Anda di halaman 1dari 161

KALÂM INSYÂ’I THALABÎ DALAM SURAH YÂSÎN

(Studi Analisis Tafsir al-Kasyâf Karya az-Zamakhsyarî (w. 538 H))

Skripsi ini Diajukan


Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Tika Fauziah
NIM. 16210797

Pembimbing:
Dr. M. Azizan Fitriana, L.c., M.A.

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ)
JAKARTA
1441/2020 M
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “Kalâm Insyâ’i Thalabî dalam Surah Yâsîn (Studi
Analisis Tafsir Al-kasyâf Karya Az-zamakhsyarî (w. 538 H))” yang disusun
oleh Tika Fauziah Nomor Induk Mahasiswa: 16210797 telah diperiksa dan
disetujui untuk diujikan ke sidang munaqasyah.

Jakarta, 9 juli 2020


Pembimbing,

Dr. M. Azizan Fitriana, Lc., M.A.

i
ii
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “Kalâm Insyâ’ Thalabi dalam Surah Yâsîn (Studi
Analisis Tafsir al-kasyâf Karya Az-zamakhsyarî (w. 538 H))” oleh Tika
Fauziah dengan NIM 16210797 telah diujikan pada sidang Munaqasyah
Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta pada
tanggal 13 Juli 2020. Skripsi telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag).

Jakarta, 13 Juli 2020


Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah

Dr. Muhammad Ulinnuha, Lc., M.A.

Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,

Dr. Muhammad Ulinnuha, Lc., M.A. Mamluatun Nafisah, M.Ag

Penguji I, Penguji II,

Ali Mursyid, M.Ag Istiqomah, M.A.

Pembimbing,

Dr. Muhammad Azizan Fitriana, Lc., M.A.

iii
iv
PERNYATAAN PENULIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Tika Fauziah
Nim : 16210797
Tempat/Tanggal Lahir : Sukabumi, 27 Januari 1999
menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Kalâm Insyâ’i Thalabî dalam Surah
Yâsîn (Studi Analisis Tafsir al-Kasyâf Karya az-Zamakhsyârî (w. 538 H))”
adalah benar-benar hasil karya saya, kecuali kutipan-kutipan yang telah
disebutkan. Kesalahan dan kekurangan di dalam karya ini sepenuhnya menjadi
tanggung jawab saya.

Jakarta, 9 Juli 2020

Tika Fauziah

v
vi
MOTTO

Sukses adalah saat persiapan dan kesempatan bertemu.

Persiapkan kesuksesanmu segera.

_Bobby Unser_

vii
viii
PERSEMBAHAN

Penulis persembahkan karya sederhana ini untuk “kedua orangtua” yang


sering kupanggil Bapak dan Mamah, yang tidak pernah lelah untuk
mendidik, mengajarkan dan merawat dengan cinta kasihnya hingga penulis
sampai pada tahap ini. Adik-adik, sahabat-sahabat serta guru-guru yang telah
memberikan semangat dan do„a yang tak pernah henti mereka panjatkan,
penulis berharap semoga selalu dalam keberkahan dan lindungan Allah
SWT.

Untuk ribuan tujuan yang harus dicapai, untuk jutaan mimpi yang akan
dikejar, untuk sebuah pengharapan agar hidup jauh lebih bermakna, hidup
tanpa mimpi ibarat arus sungai, mengalir tanpa tujuan. Teruslah belajar,
berusaha dan berdoa„a.

ix
x
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT. Tuhan yang Maha


„Alim yang kita tidak mengetahui kecuali apa yang diajarkannya, atas ridha-
Nya hingga skripsi ini dapat diselesaikan. Merupakan suatu anugerah
terindah, rasa lega dan bahagia yang dirasakan penulis saat ini, karena
luasnya kasih sayang-Mu. Semoga apa yang telah penulis kerjakan ini
bermanfaat khususnya bagi penulis dan menjadikan jalan untuk lebih
mendekatkan diri dan berserah diri hanya pada-Mu.
Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada pemimpin yang
paling baik, sabar, bijak, dan pemimpin yang selalu dikagumi yaitu Nabi
Muhammad saw, yang telah memberikan tuntunan petunjuk jalan suci yang
akan menghantarkan kebahagian bagi umatnya di dunia dan di akhirat. Âmîn.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak hadir begitu saja, namun
telah banyak yang ikut berkontribusi dalam penulisan ini, maka perlu kiranya
penulis menyampaikan rasa terima kasih secara khusus. Semoga segala
kebaikan yang telah diberikan menjadi amal tersendiri untuk mengumpulkan
kita bersama umat Nabi Muhammad saw di sisi Allah nanti. Âmîn. Karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, Lc, M.A. Rektor Institut
Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta. Ibu Dr. Hj. Nadjematul Faizah, M.Hum.,
selaku Warek I, Bapak Dr. H. M. Dawud Arif Khan, S.E., M.Si., Ak.,
CPA., selaku Warek II, Ibu Dr. Hj. Romlah Widayati, M.Ag., selaku
Warek III Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Muhammad Ulinnuha, Lc, M.A., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta, beserta
Staf Tata Usaha Fak. Ushuluddin dan Dakwah atas bantuannya selama ini.

xi
3. Bapak KH. Haris Hakam, S.H., M.A., selaku ketua Prodi Ilmu Al-Qur`an
dan Tafsir, beserta sekretaris Prodi IAT, Ibu Mamluatun Nafisah, M.Ag
atas semua bantuannya.
4. Bapak Dr. H. M. Azizan Fitriana, Lc, M.A, selaku dosen pembimbing
skripsi penulis, yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan kritik
demi terselesainya skripsi ini.
5. Bapak Dr. KH. Ahmad Fathoni, Lc, M.A., Ibu Hj. Muthmainnah, M.A.,
Ibu Hj. Istiqomah, M.A, Kak Rifdah Farnidah, M.A., dan Kak Ameliatul
Khoiriyah, S.Ag., selaku Instruktur dan pembimbing tahfid yang sabar
dalam membimbing dan memotivasi penulis dalam menghafal dan
memurajaahkan hafalan Al-Qur`an selama penulis menduduki bangku
kuliah dari awal hingga akhir.
6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-
Qur`an (IIQ) Jakarta, yang selama ini telah mengajarkan berbagai mata
kuliah dari awal semester hingga akhir dengan semangat dan kesabaran
yang menjadi tauladan dan pelajaran penting bagi penulis.
7. Perpustakaan IIQ Jakarta, Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan UIN
Jakarta, Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Pusat Studi Al-Qur`an,
yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan kepada penulis untuk
mengkaji dan menelaah dalam rangka menyelesaikan skripsi ini.
8. Mamah dan bapak tercinta juga adik tersayang yang selalu mendoakan
tanpa henti, selalu mendukung dan memberi semangat serta rela
melepaskan anaknya untuk pergi menimbah ilmu. Semoga pengorbanan
beliau dibalas Allah swt dengan surga-Nya dan kita dikumpulkan kembali
di surga-Nya kelak. Âmîn.
9. Temanku Siti Sholihatul Hadzikoh yang selalu ada dan memberi
semangat, juga tak lepas untuk membantu dalam pengeditan skripsi ini,
Terimaksih.

xii
10. Kaka Ikrimah Rizqia tempat curhat, yang selalu memotivasi dan
menyemangati, mudah-mudahan kebersamaan kita akan selalu ada dan
hadir dalam setiap waktu, Terimakasih.
11. Teman-teman IIQ angkatan 2016 khususnya Fakultas Ushuluddin dan
Dakwah Prodi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir yang seperjuangan, teman-
teman yang sekontrakan terimakasih telah membersamai.
Dalam penulisan skripsi ini berbagai upaya telah penulis lakukan
untuk memaksimalkan skripsi ini menjadi karya ilmiah yang baik. Namun
keterbatasan kemampuan yang penulis miliki, maka skripsi ini tentunya
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis ucapkan permohonan
maaf sebesar-besarnya dan dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan saran dan kritik konstruktif dari pembaca demi karya yang
lebih baik lagi. Walau begitu adanya, penulis berharap tulisan ini dapat
memberi manfaat dan kontribusi pengetahuan baru terhadap masyarakat.

Jakarta, 9 Juli 2020

Tika Fauziah

xiii
xiv
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad


yang satu ke abjad yang lain. Dalam penulisan skripsi di Institut Ilmu Al-
Qur`an (IIQ) Jakarta, transliterasi Arab-Latin mengacu pada berikut ini:
1. Konsonan

‫أ‬ :a ‫ط‬ : th

‫ب‬ :b ‫ظ‬ : zh

‫ت‬ :t ‫ع‬ :„

‫ث‬ : ts ‫غ‬ : gh

‫ج‬ :j ‫ؼ‬ :f

‫ح‬ :h ‫ؽ‬ :q

‫خ‬ : kh ‫ؾ‬ :k

‫د‬ :d ‫ؿ‬ :l

‫ذ‬ : dz ‫ـ‬ :m

‫ر‬ :r ‫ف‬ :n

‫ز‬ :z ‫ك‬ :w

‫س‬ :s ‫ق‬ :h

‫ش‬ : sy ‫ء‬ :‟

‫ص‬ : sh ‫م‬ :y

‫ض‬ : dh

2. KonsonanVokal
Vokal tunggal Vokal panjang Vokal rangkap

Fathah :a ‫ﺁ‬ :â ْ‫ﹶ ٍم‬... : ai

xv
Kasrah :i ‫م‬ :î ْ‫ﹶ ٍم‬... : au

Dhammah :u ‫ ك‬:û
3. Kata Sandang

a. Kata sandang yang diikuti alif-lam )‫ (اؿ‬qamariyah

Kata sandang yang diikuti alif-lam (‫ (اؿ‬qamariyah ditransliterasikan

sesuai dengan bunyinya. Contoh:

‫ البقرة‬: al-Baqarah ‫ املدينة‬: Al-Madînah

b. Kata sandang yang diikuti alif-lam )‫ (اؿ‬syamsiyah

Kata sandang yang diikuti alif-lam )‫ (اؿ‬syamsiyah ditransliterasikan

sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan


bunyinya. Contoh:

‫الرجل‬ : ar-rajul ْ‫السيدة‬ : as-Sayyidah

‫الشمس‬ : asy-syams ‫الدارمي‬ : ad-Dârimî

c. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah (Tasydîd) dalam sistem aksara Arab digunakan lambang (‫)ﹽ‬,

sedangkan untuk alih aksara ini dilambang dengan huruf, yaitu dengan
cara menggandakan huruf yang bertanda tasydîd. Aturan ini berlaku
secara umum, baik tasydîd yang berada di tengah kata, di akhir kata
ataupun yang terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-
huruf syamsiyah. Contoh:

xvi
ً ً‫أىمنٌاىْب‬
ْ‫االل‬ : Âmannâ billâhi
‫ى‬

‫اءي‬
ْ ‫ْالس ىف ىه‬
ُّ ‫أ ىىم ىن‬ : Âmana as-Sufahâ`u

ْ‫إً َّفْالٌ ًذيٍ ىن‬ : Inna al-ladzîna

ْ‫الرَّك ًع‬
ُّ ‫ىك‬ : wa ar-rukka‟i

d. Ta Marbûthah )‫(ة‬

Ta Marbûthah )‫ (ة‬apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh kata


sifat (na‟at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “h”.
Contoh:

ْ‫ْ ٍاْلىفٍئً ىد ًة‬ : al-Af`idah

‫اى ٍْلى ًام ىعةيْاىًٍْل ٍس ىَل ًميَّْةي‬ : al-Jâmi‟ah al-Islâmiyyah

Sedangkan ta marbûthah )‫ (ة‬yang diikuti atau disambungkan (di-

washal) dengan kata benda (ism), maka dialihaksarakan menjadi huruf


“t”. Contoh:

ً ‫ع ًاملىةهْنى‬
‫اصبىْةه‬ ‫ى‬ : „Âmilatun Nâshibah

‫ٍاْلىيىةىْالٍ يكٍبػىرل‬ : al-Âyat al-Kubrâ

e. Huruf Kapital
Sistem penulisan huruf Arab tidak mengenal huruf kapital, akan
tetapi apabila telah dialih aksarakan maka berlaku ketentuan Ejaan

xvii
yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, seperti penulisan awal
kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain.
Ketentuan yang berlaku pada EYD berlaku pula dalam alih aksara ini,
seperti cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold) dan ketentuan
lainnya. Adapun untuk nama diri yang diawali dengan kata sandang,
maka huruf yang ditulis kapital adalah awal nama diri, bukan kata
sandangnya. Contoh: „Alî Hasan al-„Âridh, al-„Asqallânî, al-Farmawî
dan seterusnya. Khususnya untuk penulisan kata Alqur‟an dan nama-
nama surahnya menggunakan huruf kapital. Contoh: Al-Qur`an, Al-
Baqarah, Al-Fâtihah dan seterusnya.

xviii
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii
PERNYATAAN PENULIS ................................................................................. v
MOTTO ............................................................................................................. vii
PERSEMBAHAN ............................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ........................................................................................ xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ xv
DAFTAR ISI..................................................................................................... xix
ABSTRAK ........................................................................................................ xxi
BAB I ................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 7
D. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 8
E. Kerangka Teori ...................................................................................... 10
F. Metodologi Penelitian ............................................................................ 11
G. Teknik dan Sistematika Penulisan ......................................................... 13
BAB II................................................................................................................ 15
TINJAUAN UMUM ILMU MA‟ÂNÎ ............................................................... 15
A. Definisi Ilmu Ma„ânî.............................................................................. 15
B. Pembagian Ilmu Ma‟ânî ......................................................................... 18
1. Kalâm khabari .................................................................................... 18
2. Kalâm Insyâ‟i (Uslûb Insyâ‟i) ............................................................ 19
BAB III .............................................................................................................. 51
BIOGRAFI AZ-ZAMAKHSYARÎ DAN METODOLOGI TAFSIR ............... 51

xix
A. Riwayat Hidup ....................................................................................... 51
B. Perjalanan Intelektual............................................................................. 52
C. Karya-Karya Ilmiah ............................................................................... 55
D. Latar Belakang Penulisan dan Penamaan .............................................. 56
E. Sumber dan Referensi ............................................................................ 58
F. Metode dan Corak Tafsir ....................................................................... 60
G. Karaktersitik dan Sistematika Penulisan ................................................ 62
H. Pendapat Ulama Tentang az-Zamakhsyarî dan Tafsirnya ..................... 64
BAB IV .............................................................................................................. 67
ANALISIS AYAT YANG MENGANDUNG KALÂM INSYÂ‟I
THALABÎDALAM SURAH YÂSÎN MENURUT TAFSIR AL-KASYÂF ........ 67
A. Sekilas Mengenai Surah Yâsîn .............................................................. 67
B. Penafsiran az-Zamakhsyarî Mengenai Kalâm Insyâ‟i Thâlabi Dalam
Surah Yâsîn ................................................................................................... 69
1. Amr (‫ )االمر‬........................................................................................... 69
2. Nahy (‫ )النّهي‬......................................................................................... 85
3. Istifhâm (‫ )االستفهام‬................................................................................ 85
4. Tamannî (‫ )التمنّي‬................................................................................ 107
5. Nidâ‟ (‫)النّداء‬....................................................................................... 115
BAB V ............................................................................................................. 131
PENUTUP........................................................................................................ 131
A. Kesimpulan .......................................................................................... 131
B. Saran .................................................................................................... 132
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 133
BIOGRAFI PENULIS ..................................................................................... 137

xx
ABSTRAK
Kemukjizatan dalam Al-Qur`an meliputi berbagai aspek, salah satunya
aspek kebahasaan. Gaya bahasa Al-Qur`an mencapai tingkat tertinggi dari
segi keindahan bahasanya dan sifat Balâghahnya sehingga membuat kagum
para pembaca. Ilmu Balâghah merupakan suatu disiplin ilmu yang
berlandaskan pada kejernihan jiwa dan ketelitian menangkap keindahan dan
kejelasan perbedaan yang samar diantara macam-macam uslûb (ungkapan).
Dalam kaidah-kaidah ilmu balâghah terdapat ilmu ma‟ânî, yang mana di
dalamnya terdapat kalâm insyâ‟i thalabî. Dalam pandangan ilmu Ma„ânî,
uslûb Insyâ‟i terbagi menjadi dua yaitu, Insyâ‟i thalabî dan Insyâ‟i ghoir
thalabî, akan tetapi peneliti memfokuskan penelitian pada Insyâ‟i Thalabî
khususnya dalam Al-Qur`an surah Yâsîn dimana yang sebagian besar terdiri
dari kalâm Insyâ‟i Thalabî. Selain itu di dalam surah Yâsîn juga terdapat
fadhilahnya yang banyak, sering dibaca ketika ada orang yang meninggal,
acara tasyakuran, tahlilan dan lain sebagainya.
Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini
adalah metode analisis deskriptif, yaitu mencoba mendeskripsikan unsur-
unsur Balâghah, menganalisis gambaran umum di dalam tafsir Al-Kasyâf
karya az-Zamakhsyarî juga pendapat jumhur ulama mufassir yang senada
dengan pendapat az-Zamakhsyarî. Sehingga metode ini disebut analisis isi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan linguistik ilmu balaghâh yang
mengkhususkan pada pembahasan ilmu ma‟ânî.
Hasil penelitian yang ditemukan adalah: di dalam tafsir Al-Kasyâf karya
az-Zamakhsyarî tepatnya dalam surah Yâsîn, ayat-ayatnya mengandung
kalâm insya thalabî yang terdiri dari amr (perintah) sebanyak 10 kata yang
tersebar dalam 11 ayat, nahy (larangan) penulis tidak menemukan uslûb nahy
dalam surah Yâsîn, istifhâm (pertanyaan) sebanyak 16 kata yang tersebar
dalam 16 ayat, tamannî (harapan) sebanyak 6 kata yang tersebar dalam 6
ayat, dan nida‟ (panggilan) sebanyak 5 kata yang tersebar dalam 5 ayat.
Namun makna di dalamnya tidak hanya makna yang sebenarnya saja, tetapi
ada juga yang mengandung makna Idhafi yaitu makna yang keluar dari
makna asli kalâm insyâ‟i thalabî tersebut sesuai konteks. Dilihat dari
penafsiraan az-Zamakhsyarî mengenai kalâm insyâ‟i thalabî dalam surat
Yasin cenderung senada dengan penafsiran para ulama seperti Ibnu Jarîr Ath-
thabarî (Jami‟ Al-Bayân fî Ta‟wil Al-Qur`an), Thahir ibn „Âsyûr (At-tahrîr
wa At-tanwîr), Syaikh Wahbah Az-zuhaili (Tafsir Al-Munîr) dan Quraish
Shihâb (Tafsir Al-Misbâh).

xxi
xxii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kemukjizatan dalam Al-Qur`an meliputi berbagai aspek, salah
satunya aspek kebahasaan. Gaya bahasa Al-Qur`an mencapai tingkat
tertinggi dari segi keindahan bahasanya dan sifat Balâghahnya sehingga
membuat kagum, bukan saja orang-orang mukmin tetapi juga orang-
orang kafir. Kurun waktu terus silih berganti melewati ahli-ahli bahasa
arab, tetapi kemukjizatan Al-Qur`an tetap tegar bagai gunung yang
menjulang tinggi. Di hadapannya semua kepala bertekuk lutut dan
tunduk, tidak terpikirkan untuk mengimbanginya, apalagi
mengunggulinya, kerena terlalu lemah dan tidak bergairah menghadapi
tantangan berat ini, dan juga senantiasa akan tetap demikian keadaannya
sampai hari kiamat.1 Meyakini ketinggian nilai bahasa Al-Qur`an bahwa
Al-Qur`an adalah kalâm yang maha sempurna, kalâm yang bernilai
mukjizat, dan tidak ada seorangpun yang bisa membuat yang serupa
dengan Al-Qur`an.
Dalam memahami Al-Qur`an umat Islam harus memahami
bahasanya juga, yaitu bahasa arab. Bahasa yang digunakan Al-Qur`an
sangatlah indah, namun hanya orang tertentu saja yang bisa
menikmatinya. Hal ini karena berbagai disiplin ilmu yang harus dikuasai
untuk memahami Al-Qur`an, diantaranya ilmu Sharaf, I‟rab, Nahwu,
Rasm, Ma„ânî, Bayân, Badî‟, Urdh, Qawafi, Ghard Syi‟ir, Insyâ‟i,
Khitobah, Sejarah Sastra dan Kajian Bahasa.2

1
Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi-Studi Ilmu Al-Qur`an, (Bogor: Litera AntarNusa,
2016), Cet. ke-17, h. 381.
2
Puput Murniati, “Apek-Aspek Ma‟ânî Dalam Al-Qur`an Surah Yâsîn dan
Alternatif Pembelajarannya”, Skripsi Institut Agama Islam Negri Purwokerto, 2017, h. 1.

1
2

Salah satu sarana dari sekian banyak disiplin ilmu yang dapat
dipergunakan untuk mencapai maksud itu adalah Ilmu Balâghah. Ilmu
Balâghah adalah suatu disiplin ilmu untuk menerapkan makna dalam
lafadz-lafadz yang sesuai dimana tujuannya untuk mencapai efektifitas
dalam komunikasi antara Mutakallim dan Mukhathab.3
Secara ilmiyah, Balâghah merupakan suatu disiplin ilmu yang
berlandaskan kepada kejernihan jiwa dan ketelitian menangkap
keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar di antara macam-macam
uslûb (ungkapan). Sementara itu, upaya pengembangan Balâghah
semakin mencapai puncak pada penghujung fase yang dilakukan oleh
Abdul Qâhir al-Jurjani (W. 471 H) dengan menggunakan pendekatan
struktural, yakni membahas Balâghah teks-teks Al-Qur`an yang
menimbulkan efek psikologis dan rasa keindahan. Beliau lah yang
mengelompokkan pembahasan menjadi dua kelompok yakni al-Ma„ânî
dan al-Bayân. Oleh karena itu, Abdul Qâhir al-Jurjani (W. 471 H)
dipandang menjadi peletak dasar ilmu kedua tersebut. Dan Ibnu al-
Mu„taz (W. 296 H) dipandang sebagai peletak dasar ilmu al-Badî‟.4
Ilmu Balâghah meliputi tiga objek kajian, meliputi Ilmu Ma„ânî,
Ilmu Bayân, Ilmu Badî„.5 Dalam pembahasan ini, peneliti akan
membahas dan merinci salah satu disiplin ilmu Balâghah yakni Ilmu
Ma‟ânî. Ilmu Ma„ânî merupakan salah satu dari tiga bidang kajian
Balâghah yang dipelajari untuk mengetahui hal ihwal lafadz bahasa arab

3
Siti Najiah dan Penny Respati Yurisa, “kajian tentang Bahasa, Sastra, dan Budaya
Arab di Indonesia”, dalam Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa HMJ Jurusan Sastra
Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, 2019, h. 511.
4
Isyroqotun Nashoiha, “Majaz Isti„arah Dalam Surah Yusuf (Studi Komparatif
Tafsir Al-Kasyâf dan Tafsir Bahr al-Muhîth)”, Skripsi Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta, 2018,
h. 6.
5
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta: Raudhah
Press, 2007), h. 10.
3

yang diungkapkan berdasarkan kesesuaiannya dengan situasi dan kondisi


yang melingkupinya6.
Ilmu Ma„ânî berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan Al-Qur`an.
Maka sangatlah penting kiranya menguasai ilmu ini karena modal
penting dan utama dalam menyelami dan menyingkap rahasia kandungan
isi ayat-ayat Al-Qur`an lewat analisis keindahan bahasanya. Dengan
Ilmu Ma„ânî dapat ditetapkan maksud atau tafsir dari suatu ayat.7 Para
pakar bahasa sepakat bahwa ilmu Ma„ânî pertama kali dikembangkan
oleh Abdul Qâhir al-Jurjani (W. 471 H) dalam bukunya Dalail al-I‟jâz
meskipun istilah ilmu Ma„ânî belum disebutkan dalam buku tersebut
namun kajian-kajian ilmu Ma„ânî serta teori konstruksinya merupakan
perintis ilmu Ma„ânî.8
Salah satu bagian dari ilmu Ma„ânî adalah Uslûb Insyâ‟i. Dalam
pandangan ilmu Ma„ânî, uslûb Insyâ‟i terbagi menjadi dua yaitu, Insyâ‟i
thalabî dan Insyâ‟i ghoir thalabî. Akan tetapi peneliti memfokuskan
penelitian pada Insyâ‟i Thalabî karena disisi lain pembahasan Insyâ‟i
ghoir thalabî pada dasarnya adalah kalâm khabar yang dinukilkan pada
kalâm insyâ‟i, sehingga pembahasan Insyâ‟i Thalabî lebih penting
khususnya dalam Al-Qur`an surah Yâsîn yang sebagian besar terdiri dari
kalâm Insyâ‟i Thalabî. Kalâm Insyâ‟i Thalabî merupakan kalimat yang
menghendaki terjadinya sesuatu yang belum terjadi pada waktu kalimat
itu diucapkan.9 Maka Kalâm Insyâ‟i Thalabî tidak mengharuskan
keberhasilan pada saat perkataan itu diucapkan.

6
Al-Qazweni Al-Khatib, At-Talkhis fi „Ulûm Al-Balâghah, (tt.p.: Dâr al-Fikr Al-
„Araby, 1904), Cet. Ke-1, h. 37.
7
Puput Murniati, “Apek-Aspek Ma‟ânî Dalam Al-Qur`an Surah Yâsîn dan
Alternatif Pembelajarannya”, Skripsi Institut Agams Islam Negri Purwokerto, 2017, h. 1-2.
8
Haniah, Al-Balâghah al-„Arabiyyah (Studi Ilmu Ma‟ânî dalam Menyingkap
Rahasia Ilahi), (Makassar: Alauddin University Press, 2013), Cet. ke-1, h. 81-82.
9
Ali Al-Jarimi dan Mushtofa Amin, Al-Balâghatul Wâdhihah, h. 182.
4

Keterkaitan dengan ini, mendorong peneliti mengkaji Al-Qur`an dan


memfokuskan pada Surah Yâsîn. Alasan surah Yâsîn dijadikan objek
penelitian karena, pertama surah ini sudah akrab di telinga masyarakat,
karena kelekatan dengan kehidupan sehari-hari, surah Yâsîn dihafal oleh
masyarakat, baik dihafalkan dengan sengaja maupun tidak sengaja.10
Kedua karena fadhilahnya yang banyak, sering dibaca ketika ada orang
yang meninggal, acara tasyakuran, tahlilan dan lain sebagainya.
Surah Yâsîn terdiri dari 83 ayat, surah ini tergolong surah Makiyyah,
walaupun ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ayat ke 12 pada
surah ini turun di Madinah.11 Nama Yâsîn diambil dari ayat pertama
pada surah ini. Surah ini juga dikenal dengan beberapa nama yang lain,
yaitu: Qalbu Al-Qur`an (jantung Al-Qur`an), Habib An-Najjar (tokoh
yang dimaksud pada Q.S Yâsîn: 20), Ad-Dâfi‟ah (yang menampik dan
mendukung), dan Al-Qâdiyah (yang menetapkan). Surah Yâsîn ini
menguraikan tentang keesaan Allah, risalah kenabian, dan hari
kebangkitan.12
Melihat dari latar belakang tersebut, penulis memilih tafsir yang
digunakan untuk pembahasan kemukjizatan kebahasaan Al-Qur`an
adalah tafsir Al-Kasyâf karya Az-Zamakhsyarî13 (W. 538 H) karena
melihat dari kelekatan bahasa dan sastra yang tinggi dengan periodesasi
pertengahan dan teologi Mu„tazilah. Salah satu keunikan dari penafsiran
az-Zamakhsyarî mengenai Kalâm Insyâ‟i Thalabî dalam surah Yâsîn

10
Puput Murniati, “Apek-Aspek Ma‟ânî Dalam Al-Qur`an Surah Yâsîn dan
Alternatif Pembelajarannya”, Skripsi Institut Agama Islam Negeri Purwokerto, 2017, h.3.
11
Muhammad al-Utsaimin, Tafsir Surah Yâsîn, (Jakarta: Akbar Media, 2009), h.5.
12
Muhammad Reissyaf, “Study Surah Yâsîn (Analisis Stilistika)”, Tesis Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015, h.6.
13
Nama lengkap Az-Zamakhsyarî adalah Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin
Muhammad Az-Zamakhsyarî Al-Kawarizmi Al-Hanafi Al-Mu‟tazali. Ia memiliki nama
laqab, yaitu Jarullah. Ia lahir pada tahun 467 H (1074 M) dan wafat tahun 538 H (1143 M).
Di kutip Dâri Samsurrohman, “Pengantar Ilmu Tafsir”, (Jakarta: Amzah, 2014), Cet. Ke-1,
h. 224.
5

adalah menafsirkan ayat 1 sebagai huruf muqatha„ah pada lafadz 

diambil dari bentuk nida‟ (panggilan) dalamْ ‫( يا ْانساف‬wahai manusia),

sedangkan ‫س‬ (sin) diambil dari kata ‫انساف‬ (insan). Az-Zamakhsyarî

merujuk pada riwayat hadis dari Ibnu „Abbas yang memaknai dengan ْ‫يا‬

‫( انساف‬wahai manusia), menurut az-Zamakhsyarî makna ini diambil dari


logat atau kebiasaan kata yang digunakan suku Thayyi‟ di Jazirah Arab
pada waktu itu.14
Oleh karena itu peneliti membahas Kalâm Insyâ‟i Thalabî secara
meyeluruh dengan mengeksplorasi contoh-contoh ayat dalam surah
Yâsîn yang meliputi Kalâm Insyâ‟i Thalabî:
1. Amr (kata perintah), secara leksikal bermakna “perintah”.
Sedangkan menurut istilah “Tuntutan mengerjakan sesuatu yang
lebih rendah.
2. Nahy (kata larangan), secara leksikal adalah melarang, menentang,
menahan, sedangkan menurut istilah “Tuntutan meninggalkan suatu
perbuatan dari pihak yang lebih tinggi”. Untuk kata larangan ini
hanya ada satu sighah yaitu fi‟il mudhori yang disertai lam nahiyah.
3. Istifhâm (kata tanya), secara leksikal bermakna meminta
pemahaman atau meminta pengertian. Secara istilah “Menuntut
pengetahuan akan sesuatu yang sebelumnya diketahui yaitu dengan
perantaraan satu alat dari beberapa alatnya.

14
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf ‟an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 899.
6

4. Tamannî (kata untuk menyatakan harapan terhadap sesuatu yang


sulit terwujud), secara bahasa yaitu kalimat yang berfungsi untuk
menyatakan keinginan terhadap sesuatu yang disukai, tetapi sulit
untuk meraihnya.
5. Nidâ (kata seruan/panggilan), secara leksikal artinya panggilan,
secara istilah adalah “Tuntutan mutakallim yang menghendaki
seseorang agar menghadapnya. Nida menggunakan huruf yang
mengganti lafadz “Unâdi” atau “Ad‟u” yang susunannya dipindah
dari kalâm khabari menjadi kalâm Insyâ‟i.
Dalam masing-masing jenis Kalâm Insyâ‟i thalabîdi atas
mempunyai makna-makna tertentu selain makna haqiqi (makna yang
keluar dari makna asli).
Oleh karenanya, peneliti akan membahas Surah Yâsîn sebagai bahan
penelitian dengan berbagai bentuk Balâghah di dalamnya, terutama
bentuk Kalâm Insyâ‟i Thalabî. Maka judul penelitian yang dipilih oleh
peneliti adalah Kalâm Insyâ’i Thalabî dalam Al-Qur`an Surah Yâsîn
(Studi Analisis Tafsir Al-Kasyâf Karya az-Zamakhsyarî (w. 538 H)).

