Anda di halaman 1dari 104

SEMBAHYANG DALAM AGAMA HINDU, KRISTEN, DAN ISLAM

MENURUT FRITHJOF SCHUON

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Fathimah Albatul Abidatunillah

NIM: 1111032100026

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M
PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Indonesia Arab Indonesia

‫ا‬ A ‫ط‬ ṭ

‫ب‬ b ‫ظ‬ ẓ

‫ت‬ t ‫ع‬ '

‫ث‬ ts ‫غ‬ hg

‫ج‬ j ‫ف‬ f

‫ح‬ ḥ ‫ق‬ q

‫خ‬ kh ‫ك‬ k

‫د‬ d ‫ل‬ l

‫ذ‬ dz ‫م‬ m

‫ر‬ r ‫ن‬ n

‫ز‬ z ‫و‬ w

‫س‬ s ‫ه‬ g

‫ش‬ sy ‫ء‬ '

‫ص‬ ṣ ‫ي‬ y

‫ض‬ ḍ ‫ة‬ h

Vokal Panjang

barA ansonodnr

‫آ‬ Ā

‫ٳى‬ Ī

‫أو‬ ū

iv
ABSTRAK
Fathimah Albatul A
1111032100026
Sembahyang dalam Agama Hindu, Kristen dan Islam menurut Frithjof Schuon
Manusia menyembah Tuhan dengan berbagai cara, akan tetapi tidak
semua orang benar-benar memahami apa makna dari tindakan yang dilakukannya.
Banyak orang menjalankan sembahyang tapi tidak benar-benar sembahyang; salat
tapi tidak benar-benar salat dan berdoa tanpa menghubungkan hatinya dengan Tuhan.
Sembahyang (Salat dan doa) menjadi sebuah tindakan yang dilakukan tanpa makna
dan karenanya kosong. Manusia tidak lagi merasa perlu memahami apa makna salat
dan mengapa kita perlu menghadap Tuhan beberapa kali dalam sehari dan bagaimana
seharusnya kita melakukannya di hadapan Tuhan.
Membicarakan tentang cara manusia menyembah Tuhan menjadi
tantangan tersendiri bagi penulis, karena bukan hanya berawal dari asumsi bahwa
eksistensi manusia mengharuskannya untuk melaksaanakan sembahyang, bahkan
manusia bergantung pada sembahyang, tetapi tidak semua orang mampu
menyadarinya.
Frithjof Schuon seorang sufi dan filsuf di abad 21, dalam berbagai
tulisannya menekankan tentang perlunya melaksanakan sembahyang sebagai bentuk
pertanggungjawaban kita atas kehidupan yang dianugerahkan Tuhan kepada kita.
Dalam hal ini, Schuon membagi sembahyang menjadi tiga yaitu sembahyang
personal (doa), sembahyang kanonis (sembahyang yang tata cara dan bacaannya
sudah ditentukan), dan sembahyang kalbu (meditasi dan menyebut nama Tuhan
berkali-kali).
Pada praktiknya, dalam masing-masing agama terdapat ketiga bentuk
sembahyang tersebut, misalnya dalam Hindu terdapat doa, puja trisandhya dan japa
yoga; dalam Kristen ada doa, brevir (liturgia horarum) dan Doa Yesus (Doa Bapa
Kami) dan Salam Maria; sementara dalam Islam terdapat doa, salat dan zikir. Dengan
demikian teori Schuon tentang tiga kategori sembahyang memang terbukti. Dan
penulis yakin ketiga kategori sembahyang tersebut juga terdapat dalam ajaran agama-
agama lain selain yang telah diteliti oleh penulis.

v
KATA PENGANTAR

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.


Alhamdulillah, segala puji hanyalah bagi Dia yang nama-Nya adalah obat dan
mengingat nama-Nya adalah penyembuh. Salawat dan salam senantiasa teriring untuk
Nabi Muhammad dan keluarganya.
Setelah melalui berbagai perjuangan dan pengorbanan, akhirnya penulisan skripsi ini
sampai di penghujung jalan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini;
1. Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, MA, selaku pembimbing penulis dalam
menyusun skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih banyak atas waktu
dan pikiran yang dicurahkan untuk membantu penulis menyelesaikan skripsi
ini. Dan penulis memohon maaf sekiranya ada yang kurang dalam skripsi ini.
2. Untuk Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin.
3. Untuk Dr. Media Zainul Bahri, MA dan Dra. Halimah Mahmudy, MA.,
selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Studi Agama-agama yang selalu terbuka,
gesit dan ramah menyambut kami para mahasiswa/i yang memiliki keperluan
macam-macam dengan jurusan tercinta.
4. Untuk seluruh jajaran guru besar dan dosen Fakultas Ushuluddin yang telah
memberikan ilmu dan bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Pimpinan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin beserta staf-stafnya yang telah berkenan meminjamkan
buku-buku kepada penulis.
6. Kepada kedua orang tua Bapak Slamet Mujiyono dan Ibu Sri Wastini, juga
alm Ibu Nurhayati, yang telah mendidik dan membimbing penulis hingga
berhasil menyelesaikan perjalanan ini.

vi
7. Kepada suami, Ali Ahmad, yang hanya karena dia lah skripsi ini bisa selesai.
Terima kasih untuk idenya, untuk diskusinya, untuk malam-malam yang
panjang, untuk siang yang dihabiskan bersama Rumy, untuk doa-doa yang
dipanjatkan, untuk cinta dan kasih sayang tiada putus. I’m more than grateful
to have you in my life.
8. Kepada anak lelakiku, my bundle of joy, my east and west, my sonshine that
shining so bright. I love you beyond words, thank you for coming in my life
and complete me, complete us.
9. Adik-adik penulis Mahdiya, Sayyida dan Alifah yang selalu menyemangati
dan merindukan ... [Rumy].
10. Teman-teman seperjuangan hingga detik-detik terakhir yang berbagi suka dan
duka dalam proses penulisan ini, Noviah, Annisa Fachradiena, Uci, Enis,
Arip, Ashly, Bela, dan semua teman seperjuangan, penulis ucapkan terima
kasih atas kebersamaannya.
Tak lupa, penulis memohon maaf atas kekurangan dan kesalahan penulis selama
ini. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa, setulus hati penulis haturkan
permohonan maaf kepada pihak-pihak yang tersakiti oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa karena keterbatasan penetahuan dan kemampuan
penulis, hasil skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga skripsi ini
memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi siapa pun yang
membacanya.

vii
DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan Pembimbing .......................................................................i


Lembar Pengesahan Panitia Ujian ......................................................................ii
Lembar Pernyataan Keaslian Skripsi ..................................................................iii
Pedoman Transliterasi ........................................................................................ iv
Abstrak ................................................................................................................v
Kata Pengantar ....................................................................................................vi
Daftar Isi ............................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................6
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................6
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................................7
E. Metodologi Penelitian ............................................................................ 8
F. Sistematika Penulisan .............................................................................13

BAB II RIWAYAT HIDUP FRITHJOF SCHUON


A. Sekilas Kehidupan Frithjof Schuon .....................................................17
B. Karya-karya Frithjof Schuon ............................................................... 22

BAB III PEMIKIRAN FRITHJOF SCHUON TETNAG SEMBAHYANG


A. Sembahyang meurut Frithjof Schuon....................................................30
B. Kategori Sembahyang ..........................................................................39
1. Sembahyang Personal .................................................................... 40
2. Sembahyang Kanonis .....................................................................43
3. Sembahyang Kalbu ........................................................................ 45

viii
2

BAB IV SEMBAHYANG DALAM TRADISI HINDU, KRISTEN DAN ISLAM


1. Sembahyang dalam Tradisi Hindu .................................................. 54
2. Sembahyang dalam Agama Kristen ................................................ 64
3. Sembahyang dalam Agama Islam ................................................... 74

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 88
B. Saran-saran .............................................................................................90
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................92

ix
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Spiritual realization is theoretically the easiest thing and in practice the most difficult
thing there is. It is the easiest because it is enough to think of God. It is the most difficult
because human nature is forgetfulness of God.
[Frithjof Schuon]

Sembahyang merupakan komunikasi antara manusia dengan Tuhan.

Seseorang dapat mengomunikasikan kesedihannya, kebahagiaannya, ketakutannya,

kekhawatirannya kepada Tuhan Sang Pemilik Kehidupan. Sembahyang adalah

pertemuan antara manusia dengan Tuhan, yang melaluinya manusia menyadari

keberadaannya hanya bergantung pada kasih Tuhan. Sembahyang adalah ritual

pemujaan terhadap Sang Pemberi Kehidupan. Tradisi sembahyang berkembang dalam

berbagai agama dalam forma yang berbeda-beda.

Secara etimologis, sembahyang berasal dari kata sembah dan Hyang.

Dalam KBBI kata sembah1 memiliki dua arti: (1) pernyataan hormat dan khidmat

(dinyatakan dng cara menangkupkan kedua belah tangan atau menyusun jari sepuluh,

lalu mengangkatnya hingga ke bawah dagu atau dng menyentuhkan ibu jari ke hidung);

dan (2) kata atau perkataan yg ditujukan kpd orang yg dimuliakan. Dalam KBBI ini,

kata sembah berlaku umum tidak hanya bermakna pemujaan terhadap Tuhan

melainkan juga tindakan menghormati orang lain. Namun demikian, kata sembahan

berarti pujaan; yang disembah, sehingga bisa merujuk pada tuhan atau dewa yang
1
Tim Redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008, h. 1259.
1
2

posisinya lebih tinggi dibandingkan. Sementara kata Hyang dikenal dalam tradisi

berbagai bahasa yakni bahasa Melayu, Jawa, Kawi, Sunda, dan Bali. Hyang merujuk

pada suatu keberadaan spiritual tak kasat mata yang memiliki kekuatan supranatural.

Keberadaan spiritual ini dapat bersifat ilahiah atau roh leluhur.2

Sementara kata sembahyang dalam KBBI memiliki dua makna: (1) (dalam

Islam) salat, dan (2) permohonan (doa) kepada Tuhan. Arti kedua dari kata ini

permohonan (doa) kepada Tuhan menunjukkan bahwa kata sembahyang dapat berlaku

umum, tidak hanya terbatas digunakan oleh orang Islam untuk menggantikan kata

salat. Dan pada praktiknya dalam berbagai tradisi keberagamaan di Indonesia, kata

sembahyang merujuk pada upacara pemujaan Tuhan yang tidak terbatas dalam satu

agama saja, melainkan dalam berbagai tradisi agama. Seperti dalam agama Hindu,

Konghucu atau Kristen.

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan kata sembahyang sebagai

terjemahan dari kata prayer. Frithjof Schuon sendiri menggunakan kata prayer yang

merujuk pada peribadatan dan pemujaan yang dilakukan oleh manusia terhadap Tuhan

dalam forma yang berbeda-beda. Artinya tidak terbatas pada forma peribadatan suatu

agama tertentu. Prayer sendiri menurut Schuon terbagi menjadi tiga yaitu personal/

individual prayer, canonical prayer, dan prayer of the heart (yang di dalamnya

mencakup invokasi atau zikir dan meditasi).

Pembagian Schuon terhadap ketiga mode sembahyang tersebut tertulis

dalam salah satu Esai yang berjudul “Modes of Prayer,” yang dihimpun oleh James S.

2
Wikipedia bahasa Indonesia, yang diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Hyang, pada Rabu 14
Maret 2018 pukul 9:25 WIB.
3

Cutsinger dalam sebuah buku berjudul Prayer Fashions Mans: Frithjof Schuon on

Spiritual Life.

The most elementary mode of prayer--of contact between man and God--is
no doubt prayer in the most ordinary sense of the word, for this is the direct
expression of the individual, of his desires and fears, his hopes and gratitude.
This prayer is however less perfect than canonical prayer which, for its part,
has a universal character due to the fact that God is its author and that the
subject, in reciting it, does so not as a particular individual, but in his
capacity as man, the human species; also this prayer contains nothing which
does not concern man--every man--and this is as much as to say it includes,
'eminently' or in addition, all possible individual prayers; it can even render
them superfluous, and, in fact, the Revelations permit or recommend
individual prayer, but do not impose it. Canonical prayer shows its
universality and its timeless value by being very often expressed in the first
person plural, and also by its preference for using a sacred or liturgical, and
therefore symbolically universal, language, so that it is impossible for
whoever recites it not to pray for all and in all.3

Schuon menegaskan bahwa elemen paling mendasar dalam hubungan

manusia dan Tuhan adalah sembahyang dalam makna yang paling sederhana, yaitu

ekspresi langsung seorang individu terkait dengan keinginan dan ketakutannya,

harapan dan syukurnya. Walaupun sembahyang personal ini tidak lebih sempurna

dibandingkan dengan sembahyang kanonis.

Schuon menjelaskan bahwa dalam sembahyang kanonis, seseorang

mengungkapkan segala hal yang terkait dengan kebutuhan individualnya. Dalam

sembahyang kanonis, Tuhan sendirilah penulisnya dan bahwa subjek yang

disampaikan dalam sembahyang tidak bersifat personal, melainkan manusia

sebagaimana adanya; dan dalam sembahyang ini tidak terkait apa pun yang tidak ada

hubungannya dengan manusia, sehingga sembahyang kanonis ini dapat disebut juga

sembahyangnya manusia.
3
Frithjof Schuon, “Modes of Prayer” dalam Prayer Fashion Man: Frithjof Schuon on Spiritual Life, ed.
James S. Cutsinger, (Bloomington: World Wisdom, 2006), h.57.
4

Seyyed Hossein Nasr dalam sebuah tulisannya yang berjudul “The

Integration of the Soul” yang dibukukan dalam The Essential Seyyed Hossein Nasr,

menyebutkan tentang dua sembahyang dalam tradisi sufisme:

All devout Muslims pray five times a day. That is in itself a miraculous
occurrence, to have so many hundreds of millions of people systematically
breaking their daily routine of life—we call it life but it is really
daydreaming—five times a day to stand before the Absolute, before the One.
Those canonical prayers are the foundation of all other forms of prayer.4

Seyyed Hossein Nasr mengemukakan bahwa salat, dalam hal ini adalah

sembahyang kanonis dalam tradisi Islam, menjadi fondasi bagi seluruh forma

sembahyang. Salat diwajibkan dan ditentukan waktunya, sehingga manusia dituntut

ketaatannya pada Tuhan. Lima kali sehari umat Islam diwajibkan untuk menghentikan

aktivitas kehidupannya. Dan bahkan ketika manusia telah menghadapkan dirinya di

hadapan Tuhan lima kali sehari pun, jiwanya masih dapat jatuh pada kealpaan akan

Tuhan.

Forma lain dari sembahyang yang disebutkan Schuon adalah Prayer of the

Heart, sembahyang kalbu. Yang secara umum merupakan penyatuan dari dua aktivitas

zikir (invocation). Seyyed Hossein Nasr melanjutkan:

But the soul can fall into forgetfulness, even if it turns five times a day to
God. So the Sufis try to expand the experience of prayer to what can be
called, in its highest form, the prayer of the heart, whose practice, ideally, is
to fill all times of the day and even the night when one is asleep, in perpetual
prayer.5

Sembahyang kalbu merupakan bentuk tertinggi sembahyang, yang disebut

juga intisari sembahyang, yaitu zikir atau invocation/ remembrance. Yaitu penyebutan

4
Seyyed Hossein Nasr, “The Integration of The Soul” dalam The Essential Seyyed Hossein Nasr, ed.
William Chittick, (Bloomington: World Wisdom, 2007), h.80
5
Seyyed Hossein Nasr, “The Integration of The Soul”, h.80
5

berulang-ulang Asma Tuhan, sehingga kita menyatu dengan nama tersebut. James

Cutsinger dalam Pendahuluan buku Prayer Fashions Man menyebutkan, sembahyang

ini merupakan puncak metode spritual yang diajarkan Schuon dan merupakan bentuk

sembahyang yang ia tekankan dalam berbagai tulisanya. Sebagaimana dua forma

sembahyang yang sebelumnya (sembahyang personal dan sembahyang kanonis),

sembahyang kalbu mengisyaratkan kemampuan khusus manusia untuk berbicara,

tetapi esensinya bukan terletak pada kesinambungan makna dari apa yang dikatakan,

melainkan fakta bahwa kata yang diucapkan mengabadikan sebuah penyingkapan

terhadap Nama Ilahi.

Pemikiran Schuon mewakili pemikiran para mistikus dari berbagai tradisi

agama bahwa peribadatan dengan Tuhan merupakan komunikasi antara manusia

dengan Tuhan dengan berbagai forma. Praktik peribadatan ini unik dalam setiap

agama, karena mengekspresikan nilai yang berbeda-beda. Tetapi sebagaimana yang

Schuon tekankan inti dari sembahyang adalah mengingat Tuhan.

Dalam agama Islam, kita mengenal doa, salat dan zikir sebagai metode

peribadatan manusia terhadap Tuhan. Dalam tradisi Katolik, dikenal Ibadah dan Misa

(liturgi) dan Doa Bapa Kami (Jesus Prayer), juga dalam tradisi Kristen Ortodoks

dikenal Hesychasm dan As-Sab’u ash-Shalawat (Sembahyang tujuh waktu). Dalam

tradisi Yahudi dipraktikkan yaitu morning prayer (shacharit), afternoon prayer

(minchah) dan evening prayer (arvith or maariv) dan juga Shema (invocation). Ada

juga Nembutsu dari Jodo Buddhisme (Pure Land Buddhism) dan berbagai bentuk
6

Japa-Yoga dalam tradisi Hinduisme, di mana Nama Rama dan Krishna ditemukan

dalam berbagai mantra invokasi.

Melihat beragam praktik sembahyang dalam berbagai tradisi keagamaan

tersebut, penulis tertarik untuk mengelaborasi lebih dalam lagi tentang kaitan antara

pembagian sembahyang menurut Frithjof Schuon dan korelasinya dengan praktik

sembahyang dijalankan oleh penganut Agama Islam, Kristen (untuk mendapatkan

gambaran utuhnya, penulis menekankan pada Kristen Ortodoks dan atau Katolik), dan

Hindu. Serta bagaimana titik temu dalam praktik sembahyang tersebut dilihat dari

kaca mata Schuon.

II. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan

dibahas dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimanakah sembahyang dalam pandangan Frithjof Schuon?

2. Bagaimanakah sembahyang dalam tradisi Kristen, Hindu, dan Islam

dalam pandangan Frithjof Schuon?

3. Bagaimana relevansi dan signifikansi pemikiran Schuon terhadap

spiritualitas kita di era modern ini?

III. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan tersebut, tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:
7

1. Menganalisis praktik sembahyang dalam agama Islam, Kristen dan

Hindu berdasarkan pengertian sembahyang dari Frithjof Schuon dan

mengomparasikannya.

2. Memahami signifikansi dan relevansi pemikiran Schuon terhadap

spiritualitas kita di era modern ini.

IV. Tinjauan Pustaka

Setelah melakukan penelusuran terbatas terhadap tema yang diteliti ini,

penulis menemukan beberapa tulisan baik itu tesis, disertasi atau buku-buku yang

terkait dengan gagasan Frithjof Schuon di antaranya adalah:

1. Pemikiran Frithjof Schuon Tentang Makna Agama dalam Perspektif

Filsafat Agama, yang ditulis oleh Nazwar sebagai tesis pada Program Studi Ilmu

Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada tahun 2014.

2. Kerukunan Antaragama Perspektif Filsafat Perenial: Rekonstruksi

Pemikiran Frithjof Schuon oleh Ngainun Naim (dosen STAIN Tulungagung).

Diterbitkan pada Jurnal Harmoni (Jurnal Multikultural & Multireligius) Vol 11, No. 4,

Oktober-Desember 2012.

3. Kesatuan Transenden Agama-Agama dalam Perspektif Tasawuf (Kritik

atas Pemikiran Frithjof Schuon) oleh Abdullah Muslich Rizal Maulana (Alumni Prodi

Ilmu Aqidah Fak. Ushuluddin Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor), diterbitkan

pada Jurnal Kalimah Vol. 12, No.2, September 2014.


8

4. Kajian Kritis Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon (1907–1998) oleh

Dinar Dewi Kania (Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor), diterbitkan pada Jurnal

Tsaqafah Vol 10, No. 1, Mei 2014.

Akan tetapi, hasil penelitian yang secara langsung berkaitan dengan

sembahyang menurut perspektif Frithjof Schuon belum berhasil penulis temukan.

V. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

A. Kualitatif

Jenis penelitian pada skripsi ini adalah penelitian kualitatif dengan

metode penjelasan deskriptif analitik. Bogdan dan Taylor mendefinisikan

penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati.6

B. Deskriptif Analitik

Dalam menjelaskan hasil penelitian ini, penulis menggunakan

metode deskriptif analitik, yaitu mendeksipriskan mengenai

pemikiran-pemikiran Frithjof Schuon tentang sembahyang kemudian

menganalisis praktiknya dalam berbagai agama. Analisis lebih lanjut penulis

gunakan untuk mencari titik temu antara praktik-praktik sembahyang dalam

Agama Islam, Kristen dan Hindu berdasarkan pemikiran Frithjof Schuon.

2. Pendekatan Penelitian

6
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung,: Remaja Rosdakarya, 2002), h.9.
9

Pendekatan yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah

pendekatan historis dan fenomenologis. Tulisan ini berupaya mengupas

tradisi ritual sembahyang dalam Agama Islam, Kristen dan Hindu untuk

memahami keunikan prosesi sembahyang pada masing-masing agama dan

keterhubungan manusia dengan Tuhan yang dituju dari prosesi sembahyang

tersebut. Selain itu, tulisan ini juga berupaya mencari titik temu ketiga agama

tersebut dalam kaitannya dengan prosesi atau tradisi sembahyangnya.

Pendekatan historis digunakan untuk menelusuri asal-usul dan

pertumbuhan ide-ide dan pranata-pranata keagamaan melalui

periode-periode perkembangan historis tertentu dan menilai peranan

kekuatan-kekuatan yang dimiliki agama untuk memperjuangkan

(mempertahankan) dirinya selama periode-periode tertentu.7 Frithjof Schuon

merupakan salah seorang tokoh utama dalam Filsafat Perenial, sebuah

cabang filsafat yang menitikberatkan pada ajaran tentang perenialisme

(ajaran abadi dan terus mengalir) tradisi pemikiran Ketuhanan. Karenanya

pandangan Schuon tidak pernal lepas dari gagasanyang telah hidup sejak

zaman dahulu.

Sementara itu metode fenomenologis adalah metode yang meneliti

apa yang nampak (phainomenon). 8 Dengan menggunakan metode ini,

penulis menangguhkan untuk memberikan penilaian terhadap praktik

sembahyang dalam agama tertentu, melainkan mendeskripsikan dan mencari

7
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama: Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga
Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.16.
8
Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, h.25
10

keunikan sembahyang dalam tradisi tiga agama berdasarkan pada gagasan

Schuon tentang sembahyang. Kemudian dengan menggunakan pendapat

Schuon penulis mencari titik temu antaragama yang telah dideskripsikan.

3. Sumber data

Dalam menuliskan skripsi ini penulis menggunakan sumber data primer dan

sumber data sekunder. Sumber data primer adalah buku-buku atau tulisan-tulisan

yang langsung berkaitan dengan subjek yang penulis ambil yaitu sembahyang dalam

pandangan Frithjof Schuoan dan praktik-praktik sembahyang dalam agama Islam,

Kristen dan Hindu.

