Oleh :
Ahmad Zaky Syaukani
NIM: 211610101
Oleh :
Ahmad Zaky Syaukani
NIM: 211610101
Pembimbing:
Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra, MA
Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA
ix
terbaik. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
konstruktif sebagai tambahan pengetahuan dan penerapan disiplin ilmu pada
lingkungan yang luas.
Akhirnya tiada sesuatupun di dunia ini yang sempurna, hanya kepada-
Nyalah kita berserah diri dan memohon ampunan. Dengan segala kerendahan
hati, penulis berharap semoga dengan Tesis yang sederhana ini dapat
memberikan inspirasi dan bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan
kepada semua pembaca pada umumnya.
Penulis
x
DAFTAR ISI
Cover Dalam ………………………………………………………………… i
Persetujuan Pembimbing ………………………………………………..…. iii
Lembar Pengesahan Tesis ………………………………………………….. v
Pernyataan Penulis ………………………………………………………... vii
Kata Pengantar ……………………………………………………………... ix
Daftar isi ………………………………………………………………….... xi
Daftar Tabel ……………………………………………………………….. xii
Sistem Transliterasi IIQ Jakarta ………………………………………..… xiii
Abstrak …………………………………………………………………….. xv
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah …………............................................................ 11
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 12
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................ 13
E. Kajian Pustaka ………………............................................................. 13
F. Metodologi Penelitian ………………….............................................. 14
G. Sistematika Penulisan ………………………………...…………….. 15
BAB II: KEDUDUKAN IJTIHAD DALAM ISLAM
A. Definisi Ijtihad ………..…………...................................................... 18
B. Kualifikasi Mujtahid ...………………………………………...……. 18
1. Prosedural Mujtahid …...…………………………………..……... 19
2. Hierarki Mujtahid ……………………………………………...…. 23
C. Kedudukan Ijtihad dalam Islam ……...…………………………...… 25
D. Perkembangan Ijtihad ………………………………………………. 28
1. Awal Mula Ijtihad ………...……...………………………………. 28
2. Masa Perkembangan Ijtihad …….....……………………………... 33
3. Masa Kemajuan Ijtihad ………..…………………………………. 36
4. Masa Kemunduran Ijtihad ……..……..…………………………... 50
5. Masa Kebangkitan Ijtihad ……………………….…..…………… 56
BAB III: KOMISI FATWA DAN HUKUM MAJELIS ULAMA
INDONESIA
A. Sejarah dan Tugas Majelis Ulama Indonesia……………………….. 61
B. Komisi Fatwa dan Hukum MUI (KFHMUI) …….............................. 65
C. Prosedur Legislasi Fatwa MUI ……………………………………… 67
D. Konsep Ijtihad Komisi Fatwa MUI …………………………………. 72
Bab IV: FATWA-FATWA KESEHATAN DAN KEDOKTERAN MAJELIS
ULAMA INDONESIA
A. Fatwa-fatwa Kesehatan MUI
1. Fatwa Tentang Pakaian Kerja Bagi Tenaga Medis Perempuan ….. 81
xi
2. Fatwa Tentang Penggunaan Vaksin Polio Oral …...…………...… 89
3. Fatwa Tentang Penggunaan Vaksin Meningitis Bagi Jema’ah Haji
atau Umrah I …………………………………………………….. 93
4. Fatwa tentang Penggunaan Vaksin Meningitis Bagi Jema’ah Haji
atau Umrah II …………………………………………………… 100
5. Fatwa Tentang Hukum Merokok ………………...…………....... 103
6. Fatwa Tentang Senam Yoga ………………………...…….......... 106
B. Fatwa-fatwa Kedokteran MUI
1. Fatwa tentang Aborsi II …………………………………………. 111
2. Fatwa Tentang Otopsi Jenazah ………………………………...... 119
3. Fatwa Tentang Perubahan dan Penyempurnaan Alat Kelamin ..... 126
4. Fatwa Tentang Pengawetan Jenazah Untuk Kepentingan Penelitian
..…………….…………………………………………………… 133
5. Fatwa Tentang Vasektomi ………………………………………. 138
6. Fatwa Tentang Bank Mata dan Organ Tubuh Lain ………….….. 141
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………... 149
B. Saran-saran ………………………………………………………… 150
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 151
LAMPIRAN …………………………………………………………….. 157
DAFTAR TABEL
xii
Sistem Transliterasi IIQ Jakarta
Transliterasi adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad
yang satu ke abjad yang lain. Dalam penulisan tesis di IIQ, transliterasi Arab-
Latin mengacu pada berikut ini:
1. konsonan
xiii
syaddah (tasydid) dalam system aksara arab digunakan lambang (ّ)
sedangkan untuk alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
cara menggandakan huruf bertanda tasydîd. Aturan ini berlaku secara umum,
baik tasydîd yang berada ditengah kata, di akhir kata ataupun yang terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Contoh:
xiv
Abstrak
Dalam menghadapi kondisi zaman yang modern dan persoalan-
persoalan kontemporer saat ini, ijtihad adalah solusi yang terbaik dan
merupakan sebuah keharusan dalam mereformasi dan mereaktualisasi hukum
Islam. Namun ijtihad tersebut hanya boleh dilakukan oleh mereka yang telah
memenuhi syarat. Karena sulitnya seseorang memenuhi syarat tersebut, maka
ijtihad hanya bisa dilakukan secara jamâ’î (kolektif). Dalam merespon hal
tersebut, dibuatlah suatu lembaga perkumpulan para ulama dan zu’ama yang
dinamakan Majelis Ulama Indonesia, dimana salah satu tugasnya adalah
memberikan fatwa (jawaban) atas permasalahan yang muncul di kalangan
masyarakat.
