(Studi Qiraat pada Ayat-ayat Teologis dalam Kitab Tafsīr al-Kasysyāf Karya
Imam al-Zamakhsyarī dan Kitab Tafsir Mafātih al-Ghāib Karya Imam
Fakhru al-Dīn al-Rāzi)
Skripsi
Oleh:
Moch. Qomari
1112034000039
FAKULTAS USHULUDDIN
2019 M/1440 H
PEDOMAN TRANSLITERASI1
Vokal Panjang
آ Ā
إي Ī
أو Ū
1
Hipius, Ilmu Ushuluddin’ Jurnal: Himpunan Peminat Ilmu Ushuluudin (HIPIUS).
Vol.1, no.1 Januari 2013
v
Abstrak
Kajian ini menghasilkan dua poin penting dari segi qiraat dan tafsir. Dari
segi qiraat, kedua kitab Tafsir sama-sama mencantumkan qiraat dalam penafsiran
sebagai informasi qiraat, alternatif makna, bahkan sebagai pembelaan terhadap
madzhab mufassir. Keunggulan Tafsīr al-Kasysyāf dalam mencantumkan qiraat
penjelasannya yang detail tentang qawāid nahwiyyah. Kekurangannya adalah al-
Zamakhsyari jarang menyebutkan periwayatnya, bahkan tidak adanya filterisasi
baik dari qiraat sab’ah, asyrah maupun arba’a asyrah. Sedangkan Al-Rāzi lebih
sering mencantumkan periwayat qiraat dan terkadang menukil dari al-Kasysyāf.
Selain itu, beliau juga lebih menjelaskan perbandingan antar ragam qiraat. Segi
tafsir, terutama dalam ayat-ayat tentang dosa besar. al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi
saling memperdebatkan persoalan tentang kategori dosa besar. Al-Zamakhsyarī
menganggap tidak ada ampunan bagi pelaku dosa besar kecuali bagi mereka yang
dikehendaki Allah dan posisinya berada diantara dua posisi. Sedangkan al-Razi
berasumsi pelaku dosa besar masih diampuni dan pelakunya masih dianggap
mukmin. Al-Rāzi dalam tafsirnya tentang ayat-ayat dosa besar cenderung meng-
counter pendapat-pendapat al-Zamakhsyarī. Kedua tafsir tersebut sama-sama
mencantumkan qiraat pada ayat-ayat dosa besar sebagai penguat argumen serta
pembelaan madzhab. Pada intinya, penafsiran keduanya dalam menafsirkan ayat-
ayat dosa besar dan nasib pelaku dosa besar masih dilatarbelakangi oleh ideologi
madzhab yang dianutinya.
Kata Kunci: qiraat, tafsir, pelaku dosa besar, aliran teologi, al-Kasysyāf, Mafātih
al-Ghāib
vi
KATA PEGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt. atas segala nikmat dan karunia-Nya yang
diberikan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini bisa rampung. Shalawat
dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda nabi besar Muhammad Saw.
beserta keluarganya, sahabat-sahabtnya serta para pengikutnya yang telah
mensyiarkan Islam di berbagai penjuru dunia.
1. Kedua orang tua penulis, ayahanda M. Muslim dan Ibunda Ngasri yang
tiada henti memberikan support moril dan materil untuk menyelesaikan
skripsi ini. Tak lupa pula kepada saudara penulis, Mas M. Mubayyin dan
Adik M. Khusnaini Mubarak yang selalu mengingatkan penulis untuk
lulus dari bangku perkuliahan.
2. Bapak Dr. Ahsin Sakho M. Asyrofuddin, MA. Selaku pembimbing
penulisan skripsi ini. Yang tiada lelah meluangkan waktu dan
kesabarannya membimbing penulis. Nafa’anallahu bi ulumihi.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sayang sekali kepada
anak didiknya, tidak lelah untuk terus mendorong anak didiknya agar cepat
lulus dan menyelesaikan tugas akhir.
vii
4. Ibu Banun Bina Ningrum, M. Pd. Sebagai Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah yang juga terus mendorong
mahasiswa untuk menyelesaikan tugas akhir.
5. Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Yusuf Rahman, MA dan segenap Stake
Holder Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarata yang telah
membantu kelancaran administrasi dan birokrasi.
6. Rektor UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Prof. Dr. Amani Lubis, MA.
Beserta jajarannya.
7. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
khususnya dosen Jurusan Tafsir Hadis, terima kasih banyak atas
pencerahan, ilmu, dan didikannya kepada penulis. Nafa’anallahu bi
ulumihim.
8. Para teman-teman angkatan. Teman angkatan TH 12 khusunya kelas TH A
dan teman Bidikmisi. Semoga silaturahimnya terus terjaga dan selalu
menjadi teman yang baik.
9. Teman Aliyah, khusunya teman seperjuangan yang kuliah di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Abdullah Hamid, Rizky Subagia dan Nur Halim.
10. Terima kasih kepada para senior dan teman-teman alumni PP. Tarbiyatut
Tholabah di Jakarta (Wasiat Jakarta) atas kebersamaan sebagai keluarga di
tanah rantau.
11. Orang tua asuh dan keluarga di Jakarta, Dr. Ulinnuha Husnan, MA. Pak
dhe Marjono, Budhe Sumiati, Alex Prasetyo, Sulthon Hidayat, Om
Timbul, Abrohul Isnaini, M.Hum, M. Muhaimin, Ahmad Taufik, Imam
Wahyudi, Abu Dzar, Ahmad Nidhomuddin, Muhammad Hakim, Lukman
Hakim al-Hadi, Moh. Ikhwan dan teman-teman yang lainnya, yang tidak
dapat penulis sebut satu per-satu.
12. Orang-orang terdekat, Mbah H. Ali Usman, Mbah Rawi dan Mbah Sarti,
Mbah Nur Sholihin, Pak lek Ihsan, Mbah Abdul Mujib, Paklek Naryo dan
Bulek Sari, Pak dhe Asy’ari, Naufal Azka As-Shidqie, Nur Azizah dan
Baqiyatus Sholihah.
viii
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah ikut
membantu proses penulisan skripsi ini. Semoga Allah Swt. senantiasa
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya untuk kita semua. Amin.
Moch. Qomari
ix
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Qiraat ……………………………………………………………………14
1. Pengertian Qiraat…………………………………………………….14
2. Sejarah Munculnya Qiraat……………………………………………15
3. Kualitas dan Kuantitas Qiraat………………………………………..20
a. Qiraat Ditinjau dari Segi Kualitas………………………………..20
b. Qiraat Ditinjau dari segi Kuantitas……………………………….21
B. Tafsir …………………………………………………………………….24
1. Pengertian Tafsir……………………………………………………..24
2. Sejarah Perkembangan Tafsir………………………………………..25
C. Hubungan Qiraat dan Tafsir ……………………………………………..28
D. Pengaruh Ideologi Madzhab dalam Tafsir……………………………….33
x
2. Karya-karya Imam al-Zamakhsyarī………………………………….38
3. Karakteristik Kitab al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-
‘Aqāwil fī Wujūh al-Ta’wīl, ………………………………………………....40
4. Penggunaan Qiraat dalam Tafsīr al-Kasysyāf ………………………..46
B. Biografi Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi …………………………………...48
1. Riwayat Hidup Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi………………………...48
2. Karya-karya Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi …………………………..49
3. Karakteristik Kitab Tafsir al-Kabīr (Tafsīr Mafātih al-Ghāib)……...52
4. Penggunaan Qiraat dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib …………………57
A. Sejarah Munculnya Aliran Teologi dan Perdebatan tentang Dosa Besar dan
Nasib Pelaku Dosa Besar ………………………………………………..59
B. Pengertian Dosa Besar dan Macam-macam Dosa Besar ………………..60
C. Ayat-Ayat tentang Dosa Besar dan Pelaku Dosa Besar
a. Surat Ali Imrān Ayat 91 ………………………………………........63
b. Surat al-Nisā’ Ayat 31 ………………………………………………64
c. Surat al- Māidah Ayat 36-37 ………………………………………...67
d. Surat al-Māidah Ayat 60……………………………………………..69
e. Surat al Taubah Ayat 106 ……………………………………………73
f. Surat al-Furqān Ayat 68-70 …………………………………….........75
g. Surat al-Zumar Ayat 53 ……………………………………………...77
h. Surat al-Syuura ayat 37………………………………………………80
D. Tabel Qiraat ……………………………………………………………...81
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………...92
B. Saran …………………………………………………………………….94
xi
BAB I
PENDAHULUAN
2
Pengertian semacam ini disepakati oleh para ulama ahli al-Qur‟an. Hanya saja sedikit
berbeda-beda redaksinya. Manna‟ Khalīl al-Qattan mendefinisikan al-Qur‟an merupakan firman
Allah yang diberikan nabi Muhammad melalui malaikat Jibrīl dan membacanya bernilai badah.
Lihat; Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa) h.17.
Lain pula dengan al-Zarqani, beliau mengemukakan al-Qur‟an ialah kalam Allah yang diberikan
Nabi Muhammad dari surat al-Fātihah hingga surat al-Nās. Lihat; Abdul „Aẓim al-Zarqani,
Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur‟an (Mesir: Isa al-Bābi al-Halabi, t.t) juz 1, h. 19
1
2
ditambah. Setelah itu, hurufnya ditambah hingga tujuh huruf. Dalam salah satu
riwayat hadis dijelaskan:
3
Muslim Ibn Hajāj al-Naisaburī, Ṣaḥih Muslim (Dar Ihya‟ al-Turas al-„Arabi, t.th), Juz I,
bab Bayān anna al-Qur‟an „alā Sab‟atu Ahruf wa Bayān Ma‟nahu . no 1355.
4
Abū ja‟far Muhammad bin Jarīr bin Yazīd bin Katsīr bin Ghālib al-Ṭabari yang lebih
populer dengan nama al-Ṭabari atau Abū-Ja‟far. Lahir di Amul (Thabaristan) tahun 224 H./ 839
M. atau 225 H./ 840 M dan wafat tahun 310 H. di Baghdad dalam usia 81 tahun. Kitab agungnya
adalah Jāmi‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟an. M. Husain al-Dzahabi, Tafsīr Wa Mufasirūn, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2003) vol I, h. 147.
5
Nama Lengkapnya „Imādu al-Dīn abū al-Fida‟ Ismā‟il ibn Zarā‟ al-Busra al-Dimasyqī,
dengan karangan tafsirnya yang terkenal kitab Tafsīr Ibnu Katsīr. Lihat; M. Husain Al-Dzahabi,
Tafsīr Wa al-Mufassirūn, vol I, h. 242.
6
Beliau merupakan pemuka aliran Mu‟tazilah. Nama lengkapnya „Abdu al-Qāsim
Mahmūd ibn Muhammad ibn Umar al-Khawārizmi al-Zamakhsyarī, beliau mengarang karya
monumental dalam bidang tafsir yang diberi nama Tafsīr Al-Kasysyāf. Lihat; M. Husain Al-
Dzahabi, Tafsīr Wa Mufassirūn, vol I, h. 304. Kedua tokoh ini akan dibahas di dalam skripsi.
3
pendapat Imam Mujāhid di dalam kitabnya Sab‟ah fī Qiraat bahwa qiraat dapat
berpengaruh dalam hukum.
7
. فكاثار التي رويت فى أألحكام،و ّأما االثار التي رويت فى الحروف
أخبرنا أبو بكر أحمد بن: محمد بن إبراىيم بن أبزون أالنباري ألمقرئ قال
ّ ح ّدثنا أبو عبد اهلل أحمد بن
" "اختلف الناس في القراءة كما اختلفوا في األحكام: قال، رحمة اهلل عليو،موسي بن العباس بن مجاىد
.ورويت في األثار باالختَلف عن الصحابة والتابعين توسعةً ورحمةً للمسلمين
Telah menceritakan pada kami Abū Abdullah Ahmad bin Muhamad bin
Ibrāhim bin Abzun al-Anbāri al-Muqarri berkata, telah menceritakan pada kami
Abū Bakr Ahmad bin Mūsa bin Abbās bin Mujāhid, berkata: “Perselisihan
manusia di bidang qiraat seperti perselisihan di bidang hukum”. Diriwayatkan
juga dalam atsar bahwa perbedaan qiraat di kalangan sahabat dan tabi‟in
menjadikan keluesan dan rahmat bagi kaum muslimin.8
Pendapat ini juga didukung oleh Imam Mujahid yang pernah menyatakan:
9
. احتجت أن أسألو عن كثير مما سألتو عنو
ُ قرأت قراءة ابن مسعود قبل أن أسأل ابن عباس ما
ُ كنتُ لو
Jika saja dulu aku membaca qiraat Ibn Mas‟ūd sebelum bertanya kepada Ibn
„Abbās, maka saya tidak perlu banyak bertanya tentang berbagai persoalan
kepadanya (al-Qur‟an).
Pengaruh qiraat dalam penafsiraan menjadikan seorang mufassir untuk
menafsirkan al-Qur‟an sesuai kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Hal ini
tidak bisa dinafikan, karena bagaimanapun seorang mufassir adalah seorang
manusia, yang hidup dalam politik keberagamannya. Atas dasar asumsi tersebut,
7
Ibnu Mujāhid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, (Mesir:Daarul Ma‟arif) h. 49. Yang
dimaksud huruf di sini ialah wajah qiraat dan perbedaannya diantara para ahli qurra. Serta yang
dimaksudkan ahkam ialah hukum-hukum fiqih (al-fiqhiyyah al-tasyri‟ah).
8
Ibnu Mujāhid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, h. 45.
9
Sebagaimana yang dikutip Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn
h. 33.
4
bisa dikatakan dalam menafsirkan al-Qur‟an, sang mufassir tidak mungkin bisa
melepaskan prejudice-prejudice atau latar belakang kehidupannya. Lebih Jelasnya
bahwa masih sangat kuatnya ideologi-ideologi yang dibawa seorang mufassir
ketika sudah berinteraksi dengan al-Qur‟an.10
Beragam kitab tafsir dari klasik hingga modern yang mencantumkan qiraat
dalam penafsirannya. Diantara berbagai kitab yang mencantumkan qiraat dalam
penafsiran ialah Tafsīr al-Kasysyāf dan Tafsīr Mafātih al-Ghāib. 11 Al-Kasysyāf
merupakan karya monumental Imam al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir.
Sedangkan Mafātih al-Ghāib atau dikenal dengan Tafsīr al-Kabīr merupakan
karya dari Imam al-Rāzi yang hidup di masa pemerintahan khalīfah al-Makmūn.
Keduanya mencantumkan qiraat dalam kitab tafsirnya dan sama-sama mengusung
corak teologis yakni madzhab Mu‟tazilah dan Sunni.
Beberapa ulama telah mengemukakan pendapat bahwa Tafsīr al-Kasysyāf
merupakan tafsir yang bercorak teologi Mu‟tazilah. Seperti yang dikemukakan
Ahmad al-Nayyir, dalam kitab al-Intiṣāf, al-Hafīdz Ibnu Hajar al-Asqalanī, dalam
al-Syāfi fī Takhrīj Ahādīts al-Kasysyāf, dan Syaikh Muhammad Ulyān al-
Marzuki, dalam Hasyīyah Tafsīr al-Kasysyāf dan Masyāhidah Inṣaf „alā
Syawāhid al- Kasysyāf memaparkan bahwa Tafsīr al-Kasysyāf bernuansa teologis
dan cenderung membawa paham ideologi Mu‟tazilah. 12 Letak unsur i‟tizāli dapat
13
ditemukan dalam ayat-ayat usūl al-khamsah. Penafsiran al-Zamakhsyarī
mengenai ayat-ayat yang berkenaan dengan usūl al-khamsah cenderung membela
madzhab teologi yang dianutnya. Namun ketika berhadapan dengan ayat-ayat
10
Salimudin, Tesis “Qiraat dalam Kitab Tafsir: Kajian atas Ayat-ayat
Teologis dalam al-Kasysyaf dan Mafatih al-Gaib,” (Tesis S2 Fakultas Humaniora, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016) h. 5. Baca lebih lengkap dalam Abdul Mustaqim,
Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS. 2012)
11
Kedua Kitab ini yang akan dijadikan bahan peneliitian mengenai ayat-ayat teologis
tentang pelaku dosa besar yang didalamnya terdapat penggunaan qiraat dan menganalisa
implikasinya terhadap penafsiran.
