TESIS
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Magister Agama dalam Bidang Ilmu Agama Islam
Oleh :
Nanang Saeroji
NIM. 207410.303
TESIS
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Magister Agama dalam Bidang Ilmu Agama Islam
Oleh :
Nanang Saeroji
NIM. 207410.303
Di bawah bimbingan,
Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA. Dr. Hj. Sri Mulyati, MA.
Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA. Dr. Hj. Sri Mulyati, MA.
Tanggal: Agustus 2015 Tanggal: Agustus 2015
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Direktur Program
ii
PERNYATAAN TERTULIS
Nanang Saeroji
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Swt, berkat karunia dan nikmat-Nya,
penulisan Tesis dengan judul: “Dakwah Wali Songo Ditinjau Dari Perspektif
Al-Qur’an” telah diselesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah sukses mengemban misi
dakwah Islam, sehingga kita menjadi bagian dari umat beliau, yang
senantiasa istiqamah mengikuti ajaran beliau, amin.
Penulis sangat bersyukur karena akhirnya dapat menyelesaikan Tesis
ini, meskipun sedikit terlambat dan tidak sedikit kendala yang penulis hadapi.
Tentu hal ini, selain dari kemurahan Allah Swt., juga karena banyaknya
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Prof. Dr. Hj. Huzaimah
Tahido Yanggo, MA.
2. Direktur Pasca Sarjana Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Dr. KH.
Ahmad Munif Suratmaputra, MA.
3. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA, selaku Pembimbing I,
dan Ibu Dr. Hj. Sri Mulyati, MA, selaku Pembimbing II. Dalam pan-
dangan penulis, kedua pembimbing tersebut merupakan pembimbing
terbaik yang telah sabar dan memberikan kemudahan penulis, bahkan
tidak jarang memberikan motivasi sehingga penulis bisa menyelesaikan
tugas akademik ini.
4. Kedua orangtua penulis, bapak Sadzali (Angende), dan ibu Siti Rokayah
(Angilik), yang senantiasa memberikan bantuan, dukungan dan doa
kepada penulis.
5. Keluarga kecil penulis; istri penulis, Siti Sholihah (Tika), anak-anak
penulis, Aulia Ummu Aqeela dan Elfath Rizka Maula. Mereka adalah
belahan jiwa, buah hati, sumber inspirasi dan motivasi, yang senantiasa
menguatkan penulis dalam menahkodai kehidupan ini.
6. Adik-adik penulis juga adik istri; Lisa’adah, Sri Ratna Sugiarti, Ibnu
Sa’dullah, Fathurrahman, Afni Fauziyah, Silvi Maulida, Agung Wahyudi,
Agus Firmansyah, dan Fahmi Nabiyin. Mereka merupakan adik-adik
yang baik dan menyenangkan, sehingga penulis merasa termotivasi
untuk sukses dalam segala aktifitas.
iv
7. Guru-guru penulis, terutama KH. Hasan Ma’mun, pengasuh Pondok
Pesantren Nurul Huda, Munjul Astana Japura Cirebon, dan KH. Usamah
Mansur, pengasuh Pondok Pesantren An-Nasuha, Kalimukti Pabedilan
Cirebon. Keduanya – juga guru lain – merupakan guru-guru istimewa
penulis, dan penulis sangat berhutang budi karena kebaikan mereka,
utamanya saat penulis di Ponpes tersebut.
8. Keluarga Besar Pengurus Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, khususnya bapak H. Syarif Muhsin al-Hadar (Habib Muhsin).
9. Keluarga Besar Pengurus Masjid Al-Falah, Taman Bona Indah, Jakarta,
terutama bapak Farial Anwar, H. Aya Sofia, dan H. Syamsir Alam Lubis.
10. Seluruh Civitas Akademika Program Pasca Sarjana Istitut Ilmu Al-
Qur’an (IIQ) Jakarta, terutama teman-teman seperjuangan dan para
dosen yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan dan wawasan
yang tidak terhingga nilainya.
11. Semua pihak yang karena keterbatasan, tidak bisa disebutkan satu per
satu. Bagi penulis, mereka sangat berjasa, baik saat penulis menye-
lesaikan kuliah ini maupun dalam keseluruhan interaksi selama ini.
Penulis berdoa, semoga amal baik semua pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan Tesis ini dicatat sebagai amal ibadah dan
mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda oleh Allah SWT. Hanya kepada
Allah Swt. penulis memohon taufiq dan hidayah-Nya.
Penulis berharap, mudah-mudahan karya ilmiah ini bermanfaat, bukan
saja bagi penulis, tetapi juga pembaca sebagai tambahan pengetahuan dan
wawasan. Akhirnya, seperti kata pepatah “Tak ada gading yang tak retak”,
maka penulis mengharapkan adanya masukan, kritik dan saran yang bersifat
membangun, guna menyempurnakan tulisan ini.
Penulis
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan
2. Vokal
Vokal Tunggal Vokal Panjang Vokal Rangkap
Fathah : a أ: â ...يْ : ai
Kasrah : i ي: î ...ْ ﻭ: au
Dhammah : u و: û
3. Kata sandang
a. Kata sandang yang diikuti الqamariyah
Kata sandang yang diikuti oleh الqamariyah, ditransliterasikan
sesuai dengan hurufnya, yaitu huruf ( لel) diganti dengan huruf
yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.
Contoh: اﻟﺒﻘﺮة: al-Baqarah ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ: al-Madinah
b. Kata sandang yang diikuti الsyamsiyah
Kata sandang yang diikuti oleh الsyamsiyah, ditransliterasikan
sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan
bunyinya.
