai manusia baik dari segi ujian cobaan
maupun siksaan dan untuk membedakan yang beriman dan yang
15
Siti Nurfitriah, Fitnah Dalam Perspektif M. Quraish Shihab “Tela‟ah Ayat-Ayat
Fitnah dalam Tafsir AL-Misbah” (Ponorogo: skripsi IAIN ponorogo, 2017).
16
Syaifullah Anwar, Penafsiran Al-Razi terhadap fitnah Dalam Alqur‟an “studi
deskriptif Analisis Tafsir Mafa>tih Al- Ghai>b” (Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan Kalijaga,
2008).
10

munafik sesuai dari perbuatannya, dan melihat dibalik Fitnah itu


sendiri. Dampak Fitnah dalam surah al-Anfa>l terdapat positif dan
negatif, ini mengingatkan manusia supaya menjaga diri dari Fitnah
dengan takut pada siksa Allah, dan berahati-hati dengan mengambil
hikmah di dalamnya. 17
Yang keempat, Skripsi Mu‟awanah dengan judul Fitnah Dalam
Al-Quran (Studi Tematik) dari Fakultas ushuluddin Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang tahun 2006. Dalam skripsi ini
membahas tentang pengertian Fitnah, macam-macamnya dan ayat ayat
al-Qur‟an tentang Fitnah, Fitnah dikaji dalam segi Aqidah, Akhlak dan
Hukum, serta implementasi terhadap kehidupan sosial.18
Yang kelima, Skripsi Husniyah dengan judul Fitnah Dalam
Perspektif Al-Quran dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-
Raniry Darussalam Banda Aceh 2016. Dalam skripsi ini hanya
menjelaskan pengertian makna Fitnah saja dengan melahirkan 15
macam makna diantaranya syirik, penyesatan, pembunuhan,
menghalangi dari jalan Allah, kesesatan, alasan, keputusan, dosa, sakit,
sasaran, balasan, ujian, „az\ab, bakar, dan gila.19
Yang keenam, skripsi Laela Qadriyani dengan judul Makna Kata
Fitnah Dalam al-Qur‟an (Suatu Kajian Semantik) dari Fakultas Ilmu
Budaya Univesitas Hasanuddin tahun 2017. Dalam skripsi ini hanya
menyimpulkan ayat ayat Fitnah yang ada di dalam al-Quran, kemudian

17
Ani, Konsep Fitnah Dalam Al-qur‟an “Suatu Kajian Tahlili atas QS al-Anfa>l
/8:25” (Makassar: Skripsi UIN Alauddin, 2017).
18
Mu‟awanah, Fitnah Dalam Al-qur‟an “Studi tematik (Semarang: skripsi IAIN
Wali Songo,2006).
19
Husniyah, “Fitnah Dalam Perspektif Al- qur‟an” (Banda Aceh: Skripsi UIN Ar-
Raniry, 2016).
11

dikategorikan sesuai surah dan jumlah ayat dalam surah tersebut dan
memberikan jumlah makna yang sama dalam ayat dan surah. 20
Yang ketujuh, artikel yang menjelaskan macam-macam Fitnah
yang dibagi menjadi dua macam yaitu Fitnah Syubhat yang berarti
samar-samar, dalam Fitnah syubhat seseorang menjadi rusak dari segi
ilmu dan keyakinanya sihingga menjadikan perkara ma‟ruf menjadi
samar dengan kemungkaran. Sementara kemungkaran sendiri tidak ia
hindari (dikerjakan), Fitnah syubhat merupakan Fitnah yang sangat
berbahaya oleh karena kurangya ilmu dan lemahnya bashirah, ketika
diiringi dengan niat buruk dan hawa nafsu maka timbullah Fitnah besar
dan keji. Yang kedua Fitnah syahwat merupakan segala perbuatan yang
dapat melemahkan dan mengikis iman seseorang disebabkan oleh
mengikuti hawa nafsu. Mereka yang terkena Fitnah syahwat biasanya
malas beribadah serta tidak segan melanggar perintah Allah dan
mengerjakan apa yang dilarang. Hal ini disebabkan oleh hawa nafsu
beserta andil dari iblis yang senantiasa mengiringi dan membuat iman
menjadi lemah.21
Dari beberapa penelitian di atas hanya ada dua skripsi yang
menjelaskan kata Fitnah dari sudut pandang penafsir yaitu Fitnah dalam
perspektif Quraish Shihab dan Pengertian Fitnah dan Macam-Macam
Makna Fitnah Menurut al-Razi dalam Tafsir Mafa>tih Al-Gaib. Jadi
penulis tertarik mengangkat tema kajian Fitnah dari sudut pandang
imam al-Sya’ra>wi.

20
Laela Qadriyani, “Makna Kata Fitnah Dalam Al-qur‟an (suatu tinjauan
semantik) Makassar: skripsi universitas Hasanuddin, 2017.
21
Review Redaksi Dalamislam, “Fitnah Dalam Islam Hukum, Macam-Macam
Fitnah dan Bahayanya”, diakses pada 15-06-2020,
https://dalamislam.com/akhlaq/larangan/fitnah-dalam-islam.
12

G. Metodologi Penelitian
Metode penelitian di perlukan dalam setiap penelitian untuk
menuntun jalannya penelitian tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini
adalah penelitian tafsir, maka metodologi yang digunakan adalah
metodologi tafsir.22 Dalam penelitian ini, penulis hanya melakukan
penelitian kepustakaan (library research). Yang dimaksud library
research adalah menghimpun buku-buku dan bahan lain dan berbagai
sumber yang berkaitan dengan yang dibahas dalam skripsi ini.
Sementara itu, pembahasannya sendiri menggunakan pendekatan
tafsir maud}u’i. adapun yang dimaksud dengan metode tafsir maudhu‟i
tersebut adalah menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat yang
berkenaan dengan topik pembahasan tertentu untuk mencari benang
merah dari suatu persoalan. Atau seperti yang dikemukakan M.
Quraish Shihab bahwa tafsir tematik adalah karya-karya tafsir yang
menetapkan suatu topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh
atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat, yang berbicara tentang
topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan dengan yang lainnya sehingga
pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah
tersebut menurut pandangan al-quran.23 Dalam kaitan ini, maka topik
yang dimaksud adalah ayat-ayat al-Qur‟an yang berkenaan dengan kata
Fitnah.

H. Jenis Dan Pendekatan Penelitian


Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penilitian
kepustakaan (library research) yaitu serangkaian kegiatan yang

22
Abdul Muin Salim, dkk, Metodologi PenelitianTafsir Maudhui‟ (makassar:
Pustaka Al-Zikra, 2011), 7.
23
M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: fungsi dan peran wahyu dalam
kehidupan masyarakat (Bandung: penerbit Mizan, 1999), 114. Metode tematik di Mesir
untuk pertama kalinya dicetuskan oleh al-Farmawy.
13

berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan


mencatat serta mengolah bahan penilitian, dengan mengumpulkan
referensi dari kitab-kitab yang ada relevansinya dan pembahasan karya
skripi ini.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif. Yaitu suatu proses penelitian dan
pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu
fenomena social dan masalah manusia.
Jenis penelitian ini adalah library research, yaitu usaha untuk
memperoleh data dalam kepustakaan. metode ini digunakan untuk
mencari data yang bersangkutan dengan teori yang dikemukakan oleh
ahli (baik dalam bentuk penelitian atau karya tulis) untuk mendukung
dalam penulisan atau sebagai landasan teori ilmiah.
1. Sumber Data
Sumber-sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian
ini dalam rangka menggali data-data tersebut di atas dipilih menjadi
dua kategori, sumber data primer dan sekunder yaitu:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu sumber data pokok yang penulis
jadikan objek kajian. sebagai sumber data primer penelitian ini
adalah sumber hukum islam yaitu al-Qur‟an dan kitab Tafsir al-
Sya’ra>wi khususnya yang membahas ayat-ayat Fitnah.
b. Sumber Data Skunder
Sumber data kedua yang digunakan penulis untuk
membantu menela‟ah data-data yang dihimpun. Data ini
berfungsi sebagai pelengkap data primer. Sebagai sumber
skundernya berdasarkan pada sumber kepustakaan seperti kitab-
kitab tafsir dan buku-buku yang memiliki tema dan pembahasan
yang ada permasalahannya dengan penulisan ini.
14

2. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis
dan standar utuk memproleh data yang diperlukan.24 Penelitian ini
adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu
mengumpulkan data teoritis sebagai penyajian ilmiah yang
dilakukan dengan memilih literatur yang berkaitan dengan
penelitian. Metode ini digunakan untuk menetukan litreratur yang
mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diteliti, dimana
penulis membaca dan menela‟ahnya dari kitab dan buku-buku
bacaan yang ada kaitannya dengan tema skripsi. Peniliti juga
menyajikan ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan
pembahasan. Yaitu, dengan menghimpun ayat-ayat tersebut dari
kitab tafsir al-Sya’ra>wi, kemudian didukung dengan kitab-kitab
atau referensi lain yang pembahasannya penafsiran tentang fitnah.
Serta penulis pun mencatat sumber-sumber data tersebut untuk
dapat digunakan dalam studi selanjutnya.
3. Kerangka Teori
Tafsir artinya menjelaskan dan menerangakan, sedangakan
ibn manzur, memakainya sebagai alat membuka sesuatu yang
tertutp, dan tafsir ialah membuka dan menjelaskan maksud yang
sukar dari suatu lafal.25 Dan di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, tafsir diartikan dengan keterangan atau penjelasan
tentang ayat-ayat al-Qur‟an sehingga lebih jelas maksudnya.26
Tafsir al-Qur‟an adalah penjelasan atau keterangan untuk
memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat al-
Qur‟an. Dengan demikian menafsirkan al-Qur‟an ialah menjelaskan
24
Al-Fatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2010), 171.
25
Ibn Manzur, Lisan al-Arab Jil III (Kairo: Al –Musasasah al-Misyriyyah al-
Ammah), 361.
26
DEKDIPBUD INDONESIA, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), 882.
15

atau menerangkan makna-makna yang susah memahaminya dari


ayat-ayat tersebut.
Adapun tafsir tematik juga disebut tafsir Maud}u’i yang
penulis gunakan sebagai landasan teori yaitu menghimpun ayat-
ayat al-Qur‟an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti
sama-sama membicarakan berdasarkan kronologi serta sebab
turunnya ayat-ayat tersebut, kemudian mulai memberikan
keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.27
Penelitian ini termasuk kedalam penelitian tematik, dala hal
ini tema yang diangkat adalah tentang Fitnah menurut al-Sya’ra>wi,
dalam penelitian ini penulis akan membahas tema tersebut dengan
menyajikan ayat-ayat tentang Fitnah kemudia dipahami dan di
analisis menggunakan metode tematik milik al-Farmawi, sehingga
menjadi suatu pembahasan yang utuh. Adapun langakah-
langkahnya yaitu: menetapkan masalah yang akan dibahas (topik),
menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut,
menyusun ayat-ayat tersebut sesuai dengan masa turunnya atau
asbab an-nuzul, munasabah ayat-ayat tersebut dalam surahnya
masing-masing, menyusun tema pembahasan dalam kerangka yang
sempurna dengan sistematis dan utuh (outline), mempelajari ayat-
ayat dengan menyeluruh dan menghimpun ayat-ayat yang serupa
dan mengkompromikan antara yang „am dengan yang khas dan
mutlaq dengan muqayyad atau yang pada lahirnya bertentangan
sehingga semua ayat tersebut bertemu pada suatu muara, tanpa
perbedaan dan pemaksaan.28

27
Muhammad Kahfi Al-Banna, Kehidupan Penduduk Neraka di Dalam Al-qur‟an
(Kajian Tafsir Tematik), (Skripsi: UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2016), 13.
28
Abd Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟I dan cara penerapannya, terj,
Rosihon Anwar (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), 51.
16

I. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatakan pembahasan yang sistematis dan mudah
dipahami, maka penulisan skripsi ini akan terbagi menjadi beberapa
bab. Adapun rencana garis besar sistematika penulisan skripsi ini
antara lain:
Bab pertama yaitu pendahuluan. Di dalamnya terdapat latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjaun pustaka, metedologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab yang kedua menjelaskan landasan teori Fitnah dan segala
yang berhubungan dengannya termasuk pendapat para ulama
mengenai pengertian Fitnah, macam-macam dan dampaknya, Dalam
hal ini, Terdiri dari beberapa sub bab, yakni:
1. Pengertian Fitnah baik dalam Al-Quran maupun secara umum.
2. Menampilkan ayat-ayat Fitnah secara keseluruhan.
3. Menampilkan pendapat para ulama tentang Fitnah.
Bab yang ketiga, pada bagian ini akan membahas Muhammad
Mutawalli al-Sya’ra>wi dan Tafsirnya yang dari riwayat hidup
Muhammad Mutawalli al-Sya’ra>wi, karya-karya Muhammad
Mutawalli al-Sya’ra>wi, pandangan ulama tentang Muhammad
Mutawalli Al-Sya’ra>wi, serta pengenalan tafsir al-Sya’ra>wi.
Bab yang keempat Analisis arti Fitnah dalam al-Qur‟an, Fitnah
dalam surah al-Nisa> ayat 91, Fitnah dalam surah al-Baqarah ayat 191
dan 217, Fitnah dalam surah al-Anfa>l ayat 25 dan kesaman dan
perbedaan makna yang ditunjuk.
Bab kelima, penutup. Sebagai penutup pembahasan ini akan
ditarik kesimpulan dan menjawab permasalahan yang telah dibahas
dibab-bab sebelumnya sembari menguraikan saran-saran atas
permsalahan tersebut.
BAB II
LANDASAN TEORI TENTANG FITNAH

A. Pengertian Fitnah
1. Menurut Bahasa dan istilah.
Kata Fitnah berasal dari kata fatana yang terdiri dari tiga huruf
fa-ta-na yang bermakna cobaan, ujian serta bencana. Menurut Ragib
al-Asfahani (w. 502 H) pada mulanya kata tersebut memiliki makna
dasar seperti ungkapan “membakar emas untuk mengetahui kadar
kualitasnya” seorang pandai emas disebut dengan al-Fatin, dengan
tujuan menguji kadar kualitas dari logam tersebut. 1 Dari segi
Bahasa, kata Fitnah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai “ perkataan bohong atau tanpa dasar kebenaran yang
disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti: menodai
nama baik, merugikan kehormatan orang). Ia adalah bentuk mashdar
(verbal-noun atau kata jadian). ia terambil dari akar kata arab
dengan huruf-huruf f, t, n, yang menunjukkan pada makna ibtila>‟
wa ikhtibar (ujian dan cobaan), imtih}an (ujian), al-Ih}raq (membakar
atau menyiksa), misalnya fatanul al-z|ahaba fi al-nar (aku telah
membakar emas dengan api).2
Kata Fitnah dan derivasinya terdapat dalam al-Qur‟an
sebanyak 60 kali. Menurut Ibn Manz}u>r dalam kitabnya lisan al-Arab
Fitnah mempunyai makna yang sesuai dengan konteksnya, antara
lain: cobaan atau ujian, kufur, syirik, penganiyayaan, bencana dan
lain-lain. Adapun kata Fitnah ditinjau dari segi ilmu sharaf
(morfologi) berasal dari susunan tiga huruf fa, ta dan nun. Bentuk

1
Ahmad Bin Faris Bin Zakariya, Mu‟jam Maqayis al-Lugah, juz IV (Dar al-Fikr,
1319H/1979 M), 472.
2
Mardan, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Malapetaka, (Jakarta, 2008), 68.

17
18

fi‟il madhi-nya (pas tense), yaitu Fatana dan fi‟il mudhari‟-nya


(present tense) adalah yafutunu. selanjutnyaterbentuklah isim
mashdar, yaitu bentuk kata nominal yang menunjukkan kejadian
atau pekerjaan tanpa dibatasi oleh waktu dan dalam Bahasa
Indonesia disebut dengan kata benda abstrak.3
Kata atau istilah Fitnah dalam teks al-Qur‟an dinyatakan
dalam beberapa konteks yang berbeda-beda, antara lain:
a. Harta benda dan anak. (QS. Al-Anfa>l [8]: 28)
ٰ
َ ّ َُّ َ‫﴿ َٗا ْعيَ َُ ْْٓ٘ا اََّّ ََآْ اَ ٍْ َ٘اىُ ُن ٌْ َٗاَْٗ ََل ُد ُم ٌْ ِف ْرَْحٌ ۙ َّٗا‬
﴾ ࣖ ٌٌ ْٞ ‫ّللا ِع ْْذ َْٓٓ اَجْ ٌش َع ِظ‬
“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada
pahala yang besar”

b. Keadaan orang-orang yang lemah iman. (QS. Al-Ankabu>t [29]:


10)
ّٰ ‫ب‬
ِْ ِٕ‫ّللاِ ْۗ َٗىَ ِن‬ ِ ‫اط َم َع َزا‬ ِ َّْ‫ّللاِ َج َع َو فِ ْرَْحَ اى‬ّ ٰ ِٚ‫ ف‬ٛ َ ‫اّللِ فَا ِ َرآْ اُْٗ ِر‬ّ ٰ ِ‫َّقُْ٘ ُه ٰا ٍََّْا ت‬ٝ ِْ ٍَ ‫اط‬ ِ َّْ‫﴿ َٗ ٍَِِ اى‬
﴾ َِْٞ َِ َ‫ص ُذْٗ ِس ا ْى ٰعي‬ ّ ٰ ‫ْظ‬
ُ ْٜ ِ‫ّللاُ ِتا َ ْعيَ ٌَ ِت ََا ف‬ َ ِّ‫َج ۤا َء َّصْ ٌش ٍِّ ِْ َّست‬
َ َٞ‫َقُْ٘ ىُ َِّ اَِّّا ُمَّْا ٍَ َع ُن ْۗ ٌْ اَ َٗى‬َٞ‫ل ى‬
“Dan di antara manusia ada sebagian yang berkata, “Kami
beriman kepada Allah,” tetapi apabila dia disakiti (karena dia
beriman) kepada Allah, dia menganggap cobaan manusia itu
sebagai siksaan Allah. Dan jika datang pertolongan dari
Tuhanmu, niscaya mereka akan berkata, “Sesungguhnya kami
bersama kamu.” Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang
ada di dalam dada semua manusia”

c. Nikmat Allah, (QS. Al-Zuma>r [39]: 49)


َٜ ِٕ ْ‫ ِع ْي ٌٍ ْۗتَو‬ٚ‫رُٔ ع َٰي‬ْٞ ِ‫ض ٌّش َدعَاَّ ۖا شُ ٌَّ اِ َرا َخ َّ٘ ْى ُْٰٔ ِّ ْع ََحً ٍَِّّْ ۙا قَا َه اَِّّ ََآْ اُْٗ ذ‬ ُ َُ‫اَل ّْغَا‬ ِ ْ َّ‫﴿ فَا ِ َرا ٍَظ‬
﴾ َُْ٘ َُ ‫َ ْع َي‬ٝ ‫ِف ْرَْحٌ ٗ َّٰى ِن َِّ اَ ْم َص َشُٕ ٌْ ََل‬
“Maka apabila manusia ditimpa bencana dia menyeru Kami,
kemudian apabila Kami berikan nikmat Kami kepadanya dia
berkata, “Sesungguhnya aku diberi nikmat ini hanyalah karena

3
Lilik Ummi Kaltsum, “Cobaan Hidup Dalam Al-Qur‟an: Studi Ayat Fitnah
Dengan Aplikasi Metode Tafsir Tematik”. Ilmu Ushuluddin, Vol. 5 no.2 (juli 2018): 138.
19

kepintaranku.” Sebenarnya, itu adalah ujian, tetapi kebanyakan


mereka tidak mengetahui”
Pengertian di atas mempunyai korelasi dengan arti yang
digunakan dalam Bahasa Arab. Fitnah menurut Bahasa Arab lebih
dimaknai kepada sifat tertentu untuk dibakar (berupa benda-benda
logam: emas atau perak) dengan tujuan diperoleh kemurniannya.
Adapun al-Qur‟an memaknai kata Fitnah di banyak tempat secara
varian dan berbeda-beda sesuai dengan konteks ayatnya, kata Fitnah
menunjukkan kepada bencana, syirik, ujian, siksaan, kez}aliman,
kesesatan dan bahkan termasuk kepada kategori kegilaan. Dengan
demikian, apa yang dijadikan sandaran terhadap pemaknaan kata
Fitnah, al-Qur‟an lebih general daripada pemaknaan secara parsial
seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kendati pemaknaan itu tetap
saja mengarah kepada suatu tindakan yang kurang baik atau
perbuatan yang akan menimbulkan bahaya yang lebih besar. Bahkan
sejumlah pemaknaan ini jika dikondisikan dengan makna yang
terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, seperti yang
disebutkan di atas memiliki penilaian yang berbeda. 4
Salah satu perbedaan yang menonjol adalah terbatasnya
interperetasi makna Fitnah berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia, yakni sebatas pencemaran nama baik atau mengikat
dalam konteks yang parsial. Bahkan bentuknya pun dapat diketahui
seacara langsung sikap memfitnah, kendati tidak dapat diperjelaskan
secara eksplisit apakah tindakan mem-fitnah itu dikategorikan
kedalam sifat seseorang yang suka mem-fitnah. Kata Fitnah ketika
sudah masuk kedalam bahasa Indonesia sering dipahami banyak

4
Umar Latif, “konsep Finnah Menurut Al-Qur‟an” Jurnal Al-Bayan, vol. 22 no, 31
(Januari-Juni 2015): 74.
20

orang secara parsial, sebagaimana tampak dalam pengertian menurut


KBBI ialah perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran
yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang lain. 5
Sebagi konsep moral yang besar pengaruhnya. Fitnah dan
derivasinya terdapat dalam al-Qur‟an sebanyak 58 ayat dalam 32
surah. Secara rinci kata ini disebut dalam bentuk fi‟il madhi (kata
kerja lampau), sebanyak 11 kali, dalam bentuk fi‟il mudhari‟ (kata
kerja sekarang dan akan datang), sebanyak 12 kali, sedangkan dalam
bentuk mashdar sebanyak 35 kali, dan isim fa‟il sebanyak 1 dan dan
isim maf‟ul juga 1 kali.6
Kata-kata tersebut dikaitkan dengan konteks yang berbeda-
beda dan menunjukkan arti yang saling tumpah tindih dan saling
melengkapi. Beberapa kamus arab memberikan arti Fitnah dalam al-
Qur‟an bermacam-macam, antara lain: cobaan, ujian, kesesatan,
dosa, „azab, godaan, terbukanya aib, kekacauan dan penganiyayaan.
Pada priode Mekkah kata Fitnah dan derivasinya muncul di dalam
al-Qur‟an sebanyak 33 kali dengan perincian: bentuk isim 14 kali
dan bentuk fi‟il 19 kali. Dari banyaknya kalimat fi‟il yang
dipergunakan, ayat-ayat priode ini lebih mengarah pada penegasan
bahwa Allah akan selalu memberikan ujian pada hambanya mukmin
atau kafir. Ayat-ayat tersebut lebih banyak ditujukkan kepada orang-
orang kafir yang selalu mendustakan ajaran nabi-nabi mereka.
Sedangkan pada priode Madinah, kata Fitnah dan derivasinya
muncul di dalam al-Qur‟an sebanyak 26 kali, bentuk nominal 21 kali
dan bentuk verbal 5 kali. Pada priode ini ajaran islam lebih
ditekankan pada bidang mu‟amalah, hubungan sosial, perintah untuk

5
Abdul Mustaqim, “Teologi Bencana Dalam Perspektif Al-Qur‟an” Jurnal nun, vol
1, no 1, (2015): 103.
6
Mardani, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Malapetaka, 69.
21

berperang dan perundang-undangan, sehingga tidak sedikit orang-


orang yang hanya menerima ajaran Islam jika hal itu dirasa
menguntungkan mereka. Sebaliknya mereka akan berpaling jika
Islam dirasa merugikan. Oleh karena itu ayat-ayat pada priode ini
banyak ditujukan kepada kaum munafik.7
Pada dasarnya keberagaman makna Fitnah dalam ayat-ayat al-
Qur‟an secara global dapat diklasifikasikan sebagi berikut:
1. Fitnah yang berarti cobaan buruk atau cobaan yang
menyusahkan seperti bencana dan kelaparan termasuk juga
perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan menentang
kebenaran. Fitnah dalam makna ini terdapat di 54 ayat.
2. Fitnah yang berarti cobaan baik yaitu cobaan melalui
kenikmatan dan kesenangan terdapat dalam tiga ayat.
3. Fitnah yang berarti cobaan secara umum. Artinya, secara umum
dijelaskan bahwa dalam kehidupan ini pasti ada ujian baik
maupun buruk. Hal ini terdapat dalam tiga ayat. Adapun acuan
pengklasifikasian ini melalui kata-kata atau tema pokok yang
terdapat dala setiap ayat. Apabila ditemukan kesulitan dengan
acuan tersebut, maka ditempuh dengan pengaitan yang dibahas
dengan ayat-ayat sebelumnya, sesudah kedua-duanya. Sedang
penelusuran pengertian lewat penafsiran-penafsiran yang
dikemukakan oleh para mufassir dimaksudkan sebagai pembantu
untuk merumuskan pengertian yang utuh.8
Secara istilah Sa‟id Hawa mengemukakan makna Fitnah
menurut istilah, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Al-
Mubayyadh dalam bukunya bahwa Fitnah adalah penetap syariat