12
Bustami Saladin, “Pro dan Kontra Penafsiran Zamakhsyâri tentang Teologi Mu'tazilah
dalam Tafsîr al-Kasysyâf,” Jurnal al-Ihkam V, No. 1 (Juni 2001): h. 8
13
Usūl al-Khamsah ialah kaidah dasar teologi Mu‟tazilah yang mencakup al-Tauhīd
(meng-Esa-kan Allah), al-Adl (keadilan), al-Wa‟du wa al-Wa‟īd (janji dan ancaman), al-Manzilah
baina Manzilatain (kedudukan diantara dua tempat) dan al-Amr bī al-Ma‟rūf wa al-Nahyi „an
Munkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran).Lihat; Tim Riset Majelis Tinggi Urusan
Islam Mesir, Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia Islam, (Kairo: Al-Majlis Al-A‟la li Al-
Syu‟un Al-Islamiyah, 2007), h. 1119-1128.
5
14
Dara Humaira dan Khairun Nisa, “Unsur I‟tizali dalam Tafsir al-Kasysyaf: Kajian
Kritis Metodologis al-Zamakhsyari,” Jurnal Maghza I, No. 1 (Januari-Juni 2016): h. 36-39
15
Muhammad Ali al-Shabuni, al Tibyan Fi Ulumil Qur‟an, Terj Moch Chudori Umar dan
Moh. Matsna HS (Bandung:Ma‟arif, 1996), h. 263
16
Ridhoul Wahidi dan Amaruddin Asra, “Corak Teologis dalam Penafsiran al-Qur‟an,”
Jurnal Syahadah III, no. 3 (April 2014): h. 37-38
17
Dalam Sejarah peradaban Islam tercatat bahwa, ilmu pengetahuan dalam dunia Islam
mengalami perkembangan yang signifikan dengan sikap terbuka, akomodatif dan juga selektif
pada masa dinasti Abbasiyah (750 M -1258 M), dan masa ini lebih dikenal dengan masa „kejayaan
Islam‟. M. Fida Busyro Karim‚ Islam Masa Dinasti Abbasiyah‛ dalam Hanung Hasbullah dkk,
Mozaik Sejarah Islam (Yogyakarta: Nusantara Press. 2011), h. 132.
6
yang paling sesuai dengan kehendak Allah. Mu‟tazilah dengan aliran rasionalnya
menjadi aliran yang lebih dominan, hal ini lebih disebabkan karena ideologi
paham Mu‟tazilah merupakan madzhab resmi negara yang telah diresmikan pada
masa pemerintahan al-Makmūn. 18 Aliran lain seperti Khawārij, Syi‟ah, Sunni
tentunya tetap memperlihatkan eksistensinya, meskipun ajaran mereka tidak
seirama dengan kepemerintahan ketika itu. Tidak bisa dipungkiri, penguatan dan
pembenaran ideologi tersebut, menggunakan al- Qur‟an sebagai senjata ampuh
yang mereka ambil dengan tafsir.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat lebih jauh qiraat dalam penafsiran al-
Zamakhsyarī dalam al-Kasysyāf „an Ḥaqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī
Wujūh al-Ta‟wīl dan Imam al-Rāzi dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib yang akan
difokuskan ke dalam ayat-ayat teologis terutama yang berbicara tentang dosa
besar dan pelaku dosa besar. Oleh sebab itu, dalam penulisan teologis, maka yang
dimaksudkan adalah teologi secara khusus terkait dosa besar dan nasib pelaku
dosa besar seperti kufur, berzina, berputus asa atas rahmat Allah dan lain
sebagainya. adapun ayat-ayat yang dipilih untuk dijadikan acuan adalah ayat-ayat
tentang dosa besar yang di dalamnya terdapat qiraat.
Kedua tokoh tersebut dipilih dengan beberapa pertimbangan. Pertama,
metodologi tafsir yang digunakan keduanya relatif sama, begitu juga dengan corak
19
yang diambil adalah corak teologis. Kedua, al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi
18
Abdul Mustaqim lebih jauh melihat bahwa, dengan madzhab resmi negara yang
bercorak sangat rasional berimplikasi pada bentuk penafsiran al-Qur‟an yang lahir pada masa itu,
yakni bentuk penafsiran yang lebih di tuntut untuk lebih rasional pula (tafsir bi al-Ra‟yi), dengan
kata lain masa ini sudah menawarkan metode baru dalam tafsir al-Qur‟an jika dilihat dari bentuk
dan model penafsiran sebelumnya yang lebih memilih tafsir bi al-ma‟tsur. Abdul Mustaqim,
Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an: Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan,
Hingga Modern-Kontemporer, (Yogyakarta: Adab Press. 2014), .h. 97.
19
Mengenai Corak Penafsiran, Tafsir al-Kasysyaf cenderung bercorak kalam Mu‟tazili
dan Adabi dengan dikemas melalui dialogis, karena hampir disetiap ayat al-Zamakhsyari
menggunakan kata “in qulta? qultu” artinya jika kamu bertanya, saya jawab. Lihat; Anshori.
“Studi Kritis Tafsir al-Kasysyaf,” Jurnal Sosio-Religia VIII, no.3 (Mei 2009): h. 601. Berbanding
terbalik dengan al-Razi yang memiliki corak relatif lebih luas. Dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib
penulis mendapati corak falsafi, fiqhi, i‟tiqādi dan laun „ilmi. Berdasarkan metode dan corak
penafsiran dalam perspektif M. Ridlwan Nasir, Tafsīr Mafātih al-Ghāib termasuk dalam kategori
al-tafsīr bī al-ra‟yi dari segi sumber penafsiran, bayani dari segi cara penjelasan, tafsili dari segi
keluasan penjelasan, tahlili dari segi sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan, dan i‟tiqadi dari segi
kecenderungan aliran, yaitu Asy‟ariyah Sunni. Al-Rāzi dikenal luas sebagai tokoh Asy‟ariyah
yang fanatik, sehingga unsur-unsur teologi Asy‟ariyah bisa ditemukan dalam tafsir ini sebagai
7
merupakan dua tokoh yang memiliki posisi penting dalam sejarah perhelatan kei-
Islaman, terutama terkait aliran keduanya. Keduanya tidak mengenal lelah dalam
membela ideologi yang dianut. Kenyataan tersebut, dapat dilihat dan diidentifikasi
lewat beberapa karya yang dihasilkan. Ketiga, keduanya memiliki pengaruh besar
dalam ilmu-ilmu ke-Islam-an, khususnya dalam bidang ilmu tafsir.20 Keempat, al-
Zamakhsyari dan al-Razi sama-sama memberikan perhatian yang cukup dalam
qiraat. Dengan studi perbandingan, akan ditemukan lebih jauh komentar dan sikap
mereka terkait qiraat, ragam dan kualitas qiraat yang merka gunakan dalam
menafsirkan al-Qur‟an. Begitu juga, penelitian ini lebih jauh akan menganalisa
pencantuman qiraat yang digunakan dalam penafsiran.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditemukan beberapa masalah yang
muncul. Diantaranya sebagai berikut:
1. Berkaitan dengan kaidah mufassir dalam menggunakan qiraat sebagai
sumber tafsir.
2. Ragam qiraat dalam kitab tafsir.
3. Berkaitan dengan implikasi penggunaan qiraat dalam penafsiran al-
Qur‟an.
21
Moh Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama, h. 61.
22
Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1995) Jilid 1, h. 3.
10
Islam, ilmu kalam, jurnal serta karya ilmiah yang mendukung penelitian
ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan penulis adalah model dokumentasi. Model
dokumentasi merupakan salah satu jenis model pengumpulan data dengan
melakukan aksi memindai, mengambil atau mencari dari sumber data dari
beberapa dokumen, bisa berupa kitab-kitab, majalah, jurnal, artikel, surat kabar,
arsip dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian ini.23
Agar memudahkan pengumpulan data, penulis memfokuskan pengumpulan
data berdasarkan urutan sebagai berikut:
a. Meneliti ayat-ayat yang bernuansa teologis yakni dalil atau ayat-ayat yang
berkenaan tentang dosa besar dan nasib pelaku dosa besar.
b. Mengelompokkan penggunaan qiraat yang berimplikasi pada penafsiran
dan yang tidak memiliki pengaruh pada perubahan makna.
c mengkomparasikan data yang diperoleh.
d. Menganalisa hasil temuan.
4. Teknik Analisis Data
Analisa data merupakan usaha untuk manarik sebuah kesimpulan dari sebuah
bacaan, buku, jurnal atau yang lain sebagainya dengan melakukan serangkaian
prosedur secara objektif dan sistematis.
Adapun pendekatan yang digunakan penulis dalam menganalisa data penelitian
ini adalah dengan menggunakan pendekatan deskriptis-analisis. Deskriptis berarti
menggambarkan atau melukiskan keadaan objek yang dikaji sesuai dengan fakta
atau memberikan data yang ada serta memberikan penjelasan terhadapnya. 24
Sedangkan analisis berarti proses mencari kesimpulan dari penelitian melalui
perincian terhadap objek yang dikaji atau memilah-milah pengertian dari beberapa
pengertian untuk mencari kejelasan hal yang diteliti.25
23
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1993), h. 202.
24
Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajah Mada
University, 1996), h. 73.
25
Anton Baker dan Ahmad Chairuz Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), h. 27.
11
F. Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian terdahulu yang membahas tentang pengaruh qiraat
terhadap penafsiran al-Qur‟an diantaranya sebagai berikut:
1. Salimudin, 2016. Lulusan magister UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan
tesisnya yang berjudul “Qiraat dalam Kitab Tafsir (Kajian Ayat-ayat
Teologis dalam al-Kasysyāf dan Mafātih al-Ghāib)”. Tesis ini membahas
seputar pengaruh qiraat dalam kajian ayat-ayat teologis tentang irādah Allah
dan af‟āl al-ibād dengan membandingkan pemikiran dua tokoh yang
memiliki aliran berbeda, yakni Mu‟tazilah dan Sunni. Dalam
kesimpulannya, antara tafsir dan madzhab mufassir memiliki keterkaitan.
Adanya dua model tali rantai antara al-Qur‟an dengan madzhab yakni,
perbedaan pemahaman al-Qur‟an berimplikasi kepada perbedaan madzhab
atau aliran. Atau bisa juga perbedaan madzhab akan berimplikasi pada
perbedaan pemahaman terhadap al-Qur‟an. Kedua kitab tafsir lebih
mencerminkan kepada model kedua atas dasar keduanya hadir sama-sama
dalam rangka membela masing-masing madzhab. Dan tidak bisa dinafikan,
qiraat sebagai salah satu „alat‟ tersebut.
Penelitian ini mengungkap persamaan dan perbedaan kedua tokoh dalam
menggunakan qiraat sebagai alat tafsir. Persamaannya adalah meliputi qiraat
sebagai sumber penafsiran al-Qur‟an, alternatif pencarian makna, dan
sebagai pembelaan terhadap madzhab. Adapun perbedaannya seperti
pemahaman mengenai qiraat, seperti al-Rāzi berpendapat bahwa qiraat
bersifat tauqifī sementara al-Zamakhsyari beragumen qiraat bersifat ijtihadī.
Al-Zamakhsyarī dalam qiraat lebih konsen ke qawāi‟d nahwiyah sedangkan
al-Rāzi fokus terhadap periwayatan qiraat.
2. Muhammad Alaika Nasrulloh, 2011. Dalam tesisnya yang berjudul
“Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Penafsiran al-Qur‟an (Studi
Qiraat Sab‟ah pada Kitab tafsir al-Mishbah Karya Quraish Shihab)” IAIN
Sunan Ampel Surabaya. Tesis ini juga membahas seputar kecenderungan
mufassir dalam menggunakan salah satu qiraat sebagai instrument
12
A. Qiraat
1. Pengertian Qiraat
Qiraat secara bahasa merupakan maṣdar (verbal noun) dari kata qaraa dan
jama‟ dari qiraah yang berarti „bacaan‟.26 Menurut istilah, qiraat adalah salah satu
madzhab (aliran) pengucapan Qur‟an yang dipilih salah seorang imam qurra‟
sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan lainnya. Qiraat ini ditetapkan
bedasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasūlullah Saw.27
Senada dengan Manna‟ Khalīl al-Qattan, al- Ṣabuni mengemukakan bahwa
qiraat adalah suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur‟an, yang
diikuti oleh salah seorang imam qiraat yang berbeda dengan madzhab lainnya,
berdasarkan pada sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi
Muhammad Saw.28
Berbanding jauh dengan pengertian menurut al-Zarkasyī yang nampaknya
hanya menekankan pada lafal-lafal al-Qur‟an yang memiliki perbedaan qiraat.
Menurutnya, bahwa qiraat ialah perbedaan lafal-lafal al-Qur‟an yang tercantum di
dalamnya huruf-huruf dan cara membacanya.
محمد صلّى اهلل عليو وسلّم
ّ فالقرأن ىو الوحي المنزل على،واعلم أ ّن القرأن والقراءات حقيقتان متغايرتان
من تخفيف: والقراءات ىي اختالف ألفاظ الوحي المذكور فى كتبو الحروف أو كيفيتها،للبيان واإلعجاز
.وتثقيل وغيرىما
“Dan ketahuilah bahwa al-Qur‟an dan qiraat hakikatnya keduanya berbeda.
Jika al-Qur‟an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
sebagai penjelasan dan mukjizat, sedangkan qiraat merupakan perdebatan lafal-
lafal al-Qur‟an yang di dalamnya menyangkut huruf-huruf maupun cara
26
Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, (Bogor: Lintera AntarNusa, 2007)
h. 247. Juga: Ṣabuni, Muhammad Ali, al-Tibyān fi Ulūm al-Qur‟an, terj. Moch Chudori Umar dan
Moh. Matsna HS, (Bandung: Ma‟ ārif, tt), 1996 h. 223.
27
Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, h. 247
28
Muhammad Ali al-Ṣabuni, Al-Tibyān fī 'Ulūm al-Qur‟an, (Beirut: Alam al-Kutb,
1985), 229.
14
15
29
Badru al-Dīn Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyī, al-Burhān fī Ulūmi al-Qur‟an,
(Maktabah Dār al-Turāts tt), juz I, h. 318.
30
Hasanuddin AF, Perbedaan Qira‟at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbaṭ Hukum dalam
al-Qur‟an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995. h. 112-113. Lihat juga: Al-Faḍl, Abdul Hādi, al-
Qiraat al-Quraniyat, Beirut: Dār al-Majma al-„Ilmi, 1979, h. 63. Juga: Syihābuddin al-Qusṭalānī,
Laṭāif al-Isyārat li Funūn al-Qur‟an al-Qiraat, (Kairo: tt, tt) h. 170.
16
31
Ahmat Saepuloh “Qiraat Pada Masa Awal Islam,” Jurnal Episteme IX, No. 1, (Juni
2014): h. 29.
32
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, jilid IV, (Beirut: Dar Ibnu Katsir al-Yamamah, 1987), h. 1923.
17
33
Sya‟ban Muhammad Ismail, Mengenal al-Qur‟an, terj. Said Agil Husin al-Munawwar
(Semarang: Dina Utama, 1993), h. 60-61. Lihat: Sayyid Rizq al-Tawil, Fi Ulum al-Qiraat:
Madkhal wa Dirasah wa Tahqiq, (Mekkah: Maktabah al-Faisiliyah, 1985), h. 32-33.
34
Hadis lengkapnya lihat di Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj al-Naisaburi, al-Jami‟ al-
Sahih, juz II (Beirut: Dar al-Jalil, t.t.), h. 203.
