Skripsi
Oleh:
NIM: 1111032100026
FAKULTAS USHULUDDIN
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
PEDOMAN TRANSLITERASI
ا A ط ṭ
ب b ظ ẓ
ث ts غ hg
ج j ف f
ح ḥ ق q
خ kh ك k
د d ل l
ذ dz م m
ر r ن n
ز z و w
س s ه g
ص ṣ ي y
ض ḍ ة h
Vokal Panjang
barA ansonodnr
آ Ā
ٳى Ī
أو ū
iv
ABSTRAK
Fathimah Albatul A
1111032100026
Sembahyang dalam Agama Hindu, Kristen dan Islam menurut Frithjof Schuon
Manusia menyembah Tuhan dengan berbagai cara, akan tetapi tidak
semua orang benar-benar memahami apa makna dari tindakan yang dilakukannya.
Banyak orang menjalankan sembahyang tapi tidak benar-benar sembahyang; salat
tapi tidak benar-benar salat dan berdoa tanpa menghubungkan hatinya dengan Tuhan.
Sembahyang (Salat dan doa) menjadi sebuah tindakan yang dilakukan tanpa makna
dan karenanya kosong. Manusia tidak lagi merasa perlu memahami apa makna salat
dan mengapa kita perlu menghadap Tuhan beberapa kali dalam sehari dan bagaimana
seharusnya kita melakukannya di hadapan Tuhan.
Membicarakan tentang cara manusia menyembah Tuhan menjadi
tantangan tersendiri bagi penulis, karena bukan hanya berawal dari asumsi bahwa
eksistensi manusia mengharuskannya untuk melaksaanakan sembahyang, bahkan
manusia bergantung pada sembahyang, tetapi tidak semua orang mampu
menyadarinya.
Frithjof Schuon seorang sufi dan filsuf di abad 21, dalam berbagai
tulisannya menekankan tentang perlunya melaksanakan sembahyang sebagai bentuk
pertanggungjawaban kita atas kehidupan yang dianugerahkan Tuhan kepada kita.
Dalam hal ini, Schuon membagi sembahyang menjadi tiga yaitu sembahyang
personal (doa), sembahyang kanonis (sembahyang yang tata cara dan bacaannya
sudah ditentukan), dan sembahyang kalbu (meditasi dan menyebut nama Tuhan
berkali-kali).
Pada praktiknya, dalam masing-masing agama terdapat ketiga bentuk
sembahyang tersebut, misalnya dalam Hindu terdapat doa, puja trisandhya dan japa
yoga; dalam Kristen ada doa, brevir (liturgia horarum) dan Doa Yesus (Doa Bapa
Kami) dan Salam Maria; sementara dalam Islam terdapat doa, salat dan zikir. Dengan
demikian teori Schuon tentang tiga kategori sembahyang memang terbukti. Dan
penulis yakin ketiga kategori sembahyang tersebut juga terdapat dalam ajaran agama-
agama lain selain yang telah diteliti oleh penulis.
v
KATA PENGANTAR
vi
7. Kepada suami, Ali Ahmad, yang hanya karena dia lah skripsi ini bisa selesai.
Terima kasih untuk idenya, untuk diskusinya, untuk malam-malam yang
panjang, untuk siang yang dihabiskan bersama Rumy, untuk doa-doa yang
dipanjatkan, untuk cinta dan kasih sayang tiada putus. I’m more than grateful
to have you in my life.
8. Kepada anak lelakiku, my bundle of joy, my east and west, my sonshine that
shining so bright. I love you beyond words, thank you for coming in my life
and complete me, complete us.
9. Adik-adik penulis Mahdiya, Sayyida dan Alifah yang selalu menyemangati
dan merindukan ... [Rumy].
10. Teman-teman seperjuangan hingga detik-detik terakhir yang berbagi suka dan
duka dalam proses penulisan ini, Noviah, Annisa Fachradiena, Uci, Enis,
Arip, Ashly, Bela, dan semua teman seperjuangan, penulis ucapkan terima
kasih atas kebersamaannya.
Tak lupa, penulis memohon maaf atas kekurangan dan kesalahan penulis selama
ini. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa, setulus hati penulis haturkan
permohonan maaf kepada pihak-pihak yang tersakiti oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa karena keterbatasan penetahuan dan kemampuan
penulis, hasil skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga skripsi ini
memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi siapa pun yang
membacanya.
vii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................6
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................6
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................................7
E. Metodologi Penelitian ............................................................................ 8
F. Sistematika Penulisan .............................................................................13
viii
2
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 88
B. Saran-saran .............................................................................................90
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................92
ix
BAB I
PENDAHULUAN
Spiritual realization is theoretically the easiest thing and in practice the most difficult
thing there is. It is the easiest because it is enough to think of God. It is the most difficult
because human nature is forgetfulness of God.
[Frithjof Schuon]
Dalam KBBI kata sembah1 memiliki dua arti: (1) pernyataan hormat dan khidmat
(dinyatakan dng cara menangkupkan kedua belah tangan atau menyusun jari sepuluh,
lalu mengangkatnya hingga ke bawah dagu atau dng menyentuhkan ibu jari ke hidung);
dan (2) kata atau perkataan yg ditujukan kpd orang yg dimuliakan. Dalam KBBI ini,
kata sembah berlaku umum tidak hanya bermakna pemujaan terhadap Tuhan
melainkan juga tindakan menghormati orang lain. Namun demikian, kata sembahan
berarti pujaan; yang disembah, sehingga bisa merujuk pada tuhan atau dewa yang
1
Tim Redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008, h. 1259.
1
2
posisinya lebih tinggi dibandingkan. Sementara kata Hyang dikenal dalam tradisi
berbagai bahasa yakni bahasa Melayu, Jawa, Kawi, Sunda, dan Bali. Hyang merujuk
pada suatu keberadaan spiritual tak kasat mata yang memiliki kekuatan supranatural.
Sementara kata sembahyang dalam KBBI memiliki dua makna: (1) (dalam
Islam) salat, dan (2) permohonan (doa) kepada Tuhan. Arti kedua dari kata ini
permohonan (doa) kepada Tuhan menunjukkan bahwa kata sembahyang dapat berlaku
umum, tidak hanya terbatas digunakan oleh orang Islam untuk menggantikan kata
salat. Dan pada praktiknya dalam berbagai tradisi keberagamaan di Indonesia, kata
sembahyang merujuk pada upacara pemujaan Tuhan yang tidak terbatas dalam satu
agama saja, melainkan dalam berbagai tradisi agama. Seperti dalam agama Hindu,
terjemahan dari kata prayer. Frithjof Schuon sendiri menggunakan kata prayer yang
merujuk pada peribadatan dan pemujaan yang dilakukan oleh manusia terhadap Tuhan
dalam forma yang berbeda-beda. Artinya tidak terbatas pada forma peribadatan suatu
agama tertentu. Prayer sendiri menurut Schuon terbagi menjadi tiga yaitu personal/
individual prayer, canonical prayer, dan prayer of the heart (yang di dalamnya
dalam salah satu Esai yang berjudul “Modes of Prayer,” yang dihimpun oleh James S.
2
Wikipedia bahasa Indonesia, yang diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Hyang, pada Rabu 14
Maret 2018 pukul 9:25 WIB.
3
Cutsinger dalam sebuah buku berjudul Prayer Fashions Mans: Frithjof Schuon on
Spiritual Life.
The most elementary mode of prayer--of contact between man and God--is
no doubt prayer in the most ordinary sense of the word, for this is the direct
expression of the individual, of his desires and fears, his hopes and gratitude.
This prayer is however less perfect than canonical prayer which, for its part,
has a universal character due to the fact that God is its author and that the
subject, in reciting it, does so not as a particular individual, but in his
capacity as man, the human species; also this prayer contains nothing which
does not concern man--every man--and this is as much as to say it includes,
'eminently' or in addition, all possible individual prayers; it can even render
them superfluous, and, in fact, the Revelations permit or recommend
individual prayer, but do not impose it. Canonical prayer shows its
universality and its timeless value by being very often expressed in the first
person plural, and also by its preference for using a sacred or liturgical, and
therefore symbolically universal, language, so that it is impossible for
whoever recites it not to pray for all and in all.3
manusia dan Tuhan adalah sembahyang dalam makna yang paling sederhana, yaitu
harapan dan syukurnya. Walaupun sembahyang personal ini tidak lebih sempurna
sebagaimana adanya; dan dalam sembahyang ini tidak terkait apa pun yang tidak ada
hubungannya dengan manusia, sehingga sembahyang kanonis ini dapat disebut juga
sembahyangnya manusia.
3
Frithjof Schuon, “Modes of Prayer” dalam Prayer Fashion Man: Frithjof Schuon on Spiritual Life, ed.
James S. Cutsinger, (Bloomington: World Wisdom, 2006), h.57.
4
Integration of the Soul” yang dibukukan dalam The Essential Seyyed Hossein Nasr,
All devout Muslims pray five times a day. That is in itself a miraculous
occurrence, to have so many hundreds of millions of people systematically
breaking their daily routine of life—we call it life but it is really
daydreaming—five times a day to stand before the Absolute, before the One.
Those canonical prayers are the foundation of all other forms of prayer.4
Seyyed Hossein Nasr mengemukakan bahwa salat, dalam hal ini adalah
sembahyang kanonis dalam tradisi Islam, menjadi fondasi bagi seluruh forma
ketaatannya pada Tuhan. Lima kali sehari umat Islam diwajibkan untuk menghentikan
hadapan Tuhan lima kali sehari pun, jiwanya masih dapat jatuh pada kealpaan akan
Tuhan.
Forma lain dari sembahyang yang disebutkan Schuon adalah Prayer of the
Heart, sembahyang kalbu. Yang secara umum merupakan penyatuan dari dua aktivitas
But the soul can fall into forgetfulness, even if it turns five times a day to
God. So the Sufis try to expand the experience of prayer to what can be
called, in its highest form, the prayer of the heart, whose practice, ideally, is
to fill all times of the day and even the night when one is asleep, in perpetual
prayer.5
juga intisari sembahyang, yaitu zikir atau invocation/ remembrance. Yaitu penyebutan
4
Seyyed Hossein Nasr, “The Integration of The Soul” dalam The Essential Seyyed Hossein Nasr, ed.
William Chittick, (Bloomington: World Wisdom, 2007), h.80
5
Seyyed Hossein Nasr, “The Integration of The Soul”, h.80
5
berulang-ulang Asma Tuhan, sehingga kita menyatu dengan nama tersebut. James
ini merupakan puncak metode spritual yang diajarkan Schuon dan merupakan bentuk
tetapi esensinya bukan terletak pada kesinambungan makna dari apa yang dikatakan,
dengan Tuhan dengan berbagai forma. Praktik peribadatan ini unik dalam setiap
Dalam agama Islam, kita mengenal doa, salat dan zikir sebagai metode
peribadatan manusia terhadap Tuhan. Dalam tradisi Katolik, dikenal Ibadah dan Misa
(liturgi) dan Doa Bapa Kami (Jesus Prayer), juga dalam tradisi Kristen Ortodoks
(minchah) dan evening prayer (arvith or maariv) dan juga Shema (invocation). Ada
juga Nembutsu dari Jodo Buddhisme (Pure Land Buddhism) dan berbagai bentuk
6
Japa-Yoga dalam tradisi Hinduisme, di mana Nama Rama dan Krishna ditemukan
tersebut, penulis tertarik untuk mengelaborasi lebih dalam lagi tentang kaitan antara
gambaran utuhnya, penulis menekankan pada Kristen Ortodoks dan atau Katolik), dan
Hindu. Serta bagaimana titik temu dalam praktik sembahyang tersebut dilihat dari
berikut:
7
mengomparasikannya.
penulis menemukan beberapa tulisan baik itu tesis, disertasi atau buku-buku yang
Filsafat Agama, yang ditulis oleh Nazwar sebagai tesis pada Program Studi Ilmu
Diterbitkan pada Jurnal Harmoni (Jurnal Multikultural & Multireligius) Vol 11, No. 4,
Oktober-Desember 2012.
atas Pemikiran Frithjof Schuon) oleh Abdullah Muslich Rizal Maulana (Alumni Prodi
Dinar Dewi Kania (Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor), diterbitkan pada Jurnal
V. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
A. Kualitatif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.6
B. Deskriptif Analitik
2. Pendekatan Penelitian
6
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung,: Remaja Rosdakarya, 2002), h.9.
9
tradisi ritual sembahyang dalam Agama Islam, Kristen dan Hindu untuk
tersebut. Selain itu, tulisan ini juga berupaya mencari titik temu ketiga agama
pandangan Schuon tidak pernal lepas dari gagasanyang telah hidup sejak
zaman dahulu.
7
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama: Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga
Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.16.
8
Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, h.25
10
3. Sumber data
Dalam menuliskan skripsi ini penulis menggunakan sumber data primer dan
sumber data sekunder. Sumber data primer adalah buku-buku atau tulisan-tulisan
yang langsung berkaitan dengan subjek yang penulis ambil yaitu sembahyang dalam
1. Primer
himpunan tulisan Frithjof Schuon tentang sembahyang Dalam buku yang diedit
oleh Prof. James Cutsinger ini, Schuon menulis tentang sembahyang sebagai
pray)”.
11
Sumber lain yang digunakan dalam skripsi ini adalah The Fullness of God:
Frithjof Schuon on Christianity. Satu lagi kumpulan esai yang dikumpulkan dan
disunting oleh James S. Cutsinger. Buku ini memuat esai-esai yang terkait
esai yang dikumpulkan dan disunting oleh James S. Cutsinger. Buku ini
memuat esai-esai yang terkait dengan tradisi Kristiani seperti penjelasan tentang
The Father, Kunci-kunci untuk memahami Bibel, Bunda Maria, dan makna
simbol salib.
terpenting tentang Islam yang pernah ditulis oleh Frithjof Schuon di antara
semua buku yang ditulis oleh orang-orang Barat tentang Islam. Buku ini
merupakan buku yang dapat diterima secara luas oleh umat Muslim. Terbagi ke
dalam empat bab, buku ini membahas tentang Islam, Al-Quran, Penjelasan
berjudul The Vedanta dan A View of Yoga penulis jadikan sumber primer
Hindu.
12
2. Sekunder
tambahan kepada penulis untuk melihat pemikiran Schuon secara lebih jelas
dan mendasar.
Merupakan sebuah kumpulan esai yang ditulis oleh pemuka berbagai agama di
dunia, dikumpulkan dan diedit oleh Patrick Laude. Tulisan ini berupaya
mana Nama Tuhan memenuhi kehidupan seseorang. Dan tradisi ini tidak hanya
berkembang pada satu agama tertentu saja, melainkan dalam berbagai agama.