Contoh: اﻟﺮﺟﻞ: ar-Rojul اﻟﺴﻴﺪة: as-Sayyidah
اﻟﺸﻤﺲ: asy-syamsu ﺍﻟﺪﺍﺭﻣﻲ: ad-Dârimî
vi
ABSTRAK
Berbagai perbedaan mengenai kapan terjadinya kedatangan dan
penyebaran Islam di Nusantara apakah di abad ke- 7 M atau di abad ke-13 M
maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa abad ke-7 M sebagai awal
kedatangan Islam, sedang abad ke-13 M adalah penyebaran dan
pengembangan Islam secara besar-besaran.
Proses Islamisasi itu bermula dari pesisir yang merupan tempat lalu
lintasnya pelayaran dan perdagangan pedagang-pedagang muslim dan
kemudian proses Islamisasi itu sampai kepedalaman, mengingat masih
banyak penduduk pedalaman yang masih menganut animisme dan dinamisme
dan banyak pula yang menganut agama Hindu dan Budha, di samping itu
karena terjadinya hubungan timbal balik anatara masyarakat pesisir yang
kebanyakan dari penduduknya sebagai pedagang dan masyarakat pedalaman
yang kebanyakan penduduknya berfrofesi sebagai petani (penghasil Barang).
Proses Islamisasi di Nusantara melalui berbagai saluran yaitu : Lewat
jalur perkawinan, perdagangan, Pendidikan, Tasawuf, kesenian, dan politik.
Dalam dakwah Islam, banyak muncul corak pemikiran dakwah, yaitru
ekstrem kanan, ekstrem kiri, dan moderat, model dakwah yang dilakukan
oleh wali songo adalah medel dakwah moderat, Wali Songo melakukan
sebuah pendekatan kebudayaan, dimana ketika itu masyarakat pribumi sudah
terlebih dahulu memiliki sifat local primitive. Ada atau tidak adanya agama,
masyarakat akan terus hidup dengan pedoman yang telah mereka miliki
tersebut. Wali Songo memperhatikan betul bagaimana tipologi mad’û sebagai
sasaran dakwah dengan segala keragaman karakter dan budayanya.
Dalam teori Resepsi dikatakan bahwa suatu hukum dapat diberlaku-
kan manakala sudah diterima dengan hukum adat yang telah berlaku se-
belumnya tanpa adanya pertentangan. Dari teori Resepsi inilah dapat
diasumsikan bahwa agama akan mudah diterima oleh masyarakat apabila
ajarannya tersebut tidak bertentangan serta memiliki kesamaan dengan
kebudayaan masyarakat, sebaliknya agama akan ditolak masyarakat apabila
kebudayaan masyarakat berbeda dengan ajaran agama.
Banyaknya fanatisme kebudayaan yang melekat di tubuh umat Islam
Indonesia tentunya menciptakan “keunikan” tersendiri bagi agama Islam. Hal
ini terlihat dari beberapa kegiatan keagamaan serta muamalah yang dilaku-
kan oleh masyarakat kita di berbagai daerah dan pada tiap-tiap daerah mem-
punyai beragam kegiatan lokalistik yang bermuatan keislaman yang berbeda-
beda.
Hadirnya Islam modernis yang mempunyai misi khusus memurnikan
Islam, dengan sendirinya menjadikan ajaran dan makam para Wali sebagai
vii
sasaran utama penghujatan. Sebagai penerus ajaran Wali Songo, NU tampil
untuk mempertahankan tradisi ini dengan resiko besar, baik secara teologis
maupun ideologis. Wali Songo Mempertahankan Kebudayaan Penduduk
Setempat yang Tidak Bertentangan dengan Al-Qur’an, hal ini sesuai dengan
firman Allah QS. Ali Imran 104:
Al-khair adalah nilai universal yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan as-
Sunnah. Al-khair menurut Rasulullah Saw. sebagaimana dikemukakan oleh
Ibnu Katsir dalam tafsirnya adalah, “ittiba’u al-Qur’an wa sunnati: meng-
ikuti Al-Qur’an dan Sunnahku”. Sedang al-ma’rûf adalah “sesuatu yang baik
menurut pandangan umum satu masyarakat selama sejalan dengan al-khair.”
Adapun al-munkar, maka ia adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu
masyarakat serta bertentangan dengan dengan nilai-nilai ilahi.
Akumulasi pesan dari Surah Ali Imran ayat 102 sampai dengan ayat
115 mengisyaratkan gambaran tentang gagasan dan visi dakwah yang di-
kenalkan Al-Qur’an, yang kemudian akan melahirkan prinsip-prinsip dakwah
Qur’ani. Hal ini dapat diturunkan dari cara pandang Al-Qur’an tentang tiga
hal yang berhubungan secara horizontal dan vertikal, dengan manusia sebagai
objek (mukhathab) utama Al-Qur’an; yakni sesama manusia, alam semesta
dan Tuhan. Visi dakwah menurut Al-Qur’an adalah menjabarkan nilai-nilai
uluhiyah, mulukiyah dan rububiyah (nilai-nilai asmâ al-husnâ) dalam peri-
laku kehidupan pribadi dan masyarakat, Cara pandang ini akan melahirkan
pesan moral yang mendasar, yaitu: dakwah yang berwawasan kemanusiaan
dan kultural (perspektif sosiologis-antropologis), dakwah berwawasan ling-
kungan (perspektif ekologis), dakwah yang berwawasan moral ketuhanan
(perspekrif teologis).
