Anda di halaman 1dari 43

FATWA-FATWA KESEHATAN DAN

KEDOKTERAN MAJELIS ULAMA


INDONESIA TAHUN 2005-2010
(Study Pendekatan Ushûl al-Fiqh)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Magister Agama (MA) Dalam Bidang Ilmu Agama Islam

Oleh :
Ahmad Zaky Syaukani
NIM: 211610101

STUDI ILMU SYARI’AH


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ)
JAKARTA
1437 H / 2015 M
FATWA-FATWA KESEHATAN DAN
KEDOKTERAN MAJELIS ULAMA
INDONESIA TAHUN 2005-2010
(Study Pendekatan Ushûl al-Fiqh)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Magister Agama (MA) Dalam Bidang Ilmu Agama Islam

Oleh :
Ahmad Zaky Syaukani
NIM: 211610101

Pembimbing:
Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA
Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA

STUDI ILMU SYARI’AH


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ)
JAKARTA
1437 H / 2015 M
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah atas limpahan rahmat dan karunia Allah Swt penulis
telah dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan baik. Penyusunan tesis ini
dapat terlaksana atas bantuan semua pihak. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
para pihak yang telah memberi arahan, motivasi, serta bimbingan dalam
penulisan tesis ini. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan terima
kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA sebagai Rektor Institut Ilmu
Al-Qur`an Jakarta.
2. Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur`an Jakarta sekaligus sebagai
pembimbing I yang telah membimbing sekaligus memberikan arahan
kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
3. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA selaku pembimbing II yang telah
memberikan dan memberi arahan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan tesis ini.
4. Segenap Dosen Pascasarjana Magister Ilmu Syari’ah Institut Ilmu Al-
Qur`an Jakarta yang telah mengajarkan ilmunya dan memberikan motivasi
untuk terus membuka cakrawala wawasan ilmu sehingga dapat diambil
manfaatnya kepada sesama.
5. Kepala Perpustakaan Institut Ilmu Al-Qur`an Jakarta, Perpustakaan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Kementerian Kesehatan RI,
Perpustakaan Daerah DKI Jakarta, Perpustakaan Majelis Ulama Indonesia,
Perpustakaan Nahdlatul Ulama, Perpustakaan PP Muhammadiyah,
Perpustakaan Masjid Istiqlal Jakarta, dan Perpustakaan Iman Jama Jakarta.
6. Dr. H. Asrorun Ni’am Sholeh, MA selaku Sekretaris Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia yang telah memberikan waktunya untuk
melakukan wawancara.
7. Teman-temanku seperjuangan mahasiswa Magister konsentrasi Ilmu
Syari’ah, angkatan 2011 sekelas dengan penulis yang saling memberikan
motivasi untuk terus maju meraih harapan dan impian.
Saya sadar dalam tesis ini tentunya masih jauh dari sempurna,
meskipun penulis telah berusaha sermaksimal mungkin memberikan yang

ix
terbaik. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
konstruktif sebagai tambahan pengetahuan dan penerapan disiplin ilmu pada
lingkungan yang luas.
Akhirnya tiada sesuatupun di dunia ini yang sempurna, hanya kepada-
Nyalah kita berserah diri dan memohon ampunan. Dengan segala kerendahan
hati, penulis berharap semoga dengan Tesis yang sederhana ini dapat
memberikan inspirasi dan bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan
kepada semua pembaca pada umumnya.

Jakarta, 19 Agustus 2015 M


04 Dzulqa’dah 1436 H

Penulis

x
DAFTAR ISI
Cover Dalam ………………………………………………………………… i
Persetujuan Pembimbing ………………………………………………..…. iii
Lembar Pengesahan Tesis ………………………………………………….. v
Pernyataan Penulis ………………………………………………………... vii
Kata Pengantar ……………………………………………………………... ix
Daftar isi ………………………………………………………………….... xi
Daftar Tabel ……………………………………………………………….. xii
Sistem Transliterasi IIQ Jakarta ………………………………………..… xiii
Abstrak …………………………………………………………………….. xv
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah …………............................................................ 11
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 12
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................ 13
E. Kajian Pustaka ………………............................................................. 13
F. Metodologi Penelitian ………………….............................................. 14
G. Sistematika Penulisan ………………………………...…………….. 15
BAB II: KEDUDUKAN IJTIHAD DALAM ISLAM
A. Definisi Ijtihad ………..…………...................................................... 18
B. Kualifikasi Mujtahid ...………………………………………...……. 18
1. Prosedural Mujtahid …...…………………………………..……... 19
2. Hierarki Mujtahid ……………………………………………...…. 23
C. Kedudukan Ijtihad dalam Islam ……...…………………………...… 25
D. Perkembangan Ijtihad ………………………………………………. 28
1. Awal Mula Ijtihad ………...……...………………………………. 28
2. Masa Perkembangan Ijtihad …….....……………………………... 33
3. Masa Kemajuan Ijtihad ………..…………………………………. 36
4. Masa Kemunduran Ijtihad ……..……..…………………………... 50
5. Masa Kebangkitan Ijtihad ……………………….…..…………… 56
BAB III: KOMISI FATWA DAN HUKUM MAJELIS ULAMA
INDONESIA
A. Sejarah dan Tugas Majelis Ulama Indonesia……………………….. 61
B. Komisi Fatwa dan Hukum MUI (KFHMUI) …….............................. 65
C. Prosedur Legislasi Fatwa MUI ……………………………………… 67
D. Konsep Ijtihad Komisi Fatwa MUI …………………………………. 72
Bab IV: FATWA-FATWA KESEHATAN DAN KEDOKTERAN MAJELIS
ULAMA INDONESIA
A. Fatwa-fatwa Kesehatan MUI
1. Fatwa Tentang Pakaian Kerja Bagi Tenaga Medis Perempuan ….. 81

xi
2. Fatwa Tentang Penggunaan Vaksin Polio Oral …...…………...… 89
3. Fatwa Tentang Penggunaan Vaksin Meningitis Bagi Jema’ah Haji
atau Umrah I …………………………………………………….. 93
4. Fatwa tentang Penggunaan Vaksin Meningitis Bagi Jema’ah Haji
atau Umrah II …………………………………………………… 100
5. Fatwa Tentang Hukum Merokok ………………...…………....... 103
6. Fatwa Tentang Senam Yoga ………………………...…….......... 106
B. Fatwa-fatwa Kedokteran MUI
1. Fatwa tentang Aborsi II …………………………………………. 111
2. Fatwa Tentang Otopsi Jenazah ………………………………...... 119
3. Fatwa Tentang Perubahan dan Penyempurnaan Alat Kelamin ..... 126
4. Fatwa Tentang Pengawetan Jenazah Untuk Kepentingan Penelitian
..…………….…………………………………………………… 133
5. Fatwa Tentang Vasektomi ………………………………………. 138
6. Fatwa Tentang Bank Mata dan Organ Tubuh Lain ………….….. 141
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………... 149
B. Saran-saran ………………………………………………………… 150
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 151
LAMPIRAN …………………………………………………………….. 157

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tabel mengenai empat (4) imam madzha……………………….. 46


Tabel 2 Tabel mujtahid abad X sampai sekarang ……………………….. 60
Tabel 3 tabel kesimpulan ………………………………………………... 157

xii
Sistem Transliterasi IIQ Jakarta
Transliterasi adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad
yang satu ke abjad yang lain. Dalam penulisan tesis di IIQ, transliterasi Arab-
Latin mengacu pada berikut ini:
1. konsonan

‫ا‬ A ‫ز‬ Z ‫ق‬ q


‫ب‬ B ‫س‬ S ‫ك‬ k
‫ت‬ T ‫ش‬ Sy ‫ل‬ l
‫ث‬ Ts ‫ص‬ Sh ‫م‬ m
‫ج‬ J ‫ض‬ Dh ‫ن‬ n
‫ح‬ ẖ ‫ط‬ Th ‫و‬ w
‫خ‬ Kh ‫ظ‬ Zh ‫ه‬ h
‫د‬ D ‫ع‬ ‘ ‫ء‬ `
‫ذ‬ Dz ‫غ‬ Gh ‫ي‬ y
‫ر‬ R ‫ف‬ F
2. Vokal

Vokal tunggal Vokal panjang Vokal rangkap


Fatẖah : a ‫ ا‬: â …‫ ي‬: ai
Kasrah : i ‫ ي‬: î …‫ و‬: au
Dhammah : u ‫ و‬: û
3. Kata sandang
a. kata sandang yang diikuti (‫ )ال‬qamariyah
Kata sandang yang diikuti oleh alih lam (‫ )ال‬qamariyah ditransliterasikan
sesuai dengan bunyi. Contoh:
‫ البقرة‬: al-Baqarah ‫ المدينة‬: al-Madînah
b. kata sandang yang diikuti oleh alif-lam (‫ )ال‬syamsiyah
kata sandang yang diikuti (‫ )ال‬syamsiyah ditransliterasikan sesuai dengan
aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya. Contoh:
‫ الرجل‬: ar-rajul ‫ السيدة‬: as-sayyidah
‫ الشمس‬: asy-syams ‫ الدارمي‬: ad-dârimî
c. syaddah (tasydîd)

xiii
syaddah (tasydid) dalam system aksara arab digunakan lambang (ّ)
sedangkan untuk alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
cara menggandakan huruf bertanda tasydîd. Aturan ini berlaku secara umum,
baik tasydîd yang berada ditengah kata, di akhir kata ataupun yang terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Contoh:

ِ‫ أَ َمنَّا بِالل‬: Âmannâ billâhi ُّ ‫ أ َ َمنَ ال‬: Âmana as-sufahâ`u


‫سفَ َهاء‬

َ‫ إِ َّن الَّ ِذيْن‬: inna al-ladzîna ِ‫الر َّكع‬


ُّ ‫ َو‬: wa ar-rukka’i
c. Ta Marbûthah (‫)ة‬
Ta Marbûthah (‫ )ة‬apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh kata (na’at),
maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h”. contoh:

ِ‫ األ َ ْفئِدَة‬: al-Af`idah ‫ال ْس َل ِميَ ِة‬


ِ ‫امعَة‬
ِ ‫ ال َج‬: al-jâmi’ah al-Islâmiyyah
Sedangkan ta marbuthah (‫ )ة‬yang diikuti atau disambungkan (di-washal)
dengan kata benda (ism), maka dialihaksarakan menjadi huruf (t). contoh:
ٌ‫َاص َبة‬
ِ ‫املَةٌ ن‬
ِ ‫ َع‬: ‘Âmilatun Nâsibah ‫ األ َية الكب َْرى‬:al-`Âyat al-Kubrâ
e. Huruf Kapital
Sistem penulisan huruf arab tidak mengenal huruf capital, akan tetapi apabila
telah dialihaksarakan maka berlaku ketentuan ejaan yang disempurnakan
(EYD) bahasa Indonesia, seperti penulisan awal kalimat, huruf awal nama
tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain. ketentuan yang berlaku pada
EYD berlaku pula dalam alih aksara ini, seperti cetak miring (italic) atau
cetak tebal (bold) dan ketentuan lainnya. Adapun untuk nama diri yang
diawali dengan kata sandang, maka huruf yang ditulis capital adalah awal
nama diri, bukan kata sandangnya. Contoh: ‘Alî H̱asan al-‘Aridh, al-
‘Asqallânî, al-Farmawî dan seterusnya. Khusus untuk penulisan kata Al-
Qur`an dan nama-nama surahnya menggunakan huruf capital. Contoh: Al-
Qur`an, Al-Baqarah, Al-Fâtiẖah dan seterusnya.

