Anda di halaman 1dari 35

DAKWAH WALI SONGO

DITINJAU DARI PERSPEKTIF Al-QUR’AN

TESIS
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Magister Agama dalam Bidang Ilmu Agama Islam

Oleh :
Nanang Saeroji
NIM. 207410.303

KONSENTRASI ULUM AL-QUR’AN DAN ULUM AL-HADITS


PROGRAM STUDI ILMU AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
1436 H/ 2015 M
DAKWAH WALI SONGO
DITINJAU DARI PERSPEKTIF Al-QUR’AN

TESIS
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Magister Agama dalam Bidang Ilmu Agama Islam

Oleh :
Nanang Saeroji
NIM. 207410.303

Di bawah bimbingan,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA. Dr. Hj. Sri Mulyati, MA.

KONSENTRASI ULUM AL-QUR’AN DAN ULUM AL-HADITS


PROGRAM STUDI ILMU AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
1436 H/ 2015 M
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul “DAKWAH WALI SONGO DITINJAU DARI


PERSPEKTIF Al-QUR’AN” oleh Nanang Saeroji, dengan NIM
207410.303 telah melalui proses bimbingan dengan baik dan dinilai oleh
pembimbing telah memenuhi syarat ilmiah untuk diujikan di sidang
munaqasyah.

Jakarta, Agustus 2015


Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA. Dr. Hj. Sri Mulyati, MA.
Tanggal: Agustus 2015 Tanggal: Agustus 2015

i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis yang berjudul “DAKWAH WALI SONGO DITINJAU DARI


PERSPEKTIF Al-QUR’AN” oleh Nanang Saeroji, dengan NIM
207410.303 telah diujikan dalam sidang tesis Program Pascasarjana Institut
Ilmu Al-Qor’an (IIQ) Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2015. Tesis ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Agama (MA)
Program Strata 2 (S2) dalam bidang Ilmu Agama Islam.

Jakarta, 6 Shafar 1437 H


18 November 2015 M

Direktur Program

DR. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA

Keterangan Ttd Tanggal

DR. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA ( ) ( )


Ketua Sidang

Dr. KH. Ahmad Fudhaili, M.Ag ( ) ( )


Sekretaris Sidang

Prof. Dr. M. Dien Majid, MA. ( ) ( )


Penguji I

Dr. KH. Ahmad Fudhaili, M.Ag ( ) ( )


Penguji II

Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA. ( ) ( )


Pembimbing I

Dr. Hj. Sri Mulyati, MA. ( ) ( )


Pembimbing II

ii
PERNYATAAN TERTULIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Nanang Saeroji
NIM : 207410.303
Tempat/Tanggal Lahir : Cirebon, 13 September 1982
Menyatakan bahwa tesis dengan judul “DAKWAH WALI SONGO
DITINJAU DARI PERSPEKTIF AL-QUR’AN” adalah benar-benar karya
saya, kecuali kutipan-kutipan yang sudah disebutkan, kesalahan dan
kekurangan di dalam karya ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya tanpa
rekayasa.

Jakarta, Agustus 2015


Yang membuat pernyataan,

Nanang Saeroji

iii
   

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Swt, berkat karunia dan nikmat-Nya,
penulisan Tesis dengan judul: “Dakwah Wali Songo Ditinjau Dari Perspektif
Al-Qur’an” telah diselesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah sukses mengemban misi
dakwah Islam, sehingga kita menjadi bagian dari umat beliau, yang
senantiasa istiqamah mengikuti ajaran beliau, amin.
Penulis sangat bersyukur karena akhirnya dapat menyelesaikan Tesis
ini, meskipun sedikit terlambat dan tidak sedikit kendala yang penulis hadapi.
Tentu hal ini, selain dari kemurahan Allah Swt., juga karena banyaknya
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Prof. Dr. Hj. Huzaimah
Tahido Yanggo, MA.
2. Direktur Pasca Sarjana Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Dr. KH.
Ahmad Munif Suratmaputra, MA.
3. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA, selaku Pembimbing I,
dan Ibu Dr. Hj. Sri Mulyati, MA, selaku Pembimbing II. Dalam pan-
dangan penulis, kedua pembimbing tersebut merupakan pembimbing
terbaik yang telah sabar dan memberikan kemudahan penulis, bahkan
tidak jarang memberikan motivasi sehingga penulis bisa menyelesaikan
tugas akademik ini.
4. Kedua orangtua penulis, bapak Sadzali (Angende), dan ibu Siti Rokayah
(Angilik), yang senantiasa memberikan bantuan, dukungan dan doa
kepada penulis.
5. Keluarga kecil penulis; istri penulis, Siti Sholihah (Tika), anak-anak
penulis, Aulia Ummu Aqeela dan Elfath Rizka Maula. Mereka adalah
belahan jiwa, buah hati, sumber inspirasi dan motivasi, yang senantiasa
menguatkan penulis dalam menahkodai kehidupan ini.
6. Adik-adik penulis juga adik istri; Lisa’adah, Sri Ratna Sugiarti, Ibnu
Sa’dullah, Fathurrahman, Afni Fauziyah, Silvi Maulida, Agung Wahyudi,
Agus Firmansyah, dan Fahmi Nabiyin. Mereka merupakan adik-adik
yang baik dan menyenangkan, sehingga penulis merasa termotivasi
untuk sukses dalam segala aktifitas.

iv
7. Guru-guru penulis, terutama KH. Hasan Ma’mun, pengasuh Pondok
Pesantren Nurul Huda, Munjul Astana Japura Cirebon, dan KH. Usamah
Mansur, pengasuh Pondok Pesantren An-Nasuha, Kalimukti Pabedilan
Cirebon. Keduanya – juga guru lain – merupakan guru-guru istimewa
penulis, dan penulis sangat berhutang budi karena kebaikan mereka,
utamanya saat penulis di Ponpes tersebut.
8. Keluarga Besar Pengurus Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, khususnya bapak H. Syarif Muhsin al-Hadar (Habib Muhsin).
9. Keluarga Besar Pengurus Masjid Al-Falah, Taman Bona Indah, Jakarta,
terutama bapak Farial Anwar, H. Aya Sofia, dan H. Syamsir Alam Lubis.
10. Seluruh Civitas Akademika Program Pasca Sarjana Istitut Ilmu Al-
Qur’an (IIQ) Jakarta, terutama teman-teman seperjuangan dan para
dosen yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan dan wawasan
yang tidak terhingga nilainya.
11. Semua pihak yang karena keterbatasan, tidak bisa disebutkan satu per
satu. Bagi penulis, mereka sangat berjasa, baik saat penulis menye-
lesaikan kuliah ini maupun dalam keseluruhan interaksi selama ini.
Penulis berdoa, semoga amal baik semua pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan Tesis ini dicatat sebagai amal ibadah dan
mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda oleh Allah SWT. Hanya kepada
Allah Swt. penulis memohon taufiq dan hidayah-Nya.
Penulis berharap, mudah-mudahan karya ilmiah ini bermanfaat, bukan
saja bagi penulis, tetapi juga pembaca sebagai tambahan pengetahuan dan
wawasan. Akhirnya, seperti kata pepatah “Tak ada gading yang tak retak”,
maka penulis mengharapkan adanya masukan, kritik dan saran yang bersifat
membangun, guna menyempurnakan tulisan ini.

Ciputat, Syawal 1436 H


Juli 2015 M

Penulis

v
PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Konsonan

Arab Latin Arab Latin Arab Latin


‫أ‬ A ‫ز‬ z ‫ق‬ Q
‫ب‬ B ‫س‬ s ‫ك‬ K
‫ت‬ T ‫ش‬ sy ‫ل‬ L
‫ث‬ Ts ‫ص‬ sh ‫م‬ M
‫ج‬ J ‫ض‬ dh ‫ن‬ N
‫ح‬ H ‫ط‬ th ‫و‬ W
‫خ‬ Kh ‫ظ‬ zh ‫ﻫـ‬ H
‫د‬ D ‫ع‬ ‘ ‫ء‬ ’
‫ذ‬ Dz ‫غ‬ gh ‫ي‬ Y
‫ر‬ R ‫ف‬ f

2. Vokal
Vokal Tunggal Vokal Panjang Vokal Rangkap
Fathah : a ‫ أ‬: â ...‫ي‬ْ : ai
Kasrah : i ‫ ي‬: î ...ْ‫ ﻭ‬: au
Dhammah : u ‫ و‬: û
3. Kata sandang
a. Kata sandang yang diikuti ‫ ال‬qamariyah
Kata sandang yang diikuti oleh ‫ ال‬qamariyah, ditransliterasikan
sesuai dengan hurufnya, yaitu huruf ‫( ل‬el) diganti dengan huruf
yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.
Contoh: ‫ اﻟﺒﻘﺮة‬: al-Baqarah ‫ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ‬: al-Madinah
b. Kata sandang yang diikuti ‫ ال‬syamsiyah
Kata sandang yang diikuti oleh ‫ ال‬syamsiyah, ditransliterasikan
sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan
bunyinya.
Contoh: ‫ اﻟﺮﺟﻞ‬: ar-Rojul ‫ اﻟﺴﻴﺪة‬: as-Sayyidah
‫ اﻟﺸﻤﺲ‬: asy-syamsu ‫ ﺍﻟﺪﺍﺭﻣﻲ‬: ad-Dârimî