7
Lilik Ummi Kaltsum, “Cobaan Hidup Dalam Al-Qur‟an”, 139.
8
Lilik Ummi Kaltsum,” Cobaan Hidup Dalam Al-Qur‟an, 140.
22

digunakan secara mutlak untuk menggambarkan pertikaian internal


yang tidak jelas ujung pangkalnya antara kaum muslimin,
sebagaimana Fitnah juga digunakan secara mutlak tersebarluasnyya
pemikiran-pemikiran aneh lalu digunakan pula pada cengkeraman
yang dilakukan oleh orang-orang kafir z}a>lim terhadap orang-orang
beriman.
Fitnah digunakan secara mutlak pada kekacauan tanpa terang
duduk permasalahannya (konfirmasi) dalam dinamika politik,
fanitisme golongan, serta penyerangan dan penyerbuan yang di
sebabkan oleh fanstisme. Istilah Fitnah juga diartikan secara mutlak
pada apa saja yang memfitnah manusia dalam agamanya, baik
berupa harta, pangkat atau kehormatan diri, perasan batin, ataupun
orientasi batin. Termasuk pula dalam cakupan terminologi Fitnah
dalah provokasi antar manusia dan upaya untuk membelah-belah
antara orang yang saling mencintai. Berdasarkan semua itu, dapat
dikatakan bahwa makna Fitnah adalah apa saja yang menghadang
manusia berupa ujian atau saringan pembersihan, baik yang berasal
ummat muslim (internal) maupun dari ummat yang lain (eksternal),
baik dalam tingkat individu, masyarakat maupun golongan, baik
Fitnah yang berkaitan syahwat atau syubhat, yang mengakibatkan
sesatnya sebagaian orang dan penyimpangan dari jalan kebenaran,
atau berselishnya hati mereka serta apa yang di akibatkan darinya
berupa terjadinya aksi pembunuhan di antara mereka, atau
terjatuhnya mereka ke dalam dosa, kesesatan, atau keluar dari agama
Allah menuju kepada kekafiran.9

9
Muhammad Ahmad Al-Mubayyadh, “Al-Mausu‟ahim Wa Asyrath As-sa‟ah Terj:
Ahmad Dzulfikar, Ensiklopedia Akhir Zaman”, cet, I (Surakarta: Mediatama, 2014), 450.
23

Kata Fitnah dapat disebut juga penggunaan dan penekanannya


lebih banyak ditujukan kepada sesautu yang bersifat kesulitan. Inilah
salah satu perbedaan penggunaan kata bala‟ dengan Fitnah. Kata
Fitnah tidak selalu ujian sesorang dalam kehidupan di dunia ini,
namun juga bemakna siksaan kepada manusia di akhirat. 10 Seperti
pada QS. al-Tagabun, [68]: 15
ّ ٰ َٗ ْۗ ٌ‫﴿ اَِّّ ََآْ اَ ٍْ َ٘اىُ ُن ٌْ َٗاَْٗ ََل ُد ُم ٌْ فِ ْرَْح‬
﴾ ٌٌ ْٞ ‫ّللاُ ِع ْْذ َْٓٓ اَجْ ٌش َع ِظ‬
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar”
2. Macam-Macam Fitnah
Dari pembahasan di atas telah diuraikan pengertian Fitnah
secara umum dan dalam pandangan al-Qur‟an. Dari berbagai
macam Fitnah yang muncul dan berkembang bagi umat manusia
bila diklasifikasikan terdapat berbagai macam bentuk. Adapun dari
Fitnah tersebut yang menonjol adalah sebagaimana yang tertera
dalam hadis} rasul dan dalam doanya memohon perlindungan dari
kejamnya Fitnah. Kata Fitnah kata yang sering didengar oleh
manusia dalam kehidupan sehari-hari walaupun dengan pengertian
yang sangat sempit, seringkali terjadi pemaknaan Fitnah hanya
sebatas tuduhan yang tidak dilandasi bukti benar kepada seseorang
atau kelompok orang tertentu. Padahal Fitnah mempunyai makna
yang lebih luas daripada itu sebab segala bentuk macam cobaan dan
ujian serta siksaan dan kesesatan itu pun termasuk dalam kategori
Fitnah.11

10
Dede Rodin, Teologi Bencana Dalam Perspektif al-Qur‟an, (Semarang: Puslit
IAIN Walisongo, 2010), 38.
11
Siti Nurfutriah, Fitnah Dalam Perspektif M. Quraish Shihab “Telaah Ayat-Ayat
Fitnah Dalam Al-Qur‟an”, (skripsi: IAIN Ponorogo, 2017), 40.
24

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa pengertian


dan sumber Fitnah yang ada dalam kehidupan manusia dapat
diklarifikasikan dalam beberapa aspek. Adapun Fitnah secara gari
besar terbagi dalam beberapa macam bentuk Fitnah adalah sebagai
berikut:
A. Fitnah Ahlas
Kata Ahlas merupakan bentuk plural dari kata “Hislun”
atau “Halasun” yaitu alas pelana, kain dipungung unta yang
berada di bawah pelana. Fintah ini diserupakan dengan alas
pelana karena ada persamaan dari sisi terus menerus menempel
atau terjadi. Imam Khattabi mengatakan, “Fitnah ini
disambungkan dengan kata Ahlas karena Fitnah itu terus
menerus terjadi dan berkepanjangan dalam waktu lama, atau
karena warnanya hitam dan gelap. Wujud dari Fitnah ahlas ini
dijelaskan langsung oleh Rasulullah dan Harabun. Kata harabun
maknanya menurut imam Al-Qari adalah sebagian manusia lari
dari sebagian yang lain karena di antara mereka ada permusuhan
dan peperangan. Kata harabun berawal dari kata huriba al-
Rujulu, artinya harta dan keluarga dirampas tanpa tersisa lagi.
Harabun di sini berarti kehilangan harta dan keluarga. Demikian
penjelasan Imam Syamsul Haq „Az}im dan Imam Ibn As}ir Al-
Azhari.14
B. Fitnatu Sarra‟
Imam Ali al-Qari menyatakan yang dimaksud dengan
Fitnah ini adalah nikmat yang menyenangkan manusia, berupa
kesehatan, kejayaan, selamat dari bencana. Fitnah ini

14
Siti Nurfitriah, Fitnah Dalam Perspektif M. Quraish Shihab “Telaah Ayat-Ayat
Fitnah Dalam Al-Qur‟an”, 42.
25

disambungkan dengan Sarra‟ karena terjadinya disebabkan


timbul adanya berbagai kemaksiatan karena kehidupan yang
mewah, atau karena kekayaan tersebut menyenangkan musuh.
Terjadinya Fitnah sarra‟ ini diawali oleh seseorang secara nasab
bersambung kepada Rasulullah saw, (Ahlu Bait). Namun
perilakunya yang menyebakan bencana ini menjadikannya tidak
bisa dianggap sabagai bagian dari Rasulullah SAW, karena wali
Rasulullah hanyalah orang-orang yang bertakwa semata.15
C. Fitnah Duhaima‟
Kata Duhaima‟ merupakan bentuk tashgir (pengecilan)
dari kata daham, yang berarti hitam atau gelap. Fitnah ini akan
meluas mengenai seluruh ummat ini. Meskipun manusia
menyatakan Fitnah tersebut telah berhenti, ia akan terus
berlangsung dan bahkan mencapai puncaknya. Puncak dari
Fitnah ini adalah terpecahnya ummat manusia menjadi dua
fusthath (kelompok/kota), kelompok mukmin sejati tanpa
sedikit pun munafik dan kelompok munafik sejati tanpa sedikit
pun mukmin. Apa yang disebutkan Rasulullah saw di atas ada
yang sudah terjadi dan terus berlangsung hingga saat ini.
Tentang Fitnah duhaima‟ yang digambarkan bagai kegelapan
yang menyelimuti seluruh manusia. Dan Rasulullah SAW,
menyebutkan tidak ada seorang pun kecuali pasti akan
dihantamnya.maka berbagai pristiwa yang terjadi dibelahan
dunia telah memberikan bukti.16

15
Al-Adnani, Abu Fatih, “Fitnah Dan Petaka Akhir Zaman: Detik-Detik Menuju
hari Kehancuran Alam Semesta”, Cet, 1. (Surakarta: Granada Mediatama, 2007), 111.
16
Al-Adnani, Abu Fatih, “Fitnah Dan Petaka Akhir Zaman: Detik-Detik Menuju
hari Kehancuran Alam Semesta”, 112.
26

B. Term-Term Yang Semkna Dengan Fitnah


Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan penngunaan kata
Fitnah dalam al-Qur‟an. Kata ini tercatat sebanyak 60 kata dalam al-
Qur‟an, terdapat pada 58 ayat, baik yang berbentuk kata kerja maupun
kata benda, dan yang turun pada priode Mekkah dan Madinah.
Pembahasan tersebut menghasilkan suatu kesimpulan, bahwa yang
dimaksud dengan Fitnah dalam konsepsi al-Qur‟an lebih spesifik pada
makna ujian dan cobaan.17
Ada beberapa istilah yang digunakan al-Qur‟an untuk
menunjukkan sesuatu yang tidak disenangi anatara lain Mus}i>bah, Bala‟>,
Az\ab, Imtih}a>n, dan Fitnah.18 Dan saya akan menguraikan sekilas
tentang term-term yang semakna dengan kata Fitnah.
1. Al-Bala>‟
Kata al-Bala>’ mempunyai makna cobaan atau ujian, baik
berupa cobaan kelapangan maupun kesempitan dalam kehidupan.
Term-term al-Bala>‟ dengan segala bentuk derivasinya terulang
dalam al-Qur‟an sebanyak 38 kali. Dalam pengertian verbal-nya, ia
berasal dari akar kata dengan huruf-huruf b, l, w, menjadi bala>‟.
Kata al-Bala>‟ dipergunakan untuk objek yang sifatnya material
maupun immaterial. Selain itu, Ahamad Bin Faris (395 h)
menyebut dua arti lain dari kata bala>‟, yakni ikhlaq al-Syai‟
(usangnya sesuatu dan mu‟min al-ikhtibar) (bagian dari ujian) dua
arti yang disebutkan masih erat kaitannya dengan pengertian asal,
yakni al-Bala>‟ adalah ujian., baik berupa kesenangan-kesenangan
hidup maupun kesengsaraan-kesengsaraan hidup.19

17
Habibuddin, “Fitnah Dalam Al-Qur‟an” (Tesis: IAIN Sumatra Utara, 2012), 96.
18
M. Quraish shihab, “Membumikan Al-Qur‟an” Jilid 2, cet, 1. (Jakarta: Lentera
Hati, 2010), 772.
19
Mardani, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Malapetaka, 54.
27

Dalam al-Qur‟an al-Bala>‟ mempunyai makna yang sama


dengan al-ibtala> yang berarti cobaan dan ujian. Meskipun
demikian, dalam ayat-ayat al-Qur‟an penggunaan kata al-Bala>‟
lebih sering menunjukkan ujian kebaikan. Sedangkan al-Ibtala>’
lebih sering menggunakan ayat-ayat yang berkaitan dengan ujian
keburukan. Pada dasarnya kedua kata tersebut dapat menunjukkan
pengertian ujian kebaikan maupun keburukan. seperti Firman
Allah dalam QS, al-Anbiya [21]: [35].
ِ ْۗ ََْ٘ ‫ظ َر ۤا ِنِٕقَحُ ا ْى‬
﴾ َُ ُْ٘‫َْا ذُشْ َجع‬ْٞ َ‫ ِْش فِ ْرَْحً ْۗ َٗاِى‬ٞ‫خ ََّٗ ْثيُْ٘ ُم ٌْ ِتاى َّش ِّش َٗا ْى َخ‬ ٍ ‫﴿ ُم ُّو َّ ْف‬
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami”
Term bala>‟ dengan makna ikhtibar (ujian) yang menunjukkan
bentuk cobaan yang menyenangkan, misalnya dalam surat al-
Anfa>l/8:17, yakni ketika ummat islam diberi kemenangan pada
perang Badar. Dalam ayat tersebut, kemenangan dalam peperangan
disebut dengan kata bala>‟un hasana (ujian kemenangan). Demikian
pula ketika nabi Sulaiman diberikan berbagai kemuliaan berupa
kekayaan dan kekuasaan serta kemampuan berkomunikasi dengan
hewan.20
M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa kata bala>‟ berarti
ujian atau cobaan. Kata ini digunakan untuk beberapa makna,
antara lain: mengetahui, membongkar dan menguji. Ketiga makna
ini dapat bertemu jika kita menyadari bahwa ujian adalah
membongkar sikap atau apa yang dikandung oleh seseorang

20
Abu Ja‟far Muhammad Bin Jarir al- Thabari, Jami‟ al-Bayan „an Ta‟wili ayi al-
Qur‟an, Penerjemah Ahmad Affani vol 10(Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2008): 854-
877.
28

(misalnya pengetahuannya), guna mengetahui kualitas yang


dibongkar itu.21
Adapun persamaannya, Fitnah dengan bala>‟ yaitu, bahwa
Fitnah dan bala‟ menunjukkan pada peta yang sama. Menurut M.
Quraish Shihab bala>‟, merupakan keniscayaan dan dijatuhkan oleh
Allah swt. Walau tanpa kesalahan manusia. Dan yang asas dengan
Fitnah adalah sama-sama dijatuhkannya bencana kepada
manusia.22
Penggunaan Fitnah dan penekanannya lebih banyak
ditujukan kepada sesuatu yang bersifat kesulitan. Inilah salah satu
perbedaan penggunaan kata bala>‟ dengan Fitnah. Kata Fitnah juga
tidak selalu berarti ujian yang dialami seseorang dalam
kehidupannya di dunia, namun juga bermakna siksaan kepada
manusia di akhirat.23
Sebagaimana disebutkan dalam QS al-Z|ariyat/51: 13-14.
﴾ َُ ُْ٘‫ْ ُم ْْرُ ٌْ ِت ٖٔ ذَ ْغرَ ْع ِجي‬ٛ‫ُ ْفرَُْْ٘ َُ ُرْٗ قُْ٘ ا ِف ْرَْرَ ُن ْۗ ٌْ ٰٕ َزا اىَّ ِز‬ٝ ‫اس‬
ِ َّْ‫ اى‬َٚ‫َْ٘ ًَ ُٕ ٌْ َعي‬ٝ ﴿
“Hari pembalasan itu ialah) pada hari (ketika) mereka
diazab di dalam api neraka. Dikatakan kepada mereka),
“Rasakanlah azabmu ini. Inilah azab yang dahulu kamu
minta agar disegerakan.”
Perbedaan keduanya karena dapat dikatakan kata bala‟, pada
dasarnya, digunakan dalam konteks kehidupan didunia.24

21
M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misabah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur‟an,
juz XV, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2013), 184.
22
M.Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur‟an dan Dinamika Mehidupan
Masyarakat, (Jakarata: Lentera Hati 2006), 403.
23
Dede Rodin, Teologi Bencana dalam Perspektif al-Qur‟an, (Semarang, Puslit
IAIN Walisongo, 2010), 38.
24
Al-Raghib al-asfahani, Mu‟jam Mufradat Fi Alfaz al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-
kutub al- „Ilmiyayah, 1971), 322.
29

2. Mus}i>bah
Kata mus}i>bah sudah sangat populer di kalangan masyarakat
Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mus}i>bah
diartikan dengan: kejadian (pristiwa) yang menimpa, malapetaka,
bencana.25 Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa
mus}i>bah adalah semua kejadian atau pristiwa yang menimpa
manusia, baik yang bersifat ringan maupun yang berat yang sering
disebut dengan dengan berbagai bencana, seperti bencana alam,
berupa banjir, kebakaran, tanah longsor, angin puting beliung, dan
gempa bumi.
Jika menela‟ah al-Qur‟an, maka kata mus}i>bah yang berasal
dari asal kata As}aba ini beserta derivasinya cukup banyak
ditemukan, yaitu ada 77 kali disebutkan. Dan khusus kata Mus}i>bah
disebutkan dalam al-Qur‟an sebanyak 10 kali menunjukkan bahwa
kata tersebut memiliki nilai yang penting bagi manusia. sebagai
contoh kata mus}i>bah dikemukakan dalam al-Qur‟an dalam surat at-
T}aga>bun [64]:11
ّ ٰ َٗ ْۗ َٔ‫َ ْٖ ِذ قَ ْيث‬ٝ ‫اّلل‬
﴾ ٌٌ ْٞ ِ‫ ٍء َعي‬ْٜ ‫ّللاُ تِ ُن ِّو َش‬ ٰ ٰ
ِ ّ ِ‫ ُّْؤ ٍِ ْۢ ِْ ت‬ٝ ِْ ٍَ َٗ ْۗ ‫ّللا‬
ِ ّ ُِ ‫ْثَ ٍح اِ ََّل تِا ِ ْر‬ٞ‫ص‬
ِ ٍُّ ِْ ٍِ ‫اب‬
َ ‫ص‬َ َ‫﴿ ٍَآْ ا‬
“Tidak ada sesuatu mus}i>bah yang menimpa (seseorang),
kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada
Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya.
Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
Dalam menjelaskan ayat tersebut di atas Ibn Kas\ir
mengemukakan bahwa Allah menyatakan tiada sesuatu pun yang
terjadi di alam ini melainkan dengan kehendak dan kekuasan Allah
swt, sedang siapa yang beriman kepada Allah baik Qad}a> maupun
takdirnya , dengan iman itulah hati akan mendapatkan
25
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998):
602.
30

ketenanangan, karena ia telah yakin bahwa yang dikehendaki tidak


akan terjadi.26
Adapun persamaan Fitnah dan mus}i>bah adalah al- mus}i>bah
terjadi atau menimpa akibat kesalahan manusia sendiri. Begitupun
dengan Fitnah bahwa Allah juga akan menjatuhkan bencana sesuai
dengan kesalahan manusia. Menurut Ahmad Must}afa al-Mara>gi
bahwa Fitnah adalah cobaan dan ujian yang diberikan kepada
siapa saja, baik mukmin maupun kafir, lalu diberikan balasan
kepada masing-masing sesuai perbuatan yang dilakukannya,
dengan maksud apakah mau berpegang kepada kebenaran atau
justru kebatilan, tetapkah kebaikan atau justru kejahatan.27
Dengan demikian, mus}i>bah dapat didefinisikan sebagai
sesuatu yang menimpa manusia dengan bentuk yang bermacam-
macam baik berupa bencana malapetaka yang sifatnya tidak
menyenangkan dengan tujuan sebagi ujian atau az\ab bagi manusia.
Dan setelah melihat persamaan di atas dapat pula dilihat dari segi
perbedaannya bahwa Fitnah sangat luas cakupan maknanya dan
mencakup juga mus}i>bah di dalamnya sebagaimana menurut M.
Quraish Shihab yang dimana menimpakan bencana baik yang
bersalah maupun yang tidak bersalah.28
3. „Az\ab
Kata „az\ab yang terdapat dalam Bahasa Indonesia berasal
dari kata yang sama dalam Bahasa Arab. Sesuai penjelasan yang
terdapat dalam KBBI, kata „az\ab diartikan dengan siksaan tuhan

Abdul Rahman Rusli Tanjung, “Mus}i>bah Dalam Perspektif AL-Qur‟an: Studi


26

Analisis Tafsir Tematik” Analyita Islamica, Vol, 1. no.1 (2012): 149.


27
Ahamad Mustafa al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Cet II (Semarang: Karya Toha
Putra Semarang, 1974), 295.
28
M.Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur‟an dan Dinamika Mehidupan
Masyarak, 406.
31

yang diganjarkan kepada manusia yang melanggar larangan agama.


Melihat pada makna ini, maka „az\ab adalah pemberian rasa sakit
atau penyengsaraan, fisik maupun psikis, sebagai hukuman atas
perbuatan yang melanggar larangan agama. Kata „az\ab itu sendiri
sering digandengkan dengan kata sengsara. Berasal dari samsara
yang terdapat dalam Bahasa sangsekerta dengan diartiakan dengan
dua konteks berikut, yaitu: kesulitan dan kesusahan hidup,
penderitaan, dan menderita kesusahan, kesukaran dan sejenisnya.29
Kata „az\ab dan derivasinya disebutkan sebanyak 307 kali
dalam al-Qur‟an dan tampil dengan berbagai macam bentuk.
Penelusuran yang yang lebih jauh terhadap kata „az\ab yang
terdapat dalam al-Qur‟an mendapati bahwa „az\ab tidak semata
mata diberikan di akhirat, tetapi juga di dunia. Adapun ungkapan
yang digunakan al-Qur‟an untuk pernyataan ini adalah yang
terdapat di surah al-Sajadah [32]: 21 dengan ungkapan „az\ab di
dunia dan „az\ab yang lebih besar di akhirat.
﴾ َُ ُْ٘‫شْ ِجع‬َٝ ٌْ َُّٖ‫اَل ْم َث ِش ىَ َعي‬
َْ ‫ب‬ِ ‫ ُدْٗ َُ ا ْى َع َزا‬ّٰٚ ‫اَل ْد‬
َْ ‫ب‬ِ ‫قََُّْٖ ٌْ ٍَِِّ ا ْى َع َزا‬ْٝ ‫﴿ َٗىَُْ ِز‬
“Dan pasti Kami timpakan kepada mereka sebagian siksa
yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di
akhirat); agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Yang dimaksud dengan konteks „az\ab dunia adalah
seperti yang telah diberikan kepada ummat-ummat terdahulu,
sedangkan untuk „az\ab akhirat adalah siksaan yang bakal diterima
sesorang di neraka.29
Sebagain besar penggunaan kata „az\ab dalam al-Qur‟an
terletak pada akhir ayat sebagai penutup dan penyebutannya

29
Mardani, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Malapetaka, 79.
29
Iskandar Arnel, “Azab Dalam Eskatalog Ibn „Arabi”, An-Nida jurnal pemikiran
islam, vol.39, no. 1. (Januari-Juni 2014): 19.
32

dibarengi dengan kata-kata tertentu seperti „az\ab al-alim, „az\ab al-


„az\im dan lain sebagainya. Meskipun siksa Allah amat pedih, amat
besar, menghinakan dan lain-lain, namun sekali-kali Allah tidak
akan menyiksa suatu kaum atau manusia sebelum Allah mengutus
Rasul, ataupun menunjukkan antara yang baik dan yang buruk.
Dalam ayat lain Allah menjelaskan bahwa dia adalah maha
pengampun, sehingga selama manusia memohon ampun kepada
Allah , niscaya Allah akan memaafkannya.30
Persamaan Fitnah dengan al-„Az\ab adalah al-„Az\ab berarti
siksaan, atau hilangnya rasa aman, yang identik juga dengan
hukuman. Ketika melihat dari kesamaan tersebut maka dapat
diketahui dari Fitnah yang bermakna siksaan sehingga dapat
disamakan karena semakna dengan „az\ab, Fitnah disebutkan
sebagaimana yang digunakan dalam al-Qur‟an bahwa ditemukan
beberapa makna dalam arti memasukkan keneraka atau siksaan. 31
4. Imtah}an
Kata imtah}an dengan segala bentuk kata jadiannya
digunakan dalam al-Qur‟an sebanyak dua kali, yang tersebar pada
dua ayat, di dua surah, yang kedunya dalam bentuk kata kerja
lamapu (fi‟il mad}i).32 Di dalam QS. Al- H{ujurat [48]: 3 dan satu
kali dalam bentuk perintah, imtah}anu QS. al- Mumtah}anah [60]:
10, kedua surah ini membahas mengenai ujian, yang diberikan
pada orang yang beriman dan tujuannya juga berbeda-beda.33

30
Khafidoh, Teologi Bencana Dalam Persepktif M. Quraish Shihab, Esensia vol.14.
no. 1. (april 2013): 46.
31
Mardani, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Malapetaka, 81.
32
Mardani, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Malapetaka, 76.
33
M. Quraish shihab, ensiklopedia al-Qur‟an: kajian kosakata, cet, I. (Jakarta:
lentera hati, 2007), 352.
33

Karena itu, bila dikatakan Allah benar-benar membersihkan


hati mereka serta memurnikannya sebagaimana firman-Nya pada
QS. al-H{ujurat [49]: 3
ّ ٰ َِ‫َِ ا ٍْرَ َح‬ْٝ ‫ل اىَّ ِز‬ ٰۤ ُ ّ ٰ
ْٙۗ ٰ٘ ‫ّللاُ قُيُْ٘ تَُٖ ٌْ ىِيرَّ ْق‬ َ ِِٕ‫ٗى ن‬ ِ ‫ضْ٘ َُ اَصْ َ٘اذَُٖ ٌْ ِع ْْ َذ َسعُْ٘ ِه‬
‫ّللا ا‬ ُّ ‫َ ُغ‬ٝ َِْٝ ‫اِ َُّ اىَّ ِز‬
ٌٌ ْٞ ‫ىَُٖ ٌْ ٍَّ ْغفِ َشجٌ َّٗاَجْ ٌش َع ِظ‬
“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di
sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji
hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan
memperoleh ampunan dan pahala yang besar”
Kata imtih}ana pada ayat di atas digunakan antara lain dalam
arti membersihkan atau menguji dengan sungguh-sungguh. Kata
ini biasa digunakan oleh pandai emas yang membakar emas guna
membersihkan kadarnya dan mengetahui kualitasnnya. Allah
membersihkan hati manusia antara lain dengan meletakkan aneka
kewajiban atau ujian kepadannya sehingga hatinya menjadi bersih
dan berkualitas tinggi. Dan dengan imtah}an dipakai dalam arti
mengetahui karena lewat kewajiban-kewajiban dan ujian- ujian itu
dengan baik.34
Persamaan Fitnah dengan imtah}an yaitu imtah}an adalah
mengenai ujian, yang diberikan pada orang yang beriman dan
tujuannya juga berbeda-beda bentuknya sesuai dengan objeknya.
Semua itu hanya ujian yang Allah berikan semata kepada
hambanya untuk melihat apakah ia berhasil dalam menjalani ujian
itu atau tidak. dan kesamaan dengan Fitnah bahwa terdapat juga
didalamnya sebagaimana kadar kemampuan manusia dalam
mengahadapi Fitnah yang mencakup ujian, ketika Allah ingin
menguji setiap hambanya baik dari segi iman, dan ketakwaannya. 35