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
a. Bagaimana riwayat hidup dan perjalanan intelektual tentang az-
Zamakhsyarî?
b. Karya apa saja yang telah dihasilkan oleh az-Zamakhsyarî?
c. Bagaimana metodologi tafsir al-Kasyâf karya az-Zamakhsyarî?
d. Bagaimana penafsiran az-Zamakhsyarî mengenai kalâm insyâ
thalabî dalam surah Yâsîn disertai siapa saja jumhur ulama
mufassir yang senada dengan penafsiran az-Zamakhsyarî?
7

2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, peneliti membatasi Batasan masalah yang hendak
dibahas pada penelitian penafsiran az-Zamakhsyarî mengenai Kalâm
Insyâ‟i thalabî pada QS. Yâsîn [36]:1-83 agar peneliti menjadi lebih
fokus dan terarah juga ayat-ayat dalam surah Yâsîn ini sebagian besar
mengandung Kalâm Insyâ‟i thalabî.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasai dan pembatasan masalah, penulis
merumuskan permasalahan yaitu, Bagaimana penafsiran az-
Zamakhsyarî mengenai Kalâm Insyâ‟i Thalabî dalam surah Yâsîn

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara khusus adalah untuk mendapatkan
jawaban dari permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu:
Untuk mengidentifikasi dan menganalisa bentuk penafsiran az-
Zamakhsyarî mengenai Kalâm Insyâ‟i Thalabî dalam surah Yâsîn.
Adapun kegunaan yang diharapkan penelitian ini sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Sebagai sumbangan pemikiran pada masyarakat umum,
khususnya dalam dunia akademik, yang memiliki minat lebih
memperdalam Balâghah, dan sebagai pijakan referensi dalam
penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan
Ilmu Balâghah khususnya uslûb insyâ‟i thalabî dalam surah
Yâsîn , serta menjadi bahan kajian lebih lanjut.
8

b. Kegunaan Praktis
Dapat memberikan wawasan ilmu pengetahuan, kekayaan
bahasa bagi penulis, pembaca dalam meningkatkan pemahaman
uslûb insyâ‟i thalabî dalam surah Yâsîn

D. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, yang dikaji adalah jenis-jenis Kalâm Insyâ‟i
thalabî dalam Al-Qur`an surah Yâsîn. Oleh karena itu, peneliti
menggunakan refernsi atau kepustakaan yang ada kaitannya dengan
judul yang dibahas peneliti. Adapun yang menjadi tinjauan pustaka pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pertama, Muhammad Iqbal Thanthowi dalam skripsinya yang
berjudul “Muatan Kalâm Insyâ‟i Dalam Al-Qur`an Surah Maryam
(Kajian Ilmu Balaghah)” menjelaskan tentang hal-hal yang berhubungan
dengan kalâm Insyâ‟i berdasarkan Al-Qur‟an surah Maryam. Di dalam
skripsi ini, fokus permasalahannya adalah apa saja ayat-ayat yang
memuat kalâm Insyâ‟i di dalam Al-Qur`an surah Maryam serta
bagaimana bentuk muatan kalâm Insyâ‟i yang terdapat pada ayat-ayat
Al-Qur`an di dalam surah Maryam tersebut15. Dalam Skripsi ini
memberikan banyak kontribusi terhadap penulis tentang pengertian dan
bentuk-bentuk Kalâm Insyâ‟i Thalabî dan juga aspek kebahasaan lainnya
yang terkait dengan pembahasan ini.
Kedua, Dalam skripsi Abdul Haiy yang berjudul Uslûb Insyâ‟i dan
Dilalahnya dalam Al-Qur`an surah Shâd (Skripsi Uneversitas Islam
Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017)16 menjelaskan bagaimana bentuk
uslûb insya dalam surah Shâd serta dilalahnya dalam Al-Qur`an tetapi

15
M. Iqbal Tanthawi, “Muatan Kalâm Insyâ‟i Dalam Al-Qur`an Surah Maryam”,
Skripsi Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017.
16
Abdul Haiy, “Uslûb Insyâ‟i dan Dilalahnya Dalam Al-Qur`an”, Skripsi
Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017.
9

pada skripsi ini tidak memfokuskan pada satu tafsir, melainkan dari
beberapa tafsir. Dalam skripsi ini memberikan gambaran bagaimana
bentuk kalâm Insya thalabî dalam suatu surah.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Reissyaf (Tesis
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015) yang berjudul Studi
Surah Yâsîn (Analisis Stilistika).17 Isi dari penelitian tersebut adalah
terdapat beberapa unsur gaya bahasa yang terkandung dalam surah
Yâsîn, seperti unsur leksikal, unsur gramatikal, dan gaya kiasan. Unsur-
unsur gaya bahasa yang terkandung dalam surah Yâsîn baik itu pilihan
kata maupun kalimat berimplikasi terhadap makna dan nuansa yang
ditampilkan.
Kontribusi Tesis yang ditulis Muhammad Reisyaf dengan skripsi
yang akan disusun adalah dapat membatu penulis mengetahui Asbab
Nuzul surah Yâsîn, makna yang terkandung dan unsur-unsur bahasa
yang ada di dalam surah Yâsîn, namun dalam tesis ini lebih ke unsur
bahasa leksikal-gramatikal dan juga tidak memfokuskan pada satu tafsir,
melainkan dari beberapa tafsir.
Keempat, Ahmad Nuruddin dalam skripsinya yang berjudul “Uslûb
Ma„ânî Dalam Surah Al-Haqqah” yang membahas tentang bagaimana
gaya bahasa al-Qur‟an dalam kesesuaian kalimat terhadap
kontekstualnya, sehingga dapat diketahui kecocokan kalimat dengan
tujuan yang dikehendaki, dan hal itu terdapat dalam kajian balaghah ilmu
Ma„ânî yang mempelajari tentang al-Kalâm, al-Qashr, al-Fashl wa al-
Washl, al-Musawah wa al-„Îjâz wa al-Ithnâb18. Kontribusi skripsi ini
dengan skripsi yang akan disusun adalah pembahasan masaih sama

17
Muhammad Reissyaf, “Study Surah Yâsîn (Analisis Stilistika)”, Tesis Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015.
18
Ahmad Nuruddin, “Uslûb Ma‟ânî Dalam Surah Al-Hâqqah”, Skripsi, Fakultas
Bahasa Dan Adab, Jurusan Adab Dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel,
Surabaya, 2017.
10

tentang Uslûb Insyâ‟i, meskipun nantiya objek kajiannya berbeda akan


tetapi masih dalam pembahasan yang sama yaitu bahasa.
Kelima, penelitian yang dilakukan Puput Murniati (Skripsi Jurusan
Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut
Agama Islam Negeri Purwokerto, 2017) yang berjudul “Aspek aspek
Ma„ânî dalam Al-Qur`an surah Yâsîn dan Alternatif Pembelajarannya”.
Isi dari penelitian tersebut membahas semua jenis-jenis Ilmu Ma„ânî
termasuk kalâm khabari dan kalâm Insyâ‟i dan membahas beberapa
uslûb yang berkaitan dengan ilmu Ma‟ânî, dan juga menjelaskan
alternative tentang pembelajarannya supaya peserta didik tidak bosan
dalam belajar ilmu Ma„ânî ini.19 Dalam Skripsi ini, jelas banyak lebih
membantu penulis dalam mengetahui beberapa uslûb Kalâm Insyâ‟i yang
berkaitan dengan pembahasan yang akan penulis bahas.

E. Kerangka Teori
Pada penelitian ini penulis menganalisa dengan menggunakan teori
ilmu Ma„ânî sebagaimana dipaparkan di atas, maka sangatlah penting
kiranya menguasai ilmu ini karena dapat memahami dan menyingkap
rahasia kandungan isi ayat Al-Qur`an melalui analisis keindahan
bahasanya, dengan ilmu ini dapat ditetapkan maksud atau tafsir dari
suatu ayat. Salah satu bagian dari ilmu ini adalah uslûb Insyâ‟i thalabî,
oleh karena itu peneliti menganalisa secara menyeluruh dengan
mengklasifikasikan contoh-contoh ayat juga menganalisa penafsiran
yang meliputi uslûb insyâ‟i thalabî ini, seperti:
1. Amr (kata perintah), secara leksikal bermakna “perintah”.
Sedangkan menurut istilah “Tuntutan mengerjakan sesuatu yang
lebih rendah.

19
Puput Murniati, “Apek-Aspek Ma‟ânî Dalam Al-Qur`an Surah Yâsîn dan
Alternatif Pembelajarannya”, Skripsi Institut Agama Islam Negri Purwokerto, 2017.
11

2. Nahy (kata larangan), secara leksikal adalah melarang, menentang,


menahan, sedangkan menurut istilah “Tuntutan meninggalkan suatu
perbuatan dari pihak yang lebih tinggi”. Untuk kata larangan ini
hanya ada satu sighah yaitu fi‟il mudhori yang disertai lam nahiyah.
3. Istifhâm (kata tanya), secara leksikal bermakna meminta
pemahaman atau meminta pengertian. Secara istilah “Menuntut
pengetahuan akan sesuatu yang sebelumnya diketahui yaitu dengan
perantaraan satu alat dari beberapa alatnya.
4. Tamannî (kata untuk menyatakan harapan terhadap sesuatu yang
sulit terwujud), secara bahasa yaitu kalimat yang berfungsi untuk
menyatakan keinginan terhadap sesuatu yang disukai, tetapi sulit
untuk meraihnya.
5. Nidâ (kata seruan/panggilan), secara leksikal artinya panggilan,
secara istilah adalah “Tuntutan mutakallim yang menghendaki
seseorang agar menghadapnya. Nida menggunakan huruf yang
mengganti lafadz “Unâdi” atau “Ad‟u” yang susunannya dipindah
dari kalâm khabari menjadi kalâm Insyâ‟i.
Dalam masing-masing jenis Kalâm Insyâ‟i thalabîdi atas
mempunyai makna-makna tertentu selain makna haqiqi (makna yang
keluar dari makna asli).

F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis
Kalâm Insyâ‟i thalabî dalam Al-Qur`an surah Yâsîn. Ditinjau dari
sifatnya penelitian ini bersifat kajian kepustakaan (library research).
Karena sifat penelitian kepustakaan ini bersifat analisis, maka
peneliti menganalisa ayat-ayat surah Yâsîn dengan pokok-pokok
12

bahasan dalam Kalâm Insyâ‟i thalabî yang bersandar pada tafsir dan
buku-buku Balâghah lainnya yang terkait dengan itu.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada
dua macam, yaitu:
a. Sumber data primer, bersumber dari kitab pokok kajian dari
penelitian ini, yakni kitab Tafsir Al-Kasyâf karya az-
Zamakhsyâri.
b. Sumber data sekunder, Adapun sumber data sekundernya
adalah buku-buku, atau karya lainnya yang menunjang serta
berkaitan dengan penelitian Kalâm Insyâ‟i thalabî seperti,
Balâghah Al-Wâdhihah karya Ali Al-Jarimi dan Mushtofa
Amin, Jauharul Maknûn karya Syaikh Abdurrahman Al-
Akhdhari, Ilmu Ma„ânî karya Abdul „Aziz „Atiq, Jawâhirul
Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-Bayân wa al-Badî‟ karya Sayyid
Ahmad al-Hasyami dan buku lainnya.
3. Metode Pengumpulan Data
Sebagaimana di awal disebutkan bahwa penelitian ini
menggunakan Library Research dan Internet Research maka teknik
pengumpulan data yang dipakai adalah teknik dokumentasi yaitu
membaca, menelaah buku dan literatur lainnya yang berhubungan
dengan penelitian ini.
4. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam
penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, yaitu mencoba
mendeskripsikan unsur-unsur Balâghah serta menganalisis secara
umum di dalam tafsir al-Kasyâf karya az-Zamakhsyarî.
13

Demikianlah peneliti mengambil pendekatan dengan


menggunakan pendekatan linguistik. Di antara ciri khas yang
menonjol dalam tafsir linguistik adalah banyak menggunakan aspek
nahwu sharaf (morfologi), menjelaskan aspek I„râb atau kedudukan
kalimat, menjelaskan uslûb Balâghah karena memang Al-Qur`an
diyakini memiliki stilistika yang khas dan berebeda pada umumnya,
banyak menjelaskan aspek I„jâz-nya.20

G. Teknik dan Sistematika Penulisan


1. Teknik Penulisan
Dalam teknik penulisan proposal ini, peneliti mengacu pada
buku panduan Petunjuk Teknis Penulisan Proposal dan Skripsi yang
diterbitkan oleh Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta 2017.
2. Sistematika Penulisan
Untuk menjadikan penulisan proposal ini lebih sistematis dan
terfokus, maka peneliti menyajikan sistematika pembahasan sebagai
gambaran umum dalam penelitian ini.
Bab pertama, berisi pendahuluan dengan mengemukakan hal
mendasar sebagai suatu kerangka umum pembahasan berikutnya.
Dalam bab ini memuat latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian yang meliputi jenis
penelitian, sumber data primer dan sekunder, teknik pengumpulan
data, metode analisis data, teknis dan sistematika penulisan.
Bab kedua, berupa landasan teori mengenai penelitian yang
terdiri dari, tinjauan ilmu ma‟ânî, pengertian Uslûb Insyâ‟i thalabî,
membahas semua jenis-jenis yang termasuk ke dalam Kalâm Insyâ‟i

20
Isyroqotun Nashoiha, “Majaz Isti„ârah Dalam Surah Yûsuf (Studi Komparatif
Tafsir Al-Kasyâfdan Tafsir Bahrul Muhith)”, h. 21.
14

thalabî dilengakapi pengertian dan contoh dari masing-masing


Uslûb Insyâ‟i.
Bab ketiga, membahas tentang biografi tokoh yakni az-
Zamakhsyarî meliputi biografi tokoh, perjalanan intelektual, karya
yang dihasilkan dan metodologi tafsir al-Kasyâf.
Bab keempat, dimulai membahas sekilas mengenai Surah
Yâsîn. Bab ini merupakan yang terpenting dari hasil penelitian,
karena dalam bab ini berisi tentang hasil penafsiran az-Zamakhsyarî
mengenai kalâm Insyâ‟i thalabî dalam surah Yâsîn.
Bab lima, berupa penutup, kesimpulan, saran dan
rekomendasi. Bagian akhir penulisan disetakan daftar pustaka dan
lampiran-lampiran.
BAB II
TINJAUAN UMUM ILMU MA‟ÂNÎ
Pada bab ini akan dijelaskan hal ihwal ilmu Ma„ânî yang meliputi
definisi dan pembagian ilmu ma„ânî, dimana di dalamnya terdapat kalâm
khabari dan kalâm Insyâ‟i berikut contohnya.

A. Definisi Ilmu Ma„ânî


Ilmu ma„ânî adalah salah satu cabang dari ilmu Balâghah. Sebelum
membahas lanjut tentang kedudukan Ilmu ma‟ânî, lebih baiknya jika
diketahui dahulu apa arti dari ilmu balaghah. Secara umum ilmu
balaghah suatu disiplin ilmu yang berlandaskan kepada kejernihan jiwa
dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang samr
di antara macam-macam uslûb (ungkapan)1.
Adapun alasan penamaan ilmu ini dengan balaghah adalah bahwa
bahasa yang memiliki tingkat balaghah yang tinggi akan bisa
menyampaikan apa yang dimaksud ke dalam hati orang yang
mendengarnya, sehingga orang itu bisa memahaminya. Aspek yang
terpenting dalam ilmu balaghah adalah ungkapan yang baik dan benar
yang sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan (balâghah al-
kalâm) dan orang yang jelas menyampaikan ungkapan itu (balâghah al-
mutakallim). Dalam ilmu balaghah, kedua aspek tersebut sangat
menentukan ketepatan dan kebenaran suatu ungkapan dari seorang
pembicara.
Objek pembahasan ilmu balâghah mencakup segala aspek yang
berkaitan dengan penyusunan kalimat yang baik dan benar dalam bahasa

1
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta; Raudhah
Press, 2007), h. 10.

15
16

arab sehingga kalimat itu sesuai dengan objek yang dibicarakan dan
dapat dipahami oleh pihak penerima pesan (penerima).2
Menilik objek Ilmu Ma„ânî yang mempelajari kalimat dan kaitannya
dengan konteks sehingga pembicara dapat menyampaikan gagasan dan
idenya kepada lawan tuturnya sesuai dengan situasi dan kondisinya,
maka dengan mempelajari ilmu tersebut dapat memberi beberapa
manfaat, yaitu:
1. Untuk mengetahui kemukjizatan Alquran dari aspek keindahan
deskripsinya, kehalusan penyampaiannya, kelembutan makna yang
tersurat dan tersirat, pemilihan diksi yang tepat, dan penyatuan
antara sentuhan akal dan hati.
2. Untuk mengetahui rahasia ketinggian dan kefasihan bahasa Arab
baik pada syair maupun prosa sehingga ilmu ini merupakan modal
bagi seorang kritikus sastra Arab untuk dapat membedakan mana
ungkapan yang benar dan yang tidak, mana yang indah dan yang
kurang serta mana yang teratur dan yang tidak.3

Kata Ma„ânî merupakan bentuk jamak dari (‫)معىن‬. Secara leksikal

kata tersebut berarti maksud, arti atau makna. Ma„ânî merupakan istilah
atau salah satu kajian dalam balaghah sedangkan ma‟na merupakan
bahasan dalam ilmu semantik (dilalah)4. Secara terminologi, ilmu
Ma„ânî adalah:

.5 ‫ىْالىاؿ‬
ْ ‫ض‬ ْ‫اْيطابقْ يْم ْقتى ى‬
ْ‫ي‬ ًْ ‫ت‬
‫ِْى‬ ْ ًَّ‫بْاْل‬
ْ ً‫العىْر‬ ْ‫ؼْْبًًْوْْاى ٍْحىْواؿْاللف ي‬
ْ‫ظْ ى‬ ْ‫ىْكيْى ىْوْ ًْعٍْل هْمْيْػيٍْعْىر ي‬

2
Abdul Haiy, “Uslûb Insyâ‟i dan Dilalahnya Dalam Al-Qur`an”, Skripsi
Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017, h. 14.
3
Khamim dan Ahmad Subakir, Ilmu Balâghah (Dilengkapi dengan contoh-contoh
Ayat, Hadits Nabi dan Sair Arab), (Kediri: IAIN Kediri Press, 2018), h. 13.
4
Haniah, Al-Balâghah al-„Arabiyyah (Studi Ilmu Ma‟ânî dalam Menyingkap
Rahasia Ilahi), (Makassar: Alauddin University Press, 2013), Cet. ke-1, h. 80.
17

Ilmu yang dipelajari untuk mengetahui hal ihwal lafadz bahasa arab
yang diungkapkan berdasarkan kesesuaiannya dengan situasi dan kondisi
yang melingkupinya.
Hal ihwal lafaz bahasa Arab yang dimaksud adalah pemilihan diksi
dan model-model susunan kalimat dalam bahasa Arab, seperti
penggunaan susun balik (taqdîm dan ta‟khîr), penggunaan ma‟rifah atau
nakirah, elliptik (hazf), disebut (zikr), penggunaan kalimat efektif dalam
bentuk yang lugas maupun yang panjang (al-î‟jâz dan al-ithnâb) dan
sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi dan kondisi
adalah situasi dan kondisi mukhâthab, seperti keadaan kosong dari
informasi itu, atau ragu-ragu, atau malah mengingkari informasi
tersebut. Dengan kata lain Ilmu Ma„ânî dipahami sebagai ilmu yang
mengandung kaidah-kaidah yang dapat dijadikan dasar untuk
menentukan kualitas kalimat dari sisi kesesuaian kalimat itu dengan
konteksnya5.
Ilmu Ma„ânî berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan Al-Qur`an.
Maka sangatlah penting dan utama dalam menyelami dan menyingkap
rahasia kandungan isi ayat-ayat Al-Qur`an lewat analisis keindahan
bahasanya. Dengan ilmu Ma„ânî dapat ditetapkan maksud atau tafsir dari
suatu ayat.6. Para pakar bahasa sepakat bahwa ilmu Ma„ânî pertama kali
dikembangkan oleh Abdul Qahir al-Jurjani (W. 471) dalam bukunya
Dalail al-I‟jâz meskipun istilah ilmu Ma„ânî belum disebutkan dalam
buku tersebut, namun kajian-kajian ilmu Ma„ânî serta teori kontruksinya
merupakan perintis ilmu ma‟ânî.7

5
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma‟ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 19), h. 46.
6
Puput Murniati, “Apek-Aspek Ma‟ânî Dalam Al-Qur`an Surat Yâsîn dan
Alternatif Pembelajarannya”, Skripsi Institut Agama Islam Negri Purwokerto, 2017, h. 1-2.
7
Haniah, Al-Balâghah al-„Arabiyyah (Studi Ilmu Ma‟ânî dalam Menyingkap
Rahasia Ilahi), h. 81-82.
18

Dalam perkembangannya bahwa kalâm terbagi atas dua bagian yaitu


kalâm khabari dan kalâm insyâ‟i. Namun pada skripsi ini penulis
menitikberatkan pada pembahasan kalâm Insya. Sebelum masuk dalam
pembahasan kalâm insyâ‟i, perlu diperhatikan bahwasanya setiap kalâm,
baik kalâm khabar atau kalâm insyâ‟i terdiri atas dua unsur asasi, yaitu
mahkum alaih dan mahkum bih. Unsur pertama disebut sebagai musnad
ilaih8 dan unsur kedua disebut sebagai musnad,9 sedangkan kata-kata
selebihnya selain mudhaf ilaih dan shilah disebut qaid (pelengkap
kalimat).

B. Pembagian Ilmu Ma‟ânî


Dalam bidang Ilmu ma‟ânî, kalâm terbagi menjadi dua yaitu kalâm
khabari dan kalâm Insya.
1. Kalâm khabari

ْ‫الكذبْْلً ى‬
Kalâm khabari adalah ‫ذ ْاتًًْو‬ ْ‫دؽْك ى‬
‫ ماْحيتملْالصْ ى‬berarti kalâm
‫ي‬
yang mengandung kebenaran dan kedustaan bagi dzatnya.10 Artinya
kalimat yang pembicaranya dapat dikatakan sebagai orang yang
benar atau dusta. Bila kalimat itu sesuai kenyataan maka
pembicaranya adalah benar, dan bila kalimat itu tidak sesuai dengan
kenyataan, maka pembicaranya adalah dusta.

8
Lafadz-lafadz yang termasuk musnad ilaih adalah fâ„il, nâ‟ibul fâ„il, mubtada‟
yang meiliki khabar, dan isim yang semula merupakan mubtada‟, seperti isim kâna, inna,
zhanna dan sauDâra-sauDâranya. Lihat: Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balaghatu
Al-Wadhihah, (Jakarta; Raudhah Press, 2007), h. 154.
9
Lafadz-lafadz yang menjadi musnad adalah fi„il yang sempurna, mubtada‟ yang
cukup dengan isim yang dirafa‟kannya, khabar mubtada‟, lafadz-lafadz yang semula menjadi
khabar mubtada‟, seperti khabara kâna dan sauDâra-sauDâranya, isim fi‟il dan masDâr yang
mengganti kedudukan fi‟il amr. Lihat: Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-
Wâdhihah, (Jakarta; Raudhah Press, 2007), h. 154.
10
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma‟ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 55.
19

Pada pokoknya kalâm khabar diucapkan untuk salah satu dari dua
maksud yaitu:
a. Memberi tahu kepada orang yang diajak bicara mengenai
hukum yang terkandung di dalamnya, dan hukum tersebut
disebut sebagai fâidatul khabar.
b. Memberi tahu bahwa si pembicara mengetahui hukum yang
terkandung di dalamnya, dan hal ini disebut sebagai lâzimatul
fâidah.11
Akan tetapi, ada kalâm khabar yang diucapkan untuk maksud lain
yang dapat dipahami dari susunan kalimat. Maksud-maksud lain
tersebut antara lain adalah:

1) Al-istirhâm (‫)االسرتحاـ‬, untuk mencari belas kasihan.

2) Idzhâr adh-Dha‟fi (‫الضعف‬


ٌ ‫)اظهار‬, untuk menampakkan

kelemahan.

(‫)اظهارالتحسر‬,
3) Idzhâr at-Tahassur
ٌ untuk menampakkan

kekecewaan.

4) Al-Fakhr (‫)الفخر‬, untuk kesombongan.

5) Al-Hatsu „alâ as-Sa‟yi wa al-Jiddi (‫د‬


ٌْ ‫الث ْعلى ْالسعي ْكاْل‬
ٌ ),
menghimbau untuk berusaha dan rajin.12
2. Kalâm Insyâ’i (Uslûb Insyâ’i)
Uslûb adalah makna yang terkandung pada kata-kata yang
terangkai sedemikian rupa sehingga lebih cepat mencapai sasaran
11
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 56.
12
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 161.
20

kalimat yang dikehendaki dan lebih menyentuh jiwa para


pendengarnya13.
Menurut Dr. D. Hidayat dalam bukunya Al-Balâghah lil-Jami‟
wa asy-Syawâhid min Kalâm al-Badî‟ (Balaghah untuk semua),
‫ االسلوب‬atau gaya bahasa (style), berarti cara mengungkapkan pikiran

atau perasaan melalui bahasa. Dalam mengungkapkan pikiran,


perasaan dan tujuan digunakanlah bermacam-macam uslûb atau
gaya bahasa yang sesuai, dengan gaya kalimat berita, gaya kalimat
pertanyaan, gaya perintah, atau gaya bahasa lain terkandung situasi
dan kondisi.14
Sementara itu, menurut Dr. zubair dalam bukunya yang
berjudul Stilistika Arab, Uslûb (gaya bahasa) adalah pilihan-pilihan
bahasa yang mencakup aspek leksikal, gramatikal, dan semantis dari
seorang pengarang yang dianggap utama dari pada yang lain, baik
disengaja maupun tidak disengaja.15
Banyak definisi gaya bahasa yang diajukan para ahli, antara lain
yaitu, cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas,
yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pemakai bahasa itu.16

Al-Insyâ‟i diambil dari kata kerja ِِ‫ِاِنشِاء‬-ِ‫ِيِنشِئ‬-ً‫اء‬


ِ ِ‫اِنش‬, contoh

‫الىٍْلق‬
ْ ْ‫اللي‬
ْ ْ‫اءى‬ْ‫( ْاً ى‬Allah SWT memulai penciptaan mereka). Jadi secara
ْ ‫نش‬
bahasa al-Insyâ‟i adalah al-Ibtida‟ (pemulaian), dan al-Kholqu

13
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 14.
14
D. Hidayat, Al-Balâghah lil-Jami‟ wa asy-Syawâhid min Kalâm al-Badi‟
(Balâghah untuk semua), (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002), h. 52.
15
Zubair, “Stilistika Arab Studi Ayat-Ayat Pernikahan dalam Al-Qur`an”, (Jakarta:
Amzah, 2017), Cet. Ke-1, h. 25.
16
D. Hidayat, Al-Balâghah lil-Jami‟ wa asy-Syawâhid min Kalâm al-Badi‟
(Balâghah untuk semua), (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002), h. 52.
21

(penciptaan). Adapun al-Insyâ‟i dalam ilmu balaghah berbeda


dengan arti yang di atas, dan menurut al-Jurjani bahwasanya Insyâ‟i
itu adalah suatu perkataan yang tidak bisa kita pastikan, apakah
perkataan itu telah terjadi ataupun belum terjadi.17

Insyâ‟i menurut bahasa adalah ِ‫الِيجِاد‬ berarti mewujudkan.

Sedangkan menurut istilah ِ‫ مِاِلِِيِحِتِمِلِِالصِدقِِوالكذب‬berarti kalâm


yang tidak mengandung kebenaran dan kedustaan bagi dzatnya.

Contoh ْ‫ ْاً ٍْغ ًْف ٍر‬berarti “ampunilah” dan ْ ‫ ْاًٍْر ىْح ٍْم‬berarti “kasihanilah”.

Oleh karenanya, tidak dapat disifati orang yang mengatakan


perkataan tersebut dengan benar atau dusta18. Uslûb Insyâ‟i
merupakan kebalikan dari uslûb khabarî yaitu suatu bentuk kalimat
yang tidak mengandung kebenaran dan kebohongan setelah

dituturkan. Jika seorang berkata ‫اِقِِرأ‬ berarti bacalah tidak bisa

dikatakan ucapannya itu mengandung unsur benar atau dusta.


Setelah kata itu diucapkan yang mesti dilakukan adalah perbuatan
membaca19.
Uslûb insyâ‟i terdiri dari dua bagian inti yang disebut musnad
ilaih (subjek atau pelaku) dan musnad (predikat atau peristiwa).

Contohnya ٍْ ‫ت ْىالْ ْتىْػْتى ىْكْلَّ ٍْم ْْيىا ْْاى‬


ْ‫حى ٍد‬ ٍْ ‫ْايس يْك‬ “Diam! Jangan bicara, hai

Ahmad!”. Dalam contoh ini, ada tiga jenis kalimat, yaitu amr, nahi

17
M. Iqbal Tanthawi, “Muatan Kalâm Insyâ‟i Dalam Al-Qur`n Surah Maryam”,
Skripsi Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017, h. 14-15.
18
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 77.
19
Haniah, Al-Balâghah al-Al-arabiyyah (Studi Ilmu Ma„ânî Dalam Menyingkap
Rahasia Ilahi), (Makassar: Alauddin University Press, 2013), Cet. ke-1, h. 104-105.
22

dan nida. Pada jenis kalimat pertama, musnad ilaih-nya adalah

dhamir mustatir (‫انت‬, kamu) dan musnad-nya adalah fiil “uskut”

(diam), dan pada kalimat kedua, musnad ilaih-nya adalah dhamir

mustatir (‫انت‬,kamu) dan musnad-nya adalah fiil “tatakallam”

(bicara), sedangkan pada kalimat ketiga, musnad ilaih-nya adalah

dhamir mustatir (‫انا‬, aku) dan musnad-nya adalah fiil “ad‟u” yang

digantikan oleh huruf nida (‫)يا‬20.

Dalam hal ini Uslûb Insya terbagi menjadi dua jenis, yaitu
Uslûb Insyâ‟i Thalabî dan Insyâ‟i ghair Thalabî. Yang termasuk
kategori Insyâ‟i Thalabî adalah amr (kata perintah), nahy (kata
larangan), istifhâm (kata tanya), nidâ‟ (kata seru), dan tamannî (kata
untuk menyatakan harapan terhadap sesuatu yang sulit terwujud),
sedangkan yang termasuk Insyâ‟i Ghair Thalabî diantaranya
ta‟ajjub (kata untuk menyatakan pujian), dzamm (kata untuk
menyatakan celaan), qasam (ungkapan sumpah), kata-kata yang
diawali dengan af‟alu ar-rajâ‟i (ungkapan penghargaan) dan
demikan pula kata-kata yang mengandung makna akad (transaksi)21.
a. Pembagian Uslûb Insyâ’i
Secara garis besar Uslûb Insyâ‟i terdiri dari dua jenis, yaitu
Insyâ‟i Thalabî dan Insyâ‟i Ghair Thalabî.

1) Insyâ‟i Ghair Thalabî


‫قتْال ْطَّْلىب‬ ًْ
ْ‫ريْحاصلْ ىْك ى‬ ْ‫سْتى ٍْد ًْع ى‬
‫يْم ْطٍْليوبانْ ىْغ‬ ٍْ ‫ىْماْىْالْْيى‬
20
Ahmad Izzan, Uslûb Kaidah-Kaidah Ilmu Balâghah, (Bandung: Tafakur, 2012),
h. 7.
21
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 182.
23

Artinya kalimat yang tidak menuntut sesuatu. Insyâ‟i


ghair thalabî ada beberapa bentuk, diantaranya:

a) Al-madh wa adz-dzam (‫ )المدح ْكالذـ‬yaitu kata untuk

ْ ‫ْْبًٍْئ‬,‫ْنًٍْع ْم‬
menyatakan celaan dengan menggunakan kata ‫س‬
‫ى‬ ‫ى‬
dan lafadz yang berlaku seperti keduanya, contoh

lafadz ‫ْالحبٌ ىذا‬


‫ ى‬,‫ىحبٌ ىذا‬ dan fi„il-fi„il yang dipindahkan

kepada wazan ْ‫فىػعي ىل‬. Contohnya: ‫ْعلً ُّي ْنػى ٍف نسا‬


‫اب ى‬
‫طى ى‬
(sungguh bagus jiwa „Ali), ‫َل‬
ْ‫ثْبىكٍرْاى ٍى ن‬
‫( ىخبي ى‬sungguh jelek
keluarga Bakr).

b) Al-„Uqûd (‫)العقود‬, bentuk beberapa akad menggunakan

shighah fi‟il madhi. Contoh kata ‫ْبًٍْع ي‬


ْ‫ت‬ (aku telah

ْ‫( ْاً ٍْشتىْػْرْيٍ ي‬aku telah membeli), ‫ت‬


menjual), ‫ت‬
‫ى‬ ْ‫( ْاى ٍْعتىْػ ٍْق ي‬aku telah
memerdekakan), dan sedikit menggunakan dengan

yang lainnya, contoh ‫بائع‬


ْ‫( اناْ ه‬aku adalah penjual), ْ‫عبدم‬

‫حرْْلًْىو ٍْج ًْو الل‬


ْ‫( ه‬budakku merdeka karena Allah SWT).

c) Al-Qasam (‫)القسم‬, ungkapan sumpah dengan

menggunakan huruf wawu, ba, ta, dan lain


sebagainya22. Contohnya:

22
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma‟ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 75-76.
24

     


Artinya: “Shaad, demi Al Quran yang mempunyai
keagungan”. (QS. Shâd [38]:1)23
d) Ta‟ajjub (‫التعجب‬
ٌْ ) kata untuk menyatakan pujian yang

secara qiyasi menggunakan dua sighat yaitu, ‫ْافعْلىْوي‬


ْ‫ما ى‬

(alangkah), dan ْ ‫افعً ٍْل ْْبًٍْو‬


ْ (alangkah). Secara sima‟i

dengan menggunakan sighat lainnya. contoh

...       


Artinya: “Mengapa kamu kafir kepada Allah, Padahal
kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu....”
(QS. Al-Baqarah [2]:28)
e) Rajâ‟i (‫)الرجاء‬, yaitu bentuk pengharapan dengan

menggunakan lafadz ‫ْحرل‬,‫ عسى‬dan ‫اخلى ٍولى ىْق‬


ٍ . Contoh

...     ...


