Anda di halaman 1dari 290

METAFISIKA EKSISTENSIAL : TELAAH ATAS KITAB AL-

MASHA’IR MULLA SADRA

Skripsi
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama
(S. Ag.)

Oleh
Dwi Pratomo
NIM : 1113033100076

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2020 M
METAFISIKA EKSISTENSIAL : TELAAH ATAS KITAB AL-
MASHA’IR MULLA SADRA

Skripsi
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama
(S. Ag.)

Oleh
Dwi Pratomo
NIM : 1113033100076

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2020 M
ii PEMBIMBING SKRIPSI
LEMBAR PERSETUJUAN
iii
iv
ABSTRAK

Jika metafisika didefinisikan sebagai “suatu kajian atas eksistensi (wujud) qua
eksistensi (wujud)”, maka metafisika yang dirumuskan oleh Mulla Sadra ialah
metafisika par exellence. Mulla Sadra merupakan jawaban bagi pertanyaan besar,
yang kerap diselubungi oleh prasangka inferioritas spekulasi filosofis dalam Islam,
“Apakah filsafat Islam sudah mati?” Sejarah spekulasi filosofis dalam Islam,
sejarah filsafat Islam, tidaklah mati karena Tahafut al-Falasifah, justru ia menemui
titik kematangannya di bagian lain dalam dunia Islam: Persia, tempat kelahiran Ibn
Sina, dan juga filsuf kita, Mulla Sadra. Metafisika Eksistensial Mulla Sadra pun
tidak lahir dalam suatu ruang kosong; ia merupakan suatu strategi penafsiran dan
pengajuan persoalan baru, sebuah kerangka baru, yang dirumuskan Sadra dalam
suatu horizon filosofis yang khusus. Metafisika Ibn Sina, kritik metafisika Ibn Sina
oleh Suhrawardi, dan intuisi-intuisi sufistik dari Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya.
Mulla Sadra, sebagaimana Aristoteles pada masanya, merupakan seorang filsuf
yang tidak pernah lupa atas jasa teoretis dari para pendahulunya: ia mewarisinya,
memasukkannya dalam persoalan baru, untuk pada gilirannya mengajukan
tawaran-tawaran persoalan baru atasnya. Penelitian ini merupakan sebuah upaya
untuk melihat bagaimana Mulla Sadra merumuskan jawaban tersebut, atau
setidaknya, memasukkan persoalan tersebut dalam kerangka baru, yang kami sebut
sebagai ‘Metafisika Eksistensial.’

Kata kunci: metafisika, eksistensi (wujud), esensi (mahiyah), primasi, modulasi,


Mulla Sadra, Suhrawardi, Ibn Sina, Aristoteles, Ibn ‘Arabi, al-Farabi

v
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah azza wa jalla, Yang Maha Ada, yang tiada Ada
selain-Nya. Kemuliaan bagi Rasulullah Muhammad S.A.W. yang merupakan filsuf
dari segala filsuf.

“Skripsi yang bagus adalah skripsi yang selesai”, di balik kepolosan dari
kalimat ini, terdapat suatu makna yang bisa ditarik, setidaknya bagi kami. Sebuah
skripsi yang tidak selesai bukanlah sebuah skripsi. Agar ia menjadi suatu skripsi,
maka ia harus selesai. Sebuah skripsi yang bagus adalah sebuah skripsi yang eksis;
yang ada, yang telah selesai ditulis. Kalimat tersebut mengandung sebuah intuisi
filosofis yang mendasar: yang bagus adalah yang eksis. Dengan semangat itulah,
skripsi ini telah diselesaikan.

Skripsi ini merupakan sebuah rekam jejak, dari kegelisahan, keputusasaan,


dan kengerian eksistensial yang dihadapi penulis. Ketakutan-ketakutan,
keterputusan-keterputus-an, kecemasan-kecemasan yang tak kunjung hilang dari
nafas ke nafas. Ia ditulis dalam jangka waktu yang cukup panjang, dari 2019 ke
2020. Dan tentunya, penyelesaian panjang ini melibatkan banyak manusia, relasi-
relasi yang tak bisa dilepaskan dari dasein, bahkan meskipun ia berkata bahwa ia
memilih kesendirian. Manusia tidak dapat lepas dari relasi eksistensialnya dengan
manusia lain.

Dan manusia-manusia lain itulah yang dalam satu atau lain cara telah membantu
penyelesaian skripsi ini, sebuah penelitian sederhana ini. Untuk itu, kami ucapkan
terima kasih kepada mereka, di antaranya:

1. Bapak Iqbal Hasanuddin, yang selalu memberikan nasihat yang telah kami
sebut di atas, sebuah kalimat yang akan selalu hadir dalam pikiran penulis.
Saran dari beliau pulalah yang membuat penulis merombak outline pada bab
3 dan bab 4 skripsi ini sehingga ia tidak terjebak dalam ambisi penulis untuk
mengejar suatu penelitian berjenis komparatif yang akan memakan waktu
lebih panjang. Terimakasih telah menjadi dosen pembimbing penulis.
2. Bapak Fariz Pari sekeluarga, sebagai ‘pembimbing’, penguji, dan dosen
penulis. Sebagai dosen, beliau adalah sosok yang pertama kali

vi
memperkenalkan penulis dengan metode ‘logis-analitik’ yang khas di prodi
Aqidah Filsafat. Jejak-jejak dari pemahaman penulis atas mata kuliah yang
beliau berikan dapat ditemukan dalam penelitian ini. Bimbingan, semangat,
diskusi dan segala dukungan dari beliau, terkhusus di fase terakhir masa
studi penulis memungkinkan skripsi dan studi kami selesai. Revisi beliau
atas skripsi ini memberikan kesempatan bagi penulis untuk memperbaiki
jurang-jurang logis-filosofis yang bertebaran di sana-sini. Pak Fariz
sekeluarga (Bu Fariz, teh Rizfi dan Cara, mas Razaf dan mas Nahwan)
adalah orang tua, pembimbing, penguji, serta kawan dan keluarga baru
penulis.
3. Ibu Tien Rahmatin, sebagai ketua Prodi Aqidah dan Filsafat Islam, yang
tanpa bantuannya bagi mahasiswa semester akhir, mungkin skripsi ini tidak
akan pernah ada. Dan atas saran beliau pula penulis akhirnya memutuskan
untuk memilih Mulla Sadra sebagai objek penelitian, setelah sebelumnya
berniat untuk menulis sesuatu mengenai Jean Paul Sartre.
4. Ibu Banun Binaningrum, yang selalu menyemangati kawan-kawan
angkatan tiga belas, angkatan manusia terakhir yang harusnya telah punah.
Kehadiran beliau dan Kaprodi sungguh merupakan titik terang, harapan
bagi kami, angkatan AF 2013, untuk menyelesaikan skripsi, di tengah-
tengah kemalangan pandemik COVID-19.
5. Kepada seluruh dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis,
kepada rektor dan semua staff UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kepada seluruh teman Aqidah Filsafat 2013 yang selalu menemani
perjalanan panjang dan melelahkan dalam keseharian menuntut ilmu dan
kebenaran filosofis ini. Di antaranya: Ahmad Syafi’ih, M Deden Rojani,
Nurkholis Mazid, Said Riyadhi, Ahmad Riyadhi, Khairul Fiqih, M Nur
Rizky.
7. Kepada seluruh teman Rusabesi: Sir Ahmad Zaky, Aliffaiz, Fajar, Fathur,
Kode, Divani dan lain-lainnya. Forum diskusi kalian adalah forum diskusi
terbaik, di antara forum diskusi lainnya yang pernah saya ikuti.
8. Kepada seluruh teman yang bersedia mendengar pendapat remeh-temeh
penulis, pada mereka yang mengajak penulis untuk menikmati pemikiran-

vii
pemikiran spekulatif seremeh apapun itu: Tri Wibowo, dia adalah seorang
Heideggerian dalam praxis, kepada Aliffaiz alias Deval, sang pendiri toko
buku legendaris di gang nomor 65, juga seorang kritikus budaya yang
sebentar lagi hadir di kancah kritik budaya kontemporer; dan @fajar17,
selebtweet dan donatur bagi banyak hal.
9. Kepada kamerad-kamerad dari Kolektif Tarjo, sebuah kolektif tiada guna
yang menampung beberapa orang: Ghifari Misbahuddin, Ishlah
Muhammad, Sahrul Latif dan Ahmad Syafiih, tanpa mereka saya tidak tahu
harus tinggal di mana selama masa studi saya.
10. Kepada kawan-kawan wibu lulusan Darqo: sekali lagi Ishlah, kepada Fikri
Kammil, Budat. Mereka adalah contoh dari wibu-wibu yang dapat
diandalkan dalam dunia nyata, bukan hanya isekai.
11. Sekali lagi kepada Ghifari Misbahuddin, yang, selain menjadi kawan
diskusi yang relatif lebih intens dari yang lain, selalu membantu penulis
untuk terus hidup dan menulis skripsi. Diskusi dengan Ghifari selalu
menjadi diskusi filosofis yang menarik, semoga ia lekas menemukan
kebenaran atau ketidakbenaran dari Meillasoux.
12. Bapak dan Ibu penulis, Iksan dan Sumaroh, yang selalu mendukung apapun
yang dilakukan penulis ‘selama itu baik’; Doa dan usaha mereka untuk
menghidupi anak-anaknya, termasuk penulis, adalah anasir esensial yang
membuat skripsi ini terwujud. Begitu juga untuk adik-adik penulis, Heni
dan Yuni, yang terus membuktikan pernyataan bahwa eksistensi (wujud) itu
tidaklah sia-sia.
13. Kepada seluruh komposer, musisi, dan mereka yang selalu menemani
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini: Kitaro, Tchaikovsky, Chopin,
Beethoven, Porcupine Tree, Red Velvet dan lainnya.

Purwokerto, 17 Juli 2020

Dwi Pratomo

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris


‫ا‬ a a ‫ط‬ ṭ ṭ
‫ب‬ b b ‫ظ‬ ẓ ẓ
‫ت‬ t t ‫ع‬ ‘ ‘
‫ث‬ ts th ‫غ‬ gh gh
‫ج‬ j j ‫ف‬ f f
‫ح‬ ḥ ḥ ‫ق‬ q q
‫خ‬ kh kh ‫ك‬ k k
‫د‬ d d ‫ل‬ l l
‫ذ‬ dz dh ‫م‬ m m
‫ر‬ r r ‫ن‬ n n
‫ز‬ z z ‫و‬ w w
‫س‬ s s ‫ه‬ h h
‫ش‬ sy sh ‫ء‬ ̛ ̛
‫ص‬ ṣ ṣ ‫ي‬ y y
‫ض‬ ḍ ḍ ‫ة‬ h h

Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
‫أ‬ ā ā
‫إي‬ ī ī
‫أو‬ ū ū

ix
DAFTAR ISI

COVER…………………………………….……………………………………...i
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL............................................................................................... xiii

BAB I: PENDAHULUAN..................................................................................... 2
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 2
B. Batasan & Rumusan Masalah .................................................................... 13
1. Batasan Masalah ..................................................................................... 13
2. Rumusan Masalah .................................................................................. 13
C. Tujuan & Manfaat Penelitian ..................................................................... 14
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 15
E. Metode Penelitian....................................................................................... 16
1. Pengumpulan Data.................................................................................. 16
2. Analisis Data .......................................................................................... 18
F. Sistematika Pembahasan ............................................................................ 18

BAB II: EKSISTENSI MULLA SADRA.......................................................... 20


A. Potret Intelektual-Historis .......................................................................... 20
1. Peripatetik ............................................................................................... 21
2. Ishraqi ..................................................................................................... 22
3. Irfani ....................................................................................................... 23
4. Kalam ..................................................................................................... 24
B. Potret Intelektual-Biografis ........................................................................ 27
1. Prolog ..................................................................................................... 27
2. Fase 0 (Shiraz I)...................................................................................... 30
3. Fase 1 (Isfahan) ...................................................................................... 34
4. Fase 2 & 3 (Shiraz II & Qum) ................................................................ 38
5. Fase 4 (Shiraz III) ................................................................................... 41
C. Karya-Karya Mulla Sadra .......................................................................... 44

x
1. Karya-Karya Spiritual ............................................................................ 45
2. Karya-Karya Intelektual ......................................................................... 50

BAB III: GENEALOGI METAFISIKA EKSISTENSIAL ............................. 73


A. Prolog: Persoalan Terminologis ................................................................. 73
B. Persoalan Eksistensi (Wujud) ..................................................................... 77
1. Distingsi Aristotelian .............................................................................. 77
2. Metafisika Penciptaan ............................................................................ 78
3. Kontribusi al-Farabi................................................................................ 80
4. Kontribusi Ibn Sina................................................................................. 82
5. Divisi Eksisten Ibn Sina ......................................................................... 84
6. Warisan Persoalan Ibn Sina .................................................................... 86
C. Persoalan Primasi (Asalat) ......................................................................... 88
1. Substansi dan Aksiden dalam Aristoteles............................................... 90
2. Lahirnya Persoalan Primasi .................................................................... 92
3. Relasi Eksistensi (wujud) dan Esensi (mahiyah) .................................... 94
4. Dua Makna Esensi .................................................................................. 96
5. Argumen Primasi Esensi (Asalah al-Mahiyah) ...................................... 97
D. Persoalan Modulasi (Tasykik) .................................................................. 101
1. Prolog: Tinjauan Singkat atas Persoalan Sebelumnya ......................... 101
2. Tahap Pertama: Dari Aristotelianisme ke Neoplatonisme ................... 107
3. Tahap Kedua: Dari Neoplatonisme ke Peripatetisme Islam ................. 110
4. Tahap Ketiga: Dari Peripatetisme ke Mistisisme ................................. 119

BAB IV: PRINSIP METAFISIKA EKSISTENSIAL .................................... 136


A. Konsep dan Realitas Eksistensi................................................................ 136
1. Problematisasi....................................................................................... 136
2. Oposisi .................................................................................................. 140
3. Posisi..................................................................................................... 142
4. Rekapitulasi .......................................................................................... 156
B. Struktur al-Masha’ir ................................................................................. 184
C. Prinsip Metafisika Eksistensial ................................................................ 190
1. Primasi Eksistensi................................................................................. 190
2. Relasi Eksistensi-Esensi ....................................................................... 223
xi
3. Modulasi Eksistensi .............................................................................. 240

BAB V: PENUTUP ........................................................................................... 264


A. Kesimpulan .............................................................................................. 264
1. Poin-Poin Biografis .............................................................................. 264
2. Poin-Poin Genealogis ........................................................................... 265
3. Poin-Poin Metafisis .............................................................................. 266
B. Tinjauan.................................................................................................... 266
C. Saran......................................................................................................... 267