Tulisan-tulisan dalam buku ini, ditulis sendiri oleh para pelaku/ penganutnya,
sehingga menjadi salah satu rujukan utama dalam penelitian ini. Laude
Rene Guenon yang berisikan pengenalan terhadap filosofi dan tradisi dalam
Agama Hindu. Dalam buku ini terbagi ke dalam empat bagian, Bagian pertama
kedua lebih spesifik pada karakteristik umum pemikiran Timur; dan bagian
13
tulisan ini di antaranya adalah: The Essential Frithjof Schuon, Frithjof Schuon
Life and Teaching, Advise to the Serious Seeker: Meditations on the Teaching of
Frithjof Schuon. Ini merupakan buku yang ditulis oleh James Cutsinger
spiritual seseorang.
keseluruhan penelitian ini terdiri atas lima bab. Pada bab pertama, bab pendahuluan,
dikemukakan tentang latar belakang topik kajian, signifikansi dan metodologi yang
akan diterapkan. Bab ini penting untuk melihat secara singkat kontur pembahasan
Kemudian, pada bab kedua, akan diuraikan biografi Frithjof Schuon dan
dan dewasa, latar belakang pemikiran yang mendalam tentang Tuhan dan agama.
modern.
Selanjutnya pada bab ketiga penulis membagi dalam dua sub bagian, yaitu
bab ini, penulis akan menguraikan kedalaman pendapat Schuon tentang sembahyang,
invokasi.
Dan pada bab tiga bagian B, berisi uraian teoritis tentang tulisan ini.
Setelah melihat bagaimana latar belakang pemikiran dan kehidupan Schuon, serta
akan mulai menganalisis dari agama Islam yang mana pembagian ketiganya tampak
cukup jelas yakni doa, salat dan dzikir. Kemudian penulis akan masuk ke agama
Kristen secara umum, artinya yang dibahas terutama adalah ajaran agama yang
Protestan, dan sebagainya. Penulis akan berusaha menjabarkan hasil analisis tentang
bagaimana prosesi liturgi dan peranan Doa Bapa Kami (Jesus Prayer) dalam tradisi
keagamaan Kristen. Serta praktik sembahyang tujuh waktu dan Hesychasm dalam
dalam tradisi Hindu. Agama tertua ini tentu saja memiliki titik temu dengan dua
ajaran agama yang sebelumnya, tetapi tentu saja memiliki ciri khasnya sendiri. Ada
15
puja dan yoga dalam ajaran agama Hindu. Yang akan penulis uraikan adalah
bagaimana makna puja itu dan kaitannya dengan sembahyang dalam pandangan
Schuon.
Schuon terhadap spiritualitas manusia di era modern ini. Pertama adalah bagaimana
dan Tuhan dan yang kedua adalah bagaimana pengaruhnya terhadap hubungan antara
sebelumnya. Dalam bab ini penulis akan berusaha menyimpulkan dari penjelasan
seluruh bab yang sebelumnya. Bab ini berisi kesimpulan dan masukan untuk kajian
selanjutnya. []
BAB II
metafisikanya dan fakta bahwa ia adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa
sophia perennis1 ada pada inti setiap agama, maka tampak aneh ketika kita hanya
karakternya dan juga bagian dari posisi intelektual dan spiritualnya untuk tetap
mengucilkan diri dan menjaga jarak dari keriuhan dunia. Karya-karyanya menggema
di Timur dan Barat, sementara ia sendiri menolak untuk mengajar atau memberikan
kuliah publik.2
berbagai bahasa, juga menuai banyak pujian dari umat Islam selama bertahun-tahun.
Seyyed Hossein Nasr, menyebutkan bahwa karya Schuon ini merupakan, “most
1
Istilah sophia perennis atau philosophia perennis (Filsafat Perenial) merupakan totalitas kebenaran
primordial dan universal yang formulasinya tidak termasuk dalam sistem partikular mana pun (agama mana pun).
Schuon menegaskan dalam
2
Seyyed Hossein Nasr, “Who is Frithjof Shcuon” dalam The Essential Frithjof Schuon, (Bloomington, Ind:
World Wisdom, 2005), h. 50
3
Harry Oldmeadow, “The Heart of the Religio Perennis: Frithjof Schuon on Esotericism”, h.3
16
17
important work on Islam and among the books written by a Westerner on Islam, [this
Martin Lings menulis sebuah ulasan tentang buku ini, juga menyatakan
bahwa dalam karyanya ini (Understanding Islam) Frithjof Schuon tidak memberikan
banyak deskripsi tentang Islam, ataupun mengapa Muslim meyakini Islam, yang
mana membuat karya ini benar-benar langka. Bahkan buku ini sangat kaya dengan
referensi dari berbagai agama, mulai dari Hinduisme dan Buddhisme, hingga ajaran
Kristen, dan hampir setiap kali membahas tentang doktrin atau praktik peribadatan
dalam Islam selalu diperluas dengan menyebutkan ajaran apa yang berhubungan
Dalam penulisan biografi ini, penulis tidak akan terlalu detail menguraikan
perjalanan intelektual dan spiritual Schuon agar dapat sedikit lebih memahami
***
adalah seorang pemain biola dan seorang profesor di Basle Conservatory, merupakan
keturunan Swabian yang berdarah asli Jerman. Sementara ibunya, Margarete Boehler,
dengan nama Father Gall dan menghabiskan waktunya di Notre Dame de Scourmont,
Belgia.
meninggalnya sang ayah, yang setelahnya ibunya yang merupakan keturunan Alsatia
untuk diajar dengan pendidikan Perancis yang karenanya ia sangat menguasai kedua
pertamanya di bidang seni yang senantiasa ia sukai sejak kecil meskipun ia tak pernah
Sejak kecil Schuon juga telah sangat tertarik pada dunia Timur, pada
Plato di samping Meister Ekchart bahkan ketika usianya masih sangat belia, dan ia
khususnya yang berasal dari Jepang dan Timur Jauh. Dalam salah satu bukunya ia
bercerita tentang pertama kali ia melihat patung Buddha, sebuah patung tradisional
dari penjelmaan Spirit. Patung tersebut berada di sebuah museum etnografis. Terbuat
dari kayu yang sudah disepuh, diapit dua patung Bodhisattwas: Seishi dan Kwannon.
Di buku itu Schuon bercerita dengan cara yang tak biasa. Pengalaman tersebut ia
lukiskan dengan ungkapan “veni, vidi, victus sum”: aku datang, aku melihat, dan aku
menang.9
pemahaman Schuon yang luar biasa tentang berbagai struktur kemasyarakatan dan
keagamaan tradisional:
7
Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h.51
8
Harry Oldmeadow, “Traditionalism and the Sophia Perennis”, h.203
9
Oldmeadow, “Traditionalism and the Sophia Perennis”, h.202
10
Oldmeadow, “Frithjof Schuon dan Religio Perennis di Timur dan Barat”, h.10 dimuat dalam Zine
Pondok Tradisi, Edisi X Juni MMXV, alih bahasa oleh Ali Ahmad.
20
militer selama satu setengah tahun. Di Paris, ia tak hanya bekerja sebagai desainer
tetapi juga mulai mempelajari bahasa Arab di sebuah masjid di Paris. Ia juga terpapar
jauh lebih intens dari sebelumnya terhadap berbagai bentuk seni tradisional, terutama
intelektual dan artistik terhadap dunia tradisional dan diikuti dengan kunjungan
pertama Schuon ke Aljazair pada tahun 1932.11 Afrika Utara menjadi saksi bisu bagi
sedikit banyak pola kehidupan tradisionalnya yang utuh. Perjalanan ini menandai
langsung pertamanya dengan dunia Islam, yang membawanya mendapatkan ilmu dari
tangan pertama dan keintiman dengan tradisi Islam, termasuk Sufisme, di antaranya
sufi agung Syaikh al-‟Alawi yang ia temui. Pada perjalanan keduanya ke Afrika Utara
pada 1935, ia tidak hanya mengunjungi Aljazair, melainkan juga Maroko, sementara
dengan Guenon, yang dengannya ia telah saling berkirim surat selama beberapa
tahun.
tanah yang selalu ia cintai dan spiritualitasnya telah menarik perhatiannya sejak masa
11
Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h.53
21
militer. Setelah beberapa bulan berperang di sisi Perancis, ia ditangkap oleh pasukan
menariknya masuk dalam jajaran pasukan Jerman karena latar belakang Alsatian yang
dimilikinya. Tetapi ketika tentara Nazi juga mengancam keturunan Alsatian di tentara
Jerman, ia lantas melarikan diri ke Swiss. Di negara ini ia dipenjara sebentar sampai
akhirnya diberikan suaka. Ia tinggal di kota Lausanne dan beberapa tahun kemudian
pada tahun 1949, ia menikahi seorang gadis keturunan Jerman-Swiss dengan latar
terhadap agama dan metafisika, juga merupakan seorang pelukis berbakat. Di sini
pula lah ia menulis sebagian besar dari karya-karyanya dan ia dikunjungi oleh banyak
sarjana dan pemikir di bidang agama-agama terkenal dari Timur dan Barat. Di
gunung-gunung di tanah ini, untuk menghirup udara segar di pagi hari, adakalanya ia
juga melakukan perjalanan ke negara lain. Perjalanan ini termasuk juga kunjungan
rutin ke Maroko, dan kunjungan ke Turki pada tahun 1968 di mana ia menghabiskan
mengunjungi suku Indian di Paris dan Brussel pada tahun 1950-an. Pada kunjungan
12
Harry Oldmeadow, “Frihtjof Schuon dan Religio Perennis di Timur dan Barat”, h.12.
22
pertama mereka ke Amerika Utara di tahun 1959, keduanya secara resmi diadopsi ke
dalam keluarga Red Cloud dari suku Lakota, sebuah cabang marga Sioux yang
Amerika Utara, kecintaan Schuon kepada alam menjadi semakin dalam. Kecintaan itu
suku Indian sebagaimana penjelasan yang terperinci tentang ajaran tradisional mereka,
ini.
Tengah untuk menjalin silaturahmi dengan para pemuka tradisi agama-agama besar.
seringkali dituliskan secara superfsial dan simplistis. Tetapi tidak dengan tulisan
13
Untuk beberapa catatan tentang pengalaman pribadi Schuon bersama Plains Indian, lihat F.Schuon,
The Feathered Sun, Bag. 2&3. Schuon, Coomaraswamy, dan Joseph Epes Brown, dan seniman Paul Goble, adalah
tokoh-tokoh yang menjadi garda depan dalam upaya menjaga dan memelihara warisan spiritual Plains Indian
yang begitu berharga. Lihat R. LIpsey, Coomaraswamy: His Life and Works, h. 227-228.
23
korpus yang sangat mengagumkan.14 Misalnya, karya Schuon tentang tradisi agama
tertentu pasti diakui dan diapresiasi oleh para cendekiawan dan pemeluk tradisi
terkait.
beragam sudut pandang yang tepat untuk diterapkan pada berbagai fenomena yang
manifestasi agama dan tradisi sapiensial secara ensiklopedis, melainkan melalui cara
yang dapat kita sebut intuitif. Seyyed Hossein Nasr menuliskannya seperti ini:
Ada beberapa buku Schuon yang membahas tradisi Islam dan Kristen
“Saya yakin karya Schuon ini adalah karya paling luar biasa yang pernah ditulis
dalam bahasa Eropa, karya tentang mengapa umat muslim meyakini Islam dan
mengapa Islam menawarkan umat manusia segala sesuatu yang dibutuhkannya
baik secara relijius maupun spiritual.”16
14
Untuk bibliografi tulisan-tulisan Schuon yang lebih lengkap sampai tahun 1990, lihat Religion of the
Heart, disunting oleh S.H. Nasr dan W. Stoddart, h.299-327.
15
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, (New York: State University of New York Press, 1989),
h.97.
16
Seyyed Hossein Nasr, “Introduction to the First Edition” dalam buku Ideals and Realities of Islam-New
Revised Edition, (Chicago: ABC International Group, Inc, 2000) ,h.xxv.
24
Pujian Nasr bahkan lebih tinggi lagi ketika berkenaan dengan karya-karya
Schuon belakangan.17
Seluruh karya Schuon memang memiliki nuansa sufistik, tetapi ini bukan
berarti karyanya terbatas pada pusaka Islam. Dua karya utamanya fokus berbicara
tentang agama Hindu dan Buddha: Language of the Self (1959) dan In the Tracks of
Buddhism (1969). Ia juga sering merujuk spiritualitas Indian Merah, tradisi Cina, dan
secara utuh. Selain itu, ia juga memasukkan forma-forma agama dan mitologi, serta
dapat melihat Schuon melalui karyanya yang pertama muncul dalam bahasa Inggris,
The Transcendent Unity of Religions (1953), sebuah karya yang membuat T. S. Eliot
bertutur,
“Tidak pernah aku menemukan karya studi komparatif antara agama Oriental
dan Oksidental yang lebih mengesankan [dari karyanya]”.18
17
Lihat pendahuluan untuk buku F. Schuon: Dimensions of Islam dan Islam and the Perennial Philosophy,
juga tulisan Nasr tentang Schuon dalam buku The Essential Frithjof Schuon. Dalam buku terakhir, Nasr
menuliskan riwayat Schuon dan pandangannya tentang tulisan-tuisan Schuon secara rinci dan detail. Termasuk
sekilas memberikan komentar terahdap masing-masing karya Schuon.
18
Komentar dalam sampul belakang buku Transcendent Unitiy of Religion, (Wheaton, IL: Quest Books
Theosophical Publishing House, 1984).
25
aforistik yang meliputi pembahasan Vedanta dan seni sakral, serta tentang meditasi
kebajikan spiritual (spiritual virtues). Buku Gnosis: Divine Wisdom (1959), Logic and
tahun lalu Schuon mengatakan bahwa Logic and Transcendence adalah karyanya
yang paling representatif dan inklusif. Mungkin saat ini pernyataan tersebut juga tepat
jika ditujukan untuk buku Esoterism as Principle and as Way, di mana penjelasan
Schuon yang paling seksama tentang karakter esoterisme dapat ditemukan di sana,18
dan untuk buku Survey of Metaphysics and Esoterism (1986) yang merupakan karya
mengeksplorasi beberapa modalitas spiritual dan relijius. Tetapi selain itu buku
tersebut juga memuat “Orthodoxy and Intelectuality,” sebuah esai terpenting untuk
memahami posisi tradisionalis. Buku Light on the Ancient Worlds (1965) memuat
monastisisme, dan religio perennis. Beberapa karya Schuon terakhir adalah To Have
a Center (1990), Roots of the Human Condition (1991), The Play of Masks (1992),
esensial dalam pengertian bahwa dalam karya tersebut selalu menuju bagian inti dari
26
pembahasan dan hanya terkait dengan esensi apa pun subjek yang dibahas.