Prinsip-prinsip dakwah Qur’ani di atas melahirkan prinsip-prinsip
kaidah dakwah, antara lain: Menghargai kebebasan dan menghormati hak
asasi setiap individu dan masyarakat (‘adam al-ikrah fi al-dîn), Menghindari
kesulitan, kesempitan, dan kepicikan (‘adam al-haraj), Menghindari
kemadharatan dan kerusakan (daf’u al-dharâr wa al-mafâsid), Bertahap,
gradual, dan mengikuti proses (al-tadarruj).
Prinsip kaidah tersebut melahirkan karakter atau watak dakwah
Qur’ani yang mengacu pada pesan universal kehadiran Rasul dan ajaran
Islam, yakni rahmatan li al-‘âlamin yang merefleksikan kemaslahatan, ke-
manfaatan, kesejahteraan, dan kebergunaan bagi semua pihak. Dengan
demikian, iklim yang dibangun dalam dakwah adalah pencerahan pikir,
penyejukan hati nurani, kedamaian, serta harus terhindar dari berbagai cara
intimidasi, kekasaran, dan kekerasan. Dan inilah dakwah yang dilakukan oleh
Wali Songo.
viii
DAFTAR ISI
ix
9. Agama/Kepercayaan Masyarakat Jawa ................... 63
10. Pemilihan Wilayah Dakwah Era Wali Songo .......... 65
B. Spesialisasi dan Gerakan Dakwah Wali Songo .............. 66
C. Pendekatan, Upaya, Pedoman Wali Songo dalam
Mencapai Tujuan Dakwah .............................................. 92
D. Strategi, Metode, Sarana, Faktor Kesuksesan, dan Hasil
Dakwah Wali Songo ....................................................... 97
E. Aspek Keimanan dan Ketakwaan, Ahlak dan Amalan,
Penilaian Sunnah dan Bid’ah, Serta Ajaran dan
Madzhab Wali Songo ..................................................... 108
BAB IV. DAKWAH WALI SONGO: DAKWAH QUR’ANI DAN
KONTEKSTUALISASINYA ............................................. 114
A. Dakwah Wali Songo dalam Perspektif Al-Qur’an ......... 114
1. Mempertahankan Kebudayaan Masyarakat
Setempat Yang Tidak Bertentangan dengan Al-
Qur’an ...................................................................... 114
2. Menggunakan Metode Hikmah, Mau’izhah al-
Hasanah Wajâdilhum Billatî Hiya Ahsan ............... 117
3. Bahasa Dakwah dalam Al-Qur’an dan
Relevansinya dengan Dakwah Wali Songo ............. 122
4. Prinsip dan Kaidah Dakwah Al-Qur’an yang
Diterapkan Wali Songo ........................................... 126
B. Kontekstualisasi Dakwah Wali Songo ........................... 129
1. Agama dan Kebudayaan Jawa ................................. 129
2. Nilai-Nilai dan Tradisi Keulamaan Nusantara ........ 132
3. Pesantren Model Pendidikan Warisan Wali Songo 135
4. Islamisasi Nilai-Nilai Seni Budaya Nusantara ........ 139
5. Tradisi Keagamaan Islam Champa .......................... 141
6. Transvaluasi Nilai-Nilai Menjadi Islam Nusantara 144
7. Islamisasi Kapitayan dan Hindu Budha ................... 148
9. Pengembangan Ajaran dan Strategi Dakwah Wali
Songo ....................................................................... 151
BAB V. PENUTUP ........................................................................... 153
A. Kesimpulan ..................................................................... 153
B. Saran-saran ..................................................................... 154
DAFTAR PUSTAKA
x
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
4
Asep Muhyiddin, et.al., Kajian Dakwah Multi Perspektif: Teori, Metodologi,
Problem, dan Aplikasi, h. 19
3
5
Asep Muhyiddin, et.al., Kajian Dakwah Multi perspektif: Teori, Metodologi,
Problem, dan Aplikasi’, h. 19
6
Dindin Solahudin dan Ahmad Sarbini, “Kajian Dakwah Multiperspektif; Sebuah
Pendahuluan” dalam Kajian Dakwah Multiperspektif; Teori, Metodologi, Problem dan
Aplikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 2. Ada fakta sejarah yang relatif sering
terlupakan, bahwa munculnya gelombang dakwah fundamentalis di Mesir awal abad kedua
puluh ternyata tepat berbarengan dengan kemunculan kelompok fundamentalis Protestan di
Barat. Pada tahun 1925, di Tennesee, saat kaum fundamentalis Protestan mencoba mencegah
pengajaran evolusi di sekolah-sekolah, mereka merasa sedemikian terpojokkan oleh pers
sekuler sehingga teologi mereka lebih bersifat reaksioner dan amat literalis. Ini berarti
mereka bergeser dari ekstrem kiri ke ektrem kanan dalam spektrum politik kala itu.
7
Mengenai penerapan teori pendulum, bandingkan, sebagai misal, dengan pola
pikir Robert Lioyd George dalam The East-West Pendulum, (Cambridge: Woodhead-
Fualkner Ltd,1992). Periksa juga antony Giddens, Beyond Left and Right: Tarian “ Ideologi
alternatif” di atas pusara sosialisme dan kapitalisme, terj. Imam Khoiri atas Beyond Left and
Right: The Future of Radikal Politic, (Yogyakarta: IRCi SoD, 2003).