35
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir al-Tabari Jami‟ al-Bayan min Ta‟wil
al-Qur‟an, tahqiq Mahmud Muhammad Syakir, Juz I, cet. 2. (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, t.t.),
h. 40.
18
36
Abduh al-Rajihi, al-Lahjah al-„Arabiyyah fi al-Qiraat al-Qur‟aniyyah, (Alexandria:
Dar al-Ma‟rifat al-Jami‟iyyah, 1996), h. 69.
37
Nabil bin Muhammad Ibrahim „Ali Isma‟il, „Ilm al-Qiraat: Nasy‟atuhu Atwaruhu-
Atsaruhu fi „Ilm al-Syari‟ah, (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1419), h. 65.
38
Sayyid Rizq al-Tawil, Fi Ulum al-Qiraat: Madkhal wa Dirasah wa Tahqiq, h. 31.
19
39
Imam al-Qoisy dalam bukunya al-Ibanah mengajukan pertanyaan apa sebab yang
menjadikan banyaknya perbedaan qiraat diantara ulama. Masing-masing memilih bacaannya
sendiri yang sesuai dengan bacaan gurunya. Beliau menjawab perkataan tersebut dengan
mengatakan bahwa masing-masing qari‟ menerima bacaan dari beberapa ulama yang berbeda, juga
berbeda qiraatnya. Kemudian masing-masing mengajarkan qiraat tersebut kepada murid-muridnya,
sehingga tersebarlah beragam qiraat di masyarakat. Al-Qoisy, al-Ibanah, h. 61-62. Sebagaimana
dinukil dari Kholik Abdur rahman al-A‟k, Ushul al-Tafsir wa Qawaiduhu, 2007, h. 440.
Lihat:Faizah Ali Syibromalisi, Pengaruh Qiraat terhadap Penafsiran, h. 2.
40
Thoha Husein, al-Adab al-Jahili, h. 98-99. Al-Thohawi mengomentari al-ahruf al-
sab‟ah adalah rukhsah (keringanan), dikarenakan sulit bagi seseorang membaca dengan lafaz yang
sama, karena mereka tidak pandai memahami tulisan. Kemudian qiraat sab‟ah dinasakh dengan
hilangnya kesulitan yang mereka hadapi pada masa awal Islam yang kemudian diperolehnya
kemudahan dalam tulisan. Berdasarkan paparan di atas, kedua pendapat ini jelaslah keliru. Lihat:
Faizah Ali Syibromalisi, Pengaruh Qiraat terhadap Penafsiran, h. 2.
20
dijadikan sumber acuan”. Seperti ucapan Zaid bin Tsabit ”Qiraat adalah sunnah
muttaba‟ah, sunnah yang harus diikuti.”41
Uraian di atas menarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan kapan tepatnya
qiraat mulai diturunkan. Sebagian ulama mengatakan qiraat muncul pertama kali
di Makkah. Sebagian ulama juga mengemukakan bahwa qiraat diturunkan di
Madinah dengan keterangan hadis yang lokasinya berada di Madinah. Adapun
pendapat yang lebih unggul menurut para ulama adalah qiraat muncul bersamaan
dengan turunnya al-Qur‟an yakni selama 23 tahun yakni 13 tahun di Makkah dan
10 tahun di Madinah. Selain itu, kemunculan beragam qiraat murni bersumber
dari Rasululullah Saw. yang kemudian dinisbatkan oleh masyarakat terhadap para
qurra (imam qiraat).
3. Kualitas dan Kuantitas Qiraat
a. Qiraat Ditinjau dari Segi Kualitas
Sebagian ulama menyimpulkan kualitas qiraat menjadi enam macam.
1. Mutawatir, yaitu qiraat yang dinukil oleh banyak periwayat yang tidak
mungkin besepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung sampai
Rasūlulllah Saw.
2. Masyhūr, yakni qiraat yang ṣahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat
mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Utsmani serta
masyhur dikalangan para qurra. Para ulama menyebutkan bahwa qiraat
semacam ini termasuk qiraat yang dapat dipakai atau digunakan
3. Ahād, adalah qiraat yang sanadnya menyalahi rasam Utsmani, menyalahi
kaidah bahasa Arab dan tidak terkenal dikalangan para ahli qiraat.
Contohnya seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi
ٍ ض ٍر و َعباقَ ِري ِحس
membaca ان َ ئين على َرفَا ِر ِ
َ َ َ َ ْ ف ُخ َ ( ُمتّكal-Rahman (55):76), dan yang
diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ia membaca ول ِم ْن أَنْ َف ِس ُك ْم
ٌ اء ُك ْم َر ُس
َ ( لَ َق ْد َجal-
Taubah (9):128), dengan membaca fathah pada huruf fa‟.
41
Mansur dalam Sunan-nya. Lihat; Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, h.
17
21
4. Syadz, yaitu qiraat yang tidak ṣahih sanadnya, seperti qiraat ك يَ ْوَم الدِّيْ ِن
َ َ( َملal-
Fatihah (1):4), dengan bentuk fi‟il madli dan menasabkan lafaz يَ ْوَم.
5. Mauḍū‟, yaitu qiraat yang tidak memiliki asal. Seperti qiraat yang dihimpun
oleh Muhammad Ibn Ja‟far al-Khuzai‟i (w. 408 H) yang menurutnya
digolongkan pada Abu Hanifah. Contohnya adalah bacaan “Innama yakhsya
llahu min „ibadihi al-ulama‟a,” yang semestinya dibaca sebagaimana ayat
berikut.
6. Mudraj, yaitu bacaan yang diambahkan ke dalam qiraat sebagai penafsiran.
Seperti qiraat Ibn Abbas: ضتُم ِم ْن
ْ َالح ِّج فَِإذَا أف ِ ِ ِ ْ َلَيس علَي ُكم جناح أ ْن تَبت غُوا ف
َ ضالً م ْن َربِّ ُكم فى َم َواس ِم َْ ٌ َ ُ ْ ْ َ َ ْ
ِ فى موadalah penafsiran yang
ٍ َ( َعرفal-Baqarah (2):198), kalimat اس ِم الح ِّج
ات َ َ ََ
disisipkan ke dalam ayat.42
b. Qiraat Ditinjau dari Segi Kuantitas
Sedangkan klasifikasi qiraat berdasarkan jumlah perawi adalah sebagai
berikut:
1. Al-Qiraat al-Sab‟ (Qiraat Sab‟ah): adalah qiraat yang diriwayatkan oleh
tujuh imam qiraat yang sudah maklum.
a. Imam qiraat yang masyhur di kota Madinah, Abū Abdurrahman Nāfi‟
bin Abī „Abdurrahman bin Abī Nu‟aim. Beliau berguru kepada
„Abdurrahman bin Hurmuz al-„Araj, Abī Hurairah, Ibnu „Abbās dan
Abū Ja‟far al-Qa‟qa‟. Adapun Muridnya adalah „Isa bin Munya Qālun
dan Utsmān bin Sa‟īd yang memiliki laqab Warasy.
b. Imam qiraat yang masyhur di kota Makkah, „Abdullah ibn Katsīr.
Qiraat beliau diriwayatkan oleh dua orang muridnya yang bernama al-
Bāzi dan Qunbūl.
c. Imam qiraat yang masyhur di kota Syam, „Abdullah bin „Amr al-
Yahsubi. Muridnya ialah Hisyām bin „Imār bin Nusair dan „Abdullah
bin Ahmad bin Bāsyir bin Zakwan.
42
Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, h. 256-257.
22
d. Imam qiraat yang masyhur di kota Kufah, Abū Bakar „Āsim bin Abī
Najud. Beliau berguru pada Abī „Abdirrahman. Adapun muridnya
adalah Syu‟bah dan Ḥafs.
e. Imam qiraat yang masyhur di kota Kufah, Hamzah bin Habīb al-Zayyāt.
Beliau memiliki kunyah Abū Imārah. Beliau berguru kepada al-
„Amasy, Ibnu Abī Lailī, Sa‟īd bin Jābir dan lain sebagainya. Adapun
muridnya adalah Khalāf dan Khalād.
f. Imam qiraat yang masyhur di kota Kufah, „Ali bin Hamzah al-Kisā‟i.
Muridnya adalah al-Lais bin Khālid al-Baghdadi atau dikenal dengan
Abū al-Hārits dan Abū „Umar bin Ḥafs bin „Umar bin „Abdul „Aziz al-
Dauri al-Nahwi atau dikenal dengan al-Dauri.
g. Abū „Amr bin „Alā, perawinya adalah al-Dauri (juga periwayat al-
Kisā‟i) dan Abū Syu‟aib Ṣālih bin Ziyād bin „Abdullah al-Sūsi.43
2. Qiraat al-„Asyr (qiraat sepuluh): adalah qiraat Sab‟ah yang dilengkapi
dengan tiga imam qiraat. Yakni, qiraat Ya‟qūb al-Baṣri, qiraat Khalāf, dan
qiraat Yazid bin Qa‟qa‟ (Abu Ja‟far al-Madani).
3. Qiraat al-Arba‟ „Asyr (qiraat empat belas) adalah qiraat „Asyrah ditambah
qiraat empat Imam qiraat, yakni qiraat Hasan al-Baṣri, qiraat Muhammad
bin „Abdurrahman atau dikenal dengan Ibnu Muhaiṣin, qiraat Yahyā bin
Mubārak al-Yazidi al-Nahwi, dan qiraat Abū al-Farāj Muhammad bin
Ahmad al-Syanabudz.44
Untuk menghindari penyelewengan qiraat yang sudah muncul, maka
para ahli qiraat membuat semacam parameter berupa persyaratan-
persyaratan bagi qiraat yang dapat diterima setelah melalui penelitian yang
mendalam. „Abdu al-Hādi al-Faḍl misalnya telah melakukan penelitian
terhadap masalah ini dan mengemukakan berbagai persyaratan yang
dikemukakan oleh para ahli qiraat. Walaupun menurutnya terdapat sedikit
perbedaan dalam menetapkan persyaratan bagi qiraat yang tergolong sahih
43
Ibn Mujāhid, Kitab al-Sab‟ah fī al-Qira‟at (Mesir : Dār al-Ma‟ārif, t.t.) h. 88-101.
44
Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, h. 261-262.
23
artinya qiraat tersebut memiliki sanad yang ṣāḥiḥ; ( )موافقة العربيةartinya qiraat
itu sesuai dengan kaidah bahasa Arab; dan ( )مطابقة الرسمartinya qira‟at itu
45
Hampir semua ahlu qurra menentukan persyaratan diterimanya qiraat dengan 3 hal
yakni sesuai dengan rasm Usmani, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab dan Sanadnya tersambung
sampai Rasūlullah Saw. Lihat Hilmah Latif, Perbedaan Qiraat dan Penetapan Hukum, Sulesana
VII , No. 2, (Tahun 2013):, h. 68. Lihat juga: Musa Ibrahim al-Ibrahim, Buhūtsu Manhajiyyah fī
Ulūm al-Qur‟an, (Oman: Dār Imar, 1996). h. 73. Lihat, Sayyīd Risqit Ṭawil, fī Ulūm al-Qiraah
(Makkah al-Mukarramah: Maktabah Faiṣailiah, 1985), h. 48.
24
B. Tafsir
1. Pengertian Tafsir
Tafsir secara bahasa adalah bentuk maṣdar dari kata fassara-yufassiru-tafsīran
yang berarti al-īḍah wa al-tabyīn, yang memiliki makna penjelasan, uraian,
keterangan, interpretasi dan komentar.46 Adapun menurut Syaikh Manna‟ Khalil
al-Qattan, secara etimologi kata tafsir berarti al-ibānah wa kasyfu al-mughaṭa
(menjelaskan dan menyingkap yang tertutup).47
Pengertian tafsir dalam kamus Lisān al-Arāb, tafsir memiliki arti menyingkap
maksud dari kata yang samar. Hal ini didasarkan pada ayat al-Qur‟an surat al-
Furqān: 33.
46
Abu „Aẓim al-Zarqanī, Manāhil al-Irfān fī Ulūm al-Qur‟an, (Beirut: Dār al-Maktabah
al-Arābiyah, 1995.) Vol. 2 h. 6
47
Manna‟ Khalīl al-Qattan, Mabāhits fi Ulūm al-Qur‟an, (Riyadh: Mansyūrat al-„Aṣr al-
Hadis), 1973. h. 323
48
Manna‟ Khalīl al-Qattan, Mabahīts fī Ulūm al-Qur‟an, 1973. h. 324
49
Abu Azhim al-Zarqani, Manāhil al-Irfān fī Ulūm al-Qur‟an, (Beirut: Dār al-Maktabah
al-Arābiyah, 1995.) Vol. 2 h. 6. Lihat Manna‟ Khalil al-Qattan, Mabāhits fī Ulūm al-Qur‟an, h.
324
50
Hal-hal yang melengkapi ialah pengetahuan mengenai asbabun nuzul, nasikh-mansukh,
kisah-kisah, dan lain sebagainya yang menjadi lingkup kajian ilmu al-Qur‟an. Lihat Manna‟ Khalil
al-Qattan, Mabāhits fī Ulūm al-Qur‟an, h. 324
25
Al-Kilabī berpendapat dalam at-Tāṣil bahwa tafsir ialah bayān menjelaskan al-
Qur‟an, menerangkan maknanya serta menjelaskan makna yang dikehendaki
dengan nasbnya atau dengan isyarat atau tujuannya.51
Defenisi-definisi diatas, menarik kesimpulan bahwa; Pertama, dilihat dari segi
objek pembahasan tafsir adalah kitābullah (al-Qur‟an) yang di dalamnya
terkandung firman Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
melalui malaikat Jibril. Kedua, dilihat dari segi fungsi dan tujuannya adalah
menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan al-Qur‟an sehingga dijumpai
hikmah, hukum, ketetapan dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Ketiga,
dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad
mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya,
sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
2. Sejarah Perkembangan Tafsir
Sejarah perkembangan tafsir telah melewati fase-fase pertumbuhan dan
perkembangan yang cukup panjang , sejak dari mula pertamanya pada masa nabi
SAW sampai sekarang. Terdapat tiga fase dalam perkembangan tafsir sebagaimana
uraian sebagai berikut.52
Pertama, masa kelahiran, pertama kali al-Qur‟an turun, al-Qur‟an langsung
ditafsirkan oleh Allah yang menurunkan al-Qur‟an tersebut. Artinya sebagian
ayat yang turun itu menafsirkan (menjelaskan) bagian yang lain sehingga
pendengar atau pembaca dapat memahami maksudnya secara baik berdasarkan
penjelasan ayat yang turun itu.
Kedua, masa pertumbuhan, masa pertumbuhan dapat dikelompokkan dalam
beberapa periode. Pertama, periode Nabi Muhammad Saw. dan sahabat (abad I
H/VII M) pada waktu rasul masih hidup maka penafsiran langsung dilakukan oleh
beliau berdasarkan wahyu Allah Swt. Kedua, periode tabi‟in dan tabi‟it tabi‟in
(abad 2 H/VIII M). Sumber-sumber tafsir pada periode ini adalah al-Qur‟an,
hadis-hadis Nabi, tafsir para sahabat, cerita-cerita dari ahli kitab, ra‟yu dan ijtihad.
51
T.M. Hasbi Aṣ-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an, (Jakarta: Bulan
Bintang) h. 178
52
Ahmad Sholeh Sakni, “Model Pendekatan Tafsir dalam Kajian Islam, “ Jurnal JIA XIV,
No. 2 (Desember 2013): h. 67.
26
53
Seseorang yang ingin memahami al-Qur‟an secara benar misalnya maka yang
bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur‟an yang disebut sebagai ilmu Asbāb
al-Nuzūl. Dengan pendekatan ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung
dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara
syari'at dari kekeliruan memahaminya. Dengan mengetahui latar belakang turunnya ayat, orang
dapat mengenal dan menggambarkan situasi dan keadaan yang terjadi ketika ayat tersebut
diturunkan, sehingga hal itu memudahkan untuk memikirkan apa yang terkandung dibalik teks-
teks ayat itu. Lihat: Ahmad Sholeh Sakni, “Model Pendekatan Tafsir dalam Kajian Islam,” h. 67.