Dalam kurun waktu 2005-2010, Majelis Ulama Indonesia telah
mengeluarkan 77 fatwa, 12 fatwa di antaranya mengenai kesehatan dan
kedokteran. Dalam tesis ini, penulis mengkaji bagaimana konsep penetapan
fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Apakah fatwa yang
dikeluarkan merupakan ijtihad baru, atau hanya sekedar mentarjîẖ pendapat
ulama terdahulu.
Dalam berfatwa, Majelis Ulama Indonesia terlebih dahulu mencari
jawabannya di dalam nash (Al-Qur`an dan Hadits). Apabila tidak ditemukan
di dalam nash jawaban mengenai masalah yang dihadapi, melihat pendapat
para ulama terdahulu, lalu menarjiẖnya. Apabila tidak ditemukan pendapat
ulama terdahulu tentang masalah yang dihadapi, maka Majelis Ulama
Indonesia melakukan ijtihad dengan metodenya dan menghasilkan ijtihad
baru.
Dalam menganalisa fatwa, metodenya adalah Setiap fatwa yang
diputuskan Majelis Ulama Indonesia, penulis tuliskan hasil keputusan
hukumnya, lalu mengkaji mengenai dasar-dasar dalil yang digunakan dalam
memberikan keputusan tersebut. Setelah itu akan diketahui apakah fatwa
tersebut merupakan ijtihad baru atau sekedar mentarjîẖ pendapat ulama
terdahulu.
Di antara fatwa yang ditetapkan dan sesuai dengan nash (Al-Qur`an
dan Hadits) adalah Fatwa Tentang Otopsi Jenazah poin 1 dan poin 3 sub c.
Fatwa tentang Penggantian Alat Kelamin poin 1 dan 2, Penyempurnaan Alat
Kelamin poin 2. Fatwa Tentang Vaksin Meningitis bagi Jema’ah Haji atau
Umrah I poin 1. Fatwa tentang Vaksin Meningitis bagi Jema’ah Haji atau II
poin 1 dan 3. Fatwa melalui tarjîẖ pendapat adalah fawa tentang Aborsi II
poin 1,2 sub b frase kedua, sub c, dan poin 3. Fatwa tentang Pakaian Kerja
Bagi Tenaga Medis Perempuan poin 1 dan 2. Fatwa tentang Otopsi Jenazah
xv
poin 3 sub a. fatwa tentang Perubahan (penggantian) Alat Kelamin poin 3,
Penyempurnaan Alat Kelamin poin 1, 4, dan 5. Fatwa vaksin Polio Oral.
Fatwa Pengawetan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian poin 1. fatwa
tentang Penggunaan Vaksin Meningitis Bagi Jema’ah Haji atau Umrah poin
2, 3 dan II poin 2, 4. Fatwa tentang Vasektomi. Fatwa tentang Senam Yoga
poin 1, dan 2. Fatwa tentang Bank Mata & Organ Tubuh Lain poin 2.
Adapun fatwa yang menghasilkan ijtihad baru adalah fatwa tentang Aborsi II
poin 2 sub a dan b frase 1. Fatwa tentang Pakaian Kerja Bagi Tenaga Medis
Perempuan poin 3. Fatwa tentang Otopsi Jenazah poin 2, 3 sub b dan d. fatwa
tentang Fatwa tentang Perubahan (penggantian) Alat Kelamin poin 4.
Penyempurnaan Alat Kelamin poin 3. Fatwa tentang Pengawetan Jenazah
untuk Kepentingan Penelitian poin 2. Fatwa tentang Hukum Merokok. Fatwa
tentang Senam Yoga poin 3. dan Fatwa tentang Bank Mata dan Organ Tubuh
lain poin 1,3,4, dan 5.
xvi
BAB I
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Umat Islam meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan
Rasul terakhir yang diutus Allah SWT ke dunia membawa syari’at Islam.