vi
ABSTRAK
Berbagai perbedaan mengenai kapan terjadinya kedatangan dan
penyebaran Islam di Nusantara apakah di abad ke- 7 M atau di abad ke-13 M
maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa abad ke-7 M sebagai awal
kedatangan Islam, sedang abad ke-13 M adalah penyebaran dan
pengembangan Islam secara besar-besaran.
Proses Islamisasi itu bermula dari pesisir yang merupan tempat lalu
lintasnya pelayaran dan perdagangan pedagang-pedagang muslim dan
kemudian proses Islamisasi itu sampai kepedalaman, mengingat masih
banyak penduduk pedalaman yang masih menganut animisme dan dinamisme
dan banyak pula yang menganut agama Hindu dan Budha, di samping itu
karena terjadinya hubungan timbal balik anatara masyarakat pesisir yang
kebanyakan dari penduduknya sebagai pedagang dan masyarakat pedalaman
yang kebanyakan penduduknya berfrofesi sebagai petani (penghasil Barang).
Proses Islamisasi di Nusantara melalui berbagai saluran yaitu : Lewat
jalur perkawinan, perdagangan, Pendidikan, Tasawuf, kesenian, dan politik.
Dalam dakwah Islam, banyak muncul corak pemikiran dakwah, yaitru
ekstrem kanan, ekstrem kiri, dan moderat, model dakwah yang dilakukan
oleh wali songo adalah medel dakwah moderat, Wali Songo melakukan
sebuah pendekatan kebudayaan, dimana ketika itu masyarakat pribumi sudah
terlebih dahulu memiliki sifat local primitive. Ada atau tidak adanya agama,
masyarakat akan terus hidup dengan pedoman yang telah mereka miliki
tersebut. Wali Songo memperhatikan betul bagaimana tipologi mad’û sebagai
sasaran dakwah dengan segala keragaman karakter dan budayanya.
Dalam teori Resepsi dikatakan bahwa suatu hukum dapat diberlaku-
kan manakala sudah diterima dengan hukum adat yang telah berlaku se-
belumnya tanpa adanya pertentangan. Dari teori Resepsi inilah dapat
diasumsikan bahwa agama akan mudah diterima oleh masyarakat apabila
ajarannya tersebut tidak bertentangan serta memiliki kesamaan dengan
kebudayaan masyarakat, sebaliknya agama akan ditolak masyarakat apabila
kebudayaan masyarakat berbeda dengan ajaran agama.
Banyaknya fanatisme kebudayaan yang melekat di tubuh umat Islam
Indonesia tentunya menciptakan “keunikan” tersendiri bagi agama Islam. Hal
ini terlihat dari beberapa kegiatan keagamaan serta muamalah yang dilaku-
kan oleh masyarakat kita di berbagai daerah dan pada tiap-tiap daerah mem-
punyai beragam kegiatan lokalistik yang bermuatan keislaman yang berbeda-
beda.
Hadirnya Islam modernis yang mempunyai misi khusus memurnikan
Islam, dengan sendirinya menjadikan ajaran dan makam para Wali sebagai

vii
sasaran utama penghujatan. Sebagai penerus ajaran Wali Songo, NU tampil
untuk mempertahankan tradisi ini dengan resiko besar, baik secara teologis
maupun ideologis. Wali Songo Mempertahankan Kebudayaan Penduduk
Setempat yang Tidak Bertentangan dengan Al-Qur’an, hal ini sesuai dengan
firman Allah QS. Ali Imran 104:
Al-khair adalah nilai universal yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan as-
Sunnah. Al-khair menurut Rasulullah Saw. sebagaimana dikemukakan oleh
Ibnu Katsir dalam tafsirnya adalah, “ittiba’u al-Qur’an wa sunnati: meng-
ikuti Al-Qur’an dan Sunnahku”. Sedang al-ma’rûf adalah “sesuatu yang baik
menurut pandangan umum satu masyarakat selama sejalan dengan al-khair.”
Adapun al-munkar, maka ia adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu
masyarakat serta bertentangan dengan dengan nilai-nilai ilahi.
Akumulasi pesan dari Surah Ali Imran ayat 102 sampai dengan ayat
115 mengisyaratkan gambaran tentang gagasan dan visi dakwah yang di-
kenalkan Al-Qur’an, yang kemudian akan melahirkan prinsip-prinsip dakwah
Qur’ani. Hal ini dapat diturunkan dari cara pandang Al-Qur’an tentang tiga
hal yang berhubungan secara horizontal dan vertikal, dengan manusia sebagai
objek (mukhathab) utama Al-Qur’an; yakni sesama manusia, alam semesta
dan Tuhan. Visi dakwah menurut Al-Qur’an adalah menjabarkan nilai-nilai
uluhiyah, mulukiyah dan rububiyah (nilai-nilai asmâ al-husnâ) dalam peri-
laku kehidupan pribadi dan masyarakat, Cara pandang ini akan melahirkan
pesan moral yang mendasar, yaitu: dakwah yang berwawasan kemanusiaan
dan kultural (perspektif sosiologis-antropologis), dakwah berwawasan ling-
kungan (perspektif ekologis), dakwah yang berwawasan moral ketuhanan
(perspekrif teologis).
Prinsip-prinsip dakwah Qur’ani di atas melahirkan prinsip-prinsip
kaidah dakwah, antara lain: Menghargai kebebasan dan menghormati hak
asasi setiap individu dan masyarakat (‘adam al-ikrah fi al-dîn), Menghindari
kesulitan, kesempitan, dan kepicikan (‘adam al-haraj), Menghindari
kemadharatan dan kerusakan (daf’u al-dharâr wa al-mafâsid), Bertahap,
gradual, dan mengikuti proses (al-tadarruj).
Prinsip kaidah tersebut melahirkan karakter atau watak dakwah
Qur’ani yang mengacu pada pesan universal kehadiran Rasul dan ajaran
Islam, yakni rahmatan li al-‘âlamin yang merefleksikan kemaslahatan, ke-
manfaatan, kesejahteraan, dan kebergunaan bagi semua pihak. Dengan
demikian, iklim yang dibangun dalam dakwah adalah pencerahan pikir,
penyejukan hati nurani, kedamaian, serta harus terhindar dari berbagai cara
intimidasi, kekasaran, dan kekerasan. Dan inilah dakwah yang dilakukan oleh
Wali Songo.

viii
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. ii
PERNYATAAN TERTULIS ............................................................... iii
KATA PENGANTAR .......................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................. vii
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Permasalahan .................................................................. 12
1. Identifikasi Masalah ................................................ 12
2. Pembatasan Masalah ................................................ 13
3. Perumusan Masalah ................................................. 13
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................... 13
D. Kajian Pustaka yang Relevan ......................................... 14
E. Metodologi Penelitian ..................................................... 14
F. Sistematika Penulisan ..................................................... 15
BAB II. PARADIGMA DAKWAH DALAM AL-QUR’AN .......... 17
A. Pengertian Dakwah ......................................................... 17
B. Pendekatan Dakwah ....................................................... 19
C. Istilah Dakwah dalam Al-Qur’an ................................... 20
D. Posisi Perintah Dakwah dalam Al-Qur’an ...................... 21
E. Rahasia Perintah Dakwah dalam Al-Qur’an .................. 22
F. Kaidah-Kaidah Dakwah dalam Al-Qur’an ..................... 23
G. Esensi Dakwah dalam Al-Qur’an ................................... 27
H. Arah dan Tujuan Dakwah dalam Al-Qur’an .................. 30
I. Prinsip Dakwah Antarbudaya ......................................... 34
BAB III. NUSANTARA DAN DAKWAH ISLAM WALI SONGO 43
A. Tentang Nusantara (Jawa) .............................................. 43
1. Kedatangan Islam .................................................... 43
2. Penyebaran Islam .................................................... 45
3. Pemilihan Wilayah Penyebaran Islam ..................... 45
4. Penyebaran Islam dimulai dari Pesisir ..................... 47
5. Pengembangan Islam dari Pesisir ke Pedalaman ..... 50
6. Saluran atau Jalur-jalur Islamisasi di Nusantara ...... 51
7. Tasawuf dan Islamisasi di Nusantara ...................... 58
8. Sebab-Sebab Islam Cepat Berkembang di Nusantara 60

ix
9. Agama/Kepercayaan Masyarakat Jawa ................... 63
10. Pemilihan Wilayah Dakwah Era Wali Songo .......... 65
B. Spesialisasi dan Gerakan Dakwah Wali Songo .............. 66
C. Pendekatan, Upaya, Pedoman Wali Songo dalam
Mencapai Tujuan Dakwah .............................................. 92
D. Strategi, Metode, Sarana, Faktor Kesuksesan, dan Hasil
Dakwah Wali Songo ....................................................... 97
E. Aspek Keimanan dan Ketakwaan, Ahlak dan Amalan,
Penilaian Sunnah dan Bid’ah, Serta Ajaran dan
Madzhab Wali Songo ..................................................... 108
BAB IV. DAKWAH WALI SONGO: DAKWAH QUR’ANI DAN
KONTEKSTUALISASINYA ............................................. 114
A. Dakwah Wali Songo dalam Perspektif Al-Qur’an ......... 114
1. Mempertahankan Kebudayaan Masyarakat
Setempat Yang Tidak Bertentangan dengan Al-
Qur’an ...................................................................... 114
2. Menggunakan Metode Hikmah, Mau’izhah al-
Hasanah Wajâdilhum Billatî Hiya Ahsan ............... 117
3. Bahasa Dakwah dalam Al-Qur’an dan
Relevansinya dengan Dakwah Wali Songo ............. 122
4. Prinsip dan Kaidah Dakwah Al-Qur’an yang
Diterapkan Wali Songo ........................................... 126
B. Kontekstualisasi Dakwah Wali Songo ........................... 129
1. Agama dan Kebudayaan Jawa ................................. 129
2. Nilai-Nilai dan Tradisi Keulamaan Nusantara ........ 132
3. Pesantren Model Pendidikan Warisan Wali Songo 135
4. Islamisasi Nilai-Nilai Seni Budaya Nusantara ........ 139
5. Tradisi Keagamaan Islam Champa .......................... 141
6. Transvaluasi Nilai-Nilai Menjadi Islam Nusantara 144
7. Islamisasi Kapitayan dan Hindu Budha ................... 148
9. Pengembangan Ajaran dan Strategi Dakwah Wali
Songo ....................................................................... 151
BAB V. PENUTUP ........................................................................... 153
A. Kesimpulan ..................................................................... 153
B. Saran-saran ..................................................................... 154
DAFTAR PUSTAKA

