Anda di halaman 1dari 111

QIRAAT DALAM KITAB TAFSIR

(Studi Qiraat pada Ayat-ayat Teologis dalam Kitab Tafsīr al-Kasysyāf Karya
Imam al-Zamakhsyarī dan Kitab Tafsir Mafātih al-Ghāib Karya Imam
Fakhru al-Dīn al-Rāzi)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)

Oleh:

Moch. Qomari
1112034000039

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019 M/1440 H
PEDOMAN TRANSLITERASI1

Arab Indonesia Arab Indonesia


‫ا‬ a ‫ط‬ ṭ
‫ب‬ b ‫ظ‬ ẓ
‫ت‬ t ‫ع‬ ‘
‫ث‬ ts ‫غ‬ gh
‫ج‬ j ‫ف‬ f
‫ح‬ ḥ ‫ق‬ q
‫خ‬ kh ‫ك‬ k
‫د‬ d ‫ل‬ l
‫ذ‬ dz ‫م‬ m
‫ر‬ r ‫ن‬ n
‫ز‬ z ‫و‬ w
‫س‬ s ‫ه‬ h
‫ش‬ sy ‫ء‬ ’
‫ص‬ ṣ ‫ي‬ y
‫ض‬ ḍ ‫ة‬ h

Vokal Panjang

‫آ‬ Ā

‫إي‬ Ī

‫أو‬ Ū

1
Hipius, Ilmu Ushuluddin’ Jurnal: Himpunan Peminat Ilmu Ushuluudin (HIPIUS).
Vol.1, no.1 Januari 2013

v
Abstrak

Penelitian ini memfokuskan pada varian qiraat dalam ayat-ayat teologis,


dikhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan dosa besar dan nasib pelaku
dosa besar. Pembahasan qiraat dikaji dari berbagai sisi, mulai dari ragam, bentuk,
kualitas, fungsi dan pengaruhnya terhadap penafsiran. Kitab primer yang menjadi
topik pembahasan adalah Tafsīr al-Kasysyāf karya Imam al-Zamakhsyarī dan
Mafātih al-Gḥāib karya Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi. Kedua kitab tafsir tersebut
dipilih karena keduanya mencantumkan qiraat dalam penafsiran dan ditulis oleh
pemuka aliran madzhab teologi yang berbeda. Fokus masalah utamanya adalah
bagaimana ragam qiraat dan pengaruh ideologi madzhab pada penafsiran ayat-
ayat teologis tentang dosa besar dan nasib pelaku dosa besar dalam Tafsīr al-
Kasysyāf dan Mafātih al-Ghāib.

Kajian ini menghasilkan dua poin penting dari segi qiraat dan tafsir. Dari
segi qiraat, kedua kitab Tafsir sama-sama mencantumkan qiraat dalam penafsiran
sebagai informasi qiraat, alternatif makna, bahkan sebagai pembelaan terhadap
madzhab mufassir. Keunggulan Tafsīr al-Kasysyāf dalam mencantumkan qiraat
penjelasannya yang detail tentang qawāid nahwiyyah. Kekurangannya adalah al-
Zamakhsyari jarang menyebutkan periwayatnya, bahkan tidak adanya filterisasi
baik dari qiraat sab’ah, asyrah maupun arba’a asyrah. Sedangkan Al-Rāzi lebih
sering mencantumkan periwayat qiraat dan terkadang menukil dari al-Kasysyāf.
Selain itu, beliau juga lebih menjelaskan perbandingan antar ragam qiraat. Segi
tafsir, terutama dalam ayat-ayat tentang dosa besar. al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi
saling memperdebatkan persoalan tentang kategori dosa besar. Al-Zamakhsyarī
menganggap tidak ada ampunan bagi pelaku dosa besar kecuali bagi mereka yang
dikehendaki Allah dan posisinya berada diantara dua posisi. Sedangkan al-Razi
berasumsi pelaku dosa besar masih diampuni dan pelakunya masih dianggap
mukmin. Al-Rāzi dalam tafsirnya tentang ayat-ayat dosa besar cenderung meng-
counter pendapat-pendapat al-Zamakhsyarī. Kedua tafsir tersebut sama-sama
mencantumkan qiraat pada ayat-ayat dosa besar sebagai penguat argumen serta
pembelaan madzhab. Pada intinya, penafsiran keduanya dalam menafsirkan ayat-
ayat dosa besar dan nasib pelaku dosa besar masih dilatarbelakangi oleh ideologi
madzhab yang dianutinya.

Kata Kunci: qiraat, tafsir, pelaku dosa besar, aliran teologi, al-Kasysyāf, Mafātih
al-Ghāib

vi
KATA PEGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. atas segala nikmat dan karunia-Nya yang
diberikan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini bisa rampung. Shalawat
dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda nabi besar Muhammad Saw.
beserta keluarganya, sahabat-sahabtnya serta para pengikutnya yang telah
mensyiarkan Islam di berbagai penjuru dunia.

Alhamdulillah, penulisan skripsi yang berjudul “Qiraat dalam Kitab


Tafsir: Studi Qiraat Pada Ayat-ayat Teologis dalam Kitab Tafsir al-Kasysyaf
Karya Imam al-Zamakhsyari dan Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya Imam
Fakhruddin al-Razi” telah dapat penulis selesaikan. Penulisan skripsi ini
merupakan salah satu syarat tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Agama
(S.Ag) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan. Oleh


sebab itu, penulis merasa perlu untuk menghaturkan terima kasih kepada pihak
yang telah ikut serta membantu proses penyelesaian skripsi ini. Terutama terima
kasih penulis kepada:

1. Kedua orang tua penulis, ayahanda M. Muslim dan Ibunda Ngasri yang
tiada henti memberikan support moril dan materil untuk menyelesaikan
skripsi ini. Tak lupa pula kepada saudara penulis, Mas M. Mubayyin dan
Adik M. Khusnaini Mubarak yang selalu mengingatkan penulis untuk
lulus dari bangku perkuliahan.
2. Bapak Dr. Ahsin Sakho M. Asyrofuddin, MA. Selaku pembimbing
penulisan skripsi ini. Yang tiada lelah meluangkan waktu dan
kesabarannya membimbing penulis. Nafa’anallahu bi ulumihi.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sayang sekali kepada
anak didiknya, tidak lelah untuk terus mendorong anak didiknya agar cepat
lulus dan menyelesaikan tugas akhir.

vii
4. Ibu Banun Bina Ningrum, M. Pd. Sebagai Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah yang juga terus mendorong
mahasiswa untuk menyelesaikan tugas akhir.
5. Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Yusuf Rahman, MA dan segenap Stake
Holder Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarata yang telah
membantu kelancaran administrasi dan birokrasi.
6. Rektor UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Prof. Dr. Amani Lubis, MA.
Beserta jajarannya.
7. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
khususnya dosen Jurusan Tafsir Hadis, terima kasih banyak atas
pencerahan, ilmu, dan didikannya kepada penulis. Nafa’anallahu bi
ulumihim.
8. Para teman-teman angkatan. Teman angkatan TH 12 khusunya kelas TH A
dan teman Bidikmisi. Semoga silaturahimnya terus terjaga dan selalu
menjadi teman yang baik.
9. Teman Aliyah, khusunya teman seperjuangan yang kuliah di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Abdullah Hamid, Rizky Subagia dan Nur Halim.
10. Terima kasih kepada para senior dan teman-teman alumni PP. Tarbiyatut
Tholabah di Jakarta (Wasiat Jakarta) atas kebersamaan sebagai keluarga di
tanah rantau.
11. Orang tua asuh dan keluarga di Jakarta, Dr. Ulinnuha Husnan, MA. Pak
dhe Marjono, Budhe Sumiati, Alex Prasetyo, Sulthon Hidayat, Om
Timbul, Abrohul Isnaini, M.Hum, M. Muhaimin, Ahmad Taufik, Imam
Wahyudi, Abu Dzar, Ahmad Nidhomuddin, Muhammad Hakim, Lukman
Hakim al-Hadi, Moh. Ikhwan dan teman-teman yang lainnya, yang tidak
dapat penulis sebut satu per-satu.
12. Orang-orang terdekat, Mbah H. Ali Usman, Mbah Rawi dan Mbah Sarti,
Mbah Nur Sholihin, Pak lek Ihsan, Mbah Abdul Mujib, Paklek Naryo dan
Bulek Sari, Pak dhe Asy’ari, Naufal Azka As-Shidqie, Nur Azizah dan
Baqiyatus Sholihah.

viii
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah ikut
membantu proses penulisan skripsi ini. Semoga Allah Swt. senantiasa
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya untuk kita semua. Amin.

Ciputat, 5 Mei 2019

Moch. Qomari

ix
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………ii


LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………...........iii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………………...iv
PEDOMAN TRNSLITERASI……………………………………………………v
ABSTRAK ……………………………………………………………………….vi
KATA PENGANTAR …………………………………………………………..vii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………….1


B. Identifikasi Masalah ……………………………………………………...7
C. Pembatasan Masalah ……………………………………………..............8
D. Tujuan Penelitian dan Signifikansi Penelitian …………………………...8
E. Metodologi Penelitian …………………………………………………....9
F. Tinjauan Pustaka ………………………………………………………...11
G. Sistematika Penulisan ……………………………………………………13

BAB II QIRAAT DAN TAFSIR

A. Qiraat ……………………………………………………………………14
1. Pengertian Qiraat…………………………………………………….14
2. Sejarah Munculnya Qiraat……………………………………………15
3. Kualitas dan Kuantitas Qiraat………………………………………..20
a. Qiraat Ditinjau dari Segi Kualitas………………………………..20
b. Qiraat Ditinjau dari segi Kuantitas……………………………….21
B. Tafsir …………………………………………………………………….24
1. Pengertian Tafsir……………………………………………………..24
2. Sejarah Perkembangan Tafsir………………………………………..25
C. Hubungan Qiraat dan Tafsir ……………………………………………..28
D. Pengaruh Ideologi Madzhab dalam Tafsir……………………………….33

BAB III BIOGRAFI IMAM AL-ZAMAKHSYARĪ DAN IMAM FAKHRU


AL-DĪN AL-RĀZI

A. Biografi Imam al-Zamakhsyarī ………………………………………….36


1. Riwayat Hidup Imam al-Zamakhsyarī ……………………................36

x
2. Karya-karya Imam al-Zamakhsyarī………………………………….38
3. Karakteristik Kitab al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-
‘Aqāwil fī Wujūh al-Ta’wīl, ………………………………………………....40
4. Penggunaan Qiraat dalam Tafsīr al-Kasysyāf ………………………..46
B. Biografi Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi …………………………………...48
1. Riwayat Hidup Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi………………………...48
2. Karya-karya Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi …………………………..49
3. Karakteristik Kitab Tafsir al-Kabīr (Tafsīr Mafātih al-Ghāib)……...52
4. Penggunaan Qiraat dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib …………………57

BAB IV QIRAAT DALAM AYAT-AYAT TEOLOGIS ( DOSA BESAR


NASIB PELAKU DOSA BESAR)

A. Sejarah Munculnya Aliran Teologi dan Perdebatan tentang Dosa Besar dan
Nasib Pelaku Dosa Besar ………………………………………………..59
B. Pengertian Dosa Besar dan Macam-macam Dosa Besar ………………..60
C. Ayat-Ayat tentang Dosa Besar dan Pelaku Dosa Besar
a. Surat Ali Imrān Ayat 91 ………………………………………........63
b. Surat al-Nisā’ Ayat 31 ………………………………………………64
c. Surat al- Māidah Ayat 36-37 ………………………………………...67
d. Surat al-Māidah Ayat 60……………………………………………..69
e. Surat al Taubah Ayat 106 ……………………………………………73
f. Surat al-Furqān Ayat 68-70 …………………………………….........75
g. Surat al-Zumar Ayat 53 ……………………………………………...77
h. Surat al-Syuura ayat 37………………………………………………80
D. Tabel Qiraat ……………………………………………………………...81

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……………………………………………………………...92
B. Saran …………………………………………………………………….94

Daftar Pustaka ………………………………………………………………….96

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur‟an merupakan kalam Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw. sebagai pedoman dan undang-undang dasar bagi umatnya. 2
Kehadiran al-Qur‟an tidak bisa lepas dari kondisi turunnya al-Qur‟an di wilayah
Arab. Otomatis, al-Qur‟an menggunakan bahasa Arab agar mudah dipahami oleh
masyarakat Arab. Kultur masyarakat Arab dengan banyaknya bani dan kafilah
tentunya memiliki dialek masing-masing. Dalam QS. Ibrahim (14) : 4 Allah SWT
berfirman:

              

       


Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.
Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk
kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi
Maha Bijaksana”
Nabi sangat memahami keberagaman atau perbedaan-perbedaan dialek bangsa
Arab. Akibat beragamnya dialek di tanah Arab, Nabi berusaha menjaga umatnya
dari berbagai kesulitan dan memberikan kemudahan untuk memahami al-Qur‟an.
Hal ini tercermin ketika Jibrīl datang membawa perintah kepada Nabi untuk
membacakan al-Qur‟an kepada umatnya dengan satu huruf. Nabi dengan
memohon ampun kepada Allah, melalui malaikat Jibrīl meminta agar hurufnya

2
Pengertian semacam ini disepakati oleh para ulama ahli al-Qur‟an. Hanya saja sedikit
berbeda-beda redaksinya. Manna‟ Khalīl al-Qattan mendefinisikan al-Qur‟an merupakan firman
Allah yang diberikan nabi Muhammad melalui malaikat Jibrīl dan membacanya bernilai badah.
Lihat; Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa) h.17.
Lain pula dengan al-Zarqani, beliau mengemukakan al-Qur‟an ialah kalam Allah yang diberikan
Nabi Muhammad dari surat al-Fātihah hingga surat al-Nās. Lihat; Abdul „Aẓim al-Zarqani,
Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur‟an (Mesir: Isa al-Bābi al-Halabi, t.t) juz 1, h. 19

1
2

ditambah. Setelah itu, hurufnya ditambah hingga tujuh huruf. Dalam salah satu
riwayat hadis dijelaskan:

‫اب َح َّدثَنِي ُعبَ ْي ُد اللَّ ِو بْ ُن َع ْب ِد اللَّ ِو بْ ِن‬


ٍ ‫ب أَ ْخبَ رنِي يُونُس َع ْن ابْ ِن ِش َه‬
ُ
ِ
َ ٍ ‫و َح َّدثَني َح ْرَملَةُ بْ ُن يَ ْحيَى أَ ْخبَ َرنَا ابْ ُن َو ْى‬
ٍ ‫الس ََلم علَى حر‬ ِ ِ ِ َ َ‫ول اللَّ ِو صلَّى اللَّوُ َعلَي ِو وسلَّم ق‬ َّ ‫اس َح َّدثَوُ أ‬ َّ ‫ُع ْتبَةَ أ‬
‫ف‬ ْ َ َ َّ ‫يل َعلَْيو‬ ُ ‫ال أَق َْرأَني ج ْب ِر‬ َ ََ ْ َ َ ‫َن َر ُس‬ ٍ َّ‫َن ابْ َن َعب‬
.‫ف‬ٍ ‫فَ راجعتو فَلَم أ ََز ْل أَست ِزي ُده فَ ي ِزي ُدنِي حتَّى انْ ت هى إِلَى سب ع ِة أَحر‬
ُ ْ َ َْ ََ َ َ ُ َْ ْ ُُْ َ َ
“Dan telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahyā telah mengabarkan
kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihāb
telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bahwa Ibnu
Abbās telah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shalla allahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Mula-mula Jibrīl membacakan al-Qur`an padaku dengan satu
huruf (bacaan dengan satu lahjah) saja. Lalu saya memohon agar ditambahkan.
Maka Jibrīl pun menambahkannya hingga menjadi tujuh huruf (lahjah bacaan)”.3
(HR. Muslim)
Berbagai ragam qiraat selain memudahkan membaca teks al-Qur‟an juga
sebagai alat untuk menafsirkan al-Qur‟an. Qiraat menjadi salah satu referensi
penting mufassir dalam menafsirkan al-Qur‟an. Terbukti dengan banyaknya para
mufassir yang menggunakan qiraat dalam menafsrikan al-Qur‟an, seperti al-
Ṭābari,4 Ibnu Katsīr,5 al-Zamakhsyarī6 serta masih banyak yang lainnya.
Keberadaan qiraat tersebut memberikan kemudahan bagi siapa saja yang ingin
mendalami makna al-Qur‟an, baik berupa hukum, hikmah dan juga pemaknaan
secara luas. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa, dengan adanya
perbedaan ragam qiraat yang berimplikasi pada perubahan penafsiran. Seperti

3
Muslim Ibn Hajāj al-Naisaburī, Ṣaḥih Muslim (Dar Ihya‟ al-Turas al-„Arabi, t.th), Juz I,
bab Bayān anna al-Qur‟an „alā Sab‟atu Ahruf wa Bayān Ma‟nahu . no 1355.
4
Abū ja‟far Muhammad bin Jarīr bin Yazīd bin Katsīr bin Ghālib al-Ṭabari yang lebih
populer dengan nama al-Ṭabari atau Abū-Ja‟far. Lahir di Amul (Thabaristan) tahun 224 H./ 839
M. atau 225 H./ 840 M dan wafat tahun 310 H. di Baghdad dalam usia 81 tahun. Kitab agungnya
adalah Jāmi‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an. M. Husain al-Dzahabi, Tafsīr Wa Mufasirūn, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2003) vol I, h. 147.
5
Nama Lengkapnya „Imādu al-Dīn abū al-Fida‟ Ismā‟il ibn Zarā‟ al-Busra al-Dimasyqī,
dengan karangan tafsirnya yang terkenal kitab Tafsīr Ibnu Katsīr. Lihat; M. Husain Al-Dzahabi,
Tafsīr Wa al-Mufassirūn, vol I, h. 242.
6
Beliau merupakan pemuka aliran Mu‟tazilah. Nama lengkapnya „Abdu al-Qāsim
Mahmūd ibn Muhammad ibn Umar al-Khawārizmi al-Zamakhsyarī, beliau mengarang karya
monumental dalam bidang tafsir yang diberi nama Tafsīr Al-Kasysyāf. Lihat; M. Husain Al-
Dzahabi, Tafsīr Wa Mufassirūn, vol I, h. 304. Kedua tokoh ini akan dibahas di dalam skripsi.
3

pendapat Imam Mujāhid di dalam kitabnya Sab‟ah fī Qiraat bahwa qiraat dapat
berpengaruh dalam hukum.
7
.‫ فكاثار التي رويت فى أألحكام‬،‫و ّأما االثار التي رويت فى الحروف‬

“Dan adapun atsar (al-Qur‟an) diriwayatkan dalam huruf-huruf (perbedaan


qiraat), maka atsar juga diriwayatkan dalam hukum-hukum”.

Pendapat seperti ini diperkuat oleh salah satu riwayat:

‫ أخبرنا أبو بكر أحمد بن‬: ‫محمد بن إبراىيم بن أبزون أالنباري ألمقرئ قال‬
ّ ‫ح ّدثنا أبو عبد اهلل أحمد بن‬
"‫ "اختلف الناس في القراءة كما اختلفوا في األحكام‬:‫ قال‬،‫ رحمة اهلل عليو‬،‫موسي بن العباس بن مجاىد‬
.‫ورويت في األثار باالختَلف عن الصحابة والتابعين توسعةً ورحمةً للمسلمين‬

Telah menceritakan pada kami Abū Abdullah Ahmad bin Muhamad bin
Ibrāhim bin Abzun al-Anbāri al-Muqarri berkata, telah menceritakan pada kami
Abū Bakr Ahmad bin Mūsa bin Abbās bin Mujāhid, berkata: “Perselisihan
manusia di bidang qiraat seperti perselisihan di bidang hukum”. Diriwayatkan
juga dalam atsar bahwa perbedaan qiraat di kalangan sahabat dan tabi‟in
menjadikan keluesan dan rahmat bagi kaum muslimin.8

Pendapat ini juga didukung oleh Imam Mujahid yang pernah menyatakan:
9
. ‫احتجت أن أسألو عن كثير مما سألتو عنو‬
ُ ‫قرأت قراءة ابن مسعود قبل أن أسأل ابن عباس ما‬
ُ ‫كنت‬ُ ‫لو‬
Jika saja dulu aku membaca qiraat Ibn Mas‟ūd sebelum bertanya kepada Ibn
„Abbās, maka saya tidak perlu banyak bertanya tentang berbagai persoalan
kepadanya (al-Qur‟an).
Pengaruh qiraat dalam penafsiraan menjadikan seorang mufassir untuk
menafsirkan al-Qur‟an sesuai kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Hal ini
tidak bisa dinafikan, karena bagaimanapun seorang mufassir adalah seorang
manusia, yang hidup dalam politik keberagamannya. Atas dasar asumsi tersebut,

7
Ibnu Mujāhid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, (Mesir:Daarul Ma‟arif) h. 49. Yang
dimaksud huruf di sini ialah wajah qiraat dan perbedaannya diantara para ahli qurra. Serta yang
dimaksudkan ahkam ialah hukum-hukum fiqih (al-fiqhiyyah al-tasyri‟ah).
8
Ibnu Mujāhid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, h. 45.
9
Sebagaimana yang dikutip Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn
h. 33.
4

bisa dikatakan dalam menafsirkan al-Qur‟an, sang mufassir tidak mungkin bisa
melepaskan prejudice-prejudice atau latar belakang kehidupannya. Lebih Jelasnya
bahwa masih sangat kuatnya ideologi-ideologi yang dibawa seorang mufassir
ketika sudah berinteraksi dengan al-Qur‟an.10
Beragam kitab tafsir dari klasik hingga modern yang mencantumkan qiraat
dalam penafsirannya. Diantara berbagai kitab yang mencantumkan qiraat dalam
penafsiran ialah Tafsīr al-Kasysyāf dan Tafsīr Mafātih al-Ghāib. 11 Al-Kasysyāf
merupakan karya monumental Imam al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir.
Sedangkan Mafātih al-Ghāib atau dikenal dengan Tafsīr al-Kabīr merupakan
karya dari Imam al-Rāzi yang hidup di masa pemerintahan khalīfah al-Makmūn.
Keduanya mencantumkan qiraat dalam kitab tafsirnya dan sama-sama mengusung
corak teologis yakni madzhab Mu‟tazilah dan Sunni.
Beberapa ulama telah mengemukakan pendapat bahwa Tafsīr al-Kasysyāf
merupakan tafsir yang bercorak teologi Mu‟tazilah. Seperti yang dikemukakan
Ahmad al-Nayyir, dalam kitab al-Intiṣāf, al-Hafīdz Ibnu Hajar al-Asqalanī, dalam
al-Syāfi fī Takhrīj Ahādīts al-Kasysyāf, dan Syaikh Muhammad Ulyān al-
Marzuki, dalam Hasyīyah Tafsīr al-Kasysyāf dan Masyāhidah Inṣaf „alā
Syawāhid al- Kasysyāf memaparkan bahwa Tafsīr al-Kasysyāf bernuansa teologis
dan cenderung membawa paham ideologi Mu‟tazilah. 12 Letak unsur i‟tizāli dapat
13
ditemukan dalam ayat-ayat usūl al-khamsah. Penafsiran al-Zamakhsyarī
mengenai ayat-ayat yang berkenaan dengan usūl al-khamsah cenderung membela
madzhab teologi yang dianutnya. Namun ketika berhadapan dengan ayat-ayat

10
Salimudin, Tesis “Qiraat dalam Kitab Tafsir: Kajian atas Ayat-ayat
Teologis dalam al-Kasysyaf dan Mafatih al-Gaib,” (Tesis S2 Fakultas Humaniora, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016) h. 5. Baca lebih lengkap dalam Abdul Mustaqim,
Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS. 2012)
11
Kedua Kitab ini yang akan dijadikan bahan peneliitian mengenai ayat-ayat teologis
tentang pelaku dosa besar yang didalamnya terdapat penggunaan qiraat dan menganalisa
implikasinya terhadap penafsiran.
12
Bustami Saladin, “Pro dan Kontra Penafsiran Zamakhsyâri tentang Teologi Mu'tazilah
dalam Tafsîr al-Kasysyâf,” Jurnal al-Ihkam V, No. 1 (Juni 2001): h. 8
13
Usūl al-Khamsah ialah kaidah dasar teologi Mu‟tazilah yang mencakup al-Tauhīd
(meng-Esa-kan Allah), al-Adl (keadilan), al-Wa‟du wa al-Wa‟īd (janji dan ancaman), al-Manzilah
baina Manzilatain (kedudukan diantara dua tempat) dan al-Amr bī al-Ma‟rūf wa al-Nahyi „an
Munkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran).Lihat; Tim Riset Majelis Tinggi Urusan
Islam Mesir, Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia Islam, (Kairo: Al-Majlis Al-A‟la li Al-
Syu‟un Al-Islamiyah, 2007), h. 1119-1128.
5

yang bertentangan dengan paham yang dianutnya, al-Zamakhsyarī terkesan


mencari jalan tengah dengan menakwilkan makna yang tidak berseberangan
dengan kaidah dasar Mu‟tazilah yakni usūl al-khamsah.14
Bersamaan dengan ketenaran Tafsir al-Kasysyāf muncul seorang ahli tafsir
sekaligus filosof terkemuka yang beraliran Sunni yakni Imam Fakhru al-Dīn al-
Rāzi. Beliau merupakan seorang teolog sekaligus filosof terkemuka dengan kitab
tafsirnya Mafātihul Ghāib disebut-sebut sebagai karya terakhir dalam literatur
tafsir yang sebagian besar pembahasan tafsirnya ini lebih kental muatan ilmu
kalam dan filsafat. Dalam menafsirkan al-Qur‟an ia memakai cara ulama-ulama
mutakallimīn, dalilnya ia susun dalam pembahasan ke-Tuhan-an. Penafsirannya
yang panjang lebar mengenai masalah kalam ini memiliki misi untuk menolak
pendapat-pendapat Mu‟tazilah dan sekte-sekte yang sesat dengan hujjah dan
argumen yang mematikan serta mengajukan sanggahan atas tuduhan-tuduhan
orang yang ingkar dan keras hati, yang ujung-ujungnya adalah pembelaan dan
memperkuat posisi Asy‟ariyah. 15 Tafsir ini selalu memperhatikan hal-hal yang
telah disimpulkan oleh aliran Mu‟tazilah dalam metode penafsirannya dan di
setiap waktu menolaknya dengan modelnya sendiri yang sempurna.16
Selain itu, jika ditilik dalam sejarah peradaban keilmuan Islam terkait dengan
tokoh sentral yang menjadi fokus penelitian, yakni al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi
merupakan mufassir yang hidup pada masa abad pertengahan. Jika ditelaah, pada
abad ini merupakan kejayaan dalam bidang keilmuan,17 akan tetapi juga politik
Islam mengalami kemerosotan pada waktu yang bersamaan. Selain keadaan
tersebut, masa ini juga merupakan masa „perdebatan‟ antara madzhab dan aliran
dalam tubuh umat Islam. Masing-masing menganggap bahwa aliran Islamnya-lah

14
Dara Humaira dan Khairun Nisa, “Unsur I‟tizali dalam Tafsir al-Kasysyaf: Kajian
Kritis Metodologis al-Zamakhsyari,” Jurnal Maghza I, No. 1 (Januari-Juni 2016): h. 36-39
15
Muhammad Ali al-Shabuni, al Tibyan Fi Ulumil Qur‟an, Terj Moch Chudori Umar dan
Moh. Matsna HS (Bandung:Ma‟arif, 1996), h. 263
16
Ridhoul Wahidi dan Amaruddin Asra, “Corak Teologis dalam Penafsiran al-Qur‟an,”
Jurnal Syahadah III, no. 3 (April 2014): h. 37-38
17
Dalam Sejarah peradaban Islam tercatat bahwa, ilmu pengetahuan dalam dunia Islam
mengalami perkembangan yang signifikan dengan sikap terbuka, akomodatif dan juga selektif
pada masa dinasti Abbasiyah (750 M -1258 M), dan masa ini lebih dikenal dengan masa „kejayaan
Islam‟. M. Fida Busyro Karim‚ Islam Masa Dinasti Abbasiyah‛ dalam Hanung Hasbullah dkk,
Mozaik Sejarah Islam (Yogyakarta: Nusantara Press. 2011), h. 132.
6

yang paling sesuai dengan kehendak Allah. Mu‟tazilah dengan aliran rasionalnya
menjadi aliran yang lebih dominan, hal ini lebih disebabkan karena ideologi
paham Mu‟tazilah merupakan madzhab resmi negara yang telah diresmikan pada
masa pemerintahan al-Makmūn. 18 Aliran lain seperti Khawārij, Syi‟ah, Sunni
tentunya tetap memperlihatkan eksistensinya, meskipun ajaran mereka tidak
seirama dengan kepemerintahan ketika itu. Tidak bisa dipungkiri, penguatan dan
pembenaran ideologi tersebut, menggunakan al- Qur‟an sebagai senjata ampuh
yang mereka ambil dengan tafsir.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat lebih jauh qiraat dalam penafsiran al-
Zamakhsyarī dalam al-Kasysyāf „an Ḥaqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī
Wujūh al-Ta‟wīl dan Imam al-Rāzi dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib yang akan
difokuskan ke dalam ayat-ayat teologis terutama yang berbicara tentang dosa
besar dan pelaku dosa besar. Oleh sebab itu, dalam penulisan teologis, maka yang
dimaksudkan adalah teologi secara khusus terkait dosa besar dan nasib pelaku
dosa besar seperti kufur, berzina, berputus asa atas rahmat Allah dan lain
sebagainya. adapun ayat-ayat yang dipilih untuk dijadikan acuan adalah ayat-ayat
tentang dosa besar yang di dalamnya terdapat qiraat.
Kedua tokoh tersebut dipilih dengan beberapa pertimbangan. Pertama,
metodologi tafsir yang digunakan keduanya relatif sama, begitu juga dengan corak
19
yang diambil adalah corak teologis. Kedua, al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi

18
Abdul Mustaqim lebih jauh melihat bahwa, dengan madzhab resmi negara yang
bercorak sangat rasional berimplikasi pada bentuk penafsiran al-Qur‟an yang lahir pada masa itu,
yakni bentuk penafsiran yang lebih di tuntut untuk lebih rasional pula (tafsir bi al-Ra‟yi), dengan
kata lain masa ini sudah menawarkan metode baru dalam tafsir al-Qur‟an jika dilihat dari bentuk
dan model penafsiran sebelumnya yang lebih memilih tafsir bi al-ma‟tsur. Abdul Mustaqim,
Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an: Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan,
Hingga Modern-Kontemporer, (Yogyakarta: Adab Press. 2014), .h. 97.
19
Mengenai Corak Penafsiran, Tafsir al-Kasysyaf cenderung bercorak kalam Mu‟tazili
dan Adabi dengan dikemas melalui dialogis, karena hampir disetiap ayat al-Zamakhsyari
menggunakan kata “in qulta? qultu” artinya jika kamu bertanya, saya jawab. Lihat; Anshori.
“Studi Kritis Tafsir al-Kasysyaf,” Jurnal Sosio-Religia VIII, no.3 (Mei 2009): h. 601. Berbanding
terbalik dengan al-Razi yang memiliki corak relatif lebih luas. Dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib
penulis mendapati corak falsafi, fiqhi, i‟tiqādi dan laun „ilmi. Berdasarkan metode dan corak
penafsiran dalam perspektif M. Ridlwan Nasir, Tafsīr Mafātih al-Ghāib termasuk dalam kategori
al-tafsīr bī al-ra‟yi dari segi sumber penafsiran, bayani dari segi cara penjelasan, tafsili dari segi
keluasan penjelasan, tahlili dari segi sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan, dan i‟tiqadi dari segi
kecenderungan aliran, yaitu Asy‟ariyah Sunni. Al-Rāzi dikenal luas sebagai tokoh Asy‟ariyah
yang fanatik, sehingga unsur-unsur teologi Asy‟ariyah bisa ditemukan dalam tafsir ini sebagai
7

merupakan dua tokoh yang memiliki posisi penting dalam sejarah perhelatan kei-
Islaman, terutama terkait aliran keduanya. Keduanya tidak mengenal lelah dalam
membela ideologi yang dianut. Kenyataan tersebut, dapat dilihat dan diidentifikasi
lewat beberapa karya yang dihasilkan. Ketiga, keduanya memiliki pengaruh besar
dalam ilmu-ilmu ke-Islam-an, khususnya dalam bidang ilmu tafsir.20 Keempat, al-
Zamakhsyari dan al-Razi sama-sama memberikan perhatian yang cukup dalam
qiraat. Dengan studi perbandingan, akan ditemukan lebih jauh komentar dan sikap
mereka terkait qiraat, ragam dan kualitas qiraat yang merka gunakan dalam
menafsirkan al-Qur‟an. Begitu juga, penelitian ini lebih jauh akan menganalisa
pencantuman qiraat yang digunakan dalam penafsiran.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditemukan beberapa masalah yang
muncul. Diantaranya sebagai berikut:
1. Berkaitan dengan kaidah mufassir dalam menggunakan qiraat sebagai
sumber tafsir.
2. Ragam qiraat dalam kitab tafsir.
3. Berkaitan dengan implikasi penggunaan qiraat dalam penafsiran al-
Qur‟an.

pembelaannya terhadap akidahnya. Lihat penjelasan lengkap; Mohammad Subhan Zamzami.


“Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual Islam,” Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis
IV, No. 1, (Juni 2014): h.174
20
Imam al-Zamakhsyarī memang seorang yang ahli dalam bidang kebahasaan, seperti
sastra, balāghah, nahwu dan ilmu kebahasaan Arab lainnya. Maka tidak heran jika penafsirannya
banyak terpengaruh dari bahasa. Quraish Shihab dalam catatannya merekomendasikan bahwa al-
Kasysyaf sangat bagus bagi kalangan mahasiswa, karena kitab tersebut sangat teliti dalam
kebahasaan. Al-Dzahabi juga mengomentari kitab ini bahwa penafsiran al-Zamakhsyari lebih
berorientasi pada balaghah dan kebahasaan ialah untuk mengungkapkan sisi keindahan yang
terkandung dalam al-Qur‟an. Lihat; Dara Humaira dan Khairun Nisa, “Unsur I‟tizali dalam Tafsir
al-Kasysyaf: Kajian Kritis Metodologis al-Zamakhsyari,” Jurnal Maghza Ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir UIN sunan kalijaga I, no. 1 (Januari-Juni 2016): h. 35. Lihat juga; al-Dzahabi, Tafsir wa al-
Mufassirun, h. 365-366. Demikian juga dengan al-Razi, para mufassir belakangan banyak yang
merujuk pada Tafsir al-Kabir. Banyak penemuan ilmiah yang lahir dari pengkajian Tafsir Mafatih
Al-Gaib, diantara yang merujuk pada tafsir ini adalah Tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid
Ridha, Ruhul Ma‟ani karya al-Alusi dan lain sebagainya. Gambaran tersebut memperlihatkan
bahwa beliau sangat berpengaruh besar dalam dunia Islam, karena bagaimanapun pemahaman
Islam saat ini tidak bisa lepas dari hasil temuan dan rumusan al-Razi. Aswadi. “Konsep Syifa
dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya Fakhruddin al-Razi,” (Tesis S2 Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta), 2007. h. 72-73
8

4. Latar belakang al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi menggunakan qiraat dalam


penafsiran.
5. Berkenaan dengan pemanfaatan pencantuman qiraat sebagai alat tafsir.
6. Pengaruh madzhab teologi Mu‟tazilah dan Sunni terhadap penafsiran
al-Qur‟an.
7. Berkaitan dengan kecenderungan mufassir dalam memilih qiraat
tertentu.
8. Sikap mufassir terhadap ayat muhkamat dan mutasyabihat.
9. Dampak ideologi madzhab mufassir terhadap penafsiran.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Identifikasi masalah di atas sangatlah kompleks. Apabila dibahas dalam satu
penelitian pembahasannya tidak terfokus. Maka dari itu diperlukan adanya
pembatasan masalah. Diperlukannya pembatasan masalah agar penelitian ini lebih
terarah dan pembahasannya bisa fokus serta maksimal. Adapun penelitian ini
memiliki batasan masalah yakni, bagaimana pencantuman qiraat dan seberapa
pengaruh ideologi madzhab dalam penafsiran ayat-ayat teologis dosa besar dan
pelaku dosa besar dalam Tafsīr al-Kasysyāf dan Tafsīr Mafātih al-Ghāib?
D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki beberapa
tujuan, diantaranya:
1. Mengungkap penggunaan ragam qiraat dalam ayat-ayat teologis terkait
dosa besar dan nasib pelaku dosa besar dan pengaruhnya terhadap
penafsiran.
2. Mengungkap pengaruh aliran teologis mufassir dalam menggunakan
qiraat sebagai alternatif pencarian makna dan pembelaan terhadap
madzhab.

Adapun signifikansi penelitian ini ialah sebagai berikut:

1. Secara teoritis subtansi, penelitian ini diharapkan dapat menambah


khazanah keilmuan bagi sarjana ilmu studi al-Qur‟an dan Tafsir.
Sekaligus menjadi bahan perbandingan bagi peneliti berikutnya.
9

2. Secara praktis, penelitian ini diaharapkan dapat memberikan wawasan


terhadap masyarakat umum, terutama mahasiswa tafsir hadis tentang
ilmu qiraat dan penggunaanya di beberapa kitab tafsir sebagai salah
satu instrumen dalam menafsirkan al-Qur‟an.
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian adalah salah satu upaya yang ditempuh oleh seorang peneliti
melalui prosedur dan kaidah-kaidah dalam penelitian. 21 Adapun macam-macam
penelitian bisa berupa dengan merode kualitatif dan kuantitatif. Oleh karena itu,
untuk menghasilkan data yang objektif dan akurat, penulis menggunakan metode
sebagai berikut:
1. Jenis dan Objek Penelitian
Jenis penelitian ini berupa penelitian pustaka (library research), yaitu
penelitian kualitatif berdasarkan olah data berupa kata bukan angka. Maka dari
itu penelitian ini termasuk penelitian yang mengarah pada eksplorasi yang
mendalam mengenai data-data yang terkait. 22 Fokus objek kajian yang diteliti
seputar pencantuman qiraat terhadap ayat-ayat teologis dosa besar dan nasib
pelaku dosa besar dalam Tafsīr al-Kasysyāf dan Tafsīr Mafātih al-Ghāib.
Meninjau lebih lanjut bagaimana peran aliran teologis seorang mufassir terhadap
penafsirannya dengan menggunakan qiraat sebagai alat untuk menafsirkan al-
Qur‟an.
2. Sumber Data
Penulis mengklasifikasikan sumber data yang digunakan menjadi dua sumber,
sebagai berikut:
a. Data Primer, yang digunakan ialah Tafsīr al-Kasysyāf karya Imam al-
Zamakhsyarī dan Tafsīr Mafātih al-Ghāib karya Imam Fakhru al-Din al-
Rāzi.
b. Data Sekunder, yaitu data pendukung yang terkait penelitian, seperti
buku atau kitab ulūm al-Qur‟an, illmu tafsir, ilmu qiraat, ensiklopedi

21
Moh Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama, h. 61.
22
Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1995) Jilid 1, h. 3.
10

Islam, ilmu kalam, jurnal serta karya ilmiah yang mendukung penelitian
ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan penulis adalah model dokumentasi. Model
dokumentasi merupakan salah satu jenis model pengumpulan data dengan
melakukan aksi memindai, mengambil atau mencari dari sumber data dari
beberapa dokumen, bisa berupa kitab-kitab, majalah, jurnal, artikel, surat kabar,
arsip dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian ini.23
Agar memudahkan pengumpulan data, penulis memfokuskan pengumpulan
data berdasarkan urutan sebagai berikut:
a. Meneliti ayat-ayat yang bernuansa teologis yakni dalil atau ayat-ayat yang
berkenaan tentang dosa besar dan nasib pelaku dosa besar.
b. Mengelompokkan penggunaan qiraat yang berimplikasi pada penafsiran
dan yang tidak memiliki pengaruh pada perubahan makna.
c mengkomparasikan data yang diperoleh.
d. Menganalisa hasil temuan.
4. Teknik Analisis Data
Analisa data merupakan usaha untuk manarik sebuah kesimpulan dari sebuah
bacaan, buku, jurnal atau yang lain sebagainya dengan melakukan serangkaian
prosedur secara objektif dan sistematis.
Adapun pendekatan yang digunakan penulis dalam menganalisa data penelitian
ini adalah dengan menggunakan pendekatan deskriptis-analisis. Deskriptis berarti
menggambarkan atau melukiskan keadaan objek yang dikaji sesuai dengan fakta
atau memberikan data yang ada serta memberikan penjelasan terhadapnya. 24
Sedangkan analisis berarti proses mencari kesimpulan dari penelitian melalui
perincian terhadap objek yang dikaji atau memilah-milah pengertian dari beberapa
pengertian untuk mencari kejelasan hal yang diteliti.25

23
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1993), h. 202.
24
Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajah Mada
University, 1996), h. 73.
25
Anton Baker dan Ahmad Chairuz Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), h. 27.
11

F. Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian terdahulu yang membahas tentang pengaruh qiraat
terhadap penafsiran al-Qur‟an diantaranya sebagai berikut:
1. Salimudin, 2016. Lulusan magister UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan
tesisnya yang berjudul “Qiraat dalam Kitab Tafsir (Kajian Ayat-ayat
Teologis dalam al-Kasysyāf dan Mafātih al-Ghāib)”. Tesis ini membahas
seputar pengaruh qiraat dalam kajian ayat-ayat teologis tentang irādah Allah
dan af‟āl al-ibād dengan membandingkan pemikiran dua tokoh yang
memiliki aliran berbeda, yakni Mu‟tazilah dan Sunni. Dalam
kesimpulannya, antara tafsir dan madzhab mufassir memiliki keterkaitan.
Adanya dua model tali rantai antara al-Qur‟an dengan madzhab yakni,
perbedaan pemahaman al-Qur‟an berimplikasi kepada perbedaan madzhab
atau aliran. Atau bisa juga perbedaan madzhab akan berimplikasi pada
perbedaan pemahaman terhadap al-Qur‟an. Kedua kitab tafsir lebih
mencerminkan kepada model kedua atas dasar keduanya hadir sama-sama
dalam rangka membela masing-masing madzhab. Dan tidak bisa dinafikan,
qiraat sebagai salah satu „alat‟ tersebut.
Penelitian ini mengungkap persamaan dan perbedaan kedua tokoh dalam
menggunakan qiraat sebagai alat tafsir. Persamaannya adalah meliputi qiraat
sebagai sumber penafsiran al-Qur‟an, alternatif pencarian makna, dan
sebagai pembelaan terhadap madzhab. Adapun perbedaannya seperti
pemahaman mengenai qiraat, seperti al-Rāzi berpendapat bahwa qiraat
bersifat tauqifī sementara al-Zamakhsyari beragumen qiraat bersifat ijtihadī.
Al-Zamakhsyarī dalam qiraat lebih konsen ke qawāi‟d nahwiyah sedangkan
al-Rāzi fokus terhadap periwayatan qiraat.
2. Muhammad Alaika Nasrulloh, 2011. Dalam tesisnya yang berjudul
“Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Penafsiran al-Qur‟an (Studi
Qiraat Sab‟ah pada Kitab tafsir al-Mishbah Karya Quraish Shihab)” IAIN
Sunan Ampel Surabaya. Tesis ini juga membahas seputar kecenderungan
mufassir dalam menggunakan salah satu qiraat sebagai instrument
12

penafsiran al-Qur‟an, serta kaidah yang digunakan Quraish Shihab terhadap


perbedaan qiraat dalam menafsirkan al-Qur‟an.
Dalam kesimpulannya, Quraish Shihab mencantumkan qiraat sebagai alat
tafsir bila dalam perbedaan qiraat tersebut menimbulkan perbedaan makna.
Namun beliau tidak pernah menjelaskan wajh al-qiraat tersebut disandarkan
kepada imam qiraat yang mana. Beliau juga terkadang tidak menyinggung
perbedaan bacaan tersebut bila mana perbedaan tersebut dianggap tidak
memiliki signifikansi perbedaan makna. Quraish Shihab juga memiliki
kecenderungan dalam menggunakan qiraat riwayat Ḥafs. Hal ini
dikarenakan qiraat Ḥafs sangat masyhur dipakai di Indonesia.
3. Afriadi Putra, 2015. Tesis yang berjudul “Perbedaan qiraat dan
Implikasinya terhadap Penafsiran al-Qur‟an (Studi Kitab Tarjuman al-
Mustafid Surat al-Baqarah)” UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam
tesisnya membahas berbagai ragam qiraat yang difokuskan dalam surat al-
Baqarah dalam tafsir Tarjuman al-Mustafid serta pengaruhnya terhadap
penafsiran. Penelitian ini juga membahas seberapa jauh pengaruh mufassir
dalam menggunakan qiraat sebagai alat tafsir di era awal Islam di Indonesia.
Penelitian ini mengkaji peran Abdul Ra‟uf al-Sinkili sebagai ulama
pertama dalam sejarah penulis kitab tafsir di Indonesia yang menggunakan
qiraat sebagai alat tafsir sekaligus pengenalan qiraat sebagai alat bantu
tafsir. Selain itu juga, tesis ini membahas pengaruh mufassir dalam
menggunakan qiraat sebagai sumber tafsir, seperti aspek teologis,
kebahasaan, fiqih, dan lain sebagainya. Penelitiaan ini menyebutkan
terdapat 78 ayat yang meliputi kaidah qiraat usūl (tajwid) dan qiraat farsy
(kaidah khusus) dalam surat al-Baqarah.
4. Muhammad Abdul Ghofir. 2015. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan
judul skripsinya “Penggunaan Qiraat dalam Surat al-Nisa (Studi Kitab al-
Kasysyaf „an Haqaiq al-Tanzil wa „Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta‟wil
Karya Imam al-Zamkhsyari).
Skripsi ini membahas tentang penggunaan qiraat dalam Tafsir al-
Kasysyāf yang difokuskan pada surat al-Nisā. Pada kesimpulannya, al-
13

Zamakhsyarī merupakan tokoh yang fanatik terhadap madzhab Mu‟tazilah.


Hal itu terbukti dari berbagai upaya yang dilakukan Zamakhsyarī untuk
membela alirannya dengan menggunakan qiraat sebagai alat bantu tafsirnya
dan Imam al-Zamakhsyarī tidak memperhatikan kualitas sanad qiraat yang
dipakai dalam menafsirkan al-Qur‟an.
G. Sistematika Penulisan
Dalam melakukan penelitian, sistematika penulisan sangat diperlukan guna
mempermudah pemahaman, serta agar penelitian lebih terarah. Oleh karena itu,
kerangka sistematika penelitian ini dituangkan dalam beberapa bab dan subbab,
sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan dalam penelitian yang meliputi uraian
tentang hal-hal pokok yang mendasari penelitian. Dalam pendahuluan tersebut
terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah,
tujuan dan signifikansi penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua, memuat tentang kajian yang terkait dengan ilmu qiraat dan tafsir.
Dalam kajian tersebut dijelaskan tentang segala hal yang berkenaan dengan qiraat
yaitu tentang pengertian qiraat, kualitas dan kuantitas qiraat. Selain itu dalam bab
ini juga menerangkan mengenai pengertian tafsir, corak dalam tafsir, ideology
madzhab dalam tafsir dan hubungan antara qiraat dan tafsir.
Bab ketiga, mengkaji tentang biografi Imam al-Zamakhsyarī dan Imam Fakhru
al-Dīn al-Rāzi, metode penulisan dan corak Tafsīr al-Kasysyāf dan Tafsīr Mafātih
al-Ghāib, serta qiraat dalam dua kitab tersebut.
Bab keempat, membahas tentang data penelitian serta analisanya, yaitu
meneliti pencantuman qiraat pada ayat-ayat teologis tentang pelaku dosa besar
dalam kitab Tafsīr al-Kasysyāf dan Tafsīr Mafātih al-Ghāib.
Bab kelima, berisi tentang penutup, yang meliputi kesimpulan dan saran-saran,
yang terkait dengan hasil kajian dari penelitian ini.
BAB II

QIRAAT DAN TAFSIR

A. Qiraat
1. Pengertian Qiraat
Qiraat secara bahasa merupakan maṣdar (verbal noun) dari kata qaraa dan
jama‟ dari qiraah yang berarti „bacaan‟.26 Menurut istilah, qiraat adalah salah satu
madzhab (aliran) pengucapan Qur‟an yang dipilih salah seorang imam qurra‟
sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan lainnya. Qiraat ini ditetapkan
bedasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasūlullah Saw.27
Senada dengan Manna‟ Khalīl al-Qattan, al- Ṣabuni mengemukakan bahwa
qiraat adalah suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur‟an, yang
diikuti oleh salah seorang imam qiraat yang berbeda dengan madzhab lainnya,
berdasarkan pada sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi
Muhammad Saw.28
Berbanding jauh dengan pengertian menurut al-Zarkasyī yang nampaknya
hanya menekankan pada lafal-lafal al-Qur‟an yang memiliki perbedaan qiraat.
Menurutnya, bahwa qiraat ialah perbedaan lafal-lafal al-Qur‟an yang tercantum di
dalamnya huruf-huruf dan cara membacanya.
‫محمد صلّى اهلل عليو وسلّم‬
ّ ‫ فالقرأن ىو الوحي المنزل على‬،‫واعلم أ ّن القرأن والقراءات حقيقتان متغايرتان‬
‫ من تخفيف‬:‫ والقراءات ىي اختالف ألفاظ الوحي المذكور فى كتبو الحروف أو كيفيتها‬،‫للبيان واإلعجاز‬
.‫وتثقيل وغيرىما‬
“Dan ketahuilah bahwa al-Qur‟an dan qiraat hakikatnya keduanya berbeda.
Jika al-Qur‟an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
sebagai penjelasan dan mukjizat, sedangkan qiraat merupakan perdebatan lafal-
lafal al-Qur‟an yang di dalamnya menyangkut huruf-huruf maupun cara

26
Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, (Bogor: Lintera AntarNusa, 2007)
h. 247. Juga: Ṣabuni, Muhammad Ali, al-Tibyān fi Ulūm al-Qur‟an, terj. Moch Chudori Umar dan
Moh. Matsna HS, (Bandung: Ma‟ ārif, tt), 1996 h. 223.
27
Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, h. 247
28
Muhammad Ali al-Ṣabuni, Al-Tibyān fī 'Ulūm al-Qur‟an, (Beirut: Alam al-Kutb,
1985), 229.

14
15

pengucapan huruf-huruf tersebut seperti takhfīf (meringankan), tatsqīl


29
(memberatkan) dan lain sebagainya.
Terdapat beberapa pandangan ulama mengenai pengertian qiraat. Adapun
pandangan mengenai pengertian qiraat menurut al-Dimyaṭi dan Imam
Syihābuddin al-Qusṭalānī menurut penulis memiliki pengertian yang melengkapi
dari berbagai pengertian di atas. Adapun pandangan al-Dimyati dan Imam
Syihābuddin al-Qusṭalānī sebagaimana dikutip oleh Hasanuddin AF, bahwa qiraat
adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafal-lafal al-Qur‟an, baik
yang disepakati maupun yang masih diperdebatkan di kalangan para ahli qiraat,
yang menyangkut kebahasaan, seperti; i‟rāb (susunan kata) hadzf (membuang
huruf), itsbāt (menetapkan huruf), tahrīk (memberi harakat), taskīn (memberi
tanda sukun), faṣl (memisahkan huruf), waṣl (menyambungkan huruf), ibdāl
(menggantikan huruf atau lafal tertentu), dan lain-lain yang diperoleh melalui al-
simā‟ (indera pendengaran) wa al-Naql (artinya qiraat dibacakan dihadapan Nabi
kemudian Nabi Muhammad Saw. men-taqrīr-kan (membenarkan/menetapkan).30
Berdasarkan beragam definisi qiraat diatas, dapat disimpulkan bahwa makna
qiraat meliputi beberapa aspek. Pertama, cara pengucapan lafal-lafal al-Qur‟an
seperti yang pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw. atau oleh sahabat di
hadapan beliau yang disetujuinya. Kedua, qiraat itu berasal dari Nabi Muhammad
Saw. baik secara fi‟liyyah (peragaan praktis) maupun taqrīr (rekomendasi atau
persetujuan). Ketiga, qiraat itu bisa terdiri satu atau lebih dari satu versi bacaan.
Keempat, qiraat merupakan madzhab/aliran cara pengucapan dan memiliki sanad
yang bersambung sampai Rasūlullah Saw.
2. Sejarah Munculnya Qiraat
Para ulama mempunyai kesimpulan yang berbeda-beda tentang kepastian
munculnya qiraat. Sebagian ulama berpendapat bahwa qiraat muncul pertama kali

29
Badru al-Dīn Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyī, al-Burhān fī Ulūmi al-Qur‟an,
(Maktabah Dār al-Turāts tt), juz I, h. 318.
30
Hasanuddin AF, Perbedaan Qira‟at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbaṭ Hukum dalam
al-Qur‟an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995. h. 112-113. Lihat juga: Al-Faḍl, Abdul Hādi, al-
Qiraat al-Quraniyat, Beirut: Dār al-Majma al-„Ilmi, 1979, h. 63. Juga: Syihābuddin al-Qusṭalānī,
Laṭāif al-Isyārat li Funūn al-Qur‟an al-Qiraat, (Kairo: tt, tt) h. 170.
16

di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur‟an. Sebagian ulama yang lain


mengatakan qiraat muncul setelah Rasulullah hijrah ke Madinah. Sejumlah ulama
yang berpandangan bahwa qiraat muncul di Makkah didasari dengan bukti bahwa
sebagian besar surat-surat al-Qur‟an adalah Makkiyah, yang di dalamnya
tercantum permasalahan qiraat sebagaimana juga yang terdapat pada surat-surat
Madaniyah. Dapat diambil kesimpulan bahwa qiraat sudah ada bersamaan dengan
turunnya al-Qur‟an di Makkah sebelum Nabi hijrah ke Madinah.31 Adapun hadis
yang memperkuat bahwa qiraat muncul pertama kali di Makkah sebagaimana
yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.32
Bahwasanya Umar bin Khatab berkata, “Pada masa Rasulullah, aku
pernah mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membacakan surat al-
Furqan, maka aku pun mendengarkan bacaannya dengan seksama. Dan
ternyata ia membacanya dengan huruf (bacaan) yang begitu banyak, yang
Rasulullah sendiri belum membacakan bacaan seperti itu padaku, maka
aku pun ingin segera menyergapnya saat salat. Namun aku menunggunya
hingga salam dan langsung meninting lengan bajunya seraya bertanya,
“Siapa yang membacakan surat ini padamu?” ia menjawab, “Rasulullah
yang membacakannya padaku.” Maka kukatakan padanya, “Kamu telah
berdusta, demi Allah, sesungguhnya Rasulullah telah membacakan surat
yang telah aku dengar ini darimu-padaku.” Maka aku pun segera
membawanya menghadap Rasulullah. Aku berkata, “Wahai Rasulullah,
aku mendengar orang ini membaca surat al-Furqan dengan cara baca
yang belum Anda ajarkan padaku.” Akhirnya Rasulullah bersabda,
“Wahai Hisyam, bacalah surat itu.” Maka Hisyam pun membacanya
dengan bacaan yang telah aku dengar sebelumnya. Lalu Rasulullah
bersabda, “Seperti inilah surat itu diturunkan.” Kemudian beliau
bersabda lagi, “Bacalah wahai Umar.” Lalu aku pun membacanya
sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah. Kemudian Rasulullah

31
Ahmat Saepuloh “Qiraat Pada Masa Awal Islam,” Jurnal Episteme IX, No. 1, (Juni
2014): h. 29.
32
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, jilid IV, (Beirut: Dar Ibnu Katsir al-Yamamah, 1987), h. 1923.
17

bersabda, “Seperti ini pulalah ia diturunkan.” Dan Rasulullah


menambahkan, “al-Qur‟an diturunkan dengan sab‟ah ahruf (tujuh dialek)
karena itu bacalah sesuai kemampuan kalian.”
Hadis di atas membahas mengenai bacaan Hisyam yang dianggap aneh oleh
Umar bin Khattab tentang surat al-Furqan. Adapun al-Furqan termasuk dalam
surat Makkiyah. Dapat disimpulkan bahwa qiraat sudah ada semenjak al-Qur‟an
diturunkan di Makkah.
Sebagian ulama juga berpendapat bahwa awal kemunculan qiraat diturunkan
di Madinah pasca peristiwa hijrah. Pada masa ini orang-orang yang masuk Islam
sudah banyak dan saling berbeda dakam ungkapan bahasa Arab dan dialeknya.
Sehingga Allah Swt. memberikan kemudahan kepada umat Islam untuk membaca
al-Qur‟an dengan tujuh huruf.33 Pendapat ini diperkuat dengan oleh hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Sahih-nya,34 demikian juga Ibnu
Jarir dalam kitab tafsirnya: 35
“Dari Ubay bin Ka‟b r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw. ketika berada di
tempat sumber air Bani Giffar mengatakan bahwa Jibril mendatanginya
dan berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkan engkau untuk
mengajarkan al-Qur‟an kepada umatmu dalam satu huruf.” Lalu Nabi
berkata: Aku memohon kepada Allah ampunan dan kemurahan-Nya.
“Sesungguhnya umatku tidak sanggup yang demikian itu (bacaan al-
Qur‟an hanya satu huruf).” Kemudian Jibril datang yang kedua kalinya
dan berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkan engkau untuk
mengajarkan al-Qur‟an kepada umatmu dalam satu huruf.” Nabi pun
berkata: Aku memohon kepada Allah ampunan dan kemurahan-Nya.
“Sesungguhnya umatku tidak sanggup yang demikian itu (bacaan al-
Qur‟an hanya sat u huruf).”