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 270

xii
DAFTAR TABEL

Tabel A.0. Daftar Transliterasi Istilah Teknis…………………………………xiv


Tabel A.1. Perbedaan antara Eksistensi dan Esensi (A)..……………………..136
Tabel A.2. Perbedaan antara Eksistensi dan Esensi (B)....................................139
Tabel A.3. Distingsi dan Primasi Eksistensi/Esensi ……………………..141-142
Tabel B. Perumusan Konsep Eksistensi …………………………………....…138
Tabel C.1. Posisi Eksistensi Menurut Suhrawardi ……………………………168
Tabel C.2. Posisi Eksistensi menurut Mulla Sadra …………………...……….169
Tabel D. Prinsip Persamaan & Perbedaan ……………………………....…….180
Tabel E. Isi Bab Masha'ir ……………………………………………..…..184-185
Tabel F. Rincian Argumen pada Penembusan Ketiga ……………………194-195

xiii
ISTILAH TEKNIS
PENULIS
Wujud Mawjud Mahiyyah Asalah Tasykik ‘arad Al dzat
Systematic
F. Rahman Existence Existent Essence #1 Primacy Essence #2
Ambiguity
Being,
being Quiddity Fundamentality,
S. H. Nasr existent Gradation Accident Essence
Existence, Essence Principiality
existence
Essentialism Systematic
Acikgenc, A Being Existent Essence - -
Existentialism Ambiguity
existents Essence Principality
I. Kalin Existence Gradation Accident -
beings Quiddity Primacy
Systematic
M. Kamal Being beings Essence Primacy Accident -
Ambiguity
S.H. Rizvi Being existent Quiddity Ontological Primacy Modulation - -
Primacy Analogical
T. Izutsu Existence existent Quiddity Accident Essence
Principality Gradation
Being,
E. Kutubi beings Essence Primacy modulation Accident Essence
Existence
Tabel A.0. Daftar Transliterasi Istilah Teknis
BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Musim dingin 1928, Freiburg, Jerman. Heidegger memberikan seminar
mengenai Landasan-landasan Metafisika Moral Immanuel Kant di Universitas
Freiburg; setahun setelah Ada dan Waktu diterbitkan dan kemasyhuran Heidegger
terdengar di seantero benua Eropa. Siang itu, setelah seminar pembuka kuliah
musim dingin di Freiburg selesai, di kelas Heidegger yang berisi sekitar 20-25
kursi, masih terdapat dua mahasiswa yang tetap di kelas, menemani Heidegger yang
juga masih belum beranjak dari kursinya. Dua mahasiswa itu adalah Max Muller
dan Simon Moser. Siang itu pula, Emmanuel Levinas hadir dalam seminar perdana
tersebut namun telah terlebih dahulu meninggalkan kelas. Heidegger, bersama dua
mahasiswa yang masih tersisa di kelas, memulai pembicaraan yang tak sempat
ditulis dalam biografi-biografi Heidegger yang kini telah terbit di pasar.

Heidegger : Kenapa kalian berdua belum meninggalkan kelas?


Simon Moser : Saya sedang meninjau catatan kuliah hari ini, Herr Heidegger.
Max Muller : Saya melakukan hal yang sekiranya sama.
Heidegger : Moser, apakah kau juga membuat transkrip dari seminar tahun
lalu di Marburg mengenai Persoalan-Persoalan Dasar
Fenomenologi?
Simon Moser : Betul, Herr Heidegger.
Heidegger : Baik, bolehkah saya melihatnya nanti? Jika ya, tolong berikan
salinannya kepada saya.
Simon Moser : Baik, Herr Heidegger.
Heidegger : Apakah kalian mengenal Levinas, Emmanuelis Levinas?
Simon Moser : Ya, Herr Heidegger, tadi dia ada di sini, duduk dua bangku di
sebelah kiri saya, sekarang ia sudah tidak ada di sini.
Max Muller : Pemuda dengan kacamata berlensa tebal itu, apakah itu yang anda
maksud, Herr Heidegger?
Heidegger : Betul
Max Muller : Saya sempat bertanya kepada dia, mengapa ia pulang dengan
tergesa-gesa. Ia berkata bahwa salah satu temannya telah tiada. Ia
pulang untuk mengikuti upacara pemakaman hari ini.

2
Simon Moser : Bagaimana menurutmu, Herr Heidegger, apakah hal macam itu
bermakna bagi Dasein?
Heidegger : (tersenyum tipis), Apakah kau sedang menanyakan pendapatku
mengenai keberadaan Tuhan dan hal-hal relijius, ataukah yang lain?
Simon Moser : Persisnya, bukankah ontologi fundamental yang anda tulis di Ada
dan Waktu dapat ditafsirkan secara spiritual? Terlebih lagi jika kami
melihat riwayat pendidikan anda.
Heidegger : (menghela nafas) Sepertinya aku harus bergegas, ada hal yang
harus aku lakukan. Moser, tolong letakkan salinan di meja saya jika
sudah siap. Muller, terima kasih atas obrolan pagi ini dan karena
telah membantu saya menemukan ruang kelas ini. Oh ya, Moser,
jawaban bagi pertanyaanmu ada di bukuku, Ada dan Waktu. Adakah
kau waktu untuk membacanya sekali lagi?
Simon Moser : Baik, terimakasih Herr Heidegger.

Dalam keseharian, kita mendapati perulangan kata ada dan turunan-


turunannya: ada, tak ada, ber-ada, ke-ada-an, ke-ber-ada-an, ada-pun, meng-ada,
meng-ada-kan, peng-ada-an, meng-ada-ada dan seterusnya. Kumpulan kata-kata
yang nampaknya polos, lugu dan maknanya telah terberi. Ketika kita lupa menaruh
sesuatu, kita berkata, “Tadi ada di sini, kok sekarang tidak ada?.” Ketika seseorang
meninggal dunia, kita menyebut “Ia telah tiada.” Ketika kita kebingungan dalam
mengerjakan sesuatu, seperti merevisi skripsi, kita berkata, “Aku masih belum ada
ide.” Namun, ketika seseorang – yang, entah sungguh-sungguh atau sekedar iseng
– bertanya kepada kita, “Apa itu ada?” apa kiranya jawaban yang lebih tepat dan
masuk akal ketimbang “Ada apa dengan kepalamu?”

Hingga hari ini, kita menggunakan kata “ada” dengan begitu saja. Tanpa
menanyakan apa sebenarnya yang dimaksud denga nada, mengenai apa yang
sebenarnya sedang kita bicarakan ketika kita membicarakan “ada.” Dalam
percakapan antara Heidegger dengan dua orang mahasiswanya di atas, kita
mendapati penggunaan kata “ada” dan beberapa turunannya. Mari kita berupaya
merenungkan apa maksud dari kata-kata tersebut. Heidegger mencari Levinas,
salah satu mahasiswa yang “ada” ketika seminar, di waktu sebelumnya, namun
“tidak ada” setelah seminar. Maka dalam konteks ini, keber-ada-an Levinas dan
ketidakber-ada-an Levinas terkait dengan setidaknya dua hal: waktu dan tempat.
Levinas dikatakan “ada” pada waktu pagi dan ada di tempat, yakni kelas. Mari kita

3
sebut waktu pagi menjadi wa dan kelas sebagai ta. Maka, Levinas ada pada wa dan
ta. Levinas tidak ada pada wb dan ta yakni, pada jam setelah seminar di kelas tersebut.
Makna dari ke-ada-an dan ketidakber-ada-an Levinas dalam percakapan di atas
ialah bahwa Heidegger, Moser dan Muller mengetahui bahwa pada w a dan ta
Levinas hadir, yakni ada di kelas, sementara pada w b dan ta Levinas tidak hadir,
tidak dilihat dalam kelas.

Kemudian, kita mendapati bahwa Levinas tidak ada pada w b dan ta , yakni,
ia tidak diketahui keberadaannya, ia tidak dilihat atau disaksikan, karena ia sedang
mengikuti upacara pemakaman temannya di suatu tempat, pada jam ketika seminar
telah usai tepat di mana ia sedang dicari oleh Heidegger, yakni w b dan ta , maka
pada wb Levinas berada pada pemakaman, tb, secara bersamaan, Levinas ada dan
tidak ada: ia ada pada wb dan tb , dan tidak ada pada wb dan ta . Kemudian, kita dapat
mengajukan pertanyaan selanjutnya: apakah ke-ada-an dank e-tiada-an Levinas
sama maknanya dengan ke-ada-an dan ke-tiada-an temannya yang telah meninggal
dunia?

Levinas dikatakan “ada” oleh Heidegger dan kedua mahasiswanya ketika


mereka melihatnya, mengetahui secara inderawi kehadirannya pada pada wa dan ta,
di bangku nomor sekian. Ia dikatakan tidak ada karena pada wb dan ta Levinas tidak
hadir, yakni, ia tidak diindera oleh Heidegger, tetapi di sisi lain, ia ada pada w b dan
tb. Sementara, teman Levinas telah meninggal dunia, ia tidak ada baik pada wb dan
ta, wb dan tb, kecuali jika apa yang dimaksud dengan teman Levinas adalah jasadnya.
Ini pun memberikan suatu persoalan baru, apa yang membuat manusia disebut ada?
Apakah kehadiran tubuh atau jasad belaka menyebabkan seseorang disebut ada?
Apakah kehadiran, keterin-deraan ataupun sebaliknya, ketidakhadiran dan
ketidakterinderaan Levinas, yang kemudian adalah ke-ada-an dan ke-tiada-annya
dapat disamakan maknanya dengan teman Levinas yang telah meninggal dunia,
yang, hanya jasadnya sajalah yang dapat diindera (setidaknya sebelum
dikebumikan) pada ruang dan waktu tertentu?

Heidegger, pada percakapan di atas mengundang pertanyaan mengenai


keberadaan Tuhan. Seseorang yang meninggal dunia disebut tidak ada, mereka
disebut “telah tiada.” Mereka tidak lagi ada-di-dunia. Levinas, di sisi lain, meskipun

4
ia dapat dikatakan tidak ada pada ruang dan waktu tertentu, yakni pada w b dan ta, ia
dapat dikatakan ada pada wb dan tb. Ia masih “ada”, karena ia masih hadir pada
ruang dan waktu tertentu, ia masih ada-di-dunia. Apa yang dimaksud dengan “ada”
ketika kita mengatakan bahwa seseorang itu ada-di-dunia?

Levinas ada-di-dunia, teman Levinas dulunya ada-di-dunia. Sampai di sini,


kita melihat bahwa setidaknya terdapat dua makna dari ada dan tiada. Ketiadaan
Levinas di wb dan ta disebabkan karena keberadaannya di wb dan tb. Sebaliknya,
ketiadaan teman Levinas tidak memiliki ciri yang sama dengan ketiadaan Levinas:
ia tidak lagi ada di ruang dan waktu, ia tidak lagi ada-di-dunia. Salah satu
pertanyaan sulit yang diajukan bagi mereka yang membahas tentang Tuhan adalah
“Apakah Tuhan ada? “Di manakah Tuhan, jika Ia Ada?”. Pada kasus di atas, kita
tidak mendapati Tuhan pada ta, tb dan seterusnya, yakni, di ruang dan waktu
tertentu; tidak pula kita mengatakan dengan yakin bahwa Tuhan ada-di-dunia.
Teman Levinas tadi, ketika ia masih ada-di-dunia, dapat dikatakan ada karena ia
memiliki badan, kesadaran, yang membuatnya menjadi manusia, dan yang
membuatnya dapat dikatakan hadir di ruang dan waktu tertentu, baik yang terindera
maupun yang terpikirkan. Ketiadaannya bermakna bahwa hal-hal yang dulunya
dapat diketahui mengenainya kini sudah tidak ada. Tentu saja, kita masih dapat
mengatakan bahwa ia tetap ada di dalam hati dan pikiran kita. Tetapi apa maksud
dari “ada di dalam hati” dan “ada di dalam pikiran”? Apa makna dari keadaan atau
ketiadaan sesuatu dalam pikiran? Apakah keadaan ataupun ketiadaan sesuatu dalam
pikiran sama dengan keadaan atau ketiadaan Levinas dalam perbincangan di atas?
Apakah keadaan dan ketiadaan temannya di pikiran sama dengan keadaan atau
ketiadaan Levinas dalam percakapan di atas? Apakah kita juga dapat berkata bahwa
Tuhan ada dalam hati dan pikiran sebagaimana kenangan mengenai seorang teman
ada dalam pikiran dan hati Levinas?

Kiranya, persoalan-persoalan tersebut hadir kala kita mulai merenungkan


makna dari kata “ada.” Pada mulanya, kita selalu mengucapkan kata “ada” dan
turunan-turunannya dengan ringan, tanpa pikir panjang. Segera setelah kita
menunda sejenak, memasukkan kata “ada” ke dalam kurung, kita dihadapkan pada
persoalan-persoalan semacam itu. Persoalan-persoalan yang telah disebutkan di

5
atas bukan hanya ada karena penuturnya adalah sosok-sosok yang dikenal sebagai
filsuf. Kita dapat saja mengganti tokoh-tokoh dalam pembicaraan di atas dengan
sembarang nama, tempat, dan kejadian. Mungkin kini kita menghadapi persoalan
baru: apakah terdapat perbedaan antara pembicaraan natural mengenai “ada” dan
pembicaraan filosofis mengenainya. Terlepas dari itu, kita tak dapat menghindar
dari kata “ada” dan turunan-turunan-nya, sejauh kita ada-di-dunia, sejauh kita
berbicara dalam bahasa. Kini, kata “ada” kehilangan cangkangnya yang polos.

Umumnya, kita merujuk asal-muasal pembicaraan mengenai ada sebagai


suatu persoalan filosofis kepada Aristoteles. Maka, mari kita melihat sekilas, dalam
sejarah filsafat, bagaimana para filsuf tersebut membicarakan “ada” sebagai suatu
persoalan filosofis. Metafisika adalah nama yang diberikan kepada kumpulan
tulisan Aristoteles. Jika seseorang membaca tulisan-tulisan Aristoteles, ia akan
segera menyadari bahwa segala yang ditulis atau dibicarakan oleh Aristoteles
merupakan suatu kesatuan diskursus problem filosofis. Karenanya, persoalan
mengenai “ada” yang merupakan kajian utama Metafisika sebagai suatu diskursus
yang membicarakan ada sebagai ada, secara prinsip telah dibahas dalam teks-teks
logika Aristoteles, yaitu Organon: mulai dari Categories hingga Posterior
Analytics. Aristoteles, dalam Metafisika, tepat sebelum menentukan objek kajian
dari metafisika, mempersoalkan bagaimana kata “ada” diterapkan kepada banyak
hal. Persisnya, terkait dengan kategori-kategori yang telah ia rumuskan dalam
Organon.

Maka, problem filosofis Aristotelian terkait “ada” ialah bagaimana, setelah


ia menemukan kategori-kategori logis yang ia gunakan untuk menggolongkan,
mengelompok-kan, menyatukan dan membedakan segala hal yang dapat
dibicarakan, kemudian merumuskan suatu sains yang mengkaji penerapan kata
“ada” pada segala sesuatu tersebut. Ini adalah gambaran umum dari teks-teks
Aristoteles yang kita dapati terkait dengan persoalan ini. Bagaimana “ada” dapat
disifatkan kepada substansi, aksiden, materi, forma, dan Sembilan kategori
Aristoteles secara keseluruhan?

Benar bahwa istilah Metafisika memang dikaitkan dengan teks atau


kumpulan teks Aristoteles, dengan catatan khusus. Istilah ini adalah istilah yang

6
diberikan secara post-datum; Aristoteles sendiri bukanlah orang yang mengusulkan
atau memberikan nama tersebut. Ini adalah nama yang diberikan oleh Andronikus
dari Rhodes. Dengan demikian, Metafisika pada dasarnya adalah istilah yang tidak
meniscayakan bahwa sebelum Aristoteles menulis atau mengajarkan teks tersebut,
sama sekali tidak ada kajian mengenai ada secara filosofis. Filsafat, dan utamanya
filsafat Yunani umumnya dikatakan diawali dari Thales menyiratkan bahwa asal-
muasal spekulasi filosofis adalah pertanyaan mengenai apa yang membentuk alam
semesta, atau kenyataan.