34
M. Quraish shihab, ensiklopedia al-Qur‟an: kajian kosakata, 360.
35
Khafidoh, Teologi Bencana Dalam Persepktif M. Quraish Shihab, 50.
34

C. Pendapat Para Ulama Tentang Fitnah


Beberapa ulama Mufassir memberikan pendapat mengenai
pengertian dari seputar Fitnah, di antaranya:
1. Al-Raghib al-Ashfahani, dalam Mufradat-nya, menjelaskan bahwa
Fitnah terambil dari akar kata fatana yang pada mulanya berarti
“membakar emas untuk mengetahu kadar kualitasnya”, kata
tersebut digunakan al-Qur‟an dalam arti “memasukkan ke neraka”
atau siksaan.36
2. Sayyid Quthb, secara panjang lebar menemukakan aneka Fitnah
atau ujian yang merupakan sunnatullah terhadapa keimanan orang
yang beriman. Menurutnya, Fitnah itu bisa dalam bentuk
menghadapi gangguan kebatilan dari para pelaku kebatilan, lalu
sang mukmin tidak mendapatkan perlindungan yang dapat
mendukungnya untuk menangkis kebatilan atau pendukung yang
dapat memebelanya, tidak juga kekuatan untuk membelanya.
Menurut Sayyid, inilah makna yang paling menonjol dari Fitnah
dan yang muncul seketika dalam benak jika kata tersebut
terucapkan. Tetapi bukan itu Fitnah yang paling dahsyat. Masih
banyak bentuk-bentuk lain yang boleh jadi lebih sulit dan lebih
parah. Ada Fitnah keluarga dan teman-teman, yang sesorang takut
jangan sampai mereka ditimpa kesulitan disebkan olehnya sedang
dia tidak mampu mengatasi kesulitan itu. Mereka boleh jadi
bermohon agar ia mengalah dan menyerah dengan
memperatasnamakan cinta dan kekerabatan. Fitnah semacam ini
disinggung pada surah ini QS. al-Ankabut[29] yaitu yang berkaitan
dengan kedua ibu bapak yang memaksa anaknya murtad.37

36
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, “Fitnah” Ensiklopedi Islam, jil. 1.
(Jakarta: 1992), 301.
37
M. Qurasih Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
vol 10. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 440.
35

3. Menurut Ibn al-Arabiy Fitnah mempunyai banyak arti, antara lain


juga bisa berarti harta yang melimpah, anak-anak kufur, perbedaan
terdapat di antara manusia, memasukkan manusia kedalam api
neraka, percobaan menguji keimanan, bingung (pikiran), siksaan,
kedzaliaman, kesesatan, peperangan, membuka kejelekan orang
lain.38
4. Abdullah Yousuf Ali memberikan arti Fitnah, Mulai cobaan atau
godaan, bencana dan hukuman, teror atau huru hara , tapi juga
penindasan, ketidak harmonisan, perpecahan, pengacauan dan
perang sudara.39
5. M. Quraish Shihab juga memberikan makna Fitnah dalam bentuk
kemegahan hidup dan hiasan duniawi yang melimpah, sukses dalam
masyarakat, nama harum dan kekaguman mereka, tetapi itu tercurah
kepada para pendurhaka dan dilihat dengan jelas oleh orang yang
beriman dan yang hidup dalam kemiskinann atau kesederhanaan,
Ada juga Fitnah dalam bentuk keterasingan dalam masyarakat
akibat mempertahankan akidah, sedang yang berada di sekeliling
yang bersangkutan yang sendirian itu tenggelam dalam kesesatan.
Ada lagi Fitnah yang terlihat jelas dewasa ini, yaitu apa yang
dijumpai oleh seseorang pada keadaan bangsa-bangsa dan negara
yang tenggelam dalam kebobrokan moral, kendati dari segi material
mereka maju dan berperadaban. Selanjutnya Fitnah yang paling
besar lagi paling dahsyat adalah Fitnah hawa nafsu dan syahwat,
serta daya tarik bumi, kekuatan daging dan darah serta keinginan
nafsu untuk meraih kelezatan dan kekuasaan, atau lambat
datangnya bantuan Allah, semakin berat pula Fitnah itu dipikul.
Ketika itu, tidak ada yang dapat bertahan kecuali yang dipelihara

38
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, “Fitnah” Ensiklopedi Islam, 300.
39
Syu‟bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur‟an Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), 191.
36

oleh Allah SWT, dan mereka itulah yang membuktikan hakikat


iman pada diri mereka itulah ujian dan Fitnah.40

D. Penyebab Dan Dampak Dari Fitnah


Dari makna-makna Fitnah yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat, maka tanpa memperhatikan kenyataan bahwa Fitnah
adalah manifestasi dari perbuatan dosa, Fitnah terkait langsung kepada
spritualitas manusia. Fitnah adalah tanda dari penyakit psikologis dasar
yang berbahaya dan harus dicari dalam bidang spiritual dan psikologis.
Adapun beberapa faktor yang menjadikan manusia sering terjerumus
kedalam Fitnah adalah kesiapan hatinya menerimanya, tenggelam
dalam obrolan, menerima jabatan yang tidak mampu dilaksanakannnya,
sibuk berbicara tanpa bekerja, serta iri hati dan amarah. 41
Setiap tindakan individu manapun berasal dari kondisi tertentu
yang terletak dalam kata hatinya, sebagai hasil manifestasi kondisi
tersebut yaitu lidah, penerjemah perasaan manusia mengucapkan
Fitnah. Salah satu alsan Fitnah menyebar luas adalah orang yang
memitnah tidak memperhatikan terhadap efek sesudahnya yang
berbahaya. Manusia tidak berpikir dua kali dalam melakukan
kejahatan, tanapa perhatian kepada pengaruh sesudahnya sehingga
menghilangkan kendali manusia atas kemapuannya untuk menahan diri
dari mengikuti hawa nafsu yang tidak menghiraukan pengetahuannya
akan realitas mereka yang berbahaya. Untuk membawa jiwa manusia
keluar dari kegelapan menuju cahaya, manusia harus memeperkuat
semua pikiran mulia dalam pikirannya untuk melawan gagasan
inspirasi apapun yang merusak. Dengan menjaga lidah seseorang

40
M. Qurasih Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
440.
41
Husniyah, Fitnah Dalam Persepktif Al-Qur‟an, (Skripsi: UIN Ar-Raniry
Darussalam Banda Aceh, 2016), 80.
37

terhadap Fitnah, maka oramg tersebut telah mengambil langkah


pertama dalam menuju kebahagian.42
Said Ḥawa menjelaskan, sesungguhnya setan memiliki potensi
untuk merasuk ke dalam diri manusia, kecuali mereka yang mendapat
perindungan dari Allah swt. Syetan mengelabuhi manusia melalui
dorongan-dorongan syahwat mereka, dan syetan mengetahui titik-titik
kelemahan manusia, dan di antara jalan yang dipilih syetan untuk
menggoda manusia adalah, rasa cinta tehadap kemewahan duniawi,
bersifat rakus, berlebihan dalam segala hal, pelit dan takut miskin, serta
adanya sifat dengki dan iri hati.43
Kerugian yang paling berbahaya dari Fitnah adalah pengerusakan
kepribadian spiritual dari hati nurani orang yang memfitnah. Orang
yang melanggar jalan alami pikiran mereka akan kehilangan
keseimbangan berpikir dan sistem perilaku mereka yang mulia.
Terlebih lagi, membahayakan perasaan orang dengan membuka rahasia
dan kesalahan mereka.
Fitnah mengalihkan pikiran yang suci ke titik di mana gerbang
pemikiran dan pemahaman menjadi jalan buntu. Saat pembawa Fitnah
membahayakan masyarakat, maka masyarakat menemukan Fitnah telah
membuat kerusakan besar pada anggotanya. Fitnah memainkan peran
yang menghancurkan dalam menghasilkan permusuhan dan kebencian
di antara anggota-anggota masyarakat yang berbeda. Jika dibiarkan
menyebar ke bangsa manapun, maka fitnah akan menimbulkan
berbagai macam akibatnya, yaitu; Fitnah akan mengambil kejayaan,
nama baik, dan menciptakan sebuah pertikaian yang tidak dapat

42
Sayyid Mujtaa Musawi Lati, Hati: Penyakit Dan Pengobatannya, terj, Hadi
Prasetyo, (Jakrta: IKAPI, 2005), 62.
43
Said Ḥawa, Al-Mustakhliṣ fi Tazkiyah an-Nafs, cet. 14, (Kairo: Dar as-Salam,
2008), 137.
38

diperbaiki di bangsa itu, Pecahnya persaudaraan, persatuan, dan


kesatuan dalam masyarakat, Rasa saling curiga merebak luas,
Menebarkan kebencian, Harmoni kehidupan masyarakat terancam
rusak, Lahir bibit-bibit kerusuhan yang dikhawatirkan akan
menimbulkan konflik dalam masyarakat, Membuat manusia lupa
terhadap kebenaran yang sebenarnya, Menipiskan agama,
menghilangkan akal, Tidak mendengarkan nasehat.44
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesabaran menuntut
ketabahan dalam menghadapi segala bentuk Fitnah terutama pada
sesuatu yang sulit, berat, pahit, yang mesti diterima dan dihadapi
dengan penuh tanggung jawab. Atas dasar simpulan itu, agamawan
merumuskan pengertian sabar sebagai menahan diri, atau membatasi
jiwa dari keinginanya demi mencapai sesuatu yang baik, atau yang
lebih baik, bahkan yang terbaik.45
Dengan adanya Fitnah yang menimpa ummat manusia sabar
termasuk salah satu tiang dan juga salah satu komponen budi pekerti
yang harus dimiliki oleh setiap mukmin muslim. Syarif Ali bin
Muhammad al-Jurjani dalam kitab Al-Ta‟rifat memberikan defenisi
sabar itu sebagai berikut: meninggalkan rintihan dan pengaduan
terhadap penderitaan yang di alaminya. Dalam pengertian umum yang
dimaksud dengan sabar bukanlah berarti menyerah begitu saja kepada
keadaan. Juga bukan sabar namanya, jika menerima apa saja yang ada
tanpa melakukan ikhtiar untuk mencari jalan keluar.

44
Saiful Amin Ghofur, Bahaya Akhlak Tercela, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2007), 20.
45
Mardani, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Malapetaka, 384.
BAB III
MUHAMMAD MUTAWWLI AL-SYA’RA>WI DAN TAFSIRNYA
A. Biografi Muhammad Mutawalli Al-Sya’ra>wi
Nama Lengkap al-Sya’ra>wi adalah Muhammad bin Mutawalli al-
Sya’ra>wi al-Husainia. Al-Sya’ra>wi lahir pada hari Ahad tanggal 17
Rabi‟ al-Akhir 1329 H bertepatan dengan 16 April 1911 M di desa
Daqadus Mait Ghamir, ad-Dakhaliyyah. Ketekunan al-Sya’ra>wi dalam
studi al-Qur‟an sudah nampak sejak kecil. Di mana sejak ia berusia 11
tahun sudah hafal al-Qur‟an di bawah bimbingan gurunya „Abd al-
Majid Pasha. Beliau adalah seorang tokoh kenamaan yang lahir di tanah
Mesir yang menjadi daerah tempat tinggalnya para ulama pembaharu
Islam (mujaddid) seperti al-Thanthawi, Jamal al-Din al-Afghani,
Muhammad „Abduh, Rasyid Ridha dan lain-lain. Al-Sya’ra>wi yang
dikenal sebagai seorang pemikir yang populer saat itu juga termasuk
salah seorang ahli tafsir kontemporer yang telah melahirkan beberapa
karya tafsir Karenanya, tidak aneh ketika ia dewasa menjadi salah satu
tokoh dalam bidang tafsir kontemporer abad 21.1
Berkaitan dengan nasab (keturunan) al-Sya‟awi, dalam sebuah
kitab berjudul Ana min Sulalat Ahl al-Bait, al-Sya’ra>wi menyebutkan
bahwa beliau merupakan keturunan dari cucu Nabi Saw. yaitu Hasan
dan Husain. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga terhormat yang
punya pertalian dengan para ulama serta para wali. Ayahnya adalah
seorang petani sederhana yang mengolah tanah milik orang lain.
Walaupun demikian, ayah al-Sya’ra>wi mempunyai kecintaan terhadap
ilmu dan sering mendatangi majelis-mejelis untuk mendengarkan
taushiyah-taushiyah para ulama. Ia mempunyai hasrat dan keinginan

1
Sa‟id Abu Al-„Ainain, al-Sya’ra>wi Ana Min Sulalat Ahli Al-Bait, (Al-Qahirah:
Akhbar Al-Yaum, 1955), 6.

39
40

yang besar untuk mengarahkan anaknya menjadi seorang ilmuwan.


Untuk merealisasikan cita-citanya ini, ia selalu memantau al-Sya’ra>wi
kecil ketika sedang belajar. Ia ingin kelak al-Sya’ra>wi masuk ke
Universitas al-Azhar. Al-Sya’ra>wi sendiri mengakui besarnya peranan
sang ayah dalam membentuk kepribadiannya. Diibaratkan kalau dari
gurunya al-Sya’ra>wi mengambil 10% maka yang 90% diperoleh dari
ayahnya.2
Adapun pendidikan resminya diawali dengan menuntut ilmu di
sekolah dasar al-Azhar Zaqaziq pada tahun 1926 M. Setelah
memperoleh ijazah sekolah dasar al-Azhar pada tahun 1932 M, ia
melanjutkan ke jenjang sekolah menengah di Zaqaziq dan meraih
ijazah sekolah menengah al-Azhar pada tahun 1936 M. Kemudian ia
melanjutkan pendidikan di Universitas al-Azhar jurusan Bahasa Arab
pada tahun 1937 M hingga tahun 1941 M. Ia melanjutkan ke jenjang
doctoral pada tahun 1940 M dan memperoleh gelar , Alamiyyat (Lc
sekarang) dalam bidang bahasa dan sastra Arab. 3
Sejak duduk di bangku sekolah menengah (setingkat SLTA atau
MA di Indonesia) al-Sya’ra>wi menekuni keilmuan bidang syair dan
sastra Arab. Hal ini tampak ketika ia di angkat menjadi Ketua
Persatuan Pelajar dan Ketua Persatuan Kesusastraan di daerah Zaqaziq.
Kemudian pada tahun 1930-an merasakan bangku kuliah pada Fakultas
Ushuluddin di Zaqaziq, dan setelah lulus pendidikan S1, ia melanjutkan
studi (setingkat S2) mengambil konsentrasi Bahasa Arab pada
Universitas al-Azhar dan lulus pada tahun 1943 dengan predikat cum
laude.

2
Ahmad Umar Hasyim, al-Imam al- Sya‟rawi Mufassiran wa Da‟iyah, (Kairo:
Akhbâr al-Yaum, 1998), 24.
3
Ahmad Al-Marsi Husein Jauhar, Muhammad Mutawalli Al-Sya’ra>wi: Imam Al-
„Asr, (Al-Qahirah: Handat Misr, 1990), 74.
41

Saat menjadi mahasiswa, al-Sya’ra>wi sangat gemar dengan


sastra, khususnya syai'r yang mewarnai corak keislaman. Syair-
syairnya memiliki ke unggulan, di antaranya penyusun pada kalimatnya
mudah dipahami dan memiliki keindahan, terdengar tegas namun tetap
lembut, terlebih banyak mengutip dari ayat-ayat al-Qur‟an. Hal ini yang
menjadikannya bagian dari Fakultas Bahasa Arab, tetapi juga ilmu-ilmu
lainnya seperti Tafsir, Hadis}, Fiqh, dan sebagainya. Sehingga
membentuknya menjadi seorang tokoh yang kaya akan khazanah
keilmuan pada bidangnya, khususnya kajian Tafsir.4
Setelah menyelesaikan studinya tersebut, al-Sya’ra>wi
menghabiskan hidupnya dalam dunia pendidikan, yakni sebagai tenaga
pengajar pada beberapa perguruan tinggi di kawasan Timur Tengah,
antara lain: al-Azhar Tanta, al-Azhar Iskandariyyah, Zaqaziq,
Universitas Malik Ibn „Abdul Aziz Makkah, Universitas al-Anjal Arab
Saudi, Universitas Ummul Qura Makkah, dan lain-lain. Selain
mengajar, al-Sya’ra>wi juga mengisi kegiatan-kegiatan sosial
keagamaan, seperti menjadi Khatib, mengisi kegiatan ceramah (da‟i),
mengisi pengajian tafsir al-Qur‟an yang disiarkan secara langsung
melalui layar televisi di Mesir dalam acara Nur „ala Nur. Selanjutnya
Mesir mulai mengenal nama al-Sya’ra>wi. Semua masyarakat
melihatnya dan mendengarkan ceramah keagamaan dan penafsirannya
terhadap al-Qur‟an selama kurang lebih 25 tahun.5
Pada tanggal 15 Oktober 1978 M, ia diturunkan dengan hormat
dalam formatur kabinet yang dibentuk oleh Mustofa Khalil. Kemudian
ia ditunjuk menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya universitas al-

4
Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir Al-Sya’ra>wi, Studia Quranika, vol.1,
no. 2 (Januari,2017), 149.
5
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’ra>wi,
(Jakarta: PT. Mizan Publika, 2004), 27.
42

Syu‟ub Al-Islamiyah Al-Arabiyyah, namun al-Sya’ra>wi menolaknya.


Pada tahun 1980 M al-Sya’ra>wi diangkat sebagai anggota MPR
(Majelis Permusyawaratan Rakyat), akan tetapi ia menolak jabatan
strategis ini. Atas jasa-jasa tersebut, al-Sya’ra>wi mendapat penghargaan
dan lencana dari Presiden Husni Mubarak dalam bidang pengembangan
ilmu dan budaya di tahun 1983 M pada acara peringatan hari lahir al-
Azhar yang ke-1000. al-Sya’ra>wi ditunjuk sebagai anggota litbang
(penelitian dan pengembangan) bahasa Arab oleh lembaga Mujamma‟
al-Khalidin, perkumpulan yang menangani perkembangan bahasa Arab
di Kairo pada tahun 1987 M. Tahun 1988 M memperoleh Wisam al-
Jumhuriyyah, medali kenegaraan dari presiden Husni Mubarak di
acara peringatan hari da‟i dan mendapatkan Ja‟izah al-Daulah al-
Taqdiriyyah, penghargaan kehormatan kenegaraan.6
Pada tahun 1990 M, al-Sya’ra>wi mendapat gelar Profesor dari
Universitas Al-Mansurah dalam bidang adab, dan pada tahun 1419
H/1998 M, ia memperoleh gelar kehormatan sebagai al-Syakhsiyyah al
Islamiyyah al-Ula profil Islami pertama di dunia Islam di Dubai serta
mendapat penghargaan dalam bentuk uang dari putra mahkota al-
Nahyan, namun ia menyerahkan penghargaan ini.7
Pada awal tahun 1970-an, ulama yang terkenal dermawan ini
kembali menetap di Arab Saudi selama beberapa tahun dan menjadi
guru besar di Universitas King Abdul Aziz. kemudian pada tahun 1396
H atau 1976 M, Presiden Anwar Sadat memintanya kembali ke
negerinya untuk menjabat sebagai Menteri Wakaf. Karena keluasan
ilmu dan wawasan yang dikemukakannya dalam tulisan dan

6
Mahmud Rizq Al-Amal, Tarikh Al-Imam al-Sya’ra>wi, Majalah Manar Al-Islam,
vol.27, no 6. (September, 2001), 35.
7
Taha Badri, Qalu‟an al-Sya’ra>wi ba‟da Rahilihi, (Al-Qahirah: Maktabah Al-Turas
Al-Islami t..t), 5-6.
43

ceramahnya, syeikh Mutawalli semakin disegani hingga kemudian


sebagai Ketua Panitia Konsultatif Bank Sentral Mesir. Selain itu, ulama
yang juga membangun Kompleks Medis al-Sya’ra>wi ini ikut berperan
aktif dalam berbagai kegiatan keislaman, termasuk ikut mendirikan
sebuah bank Islam di Austria dan memelopori berdirinya Bank Islam
di tanah airnya, Mesir.8
Al-Sya’ra>wi dikenal sebagai seorang da‟i yang berwawasan
santun, bijak, dan tegas, sehingga tidak heran jika banyak artis yang
mendapatkan hidayah setelah mendengar dan berdialog dengannya. Di
antaranya adalah seorang artis wanita Mesir yang beragama Yahudi,
kemudian meninggalkan dunia glamor, menunaikan ajaran Islam
dengan baik dan turut berdakwah menyampaikan ajaran Islam. Di usia
87 tahun, pada hari Rabu 17 Juni 1998 M, Mutawalli al-Sya’ra>wi
wafat. Jasadnya dimakamkan di Mesir.9

B. Karya-Karya Muhammad Mutawalli Al-Sya’ra>wi


Karir tokoh kelahiran 16 April 1911 M di dunia Islam ini bermula
dari pendidikan. Ia dipercaya menjadi dosen ilmu syariah di Universitas
Ummu al-Quro pada 1950 M. Posisinya sebagai pengajar di Universitas
kenamaan Islam ini mengangkat posisinya dengan kelebihan keilmuan
dan kecerdikannya dalam pergerakan politik membuat Syekh al-
Sya’ra>wi cukup terkenal di Mesir dan pemerintah saat itu yang
dipimpin Jamal Abdul Nasser. Selain menjadi dosen di Universitas
Ummu al-Quro al-Sya’ra>wi juga menjadi tenaga pengajar pada
beberapa perguruan tinggi di kawasan Timur Tengah, antara lain: al-

8
Ahmad Rofi‟ Usmani, Ensiklopedia Tokoh Muslim, (Bandung: Mizan Pustaka,
2015), 475.
9
Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2006), 277.
44

Azhar Tanta, al-Azhar Iskandariyah, Zaqaziq, Universitas Malik Ibn


Abdul aziz Makkah, Universitas al-Anjal Arab Saudi, dan lain-lain.10
Selain mengajar, al-Sya’ra>wi juga mengisi kegiatan-kegiatan
sosial keagamaan, seperti menjadi khatib, menjadi da‟i, mengisi kajian
tafsir al-Qur‟an yang disiarkan secara langsung melalui layar televisi di
mesir dalam acara Nur Ala Nur. Ketenarannya ini berkat dukungannya
yang kuat terhadap kebijakan Mesir pada saat itu yang menentang
penuh dominasi Israel di kawasan Timur Tengah dan Palestina. Pada
tahun 1963 M terjadi perselisihan antara presiden Jamal Abdul Naser
dan Raja Saudi. Setelah itu al-Sya’ra>wi mendapatkan penghargaan dan
ditugaskan di Kairo sebagai Direktur di kantor Syekh al-Azhar Syekh
Husein Ma‟mun. Kemudian ia pergi ke Algeria sebagai ketua duta al-
Azhar di sana dan menetap selama tujuh tahun, dan kembali lagi ke
Kairo untuk ditugaskan sebagai Kepala Departemen Agama provinsi
Gharbiyah. Setelah itu ia dipercaya menjadi Wakil Dakwah dan
Pemikiran, serta menjadi utusan al-Azhar untuk kedua kalinya ke
Kerajaan Saudi Arabia, mengajar di Universitas King Abdul Aziz. 11
Al-Sya’ra>wi tidak menulis karangannya, karena beliau
berpendapat kalimat yang disampaikan secara langsung dan
diperdengarkan akan lebih mengena dari pada kalimat yang
disebarluaskan dengan perantara tulisan, sebab semua manusia akan
mendengar dari narasumber yang asli. Hal ini sangat berbeda dengan
tulisan, karena tidak semua orang mampu membacanya. Namun
demikian dia tidak menafikan kebolehan untuk mengalihbahasakannya