4
dakwah dari jantung ajaran Islam, bahkan menyesatkan. Untuk lentur ber-
gerak ke arah moderasi saja, garis keras ektrem kanan ini tidak bersedia,
apalagi bergerak ke arah ekstrem seberang. Garis pemikiran ini menutup diri
dari setiap pemikiran yang datang dari “luar” Islam. Seperti dicatat oleh John
L. Esposito, 8 kalangan pemikir dakwah aliran ini “counseled cultural
isolation, withdrawal, and noonkooperation, to resist the western threat to
their Islamic way of life (mengimbau isolasi budaya, memisahkan diri, dan
tidak bekerja sama, guna melawan ancaman Barat terhadap pandangan hidup
Islam anutan mereka).
Kelompok ini disebut juga sebagai kelompok Islam Radikal yang
sikap keagamaannya ditandai oleh empat hal yaitu: pertama, sikap tidak
toleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain. Kedua,
sikap fanatik, yaitu merasa benar sendiri, menganggap orang lain salah.
Ketiga, yaitu sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan umat
Islam kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung mengguna-
kan kekerasan untuk mencapai tujuan. 9
Sebagai perwujudan dari pemikiran dakwah tersebut di atas adalah
dengan banyaknya aktifis-aktifis dakwah yang dalam melakukan gerakan-
gerakan dakwahnya dengan langkah-langkah dakwah reaktif dan emosional
baik ketika berhadapan dengan kelompok muslim lain yang berseberangan,
maupun – lebih-lebih – saat menghadapi pihak luar Islam. 10 Dalam melaku-
kan dakwahnya mereka memilih langkah Revolusi 11 dalam memberantas
yang mereka anggap kemunkaran TBC (Tahayul, Bid’ah dan khurafat) yang
harus diberantas dan dibumihanguskan. Dengan mengatasnamakan dakwah
(amar ma’rûf nahi munkar), mengatasnamakan agama atas landasan Al-
Qur’an. Kalangan ini dikenal sebagai kelompok fundamentalis-Fanatik
(Ekstrem), dalam konteks dakwah kelompok semacam ini tidak meletakkan
Al-Qur’an dan Hadis dalam konteks budaya dan kekinian dengan segala
kebaruannya. Sehingga akan terjebak pada aliran Islam literalisme, anti-
rasionalisme, dan anti interpretasi.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, sejumlah kiyai Cirebon, Jawa Barat,
misalnya menyebut kelompok ini “Neo-Wahabi”, kelompok Wahabî yang
berbaju baru. Mengapa demikian? karena para kiyai menyebut kelompok-
8
John L. Esposito, “Conteporary Islam: Reformation or Revolution?” dalam The
Oxford History Of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2001), h. 645.
9
Rahimi Sabirin, Islam dan Radikalisme, (Jakarta: Ar-Rasyid, 2004), h. 5
10
Didin Sholehuddin, Kajian Dakwah Multiperspektif: Radikalisme Islam di
Indonesia Suatu Tantangan Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), h. 100.
11
Yusuf Qaradhâwî, Fiqih Ikhtilaf, terj. (Bandung: Mizan, 2003), h. 5
5
kelompok Islam ini didanai dari negara-negara teluk, terutama dari orang-
orang kaya Arab Saudi. Jadi lebih mirip sebagai agen pengimpor ajaran
Wahabi ke Indonesia. Seperti terlihat pada kelompok PKS dan Hizbut Tahrir
yang mengusung ideologi “khilâfah” anti NKRI, gagasan jihadnya kelompok
Majelis Mujahidin dan pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah, atau pengajian
MTA (Majelis Tafsir Al-Qur’an) yang menggunakan Radio di desa-desa
untuk menghantam tradisi NU. 12
Dakwah fundamentalis ekstrem, dalam pandangan Timothy Winter, 13
adalah tidak sah, tidak autentik, menyalahi qanun klasik hukum, dan tidak
mencerminkan teologi Islam yang luhur. Lebih jauh, ia melihat cara-cara
dakwah seperti itu sebagai tidak keberahlian (tidak profesional) dan bahkan
masuk dalam kategori ‘Al-Baghyu’ (makar/bersenjata) yang murni premanis-
me. Maka bagi Winter, dakwah model ini tidak menawarkan keuntungan
strategis bagi kebangkitan masyarakat Islam di Era keterbukaan ini. 14
Radikalisme adalah “kecelakaan Sejarah” karena posisi Islam sebagai
kekuatan peradaban sedang berada di buritan. 15
Kedua, Pemikiran dakwah ekstrem kiri berada pada kutub yang ber-
seberangan dengan ekstrem kanan tadi. Jika pemikiran ekstrem kanan ter-
lampau ketat menapaki ajaran Islam “murni”, ekstrem kiri, sebaliknya,
terlampau longgar dan sembrono keluar dari syari’at Islam yang murni. Garis
pemikiran ini kelewat berani, untuk tidak mengatakan nekat, mengabaikan
prinsip-prinsip pokok ajaran Islam dan terlalu berlebihan memanfaatkan
kelenturan ajaran Islam untuk melakukan ta’wîl. Kelompok ini juga meng-
atasnamakan Al-Qur’an dalam kontekstualitasnya namun berlebihan,
kemudian mengabsahkan produk-produk pemikiran dakwah yang secara jelas
berbenturan dengan, misalnya tujuan utama Syari’at Islam (maqâsid asy-
syar’i al-khamsah). 16
12
Ahmad Baso, “Agama NU” untuk NKRI, (Jakarta: Pustaka Afid, 2014), Cet. ke-1,
h. 91
13
Seorang profesor Universitas Cambridge dan tokoh Muslim terkemuka yang me-
miliki nama asal Syaikh Abdul Hakim Murad.