xiv
Abstrak
Dalam menghadapi kondisi zaman yang modern dan persoalan-
persoalan kontemporer saat ini, ijtihad adalah solusi yang terbaik dan
merupakan sebuah keharusan dalam mereformasi dan mereaktualisasi hukum
Islam. Namun ijtihad tersebut hanya boleh dilakukan oleh mereka yang telah
memenuhi syarat. Karena sulitnya seseorang memenuhi syarat tersebut, maka
ijtihad hanya bisa dilakukan secara jamâ’î (kolektif). Dalam merespon hal
tersebut, dibuatlah suatu lembaga perkumpulan para ulama dan zu’ama yang
dinamakan Majelis Ulama Indonesia, dimana salah satu tugasnya adalah
memberikan fatwa (jawaban) atas permasalahan yang muncul di kalangan
masyarakat.
Dalam kurun waktu 2005-2010, Majelis Ulama Indonesia telah
mengeluarkan 77 fatwa, 12 fatwa di antaranya mengenai kesehatan dan
kedokteran. Dalam tesis ini, penulis mengkaji bagaimana konsep penetapan
fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Apakah fatwa yang
dikeluarkan merupakan ijtihad baru, atau hanya sekedar mentarjîẖ pendapat
ulama terdahulu.
Dalam berfatwa, Majelis Ulama Indonesia terlebih dahulu mencari
jawabannya di dalam nash (Al-Qur`an dan Hadits). Apabila tidak ditemukan
di dalam nash jawaban mengenai masalah yang dihadapi, melihat pendapat
para ulama terdahulu, lalu menarjiẖnya. Apabila tidak ditemukan pendapat
ulama terdahulu tentang masalah yang dihadapi, maka Majelis Ulama
Indonesia melakukan ijtihad dengan metodenya dan menghasilkan ijtihad
baru.
Dalam menganalisa fatwa, metodenya adalah Setiap fatwa yang
diputuskan Majelis Ulama Indonesia, penulis tuliskan hasil keputusan
hukumnya, lalu mengkaji mengenai dasar-dasar dalil yang digunakan dalam
memberikan keputusan tersebut. Setelah itu akan diketahui apakah fatwa
tersebut merupakan ijtihad baru atau sekedar mentarjîẖ pendapat ulama
terdahulu.
Di antara fatwa yang ditetapkan dan sesuai dengan nash (Al-Qur`an
dan Hadits) adalah Fatwa Tentang Otopsi Jenazah poin 1 dan poin 3 sub c.
Fatwa tentang Penggantian Alat Kelamin poin 1 dan 2, Penyempurnaan Alat
Kelamin poin 2. Fatwa Tentang Vaksin Meningitis bagi Jema’ah Haji atau
Umrah I poin 1. Fatwa tentang Vaksin Meningitis bagi Jema’ah Haji atau II
poin 1 dan 3. Fatwa melalui tarjîẖ pendapat adalah fawa tentang Aborsi II
poin 1,2 sub b frase kedua, sub c, dan poin 3. Fatwa tentang Pakaian Kerja
Bagi Tenaga Medis Perempuan poin 1 dan 2. Fatwa tentang Otopsi Jenazah

xv
poin 3 sub a. fatwa tentang Perubahan (penggantian) Alat Kelamin poin 3,
Penyempurnaan Alat Kelamin poin 1, 4, dan 5. Fatwa vaksin Polio Oral.
Fatwa Pengawetan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian poin 1. fatwa
tentang Penggunaan Vaksin Meningitis Bagi Jema’ah Haji atau Umrah poin
2, 3 dan II poin 2, 4. Fatwa tentang Vasektomi. Fatwa tentang Senam Yoga
poin 1, dan 2. Fatwa tentang Bank Mata & Organ Tubuh Lain poin 2.
Adapun fatwa yang menghasilkan ijtihad baru adalah fatwa tentang Aborsi II
poin 2 sub a dan b frase 1. Fatwa tentang Pakaian Kerja Bagi Tenaga Medis
Perempuan poin 3. Fatwa tentang Otopsi Jenazah poin 2, 3 sub b dan d. fatwa
tentang Fatwa tentang Perubahan (penggantian) Alat Kelamin poin 4.
Penyempurnaan Alat Kelamin poin 3. Fatwa tentang Pengawetan Jenazah
untuk Kepentingan Penelitian poin 2. Fatwa tentang Hukum Merokok. Fatwa
tentang Senam Yoga poin 3. dan Fatwa tentang Bank Mata dan Organ Tubuh
lain poin 1,3,4, dan 5.

xvi
BAB I
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Umat Islam meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan
Rasul terakhir yang diutus Allah SWT ke dunia membawa syari’at Islam.
Keyakinan ini dipahami di antaranya dari surat Al-Aẖzâb ayat 40:
   
  
  
  
  
 
“Muhammad itu bukan ayah seseorang lelaki kamu, tetapi dia adalah
utusan Allah dan Nabi terakhir, dan adalah Allah Maha mengetahui
segala sesuatu”. (Q.S. Al-Aẖzâb [33]:40)
Sebagai konsekuensi logis dari keyakinan ini, maka syari’at Islam
yang dibawa Nabi Muhammad SAW merupakan syari’at terakhir yang akan
tetap berlaku sampai akhir zaman, ia merupakan syari’at yang kekal dan
abadi.
Al-Qur`an dan as-Sunnah yang merupakan sumber utama ajaran Islam
yang dibawa oleh Nabi saw harus bisa menjawab segala permasalahan yang
timbul bukan hanya di masanya akan tetapi juga permasalahan yang muncul
setelah masa itu sampai akhir zaman1.
Dari 6000 lebih ayat Al-Qur`an, hanya sekitar 3,5-17,18% saja yang
memuat aturan0aturan hukum, dan itupun termasuk hukum-hukum ibadah
(‘ubûdiyyah) dan kekeluargaan (aẖwâl asy-syakhshiyyah). Perkiraan
presentase itu di dasarkan atas jumlah bilangan ayat-ayat hukum yang
ternyata yang ternyata diperselisihkan oleh para fuqahâ` karena perbedaan
mereka tentang terminologi hukum itu sendiri. Ada yang menyatakan 228
ayat, seperti ‘Abd al-Wahâb Khallâf, 500 ayat menurut perhitungan al-
Ghazâlî, ar-Râzî, Ibn Qudâmah, dan lain-lain, 900 ayat menurut perhitungan
yang dinukilkan dari Ibn al-Mubârak, 1.100 ayat menurut angka yang
diberikan Abû Yûsuf, dan ada pula yang menyebutkan bilangan lebih banyak
dari itu2.

1
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: elsas, 2011), h. 3.
2
Muhammad Amin Suma, Ijtihad Ibn Taimiyyah Dalam Fiqih Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002), cet. 2, h. 61.

1
2

Para ulama di dunia Islam sepakat meski berbeda madzhab mereka


bahwa segala apa saja yang muncul dari seseorang baik perkataan maupun
perbuatan, baik berupa ibadah, mu’amalah, tindak pidana, persoalan keluarga
merupakan hukum dalam pandangan syari’at Islam. Hukum-hukum ini
sebagian telah dijelaskan oleh Al-Qur`an dan as-Sunnah3.
Permasalahannya teks yang terdapat di dalam Al-Qur`an dan as-Sunnah
tidak mungkin bertambah setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Artinya
nash-nash normative keagamaan yang terdapat dalam dua sumber utama
ajaran Islam tersebut tetap tidak mengalami penambahan dan pengurangan
dalam kuantitasnya. ajaran Islam telah sempurna diturunkan oleh Allah SWT
setelah Nabi saw wafat4.
Kondisi objektif yang berkaitan dengan permasalahan manusia dimana
setiap saat bertambah banyak tentu memerlukan tanggapan logis-yuridis dari
nash-nash Al-Qur`an dan as-Sunnah, mewajibkan bagi orang yang mampu
dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad5.
Ijtihad menurut bahasa adalah bersungguh-sungguh dalam berusaha
terhadap suatu perkara, mengerahkan segala kemampuan6. Sedangkan ijtihad
menurut istilah ushûl fiqh diperuntukkan pada upaya mengerahkan segenap
kemampuan dalam rangka mencari (dengan dugaan kuat) hukum syara’,
sampai dia merasa tidak mampu lagi untuk berbuat lebih dari yang telah
diusahakannya7.
Pencarian jawaban atas permasalahan yang belum terkover di dalam
Al-Qur`an dan as-Sunnah melalui pranata ijtihad ini membutuhkan skill dan
persyaratan-persyaratan yang ketat. Dengan begitu ijtihad tidak bisa
dilakukan oleh sembarang orang. Hanya orang-orang yang memenuhi syarat
dan kriteria saja yang diperbolehkan melakukan ijtihad8.
Agar hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash
Al-Qur`an atau Sunnah dapat diketahui, maka hukum itu harus digali melalui
ijtihad. Karena itu Islam mengabsahkan ijtihad dan mendorong ahl adz-dzikr

3
Abdul Wahab Khallâf, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), cet. 12,
h. 11.
4
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, hal. 4.
5
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, hal. 6-7
6
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah Jumhûriyyah Mesir, al-Mu’jam al-Wasîth, (Kairo:
Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah, 2008) h. 146-147.
7
‘Atha` bin Khalîl, Ushul Fiqh, terj. Yasin as-Siba’i (bogor: Pustaka Thariqul Izzah,
2011), cet. Ke-4, h. 352.
8
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, hal. 8.
3

(ulama) untuk berijtihad. Hal ini di maksudkan agar hukum Islam


berkembang dan dinamis9.
Pentingnya ijtihad untuk menjawab berbagai masalah yang muncul
sepanjang zaman telah di isyaratkan Nabi saw dalam sebuah haditsnya:

‫حدثنا حفص بن عمر عن شعبة عن أبي عون عن‬


‫الحارث بن عمرو ابن أخي المغيرة بن شعبة عن أناس من أهل‬
‫حمص من أصحاب معاذ ابن جبل أن رسول للا صلى للا عليه‬
‫وسلم أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال كيف تقضي إذا عرض‬
‫لك قضاء؟ قال أقضي بكتاب للا قال فإن لم تجد في كتاب للا؟‬
‫قال فبسنة رسول للا صلى للا عليه وسلم قال فإن لم تجد في‬
‫سنة رسول للا صلى للا عليه وسلم ول في كتاب للا؟ قال‬
‫أجتهد رأيى ول ألو فضرب رسول للا صلى للا عليه وسلم‬
‫صدره وقال الحمد ِّل الذي وفق رسول رسول للا لما يرضى‬
10
)‫ (رواه أبو داود‬.‫رسول للا‬
“H̱afsh bin ‘Umar menceritakan kepada kami, dari Syu’bah, dari al-
H̱ârits bin ‘Amr, saudara al-Mughîrah bin Syu’bah, dari penduduk
Hamsh, dari para sahabat Mu’âdz bin Jabal, bahwa ketika Rasulullah
SAW ingin mengutus Mu’âdz bin Jabal ke yaman Nabi bertanya
kepadanya: jika engkau dihadapkan kepada suatu masalah, bagaimana
engkau menetapkan hukumnya?. Mu’âdz menjawab: aku akan
menetapkan hukumnya berdasrkan Al-Qur`an. Nabi bertanya:
bagaimana bila tidak engkau dapati hukumnya didalam Al-Qur`an?.
Mu’âdz menjawab: aku akan mencari hukumnya didalam Sunnah
Rasulullah. Nabi bertanya kembali: bagaimana bila tidak engkau
dapati hukumnya didalam Al-Qur`an dan didalam Sunnah RasulNya?
Mu’âdz menjawab: aku akan berijtihad menggunakan penalaran
rasionalku semaksimal mungkin dan aku tidak akan lalai. Lalu
Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz sambil berkata: segala puji
bagi Allah yang telah memberikan taufiq (merestui) utusan Rasulullah
(Mu’âdz) sesuai dengan kehendak Rasulullah saw” (H.R. Abû Dâwud).