Keyakinan ini dipahami di antaranya dari surat Al-Aẖzâb ayat 40:
“Muhammad itu bukan ayah seseorang lelaki kamu, tetapi dia adalah
utusan Allah dan Nabi terakhir, dan adalah Allah Maha mengetahui
segala sesuatu”. (Q.S. Al-Aẖzâb [33]:40)
Sebagai konsekuensi logis dari keyakinan ini, maka syari’at Islam
yang dibawa Nabi Muhammad SAW merupakan syari’at terakhir yang akan
tetap berlaku sampai akhir zaman, ia merupakan syari’at yang kekal dan
abadi.
Al-Qur`an dan as-Sunnah yang merupakan sumber utama ajaran Islam
yang dibawa oleh Nabi saw harus bisa menjawab segala permasalahan yang
timbul bukan hanya di masanya akan tetapi juga permasalahan yang muncul
setelah masa itu sampai akhir zaman1.
Dari 6000 lebih ayat Al-Qur`an, hanya sekitar 3,5-17,18% saja yang
memuat aturan0aturan hukum, dan itupun termasuk hukum-hukum ibadah
(‘ubûdiyyah) dan kekeluargaan (aẖwâl asy-syakhshiyyah). Perkiraan
presentase itu di dasarkan atas jumlah bilangan ayat-ayat hukum yang
ternyata yang ternyata diperselisihkan oleh para fuqahâ` karena perbedaan
mereka tentang terminologi hukum itu sendiri. Ada yang menyatakan 228
ayat, seperti ‘Abd al-Wahâb Khallâf, 500 ayat menurut perhitungan al-
Ghazâlî, ar-Râzî, Ibn Qudâmah, dan lain-lain, 900 ayat menurut perhitungan
yang dinukilkan dari Ibn al-Mubârak, 1.100 ayat menurut angka yang
diberikan Abû Yûsuf, dan ada pula yang menyebutkan bilangan lebih banyak
dari itu2.
1
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: elsas, 2011), h. 3.
2
Muhammad Amin Suma, Ijtihad Ibn Taimiyyah Dalam Fiqih Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002), cet. 2, h. 61.
1
2
3
Abdul Wahab Khallâf, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), cet. 12,
h. 11.
4
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, hal. 4.
5
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, hal. 6-7
6
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah Jumhûriyyah Mesir, al-Mu’jam al-Wasîth, (Kairo:
Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah, 2008) h. 146-147.
7
‘Atha` bin Khalîl, Ushul Fiqh, terj. Yasin as-Siba’i (bogor: Pustaka Thariqul Izzah,
2011), cet. Ke-4, h. 352.
8
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, hal. 8.
3
9
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 25.
10
Sulaimân bin al-Asy’ab bin Isẖâq bin Basyîr as-Sajastânî al-Ardî, Sunan Abî
Dâwud, (Kairo: Dar Ibn al-Haitsam, 2007), kitab al-Aqdhiyyah, bab Ijtihâd ar-Ra`yi fî al-
Qadhâ`, No Hadits. 3592, cet. 1, h. 224.
4
11
Muẖammad ‘Alî as-Sâyis, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, ( Beirut: darul kutub al-
‘ilmiyyah,t.t) h. 60.
12
‘Umar bin Khaththâb bin Nufail al-‘Adwî al-Qurasyî, meriwayatkan 539 hadits dari
Rasulullah SAW. (Muẖammad ‘Alî as-Sâyis, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, ( Beirut: darul kutub
al-‘ilmiyyah, t.t ) h.61.)
13
Abû Sa’îd Zaid bin Tsâbit adh-Dhahâk an-Najjârî al-Anshârî, meriwayatkan 92
hadits dari Rasulullah SAW. wafat pada tahun 45 H. (Muẖammad ‘Alî as-Sâyis, Târîkh al-
Fiqh al-Islâmî, ( Beirut: darul kutub al-‘ilmiyyah, t.t) h. 64.)
14
‘Abdullah bin ‘Umar bin Khaththâb al-‘Adwî al-Qurasyî, wafat di Mekah setelah
haji pada tahun 73 H. (Muẖammad ‘Alî as-Sâyis, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, ( Beirut: darul
kutub al-‘ilmiyyah, t.t ) h. 65.)
15
Abû ‘Abd ar-Raẖmân Abdullah bin Mas’ûd bin Ghâfil al-Hudzalî, wafat di
Madinah pada tahun 32 H. (Muẖammad ‘Alî as-Sâyis, Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, ( Beirut:
darul kutub al-‘ilmiyyah, t.t ) h. 66.)
16
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. 1, jilid. 1,
h. 29.
5
disebut Madzhab Mâlikî. ahl ar-Ra`yi Abû H̱anîfah yang kemudian diikuti
kelompok besar yang disebut Madzhab H̱anafî. Imam Syâfi’î mencoba
mengambil jalan tengah antara kelompok ahl al-ẖadîts dan ahl ra`yi yang
kemudian diikuti kelompok besar yang disebut Madzhab Syâfi’î. Di antara
pengikut terkemuka Imam Syâfi’î yang kemudian lebih mewarnai
pendapatnya dengan hadits ialah Aẖmad bin H̱anbal, yang kemudian
memiliki banyak pengikut yang disebut Madzhab H̱anbalî17.