33
Sya‟ban Muhammad Ismail, Mengenal al-Qur‟an, terj. Said Agil Husin al-Munawwar
(Semarang: Dina Utama, 1993), h. 60-61. Lihat: Sayyid Rizq al-Tawil, Fi Ulum al-Qiraat:
Madkhal wa Dirasah wa Tahqiq, (Mekkah: Maktabah al-Faisiliyah, 1985), h. 32-33.
34
Hadis lengkapnya lihat di Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj al-Naisaburi, al-Jami‟ al-
Sahih, juz II (Beirut: Dar al-Jalil, t.t.), h. 203.
35
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir al-Tabari Jami‟ al-Bayan min Ta‟wil
al-Qur‟an, tahqiq Mahmud Muhammad Syakir, Juz I, cet. 2. (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, t.t.),
h. 40.
18

Hadis di atas mengisyaratkan bahwa ragam qiraat sab‟ah muncul di kota


Madinah pada masa hijrah. Hal ini diperkuat dengan letak sumber air Bani Giffar
yang berada di kota Madinah.
Masing-masing versi pendapat kemunculan qiraat memiliki dasar yang sama-
sama kuat. Namun dari perbedaan pendapat awal kemunculan qiraat tersebut
masih dapat dikompromikan. Munculnya qiraat di Mekkah bersamaan dengan
diturunkannya al-Qur‟an. Akan tetapi saat itu qiraat belum dibutuhkan karena
belum ada perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah yakni Quraisy. Qiraat
mulai dipakai setelah Nabi Muhammad Saw. di Madinah, di mana mulai banyak
orang yang masuk Islam dari berbagai kabilah yang bermacam-macam dengan
dialek yang berbeda.36
Menurut pendapat yang paling rajih (unggul) mengatakan, al-Qur‟an
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. secara berangsur-angsur sekitar 23
tahun; 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah.37 Semenjak Rasululullah
Saw. menerima wahyu, beliau mengajarkan ayat-ayat tersebut kepada para
sahabatnya. Kemudian para sahabat mendengarkan dengan seksama bagaimana
Rasululullah membaca (tilawah) dan segala yang disampaikan olehnya. Pada saat
mengajarkan kepada para sahabat, Nabi menggunakan huruf yang berbeda-beda
sesuai dengan kemampuan para sahabat, agar mereka tidak mengalami kesulitan
dalam membaca al-Qur‟an. Akibatnya, para sahabat mendapati al-Qur‟an dengan
bacaan yang beragam. Beberapa sahabat mendapatkan bacaan hanya satu huruf
saja, sedangkan sahabat lainnya mendapatkan lebih dari satu versi bacaan.
Sehingga para sahabat membaca al-Qur‟an dengan huruf yang berbeda-beda
sesuai dengan yang mereka dapatkan dari Rasulullah. Perbedaan bacaan ini tidak
jarang menimbulkan perdebatan di kalangan para sahabat sendiri, akan tetapi
mereka mengklarifikasi bacaannya kepada Rasulullah Saw, kemudain Rasulullah
membenarkan semuanya.38

36
Abduh al-Rajihi, al-Lahjah al-„Arabiyyah fi al-Qiraat al-Qur‟aniyyah, (Alexandria:
Dar al-Ma‟rifat al-Jami‟iyyah, 1996), h. 69.
37
Nabil bin Muhammad Ibrahim „Ali Isma‟il, „Ilm al-Qiraat: Nasy‟atuhu Atwaruhu-
Atsaruhu fi „Ilm al-Syari‟ah, (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1419), h. 65.
38
Sayyid Rizq al-Tawil, Fi Ulum al-Qiraat: Madkhal wa Dirasah wa Tahqiq, h. 31.
19

Adapun berbagai qiraat memang dinisbatkan kepada orang-orang tertentu,


seperti qiraat Nafi, Ibnu Katsir, „Ashim dan lain sebagainya. Namun penisbatan
ini bukanlah karena qiraat itu merupakan hasil ijtihad mereka sendiri, melainkan
hasil pilihan mereka terhadap satu qiraat dari berbagai ragam versi qiraat yang
telah ada dengan sanad yang bersambung sampai kepada Rasulullah Saw. Mereka
juga berupaya mendalami ilmu qiraat serta menyebarluaskan bacaannya kepada
masyarakat, sehingga bacaan tersebut dinisbatkan oleh masyarakat terhadap
mereka.39
Oleh sebab itu, sungguh keliru jika orang-orang menyangka bahwa qiraat
hanyalah bacaan al-Qur‟an yang beragam muncul karena perbedaan bahasa dan
logat semata atau karena tulisannya pada mulanya tidak bersyakal. 40 Thoha
Husein misalnya, mengatakan bahwa qiraat sab‟ah bukan bersumber dari wahyu,
sehingga orang yang mengingkarinya tidak dianggap kafir. Menurutnya, sumber
qiraat adalah perbedaan lahjah (logat) sehingga boleh diingkari dan boleh
diperdebatkan.
Hal ini diperkuat oleh hadis Sa‟id bin Mansur dalam Sunan-nya. Berkata Abu
„Amr Al-Dani, “Para imam qiraat tidak memperlakukan sedikitpun huruf-huruf
Qur‟an menurut aturan yang popular dalam dunia kebahasaan dan paling sesuai
dengan kaidah bahasa Arab, akan tetapi pendapat paling shahih dalam
periwayatan dan penukilan. Karena itu bila riwayat mutawatir, maka aturan
kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak atau mengingkarinya,
sebab qiraat merupakan sunnah muttaba‟ah dan wajib diterima seutuhnya serta

39
Imam al-Qoisy dalam bukunya al-Ibanah mengajukan pertanyaan apa sebab yang
menjadikan banyaknya perbedaan qiraat diantara ulama. Masing-masing memilih bacaannya
sendiri yang sesuai dengan bacaan gurunya. Beliau menjawab perkataan tersebut dengan
mengatakan bahwa masing-masing qari‟ menerima bacaan dari beberapa ulama yang berbeda, juga
berbeda qiraatnya. Kemudian masing-masing mengajarkan qiraat tersebut kepada murid-muridnya,
sehingga tersebarlah beragam qiraat di masyarakat. Al-Qoisy, al-Ibanah, h. 61-62. Sebagaimana
dinukil dari Kholik Abdur rahman al-A‟k, Ushul al-Tafsir wa Qawaiduhu, 2007, h. 440.
Lihat:Faizah Ali Syibromalisi, Pengaruh Qiraat terhadap Penafsiran, h. 2.
40
Thoha Husein, al-Adab al-Jahili, h. 98-99. Al-Thohawi mengomentari al-ahruf al-
sab‟ah adalah rukhsah (keringanan), dikarenakan sulit bagi seseorang membaca dengan lafaz yang
sama, karena mereka tidak pandai memahami tulisan. Kemudian qiraat sab‟ah dinasakh dengan
hilangnya kesulitan yang mereka hadapi pada masa awal Islam yang kemudian diperolehnya
kemudahan dalam tulisan. Berdasarkan paparan di atas, kedua pendapat ini jelaslah keliru. Lihat:
Faizah Ali Syibromalisi, Pengaruh Qiraat terhadap Penafsiran, h. 2.
20

dijadikan sumber acuan”. Seperti ucapan Zaid bin Tsabit ”Qiraat adalah sunnah
muttaba‟ah, sunnah yang harus diikuti.”41
Uraian di atas menarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan kapan tepatnya
qiraat mulai diturunkan. Sebagian ulama mengatakan qiraat muncul pertama kali
di Makkah. Sebagian ulama juga mengemukakan bahwa qiraat diturunkan di
Madinah dengan keterangan hadis yang lokasinya berada di Madinah. Adapun
pendapat yang lebih unggul menurut para ulama adalah qiraat muncul bersamaan
dengan turunnya al-Qur‟an yakni selama 23 tahun yakni 13 tahun di Makkah dan
10 tahun di Madinah. Selain itu, kemunculan beragam qiraat murni bersumber
dari Rasululullah Saw. yang kemudian dinisbatkan oleh masyarakat terhadap para
qurra (imam qiraat).
3. Kualitas dan Kuantitas Qiraat
a. Qiraat Ditinjau dari Segi Kualitas
Sebagian ulama menyimpulkan kualitas qiraat menjadi enam macam.
1. Mutawatir, yaitu qiraat yang dinukil oleh banyak periwayat yang tidak
mungkin besepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung sampai
Rasūlulllah Saw.
2. Masyhūr, yakni qiraat yang ṣahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat
mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Utsmani serta
masyhur dikalangan para qurra. Para ulama menyebutkan bahwa qiraat
semacam ini termasuk qiraat yang dapat dipakai atau digunakan
3. Ahād, adalah qiraat yang sanadnya menyalahi rasam Utsmani, menyalahi
kaidah bahasa Arab dan tidak terkenal dikalangan para ahli qiraat.
Contohnya seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi
ٍ ‫ض ٍر و َعباقَ ِري ِحس‬
membaca ‫ان‬ َ ‫ئين على َرفَا ِر‬ ِ
َ َ َ َ ْ ‫ف ُخ‬ َ ‫( ُمتّك‬al-Rahman (55):76), dan yang
diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ia membaca ‫ول ِم ْن أَنْ َف ِس ُك ْم‬
ٌ ‫اء ُك ْم َر ُس‬
َ ‫( لَ َق ْد َج‬al-
Taubah (9):128), dengan membaca fathah pada huruf fa‟.

41
Mansur dalam Sunan-nya. Lihat; Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, h.
17
21

4. Syadz, yaitu qiraat yang tidak ṣahih sanadnya, seperti qiraat ‫ك يَ ْوَم الدِّيْ ِن‬
َ َ‫( َمل‬al-

Fatihah (1):4), dengan bentuk fi‟il madli dan menasabkan lafaz ‫يَ ْوَم‬.

5. Mauḍū‟, yaitu qiraat yang tidak memiliki asal. Seperti qiraat yang dihimpun
oleh Muhammad Ibn Ja‟far al-Khuzai‟i (w. 408 H) yang menurutnya
digolongkan pada Abu Hanifah. Contohnya adalah bacaan “Innama yakhsya
llahu min „ibadihi al-ulama‟a,” yang semestinya dibaca sebagaimana ayat
berikut.

           
6. Mudraj, yaitu bacaan yang diambahkan ke dalam qiraat sebagai penafsiran.
Seperti qiraat Ibn Abbas: ‫ضتُم ِم ْن‬
ْ َ‫الح ِّج فَِإذَا أف‬ ِ ِ ِ ْ َ‫لَيس علَي ُكم جناح أ ْن تَبت غُوا ف‬
َ ‫ضالً م ْن َربِّ ُكم فى َم َواس ِم‬ َْ ٌ َ ُ ْ ْ َ َ ْ
ِ ‫ فى مو‬adalah penafsiran yang
ٍ َ‫( َعرف‬al-Baqarah (2):198), kalimat ‫اس ِم الح ِّج‬
‫ات‬ َ َ ََ
disisipkan ke dalam ayat.42
b. Qiraat Ditinjau dari Segi Kuantitas
Sedangkan klasifikasi qiraat berdasarkan jumlah perawi adalah sebagai
berikut:
1. Al-Qiraat al-Sab‟ (Qiraat Sab‟ah): adalah qiraat yang diriwayatkan oleh
tujuh imam qiraat yang sudah maklum.
a. Imam qiraat yang masyhur di kota Madinah, Abū Abdurrahman Nāfi‟
bin Abī „Abdurrahman bin Abī Nu‟aim. Beliau berguru kepada
„Abdurrahman bin Hurmuz al-„Araj, Abī Hurairah, Ibnu „Abbās dan
Abū Ja‟far al-Qa‟qa‟. Adapun Muridnya adalah „Isa bin Munya Qālun
dan Utsmān bin Sa‟īd yang memiliki laqab Warasy.
b. Imam qiraat yang masyhur di kota Makkah, „Abdullah ibn Katsīr.
Qiraat beliau diriwayatkan oleh dua orang muridnya yang bernama al-
Bāzi dan Qunbūl.
c. Imam qiraat yang masyhur di kota Syam, „Abdullah bin „Amr al-
Yahsubi. Muridnya ialah Hisyām bin „Imār bin Nusair dan „Abdullah
bin Ahmad bin Bāsyir bin Zakwan.

42
Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, h. 256-257.
22

d. Imam qiraat yang masyhur di kota Kufah, Abū Bakar „Āsim bin Abī
Najud. Beliau berguru pada Abī „Abdirrahman. Adapun muridnya
adalah Syu‟bah dan Ḥafs.
e. Imam qiraat yang masyhur di kota Kufah, Hamzah bin Habīb al-Zayyāt.
Beliau memiliki kunyah Abū Imārah. Beliau berguru kepada al-
„Amasy, Ibnu Abī Lailī, Sa‟īd bin Jābir dan lain sebagainya. Adapun
muridnya adalah Khalāf dan Khalād.
f. Imam qiraat yang masyhur di kota Kufah, „Ali bin Hamzah al-Kisā‟i.
Muridnya adalah al-Lais bin Khālid al-Baghdadi atau dikenal dengan
Abū al-Hārits dan Abū „Umar bin Ḥafs bin „Umar bin „Abdul „Aziz al-
Dauri al-Nahwi atau dikenal dengan al-Dauri.
g. Abū „Amr bin „Alā, perawinya adalah al-Dauri (juga periwayat al-
Kisā‟i) dan Abū Syu‟aib Ṣālih bin Ziyād bin „Abdullah al-Sūsi.43
2. Qiraat al-„Asyr (qiraat sepuluh): adalah qiraat Sab‟ah yang dilengkapi
dengan tiga imam qiraat. Yakni, qiraat Ya‟qūb al-Baṣri, qiraat Khalāf, dan
qiraat Yazid bin Qa‟qa‟ (Abu Ja‟far al-Madani).
3. Qiraat al-Arba‟ „Asyr (qiraat empat belas) adalah qiraat „Asyrah ditambah
qiraat empat Imam qiraat, yakni qiraat Hasan al-Baṣri, qiraat Muhammad
bin „Abdurrahman atau dikenal dengan Ibnu Muhaiṣin, qiraat Yahyā bin
Mubārak al-Yazidi al-Nahwi, dan qiraat Abū al-Farāj Muhammad bin
Ahmad al-Syanabudz.44
Untuk menghindari penyelewengan qiraat yang sudah muncul, maka
para ahli qiraat membuat semacam parameter berupa persyaratan-
persyaratan bagi qiraat yang dapat diterima setelah melalui penelitian yang
mendalam. „Abdu al-Hādi al-Faḍl misalnya telah melakukan penelitian
terhadap masalah ini dan mengemukakan berbagai persyaratan yang
dikemukakan oleh para ahli qiraat. Walaupun menurutnya terdapat sedikit
perbedaan dalam menetapkan persyaratan bagi qiraat yang tergolong sahih

43
Ibn Mujāhid, Kitab al-Sab‟ah fī al-Qira‟at (Mesir : Dār al-Ma‟ārif, t.t.) h. 88-101.
44
Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, h. 261-262.
23

(al-qira‟ah al-ṣaḥiḥah), namun prinsipnya sama. Persyaratan-persyaratan


tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
1. Ibn Khalawaih (w. 370 H.) menetapkan persyaratannya qiraat itu haruslah
sepadan atau sesuai dengan rasm al-musḥaf; harus sesuai dengan kaidah
bahasa Arab; dan qiraat tersebut haruslah bersambung periwayatannya.
2. Makkī ibn Abī Ṭālib (w.437 H.) menentukan persyaratannya dengan
artinya qiraat tersebut mesti bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab baku
artinya qiraat itu haruslah sepadan atau sesuai dengan rasm al-musḥaf; dan
qiraat itu telah disepakati oleh para ahli qiraat pada umumnya.
3. Al-Kawsyi‟ (w. 680 H.) merumuskan persyaratan itu dengan (‫)صحة السند‬

artinya qiraat tersebut memiliki sanad yang ṣāḥiḥ; (‫ )موافقة العربية‬artinya qiraat

itu sesuai dengan kaidah bahasa Arab; dan (‫ )مطابقة الرسم‬artinya qira‟at itu

harus sepadan dan sesuai dengan rasm al-musḥaf.


4. Ibn al-Jazari (w. 833 H.) menetapkan persyaratannya qiraat itu sesuai
dengan ketentuan bahasa Arab meski dalam satu segi, qiraat itu cocok
dengan salah satu musḥaf Utsmani meskipun secara perkiraan; dan artinya
qiraat itu ṣāḥiḥ sanadnya. 45
Pemaparan para pendapat para ulama di atas, semuanya memiiki pendapat
yang sama mengenai tiga syarat qiraat bisa diterima (shahih). Pertama, qiraat
harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Kedua, qiraat harusah sesuai dengan
rasm Utsmani. Ketiga, qiraat harus memiliki sanad yang muttasil (tersambung)
sampai kepada Rasulullah Saw.

45
Hampir semua ahlu qurra menentukan persyaratan diterimanya qiraat dengan 3 hal
yakni sesuai dengan rasm Usmani, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab dan Sanadnya tersambung
sampai Rasūlullah Saw. Lihat Hilmah Latif, Perbedaan Qiraat dan Penetapan Hukum, Sulesana
VII , No. 2, (Tahun 2013):, h. 68. Lihat juga: Musa Ibrahim al-Ibrahim, Buhūtsu Manhajiyyah fī
Ulūm al-Qur‟an, (Oman: Dār Imar, 1996). h. 73. Lihat, Sayyīd Risqit Ṭawil, fī Ulūm al-Qiraah
(Makkah al-Mukarramah: Maktabah Faiṣailiah, 1985), h. 48.
24

B. Tafsir
1. Pengertian Tafsir
Tafsir secara bahasa adalah bentuk maṣdar dari kata fassara-yufassiru-tafsīran
yang berarti al-īḍah wa al-tabyīn, yang memiliki makna penjelasan, uraian,
keterangan, interpretasi dan komentar.46 Adapun menurut Syaikh Manna‟ Khalil
al-Qattan, secara etimologi kata tafsir berarti al-ibānah wa kasyfu al-mughaṭa
(menjelaskan dan menyingkap yang tertutup).47
Pengertian tafsir dalam kamus Lisān al-Arāb, tafsir memiliki arti menyingkap
maksud dari kata yang samar. Hal ini didasarkan pada ayat al-Qur‟an surat al-
Furqān: 33.

         


“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling
baik penjelasannya”.48

Beberapa pendapat tentang pengertian tafsir. Menurut al-Zarqani dan al-


Zarkasyī, secara istilah tafsir ialah ilmu untuk memahami al-Qur‟an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan menjelaskan makna, hukum
dan hikmahnya.49 Menurut Abu Hayyan sebagaimana dikutip oleh Manna‟ al-
Qattan, beliau mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas cara
pengucapan lafal al-Qur‟an, makna lafal-lafal tersebut, baik perkata maupun
dalam kalimat yang utuh, serta hal-hal lain yang melengkapinya.50

46
Abu „Aẓim al-Zarqanī, Manāhil al-Irfān fī Ulūm al-Qur‟an, (Beirut: Dār al-Maktabah
al-Arābiyah, 1995.) Vol. 2 h. 6
47
Manna‟ Khalīl al-Qattan, Mabāhits fi Ulūm al-Qur‟an, (Riyadh: Mansyūrat al-„Aṣr al-
Hadis), 1973. h. 323
48
Manna‟ Khalīl al-Qattan, Mabahīts fī Ulūm al-Qur‟an, 1973. h. 324
49
Abu Azhim al-Zarqani, Manāhil al-Irfān fī Ulūm al-Qur‟an, (Beirut: Dār al-Maktabah
al-Arābiyah, 1995.) Vol. 2 h. 6. Lihat Manna‟ Khalil al-Qattan, Mabāhits fī Ulūm al-Qur‟an, h.
324
50
Hal-hal yang melengkapi ialah pengetahuan mengenai asbabun nuzul, nasikh-mansukh,
kisah-kisah, dan lain sebagainya yang menjadi lingkup kajian ilmu al-Qur‟an. Lihat Manna‟ Khalil
al-Qattan, Mabāhits fī Ulūm al-Qur‟an, h. 324
25

Al-Kilabī berpendapat dalam at-Tāṣil bahwa tafsir ialah bayān menjelaskan al-
Qur‟an, menerangkan maknanya serta menjelaskan makna yang dikehendaki
dengan nasbnya atau dengan isyarat atau tujuannya.51
Defenisi-definisi diatas, menarik kesimpulan bahwa; Pertama, dilihat dari segi
objek pembahasan tafsir adalah kitābullah (al-Qur‟an) yang di dalamnya
terkandung firman Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
melalui malaikat Jibril. Kedua, dilihat dari segi fungsi dan tujuannya adalah
menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan al-Qur‟an sehingga dijumpai
hikmah, hukum, ketetapan dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Ketiga,
dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad
mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya,
sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
2. Sejarah Perkembangan Tafsir
Sejarah perkembangan tafsir telah melewati fase-fase pertumbuhan dan
perkembangan yang cukup panjang , sejak dari mula pertamanya pada masa nabi
SAW sampai sekarang. Terdapat tiga fase dalam perkembangan tafsir sebagaimana
uraian sebagai berikut.52
Pertama, masa kelahiran, pertama kali al-Qur‟an turun, al-Qur‟an langsung
ditafsirkan oleh Allah yang menurunkan al-Qur‟an tersebut. Artinya sebagian
ayat yang turun itu menafsirkan (menjelaskan) bagian yang lain sehingga
pendengar atau pembaca dapat memahami maksudnya secara baik berdasarkan
penjelasan ayat yang turun itu.
Kedua, masa pertumbuhan, masa pertumbuhan dapat dikelompokkan dalam
beberapa periode. Pertama, periode Nabi Muhammad Saw. dan sahabat (abad I
H/VII M) pada waktu rasul masih hidup maka penafsiran langsung dilakukan oleh
beliau berdasarkan wahyu Allah Swt. Kedua, periode tabi‟in dan tabi‟it tabi‟in
(abad 2 H/VIII M). Sumber-sumber tafsir pada periode ini adalah al-Qur‟an,
hadis-hadis Nabi, tafsir para sahabat, cerita-cerita dari ahli kitab, ra‟yu dan ijtihad.

51
T.M. Hasbi Aṣ-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an, (Jakarta: Bulan
Bintang) h. 178
52
Ahmad Sholeh Sakni, “Model Pendekatan Tafsir dalam Kajian Islam, “ Jurnal JIA XIV,
No. 2 (Desember 2013): h. 67.
26

Pusat pengajian tafsir menyebar di kota Makkah diantaranya dipimpin oleh


Abdullah bin Abbas (w. 63 H), Sa‟id Bin Jubair (w.93), di kota Madinah berada
dibawah pimpinan Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Aslam dan di Irak dibawah
pimpinan Abdullah bin Mas‟ud, diantara ciri-ciri tafsir masa ini adalah memuat
banyak cerita israiliyat, meriwayatkan dari riwayat yang disenangi saja dan
sudah muncul benih-benih fanatisme madzhab. Periode ini berakhir dengan
ditandai meninggalnya tabi‟in yang bernama Kholaf bin Khulaifat (w. 181 H) dan
sedangkan masa tabi‟it tabi‟in berakhir pada tahun 220 H. Pada masa ini corak
tafsir didominasi dengan corak tafsir historis53 dan corak fiqih.54
Ketiga, masa perkembangan, pada masa ini perkembangan tafsir dapat
dikelompokkan dalam beberapa periode:
1. Periode Ulama Mutaqaddimin (abad III – VIII H/1X-XIII M ), periode ini
dimulai dari akhir zaman tabi‟it tabi‟in sampai akhir pemerintahan dinasti
Abbasiyah kira-kira dari tahun 150 H/782 M sampai tahun 656 H/1258 M atau
mulai abad II sampai VII H. Sumber tafsir pada masa ini berupa : al-Qur‟an, hadits
Nabi Saw, riwayat para sahabat, riwayat para tabi‟in, riwayat para tabinat tabi‟in,
cerita ahlul kitab, ijtihad dan istinbath mufassir. Diantara para mufassir tersebut
adalah Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), Syu‟bah Ibn Hajjaj (w. 160 H)
2. Periode Ulama Muta‟akhirin (abad IX- XII H / XII-XIX M), periode ini
muncul pada zaman kemunduran Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad pada tahun
656 H/1258 M sampai timbulnya gerakan kebangkitan Islam pada 1286 H/ 1888
M, sumber tafsir pada masa ini al- Qur‟an, hadits Nabi Saw, riwayat para sahabat,
riwayat para tabi‟in, riwayat para tabi‟inat tabi‟in, cerita ahlul kitab, ijtihad dan

53
Seseorang yang ingin memahami al-Qur‟an secara benar misalnya maka yang
bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur‟an yang disebut sebagai ilmu Asbāb
al-Nuzūl. Dengan pendekatan ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung
dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara
syari'at dari kekeliruan memahaminya. Dengan mengetahui latar belakang turunnya ayat, orang
dapat mengenal dan menggambarkan situasi dan keadaan yang terjadi ketika ayat tersebut
diturunkan, sehingga hal itu memudahkan untuk memikirkan apa yang terkandung dibalik teks-
teks ayat itu. Lihat: Ahmad Sholeh Sakni, “Model Pendekatan Tafsir dalam Kajian Islam,” h. 67.
54
Penafsiran al-Qur‟an dengan melalui pendekatan fiqih dan hukum pada masa awal
turunnya al-Qur‟an sampai munculnya madzhab fiqih yang berbeda-beda, para mufasir ketika itu
jauh dari sikap fanatik yang berlebihan, atau ada tujuan-tujuan tertentu dalam menafsirkan al-
Qur‟an yang bersinggungan dengan ayat hukum. Lihat: Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Quran,
(Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014), h. 284.
27

istinbath mufassir, pendapat para mufassir terdahulu.diantara para mufassir periode


ini adalah al-Baidhawi (w. 692 H) pengarang tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-
Ta‟wil (Tafsir al-Baidhawi), Fakhruddin al-Razi (w.606 H) pengarang tafsir
Mafatih al-Ghaib (Tafsir al-Kabir). Pada masa ini corak tafsir yang berkembang
adalah corak teologi-falsafi,55 corak kebahasaan,56 dan corak ilmi,57
3. Periode Ulama Modern (abad XIV H-XIX M s/d Sekarang), zaman ini
bermula sejak abad XIV H atau akhir XIX Masehi sampai sekarang, yaitu sejak
dimulainya gerakan modernisasi Islam di Mesir oleh Jamaluddin al-Afghani
(1254 H/1838 M), Muhammad Abduh (1266 H/1845 M) diantara produk tafsir
pada masa ini adalah Syeikh Ahmad Mustafa al-Maraghi (w. 1952 M) penulis
Tafsir al-Maraghi, tafsir ini sangat modern dan praktis, Sayyid Qutb penulis Tafsir
Fi Zilalil Qur‟an dan Ali al-Shabuni pengarang Tafsir Rawa‟i al-Bayan, Tafsir
Ayatu al-Ahkam min al-Qur‟an dan kitab Sofwatu al-Tafasir. Pada masa ini corak
tafsir yang popular adalah corak tafsir adabi ijtima‟i.58

55
Tafsir falsafi adalah tafsir yang dilakukan dengan dua cara yaitu menjelaskan
ketentuan-ketentuan agama dengan pikiran-pikiran yang telah terurai dalam filsafat dan
menakwilkan kebenaran-kebenaran agama dengan pikiran-pikiran filsafat. Lihat: Muhammad
Husein adz-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Juz II (Mesir : Dār al-Maktub al-Haditsah,
1976), h. 418. Tafsir teologis adalah satu bentuk penafsiran al-Qur‟an yang tidak hanya ditulis
oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang
dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis tertentu. Lihat Juga: Abdul Mustaqim,
Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an: Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan,
Hingga Modern-Kontemporer, 131-132.
56
Penafsiran dengan mengggunakan pendekatan kebahasaan dalam menjelaskan maksud
ayat yang terkandung dalam al-Qur‟an muncul karena selain al-Qur‟an sendiri memberi
kemungkinan-kemungkinan arti yang berbeda. Juga menurut M. Quraiṣ Ṣihab, corak lughāwi
(kebahasaan) muncul akibat banyaknya non Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri dibidang sastra, sehingga dirasakan perlu menjelaskan
kepada mereka tentang keistimewaan dan keīdalaman kandungan al-Qur‟an. Salah satu contoh
tafsir bernuansa lughāwi ialah Abū Su‟ūd Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi dengan tafsirnya
Irsyād al-„Aql al-Sālim ilā Mazāya al-Kitāb al-Karīm. Lihat: Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul
Quran, h. 284
57
Corak tafsir „ilmi ialah corak penafsiran al-Qur‟an yang pembahasannya menggunakan
istilah atau term-term ilmiah dalam mengungkapkan ayat al-Qur‟an, dan berusaha melahirkan
berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.
Lihat: Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an 2, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) h.
135. Lihat: Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 474. Tafsir dengan corak „ilmi juga
sebagai penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat di dalam al-Qur‟an dengan mengkaitkannya
dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa kini. Lihat pula: Sayyid Agil Husin al-
Munawwar, al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.
72.
58
Corak Adābi Ijtimā‟i sebagai corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang
aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur‟an (balāghah), yang menjadi
28

C. Hubungan Qiraat dan Tafsir


Al-Qur‟an dan qiraat merupakan dua hal yang berkaitan namun hakikatnya
berbeda. Menurut Imam al-Zarkasyi, qiraat sesungguhnya berbeda dengan al-
Qur‟an. Jika al-Qur‟an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw. sebagai bayān (penjelasan) dan i‟jāz (mukjizat). Sedangkan qiraat
merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur‟an yang di dalamnya menyangkut huruf-
huruf maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut seperti takhfīf (meringankan),
tatsqīl (memberatkan) dan lain sebagainya.59
Qiraat dengan penafsiran memiliki hubungan yang sangat erat. Diibaratkan
seperti sisi uang logam, tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. Jika qiraat
tinjauannya pada segi pembacaan teks maka tafsir adalah efek atau perubahan
makna dari pembacaan teks. Oleh karena itu, terkadang perbedaan qiraat sangat
mempengaruhi terhadap penafsiran.
Menurut Ahmad Bazamul implikasi qiraat terhadap penafsiran meliputi
beberapa hal berikut ini:
1. Implikasi qiraat dalam memperjelas makna ayat.
2. Implikasi qiraat dalam memperluas konteks ayat.
3. Implikasi qiraat dalam menghilangkan kekeliruan tentang makna ayat.
4. Implikasi qiraat dalam menonjolkan berbagai gaya bahasa (uslūb).
5. Implikasi qiraat dalam menerangkan berbagai hukum fiqih.60

Menurut Imam Mujahid di dalam bukunya kitab Sab‟ah fī Qiraat bahwa


qiraat dapat berpengaruh dalam hukum.

61
.‫ فكاثارالتي رويت فى أألحكام‬،‫وأما االثار التي رويت فى الحروف‬
ّ

dasar kemukjizatan al-Qur‟an. Atas dasar tersebut, mufassir menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an,
menampilkan sunnatullah yang tertuang di dalam alam raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia
dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin secara khusus dan persoalan umat
manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh al-Qur‟an. Lihat: Prof.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), h. 108.
59
Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulumi al-Qur‟an,
(Maktabah Dar al-Turats tt), juz 1, h. 318.
60
Ikmal Zaidi bin Hashim, “Metode Penentuan dan Penggunaan Penganalisaan Qiraat
dalam Karya-karya Tafsir,” dalam seminar, “International Research and Innovation Conference
2014 (IRMIC2014),” Kuala Lumpur: Kolej Universiti Islam Antarbangsa Selangor, h. 113.
29

“Dan adapun atsar (al-Qur‟an) diriwayatkan dalam huruf-huruf


(perbedaan qiraat), maka atsar juga diriwayatkan dalam hukum-hukum”.
Pendapat serupa juga dikemukan dalam kaidah yang menyatakan bahwa
qiraat jika dibenturkan dengan penafsiran dapat menimbulkan efek tafsir.

‫األحكام فى اإلختالف يظهر القراءات اختالف‬

Perbedaan qiraat menyebabkan terjadinya perbedaan hukum.62


Pendapat seperti ini diperkuat oleh salah satu riwayat:

‫ أخبرنا أبو بكر أحمد بن‬:‫محمد بن إبراىيم بن أبزون أالنباري ألمقرئ قال‬
ّ ‫ح ّدثنا أبو عبد اهلل أحمد بن‬
"‫ "اختلف الناس في القراءة كما اختلفوا في األحكام‬:‫ قال‬،‫ رحمة اهلل عليو‬،‫موسي بن العباس بن مجاىد‬
.‫ورويت في األثار باإلختالف عن الصحابة والتابعين توسعةً ورحمةً للمسلمين‬
Telah menceritakan pada kami Abu Abdullah Ahmad bin Muhamad bin
Ibrahim bin Abzun al-Anbari al-Muqarri berkata, telah menceritakan pada kami
Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Abbas bin Mujahid, berkata: “Perselisihan
manusia di bidang qiraat seperti perselisihan di bidang hukum”. Diriwayatkan
juga dalam atsar bahwa perbedaan qiraat di kalangan sahabat dan tabi‟in
menjadikan keluesan dan rahmat bagi kaum muslimin.63

Pendapat ini juga didukung oleh Imam Mujahid yang pernah menyatakan:
64
. ‫احتجت أن أسألو عن كثير مما سألتو عنو‬
ُ ‫قرأت قراءة ابن مسعود قبل أن أسأل ابن عباس ما‬
ُ ‫كنت‬ُ ‫لو‬
Jika saja dulu aku membaca qiraat Ibn Mas‟ud sebelum bertanya kepada Ibn
„Abbas, maka saya tidak perlu banyak bertanya tentang berbagai persoalan
kepadanya (al-Qur‟an).

Qiraat dalam ranah tafsir, ada qiraat mempunyai pengaruh dalam penafsiran
dan ada pula yang tidak memiliki pengaruh dalam penafsiran. Kebanyakan qiraat
memiliki pengaruh dalam bidang fiqih. Berikut adalah contoh qiraat yang
memiliki pengaruh dalam penafsiran dan yang tidak berdampak terhadap
penafsiran.
a. Qiraat yang berdampak pada penafsiran
1. Surat al-Maidah ayat 6

61
Ibnu Mujahid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, (Mesir:Dār al-Ma‟arif) h. 49. Yang
dimaksud huruf di sini ialah wajah qiraat dan perbedaannya diantara para ahli qurra. Serta yang
dimaksudkan ahkam ialah hukum-hukum fiqih (al-fiqhiyyah al-tasyri‟ah).
62
Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, h. 258.
63
Ibnu Mujahid, Kitab al-Sab‟ah fi al-Qiraat, h. 45.
64
Sebagaimana yang dikutip Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun,
h. 33.
30

         

 
         

             


      
     

          

        

  


“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan ṣalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang
air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh
air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.