10
Ahmad Karomain, “Tafsir al-Sya’ra>wi Khawatir al-Sya’ra>wi Haula al-Qur‟an
al-Karim, 2012” Diakses pada 7 Oktober 2020
https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir- al-Sya’ra>wi -khawatir- al-Sya’ra>wi -
haula-al-quran-al-karim.
11
Aniesa Maqbullah, Pemaknaan Amanah Dalam Surah AL-Ahzab Ayat 72,
Perspektif Penapsiran al-Sya’ra>wi, (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah, 2018), 44.
45

menjadi bahasa tulisan dan tertulis dalam sebuah buku, karena tindakan
ini membantu program sosialisasi pemikirannya dan mencakup asas
manfaat yang lebih besar bagi manusia secara keseluruhan. Tapi,
ceramah-ceramahnya yang dicetak dalam bentuk buku mendapatkan
sambutan luas di kalangan umat Islam. Bahkan buku Mukjizat al-
Qur‟an telah dicetak sebanyak 5 juta eksemplar. Hasil penjualan buku-
buku beliau ini ia sumbangkan untuk kegiatan-kegiatan sosial.12
Di antara kata-kata mutiara al-Sya’ra>wi adalah, “Sesungguhnya
Allah SWT menyembunyikan tiga hal di dalam tiga hal. Dia
menyembunyikan ridha-Nya di dalam ketaatan kepada-Nya. Maka
jangan sampai meremehkan ketaatan apapun bentuknya, karena ada
seseorang yang memberi minum kepada anjing lalu Allah berterima
kasih kepadanya dan mengampuninya. Dan Allah SWT
menyembunyikan murka-Nya di dalam kemaksitan terhadap-Nya.
Sesungguhnya ada seorang wanita yang masuk neraka karena kucing
yang ia kurung, ia tidak memberinya makan tidak juga membiarkannya
pergi. Dan Allah menyembunyikan rahasia-rahasia-Nya pada diri
hamba-hamba-Nya. Maka janganlah kalian menghina seorang hamba-
Nya, karena banyak orang yang kusut berdebu, namun jika ia
bersumpah atas nama Allah, maka Allah akan mengabulkan sumpah-
Nya itu”.13
Al-Sya’ra>wi mempunyai sejumlah karangan-karangan, beberapa
orang yang mencintainya mengumpulkan dan menyusunnya untuk
disebarluaskan, sedangkan hasil karya yang paling populer dan yang
paling fenomenal adalah Tafsir al-Sya’ra>wi terhadap al-Qur‟an yang
Mulia. Dan di antara sebagian hasil karyanya adalah:

12
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’ra>wi, 31.
13
Riesti Yuni Mentari, “Penafsiran Asy-Sya‟rawi Terhadap Alquran Tentang
Wanita Karir”, (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah, 2012), 36.
46

1. Al-Isra‟ wa al-Mi’ra>j (isra‟ dan Mi’ra>j)


5. 2. Asrar Bismillahirrahmanirrahim (Rahasia dibalik kalimat
bismillahirrahmanirrahim)
2. Al-Islam wa al-Fikr al-Mu‟ashir (Islam dan pemikiran modern)
3. Al-Fatawa al-Kubro (fatwa-fatwa besar)
4. 100 al-Sual wa al-Jawab fi al-Fiqh al-Islam (100 soal jawab fiqih
Islam)
5. Mu‟jizat al-Qur‟an (kemukjizatan al-Qur‟an)
6. „Ala al-Maidat al-Fikr al-Islami (di bawah hamparan pemikiran
Islam)
7. Al-Qodlo‟ wa al-Qodar (Qadha dan Qadar)
8. Hadza Huwa al-Islam (inilah Islam)
9. Al-Mutakhab fi Tafsir al-Qur‟an al-Karim (Pilihan dari tafsir al-
Qur‟an al-Karim)
10. Al-Syaithan wa al-Insan
11. Al-Du‟a Al-Mustajabah
12. Al-Mar‟ah Fi al-Qur‟an al-Karim
13. Al-Mukhtar min Tafsir Al-Qur‟an al-„Adzim
14. Syekh Mutawalli Sya’ra>wi Qadhaya Ashr
15. Majmu‟at Muhadharah Sya’ra>wi
16. Al-Mausu‟ah al-Islamiyah li al-Athfal
17. Al-Quran al-Karim Mu‟jizah wa Manhaj
18. Al-Qashash al-Qur‟any fi>> Surat al-Kahf
19. Al- Ghai>b
20. Mu‟jizat al-Rasul
21. Al-Halal wa al-Haram
22. Al-Hajj al-Mabrur
23. Khawathir Al-Sya’ra>wi haula „Imran al-Mujtama‟
47

24. Al-Sihr wa al-Hasad


25. Al-Islamu wa al-Mar‟atu, 'Aqadatun wa Manhajun
26. Al-Syura wa at-Tasyri‟u fî al-Islami
27. Ash-Shalâtu wa Arkanu al-Islami
28. Ath-Thariqu ila Allah
29. Al-Fatawa
30. Labbayka Allahumma Labbayka
31. Al-Mar‟atu Kama Aradaha Allahu
32. Mu'jizat al-Qurani
33. Min Faydhi al-Qurani
34. Nazharatu al-Qurani
35. 'Ala Maidati al-Fikri al-Islami
36. Al-Muntakhabu fi Tafsir al-Qur‟an al-Karim.14

C. Pandangan Ulama Tentang Muhammad Mutawalli Al-Sya’ra>wi


Beberapa ulama dan sarjana yang memberi komentar dan
pandangan terhadap al-Sya’ra>wi, di antaranya: „Abdul Fattah al-Fawi,
dosen Falsafah di Universitas Dar al-„Ulum Kairo berkata: “Sya’ra>wi
bukanlah seorang yang tekstual, beku di hadapan nas, tidak terlalu
cenderung ke akal, tidak pula sufi yang hanyut dalam ilmu kebatinan,
akan tetapi beliau menghormati nash, memakai akal, dan terpancar
darinya keterbukaan dan kekharismatikannya”. Yusuf al-Qardawi
memandang, al-Sya’ra>wi sebagai penafsir yang handal. Penafsirannya
tidak terbatas pada ruang dan waktu, tetapi juga mencakup kisi-kisi
kehidupan lainnya, bahkan dalam kesehariannya ia terkesan

14
Aniesa Maqbullah, Pemaknaan Amanah Dalam Surah AL-Ahzab Ayat 72,
Perspektif Penapsiran al-Sya’ra>wi, 48- 49.
48

menggandrungi sufisme, kendati sebagian orang menentang kehidupan


sufi. Ia tetap bersikukuh dengan prinsip hidupnya. 15
Selain itu, Ahmad Umar Hasyim juga menyatakan bahwa al-
Sya’ra>wi adalah seorang dai yang sanggup memberikan solusi terhadap
problematika umat secara proporsional. Ia tidak menampik
pembaharuan di era modern ini, malah ia begitu semangat dengan
temuan-temuan ilmiah khususnya yang sangat bertalian dengan
subtansi al-Qur‟an. Meski begitu, ia tetap menganilisisnya secara
tajam. oleh sebab itu tidaklah berlebihan ika ia mendapat gelar sebagai
mujaddid islam atau pembaharu umat Islam. Lebih lanjut Umar Hashim
mengemukakan bahwa karya-karya beliau merupakan harta kekayaan
yang sangat berkualitas, sebab ia meliputi berbagai segi kehidupan.
Tulisannya tidak hanya mencakup satu persoalan fenomenal saja,
namun ia juga mengkaji persoalan kontemporer yang dihadapi umat di
era globalisasi secara menyeluruh. Akhirnya adalah suatu hal yang
layak apabila umat Islam membanggakannya. 16
Seorang sahabat karib al-Sya’ra>wi, yaitu Syekh Ibrahim Dasuki
menyatakan bahwa al-Sya’ra>wi adalah pemimpin para da‟i. Ia amat
cerdas dalam berdakwah. Ia bukan hanya berdakwah lewat media lisan
dan tulisan melainkan juga merealisasikannya dalam bentuk tindakan
yang nyata. Karya-karyanya mengindikasikan pada level
kecerdasannya dalam berdakwah dan berinteraksi dengan ajaran-ajaran
Islam, bahkan kecerdasannya itu akan tampak sangat jelas pada saat ia
merangkai kata-kata yang diikhtisarkan dalam bentuk interpretasinya
pada al-Qur‟an yang tentunya tidak hanya bersemayam pada tataran

15
Ahmad Al-Marsi Husein Jauhar, Muhammad Mutawalli Al-Sya’ra>wi: Imam Al-
„Asr, 51.
16
Malkan, Tafsir Al-Sya’ra>wi Tinjauan Biografis dan Metodologis, Al-Qalam, vol.
9, no. 2 (Mei-Agustus 2012), 204.
49

lisan semata, akan tetapi ia bahkan merasuk ke relung hati yang paling
dsalam.17
Seorang Muhamamd Ghanim dalam harian Al-akbar tanggal 14
Agustus 1980 mengemukakan bahwa: “sungguh Allah SWT. Telah
memberikan kepada al-Sya’ra>wi ilmu yang melimpah, otak yang
cemerlang, akal yang logis, pemikiran yang sistematis, hati yang ikhlas,
kemampuan yang luar biasa dalam menafsirkan Dan menjelaskan ayat-
ayat Allah swt. Dengan menggunakan gaya bahasa yang sederhana dan
jelas, dengan contoh-contoh yang dapat ditangkap dan dipahami oleh
akal orang awam”, sungguh penomena ini merupakan suatu khazanah
yang layak memperoleh penghargaan dan penghormatan serta
pengakuan secara khusus.18
Seorang Menteri Wakaf, yaitu Muhammad Hamid Zaqzuq dalam
sebuah pidatonya mengenang wafatnya al-Sya’ra>wi ia menyatakan
bahwa al-Sya’ra>wi bukan hanya seorang mufassir yang tangguh,
melainkan juga ia adalah seorang profil da‟i ideal yang sangat langka
dijumpai. Allah Swt. Telah memberikan keliaihan dalam berdakwah
dengan niat yang tulus Dan murni karena Allah semata. Hal
demikianlah yang melatarbelakangi kecintaan umat kepadanya dan
kerinduan untuk selalu ingin mendengar ceramah dan nasehatnya. al-
Sya’ra>wi adalah seorang tokoh yang sangat masyhur, bukan hanya di
Mesir melainkan juga di sentra dunia. Hal ini dapat dilihat dengan
banyaknya utusan dari berbagai Negara untuk melakukan
penghormatan terakhir pada saat ia wafat, di antaranya adalah:
1. Utusan dari Indonesia. Yaitu Dede Muhammad Bukhari, seorang
alumnus al-Azhar. Ia adalah seorang pengagum berat al-Sya’ra>wi.

17
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’ra>wi, 140.
18
Malkan, Tafsir Al-Sya’ra>wi Tinjauan Biografis dan Metodologis, 206.
50

Pada saat siaran radio London memberitakan meninggalnya al-


Sya’ra>wi, ia langsung terbang untuk mendatangi keluarga al-
Sya’ra>wi guna mengucapkan duka cita yang mendalam. Dede
menganggap bahwa sosok al-Sya’ra>wi merupakan manuskrip
manusia yangang patut diteladani. Al-Sya’ra>wi pernah melakukan
kunjungan ke Indonesia untuk yang pertama dan terakhir kali pada
tahun 1955 M bersama dengan presiden Mesir Jamal Abd al-Nashr
untuk menghadiri muktamar di Bandung. Ia juga menyatakan
bahwa al-Sya’ra>wi adalah seorang da‟i yang sangat produktif.
Karya-karyanya Banyak yang di terjemahan kedalam bahasa
Indonesia. Al-Sya’ra>wi adalah tokoh yang sangat disegani dan
dicintai oleh banyak orang Muslim baik dari negaranya maupun
diberbagai negara dunia.
2. Utusan dari Sudan yang di wakili oleh Ahmad Muhammad Ali
bersama dengan beberapa investor asing dari Sudan. Ahmad
mendengar berita yang sangat menyedihkan ini dari radio. Ketika
itu ia segera mengunjungi darah kelahirannya al-Sya’ra>wi di
Daqadus untuk turut mengantarkan jenazahnya ke tempat
peristirahatan yang terakhir. Ahmad menyatakan bahwa berita ini
sungguh sangat menyedihkan, kami mohon kepada Allah swt.
Semoga diampuni dan arwahnya ditempatkan ditempat yang layak
di sisi-Nya. Kami sudah mengenal al-Sya’ra>wi melalui siaran radio
dan televisi, semoga Allah swt. Memberi ganti dengan generasi al-
Sya’ra>wi yang lain. Selanjutnya Muhamamd Hamid Zaqzuq
mengemukakan bahwa al-Sya’ra>wi mempunyai tiga keistimewaan,
yakni: meninggal ilmu yang sangat berguna bagi umat,
mewaqapkan shadaqah pada umat, dan meninggalkan anak anak
51

yang Sholeh. Ketiga hal tersebut di atas adalah suatu nikmat yang
hanya diberikan kepada hamba-Nya yang dicintai.19

Kemudian, Syaikh al-Azhar Muhammad Sayyid T{ant}awi


menyatakan bahwa kita sangat menghargai jasa guru kita al-Sya’ra>wi.
Beliau telah menyerahkan semua kehidupannya demi Islam dengan
bekal ilmu dan akhlak. Kita mengucapkan penghargaan yang setinggi-
tingginya atas jasanya terhadap al-Azhar. Beliau adalah profil seorang
pencinta Islam, ia memiliki sanak sanak keluarga dan sahabat yang
ideal, selalu memperhatikan maslahat masyarakat dan berupaya
menyerahkan kemampuan fisik dan non fisik (material) kepada
generasi al-Azhar. Selain itu beliau mempunyai kecerdasan yang luar
biasa dan hati yang lapang, berkarakter baik terhadap lingkungan
sekitar. Tidak ada lafadz bahasa Arab yang cukup untuk
mengungkapkan perasaan sedih yang mendalam atas wafatnya beliau.
Semua manusia pasti akan merasa sedih ketika orang yang dicintainya
dipanggil oleh Allah swt. 20
Menurut Mahmud Basuni Faudah bahwa, sebagian ayat al-Qur‟an
merupakan tafsiran dari sebagian yang lain. Yang dimaksud ialah
sesuatu yang disebutkan secara ringkas di satu tempat diuraikan di
tempat yang lain. Ketentuan yang mujmal dijelaskan dalam topik yang
lain. Sesuatu yang bersifat umum dalam suatu ayat di takhsis oleh ayat
yang lain. Sesuatu yang berbentuk mutlak di suatu pihak disusul oleh
keterangan lain yang muqayyad (terbatas).21
Memperhatikan pandangan-pandangan para pakar terhadap al-
Sya’ra>wi di atas, tampak jelas betapa besar pengaruh al-Sya’ra>wi

Malkan, Tafsir al-Sya’ra>wi Tinjauan Biografis dan Metodologis, 207.


19
20
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’ra>wi, 141
21
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur‟an Perkenalan dengan Metodelogi
Tafsir, terj. M. Muhtar Zoeni dan Abdul Qad‟ir Hamid, (Bandung: Pustaka, 1987), 24-25.
52

terhadap umat Islam, bahkan pengaruhnya sangat membekas kedalam


hati sanubari seluruh umat Islam baik yang ada di Mesir maupun yang
ada diberbagai negara di dunia. ini tiada lain disebabkan oleh
kepiawaian dan kemahiran serta kecerdasan yang luar biasa dalam
menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an, yang berkaitan
dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan, dimana dalam
penafsirannya itu sering disertai dengan perumpamaan-perumpamaan
atau contoh-contoh yang rasional sehingga dapat dengan mudah
ditangkap dan dipahami oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari
yang awam, pebisnis, teknokrat, seniman, pegawai sampai ilmuwan.
Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari ketekunan al-Sya’ra>wi selama
menimba ilmu pengetahuan di sekolah al-Azhar, ditambah lagi
pengalamannya dan memperkokoh ilmu pengetahuan yang selanjutnya
ia aplikasikan dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur'an. Yang
tak Kalah pentingnya adalah adanya ketawadukan dan keikhlasan pada
diri al-Sya’ra>wi dalam jiwa kesucian yang terdapat dalam dirinya.
Makanya tidak heran ketika beliau wafat, umat Islam sangat merasa
sedih dan kehilangan, karenanya tokoh-tokoh dari berbagai negara di
dunia datang ke Mesir untuk memohon doa dan mengantarkannya ke
tempat peristirahatannya terkahir.22

D. Pengenalan Tafsir Al-Sya’ra>wi


1. latar belakang pemikiran al-Sya’ra>wi
Di antara tokoh-tokoh Mufasi Mesir yang ada dipenghujung
abad ke-20 adalah Muhammad Mutawalli al-Sya’ra>wi. al-Sya’ra>wi
dikenal sebagai tokoh sekaligus ulama kelahiran Mesir yang fokus
dalam menekuni al-Qur‟an. Pemikirannya mengenai penafsiran al-

22
Malkan, Tafsir al-Sya’ra>wi Tinjauan Biografis dan Metodologis, 208.
53

Qur‟an termanifestasi dalam sebuah kitab tafsir yang dinamakan


penerbitnya Tafsir al-Sya’ra>wi, sebab dikutip berdasarkan dari
ceramah-ceramah beliau. Namun demikian, tidak menghilangkan
keaslian dari ide pemikiran beliau tentang al-Qur‟an.23
Pemikiran seorang tokoh tidak terlepas dari latar belakang
yang mempengaruhinya, terlebih dalam mengkaji metodelogi
penafsiran. Demikian itu, dapat diketahui dari latar belakang yang
mempengaruhi pemikiran tokoh sekaligus tujuan penulis atau
Mufassir pada saat akan merangkai kitab tafsir. Dari uraian
sebelumnya, menerangkan bahwa pemikirannya tidak hanya
terbentuk dari aktifitasnya sebagai seorang intelektual saja, namun
juga situasi politik yang terjadi di Mesir. Pergolakan politik di
Mesir dalam memperoleh kemerdekaan sampai masa
kepemimpinan Anwar Sadat, juga turut andil dalam membentuk
karakter pemikiran al-Sya’ra>wi. Demikian itu perlu dijelaskan
mengenai latar belakang yang dapat mempengaruhi pemikiaran al-
Sya„rwi, sehingga sampai tewujud karya besarnya dalam bidang
tafsir.24
Pengaruh sosial politik adalah salah satu yang
melatarbelakangi penulisan karya imam al-Sya’ra>wi. Pergolakan
perpolitikan yang terjadi di Mesir, sejak pertengahan abad 19
sampai pertengahan abad 20, ditandai dengan pergantian bentuk
pemerintahan. Mulai dari bentuk pemerintahan monarki absolut,
kemudian bentuk pemerintahan monarki konstitusional, sampai
akhirnya terbentuknya pemerintahan Republik, yaitu sejak
terjadinya revolusi pada tahun 1952 yang dipimpin Gamal Abdul

23
Riaz Hassan, Keragaman Iman “Studi Komparatif Masyarakat Muslim”, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006), 31.
24
Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir al-Sya’ra>wi, Studia Quranika, 150.
54

Nasser. Perubahan bentuk pemerintahan menjadi Republik,


menjadikan situasi politik saat itu memaksa munculnya ide-ide
pembaharuan yang didasarkan kepada formulasi modernisme Islam
dan kemunculan Nasionalisme Mesir. pada tanggal 22 Januari
1922, Mesir memproklamasikan diri sebagai negara merdeka,
kemudian diikuti dengan pemberlakuan sebuah konstitusi.25
Kemudian umat muslim mendirikan organisasi Ikhwanul
Muslimin (the Muslim Brotherhood) pada tahun 1928 yang
diprakarsai oleh seorang tokoh, Hasan al-Banna. Ia mewariskan
ide-ide reformasi-tradisional melalui organisasinya untuk dua
tujuan: Pertama, terbebas dari jajahan asing. Kedua, menjadi
Negara sebagai basis Islam. Partai Wafd, menyebar luas kepenjuru
Mesir, salah satunya Daqadus, tempat kelahiran al-Sya’ra>wi.
Pengaruh ide-ide pembaharu dalam pergerakan dan sikap
nasionalisme memiliki peran yang signifikan bagi perkembangan
pemikiran al-Sya’ra>wi. Al-Sya’ra>wi merupakan salah satu tokoh
yang juga mengagumi Hasan al-Banna karena idealismenya dan
keikhlasannya dalam berdakwah. Namun, ia keluar disebabkan
telah jauh dari ide-ide pendirinya.26
Pengaruh Intelektual sangat berperan penting dalam
menghasilkan karya yang fenomenal. Abad ke 19, al-Azhar masih
menggunakan sistem tradisional, dimana hampir seluruh lembaga
pendidikan di Mesir menggunakan sistem modern sekuler.
Demikian itu, sedikit banyak mempengaruhi pada sistem al-Azhar,
yang kemudian mulai muncul sistem ujian untuk mendapatkan

25
Philip K. Hitti, History of The Arabs (New York: Palgrave Macmillan, 1976),
745- 757.
26
Anwar Sadat, Jalan Panjang Menuju Revolusi “Sebuah Catatan di Lembah
Sungai Nil”, (Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), 22-28.
55

ijazah al-„alamiyah (kesarjanahan) al-Azhar pada tahun 1872.


Disusul kemudian dengan dibentuknya dewan administrasi di al-
Azhar pada tahun 1896. Pada masa itu, al-Azhar menjadi pilihan
pertama bagi masyarakat Mesir untuk menimba ilmu. Alasan itulah
yang menjadikan orang tua al-Sya’ra>wi sangat menginginkan
anaknya untuk belajar di sana. Ia mengatakan pengalamannya di
al-Azhar pada tahun 1926 tak seperti al-Azhar sebelumnya, dimana
menjadi basis gerakan kebencian terhadap Inggris. Sehingga
sempat dikenal berporos pada suatu gerakan politik tertentu.27
Saat menjadi siswa, al-Sya’ra>wi sangat gemar dengan sastra,
khususnya sya‟ir yang mewarnai corak keislaman. Sya‟ir-sya‟irnya
memiliki keunggulan, di antaranya penyusunan pada kalimatnya
mudah dipahami dan memiliki keindahan, terdengar tegas namun
tetap lembut, terlebih banyak mengutip dari ayat-ayat al-Qur‟an.
Hal ini yang menjadikannya bagian dari Fakultas Bahasa Arab di
al-Azhar. Fakultas ini tidak hanya mempelajari sastra Bahasa Arab,
tetapi juga ilmu-ilmu lainnya seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, dan
sebagainya. Sehingga membentuknya menjadi seorang tokoh yang
kaya akan khazanah keilmuan pada bidangnya, khususnya kajian
tafsir.28
1. Motivasi penulisan tafsir al-Sya’ra>wi
Perlu diketahui bersama, bahwasannya al-Sya’ra>wi tidak
menulis buku-bukunya karena beliau berpendapat bahwa kalimat
yang disampaikan secara langsung dan diperdengarkan akan lebih
mengena daripada kalimat yang disebarluaskan dengan perantara
tulisan, sebab semua manusia akan mendengar dari narasumber

27
Badruzzaman M. Yunus, Tafsir al-Sya’ra>wi: Tinjauan Terhadap Sumber, Metode
dan Ittijah, 24.
28
Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir Al-Sya’ra>wi, Studia Quranika, 149.
56

yang asli. Jika dalam bentuk tulisan maka tidak semua orang dapat
membacanya. Dengan begitu beliau tidak menafikan untuk
mengalihbahasakan apa yang beliau sampaikan menjadi bahasa
tulisan sehingga akan lebih bermanfa‟at bagi manusia secara
keseluruhan.
Seperti ulama klasik dan modern sebelumnya, motivasi
beliau ialah menjelaskan isi al-Qur‟an kepada orang lain, oleh
sebab itu ia mengatakan bahwa penafsirannya ini mungkin benar
dan mungkin pula salah. Selain itu beliau juga menginginkan agar
umat Islam memiliki keyakinan bahwa al-Qur‟an adalah mu‟jizat
yang agung dari segi kandungan, segi kebahasaan, mengungkap
rahasia al-Qur‟an. Beliau juga termotivasi untuk menjaga
kelestarian al-Qur‟an. Ketika menafsirkan al-Qur‟an beliau
berpegang teguh pada dua aspek, yaitu:
a. Komitmen kepada Islam yang dianggapnya sebagai metode
atau landasan memperbaiki kerusakan yang diderita umat Islam
saat ini terutama dalam bidang pemikiran dan keyakinan.
b. Modernisasi, dimana syekh al-Sya’ra>wi menganggap
mengikuti perkembangan saat ini, sehingga tafsirnya bisa
dikatakan berciri modern.
2. Nama Tafsir al-Sya’ra>wi
Nama tafsir al-Sya’ra>wi di ambil dari nama asli pemiliknya
yakni Muhammad Mutawalli al-Sya’ra>wi. Menurut Muhammad
Ali Iyazi, judul yang terkenal dari karya ini adalah Tafsir al-
Sya’ra>wi Khawatir al-Sya’ra>wi Haula al-Qur‟an al-Karim. Pada
mulanya tafsir ini hanya di beri nama Khawatir al-Sya’ra>wi yang
dimaksudkan sebagai sebuah perenungan (Khawatir) dari diri al-
57

Sya’ra>wi terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang tentunya bisa saja


salah dan benar terhadap orang yang menafsirkannya. 29
Kitab ini merupakan hasil kolaborasi kreasi yang di buat oleh
murid al-Sya’ra>wi yakni Muhammad al-Sinrawi Abd al-Waris al-
Dasuqi dari kumpulan pidato-pidato atau ceramah-ceramah yang
dilakukan al-Sya’ra>wi. Sementara itu, hadis-hadis yang terdapat di
dalam kitab Tafsir al-Sya’ra>wi di takhrij oleh Ahmad Umar
Hasyim. Kitab ini diterbitkan oleh Ahbar al-Yaum Idarah al-Kutub
wa al-Maktabah pada tahun 1991 (tujuh tahun sebelum al-Sya’ra>wi
meninggal dunia). Dengan demikian, Tafsir al-Sya’ra>wi ini
merupakan kumpulan hasil-hasil pidato atau ceramah al-Sya’ra>wi
yang kemudian diedit dalam bentuk tulisan buku oleh murid-
muridnya. Tafsir ini merupakan golongan tafsir bi al-lisa>n atau
tafsir sauti (hasil pidato atau ceramah yang kemudian di
bukukan).30
3. proses penulisan
Al- Sya’ra>wi dalam muqaddimah tafsirnya, menyatakan
bahwa: “Hasil renungan saya terhadap al-Qur‟an bukan berarti
tafsiran al-Qur‟an, melainkan percikan pemikiran yang terlintas
dalam hati seorang mukmin saat membaca al-Qur‟an. Kalau
memang al-Qur‟an dapat ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak
menafsirkannya hanya Rasulullah SAW, karena kepada beliaulah
ia diturunkan. Beliau banyak menjelaskan kepada manusia ajaran
al-Quran dari dimensi ibadah, karena hal itu yang diperlukan
umatnya saat ini. Adapaun rahasia al-Qur‟an tentang alam semesta,
tidak beliau sampaikan, karena kondisi sosio intelektual saat itu