1. Primer

Sumber primer tulisan ini terutama adalah tulisan-tulisan Frithjof Schuon

tentang sembahyang, juga tulisan-tulisan Schuon terkait dengan praktik

sembahyang dalam beberapa agama. Sumber primer yang penulis gunakan

adalah Prayer Fashions Man: Frithjof Schuon on Spiritual Life, merupakan

himpunan tulisan Frithjof Schuon tentang sembahyang Dalam buku yang diedit

oleh Prof. James Cutsinger ini, Schuon menulis tentang sembahyang sebagai

sebuah komunikasi antara manusia dengan Tuhannya. Schuon menuliskan

bahwa semua sembahyang akan mengantarkan manusia pada Tuhan. Dan

sembahyang sebagai satu-satunya jalan agar manusia menjadi manusia

seutuhnya. Sebagaimana ia menuliskan, “sum ergo oro (I am: therefore I

pray)”.
11

Sumber lain yang digunakan dalam skripsi ini adalah The Fullness of God:

Frithjof Schuon on Christianity. Satu lagi kumpulan esai yang dikumpulkan dan

disunting oleh James S. Cutsinger. Buku ini memuat esai-esai yang terkait

dengan tradisi Kristiani seperti penjelasan tentang The Father, Kunci-kunci

untuk memahami Bibel, Bunda Maria, dan makna simbol salib.

The Fullness of God: Frithjof Schuon on Christianity. Satu lagi kumpulan

esai yang dikumpulkan dan disunting oleh James S. Cutsinger. Buku ini

memuat esai-esai yang terkait dengan tradisi Kristiani seperti penjelasan tentang

The Father, Kunci-kunci untuk memahami Bibel, Bunda Maria, dan makna

simbol salib.

Understanding Islam. Menurut Seyyed Hossein Nasr, buku ini merupakan

terpenting tentang Islam yang pernah ditulis oleh Frithjof Schuon di antara

semua buku yang ditulis oleh orang-orang Barat tentang Islam. Buku ini

merupakan buku yang dapat diterima secara luas oleh umat Muslim. Terbagi ke

dalam empat bab, buku ini membahas tentang Islam, Al-Quran, Penjelasan

tentang sunnah, Sang Nabi, dan Jalan (Spiritual).

Language of the Self: Essays on the Perennial Philosophy. Dua esai

berjudul The Vedanta dan A View of Yoga penulis jadikan sumber primer

dalam mengkaji pemikiran Schuon terkait dengan sembahyang dalam tradisi

Hindu.
12

2. Sekunder

Sumber data sekunder merupakan buku-buku dan tulisan-tulisan

yang tidak berkaitan secara langsung dengan pemikiran Schuon tentang

sembahyang maupun praktik sembahyang, tetapi memberikan gambaran

tambahan kepada penulis untuk melihat pemikiran Schuon secara lebih jelas

dan mendasar.

Pray Without Ceasing: The Way of the Invocation in World Religions.

Merupakan sebuah kumpulan esai yang ditulis oleh pemuka berbagai agama di

dunia, dikumpulkan dan diedit oleh Patrick Laude. Tulisan ini berupaya

menjawab secara esensial dan langsung, “mengapa dan bagaimana seseorang

seharusnya sembahyang?” Invocatory prayer merupakan ibadah tertinggi, di

mana Nama Tuhan memenuhi kehidupan seseorang. Dan tradisi ini tidak hanya

berkembang pada satu agama tertentu saja, melainkan dalam berbagai agama.

Tulisan-tulisan dalam buku ini, ditulis sendiri oleh para pelaku/ penganutnya,

sehingga menjadi salah satu rujukan utama dalam penelitian ini. Laude

mengumpulkan artikel-artikel dari berbagai tradisi, mulai dari Islam, Katholik,

Yahudi, Hindu, dan Buddha.

Introduction to the Studi of Hindu Doctrines. Buku ini ditulis oleh

Rene Guenon yang berisikan pengenalan terhadap filosofi dan tradisi dalam

Agama Hindu. Dalam buku ini terbagi ke dalam empat bagian, Bagian pertama

berupaya menjawab pertanyaan tentang perbedaan Timur dan Barat; bagian

kedua lebih spesifik pada karakteristik umum pemikiran Timur; dan bagian
13

ketiga menjelaskan tentang doktrin-doktrin daalm agama Hindu; dan bagian

terakhir berisikan interpretasi Barat terhadap pemikiran Timur.

Buku-buku lain yang digunakan sebagai sumber sekunder dalam

tulisan ini di antaranya adalah: The Essential Frithjof Schuon, Frithjof Schuon

Life and Teaching, Advise to the Serious Seeker: Meditations on the Teaching of

Frithjof Schuon. Ini merupakan buku yang ditulis oleh James Cutsinger

berdasarkan pemikiran-pemikiran Schuon. Buku ini ditulis berdasarkan

seringnya Cutsinger diminta memberikan petunjuk terkait dengan pencarian

spiritual seseorang.

VI. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dengan menggunakan sistematika pembahasan

sebagaimana yang diwajibkan secara normatif dalam karya-karya ilmiah. Secara

keseluruhan penelitian ini terdiri atas lima bab. Pada bab pertama, bab pendahuluan,

dikemukakan tentang latar belakang topik kajian, signifikansi dan metodologi yang

akan diterapkan. Bab ini penting untuk melihat secara singkat kontur pembahasan

pada bab-bab selanjutnya.

Kemudian, pada bab kedua, akan diuraikan biografi Frithjof Schuon dan

sejarah pemikiran filosofisnya. Bagaimana kehidupan masa kecilnya hingga remaja

dan dewasa, latar belakang pemikiran yang mendalam tentang Tuhan dan agama.

Kemudian akan diuraikan juga tentang tokoh-tokoh yang memengaruhi pemikiran

Schuon dan peranannya dalam perkembangan spiritualitas di Eropa dan terutama di


14

Amerika, serta karya-karya Schuon yang memengaruhi pemikiran spiritualitas di era

modern.

Selanjutnya pada bab ketiga penulis membagi dalam dua sub bagian, yaitu

bagian A, akan diuraikan bagaimana pendapat Schuon tentang sembahyang. Dalam

bab ini, penulis akan menguraikan kedalaman pendapat Schuon tentang sembahyang,

serta dimensi-dimensi sembahyang. Juga bagaimana Schuon membagi sembahyang

dalam tiga kategori, sembahyang personal, sembahyang kanonis dan sembahyang

invokasi.

Dan pada bab tiga bagian B, berisi uraian teoritis tentang tulisan ini.

Setelah melihat bagaimana latar belakang pemikiran dan kehidupan Schuon, serta

bagaimana pemikiran Schuon tentang sembahyang. Maka penulis akan melihat

bagaimana penerapan sembahyang tersebut dalam berbagai tradisi agama. Penulis

akan mulai menganalisis dari agama Islam yang mana pembagian ketiganya tampak

cukup jelas yakni doa, salat dan dzikir. Kemudian penulis akan masuk ke agama

Kristen secara umum, artinya yang dibahas terutama adalah ajaran agama yang

mengikuti Kristus, sehingga mungkin bersinggungan dengan Katholik, Orthodoks,

Protestan, dan sebagainya. Penulis akan berusaha menjabarkan hasil analisis tentang

bagaimana prosesi liturgi dan peranan Doa Bapa Kami (Jesus Prayer) dalam tradisi

keagamaan Kristen. Serta praktik sembahyang tujuh waktu dan Hesychasm dalam

tradisi Krsiten Ortodoks. Selanjutnya penulis akan menganalisis praktik sembahyang

dalam tradisi Hindu. Agama tertua ini tentu saja memiliki titik temu dengan dua

ajaran agama yang sebelumnya, tetapi tentu saja memiliki ciri khasnya sendiri. Ada
15

puja dan yoga dalam ajaran agama Hindu. Yang akan penulis uraikan adalah

bagaimana makna puja itu dan kaitannya dengan sembahyang dalam pandangan

Schuon.

Dan pada bab empat, penulis akan menguraikan signifikansi pemikiran

Schuon terhadap spiritualitas manusia di era modern ini. Pertama adalah bagaimana

pemikiran Schuon dapat memberikan pengaruh terhadap hubungan antara manusia

dan Tuhan dan yang kedua adalah bagaimana pengaruhnya terhadap hubungan antara

manusia dan manusia.

Akhirnya, bab lima menutup seluruh rangkaian pembahasan pada bab-bab

sebelumnya. Dalam bab ini penulis akan berusaha menyimpulkan dari penjelasan

seluruh bab yang sebelumnya. Bab ini berisi kesimpulan dan masukan untuk kajian

selanjutnya. []
BAB II

RIWAYAT HIDUP DAN KARYA FRITHJOF SCHUON

Dengan mempertimbangkan kedalaman penjelasan yang rinci tentang

metafisikanya dan fakta bahwa ia adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa

sophia perennis1 ada pada inti setiap agama, maka tampak aneh ketika kita hanya

mengetahui sangat sedikit tentang Frithjof Schuon. Namun, memang merupakan

karakternya dan juga bagian dari posisi intelektual dan spiritualnya untuk tetap

mengucilkan diri dan menjaga jarak dari keriuhan dunia. Karya-karyanya menggema

di Timur dan Barat, sementara ia sendiri menolak untuk mengajar atau memberikan

kuliah publik.2

Nama Frithjof Schuon mulai dikenal terutama setelah bukunya

Understanding Islam dan Transcendent Unity of Religion diterjemahkan ke dalam

bahasa Inggris.3 Walaupun kini, hampir semua tulisannya telah diterjemahkan ke

dalam bahasa Inggris. Buku Understanding Islam sendiri selain diterjemahkan ke

berbagai bahasa, juga menuai banyak pujian dari umat Islam selama bertahun-tahun.

Seyyed Hossein Nasr, menyebutkan bahwa karya Schuon ini merupakan, “most

1
Istilah sophia perennis atau philosophia perennis (Filsafat Perenial) merupakan totalitas kebenaran
primordial dan universal yang formulasinya tidak termasuk dalam sistem partikular mana pun (agama mana pun).
Schuon menegaskan dalam
2
Seyyed Hossein Nasr, “Who is Frithjof Shcuon” dalam The Essential Frithjof Schuon, (Bloomington, Ind:
World Wisdom, 2005), h. 50
3
Harry Oldmeadow, “The Heart of the Religio Perennis: Frithjof Schuon on Esotericism”, h.3
16
17

important work on Islam and among the books written by a Westerner on Islam, [this

is] the one and most universally accepted by Muslims.”4

Martin Lings menulis sebuah ulasan tentang buku ini, juga menyatakan

bahwa dalam karyanya ini (Understanding Islam) Frithjof Schuon tidak memberikan

banyak deskripsi tentang Islam, ataupun mengapa Muslim meyakini Islam, yang

mana membuat karya ini benar-benar langka. Bahkan buku ini sangat kaya dengan

referensi dari berbagai agama, mulai dari Hinduisme dan Buddhisme, hingga ajaran

Kristen, dan hampir setiap kali membahas tentang doktrin atau praktik peribadatan

dalam Islam selalu diperluas dengan menyebutkan ajaran apa yang berhubungan

dengan doktrin atau praktik tersebut di agama-aga,a di Barat.5

Di samping itu, beberapa sarjana sudah merangkum dan menuliskan

biografi Frithjof Schuon, maka penulis akan mengompilasi dan menyunting

tulisan-tulisan tersebut agar sesuai dengan tujuan penulisan skripsi ini.6

Dalam penulisan biografi ini, penulis tidak akan terlalu detail menguraikan

tentang kehidupan Schuon. Setidaknya penulisan biografi ini dapat memberikan

gambaran historis tentang tulisan-tulisan Frithjof Schuon serta gambaran umum


4
Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h. 59
5
Martin Lings, “Book Review on Understanding Islam, by Frithjof Schuon” Source: Tomorrow (later
retitled Studies in Comparative Religion), Vol 12, No. 1. (Winter, 1964). World Wisdom, Inc. Dapat dibaca secara
daring di http://www.frithjofschuon.info
6
Ada beberapa buku yang secara khusus membahas tentang kehidupan dan pemikiran Frithjof Schuon,
di antaranya adalah:
1. Frithjof Schuon: LIfe and Teaching karya Jean-Baptise Aymard dan Patrick Laude.
2. Frithjof Schuon the Messenger of Perennial Philosophy karya Harry Oldmeadow
3. Frithjof Schuon and the Perennial Philosophy karya Michael Oren Fitzgerald
4. The Essential Frithjof Schuon yang dikumpulkan dan disunting oleh Seyyed Hossein Nasr.
Sumber utama yang penulis gunakan dalam penulisan biografi Frithjof Schuon adalah Frithjof Schuon: Life
and Teaching, Frithjof Schuon the Messenger of Perennial Philosophy dalam bab pertama “Frithjof Schuon: A
Sage for the Times” juga dalam esai-esai yang ditulis oleh Nasr tentang Schuon dalam bab Introduction dalam
buku The Essential Frithjof Schuon.
18

perjalanan intelektual dan spiritual Schuon agar dapat sedikit lebih memahami

karya-karyanya dan posisi intelektualnya.

***

A. Sekilas Biografi Frithjof Schuon

Frithjof Schuon, dilahirkan di Basle, Jerman. Ayahnya, Paul Schuon,

adalah seorang pemain biola dan seorang profesor di Basle Conservatory, merupakan

keturunan Swabian yang berdarah asli Jerman. Sementara ibunya, Margarete Boehler,

adalah keturunan Perancis. Kakaknya, Erich, menjadi seorang biarawan Trappist

dengan nama Father Gall dan menghabiskan waktunya di Notre Dame de Scourmont,

Belgia.

Schuon hidup di Basle dan bersekolah di kota tersebut hingga

meninggalnya sang ayah, yang setelahnya ibunya yang merupakan keturunan Alsatia

pindah ke Mulhouse, di mana Schuon diharuskan untuk menjadi warga negara

Perancis. Ia sebelumnya menerima pendidikan di Jerman, tetapi sekarang diharuskan

untuk diajar dengan pendidikan Perancis yang karenanya ia sangat menguasai kedua

bahasa tersebut di masa kecilnya. Di usia 16 tahun, ia harus meninggalkan sekolah

untuk membiayai hidupnya sebagai seorang desainer di Paris, memulai langkah

pertamanya di bidang seni yang senantiasa ia sukai sejak kecil meskipun ia tak pernah

mendapatkan pelatihan formal di bidang ini.

Sejak kecil Schuon juga telah sangat tertarik pada dunia Timur, pada

kidung-kidung mulia Bhagavad Gita, yang merupakan karya favoritnya di samping


19

Seribu Satu Malam.7 Ia juga memiliki kecondongan pada metafisika, ia membaca

Plato di samping Meister Ekchart bahkan ketika usianya masih sangat belia, dan ia

masih tinggal di Mulhouse, ia menemukan karya-karya Rene Guenon, 8 yang

memantapkan intuisi intelektualnya dan memberikan dukungan terhadap

prinsip-prinsip metafisika yang mulai ia temukan.

Sejak usia belia Schuon sudah terpesona dengan kesenian tradisional,

khususnya yang berasal dari Jepang dan Timur Jauh. Dalam salah satu bukunya ia

bercerita tentang pertama kali ia melihat patung Buddha, sebuah patung tradisional

dari penjelmaan Spirit. Patung tersebut berada di sebuah museum etnografis. Terbuat

dari kayu yang sudah disepuh, diapit dua patung Bodhisattwas: Seishi dan Kwannon.

Di buku itu Schuon bercerita dengan cara yang tak biasa. Pengalaman tersebut ia

lukiskan dengan ungkapan “veni, vidi, victus sum”: aku datang, aku melihat, dan aku

menang.9

Seorang penulis melihat pentingnya intuisi estetika untuk menjabarkan

pemahaman Schuon yang luar biasa tentang berbagai struktur kemasyarakatan dan

keagamaan tradisional:

“Hanya dengan melihat sebuah objek dari suatu peradaban tradisional,


Schuon dapat merasakan--melalui semacam rangkaian “alchemic
relation”--seluruh gagasan intelektual, spiritual, dan psikologis dari
peradaban tersebut.”10

7
Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h.51
8
Harry Oldmeadow, “Traditionalism and the Sophia Perennis”, h.203
9
Oldmeadow, “Traditionalism and the Sophia Perennis”, h.202
10
Oldmeadow, “Frithjof Schuon dan Religio Perennis di Timur dan Barat”, h.10 dimuat dalam Zine
Pondok Tradisi, Edisi X Juni MMXV, alih bahasa oleh Ali Ahmad.
20

Pernyataan tersebut mungkin terkesan berlebihan, tetapi bagi mereka yang

sudah membaca karya-karya Schuon, tidak akan meragukan karunia yang

digambarkan dalam pernyataan tersebut.

Schuon melakukan perjalanan ke Paris setelah mengabdikan diri di wajib

militer selama satu setengah tahun. Di Paris, ia tak hanya bekerja sebagai desainer

tetapi juga mulai mempelajari bahasa Arab di sebuah masjid di Paris. Ia juga terpapar

jauh lebih intens dari sebelumnya terhadap berbagai bentuk seni tradisional, terutama

dari Asia yang selalu ia kagumi sejak kecil.

Masa-masa ini sangat berpengaruh pada keakraban Schuon secara

intelektual dan artistik terhadap dunia tradisional dan diikuti dengan kunjungan

pertama Schuon ke Aljazair pada tahun 1932.11 Afrika Utara menjadi saksi bisu bagi

sedikit banyak pola kehidupan tradisionalnya yang utuh. Perjalanan ini menandai

pengalaman pertama Schuon terhadap kebudayaan tradisional dan juga kontak

langsung pertamanya dengan dunia Islam, yang membawanya mendapatkan ilmu dari

tangan pertama dan keintiman dengan tradisi Islam, termasuk Sufisme, di antaranya

sufi agung Syaikh al-‟Alawi yang ia temui. Pada perjalanan keduanya ke Afrika Utara

pada 1935, ia tidak hanya mengunjungi Aljazair, melainkan juga Maroko, sementara

pada tahun 1938 ia melakukan perjalanan ke Kairo di mana ia akhirnya bertemu

dengan Guenon, yang dengannya ia telah saling berkirim surat selama beberapa

tahun.

Pada tahun 1939 ia berhenti di Mesir lagi dalam perjalanannya ke India, ke

tanah yang selalu ia cintai dan spiritualitasnya telah menarik perhatiannya sejak masa
11
Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h.53
21

kanank-kanak. Sejenak setelah kedatangannya di India, Perang Dunia II pecah dan

memaksanya untuk segera kembali ke Perancis, di mana ia mulai mengabdi di wajib

militer. Setelah beberapa bulan berperang di sisi Perancis, ia ditangkap oleh pasukan

Jerman dan dipenjarakan. Ketika ia mengetahui bahwa pasukan Jerman berencana

menariknya masuk dalam jajaran pasukan Jerman karena latar belakang Alsatian yang

dimilikinya. Tetapi ketika tentara Nazi juga mengancam keturunan Alsatian di tentara

Jerman, ia lantas melarikan diri ke Swiss. Di negara ini ia dipenjara sebentar sampai

akhirnya diberikan suaka. Ia tinggal di kota Lausanne dan beberapa tahun kemudian

memtuuskan untuk menjadi warga negara Swiss.12

Selama beberapa tahun, Switzerland menjadi rumah bagi Schuon. Di sini

pada tahun 1949, ia menikahi seorang gadis keturunan Jerman-Swiss dengan latar

belakang pendidikan Perancis, Catherine Feer, yang di samping memiliki ketertarikan

terhadap agama dan metafisika, juga merupakan seorang pelukis berbakat. Di sini

pula lah ia menulis sebagian besar dari karya-karyanya dan ia dikunjungi oleh banyak

sarjana dan pemikir di bidang agama-agama terkenal dari Timur dan Barat. Di

samping melakukan perjalanan dari waktu ke waktu untuk mengunjungi keagungan

gunung-gunung di tanah ini, untuk menghirup udara segar di pagi hari, adakalanya ia

juga melakukan perjalanan ke negara lain. Perjalanan ini termasuk juga kunjungan

rutin ke Maroko, dan kunjungan ke Turki pada tahun 1968 di mana ia menghabiskan

beberapa waktu di Rumah Perawan Suci di Kusadasi dekat Ephesus.

Schuon dan Catherine sebelumnya telah menjalin persahabatan dengan

mengunjungi suku Indian di Paris dan Brussel pada tahun 1950-an. Pada kunjungan
12
Harry Oldmeadow, “Frihtjof Schuon dan Religio Perennis di Timur dan Barat”, h.12.
22

pertama mereka ke Amerika Utara di tahun 1959, keduanya secara resmi diadopsi ke

dalam keluarga Red Cloud dari suku Lakota, sebuah cabang marga Sioux yang

darinya lahir Black Elk “sang tabib” yang amat dihormati.13

Ketika ia dan istrinya menghabiskan dua periode bersama suku Indian

Amerika Utara, kecintaan Schuon kepada alam menjadi semakin dalam. Kecintaan itu

tertuang dalam banyak karyanya bagaikan bayang-bayang melodi yang sering

menghampiri. Lukisan-lukisan Schuon yang menggambarkan keindahan kehidupan

suku Indian sebagaimana penjelasan yang terperinci tentang ajaran tradisional mereka,

memperlihatkan hubungan khususnya dengan dunia spiritual Indian Amerika, sebuah

hubungan yang terutama dibangun dan terus diperluas selama perjalanan-perjalanan

ini.

Selain ke Amerika, Schuon juga mengunjungi Afrika Utara dan Timur

Tengah untuk menjalin silaturahmi dengan para pemuka tradisi agama-agama besar.

Awalnya ia hidup menyendiri di Swiss, tetapi kemudian menghabiskan masa

hidupnya di Amerika. Pada bulan Mei 1998, ajal menjemputnya.

B. Karya-karya Frithjof Schuon

Tulisan-tulisan yang meliputi pembahasan metafsika dan agama-agama,

seringkali dituliskan secara superfsial dan simplistis. Tetapi tidak dengan tulisan

Schuon. Meskipun meliputi tema yang luas, karya-karyanya justru membentuk

13
Untuk beberapa catatan tentang pengalaman pribadi Schuon bersama Plains Indian, lihat F.Schuon,
The Feathered Sun, Bag. 2&3. Schuon, Coomaraswamy, dan Joseph Epes Brown, dan seniman Paul Goble, adalah
tokoh-tokoh yang menjadi garda depan dalam upaya menjaga dan memelihara warisan spiritual Plains Indian
yang begitu berharga. Lihat R. LIpsey, Coomaraswamy: His Life and Works, h. 227-228.
23

korpus yang sangat mengagumkan.14 Misalnya, karya Schuon tentang tradisi agama

tertentu pasti diakui dan diapresiasi oleh para cendekiawan dan pemeluk tradisi

terkait.