14
Abdul Hakim Murad, Bombing Without Mooligts: The Origins of Suicide
Terrosism, dalam Islam, edisi Oktober 2004 dan Bin Laden’ Violence is Heresy Against
Islam.
15
H.A. Syafi’i Maarif, Ketua Umam PP Muhamadiyah, dalam pengantar buku,
Rahimi Sabirin, “Islam dan Radikalisme”, h .1
16
Didin Solahuddin dan Ahmad Sarbini, Kajian Dakwah Multiperspektif: Teori,
Metodologi, Problem dan Aplikasi, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 5
6
17
Abbas Mahmud al-‘Aqad adalah seorang sastrawan besar Mesir berasal dari kota
Aswan yang hanya menyelesaikan sekolah dasar namun sejak kecil gemar mambaca soal
agama, geografi, sejarah dan bahan bacaan lain baik berbahasa Arab, Inggris maupun
Prancis, ia telah menulis tak kurang dari 100 buku mengenai filsafat, agama dan puisi. Ia
mendirikan sekolah puisi Ad-Diwan bersama Ibrahim al-Mazni dan Abdurahman asy-Syukri.
Menganut Aliran Liberalisme, ia merasa berhak untuk menjalin hubungan asmara dengan
seorang wanita Kristen Libanon, yang menjadi tokoh salah satu novelnya dan diberi nama
Sarah, dan seorang artis Mesir ternama, Madiha Yusri, yang kemudian diceraikannya. Lihat,
Wikipedia, The Free Encyclopedia. Org/wiki/ Abbas-el-akkad.
18
Seorang sastrawan Mesir ternama yang tergolong pembaru dengan keberanian
berpikir bebas. Ia adalah mantan Dekan Fakultas Adab Universitas Kairo yang juga pernah
menjadi Menteri Pendidikan Mesir. Haluan pemikirannya adalah sekularisme sambil tentu
saja memberikan ruang amat terbuka terhadap penggunaan akal dalam kancah Liberalisme.
Atas dasar itu, karya-karyanya dijauhkan dari jangkauan masyarakat dan terutama
mahasiswa. Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 65.
19
Yusuf Qaradhâwî, Membedah Islam Ekstrem, terj. Alwi A.M atas as-Shafwah Al-
Islamiyyah Bain al-Juhud wa at-Tatarruf, (Bandung: Mizan, 2001), h. 118.
7
melenceng dari prinsip pokok syariat Islam. Bagi kalangan pemikir moderat,
pemikiran dakwah ekstrem kanan dan kiri sama-sama berbahaya. 20
Dalam domain pemikiran dakwah, kemunculan corak pemikiran
moderat ini cukup menarik, 21 karena selama ini, selalu terjadi tarik menarik,
atau tepatnya dorong mendorong antara dua kubu ektrem kiri dan kanan.
Setiap kubu merasa benar dengan dirinya dan setiap kubu nyaris tidak
mampu melihat alternatif. Apalagi jika kemudian dakwah diidentikkan
dengan jihad dalam pengertian sempitnya, yakni perang. Pada tingkat ini,
pemikiran dakwah hampir senantiasa berorientasi pada kekerasan dan
ektremisme. 22
Islam menginginkan lahirnya Ummatan Wasathan, yaitu umat yang
benar-benar dapat tampil sebagai teladan bagi warga bangsa keseluruhannya.
(lihat Q.S. al-Baqarah: 143), Islam tampil sebagai “rahmatan li al-‘âlamin”.23
Prinsip ini telah diaplikasikan Rasulullah Saw dalam membangun masyarakat
Madinah di bawah panji “Madinah Charter” (Watsîqah Madinah: Piagam
Madinah), yang merupakan perjanjian luhur yang mengikat Yahudi,
Kristiani, dan Muslim . Karakter ini juga dikuatkan dengan risalah terakhir
dalam Islam yang disampaikan Nabi Saw dalam Haji Wadâ’. Dalam satu-
satunya ibadah haji yang pernah dilakukan Rasulullah semasa hidup tersebut,
beliau berpesan kepada seluruh umat manusia untuk selalu menghormati
kehormatan dan hak-hak seseorang, mengangkat kehormatan wanita,
menghindarkan pertumpahan darah dan seterusnya. Inti Khutbah perpisahan
Nabi Saw kalau kita aktualisasikan saat ini, bahwa ke-Islaman seseorang
belumlah sempurna tanpa pelaksanaan hak-hak asasi manusia di muka
bumi. 24
Agama-agama di bumi juga tidak terlapas dari misi pengayoman
terhadap seluruh umat manusia (rahmatan li al’âlamin). Misi ini dalam Islam
terakumulasi dalam lima prinsip Universal Kulliyat al-khams. Dalam lintas
20
Didin Solehuddin, Kajian Dakwah, h. 5
21
Hal ini menarik bukan karena merupakan kecenderungan baru, sebab arus
moderasi dalam tradisi dakwah justru merupakan Mainstream sejarah dakwah, melainkan
menarik karena pola moderasinya yang unik dan lebih merupakan perpaduan unsur inti dari
dua kubu ekstrem.