54
Penafsiran al-Qur‟an dengan melalui pendekatan fiqih dan hukum pada masa awal
turunnya al-Qur‟an sampai munculnya madzhab fiqih yang berbeda-beda, para mufasir ketika itu
jauh dari sikap fanatik yang berlebihan, atau ada tujuan-tujuan tertentu dalam menafsirkan al-
Qur‟an yang bersinggungan dengan ayat hukum. Lihat: Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Quran,
(Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014), h. 284.
27
55
Tafsir falsafi adalah tafsir yang dilakukan dengan dua cara yaitu menjelaskan
ketentuan-ketentuan agama dengan pikiran-pikiran yang telah terurai dalam filsafat dan
menakwilkan kebenaran-kebenaran agama dengan pikiran-pikiran filsafat. Lihat: Muhammad
Husein adz-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Juz II (Mesir : Dār al-Maktub al-Haditsah,
1976), h. 418. Tafsir teologis adalah satu bentuk penafsiran al-Qur‟an yang tidak hanya ditulis
oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang
dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis tertentu. Lihat Juga: Abdul Mustaqim,
Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an: Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan,
Hingga Modern-Kontemporer, 131-132.
56
Penafsiran dengan mengggunakan pendekatan kebahasaan dalam menjelaskan maksud
ayat yang terkandung dalam al-Qur‟an muncul karena selain al-Qur‟an sendiri memberi
kemungkinan-kemungkinan arti yang berbeda. Juga menurut M. Quraiṣ Ṣihab, corak lughāwi
(kebahasaan) muncul akibat banyaknya non Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri dibidang sastra, sehingga dirasakan perlu menjelaskan
kepada mereka tentang keistimewaan dan keīdalaman kandungan al-Qur‟an. Salah satu contoh
tafsir bernuansa lughāwi ialah Abū Su‟ūd Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi dengan tafsirnya
Irsyād al-„Aql al-Sālim ilā Mazāya al-Kitāb al-Karīm. Lihat: Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul
Quran, h. 284
57
Corak tafsir „ilmi ialah corak penafsiran al-Qur‟an yang pembahasannya menggunakan
istilah atau term-term ilmiah dalam mengungkapkan ayat al-Qur‟an, dan berusaha melahirkan
berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.
Lihat: Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an 2, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) h.
135. Lihat: Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 474. Tafsir dengan corak „ilmi juga
sebagai penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat di dalam al-Qur‟an dengan mengkaitkannya
dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa kini. Lihat pula: Sayyid Agil Husin al-
Munawwar, al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.
72.
58
Corak Adābi Ijtimā‟i sebagai corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang
aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur‟an (balāghah), yang menjadi
28
61
. فكاثارالتي رويت فى أألحكام،وأما االثار التي رويت فى الحروف
ّ
dasar kemukjizatan al-Qur‟an. Atas dasar tersebut, mufassir menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an,
menampilkan sunnatullah yang tertuang di dalam alam raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia
dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin secara khusus dan persoalan umat
manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh al-Qur‟an. Lihat: Prof.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), h. 108.
59
Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulumi al-Qur‟an,
(Maktabah Dar al-Turats tt), juz 1, h. 318.
60
Ikmal Zaidi bin Hashim, “Metode Penentuan dan Penggunaan Penganalisaan Qiraat
dalam Karya-karya Tafsir,” dalam seminar, “International Research and Innovation Conference
2014 (IRMIC2014),” Kuala Lumpur: Kolej Universiti Islam Antarbangsa Selangor, h. 113.
29
أخبرنا أبو بكر أحمد بن:محمد بن إبراىيم بن أبزون أالنباري ألمقرئ قال
ّ ح ّدثنا أبو عبد اهلل أحمد بن
" "اختلف الناس في القراءة كما اختلفوا في األحكام: قال، رحمة اهلل عليو،موسي بن العباس بن مجاىد
.ورويت في األثار باإلختالف عن الصحابة والتابعين توسعةً ورحمةً للمسلمين
Telah menceritakan pada kami Abu Abdullah Ahmad bin Muhamad bin
Ibrahim bin Abzun al-Anbari al-Muqarri berkata, telah menceritakan pada kami
Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Abbas bin Mujahid, berkata: “Perselisihan
manusia di bidang qiraat seperti perselisihan di bidang hukum”. Diriwayatkan
juga dalam atsar bahwa perbedaan qiraat di kalangan sahabat dan tabi‟in
menjadikan keluesan dan rahmat bagi kaum muslimin.63
Pendapat ini juga didukung oleh Imam Mujahid yang pernah menyatakan:
64
. احتجت أن أسألو عن كثير مما سألتو عنو
ُ قرأت قراءة ابن مسعود قبل أن أسأل ابن عباس ما
ُ كنتُ لو
Jika saja dulu aku membaca qiraat Ibn Mas‟ud sebelum bertanya kepada Ibn
„Abbas, maka saya tidak perlu banyak bertanya tentang berbagai persoalan
kepadanya (al-Qur‟an).
Qiraat dalam ranah tafsir, ada qiraat mempunyai pengaruh dalam penafsiran
dan ada pula yang tidak memiliki pengaruh dalam penafsiran. Kebanyakan qiraat
memiliki pengaruh dalam bidang fiqih. Berikut adalah contoh qiraat yang
memiliki pengaruh dalam penafsiran dan yang tidak berdampak terhadap
penafsiran.
a. Qiraat yang berdampak pada penafsiran
1. Surat al-Maidah ayat 6
61
Ibnu Mujahid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, (Mesir:Dār al-Ma‟arif) h. 49. Yang
dimaksud huruf di sini ialah wajah qiraat dan perbedaannya diantara para ahli qurra. Serta yang
dimaksudkan ahkam ialah hukum-hukum fiqih (al-fiqhiyyah al-tasyri‟ah).
62
Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, h. 258.
63
Ibnu Mujahid, Kitab al-Sab‟ah fi al-Qiraat, h. 45.
64
Sebagaimana yang dikutip Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun,
h. 33.
30
65
Ibn Mujāhid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, h. 242
31
bahwa ketika berwuḍu hendaklah kaki itu dicuci.66 Selain dasar qiraat
itu menurut mereka juga ditopang oleh hadis dari Rasūlullah Saw.
riwayat Bukhāri yang mengancam orang berwuḍu tanpa mencuci tumit
dengan api neraka. Hadis itu berbunyi :
“Telah menceritakan kepada kami Abu An Nu'man 'Arim bin al-Faḍal
berkata, telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Abu
Bisyir dari Yusuf bin Mahak dari Abdullah bin 'Amru berkata: Nabi ṣ ṣ
ṣallallahu 'alaihi wa sallam pernah tertinggal dari kami dalam suatu
perjalanan yang kami lakukan hingga Beliau mendapatkan kami
sementara waktu ṣalat sudah hampir habis, kami berwudhu dengan
hanya mengusap kaki kami. Maka Nabi ṣallallahu 'alaihi wa sallam
berseru dengan suara yang keras. "celakalah bagi tumit-tumit yang
tidak basah akan masuk neraka." Beliau serukan hingga dua atau tiga
kali.”67
“Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan
pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak
mencari keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada
mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”
66
Al-Syaukanī, Tafsīr Faṭḥu al-Qadīr didalam CD al-Maktabah al-Syamilah pada
penafsiran QS. al-Ma‟idah (5) : 6
67
Imam Bukhari, Ṣaḥih al-Bukhāri, Bab Siapa yang mengeraskan suaranya dalam
menyampaikan ilmu, Hadis no 58. Sumber Lidwa 9 Hadis.
68
Al-Baiḍawi, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta‟wīl di dalam CD al-Maktabah al-
Syamilah pada penafsiran QS. al-Ma‟idah (5)
32
أل ّن اإلكراه ازال اإلثم والعقوبة أل ّن للمكرىة ّاما المكره فال عذرلو فيما فعل.بهن
ّ فإ ّن اهلل غفور رحيم
Firman Allah فإن هللا غفور رحيمmaknanya adalah, sesungguhnya Allah
mengampuni mereka (budak-budak wanita yang dipaksa untuk melakukan
pelacuran). Unsur paksaan dapat menghilangkan dosa dan sanksi hukum.
Unsur paksaan merupakan halangan (dalam keberlakuan hukum) bagi budak-
69
Hasanuddin AF, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Instinbaṭ Hukum dalam
al-Qur‟an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995). h.237.
70
Abū al-Qāsim Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, (Riyadh: Maktabah al-Abikan, 1998), h. 67.
71
Muhammad al-Rāzi Fakhru al-Dīn, Tafsīr al-Fakhri al-Rāzi al-Masyhūr bi Tafsīr al-
Kabīr Mafātih al-Ghāib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 222.
33
budak wanita yang dipaksa, sementara bagi yang memaksa, unsur paksaan
tidak merupakan halangan (dalam keberlakuan hukum) atas perbuatannya.
C. Pengaruh Ideologi Madzhab dalam Tafsir
Penafsiran ideologis muncul karena dua faktor. Pertama, pergolakan politik
umat Islam periode awal. Kedua, perdebatan teologis di antara mereka. Dua
faktor ini mencuat ke permukaan setelah tragedi besar (al-Fitnah al-Kubrā),
terutama setelah perang Siffin antara pihak „Ali bin Abī Ṭālib dan Mu‟awiyyah
bin Abū Sufyan yang melahirkan kelompok Khawārij, Syī‟ah dan kelompok pro
Bani Umaiyyah. Setelah itu, kemudian muncul kelompok Qadariyah, Murji‟ah,
Mu‟tazilah, dan Sunni. Mereka seringkali terlibat dalam perdebatan politis-
teologis dan berlindung di bawah teks al-Qur‟an dan hadis.72
Sebagai konsekuensinya, pengaruh pergolakan politik dan ideologi ini
memengaruhi proses kodifikasi ilmu-ilmu ke-Islaman, terutama tafsir. Pada
masa ini setiap kelompok teologi mengkodifikasi disiplin keilmuan masing-
masing yang produknya berbeda satu sama lain, sehingga mempengaruhi disiplin
keilmuan ke generasi setelahnya, hingga sekarang. Tradisi Sunni melahirkan
penafsiran bercorak Sunni, tradisi Syī‟ah melahirkan penafsiran bercorak Syī‟ah,
tradisi Mu‟tazilah melahirkan penafsiran Mu‟tazilah, dan begitu seterusnya.
Bahkan tradisi yang sama bukan berarti corak penafsiran teologisnya juga sama,
tetapi semakin terkotak-kotak dalam sekat perbedaan dalam satu rumpun
teologi.73
Fakta membuktikan bahwa kesamaan teks al-Qur‟an bisa tampil dalam wajah
tafsir berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan tendensi penafsir. Apalagi
ditambah dengan kenyataan bahwa banyak ayat al-Qur‟an berkaitan dengan
persoalan akidah. Ini termasuk faktor penting terbukanya penafsiran tendensius
ini, karena penafsir akan berkomentar sedikit atau banyak tentang ayat tersebut
ketika berhadapan dengannya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan
72
Mohammad Subhan Zamzami , “Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual Islam,”
Jurnal Mutawatir IV, No. 1, (Januari-Juni 2014): h. 175.
73
Mohammad Subhan Zamzami , “Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual Islam,”
h. 176.
34
bahwa tidak ada satu karya tafsir pun yang bebas dari penafsiran dengan tendensi
teologis tertentu, baik kadarnya sedikit maupun banyak.74
Karakteristik tafsir teologi-falsafi bisa dilihat dari segi penyampaian tafsir.
Aspek gaya bahasa, akurasi dan sumber penafsiran, konsistensi metodologis,
sistematika, daya kritis, kecenderungan aliran yang diikuti dan objektifitas
penafsirnya. Dengan mengerti aspek-aspek tersebut, maka akan ditemukan
karakteristik tafsir abad pertengahan, khususnya tafsir yang bercorak teologi-
falsafi.
1. Syarat dengan kepentingan subjektif (ideologis) mufassirnya. Para mufassir
umumnya ahli atau pakar di bidang ilmu dan ideologi tertentu, sehingga
mereka fokus untuk mencari alternatif makna (mencocokkan teori atau
doktrin mereka dengan ayat-ayat al-Qur‟an). Seringkali di sini mufassir
terjebak dalam kepentingan golongan daripada mendahulukan objektifitas
penafsiran.
2. Kajian lebih difokuskan ke dalam pembahasan tema-tema teologis-filosofis
dibanding mengedapankan kandungan al-Qur‟an.
3. Tafsir bernuansa teologis-filosofis rentan bermuatan fanatisme sektarian dan
pembelaan terhadap aliran madzhab yang diikuti.
4. Mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihāt. Ayat-ayat al-Qur‟an tertentu yang
memiliki konotasi berbeda satu sama lain, seringkali dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok teologis tertentu sebagai basis penafsirannya untuk
membela aliran yang diikuti. Masing-masing golongan dari berbagai aliran
saling mengaku bahwa ayat-ayat yang sesuai dengan madzhabnya dikatakan
muhkamāt, sedangkan ayat-ayat lain yang sesuai dengan pendirian
musuhnya diklaim mutasyabihāt. Maka dari itu, perlu dilakukan
pentakwilan yang sesuai dengan keyakinannya.
5. Adanya kecenderungan truth claim. Mereka berusaha mencari dukungan
dari masyarakat maupun pemerintah melalui klaim kebenaran dan juga
74
Mohammad Subhan Zamzami , “Tafsir Ideologis dalam Khazanah Intelektual Islam,”
h. 176.
35
75
Riḍoul Wahidi dan Amaruddin Asra, “Corak Teologis dalam Penafsiran al-Qur‟an,”
Jurnal Syahadah III, no. 3 (April 2014): h. 32-33.
BAB III
BIOGRAFI IMAM AL-ZAMAKHSYARĪ
DAN IMAM FAKHRU AL-DĪN AL-RĀZI
75
Manna‟ Khalīl al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, terj. Mudzakir AS. (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2007), hlm. 530.
76
Ahmad Muhammad al-Hufi, Al-Zamakhsyarī, (Kairo: Dār al-Fikr al-Arabi, 1966),
h. 35. lihat: Anshori, “Studi Kritis Tafsir al-Kasysyaf”, Jurnal Sosio-Religia VIII, No. 3, (Mei
2009): h. 596.
77
Mustafa al-Ṣawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān
I„jāzihi, (Mesir: Dār al-Ma„ārif, t.t), h. 26.
7878
Mustafa al-Ṣawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān
I„jāzihi, h. 25.
36
37
79
Sayyīd Muhammad Ali Ayazi, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa
Manhajuhum, (Teheran: Muassasah al-Ṭaba‟ah Wa al-Nasyr Wizārah al-Tsaqafah wa al-Irsyād al-
Islāmi, t.t.), h. 574
80
Ahmad Muhammad al-Hufi, Al-Zamakhsyarī, h. 35.
81
Mustafa al-Shawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān
I„jāzihi, h. 33-35.
82
Mustafa al-Shawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān
I„jāzihi, h. 28
38
83
Muhammad Husain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Beirut: Dār al-Arqam ibn
Abi al-Arqām, t.t,), h. 278.
84
Ahmad Muhammad al-Hufi, Al-Zamakhsyarī, h. 55.
85
Ibnu Munayyīr, Al-Masā‟il Al-I‟tizāliyyah fī Tafsīr Al-Kasysyāf li Al-Zamakhsyarī,
(Saudi Arabia: Dar al-Andalas, 1418 H), Jilid I, h. 41.
39
86
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, Juz I. h. 15-17. Lihat; Mustafa al- Ṣawi al-Juwaini,
Manhaj al-Zamakhsyarī fī Tafsīr al-Qur‟an wa Bayān I„jāzihi, h. 50.