Thales, Heraklitos, Demokritos, Anaximander, Anaximenes, dan filsuf Pre-


Sokratik lainnya mencoba merenung-kan mengenai apa sebenarnya sesuatu yang
menyusun alam semesta ini. Bukankah, dengan sedikit penyesuaian istilah. Kita
dapat menyatakan bahwa pada hakikatnya mereka sedang merenungkan mengenai
“Apa asal-muasal dari segala sesuatu yang ada?” Air, api, udara, cinta, kontradiksi,
dan lainnya ialah persoalan yang dalam artian ini, berdekatan dengan rumusan
metafisika sebagai kajian atas “ada”. Sama halnya dengan Platon, bukankah
teorinya mengenai Dunia Forma merupakan pernyataan tersirat bahwa segala
sesuatu yang ada pada hakikatnya tidak dapat disematkan pada alam materi, bahwa
dunia forma-lah yang merupakan sesuatu yang menyusun kenyataan pada
pemahaman yang hakiki? Platon pun menggeluti persoalan Ada dalam caranya
sendiri.

Para filsuf Islam secara khusus melihat metafisika bukan hanya sebagai
suatu sains. Kecenderungan teologis mereka mengantarkan mereka pada spekulasi
filosofis mengenai metafisika; filsafat pertama, karenanya tempat istimewa dalam
filsafat islam, bukan hanya karena ia mengkaji persoalan paling mendasar dari
kenyataan. Tetapi huga karena mereka telah mengetahui dari wahyu bahwa Tuhan
adalah apa yang menciptakan kenyataan. Dalam filsafat Islam, karenanya,
persoalan mendasar mengenai kenyataan terkait langsung dengan persoalan Tuhan
sebagai pencipta kenyataan. Upaya al-Kindi menulis Falsafah al-Ula merupakan
contoh representatif dari kecenderungan spekulasi, dengan corak teologis khusus
yang mencirikan filsafat islam secara umum. Farabi dan Ibn Sina melanjutkan
upaya Kindi dalam membicarakan metafisika. Kindi, sebagai pelopor filsafat Islam,

7
tentu saja pertama-tama harus membenahi hal-hal teknis-linguistik seperti
bagaimana menerjemahkan istilah-istilah Aristoteles dari bahasa Yunani yang lahir
dari horizon logis-filosofis tertentu, untuk kemudian mencari padanannya, atau
setidaknya menyesuaikan penggunaannya dalam bahasa Arab. Maka kita
mendapati Kindi menjelaskan apa itu metafisika, sembari melihat keterkaitan atau
kesesuaian kajian ini dengan wahyu, dan mencari istilah yang sesuai dengan apa
yang dalam teks Metafisika Aristoteles dinamai “ada.”

Filsuf Islam pertama yang mengkaji metafisika dalam cakupan menyeluruh


adalah Ibn Sina. Pada dasarnya, perbedaan antara pendekatan Farabi dan Ibn Sina
dalam kajian mereka atas metafisika adalah bahwa yang satu lebih lengkap dan
sistematis dari yang lain. Titik keberangkatan spekulasi keduanya sama: teks
Metafisika Aristoteles. Persoalan yang mereka bahas pun, pada gilirannya tercakup
dalam dua hal besar: Bagaimana menjelaskan pernyataan Aristoteles bahwa pada
setiap sesuatu, kita mendapati dua hal: “bahwa ia ada” dan “bahwa ia adalah
sesuatu”. Persoalan ini kemudian diikuti oleh pemberian istilah teknis yang
nantinya akan dikenal sebagai “wujud” dan “mahiyyah” dari sesuatu. Perbedaan
lain antara Farabi dan Ibn Sina terkait dengan seberapa eksplisit mereka mengaitkan
persoalan “ada” dengan persoalan teologis mengenai Tuhan. Farabi, karena
kebutuhan filosofis pada zaman itu, memusatkan diri lebih kepada aspek-aspek
logis dan linguistic dari persoalan “ada”, sementara Ibn Sina, dengan warisan
formulasi dari Farabi, melanjutkan projek spekulasi metafisis dalam sejarah filsafat
Islam dengan lebih menyeluruh. Jika disebutkan, setidaknya terdapat beberapa
persoalan yang dibahas oleh keduanya, dengan istilah: ‘arid, wujud, mahiyyah dan
tasykik.

Persoalan “ada” dalam filsafat islam dapat digambarkan sebagai berikut: ini
merupakan suatu persoalan yang dihimpun dari berbagai sumber; yang paling
utama adalah Metafisika Aristoteles terkait bagaimana menjelaskan kenyataan
bahwa terdapat dua hal atau dua sisi dari sesuatu; dan kedua, bagaimana kata “ada”
disifatkan kepada banyak hal. Ciri kedua dari posisi filosofis, baik tersirat maupun
tersurat, mengenai keterkaitan, baik langsung ataupun tak langsung, dengan aspek-
aspek teologis dalam Islam. Kita bahkan dapat melihat bagaimana konsepsi “ada”

8
bagi filsuf Islam, untuk dibandingkan dengan posisi teologis mazhab-mazhab
kalam dalam Islam. Bahwa sejarah filsafat dan kalam dalam Islam tidak dapat
dipisahkan merupakan sebuah truisme. Kecenderungan untuk mengaitkan studi
metafisik dengan “entitas” metafisis yakni Tuhan, juga didorong lebih jauh oleh
teks-teks Neoplatonis yang juga menjadi ilham bagi spekulasi para filsuf Islam.
Sampai di sini, kita telah melihat bagaimana persoalan “ada” dijadikan sebagai
suatu problem filosofis, dimulai dari filsafat Yunani, via Neoplatonisme, ke filsafat
Islam. Bahwa persoalan mengenai “ada” merupakan persoalan yang menarik bagi
para filsuf kini sudah jelas. Tetapi, apakah persoalan mengenai “ada” benar-benar
sepenting itu? Mengapa persoalan mengenai “ada” menjadi begitu penting dalam
filsafat? Beberapa filsuf telah mengupayakan argumentasi untuk mendukung
pentingnya pembicaraan dan pemahaman atas “ada” bagi filsafat. Tetapi, apakah
“ada” dan persoalannya hanya penting bagi filsafat?

Objek “kajian” dari tasawuf, atau mistisisme dalam Islam, ialah Tuhan.
Tujuan dari tasawuf sendiri adalah kedekatan, atau bahkan, kesatuan dengan Tuhan,
dengan berbagai penafsiran atas istilah ini. Dari sini, kita mendapati satu benang
merah yang menyatukan spekulasi dalam peradaban Islam, dalam berbagai
bentuknya: filsafat Islam, kalam, tasawuf. Kesemuanya, dalam satu atau lain cara,
terkait dengan pemikiran atas Tuhan sebagai prinsip dan kenyataan. Pada filsafat
Islam, kita mendapati keterkaitan ini dengan spekulasi mengenai “ada”, mengenai
dasar dari kenyataan. Pada teologi, kita mungkin tidak mendapati suatu bahasan
spesifik mengenai metafisika dalam artian Aristoteliannya. Tetapi, rujukan silang
antara figure filsafat Islam dan Kalam menghasilkan keterkaitan-keterkaitan yang
berputar di sekitar konsepsi Tuhan, sebagai prinsip dari kenyataan, sebagai objek
kajian serta spekulasi. Hubungan antara kedua disiplin ini terkait konsepsi mereka
mengenai Tuhan masih perlu ditentukan.

Berbeda dengan Kalam, yang secara umum, setidaknya dalam pembacaan


kami, tidak menjadikan “ada” sebagai suatu istilah teknis, Tasawuf menggunakan
istilah ini sebagai padaan dari kata Tuhan, Allah. Merupakan kesepakatan bersama
bahwa istilah wujud begitu dekat dengan tasawuf dalam sejarah Islam. Sampai-
sampai, suatu pembicaraan filosofis mengenai wujud hamper selalu dirujuk pada

9
asal-muasal tasawufnya. Hal ini amat jelas terlihat, khususnya pada kajian atas
Mulla Sadra. Di satu sisi, ia disebut sebagai seorang filsuf besar, di sisi lain ia
disebut sebagai seorang sufi besar. Adalah Mulla Sadra yang mengkaji persoalan
wujud, atau “ada” ini, dalam kemencakupan seperti Ibn Sina, dan dengan nada-nada
ekstatil seperti Ibn ‘Arabi. Dengan kelebihan bahwa Sadra beserta gaya bahasa dan
penulisannya, jauh lebih jelas dibaca dan dipahami dibandingkan dengan keduanya.
Ini adalah hal yang disepakati oleh para pengkaji filsafat Islam.

Pada Mulla Sadra, kita mendapati keterkaitan antara, setidaknya tiga


disiplin ilmu yang kita bicarakan di atas: filsafat, kalam, tasawuf. Kita hanya perlu
mengingat bahwa Sadra diasosiasikan dengan kecenderungan sintesis besar antara
tiga disiplin tersebut. Sadra tentunya merupakan suatu kasus yang unik dalam
sejarah filsafat Islam. Filsafat Islam dinyatakan mandek, dan bahkan mati, paska
serangan Ghazzali terhadap filsafat, persisnya filsafat sebagaimana terdapat dalam
karya-karya filosofis Ibn Sina; sementara, upaya Ibn Rusyd untuk membangkitkan
kembali ilmu-ilmu filsafat, persisnya, filsafat dalam semangat Aristotelianisme,
tidak begitu berhasil di wilayah Islam; suatu kenyataan yang berbeda dengan
pengaruhnya dalam pembentukan gerakan rasionalis, Averroisme Latin di Barat.
Dengan begitu, Sadra tidak masuk dalam bingkai sejarah ini. Gerakan spekulasi
filosofis paska Ibn Rusyd direduksi dalam buku-buku sebagai gerakan non-
filosofis, atau setidaknya quasi-filosofis, untuk tidak mengatakan insignifikan.

Di sisi lain, para peneliti yang sadar atas kontribusi besar Mulla Sadra bagi
khazanah intelektual Islam mencirikan Sadra sebagai seorang mistik murni dan
penganut esoterisme. Suatu label yang, ironisnya, memperkuat praduga bahwa
Mulla Sadra memiliki posisi insignifikan dalam khazanah spekulasi filosofis
sejarah Islam. Fazlur Rahman adalah salah seorang peneliti yang mempelopori
kajian atas Sadra, dan melihatnya dalam kerangka filosofis: analitik-demonstratif,
sebagai lawan dari mistisisme-esoterik. Dalam penelitian ini pulalah penelitian ini
ditulis.

Penelitian tentang Mulla Sadra, hingga saat ini, masih berkutat pada aspek-
aspek sufistik, esoterik, dan mistiknya; sebagaimana ditulis oleh Fazlur Rahman
dalam pengantar pada bukunya, The Philosophy of Mulla Sadra. Kekurangan dari

10
model penelitian macam ini adalah mempersempit pemikiran Mulla Sadra;
khususnya, mengabaikan sumbangsih pemikiran filosofis Sadra yang lebih koheren
bagi diskursus filsafat kontemporer. Pembatasan pada aspek sufistik-intuitif –
sebagai yang berbeda dengan pendekatan filosofis-demonstratif – ini, juga
bertindak abai terhadap pernyataan Sadra sendiri mengenai posisi intelektualnya
dalam lanskap pemikiran islam secara umum. Sejauh penulis ketahui, karya yang
membahas pemikiran Sadra secara analitik-demonstratif masih dapat dihitung jari,
tentu saja, karya Fazlur Rahman kami kira masih menjadi rujukan yang paling
representatif dalam upaya ini. Fazlur Rahman menyatakan sebagai berikut:

“Tetapi kebanyakan sarjanawan terkemuka dalam kegiatan ini, karena


kecenderungan spiritual bawaan mereka, telah diarahkan untuk menekankan
sisi sufi dan esoteris dari literatur ini, dengan mengorbankan, Saya percaya,
pusat intelektual dan filosofisnya, yang memiliki nilai serta daya tarik yang
besar bagi pelajar filsafat modern.”1
Fazlur Rahman menulis karya ini pada tahun 1975, namun, apa yang ia
nyatakan kami kira masih sesuai untuk menggambarkan kenyataan tersebut,
khususnya, sebagaimana kami amati, dalam khazanah filsafat Islam di Indonesia.
Tentu saja setelah karya Fazlur Rahman, yang ditujukan untuk “menjadi pendorong
bagi penelitian filosofis yang hingga hari ini masih amat sedikit dijelajahi namun
begitu kaya dalam pemikiran Islam.” Kita dapat memberi contoh beberapa karya
mengenai pemikiran Mulla Sadra yang diselesaikan dengan apik, seperti karya
Sajjad A. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, karya Muhamad Kamal, Mulla
Sadra’s Transcendent Theosophy, Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic
Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect and Intuition serta pengantar yang
brilian dari Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din al-Shirazi and His Transcendent
Theosophy. Namun, penulis masih meyakini bahwa dari sekian karya yang telah
ditulis setelah Philosophy of Mulla Sadra Fazlur Rahman, masih belum ada yang
dapat disebut melampaui cakupan analitik dan ekspositoris darinya. Itulah
permasalahan pertama yang kita hadapi dan kami angkat dalam penelitian ini.

1
“But most leading scholars in this activity, have, through their own spiritual proclivities,
been led to emphasize the Sufi and esoteric side of this literature at the cost, I believe, of
its purely intellectual and philosophical hard core, which is of immense value and interest
to the modern student of philosophy.” Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New
York: SUNY Press, 1975) preface, h. vii.
11
Sepanjang pengetahuan penulis, pembahasan mengenai Mulla Sadra dan
filsafatnya selalu didasarkan pada kitab Asfar. Sebagaimana yang dinyatakan
Fazlur Rahman, hingga ia menyelesaikan tulisannya tentang filsafat Sadra,
terjemahan atas kitab al-Masha’ir yang telah ada ialah terjemahan Henry Corbin,
dengan judul Prancis ‘Le livre des Penetration Metaphysiques’. Signifikansi karya
ini terbukti sendiri dengan penerjemahan atasnya oleh Seyyed Hossein Nasr, dan
sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, ini merupakan salah satu karya
Sadra yang paling dewasa, dan karenanya secara implisit, dapat disebut sebagai
buah dari pemikirannya yang paling matang dan sistematis. Atas dasar itu, ditambah
dengan kelangkaan pembahasan atas kitab ini, penulis menjadikan kitab ini menjadi
rujukan utama dalam penelitian ini. Jumlah halaman yang lebih ringkas dan
pemaparan Sadra yang lebih padat mengenai metafisika eksistensialnya merupakan
alasan utama lainnya.