9
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 25.
10
Sulaimân bin al-Asy’ab bin Isẖâq bin Basyîr as-Sajastânî al-Ardî, Sunan Abî
Dâwud, (Kairo: Dar Ibn al-Haitsam, 2007), kitab al-Aqdhiyyah, bab Ijtihâd ar-Ra`yi fî al-
Qadhâ`, No Hadits. 3592, cet. 1, h. 224.
4

Berdasarkan hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad saw


(w. 11 H/633 M) merasa senang mendengar jawaban Mu’âdz bin Jabal (w.18
H/639 M), karena Mu’âdz telah mengerti bagaimana cara berijtihad yang
benar dengan mengutamakan Al-Qur`an, lalu apabila tidak ditemukan
hukumnya meruju’ kepada Sunnah, jika tidak ditemukan pula hukumnya
pada Sunnah menggunakan akal pikiran untuk berijtihad.
Oleh karenanya, apabila terdapat suatu permasalahan yang belum
diketahui hukumnya di dalam Al-Qur`an dan as-Sunnah, para Sahabat Nabi
menggunakan akalnya untuk berpendapat atau berijtihad. Yang dimaksud
pendapat menurut mereka adalah sesuatu yang terlintas di dalam hati setelah
mereka mengerahkan kemampuannya dalam berfikir untuk mencapai suatu
hukum yang terbaik11. Di antara Sahabat Nabi yang banyak menghasilkan
ijtihad adalah ‘Umar bin Khaththâb (581-644 M)12, Zaid bin Tsâbit (612-637
M/15H)13, ‘Abdullâh bin ‘Umar (w. 73 H)14, dan Ibnu Mas’ûd (w. 32 H)15.
Sesudah masa Sahabat, penetapan fikih dengan menggunakan Sunnah
dan ijtihad ini sudah begitu berkembang dan meluas. Dalam kadar
penerimaan dua sumber itu terlihat kecenderungan mengarah pada dua
bentuk.
Pertama, dalam menetapkan hasil ijtihad lebih banyak menggunakan
Hadits Nabi saw dibandingkan dengan menggunakan ijtihad, meskipun
keduanya tetap dijadikan sumber. Kelompok yang menggunakan cara ini
biasa disebut “ahl al-ẖadîts”. Kedua, dalam menetapkan fikih lebih banyak
menggunakan ra`yu atau ijtihad ketimbang Hadits, meskipun Hadits juga
banyak digunakan. Kelompok ini disebut “Ahl ar-Ra`yu”16.
Dari sinilah muncul mujtahid besar pendiri madzhab yaitu, ahl al-
ẖadîts Imam Mâlik bin Anas yang kemudian diikuti kelompok besar yang

11
Muẖammad ‘Alî as-Sâyis, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, ( Beirut: darul kutub al-
‘ilmiyyah,t.t) h. 60.
12
‘Umar bin Khaththâb bin Nufail al-‘Adwî al-Qurasyî, meriwayatkan 539 hadits dari
Rasulullah SAW. (Muẖammad ‘Alî as-Sâyis, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, ( Beirut: darul kutub
al-‘ilmiyyah, t.t ) h.61.)
13
Abû Sa’îd Zaid bin Tsâbit adh-Dhahâk an-Najjârî al-Anshârî, meriwayatkan 92
hadits dari Rasulullah SAW. wafat pada tahun 45 H. (Muẖammad ‘Alî as-Sâyis, Târîkh al-
Fiqh al-Islâmî, ( Beirut: darul kutub al-‘ilmiyyah, t.t) h. 64.)
14
‘Abdullah bin ‘Umar bin Khaththâb al-‘Adwî al-Qurasyî, wafat di Mekah setelah
haji pada tahun 73 H. (Muẖammad ‘Alî as-Sâyis, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, ( Beirut: darul
kutub al-‘ilmiyyah, t.t ) h. 65.)
15
Abû ‘Abd ar-Raẖmân Abdullah bin Mas’ûd bin Ghâfil al-Hudzalî, wafat di
Madinah pada tahun 32 H. (Muẖammad ‘Alî as-Sâyis, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, ( Beirut:
darul kutub al-‘ilmiyyah, t.t ) h. 66.)
16
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. 1, jilid. 1,
h. 29.
5

disebut Madzhab Mâlikî. ahl ar-Ra`yi Abû H̱anîfah yang kemudian diikuti
kelompok besar yang disebut Madzhab H̱anafî. Imam Syâfi’î mencoba
mengambil jalan tengah antara kelompok ahl al-ẖadîts dan ahl ra`yi yang
kemudian diikuti kelompok besar yang disebut Madzhab Syâfi’î. Di antara
pengikut terkemuka Imam Syâfi’î yang kemudian lebih mewarnai
pendapatnya dengan hadits ialah Aẖmad bin H̱anbal, yang kemudian
memiliki banyak pengikut yang disebut Madzhab H̱anbalî17.
Seiring perkembangan zaman dan semakin luasnya wilayah kekuasaan
Islam sementera pakar yang ahli dalam bidang hukum Islam berjauhan
tempat tinggalnya antara satu dan yang lainnya, maka persoalan yang baru
muncul tidak dapat diselesaikan dengan bersumber pada Al-Qur`an, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyâs semata. Hal itu karena pemahaman mereka terhadap suatu
nash berbeda-beda dan kemaslahatan yang dituntut juga tidak sama karena
perbedaan lingkungan dan daerah yang didiami oleh para mujtahid. Sehingga
lahirlah bermacam-macam istinbâth18 hukum seperti istiẖsân (persamaan
antara satu hukum yang lebih kuat dengan yang lain yang dilakukan oleh
mujtahid demi mencari hukum syara’)19, istishlâẖ (mashlaẖah mursalah),
‘urf (segala sesuatu yang memenuhi segala kebutuhan dan lazim dilakukan
oleh manusia dalam mu’amalat)20, sadd adz-dzarî’ah (segala perantara
kepada hukum halal atau haram, hukumnya sama dengan tujuan. Apabila
yang dituju haram maka haram hukumnya, apabila yang dituju mubah maka
mubah hukumnya dan apabila tidak terjadi suatu yang wajib kecuali
dengannya maka hukumnya wajib)21, istishẖâb (kekalnya suatu perkara
terdahulu yang tidak ada penggantinya, maka segala sesuatu yang telah
ditetapkan terdahulu hukumnya kekal di masa kini atau mendatang )22, dan
syar’u man qablanâ (suatu ketentuan hukum untuk umat terdahulu, yang
tidak terdapat dalil penghapusan atau tidak)23.
Dalam menghadapi kondisi zaman yang modern dan persoalan-
persoalan kontemporer saat ini, ijtihad adalah solusi yang terbaik dan
merupakan sebuah keniscayaan dalam mereformasi dan mereaktualisasi
hukum Islam. Ulama Fiqh tidak boleh terlelap di dalam cahaya kemajuan dan

17
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h.29.
18
Metode menyimpulkan suatu hukum
19
Muẖammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (Kairo: darul fikr al-arabiy, t.t.), h. 238.
20
Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 247.
21
Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 259.
22
Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 266.
23
Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 273-274.
6

senantiasa melakukan reaktualisasi hukum, agar hukum yang ada benar-benar


mengandung kemaslahatan24.
Dalam memahami ajaran Islam dikaitkan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, umat Islam terbagi kepada beberapa kelompok.
Pertama, mereka yang terlalu mengagumi warisan intelektual yang
ditinggalkan oleh ulama masa lalu. Menurut mereka tidak perlu lagi
berijtihad untuk menjawab aneka masalah yang sedang atau akan terjadi di
zaman ini. Bila seseorang rajin membaca buku fikih produk ulama dahulu,
maka segala persoalan pasti ada pemecahannya25.
Sikap seperti ini merupakan stagnasi (kebekuan) pemikiran warisan
masa lalu yang masih bercokol pada benak sebagian ulama kontemporer.
Kelompok kedua, mereka yang menerima segala hal yang baru dengan alasan
maslahat, darurat, Islam relevan untuk setiap ruang dan waktu. Mereka
mengambil kesimpulan hukum secara serampangan. Kelompok ini dapat
disebut sebagai ‘âbid at-tathawwur (budak kemajuan)26.
Para ulama sepakat bahwa al-iftâ (pekerjaan memberi fatwa) sama
dengan ijtihad. Para ulama sepakat bahwa al-iftâ atau ijtihad dapat dilakukan
oleh perorangan (ijtihâd fardî) atau kelompok (ijtihâd jamâ’î). ijtihad
perorangan (ijtihâd fardî) adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan
terhadap persoalan tertentu yang umumnya menyangkut kepentingan
perorangan. Sedangkan ijtihad kelompok (ijtihâd jamâ’î) adalah ijtihad yang
dilakukan oleh kelompok para pakar terhadap persoalan tertentu yang
umumnya menyangkut kepentingan luas27.
Saat ini sudah jarang sekali ditemukan fatwa yang dilakukan oleh
perorangan karena menjadi suatu yang berat bagi seorang individu untuk
menguasai berbagai macam keilmuwan yang komprehensif sebagai prasyarat
menjadi seorang mufti. Yang paling mungkin untuk dilaksanakan pada saat
ini adalah fatwa yang dilakukan secara kolektif, yang pada umumnya
dilakukan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu yang tergabung dalam
organisasi tertentu28.