Seiring perkembangan zaman dan semakin luasnya wilayah kekuasaan
Islam sementera pakar yang ahli dalam bidang hukum Islam berjauhan
tempat tinggalnya antara satu dan yang lainnya, maka persoalan yang baru
muncul tidak dapat diselesaikan dengan bersumber pada Al-Qur`an, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyâs semata. Hal itu karena pemahaman mereka terhadap suatu
nash berbeda-beda dan kemaslahatan yang dituntut juga tidak sama karena
perbedaan lingkungan dan daerah yang didiami oleh para mujtahid. Sehingga
lahirlah bermacam-macam istinbâth18 hukum seperti istiẖsân (persamaan
antara satu hukum yang lebih kuat dengan yang lain yang dilakukan oleh
mujtahid demi mencari hukum syara’)19, istishlâẖ (mashlaẖah mursalah),
‘urf (segala sesuatu yang memenuhi segala kebutuhan dan lazim dilakukan
oleh manusia dalam mu’amalat)20, sadd adz-dzarî’ah (segala perantara
kepada hukum halal atau haram, hukumnya sama dengan tujuan. Apabila
yang dituju haram maka haram hukumnya, apabila yang dituju mubah maka
mubah hukumnya dan apabila tidak terjadi suatu yang wajib kecuali
dengannya maka hukumnya wajib)21, istishẖâb (kekalnya suatu perkara
terdahulu yang tidak ada penggantinya, maka segala sesuatu yang telah
ditetapkan terdahulu hukumnya kekal di masa kini atau mendatang )22, dan
syar’u man qablanâ (suatu ketentuan hukum untuk umat terdahulu, yang
tidak terdapat dalil penghapusan atau tidak)23.
Dalam menghadapi kondisi zaman yang modern dan persoalan-
persoalan kontemporer saat ini, ijtihad adalah solusi yang terbaik dan
merupakan sebuah keniscayaan dalam mereformasi dan mereaktualisasi
hukum Islam. Ulama Fiqh tidak boleh terlelap di dalam cahaya kemajuan dan
17
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h.29.
18
Metode menyimpulkan suatu hukum
19
Muẖammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (Kairo: darul fikr al-arabiy, t.t.), h. 238.
20
Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 247.
21
Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 259.
22
Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 266.
23
Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 273-274.
6
24
Khalilurrahman, “Masalah-masalah kedokteran dalam fatwa-fatwa Yusuf al-
Qaradhawi (Studi Aplikasi Mashlahah Mursalah di Bidang Kedokteran”, Tesis, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, h. 5. Tidak diterbitkan (t.d)
25
Yûsuf al-Qaradhâwî, Ijtihad Kontemporer, Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 5.
26
Yûsuf al-Qaradhâwî, Fatâwâ Mu’âshirah, (kairo: Dar al-Ma’arif, 1998), juz.2, h.
21.
27
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 42.
28
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 9.
7
29
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 43.
30
Lahir pada tanggal 16 rajab 1344 H. bertepatan dengan tanggal 31 januari 1926 M
di Surabaya. Chairul Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU, (Surabaya: Bima Satu,
1999), cet. Ke-2, h. 4.
31
Lajnah Ta`lîf Wanasyr PBNU, Keputusan Munas Ulama & Konbes Nahdlatul
Ulama, (semarang: sumber barakah, 1992), h. 5-6.
32
Lajnah Ta`lîf wanasyr PBNU, Keputusan Munas Ulama & Konbes Najdlatul
Ulama, h. 7-8.
8
33
Lajnah ta`lîf wanasyr PBNU, Keputusan Munas Alim Ulama & Konbes Nahdlatul
Ulama, h. 8.
34
Lajnah ta`lîf wanasyr PBNU, Keputusan Munas Alim Ulama & Konbes Nahdlatul
Ulama, h. 8.
35
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta, logos
publishing house, 1995), cet. Ke-1, h. 78.
9
datang dari berbagai penjuru tanah air, dimana salah satu tugasnya adalah
memberikan fatwa36.
Dalam menetapkan fatwa, Majelis Ulama Indonesia menggunakan
metode di antaranya adalah:
1. Hendaklah ditinjau lebih dahulu pendapat para imam madzhab dan ulama
yang mu’tabar tentang masalah yang akan difatwakan tersebut, secara
seksama berikut dalil-dalilnya.
2. Masalah yang telah jelas hukumnya disampaikan sebagaimana adanya37.
3. Jika masalah yang terjadi khilafiah di kalangan madzhab, maka,
a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di
antara pendapat-pendapat ulama mazhab melalui metode al-jam’u wa
at-taufîq; dan
b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan
fatwa didasarkan pada hasil tarjîẖ melalui metode muqâranah dengan
menggunakan kaidah-kaidah Ushûl Fiqh Muqâran.