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam adalah agama dakwah, menyeru kepada perbaikan sejati. Ia
juga berusaha merombak sistem sosial jahiliyah di manapun adanya, dan
menggantinya dengan sistem sosial Islam yang luhur dan beradab. Tentu saja
tugas raksasa ini tidak dapat digarap secara individual atau dengan pen-
dekatan-pendekatan yang bersifat parsial. Ia membutuhkan barisan tenaga
segar yang solid dan pendekatan-pendekatan yang profesional, sehingga
dakwah tampak menjadi sebuah gerakan padu yang tertata apik, bersifat
komprehensif dalam mengemban misi transformasi Islam di kehidupan
nyata. 1
Menata gerakan dakwah yang sitematis dan terorganisir secara baik
merupakan tugas suci yang diamanatkan Allah kepada setiap penolong
agamanya. Bahkan Allah amat menyukai kegiatan apa saja yang berkaitan
dengan perjuangan penegakan kalimat-Nya dilakukan secara teratur dan
terencana rapi. 2
Sementara secara spesifik, gerakan dakwah bermakna sekumpulan
individu muslim yang secara bersama-sama melakukan kegiatan dakwah
dalam satu kesatuan kerja yang sistematis dan terorganisir dengan baik.
Gerakan dakwah seperti ini kemudian disebut sebagai gerakan dakwah
Hizbiyyah. Dalam makna spesifik ini, gerakan dakwah mengandung makna
sebagai gerakan bersama (‘amal jamâ’î), yang diantara ciri aktifitasnya
merupakan produk suatu keputusan jamaah yang disesuaikan dengan sistem
(manhaj) dan tujuannya telah ditentukan bersama. 3
Al-Qur’an bagi manusia, umat Islam pada khususnya merupakan
kitab rujukan dan kompas segala aktifitas kehidupan. Etika teologis demikian
mengakar secara aktif maupun pasif dalam diri seorang muslim, termasuk
etika moral melakukan dakwah yang menjadi inti bentuk penyebaran,
pendalaman dan pengawalan nilai ajaran Islam, agar dihayati dan di-
1
Asep Muhyiddin, et.al., Kajian Dakwah Multi Perspektif: Teori, Metodologi,
Problem, dan Aplikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014) h.19
2
Asep Muhyiddin, et.al., Kajian Dakwah Multi Perspektif: Teori, Metodologi,
Problem, dan Aplikasi, h.19
3
Ahmad Syarbini, “Kajian Dakwah Multiperspektif”, dalam Jurnal Ilmu Dakwah
Academic Journal for Homiletic Studies, Bandung: Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN
Bandung, Vol. 3 No. 8 Tahun 2006, h. 75

1
2

laksanakan oleh manusia dalam realitas kehidupannya. Al-Qur’an merupakan


kitab petunjuk bagi manusia. 4

  
      
   
 
 
   
     
   
 
         
  

          

             

        

   

Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,


bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu,
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang-
siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu men-
cukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
(QS. Al-Baqarah [2]: 185)

Dalam perspektif Dakwah, Al-Qur’an dipandang sebagai kitab yang


merupakan rujukan pertama dan utama. Al-Qur’an memperkenalkan se-
jumlah istilah kunci yang melahirkan konsep dasar dakwah. Al-Qur’an
memang tidak memberikan penjelasan rinci, apalagi bersifat teknis tentang
bagaimana melakukan dakwah. Namun demikian, ia telah memberikan
banyak isyarat penting tentang keharusan umat melakukan dakwah. Intinya,
ia telah mengisyaratkan tentang apa, bagaimana, dan untuk apa dakwah?

4
Asep Muhyiddin, et.al., Kajian Dakwah Multi Perspektif: Teori, Metodologi,
Problem, dan Aplikasi, h. 19
3

Isyarat-isyarat inilah yang secara dedukatif memerlukan penjelasan lebih


rinci dengan menggunakan bantuan ilmu-ilmu berkaitan. 5
Seiring dengan proses perubahan sosial dan intelektual, dinamika
pemikiran dan pergerakan dakwah mengalami polarisasi sejalan dengan
polarisasi perspektif umat Islam atas modernisasi dengan serba nilai yang
dibawanya. Sejarah pemikiran dakwah menunjukkan bahwa corak pemikiran
dakwah ternyata mengalami diferesiasi dan divergensi yang luar biasa
beragam. Tidak mengejutkan jika kemudian muncul bentuk-bentuk dakwah
yang beragam, dan satu sama lain saling berbenturan, karena aktivitas
dakwah itu sendiri tiada lain kecuali perwujudan konkrit dari dinamika
pemikiran dakwah yang abstrak.
Pemikiran sekuler yang diimpor dari Barat ternyata mendapat respons
ganda dari kalangan juru dakwah, kalangan sekuler di satu arus, dan kalangan
fundamentalis, di arus lain. Hal ini memperkuat temuan Karen Amstrong
bahwa fundamentalisme berada dalam suatu hubungan simbiotik dengan
sekularisme dan bahwa arus liberalisme dan modernisme selalu menyebab-
kan kaum fundamentalis merasa tersudut untuk kemudian terperangkap
dalam pola-pola dakwah yang lebih ekstrem. 6
Mengikuti teori pendulum pemikiran, 7 corak-corak pemikiran dakwah
yang bervariasi itu sebenarnya dapat dipilah secara sederhana menjadi tiga
kategori saja: ekstrem kanan, ekstrem kiri, dan moderat.
Pertama, Ekstrem kanan adalah pemikiran dakwah yang mengatur
dirinya secara ketat, agar setidaknya menurut dirinya taat dan disiplin ter-
hadap esensi Islam. Garis ini tidak memberikan peluang dan ruang bagi
fleksibilitas, sebab diasumsikan hanya akan menyimpangkan pemikiran

5
Asep Muhyiddin, et.al., Kajian Dakwah Multi perspektif: Teori, Metodologi,
Problem, dan Aplikasi’, h. 19
6
Dindin Solahudin dan Ahmad Sarbini, “Kajian Dakwah Multiperspektif; Sebuah
Pendahuluan” dalam Kajian Dakwah Multiperspektif; Teori, Metodologi, Problem dan
Aplikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 2. Ada fakta sejarah yang relatif sering
terlupakan, bahwa munculnya gelombang dakwah fundamentalis di Mesir awal abad kedua
puluh ternyata tepat berbarengan dengan kemunculan kelompok fundamentalis Protestan di
Barat. Pada tahun 1925, di Tennesee, saat kaum fundamentalis Protestan mencoba mencegah
pengajaran evolusi di sekolah-sekolah, mereka merasa sedemikian terpojokkan oleh pers
sekuler sehingga teologi mereka lebih bersifat reaksioner dan amat literalis. Ini berarti
mereka bergeser dari ekstrem kiri ke ektrem kanan dalam spektrum politik kala itu.
7
Mengenai penerapan teori pendulum, bandingkan, sebagai misal, dengan pola
pikir Robert Lioyd George dalam The East-West Pendulum, (Cambridge: Woodhead-
Fualkner Ltd,1992). Periksa juga antony Giddens, Beyond Left and Right: Tarian “ Ideologi
alternatif” di atas pusara sosialisme dan kapitalisme, terj. Imam Khoiri atas Beyond Left and
Right: The Future of Radikal Politic, (Yogyakarta: IRCi SoD, 2003).
4

dakwah dari jantung ajaran Islam, bahkan menyesatkan. Untuk lentur ber-
gerak ke arah moderasi saja, garis keras ektrem kanan ini tidak bersedia,
apalagi bergerak ke arah ekstrem seberang. Garis pemikiran ini menutup diri
dari setiap pemikiran yang datang dari “luar” Islam. Seperti dicatat oleh John
L. Esposito, 8 kalangan pemikir dakwah aliran ini “counseled cultural
isolation, withdrawal, and noonkooperation, to resist the western threat to
their Islamic way of life (mengimbau isolasi budaya, memisahkan diri, dan
tidak bekerja sama, guna melawan ancaman Barat terhadap pandangan hidup
Islam anutan mereka).
Kelompok ini disebut juga sebagai kelompok Islam Radikal yang
sikap keagamaannya ditandai oleh empat hal yaitu: pertama, sikap tidak
toleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain. Kedua,
sikap fanatik, yaitu merasa benar sendiri, menganggap orang lain salah.
Ketiga, yaitu sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan umat
Islam kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung mengguna-
kan kekerasan untuk mencapai tujuan. 9
Sebagai perwujudan dari pemikiran dakwah tersebut di atas adalah
dengan banyaknya aktifis-aktifis dakwah yang dalam melakukan gerakan-
gerakan dakwahnya dengan langkah-langkah dakwah reaktif dan emosional
baik ketika berhadapan dengan kelompok muslim lain yang berseberangan,
maupun – lebih-lebih – saat menghadapi pihak luar Islam. 10 Dalam melaku-
kan dakwahnya mereka memilih langkah Revolusi 11 dalam memberantas
yang mereka anggap kemunkaran TBC (Tahayul, Bid’ah dan khurafat) yang
harus diberantas dan dibumihanguskan. Dengan mengatasnamakan dakwah
(amar ma’rûf nahi munkar), mengatasnamakan agama atas landasan Al-
Qur’an. Kalangan ini dikenal sebagai kelompok fundamentalis-Fanatik
(Ekstrem), dalam konteks dakwah kelompok semacam ini tidak meletakkan
Al-Qur’an dan Hadis dalam konteks budaya dan kekinian dengan segala
kebaruannya. Sehingga akan terjebak pada aliran Islam literalisme, anti-
rasionalisme, dan anti interpretasi.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, sejumlah kiyai Cirebon, Jawa Barat,
misalnya menyebut kelompok ini “Neo-Wahabi”, kelompok Wahabî yang
berbaju baru. Mengapa demikian? karena para kiyai menyebut kelompok-