24
Khalilurrahman, “Masalah-masalah kedokteran dalam fatwa-fatwa Yusuf al-
Qaradhawi (Studi Aplikasi Mashlahah Mursalah di Bidang Kedokteran”, Tesis, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, h. 5. Tidak diterbitkan (t.d)
25
Yûsuf al-Qaradhâwî, Ijtihad Kontemporer, Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 5.
26
Yûsuf al-Qaradhâwî, Fatâwâ Mu’âshirah, (kairo: Dar al-Ma’arif, 1998), juz.2, h.
21.
27
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 42.
28
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 9.
7

Pada masa sekarang ijtihâd jamâ’î dilakukan melalui forum-forum


yang khusus diadakan oleh organisasi keagamaan, baik tingkat internasional
maupun tingkat nasional. Pada tingkat internasional dikenal Majma’ al-
Buẖûts al-Islâmiyyah, Majma’ al-Fiqh al-Islâmî, dan sebagainya. Sedangkan
dalam tingkat nasional dikenal Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, Majelis
Tarjih Muhammadiyah, Komisi Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia
(KFHMUI), dan sebagainya29.
Menurut forum Baẖtsul Masâ`il Nahdlatul Ulama30 menyatakan
prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut31:
1. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibârat kitâb (al-kutub al-
mu’tabarah, yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan
aqîdah ahl as-sunnah wa al-jamâ’ah) dan disana terdapat hanya satu qaul
(pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup madzhab tertentu)
wajah (pendapat ulama madzhab), maka dipakailah qaul/wajah
sebagaimana dalam ‘ibârat kitab tersebut.
2. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibârat kitâb dan disana
terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrîr jamâ’î (upaya
secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa
qaul) untuk memilih satu qaul.
Apabila dijumpai beberapa qaul/wajah dalam satu masalah yang sama,
maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat yaitu32:
a. Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/atau yang lebih
kuat.
b.Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar NU ke I
bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih:
- Pendapat yang disepakati oleh asy-Syaikhân (An-Nawawî dan Ar-Râfi’î
“623 H-1226 M”).
- Pendapat yang dipegangi oleh an-Nawawî (631 H-676 H/-1277M) saja.
- Pendapat yang dipegangi oleh ar-Râfi’î (623 H/1226 M) saja.
- Pendapat yang di dukung oleh mayoritas ulama.
- Pendapat ulama yang terpandai.
- Pendapat ulama yang paling wara’.

29
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 43.
30
Lahir pada tanggal 16 rajab 1344 H. bertepatan dengan tanggal 31 januari 1926 M
di Surabaya. Chairul Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU, (Surabaya: Bima Satu,
1999), cet. Ke-2, h. 4.
31
Lajnah Ta`lîf Wanasyr PBNU, Keputusan Munas Ulama & Konbes Nahdlatul
Ulama, (semarang: sumber barakah, 1992), h. 5-6.
32
Lajnah Ta`lîf wanasyr PBNU, Keputusan Munas Ulama & Konbes Najdlatul
Ulama, h. 7-8.
8

3. Dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali yang memberikan


penyelesaian, maka dilakukan prosedur `ilẖâq al-masâ`il binadhâ`irihâ
secara jamâ’î oleh para ahlinya.
Apabila suatu masalah/kasus belum dipecahkan dalam kitab, maka
masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur `ilẖâqul-masâ`il
binadhâ`irihâ, yaitu dengan memperhatikan mulẖaq bih, mulẖaq ilaih dan
wajhul-ilẖâq oleh para mulẖiq yang ahli33.
4. Dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin
dilakukan ilẖâq, maka bisa dilakukan `istinbâth jamâ’î (menyamakan
hukum suatu kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab
“menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi”) dengan prosedur
bermadzhab secara manhaji (ber-madzhab dengan mengikuti jalan fikiran
dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab)
oleh para ahlinya.
Apabila tidak mungkin dilakukan ilẖaq karena tidak adanya mulẖâq bih
dan wajh al-ilẖâq sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan istinbâth
secara jamâ’î, yaitu dengan mempraktekkan qawâ’id ushûliyyah dan
qawâ’id fiqhiyyah oleh para ahlinya34.
Adapun menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah ketika berijtihad
menempuh tiga jalur35, yaitu:
1.al-`Ijtihâd al-Bayânî, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah
terdapat dalam nash Al-Qur`an dan Hadits.
2.al-`Ijtihâd al-Qiyâsî, yakni menyelesaikan kasus baru, dengan cara
menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam Al-
Qur`an dan Hadits.
3.al-`Ijtihâd al-Istishlâẖî, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang
tidak terdapat dalam kedua sumber tersebut di atas, dengan cara
menggunakan penalaran yang di dasarkan atas kemaslahatan.
Oleh karena beratnya bagi seorang individu untuk menjadi seorang
mufti, demi memudahkannya di dirikan suatu lembaga yang menghimpun
para ulama dan cendikiawan muslim se-Indonesia yang diberi nama Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang didirikan pada tanggal, 7 Rajab 1395 H,
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari
pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang

33
Lajnah ta`lîf wanasyr PBNU, Keputusan Munas Alim Ulama & Konbes Nahdlatul
Ulama, h. 8.
34
Lajnah ta`lîf wanasyr PBNU, Keputusan Munas Alim Ulama & Konbes Nahdlatul
Ulama, h. 8.
35
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta, logos
publishing house, 1995), cet. Ke-1, h. 78.
9

datang dari berbagai penjuru tanah air, dimana salah satu tugasnya adalah
memberikan fatwa36.
Dalam menetapkan fatwa, Majelis Ulama Indonesia menggunakan
metode di antaranya adalah:
1. Hendaklah ditinjau lebih dahulu pendapat para imam madzhab dan ulama
yang mu’tabar tentang masalah yang akan difatwakan tersebut, secara
seksama berikut dalil-dalilnya.
2. Masalah yang telah jelas hukumnya disampaikan sebagaimana adanya37.
3. Jika masalah yang terjadi khilafiah di kalangan madzhab, maka,
a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di
antara pendapat-pendapat ulama mazhab melalui metode al-jam’u wa
at-taufîq; dan
b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan
fatwa didasarkan pada hasil tarjîẖ melalui metode muqâranah dengan
menggunakan kaidah-kaidah Ushûl Fiqh Muqâran.
4. Dalam masalah yang tidak ditemukan hukumnya di kalangan madzhab,
penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jamâ’î (kolektif) melalui
metode bayânî, ta’lîlî (qiyâs, `istiẖsânî, `ilẖâqî), `istishlâẖî (mashlaẖah
mursalah), dan sadd ad-dzarî’ah
5. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum
(mashâliẖ ‘âmmah) dan maqâshid asy-syarî’ah38.
Tarjîẖ terbagi dua, yaitu (at-tarjîẖ bain an-nushûsh) tarjih di antara dua
dalil. Kondisi seperti ini dilakukan tarjîẖ apabila terdapat dua dalil yang
bertentangan, sementara kekuatan dan keumumannya sama, maka kedua dalil
ini mesti merupakan dalil zhanni, karena dua dalil yang qath’î tidak boleh
bertentangan dalam kondisi seperti ini. Dan apabila kedua dalil bertentangan
tetapi tidak sama dalam kekuatan dan keumumannya. Bisa juga keduanya
sama dalam keumumannya tetapi tidak sama dalam kekuatannya; atau sama
dalam kekuatannya tetapi tidak sama dalam keumumannya; atau sama dalam
kekuatannya tetapi tidak sama dalam keumumannya; atau tidak sama dalam
kekuatan dan keumumannya39.
dan tarjîẖ di antara penunjukan lafazh (dilâlah al-alfâzh) dalam satu
dalil. Maksud dari tarjîẖ ini adalah menghilangkan kesalahan yang terjadi
dalam memahami maksud dari penunjukkan satu lafazh ketika memiliki lebih

36
Ma’ruf Amin, et.al, Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia Sejak 1975 (Jakarta:
Erlangga, 2011) h.5.
37
Ma’ruf Amin, et.al, Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia Sejak 1975, h.5.
38
Ma’ruf Amin, et.al, Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia, h. 6.
39
‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqh Kajian Ushul Fiqh mudah dan Praktis, terj. Yasin as-
Siba’i, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), cet. 4, h. 387.
10

dari satu makna; dan menentukan penunjukkan yang lebih kuat untuk
diamalkan40.
Keduanya merupakan perkara yang sangat penting untuk diketahui oleh
orang yang bermaksud menggali hukum syara dari suatu dalil41. Apabila
terdapat dua dalil tentang suatu masalah yang tidak mungkin dikompromikan
di antara keduanya, dan tidak bisa menentukan salah satu dari keduanya
sebagai nâsikh (yang menghapus) terhadap yang lain; maka kondisi seperti
ini mesti dilakukan tarjîẖ terhadap salah satunya agar bisa diamalkan42.
Begitu juga apabila lafazh-lafazh suatu dalil mempunyai lebih dari satu
penunjukkan (dilâlah), maka kita harus mentarjîẖ satu dilalah terhadap yang
lain agar bisa mengamalkan dilalah yang lebih kuat43.
Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan,
ada beberapa cara yang dikemukakan ulama ushul fiqh, yaitu: 1. Dari segi
sanad (para penutur hadits). 2. Dari segi matan (kandungan hadits). 3. Dari
segi hukum yang dikandung nash. 4. Pentarjihan dengan menggunakan factor
dalil lain di luar nash44.
Dewasa ini isu-isu tentang ilmu kesehatan dan kedokteran, hari demi
hari mengalami perkembangan pesat, banyak kejutan temuan mengenai ilmu
kesehatan dan kedokteran telah terjadi, berbagai hal yang dulu tidak
terbayangkan, kini telah ditemukan dan memungkinkan untuk dilakukan,
bahkan di antaranya telah dicoba dan berhasil? Bagi ilmuwan sekuler, semua
teori dan temuan ilmiah dapat dilakukan demi ilmu pengetahuan. Namun,
bagi ilmuwan muslim yang boleh dilakukan hanya jika sejalan dengan norma
Islami. Dalam menentukan halal haramnya suatu temuan ilmiah termasuk
dalam bidang kesehatan dan kedokteran, para ulama sering menghadapi
masalah rumit, karena di samping tidak ada penegasan di dalam nash, juga
tidak ditemukan keterangannya dalam literature fikih karena hal yang serupa
belum diformulasikan oleh para fakar fikih terdahulu, belum terjadi saat itu
atau bahkan belum terpikirkan akan adanya.
Misalnya Aborsi, dalam ilmu kedokteran berarti pengeluaran hasil
konsepsi (pembuahan sel telur oleh sel sperma) sebelum janin dapat hidup di
luar kandungan. Janin belum mampu hidup di luar kandungan apabila