Artinya: ...“Mudah-mudahan Allah akan
mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya....”
(QS. Al-Maidah [5]:52)
Jenis-jenis Insyâ‟i ghair thalabî tidak dibahas oleh para
Ulama Balaghah dalam ilmu ma„anî, karena sebagian besar

23
Abdul Haiy, “Uslûb Insyâ‟i dan Dilalahnya Dalam Al-Qur`an”, Skripsi
Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017, h. 28.
25

sighat asalnya berupa kalâm khabar yang dipindahkan


maknanya kepada kalâm insyâ‟i.24

2) Insyâ‟i Thalabî
‫تْال ْطَّْلىب‬ ْ‫ْاعتً ىْقادْاْلٍ يْمْتى ىْكْلٌ ى‬
ْ‫مْكْقٍ ي‬ ْ ‫ف‬ ْ ًْ‫ريْحاصل‬
ْ‫يْمطْليوبانْ ىْغ ى‬ ًْ ‫سْتى‬
ْ‫دع ى‬ ٍْ ‫كىوْالذمْْيى‬

Artinya kalimat yang menghendaki terjadinya sesuatu


yang belum terjadi pada waktu pembicara mengucapkan
kalimat itu.
Insyâ‟i thalabî menurut para pakar balagah adalah
suatu kalâm yang menghendaki adanya suatu tuntutan yang
tidak terwujud ketika kalâm itu diucapkan. Hal tersebut
dapat dilihat dalam amr (perintah), nahyu (larangan),
istifhâm (kata tanya), nidâ‟ (panggilan) dan tamannî
(angan-angan). Kelima kategori uslûb tersebut akan diurai
sebagai berikut:

a) Amr (‫)االمر‬

Secara leksikal Amr berarti “perintah”, sedangkan


dalam terminology ilmu balaghah adalah:
25
ْ‫اال ٍْسْتً ى‬
.‫عَلء‬ ًْ ْ‫ىْك ٍْج ًْو‬ ًْ ْ‫ب‬
‫الف ٍْع ًْلْعْلى ْى‬ ْ‫ا ْالىٍْم يْرْ ْطىْلى ي‬
Amr adalah menuntut dilaksanakannya suatu
pekerjaan oleh pihak yang lebih tingggi kepada pihak
yang lebih rendah. Untuk menyusun suatu kalimat

24
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 76.
25
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 191.
26

perintah ada empat sighah (redaksi) yang biasa


digunakan, yaitu:

1. Fi‟il Amr, seperti kata ‫خذ‬ dalam firman Allah

SWT Q.S Maryam [19]:12

        


Artinya: “Hai Yahya, ambillah Al kitab (Taurat) itu
dengan sungguh-sungguh. dan Kami berikan
kepadanya hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia
masih kanak-kanak”. (Q.S Maryam [19]:12)26.

Contoh lain seperti perintah melaksanakan sholat


dalam firman Allah SWT

...  


Artinya: “Dan dirikanlah salat....” (QS. Maryam
[24]:56)27.

Kata  bentuk fi‟il amr dari kata -‫ ْيقوـ‬-‫اقاـ‬

yang mengandung arti “mendirikan atau


melaksanakan”.
2. Fi‟il Mudhari‟ yang dibarengi dengan Lam amr,
seperti perintah untuk berinfaq dalam firman Allah
SWT

...     

26
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 71.
27
Abdul Haiy, “Uslûb Insyâ‟i dan Dilalahnya Dalam Al-Qur`an”, Skripsi
Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017, h. 15.
27

Artinya: “hendaklah orang yang mampu memberi


nafkah menurut kemampuannya....” (QS. Ath-thalaq
[65]:7)

Kata  yang menunjukkan perintah untuk

berinfaq adalah bentuk fi„il mudhari„ yang di-jazm-kan


oleh lam amr.

3. Isim Fi„il Amr, yaitu kata dalam bentuk isim


namun berarti perintah, seperti kata ‫ ” صو‬diamlah”,

‫آمني‬ “terimalah” dan lain sebagainya.

4. Masdar yang semakna dengan Fi‟il amr, seperti


ٍ ‫ْسبً ًيل‬
ْ‫ْالى ٍري‬ ‫ىس ٍعينا ًْف ى‬ “Berusahalah pada hal-hal yang

baik”28.
Dari keempat sighah di atas, ada beberapa makna
yang menyimpang dari makna aslinya dan
menunjukkan makna-makna lain, diantaranya makna
do‟a, iltimas, irsyad, tahdid, ta‟jiz, dan. Ibahah.
a) Doa, seperti dalam firman Allah SWT

       

      

28
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 71.
28

      

  


Artinya: “Maka Dia tersenyum dengan
tertawa karena (mendengar) Perkataan semut
itu. dan Dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah aku
ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang
telah Engkau anugerahkan kepadaku dan
kepada dua orang ibu bapakku dan untuk
mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai;
dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke
dalam golongan hamba-hamba-Mu yang
saleh". (QS. An-Naml[27]:19)29

Lafadz  dan  pada ayat di atas

meskipun berbentuk fi„il amr, keduanya tidak


menunjukkan makna amr yang haqiqi tetapi
menunjukkan makna doa. Oleh karena itu kedua
kata tersebut digunakan dalam konteks
permohonan seorang hamba kepada Tuhannya.

b) Iltimas, yaitu jika perintah itu berasal dari pihak


sederajat (seperti perkataan kepada seorang
teman).

Contohnya: ‫نْال ىْق ٍْهْوة‬


‫ى‬ ًْ ‫لْ يْك ْوبن‬
ْ‫اْم ى‬ ْ ًْ‫ْخ ٍْذ‬
ْ‫ب ي‬ ًْ ‫ص‬
ْ ً‫اح‬ ْ‫ْيىاْ ى‬
“sahabatku, ambilkan secangkir kopi untukku”

29
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 71.
29

Kata ْ‫ يْخ ٍذ‬dalam contoh di atas, meskipun berbentuk


amr tetapi tidak menunjukkan makna amr yang
sebenarnya, tetapi menunjukkan makna permintaan
biasa dari orang yang sama tingkatan dan statusnya.
c) Irsyad, yaitu ketika perintah tersebut berisi
tentang nasihat, bimbingan atau cara-cara untuk
melaksanakan sesuatu seperti nasihat seorang
guru kepada muridnya.

‫اسة‬ ْ ً ‫هدك‬
ْ‫اْفْالدْر ى‬ ْ‫اجْتى ي‬
ٍْ ‫افْْفى‬ ْ‫ْاال ْمتً ى‬
ًْ ‫ح‬ ًْ ‫ف‬ْ ً ْ‫اح‬ ْ‫ْاًذىْاْْاىْىرٍْد يْتْالْنَّ ى‬
ْ‫ج ى‬
“jika anda ingin sukses dalam ujian maka
rajinlah belajar”.30

Kata ‫هدكا‬
ْ‫اجْتى ي‬
ٍْ ‫ ْفى‬di atas tidak menujukkan makna amr
yang haqiqi tetapi menunjukkan makna irsyad atau
nasehat untuk melakukan sesuatu.
d) Tahdid yaitu menunjukkan perintah yang disertai
dengan ancaman seperti ketidaksetujuan dari
pihak yang memberi perintah tersebut.
Contohnya seperti firman Allah SWT

        ...

Artinya: “...perbuatlah apa yang kamu


kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat
apa yang kamu kerjakan”. (QS.
Fushilat[41]:40)

30
Ahmad Izzan, Uslûb Kaidah-Kaidah Ilmu Balâghah, (Bandung: Tafakur, 2012),
h. 12-14.
30

e) Ta‟jiz yaitu perintah yang melemahkan, seperti

pada lafadz  dalam firman Allah SWT31

        

       

   


Artinya: “dan jika kamu (tetap) dalam
keraguan tentang Al Quran yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad),
buatlah satu surah (saja) yang semisal Al
Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu
selain Allah, jika kamu orang-orang yang
benar”. (QS. Al-Baqarah[2]:31)

f) Ibâhah, yakni kebolehan (kebebasan) untuk


melakukan atau tidak melakukan sesuatu, bukan
sebuah kewajiban. Seperti dalam firman Allah
SWT perintah untuk makan dan minum

     ...

...      


Artinya: “...dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang
hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam....” (QS.
Al-Baqarah[2]:178)

31
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 72.
31

Lafadz  dan  keduanya tidak

menunjukkan makna perintah yang sebenarnya,


meskipun perintah itu datangnya dari Allah SWT.
Namun, keduanya hanya menunjukkan makna
ibahah atau kebolehan untuk makan dan minum,
bukan kewajiban untuk makan dan minum. Sebab
kalau tidak makan dan minum pun hukumnya
berdosa32.

b) Nahy (‫)النهي‬

Secara leksikal berarti melarang33, sedangkan


menurut terminology ilmu balâghah adalah
34
ْ‫اال ٍْسْتً ٍْع ى‬
‫َلء‬ ًْ ْ‫ىْك ٍْج ًْو‬ ًْ ْ‫فْ ىْع ًْن‬
‫الف ٍْع ًْلْ ىْعْلى ْى‬ ٌْ ‫بْاْلٍ ىْك‬
ْ‫َّه يْيْ ْطىْلى ي‬
ٍْ ‫النػ‬
Nahy (larangan) adalah tuntutan tidak
dilakukannya suatu perbuatan yang disampaikan oleh
seseorang kepada orang yang martabatnya lebih
rendah. Redaksi nahy ini dapat diungkapkan melalui
satu cara, yaitu dengan menggunakan fi‟il mudhari‟
yang didahului La nahiyah. Contoh dalam firman
Allah SWT tentang larangan membuat kerusakan di
muka bumi dan ini merupakan larangan haqiqi35.

32
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 72.
33
Haniah, Al-Balâghah al-Al-arabiyyah (Studi Ilmu Ma„ânî Dalam Menyingkap
Rahasia Ilahi), (Makassar: Alauddin University Press, 2013), Cet. ke-1, h. 110.
34
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wadhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 199.
35
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 76.
32

       

 
Artinya: “dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya
dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan
harapan (akan dikabulkan)...” (QS. Al-
„Araf[7]:56)

Dalam beberapa keadaan, kalimat nahy keluar dari


makna yang haqiqi dan menunjukkan makna lain yang
dapat dipahami dari susunan kalimat serta kondisi dan
situasinya, seperti makna doa, iltimâs, irsyâd, tamannî,
taubikh dan tahdîd.
1. Doa, yaitu berbentuk permohonan dari pihak yang
rendah kepada pihak yang tinggi atau dari yang
kecil kepada yag besar36. Contoh firman Allah
SWT37

...        ...


Artinya: ..."Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau
hukum Kami jika Kami lupa atau Kami
tersalah....” (QS. Al-Baqarah[2]:286)

2. Iltimâs, yaitu berupa larangan yang berasal dari


sesama atau orang yang sederajat tingkatannya,

36
Abdul Haiy, “Uslûb Insyâ‟i dan Dilalahnya Dalam Al-Qur`an”, Skripsi
Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017, h. 19.
37
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 76.
33

Contohnya jika seseorang melarang temannya


untuk ikut dalam suatu perjalanan38.

‫ْس ىف ًر ٍمْيىاْاى ًخي‬ ً


‫ىالْتي ىشا ًرٍك ًِنْف ى‬
Artinya “kamu tidak perlu ikut bersamaku
dalam perjalanan ini, wahai saudaraku”.
3. Irsyâd yaitu berisi pepatah atau petunjuk pada

kebaikan, seperti lafadz ‫ا‬ dalam firman

Allah SWT39

        

...  


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu)
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu....” (QS. Al-
Maidah[5]:101)

4. Tamannî yaitu ungkapan mengharapkan sesuatu

yang sulit atau mustahil. Seperti lafadz ‫ىكىال َْتىٍ يج ىدا‬


pada ungkapan Al-Khunsa‟ meratapi saudaranya,
Shakhr40

‫ص ٍخ ًرْالن ىَّدل‬ ًً ً
‫اْكىالَْتىٍ يج ىداْ*ْأىىالْتىػٍبكيىافْل ى‬
‫ْج ٍوند ى‬
‫ِن ي‬
َّ‫أ ىىعٍيػ ى‬

38
Abdul Haiy, “Uslûb Insyâ‟i dan Dilalahnya Dalam Al-Qur`an”, Skripsi
Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017, h. 19.
39
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 76.
40
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 200.
34

Artinya: “wahai kedua mataku, dermawanlah,


dan janganlah kau kering, hendaklah kau
menangis untuk bermurah hati kepada
shakhr”.
5. Taubikh yaitu ungkapan yang berkaitan dengan
celaan atau teguran. Contohnya seperti sya‟ir Abu
al-Aswad ad-Duali

ْ‫يكْْاًذىْاْفىْػ ىْعٍْل ى‬
ْ‫تْ ىْع ًْظٍْي وم‬ ْ‫ارْ ىْعْلى ى‬ ًْ ‫أت‬
ْ‫ْمثٍْػْلىْويْ ىْع ه‬ ْ ً ‫ىْع ٍْنْ يْخْلي وْقْ ىْكْتى‬
ْ‫ىْالْتىْػٍنْػ ىْه ى‬
Artinya: “janganlah engkau melarang suatu
perbuatan sedangkan engkau melakukannya.
Sebab hal itu merupakan aib yang besar
bagimu, jika engkau yang melakukannya”.
Sya‟iran tersebut berisi berupa celaan dan
ejekan kepada orang yang suka melarang sesuatu
terhadap orang lain, namun dirinya justru sering
melakukannya.
6. Tahdîd yaitu ungkapan yang disampaikan oleh
pembicara yang sedang dalam keadaan marah.
Seperti ucapan seorang Dosn kepada
mahasiswanya yang tidak memperhatikan ucapan
dan perintahnya41.

ْ‫ول ْىْكىْالْىَْتٍْتىْثً ٍْلْْبًْاىٍْمًْر ٍم‬


ْ ً ‫سْتى ًْم ٍْعْْبًىْق‬
ٍْ ‫ىْالْْتى‬
Artinya: “jangan memperhatikan ucapanku
dan jangan melaksanakan perintahku”.

41
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 76-77.
35

c) Istifhâm (‫)استفهاـ‬

Secara leksikal istifhâm berarti meminta


pemahaman atau mencari tahu,42 sedangkan secara
terminology ilmu balâghah adalah.43
ً ‫اىًٍالستً ٍفهاـْطىلىبْالعًٍل ًمْبً ىشي وئْ ىَلْي ًكنْمعليوم‬
ْ‫اْمنْقىػٍب يل‬ ‫ٍ ٍ ى ٍ ى ٍ ٍن‬ ‫ٍ ىي ي‬
Artinya Istifhâm adalah mencari pengetahuan
tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.
Kalimat tanya ini dapat diungkapkan melalui kata
tanya disebut Adawatu al-istifhâm. Adapun alat-alat

istifham adalah hamzah (‫)أ‬, hal (‫)ىل‬, matâ (‫)مىت‬, man

(‫)من‬, mâ (‫)ما‬, ayyana (‫)ايٌاف‬, kaifa (‫)كيف‬, aina (‫)اين‬,

annâ (‫ان‬
ٌْ ), kam (‫ )كم‬dan ayyu (‫ام‬
ٌْ )44.

1. Hamzah (‫)أ‬, digunakan untuk mencari pengetahuan

tentang dua hal:


a. Tashawwur artinya gambaran tentang mufrad.
Dalam hal ini hamzah langsung diiringi dengan
hal yang ditanyakan dan umumnya hal yang

42
Haniah, Al-Balâghah al-Al-arabiyyah (Studi Ilmu Ma„ânî Dalam Menyingkap
Rahasia Ilahi), (Makassar: Alauddin University Press, 2013), Cet. ke-1, h. 112.
43
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wadhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 205.
44
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma‟ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 78.
36

ditanyakan ini mempunyai bandingan yang


disebutkan setelah lafdz am.45
Contoh:

‫اؿْأ ٍىـْيػى ٍوىـْاالى ىح ًد؟‬


‫ْالع َّم ي‬ ً‫ْاْلي ٍم ىع ًةْيى ى‬
‫سرتيٍ يح ي‬ ٍ ‫وـ‬ ‫أىيى ى‬
‫تْأ ٍىـْبىائً هع؟‬
‫أ يىم ٍش ىورتْاىنٍ ى‬
Pada kalimat pertama hal yang ditanyakan adalah

dua pilihan antara ‫ْاْلي ٍم ىع ًْة‬


ٍ ‫وـ‬ ً
‫ يى ى‬dan ‫ يػى ٍوىـْاالى ىح ْد‬demikian
juga pada kaimat yang kedua penanya

menanyakan apakah engkau ْ‫يم ٍش ىرت‬ dan ْ‫بىائً هع‬. Kedua

ungkapan tersebut bersifat tashawwur (makna


mufrad), tidak berupa nisbah (penetapan sesuatu
atas yang lain).
b. Tashdiq artinya gambaran tentang nisbah
(penetapan sesuatu atas yang lain). Dalam hal ini
bandingan perkara yang ditanyakan tidak dapat
disebutkan46.
َّ ٍ ‫ ْأىيى‬,
Contoh:
‫ص ىدأي ْالذ ىى ي‬
ْ‫ب‬ hal yang ditanyakan

oleh kalimat di atas adalah kaitan antara ‫ص ىدْأي‬


ٍ ‫ يى‬dan
ْ‫ب‬ َّ
‫الذ ىى ي‬ Penisbatan sifat berkarat kepada emas

45
M. Iqbal Tanthawi, “Muatan Kalâm Insyâ‟i Dalam Al-Qur`an Surah Maryam”,
Skripsi Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017, h. 21.
46
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wadhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 205.
37

merupakan hal ditanyakan oleh mutakallim47.


Karena hal yang dipertanyakan bersifat nisbah
maka disebut dengan tashdiq.

2. Man (‫)من‬ digunakan untuk menanyakan

keterangan makhluk yang berakal.48 Contohnya ْ‫ن‬


ٍْ ‫ىْم‬

ٍْ ‫فىْػْتى ىْح ْاْلٍ ًْم‬


‫ص ًْر؟‬ adat istifhâm pada contah tersebut

adalah (‫ )من‬yang bertujuan untuk menanyakan

siapa yang menaklukan kota Mesir ini.


Adatul istifhâm selain hamzah dan man
masih terdapat beberapa adat lainnya yang
mempunyai fungsi masing-masing, diantaranya:

a. Mâ (‫)ما‬, berfungsi untuk menanyakan keterangan

nama atau hakikat sesuatu yang bernama.

Contohnya ‫اؼ؟‬ ًٍْ ‫( ىْم‬apakah berlebihan itu?)


ٍْ ‫اْاال ٍْسْر‬ ‫ى‬
b. Matâ (‫)مىت‬, berfungsi untuk menanyakan

keterangan waktu, baik yang lalu maupun yang

akan datang. Contohnya ‫صْرالل‬


ٍْ ‫ىتْْنى‬
ْ‫( ىْم ى‬kapan datang
‫ي‬
pertolongan Allah?)

47
M. Iqbal Tanthawi, “Muatan Kalâm Insyâ‟i Dalam Al-Qur`n Surah Maryam”,
Skripsi Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017, h. 22.
48
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wadhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 207.
38

c. Ayyâna (‫)ايٌاف‬, berfungsi untuk menanyakan

keterangan waktu yang akan datang secara


khusus dan digunakan untuk menantang.

Contohnya ٍْ ‫ْاىْيَّا ىْف ْيىْػ ٍْويْـ ْاْلٍ ًْقْيى ىْام ٍةْ ْيى‬
ْ ‫سْأى يْؿ‬ (Ia bertanya,

kapankah hari kiamat itu terjadi?)

d. Kaifa (‫)كيف‬, berfungsi untuk menanyakan

keterangan keadaaan.49 Contohnya ْ‫ك‬


ٍ ‫ف ْ ىْحاْلي‬
ْ‫ىْكٍْي ى‬
(bagaimana kabarmu?)

e. Aina (‫)اين‬, berfungsi untuk menanyakan

keterangan tempat.50 Contohnya ْ‫ب‬


‫ْاىْيٍ ىنْ ْْتى ٍْذ ىْى ي‬
(darimana kamu pergi?)

f. Annâ (‫ان‬
ٌْ ), mempunyai tiga makna, yaitu

bagaimana (‫)كيف‬, darimana (‫)اين‬, dan kapan

(‫)مىت‬. Contohnya ًْ ‫ْمٍْرىْيي ْْاى َّنْ ْْلى‬


‫ك ْ ىْى ىْذا‬ ْ‫يا ى‬ (wahai

maryam, darimana kamu memperoleh (makanan)


ini?)

g. Kam (‫)كم‬, berfungsi untuk menanyakan

keterangan jumlah yang masih samar. Contohnya

49
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 207.
50
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 207-208.
39

ْ ‫( ىْك ٍمْ ْْلىْبًْثٍْتيم‬sudah berapa lama kamu berada

disini?)

h. Ayyun (‫ام‬
ٌْ ), berfungsi untuk menanyakan

keterangan salah satu dari dua hal yang


berserikat dalam suatu perkara dan untuk
menanyakan tentang waktu, tempat, keadaan,
bilangan, makhluk berakal dan makhluk yang
tidak berakal sesuai dengan lafadz yang
disandarinya.

Contohnya ‫اما‬ ًْ ْ‫م ْاْلٍ ىْفًْريٍْػ ىق‬


ْ‫ني ْ ىْخٍيْػهرْ ْ َّْم ىْق ن‬ ُّْ ‫(ْاى‬manakah
diantara kedua golongan yang lebih baik tempat
tinggalnya?)

i. Hal (‫)ىل‬, digunakan untuk menanyakan

penisbatan sesuatu pada yang lain (tashdiq) atau


kebalikannya. Adat istifhâm ini digunakan
apabila mutakallim tidak mengetahui nisbah
antar musnad dan musnad ilaih-nya dan juga
tidak bisa masuk ke dalam nafyu, mudhari
makna sekarang, syarath, dan tidak bisa pula
pada huruf „athaf. Hal ini berbeda dengan
hamzah yang bisa memasuki tempat-tempat
tersebut.
Seluruh adat al-istifhâm tersebut digunakan
untuk menanyakan tentang gambaran, dan oleh karena
itu jawabannya berupa keterangan tantang sesuatu
40

yang ditanyakan.51 Terlebih redaksi istifhâm itu keluar


dari makna aslinya kepada makna lain yang dapat
diketahui melalui susunan kalimat. Makna yang lain
tersebut diantaranya, makna Amr (perintah), Nahy
(larangan), Nafi (meniadakan), Inkari, Taqriri
(penegasan), Taubikh (celaan), Taswiyah
(menyamakan), Tamannî (harapan yang mustahil
tercapai), dan Tasywîq52.
1) Amr (perintah), seperti yang terdapat dalam firman
Allah SWT53

   …


Artinya: “…Maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-
Maidah[5]:91)
Kata Tanya hal dalam ayat di atas tidak
berarti menanyakan apakah mereka telah berhenti
melakukan pekerjaan itu tetapi perintah untuk
berhenti melakukan.
2) Nahy (larangan), seperti yang terdapat dalam
firman Allah SWT

      …

  

51
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 208.
52
Abdul Haiy, “Uslûb Insyâ‟i dan Dilalahnya Dalam Al-Qur`an”, Skripsi
Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017, h. 22.
53
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
41

Artinya: “…Mengapakah kamu takut kepada


mereka Padahal Allah-lah yang berhak untuk
kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang
beriman”. (QS. At-Taubah[9]:13)
Kata Tanya hamzah pada ayat di atas tidak
menunjukkan apakah arti apakah kalian takut
kepada mereka, namun pertanyaan disini berarti
larangan untuk takut kepada manusia padahal yang
berhak ditakuti hanyalah Allah SWT.
3) Nafi (meniadakan), ditujukan untuk meniadakan
sesuatu. Seprti dalam firman Allah SWT.54

     


Artinya: “Tidak ada Balasan kebaikan kecuali
kebaikan (pula)”. (QS. Ar-Rahman[55]:60)
Ayat di atas tidak ditunjukkan untuk bertanya
tentang balasan kebaikan tetapi diungkapkan
untuk menyatakan bahwa tidak ada balasan
kebaikan kecuali kebaikan (pula).
4) Inkari, seperti dalam firman Allah SWT (QS. Al-
An‟am 6/40

      …


Artinya: “…Apakah kamu menyeru (tuhan)
selain Allah; jika kamu orang-orang yang
benar!”. (QS. Al-An‟am[6]:40)

Kata Tanya hamzah pada ayat di atas tidak


berarti bertanya sesuatu yang tidak diketahui

54
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
42

namun berarti mengingkari perbuatan mereka


yang meminta kepada selain Allah swt.
5) Taqriri berarti penegasan, seperti dalam firman
Allah SWT55

    


Artinya: “Bukankah Kami telah melapangkan
untukmu dadamu?”. (QS. Al-Insyirah[94]:1)
6) Taswiyah yaitu untuk menyamakan sesuatu
dengan yang lain. Contoh dalam firman Allah
SWT56

       

   


Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir,
sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan
atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak
juga akan beriman”. (QS. Al-Baqarah[2]:6)

7) Tamannî (harapan yang mustahil tercapai), contoh


di dalam firman Allah SWT

…     …


Artinya: “…Maka Adakah bagi Kami pemberi
syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi
Kami....” (QS. Al-A‟raf[7]:53)

55
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
56
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
43

8) Tasywîq ditujukan untuk mendorong si mukhathab


agar mengikuti atau melakukan sesuatu57.
Contohnya dalam firman Allah SWT.

       

   


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan
yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang
pedih?”. (QS. Ash-Shaf [61]:10)
Maksud ayat di atas tidak dimaksudkan untuk
menanyakan tentang perlu atau tidaknya sebuah
info dari Allah SWT tentang suatu perdagangan
yang dapat menyelamatkan kita di akhirat, tetapi
dimaksudkan untuk mendorong dan memotivasi
agar melakukan isi cerita yang disampaikan oleh
Nya.

d) Tamannî (‫)التمِن‬
Tamannnî (berangan-angan) menurut ilmu balâghah
adalah

ْ‫ْكاًَّماْلً ىكونًًو‬, ً ‫ْاًَّماْلً ىكونًًو‬,‫وب ىْالْيػرجىْحصوليْو‬


‫ْم ٍستىح نيَل ى‬
‫ي‬ ‫ْمبي و يٍ ى ي ي ٍ ي‬ ٍْ‫بْاىٍم ور ى‬
‫َّمِنْطىلى ي‬
‫الت ى‬
58
ْ‫ُميٍ ًكنناْ ىغٍيػىر ىْمطٍ يم ٍووع ًْفْنػىٍيلً ًو‬
Artinya tamannî adalah mengharapkan sesuatu
yang tidak dapat diharapkan keberhasilannya, baik

57
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 209.
58
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 219.
44

karena memang perkara itu mustahil terjadi, atau


mungkin terjadi namun tidak dapat diharapkan
tercapainya.
Adapun tuntutan yang mungkin serta mudah
diperoleh maka dinamakan Tarajji59. Kalimat tamannî

ini biasanya menggunakan kata Laita (‫)ليت‬. Namun

terkadang menggunakan kata-kata lain,60 seperti:

Hal (‫)ىل‬, seperti pada firman Allah SWT

...      ...


Artinya: “...Maka Adakah bagi Kami pemberi syafa'at
yang akan memberi syafa'at bagi Kami....” (QS. Al-
„Araf[7]:53)
Lau (‫)لو‬,seperti pada firman Allah SWT

       


Artinya: “Maka Sekiranya kita dapat kembali sekali
lagi (ke dunia) niscaya Kami menjadi orang-orang
yang beriman.” (QS. Asy-Syu‟ara[26]:102)

La‟alla (‫لعل‬
ْ )61, seperti pada firman Allah SWT
ٌ
ْ‫يتْْأى ًْط يري‬
ْ‫قدْى ًْو ي‬ ْ‫لْمنْييْعً ْرييْ ىْجْنى ى‬
ْ‫اح ْويْ*ْْلىىْعلْيْالْ ىمنْ ى‬ ْ ْ‫ْأىسًْر ى‬
ْ‫بْاْلٍ ىْق ْطى ى‬
‫اْى‬

59
Abdul Haiy, “Uslûb Insyâ‟i dan Dilalahnya Dalam Al-Qur`an”, Skripsi
Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017, h. 24.
60
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 219.
61
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 87-88.
45

“wahai kawanan burung qatha, siapa yang akan


meminjamkan sayapnya padaku, mungkin aku
akan dapat terbang menemui orang yang aku
cintai.”
Di bawah ini contoh sya‟ir kalâm tamannî yang
mengharapkan sesuatu yang mustahil terjadi, yaitu:

ْ‫يب‬
‫ش ي‬ًْ ‫ربهيًْْبىاْفىْػ ىْع ىْلْاْلٍ ىْم‬
ْ ‫وماْْ*ْْْفىْاى ٍْخ‬
ْ‫ودْْيى ن‬
ْ‫ابْيْػى ْعي ي‬
ٍْ ‫الشْبى‬ ْ‫ْأىىْالْْلىٍْي ى‬
َّْ ْ‫ت‬
“Aduh, seandainya masa muda itu kembali sehari
saja, aku akan mengabarkan kepada kalian
bagaimana yang terjadi ketika sudah tua”.
Pada sya‟ir di atas dijelaskan penyair
mengharapkan kembalinya masa muda walau hanya
sehari untuk menceritakan bagaimana yang terjadi di
masa tua. Hal ini tidak mungkin, sehingga dinamakan
Tamannî.
Adapun tamannî pada ungkapan yang mungkin
terwujud atau bisa terjadi akan teStapi tidak bisa
terwujud karena tidak berusaha secara maksimal.
Contohnya dalam firman Allah SWT62

...      ...


Artinya: “...Moga-moga kiranya kita mempunyai
(harta) seperti apa yang telah diberikan kepada
Qarun....” (QS. Al-Qashas [28]:79)

62
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 218.
46

e) Nidâ (‫)النٌداء‬

Secara leksikal artinya panggilan,63 sedangkan


menurut terminologi ilmu Balâghah adalah:

‫ابْأ ٍىدعيو‬ ‫اؿِْبر و‬


‫ؼْنىائً و‬ ً ً
‫ب ىْمنى ى‬ ٍ‫داءْطلبْاالقٍػبى ى‬ٌ‫الن‬
64
‫ي‬
Artinya Nidâ adalah menghendaki seseorang agar
menghadapnya, dengan menggunakan salah satu huruf
yang menggantikan ad‟û (aku memanggil), yang
susunannya dipindah dari kalâm khabari menjadi
kalâm Insyâ‟i. Huruf-huruf nida ada 8 yaitu: hamzah

(‫)أ‬, ay (‫)ام‬, yâ (‫)يا‬, â (‫)آ‬, ây (‫)آم‬, ayâ (‫)أيا‬, hayâ (‫)ىيا‬,

dan wâ (‫)كا‬. Ada dua cara menggunakan huruf nidâ,

yaitu hamzah (‫ )أ‬dan ay (‫ )ام‬untuk munada yang dekat,

sedangkan selain hamzah dan ay semuanya digunakan

untuk munada yang jauh. Khusus untuk huruf ya (‫)يا‬,

digunakan untuk seluruh munada (yang dipanggil) baik

dekat maupun jauh65. Adapun huruf wâ (‫)كا‬,

mengisyaratkan arti kesakitan pada yang diseru66.

63
Haniah, Al-Balâghah al-Al-arabiyyah (Studi Ilmu Ma„ânî Dalam Menyingkap
Rahasia Ilahi), (Makassar: Alauddin University Press, 2013), Cet. ke-1, h. 114.
64
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 224.
65
Abdul Haiy, “Uslûb Insyâ‟i dan Dilalahnya Dalam Al-Qur`an”, Skripsi
Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017, h. 24-25.
66
Haniah, Al-Balâghah al-Al-arabiyyah (Studi Ilmu Ma„ânî Dalam Menyingkap
Rahasia Ilahi), (Makassar: Alauddin University Press, 2013), Cet. ke-1, h. 114.
47

Ada beberapa kreatifitas seorang penyampai pesan


di dalam menggunakan huruf nidâ, yaitu:
1. Terkadang penyampai pesan menggunakan huruf
nidâ lil qarîb (huruf yang menyeru pada yang
dekat) padahal yang diseru itu tempatnya jauh
karena ada tujuan di baliknya seperti ingin
mengisyaratkan bahwa yang diseru itu dekat di hati
maka diungkapkanlah dengan huruf nida lil qarîb.
2. Terkadang penyampai pesan menggunakan huruf
nida lil ba„îd (huruf yang menyeru pada yang jauh)
padahal yang diseru itu jauh karena tujuan tertentu
seperti mengisyaratkan kedudukan yang tinggi dan
mulia, maka serulah dengan huruf nida lil ba„îd.
3. Terkadang ungkapan nida keluar dari makna aslinya
ke makna majazi, seperti mengungkapkan
penyesalan, kesakitan, permohonan bantuan,
keputusasaan, tamannî dan sebagainya.
4. Ada beberapa ungkapan nida dalam Al-Qur`an yang
berarti doa tidak menggunakan huruf nida dengan
tujuan untuk menggambarkan kedekatan seorang
hamba dengan Rab-Nya ketika memohon kepada-
Nya, kecuali dalam dua ayat doa yang

menggunakan huruf yâ (‫)يا‬.

Pertama dalam surah Al-Furqân ayat 30:

      

  


48

Artinya: “berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku,


Sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran
itu sesuatu yang tidak diacuhkan”. (QS. Al-
Furqan [25]:30)

Kedua dalam surah Az-Zukhrûf ayat 88:

       


Artinya: “dan (Allah mengetabui) Ucapan
Muhammad: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya
mereka itu adalah kaum yang tidak beriman”.
(QS. Az-Zukhruf[43]:88)

Dari kedua ayat di atas Rasulullah menyeru kepada

Allah swt dengan menggunakan huruf nida yâ (‫ )يا‬untuk

menampakkan rasa putus asa dan kesedihan yang


mendalam karena umatnya tidak mau beriman kepada
Allah swt dan tidak mengakui kebenaran Al-Qur`an67.
Kalimat panggilan ini dapat menyimpang dari
maknanya yang asli kepada makna yang lain, dan hal ini
dapat diketahui melalui beberapa karinah, seperti makana

zajr (‫)الزجر‬, tahassur (‫ )التحسر‬dan ighrâ‟ (‫)االغراء‬68.