29
Muhammad Ali Iyazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu‟assasah al-Thaba‟ah wa al-Nasyr, 1372 H), 268.
30
Aniesa Maqbullah, Pemaknaan Amanah Dalam Surah AL-Ahzab Ayat 72,
Perspektif Penapsiran al-Sya’ra>wi, 54.
58

tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal itu


disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya
akan merusak puing-puing agama, bahkan memalingkan umat
dalam jalan Allah SWT.31
Sebelum berbicara tentang tema, al-Sya’ra>wi bisa
menyendiri beberapa saat untuk berfikir dan merenung. Setelah itu
ia keluar dengan ilmu yang Allah berikan kepadanya. Dengan
menyendiri seseorang dapat lebih konsentrasi sehingga
menghasilkan hasil yang optimal.37 Seperti dalam Q.S Saba‟ [34:]
40
ۤ َ ‫َقُْ٘ ُه ىِ ْي ََ ٰۤي نِٕ َن ِح اَ ْٰٕٓؤ‬ٝ ٌَّ ُ‫عًا ش‬ْٞ َِ ‫َحْ ُش ُشُٕ ٌْ َج‬ٝ ًَ ََْ٘ٝٗ ﴿
﴾ َُ ْٗ‫َ ْعثُ ُذ‬ٝ ‫َّا ُم ٌْ َماُّْ٘ ا‬ِٝ‫َُل ِء ا‬ ِ
“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Allah mengumpulkan
mereka semuanya kemudian Dia berfirman kepada para
malaikat, “Apakah kepadamu mereka ini dahulu
menyembah”
Al-Sya’ra>wi sebelum merenungi suatu ayat, terlebih dahulu
merujuk beberapa pendapat para mufassir, seperti Fakhr al-Razi,
Zamakhsyari, Sayid Quthb, al-Alusi, dan lain-lain. Pada saat
menerangkan kandungan suatu ayat, al-Sya’ra>wi tidak memegang
tafsir yang berjilid, melainkan hanya mushaf al-Qur‟an. Dengan
teliti diuraikan kandungan al-Qur‟an ayat per ayat, bahkan kata per
kata dan kolerasi antara satu ayat dengan ayat sebelumnya. 32
4. Metode Penafsiran.
Kata metode berasal dari Bahasa Yunani methodos, yang
berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata itu ditulis
method, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan

31
Ahmad karomain, “Tafsir al-Sya’ra>wi Khawatir al-Sya’ra>wi Haula al-Qur‟an al-
Karim, 2012, Diakses pada 7 Oktober 2020
https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir- al-Sya’ra>wi -khawatir-al-syarawi-
haula-al-quran-al-karim.
32
Riesti Yuni Mentari, “Penafsiran al-Sya’ra>wi terhadap al-Qur‟an tentang Wanita
Karir, 38.
59

manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut


mengandung arti yaitu cara yang teratur dan berpkir baik-baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan
sebagainya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang
ditentukan.33
Di dalam penafsiran al-Qur‟an ada beberapa kosa kata Arab
yang terkait dengan metode penafsiran, seperti: manhaj, thariqah,
ittijah, mazhab, dan al-laun. Dalam al-Munawwir, Kamus Arab-
Indonesia, kata thariqah dan manhaj mempunyai pengertian yang
sama yaitu metode, sedangkan kata ittijah berarti arah,
kecenderungan, orientasi, kata mazhab bermakna aliran, dan kata
laun bermakna corak, warna dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an
yang digunakan oleh para mufassir. Sebagai contoh: manhaj dan
thariqah adalah digunakan dalam metode tahlili, muqarin, ijmali
dan mawdlu‟i. Sedangkan ittijah yang berarti arah atau
kecenderungan dan madzhab yang bermakna aliran. Artinya, usaha
seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an
mempunyai kecenderungan atau aliran tertentu, misalnya saja
seorang ahli fiqih cenderung menafsirkan ayat Qur‟an ke arah fiqih
dan seorang filosof menafsirkan Qur‟an ke arah filsafat, dan
seterusnya.34
Menurut Umar Hasyim, metodelogi al-Sya’ra>wi dalam
tafsirnya bertumpu kepada pembedahan kata dengan
mengembalikan asal kata tersebut, dan mengembangkan ke dalam
bentuk lain, kemudian mencari korelasi makna antara asal kata
33
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, cet. Ke-I, (Jakarta: Balai 69 Pustaka),
580-581.
34
Abdul Rahman, Badruzzaman M. Yunus dan Eni Zulaiha, Corak Tasawuf dalam
Kitab-Kitab Tafsir Karya K.H. Ahmad Sanusi, (Bandung: Prodi S2 Studi Agama-Agama
UIN Sunan Gunung Djati Bandung ,2020), 94.
60

dengan kata jadiannya. Tafsir al-Sya’ra>wi tidak terbatas kepada


pengungkapan makna suatu ayat, baik makna umum maupun
makna rinci. Lebih dari itu, al-Sya’ra>wi berusaha
mensosialisasikan teks al-Qur‟an ke dalam realitas bumi. Dalam
mengupas satu ayat, al-Sya’ra>wi sering memulainya dengan
menerangkan korelasi ayat tersebut dengan ayat sebelumnya,
kemudian melanjutkan dengan tinjauan bahasa, akar kata, sharaf,
dan nahwunya, terlebih lagi, jika kalimat tersebut mempunyai
banyak I‟rab. Terkadang, ia membeberkan aneka qira‟at untuk
menerangkan perbedaan maknanya, menyitir ayat lain dan hadis
yang berhubungan dengan ayat yang ditafsirkan, juga menyitir
syair dalam menerangkan makna satu kata, sisi sastra suatu ayat
dijelaskan, ditulis asbab nuzul-nya apabila berdasarkan hadis
sahih.35
Di sisi lain kita juga melihat bahwa al-Sya’ra>wi membahas
dan menafsirkan ayat demi ayat kemudian mengaitkannya dengan
ayat lain yang memiliki keterkaitan dengan tema, beliau
mengatakan bahwa ayat al-Qur‟an dengan ayat al-Qur‟an lainnya
adalah saling ketergantungan yakni tidak ada pertentangan pada
setiap ayat al-Qur‟an. Sistematika yang demikian itu disebut
dengan penafsiran al-Qur‟an bil Qur‟an. Dalam penafsirannya,
corak yang menonjol adalah Adabi Ijtima‟i.36
Dalam hal ini Usman Abd al-Rahim al-Qamihi
menyimpulkan metode dan langkah-langkah yang ditempuh al-
Sya’ra>wi dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an, yakni:

35
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir al-Sya’ra>wi, 49.
36
Ahmad Karomain, “Tafsir al-Sya’ra>wi Khawatir al-Sya’ra>wi Haula al-Qur‟an
al-Karim, 2012, Diakses pada 8 Oktober 2020
https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir- al-Sya’ra>wi -khawatir-al-syarawi-
haula-al-quran-al-karim.
61

a. Dalam tafsir ini memuat perenungan-perenungan dan


pandangan-pandangan yang tajam.
b. Mengandung tafsir maudhu‟i, yakni dalam membahas ayat al-
Qur‟an ia mencoba mengkajinya pada satu tema.
c. Tafsir ini merupakan Tafsir Sauti (hasil ceramah yang
kemudian ditulis).
d. Al-Sya‟rai adalah orang yang ahli dalam bahasa dan sastra
Arab, maka ia selalu berangkat dari analisa bahasa ketika
menafsirkan sebuah ayat.
e. Berusaha menyingkap Fasahah al- Qur‟an (kehebatan al-
Qur‟an) dan rahasia sistematikanya.
f. Tujuan dari tafsir ini adalah untuk perbaikan sosial (al-islah al-
ijtim‟i), moral, dan tarbawi (pendidikan).
g. Menyingkap ayat-ayat hukum dan melihat asbab nuzul-nya.
h. Menggabungkan antara pendalaman dan kesederhanaan dalam
menafsirkan dan menyampaikannya.
i. Menggunakan metode analisis dan tematik, dan berusaha
menghubungkan antara ayat (munasabah al-ayat).
j. Terkadang bernuansa sufistik.
k. Menggunakan gaya bahasa (uslub), retoris-dialogis (al-mantiq
al-jadalia).
l. Menyingkap penemuan-penemuan ilmiah dalam al-Qur‟an.

Sampai di sini dapat dikatakan bahwa karakteristik dari


kitab Tafsir al-Sya’ra>wi adalah Tafsir Sauti (hasil ceramah yang
kemudian ditulis), dengan pembahasan yang luas, tidak terikat oleh
satu metode tertentu dalam metodologi tafsir al-Qur‟an. Sementara
itu, secara umum corak dari kitab tafsir ini adalah adabi ijtima‟i
62

yakni sosial kemasyarakatan, progresif untuk melakukan


perubahan dan perbaikan kehidupan sosial yang lebih baik.
Dikatakan secara umum, karena tafsir ini tidak menekankan corak,
melainkan menekankan pengungkapan ruh al-Qur‟an sebagai
sumber hidayah bagi umat manusia.37
6. corak tafsir dan karaktristik
Dalam kamus bahasa Indonesia kata corak mempunyai
beberapa makna. Di antaranya Corak berarti bunga atau gambar
(ada yang berwarna -warna) pada kain tenunan, anyaman dsb),
Juga bermakna berjenis jenis warna pada warna dasar, juga berarti
sifat (faham, macam, bentuk) tertentu.38 Kata corak dalam literatur
sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-
laun, bahasa Arab yang berarti warana. Istilah ini pula di gunakan
al-z\ahaby dalam kitabnya At-Tafsir Wa-al-Mufassiru>n. Berikut
potongan ulasan beliau yang bermakna (Tentang corak-corak
penafsiran di abad modern ini).39
Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang
mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk
ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan
maksud-maksud ayat al-Qur‟an. Artinya bahwa kecenderungan
pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir. Kata
kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah
pemikiran atau ide tersebut. Kecenderungan inilah yang kemudian
muncul ke permukaan pada periode abad pertengahan. Abad

37
Riesti Yuni Mentari, “Penafsiran al-Sya’ra>wi terhadap al-Qur‟an tentang Wanita
Karir”, 41-42.
38
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 220.
39
Az-Zahabi, “At-Tafsir wa-Al-Mufassirun”, Cet VII, jilid I (Cairo: Maktabah
Wahbah, 2000), 8.
63

pertengahan, boleh dikatakan sangat didominasi oleh


“kepentingan” (intrest) spesialisasi yang menjadi basis intelektual
mufassir, karena keanekaragaman corak penafsiran sejalan dengan
keragaman disiplin ilmu yang berkembang saat itu. Ini terjadi
karena minat pertama dan utama para mufassir saat itu sebelum ia
bertindak menafsirkan al-Qur‟an adalah kepentingannya. 40
Dalam penafsirannya, corak yang menonjol adalah Adabi
Ijtima‟i. melalui penafsirannya ini al-Sya’ra>wi mengemukakan
pemikirannya tentang pendidikan, perhatiannya terhadap
problematika masyarakat muslim juga problematika pemerintahan.
Contohnya: upaya Syekh al-Sya’ra>wi menyelesaikan problem
masyarakat muslim adalah bagaimana ia menjelaskan kepala
pemerintah untuk menjauhkan paksaan dan intimidasi kepada
rakyat ketika pemerintah berusaha melanggengkan
pemerintahannya. Sesudah menafsirkan ayat (QS. al-Baqarah:256)
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut, dan
beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. Syekh al-Sya’ra>wi
menjelaskan bahwa Allah tidak menghendaki paksaan, tak ada
seorangpun yang keluar dari kodratnya. Tetapi ketika kita melihat
dan kita dapati beberapa Negara atau pemerintah yang
memaksakan ideologinya kepada rakyat dengan kekerasan dan
paksaan. Akibatnya akan timbul kekacauan dan pemberontakan.

40
Abdul Rahman, Badruzzaman M. Yunus dan Eni Zulaiha, Corak Tasawuf dalam
Kitab-Kitab Tafsir Karya K.H. Ahmad Sanusi, 97.
64

Syekh al-Sya’ra>wi dalam penafsirannya bisa dikatakan


seorang reformer dan pejuang, meskipun Ia tidak melalaikan
pendapat ulama-ulama tafsir sebelumnya. Dia juga berkomitmen
menjelaskan akidah dan akhlak, mengaitkan penafsiran dengan
kehidupan masyarakat dan aktifitasnya. Sehingga Ali Iyazi
mengatakan bahwa corak tafsir al-Sya’ra>wi adalah Tarbawi dan
Islahi.41
Berkaitan dengan karakteristik Tafsir al-Sya’ra>wi, bila
diamati maka dapat dikemukakan bahwa dalam penafsiran ayat,
beliau menjelaskan makna suatu kata pada ayat yang ditafsirkan
dengan mengeksplorasi ayat-ayat lain yang menggunakan kata
tersebut. Ia sangat respek pada perkembangan ilmu pengetahuan,
maka ayat ayat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, ia pun
menafsirkannya (tafsir Ilmi), karena ia pula sanagat
mengedepankan kemukzijatan al-Qur‟an. Bila diperhatikan lebih
jauh, tampaknya yang paling spesifik adalah ketika menafsirkan
ayat-ayat al-quran, beliau terkadang memudahkan dalam
menangkap atau memahami penafsirannya.42
7. Sistematika Penulisan dan Sumber Penafsiran
Tafsir al-Sya’ra>wi dimulai dengan pendahuluan sebanyak 30
halaman, dan penjelasan tentang arti Isti‟adzah, susunan ayat-ayat
al-Qur‟an, kemudian menafsirkan surat al-Fatihah. Sistematika
penulisan tafsirnya sebagai berikut:
a. Menyebut arti surah, nama dan hikamah dinamakannya surah
tersebut

41
Ahmad karomain, “Tafsir al-Sya’ra>wi Khawatir al-Sya’ra>wi Haula al-Qur‟an al-
Karim, 2012, Diakses pada 8 Oktober 2020
https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir- al-Sya’ra>wi -khawatir-al-syarawi-
haula-al-quran-al-karim.
42
Malkan, Tafsir al-Sya’ra>wi Tinjauan Biografis dan Metodologis, 201.
65

b. Menyebutkan urutan ayat berdasarkan turunnya


c. Menyebutkan ruang lingkup isi surah tersebut secara global
d. Menyebutkan asbabun Nuzulnya jika ada
e. Membahas dan menafsirkan ayat demi ayat dan mengaitkannya
dengan ayat lain yang memiliki keterkaitan dengan tema,
karena beliau yakin adanya kesatuan dari ayat al-Qur‟an
dengan ayat lain.

Sumber-sumber penafsiran al-Sya’ra>wi diantaranya: seperti


tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, tafsir
Fi z\ilal al-Qur‟an yang dikarang oleh Sayyid Qutub. Tafsir al-
Thabari karya Ibn Jarir al-T{abari, Mafa>tihul Ghai>b karya
Fakhruddin ar-Razi. Al-Kassyaf karya al-Zamakhsyari, al-Anwar
at-Tanzi>l wa Asrar al-Ta‟wil karya al-Baid{awi, dan al-Dur al-
Mans\ur fi Tafsir bil Ma‟tsur karya Jalaluddin al- Suyuthi.43
8. Proses Penulisan dan Deskripsi Tafsir al-Sya’ra>wi
Al- Sya’ra>wi dalam muqaddimah tafsirnya, menyatakan
bahwa: “Hasil renungan saya terhadap al-Qur‟an bukan berarti
tafsiran al-Qur‟an, melainkan percikan pemikiran yang terlintas
dalam hati seorang mukmin saat membaca al-Qur‟an. Kalau
memang al-Qur‟an dapat ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak
menafsirkannya hanya Rasulullah SAW, karena kepada beliaulah
ia diturunkan. Beliau banyak menjelaskan kepada manusia ajaran
al-Quran dari dimensi ibadah, karena hal itu yang diperlukan
umatnya saat ini. Adapaun rahasia al-Qur‟an tentang alam semesta,
tidak beliau sampaikan, karena kondisi sosio intelektual saat itu

43
Ahmad Karomain, “Tafsir al-Sya’ra>wi Khawatir al-Sya’ra>wi Haula al-Qur‟an
al-Karim, 2012, Diakses pada 8 Oktober 2020
https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir- al-Sya’ra>wi -khawatir-al-syarawi-
haula-al-quran-al-karim.
66

tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal itu


disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya
akan merusak puing-puing agama, bahkan memalingkan umat
dalam jalan Allah SWT.44
Al-Sya’ra>wi sebelum merenungi suatu ayat, terlebih dahulu
merujuk beberapa pendapat para mufassir, seperti Fakhr al-Razi,
Zamakhsyari, Sayid Quthb, al-Alusi, dan lain-lain. Pada saat
menerangkan kandungan suatu ayat, al-Sya’ra>wi tidak memegang
tafsir yang berjilid, melainkan hanya mushaf al-Qur‟an. Dengan
teliti diuraikan kandungan al-Qur‟an ayat per ayat, bahkan kata per
kata dan kolerasi antara satu ayat dengan ayat sebelumnya. 45
Kitab ini terdiri dari 18 jilid yang dapat digambarkan dalam
tabel berikut ini:
a. Jilid I Pendahuluan, Qs. al-fatihah sampai Qs. al-Baqarah ayat
154.
b. Jilid II Qs. al-Baqarah ayat 155 sampai Qs. Ali Imran ayat 13.
c. Jilid III Qs. Ali Imran ayat 14 sampai 189.
d. Jilid IV Qs. Ali Imran ayat 190 sampai Qs. An-Nisa‟ ayat 100.
e. Jilid V Qs. An-Nisa‟ ayat 101 sampai Qs. Al-Maidah: 54.
f. Jilid VI Qs. Al-Maidah: 55 sampai Qs. al-An‟am: 109.
g. Jilid VII Qs. al-An‟am: 110 sampai Qs. al-A‟raf: 188.
h. Jilid VIII Qs. al-A‟raf: 189 sampai Qs. At-Taubah: 44
i. Jilid IX Qs. At-Taubah: 45 sampai Qs. Yunus: 14.
j. Jilid X Qs. Yunus: 15 sampai Qs. Hud: 27.
k. Jilid XI Qs. Hud: 28 sampai Qs. Yusuf: 96.
l. Jilid XII Qs. Yusuf: 97 sampai Qs. Al-Hjr: 47.
m. Jilid XIII Qs. Al-Hjr: 48 sampai Qs. Al-Isra‟: 4.
44
Malkan, Tafsir al-Sya’ra>wi Tinjauan Biografis dan Metodologis, 203.
45
Muhammad Ali Iyazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu‟assasah al-Thaba‟ah wa al-Nasyr, 1372 H), 268-269.
67

n. Jilid XIV Qs. Al-Isra‟: 5 sampai Qs. Al-Kahfi; 98.


o. Jilid XV Qs. Al-Kahfi; 99 sampai Qs. Al-Anbiya‟: 90.
p. Jilid XVI Qs. Al-Anbiya‟: 91 sampai Qs.an-Nur: 35.
q. Jilid XVII Qs.an-Nur: 36 sampai Qs. Al-Qasas: 29.
r. Jilid XVIII Qs. Al-Qasas: 30 sampai Qs. Ar-Rum: 58.46

9. Kelebihan dan Kekurangan


Dalam dunia tafsir, pola penyajian adalah perangkat dan tata
kerja yang dipakai dalam proses penafsiran al-Qur‟an. Secara
historis, setiap penafsiran telah menggunakan suatu pola atau lebih.
Pilihan pola tergantung pada kecenderungan dan sudut pandang
penafsir serta latar belakang keilmuan dan aspek-aspek lain yang
melingkupinya. Banyak sekali kelebihan yang dimiliki oleh tafsir
al-Sya’ra>wi yang diantaranya adalah: al-Sya’ra>wi menyajikan
karya tafsirnya dengan nuansa yang bersentuhan langsung dengan
tema-tema kemasyarakatan, melalui teknik bahasa yang cukup
sederhana. Hal ini sebagai upaya meletakan al-Qur‟an pada posisi
sebagai pedoman dalam realitas kehidupan sosial. Serta dalam
tafsir al-Sya’ra>wi kandungan di dalamnya dapat menjawab
persoalan masyarakat yang selalu selalu berkembang karena
menggunakan corak al-Adab al- Ijtima‟i. Namun juga ada
kekurangan dalam tafsir ini al-Sya’ra>wi tidak banyak memberikan
perhatian kepada pembahasan kosakata atau tata bahasa, kecuali
dalam batas-batas untuk mengantarkan kepada pemahaman
kandungan petunjuk petunjuk al-Qur‟an. Serta tidak adanya sebuah
referensi ketika terdapat penyebutan sebuah pendapat ulama lain.
Dan tidak adanya perhatian terhadap sanad hadis.47

46
Aniesa Maqbullah, Pemaknaan Amanah Dalam Surah AL-Ahzab Ayat 72,
Perspektif Penapsiran al-Sya’ra>wi, 55-56.
47
Ahmad Karomain, “Tafsir al-Sya’ra>wi Khawatir al-Sya’ra>wi Haula al-Qur‟an
al-Karim, 2012, Diakses pada 8 Oktober 2020
68

Setelah mencermati apa yang telah dipaparkan di atas maka


dapat digarisbawahi bahwa Tafsir al-Sya’ra>wi adalah salah satu
tafsir populer yang juga disusun oleh seseorang populer yang
bernama Muhammad Mutawalli Al-Sya’ra>wi yang lahir di Desa
Daqadus Mesir, tanggal 16 april 1911 M / 17 Rabi‟ul Awal 1329
H, ia wafat pada tanggal 17 juni 1998 M / 22 safar 1419 H dan di
makamkan di Desa Daqadus. Yang melatarbelakangi munculnya
tafsir al-Sya’ra>wi adalah satu 1) keinginan untuk menjelaskan
hukum-hukum Allah secara lebih jelas, 2) Ingin menjelaskan
bahwa al-Qur‟an selalu relevan dengan dengan perkembangan
zaman, 3) Ingin menjelaskan kemukjizatan ilmiah al-Qur‟an.
Tafsirnya ini pada mulanya diangkat dalam bentuk ceramah di TV
sejak tahun 1973. Kemudian dimuat di majalah al-Liwa‟ al-Islami
dari tahun 1986 samapi 1989, lalu ditulis oleh sebuah lajnah,
selanjutnya diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1991 yang
diterbitkan oleh penerbit Akhbar Al-Yaum.
Tafsir ini secara metodologis, dari segi sumber tafsir, ia
memadukan Ma‟tsur dengan Ra‟yi namun lebih dominan Ra‟yi,
dan ia memadukan metode Tahlili dengan Maudhu‟i, namun lebih
dominan Maudhu‟i, ia bercorak tarbawy dan hida‟iy. Dari segi
madzhab ia menganut madzhab Syafi‟i dalam bidang Fiqih. Dan ia
dekat kepada muktazilah dalam bidang teologi. Ia mempunyai
karaktristik yang spesipik, yaitu dengan mengemukakan contoh-
contoh yang rasional dalam mengelaborasi tafsirnya. Sementara
pandangan para pakar terhadapnya adalah bernuansa rasional,
moderat dan sufistik.

https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir- al-Sya’ra>wi -khawatir-al-syarawi-


haula-al-quran-al-karim.
BAB IV
ANALISIS ARTI FITNAH DALAM AL-QUR’AN

Rincian ayat-ayat Fitnah muncul di dalam al-Qur‟an dengan dua


bentuk kata yaitu nominal 37 kali dan verbal 23 kali. Hampir semua
Fitnah yang berbentuk verbal menunjukkan arti menguji kecuali 8 ayat,
sedangkan Fitnah yang berbentuk nominal mempunyai beberapa makna
yang saling mencakup dan tumpang tindih. Makna-makna tersebut lebih
mengarah kepada penolakan ajaran islam dan penganiyayaan terhadap
kaum muslim.
Adapun ayat-ayat yang akan saya analisis adalah surah al-Baqarah
ayat 191, 217, an-Nisa ayat 91 dan al-Anfa>l ayat 25. Pada bab ini akan
dilakukan analisis arti Fitnah pada ayat-ayat tersebut. Kemudian
memberikan tinjauan terhadap kata Fitnah dari segi kebahasaan,
munasabah dan asbab an-Nuzul.