Pokok persoalan yang akan dijelaskan berkaitan dengan ayat di


atas adalah tentang qiraat “arjulakum” yang berimplikasi pada apakah
didalam berwuḍu kedua kaki wajib dicuci atau hanya wajib diusap
dengan air saja. Ibnu Katsīr, Hamzah dan Abū „Amr membacanya
dengan kasrah lam sehingga terbaca arjulikum, sedangkan Nāfi‟, Ibn
„Āmir dan al-Kisā‟i membacanya dengan fatḥah lam sehingga menjadi
arjulakum.65
Bacaan arjulakum menurut pembacanya adalah ma‟ṭūf kepada
wujuhakum. Konsekwensi hukum yang lahir dari qiraat ini adalah

65
Ibn Mujāhid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, h. 242
31

bahwa ketika berwuḍu hendaklah kaki itu dicuci.66 Selain dasar qiraat
itu menurut mereka juga ditopang oleh hadis dari Rasūlullah Saw.
riwayat Bukhāri yang mengancam orang berwuḍu tanpa mencuci tumit
dengan api neraka. Hadis itu berbunyi :
“Telah menceritakan kepada kami Abu An Nu'man 'Arim bin al-Faḍal
berkata, telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Abu
Bisyir dari Yusuf bin Mahak dari Abdullah bin 'Amru berkata: Nabi ṣ ṣ
ṣallallahu 'alaihi wa sallam pernah tertinggal dari kami dalam suatu
perjalanan yang kami lakukan hingga Beliau mendapatkan kami
sementara waktu ṣalat sudah hampir habis, kami berwudhu dengan
hanya mengusap kaki kami. Maka Nabi ṣallallahu 'alaihi wa sallam
berseru dengan suara yang keras. "celakalah bagi tumit-tumit yang
tidak basah akan masuk neraka." Beliau serukan hingga dua atau tiga
kali.”67

Sedangkan qiraat arjulikum ma‟ṭuf kepada ru‟ūsikum. Qiraat ini


melahirkan hukum bahwa seseorang yang berwuḍu hanya wajib
mengusap kakinya dengan air.68
Uraian diatas memperlihatkan besarnya pengaruh perbedaan qiraat
dalam proses penetapan hukum.
b. Qiraat yang tidak mempunyai pengaruh terhadap penafsiran
Adapun qiraat yang tidak berpengaruh terhadap penafsiran adalah sebagai
berikut. Firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Nur: 33.

             

         
“Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan
pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak
mencari keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada
mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”

66
Al-Syaukanī, Tafsīr Faṭḥu al-Qadīr didalam CD al-Maktabah al-Syamilah pada
penafsiran QS. al-Ma‟idah (5) : 6
67
Imam Bukhari, Ṣaḥih al-Bukhāri, Bab Siapa yang mengeraskan suaranya dalam
menyampaikan ilmu, Hadis no 58. Sumber Lidwa 9 Hadis.
68
Al-Baiḍawi, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta‟wīl di dalam CD al-Maktabah al-
Syamilah pada penafsiran QS. al-Ma‟idah (5)
32

Ayat tersebut di atas menjelaskan, bahwa para pemilik budak-budak


wanita diharamkan memaksa budak-budak wanita tersebut untuk melakukan
prostitusi (pelacuran), karena hendak mencari keuntungan duniawi. Apabila
budak-budak wanita itu dipaksa untuk melakukan hal yang demikian, maka
Allah akan mengampuni mereka.
Sehubungan dengan ayat di atas, dalam qiraat syadzat yaitu qiraat dari Ibn
„Abbās, qiraat Ibn Mas‟ūd dan Jābir bin Abdullah disebutkan ‫فإنّ هللا من بعده‬
‫ إكراههنّ لهنّ غفور رحيم‬Qiraat tersebut tidak berpengaruh terhadap instinbāṭ
hukum. Karena lafaz ّ‫ لهن‬dalam ayat terebut menunjukkan bahwa ampunan
Allah itu ditujukan (diberikan) kepada budak-budak wanita yang dipaksa oleh
tuannya untuk melakukan pelacuran, dan juga ditujukan kepada tuannya yang
memaksa mereka untuk melakukan pelacuran tersebut.69
Menurut pandangan Imam al-Zamakhsyarī dalam al-Kasysyāf,70
‫بهن الن المكرىة على بخالف المكره عليو فى انها غير آثمة‬
ّ ‫ال حاجة الى تعليق المغفرة‬
Ampunan Allah (dalam ayat tersebut) tidak memerlukan tambahan lafaz ( ّ‫)لهن‬,
karena budak-budak wanita yang dipaksa untuk melakukan zina (pelacuran),
jelas tidak berdosa, lain halnya dengan orang yang memaksa (tuan mereka).
Senada dengan pernyataan al-Zamakhsyarī di atas, al-Rāzi mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut.71

‫ أل ّن اإلكراه ازال اإلثم والعقوبة أل ّن للمكرىة ّاما المكره فال عذرلو فيما فعل‬.‫بهن‬
ّ ‫فإ ّن اهلل غفور رحيم‬
Firman Allah ‫ فإن هللا غفور رحيم‬maknanya adalah, sesungguhnya Allah
mengampuni mereka (budak-budak wanita yang dipaksa untuk melakukan
pelacuran). Unsur paksaan dapat menghilangkan dosa dan sanksi hukum.
Unsur paksaan merupakan halangan (dalam keberlakuan hukum) bagi budak-

69
Hasanuddin AF, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Instinbaṭ Hukum dalam
al-Qur‟an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995). h.237.
70
Abū al-Qāsim Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, (Riyadh: Maktabah al-Abikan, 1998), h. 67.
71
Muhammad al-Rāzi Fakhru al-Dīn, Tafsīr al-Fakhri al-Rāzi al-Masyhūr bi Tafsīr al-
Kabīr Mafātih al-Ghāib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 222.
33

budak wanita yang dipaksa, sementara bagi yang memaksa, unsur paksaan
tidak merupakan halangan (dalam keberlakuan hukum) atas perbuatannya.
C. Pengaruh Ideologi Madzhab dalam Tafsir
Penafsiran ideologis muncul karena dua faktor. Pertama, pergolakan politik
umat Islam periode awal. Kedua, perdebatan teologis di antara mereka. Dua
faktor ini mencuat ke permukaan setelah tragedi besar (al-Fitnah al-Kubrā),
terutama setelah perang Siffin antara pihak „Ali bin Abī Ṭālib dan Mu‟awiyyah
bin Abū Sufyan yang melahirkan kelompok Khawārij, Syī‟ah dan kelompok pro
Bani Umaiyyah. Setelah itu, kemudian muncul kelompok Qadariyah, Murji‟ah,
Mu‟tazilah, dan Sunni. Mereka seringkali terlibat dalam perdebatan politis-
teologis dan berlindung di bawah teks al-Qur‟an dan hadis.72
Sebagai konsekuensinya, pengaruh pergolakan politik dan ideologi ini
memengaruhi proses kodifikasi ilmu-ilmu ke-Islaman, terutama tafsir. Pada
masa ini setiap kelompok teologi mengkodifikasi disiplin keilmuan masing-
masing yang produknya berbeda satu sama lain, sehingga mempengaruhi disiplin
keilmuan ke generasi setelahnya, hingga sekarang. Tradisi Sunni melahirkan
penafsiran bercorak Sunni, tradisi Syī‟ah melahirkan penafsiran bercorak Syī‟ah,
tradisi Mu‟tazilah melahirkan penafsiran Mu‟tazilah, dan begitu seterusnya.
Bahkan tradisi yang sama bukan berarti corak penafsiran teologisnya juga sama,
tetapi semakin terkotak-kotak dalam sekat perbedaan dalam satu rumpun
teologi.73
Fakta membuktikan bahwa kesamaan teks al-Qur‟an bisa tampil dalam wajah
tafsir berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan tendensi penafsir. Apalagi
ditambah dengan kenyataan bahwa banyak ayat al-Qur‟an berkaitan dengan
persoalan akidah. Ini termasuk faktor penting terbukanya penafsiran tendensius
ini, karena penafsir akan berkomentar sedikit atau banyak tentang ayat tersebut
ketika berhadapan dengannya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan

72
Mohammad Subhan Zamzami , “Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual Islam,”
Jurnal Mutawatir IV, No. 1, (Januari-Juni 2014): h. 175.
73
Mohammad Subhan Zamzami , “Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual Islam,”
h. 176.
34

bahwa tidak ada satu karya tafsir pun yang bebas dari penafsiran dengan tendensi
teologis tertentu, baik kadarnya sedikit maupun banyak.74
Karakteristik tafsir teologi-falsafi bisa dilihat dari segi penyampaian tafsir.
Aspek gaya bahasa, akurasi dan sumber penafsiran, konsistensi metodologis,
sistematika, daya kritis, kecenderungan aliran yang diikuti dan objektifitas
penafsirnya. Dengan mengerti aspek-aspek tersebut, maka akan ditemukan
karakteristik tafsir abad pertengahan, khususnya tafsir yang bercorak teologi-
falsafi.
1. Syarat dengan kepentingan subjektif (ideologis) mufassirnya. Para mufassir
umumnya ahli atau pakar di bidang ilmu dan ideologi tertentu, sehingga
mereka fokus untuk mencari alternatif makna (mencocokkan teori atau
doktrin mereka dengan ayat-ayat al-Qur‟an). Seringkali di sini mufassir
terjebak dalam kepentingan golongan daripada mendahulukan objektifitas
penafsiran.
2. Kajian lebih difokuskan ke dalam pembahasan tema-tema teologis-filosofis
dibanding mengedapankan kandungan al-Qur‟an.
3. Tafsir bernuansa teologis-filosofis rentan bermuatan fanatisme sektarian dan
pembelaan terhadap aliran madzhab yang diikuti.
4. Mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihāt. Ayat-ayat al-Qur‟an tertentu yang
memiliki konotasi berbeda satu sama lain, seringkali dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok teologis tertentu sebagai basis penafsirannya untuk
membela aliran yang diikuti. Masing-masing golongan dari berbagai aliran
saling mengaku bahwa ayat-ayat yang sesuai dengan madzhabnya dikatakan
muhkamāt, sedangkan ayat-ayat lain yang sesuai dengan pendirian
musuhnya diklaim mutasyabihāt. Maka dari itu, perlu dilakukan
pentakwilan yang sesuai dengan keyakinannya.
5. Adanya kecenderungan truth claim. Mereka berusaha mencari dukungan
dari masyarakat maupun pemerintah melalui klaim kebenaran dan juga

74
Mohammad Subhan Zamzami , “Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual Islam,”
h. 176.
35

menunjukkan kebenaran pihaknya dengan menjustifikasi dari ayat al-


Qur‟an.75

75
Riḍoul Wahidi dan Amaruddin Asra, “Corak Teologis dalam Penafsiran al-Qur‟an,”
Jurnal Syahadah III, no. 3 (April 2014): h. 32-33.
BAB III
BIOGRAFI IMAM AL-ZAMAKHSYARĪ
DAN IMAM FAKHRU AL-DĪN AL-RĀZI

A. BIOGRAFI IMAM AL-ZAMAKHSYARĪ


1. Riwayat Hidup Imam al-Zamakhsyarī
Sebagaimana tertulis dalam kitab tafsirnya, nama lengkap beliau adalah Abū
al-Qasīm Mahmūd ibn „Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī. Al-Zamakhsyarī
lahir di sebuah desa yang terletak di wilayah Khawarizm, kawasan Turkistan
(saat ini Rusia) pada hari Rabu 27 Rajab 467 H/1074 M.75 Beliau lahir pada
masa pemerintahan Mālik Syah al-Saljūqī dan menterinya Niḍam al-Mulūk
(465 H-485 H.) yaitu masa yang paling gemilang dalam kebangkitan sastra dan
ilmu pengetahuan.76
al-Zamakhsyarī menggambarkan sendiri tentang kebesaran nama ayahnya,
bahwa ia seorang ahli sastra yang taat beribadah, selalu berpuasa dan bangun
tengah malam. Namun, karena diduga terlibat masalah politik dengan penguasa
saat itu, ayahnya di masukkan ke dalam penjara. Ibn al-„Āsir, sebagaimana
dikutip oleh al-Juwaini, menggambarkan bahwa perdana menteri saat itu
adalah orang yang berperilaku buruk, hingga akhirnya ayah al-Zamakhsyarī
meninggal karena mengalami penyiksaan di dalam penjara.77 Sementara sosok
ibunya digambarkan oleh Zamakhsyarī sebagai seorang yang lemah lembut dan
penuh kasih sayang.78

75
Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, terj. Mudzakir AS. (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2007), hlm. 530.
76
Ahmad Muhammad al-Hufi, Al-Zamakhsyarī, (Kairo: Dār al-Fikr al-Arabi, 1966),
h. 35. lihat: Anshori, “Studi Kritis Tafsir al-Kasysyaf”, Jurnal Sosio-Religia VIII, No. 3, (Mei
2009): h. 596.
77
Mustafa al-Ṣawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān
I„jāzihi, (Mesir: Dār al-Ma„ārif, t.t), h. 26.
7878
Mustafa al-Ṣawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān
I„jāzihi, h. 25.

36
37

Semasa kecil al-Zamakhsyarī diajarkan langsung oleh ayahnya sendiri.


Beliau diajarkan menulis, membaca dan menghafal al-Qur‟an.79 Menjelang
usia remaja beliau pergi meninggalkan desanya untuk menuntut ilmu ke
Khawarizm (Bukhara). Bukhara sendiri pada masa Samaniyyin merupakan
tempat orang-orang besar, pusat raja-raja dan tempat munculnya bintang-
bintang sastrawan dunia.80
Al-Zamakhsyarī melakukan rihlah ke berbagai negeri untuk mengincar
pangkat dan kedudukan yang dapat menunjang ilmunya. Untuk mewujudkan
cita-citanya tersebut, al-Zamakhsyarī mencoba menarik simpati para pembesar
kerajaan. Beliau pergi ke Khurasan kemudian ke Asfahan (sekarang wilayah
Iran), tempat istana kerajaan Saljuk Malik Syah (w. 511 H). Pada tahun 512 H,
al-Zamakhsyarī menderita sakit yang membuatnya berpikir kembali akan
niatnya yang salah. Akhirnya beliau memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan menuju Baghdad dengan maksud menimba ilmu pengetahuan dari
para agamawan dan cendekiawan. Di sini beliau mempelajari hadis dari ahli
hadis ternama yaitu Abū al-Khattab ibn al-Bitr, Abū Sa„d al-Syīfani dan
Syaikh al-Islām Abū Mansūr al-Hārisī. Ia juga belajar dari al-Damiganī,
seorang ahli fiqih yang bermadzhab Hanafī.81
Kemudian Zamakhsyarī bermukim di Khawarizm dan berguru kepada
Mahmūd bin Jarār al-Dābi al-Isfahānī Abū Muẓar al-Nawawi atau yang
dikenal dengan Abū Mudlar, seorang tokoh Mu'tazilah yang mengusai berbagai
macam ilmu.82 Di bawah bimbingan Abū Mudlar, Zamakhsyarī berhasil
menguasai sastra Arab, logika/mantiq, filsafat dan teologi dan beliau menjadi
salah satu ulama yang disegani dan menempati posisi yang cukup tinggi dalam
bidang pemerintahan.

79
Sayyīd Muhammad Ali Ayazi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa
Manhajuhum, (Teheran: Muassasah al-Ṭaba‟ah Wa al-Nasyr Wizārah al-Tsaqafah wa al-Irsyād al-
Islāmi, t.t.), h. 574
80
Ahmad Muhammad al-Hufi, Al-Zamakhsyarī, h. 35.
81
Mustafa al-Shawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān
I„jāzihi, h. 33-35.
82
Mustafa al-Shawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān
I„jāzihi, h. 28
38

Destinasi pengembaraan al-Zamakhsyarī dalam mencari ilmu selanjutnya


ialah ke kota Mekah. Kemudian, menetaplah ia di sana selama tiga tahun.
Karena tempat tinggal beliau yang bertetanggaan dengan Baitullah, ia pun
diberi gelar Jārullah.83 Selama tiga tahun di Mekah beliau bertemu dengan
bangsawan bijaksana yang bernama „Ali bin „Isā bin Hamzah bin Wahas yang
memiliki kesamaan dalam pemikiran, kemudian Ibnu Wahas mendorong al-
Zamakhsyarī untuk menulis sebuah karya besar yang fenomenal dengan judul
al-Kasysyāf „an Ḥaqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta‟wīl.84
Selepas dari Mekah, beliau melanjutkan perjalanan ke Baghdad kemudian ke
Khawarizm, selang beberapa tahun di Khawarizm beliau pun wafat. Menurut
al-Juwaini yang bersumber dari Ibnu Batutah bahwa al-Zamakhsyarī wafat di
daerah Jurjaniyah, sebuah daerah di Khawarizm, pada hari „Arafah pada tahun
538 H (14 Juni 1114 M).85
2. Karya-karya Imam al-Zamakhsyarī
al-Zamakhsyarī merupakan tokoh Islam yang memiliki kecerdasan dan
keilmuan yang luas. Hal ini terbukti dengan banyaknya karya-karya beliau
dalam berbagai bidang keilmuan. Diantaranya sebagai berikut:
a. Bidang Tafsir
1. al-Kasysyāf „an Ḥaqāiq al-Tanzīl wa „Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-
Ta‟wīl
2. al-Kasysyāf fī al-Qirāat
b. Bidang Hadis
1. Al-Fāiq fī Ghārib al-Hadīts
c. Bidang Fiqih
1. Ru‟ūsu al-Masāilil Fiqhiyyah (fī al-Khilāfi al-Fiqhi baina madzhabī
Abī Hanīfah wa al-Syāfi‟i)
2. Syāfi al-„Ai min Kalām al-Syāfi‟i

83
Muhammad Husain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Beirut: Dār al-Arqam ibn
Abi al-Arqām, t.t,), h. 278.
84
Ahmad Muhammad al-Hufi, Al-Zamakhsyarī, h. 55.
85
Ibnu Munayyīr, Al-Masā‟il Al-I‟tizāliyyah fī Tafsīr Al-Kasysyāf li Al-Zamakhsyarī,
(Saudi Arabia: Dar al-Andalas, 1418 H), Jilid I, h. 41.
39

3. Al-Minhāj (fī Usūli al-Fiqhi)


4. ḍālatu al-Nāsyidi fī „Ilmi Farāiḍi
d. Bidang Sejarah, Adab dan Tasawuf
1. Rabī‟ul Abrār wa Nusūs al-Akhbār (Mukhtaratu Syatā min al-Adābi
wa al-Tarīkhi wa al-„Ulūmi)
2. Al-Risālah al-Nāsiḥah
3. Al-Qāsidatu al-Bu‟ūḍiyyati (wa Ukhrā fi Masāili al-Ghazālī)
4. Masāalatu fī Hikmati al-Syahādati
e. Kitab Syarah
1. Syarah Maqāmati al-Zamakhsyarī (Al-Nasāih al-Kibār)
2. Syarah Ba‟ḍa Musykilāt al-Mufassal
3. Syarah Abyāti Kitāb Sibawaih
f. Bidang Nahwu, Ma‟āni, Kebahasaan dan lain sebagainya
1. Al-Mufassal fī Ta‟līmi al-Nahwi
2. Asāsu al-Balāghah
3. Al-Mufrad wa al-Muallif fī al-Nahwi
4. Al-Amāli fī al-Nahwi
5. Nakt al-I‟rab fī Ghāribi al-I‟rab
6. Samīm al-„Arābiyyah
7. Jawāhir al-Lughah
8. Al-Asmā fī al-Lughah
9. Al-Anmudj (Mukhtasar min Mufassal fī al-Nahwi)
10. Al-Amkinah wa al-Jibāl wa al-Miyāh wa al-Baqā‟ al-Masyhūrah fī
Asy‟āri al-„Arāb
11. Muqaddimah al-Adāb (Mu‟jam „Arābi Fārisī)
12. Syaqāi al-Nu‟man fī Ḥaqāiq al-Nu‟man (Manāqib Imam Abū
Hanīfah)
13. Al-Atwāq al-Dzahab, Al-Naṣāiḥ al-Sighār (fi al-Wa‟di wa al-
Raqāiqi)
14. Al-A‟jabu al-„Ajāib fī Syarhi li-Ummiyati al-„Arāb
15. Al-Amāli fī Kulli Fann
40

16. Ta‟līmu al-Mubtadi wa Irsyādi al-Muhtadi (Jamlu fī al-„Arābiyyah


wa Tarjamatha bi al-Fārisiyyah li al-Nāsyiīn)
17. Khasāisu al-„Asyrati al-Kirāmi al-Barārati
18. Diwānu al-Zamakhsyarī
19. Mutasyābahu Usāmi al-Ruwwāh
20. Al-Muhājatu fī al-Ahāji wa al-Aghluṭati
21. Al-Mustaqṣā fī Amtsāli al-„Arāb
22. Mu‟jam al-Ḥudūd
23. Al-Mufrad wa al-Murakkab (au Muallafu)
24. Muqāmati al-Zamakhsyarī
25. Nuẓatu al-Musta‟nīs
26. Al-Nasāihu al-Sighār wa al-Bawāligu al-Kibār
27. Nawabig al-Kalam (Hukmu wa Aqwal)
28. Tasliyah al-Darīr
29. Diwānu al-Rasāil
30. Diwānu al-Tamtsīl
31. Risūlatu fī al-Majāz wa al-Isti‟ārah
32. Al-Mustasyqā fī Amtsāl
33. Sawāiru al-Amtsāl
34. Al-Qistās.86
3. Karakteristik Kitab Tafsir al-Kasysyāf „an Ḥaqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-
Aqāwīl fī Wujūh al-Ta‟wīl
a. Sejarah Penulisan Tafsīr al-Kasysyāf
Salah satu kitab tafsir yang menggunakan pendekatan sastra adalah kitab
Tafsīr al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyarī. Tafsir ini merupakan karya tafsir
bercorak sastra yang muncul pada periode pertengahan. Tafsir pada periode
pertengahan adalah tafsir yang ditulis semenjak abad ke-9 M hingga abad

86
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, Juz I. h. 15-17. Lihat; Mustafa al- Ṣawi al-Juwaini,
Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān I„jāzihi, h. 50.
41

ke-20 M. Sementara menurut kategorisasi Harun Nasution, periode


pertengahan dalam tafsir dimulai sejak 1250 M hingga 1800 M.87
Sebagaimana uraian yang dipaparkan oleh al-Zamakhsyarī dalam
mukaddimah kitab tafsirnya, bahwa penulisan kitab tafsir ini berawal dari
keperihatinan Zamakhsyarī melihat banyaknya ulama dari kalangan
Mu„tazilah yang memahami al-Qur'an dengan cara mencampuradukkan
antara ilmu-ilmu bahasa dengan prinsip pokok agama. Kelompok disebut
dengan nama al-Fī‟ah al-Najīyah al-„Adliyyah. Setiap kali mereka datang
berdiskusi, al-Zamakhsyarī memberikan penjelasan mengenai hakikat
kandungan ayat al-Qur‟an. Tampaknya, penjelasan dan uraian yang
dipaparkan oleh al-Zamakhsyarī dapat ditangkap dengan baik oleh mereka.
Mereka pun menginginkan adanya sebuah kitab tafsir, kemudian mereka
berinisiatif untuk mengusulkannya kepada al-Zamakhsyarī supaya al-
Zamakhsyarī mengungkapkan hakikat makna al-Qur‟an dan semua kisah
yang terdapat di dalamnya, termasuk aspek-aspek pentakwilannya.88
Informasi lain menyebutkan bahwa dorongan juga datang dari kalangan
Mu„tazilah, mereka menginginkan agar Zamakhsyarī bersedia menyusun
sebuah kitab tafsir yang sesuai dengan paham Mu„tazilah dengan
menonjolkan aspek ma„āni yang terkandung dalam al-Qur‟an.89 Karena itu,
sangat beralasan jika Ibn „Asyµr berpendapat bahwa kitab tafsir ini ditulis
untuk mendongkrak popularitas Mu„tazilah sebagai kelompok yan
menguasai balāghah dan ta‟wīl.90 Mengingat dari desakan yang terus
berdatangan, al-Zamakhsyarī pun kemudian merespon dan memulai
penulisan tafsirnya pada tahun 526 H/1132 M ketika berada di Mekah.
Penyusunan kitab tafsir ini memakan waktu selama tiga tahun. Hal ini
87
Maryam Shofa,“Sisi Sunni az-Zamakhsyari”, Jurnal Suhuf IV, No. 1, (2011): h. 54.
Lihat; Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur‟an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008, h. 25.
88
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,, Juz I. h. 19.
89
Mustafa al-Shawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān
I„jāzihi, h. 77.
90
Jaja Zarkasyi, “Orientasi Bayani az-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyaf”,
Jurnal Studi Al-Qur‟an II, No. 2, (2007): h. 553.
42

selaras sebagaimana yang dituturkan al-Zamakhsyarī dalam muqaddimah


kitabnya, bahwa masa penyusunan tafsirnya sama dengan masa
pemerintahan Khalīfah Abū Bakr al-Siddīq.91
b. Sistematika Penulisan Tafsīr al-Kasysyāf
Tafsir al-Kasysyaf disusun dengan tartīb al-musḥafi. Setiap surat diawali
dengan basmalah, kecuali surat al-Taubah. Dalam menafsirkan al-Quran,
terlebih dahulu beliau menuliskan ayat akan ditafsirkan, kemudian beliau
memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional, yang
didukung dengan dalil-dalil dari riwayat hadis atau ayat al-Qur‟an.
Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Jika
memang suatu riwayat mendukung pemikirannya, maka ia kutip. Bila tidak,
ia akan menafsirkan tanpa menggunakan riwayat tersebut.92
Langkah-langkah yang digunakan al-Zamakhsyarī dalam menafsirkan
ayat al-Qur‟an adalah sebagai berikut:
1. Beliau menyebut nama surat, menyebut surat makkiyah dan
madaniyah-nya, menjelaskan makna surat dan menyebut nama lain
dari surat itu bila ada riwayat yang menyebutkannya, menyebut
keutamaan surat, kemudian beliau memasukkan qiraat, bahasa,
nahwu, ṣaraf dan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya. Kemudian beliau
menjelaskan dan juga menafsirkan ayat-ayat dengan mengutip
perkataan orang, memberi argumentasi dan membantah pendapat
orang yang berlawanan dengan dia.93 Terkadang al-Zamakhsyarī
memberikan ayat-ayat pendek yang sejenis maknanya untuk
mendukung argumentasinya.

91
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn „Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,, Juz I. h. 19.
92
Lenni Lestari, “Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut al-Zamakhsyari (Analisis
Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-Kasysyaf)”, Jurnal Syahadah III, No. II,
(Oktober 2014): h. 34. Lihat; Nashirudin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Qur‟an. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1998), h. 50.
93
Sayyīd Muhammad „Ali Ayazi, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Hayātuhum wa
Manhajuhum, 578.
43

2. Tafsīr al-Kasysyāf jika berkaitan dengan ilmu kalam, dia membela


dan mendukung aliran Mu‟tazilah dengan argumen dan dalil yang dia
kuasai.94Adapun yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum, khususnya
hukum fiqih, beliau memaparkan banyak pendapat para ahli fiqih
tanpa ada fanatik pada madzhab Hanafi.95
3. Menjelaskan lafaz dari sudut kebahasaan (al-tahlīl al-lafdza) sesuai
dengan keahlian dia dalam bidang bahasa. Contoh ketika
menafsirkan ayat 7 surat al-Baqarah :

           

  


Dia menyebut kata ‫ الختم‬lalu dia buat dialog, jika kamu bertanya, apa
arti menutup hati, pendengaran dan penglihatan? Saya menjawab:
“Tidak ada tutup, karena bukan makna yang sebenarnya melainkan
makna majaz dan mungkin mencakup ma‟na istiarah dan tamtsil.96
c. Metode dan Corak Penafsiran Tafsīr al-Kasysyāf
Al- Zamakhsyarī melakukan penafsiran secara komperehensif terhadap
seluruh ayat al-Qur‟an, dimulai ayat pertama surah al-Fātiḥah sampai
dengan ayat terakhir surah al-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa
penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode
tahlīli, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur‟an
dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di
dalamnya sesuai urutan bacaan dalam musḥaf Utsmāni.97

94
Sayyīd Muhammad „Ali Ayazi, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Hayātuhum wa
Manhajuhum, h. 579.
95
Sayyīd Muhammad „Ali Ayazi, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Hayātuhum wa
Manhajuhum, h. 579.
96
Anshori, Studi Kritis Tafsir Al-Kasysyaf, h. 602.
97
Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1996), h. 12.
44

Kitab Tafsīr al-Kasysyāf memiliki beberapa corak/kekhasan dalam


penafsirannya. Namun dari beberapa corak, yang paling dominan dalam
tafsir ini adalah corak kebahasaan dan juga corak teologis.
1. Corak Kebahasaan
Al-Zamakhsyarī masyhur dikenal sebagai mufassir yang mahir
bahasa Arab, yang meliputi bidang sastra, balāghah, nahwu, ma‟ani,
bayan dan gramatika bahasa Arab. Sebab kepiawaiannya dalam
bidang kebahasaan tersebut, sangatlah mempengaruhi dan mewarnai
hasil penafsirannya.
Imam al-Dzahabi dalam kitabnya al-Tafsīr wa al-Mufassirūn
memberikan tanggapan bahwa penafsiran al-Zamakhsyarī lebih
banyak berorientasi pada aspek balāghah tujuannya ialah untuk
menyingkap keindahan dan rahasia yang terkandung dalam al-
Qur‟an.98 Sehingga Tafsīr al-Kasysyāf sangat terkenal di negara-
negara Islam belahan Timur, karena di sana perhatian masyarakat
pada kesusastraan sangat besar.99 Selain dari aspek balaghāh, aspek
nahwu dan gramatika juga sangat kental dalam tafsir ini. Beliau
memberikan penjelasan mengenai kedudukan kata pada ayat al-
Qur‟an secara mendalam yaitu dari segi i‟rab (kedudukan kata),
kembalinya ḍamir (kata ganti), dan lain sebagainya. Salah satu contoh
penafsiran beliau terhadap QS: al-Baqarah: 23.

           

       


  
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur‟an yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat
(saja) yang semisal al-Qur‟an itu dan ajaklah penolong-penolongmu
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”

98
Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadis, 2005), hlm. 365-366.
99
Fauzan Na‟if, Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari, dalam A. Rofiq (ed.), Studi Kitab
Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 54-55.
45

Menurut al-Zamakhsyarī, kembalinya ḍamir hi pada kata mitslihi,


adalah pada kata mā nazzalnā atau pada kata „abdinā, tetapi yang
lebih kuat ḍamir itu kembali pada ma nazzalna, sesuai dengan maksud
ayat tersebut, sebab yang dibicarakan dalam ayat tersebut adalah al-
Qur‟an, bukan Nabi Muhammad.100
2. Corak Kalam/Teologis
Al-Zamakhsyarī merupakan seorang teolog (mutakallimin)
Mu‟tazilah yang tergolong rasionalis, karena kecenderungannya
menggunakan akal. Kedua predikat tersebut (mutakallimin yang
rasionalis) sangat mempengaruhi dan mewarnai penafsirannya.
Corak teologis sendiri merupakan corak penafsiran yang menitik-
beratkan pada persoalan akidah/kalam. Corak teologis merupakan
corak yang paling dominan dalam tafsir ini. Bisa dikatakan bahwa al-
Kasysyaf memiliki corak I‟tizāli (penafsiran mengenai persoalan
akidah/kalam lebih condong atau terkesan ada pembelaan terhadap
paham Mu‟tazilah).101 Penafsirannya mengenai persoalan kalam lebih
cenderung membela paham yang dianutnya, sehingga ayat-ayat yang
kiranya bertentangan dengan keyakinan mazhabnya akan dimaknai
dengan makna lain yang mendukung dan sesuai dengan
madzhabnya.102 Berikut adalah salah satu contoh penafsirannya
terhadap Q.S. al-Qiyamah 22-23:

       


22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
23. kepada Tuhannyalah mereka melihat.