Membaca karya-karyanya seperti dibawa dalam sebuah perjalanan dari kulit menuju
inti, yang pada awalnya intelektual dan spiritual, dari lingkaran luar menuju titik
pusat lingkaran.
itu universal, melainkan juga karena bahkan dalam level bentuk ia tidak membatasi
dirinya pada sebuah wilayah partikular, periode, atau wilayah tertentu semata.
Perspektifnya benar-benar universal dalam arti mencakup semua tatanan realitas dari
Ilahiah hingga mansia dan pada level dunia manusia sejauh kepercayaan ajaran
monoteisme Ibrahim dan warisan shamanic Shintoisme dan agama Indian Amerika
Utara.19
arti bahwa dalam tulisannya secara praktis juga termasuk keseluruhan gunungan ilmu
partikular seperti teologi formal, antropologi, psikologi, yang merupakan kaki gnung
lengkap dengan jalan setapaknya yang membawa dari kaki gunung ini menuju puncak
yang agung.
berhubungan yang membuat daya pandang untuk melihat keseluruhan yang utuh
tampak tidak mungkin bagi mereka yang memulai (perjalanan) dari bagian bukan dari
19
Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h. 60.
27
keseluruhan dan mereka yang tetap hanya mengakar pengetahuan dari tatanan empiris,
bukan pada multiplisitas yang berserak di dunia indra tetapi pada kesatuan di tataran
intelek yang Schuon pahami ada pada pengertian tradisional dan sebagaimana yang
tradisional dan ahli logika, Ahli di bidang perbandingan agama, penyingkap seni dan
peradaban tradisional, ahli dalam ilmu tentang manusia dan masyarakat, guru spiritual
dan seorang kritikus dunia modern bukan hanya pada tataran praktis melainkan juga
kuno dan abad pertengahan sebaikdunia modern, literatur Jerman sebaik arca Hindu.
Dari sudut pandang ilmu pengetahuan ilmiah yang tajam dikombinasikan dengan
tulisan dengan sifat yang mencakup keseluruhan dan komprehensif yang sama dan
karya ini menunjukkan sebuah model yang unik bukan hanya pada kesatuhan Prinsip
Ilahi, tetapi juga kesatuan dalam keragaman penerima pesan yang disampaikan dari
28
Prinsip Ilahi dalam forma agama dan peradaban dan budaya yang manifestasi dari
prinsip-prinsip tersebut.
prinsip-prinsip yang sudah dikemukakan oleh Guenon. Akan tetapi, guru spiritual
Schuon bukanlah Guenon, melainkan Syekh Ahmad Al-„Alawi, seorang suf dari
Aljazair dan pendiri tarekat „Alawiyyah. (Guenon memang tidak pernah menjadi
seorang guru spiritual atau mursyid).20 Tentang wali kontemporer ini Schuon pernah
menulis:
baik itu studi agama ataupun agama itu sendiri. Dalam perspektif Schuon, kedua fokus
“for a world, in which the journey accross religious frontiers has already
become a profound reality and where for many people the study of religions
affects in one way or another their own participation in and understanding of
religion in itself.”22
agama, yang merupakan kehendak Langit, menekankan baik kesatuan batin dari
20
Martin Lings, A sufi Saint of the Twentieth Centruy, dan M. Valsan, “Notes on the Syaikh al-’Alawi,
1869-1934.” Pernah disebutkan secara keliru bahwa Schuon adalah “murid” Guenon dan/ atau Coomaraswamy.
Misalnya, Lihat E.J. Sharpe, Comparative Religion, h.262, dan R. C. Zaehner, At Sundry Times, h.36, catatan kaki 2.
Dan perlu diingat bahwa “mengikuti Guenon bukan berarti mengikuti pribadinya, melainkan mengikuti cahaya
kebenaran tradisional _”; B.Kelly, “Notes on the Light of the Eastern Religions,” h.160-161. dikutip dalam buku
Harry Oldmeadow, Frithjof Schuon and the Perennial Philosophy, (Bloomington: World Wisdom, 2010), h.
21
Oldmeadow, “Frithjof Schuon dan Religio Perennis..”, h.11.
22
Lihat, Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h.5
29
di dalam agama secara utuh adalah dengan hidup dalam Kebenaran dan karenanya
dalam agama apa pun, dan bagaimana masing-masing agama adalah absolut bagi
mereka yang menghidupkan agama tersebut dan hanya Realitas Absolut yang ada
bagi Schuon di sini adalah segala sesuatu yang mengikat manusia pada Tuhan.
Schuon menekankan pada keterkaitan terhadap Sang Asal baik dalam agama yang
menekankan pada agama perenial, atau religio perennis, yang disebut juga agama
kalbu, yang terletak di pusat setiap agama partikular dan juga terletak pada pusat
dan merupakan substansi inti yang darinya manusia diciptakan. Jika manusia
23
Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h. 7
BAB III
Prayer
“Grandfather, hear my words, I talk to Thee:
Look down, take pity, not alon eon me
But on my people,” prays a noble mind.
In this a deeper meaning thou wilt find.
ajaran-ajaran suci yang telah dipraktikkan oleh para leluhur kita dan diajarkan
berlansung sepanjang waktu, tidak tergerus oleh zaman dan tidak terbatas oleh
sekat ruang. Ajaran-ajaran ini menjadi jalan bagi manusia untuk kembali kepada
Tuhan.
bersembahyang, dan berzikir tidak membuat satu agama dan lainnya berbeda
30
31
berasal dari Tuhan dan terjadi hanya atas kehendak-Nya. Karenanya meskipun
dengan segala perbedaan tersebut, agama tetap dapat membawa manusia kepada
Tuhan.
perbedaan mengenai konsep dan teori ketuhanan, berbeda pula cara manusia
cara manusia menyembah Tuhan berbeda sesuai dengan firman Tuhan dalam kitab
suci yang dianutnya. Dalam agama Hindu yang disebut sebagai agama formal
tarian-tarian dalam waktu yang ditentukan dalam kitab suci. Dalam tradisi Yahudi
dengan bentuk yang sudah ditentukan Tuhan dan diajarkan oleh pembawa wahyu
Ilahi, mulai dari salat hingga zikirnya. Sementara dalam tradisi Buddha, manusia
menyembah Tuhan dalam zikir tanpa putus, pembacaan doa sepanjang waktu.
Melalui sembahyang komunikasi antar manusia dan Tuhan terbangun dan dengan
1
Michael Oren Fitzgerald, Frithjof Schuon Messenger of the Perennial Philosophy, (Bloomington (Indiana):
World Wisdom, 2010), h.63.
32
Kehendak Ilahi.
2
Michael Oren Fitzgerald, Frithjof Schuon: Messenger of the Perennial Philosophy, (Bloomington: World
Wisdom, 2010), h.191
3
Frithjof Schuon, “Dimension of Prayer”, dalam buku Prayer Fashions Man: Frithjof Schuon on the
Spiritual Life (Bloomington: World Wisdom, 2005), h.2
33
facto kehidupan manusia selalu bergerak menuju zahir dan manuisa cenderung
meninggalkan keduanya, karena pertama, Tuhan hadir dalam diri kita; dan kedua,
segala kemulian dan simbolisme yang ada padanya memiliki kebajikan yang dapat
dunia) tetaplah harus dicapai; karena, jika tidak, maka manusia sama sekali tidak
berhak mendekati hal-hal lahiriah dan hasrat seksual, yang dapat sangat
semestinya manusia pun independen dari dunia. Kehendak bebas adalah anugerah
bagi manusia; hanya manusia semata yang mampu menahan naluri dan nafsunya.
Vacare Deo.
kemampuan berbicara, karena itu kedua dimensi ini harus diaktualisasikan selama
momen pertemuan dengan Tuhan, yang tidak lain adalah pada saat sembahyang
(doa, salat, meditasi, invokasi). Manusia dapat selamat bukan hanya karena
4
Dimensi sembahyang yang dimaksudkan oleh Schuon adalah dimensi-dimensi dalam kehidupan
manusia yang dapat menjadi alasan bagi manusia untuk melakukan sembahyang di hadapan Tuhan. Mengingat
berbagai karunia yang dicurahkan Tuhan dalam kehidupan kita, seyogyanya sembahyang memang menjadi jubah
kita, menjadi baju bagi tubuh kita, sehingga kita layak menyandang gelar pesalat (orang yang selalu salat). Akan
tetapi kenyataannya, kehidupan di era modern ini menjadi jurang pemisah yang sangat lebar bagi manusia untuk
kembali pada Tuhan. Sehingga perlu orang-orang seperti Schuon yang menekankan dengna logis dan runut tentang
siapa kita, dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali. Allah, Allah, Allah.
34
utamanya dan kalbu atau hati nurani kita sebagai agennya. Pekerjaan itu adalah
di tengah kehadiran Tuhan, di tengah Kebahagiaan sejati. Jika kita menyadari ini,
kenyataan bahwa di satu sisi manusia adalah makhluk fana dan di sisi lain
memiliki jiwa yang abadi; manusia harus melewati kematian, dan terutama ia
Prinsip dan ada dimensi sembahyang meditatif yang mgnandung non realitas.
penampakan” tidaklah cukup; penting juga untuk kita mengetahui bahwa “jiwa
tidaklah berbeda dari Brahma”. Kebenaran kedua ini mengingatkan kita bahwa
35
kita tidak hanya memiliki kapasitas inteligensi yang pada dasarnya mampu
mengalami penyatuan subjektif. Di satu sisi, ego terpisah dari Ketuhanan imanen
karena ego adalah manifestasi, bukan Prinsip. Di sisi lain, ego tidak lain selain
ego “bukanlah selain matahari” lantaran refleksi tersebut adalah cahaya surya dan
Jika menyadari hal ini, manusia tidak akan berhenti berdiri di hadapan
Tuhan, yaitu Ia yang transenden sekaligus imanen; dan yang menentukan ruang
lingkup kesadaran kontemplatif kita dan misteri takdir spiritual kita bukanlah kita
melainkan Tuhan.
kepada Tuhan dalam berbagai keadaan. Tuhan berada dalam hati orang mukmin5,
bagi setiap manusia agar mereka berada dalam kebahagiaan, “He who lives in
Dalam buku Prayer Fashions Man, bab “Prayer and the Integration of
5
Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 55, h. 39, Muasssah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
6
Fitzgerald, Messenger of the Perennial Philosophy h. 74
7
Tanpa mengontradiksikan sembahyang dengan kebenaran transenden apa pun, sembahyang memiliki
alasannya sendiri untuk ada dalam eksistensi manusia “Aku”. Dengan kata lain, manusia tidak pernah bisa untuk
menjadi “Aku” dan karena sembahyang adalah tindakan spiritual dari “Aku”, sembahyang harus dilaksanakan
selama individu tersebut ada. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengendalikan
egonya. Frithjof Scuon, “Prayer and the Integration of the Psychic Elements”, Prayer Fashions Man, h.29.
8
Intelek dalam pandangan Schuon tidak sama dengan intelek yang seringkali digunakan dalam tradisi
pemikiran modern yakni akal. Dalam pandangan Schuon, intelek adalah hati, kalbu. Yang dengannya manusia
mempersepsi kebenaran tanpa perlu menganalisisnya. Pengetahuan tentang Tuhan yang hadir dalam kalbu
36
tidak dapat dipahami oleh manusia. Tuhan berbicara kepada manusia melalui
kalbu manusia, karenanya Yesus bersabda, “Kerajaan Tuhan dalam Hati orang
pray]”. Aku ada [dan] karenanya aku sembahyang. Sembahyang memiliki peranan
bergantung pada Tuhan. “The very fact of our existence is a prayer and compels
paling mendalam bukan hanya terletak pada karakter dan kepribadiannya saja,
yang sesungguhnya, dan tanpa paksaan untuk dia melakukan doa-doanya, ia akan
dalam arti membuatnya nyata. Apa yang dimaksud dari pernyataan ini dan
manusia. Schuon pernah menuliskan, “Intellect is divine, first because it is a knower--or because it it not a
non-knower--and secondly because it reduces all phenomena to their Principle...” (“Is There Natural Mysticism”
dalam buku Gnosis: Divine Wisdom). “Allah is known to Himself alone” Schuon mengutip ungkapan Sufi. Ungkapan
ini tampaknya meniadakan manusia dari pengetahuan langsung dan total tentang Tuhan, pada kenyataannya
menunjukkan sifat-sifat intelek murni yang misterius dan esensial; dan formulasi dari ungkapan semacam ini hanya
dapat dipahami melaluihadis: “He who knows his soul knows his Lord.” (“Maya” dalam buku Light on the Ancient
Worlds)
9
James S. Cutsinger, “Introduction”, Prayer Fashions Man, xvi.
10
James S. Cutsinger, Prayer Fashions Man, xvi.
37
pribadi kita untuk dapat menuntut sebuah hak, adalah pertanyaan-pertanyaan yang
must meet God with all that he is, for God is the Being of all, this is the meaning
of the Biblical injunction, to love God with all our strenght.11” Manusia harus
Keberadaan bagi segalanya; inilah makna titah Injil; mencintai Tuhan dengan
seseorang.
tersebut pastilah berdiri sendiri dan tidak mungkin dan tidak bisa menjadi bagian
dari apa yang ditransmisikan. Karena tidak ada cahaya yang dapat merefleksikan
antara kita dengan Tuhan atau permohonan yang kita ajukan kepada Tuhan, dan
hanya pada satu kondisi bahwa sembahyang merupakan yang pertama kalinya dan
11
Ada beberapa ayat yang menegaskan agar manusia mencintai Tuhan dengan segenap hatinya, segenap
jiwanya, segenap kekuatannya dan segenap akal budinya yaitu dalam Alkitab: Matius 22:37; Deuteronomy(Ulangan)
6:5; Lukas 10:27; Markus 12:30;
38
dalam perspektif Schuon. Sebagaimana yang sudah dikenal oleh banyak sarjana,
bertujuan yang pertama dan utama pada eksposisi kebenaran dalam berbagai
levelnya; tetapi doktrin ini tidak bermaksud untuk berada dalam gagasan yang
terpisah dari yang lain: karena, “ini seumpama gagasan kebenaran membalas
dendamnya sendiri, kepada siapa pun yang membatasi dirinya untuk memikirkan
tembok kosong. Ia memiliki sebuah pilihan antara bahasa kebenaran dari forma
mulia dan keheningan dari bebatuan yang kasar; dan untungnya dia tidak
12
Schuon, Prayer Fashions Man, h. 30.