Tulisan-tulisan Schuon sama sekali bukan sebuah “pengembangan” atau

“evolusi” pengetahuan, melainkan penegasan kembali prinsip-prinsip yang sama dari

beragam sudut pandang yang tepat untuk diterapkan pada berbagai fenomena yang

berbeda-beda. Sebab, Schuon bukan hanya mengetahui “tentang” berbagai

manifestasi agama dan tradisi sapiensial secara ensiklopedis, melainkan melalui cara

yang dapat kita sebut intuitif. Seyyed Hossein Nasr menuliskannya seperti ini:

“If Guenon was the master expositor of metaphysical doctrines and


Coomaraswamy the peerless scholar and connoisseur of Oriental art who began
his exposition of metaphysics through recourse to the language of artistic forms,
Schuon seems like the cosmic intellect itself impregnated by the energy of divine
grace surveying the whole of the reality surrounding man and elucidating all the
concerns of human existence in the light of sacred knowledge.”15

Ada beberapa buku Schuon yang membahas tradisi Islam dan Kristen

secara khusus. Nasr yang merupakan seorang cendekiawan muslim terkemuka,

menulis tentang buku Understanding Islam:

“Saya yakin karya Schuon ini adalah karya paling luar biasa yang pernah ditulis
dalam bahasa Eropa, karya tentang mengapa umat muslim meyakini Islam dan
mengapa Islam menawarkan umat manusia segala sesuatu yang dibutuhkannya
baik secara relijius maupun spiritual.”16

14
Untuk bibliografi tulisan-tulisan Schuon yang lebih lengkap sampai tahun 1990, lihat Religion of the
Heart, disunting oleh S.H. Nasr dan W. Stoddart, h.299-327.
15
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, (New York: State University of New York Press, 1989),
h.97.
16
Seyyed Hossein Nasr, “Introduction to the First Edition” dalam buku Ideals and Realities of Islam-New
Revised Edition, (Chicago: ABC International Group, Inc, 2000) ,h.xxv.
24

Pujian Nasr bahkan lebih tinggi lagi ketika berkenaan dengan karya-karya

Schuon belakangan.17

Seluruh karya Schuon memang memiliki nuansa sufistik, tetapi ini bukan

berarti karyanya terbatas pada pusaka Islam. Dua karya utamanya fokus berbicara

tentang agama Hindu dan Buddha: Language of the Self (1959) dan In the Tracks of

Buddhism (1969). Ia juga sering merujuk spiritualitas Indian Merah, tradisi Cina, dan

agama Yahudi. Tulisan-tulisannya tentang pusaka spiritual Plains Indian, disatukan

dengan reproduksi beberapa lukisannya, sudah dikumpulkan dalam buku The

Feathered Sun: Plains Indians in Art and Philosophy (1990).

Fokus perhatian seluruh karya Schuon adalah mengafirmasi kembali

prinsip-prinsip metafisika tradisional dengan penjelasan dimensi esoteris agama

secara utuh. Selain itu, ia juga memasukkan forma-forma agama dan mitologi, serta

kritik terhadap pandangan modernisme yang mengabaikan prinsip-prinsip yang

memberikan informasi tentang seluruh kebijaksanaan tradisional. Secara umum kita

dapat melihat Schuon melalui karyanya yang pertama muncul dalam bahasa Inggris,

The Transcendent Unity of Religions (1953), sebuah karya yang membuat T. S. Eliot

bertutur,

“Tidak pernah aku menemukan karya studi komparatif antara agama Oriental
dan Oksidental yang lebih mengesankan [dari karyanya]”.18

17
Lihat pendahuluan untuk buku F. Schuon: Dimensions of Islam dan Islam and the Perennial Philosophy,
juga tulisan Nasr tentang Schuon dalam buku The Essential Frithjof Schuon. Dalam buku terakhir, Nasr
menuliskan riwayat Schuon dan pandangannya tentang tulisan-tuisan Schuon secara rinci dan detail. Termasuk
sekilas memberikan komentar terahdap masing-masing karya Schuon.
18
Komentar dalam sampul belakang buku Transcendent Unitiy of Religion, (Wheaton, IL: Quest Books
Theosophical Publishing House, 1984).
25

Spiritual Perspectives and Human Facts (1954) adalah kumpulan esai

aforistik yang meliputi pembahasan Vedanta dan seni sakral, serta tentang meditasi

kebajikan spiritual (spiritual virtues). Buku Gnosis: Divine Wisdom (1959), Logic and

Transcendence (1976) dan Esoterism as Principle and as Way (1981) sebagian

besarnya membahas prinsip-prinsip metafisika secara luas dan eksplisit. Beberapa

tahun lalu Schuon mengatakan bahwa Logic and Transcendence adalah karyanya

yang paling representatif dan inklusif. Mungkin saat ini pernyataan tersebut juga tepat

jika ditujukan untuk buku Esoterism as Principle and as Way, di mana penjelasan

Schuon yang paling seksama tentang karakter esoterisme dapat ditemukan di sana,18

dan untuk buku Survey of Metaphysics and Esoterism (1986) yang merupakan karya

luar biasa tentang sintesis metafisika.

Buku Stations of Wisdom (1961), sebagian besarnya dimaksudkan untuk

mengeksplorasi beberapa modalitas spiritual dan relijius. Tetapi selain itu buku

tersebut juga memuat “Orthodoxy and Intelectuality,” sebuah esai terpenting untuk

memahami posisi tradisionalis. Buku Light on the Ancient Worlds (1965) memuat

esai-esai yang membahas tentang “dialog” Hellenist Kristen, shamanisme,

monastisisme, dan religio perennis. Beberapa karya Schuon terakhir adalah To Have

a Center (1990), Roots of the Human Condition (1991), The Play of Masks (1992),

dan The Transfiguration of Man (1995).

Karya-karya Frithjof Schuon dikategorikan berdasarkan esensialitas,

universalitas, dan sifatnya yang komprehensif. Karya tersebut memiliki kualitas

esensial dalam pengertian bahwa dalam karya tersebut selalu menuju bagian inti dari
26

pembahasan dan hanya terkait dengan esensi apa pun subjek yang dibahas.

Membaca karya-karyanya seperti dibawa dalam sebuah perjalanan dari kulit menuju

inti, yang pada awalnya intelektual dan spiritual, dari lingkaran luar menuju titik

pusat lingkaran.

Tulisan-tulisannya bersifat universal, bukan hanya karena Intisari nirbentuk

itu universal, melainkan juga karena bahkan dalam level bentuk ia tidak membatasi

dirinya pada sebuah wilayah partikular, periode, atau wilayah tertentu semata.

Perspektifnya benar-benar universal dalam arti mencakup semua tatanan realitas dari

Ilahiah hingga mansia dan pada level dunia manusia sejauh kepercayaan ajaran

monoteisme Ibrahim dan warisan shamanic Shintoisme dan agama Indian Amerika

Utara.19

Karya Schuon juga sangat komprehensif dan mencakup keseluruhan dalam

arti bahwa dalam tulisannya secara praktis juga termasuk keseluruhan gunungan ilmu

pengetahuan yang dipahami dalam pengertian tradisional, mulai dari puncak

metafisikanya yang menyentuh permukaan langit yang luas hinga ruang-ruang

partikular seperti teologi formal, antropologi, psikologi, yang merupakan kaki gnung

lengkap dengan jalan setapaknya yang membawa dari kaki gunung ini menuju puncak

yang agung.

Di tengah-tengah abad segmentasi cabang-cabang partikular ilmu

pengetahuan dan perkembangbiakan informasi yang seringkali tidak saling

berhubungan yang membuat daya pandang untuk melihat keseluruhan yang utuh

tampak tidak mungkin bagi mereka yang memulai (perjalanan) dari bagian bukan dari
19
Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h. 60.
27

keseluruhan dan mereka yang tetap hanya mengakar pengetahuan dari tatanan empiris,

Schuon mendemonstrasikan/ menunjukkan dengan bukti nyata kemungkinan dari

pengetahuan yang mencakup semua. Pengetahuan ini mengakar, bagaimanapun,

bukan pada multiplisitas yang berserak di dunia indra tetapi pada kesatuan di tataran

intelek yang Schuon pahami ada pada pengertian tradisional dan sebagaimana yang

digunakan oleh Meister Eckhart.

Schuon di satu sisi adalah seorang metafisikawan, teolog, filosof

tradisional dan ahli logika, Ahli di bidang perbandingan agama, penyingkap seni dan

peradaban tradisional, ahli dalam ilmu tentang manusia dan masyarakat, guru spiritual

dan seorang kritikus dunia modern bukan hanya pada tataran praktis melainkan juga

aspek filosofis dan saintifik.

Pengetahuannya, lebih jauh lagi, mencakup Timur dan Barat, peradaban

kuno dan abad pertengahan sebaikdunia modern, literatur Jerman sebaik arca Hindu.

Dari sudut pandang ilmu pengetahuan ilmiah yang tajam dikombinasikan dengan

penetrasi metafisika, hampir tidak mungkin ditemukan kesatuan kontemporer dari

tulisan dengan sifat yang mencakup keseluruhan dan komprehensif yang sama dan

dikombinasikan dengan kedalaman yang luar biasa.

Sebagai hasil dari kualitas ini, untuk menambahkan esensialitas dan

universalitasnya yang mana mencirikan karya-karya Schuon, dapat dikatakan bahwa

karya ini menunjukkan sebuah model yang unik bukan hanya pada kesatuhan Prinsip

Ilahi, tetapi juga kesatuan dalam keragaman penerima pesan yang disampaikan dari
28

Prinsip Ilahi dalam forma agama dan peradaban dan budaya yang manifestasi dari

prinsip-prinsip tersebut.

Dalam banyak hal, karya-karya Schuon sebenarnya adalah elaborasi

prinsip-prinsip yang sudah dikemukakan oleh Guenon. Akan tetapi, guru spiritual

Schuon bukanlah Guenon, melainkan Syekh Ahmad Al-„Alawi, seorang suf dari

Aljazair dan pendiri tarekat „Alawiyyah. (Guenon memang tidak pernah menjadi

seorang guru spiritual atau mursyid).20 Tentang wali kontemporer ini Schuon pernah

menulis:

“…pribadinya mewakili gagasan yang selama ratusan tahun telah menjadi


jantung peradaban [Islam]. Bertemu dengan pribadi seperti itu, di
pertengahan abad XX, seperti berhadap-hadapan dengan seorang manusia
suci dari abad pertengahan atau dengan Leluhur bangsa Semit.21

Tidak dipungkiri bahwa fokus karya-karya Schuon terkait dengan agama,

baik itu studi agama ataupun agama itu sendiri. Dalam perspektif Schuon, kedua fokus

ini pada kenyataannya saling terkait satu sama lain, ia menuliskan,

“for a world, in which the journey accross religious frontiers has already
become a profound reality and where for many people the study of religions
affects in one way or another their own participation in and understanding of
religion in itself.”22

Schuon sementara ia menerima dan dalam fakta menghormati dan

menghargai dalam arti paling sederhana terhadap berbagai perbedaan dalam

agama, yang merupakan kehendak Langit, menekankan baik kesatuan batin dari

20
Martin Lings, A sufi Saint of the Twentieth Centruy, dan M. Valsan, “Notes on the Syaikh al-’Alawi,
1869-1934.” Pernah disebutkan secara keliru bahwa Schuon adalah “murid” Guenon dan/ atau Coomaraswamy.
Misalnya, Lihat E.J. Sharpe, Comparative Religion, h.262, dan R. C. Zaehner, At Sundry Times, h.36, catatan kaki 2.
Dan perlu diingat bahwa “mengikuti Guenon bukan berarti mengikuti pribadinya, melainkan mengikuti cahaya
kebenaran tradisional _”; B.Kelly, “Notes on the Light of the Eastern Religions,” h.160-161. dikutip dalam buku
Harry Oldmeadow, Frithjof Schuon and the Perennial Philosophy, (Bloomington: World Wisdom, 2010), h.
21
Oldmeadow, “Frithjof Schuon dan Religio Perennis..”, h.11.
22
Lihat, Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h.5
29

keragaman ini maupun signifikansi keragaman itu sendiri. Berulangkali ia

menuliskan bagaimana masing-masing agama adalah Kebenaran, dan untuk hidup

di dalam agama secara utuh adalah dengan hidup dalam Kebenaran dan karenanya

dalam agama apa pun, dan bagaimana masing-masing agama adalah absolut bagi

mereka yang menghidupkan agama tersebut dan hanya Realitas Absolut yang ada

melampaui segala manifestasi dan partikularisasi Sang Absolut itu sendiri.

Keluasan Karya Schuon terutama sekali terfokus pada agama. Agama

bagi Schuon di sini adalah segala sesuatu yang mengikat manusia pada Tuhan.

Schuon menekankan pada keterkaitan terhadap Sang Asal baik dalam agama yang

sejalan dengan peradaban, struktur sosial, seni, dan kebudayaan. Ia juga

menekankan pada agama perenial, atau religio perennis, yang disebut juga agama

kalbu, yang terletak di pusat setiap agama partikular dan juga terletak pada pusat

dan merupakan substansi inti yang darinya manusia diciptakan. Jika manusia

mampu memasuki pusat dari keberadaannya sendiri, memasuki kerajaan batinnya,

ia akan mampu menjangkau religio perennis atau religio cordis.23 [ ]

23
Nasr, The Essential Frithjof Schuon, h. 7
BAB III

SEMBAHYANG MENURUT FRITHJOF SCHUON

Prayer
“Grandfather, hear my words, I talk to Thee:
Look down, take pity, not alon eon me
But on my people,” prays a noble mind.
In this a deeper meaning thou wilt find.

When thou invokest God, His Grace is thine,


But like the living sunlight it will shine
For others too; the sacred, saving Sound
Will bless believing people all around.

A Sound that always in our heart should be;


A wave of Bliss, Peace, Immortality.
~Frithjof Schuon

A. Sembahyang Menurut Frithjof Schuon

Frithjof Schuon tidak datang membawa gagasan baru tentang ketuhanan

maupun tentang sembahyang. Ia datang dengan menyadarkan kita atas keberadaan

ajaran-ajaran suci yang telah dipraktikkan oleh para leluhur kita dan diajarkan

secara turun-temurun. Ajaran ini adalah ajaran yang perenial, terus-menerus

berlansung sepanjang waktu, tidak tergerus oleh zaman dan tidak terbatas oleh

sekat ruang. Ajaran-ajaran ini menjadi jalan bagi manusia untuk kembali kepada

Tuhan.

Pemikiran utamanya tentang kesatuan transenden agama-agama

membawa udara segar bagi kontroversi keragaman dan keberagamaan di dunia.

Bahwa semua agama bersatu di wilayah transenden (batin) sementara di wilayah

lahiriyahnya agama berbeda-beda dan beraneka ragam. Perbedaan seseorang

dalam menyebut nama Tuhan, cara menyampaikan doa dan permohonan,

bersembahyang, dan berzikir tidak membuat satu agama dan lainnya berbeda

30
31

seutuhnya. Karena menurut Schuon berbagai perbedaan tersebut sebenarnya

berasal dari Tuhan dan terjadi hanya atas kehendak-Nya. Karenanya meskipun

dengan segala perbedaan tersebut, agama tetap dapat membawa manusia kepada

Tuhan.

Membicarakan tentang perbedaan dalam berbagai agama, selain

perbedaan mengenai konsep dan teori ketuhanan, berbeda pula cara manusia

mengekspresikan penyembahan dan ketaatannya kepada Tuhan. Bentuk dan tata

cara manusia menyembah Tuhan berbeda sesuai dengan firman Tuhan dalam kitab

suci yang dianutnya. Dalam agama Hindu yang disebut sebagai agama formal

tertua, melakukan puja atau penyembahan melalui kidung-kidung dan

tarian-tarian dalam waktu yang ditentukan dalam kitab suci. Dalam tradisi Yahudi

dan Islam, manusia diwajibkan menyembah Tuhan dalam waktu-waktu tertentu

dengan bentuk yang sudah ditentukan Tuhan dan diajarkan oleh pembawa wahyu

Ilahi, mulai dari salat hingga zikirnya. Sementara dalam tradisi Buddha, manusia

menyembah Tuhan dalam zikir tanpa putus, pembacaan doa sepanjang waktu.

Bagi Schuon sembahyang merupakan titik pusat utama eksistensi

manusia dalam kaitannya dengan hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Melalui sembahyang komunikasi antar manusia dan Tuhan terbangun dan dengan

komunikasi yang aktif, manusia memiliki lebih banyak kesempatan untuk

mendekat kepada Tuhan. Dalam berbagai tulisannya Schuon menegaskan bahwa,

“Ketika seseorang belum menjalankan sembahyangnya, ia bukanlah manusia.”1

Dalam sebuah wawancara video pada tahun 1991 yang sudah

dikonfirmasi sendiri oleh Schuon, ketika ditanya tentang rangkuman filsafat

1
Michael Oren Fitzgerald, Frithjof Schuon Messenger of the Perennial Philosophy, (Bloomington (Indiana):
World Wisdom, 2010), h.63.
32

pemikirannya dalam beberapa elemen, dan rekomendasi jalan untuk mengikuti

filsafatnya, Schuon memberikan penjelasan:

Essentialism, because I must focus everything on the essential. There are


four elements that are essential: There is first discernment between the
Absolute and the relative. Ātmā and Māyā, reality and illusion.
Then prayer, because if one understands what is essential and what is
Absolute, one wants to assimilate it; otherwise one is a hypocrite. In order
to assimilate the truth of the Absolute one must pray. Now there are three
types of prayer: first canonical prayer—in Christianity it is the Lord’s Prayer.
Then free, personal prayer, like the Psalms in the Bible—the Psalms are
David’s personal prayer with God. The third type of prayer is prayer of the
heart—essential prayer, which is an act of contemplation in the innermost
self. This is esoterism and I am interested in this. I say to people you must
pray, always pray. You must have at least one canonical prayer every day
and then you must talk to God; but you must always pray like St. Paul said
in an epistle, “pray without ceasing”—this is “prayer of the heart”. The
Eastern Church knows this practice very well—the Jesus
Prayer—japa-yoga in Hinduism. This is the second thing.
The third thing is intrinsic morality: beauty of the soul; nobility; humility,
which means objectivity toward oneself; charity, which is objectivity
towards the neighbor; domination of oneself; generosity— this is beauty
of the soul, this is intrinsic morality.
The fourth dimension is beauty: beauty of forms, of surroundings, of dress,
of comportment.2

Menurut Schuon sembahyang memiliki peran yang sangat penting,

sebagaimana yang Schuon sampaikan pada wawancara di atas, karena

sembahyang merupakan satu-satunya jalan bagi manusia untuk mendekat kepada

Tuhan. Sembahyang merupakan jalan bagi manusia untuk memahami Kebenaran

Sejati, yang melaluinya manusia memahami dan berjalan seiring dengan

Kehendak Ilahi.

Schuon menjelaskan dalam Prayer Fashions Man, “the essence of prayer is


faith, hence certitude; man manifests it precisely by speech, or appeal,
addressed to the Sovereign Good. Prayer, or invocation, equals certitude
of God and of our spiritual vocation.”3

Dalam bukunya tersebut Schuon menjelaskan beberapa aspek yang

2
Michael Oren Fitzgerald, Frithjof Schuon: Messenger of the Perennial Philosophy, (Bloomington: World
Wisdom, 2010), h.191
3
Frithjof Schuon, “Dimension of Prayer”, dalam buku Prayer Fashions Man: Frithjof Schuon on the
Spiritual Life (Bloomington: World Wisdom, 2005), h.2
33

menjadi dimensi sembahyang bagi manusia4. Pertama adalah bahwa secara de

facto kehidupan manusia selalu bergerak menuju zahir dan manuisa cenderung

pada kesenangan zahirnya, nafsunya. Di hadapan Tuhan, manusia harus

meninggalkan keduanya, karena pertama, Tuhan hadir dalam diri kita; dan kedua,

manusia semestinya mampu menemukan kesenangan di dalam dirinya, di luar

fenomena indrawi. Schuon membenarkan bahwa fenomena indrawi, dengan

segala kemulian dan simbolisme yang ada padanya memiliki kebajikan yang dapat

membawa kita ke dalam batin. Meskipun demikian, ketidakmelekatan (terhadap

dunia) tetaplah harus dicapai; karena, jika tidak, maka manusia sama sekali tidak

berhak mendekati hal-hal lahiriah dan hasrat seksual, yang dapat sangat

mematikan bagi manusia. Sebagaimana Sang Pencipta (karena

Ketransendenan-Nya) independen dari ciptaan, maka dalam pandangan Tuhan,

semestinya manusia pun independen dari dunia. Kehendak bebas adalah anugerah

bagi manusia; hanya manusia semata yang mampu menahan naluri dan nafsunya.

Vacare Deo.

Kedua, manusia mendapatkan anugerah berupa pikiran rasional dan

kemampuan berbicara, karena itu kedua dimensi ini harus diaktualisasikan selama

momen pertemuan dengan Tuhan, yang tidak lain adalah pada saat sembahyang

(doa, salat, meditasi, invokasi). Manusia dapat selamat bukan hanya karena

menjauhkan diri dari keburukan, tetapi juga dengan mengerjakan Kebaikan;

pekerjaan terbaik adalah pekerjaan yang di dalamnya Tuhan sebagai objek

4
Dimensi sembahyang yang dimaksudkan oleh Schuon adalah dimensi-dimensi dalam kehidupan
manusia yang dapat menjadi alasan bagi manusia untuk melakukan sembahyang di hadapan Tuhan. Mengingat
berbagai karunia yang dicurahkan Tuhan dalam kehidupan kita, seyogyanya sembahyang memang menjadi jubah
kita, menjadi baju bagi tubuh kita, sehingga kita layak menyandang gelar pesalat (orang yang selalu salat). Akan
tetapi kenyataannya, kehidupan di era modern ini menjadi jurang pemisah yang sangat lebar bagi manusia untuk
kembali pada Tuhan. Sehingga perlu orang-orang seperti Schuon yang menekankan dengna logis dan runut tentang
siapa kita, dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali. Allah, Allah, Allah.
34

utamanya dan kalbu atau hati nurani kita sebagai agennya. Pekerjaan itu adalah

zikrullah, “mengin;mngat Tuhan”.

Ketiga, setiap manusia mencari kebahagiaan; ini adalah fitrah manusia

lainnya. Di luar Tuhan tidak ada kebahagiaan yang sempurna; seluruh

kebahagiaan bumi membutuhkan berkah Langit. Sembahyang menempatkan kita

di tengah kehadiran Tuhan, di tengah Kebahagiaan sejati. Jika kita menyadari ini,

kita akan menemukan Kedamaian di dalamnya.

Keempat, dimensi sembahyang lainnya tumbuh dan berkembang dari

kenyataan bahwa di satu sisi manusia adalah makhluk fana dan di sisi lain

memiliki jiwa yang abadi; manusia harus melewati kematian, dan terutama ia

harus memberikan perhatiannya kepada Keabadian, yang berada di tangan Tuhan.

Dalam konteks ini, sembahyang akan mengundang kasih sayang. Dan

sembahyang adalah tanda keimanan.

Kelima, anugerah manusia paling utama adalah inteligensi yang

membuatnya mampu memahami pengetahuan metafisika; konsekuensinya,

kemampuan tersebut semestinya menentukan sebuah dimensi sembahyang, yang

kemudian bertepatan dengan meditasi. Subjek meditasi pertama adalah realitas

mutlak Prinsip Tertinggi, dan kemudian nonrealitas--atau realitas relatif--dunia

(yang memanifestasikan Prinsip Tertinggi tersebut).

Keenam, ada dimensi meditatif yang mengandung realitas mutlak

Prinsip dan ada dimensi sembahyang meditatif yang mgnandung non realitas.

Namun mengetahui bahwa “Brama adalah Realitas dan dunia adalah

penampakan” tidaklah cukup; penting juga untuk kita mengetahui bahwa “jiwa

tidaklah berbeda dari Brahma”. Kebenaran kedua ini mengingatkan kita bahwa
35

kita tidak hanya memiliki kapasitas inteligensi yang pada dasarnya mampu

mengalami penyatuan subjektif. Di satu sisi, ego terpisah dari Ketuhanan imanen

karena ego adalah manifestasi, bukan Prinsip. Di sisi lain, ego tidak lain selain

Yang Prinsip lantaran Yang Prinsip pasti memanifestasikan dirinya, sebagaimana

refleksi matahari di sebuah cermin bukanlah matahari. Namun meskipun demikian,

ego “bukanlah selain matahari” lantaran refleksi tersebut adalah cahaya surya dan

bukan yang lainnya.

Jika menyadari hal ini, manusia tidak akan berhenti berdiri di hadapan

Tuhan, yaitu Ia yang transenden sekaligus imanen; dan yang menentukan ruang

lingkup kesadaran kontemplatif kita dan misteri takdir spiritual kita bukanlah kita

melainkan Tuhan.