100
Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf „an Haqqa‟iq al-Tanzil
wa „Uyun al-„Aqawil fi Wujuh al-Ta‟wil, Juz I. h. 220.
101
Dara Humaira dan Khairun Nisa, “Unsur I‟tizali dalam Tafsir al-Kasysyaf: Kajian
Kritis Metodologis al-Zamakhsyari,” Jurnal Maghza I, No. 1 (Januari-Juni 2016): h. 34
102
Salimudin, Tesis “Qiraat dalam Kitab Tafsir: Kajian atas Ayat-ayat Teologis dalam
al-Kasysyaf dan Tafsīr Mafātih al-Ghāib,” (Tesis S2 Fakultas Humaniora, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2016) h. 7. Lihat; Fauzan Na‟if, Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari, h. 55-56. Lihat;
Humaira dan Khairun Nisa, “Unsur I‟tizali dalam Tafsir al-Kasysyaf: Kajian Kritis Metodologis
al-Zamakhsyari,” h. 36.
46

Al-Zamakhsyarī di dalam kitabnya menafsirkan ayat ini berbeda


dengan para mufassir pada umunya. Ibnu Katsīr dalam kitabnya Tafsīr
Ibnu Katsīr menafsirkan bahwa makna lafaz nāẓirah dalam ayat
tersebut adalah melihat Allah dengan mata telanjang yang diperkuat
oleh hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhāri. Begitu
juga al-Ṭābari dalam kitabnya Jamī al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an
memaparkan bahwa para mufassir berbeda pendapat dalam
menafsirkan kata nāẓirah. Sebagian mufassir berpendapat bahwa
maknanya adalah melihat Allah. Sedangkan sebagian yang lain
berpendapat bahwa makna lafaz nāẓirah adalah menunggu pahala dari
Allah Swt. Pendapat ini mengindikasikan bahwa Imam al-Ṭābari
dalam menafsirkan kata nāẓirah tidak terpaku pada satu pendapat.
Al-Zamakhsyarī menafsirkan “nāẓirah” dengan mentakwilkan
makna dhahir kata tersebut kepada makna al-tawaqqu‟ wa al-rajā
(berharap).103 Sebenarnya, ayat ini berbicara tentang kemampuan
manusia untuk melihat Allah secara langsung pada hari kiamat.
Namun, al-Zamakhsyarī dalam menafsirkan ayat ini dipengaruhi oleh
salah satu prinsip madzhab Mu‟tazilah yang dianutnya, yakni prinsip
al-tauhīd. Dalam prinsip al-tauhīd kaum Mu‟tazilah menolak adanya
tajsīm (penyerupaan terhadap sifat makhluk). Hal ini berimplikasi
pada penafsirannya bahwa melihat Tuhan adalah suatu hal yang
mustahil. Sehingga jika lafaz nāẓirah dimaknai sebagai “melihat”,
tentu penafsiran semacam ini akan menyalahi dan merusak paham al-
tauhīd yang beliau yakini. Oleh karena itu, kata nāẓirah yang
bermakna melihat, beliau palingkan maknanya ke makna lain, yaitu
al-raja (mengharap).
4. Penggunaan Qiraat dalam Tafsīr al-Kasysyāf

103
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,, Juz 6. h. 270.
47

Al-Zamakhsyarī adalah pemuka Mu‟tazilah yang mahir dalam berbagai


disiplin ilmu. Mulai dari bidang kebahasaan, „ulūm al-Qu‟ran, fiqih, dan lain
sebagainya. Sebagai mufassir beliau juga mahir di bidang ilmu qiraat. Beliau
belajar ulum al-Qur‟an dan qiraat pada beberapa gurunya, diantaranya, Ibnu
al-„Ārif; Ahmad bin Muhammad (w. 536 H), al-Khasyab; Abdullah bin Ahmad
(w. 567 H), al-Syātibi; al-Qāsim bin Firāh (w. 590 H).104
Keahlian beliau dalam bidang ilmu qiraat dituangkan dalam Tafsīr al-
Kasysyāf. Dalam kesimpulan beberapa karya ilmiah disimpulkan bahwa beliau
kurang memperhatikan kualitas qiraat yang dicantumkannya. Bahkan tak
jarang beliau menggunakan qiraat hanya untuk memperkuat pandangannya
juga membantu penafsirannya.105
Imām al-Zamakhsyarī dalam memaparkan qiraat dalam penafsirannya,
cenderung mengambil qiraat yang dianggap sesuai dan mendukung
argumentasinya.106 Contoh sederhana, ketika al-Zamakhsyarī menterjemahkan
kata “ḥatta yathurn” dalam QS. Al-Baqarah ayat 222, beliau mengambil qiraat
„Abdullah yang membaca “yattahharna” dengan tasydīd yang memiliki arti
“al-ightisāl” (mewajibkan mandi), sedangkan jika dibaca yathurna tanpa
tasydīd, maka artinya putusnya darah haiḍ.
Abū Hanīfah berpendapat bahwa suami boleh menggauli isterinya setelah
putus darah haidnya, jika lama masa haidnya. Meskipun belum mandi dan
tidak boleh menggauli isterinya sebelum mandi, jika masa haidnya tidak lama.
Sedangkan Imam Syāfi‟i berpendapat bahwasanya suami tidak boleh
menggauli isterinya yang putus darah haidnya sebelum mandi. Karena al-
Zamakhsyarī memilih bacaan „Abdullah dengan tasydīd yang berarti setelah

104
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,, Juz I. h. 8.
105
Muhammad Abdul Ghofir, Skripsi “Penggunaan Qiraat dalam Surat al-Nisa: Studi
Kitab Tafsir al-Kasysyaf „an Haqqa‟iq al-Tanzil wa „Uyun al-„Aqawil fi Wujuh al-Ta‟wil,,”
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015) h.
186-187. Lhat; Salimudin, Tesis “Qiraat dalam Kitab Tafsir: Kajian atas Ayat-ayat Teologis
dalam al-Kasysyaf dan Mafatih al-Gaib,” h. 7.
106
Dr. Anshori LAL, Tafsir Bil Ra‟yi Menafsirkan al-Qur‟an dengan Ijtihad, (Jakarta:
Gaung Persada Press, 2010), h. 167
48

mandi, maka secara tidak langsung al-Zamakhsyarī sependapat dengan Imam


al-Syāfi‟i.107

B. BIOGRAFI IMAM FAKHRU AL-DĪN AL-RAZĪ


1. Riwayat Hidup Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi
Nama asli al-Rāzi adalah Muhammad bin „Umar bin al-Husain bin al-Hasan
bin „Ali al-Tīmi al-Bakri al-Ṭābari. Beliau memiliki banyak nama laqab dan
kunyah. Dalam Kitab al-„Aqdi al-Juman beliau dijuluki Abū „Abdullah, Abū
al-Ma‟āli, kemudian dalam Tarīkh Ibnu Khaldun beliau dijuluki Ibnu al-
Khatib, di kalangan ulama beliau masyhur dijuluk Abū al-Faḍl. Selain itu
beliau juga memiliki nama julukan seperti, al-Faqīh al-Syāfi‟i, al-Imam,
Fakhru al-Dīn, al-Rāzi dan Syaikhu al-Islām.108
al-Rāzi lahir di Madinah pada tahun 544 H (1148-1209 M) di kota Ray.
Beliau berasal dari keluarga berpendidikan. Ayahnya bernama Dhiya‟ al-Dīn
„Umar yang merupakan ulama besar yang bermadzhab Syafi‟i. Ayahnya sering
mengadakan pengajian di masjid Ray. Oleh sebab itu al-Rāzi dijuluki sebagai
ibnu Khātib (anak seorang khatib).109
Karir akademis beliau sangatlah panjang. Beliau menimba ilmu ke berbagai
guru yang ahli dalam bidangnya. Beliau berguru dari para imam tafsir, bahasa,
dan tokoh Mu‟tazilah. Mulai dari para imam tafsir beliau mengutip Ibn
„Abbās, Ibn al-Kalbi, Mujāhid, Qatadah, al-Suddi, dan Sa‟īd bin Jubair. Dari
pakar bahasa beliau mengutip al-Asmā‟i, Abū „Ubaidah, al-Farra‟, al-Zujāj,
dan al-Mubārrid. Dari kalangan para mufassir beliau mengutip Muqātil bin
Sulaiman al-Maruzu, Abū Ishāq al-Ṭa‟labi, Abū al-Hasan „Ali bin Ahmad al-
Wāhidi, Ibn Qutaibah, Muhammad bin Jarīr al-Ṭābari, Abū Bakr al-Baqīlani,

107
Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf „an Haqqa‟iq al-Tanzil
wa „Uyun al-„Aqawil fi Wujuh al-Ta‟wil, h. 263.
108
Muhammad al-Rāzi Fakhru al-Dīn, Tafs ī r al-Fakhri al-Rāzi al-Masyhūr bi Tafsīr al-
Kabir Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981 M), Juz I, h. 3.
109
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
(Tangerang Selatan: LP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ,2011), h. 54.
49

Ibn Furak, dan al-Qaffāl al-Ṣaṣi. Dari tokoh Mu‟tazilah ia mengutip Abū
Muslim al-Asfahāni, al-Qaḍi „Abd al-Jabbār, dan al-Zamakhsharī.110
2. Karya-karya Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi
Fakhru al-Dīn al-Rāzi merupakan sosok ulama yang mahir dalam berbagai
bidang ke-ilmuan. Beliau menuangkan ilmunya dalam banyak karya di
berbagai disiplin ilmu. Menurut Malik Abdul Hālim apabila dihitung, karya al-
Rāzi berjumlah sebanyak 200 buah.111 Sedangkan menurut Abdul Azīz Majdub
mengatakan bahwa al-Rāzi menghasilkan karya 89 buah dalam bentuk buku
maupun manuskrip. Berikut adalah karya al-Rāzi sebagaimana Sayyid Husein
mengutip dari al-Baghdadi dengan membagi karya Imam Fakhru al-Dīn al-
Rāzi dalam beberapa disiplin ilmu.
a. Bidang Tafsir
1. Mafātih al-Ghāib
2. Kitāb Tafsīr al-Fātihah, yang sekarang merupakan jilid pertama dari
kitab Tafsīr al-Kabīr
3. Kitāb Tafsīr Sūrah al-Baqarah, kitab ini juga tercakup dalam satu jilid
tetapi saat ini telah dicetak sendiri
4. Tafsīr al-Qur‟an al-Ṣaghīr, yang lebih dikenal dengan nama Asrār al-
Ta‟wīl wa Anwār al-Tanzīl
5. Kitāb Tafsīr Asmā‟ Allah al-Husnā
6. Kitāb Tafsīr al-Bayyināt
7. Risālah fī al-Qur‟an al-Tanbīh „alā Asrār al-Mau‟izah al-Qur‟an.
Kitab ini merupakan gabungan antara tafsir kalam dengan
mencantumkan ide-ide sufi metafisika di dalamnya, didasarkan pada
surat al-Ikhlas, ramalan menggunakan dasar surat al-„Ala, mengenai
kebangkitan disandarkan pada surat al-Tīn dan mengenai tekanan
pekerjaan manusia merujuk pada surat al-„Aṣr.
b. Bidang Sejarah

110
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 9.
111
Mani‟ Abdul Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin, (Mesir: Dar al-Kitab al-Misri,
1978), h. 145.
50

1. Kitāb Manāqib al-Imām A‟zam al-Syāfi‟i


2. Kitāb Faḍāil al-Ṣahābah al-Rāsyidīn
c. Bidang Fiqih
1. Kitāb Mahsūl fī Usūl Fiqh
2. Kitāb al-Ma‟ālim Fiqh
3. Al-Kitāb Ihkām al-Ahkām
d. Bidang Sains dan Teknologi
1. Muhassal Afkār al-Mutaqaddimīn wa al-Mutaakhirīn min al-„Ulamā
wa al-Hukamā‟ al-Mutakallimīn
2. Al-Ma‟alim fī Usūl al-Dīn
3. Tanbīhah Isyārah fī Usūl al-Dīn
4. Kitāb al-Arbā‟in fī Usūl al-Dīn
5. Kitāb Zubdah al-Afkār wa Umdah al-Nazār
6. Kitāb Asās al-Taqdīs
7. Kitāb Tahdīb al-Dalāil wa „Uyūn al-Masāil
8. Mabāḥits al-Wujūd wa al-„Adam
9. Kitāb Jawāb al-Ghailāni
10. Lawāmi‟ al-Bayyināt fī Syarh Asmā‟ Allah wa al- Ṣifat
11. Kitāb al-Qaḍa‟ wa al-Qadar
12. Kitāb al-Khalq wa al-Ba‟ats
13. Kitāb Ismāt al-Anbiyā‟
14. Kitāb al-Riyād al-Mu‟niqāt fī Milāl wa al-Nihāl
15. Kitāb al-Bayān wa al-Burhān fī al-Radd al-Ahla al-Zaigh wa al-
Tughyān
16. Kitāb Masāil Khamsūn fī Usūl al-Dīn
17. Kitāb al-Irsyād al-Nadzar ilā Laṭāif al-Asrār
18. I‟tiqād Farq al-Muslimīn wa al-Musyrikīn
19. Risālah fī al-Nubūwat
20. Kitāb Syarh al-Wajīz fī al-Ghazāli
e. Bidang Bahasa dan Retorika
1. Kitāb al-Muhassal fī Syarḥ al-Kitāb al-Mufassal li al-Zamakhsyarī
51

2. Kitāb Syarh Najh al-Balāghah (tidak selesai)


3. Nihāyah al-„Ijāz fī Dāriyāt al-„Ijāz (fī „Ulūm al-Balāghah, Bayān I‟jāz
al-Qur‟an al-Syarīf)
f. Bidang Tasawuf dan Umum
1. Risālah al-Kamāliyah fī Ḥaqāiq al-Ilāhiyyah
2. Risālah Naftār al-Masdūr
3. Kitāb Risālah fī Ḍamm al-Dunyā
4. Risālah al-Majdiyyah
5. Tahsīl al- Ḥaqq
6. Al-Mabāḥits al-„Imādiyyah fī al-Maṭālib al-Ma‟ādiyah
7. Al-Laṭāif al-Ghiyāsiyah
8. Sirāj al-Qulūb
9. Ajwibāh al-Masāil al-Bukhāriyyah
10. Al-Risālah al-Saḥībiyyah
11. Bidang Filsafat
12. Al-Mabāḥits al-Masrūqiyyah
13. Kitāb Syarh „Uyūn Hikmah li Ibn Sinā
14. Nihāyah al-„Uqūl
15. Kitāb al-Mulākhas fī al-Hikmah
16. Kitāb fī Ṭarīqah al-Jadāl
17. Kitāb Risālah fī al-Su‟āl
18. Kitāb Muntakhāb Tanhalusa
19. Mabāḥits al-Jadāl
20. Kitāb al- Ṭarīqah al-„Alā‟iyyah fī al-Khilāfah
21. Kitāb Risālah al-Qudūs
22. Kitāb Tahyīn Ta‟jīz al-Falāsifah
23. Al-Barāhin al-Bahā‟iyyah
24. Kitāb Syifā‟iyyah min al-Khilāf
25. Al-Akhlāq
26. Al-Munāẓarah
27. Risālah Jauhar al-Fard
52

28. Syarh Musādirah Iqlidīs


29. Kitāb Syarh Siqh al-Zayq li al-Ma‟āri
g. Bidang Ilmu Pasti/Eksak
1. Kitāb Syarh Kulliyāt al-Qanūn
2. Al-Jamī‟ al-„Ulūm
3. Kitāb fī al-Nabd
4. Kitāb al-Jamī‟ al-Kabīr al-Māliki fī al-Ṭibb
5. Sir al-Maktūm
6. Lubābu fī al-Handasah
7. Al-Ikhtiyarāt al-A‟lāiyyah fī al-Ta‟tirah al-Samāwiyyah
8. Risālah fī al-Nafs
9. Ilmu Firāsah
10. Kitāb fī al-Kamāl
11. Tasrih Min al-Ra‟s ila al-Haq.112
3. Karakteristik Kitab Tafsīr Mafātih al-Ghāib
a. Sejarah Penulisan Tafsīr Mafātih al-Ghāib
Kitab Tafsīr Mafātih al-Ghāib ditulis pada abak ke-enam Hijriyah. Pada
abad ini umat Islam mengalami masa sempit, baik dalam urusan politik,
sosial, akademis, maupun akidah. Puncak keterpurukan umat Islam terjadi
pada masa dinasti Abasiyah. Pada masa itu terjadi perselisihan madzhab dan
akidah, bahkan di kota Ray sendiri ada tiga madzhab fiqih yaitu,
Syafi‟iyyah, Hanafiyyah dan Syi‟ah. Muncul juga banyak aliran kalam dan
berbagai perdebatan. Adapun yang masyhur pada masa itu adalah Syī‟ah,
Mu‟tazilah, Murji‟ah, Batiniyah, dan Kurrasiyah.
Berbagai alasan di atas memotivasi al-Rāzi menulis kitab tafsir yang
diberi nama Tafsīr al-Kabīr al-Rāzi atau juga sering disebut Tafsīr Mafātih
al-Ghāib dengan 8 jilid besar.113 Tafsir ini ditulis al-Rāzi sebagai reaksi

112
Sayyid Hosein Nasr, The Islamic Intelectual Tradision in Persia, (New York: Happer
Cllins, 1993), h. 108
113
Menurut al-Dzahabi, berdasarkan keterangan dari ulama, al-Rāzi tidak menyelesaikan
penulisan kitab tafsirnya, melainkan disempurnakan oleh orang lain. Ibn Hajar mengatakan,yang
menyempurnakan kitab tafsirnya ialah Ahmad ibn Muhammad ibn Abi al-Hazm Maki Najm al-
53

terhadap ideologi karangan al- Zamakhsyarī. Berdasarkan pengamatan


penulis, al-Rāzi sering membantah pandangan al-Zamakhsyarī.
b. Sistematika Penulisan Tafsīr Mafātih al-Ghāib
Sistematika penulisan dalam kitab Tafsīr Mafātih al-Ghāib sangatlah
komperehensif. Secara ringkas, dapat dikemukakan langkah-langkah beliau
dalam menafsirkan al-Qur‟an sebagai berikut.
1. al-Rāzi ketika menafsirkan teks-teks al-Qur‟an terkadang beliau
memulainya dengan menyebutkan esensi surat dan munāsabah antar
ayat/surat.
2. Mengawalinya dengan mengemukakan berbagai macam ragam qiraat.
3. Menyebutkan riwayat asbāb nuzulnya, apabila memiliki asbāb nuzul.
4. Analisis kebahasaan yang panjang lebar. Salah satu contoh adalah
ketika beliaumemaparkan balaghah dalam menafsirkan surat al-
Baqarah ayat 185:

          

  
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur‟an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).”

5. Menyebutkan nama surat, tempat turunnya, dan jumlah ayatnya.


Misalnya surat al-Zalzalah adalah surat Madaniyyah jumlah ayatnya
delapan.
6. Beliau dalam menafsirkan al-Qur‟an terkadang memunculkan
pertanyaan-pertanyaan. Seperti pada surat al-Isra‟ ayat 61:

Dīn al-Makhzumi al-Qumuli, wafat 727 H. sedangkan menurut ṣāḥih al-Kasyf al-Zunūn, yang
menyempurnakan kitabnya bukan hanya Najm al-Dīn, melainkan juga oleh Syihab al-Dīn Khalil
al-Khawiyyi al-Dimasyqi, wafat 639 H. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsīr wa al-
Mufassirūn, jilid I, h. 207.
54

    


      

   


“Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada Para Malaikat:
"Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali
iblis. Dia berkata: "Apakah aku akan sujud kepada orang yang
Engkau ciptakan dari tanah?"

7. Pada akhir pembahasan surat yang ditafsirkan oleh al-Rāzi selalu


mengatakan wallahu a‟lamu. Sekaligus diakhiri dengan shalawat
kepada Rasulullah Saw.114
c. Metode dan Corak Penafsiran Tafsīr Mafātih al-Ghāib
Secara umum metodologi tafsir yang digunakan al-Rāzi dalam kitab
Tafsīr Mafātih al-Ghāib adalah sebagai berikut.
1. Ditinjau dari segi metode, kitab Tafsīr Mafātih al-Ghāib menggunakan
metode tahlili dan muqarran, dengan rincian:
a. Metode taḥlīli, Tafsīr Mafātih al-Ghāib tergolong tafsir yang
menggunakan metode taḥlīli, yakni menafsirkan al-Qur‟an dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang
ditafsirkan, serta menerangkan makna-makna yang tercakup di
dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir.115
b. Metode muqarran, al-Rāzi dalam menafsirkan al-Qur‟an banyak
mengemukakan dan membandingkan pendapat para ulama.
Pendapat yang dipaparkan dari berbagai ulama dalam bidangnya,
mulai ulama mufassir, fuqahā, ulama kalam dan lain sebagainya.
al-Ammari menyatakan bahwa meskipun tafsir al-Rāzi dianggap
oleh sebagian besar ulama sebagai contoh yang sempurna dari
corak tafsir bi al-ra‟yi. Namun hal itu tidaklah menafikan tafsir

114
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.
61. lihat; Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 90.
115
Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an, h. 31.
55

tersebut menukil dasar-dasar riwayat atau mankul.116 Diantara


pendapat ulama tafsir yang sering dinukil ialah Muqātil bin
Sulaiman al-Mawarzi, Abū Ishāq al- Ṭa‟labi, Abū Hasan „Ali bin
Ahmad al-Wāhidi, Ibnu Qutaibah, Ibnu Jarīr al- Ṭabari dan Abū
Bakar al-Baqīlani. Sedangkan dari ulama kalam beliau menukil
Abū Hasan al-Asy‟āri, Abū Muslim al-Asfahāni, al-Qaḍi „Abdul
Jabbār dan al-Zamakhsyarī. Sementara dari ulama fiqih beliau
menukil imam al-Syāfi‟i, Imam Hanafi, Imam Hanbali dan lain
sebagainya.
2. Segi pendekatan, kitab Tafsīr Mafātih al-Ghāib menggunakan
pendekatan tafsir bi al-ra‟yi (logika).117 Menurut Imam al-Zarqāni,
dalam kitabnya Manāhil al-Irfān fī „Ulūm al-Qur‟an menilai Tafsīr
Mafātih al-Ghāib memiliki pendekatan bi al-ra‟yi al-mahmud.118
Dibuktikan dengan cara interpretasi dan argumentasi yang digunakan
dalam menjelaskan ayat al-Qur‟an dengan menggunakan dalil-dalil
aqliyah (alasan rasional). Realitas al-Rāzi dengan pendekatan bi al-
ra‟yi menurut para ulama dikategorikan sebagai pelopor tafsir bi al-
ra‟yi bersama dengan al- Zamakhsyarī dengan kitab tafsirnya al-
Kasysyāf.119
3. Segi corak penafsiran. Tafsīr Mafātih al-Ghāib bercorak „ilmi, falsafi
dan adābi ijtimā‟i, dengan uraian sebagai berikut.
a. Corak „Ilmi, corak ini banyak terlihat dalam Tafsīr Mafātih al-
Ghāib. al-Rāzi sering menggunakan teori modern untuk
mendukung teorinya dalam menafsirkan al-Qur‟an terutama dalam
konteks ayat Kauniyah. Bahkan menurut pandangan Dr. Mani‟

116
Prof. H. Rachmat Syafe‟i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h.
249. Lihat: Dr. Mani‟ Abdul Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin, h. 149.
117
Al-Shobuni, Pengantar Studi al-Qur‟an, terj. Muhammad Umar dan Muhammad
Masna HS, (Bandung: al-Ma‟arif, 1987), h. 227.
118
Al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi „Ulum al-Qur‟an, Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h.
96.
119
M. Hasbi as-Shiddiqie, Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang,
1989), h. 205.
56

„Abdul Ḥalim Mahmūd, tafsir karya al-Rāzi ini menyerupai satu


ensiklopedia besar tentang ilmu alam serta ilmu-ilmu lain yang ada
hubungannya, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
ilmu tafsir yang berfungsi sebagai ilmu bantu untuk memahami dan
menggali isi kandungan al-Qur‟an.120
b. Corak Falsafi, corak tafsir falsafi dapat dibuktikan dari banyaknya
al-Rāzi mengemukakan pendapat ahli filsafat dan ahli kalam. Hal
ini semata untuk menentang konsep-konsep pemikiran teologi
Mu‟tazilah. W. Montgo Mery Watt berkomentar bahwa
pembahasan al-Rāzi mengenai teologi dalam beberapa karya,
dintaranya karya tafsir yang secara otomatis menjadi karakteristik.
Serta yang menjadi pembeda dari tafsir lain adalah dimasukkan
pembahasan teologi dan filsafat dalam penafsiran yang selaras
dengan pemahaman teologi Sunni yang berkembang.121
c. Corak Adabi Ijtimā‟i, corak adabi dibuktikan dengan banyaknya al-
Rāzi dalam menafsirkan ayat sering mengurai kata dari sisi lughah
(kebahasaan) dan qawāid lughah-nya.

            

          

          

            

       


“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu",
sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah

120
Prof. H. Rachmat Syafe‟i, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 249. Lihat Muhammad Husain al-
Dzahabi, Tafsīr wa al-Mufassirūn,, h. 294.
121
W. Montgo Mery Watt, Pengantar Studi Islam, terj.Taufik Adnan Amal, (Jakarta:
Rajawali Press, 1991), h. 267.
57

yang dila'nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (tidak
demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia
menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. dan al-Quran yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan
menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara
mereka. dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di
antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api
peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan
dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang
membuat kerusakan.”
al-Rāzi dalam menafsikan kalimat wa qālati al-yahūdu yadu
allahi maghlulatun. Kata yad dalam ayat ini tidak diartikan
secara harfiah sebagai “tangan”, melainkan ditakwilkan dengan
kata lain, yaitu ayat ini merupakan ungkapan ketidakmungkinan
memberi, karena frase ghull al-yad wa bastuha adalah majāz yang
sudah dikenal tentang kikir dan kedermawanan. Padahal bagi
kelompok Sunni lain, Mujassimah, kata yad tetap ditafsirkan
berdasarkan makna harfiahnya yaitu “tangan”, tetapi beliau
bersikukuh dengan penafsirannya dengan menyuguhkan
argumentasi khas kelompok Asy‟āriyah.122
4. Penggunaan Qiraat dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib
Sebagaimana Zamakhsyarī dalam kitab Tafsīr al-Kasysyāf, al-Rāzi dalam
mencantumkan qiraat juga memilih yang menguatkan argumentasinya.
Contohnya dalam surat al-Nisa ayat 43.

 
              

       


    

   

122
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 44-45.
58

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi
Maha Pengampun.”

Terdapat dua versi bacaan qiraat. Ibn Katsīr, Nāfi‟, „Āṣim, Abū „Amr, dan
Ibnu „Āmir membaca ‫المستم النساء‬. Sedangkan Hamzah dan al-Kisā‟i
membaca ‫لمستم النساء‬.123
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud ‫ المستم‬dalam ayat tersebut.
Ibnu „Abbās, al-Hasan, Mujāhid, Qatadah, dan Abū Hanīfah berpendapat,
bahwa yang dimaksud adalah bersetubuh )‫ (الجماع‬. Sementara Ibnu Mas‟ūd,
Ibnu „Umar, al-Nakhā‟i, dan Imam Syafi‟i berpendapat yang dimaksud kata
tersebut adalah bersentuhan kulit )‫ (إلتقاء البشرتين‬baik dalam bentuk persetubuhan
maupun dalam bentuk lainnya.124
Al-Rāzi berkomentar bahwa pendapat yang disebut terakhir adalah rajah
(lebih kuat), karena kata al-lums dalam qiraat )‫(أولمستم‬, makna hakikatnya
adalah menyentuh dengan tangan )‫(اللمس باليد‬. Pada dasarnya, menurut al-Rāzi,
suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakiki. Sementara itu, qiraat
)‫(أولمستم النساء‬makna hakikatnya adalah saling menyentuh )‫ (مفاعلة من اللمس‬, dan
bukan berarti bersetubuh)‫ (الجماع‬.125
Penafsiran tersebut diatas menjadi acuan bahwa al-Rāzi dalam memilih
qiraat untuk memperkuat argumentasinya, beliau memilih qiraat )‫(أولمستم النساء‬
yang sesuai dengan Aliran Sunni dan madzhab fiqih imam al-Syāfi‟i.

123
Ibnu Mujāhid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, h. 234.
124
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 115.
125
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 115.
BAB IV

ANALISA QIRAAT DALAM AYAT-AYAT


DOSA BESAR DAN PELAKU DOSA BESAR

A. Sejarah Munculnya Aliran Teologi dan Nasib Pelaku Dosa Besar


Munculnya aliran-aliran teologi dipicu oleh persoalan-persoalan politik.
Persoalan politik menyangkut peristiwa pembunuhan „Utsmān bin „Affān yang
berujung pada penolakan Mu‟awiyyah atas kekhalifahan „Ali bin Abī Ṭālib.
Ketegangan antara Mu‟awiyyah dan „Ali mengkristal berujung pada perang
Shiffin yang berakhir dengan keputusan taḥkīm (arbitrase). Sikap „Ali yang
menerima tipu muslihat „Amr bin „Aṣ, seorang utusan dari Mu‟awiyyah
menimbulkan pro dan kontra. Kubu yang kontra beranggapan bahwa persoalan
yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan dengan taḥkīm. Putusan hanya datang
dari Allah dengan kembali kepada al-Qur‟an. Mereka memiliki semboyan la
hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau la hukma illa
Allah (tidak ada pengantara selain Allah). Mereka memandang „Ali bin Abī Ṭālib
telah berbuat salah, lalu mereka meninggalkan barisan „Ali. Dalam sejarah Islam
mereka terkenal dengan nama Khawārij, yakni kelompok yang keluar dan
memisahkan diri atau scheders.126
Pesoalan kalam pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan
mukmin. Dalam artian siapa yang telah murtad dari Islam dan siapa yang masih
tetap Islam. Kelompok Khawārij sebagaimana yang telah disebutkan, memandang
bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa taḥkīm, yaitu „Ali, Mu‟awiyyah,
dan „Amr bin „Aṣ, Abū Mūsa al-Asy‟āri adalah kafir berdasarkan firman Allah
pada al-Qur‟an surat al-Māidah ayat 44.127

126
Harun Nasuton, Teologi Islam: ALiran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press,1986), h. 6.
127
Prof. Abdul Razak dan Prof. Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi, (Bandung:
Pustaka Setia, 2015), h. 35. Liihat W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam,
terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987), h. 10.