40
‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqh Kajian Ushul Fiqh mudah dan Praktis, terj. Yasin as-
Siba’i, h. 396.
41
‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqh Kajian Ushul Fiqh mudah dan Praktis, terj. Yasin as-
Siba’i, h. 403.
42
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Ciputat: Logos, 1996), cet. 1, h. 197.
43
‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqh Kajian Ushul Fiqh mudah dan Praktis, terj. Yasin as-
Siba’i, h. 387.
44
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Ciputat: Logos, 1996), cet. 1, h. 197.
11

beratnya kurang dari 500 gram atau usia kehamilan kurang dari 20 minggu
karena pada usia ini proses plasentasi (terbentuknya lapisan yang akan
melindungi embrio agar aman dari gangguan) belum selesai. Pada bulan
pertama kehamilan yang mengalami abortus, hampir selalu didahului dengan
matinya janin dalam Rahim45.
Contoh lainnya adalah Vasektomi, dalam terminologi ilmu kedokteran
memiliki arti pemotongan saluran sel sperma yang menghubungkan buah
zakar dengan kantong sperma sehingga tidak lagi ada sel sperma dalam
ejakulasi pria46.
Kedua hal ini merupakan salah satu permasalahan kesehatan atau
kedokteran yang dulu tidak terbayangkan, kini telah ditemukan dan
memungkinkan untuk dilakukan, bahkan di antaranya telah dicoba dan
berhasil. Mewajibkan bagi para mujtahid khususnya Majelis Ulama
Indonesia untuk menentukan hukum praktek tersebut.
Dalam memberikan fatwa-fatwa seputar kesehatan dan kedokteran
tersebut diatas, Majelis Ulama Indonesia melakukan tarjîẖ pendapat terlebih
dahulu, jika tidak ditemukan pendapat para ulama terdahulu tentang
permasalahan yang dihadapi, maka MUI melakukan ijtihâd jamâ’î. hasil dari
ijtihad tersebut dapat disebut sebagai ijtihad baru. Namun Majelis Ulama
Indonesia tidak menjelaskan metode ijtihad yang digunakan secara rinci
dalam memberikan keputusan tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk menulis
tesis yang berjudul FATWA-FATWA KESEHATAN DAN KEDOKTERAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA TAHUN 2005-2010 (Study pendekatan
Ushûl al-Fiqh).
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis mengidentifikasi
beberapa masalah yang berkaitan dengan fatwa-fatwa kesehatan dan
kedokteran Majelis Ulama Indonesia tahun 2005-2010, antara lain:
1. Dalam kurun waktu 2005-2010 Majelis Ulama Indonesia telah
mengeluarkan 77 fatwa yaitu mengenai bidang Aqidah dan Aliran
Keagamaan, Bidang Ibadah, Bidang Sosial dan Budaya, Bidang Pangan,
Obat-obatan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Keputusan Ijtima’ Ulama
Komisi Fatwa Se-Indonesia Kedua dan Ketiga tahun 2006 & 2009 tentang
Masâ`il Dîniyyah Asâsiyyah Wathaniyyah, Masâ`il Waqi’iyyah

45
Mutaroh Akmal, et.al. Ensiklopedi Kesehatan Untuk Umum, (Jogjakarta: ar-Ruzz
Media, 2010) cet.1, h. 13.
46
Mutaroh Akmal, et.al. Ensiklopedi Kesehatan Untuk Umum, h. 361.
12

Mu’âshirah, Masâ`il Fiqhiyyah Mu’âshirah, Masâ`il Qanûniyyah (Hukum


dan Perundang-undangan).
2. Di antara fatwa-fatwa tersebut, terdapat 12 fatwa mengenai kesehatan dan
kedoteran. Fatwa-fatwa mengenai Kesehatan ialah fatwa tentang Pakaian
Kerja bagi Tenaga Medis Perempuan, fatwa tentang Vaksin Polio Oral
(OPV), fatwa tentang Penggunaan Vaksin Meningitis bagi Jemaah Haji
atau Umrah I dan II, fatwa tentang Merokok, dan fatwa tentang Senam
Yoga47. Dan di antara fatwa mengenai kedokteran yang telah diputuskan
MUI adalah fatwa tentang Aborsi, fatwa tentang Otopsi Jenazah, fatwa
tentang Perubahan dan Penyempurnaan Alat Kelamin, fatwa tentang
Pengawetan Jenazah untuk Kepentingan Panelitian, fatwa tentang
Vasektomi, dan fatwa tentang Bank Mata dan Organ Tubuh Lain48.
3. Dalam berfatwa, MUI terlebih dahulu mencari jawabannya di dalam nash
(Al-Qur`an dan Hadits). Apabila tidak ditemukan di dalam nash jawaban
mengenai masalah yang dihadapi, melihat pendapat para ulama terdahulu,
lalu mentarjîẖnya. Apabila tidak ditemukan pendapat ulama terdahulu
tentang masalah yang dihadapi, maka Majelis Ulama Indonesia melakukan
ijtihad dengan metodenya dan menghasilkan ijtihad baru.
4. Dari hasil keputusan yang telah dikeluarkan, MUI tidak menjelaskan
apakah keputusan tersebut sesuai dengan nash, mentarjîẖ pendapat ulama
terdahulu atau suatu ijtihad yang baru.
C. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
Mengingat banyaknya fatwa yang difatwakan oleh Majelis Ulama
Indonesia, Maka dalam penelitian ini penulis hanya membatasi materi kajian
ini yaitu:
1. Hasil keputusan Komisi Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia
tentang kesehatan dan kedokteran tahun 2005-2010.
2. Dasar penetapan dan dasar pertimbangan ijtihad dalam hasil Keputusan
Komisi Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005-2010.
Adapun perumusan masalah dari tesis ini adalah:
1. Bagaimana konsep penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam
keputusan komisi fatwa tentang kesehatan dan kedokteran tahun 2005-
2010.

47
Ma’ruf Amin, et.al, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, h.535-
906.
48
Ma’ruf Amin, et.al, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, h.455-
911.
13

2. Apakah hasil keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang


kesehatan dan kedokteran tahun 2005-2010 merupakan ijtihad baru, atau
sekedar mentarjîẖ pendapat yang sudah ada.
D. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
a. Tujuan penelitian:
1. Menjelaskan secara argumentative dasar-dasar dalil yang digunakan
oleh Majelis Ulama Indonesia dalam menetapkan keputusan
khususnya dalam bidang kesehatan dan kedokteran tahun 2005-
2010.
2. Untuk mendeskripsikan, menganalisis dan menguji aplikasi ijtihâd
jamâ’î dalam keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
tentang kesehatan dan kedokteran tahun 2005-2010 yang ditanyakan
kepada MUI baik perorangan maupun perkelompok, sehingga
diketahui jenis dan macam ijtihad yang digunakan oleh Majelis
Ulama Indonesia.
b. Manfaat penelitian
1. Manfaat yang bersifat ilmiah adalah untuk menambah wacana ilmu
pengetahuan di bidang ushul fiqh bahwa ijtihâd jamâ’î bukanlah
ijtihad yang menyimpang dari al-Qur`an dan sunnah, tetapi metode
ijtihad yang digunakan para ulama ushul fiqh dengan bersandarkan
kepada al-Qur`an dan as-Sunnah.
2. Manfaat yang bersifat praktis adalah sebagai kontribusi penelitian
kreatif dan inovatif di bidang ushul fiqh dalam metode ijtihad yang
dapat diaplikasikan dalam menjawab persoalan kontemporer seputar
masalah kesehatan dan kedokteran. Dan kehadiran penelitian ini,
diharapkan memperkaya khazanah keilmuwan Islam khususnya
dalam bidang ushul fiqh dan fiqh islam.
E. KAJIAN PUSTAKA
Sejauh yang penulis ketahui sebelum penulisan tesis ini telah ada
beberapa kajian yang meninjau tentang metode ijtihad Majelis Ulama
Indonesia dalam bentuk tesis yaitu:
1. Aplikasi Ijtihad Intiqaiy dan Insyaiy dalam Kehidupan Modern ( Studi
Tentang Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Penerapan
Konsep Ijtihad Intiqaiy dan Insyaiy tahun 1998-2003) tesis ditulis oleh
Deni Hudaeny Ahmad Arifin, Lc. NIM: 02.02.00.1.01.01.0067,
mahasiswa program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam tesis ini meneliti tentang penerapan konsep ijtihad intiqaiy dan
insyaiy dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia kurun waktu 1998-2003. Di
antaranya adalah fatwa tentang wakaf uang, zakat penghasilan,
14

mengkonsumsi kepiting (ijtihad Intiqaiy). Fatwa tentang pengiriman


tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri dan cloning (ijtihad Insyaiy).
Adapun kajian yang meninjau tentang metode Ijtihad Majelis Ulama
Indonesia dalam bentuk disertasi berdasarkan data yang telah penulis
lakukan, penulis mendapatkan beberapa karya disertasi yaitu:
1. Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Perkembangan Hukum
Islam. Disertasi doctor ditulis oleh Helmi Karim NIM: 390120.
Mahasiswa pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Disertasi ini
menjelaskan bahwa MUI amat terikat kepada pendapat Ulama masa
lampau dalam persoalan furu’, bukan pada persoalan metodologis.
Akibatnya, MUI kurang berani melakukan ijtihad secara independent
terhadap persoalan yang pernah diputus para fukaha sebelumnya.
2. Respons Ulama Indonesia Terhadap Isu-isu Kedokteran dan Kesehatan
Modern. Disertasi Doktor ditulis oleh Zuhroni NIM: 97.3.001.09.01.0199.
Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Disertasi ini
menjelaskan sekaligus membandingkan hasil fatwa-fatwa seputar
kedokteran dan kesehatan yang dihasilkan oleh 5 lembaga fatwa di
Indonesia yang merespon hal tersebut yaitu: Lajnah Bahtsul Masail NU,
Majlis Tarjih Muhammadiyah, MUI (Majelis Ulama Indonesia), Dewan
Hisbah PERSIS, dan MPKS (Majlis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’).
3. Penerapan Konsep Ijtihad Tatbîqî asy-Syâthibî dalam fatwa MUI: Kajian
terhadap fatwa tahun 1997-2007. Disertasi ditulis Muhammad Taufik
NIM: 00.3.00.09.01.0077. Mahasiswa pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Disertasi ini menjelaskan konsep ijtihad tathbiqi
menurut asy-Syâtibî yaitu tahqîq al-manâth dan ma’âlat al-af’âl serta
penerapannya didalam fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 1997-2007.
Dalam tesis ini, penulis membahas tentang metode ijtihad KFHMUI
mengenai fatwa-fatwa kesehatan dan kedokteran sejak tahun 2005 sampai
dengan 2010 dengan analisa yang lebih rinci mengenai dasar-dasar dalil serta
alasan penetapan fatwa tersebut.
F. METODOLOGI PENELITIAN
a. Metode Analisa
Dalam menganalisa data dan materi yang disajikan, Upaya
mengetengahkan tesis ini, antara lain penulis menggunakan metode deskriptif
yang dipergunakan dalam menguraikan sejarah, mengutip atau menjelaskan
bunyi keputusan fatwa MUI dan dalam uraian umum. Dan juga penulis
menggunakan metode komparatif yang dipergunakan dalam membandingkan
antara satu putusan dengan putusan fatwa lainnya di MUI. Dan yang terakhir
dengan metode deduktif dan induktif. Deduktif tolak ukurnya adalah syari’at
15

Islam, sedangkan induktif adalah dalam menyusun logika untuk mengambil


kesimpulan umum.
b. Metode pengumpulan data
Penelitian ini adalah kepustakaan (library reseach). Karena objeknya
pemikiran Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Maka penelitian
difokuskan pada buku-buku karya Majelis Ulama Indonesia sendiri terutama
yang berada di secretariat Majelis Ulama Indonesia. Selain itu, peneliti pula
akan akan melakukan wawancara terhadap ketua Majelis Ulama Indonesia
atau anggota komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk menambahkan
data tambahan.