A. Fitnah Dalam Surah Al-Nisa Ayat 91


ُْ ِ ‫َٖا فَا‬ْٞ ِ‫ ا ْىفِ ْرَْ ِح اُسْ ِمغُْ٘ ا ف‬َٚ‫َأْ ٍَُْْ٘ ا قَْ٘ ٍَُٖ ٌْ ْۗ ُم َّو ٍَا ُس ُّد ْْٓٗا اِى‬َٝٗ ٌْ ‫َّأْ ٍَُْْ٘ ُم‬ٝ ُْ َ‫ ُذْٗ َُ ا‬ْٝ ‫ ُِش‬ٝ َِْٝ ‫﴿ َعرَ ِج ُذْٗ َُ ٰا َخ ِش‬
ٰۤ ُ
‫ٗى ِنِٕ ُن ٌْ َج َع ْيَْا‬ ُ ٞ‫َُٖ ٌْ فَ ُخ ُزْٗ ُٕ ٌْ َٗا ْقرُيُْ٘ ُٕ ٌْ َح‬ٝ‫ ِذ‬ْٝ َ‫َ ُن ُّف ْْٓ٘ا ا‬َٝٗ ٌَ ‫ ُن ٌُ اى َّغ َي‬ْٞ َ‫ُ ْيقُ ْْٓ٘ا اِى‬َٝٗ ٌْ ‫َ ْعرَ ِضىُْ٘ ُم‬ٝ ٌْ َّ‫ى‬
‫ْس شَقِ ْفرُ َُْ٘ ُٕ ٌْ ْۗ َٗا‬
﴾ ࣖ ‫ًْا‬ْٞ ِ‫ ِٖ ٌْ ُع ْي ٰطًْا ٍُّث‬ْٞ َ‫ىَ ُن ٌْ َعي‬
“Kelak akan kamu dapati (golongan-golongan) yang lain, yang
menginginkan agar mereka hidup aman bersamamu dan aman (pula)
bersama kaumnya. Setiap kali mereka diajak kembali kepada fitnah
(syirik), mereka pun terjun ke dalamnya. Karena itu jika mereka tidak
membiarkan kamu dan tidak mau menawarkan perdamaian kepadamu,
serta tidak menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka
tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di mana saja kamu temui, dan
merekalah orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata
(untuk memerangi, menawan dan membunuh) mereka”.
Ayat ini dimulai dengan kata kerja yang menerangkan masa
mendatang, kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain,
yang bermaksud supaya mereka aman daripada kamu dan aman pula

69
70

dari kawannya. Hal ini berarti pada saat ayat ini turun, muslimin belum
menemukan kaum seperti yang disebut Allah dalam ayat ini. Saat itu,
kaum kafir meragukan kebenaran isi al-Qur‟an. Selanjutnya Allah
menjelaskan bahwa dia selalu memperhatikan hamba-nya
menyampaikan segala kejadian yang telah dan akan menimpanya.
Manusia tidak perlu berselisih pendapat tentang hal itu, karena itu
sebagai bukti bahwa manusia selalu dalam pengawasan-Nya.1
Kaum yang disebut pada kalimat, kelak kamu akan dapati mereka
golongan yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman daripada
kamu, adalah suatu kaum dari Bani Asad dan Gathfan yang tinggal di
pinggiran kota Madinah. Mereka menemui muslimin dan berkata “kami
bersama kalian” begitu juga ketika mereka menemui kaum kuffar dan
“berkata kami bersama kalian” Padahal sebenarnya mereka tidak
mampu untuk menghadapi salah satu dari kedua kubu ini. Itulah
sebabnya al-Qur‟an menerangkan setiap kali mereka di ajak untuk
kepada Fitnah (syirik), mereka pun terjun kedalamnya. Setiap kali
fitnah datang kepada mereka, mereka pun kembali dan mereka gagal
dalam mengahadapi fitnah tersebut, mereka terjun kedalamnya, karena
unsur keimanan belum tumbuh pada diri mereka. Oleh sebab itu
mereka senantiasa berada dalam kebimbangan.
Adapun Fitnah berarti cobaan. Jadi, Fitnah itu bukan sesuatu
yang buruk, ketika dikatakan: “sipulan berada dalam Fitnah”. Sebagai
seorang mukmin, hendaklah kita mndoakannya agar bisa berhasil
menghadapinya. Jadi, fitnah bukan mus}i>bah yang telah terjadi, dan
sebaliknya, mus}i>bah akan terjadi bila gagal menghadapi tersebut.2

1
Muhammad Mutawalli Al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya’ra>wi i, terj, Dr. H. Zinal Arifin,
MA dan Dr. Ardiansyah, MA, jilid III cet. I (Medan: Duta Azhar, 2011), 281.
2
Al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya’ra>wi, 282.
71

Dalam bahasa Arab istilah Fitnah ini diambil dari sesuatu yang
konkrit, yaitu Fitnah emas atau Fitnah besi. Fitnah emas adalah
peleburan emas hingga mencair, saat itu unsur-unsur campuran selain
emas akan mengapung. Begitu juga dengan besi. Fitnah emas dan besi
dapat memperlihatkan adanya campuran asing di dalamnya. Lalu kata
Fitnah ini berpindah arti dari benda yang kongkrit kepada makna yang
abstrak. Hingga akhirnya dia memiliki arti sebagai cobaan yang
dihadapi manusia, baik dia berhasil atau pun gagal menghadapinya.
Demikianlah al-Qur‟an memberitahukan kepada mukminin
tentang keberadaan kaum yang tidak kuat imannya. Setiap kali kaum
mereka mengajak untuk kembali syirik dan memerangi muslimin,
mereka memenuhi panggilan tersebut dan berpaling dari imannya.
Mereka adalah seburuk-buruk musuh. Kemudian Allah menerangkan
startegi yang harus dilakukan mukminin dalam menyikapi orang-orang
yang telah kembali kepada Fitnah tersebut.
Allah memberi kuasa penuh kepada muslimin untuk menindak
mereka. Kekuasaan ini maksudnya kekuatan yang terdiri dari dua
macam: pertama kekuatan yang memaksa manusia untuk melakukan
suatu perbuatan, tapi dia tidak mampu memaksa hatinya untuk ikhlas
dalam berbuat. Seperti seseorang yang menyuruh orang lain tersebut
berhenti. Akan tetapi, kekuatan ini tidak mampu untuk memaksa
hatinya untuk rela berhenti. Kedua, kekuatan argumentatip atau
pemberian dalil yang membuat manusia puas dan rela untuk melakukan
pekerjaan tersebut.
Perbedaan antara dua kekuasaan ini, kekuasaan pertama memaksa
manusia untuk sujud, dan jenis kedua, membuat manusia sujud dengan
suka rela. Sedang kekuasaan yang dimaksud Allah dalam ayat ini
adalah jenis pertama, yang dapat digunakan untuk melakukan apapun
72

terhadap kaum munafik, selama mereka berusaha untuk memerangi


atau membahayakan kaum muslimin.3
Di sini Allah menjelaskan bahwa orang-orang munafik selalu
hadir di antara umat Islam dengan menyatakan bahwa ia beriman, itu
dilakukan demi menjamin kesalamatan jiwa dan harta dari berbagai
macam siksaan dan celaan rekan-rekannya. Sehingga tidak jarang
mereka kembali terjerumus ke dalam Fitnah (syirik) dan bersekutu
dalam menyakiti kaum muslimin. Sehingga Allah mengingatkan,
"Wahai umat Islam jika orang-orang munafik itu menghalangimu dari
menunaikan perintah Allah, maka perangilah mereka"
Firman Allah: “setiap mereka diajak kembali kepada fitnah
(syirik)”. Aḥmad Syakir menjelaskan, maksudnya adalah bersungguh-
sungguh kembali pada kesyirikan. Berkata as-Suda, maksud Fitnah di
sini adalah syirik. Diceritakan oleh Ibn Jarir, dari Mujahid: ayat ini
diturunkan kepada satu kaum di kota Makkah, mereka datang kepada
Rasul dengan menyatakan bahwa mereka Islam, dan saat kembali
kepada orang-orang Quraish, mereka kembali meyembah berhala-
berhala, berharap dengan demikian mereka bisa aman di manapun
mereka berada.4
Abu Zahrah menjelaskan, setiap kali mereka kembali kepada
kaumnya, mereka menebar Fitnah dengan sikap panatisme dan
kekafirannya. Hati mereka berubah menjadi sangat jahat, dan bekerja
keras menebarkan kekafiran, Islam memerintahkan untuk memerangi
mereka, hingga mereka bersedia untuk menjauh dan menahan tangan
mereka dari memerangi kaum muslimin. Ironisnya, orang? orang

3
Al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya’ra>wi, 283.
4
Aḥmad Syakir, „Umdah at-Tafsir „an al-Ḥafiz Ibn Kas\ir, juz II (Mansyurah: Dar
al-Wafa‟, 2005), 239.
73

munafik memiliki banyak cara dalam mempengaruhi orang mukmin


yang ada di sekitarnya, tipudaya mereka yang lihai dengan
menyembunyikan status keimanan mereka yang sebenarnya sangat
berpengaruh besar terhadap umat Islam hingga saat ini.5
Dengan demikian, apa yang dijadikan sandaran terhadap
pemaknaan kata Fitnah, al-Qur‟an lebih bersifat general daripada
pemaknaan secara parsial seperti dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. kendati pemaknaan itu tetap saja mengarah kepada suatu
tindakan yang kurang baik atau perbuatan yang akan menimbulkan
bahaya yang lebih besar. Bahkan sejumlah pemaknaan ini jika
dikondisikan dengan makna yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, seperti yang disebutkan di atas akan memiliki penilaian yang
berbeda.
Penilaian ini dapat saja dikonstruk dengan analogi bahwa bohong
atau suatu perbuatan yang negatif yang ditujukan kepada orang lain
masuk ke dalam indikasi Fitnah, hanya saja kriteria ini dalam konteks
bahasa Arab lebih dikenal dengan sebutan Buthan dan bukan sebagai
bentuk Fitnah. Sementara dalil yang menyebutka yang seharusnya
dipahami ke arah penganiayaan dan segala perbuatan yang
dimaksudkan untuk menindas secara fisik atau bisa saja ber-predikat
sebagai perbuatan syirik/kufur.6
Ayat di atas juga berhubungan dengan suraha al-Baqarah ayat
193, saat kaum musyrik mendatapkan serangan, hendaklah orang-orang
mukmin menyambut serangan itu dengan semangat peperangan pula,
dan apabila mereka berhenti menyerang kamu, maka kamu juga wajib

5
Muhammad ABU Zahrah, Zahrah at-Tafasir, juz IV (Kairo: DMuḥamār al-Fikr al-
„Arabi, tt), 3127.
6
Umar Latif, “konsep Finnah Menurut Al-Qur‟an” Jurnal Al-Bayan, vol. 22 no, 31
(Januari-Juni 2015): 73.
74

berhenti dari memerangi mereka. Ayat ini mengisyaratkan, bahwa


apabila serangan musuh telah berhenti, pertanda bahwa peperangan
sudah usai. Umat Islam diberi wewenang mempertahankan haknya,
kota Makkah yang menjadi tanah kelahiran Rasul saw., wajib
dipelihara dari berbagai perbuatan tercela, seperti mensekutukan Allah
dan aksi teror yang akan membuat orang-orang sekitarnya merasa tidak
nyaman dan tersakiti. Karenanya, dalam ayat ini Allah memerintahkan
umat Islam untuk mengeluarkan segala bentuk kemusyrikan dan
penganiayan yang ada di kota Makkah.
Fitnah di sini bermakna syirik dan pengusiran, seperti
ditafsirkan oleh kebanyakan ulama. Al-Qurṭhubi memberikan
penjelasan terhadap firman Allah. sehingga tidak ada fitnah lagi,
yakni kekafiran, maksud dan tujuan dari peperangan itu adalah
agar tidak ada lagi kekafiran. Berkata Ibn „Abbas, Qatadah, ar-
Rabi, as-Suda dan yang lainnya: "Maksud dari Fitnah pada ayat ini
adalah syirik yang kemudian diikuti dengan siksaan orang-orang
musyrik terhadap orang mukmin. Makna ayat di atas senada
dengan firman Allah: Dan perangilah mereka, supaya jangan ada
fitnah, dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. jika
mereka berhenti (dari kekafiran), Maka Sesungguhnya Allah Maha
melihat apa yang mereka kerjakan. Q.S. al-Anfa>l /8: 39.7

Maksud dari Fitnah fi ad-Din (Fitnah dalam agama) pada ayat ini
adalah, menyakiti orang-orang mukmin, seperti mencegah mereka dari
akidah yang mereka anggap benar, atau menghalangi mereka untuk
tetap berpegang terhadap agama tersebut, kemudian meminta mereka
meninggalkan agama yang sudah mereka peluk, seperti yang diperbuat
orang-orang musyrik terhadap kaum mukminin kota Makkah.

7
Muḥammad Abu Bakr al-Qurṭhubi, Al-Jami‟u li Aḥkam Alquran, juz II (Beirut:
Muassasah ar-Risalah, 2005), 246-247.
75

B. Fitnah Dalam Surat al-Baqarah Ayat 191 dan 217


ٌْ ُٕ ُْ٘‫ْس اَ ْخ َشجُْ٘ ُم ٌْ َٗا ْىفِ ْرَْحُ اَ َش ُّذ ٍَِِ ا ْىقَ ْر ِو َٗ ََل ذُ ٰقرِي‬ ُ ٞ‫ْس شَقِ ْفرُ َُْ٘ ُٕ ٌْ َٗاَ ْخ ِشجُْ٘ ُٕ ٌْ ٍِّ ِْ َح‬ ُ ٞ‫﴿ َٗا ْقرُيُْ٘ ُٕ ٌْ َح‬
ۤ
﴾ َِْٝ ‫ل َج َضا ُء ا ْى ٰنفِ ِش‬ ٰ ٰ ٰ ٰ
َ ِ‫ ِٔ َفا ِ ُْ ق َريُْ٘ ُم ٌْ َفا ْقرُيُْ٘ ُٕ ْۗ ٌْ َمزى‬ْٞ ِ‫ُقرِيُْ٘ ُم ٌْ ف‬ٝ ٚ‫ِع ْْ َذ ا ْى ََ ْغ ِج ِذ ا ْى َح َش ِاً َح ّر‬
“Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah
mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih
kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di
Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu.
Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah
balasan bagi orang kafir”.

Kata Tsaqafah yang berarti pengetahuan yang mudah diperoleh,


oleh karena itu yang menguasai berbagai bidang pengetahuan berarti
orang itu disebut mutsaqqaf (berbudaya), kemudian jika ia
memperdalam salah satu bidang ilmu pengetahuan, maka ia kelak
disebut spesialis. Semuanya itu terdapat pada pengetahuan yang dapat
dicerna oleh indra manusia.
Kata Tsaqif dalam Bahasa Arab berarti membentuk dahan pohon.
Dahulu bangsa arab membentuk dahan-dahan pohon menjadi anak
panah, tongkat, dan lain-lain. Terkadang kita jumpai dahan pohon itu
lurus dan terkadang kita menemukannya bengkok. Keahlian orang arab
pada masa itu adalah meluruskan dahan-dahan yang bengkok dengan
mengikatkannya pada potongan besi hingga jadilah dahan itu lurus.
Seakan-akan orang itulah yang membentuk dahan bengkok itu menjadi
lurus.
Demikianlah Allah menjelaskan kepada manusia pengambilan
suatu akar kata dari yang dapat diindra oleh manusia. Jika kamu
menemui mereka dalam peperangan maka cerai beraikanlah mereka
(al-Anfa>l [8]: 57) Allah menyuruh ummat Islam untuk mengeluarkan
kaum kafir dari tempat di mana mereka pernah dikeluarkan atau diusir.
Dengan demikian prilaku umat islam itu tidak melampaui batas atau
76

berlebihan. Dan usirlah mereaka dari tempat mereka telah mengusir


kamu, mengingatkan kita akan kemiripannya dengan ayat; maka
balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakann
kepadamu (QS an-Nahl [16]:126) dan dengan Dan balaslah suatu
syyiu‟ah (kejahatan) adalah kejahatan yang serupa (QS. al-Syu‟ara
[40]: 40).8
Ketiga ayat ini masing-masing menegaskan bahwa suatu
perbuatan itu dibalas dengan semisalnya. Beragamnya penjelasan dari
ketiga ayat di atas menunjukkan bahwa perbuatan itu akan terjadi. Jika
dilihat kata “sayyiah” kejelekan di atas bukanlah mengindikasikan
bahwa Allah berbuat sesuatau kejelekan kepada hambanya. Namun
yang dimaksud adalah penegasan terhadap setiap perbuatan itu
dibalalas dengan semisalnya. Begitu pun, Allah Swt menganjurkan
untuk memaafkan sebagaimana firman-Nya di akhir ayat di atas, akan
tetapi jika kamu bersabar, sebenarnya itulah yang terbaik bagi orang-
orang yang sabar (QS an-Nahl [16]: 126).
Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan. Kata
fitnah bersal dari kata fatana, yang artinya menguji sebagaimana
seorang tukang fatin menguji emasnya dengan membakarnya di api.
Jika terdapat campuran dalam logam selain emas akan terpisahlah
sehingga emas itu menjadi murni tanpa campuran. Demikian halnya
dengan musyrikin Quraisy yang menyiksa umat islam dan
mengeluarkan mereka dari rumah-rumahnya, sehingga yang tinggal
hanya golongan mereka saja.9
Perintah Allah kepada orang Islam untuk memerangi kaum kafir
Quraisy dengan tetap menjaga kehormatan dari baitullah (Ka‟bah)
8
Muhammad Mutawalli al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya‟rawi, terj, Dr. H. Zinal Arifin, MA
dan Dr. Ardiansyah, MA, jilid I cet. I (Medan: Duta Azhar, 2011), 611.
9
Al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya’ra>wi, 612.
77

mereka dilarang untuk berperang di sekitarnya sampai kaum kafir itu


menyerang mereka. Demikianlah dapat kita lihat, bahwa perintah
berperang itu sebagai antisipasi terhadap berbagai pelanggaran. Allah
ingin menjelaskan kepada orang kafir bahwa mereka tidak dapat
mempermainkan muslimin dengan memerangi mereka pada tempat suci
dan dalam bulan haram. Karena mukminin itu diberikan izin untuk
mempertahankan diri (berperang) sekali pun dalam tanah haram dan
bulan haram. Sebab pengrusakan kehormatan harus dibalas dengan
pengrusakan kehormatan pula.
Selain itu Allah juga menjelaskan, bahwa Fitnah yang pernah
mereka lakukan terhadap muslimin jauh lebih kejam dari pembunuhan.
Karena Fitnah biasanya dilakukan untuk menggoyahkan keimanan
seseorang. Sebagaimana yang pernah dirasakan oleh para sahabat yang
terdahulu dalam memeluk Islam di Mekkah. Allah yang menetapkan
bulan dan tanah haram, bagaimana mungkin membiarkan hambanya
tertindas pada bulan haram dan di tanah haram. Keharaman bulan dan
tanah itu adalah hak prerogatif Allah untuk menetapkan dan
mencabutnya. 10
Dari paparan di atas disimpulkan bahwa sebenarnya peperangan
itu dibolehkan sebatas mempertahankan diri saja. Jika orang-orang
kafir juga mengakui bahwa diri mereka berperang atau menyerang atas
dasar mempertahankan diri, maka pertanyaan yang seharusnya
dikemukakan adalah; apa yang mereka pertahanan? Sikap yang mereka
tunjukkan adalah menindas mukminin, bukan mempertahan diri. Oleh
karena itu Islam menegaskan bahwa siapa saja yang menghalangi

10
Al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya’ra>wi, 613
78

dakwah ini maka dia akan dihancurkan. Karena perbuatan itu berarti ia
telah menghalangi orang yang ingin melaksanakan ajaran agamanya. 11
Arti ayat tersebut juga menjelaskan tentang perjanjian
Hudaibiyah, ketika Rasulullah saw dihalang-halangi oleh orang-orang
Quraisy untuk memasuki kota Mekkah, di situ diadakan suatu
perjanjian, yang pada pokok isinya agar kaum muslimin menunaikan
ibadah umroh pada bulan Dzulqo‟dah tahun berikutnya. Ketika
Rasulullah saw serta para sahabatnya berangkat ke Mekkah lagi untuk
menunaikan ibadah umroh sebagaimana yang telah dijanjikan oleh
kaum Quraisy. Namun mereka menghalangi atau memerangi untuk
masuk ke baitullah (Masjidil Haram) sedang kaum muslimin merasa
enggan untuk mengadakan peperangan di bulan yang mulia (haram)
dan sebagai penjelasan bagi kaum muslimin apabila mereka diserang
oleh musuh maka Allah memperbolehkan kaum muslimin mengadakan
peperangan sekalipun di bulan haram.12
Dari penjelasan di atas dan asab an-nuzul dari ayat tersebut
bahwa yang selama ini masyarakat banyak berdalil dengan mengatakan
bahwa Fintah itu lebih kejam dari pada pembunuhan, ternyata
pengertian Fitnah di dalam ayat ini bukan berita bohong atau tuduhan,
melainkan ujian yang dirasakan oleh ummat islam.
Kaum musyrikin yang tidak ridha dengan risalah yang dibawa
oleh Rasul saw. kerap kali menimbulkan kekacauan di sekitar umat
Islam ketika itu, berbagai siksaan dan kecaman dirasakan oleh umat
Islam, perampasan terhadap hak dan harta mereka, serta hujatan-
hujatan menyangkut agama yang mereka peluk, sampai pada hal
pengusiran, yang akhirnya membuat mereka tergusur dari negrinya

11
Al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya’ra>wi, 614.
12
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, terj. Rohadi Abu Bakar
(Semarang: Wicak sana, 1989), 166.
79

sendiri. Menanggapi kondisi seperti itu Allah berfirman dan fitnah itu
lebih besar bahayanya dari pembunuhan, yakni, penyiksaan atau
pengusiran yang dilakukan kaum musyrikin terhadap umat Islam, atau
sikap mereka yang mensekutukan Allah, lebih besar akibatnya dari
pada aksi pembunuhan yang dilakukan umat Islam terhadap mereka,
sekalipun itu berada di arena Masjid al-Ḥaram, yang pada hakikatnya
Allah melarang adanya aksi pembunuhan di sekitarnya.
Ad-Dhamagani menjelaskan makna Fitnah di sini sebagai
kesyirikan. Al-Baidhawi menjelaskan, ujian yang dengannya manusia
dicoba, seperti keluar dari negeri sendiri, yang demikian lebih berakibat
dari pada dibunuh, karena terusir dari negeri sendiri sangat melelahkan
dan menyakitkan. Ada juga yang mengatakan bahwa maksud Fitnah di
sini adalah, kondisi mereka yang mensekutukan Allah di sekitar Masjid
al-Ḥaram, dan mengusirmu dari sana lebih berakibat dari pada aksi
pembunuhan yang kalian lakukan terhadap mereka.13
Al-Alusi memberikan penafsiran terhadap ayat ini, “Mereka yang
mensekutukan Allah, sedang mereka berada disekitar Masjid al-Ḥaram
sangatlah buruknya, maka tidak apa jika kamu membunuh meraka di
sekitar Masjid al- Ḥaram, karena melakukan sesuatu yang buruk
dengan tujuan menghilangkan yang lebih buruk adalah bagian dari
rukhsah (keringanan) bagi kamu, dan tidak ada dosa bagimu. Atau
ujian yang menyebabkan seseorang tersakiti, seperti keluar dari negeri
tercinta demi mencari kihidupan yang lebih nyaman jauh lebih sakit
dari pada dibunuh, karena yang demikian sangat melelahkan dan
menyakitkan. Mengusir seseorang dari negeri sendiri, sama halnya
menelantarkan orang tersebut tanpa tujuan yang pasti, tidak hanya

13
Muḥammad al-Damaghani, Qamus al-Qur‟an, (Beirut: Dar al- „Ilmu lil Malayin,
1983), 347-348.
80

merugikan dirinya sendiri, bahkan harta benda, keluarganya juga ikut


menaggung akibatnya.14
Jika ayat ini dikorelasikan pada ayat seterusnya, yaitu ayat
no 217, akan ditemukan hubungan sangat erat di antara keduanya.
Di sana Allah berfirman: Mereka bertanya kepadamu tentang
berperang pada bulan Haram. katakanlah: "Berperang dalam
bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari
jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk)
Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih
besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar
(dosanya) daripada membunuh. Q.S. Al-Baqarah [2] 217.
Diriwayatkan dari Jundub Ibn „Ubaidillah: Bahwa Rasul saw.
mengirim utusan yang dipimpin oleh „Abdullah Ibn Jaḥsyi, dalam
perjalanan mereka bertemu dengan „Amru Ibn Hadramī dan
membunuhnya, dan mereka tidak tahu pasti apakah hari itu adalah hari
terahir dari bulan Jumadil akhir, atau merupakan hari pertama dari
bulan Rajab? Sehingga orang-orang musyrik berkata, “Kalian telah
melakukan pembunuhan di bulan haram” maka Allah menurunkan ayat
Menanggapi hal itu Allah berfirman: Berperang dalam bulan itu adalah
dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada
Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya
dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat Fitnah
lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Artinya, memang benarlah
bahwa berperang atau melakukan pembunuhan di bulan-bulan Haram
merupakan dosa besar, akan tetapi Fitnah yang mereka lakukan, yaitu
menghalangi manusia dari beribadah kepada Allah dan menghalau
mereka dari negerinya sendiri, serta syirik kepada Allah, jauh lebih

14
Syihabuddin Maḥmud al-Alusi al-Baghdadi, Ruḥ al- Ma„ani fi Tafsir Alquran wa
Sab„a Masani, juz II (Beirut: Iḥya‟ at-Turas al-„Arabi, t.t), 75.
81

besar dosanya daripada membunuh, sekalipun itu dilakukan pada bulan


Haram.15
Dan dalam penjelasan ayat 217
ٖٔ ِ‫ّللاِ َٗ ُم ْف ْۢ ٌش ت‬ّ ٰ ‫ ِو‬ْٞ ِ‫ص ٌّذ ع َِْ َعث‬ َ َٗ ْۗ ‫ْ ٌش‬ِٞ‫ ِٔ َمث‬ْٞ ‫ ْۗ ِٔ قُوْ ِقرَا ٌه ِف‬ْٞ ‫ل َع ِِ اى َّشٖ ِْش ا ْى َح َش ِاً ِقرَا ٍه ِف‬ َ َّ ُْ٘‫غْـَي‬َٝ ﴿
ُ ْ ُ ْ ّ ٰ
َُ ْ٘‫َ َضاى‬ٝ ‫َٗا ْى ََ ْغ ِج ِذ اى َح َش ِاً َٗاِ ْخ َشا ُض اَ ْٕيِ ٖٔ ٍِ ُْْٔ اَ ْمثَ ُش ِع ْْ َذ ّللاِ َٗاىفِرَْْح اَ ْمثَ ُش ٍَِِ اىقَ ْر ِو ْۗ َٗ ََل‬
ْ
َ٘ ُ َٕٗ ‫د‬ ْ َُ َٞ َ‫ِْ ٖٔ ف‬ْٝ ‫ َّشْ ذَ ِذ ْد ٍِ ْْ ُن ٌْ ع َِْ ِد‬ٝ ِْ ٍَ َٗ ْۗ ‫ِْ ُن ٌْ اِ ُِ ا ْعرَطَا ُعْ٘ ا‬ْٝ ‫ ُش ُّدْٗ ُم ٌْ ع َِْ ِد‬َٝ ّٚ‫ُقَا ِذيُْ٘ َّ ُن ٌْ َح ٰر‬ٝ
ٰۤ ُ ٰ ْ َٗ ‫َا‬ّْٞ ‫ اى ُّذ‬ِٚ‫د اَ ْع ََاىُُٖ ٌْ ف‬ ٰۤ ُ
﴾ َُ ْٗ‫َٖا ٰخيِ ُذ‬ْٞ ِ‫اس ُٕ ٌْ ف‬ ِ َّْ‫ل اَصْ ٰحةُ اى‬ َ ِٕ‫ٗى ِن‬ ‫اَل ِخ َش ِج َٗا‬ ْ َ‫ل َحثِط‬ َ ِٕ‫ٗى ِن‬ ‫َمافِ ٌش فَا‬
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang
pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu
adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah,
ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidilharam,
dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya)
dalam pandangan Allah. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada
pembunuhan. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu
sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka
sanggup. Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu
dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di
dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.”
Pertanyaan yang diajukan di sini bukan berkisar tentang apa saja
itu bulan-bulan haram, karena sejak masa jahiliah mereka sudah
mengetahui bulan-bulan haram, akan tetapi pertanyaannya adalah
tentang perang pada bulan-bulan ini.
Sebenarnya apa perlunya pertanyaan ini diajukan? Pada dasarnya
pertanyaan ini memiliki latar belakang kisah tersendiri. Kita tahu
bahwa satu tahun diisi dengan dua belas bulan. Dalam dua belas bulan
Allah menjadikan empat bulan di antaranya sebagai bulan-bulan haram.
Tiga bulan di antaranya saling bergandengan yaitu zulkaedah, Zulhijjah
dan Muharram, dan satu bulan terpisah yaitu Rajab. Yang dimaksud
dengan bulan haram adalah larangan melakukan peperangan pada bulan
ini.