59
60

             

  
          

       


       

    

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada)


petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara
orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh
orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka
diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah
kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang
sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Persoalan di atas menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu sebagai
berikut.
1. Aliran Khawārij memandang bahwa orang yang berdosa besar adalah
kafir, dalam arti keluar dalam Islam, atau tegasnya murtad dan wajib
dibunuh.
2. Aliran Murjiah menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap
mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya terserah
Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
3. Aliran Mu‟tazilah yang tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi
mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan mukmin.
Orang yang seperti ini mengambil posisi diantara kedua posisi mukmin
dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah
bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi).128
B. Pengertian Dosa Besar dan Macam-macam Dosa Besar
a. Pengertian Dosa Besar

128
W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, h. 6-7.
61

Dosa besar adalah dosa yang dikhususkan karena memiliki tingkat yang
besar dan bisanya disertai ancaman yang menakutkan. Syaikh Muhammad
bin al-„Utsāmin memberikan definisi dosa besar.
‫ بل‬،‫الكبائر ىي ما رتب عليو عقوبة خاصة بمعنى أنها ليست مقتصرة على مجرد النهي أو التحريم‬
،‫ أو ما أشبو ذالك‬،‫ أو فليس منّا‬،‫ال بد من عقوبة خاصة مثل أن يقال من فعل ىذا فليس بمؤمن‬
.‫ والصغائر ىي المحرمات التي ليس عليها عقوبة‬،‫ىذه ىي الكبائر‬
“Dosa besar adalah segala sesuatu yang Allah ancam dengan suatu
hukuman khusus. Maksudnya perbuatan tersebut tidak sekedar dilarang
atau diharamkan, namun diancam dengan hukuman khusus. Misalnya
disebutkan dalam salah satu dalil “barangsiapa yang melakukan ini, maka
ia bukan mukmin, atau bukan bagian dari kami”. Adapun dosa kecil adalah
dosa yang tidak diancam dengan suatu hukuman khusus”.129
Imam Haramain, al-Ghazāli dan al-Rāzi mengemukakan bahwa dosa
besar ialah setiap suatu perbuatan yang ada unsur penghinaannya terhadap
agama, ketiadaan mempedulikan perintah dan larangan agama serta tidak
menghormati taklif agama.130
Syaikh Abdurrahman bin Hasan mengatakan:
‫ أو‬،‫ او لعنة‬،‫ كل ذنب ختمو اهلل بنار‬: ‫ ما قالو المحققون من العلماء‬- ‫ الكبيرة‬: ‫ يعني‬-‫وضابطها‬
‫ قلت ومن برئ منو‬.‫ أو نفي اإليمان‬: ‫ ابن تيميّة‬: ‫ زاد شيخ اإلسالم – يعني‬.‫ أو عذاب‬،‫غضب‬
.‫ ليس منّا من فعل كذا أو كذا‬: ‫ أو قال‬،‫رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم‬
“Kaidah dosa besar, sebagaimana telah disebutkan oleh ulama
muhaqqiqīn, adalah setiap dosa yang Allah Swt. sangkutkan dengan laknat,
kemurkaan atau dengan adzab. Syaikhu al-Islām Ibnu Taimiyah
menambahkan, juga yang terdapat penafian keimanan. Menurutku juga
termasuk dosa yang Rasulullah Saw. melepas diri darinya, atau Nabi
mengatakan bukan bagian dari golongan kami yang melakukan ini dan
itu”.131

129
https://muslim.or.id/40007-kaidah-dosa-besar-dan-dosa-kecil.html lihat: Fatwa Nurul
„Alad Darbi li Ibni al-Utsamin, Juz, II. h. 24.
130
T.M. Hasbi Ash-Shiddiqie, al-Islam, (Bandung: Bulan Bintang, 1964) h. 470.
131
https://muslim.or.id/40007-kaidah-dosa-besar-dan-dosa-kecil.htm Lihat: Fatḥu al-
Majīd, h. 418.
62

b. Macam-macam Dosa Besar


Ulama berbeda pendapat dalam menentukan dosa-dosa besar. Ada salah
satu riwayat hadis yang mengatakan dosa besar ada tujuh. Sebagaimana
hadis berikut.

‫ قالوا يا‬،‫الس ْبع الموبقات‬


ّ ‫عن أبي ىريرة رضي اهلل عنو عن النّبي صلّى اهلل عليو وسلّم قال إجتنبوا‬
‫ألربا وأكل‬
ّ ‫حرم اهلل االّ بالح ّق وأكل‬
ّ ‫والسحر وقَتل النّفس التي‬
ّ ‫شرك باهلل‬
ّ ‫رسول اهلل وما ى ّن؟ قال ال‬
‫ أخرجو البخاري في كتاب‬.‫حصنات المؤمنات الغافِالت‬ ِ ‫الز‬
َ ‫حف وقَذف الم‬ ّ ‫مال اليتيم والتّولّي يو َم‬
.‫الوصايا‬
“Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Saw. bersabda: “jauhilah oleh kalian
tujuh hal yang membinasakan! Mereka berkata: Wahai Rasulullah, apakah
tujuh hal yang membinasakan itu? Beliau bersabda: menyekutukan Allah,
sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali yang berhak
dibunuh, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada
saat jihad serta menuduh zina terhadap wanita-wanita mukmin yang
senantiasa memelihara dirinya. Hadis riwayat al-Bukhari dalam bab
wasiat”.132

Ibnu „Abbās berkata, al-kabāir itu jumlahnya lebih mendekati tujuh


puluh daripada yang tujuh.133 Demi Allah, ucapan Ibnu „Abbās di atas benar
adanya. Hadis sebelumnya tidaklah membatasi jumlah al-kabāir. Pendapat
yang benar dan dilandasi dengan dalil menyebutkan bahwa siapapun yang
melakukan perbuatan dosa yang memiliki ḥad di dunia seperti membunuh,
berizina, mencuri, atau pelakunya yang mendapat ancaman, kemurkaan
serta laknat dari Nabi Muhammad Saw. di akhirat, maka perbuatan itu
termsuk kabāir. Harus diterima pula bahwa kabāir yang satu bisa lebih
besar dibandingkan dengan kabāir yang lain. Rasūlulullah Saw. menghitung
syirik sebagai salah satu kabāir dan pelakunya kekal di neraka juga tidak
akan daimpuni selama-lamanya. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Nisaa‟
48 dan 116.

132
Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin 2, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 15.
133
Isnadnya ṣaḥih. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ibnu Jarir, dan al-baihaqi dalam al-
Syu‟ab (Syu‟ab al-Imān). Semua perawinya tsiqah. Imam al-Dzahabi, terj. Abu Zufar Imtihān al-
Syāfi‟i, Dosa-dosa Besar, (Solo: Pustaka Arafah, 2007), h. 15.
63

                 

    


“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”

C. Ayat-ayat tentang Dosa Besar


1. Kufur
Surat Ali Imran Ayat 91:

            

            
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap
dalam kekafirannya, Maka tidaklah akan diterima dari seseorang di antara
mereka emas sepenuh bumi, walaupun ia menebus diri dengan emas (yang
sebanyak) itu. Bagi mereka Itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka
tidak memperoleh penolong.”

Dalam Tafsir al-Kasysyāf, lafaẓ dzahaban, naṣab karena tamyiz. „Amasy


membaca dzahabun dengan rafa‟ sebagai jawaban atas kata mil‟u, seperti yang
dikatakan: aku mempunyai dua puluh orang laki-laki. Firman Allah Swt. (falan
yuqbala) ada yang membaca falan yaqbala karena bina‟ terhadap fa‟il yakni
Allah „Azza wa Jalla, dan naṣab pada lafaẓ mil‟u, jika dibaca menjadi mil‟a
arḍi dengan meringankan hamzah.134
Al-Rāzi dalam tafsirnya, (falan yuqbala) al-Wahidi berkata penuhnya
sesuatu tergantung pada kadar proses pemenuhannya. Dibaca naṣab
(dzahaban) dalam tafsir maknanya adalah bahwa lafaẓ dzahaban merupakan
kalimat yang sempurna kecuali bila lafaẓ dzahaban menjadi mubham, seperti
dalam ungkapan: aku mempunyai dua puluh. Maka angka/jumlah adalah
maklum, sedangkan hitungan adalah mubham. Apabila aku berkata: berupa

134
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa
„Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz I, h. 580-581.
64

dirham maka menjadi („adad) angka/jumlah. Sebaliknya apabila aku berkata:


dia adalah manusia paling baik yang mengabarkan kebaikannya, dan tidak
menjelaskan dalam hal apa, maka apabila aku berkata tentang teori atau
perbuatan, aku telah menjelaskan dan menonjolkannya atas tafsir. Adapun
apabila aku menonjolkannya, baginya tidaklah mengurangi dan tidak pula
mengangkat derajatnya. Maka kedudukan kata yang tepat adalah naṣab, karena
naṣab merupakan akhaffu al-ḥarakat (harakat paling ringan). Dalam hal ini,
bacaan naṣab tidak berlaku di dalam perkataan Ṣaḥibi al-Kasysyāf (al-
Zamakhsyarī): al-„Amasy membaca (dzahabun) dengan rafa‟ menjadi respon
atas lafaẓ mil‟u. seperti ungkapan: aku mempunyai dua puluh orang laki-
laki.135
al-Zamakhsyarī mencantumkan qiraat pada lafaẓ dzahaban, yakni qiraat
yang membaca dzahaban dan dzahabun sebagaimana juga dunikil al-Rāzi dari
al-Kasysyāf. Adapun al-Zamakhsyarī sedikit memberi penjelasan tentang qiraat
ini. Menurut beliau, jika dibaca dzahabun, perumpaannya adalah seperti aku
mempunyai dua puluh orang laki-laki yang berarti adalah jumlah atau angka.
Sedangkan al-Rāzi lebih menekankan bacaan dzahaban karena lafaẓ dzahaban
merupakan kalimat yang sempurna dengan alasan harakat yang ringan dan
beliau tidak memastikan makna tafsir yang tepat untuk lafaẓ dzahaban, karena
lafaẓ dzahaban bukan berarti jumlah, hitungan atau kadar. Beliau juga
menyatakan bahwa qiraat dzahaban tidak berlaku pada al-Zamakhsyarī.
2. Menjauhi Dosa Besar
Surat Al-Nisa‟ Ayat 31:

     


     

 
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-
dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”

135
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz VIII, h. 144.
65

Al-Zamakhsyarī dalam Tafsīr al-Kasysyāf, ُ‫ َوجَبئِ َش َِب رُٕهَىَْ عَٕه‬dibaca ‫َوجُِ ُش َِب‬
ُ‫ رُٕهَىَْ عَٕه‬yakni suatu dosa besar dari maksiat yang dilarang Allah dan Rasul.
Dosa besar dan dosa kecil memiliki sifat dan sandarannya. Adapun orang yang
taat namun pernah melakukan dosa besar pahalanya akan hilang. Dosa besar
ada tujuh, yakni syirik, membunuh, menuduh zina, zina, memakan harta anak
yatim, melarikan binatang, ta‟arub ba‟da al-hijrah, dan Ibnu „Umar
menambahkan sihir dan istihlal baitil haram.136
Ada pula yang membaca dengan bacaan ْ‫ ُٔ َىفِّش‬dengan nun ḍammah ada juga
yang membaca ْ‫ َُ َىفِّش‬dengan ya‟. Adapun qiraat pada lafaẓ َ‫ ُِ ْذ َخل‬dengan mim
ḍammah dan ada juga yang membaca َ‫ َِ ْذ َخل‬dengan mim fatḥah yang memiliki
arti tempat. Keduanya kedudukannya sama menjadi maṣdar. Nudkhilkum
mudkhalan karima atau nudkhilkum madkhalan karima.137
Sesungguhnya kata kabāir disini tidak dimaksudkan sebagai kata kabīr,
dengan menisbatkan kepada sesuatu. Terlalu sempit juga jika dinisbatkan
kepada sesuatu yang lain. seperti qaul dalam dosa-dosa kecil, kecuali jika
menghukumi dengan adanya penjelasan yang mutlak bahwa makna ‫َوجَبئِ َش‬
adalah ‫اٌ ُى ْفش‬. Ketika menetapkan hal ini, tidak diperbolehkan bahwa maksud
ayat (‫ )إْ رجزٕجىا وجبئش ِب رٕهىْ عٕه‬al-kufr? Karena sesungguhnya kufur bermacam-
macam: diantaranya kufur kepada Allah dan para nabi, kufur kepada hari akhir
dan syariat-syariatnya. Adapun maksud sesungguhnya dari kata ‫اجزٕت عٓ اٌىفش‬
seperti yang telah lalu yakni ‫( ِغفى ًسا‬diampuni). Hal ini sepadan dengan jelas
firman Allah Swt. (‫)إْ هللا ال َغفش أْ َششن ثه وَغفش ِب دوْ رٌه ٌّٓ َشبء‬.138
Al-Mu‟tazilah berkata sesungguhnya dalam menjauhi dosa-dosa besar
wajib meminta dua ampunan atas dosa-dosa kecil. Adapun menurut kami,
sesungguhnya dalam menjauhi dosa-dosa besar tidaklah wajib meminta
ampunan dosa-dosa kecil, akan tetapi sesuatu yang dilakukan tersebut adalah

136
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 62-63.
137
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,, juz II, h. 63-64.
138
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz X, h. 81.
66

al-faḍlu )keutamaan( dan ihsān )kebaikan(, dan hal semacam ini sudah
dijelaskan pada dalil-dalil terdahulu.139
Qiraat al-Mufaḍil dari „Āṣim (ُ‫ )َُ َىفِّش وَُذ ِخ ٍْ ُى‬dengan dua ya‟ di dua huruf atas
ẓamir mukhatab ghaib, dan yang lainnya membaca dengan nun ‫ ُٔ َىفِّش ؤُ َىفِّش‬yang
bermaksud isti‟nāf al-wa‟di. Qiraat Nāfi‟ (َ‫ ) َِ ْذ َخل‬dengan fatḥah mim dalam
masalah haji misalnya, selebihnya dengan ḍammah, dan tidak ada perselesihan
ِ ‫ص ْذ‬
pendapat di sini (‫ق‬ ِ َ‫) ُِ ْذ َخل‬. Qiraat yang membaca dengan fatḥah (َ‫) َِ ْذ َخل‬
maksudnya adalah (‫ )ِىضىع اٌذخىي‬pintu atau tempat masuk, sedangkan yang
membaca ḍammah maksudnya adalah maṣdar dan memiliki arti ‫( اإلدخبي‬cara
memasukkan). Seperti ayat (‫ )وَذخٍىُ إدخبال وشَّب‬dan al-idkhāl al-kirām bermakna
sesungguhnya memasukkan dengan cara yang mulia, sebagai ganti dari firman
Allah Swt. (ُّٕ‫)اٌزَٓ َحششوْ عًٍ وجىههُ إًٌ جه‬.140
Al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi memiliki perbedaan penafsiran dalam lafaẓ
kabāiru al-itsm. Al-Zamakhsyarī mencantumkan qiraat tanpa menyebutkan
periwayatnya, dengan bacaan kabīru al-itsm, dan lafaẓ kabīrun yang spesifik
diartikan dengan kafir. Sedangkan al-Rāzi menyangkal penafsiran qiraat
tersebut bahwa makna kabāir bukanlah kafir. Sebab dalil tentang kafir sudah
disebut dalam ayat lain. Selanjutnya, pada qiraat madkhalā. Al-Zamakhsyarī
dan al-Rāzi sama-sama mencantumkan qiraat madkhalā dan mudkhalā.
Perbedaanya adalah al-Zamakhsyarī hanya menjelaskan kedudukannya.
Sedangkan al-Rāzi memberikan penjelasan, apabila madkhala artinya adalah
tempat maka makna mudkhala dari kata al-idkhal yakni cara masuknya. Selain
itu, al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi sama-sama mencantumkan qiraat yukaffir dan
nukaffir. Adapun bedanya al-Rāzi mencantumkan qiraat nudkhilkum pada lafaẓ
yudkhilkum. Sedangkan al-Zamakhsyarī tidak mencantumkan qiraat tersebut.
Al-Zamakhsyarī juga berpendapat bahwa ampunan dosa besar harus diiringi
dengan ampunan dosa kecil. Adapun al-Rāzi menyanggah perkataan tersebut,
beliau beranggapan bahwa ampunan dosa besar tidaklah harus mendapatkan

139
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāi, juz X, h. 81.
140
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz X, h. 81.
67

ampunan dosa kecil terlebih dahulu. Beliau juga menyangkal bahwa orang
yang tidak menjauhi dosa besar bukan berarti ia kafir.
3. Kufur
Surat al-Māidah ayat 36-37:

             

             

           
“36. Sesungguhnya orang-orang yang kafir Sekiranya mereka mempunyai
apa yang dibumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula)
untuk menebusi diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya (tebusan
itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih. 37.
mereka ingin keluar dari neraka, Padahal mereka sekali-kali tidak dapat
keluar daripadanya, dan mereka beroleh azab yang kekal.”

Dalam kitab Tafsīr al-Kasysyāf, firman Allah Swt. (‫ )َُشَذوْ أْ ََخشجىا‬qiraat


Abū membaca ‫ أْ َُخشجىا‬dengan ḍammah ya‟ dari kata ‫أخشج‬. Firman Allah
( َُْٓ ‫خش ِج‬ ِ ‫ثِ َخ‬. Adapun menurut
ِ ِ‫ )ث‬qiraat Abū yang telah umum membaca َُْٓ ‫بس ِج‬
riwayat dari Ikrimah bahwasanya Nāfi‟ bin Azraq berkata kepada Ibnu „Abbās,
“Wahai orang yang buta mata dan buta hati yang menuduh bahwasanya suatu
ِ ِ‫ ) َو َِب هُ ُْ ث‬maka berkata dia
kaum akan keluar dari neraka”.141 Firman ( َُْٓ ‫خش ِج‬
berjuang dengan sungguh-sungguh. Dan aku membaca sesuai dengan bacaan di
ِ ‫ )ثِ َخ‬maksudnya hadza li-al-kuffār (ini adalah untuk orang-orang
atas ( َُْٓ ‫بس ِج‬
kafir). Maka al-mujribatu (orang-orang yang terpaksa)142 benar-benar telah

141
Mahmud Berkata: “Wahai orang yang buta mata dan buta hati menuduh bahwasanya
suatu kaum akan keluar dari neraka…”. Ahmad berkata: pada pembahasan ini, merupakan ucapan
dengan bahasa kasar yang ditujukan kepada ahlussunnah dan mereka (ahlu sunnah) telah
menampik dengan sesuatu yang tidak mereka ucapkan tentang perkataan di atas, dari berita-berita
bohong yang bercampur fitnah-fitnah yang tidak megenakkan hati yang dipenuhi dengan cinta
sunnah dan ahlu sunnah dengan maksud pembelaan dan klarifikasi. Dan kami akan mengoreksi
cerita ini, dan Allah tidak akan menangguhkan kebenaran akidah sesuai dengan kebenarannya.
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn
al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 232.
142
Ungkapan “Maka al-mujribatu (orang-orang yang terpaksa) benar-benar telah
berbohong” ialah pendapat ahlu sunnah dengan mengeluarkan orang yang berdosa besar dari
neraka karena ia stastusnya mukmin, hal ini berberda dengan Mu‟tazilah, orang-orang berkata “la
mu‟min wa la kafir bal wasatahu” bahwa pendosa besar tidaklah mukmin dan tidak pula kafir
68

berbohong. Yang mana pada awalnya mereka tidak berbohong dan mengelak.
Hal semacam ini menguraikan maksud-maksud Ibnu al-Azrāq Ibnu Ammi
Rasulullah Saw. ia menjelaskan bahwa telah jelas tertolong dari kaum Quraisy
yang dikecualikan143 dari bani „Abdul Muṭālib. Ibnu Azrāq telah menjelaskan
kabar ini kepada umat dengan penjelasannya yang mendalam. Dari konteks
penjelasan ini, janganlah hanya mengaitkan contoh satu orang dengan
banyaknya penduduk bumi.144
Dalam kitab Tafsīr Mafātih al-Ghāib, mereka (para pendosa) menghendaki
keluar karena ada dua perkara. Pertama, bahwasanya mereka telah
menghendaki demikian, dan mereka telah mencari tempat keluar seperti dalam
firman Allah Swt. )‫(وٍّّب أسادوا أْ َخشجىا ِٕهأ أعُذ فُهب‬. Dikatakan jika api menyala
mengangkat mereka ke atas maka di sanalah mereka berharap keluar. Dan
dikatakan mereka menghendaki keluar karena kuatnya api neraka dan api
tersebut mendorong mereka. Kedua, sesungguhnya mereka berharap keluar dan
menghendaki dengan hati mereka. Seperti firman Allah Swt. dalam tema lain
(‫ ) َسثّٕب أخشجٕب ِٕهب‬pandangan ini dikuatkan dengan qiraat yang membaca ( ْ‫َُشَذوْ أ‬
‫ )َُخ َشجىا ِٓ إٌّبس‬dengan menḍammahkan ya‟.145
Kami berpendapat tentang ayat ini, bahwasanya sesungguhnya Allah Swt.
mengeluarkan dari neraka bagi orang yang melafalkan la ilaha illa Allah
dengan ikhlas. Mereka berkata bahwasanya Allah Swt. menjadikan makna ini
sebagai hidayah kepada orang-orang kafir, dan berbagai macam ketakutan
mereka kepada Allah Swt. terhadap ancaman yang pedih. Jikalau pun tidak,
sesungguhnya makna ini adalah mengkhususkan orang-orang kafir dan jikalau

akan tetapi ada di tengah-tengahnya. Dan pembahasan ini telah dijelaskan dalam ilmu tauhid. Abū
al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-
„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 232.
143
Ucapan “dan yang dikecualikan” dalam al-Shihah: merupakan seorang laki-laki yang
berbeda, pamannya nabi dan saudara-saudara nabi terdahulu yang mulia. Abū al-Qāsim Mahmūd
ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-
Ta‟wīl, juz II, h. 232.
144
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 232.
145
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XI, h. 227-228.
69

pun tidak dikhususkan terhadap orang-orang kafir. Hanya Allah Swt. yang
mengetahu maknanya. Wallāhu a‟lamu.146
Penafsiran di atas, pada lafaẓ ‫َُشَذوْ أْ ََ ْخشُجىا ِٓ إٌّبس‬. Al-Zamakhsyarī dan
al-Rāzi mencantumkan qiraat yang membaca ‫ أْ َ ُْخ َشجىا‬dengan menḍammahkan
ya‟. Adapun yang membaca ‫ أْ َُخ َشجىا‬menurut al-Rāzi menguatkan pandangan
bagi mereka yang berharap keluar dari neraka dan menghendaki dengan hati
mereka.
Adapun pada lafaẓ ُٓ‫ وِب هُ ثِخشج‬ditafsirkan orang-orang yang berjuang
ِ ‫ثِ َخ‬. Beliau
untuk keluar dari neraka. Al-Zamakhsyarī mencantumkan qiraat ُٓ‫بسج‬
juga memilih bacaan ini, karena sesuai dengan argumentasinya. Menurut beliau
ِ ‫ ثِ َخ‬adalah ditujukaan untuk orang-orang
maksud dengan memilih qiraat َُْٓ ‫بس ِج‬
kafir. Beliau menentang pendapat ahli sunnah yang berpendapat orang yang
berdosa besar masih mukmin dan bisa masuk surga. Beliau berargumen bahwa
orang kafir tidak bisa keluar dari neraka juga tidak di surga. Hal ini beliau
jelaskan dengan cerita paman Nabi („Abdul Muṭālib) yang kafir namun dapat
keluar dari neraka. Namun beliau memperingatkan bahwa itu hanyalah orang
yang dikhususkan, dan hal semacam ini tidak berlaku untuk seluruh umat
manusia. Berbeda dengan al-Rāzi, bahwa orang kafir masih bisa keluar dari
neraka bagi mereka yang mengucapkan lā ilāha illa Allah dengan ikhlas.
4. Kufur (Menyembah Ṭāghut)
Surat al-Maidah ayat 60:

              

           
 

   


“60. Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-
orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi
Allah, Yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka
(ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?".
mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.”

146
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāibjuz XI, h. 228.
70

Dalam Tafsīr al-Kasysyāf, firman Allah Ta‟āla ( ً‫لً هً أٔجّئىُ ث َش ّش ِٓ راٌه ِثىثخ‬
‫ )عٕذ هللا‬lafaẓ ً‫ِثُىثخ‬, dibaca ‫ َِ ْث َىثَخ‬, dan contoh keduanya ً‫ َِشىسح‬dan ‫ َِ ْش َى َس َح‬. Jika aku
berkata: perbuatan fasik bisa dihilangkan dengan kebaikan. Lantas bagaimana
yang dimaksud kebaikan dalam keburukan? Perbuatan fasik mendapatkan
hukuman, seperti ungkapan dari al-Wafir:
147
‫ضشْ ةٌ َوجُ ُع‬
َ ُ‫ * رحُّخ ثُٕه‬..................…………

Firman Allah Ta‟ala ( َ‫„ )و َعجَ َذ اٌطَّغىد‬aṭaf atas silah148 “َِٓ ” seperti yang
dikatakan َ‫ َو َِٓ َعجَ َذ اٌطَّغىد‬. Qiraat Ubay membaca َ‫ َو َعجَ ُذوْ ا اٌطَّ ُغىد‬maknanya sama.
Sedangkan qiraat dari Ibnu Mas‟ūd َ‫ َو ِٓ َعجَ ُذوْ ا اٌطَّ ُغىد‬, dan dibaca‫َوعَبثذ اٌطَّغىد‬
„aṭaf pada lafaẓ ‫اٌمِ َش َد ِح‬. Dibaca ٌ‫ َوعَبثذ‬, ‫و ِعجبد‬, ‫ َو َع ْج َذ‬dan ‫ َوعجُ َذ‬maknanya sama yakni
melampaui batas dalam urusan „ubūdiyyah. Seperti ungkapan mereka: laki-laki
yang hati-hati dan cerdas untuk menyampaikan dalam kehati-hatian dan
pemahaman. Al-Kāmil berkata:

‫أثٍٕ ٌجًُٕ ٌسذ ِعزشفًب * ٌُىىْ أألَ ِٕىُ أحذ‬


149
ّ ً‫إْ أُ ِّ ُى ُُ * أَ َِخ‬
‫وإْ أثَب ُو ُُ َع ْج ُذ‬ ْ َ‫أَث‬
ّ ٍَُْٕ َ‫ٍٕ ٌُج‬

147
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 261.
148
Mahmud berkata: (“wa „abda al-thagut „aṭaf atas silah „man‟….”). Ahmad berkata:
pertanyaan-pertanyaan wajib dari faham Qadariyyah sebab mereka mengira bahwasanya Allah
menginginkan mereka untuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Sesungguhnya
mereka menyembah berhala-berhala merupakan perbuatan yang keji, dan Allah tidak menghendaki
orang-orang yang berbuat keji akan tetapi membalikkan wujud membelakangi orang yang
mengharapkan-Nya. Oleh sebab itu al-Zamakhsyari berkomentar soal takwil kejadian dengan tidak
memberikan perolongan-pertolongan atau dengan hukum. Seperti dalam firman Allah Ta‟ala (wa
ja‟alnahum aimmata yad‟uuna ila al-nar) dengan artian kami telah menghukumi mereka dengan
hal tersebut. Pemahaman seperti ini merupakan kaidah faham Qadariyah. Adapun akidah ahlu
sunnah yang sepakat ayat ini dipandang secara dhahir, “Bahwa Allah Ta‟ala membelah dan
menciptakan dalam hati mereka mentaati berhala-berhala dan menyembahnya, Allah maha
berkehendak atas sesuatu dan tidak berkehendak atas apa yang tidak Ia kehendaki”. Adapun
apabila dikembalikan kepada faham Qadariyah tentang sebenarnya orang yang tidak tertolong atau
yang dihukum dengan mengeluarkan takwil, “Allah tidak mentakdirkan darinya atas hakikat
dirinya, juga tidak menjelaskannya tanpa penciptaan, jikalau ia memahami kebaikan dan
meninggalkan urusan-urusan yang buruk dan memperluas angan-angan. Dan sesungguhnya Allah
Maha Pengasih lagi Maha Penolong”. Lihat: Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī,
al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 262.
149
Aus bin Hajar, dan dikatakan kepada Turfah bin bin al-„Abd huruf hamzah untuk al-
Nida (panggilan). Sedangkan makna al-„abdu ialah kehati-hatian dalam bidang ubudiyyah. Al-
71

Lafaẓ ‫ وعجذ‬dengan wazan ُ‫حط‬. Sedangkan lafaẓ ‫ عجُذ‬dari ‫ عج ٌذ‬dengan


ḍammatain jamaknya ‫عَجُذ‬. Kata ‫ َوعُجذح‬dengan wazan ‫وفشح‬. Kata ‫عَجذ‬, asli katanya
adalah ‫ عجذح‬ialah membuang ta‟ sebab iḍafah atau seperti lafaẓ َ‫ خذ‬dengan
jamak َ‫خبد‬. Sedangkan ‫وعجذ‬,150 ‫وعجبد‬, ‫ وأعجذ‬dan ‫ عجذ اٌطبّغىد‬sebagai bina‟ karena
maf‟ūl dan membuang raji‟, memiliki makna ُ‫وعجذ اٌطبغىد فُهُ او ثُٕه‬
(menyembah berhala-berhala di dalam diri mereka atau dihadapan mereka).
Sedangkan qiraat ‫ وعجذ اٌطّبغىد‬memiliki makna ‫صبس اٌطّبغىد ِعجىدًا ِٓ دوْ هللا‬
menjadikan berhala-berhala sebagai sesembahan selain Allah Swt., seperti
kamu berkata: (‫( إرا صبس أُِشًا )أِ ٌش‬menjadikan seorang pemimpin). Adapun
bacaan lain seperti qiraat al-Hasan membaca (‫)اٌطّىاغُذ‬.
Dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib, ‫ ِثىثخ‬naṣab karena tamyiz, dan wazan-nya
‫ِفعىٌخ‬, seperti kamu berucap ‫ ِمىٌخ‬dan ‫ ِجىصح‬mengandung makna maṣdar.
Banyak sekali contoh maṣdar-maṣdar yang menjadi maf‟ul, seperti ‫ اٌّعمىي‬dan
‫اٌُّسىس‬.151
Ṣahibi al-Kasysyāf telah menyebutkan pada firman Allah Swt. (‫)عجذ اٌطبغىد‬
memiliki beragam versi qiraat. Pertama, qiraat Ubay membaca ‫وعجذوا اٌطبغىد‬.
Kedua, qiraat Ibnu Mas‟ūd ‫وِٓ عجذوا‬. Ketiga, qiraat ‫„ اٌطبغىد وعبثذ‬aṭaf pada
lafaẓ ‫اٌمشادح‬. Keempat, qiraat ٌ‫وعبثذ‬, Kelima, qiraat ‫وعجبد‬. Keenam, qiraat ‫وعجذ‬.
Ketujuh, qiraat ‫ وعجذ‬dengan wazan ُ‫حط‬. Kedelapan, ‫وعجُذ‬. Kesembilan, ‫وعج ٌذ‬
dengan men ḍammatain, jamak dari kata ‫عجُذ‬. Kesepuluh, membaca ‫وعجذح‬