13
Schuon, Prayer Fashions Man, h.59.
14
Reza Shah Kazemi, “Frithjof Schuon and Prayer,” h.92 lihat juga spiritual perspective and human facts,
Faber & Faber, 1954, h.11
15
Schuon, Spiritual Perspective and Human Facts (Bloomington: World Wisdom, 2007) h. 28-29
39
jauh lebih mudah diaplikasikan dibandingkan era modern ini. Di mana zaman
dahulu keyakinan manusia terhadap Tuhan menempati posisi yang sentral dalam
kesadaran manusia dari Sang Akar. Manusia kini berada dalam era kegelapan,
sebagimana dalam keyakinan Hindu Kali Yuga, sehingga upaya manusia untuk
human means to be connected with God. Life has no meaning without this. Prayer,
and also beauty, of course; for we live among forms and not in a cloud. Beauty of
soul first and then beauty of symbols around us.”16 Schuon seringkali mengutip
perintah St. Paul, “to pray without ceasing”.17 Untuk sembahyang tanpa putus.
B. Kategori Sembahyang
LXXII
Three things are sacred to me: firstly Truth;
Then, in its wake, primordial prayer;
And then virtue — nobility of soul which,
19
In God, walks all the paths of beauty.
16
Harry Oldmeadow, Frithjof Schuon and the Perennial Philosophy, h. 305
17
I Thesalonians 5:17
18
Oldmeadow, Frithjof Schuon and the Perennial Philosophy, h. 305
19
Schuon, World Wheel, “Sixth Collection” LXXII, h.111
40
dan sembahyang kalbu atau hati yang merupakan sembahyang paling mulia. Yang
20
masing-masingnya dapat dibedakan melalui subjek yang melakukan
sembahyang: dalam sembahyang personal, subjeknya adalah orang per orang atau
sembahyang invokatif.21
atau doa. Karena doa merupakan ekspresi individu yang langsung, atas hasrat dan
dengan fakta bahwa Tuhan adalah penulisnya dan bahwa subjek yang dibawakan
seutuhnya, species manusia; juga dalam doa ini tidak terkandung apa pun yang
termasuk juga, dengan lebih baik atau sebagai tambahan, seluruh doa individual
yang mungkin.
20
Dalam pengategorian subjek sembahyang ini, dalam beberapa kesempatan, Schuon menyebutkan
empat subjek sembahyang untuk empat derajat sembahyang yakni sembahyang personal, kanonis, meditatif dan
invokatif, sementara dalam kesempatan yang lain, Schuon membagi menjadi tiga, personal, kanonis, dan
sembahyang kalbu. Penulis menekankan pada pembagian tiga jenis sembahyang, sementara meditatif dan invokatif
berada dalam naungan sembahyang kalbu.
21
Reza Shah Kazhemi, Frithjof Schuon and Prayer, h.96
41
diajukan oleh seorang individu, ditujukan pada Tuhan Personal. Seorang individu
Tuhan; bisa saja termasuk, tetapi tidak harus selalu berupa permohonan. Terkait
adalah aktif dalam memurnikan jiwa, karena.. “such prayer is active in the
memiliki berbagai syarat untuk tetap menjaga integritas sembahyang ini, karena
resolusinya dan pujian.”24 “..for the prayer of an individual must be implicitly that
bahwa sembahyang ini bebas dari aturan, karena jiwa manusia--seperti yang
22
Harry Oldmeadow, Virtue and Prayer h.305
23
Schuon, Prayer Fashions Man, h.57-58
24
Schuon, Stations of Wisdom, 1995, h.121
25
Schuon, Roots of the Human Condition, h.43
42
meminta petunjuk dan pertolongan Tuhan; bahwa ini merupakan sesuatu yang
kehidupan (favor of destiny) dalam kehidupan merupakan berkah yang bisa saja
tidak Tuhan berikan kepada kita; dan meskipun manusia selalu memiliki sesuatu
untuk diminta, sama benarnya dengan mengatakan setidaknya selalu ada alasan
untuk bersyukur, yang tanpanya tidak ada sembahyang yang mungkin dilakukan.
untuk memperbaiki diri dari pelanggaran hukum yang kita lakukan; karena
kelemahan kita tidak seharusnya membuat kita lupa bahwa kita bebas;26 dan
terakhir pujian terhadap Tuhan tidak hanya bermakna bahwa kita merelasikan
setiap nilai (yang ada di sekitar kita) tehradap Sang Maha Segalanya, tetapi kita
juga melihat setiap ujian yang kita alami di dunia ini benar-benar layak untuk
menempa jiwa kita dan berguna bagi kehidupan kita, atau dalam kaitannya dengan
sembahyang karena kita tidak dapat melakukan apa pun tanpa pertolongan Tuhan;
sementara perbaikan diri tidak menawarkan garansi apa pun jika kita tidak
26
Secara logis, penyesalan dan resolusi tidak terpisahkan, tetapi penyesalan dapat dirasakan tanpa ada
upaya perbaikan diri, dan ini merupakan keputusasaan, sebagaimana bisa juga perbaikan diri dilakukan tanpa
adanya penyesalan, dan ini melibatkan harga diri, kecuali keberadaannya dibersamai oleh kebijaksanaan.
43
universal”, dan wajib bagi seluruh penganutnya. Bentuk sembahyang ini tidak
melibatkan orang per orang sebagai individu tetapi manusia sebagai manusia itu
jamak, “Bapa kami, Tuhan kami”, sebagai contoh. Manusia beribadah kepada
tempatnya salah dan lupa, untuk manusia tetap teringat dan terikat dengan Tuhan
maka kita perlu melaksanakan sembahyang yang diperintahkan oleh Tuhan. Untuk
selalu mengingat siapa kita sebenarnya, dari mana kita berasal dan ke mana kita
prayer is not only a human discourse; it is also divine, which means that besides
27
Frithjof Schuon, World Wheel, “Sixth Collection” LXIV, h.108
28
Harry Oldmeadow, Prayer and Virtue, h. 306
44
its literal value it has a sacramental import. It is on our level, yet at the same time
beyond us.”29
Yahudi,30 “Dengarlah, Hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa.”
(Ulangan 6:4); dan dalam sembahyang Kristen (Doa Yesus): “Bapa kami yang di
sorga, . . . Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya, dan
ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang
bersalah kepada kami” (matius 6:9, 11-13; Lukas 11:2-4); dan dalam al-Fatihah
umat muslim, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada
Engkaulah kami mohon pertolongan; Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Surat
kanonis dalam suatu agama, jauh dari sekadar saran atau pilihan, melainkan
kewajiban yang benar-benar wajib bagi seluruh pemeluknya yang beriman dan
harus diperlakukan sebagai sebuah kewajiban dalam upaya spiritual setiap orang.
29
Schuon, Prayer Fashions Man, “Appendix: A Sampling of Letters and Previously Unpublished Materials”,
h. 197 (Kalimat ini terdapat dalam surat dari Frihtjof Schuon untuk seorang pengagum Hindu. Bagian lain dari surat
ini telah diterbitkan terlebih dahulu dalam “Invocation of the Divine Name”, Kalyana-Kalpataru, 25:10, October
1961).
30
James S. Cutsinger, “Introduction” dalam buku Prayer Fashions Man, h.xxi
31
James S. Cutsinger menjelaskan hal ini dalam Prayer Fashions Man bab “Introduction” dengan sangat
hati-hati. Dengan menukil ayat-ayat dari kitab suci, menunjukkan bahwa sembahyagn kanonis memang merupakan
ajaran dari kitab yang diturunkan Tuhan kepada umatnya.
32
Frithjof Schuon, Prayer Fashions Man, h.57
45
lekang waktu dengan seringkali diekspresikan sebagai orang pertama jamak dan
juga preferensinya dalam menggunakan bahasa universal sakral atau liturgikal dan
karenanya simbolis, sehingga sangat tidak mungkin bagi siapa pun yang
CXXXIII
The Name of God is the prayer of the heart —
As Bernard said: I love because I love.
Then comes petitionary prayer, and then thanksgiving —
33
Blessed the man who, timelessly, stands before the Most High.
yang mungkin dilakukan oleh seseorang. Dalam sembahyang ini terangkum dua
hal yaitu meditasi atau memusatkan pikiran kita selama waktu tertentu kepada
Tuhan, dan invokasi, merapalkan nama Tuhan berulang kali sehingga kita
bahwa segala sesuatu yang kita lakukan berulang-ulang dipelajari oleh tubuh dan
otak kita dan menjadi bagian dari diri kita. Demikian halnya dengan invokasi atau
mendekat kepada Tuhan. Mendekat di sini bukan dalam pengertian spasial, satu
atau dua langkah lebih dekat kepada sesuatu, melainkan kesadaran kita lebih dekat
dengan Tuhan dan Tuhan tidak pernah lepas dari pikiran kita.
33
Frithjof Schuon, World of Wheels, Fourth Collection, CXXXIII, h.43
46
Ada dua aktivitas yang termasuk dalam sembahyang kalbu ini, yakni
tradisi yang sangat beragam seperti Yahudi, yang dalam upayanya menghormati
keras kecuali oleh Rabi tertinggi di hari Yom Kippur, dan di sekte Buddha Joddho
siapa pun yang mengulang namanya akan mendapatkan berkah dari Tanah
34
Schuon, Prayer Fashions Man, h.xxii
35
Schuon, Prayer Fashions Man, , h. 60.
47
Murni-nya (Pure Land). “Mengapa berbicara dalam jarak?” Tanya Santo Gregory
dari Sinai, merujuk pada berkah Nama Ilahi. “Sembahyang adalah Tuhan, yang
dilafalkan oleh Tuhan sendiri; “invokasi manusia hanyalah efek lahiriah dari yang
eternal dan invokasi batiniah oleh Tuhan.”37 Meister Eckhart: “God is the Word
“It is in the Divine Name that there takes place the mysterious meeting of
the created and the Uncreate, the contingent and the Absolute, the finite
and the Infinite. The Divine Name is thus a manifestation of the Supreme
Principle, or to speak still more plainly, it is the Supreme Principle
manifesting Itself.”41
Jadi, bertolak belakang dengan dua jenis sembahyang tadi, subjek atau
ini--tetapi lebih kepada tindakan ilahi, dan karena alasan inilah Schuon
paling sempurna. Dan yang patut diperhatikan contoh dari praktis ini termasuk
36
Schuon, Prayer Fashions Man, h.xxii merupakan catatan kaki yang diberikan oleh James Cutsinger
dalam tulisannya “Introduction” untuk buku ini. Di sini Cutsinger mengutip G.E.H Palmer, Philip Serrad dan Kallistos
Ware. “Commandments and Doctrines”, dalam buku The Philokalia, (London: Faber and Faber, 1995), Vol IV, h.238.
37
Prayer Fashions Man, “Modes of Prayer” h.61
38
Ini merupakan kata-kata dari Meister Eckhart yang dikutip oleh Whital Perry (editor) dalam buku A
Treasury of Traditional Wisdom, 1005.
39
Schuon, Prayer Fashions Man, h.60
40
Frithjof Schuon, “Universality and Particular Nature of the Christian Religion”, Transcendent Unitiy of
Religions, (Wheaton, IL: Theosopical Publishing House, cetakan kedua 2005), h. 145.
41
Schuon, Transcendent Unity of Religions, h.145. In similar vein, Gershom Scholem, considering the
Kabbalism of Abraham Abulafia, writes that the Name of God is “something absolute, because it reflects the
hidden meaning and the totality of existence” (Major Trends in Jewish Mysticism, 133).
48
Doa Yesus dalam tradisi Kristen, metode zikir dalam tradisi Islam, nembutsu
dalam tradisi Jodo Shinshu (Pure Land Buddhism), dan berbagai bentuk
jappa-yoga dalam Hinduisme, di mana nama Krishna dan Rama dapat ditemukan
di antara berbagai mantra yang dirapalkan. “Building as it were on the two “lower
seekers of every aptitude with that greatest of boons, which is to have arrived at
the goal even while one is still in the midst of the journey.”42
Melalui nama Ilahi manusia sebagai yang dicipta bertemu dengan Yang
Tak Tercipta, yang pada saat bersamaan adalah Yang Maha Mencipta; yang relatif
dengan yang Mutlak, yang terbatas dengan Yang Nirbatas. Nama Ilahi karenanya
death and a meeting with God and places us already in Eternity; it is already
something of God. Quintessential prayer brings about an escape from the world
and from life, and thereby confers a new Divine sap upon the veil of appearances
kita terhadap Yang Mutlak dan karenanya, “perpetuates in the soul and fixes in the
heart, so that it penetrates the whole being and at the same time transmutes and
42
James S. Cutsinger, “Introduction” dalam Prayer Fashions Man, h.xxii.
43
Logic and Transcendence, “Man and Certainty”, h. 265.
49
absorbs it.”44 Sembahyang ini merupakan sembahyang tertinggi dan paling mulia.
yang tidak.”45
Nama Ilahi adalah tempat berlindung ketika badai terjadi, atau pedang
sangatlah penting untuk merasa tenang di dalam nama Ilahi untuk merasa
44
Prayer Fashions Man, “Modes of Prayer”, h. 62.
45
Introduction to Prayer Fashions Man, h. xxi.
46
Prayer Fashions Man, “A Sampling of Letter and Other Previously Unpublished Materials”, h. 188
47
Leo Schaya lahir di Swiss, ia merupakan seorang keturunan Yahudi. Sejak masa mudanya ia
mengabdikan dirinya untuk mempelajari doktrin-doktrin metafisika di TImur dan di Barat, terutama karya-karya
neo-Platonisme, Sufisme dan Advaita Vedanta. Bersama dengan beberapa tradisionalis/ perenialis, Schaya dikenal
atas pemahamannya atas beberapa konsep metafisika yang sulit dan kemampuanya merangkum dan
menginterpretasikan kebijaksanaan kuno dan abad pertengahan untuk pembaca di era modern ini. Sebagai sesama
perenialis Schuon dan Schaya membangun hubungan yang baik, hal ini terlihat dari diskusi mendalam yang mereka
lakukan melalui surat-suratnya.