Schuon sangat menekankan peran sembahyang dalam kehidupan

manusia agar manusia dapat menjadi sebenar-benarnya manusia yang terhubung

kepada Tuhan dalam berbagai keadaan. Tuhan berada dalam hati orang mukmin5,

sebuah hadis mengonfirmasi pemikiran Schuon yang menekankan sembahyang

bagi setiap manusia agar mereka berada dalam kebahagiaan, “He who lives in

prayer has not lived in vain.”6

Dalam buku Prayer Fashions Man, bab “Prayer and the Integration of

the Psychic Elements,” schuon menyatakan, “Prayer could never be contrary to

the purest intellectuality 7 ; Schuon menegaskan bahwa intelek 8 merupakan

5
Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 55, h. 39, Muasssah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
6
Fitzgerald, Messenger of the Perennial Philosophy h. 74
7
Tanpa mengontradiksikan sembahyang dengan kebenaran transenden apa pun, sembahyang memiliki
alasannya sendiri untuk ada dalam eksistensi manusia “Aku”. Dengan kata lain, manusia tidak pernah bisa untuk
menjadi “Aku” dan karena sembahyang adalah tindakan spiritual dari “Aku”, sembahyang harus dilaksanakan
selama individu tersebut ada. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengendalikan
egonya. Frithjof Scuon, “Prayer and the Integration of the Psychic Elements”, Prayer Fashions Man, h.29.
8
Intelek dalam pandangan Schuon tidak sama dengan intelek yang seringkali digunakan dalam tradisi
pemikiran modern yakni akal. Dalam pandangan Schuon, intelek adalah hati, kalbu. Yang dengannya manusia
mempersepsi kebenaran tanpa perlu menganalisisnya. Pengetahuan tentang Tuhan yang hadir dalam kalbu
36

instrumen utama untuk memahami Tuhan.

Sembahyang tidak pernah bertolak belakang dengan intelektual yang

paling murni artinya dengan sembahyang manusia memahami bahasa kalbu.

Tuhan berkomunikasi kepada manusia melalui bahasa-bahasa yang seringkali

tidak dapat dipahami oleh manusia. Tuhan berbicara kepada manusia melalui

kalbu manusia, karenanya Yesus bersabda, “Kerajaan Tuhan dalam Hati orang

beriman”. Karena memang hanya manusia yang memiliki kemampuan untuk

mempersepsi Tuhan dengan akal dan hatinya.

Karenanya, Schuon menegaskan, “Sum Ergo Oro [I am: therefore I

pray]”. Aku ada [dan] karenanya aku sembahyang. Sembahyang memiliki peranan

eksistensial yang sangat mendasar menurut Schuon. Bahwa dengan sembahyang

manusia mengungkapkan keberadaannya dihadapan di dunia ini sangatlah

bergantung pada Tuhan. “The very fact of our existence is a prayer and compels

us to pray.” 9 Menyarikan pemikiran Schuon, James Cutsinger menuliskan 10 ,

“mustahil bagi manusia untuk tidak melaksanakan sembahyang, karena eksistensi

manusia dibentuk dari kenyataan tentang sembahyang. Keberadaan manusia yang

paling mendalam bukan hanya terletak pada karakter dan kepribadiannya saja,

melainkan melalui jalan misterius terikat dengan benang-benang sembahyang

yang sesungguhnya, dan tanpa paksaan untuk dia melakukan doa-doanya, ia akan

menjadi “nirbentuk dan hampa”. Singkatnya, sembahyang membentuk manusia

dalam arti membuatnya nyata. Apa yang dimaksud dari pernyataan ini dan
manusia. Schuon pernah menuliskan, “Intellect is divine, first because it is a knower--or because it it not a
non-knower--and secondly because it reduces all phenomena to their Principle...” (“Is There Natural Mysticism”
dalam buku Gnosis: Divine Wisdom). “Allah is known to Himself alone” Schuon mengutip ungkapan Sufi. Ungkapan
ini tampaknya meniadakan manusia dari pengetahuan langsung dan total tentang Tuhan, pada kenyataannya
menunjukkan sifat-sifat intelek murni yang misterius dan esensial; dan formulasi dari ungkapan semacam ini hanya
dapat dipahami melaluihadis: “He who knows his soul knows his Lord.” (“Maya” dalam buku Light on the Ancient
Worlds)
9
James S. Cutsinger, “Introduction”, Prayer Fashions Man, xvi.
10
James S. Cutsinger, Prayer Fashions Man, xvi.
37

bagaimana kita dapat mendapatkan pemahaman terbaik melalui pengalaman

pribadi kita untuk dapat menuntut sebuah hak, adalah pertanyaan-pertanyaan yang

perlu kita renungkan dalam meditasi kita.

Frithjof Schuon mengutip Yesus dalam “Dimension of Prayer”, “Man

must meet God with all that he is, for God is the Being of all, this is the meaning

of the Biblical injunction, to love God with all our strenght.11” Manusia harus

berupaya menemui Tuhannya dengan segenap dirinya, sebab Tuhan adalah

Keberadaan bagi segalanya; inilah makna titah Injil; mencintai Tuhan dengan

segenap kekuatan kita.

Perjalanan manusia menuju Tuhan hanya dapat dicapai dengan

komunikasi yang intens dengan Tuhan. Dan sembahyang merupakan cara

berkomunikasi dengan Tuhan. Dan sebagaimana pemikir spiritualis lain, Schuon

sangat menekankan pentingnya sembahyang terutama dalam kehidupan spiritual

seseorang.

Di sisi lain, pernah dikatakan bahwa bentuk-bentuk peribadatan kepada

Tuhan merupakan pendukung, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa pendukung

tersebut pastilah berdiri sendiri dan tidak mungkin dan tidak bisa menjadi bagian

dari apa yang ditransmisikan. Karena tidak ada cahaya yang dapat merefleksikan

cahaya lainnya. Maka sembahyang harus merupakan komunikasi secara langsung

antara kita dengan Tuhan atau permohonan yang kita ajukan kepada Tuhan, dan

hanya pada satu kondisi bahwa sembahyang merupakan yang pertama kalinya dan

secara menyeluruh sesuatu dalam kemungkinan terdekatnya--yakni, yang

menerjemahkan dan mengekspresikan maksud dari seseorang--yang dapat

11
Ada beberapa ayat yang menegaskan agar manusia mencintai Tuhan dengan segenap hatinya, segenap
jiwanya, segenap kekuatannya dan segenap akal budinya yaitu dalam Alkitab: Matius 22:37; Deuteronomy(Ulangan)
6:5; Lukas 10:27; Markus 12:30;
38

menjadi pendukung bagi akal untuk melampaui bidang individual.

By this we mean that prayer cannot be replaced by impersonal and


abstract meditation, for the immediate objectives of the two are different;
but this is not to say that meditation cannot be integrated, in suitable
ways, into prayer, or that the formulas of revealed prayers do not include
a universal meaning.12

Terkait dengan meditasi, Schuon menjelaskan:

“Another mode of orison is meditation; contact between man and God


here becomes contact between intelligence and Truth, or relative truths
contemplated in view of the Absolute.”13

Berat bagi penulis untuk melebih-lebihkan pentingnya sembahyang

dalam perspektif Schuon. Sebagaimana yang sudah dikenal oleh banyak sarjana,

perspektif ini, melampaui semuanya, intelektual, dan sebagaimana adanya,

bertujuan yang pertama dan utama pada eksposisi kebenaran dalam berbagai

levelnya; tetapi doktrin ini tidak bermaksud untuk berada dalam gagasan yang

terpisah dari yang lain: karena, “ini seumpama gagasan kebenaran membalas

dendamnya sendiri, kepada siapa pun yang membatasi dirinya untuk memikirkan

mereka (kebenaran).‟14 Gagasan bermaksud untuk dipahami dengan mendalam,

mereka seharusnya „melepaskan tindakan interiorisasi kehendak‟.

Di Abad Pertengahan, seorang yang salih dapat bersembahyang di

lingkungan yang segala sesuatunya memiliki spirit yang homogen yang

terinspirasi oleh intelegensi supernatural; ia juga dapat bersembahyang di hadapan

tembok kosong. Ia memiliki sebuah pilihan antara bahasa kebenaran dari forma

mulia dan keheningan dari bebatuan yang kasar; dan untungnya dia tidak

memiliki pilihan yang lain.15

12
Schuon, Prayer Fashions Man, h. 30.
13
Schuon, Prayer Fashions Man, h.59.
14
Reza Shah Kazemi, “Frithjof Schuon and Prayer,” h.92 lihat juga spiritual perspective and human facts,
Faber & Faber, 1954, h.11
15
Schuon, Spiritual Perspective and Human Facts (Bloomington: World Wisdom, 2007) h. 28-29
39

Schuon menegaskan bahwa kehidupan spiritual di Abad Pertengahan

jauh lebih mudah diaplikasikan dibandingkan era modern ini. Di mana zaman

dahulu keyakinan manusia terhadap Tuhan menempati posisi yang sentral dalam

berbagai aspek kehidupan. Manusia membicarakan tentang Tuhan dengan cara

yang lebih intens dibandingkan masa kini, ketika materialisme mencerabut

kesadaran manusia dari Sang Akar. Manusia kini berada dalam era kegelapan,

sebagimana dalam keyakinan Hindu Kali Yuga, sehingga upaya manusia untuk

berkomunikasi dengan Tuhan pun mengalami pergeseran.

Dalam sebuah wawancara di tahun 1996, ketika ditanya tentang

pesannya kepada manusia secara umum, Schuon menjawab, “Prayer. To be a

human means to be connected with God. Life has no meaning without this. Prayer,

and also beauty, of course; for we live among forms and not in a cloud. Beauty of

soul first and then beauty of symbols around us.”16 Schuon seringkali mengutip

perintah St. Paul, “to pray without ceasing”.17 Untuk sembahyang tanpa putus.

Manusia dianugerahi dengan intelligen, kehendak dan kemampuan berbicara: dan

kemampuan-kemampuan ini diaktualisasikan untuk pertemuan dengan Tuhan.

Schuon membedakan tiga jenis sembahyang, yang masing-masing integral

terhadap kehidupan spiritual: personal, kanonis dan invokatif.18

B. Kategori Sembahyang

LXXII
Three things are sacred to me: firstly Truth;
Then, in its wake, primordial prayer;
And then virtue — nobility of soul which,
19
In God, walks all the paths of beauty.

16
Harry Oldmeadow, Frithjof Schuon and the Perennial Philosophy, h. 305
17
I Thesalonians 5:17
18
Oldmeadow, Frithjof Schuon and the Perennial Philosophy, h. 305
19
Schuon, World Wheel, “Sixth Collection” LXXII, h.111
40

Seperti yang telah disinggung berkali-kali, Schuon membagi

sembahyang dalam tiga derajat, yaitu sembahyang personal, sembahyang kanonis

dan sembahyang kalbu atau hati yang merupakan sembahyang paling mulia. Yang
20
masing-masingnya dapat dibedakan melalui subjek yang melakukan

sembahyang: dalam sembahyang personal, subjeknya adalah orang per orang atau

individu tertentu; sembahyang kanonis, subjeknya adalah manusia seutuhnya,

tidak membawa kepentingan individu tertentu; dan dalam sembahyang kalbu,

subjeknya adalah manusia dan Tuhan, manusia melalui instrumen yang

dianugerahkan kepadanya, Intelek, dan Tuhan sebagai subjek satu-satunya dalam

sembahyang invokatif.21

Sembahyang Personal (Doa)

Bentuk pertemuan dengan Tuhan yang paling mendasar adalah melalui

sembahyang dalam pengertian yang paling umum, yakni sembahyang personal

atau doa. Karena doa merupakan ekspresi individu yang langsung, atas hasrat dan

ketakutannya, harapan dan syukurnya. Sembahyang personal ini, tidak lebih

sempurna dibandingkan sembahyang kanonis, yang memiliki karakter universal

dengan fakta bahwa Tuhan adalah penulisnya dan bahwa subjek yang dibawakan

tidak bersifat individu partikular, melainkan manusia sebagai manusia--manusia

seutuhnya, species manusia; juga dalam doa ini tidak terkandung apa pun yang

tidak terkait dengan manusia--setiap manusia--dan kurang lebih dikatakan bahwa

termasuk juga, dengan lebih baik atau sebagai tambahan, seluruh doa individual

yang mungkin.
20
Dalam pengategorian subjek sembahyang ini, dalam beberapa kesempatan, Schuon menyebutkan
empat subjek sembahyang untuk empat derajat sembahyang yakni sembahyang personal, kanonis, meditatif dan
invokatif, sementara dalam kesempatan yang lain, Schuon membagi menjadi tiga, personal, kanonis, dan
sembahyang kalbu. Penulis menekankan pada pembagian tiga jenis sembahyang, sementara meditatif dan invokatif
berada dalam naungan sembahyang kalbu.
21
Reza Shah Kazhemi, Frithjof Schuon and Prayer, h.96
41

Sembahyang personal bersifat subjektif, permohonan personal yang

diajukan oleh seorang individu, ditujukan pada Tuhan Personal. Seorang individu

berbicara secara langsung dan tulus, berdasarkan situasi subjektifnya, kepada

Tuhan; bisa saja termasuk, tetapi tidak harus selalu berupa permohonan. Terkait

sembahyang personal ini, Harry Oldmeadow menyebutkan, sembahyang ini

adalah aktif dalam memurnikan jiwa, karena.. “such prayer is active in the

purification of the soul for..”22

“it loosens psychic knots . . . dissolves subconscious coagulations and


drains away many secret poisons; it sets forth before God the difficulties,
failures, and tensions of the soul, which presupposes that the soul be
humble and truthful, and this disclosure, carried out in the face of the
Absolute, has the virtue of reestablishing equilibrium and restoring
peace—in a word, of opening us to grace.23

Schuon menyatakan bahwa bentuk sembahyang personal ini juga

memiliki aturannya sendiri, meskipun aturan tersebut tidak ditetapkan secara

formal, sebagaimana dalam kasus sembahyang kanonis. Aturan-aturan ini

memiliki berbagai syarat untuk tetap menjaga integritas sembahyang ini, karena

“tidaklah cukup bagi seseorang untuk merumuskan permohonannya, ia juga harus

mengungkapkan rasa terima kasihnya, kepasrahannya, penyesalahannya,

resolusinya dan pujian.”24 “..for the prayer of an individual must be implicitly that

of the collectivity and even that of the entire world.”25

Karakter personal dari sembahyang non-kanonis tidak menunjukkan

bahwa sembahyang ini bebas dari aturan, karena jiwa manusia--seperti yang

ditunjukkan dalam kitab Mazmur--selalu sama dalam kesengsaraan dan

kegembiraan, dan karenanya dalam kewajibannya di hadapan Tuhan; tidaklah

22
Harry Oldmeadow, Virtue and Prayer h.305
23
Schuon, Prayer Fashions Man, h.57-58
24
Schuon, Stations of Wisdom, 1995, h.121
25
Schuon, Roots of the Human Condition, h.43
42

cukup bagi seseorang merumuskan permohonannya semata, ia juga harus

mengungkapkan rasa terima kasihnya, kepasrahannya, penyesalannya, perbaikan

diri dan pujian terhadap Tuhan. Dalam permohonannya, seseorang manusia

meminta petunjuk dan pertolongan Tuhan; bahwa ini merupakan sesuatu yang

diizinkan Tuhan dan merupkaan Norma universal.

Rasa syukur merupakan kesadaran bahwa setiap kebaikan dalam

kehidupan (favor of destiny) dalam kehidupan merupakan berkah yang bisa saja

tidak Tuhan berikan kepada kita; dan meskipun manusia selalu memiliki sesuatu

untuk diminta, sama benarnya dengan mengatakan setidaknya selalu ada alasan

untuk bersyukur, yang tanpanya tidak ada sembahyang yang mungkin dilakukan.

Kepasrahan merupakan penerimaan terhadap kemungkinan adanya permohonan

yang tidak terpenuhi; sementara penyesalanm, permohonan maaf,

mengimplikasikan kesadaran terhadap apa pun yang menempatkan kita

berlawanan dengan Kehendak Ilahi; sementara resolusi merupakan keinginan

untuk memperbaiki diri dari pelanggaran hukum yang kita lakukan; karena

kelemahan kita tidak seharusnya membuat kita lupa bahwa kita bebas;26 dan

terakhir pujian terhadap Tuhan tidak hanya bermakna bahwa kita merelasikan

setiap nilai (yang ada di sekitar kita) tehradap Sang Maha Segalanya, tetapi kita

juga melihat setiap ujian yang kita alami di dunia ini benar-benar layak untuk

menempa jiwa kita dan berguna bagi kehidupan kita, atau dalam kaitannya dengan

kematian dan keberkahan. Permohonan merupakan elemen paling utama dalam

sembahyang karena kita tidak dapat melakukan apa pun tanpa pertolongan Tuhan;

sementara perbaikan diri tidak menawarkan garansi apa pun jika kita tidak

26
Secara logis, penyesalan dan resolusi tidak terpisahkan, tetapi penyesalan dapat dirasakan tanpa ada
upaya perbaikan diri, dan ini merupakan keputusasaan, sebagaimana bisa juga perbaikan diri dilakukan tanpa
adanya penyesalan, dan ini melibatkan harga diri, kecuali keberadaannya dibersamai oleh kebijaksanaan.
43

memohon pertolongan Tuhan ini.

1. Sembahyang Kanonis (Upacara & Salat)

I was asked how one should speak to God;


I said: canonical prayer
Is universal nourishment; then read the Psalms;
And invoke God, before whose Light ye stand —
All else is contained therein.
27
God Himself speaks in the deepest folds of thy heart.”

Sembahyang kanonis adalah sembahyang yang dibentuk oleh tradisi,

dituliskan dalam litrugis dan karenanya, “secara simbolis merupakan bahasa

universal”, dan wajib bagi seluruh penganutnya. Bentuk sembahyang ini tidak

melibatkan orang per orang sebagai individu tetapi manusia sebagai manusia itu

sendiri, kolektivitas manusia, menuju Tuhan. Sembahyang ini adalah alasan

mengapa „bacaan‟ dalam sembahyang menggunakan kata ganti orang pertama

jamak, “Bapa kami, Tuhan kami”, sebagai contoh. Manusia beribadah kepada

Tuhan, dalam sembahyang kanonis, dengan dan untuk semua.

Harry Oldmeadow mengutip Frithjof Schuon dalam bukunya bahwa,

sembahyang kanonis, “tirelessly recall truths which man needs if he is not to

become lost.” 28 Sebagaimana perkataan orang bijak bahwa manusia adalah

tempatnya salah dan lupa, untuk manusia tetap teringat dan terikat dengan Tuhan

maka kita perlu melaksanakan sembahyang yang diperintahkan oleh Tuhan. Untuk

selalu mengingat siapa kita sebenarnya, dari mana kita berasal dan ke mana kita

akan kembali. Senantiasa mengingat Dia, Kebenaran Sejati.

Dan karena sembahyang kanonis berakar dari Wahyu, “Canonical

prayer is not only a human discourse; it is also divine, which means that besides

27
Frithjof Schuon, World Wheel, “Sixth Collection” LXIV, h.108
28
Harry Oldmeadow, Prayer and Virtue, h. 306
44

its literal value it has a sacramental import. It is on our level, yet at the same time

beyond us.”29

Dimensi universal dari sembahyang kanonis ini dapat dibedakan dalam

penggunaannya terhadap orang pertama jamak, sebagaiman dalam Shema

Yahudi,30 “Dengarlah, Hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa.”

(Ulangan 6:4); dan dalam sembahyang Kristen (Doa Yesus): “Bapa kami yang di

sorga, . . . Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya, dan

ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang

bersalah kepada kami” (matius 6:9, 11-13; Lukas 11:2-4); dan dalam al-Fatihah

umat muslim, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada

Engkaulah kami mohon pertolongan; Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Surat

Al-Fatihah (Pembuka) [1]:4-5). 31 Schuon mencatat bahwa Doa yesus dalam

Kristen diperkenalkan dalam Gospel dengan bentuk, “ketika kalian sembahyang,

katakanlah” (Lukas 11:2), Secara tidak langsung menyatakan bahwa sembahyang

kanonis dalam suatu agama, jauh dari sekadar saran atau pilihan, melainkan

kewajiban yang benar-benar wajib bagi seluruh pemeluknya yang beriman dan

harus diperlakukan sebagai sebuah kewajiban dalam upaya spiritual setiap orang.

Canonical prayer shows its universality and timeless value by being


expressed very often in the first person plural and also by its preference
for using a sacred or liturgical and therefore symbolically universal
language, so that it is impossible for whoever recites it not to pray for all
and in all.32

Sembahyang kanonis menunjukkan universalitasnya dan nilai yang tak

29
Schuon, Prayer Fashions Man, “Appendix: A Sampling of Letters and Previously Unpublished Materials”,
h. 197 (Kalimat ini terdapat dalam surat dari Frihtjof Schuon untuk seorang pengagum Hindu. Bagian lain dari surat
ini telah diterbitkan terlebih dahulu dalam “Invocation of the Divine Name”, Kalyana-Kalpataru, 25:10, October
1961).
30
James S. Cutsinger, “Introduction” dalam buku Prayer Fashions Man, h.xxi
31
James S. Cutsinger menjelaskan hal ini dalam Prayer Fashions Man bab “Introduction” dengan sangat
hati-hati. Dengan menukil ayat-ayat dari kitab suci, menunjukkan bahwa sembahyagn kanonis memang merupakan
ajaran dari kitab yang diturunkan Tuhan kepada umatnya.
32
Frithjof Schuon, Prayer Fashions Man, h.57
45

lekang waktu dengan seringkali diekspresikan sebagai orang pertama jamak dan

juga preferensinya dalam menggunakan bahasa universal sakral atau liturgikal dan

karenanya simbolis, sehingga sangat tidak mungkin bagi siapa pun yang

menjalankannya untuk tidak sembahyang secara penuh dan menyeluruh.

2. Sembahyang Kalbu (Prayer of the Heart)

CXXXIII
The Name of God is the prayer of the heart —
As Bernard said: I love because I love.
Then comes petitionary prayer, and then thanksgiving —
33
Blessed the man who, timelessly, stands before the Most High.

Sembahyang yang ketiga dan yang paling mulia adalah sembahyang

kalbu. Schuon merujuknya dengan beberapa nama yang bervariasi, seperti

sembahyang quintessential, sembahyang kalbu, sembahyang ejaculatory, dan

sembahyang invokasi. Sembahyang ini merupakan puncak metode sembahyang

yang mungkin dilakukan oleh seseorang. Dalam sembahyang ini terangkum dua

hal yaitu meditasi atau memusatkan pikiran kita selama waktu tertentu kepada

Tuhan, dan invokasi, merapalkan nama Tuhan berulang kali sehingga kita

menyatu dengan apa yang kita ucapkan.

Berbagai penelitian di bidang psikologi dan kesehatan menyebutkan

bahwa segala sesuatu yang kita lakukan berulang-ulang dipelajari oleh tubuh dan

otak kita dan menjadi bagian dari diri kita. Demikian halnya dengan invokasi atau

berzikir, penyebutan nama Tuhan yang berulang-ulang membawa kita terus

mendekat kepada Tuhan. Mendekat di sini bukan dalam pengertian spasial, satu

atau dua langkah lebih dekat kepada sesuatu, melainkan kesadaran kita lebih dekat

dengan Tuhan dan Tuhan tidak pernah lepas dari pikiran kita.

33
Frithjof Schuon, World of Wheels, Fourth Collection, CXXXIII, h.43
46

Ada dua aktivitas yang termasuk dalam sembahyang kalbu ini, yakni

meditasi atau tafakur dan invokasi atau zikir.