22
Didin Solehuddin, Kajian Dakwah, h. 5
23
Misi ini dalam Islam terakumulasi dalam lima prinsip universal (kulliyatul
khams), yakni menjamin kebebasan beragama (hifzh ad-dîn), memelihara nyawa (hifzh an-
nafs), menjaga keturunan dan profesi (hifzh an-nasl wa al-‘irdl), menjamin kebebasan
berekspresi dan berserikat (hifzh al-‘aql) dan memelihara harta benda (hifzh al-mâl).
24
Said Aqil Siraj, Islam Kebangsaan, Fikih Demokratif Kaum Santri, (Jakarta:
Fatma Press, 1998), h. 194.
8
budaya lama dan tidak menutup kemungkinan budaya lama juga akan ter-
hapus oleh budaya yang baru. 28
Dalam teori Resepsi dikatakan bahwa suatu hukum dapat diberlaku-
kan manakala sudah diterima dengan hukum adat yang telah berlaku se-
belumnya tanpa adanya pertentangan. 29 Dari teori Resepsi inilah dapat
diasumsikan bahwa agama akan mudah diterima oleh masyarakat apabila
ajarannya tersebut tidak bertentangan serta memiliki kesamaan dengan
kebudayaan masyarakat, sebaliknya agama akan ditolak masyarakat apabila
kebudayaan masyarakat berbeda dengan ajaran agama. 30
Diterimanya agama dengan demikian, kebudayaan suatu masyarakat
akan sangat dipengaruhi oleh agama yang mereka peluk. Ketika agama telah
diterima dalam masyarakat, maka dengan sendirinya agama tersebut akan
mengubah struktur kebudayaan masyarakat tersebut. Perubahan tersebut bisa
bersifat mendasar (asimilasi) 31 dan dapat pula hanya mengubah unsur-unsur-
nya saja (akulturasi). 32
Asimilasi terjadi apabila masing-masing kelompok memiliki sifat
toleransi dan simpati dengan yang lainnya. Sunan kali Jaga misalnya, seorang
tokoh Wali Songo yang berhasil membangun budaya baru di tanah Jawa,
dengan memadukan antara unsur-unsur Islam dengan unsur-unsur Jawa. Hal
tersebut dapat kita saksikan dari perkembangan Islam di Jawa yang berbeda
dengan Islam di tanah kelahirannya yaitu Arab. Contoh bentuk Asimilasi
antara Islam dengan Jawa Islam yang membawa paham monoteisme lambat
laun mengikis habis kepercayaan lokal yang cenderung meyakini adanya
dewa dan “Danyang Desa” yang diekspresikan dalam bentuk upacara ke-
agamaan lokal seperti besi arca, Nyadran, Tingkepan dan sebagainya. Sampai
28
Lebba Kadorre Pongsibane, Islam dan Budaya Lokal: Mazhab Ciputat, (Ciputat:
Semanggi 2013), h.10
29
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta:
Candra Pratama), h. 285
30
Lebba Kadorre Pongsibane, Islam dan Budaya Lokal, h. 10
31
Asimilasi adalah, perpaduan dari dua kebudayaan atau lebih, kemudian menjadi
satu kebudayaan baru tanpa adanya unsur-unsur paksaan. Asimilasi adalah proses sosial yang
timbul bila ada kelompok-kelompok masyarakat yang berlatar kebudayaan yang berbeda
saling bergaul secara intensif dalam waktu yang lama sehingga masing-masing kebudayaan
tadi berubah bentuknya dan membentuk kebudayaan baru.
32
Akulturasi menurut menurut kamus antropologi (Aryono, 1985) adalah
pengambilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang saling ber-
hubungan atau saling bertemu. Konsep akulturasi terkait dengan proses sosial yang timbul
bila satu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan kebudayaan
asing, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima atau ditolak dalam
kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
10
saat ini kegiatan tersebut masih dijalankan, hanya saja isinya sudah mengan-
dung unsur-unsur keislaman. 33
Dalam konsep Akulturasi, Islam diposisikan sebagai “kebudayaan
Asing” dan masyarakat sebagai lokal yang menjadi penerima kebudayaan
asing tersebut, misalnya masyarakat Jawa yang memiliki tradisi “Slametan”
yang cukup kuat, ketika Islam datang maka tradisi tersebut masih tetap jalan
dengan mengambil unsur Islam terutama dalam doa-doa yang dibaca. Wadah
Slametan tetap ada, tetapi isinya mengambil ajaran Islam. 34
Banyaknya fanatisme kebudayaan yang melekat di tubuh umat Islam
Indonesia tentunya menciptakan “keunikan” tersendiri bagi agama Islam. Hal
ini terlihat dari beberapa kegiatan keagamaan serta muamalah yang dilaku-
kan oleh masyarakat kita di berbagai daerah dan pada tiap-tiap daerah mem-
punyai beragam kegiatan lokalistik yang bermuatan keislaman yang berbeda-
beda. 35
Dalam kenyataanya, para Wali telah merumuskan strategi dakwah
atau strategi kebudayaan secara lebih sistematis, terutama menghadapi
kebudayaan Jawa dan Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat
dan sangat mapan. Mereka memperkenalkan Islam tidak serta merta, tidak
dengan cara instan. 36
Strategi para wali dalam mengembangkan ajaran Islam di bumi
Nusantara dimulai dengan beberapa langkah strategis. Pertama, tadrij (ber-
tahap), yang kedua, ‘adam al-haraj (tidak menyakiti). Para wali membawa
Islam tidak dengan mengusik tradisi mereka, bahkan tidak mengusik agama
dan kepercayaan mereka, tapi memperkuatnya dengan cara yang Islami.