Beberapa buku yang ditulis oleh Leo Schaya adalah: Sufism: Love and Wisdom (World Wisdom, 2006);
The Universal Meaning of Kabbalah (Fons Vitae; Tra edition, 2004); dan Seeing God Everywhere (contributed Essay)
(World Wisdom, 2004). Dan masih ada buku-buku lain yang ditulis dalam bahasa Perancis.
50
sejalan metode spiritual yang semakin cocok dengan waktu kita. Enam tema
Orang-orang suci itu sendiri menjadi sembahyang, pertemuan antara bumi dan
makna spiritualnya dapat sesuai dengan era modern ini, meskipun demikian ia
berzikir harus memiliki hak terdapat sebuah metode ini, yakni ia harus
menerimanya dari seorang guru spiritual yang juga menerima hak terhadap
pengawasan atau otoritas dari seorang guru spiritual (baik syaikh dalam tradisi
sufi maupun guru dalam tradisi Hindu) dari garis silsilah reguler maupun ortodoks;
jika kondisi ini tidak dipenuhi, orang yang membabi-buta yang menyerahkan
48
Spiritual Perspectives and Human Facts, “The Spiritual Virtues”, h. 228
49
Michael Oren Fitzgerald, Frithjof Schuon Messenger of Perennial Philosophy, h.50. Lihat juga Frithjof
Schuon, Eye of the Heart, “Microcosm and Symbol”, h.52.
51
dirinya untuk mencoba masuk dalam tatanan ini membuka dirinya terhadap reaksi
50
Michael Oren Fitzgerald, Frithjof Schuon Messenger of Perennial Philosophy, h.50
51
Telah dikatakan bahwa Nama Yang Agung menyelamatkan kita,
Tak pandang beratnya dosa yang kita lakukan;
Benar! Bagaimanapun, bagi seorang manusia biasa
Zikir Sang Nama tidak
Tuhan tidak dapat dipercepat dengan kekuatan keajaiban;
Hanya jiwa-jiwa yang mulia yang dibuat-Nya suci
Kita harus mendekati Sang Nama dengan penuhi khidmad
“Kalian tidak seharusnya memberikan yang sakral kepada anjing”
Sederhanalah di hadapan Tuhan--Dia mendengarmu. Tetapi juga:
Jadilah mulia dalam pikiranmu! Jalan Langit menghendakinya.
52
tersebut; perbedaannya, yang lebih penting adalah bahwa meditasi itu objektif
yang sentimental sekalipun, refleksi kehidupan kita, meskipun ini bukan yang
secara prinsip melampaui ego itu sendiri; pikiran kita adalah subjek, yang secara
tegas, inteligensi impersonal, maka manusia dan Tuhan pada saat yang sama,
inteligensi murni menjadi titik persimpangan antara akal manusia dan Intelek
Ilahi.”
52
Schuon, Prayer Fashions Man, h.59
53
tersebut; perbedaannya, yang secara tidak terbatas lebih penting, adalah bahwa
realitas yang pada prinsipnya melampaui ego itu sendiri; pikiran ini adalah
subjek itu sendiri, yang sebenarnya, inteligensi impersonal, bagi manusia dan
melakukan studi terhadap tiga agama mainstream di Indonesia, yakni Agama Hindu,
Kristen dan Islam untuk membuktikan apakah teori sembahyang Schuon memang
Alasan penulis memilih ketiga agama ini adalah karena agama Hindu
merupakan agama tertua di dunia yang tidak masuk dalam klasifikasi agama samawi
atau agama lain, menarik untuk dibandingkan praktiknya dengan agama Kristen dan
Islam yang memiliki kemiripan dalam berbagai ajaran dan strukturnya, di samping
umat Kristen tidak melaksanakan salat, seperti yang dilakukan umat Muslim, padahal
dalam berbagai literatur dituliskan bahwa Yesus melaksanakan salat sepanjang hari
pada waktu-waktu tertentu, sebagaimana yang dilakukan umat Yahudi pada masa itu.
Pernyataan ini bahkan diamini oleh penganut Kristen Ortodoks sendiri, yang meskipun
menganggap bahwa dalam ajaran Kristen tidak ada kewajiban beribadah setiap hari.
54
55
and fi nally of Shankara, may be condensed into the following words: ‘Brahman
alone is real; the world is illusion, Māyā; the soul is not other than Brahman.’”1
Dalam tradisi hindu dikenal tiga macam pemujaan terhadap Tuhan yaitu Puja,
Prarthana (doa), Japa dan Mantra. Prarthana yaitu doa yang dilakukan kapan saja, oleh
siapa saja dan di mana saja, tanpa ada aturan yang baku dan tidak terbatas pada
permasalahan tertentu saja. Prarthana ini bersifat subjektif, sesuai dengan kondisi jiwa
seseorang yang memanjatkan doa. Kedua adalah puja atau sembahyang. Puja
(sembahyang) ini ada dua macam, ada puja yang dilaksanakan sendiri atau dilakukan
seseorang yang melakukan puja harus melakukan hal-hal tertentu yang diwajibkan dan
membaca mantra-mantra yang memang dianjurkan. Japa adala penyebutan nama suci
Tuhan atau mantra berulang-ulang, baik dihitung dengan biji genitiri atau japamala,
maupun tidak terbatas. Tujuannya menuju mendekatkan diri dengan Tuhan.2 Mantra
adalah doa yang diucapkan dengan kata-kata yang sudah baku yang diambil dari Kitab
Weda. Tujuannya jelas, cara pengucapannya pun baku, meski iramanya dapat
Ada beberapa macam doa (prarthana), sembahyang dan puja yang dilakukan
setiap hari atau dalam beberapa hari suci dalam tradisi Hindu. Prarthana berarti doa
atau pencarian. Makna kata prarthana secara umum adalah untuk memohon, untuk
meminta atau mencari sesuatu dengan sopan dengan perasaan penuh penghormatan
dan kepasrahan. Dalam Veda, doa bersinonim dengan mantra, nyanyian atau mantra
1
Frithjof Schuon, “David, Shankara, Honen” dalam buku To Have a Center, h. 135.
2
Svami Veda Bharati, Mantra Inisiasi, Meditasi & Yoga, (Surabaya: Paramita: 2002), h. 103.
3
Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, “Berdoa dan Sembahyang Bersama” artikel dimuat pada situs:
https://www.posbali.id/berdoa-dan-sembahyang-bersama/ diakses pada Selasa, 26 Juni 2018 pukul 11:01
56
mereka atau memohon agar keinginan mereka terkabul. Dalam kitab-kitab Purana dan
bahwa Tuhan tidak pernah gagal tidak merespon panggilan tulus dari para
makhluknya.4
Salah satu ciri orang beragama adalah melakukan pemujaan pada Tuhan.
Bagi umat Hindu Bali, pemujaan itu disebut sembahyang. Meskipun sembahyang
merupakan ciri umum dari seorang yang beragama, tetapi motif orang melakukan
sembahyang tidaklah sama, juga cara orang bersembahyang yang berbeda-beda. Tetapi
tujuan tertinggi dari sembahyang adalah sama, yaitu mencapai persatuan dan kesatuan
dengan Tuhan.5
melakukan pemujaan serta penghormatan kepada dewa atau Tuhan Yang Mahaesa atau
menaklukkan diri serta menghamba kepada yang disembah. Dalam agama Hindu
Tuhan sebagai yang maha suci juga kepada yang sudah mencapai status Dewa Pitara
atau Siddha Dewata dan kepada para Maha Rsi yang telah memiliki kesucian itu
4
Sembayang Menurut Umat Hindu (Dharma wacana) diakses dari situs:
https://hindualukta.blogspot.com/2015/04/pengertian-sembayang-menurut-umat-hindu.html pada Selasa, 26 Juni
2018 pukul 14.27 WIB.
5
Drs. I. Ketut Wiana, M.Ag, “Memahami Filosofi Sembahyang” dalam buku Sembahyang menurut
Hindu (Surabaya: Paramita, 2006), h. 5
57
sendiri.6
Kitab Weda merupakan kitab suci yang menjadi sumber utama tentang ilmu
pengetahuan, selain itu juga memuat tentang tata cara melakukan sembahyang. Jalan
menuju Tuhan melalui sembahyang ini disebut dengan Bhakti Yoga. Namun, meskipun
sembahyang itu tergolong dalam jalan Bhakti Yoga dan secara ilmu pengethauan
diuraikan dalam kelompok isi Weda yang tergolong Upasana, namun dalam
melakukan disiplin pada dirimu sendiri dan Aku sebagai tujuang engkau akan datang
kepada-Ku.
6
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h.37
7
Krisna atau Kresna atau Krsna, adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria
berkulit gelap atau biru tua, memakai pakaian berupa dhoti berwarna kuning dan mahkota yang dihiasi bulu
merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan salah
satu kaki ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah
putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara.
Secara umum ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu.
Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari
Kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri. Dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan
Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai kepribadian Tuhan Yang Mahaesa. Dalam
Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan
dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti dan berwiawa. Selain itu
ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai
kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani. (Wikipedia:
https://id.wikipedia.org/wiki/Kresna)
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h.39.
58
disebut dengan Trisandhya. Tri berarti tiga dan sandhya artinya sembhayang, maka tri
sandhya ini adalah sembahyang yang dilakukan tiga kali dalam satu hari yaitu pada
pagi hari, siang hari dan malam hari. Trisandhya ini menggunakan mantra yang disebut
dengan upacara tertentu seperti pada saat hari raya Galungan, Kuningan, Saraaswati,
Pagerwesi, dan lain-lainnya bagi masyarakat Hindu di Bali. Pada umat Hindu di
sastra drsta dan desa drsta. 8 Desa drsta artinya kebiasaan dari tempat ke tempat.
Karena itu seringkali cara sembahyang tampak berbeda-beda di suatu tempat dengan
tempat yang lain. Namun, intinya tetap sama, menyembah Tuhan Yang Mahaesa dan
segala manifestasinya.
sebaiknya diucapkan pada waktu subuh, tengah hari dan senja hari saat “Sandhya
Kalam” yaitu pertemuan antara waktu malam dan waktu pagi, pagi dan sore, serta sore
dan malam hari. Waktu-waktu tersebut sangat berguna untuk latihan rohani.9
bersila), bajrasana (duduk bersimpuh) sesuai dengan tempat sembahyang itu sendiri.
melakukan puraka dan kumbaka disertai dengan ucapan “Ang” dalam hati, dan pada
saat melakukan recaka disertai ucapan “Ah” dalam hati. Pranayama sangat berguna
4. “Kara sodana” yaitu menyucikan tangan karena tangan akan dipakai untuk
menyembah. Mantra yang dipakai ialah Om sudhamam swaha (tangan kanan) dan Om
hati sudhamam swaha (tangan kiri) yang artinya, “Ya Tuhan, disucikanlah tangan
hamba”.
5. “Puspa sodana” artinya penyucian bunga dengan puja dan mantra, “Om
sampai ujung jari lewat ubun-ubun disertai dengan mantra sesuai dengan jenis
sembahyang itu sendiri. Pikiran diarahkan dan dipusatkan kepada Tuhan. Tapi, tidak
semua orang dapat mengarahkan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan. Tuhan
bersifat Mahagaib, tidak terbayangkan oleh manusia, karenanya ada di luar daya
khayal dan jangkauan manusia. Maka, dalam hal ini timbullah yang disebut “murti
puja” yaitu memuja atau menyembah Tuhan dengan sarana wujud-wujud tertentu yang
10
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h. 54.
60
Om bhur bhuvah svah, tat savitur varenyam, bhargo devasya dhimahi, Dhyo
yo nah praccodayat (Artinya: Om adalah bhur swah. Kita memusatkan pikiran pada
kecemerlangan dan kemuliaan Sang Hyang Widhi, semoga ia berikan semangat pikiran
kita).
niranjano nirvikalpo, nirakhyatah suddho deva eko, Narayana na dvityo ’sti kascit
(artinya: Om Narayana adalah semua ini, apa yang telah ada dan apa yang akan ada
bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan,
hamba papa, diri hamba ini papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Sang
yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, bebaskanlah hamba dari segala
11
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h.120. Lihat juga Drs. K. M Suhardana, Pedoman
Sembahyang Umat Hindu, (Surabaya: Paramita, 2004), h. 35-37.
61
dosah, tat pramadat ksamasva mam (artinya: Om ampunilah dosa anggota badan
hamba, ampunilah dosa hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari
kelahiran hamba).
Puja Trisandhya merupakan rangkuman dari enam bait mantra Kitab Catur
Wedah Sirah dan Kitab Wedaparikrama. Bait pertama disebut Gayatri Mantra sesuai
dengan nama iramanya yaitu gayatri chandra. Mantra ini berasal dari kitab Rg Weda
III.62.10. Namun kata bhur bhuwah swah yang disebut Mahavyahrti tidak ada pada
mantra ini. Tambahan kata itu terdapat pada kitab Yajur Weda putih 36.3. Gayatri
Mantra adalah mantra yang paling mulia di antara semua mantra. Ia bersifat universal
dibaca pada sembahyang Trisandhya setiap harinya. Mantra ini ditujukan kepada
Tuhan yang imanen dan transenden yang bergelar “sawita” yang berarti, “Dia yang
2. Meditasi
3. Doa permohonan
menguatkan intelek, kemampuan membedakan (wiweka) antara baik dan buruk dalam
12
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h.121.
62
diri manusia. Gayatri dianggap sebagai Wedasara atau intisari dari Weda, Ia adalah ibu
Bait kedua adalah salah satu petikan dari mantra Catur Weda Sirah yang dapat
disebut Narayanastawa, isinya memuja, memuja Tuhan yang suci tak ternoda, Ia yang
tunggal adanya. Bait ketiga adalah petikan mantra dari Siwastawa dalam kitab Weda
Parikrama. Di sini pemuja menyebut Ia Yang Tunggal itu Siwa, Mahadewa, Iswara,
Bait keempat, kelima, dan keenam disebut mantra “pengaksama” yang dipetik
dari kitab Weda Parikrama juga. Pada bait keempat pemuja mengatakan kelemahan dan
kehinaan dirinya serta selanjutnya ia mohon agar dibersihkan dari segala noda.
Demikian pula pada bait kelima dan keenam, pada pokoknya mohon ampun atas segala
Trisandhya. Sementara itu Sembahyang Kalbu yang dilakukan umat Hindu adalah
meditasi dan japa yoga. Sebenarnya hampir dalam setiap sembahyang umat Hindu
melakukan japa yoga dengan mengulang-ulang mantra tertentu. Seperti Gayatri Mantra
yang dapat diulang hingga bilangan tertentu tergantung yang diajarkan oleh guru
spiritualnya.