Sembahyang kalbu Ini merupakan puncak metode spiritual yang

diajarkannya dan bentuk sembahyang yang ia tekankan dalam karya-karyanya.

Sebagaimana kedua mode sembahyang sebelumnya, sembahyang kalbu

mengisyaratkan karunia khusus tentang--yang Schuon sebut

dengan--“kemampuan berbicara” yang didapatkan manusia, akan tetapi nilai

esensialnya bukan terletak pada ketidaksinambungan makna antara apa yang

dikatakan, melainkan pada fakta bahwa kata-kata tersebut mengabadikan sebuah

ketersingkapan Nama Ilahi. Nama Ilahi kemudian berperan sebagai kendaraan

atau pengejawantahan Keilahiahan. Bahkan sebagaimana roti dan anggur dalam

Ekaristi merupakan “Kehadiran Nyata” Kristus, demikian halnya Nama Tuhan

dipahami sebagai Tuhan Sendiri.34

Dalam beberapa kesempatan Schuon mengutip santo Hindu

Ramakrishna (1834-1886), “Tuhan identik dengan Nama-Nya”35 tetapi gagasan

esensial yang sama dapat ditemukan di seluruh agama-agama dunia, termasuk

tradisi yang sangat beragam seperti Yahudi, yang dalam upayanya menghormati

kesucian Tuhan diperlukan tetragrammaton sakral--empat konsonan Ibrani

(ditransliterasikan sebagai YHWH) dari Nama Tuhan yang diberikan Tuhan

kepada Musa di Puncak Sinai (eksodus 3:14)--tidak pernah disebutkan dengan

keras kecuali oleh Rabi tertinggi di hari Yom Kippur, dan di sekte Buddha Joddho

Shinshu, kemanjuran invokasi didasarkan pada sumpah Buddha Amida bahwa

siapa pun yang mengulang namanya akan mendapatkan berkah dari Tanah

34
Schuon, Prayer Fashions Man, h.xxii
35
Schuon, Prayer Fashions Man, , h. 60.
47

Murni-nya (Pure Land). “Mengapa berbicara dalam jarak?” Tanya Santo Gregory

dari Sinai, merujuk pada berkah Nama Ilahi. “Sembahyang adalah Tuhan, yang

menyelesaikan segala sesuatu untuk siapa pun.”36

Disebut juga zikir atau sembahyang invokasi, menghubungkan manusia

untuk menyingkap Asma Tuhan, diucapkan berulang-ulang oleh manusia tetapi

dilafalkan oleh Tuhan sendiri; “invokasi manusia hanyalah efek lahiriah dari yang

eternal dan invokasi batiniah oleh Tuhan.”37 Meister Eckhart: “God is the Word

which pronounce itself.” 38 sebagaimana Ramakrisna: “Tuhan identik dengan

Nama-Nya.” 39 Nama Ilahi, dilafalkan secara ritual, sebagai “secara misterius

dikenal diidentifikasikan dengan Keilahian.”40 Sebagaimana Schuon jelaskan

dalam karya utamanya:

“It is in the Divine Name that there takes place the mysterious meeting of
the created and the Uncreate, the contingent and the Absolute, the finite
and the Infinite. The Divine Name is thus a manifestation of the Supreme
Principle, or to speak still more plainly, it is the Supreme Principle
manifesting Itself.”41

Jadi, bertolak belakang dengan dua jenis sembahyang tadi, subjek atau

pelaku invokasi ini yang utamanya bukanlah manusia--ini bukanlah manusia

secara invdividual maupun manusia secara umum yang memprakarsai tindakan

ini--tetapi lebih kepada tindakan ilahi, dan karena alasan inilah Schuon

menghormati sembahyang invokasi sebagai sembahyang yang paling lengkap dan

paling sempurna. Dan yang patut diperhatikan contoh dari praktis ini termasuk
36
Schuon, Prayer Fashions Man, h.xxii merupakan catatan kaki yang diberikan oleh James Cutsinger
dalam tulisannya “Introduction” untuk buku ini. Di sini Cutsinger mengutip G.E.H Palmer, Philip Serrad dan Kallistos
Ware. “Commandments and Doctrines”, dalam buku The Philokalia, (London: Faber and Faber, 1995), Vol IV, h.238.
37
Prayer Fashions Man, “Modes of Prayer” h.61
38
Ini merupakan kata-kata dari Meister Eckhart yang dikutip oleh Whital Perry (editor) dalam buku A
Treasury of Traditional Wisdom, 1005.
39
Schuon, Prayer Fashions Man, h.60
40
Frithjof Schuon, “Universality and Particular Nature of the Christian Religion”, Transcendent Unitiy of
Religions, (Wheaton, IL: Theosopical Publishing House, cetakan kedua 2005), h. 145.
41
Schuon, Transcendent Unity of Religions, h.145. In similar vein, Gershom Scholem, considering the
Kabbalism of Abraham Abulafia, writes that the Name of God is “something absolute, because it reflects the
hidden meaning and the totality of existence” (Major Trends in Jewish Mysticism, 133).
48

Doa Yesus dalam tradisi Kristen, metode zikir dalam tradisi Islam, nembutsu

dalam tradisi Jodo Shinshu (Pure Land Buddhism), dan berbagai bentuk

jappa-yoga dalam Hinduisme, di mana nama Krishna dan Rama dapat ditemukan

di antara berbagai mantra yang dirapalkan. “Building as it were on the two “lower

dimensions” of prayer, invocation gives “solidity” to the spiritual life, providing

seekers of every aptitude with that greatest of boons, which is to have arrived at

the goal even while one is still in the midst of the journey.”42

Melalui nama Ilahi manusia sebagai yang dicipta bertemu dengan Yang

Tak Tercipta, yang pada saat bersamaan adalah Yang Maha Mencipta; yang relatif

dengan yang Mutlak, yang terbatas dengan Yang Nirbatas. Nama Ilahi karenanya

adalah manifestasi prinsip-prinsip tertinggi, atau sederhananya, prinsip-prinsip

tertinggi memanifestasikan Diri-Nya sendiri.

Aktualisasi dari kesadaran tentang Yang Mutlak, Zikir mengingat Tuhan,

yang merupakan sembahyang dalam makna terdalamnya, adalah “..already a

death and a meeting with God and places us already in Eternity; it is already

something of Paradise and even, in its mysterious and “uncreated” quintessence,

something of God. Quintessential prayer brings about an escape from the world

and from life, and thereby confers a new Divine sap upon the veil of appearances

and the current of forms.”43

Sembahyang Kalbu mengaktualisasikan dan mengekspresikan kesadaran

kita terhadap Yang Mutlak dan karenanya, “perpetuates in the soul and fixes in the

heart, so that it penetrates the whole being and at the same time transmutes and

42
James S. Cutsinger, “Introduction” dalam Prayer Fashions Man, h.xxii.
43
Logic and Transcendence, “Man and Certainty”, h. 265.
49

absorbs it.”44 Sembahyang ini merupakan sembahyang tertinggi dan paling mulia.

Sebagaimana James Cutsinger menegaskan, bentuk sembahyang inti ini adalah

puncak metode spiritual yang [Schuon] ajarakan dan bentuk sembahyang

ditekankan Schuon dalam tulisan-tulisannya baik yang dipublikasikan maupuan

yang tidak.”45

Schuon mengekspresikan dengan puitis kekuatan penyelamatan dari

Nama Ilahi dalam kata-kata berikut:

“One must enclose oneself in the Divine Name as in a shelter during a


tempest. One must also invoke it as if the Name were a miraculous sword
during a battle, and thus vanquish the enemies we carry within ourselves. At
other moments it is necessary to rest in the divine Name and be perfectly
content with it and to give oneself up to it with profound recollectedness, as
if in a marvelously beautiful sanctuary full of blessings. And at still other
times, one must cling to the divine Name as if it were a rope thrown to a
drowning man; it is necessary to call upon God so that He tears us and may
save us; we must be aware of our distress and of God’s infinite Mercy.”46

Nama Ilahi adalah tempat berlindung ketika badai terjadi, atau pedang

yang menakjubkan dalam sebuah pertandingan dan karenanya kita berhasil

menaklukkan musuh dengan membawa pedang tersebut. Di lain kesempatan,

sangatlah penting untuk merasa tenang di dalam nama Ilahi untuk merasa

benar-benar cukup (content) dengannya dan memberikan diri kita sepenuhnya

Dalam sebuah suratnya kepada Leo Schaya 47 , Schuon menekankan

tentang menyebutkan berulang-ulang Nama Ilahi, Sembahyang Kalbu, atau jalan

44
Prayer Fashions Man, “Modes of Prayer”, h. 62.
45
Introduction to Prayer Fashions Man, h. xxi.
46
Prayer Fashions Man, “A Sampling of Letter and Other Previously Unpublished Materials”, h. 188
47
Leo Schaya lahir di Swiss, ia merupakan seorang keturunan Yahudi. Sejak masa mudanya ia
mengabdikan dirinya untuk mempelajari doktrin-doktrin metafisika di TImur dan di Barat, terutama karya-karya
neo-Platonisme, Sufisme dan Advaita Vedanta. Bersama dengan beberapa tradisionalis/ perenialis, Schaya dikenal
atas pemahamannya atas beberapa konsep metafisika yang sulit dan kemampuanya merangkum dan
menginterpretasikan kebijaksanaan kuno dan abad pertengahan untuk pembaca di era modern ini. Sebagai sesama
perenialis Schuon dan Schaya membangun hubungan yang baik, hal ini terlihat dari diskusi mendalam yang mereka
lakukan melalui surat-suratnya.
Beberapa buku yang ditulis oleh Leo Schaya adalah: Sufism: Love and Wisdom (World Wisdom, 2006);
The Universal Meaning of Kabbalah (Fons Vitae; Tra edition, 2004); dan Seeing God Everywhere (contributed Essay)
(World Wisdom, 2004). Dan masih ada buku-buku lain yang ditulis dalam bahasa Perancis.
50

ke “dalam” untuk selanjutnya lebih muncul dibandingkan sebelum-sebelumnya

sejalan metode spiritual yang semakin cocok dengan waktu kita. Enam tema

meditasi merupakan ajaran Schuon yang membedakannya dengan guru-guru

spiritual sebelumnya, sehingga ia berhak menyandang gelar

Manusia bersembahyang dan sembahyang menjadi pakaian baginya.48

Orang-orang suci itu sendiri menjadi sembahyang, pertemuan antara bumi dan

Langit; ia karenanya mengandung alam semesta, dan alam semesta

bersembahyang bersamanya. Ia ada di mana-mana, di mana alam sembahyang,

dan ia bersembahyang bersama alam dan di dalam alam: di puncaknya, yang

menyentuh kehampaan dan keabadian, dalam sebuah bunga, tersebar wewangian,

dalam keriangan nyanyian seekor burung.

Ia yang hidup dalam sembahyang tidak hidup sia-sia.

Sementara Schuon menekankan bahwa nilai sembahyang kalbu dalam

makna spiritualnya dapat sesuai dengan era modern ini, meskipun demikian ia

tetap menekankan untuk mengikuti prinsip-prinsip tradisional bahwa, “ia yang

berzikir harus memiliki hak terdapat sebuah metode ini, yakni ia harus

menerimanya dari seorang guru spiritual yang juga menerima hak terhadap

metode tersebut, yang mengisyaratkan adanya pembaiatan yang ditransmisikan

secara reguler sepanjang abad sejak turunnya Wahyu.49

Ritual menzikirkan nama Ilahi, “bukanlah sebuah praktik tanpa

pengawasan atau otoritas dari seorang guru spiritual (baik syaikh dalam tradisi

sufi maupun guru dalam tradisi Hindu) dari garis silsilah reguler maupun ortodoks;

jika kondisi ini tidak dipenuhi, orang yang membabi-buta yang menyerahkan

48
Spiritual Perspectives and Human Facts, “The Spiritual Virtues”, h. 228
49
Michael Oren Fitzgerald, Frithjof Schuon Messenger of Perennial Philosophy, h.50. Lihat juga Frithjof
Schuon, Eye of the Heart, “Microcosm and Symbol”, h.52.
51

dirinya untuk mencoba masuk dalam tatanan ini membuka dirinya terhadap reaksi

penolakan yang sangat serius, seperti ketidakseimbangan mental atau kematian,

hal ini terutama dikarenakan kurangnya kualifikasi.”50

Schuon menulis sebuah puisi tentang sembahyang, yang berjudul

“Condition51”, sebagai berikut:

It has been said that the Supreme Name saves us,


Despite the crushing weight of our sins;
True! However, to a base human being
The invocation of the Name is of no avail.
God does not hasten with miraculous powers;
Only noble souls does He make holy.
One should approach the Name with awe:
“Ye should not give what is sacred to dogs.”
Be simple before God — He hears you. But also:
Be of noble mind! The way of Heaven requires it.

50
Michael Oren Fitzgerald, Frithjof Schuon Messenger of Perennial Philosophy, h.50
51
Telah dikatakan bahwa Nama Yang Agung menyelamatkan kita,
Tak pandang beratnya dosa yang kita lakukan;
Benar! Bagaimanapun, bagi seorang manusia biasa
Zikir Sang Nama tidak
Tuhan tidak dapat dipercepat dengan kekuatan keajaiban;
Hanya jiwa-jiwa yang mulia yang dibuat-Nya suci
Kita harus mendekati Sang Nama dengan penuhi khidmad
“Kalian tidak seharusnya memberikan yang sakral kepada anjing”
Sederhanalah di hadapan Tuhan--Dia mendengarmu. Tetapi juga:
Jadilah mulia dalam pikiranmu! Jalan Langit menghendakinya.
52

Terdapat beberapa analogi antara meditasi dan sembahyang individu

(doa) yang manusia memformulasikan pikirannya secara spontan di kedua kasus

tersebut; perbedaannya, yang lebih penting adalah bahwa meditasi itu objektif

dan intelektual--kecuali itu adalah sebuah pertanyaan yang imajinatif, bahkan

yang sentimental sekalipun, refleksi kehidupan kita, meskipun ini bukan yang

dimaksud di sini--sementara doa itu subjektif dan volitive. Dalam meditasi,

tujuannya adalah ilmu pengetahuan, karenanya adalah sebuah realitas yang

secara prinsip melampaui ego itu sendiri; pikiran kita adalah subjek, yang secara

tegas, inteligensi impersonal, maka manusia dan Tuhan pada saat yang sama,

inteligensi murni menjadi titik persimpangan antara akal manusia dan Intelek

Ilahi.”

There is a certain outward analogy between meditation and individual


prayer in that man formulates his thought spontaneously in both cases; the
difference, which is infinitely more important, is that meditation is objective
and intellectual—unless it is a question of imaginative, even sentimental,
reflections, which are not what we have in mind here—whereas prayer is
subjective and volitive. In meditation, the aim is knowledge, hence a reality
that in principle goes beyond the ego as such; the thinking subject is then,
strictly speaking, the impersonal intelligence, thus man and God at the
same time, pure intelligence being the point of intersection between
human reason and the divine Intellect.”52
Meditasi merupakan pertemuan antara manusia dengan tuhan yang

menjadi pertemuan antara intelek dan Kebenaran, atau kebenaran-kebenaran

relatif yang dikontemplasikan dalam gambaran Yang Absolut. Terdapat beberapa

analogi terkait dengan meditasi dan sembahyang individu, yang dengannya

manusia memformulasikan pemikirannya secara spontan dalam dua kasus

52
Schuon, Prayer Fashions Man, h.59
53

tersebut; perbedaannya, yang secara tidak terbatas lebih penting, adalah bahwa

meditasi bersifat objektif dan intelektual--kecuali kita bermeditasi tentang

pertanyaan imajinatif, bahkan sentimental dan refleksi diri, bukanlah sesuatu

yang dimaksud di sini--sementara doa lebih bersifat subjektif dan berisi

permohonan. Dalam meditasi, tujuannya adalah pengetahuan, sementara sebuah

realitas yang pada prinsipnya melampaui ego itu sendiri; pikiran ini adalah

subjek itu sendiri, yang sebenarnya, inteligensi impersonal, bagi manusia dan

Tuhan pada saat yang bersamaan, intelegensi murni merupakan titik

persimpangan antara akal manusia dan intelek Ilahi.[]


BAB IV

SEMBAHYANG DALAM TRADISI HINDU, KRISTEN DAN ISLAM

Setelah penulis membahas pemikiran Schuon dalam bab sebelumnya, penulis

melakukan studi terhadap tiga agama mainstream di Indonesia, yakni Agama Hindu,

Kristen dan Islam untuk membuktikan apakah teori sembahyang Schuon memang

nyata praktiknya dalam ketiga agama tersebut.

Alasan penulis memilih ketiga agama ini adalah karena agama Hindu

merupakan agama tertua di dunia yang tidak masuk dalam klasifikasi agama samawi

atau agama lain, menarik untuk dibandingkan praktiknya dengan agama Kristen dan

Islam yang memiliki kemiripan dalam berbagai ajaran dan strukturnya, di samping

keduanya berasal dari silsilah yang sama, Nabi Ibrahim.

Sementara pemilihan agama Kristen sendiri banyak yang berseloroh bahwa

umat Kristen tidak melaksanakan salat, seperti yang dilakukan umat Muslim, padahal

dalam berbagai literatur dituliskan bahwa Yesus melaksanakan salat sepanjang hari

pada waktu-waktu tertentu, sebagaimana yang dilakukan umat Yahudi pada masa itu.

Pernyataan ini bahkan diamini oleh penganut Kristen Ortodoks sendiri, yang meskipun

mereka melaksanakan salat, mereka seringkali mendengar ungkapan orang-orang yang

menganggap bahwa dalam ajaran Kristen tidak ada kewajiban beribadah setiap hari.

Maka penulis ingin meluruskan anggapan ini sekaligus menggunakan pemikiran

Schuon untuk menganalisisnya.

1. Sembahyang dalam tradisi Hindu

“The entire message of the Upanishads, of the Brahma-Sūtras of Bādarāyana,

54
55

and fi nally of Shankara, may be condensed into the following words: ‘Brahman
alone is real; the world is illusion, Māyā; the soul is not other than Brahman.’”1

Dalam tradisi hindu dikenal tiga macam pemujaan terhadap Tuhan yaitu Puja,

Prarthana (doa), Japa dan Mantra. Prarthana yaitu doa yang dilakukan kapan saja, oleh

siapa saja dan di mana saja, tanpa ada aturan yang baku dan tidak terbatas pada

permasalahan tertentu saja. Prarthana ini bersifat subjektif, sesuai dengan kondisi jiwa

seseorang yang memanjatkan doa. Kedua adalah puja atau sembahyang. Puja

(sembahyang) ini ada dua macam, ada puja yang dilaksanakan sendiri atau dilakukan

berkelompok dan kolosal pada waktu-waktu tertentu. Dalam pelaksanaannya

seseorang yang melakukan puja harus melakukan hal-hal tertentu yang diwajibkan dan

membaca mantra-mantra yang memang dianjurkan. Japa adala penyebutan nama suci

Tuhan atau mantra berulang-ulang, baik dihitung dengan biji genitiri atau japamala,

maupun tidak terbatas. Tujuannya menuju mendekatkan diri dengan Tuhan.2 Mantra

adalah doa yang diucapkan dengan kata-kata yang sudah baku yang diambil dari Kitab

Weda. Tujuannya jelas, cara pengucapannya pun baku, meski iramanya dapat

mengikuti kebiasaan setempat.3

Ada beberapa macam doa (prarthana), sembahyang dan puja yang dilakukan

setiap hari atau dalam beberapa hari suci dalam tradisi Hindu. Prarthana berarti doa

atau pencarian. Makna kata prarthana secara umum adalah untuk memohon, untuk

meminta atau mencari sesuatu dengan sopan dengan perasaan penuh penghormatan

dan kepasrahan. Dalam Veda, doa bersinonim dengan mantra, nyanyian atau mantra

1
Frithjof Schuon, “David, Shankara, Honen” dalam buku To Have a Center, h. 135.
2
Svami Veda Bharati, Mantra Inisiasi, Meditasi & Yoga, (Surabaya: Paramita: 2002), h. 103.
3
Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, “Berdoa dan Sembahyang Bersama” artikel dimuat pada situs:
https://www.posbali.id/berdoa-dan-sembahyang-bersama/ diakses pada Selasa, 26 Juni 2018 pukul 11:01
56

religius, yang digunakan berkomunikasi dengan Tuhan, mengekspresikan ketundukan

mereka atau memohon agar keinginan mereka terkabul. Dalam kitab-kitab Purana dan

epos semacam Ramayana dan Mahabharata, ditekankan melalui berbagai contoh

bahwa Tuhan tidak pernah gagal tidak merespon panggilan tulus dari para

makhluknya.4

Salah satu ciri orang beragama adalah melakukan pemujaan pada Tuhan.

Bagi umat Hindu Bali, pemujaan itu disebut sembahyang. Meskipun sembahyang

merupakan ciri umum dari seorang yang beragama, tetapi motif orang melakukan

sembahyang tidaklah sama, juga cara orang bersembahyang yang berbeda-beda. Tetapi

tujuan tertinggi dari sembahyang adalah sama, yaitu mencapai persatuan dan kesatuan

dengan Tuhan.5

Makna sembahyang dalam agama Hindu menurut Ketut Wiana adalah,

melakukan pemujaan serta penghormatan kepada dewa atau Tuhan Yang Mahaesa atau

kepada sesuatu yang suci. Dalam sembahyang dikandung juga pengertian

menaklukkan diri serta menghamba kepada yang disembah. Dalam agama Hindu

sembahyang merupakan wujud nyata kegiatan beragama dengan tujuan untuk

menghormat, memohon, menyerahkan diri, menyatukan diri, menghamba kepada

Tuhan sebagai yang maha suci juga kepada yang sudah mencapai status Dewa Pitara

atau Siddha Dewata dan kepada para Maha Rsi yang telah memiliki kesucian itu

4
Sembayang Menurut Umat Hindu (Dharma wacana) diakses dari situs:
https://hindualukta.blogspot.com/2015/04/pengertian-sembayang-menurut-umat-hindu.html pada Selasa, 26 Juni
2018 pukul 14.27 WIB.
5
Drs. I. Ketut Wiana, M.Ag, “Memahami Filosofi Sembahyang” dalam buku Sembahyang menurut
Hindu (Surabaya: Paramita, 2006), h. 5
57

sendiri.6

Kitab Weda merupakan kitab suci yang menjadi sumber utama tentang ilmu

pengetahuan, selain itu juga memuat tentang tata cara melakukan sembahyang. Jalan

menuju Tuhan melalui sembahyang ini disebut dengan Bhakti Yoga. Namun, meskipun

sembahyang itu tergolong dalam jalan Bhakti Yoga dan secara ilmu pengethauan

diuraikan dalam kelompok isi Weda yang tergolong Upasana, namun dalam

sembahyang bukan berarti yoga-yoga lain terlepas sama sekali.

Sri Krsna 7 pernah bersabda kepada Arjuna sebagai: “manmana bhava

madbhakto madyaji mam namaskuru mam evaisyai yuktvaivan atmanan

matparayanah.”(Bhagawad Gita, IX.34) yang artinya: “Pusatkanlah pikiranmu

kepada-Ku, berbhakti kepada-Ku, sembahlah Aku, sujudlah kepada-Ku. Setelah

melakukan disiplin pada dirimu sendiri dan Aku sebagai tujuang engkau akan datang

kepada-Ku.