15
„Abdul Fattah „Abdul al-Ghani al-Qadhi, Asbab an-Nuzul „an al-Ṣahabah wa al
Mufassirin, cet. III (Mesir: Dar as-Salam, 2003), 37,
82

Allah sebenarnya mengetahui sifat kesombongan yang menghiasi


jiwa manusia. Salah satu kesombongan itu adalah mereka akan merasa
malu untuk mundur atau menghentikan perang yang sedang
berkecamuk. Masing-masing berusaha mempertahankan harga diri
mereka walaupun dalam hati mereka menginginkan untuk berhenti
berperang. Berdasarkan hal inilah Allah dengan salah satu sunnahnya
menetapkan haramnya perang pada bulan-bulan yang dikhususkan ini
agar masing-masing pihak yang berperang memiliki alasan yang kuat
untuk menghentikan perang bila mereka berada pada bulan-bulan ini.
Allah ingin menjaga Manusia dari pertumpahan darah agar tercipta
perdamaian, kemakmuran dan ketenangan.
Berkenaan dengan ayat di atas ada satu kisah tersendiri di mana
rasul telah mengutus satu pasukan pengintai yang terdiri dari sembilan
orang yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy Asadi (anak dari bibi
rasul). Mereka diutus ke suatu tempat yang bernama Bantuan Nakhlah
yang berada di antara Mekah dan Taif. Saat mereka tiba di tempat
tujuan, mereka melihat Amru bin Khadrawi beserta tiga orang kafir
Quraisy yang menyebabkan timbul perang di antara mereka. Pasukan
muslimin menganggap bahwa mereka tidak berada dalam bulan haram.
Akhirnya sebagian terbunuh dan yang lain tertawaan. Saat berita ini
sampai kepada rasul di antara kaum muslimin terjadi perdebatan sengit,
sebagian mereka mengatakan; Muhammad yang telah menyatakan
bahwa ia menghormati kesucian bulan haram ternyata ia telah
menodainya dengan pertumpahan darah; Akibatnya rasul tidak
mengambil harta rampasan perang dan menanti diturunkannya ayat
sebagai satu solusi untuk masalah ini. Akhirnya Allah menjelaskan
83

hukumnya sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Baqarah 217 di


atas.16
Dalam ayat ini Allah menjelaskan kepada kita bahwa ia telah
menciptakan hukum yang jelas dengan tujuan agar kita jangan sampai
mempergunakan kalimat hak untuk tujuan yang bathil. Kita katakan
pada mereka bahwa benar perang pada bulan-bulan haram adalah suatu
dosa besar, namun Fitnah terhadap muslimin, kufur, menumpahkan
darah serta mensyarikatkan Allah adalah dosa yang lebih besar jika
dibandingkan dengan perang pada bulan yang diharamkan, dan sudah
merupakan kewajiban setiap muslim untuk membela dan
mempertaruhkan agama kapan dan di mana saja, walaupun ia harus
berperang pada bulan haram ini.
Imam Syafi'i mengatakan seseorang yang berbuat kebaikan,
kemudian ia kafir dan kembali lagi kepada agama Islam maka ia tidak
akan mendapatkan hukuman, tapi ia tidak akan mendapatkan pahala
apa apa. Dalam hal ini imam Hanafi berbeda pendapat dengan Syafi'i
dengan mengatakan bahwa amalannya yang telah lalu sebelum ia
murtad tidak lagi diperhitungkan karena dianggap telah gugur
berdasarkan firman-Nya maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di
dunia dan di akhirat. Maksudnya amalan mereka telah batal dan hilang
se akan-akan tidak pernah mereka lakukan.17
Sesungguhnya perbedaan mendasar antara mukmin dan kafir
adalah mukmin mengerjakan segala bentuk aktivitasnya dengan tidak
ikhlas. Berdasarkan anggapan bahwa Allah sajalah yang akan
membalas segala amal yang dilakukan, dengan demikian ia akan
melakukan segala aktivitasnya dengan penuh semangat dan tetap
16
Al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya’ra>wi, 688.
17
Al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya’ra>wi, 689.
84

mengusahakan agar yang lain juga merasakan manfaatnya. Hal inilah


yang menjadikan mukmin saling berkompetisi dalam produksi dan
inovasi demi kemajuan dan kemakmuran masyarakat.
Sebagian orang mengatakan, apakah logis apabila orang kafir
dapat mencapai kemajuan yang demikian pesat, seperti keberhasilan
mereka menciptakan berbagai penemuan baru dan inovasi yang dapat
dinikmati oleh manusia, amalnya sia-sia? Apakah wajar kafir yang
bekerja keras demi kemajuan dunia tidak mendapatkan pahala di
akhirat? Mereka telah berhasil menemukan obat untuk berbagai
penyakit yang berbahaya, mereka telah dapat meringankan penderitaan
manusia, mereka juga telah menciptakan alat-alat yang sangat
bermanfaat dalam membantu aktivitas manusia di bumi ini, apakah itu
dapat diterima?.7718
Untuk menjawabnya maka terlebih dahulu kita harus
mendudukkan persoalan yang tepat. Kita menyepakati satu hal, bahwa
siapa yang berusaha dengan keras maka ia yang akan memetik
hasilnya. Dalam hal ini harus kita akui bahwa orang kafirlah yang
selama ini berusaha dengan keras, sehingga mereka pula yang akhirnya
dapat mencapai kemajuan yang pesat dibandingkan Muslim. Adapun
umat Islam sebagaimana fakta yang kita dapat lihat lebih banyak
menerapkan kehidupan santai dan enggan untuk bekerja keras,
Sehingga masih banyak negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam masih berada dalam kategori negara tertinggal.
Adapun makna yang menarik yang terkandung dalam ayat ini di
mana orang kafir menyangka apa yang mereka hasilkan akan terus
memberikan mereka manfaat sampai akhirat. Tidak! Apa yang mereka

18
Al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya’ra>wi, 690.
85

lakukan tidak akan memberikan manfaat sedikitpun bagi mereka di


akhirat. Seluruh usaha mereka hanya fatamorgana di Padang pasir yang
tidak memiliki arti apa-apa.7819
Dari ayat di atas menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah
melarang kaum muslimin mengadakan peperangan di bulan haram
karena di bulan itu, bulan yang mulia ketika kaum muslimin
mengadakan ibadah umroh, namun kaum Quraisy menghalang-halangi
atau memerangi untuk masuk ke baitullah (Masjidil Haram) dan
berbuat Fitnah lebih besar dosanya di sisi Allah daripada berperang di
bulan haram. Karena Fitnah di sini berarti penganiayaan dan segala
perbuatan yang dimaksudkan untuk menindas Islam dan Muslimin.
Dengan demikian Allah memperbolehkan kepada kaum muslimin
melawan serangan itu sesuai dengan apa yang dilakukan oleh kaum
Quraisy kepada kaum muslimin seperti itu merupakan hukuman dan
balasan bagi orang-orang yang kafir, sesungguhnya Allah bes erta
orang-orang yang bertaqwa.20
Berperang atau melakukan pembunuhan di bulan-bulan Haram
merupakan dosa besar, akan tetapi Fitnah yang mereka lakukan, yaitu
menghalangi manusia dari beribadah kepada Allah dan menghalau
mereka dari negerinya sendiri, serta syirik kepada Allah, jauh lebih
besar dosanya daripada membunuh, sekalipun itu dilakukan pada bulan
Haram.

C. Fitnah Dalam Surah al-Anfa>l Ayat 25


ّ ٰ َُّ َ‫صحً َٗا ْعيَ َُ ْْٓ٘ا ا‬
ِ ‫ ُذ ا ْى ِعقَا‬ْٝ ‫ّللاَ َش ِذ‬
﴾‫ب‬ َّ ‫َِ ظَيَ َُْ٘ ا ٍِ ْْ ُن ٌْ َخ ۤا‬ْٝ ‫ْثَ َِّ اىَّ ِز‬ٞ‫ص‬
ِ ُ‫﴿ َٗاذَّقُْ٘ ا ِف ْرَْحً ََّل ذ‬

19
Al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya’ra>wi, 691.
20
Umar Latif, “konsep Finnah Menurut Al-Qur‟an, 83.
86

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa


orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah
sangat keras siksa-Nya”.

Allah memerintahkan untuk mencegah bencana sejak dini,


sebelum meluas. Muslim diharapkan untuk menjauhi maksiat dan
menganjurkan masyarakat untuk bertindak tegas terhadap pelaku
kejahatan. Orang yang sekarang mencuri isi berangkas dahulunya
dimulai dari mencuri hal yang ringan. Dia mencuri dari saudara, dari
rumah, kemudian dari tetangga dan terakhir dari bank. Bila setiap
penyelewengan ditindak tegas tegas sejak awal niscaya tidak akan
membesar, Niscaya kejahatan kelas kakap dapat dicegah sedini
mungkin.
Jangan pernah berkata: “selama kejahatan itu tidak
mengganguku, maka saya tidak perlu mencegahnya." Hal itu salah,
karena kejahatan yang dibiarkan menimpa kawan sejenis dapat saja
suatu saat menimpa kamu saja.
Maksudnya adalah, peliharalah dirimu dari bencana yang tidak
khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu, dengan
mencegah tindakan kejahatan sedini mungkin. 21
Sebagai contoh agar melekat dalam pikiran, sang ibu telah
membagi jatah makanan berupa daging, sayur dan buah kepada anak-
anaknya. Seorang di antara anka telah memakan daging sedangkan
bagian anak-anak yang lain disimpan dalam kulkas. Setelah itu ibu

21
Muhammad Mutawalli al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya‟rawi, terj, Dr. H. Zinal Arifin, MA
dan Dr. Ardiansyah, MA, jilid V cet. I (Medan: Duta Azhar, 2011), 304.
87

melihat bahwa anak itu memakan bagian anak yang lain dari belakang
tanpa izin. Di sini ibu wajib memeberi sanki agar tidak berkelanjutan. 22
Begitu juga bila ditemukan anak memilih mainan dengan harga
tinggi di atas kemampuan keluarga, sang ayah perlu memeberi sanksi
bila ternyata hal itu diperoleh bukan dengan cara yang halal, agar anak
itu tidak merusak dirinya. Untuk itu allah menetapkan diyah atau uang
darah dalam pembunuhan yang tidak disengaja kepada keluarga yang
berakal dari pihak ayah. Akibat tanggung jawab itu, maka keluarga
akan menindak tegas bila ada dari pihak kelurga meneror orang lain.
Untuk itu ditemukan manusia yang melihat kezaliman namun
tidak dicegah, Allah menurunkan murka kepada semuanya secara
umum. Karena kezaliman dapat dan telah merajalela. Ditemukan Abu
Bakar berkata:" wahai sekalian manusia bacalah: "Hai orang-orang
yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.
Kamu meletakkannya bukan pada posisi yang sebenarnya.
Karena saya mendengar Rasulullah bersabda: " Manusia bila melihat
kemungkaran kemudian tidak mencegahnya, niscaya Allah akan
menurunkan sanki-Nya secara umum. Rasulullah menerangkan cara
efektif untuk menegaskan hukum dengan contoh yang sesuai dalam
keadaan bagaimana pun.
Orang boleh saja bertanya mengapa sanksi akan diberikan kepada
orang zalim dan dizalimi? Zalim wajar mendapat sanksi akibat
melakukan dosa. Sedangkan yang dizalimi apa dosa mereka hingga
disiksa? Jawabannya, orang yang dizalimi terkadang mampu menolak
kezaliman tapi dia berdiam diri, maka siksa itu pun berlaku untuk

22
Al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya’ra>wi, 305.
88

semua. Bila masyarakat tidak berusaha untuk mencegah Fitnah, maka


Allah menurunkan siksa-Nya. Siksa Allah lebih dahsyat dibandingkan
siksa makhluk.23
Jadi, pada ayat 25 ini Allah Swt menjelaskan bahwa Fitnah dapat
menimpa orang yang bersalah maupun yang tidak bersalah dan bahwa
sanksi yang dijatuhkan-Nya akibat Fitnah adalah sangat keras. Para
mufassir juga sepakat tentang penafsiran al-Sya’ra>wi pada ayat ini, di
antaranya:
Menurut Quraish Shihab, tiap-tiap yang berjiwa yakni manusia,
engkau, mereka atau siapa pun akan merasakan mati. Kami perlakukan
kamu semua dalam kehidupan dunia ini seperti perlakuan siapa yang
menguji kamu dengan sesuatu yang kamu nilai keburukan untuk
melihat dalam kenyataan kesabaran kamu dan juga Kami menguji
dengan sesuatu yang kamu nilai kebaikan untuk melihat pula siapa
yang bersyukur. Itu semua sebagai cobaan yang sebenar-benarnya. Dan
hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan lalu Kami menyampaikan
penilaian Kami kepada kamu disertai balasan dan ganjarannya. Karena
itu bersiap-siaplah menghadapi kematian dan apa yang terjadi
sesudahnya.24
Ibn Kas\i>r dalam ringkasan Tafsir Ibn Kas\i>r, menurutnya Allah
Ta‟ala menyuruh hamba-hamba-Nya yang beriman agar waspada
terhadap ujian dan cobaan yang berlaku merata kepada orang yang
jahat dan selainnya. Ujian itu tidak hanya diberlakukan kepada pelaku
kemaksiatan dan pelaku dosa langsung, namun meliputi keduanya
secara tidak dapat dicegah dan dihilangkan. Ali bin Abi Thalhah

23
Al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya’ra>wi, 306.
24
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur‟an
jilid 7, cet, v (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 714.
89

meriwayatkan dari Ibn Abbas ketika menafsirkan ayat di atas dengan,


Allah menyuruh kaum mukminin agar jangan membiarkan orang
mungkar di tengah-tengah mereka, maka nanti az\ab akan meliputi
mereka.7925
Ahmad Musthafa al-Maraghi, menurutnya dalam Tafsir al-
Maraghi: maksud ayat, peliharalah dirimu, jangan sampai terjadi di
kalangan kamu bencana-bencana yang tidak khusus menimpa orang-
orang yang menyebabkan timbulnya saja, bahkan akan menimpa pula
yang lain-lain, seperti bencana-bencana nasional yang terjadi di
kalangan berbagai bangsa dalam memperebutkan kepentingan-
kepentingan umum, baik kerajaan dan kekuasaan, atau perpecahan
agama dan syariat yang kemudian menyebabkan terpilah-pilahnya
manusia menjadi sekte-sekte agama dan partai-partai politik, dan lain-
lain semisalnya, baik berupa timbulnya bid‟ah maupun kelesuan
berjuang. Atau merajalelanya kemungkaran dimana-mana, sementara
amar ma‟ruf disalahgunakan, dan lain-lain dosa yang menurut sunnah
Allah akan menyebabkan bangsa-bangsa itu dihukum di dunia sebelum
di akhirat kelak.26
Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi> z\ilali al-Qur‟an, menurutnya:
Fitnah adalah ujian atau bencana. Suatu jamaah (kelompok masyarakat)
yang menolerir sebagian dari mereka melakukan kezaliman dalam
bentuk apapun dan kezaliman yang paling zalim adalah membuang
syariat dan manhaj Allah dari kehidupan-dan mereka berdiam diri saja
terhadap orang-orang yang zalim, tidak membendung jalan adalah

25
Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Ringkasan Tafsir Ibn Kas\ir, jilid 2 (Jakarta: Gema
Insani, 1999), 506.
26
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, juz 9 (Semarang:
Thoha Putra, 1994), 357.
90

kelompok masyarakat yang layak dihukum disebabkan dosa orang-


orang yang zalim dan berbuat kerusakan. Maka, Islam sebagai manhaj
kesetiakawanan sosial yang positif, tidak menolerir umatnya untuk
membiarkan kezaliman, kerusakan, dan kemungkaran yang merajalela
(apalagi ketika mereka melihat agama Allah sudah tidak di ikuti). 27
Hamka dalam karyanya Tafsir al-Azhar menjelaskan bahwa,
sehubungan dengan peringatan atas kemenangan dalam peperangan
Badar yang dicapai karena ketaatan kepada Allah dan Rasul, pesatuan
yang bulat, disiplin yang keras laksana baja, lalu diiringi dengan
kesediaan tiap-tiap diri menyambut seruan Allah dan Rasul, maka di
sini diperingatkanlah bahaya besar yang selalu akan mengancam yaitu
bahaya fitnah. Hendaklah Fitnah itu sangat dijauhi, dan sangat dijaga
jangan sampai kemasukan fitnah, sebab fitnah itu adalah amat
berbahaya. Arti yang asal dari fitnah ialah percobaan. Kemudian
berartilah dia perpecahan yang timbul di antara sesama sendiri dan
keamanan fikiran tidak ada lagi. Di antara satu dengan yang lain
timbullah tuduh-menuduh, cemburu-mencemburui, salah-menyalahkan,
sehingga kehancuran timbul dari dalam. Maka apabila fitnah itu telah
menjalar, yang akan kena bukan saja lagi orang yang aniaya, atau yang
bersalah, atau biang keladi asal mula fitnah, melainkan meratalah
mengenai semua orang, baik orang curang ataupun orang jujur. Yang
bersalah atau tidak bersalah, semua terlibat dalam fitnah. 28
Mahmud Yunus dalam Tafsir Qur‟an Karim menjelaskan bahwa,
takutlah kamu akan cobaan (bahaya, bala) yang tiada menimpa orang-
orang yang menganiaya saja, melainkan menimpa kamu semuanya.

27
Sayyid Quthb, Tafsir Fī Zhilalil Qur‟an Di Bawah Naungan Al-Qur'an, jilid 5
(Jakarta: Gema Insani, 172
28
Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz 9 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), 286-287.
91

Apabila kezaliman telah merajalela dalam negeri dengan perbuatan-


perbuatan pembesar-pembesar misalnya, maka bahaya akan menimpa
penduduk negeri itu semuanya, dengan tak ada kecualinya, meskipun
ada diantara mereka yang saleh dan berbuat kebaikan. Sebab itu apabila
rakyat yang banyak membiarkan pembesar-pembesar berbuat
kezaliman dalam negeri, maka mereka akan mendapat bahaya
semuanya, bukan orang yang zalim saja. Beginilah sunnatullah, sebab
kezaliman sebagian umat, menjadi dosa semua umat. 29
Jika ditemukan manusia melihat kedzaliaman namun tidak
dicegah, Allah akan menurunkan murka kepada semuanya secara
umum. Karena kezaliaman akan merajalela. Tuntunan Allah dan
Rasulnya apabila ada yang melakukan kezaliaman maka akan terjadi
kaekacauan yang mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain baik
masyarakat yang yang taat maupun durhaka semua akan terkena
dampaknya.