ٌ
a. Zajr (‫ )الزجر‬yaitu makna yang menunjukkan arti

larangan atau bentakan. Seperti pada ungkapan ini ْ‫ْيىا‬

‫ىتْالتَّْػ ٍْوْبىة؟‬
ْ‫اْم ى‬
ْ‫الدنٍْػْيى ى‬ ًْ ‫ْالش ىْهىْو‬
ُّْ ْ‫ات‬ َّْ ‫ف‬ ًْ ‫الر‬
ْ ً ْ‫اغْبىْةي‬ ْ‫ْاىيػٌتيْػ ىْهاْالنَّْػ ٍْف ي‬
َّْ ْ‫س‬

67
Haniah, Al-Balâghah al-Al-arabiyyah (Studi Ilmu Ma„ânî Dalam Menyingkap
Rahasia Ilahi), (Makassar: Alauddin University Press, 2013), Cet. ke-1, h. 114-115.
68
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 90.
49

“wahai jiwa yang mencintai kesenangan dunia,


kapan bertaubat”.
Maksud ungkapan tersebut agar orang yang
mencintai kesenangan dunia segera berhenti
mencintainya lalu bertaubat.

Tahassur (‫ )التحسر‬yaitu makna yang menunjukkan


b.
ٌ
arti penyesalan dan rasa dukacita. Contohnya
ungkapan orang tua yang berduka atas kematian
anaknya.
ً‫كْياْبػِنْفىػلى ي‬
ْ‫اْعلى ٌي‬
‫أس ى‬‫ْد ٍع ىوًتْيى ن‬
‫تى‬ ٍ ‫مُْتٍب ًِنْفىػىرَّد‬ َّ‫ىد ٍع ىوتي ى ي ى‬
“Aku memanggilmu wahai anakku, namun engkau
tidak menjawab sehingga panggilanku ini hanya
mengembalikan rasa putus asa padaku”.

c. Ighrâ‟ (‫ )االغراء‬yaitu makna yang menunjukkan arti

dorongan. Contohnya, jika kita ingin memotivasi


seseorang agar berani melawan musuhnya, sehingga
tidak ada lagi keraguan di dalam hatinya dengan kata-

kata ‫ ْْتى ىْكْلَّم‬,‫وـ‬


ٍْ ‫ْم ْظٍْلي‬
ْ‫ْيىا ى‬ “wahai orang yang teraniaya,

bicaralah!”69.

69
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma‟ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 91.
50
BAB III
BIOGRAFI AZ-ZAMAKHSYARÎ DAN METODOLOGI TAFSIR
Pada bab ini, penulis akan membahas seputar riwayat hidup, perjalanan
intelektual az-Zamakhsyarî serta menyebutkan karya-karya ilmiah yang telah
dihasilkan, juga membahas metodologi tafsir al-kasyâf dan alasan mengapa
tafsir ini diberi nama tafsir al-kasyâf.

A. Riwayat Hidup
Nama lengkap az-Zamakhsyarî adalah Abû al-Qâsim Mahmûd bin
„Umar az-Zamakhsyarî al-Khawârizm Jârullâh1. Laqabnya yang populer
adalah Jârullâh (tetangga Allah), gelar yang didapat setelah bermukim
beberapa waktu di Mekkah.2 Terdapat beberapa perbedaan dalam
penulisan nama az-Zamakhsyarî. Perbedaan tersebut seputar
mencantumkan atau tidak mencantumkan nama kakek dan nama ayah
dari kakeknya, dan perbedaan dalam memberikan nasab al-Khawarizm
dan az-Zamakhsyarî. Menurut Adz-Dzahabî nama lengkap az-
Zamakhsyarî adalah Abû al-Qâsim Mahmûd bin „Umar bin Muhammad
bin „Umar al-Khawarizmi al-Imam Hanafî al-Mu„tazalî.3 Sedangkan di
dalam kitab tafsirnya yaitu Al-kasyâf, nama lengkapnya adalah Abû al-
Qâsim Mahmûd bin „Umar bin Muhammad az-Zamakhsyarî.4

1
Muhammad Sofyan, Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Medan: Perdana Publishing, 2015),
Cet. I, h. 29.
2
Saiful amin ghofur, Mozaik Mufasir Al-Qur`an, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara,
2013), Cet. ke 1, h. 66. Lihat juga: Syamsuddin Muhammad, Thabaqat al-Mufassirîn,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), jilid 2, h. 315.
3
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-
Kutub al-Haditsah, t.t), jilid 1, h. 304.
4
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf ‟an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 2009), h. 7.

51
52

Ia lahir pada hari Rabu, 27 Rajab tahun 467 H5 di Zamakhsyar,


sebuah perkampungan besar di kawasan Khawarizmi (Turkistan)6, dari
sebuah keluarga miskin tetapi alim dan taat beragama.7 Ia lahir pada
masa pemerintahan sultan Jalâl ad-Dunyâ wa ad-Dîn Abî al-Fath
Maliksyah (465-485 H) dengan wazirnya (perdana menteri) Nizam al-
Mulk (w. 485 H). Ia lahir di tengah-tengah lingkungan sosial yang penuh
semangat kemakmuran dan keilmuan.8
Ayahnya adalah seorang alim di kampung halamannya dan
disinilah sejak kecil Az-Zamakhsyarî sudah belajar membaca, menulis,
dan menghafal Al-Qur`an melalui bimbingan orang tuanya. Az-
Zamakhsyarî meninggal dunia pada tahun 538 H/1144 M, di desa
Jurjaniyah wilayah Khawarizm setelah kembali dari mekah9.

B. Perjalanan Intelektual
Pendidikan az-Zamakhsyarî dimulai di bawah bimbingan
orangtuanya. Kemudian ia pergi ke Bukhara untuk memperdalam ilmu.
Di sana ia belajar sastra kepada Abi al-Hasan bin al-Mudzaffar an-
Naisabury dan Abu Mudhar Mahmûd bin Jarir adh-Dhabby al-Asfahany
(w. 507 H). Ia pun pernah berguru kepada seorang faqih, hakim
tertinggi, dan ahli hadis, yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ali ad-
Damighany (w. 496 H). Dasar-dasar nahwu ia pelajari dari Abdullah bin

5
Az-Zamakhsyarî, Tafsir al-Kasyâf ‟an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 7. Lihat juga: Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa al-
Mufassirûn, h. 304. Lihat juga: Syamsuddin Muhammad, Thabaqat al-Mufassirin, h. 315.
6
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 304. Lihat juga:
Syamsuddin Muhammad, Thabaqat al-Mufassirin, h. 315. Lihat juga: Manna‟ Khalil al-
Qattan, Studi-Studi Ilmu Al-Qur`an, (Bogor: Litera AntarNusa, 2016), Cet. ke-17, h. 539.
7
Said Agil Husain al-Munawwar, Al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan
Haqiqi, (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), h. 103.
8
Sifullah Rusmin, “Penafsiran-Penafsiran Az-ZamakhsyarîTentang Teologi Dalam
Tafsir Al-kasyâf”, dalam Jurnal Diskursus Islam, Vol. 5, No.2 Agustus 2017, h. 123.
9
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 305. Lihat juga:
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf ‟an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî al-Wujûhi
at-Ta‟wîl, h. 10.
53

Thalhah al-Yabiry.10 Di bidang hadis ia menimba ilmu kepada Abu


Mansûr Nasr al-Harisi, Abu Sa‟ad asy-Syaqafi dan Abu al-Khathab ibn
Aba Bathar al-Bukhara.
Az-Zamakhsyarî selain dikenal sebagai seorang yang mempunyai
keahlian dalam disiplin keilmuan, dia juga mempunyai ambisi
memperoleh kedudukan di pemerintahan. Akan tetapi ia selalu gagal
dalam memperoleh ambisinya itu, walaupun telah dipromosikan oleh
guru yang sangat dihormatinya, Abu Mudhar. Keadaan itu memaksa
untuk pindah ke Khurasan dan memperoleh sambutan baik serta pujian
dari kalangan pemerintah Abu al-Fath ibn al-Husain al-Ardastani dan
kemudian „Ubaidillah Nizam al-Mulk. Di sana ia diangkat menjadi
sekretaris tetapi ia tidak puas dengan jabatan tersebut, akhirnya ia pergi
ke pusat pemerintahan Daulah Bani Saljuk, yakni kota Isfahan.
Setidaknya ada dua kemungkinan alasan az-Zamakhsyarî selalu gagal
dalam mewujudkan keinginannya duduk di pemerintahan. Kemungkinan
pertama, karena ia seorang tokoh muʿtazilah yang sangat demonstratif
dalam menyebarluaskan fahamnya dan membawa dampak yang tidak
disenangi oleh beberapa kalangan yang tidak sepaham dengan paham
muʿtazilah. Kemungkinan kedua, karena kurang didukung oleh kondisi
jasmaninya (mengalami cacat pada salah satu bagian kakinya).11
Pada tahun 512 H az-Zamakhsyarî menderita sakit keras yang
menyebabkan hampir melupakan segala yang dicita-citakannya, ia
merasa bahwa sakit yang dideritanya adalah ujian yang sangat berat bagi
dirinya yang telah berusaha untuk mendapatkan harta dan pangkat yang
dicita-citakan sebelumnya. Setelah sembuh ia melanjutkan perjalanannya
ke Baghdad. Di tempat itu ia tidak lagi berhubungan dengan para pejabat

10
Saiful amin ghofur, Mozaik Mufasir Al-Qur`an, h. 66.
11
Muhammad Solahudin, “Metodoligi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir
Al-Kasysyâf”, dalam Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 1, Januari 2016, h. 117.
54

pemerintah, akan tetapi mendekati para ulama dan cendikiawan untuk


belajar ilmu pengetahuan. Ia mempelajari berbagai kitab bahasa pada
seorang ulama Baghdad yang bernama Abû Mansûr al-Jawaliqî (446-
539 H).12
Lalu ia menuju ke Baitullah al-Haram, di Mekkah selama dua
tahun. Kemudian pulang kembali ke Zamakhsyar. Pada tahun 526 H ia
kembali ke Mekkah dan bertemu dengan seorang pemuka ‟Alawi bin Isa
bin Hamzah bin Wahhas, dan membaca kitab Sibawaih atas bimbingan
Abdullah bin Talhah al-Yabiri (w.518 H.).13 Ia menetap cukup lama di
kota Makkah, sehingga mendapat julukan Jâr Allah (tetangga Allah).
Dan disana pula ia menulis tafsirnya, al-Kasyâf ‟an Haqâ‟iq at-Tanzîl
wa „uyûn al-Aqâwil fî al-Wujûhi at-Ta‟wîl.14
Kegiatan-kegiatan ilmiah yang diikuti oleh az-Zamakhsyarî tidak
terbatas pada penimbaan dan pengkajian ilmu pengetahuan yang
sebanyak-banyaknya dari para ulama yang hidup pada masanya. Akan
tetapi juga berusaha mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada orang-
orang yang membutuhkannya. Sejumlah orang banyak mengambil
kesempatan untuk menimba ilmu yang bermanfaat darinya. Az-
Zamakhsyarîkemudian menjadi tujuan para penuntut ilmu. Al-Hûfi
menyebutkan bahwa murid-murid az-Zamakhsyarî jumlahnya cukup
banyak.15

12
Sifullah Rusmin, “Penafsiran-Penafsiran Az-ZamakhsyarîTentang Teologi Dalam
Tafsir Al-kasyâf”, dalam Jurnal Diskursus Islam, Vol. 5, No. 2 Agustus 2017, h. 124.
13
Muhammad Solahudin, “Metodoligi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir
Al-Kasysyâf”, dalam Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 1, Januari 2016, h. 117.
14
Bustami Saladin, “Pro dan Kontra Penafsiran Az-ZamakhsyarîTentang Teologi
Mu„tazilah Dalam Tafsir Al-kasyâf”, dalam Jurnal al-Ihkam, Vol. 5, No. 1 Juni 2010, h. 5.
15
Sifullah Rusmin, “Penafsiran-Penafsiran Az-ZamakhsyarîTentang Teologi Dalam
Tafsir Al-kasyâf”, dalam Jurnal Diskursus Islam, Vol. 5, No. 2 Agustus 2017, h. 125.
55

C. Karya-Karya Ilmiah
Az-Zamakhsyarî memiliki banyak karya dalam berbagai disiplin
ilmu, seperti tafsir, hadis, nahwu, bahasa, Ma„ânî dan lain-lain. Dan
diantara karya-karyanya adalah sebagai berikut:
1. Bidang bahasa
a. Asâs al-Balâghah
b. Jawâhir al-Lughoh
c. Samin al-„Arabiyyah
d. Al-Ajnas
e. Muqaddimat al-Adab fî al-Lughah,
f. al-Asma fî al-Lughah,
g. al-Qistas fi al-'arud16
2. Bidang tafsir
a. al-Kasyâf „an Haqâ‟iq at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî al-
Wujûhi at-Ta‟wîl.17
3. Bidang Hadis
a. Al-Fa‟iq fî Gharîb al-Hadîts18
4. Bidang Nahwu
a. Al-Mufashshol
b. an-Namudaj fî 'Ilm al-'Arabiyyah19
c. al-Mufrad wa al-Murakkab
5. Bidang Fiqih dan Ushul
a. Al-Minhaj
b. Ar-Ru‟ûs al-Masâ‟il al-Fiqhiyyah20

16
Muhammad Sofyan, Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 32.
17
Muhammad Sofyan, Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 31.
18
Muhammad Sofyan, Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 31.
19
Muhammad Sofyan, Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 31
20
Muhammad Solahudin, “Metodoligi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir
Al-Kasysyâf”, dalam Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 1, Januari 2016, h. 118.
56

6. Bidang Imu Bumi


a. Al-Jibâl wa al-Amkinah21
7. Bidang Akhlaq
a. Mutasyâbih Asma ar-Ruwat
b. Al-Kalim an-Nabaug fi al-Mawâ‟iz
c. An-Nasaib al-Kibar al-Nasa‟ih ash-Shigâr
d. Maqâmat fi al-Mawâ‟iz
e. Kitâb fî Manâqib al-Imâm Abî Hanîfah22

D. Latar Belakang Penulisan dan Penamaan


Az-Zamakhsyarî menulis kitab tafsirnya bermula dari permintaan
suatu kelompok yang menamakan diri mereka sebagai al-Fi‟ah an-
Najiyah al-„Adiyah. Kelompok yang dimaksud ini adalah kelompok
Muʿtazilah.23 Dalam muqaddimah tafsir al-Kasyâf disebutkan,24
“Sungguh telah datang kepadaku sahabat sahabatku dari golongan
orang-orang yang mulia, selamat dan adil, mereka menguasai ilmu
bahasa Arab dan tauhid. Sewaktu mereka datang kepadaku untuk
menafsirkan suatu ayat, maka aku menjelaskan kandungan-kandungan
ayat tersebut yang masih ghaib/tertutup, dan mereka pun menyatakan
kekagumannya atas diriku, saat itu pula mereka meminta agar aku
membuat suatu karya yang berisi pokok-pokok penjelasan Al-Qur‟an,
serta mengajarkannya kepada mereka “Sekumpulan tentang hakikat-
hakikat turunnya Al-Qur‟an dan pandangan-pandangan yang esensial
dalam segi penta`wilan”. Pada mulanya aku tidak bersedia, kemudian
mereka tetap bersikeras meminta, bahkan mereka datang kembali
21
Muhammad Sofyan, Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 31.
22
Muhammad Sofyan, Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 31.
23
Avif Alfiyah, “Kajian Kitab Al-KasyâfKarya Az-Zamakhsyarî ” dalam Jurnal al-
Furqon, Vol. 1, No. 1 Juni 2018, h. 59
24
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf ‟an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 23-24.
‫‪57‬‬

‫‪beserta tokoh-tokoh agama ahl al-„adl wa at-tauhid. Dan yang‬‬


‫‪mendorongku bersedia, karena aku sadar bahwa mereka meminta‬‬
‫‪sesuatu yang sesuatu itu wajib aku turuti, karena melibatkan diri pada‬‬
‫‪sesuatu (yang mereka minta) itu hukumnya fardu „ain.”25‬‬
‫‪Atas permintaan itulah, akhirnya az-Zamakhsyarî menulis kitab‬‬
‫‪tafsir. Dia mendiktekan kepada orang-orang yang meminta tersebut‬‬
‫‪mengenai fawâtih as-suwâr dan beberapa pembahasan tentang hakikat-‬‬
‫‪hakikat surah al-Baqarah. Penafsirannya ini mendapatkan sambutan‬‬
‫‪hangat dari berbagai negeri. Dalam perjalanannya yang kedua ke‬‬
‫‪Makkah, banyak tokoh yang dijumpainya menyatakan keinginannya‬‬
‫‪untuk mendapatkan karyanya tersebut.‬‬ ‫‪Bahkan, setelah ia tiba di‬‬
‫‪Makkah, ia diberi tahu bahwa pemimpin pemerintahan Makkah, Abu al-‬‬
‫‪Hasan „Ali bin Hamzah Ibn Wahhas, bermaksud mengunjunginya di‬‬
‫‪Khawarizm untuk memperoleh kitab tafsirnya itu. Melihat semua respon‬‬
‫‪tersebut, az-Zamakhsyarî menjadi bersemangat untuk memulai menulis‬‬

‫‪25‬‬
‫ولقد ِرأيت ِإخواننا ِفي ِالدين ِمن ِأفاضل ِالفئة ِالناجية ِ«‪ِ »2‬العدلية‪ِ ،‬الجامعين ِبين ِعلم ِالعربيةِ‬
‫واألصولِالدينية‪ِ،‬كلماِرجعواِإلى ِفيِتفسيرِآيةِفأبرزتِلهمِبعضِالحقائقِمنِالحجب‪ِ،‬أفاضواِفيِالستحسانِ‬
‫ّ‬
‫افاِمنِذلكِحتىِاجتمعواِإلىِمقترحينِأنِأملىِعليهمِ(الكشفِعنِ‬
‫ّ‬ ‫والتعجبِواستطيرواِشوقاِإلىِمصنفِيضمِأطر‬
‫حقائقِالتنزيل‪ِ،‬وعي ِونِاألقاويلِفيِوجوهِالتأويل)ِفاستعفيت‪ِ،‬فأبواِإلِالمراجعةِوالستشفاعِبعظماءِالدينِوعلماءِ‬
‫ِالخوضِفيوِ‬
‫ِ‬ ‫العدلِوالتوحيدِوالذيِحدانىِعلىِالستعفاءِعلىِعلمىِأنهمِطلبواِماِاإلجابةِإليوِعلى ِواجبةِأل ّن‬
‫ّ‬
‫كفرضِالعينِماِأرىِعليوِالزمانِمنِرثاثةِأحوالوِوركاكةِرجالوِوتقاصر ِىممهمِعنِأدنىِعددِىذاِالعلمِفضالِأنِ‬
‫تترقىِإلىِالكالمِالمؤسسِعلىِعلمىِالمعانيِوالبيان‪ِ،‬فأمليتِعليهمِمسألةِفيِالفواتح‪ِ،‬وطائفةِمنِالكالمِفيِ‬
‫حقائقِسورةِالبقرةِوكانِكالماِمبسوطاِكثيرِالسؤالِوالجوابِطويلِالذيولِواألذناب‪ِ،‬وإنماِحاولتِبوِالتنبيوِعلىِ‬
‫غزارةِنكتِىذاِالعلمِوأنِيكونِلهمِمناراًِينتحونوِومثالِيحتذونو‪ِ،‬فلماِصممِالعزمِعلىِمعاودةِجوارِاللَّوِواإلناخةِ‬
‫بحرم ِاللَّو ِفتوجهت ِتلقاء ِمكة‪ِ ،‬وجدت ِفي ِمجتازى ِبكل ِبلد ِمن ِفيو ِمسكة ِمن ِأىلها‪ِ -‬وقليل ِما ِىم‪ِ -‬عطشىِ‬
‫اقتباسو‪ِ،‬فهزِماِرأيتِمنِعطفيِوحركِ‬
‫ّ‬ ‫األكبادِإلىِالعثورِعلىِذلكِالمملى‪ِ،‬متطلعينِإلىِإيناسو‪ِ،‬حراصاِعلى ِ‬
‫ّ‬
‫الساكنِمنِنشاطي‪.‬‬
58

tafsirnya, meskipun dalam bentuk yang lebih ringkas dari yang ia


diktekan sebelumnya.26
Menurut al-Juwaini, ada tiga alasan yang melatarbelakangi cara
penafsiran yang lebih ringkas itu. Pertama ia telah berumur 60 tahun
lebih; Kedua, ia bermaksud menafsirkan keseluruhan Al-Qur‟an; dan
ketiga, karya tulisnya dinanti-nantikan oleh orang banyak.27 Az-
Zamakhsyarî berhasil penyelesaian penulisan tafsirnya dalam waktu
kurang lebih 2 tahun. Penulisan tafsir tersebut dimulai ketika ia berada di
Mekkah pada tahun 526 H dan selesai pada hari senin 23 Rabî‟ul Akhîr
528H.28
Sementara untuk Penamaan kitabnya “al-Kasyâf „an Haqâ‟iq at-
Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî al-Wujûhi at-Ta‟wîl”, karena dalam
menulis tafsir ini, az-Zamakhsyarî berusaha mengungkapkan seluruh
pengertian yang dimaksud hingga sampai pada yang dituju, dengan
dukungan berbagai ilmu pengetahuan. Dan sebagai bentuk jawaban dari
permintaan sahabat-sahabatnya yang memintanya menyingkap hakikat-
hakikat turunnya Al-Qur‟an dan pandangan-pandangan yang esensial
dalam segi penta‟wilan.29

E. Sumber dan Referensi


Sebagian besar Sumber penafsiran dalam kitab tafsir al-Kasyâf
berorientasi pada rasio (ra‟yu), maka tafsir ini dapat dikategorikan
sebagai tafsir bi ar-rayi, namun pada beberapa tempat beliau
menggunakan riwayat sebagi pendukung penafsirannya.
26
Avif Alfiyah, “Kajian Kitab Al-Kasyâf Karya Az-Zamakhsyarî ” dalam Jurnal
al-Furqon, Vol. 1, No. 1 Juni 2018, h. 59-60.
27
Muhammad Solahudin, “Metodoligi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir
Al-Kasysyâf”, dalam Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, h. 119.
28
Samsurrohman, “Pengantar Ilmu Tafsir”, (Jakarta: Amzah, 2014), Cet. Ke-1, h.
224.
29
Muhammad Solahudin, “Metodoligi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir
Al-Kasysyâf”, dalam Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 1, Januari 2016, h. 120.
59

Kitab-kitab berbagai bidang ilmu yang digunakan sebagai referensi


oleh az-Zamakhsyarî (w. 538 H) dalam proses penulisan kitab tafsirnya
adalah sebagai berikut:
1) Referensi Bidang Tafsir
a) Tafsir Mujâhid (w. 104 H)
b) Tafsir „Amr ibn „Ubaid al-Muʿtazilî (w. 144 H)
c) Tafsir Abî Bakr al-asham al-Muʿtazili (w. 235)
d) Tafsir az-Zajjâj (w. 311 H)
e) Tafsir ar-Rumânî (w. 384 H)30
f) Tafsir „Ali ibn Abî Thâlib dan Jaʿfar as-Sadîq
g) Tafsir dari kelompok Jabariyah dan Khawârij31
2) Referensi Bidang Hadis
Az-Zamakhsyarî dalam mengambil berbagai macam hadis dari
berbagai kitab hadis. Tetapi yang disebutkan secara jelas hanya kitab
Shahîh Muslim saja.32
3) Referensi Bidang Qira‟at
a) Mushaf „Abdullah ibn Masʿûd
b) Mushaf Haris ibn Suwaid
c) Mushaf Ubay bin Ka‟ab
d) Mushaf ulama Syam dan Hijaz.33
4) Referensi Bidang Bahasa
a) Kitab Sibawaih (w. 189 H)
b) Ishlâh al-Mantiq karya Ibn as-Sukait (w. 244 H)
c) Al-Kâmil karya al-Mubarrad (w. 285 H)
30
Muhammad „Ali Iyazy, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, h. 577.
31
A.H Qowim, “Penafsiran Ayat-Ayat tentang Penciptaan dan Kemampuan Jin
menurut az-Zamakhsyarî”, Skripsi, UIN Walisongo Semarang, 2012, h. 76.
32
A.H Qowim, “Penafsiran Ayat-Ayat tentang Penciptaan dan Kemampuan Jin
menurut az-Zamakhsyarî”, Skripsi, UIN Walisongo Semarang, 2012, h. 76.
33
A.H Qowim, “Penafsiran Ayat-Ayat tentang Penciptaan dan Kemampuan Jin
menurut az-Zamakhsyarî”, Skripsi, UIN Walisongo Semarang, 2012, h. 76.
60

d) Al-Mutammim karya Durstuwiyah (w. 374 H)


e) Al-Hujjah karya Abi „Ali al-Farisi (w. 377 H)
f) Al-Muhtasib karya Ibn al-Jinn (w. 392 H)34

F. Metode dan Corak Tafsir


Metode yang digunakan az-Zamakhsyarî adalah metode tahlili yakni
metode yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an dari
berbagai aspek, yang mencakup makna kata-kata dan kalimat dengan
cermat, sabab an-nuzûl (bila ada), makna global, hukum yang dapat
ditarik, uraian Qirâ‟at, Iʿrâb, keistimewaan susunan kata-katanya, serta
aspek munasabah atau hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya
atau antara satu surah dengan surah lainnya, sesuai tertib susunan surah-
surah dalam Mushaf Usmâni. Untuk membantu mengungkapkan makna
ayat-ayat, ia juga menggunakan riwayat-riwayat dari para sahabat dan
tabi‟in, dan kemudian mengambil konklusi dengan pandangan
pemikirannya sendiri.35
M. Sholahudin mengutip tafsir Manhaj Az-Zamakhsyarî fi tafsiri Al-
Qur`an karya Mustafa As-Sawi al-Juwaini bahwa al-Juwaini
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan metode dan corak tafsir al-
Kasyâf, yaitu:
1) Dalam penafsiran az-Zamakhsyarî senantiasa mendahulukan dan
menguasakan akal.
2) Az-Zamakhsyarî mendahulukan dan menerapkan prinsip-prinsip
Mu„tazilah dalam menafsirkan Alquran.
3) Terkadang az-Zamakhsyarî menjadi mufassir naql. Seperti ketika
menafsirkan Surah al-Baqarah ayat 26, ia menggunakan

34
Muhammad „Ali Iyazy, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Wazarah al-Tsaqafah al-Irsyad al-Islami, 1798),h. 577.
35
Muhammad Sofyan, Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 33.
61

periwayatan. Selain itu terkadang menggunakan lafal qabla atau


rawa, ketika hendak menjelaskan asbâb an-nuzûl.
4) Az-Zamakhsyarî menggunakan prinsip-prinsip kebahasaan.
5) Az-Zamakhsyarî menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab.
6) Az-Zamakhsyarî juga menggunakan qirâ‟at-qirâ‟at dalam
penafsiran.
7) Az-Zamakhsyarî menafsirkan ayat-ayat ahkâm dengan pandangan
mazhab Muʿtazilah.
8) Az-Zamakhsyarî menafsirkan Al-Qur‟ân dengan mengungkapkan
nilai-nilai sastranya.
9) Az-Zamakhsyarî memandang Al-Qur‟ân yang dapat dijadikan
pedoman untuk pendidikan rohani.36
Meskipun ia mengutamakan prinsip-prinsip muʿtazilah dalam
penafsirannya, tetapi kefanatikan az-Zamakhsyarî pada mazhabnya,
belum sampai pada tahap penyimpangan, karena ia masih berpegang
teguh pada sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur‟an dan hadis, bahkan tafsir
al-Kasyâf sangat berjasa dalam mengangkat nilai-nilai rasionalitas Al-
Qur‟an.
Tafsir al-Kasyâf bercorak sastra bahasa. Ini dikarenakan az-
Zamakhsyarî adalah seorang yang ahli dalam bahssa Arab yang meliputi
sastranya, balâghah-nya, nahwunya atau gramatikanya, maka tidak
mengherankan kalau keahliannya itu mewarnai penafsirannya. Subhi as-
Salih menyatakan bahwa tafsir al-Kasyâf mempunyai aspek keutamaan
dalam mengetengahkan aspek balâghah dan membuktikan beberapa
bentuk i‟jâz dengan cara adu argumentasi.

36
Muhammad Solahudin, “Metodoligi dan Karakteristik Penafsiran dalam Tafsir
Al-Kasysyâf”, dalam Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, h. 122.
62

Tafsir al-Kasyâf juga bisa dimasukkan kedalam tafsir yang bercorak


teologi. Ini dikarenakan az-Zamakhsyarî yang merupakan salah satu
tokoh Mu„tazilah dan penafsirannya mendukung mazhab yang
dianutnya. Jika ia menemukan dalam Al-Qur‟an suatu lafazh yang kata
lahirnya tidak sesuai dengan pendapat Mu„tazilah, ia berusaha dengan
segenap kemampuannya untuk membatalkan makna lahir dan
menetapkan makna lainnya yang terdapat dalam bahasa.37

G. Karaktersitik dan Sistematika Penulisan


Tafsir al-Kasyâf memiliki dua karakteristik yang menonjol, yaitu:
1) Kental dengan faham Mu„tazilah
Ketika menemukan nash al-Qur‟an yang kontradiksi dengan
prinsip-prinsip mazhabnya, az-Zamakhsyarî akan mengusahakan
penyesuaian antara keduanya, sekalipun untuk itu harus melakukan
penyimpangan. Ini adalah salah satu prinsipnya dalam menafsirkan
Al-Qur‟an. Jika menjumpai sebuah ayat yang berlawanan dengan
pandangan mazhabnya dan sebuah ayat lain yang menguatkan
pandangan mazhabnya, ia katakan bahwa ayat yang pertama bersifat
mutasyabbih dan yang kedua muhkam, kemudian mentolak-ukurkan
yang pertama pada yang kedua.
2) Penuh dengan analisa bahasa, sastra dan gramatika.
3) Isinya tidak berbelit-belit dan sederhana.
4) Tidak terdapat kisah-kisah isrâ‟iliyyat.38
Tafsir al-Kasyâf disusun dengan tertib mushafi, yaitu berdasarkan
urutan surah dan ayat dalam Mushaf Usmani, yang terdiri dari 30 juz
berisi 114 surah, dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan

37
A.H Qowim, “Penafsiran Ayat-Ayat tentang Penciptaan dan Kemampuan Jin
menurut az-Zamakhsyarî”, Skripsi, UIN Walisongo Semarang, 2012, h. 74-75.
38
Avif Alfiyah, “Kajian Kitab Al-KasyâfKarya Az-Zamakhsyarî ” dalam Jurnal al-
Furqon, Vol. 1, No. 1 Juni 2018, h. 59
63

surah al-Nâs. Setiap surah diawali dengan Basmallah, kecuali pada surah
at-Taubah.39

Sitematika Az-Zamakhsyarî dalam menulis kitab tafsir al-Kasyâf


adalah sebagai berikut:
1) Menyebutkan nama surah, diikuti dengan penjelasan periodesasi
turunnya surah tersebut (makkiyyah atau madaniyyah), dan jumlah
ayat. Pada beberapa surah ditulis pula nama lain , dan keutamaan
surah tersebut. Seperti surah al-Munjiyat nama lain dari surah al-
Mulk.
2) Menjelaskan makna dari penggalan ayat dengan pendekatan bahasa
maupun istilah. Contoh:

ْ ْْْْْْْْ

“dan Dia menciptakan jin dari nyala api” (QS. Ar-Rahmân


[55]:15)

Dalam menafsirkan ‫الجان‬ (al-jân), Az-Zamakhsyarîmenjelaskan

bahwa al-jân bapaknya para jin. Dia juga menulis pendapat lain yang
menyatakan al-jân adalah iblis. Sedangkan al-maʿârij, dimaknainya
dengan api yang suci/murni yang tidak berasap. Dia juga menyebutkan
pendapat lain tentang makna al-maʿârij yaitu yang bercampur dengan
hitamnya api, dari campuran sesuatu yang membara dan bercampur.
Seperti Firman Allah:

ْْْْْْ

“Maka, Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang


menyalanyala. (QS. al-Lail [92]:14).

39
Muhammad Sofyan, Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 32.
64

3) Menjelaskan aspek qira‟at, dan nahwu pada penggalan ayat.