41
91
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn „Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,, Juz I. h. 19.
92
Lenni Lestari, “Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut al-Zamakhsyari (Analisis
Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-Kasysyaf)”, Jurnal Syahadah III, No. II,
(Oktober 2014): h. 34. Lihat; Nashirudin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Qur‟an. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1998), h. 50.
93
Sayyīd Muhammad „Ali Ayazi, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Hayātuhum wa
Manhajuhum, 578.
43
94
Sayyīd Muhammad „Ali Ayazi, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Hayātuhum wa
Manhajuhum, h. 579.
95
Sayyīd Muhammad „Ali Ayazi, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn Hayātuhum wa
Manhajuhum, h. 579.
96
Anshori, Studi Kritis Tafsir Al-Kasysyaf, h. 602.
97
Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1996), h. 12.
44
98
Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadis, 2005), hlm. 365-366.
99
Fauzan Na‟if, Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari, dalam A. Rofiq (ed.), Studi Kitab
Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 54-55.
45
100
Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf „an Haqqa‟iq al-Tanzil
wa „Uyun al-„Aqawil fi Wujuh al-Ta‟wil, Juz I. h. 220.
101
Dara Humaira dan Khairun Nisa, “Unsur I‟tizali dalam Tafsir al-Kasysyaf: Kajian
Kritis Metodologis al-Zamakhsyari,” Jurnal Maghza I, No. 1 (Januari-Juni 2016): h. 34
102
Salimudin, Tesis “Qiraat dalam Kitab Tafsir: Kajian atas Ayat-ayat Teologis dalam
al-Kasysyaf dan Tafsīr Mafātih al-Ghāib,” (Tesis S2 Fakultas Humaniora, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2016) h. 7. Lihat; Fauzan Na‟if, Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari, h. 55-56. Lihat;
Humaira dan Khairun Nisa, “Unsur I‟tizali dalam Tafsir al-Kasysyaf: Kajian Kritis Metodologis
al-Zamakhsyari,” h. 36.
46
103
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,, Juz 6. h. 270.
47
104
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,, Juz I. h. 8.
105
Muhammad Abdul Ghofir, Skripsi “Penggunaan Qiraat dalam Surat al-Nisa: Studi
Kitab Tafsir al-Kasysyaf „an Haqqa‟iq al-Tanzil wa „Uyun al-„Aqawil fi Wujuh al-Ta‟wil,,”
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015) h.
186-187. Lhat; Salimudin, Tesis “Qiraat dalam Kitab Tafsir: Kajian atas Ayat-ayat Teologis
dalam al-Kasysyaf dan Mafatih al-Gaib,” h. 7.
106
Dr. Anshori LAL, Tafsir Bil Ra‟yi Menafsirkan al-Qur‟an dengan Ijtihad, (Jakarta:
Gaung Persada Press, 2010), h. 167
48
107
Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf „an Haqqa‟iq al-Tanzil
wa „Uyun al-„Aqawil fi Wujuh al-Ta‟wil, h. 263.
108
Muhammad al-Rāzi Fakhru al-Dīn, Tafs ī r al-Fakhri al-Rāzi al-Masyhūr bi Tafsīr al-
Kabir Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981 M), Juz I, h. 3.
109
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
(Tangerang Selatan: LP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ,2011), h. 54.
49
Ibn Furak, dan al-Qaffāl al-Ṣaṣi. Dari tokoh Mu‟tazilah ia mengutip Abū
Muslim al-Asfahāni, al-Qaḍi „Abd al-Jabbār, dan al-Zamakhsharī.110
2. Karya-karya Imam Fakhru al-Dīn al-Rāzi
Fakhru al-Dīn al-Rāzi merupakan sosok ulama yang mahir dalam berbagai
bidang ke-ilmuan. Beliau menuangkan ilmunya dalam banyak karya di
berbagai disiplin ilmu. Menurut Malik Abdul Hālim apabila dihitung, karya al-
Rāzi berjumlah sebanyak 200 buah.111 Sedangkan menurut Abdul Azīz Majdub
mengatakan bahwa al-Rāzi menghasilkan karya 89 buah dalam bentuk buku
maupun manuskrip. Berikut adalah karya al-Rāzi sebagaimana Sayyid Husein
mengutip dari al-Baghdadi dengan membagi karya Imam Fakhru al-Dīn al-
Rāzi dalam beberapa disiplin ilmu.
a. Bidang Tafsir
1. Mafātih al-Ghāib
2. Kitāb Tafsīr al-Fātihah, yang sekarang merupakan jilid pertama dari
kitab Tafsīr al-Kabīr
3. Kitāb Tafsīr Sūrah al-Baqarah, kitab ini juga tercakup dalam satu jilid
tetapi saat ini telah dicetak sendiri
4. Tafsīr al-Qur‟an al-Ṣaghīr, yang lebih dikenal dengan nama Asrār al-
Ta‟wīl wa Anwār al-Tanzīl
5. Kitāb Tafsīr Asmā‟ Allah al-Husnā
6. Kitāb Tafsīr al-Bayyināt
7. Risālah fī al-Qur‟an al-Tanbīh „alā Asrār al-Mau‟izah al-Qur‟an.
Kitab ini merupakan gabungan antara tafsir kalam dengan
mencantumkan ide-ide sufi metafisika di dalamnya, didasarkan pada
surat al-Ikhlas, ramalan menggunakan dasar surat al-„Ala, mengenai
kebangkitan disandarkan pada surat al-Tīn dan mengenai tekanan
pekerjaan manusia merujuk pada surat al-„Aṣr.
b. Bidang Sejarah
110
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 9.
111
Mani‟ Abdul Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin, (Mesir: Dar al-Kitab al-Misri,
1978), h. 145.
50
112
Sayyid Hosein Nasr, The Islamic Intelectual Tradision in Persia, (New York: Happer
Cllins, 1993), h. 108
113
Menurut al-Dzahabi, berdasarkan keterangan dari ulama, al-Rāzi tidak menyelesaikan
penulisan kitab tafsirnya, melainkan disempurnakan oleh orang lain. Ibn Hajar mengatakan,yang
menyempurnakan kitab tafsirnya ialah Ahmad ibn Muhammad ibn Abi al-Hazm Maki Najm al-
53
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur‟an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).”
Dīn al-Makhzumi al-Qumuli, wafat 727 H. sedangkan menurut ṣāḥih al-Kasyf al-Zunūn, yang
menyempurnakan kitabnya bukan hanya Najm al-Dīn, melainkan juga oleh Syihab al-Dīn Khalil
al-Khawiyyi al-Dimasyqi, wafat 639 H. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsīr wa al-
Mufassirūn, jilid I, h. 207.
54
114
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.
61. lihat; Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 90.
115
Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an, h. 31.
55
116
Prof. H. Rachmat Syafe‟i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h.
249. Lihat: Dr. Mani‟ Abdul Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin, h. 149.
117
Al-Shobuni, Pengantar Studi al-Qur‟an, terj. Muhammad Umar dan Muhammad
Masna HS, (Bandung: al-Ma‟arif, 1987), h. 227.
118
Al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi „Ulum al-Qur‟an, Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) h.
96.
119
M. Hasbi as-Shiddiqie, Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang,
1989), h. 205.
56
120
Prof. H. Rachmat Syafe‟i, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 249. Lihat Muhammad Husain al-
Dzahabi, Tafsīr wa al-Mufassirūn,, h. 294.
121
W. Montgo Mery Watt, Pengantar Studi Islam, terj.Taufik Adnan Amal, (Jakarta:
Rajawali Press, 1991), h. 267.
57
yang dila'nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (tidak
demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia
menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. dan al-Quran yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan
menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara
mereka. dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di
antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api
peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan
dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang
membuat kerusakan.”
al-Rāzi dalam menafsikan kalimat wa qālati al-yahūdu yadu
allahi maghlulatun. Kata yad dalam ayat ini tidak diartikan
secara harfiah sebagai “tangan”, melainkan ditakwilkan dengan
kata lain, yaitu ayat ini merupakan ungkapan ketidakmungkinan
memberi, karena frase ghull al-yad wa bastuha adalah majāz yang
sudah dikenal tentang kikir dan kedermawanan. Padahal bagi
kelompok Sunni lain, Mujassimah, kata yad tetap ditafsirkan
berdasarkan makna harfiahnya yaitu “tangan”, tetapi beliau
bersikukuh dengan penafsirannya dengan menyuguhkan
argumentasi khas kelompok Asy‟āriyah.122
4. Penggunaan Qiraat dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib
Sebagaimana Zamakhsyarī dalam kitab Tafsīr al-Kasysyāf, al-Rāzi dalam
mencantumkan qiraat juga memilih yang menguatkan argumentasinya.
Contohnya dalam surat al-Nisa ayat 43.
122
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 44-45.
58
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi
Maha Pengampun.”
Terdapat dua versi bacaan qiraat. Ibn Katsīr, Nāfi‟, „Āṣim, Abū „Amr, dan
Ibnu „Āmir membaca المستم النساء. Sedangkan Hamzah dan al-Kisā‟i
membaca لمستم النساء.123
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud المستمdalam ayat tersebut.
Ibnu „Abbās, al-Hasan, Mujāhid, Qatadah, dan Abū Hanīfah berpendapat,
bahwa yang dimaksud adalah bersetubuh ) (الجماع. Sementara Ibnu Mas‟ūd,
Ibnu „Umar, al-Nakhā‟i, dan Imam Syafi‟i berpendapat yang dimaksud kata
tersebut adalah bersentuhan kulit ) (إلتقاء البشرتينbaik dalam bentuk persetubuhan
maupun dalam bentuk lainnya.124
Al-Rāzi berkomentar bahwa pendapat yang disebut terakhir adalah rajah
(lebih kuat), karena kata al-lums dalam qiraat )(أولمستم, makna hakikatnya
adalah menyentuh dengan tangan )(اللمس باليد. Pada dasarnya, menurut al-Rāzi,
suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakiki. Sementara itu, qiraat
)(أولمستم النساءmakna hakikatnya adalah saling menyentuh ) (مفاعلة من اللمس, dan
bukan berarti bersetubuh) (الجماع.125
Penafsiran tersebut diatas menjadi acuan bahwa al-Rāzi dalam memilih
qiraat untuk memperkuat argumentasinya, beliau memilih qiraat )(أولمستم النساء
yang sesuai dengan Aliran Sunni dan madzhab fiqih imam al-Syāfi‟i.
123
Ibnu Mujāhid, Kitāb al-Sab‟ah fī al-Qiraat, h. 234.
124
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 115.
125
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, h. 115.
BAB IV
126
Harun Nasuton, Teologi Islam: ALiran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press,1986), h. 6.
127
Prof. Abdul Razak dan Prof. Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi, (Bandung:
Pustaka Setia, 2015), h. 35. Liihat W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam,
terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987), h. 10.
59
60
128
W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, h. 6-7.
61
Dosa besar adalah dosa yang dikhususkan karena memiliki tingkat yang
besar dan bisanya disertai ancaman yang menakutkan. Syaikh Muhammad
bin al-„Utsāmin memberikan definisi dosa besar.
بل،الكبائر ىي ما رتب عليو عقوبة خاصة بمعنى أنها ليست مقتصرة على مجرد النهي أو التحريم
، أو ما أشبو ذالك، أو فليس منّا،ال بد من عقوبة خاصة مثل أن يقال من فعل ىذا فليس بمؤمن
. والصغائر ىي المحرمات التي ليس عليها عقوبة،ىذه ىي الكبائر
“Dosa besar adalah segala sesuatu yang Allah ancam dengan suatu
hukuman khusus. Maksudnya perbuatan tersebut tidak sekedar dilarang
atau diharamkan, namun diancam dengan hukuman khusus. Misalnya
disebutkan dalam salah satu dalil “barangsiapa yang melakukan ini, maka
ia bukan mukmin, atau bukan bagian dari kami”. Adapun dosa kecil adalah
dosa yang tidak diancam dengan suatu hukuman khusus”.129
Imam Haramain, al-Ghazāli dan al-Rāzi mengemukakan bahwa dosa
besar ialah setiap suatu perbuatan yang ada unsur penghinaannya terhadap
agama, ketiadaan mempedulikan perintah dan larangan agama serta tidak
menghormati taklif agama.130
Syaikh Abdurrahman bin Hasan mengatakan:
أو، او لعنة، كل ذنب ختمو اهلل بنار: ما قالو المحققون من العلماء- الكبيرة: يعني-وضابطها
قلت ومن برئ منو. أو نفي اإليمان: ابن تيميّة: زاد شيخ اإلسالم – يعني. أو عذاب،غضب
. ليس منّا من فعل كذا أو كذا: أو قال،رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم
“Kaidah dosa besar, sebagaimana telah disebutkan oleh ulama
muhaqqiqīn, adalah setiap dosa yang Allah Swt. sangkutkan dengan laknat,
kemurkaan atau dengan adzab. Syaikhu al-Islām Ibnu Taimiyah
menambahkan, juga yang terdapat penafian keimanan. Menurutku juga
termasuk dosa yang Rasulullah Saw. melepas diri darinya, atau Nabi
mengatakan bukan bagian dari golongan kami yang melakukan ini dan
itu”.131
129
https://muslim.or.id/40007-kaidah-dosa-besar-dan-dosa-kecil.html lihat: Fatwa Nurul
„Alad Darbi li Ibni al-Utsamin, Juz, II. h. 24.
130
T.M. Hasbi Ash-Shiddiqie, al-Islam, (Bandung: Bulan Bintang, 1964) h. 470.
131
https://muslim.or.id/40007-kaidah-dosa-besar-dan-dosa-kecil.htm Lihat: Fatḥu al-
Majīd, h. 418.
62
132
Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin 2, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 15.
133
Isnadnya ṣaḥih. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ibnu Jarir, dan al-baihaqi dalam al-
Syu‟ab (Syu‟ab al-Imān). Semua perawinya tsiqah. Imam al-Dzahabi, terj. Abu Zufar Imtihān al-
Syāfi‟i, Dosa-dosa Besar, (Solo: Pustaka Arafah, 2007), h. 15.
63
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap
dalam kekafirannya, Maka tidaklah akan diterima dari seseorang di antara
mereka emas sepenuh bumi, walaupun ia menebus diri dengan emas (yang
sebanyak) itu. Bagi mereka Itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka
tidak memperoleh penolong.”
134
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa
„Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz I, h. 580-581.
64
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-
dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”
135
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz VIII, h. 144.
65
Al-Zamakhsyarī dalam Tafsīr al-Kasysyāf, ُ َوجَبئِ َش َِب رُٕهَىَْ عَٕهdibaca َوجُِ ُش َِب
ُ رُٕهَىَْ عَٕهyakni suatu dosa besar dari maksiat yang dilarang Allah dan Rasul.