4. Dalam masalah yang tidak ditemukan hukumnya di kalangan madzhab,
penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jamâ’î (kolektif) melalui
metode bayânî, ta’lîlî (qiyâs, `istiẖsânî, `ilẖâqî), `istishlâẖî (mashlaẖah
mursalah), dan sadd ad-dzarî’ah
5. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum
(mashâliẖ ‘âmmah) dan maqâshid asy-syarî’ah38.
Tarjîẖ terbagi dua, yaitu (at-tarjîẖ bain an-nushûsh) tarjih di antara dua
dalil. Kondisi seperti ini dilakukan tarjîẖ apabila terdapat dua dalil yang
bertentangan, sementara kekuatan dan keumumannya sama, maka kedua dalil
ini mesti merupakan dalil zhanni, karena dua dalil yang qath’î tidak boleh
bertentangan dalam kondisi seperti ini. Dan apabila kedua dalil bertentangan
tetapi tidak sama dalam kekuatan dan keumumannya. Bisa juga keduanya
sama dalam keumumannya tetapi tidak sama dalam kekuatannya; atau sama
dalam kekuatannya tetapi tidak sama dalam keumumannya; atau sama dalam
kekuatannya tetapi tidak sama dalam keumumannya; atau tidak sama dalam
kekuatan dan keumumannya39.
dan tarjîẖ di antara penunjukan lafazh (dilâlah al-alfâzh) dalam satu
dalil. Maksud dari tarjîẖ ini adalah menghilangkan kesalahan yang terjadi
dalam memahami maksud dari penunjukkan satu lafazh ketika memiliki lebih
36
Ma’ruf Amin, et.al, Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia Sejak 1975 (Jakarta:
Erlangga, 2011) h.5.
37
Ma’ruf Amin, et.al, Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia Sejak 1975, h.5.
38
Ma’ruf Amin, et.al, Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia, h. 6.
39
‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqh Kajian Ushul Fiqh mudah dan Praktis, terj. Yasin as-
Siba’i, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), cet. 4, h. 387.
10
dari satu makna; dan menentukan penunjukkan yang lebih kuat untuk
diamalkan40.
Keduanya merupakan perkara yang sangat penting untuk diketahui oleh
orang yang bermaksud menggali hukum syara dari suatu dalil41. Apabila
terdapat dua dalil tentang suatu masalah yang tidak mungkin dikompromikan
di antara keduanya, dan tidak bisa menentukan salah satu dari keduanya
sebagai nâsikh (yang menghapus) terhadap yang lain; maka kondisi seperti
ini mesti dilakukan tarjîẖ terhadap salah satunya agar bisa diamalkan42.
Begitu juga apabila lafazh-lafazh suatu dalil mempunyai lebih dari satu
penunjukkan (dilâlah), maka kita harus mentarjîẖ satu dilalah terhadap yang
lain agar bisa mengamalkan dilalah yang lebih kuat43.
Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan,
ada beberapa cara yang dikemukakan ulama ushul fiqh, yaitu: 1. Dari segi
sanad (para penutur hadits). 2. Dari segi matan (kandungan hadits). 3. Dari
segi hukum yang dikandung nash. 4. Pentarjihan dengan menggunakan factor
dalil lain di luar nash44.
Dewasa ini isu-isu tentang ilmu kesehatan dan kedokteran, hari demi
hari mengalami perkembangan pesat, banyak kejutan temuan mengenai ilmu
kesehatan dan kedokteran telah terjadi, berbagai hal yang dulu tidak
terbayangkan, kini telah ditemukan dan memungkinkan untuk dilakukan,
bahkan di antaranya telah dicoba dan berhasil? Bagi ilmuwan sekuler, semua
teori dan temuan ilmiah dapat dilakukan demi ilmu pengetahuan. Namun,
bagi ilmuwan muslim yang boleh dilakukan hanya jika sejalan dengan norma
Islami. Dalam menentukan halal haramnya suatu temuan ilmiah termasuk
dalam bidang kesehatan dan kedokteran, para ulama sering menghadapi
masalah rumit, karena di samping tidak ada penegasan di dalam nash, juga
tidak ditemukan keterangannya dalam literature fikih karena hal yang serupa
belum diformulasikan oleh para fakar fikih terdahulu, belum terjadi saat itu
atau bahkan belum terpikirkan akan adanya.
Misalnya Aborsi, dalam ilmu kedokteran berarti pengeluaran hasil
konsepsi (pembuahan sel telur oleh sel sperma) sebelum janin dapat hidup di
luar kandungan. Janin belum mampu hidup di luar kandungan apabila
40
‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqh Kajian Ushul Fiqh mudah dan Praktis, terj. Yasin as-
Siba’i, h. 396.
41
‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqh Kajian Ushul Fiqh mudah dan Praktis, terj. Yasin as-
Siba’i, h. 403.
42
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Ciputat: Logos, 1996), cet. 1, h. 197.
43
‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqh Kajian Ushul Fiqh mudah dan Praktis, terj. Yasin as-
Siba’i, h. 387.