4) Selalu menggunakan redaksi pertanyaan dan jawaban dengan kata:

‫؟‬.....:‫ْ فإن قلت‬.......:‫قلت‬ untuk menjelaskan maksud atau pelajaran

yang tersirat dalam penggalan ayat.40 Contoh:

ِ‫ِأحدىماِأن‬:‫ِفيوِوجهان‬:‫»ِقلت‬2«ِ‫ِماِمعنىِتعلقِاسمِاللَّوِبالقراءة؟‬:‫فإنِقلت‬
ِ‫ِعلىِمعنىِأ ّن ِالمؤمنِلما‬،‫ِكتبتِبالقلم‬:‫يتعلقِبهاِتعلقِالقلمِبالكتبةِفيِقولك‬
ِ‫اعتقدِأ ّن ِفعلوِلِيجيءِمعتداِبوِفيِالشرعِواقعاِعلىِالسنةِحتىِيصدرِبذكر‬
ِ‫ِ«كلِأمرِذىِبالِلمِيبدأِفيو ِباسمِاللَّو‬:‫اسمِاللَّو ِلقولوِعليوِالصالةِوالسالم‬
ِ‫ِجعلِفعلوِمفعولِباسمِاللَّوِكماِيفعلِالكتب‬،‫فهوِأبتر»ِإلِكانِفعالِكالِفعل‬
41
.‫بالقلم‬
H. Pendapat Ulama Tentang az-Zamakhsyarî dan Tafsirnya
Di kalangan ulama, az-Zamakhsyarî dikenal dengan orang yang
sangat luas ilmunya dan wawasannya dalam bidang bahasa juga ahli
dalam berdiskusi. Hal ini terlihat dari banyaknya orang-orang yang ingin
menuntut ilmu dan berdiskusi kepadanya. Kehebatan az-Zamakhsyarî
juga diakui di kalangan ulama generasi berikutnya. Az-Zamakhsyarî
termasuk ulama yang produktif dalam mengarang karya tulis, dari sekian
banyak karyanya tafsir al-Kasyâf adalah karyanya yang paling
monumental.42

40
Avif Alfiyah, “Kajian Kitab Al-KasyâfKarya Az-Zamakhsyarî ” dalam Jurnal al-
Furqon, Vol. 1, No. 1 Juni 2018, h. 60-61.
41
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf ‟an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 25.
42
Bustami saladin, “Pro dan Kontra Penafsiran Zamakhsyarî Tentang Teologi
Mu‟tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyâf”, dalam Jurnal al-Ihkam, Vol. 5, No. 1 Juni, 2010, h.
6-7.
65

Kitab tafsir al-Kasyâf karya az-Zamakhsyarî ini memiliki banyak


keistimewaan yang terletak pada pembahasan atau penafsirannya yang
mengungkap rahasia-rahasia balâghah yang terdapat dalam Al-Qur`an.
Ibnu Khaldun ketika berbicara tentang tafsir yang menggunakan
pendekatan kaidah bahasa mengatakan bahwa di antara sekian banyak
tafsir yang memuat berbagai macam keilmuan semacam ini tafsir al-
Kasyâf yang paling terbaik. Pujian senada juga diucapkan oleh Haydar
al-Harawî yang menyebutkan bahwa tafsir al-Kasyâf adalah kitab tafsir
yang bernilai tinggi belum ada tafsir yang bisa menandinginya
dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimîn
lainnya. Menurut Muhammad Zuhayli, tafsir ini yang pertama
mengungkap rahasia balâghah Al-Qur`an, aspek-aspek kemukjizatannya,
dan kedalaman makna lafal-lafalnya dimana hal inilah orang-orang arab
tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama
dengan Al-Qur`an. Lebih jauh, Ibnu „Asyûr menegaskan bahwa
mayoritas pembahasan ulama sunni mengenai tafsir Al-Qur`an
didasarkan pada tafsir al-Kasyâf karya az-Zamakhsyarî.

Meskipun banyak pujian yang dilontarkan oleh para ulama namun


tidak sedikit pula yang mengkritik az-Zamakhsyarî terutama dari ulama-
ulama tafsir Ahlu as-sunnah karena keberpihakannya terhadap aliran
Mu‟tazilah dalam menafsirkan ayat Al-Qur`an. Hal ini menjadikan
penafsirannya seakan-akan bersifat subjektif dan melegistimasi
pahamnya. Sekalipun ulama-ulama Ahlu as-sunnah menentang akidah
kaum Mu‟tazilah yang dianut oleh az-Zamakhsyarî.43 Ulama-ulama
tafsir Ahlu as-sunnah juga mengkritik tafsir al-Kasyâf sebagaimana
tercantum dalam al-Ibânat „an Ushûl ad-Diyânât karya Abû Hasan Ali

43
Dâra Humaira dan Khairun Nisa, “Unsur I‟tizali dalam Tafsir Al-Kasyâf”, dalam
Jurnal Maghza, Vol. 1, No. 1, Januari, 2018, h. 32.
66

ibn Ismâ„îl „Asy„ari, Târikh al-Firâq al-Islâmiyah karya Ali Mushtafâ


al-Ghurabi, Intishâf min Tafsir al-Kasyâf karya Ahmad bin Muhammad
bin Mansûr bin Munîr al-Maliki. Adz-Dzahabi di samping memberi
pujian juga memberikan kritik dengan menyebutkan sejumlah
penyimpangan-penyimpangan yang terdapat dalam tafsir al-Kasyaâf.44
Namun mereka banyak mengambil manfaat dari keilmuan dan
kepiawaian az-Zamakhsyarî dalam mengungkapkan penafsiran ayat dari
segi ke-balâghahannya.45

44
Bustami saladin, “Pro dan Kontra Penafsiran Zamakhsyarî Tentang Teologi
Mu‟tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyâf”, dalam Jurnal al-Ihkam, Vol. 5, No. 1 Juni, 2010, h.
16-17.
45
Dâra Humaira dan Khairun Nisa, “Unsur I‟tizali dalam Tafsir Al-Kasyâf”, dalam
Jurnal Maghza, Vol. 1, No. 1, Januari, 2018, h. h. 32.
BAB IV
ANALISIS AYAT YANG MENGANDUNG KALÂM INSYÂ’I
THALABÎDALAM SURAH YÂSÎN MENURUT TAFSIR AL-KASYÂF
Pada bab ini berisi tentang analisis ayat yang mengandung kalâm Insyâ‟i
thalabîdalam surah Yâsîn. Dimana menjelaskan sekilas mengenai surah
Yâsîn dan ayat-ayat yang dilihat dari segi mubâlaghahnya disertai penafsiran
az-Zamakhsyarî dan hal senada dengan penafsiran beberapa jumhur ulama
mufassir mengenai kalâm Insyâ‟i thalabî.

A. Sekilas Mengenai Surah Yâsîn


Surah Yâsîn adalah surah ke 36 dalam Al-Qur`an, terdiri dari 83
ayat menurut „ulama Kufah dan menurut mayoritas „ulama ada 82 ayat.1
Surah ini tergolong surah Makiyyah, walaupun ada sebagian ulama yang
berpendapat bahwa ayat ke 12 pada surah ini turun di Madinah.2 Surah
Yâsîn adalah salah satu surah dari 114 surah dalam Al-Qur`an dan
merupakan surah ke 41 dari segi peruntutan turunnya, surah ini turun
sesudah surah Al-Jin dan sebelum surah Al-Furqân.3
Surah ini dinamakan dengan surah Yâsîn karena Allah SWT
memulai surah ini dengan nama tersebut.4 M. Quraish Shihab di dalam
tafsirnya Tafsir Al-Misbah menjelaskan surah ini dinamai surah Yâsîn

karena kedua huruf alpabet Arab (‫ )م‬Ya dan (‫ )س‬Sin memulai ayat-

ayatnya. Nama ini dikenal sejak masa Rasulullah SAW. Beliau bersabda:
Iqra‟û „alâ mautâkum yâsîn “bacakanlah surah Yâsîn bagi mautâkum”
(HR. an-Nasa‟i melalui Ma‟qil ibn Yasar, dan diriwayatkan juga oleh

1
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah:Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur`an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 503.
2
Muhammad al-Utsaimin, Tafsir Surah Yâsîn, (Jakarta: Akbar Media, 2009), h.5.
3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 502.
4
Syaikh Adil M. Khalil, Tadabur Al-Qur`an: Menyelami Makna Al-Qur`an Dâri
Al-Fatihah sampai An-Nas, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2018), Cet. Ke 1, h. 198.

67
68

Ibn Majah dan lain-lainnya). Kata mautâkum dipahami oleh banyak


ulama dalam arti orang yang sedang akan mati dan ada juga yang
memahaminya dalam arti yang telah mati/wafat.5
Ia dikenal juga dengan nama Qalbu Al-Qur`an/jantung Al-Qur`an.
Penamaan ini berdasar satu hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi,
tetapi dinilainya gharib bahkan banyak ulama menilainya dha‟if.
Menurut Imam Al-Ghazali penamaan itu disebabkan karena surah Yâsîn
menekankan uraian tentang hari kebangkitan, sedangkan keimanan baru
dinilai keimanannya, kalau seseorang mempercayai hari kebangkitan
sepenuh hatinya. Surah Yâsîn dianjurkan untuk dibaca bagi yang mati
atau akan mati, disebabkan karena seseorang yang akan meninggal dunia
hatinya gentar menghadap Allah SWT.6
Terdapat beberapa faedah dalam surah Yâsîn diantaranya:
1. Seseorang yang beriman kepada para Rasul dan mempercayai
mereka maka ia hidup sebagai penyeru kepada Allah dan
penasihat bagi kaumnya dan mati dalam keadaan menasehati
kaumnya sebagaimana yang disebutkan di dalam surah ini.
2. Seorang mukmin akan kuat dengan saudara-saudaranya,
mereka akan selalu membantunya dalam menolongnya.
3. Akan bangkit pada hari kiamat sedang sebagian manusia
sedang dalam perniagaan mereka di pasar-pasar sebagaimana
yang disebutkan di dalam ayat.
4. Detailnya aturan alam semesta dan sempurnanya
ketertibannya, contoh dalam hal ini sangatlah banyak.

5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 501.
6
M. Quraish Shihab, Yâsîn Dan Tahlil, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 75.
69

5. Hanya orang-orang yang masih hiduplah yang akan


mendapatkan manfaat dari Al-Qur`an.7

B. Penafsiran az-Zamakhsyarî Mengenai Kalâm Insyâ’i Thâlabi Dalam


Surah Yâsîn
1. Amr (‫)المر‬

Seperti yang telah diketahui pada Bab dua bahwa Amr adalah
menuntut dilaksanakannya suatu pekerjaan oleh pihak yang lebih
tingggi kepada pihak yang lebih rendah. Ada dua jenis makna yaitu
makna haqiqi (makna yang benar-benar perintah) dan makna yang
menyimpang dari makna aslinya dan menunjukkan makna-makna
lain.
Dalam surah Yâsîn terdapat bentuk Amr pada ayat 11, 13, 21, 26,
45, 47, 59, 61, 64 dan ayat 82.
a. Makna Haqiqi (makna asli)
1) Ayat 11

َ ْ َ ِ ْ َ َ ْ َ ْ َ ٰ ْ َّ َ َ َ َ ْ َ َ َّ َ ِ ْ ِ َ َّ
‫الذكر وخ ّشي الرحمن ّةالغح ّبِۚ فب ّشهه ّةمغ ّفر ٍة‬
ّ ‫ّانما حن ّذر م ّن احتع‬

َ ْ َ
١١ ‫َّواج ٍر ك ّري ٍم‬
ْ

“Sesungguhnya engkau hanya memberi peringatan


kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan
dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih,
walaupun mereka tidak melihat-Nya. Maka berilah
mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala
yang mulia.” (QS. Yâsîn[36]:11)

7
Syaikh Adil M. Khalil, Tadabur Al-Qur`an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2018),
h. 198-199.
70

ِ َ َ
Bentuk amr pada ayat ini terletak pada lafadz ‫( فب ّش ْهه‬berilah

kabar gembira) yaitu kata perintah untuk orang kedua laki-laki


tunggal yaitu dhamir mustatir (‫)انت‬. Bentuk amr di atas bermakna

amr haqiqi karena kedudukan mutakallim (Allah) lebih tinggi


dari pada mukhâtab (Nabi Muhammad SAW).8
Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan

ِ َ َ
bahwa lafadz ‫ فب ّش ْهه‬merupakan uslûb insyâ‟i thalabî dengan

kategori shigah fi‟il amr, dimana az-Zamakhsyarî menjelaskan


bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk
menyampaikan peringatan dengan kabar gembira bahwa Allah
akan memberi nikmat terbesar yaitu masuk surga, tetapi hanyalah
bagi orang yang mau menerima dan mengikuti Al-Qur`an.9 Status
kenabian berarti Rasulullah SAW mendaptkan perintah untuk
memberi peringatan dengan kabar gembira kepada kaumnya.
َ َ
Pada lafadz ‫ فب ّش ْه ِه‬az-Zamakhsyarî mengelompokkan

sebagai uslûb insyâ‟i thalabî, hal ini senada dengan Thahir Ibn
„Asyûr (w. 1393 H) dalam tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr
menjelaskan bahwa yang disampaikan Nabi Muhammad SAW
yaitu berupa ampunan dan kabar gembira artinya membenarkan
dan mengimani apa yang disampaikan Nabi Muhammad

8
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 71.
9
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 891
71

sehingga mengamalkan apa yang telah diajarkan Nabi.10


Begitupun dengan penafsiran Ibnu Jarir Ath-Thabarî dalam tafsir
nya, Ath-Thabarî menjelaskan bahwa kabar gembira tersebut
disampaikan kepada orang yang mengikuti peringatan dan takut
kepada Allah meskipun tidak tampak tentang ampunan dari Allah
atas dosa-dosanya.11
2) Ayat 26
َ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ََّ ْ ِ ْ َ
٢٦ ‫ّك ْيل ادخ ّل الجنث كال ٰيلحج ك ْي ّم ْي َيػل ِم ْين‬
“Dikatakan (kepadanya), “Masuklah ke surga.” Dia
(laki-laki itu) berkata, “Alangkah baiknya sekiranya
kaumku mengetahui.” (QS. Yâsîn[36]:26)
ِ ْ
Kata ‫ادخ ّل‬ menunjukkan bentuk fi‟il amr atau disebut

kalimat perintah yang menunjukkan arti masuklah. Bentuk amr di


atas bermakna amr haqiqi karena kedudukan mutakallim lebih
َ ََّ ْ ِ ْ َ ْ
tinggi dari pada mukhâtab.12 Lafadz ‫ ّكيل ادخ ّل الجنث‬dilihat dari

shigah mubâlaghahnya, kalimat ini terdapat al-Îjâz yaitu

peringkasan kata-kata dengan membuang sebagian kata, yaitu ْ‫ْلى َّما‬

ٍ ‫ْاد يخ ًل‬ ً ً
‫ْاْلىنَّْةي‬ ٍ ‫يل ْلىوي‬
‫أىعلى ىن ْاميىانيو ْقىػتىػليوهي ْفىق ى‬ (ketika laki-laki itu

mendeklarasikan keimanannya, penduduk kotapun

10
Thahir Ibn „Asyûr, Tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr, (Tunis: Dâr At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984), juz 22, cet. ke-1, h. 353.
11
Muhammad ibn Jarir Ath-Thabarî (selanjutnya Ath- Thabarî), Tafsir Ath-Thabarî
(Jami‟ Al-Bayan fi Ta‟wil Al-Qur`an), (Beirut: Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h. 268.
12
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 71.
72

membunuhnya, lalu dikatakan kepada-Nya, “masuklah kamu ke


dalam surga”).
Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan
ِ ْ
bahwa lafadz ‫ ادخ ّل‬merupakan uslûb insyâ‟i thalabî dengan

kategori shigah fi‟il amr, dimana az-Zamakhsyarî menjelaskan


tokoh yang dimaksud adalah Habib bin Israil An-Najjar, seorang
pemahat patung yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW.
Az-Zamakhsyarî berpendapat bahwa masuk surganya Habib
mengandung dua makna yang berbeda. Pertama ia hidup dan
diberikan rizki sebagaimana orang yang mati syahid, kedua
berarti ia diberikan kabar gembira tentang surga bahwa ia akan
menjadi penduduknya. Akan tetapi ia berangan-angan tentang
pengetahuan kaumnya terhadap keadaannya agar mereka
mendapat yang serupa terhadap diri mereka, dengan taubat dari
kekufuran, berbuat amal saleh, yang menyerahkan ahli taubat dan
iman ke surga13.
ِ ْ
Pada lafadz ‫ ادخ ّل‬az-Zamakhsyarî mengklasifikasikan

sebagai uslûb insyâ‟i thalabî senada dengan Thahir Ibn „Asyûr


(w. 1393 H) dalam tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr menjelaskan
bahwa pada ayat ini “masuklah ke surga” merupakan pertanda
bahwa Habib telah mati dibunuh dalam keadaan menegakkan
kalimat Allah SWT. Habib mati syahid karena telah
memproklamirkan diri sebagai orang mukmin dan keluar dari

13
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 893.
73

kepercayaan masyarakatnya.14 Begitupun dalam tafsir Ath-


Thabarî menerangkan bahwa udkhul al-jannat adalah tatkala
Habib menjemput ajal, maka tampaklah baginya ganjaran dan
wajib baginya surga juga dijelaskan ketika keadaan Habib ini
dihinakan di dunia maka Allah angkat derajatnya dan
memuliakannya dengan Rahmat Allah di akhirat.15

3) Ayat 59
َ ْ ْ َ َ ْ ِ َ
٥٩ ‫َوا ْمتازوا ال َي ْي َم ايُّىا ال ِمج ّر ِم ْين‬
“Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir),
“Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada
hari ini, wahai orang-orang yang berdosa!” (QS.
Yâsîn[36]:59)

ِ َ ْ َ
Kata ‫ وامتازوا‬menunjukkan bentuk fi‟il amr atau kata

perintah, artinya berpisahlah kamu. Bentuk amr di atas bermakna


amr haqiqi karena mutakallim (Allah) lebih tinggi dari pada
mukhâtab (orang-orang kafir).16 Dalam menafsirkan ayat ini az-
ِ َ ْ َ
Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafadz ‫ وامتازوا‬merupakan

uslûb insyâ‟i thalabî dengan kategori shigah fi‟il amr, dimana az-
Zamakhsyarî menjelaskan pada hari terjadinya kiamat ketika
orang-orang mukmin yang beriman dan mengerjakan amal saleh
digiring ke surga sedangkan orang-orang kafir memiliki rumah

14
Thahir Ibn „Asyûr, Tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr, (Tunis: Dâr At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984), juz 22, cet. ke-1, h. 370.
15
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî (Jami‟ Al-Bayan fi Ta‟wil Al-Qur`an), (Beirut:
Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h. 272.
16
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 71.
74

dari neraka yang tidak terlihat di dalamnya, artinya sebagian


mereka berpisah dari yang lain17.
ِ َ ْ َ
Pada lafadz ‫ وامتازوا‬penafsiran az-Zamakhsyarî senada

dengan tafsir Ath-Thabarî karya Ibnu Jarir Ath-Thabarî (w. 310


H) menjelaskan pada ayat ini bahwasanya para ahli neraka
berpisah dengan orang-orang mukmin pada hari kiamat dari
segala bentuk kenikmatan dan kesenangan.18 Begitupun
penjelasan Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbâh ayat ini berarti
memisahkan sesuatu dari kelompok yang awalnya berbaur dan
bersatu. Namun menurut Quraisy Shihab perintah ini tidak secara
langsung diarahkan kepada para penghuni neraka, tetapi perintah
Allah SWT yang mencerminkan kehendak-Nya untuk
mewujudkan sesuatu yang diperintahkan Allah SWT dan ini
menggambarkan betapa cepat pemisahan itu terjadi.19
4) Ayat 61
َ ٌ َ ٰ ِ ْ َ
٦١ ‫ َوا ّن اغ ِتد ْ ّون ْي وذا ّص َهاط ُّم ْسخ ّل ْي ٌم‬
“dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan
yang lurus.” (QS. Yâsîn[36]:61)

ِ ْ
ْ ِ
Kata ‫ون ْي‬
ّ ‫ اغتد‬menunjukkan bentuk fi‟il amr atau kata

perintah artinya menyembah-Ku sejatinya sembahlah aku. Bentuk


amr di atas bermakna amr haqiqi karena mutakallim (Allah)

17
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 897.
18
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî, (Beirut: Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h.
284.
19
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), jilid 11, h. 561.
75

lebih tinggi dari pada mukhâtab (orang-orang musyrik).20 Pada


ِ ْ َ
ayat ini dalam lafadz ‫ون ْي‬
ْ ِ َ
ّ ‫ اغتد‬‫ وان‬berhubungan dengan ayat

sebelumnya pada lafadz ْ ْ ْ ْ diantara

kedua kalimat ini terdapat Thibâq salab. Thibâq adalah


berkumpulnya dua kata yang berlawanan dalam suatu kalimat.
Ada dua macam yaitu Thibâq îjab dan Thibâq salab.21

Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan

bahwa lafadz ‫ون ْي‬


ْ ِ ِ ْ
ّ ‫ اغتد‬merupakan uslûb insyâ‟i thalabî dengan

kategori shigah fi‟il amr, dimana az-Zamakhsyarî menjelaskan


ayat ini merupakan petunjuk terhadap apa yang diperintahkan
Allah kepada mereka untuk tidak menyekutukan-Nya dan taat
kepada Allah yang Maha Pemurah karena tidak ada jalan yang
lebih tegak kecuali dari-Nya22. Artinya Allah memerintahkan
untuk beribadah kepada Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

Lafadz ‫ون ْي‬


ْ ِ ِ ْ
ّ ‫اغتد‬ ini di dalam penafsiran az-Zamakhsyarî

senada dengan tafsir Ath-Thabarî karya Ibnu Jarir Ath-Thabarî


(w. 310 H) menjelaskan pada ayat ini petunjuk seluruh umat

20
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 71.
21
Thibâq îjab adalah kedua kata yang berlawanannya itu tidak berbeda positif dan
negatifnya. Sedangkan Thibâq salab yaitu kedua kata yang berlawanannya itu berbeda
positif dan negatifnya. Lihat: Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balaghatu Al-Wadhihah,
(Jakarta; Raudhah Press, 2007), h. 299.
22
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 898.
76

manusia bahwa hanya menyembah Allah SWT adalah satu-


satunya jalan yang lurus dan selalu ikhlas dalam beribadah, tidak
mengikuti bujuk rayu syaitan.23 Begitupun dalam tafsir Al-munîr
karya Syaikh Wahbah Az-zuhaili (w. 1434 H) menjelaskan
setelah melarang penyembahan kepada selain Allah SWT,
selanjutnya Allah memerintahkan untuk hanya menyembah-Nya.
Esakan dan patuhilah perintah dan larangan Allah, inilah jalan
yang lurus.24
5) Ayat 64
َ ْ ِ ِْ َ ْ ِْ ِ َ َ ْ َْ َ َْ ْ
٦٤ ‫ّاصليوا الييم ّةما كجخم حكفرون‬
“Masuklah ke dalamnya pada hari ini karena dahulu
kamu mengingkarinya.” (QS. Yâsîn[36]:64)

Kata  pada ayat di atas menunjukkan bentuk fi‟il amr

atau kata perintah, artinya masuklah. Bentuk amr di atas


bermakna amr haqiqi karena mutakallim (Allah) lebih tinggi dari
pada mukhâtab (orang-orang kafir).25 Di dalam tafsir Al-kasyâf,
dimana az-Zamakhsyarî tidak menjelaskan ayat 64 pada surah
Yâsîn.

6) Ayat 82
ِ ْ ِ َ َ ْ ِ َ َ ْ ِ َّ ْ َ ْ َ َ َ َ َ ِ ْ َ َ َّ
٨٢ ‫ّانمآ امرهٓ ّاذآ اراد شي ًٔـا ان يليل له كن فيكين‬

23
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî, (Beirut: Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h.
284.
24
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 2009), jilid 12, h.
43.
25
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 70.
77

“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki


sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!”
Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Yâsîn[36]:82)
ِ
ْ
Kata ‫( كن‬jadilah) merupakan bentuk fi‟il amr dari kata

Kâna-yakûnu-kun. Bentuk amr di atas bermakna amr haqiqi


karena kedudukan mutakallim (Allah) lebih tinggi dari pada

mukhâtab (Makhluk).26 Pada lafadz     

dalam kalimat ini terdapat isti‟ârah tamtsîliyah,27 yaitu cepatnya


Allah SWT dalam merealisasikan sesuatu diserupakan dengan
perintah orang yang sangat ditaati dengan tanpa ada penundaan.

Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan


ِ
ْ
bahwa lafadz ‫ كن‬merupakan uslûb insyâ‟i thalabî dengan

kategori shigah fi‟il amr, dimana az-Zamakhsyarî menjelaskan


bahwa dalam waktu yang sesaat Allah maha kuasa untuk
menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlahnya. Di
jelaskan juga ini adalah majaz dari kalâm dan perumpamaan
karena sesuatu apapun tidak dapat mencegah, apabila Dia
menghendaki hanyalah berkata “Jadilah! maka terjadilah ia?”28.

26
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 71.
27
Isti‟ârah tamtsîliyah adalah suatu susunan kalimat yang digunakan bukan pada
makna aslinya karena ada hubungan keserupaan (antara makna asli dan makna majazi)
disertai adanya karinah yang menghalangi pemahaman terhadap kalimat tersebut dengan
maknanya yang asli. Lihat Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balaghatu Al-Wadhihah,
(Jakarta; Raudhah Press, 2007), h. 106.
28
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 901.
78

b. Makna Idhafi (makna menyimpang/makna lain)


7) Ayat 13
َ ِ ْ َ َ ْ َْ ٰ ْ َ ًَ َ ْ
١٣ ِۚ‫َواض ّه ْب ل ِى ْم َّمثلا اصح َب الل ْر َي ّثِۘ ّاذ جا َۤءوا ال ِم ْر َسل ْين‬

“Dan buatlah suatu perumpamaan bagi mereka, yaitu


penduduk suatu negeri, ketika utusan-utusan datang
kepada mereka”. (QS. Yâsîn[36]:13)

ْ
Kata ‫ اض ّه ْب‬pada ayat di atas berbentuk fi‟il amr

menunjukkan perintah yang artinya buatlah. Namun bentuk amr


di atas bukan memberi perintah tetapi cenderung memberikan
saran, maka bentuk amr seperti ini disebut Amr lil irsyad yaitu
memberi saran atau nasehat.29 Dalam menafsirkan ayat ini az-

ْ ْ
Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafadz ‫ اض ّهب‬merupakan uslûb

insyâ‟i thalabî dengan kategori shigah fi‟il amr yang


menunjukkan makna lain, dimana az-Zamakhsyarî menjelaskan
pada ini bahwasanya Allah memerintahkan Rasul untuk membuat
suatu perumpamaan seperti suatu kampung yang bisa diambil
pelajarannya yaitu kampung anthakiyah, dimana sebelumnya
Allah telah mengutus para Rasul untuk berdakwah tetapi
kaumnya berpaling dan mendustakan. Mereka adalah utusan
Nabi „Isa yang mengajak penduduk tersebut kepada kebenaran

29
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, al-Balâghah Al-Wâdhihah, (Jakarta; Raudhah
Press, 2007), h. 191.
79

dan beribadah kepada Allah yang mana mereka sebelumnya telah


menyembah berhala.30

ْ ْ
Penafsiran az-Zamakhsyarî dalam lafadz ‫ اض ّهب‬senada

dengan tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr karya Thahir Ibn „Asyûr (w.


1393 H) menjelaskan bahwasanya Allah memerintahkan Nabi
untuk membuat perumpamaan tentang keadaan musyrik Mekah
serupa dengan kedaan penduduk suatu negeri pada zaman Nabi
terdahulu, yang dimaksud suatu negeri adalah Anthokiah yang
saat ini merupakan daerah Suriah.31 Begitupun di dalam tafsir Al-
munîr karya Wahbah Az-zuhaili (w. 1434 H) mengutip pendapat
Ibnu „Abbas ialah ayat di atas perintah Allah kepada Nabi
Muhammad untuk membuat tamsil atau perumpamaan kepada
kaum yang mendustakan kamu seperti penduduk Anthakiah,
sedangkan utusan yang diutus kepada penduduk Anthakiah itu
berasal dari sahabat dan pengikut Nabi Isa untuk mengukuhkan
Syari‟atnya.32
8) Ayat 21
َ ْ ِ َ ْ ُّ ْ ِ َّ ً ْ َ ْ ِ ِ ْ َ َّ ْ َ ْ ِ َّ
٢١ ‫اح ّتػيا من لا يس َٔـلكم اجرا ووم مىخدون۔‬
“Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan
kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS. Yâsîn[36]:21)

30
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 891.
31
Thahir Ibn „Asyûr, Tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr, (Tunis: Dâr At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984), juz 22, cet. ke-1, h. 358.
32
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 2009), jilid 11, h.
646.
80

ْ ِ َّ
Kata ‫ اح ّتػيا‬yang berarti ikutilah menunjukkan bentuk fi‟il

amr atau kalimat perintah. Namun bentuk amr di atas cenderung


memberi saran bukan memberi perintah, maka bentuk amr seperti
ini disebut Amr lil irsyad yaitu memberi saran atau nasehat.33

ْ ِ َّ
Dalam shigah mubâlaghahnya lafadz ‫ اح ّتػيا‬pada ayat ini dengan

ْ ِ َّ
ayat sebelumnya  ‫ اح ّتػيا‬kedua kalimat ini termasuk

al-Ithnâb34 karena dengan mengulang penyebutan fi‟il (‫)اح ّتػيا‬.


ْ ِ َّ

Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan

ْ ِ َّ
bahwa lafadz ‫ اح ّتػيا‬merupakan uslûb insyâ‟i thalabî dengan

kategori shigah fi‟il amr yang menunjukkan makna lain, dimana


az-Zamakhsyarî menjelaskan ayat di atas untuk mengikuti orang
yang tiada minta balasan, dan ayat ini merupakan ancaman
terhadap mereka, yakni jangan merugikan sesuatu dari duniamu
dan beruntung terhadap agamamu, maka menjadilah kebaikan
dunia dan kebaikan akhirat35.

33
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, al-Balâghah Al-Wâdhihah, (Jakarta; Raudhah
Press, 2007), h. 191.
34
Ithnâb adalah bertambahnya lafadz dalam suatu kalimat melebihi makna kalimat
tersebut karena suatu hal yang berfaedah. Lihat: Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, al-
Balâghah Al-Wadhihah, (Jakarta; Raudhah Press, 2007), h. 264.
35
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 892.
81

ْ ِ َّ
Lafadz ‫ اح ّتػيا‬pada penafsiran az-Zamakhsyarî senada

dengan tafsir Al-Misbâh karya Quraish Shihab menjelaskan


bahwa penduduk saat itu selalu menduga adanya keuntungan
material dibalik aktivitas bahkan hampir tidak mengenal
ketulusan dalam satu aktivitasnya. Oleh karena itu mereka tidak
percaya kalau para Rasul tulus dan tidak mengharapkan imbalan
atas tuntunannya.36 Begitupun di dalam tafsir Al-munîr karya
syaikh Wahbah Az-zuhaili (w. 1434 H) ayat ini menjelaskan
ketika Habib An-najjar memerintahkan kaumnya untuk
mengikuti para utusan yang tulus dalam berdakwah dan mereka
tidak meminta upah atau imbalan atas penyampaian risalah yang
mereka sampaikan.37
9) Ayat 45
َ ْ ِ َ ْ ِ ْ ِ َّ َ َ ْ ِ َ ْ َ َ َ ْ ِ ْ ْ َ َ ْ َ َ ْ ِ َّ ِ ِ َ َ ْ َ َ
٤٥ ‫واّ ذا ّكيل لىم احليا ما ةين اي ّديكم وما خلفكم لػلكم حرحمين‬

“Dan apabila dikatakan kepada mereka,


“Takutlah kamu akan siksa yang di hadapanmu
(di dunia) dan azab yang akan datang (akhirat)
agar kamu mendapat rahmat.” (QS.
Yâsîn[36]:45)

ْ ِ َّ
Kata ‫( احليا‬takutlah) pada ayat di atas menunjukkan

bentuk fi‟il amr atau kata perintah. Bentuk amr di atas


bermakna amr haqiqi karena mutakallim (Allah) lebih

36
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbâh, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), jilid 11, h. 525.
37
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 2009), jilid 11, h.
649.
82

tinggi dari pada mukhâtab (orang-orang musyrik).38


Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan

ْ ِ َّ
bahwa lafadz ‫ احليا‬merupakan uslûb insyâ‟i thalabî

dengan kategori shigah fi„il amr, dimana az-Zamakhsyarî


mengutip dari keterangan Qatadah dan Mujahid bahwa
kejadian-kejadian yang telah berlalu yang ada di hadapan
kalian, yaitu seperti kejadian yang diujikan kepada para
umat yang berdusta kepada Nabinya, dan urusan di
belakang kalian berupa urusan hari kiamat dengan
harapan agar kalian mendapat rahmat Allah39.