Pelaksanaan sembahyang dapat dibagi atas dua bagian yaitu: Sembahyang

yang dilakukan sehari-hari dan sembahyang yang dilakukan sewaktu-waktu dalam

hubungannya dengan upacara tertentu. Sembahyang yang dilakukan sehari-hari

6
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h.37
7
Krisna atau Kresna atau Krsna, adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria
berkulit gelap atau biru tua, memakai pakaian berupa dhoti berwarna kuning dan mahkota yang dihiasi bulu
merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan salah
satu kaki ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah
putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara.
Secara umum ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu.
Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari
Kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri. Dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan
Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai kepribadian Tuhan Yang Mahaesa. Dalam
Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan
dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti dan berwiawa. Selain itu
ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai
kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani. (Wikipedia:
https://id.wikipedia.org/wiki/Kresna)
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h.39.
58

disebut dengan Trisandhya. Tri berarti tiga dan sandhya artinya sembhayang, maka tri

sandhya ini adalah sembahyang yang dilakukan tiga kali dalam satu hari yaitu pada

pagi hari, siang hari dan malam hari. Trisandhya ini menggunakan mantra yang disebut

dengan mantra puja Trisandhya.

Sedangkan sembahyang lain dilakukan pada waktu-waktu yang berkaitan

dengan upacara tertentu seperti pada saat hari raya Galungan, Kuningan, Saraaswati,

Pagerwesi, dan lain-lainnya bagi masyarakat Hindu di Bali. Pada umat Hindu di

Tengger, Jawa Timur, misalnya pada upacara Kesodo.

Persembahyangan bisa dilaksanakan dengan mengacu pada dua sumber yaitu:

sastra drsta dan desa drsta. 8 Desa drsta artinya kebiasaan dari tempat ke tempat.

Karena itu seringkali cara sembahyang tampak berbeda-beda di suatu tempat dengan

tempat yang lain. Namun, intinya tetap sama, menyembah Tuhan Yang Mahaesa dan

segala manifestasinya.

Pada saat sembahyang Trisandhya, kita membaca mantra gayatri yang

sebaiknya diucapkan pada waktu subuh, tengah hari dan senja hari saat “Sandhya

Kalam” yaitu pertemuan antara waktu malam dan waktu pagi, pagi dan sore, serta sore

dan malam hari. Waktu-waktu tersebut sangat berguna untuk latihan rohani.9

Ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam melakukan sembahyang.

1. “Asuci laksana” artinya badan maupun diri orang hendaknya bersih,

karena akan memengaruhi pikiran juga.

2. sikap badan yang disebut asana, boleh memakai padmasana (duduk


8
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h.53.
9
Drs K.M.Suhardana, Pedoman Sembahyang Umat Hindu, dimuat pada situs:
https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/pedoman-sembahyang-umat-hindu/469298156426169/ diakses
pada hari Selasa, tanggal 26 Juni 2018 pukul 11.28 WIB.
59

bersila), bajrasana (duduk bersimpuh) sesuai dengan tempat sembahyang itu sendiri.

3. Pranayama yaitu mengatur jalan napas. Menarik napas (puraka), menahan

(kumbaka) dan mengeluarkan (recaka) dengan perbandingan 1:4:2. Pada saat

melakukan puraka dan kumbaka disertai dengan ucapan “Ang” dalam hati, dan pada

saat melakukan recaka disertai ucapan “Ah” dalam hati. Pranayama sangat berguna

untuk melemaskan badan dan menenangkan pikiran.

4. “Kara sodana” yaitu menyucikan tangan karena tangan akan dipakai untuk

menyembah. Mantra yang dipakai ialah Om sudhamam swaha (tangan kanan) dan Om

hati sudhamam swaha (tangan kiri) yang artinya, “Ya Tuhan, disucikanlah tangan

hamba”.

5. “Puspa sodana” artinya penyucian bunga dengan puja dan mantra, “Om

puspa danta ya namah” artinya, “Ya Tuhan, sujud padamu Siwa.

6. Menyembah dengan mencakupkan kedua belah tangan, angkat naik ke atas

sampai ujung jari lewat ubun-ubun disertai dengan mantra sesuai dengan jenis

sembahyang itu sendiri. Pikiran diarahkan dan dipusatkan kepada Tuhan. Tapi, tidak

semua orang dapat mengarahkan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan. Tuhan

bersifat Mahagaib, tidak terbayangkan oleh manusia, karenanya ada di luar daya

khayal dan jangkauan manusia. Maka, dalam hal ini timbullah yang disebut “murti

puja” yaitu memuja atau menyembah Tuhan dengan sarana wujud-wujud tertentu yang

merupakan simbol-simbol Tuhan. Seperti: area, gambar, aksara, dan sebagainya.10

Mantra yang dibaca dalam sembahyang Trisandhya ini adalah mantra

10
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h. 54.
60

gayatri yaitu sebagai berikut11:

Om bhur bhuvah svah, tat savitur varenyam, bhargo devasya dhimahi, Dhyo

yo nah praccodayat (Artinya: Om adalah bhur swah. Kita memusatkan pikiran pada

kecemerlangan dan kemuliaan Sang Hyang Widhi, semoga ia berikan semangat pikiran

kita).

Om Narayana evedam sarvam, Yad bhutam yac ca bhavyam, niskalanko

niranjano nirvikalpo, nirakhyatah suddho deva eko, Narayana na dvityo ’sti kascit

(artinya: Om Narayana adalah semua ini, apa yang telah ada dan apa yang akan ada

bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan,

sucilah dewa Narayana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua).

Om tvam sivah tvam mahadevah, isvarah paramesvarah, brahma visnusca

rudrasca, purusah parikirtitah (Artinya: Om engkau dipanggil Siwa, Mahadewa,

Iswara, Prameswara, Brahma, Wisnu, Rudra dan Purusa)

Om papoham papakarmaham, papatma papasambhavah, trahi mam

pundarikaksah, sabahyabhyantarah sucih (Artinya: Om hamba ini papa, perbuatan

hamba papa, diri hamba ini papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Sang

Hyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga hamba).

Om ksamasva mam mahadevah, sarvaprani hitankarah, mam moca sarva

papebhyah, palayasva sadasiva (artinya: Om ampunilah hamba Sang Hyang Widhi,

yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, bebaskanlah hamba dari segala

dosa, lindungilah oh Sang Hyang Widhi).

11
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h.120. Lihat juga Drs. K. M Suhardana, Pedoman
Sembahyang Umat Hindu, (Surabaya: Paramita, 2004), h. 35-37.
61

Om ksantavah kayiko dosah, ksantavyo vaciko mama, ksantavyo manaso

dosah, tat pramadat ksamasva mam (artinya: Om ampunilah dosa anggota badan

hamba, ampunilah dosa hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari

kelahiran hamba).

Om santih santih santih Om (artinya: Om, damai, damai, damai, Om).

Puja Trisandhya merupakan rangkuman dari enam bait mantra Kitab Catur

Wedah Sirah dan Kitab Wedaparikrama. Bait pertama disebut Gayatri Mantra sesuai

dengan nama iramanya yaitu gayatri chandra. Mantra ini berasal dari kitab Rg Weda

III.62.10. Namun kata bhur bhuwah swah yang disebut Mahavyahrti tidak ada pada

mantra ini. Tambahan kata itu terdapat pada kitab Yajur Weda putih 36.3. Gayatri

Mantra adalah mantra yang paling mulia di antara semua mantra. Ia bersifat universal

yang dinyanyikan oleh semua orang yang beragama Hindu.12

Kemudian Ketut Wiana menjelaskan makna dari mantra Trisandhya yang

dibaca pada sembahyang Trisandhya setiap harinya. Mantra ini ditujukan kepada

Tuhan yang imanen dan transenden yang bergelar “sawita” yang berarti, “Dia yang

melahirkan segala.” Ia mengandung tiga bagian penting, yaitu:

1. Pujian kepada Tuhan

2. Meditasi

3. Doa permohonan

Pertama-tama Tuhan dipuji dan dimuliakan. Kemudian Dia dijadikan obyek

meditasi dan akhirnya permohonan dipanjatkan kepada-Nya untuk membangun dan

menguatkan intelek, kemampuan membedakan (wiweka) antara baik dan buruk dalam

12
Ketut Wiana, Sembahyang menurut Hindu, h.121.
62

diri manusia. Gayatri dianggap sebagai Wedasara atau intisari dari Weda, Ia adalah ibu

mantra yang sangat dimuliakan dan diikrarkan.

Bait kedua adalah salah satu petikan dari mantra Catur Weda Sirah yang dapat

disebut Narayanastawa, isinya memuja, memuja Tuhan yang suci tak ternoda, Ia yang

tunggal adanya. Bait ketiga adalah petikan mantra dari Siwastawa dalam kitab Weda

Parikrama. Di sini pemuja menyebut Ia Yang Tunggal itu Siwa, Mahadewa, Iswara,

Parameswara, Brahma, Wisnu, dan sebagainya.

Bait keempat, kelima, dan keenam disebut mantra “pengaksama” yang dipetik

dari kitab Weda Parikrama juga. Pada bait keempat pemuja mengatakan kelemahan dan

kehinaan dirinya serta selanjutnya ia mohon agar dibersihkan dari segala noda.

Demikian pula pada bait kelima dan keenam, pada pokoknya mohon ampun atas segala

kepapaan dan kelalaian, kepada Tuhan penyelamat segala makhluk.

Demikianlah sembahyang kanonis dalam tradisi Hindu yakni sembahyang

Trisandhya. Sementara itu Sembahyang Kalbu yang dilakukan umat Hindu adalah

meditasi dan japa yoga. Sebenarnya hampir dalam setiap sembahyang umat Hindu

melakukan japa yoga dengan mengulang-ulang mantra tertentu. Seperti Gayatri Mantra

yang dapat diulang hingga bilangan tertentu tergantung yang diajarkan oleh guru

spiritualnya.

Japa bukan hanya pengulangan mantra secara mekanis dari sebuah mantra

yang kita pilih. Ilmu mantra diddasarkan pada mengerti getaran suara yang terutama

berpusat pada berbagai letak kundalini dan tidak bisa ditangkap tanpa melakukan

inisiasi. tujuan utama dari japa adalah untuk menuju kesunyian yang paling tinggi.

Seseorang pertama kali menyerap tingkatan artikulasi (vaikhari) wicara ke dalam


63

tingkatan mental (madhyama) . Kemudian seseorang mendiamkan bahkan tingkatan

mental itu (madhyama). Kemudian seseorang mendiamkan tingkatan itu dan memasuki

keberadaan pasyanti, getaran wahyu. Dengan cara itu seseorang itu mungkin menjadi

saluran dari wahyu. Dari sana seseorang masuk ke dalam penyerapan tertinggi dalam

para, yang transenden, yang adalah pengetahuan yang terdapat dalam prinsip ilahi.

Seorang guru yang telah dilatih dalam Tradisi Himalaya mengarahkan siswanya ke

dalam tingkatan yang lebih jauh lagi dan lebih sempurna melalui sembilan tahapan

latihan mantra utama seperti yang diajarkan dalam sistem tantra.13

Lebih jauh lagi, Swami Veda Bharati menjelaskan, beberapa variasi dari

latihan seperti berikut ini:

A. Belajar mantra dengan kesadaran dari aliran pernafasan.

B. Latihan mantra sambil melakukan tugas seperti memasak atau membaca

atau menulis.

C. Mendengarkan mantra seseorang dalam pikiran atau dalam anahata cakra.

D. Berlatih mantra dengan pernafasasn mantra.

E. Memunculkan mantra ke dalam titik bija yang diberikan dalam cakra, dan

kemudian memperhatikan mantra itu muncul dari sana lagi.

F. Membawa mantra itu ke dalam ruangan kesunyian dan memperhatikan

mantra itu muncul dari kesunyian.

G. Memunculkan mantra ke dalam suara dalam Gua Lebah, bhramara guha,

dan kemudian lagi memperhatikan pemunculannya lagi.

H. Menggunakan mantra itu dalam pemujaan kuil dalam diri kita (manasa

13
Swami Vida Bharati, Mantra, Inisiasi, Meditasi & Yoga, (Surabaya: Paramita, 2002), h. 103-105.
64

puja).

I. Merenungkan arti sebuah mantra, dan menyetukan renungan itu dengan:

a) Manana, atau perenungan Vedanta dari mahavakya, dan

b) Dialog internal, secara khusus sebuah pemurnian diri.

c) Menggunakan mantra sebagai pengalaman seorang bhakti, dari

pengabdian dan doa dalam hati sehingga memunculkan jalan bhakti-yoga,

japa-yoga dan dhyana-yoga.

Terdapat banyak metode lain dalam penggunaan mantra yang perlu diajarkan

oleh seorang guru yang berpengalaman yang tidak hanya mengajarkan cara tetapi

membimbing pikiran muridnya dan energi-energi melalui kekuatannya sendiri,

sehingga ia menginisiasi dalam sebuah latihan.

2. Sembahyang dalam Agama Kristen

Untuk memperjelas penelitian ini, penulis mengambil contoh sembahyang

dari dua aliran dalam Kristen, yakni Kristen Ortodoks dan Katolik.

Sembahyang personal atau doa dalam tradisi Kristen baik itu Katolik

maupun Kristen Ortodoks dianjurkan dilakukan setiap melakukan kegiatan apa pun,

misalnya ketika akan makan, akan melakukan perjalanan, dan akan tidur, seseorang

dianjurkan untuk menyampaikan syukurnya kepada Tuhan. Sebenarnya ungkapan apa

saja yang akan disampaikan dan bagaimana cara kita menyampaikannya, tidak diatur

dengan baku. Melainkan menggunakan pedoman dari kitab Mazmur: bahwa ketika

kita memanjatkan doa sebaiknya kita mengungkapkan ungkapan syukur, pujian

kehadirat Tuhan, penyesalan atas kesalahan kita, upaya perbaikan diri baru diikuti
65

dengan permohonan kita. Akan tetapi karena sembahyang personal ini sifatnya

subjektif, tidak ada hukum dalam menyampaikan kegelisahan kita terhadap Tuhan,

hanya saja, setidaknya lakukan dengan cara yang baik.

Secara khusus dalam Kristen Ortodoks memiliki pembahasan tentang doa

hening, bahwa ketika sepanjang hari seseorang telah mengeluarkan kata-kata, ada

baiknya ia melakukan doa hening ketika hanya batinnya yang berbicara dengan

Tuhan. Perihal doa hening ini, diajarkan juga oleh Yesus dalam: Matius 14:23, “Dan

setelah orang banyak itu disuruhnya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa

seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian disitu”. 14 Lebih lanjut lagi

ditegaskan tentang berdoa hening ini sebagai berikut:

“Berdoa dengan berdiam diri, dimana hati yang lebih banyak berkomunikasi

dengan penuh cinta kepada Sang Mempelai Laki-laki guna mencapai tujuan

pemanunggalan denganNya sudah lama dikenal dalam tradisi monastisisme

(kerahiban) Gereja Orthodox sebagai kesinambungan tanpa putus dengan Gereja Para

Rasul dan Gereja Purba itu sendiri. Akhir-akhir ini gereja-gereja Protestan mulai

melihat nilai doa ini, misalnya dengan meditasi dan kontemplasi yang dikembangkan

mulai tahun 1960-an oleh komunitas biara Protestan Taize di Perancis dan beberapa

komunitas biara Protestan lainnya.”15

Menurut Kristen Ortodoks, bukan berarti berdoa harus berdiam diri atau

bermeditasi semata, melainkan doa seharusnya juga dapat dilakukan dalam suasana

14
Fr. Kyrillos Junan SL, “Doa dan Shalat dalam Kristen”, tulisan ini dimuat dalam salah satu situs rujukan
Ortodoks Indonesia: http://monachoscorner.weebly.com/doa--sholat-kristen.html diakses pada 21 Maret 2018
pukul 20.42 WIB.
15
Fr. Kyrillos Junan SL, “Doa dan Shalat dalam Kristen”, tulisan ini dimuat dalam salah satu situs rujukan
Kristen Ortodoks Indonesia: http://monachoscorner.weebly.com/doa--sholat-kristen.html diakses pada 21 Maret
2018 pukul 20.42 WIB.
66

ramai, di setiap tempat kita harus memanjatkan doa kita kepada Tuhan. Dan dalam

berdoa bukan hanya melalui pikiran, tetapi juga melalui penghayatan dan perenungan

serta menerjemahkannya dalam kehiudupan sehari-hari. Sehingga tujuan utama doa,

bukanlah meminta kepada Tuhan, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran bahwa akan

keberadaan Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Tidak banyak orang mengetahui tentan sembahyang kanonis yang

dilaksanakan oleh umat Kristiani. Selain karena hal itu biasanya dilakukan di

biara-biara dan seminari, juga karena tidak diwajibkan bagi semua orang, melainkan

dianjurkan bagi setiap orang yang berkehendak. Dalam tradisi Katolik seringkali

disebut dengan Brevir atau Liturgia Horarum (liturgi waktu), sementara dalam tradisi

Kristen Ortodoks seringkali disebut salat (tzelot--dalam bahasa Aramaik). Baik Brevir

maupun Salat (Tzelot, Tselota16) dilaksanakan setiap hari pada waktu-waktu yang

telah ditentukan.

Dalam ajaran Katolik, ibadah harian merupakan terjemahan dari kata

Liturgia Horarum secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi Liturgi Waktu17 yang

dikenal pula dengan nama-nama lain seperti: Ofisi Ilahi (Officium Divinum) dan doa

Brevir. Ibadah harian memiliki sejarah yang panjang dimulai dari tradisi Judaisme

hingga kemudian dipraktikkan dalam tradisi Katolik.

Brevir ini berawal dari tradisi Yahudi yang diperintahkan Tuhan untuk

16
Zaenul Arifin, “Menuju Dialog Islam dan Kristen”, dimuat pada Jurnal Walisongo, volume 20, Nomor 1,
Mei 2012, h. 128. Zaenul Arifin mengutip Arthur Jefferey yang menyatakan bahwa kata-kata Arab dalam al-Quran
yang berasal dari bahasa Suryani/ Aram/ Syriac di antaranya adalah: Allah, salat, Isa, Almasih, al-dajjal,
subhanallah, yang ternyata paralel dengan bentuk Suryani: alaha, stelota, ‘isha, meshiha, daggala, tehila, subh
alaha.
17
Pengertian ini diambil dari situs
http://gemaliturgi.blogspot.com/2012/04/tentang-ibadat-harian-dan-ibadat.html diakses pada 21 Maret 2018
pukul 10.29
67

menyucikan Tuhan pada waktu pagi, siang, dan malam. Dalam kitab Kel. 29:38-3918,

Bil. 28:3-819, 1Raj 18:3620 tentang kurban pagi dan petang. Umat Yahudi melakukan

penyucian ini dnegan cara mempersembahkan kurban sembelihan pada pagi dan

petang hari. Dan praktik ini terus dilakukan hingga masa kehidupan Yesus. Pada masa

pembuangan di Babilon, praktik menyucikan waktu dengan kurban sembelihan

digantikan dengan mempersembahkan pujian kepada Tuhan.

Jejak-jejak tradisi penyucian waktu ini dengan mudah kita temukan dalam

perjanjian lama, terutama dalam “kitab doa” yaitu kitab Mazmur. Misalnya:

a. Mazmur 5:4 Tuhan, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada

waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu.

b. Mazmur 88:14 “Tetapi aku ini, Ya Tuhan, kepada-Mu aku berteriak minta

tolong, dan pada waktu pagi doaku datang ke hadapan-Mu (Mazmur ini dipakai

dalam ibadah Penutup hari Jumat).

c. Mazmur 119:164 “Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau,

karena hukum-hukum-Mu yang adil.

18
Keluaran 29: 38-39 “38. Inilah yang harus kau olah di atas mezbah itu: dua anak domba berumur
setahun, tetap tiap-tiap hari; 39. Domba yang satu haruslah kau olah pada waktu pagi dan domba yang lain kau
olah pada waktu senja.”
19
Bilangan 28:3-8 “3.Katakanlah kepada mereka: inilah korban api-apian yang harus kamu
persembahkan kepada Tuhan: dua ekor domba berumur satu tahun yang tidak bercela setiap hari sebagai korban
bakaran yang tetap; 4. Domba yang satu haruslah kau olah pada waktu pagi, domba yang lain haruslah kau olah
pada waktu senja; 5. Juga seper sepuluh efa tepung yang terbaik untuk korban sajian, diolah dengan seperempat
hin minyak tumbuk; 6. Itulah korban bakaran yang tetap yang diolah pertama kali di atas gunung Sinai menjadi
bau yang menyenangkan, suatu korban api-apian bagi Tuhan; 7. Dan korban curahannya ialah seperempat hin
untuk setiap domba; curahkanlah minuman yang memabukkan sebagai korban curahan bagi Tuhan di tempat
kudus; 8. Dan domba yang lain haruslah kau olah pada waktu senja; sama seperti korban sajian pada waktu pagi
dan sama seperti korban curahannya haruslah engkau mengolahnya sebagai korban api-apian yang baunya
menyenangkan bagi Tuhan.”
20
1 Raja-Raja 18: 36 “Kemudian pada waktu mempersembahkan korban petang, tampillah nabi Elia dan
berkata: Ya, Tuhan, Allah Abraham, Ishak dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang, bahwa Engkaulah Allah,
di tengah-tengah Israel dan bawa aku ini hamba-Mu dan bahwa atas firman-Mulah aku melakukan segala perkara
ini.”
68

d. Mazmur 141:2 “Biarlah doaku adalah bagi-Mu, seperti persembahan

ukupan, dan tangaku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang.

Praktik penyucian waktu dengan membacakan pujian kepada Tuhan ini

sangat berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, sehingga di tempat-tempat umum dan

pusat kota, terdapat lonceng yang mengingatkan orang-orang untuk bersembahyang

atau beristirahat, lonceng tersebut dibunyikan pada pukul enam pagi, sembilan pagi,

satu siang, tiga sore dan enam sore. Praktik ini sejalan dengan kebiasaan berdoa pada

jam-jam tertentu yang diperintahkan oleh Alkitab (Dan 6:10; 6:1321).

Aktivitas berdoa di jam tertentu dilanjutkan pada kehidupan Yesus dan umat

Kristen perdana, di antaranya dapat dilihat dalam Kitab Suci (Luk3:21-22; 6:12; 9:18,

28-29; 11:1; 22:32; Mat 4:19; 15:36; 19:13 dst). Doa Harian pada jam tertentu

(Penyucian Waktu) ini terus berlanjut, dan berisikan elemen yang hampir sama

dengan apa yan gdilakukan oleh Umat Yahudi: Mengulang atau menyanyikan

Mazmur, membaca Kitab Suci, dan pada kemudian hari ditambahkan dengan Madah

Kemuliaan serta doa-doa lainnya. Hampir semua Bapa Gerjea baik di Timur (St.

Yohanes Krisostomos) maupun di Barat (St. Hieronimus), St. Agustinus dari Hippo

dalam aturan hidup di biara menganjurkan kepada para Rahib dan rabbi/rubiah untuk

bertekun dengan setia dalam doa pada jam-jam dan waktu yang telah ditentukan.

Pada perkembangannya doa Ibadah Harian mengalami perkembangan dalam

kehidupan umat Kristen. Pada abad ke-4, praktik Ibadah Harian telah mendapatkan

21
Daniel 6:10 “Demi didengar Daniel, bahwa surat perintah itu telah dibuat, pergilah ia ke rumahnya.
Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa
serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya.”
Daniel 6:13 “Lalu kata mereka kepada raja: “Daniel, salah seorang buangan dari Yehuda, tidak
mengindahkan tuanku,” “Ya raja, aku tidak mengindahkan larangan yang tuanku keluarkan, tetapi tiga kali sehari
ia mengucapkan doanya.””
69

bentuk yang lebih pasti, terutama dengan penyusunan buku sederhana yang disebut

brevir. Brevir ini lahyang kemudian dikenal luas hingga masa Konsili Trente22. Brevir

terus mengalami revisi di masa pongifikal: Paus Pius V, Paus Clement VIII, Paus

Urban VIII, Paus Pius X, Paus Pius XII, dan Paus Yohanes XXIII di tahun 1960.