“Hati-hati mengkhayalkan dengan kecerdasan menyim-pang anda bahwa


tujuan-tujuan dari para gnostik agung (y.i., seperti Ibn ‘Arabi) itu kosong dari
daya demonstratif dan semata-mata pendapat-pendapat iseng serta citra-citra
puitis. Jauh dari hal ini: ketidaksesuaian (yang nampak) dari pernyataan-
pernyataan mereka dengan bukti-bukti serta asas-asas demonstratif ...
disebabkan oleh pandangan dangkal dari para filsuf yang mempelajari mereka,
serta kurangnya kesadaran serta pemahaman yang sesuai atas asas-asas
demonstratif tersebut.”2
Pernyataan Sadra ini menjadi dasar bagi pemaparan-pemaparan pemikiran
filosofisnya yang menggunakan suatu cara demonstratif dan logis. Dalam karya-
karyanya, terutama Asfar dan Masha’ir, Sadra menggunakan metode demonstratif
dengan pemilihan bahasa yang padat dan jelas. Mengikuti teknik tersebut, penulis,
dalam penelitian ini akan berupaya menunjukkan bahwa Sadra tidak hanya sedang
menulis suatu racauan ekstatik ala sufi yang tak koheren dan logis secara
tatabahasa. Pemaparan metafisikanya atas eksistensi (wujud), yang dalam
penelitian ini selalu merujuk kepada kitab al-Mashair (bagian pertama),
menggunakan metode demonstratif bak karya-karya dalam korpus Aristotelian.

2
“Beware of imagining by your perverted intelligence that the objectives of these great gnostics
(i.e., like Ibn ‘Arabi) – are devoid of demonstrative force and are mere conjectural frivolities and
poetic images. Far it be from this: The (apparent) non-conformity of their statements with correct
demonstrative proofs and principles ... is due to the shortsightedness of the philosophers who study
them and their lack of proper awareness and comprehension of those demonstrative principles.”
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975) h. 6.
12
Di tahun 2014, Kitab al-Masha’ir telah berhasil diterbitkan. Ini adalah salah
satu bukti bahwa penelitian mengenai pemikiran Mulla Sadra terus berlanjut dan
terus meningkat kualitasnya. Kitab al-Mashair sendiri merupakan salah satu kitab
Mulla Sadra yang paling banyak dibaca dan beredar di lingkaran pengkajinya. Ini
dikarenakan Mashair merupakan ringkasan padat atas metafisika sekaligus teologi
eksistensialis Sadra. Al-Masha’ir merupakan salah satu dari karya Sadra paling
dewasa dan mutakhir; di dalamnya Sadra membahas dua isu: ontologi dan teologi.
Kitab ini diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr, yang lahir dari pertemuan
antara Nasr dan Henry Corbin; penerjemahan ini sendiri dilakukan karena belum
tersedianya terjemahan inggris atas karya Mulla Sadra satu ini. Pertemuan Nasr dan
Ibrahim Kalin lah yang memprakarsai penerbitan terjemahan kitab ini dalam bahasa
Inggris.3

B. Batasan & Rumusan Masalah


1. Batasan Masalah
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah ditulis pada latar belakang,
yakni, bahwa persoalan mengenai “ada” merupakan persoalan yang begitu penting
dalam filsafat, mulai dari Aristoteles hingga para filsuf Islam; bahwa Mulla Sadra
merupakan salah satu filsuf Islam yang hadir setelah filsafat Islam – persisnya,
dalam bentuk peripatetisme Ibn Sina – telah mati. Dan, Mulla Sadra, yang
merupakan salah satu tokoh terpenting dalam filsafat Islam dikenal sebagai filsuf
yang merumuskan persoalan “ada” dengan keketatan dan kerumitan filosofis; hal
ini semata sudah dapat dijadikan sebagai pembenaran atas penelitian ini. Dari
beberapa persoalan yang telah disinggung, disebutkan baik secara tersirat maupun
tersirat, maka penelitian ini akan dipusatkan kepada pembahasan mengenai
metafisika eksistensial Mulla Sadra, dengan mengkhususkan pula pada Kitab al-
Masha’ir. Pembahasan-pembahasan terkait lainnya akan dibahas seperlunya sejauh
ia relevan bagi permasalahan utama yang dirumuskan dalam penelitian ini.

2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini, karenanya adalah:

3
Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetration: Kitab al-Masha’ir (Utah: Brigham Young
University Press, 2014) h. xxxi.
13
i. Bagaimana persoalan mengenai “ada” (eksistensi) dirumuskan dari
Aristoteles hingga filsafat Islam?
ii. Bagaimana Mulla Sadra merumuskan metafisika eksistensial, dalam latar
belakang filosofis persoalan “ada” (eksistensi)?
iii. Bagaimana rumusan metafisika eksistensial ini dalam Kitab al-Masha’ir?

C. Tujuan & Manfaat Penelitian


Berdasarkan Batasan dan Rumusan Masalah di atas, penelitian ini memiliki
beberapa tujuan, yaitu:

i. Melacak persoalan “ada” (eksistensi) dan anasir-anasirnya dari asal-muasal


Aristotelian ke filsafat Islam
ii. Menempatkan rumusan metafisika eksistensial Mulla Sadra dalam kerangka
persoalan metafisis dan filosofis yang telah dilacak dan dijabarkan.
iii. Memperjelas posisi metafisika eksistensial Mulla Sadra dengan merujuk
kepada poin-poin dalam teks al-Masha’ir.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini di antaranya, Pertama, manfaat


teoretis, yaitu menjadi suatu prakarsa yang masih sedikit ditemui dalam mengkaji
kitab al-Masha’ir dari Sadra, menyoroti gagasan metafisika Sadra yang dirumuskan
bukan dalam kitab al-Asfar, tetapi dari kitab al-Masha’ir, yang sebagaimana telah
dinyatakan, karyanya yang lebih akhir. Penelitian ini diharapkan menjadi awal bagi
penelitian lebih lanjut dan menyeluruh atas kitab yang baru diterjemahkan ke
bahasa inggris pada tahun 2014 ini; dan mungkin menjadi awal dari
penerjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Kedua, manfaat praktis dari suatu kajian metafisis macam ini tentunya berkaitan
dengan pengalaman intelektual-spiritual pribadi dari pihak pembaca. Gagasan
metafisika Sadra, dan filsafat Islam pada umumnya selalu memiliki tujuan
intelektual-spiritual, di zaman di mana pertanyaan mengenai kebenaran, ketuhanan,
keimanan dan lainnya dipertanyakan, pemahaman mengenai konsepsi metafisis,
ontologis dan teologis atas dunia dan kehidupan kiranya dapat membantu kita untuk
menghidupi dunia yang di tiap-tiap pojoknya selalu dihantui krisis eksistensial
tentang makna.

14
D. Tinjauan Pustaka
Penulis menemukan beberapa penelitian tentang Sadra dan filsafatnya,
misalnya disertasi dari Syaifan Nur yang kemudian diterbitkan menjadi buku,
berjudul Filsafat Hikmah Mulla Sadra. Ini merupakan suatu karya yang membahas
metafisika eksistensi (wujud) Sadra secara mendalam dengan rujukan yang
otoritatif; adapun, penelitian ini masih dipusatkan pada kitab Asfar dan, meskipun
telah membahas aspek-aspek dari metafisika eksistensial ini, masih memiliki
kekurangan dalam hal tiadanya pembahasan mengenai metafisika esensialis yang
merupakan posisi yang darinya Sadra berangkat untuk kemudian dikritik habis.

Kedua, Skripsi dari Asep Hidayatullah berjudul Keesaan dan Keragaman


Wujud dalam Pandangan Mulla Sadra.4 Skripsi ini hanya membahas satu konsep
Mulla Sadra, yaitu tashkik al-wujud, dan sayangnya sama sekali tidak
menggunakan rujukan primer dari Mulla Sadra, baik kitab al-Asfar, al-Masha’ir
maupun yang lainnya. Pembahasan mengenai filsafat Mulla Sadra masih
merupakan pembahasan umum yang diambil dari sumber sekunder yang mengulas
filsafat Mulla Sadra.

Kemudian, skripsi dari Andi Muhammad Guntur yang berjudul Pengaruh


Pemikiran Mulla Sadra Terhadap Perkembangan Filsafat Islam Kontemporer. 5
Sebagaimana skripsi sebelumnya, skripsi ini masih menggambarkan filsafat Sadra
dalam cakupan yang amat umum, akibatnya, kecanggihan dari sistem filsafat
eksistensial Mulla sadra hanya disinggung seadanya tanpa ada pemaparan yang
rinci. Meskipun skripsi ini menggunakan rujukan primer, yaitu Hikmah al-Arsyi’ah
serta fragmen dari al-Asfar, ia tidak memaparkan filsafat Sadra dengan cukup.

Terdapat suatu tulisan dalam Jurnal berjudul The Philosophy of Mulla Sadra:
Being a Summary of His Book al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-
Arba’ah. Ini merupakan suatu tulisan yang padat dan jelas, dan sesuai dengan
subjudulnya, ini merupakan ringkasan dari karya Sadra, kitab al-Asfar. Namun,
tulisan ini sebenarnya, penulis yakin, merupakan replikasi dari pernyataan-

4
Asep Hidayatullah, “Keesaan dan Keragaman Wujud dalam Pandangan Mulla Sadra”. (Skripsi,
Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, 2013).
5
Andi Muhammad Guntur, “Pengaruh Pemikiran Mulla Shadra terhadap Perkembangan Filsafat
Islam Kontemporer”. (Skripsi, Prodi Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Alauddin, 2015).
15
pernyataan Fazlur Rahman dalam bukunya, Philosophy of Mulla Sadra yang telah
dijelaskan sebelumnya. Dengan kata lain, alih-alih merupakan rujukan langsung
kepada Mulla Sadra, Hamid Fahmy Zarkasyi sebenarnya sedang meminjam
kerangka buku Fazlur Rahman - dan bahkan kata-katanya di dalam buku tersebut -
dalam menulis esai ini. Pun, persoalannya masih sama, kurangnya rujukan kepada
al-Mashair.

Demikian adalah karya-karya yang penulis temui berasal dari Indonesia yang
membahas mengenai Filsafat Mulla Sadra. Adapun, penelitian ini akan
menggunakan karya primer dari Mulla Sadra, yang telah dibahas sebelumnya, yaitu
Kitab al-Masha’ir yang diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr menjadi
Metaphysical Penetrations; Untuk rujukan primer lainnya adalah Kitab al-Arsyiah
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Wisdom of the Throne oleh
James Winston Morris; karya sekunder yang utama adalah karya Fazlur Rahman,
Philosophy of Mulla Sadra, kemudian karya Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s
Transcendent Philosophy, Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics, dan
karya Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy.

E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka (library research)
berdasarkan dari watak objek yang diteliti, yaitu metafisika eksistensial Mulla
Sadra.

1. Pengumpulan Data
Kajian Kepustakaan secara konkret adalah mengumpulkan data dari sumber-
sumber tertulis seperti buku, jurnal, baik versi fisik di perpustakaan, maupun versi
daring dari kanal jurnal seperti JSTOR. Adapun data tersebut digolongkan secara
umum menjadi dua jenis, yaitu primer atau rujukan utama kepada karya dari penulis
yang diteliti, atau karya otoritatif mengenai penulis, dalam hal ini, Mulla Sadra sang
filsuf, yang diakui absah secara internasional. Menurut pembagian tersebut, maka
berikut ini adalah daftar dari data primer dan sekunder yang penulis gunakan:

a. Data Primer
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, rujukan utama dari penelitian
ini, pertama adalah karya Mulla Sadra dari periodenya yang paling matang, yaitu
16
Kitab al-Mashair, yang telah diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr dan diberi
catatan dan ulasan oleh Ibrahim Kalin, keduanya merupakan pemikir representatif
yang mengkaji Sadra secara mendalam. Teks ini merupakan teks yang ditulis Mulla
Sadra khusus mengenai metafisikanya, penelitian ini menggunakan teks ini sebagai
data primer.

b. Data Sekunder
Pertama, data-data sekunder yang ada ialah karya-karya Mulla Sadra yang lain
(yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris), semisal Kitab al-Arsyiah
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh James Winston Morris menjadi
Wisdom of the Throne. Kemudian adalah karya yang sudah berapa kali disebut
sebelumnya, yaitu karya Fazlur Rahman, Philosophy of Mulla Sadra, yang,
menurut penulis, merupakan salah satu karya cemerlang mengenai bangunan
metafisika Sadra dalam kerangka analitis. Ada pula karya Seyyed Hossein Nasr,
Sadr al-Din al Shirazy and His Transcendent Theosophy yang merupakan
pengantar ringan namun otoritatif kepada pemikiran Sadra dan filsafatnya yang
disebut sebagai Hikmah Muta’aliyyah. Serta Karya dari Muhammad Kamal, Mulla
Sadra and His Transcendent Philosophy, dan karya Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra
and Metaphysics

Selain karya-karya lain dari Sadra, banyak. Di teks yang penulis dapati dalam
jurnal-jurnal filsafat Islam yang membahas mengenai filsafat Mulla Sadra. Terdapat
seorang penulis yang membahas Mulla Sadra secara kurang lebih lengkap dalam
beberapa esainya dalam jurnal, yaitu Muhammad Abdul Haq, judulnya adalah:
Mulla Sadra’s Concept of Being, Mulla Sadra’s Concept of Man, Mulla Sadra’s
Concept of Substantial Motion, Psychology of Mulla Sadra, An Aspect of
Metaphysics of Mulla Sadra, Metaphysics of Mulla Sadra II. Tulisan Muhammad
Abdul Haq ini amat membantu penulis memahami secara umum sisi-sisi filsafat
Mulla Sadra yang di buku-buku yang ada dibahas secara panjang lebar dan agak
rumit. Kemudian juga terdapat jurnal-jurnal lain yang penulis gunakan untuk
memperjelas poin-poin dari pernyataan yang kami nyatakan dalam penelitian ini.

17
2. Analisis Data
Berdasarkan watak dari penelitian ini, maka pendekatan yang dipakai adalah
analisis tekstual. Yaitu pembacaan atas data-data baik primer maupun sekunder.
Penelitian filsafat terkait dengan teks-teks, karenanya, penelitian ini menggunakan
metode analisis atas teks-teks yang telah disebutkan di atas sebagai data-data. Kami
menggunakan Kitab al-Masha’ir atau Metaphysical Penetrations yang ditulis oleh
Mulla Sadra, tepatnya yang telah diterbitkan dalam terjemahan paralel Arab-Inggris
oleh Seyyed Hossein Nasr dan diberi pengantar oleh Ibrahim Kalin, yang keduanya
merupakan filsuf yang memiliki otoritas akademis dalam diskursus Sadra pada
masa ini. Dengan pembacaan menyeluruh atas teks tersebut didukung dengan data-
data sekunder, baik dari karya Mulla Sadra sendiri maupun teks-teks lain seperti
terbitan jurnal daring yang kami peroleh utamanya via JSTOR dan LibGen,
penelitian ini dilakukan.

F. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini dibagi menjadi lima rangkaian Bab yang secara bertahap
melangkah dari aspek umum hingga mengerucut pada kesimpulan logis dari
rumusan masalah yang telah dibahas, adapun masing-masing babnya adalah
sebagai berikut:

1. BAB I: PENDAHULUAN, berisi latar belakang masalah, rumusan


masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian
dan sistematika pembahasan. Bab ini merupakan kerangka awal dari
penelitian ini.
2. BAB II: EKSISTENSI MULLA SADRA, menjelaskan riwayat historis,
sosiologis, intelektual dan filosofis dari Mulla sadra yang akan menjadi
landasan dan penguat penjelasan pada bab-bab berikutnya.
3. BAB III: GENEALOGI METAFISIKA EKSISTENSI-AL, setelah
pembahasan mengenai riwayat hidup sebagai latar belakang historis Mulla
Sadra, maka bab ini akan membahas mengenai bagaimana rumusan
metafisika eksistensial Sadra dibentuk dari teks-teks filsuf terdahulu dengan
mengutamakan, mengikuti Seyyed Hossein Nasr, para filsuf Islam yang
membentuk pemikiran Sadra secara langsung.