Firaa meriwayatkan dengan mendhammahkan, akan tetapi ia berkata: bahwasanya dhammah ba‟
itu karena darurat. Al-Suyuthi berkata: bahwasanya dengan mendhammahkan isim jamak li‟abdi
dengan mensukun. Akan tetapi secara dhahir bertentangan dengan baitnya. “Wahai anak-anakku,
dihadapanku engkaulah orang yang tidak tahu kalau ada orang yang paling hina diantara kalian,
maka sesungguhnya bapak-bapak kalian adalah para budak”. Oleh sebab itu, kata al-amatu
mengkhususkan kepada budak wanita dan „al-abdu pada seorang budak laki-laki. Pengertian yang
beredar dalam bahasa dan mereka memanggil dengan panggilan yang asing. Karena bahwasanya ia
menyesali karena menghadap dengan mencela, dan berulang-ulang kali al-Nida ma‟a idhafah
karena untuk meringankan mereka. Lihat: Diwanuhu, h. 21, al-Lisanu (al-abdu), Bahr al-Muhith
Juz III, h. 530., al-Darr al-Masun, Juz II, h. 558. Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-
Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II,
h. 262.
150
Ungkapan (wa „abada) kira-kira dengan fathah „ain dan dhammah ba‟ („abuda)
kanadsin (seperti makna kecerdasan ). Maka hal seperti ini merusak kebenaran. Lihat: Abū al-
Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-
„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 262.
151
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XII, h. 38.
72

dengan wazan ‫وفشح‬. Kesebelas, ‫ وعجذ‬yang asal katanya ‫ عجذح‬dengan membuang


ta‟ karena iḍafah, atau seperti kata َ‫ خذ‬dengan jamaknya َ‫خبد‬. Keduabelas,
qiraat ‫عجذ‬. Ketigabelas, qiraat ‫عجبد‬. Keeempatbelas, qiraat ‫وأعجذ‬. Kelimabelas,
membaca ‫ وعجذ اٌطبغىد‬ala bina li al-maf‟ul dan membuang rāji‟, yang memiliki
makna ‫ وعجذ اٌطبغىد‬dan menyembah berhala-berhala dalam diri mereka ataupun
di hadapan mereka. Keenambelas, ‫ وعجذ اٌطٍغىد‬bimakna ْ‫صبس اٌطغىد ِعجىدًا ِٓ دو‬
ًٌ‫هللا رعب‬. Menjadikan berhala-berhala sebagai sesembahan selain Allah Swt.
Seperti kamu berucap (‫ )أِش‬dalam kalimat ‫( إرا صبس أُِ ًشا‬menjadikan seorang
pemimpin).152
Qiraat Hamzah membaca ‫ عجُذ اٌطبغىد‬dengan fatḥah „ain, menḍammahkan
ba‟, menaṣabkan dal dan men-jar-kan lafaẓ al-taghut. Mereka mengukuhkan
qiraat Hamzah dan yang lainnya serta menisbatkan pada sesuatu yang mestinya
tidak diperbolehkan menyebutkannya. Kaum berkata: ‫إّٔهب ٌُسذ ثٍحٓ وال خطأ‬
(sesungguhnya tidak ada kekeliruan dan kesalahan dalam qiraat).153
Adapun mereka telah menyebutkan tujuan-tujuan (maksud) bacaan.
Pertama, sesungguhnya ‫ اٌعجذ‬ialah ‫ اٌعجذ‬kecuali mereka menḍammahkan ba‟
untuk memperkuat penjelasan. Seperti ucapan mereka: seorang laki-laki yang
berhati-hati dan cerdas untuk menyampaikan dalam kehati-hatian dan
kecerdasan. Maka takwil lafaẓ ‫ عجذ اٌطبغىد‬adalah penyampaian tujuan dalam
ketaatan kepada syaitan. Dan ini merupakan tujuan yang paling baik. Kedua,
bahwasanya ‫ اٌعجذ‬dan ‫ اٌعجذ‬merupakan dua kata. Seperti kata mereka ‫ سجع‬wa ‫سجع‬.
Ketiga, kata ‫ اٌعجذ‬jamaknya ‫عجبد‬, dan ‫ اٌعجبد‬jamaknya ‫عجذ‬, seperti kata ‫ ثّبس‬dan ‫ثّش‬,
kemudian mereka menitik beratkan pada ḍammatain yang berlipat ganda
kemudian menggantikan yang pertama dengan fatḥah. Keempat, menginginkan
bacaan ‫أعجذ اٌطبغىد‬, seperti contoh ‫ فٍس‬dan ‫( أفٍس‬uang dan beruang), kemudian
membuang hamzah dan memindahkan harakat hamzah pada „ain. Kelima,
yang menginginka bacaan ‫وعجذح اٌطبغىد‬, seperti yang telah dibahas, yakni

152
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XII, h. 39.
153
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XII, h. 39.
73

membuang huruf ha‟ dan menḍammahkan ba‟ supaya menyerupai fi‟il. Seperti
qiraat Hamzah „abuda.154
Penafsiran di atas, dalam tafsir al-Kasysyāf lafaẓ matsubatan dalam salah
satu qiraat dibaca matswabatan seperti masyuratan dan masywaratan. Pada
penafsiran di atas, pembahasan lebih dominan pada lafaẓ „abada al-ṭāguta
karena memiliki banyak versi bacaan. Menurut al-Rāzi ada 16 versi qiraat pada
lafaẓ „abada al-ṭāguta sebagaimana yang beliau nukil dari Ṣahibi al-Kasysyāf
Al-Zamakhsyarī menafsirkan qiraat „abuda, „abda, „ibādi dan „ābidi dengan
ya‟ maknanya adalah melampaui batas. Sedangkan qiraat yang membaca
„abuda, „ibāda, a‟budu dan „ubda al-ṭāguta memiliki makna mereka
menyembah berhala-berhala dalam diri mereka atau di hadapan mereka.
Adapun qiraat yang membaca a‟bada al-ṭāguta maknanya adalah menjadikan
berhala-berhala sebagai sesembahan selain Allah Swt.
Al-Rāzi menyayangkan pencantuman qiraat Hamzah yang membaca
„abuda dan men-jarkan lafaẓ al-ṭāghuta yang dicantumkan di dalam al-
Kasysyāf. Menurut al-Rāzi pencantuman tersebut hanya untuk suatu
kepentingan saja. Beliau berpendapat, memang tidak ada yang salah dalam
qiraat, namun qiraat semacam ini semestinya tidak perlu dicantumkan. Lebih
lanjut beliau menjelaskan tujuan-tujuan mencantumkan qiraat. Bahwasanya
„abada dan „abadu adalah sama, kecuali menḍammahkan ba‟ untuk
menguatkan penyampaian. Kedua, bahwasanya al-„bda dan al-ab‟du
merupakan dua bahasa yang berbeda, seperti sab‟u dan sab‟a. Ketiga
bahwasanya „abdu jamaknya „ibad dan al-„ibādu jamaknya „abdu. Keempat,
bacaan „abudu al-ṭāguta umpamanya seperti falasa dan aflasa. Kelima „ubdatu
al-thaguta setelah itu kemudian dibaca dengan membuang ha‟ dan
menḍammahkan ba‟ supaya menyerupai fi‟il “„abuda” seperti qiraat Hamzah di
atas.
5. Orang-orang yang Ditangguhkan Nasibnya
Surat Al Taubah Ayat 106:

154
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XII, h. 39-40.
74

            


“Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada
keputusan Allah; adakalanya Allah akan mengadzab mereka dan adakalanya
Allah akan menerima taubat mereka. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”

Al-Zamakhsyarī dalam tafsirnya, kata َْ ْ‫ ُِشْ َجى‬dibaca (ْ ْ‫ ُِشْ َجى‬dan َْ ْ‫) ُِشْ َجئُى‬
dari kata ُ‫أسْ َجُزُه‬, dan kata ُ ‫أس َجأرُه‬: jika belakangan dijumpai, di antaranya kata
ُ‫ أٌ ُّشْ ِجئَخ‬yakni orang-orang dari golongan mukhtalif (berselisih) yang
menggantungkan urusannya. Qiraat (ٌُ ُ‫ )وهللا َعٍُِ ٌُ َحى‬dalam qiraat Abdullah dibaca
(ٌُ ُ‫ )وهللا َغفُى ٌس َسح‬dan adapun terhadap para hamba, maksudnya adalah mereka
khawatir terhadap siksa-siksa,155 dan mereka mengharapkan rahmat.156
Dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib, qiraat Hamzah, Nāfi‟, al-Kisā‟i, dan Ḥafs
dari „Āṣim membaca َْ ْ‫ ُِشْ َجى‬tanpa hamzah dan selain bacaan tersebut membaca
dengan hamzah. Secara bahasa keduanya memiliki arti arja‟at al-amru
(mengharapkan sesuatu) wa arjaituhu bil hamz wa tarkuhu, jika belakangan
dinamakan murjiah, maksud dari nama ini adalah karena sesungguhnya mereka
tidak mengharuskan ucapan orang yang betaubat dengan istighfar (ampunan)
akan tetapi mereka menginginkan ridha Allah Ta‟ala. Imam al-Auzā‟i berkata
karena mereka beramal berdasarkan iman.157
Al-Rāzi menambahkan, al-Hasan berkata yang dimaksud murjauna dalam
ayat (‫ )وأخشوْ ِشجىْ ألِش هللا‬adalah kaum dari orang-orang munafiq, mereka
mengharapkan untuk diakui kehadirannya oleh Rasulullah. al-Rāzi juga
memberikan penjelasan dari al-Zamakhsyarī sesungguhnya kalimat ‫ إ ِّب‬dan ‫أ ِّب‬
ّ
‫ٌٍشه‬. Allah Swt. telah mensucikan darinya. Dan jawaban yang dimaksud dari ‫أ ِّب‬

155
Ucapan “wa imam lil „ibadi ai khafu „alaihim” ibarat menurut saya (al-Zamakhsyari)
adalah karena keraguan orang yang kembali kepada seorang hamba. Abū al-Qāsim Mahmūd ibn
Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,
juz III, h. 90.
156
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz III, h. 90-91.
157
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XIV, h. 195.
75

dan ‫ إ ِّب‬adalah soal kekhawatiran dan kecemasan dengan penuh harapan. Maka
para manusia berkata binasalah jika maaf mereka tidak diterima Allah, dan
sebagian orang berkata mengharapkan kepada Allah untuk mengampuninya.
Al-Rāzi menambahkan, kaum-kaum yang menyesali jaganlah ragu atas perang
dan perselisihan dari Rasulullah Saw. karena Allah Ta‟ala tidak akan
menghukum orang yang bertaubat dan firman Allah Swt. (ُ‫)إ ِّب َعزثه‬
menunjukkan bahwa sesungguhnya satu penyesalan tidaklah sempurna di
dalam kesungguhan bertaubat.158
Dalam dua penafsiran di atas, al-Rāzi dan al-Zamakhsyarī sama-sama
mencantumkan qiraat pada lafaẓ murjauna dengan bacaan murjauna dan
murja‟ūna dengan hamzah. Dalam lafaẓ murja‟uuna dengan hamzah muncul
kata al-murji‟ah, menurut al-Zamakhsyarī artinya ialah sekelompok orang
yang berikhtilāf (berselisih) dan menggantungkan urusannya. Sedangkan al-
Rāzi memaknainya bahwa mereka tidak mengharuskan ucapan orang yang
betaubat dengan istighfar (ampunan) akan tetapi mereka menginginkan riḍa
Allah Ta‟ala dan alasan utamanya karena landasan mereka beramal dengan
iman. Dalam hal ini, yang menjadi pembedanya adalah, al-Zamakhsyarī
mencantumkan qiraat wallāhu „alīmun hakīmun dengan bacaan wallāhu
gahfūrun rahīmun, dengan artian bahwa orang-orang yang mengkhawatirkan
atas siksa-siksa, mereka mengharapkan ampunan dan kasih sayang Allah Swt.
Adapun al-Rāzi tidak mencantumkan qiraat tersebut.
6. Syirik, Membunuh dan Zina
Surat al-Furqan ayat Ayat 68-70:

             

              

158
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XIV, h. 196.
76

           

      


    
“68. dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta
Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang
melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).
69. (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia
akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina. 70. kecuali orang-orang
yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan
mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”

Dalam Tafsīr al-Kasysyāf, firman Allah (‫ )ٍَك أثبِب‬dalam qiraat ada yang
membaca ‫ٍَك فُه أثبِب‬, ada pula yang membaca ً‫ ٍَم‬dengan menisbatkan alif.
dikatakan al-itsmun maknanya َ‫( ٍَك جضاء أثب‬balasan yang setimpal dengan dosa-
dosa). Ibnu Mas‟ūd membaca ‫ أَّبِب‬yang berarti syadīdun (sangat pedih). Juga
dikatakan yauma dzu ayyam: liyaumi al-„aṣīb. Adapun kata (yuḍa‟if) badal dari
yalqa, karena keduanya memiliki makna satu. Seperti dalam syair.159
‫بسٔب * رَ ِج ْذ َحطَجًب َج ْضالَ َؤَب ًسا رَأ َ ّج َجب‬ ْ
ِ ََ‫َِزًَ رَأرَِٕب رُ ٍْ ِّ ُْ ثَِٕب فٍ ِد‬
Bacaan yuḍa‟ifu dan nuḍa‟ifu lahu al-„adzāba dengan nun dan naṣab pada
kata al-adzāba. Ada juga yang membaca rafa‟ pada kata al-adzāba
kedudukannya menjadi isti‟nāf atau kedudukannya menjadi hāl. Kata yakhladu
dibaca yukhladu karena bina‟ kepada maf‟ul mukhaffafan meringankan dan
mutsaqqalan memberatkan dari ikhlādi dan al-takhlidi. Ada pula yang
membaca takhludu dengan ta‟ „ala al-iltifāt.160
Lantas apa arti melipat gandakan siksa-siksa dan menggantikan
keburukan-keburukan dengan kebaikan? Aku berkata: jika orang musyrik
melakukan maksiat dan syirik bersamaan, ia akan mendapatkan siksa atas
perbuatan syirik dan maksiat pula. Maka akan dilipatgandakan hukuman
kepada orang yang melipatgandakan kesalahannya. Maksud mengganti
159
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz IV, h. 371-372.
160
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz IV, h. 372.
77

keburukan dengan kebaikan ialah dengan menghapusnya dengan taubat, dan


kebaikan-kebaikan adalah iman, taat, dan taqwa. Dikatakan syirik diganti
dengan iman, membuh muslim diganti dengan membunuh musyrikin dan zina
diganti dengan menjauhkan diri dari perbuatan keji.161
Tafsīr Mafātih al-Ghāib, apa maksud al-atsām? Jawabannya ada beberapa
versi. Pertama, bahwa arti atsām adalah balasan atsām (dosa-dosa) dengan
wazan al-wabāla wa al-nakāla. Kedua, pendapat Abī Muslim bahwa al-atsām
dan al-itsmu adalah satu, dan maksudnya disini adalah balasan dosa-dosa yang
kemudian menetapkan nama sesuatu atas balasannya. Ketiga, al-Hasan berkata
al-atsām adalah nama dari nama-nama neraka, dan Mujāhid berkata atsāman
ialah jurang dalam neraka, dan Ibnu Mas‟ūd membaca ayāma, yakni sangatlah
pedih, seperti yang dikatakan yauma dzu atsami liyaumi al-„aṣīb hari dimana
para pendosa pada hari pembalasan yang amat panas.162
Lafaẓ yud‟afu dibaca yud‟afu dan nud‟afu lahu al‟adzab dengan nun dan
naṣab pada lafaẓ al-adzaba, dibaca rafa‟ sebab isti‟naf atau sebab haal.
Begitupun pada lafaẓ yakhladu sebab bina‟ li al-maf‟ul yang meringankan dan
memberatkan dari ikhladi dan al-takhlidi, dibaca al-takhlidi sebab al-iltifat.163
Penafsiran al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi dalam mencantumkan qiraat
hampir sama dan tidak ada perbedaan penafsiran. Perbedaannya hanya al-
Zamakhsyarī mencantumkan qiraat pada lafaẓ yalqa atsāma dengan qiraat ً‫ٍَم‬
‫أثبِب‬. Keduanya juga mencantumkan qiraat Ibnu Mas‟ūd yang membaca yalqa
ayāma yang berarti hari pembalasan yang amat pedih.
7. Berputus Asa dari Rahmat Allah Swt.
Surat al-Zumar ayat 53:

               

       

161
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz IV, h. 372.
162
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXIV, h. 111.
163
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXIV, h. 111.
78

“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap


diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah
yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam kitab Tafsīr al-Kasysyāf, lafaẓ (‫ )ال رمٕطىا‬dibaca dengan memfatḥah


nun ‫ال رمَٕطىا‬, meng-kasrah nun ‫ال رمِٕطىا‬, dan menḍammah nun ‫ال رمُٕطىا‬. Adapun
ّ yakni dengan syarat bertaubat.164 Adapun firman
lafaẓ (‫)إْ هللا َغفش اٌزٔىة جُّعًب‬
Allah Swt. (‫ )َغفش اٌزٔىة جُّعًب‬dalam qiraat Ibnu „Abbās dan Ibnu Mas‟ūd dibaca
(‫ )ََغفِش اٌزٔىة جُّعًب ٌّٓ َشبء‬maksud dari bacaan tersebut adalah ‫( ِٓ ربة‬orang yang
bertaubat), karena sesungguhnya kehendak Allah sesuai dengan kebijaksanaan-
Nya dan keadilan-Nya, bukan karena kepemilikan-Nya dan kekuasaan-Nya.
Dikatakan dalam qiraat Nabi Saw. dan Faṭimah r.a. (ٌٍ‫)َغفش اٌزٔىة جُّعًب وال َجب‬
yang artinya “Allah mengampuni semua dosa-dosa dan tidak diberikan
musibah”. Kami melihat tidak ada yang menarik perhatian juga tidak
menakutkan, seperti dalam firman Allah Ta‟āla surat al-Syams ayat 15 ( ‫وال َخبف‬
‫)عمجبهب‬.
Dikatakan ahlu Makkah berkata nabi Muhammad Saw. menganggap
bahwasanya orang yang menyembah berhala-berhala dan membunuh jiwa
sebagaimana yang telah dilarang Allah, maka tidak ada ampunan baginya. Lalu
bagaimana jika kami belum berhijrah, sedangkan kami masih menyembah
berhala-berhala dan kami membunuh jiwa sebagaimana yang telah Allah
haramkan? Diriwayatkan bahwasanya „Iyās bin Abī Rabī‟ah dan Walīd bin al-
Walīd masuk Islam dan keduanya berpaling, kemudian mereka disesatkan dan
disiksa, maka mereka tersesat, oleh sebab itu kami berkata, “Allah tidak akan
menerima mereka dengan benar-benar menolak dan tidak ada keadilan
selamanya”.165

164
Ungkapan (ya‟ni bisyarthi taubah), adanya pertaubatan karena umumnya ada unsur
syirik. Adapun jika tidak bertaubat maka tidak ada ampunan terhadap dosa-dosa besar, hal ini
menurut faham Mu‟tazilah. Dan orang yang berbuat dosa besar masih mendapatkan syafaat
dengan hanya bermodalkan keutamaan, menurut ahlu sunnah, (Inna Allaha laa yaghfiru an
yusyraka bihi wa yaghfir maa duuna dlalika liman yasyaa) sebagaimana telah dijelaskan dalam
ilmu tauhid. Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz V, h. 312.
165
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz V, h. 312-313.
79

Dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib, Nāfi‟ Ibnu Katsīr, Ibnu „Amir dan „Āṣim
(‫ )َب عجبدي‬artinya dikhusukan terhadap orang-orang mukmin. dengan memfatḥah
ya‟ dan yang lainnya „Āṣim dalam beberapa riwayat dengan mengesampingkan
fatḥah, dan semuanya sepakat dengan menetapkan ya‟ karena sesuai dengan
ketetapan dalam mushaf. Kecuali dalam salah satu riwayat Abi Bakr dari
„Āṣim menetapkan tanpa ya‟. Sedangkan qiraat Abū „Amr dan Kisā‟i lafaẓ ( ‫ال‬
‫ )رمٕطىا ِٓ سحّخ هللا‬dengan mengkasrah nun, dan yang lainnya dengan mem
fatḥah nun, dan ini adalah dua bahasa yang berbeda. Ṣahibi al- Kasysyāf
menukil qiraat Ibnu „Abbās dan Ibnu Mas‟ūd (‫)َغفش اٌزٔىة ٌّٓ َشبء‬.166
Al-Rāzi dalam menafsirkan lafaẓ (‫ )ال رمٕطىا‬maksudnya mencegah mereka
agar tidak berputus asa, karena lafaẓ ini mengandung perintah untuk berharap
kebaikan, maka jika ada perintah berharap tidak pantas baginya kecuali
mengagungkan perintah. Adapun makna (‫ )َغفش اٌزٔىة جُّعب‬maksudnya bukan
sebagai tujuan, akan tetapi mengikutkan arti lafaẓ untuk menunjukkan terhadap
ta‟kīd maka lafaẓ jamī‟an juga merupakan bagian dari ta‟kīd. maksud ayat ini
bahwa Allah adalah Maha Pengampun atas segala dosa-dosa yang menimpa
orang mukmin. Maksudnya adalah bahwa ayat ini tidak mungkin menentang
atas ẓahirnya. Dan suatu keharusan adanya dosa-dosa pasti mendapat
ampunan.167
Penafsiran di atas, al-Rāzi dan al-Zamakhsyarī memiliki perbedaan dalam
pencantuman qiraat. al-Rāzi mencantumkan qiraat pada lafaẓ qul ya „ibādiya
dengan tiga bacaan, yakni ya „ibādiya, ya „ibādī dan ya „ibādi dengan tafsiran
hanya mengkhususkan untuk orang mukmin. Sedangkan al-Zamakhsyarī tidak
mencantumkan qiraat tersebut. Pada lafaẓ wa la taqnatū, al-Zamakhsyarī
mencantumkan qiraat yang membaca dengan memfatḥah pada huruf nun,
mengkasrah nun dan menḍammah nun. Sedangkan al-Rāzi pada lafaẓ tersebut
hanya mencantumkan qiraat yang membaca memfatḥah nun dan mengkasrah
nun. Menurut al-Rāzi bacaan kedua tersebut merupakan dua bahasa yang

166
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXVII, h. 5-6.
167
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXVII, h. 4-5.
80

berbeda. Namun baik al-Rāzi dan al-Zamakhsyarī kompak tidak menjabarkan


makna perbedaan qiraat tersebut.
Adapun pada lafaẓ yaghfiru al-dzunuba jamī‟an. Al-Zamakhsyarī
mencantumkan qiraat Ibnu Mas‟ūd dan Ibnu „Abbās dengan bacaan yaghfiru
al-dzunuba jamī‟an liman yasyā‟ dengan menafsirkan pengecualian yakni
orang yang bertaubat yang Allah kehendaki, dan nampaknya al-Zamakhsyarī
lebih menguatkan penafsiran ini. Karena ketika beliau mencantumkan qiraat
dari Fatimah yang membaca yaghfiru al-dzunuba jamī‟an wa la yubālā. Beliau
mamandang tidak menarik dan tidak menjerakan. Adapun al-Rāzi
mencantumkan qiraat yang juga dinukil dari al-Zamakhsyarī yaghfiru al-
dzunuba jamī‟an liman yasyā‟ dengan tanpa penjelasan.
8. Menjauhi Dosa Besar
Surat al-Syura Ayat 37:

            
  

              

      


“(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji
yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Luas ampunan-Nya. dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika
Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut
ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling
mengetahui tentang orang yang bertakwa.”

Al-Zamakhsyarī dalam al-Kasysyāf, bahwa kabāiru al-itsmi adalah dosa-


dosa besar dari jenis ini. Dan dibaca kabīru al-istmi dari Ibnu „Abbās
raḍiyallahu anhu ta‟ala, kabīru al-itsmi yakni al-syirku (syirik). Lafaẓ ( ُ‫ه‬
ْ‫ )َغفشو‬yakni mereka yang khusus mendapatkan ampunan dalam keadaan
marah.168

168
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz V, h. 63-64.
81

Dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib, bahwa orang-orang yang menjauhi dosa-


dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji. Qiraat Ibnu Abbas membaca kabīru
al-itsmi yakni al-syirku (syirik). Bacaan ini dinukil dari Ṣahibi al-Kasysyāf dan
menurut saya itu sangatlah jauh. Karena syarat iman telah disebutkan di awal
yakni tidak adanya syirik. Dan dikatakan maksud dari dosa-dosa besar adalah
bid‟ah dan mengerjakan yang syubhat, sedangkan maksud dari kata al-
fawāhisy adalah sesuatu yang berhubungan dengan kuatnya syahwat. Adapun
firman Allah Swt. (ْ‫ )وإر ِب غضجىا هُ َغفشو‬adalah yang berhubungan dengan
kuatnya amarah. Adapun lafaẓ “al-ghaḍab” dikhususkan dengan lafaẓ “al-
ghufran”. Karena sesungguhnya lafaẓ al-ghaḍab merupakan tabiat neraka,
mendapatkan kepedihan juga ditempatkan dalam keadaan sulit. Oleh sebab itu,
lafaẓ ini dikhususkan. Walllāhu a‟lamu.169
Tafsir di atas, memperdebatkan makna qiraat kabāiru al-itsmi. Al-
Zamakhsyarī mencantumkan qiraat Ibnu „Abbās dengan bacaan kabīru al-itsmi
dibaca mufrad, kabīru, yang spesifik ditafsirkan al-Zamakhsyarī dengan makna
syirik. Sedangkan al-Rāzi menampik penafsiran al-Zamakhsyarī, makna qiraat
kabīru al-itsmi bukanlah syirik. Menurutnya, penafsiran ini sangatlah jauh dari
lafaẓnya, karena syarat iman adalah dengan tidak adanya syirik. Menurut al-
Rāzi sebagaimana yang disebutkan dengan argumen yang mengatakan bahwa
yang dimaksud dosa besar adalah bid‟ah dan mengerjakan yang syubhat.

D. Tabel Qiraat
Qiraat yang dicantumkan al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi dalam kitab tafsirnya
sangat beragam. Terkadang mereka seragam mencantumkan qiraat yang sama
dengan maksud penafsiran yang sama pula. Adapula mereka mencantumkan
qiraat yang sama namun maksud tafsirnya berbeda. Dalam beberapa ayat juga
ditemukan perbedaan dalam pencantuman qiraat dengan maksud tafsir yang sama
dan ada juga yang memiliki perbedaan tafsir. Adapun untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat dalam tabel berikut.

169
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXVII, h. 81.
82

Qiraat
Qiraat
dalam
dalam Keterangan
No Ayat al-Qur’an Tafsīr
Tafsir al- /Makna Qiraat
Mafātih al-
Kasysyāf
Ghāib
Dalam al-
Kasysyāf,
Tidak
dibaca ḍammah
‫فَلَهْْْيُ ْقثَ َْل‬ mencantum
dan menjadikan
kan qiraat
lafaẓ mil‟u
sebagai fa‟il.
Q.S. Ali Imran: 91 Dalam al-
Kasysyāf
Tidak
     ‫فَلَهْ ْيَ ْقثَ َْل‬ mencantum
menyimpan
fa‟il Allah dan
kan qiraat
menaṣabkan
     lafaẓ mil‟u.
Dibaca nasab,
    Tidak meringankan
‫مل َءْاالسض‬ mencantum hamzah. Namun
1.
kan qiraat tidak mengubah
     makna.
al-Rāzi
     menafsirkannya,
“bukan
‫َر َهثًا‬ ‫َر َهثًا‬ merupakan
  sebuah ukuran,
kadar dan
jumlah”
al-Zamakhsyarī
dan al-Rāzi
ْ ‫َره‬
‫َة‬ ْ ‫َره‬
‫َة‬
menafsirkannya,
qiraat qiraat
dengan hitungan
A‟masy A‟masy
dalam angka
atau jumlah”
Qiraat
Qiraat
dalam
dalam Keterangan
Ayat al-Qur’an Tafsīr
Tafsir al- /Makna Qiraat
Mafātih al-
Kasysyāf
Ghāib
ْ‫َكثَائِ َشْا ِإل ْث ِم‬ ‫َكثَائِ َشْا ِإل ْث ِْم‬
“Meliputi
Al-Nisā‟: 31 Qiraat Qiraat
banyak macam-
Hamzah, al- Hamzah, al-
2. macam dosa
     Kisai dan Kisai dan
besar”
Khalaf Khalaf
‫َكثِ ْي ُشْا ِإل ْث ِْم‬ Tidak al-Zamakhsyarī
83

qiraat Ibnu mencantum menafsirkannya


    „Abbās kan qiraat dengan
“mengkhususka
   n dosa besar
pada perbuatan
kafir”. al-Rāzi
 menyanggah
karena kufur
bermacam-
macam.”
Keduanya
sama-sama
menafsirkan
‫يُ َكفّ ْْش‬ ‫يُ َكفّ ْْش‬
Allah mmelebur
qiraat Ḥafs qiraat Ḥafs
dosa besar
dari „Āṣim dari „Āṣim
(tidak ada
penafsiran yang
berbeda)
Keduanya
sama-sama
menafsirkan
ْ‫وُ َكفّ ْش‬ ‫وُ َكفّ ْْش‬
Allah melebur
qiraat qiraat
dosa besar
Hamzah Hamzah
(tidak ada
penafsiran yang
berbeda)
Al-Razi tidak
memberikan
Tidak ‫يُ ْذ ٍخ ْل ُك ْْم‬
keterangan
mencantum qiraat Ḥafs
perbedaan qiraat
kan qiraat dari „Āṣim
terhadap
penafsiran
Al-Razi tidak
memberikan
Tidak
ُ‫وُ ْذ ِخ ْلك ْْم‬ keterangan
mencantum
Qiraat Nafi‟ perbedaan qiraat
kan qiraat
terhadap
penafsiran
Menurut al-
Zamakhsyarī
ْ ‫ُمذ َْخ‬
َ‫ل‬ َْ‫ُمذ َْخل‬
kedudukannya
qiraat qiraat
sebagai maṣdar.
Hamzah, Hamzah,
Menurut al-Rāzi
Kisā‟i, Ḥafs Kisā‟i, Ḥafs
lafaẓ mudkhala
dari „Āṣim dari „Āṣim
dari al-idkhal
artinya adalah
84

cara atau proses


masuknya.
“Kedudukan
ْ ‫َمذ َْخ‬
َ‫ل‬ ْ ‫َمذ َْخ‬
َ‫ل‬ sebagai maṣdar
Qiraat Nafi‟ Qiraat Nafi‟ dan diartikan
dan Abu dan Abu sebagai tempat
Ja‟far Ja‟far masuk yakni
pintu”
Qiraat
Qiraat
dalam
dalam Keterangan
Ayat al-Qur’an Tafsīr
Tafsir al- /Makna Qiraat
Mafātih al-
Kasysyāf
Ghāib
al-Rāzi dalam
tafsirannya,
“mereka telah
‫أنْيَ ْخ ُش ُج ْوا‬ ‫أنْيَ ْخ ُش ُج ْوا‬ menghendaki
qiraat Nāfi‟, qiraat Nāfi‟, keluar dari
„Āṣim „Āṣim neraka, dan
mereka telah
mencari tempat
Al-Māidah: 37 keluar”.
al-Rāzi
    menafsirkan,
“mereka
‫أنْيُ ْخ َش ُج ْوا‬ ‫أنْيُ ْخ َش ُج ْْو‬
berharap keluar
3.     qiraat Abū qiraat Abū
dan
Hanifah Hanifah‫ْا‬
menghendaki
      dengan hati
mereka”.
Tidak Orang kafir
َْ‫تِخ ِش ِج ْيه‬ mencantum dapat dari
kan qiraat neraka
al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
َْ‫تِ َخا ِس ِج ْيه‬ Tidak
“untuk orang-
qiraat Abū mencantum
orang kafir
Hanifah kan qiraat
tidak bisa keluar
dari neraka”.
Qiraat
Qiraat
dalam
dalam Keterangan
Ayat al-Qur’an Tafsīr
Tafsir al- /Makna Qiraat
Mafātih al-
Kasysyāf
Ghāib
َ‫َم ْث َوتَ ْح‬ Dalam al-
4. Al-Māidah: 60 ‫َمثُوتَح‬
Kasysyāf,
85