8
John L. Esposito, “Conteporary Islam: Reformation or Revolution?” dalam The
Oxford History Of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2001), h. 645.
9
Rahimi Sabirin, Islam dan Radikalisme, (Jakarta: Ar-Rasyid, 2004), h. 5
10
Didin Sholehuddin, Kajian Dakwah Multiperspektif: Radikalisme Islam di
Indonesia Suatu Tantangan Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), h. 100.
11
Yusuf Qaradhâwî, Fiqih Ikhtilaf, terj. (Bandung: Mizan, 2003), h. 5
5

kelompok Islam ini didanai dari negara-negara teluk, terutama dari orang-
orang kaya Arab Saudi. Jadi lebih mirip sebagai agen pengimpor ajaran
Wahabi ke Indonesia. Seperti terlihat pada kelompok PKS dan Hizbut Tahrir
yang mengusung ideologi “khilâfah” anti NKRI, gagasan jihadnya kelompok
Majelis Mujahidin dan pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah, atau pengajian
MTA (Majelis Tafsir Al-Qur’an) yang menggunakan Radio di desa-desa
untuk menghantam tradisi NU. 12
Dakwah fundamentalis ekstrem, dalam pandangan Timothy Winter, 13
adalah tidak sah, tidak autentik, menyalahi qanun klasik hukum, dan tidak
mencerminkan teologi Islam yang luhur. Lebih jauh, ia melihat cara-cara
dakwah seperti itu sebagai tidak keberahlian (tidak profesional) dan bahkan
masuk dalam kategori ‘Al-Baghyu’ (makar/bersenjata) yang murni premanis-
me. Maka bagi Winter, dakwah model ini tidak menawarkan keuntungan
strategis bagi kebangkitan masyarakat Islam di Era keterbukaan ini. 14
Radikalisme adalah “kecelakaan Sejarah” karena posisi Islam sebagai
kekuatan peradaban sedang berada di buritan. 15
Kedua, Pemikiran dakwah ekstrem kiri berada pada kutub yang ber-
seberangan dengan ekstrem kanan tadi. Jika pemikiran ekstrem kanan ter-
lampau ketat menapaki ajaran Islam “murni”, ekstrem kiri, sebaliknya,
terlampau longgar dan sembrono keluar dari syari’at Islam yang murni. Garis
pemikiran ini kelewat berani, untuk tidak mengatakan nekat, mengabaikan
prinsip-prinsip pokok ajaran Islam dan terlalu berlebihan memanfaatkan
kelenturan ajaran Islam untuk melakukan ta’wîl. Kelompok ini juga meng-
atasnamakan Al-Qur’an dalam kontekstualitasnya namun berlebihan,
kemudian mengabsahkan produk-produk pemikiran dakwah yang secara jelas
berbenturan dengan, misalnya tujuan utama Syari’at Islam (maqâsid asy-
syar’i al-khamsah). 16

12
Ahmad Baso, “Agama NU” untuk NKRI, (Jakarta: Pustaka Afid, 2014), Cet. ke-1,
h. 91
13
Seorang profesor Universitas Cambridge dan tokoh Muslim terkemuka yang me-
miliki nama asal Syaikh Abdul Hakim Murad.
14
Abdul Hakim Murad, Bombing Without Mooligts: The Origins of Suicide
Terrosism, dalam Islam, edisi Oktober 2004 dan Bin Laden’ Violence is Heresy Against
Islam.
15
H.A. Syafi’i Maarif, Ketua Umam PP Muhamadiyah, dalam pengantar buku,
Rahimi Sabirin, “Islam dan Radikalisme”, h .1
16
Didin Solahuddin dan Ahmad Sarbini, Kajian Dakwah Multiperspektif: Teori,
Metodologi, Problem dan Aplikasi, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 5
6

Kelompok ekstrem kiri (kaum liberalis-sekuler), di antara tokohnya


adalah Abbas Mahmud al-Aqad, 17 ia melihat Islam terperangkap dalam
keterpurukan disebabkan mereka terkerangkeng dalam ketidakbebasan, yang
justru bersumber dari cara pandang umat Islam sendiri terhadap ajaran Islam,
ia mendorong kebebasan berpikir di kalangan umat Islam. Pada masa yang
sama muncul juga Taha Husain, 18 ia adalah tokoh Islam pengusung
sekulerisme-ekstrem. Baginya, ada banyak aspek ajaran Islam yang tidak lagi
relevan dalam peradaban modern ini sebagai asas moral dan hukum. Sebab
itu, Islam tidak lagi memadai sebagai aparatus politik kenegaraan, dan tidak
cukup juga untuk menjadi titik tolak pembaruan sosial. Dengan kata lain,
menurut Taha Husein, umat bisa berkembang maju hanya bila agama di-
singkirkan dari urusan kenegaraan dan kehidupan sosial. Walaupun pendapat
kedua tokoh ini ditentang keras oleh Yusuf Qaradhâwî. Yusuf Qaradhâwî
menentang keras pendapat yang menuding Islam sebagai penyebab ke-
terpurukan umat Islam. 19
Ketiga, di antara dua kutub pemikiran dakwah ekstrem tersebut,
terdapat garis pemikiran dakwah jalan tengah (al-i’tidal aw al-wasatha).
Garis pamikiran dakwah moderat ini memang sepakat dengan sisi-sisi positif
dari kedua kutub pemikiran ekstrem tadi, namun pada saat yang sama,
menolak segi-segi negatif dari keduanya. Ia setuju, misalnya dengan
kecenderungan ekstrem kanan untuk berpegang teguh pada syariat Islam dan
dengan kecenderungan ekstrem kiri untuk memikirkan alternatif kemajuan.
Namun, pada saat bersamaan, ia menolak kecenderungan ekstrem kanan
untuk menutup diri dari kemajuan dan kecenderungan ekstrem kiri untuk

17
Abbas Mahmud al-‘Aqad adalah seorang sastrawan besar Mesir berasal dari kota
Aswan yang hanya menyelesaikan sekolah dasar namun sejak kecil gemar mambaca soal
agama, geografi, sejarah dan bahan bacaan lain baik berbahasa Arab, Inggris maupun
Prancis, ia telah menulis tak kurang dari 100 buku mengenai filsafat, agama dan puisi. Ia
mendirikan sekolah puisi Ad-Diwan bersama Ibrahim al-Mazni dan Abdurahman asy-Syukri.
Menganut Aliran Liberalisme, ia merasa berhak untuk menjalin hubungan asmara dengan
seorang wanita Kristen Libanon, yang menjadi tokoh salah satu novelnya dan diberi nama
Sarah, dan seorang artis Mesir ternama, Madiha Yusri, yang kemudian diceraikannya. Lihat,
Wikipedia, The Free Encyclopedia. Org/wiki/ Abbas-el-akkad.
18
Seorang sastrawan Mesir ternama yang tergolong pembaru dengan keberanian
berpikir bebas. Ia adalah mantan Dekan Fakultas Adab Universitas Kairo yang juga pernah
menjadi Menteri Pendidikan Mesir. Haluan pemikirannya adalah sekularisme sambil tentu
saja memberikan ruang amat terbuka terhadap penggunaan akal dalam kancah Liberalisme.
Atas dasar itu, karya-karyanya dijauhkan dari jangkauan masyarakat dan terutama
mahasiswa. Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 65.
19
Yusuf Qaradhâwî, Membedah Islam Ekstrem, terj. Alwi A.M atas as-Shafwah Al-
Islamiyyah Bain al-Juhud wa at-Tatarruf, (Bandung: Mizan, 2001), h. 118.
7

melenceng dari prinsip pokok syariat Islam. Bagi kalangan pemikir moderat,
pemikiran dakwah ekstrem kanan dan kiri sama-sama berbahaya. 20
Dalam domain pemikiran dakwah, kemunculan corak pemikiran
moderat ini cukup menarik, 21 karena selama ini, selalu terjadi tarik menarik,
atau tepatnya dorong mendorong antara dua kubu ektrem kiri dan kanan.
Setiap kubu merasa benar dengan dirinya dan setiap kubu nyaris tidak
mampu melihat alternatif. Apalagi jika kemudian dakwah diidentikkan
dengan jihad dalam pengertian sempitnya, yakni perang. Pada tingkat ini,
pemikiran dakwah hampir senantiasa berorientasi pada kekerasan dan
ektremisme. 22
Islam menginginkan lahirnya Ummatan Wasathan, yaitu umat yang
benar-benar dapat tampil sebagai teladan bagi warga bangsa keseluruhannya.
(lihat Q.S. al-Baqarah: 143), Islam tampil sebagai “rahmatan li al-‘âlamin”.23
Prinsip ini telah diaplikasikan Rasulullah Saw dalam membangun masyarakat
Madinah di bawah panji “Madinah Charter” (Watsîqah Madinah: Piagam
Madinah), yang merupakan perjanjian luhur yang mengikat Yahudi,
Kristiani, dan Muslim . Karakter ini juga dikuatkan dengan risalah terakhir
dalam Islam yang disampaikan Nabi Saw dalam Haji Wadâ’. Dalam satu-
satunya ibadah haji yang pernah dilakukan Rasulullah semasa hidup tersebut,
beliau berpesan kepada seluruh umat manusia untuk selalu menghormati
kehormatan dan hak-hak seseorang, mengangkat kehormatan wanita,
menghindarkan pertumpahan darah dan seterusnya. Inti Khutbah perpisahan
Nabi Saw kalau kita aktualisasikan saat ini, bahwa ke-Islaman seseorang
belumlah sempurna tanpa pelaksanaan hak-hak asasi manusia di muka
bumi. 24
Agama-agama di bumi juga tidak terlapas dari misi pengayoman
terhadap seluruh umat manusia (rahmatan li al’âlamin). Misi ini dalam Islam
terakumulasi dalam lima prinsip Universal Kulliyat al-khams. Dalam lintas