44
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Ciputat: Logos, 1996), cet. 1, h. 197.
11
beratnya kurang dari 500 gram atau usia kehamilan kurang dari 20 minggu
karena pada usia ini proses plasentasi (terbentuknya lapisan yang akan
melindungi embrio agar aman dari gangguan) belum selesai. Pada bulan
pertama kehamilan yang mengalami abortus, hampir selalu didahului dengan
matinya janin dalam Rahim45.
Contoh lainnya adalah Vasektomi, dalam terminologi ilmu kedokteran
memiliki arti pemotongan saluran sel sperma yang menghubungkan buah
zakar dengan kantong sperma sehingga tidak lagi ada sel sperma dalam
ejakulasi pria46.
Kedua hal ini merupakan salah satu permasalahan kesehatan atau
kedokteran yang dulu tidak terbayangkan, kini telah ditemukan dan
memungkinkan untuk dilakukan, bahkan di antaranya telah dicoba dan
berhasil. Mewajibkan bagi para mujtahid khususnya Majelis Ulama
Indonesia untuk menentukan hukum praktek tersebut.
Dalam memberikan fatwa-fatwa seputar kesehatan dan kedokteran
tersebut diatas, Majelis Ulama Indonesia melakukan tarjîẖ pendapat terlebih
dahulu, jika tidak ditemukan pendapat para ulama terdahulu tentang
permasalahan yang dihadapi, maka MUI melakukan ijtihâd jamâ’î. hasil dari
ijtihad tersebut dapat disebut sebagai ijtihad baru. Namun Majelis Ulama
Indonesia tidak menjelaskan metode ijtihad yang digunakan secara rinci
dalam memberikan keputusan tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk menulis
tesis yang berjudul FATWA-FATWA KESEHATAN DAN KEDOKTERAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA TAHUN 2005-2010 (Study pendekatan
Ushûl al-Fiqh).
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis mengidentifikasi
beberapa masalah yang berkaitan dengan fatwa-fatwa kesehatan dan
kedokteran Majelis Ulama Indonesia tahun 2005-2010, antara lain:
1. Dalam kurun waktu 2005-2010 Majelis Ulama Indonesia telah
mengeluarkan 77 fatwa yaitu mengenai bidang Aqidah dan Aliran
Keagamaan, Bidang Ibadah, Bidang Sosial dan Budaya, Bidang Pangan,
Obat-obatan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Keputusan Ijtima’ Ulama
Komisi Fatwa Se-Indonesia Kedua dan Ketiga tahun 2006 & 2009 tentang
Masâ`il Dîniyyah Asâsiyyah Wathaniyyah, Masâ`il Waqi’iyyah
45
Mutaroh Akmal, et.al. Ensiklopedi Kesehatan Untuk Umum, (Jogjakarta: ar-Ruzz
Media, 2010) cet.1, h. 13.
46
Mutaroh Akmal, et.al. Ensiklopedi Kesehatan Untuk Umum, h. 361.
12
47
Ma’ruf Amin, et.al, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, h.535-
906.
48
Ma’ruf Amin, et.al, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, h.455-
911.
13
c. Sumber Data
Dalam melakukan penelitian, sumber data yang penulis peroleh
berdasarkan dua sumber, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
Sumber data primer adalah buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
dan Majalah Mimbar Ulama yang diterbitkan oleh secretariat Majelis Ulama
Indonesia yang bertempat di Masjid Istiqlal Jakarta. Adapun sumber data
sekunder penulis peroleh melalui buku-buku yang berkaitan dengan masalah
ijtihad dan fatwa atau buku-buku dan media cetak yang pernah membahas
pemikiran Majelis Ulama Indonesia dan fatwa-fatwa yang telah ditetapkan
oleh Majelis Ulama Indonesia.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Tesis ini disusun dalam 5 bab. Diawali pendahuluan yang meliputi latar
belakang masalah, yang sekaligus mengilhami pemilihan judul, kemudian
identifikasi masalah, penjelasan pembatasan dan rumusan masalahnya, tujuan
dan kegunaan penilitian, kajian pustaka, metodologi penelitian. Bab pertama
ini diakhiri dengan penjelasan metode penulisan tesis yang digunakan.
Adapun dalam bab II, berisikan gambaran secara umum tentang
kedudukan ijtihad dalam Islam. Dalam kedudukan ijtihad tersebut dibagi
kepada definisi ijtihad, kualifikasi mujtahid yang membahas tentang
prosedural ijtihad dan hierarki mujtahid. Kedudukan ijtihad dalam Islam, dan
Perkembangan Ijtihad dari awal mula ijtihad, masa perkembangan ijtihad,
masa kemajuan ijtihad, masa kemunduran ijtihad, dan masa kebangkitan
ijtihad.