D. Persamaan Dan Perbedaan Makna Yang Ditunjuk


Pada penjelasan sebelumnya diuraikan tentang ayat-ayat Fitnah
yang terdapat dalam al-Quran. Meski ayat-ayat tersebut tidak dijelaskan
secara keseluruhan, namun bisa diambil kesimpulan, bahwa Fitnah
dalam konsepsi Alquran lebih spesifik pada makna al-Ibtila‟ (ujian) dan
al-Ikhtibar (cobaan), yaitu merupakan sebuah proses dalam menguji
kualitas iman seseorang, ibarat membakar sebongkah emas dengan
tujuan ingin mengetahui kadar keasliannya.
Seperti dijelaskan juga, bahwa makna Fitnah dalam Al-quran
tidak hanya mengacu pada satu makna saja, akan tetapi ada makna lain

29
Mahmud Yunus, Tafsir Qur'an Karim cet, 73 (Jakarta: Hidakarya Agung, 2004),
249.
92

yang terangkum di dalamnya. Maka setelah melakukan pengkajian


terhadap ayat-ayat Fitnah, penulis menemukan adanya sejumlah makna
Fitnah dalam Alquran selain dari makna ujian dan cobaan, dan di antara
makna-makna itu ialah: Al-Ikhraj (mengeluarkan atau mengusir), al-
Kufr (kafir), as-Syirk (murtad). Kemudian tinjauan terhadap kata
Fitnah dari segi sejarah kebahasaannya, yaitu dikarenakan melihat
banyaknya makna yang dicakup oleh kata ini, serta penggunaan kata
Fitnah yang hingga saat ini lebih berorentasi pada makna tuduhan. 30
Dalam kajian ini akan dilakukan kolaborasi antara makna Fitnah
dalam Alquran dengan makna Fitnah secara umum. Perlu penulis
tegaskan, bahwa pengkajian ini tidak bermaksud menimbulkan
kerancuan terhadap penjelasan Al-Quran mengenai makna Fitnah, akan
tetapi ia berupa analisis singkat melalui hipotesis penulis terhadap dua
makna tersebut. Perbedaan persepsi antar uraian Al-Quran dan
pandangan khalayak ramai terhadap makna Fitnah jika dinilai secara
apriori ia akan terus mengakar dan meninggalkan polemik
berkepanjangan. Karnanya, perlu adanya penalaran terhadap dua makna
tersebut, bukan berarti menafikan salah satunya, akan tetapi dengan
cara mengkomparasikan keduanya, sehingga akan ada titik temu yang
bisa menghilangkan kerancuannya.
Pada bagian ini akan dijelaskan macam-macam Fitnah dalam
Alquran. Menurut Ragib al-Asfahani, seperti dikutip Ishom dan Saiful
Hadi, Fitnah bisa datang dari Allah, bisa dari hamba (makhluk).
Darimana pun datangnya, fitnah itu tidak menyenangkan. Jika datang
dari Allah, harus diambil hikmahnya, diadakan perenungan, apakah ini
siksa atau cobaan iman. Jika jelas-jelas datang dari rekayasa manusia,

30
Habibuddin, “Fitnah Dalam Al-Qur‟an” (Tesis: IAIN Sumatra Utara, 2012), 111.
93

Fitnah di sini adalah perbuatan zalim, dan Allah mengutuk dengan


keras perbuatan Fitnah atas sesama manusia, karena dosanya lebih
besar dari dosa membunuh.31
Adapaun Fitnah manusia terhadap manusia, Siksaan sebagai
Fitnah semacam ini paling banyak menimpa Para sahabat dan umat
Islam umumnya, mereka kerap kali mengalami penyiksaan dan
penganiayaan dari orang-orang kafir yang tidak ridha dengan Islam
yang mengimani risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Pada
dasarnya penyiksaan seperti ini bukan hal baru dalam hal
mempertahankan akidah dan keimanan, bahkan yang demikian sudah
sering terjadi pada umat para Nabi-nabi terdahulu yang bersikeras
mempertahankan akidahnya di hadapan musuh. Seperti yang terjadi
pada pengikut Nabi Musa, di mana iman mereka ketika itu sering
mendapat kecaman dari Fir‟aun dan kaumnya.
Fitnah dengan arti pengusiran atau propokasi terdapat dalam
firman allah dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan,
maksud Fitnah dalam ayat ini adalah pengusiran yang dialami umat
Islam dari kota Makkah dikarenakan iman mereka, artinya pengusiran
itu lebih berakibat daripada aksi pembunuhan yang dilakukan umat
Islam terhadap mereka, sekalipun pembunuhan itu terjadi di bulan
haram.32
Fitnah dalam arti pengusiran atau propokasi ini. Maksudnya,
keikut sertaan orang mukmin yang berhati munafik untuk berjihad di
jalan Allah sama sekali tidak akan mendatangkan manfaat, karena pada

31
Ishom el-Saha dan Saiful Hadi, Sketsa Al-Qur'an, Tempat, Tokoh, Nama dan
Istilah dalam Alquran, cet, 1 (Lista Fariska Putra, 2005), 174.
32
Muhammad Mutawalli al-Sya’ra>wi. Tafsir Sya‟rawi, terj, Dr. H. Zinal Arifin, MA
dan Dr. Ardiansyah, MA, jilid V cet. I (Medan: Duta Azhar, 2011), 312.
94

hakikatnya, mereka hanya akan menimbulkan kekacauan dan kesesatan


di antara umat Islam lainnya, kondisi iman mereka yang tidak stabil
akan menimbulkan banyak keraguan yang ahirnya memberikan
pengaruh negatif terhadap umat Islam lainnya.
Kekacauan yang ditimbulkan kaum munafik saat itu adalah
berupa keluhan mereka akan misi imposbile umat Islam mampu
mengalahkan orang kafir dalam peperangan Khandak, di mana jumlah
mereka empat kali lebih sedikit dibanding orang-orang kafir, hal itu
sempat mempengaruhi semangat jihad umat Islam ketika itu, dan yang
demikian amat berakibat fatal terhadap kondisi umat Islam.
Sementara kekacauan yang timbul melalui penyebaran berita
bohong, meskipun tidak berimbas pada kerugian besar, namun hal itu
tetap saja menyita perhatian dan energi, serta menimbulkan rasa was-
was, baik terhadap yang difitnah maupun yang mengetahui dan yang
mendengar Fitnah tersebut.
Menyebar luaskan berita bohong dikhalayak ramai sama halnya
menciptakan kekacauan di antara mereka, satu dengan yang lainnya
akan saling bertanya akan kronologi kejadian atau informasi yang
sebenarnya, dan ahirnya menimbulkan berbagai persepsi yang amat
perpleks. Rasul saw. menekankan larangan aktivitas fitnah semacam ini
dalam salah satu hadisnya. “Menceritakan kepada kami „Abdullah Ibn
Mu‟awiyah al-Jamḥi, ia berkata: menceritakan kepada kami Ḥammad
bin Salmah, dari Laist, dari Ṭawus, dari Ziyad Saimin Kus, dari
„Abdullah Ibn „Amru, ia berkata. Rasullah saw. bersabda: Fitnah
harus dihilangkan dari bangsa Arab, ditenggelamkan ke neraka, lidah
95

yang menjadi penyebab timbulnya fitnah lebih berbahaya dari sabetan


pedang”.33
Secara implisit bahwa hadis ini memberi penegasan bahwa umat
Islam jangan begitu mudah untuk menilai terhadap suatu berita tanpa
mempertimbangkan tingkat kevalidan informasi yang dimaksud.
Bahkan bila perlu sebagaimana yang dterangkan dalam hadis ini
menghadirkan saksi-saksi sebagai petunjuk untuk memperoleh
kebenarannya. Lebih lanjut, ayat ini meski akan mempengaruhi reaksi
masyarakat ke arah yang tidak baik akibat suatu berita yang diperoleh,
namun realita yang patut pertimbangkan atas suatu berita adalah adanya
konfirmasi dan klarifikasi secara menyeluruh terkait berita yang
dimaksud. Indikasi ini bertujuan untuk dicari sudut pandang dan
pendapat di kalangan masyarakat terhadap suatu berita yang akan
mengubah pandangan seseorang dan itu tentu berhubungan dengan
kejiwaan atau emosi seseorang pula.34
Hemat penulis, makna-makna ini sudah sangat mewakili untuk
mengkolaborasikan antara makna Fitnah dalam al-Quran dengan makna
Fitnah secara umum. Baik dalam tinjauan al-Quran maupun tinjauan
secara umum tetap saja Fitnah bermuara pada makna al-Ibtila (ujian)
atau al-Ihktibar (cobaan), yaitu ujian yang datang dari Allah secara
langsung, atau melalui perantaraan manusia dan yang lainnya.
Dalam kitab-kitab hadis, terutama kutubussittah akan ditemukan
bab-bab khusus yang membahas tentang Fitnah, jika hadis-hadis pada
bab tersebut dicermati, sedikit sekali pengertian Fitnah di sana yang
mengarah pada makna ujian ataupun tuduhan. Akan tetapi maksud dari

33
Habibuddin, “Fitnah Dalam Al-Qur‟an”, 135.
34
Mansur ibn Turas ibn Idris al-Bahuti, Kassyaf al-Qana‟ ‟an Matan al-Iqna‟, jilid
ke-3, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1982), 217-218.
96

Fitnah dalam hadis-hadis tersebut lebih mengacu pada makna huru-hara


ataupun kekacauan-kekacauan yang terjadi sejak zaman Rasul saw.
hingga ahir zaman. Karenanya tidak diherankan juga kenapa peristiwa-
peristiwa berdampak negatif dalam sejarah umat Islam disebut dengan
istilah Fitnah, Fitnah sugra (kecil), maupun fitnah kubra (besar), seperti
teretara dalam kitab-kitab sirah.
Karenanya, jika ditinjau dari segi pemaknaan kata fitnah dalam
pandangan masyarakat umum yaitu berupa tuduhan tanpa bukti
sebenarnya sangat bertentangan sekali jika dikembalikan ke makna-
makna fitnah yang terdapat dalam al-Quran maupun Hadis. Namun
kerancuan ini bisa dihilangkan jika dilihat dari akibat yang ditimbulkan
oleh kegiatan Fitnah berupa tuduhan tersebut, yang pastinya akan
menimbulkan kekacauan di hadapan orang banyak, seperti halnya
peristiwa-peristiwa kriminalitas yang terjadi dalam sejarah umat Islam
sejak dahulu hingga saat ini, yang menimbulkan banyak kekacauan dan
huru-hara berkepanjangan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian tentang Fitnah dalam al-Qur‟an menghasilkan
kesimpulan bahwa Secara etimologi yang dimaksud dengan Fitnah
adalah Al-ibtila‟, al-imtiḥan, dan al-ikhtibar (ujian dan cobaan). Dalam
Al-Quran term Fitnah memiliki banyak makna selain dari makna ujian
dan cobaan, yaitu, seperti menyiksa, mengusir, membuat kekacauan,
tipu daya, upaya memalingkan, menyesatkan, kekafiran atau syirik,
azab, aniaya, membuat alasan, dan gila. Namun setelah melakukan
pengkajian terhadap ayat-ayat Fitnah, penulis menyimpulkan, bahwa
makna-makna tersebut secara keseluruhan pada dasarnya bermuara
pada makna awalnya, yaitu ujian dan cobaan.
Ada ditemukan kata paling tepat dalam menjelaskan Fitnah, yaitu
kata al-bala‟ dan al-Miḥan (cobaan dan ujian), dan ini ditemukan
dibeberapa ayat dalam al-Quran. Akan tetapi setelah melakukan analisa
terhadap ayat-ayat tersebut, penulis menemukan adanya perbedaan di
antaraa ketiganya, yaitu: Bahwasanya Fitnah tidak hanya datang dari
Allah saja, bahkan manusia ikut andil dan bergabung di dalamnya,
sementara al-bala‟ dan al-Miḥan keduanya murni datangnya dari Allah
swt. Oleh karena itu Fitnah terbagi kepada dua macam, yaitu: Fitnah
yang datangnya dari Allah, dan fitnah yang datangnya dari manusia.
Pada hakikatnya yang dimaksud dengan Fitnah dalam konsepsi
al-Quran adalah ujian dan cobaan. Fitnah merupakan cara Allah dalam
menyingkap kualitas iman hamba-hamba-Nya. Siapa di antaraa mereka
yang imannya benar-benar ikhlas. Dan siapa pula yang masih diliputi
dengan kekafiran dan kemunafikan. Ibarat membakar sebongkah emas
atau perak, guna mengetahui kualitas keasliannya.

97
98

Menurut al-Sya’ra>wi adapun Fitnah berarti cobaan. Jadi, Fitnah


itu bukan sesuatu yang buruk, ketika dikatakan: “sipulan berada dalam
Fitnah”. Sebagai seorang mukmin, hendaklah kita mendoakannya agar
bisa berhasil menghadapinya. Jadi, Fitnah bukan mus}i>bah yang telah
terjadi, dan sebaliknya, mus}i>bah akan terjadi bila gagal menghadapi
tersebut.
Fitnah ini berpindah arti dari benda yang kongkrit kepada makna
yang abstrak. Hingga akhirnya dia memiliki arti sebagai cobaan yang
dihadapi manusia, baik dia berhasil atau pun gagal menghadapinya.
Demikianlah al-Qur‟an mwmberitahukan kepada mukminin tentang
keberadaan kaum yang tidak kuat imannya. Setiap kali kaum mereka
mengajak untuk kembali syirik dan memerangi muslimin, mereka
memenuhi panggilan tersebut dan berpaling dari imannya. Mereka
adalah seburuk-buruk musuh.
Jika ditinjau dari segi pemaknaan kata Fitnah dalam pandangan
masyarakat umum yaitu berupa tuduhan tanpa bukti sebenarnya sangat
bertentangan sekali jika dikembalikan ke makna-makna fitnah yang
terdapat dalam al-Quran maupun Hadis. Namun kerancuan ini bisa
dihilangkan jika dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan
Fitnah berupa tuduhan tersebut, yang pastinya akan menimbulkan
kekacauan di hadapan orang banyak, seperti halnya peristiwa-peristiwa
kriminalitas yang terjadi dalam sejarah umat Islam sejak dahulu hingga
saat ini, yang menimbulkan banyak kekacauan dan huru-hara
berkepanjangan.

B. SARAN
Skripsi ini bermaksud menguak makna Fitnah, makna kata
tersebut perlu dikaji kembali karena dikontekstualisasikan dengan
99

kehidupan masyarakat sehingga membawa sesuatu yang baru yang


tidak akan pernah habis untuk dibahas. Maka dari itu tulisan ini hadir
sebagai salah satu penelitian mengenai makna fitnah dalam Tafsir al-
Sya’ra>wi. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam banyak
hal, baik secara teknis, metodologis, maupun bahan materi kajian.
Penulis berharap dan menerima partisipasi aktif pembaca, baik kritik
dan saran yang bersifat konstruktif guna perbaikan kedepan.
100
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muna Anisah. Ensiklopedia kiamat /Tim Gema Insani.
Perpustakaan Malaysia Terbitan Pertama, 2015.
Abu Fatih, Al-Adnani. Fitnah Dan Petaka Akhir Zaman: Detik-Detik
Menuju hari Kehancuran Alam Semesta, Cet, 1. Surakarta:
Granada Mediatama, 2007.
Abu Zahrah, Muhammad. Zahrah at-Tafasir, juz IV. Kairo: DMuḥamar
al-Fikr al-„Arabi, tt.
Agama, Departemen RI Al-Qur‟an dan Tafsirnya (edisi yang
disempurnakan) jilid 2. Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Al-„Ainain, Sa‟id Abu. al-Sya’ra>wi Ana Min Sulalat Ahli Al-Bait. Al-
Qahirah: Akhbar Al-Yaum, 1955.
Al-Amal, Mahmud Rizq. Tarikh Al-Imam Al-Sya’ra>wi, Majalah Manar
Al-Islam, vol.27, no 6. September, 2001.
Al-Asfahani, Al-Raghib. Mu‟jam Mufradat Fi Alfaz al-Qur‟an. Beirut:
Dar al-kutub al- „Ilmiyah, 1971.
Ani, Konsep Fitnah Dalam Al-qur‟an, Suatu Kajian Tahlili atas QS al-
Anfa>l /8:25. Makassar: Skripsi UIN Alauddin, 2017.
Anwar, Syaifullah. Penafsiran al-Razi terhadap fitnah Dalam “studi
deskriptif Analisis Tafsir Mafa>tih Al- Ghai>b.Yogyakarta: Skripsi
UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Arnel, Iskandar. Azab Dalam Eskatalog Ibn „Arabi. An-Nida jurnal
pemikiran islam, vol.39, no. 1. Januari-Juni 2014.
Asa, Syu‟bah. Dalam Cahaya Al-Qur‟an Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.

101
102

Ashgari, Basri Iba. Solusi Al-Qur‟an Tentang Problem Sosial, Politik,


Budaya. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.
Az-Zahabi, At-Tafsir wa-Al-Mufassirun, Cet VII, jilid I. Cairo: Maktabah
Wahbah, 2000.
Az-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kassyaf. Riyad: Maktabah Al- „Abikan, 1998.
Badri, Taha Qalu‟an Al-Sya’ra>wi ba‟da Rahilihi. Al-Qahirah: Maktabah
Al-Turas Al-Islami t.t.
Al-Baghdadi, Syihabuddin Maḥmud al-Alusi. Ruḥ al- Ma„ani fi Tafsir
Alquran wa Sab„a Masani, juz II. Beirut: Iḥya‟ at-Turas al-
„Arabi, t.t.
Al-Bahuti, Mansur ibn Turas ibn Idris. Kasyaf al-Qana‟ ‟an Matan al-
Iqna‟, jilid ke-3. Beyrut: Dar al-Fikr, 1982.
Al-Banna, Muhammad Kahfi. Kehidupan Penduduk Neraka di Dalam Al-
qur‟an Kajian Tafsir Tematik. Skripsi: UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2016.
Dahlan, Abdul Aziz. Fitnah, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT,
Ichtiar Baru Van Hoeve 2003.
Al-Damaghani, Muḥammad. Qamus al-Qur‟an. Beirut: Dar al- „Ilmu lil
Malayin, 1983.
Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-tafsir Al-Qur‟an Perkenalan dengan
Metodelogi Tafsir, terj. M. Muhtar Zoeni dan Abdul Qad‟ir
Hamid. Bandung: Pustaka, 1987.
Al-Farmawi, Abd Al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu‟I dan cara
penerapannya, terj, Rosihon Anwar. Bandung: CV. Pustaka Setia,
2002.
Ghofur, Saiful Amin. Bahaya Akhlak Tercela. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2007.
Gusmian, Islah. “Hasanah Tafsir Indonesia “, Vol 1, 2015.
103

Habibuddin, Fitnah Dalam Al-quran. Medan: Tesis IAIN Sumatra Utara,


2012.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz 9. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
Hassan, Riaz. Keragaman Iman, Studi Komparatif Masyarakat Muslim.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Hasyim, Ahmad Umar. al-Imam al-Sya’ra>wi Mufassiran wa Da‟iyah.
Kairo: Akhbar al-Yaum, 1998.
Hitti, Philip K. History of The Arabs. New York: Palgrave Macmillan,
1976.
Husniyah, Fitnah Dalam Persepktif Al-Qur‟an. Skripsi: UIN Ar-Raniry
Darussalam Banda Aceh, 2016.
Ibn Kas\i>r, Ismai‟l. Tafsir Al-quran Al-A‟zim. Gizah: Maktabah As-Syeikh
Wa Awladihi Li At-Turas, 2000.
Ibn Manzur, Lisan al-Arab Jil III. Kairo: Al -Musasasah al-Misyriyyah al-
Ammah.
INDONESIA, DEKDIPBUD. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 2005.
Ishom el-Saha dan Saiful Hadi, Sketsa Al-Qur'an, Tempat, Tokoh,
Nama dan Istilah dalam Alquran, cet, 1. Lista Fariska Putra,
2005.
Islam, Review Redaksi Dalam “Fitnah Dalam Islam Hukum, Macam-
Macam Fitnah dan Bahayanya”, diakses pada 15-06-2020,
https://dalamislam.com/akhlaq/larangan/fitnah-dalam-islam.
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-
Sya’ra>wi. Jakarta: PT. Mizan Publika, 2004.
Iyazi, Muhammad Ali. al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum.
Teheran: Mu‟assasah al-Thaba‟ah wa al-Nasyr, 1372.
104

Jauhar, Ahmad Al-Marsi Husein. Muhammad Mutawalli Al-Sya’ra>wi:


Imam Al-„Asr. Al-Qahirah: Handat Misr, 1990.
Kaltsum, Lilik Ummi. Cobaan Hidup Dalam Al-Qur‟an: Studi Ayat Fitnah
Dengan Aplikasi Metode Tafsir Tematik. Ilmu Ushuluddin, Vol.
5 no.2. juli, 2018, 132-174.
Karomain, Ahmad. Tafsir al-Sya’ra>wi Khawatir al-Sya’ra>wi Haula al-
Qur‟an al-Karim, 2012, Diakses pada 7 Oktober 2020
https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir- al-Sya’ra>wi -
khawatir-al-syarawi-haula-al-quran-al-karim.
Khafidoh, Teologi Bencana Dalam Persepktif M. Quraish Shihab, Esensia
vol.14. no. 1. april 2013.
Lati, Sayyid Mujtaa Musawi. Hati: Penyakit Dan Pengobatannya, terj,
Hadi Prasetyo. Jakrta: IKAPI, 2005.
Latif, Umar. konsep Finnah Menurut Al-Qur‟an Jurnal Al-Bayan, vol. 22
no, 31. Januari-Juni 2015.
Malkan, Tafsir al-Sya’ra>wi Tinjauan Biografis dan Metodologis, Al-
Qalam, vol. 9, no. 2. Mei-Agustus 2012.
Maqbullah, Aniesa. Pemaknaan Amanah Dalam Surah AL-Ahzab Ayat 72,
Perspektif Penapsiran al-Sya’ra>wi. Skripsi: UIN Syarif
Hidayatullah, 2018.
Mardan, Wawasan Al-Qur‟an Tentang Malapetaka. Jakarta, 2008.
Mentari, Riesti Yuni. Penafsiran Asy- al-Sya’ra>wi Terhadap Alquran
Tentang Wanita Karir. Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah, 2012.
Mohammad, Herry. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20.
Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
Mu‟awanah, Fitnah Dalam Al-qur‟an Studi tematik. Semarang: skripsi
IAIN Wali Songo, 2006.
105

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Bahasa Arab –Indonesia,


Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Ilmiah Pondok Pesantren Al-
Munawwir, 1997.
Mustaqim, Abdul. Teologi Bencana Dalam Perspektif Al-Qur‟an. Jurnal
nun, vol 1, no. 1. 2015.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi, juz 9.
Semarang: Thoha Putra, 1994.
………., Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maragi, Cet II. Semarang: Karya
Toha Putra Semarang, 1974.
Al-Mubayyadh, Muhammad Ahmad. Al-Mausu‟ahim Wa Asyrath As-
sa‟ah Terj: Ahmad Dzulfikar, Ensiklopedia Akhir Zaman. cet, I
(Surakarta: Mediatama, 2014.
Al-Munawwar, Said Agil Husein. Al-Qur‟an Membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki.Jakarta: Ciputat perss, 2002.
Al-Munawwar, Said Ḥaw. Al-Mustakhliṣ fi Tazkiyah an-Nafs, cet. 14.
Kairo: Dar al-Salam, 2008.
Nasional RI, Perpustakaan. “Fitnah” Ensiklopedia Hukum Islam, ed,
Abdul Aziz Dahlan, et. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoove,
1996.
Nasional, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta Balai Pustaka, 2005.
Nurfitriah, Siti. Fitnah Dalam Perspektif M. Quraish Shihab “Tela‟ah
Ayat-Ayat Fitnah dalam Tafsir AL-Misbah. Ponorogo: skripsi
IAIN ponorogo, 2017.
Pasya, Hikmatiar Studi Metodologi Tafsir Al-Sya’ra>wi, Studia Quranika,
vol. 1, no. 2. Januari, 2017.
106

Pengembangan Bahasa, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan,


Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI, 1998.
Pusat Bahasa, Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Cet. III. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Qadriani, Laela Makna Kata Fitnah Dalam Al-Qur‟an. Makassar: Skripsi
Univesitas Hasanuddin, 2017.
Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an Di Bawah Naungan Al-Qur'an,
jilid 5. Jakarta: Gema Insani, 2003.
Al-Qadhi, „Abdul Fattah „Abdul al-Ghani, Asbab an-Nuzul „an al-
Ṣahabah wa al Mufassirin, cet. III. Mesir: Dar al-Salam, 2003.
Al-Qurṭhubi, Muḥammad Abu Bakr. Al-Jami‟u li Aḥkam Alquran, juz II.
Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2005.
Rahman, Abdul, Badruzzaman M. Yunus dan Eni Zulaiha, Corak Tasawuf
dalam Kitab-Kitab Tafsir Karya K.H. Ahmad Sanusi. Bandung:
Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, 2020.
Rodin, Dede, Teologi Bencana Dalam Perspektif al-Qur‟an. Semarang:
Puslit IAIN Walisongo, 2010.
Ar-Razi, Muhammad Abi Bakr. Mukhtasar Al-Sihab. Beirut: Dar Al –
Ma‟rifah, 2005.
Ar-Rifa', Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibn Kas\i>r, jilid 2. Jakarta:
Gema Insani, 1999.
Sadat, Anwar Jalan Panjang Menuju Revolusi “Sebuah Catatan di
Lembah Sungai Nil. Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.
Salim, Abdul Muin, dkk. Metodologi PenelitianTafsir Maudhui.
Makassar: Pustaka Al-Zikra, 2011.
107

Shihab, M. Quraish. ensiklopedia al-Qur‟an: kajian kosakata, cet, I.


Jakarta: Lentera Hati, 2007.
…......, M. Quraish. Membumikan Al-Qur‟an Jilid 2, cet, 1. Jakarta:
Lentera Hati, 2010.
…….., M. Quraish. Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur‟an dan Dinamika
Mehidupan Masyarakat. Jakarata: Lentera Hati 2006.
…….., M. Quraish. Tafsir Al-Misabah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-
Qur‟an, juz XV, Cet. I. Jakarta: Lentera Hati, 2013.
.........., M. Quraish. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-
Qur‟an jilid 7, cet, V. Jakarta: Lentera Hati, 2003.
………, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur‟an, vol 10. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Suryadilaga, Al-Fatih. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2010.
Syakir, Aḥmad. Umdah at-Tafsir „an al-Ḥafiz Ibn Kas\i>r, juz II.
Mansyurah: Dar al-Wafa‟, 2005.
Syarif Hidayatullah, Tim Penulis IAIN. Fitnah Ensiklopedi Islam, jil. 1.
Jakarta: 1992.
Al-Sya’ra>wi, Muhammad Mutawalli. Tafsir Sya‟rawi, terj, Dr. H. Zinal
Arifin, MA dan Dr. Ardiansyah, MA, jilid I cet. I. Medan: Duta
Azhar, 2011.
………, Muhammad Mutawalli. Tafsir Sya‟rawi, terj, Dr. H. Zinal Arifin,
MA dan Dr. Ardiansyah, MA, jilid V cet I. Medan: Duta Azhar,
2011.
………., Muhammad Mutawalli. Tafsir Sya‟rawi, terj, Dr. H. Zinal Arifin,
MA dan Dr. Ardiansyah, MA, jilid III cet. I. Medan: Duta Azhar,
2011.
As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Asbabun Nuzul, terj. Rohadi Abu
Bakar. Semarang: Wicak Sana, 1989.
108

Tanjung, Abdul Rahman Rusli. Mus}i>bah Dalam Perspektif AL-Qur‟an:


Studi Analisis Tafsir Tematik” Analyita Islamica, Vol, 1. no.1.
2012.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
2001.
At-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad Bin Jarir. Jami‟ al-Bayan „an Ta‟wili
ayi al-Qur‟an, Penerjemah Ahmad Affani vol 10. Jakarta Selatan:
Pustaka Azzam, 2008.
Usmani, Ahmad Rofi‟. Ensiklopedia Tokoh Muslim. Bandung: Mizan
Pustaka, 2015.
Yunus, Mahmud. Tafsir Qur'an Karim cet, 73. Jakarta: Hidakarya Agung,
2004.
Zakariya, Ahmad Bin Faris. Mu‟jam Maqayis al-Lugah, juz IV. Dar al-
Fikr, 1319H/1979.
Az-Zahabi, At-Tafsir wa-Al-Mufassirun, Cet VII, jilid I. Cairo: Maktabah
Wahbah, 2000.
Az-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kassyaf. Riyad: Maktabah Al- „Abikan, 1998.

Anda mungkin juga menyukai