ْ ِ َّ
Lafadz ‫ احليا‬ini senada dengan Ibnu Jarîr Ath-Thabari

(w. 310 H) dalam tafsirnya menjelaskan pada ayat ini


Ath-Thabarî juga mengutip dari Qatadah yang
mengatakan korelasinya dengan umat-umat terdahulu dan
hari akhir, juga keterangan dari Mujahid yang
menjelaskan korelasinya dengan perbuatan-perbuatan
yang mereka perbuat.40

38
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma‟ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 71.
39
Az-Zamakhsyarî, Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 896.
40
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî (Jami‟ Al-Bayan fi Ta‟wil Al-Qur`an), (Beirut:
Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h. 278.
83

10) Ayat 47
َ ْ َّ َ َّ ِ ِ َْ َ َ
‫ّلل ّذين‬ ْ‫اّٰلل َك َال الذيْ َن ك َف ِروا‬
ِ ‫َِّّما َر َز َكك ِم ه‬ َ
‫َواّ ذا ّك ْيل ل ِى ْم ان ّفل ْيا‬
ّ
ٰ َ َّ ِ ْ َ ْ َ َْ ِ‫ََ ِ ه‬ َّ ْ َِ ِ ٰ
‫ضل ٍل‬ ‫اّٰلل اطػ َمهٓ ّان انخ ْم ّالا ّف ْي‬ ‫يشاۤء‬ ‫ا َمن ْيٓا انط ّػ ِم َم ْن ل ْي‬

٤٧ ‫ُّم ّت ْي ٍن‬
“Dan apabila dikatakan kepada mereka,
“Infakkanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah
kepadamu,” orang-orang yang kafir itu berkata
kepada orang-orang yang beriman, “Apakah pantas
kami memberi makan kepada orang-orang yang jika
Allah menghendaki Dia akan memberinya makan?
Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
(QS. Yâsîn[36]:47)
ْ ِ َْ
Kata ‫ ان ّفليا‬pada ayat di atas menunjukkan fi‟il amr atau

kata perintah artinya infakkanlah. Namun bentuk amr di atas


cenderung memberi saran bukan memberi perintah, maka bentuk
amr seperti ini disebut Amr lil irsyad yaitu memberi saran atau
nasehat.41 Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî
ِ َْ
menjelaskan bahwa lafadz ‫ان ّفل ْيا‬ merupakan uslûb insyâ‟i

thalabî dengan kategori shigah fi‟il amr yang menunjukkan


makna lain, dimana az-Zamakhsyarî mengutip riwayat dari
Abdullah Ibnu „Abbas menjelaskan bahwa ayat di atas
menjelaskan ketika orang kafir zindiq mekah diperintahkan oleh
orang-orang mukmin bersedekah terhadap orang-orang miskin,
mereka berkata : “Tidak, demi Allah, Allah lah yang

41
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, al-Balâghah Al-Wâdhihah, (Jakarta; Raudhah
Press, 2007), h. 191.
84

menfakirkannya dan kamilah yang memberinya makan.” Mereka


meyakini bahwa Allah berkuasa untuk memberinya makan, dan
tidak berkehendak memberinya makan, maka kamilah yang
berhak akan hal tersebut42.

ْ ِ َْ
Dalam lafadz ‫ ان ّفليا‬senada dengan tafsir At-tahrîr wa At-

tanwîr karya Thahir Ibn „Asyûr (w. 1393 H) menjelaskan hal


yang sama bahwa musyrik Mekah menolak memberikan
kelebihan harta mereka kepada orang-orang miskin. Padahal
Allah SWT telah memberikan anugrah harta kekayaan kepada
mereka.43 Syaikh Wahbah Az-zuhaili (w. 1434 H) juga
menjelaskan dalam tafsirnya, ayat itu menceritakan ketika kaum
musyrik mekah diperintahkan untuk berinfak kepada kaum fakir
atau orang yang membutuhkan dari sebagian rizki yang telah
Allah anugrahkan, maka mereka menolak dan mengejek
seandainya Allah berkehendak pasti Dia akan memberi
kecukupan dan memberi makan dari rizki-Nya, dan mereka
menuruti kehendak Allah terkait dengan mereka yang
membutuhkan.44
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa
kalâm insyâ‟i thalabî dalam bentuk fi„il amr dalam surah Yâsîn
berjumlah 10 ayat. Jika ditinjau dari bentuk amr yang digunakan,
ْ َ ْ َ َ َ
َ ْ ِ ْ ْ َ
terdiri dari lafadz ‫( فب ّشههِ ّةمغ ّفر ٍة‬ayat 11), ‫( واض ّهب لىم‬ayat 13),

42
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 896.
43
Thahir Ibn „Asyûr, Tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr, (Tunis: Dâr At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984), juz 23, cet. ke-1, h. 31-32.
44
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 2009), jilid 12, h.
26-27.
85

ِ ِ ْ
ْ‫( َّاحت ِػ ْيا َم ْنَّلا يَ ْس َٔـلكم‬ayat 21), ‫( ال َجَّن َث ْاد ِخل‬ayat 26), ‫َّاح ِل ْيا َما َة ْي َن‬
ّ ّ

ِ َ ِ َ ْ
ْ‫( ا ْيد ْيكم‬ayat 45), ‫( ا ْنف ِل ْيا َِّّما َر َز َكك ِم‬ayat 47), ‫ازوا ال َي ْي َم‬
ِ َ ْ َ
‫( وامت‬ayat
ّ ّ

ْ ِ ِ ْ َ
َ َ ْ َ
ْ َ َْ ْ ِ ْ ِ َ َ ْ ِ
ْ
59), ‫وني‬ّ ‫( وا ّن اغتد‬ayat 61), ‫( ّاصليوا الييم‬ayat 64), ‫كن فيكين‬

(ayat 82).

2. Nahy (‫)النّهي‬

Seperti yang telah diketahui pada Bab dua Nahy adalah tuntutan
tidak dilakukannya suatu perbuatan yang disampaikan oleh seseorang
kepada orang yang martabatnya lebih rendah. Berdasarkan hasil
telaah penulis, dalam surah Yâsîn tidak ditemukan ungkapan yang
berbentuk nahy.

3. Istifhâm (‫)الستفهام‬

Seperti yang telah diketahui pada Bab dua, Istifhâm adalah


mencari pengetahuan tentang sesuatu yang sebelumnya tidak
diketahui. Ada dua jenis makna yaitu makna haqiqi (kata pertanyaan
yang bermakna pertanyaan) dan makna yang menyimpang dari makna
aslinya dan menunjukkan makna-makna lain.
Dalam surah Yâsîn terdapat bentuk istifhâm pada ayat 10, 19, 22,
23, 31, 35, 47, 52, 60, 66, 68, 71, 73, 77, 78 dan ayat 81.
a. Ayat 10
َ ِ ْ َ ِ ْ ِ َ َ ِ َ ََْ ََ
١٠ ‫َو َس َيا ٌۤء عل ْي ّى ْم َءانذ ْرته ْم ا ْم ل ْم حن ّذ ْرو ْم لا ِيؤ ّمن ْين‬
86

“Dan sama saja bagi mereka, apakah engkau


memberi peringatan kepada mereka atau engkau tidak
memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak
akan beriman juga.” (QS. Yâsîn[36]:10)

Kata  menunjukkan makna lain dari istifham, yaitu

sebagai makna Taswiyah untuk menyamakan sesuatu dengan yang

lain.45 Dilihat dari shigah mubâlaghahnya lafadz 

dan    kedua lafadz ini termasuk Thibâq salab yaitu

kedua kata yang berlawanannya itu berbeda positif dan negatifnya.

Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa

lafadz  merupakan insyâ‟i thalabî dengan kategori adat

istifhâm tetapi menunjukkan makna lain, dimana az-Zamakhsyarî


memaknai ayat di atas tujuan nya untuk menyampaikan ajaran dengan
peringatan dan kabar gembira, hanyalah bagi orang-orang yang mau
menerima dan mengikuti Al-Qur`an46.

Lafadz  pada penafsiran az-Zamakhsyarî senada

dengan tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr karya Thahir Ibn „Asyûr (w.


1393 H) menjelaskan juga bahwa ayat di atas menggunakan Hamzah

45
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
46
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 891.
87

Istifhâm yang menunjukkan makna taswiyah. Ibnu „Asyûr


penafsirannya fokus pada makna ada dan tidaknya peringatan adalah
sama saja bagi orang-orang yang telah menolak dengan keras.47 Sama
halnya penjelasan Ath-Thabarî bahwa Allah seakan berfirman “sama
saja wahai Muhammad atas apa yang telah pasti menimpa kepada
mereka baik diberi peringatan maupun tidak, sungguh mereka tidak
akan beriman, karena Allah telah menghukumi mereka seperti itu.48
b. Ayat 19
َ ِ ْ َ ِ َْ ْ ِ ِ َ ِ َ ِ َ ِ َ
١٩ ‫كال ْيا طاۤى ِِٕرك ْم َّمػك ْم اى ِْٕن ذ ّك ْرح ْم َةل انخ ْم ك ْي ٌم ُّمس ّهف ْين‬

“Mereka (utusan-utusan) itu berkata, “Kemalangan


kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena
kamu diberi peringatan? Sebenarnya kamu adalah
kaum yang melampaui batas.” (QS. Yâsîn[36]:19)

Kata  (Apakah jika) bentuk Hamzah Istifhâm digabungkan

dengan In Syarthiyah yakni diberi nasihat dan peringatan, namun


Jawab Syarat disini tidak disebutkan. Makna istifhâm pada yat ini
menunjukkan makna Inkari yang berarti mengingkari.49 Dalam

menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafadz 

merupakan insyâ‟i thalabî dengan kategori adat tamannî tetapi


menunjukkan makna lain, dimana az-Zamakhsyarî menjelaskan
bahwa persoalan menyalahkan penduduk Anthakia kepada para

47
Thahir Ibn „Asyûr, Tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr, (Tunis: Dâr At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984), juz 22, cet. ke-1, h. 352.
48
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî (Jami‟ Al-Bayan fi Ta‟wil Al-Qur`an), (Beirut:
Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h. 267-268.
49
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
88

utusan merupakan adat jahiliyah yang sering dicontohkan dalam Al-


Qur`an. Menurutnya hal ini juga menimpa Nabi Musa yang
disalahkan Bani Israil, dan juga menimpa Nabi Muhammad SAW
ketika disalahkan oleh penduduk Mekah. Kemudian terkait dengan
jawaban para Rasul, bahwa kemalangan tersebut bukan karena adanya
para Rasul yang memberi peringatan melainkan karena sikap mereka
yang berlebih-lebihan.50

Pada lafadz  di dalam penafsiran az-Zamakhsyarî senada

dengan tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr karya Thahir Ibn „Asyûr (w.


1393 H) menjelaskan juga bahwa ayat di atas menggunakan Hamzah
Istifham yang menunjukkan makna Inkari digabungkan dengan In
Syarthiyah. Penjelasannya bahwa penduduk Anthakia ini seolah
mencari kesalahan para utusan ketika menyampaikan peringatan dan
mereka merasa malang, padahal kemalangan dan kesialan datang dari
sikap mereka yang melampaui batas.51 Begitupun dalam tafsir Al-
munîr menjelaskan ayat di atas mengandung pertanyaan bermakna
pengingkaran, dimana para penduduk menuduh para utusan ketika
memberi peringatan dan menyuruh untuk mengesakan Allah itu
sebagai nasib kemalangan mereka, sungguh mereka lah yang
melampaui batas dan selalu menentang kebenaran.52
c. Ayat 22
َ ْ ِ َ ْ ِ ْ َ َ َ َ َ ْ َّ ِ ِ ْ َ َ
٢٢ ‫رن ْي واّ لي ّه حرجػين‬ َ ََ
ّ ‫وما ّلي ل ٓا اغتد ال ّذي فط‬
50
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 892.
51
Thahir Ibn „Asyûr, Tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr, (Tunis: Dâr At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984), juz 22, cet. ke-1, h. 364.
52
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus: Dâr Al-fikr, 2009), jilid 11, h.
649.
89

“Dan mengapa tidak ada alasan bagiku untuk tidak


menyembah (Allah) yang telah menciptakanku dan
hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.” (QS.
Yâsîn[36]:22)

Kata  (Mengapa aku) menunjukkan istifhâm atau kata Tanya

yang bertujuan untuk menegaskan (Istifhâm Taqriri) agar lawan


bicara lebih memahami.53 Dalam menafsirkan ayat ini az-

Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafadz  merupakan insyâ‟i

thalabî dengan kategori adat tamannî tetapi menunjukkan makna


lain, dimana az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lelaki mukmin ini
menegaskan dirinya tidak ada halangan untuk beribadahh kepada-
Nya begitupun bagi kaumnya para penyembah berhala, hanya
kepada-Nya kita kembali setelah mati dan Allah akan membalas apa
yang telah diperbuat oleh sebab kekafiran kaumnya.54

Penafsiran az-Zamakhsyarî yang mengelompokkan lafadz 

sebagai insyâ‟i thalabî adat tamannî ini senada dengan Ibnu Jarir
Ath-Thabarî (w. 310 H) dalam tafsirnya menjelaskan redaksi
pertanyaan seperti ini bahwa lelaki mukmin ini memanggil kaumnya
para penyembah berhala untuk meluruskan keimanan mereka. Lelaki
ini kemudian menyatakan keimanannya kepada Allah SWT dan
mewartakan bahwa berhala-berhala yang disembah kaumnya tidak

53
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
54
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 892.
90

mendatangkan manfaat maupun madharat.55 Begitupun penjelasan


Wahbah Zuhaili (w. 1434 H) dalam tafsirnya menjelaskan lelaki
mukmin ini menegaskan bahwa dirinya menginginkan kebaikan bagi
mereka seperti yang dia inginkan bagi dirinya sendiri, yaitu
memurnikan ibadah dan menyembah hanya kepada Zat yang telah
menciptakan dan hanya kepada-Nya lah tempat kembali.56
d. Ayat 23
َ ْ ِ َّ ِ ْ َّ ْ ْ ً ٰ ِ ِ ََّ َ
‫الرح ٰم ِن ّةظ ٍه لا حغ ّن غ ّن ْي‬ ‫تخذ ّم ْن د ْو ّن ٓه ا ّل َىث ّان ُّي ّرد ّن‬ ّ ‫ءا‬
ِ ْ َ َ ِ َ َ َ
٢٣ ِۚ‫شفاغخ ِى ْم ش ْي ًٔـا َّولا ِين ّلذ ْو ّن‬
“Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya?
Jika (Allah) Yang Maha Pengasih menghendaki bencana
terhadapku, pasti pertolongan mereka tidak berguna sama
sekali bagi diriku dan mereka (juga) tidak dapat
menyelamatkanku.” (QS. Yâsîn[36]:23)

Kata  (Mengapa aku) bentuk Istifhâm atau kata Tanya,

namun Kata Tanya hamzah pada ayat di atas tidak berarti bertanya
sesuatu yang tidak diketahui namun berarti mengingkari (Istifhâm
Inkari) perbuatan mereka yang meminta kepada selain Allah swt.57
Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa

lafadz  merupakan insyâ‟i thalabî dengan kategori adat

tamannî tetapi menunjukkan makna lain, dimana az-Zamakhsyarî


menjelaskan tidak akan menjadikan selain Allah sebagai Tuhan,
55
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî, (Beirut: Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h.
272.
56
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus: Dâr Al-fikr, 2009), jilid 11, h.
649.
57
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
91

sehingga akan menyembah mereka dan berhenti menyembah Allah.


Sesuatu yang kita sembah selain Allah ia membawa bahaya dan bisa
menolong, namun pertolongannya tidaklah memberi manfaat.
Sesungguhnya Allah yang maha pemurah dan maha berkehendak.58
e. Ayat 31
َ ْ ِ ْ َ َ ْ ْ َ ْ ِ ََّ ْ ِ ِ ْ َ ْ ِ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ
٣١ ‫الم يروا كم اولكنا كتلىم ّمن اللرو ّن انهم ّالي ّىم لا ير ّجػين‬
“Tidakkah mereka mengetahui berapa banyak umat-
umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan.
Orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu tidak
ada yang kembali kepada mereka.” (QS.
Yâsîn[36]:31)

Kata  pada ayat di atas bentuk istifhâm atau kata Tanya yang

bertujuan untuk menegaskan (Istifhâm Taqriri) agar lawan bicara


lebih memahami.59 Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî

menjelaskan bahwa lafadz  merupakan insyâ‟i thalabî dengan

kategori adat tamannî tetapi menunjukkan makna lain, dimana az-


Zamakhsyarî menjelaskan orang musyrik Mekah tidak mengetahui
bahwa seberapa banyak Allah telah membinasakan masa-masa
sebelum mereka yang sama-sama mendustakan dan mengingkari
ajaran Rasul60.

58
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 892.
59
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
60
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 894.
92

Lafadz  pada ayat di atas senada dengan tafsir At-tahrîr wa At-

tanwîr karya Thahir Ibn „Asyûr (w. 1393 H) menjelaskan bahwa ayat
di atas menggunakan Hamzah Istifhâm yang menunjukkan makna
Taqriri. Ibnu „Asyûr menjelaskan ayat di atas menegaskan kepada
umat Nabi Muhammad SAW bahwa untuk saat ini di dunia, orang-
orang yang mengingkari ajaran Rasul tidak akan merasa menyesal,
tetapi nanti pada saat di hari pembalasan.61 Dalam tafsir Al-munîr
menjelaskan pertanyaan di atas bermakna penegasan, yaitu Allah
SWT menegaskan pada generasi sekarang dan generas mendatang
untuk mengambil pelajaran dari orang-orang sebelum mereka yang
dibinasakan Allah SWT karena mendustakan para Rasul.62

f. Ayat 35
َ ْ ِ ِ َْ َ ََ ْ ْ َْ ِ ْ َ َ َ َ َ َ ْ ِِْ َْ
٣٥ ‫ّليأعليا ّمن ثم ّره وما غ ّملخه اي ّدي ّهم افلا يشكرون‬

“agar mereka dapat makan dari buahnya, dan dari


hasil usaha tangan mereka. Maka mengapa mereka
tidak bersyukur?” (QS. Yâsîn[36]:35)

Kata   (Maka Mengapakah mereka tidak

bersyukur?) ayat di atas menunjukkan bentuk Istifhâm atau kata


tanya, namun memberikan makna lain yaitu istifhâm inkari
(mengingkari/penolakan). Dalam menafsirkan ayat ini az-

Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafadz  merupakan insyâ‟i

61
Thahir Ibn „Asyûr, Tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr, (Tunis: Dâr At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984), juz 23, cet. ke-1, h. 10.
62
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus: Dâr Al-fikr, 2009), jilid 12, h.
8.
93

thalabî dengan kategori adat tamannî tetapi menunjukkan makna


lain, dimana az-Zamakhsyarî menjelaskan agar mereka makan
sesuatu yang telah diciptakan Allah berupa buah-buahan dari
tanaman dan pohon-pohon, yaitu pohon kurma dan anggur yang
dihasilkan oleh tangan mereka sendiri. Akan tetapi Allah lah yang
menciptakannya dan kita wajib untuk bersyukur atas kenikmatan
itu.63

Pada lafadz  dalam penafsiran az-Zamakhsyarî senada

dengan penjelasan Thahir Ibn „Asyûr (w. 1393 H) dalam tafsirnya


menjelaskan pada ayat ini menggunakan bentuk istifham yang
menunjukkan makna Inkari. Artinya mereka tidak bersyukur atas apa
yang Allah beri berupa buah-buahan yang dapat dikonsumsi oleh
orang-orang musyrik Mekah.64 Begitupun dalam tafsir Al-munîr
menjelaskan tujuan diciptakan biji-bijian dan ladang-ladang agar
makhluk hidup dapat memakannya dari hasil produksi mereka dari
pepohonan dan lain sebagainya. Namun ini adalah rahmat Allah
bukan karena kemampuan dan kekuatan mereka. Maka tidakkah
mereka mensyukuri berbagai nikmat Allah SWT yang tidak bisa
dihitung tersebut, ini adalah perintah bersyukur yang diungkapkan
dengan bahasa pengingkaran.65

63
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 894.
64
Thahir Ibn „Asyûr, Tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr, (Tunis: Dâr At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984), juz 23, cet. ke-1, h. 15.
65
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus: Dâr Al-fikr, 2009), jilid 12, h.
16.
94

g. Ayat 47
َ ْ َّ ْ ِ َ َ َ ْ َّ َ َ ِ ‫َ َ ْ َ َ ِ ْ َ ْ ِ ْ َّ َ َ َ ِ ِ ه‬
‫واّ ذا ّكيل لىم ان ّفليا ِّما رزككم اّٰلل كال ال ّذين كفروا ّلل ّذين‬
ْ ُّ ٰ َ َّ ْ ِ ْ َ ْ َ ْ َ ِ ‫ٰ َم ِ ْ َ ِ ْ ِ َ ْ َّ ْ َ َ ِ ه‬
ْ َ
‫ا نيٓا انط ّػم من لي يشاۤء اّٰلل اطػمهٓ ّان انخم ّالا ّفي ضل ٍل م ّتي ٍن‬

٤٧
“Dan apabila dikatakan kepada mereka,
“Infakkanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah
kepadamu,” orang-orang yang kafir itu berkata
kepada orang-orang yang beriman, “Apakah pantas
kami memberi makan kepada orang-orang yang jika
Allah menghendaki Dia akan memberinya makan?
Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
(QS. Yâsîn[36]:47)

Kata  (Apakah Kami akan memberi Makan) bentuk

Istifhâm atau kata Tanya, namun makna istifhâm pada ayat ini
mengandung makna lain yaitu istifhâm inkari (menolak).66 Dalam
menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafadz

 merupakan insyâ‟i thalabî dengan kategori adat tamannî

tetapi menunjukkan makna lain, dimana az-Zamakhsyarî


menjelaskan Terdapat kaum Zindiq sebagian mereka mendengar
orang-orang mukmin menggantungkan pekerjaan Allah dengan
kehendak-Nya. Maka mereka pun mengeluarkan jawaban ini dengan
mengejek orang-orang mukmin dan dengan apa yang mereka
ucapkan berupa menggantungkan segala urusan dengan kehendak
Allah, artinya : Apakah kami diberi makan, yang dikatakan di

66
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
95

dalamnya adalah perkataan di antara kalian, dan hal tersebut


sesungguhnya mereka menolak adanya kecukupan dan kefakiran itu
dari Allah, karena mereka tidak beriman kepada dzat yang
membuat.67

Pada lafadz  di dalam penafsiran az-Zamakhsyarî ini

senada dengan tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr karya Thahir Ibn „Asyûr


(w. 1393 H) menjelaskan juga ayat di atas menggunakan bentuk
istifhâm yang menunjukkan istifhâm inkari. Ibnu „Asyûr menjelaskan
hal yang sama bahwa musyrik Mekah menolak memberikan
kelebihan harta mereka kepada orang-orang miskin. Padahal Allah
SWT telah memberikan anugrah harta kekayaan kepada mereka.68
h. Ayat 52
َ َ َ ْ َّ َ َ َ َ َ ٰ َ َ ْ َّ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ ْ َ ٰ ْ ِ َ
‫الرح ٰم ِن َوصدق‬ ‫كاليا يييلنا من ةػثنا ّمن مرك ّدنا وذا ما وعد‬
َ ِ ْ
٥٢ ‫ال ِم ْر َسل ْين‬
“Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang
membangkitkan kami dari tempat tidur kami
(kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha
Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya).” (QS.
Yâsîn[36]:52)
Adat istifhâm pada ayat di atas adalah (‫ )من‬yang bertujuan untuk

menanyakan siapa yang membangkitkan dari alam kubur.69 Lafadz

67
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 896.
68
Thahir Ibn „Asyûr, Tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr, (Tunis: Dâr At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984), juz 23, cet. ke-1, h. 31-32.
69
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 206.
96

    terdapat isti‟ârah yaitu menyerupakan keadaan

mereka mati dengan tidur. Maksudnya, siapakah yang


membangkitkan kematian kami. Dalam menafsirkan ayat ini az-

Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafadz ‫من‬ merupakan insyâ‟i

thalabî dengan kategori adat tamannî, dimana az-Zamakhsyarî


menjelaskan “Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur
kami (kubur)?”, merupakan pertanyaan dari Yang Membangkitkan,
artinya adalah Yang Maha Pemurah membangkitkan umat manusia
dari alam kubur. Ayat di atas mendeskripsikan orang-orang yang
tidak mengenal Tuhannnya, ketika dibangkitkan pun mereka tidak
tahu apapun70.
i. Ayat 60
َ
ٌ ْ ُّ ِ َ ْ ِ َّ َ ٰ ْ َّ ِ ْ َ َّ ْ َ َ ٰ ِ َ ْ ْ َ ََ
٦٠ ‫ال ْم اغ َىد ّال ْيك ْم ٰي َت ّن ْ ٓي اد َم ان لا حػ ِتدوا الشيطنِۚ ّانه لكم عدو م ّتين‬
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu
wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah
setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi
kamu,” (QS. Yâsîn[36]:60)

Kata  pada ayat di atas bentuk istifham atau kata Tanya yang

bertujuan untuk menegaskan (Istifhâm Taqriri) agar lawan bicara


lebih memahami.71 Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî

menjelaskan bahwa lafadz  merupakan insyâ‟i thalabî dengan

70
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 896.
71
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
97

kategori adat tamannî tetapi menunjukkan makna lain, dimana az-


Zamakhsyarî menjelaskan Al-„ahdu pada ayat di atas bermakna al-
washiyyah yaitu Allah telah memerintahkan ketika mewasiatkannya
lewat lisan para rasul yaitu memerintahkan apa yang telah ditentukan
untuk mereka berupa petunjuk akal dan tidak beribadah juga
mentaati dalam bentuk rayuan atau godaan setan.72

Penafsiran az-Zamakhsyarî yang mengklasifikasikan lafadz 

sebagai insyâ‟i thalabî senada dengan Ibnu Jarir Ath-Thabarî (w. 310
H) dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah telah menegaskan
ketika Allah mewasiatkan dan memerintahkan ketika di dunia untuk
tidak menyembah syaitan karena syaitan adalah musuh yang nyata
sejak awal penciptaan manusia yaitu ketika Adam AS dan Hawa
tertipu oleh bujuk rayu syaitan.73 Sama halnya terdapat dalam tafsir
Al-munîr bahwasanya pada ayat ini Allah SWT mengaskan dalam
bentuk pertanyaan dan mewasiatkan kepada Bani Adam melalui lisan
para Rasul untuk selalu patuh dan jangan mematuhi bisikan syetan
yang sebenar-benarnya syetan adalah musuh yang nyata.74

j. Ayat 66
‫َ َ ََه‬ ََِ ْ َ ْ ِ َْ َ َ ْ َ َ َ ِ ََ ْ ََ
‫الطهاط فانى‬
ّ ‫ولي نشاۤء لطمسنا على اغح ّن ّىم فاستتليا‬

َ
٦٦ ‫ط ِه ْون‬ ِْ
ّ ‫يت‬

72
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 897.
73
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî, (Beirut: Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h.
290.
74
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus: Dâr Al-fikr, 2009), jilid 12, h.
43.
98

“Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan


penglihatan mata mereka; sehingga mereka berlomba-
lomba (mencari) jalan. Maka bagaimana mungkin
mereka dapat melihat?” (QS. Yâsîn[36]:66)
Adat istifhâm pada ayat di atas adalah Anna (‫)انّى‬, mempunyai

tiga makna yaitu bagaimana (‫)كيف‬, darimana (‫)اين‬, dan kapan (‫)مىت‬.

Namun kata Anna (‫ان‬


ٌْ ) pada ayat ini bermakna bagaimana (‫)كيف‬.75
Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa

lafadz ‫ انّى‬merupakan insyâ‟i thalabî dengan kategori adat tamannî,


dimana az-Zamakhsyarî menjelaskan ada dua makna yang kita
pahami dari arti “maka bagaimana mereka dapat melihat-Nya”,
makna pertama lebih menekankan pada hakikat, orang-orang
musyrik buta untuk mampu melihat cahaya hidayah dan makna
kedua mata orang-orang musyrik dibutakan dengan sebenar-
benarnya.76
k. Ayat 68
َ ْ ِ ْ َ َ َ َ ْ َْ ِ َِ َ ُّ
٦٨ ‫َو َم ْن نػ ّم ْر ِه نن ّك ْسه ّفى الخل ّق افلا يػ ّللين‬
“Dan barangsiapa Kami panjangkan umurnya
niscaya Kami kembalikan dia kepada awal
kejadian(nya). Maka mengapa mereka tidak
mengerti?” (QS. Yâsîn[36]:68)

Kata   (Maka mengapa mereka tidak mengerti?) ayat

di atas menunjukkan bentuk Istifham yang menunjukkan makna amr

75
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, al-Balâghah Al-Wâdhihah, (Jakarta; Raudhah
Press, 2007), h. 206.
76
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 898.
99

(perintah), jadi ayat di atas tidak berarti Apakah mereka tidak


memikirkan? Tetapi perintah untuk memikirkan hal tersebut.77
Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa

lafadz  merupakan insyâ‟i thalabî dengan kategori adat tamannî

tetapi menunjukkan makna lain, dimana az-Zamakhsyarî


menjelaskan ayat di atas menggambarkan siklus kehidupan manusia
yang merupakan petunjuk bahwa dzat yang memindahkan mereka
dari masa muda ke masa tua, dari kuat menjadi lemah, dan sulit
membedakan yang baik dan buruk, dari menguasai ilmu sampai
bodoh. Sesungguhnya Allah maha kuasa untuk membolak-balikkan
keadaan manusia dan membangkitkannya setelah mereka mati78.

Pada lafadz  dalam penafsiran az-Zamakhsyarî sama halnya

dengan tafsir Ath-Thabarî karya Ibnu Jarir Ath-Thabarî (w. 310 H)


menjelaskan bahwa bagi orang-orang yang dipanjangkan umurnya,
maka ia akan dikembalikan keadaannya seperti waktu bayi karena
lemah dan pikun. Jadilah ia tidak mengetahui apa-apa meskipun ia
sebelumnya telah banyak pengetahuan dan pengalaman.79 Dalam
tafsir Al-munîr juga dijelaskan ayat di atas menjelaskan bahwa Allah
SWT memperingatkan mereka agar mereka tidak menyia-nyiakan
usia muda dan umur yang ada. Maka apakah mereka tidak berpikir

77
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma‟ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
78
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 898.
79
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî, (Beirut: Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h.
287.
100

bahwa semakin bertambah usia makan semakin lemah dan menurun


kemampuan juga pengetahuan.80
l. Ayat 71
َ ِ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ََّ َ َ
٧١ ‫ا َول ْم َي َر ْوا انا خللنا ل ِى ْم ِّما غ ّملج ا ْي ّدينآ انػ ًاما ف ِى ْم ل َىا ٰم ّلك ْين‬

“Dan tidakkah mereka melihat bahwa Kami telah


menciptakan hewan ternak untuk mereka, yaitu
sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan
kekuasaan Kami, lalu mereka menguasainya?” (QS.
Yâsîn[36]:71)

Kata  (dan tidakkah mereka) merupakan bentuk istifham

atau kata Tanya yang bertujuan untuk menegaskan (Istifhâm Taqriri)


dan huruf waw yang masuk kepanya merupakan huruf „Athaf.81
Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa

lafadz  merupakan insyâ‟i thalabî dengan kategori adat tamannî

tetapi menunjukkan makna lain, dimana az-Zamakhsyarî


menjelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan hewan ternak,
manusia tidak memiliki kuasa atas penciptaan tersebut. Namun
demikian, Allah SWT kemudian memberikan memberikan
kepemilikan tersebut kepada manusia agar manusia bisa mengelola
hewan ternak dengan sebaik-baiknya dalam bentuk kemanfa‟atan82.

80
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus: Dâr Al-fikr, 2009), jilid 12, h.
46.
81
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma‟ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
82
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 899.
101

Penafsiran az-Zamakhsyarî pada ayat di atas sama halnya dengan


penafsiran Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam tafsir al-Munîr yang
menjelaskan ayat di atas kata Tanya yang menunjukkan makna
penegasan yaitu, apakah orang musyrik penyekutu Allah dan
penyembah berhala tidak menyaksikan bahwa Allah lah yang
menciptakan untuk mereka binatang-binatang tersebut. Namun Allah
berkehendak untuk memberi kemanfaatan dan faedah dari apa yang
dihasilakn dari binatang tersebut.83

m. Ayat 73
َ ْ ِ ِ َْ َ ََ ِ َ َ َ ِ َ َ َ ْ ْ ََِ
٧٣ ‫ولىم ّفيىا من ّافع ومش ّارب افلا يشكرون‬
“Dan mereka memperoleh berbagai manfaat dan
minuman darinya. Maka mengapa mereka tidak
bersyukur?” (QS. Yâsîn[36]:73)

Kata   (Maka Mengapa mereka tidak bersyukur)

ayat di atas menunjukkan bentuk istifhâm yang berarti makna lain,


yaitu istifhâm inkari.84 Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî

menjelaskan bahwa lafadz  merupakan insyâ‟i thalabî dengan

kategori adat tamannî tetapi menunjukkan makna lain, dimana az-


Zamakhsyarî menjelaskan ayat di atas menegaskan apakah mereka
tidak bersyukur ketika Allah SWT memberikan bentuk kemanfaatan

83
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus: Dâr Al-fikr, 2009), jilid 12, h.
54.
84
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 82.
102

dari penciptaan hewan ternak yang menjadi sumber pangan bagi


umat manusia85.