c. Sumber Data
Dalam melakukan penelitian, sumber data yang penulis peroleh
berdasarkan dua sumber, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
Sumber data primer adalah buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
dan Majalah Mimbar Ulama yang diterbitkan oleh secretariat Majelis Ulama
Indonesia yang bertempat di Masjid Istiqlal Jakarta. Adapun sumber data
sekunder penulis peroleh melalui buku-buku yang berkaitan dengan masalah
ijtihad dan fatwa atau buku-buku dan media cetak yang pernah membahas
pemikiran Majelis Ulama Indonesia dan fatwa-fatwa yang telah ditetapkan
oleh Majelis Ulama Indonesia.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Tesis ini disusun dalam 5 bab. Diawali pendahuluan yang meliputi latar
belakang masalah, yang sekaligus mengilhami pemilihan judul, kemudian
identifikasi masalah, penjelasan pembatasan dan rumusan masalahnya, tujuan
dan kegunaan penilitian, kajian pustaka, metodologi penelitian. Bab pertama
ini diakhiri dengan penjelasan metode penulisan tesis yang digunakan.
Adapun dalam bab II, berisikan gambaran secara umum tentang
kedudukan ijtihad dalam Islam. Dalam kedudukan ijtihad tersebut dibagi
kepada definisi ijtihad, kualifikasi mujtahid yang membahas tentang
prosedural ijtihad dan hierarki mujtahid. Kedudukan ijtihad dalam Islam, dan
Perkembangan Ijtihad dari awal mula ijtihad, masa perkembangan ijtihad,
masa kemajuan ijtihad, masa kemunduran ijtihad, dan masa kebangkitan
ijtihad.
Adapun bab III, dibawah judul Komisi Fatwa dan Hukum Majelis
Ulama Indonesia. Dalam bab ini terlebih dahulu penulis membahas tentang
sejarah dan tugas Majelis Ulama Indonesia, Komisi Fatwa dan Hukum MUI
(KFHMUI), Prosedur Legalisasi Fatwa MUI, Konsep ijtihad Komisi Fatwa
MUI.
16

Adapun bab IV, dibawah judul Fatwa-fatwa Kesehatan dan Kedokteran


Majelis Ulama Indonesia. Membahas tentang Masalah dan Latar Belakang
Fatwa MUI lalu Analisa Fatwa-fatwa Kesehatan dan Kedokteran MUI tahun
2005-2010. Fatwa tentang kesehatan antara lain adalah: Pakaian Kerja Bagi
Tenaga Medis Perempuan, Penggunaan Vaksin Polio Oral (OPV),
Penggunaan Vaksin Meningitis bagi Jemaah Haji atau Umroh (I) dan (II),
Hukum Merokok, Senam Yoga. Dan fatwa tentang kedokteran antara lain
adalah: Aborsi II, Otopsi Jenazah, Perubahan dan Penyempurnaan Alat
Kelamin, Pengawetan Jenazah Untuk Kepentingan Penelitian, Vasektomi,
dan Bank Mata dan Organ Tubuh Lain.
Dalam bab V merupakan penutup terdiri dari dua bagian yaitu
kesimpulan serta diakhiri dengan saran-saran.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan deskripsi data dan analisis yang telah dikemukakan pada
bab-bab terdahulu, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
1. ketika menetapkan fatwa, Komisi Fatwa dan Hukum Majelis Ulama
Indonesia terlebih dahulu memberikan keputusan yang sesuai dengan
nash (Al-Qur`an dan Hadits). Apabila tidak ditemukan jawabannya
didalam nash, melihat pendapat para ulama terdahulu yang terdapat
didalam khazanah fikih Islam, selanjutnya melakukan tarjîẖ pendapat
yang lebih kuat argumentasinya dan relevan untuk masa kini tanpa
harus terikat kepada suatu madzhab tertentu. Apabila masalah yang
dibahas belum pernah dikaji oleh ulama terdahulu barulah Majelis
Ulama Indonesia melakukan ijtihad dan akan menghasilkan suatu
ijtihad baru.
2. Selama kurun waktu lima tahun (2005-2010) Komisi Fatwa dan Hukum
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan dua belas (12) keputusan
fatwa mengenai kesehatan dan kedokteran. Diantara fatwa-fatwa
mengenai kesehatan yang telah diputuskan MUI adalah fatwa tentang
Pakaian Kerja bagi Tenaga Medis Perempuan, fatwa tentang Vaksin
Polio Oral (OPV), fatwa tentang Penggunaan Vaksin Meningitis bagi
Jemaah Haji atau Umrah I dan II, fatwa tentang Merokok, dan fatwa
tentang Senam Yoga. Dan diantara fatwa-fatwa mengenai kedokteran
yang telah diputuskan MUI adalah fatwa tentang Aborsi, fatwa tentang
Otopsi Jenazah, fatwa tentang Perubahan dan Penyempurnaan Alat
Kelamin, fatwa tentang Pengawetan Jenazah untuk Kepentingan
Panelitian, fatwa tentang Vasektomi, dan fatwa tentang Bank Mata dan
Organ Tubuh Lain.
3. Diantara fatwa yang ditetapkan dan sesuai dengan nash (Al-Qur`an dan
Hadits) adalah Fatwa Tentang Otopsi Jenazah poin 1 dan poin 3 sub c.
Fatwa tentang Penggantian Alat Kelamin poin 1 dan 2, Penyempurnaan
Alat Kelamin poin 2. Fatwa Tentang Vaksin Meningitis bagi Jema’ah
Haji atau Umrah I poin 1. Fatwa tentang Vaksin Meningitis bagi
Jema’ah Haji atau Umroh II poin 1 dan 3. Fatwa melalui tarjîẖ
pendapat adalah fawa tentang Aborsi II poin 1,2 sub b frase kedua, sub
c, dan poin 3. Fatwa tentang Pakaian Kerja Bagi Tenaga Medis
Perempuan poin 1 dan 2. Fatwa tentang Otopsi Jenazah poin 3 sub a.
fatwa tentang Perubahan (penggantian) Alat Kelamin poin 3,
Penyempurnaan Alat Kelamin poin 1, 4, dan 5. Fatwa vaksin Polio

149
150

Oral. Fatwa Pengawetan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian poin 1.


fatwa tentang Penggunaan Vaksin Meningitis Bagi Jema’ah Haji atau
Umrah poin 2, 3 dan II poin 2, 4. Fatwa tentang Vasektomi. Fatwa
tentang Senam Yoga poin 1, dan 2. Fatwa tentang Bank Mata & Organ
Tubuh Lain poin 2. Adapun fatwa yang menghasilkan ijtihad baru
adalah fatwa tentang Aborsi II poin 2 sub a dan b frase 1. Fatwa tentang
Pakaian Kerja Bagi Tenaga Medis Perempuan poin 3. Fatwa tentang
Otopsi Jenazah poin 2, 3 sub b dan d. Fatwa tentang Perubahan
(penggantian) Alat Kelamin poin 4. Penyempurnaan Alat Kelamin
poin 3. Fatwa tentang Pengawetan Jenazah untuk Kepentingan
Penelitian poin 2. Fatwa tentang Hukum Merokok. Fatwa tentang
Senam Yoga poin 3. dan Fatwa tentang Bank Mata dan Organ Tubuh
lain poin 1,3,4, dan 5.

B. Saran-saran
Kepada seluruh pihak yang menaruh perhatian serius (concern)
terhadap pengembangan hukum Islam diharapkan dapat memposisikan diri
pada sikap moderat (poros tengah) dalam menetapkan suatu hukum. Posisi
ini menuntut sikap tidak terlalu cepat menghalalkan sesuatu dan tidak
tergesa-gesa mengharamkannya sebelum melakukan penelitian yang
mendalam dengan tinjauan dari berbagai dimensi (multi dimensi).
Kepada pemikir hukum Islam hendaknya dapat mengaplikasikan
berbagai metode yang telah ada untuk menetapkan hukum terhadap berbagai
masalah kontemporer, agar hukum Islam itu membumi, applicable, tidak
hanya melangit atau tinggal dalam tataran teori belaka.
Setiap peminat hukum Islam hendaknya mempunyai sikap terbuka,
tidak berpikiran sempit (narrow mided). Sikap terbuka ini menuntut agar
setiap peminat bersedia menerima “kebenaran” dari mana dan dari siapapun
datangnya, walaupun datang dari orang yang dibenci, dan berani menolak
“kesalahan” walaupun datangnya dari orang yan dikagumi dan dihormati.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Anwar, et.al, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama
Indonesia, Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Pusat, 2011.
Abdullah, Taufik, et.al, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan
Peradaban, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
‘Abdurraẖmân, Jalâluddîn, al-Mashâliẖ̱ al-Mursalah wa Makânatuha fî at-
Tasyrî’, tt.p, as-Sa’adah, cet. 1, 1983.
__________, Al-Ijtihâd Dhawâbituhu wa Aẖkâmuhu, tt.p., Jami’ah
Islamiyah, 1, 1986.
Akmal, Mutaroh, et.al. Ensiklopadi Kesehatan Untuk Umum, Jogjakarta: ar-
Ruzz Media, 2010.
Al-‘Asqallânî, Aẖmad bin ‘Alî bin H̱ajar, Fatẖ al-Bârî bi syarẖi Shaẖîẖ al-
Bukhârî, cet. 1, Kairo: Daar al-Hadits, 2004.
Amin, Dr. KH. Ma’ruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: elsas,
2011.
Amin, Dr. KH. Ma’ruf, et.al, Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia
Sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011.
Anam, Chairul, Pertumbuhan & Perkembangan NU, Surabaya: Bima Satu,
cet. 1, 1999.
Anas, Mâlik bin, al-Muwaththa` Imâm Mâlik, juz. 1, Beirut: Dar al-Afaq al-
Jadidah, t.t.
Ansor, Maria Ulfah, Fikih Aborsi wacana penguatan hak reproduksi
perempuan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.
Anwar, Dessy, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Penerbit
Amelia, 2005.
‘Azam, ‘Abdul ‘Aziz Muhammad, Qawâ’id al-Fiqh al-Islâmî, Dirâsah
‘Ilmiyyah Taẖlîliyyah Muqâranah, (kairo: Makrab ar-Risalah, 1999)
Baety, Aprilia Nurul, Biologi Reproduksi Kehamilan dan Persalinan,
Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. 1, 2011.
Bagis, Abdul Kabir, Operasi Pergantian dan Penyempurnaan Alat Kelamin,
Bogor: STEI TAZKIA: 2011.
Bik, Muẖammad al-H̱udhari, Tarjamah Târîkh at-Tasyrî’ al-Islâmî, terj.
Muhammad Zuhri, Indonesia: Darul Ikhya, 1980.
Al-Bukhârî, Abî ‘Abdillâh Muẖammad bin Ismâ’îl, Matn al-Bukhârî bi
H̱̱âsyiyah as-Sindî, juz. 1,3, Beirut: Daar al-Fikr, cet. 1, 1994.
Cardwell, Ernest, Berhenti Merokok, terj. Syafruddin Hasan, Yogyakarta:
Pustaka Popular, cet. 2, 2009.
Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru
van Houve, cet. 1, 1996.
Departemen Agama RI, Al-Qur`an al-Karim dan Terjemahannya