20
Didin Solehuddin, Kajian Dakwah, h. 5
21
Hal ini menarik bukan karena merupakan kecenderungan baru, sebab arus
moderasi dalam tradisi dakwah justru merupakan Mainstream sejarah dakwah, melainkan
menarik karena pola moderasinya yang unik dan lebih merupakan perpaduan unsur inti dari
dua kubu ekstrem.
22
Didin Solehuddin, Kajian Dakwah, h. 5
23
Misi ini dalam Islam terakumulasi dalam lima prinsip universal (kulliyatul
khams), yakni menjamin kebebasan beragama (hifzh ad-dîn), memelihara nyawa (hifzh an-
nafs), menjaga keturunan dan profesi (hifzh an-nasl wa al-‘irdl), menjamin kebebasan
berekspresi dan berserikat (hifzh al-‘aql) dan memelihara harta benda (hifzh al-mâl).
24
Said Aqil Siraj, Islam Kebangsaan, Fikih Demokratif Kaum Santri, (Jakarta:
Fatma Press, 1998), h. 194.
8

sejarah, tercermin pada bangunan komunitas masyarakat Madinah (Yatsrib)


yang dipimpin Nabi saw. Pranata sosial yang dibangun Nabi saw saat itu
sungguh pun mayoritas muslim, justru memakai perjanjian bersama di bawah
payung “Piagam Madinah”. Dalam piagam yang memuat 47 pasal itu, sekali-
kali tidak pernah disinggung kata Islam dan Al-Qur’an. Piagam itu hanya
memuat kesepakatan antara etnis migran (Muhâjirîn), etnis pribumi/Madinah
(Anshâr) meliputi ras suku Aus, khazraj, Qoinuqa, Nadlir, dan Quraidhah,
dengan background keyakinan Yahudi, Nasrani, Islam dan Musyrik. Sejarah
juga mencatat, bahwa masyarakat di berbagai penjuru dunia, saat itu sangat
simpati dengan kedatangan Islam dan Rasul terakhir. Kezaliman yang
menimpa masyarakat Mekkah maupun lainnya, baik yang disebabkan
deskriminasi rasial maupun pemerkosaan hak-hak menantikan kedatangan
misi Islam yang dikenal sebagai agama penegak keadilan, penghapus
deskriminasi ras serta pengangkat derajat kemanusiaan. Masuknya Islam ke
pulau Jawa pun tidak terlepas dari kisah tadi. Masyarakat Jawa pada abad ke-
12 dan ke-13 Miladi telah muak dengan tindak kezaliman para pengausa,
sehingga mencari pengayom dari kekuatan yang mampu mengimbangi para
raja. Maka dikenallah Para Wali (Wali Songo) yang membawa misi-misi
sangat toleran dan egaliterian. 25
Di jawa, peran Islamisasi ada pada tangan sembilan orang suci yang
lebih dikenal sebagai Wali Sanga. Kegiatan-kegiatan mereka dalam
mengislamkan raja-raja atau penguasa dan masyarakat Jawa, khususnya di
wilayah pantai utara, sering kali dituturkan oleh hikayat, sejarah dan tradisi
lokal. Di antara ke sembilan wali, Sunan Kali Jaga selalu disebut peranannya
dalam proses Islamisasi lewat perangainya yang terpuji dengan pendekatan
budaya yang ia lakukan. Merujuk pada legenda, ia memperkenalkan Islam
dengan pertunjukan wayang, memainkan gamelan dan sebagainya. 26
Dalam dakwah Islam, Wali Songo melakukan sebuah pendekatan
kebudayaan, 27 dimana ketika itu masyarakat pribumi sudah terlebih dahulu
memiliki sifat local primitive. Ada atau tidak adanya agama, masyarakat akan
terus hidup dengan pedoman yang telah mereka miliki tersebut. Jadi dapat
dikatakan bahwa datangnya Islam ke Nusantara ini diidentikkan dengan
datangnya suatu kebudayaan yang baru yang kelak akan berinteraksi dengan
25
Said Aqil Siraj, Islam Kebangsaan, Fikih Demokratif Kaum Santri, h. 194.
26
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), h.
28
27
Makna kebudayaan yang lebih luas dapat dilihat pada pendapat E.B. Tylor yaitu:
suatu yang komplek yang mencakup pengetahuan, moral, hukum adat istiadat, kesenian dan
kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan yang dapat dilakukan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat”.
9

budaya lama dan tidak menutup kemungkinan budaya lama juga akan ter-
hapus oleh budaya yang baru. 28
Dalam teori Resepsi dikatakan bahwa suatu hukum dapat diberlaku-
kan manakala sudah diterima dengan hukum adat yang telah berlaku se-
belumnya tanpa adanya pertentangan. 29 Dari teori Resepsi inilah dapat
diasumsikan bahwa agama akan mudah diterima oleh masyarakat apabila
ajarannya tersebut tidak bertentangan serta memiliki kesamaan dengan
kebudayaan masyarakat, sebaliknya agama akan ditolak masyarakat apabila
kebudayaan masyarakat berbeda dengan ajaran agama. 30
Diterimanya agama dengan demikian, kebudayaan suatu masyarakat
akan sangat dipengaruhi oleh agama yang mereka peluk. Ketika agama telah
diterima dalam masyarakat, maka dengan sendirinya agama tersebut akan
mengubah struktur kebudayaan masyarakat tersebut. Perubahan tersebut bisa
bersifat mendasar (asimilasi) 31 dan dapat pula hanya mengubah unsur-unsur-
nya saja (akulturasi). 32
Asimilasi terjadi apabila masing-masing kelompok memiliki sifat
toleransi dan simpati dengan yang lainnya. Sunan kali Jaga misalnya, seorang
tokoh Wali Songo yang berhasil membangun budaya baru di tanah Jawa,
dengan memadukan antara unsur-unsur Islam dengan unsur-unsur Jawa. Hal
tersebut dapat kita saksikan dari perkembangan Islam di Jawa yang berbeda
dengan Islam di tanah kelahirannya yaitu Arab. Contoh bentuk Asimilasi
antara Islam dengan Jawa Islam yang membawa paham monoteisme lambat
laun mengikis habis kepercayaan lokal yang cenderung meyakini adanya
dewa dan “Danyang Desa” yang diekspresikan dalam bentuk upacara ke-
agamaan lokal seperti besi arca, Nyadran, Tingkepan dan sebagainya. Sampai

28
Lebba Kadorre Pongsibane, Islam dan Budaya Lokal: Mazhab Ciputat, (Ciputat:
Semanggi 2013), h.10
29
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta:
Candra Pratama), h. 285
30
Lebba Kadorre Pongsibane, Islam dan Budaya Lokal, h. 10
31
Asimilasi adalah, perpaduan dari dua kebudayaan atau lebih, kemudian menjadi
satu kebudayaan baru tanpa adanya unsur-unsur paksaan. Asimilasi adalah proses sosial yang
timbul bila ada kelompok-kelompok masyarakat yang berlatar kebudayaan yang berbeda
saling bergaul secara intensif dalam waktu yang lama sehingga masing-masing kebudayaan
tadi berubah bentuknya dan membentuk kebudayaan baru.
32
Akulturasi menurut menurut kamus antropologi (Aryono, 1985) adalah
pengambilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang saling ber-
hubungan atau saling bertemu. Konsep akulturasi terkait dengan proses sosial yang timbul
bila satu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan kebudayaan
asing, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima atau ditolak dalam
kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
10

saat ini kegiatan tersebut masih dijalankan, hanya saja isinya sudah mengan-
dung unsur-unsur keislaman. 33
Dalam konsep Akulturasi, Islam diposisikan sebagai “kebudayaan
Asing” dan masyarakat sebagai lokal yang menjadi penerima kebudayaan
asing tersebut, misalnya masyarakat Jawa yang memiliki tradisi “Slametan”
yang cukup kuat, ketika Islam datang maka tradisi tersebut masih tetap jalan
dengan mengambil unsur Islam terutama dalam doa-doa yang dibaca. Wadah
Slametan tetap ada, tetapi isinya mengambil ajaran Islam. 34
Banyaknya fanatisme kebudayaan yang melekat di tubuh umat Islam
Indonesia tentunya menciptakan “keunikan” tersendiri bagi agama Islam. Hal
ini terlihat dari beberapa kegiatan keagamaan serta muamalah yang dilaku-
kan oleh masyarakat kita di berbagai daerah dan pada tiap-tiap daerah mem-
punyai beragam kegiatan lokalistik yang bermuatan keislaman yang berbeda-
beda. 35
Dalam kenyataanya, para Wali telah merumuskan strategi dakwah
atau strategi kebudayaan secara lebih sistematis, terutama menghadapi
kebudayaan Jawa dan Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat
dan sangat mapan. Mereka memperkenalkan Islam tidak serta merta, tidak
dengan cara instan. 36
Strategi para wali dalam mengembangkan ajaran Islam di bumi
Nusantara dimulai dengan beberapa langkah strategis. Pertama, tadrij (ber-
tahap), yang kedua, ‘adam al-haraj (tidak menyakiti). Para wali membawa
Islam tidak dengan mengusik tradisi mereka, bahkan tidak mengusik agama
dan kepercayaan mereka, tapi memperkuatnya dengan cara yang Islami.
Dalam strategi dakwah yang digunakan, para Wali mengajarkan
agama dalam berbagai bentuk, dalam dunia pesantren diterapkan fiqh al-
ahkâm, 37 dalam ranah masyarakat, diterapkan fiqh ad-dakwah, 38 dan yang
tertinggi adalah fiqh al-hikmah. 39 Melalui strategi ini, ajaran Islam bisa