18
4. BAB IV: PRINSIP METAFISIKA EKSISTENSIAL: Jika pada bab
sebelumnya, pemikiran Mulla Sadra, yakni apa yang disebut sebagai
metafisika eksistensial, telah dibahas dari aspek genealogis, yakni melihat
bagaimana gagasan-gagasan metafisika eksistensial Sadra dikembangkan
dari gagasan-gagasan yang ada di hadapan Mulla Sadra pada waktu itu, dan
dengan kata lain, melihat aspek metafisika eksistensial ini dari filsuf-filsuf
selain Mulla Sadra; maka di sini kita akan melihat bagaimana rumusan
metafisika eksistensial itu terdapat dalam Masha’ir, teks utama yang
menjadi bahan pokok dari penelitian ini.
5. BAB V: PENUTUP; Bab ini berisi tiga sub-bab, yakni pertama, kesimpulan
dari keseluruhan penelitian ini dalam tiga poin; kedua, tinjauan kritis atas
hasil pemahaman penulis, dan yang terakhir, saran untuk penelitian
selanjutnya.

19
BAB II: EKSISTENSI MULLA SADRA

A. Potret Intelektual-Historis
Mulla Sadra mencerminkan pencapaian puncak dari satu milenium kehidupan
dan perkembangan intelektual Islam. Ia memahami ajaran-ajaran yang ada
mendahului eksistensinya, menciptakan sintesis atasnya; suatu sintesis, perpaduan
yang didasarkan atas suatu interpretasi, penafsiran baru atas kebenaran-kebenaran
tradisional. 6 Darimana, apa saja, dan seperti apa ajaran-ajaran yang oleh Sadra
kemudian dirumuskan menjadi Teosofi Transenden ini? Dengan mengikuti skema
Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya, bab ini akan menerangkan latar belakang
intelektual yang darinya Sadra mendapatkan batu-bata konseptual untuk bangunan
filosofisnya.

Filsafat Sadra merupakan puncak dari suatu kehidupan intelektual bernama


Mazhab Isfahan pada periode Safawi.7 Untuk mengetahui pemikirannya, tentu kita
terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana dan seperti apa mazhab ini. Laiknya
kita menakar sebuah pohon dari buahnya, kita dapat, secara retrospektif melihat
bagaimana buah ini lahir dari pohon tersebut. Dengan meneliti dan mengamati
pohon tersebut, kita akan mengetahui lebih banyak mengenai buah tersebut.
Begitulah kita akan melihat bagaimana pohon tersebut, dalam hal ini, tradisi-tradisi
yang melahirkan Sadra dan pemikirannya, membentuk pemikiran Sadra. Sebelum
membahas bagaimana pengaruh langsung dari Mazhab Isfahan atas pemikiran
Sadra, kita akan melihat bagaimana tradisi panjang dari pemikiran Islam merupakan
batu-bata yang menyusun jalanan ini, karena Sadra bukan hanya puncak dari suatu
kehidupan bernama Mazhab Isfahan, tetapi, ia adalah puncak dari tradisi-tradisi
Islam: filosofis, sufistik, teologis dari peradaban Islam secara umum. 8

6
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life and
Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 27-28.
7
Seyyed Hossein Nasr, ‘Sadr al-Din al Shirazi (Mulla Sadra)’ dalam MM Sharif ... h 932
8
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life and
Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 19.
20
Nasr melacak asal-usul sintesis Sadra dari empat mazhab klasik Islam selama
periode paska-Mongol, yaitu mazhab Peripatetik (mashsha’i), Iluminasionis
(ishraqi), gnostik (‘irfani) dan teologis (kalam). Keempat mazhab inilah yang
mendasari sintesis besar yang dilakukan oleh Mulla sadra. Singkatnya, ini
merupakan tinjauan singkat atas kehidupan intelektual Islam yang merentang dari
abad 7/13 hingga abad 10/16. Ironisnya, periode ini jugalah yang merupakan
periode yang hilang dari pandangan orientalis Barat, yang merupakan terra
incognita; di Barat sana, studi atas Sadra dan filsuf lain dinyatakan secara sepihak
mandek, paska terbitnya Tahafut al-Falasifah dari Ghazzali; falsafah Islam disebut
mati kecuali di Andalusia yang berhasil hidup sementara waktu karena pengaruh
Ibn Rusyd.9 Dengan demikian, meneliti rentang periode Islam yang membentuk
pemikiran Sadra sekaligus adalah memaparkan kepada mata publik suatu sejarah
yang sengaja dilupakan dari Islam, suatu masa keemasan falsafah Islam.

Syaifan Nur, dalam tesisnya yang kemudian dibukukan menjadi Filsafat


Hikmah Mulla Sadra, mengikuti strategi Nasr untuk melihat asal-usul sintesisnya
dari empat mazhab di atas.10 Kami kira tidak berlebihan untuk menyebut bahwa
tesis Syaifan Nur tersebut adalah terjemahan tidak resmi dari Bab 1 karya Nasr soal
Sadra.11 Maka di sini kami juga akan mengikuti strategi tersebut, meninjau ulang
empat mazhab tersebut secara singkat untuk mendapatkan gambaran yang lebih
jelas atas sintesis Sadra. Maka, kita dapat melihatnya menjadi empat fase, karena
masing-masing mazhab tersebut mencapai rumusan konseptual puncaknya pada
rentang kronologis yang secara kasar dapat dirunut, yang satu mendahului yang
lain:

1. Peripatetik
Di abad ke 7/13, Nasr al-Din Tusi membangkitkan kembali mazhab Ibn Sina,
yang sebelumnya mendapatkan serangan telak baik dari pihak Sufi maupun
mutakallimun. Semisal, Sana’i dan Rumi dari pihak Sufi mengkritik secara umum
kecenderungan-kecenderungan rasionalistik dari akal manusia, serta upaya para

9
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life and
Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 20-21
10
Syaifan Nur, Filsafat Hikmah Mulla Sadra (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2012) h. 27.
11
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 19-28.
21
filsuf untuk mencapai Pengetahuan Ilahi dengan bantuan silogisme Aristotelian.
Dari pihak mutakallimin kita mendapati Gazzali mengarahkan kritiknya pada topik-
topik terpilih yang dibahas dalam karya-karya Ibn Sina, kritikan yang didasarkan
atas dugaan bahwa apa yang ditulis filsuf Peripatetik berpotensi bertentangan
dengan ajaran-ajaran agama. Ada pula Fakhr al-Din Razi yang memilih karya
terakhir Ibn Sina, al-Isharat wa’l-tanbihat, menganalisis setiap halaman dan hampir
per kata dan per kalimat. Nasir al-Din Tusi kemudian menjawab serangan-serangan
tersebut, khususnya dalam Sharh al-isharat yang ia tulis. Sebuah karya
monumental yang dapat dibandingkan dengan karya-karya Ibn Sina sendiri. Nasir
al-Din Tusi menulis banyak karyanya sendiri, dalam kerangka mazhab Peripatetik
Ibn Sina. Upayanya ini tidaklah sendiri, terdapat tokoh seperti Najm al-Din Dabiran
Katibi, yang semasa dengannya yang juga temannya, ia menulis traktat besar
pemikiran mashsha’i, Hikmat al-’Ayn, ada pula Athir al-Din Abhawi yang menulis
Kitab al-Hidayah. Ada pula murid Nasir al-Din Tusi, Qutb al-Din Shirazi, yang
menulis ensiklopedia filsafat berjilid-jilid, Durrat al-Taj dalam bahasa Persia,
mengikuti model Shifa’ karya Ibn Sina, ada pula muridnya yang lain, Qutb al-Din
Razi yang menulis Muhkamat sebagai jawaban atas komentar Fakhr al-Din Razi
dan Nasir al-Din Tusi atas Isharat.12

Selanjutnya, dari abad 8/14 kemudian, komunitas filsafat terpusat di Shiraz.


Mengikuti Nasr al-Din, Jalal al-Din Dawani menulis suatu karya tentang etika
filosofis dalam bahasa Persia, Akhlaq-i Jalali, yang didasarkan atas karya Tusi,
Akhlaq-i Nasiri. Dari keluarga Dashtaki, lahir beberapa sosok cemerlang, seperti
Sadr al-Din Dashtaki dan Ghiyath al-Din Mansur Dastaki, yang keduanya
memberikan pengaruh besar pada para pemikir Safawi. 13

2. Ishraqi
Pengaruh dari Mazhab Ishraqi atas Sadra sudah tidak diragukan lagi, hal ini
akan menjadi lebih jelas pada pembahasan di bab selanjutnya penelitian ini.
Mazhab yang didirikan oleh Syaikh al-Ishraq Shihab al-Din Suhrawardi; kendati

12
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 21-22
13
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 22
22
umur beliau singkat, namun ia telah berhasil mendirikan suatu perspektif intelektual
baru, serta memberikan pengaruh yang begitu besar di peradaban Islam bagian
timur, khususnya Mulla Sadra. Ia telah menciptakan suatu teosofi yang didasarkan
atas iluminasi, yang juga terpengaruh oleh pemikiran filosofis Ibn Sina, membuat
jalan tengah antara pemikiran rasional dan intuisi mistik. Mazhab ini segera
mendapati banyak pengikut serta komentator. Di antaranya adalah Shams al-Din
Shahrazuri, selain sebagai penulis biografi Suhrawardi, ia juga menulis komentar
apik atas karya besarnya, Hikmat al-Ishraq, yang kemudian segera dicontoh oleh
Qutb al-Din Shirazi yang karyanya lebih masyhur. Bahkan Suhrawardi juga
mempengaruhi Nasir al-Din Tusi dalam beberapa hal. Mulla Sadra begitu kenal
akan tradisi mazhab ini dan faktanya telah menulis komentar atas komentar Qutb
al-Din atas Hikmat al-Ishraq.14

3. Irfani
Sosok spiritual besar Islam seperti Ibn Arabi, Sadr al-Din Qunyawi dan
Jalaludin Rumi menandai puncak tradisi irfani dalam dunia Islam, suatu periode
kembalinya pemikiran Islam pada intensitas spiritual. Adapun, pemikiran Ibn Arabi
lah, dari segi doktrin dan forma intelektualnya yang secara besar mempengaruhi
Mulla Sadra. Baik melalui murid langsung Sadra seperti Sadr al-Din Qunyawi,
maupun dari komentator-komentator atas karya dan pemikirannya seperti Sa’d al-
Din Farghani, Mu’ayyid al-Din Jandi, ‘Abd al-Razzaq Kashani, Da’ud Qaysari dan
‘Abd al-Rahman Jami, mazhab ini mengembangkan suatu metafisika yang amat
ketat dan rinci, kita tidak dapat memahami pemikiran Mulla Sadra tanpa terlebih
dahulu memahami metafisika yang dibangun oleh mazhab ini. Mulla Sadra pun
mengutip para penyair Sufi Persia seperti Rumi, Fakhr al-Din ‘Araqi, Sa’d al-Din
Hamuyah, ‘Aziz al-Din Nasafi, Awhad al-Din Kirmani, Mahmud Shabistari dan
Jami serta Hafiz; jelas mereka memiliki pengaruh kepada pemikiran Sadra. 15

14
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 23.
15
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 23
23
4. Kalam
Dalam periode ini pula, ilmu kalam, baik di tradisi Sunni maupun Syi’ah
mengalami perkembangan pesat. Di pihak Sunni, terdapat fase kreatif penting
setelah Fakhr al-Din Razi di mana tokoh seperti Qadi ‘Adud al-Din Iji, Sa’d al-Din
Taftazani dan Sayyif Syarif Jurjani menulis karya penting mereka mengenai kalam;
di periode ini pula terbentuk pembukuan kalam yang terus menerus berlangsung
hingga kehadiran Shah Waliullah di abad 12/18. Sementara di pihak Syi’ah, ilmu
kalam dengan bentuk yang sistematis lahir. Pertama dengan ketersediaan karya-
karya guru besar dari abad ke 4/10 seperti Muhammad ibn Ya’qub Kulayni dan Ibn
Babuyah. Adapun, Tajrid karya Nasir al-Din Tusi merupakan karya sistematis
pertama dalam kalam Syi’ah, diikuti oleh muridnya Allamah Hilli dan banyak
sarjanawan lain. Terdapat banyak pula jumlah komentar-komentar atas Tajrid, yang
membentuk garis batas antara teologi dan filsafat, yang juga mengandung aspek
penting dari pemikiran Islam.16

Setelah tinjauan singkat atas empat mazhab tersebut, kini kita akan masuk ke
pembahasan mengenai atmosfer intelektual yang memiliki pengaruh langsung
terhadap perumusan falsafah Sadra. Jika empat mazhab tersebut, yang hidup dalam
rentang ratusan tahun sebelum Mulla Sadra memberikan jalan bagi Sadra untuk
merumuskan Hikmah al-Muttaaliyah-nya, yaitu, menyediakan suatu kultur
diskursif, suatu peradaban yang berfungsi sebagai horizon bagi pemikiran-
pemikiran selanjutnya secara umum, yang menjadi pengaruh langsung bagi Sadra
dapat ditemukan pada bijak besrari generasi pertama periode Safawi. 17 Mereka
menyiapkan jalan lapang bagi upaya sintesis intelektual besar. Kita di sini sedang
membicarakan soal bagaimana kedatangan Dinasti Safawi, Persia secara
kebangsaan menjadikan Syi’ah sebagai keyakinan resminya. Empat mazhab
pemikiran di atas, pada gilirannya, pada taraf umum, memasuki kerangka fikir
Syi’ah sebagai suatu peradaban. Dan dari segi tokoh, beberapa tokoh penting di
periode ini, sesaat sebelum kehadiran Sadra sebagai sosok sintesis, telah berupaya

16
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 23-24
17
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 25
24
untuk melakukan sintesis ini; atau dengan kata lain, menunjukkan betapa serasi
setiap mazhab dan pemikiran tersebut dengan peradaban Syi’ah secara khusus.