151
152

Dhaif, Syauqi, et.al, al-Mu’jam al-Wasîth, Kairo: Maktabah asy-Syuruq al-


dauliyah, 2008.
Direktorat Jenderal Bina kefarmasian dan Alat Kesehatan, Pelayanan
Kefarmasian untuk Vaksin, Imunosera dan Imunisasi, Jakarta:
Departemen Kesehatan RI, 2009.
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah,
Jakarta, logos publishing house, cet. 1, 1995.
Fadeli, Soeleman Fadeli, Antalogi NU Buku II: Sejarah-Istilah-Amaliah-
Uswah, Surabaya: khalista, cet. 1, 2010.
Al-Ghazâlî, Abû H̱âmid Muẖammad bin Muẖammad bin Muẖammad, al-
Mustashfâ min ‘ilm al-Ushûl, juz. 2, Beirut: ar-Risalah, cet. 1, 1997.
__________, Ihyâ ‘ulûm ad-Dîn, juz. 2, al-Qahirah:daar al-Hadits, 2004.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Pamulang: Logos Wacana Ilmu, cet. 2, 1997.
__________, Ushul Fiqh 1, Ciputat: Logos, cet. 1, 1996.
Hudaeni, Deni, “Aplikasi Ijtihad Intiqaiy dan Insyaiy dalam Kehidupan
Modern ( Studi Tentang Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
dalam Penerapan Konsep Ijtihad Intiqaiy dan Insyaiy tahun 1998-
2003”, Tesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005. Tidak diterbitkan.
Idries, Abdul Mun’im, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta: P.T.
Binarupa Aksara, cet. 1, 1989.
Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Universitas YARSI
Jakarta, 1999.
K. Hitti, Phillip, History of The Arabs; From The Earliest Times to The
Present, terj. Cecep Lukman Yasin, Jakartra: PT Serambi Ilmu
Semesta, cet. 1, 2008.
Khallâf, Abdul Wahâb, Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kuwait: dar al-Qalam, cet. 12,
1978.
__________, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmy, Bandung: Risalah Press,
cet. 1, 1996.
__________, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri, Semarang: Toha Putra
Group, cet. 1, 1994.
Khalîl, ‘Atha` bin, Ushul Fiqh, terj. Yasin as-Siba’i, bogor: Pustaka Thariqul
Izzah, cet. 4, 2011.
Khalilurrahman, “Masalah-masalah kedokteran dalam fatwa-fatwa Yusuf al-
Qaradhawi (Studi Aplikasi Mashlahah Mursalah di Bidang
Kedokteran”, Tesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005. Tidak
diterbitkan.
Larvani, Vimla, Dasar-dasar Yoga terj. Dina Mardiana, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2005.
Majelis Ulama Indonesia, Metodologi Ijtihad Komisi Fatwa MUI, Mimbar
Ulama, Nomor 154, h. 46.
153

Al-Marâghî, Aẖmad Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, juz. 4, Beirut:


Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2006.
Al-Mâwardî, ‘Alî bin Muẖammad bin H̱abîb, al-H̱̱âwi al-Kabîr, juz. 3,
Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 1994.
Al-Misrî, Ibnu Manzhûr, Lisân al-‘Arab, juz. 3, Beirut: Daar al-Fikr, cet. 1,
1990.
Mudzhar, Muhammad Atho, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah
Studi tentang Pemikiran Hukum di Indonesia 1975-1988, terj. Soedarso
Soekarno, Jakarta: INIS, 1993.
Murthi, Widya, Belajar Praktek Senam Yoga, Surabaya: Surya Murthi
Publishing, 1983.
An-Nadawî, ‘Alî Aẖmad, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah Mafhûmuhâ, Nasy`atuhâ,
Tathawwuruhâ, Dirâsat muallafatihâ, Adillatuhâ, Muhimmatuhâ,
Tathbi̱̱ qâtuhâ, Beirut: Daru al-Qalam, cet. 1, 1986.
An-Nasâ`î, Aẖmad bin Syu’aib bin ‘Alî bin Sanan, Sunan an-Nasâ`î, juz. 4,
Kairo: Dar al-Hadits, 2010.
An-Nawawî, Abî Zakaria Yaẖyâ bin Syaraf ad-Dîn, Raudhah ath-Thâlibi̱̱ ̱̂ n,
juz. 1, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
__________, al-Majmû’ Syarẖ al-Muhadzab, juz. 3, Beirut: Daar al-Fikr, cet.
1, 1996.
Nota Diplomatik dari Kerajaan Saudi Arabia Jakarta no:588/PK/VI/06/61.
PBNU, Lajnah Ta’lif Wanasyr, Keputusan Munas Ulama & Konbes
Nahdlatul Ulama, semarang: sumber barakah, 1992.
Prodjokusumo, H.S., et.al, 15 Tahun Majelis Ulama Indoneisa, Jakarta:
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 1990.
Prodjokusumo, H.S., et.al, 20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia, 1995.
Pusat Kesehatan Haji, Petunjuk Teknis Imunisasi Meningitis Meningokokus,
t.t, Kementerian Kesehatan, 2010.
Putra, Irhamsyah, “Pemikiran politik Yusuf al-Qaradhawi tentang Negara
dan Pemerintahan”, Tesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.
Tidak doterbitkan.
Al-Qaradhâwî, Yûsuf ‘Abdullâh, Ijtihad Dalam Syari’at Islam, terj. Achmah
Syatori, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
__________, Ijtihad Kontemporer, Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan,
Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
__________, Fatâwâ Mu’âshirah, kairo: Dar al-Ma’arif, 1998.
Al-Qazwainî, Muẖammad bin Yazîd, Sunan Ibnu Mâjah, juz. 2,3, Kairo: Dar
al-Hadits, 2010.
Qindil, Abdul Mun’im, Isyarat-Isyarat Kedokteran dalam Al-Qur’an dan as-
Sunnah, terj. Dedi Junaedi, Jakarta: Akademika Pressindo, cet. 1, 2001.
154

Al-Qusyairî, Abû al-H̱usain Muslim bin al-H̱ajjâj, Shaẖîẖ Muslim, juz.


1,2,3,4, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 2, 2008.
Rahman, Asjmuni A, Pengantar Kepada Ijtihad, Jakarta: Bulan Bintang,
1978.
Rahmat, Jalauddin (ed.), Ijtihad Dalam Sorotan, bandung: Mizan, cet. 4,
1996.
Rohayana, Ade Dedi, Ilmu Ushul Fiqh, Pekalongan, STAIN pekalongan
press, 2006.
Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad asy-Syaukani, Ciputat: PT Logos Wacana
Ilmu, cet. 1, 1999.
As-Sajastânî, Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ab, Sunan Abî Dâwud, juz.
1,2, al-Qahirah: dar ibnu al-Haytsâm, cet. 1, 2007.
As-Salâm, al-‘Izz bin ‘Abd, Qawâ’id al-Aẖkâm fî Mashâliẖ al-Anâm, juz. 1,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 2, 2010.
As-Sâyis, Muẖammad Ali, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum
Islam, terj. Dedi Junaedi, Jakarta: Akademika Pressindo, 1996.
__________, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, Beirut: darul kutub al-‘ilmiyyah,t.t.
As-Shan’ânî, Abû Bakar ‘Abd ar-Razâq bin Hamâm, al-Mushannaf ‘Abd ar-
Razâq, t.tp: al-Maktab al-Islami, 1983.
As-Suyûthî, Jalâluddîn ‘Abdurraẖmân, al-Asybâh wa an-Nazhâ’ir fî Qawâ’id
al-Fiqh, Kairo: al-Maktab ats-Tsaqafi, 2007.
__________, al-Itqân fî ‘ulûm Al-Qur’an, Beirut: Daar al-Fikr, 2010.
Asy-Syîrâzî, Ibrâhîm bin ‘Alî al-Fairûzubâdî, al-Muhadzdzab fî al-Fiqh al-
Imâm asy-Syâfi’î, juz.1, Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. 2,
2008.
Asy-Syarbînî, Muhammad al-Khatîb, Mughnî al-Muẖtâj ilâ Ma’rifat Ma’ânî
alfâzh al-Minhâj, juz. 1,3, Beirut: dar al-Fikr, t.th.
Asy-Syarafî, ‘Abd Majid, terj. Syamsuddin, Ijtihad Kreatif, Jakarta: Pustaka
Kautsar, 2002.
Asy-Syâthibî, Abû Isẖâq Ibrâhîm bin Mûsâ bin Muẖammad, Al-Muwâfaqât fî
Ushûl asy-Syarî’ah, Juz. 2, Beirut: daar al-kutub al-ilmiyah, cet. 2,
2009.
__________, Al-I’tishâm, Kairo: Daar al-Hadits, 2003.
Sa’dawi, Amru Abdul Karim, Wanita dalam Fikih al-Qaradhâwî, terj.
Muhyiddin Mas Rida, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cet. 1, 2009.
Shihab, M. Quraish, Tafsîr al-Mishbâẖ: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Quran, Jakarta: Lentera Hati, cet. 5, 2012.
Suma, Muhammad Amin, Ijtihad Ibnu Timiyyah dalam Fiqih Islam, (jakarta:
PT. Raja Grafindo, 1999), cet. 3.
Syadzili, Guntur Romli dan Fawaid, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Jakarta:
LSIP Jakarta, cet. 1, 2004.
Asy-Syâfi’î, Muhammad bin Idris, ar-Risâlah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
155

Syarifudin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.


Thanthâwî, Muhammad Sa’îd, al-Ijtihâd fî al-Aẖkâm asy-Syar’iyyah, Mesir:
Daar an-Nahdhah, 1997.
At-Tirmidzî, Muẖammad bin ‘Îsa bin Sûrah, Sunan at-Tirmidzî, Kairo: Dar
al-Hadits, 2010.
Wahyuni, Arina, et.al, Hukum Otopsi dan Aborsi dalam Islam, Universitas
Muhammadiyah Malang, 2011.
Wawancara dengan sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh,
Jakarta, 11 Mei 2015.
Yanggo, Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido, Muẖâdharât fî al-Fiqh al-
Muqâran, tt.p.: t.p., 1998.
Yusdiani, Mu’allim, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta:
UII Press,2004.
Zahrah, Muẖammad Abû, Ushûl al-Fiqh, Kairo: darul fikr al-arabiy, t.t.
Zaidân, ‘Abd al-Karîm, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, t.tp: Mu`assasah ar-
Risalah, 1976.
Az-Zuẖailî, Wahbah, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, juz. 2, Damaskus: Daar al-
Fikr, cet. 17, 2009.
__________, al-Fiqh al-Islâmî̱̱̱ wa adillatuh, Beirut: Daar al-Fikr, cet. 6,
2008.
Clinic, Harmoni, “harga vaksin meningitis,” http://kainahealthcare.blog.com,
diakses pada 11 Januari 2015.
Almanhaj, “Islam dan aborsi satu tinjauan hukum fikih,”
http://almanhaj.or.id, Di akses pada 14 Desember 2014.
“Siku”, “Otopsi”, https://id.wikipedia.org, diakses tanggal 6 Januari, 20 Juni
2015.
Ulama, Nahdlatul, “menunda penguburan jenazah,” http://www.nu.or.id.
Diakses 20 januari 2015.
Alkhoirat, “hukum otopsi bedah mayat dalam Islam,”
http://www.alkhoirot.net.html, diakses pada 15 januari 2015.
Dakwatuna, “fenomena trasgender dan hukum operasi kelamin,”
http://www.dakwatuna.com, diakses pada 14 januari 2015.
Suratmaputra, Dr. KH. Ahmad Munif, MA, “artikel,” http://www.iiq.ac.id,
diakses pada 31 desember 2014.
156
Lampiran