Adapun bab III, dibawah judul Komisi Fatwa dan Hukum Majelis
Ulama Indonesia. Dalam bab ini terlebih dahulu penulis membahas tentang
sejarah dan tugas Majelis Ulama Indonesia, Komisi Fatwa dan Hukum MUI
(KFHMUI), Prosedur Legalisasi Fatwa MUI, Konsep ijtihad Komisi Fatwa
MUI.
16
149
150
B. Saran-saran
Kepada seluruh pihak yang menaruh perhatian serius (concern)
terhadap pengembangan hukum Islam diharapkan dapat memposisikan diri
pada sikap moderat (poros tengah) dalam menetapkan suatu hukum. Posisi
ini menuntut sikap tidak terlalu cepat menghalalkan sesuatu dan tidak
tergesa-gesa mengharamkannya sebelum melakukan penelitian yang
mendalam dengan tinjauan dari berbagai dimensi (multi dimensi).
Kepada pemikir hukum Islam hendaknya dapat mengaplikasikan
berbagai metode yang telah ada untuk menetapkan hukum terhadap berbagai
masalah kontemporer, agar hukum Islam itu membumi, applicable, tidak
hanya melangit atau tinggal dalam tataran teori belaka.
Setiap peminat hukum Islam hendaknya mempunyai sikap terbuka,
tidak berpikiran sempit (narrow mided). Sikap terbuka ini menuntut agar
setiap peminat bersedia menerima “kebenaran” dari mana dan dari siapapun
datangnya, walaupun datang dari orang yang dibenci, dan berani menolak
“kesalahan” walaupun datangnya dari orang yan dikagumi dan dihormati.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Anwar, et.al, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama
Indonesia, Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Pusat, 2011.
Abdullah, Taufik, et.al, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan
Peradaban, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
‘Abdurraẖmân, Jalâluddîn, al-Mashâliẖ̱ al-Mursalah wa Makânatuha fî at-
Tasyrî’, tt.p, as-Sa’adah, cet. 1, 1983.
__________, Al-Ijtihâd Dhawâbituhu wa Aẖkâmuhu, tt.p., Jami’ah
Islamiyah, 1, 1986.
Akmal, Mutaroh, et.al. Ensiklopadi Kesehatan Untuk Umum, Jogjakarta: ar-
Ruzz Media, 2010.
Al-‘Asqallânî, Aẖmad bin ‘Alî bin H̱ajar, Fatẖ al-Bârî bi syarẖi Shaẖîẖ al-
Bukhârî, cet. 1, Kairo: Daar al-Hadits, 2004.
Amin, Dr. KH. Ma’ruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: elsas,
2011.
Amin, Dr. KH. Ma’ruf, et.al, Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia
Sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011.
Anam, Chairul, Pertumbuhan & Perkembangan NU, Surabaya: Bima Satu,
cet. 1, 1999.
Anas, Mâlik bin, al-Muwaththa` Imâm Mâlik, juz. 1, Beirut: Dar al-Afaq al-
Jadidah, t.t.
Ansor, Maria Ulfah, Fikih Aborsi wacana penguatan hak reproduksi
perempuan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.
Anwar, Dessy, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Penerbit
Amelia, 2005.
‘Azam, ‘Abdul ‘Aziz Muhammad, Qawâ’id al-Fiqh al-Islâmî, Dirâsah
‘Ilmiyyah Taẖlîliyyah Muqâranah, (kairo: Makrab ar-Risalah, 1999)
Baety, Aprilia Nurul, Biologi Reproduksi Kehamilan dan Persalinan,
Yogyakarta: Graha Ilmu, cet. 1, 2011.
Bagis, Abdul Kabir, Operasi Pergantian dan Penyempurnaan Alat Kelamin,
Bogor: STEI TAZKIA: 2011.
Bik, Muẖammad al-H̱udhari, Tarjamah Târîkh at-Tasyrî’ al-Islâmî, terj.
Muhammad Zuhri, Indonesia: Darul Ikhya, 1980.
Al-Bukhârî, Abî ‘Abdillâh Muẖammad bin Ismâ’îl, Matn al-Bukhârî bi
H̱̱âsyiyah as-Sindî, juz. 1,3, Beirut: Daar al-Fikr, cet. 1, 1994.
Cardwell, Ernest, Berhenti Merokok, terj. Syafruddin Hasan, Yogyakarta:
Pustaka Popular, cet. 2, 2009.
Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru
van Houve, cet. 1, 1996.
Departemen Agama RI, Al-Qur`an al-Karim dan Terjemahannya
151
152
Table Kesimpulan
1
Vaksin Mencevax ACW135Y adalah vaksin meningitis yang diproduksi oleh Glaxo Smith Kline
Beecham pharmaceutical-Belgium.
157
158
Haji atau 3. Vaksin yang boleh digunakan hanyalah vaksin Sesuai nash
Umrah II meningitis yang halal.
4. Ketentuan dalam fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2009 Tarjîẖ
yang menyatakan bahwa bagi orang yang
melaksanakan haji wajib atau umrah wajib boleh
menggunakan vaksin meningitis haram karena al-
hajâẖ (kebutuhan mendesak) dinyatakan tidak
berlaku lagi.