33
Lebba Kadorre Pongsibane, Islam dan Budaya lokal, h. 12
34
Lebba Kadorre Pongsibane, Islam dan Budaya lokal, h. 11
35
Lebba Kadorre Pongsibane, Islam dan Budaya lokal, h. 13
36
Agus Sunyoto, Wali Songo, Rekonstruksi Sejarah yang Tersingkirkan..., h. 3
37
Fiqh al-ahkâm untuk mengenal dan menerapkan norma-norma keislaman secara
ketat dan mendalam, agar mereka menjadi muslim yang taat dan konsekuen.
38
Melalui fiqh ad-dakwah, ajaran Islam diterapkan secara lentur, sesuai dengan
kondisi masyarakat dan tingkat pendidikan mereka.
39
Yang tertinggi adalah fiqh al-hikmah, yaitu dengan mengajak manusia dengan
penuh kebijaksanaan, sehingga ajaran Islam bisa diterima oleh semua kalangan, baik
11

diterima oleh semua kalangan, tidak hanya kalangan awam, tetapi juga
kalangan bangsawan, termasuk diterima oleh kalangan rohaniwan Hindu dan
Budha serta kepercayaan lainnya.
Bagi Masyarakat Muslim Indonesia, Wali Songo dipandang sebagai
kelompok dari sejumlah besar mubaligh Islam yang bertugas mengadakan
dakwah Islam di daerah-daerah yang belum memeluk Islam di Jawa. 40
Said Agil Siraj, dalam pengantar buku “Wali Songo: Rekonstruksi
sejarah yang disingkirkan” yang ditulis oleh Agus Sunyoto, beliau mengata-
kan bahwa Wali Songo sebagai tokoh sejarah yang layak untuk diteladani
perilaku pribadinya, semangat juangnya, serta strategi dakwahnya.
Hadirnya Islam modernis yang mempunyai misi khusus memurnikan
Islam, dengan sendirinya menjadikan pengikut, ajaran dan makam para Wali
sebagai sasaran utama penghujatan. Sebagai penerus ajaran Wali Songo, NU
tampil untuk mempertahankan tradisi ini dengan resiko besar, baik secara
teologis maupun ideologis. 41
Wali Songo membawa ajaran Ahlusunah Waljama’ah, sehingga cocok
dengan kondisi bangsa Indonesia yang majemuk. Apalagi sejak awal Ahlus-
sunah Wal Jama’ah adalah madzhab yang mengajarkan kesejukan, mengem-
bangkan pemahaman yang sepakat untuk mendamaikan dunia keilmuan
dengan dunia politik serta spiritualitas guna membangun peradaban Islam.
Selain itu NU juga memilki sikap tawassuth (moderat), tawazun (seimbang),
dan tasamuh (toleran). Ketiganya merupakan prinsip jalan tengah yang di-
sebut oleh Al-Qur’an sebagai ummatan wasathan (masyarakat yang
moderat). Bentuk umat seperti itu oleh Al-Qur’an disebut sebagai khiru
ummah (sebaik-baik masyarakat).
Atas dasar inilah penulis merasa tertarik untuk menelaah dakwah
Wali Songo ditinjau dari perspektif Al-Qur’an, mengenai bagaimana gerakan
dakwah Wali Songo? bagaimana pendekatan serta metode dakwah Wali
Songo? bagaimana kontekstualisasi dakwah Wali Songo yang berkaitan
dengan nilai-nilai, tradisi, keragaman, asimilasi pendidikan, Islamisasi nilai-
nilai seni budaya, tradisi keagamaan Nusantara (khususnya Jawa) dan lain-
lain. Semua ini agar kiprah para Wali sebagai pemangku kebudayaan dan
guru suci di tengah masyarakat kerajaan, baik Hindu, Budha, maupun Islam

kalangan awam maupun kalangan bangsawan, termasuk diterima oleh kalangan rohaniawan
Hindu, Budha dan kepercayaan lainnya.
40
Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonsstruksi Sejarah Yang Tersingkirkan, (Jakarta:
Transhop Printing, 2011), h. 81
41
Said Aqil Siraj, dalam pengantar buku, Agus Sunyoto, Wali Songo, Rekonstruksi
Sejarah yang Tersingkirkan, h. xi.
12

tidak diabaikan terutama dalam menjalankan dakwahnya. Karena kiprah


Wali Songo diabaikan oleh para sejarawan. Mereka terfokus pada sejarah
para raja yang sudah kehilangan daya. Dalam sejarah Nasional, bukan tidak
pernah menyinggung adanya para Wali penyiar agama dan pembimbing para
raja atau sultan itu, tetapi mereka hanya sekedar selingan, dianggap tidak
memiliki peran signifikan. Bahkan, HJ. De Graaf dan TH. Pegeaud,
sejarawan Belanda dengan mengutip Tome Pires, musafir dari portugis yang
menulis tentang peran Sunan Giri, misalnya, tidak mengungkap perannya
sebagai seorang Wali (penyebar Islam), tapi lebih sebagai seorang raja di Giri
Kedaton. 42
Atas dasar inilah dan atas dasar latar belakang penulis yang telah
menjalankan pendidikan S1 di Fakultas Dakwah dan Komunikasi di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan S2 di Institut Ilmu Al-Qu’an penulis merasa
mantap untuk menulis Tesis yang diajukan sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Megister Agama dalam bidang Ilmu Agama dengan Judul
“Dakwah Wali Songo Ditinjau Dari Perspektif Al-Qur’an”. Mudah-
mudahan karya ini akan sangat bermanfaat untuk umat terutama untuk
aktifis-aktifis dakwah yang ingin menegakkan dakwah di Nusantara ini, agar
tetap menjadi da’i yang tetap sejuk di tengah masyarakat yang majemuk.

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini, identifikasi masalahnya adalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana kedudukan dakwah Dalam Islam?
b. Bagaimana keragaman gerakan-gerakan dakwah?
c. Bagaimana Paradigma Al-Qur’an tentang dakwah?
d. Bagaimana sejarah masuknya Islam dan perkembangannya di
Nusantara?
e. Bagaimana saluran atau jalur-jalur Islamisasi di Nusantara?
f. Bagaimana metode dan pendekatan dakwah Wali Songo di
tengah masyarakat yang sudah memiliki kepercayaan dan ke-
budayaan yang sudah tua dan mapan?

42
Said Aqil Siraj, dalam pengantar buku, Agus Sunyoto, Wali Songo, Rekonstruksi
Sejarah yang Tersingkirkan, h. xi
13

g. Bagaimana kontekstualisasi dari dakwah Wali Songo yang


mempengaruhi kegiatan keagamaan masyarakat Nusantara
(Jawa)?

2. Pembatasan Masalah
Berhubung karena identifikasi masalah dalam penelitian tesis ini
terlalu luas, maka peneliti membatasi masalahnya hanya seputar
sejarah masuknya Islam dan perkembangannya di Nusantara,
metode dan pendekatan dakwah Wali Songo ditinjau dari perspektif
Al-Qur’an dan kontekstualisasi dakwah Wali Songo.

3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah saluran atau jalur-jalur Islamisasi di Nusantara?
b. Bagaimanakah metode dan pendekatan dakwah Wali Songo?
c. Bagaimanakah dakwah Wali Songo ditinjau dari perspektif Al-
Qur’an?
d. Bagaimanakah kontekstualisasi dakwah Wali Songo?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Adapun tujuan dalam penulisan Tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Ingin mengetahui secara lebih dalam tentang bagaimana sejarah
masuknya Islam dan perkembangannya di Nusantara. paradigma
dakwah dalam Al-Qur’an.
2. Ingin mengetahui lebih dalam tentang metode dan pendekatan
dakwah Wali Songo sebagai penyebar Islam di Nusantara.
3. Ingin mengetahui kontekstualisasi dakwah Wali Songo yang
berkaitan dengan nilai-nilai dan tradisi keulamaan Nusantara,
keragaman paham kesufian Nusantara, asimilasi pendidikan Hindu-
Budha, Islamisasi nilai-nilai seni budaya Nusantara, tradisi ke-
agamaan, transvaluasi nilai-nilai menjadi Islam Nusantara, Islami-
sasi Kapitayan Hindu-Budha, dan pengembangan ajaran dan strategi
dakwah Wali Songo.
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat menambah
khazanah ilmiah tentang dakwah Wali Songo ditinjau dari perspektif Al-
Qur’an.
14