Dalam strategi dakwah yang digunakan, para Wali mengajarkan
agama dalam berbagai bentuk, dalam dunia pesantren diterapkan fiqh al-
ahkâm, 37 dalam ranah masyarakat, diterapkan fiqh ad-dakwah, 38 dan yang
tertinggi adalah fiqh al-hikmah. 39 Melalui strategi ini, ajaran Islam bisa
33
Lebba Kadorre Pongsibane, Islam dan Budaya lokal, h. 12
34
Lebba Kadorre Pongsibane, Islam dan Budaya lokal, h. 11
35
Lebba Kadorre Pongsibane, Islam dan Budaya lokal, h. 13
36
Agus Sunyoto, Wali Songo, Rekonstruksi Sejarah yang Tersingkirkan..., h. 3
37
Fiqh al-ahkâm untuk mengenal dan menerapkan norma-norma keislaman secara
ketat dan mendalam, agar mereka menjadi muslim yang taat dan konsekuen.
38
Melalui fiqh ad-dakwah, ajaran Islam diterapkan secara lentur, sesuai dengan
kondisi masyarakat dan tingkat pendidikan mereka.
39
Yang tertinggi adalah fiqh al-hikmah, yaitu dengan mengajak manusia dengan
penuh kebijaksanaan, sehingga ajaran Islam bisa diterima oleh semua kalangan, baik
11
diterima oleh semua kalangan, tidak hanya kalangan awam, tetapi juga
kalangan bangsawan, termasuk diterima oleh kalangan rohaniwan Hindu dan
Budha serta kepercayaan lainnya.
Bagi Masyarakat Muslim Indonesia, Wali Songo dipandang sebagai
kelompok dari sejumlah besar mubaligh Islam yang bertugas mengadakan
dakwah Islam di daerah-daerah yang belum memeluk Islam di Jawa. 40
Said Agil Siraj, dalam pengantar buku “Wali Songo: Rekonstruksi
sejarah yang disingkirkan” yang ditulis oleh Agus Sunyoto, beliau mengata-
kan bahwa Wali Songo sebagai tokoh sejarah yang layak untuk diteladani
perilaku pribadinya, semangat juangnya, serta strategi dakwahnya.
Hadirnya Islam modernis yang mempunyai misi khusus memurnikan
Islam, dengan sendirinya menjadikan pengikut, ajaran dan makam para Wali
sebagai sasaran utama penghujatan. Sebagai penerus ajaran Wali Songo, NU
tampil untuk mempertahankan tradisi ini dengan resiko besar, baik secara
teologis maupun ideologis. 41
Wali Songo membawa ajaran Ahlusunah Waljama’ah, sehingga cocok
dengan kondisi bangsa Indonesia yang majemuk. Apalagi sejak awal Ahlus-
sunah Wal Jama’ah adalah madzhab yang mengajarkan kesejukan, mengem-
bangkan pemahaman yang sepakat untuk mendamaikan dunia keilmuan
dengan dunia politik serta spiritualitas guna membangun peradaban Islam.
Selain itu NU juga memilki sikap tawassuth (moderat), tawazun (seimbang),
dan tasamuh (toleran). Ketiganya merupakan prinsip jalan tengah yang di-
sebut oleh Al-Qur’an sebagai ummatan wasathan (masyarakat yang
moderat). Bentuk umat seperti itu oleh Al-Qur’an disebut sebagai khiru
ummah (sebaik-baik masyarakat).
Atas dasar inilah penulis merasa tertarik untuk menelaah dakwah
Wali Songo ditinjau dari perspektif Al-Qur’an, mengenai bagaimana gerakan
dakwah Wali Songo? bagaimana pendekatan serta metode dakwah Wali
Songo? bagaimana kontekstualisasi dakwah Wali Songo yang berkaitan
dengan nilai-nilai, tradisi, keragaman, asimilasi pendidikan, Islamisasi nilai-
nilai seni budaya, tradisi keagamaan Nusantara (khususnya Jawa) dan lain-
lain. Semua ini agar kiprah para Wali sebagai pemangku kebudayaan dan
guru suci di tengah masyarakat kerajaan, baik Hindu, Budha, maupun Islam
kalangan awam maupun kalangan bangsawan, termasuk diterima oleh kalangan rohaniawan
Hindu, Budha dan kepercayaan lainnya.
40
Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonsstruksi Sejarah Yang Tersingkirkan, (Jakarta:
Transhop Printing, 2011), h. 81
41
Said Aqil Siraj, dalam pengantar buku, Agus Sunyoto, Wali Songo, Rekonstruksi
Sejarah yang Tersingkirkan, h. xi.
12
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini, identifikasi masalahnya adalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana kedudukan dakwah Dalam Islam?
b. Bagaimana keragaman gerakan-gerakan dakwah?
c. Bagaimana Paradigma Al-Qur’an tentang dakwah?
d. Bagaimana sejarah masuknya Islam dan perkembangannya di
Nusantara?
e. Bagaimana saluran atau jalur-jalur Islamisasi di Nusantara?
f. Bagaimana metode dan pendekatan dakwah Wali Songo di
tengah masyarakat yang sudah memiliki kepercayaan dan ke-
budayaan yang sudah tua dan mapan?