Japa bukan hanya pengulangan mantra secara mekanis dari sebuah mantra
yang kita pilih. Ilmu mantra diddasarkan pada mengerti getaran suara yang terutama
berpusat pada berbagai letak kundalini dan tidak bisa ditangkap tanpa melakukan
inisiasi. tujuan utama dari japa adalah untuk menuju kesunyian yang paling tinggi.
mental itu (madhyama). Kemudian seseorang mendiamkan tingkatan itu dan memasuki
keberadaan pasyanti, getaran wahyu. Dengan cara itu seseorang itu mungkin menjadi
saluran dari wahyu. Dari sana seseorang masuk ke dalam penyerapan tertinggi dalam
para, yang transenden, yang adalah pengetahuan yang terdapat dalam prinsip ilahi.
Seorang guru yang telah dilatih dalam Tradisi Himalaya mengarahkan siswanya ke
dalam tingkatan yang lebih jauh lagi dan lebih sempurna melalui sembilan tahapan
Lebih jauh lagi, Swami Veda Bharati menjelaskan, beberapa variasi dari
atau menulis.
E. Memunculkan mantra ke dalam titik bija yang diberikan dalam cakra, dan
H. Menggunakan mantra itu dalam pemujaan kuil dalam diri kita (manasa
13
Swami Vida Bharati, Mantra, Inisiasi, Meditasi & Yoga, (Surabaya: Paramita, 2002), h. 103-105.
64
puja).
Terdapat banyak metode lain dalam penggunaan mantra yang perlu diajarkan
oleh seorang guru yang berpengalaman yang tidak hanya mengajarkan cara tetapi
dari dua aliran dalam Kristen, yakni Kristen Ortodoks dan Katolik.
Sembahyang personal atau doa dalam tradisi Kristen baik itu Katolik
maupun Kristen Ortodoks dianjurkan dilakukan setiap melakukan kegiatan apa pun,
misalnya ketika akan makan, akan melakukan perjalanan, dan akan tidur, seseorang
saja yang akan disampaikan dan bagaimana cara kita menyampaikannya, tidak diatur
dengan baku. Melainkan menggunakan pedoman dari kitab Mazmur: bahwa ketika
kehadirat Tuhan, penyesalan atas kesalahan kita, upaya perbaikan diri baru diikuti
65
dengan permohonan kita. Akan tetapi karena sembahyang personal ini sifatnya
subjektif, tidak ada hukum dalam menyampaikan kegelisahan kita terhadap Tuhan,
hening, bahwa ketika sepanjang hari seseorang telah mengeluarkan kata-kata, ada
baiknya ia melakukan doa hening ketika hanya batinnya yang berbicara dengan
Tuhan. Perihal doa hening ini, diajarkan juga oleh Yesus dalam: Matius 14:23, “Dan
setelah orang banyak itu disuruhnya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa
seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian disitu”. 14 Lebih lanjut lagi
“Berdoa dengan berdiam diri, dimana hati yang lebih banyak berkomunikasi
dengan penuh cinta kepada Sang Mempelai Laki-laki guna mencapai tujuan
(kerahiban) Gereja Orthodox sebagai kesinambungan tanpa putus dengan Gereja Para
Rasul dan Gereja Purba itu sendiri. Akhir-akhir ini gereja-gereja Protestan mulai
melihat nilai doa ini, misalnya dengan meditasi dan kontemplasi yang dikembangkan
mulai tahun 1960-an oleh komunitas biara Protestan Taize di Perancis dan beberapa
Menurut Kristen Ortodoks, bukan berarti berdoa harus berdiam diri atau
bermeditasi semata, melainkan doa seharusnya juga dapat dilakukan dalam suasana
14
Fr. Kyrillos Junan SL, “Doa dan Shalat dalam Kristen”, tulisan ini dimuat dalam salah satu situs rujukan
Ortodoks Indonesia: http://monachoscorner.weebly.com/doa--sholat-kristen.html diakses pada 21 Maret 2018
pukul 20.42 WIB.
15
Fr. Kyrillos Junan SL, “Doa dan Shalat dalam Kristen”, tulisan ini dimuat dalam salah satu situs rujukan
Kristen Ortodoks Indonesia: http://monachoscorner.weebly.com/doa--sholat-kristen.html diakses pada 21 Maret
2018 pukul 20.42 WIB.
66
ramai, di setiap tempat kita harus memanjatkan doa kita kepada Tuhan. Dan dalam
berdoa bukan hanya melalui pikiran, tetapi juga melalui penghayatan dan perenungan
bukanlah meminta kepada Tuhan, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran bahwa akan
dilaksanakan oleh umat Kristiani. Selain karena hal itu biasanya dilakukan di
biara-biara dan seminari, juga karena tidak diwajibkan bagi semua orang, melainkan
dianjurkan bagi setiap orang yang berkehendak. Dalam tradisi Katolik seringkali
disebut dengan Brevir atau Liturgia Horarum (liturgi waktu), sementara dalam tradisi
Kristen Ortodoks seringkali disebut salat (tzelot--dalam bahasa Aramaik). Baik Brevir
maupun Salat (Tzelot, Tselota16) dilaksanakan setiap hari pada waktu-waktu yang
telah ditentukan.
Liturgia Horarum secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi Liturgi Waktu17 yang
dikenal pula dengan nama-nama lain seperti: Ofisi Ilahi (Officium Divinum) dan doa
Brevir. Ibadah harian memiliki sejarah yang panjang dimulai dari tradisi Judaisme
Brevir ini berawal dari tradisi Yahudi yang diperintahkan Tuhan untuk
16
Zaenul Arifin, “Menuju Dialog Islam dan Kristen”, dimuat pada Jurnal Walisongo, volume 20, Nomor 1,
Mei 2012, h. 128. Zaenul Arifin mengutip Arthur Jefferey yang menyatakan bahwa kata-kata Arab dalam al-Quran
yang berasal dari bahasa Suryani/ Aram/ Syriac di antaranya adalah: Allah, salat, Isa, Almasih, al-dajjal,
subhanallah, yang ternyata paralel dengan bentuk Suryani: alaha, stelota, ‘isha, meshiha, daggala, tehila, subh
alaha.
17
Pengertian ini diambil dari situs
http://gemaliturgi.blogspot.com/2012/04/tentang-ibadat-harian-dan-ibadat.html diakses pada 21 Maret 2018
pukul 10.29
67
menyucikan Tuhan pada waktu pagi, siang, dan malam. Dalam kitab Kel. 29:38-3918,
Bil. 28:3-819, 1Raj 18:3620 tentang kurban pagi dan petang. Umat Yahudi melakukan
penyucian ini dnegan cara mempersembahkan kurban sembelihan pada pagi dan
petang hari. Dan praktik ini terus dilakukan hingga masa kehidupan Yesus. Pada masa
Jejak-jejak tradisi penyucian waktu ini dengan mudah kita temukan dalam
perjanjian lama, terutama dalam “kitab doa” yaitu kitab Mazmur. Misalnya:
a. Mazmur 5:4 Tuhan, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada
b. Mazmur 88:14 “Tetapi aku ini, Ya Tuhan, kepada-Mu aku berteriak minta
tolong, dan pada waktu pagi doaku datang ke hadapan-Mu (Mazmur ini dipakai
18
Keluaran 29: 38-39 “38. Inilah yang harus kau olah di atas mezbah itu: dua anak domba berumur
setahun, tetap tiap-tiap hari; 39. Domba yang satu haruslah kau olah pada waktu pagi dan domba yang lain kau
olah pada waktu senja.”
19
Bilangan 28:3-8 “3.Katakanlah kepada mereka: inilah korban api-apian yang harus kamu
persembahkan kepada Tuhan: dua ekor domba berumur satu tahun yang tidak bercela setiap hari sebagai korban
bakaran yang tetap; 4. Domba yang satu haruslah kau olah pada waktu pagi, domba yang lain haruslah kau olah
pada waktu senja; 5. Juga seper sepuluh efa tepung yang terbaik untuk korban sajian, diolah dengan seperempat
hin minyak tumbuk; 6. Itulah korban bakaran yang tetap yang diolah pertama kali di atas gunung Sinai menjadi
bau yang menyenangkan, suatu korban api-apian bagi Tuhan; 7. Dan korban curahannya ialah seperempat hin
untuk setiap domba; curahkanlah minuman yang memabukkan sebagai korban curahan bagi Tuhan di tempat
kudus; 8. Dan domba yang lain haruslah kau olah pada waktu senja; sama seperti korban sajian pada waktu pagi
dan sama seperti korban curahannya haruslah engkau mengolahnya sebagai korban api-apian yang baunya
menyenangkan bagi Tuhan.”
20
1 Raja-Raja 18: 36 “Kemudian pada waktu mempersembahkan korban petang, tampillah nabi Elia dan
berkata: Ya, Tuhan, Allah Abraham, Ishak dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang, bahwa Engkaulah Allah,
di tengah-tengah Israel dan bawa aku ini hamba-Mu dan bahwa atas firman-Mulah aku melakukan segala perkara
ini.”
68
ukupan, dan tangaku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang.
atau beristirahat, lonceng tersebut dibunyikan pada pukul enam pagi, sembilan pagi,
satu siang, tiga sore dan enam sore. Praktik ini sejalan dengan kebiasaan berdoa pada
Aktivitas berdoa di jam tertentu dilanjutkan pada kehidupan Yesus dan umat
Kristen perdana, di antaranya dapat dilihat dalam Kitab Suci (Luk3:21-22; 6:12; 9:18,
28-29; 11:1; 22:32; Mat 4:19; 15:36; 19:13 dst). Doa Harian pada jam tertentu
(Penyucian Waktu) ini terus berlanjut, dan berisikan elemen yang hampir sama
dengan apa yan gdilakukan oleh Umat Yahudi: Mengulang atau menyanyikan
Mazmur, membaca Kitab Suci, dan pada kemudian hari ditambahkan dengan Madah
Kemuliaan serta doa-doa lainnya. Hampir semua Bapa Gerjea baik di Timur (St.
Yohanes Krisostomos) maupun di Barat (St. Hieronimus), St. Agustinus dari Hippo
dalam aturan hidup di biara menganjurkan kepada para Rahib dan rabbi/rubiah untuk
bertekun dengan setia dalam doa pada jam-jam dan waktu yang telah ditentukan.
kehidupan umat Kristen. Pada abad ke-4, praktik Ibadah Harian telah mendapatkan
21
Daniel 6:10 “Demi didengar Daniel, bahwa surat perintah itu telah dibuat, pergilah ia ke rumahnya.
Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa
serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya.”
Daniel 6:13 “Lalu kata mereka kepada raja: “Daniel, salah seorang buangan dari Yehuda, tidak
mengindahkan tuanku,” “Ya raja, aku tidak mengindahkan larangan yang tuanku keluarkan, tetapi tiga kali sehari
ia mengucapkan doanya.””
69
bentuk yang lebih pasti, terutama dengan penyusunan buku sederhana yang disebut
brevir. Brevir ini lahyang kemudian dikenal luas hingga masa Konsili Trente22. Brevir
terus mengalami revisi di masa pongifikal: Paus Pius V, Paus Clement VIII, Paus
Urban VIII, Paus Pius X, Paus Pius XII, dan Paus Yohanes XXIII di tahun 1960.
Pada perkembangannya sejak akhir abad kelima hingga Konsili Vatikan II,
membuatnya lebih mudah digunakan oleh umat awam dengan harapan Ibadah Harian
menjadi doa bagi seluruh anggota Gereja. Konsili Vatikan II menggabungkan doa
22
Konsili Trente atau Konsili Trento adalah konsili Ekumenis Gereja Katolik Roma ke-19 yang diadakan di
Trento, Italia. Dilaksanakan selama tiga periode antara tanggal 13 Desember 1545 dan Tanggal 4 Desember 1563
sebagai jawaban terhadap gerakan Reformasi Protestan. Selain meneguhkan kembali Kanon Kitab Suci yang
terdiri dari 73 Kitab (46 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru sebagaimana yang telah ditetapkan
sejak tahun 382), Gereja Katolik menetapkan definisi ajaran-ajaran pokok yang penting lainnya, di antaranya:
bahwa iman tidak terpisahkan dari kasih, tentang kehendak bebas pada manusia meskipun mereka membawa
dosa lahir, juga tentang menekankan bahwa transubstansiasi (roti dan anggur sebagai pengganti daging dan
darah Kristus) sebagai simbol nyata kehadiran yesus dalam Ekaristi. (lihat:
http://www.katolisitas.org/beberapa-point-penting-yang-ditetapkan-oleh-konsili-trente/ dan
https://en.wikipedia.org/wiki/Special:Search?search=http%3A%2F%2Fwww.katolisitas.org%2Fbeberapa-point-pe
nting-yang-ditetapkan-oleh-konsili-trente%2F&sourceid=Mozilla-search&searchToken=bcyvetmc9chnf56i7z0pmn
osa.
70
Primus ke dalam doa Laudes, dan mengubah doa Matutinum menjadi Ibadah bacaan
yang boleh didoakan pada waktu kapan pun. Konsili juga melakukan penataan ulang
minggu). Brevir kini lebih dikenal sebagai Ibadah Harian (Liturgia Horanum) yang
Masa II: Pra Paskah dan Trihari Suci serta Masa Maskah
1. Ibadah Matutinum
2. Ibadah Laudes
4. Ibadah Vesper
5. Ibadah Completorium.
Dalam Gereja Ortodoks ada dua bentuk Sembahyang Harian, yaitu yang
mengikuti cara Nabi Daniel: Tiga Kali sehari (Dan. 6:11-12, Mzm. 55:18), atau juga
mengikuti pola yang dikatakan oleh Nabi Daud: ”Tujuh kali dalam sehari aku
memuji-muji Engkau…” (Mazmur 119:164). Sembahyang tiga kali itu terdiri dari:
Pagi, Tengah-Hari, dan Sore Hari (Mazmur 55:18). Waktu-waktu Sembahyang itu
sendiri sudah dimulai sejak zaman Nabi Musa. Allah memerintahkan agar Imam
Harun mempersembahkan korban binatang dan korban dupa pada “Waktu Pagi” dan
Dalam Gereja Ortodoks, salat (tselota) dilakukan tujuh kali sehari23, yaitu:
Sa‟atul Awwal, Sholatus Shakhar). Merupakan ibadah pagi yang dilaksanakan antara
korban pagi dan petang, yang dihayati sebagai peringatan lahirnya Sang Sabda yang
Merupakan sembahyang yang dilaksanakan pada pukul 09.00-12.00 atau pada waktu
dhuha dalam tradisi Islam. Termaktub dalam Kitab Kisah Para Rasul 2:1&15 25.