Pada perkembangannya sejak akhir abad kelima hingga Konsili Vatikan II,

Doa Ibadah Harian terdiri dari:

1. Matutinum: Ibadah tengah malam (Vigile)

2. Laudes: Dilakukan saat fajar menyingsing (pukul 03.00)

3. Primus: Doa awal pagi (pukul 06.00)

4. Tertia: Doa di awal siang hari (pukul 09.00)

5. Sexta: Doa tengah hari (pukul 12.00)

6. Nona: Doa setelah tengah hari (pukul 15.00)

7. Vesper: Doa sore (pukul 18.00)

8. Completorium: Doa penutup hari (pukul 21.00)

Konsili Vatikan II melakukan penyederhanaan pada Ibadah Harian dan

membuatnya lebih mudah digunakan oleh umat awam dengan harapan Ibadah Harian

menjadi doa bagi seluruh anggota Gereja. Konsili Vatikan II menggabungkan doa

22
Konsili Trente atau Konsili Trento adalah konsili Ekumenis Gereja Katolik Roma ke-19 yang diadakan di
Trento, Italia. Dilaksanakan selama tiga periode antara tanggal 13 Desember 1545 dan Tanggal 4 Desember 1563
sebagai jawaban terhadap gerakan Reformasi Protestan. Selain meneguhkan kembali Kanon Kitab Suci yang
terdiri dari 73 Kitab (46 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru sebagaimana yang telah ditetapkan
sejak tahun 382), Gereja Katolik menetapkan definisi ajaran-ajaran pokok yang penting lainnya, di antaranya:
bahwa iman tidak terpisahkan dari kasih, tentang kehendak bebas pada manusia meskipun mereka membawa
dosa lahir, juga tentang menekankan bahwa transubstansiasi (roti dan anggur sebagai pengganti daging dan
darah Kristus) sebagai simbol nyata kehadiran yesus dalam Ekaristi. (lihat:
http://www.katolisitas.org/beberapa-point-penting-yang-ditetapkan-oleh-konsili-trente/ dan
https://en.wikipedia.org/wiki/Special:Search?search=http%3A%2F%2Fwww.katolisitas.org%2Fbeberapa-point-pe
nting-yang-ditetapkan-oleh-konsili-trente%2F&sourceid=Mozilla-search&searchToken=bcyvetmc9chnf56i7z0pmn
osa.
70

Primus ke dalam doa Laudes, dan mengubah doa Matutinum menjadi Ibadah bacaan

yang boleh didoakan pada waktu kapan pun. Konsili juga melakukan penataan ulang

sehingga mazmur-mazmur didoakan selama empat minggu (sebelumnya hanya satu

minggu). Brevir kini lebih dikenal sebagai Ibadah Harian (Liturgia Horanum) yang

dibagi dalam empat tingkat sesuai dengan kalender Liturgi.

 Masa I: Adven dan Natal

 Masa II: Pra Paskah dan Trihari Suci serta Masa Maskah

 Masa III: Minggu biasa 1-17

 Masa IV: Minggu biasa 18-34

Saat ini, praktik Ibadah Harian dalam Gereja Katolik meliputi:

1. Ibadah Matutinum

2. Ibadah Laudes

3. Ibadah Siang (Tertia, Sextia, Nona)

4. Ibadah Vesper

5. Ibadah Completorium.

Dalam Gereja Ortodoks ada dua bentuk Sembahyang Harian, yaitu yang

mengikuti cara Nabi Daniel: Tiga Kali sehari (Dan. 6:11-12, Mzm. 55:18), atau juga

mengikuti pola yang dikatakan oleh Nabi Daud: ”Tujuh kali dalam sehari aku

memuji-muji Engkau…” (Mazmur 119:164). Sembahyang tiga kali itu terdiri dari:

Pagi, Tengah-Hari, dan Sore Hari (Mazmur 55:18). Waktu-waktu Sembahyang itu

sendiri sudah dimulai sejak zaman Nabi Musa. Allah memerintahkan agar Imam

Harun mempersembahkan korban binatang dan korban dupa pada “Waktu Pagi” dan

“Waktu Senja” (Kel. 29:38-39, 30:7-8).


71

Dalam Gereja Ortodoks, salat (tselota) dilakukan tujuh kali sehari23, yaitu:

1. Salat jam pertama (Sembahyang singsing Fajar, Orthos, Prima, Sholatus

Sa‟atul Awwal, Sholatus Shakhar). Merupakan ibadah pagi yang dilaksanakan antara

pukul 5.00-06.00 pagi. Berdasarkan Keluaran 29:38-41 berkenaan dengan ibadah

korban pagi dan petang, yang dihayati sebagai peringatan lahirnya Sang Sabda yang

menjelma menjadi Sang Terang Dunia (Yoh.8:1224)

2. Salat jam ketiga (sembahyang Tercia, Sholatus Sa‟atus Tsalits).

Merupakan sembahyang yang dilaksanakan pada pukul 09.00-12.00 atau pada waktu

dhuha dalam tradisi Islam. Termaktub dalam Kitab Kisah Para Rasul 2:1&15 25.

Dalam salat ini manusia diingatkan agar mempunyai tekad an kerinduan untuk

menyalib dan memerangi hawa nafsu kita sendiri agar rahmat Allah dan Roh Kudus

melimpah dalam hidup.

3. Salat jam keenam (Sembahyang Sexta, Sholatus Sa‟atus Sadis).

Merupakan salat yang dilaksanakan pada waktu tengah hari sekitar pukul 12.00

sampai 13.00. Salat ini termaktub dalam Alkitab Kis 10:9 26 dan mempunyai makna

sebagai peringatan akan penderitaan Kristus di atas salib (Luk.23:44-45 27 ) dan

pencuri yang disalib bersama-sama Kristus bertobat. Dengan jam keenam ini,

23
Fr. Kryllos Junan SL, “Doa dan Sholat Kristen” dimuat pada
monachoscorner.weebly.com/doa--sholat-kristen.html diakses pada 21 Maret 2018 pukul 20.42 WIB.
24
Yohanes 8:12 “Maka Yesus berkata pula kepada orang banyak: “Akulah terang dunia, barang siapa
mengikuti Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.”
25
Kisah Para Rasul 2:1 “Ketika Tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul di satu tempat.”
Kisah Para Rasul 2:15 “Orang-orang ini tidak mabuk seperti yang kamu sangka, karena hari baru pukul
sembilan”
26
Kisah Para Rasul 10:9 “Keesokan harinya, ketika ketiga orang itu berada dalam perjalanan dan sudah
dekat kota Yope, kira-kira pukul dua belas tengah hari, naiklah Petrus ke atas rumah untuk berdoa.”
27
Lukas 23:44 “Ketika itu hari sudah kira-kira jam dua belas, lalu kegelapan meliputi seluruh daerah itu
sampai jam tiga
Lukas 23:45 “sebab matahari tidak bersinar. Dan tabir Bait Suci terbelah dua.”
72

diharapkan kita pun akan seperti pencuri tersebut yang selalu ingat untuk bertaubat

dan memohon rahmat Ilahi agar mampu mencapai tujuan hidup yaitu masuk dalam

Kerajaan Allah.

4. Salat jam kesembilan (Sembahyang Nona, Sholatus Sa‟atus Tis‟ah).

Termaktub dalam Kis3:128, dilaksanakan pada pukul 15.00-16.00. Salat ini dilakukan

untuk mengingatkan saat Kristus menghembuskan napas terakhir di tiang salib

(Mrk.15:34-38 29 ), sekaligus mengingatkan bahwa kematian Kristus di atas salib

adalah untuk menebus dosa-dosa, agar manusia dapa tmerasakan rahmat Ilahi.

5. Salat Senja (Sembahyang Hesperinos, Vesperus, Vespers, Sholatul

Ghurub). Dilaksanakan pada waktu maghrib dalam tradisi Islam, yaitu kira-kira pukul

18.00. Sama seperti salat jam pertama, sembahyagn ini dilatarbelakangi oleh ibadah

kurban pagi dan petang yang terdapat dalam Kitab Keluaran 29-38-41. Makna dan

tujuan salat ini adalah untuk memperingati ketika Kristus berada dalam kubur dan

bangkit pada esok harinya, seperti matahari tergenam dalam kegelapan untuk terbit

keesokan pagi.

6. Salat Purna Bujana, Sembahyang Apodipnon, solat tidur, Competorium,

Sholatul Naum. Termaktub dalam Mzm4:930. Salat ini mempunyai makna untuk

mengingatkan bahwa pada saat malam seperti inilah Kristus tergeletak dalam kuburan

28
Kisah Para Rasul 3:1 “Pada suatu hari menjelang waktu sembahyang, yaitu pukul tiga petang, naiklah
Petrus dan Yohanes ke Bait Allah.”
29
Markus 15:34-38 “34. Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eloi, Eloi, lama
sabakhtani?” yang berarti, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?; 35. Mendengar itu beberapa
orang di yang berdiri di situ berkata, “Lihat, Ia memanggil Elia.; 36. Maka datanglah seorang dengan bunga karang,
mencelupkannya ke dalam anggur asam lalu mencucukkannya pada sebatang buluh dan memberi Ysus minum
serta berkata, “Baiklah kita tunggu dan melihat apakah Elia datang untuk menurunkan Dia.”; 37. Lalu berserulah
Yesus dengan suara nyaring yang menyerahkan nyawa-Nya; 38. Ketka itu tabir Bait Suci telah terbelah dua dari
atas sampai ke bawah.”
30
Mazmur 4:9 “Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah,
Ya Tuhan, yang membiarkan aku diam dengan aman”.
73

dan tidur yang dilakukan itu adalah gambaran dari kematian itu.

7. Salat tengah malam (Sembahyang Ratri Madya, Agrypnia, Matinus, Vigil,

Salat lail, Salat Satar). Termaktub dalam Kis.16:2531. Salat ini dilaksanakan pada

waktu yang sama dengan salat tahajjud dalam Islam. Salat tengah malam ini

mengandung pengertian bahwa Kristus akan datang di tengah malam, maka dengan

demikian orang-orang beriman hendaknya selalu berjaga-jaga untuk menghidupkan

imannya bahkan ketika tidur.

Salat tujuh kali sehari ini dikenal dengan Salat Nabi Daud. Dan sebelum

melaksanakan salat, umat Kristen bersuci terlebih dahulu dengna membasuh telapak

tangan, membasuh wajah dan kepala, membasuh tungkai kaki dan seluruh kaki,

seperti yang tertulis dalam Kitab Mazmur 26:1-12. Sementara Kiblat waktu salat

adalah menghadap ke arah Timur, menghadap ke Yerusalem32.

Di samping brevir (liturgia horarum) dan sembahyang tujuh waktu sebagai

sembahyang kanonis dalam tradisi Kristen. Terdapat juga zikir atau doa kalbu yang

disebut dengan Doa Yesus dalam tradisi Ortodoks dan Salam Maria dalam tradisi

Katolik.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa dalam ada doa hening

menempati peranan yang sangat penting dalam tradisi Ortodoks, maka hesykhastis

atau berdoa tanpa putus menjadi salah satu caranya. Doa yang dibaca secara

berulang-ulang adalah, “Tuhan yesus Kristus, Putera Allah kasihanilah aku orang

berdosa ini.” Doa ini dapat diperpendek dengan, “Kyrie Iesou Khriste, eleyson me”,

31
Kisah Para Rasul 16:25 “Tetapi kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan
puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka.”
32
Zaenul Arifin, “Menuju Dialog Islam-Kristen”, h.128
74

atau “Kyrie eleyson”.33 Bahkan dapat diperpendek dengan menyebut “Yesus” saja.

Doa ini seharusnya diulang dengan hening, dengan tidak tergesa-gesa, selain itu

sebaiknya kita mengatur nafas mengikuti rumusan doa ini.

Terkait dengan doa ini, umat Ortodoks mengutip ITes5:17 “Berdoalah tak

kunjung putus (pray without ceasing) dan Luk 21:36 “Waspadalah dan berdoalah tak

henti-hentinya.” Doa Yesus ini mampu merupakan doa yang paling tinggi karena

dengan membaca doa ini seseorang dapat mencapai keadaan paling murni. Tujuan

dari membaca Doa Yesus ini adalah untuk mencapai “apatheia” ketiadaan pathos atau

“ketiadaan pamrih-pamrih kehendak hawa nafsu”34 Nama Yesus merupakan sarana

yang bisa membawa seseorang kepada Yesus sendiri.

Sembahyang dalam Agama Islam

Dalam tradisi Islam, doa sebagai sembahyang personal menempati posisi

yang sangat penting, terutama dalam kehidupan sosial. Meskipun doa personal ini

bersifat subjekti dan disesuaikan dengan kebutuhan individu masing-masing, ada

beberapa waktu atau kesempatan tertentu ketika doa dibaca bersama-sama dan

menjadi semacam “upacara”keagamaan tertentu. Misalnya, ketika ada seorang

muslim yang meninggal dunia, dilaksanakan pembacaan QS Yasin dan tahlil untuk

mengiringi kepergian orang yang meninggal tersebut.

Beberapa keutamaan berdoa juga termaktub dalam Alquran seperti yang


33
Fr. Kyrillos Junan SL, “Doa dan Shalat dalam Kristen”, tulisan ini dimuat dalam salah satu situs rujukan
Kristen Ortodoks Indonesia: http://monachoscorner.weebly.com/doa--sholat-kristen.html diakses pada 21 Maret
2018 pukul 20.42 WIB.
34
Fr. Kyrillos Junan SL, “Doa dan Shalat dalam Kristen”, tulisan ini dimuat dalam salah satu situs rujukan
Kristen Ortodoks Indonesia: http://monachoscorner.weebly.com/doa--sholat-kristen.html diakses pada 21 Maret
2018 pukul 20.42 WIB.
75

dikutip oleh Imam Ghazali dalam bukunya “Rahasia Zikir dan Doa”35:

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang

Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan oran gyang berdoa

apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku...”

(QS Al-Baqarah 186).

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan dengan suara yang

lembut. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS

Al-A‟raf:55)

“Dan tuhanmu telah berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akau

Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari

menyembah-Ku, mereka akan masuk Neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS

Al-Mu‟min:60)

Sehingga membaca doa pun menjadi ciri khas seorang muslim, mengutip

kebiasaan masyarakat Islam di Indonesia memberikan hafalan doa-doa kepada

anak-anak usia dini. Meskipun doa personal ini terkait dengan kebutuhan individu

atau subjektif manusia, pada praktiknya di Indonesia doa-doa personal dibakukan

dalam bentuk-bentuk tertentu sehingga semua orang mengenal doa yang sama.

Padahal titik tekan doa personal, menurut Schuon, adalah keterhubungan kita dengan

Tuhan dalam setiap aktivitas kita. Tanpa bermaksud melemahkan peran hafalan

doa-doa sehari-hari, tetapi yang perlu dibangun adalah kesadaran kita untuk

memanggil, menyeru dan menyampaikan kepada Tuhan bahwa kita akan melakukan

35
Imam Abu Hamid al-Ghazali, Rahasia Zikir dan Doa diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, (Jakarta:
Mizan, 2014) h.55.
76

sesuatu. Dengan demikian, pikiran dan perasaan kita terhubung dengan Tuhan dalam

setiap aktivitas kita.

Misalnya doa ketika bangun tidur: “alhamdulillahi al-ladzi ahyana ba’dama

amatana wa ilaihi an-nusyur.” (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan

kembali kami setelah Dia mematikan kami, kepada-Nyalah kami semua akan

dikumpulkan).36

Doa tersebut baik, dalam arti berisikan permohonan yang baik. Namun,

apakah jiwa kita terkait dengan Tuhan dalam doa-doa yang dibakukan bentuknya

tersebut? Apakah kita merasa perlu “memanggil” Tuhan ketika kita hendak tidur,

ketika kita bangun tidur dan ketika kita melakukan aktivitas lainnya? Dan dapatkah

jiwa kita memanggil Tuhan dengan cara yang sama dengan doa tersebut

memanggil-Nya? Untuk pertanyaan pertama, jawbannya bisa iya dan bisa tidak.

Pertanyaan kedua merupakan titik tekan fungsi doa personal ini. Bahwa kita

melakukan doa personal ketika kita benar-benar merasa perlu mengungkapkan

sesuatu kepada Tuhan dan ungkapan tersebut datang dari lubuk hati yang paling

dalam.

Dalam tradisi Islam syiah banyak sekali doa para imam yang kemudian

dibaca sebagai amalan bagi penganutnya. Pembacaan ini tidaklah salah, karena

doa-doa yang dibacakan adalah permohonan yang baik, disampaikan dengan cara

yang baik, mengingat doa-doa tersebut berasal dari orang-orang suci yang terhubung

secara langsung dengan Nabi Muhammad. Misalnya saja yang disampaikan dalam

doa kumayl:

36
Al-Ghazali, Rahasia Zikir dan Doa, h. 174.
77

“Allahumma inni as`aluka birahmatika al-lati wasi’at kulla syai`in, wa

biquwwatika al-lati qaharta biha kulla syai`in, wa khadha’a laha kullu syai`in,

wadalla laha kullu syai`in...” Yang artinya: “Ya, Allah aku bermohon kepada-Mu

dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, dengan kekuatanmu yang

dengannya Engkau taklukkan segala sesuatu, dan karenanya merunduk segala sesuatu,

dan karenanya merendah segala sesuatu..”

Doa ini awalnya adalah doa personal Ali bin Abi Thalib yang diajarkan

kepada Kumayl bin Ziyad Nakha‟i. Doa ini terkenal dengan kata-katanya yang sangat

indah. Menunjukkan ketidakberdayaan manusia di hadapan Tuhan. Menunjukkan

penulisnya adalah orang yang sangat paham posisinya di hadapan Tuhan. Akan tetapi

membacanya tidak menjadi esensi doa personal menurut Schuon. Karena ketika

membacanya, belum tentu kondisi jiwa kita berada pada titik yang sama dengan jiwa

Ali Zainal Abidin ketika membacanya.

Sembahyang kanonis dalam tradisi Islam adalah salat. Salat adalah salah satu

dari rukun Islam. Salat dilihat dari arti linguistikny aadalah doa, tetapi apabila dilihat

dari istilah syar’i-nya ialah suatu upekerjaan dan ucapan yang didahului dengan

takbir dan diakhiri dengan salam.37

Para ulama Islam membicarakan dua cara istimewa dalam melakukan

persembahyangan38:

A. Kebiasaan dilakukan oleh seseorang baik dalam keadaan duduk maupun

37
Syarif Hidayatullah Husain, Salat dalam Mazhab Ahlulbait: Kajian Al-Quran, Hadis, Fatwa dan Ilmiah,
(Jakarta: Penerbit Lentera, 2007), h.87
38
Dr. Mohammad Mahmoud Ghali, “Sembahjang” Al-Salat, diterjemahkan oleh Dr. FuadMohd.
Fachruddin, (Pengawas penerbitan Mohd. Tawfiq Oweida, Sekretaris Umum Madjelis Qadadar Street, Cairo,
U.A.R). Diterbitkan oleh Majelis Tinggi Urusan Agama Islam, h. 7-8
78

berbaring ataupun berdiri. Cara yang demikian ini dinamakan doa. Doa ini berarti

memohon.

B. Perbuatan ibadah yang disertai dengan gerakan jasmani tertentu dan

diwajibkan pembacaan ayat-ayat al-Quran, cara melakukannya adalah tersimpul

dalam ruku, sujud, dan pembacaan ayat-ayat suci. Dan inilah yang dinamakan salat

(sembahyang). Sembahyang itu adalah wajib hukumnya dan adapula yang sunah.

Sembahyang yang wajib dilakukan (fardhu), telah ditentukan waktunya lima kali

dalam sehari.

Sembahyang diwajibkan Allah atas kita di waktu Rasulullah berisra‟ dan

mi‟raj dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa. Dalam peristiwa ini, Rasulullah

mendapat perintah untuk mendirikan sembahyang, mengutip al-Quran (QS Al-Isra‟:1).

Kejadian Isra‟ Mi‟raj terjadi padatahun pertama Hijrah Rasulullah dari Makkah ke

Madinah. Perintah Allah untuk melakukan sembahyang itu adalah dengan perantara

Rasulullah (QS Ibrahim: 31)

Rasulullah memerintahkan dengan keras supaya sembahyang dilakukan pada

waktunya. Banyak hadis beliau yang menegaskan tentang hal ini, di antaranya hadis

terakhir yang beliau ucapkan pada saat salat beliau: “Peliharalah sembahyang!

Peliharalah sembahyang! Kamu akan menjaga kesolidariten mu selama kamu

menegakkannya.39

Dalam hadis yang lain rasulullah menjelaskan: “Peliharalah sembahyang!

Peliharalah Sembahyang! Barangsiapa yang meninggalkan sembahyang dengan

sengaja karena ia tak mengakui sembahyang itu satu ibadah yang wajib, maka ia itu

39
Mahmooud Ghali, Sembahjang Al-Salat, h. 12
79

adalah seorang kafir (tidak beriman)”40

Syarat sahnya sembahyang:

1. Kebersihan (suci dari najis) badan, pakaian dan tempat sembahyang.

2. Menutup anggota badan yang ditentukan

3. Menghadap kiblat

4. Niat

5. Ketertiban dalam melakukan ibadah tersebut sesuai ajaran syariat

6. Khusyu

Rukun Salat lima waktu:

1. Niat,

2. Takbiratul ihram

3. Berdiri,

4. Membaca fatihah

5. Rukuk

6. Bangkit dari ruku

7. I‟tidal

8. Sujud

9. Bangkit dari sujud

10. Duduk antara dua sujud

11. Tumakninah

12. Duduk tasyahud akhir

40
Mahmooud Ghali, Sembahjang Al-Salat, h. 12.
80

13. Tasyahud akhir

14. Salam akhir salat

15. Tertib rukun

Niat dalam wajib lima waktu:

Yang dinamakan niat adalah: hati menegaskan akan melakukan ibadah,

karena hendak mendekatkan diri kepada Allah satu-satunya. Jadi niat ialah suatu niat

yang tegas. Bila seseorang mengucapkan niat tetapi tidak hendak salat dalam hatinya,

maka dia tidak dinamakan orang salat.41

dalam mazhab ahlulbait (ja‟fari) salat dalam sehari semalam sejak awal

ditetapkannya (selain malam-malam Ramadahan) adalah 51 rakaat42. Berbeda dengan

anggapan oleh kebanyakan orang, bahwa pada saat penetapan salat terjadi tawar

menawar (dalam jumlah rakaat) antara Nabi Muhammad dan Allah swt.

Sebagai sembahyang kanonis, salat ini memiliki bentuk baku yang

syarat-syaratnya harus dipenuhi. Walaupun beberapa ulama memiliki perbedaan,

tetapi perbedaan tersebut bukanlah bersifat mayor atau inti.

Sembahyang kalbu dalam tradisi Islam disebut dengan zikir. Zikir adalah

memanggil Nama Tuhan berulang-ulang. Kata zikir dari segi bahasa berasal bahasa

Arab zakara, yang berarti, menyebut, mengingat, dan memberi nasihat. Atau

mengingat sesuatu di dalam hati atau menyebutnya dengan lidah. 43 Menurut

41
Drs. H. Kahar Masyhur, Salat Wajib: Menurut Mazhab yang Empat. Jakarta: Rineka Cipta, 1995, h.
199.
42
17 Rakaat yang difardhukan dan 34 rakaat yang disunnahkan.
43
Dr. H. M. Hamdan Rasyid, M.Ag, Konsep Zikir Menurut Al-Quran dan Urgensinya bagi Masyarakat
Modern: Suatu Kajian Tafsir Tematik dengan Pendekatan Sufistik, (Jakarta: Insan Cemerlang, TT) h.25.
81

Abdullah „Abbas al-Nadwi, kata zikir mempunyai arti sebutan (mention), ingatan

(remembrance/ recollection), peringatan (reminder admonition), doa (invocation),

nama baik (reputation), dan kemasyuran (renown).44

Dalam Islam, semua nama Allah--Asma‟ul Husna--dapat kita zikirkan. Akan

tetapi dalam tarekat-tarekat Islam, biasanya menzikirkan laa ilaha illaLlah, dengan

formulasi yang berbeda.

Beberapa bentuk zikir Allah dalam al-Quran:

1. Menyebut nama Allah dengan lidah yang lazim disebut dengan zikir jahr

atau zikir lisan.

2. Mengingat atau menghadirkan Allah di dalam kalbu yang lazim disebut

zikir khafi, zikir sirri atau zikir qalbi. Sebagaimana termaktub dalam al-Quran QS

al-A‟raf ayat 205. “Dan berzikirlah dengan menyebut (nama) TUhanmu dalam hatimu

dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di

waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”45

3. Mengingat hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Allah.

4. Melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi

larangan-larangan-Nya.

5. Mengingat berbagai macam ni‟mat Allah.

Di antara praktik spiritual yang diadopsi oleh Tarekat Qadiriyah adalah zikir

(terutama melantunkan asma‟ Allah berulang-ulang). Dalam pelaksanaannya terdapat

berbagai tingkatan penekanan dan intensitas. Ada zikir yang terdiri atas satu, dua, tiga,

44
Rasyid, Konsep Zikir menurut Al-Quran, h. 25.
45
Rasyid, Konsep Zikir menurut al-Quran, h.76
82

dan empat. Zikir dengan satu gerakan dilaksanakan dengan mengulang-ulang asma

Allah melalui tarikan napas panjang yang kuat, seakan dihela dari tempat yang tinggi,

diikuti penekanan dari jantung dan tenggorokan kemudian dihentikan hingga napas

kembali normal. Hal ini harus diulang secara konsisten untuk waktu yang lama.46

Zikir dengan dua gerakan dilakukan dengan duduk dalam posisi salat,

kemudian melantunkan asma‟ Allah di dada sebelah kanan, lalu di jantung, dan

kesemuanya dilakukan berulang-ulang dengan intensitas tinggi. Hal ini dianggap

efektif untuk meningkatkan konsentrasi dan menghilangkan rasa gelisah dan pikiran

yang kacau. Zikir dengan tiga gerakan dilakukan dengan duduk bersila dan

mengulang pembacaan asma Allah di bagian dada sebelah kanan, kemudian sebelah

kiri dan akhirnya di jantung. Ksemuanya ini dilakukan dengan intensitas lebih tinggi

dan pengulangan lebih sering. Sementara itu, zikir empat gerakan dilakukan dengan

duduk bersila, dengan mengucapkan asma Allah berulang-ulang di dada sebelah

kanan, kemudian di sebelah kiri, lalu di tarik ke arah jantung dan terakhir dibaca di

depan dada. Cara terakhir ini diharapkan dapat dilakukan lebih kuat dan lebih lama.

Praktik zikir ini dapat dilakukan bersama-sama dibaca dengan keras atau

perlahan, sambil duduk membentuk lingkaran setelah salat pada waktu subuh maupun

malam hari. Jika seorang pengikut sanggup melantunkan asma‟ Allah empat ribu kali

setiap harinya tanpa putus selama dua bulan, dapat diharapkan bahwa dirinya telah

memiliki kualitas untuk meraup pengalaman spiritual tertentu.

Setelah melakukan zikir, tarekat menganjurkan untuk melakukan apa yang

46
Amsal Bahtiar, “Tarekat Qadiriyah”, dalam buku Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarata:
Prenada Media, 2004), h. 44 lihat juga Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi, h. 32
83

disebut sebagai pas-i anfas, yakni mengatur napas sedemikian rupa sehingga dalam

proses menarik dan menghembuskan napas asma‟ Allah bersirkulasi dalam tubuh

secara otomatis. Kemudian ini diikuti dengan muraqabah atau kontemplasi.

Dianjurkan untuk berkonsentrasi pada sejumlah ayat al-Quran atau pun sifat-sifat

Ilahiah tertentu hingga sungguh-sungguh terserap ke dalam kontemplasi.47

Beberapa praktik yang dikembangkan oleh pengikut dari generasi berikutnya

mengadopsi pengaruh lokal dan tidak dapat dipahami dengan merujuk pada ide dan

anjuran autentik sang Wali. Contohnya, para pengikut Tarekat Qadiriyah di Afrika

Utara sering disebut sebagai para gilani, telah mengembangkan praktik khalwat

dengan aturan-aturan yang sangat khusus. Alang-alang ditancapkan di tumpukan batu,

para wanita menyampirkan kain-kain di situ, kemduian bensin dan styrax disulut.

Baik pria maupun wanita melakukan jenis khalwat ini dan memohon agar keinginan

mereka terpenuhi.

Seiring dengan timbulnya praktik yang tidak tepat tersebut, muncul pula

pengultusan secara berlebihan di antara kelompok-kelompok ekstrem. Untuk

mempertahankan pandangannya, mereka mengulang ucapan Syaikh Abd al Qadir

Jilani, “seluruh berada di kakiku.” 48 padahal kata-kata atersebut--saat diucapkan

beliau merujuk pada suatu kondisi kebahagiaan spiritual yang ekstrem, suatu ekspresi

sang Syaikh, tanpa implikasi lainnya. Namun para pengagumnya di kemudian hari

membuat tulisan untuk membela posisinya demi memantapkan keunggulan posisinya

di dalam hierarki spiritual. Bahkan, ulama yang sangat kritis dan berhati-hati

47
Bahtiar, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, h. 45.
48
Bahtiar, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, h. 45.
84

sekalipun, semacam Syaikh „Abd al-Haqq Muhaddits dari Delhi, melukiskan sang

Syaikh dalam nuansa yang dipinjamg dari hagiologi yang dilebih-lebihkan tersebut.

Kebesaran Syaikh „Abd al-Qadir Jilani tidaklah bersandar pada keajaiban yang telah

dilakukannya, tetapi pada eksistensi kesadaran Ilahiah yang tumbuh dalam dirinya

dan dedikasinya untuk mengagungkan mistisisme Islam yang ideal, yakni menyadari

eksistensi Tuhan, menunjukkan manusia pada jalan menuju-Nya, dan menghidangkan

kebahagiaan bagi hati-hati yang terluka dan jiwa-jiwa yang gelisah.49

Zikir adalah kunci dan sekaligus menempati posisi yang amat penting dalam

tradisi tarekat, termasuk Tarekat Qadiriyah karena zikir bagaikan anak kunci yang

mampu membuka pintu gerbang dunia spiritual yang tidak terbatas. Apabila pintu hati

telah terbuka, muncullah dari dalamnya pikiran-pikiran yang arif untuk membuka

mata hati. Ketika mata hati telah terbuka, maka tampaklah sifat-sifat Allah melalui

mata hati itu. Kemudian, mata hati akan melihat refleksi (bayangan) kasih sayang,

kelembutan, keindahan, dan kebaikan Allah, dalam cermin hati yang bersih dan

berkilauan.50

Membaca zikir atau wirid asma‟ Allah merupakan cara dalam pembersihan

diri untuk mencapai sifat Allah, yakni bersifat dengan sifat-sifat-Nya yang mulia

sehingga dapat mencapai derajat insan kamil.

Komparasi

Setiap manusia menyembah Tuhan dan masing-masing agama memiliki

caranya sendiri dalam membimbing manusia mengungkapkan ketundukannya pada

49
Bahtiar, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, h. 45.
50
Bahtiar, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, h. 46, lihat juga Abdul Madjid Hj. Khatib, Rahasia
Sufi Syaikh Abd al-Qadir Jilani (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), Cet. V, h. 73)
85

Tuhan. Sembahyang personal atau doa menjadi cara bagi seseorang berbicara dengan

cara yang paling jujur tentang perasaannya, kondisinya, ketakutannya kepada Tuhan.

Bahkan dengan menyampaikan doa pula manusia dapat mendapatkan ketenangan

untuk melaksanakan sembahyang-sembahyang lainnya. Sementara sembahyang

kanonis menunjukkan seberapa kita tunduk pada aturan Tuhan. Bahwa sebagai

manusia, sembahyang tidaklah terelakkan dalam eksistensi kita. Sembahyang

bukanlah pilihan untuk dilakukan atau tidak dilakukan--meskipun pada kenyataannya

Tuhan tetap mengizinkan manusia memilih--tetapi memang merupakan cara kita

untuk menunjukkan keberadaan kita. Dan hanya dengan menyebut nama-Nya

berulang kali kita akan benar-benar sampai pada Dia.

Perjalanan sembahyang manusia mengalami berbagai perubahan bentuk

sesuai dengan ruang dan waktu tradisi yang ada. Dalam tradisi Hindu dalam setiap

doa, puja, dan japa nama-nama Tuhan diulang-ulang sebagai mantra. Pengulangan

mantra tidak signifikan dilakukan hanya pada japa melainkan juga pada ketika berdoa

dan menjalankan puja. Akan tetapi, tentu saja dalam japa yoga, pengulangan nama

Tuhan ini dilakukan lebih intensif, didahuli dengan inisiasi (baiat) yang menunjukkan

berkat yang didapatkan tidak putus dari guru-gurunya hingga sampai ke Tuhan.

Selain doa, puja dan japa yoga secara umum, perjalanan spiritual seseorang

dalam Hindu terbagi menjadi setidaknya empat cabang, yaitu karma yoga, bhakti

yoga, jnana yoga, dan raja yoga. Doa, puja dan japa yoga seringkali masuk dalam

kategori bhakti yoga. Jalan spiritual melalui doa dan pemujaan terhadap Tuhan.

Sementara dalam karma yoga ajaran-ajaran dan bentuk sembahyangnya mungkin

berbeda lagi. Dalam skripsi ini penulis tidak mengelaborasi secara mendetail tentang
86

masing-masing jalan spiritual, melainkan hanya mencari bentuk sembahyang yang

memang sesuai dengan pemikiran Frithjof Schuon.

Sementara dalam jnana yoga yang merupakan jalan ilmu pengetahuan,

sebagaimana jalan ma‟rifat dalam tradisi Islam. Menekankan bahwa selain melatih

diri kita dengan berbagai kebiasaan sembahyang, sehingga sembahyang menjadi

pakaian bagi kita dan kita tidak terpisahkan dari sembahyang, juga penting untuk kita

mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang mengantarkan kita pada Tuhan.

Terutama adalah ilmu Ketuhanan. Akan tetapi, hanya melalui sembahyang yang

diperintahkan oleh Tuhan, manusia memohon pertolongan untuk dapat mencapai apa

pun tujuan manusia dalam hidup ini. Dan segala sesuatu tidak akan bisa diraih tanpa

pertolongan Langit.

Sementara dalam tradisi Kristen, Katolik dan Islam, terdapat banyak

kemiripan dalam bentuk sembahyangnya. Tanpa menyebut salat dalam Ortodoks dan

Islam yang selain penyebutannya sama, juga cara menjalankannya sama yaitu dengan

berdiri, membaca doa, ruku‟ dan sujud. Akan tetapi perbedaannya terletak pada detail

jumlah rakaat dan cara penghitungan rakaat yang dilakukan. Selain itu perbedaannya

juga terletak pada dalam Islam setiap orang yang sudah memenuhi syarat syariat

untuk melaksanakan ibadah (Islam, baligh, berakal, sehat jasmani dan rohani), akan

tetapi dalam Gereja Ortodoks, tidak diwajibkan bagi semua orang, melainkan boleh

dilaksanakan bila setiap orang mau menjalankannya. Akan tetapi yang menjalankan

sembahyang tujuh kali sehari ini dalam Ortodoks hanya biarawan dan biarawati.

Umat awam boleh ikut menjalankan sembahyang 3 kali sehari.

Masing-masing kategori sembahyang yang disebutkan oleh Schuon


87

dipraktikkan dalam masing-masing agama meskipun ketentuannya berbeda-beda.

Artinya, bahwa dalam setiap agama, doa, sembahyang kanonis dan sembahyang

kalbu memang memiliki peran yang penting dalam spiritualitas seseorang.

Dalam tradisi Islam, terdapat berbagai metode melakukan zikir. Metode ini

berkembang dalam berbagai tradisi tarekat. Contoh yang penulis sebutkan di atas

adalah praktik zikir menurut Tarekat Qadiriyah, Naqsabandiyah yang sempat

berkembang di Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Selain itu

masih banyak lagi tarekat lain yang mempraktikkan berbagai metode zikir yang

berbeda, misalnya tarekat Syadziliyah, Tarekat Naqsabandiyah Haqqani, dll. Setiap

tarekat memiliki silsilah keilmuan yang sampai pada Nabi Muhammad dan karenanya

ini merupakan bukti berkat Allah menyertai perkembangan tarekat-tarekat ini.[]


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini penulis mendapatkan kesimpulan bahwa pendapat

schuon terkait dengan pembagian tiga kategori sembahyang yaitu sembahyang

personal (doa), sembahyang kanonis, dan sembahyang kalbu, terbukti valid. Faktanya

dalam tradisi Katolik dan Kristen Ortodoks terdapat tiga bentuk sembahyang ini

dengan perbedaan tata caranya, demikian halnya dalam agama Hindu dan Islam.

Meskipun tata cara dan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya berbeda satu sama

lain.

Doa sebagai sembahyang personal memiliki peranan yang sangat penting,

dalam masing-masing agama. Seseorang boleh memanggil Tuhan ketika ia

membutuhkan-Nya kapan pun, di mana pun dan dengan cara apa pun. Yang perlu

dibangun adalah kesadaran bahwa manusia membutuhkan Tuhan, hanya kesadaran

bahwa dengan berkomunikasi secara aktif dengan Tuhan lah manusia menjalani

kehidupannya sehari-hari.

Sembahyang kanonis juga menempati peranan yang penting. Dalam Islam,

sembahyang kanonis yaitu salat merupakan kewajiban bagi siapa pun yang beriman.

Dan meskipun dalam tradisi Hindu, Katolik dan Kristen Ortodoks tidak diwajibkan

bagi semua orang sebagaimana dalam Islam, tetapi posisinya pun sangat penting.

Bahwa ada waktu-waktu tertentu dalam satu hari, ketika seseorang diwajibkan untuk

88
89

menghadapkan dirinya kepada Tuhan dan menghentikan diri sejenak dari aktivitas

apa pun yang dilakukan. Dengan demikian menunjukkan bahwa manusia tunduk pada

aturan Tuhan.

Sementara sembahyang kalbu, yakni memusatkan pikiran pada Tuhan dan

menyebutkan Nama-Nya berulang-ulang, menjadi sembahyang yang paling penting

dalam agama apa pun. Meskipun dalam Agama Islam, misalnya, tidak diwajibkan,

tetapi merupakan inti dari berbagai ajaran Islam. Sebagaimana yang dikatakan

Schuon, bahwa Nama-Nya adalah tempat berlindung yang paling utama.

Faktanya memang demikian. Bahwa dalam masing-masing memang ada

doa, sembahyang kanonis dan sembahyang kalbu. Meskipun tata cara pelaksanaannya,

berapa kali dilakukan sehar, dan waktu melakukannya berbeda-beda. Dan meskipun

penulis tidak meneliti agama-agama yang lain, selain dari ketiga agama tersebut di

atas, penulis yakin bahwa dalam agama lain terdapat ketiga kategori sembahyang

tersebut. Baik dalam agama Yahudi, Buddha, maupun agama-agama lainnya.

Selain itu, dengan mempelajari pemikiran Schuon ini kita dapat

membedakan mana sembahyang yang primer mana sembahyang yang sekunder.

Bukan berarti bahwa sembahyang itu sekunder maka ia bisa ditinggalkan, melainkan

mana sembahyang yang lebih esensial dalam kehidupan kita sehari-hari. Antara

sembahyang personal dan sembahyang kanonis, maka sembahyang kanonis akan

lebih esensial dibandingkan dengan sembahyang personal. Akan tetapi, terkadang

dalam kehidupan kita, ada kalanya kondisi jiwa kita tidak stabil sehingga kita perlu

mengeluarkan uneg-uneg-nya agar ketika melakukan kegiatan lain menjadi lebih

89
90

jernih. Ketika inilah kita butuh mengungkapkan isi hati kita kepada Tuhan,

melaksanakan sembahyang personal kita, tujuannya tidak lain agar ketika kita salat

atau melakukan sembahyang kanonis, jiwa kita lebih stabil dan kita lebih fokus dalam

melaksanakan sembahyang kita.

Di antara sembahyang kanonis dan sembahyang kalbu, yang diwajibkan

oleh Tuhan dalam Islam adalah sembahyang kanonis, sementara dari sudut pandang

tarekat yang lebih esensial adalah zikrullah. Tujuan setiap sembahyang adalah

mengingat Allah, berkomunikasi dengan Allah, karenanya baik salat maupun doa,

merupakan bagian dari zikrullah. Tidak cukup hanya bibir kita yang bergetar karena

nama Allah, melainkan kalbu kita juga harus bergetar.

B. Saran

Saran penulis bagi penelitian selanjutnya, penulis menyarankan agar bisa

mengelaborasi masing-masing aspek sembahyang dalam tradisi agama-agama. Bukan

sekadar menitikberatkan pada praktik sembahyangnya saja tetapi juga pada filosofi

maupun aspek mistisismenya (tasawuf). Selain itu bisa juga menekankan pada

sembahyang kalbu dalam tradisi agama tertentu seperti Hesychasm dalam tradisi

Kristen Ortodoks atau Nembutsu dalam tradisi Jodo Buddhisme.

Selain itu berbagai praktik sembahyang dalam berbagai agama dapat

dijadikan bahan penelitian, misalnya praktik sembahyang dalam sekte Hindu tertentu.

Sebagaimana yang kita tahu hindu terbagi dalam berbagai jalan, bisa diteliti lebih

jauh bagaimana sembahyang dalam pandangan penganut karma yoga atau jnana yoga,

90
91

dan lain sebagainya. Dalam Islam sendiri, praktik sembahyang dalam beberapa sekte

Islam bisa jadi berbeda disesuaikan penafsiran mereka terhadap ayat al-Quran itu

sendiri. Misalnya dalam Syiah Ismailiyah melaksanakan salat dalam waktu yang

berbeda dengan aliran Islam yang lain, dll.

Pendalaman terhadap praktik-praktik sembahyang dalam berbagai agama

dapat terus dilakukan mengingat setiap agama berkembang, ke arah yang lebih baik.

Artinya bukan dalam hal perubahan terhadap berbagai bentuk sembahyagnnya

melainkan agama berkembang ke segala penjuru dunia dengan cepatnya

perkembangan teknologi dan informasi. Sebelumnya di Indonesia tidak ada aliran

Jodo Buddhisme, misalnya, beberapa tahun ke depan bisa jadi sudah ada; atau tarekat

tertentu yang sebelumnya tidak berkembang di Indonesia, kini bisa jadi terus

berkembang.[]

91
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Imam Abu Hamid. Rahasia Zikir dan Doa diterjemahkan oleh
Muhammad al-Baqir. 2014. Jakarta: Mizan.

Arifin, Zaenul. “Menuju Dialog Islam dan Kristen” dimuat pada Jurnal
Walisongo, Volume 20, Nomor 2, Mei 2012.

Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama: Dari Era Teosofi Indonesia
(1901-1940) hingga Masa Reformasi. 2015. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Bahtiar, Amsal. “Tarekat Qadiriyah” dalam buku Tarekat-Tarekat Muktabarah di


Indonesia ed. Sri Mulyati. 2004. Jakarta: Prenada Media.

Bharati, Svami Veda. Mantra, Inisiasi, Meditasi & Yoga. 2002. Surabaya:
Paramita.

Chittick, William & Seyyed Hossein Nasr (ed). The essential Seyyed Hossein
Nasr. 2007. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.

Cutsinger, James S. Advice to The Serious Seeker: Meditations on the Teaching of


Frithjof Schuon. 1997. Albany: State University of New York Press.

Fitzgerald, Michael Oren, Frithjof Schuon Messenger of the Perennial


Philosophy. 2010. Bloomington (Indiana): World Wisdom.

Ghali, Dr. Mohammad Mahmoud. Sembahjang al-Salat diterjemahkan oleh Dr.


Fuad Mohd. Fachruddin. TT. Diterbitkan oleh Majelis Tinggi Urusan
Agama Islam.

Guenon, Rene. Introduction to the Study of Hindu Doctrines. 1945. London:


Luzac & Co.

Husain, Syarif Hidayatullah. Salat dalam Mazhab Ahlulbait: Kajian Al-Quran,


Hadis, Fatwa dan Ilmiah. 2007. Jakarta: Penerbit Lentera.

92
93

Kazhemi, Reza Shah, “Frithjof Schuon and Prayer” dimuat dalam Jurnal Sophia
4.2, Winter 1998.

Laude, Patrick. Pray Without Ceasing: The Way of Invocation in World Religions.
2006. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.

Masyhur, Dr. H. Kahar. Salat Wajib: Menurut Mazhab yang Empat. 1995.
Jakarta: Rineka Cipta.

Nasr, Seyyed Hossein (ed). The Essential Frithjof Schuon. 2005. Bloomington
(Indiana): World Wisdom Inc.

Nasr, Seyyed Hossein. “Introduction to the first edition” dalam buku Ideals and
Realities of Islam- New Revised Edition. 2000. Chicago: ABC
International Group, Inc.

Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. 1989. New York: State
University of New York Press.

Oldmeadow, Harry, “Traditionalism and the Sophia Perennis” dalam buku


Journeys East: 20th Century Western Encounters with Eastern
Religious Traditions. 2004. Bloomington (Indiana): World Wisdom.

Rasyid, Hamdan, Dr. H. M. Konsep Zikir Menurut Al-Quran dan Urgensinya bagi
Masyarakat Modern: Suatu Kajian Tafsir Tematik dengan pendekatan
Sufistik. TT. Jakarta: Insan Cemerlang.

Schuon, Frithjof. “The Vedanta” dan “The View of Yoga” dalam buku Language
of the Self. 2003. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.

Schuon, Frithjof. Prayer Fashions Man: Frithjof Schuon on Spiritual Life, ed.
James S. Cutsinger. 2005. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.

Schuon, Frithjof. Understanding Islam. 1998. Bloomington (Indiana): World


Wisdom Inc.

Schuon, Frithjof. The Fullness of God: Frithjof Schuon on Christianity, ed. James
S. Cutsinger. 2004. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.
94

Schuon, Frithjof. Transfiguration of Man. 1993. Bloomington (Indiana): World


Wisdom Inc.

Schuon, Frithjof. Treasure of Buddhism. 1993. Bloomington (Indiana): World


Wisdom Inc.

Schuon, Frithjof. World Wheel. Volume IV-VII. 2006. Bloomington (Indiana):


World Wisdom Inc.

Shah-Kazemi, Reza. “Frithjof Schuon and Prayer”, an article that was initially
published in Sophia 4,2. 1998.

Schuon, Frithjof. “The Play of Masks,” dari buku dengan judul yang sama Play of
Masks. 1992. Bloomington (Indiana): World Wisdom Inc.

Schuon, Frithjof. “Christian Gnosis,” from The Essential Sophia edited by Seyyed
Hossein Nasr & Katherine O’Brien. 2006. Bloomington (Indiana):
World Wisdom Inc.

Tim Redaksi KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa.

Wiana, I Ketut, Drs, M.Ag. Sembahyang menurut Hindu. 2006. Surabaya:


Paramita.

Anda mungkin juga menyukai