D. Kajian Pustaka yang Relevan


Penelitian ini menggunakan kajian pustaka, yaitu menelaah buku-
buku yang berkaitan dengan tema yang dibahas. Sumber primer antara lain:
1) Agus Sunyoto, Wali Songo, buku ini mengupas bagaimana peran dakwah
wali songo dalam proses Islamisasi di tanah Jawa dan kontekstualisasinya. 2)
Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah
Wali Songo; buku ini sedikit mendalam dalam menelaah metode dakwah
Wali songo namun dalam pandangan penulis buku ini tetap belum membahas
bagaimana dakwah wali songo ditinjau dari perspektif Al-Qur’an, dan 3)
Ridin Sofwan, et.al., Islamisasi di Jawa: Wali Songo, Penyebaran Islam di
Jawa Menurut Penuturan Babad. Buku ini juga sama belum membahas
secara spesifik baagaimana dakwah wali songo ditinjau dari perspektif Al-
Qur’an Sedangkan sumber sekunder, antara lain: 1) Solichin Salam, Wali
Sanga Dalam Perspektif Sejarah, dan 2) Kisah Walisongo: Penyebaran Islam
di Tanah Jawa.
Buku-buku tersebut saling melengkapi satu sama lain, namun dalam
buku-buku tersebut tidak dijabarkan secara spesifik tentang bagaimana
dakwah wali songo ditinjau dari perspektif Al-Qur’an. Untuk mendukung
kajian ini, maka penulis juga menelaah kitab-kitab tafsir baik klasik maupun
yang kontemporer yang berkaitan dengan pembahasan ayat-ayat yang
berkesesuaian dan berkaitan dengan metode dan gerakan dakwah Wali
Songo, meliputi sumber primer, antara lain: Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-
Misbah, dan sumber sekunder, antara lain: Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir Al-
Azhar.
Selain itu, penulis juga menganggap penting untuk melengkapi kajian
pustaka yang berkaitan dengan arkeologi dan sejarah peradaban Islam :
seperti buku yang berjudul “Arkeologi Islam Nusantara” yang ditulis oleh
Uka Tjandrasasmita, dan buku “Sejarah Peradaban Islam” yang ditulis oleh
Drs. Syamsul Munir Amin, MA dan buku-buku yang berkaitan dengan
masalah dakwah, antara lain: Asep Muhyidin, dkk, Kajian Dakwah
Multiperspektif: Teori, Metodologi, Problem, dan Aplikasi, dan sumber
sekunder, antara lain: Kustadi Suhandang, Ilmu Dakwah, dan Wahyu Ilahi,
Komunikasi Dakwah. Oleh karena itu, penulis menilai kajian ini jelas akan
berbeda dengan dengan kajian-kajian yang sudah ada.

E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian dalam penulisan tesis ini menggunakan metode
tafsir maudhû’î yaitu mengumpulkan dan menelaah ayat-ayat Al-Qur’an
15

dalam kaitannya dengan konsep dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo.
Di dalamnya terdiri dari 3 (tiga) unsur, yakni pendekatan penelitian, teknik
penelitian, dan teknik penulisan.
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analisis, yaitu
mendeskripsikan penelitian dengan menggunakan metode “menelaah”.
Pendekatan deskriptif kualitatif juga merupakan prosedur penelitian
dengan cara melakukan penelaahan terhadap beberapa literatur atau
naskah yang dihubungkan dengan fenomena sosial dengan cara melaku-
kan interpretasi, verifikasi, jeneralisasi dan kesimpulan. 43 Dari pene-
laahan tersebut akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis. 44
2. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Metode penelitian dalam penulisan tesis ini adalah riset kepustakaan
(library research) dengan cara mengumpulkan dan mengkaji bahan-
bahan tertulis seperti Al-Qur’an dan Hadis, buku, majalah, surat kabar,
makalah dan bahan-bahan tertulis yang memuat dan ada kaitannya
dengan tema dan judul penelitian.
Teknik Penulisan dan penyusunan tesis ini berpedoman kepada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis IIQ, Jakarta, 2011”.

F. Sistematika Penulisan
Dalam pembahasan tesis ini akan disitematisasikan menjadi 5 (lima)
bab yang terdiri dari bab I, bab II, bab III, bab IV dan bab V.
Bab I, berisi: Pendahuluan, yang di dalamnya akan dibahas latar
belakang masalah yaitu penjabaran tentang dasar-dasar yang melatar-
belakangi munculnya sebuah penelitian, Permasalahan; identifikasi masalah,
pembatasan masalah, dan perumusan masalah, Tujuan dan Kegunaan
Penelitian, yang memuat tentang tujuan yang ingin dicapai dan yang di-
harapkan dalam penelitian ini, Kajian Pustaka, Metode Penelitian, Sistema-
tika penulisan, yang berisi tentang penjabaran dari keseluruhan bab
penelitian.

43
Norman K. Denzin dan Yvonna, (ed), Handbook of Kualitatif Research, (London:
Sage Publikations, 1994), h. 1.
44
Tylor dan J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Karya,
1983), h. 3.
16

Bab II, berisi tentang Paradigma Dakwah dalam Al-Qur’an, yang


meliputi: Istilah Dakwah, Posisi Perintah Dakwah, Rahasia Perintah Dakwah,
Kaidah-Kaidah Dakwah, Esensi Dakwah, dan Arah serta Tujuan dakwah
Dalam Al-Qur’an.
Bab III, berisi tentang Nusantara (Jawa), tentang Wali Songo, yang
meliputi Gerakan, Pendekatan, dan Metode Dakwahnya.
Bab IV, Berisi tentang Kontekstualisasi Dakwah Wali Songo.
Bab V, Penutup yang di dalamnya berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpul-
kan sebagai berikut:
1. Konsep dakwah Wali Songo sangat bersifat persuasif. Hal ini dapat
diketahui, melalui dakwahnya, selain mengamanatkan nilai-nilaiyang
bersifat mendasar, universal dan abadi, dan ada juga yang bersifat
praksis, lokal, dan temporal, sehingga dapat berbeda antara satu
tempat/waktu dengan tempat/waktu yang lain. Dalam pandangan Wali
Songo, perbedaan, perubahan, dan perkembangan nilai itu dapat diterima
oleh Islam selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal.
Dengan kata lain, nilai-nilai ilahi tidak boleh dipaksakan, tetapi
disampaikan secara persuasif dalam bentuk pendekatan dan ajakan yang
baik.
2. Islam mengajarkan pengikutnya, khususnya para da‘i untuk beraktifitas
dakwah dengan metode dan strategi yang baik. Hal ini seperti terdapat
dalam QS. an-Nahlayat 125, yang memerintahkan untuk mengajak
manusia ke jalan Allah dengan cara yang bijaksana, nasihat yang baik,
serta kalaupun harus berdebat, maka harus berdebat dengan cara yang
lebih baik.Dakwah Wali Songo yang senantiasa mengedepankan metode
dan stretegi dakwahnya yang baik sangat sesuai dengan pandangan Al-
Qur’an.
3. Kehadiran Wali Songo di tengah-tengah masyarakat Jawa pada masanya
dengan membawa ajaran Islam, tidak dianggap membawa ajaran baru
yang mudah diterima masyarakat. Para Wali Songo hadir berhadapan
dengan masyarakat yang telah memiliki tradisi, kebudayaan dan
ajaran/agama yang telah lama mereka anut. Melihat realitas ini, maka
Wali Songo mengambil jalan dakwah dengan cara bijaksana, dengan
cara mengakomodasi realita yang telah ada di masyarakat. Dengan kata
lain, dakwah Wali Songo tidak begitu saja mengabaikan konteks budaya,
ajaran, dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat
Jawa pada saat itu. Hal ini, di antaranya dapat dilihat dengan;
a. Penggunaan simbol-simbol seni dan budaya, dengan tidak lupa me-
masukkan nilai-nilai Islam sebagai upaya mengajak masyarakat agar
masuk dan mengikuti ajaran Islam.

153
154

b. Proses Islamisasi dakwah Islam melalui pengambilalihan sistem pen-


didikan lokal berciri Hindu-Budha dan Kapitayan seperti dukuh,
asrama, padepokan, menjadi lembaga pendidikan Islam yang disebut
“Pondok Pesantren”.
c. Proses Islamisasi tradisi, adat istiadat dan kepercayaan masyarakat
yang telah melekat kuat, seperti; kebiasaan samadhi sebagai puji
mengheningkan cipta diubah menjadi shalat wajib, kebiasaan sesaji
dan ketutug diubah menjadi pemberian shadaqah.
B. Saran-Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka untuk melengkapi penelitian
ini, penulis ingin mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi para da‘i hendaknya meneladani perjuangan Wali Songo dalam
melakukan dakwah Islam yang tak kenal lelah, dan melakukan dakwah-
nya secara persuasif, dan memberikan keteladanan.
2. Kepada kalangan akademisi, intelektual dan alim ulama hendaknya turut
berpartisipasi secara optimal untuk memikirkan tentang metode dan pen-
dekatan dakwah yang integral, prospektif dan inovatif, mengingat masih
adanya kekosongan antara dakwah dalam tataran konseptual dengan
dakwah dalam tataran sosial.
3. Kepada pemerintah hendaknya terus membina dan mengembangkan
berbagai upaya pelaksanaan dakwah baik secara personal, sosial maupun
institusional, karena kegiatan dakwah merupakan kegiatan yang dapat
mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku seseorang atau kolektif
kearah yang dicita-citakan oleh agama, bangsa dan negara yakni masya-
rakat yang sejahtera, penuh perdamaian, bahagia lahir dan batin.
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad, Tafsir Juz ‘Amma, Beirut: Dar al-Qahirah