Kebangkitan Dinasti Safawi yang menjadi latar dari upaya sintesis Sadra secara
khusus, adalah masa di mana Ismaiiliyah mulai kehilangan pengaruhnya mengikuti
kejatuhan Alamut, sementara Syi’ah Itsna Asyariyah mulai menghasilkan karya-
karya monumentalnya. Tokoh-tokoh dari Syiah Dua Belas ini, seperti Sayyid
Haydar Amuli, yang berupaya menyerasikan Sufisme dan Syi’isme dengan
menunjukkan keserasian esensial antara keduanya menjadikan hal ini sebagai tema
pokok dari karyanya, Jami’ al-Asrar. Beliau juga merupakan komentator atas Fusus
al-Hikam Ibn Arabi. Suatu pencapaian sintesis besar antara Sufisme Sunni
dipadukan dengan perspektif Syi’isme. Di samping peran dari Sayyid Haydar
Amuli, terdapat beberapa mutakallimun Syiah seperti Rajab Bursi dan Ibn Abi
Jumhur Ahsa’i, dengan karyanya, Kitab al-Mufti merupakan interpretasi para
mutakallimun Syi’ah atas Sufisme Ibn Arabi. Terdapat pula Mutakallimun Syi’ah
yang condong kepada mazhab ishraqi dan mashsha’i, dan berupaya untuk
melakukan harmonisasi; seperti Sa’in al-Din ibn Turkah Isfahani, pengarang dari
Tamhid al-Qawa’id, orang pertama yang melakukan sintesis atas ajaran-ajaran Ibn
Sina, Suhrawardi dan Ibn Arabi. Dan jelas, ini merupakan jalan masuk langsung
bagi upaya sintesis besar Sadra.18

Di sini kita dapat melihat bahwa, periode yang merentang dari penjajahan
Mongol hingga pendirian rezim Safawi, kita melihat perkembangan mazhab
intelektual Islam di satu sisi dan upaya sintesis atasnya di sisi lain. Ada tokoh seperti
Dawani yang sekaligus seorang teolog dan filsuf, Sattid Sharif Jurjani yang
sekaligus adalah Sufi dan teolog, ada pula Qutb al-Din Shirazi dan Ibn Turkah yang
begitu fasih dalam mazhab Peripatetik, Iluminasionis dan Sufi. Ini adalah landasan
intelektual-personal bagi upaya Sadra. Adapun, landasan intelektual-institusional
bagi pemikiran Sadra dapat kita rujuk kembali kepada pernyataan sebelumnya,
bahwa Syi’ah menjadi keyakinan resmi negara, yang, konsekuensinya, dipadukan
dengan upaya sintesis dari tokoh teolog Syi’ah sebelumnya, memberikan landasan

18
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 24
25
institusional dan sekaligus konstitusional bagi upaya sintesis ini: sarjanawan Syi’ah
dari berbagai tempat datang ke Safawi, Safawi menjadi pusat intelektual dan
menyebabkan ilmu-ilmu relijius tumbuh subur. Ini adalah akar dari apa yang
disebut sebagai renaissans ilmu intelektual Islam.

Di sisi lain, terdapat pertentangan antara ilmu esoterik dan eksoterik mengiringi
renaissans intelektual ini. Sebagaimana rumusan esoterik kesatuan-transenden-ada
(wahdat al-wujud) menjadi satu aspek yang rentan kritik di dunia Sunni, ia juga
mendapat kritik di dunia Syi’i. Akan tetapi, Syi’i berhasil menyelesaikan konflik
permukaan ini dan berhasil memasukkan aspek esoteris teosofis ini ke dalam
madrasah-madrasahnya. Keberhasilan ini, dilihat dari aspek ketokohan, melibatkan
beberapa sosok seperti Mir Damad, Mir Findiriski, Syaikh Baha al-Din ‘Amili dan
Sayyid Ahmad ‘Alawi. Yang beberapa di antaranya merupakan guru langsung bagi
Mulla Sadra, terutama Mir Damad. Mir Muhamamd Baqir Damad, karena ia
dilindungi oleh ayah-mertuanya yang merupakan otoritas relijius, berhasil
menghidupkan kembali filsafat tradisional di Isfahan serta menangkis kritik-kritik
dari otoritas eksoteris yang menyerang aspek esoteris teosofi.

Keberhasilan yang disebabkan oleh faktor personal-institusional inilah yang


membuat Mulla Sadra muda, yang baru datang ke Isfahan, masuk ke dalam suatu
iklim di mana ilmu-ilmu intelektual dapat dikaji bersama dengan ilmu-ilmu relijius,
dan di mana guru-guru besar yang ada merupakan guru di dua cabang ilmu ini.
Isfahan di hari-hari Mulla Sadra, di Shiraz dan di kota-kota besar Persia, mampu
menyediakan suatu pendidikan tradisional di mana hikmat-i ilahi dapat dipelajari
dan dikuasai. Demikianlah potret intelektual-historis, suatu lanskap, pemandangan,
kronologis dan bagan waktu di mana kita melihat bahwa Sadra memang lahir di
waktu yang tepat, dan bahwa Sadra, pemikirannya, falsafahnya, adalah titik puncak
dari kecenderungan yang ada di Isfahan, Persia waktu itu. Ia menarik hingga ke
ujung terjauh kecenderungan sintesis ilmu agama ini, antara esoterik-eksoterik,
antara ilmu naql dan aql, antara mazhab-mazhab yang dulunya dipandang berbeda
satu sama lain.

26
B. Potret Intelektual-Biografis
1. Prolog
“Informasi faktual mengenai kehidupan Mulla Sadra amat sangat jarang”; 19
dengan kalimat ini, Fazlur Rahman mengawali tulisannya tentang falsafah Mulla
Sadra. Memang terdengar ironis bahwa seorang filsuf sekaliber Sadra yang
demikian penting dalam sejarah intelektual Islam kita dapati begitu sedikit
informasi mengenai kehidupan biografisnya. Seorang pemikir yang merupakan
pentolan utama dalam kebangkitan Neoplatonisme dalam persoalan intelektual,
yang oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai nama yang paling dikenal di Persia,
Afghanistan, dan India. Sosok historis yang begitu penting di satu sisi, di sisi lain
sejarah mengenai kehidupan, keluarga dan konteks sejarahnya begitu asing.
Namun, ini bukan hal yang aneh bagi mereka yang melibatkan diri dalam kajian
atas sejarah intelektual Islam.20

Sajjad H. Rizvi menjadikan ke(tidak)tersediaan data biografis-historis ini


sebagai suatu permasalahan, dan dengannya ia mengkritik pendekatan-pendekatan
biografer-biografer Sadra sebelumnya. Kendati data yang diperoleh mengenai
kehidupan Sadra begitu sedikit, biografi secara umum mengikuti suatu narasi, suatu
logika, kesatuan biografis yang mengisahkan bagaimana seorang sosok historis
lahir dan berkembang dalam suatu lingkungan tertentu dengan mengandalkan data
yang tersedia. Tidak ada yang “menghidupi suatu cerita”, suatu cerita, kisah
mengenai kehidupan seseorang pastilah sesuatu yang dibangun atas dasar
metaforis; dengan menggunakan fragmen-fragmen yang didapati dari surat-surat,
mimpi-mimpi serta ujaran-ujaran sosok historis tersebut. Lebih jauh, Rizvi
melanjutkan, bahwa kebanyakan biografi yang ada menyajikan kepada pembaca
amat sedikit informasi: nama, perkiraan tanggal kematian, gambaran singkat
mengenai para guru dan murid, dan beberapa catatan mengenai karya sosok
21
tersebut. Para biografer yang mengabai-kan rincian dari kehidupannya
nampaknya memiliki alasan bahwa hal-hal tersebut tidak terlalu penting, karena

19
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975) h. 1.
20
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 2.
21
Sajjad H. Rizvi, “Reconsidering the Life of Mulla Sadra Shirazi: Note Towards an Intellectual
Biography”. Iran 40 (2002): 181.
27
yang mereka tekankan adalah bagaimana gagasan-gagasan dan sosoknya memberi
pengaruh dalam sejarah. 22 Jarangnya informasi faktual tersebut juga diperparah
dengan spekulasi-spekulasi yang dimaksudkan untuk menambal celah-celah logika
kesatuan biografis dari tokoh tersebut – hal ini akan dibahas pada paragraf-paragraf
selanjutnya.23

Penelitian ini menggunakan beberapa rujukan untuk menulis biografi Mulla


Sadra, di antaranya adalah Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy
oleh Seyyed Hossein Nasr, sebagaimana yang ditulis di bab sebelumnya, buku ini
merupakan suatu pengantar dasar yang otoritatif dan cukup lengkap untuk memulai
mengkaji Sadra, Nasr memusatkan perhatiannya pada konteks sejarah dan
intelektual yang menjadi latar belakang bagi pemikiran Sadra, di sub-bab
sebelumnya, kami banyak mengutip dari buku ini terutama dalam penjelasan
mengenai empat mazhab yang menjadi prekonsepsi bagi teosofi transenden Mulla
Sadra; selain dalam buku ini, Nasr juga menulis dalam antologi History of Muslim
Philosophy yang disunting oleh M.M. Sharif dengan judul artikel ‘Mulla Sadra’;
Kemudian ada dua tulisan dari Sajjad H. Rizvi, yaitu pertama, sebuah artikel dalam
jurnal ... berjudul Reconsidering the Life of Mulla Sadra Shirazi, dan bukunya,
Mulla Sadra Shirazi, His Life and Works and the Sources for Safavid Philosophy.
Kami menggunakan dua rujukan tersebut, yang uniknya memiliki posisi yang
berbeda dalam menulis biografi Mulla Sadra - hal ini akan dijelaskan di paragraf-
paragraf selanjutnya. Adapun, rujukan lainnya adalah tulisan Ibrahim Kalin, An
Annotated Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a Brief Account of His
Life dan pengantarnya dalam terjemahan kitab yang menjadi rujukan utama dari
penelitian ini, yaitu Metaphysical Penetrations (Kitab al-Masha’ir). Ada pula
tulisan dari Seyed G Safavi, Mulla sadra’s Life and Philosophy, serta artikel singkat
Ibrahim Kalin dalam The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy.
Beberapa buku yang perlu disebut juga adalah tulisan James Winston Morris dalam

22
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 3.
23
Sajjad H. Rizvi, “Reconsidering the Life of Mulla Sadra Shirazi: Note Towards an Intellectual
Biography”. Iran 40 (2002): 181-183.
28
terjemahan atas karya sadra yang lain, Hikmah al-Arsyiyah, yang mengambil
pendekatan begitu berbeda dari tulisan lainnya mengenai biografi Sadra.

Terlepas dari sedikitnya data historis mengenai Mulla Sadra dan beberapa
pendekatan biografis berbeda dari masing-masing pengkaji Mulla Sadra, beberapa
hal mengenai kehidupan Sadra disepakati oleh kesemua peneliti Mulla Sadra,
misalnya tanggal kelahiran, guru yang paling berpengaruh bagi Mulla Sadra,
kepergiannya ke Qum untuk mengasingkan diri, serta polemiknya dengan pihak-
pihak tertentu semasa hidupnya. Adapun, perbedaan yang mencolok kami dapati
hadir dalam rincian-rincian perjalanan intelektual dan personal Sadra. Misalnya,
mengikuti Sajjad H. Rizvi, pada umumnya para pengkaji Sadra membagi kehidupan
Sadra menjadi tiga fase: Fase Isfahan, di mana ia berguru pada Mir Damad dan
Syaikh Baha’i, Fase Qum di mana ia mengasingkan diri dari masyarakat, dan fase
Syiraz di mana, setelah mendapatkan ilham spiritual, ia kembali lagi ke Shiraz,
mengajar dan menetap di sana hingga wafat; ini disebut oleh Rizvi sebagai ‘tripartit
Henry Corbin’, dan kesemua penulis yang kami dapati – dan yang kami jadikan
rujukan bagi penelitian ini – mengikuti kerangka historis ini dalam menyusun narasi
biografis Mulla Sadra. Sedangkan, menurut Rizvi, tripartit biografis ini bermasalah
karena, jika diteliti lebih lanjut, ternyata didasarkan pada data yang tak lengkap
serta spekulasi-spekulasi tak berdasar dari data-data tersebut. Rizvi mengusulkan
empat fase kehidupan Mulla Sadra, dengan menambahkan satu fase sebelum fase
Qum, yaitu fase Shiraz. Jadi, menurut Rizvi, kehidupan Sadra lebih tepat dibagi
menjadi empat fase: Fase Isfahan di mana Sadra mendapatkan guru intelektual-
spiritual, Fase Shiraz di mana Sadra kembali dari Isfahan, salah satunya
dikarenakan wafat dari ayahnya, Fase Qum, di mana Sadra mengasingkan diri
karena beberapa pertentangan yang ia temui di Shiraz, dan Fase Shiraz. Adapun,
kami menambahkan satu fase awal, yaitu fase Shiraz I, di mana Sadra lahir dan
mengambil pendidikan awalnya sebelum bertemu guru besarnya, Mir Damad, di
Isfahan. Maka, biografi Sadra dalam bab ini dibagi secara kronologis menjadi lima
fase: Fase Shiraz I, Fase Isfahan, Fase Shiraz II, Fase Qum, dan Fase Shiraz III.

29
2. Fase 0 (Shiraz I)
Mulla Sadra lahir sebagai anak semata wayang dari sebuah keluarga
ningrat,24pejabat kerajaan,25 di Shiraz pada tahun 979-980/1571-1572. Sejauh yang
kami ketahui, tidak ada perdebatan mengenai perkiraan waktu kelahiran Sadra, dan
tentang status ningrat dari keluarga Sadra. Meskipun tanggal kelahiran ini tidak
dirinci dalam teks-teks tradisional yang ditulis untuk beliau; mengenai tahun
kelahiran yang disepakati ini ditemukan oleh ‘Allamah Sayyid Muhammad Husayn
Tabatabai yang sedang mengoreksi edisi baru dari Asfar untuk diterbitkan. Beliau
mendapatkan data ini di marjin dari manuskrip yang disalin tahun 1197/1703 yang
didasarkan atas suatu salinan yang ditandatangani Mulla Sadra; tepatnya kalimat
berikut ini: “Aku menerima ilham ini di waktu terbit mentari hari Jum’at, tanggal
tujuh Jumadi al-ula tahun 1037 A.H. [14 Januari 1628 di tahun Masehi] kala 58
tahun hijriah telah melewati hidup penulis.”26 Ada pula bukti tekstual lain yang
mendukung hal ini, yaitu pada ulasannya atas hadits no 239, dalam kitab al-Tawhid
dari bagian Usul dalam al-Kafi, yaitu kumpulan hadis Syi’ah Dua Belas; Sadra
menyatakan bahwa ia sampai kepada pemahaman atas isu tersebut kala usianya
sudah uzur, yaitu enam puluh lima tahun. Dihitung dari tanggal penulisan karya
tersebut di tahun 1044/1635, kita dapat menyatakan bahwa ia lahir di sekitar tahun
979/1571-2 (1044-65= 979).27

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Ibrahim ibn Yahya al-Qawami al-
Shirazi28, lebih dikenal sebagai Mulla Sadra dan Sadr al-muta’alllihin yang artinya
“yang terdepan di kalangan para teosof”, ia biasa dipanggil Akhund oleh para
muridnya.29 Ayahnya, Ibrahim b. Yahya Qawami adalah seorang pejabat kerajaan.
Adapun, salah seorang penulis biografi Sadra, Khajavi menyatakan bahwa ia adalah