Dalam salat ini manusia diingatkan agar mempunyai tekad an kerinduan untuk
menyalib dan memerangi hawa nafsu kita sendiri agar rahmat Allah dan Roh Kudus
Merupakan salat yang dilaksanakan pada waktu tengah hari sekitar pukul 12.00
sampai 13.00. Salat ini termaktub dalam Alkitab Kis 10:9 26 dan mempunyai makna
pencuri yang disalib bersama-sama Kristus bertobat. Dengan jam keenam ini,
23
Fr. Kryllos Junan SL, “Doa dan Sholat Kristen” dimuat pada
monachoscorner.weebly.com/doa--sholat-kristen.html diakses pada 21 Maret 2018 pukul 20.42 WIB.
24
Yohanes 8:12 “Maka Yesus berkata pula kepada orang banyak: “Akulah terang dunia, barang siapa
mengikuti Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.”
25
Kisah Para Rasul 2:1 “Ketika Tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul di satu tempat.”
Kisah Para Rasul 2:15 “Orang-orang ini tidak mabuk seperti yang kamu sangka, karena hari baru pukul
sembilan”
26
Kisah Para Rasul 10:9 “Keesokan harinya, ketika ketiga orang itu berada dalam perjalanan dan sudah
dekat kota Yope, kira-kira pukul dua belas tengah hari, naiklah Petrus ke atas rumah untuk berdoa.”
27
Lukas 23:44 “Ketika itu hari sudah kira-kira jam dua belas, lalu kegelapan meliputi seluruh daerah itu
sampai jam tiga
Lukas 23:45 “sebab matahari tidak bersinar. Dan tabir Bait Suci terbelah dua.”
72
diharapkan kita pun akan seperti pencuri tersebut yang selalu ingat untuk bertaubat
dan memohon rahmat Ilahi agar mampu mencapai tujuan hidup yaitu masuk dalam
Kerajaan Allah.
Termaktub dalam Kis3:128, dilaksanakan pada pukul 15.00-16.00. Salat ini dilakukan
adalah untuk menebus dosa-dosa, agar manusia dapa tmerasakan rahmat Ilahi.
Ghurub). Dilaksanakan pada waktu maghrib dalam tradisi Islam, yaitu kira-kira pukul
18.00. Sama seperti salat jam pertama, sembahyagn ini dilatarbelakangi oleh ibadah
kurban pagi dan petang yang terdapat dalam Kitab Keluaran 29-38-41. Makna dan
tujuan salat ini adalah untuk memperingati ketika Kristus berada dalam kubur dan
bangkit pada esok harinya, seperti matahari tergenam dalam kegelapan untuk terbit
keesokan pagi.
Sholatul Naum. Termaktub dalam Mzm4:930. Salat ini mempunyai makna untuk
mengingatkan bahwa pada saat malam seperti inilah Kristus tergeletak dalam kuburan
28
Kisah Para Rasul 3:1 “Pada suatu hari menjelang waktu sembahyang, yaitu pukul tiga petang, naiklah
Petrus dan Yohanes ke Bait Allah.”
29
Markus 15:34-38 “34. Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eloi, Eloi, lama
sabakhtani?” yang berarti, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?; 35. Mendengar itu beberapa
orang di yang berdiri di situ berkata, “Lihat, Ia memanggil Elia.; 36. Maka datanglah seorang dengan bunga karang,
mencelupkannya ke dalam anggur asam lalu mencucukkannya pada sebatang buluh dan memberi Ysus minum
serta berkata, “Baiklah kita tunggu dan melihat apakah Elia datang untuk menurunkan Dia.”; 37. Lalu berserulah
Yesus dengan suara nyaring yang menyerahkan nyawa-Nya; 38. Ketka itu tabir Bait Suci telah terbelah dua dari
atas sampai ke bawah.”
30
Mazmur 4:9 “Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah,
Ya Tuhan, yang membiarkan aku diam dengan aman”.
73
dan tidur yang dilakukan itu adalah gambaran dari kematian itu.
Salat lail, Salat Satar). Termaktub dalam Kis.16:2531. Salat ini dilaksanakan pada
waktu yang sama dengan salat tahajjud dalam Islam. Salat tengah malam ini
mengandung pengertian bahwa Kristus akan datang di tengah malam, maka dengan
Salat tujuh kali sehari ini dikenal dengan Salat Nabi Daud. Dan sebelum
melaksanakan salat, umat Kristen bersuci terlebih dahulu dengna membasuh telapak
tangan, membasuh wajah dan kepala, membasuh tungkai kaki dan seluruh kaki,
seperti yang tertulis dalam Kitab Mazmur 26:1-12. Sementara Kiblat waktu salat
sembahyang kanonis dalam tradisi Kristen. Terdapat juga zikir atau doa kalbu yang
disebut dengan Doa Yesus dalam tradisi Ortodoks dan Salam Maria dalam tradisi
Katolik.
menempati peranan yang sangat penting dalam tradisi Ortodoks, maka hesykhastis
atau berdoa tanpa putus menjadi salah satu caranya. Doa yang dibaca secara
berulang-ulang adalah, “Tuhan yesus Kristus, Putera Allah kasihanilah aku orang
berdosa ini.” Doa ini dapat diperpendek dengan, “Kyrie Iesou Khriste, eleyson me”,
31
Kisah Para Rasul 16:25 “Tetapi kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan
puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka.”
32
Zaenul Arifin, “Menuju Dialog Islam-Kristen”, h.128
74
atau “Kyrie eleyson”.33 Bahkan dapat diperpendek dengan menyebut “Yesus” saja.
Doa ini seharusnya diulang dengan hening, dengan tidak tergesa-gesa, selain itu
Terkait dengan doa ini, umat Ortodoks mengutip ITes5:17 “Berdoalah tak
kunjung putus (pray without ceasing) dan Luk 21:36 “Waspadalah dan berdoalah tak
henti-hentinya.” Doa Yesus ini mampu merupakan doa yang paling tinggi karena
dengan membaca doa ini seseorang dapat mencapai keadaan paling murni. Tujuan
dari membaca Doa Yesus ini adalah untuk mencapai “apatheia” ketiadaan pathos atau
yang sangat penting, terutama dalam kehidupan sosial. Meskipun doa personal ini
beberapa waktu atau kesempatan tertentu ketika doa dibaca bersama-sama dan
muslim yang meninggal dunia, dilaksanakan pembacaan QS Yasin dan tahlil untuk
dikutip oleh Imam Ghazali dalam bukunya “Rahasia Zikir dan Doa”35:
Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan oran gyang berdoa
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan dengan suara yang
lembut. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS
Al-A‟raf:55)
menyembah-Ku, mereka akan masuk Neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS
Al-Mu‟min:60)
Sehingga membaca doa pun menjadi ciri khas seorang muslim, mengutip
anak-anak usia dini. Meskipun doa personal ini terkait dengan kebutuhan individu
dalam bentuk-bentuk tertentu sehingga semua orang mengenal doa yang sama.
Padahal titik tekan doa personal, menurut Schuon, adalah keterhubungan kita dengan
Tuhan dalam setiap aktivitas kita. Tanpa bermaksud melemahkan peran hafalan
doa-doa sehari-hari, tetapi yang perlu dibangun adalah kesadaran kita untuk
memanggil, menyeru dan menyampaikan kepada Tuhan bahwa kita akan melakukan
35
Imam Abu Hamid al-Ghazali, Rahasia Zikir dan Doa diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, (Jakarta:
Mizan, 2014) h.55.
76
sesuatu. Dengan demikian, pikiran dan perasaan kita terhubung dengan Tuhan dalam
amatana wa ilaihi an-nusyur.” (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan
kembali kami setelah Dia mematikan kami, kepada-Nyalah kami semua akan
dikumpulkan).36
Doa tersebut baik, dalam arti berisikan permohonan yang baik. Namun,
apakah jiwa kita terkait dengan Tuhan dalam doa-doa yang dibakukan bentuknya
tersebut? Apakah kita merasa perlu “memanggil” Tuhan ketika kita hendak tidur,
ketika kita bangun tidur dan ketika kita melakukan aktivitas lainnya? Dan dapatkah
jiwa kita memanggil Tuhan dengan cara yang sama dengan doa tersebut
memanggil-Nya? Untuk pertanyaan pertama, jawbannya bisa iya dan bisa tidak.
Pertanyaan kedua merupakan titik tekan fungsi doa personal ini. Bahwa kita
sesuatu kepada Tuhan dan ungkapan tersebut datang dari lubuk hati yang paling
dalam.
Dalam tradisi Islam syiah banyak sekali doa para imam yang kemudian
dibaca sebagai amalan bagi penganutnya. Pembacaan ini tidaklah salah, karena
doa-doa yang dibacakan adalah permohonan yang baik, disampaikan dengan cara
yang baik, mengingat doa-doa tersebut berasal dari orang-orang suci yang terhubung
secara langsung dengan Nabi Muhammad. Misalnya saja yang disampaikan dalam
doa kumayl:
36
Al-Ghazali, Rahasia Zikir dan Doa, h. 174.
77
biquwwatika al-lati qaharta biha kulla syai`in, wa khadha’a laha kullu syai`in,
wadalla laha kullu syai`in...” Yang artinya: “Ya, Allah aku bermohon kepada-Mu
dengannya Engkau taklukkan segala sesuatu, dan karenanya merunduk segala sesuatu,
Doa ini awalnya adalah doa personal Ali bin Abi Thalib yang diajarkan
kepada Kumayl bin Ziyad Nakha‟i. Doa ini terkenal dengan kata-katanya yang sangat
penulisnya adalah orang yang sangat paham posisinya di hadapan Tuhan. Akan tetapi
membacanya tidak menjadi esensi doa personal menurut Schuon. Karena ketika
membacanya, belum tentu kondisi jiwa kita berada pada titik yang sama dengan jiwa
Sembahyang kanonis dalam tradisi Islam adalah salat. Salat adalah salah satu
dari rukun Islam. Salat dilihat dari arti linguistikny aadalah doa, tetapi apabila dilihat
dari istilah syar’i-nya ialah suatu upekerjaan dan ucapan yang didahului dengan
persembahyangan38:
37
Syarif Hidayatullah Husain, Salat dalam Mazhab Ahlulbait: Kajian Al-Quran, Hadis, Fatwa dan Ilmiah,
(Jakarta: Penerbit Lentera, 2007), h.87
38
Dr. Mohammad Mahmoud Ghali, “Sembahjang” Al-Salat, diterjemahkan oleh Dr. FuadMohd.
Fachruddin, (Pengawas penerbitan Mohd. Tawfiq Oweida, Sekretaris Umum Madjelis Qadadar Street, Cairo,
U.A.R). Diterbitkan oleh Majelis Tinggi Urusan Agama Islam, h. 7-8
78
berbaring ataupun berdiri. Cara yang demikian ini dinamakan doa. Doa ini berarti
memohon.
dalam ruku, sujud, dan pembacaan ayat-ayat suci. Dan inilah yang dinamakan salat
(sembahyang). Sembahyang itu adalah wajib hukumnya dan adapula yang sunah.
Sembahyang yang wajib dilakukan (fardhu), telah ditentukan waktunya lima kali
dalam sehari.
mi‟raj dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa. Dalam peristiwa ini, Rasulullah
Kejadian Isra‟ Mi‟raj terjadi padatahun pertama Hijrah Rasulullah dari Makkah ke
Madinah. Perintah Allah untuk melakukan sembahyang itu adalah dengan perantara
waktunya. Banyak hadis beliau yang menegaskan tentang hal ini, di antaranya hadis
terakhir yang beliau ucapkan pada saat salat beliau: “Peliharalah sembahyang!
menegakkannya.39
sengaja karena ia tak mengakui sembahyang itu satu ibadah yang wajib, maka ia itu
39
Mahmooud Ghali, Sembahjang Al-Salat, h. 12
79
3. Menghadap kiblat
4. Niat
6. Khusyu
1. Niat,
2. Takbiratul ihram
3. Berdiri,
4. Membaca fatihah
5. Rukuk
7. I‟tidal
8. Sujud
11. Tumakninah
40
Mahmooud Ghali, Sembahjang Al-Salat, h. 12.
80
karena hendak mendekatkan diri kepada Allah satu-satunya. Jadi niat ialah suatu niat
yang tegas. Bila seseorang mengucapkan niat tetapi tidak hendak salat dalam hatinya,
dalam mazhab ahlulbait (ja‟fari) salat dalam sehari semalam sejak awal
anggapan oleh kebanyakan orang, bahwa pada saat penetapan salat terjadi tawar
menawar (dalam jumlah rakaat) antara Nabi Muhammad dan Allah swt.
Sembahyang kalbu dalam tradisi Islam disebut dengan zikir. Zikir adalah
memanggil Nama Tuhan berulang-ulang. Kata zikir dari segi bahasa berasal bahasa
Arab zakara, yang berarti, menyebut, mengingat, dan memberi nasihat. Atau
41
Drs. H. Kahar Masyhur, Salat Wajib: Menurut Mazhab yang Empat. Jakarta: Rineka Cipta, 1995, h.
199.
42
17 Rakaat yang difardhukan dan 34 rakaat yang disunnahkan.
43
Dr. H. M. Hamdan Rasyid, M.Ag, Konsep Zikir Menurut Al-Quran dan Urgensinya bagi Masyarakat
Modern: Suatu Kajian Tafsir Tematik dengan Pendekatan Sufistik, (Jakarta: Insan Cemerlang, TT) h.25.
81
Abdullah „Abbas al-Nadwi, kata zikir mempunyai arti sebutan (mention), ingatan
tetapi dalam tarekat-tarekat Islam, biasanya menzikirkan laa ilaha illaLlah, dengan
1. Menyebut nama Allah dengan lidah yang lazim disebut dengan zikir jahr
zikir khafi, zikir sirri atau zikir qalbi. Sebagaimana termaktub dalam al-Quran QS
al-A‟raf ayat 205. “Dan berzikirlah dengan menyebut (nama) TUhanmu dalam hatimu
dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di
waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”45
larangan-larangan-Nya.
Di antara praktik spiritual yang diadopsi oleh Tarekat Qadiriyah adalah zikir
berbagai tingkatan penekanan dan intensitas. Ada zikir yang terdiri atas satu, dua, tiga,
44
Rasyid, Konsep Zikir menurut Al-Quran, h. 25.