Dosa besar dan dosa kecil memiliki sifat dan sandarannya. Adapun orang yang
taat namun pernah melakukan dosa besar pahalanya akan hilang. Dosa besar
ada tujuh, yakni syirik, membunuh, menuduh zina, zina, memakan harta anak
yatim, melarikan binatang, ta‟arub ba‟da al-hijrah, dan Ibnu „Umar
menambahkan sihir dan istihlal baitil haram.136
Ada pula yang membaca dengan bacaan ْ ُٔ َىفِّشdengan nun ḍammah ada juga
yang membaca ْ َُ َىفِّشdengan ya‟. Adapun qiraat pada lafaẓ َ ُِ ْذ َخلdengan mim
ḍammah dan ada juga yang membaca َ َِ ْذ َخلdengan mim fatḥah yang memiliki
arti tempat. Keduanya kedudukannya sama menjadi maṣdar. Nudkhilkum
mudkhalan karima atau nudkhilkum madkhalan karima.137
Sesungguhnya kata kabāir disini tidak dimaksudkan sebagai kata kabīr,
dengan menisbatkan kepada sesuatu. Terlalu sempit juga jika dinisbatkan
kepada sesuatu yang lain. seperti qaul dalam dosa-dosa kecil, kecuali jika
menghukumi dengan adanya penjelasan yang mutlak bahwa makna َوجَبئِ َش
adalah اٌ ُى ْفش. Ketika menetapkan hal ini, tidak diperbolehkan bahwa maksud
ayat ( )إْ رجزٕجىا وجبئش ِب رٕهىْ عٕهal-kufr? Karena sesungguhnya kufur bermacam-
macam: diantaranya kufur kepada Allah dan para nabi, kufur kepada hari akhir
dan syariat-syariatnya. Adapun maksud sesungguhnya dari kata اجزٕت عٓ اٌىفش
seperti yang telah lalu yakni ( ِغفى ًساdiampuni). Hal ini sepadan dengan jelas
firman Allah Swt. ()إْ هللا ال َغفش أْ َششن ثه وَغفش ِب دوْ رٌه ٌّٓ َشبء.138
Al-Mu‟tazilah berkata sesungguhnya dalam menjauhi dosa-dosa besar
wajib meminta dua ampunan atas dosa-dosa kecil. Adapun menurut kami,
sesungguhnya dalam menjauhi dosa-dosa besar tidaklah wajib meminta
ampunan dosa-dosa kecil, akan tetapi sesuatu yang dilakukan tersebut adalah
136
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 62-63.
137
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,, juz II, h. 63-64.
138
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz X, h. 81.
66
al-faḍlu )keutamaan( dan ihsān )kebaikan(, dan hal semacam ini sudah
dijelaskan pada dalil-dalil terdahulu.139
Qiraat al-Mufaḍil dari „Āṣim (ُ )َُ َىفِّش وَُذ ِخ ٍْ ُىdengan dua ya‟ di dua huruf atas
ẓamir mukhatab ghaib, dan yang lainnya membaca dengan nun ُٔ َىفِّش ؤُ َىفِّشyang
bermaksud isti‟nāf al-wa‟di. Qiraat Nāfi‟ (َ ) َِ ْذ َخلdengan fatḥah mim dalam
masalah haji misalnya, selebihnya dengan ḍammah, dan tidak ada perselesihan
ِ ص ْذ
pendapat di sini (ق ِ َ) ُِ ْذ َخل. Qiraat yang membaca dengan fatḥah (َ) َِ ْذ َخل
maksudnya adalah ( )ِىضىع اٌذخىيpintu atau tempat masuk, sedangkan yang
membaca ḍammah maksudnya adalah maṣdar dan memiliki arti ( اإلدخبيcara
memasukkan). Seperti ayat ( )وَذخٍىُ إدخبال وشَّبdan al-idkhāl al-kirām bermakna
sesungguhnya memasukkan dengan cara yang mulia, sebagai ganti dari firman
Allah Swt. (ُّٕ)اٌزَٓ َحششوْ عًٍ وجىههُ إًٌ جه.140
Al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi memiliki perbedaan penafsiran dalam lafaẓ
kabāiru al-itsm. Al-Zamakhsyarī mencantumkan qiraat tanpa menyebutkan
periwayatnya, dengan bacaan kabīru al-itsm, dan lafaẓ kabīrun yang spesifik
diartikan dengan kafir. Sedangkan al-Rāzi menyangkal penafsiran qiraat
tersebut bahwa makna kabāir bukanlah kafir. Sebab dalil tentang kafir sudah
disebut dalam ayat lain. Selanjutnya, pada qiraat madkhalā. Al-Zamakhsyarī
dan al-Rāzi sama-sama mencantumkan qiraat madkhalā dan mudkhalā.
Perbedaanya adalah al-Zamakhsyarī hanya menjelaskan kedudukannya.
Sedangkan al-Rāzi memberikan penjelasan, apabila madkhala artinya adalah
tempat maka makna mudkhala dari kata al-idkhal yakni cara masuknya. Selain
itu, al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi sama-sama mencantumkan qiraat yukaffir dan
nukaffir. Adapun bedanya al-Rāzi mencantumkan qiraat nudkhilkum pada lafaẓ
yudkhilkum. Sedangkan al-Zamakhsyarī tidak mencantumkan qiraat tersebut.
Al-Zamakhsyarī juga berpendapat bahwa ampunan dosa besar harus diiringi
dengan ampunan dosa kecil. Adapun al-Rāzi menyanggah perkataan tersebut,
beliau beranggapan bahwa ampunan dosa besar tidaklah harus mendapatkan
139
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāi, juz X, h. 81.
140
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz X, h. 81.
67
ampunan dosa kecil terlebih dahulu. Beliau juga menyangkal bahwa orang
yang tidak menjauhi dosa besar bukan berarti ia kafir.
3. Kufur
Surat al-Māidah ayat 36-37:
“36. Sesungguhnya orang-orang yang kafir Sekiranya mereka mempunyai
apa yang dibumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula)
untuk menebusi diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya (tebusan
itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih. 37.
mereka ingin keluar dari neraka, Padahal mereka sekali-kali tidak dapat
keluar daripadanya, dan mereka beroleh azab yang kekal.”
141
Mahmud Berkata: “Wahai orang yang buta mata dan buta hati menuduh bahwasanya
suatu kaum akan keluar dari neraka…”. Ahmad berkata: pada pembahasan ini, merupakan ucapan
dengan bahasa kasar yang ditujukan kepada ahlussunnah dan mereka (ahlu sunnah) telah
menampik dengan sesuatu yang tidak mereka ucapkan tentang perkataan di atas, dari berita-berita
bohong yang bercampur fitnah-fitnah yang tidak megenakkan hati yang dipenuhi dengan cinta
sunnah dan ahlu sunnah dengan maksud pembelaan dan klarifikasi. Dan kami akan mengoreksi
cerita ini, dan Allah tidak akan menangguhkan kebenaran akidah sesuai dengan kebenarannya.
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn
al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 232.
142
Ungkapan “Maka al-mujribatu (orang-orang yang terpaksa) benar-benar telah
berbohong” ialah pendapat ahlu sunnah dengan mengeluarkan orang yang berdosa besar dari
neraka karena ia stastusnya mukmin, hal ini berberda dengan Mu‟tazilah, orang-orang berkata “la
mu‟min wa la kafir bal wasatahu” bahwa pendosa besar tidaklah mukmin dan tidak pula kafir
68
berbohong. Yang mana pada awalnya mereka tidak berbohong dan mengelak.
Hal semacam ini menguraikan maksud-maksud Ibnu al-Azrāq Ibnu Ammi
Rasulullah Saw. ia menjelaskan bahwa telah jelas tertolong dari kaum Quraisy
yang dikecualikan143 dari bani „Abdul Muṭālib. Ibnu Azrāq telah menjelaskan
kabar ini kepada umat dengan penjelasannya yang mendalam. Dari konteks
penjelasan ini, janganlah hanya mengaitkan contoh satu orang dengan
banyaknya penduduk bumi.144
Dalam kitab Tafsīr Mafātih al-Ghāib, mereka (para pendosa) menghendaki
keluar karena ada dua perkara. Pertama, bahwasanya mereka telah
menghendaki demikian, dan mereka telah mencari tempat keluar seperti dalam
firman Allah Swt. )(وٍّّب أسادوا أْ َخشجىا ِٕهأ أعُذ فُهب. Dikatakan jika api menyala
mengangkat mereka ke atas maka di sanalah mereka berharap keluar. Dan
dikatakan mereka menghendaki keluar karena kuatnya api neraka dan api
tersebut mendorong mereka. Kedua, sesungguhnya mereka berharap keluar dan
menghendaki dengan hati mereka. Seperti firman Allah Swt. dalam tema lain
( ) َسثّٕب أخشجٕب ِٕهبpandangan ini dikuatkan dengan qiraat yang membaca ( َُْشَذوْ أ
)َُخ َشجىا ِٓ إٌّبسdengan menḍammahkan ya‟.145
Kami berpendapat tentang ayat ini, bahwasanya sesungguhnya Allah Swt.
mengeluarkan dari neraka bagi orang yang melafalkan la ilaha illa Allah
dengan ikhlas. Mereka berkata bahwasanya Allah Swt. menjadikan makna ini
sebagai hidayah kepada orang-orang kafir, dan berbagai macam ketakutan
mereka kepada Allah Swt. terhadap ancaman yang pedih. Jikalau pun tidak,
sesungguhnya makna ini adalah mengkhususkan orang-orang kafir dan jikalau
akan tetapi ada di tengah-tengahnya. Dan pembahasan ini telah dijelaskan dalam ilmu tauhid. Abū
al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-
„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 232.
143
Ucapan “dan yang dikecualikan” dalam al-Shihah: merupakan seorang laki-laki yang
berbeda, pamannya nabi dan saudara-saudara nabi terdahulu yang mulia. Abū al-Qāsim Mahmūd
ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-
Ta‟wīl, juz II, h. 232.
144
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 232.
145
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XI, h. 227-228.
69
pun tidak dikhususkan terhadap orang-orang kafir. Hanya Allah Swt. yang
mengetahu maknanya. Wallāhu a‟lamu.146
Penafsiran di atas, pada lafaẓ َُشَذوْ أْ ََ ْخشُجىا ِٓ إٌّبس. Al-Zamakhsyarī dan
al-Rāzi mencantumkan qiraat yang membaca أْ َ ُْخ َشجىاdengan menḍammahkan
ya‟. Adapun yang membaca أْ َُخ َشجىاmenurut al-Rāzi menguatkan pandangan
bagi mereka yang berharap keluar dari neraka dan menghendaki dengan hati
mereka.
Adapun pada lafaẓ ُٓ وِب هُ ثِخشجditafsirkan orang-orang yang berjuang
ِ ثِ َخ. Beliau
untuk keluar dari neraka. Al-Zamakhsyarī mencantumkan qiraat ُٓبسج
juga memilih bacaan ini, karena sesuai dengan argumentasinya. Menurut beliau
ِ ثِ َخadalah ditujukaan untuk orang-orang
maksud dengan memilih qiraat َُْٓ بس ِج
kafir. Beliau menentang pendapat ahli sunnah yang berpendapat orang yang
berdosa besar masih mukmin dan bisa masuk surga. Beliau berargumen bahwa
orang kafir tidak bisa keluar dari neraka juga tidak di surga. Hal ini beliau
jelaskan dengan cerita paman Nabi („Abdul Muṭālib) yang kafir namun dapat
keluar dari neraka. Namun beliau memperingatkan bahwa itu hanyalah orang
yang dikhususkan, dan hal semacam ini tidak berlaku untuk seluruh umat
manusia. Berbeda dengan al-Rāzi, bahwa orang kafir masih bisa keluar dari
neraka bagi mereka yang mengucapkan lā ilāha illa Allah dengan ikhlas.
4. Kufur (Menyembah Ṭāghut)
Surat al-Maidah ayat 60:
146
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāibjuz XI, h. 228.
70
Dalam Tafsīr al-Kasysyāf, firman Allah Ta‟āla ( ًلً هً أٔجّئىُ ث َش ّش ِٓ راٌه ِثىثخ
)عٕذ هللاlafaẓ ًِثُىثخ, dibaca َِ ْث َىثَخ, dan contoh keduanya ً َِشىسحdan َِ ْش َى َس َح. Jika aku
berkata: perbuatan fasik bisa dihilangkan dengan kebaikan. Lantas bagaimana
yang dimaksud kebaikan dalam keburukan? Perbuatan fasik mendapatkan
hukuman, seperti ungkapan dari al-Wafir:
147
ضشْ ةٌ َوجُ ُع
َ ُ * رحُّخ ثُٕه..................…………
Firman Allah Ta‟ala ( َ„ )و َعجَ َذ اٌطَّغىدaṭaf atas silah148 “َِٓ ” seperti yang
dikatakan َ َو َِٓ َعجَ َذ اٌطَّغىد. Qiraat Ubay membaca َ َو َعجَ ُذوْ ا اٌطَّ ُغىدmaknanya sama.
Sedangkan qiraat dari Ibnu Mas‟ūd َ َو ِٓ َعجَ ُذوْ ا اٌطَّ ُغىد, dan dibacaَوعَبثذ اٌطَّغىد
„aṭaf pada lafaẓ اٌمِ َش َد ِح. Dibaca ٌ َوعَبثذ, و ِعجبد, َو َع ْج َذdan َوعجُ َذmaknanya sama yakni
melampaui batas dalam urusan „ubūdiyyah. Seperti ungkapan mereka: laki-laki
yang hati-hati dan cerdas untuk menyampaikan dalam kehati-hatian dan
pemahaman. Al-Kāmil berkata:
147
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 261.
148
Mahmud berkata: (“wa „abda al-thagut „aṭaf atas silah „man‟….”). Ahmad berkata:
pertanyaan-pertanyaan wajib dari faham Qadariyyah sebab mereka mengira bahwasanya Allah
menginginkan mereka untuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Sesungguhnya
mereka menyembah berhala-berhala merupakan perbuatan yang keji, dan Allah tidak menghendaki
orang-orang yang berbuat keji akan tetapi membalikkan wujud membelakangi orang yang
mengharapkan-Nya. Oleh sebab itu al-Zamakhsyari berkomentar soal takwil kejadian dengan tidak
memberikan perolongan-pertolongan atau dengan hukum. Seperti dalam firman Allah Ta‟ala (wa
ja‟alnahum aimmata yad‟uuna ila al-nar) dengan artian kami telah menghukumi mereka dengan
hal tersebut. Pemahaman seperti ini merupakan kaidah faham Qadariyah. Adapun akidah ahlu
sunnah yang sepakat ayat ini dipandang secara dhahir, “Bahwa Allah Ta‟ala membelah dan
menciptakan dalam hati mereka mentaati berhala-berhala dan menyembahnya, Allah maha
berkehendak atas sesuatu dan tidak berkehendak atas apa yang tidak Ia kehendaki”. Adapun
apabila dikembalikan kepada faham Qadariyah tentang sebenarnya orang yang tidak tertolong atau
yang dihukum dengan mengeluarkan takwil, “Allah tidak mentakdirkan darinya atas hakikat
dirinya, juga tidak menjelaskannya tanpa penciptaan, jikalau ia memahami kebaikan dan
meninggalkan urusan-urusan yang buruk dan memperluas angan-angan. Dan sesungguhnya Allah
Maha Pengasih lagi Maha Penolong”. Lihat: Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī,
al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 262.
149
Aus bin Hajar, dan dikatakan kepada Turfah bin bin al-„Abd huruf hamzah untuk al-
Nida (panggilan). Sedangkan makna al-„abdu ialah kehati-hatian dalam bidang ubudiyyah. Al-
71
Firaa meriwayatkan dengan mendhammahkan, akan tetapi ia berkata: bahwasanya dhammah ba‟
itu karena darurat. Al-Suyuthi berkata: bahwasanya dengan mendhammahkan isim jamak li‟abdi
dengan mensukun. Akan tetapi secara dhahir bertentangan dengan baitnya. “Wahai anak-anakku,
dihadapanku engkaulah orang yang tidak tahu kalau ada orang yang paling hina diantara kalian,
maka sesungguhnya bapak-bapak kalian adalah para budak”. Oleh sebab itu, kata al-amatu
mengkhususkan kepada budak wanita dan „al-abdu pada seorang budak laki-laki. Pengertian yang
beredar dalam bahasa dan mereka memanggil dengan panggilan yang asing. Karena bahwasanya ia
menyesali karena menghadap dengan mencela, dan berulang-ulang kali al-Nida ma‟a idhafah
karena untuk meringankan mereka. Lihat: Diwanuhu, h. 21, al-Lisanu (al-abdu), Bahr al-Muhith
Juz III, h. 530., al-Darr al-Masun, Juz II, h. 558. Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-
Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II,
h. 262.
150
Ungkapan (wa „abada) kira-kira dengan fathah „ain dan dhammah ba‟ („abuda)
kanadsin (seperti makna kecerdasan ). Maka hal seperti ini merusak kebenaran. Lihat: Abū al-
Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-
„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz II, h. 262.