24
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 5.
25
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 6.
26
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 31.
27
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 5.
28
Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra”. Dalam The Biographical Encyclopaedia of Islamic Philosophy ed.
Oliver Leaman (New York: Bloomsburry, 2015) h. 349
29
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 31.
30
gubernur Shiraz, suatu pernyataan yang tak memiliki landasan biografis. 30 Ibrahim
Kalin misalnya, ia masih menulis “ayahnya dikabarkan merupakan seorang
gubernur Shiraz” dalam dua tulisannya. 31 Rizvi mengajukan argumen bagi
pernyataannya bahwa ayah Sadra bukanlah seorang gubernur. Gubernur dari
provinsi Fars di abad enam belas biasanya merupakan seorang pangeran Safawi;
dan di waktu kelahiran Mulla Sadra, adalah pangeran Muhammad Khudabanda,
anak laki-laki dari Shah Tahmasp [w. 984/15760]. Sementara gubernur dari kota
Shiraz merupakan seorang tokoh dari keluarga terkenal di sana, Abu Ishaw Inju,
dan ada salah seorang warga yang menyatakan bahwa Ibrahim adalah wazirnya.
Rizvi melanjutkan, biografer Roger Savory memperkirakan dengan keliru bahwa ia
adalah wazir dari Ratu Shah Muhammad Khudabanda [w. 995/1587], Khayr al-
Nisa’ Begum, dikenal sebagai Mahd-i ‘Ulya. Namun, nampaknya Savory tak dapat
membedakan antara Ibrahim Qawami dengan Mir Qawam al-Din Shirazi (ayah
Sadra) yang merupakan pengurus finansial di provinsi Shiraz dan seorang tokoh
penting yang mendampingi Ratu. Sementara wazir sebenarnya dari Ratu adalah
Mirza Salman Jabiri [w. 991/1583].32

Sadra adalah seorang anak tunggal dari keluarga terpandang yang sudah lama
mengharapkan kehadiran anak laki-laki, tak heran jika ia dibesarkan dengan penuh
perhatian dan diberi pendidikan terbaik di kota kelahirannya. 33 Salah satu catatan
sejarah abad sembilan belas yang ditulis oleh filsuf ‘Ali Zunuzi [w. 1307/1889-90]
menulis sebagai berikut: “Ayahnya [Mulla Sadra] adalah seorang wazir penting
tetapi tidak memiliki penerus laki-laki. Ia telah membuat sebuah sumpah untuk
membagikan sebagian besar dari kekayaannya di jalan Allah jika Allah
menganugerahinya seorang anak lelaki yang baik dan bertauhid. Allah

30
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 5.
31
Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra”. Dalam The Biographical Encyclopaedia of Islamic Philosophy ed.
Oliver Leaman (New York: Bloomsburry, 2015) h. 349 & Ibrahim Kalin, “An Annotated
Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a Brief Account of His Life”. Islamic Studies 42,
no. 1 (2003): 22.
32
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 6.
33
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 31.
31
mengabulkan doanya dan menganugerahinya anak lelaki yang akalnya cemerlang,
baik dan bertauhid ini.”34

Selama berabad-abad sebelum bangkitnya Dinasti Safawi, Shiraz telah menjadi


pusat dari kajian filsafat Islam dan disiplin-disiplin tradisional Islam lainnya yang
masih hidup di abad sepuluh/enam belas meskipun tidak sehidup dahulu. Mulla
Sadra ada di tradisi kajian ini di masa-masa awal pendidikannya. Sebagai seorang
anak yang cemerlang, ia mampu menguasai semua yang diajarkan kepadanya, ia
mempelajari baik ilmu-ilmu religius maupun intelektial, penguasaannya atas bahasa
Arab dan Persia serta kefasihannya dalam al-Qur’an dan Hadits mengantarkannya
kepada semesta intelektual lebih luas. 35 Penguasaannya atas disiplin tradisional
mencakup tatabahasa (Nahwu), Tafsir al-Qur’an, Fiqih, dan Ilmu Hadits. Semua
pendidikan yang Sadra dapatkan di awal ini memiliki pengaruh yang abadi bagi
pemikirannya sendiri yang tercermin dalam karya-karyanya baik yang filosofis,
polemis dan tafsir al-Qur’annya sendiri nantinya.36 Lingkungan intelektual Shiraz
dan dukungan dari ayahnya ini merupakan sebuah keistimewaan bagi Sadra, seperti
yang ia tulis pada pengantar karya filosofisnya, Asfar, ia menyatakan bahwa
ketertarikan awalnya pada filsafat dan teologi filosofis sudah ada sejak awal: ‘Saya
mengabdikan kemampuan saya bertahun-tahun sejak usia yang amat muda pada
filsafat.’ Namun, Ia tidak pernah memberitahu kepada siapa ia berguru pada masa
awal ini. Seperti yang ditulis oleh para murid Mir Ghiyath al-Din Mansur Dashtaki
[w. 1542], tidak ada bukti bahwa pada masa itu masih terdapat pendidikan filosofis
melalui seminar-seminar di Shiraz. Karenanya, kemungkinan besar di masa ini
Sadra menjadi seorang otodidak, ia mempelajari buku-buku dari para filsuf,
khususnya karya-karya dari pendahulunya di Shiraz.37

Setelah ia mendapatkan pendidikan terbaik yang dapat ia peroleh di Shiraz dan


guru-gurunya, kehausan intelektualnya masih belum terpuaskan dan ia rasa ia tidak

34
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 6.
35
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 32
36
Ibrahim Kalin, “An Annotated Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a Brief Account
of His Life”. Islamic Studies 42, no. 1 (2003): 22.
37
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 7.
32
mungkin berdiam diri di Shiraz. 38 Sadra yakin akan pemahamannya dan ia juga
yakin bahwa ia telah mendapatkan sesuatu sebagai seorang filsuf, sebagaimana ia
bahas pada pengantar dari komentarnya atas Surat al-Waqi’a, di mana ia menulis
bahwa ia telah menyadari bahwa pengetahuan sejati itu melampaui filsafat diskursif
dari kelompok Peripatetik (mashsha’iyyun, Aristotelian) dan kaum Illuminasionis
(Ishraqiyyun, ‘Platonis’) sebagaimana diungkapkan dalam pemikiran para filsuf di
Shiraz. Sebagai seorang lelaki muda yang telah mencapai umur dua puluh tahun
dan telah menguasai filsafat diskursif, ia menyadari bahwa ia perlu mencari seorang
guru spiritual yang dapat mengajarinya dalam suatu filsafat yang lebih tinggi yang
dapat memadukan intuisi spiritual dan pengalaman mistik, seorang guru yang
membawanya menuju sebuah pemahaman yang lebih tepat atas Kitab Suci dan
Hadits serta perkataan Imam. Sebuah pencarian atas petunjuk bagi pelatihan
filosofis dan spiritual yang mencirikan tradisi filsafat Iluminasionis yang
memadukan citarasa Neoplatonik dengan keimanan Pythagorean. 39

Dengan semangat intelektual yang besar namun tidak terpenuhi di Shiraz, Sadra
pergi ke Isfahan, yang kini menjadi pusat intelektual bagi kajian filsafat di Persia,
atau mungkin bahkan di Islam bagian Timur. 40 Ia memutuskan untuk mencari
seorang sosok yang dapat ia jadikan guru spiritual dan filosofis, yang tidak ia
temukan di Shiraz.41 Nasr menyatakan bahwa waktu kepergian Sadra ke Isfahan
tidak diketahui, yang pasti adalah bahwa Sadra masih sangat muda di saat itu, 42
namun Rizvi menyatakan bahwa keberangkatan Sadra dari Shiraz ada di sekitar
tahun 1000/1500-1 dan 1003/1595 (di tahun 995/1587, Shah ‘Abbas yang
sepantaran dengannya telah naik tahta), sementara Sadra berangkat ke Qazwin
untuk melanjutkan kajiannya dengan dua sosok agung di kerajaan Shah Abbas I,
Shaykh Baha’ al-Din al-Amili [w. 1030/1620-1] dan Mir Muhammad Baqir Damad

38
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 32
39
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 8.
40
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 32
41
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 8
42
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 32
33
Astarabandi [w. 1040/1631]. 43 Terkait dengan poin bahwa sebelum menuju
Isfahan, Sadra terlebih dahulu menuju Qazvin, yang adalah ibukota pertama dalam
pemerintahan Shah ‘Abbas, baru kemudian ia menuju Isfahan, seiring dengan
proses pendaulatan ibukota baru yang kemudian diresmikan di tahun 1006/1598.
Berdasarkan beberapa manuskrip yang ada tentang karya Mir Damad yang ditulis
Sadra, ia menuntut ilmu di Qazvin dengan sayyid dari tahun 1000/1591 hingga
1006/1597, setelahnya baru mereka pindah ke ibukota baru, yaitu Isfahan. 44

3. Fase 1 (Isfahan)
Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya di Shiraz, Sadra meninggalkan
kampung halamannya - ke Qazvin - kemudian ke Isfahan yang saat itu telah menjadi
sebuah pusat besar kebudayaan yang tinggi dalam seni dan ilmu pengetahuan, yang
utamanya berkat kepemimpinan visioner dari Shah ‘Abbas II (996-1038/1588-
1629), yang dikenal dengan julukan kehormatan ‘yang Agung’.45

Isfahan memberikan Sadra sebuah milieu yang menyaksikan perpaduan dari


bermacam pendirian filosofis, intelektual dan relijius di Persia, peran Shah Abbas
yang Agung dalam kebangkitan kebudayaan ini benar-benar penting bagi
pencarian intelektual dan spiritual Sadra. Meskipun pada saat itu Syiah secara
bertahap menjadi identitas relijius dominan bagi kebanyakan penduduk persia di
abad enam belas dan tujuh belas, aliran-aliran intelektual yang berbeda bertahan
hidup dalam Syiisme dinasti Safawi. Seperti yang telah ditulis di awal bab ini,
empat mazhab yang ada, yaitu filsafat Peripatetik yang diwakili al-Farabi dan Ibn
Sina, Mazhab Iluminasi (ishraqi) yang didirikan oleh Shihab al-Din Suhrawardi al-
Maqtul, Mazhab Akhbari yang didirikan oleh Ibn al-’Arabi dan para pelajarnya
yaitu Sadr al-Din al-Qunawi dan Dawud al-Qaysari, serta Mazhab Kalam Sunni dan
Syi’i; kesemuanya begitu penting bagi sintesis filosofis yang menemukan
pengungkapan terbaiknya dalam Kebijaksanaan Transenden Sadra, yang berpuncak
dalam suatu sintesis yang merupakan buah terakhir yang dihasilkan dari semua

43
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 8
44
Sajjad H. Rizvi, “Reconsidering the Life of Mulla Sadra Shirazi: Note Towards an Intellectual
Biography”. Iran 40 (2002) h. 183.
45
Ibrahim Kalin, “An Annotated Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a Brief Account
of His Life”. Islamic Studies 42, no. 1 (2003): 23.
34
kecenderungan ini. Julukan Sadra sebagai Sadr al-Din (yang bermakna “dada dari
agama”) dan Sadr al-Muta’allihin (yang bermakna yang terdepan di antara mereka
yang suci) menjadi bukti bagi kemampuannya untuk memadukan semua perspektif
berbeda ini dalam suatu visi filosofis tunggal. 46 Upaya Sadra ini juga berhasil
dicapai karena Isfahan menawarkan kepada Sadra sebuah kesempatan unik untuk
ikut dalam barisan para filsuf Syi’i seperti Sayyid Baqir Muhammad Astarabadi
(Mir Damad) [w. 1040/1631], dan Baha’ al-Din Muhammad al-’Amili (Syaikh
Baha’i) [w. 1031/1622].47 Berkat guru-guru yang Sadra temui ini, dia sendiri segera
menjadi seorang yang menguasai ilmu-ilmu Islam dan mencapai suatu tahapan
48
yang bahkan melampaui para gurunya. Karenanya, kemudian kita akan
membahas dua guru besar Sadra ini, Syaikh Baha’i dan Mir Damad.

a. Syaikh Baha’i
Antara tahun 100/1500-1 dan 1003/1595, Sadra, pemuda ningrat dan
berpengetahuan luas beranjak menuju ibukota Qazwin untuk melanjutkan
belajarnya dnegan dua tokoh besar di istana Shah ‘Abbas I. Syaikh Baha al-Din al-
Amili [w. 1030/1620-1] dan Mir Muhammad Baqir Damad Astarabadi [w.
1040/1631]. Sadra tertarik kepada dua tokoh itu karena reputasi mereka sebagai
fuqaha dan polymath (ahli berbagai bidang) di jantung peradaban istana
Safawi.49Kita akan membahas Syaikh al-Amili terlebih dahulu.

Syaikh Baha’i merupakan seorang ahli hukum, penyair serta ilmuwan, ia pun
merupakan salah satu tangan kanan dari raja, melayaninya sebagai Syaikh al-Islam
di Isfahan. Nama lengkapnya ialah Muhammad bin al-Husayn bin Abd al-Samad
al-’Amili, lahir di Ba’lbakk di tahun 953/1547. Syaikh Baha’i tergabung dalam
komunitas sarjanawan Syi’i dari Jabal ‘Amil di Lebanon yang bermigrasi ke
Kekaisaran Safawi Syi’ah yang baru dengan ayahnya, al-Shaykh ‘Izz al-Din al-
Husayn ibn ‘Abd al-Samad [w. 984/1576], seorang murid dari martir sekaligus ahli

46
Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-
Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.
xxii.
47
Ibrahim Kalin, “An Annotated Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a Brief Account
of His Life”. Islamic Studies 42, no. 1 (2003): 23.
48
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 32.
49
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 8.
35
hukum Syi’ah Zayn al-Din al-Amili, yang dikenal sebagai al-Shahid II [dieksekusi
pada 965/1558], ia belajar kepadanya dari tahun 960/1553 dan awalnya menetap di
Mashhad. Ayahnya kemudian menjadi Syaikh al-Islam pertama ibukota Qazwin di
tahun 963/1556, suatu posisi yang ia jabat hingga tahun 970/1563 ketika dia
dipindahkan dari jabatannya dan digantikan oleh al-Sayyid al-Husayn bin al-Hasan
al-Karaki [w. 1001/1592-3]. Ia kemudian diberi jabatan baru menjadi Syaikh al-
Islam Mashhad dan kemudian Herat. Ia meninggal setelah umrah di tahun
984/1576. Syaikh Baha’i mengkaji hukum, hairs (tradisi-tradisi yang disabdakan
Nabi dan Imam) dan tafsir dengan ayahnya dan ayah mertuanya, al-Shaykh ‘Ali ibn
Hilal Minshar [w. 984/1576], yang dulunya adalah Syaykh al-Islam Isfahan. Ia
mungkin juga telah mengkaji jurisprudensi dan hadis di Kashan dengan ‘Abd al-
’Ali ibn ‘Ali al-Karaki [w. 993/1585], serta logika dan filsafat dengan Mulla ‘Abd
Allah Yazdi [w. 981/1573] di Mashhad. Ia kemudian meneruskan jabatan
mertuanya sebagai Syaikh al-Islam Isfahan.

Dari tahun 991/1583 hingga 993/1585, Syaikh Baha’i bepergian sebagai


seorang darwis pengembara, bila perlu, ia menyamar menjadi seorang fuqaha
Syafi’i. Pengalaman ini menghasilkan bahan yang berharga bagi antologi sastranya,
al-Kashkul. Ia kemudian kembali ke Isfahan dan lalu pindah ke Qazvin di mana ia
menggantikan al-Karaki setelah ia wafat sebagai Syaikh al-Islam di Ibukota, satu
jabatan yang akan ia tempati pula di Isfahan ketika ibukota berpindah di tahun
1006/1597 hingga kematiannya di tahun 1030/1621. Ia dimakamkan di dekat
makam suci Imam Syi’ah Dua Belas, Imam ‘Ali al-Rida di Mashhad, rumah
pertamanya di Iran.