42
Said Aqil Siraj, dalam pengantar buku, Agus Sunyoto, Wali Songo, Rekonstruksi
Sejarah yang Tersingkirkan, h. xi
13
2. Pembatasan Masalah
Berhubung karena identifikasi masalah dalam penelitian tesis ini
terlalu luas, maka peneliti membatasi masalahnya hanya seputar
sejarah masuknya Islam dan perkembangannya di Nusantara,
metode dan pendekatan dakwah Wali Songo ditinjau dari perspektif
Al-Qur’an dan kontekstualisasi dakwah Wali Songo.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah saluran atau jalur-jalur Islamisasi di Nusantara?
b. Bagaimanakah metode dan pendekatan dakwah Wali Songo?
c. Bagaimanakah dakwah Wali Songo ditinjau dari perspektif Al-
Qur’an?
d. Bagaimanakah kontekstualisasi dakwah Wali Songo?
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian dalam penulisan tesis ini menggunakan metode
tafsir maudhû’î yaitu mengumpulkan dan menelaah ayat-ayat Al-Qur’an
15
dalam kaitannya dengan konsep dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo.
Di dalamnya terdiri dari 3 (tiga) unsur, yakni pendekatan penelitian, teknik
penelitian, dan teknik penulisan.
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analisis, yaitu
mendeskripsikan penelitian dengan menggunakan metode “menelaah”.
Pendekatan deskriptif kualitatif juga merupakan prosedur penelitian
dengan cara melakukan penelaahan terhadap beberapa literatur atau
naskah yang dihubungkan dengan fenomena sosial dengan cara melaku-
kan interpretasi, verifikasi, jeneralisasi dan kesimpulan. 43 Dari pene-
laahan tersebut akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis. 44
2. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Metode penelitian dalam penulisan tesis ini adalah riset kepustakaan
(library research) dengan cara mengumpulkan dan mengkaji bahan-
bahan tertulis seperti Al-Qur’an dan Hadis, buku, majalah, surat kabar,
makalah dan bahan-bahan tertulis yang memuat dan ada kaitannya
dengan tema dan judul penelitian.
Teknik Penulisan dan penyusunan tesis ini berpedoman kepada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis IIQ, Jakarta, 2011”.
F. Sistematika Penulisan
Dalam pembahasan tesis ini akan disitematisasikan menjadi 5 (lima)
bab yang terdiri dari bab I, bab II, bab III, bab IV dan bab V.
Bab I, berisi: Pendahuluan, yang di dalamnya akan dibahas latar
belakang masalah yaitu penjabaran tentang dasar-dasar yang melatar-
belakangi munculnya sebuah penelitian, Permasalahan; identifikasi masalah,
pembatasan masalah, dan perumusan masalah, Tujuan dan Kegunaan
Penelitian, yang memuat tentang tujuan yang ingin dicapai dan yang di-
harapkan dalam penelitian ini, Kajian Pustaka, Metode Penelitian, Sistema-
tika penulisan, yang berisi tentang penjabaran dari keseluruhan bab
penelitian.
43
Norman K. Denzin dan Yvonna, (ed), Handbook of Kualitatif Research, (London:
Sage Publikations, 1994), h. 1.
44
Tylor dan J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Karya,
1983), h. 3.
16
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpul-
kan sebagai berikut:
1. Konsep dakwah Wali Songo sangat bersifat persuasif. Hal ini dapat
diketahui, melalui dakwahnya, selain mengamanatkan nilai-nilaiyang
bersifat mendasar, universal dan abadi, dan ada juga yang bersifat
praksis, lokal, dan temporal, sehingga dapat berbeda antara satu
tempat/waktu dengan tempat/waktu yang lain. Dalam pandangan Wali
Songo, perbedaan, perubahan, dan perkembangan nilai itu dapat diterima
oleh Islam selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal.
Dengan kata lain, nilai-nilai ilahi tidak boleh dipaksakan, tetapi
disampaikan secara persuasif dalam bentuk pendekatan dan ajakan yang
baik.
2. Islam mengajarkan pengikutnya, khususnya para da‘i untuk beraktifitas
dakwah dengan metode dan strategi yang baik. Hal ini seperti terdapat
dalam QS. an-Nahlayat 125, yang memerintahkan untuk mengajak
manusia ke jalan Allah dengan cara yang bijaksana, nasihat yang baik,
serta kalaupun harus berdebat, maka harus berdebat dengan cara yang
lebih baik.Dakwah Wali Songo yang senantiasa mengedepankan metode
dan stretegi dakwahnya yang baik sangat sesuai dengan pandangan Al-
Qur’an.
3. Kehadiran Wali Songo di tengah-tengah masyarakat Jawa pada masanya
dengan membawa ajaran Islam, tidak dianggap membawa ajaran baru
yang mudah diterima masyarakat. Para Wali Songo hadir berhadapan
dengan masyarakat yang telah memiliki tradisi, kebudayaan dan
ajaran/agama yang telah lama mereka anut. Melihat realitas ini, maka
Wali Songo mengambil jalan dakwah dengan cara bijaksana, dengan
cara mengakomodasi realita yang telah ada di masyarakat. Dengan kata
lain, dakwah Wali Songo tidak begitu saja mengabaikan konteks budaya,
ajaran, dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat
Jawa pada saat itu. Hal ini, di antaranya dapat dilihat dengan;
a. Penggunaan simbol-simbol seni dan budaya, dengan tidak lupa me-
masukkan nilai-nilai Islam sebagai upaya mengajak masyarakat agar
masuk dan mengikuti ajaran Islam.
153
154