seperti lafaẓ
     “masyuratan
dan
      masywaratan”.
al-Zamakhsyarī
menafsirkannya,
    “menjadikan
‫َعثَذَْالطّاغوخ‬ ‫َعثَذَْالطّاغوخ‬
berhala-berhala
sebagai
  
sesembahan”
ّ ‫َعثَذُوْال‬ Orang yang
‫طاغوخ‬ ‫َعثَذُواْالطّاغوخ‬
    Qiraat Ubay Qiraat Ubay menyembah
berhala-berhala
ْ‫َمهْ ْ َعثَذُوا‬ ْ‫َمهْ ْ َعثَذُوا‬
     ‫الطّاغوخ‬ ‫الطّاغوخ‬
Orang yang
menyembah
qiraat Ibnu qiraat Ibnu
berhala-berhala
   Mas‟ūd Mas‟ūd
al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
ْ‫عَاتذي‬ ْ‫عَاتذي‬ “melampaui
‫الطّاغوخ‬ ‫الطّاغوخ‬ batas dalam
urusan
„ubudiyyah”
‫طاغوخ‬ ّ ‫طاغوخ عَاتِذَْال‬ ّ ‫„ عَاتِذَْال‬aṭaf pada lafaẓ
al-qiradata”.
al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
“menyembah
berhala-berhala
di dalam diri
ّ ‫ِعثَادَْال‬ ّ ‫ِعثَادَْال‬ mereka atau
‫طاغوخ‬ ‫طاغوخ‬
dihadapan
mereka” dan
“melampaui
batas dalam
urusan
„ubudiyyah”
‫َع ْثذُْالطّاغوخ‬ ‫َع ْثذُْالطّاغوخ‬
Dengan wazan
‫عثذْالطّاغوخ‬ ‫عثذْالطّاغوخ‬
hathama
Asli katanya
‫عثذْالطّاغوخ‬ ‫عثذْالطّاغوخ‬
„ubdatu
ّ ‫َعثِ ْيذْال‬ ّ ‫َعثِ ْيذْال‬ Asli katanya
‫طاغوخ‬ ‫طاغوخ‬
dari „abdu
Jamak dari
‫َع ْثذْالطّاغوخ‬ ‫َع ْثذْالطّاغوخ‬
„abiidun
86

dengan wazan
kufrata. al-
Zamakhsyarī
menafsirkan,
ّ ‫ُع ْثذَجْال‬ ّ ‫ُع ْثذَجْال‬ “menyembah
‫طاغوخ‬ ‫طاغوخ‬
berhala-berhala
di dalam diri
mereka atau
dihadapan
mereka”
al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
“melampaui
‫َع ْثذَْالطّاغوخ‬ ‫َع ْثذَْالطّاغوخ‬
batas dalam
urusan
„ubudiyyah”
ّ ‫ِعثَادْال‬
‫طاغوخ‬ ّ ‫ِعثَادْال‬
‫طاغوخ‬
al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
“menyembah
berhala-berhala
‫أعثذْالطّاغوخ‬ ‫أعثذْالطّاغوخ‬
di dalam diri
mereka atau
dihadapan
mereka”
Al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
“menyembah
berhala-berhala
di dalam diri
mereka atau
dihadapan
mereka” dan
“melampaui
‫َعثُذَْالطّاغوخ‬ ‫َعثُذَْالطّاغوخ‬ batas dalam
Qiraat Qiraat urusan
Hamzah Hamzah „ubudiyyah”. al-
Rāzi
menyayangkan
qiraat ini
dicantumkan
dalam tafsir.
Karena
menurutnya
hanya demi
kepentingan
87

saja.
Tidak Jamak thagut
‫الطّواغيد‬ mencantum (beberapa
kan qiraat berhala)
Qiraat
Qiraat
dalam
dalam Keterangan
Ayat al-Qur’an Tafsīr
Tafsir al- /Makna Qiraat
Mafātih al-
Kasysyāf
Ghāib
َْ‫ُم ْش َج ْون‬ َْ‫ُم ْش َج ْون‬
qiraat qiraat
“Orang-orang
Hamzah, Hamzah,
yang
Nāfi‟, Nāfi‟,
ditangguhkan”
Kisā‟i, Ḥafs Kisā‟i, Ḥafs
dari „Āṣim dari „Āṣim
al-Zamakhsyarī
menafsirkannya,
“orang-orang
yang berselisih
dan
Al-Taubah: 106 menggantungka
‫ُم ْش َجؤُون‬ ‫ُم ْش َجؤُون‬
n urusannya”.
   qiraat Ibn qiraat Ibn
Sedangkan al-
Katsir, Ibn Katsir, Ibn
Rāzi
„Amir, Abu „Amir, Abu
     „Amr „Amr
menafsirkannya
“orang-orang
5.
yang beramal
     tanpa
pengucapan
 lisan tapi
dengan iman”
Al-
ْ‫ْح ِك ْيم‬
َ ‫َعلِ ْيم‬ ْ‫ْح ِك ْيم‬
َ ‫َعلِ ْيم‬ Zamakhsyari,
Nāfi‟, Nāfi‟, “Allah maha
Kisā‟i, Ḥafs Kisā‟i, Ḥafs Mengetahui lagi
dari „Āṣim dari „Āṣim maha
Bijaksana”
Al-
Zamakhsyarī,
َ ‫َغفُ ْوس‬
‫ْس ٍح ْي ْم‬ Tidak
“Allah Maha
Qiraat Abu mencantum
Pemaaf lagi
Hanifah kan qiraat
Maha
Penyayang”
Qiraat Qiraat
Keterangan
Ayat al-Qur’an dalam dalam
/Makna Qiraat
Tafsir al- Tafsīr
88

Kasysyāf Mafātih al-


Ghāib
Tidak Mendapat
‫يَ ْلق َىْأَثَا ًما‬ mencantum pembalasan atas
kan qiraat dosa-dosanya
al-Rāzi dan al-
Zamakhsyarī
sama-sama
menafsirkan,
‫يَ ْلقَْْأَياما‬ ‫يَ ْلقَْْأَياما‬
“sangatlah
qiraat Ibnu qiraat Ibnu
pedih, seperti
Mas‟ūd Mas‟ūd
yang, seperti
Al-Furqan: 68-69 hari pembalasan
yang amat
     pedih”
al-Rāzi dan al-
Zamakhsyarī
    sama-sama
membaca
ُْ‫ض َعفْ ْلَه‬َ ُ‫ي‬ ُْ‫ض َعفْ ْلَه‬َ ُ‫ي‬
     ḍammah pada
ُْ ‫ال َع َز‬
‫اب‬ ُْ ‫ال َع َز‬
‫اب‬
ya‟ dan
menjadikan fa‟il
     pada kata al-
adzab”.
6.
     al-Rāzi dan al-
Zamakhsyarī
sama-sama
    membaca
ḍammah pada
nun‟ dan
    َ ُ‫و‬
ْ‫ض َعفْ ْله‬ َ ُ‫و‬
ْ‫ض َعفْ ْله‬
menaṣabkan
َْ ‫ال َع‬
‫زاب‬ َْ ‫ال َع‬
‫زاب‬
pada kata al-
 adzab”. Dibaca
rafa‟ juga
karena isti‟naf
atau karena
haal.
Tidak ada
keterangan
ْ‫يَ ْخلُ ْذ‬ ْ‫يَ ْخلُ ْذ‬ perbedaan qiraat
terhadap
penafsiran
Dibaca
yukhladu karena
‫يُ ْخلَذ‬ ‫يُ ْخلَذ‬
binak terhadap
ma‟ful ringan
89

dan berat.
Tidak ada
Tidak keterangan
‫يُخلّذ‬ mencantum perbedaan qiraat
kan qiraat terhadap
penafsiran
Tidak ada
Tidak keterangan
‫يَ ْخلُ ُْذ‬ mencantum perbedaan qiraat
kan qiraat terhadap
penafsiran
Dibaca takhlud
ْ‫ذ َْخلُ ْذ‬ ْ‫ذ َْخلُ ْذ‬
karena al-iltifat.
Qiraat
Qiraat
dalam
dalam Keterangan
Ayat al-Qur’an Tafsīr
Tafsir al- /Makna Qiraat
Mafātih al-
Kasysyāf
Ghāib
al-Rāzi
ْ‫ي‬
َ ‫يا ِعثَ ِذ‬ menafsirkan,
Tidak qiraat Nāfi‟,
“hanya
mencantum „Āṣim, Ibnu
mengkhususkan
kan qiraat „Amir dan
untuk orang
Ibnu Katsir
mukmin”.
al-Rāzi
Al-Zumar: 53 ‫يا ِعثَا ِْد‬ menafsirkan,
Tidak
     mencantum qiraat Abi “hanya
Bakr dari mengkhususkan
kan qiraat
„Āṣim untuk orang
     mukmin”
Tidak ada
‫الْذَقىط ْوا‬ ُ َْ ُ
‫الْذَقىط ْوا‬َ ْ keterangan
7.       qiraat Nāfi‟, qiraat Nāfi‟, perbedaan qiraat
„Āṣim „Āṣim terhadap
     penafsiran
Tidak ada
‫الْذَ ْقىِطُ ْوا‬ ‫الْذَ ْقىِطُ ْوا‬
keterangan
   qiraat Abū qiraat Abū
perbedaan qiraat
„Amr dan „Amr dan
terhadap
al- Kisā‟i al- Kisā‟i
penafsiran
Keduanya
ْ‫وب‬ ّ ‫يَ ْغفِ ُش‬
َ ُ‫ْالزو‬ ْ‫وب‬
َ ُ ْ
‫و‬ ّ
‫ْالز‬ ‫ش‬ ‫ف‬‫غ‬
ُِ َْ ‫ي‬ sama-sama
‫َج ِم ْي ًعا‬ ‫َج ِم ْي ًعا‬ menafsirkan
qiraat Nāfi‟, qiraat Nāfi‟, “Allah
„Āṣim „Āṣim Mengampuni
segala dosa-
90

dosa”
al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
“orang yang
bertaubat yang
ّ ‫يَ ْغفِ ُش‬
ْ‫ْالزوُوب‬ ّ ‫يَ ْغفِ ُش‬
ْ‫ْالزوُوب‬ Allah kehendaki
‫لِ َمهْ ْيَشَاء‬ ‫لِ َمهْ ْيَشَاء‬ untuk diampuni
qiraat Ibnu qiraat „Ibnu dosa-dosanya”.
„Abbās dan „Abbās dan Adapun al-Razi
Ibnu „Ibnu dalam Mafatih
Mas‟ūd Mas‟ūd al-Ghaib
menukil
penafsiran
dalam al-
Kasysyaf.
al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
“Allah
ّ ‫يَ ْغفِ ُش‬ mengampuni
َ ُ‫ْالزو‬
ْ‫وب‬
semua dosa-
‫َج ِم ْي ًعاْوالْيُثَالى‬
Tidak dosa dan tidak
qiraat Nabi
mencantum diberikan
Muhammad
kan qiraat musibah”. dan
dan Siti
menurut kami
Fāṭimah
(al-
Zamakhsyarī)
ini tidaklah
menakutkan.
Qiraat
Qiraat
dalam
dalam Keterangan
Ayat al-Qur’an Tafsīr
Tafsir al- /Makna Qiraat
Mafātih al-
Kasysyāf
Ghāib
“Dosa-dosa
‫َكثَائِ َشْا ِإل ْث ِْم‬ ‫َكثَائِ َشْا ِإل ْث ِْم‬ besar yang
Al-Syūra 37 Qiraat Qiraat masih bersifat
Hamzah, al- Hamzah, al- umum dan
   
Kisai dan Kisai dan belum diketahui
Khalaf Khalaf kepastian
8.     jumlahnya”
al-Zamakhsyarī
menafsirkanya
   ‫َكثِ ْي ُشْا ِإل ْثم‬ ْ‫َكثِ ْي ُشْا ِإل ْثم‬
dengan “syirik”.
qiraat Ibnu qiraat Ibnu
al-Rāzi
„Abbās „Abbās
menyanggahnya
bahwa
91

maknanya
terlalu
menyimpang
jauh kalau
hanya
ditafsirkan
dengan syirik.”
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian ini membahas tentang pencantuman qiraat dalam tafsir dan tujuan
pencantuman qiraat tersebut. Para mufassir dalam mencantumkan qiraat, apabila
ditelaah tujuannya adalah untuk memberikan informasi adanya ragam qiraat dan
juga membantu mufassir dalam dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sebab
ragam qiraat dapat mempengaruhi dan menentukan makna lafadh dan maksud
ayat. Adapun beberapa poin yang menjadi kesimpulan pada penelitian ini.
Pertama, pencantuman qiraat dengan menyebutkan imam qiraat. Pada hasil
penelitian, penulis menemukan bahwa al-Zamakhsyari dan al-Razi tidak
memperdulikan kualitas qiraat yang dicantumkan. Namun al-Razi lebih unggul
dari sisi penyebutan imam qiraat dan hal ini merupakan wujud kehati-hatian al-
Razi dalam mencantumkan qiraat. sedangkan al-Zamakhsyari yang nampaknya
sering mencantumkan qiraat di luar qiraat sab’ah dan juga jarang menyebutkan
imam qiraat.
Kedua, ragam qiraat yang terdapat dalam kedua kitab tafsir, terbagi dalam
ranah ushul dan farsy. Apabila dilihat dari kualiatas qiraat, keduanya sama-sama
memberikan porsi terhadap qiraat di luar qiraat mutawatir baik yang tergolong
dalam „Asyrah, Arba‟a „asyrah, seperti qiraat Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, ‘Aisyah,
Ubay dan yang lain sebagainya. Tidak adanya filterisasi dalam pencantuman
qiraat, penulis melihatnya sebagai satu kritikan, karena pencantumannya tidak
memilih qiraat yang mutawatir saja, Akan tetapi disatu sisi menjadi sebuah
kelebihan karena dengan riwayat-riwayat tersebut lebih mempermudah dan
memperluas wawasan dan pengayaan makna al-Qur’an.
Ketiga, bahwa tidak semua perbedaan qiraat berimplikasi terhadap penafsiran.
Adapun apabila diklasifikasikan qiraat yang berpengaruh terhadap penafsiran,
adalah jika perbedaan tersebut terletak pada: 1). Perbedaan i‟rab (kedudukan
kalimat), 2). Perbedaan sharaf (asal kata), 3). Perbedaan khitab, 4). Penambahan

92
93

dalam kalimat (ziyada al-kalimat), 5). Perbedaan harakat yang memungkinkan


terjadinya perbedaan makna.
Keempat, fungsi qiraat dalam tafsir al-Kasysyaf dan Tafsir Mafatih al-Ghaib
memiliki beberapa kesamaan. Diantaranya, sebagai sumber penafsiran al-Qur’an,
alternatif pencarian makna, dan sebagai pembelaan terhadap mazhab. Fungsi
terakhir yang lebih nampak dalam kedua kitab tafsir kajian. Kesimpulan ini
berimplikasi pada adanya dua model tali rantai antara al-Qur’an dengan
alirian/madzhab. Pertama, perbedaan pemahaman al-Qur’an berimplikasi kepada
perbedaan madzhab. Kedua, perbedaan madzhab berimplikasi pada perbedaan
pemahaman terhadap al-Qur’an. Kedua kitab tafsir lebih mencerminkan kepada
model kedua atas dasar keduanya hadir sama-sama dalam rangka membela
masing-masing madzhab. Al-Zamakhsyari yang menulis tafsir atas dorongan
kaum Mu’tazilah untuk membuat karya tafsir sebagi pedoman kaum Mu’tazilah
yang kemudian menulis tafsir bercorak i‟tizali dengan memasukkan doktrin-
doktrin Mu’tazilah. Sedangkan kehadiran mafatih al-Ghaib, al-Zamakhsyari yang
juga pemuka ahlu sunnah mengarang kitab tafsir untuk meng-counter pandangan
al-Zamakhsyari. Oleh sebab itu, tidak bisa dinafikan, qiraat sebagai salah satu
‘alat’ tersebut.
Kelima, masing-masing kitab tafsir memiliki keunggulan dan kekurangan
terkait pembahasan qiraatnya. al-Zamakhsyari dalam menampilkan dan mengkaji
qiraat memang sangat konsen dengan bahasan qawa‟id nahwiyah. Kinerja ini pada
akhirnya akan menentukan penilaian al-Zamakhsyari pada sebuah qiraat. Kajian
nahwiyah ini pada prinsipnya sangat bermanfaat dan menjadi panduan banyak
ulama belakangan terkait kajian pemaknaan qiraat. Namun pada sisi yang lain al-
Zamakhsyari seringkali melewati kajian dan kritik riwayat sebuah qiraat, di
samping al-Zamakhsyari memang sedikit pasif dalam membahas perbedaan qiraat.
Sedangkan kelebihan dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib adalah penyajiannya
informasi qiraat yang lebih luas terkait periwayatan. Selain menampilkan ragam
qiraat, al-Razi juga seringkali menjelaskan perbandingan antar ragam qiraat yang
ada. Di samping itu, al-Razi dalam banyak tempat lebih aktif dan kritis jika
dibandingkan dengan al-Zamakhsyari dalam merespon ayat yang ada perbedaan
94

qiraatnya. Meskipun demikian, penafsiran yang dilakukan al-Razi kadang terlalu


luas dan bertele-tele sehingga makna yang dikandung suatu ayat menjadi kabur.
Keenam, dalam ranah kajian teologis, penulis menyimpulkan bahwasanya al-
Zamakhsyari dan al-Razi sama-sama memperdebatkan apa saja kategori dosa
besar dan nasib pelaku dosa besar. Mereka juga sama-sama berteguh pendirian
dari aliran teologi yang dianutinya dalam memandang ayat-ayat tentang dosa
besar dan nasib pelaku dosa besar. Latar belakang al-Zamakhsyari sebagai teolog
Mu’tazilah dalam memandang pelaku dosa besar, argumentasinya sama dengan
kaidah Mu’tazilah yakni “manzilah baina al-manzilatain”, bahwa orang yang
berdosa besar berada di antara dua posisi. Sama halnya dengan al-Razi sebagai
pemuka ahlu sunnah, beliau juga memegang teguh doktrin-doktrin ahlu sunnah.
Bahwa orang-orang yang berdosa besar masih dimungkinkan masuk surga karena
masih dianggap mukmin.
Seperti yang penulis temukan dalam penafsiran surat al-Maidah ayat 36-37. Al-
Zamakhsyarī mencantumkan qiraat ‫ارجين‬ ِ ‫بِ َخ‬. Beliau juga memilih bacaan ini,
karena sesuai dengan argumentasinya. Menurut beliau maksud dengan memilih
ِ ‫ بِ َخ‬adalah ditujukaan untuk orang-orang kafir. Beliau menentang
qiraat ََ‫ار ِجيْن‬
pendapat ahli sunnah yang berpendapat orang yang berdosa besar masih mukmin
dan bisa masuk surga. Beliau berargumen bahwa orang kafir tidak bisa keluar dari
neraka juga tidak di surga. Hal ini beliau jelaskan dengan cerita paman Nabi
(‘Abdul Muṭālib) yang kafir namun dapat keluar dari neraka. Namun beliau
memperingatkan bahwa itu hanyalah orang yang dikhususkan, dan hal semacam
ini tidak berlaku untuk seluruh umat manusia. Berbeda dengan al-Rāzi, bahwa
orang kafir masih bisa keluar dari neraka bagi mereka yang mengucapkan lā ilāha
illa Allah dengan ikhlas.
B. Saran
a. Pembahasan tentang qiraat dalam ranah teologis masih jarang dikaji oleh
para akademisi. Penelitian ini merupakan bagian kecil dari kajian qiraat
secara umum. Karenanya sangat diperlukan banyak kajian tentang qiraat
serta pengaruhnya terhadap penafsiran dengan tema-tema lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa qiraat memiliki cakupan yang luas untuk dibahas.
95

Mulai dari sejarah qiraat, perbedaan bacaan qiraat, pengaruh qiraat dalam
berbagai bidang; seperti pengaruh qiraat dalam bidang istinbath hukum,
pengaruh qiraat dikaitkan dengan teologi, filsafat, ilmu sains dan lain
sebagainya. Tidak kalah penting juga adalah seperti apa masa depan ilmu-
ilmu qiraat dan upaya membumikan qiraat di masa mendatang.
b. Disarankan kepada pihak Fakultas Ushuluddin untuk menambah koleksi
literatur khusus tentang qiraat. Pengenalan macam-macam qiraat sekaligus
pengaruhnya terhadap penafsiran dan melestarikan qiraat dalam kehidupan
sehari-hari. Harapannya supaya Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta menjadi
pelopor dan sebagai rujukan kajian qiraat di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Literatur


AF, Hasanuddin. Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath
Hukum dalam al-Qur’an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995.
al-Dzahabi, Muhammad Husain. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Mesir : Dār al-
Maktub al-Haditsah, 1976.
_________. Tafsīr Wa al-Mufassirūn. Kairo: Maktabah Wahbah, 2003.
_________. Al-Kabāir. penerjamah. Abu Zufar Imtihan al-Syafi‟i. Dosa-dosa
Besar. Solo: Pustaka Arafah, 2007.
al-Farmawi, Abdul Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i. Penerjamah. Suryan A.
Jamrah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
al-Hufi, Ahmad Muhammad. Al-Zamakhsyarī. Kairo: Dār al-Fikr al-Arābi,
1966.
al-Ibrahim, Mūsa Ibrahim. Buhūtsu Manhajiyyah fī Ulūm al-Qur’an. Oman: Dār
Imār, 1996.
al-Juwaini, Mustafa al-Ṣāwi. Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur’an wa
Bayān I‘jāzihi. Mesir: Dār al-Ma„ārif, t.t.
al-Munawwar, Sayyid Agil Husin. al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
al-Naisaburi, Muslim Ibn Hajāj. Ṣāḥih Muslim. Dār Ihya‟ al-Turāts al-„Arābi, t.t.
al-Qattan, Manna‟ Khalīl. Mabāhits fī Ulūm al-Qur’an. Penerjamah. Mudzakir
AS. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007.
al-Qattan, Manna‟ Khalīl. Mabāhits fī Ulūm al-Qur’an. Riyadh: Mansyūrāt al-
„Aṣr al-Hadīs, 1973.
al-Qusṭalani, Syihābuddin. Laṭāif al-Isyārat li Funūn al-Qur’an al-Qiraat. Kairo:
tt, tt.
al-Ṣabuni, Muhammad Ali. Al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’an. Penerjamah. Moch
Chudori Umar dan Moh. Matsna HS. Pengantar Studi al-Qur’an.
Bandung: Ma‟arif, 1996.

96
97

al-Ṣabuni, Muhammad Ali. Al-Tibyān fī 'Ulūm al-Qur’an. Beirut: Alam al-Kutb,


1985.
al-Zamakhsyarī, Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar. al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq al-
Tanzīl wa ‘Uyūn al-‘Aqāwil fī Wujūh al-Ta’wīl, Riyadh: Maktabah al-
Abikan, 1998.
al-Zarkasyī, Badruddin Muhammad bin Abdullah. al-Burhān fī Ulūm al-Qur’an.
Maktabah Dār al-Turāts tt.
al-Zarqanī, Abū „Aẓim. Manāhil al-‘Irfān fī Ulūm al-Qur’an. Beirut: Dār al-
Maktabah al-Arabiyah, 1995.
Amal, Taufik Adnan dkk. Tafsir Kontekstual al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1990.
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005.
Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1993.
Ash-Shiddiqie, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Ash-Shiddiqie, T.M. Hasbi al-Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1964.
Ayazi, Sayyīd Muhammad Ali. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa
Manhajuhum. Thaheran: Muassasah al-Thaba‟ah Wa al-Nasyr Wizārah al-
Tsaqafah wa al-Irsyād al- Islāmi, t.t.
Baidan, Nashirudin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998.
Baker, Anton dan Ahmad Chairuz Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Fakhru al-Dīn, Muhammad al-Rāzi. Tafsīr al-Fakhri al-Rāzi al-Masyhūr bi Tafsīr
al-Kābir Mafātih al-Ghāib. Beirut: Dār al-Fikr, 1981.
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008.
Hadi, Al-Faḍl Abdul. al-Qiraat al-Quraniyat. Beirut: Dār al-Majma al-„Ilmi,
1979.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Ofset, 1995.
Ilyas, Yunahar. Kuliah Ulumul Quran. Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014.
98

Karim‚ M. Fida Busyro. Islam Masa Dinasti Abbasiyah dalam Hanung Hasbullah
dkk, Mozaik Sejarah Islam. Yogyakarta: Nusantara Press. 2011.
LAL, Dr Anshori. Tafsir Bil Ra’yi Menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad. Jakarta:
Gaung Persada Press, 2010.
Mahmud, Mani‟ Abdul Halim. Manahij al-Mufassirin. Mesir: Dar al-Kitab al-
Misri, 1978.
Mujāhid, Ibnu. Kitāb al-Sab’ah fī al-Qira’at. Mesir : Dār al-Ma‟ārif, t.t.
Munayyir, Ibnu. Al-Masā’il Al-I’tizāliyyah fī Tafsīr Al-Kasysyāf li Al-
Zamakhsyarī. Saudi Arabia: Dār al-Andalas, 1418.
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir
dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer.
Yogyakarta: Adab Press, 2014.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKIS. 2012.
Na‟if, Fauzan. Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari. Editor. A. Rofiq. Studi Kitab
Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2004.
Nasr, Sayyid Hosein. The Islamic Intelectual Tradision in Persia. New York:
Happer Cllins, 1993.
Nasuton, Harun. Teologi Islam: ALiran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press,1986.
Nawawi, Hadari dan Mimi Martini. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada
University, 1996.
Nawawi, Imam. Terjemah Riyadhus Shalihin 2. Jakarta: Pustaka Amani, 1999.
Razak, Prof. Abdul dan Prof. Rosihon Anwar. Ilmu Kalam Edisi Revisi. Bandung:
Pustaka Setia, 2015.
Shabuni, Muhammad Ali. al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. Penerjamah. Moch
Chudori Umar dan Moh. Matsna HS. Bandung: Ma‟arif, 1996.
Shihab, Prof. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: PT. Mizan Pustaka,
2007.
Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an 2. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001.
Syafe‟i, Prof. H. Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
99

Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern. Tangerang Selatan: LP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Ṭawil, Sayid Risqit. Fī Ulūm al-Qiraat. Makkah al-Mukarramah: Maktabah
Faishailiah, 1985.
Tim Riset Majelis Tinggi Urusan Islam Mesir, Ensiklopedi Aliran dan Mazhab di
Dunia Islam. Kairo: Al-Majlis Al-A‟lā li Al-Syu‟un Al-Islāmiyah, 2007.
Watt, W. Montgomery. Pengantar Studi Islam. Penerjamah. Taufik Adnan Amal.
Jakarta: Rajawali Press, 1991.
_________. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Penerjamah. Umar Basalim,
Jakarta: P3M, 1987.
Jurnal, Skripsi dan Tesis
Anshori, “Studi Kritis Tafsir al-Kasysyaf.” Jurnal Sosio-Religia. Vol. 2009, 8,
(2009): 596-609.
Aswadi. “Konsep Syifa dalam Tafsir Mafatih al-Gaib Karya Fakhruddin al-Razi.”
Tesis S2 Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Ghofir, Muhammad Abdul. “Penggunaan Qiraat dalam Surat al-Nisa: Studi Kitab
Tafsir al-Kasysyaf „an Haqqa‟iq al-Tanzil wa „Uyun al-„Aqawil fi Wujuh
al-Ta‟wil.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.
Hipius, Ilmu Ushuluddin’ Jurnal: Himpunan Peminat Ilmu Ushuluudin
(HIPIUS). Vol. 2013, 1, (2013)
Humaira, Dara dan Khairun Nisa. “Unsur I‟tizali dalam Tafsir al-Kasysyaf:
Kajian Kritis Metodologis al-Zamakhsyari”. Jurnal Maghza Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir UIN sunan kalijaga. Vol. 2016, 1, (2016): 31-40.
Latif, Hilmah. Perbedaan Qiraat dan Penetapan Hukum, Sulesana VII. Vol. 2013,
2, (2013): 65-79.
Lestari, Lenni. “Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut al-Zamakhsyari:
Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-Kasysyaf.”
Jurnal Syahadah, Vol. 2014. 2, (2014): 31-47.
Sakni, Ahmad Sholeh. “Model Pendekatan Tafsir dalam Kajian Islam”. Jurnal
JIA, Vol. 2013, 14, (2013): 61-75.
100

Saladin, Bustami. “Pro dan Kontra Penafsiran Zamakhsyâri tentang Teologi


Mu'tazilah dalam Tafsîr al-Kasysyaf.” Jurnal al-Ihkam V. Vol. 2001, 1,
(2001): 1-18.
Salimudin, “Qiraat dalam Kitab Tafsir: Kajian atas Ayat-ayat Teologis dalam al-
Kasysyaf dan Mafatih al-Gaib.” Tesis S2 Fakultas Humaniora, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2016.
Samawati, Shoufa. “Tafsir dengan Corak Filsafat (Tafsir Falsafi).” Jurnal Kasyf el
Fikr. Vol. 2015, 2, (2015): 1-19.
Shofa, Maryam.“Sisi Sunni az-Zamakhsyari”. Jurnal Suhuf IV. Vol. 2011, 1,
(2011): 53-73.
Wahidi, Ridhoul dan Amaruddin Asra. “Corak Teologis dalam Penafsiran al-
Qur‟an,” Jurnal Syahadah. Vol. 2014, 3, (2014): 29-39.
Zaidi bin Hashim, Ikmal. “International Research and Innovation Conference
2014 (IRMIC2014),” dalam Metode Penentuan dan Penggunaan
Penganalisaan Qiraat dalam Karya-karya Tafsir, 17-18 November. Kuala
Lumpur: Kolej Universiti Islam Antarbangsa Selangor. 2014. h. 104-113.
Zamzami, Mohammad Subhan. “Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual
Islam,” Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis IV. Vol. 2014, 1,
(2014): 163-177.
Zarkasyi, Jaja. “Orientasi Bayani az-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyaf.”
Jurnal Studi Al-Qur’an. Vol. 2007, 2, (2007): 1-18.
Website dan Rujukan Media Elektronik
al-Baiḍawi, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl dalam CD al-Maktabah al-
Syamilah pada penafsiran QS. al-Mā‟idah (5)
al-Syaukani, Tafsir Fatḥū al-Qadir dalam CD al-Maktabah al-Syamilah pada
penafsiran QS. al-Ma‟idah (5) : 6
https://muslim.or.id/40007-kaidah-dosa-besar-dan-dosa-kecil.html diakses pada 9
April 2019.
Imam Bukhāri, Ṣahih al-Bukhari, “Bab Siapa yang mengeraskan suaranya dalam
menyampaikan ilmu”, Hadis no 58. Sumber Lidwa 9 Hadis.

Anda mungkin juga menyukai