151
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XII, h. 38.
72
152
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XII, h. 39.
153
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XII, h. 39.
73
membuang huruf ha‟ dan menḍammahkan ba‟ supaya menyerupai fi‟il. Seperti
qiraat Hamzah „abuda.154
Penafsiran di atas, dalam tafsir al-Kasysyāf lafaẓ matsubatan dalam salah
satu qiraat dibaca matswabatan seperti masyuratan dan masywaratan. Pada
penafsiran di atas, pembahasan lebih dominan pada lafaẓ „abada al-ṭāguta
karena memiliki banyak versi bacaan. Menurut al-Rāzi ada 16 versi qiraat pada
lafaẓ „abada al-ṭāguta sebagaimana yang beliau nukil dari Ṣahibi al-Kasysyāf
Al-Zamakhsyarī menafsirkan qiraat „abuda, „abda, „ibādi dan „ābidi dengan
ya‟ maknanya adalah melampaui batas. Sedangkan qiraat yang membaca
„abuda, „ibāda, a‟budu dan „ubda al-ṭāguta memiliki makna mereka
menyembah berhala-berhala dalam diri mereka atau di hadapan mereka.
Adapun qiraat yang membaca a‟bada al-ṭāguta maknanya adalah menjadikan
berhala-berhala sebagai sesembahan selain Allah Swt.
Al-Rāzi menyayangkan pencantuman qiraat Hamzah yang membaca
„abuda dan men-jarkan lafaẓ al-ṭāghuta yang dicantumkan di dalam al-
Kasysyāf. Menurut al-Rāzi pencantuman tersebut hanya untuk suatu
kepentingan saja. Beliau berpendapat, memang tidak ada yang salah dalam
qiraat, namun qiraat semacam ini semestinya tidak perlu dicantumkan. Lebih
lanjut beliau menjelaskan tujuan-tujuan mencantumkan qiraat. Bahwasanya
„abada dan „abadu adalah sama, kecuali menḍammahkan ba‟ untuk
menguatkan penyampaian. Kedua, bahwasanya al-„bda dan al-ab‟du
merupakan dua bahasa yang berbeda, seperti sab‟u dan sab‟a. Ketiga
bahwasanya „abdu jamaknya „ibad dan al-„ibādu jamaknya „abdu. Keempat,
bacaan „abudu al-ṭāguta umpamanya seperti falasa dan aflasa. Kelima „ubdatu
al-thaguta setelah itu kemudian dibaca dengan membuang ha‟ dan
menḍammahkan ba‟ supaya menyerupai fi‟il “„abuda” seperti qiraat Hamzah di
atas.
5. Orang-orang yang Ditangguhkan Nasibnya
Surat Al Taubah Ayat 106:
154
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XII, h. 39-40.
74
“Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada
keputusan Allah; adakalanya Allah akan mengadzab mereka dan adakalanya
Allah akan menerima taubat mereka. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”
Al-Zamakhsyarī dalam tafsirnya, kata َْ ْ ُِشْ َجىdibaca (ْ ْ ُِشْ َجىdan َْ ْ) ُِشْ َجئُى
dari kata ُأسْ َجُزُه, dan kata ُ أس َجأرُه: jika belakangan dijumpai, di antaranya kata
ُ أٌ ُّشْ ِجئَخyakni orang-orang dari golongan mukhtalif (berselisih) yang
menggantungkan urusannya. Qiraat (ٌُ ُ )وهللا َعٍُِ ٌُ َحىdalam qiraat Abdullah dibaca
(ٌُ ُ )وهللا َغفُى ٌس َسحdan adapun terhadap para hamba, maksudnya adalah mereka
khawatir terhadap siksa-siksa,155 dan mereka mengharapkan rahmat.156
Dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib, qiraat Hamzah, Nāfi‟, al-Kisā‟i, dan Ḥafs
dari „Āṣim membaca َْ ْ ُِشْ َجىtanpa hamzah dan selain bacaan tersebut membaca
dengan hamzah. Secara bahasa keduanya memiliki arti arja‟at al-amru
(mengharapkan sesuatu) wa arjaituhu bil hamz wa tarkuhu, jika belakangan
dinamakan murjiah, maksud dari nama ini adalah karena sesungguhnya mereka
tidak mengharuskan ucapan orang yang betaubat dengan istighfar (ampunan)
akan tetapi mereka menginginkan ridha Allah Ta‟ala. Imam al-Auzā‟i berkata
karena mereka beramal berdasarkan iman.157
Al-Rāzi menambahkan, al-Hasan berkata yang dimaksud murjauna dalam
ayat ( )وأخشوْ ِشجىْ ألِش هللاadalah kaum dari orang-orang munafiq, mereka
mengharapkan untuk diakui kehadirannya oleh Rasulullah. al-Rāzi juga
memberikan penjelasan dari al-Zamakhsyarī sesungguhnya kalimat إ ِّبdan أ ِّب
ّ
ٌٍشه. Allah Swt. telah mensucikan darinya. Dan jawaban yang dimaksud dari أ ِّب
155
Ucapan “wa imam lil „ibadi ai khafu „alaihim” ibarat menurut saya (al-Zamakhsyari)
adalah karena keraguan orang yang kembali kepada seorang hamba. Abū al-Qāsim Mahmūd ibn
Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl,
juz III, h. 90.
156
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz III, h. 90-91.
157
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XIV, h. 195.
75
dan إ ِّبadalah soal kekhawatiran dan kecemasan dengan penuh harapan. Maka
para manusia berkata binasalah jika maaf mereka tidak diterima Allah, dan
sebagian orang berkata mengharapkan kepada Allah untuk mengampuninya.
Al-Rāzi menambahkan, kaum-kaum yang menyesali jaganlah ragu atas perang
dan perselisihan dari Rasulullah Saw. karena Allah Ta‟ala tidak akan
menghukum orang yang bertaubat dan firman Allah Swt. (ُ)إ ِّب َعزثه
menunjukkan bahwa sesungguhnya satu penyesalan tidaklah sempurna di
dalam kesungguhan bertaubat.158
Dalam dua penafsiran di atas, al-Rāzi dan al-Zamakhsyarī sama-sama
mencantumkan qiraat pada lafaẓ murjauna dengan bacaan murjauna dan
murja‟ūna dengan hamzah. Dalam lafaẓ murja‟uuna dengan hamzah muncul
kata al-murji‟ah, menurut al-Zamakhsyarī artinya ialah sekelompok orang
yang berikhtilāf (berselisih) dan menggantungkan urusannya. Sedangkan al-
Rāzi memaknainya bahwa mereka tidak mengharuskan ucapan orang yang
betaubat dengan istighfar (ampunan) akan tetapi mereka menginginkan riḍa
Allah Ta‟ala dan alasan utamanya karena landasan mereka beramal dengan
iman. Dalam hal ini, yang menjadi pembedanya adalah, al-Zamakhsyarī
mencantumkan qiraat wallāhu „alīmun hakīmun dengan bacaan wallāhu
gahfūrun rahīmun, dengan artian bahwa orang-orang yang mengkhawatirkan
atas siksa-siksa, mereka mengharapkan ampunan dan kasih sayang Allah Swt.
Adapun al-Rāzi tidak mencantumkan qiraat tersebut.
6. Syirik, Membunuh dan Zina
Surat al-Furqan ayat Ayat 68-70:
158
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XIV, h. 196.
76
Dalam Tafsīr al-Kasysyāf, firman Allah ( )ٍَك أثبِبdalam qiraat ada yang
membaca ٍَك فُه أثبِب, ada pula yang membaca ً ٍَمdengan menisbatkan alif.
dikatakan al-itsmun maknanya َ( ٍَك جضاء أثبbalasan yang setimpal dengan dosa-
dosa). Ibnu Mas‟ūd membaca أَّبِبyang berarti syadīdun (sangat pedih). Juga
dikatakan yauma dzu ayyam: liyaumi al-„aṣīb. Adapun kata (yuḍa‟if) badal dari
yalqa, karena keduanya memiliki makna satu. Seperti dalam syair.159
بسٔب * رَ ِج ْذ َحطَجًب َج ْضالَ َؤَب ًسا رَأ َ ّج َجب ْ
ِ َََِزًَ رَأرَِٕب رُ ٍْ ِّ ُْ ثَِٕب فٍ ِد
Bacaan yuḍa‟ifu dan nuḍa‟ifu lahu al-„adzāba dengan nun dan naṣab pada
kata al-adzāba. Ada juga yang membaca rafa‟ pada kata al-adzāba
kedudukannya menjadi isti‟nāf atau kedudukannya menjadi hāl. Kata yakhladu
dibaca yukhladu karena bina‟ kepada maf‟ul mukhaffafan meringankan dan
mutsaqqalan memberatkan dari ikhlādi dan al-takhlidi. Ada pula yang
membaca takhludu dengan ta‟ „ala al-iltifāt.160
Lantas apa arti melipat gandakan siksa-siksa dan menggantikan
keburukan-keburukan dengan kebaikan? Aku berkata: jika orang musyrik
melakukan maksiat dan syirik bersamaan, ia akan mendapatkan siksa atas
perbuatan syirik dan maksiat pula. Maka akan dilipatgandakan hukuman
kepada orang yang melipatgandakan kesalahannya. Maksud mengganti
159
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz IV, h. 371-372.
160
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz IV, h. 372.
77
161
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz IV, h. 372.
162
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXIV, h. 111.
163
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXIV, h. 111.
78
164
Ungkapan (ya‟ni bisyarthi taubah), adanya pertaubatan karena umumnya ada unsur
syirik. Adapun jika tidak bertaubat maka tidak ada ampunan terhadap dosa-dosa besar, hal ini
menurut faham Mu‟tazilah. Dan orang yang berbuat dosa besar masih mendapatkan syafaat
dengan hanya bermodalkan keutamaan, menurut ahlu sunnah, (Inna Allaha laa yaghfiru an
yusyraka bihi wa yaghfir maa duuna dlalika liman yasyaa) sebagaimana telah dijelaskan dalam
ilmu tauhid. Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz V, h. 312.
165
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz V, h. 312-313.
79
Dalam Tafsīr Mafātih al-Ghāib, Nāfi‟ Ibnu Katsīr, Ibnu „Amir dan „Āṣim
( )َب عجبديartinya dikhusukan terhadap orang-orang mukmin. dengan memfatḥah
ya‟ dan yang lainnya „Āṣim dalam beberapa riwayat dengan mengesampingkan
fatḥah, dan semuanya sepakat dengan menetapkan ya‟ karena sesuai dengan
ketetapan dalam mushaf. Kecuali dalam salah satu riwayat Abi Bakr dari
„Āṣim menetapkan tanpa ya‟. Sedangkan qiraat Abū „Amr dan Kisā‟i lafaẓ ( ال
)رمٕطىا ِٓ سحّخ هللاdengan mengkasrah nun, dan yang lainnya dengan mem
fatḥah nun, dan ini adalah dua bahasa yang berbeda. Ṣahibi al- Kasysyāf
menukil qiraat Ibnu „Abbās dan Ibnu Mas‟ūd ()َغفش اٌزٔىة ٌّٓ َشبء.166
Al-Rāzi dalam menafsirkan lafaẓ ( )ال رمٕطىاmaksudnya mencegah mereka
agar tidak berputus asa, karena lafaẓ ini mengandung perintah untuk berharap
kebaikan, maka jika ada perintah berharap tidak pantas baginya kecuali
mengagungkan perintah. Adapun makna ( )َغفش اٌزٔىة جُّعبmaksudnya bukan
sebagai tujuan, akan tetapi mengikutkan arti lafaẓ untuk menunjukkan terhadap
ta‟kīd maka lafaẓ jamī‟an juga merupakan bagian dari ta‟kīd. maksud ayat ini
bahwa Allah adalah Maha Pengampun atas segala dosa-dosa yang menimpa
orang mukmin. Maksudnya adalah bahwa ayat ini tidak mungkin menentang
atas ẓahirnya. Dan suatu keharusan adanya dosa-dosa pasti mendapat
ampunan.167
Penafsiran di atas, al-Rāzi dan al-Zamakhsyarī memiliki perbedaan dalam
pencantuman qiraat. al-Rāzi mencantumkan qiraat pada lafaẓ qul ya „ibādiya
dengan tiga bacaan, yakni ya „ibādiya, ya „ibādī dan ya „ibādi dengan tafsiran
hanya mengkhususkan untuk orang mukmin. Sedangkan al-Zamakhsyarī tidak
mencantumkan qiraat tersebut. Pada lafaẓ wa la taqnatū, al-Zamakhsyarī
mencantumkan qiraat yang membaca dengan memfatḥah pada huruf nun,
mengkasrah nun dan menḍammah nun. Sedangkan al-Rāzi pada lafaẓ tersebut
hanya mencantumkan qiraat yang membaca memfatḥah nun dan mengkasrah
nun. Menurut al-Rāzi bacaan kedua tersebut merupakan dua bahasa yang
166
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXVII, h. 5-6.
167
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXVII, h. 4-5.
80
168
Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf „an Haqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūn al-„Aqāwil fī Wujūh al-Ta‟wīl, juz V, h. 63-64.
81
D. Tabel Qiraat
Qiraat yang dicantumkan al-Zamakhsyarī dan al-Rāzi dalam kitab tafsirnya
sangat beragam. Terkadang mereka seragam mencantumkan qiraat yang sama
dengan maksud penafsiran yang sama pula. Adapula mereka mencantumkan
qiraat yang sama namun maksud tafsirnya berbeda. Dalam beberapa ayat juga
ditemukan perbedaan dalam pencantuman qiraat dengan maksud tafsir yang sama
dan ada juga yang memiliki perbedaan tafsir. Adapun untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat dalam tabel berikut.
169
Muhammad Fakhru al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz XXVII, h. 81.
82
Qiraat
Qiraat
dalam
dalam Keterangan
No Ayat al-Qur’an Tafsīr
Tafsir al- /Makna Qiraat
Mafātih al-
Kasysyāf
Ghāib
Dalam al-
Kasysyāf,
Tidak
dibaca ḍammah
فَلَهْْْيُ ْقثَ َْل mencantum
dan menjadikan
kan qiraat
lafaẓ mil‟u
sebagai fa‟il.
Q.S. Ali Imran: 91 Dalam al-
Kasysyāf
Tidak
فَلَهْ ْيَ ْقثَ َْل mencantum
menyimpan
fa‟il Allah dan
kan qiraat
menaṣabkan
lafaẓ mil‟u.