45
Rasyid, Konsep Zikir menurut al-Quran, h.76
82
dan empat. Zikir dengan satu gerakan dilaksanakan dengan mengulang-ulang asma
Allah melalui tarikan napas panjang yang kuat, seakan dihela dari tempat yang tinggi,
diikuti penekanan dari jantung dan tenggorokan kemudian dihentikan hingga napas
kembali normal. Hal ini harus diulang secara konsisten untuk waktu yang lama.46
Zikir dengan dua gerakan dilakukan dengan duduk dalam posisi salat,
kemudian melantunkan asma‟ Allah di dada sebelah kanan, lalu di jantung, dan
efektif untuk meningkatkan konsentrasi dan menghilangkan rasa gelisah dan pikiran
yang kacau. Zikir dengan tiga gerakan dilakukan dengan duduk bersila dan
mengulang pembacaan asma Allah di bagian dada sebelah kanan, kemudian sebelah
kiri dan akhirnya di jantung. Ksemuanya ini dilakukan dengan intensitas lebih tinggi
dan pengulangan lebih sering. Sementara itu, zikir empat gerakan dilakukan dengan
kanan, kemudian di sebelah kiri, lalu di tarik ke arah jantung dan terakhir dibaca di
depan dada. Cara terakhir ini diharapkan dapat dilakukan lebih kuat dan lebih lama.
Praktik zikir ini dapat dilakukan bersama-sama dibaca dengan keras atau
perlahan, sambil duduk membentuk lingkaran setelah salat pada waktu subuh maupun
malam hari. Jika seorang pengikut sanggup melantunkan asma‟ Allah empat ribu kali
setiap harinya tanpa putus selama dua bulan, dapat diharapkan bahwa dirinya telah
46
Amsal Bahtiar, “Tarekat Qadiriyah”, dalam buku Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarata:
Prenada Media, 2004), h. 44 lihat juga Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi, h. 32
83
disebut sebagai pas-i anfas, yakni mengatur napas sedemikian rupa sehingga dalam
proses menarik dan menghembuskan napas asma‟ Allah bersirkulasi dalam tubuh
Dianjurkan untuk berkonsentrasi pada sejumlah ayat al-Quran atau pun sifat-sifat
mengadopsi pengaruh lokal dan tidak dapat dipahami dengan merujuk pada ide dan
anjuran autentik sang Wali. Contohnya, para pengikut Tarekat Qadiriyah di Afrika
Utara sering disebut sebagai para gilani, telah mengembangkan praktik khalwat
para wanita menyampirkan kain-kain di situ, kemduian bensin dan styrax disulut.
Baik pria maupun wanita melakukan jenis khalwat ini dan memohon agar keinginan
mereka terpenuhi.
Seiring dengan timbulnya praktik yang tidak tepat tersebut, muncul pula
beliau merujuk pada suatu kondisi kebahagiaan spiritual yang ekstrem, suatu ekspresi
sang Syaikh, tanpa implikasi lainnya. Namun para pengagumnya di kemudian hari
di dalam hierarki spiritual. Bahkan, ulama yang sangat kritis dan berhati-hati
47
Bahtiar, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, h. 45.
48
Bahtiar, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, h. 45.
84
sekalipun, semacam Syaikh „Abd al-Haqq Muhaddits dari Delhi, melukiskan sang
Syaikh dalam nuansa yang dipinjamg dari hagiologi yang dilebih-lebihkan tersebut.
Kebesaran Syaikh „Abd al-Qadir Jilani tidaklah bersandar pada keajaiban yang telah
dilakukannya, tetapi pada eksistensi kesadaran Ilahiah yang tumbuh dalam dirinya
dan dedikasinya untuk mengagungkan mistisisme Islam yang ideal, yakni menyadari
Zikir adalah kunci dan sekaligus menempati posisi yang amat penting dalam
tradisi tarekat, termasuk Tarekat Qadiriyah karena zikir bagaikan anak kunci yang
mampu membuka pintu gerbang dunia spiritual yang tidak terbatas. Apabila pintu hati
telah terbuka, muncullah dari dalamnya pikiran-pikiran yang arif untuk membuka
mata hati. Ketika mata hati telah terbuka, maka tampaklah sifat-sifat Allah melalui
mata hati itu. Kemudian, mata hati akan melihat refleksi (bayangan) kasih sayang,
kelembutan, keindahan, dan kebaikan Allah, dalam cermin hati yang bersih dan
berkilauan.50
Membaca zikir atau wirid asma‟ Allah merupakan cara dalam pembersihan
diri untuk mencapai sifat Allah, yakni bersifat dengan sifat-sifat-Nya yang mulia
Komparasi
49
Bahtiar, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, h. 45.
50
Bahtiar, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, h. 46, lihat juga Abdul Madjid Hj. Khatib, Rahasia
Sufi Syaikh Abd al-Qadir Jilani (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), Cet. V, h. 73)
85
Tuhan. Sembahyang personal atau doa menjadi cara bagi seseorang berbicara dengan
cara yang paling jujur tentang perasaannya, kondisinya, ketakutannya kepada Tuhan.
kanonis menunjukkan seberapa kita tunduk pada aturan Tuhan. Bahwa sebagai
sesuai dengan ruang dan waktu tradisi yang ada. Dalam tradisi Hindu dalam setiap
doa, puja, dan japa nama-nama Tuhan diulang-ulang sebagai mantra. Pengulangan
mantra tidak signifikan dilakukan hanya pada japa melainkan juga pada ketika berdoa
dan menjalankan puja. Akan tetapi, tentu saja dalam japa yoga, pengulangan nama
Tuhan ini dilakukan lebih intensif, didahuli dengan inisiasi (baiat) yang menunjukkan
berkat yang didapatkan tidak putus dari guru-gurunya hingga sampai ke Tuhan.
Selain doa, puja dan japa yoga secara umum, perjalanan spiritual seseorang
dalam Hindu terbagi menjadi setidaknya empat cabang, yaitu karma yoga, bhakti
yoga, jnana yoga, dan raja yoga. Doa, puja dan japa yoga seringkali masuk dalam
kategori bhakti yoga. Jalan spiritual melalui doa dan pemujaan terhadap Tuhan.
berbeda lagi. Dalam skripsi ini penulis tidak mengelaborasi secara mendetail tentang
86
sebagaimana jalan ma‟rifat dalam tradisi Islam. Menekankan bahwa selain melatih
pakaian bagi kita dan kita tidak terpisahkan dari sembahyang, juga penting untuk kita
Terutama adalah ilmu Ketuhanan. Akan tetapi, hanya melalui sembahyang yang
diperintahkan oleh Tuhan, manusia memohon pertolongan untuk dapat mencapai apa
pun tujuan manusia dalam hidup ini. Dan segala sesuatu tidak akan bisa diraih tanpa
pertolongan Langit.
kemiripan dalam bentuk sembahyangnya. Tanpa menyebut salat dalam Ortodoks dan
Islam yang selain penyebutannya sama, juga cara menjalankannya sama yaitu dengan
berdiri, membaca doa, ruku‟ dan sujud. Akan tetapi perbedaannya terletak pada detail
jumlah rakaat dan cara penghitungan rakaat yang dilakukan. Selain itu perbedaannya
juga terletak pada dalam Islam setiap orang yang sudah memenuhi syarat syariat
untuk melaksanakan ibadah (Islam, baligh, berakal, sehat jasmani dan rohani), akan
tetapi dalam Gereja Ortodoks, tidak diwajibkan bagi semua orang, melainkan boleh
dilaksanakan bila setiap orang mau menjalankannya. Akan tetapi yang menjalankan
sembahyang tujuh kali sehari ini dalam Ortodoks hanya biarawan dan biarawati.
Artinya, bahwa dalam setiap agama, doa, sembahyang kanonis dan sembahyang
Dalam tradisi Islam, terdapat berbagai metode melakukan zikir. Metode ini
berkembang dalam berbagai tradisi tarekat. Contoh yang penulis sebutkan di atas
masih banyak lagi tarekat lain yang mempraktikkan berbagai metode zikir yang
tarekat memiliki silsilah keilmuan yang sampai pada Nabi Muhammad dan karenanya
PENUTUP
A. Kesimpulan
personal (doa), sembahyang kanonis, dan sembahyang kalbu, terbukti valid. Faktanya
dalam tradisi Katolik dan Kristen Ortodoks terdapat tiga bentuk sembahyang ini
dengan perbedaan tata caranya, demikian halnya dalam agama Hindu dan Islam.
Meskipun tata cara dan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya berbeda satu sama
lain.
membutuhkan-Nya kapan pun, di mana pun dan dengan cara apa pun. Yang perlu
bahwa dengan berkomunikasi secara aktif dengan Tuhan lah manusia menjalani
kehidupannya sehari-hari.
sembahyang kanonis yaitu salat merupakan kewajiban bagi siapa pun yang beriman.
Dan meskipun dalam tradisi Hindu, Katolik dan Kristen Ortodoks tidak diwajibkan
bagi semua orang sebagaimana dalam Islam, tetapi posisinya pun sangat penting.
Bahwa ada waktu-waktu tertentu dalam satu hari, ketika seseorang diwajibkan untuk
88
89
menghadapkan dirinya kepada Tuhan dan menghentikan diri sejenak dari aktivitas
apa pun yang dilakukan. Dengan demikian menunjukkan bahwa manusia tunduk pada
aturan Tuhan.
dalam agama apa pun. Meskipun dalam Agama Islam, misalnya, tidak diwajibkan,
tetapi merupakan inti dari berbagai ajaran Islam. Sebagaimana yang dikatakan
doa, sembahyang kanonis dan sembahyang kalbu. Meskipun tata cara pelaksanaannya,
berapa kali dilakukan sehar, dan waktu melakukannya berbeda-beda. Dan meskipun
penulis tidak meneliti agama-agama yang lain, selain dari ketiga agama tersebut di
atas, penulis yakin bahwa dalam agama lain terdapat ketiga kategori sembahyang
Bukan berarti bahwa sembahyang itu sekunder maka ia bisa ditinggalkan, melainkan
mana sembahyang yang lebih esensial dalam kehidupan kita sehari-hari. Antara
dalam kehidupan kita, ada kalanya kondisi jiwa kita tidak stabil sehingga kita perlu
89
90
jernih. Ketika inilah kita butuh mengungkapkan isi hati kita kepada Tuhan,
melaksanakan sembahyang personal kita, tujuannya tidak lain agar ketika kita salat
atau melakukan sembahyang kanonis, jiwa kita lebih stabil dan kita lebih fokus dalam
oleh Tuhan dalam Islam adalah sembahyang kanonis, sementara dari sudut pandang
tarekat yang lebih esensial adalah zikrullah. Tujuan setiap sembahyang adalah
mengingat Allah, berkomunikasi dengan Allah, karenanya baik salat maupun doa,
merupakan bagian dari zikrullah. Tidak cukup hanya bibir kita yang bergetar karena
B. Saran
sekadar menitikberatkan pada praktik sembahyangnya saja tetapi juga pada filosofi
maupun aspek mistisismenya (tasawuf). Selain itu bisa juga menekankan pada
sembahyang kalbu dalam tradisi agama tertentu seperti Hesychasm dalam tradisi
dijadikan bahan penelitian, misalnya praktik sembahyang dalam sekte Hindu tertentu.
Sebagaimana yang kita tahu hindu terbagi dalam berbagai jalan, bisa diteliti lebih
jauh bagaimana sembahyang dalam pandangan penganut karma yoga atau jnana yoga,
90
91
dan lain sebagainya. Dalam Islam sendiri, praktik sembahyang dalam beberapa sekte
Islam bisa jadi berbeda disesuaikan penafsiran mereka terhadap ayat al-Quran itu
sendiri. Misalnya dalam Syiah Ismailiyah melaksanakan salat dalam waktu yang
dapat terus dilakukan mengingat setiap agama berkembang, ke arah yang lebih baik.
Jodo Buddhisme, misalnya, beberapa tahun ke depan bisa jadi sudah ada; atau tarekat
tertentu yang sebelumnya tidak berkembang di Indonesia, kini bisa jadi terus
berkembang.[]
91
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam Abu Hamid. Rahasia Zikir dan Doa diterjemahkan oleh
Muhammad al-Baqir. 2014. Jakarta: Mizan.
Arifin, Zaenul. “Menuju Dialog Islam dan Kristen” dimuat pada Jurnal
Walisongo, Volume 20, Nomor 2, Mei 2012.
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama: Dari Era Teosofi Indonesia
(1901-1940) hingga Masa Reformasi. 2015. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bharati, Svami Veda. Mantra, Inisiasi, Meditasi & Yoga. 2002. Surabaya:
Paramita.
Chittick, William & Seyyed Hossein Nasr (ed). The essential Seyyed Hossein
Nasr. 2007. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.
92
93
Kazhemi, Reza Shah, “Frithjof Schuon and Prayer” dimuat dalam Jurnal Sophia
4.2, Winter 1998.
Laude, Patrick. Pray Without Ceasing: The Way of Invocation in World Religions.
2006. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.
Masyhur, Dr. H. Kahar. Salat Wajib: Menurut Mazhab yang Empat. 1995.
Jakarta: Rineka Cipta.
Nasr, Seyyed Hossein (ed). The Essential Frithjof Schuon. 2005. Bloomington
(Indiana): World Wisdom Inc.
Nasr, Seyyed Hossein. “Introduction to the first edition” dalam buku Ideals and
Realities of Islam- New Revised Edition. 2000. Chicago: ABC
International Group, Inc.
Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. 1989. New York: State
University of New York Press.
Rasyid, Hamdan, Dr. H. M. Konsep Zikir Menurut Al-Quran dan Urgensinya bagi
Masyarakat Modern: Suatu Kajian Tafsir Tematik dengan pendekatan
Sufistik. TT. Jakarta: Insan Cemerlang.
Schuon, Frithjof. “The Vedanta” dan “The View of Yoga” dalam buku Language
of the Self. 2003. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.
Schuon, Frithjof. Prayer Fashions Man: Frithjof Schuon on Spiritual Life, ed.
James S. Cutsinger. 2005. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.
Schuon, Frithjof. The Fullness of God: Frithjof Schuon on Christianity, ed. James
S. Cutsinger. 2004. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.
94
Shah-Kazemi, Reza. “Frithjof Schuon and Prayer”, an article that was initially
published in Sophia 4,2. 1998.
Schuon, Frithjof. “The Play of Masks,” dari buku dengan judul yang sama Play of
Masks. 1992. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.
Schuon, Frithjof. “Christian Gnosis,” from The Essential Sophia edited by Seyyed
Hossein Nasr & Katherine O’Brien. 2006. Bloomington (Indiana):
World Wisdom Inc.
Tim Redaksi KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa.