Skripsi Ini Disusun Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Strata 1 (S1)
Oleh:
Fahrur Rozi
1113033100037
FAKULTAS USHULUDDIN
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
i
ii
iii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul ”Manusia Perspektif Ibn Miskāwaih”. Penelitian dalam
skripsi ini bertujuan untuk mengetahui konsep manusia menurut Ibn Miskāwaih
dan dapat memberikan sumbangan pemikirian di dunia falsafat.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pengetahuan tentang Ibn Miskāwaih
yang dikenal sebagai bapak etika ketiga setelah al-Fārābī. Menjadi menarik ketika
mereka lupa bahwa obyek yang menjalankan tentang akhlak adalah manusia.
Maka penulis menguraikan pendapat Ibn Miskāwaih tentang manusia hingga
menjadi manusia sempurna, sebagaimana dengan tugas dan tujuan hidup di dunia
ini.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif dengan
teknik pengumpulan data melalui telaah pustaka, yakni penelitian yang dilakukan
dengan membaca dan memahami referensi dari sumber primer dan sumber
sekunder berupa karya-karya yang membahas atau berkaitan dengan pemikiran
Ibn Miskāwaih tentang konsep manusia. Penulis memabatasi penelitian ini pada
konsep manusia perspektif Ibn Miskāwaih. Maka penelitian ini memuat rumusan
masalah ”Bagaimana Bagaimana proses penciptaan manusia dalam perspektif Ibn
Miskāwaih?” dan ”Seperti apa manusia yang mempunyai tingkatan paling
sempurna menurut Ibn Miskāwaih?”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ibn Miskāwaih menganggap manusia
berawal dari air yang menggenang kemudian menjadi karang, dalam karang
tumbuhlah tumbuhan seperti lumut yang terus berevolusi menambah daya
nutrisinya hingga puncak tertingginya pada pohon kurma. Selanjutnya tumbuhan
yang membusuk menghasilkan kehidupan baru, yakni keluar hewan-hewan kecil
seperti ulat yang berevolusi menjadi serangga. Hewan-hewan tersebut terus
menambah daya kemampuannya hingga yang tertingi derajat pada hewan dan
mendekati manusia adalah sejenis kera. Hewan sejenis kera mempunyai amarah
dan dianugerahi Allah dengan memiliki kemampuan kecerdikannya dalam
mencari makanan, bertahan hidup, menjaga diri dari musuh, dan menjaga
keturunannya. Hanya saja, kera tidak mempunyai kecerdasan, rasa untuk
membedakan, hingga rasa rasionalitas. Sebenarnya, jika kera tersebut dapat
melewati tingkat tersebut, ia dapat menjadi manusia.
Sedang manusia sempurna menurut Ibn Miskāwaih adalah yang tidak
beranggapan bahwa hidup bukanlah untuk mencari kenikmatan inderawi saja.
Kenikmatan inderawi bukanlah puncak kebahagiaan. Mereka adalah manusia
yang mendekatkan diri kepada Allah Swt., dengan cara terus menerus. Mereka
tidak lagi akan merasa lapar yang berlebihan, menginginkan kekayaan, dan
bahkan mereka tidak menginginkan seks. Derajat ini dapat disamakan dengan
malaikat, bahkan lebih tinggi dari malaikat. Mereka disebut para wali Allah Swt.
iv
MOTTO
”Berjalan Sambil Diam, Pergi Jangan Melangkah”
v
KATA PENGANTAR
Rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt., Tuhan semesta alam
yang telah memberikan nikmat untuk para kafir dan mukmin di dunia, serta akan
memberikan nikmat khusus untuk mukmin kelak di akhirat. Atas ridla Allah pula
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan salam penulis curahkan
pada utusan Allah yang menjadi penutup para nabi dan rasul, yakni Rasulallah
akhir akademis pada program studi Aqidah dan Falsafat Islam Fakultas
MA.,
3. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku ketua Program Studi Aqidah dan
vi
4. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag., selaku dosen pembimbing
skripsi,.
Jakarta.,
6. Ibu Uun Maemunah sebagai ibu yang telah memberikan ridla kepada
adik yang menjadi dorongan penulis untuk tetap menggali ilmu lebih
10. Keluarga besar Aqidah dan Falsafat Islam yang telah membentuk
kelas.,
vii
11. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Cirebon Jakarta Raya (HIMA-
tauhid, dan kalam yang telah penulis dapat selama menggali ilmu di
Ciputat. ,
16. KH. Hisyam, selaku guru semasa penulis duduk di bangku Aliyah
yang menjadi inspirasi penulis untuk tetap rendah hati dan selalu
menyelesaikan studi.,
kampung halaman.,
viii
18. Ustadz Abdul Rofiq, sahabat ngopi, diskusi, dan rekan bisnis penulis
tanah rantau.,
19. Kang Farhan Mujtaba S.Ag., beserta keluarga yang telah merangkul,
halaman.
Penulis
Fahrur Rozi
NIM: 1113033100037
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
ب B B ظ zh ẓ
ت T T ع ‘ ‘
ث Ts Th غ gh Gh
ج J J ف f F
ح ḥ ḥ ق q Q
خ Kh Kh ك k K
د D D ل l L
ذ Dz Dh م m M
ر R R ن n N
ز Z Z و w W
س S S ه h H
ش Sy Sh ء ̛ ̛
ص Sh ṣ ي y Y
ض Dl ḍ ة h H
x
Arab Indonesia
أ A
إ I
ا U
Vokal Panjang
Arab Indonesia
آ Ā
إى Ī
او Ū
Arab Indonesia
أو Au
أي Ai
Arab Indonesia
ال al-
وال wa al-
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ....................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
MOTTO ................................................................................................................ v
A. Plato ........................................................................................................... 11
B. Aristoteles .................................................................................................. 14
C. Al-Kindī ..................................................................................................... 17
D. Al-Fārābī .................................................................................................... 19
BAB II BIOGRAFI IBN MISKĀWAIH .............................................................. 23
xii
C. Jiwa dalam Pandangan Ibn Miskāwaih ...................................................... 53
D. Tingkatan dan Substansinya ....................................................................... 59
E. Kesempurnaan Manusia dan Cara Memperolehnya .................................. 62
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 68
A. Simpulan .................................................................................................... 68
B. Saran ........................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 70
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
memiliki bentuk yang paling baik dan sempurna dibandingkan makhluk Allah
ۡ َ َ ۡ َ ٓ َ َٰ َ ۡ َ ۡ َ َ ۡ َ َ
٤ يم
ٖ ِِف أحس ِن تقو
ِ ٱۡلنسنِ لقد خلقنا
Artinya: ”Sungguh Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling utama
(baik)”.
karena ialah yang menjalankan peraturan dari Allah Swt., yang mempimpin dari
makhluk Allah lainnya. Al-Qur’ān berbicara tentang ini dalam surat al-An’am
ayat 165:
َۡ َ َ َ ۡ ُ ََ َ ذ
َٰٓ َو ُه َو ٱَّلِي جعلكم خ
ِ لئِف ٱۡل
ۡرض
bumi”
Dengan demikian, ada hal yang paling utama dalam manusia hingga
1
Mustafa, Dasar-Dasar Islam (Bandung: Angkasa, 1991), h. 27.
2
Mustafa, Dasar-Dasar Islam, h. 28.
1
2
hanya manusia yang memiliki karakter berbeda. Dalam hal ini, penulis merasa
tertarik pada satu tokoh filsuf muslim yang jarang sekali dikupas oleh para pelajar
dalam dunia akademis. Tokoh tersebut adalah ibn Miskāwaih. Filsuf muslim yang
lahir di kota Ray yang berketurunan Majusi. Lahir pada tahun 330 H/940 M., dan
meninggal di kota Isfahan pada tahun 421 H/1030 M.3 Ia mencatat tentang
terhadap bidang etika Islam, ia di beri gelar sebagai bapak etika ketiga, yang mana
pada sebelumnya al-Fārābī-lah yang mendapatkan gelar bapak etika kedua dan
Aristoteles sebagai bapak etika pertama. Bukan hanya terkenal sebagai bapak
etika ketiga, ia juga seorang sejarawan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Di samping
sangat luas tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India.4 Maka ia buatkan pula
sejarah tentang pengalaman bangsa yang menemukan kejayaan dari masa awal
Ibn Miskāwaih dipengaruhi oleh beberapa gurunya. Mereka adalah ibn al-
Kammar, Abū Bakr Ahmad ibn Kāmil al-Qadli, Abū al-Thayyib al-Rāzī, menteri
al-Mahlabi sebagai guru Sastra, dan ibn al-’Amid di bidang arsitektur. Ibn al-
Khammar merupakan guru filsafatnya yang termasuk dalam mufasir ternama pada
masanya dalam karya-karya Aristoteles. Pada filsafat Ibn Miskāwaih juga sedikit-
3
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 88.
4
H. A. Mustafa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 166.
3
Kemudian, Abū Bakr Ahmad ibn Kāmil al-Qadhi (350 H). Ada yang mengatakan
ia adalah guru falsafat Ibn Miskāwaih, ada pula yang mengatakan ia termasuk
Ibn Miskāwaih lebih tertarik membahas tentang sejarah dan akhlak. Tak
heran jika yang ia tulis lebih banyak tentang akhlak atau ilmu pengetahuan umum
akhlak, politik, dan juga akhlak berpolitik. Atau kitab Tahdzīb al-Akhlāq yang
berisi tentang pendidikan akhlak yang dikupas dari asal-usul manusia, dari tanah
berada di tingkat spiritual. Menurut catatan para penulis masa lalu, jumlah seluruh
Dalam salah satu bab pada kitab Tahdzīb al-Akhlāq, penulis tertarik pada
pemahaman ibn Miskāwaih yang merincikan perubahan dari alam mineral, alam
tumbuhan, alam hewan, dan alam manusia. Dimana ia percaya bahwa alam yang
pertama ada di bumi ini adalah alam mineral. Ia menggunakan dalil al-Qur’ān
َ َ َ ۡ َ َ ذ َ َ َ ُ ٓ ْ َ ذ َ ذ ذ َ َٰ َ َ ۡ َ َ َ َ َ َ ۡ ٗ َ َ َ ۡ َ ُ َ َ َ َ ۡ َ َ ۡ َ ٓ ُ ذ
ۡ َ ُك
َش ٍء ِت وٱۡلۡرض َكنتا رتقا ففتقنَٰهماۖ وجعلنا مِن ٱلماء ِ َٰ أو لم ير ٱَّلِين كفروا أن أن ٱلسمو
َ ُ ُۡ َََ َ َ
٣٠ ح ٍّۚ أفَل يؤمِنون
ٍ
dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu yang padu, kemudian Kami
5
H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 168.
6
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 88.
4
pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu
Dari air, kemudian mengeras menjadi karang, bertransisi dari karang menjadi
kedua, hingga yang terakhir adalah binatang kera, dari kera berubah menjadi
manusia. Maka tak heran kera dan manusia mempunyai banyak kesamaan.7
Tidak hanya itu, substansi manusia pun dikupas oleh Ibn Miskāwaih. Dari
beragam tingkatan. Maka setiap orang mempunyai tingkat harapan berbeda untuk
kepada orang itu sendiri dan bergantung pada yang dikehendakinya. Akan terlihat
pada perilakunya dan bisa terjadi atas pengaruh lingkungan. Bisa jadi sama
7
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 89-90.
5
penulis akan membatasi skripsi ini pada pemikiran tentang manusia dalam
perspektif Ibn Miskāwaih, di kaji dalam kitab Tahdzib al-Akhlāq yang telah
diterjemahkan oleh Helmi Hidayat dan diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1994.
Miskāwaih?
Tujuan:
Miskāwaih.,
Manfaat:
rujukan dalam mata kuliah Falsafah Islam, Falsafah Manusia, dan mata
mahasiswa.,
D. Metode Penelitian
berbagai macam literatur yang dapat dipustakaan seperti buku, naskah, manuskrip,
catatan, dokumen dan lainnya.8 Adapun objek dalam penelitian ini adalah
primer dan sekunder. Yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini adalah
kitab yang berjudul Tahdzib al-Akhlāq karya Ibn Miskāwaih, kitab ini telah
diterjemahkan oleh Helmi Hidayat pada tahun 1994 dan diterbitkan oleh
8
Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1996), h. 33.
7
sumber data sekunder merupakan sumber data yang berhubungan dengan tema
kajian, sumber ini dapat berupa buku dan artikel, baik yang telah dipublikasikan
dalam bentuk jurnal atau pun yang telah dipublikasikan dalam bentuk media
internet.
pandangan Ibn Miskāwaih tentang proses penciptaan manusia sampai pada titik
Skripsi” yang terdapat dalam buku ”Pedoman Akademik Universita Islam Negeri
E. Tinjauan Pustaka
berbagai tokoh. Seperti karya skripsi pada tahun 2010 dengan judul ”Manusia
Ideal dalam Pemikiran Muhammad Iqbal” oleh Aswat. S.Fil.I program studi
al-Qur’ān, pandangan filsuf dan sufi tentang manusia ideal. Serta pada puncaknya
Selanjutnya skripsi yang disusun pada tahun 2014 oleh Sri Wahyuni.
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau dengan judul ”Konsep Manusia Menurut
Nurcholish Madjid”. Sri Wahyuni mendasari tulisan ini dengan definisi manusia,
tujuan penciptaan manusia, dan berlanjut pada hakikat kematian manusia. Pada
Madjid dari sudut pandang keutamaan manusia serta manusia dan tugasnya.
Agama Islam fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Banda Aceh yang disusun pada tahun 2018 dengan judul ”Metode Pendidikan
F. Sistematika Penulisan
dan pembahasan menjadi lebih terarah. Hal ini dilakukan karena penelitian ini
masalah sebagai penentu arah dalam penelitian skripsi ini, ditunjang pula oleh
harus mempunyai cara guna mendapatkan hasil yang maksimal. Pada bab
Miskāwaih dan bahwa beliau memiliki cara pandang yang tidak sama. Para
serta menjawab dari petanyaan yang ada dalam rumusan malasalah. Serta
manusia tetaplah suatu yang misterius. Maka, beberapa filsuf, khususnya filsuf
Yunani Kuno dan filsuf muslim Paripatetik tidak membahas konsep manusia
Salah satu dari mereka membahas tentang penciptaan alam, namun ia juga
menyinggung sedikit tentang manusia. Salah satu dari mereka ada yang percaya
bahwa dunia yang kita lihat sekarang sudah ada di alam idea. Ada pula yang
mengatakan bahwa manusia itu mempunyai tubuh atau jism, yang ada pada
A. Plato
mempunyai pendapat bahwa manusia terdiri atas jiwa dan badan. Badan
merupakan sebuah wadah bagi jiwa. Realitas manusia sebenarnya adalah jiwa.
memberikan mitos tentang kereta bersayap yang lengkap dengan kedua kuda
sebagai penariknya, yakni hitam dan putih, serta lengkap dengan sais. Dimana sais
1
Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 72.
11
12
bergerak naik.2
bagian perut hingga ke bawah, bagian nafsu yang menginginkan diri untuk
makan, minum, hingga kepuasan terhadap seks, termasuk juga harta. Bagian ini
akan tunduk pada hukum, mempunyai sifat independen, memiliki cara berpikir
cenderung takut dan akan lari ketika menghadapi sebuah masalah atau
penderitaan.3
hidup biologis. Epithumia harus tetap dikontrol dan dikuasai agar tidak
mendominasi pada sifat manusia, karena cara berpikirnya yang buta. Bila tidak
menginginkan kehormatan dan harga diri. Ini berada pada bagian perut ke atas,
tepatnya adalah pada bagian dada. Merupakan rasa bangga, dapat membuat
2
A. Setyo Wibowo, Arete: Hidup Sukses Menurut Platon (Yogyakarta: Kanisius, 2010),
h. 36.
3
A. Setyo Wibowo, Paidea: Filsafat Pendidikan Politik Platon (Yogyakarta: Kanisius,
2017), h. 223.
4
A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 223.
13
hingga manusia dapat menahan rasa nikmat dan sakit dengan teguh, serta dapat
dan mengendalikan.5
Tugas lain dari thumos dalam pandangan Plato adalah menjaga harga diri.
akan tetap di kelas hingga belajar usai dari pada keluar untuk mencari makanan
dan meninggalkan kelas demi perut yang lapar. Ini dilakukan karena ia
oleh epithumia. Bukti rasionalnya adalah banyak manusia yang kehilangan akal
demi harga diri. Banyak pula orang yang menyampingkan rasio demi kepentingan
Kemudian yang terakhir menurut Plato adalah logistikon atau rasio, ini ada
pada bagian leher ke atas, tepatnya adalah bagian kepala. Bagian ini berfungsi
harus dipenuhi dan kapan harus menahannya. Apabila logistikon membiarkan rasa
5
A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 225.
6
A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 225.
7
A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 225.
14
haus itu dipenuhi, maka semuanya akan kacau dan merugikan diri sendiri. Ketika
manusia merasa haus, dan ia kebanyakan minum, ia kemudian efek mabuk dan tak
sadarkan diri, hilang akal dan disitulah manusia itu merendahkan diri sendiri serta
kehilangan harga diri. Atau manusia sembarang meminum air, padahal air itu
B. Aristoteles
adalah binatang yang dapat berbicara, berpikir dan mengerti.9 Manusia termasuk
dalam spesies dan genetik tertentu, mempunyai unsur yang khas yang
membedakan dari spesies dan genetik lain. Unsur khas yang dimaksud ialah rasio
rasional. Dimana unsur non-rasional merupakan unsur yang lazim dimikili segala
emosi yang tidak dapat terkontrol, dan nafsu-nafsu, seperti hasrat seksual. Bagian
rasional ini sadar dan bebas serta dibagi dalam rasio praktis yang berfungsi untuk
mengontrol nafsu, tidak seperti binatang lain yang diatur dengan kebiasaan,
8
A. Setyo Wibowo, Paidea, h. 224.
9
Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Pustaka
FIrdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 156.
10
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penelitian, Perbandingan, diterjemahkan
oleh F. Budi Hardiman (Yogyakarta: Kansius, 1994), h. 67.
15
rasionalnya.11
manusia ada tiga, yakni manusia yang hanya mencari kenikmatan, manusia yang
kebahagiaan pada taraf ini hanya sesaat. Dan berfilsafat merupakan kebahagiaan
sesuatu yang buruk. Akan tetapi, jangan pula jadikan nikmat sebagai tujuan hidup
maka ini bukanlah termasuk dalam kebahagiaan. Ketika ia merasa haus, terus ia
meminum susu sampai ia merasa hilang rasa hausnya, akan tetapi dalam beberapa
waktu ke depan, ia akan merasa haus lagi. Atau ketika ia haus, ia meminum cairan
yang ada di depan pandangannya, ia tak tahu bahwa yang ia minum adalah air
arak. Kemudian ia mabuk dan membuat hal konyol, ini akan merugikan ia
sendiri.13
hidup berpolitik akan mendorong manusia kepada keramayan, inti dari situ
11
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, h. 67.
12
Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai (Jakarta: Yayasan Kertagama, 2014), h. 26.
13
Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 26.
16
ialah, ketika manusia berada dalam kesendirian, ia akan kembali dalam ketakutan,
merasakan penderitaan, dan kembali merasa memiliki beban hidup. Ini akan terus
berulang setiap hari, bahkan setiap saat ketika manusia itu keluar dari kerumunan
manusia lain. Namun, ketika ia kembali dalam kerumunan manusia lain, akan
menurutnya kegiatan akal budi manusia yang disebut logos atau nus bersifat
membedakan sesuatu apa pun yang abadi. Dengan kata lain, dalam berfilsafat, ia
14
Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 27.
15
Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 27.
16
Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 27.
17
kepribadian yang kuat, mantap, dan diandalkan. Karenanya harus menanam sikap
kepribadian.17
C. Al-Kindī
mempunyai badan dan jiwa. Jiwa memiliki arti penting, sempurna, dan mulia.
Substansi jiwa bersifat ruhani dan cahayanya berasal dari cahaya Tuhan.18
Namun, jiwa bertolak-belakang dengan badan. Jiwa melawan badan yang pada
tidak memikirkan akibat dari apa yang akan terjadi setelah apa yang dilakukan.
materi dan bentuk. Tuhan tidak berbentuk dan tidak mempunyai materi. Tuhan
tidak mempunyai hakikat dalam arti al-Aniyyah karena tidak tersusun dari materi
dan bentuk dan al-Māhiyyah karena ia tidak merupakan jenis dan macam, atau
genus dan spesies.20 Selain itu, menurut al-Kindī materi dan bentuk pada manusia
17
Franz Magnis Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles (Yogyakarta:
Kansius, 2009), h. 41.
18
Fu’ad Farid Ismail & Abdul Hamid Mutawali, Cara Mudah Belajar Filsafat: Barat dan
Islam, diterjemahkan oleh Didin Faqihudun (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), h. 198.
19
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 49.
20
Moeflih Hasbullah & Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah (Bandung: Pustaka Setia, 2012),
h. 171.
18
termasuk dalam golongan benda yang bersifat Juz’iyyāt (partikular). Benda yang
individu (juz’i) dan umum (kulli). Hakikat juz’i inilah yang disebut sebagai al-
Aniyyah. Sedang hakikat kulli yang disebut sebagai Māhiyyah, hakikat ini bersifat
badan. Dimana jiwa menentang keinginan badan. Karena badan mempunyai sifat
perusak dan merugikan dirinya sendiri. Badan biasanya tidak memikirkan apa
yang akan terjadi selanjutnya setelah apa yang dilakukan. Jiwa manusia tidak
tersusun, mulia, sempurna, dan penting. Substansi jiwa berasal dari substansi
Tuhan, seperti cahaya yang berasal dari matahari. Jiwa memiliki wujud tersendiri
nafsu, pemarah, dan berpikir. Dua daya pertama berada alam badan, dan yang
terakhir berada dalam jiwa. Jiwa menentang keinginan nafsu yang berorientasi
untuk kepentingan badan. Jika daya nafsu marah mendorong manusia untuk
bertindak sesuatu yang merugikan dirinya, maka jiwa menahan itu, melarang dan
menjadi tiga bagian, bagian pertama adalah akal yang bersifat potensial.
Kemudian, ketika sudah keluar dari sifat potensial ia menjadi aktual tingkat
21
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 48.
22
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 49.
19
pertama. Dan terakhir adalah akal yang telah melewati akal yang bersifat aktual
tingkat pertama dan menjadi akal yang bersifat aktual tingkat kedua.23
Menurut al-Kindī, pada tingkatan akal yang bersifat potensial, tidak dapat
memiliki sifat aktual ketika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar.
Karenanya, al-Kindī percaya ada akal yang berbeda dengan akal potensial, ia
mempunyai wujud di luar roh manusia dan bernama, akal ini selamanya dalam
merupakan spesies dan genus, ia membuat akal potensial menjadi akal aktual
tingkat tertinggi. Menurut al-Kindī, manusia akan dapat dikatakan ’Ākil jika ia
luar itu. Untuk memperoleh akal yang berada di luar sangatlah sulit. Karena harus
mengontrol dan mengendalikan daya nafsu dan marah. Pada proses ini, dapat
D. Al-Fārābī
martabat semuanya ada enam. Pertama, menjadi sebeb pertama yakni Tuhan.
Dalam martabat ini, ia menjelaskan bahwa Tuhan ada dengan sendiri-Nya, tanpa
23
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 51-52.
24
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
h. 19.
25
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 52.
20
sebab lain. Tuhan juga ia katakan dengan Wājib al-Wujūd li Dzātih (yang harus
ada karena diri-Nya sendiri. Martabat kedua, sebab-sebab kedua yakni Akal ke-I
sampai Akal ke-IX. Martabat ketiga adalah Akal Aktif atau Akal ke-X. Martabat
keempat adalah jiwa (al-Nafs). Martabat ini merupakan jiwa manusia, hewan, dan
materi (al-Māddah).26
dalam tubuh dan tiga sebab berikutnya ada dalam tubuh. Makhluk yang
Sungguhpun demikian, kesempurnaan jiwa manusia lebih tinggi dari makhluk lain
yang memiliki tubuh. Kemudian, kesempurnaan jiwa hewan lebih rendah dari
manusia, akan tetapi masih lebih tinggi dari tumbuhan. Terakhir, tumbuhan
mempunyai kesempurnaan jiwa yang lebih rendah dari semua makhluk yang
memiliki tubuh.27
bagian dari binatang, masuk dalam spesies dan genetik tertentu, mempunyai unsur
yang khas yang membedakan dari spesies dan genetik lain. Unsur khas yang
dimaksud ialah rasio dan tuturan. Maka manusia adalah binatang rasional.
kemampuan manusia.28
26
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 66.
27
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 63-67.
28
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, diterjemahkan oleh Purwono (Bandung: Mizan, 1997), h.
66.
21
bahwa manusia memiliki lima tahap agar sampai pada puncak. Tahap tersebut
berpikir. Dengan kata lain, bahwa daya mengindera adalah badan, kemudian daya
mengkhayal adalah jiwa, dan daya berpikir adalah akal. Tiga daya tersebut pula
memiliki struktur tritunggal dunia ragawi, jiwa, dan ruhani kosmos. Lebih
mudahnya, Al-Fārābī memakai istilah dari yang mengetahui dan yang diketahui.
mengetahui yang paling rendah. Karena, ia hadir demi dua daya lainnya, yakni
Dengan daya mengkhayal, maka akan memunculkan bentuk baru, yang mana
29
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 67-68.
30
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 67.
31
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 68.
22
bentuk tersebut tidak termasuk dalam indera internal dan eksternal. Al-Fārābī
teoretis dan praktis. Menurut al-Fārābī, daya berpikir teoretis berfungsi sebagai
immaterial.33
32
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 68-69.
33
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 77.
BAB III
surutnya suatu budaya yang tidak sebatas fakta-fakta masa lampau dan akan
berpengaruh pada masa yang akan datang. Dari sejarah, budaya bisa berkembang
atau pun hilang. Sejarah bukanlah hanya cerita tentang diri seorang raja, namun
harus mencerminkan struktur politik, ekonomi, dan sosial pada masa tertentu.
Sejarah juga harus mencatat naik turunnya peradaban bangsa dan negara. Ahli
sejarah harus menjaga keasliannya, tidak memalsukan suatu kejadian pada masa
(sejarah hidup yang ditulis oleh tokohnya langsung). Namun, sangat disayangkan
karena biografi Ibn Miskāwaih tidak seperti biografi-biografi tokoh lain. Tidak
seperti al-Kindī yang banyak ditulis oleh para penulis dalam beberapa karya
hidup, karya-karya, dan beberpa tokoh atau guru yang mempengaruhi dan
1
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 89.
23
24
Nama dari Ibn Miskāwaih masih sepertinya tidak ada kepastian, karena
sampai saat ini masih belum mendapatkan kesepakatan. Ada yang mencantumkan
bahwa nama Ibn Miskāwaih adalah Ahmad. Ada pula yang mencantumkan bahwa
nama Ibn Miskāwaih adalah Ahmad, bukan Muhammad. Sungguhpun ada kata
Muhammad dalam nama Ibn Miskāwaih, penulis lebih mempercayai itu hanyalah
nama ayahnya.
secara pasti, ini tidak seperti nama al-Kindī dan al-Ghazālī yang gampang
ditelusuri, yang mana dua nama tersebut diambil dari nama asal daerahnya, yakni
daerah Kindah dan Ghazāl. Kata Miskāwaih belum diketahui secara pasti apakah
nama tersebut merupakan nama dia atau ia merupakan putra dari Miskāwaih. Hal
ayahnya.2
ada yang mengartikan sebagai seorang pustakawan, ada pula yang mengartikan
2
Moeflih Hasbullah & Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah (Bandung: Pustaka Setia, 2012),
h. 211.
25
bendahara negara pada masa kekuasaan Adhub al-Daulah dari Bani Buwaih.3
Memang Ibn Miskāwaih pun berpuluhan tahun menjadi seorang pustakawan pada
wazir dan amir Bani Buwaih, diantaranya adalah Wazir Hasan al-Mahlabi di
Baghdad (348-352 H), Wazir Abu Fadl Muhammad Ibn al-ʼAmid di Ray (352-360
H), Wazir Abu al-Fath Ali Ibn Muhammad di Ray (360-366 H), Amir ʻAdd al-
Dawlah Ibn Buwaih di Baghdad (367-372 H), serta pada amir-amir berikutnya.
Lebih penting, kata itu sering dituliskan di tengah namanya oleh para penulis yang
menuliskan nama lengkap dari Ibn Miskāwaih.4 Dedi Supriyadi juga mengartikan
Ibn Miskāwaih juga mempunyai gelar Abū ’Alī. Nama itu diperoleh dari
nama sahabat Rasulullah Saw., sendiri, yakni Sayyidinā ’Alī Ibn Abū Thālib.
Yang mana Sayyidinā ’Alī Ibn Abū Thālib merupakan sahabat Rasulullah Saw.,
yang dipandang orang Syi’ah lebih pantas menggantikan posisi Sayyidinā ’Alī Ibn
Abū Thālib untuk memimpin negara setelah Rasulullah Saw., wafat dibandingkan
tiga sahabat Rasulullah Saw., lainnya. Maka tidak heran jika banyak penulis-
karena melihat dari nama gelarnya sebagai Abū ’Alī. 5 Nama Abū ’Alī sendiri
diletakkan pada awal nama dari Ibn Miskāwaih. Kemudian diikuti dengan nama
lain. Nama Abū ’Alī bukanlah nama anak dari Ibn Miskāwaih. Tidak seperti al-
3
Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Geneologis dan Transmisi Filsafat Timur ke
Barat (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 86-88.
4
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf, dan Ajarannya (Bandung:
Pustaka Setia, 2013), h. 110.
5
Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai (Jakarta: Yayasan Kertagama, 2014), h. 259.
26
Ghazālī, yang mana kata Abū Hāmid pada nama al-Ghazālī dikarenakan al-
Ghazālī memiliki anak yang ia berikan nama Hāmid. Namun, terkait gelar Abū
Selain itu, ada gelar lain yang dimiliki oleh Ibn Miskāwaih. Ibn
melebihi dari kemasyhuran al-Thabari (w.310 H/923 M.), yang mana al-Thabari
merupakan sejarawan sebelum Ibn Miskāwaih. Gelar lain yang dimiliki oleh Ibn
Menurut Dedi Supriyadi, nama lengkap dari Ibn Miskāwaih ialah Abū Alī
al-Kāsim Ahmad (Muhammad) Ibn Ya’qūb Ibn Miskāwaih. Dedi Supriyadi lebih
ada beberapa sebagian penulis sebelumnya yang lebih memilih nama Ahmad
diganti dengan nama Muhammad. Ini tercatat dalam karya tulisnya yang berjudul
”Pengantar Filsafat Islam” dalam pembahasan biografi yang ditulis sekitar dua
halaman. Nama Abū Alī al-Kāsim Ahmad (Muhammad) Ibn Ya’qūb Ibn
Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, nama lengkap dari Ibn
Miskāwaih adalah Abū Alī al-Kāsim Ahmad Ibn Muhammad Ibn Miskāwaih.
Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan mengambil jalan tengah, dan secara tidak langsung
Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan juga meyakini bahwa kata Muhammad dalam nama
Ibn Miskāwaih merupakan nama ayah dari Ibn Miskāwaih dan tidak ada kata Ibn
6
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000), h. 5.
7
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 110.
27
Ya’qūb dalam nama lengkap Ibn Miskāwaih.8 Sedangkan kata Ibn Miskāwaih
merupakan nama kakeknya. Ini tercantum dalam karya tulisnya yang berjudul
”Pemikiran Falsafi dalam Islam” pada sub-bab riwayat hidup dan karya tulis Ibn
Miskāwaih. Nama Abū Alī al-Kāsim Ahmad Ibn Muhammad Ibn Miskāwaih ia
Ibn Miskāwaih merupakan Filsuf Muslim yang lahir di Ray pada tahun
330 H/940 M dan meninggal dunia pada tahun 421 H/1030 M. Dimana pada tahun
330 H., termasuk dalam masa ke-khalifah-an Abbasiyyah. Namun, pada tahun 330
Abbasiyyah pada masa tersebut berada dalam pengaruh Adhud al-Daulah dari
Bani Buwaih.9
Tidak hanya nama Miskāwaih saja yang menjadi perdebatan, akan tetapi
tentang agama yang dianut oleh keluarga dari Ibn Miskāwaih juga. Beberapa
karya yang telah diciptakan oleh beberapa penulis yang membahas tentang Ibn
masuk pada agama Islam.10 Namun tidak ada keterangan waktu, sebab, dan
bagaimana sejarah keluarga Ibn Miskāwaih berpindah agama dan memilih Islam.
Pendapat lain terkait kemajusian dari Ibn Miskāwaih, seperti Jurzi Zaidan
8
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 88.
9
H. A. Mustafa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 166.
10
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 56.
28
ke Islam.11 Jurzi Zaidan pun tidak mencantumkan keterangan waktu pasti kapan
yang lebih percaya bahwa nama Muhammad di nama Ibn Miskāwaih merupakan
nama bapaknya. Maka dapat ditelaah bahwa mereka lebih memandang nenek Ibn
menjadi seorang muslim. Ini melihat dari bapak Ibn Miskāwaih yang memiliki
nama Muhammad.12
memperdalam ilmu dalam bidang sastra Arab dan sastra Persi. Ibn Miskāwaih
sastra lainnya. Akan tetapi, hanya dalam jangka waktu beberapa tahun Ibn
Miskāwaih menetap di Baghdad, tepatnya tahun 352 H., ia kembali lagi ke kota
meninggal dunia.13
Ibn al-’Amid dalam bidang ilmu yang dikuasai Ibn al-’Amid. Ibn al-’Amid sendiri
menguasai bidang arsitek bangunan, filsafat, logika, ahli bahasa dan sastra Arab.
Ibn al-’Amid pun termasuk seorang penyair dan penulis terkenal. Ibn Miskāwaih
11
Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam (Bandung: Yrama Widya, 2016), h. 41-42.
12
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), h. 56.
13
Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan
(Bandung: Angkasa, 2003), h. 42.
29
belajar kepadanya sampai Ibn al-’Amid meninggal dunia, perkiraan hanya dalam
seorang pegawai pemerintahan. Inilah yang menjadi jalan bagi Ibn Miskāwaih
birokrasi pemerintahan pada waktu itu. Sangat wajar jika ia pun terpilih menjadi
Ibn Miskāwaih meninggal di Isfahan pada tahun 421 H/1030 M. Kota lahir
karena keinginannya dalam belajar dan berguru kepada seseorang ataupun tugas
negara yang diembannya dan yang diberikan kepadanya oleh penguasa dinasti. Ia
belajar dan memperkuat pola pikirnya tentang berbagai cabang ilmu pengetahuan
dan filsafat di kota Baghdad. Setelahnya, ia lebih fokus pada sejarah dan akhlak.16
Maka tak heran dalam semua karyanya lebih di dominasi oleh tulisan tentang
akhlak.
pun mendapat gelar sebagai bapak etika ketiga (al-Mu’allim al-Tsālits). Terjadi
karena orang melihat karyanya lebih dominan tentang akhlak. Gelar ini
14
Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan, h.
42.
15
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 56.
16
Moeflih Hasbullah & Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah, h. 211.
30
al-Tsāni). Juga oleh Aristiteles sebagai bapak etika pertama (al-Mu’allim al-
Awwal).17 Tak heran, karena Ibn Miskāwaih sering mendapatkan tugas untuk
menafsirkan karya tulis dari Aristoteles oleh Ibn al-Khammar (guru filsafat Ibn
Miskāwaih).
’Adhud al-Daulah, ia sudah termasuk salah satu dari anggota kelompok pemikir
ternama yang berkarier di bidang politik dan beraktivitas filsafat. Setelah Ibn
B. Riwayat Pendidikan
perhatiannya terhadap bidang etika Islam, wajar jika Ibn Miskāwaih mendapat
tentang filsafat Yunani Kuno, ia juga mempunyai pengetahuan yang sangat luas
sejarah pula tentang pengalaman bangsa yang menemukan kejayaan dari masa
17
Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Nilai, h. 260.
18
Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku
Pertama, diterjemakan oleh Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), h. 310.
19
H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 166.
31
riwayat pendidikan Ibn Miskāwaih. Ibn Miskāwaih sendiri pun tidak menulis
pendidikan anak pada zaman ke-khalifah-an Abbasiyyah. Pada masa itu, anak-
Arab, tata bahasa Arab (Nahwu), dan ’Arudh (ilmu membaca dan membuat
sebuah syair). Semua mata pelajaran tersebut diajarkan dengan melalui les privat,
ini pun hanya diberikan kepada anak yang mempunyai latar belakang keluarga
berada.20
Kemudian, anak akan diberikan ilmu lain ketika guru merasa ilmu dasar
sudah dikuasainya. Ilmu lain itu diantaranya ilmu fiqih, hādits, sejarah (khususnya
sejarah Arab, Persia, dan India), dan Matematika. Selain itu pula, anak akan
diajarkan ilmu lain, seperti musik, bermain caur, dan furusiyah (ilmu seperti
kemiliteran).21
namun untuk mata pelajaran lanjutan, sepertinya tidak. Hal ini melihat dari segi
20
H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 168.
21
H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 168.
32
’Adhud al-Daulah.22
sangat berpengaruh hanya sedikit. Banyak guru-guru Ibn Miskāwaih yang tidak
adalah Ibn al-Kammar, Abū Bakr Ahmad Ibn Kāmil al-Qadhi, Abū al-Thayyib al-
Rāzī, menteri al-Mahlabi sebagai guru Sastra, dan Ibn al-’Amid di bidang
arsitektur.23
mempengaruhi Ibn Miskāwaih, yakni Ibn al-Kammar, Abū Bakr Ahmad Ibn
Kāmil al-Qadhi, dan Abū al-Thayyib al-Rāzī. Dalam beberapa karya tulis di
Indonesia yang membicarakan tentang Ibn Miskāwaih, ada yang percaya bahwa
Ibn al-Kammar dan Abū Bakr Ahmad Ibn Kāmil al-Qadhi merupakan guru di
bidang yang sama. Ada pula yang percaya keduanya berbeda bidang kajian ilmu.
Dan Abū al-Thayyib al-Rāzī sendiri berbeda dengan kedua tokoh lain. Alasan dua
tokoh lain tidak mempengaruhinya, karena Ibn Miskāwaih sendiri lebih tertarik
akhlak. Maka tak dapat dipungkiri bahwa karya tentang akhlak dari Ibn
menulis dalam karyanya yang berjudul al-Fauz al-Asghar, berisi tentang uraian
bahwa para filsuf klasik (Yunani Kuno) tidak meragukan eksistensi dan keesaan
bahwa ada Penggerak pertama yang Tidak Bergerak, istilah tersebut sama dengan
Sang Pencipta.
Kemudian, Abū Bakr Ahmad Ibn Kāmil al-Qadhi (350 H). Ada yang
mengatakan bahwa ia adalah guru Ibn Miskāwaih dalam bidang filsafat, dan ada
pula yang mengatakan bahwa ia termasuk guru dalam bidang sejarah. Namun,
beberapa catatan menulis bahwa Abū Bakr Ahmad Ibn Kāmil al-Qadhi adalah
tokoh yang membantu Ibn Miskāwaih ketika Ibn Miskāwaih menuliskan karya
yang berjudul Tajārib al-Umam, karya tersebut hanya berisi tentang cerita
24
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 111.
25
Moeflih Hasbullah & Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah, h. 211.
34
Miskāwaih, Ibn Miskāwaih lebih tertarik membahas dalam bidang sejarah dan
bidang akhlak. Maka tidak heran jika yang Ibn Miskāwaih tulis lebih banyak
dengan akhlak, seperti karya Ibn Miskāwaih yang berjudul Tartib al-Sa’adah,
dalam karya itu ia menulis tentang akhlak dan politik, kemudian ia melanjutkan
menulis tentang akhlak dalam berpolitik. Atau kitab Tahdzīb al-Akhlāq yang
berisi tentang pendidikan akhlak yang dikupas dari asal-usul manusia yang
dan kesempurnaan manusia serta cara untuk mencapai pada titik dimana akan
18 dan menyatakan bahwa ada dua karya Ibn Miskāwaih yang hilang, sehingga
Miskāwaih dengan jumlah 19 karya. Nama-nama karya tulis Ibn Miskāwaih yang
4. Uns al-Farid, karya ini hanya berisi sekumpulan cerita anekdot, syair,
5. Tartib al-Sa’adah, karya ini berisi tentang akhlak, politik, dan juga akhlak
ketika berpolitik;
8. Al-Jami;
10. Tahdzīb al-Akhlāq, karya ini berisi tentang pendidikan akhlak hingga manusia
menemukan titik teratasnya dengan cara spiritual dan dianggap paling mulia
11. Ajwibah wa al-As’ilah fī al-Nafs wa al-Aql, karya ini berisi tentang tanya
12. Al-Jawāb fī al-Masā’il al-Salās, karya ini hanya sebuah jawaban dari tiga
masalah;
14. Risālah fi al-Ladzdzat wa al-Alam fī Jauhar al-Nafs, karya ini berisi tentang
15. Risalah fi Jawab fi Su’al Ali Ibn Muhammad Abū Hayyan al-Shufi fi Haqiqah
al-’Aql;
16. Risalah fi Haqiqah al-Aql, karya ini berisi tentang hakikat akal;26
26
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 113.
27
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2014),
h. 129.
36
risalah Ibn Miskāwaih yang dicantumkan di atas juga termasuk risalah yang
lumayan tabal. Selain itu, ada risalah-risalah pendek Ibn Miskāwaih yang ditulis
Muhammad Baqir Ibn Zain al-Abidin al-Hawanshari yang dikutip oleh al-
Ahwani. Namun sangat disayangkan, risalah Ibn Miskāwaih dalam Raudhoh al-
Ibn Sīna sebagai tokoh yang satu zaman dengan Ibn Miskāwaih
sebenarnya sama seperti tokoh lain yang menulis banyak topik, termasuk dalam
bidang falsafat. Seperti apa yang kita ketahui sekarang bahwa karya Ibn
falsafah, karena etika yang diuraikan oleh Ibn Miskāwaih sangatlah rapi dan
tersusun dengan baik. Inilah komentar dari tokoh yang satu zaman dengan Ibn
sebenarnya Ibn Miskāwaih juga termasuk salah satu tokoh yang mempengaruhi
pada karya-karya yang Ibn Sīna tuliskan. Ada beberapa karya Ibn Miskāwaih
yang dikutip dan sebagai rujukan Ibn Sīna ketika Ibn Sīna menulis karya dalam
bidang psikologi.30
28
H. A. Mustafa, Filsafat Islam, h. 169.
29
Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, h. 310.
30
Zainal Abidin Ahmad, Ibnu Sina (Avicena) ; Sarjana dan Filosoof Besar Dunia
(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 265.
37
secara jelas ide tentang evolusi. Ini juga yang menjadi acuan oleh Dedi Supriyadi
menulis pada tulisannya tentang Ibn Miskāwaih, bahwa Iqbal sendiri lebih
teistis.31
31
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 113.
BAB IV
bahwa para filsuf klasik (Yunani) tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan,
kuat tentang Sang Pencipta yang dapat diterima agama. Ibn Miskāwaih memiliki
kesimpulan bahwa tidak ada jalan rasional untuk memahami Tuhan, maka kita
kelompok agama. Ibn Miskāwaih sangat merasa peduli dalam upaya menyatukan
nirputus Neoplatonisme.1
agama Islam, ia juga percaya bahwa dunia ada karena Allah yang menciptakan. Ia
meyakini Allah adalah Penggerak pertama yang tidak bergerak. Ia juga memiliki
pandangan bahwa ada beberapa pembahasan yang tidak dapat terjawab dengan
jalan rasional, akan tetapi dapat dicari dengan petunjuk-petunjuk agama. Maka
mencari informasi tentang asal mula manusia yang tidak akan terlepas dalam
1
Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku
Pertama, diterjemakan oleh Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), h. 311.
38
39
mengemukakan tentang jagat raya, seperti pada surat Qāf ayat 38:
Artinya: ”Dan sungguh, Kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang
ada antara keduanya dalam enam hari (masa), dan Kami tidak merasa
َ َََ َ َ ذ َ ََ َ َ ُ
٤ يع أفَل ت َتذك ُرون
ٍۚ ٍ ِل وَل شف
ٖ ِ دونِهِۦ مِن و
Artinya: ”Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.
Bagimu tidak ada seorang pun penolong maupun pemberi syafa’at
selain Dia. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”.
Jadi, yang menciptakan jagat raya adalah Allah Sang Penggerak Pertama
yang Tidak Bergerak, seperti apa yang telah Aristoteles katakan. Dia menciptakan
jagat raya tidak secara langsung. Jagat raya yang ada seperti sekarang merupakan
proses penciptaan yang sangat panjang. Allah menciptakan langit dan bumi
beserta isinya dalam enam hari. Allah pun tidak merasa letih dalam proses
menciptakan jagat raya. Kemudian, setelah semuanya telah Allah ciptakan, Allah
penciptaan langit dan bumi dengan segala isinya terjadi dalam enam periode, dan
40
mengumpamakannya satu hari yang dimaksud berbeda dengan satu hari yang ada
Artinya: ”Dan mereka meminta kepadamu agar adzab itu disegerakan, padahal
(dibumi)”.
ََۡ َ َۡ ُُ َ ۡ َ َ َۡ َ ُ ُّ َ ُ َ َ َ ۡ ُ ُ ۡ َ
٤ ِني ألف َس َن ٖة
وح إ ِ َۡلهِ ِِف يو ٖم َكن مِقدارهۥ خس َٰٓ تعرج ٱلم
لئِكة وٱلر
Maka hari yang dimaksud dalam proses penciptaan jagat raya bukanlah
perhitungan hari seperti apa yang ada di bumi. Satu hari di bumi terhitung dalam
24 jam, sedangkan al-Qur’ān memberi penjelasan dalam satu hari yang dimaksud
Ayat al-Qur’ān juga memberi penjelasan tentang waktu dan apa yang
diciptakan. Pertama penciptaan tujuh langit, di terangkan dalam surat Fussilat ayat
12:
2
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama
RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Penciptaan Bumi; dalam Perspektif Al-
Qur’an dan Sains, (Jakarta: Kementerian Agama, 2012), h. 20-21.
41
ۡ ۡ ُ ۡ َ َ َٰ َ
١٢ ِير ٱل َع ِزيزِ ٱل َعل ِي ِم
ذل ِك تقد
Artinya: ”Lalu diciptakan-Nya tujuh langit dalam dua masa, dan pada setiap langit
bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya?
Ketiga tentang penciptaan isi bumi, tertulis dalam al-Qur’ān surat Fussilat ayat 10:
Artinya: ”Dan Dia ciptakan padanya gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dan
Dengan demikian, enam masa pada penciptaan jagat raya dibagi menjadi
tiga. Pertama, ketika penciptaan tujuh langit terjadi dalam dua masa, pada setiap
langit memiliki fungsi tersendiri. Langit yang dekat dengan bumi dihiasi oleh
dalam kurun waktu dua masa. Dan terakhir, karena sudah diketahui bahwa
penciptaan bumi terjadi dalam dua masa, maka dua masa selanjutnya adalah
Lebih rinci, penciptaan jagat raya dari awal sampai yang ada seperti
ُ َ ذ َ َ ۡ َ َ َٰ أَ ۡخ َر َج م ِۡن َها َما ٓ َء َها َو َم ۡر َعى٣٠ ٓ ۡرض َب ۡع َد َذَٰل َِك َد َحى َٰ َها
َ َۡ َ
َمتَٰ ٗعا لك ۡم َو٣٢ ٱۡل َبال أ ۡر َسى َٰ َها
ِ و ٣١ اه وٱۡل
َ َ ُ َ َۡ
٣٣ ِۡلنع َٰ ِمك ۡم فإِذا
Artinya: ”Apakah penciptaan kamu yang lebih hebat ataukah langit yang telah
dan menjadikan siangnya (terang benderang). Dan setelah itu bumi Dia
ternakmu”.
43
Menurut ahli astronomi, bahwa ayat di atas menerangkan tentang enam masa
penciptaan jagat raya. Masa pertama pada ayat 27, memberi petujuk bahwa
penciptaan jagat raya sama seperti peristiwa Big Bang. Masa kedua pada ayat 28,
jauh. Masa ketiga pada ayat 29, dapat dipahami bahwa inilah masa penciptaan tata
surya serta proses bumi berotasi, sehingga adanya siang dan malam. Masa
keempat pada ayat 30, memberikan petunjuk tentang evolusi bumi. Masa kelima
pada ayat 31, inilah ayat yang memberikan gambaran awal mula adanya
kehidupan di bumi, diciptakannya air yang menjadi sumber kehidupan. Dan masa
keenam pada ayat 32 dan 33, timbulnya gunung-gunung akibat evolusi geologi,
Jagat raya atau langit dan bumi mulanya menyatu. Kemudian meledak
seperti apa yang telah Big Bang gambarkan pada teorinya tentang jagat raya.
muncullah bintang-bintang, termasuk matahari, dan pada masa inilah awal bumi
berotasi hingga terjadinya siang dan malam. Lalu Allah ciptakan mata air sebagai
transformasi dari alam air atau alam mineral hingga alam manusia. Ini tertulis
pada wacana kedua dan menjadi sub-bab khusus. Teori ini tertulis menjadi empat
tahapan, yakni tahap alam mineral, alam tumbuhan, alam hewan, dan alam
3
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama
RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Penciptaan Bumi, h. 21-22.
44
manusia.4 Ibn Miskāwaih meyakini bahwa alam mineral yang pertama dengan
َ َ َ ۡ َ َ ذ َ َ َ ُ ٓ ْ َ ذ َ ذ ذ َ َٰ َ َ ۡ َ َ َ َ َ َ ۡ ٗ َ َ َ ۡ َ ُ َ َ َ َ ۡ َ َ ۡ َ ٓ ُ ذ
ۡ َ ُك
َش ٍء ِت وٱۡلۡرض َكنتا رتقا ففتقنَٰهماۖ وجعلنا مِن ٱلماء ِ َٰ أو لم ير ٱَّلِين كفروا أن أن ٱلسمو
َ ۡ َََ َ َ
٣٠ ح ٍّۚ أفَل يُؤم ُِنون
ٍ
dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu
untuk menerima kesan mulia dan bentuk yang terjadi dalam diri mereka. Jika
benda mati tersebut menerima bentuk yang dapat diterima manusia, ia akan
menjadi lebih ungul dari tanah pertama yang tidak dapat menerima bentuk
semacam itu.5 Alam mineral yang dapat menerima bentuk tumbuhan adalah
karang.6 Mineral yang menggenang dan menjadi tanah pertama, akan terus
tinggi derajatnya dari tanah pertama, dan pada titik tertinggi (karang) ia mendekati
4
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filsuf, dan Ajarannya (Bandung:
Pustaka Setia, 2013), h. 120.
5
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak; terjemahan kitab Tahdzib al-Akhla,
diterjemahkan oleh Helmi Hidayat (Bandung: Mizan Pustaka, 1994), h. 81.
6
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 120.
45
Karang yang merupakan bentuk paling tinggi dari alam mineral dan dapat
mati. Keungulan tersebut berupa daya nutrisi, tumbuh, menyebar, menyerap dari
tanah dan air apa saja yang cocok sesuai dengan wataknya, menolak apa yang
tidak cocok pada wataknya, dan membuang sisa-sisa makanan dalam tubuhnya
yang berupa getah, yang tibul karena makanan yang diolah pada tubuhnya.
Maka, ada tumbuhan yang hanya dengan perpaduan unsur-unsurnya, angin dan
sinar matahari. Tumbuhan ini berada di alam benda mati dan seperti benda mati
tersebut.7 Tumbuhan yang tumbuh pada karang yang dimaksud adalah spesies
tumbuhan seperti tumbuhan lumut. Dia tidak memerlukan yang lain untuk tumbuh
kecuali mineral dan sinar matahari. Ini juga spesies tumbuhan yang paling rendah.
Namun, spesies ini terus berkambang dan menghasilkan spesies dua spesies, yakni
spesies lama dan baru. Yang mana spesies baru mengungguli bentuk tumbuhan
hingga pada sebagian tumbuhan muncul daya potensi berubah dan berkembang
biak melalui biji, sehingga dapat menumbuhkan tumbuhan seperti dirinya. Ini
7
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 82.
46
pohon zaitun, delima, anggur, dan pohon yang berbuah lainnya.8 Maksudnya, dari
spesies semacam lumut, terus berkembang dan menghasilkan dua spesies, yakni
spesies yang tetap dan spesies baru. Yang mana spesies baru ini mempunyai
Perkembangbiakan spesies baru melalui biji, yang mana dengan bijilah spesies
tersebut akan tumbuh sama seperti tumbuhan yang lama, tidak memiliki
unsur-unsur tertentu dan dengan bantuan angin serta sinar matahari hingga
muncullah tumbuhan lumut. Kedua dengan biji, biji pada tumbuhan berada dalam
buah seperti pada buah zaitun, delima, dan anggur. Kemudian dalam tanah, seperti
kacang tanah. Dan diluar buah seperti jambu mete. Ketiga, dengan menumbuhkan
tunas. Ada tunas baru di sekitar pohon induk yang tumbuh, seperti pohon bambu,
pisang, dan umbi-umbian. Tunas akan tumbuh melalui akar pada induk pohon,
semuanya akan seperti itu jika tunas baru sudah tumbuh besar menjadi induk
pohon.
alam hewan melalui pohon kurma.9 Dengan melalui sepuluh cirinya hingga satu
tingkat lagi akan menjadi hewan. Satu tingkat yang tidak ada pada pohon kurma
adalah mencabut dirinya pada tanah sehingga dapat bergerak dan mencari
makanan untuk berkembang biak dan bertahan hidup, tidak menunggu makanan
yang akan dibawa oleh tiupan angin dan tidak menunggu hujan untuk minum,
8
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 82.
9
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 90.
47
tetapi ia mencari sumber air untuk menimunnya. Pada simbol ini, Ibn Miskāwaih
mencari makanan hingga tidak hanya menunggu diberi saja, pastilah akan
hewan.10 Jadi, Ibn Miskāwaih menganggap pohon kurmalah yang paling dekat
dengan alam hewan, apabila pohon kurma telah mampu mencabut dirinya dari
tanah, mempunyai organ-organ, dan mampu mencari makan sendiri, maka pohon
keberadaan hewan pertama hingga menjadi hewan kedua. Dimana hewan kedua
akan lebih unggul dari pada hewan pertama, seperti halnya tumbuhan kedua
hingga dapat merasakan kondisi dalam tubuhnya, seperti rasa nikmat dan sakit.
Hewan akan bergerak mencari makanan sendiri. Setelah tahap ini, hewan sanggup
menerima ilham dari Allah, hingga mengetahui apa yang baik dan yang buruk
baginya.11 Hewan akan merasakan nikmat jika hewan tersebut menerima manfaat
dari apa yang telah ia makan, dan akan merasakan sakit jika ada yang
dengan tumbuhan berkembang biak dengan cara aseksual (tidak perlu kawin). Ibn
10
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 83.
11
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 83.
48
Sebagian dari mereka ada yang tidak diketahui jenis kelaminnya (jantan atau
betina). Meskipun telah diketahui jantan dan betina, pada suhu yang berubah
terkadang hewan jantan akan menjadi betina dan hewan betina akan menjadi
jantan.12 Pada suhu tertentu, hewan aseksual yang berkelamin jantan akan menjadi
betina. Dan apabila temperatur suhu berubah, maka biasanya kelamin hewan
hewan, sama halnya dengan tumbuhan, sebagian dari keturunannya ada yang
seperti hewan pertama, ada pula yang berkembang mempunyai daya tambahan
kedua dari hewan spesies pertama. Daya pada hewan tersebut seperti rasa amarah
yang akan mendorongnya mempunyai rasa ingin bertahan hidup dari apa yang
Jika hewan tersebut mempunyai rasa amarah yang sangat kuat, maka senjata yang
dimilikinya pun akan sangat kuat. Akan tetapi, jika hewan tersebut mempunyai
rasa amarah kurang kuat, maka senjata yang dimilikinya pun akan kurang kuat
juga. Dan jika hewan tersebut merupakan hewan yang mempunyai rasa amarah
yang sangat lemah, maka hewan tersebut tidak akan mempunyai senjata apa-apa
untuk melawan, hanya saja mempunyai alat untuk melarikan diri dan
12
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 83.
49
mempertahankan dirinya dari hal buruk seperti lari cepat, kemampuan mengecoh,
atau terbang.13
makanan, karena makanan yang ada pada lingkungannya telah habis dan tidak
pasti di lingkungan tersebut kapan akan ada cadangan makanan lagi. Bisa juga
membuat sarang untuk melindungi diri dari musuh, dalam sarang dapat
hidup di alam liar. Kemudian, ada juga menyerang musuh dengan kemampuan
yang dimilikinya, dengan cara menyeruduk jika hewan itu bertanduk seperti
kerbau, menusuk duri yang ada dalam tubuhnya seperti yang dilakukan landak
dan lebah, bahkan mematuk dan meninggalkan racun seperti yang dilakukan ular
biasanya tidak memiliki daun telinga dan tidak menyusui keturunannya, seperti
unggas dan ikan. Namun, tidak semua ikan berkembangbiak dengan telur, ada
pula ikan yang berkembangbiak dengan cara lain. Biasanya, indukan akan
mengeluarkan telur dalam tubuhnya, dan akan mewayatnya dalam sarang hingga
beberapa waktu, mengendalikan suhu agar tetap hangat hingga menetas. Kedua,
dengan melahirkan. Hewan yang melahirkan biasanya memiliki daun telinga dan
menyusui keturunannya, seperti kerbau, kambing, unta, dan ikan yang tidak
13
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 83.
14
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 84.
50
bertelur. Hewan yang melahirkan, biasanya akan lebih lama dalam kandungan
daya tambah hingga sebagian dari hewan tersebut mendekati alam manusia.
Hewan yang mendekati alam manusia tidak bertelur, mempunyai daun telinga,
dan melahirkan. Yang sangat dekat dengan alam manusia adalah sejenis kera.16
Hewan sejenis kera mempunyai amarah dan dianugerahi Allah dengan memiliki
dari musuh, dan menjaga keturunannya. Hanya saja, kera tidak mempunyai
manusia, yang masih dekat dengan alam hewan, yakni orang yang hidup di daerah
terpencil, baik daerah utara maupun selatan. Daerah tersebut dapat kita lihat di
negeri Juj dan Makjuj yang merupakan orang-orang Turki terpencil. Selain itu,
oranag-orang Negero yang hidup di daerah terpencil dan bangsa-bangsa lain yang
hanya memiliki sedikit perbeda derajat dengan derajat kera. Kemudian mereka
akan bisa merasakan perbedaan mereka dengan kera, ketika mereka telah
berpindah ke daerah yang telah lebih dulu mengenal peradaban.17 Di daerah yang
telah mengenal peradaban, mereka akan belajar dari manusia yang tinggal di
15
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 84.
16
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 120.
17
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 85.
51
daya memahami dalam diri mereka, mereka dapat membedakan serta menerima
rasionalitas.
Manusia dalam bahasa Inggris disebut man, merupakan asal kata dari
bahasa Anglo-Saxon, yakni mann. Arti dasar dari kata man memang tidak jelas.
Akan tetapi, Lorens Bagus mengaitkannya dengan kata mens dalam bahasa Latin,
yang berarti ada yang berpikir.18 Atau dalam bahasa Arab disebut insān. Al-
Ghazālī mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir ”Insān hayawān
nātiq”.19 Jamil Shaliba meyakini bahwa kata insān ditunjukkan pada manusia yang dari
segi sifat saja, bukan fisik atau tubuhnya.20 Sifat di sini berarti sifat-sifat yang baik dan
adalah aktivitasnya yang sangat khas, aktivitas tersebut tidak ada pada makhluk
lain di dunia ini sehingga menjadi pembeda dengan makhluk lainnya. Manusia
merupakan benda alam yang paling mulia. Akan tetapi, apabila manusia tersebut
tidak melakukan aktivitasnya yang khas tersebut, maka manusia tersebut akan
seperti kuda yang tidak berperilaku seperti kuda, namun akan digunakan seperti
18
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 564.
19
Imam Ghazali, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh Ahmad Maimun (Bandung:
Marja, 2016), Cet. V, h. 143.
20
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 257-258.
52
keledai untuk membawa muatan, dan jika seperti itu serta tidak merubahnya maka
Jadi, yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain di dunia ini
adalah substansinya yang tidak dimiliki makhluk lain. Substansi yang menjadi ciri
khas pada manusia adalah daya berpikirnya. Dengan daya berpikirnya, manusia
dapat melatih karakternya untuk mengangkat derajat diri sendiri dari yang paling
tercela. Ketika manusia tidak melakukan hal ini, maka sesungguhnya ia sangat
merugi pada dirinya dan manusia disekitarnya. Dan ketika manusia tersebut tidak
sendiri.
tubuh saja, namun ada pula jiwa. Jiwa tidak dapat ditangkap oleh indera jasmani.
Pada wujudnya, jiwa tidak membutuhkan tubuh.22 Jiwa menyerap hal yang sangat
kompleks dan sederhana, yang ada atau tidak ada, yang terasakan dan tidak
adalah yang serupa menyerap yang serupa. Dan kedua adalah jiwa memiliki satu
unsur yang menyerap materi yang kompleks dan nonmateri yang sederhana
dengan cara lain. Jiwa memiliki tiga tingkatan, yaitu tingkatan hewan dalam
spesies rendah, tingkatan hewan dalam spesies seperti singa, dan tingkatan pada
21
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 60.
22
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 90.
23
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 68.
53
manusia dari jiwa hewan adalah potensi akal pada manusia, yang mana hewan
tidak memiliki potensi akal. Fungsi potensi akal adalah untuk memiliki
tergantung pada kesempurnaan manusia lain yang ada disekelilingnya. Jika tidak
tercapai. Manusia yang mengabaikan kebutuhan ini, ia berbuat tidak adil, karena
Jiwa dalam bahasa Inggris adalah soul dan dalam bahasa Sanskerta
adalah jiva¸istilah ini mengacu pada pelaku pengendali, pusat pengaturan, atau
prinsip vital pada manusia.26 Namun, terkait degan jiwa pada manusia, salah satu
24
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 91.
25
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 91.
26
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 379-381.
54
jiwa manusia adalah substansi imateri yang tidak hancur dengan hancurnya badan.
Jiwa pada manusia dipancarkan oleh Akal X ketika tubuh sudah siap untuk
menerimanya.27 Juga al-Kindī mengutarakan bahwa jiwa adalah suatu wujud yang
sederhana dan zatnya terpancar dari Sang Pencipta, persis sebagaimana sinar
terpancar dari matahari. Jiwa bersifat spiritual, ketuhanan, terpisah dan berada dari
tubuhh. Jika jiwa dipisahkan dari tubuh, maka jiwa mendapatkan pengetahuan
tentang segala yang ada di dunia dan melihat hal yang dialami. Jika jiwa terpisah
dari tubuh, maka jiwa akan kembali kepada Sang Pencipta dan bertemu dengan-
Nya.28
sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan fisik dan bagian-bagian pada tubuh,
Sesuatu tersebut bukan tubuh, bukan juga bagian dari tubuh, dan bukan pula
bentuk. Sesuatu tetsebut tidak dapat berganti-ganti dan tidak dapat berubah-ubah.
Ia mengetahui sesuatu dalam derajat yang sama, tidak pernah menyusut, tidak
tiap benda memiliki bentuk tertentu, dengan demikian bentuk tertentu tersebut
tidak mungkin bisa menerima bentuk lain selain bentuknya yang pertama, kecuali
benda tadi telah benar-benar terpisah dengan bentuknya yang pertama. Ibn
Miskāwaih mencontohkan dengan segi tiga yang tidak mungkin menerima bentuk
27
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 68.
28
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 66.
29
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 35.
55
segi empat, lingkaran, dan lainnya kecuali sesudah benda tersebut terpisah dari
Lebih lanjut, Ibn Miskāwaih berpandangan bahwa entitas lain dari jiwa
adalah ketika semakin jiwa jauh dari hal yang bersifat jasadi maka semakin
sempurna dan bebas dari indera. Apabila jiwa semakin kuat, maka jiwa tersebut
semakin mampu untuk mempunyai penilaian yang benar dan semakin menangkap
ma’qulat yang simpel. Jelas bahwa substansi jiwa berbeda dengan tubuh, jiwa
lebih mulia dari pada tubuh dan lebih tinggi dari semua benda yang ada di alam
ini.31
Jiwa lebih memilih untuk menjauhi sifat jasadi, karena sebenarnya jiwa
yang tidak dapat diperoleh melalui indera. Jiwa lebih menyukai apa yang lebih
mulia dari hal yang bersifat jasmani. Jiwa juga lebih menjauhi dari kenikmatan-
menunjukkan bahwa substansi jiwa lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan
Jiwa banyak mendapatkan ilmu pengetahuian melalui indera, akan tetapi jiwa
memiliki prinsip lain dan tingkah laku yang lain juga, yang sama sekali bukan
diperoleh dari indera. Indera hanya mampu mengetahui obyek yang hanya
30
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 35.
31
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 37.
32
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 37.
56
diperoleh dari indera, namun jiwa dapat mengetahui sebab-sebab yang bertolak
sesuatu. Bagian pertama ini disebut juga bagian raja dan organ tubuh yang
digunakan adalah otak. Kedua, yang diungkapkan dengan melalui marah, berani
disebut juga bagian binatang buas dan organ tubuh yang digunakan adalah
jantung. Dan ketiga, yang membuat kita memiliki nafsu syahwat, menginginkan
lainnya. Sedangkan pada bagian ini disebut bagian binatang dan organ tubuh yang
Tiga bagian jiwa ini tidak semuanya bertahan pada manusia. Yang mana
salah satu dari tiga bagian ini akan mengungguli dari yang lain dan
memadai dan dapat dikendalikan oleh jiwa berpikir, maka jiwa kebinatangan
tersebut tidak dapat melawan jiwa berpikir. Jiwa tidak akan tenggelam dalam
keinginannya sendiri, namun jiwa akan mencapai pada kebajikan sikap sederhana,
dan akan diiringi oleh sifat dermawan. Kemudian, ketika aktivitas jiwa amarah
memadai dan mematuhi segala aturan yang telah ditetapkan oleh jiwa berpkir,
33
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 38.
34
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 43.
57
serta tidak bangkit pada waktu yang tidak tepat, maka jiwa ini mencapai kebajikan
mana ini merupakan bagian dari sifat yang muncul pada jiwa manusia. Namun
dua kebajikan diantara lima tersebut harus diuraikan agar lebih mudah dipahami.
jiwa.,
Ingat, ialah menetapnya konsep atau gambaran yang telah berhasil disusun
Rasa malu, yakni bertindak menahan diri karena takut melakukan hal-hal
35
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 46.
58
Sabar, adalah tegarnya diri terhadap gempuran hawa nafsu, sehingga tidak
jalan yang benar, mengeluarkan harta pada jalan yang benar juga.,
Puas, arti puas di sini tidak berlebihan ketika makan, minum, dan berhias.,
hal-hal terpuji.,
mulia.,
Kelembutan, maksudnya lembut hati yang sampai ke jiwa dari watak yang
tuntutan duniawi.,
Tiga kebajikan lainnya, yang pertama adalah sifat berani. Sifat pada
bagian ini seperti tegar, ulet dalam bekerja, tenang, tabah, menguasai diri, dan
perkasa. Kemudian sifat dermawan, bagian ini seperti sifat murah hati,
mementingkan orang lain, rela, berbakti, tangan terbuka, dan pengampunan. Dan
terkahir adalah sifat adil. Sifat ini seperti bersahabat, semangat dalam bersosial,
36
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 47.
59
bersilaturahmi, memberi imbalan, bersikap baik dalam bekerja sama, jeli dalam
harapan berbeda untuk meningkatkan dirinya sendiri. Semua itu terjadi karena
baik, akan kembali kepada orang itu sendiri dan bergantung pada yang
dikehendakinya. Akan terlihat pada perilakunya dan bisa terjadi atas pengaruh
lingkungan. Bisa jadi sama dengan lingkungan sekitar, atau mungkin berbanding
dengan keinginannya.
kogntif dan praktis, karenanya kesempurnaan manusia juga ada dua jenis.
mengatakan bahwa filsafat dibagi menjadi dua, yakni teoretis dan praktis. Apabila
kesempurnaan.38
37
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 48-49.
38
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 63.
60
anggap lebih akurat. Apabila telah terjadi seperti ini, seseorang tersebut akan
merasa lebih percaya diri, karena argumentasinya memiliki data yang konkrit.
Dengan ini, ia tidak akan meragukan suatu kebenaran dan tidak akan melakukan
pada dirinya akan hilang, serta tampak jelas dalam keinginannya hanyalah bersatu
dengan Ilahi.39
aktivitas yang khas hingga tidak saling berbenturan, hidup harmonis dalam
dirinya, hingga semua aktivitas sesuai dengan fakultas yang tertata dengan baik.
Dan diakhiri dalam kehidupan sosial, atau akan diterapkan dalam bermasyarakat.
Dimana masyarakat akan merasakan kebaikan, tidak merasa rugi seperti individu
itu sendiri.40
kesempurnaan tidak lengkap jika tidak ditunjang oleh kesempurnaan lain, sebab
pengetahuanlah yang menjadi awal dari sebuah perbuatan. Dengan kata lain,
pengetahuan menjadi sebab dan perbuatan menjadi akibat. Mustahil ada akibat
39
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 63.
40
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 63-64.
61
tanpa ada sebab. Kesempurnaan manusia seperti inilah yang disebut sebagai
objek, objek dan kesempurnaan sebenarnya satu. Apabila berbeda, hanyalah dari
sudut pandang. Jika kita melihat hal demikian, ketika masih dalam jiwa dan belum
aktual, maka itulah objek. Tetapi, jika teraktualisasikan dan sudah menjadi
telah anda capai, maka lengkaplah kesempurnaan tersebut yang dibuktikan dengan
sikap teratur, tersusunlah fakultas dan bakat anda secara ilmiah, sesuai ilmu yang
telah dikuasai.42
Menurut Ibn Miskāwaih, jika anda telah mencapai tahap ini, maka anda
layak disebut mikrokosmos. Karena, bentuk semua maujud akan hadir dalam alam
pikiran anda. Semua yang hadir dalam pikiran anda, akan menjadi teratur dan
mempunyai arti. Semua itu adalah wakil dari Pencipta segala sesuatu. Anda pun
tidak akan melenceng dari tatanan arif dan asli-Nya. Pada saat itulah anda telah
menjadi satu dunia yang sempurna. Maujud sempurna ini abadi. Anda tidak akan
terputus dari kebahagiaan yang abadi, karena kesempurnaan anda membuat anda
41
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64.
42
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64.
62
lebih siap menerima pancaran Ilahi selamanya, dan anda dengan-Nya sangatlah
dekat, sehingga tidak akan ada yang dapat memisahkan anda dari-Nya.43
terakhir. Ibn Miskāwaih meyakini bahwa jika inidividu manusia tidak dapat
kedudukan ini, serta memperbaiki kekurangan yang ada dalam dirinya dengan
cara mengubah setapak demi setapak kedalam kedudukan ini, maka posisi
kebahagiaan abadi dengan mendekat pada Tuhan yang menciptakan alam dan
masuk dalam Surga-Nya. Jika manusia tidak dapat membayangkan situasi seperti
lenyaplah manusia itu, persis seperti yang terjadi pada hewan dan tumbuhan. Jika
telah seperti ini, kafirlah orang tersebut. Dianggap pula telah keluar dari kearifan
Murtadha Muthahhari, arti sempurna dalam kata Insān al-Kāmil tidak identik
43
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64.
44
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64.
45
Abu Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam; Telaah Historis dan
Perkembangannya, diterjemahkan oleh Subkhan Anshori dari kitab Makdal ila al-Tasawuf al-
Islami (Jakarta; Gaya Media Pratama, 2008), h. 154.
63
dengan kata lengkap, walaupun keduanya berdekatan dan mirip. Kata ”Lengkap”
mengacu pada sesuatu yang telah disiapkan menurut rencana. Sesuatu mungkin
bisa saja lengkap, akan tetapi masih ada yang lebih tinggi kelengkapannya, itulah
Mereka juga menganggap bahwa seluruh fakultas lain manusia diciptakan Tuhan
dalam dirinya demi kenikmatian inderawi, yang kita sebut jiwa rasional,
menurutnya adalah mulia, dan dianugerahi Tuhan kepadanya untuk mengatur dan
itu. Karena, tujuan akhir hidup mereka adalah menikmati kenikmatan secara
kenikmatan makan, minum, seks, ataupun yang lainnya, maka manusia tersebut
seperti inilah yang membuat manusia dalam posisi hanya menjadi hamba sahaya
yang bekerja untuk melayani hawa nafsu, dalam rangka untuk memperoleh
kepuasan makan, minum, maupun seks, dan akan terus menatanya demi kepuasan
itu.47
46
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf (Jakarta; Amzah,
2012), Cet. II, h. 93.
47
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 64-65.
64
hina. Hal-hal yang demkian, mereka jadikan tujuan hidup, mereka merindukan
ketika mereka ingat akan surga dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Ketika
sholat dan berdoa, memang ia meninggalkan duniawi, namun semua itu mereka
lakukan atas dasar pamrih dan berharap keuntungan yang berlipat ganda. Mereka
kesenangan kekal. Mereka yang mempunyai sifat seperti ini, jika ada orang yang
bersih, terhindar dari hal keji seperti ini, malaikat paling dekat dengan Allah Swt.,
dibandingkan dengan manusia, lebih tinggi derajatnya, dan bebas dari objek-objek
yang dihajatkan oleh manusia. Sebenarnya, mereka tidak ada bedanya dengan
hewan yang hidup hanya untuk mencari kenikmatan inderawi. Memang mereka
peroleh hanyalah kenikmatan yang sifatnya hanya sementara, karena yang mereka
rasakan selalu berulang dan akan terus berulang. Mereka sadar bahwa tubuh
terdiri dari berbagai sifat yang bertentangan, yakni panas, dingin, kering, dan
basah. Makan dan minum hanyalah obat untuk menyembuhkan penyakit yang
hingga posisi kembali stabil. Posisi seperti ini bukanlah kebahagiaan yang
kebaikan yang mutlak. Orang yang benar-benar bahagia yaitu mereka yang tidak
48
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 65.
65
terkena serangan penyakit sama sekali. Malakiat yang mempunyai derajat tinggi,
yang dekat dengan Allah Swt., tidak pernah tertimpa penderitaan seperti ini,
sebagian manusia ada yang dekat dengan Allah Swt., bahkan lebih dekat manusia
kebahagiaan mereka yang dianggap telah sempurna. Mereka akan mengubah pola
lapar. Akan makan dengan porsi yang sedikit dan biasanya hanya yang berasal
dari tanah. Sebagian yang belum menyadari fakta-fakta seperti ini akan
bahwa merekalah wali Allah Swt., yang sama derajatnya dengan malaikat, bahkan
lebih tinggi dari malaikat. Mereka yang belum menyadari biasanya akan tunduk
bodoh.50
memperbaikinya.51 Hal tersebut dapat berupa makanan, yang mana makanan akan
49
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 65-66.
50
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 67.
51
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 69.
66
hidup untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Ia tidak mengambil dalam
jumlah yang banyak, karena apabila ia mengambil makanan dengan jumlah lebih
banyak, maka itu akan menimbulkan sifat serakah pada dirinya dan sebenarnya
sifat serakahlah yang membuat manusia dipandang oleh manusia lain menjadi
Selain itu, untuk menjaga kondisi tubuh juga dapat berupa pakaian untuk
menutupi tubuhnya. Yang mana jika suhu udara terasa panas, maka ia akan
memakai pakaian yang lebih tipis. Dan jika suhu udara dalam keadaan dingin,
manusia akan memakai pakaian yang lebih tebal. Hal tersebut selain untuk
menjaga kondisi tubuh agar tetap stabil, juga bertujuan untuk tetap menutupi
aurat.
keluar dari sunnah Rasulullah Saw., dan tidak akan melanggar atau melakukannya
yang ada pada dirinya. Ketika ia telah mengetahui apa kekurangan dalam dirinya,
52
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 69.
53
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 69.
67
rasa malu.
yang cocok untuknya. Maka jiwa berpikir pada masunisa membutuhkan asupan
PENUTUP
A. Simpulan
bermula dari penciptaan jagat raya. Yang mana dahulu jagat raya diciptakan oleh
Sang Penggerek yang tidak bergerak. Jagat raya mulanya menyatu, kemudian
diledakkan seperti teori Big Bang. Kemudian Allah kembangkan jagat raya ini
bintang (termasuk matahari) dan bumi mulai berotasi, sehingga terjadinya siang
dan malam. Setelah itu, bumi berubah dan Allah ciptakan mata air sehingga
alam air atau mineral, alam tumbuhan, alam hewan, dan alam manusia. Alam
yang ada pertama adalah mineral, kemudian bertransisi ke alam tumbuhan melalui
karang. Dari alam tumbuhan ke alam hewan, bertransisi melalui pohon kurma.
Manusia sempurna ialah manusia yang sadar bahwa tubuh terdiri dari
berbagai sifat yang bertentangan, yakni panas, dingin, kering, dan basah. Makan
dan minum hanyalah obat untuk menyembuhkan penyakit yang timbul karena
kembali stabil. Posisi seperti ini bukanlah kebahagiaan yang sempurna, terbebas
dari penderitaan bukanlah tujuan yang diinginkan dan kebaikan yang mutlak.
68
69
Orang yang benar-benar bahagia yaitu mereka yang tidak terkena serangan
penyakit sama sekali. Malakiat yang mempunyai derajat tinggi, yang dekat
dengan Allah Swt., tidak pernah tertimpa penderitaan seperti ini, karena malaikat
B. Saran
tentang manusia antara Ikhwan Al-Shafā dan Ibn Miskāwaih. Selain itu, terkait
ibn Miskāwaih, penulis memberi kesempatan bagi yang lain untuk membahas
politik. Dapat dikupas dari konsep politik ibn Miskāwaih, dan atau menganalisis
akhlak berpolitik menurut ibn Miskāwaih. Semuanya dapat dianalisis dari kitab
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin, Ibnu Sina (Avicena) ; Sarjana dan Filosoof Besar Dunia,
Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Djambatan, 2003.
Hasan, Mustofa, Sejarah Filsafat Islam: Geneologis dan Transmisi Filsafat Timur
ke Barat, Bandung: Pustaka Setia, 2015.
Hasbullah, Moeflih & Supriyadi, Dedi, Filsafat Sejarah, Bandung: Pustaka Setia,
2012.
Ismail, Fu’ad Farid & Mutawali, Abdul Hamid, Cara Mudah Belajar Filsafat:
Barat dan Islam, diterjemahkan oleh Didin Faqihudun, Yogyakarta:
IRCiSoD, 2012.
Jumantoro, Totok, dan Amin, Samsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta;
Amzah, 2012.
Nasr, Seyyed Hossein, & Leaman, Oliver, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam:
Buku Pertama, diterjemakan oleh Tim Penerjemah Mizan, Bandung:
Mizan Pustaka, 2003.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Rajawali Pers,
2014.