Table Kesimpulan

No Nama Fatwa Hasil Keputusan Fatwa Metode Ijtihad


1 Pakaian Kerja 1. Aurat perempuan adalah seluruh bagian tubuhnya Tarjîẖ
Bagi Tenaga kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
Medis 2. Tenaga medis perempuan dalam menjalankan Tarjîẖ
Perempuan tugasnya boleh membuka aurat di bagian
tangannya, sampai sebatas siku, jika ada hajat
(kebutuhan yang mendesak) terkait dengan masalah
medis.
3. pakaian kerja harus terbuat dari pakaian tidak Ijtihad baru
tembus pandang dan tidak menunjukkan lekuk
tubuh.
2 Vaksin Polio 1. Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk Tarjîẖ
Oral vaksin, yang berasal dari –atau mengandung- benda
najis ataupun benda terkena najis adalah haram.
2. Pemberian vaksin OPV kepada seluruh balita, pada
saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada OPV
jenis lain yang produksinya menggunakan media
dan proses yang sesuai dengan syari’at Islam.
3 Vaksin 1. Penggunaan vaksin meningitis yang Sesuai nash
Meningitis mempergunakan bahan dari babi dan/atau yang
bagi Jemaah dalam proses pembuatannya telah terjadi
Haji atau persinggungan/persentuhan dengan bahan babi
Umrah I adalah haram.
2. Penggunaan Vaksin Meningitis, sebagaimana Tarjîẖ
dimaksud dalam angka 1 di atas, khusus untuk haji
wajib dan/atau umrah wajib, hukumnya boleh
(mubâẖ), apabila ada kebutuhan mendesak (li al-
ẖâjah).
3. Ketentuan boleh menggunakan Vaksin Meningitis Tarjîẖ
yang haram tersebut berlaku hanya sementara
selama belum ditemukan Vaksin Meningitis yang
halal atau pemerintah Kerajaan Arab Saudi masih
mewajibkan penggunaan Vaksin tersebut bagi
Jemaah haji dan/atau umrah.
4 Vaksin 1. Vaksin Mencevax ACW135Y1 hukumnya haram. Sesuai nash
Meningitis 2. Vaksin Menveo Meningococcal2 dan Vaksin Tarjîẖ
Bagi Jemaah Meningococcal3 hukumnya halal.

1
Vaksin Mencevax ACW135Y adalah vaksin meningitis yang diproduksi oleh Glaxo Smith Kline
Beecham pharmaceutical-Belgium.
157
158

Haji atau 3. Vaksin yang boleh digunakan hanyalah vaksin Sesuai nash
Umrah II meningitis yang halal.
4. Ketentuan dalam fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2009 Tarjîẖ
yang menyatakan bahwa bagi orang yang
melaksanakan haji wajib atau umrah wajib boleh
menggunakan vaksin meningitis haram karena al-
hajâẖ (kebutuhan mendesak) dinyatakan tidak
berlaku lagi.
5 Hukum 1. Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III Ijtihad baru
Merokok sepakat adanya perbedaan pandangan mengenai
hukum merokok, yaitu antara makruh dan haram
(khilâf mâ baina al-makrûẖ wa al-ẖarâm).
2. Peserta ijtima ulama komisi fatwa se-Indonesia III
sepakat bahwa merokok hukumnya haram jika
dilakukan:
a. Di tempat umum; b. Oleh anak-anak; dan c.
Oleh wanita hamil
6 Senam Yoga 1. Yoga yang murni ritual dan spiritual agama lain, Tarjîẖ
hukum melakukannya bagi orang Islam adalah
haram.
2. Yoga yang mengandung meditasi dan mantra atau Tarjîẖ
spiritual dan ritual ajaran agama lain hukumnya
haram, sebagai langkah preventif (sad adz-
dzarî’ah).
3. Yoga yang murni olahraga pernafasan untuk Ijtihad baru
kepentingan pernafasan hukumnya mubah (boleh).
7 Aborsi II 1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya Tarjîẖ
implantasi blastosis pada dinding Rahim ibu
(nidasi).
2. Aborsi dibolehkan karena ada udzur, baik bersifat Tarjîẖ
darurat ataupun hajat.
a. Keadaan darurat yang berkaitan dengan Ijtihad baru
kehamilan yang membolehkan aborsi adalah:
- Perempuan hamil menderita sakit fisik berat
seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan
caverna dan penyakit-penyakit fisik berat
lainnya yang harus ditetapkan oleh tim dokter.
- Dalam keadaan dimana kehamilan mengancam
nyawa si ibu.
b. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan Ijtihad baru
2
Vaksin Menveo Meningococcal adalah vaksin yang mempunyai nama produksi Menveo Meningococcal
Group A,C,W135 dan Y Conyugate Vaccine yang diproduksi oleh Novartis Vaccine and Diagnostics S.r.i.
3
Vaksin Meningococcal adalah vaksin yang mempunyai nama produksi Meningococcal Vaccine yang
diproduksi oleh Zheijiang Tianyuan Bio Pharmaceutical Co. Ltd.
159

yang dapat membolehkan aborsi adalah:


- Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat
genetic yang kalau lahir kelak sulit
disembuhkan.
- Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan Tarjîẖ
oleh tim yang berwenang yang didalamnya
terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan
ulama.
c. Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf Tarjîẖ
(b) harus dilakukan sebelum janin berusia 40
hari.
3. Aborsi haram hukumnya pada kehamilan yang Tarjîẖ
terjadi akibat zina.
8 Otopsi Jenazah 1. Pada dasarnya setiap jenazah harus segera dipenuhi Tarjîẖ
hak-haknya, yang antara lain adalah dikuburkan
dengan segera. Untuk itu, pengawetan jenazah
tanpa adanya alasan yang dibenarkan secara syar’î
hukumnya haram.
2. Pengawetan jenazah untuk kepentingan penelitian
dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Penelitian dimaksud bermanfaat untuk
pengembangan keilmuan, mendatangkan
kemaslahatan yang lebih besar, yaitu
memberikan perlindungan jiwa (ẖifzh an-nafs),
bukan hanya untuk kepentingan praktek semata, Ijtihad baru
sementara media penelitian hanya bisa dilakukan
dengan media manusia.
b. Hak-hak jenazah sedapat mungkin harus
dipenuhi terlebih dahulu, seperti dimandikan,
dikafani dan dishalatkan.
c. Jenazah yang diawetkan untuk penelitian harus
dilakukan seperlunya, selanjutnya jika
penelitiannya sudah selesai harus segera
dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat.

Ijtihad baru

Ijtihad baru
9 Perubahan & A. Penggantian Alat Kelamin Sesuai nash
Penyempurnaa 1. Mengubah alat kelamin dari laki-laki menjadi
n Alat Kelamin perempuan atau sebaliknya yang dilakukan dengan
sengaja, misalnya dengan operasi ganti kelamin,
160

hukumnya haram.
2. Membantu melakukan ganti kelamin sebagaimana
poin 1 hukumnya haram. Sesuai nash
3. Penentuan keabsahan status jenis kelamin akibat
operasi penggantian alat kelamin sebagaimana poin Tarjîẖ
1 tidak dibolehkan dan tidak memiliki implikasi
hukum syar’î terkait penggantian tersebut.
4. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah
melakukan operasi ganti kelamin sebagaimana poin
1 adalah sama dengan jenis kelamin semula seperti Ijtihad baru
sebelum dilakukan operasi ganti kelamin, meski
telah memperoleh penetapan pengadilan.
B. Penyempurnaan Alat Kelamin
1. Menyempurnaan alat kelamin bagi seorang khuntsa
yang fungsi alat kelamin laki-lakinya lebih
dominan atau sebaliknya, melalui operasi Tarjîẖ
penyempurnaan alat kelamin hukumnya boleh.
2. Membantu melakukan penyempurnaan alat kelamin
sebagaimana dimaksud pada poin 1 hukumnya
boleh.
3. Pelaksanaan operasi penyempurnaan alat kelamin Sesuai nash
sebagaimana dimaksud pada poin 1 harus
didasarkan atas pertimbangan medis, bukan hanya
pertimbangan psikis semata.
4. Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat Ijtihad baru
operasi penyampurnaan alat kelamin sebagaimana
dimaksud pada poin 1 dibolehkan, sehingga
memiliki implikasi hukum syar’î terkait
penyempurnaan tersebut. Tarjîẖ
5. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah
melakukan operasi penyempurnaan alat kelamin
sebagaimana dimaksud pada poin 1 adalah sesuai
dengan jenis kelamin setelah penyempurnaan
sekalipun belum memperoleh penetapan pengadilan
terkait perubahan status tersebut. Tarjîẖ
10 Pengawetan 1. Pada dasarnya setiap jenazah harus segera dipenuhi Tarjîẖ
Jenazah untuk hak-haknya, yang antara lain adalah dikuburkan
Kepentingan dengan segera. Untuk itu, pengawetan jenazah
Penelitian tanpa adanya alasan yang dibenarkan secara syar’î
hukumnya haram.
2. Pengawetan jenazah untuk kepentingan penelitian
dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Penelitian dimaksud bermanfaat untuk Ijtihad baru
pengembangan keilmuan, mendatangkan
161

kemaslahatan yang lebih besar, yaitu


memberikan perlindungan jiwa (ẖifzh an-nafs),
bukan hanya untuk kepentingan praktek semata,
sementara media penelitian hanya bisa dilakukan
dengan media manusia.
b. Hak-hak jenazah sedapat mungkin harus Ijtihad baru
dipenuhi terlebih dahulu, seperti dimandikan,
dikafani dan dishalatkan.
c. Jenazah yang diawetkan untuk penelitian harus Ijtihad baru
dilakukan seperlunya, selanjutnya jika
penelitiannya sudah selesai harus segera
dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat.
11 Vasektomi - Vasektomi sebagai alat kontrasepsi KB sekarang Tarjîẖ
ini dilakukan dengan memotong saluran sperma.
Hal itu berakibat terjadinya kemandulan tetap.
- Upaya rekanalisasi (penyambungan kembali) tidak
menjamin pulihnya tingkat kesuburan kembali yang
bersangkutan.
- Oleh sebab itu, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-
Indonesia memutuskan praktek vasektomi
hukumnya haram.
12 Bank Mata dan 1. Hukum melakukan tranplantasi kornea mata kepada Ijtihad baru
Organ Tubuh orang yang membutuhkan adalah boleh apabila
Lain sangat dibutuhkan dan tidak diperoleh upaya medis
lain untuk menyembuhkannya.
2. Pada dasarnya, seseorang tidak mempunyai hak Tarjîẖ
untuk mendonorkan anggota tubuhnya kepada
orang lain karena ia bukan pemilik sejati atas organ
tubuhnya. Akan tetapi, karena untuk kepentingan
menolong orang lain, dibolehkan dan dilaksanakan
sesuai wasiat.
3. Orang yang hidup haram mendonorkan kornea Ijtihad baru
mata atau organ tubuh lainnya kepada orang lain.
4. Orang boleh mewasiatkan untuk mendonorkan Ijtihad baru
kornea matanya kepada orang lain, dan
diperuntukkan bagi orrang yang membutuhkan
dengan niat tabarru’ (prinsip sukarela dan tidak
tujuan komersial).
5. Bank mata dibolehkan apabila proses pengambilan Ijtihad baru
dari donor dan pemanfaatannya kembali sesuai
dengan aturan syari’ah.
162

Anda mungkin juga menyukai