Abdul Muin, Tahir, Ikhtisar Tauhid, Bandung: Pustaka Pelita, 1953.
Abu Bakar, Syaikh, Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar, Jakarta: Darus Sunnah, 2011.
Aceh, Abubakar, Potret Dakwah Muhammad Saw. dan Para Sahabatnya,
Solo: Ramadhani, 1986
Achmad, Ali, Menguak Tabir Hukum, Kajian Filosofis dan Sosiologis,
Jakarta: Candra Pratama
Akaha, Abu Zulfidar, 160 kebiasaan Nabi, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2002.
Amin, M. Masyhur, Metode Dakwah Islam dan Beberapa Keputusan
Pemerintah tentang Kreatifitas Keagamaan, Yogyakarta:
Sumbangsih, 1980.
Amin, Samsul Munir, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, Cet. ke-2, 2013.
Amrullah, Ahmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Prima
Duta, 1988.
Anwar, Hamdani. Mimbar Agama dan Budaya
Arifin, H.M., Psikologi Dakwah; Suatu Pengantar Study, Jakarta: Bina
Aksara, 2000
Aripudin, Acep, Dakwah Antar Budaya, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2012.
Asy’ari, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an,
Yogyakarta: LSAF, 1998
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer
Baqi’, Muhammad Abdul, Al-Mu’jam al-Mufahrash li al-Alfazh Al-Qur’an,
Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah
Baso, Ahmad, “Agama NU” untuk NKRI, Jakarta: Pustaka Afid, 2013
Budiman, Amen, Wali Sanga Antara Legenda dan Fakta Sejarah, Semarang:
Tanjung Sari, 1982.
Denzin, Norman K., dan Yvonna (ed.), Handbook of Kualitatif Research,
London: Sage Publications, 1994
Djajadiningrat, Husain, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, 1983.
El Fadl, Khaled Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan
Esposito, John L., “Contemporary Islam; Reformation or Revolution” dalam
The Oxford History of Islam, Oxford: Oxford University Press, 2001
Fadlullah, Muhammad Husain, Uslub Da’wah fi Al-Qur’an
Gazali, Syaikh, “Baina al-I’tidal wa Tatarruf” dalam as-Shafwah al-
Islamiyah Ru’yah Naqdiyyah Min ad-Dakhil, Mesir: Al Nasyir li al-
Tiba’ah wa al-Nasyr wa at-Tauzi wa al-I’ilan, 1990
Gazali, Syaikh at-Thariq min Huna, Damaskus: Dar al-Qalam, 1996
Geertz, Clifford, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj.
Aswab Mahasin, Jakarta: Pustaka Jawa, 1981.
------------, Clifford, Islam yang Saya Amati; Perkembangan di Maroko dan
Indonesia, terj. Bur Rasuato, dkk, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1982
------------, The Religion of Java, New York: The Free Press, 1960.
George, Robert Lioyd, The East-West Pendulum, Cambridge: Woodhead-
Fualkner Ltd., 1992
Gulen, Fathullah, Dakwah: Jalan terbaik dalam Berfikir dan Menyikapi
Hidup
Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990.
------------, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987
Hasjmy, A., Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang,
1984
Helmy, Masadar, Peranan Dakwah Islam dalam Pembinaan Umat, Panitia
Dies Natalis IAIN Wali Songo Semarang, 1971.
Hutomo, Suripan Sadi, Sinkretisme Jawa Islam, Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 2001.
Ibnu Taimiyah, Majmu al-Fatawa, Juz 15, Riyadh: Mathabi al-Riyadh, 1985
Ilahi, Wahyu, Komuniksi Dakwah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Imarah, M., Al-Islam wa al-‘Amnu al-Ijtima’i, Kairo: Dar al-Syuruk, 1418
H/1998 M
Jumu’ah, Ali, Menjawab Dakwah Kaum Salafi, Jakarta: Khatulistiwa Press,
2013.
Kafie, Jamaluddin, Psikologi Dakwah, Surabaya: PT. Indah, 1993
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 1999.
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet di Indonesia, Jakarta: Gramedia,
1984
Kordinasi Dakwah Islam (KODI) DKI Jakarta, Adab dan Akhlak Mubaligh,
Jakarta: KODI, 1990.
Madjid, Nurcholis, Islam dan Peradaban, Bandung: Mizan, 1992
------------, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1997.
Mahfoed, Ki Ali, Filsafat Dakwah, Ilmu Dakwah dan Penerapannya,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Mahfuz, Syeikh Ali, Hidayat Al-Mustarsyidin, Terj. Chodijah, Yogyakarta:
Tiga Aksari, 1970.
Maraghi, al, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, Beirut: Dar al-Fikr, 1974.
Masy’ari, Anwar, Study Tentang Ilmu Dakwah, Surabaya: Bina Ilmu, 1981.
Maududi, al, Abu ‘Ala, Petunjuk Untuk Dakwah, Jakarta: Media Dakwah,
1982.
Muhdi, Nazar, Intelektual Dakwah Prof. Dr. Hamka, Jakarta: PT.Metro Pos,
2012
Muhtarom, Zaini, Dasar-Dasar Manajemen Dakwah, Yogyakarta: Al-Amin
Press, 1996.
Muhyiddin, Asep, et.al., Kajian Dakwah Multiperspektif: Teori, Metodologi,
Problem, dan Aplikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014
Munawwir, Warson, Kamus Al-Munawir, Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1994.
Muriah, Siti, Metodologi Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2000.
Murtofo, Ali, Strategi Kebudayaan, Jakarta: CSIS, 1971.
Nasution, Harun, Pembaruan dalam Islam; Sejarah, Pemikiran, dan
Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Natsir, M., “Fungsi Dakwah Perjuangan” dalam Abdul Munir Mulkhan,
Ideologisasi Gerakan Dakwah, Yogyakarta: Sipres, 1996
Nur, Farid Ma’ruf, Dinamika dan Akhlak Dakwah, Surabaya: Bina Ilmu,
1981
Poerbatjaraka, Babad Demak
Pongsibanne, Lebba Kadorre, Islam dan Kebudayaan Lokal: MC/Madzhab
Ciputat: Semanggi Ciputat, 2013.
Qardhawi, Yusuf, Membedah Islam Ekstrem, terj. Alwi A.M atas as-Shafwah
al-Islamiyah Bain al-Juhud wa at-Tatarruf, Bandung: Mizan, 2001,
Cet. IX
------------, Fatawa Mu’ashirah; Fatwa-fatwa Mutakhir
------------, Fiqih Ikhtilaf, Bandung: Mizan, 2003
Qutub, Sayyid, Tafsir Fii Zhilal Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2000.
Rahimsyah, Kisah Wali Songo: Penyebaran Islam di Tanah Jawa, Surabaya:
Amelia Coputindo, 2003.
Sabirin, Rahimi, Islam dan Radikalisme, Jakarta: Ar-Rasyid, 2004.
Saksono, Wiji, Mengislamkan Tanah Jawa, Telaah Atas Metode Dakwah
Wali Songo, Bandung: Mizan, 1996.
Salam, Solihin, Wali Sanga dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: Kuning Mas,
1989.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2001
------------, Tafsir Al-Misbah, Ciputat: Lentera Hati, 2000
Sholehuddin, Didin, Kajian Dakwah Multiperspektif; Radikalisme Islam di
Indonesia Suatu Tantangan Dakwah, Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya
Siddik, Syamsuri, Himpunan Dakwah Pembangunan, Bandung: MGS, 1994.
Siraj, Said Aqil, Islam Kebangsaan, Fikih Demokrasi Kaum Santri, Jakarta:
Fatma Press, 1998
Sofwan, Ridin, et.al., Islamisasi di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I,
2000.
Subhan, Arif, Tafsir Yang Membumi.
Suhandang, Kustadi, Ilmu Dakwah Perspektif Komunikasi, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2013.
Sukmono, R., dan Tjan Tjoe Siem, Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia, Yogyakarta: 1980.
Sunyoto, Agus, Wali Songo, Rekonstruksi Sejarah Yang Tersingkirkan,
Jakarta: Transhop Printing, 2011.
------------, Sejarah Perjuangan Sunan Ampel, Surabaya: LPLI Sunan Ampel,
t.th.
Surahman Hidayat, KH, Islam Pluralisme dan Perdamaian, Jakarta: Fikr,
2008.
Suryanegara, Ahmad Mansur, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan
Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995.
Suwaidi, Fahmi dan Abu Aman, Ensiklopedi Syirik dan Bid’ah Jawa, Solo:
Aqwam, 2011
Syaikh Al-Gazali, Ad-Da’wah al-Islamiyyah Tastaqbil Qarnaha al-Khamis
‘Asyar
Syamsu As, Muhammad, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan
Sekitarnya, Jakarta: Lentera, 1996.
Syihabuddin, Terjemah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1, Bandung:
Gema Insani Press, Cet. 5, 2002.
Syukir, Asmuni, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Al-Ikhlas, 1983.
Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, Jakarta: GMp, 1997.
Taufiq, Abdullah, Islam dan Masyarakat: Panutan Sejarah Indonesia,
Jakarta: LP3ES, 1996.
Tylor dan J. Meleong, Metode Penelitiam Kualitatif, Bandung: Remaja
Karya, 1983.
Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Kita, Islam Anda; Agama Masyarakat
Modern, Jakarta: The Wahid Institut, 2006.
------------, Pergaulan Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok: Desantara,
2011.
Watt, William Montgomery, Muhammad Prophet and Statement, George
Unwim, 1974
Wildan, Dadan, Sunan Gunung Jati, Ciputat: Salima CV. Sapta Harapan,
2012.
Woodward, Mark R., Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan,
Yogyakarta: Lkis. 1999.
Ya’qub, Ali Mustafa, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1997.
Ya’qub, Hamzah, Publistik Islam; Teknik Dakwah dan Leadership, Bandung:
CV. Diponegoro, 1986
Yakin, Fathi, Robohnya Dakwah di Tangan Da’i, Solo: PT Era Edicitra Inter
Media, 2011.
Yakub, Hamzah, Publistik Islam, Teknik Dakwah dan Leadership, Bandung:
CV. Diponegoro, 1986.
Zaidan, Abdul Karim, Ushul Ad-Da’wah, Bagdad: Maktabah Al-Manar,
1981.

Anda mungkin juga menyukai