Penafsiran az-Zamakhsyarî mengelompokan lafadz  sebagai

insyâ‟i thalabî, hal ini senada dengan Ibnu Jarir Ath-Thabarî (w. 310
H) dalam tafsirnya yang mengutip pendapat Qatadah bahwa ayat ini
Allah lebih memerinci fungsi dari hewan ternak seperti mendapatkan
benang wol dari hewan domba dan biri-biri dan bisa minum susu
yang dihasilkan hewan ternak tersebut juga manfaat-manfaat
lainnya.86 Sama halnya di dalam Tafsir Al-munîr ayat ini berupa
istifhâm yang menunjukkan makna inkari yaitu mereka memperoleh
berbagai manfaat berupa bahan pangan, tetapi orang-orang kafir
mengingkari kewajiban ini dan mengufuri berbagai nikmat Allah.
Padahal ini adalah perintah tegas Allah untuk selalu bersyukur dan
mentaatinya.87
n. Ayat 77
ٌ ْ ُّ ٌ ْ َ َ ِ َ َ َ ْ ُّ ْ ِ ٰ ْ َ َ ََّ ِ َ ْ ْ َ َ ْ َ َ َ
٧٧ ‫اولم ير ال ّانسان انا خللنه ّمن نطف ٍث ف ّاذا وي خ ّصيم م ّتين‬
“Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami
menciptakannya dari setetes mani, ternyata dia
menjadi musuh yang nyata!” (QS. Yâsîn[36]:77)

Kata  (dan tidakkah mereka) merupakan bentuk istifhâm

atau kata Tanya yang bertujuan untuk mengingkari (Istifhâm inkari)


dan huruf waw disini merupakan huruf „Athaf kepada kata yang
85
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h.899.
86
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî, (Beirut: Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h.
288.
87
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus: Dâr Al-fikr, 2009), jilid 12, h.
55.
103

ً َّ
diasumsikan keberadaannya
‫أى ىَلٍ ْيػىتىػ ىفك ير ْاال ى‬
ْ‫نسا يف ىْكيىعلى ٍم‬ .88 Dalam

menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafadz

 merupakan insyâ‟i thalabî dengan kategori adat tamannî tetapi

menunjukkan makna lain, dimana az-Zamakhsyarî menjelaskan


bahwa ayat ini merupakan bentuk “celaan” Allah SWT kepada
orang-orang musyrik karena mereka mengingkari hari kebangkitan,
padahal betapa mudahnya Allah SWT membangkitkan manusia
sebagaimana Dia menciptakan manusia dari setetes air mani yang
hina tetapi orang-orang musyrik itu tetap saja mengingkari nikmat
Allah SWT89.
Dalam penafsiran az-Zamakhsyarî ini senada dengan penafsiran
Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam tafsirnya menjelaskan maksud ayat
di atas, ialah apakah orang mengingkari hari kebangkitan tidak
menjadikan permulaan penciptaan sebagai bukti pengulangan
kembali. Sebab, Allah SWT memulai penciptaan manusia dari sari
pati air yang hina, menciptakannya dari sesuatu yang lemah dan
remeh. Sikap seperti itu patutnya bersyukur bukan menjadi penantang
yang nyata.90
o. Ayat 78

ٌ ْ َ َ َ َ َ ْ ْ ُّ ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ َّ ً َ َ َ َ َ َ َ َ
٧٨ ‫وضهب لنا مثلا ون ّسي خلله كال من يحي ال ّػظام و ّني ر ّميم‬
ّ
“Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan
melupakan asal kejadiannya; dia berkata, “Siapakah

88
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
89
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 900.
90
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus: Dâr Al-fikr, 2009), jilid 12, h.
63.
104

yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang


telah hancur luluh?” (QS. Yâsîn[36]:78)
Adat istifhâm pada ayat di atas adalah (‫ )من‬yang bertujuan untuk

menanyakan siapa yang menghidupkan tulang belulang yang telah


hancur luluh. Bentuk Istifhâm di atas menunjukkan makna lain yaitu
istifhâm inkari.91 Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî

menjelaskan bahwa kata ‫من‬ merupakan insyâ‟i thalabî dengan

kategori adat tamannî tetapi menunjukkan makna lain, dimana az-


Zamakhsyarî menjelaskan diceritakan pada saat itu kedatangan orang
kafir kepada Rasulullah SAW dengan membawa tulang dan bertanya
“Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah
hancur luluh?”. Orang kafir disisni sama halnya menyamakan
kekuasaan Allah SWT dengan kekuasaan makhluk, sehingga mereka
mengingkari kekuasaan Allah SWT yang mampu menghidupkan
tulang belulang yang hancur dan mengembalikannya seperti semula
berupa hina dan ketidaksempurnaan92.

Penafsiran az-Zamakhsyarî pada lafadz ‫ من‬senada dengan Thahir

Ibn „Asyûr (w. 1393 H) menjelaskan juga pada ayat di atas


merupakan bentuk pertanyaan yang menunjukkan makna lain yaitu
istifhâm inkari. Artinya tidak ada seorangpun yang mampu
menghidupkan tulang belulang yang hancur, tetapi mereka
mengingkari kekuasaan Allah yang mampu menghidupkan kembali

91
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
92
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 900.
105

tulang-tulang yang telah hancur.93 Begitupun dalam tafsir Al-munîr,


ayat ini mengutarakan sesuatu yang aneh sebagai perumpamaan untuk
memperkuat pandangannya yang menganggap Allah SWT tidak akan
mungkin menghidupkan kembali tulang belulang yang sudah hancur.
Lalu ia akan mengingkari bahwa Allah SWT akan menghidupkan
tulangnya kembali yang telah hancur yang manusia tidak akan
mampu dalam hal tersebut.94
p. Ayat 81
ٰ َ ْ ِ َ ْ َ ِ ْ َّ ْ َ َ ٰ َ َْْ َ ٰ ٰ َّ َ َ َ ْ َّ َ ْ َ َ َ
‫اولحس ال ّذي خلق السمي ّت والارض ّةل ّد ٍر على ان يخلق ّمثلىم ةلى‬
ِ ْ َ ْ ِ ‫َ ِ َ َْ ه‬
٨١ ‫ووي الخلق الػ ّليم‬
“Dan bukankah (Allah) yang menciptakan langit dan
bumi, mampu menciptakan kembali yang serupa itu
(jasad mereka yang sudah hancur itu)? Benar, dan Dia
Maha Pencipta, Maha Mengetahui.” (QS.
Yâsîn[36]:81)

Kata  (dan bukankah Tuhan) merupakan bentuk istifham

atau kata Tanya yang bertujuan untuk menegaskan (Istifhâm Taqriri)


dan huruf waw yang masuk kepanya merupakan huruf „Athaf.95
Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa

lafadz  merupakan insyâ‟i thalabî dengan kategori adat

tamannî tetapi menunjukkan makna lain, dimana az-Zamakhsyarî


menjelaskan az-Zamakhsyarî menjelaskan dalam tafsirnya bahawa

93
Thahir Ibn „Asyûr, Tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr, (Tunis: Dâr At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984), juz 23, cet. ke-1, h. 75.
94
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus: Dâr Al-fikr, 2009), jilid 12, h.
63.
95
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 83.
106

ayat ini sebagai penegasan kemahakuasaan Allah SWT yang tidak


hanya menciptakan langit dan bumi saja, pada kenyataannya bentuk
kuasa Allah SWT terus menerus menggerakan tubuh manusia sejak
pertama kali dilahirkan, yang bahkan manusia sendiripun tidak kuasa
untuk menggerakkanya.96

Lafadz  pada penafsiran Az-Zamakhsyarî ini sama halnya

dengan Thahir Ibn „Asyûr (w. 1393 H) dalam tafsirnya menjelaskan


ayat di atas menggunakan bentuk istifhâm yang menunjukkan makna
taqriri. Ibnu „Asyûr membantah argumentasi yang dikemukakan
orang-orang musyrik Mekah bahwa Allah tidak mampu untuk
menghidupkan kembali manusia yang telah mati. Padahal Allah
berkuasa untuk menciptakan langit dan bumi, bahkan Ibnu „Asyûr
menegaskan tidak hanya penciptaan langiit dan bumi saja pada
kenyataannya Allah SWT berkuasa untuk menggerakkan tubuh
manusia seperti organ dalam yang manusia sendiripun tidak kuasa.97
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kalâm
insyâ‟i thalabî dalam bentuk istifhâm dalam surah Yâsîn berjumlah
16 ayat. Jika ditinjau dari adat istifhâm yang digunakan, terdiri dari
َ ِ ْ َ
ْ ِ َ ْ َْ ْ َْ َ
hamzah (‫ )أ‬pada lafadz ‫( علي ّىم َءانذرتهم‬ayat 10), ‫ك ْرحم‬
ِْ
ّ ‫( اىِٕن ذ‬ayat 19),

ِ ِ ََّ َ ََ َ ِ َْ َ ََ
‫تخذ ّم ْن د ْو ّن ٓه‬ّ ‫( ءا‬ayat 23), ‫( ال ْم َي َر ْوا‬ayat 31), ‫( افلا يشك ِر ْون‬ayat 35),

96
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 901.
97
Thahir Ibn „Asyûr, Tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr, (Tunis: Dâr At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984), juz 23, cet. ke-1, h.78.
107

ْ َِ ْ ْ َ ََ َ ِ ْ َ ََ َ َ
‫( انط ّػ ِم‬ayat 47), ‫( ال ْم اغ َىد‬ayat 60), ‫( افلا َيػ ّلل ْين‬ayat 68), ‫ا َول ْم َي َر ْوا‬

َ ْ ِ ِ َْ َ ََ ِ َْ ْ ََ ْ ََ َ َ َََْ
(ayat 71), ‫( افلا يشكرون‬ayat 73), ‫( اولم ير ال ّانسان‬ayat 77), ‫اولحس‬

َّ
ْ‫( الذي‬ayat 81), mâ (‫ )ما‬pada lafadz ‫( َو َما ل َي َل ٓا َا ْغ ِت ِد‬ayat 22), man (‫)من‬
ّ ّ

ََ ََ ْ َ ْ ُّ ْ َ َ َ
pada lafadz ‫( من ةػثنا‬ayat 52) dan lafadz ‫( كال من يحي‬ayat 78), dan
ّ

ْ َ
ِْ ‫ََه‬
annâ (‫ )انَّى‬hanya pada lafadz ‫ط ِهون‬
ّ ‫( فانى يت‬ayat 66).

4. Tamannî (‫)التمنّي‬

Seperti yang telah diketahui pada Bab dua Tamannî adalah


mengharapkan sesuatu yang tidak dapat diharapkan keberhasilannya,
baik karena memang perkara itu mustahil terjadi, atau mungkin
terjadi namun tidak dapat diharapkan tercapainya.

Kalimat tamannî ini biasanya menggunakan kata Laita (‫)ليت‬.

Namun terkadang menggunakan kata-kata lain seprti Hal (‫)ىل‬, Lau

(‫)لو‬, La‟alla (‫لعل‬


ْ ). Dalam surah Yâsîn terdapat bentuk tamannî pada
ٌ
ayat 26, 45, 47, 66, 67 dan ayat 74.
a. Ayat 26
َ ْ َِ َْ ْ َ َ ْ َ ٰ َ َ َ ََّ ْ ِ ْ َ
٢٦ ‫ّك ْيل ادخ ّل الجنث كال يلحج كي ّمي يػلمين‬
ْ
108

“Dikatakan (kepadanya), “Masuklah ke surga.” Dia


(laki-laki itu) berkata, “Alangkah baiknya sekiranya
kaumku mengetahui.” (QS. Yâsîn[36]:26)
َ َْٰ
Kata ‫( يلحج‬alangkah baiknya) menunjukkan bentuk Tamannî

yang mungkin sesuatu yang diharapkan itu mungkin tercapai dan


dapat diharapkan keberhasilannya dan ini disebut Tarajjî.98 Dalam
menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafadz
َ َْٰ
‫ يلحج‬merupakan insyâ‟i thalabî dengan kategori adat tamannî,

dimana az-Zamakhsyarî menjelaskan ia berangan-angan seandainya


kaumnya yang mendustakan dan membunuhnya mengetahui apa yang
ia dapatkan berupa kemuliaan niscaya mereka akan menyesal dan
beriman lalu mendapatkan balasan yang serupa99.
َ َْٰ
Pada lafadz ‫ يلحج‬ini di dalam penafsiran az-Zamakhsyarî senada

dengan Ath-Thabarî dalam tafsirnya dijelaskan ayat ini sebuah


pengharapan Habib kepada kaumnya, seandainya mereka mengetahui
bahwa Allah mengampuni dosa-dosaku dan menjadikanku termasuk
orang yang dimuliakan Allah dengan dimasukkannya ke dalam surga-
Nya, itu adalah keikhlasan dan kesabaranku di jalan-Nya, hingga
Habib terbunuh dan sehingga merekaberiman kepada Allah dan
berhak masuk surga.100 Sama halnya dengan penafsiran Quraish
Shihab dalam tafsirnya, seandainya kaumku mengetahui yang sedang

98
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 219.
99
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 893.
100
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî, (Beirut: Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h.
272-273.
109

Habib alami dan mengetahui pula apa penyebab Allah memuliakan


dan mengampuniku dari kesalahan-kesalahanku tentulah mereka akan
beriman dan patuh.101
b. Ayat 45
َ ْ ِ َ ْ ِ ْ ِ َّ َ َ ْ ِ َ ْ َ َ َ ْ ِ ْ ْ َ َ ْ َ َ ْ ِ َّ ِ ِ َ َ ْ َ َ
٤٥ ‫واّ ذا ّكيل لىم احليا ما ةين اي ّديكم وما خلفكم لػلكم حرحمين‬

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Takutlah kamu


akan siksa yang di hadapanmu (di dunia) dan azab yang
akan datang (akhirat) agar kamu mendapat rahmat.”
(QS. Yâsîn[36]:45)
Adat tamannî La‟alla (‫لعل‬
ِّ ) pada ayat di atas menunjukkan bentuk
Tamannî yang mengharapkan sesuatu yang mustahil terjadi.102 Dalam

menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafadz ِ‫لعل‬


ّ
merupakan insyâ‟i thalabî dengan kategori adat tamannî, dimana az-
Zamakhsyarî mengutip dari keterangan Qatadah dan Mujahid bahwa
kejadian-kejadian yang telah berlalu yang ada di hadapan kalian,
yaitu seperti kejadian yang diujikan kepada para umat yang berdusta
kepada Nabinya, dan urusan di belakang kalian berupa urusan hari
kiamat dengan harapan agar kalian mendapat rahmat Allah.103

Lafadz ِ‫لعل‬
ّ pada penafsiran az-Zamakhsyarî ini senada dengan

penafsiran Ath-Thabarî (w. 310 H) menjelaskan pada ayat ini bahwa


Ath-Thabarî juga mengutip dari Qatadah yang mengatakan
korelasinya dengan umat-umat terdahulu dan hari akhir, juga
keterangan dari Mujahid yang menjelaskan korelasinya dengan

101
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbâh, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), jilid 11, h. 530.
102
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 219.
103
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 896.
110

perbuatan-perbuatan yang mereka perbuat dengan harapan agar


mereka mendapat rahmat dari Allah SWT.104
c. Ayat 47
َ َّ ِ
َ ْ َّ
‫ّلل ّذين‬ ْ‫اّٰلل َك َال الذيْ َن ك َف ِروا‬
ِ ‫َِّّما َر َز َكك ِم ه‬ ْ‫َو َذا ك ْي َل َل ِى ْم َا ْنف ِليا‬
ّ ّ ّ ّ‫ا‬
ٰ َ َّ َ ْ َ ‫ه‬ ْ‫ٰا َم ِن ْيٓا َا ِن ْطػ ِم َم ْن َّلي‬
‫ضل ٍل‬ ِ ‫يَ َشا ِۤء‬
ْ‫اّٰلل ا ْط َػ َمهٓ ّان ا ْن ِخ ْم ّالا ّفي‬ ّ

٤٧ ‫ُّم ّت ْي ٍن‬

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakkanlah


sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu,” orang-
orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang
beriman, “Apakah pantas kami memberi makan kepada
orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan
memberinya makan? Kamu benar-benar dalam kesesatan
yang nyata.” (QS. Yâsîn[36]:47)
Hal ini sesuai dengan pemakaian kata law (‫ )لِو‬pada ayat di atas

yang menunjukkan suatu hal yang mustahil terjadi.105 Dalam

menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafadz ‫لِو‬


merupakan insyâ‟i thalabî dengan kategori adat tamannî, dimana az-
Zamakhsyarî menjelaskan Terdapat orang-orang kafir Zindiq yang
berada di Mekah, sebagian mereka mendengar orang-orang mukmin
menggantungkan pekerjaan Allah dengan kehendak-Nya, maka
mereka berkata apabila Allah menghendaki maka Allah akan
mencukupi, apabila Allah menghendaki Allah akan memuliakannya.
Maka mereka pun mengeluarkan jawaban ini dengan mengejek
orang-orang mukmin dan dengan apa yang mereka ucapkan berupa

104
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî, (Beirut: Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h.
278.
105
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 220.
111

menggantungkan segala urusan dengan kehendak Allah. Padahal


Allah menjadikan kaya sebagian orang dan menjadikan miskin
sebagian lain, serta memerintahkan orang kaya untuk memberi orang
miskin dan Allah mengujinya dengan kewajiban untuk
menyedekahkan hartanya106.
Pada ayat ini, penafsiran az-Zamakhsyarî sama halnya dengan
penafsiran Thahir Ibn „Asyûr (w.1393 H) dalam tafsir at-Tahrîr wa
at-Tanwîr dalam lafadz ‫ لَو‬menjelaskan dalam kalimat jika Allah
berkehendak ini digunakan juga oleh kafir Mekah ketika mereka
menyembah berhala-berhala mereka.107
d. Ayat 66-67
‫َ َ ََه‬ ََِ ْ َ ْ ِ َْ َ َ ْ َ َ َ ِ ََ ْ ََ
‫الطهاط فانى‬
ّ ‫ولي نشاۤء لطمسنا على اغح ّن ّىم فاستتليا‬

َ
٦٦ ‫ط ِه ْون‬ ِْ
ّ ‫يت‬

“Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami


hapuskan penglihatan mata mereka; sehingga mereka
berlomba-lomba (mencari) jalan. Maka bagaimana
mungkin mereka dapat melihat?” (QS. Yâsîn[36]:66)
َ ِ ََ َ َ َ َ ٰ َ ٰ ْ َ ََ َ
‫َول ْي نشا ِۤء ل َم َسخن ِى ْم على َمكغن ّخ ّى ْم فما ْاسخطاغ ْيا ِم ّض ًّيا َّولا‬

َ ِ
٦٧ ࣖ ‫َي ْر ّجػ ْين‬

“Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami ubah


bentuk mereka di tempat mereka berada; sehingga

106
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil
fî al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 896.
107
Thahir Ibn „Asyûr, Tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr, (Tunis: Dâr At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984), juz 22, jilid 23, cet. ke-1, h. 32.
112

mereka tidak sanggup berjalan lagi dan juga tidak


sanggup kembali.” (QS. Yâsîn[36]:77)

Hal ini sesuai dengan pemakaian kata law (‫ )لو‬pada kedua ayat

di atas yang dapat di tafsirkan seandainya, ini menunjukkan suatu hal


yang mustahil terjadi.108 Dalam menafsirkan ayat ini az-

Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafadz ‫لِو‬ merupakan insyâ‟i

thalabî dengan kategori adat tamannî, dimana az-Zamakhsyarî


menjelaskan kedua ayat di atas menjelaskan tentang keadaan atau
sikap kaum musyrikin ketika di dunia, sebagaimana mereka di
ancam di akhirat. Artinya membuat suatu kondisi agar kaum musyrik
yang ingkar ini mengakui keesaan Allah SWT dan membenarkan
ajaran Nabi Muhammad SAW, namun Allah SWT tidak
berkehendak atas semua itu. Peneliti simpulkan kedua ayat di atas
berisi perandaian yang digunakan Allah SWT sejak dulu yang pada
kenyataannya tidak akan terjadi109.
Pada kedua ayat di atas dalam penafsiran az-Zamakhsyarî
senada dengan tafsir Al-Misbâh karya Quraish Shihab menjelaskan
pemakaian kata Law di awal dua ayat di atas yang dapat ditafsirkan
“jika seandainya”. Quraish Shihab menggaris bawahi bahwa
kandungan kedua ayat di atas adalah perandaian yang digunakan
Allah sejak dini yang pada kenyataannya tidak akan terjadi.110
Begitupun penjelasan Ibnu „Asyûr dalam tafsirnya, bahwa kedua
ayat di atas pengharapan sebagian sahabat dan umat muslim agar

108
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 220.
109
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 898.
110
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbâh, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), jilid 12, h. 4.
113

Allah memperlakukan orang musyrik seperti itu dalam kehidupan


dunia, sebagaimana mereka diancam di khirat. Artinya agar orang
yang ingkar ini mengakui keesaan Allah SWT dan membenarkan
ajaran Allah SWT. Allah bisa saja membuat keadaan seperti itu,
namun Allah tidak berkehendak.111
e. Ayat 74
َ ُ ْ َّ َ َّ ً ٰ ‫ه‬ ِ ْ ِ َ َّ
٧٤ ‫اّٰلل ا ّل َىث لػل ِى ْم ِينط ِه ْون‬
ّ ‫َواتخذ ْوا ّمن د ْو ّن‬
“Dan mereka mengambil sesembahan selain Allah
agar mereka mendapat pertolongan.” (QS.
Yâsîn[36]:74)

Adat tamannî La‟alla (‫لعل‬


ِّ ) pada ayat di atas menunjukkan bentuk
Tamannî yang mengharapkan sesuatu yang mustahil terjadi.112 Dalam

menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafadz ِ‫لعل‬


ّ
merupakan insyâ‟i thalabî dengan kategori adat tamannî, dimana az-
Zamakhsyarî menjelaskan orang-orang musyrik mengharapkan agar
berhala-berhala yang mereka sembah dapat menolong mereka dari
semua bentuk marabahaya, tetapi sebaliknya berhala itu tidak mampu
berbuat apa-apa bahkan berhala-berhala ini akan menjadikan bahan
baku api di dalam neraka bagi orang-orang musyrik.113

Penafsiran az-Zamakhsyarî pada lafadz ِ‫لعل‬


ّ senada dengan tafsir
Ath-Thabarî karya Ibnu Jarir Ath-Thabarî (w. 310 H) menjelaskan
pada ayat ini Allah SWT mengecam orang-orang musyrik yang

111
Thahir Ibn „Asyûr, Tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr, (Tunis: Dâr At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984), juz 23, cet. ke-1, h. 51-52.
112
Ali Al-Jarimi dan Musthofa Amin, Al-Balâghatu Al-Wâdhihah, (Jakarta;
Raudhah Press, 2007), h. 219.
113
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 899.
114

menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan dan sesembahan. Padahal


Allah SWT menegaskan bahwa berhala-berhala itu tidak dapat
menolong mereka dan orang-orang musyrik berharap berhala itu
dapat menolong dari bencana dan adzab.114 Senada juga dengan tafsir
Al-munîr karya Syaikh Wahbah Az-zuhaili (w. 1434 H) ayat di atas
menjelaskan orang-orng musyrik yang menjadikan berhala itu sebagai
sesembahan yang mereka sembah selain Allah dengan harapan agar
berhala mereka akan menolong, memberi rizki, dan mendekatkan
mereka kepada Allah SWT sedekat-dekatnya. Namun dalam
kenyataannya berhala itu tidak memiliki kuasa dan tidak bisa
mewujudkan kemanfaatan.115
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kalâm
insyâ‟i thalabî dalam bentuk tamannî dalam surah Yâsîn berjumlah 6

ayat. Jika ditinjau dari adat tamannî yang digunakan, terdiri dari ِ‫ليت‬

ْ َ َ َْٰ َ ْ ِ َ ِ ْ ِ َّ َ َ
َِّ ‫ لع‬pada lafadz ‫( لػلكم ح ْرحمين‬ayat
pada lafadz ‫( يلحج كي ّم ْي‬ayat 26), ‫ل‬

َ ْ ُ ِْ ْ ِ َ َّ َّ ِ‫ه‬ ََ ْ ْ َ َّ
45), ‫( لػلىم ينط ِهون‬ayat 74), dan ِ‫ لو‬pada lafadz ‫( من لي يشا ِۤء اّٰلل‬ayat

ََ ََْ
47), ‫( ولي نشا ِۤء‬ayat 66-67).

114
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî, (Beirut: Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h.
288.
115
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-munîr, (Damaskus: Dâr Al-fikr, 2009), jilid 12, h.
55.
115

5. Nidâ’ (‫النّداء‬
ِ)

Seperti yang telah diketahui pada Bab dua Nida‟ adalah


menghendaki seseorang agar menghadapnya, dengan menggunakan
salah satu huruf yang menggantikan ad‟û (aku memanggil), yang
susunannya dipindah dari kalâm khabari menjadi kalâm Insyâ‟i.
Ada dua jenis makna yaitu makna haqiqi (kata pertanyaan yang
bermakna pertanyaan) dan makna yang menyimpang dari makna
aslinya dan menunjukkan makna-makna lain.
Dalam surah Yâsîn terdapat bentuk tamannî pada ayat 1, 20, 30,
59 dan ayat 60.
a. Ayat 1
ٰ
١ ِۚ‫ص‬
ۤ ‫ي‬

“Ya Sin.” (QS. Yâsîn[36]:1)


Terkait dengan makna kata Yâsîn az-Zamakhsyarî merujuk pada
riwayat hadis dari Ibnu „Abbas yang memaknai denganْ‫( ياْانساف‬wahai

manusia), menurut az-Zamakhsyarî makna ini diambil dari logat atau


kebiasaan kata yang digunakan suku Thayyi‟ di Jazirah Arab pada
waktu itu. Jika hal itu benar maka bentuk asalnya adalah ‫( م‬ya) dalam

kata ‫( يس‬yâsîn) diambil dari bentuk nida‟ (panggilan) dalamْ ‫يا ْانساف‬

(wahai manusia), sedangkan ‫( س‬sin) diambil dari kata ‫( انساف‬insan).

Jadilah kata ‫( يس‬yâsîn) seperti yang mereka katakan. “wallâhu a‟alam

bishihatih” (dan Allah lah yang maha mengetahui kebenarannya)116.

116
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 899.
116

Penafsiran az-Zamakhsyarî pada ayat pertama sama halnya


dengan penafsiran Thahir Ibn „Asyûr (w. 1393 H) menjelaskan makna
Yâsîn dari riwayat Ibnu „Abbas merujuk juga pada logat suku
Thayyi‟. Akan tetapi Ibnu „Asyûr menambahkan bahwa makna wahai
manusia (Ya Insan) dengan kata Yâsîn juga dipakai oleh orang-orang
Habasyah (bi lisan al-Habasyah) dan diartikan juga sebagai salah satu
nama dari Nabi Muhammad SAW.117 Begitupun dengan Ath-Thabarî
dalam tafsirnya merujuk pada dua riwayat, pertama dari Ibnu „Abbas
bahwa makna Yâsîn yaitu wahai manusia yang dipakai oleh orang-
orang di Habasyah. Kedua merujuk dari Ikrimah bahwa makna Yâsîn
adalah wahai manusia (Ya Insan).118
b. Ayat 20
َ ْ ِ َّ َ َ َ َّ ٌ ِ َ ْ ُ َْ َ
٢٠ ‫َوجا َۤء ّم ْن اكصا ال َم ّد ْين ّث َرجل ي ْس ٰعى كال ٰيل ْي ّم اح ّتػيا ال ِم ْر َس ّل ْين‬
“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki
dengan bergegas dia berkata, “Wahai kaumku!
Ikutilah utusan-utusan itu.” (QS. Yâsîn[36]:20)
ْ َٰ
Kata ‫يلي ّم‬ (hai kaumku) bentuk Nida‟ ‫ يا‬yang menunjukkan

makna ‫كر‬
ٌْ ‫( التذ‬mengingatkan) yakni mengingatkan kaumnya untuk

mengikuti para Rasul.119 Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî

ْ َٰ
menjelaskan bahwa lafadz ‫ يليم‬merupakan insyâ‟i thalabî dengan

kategori adat nida‟ tetapi menunjukkan makna lain, dimana az-

117
Thahir Ibn „Asyûr, Tafsir At-tahrîr wa At-tanwîr, (Tunis: Dâr At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984), juz 22, jilid 22, cet. ke-1, h. 344.
118
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî, (Beirut: Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h.
264.
119
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 90.
117

Zamakhsyarî menjelaskan bahwasanya tokoh pada ayat di atas adalah


Habib bin Israil An-najjar, seorang pemahat patung dan beriman
kepada Nabi Muhammad SAW. Ia mengingatkan kaumnya untuk
mengikuti utusan yang dikirim Allah yang datang kepada mereka
memberi peringatan.120
c. Ayat 30
َ ْ ِ ْ َ َْ ْ ِ َ َّ ْ ِ َّ ْ ْ ْ ْ َ َ َ ْ َ َ ً َ ْ َ ٰ
٣٠ ‫يحسهة على ال ّػت ّادِۚ ما يأ ّحي ّىم ّمن رسي ٍل ّالا عغنيا ّةه يسخى ّزءون‬
“Alangkah besar penyesalan terhadap hamba-hamba
itu, setiap datang seorang rasul kepada mereka,
mereka selalu memperolok-olokkannya.” (QS.
Yâsîn[36]:30)

ً ْ َٰ
Kata ya pada ayat ini ‫ يحس َهة‬digunakan kepada lawan bicara

yakni “kemarilah wahai penyesalan”. Bentuk nida‟ ‫يا‬ ini

menunjukkan makna Tahassur berarti penyesalan atau keresahan.121


ً ْ َٰ
Seruan ‫ يحس َهة‬disini adalah bentuk ungkapan majaz. Artinya wahai

ratapan, waktumu telah tiba, datanglah. Ayat ini menjelaskan sikap


mereka yang mencemooh para Rasul sehingga mereka dibinaskan.
Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa
ً ْ َٰ
lafadz ‫ يحس َهة‬merupakan insyâ‟i thalabî dengan kategori adat nida‟

tetapi menunjukkan makna lain, dimana az-Zamakhsyarî menjelaskan


ayat ini adalah penyesalan para malaikat terhadap orang kafir saat

120
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 892.
121
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 91.
118

mereka mendustakan para rasul dan memperolok para Rasul, dan


yang dimaksud adalah sesungguhnya dimana para penyesal menyesali
mereka dan para orang berduka turut berduka atas mereka122.
ً ْ َٰ
Pada lafadz ‫ يحس َهة‬dalam penafsiran az-Zamakhsyarî senada

dengan tafsir Al-misbâh karya Quraish Shihab menjelaskan kata Ya


pada awal ayat ini dipakai kepada lawan bicara agar mengundang
mereka untuk memperhatikan apa yang disampaikan, yaitu
penyesalan atas penolakan mereka terhadap ajakan para Rasul. Lalu
penyesalan tersebut lebih besar lagi manakala mereka sebagai hamba-
hamba Allah SWT seharusnya menyambut ajakan para Rasul tetapi
mereka malah menolaknya.123 Begitupun dengan Ath-Thabarî dalam
tafsirnya merujuk pada dua riwayat yang berbeda. Pertama dari
Mujahid menerangkan bahwa penyesalan atas penduduk yang
membangkang itu disebabkan karena mereka memperolok-olok
kepada para Rasul. Kedua dari riwayat Ibnu „Abbas menerangkan
bahwa itu adalah kecelakaan bagi hamba-hamba yang membangkang
kepada para Rasul.124
d. Ayat 59
َ ْ ِ ْ ِ ْ َ ُّ َ َ ْ َ ْ ِ َ
٥٩ ‫َوا ْمتازوا الييم ايىا المج ّرمين‬
“Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir),
“Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada
hari ini, wahai orang-orang yang berdosa!.” (QS.
Yâsîn[36]:59)

122
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 894.
123
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbâh, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), jilid 11, h. 534.
124
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî, (Beirut: Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h.
274.
119

َ َ
Kata ‫ ايُّىا‬bentuk Nida‟ ‫ اي‬yang menunjukkan makna Ighra‟

berarti dorongan.125 Dalam menafsirkan ayat ini az-Zamakhsyarî


َ َ
menjelaskan bahwa lafadz ‫ ايُّىا‬merupakan insyâ‟i thalabî dengan

kategori adat nida‟ tetapi menunjukkan makna lain, dimana az-


Zamakhsyarî menjelaskan ayat ini adalah dorongan terhadap kaum
kafir untuk menjauhi orang-orang mukmin pada hari kiamat artinya
setiap orang kafir memiliki rumah dari neraka yang tidak terlihat di
dalamnya dan sebagian mereka berpisah dari yang lain126.
َ ُّ َ
Hal ini tidak hanya penafsiran az-Zamakhsyarî saja, lafadz ‫ايىا‬

yang dikategorikan sebagai uslûb insyâ‟i thalabî senada dengan tafsir


Ath-Thabarî karya Imam Jarir Ath-Thabarî (w. 310 H) menjelaskan
pada ayat ini bahwasanya para ahli neraka didorong berpisah dengan
orang-orang mukmin pada hari kiamat dari segala bentuk kenikmatan
dan kesenangan.127 Begitupun penjelasan Quraish Shihab dalam
tafsirnya ayat ini berarti memisahkan sesuatu dari kelompok yang
awalnya berbaur dan bersatu. Namun menurut Quraish Shihab
perintah ini tidak secara langsung diarahkan kepada para penghuni
neraka, tetapi perintah Allah SWT yang mencerminkan kehendak-

125
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 224.
126
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil fî
al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 897.
127
Lihat: Jarir Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî, (Beirut: Muassah Ar-risalah,
1994), jilid 6, h. 284.
120

Nya untuk mewujudkan sesuatu yang diperintahkan Allah SWT dan


ini menggambarkan betapa cepat pemisahan itu terjadi.128
e. Ayat 60
ٌ ِ َ ِ َ َّ ٰ َّ ِ ْ َ َّ ْ َ َ ٰ ِ َ ْ َْ ََ
٦٠ ‫ال ْم اغ َىد ّال ْيك ْم ٰي َت ّن ْيٓ اد َم ان لا حػ ِتدوا الش ْيط َنِۚ ّانه لك ْم عدو ُّم ّت ْين‬

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu


wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah
setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi
kamu.” (QS. Yâsîn[36]:60)

Kata  ‫ي‬ْ َٰ
ٓ ‫ يت ّن‬bentuk nida ‫ يا‬yang menunjukkan bentuk nida‟ makna

‫التذ ٌْكر‬ (mengingatkan) yakni mengingatkan Bani Adam untuk selalu

menyembah Allah SWT.129 Dalam menafsirkan ayat ini az-

ْ َٰ
Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafadz ٓ‫ يت ّني‬merupakan insyâ‟i

thalabî dengan kategori adat nida‟ tetapi menunjukkan makna lain,


dimana az-Zamakhsyarî menjelaskan seluruh Bani adam untuk selalu
menyembah Allah SWT, dan az-Zamakhsyarî juga menambahkan
penjelasan pada ayat di atas untuk tidak mentaati dalam segala bentuk
rayuan dan godaan syaitan.130

Penafsiran az-Zamakhsyarî yang mengklasifikasikan lafadz ‫ي‬ْ َٰ


ٓ ‫يت ّن‬

sebagai insyâ‟i thalabî senada dengan Imam Jarir Ath-Thabarî (w.