Dibaca nasab,
Tidak meringankan
مل َءْاالسض mencantum hamzah. Namun
1.
kan qiraat tidak mengubah
makna.
al-Rāzi
menafsirkannya,
“bukan
َر َهثًا َر َهثًا merupakan
sebuah ukuran,
kadar dan
jumlah”
al-Zamakhsyarī
dan al-Rāzi
ْ َره
َة ْ َره
َة
menafsirkannya,
qiraat qiraat
dengan hitungan
A‟masy A‟masy
dalam angka
atau jumlah”
Qiraat
Qiraat
dalam
dalam Keterangan
Ayat al-Qur’an Tafsīr
Tafsir al- /Makna Qiraat
Mafātih al-
Kasysyāf
Ghāib
َْكثَائِ َشْا ِإل ْث ِم َكثَائِ َشْا ِإل ْث ِْم
“Meliputi
Al-Nisā‟: 31 Qiraat Qiraat
banyak macam-
Hamzah, al- Hamzah, al-
2. macam dosa
Kisai dan Kisai dan
besar”
Khalaf Khalaf
َكثِ ْي ُشْا ِإل ْث ِْم Tidak al-Zamakhsyarī
83
seperti lafaẓ
“masyuratan
dan
masywaratan”.
al-Zamakhsyarī
menafsirkannya,
“menjadikan
َعثَذَْالطّاغوخ َعثَذَْالطّاغوخ
berhala-berhala
sebagai
sesembahan”
ّ َعثَذُوْال Orang yang
طاغوخ َعثَذُواْالطّاغوخ
Qiraat Ubay Qiraat Ubay menyembah
berhala-berhala
َْمهْ ْ َعثَذُوا َْمهْ ْ َعثَذُوا
الطّاغوخ الطّاغوخ
Orang yang
menyembah
qiraat Ibnu qiraat Ibnu
berhala-berhala
Mas‟ūd Mas‟ūd
al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
ْعَاتذي ْعَاتذي “melampaui
الطّاغوخ الطّاغوخ batas dalam
urusan
„ubudiyyah”
طاغوخ ّ طاغوخ عَاتِذَْال ّ „ عَاتِذَْالaṭaf pada lafaẓ
al-qiradata”.
al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
“menyembah
berhala-berhala
di dalam diri
ّ ِعثَادَْال ّ ِعثَادَْال mereka atau
طاغوخ طاغوخ
dihadapan
mereka” dan
“melampaui
batas dalam
urusan
„ubudiyyah”
َع ْثذُْالطّاغوخ َع ْثذُْالطّاغوخ
Dengan wazan
عثذْالطّاغوخ عثذْالطّاغوخ
hathama
Asli katanya
عثذْالطّاغوخ عثذْالطّاغوخ
„ubdatu
ّ َعثِ ْيذْال ّ َعثِ ْيذْال Asli katanya
طاغوخ طاغوخ
dari „abdu
Jamak dari
َع ْثذْالطّاغوخ َع ْثذْالطّاغوخ
„abiidun
86
dengan wazan
kufrata. al-
Zamakhsyarī
menafsirkan,
ّ ُع ْثذَجْال ّ ُع ْثذَجْال “menyembah
طاغوخ طاغوخ
berhala-berhala
di dalam diri
mereka atau
dihadapan
mereka”
al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
“melampaui
َع ْثذَْالطّاغوخ َع ْثذَْالطّاغوخ
batas dalam
urusan
„ubudiyyah”
ّ ِعثَادْال
طاغوخ ّ ِعثَادْال
طاغوخ
al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
“menyembah
berhala-berhala
أعثذْالطّاغوخ أعثذْالطّاغوخ
di dalam diri
mereka atau
dihadapan
mereka”
Al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
“menyembah
berhala-berhala
di dalam diri
mereka atau
dihadapan
mereka” dan
“melampaui
َعثُذَْالطّاغوخ َعثُذَْالطّاغوخ batas dalam
Qiraat Qiraat urusan
Hamzah Hamzah „ubudiyyah”. al-
Rāzi
menyayangkan
qiraat ini
dicantumkan
dalam tafsir.
Karena
menurutnya
hanya demi
kepentingan
87
saja.
Tidak Jamak thagut
الطّواغيد mencantum (beberapa
kan qiraat berhala)
Qiraat
Qiraat
dalam
dalam Keterangan
Ayat al-Qur’an Tafsīr
Tafsir al- /Makna Qiraat
Mafātih al-
Kasysyāf
Ghāib
َُْم ْش َج ْون َُْم ْش َج ْون
qiraat qiraat
“Orang-orang
Hamzah, Hamzah,
yang
Nāfi‟, Nāfi‟,
ditangguhkan”
Kisā‟i, Ḥafs Kisā‟i, Ḥafs
dari „Āṣim dari „Āṣim
al-Zamakhsyarī
menafsirkannya,
“orang-orang
yang berselisih
dan
Al-Taubah: 106 menggantungka
ُم ْش َجؤُون ُم ْش َجؤُون
n urusannya”.
qiraat Ibn qiraat Ibn
Sedangkan al-
Katsir, Ibn Katsir, Ibn
Rāzi
„Amir, Abu „Amir, Abu
„Amr „Amr
menafsirkannya
“orang-orang
5.
yang beramal
tanpa
pengucapan
lisan tapi
dengan iman”
Al-
ْْح ِك ْيم
َ َعلِ ْيم ْْح ِك ْيم
َ َعلِ ْيم Zamakhsyari,
Nāfi‟, Nāfi‟, “Allah maha
Kisā‟i, Ḥafs Kisā‟i, Ḥafs Mengetahui lagi
dari „Āṣim dari „Āṣim maha
Bijaksana”
Al-
Zamakhsyarī,
َ َغفُ ْوس
ْس ٍح ْي ْم Tidak
“Allah Maha
Qiraat Abu mencantum
Pemaaf lagi
Hanifah kan qiraat
Maha
Penyayang”
Qiraat Qiraat
Keterangan
Ayat al-Qur’an dalam dalam
/Makna Qiraat
Tafsir al- Tafsīr
88
dan berat.
Tidak ada
Tidak keterangan
يُخلّذ mencantum perbedaan qiraat
kan qiraat terhadap
penafsiran
Tidak ada
Tidak keterangan
يَ ْخلُ ُْذ mencantum perbedaan qiraat
kan qiraat terhadap
penafsiran
Dibaca takhlud
ْذ َْخلُ ْذ ْذ َْخلُ ْذ
karena al-iltifat.
Qiraat
Qiraat
dalam
dalam Keterangan
Ayat al-Qur’an Tafsīr
Tafsir al- /Makna Qiraat
Mafātih al-
Kasysyāf
Ghāib
al-Rāzi
ْي
َ يا ِعثَ ِذ menafsirkan,
Tidak qiraat Nāfi‟,
“hanya
mencantum „Āṣim, Ibnu
mengkhususkan
kan qiraat „Amir dan
untuk orang
Ibnu Katsir
mukmin”.
al-Rāzi
Al-Zumar: 53 يا ِعثَا ِْد menafsirkan,
Tidak
mencantum qiraat Abi “hanya
Bakr dari mengkhususkan
kan qiraat
„Āṣim untuk orang
mukmin”
Tidak ada
الْذَقىط ْوا ُ َْ ُ
الْذَقىط ْواَ ْ keterangan
7. qiraat Nāfi‟, qiraat Nāfi‟, perbedaan qiraat
„Āṣim „Āṣim terhadap
penafsiran
Tidak ada
الْذَ ْقىِطُ ْوا الْذَ ْقىِطُ ْوا
keterangan
qiraat Abū qiraat Abū
perbedaan qiraat
„Amr dan „Amr dan
terhadap
al- Kisā‟i al- Kisā‟i
penafsiran
Keduanya
ْوب ّ يَ ْغفِ ُش
َ ُْالزو ْوب
َ ُ ْ
و ّ
ْالز ش فغ
ُِ َْ ي sama-sama
َج ِم ْي ًعا َج ِم ْي ًعا menafsirkan
qiraat Nāfi‟, qiraat Nāfi‟, “Allah
„Āṣim „Āṣim Mengampuni
segala dosa-
90
dosa”
al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
“orang yang
bertaubat yang
ّ يَ ْغفِ ُش
ْْالزوُوب ّ يَ ْغفِ ُش
ْْالزوُوب Allah kehendaki
لِ َمهْ ْيَشَاء لِ َمهْ ْيَشَاء untuk diampuni
qiraat Ibnu qiraat „Ibnu dosa-dosanya”.
„Abbās dan „Abbās dan Adapun al-Razi
Ibnu „Ibnu dalam Mafatih
Mas‟ūd Mas‟ūd al-Ghaib
menukil
penafsiran
dalam al-
Kasysyaf.
al-Zamakhsyarī
menafsirkan,
“Allah
ّ يَ ْغفِ ُش mengampuni
َ ُْالزو
ْوب
semua dosa-
َج ِم ْي ًعاْوالْيُثَالى
Tidak dosa dan tidak
qiraat Nabi
mencantum diberikan
Muhammad
kan qiraat musibah”. dan
dan Siti
menurut kami
Fāṭimah
(al-
Zamakhsyarī)
ini tidaklah
menakutkan.
Qiraat
Qiraat
dalam
dalam Keterangan
Ayat al-Qur’an Tafsīr
Tafsir al- /Makna Qiraat
Mafātih al-
Kasysyāf
Ghāib
“Dosa-dosa
َكثَائِ َشْا ِإل ْث ِْم َكثَائِ َشْا ِإل ْث ِْم besar yang
Al-Syūra 37 Qiraat Qiraat masih bersifat
Hamzah, al- Hamzah, al- umum dan
Kisai dan Kisai dan belum diketahui
Khalaf Khalaf kepastian
8. jumlahnya”
al-Zamakhsyarī
menafsirkanya
َكثِ ْي ُشْا ِإل ْثم َْكثِ ْي ُشْا ِإل ْثم
dengan “syirik”.
qiraat Ibnu qiraat Ibnu
al-Rāzi
„Abbās „Abbās
menyanggahnya
bahwa
91
maknanya
terlalu
menyimpang
jauh kalau
hanya
ditafsirkan
dengan syirik.”
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian ini membahas tentang pencantuman qiraat dalam tafsir dan tujuan
pencantuman qiraat tersebut. Para mufassir dalam mencantumkan qiraat, apabila
ditelaah tujuannya adalah untuk memberikan informasi adanya ragam qiraat dan
juga membantu mufassir dalam dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sebab
ragam qiraat dapat mempengaruhi dan menentukan makna lafadh dan maksud
ayat. Adapun beberapa poin yang menjadi kesimpulan pada penelitian ini.
Pertama, pencantuman qiraat dengan menyebutkan imam qiraat. Pada hasil
penelitian, penulis menemukan bahwa al-Zamakhsyari dan al-Razi tidak
memperdulikan kualitas qiraat yang dicantumkan. Namun al-Razi lebih unggul
dari sisi penyebutan imam qiraat dan hal ini merupakan wujud kehati-hatian al-
Razi dalam mencantumkan qiraat. sedangkan al-Zamakhsyari yang nampaknya
sering mencantumkan qiraat di luar qiraat sab’ah dan juga jarang menyebutkan
imam qiraat.
Kedua, ragam qiraat yang terdapat dalam kedua kitab tafsir, terbagi dalam
ranah ushul dan farsy. Apabila dilihat dari kualiatas qiraat, keduanya sama-sama
memberikan porsi terhadap qiraat di luar qiraat mutawatir baik yang tergolong
dalam „Asyrah, Arba‟a „asyrah, seperti qiraat Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, ‘Aisyah,
Ubay dan yang lain sebagainya. Tidak adanya filterisasi dalam pencantuman
qiraat, penulis melihatnya sebagai satu kritikan, karena pencantumannya tidak
memilih qiraat yang mutawatir saja, Akan tetapi disatu sisi menjadi sebuah
kelebihan karena dengan riwayat-riwayat tersebut lebih mempermudah dan
memperluas wawasan dan pengayaan makna al-Qur’an.
Ketiga, bahwa tidak semua perbedaan qiraat berimplikasi terhadap penafsiran.
Adapun apabila diklasifikasikan qiraat yang berpengaruh terhadap penafsiran,
adalah jika perbedaan tersebut terletak pada: 1). Perbedaan i‟rab (kedudukan
kalimat), 2). Perbedaan sharaf (asal kata), 3). Perbedaan khitab, 4). Penambahan
92
93
Mulai dari sejarah qiraat, perbedaan bacaan qiraat, pengaruh qiraat dalam
berbagai bidang; seperti pengaruh qiraat dalam bidang istinbath hukum,
pengaruh qiraat dikaitkan dengan teologi, filsafat, ilmu sains dan lain
sebagainya. Tidak kalah penting juga adalah seperti apa masa depan ilmu-
ilmu qiraat dan upaya membumikan qiraat di masa mendatang.
b. Disarankan kepada pihak Fakultas Ushuluddin untuk menambah koleksi
literatur khusus tentang qiraat. Pengenalan macam-macam qiraat sekaligus
pengaruhnya terhadap penafsiran dan melestarikan qiraat dalam kehidupan
sehari-hari. Harapannya supaya Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta menjadi
pelopor dan sebagai rujukan kajian qiraat di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
96
97
Karim‚ M. Fida Busyro. Islam Masa Dinasti Abbasiyah dalam Hanung Hasbullah
dkk, Mozaik Sejarah Islam. Yogyakarta: Nusantara Press. 2011.
LAL, Dr Anshori. Tafsir Bil Ra’yi Menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad. Jakarta:
Gaung Persada Press, 2010.
Mahmud, Mani‟ Abdul Halim. Manahij al-Mufassirin. Mesir: Dar al-Kitab al-
Misri, 1978.
Mujāhid, Ibnu. Kitāb al-Sab’ah fī al-Qira’at. Mesir : Dār al-Ma‟ārif, t.t.
Munayyir, Ibnu. Al-Masā’il Al-I’tizāliyyah fī Tafsīr Al-Kasysyāf li Al-
Zamakhsyarī. Saudi Arabia: Dār al-Andalas, 1418.
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir
dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer.
Yogyakarta: Adab Press, 2014.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKIS. 2012.
Na‟if, Fauzan. Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari. Editor. A. Rofiq. Studi Kitab
Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2004.
Nasr, Sayyid Hosein. The Islamic Intelectual Tradision in Persia. New York:
Happer Cllins, 1993.
Nasuton, Harun. Teologi Islam: ALiran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press,1986.
Nawawi, Hadari dan Mimi Martini. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada
University, 1996.
Nawawi, Imam. Terjemah Riyadhus Shalihin 2. Jakarta: Pustaka Amani, 1999.
Razak, Prof. Abdul dan Prof. Rosihon Anwar. Ilmu Kalam Edisi Revisi. Bandung:
Pustaka Setia, 2015.
Shabuni, Muhammad Ali. al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. Penerjamah. Moch
Chudori Umar dan Moh. Matsna HS. Bandung: Ma‟arif, 1996.
Shihab, Prof. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: PT. Mizan Pustaka,
2007.
Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an 2. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001.
Syafe‟i, Prof. H. Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
99
Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern. Tangerang Selatan: LP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Ṭawil, Sayid Risqit. Fī Ulūm al-Qiraat. Makkah al-Mukarramah: Maktabah
Faishailiah, 1985.
Tim Riset Majelis Tinggi Urusan Islam Mesir, Ensiklopedi Aliran dan Mazhab di
Dunia Islam. Kairo: Al-Majlis Al-A‟lā li Al-Syu‟un Al-Islāmiyah, 2007.
Watt, W. Montgomery. Pengantar Studi Islam. Penerjamah. Taufik Adnan Amal.
Jakarta: Rajawali Press, 1991.
_________. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Penerjamah. Umar Basalim,
Jakarta: P3M, 1987.
Jurnal, Skripsi dan Tesis
Anshori, “Studi Kritis Tafsir al-Kasysyaf.” Jurnal Sosio-Religia. Vol. 2009, 8,
(2009): 596-609.
Aswadi. “Konsep Syifa dalam Tafsir Mafatih al-Gaib Karya Fakhruddin al-Razi.”
Tesis S2 Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Ghofir, Muhammad Abdul. “Penggunaan Qiraat dalam Surat al-Nisa: Studi Kitab
Tafsir al-Kasysyaf „an Haqqa‟iq al-Tanzil wa „Uyun al-„Aqawil fi Wujuh
al-Ta‟wil.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.
Hipius, Ilmu Ushuluddin’ Jurnal: Himpunan Peminat Ilmu Ushuluudin
(HIPIUS). Vol. 2013, 1, (2013)
Humaira, Dara dan Khairun Nisa. “Unsur I‟tizali dalam Tafsir al-Kasysyaf:
Kajian Kritis Metodologis al-Zamakhsyari”. Jurnal Maghza Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir UIN sunan kalijaga. Vol. 2016, 1, (2016): 31-40.
Latif, Hilmah. Perbedaan Qiraat dan Penetapan Hukum, Sulesana VII. Vol. 2013,
2, (2013): 65-79.
Lestari, Lenni. “Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut al-Zamakhsyari:
Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-Kasysyaf.”
Jurnal Syahadah, Vol. 2014. 2, (2014): 31-47.
Sakni, Ahmad Sholeh. “Model Pendekatan Tafsir dalam Kajian Islam”. Jurnal
JIA, Vol. 2013, 14, (2013): 61-75.
100