5 Hukum 1. Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III Ijtihad baru
Merokok sepakat adanya perbedaan pandangan mengenai
hukum merokok, yaitu antara makruh dan haram
(khilâf mâ baina al-makrûẖ wa al-ẖarâm).
2. Peserta ijtima ulama komisi fatwa se-Indonesia III
sepakat bahwa merokok hukumnya haram jika
dilakukan:
a. Di tempat umum; b. Oleh anak-anak; dan c.
Oleh wanita hamil
6 Senam Yoga 1. Yoga yang murni ritual dan spiritual agama lain, Tarjîẖ
hukum melakukannya bagi orang Islam adalah
haram.
2. Yoga yang mengandung meditasi dan mantra atau Tarjîẖ
spiritual dan ritual ajaran agama lain hukumnya
haram, sebagai langkah preventif (sad adz-
dzarî’ah).
3. Yoga yang murni olahraga pernafasan untuk Ijtihad baru
kepentingan pernafasan hukumnya mubah (boleh).
7 Aborsi II 1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya Tarjîẖ
implantasi blastosis pada dinding Rahim ibu
(nidasi).
2. Aborsi dibolehkan karena ada udzur, baik bersifat Tarjîẖ
darurat ataupun hajat.
a. Keadaan darurat yang berkaitan dengan Ijtihad baru
kehamilan yang membolehkan aborsi adalah:
- Perempuan hamil menderita sakit fisik berat
seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan
caverna dan penyakit-penyakit fisik berat
lainnya yang harus ditetapkan oleh tim dokter.
- Dalam keadaan dimana kehamilan mengancam
nyawa si ibu.
b. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan Ijtihad baru
2
Vaksin Menveo Meningococcal adalah vaksin yang mempunyai nama produksi Menveo Meningococcal
Group A,C,W135 dan Y Conyugate Vaccine yang diproduksi oleh Novartis Vaccine and Diagnostics S.r.i.
3
Vaksin Meningococcal adalah vaksin yang mempunyai nama produksi Meningococcal Vaccine yang
diproduksi oleh Zheijiang Tianyuan Bio Pharmaceutical Co. Ltd.
159
Ijtihad baru
Ijtihad baru
9 Perubahan & A. Penggantian Alat Kelamin Sesuai nash
Penyempurnaa 1. Mengubah alat kelamin dari laki-laki menjadi
n Alat Kelamin perempuan atau sebaliknya yang dilakukan dengan
sengaja, misalnya dengan operasi ganti kelamin,
160
hukumnya haram.
2. Membantu melakukan ganti kelamin sebagaimana
poin 1 hukumnya haram. Sesuai nash
3. Penentuan keabsahan status jenis kelamin akibat
operasi penggantian alat kelamin sebagaimana poin Tarjîẖ
1 tidak dibolehkan dan tidak memiliki implikasi
hukum syar’î terkait penggantian tersebut.
4. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah
melakukan operasi ganti kelamin sebagaimana poin
1 adalah sama dengan jenis kelamin semula seperti Ijtihad baru
sebelum dilakukan operasi ganti kelamin, meski
telah memperoleh penetapan pengadilan.
B. Penyempurnaan Alat Kelamin
1. Menyempurnaan alat kelamin bagi seorang khuntsa
yang fungsi alat kelamin laki-lakinya lebih
dominan atau sebaliknya, melalui operasi Tarjîẖ
penyempurnaan alat kelamin hukumnya boleh.
2. Membantu melakukan penyempurnaan alat kelamin
sebagaimana dimaksud pada poin 1 hukumnya
boleh.
3. Pelaksanaan operasi penyempurnaan alat kelamin Sesuai nash
sebagaimana dimaksud pada poin 1 harus
didasarkan atas pertimbangan medis, bukan hanya
pertimbangan psikis semata.
4. Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat Ijtihad baru
operasi penyampurnaan alat kelamin sebagaimana
dimaksud pada poin 1 dibolehkan, sehingga
memiliki implikasi hukum syar’î terkait
penyempurnaan tersebut. Tarjîẖ
5. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah
melakukan operasi penyempurnaan alat kelamin
sebagaimana dimaksud pada poin 1 adalah sesuai
dengan jenis kelamin setelah penyempurnaan
sekalipun belum memperoleh penetapan pengadilan
terkait perubahan status tersebut. Tarjîẖ
10 Pengawetan 1. Pada dasarnya setiap jenazah harus segera dipenuhi Tarjîẖ
Jenazah untuk hak-haknya, yang antara lain adalah dikuburkan
Kepentingan dengan segera. Untuk itu, pengawetan jenazah
Penelitian tanpa adanya alasan yang dibenarkan secara syar’î
hukumnya haram.
2. Pengawetan jenazah untuk kepentingan penelitian
dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Penelitian dimaksud bermanfaat untuk Ijtihad baru
pengembangan keilmuan, mendatangkan
161