310 H) dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini petunjuk menyeru

128
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbâh, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), jilid 11, h. 561.
129
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma„ânî wa al-bayân wa al-Badî‟,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 90.
130
Az-Zamakhsyarî , Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-Aqâwil
fî al-Wujûhi at-Ta‟wîl, h. 897.
121

seluruh umat manusia bahwa hanya menyembah Allah SWT adalah


satu-satunya jalan yang lurus dan selalu ikhlas dalam beribadah, tidak
131
mengikuti bujuk rayu syaitan. Begitupun dengan Quraish Shihab
menjelaskan pada ayat ini mengisyaratkan kepada anak Adam bahwa
penyembahan tidak diperkenankan kecuali hanya kepada Allah SWT
tidak kepada siapapun, seperti dalam hal beribadah dan menerima
taubat yaitu hanya kepada Allah SWT.132
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kalâm
insyâ‟i thalabî dalam bentuk nidâ‟ dalam surah Yâsîn berjumlah 5

ayat. Jika ditinjau dari adat nidâ‟ yang digunakan, terdiri dari ‫ ي‬pada

ٰ ْ َٰ َ َ ْ َ َ ً ْ َٰ
lafadz ‫ص‬
َ َ
ۤ ‫( ي‬ayat 1), ‫( كال يلي ّم‬ayat 20), ‫( يحسهة على ال ّػت ّاد‬ayat 30),

َ‫( ٰي َتن ْي ٰا َدم‬ayat 60) dan huruf ‫ اي‬pada lafadz ‫( ْال ِم ْجر ِم ْي َن َاي ُّ َىا‬ayat 59),
ٓ ّ ّ

131
Ath-Thabarî, Tafsir Ath-Thabarî, (Beirut: Muassah Ar-risalah, 1994), jilid 6, h.
284.
132
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbâh, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), jilid 11, h. 562.
‫‪122‬‬

‫‪Tabel kalâm Insyâ’i Thalabî dalam Surah Yâsîn‬‬

‫)‪1. Amr (kata Perintah‬‬

‫رقمِ‬
‫معنى‬ ‫النوع‬ ‫الية‬
‫الية‬
‫ْ‬
‫الذك َر‬ ‫َّ َ َ‬ ‫َّ َ ِ ْ ِ َ‬
‫ّانما حن ّذر م ّن احتع ّ‬
‫َ َ‬ ‫َْ ْ‬ ‫َ َ َ َّ ْ‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫االمر‬ ‫الرح ٰم َن ّةالغح ّبِۚ فب ّش ْه ِه‬ ‫وخ ّشي‬ ‫‪11‬‬
‫َ‬ ‫َ ْ‬ ‫ْ‬
‫ّة َمغ ّف َر ٍة َّواج ٍر ك ّر ْي ٍم ‪١١‬‬

‫ًَ َ ْ ٰ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬


‫االرشاد‬ ‫َواض ّه ْب ل ِى ْم َّمثلا اصح َب‬
‫االمر‬ ‫ِ َ‬ ‫ْ َ َ ْ‬ ‫َْ‬ ‫‪31‬‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫الل ْر َي ّثِۘ ّاذ جا َۤءوا ال ِم ْر َسل ْينِۚ ‪١٣‬‬
‫ِ‬
‫االرشاد‬ ‫َّاحت ِػ ْيا َم ْن َّلا يَ ْس َٔـل ِك ْم َا ْجراً‬
‫ّ‬
‫االمر‬ ‫َ ِ َ‬ ‫‪13‬‬
‫ِ‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫َّوو ْم ُّم ْىخد ْون۔ ‪٢١‬‬

‫َْ َ‬ ‫ْ ََّ َ َ َ‬ ‫َ ْ ِ‬
‫ّك ْيل ادخ ّل الجنث كال ٰيلحج‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫االمر‬ ‫ْ َ َ‬ ‫َ‬
‫‪22‬‬
‫ك ْي ّم ْي َيػل ِم ْين ‪٢٦‬‬

‫َ‬ ‫َّ ِ‬ ‫َ َ‬ ‫َ‬


‫َواّ ذا ّك ْيل ل ِى ِم احل ْيا َما َة ْين‬
‫االرشاد‬ ‫ِ َ َّ ِ‬ ‫ِ‬ ‫َ‬
‫االمر‬ ‫ا ْيد ْيك ْم َو َما َخ ْل َفك ْم ل َػلكمْ‬ ‫‪54‬‬
‫ّ‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫ِ َ َ‬
‫ح ْرح ِم ْين ‪٤٥‬‬
‫َ ْ ِ َّ َ َ ِ‬ ‫َ َ‬ ‫َ‬
‫االرشاد‬ ‫االمر‬ ‫َواّ ذا ّك ْيل ل ِى ْم ان ّفل ْيا ِّما َرزكك ِم‬ ‫‪54‬‬
‫‪123‬‬

‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫ه ِ َ َ َّ ْ َ َ َ ِ ْ َّ ْ َ‬
‫اّٰلل كال ال ّذين كفروا ّلل ّذين‬
‫َّ‬ ‫َ‬ ‫ٰ‬
‫ا َم ِن ْيٓا ا ِن ْطػ ِم َم ْن ل ْي يَ َشا ِۤء ه ِ‬
‫اّٰلل‬ ‫ّ‬
‫َ ٰ‬ ‫ْ َ ْ ِ َّ‬ ‫َْ َ‬
‫اطػ َمهٓ ّان انخ ْم ّالا ّف ْي ضل ٍل‬

‫ُّم ّت ْي ٍن ‪٤٧‬‬

‫َ‬ ‫َ َ ْ ْ‬ ‫ْ‬ ‫َ ِ‬
‫َوا ْمتازوا ال َي ْي َم ايُّىا ال ِمج ّر ِم ْين‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫االمر‬ ‫‪45‬‬
‫‪٥٩‬‬

‫ٌ‬ ‫ٰ َ‬ ‫ْ ِ‬ ‫َ‬
‫َوا ّن اغ ِتد ْ ّون ْي وذا ّص َهاط‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫االمر‬ ‫َ‬
‫‪26‬‬
‫ُّم ْسخ ّل ْي ٌم ‪٦١‬‬
‫ِ‬ ‫ْ‬ ‫ْ َ َ‬
‫ك ْج ِخمْ‬ ‫َ‬
‫ّةما‬ ‫ال َي ْي َم‬‫ّاصل ْيوا‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫االمر‬ ‫َ ِْ ِ ْ َ‬
‫‪25‬‬
‫حكفرون ‪٦٤‬‬

‫َ ََ َ َ ْ َ ْ‬ ‫ِ‬ ‫ْ‬ ‫َّ َ َ‬


‫ّانمآ امرهٓ ّاذآ اراد شي ًٔـا ان‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫االمر‬ ‫َّ ِ ْ َ َ ِ ْ َ َ ِ ْ ِ‬
‫‪22‬‬
‫يليل له كن فيكين ‪٨٢‬‬
‫‪124‬‬

‫)‪2. Istifhâm (kata Tanya‬‬

‫رقمِ‬
‫معنى‬ ‫النوع‬ ‫الية‬
‫الية‬
‫َ َ‬ ‫َ‬
‫التسويو‬ ‫َو َس َيا ٌۤء َع َل ْيى ْم َءا ْن َذ ْر َت ِه ْم ا ْم لمْ‬
‫ّ‬
‫االستفهاـ‬ ‫ِْ ِ َ ْ ِ َ‬
‫‪61‬‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫حن ّذ ْرو ْم لا ِيؤ ّمن ْين ‪١٠‬‬
‫ِ َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫االنكار‬ ‫َكال ْيا َطاۤى ِِٕرك ْم َّم َػك ْم اى ِْٕن ِذك ْر ِحمْ‬
‫ّ‬
‫االستفهاـ‬ ‫َ ْ َ ْ ِ ْ َ ْ ٌ ُّ ْ ِ ْ َ‬
‫‪65‬‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫ةل انخم كيم مس ّهفين ‪١٩‬‬

‫َ‬ ‫َّ‬ ‫َ َ‬
‫تقرير‬ ‫َو َما ّل َي ل ٓا ا ْغ ِت ِد ال ّذ ْي ف َط َرنيْ‬
‫ّ‬
‫االستفهاـ‬ ‫َ ِ َ ِ َ‬
‫‪22‬‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫َواّ ل ْي ّه ح ْرجػ ْين ‪٢٢‬‬

‫َ ََّ ِ ْ ِ ْ ٰ َ ً ْ ُّ ْ‬
‫تخذ ّمن دو ّن ٓه ا ّلىث ّان ي ّرد ّن‬‫ءا ّ‬
‫َ‬ ‫ِ َّ ِ ْ‬ ‫َّ ْ‬
‫االنكار‬ ‫الرح ٰم ِن ّةظ ٍه لا حغ ّن غ ّن ْي‬
‫االستفهاـ‬ ‫‪22‬‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫َ َ َ ِ ِ ْ َ ْ َّ َ ِ ْ ِ ْ‬
‫شفاغخىم شي ًٔـا ولا ين ّلذو ّنِۚ‬

‫‪٢٣‬‬
‫َ‬ ‫َ‬
‫ك ْم َا ْول ْك َنا َك ْت َل ِى ْم منَ‬ ‫ََ‬
‫‪‬ال ْم َي َرواْ‬
‫ّ‬
‫تقرير‬ ‫َْ ْ َ‬
‫االستفهاـ‬ ‫ْ‬ ‫ََّ ِ‬ ‫ْ‬ ‫ِ‬ ‫ِْ‬ ‫‪26‬‬
‫انهم ّالي ّىم لا‬ ‫اللرو ّن‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬
‫ِ َ‬
‫َي ْر ّجػ ْين ‪٣١‬‬
‫‪125‬‬

‫ْ‬
‫َ َْ ِ‬ ‫َ‬ ‫ل َيأ ِع ِلياْ‬
‫االنكار‬ ‫ّم ْن ث َم ّره َو َما غ ّملخه‬ ‫ّ‬
‫االستفهاـ‬ ‫ََ َ َْ ِ َ‬
‫‪24‬‬
‫َ ْ‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫افلا يشك ِر ْون ‪٣٥‬‬ ‫ا ْي ّدي ّه ْم‬
‫َ َ َ ْ ِ َّ َ َ ِ‬ ‫َ‬
‫َواّ ذا ّك ْيل ل ِى ْم ان ّفل ْيا ِّما َرزكك ِم‬
‫ه ِ َ َ َّ ْ َ َ َ ِ ْ َّ ْ َ‬
‫اّٰلل كال ال ّذين كفروا ّلل ّذين‬
‫االنكار‬ ‫َّ‬ ‫َ‬ ‫ٰ‬
‫االستفهاـ‬ ‫ا َم ِن ْيٓا ا ِن ْطػ ِم َم ْن ل ْي يَ َشا ِۤء ه ِ‬
‫اّٰلل‬ ‫‪54‬‬
‫ّ‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫َ ٰ‬ ‫َ‬
‫ْ‬
‫ْ ْ ِ ْ َّ‬
‫َ‬ ‫َْ َ‬
‫اطػمهٓ ّان انخم ّالا ّفي ضل ٍل‬

‫ُّم ّت ْي ٍن ‪٤٧‬‬

‫َك ِال ْيا ٰي َي ْي َل َنا َم ْن َة َػ َث َنا منْ‬


‫ّ‬
‫َّ ْ َ َ ٰ َ َ َ َ َ َّ ْ‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫االستفهاـ‬ ‫الرح ٰم ِن‬ ‫مرك ّدنا وذا ما وعد‬ ‫‪42‬‬
‫َ َ َ َ ِْ ْ َ ِْ َ‬
‫وصدق المرسلين ‪٥٢‬‬
‫َ َ ْ َ ْ َ ْ َ ْ ِ ْ ٰ َ ٰ َ َ َ ْ َّ‬
‫الم اغىد ّاليكم يت ّن ْ ٓي ادم ان لا‬
‫تقرير‬
‫َّ ْ ٰ َ َّ َ ِ ْ َ ِ‬ ‫َْ ِ‬
‫االستفهاـ‬ ‫حػ ِتدوا الشيطنِۚ ّانه لكم عدو‬ ‫‪21‬‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬
‫ٌ‬
‫ُّم ّت ْين ‪٦٠‬‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫َول ْي ن َ َشا ِۤء ل َط َم ْس َنا َعلى ا ْغ ِحنىمْ‬
‫ّّ‬
‫ََه‬ ‫َ‬ ‫َ ْ َ ِ‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫االستفهاـ‬ ‫الط َهاط فانى‬ ‫ّ‬ ‫است َتليا‬ ‫ف‬ ‫‪22‬‬
‫َ‬
‫ط ِه ْون ‪٦٦‬‬ ‫ِْ‬
‫يت ّ‬
‫‪126‬‬

‫َْ ْ‬ ‫ِ‬ ‫َِ‬ ‫ُّ َ‬


‫االمر‬ ‫َو َم ْن نػ ّم ْر ِه نن ّك ْسه ّفى الخل ّق‬
‫االستفهاـ‬ ‫ََ َ ْ ِ َ‬
‫‪22‬‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫افلا َيػ ّلل ْين ‪٦٨‬‬

‫َّ‬ ‫َ‬ ‫َ َْ َ‬ ‫ََّ‬ ‫َ َ‬


‫ل ِى ْم ِّما‬ ‫خللنا‬ ‫ا َول ْم َي َر ْوا انا‬
‫تقرير‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ََْ‬ ‫َ َ ْ َ ْ َ‬
‫االستفهاـ‬ ‫ف ِى ْم ل َىا‬ ‫انػ ًاما‬ ‫غ ّملج ا ْي ّدينآ‬ ‫‪46‬‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫ِ َ‬
‫ٰم ّلك ْين ‪٧١‬‬

‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬


‫االنكار‬ ‫َول ِى ْم ّف ْي َىا َمن ّاف ِع َو َمش ّار ِب‬
‫االستفهاـ‬ ‫ََ َ َْ ِ َ‬
‫‪42‬‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫افلا يشك ِر ْون ‪٧٣‬‬

‫ْ ْ ِ ََّ َ َ ْ ٰ ِ‬ ‫َ َ‬
‫تقرير‬ ‫ا َول ْم َي َر ال ّان َسان انا خللنه ّم ْن‬
‫االستفهاـ‬ ‫‪44‬‬
‫ٌ‬ ‫ُّ ْ َ َ َ ِ َ‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫نطف ٍث ف ّاذا و َي خ ّص ْي ٌم ُّم ّت ْين ‪٧٧‬‬

‫َ َْ‬ ‫َ‬ ‫ًَ‬ ‫ََ‬ ‫َ‬


‫َوض َه َب لنا َمثلا َّون ّس َي خلله‬
‫االنكار‬
‫االستفهاـ‬ ‫يحي ْالػ َظ َ‬
‫ام َو ّنيَ‬ ‫َ َ َ ْ ُّ ْ‬
‫كال من‬ ‫‪42‬‬
‫ّ‬ ‫ّ‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬
‫َر ّم ْي ٌم ‪٧٨‬‬

‫ٰ‬ ‫ٰ‬ ‫َّ‬ ‫َ َ َ ْ َ َّ ْ َ َ َ‬


‫اولحس ال ّذي خلق السمي ّت‬
‫َ ْ َّ ْ ِ َ‬ ‫َ‬ ‫َْ َ ٰ‬
‫تقرير‬ ‫َوالا ْرض ّةل ّد ٍر على ان يخلق‬
‫االستفهاـ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫‪26‬‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫م ْث َل ِى ْم َة ٰلى َو ِو َي الَخ هل ِق ال َػل ْيمِ‬
‫ّ‬ ‫ّ‬

‫‪٨١‬‬
‫‪127‬‬

‫)‪3. Tamannî (Harapan‬‬

‫رقمِ‬
‫معنى‬ ‫النوع‬ ‫الية‬
‫الية‬
‫َْ َ‬ ‫ْ ََّ َ َ َ‬ ‫َ ْ ِ‬
‫ّك ْيل ادخ ّل الجنث كال ٰيلحج‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫التمىنْ‬
‫ٌ‬ ‫ْ َ َ‬ ‫َ‬
‫‪22‬‬
‫ك ْي ّم ْي َيػل ِم ْين ‪٢٦‬‬

‫َ‬ ‫َّ ِ‬ ‫َ َ‬ ‫َ‬


‫َواّ ذا ّك ْيل ل ِى ِم احل ْيا َما َة ْين‬
‫ِ َ َّ ِ‬ ‫ِ‬ ‫َ‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫التمىنْ‬ ‫ا ْيد ْيك ْم َو َما َخ ْل َفك ْم ل َػلكمْ‬ ‫‪54‬‬
‫ٌ‬ ‫ّ‬
‫ِ َ َ‬
‫ح ْرح ِم ْين ‪٤٥‬‬
‫َ َ َ ْ ِ َّ َ َ ِ‬ ‫َ‬
‫َواّ ذا ّك ْيل ل ِى ْم ان ّفل ْيا ِّما َرزكك ِم‬
‫ه ِ َ َ َّ ْ َ َ َ ِ ْ َّ ْ َ‬
‫اّٰلل كال ال ّذين كفروا ّلل ّذين‬
‫َّ‬ ‫َ‬ ‫ٰ‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫التمىنْ‬ ‫ا َم ِن ْيٓا ا ِن ْطػ ِم َم ْن ل ْي يَ َشا ِۤء ه ِ‬
‫اّٰلل‬ ‫‪54‬‬
‫ٌ‬ ‫ّ‬
‫َ ٰ‬ ‫ْ َ ْ ِ َّ‬ ‫َْ َ‬
‫اطػ َمهٓ ّان انخ ْم ّالا ّف ْي ضل ٍل‬

‫ُّم ّت ْي ٍن ‪٤٧‬‬

‫َْ ِ‬ ‫َ َ‬ ‫َ ََ َ َ‬
‫َول ْي نشا ِۤء لط َم ْسنا على اغح ّن ّى ْم‬
‫ََه‬ ‫َ‬ ‫َ ْ ََِ‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫التمىنْ‬
‫ٌ‬ ‫فانى‬ ‫الط َهاط‬
‫ّ‬ ‫يا‬ ‫ل‬ ‫فاستت‬ ‫‪22‬‬
‫َ‬
‫ط ِه ْون ‪٦٦‬‬ ‫ِْ‬
‫يت ّ‬
‫‪128‬‬

‫َ ٰ‬ ‫ْ ٰ‬ ‫َ‬ ‫ََ‬ ‫َ‬


‫على‬ ‫ل َم َسخن ِى ْم‬ ‫نشا ِۤء‬‫َول ْي‬
‫ََ ِ‬ ‫َ َ‬ ‫َ َ‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫التمىنْ‬
‫ٌ‬ ‫َمكغن ّخ ّى ْم فما ْاسخطاغ ْيا ِم ّض ًّيا‬ ‫‪24‬‬
‫ِ َ‬ ‫َ‬
‫َّولا َي ْر ّجػ ْين ࣖ ‪٦٧‬‬

‫ه ٰ ً‬ ‫ِ‬ ‫َّ َ ِ‬
‫اّٰلل ا ّل َىث‬
‫ّ‬ ‫َواتخذ ْوا ّم ْن د ْو ّن‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫التمىنْ‬
‫ٌ‬ ‫َ‬ ‫َّ َ َّ‬ ‫‪45‬‬
‫ْ ُ‬
‫لػل ِى ْم ِينط ِه ْون ‪٧٤‬‬

‫)‪4. Nida’ (Menyeru/Memanggil‬‬

‫رقمِ‬
‫معنى‬ ‫النوع‬ ‫الية‬
‫الية‬
‫ٰ‬
‫معىنْحقيقي‬ ‫النٌداء‬ ‫صِۚ ‪١‬‬
‫ي ۤ‬ ‫‪6‬‬
‫ِ ٌ‬ ‫َ‬ ‫َْ ُ ْ‬ ‫َ‬
‫َوجا َۤء ّم ْن اكصا ال َم ّد ْين ّث َرجل‬
‫التذكر‬ ‫َ‬ ‫َ َ‬
‫َّ ِ‬ ‫َّ‬
‫النٌداء‬ ‫ي ْس ٰعى كال ٰيل ْي ّم اح ّتػيا‬ ‫‪21‬‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫ْ‬
‫َ‬
‫ال ِم ْر َس ّل ْين ‪٢٠‬‬
‫ْ‬
‫يح ْس َه ًة َع َلى ْالػ َتاد َما َيأح ْيى ْم منْ‬
‫َٰ‬
‫ّ ّ ّ‬ ‫ّ ّ ِۚ‬
‫التحسر‬
‫ٌ‬ ‫َ‬ ‫َ َ‬ ‫َّ َ ِ‬
‫النٌداء‬ ‫َّر ِس ْي ٍل ّالا عغن ْيا ّةه ي ْسخ ْى ّز ِء ْون‬ ‫‪21‬‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬
‫‪٣٠‬‬

‫َ‬ ‫َ َ ْ ْ‬ ‫ْ‬ ‫َ ِ‬
‫االغراء‬ ‫النٌداء‬ ‫َوا ْمتازوا ال َي ْي َم ايُّىا ال ِمج ّر ِم ْين‬ ‫‪45‬‬
‫‪129‬‬

‫)معىنْغريْحقيقي(‬ ‫‪٥‬‬

‫ٰ َ َ ْ َّ‬ ‫ََ َْ ْ َ ِ‬
‫ال ْم اغ َىد ّال ْيك ْم ٰي َت ّن ْيٓ اد َم ان لا‬
‫التذكر‬
‫َّ َ ِ َ ِ‬ ‫َّ ٰ‬ ‫َْ ِ‬
‫النٌداء‬ ‫حػ ِتدوا الش ْيط َنِۚ ّانه لك ْم عدو‬ ‫‪21‬‬
‫)معىنْغريْحقيقي(‬
‫ٌ‬
‫ُّم ّت ْين ‪٦٠‬‬
130
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan yang dipaparkan di
atas adalah:
Kalâm Insyâ‟i thalabî pada penafsiran az-Zamakhsyarî hanya ada
4 terdiri dari amr (perintah), istifhâm (pertanyaan), tamannî (harapan),
dan nidâ‟ (panggilan) sedangkan untuk nahy (larangan) penulis tidak
menemukannya dalam surah Yâsîn pada penafsiran az-Zamakhsyarî.
Penafsiran az-Zamakhsyarî di dalam tafsir Al-Kasyâf tepatnya dalam
surah Yâsîn, ayat-ayat yang mengandung kalâm Insyâ‟i thalabî terdiri
dari amr (perintah) sebanyak 10 kata yang tersebar dalam 10 ayat yang
hanya terdiri dari fi‟il amr, istifhâm (pertanyaan) sebanyak 16 kata
yang tersebar dalam 16 ayat mengandung huruf-huruf istifhâm

diantaranya ‫ْما‬,‫ْأ‬,‫ من‬, yang paling banyak menggunakan huruf hamzah

(‫)أ‬, tamannî (harapan) sebanyak 6 kata yang tersebar dalam 6 ayat yang

terdiri atas tiga bentuk kata yaitu, ‫ ْلو‬,‫لعل‬


ٌْ ْ ,‫ ليت‬dan nidâ‟ (panggilan)

sebanyak 5 kata yang tersebar dalam 5 ayat yang terdiri atas ‫ يا‬dan ‫ايٌها‬.

Dari segi makna kalâm insyâ‟i thalabî dalam surah Yâsîn


menunjukan makna yang di dalamnya tidak hanya makna sebenarnya
atau makna haqiqi saja, tetapi ada juga yang mengandung makna Idhafi
yaitu makna yang keluar dari makna asli kalâm insyâ‟i thalabî tersebut
sesuai konteks. Dilihat dari penafsiran az-Zamakhsyarî mengenai
kalâm insyâ thalabî dalam surah Yâsîn cenderung senada dengan

131
132

penafsirannya seperti Ibnu Jarîr Ath-thabarî (Jami‟ Al-Bayân fî Ta‟wil


Al-Qur`an), Thahir ibn „Âsyûr (At-tahrîr wa At-tanwîr), Syaikh
Wahbah Az-zuhaili (Tafsir Al-Munîr) dan Quraish Shihâb (Tafsir Al-
Misbâh), namun lebih banyak senada dengan penafsiran Syaikh
Wahbah Az-zuhaili (Tafsir Al-Munîr).

B. Saran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam surah Yâsîn terdapat
ayat-ayat kalâm insyâ‟i thalabî dengan berbagai bentuk dan penelitian
ini memiliki keterbatasan baik yang berkaitan dengan datanya,
substansinya maupun model analisisnya. Oleh karena itu, disarankan
kepada pihak yang berkompeten dengan ilmu ma„ânî maupun tafsir Al-
Qur`an untuk melakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan
data, substansi masalah dan model analisisnya yang berbeda dan
komprehensif juga penelitian lebih lanjut dalam surah-surah yang
terdapat dalam Al-Qur`an yang lebih banyak dan lebih panjang.
DAFTAR PUSTAKA

„Ali Iyazy, Muhammad, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum,


Teheran: Wazarah al-Tsaqafah al-Irsyad al-Islami, 1798.

A.H Qowim, “Penafsiran Ayat-Ayat tentang Penciptaan dan Kemampuan Jin


menurut az-Zamakhsyarî”, Skripsi, UIN Walisongo Semarang,
2012.

Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, At-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Dar


al-Kutub al-Haditsah, t.t.

Alfiyah, Avif, “Kajian Kitab Al-KasyâfKarya Az-zamakhsyâri” dalam


Jurnal al-Furqon, Vol. 1, No. 1 Juni 2018.

Ghofur, Saiful Amin, Mozaik Mufasir Al-Qur`an, Yogyakarta: Kaukaba


Dipantara, 2013.

Haiy, Abdul, “Uslûb Insyâ‟i dan Dilalahnya Dalam Al-Qur`an”, Skripsi


Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau, 2017.

Haniah, Al-Balâghah al-„Arabiyyah (Studi Ilmu Ma„ânî dalam Menyingkap


Rahasia Ilahi), Makassar: Alauddin University Press, 2013.

Al-Hasyimi, Ahmad, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma‟ânî wa al-bayân wa al-


Badî‟, Beirut: Dar al-Fikr, 1978.

Hidayat, D. Al-Balaghah lil-Jami‟ wa asy-Syawâhid min Kalâm al-Badi‟


(Balaghah untuk semua), Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002.
Humaira, Dara dan Khairun Nisa, “Unsur I‟tizali dalam Tafsir Al-Kasyâf”,
dalam Jurnal Maghza, Vol. 1, No. 1, Januari, 2018.

Ibn „Asyûr, Tahir, Tafsir At-tahrir wa At-tanwir, Tunis: Dar At-tunisiyah An-
Nasyr, 1984.

Izzan, Ahmad, Uslûb Kaidah-Kaidah Ilmu Balâghah, Bandung: Tafakur,


2012.

133
134

Al-Jarimi, Ali dan Mushtofa Amin, Al-Balaghatul Waadhihah. Jakarta:


Raudhah Press, 2007.

Khamim dan Ahmad Subakir, Ilmu Balaghah (Dilengkapi dengan contoh-


contoh Ayat, Hadits Nabi dan Sair Arab), Kediri: IAIN Kediri Press,
2018.

Al-Khatib, Al-Qazweni, At-Talkhis fi „Ulum Al-Balaghah, tt.p.: Dar al-Fikr


Al-„Araby, 1904.

M. Khalil, Syaikh Adil, Tadabur Al-Qur`an: Menyelami Makna Al-Qur`an


dari Al-Fâtihah sampai An-Nâs, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2018.

Mubarak, Faisal, Nahu dan Balghah dalam Perspektif Ilmu Linguistik


Modern, tt.p.: t.p., t.t.

Muhammad, Syamsuddin, Thabaqat al-Mufassirîn, Beirut: Dar al-Kutub al-


Ilmiyah, 1983.

Al-Munawwar, Said Agil Husain, Al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan


Haqiqi, Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005.

Murniati, Puput, “Apek-Aspek Ma„ânî Dalam Al-Qur`an Surah Yâsîn dan


Alternatif Pembelajarannya”. Skripsi Institut Agama Islam Negri
Purwokerto, 2017.

Najiah, Siti dan Penny Respati Yurisa, “kajian tentang Bahasa, Sastra, dan
Budaya Arab di Indonesia”. dalam Seminar Nasional Bahasa Arab
Mahasiswa HMJ Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas
Negeri Malang, 2019.

Nashoiha, Isyroqotun, “Majâz Isti„ârah Dalam Surah Yusuf (Studi


Komparatif Tafsir Al-Kasyâfdan Tafsir Bahrul Muhîth)”, Skripsi
Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta, 2018.

Nuruddin, Ahmad, “Uslûb Ma„ânî Dalam Surah Al-Hâqqah”, Skripsi,


Fakultas Bahasa Dan Adab, Jurusan Adab Dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2017.

Al-Qattan, Manna‟ Khalil, Studi-Studi Ilmu Al-Qur`an, Bogor: Litera


AntarNusa, 2016.
135

Reissyaf, Muhammad, “Study Surah Yâsîn (Analisis Stilistika)”. Tesis


Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015.

Rusmin, Sifullah, “Penafsiran-Penafsiran Az-Zamakhsyarî Tentang Teologi


Dalam Tafsir Al-kasyâf”, dalam Jurnal Diskursus Islam, Vol. 5,
No.2 Agustus 2017.

Saladin, Bustami, “Pro dan Kontra Penafsiran Az-ZamakhsyarîTentang


Teologi Mu„tazilah Dalam Tafsir Al-kasyâf”, dalam Jurnal al-
Ihkam, Vol. 5, No. 1 Juni 2010.

Samsurrohman, “Pengantar Ilmu Tafsir”, Jakarta: Amzah, 2014.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbâh, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

, Yâsîn Dan Tahlil, Tangerang: Lentera Hati, 2013.

Sofyan, Muhammad, Tafsîr wa al-Mufassirûn, Medan: Perdana Publishing,


2015.

Solahudin, Muhammad, “Metodoligi dan Karakteristik Penafsiran dalam


Tafsir Al-Kasysyâf”, dalam Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial
Budaya, Vol. 1, Januari 2016.

Ath-Thabarî, Jarir, Tafsir Ath-Thabarî, Beirut: Muassah Ar-risalah, 1994.

Tanthawi, M. Iqbal, “Muatan Kalâm Insyâ‟i Dalam Al-Qur`n Surah


Maryam”, Skripsi Uneversitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim
Riau, 2017.

Al-Utsaimin, Muhammad, Tafsir Surah Yâsîn. Jakarta: Akbar Media, 2009.

Az-Zamakhsyâri, Tafsir al-Kasyâf „an Haqâ‟iqi at-Tanzîl wa „uyûn al-


Aqâwil fî al-Wujûhi at-Ta‟wîl, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 2009.

Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munîr, Damaskus: Dar Al-fikr, 2009.

Zubair, Stilistika Arab Studi Ayat-Ayat Pernikahan dalam Al-Qur`an,


Jakarta: Amzah, 2017.
136
BIOGRAFI PENULIS

Tika Fauziah kelahiran Sukabumi, lahir pada 27 Januari 1999 anak pertama
dari dua bersaudara yaitu, M. Fachrillah Syihab dan Aliesha Zahra Syihab.
Penulis lahir dari pasangan Bpk. Aab Sihabudin dan Ibu Ai Nuraisyah S.Pd.I.

Riwayat pendidikan formalnya di SD Negeri 03 Cijengkol sekaligus


pendidikan non formal di Madrasah Diniyyah Manba„ul „Ulum Sukabumi,
keduanya tamat pada tahun 2010. Penulis melanjutkan pendidikan formal
dan non formalnya di Pondok Pesantren As-Sa„idah (Mts Plus As-Sa„idah)
Sukabumi, tamat pada tahun 2013. Kemudian melanjutkan pendidikan
kembali di Pondok Pesantren At-Tanwiriyyah (MA At-Tanwiriyyah)
Cianjur, jurusan keagamaan dan tamat pada tahun 2016. Setelah itu, penulis
langsung melanjutkannya ke Strata satu di Institut Ilmu Al-Qur`an Jakarta,
mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Dakwah prodi Ilmu Al-Qur`an dan
Tafsir. Alhamdulillah „ala kulli hal, penulis dinyatakan lulus pada tanggal 13
Juli 2020 dan berhak menyandang gelar Sarjana Agama dengan ujian
munaqasyah. Penulis adalah sarjana prodi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir ke 494.

137

Anda mungkin juga menyukai