Dengan Syaikh Baha’i, Mulla Sadra mengkaji fiqih, tafsir dan hadis, pertama di
Qazvin kemudian di Isfahan. Pengaruh Syaikh Baha’i kepada Sadra terkait hadis
jelas, ketika Sadra melacak rantai sanad hadis melalui otoritas Syaikh Baha’i. Ia
merujuk kepada gurunya ini sebagai ‘guru kami yang kepadanya kami andalkan
dalam disiplin teks-teks tradisional. Sulit untuk menentukan kapan pertama kali
Sadra bertemu dengan Syaikh Baha’i; kemungkinan, mereka bertemu ketika Syaikh
Baha’i mengunjungi Shiraz di tahun 998/1588.

36
b. Mir Damad
Guru kedua Sadra, dan mungkin yang memberikan pengaruh lebih besar dalam
kehidupannya, adalah Mir Muhammad Baqir Astarabadi, dikenal sebagai Mir
Damad (yang bermakna menantu dalam bahasa Persia) karena ayahnya, Mir Shams
al-Din Muhammad adalah menantu dari mujtahid hebat, al-Syaikh ‘Ali al-Karaki
[w. 940/1534]. Kemungkinan beliau lahir di Astarabad tahun 969/1561-2 tetapi
dibesarkan di Mashhad. Ia mengkaji filsafat di Mashhad dengan Mir Fakhr al-Din
Muhammad bin Husayn Sammaki Astarabadi. Sammaki menjabat menjadi Syaikh
al-Islam daerah Sabzawar di bawah kekuasaan Shah Tahmasp dan pernah menjadi
murid dari filsuf Shiraz, Mir Ghiyath al-Din Mansur Dashtaki [w. 948/1542]. Para
guru fiqih dan hadisnya adalah al-Husayn bin ‘Abd al-Samad al-Amili dan al-
Sayyid al-Husayn al-Karaki di Mashhad dan pamannya ‘Abd al-’Ali bin ‘Ali al-
Karaki. Selama kekuasaan Shah Tahmasp [w. 984/1576] ia pindah ke Isfahan di
tahun 1006/1597. Kemudian, Mir Damad meneruskan Syaikh Baha’i sebagai
Syaikh al-Islam Isfahan di tahun 1030/1621, jabatan yang ia pegang hingga
wafatnya. Ia melaksanakan pelantikan Syah Safi pada 2 Jumada II 1038/28 Januari
1629. Ia wafat di tahun 1040/1631 di perjalanan dari Karbala menuju Najaf ketika
mengawal Syah ke pemakaman suci Syi’ah di Iraq. Mir Damad dimakamkan di
dekat makam suci dari Imam Syi’ah pertama, Ali bin Abi Talib di Najaaf.

Dengan Mir Damad, Mulla Sadra mengkaji filsafat dan teologi, khususnya
karya-karya Peripatetik Avicenna dan muridnya, Bahmanyar [w. 458/1066], teks-
teks Plotinian, pseudo-Aristotelian berbahasa Arab (khususnya Teologi
Aristoteles), karya-karya Iluminasionis Suhrawardi dan komentar-komentar teologi
filosofis atas kitab Nasir al-Din al-Tusi [w. 672/1274], Tajrid al-I’tiqad. Sadra
mulai menjadi murid Mir Damad setidaknya mulai tahun 1004/1595. Dalam salah
satu surat tertanggal 1018/1617 yang Sadra tulis dari Shiraz, ia menggambarkan
Mir Damad sebagai “Sang pembagi anugerah kepada hati orang-orang bijak, akal
kesebelas, ia yang menguasai baik teori maupun praktik dari ilmu pengetahuan,
sayyid dan pemimpin, tuan para filsuf dan para fuqaha, guru dari para guru dan
sarjanawan, sarjanawan termulia dan sang pemulia peradaban Islam”

37
Dalam salah satu surat tertanggal sekitar tahun 1021/1612, kemungkinan ditulis
dari Shiraz, Sadra menggambarkan gurunya sebagai sultan dari para filsuf, yaitu
para teosis. Ia menggambarkan ajaran spiritual Mir Damad sebagai “gerbang yang
membuka jalur spiritual menuju Tuhan dan yang dari kehadirannya anugerah
ilahiah diperoleh; sebuah gerbang yang tidak mengecewakan para pencarinya dan
tidak mengkhianati mereka yang mempercayainya ... Ia mengetahui segala yang ia
ketahui melalui penalaran tertentu, dan menyaksikan pewahyuan batin serta
pengalaman ekstatik yang darinya intelek tidak terceraikan, tak pula pengujian
terhenti. Semua ini dicapai hanya melalui anugerah ilahiah dan wahyu ketuhanan
dan petunjuk intelek” Dari gambaran tersebut, kita dapat mengambul kesimpulan
bahwa huubungan antara Mulla Sadra dan Mir Damad lebih dari sekedar hubungan
antara seorang guru filsafat dan muridnya; ini merupakan hubungan antara guru
Sufi dan pengikutnya. Kedekatan antara guru dan pengikut ini lebih jauh terungkap
dalam fakta bahwa Mir Damad menamai salah satu anaknya Sadra.

c. Mir Finderiski
Bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh Corbin dan lainnya, tidak
terdapat bukti bahwa Sadra pernah belajar kepada sarjanawan Astarabadi serta
kawan dari Mir Damad, Mir Abu’l-Qasim Findiriski [w. 1050/1640-1]. Meskipun
terdapat kisah terkenal yang dicatat oleh beberapa penulis biografi yang
menyatakan bahwa Mulla Sadra, saat kedatangannya sebagai seorang murid baru
di Isfahan, dinasihati oleh Findiriski untuk belajar kepada Mir Damad,
kemungkinan besar kisah ini tak benar karena Sadra telah mengenal Mir Damad,
gurunya, semenjak di Qazwin.

4. Fase 2 & 3 (Shiraz II & Qum)


Fase berikutnya adalah setelah Sadra menyelesaikan kajiannya di Isfahan, dan
karena kematian ayahnya di tahun 1010/1601-2, ia kembali ke Shiraz untuk bekerja
dan mengajar, tetapi gagal untuk menemukan seorang patron yang kuat, serta
menghadapi pertentangan serta kritik dari suatu kota yang telah melupakan nilai
dari kajian filsafat. Lalu Sadra bersuaka di Kahak, sebuah desa kecil di luar kota
suci Qum, untuk merenungkan berbagai persoalan serta memulai penulisan karya-
karya utamanya, terutama puncak dari karya filsafat dan teologinya, al-Hikma al-

38
Muta’aliya fi’l-Asfar al-’aqliyya al-Arba’a yang ia mulai di tahun 1015/1606.
Khalwat-nya di Kahak kemungkinan bertahan hingga lima tahun di pertengahan
tahun 1015/1600. Ia kemudian kembali ke Shiraz, sesuai dengan tanggal di surat-
suratnya kepada Mir Damad, di sekitar tahun 1022/1613. Lalu ia memulai hidup
mengembara: mengajar dan menulis di Qum, mengunjungi dan saling bersurat
dengan Mir Damad di Isfahan hingga kematiannya di tahun 1040/1631, dan
menghabiskan waktunya di keluarga kerajaan di Shiraz. Kemungkinan selama
periode pengembaraan inilah ia menyelesaikan kebanyakan dari tujuh kali
umrahnya ke Mekkah, yang menyiratkan interaksi dengan sarjanawan di wilayah
tersebut.

Berdasarkan manuskrip yang ada, Sadra menjalani kehidupan mengembara


hingga tahun 1040/1630-1. Komentar atas Ayat Kursi menempatkannya di Qum
tahun 1023/1613. Surat lainnya kepada Mir Damad juga ditulis dari Qum tertanggal
1026/1617. Surat keempat tertanggal 1028/1619 menempatkannya di Kashan.
Pengunduran dirinya ke Kahak, karenanya, harus dipisahkan dari kehidupannya
sebagai guru di Qum (dan kemungkinan Kashan), di mana ia menemui murid dan
menantunya, Muhsin Fayd Kashani. Di Qum pula ia mendapatkan salah satu ilham
yang ia tulis ulang di Risalat al-Khulsa, di malam Ramadhan 1028/September 1619.
Catatan sejarah ini membuktikan bahwa terdapat keterikatan yang kuat antara Sadra
dan Qum sebagai tempatnya melakukan perenungan spiritual dan intelektual. Hasil-
hasil perenungan inilah yang nantinya ia ubah menjadi gagasan-gagasan diskursif
dalam karya-karya filosofisnya.

Seperti yang telah dijelaskan, di periode Qum ini pula Sadra mengajar sejumlah
filsuf penting, di antaranya adalah Muhsin Fayd Kashani [w. 1090/1680], dan ‘Abd
al-Razzaq Fayyad Lahiji [w. 1072/1661-2] keduanya menjadi menantunya.
Muhammad b. Murtadha dikenal dengan nama Muhsin Fayd (nama pena
penyairnya) Kashani lahir di tahun 1007/1598. Kashani muda berkelana ke Isfahan
di tahun 1027/1616 di mana ia belajar hadis dan fiqh dengan Syaikh Baha’i. Setelah
menerima ijazah sanad, ia pindah ke Shiraz di tahun berikutnya dimana ia
mencapatkan suatu izin untuk menyampaikan hadis dari al-Sayyid Majid b. Hashim
al-Sadiqi al-Bahrani yang wafat di tahun tersebut, 1028/1619. Sembari menunaikan

39
umrahnya, ia mengkaji hadis dan fiqih di Madinah dengan Muhammad b. al-Hasan
al-’Amili [w/ 1030/1621], cucu dari al-Shahid II. Setelah kematian gurunya, ia
kembali ke Iran dan menemui Mulla Sadra di Qum tahun 1030/1628, seperti yang
dinyatakan traktat autobiografis Sharh-i Sadr. Kemudian ia menghabiskan dua
tahunnya dari 1040/1631 hingga 1042/1633 dengannya di Shiraz. Seorang
polymath dan spesialis hebat baik dalam disiplin skriptural dan intelektual, dia
ditawari jabatan menjadi Syaikh al-Islam Isfahan tahun 1065/1655 selama
pemerintahan Shah ‘Abbas II [w. 1077/1666] tetapi ia menolaknya, dan
memusatkan perhatiannya pada kegiatannya mengajar di Qum, madrasah miliknya
yang ia namai berdasarkan namanya (Madrasa-yi Faydiyya yang terkenal). Di
kemudian hari, ia menulis satu epitome penting dari pemikiran gurunya berjudul
Usul al-Ma’arif.

Kedua, ‘Abd al-Razzaq b. Ali Lahiji, yang memiliki nama pena Fayyad,
merupakan seorang murid yang penuh pengabdian pada Sadra, meskipun dalam
karyanya yang dewasa, ia menolak sejumlah ajaran kunci yang dinyatakan oleh
Mulla Sadra. Ia berasal dari Lahijan tetapi aspek-aspek nostalgik dalam puisinya
kemungkinan menyiratkan bahwa ia besar di Tabriz. Puisinya, faktanya, merupakan
sebuah sumber utama dari kehidupannya, di dalamnya ia menuliskan sejumlah
pujian yang ia tulis kepada patronnya yang mencakup Sadr Mir Habib Allah al-
Karaki, Shahs Safi [w. 1642] dan ‘Abbas II [w. 1667], Mirza Talib Khan [w.
1044/1634] yang dulunya merupakan wazir dari Shah Safi, dan Murtada-quli Khan
yang menjabat sebagai kepala militer di bawah Shah ‘Abbas II. Periode kajiannya
mungkin dimulai di tahun 1020/1610. Dia juga belajar di Isfahan dengan Mir
Damad dan membantu Sadra ketika ia menjadi Syaikh al-Islam Isfahan.

Lahiji merupakan salah satu tokoh kesukaan Shah ‘Abbas II (yang untuknya
Lahiji menulis sebuah manifesto penting mengenai kehidupan Sufi), ia
menghabiskan masa hidupnya di Qum, mengajar di Madrasa-yi Ma’suma yang
tergabung dengan makam suci, di sana ia dikenal sebagai seorang filsuf Avicennian.
Kemudian, ia menulis karya utamanya, Shawariq al-Ilham fi Sharh Tajrid al-
Kalam, sebuah komentar Avicennian yang berharga dan luas mengenai teks
teleologis al-Tusi, di dalamnya Lahiji mengambil sejumlah posisi filosofis yang

40
amat kritis terhadap pandangan-pandangan dari gurunya, khususnya dalam
metafisika. Dalam puisinya, ia memuliakan serta mengenang Sadra.

Murid Sadra lainnya adalah Husayn Tunikabuni [w. 1105/1693-4] serta


Muhammad Rida Aqajani [w. setelah 1071/1660-1]. Rincian kehidupan keduanya
amat sedikit diketahui, yang kita tahu adalah mengenai teks yang mereka tulis yang
masih selamat. Syaikh Husain b. Ibrahim Tunikabuni merupakan seorang murid
berbakti yang menulis sejumlah traktat mengenai tema kunci dari pemikiran Sadra,
khususnya yang terkait dengan eskatologi. Dia menulis sebuah komentar Sadrian
atas Tajrid al-I’tiqad, karya al-Tusi, mungkin sebagai tanggapan atas komentar
kritis dari Fayyad-i Lahiji. Ia sama-sama memiliki cita rasa Sadra atas pemikiran
Ibn ‘Arabi [w. 1240] dan menulis suatu risalah singkat berjudul Risala fi Wahdat
al-Wujud. Seperti gurunya, ia juga dikenal telah melakukan perjalanan panjang
menuju kota-kota suci di Iraq dan umrah ke Mekkah dan Madinah. Muhammad
Rida b. Ali-Rida Aqajani bahkan merupakan seorang karakter yang lebih sulit
diketahui. Bagaimanapun, ia meninggalkan sebuah komentar besar dalam 561
halaman folio mengenai al-Qabasat dari Mir Damad, yang mungkin menyiratkan
bahwa ia juga belajar kepadanya. Satu-satunya tanggal yang diketahui mengenai
kehidupannya ada dalam suatu teks tertanggal 1071/1661 dan mungkin telah ditulis
di Mashhad.

5. Fase 4 (Shiraz III)


Di tahun 1040/1630-1, Sadra pindah secara tetap ke kampung halamannya atas
permintaan Imamquli Khan [w. 1042/1633]. seorang ghulam Georgia yang ditugasi
administrasi militer Safawi dan gubernur provinsi Fars, wilayah Mulla Sadra. Ia
telah meneruskan ayahnya Allahvirdi Khran, yang telah menjadi gubernur dari
tahun 1004/1595-6 hingga kematiannya di tahun 1022/1633. Madrasa-yi Khan,
yang didirikan oleh ayah Imamquli tepat sebelum ia meninggal dan selesai di tahun
1024/1615 telah didirikan dengan tujuan mengajar filsafat dan sains. Akan tetapi,
hanya di tahun 1036/1627 Madrasah itu menjadi waqaf. Dalam waqfnama ini
sendiri merupakan sebuah dokumen yang menarik. Dokumen ini menggambarkan
Imamquli Khan sebagai patron yang telah menyerasikan dalam dirinya
kebijaksanaan filosofis serta seni pemerintahan, menandai kajian filsafatnya,

41
mungkin bukti atas kedekatannya dengan Mulla Sadra. Madrasah tersebut
merupakan bangunan yang luas dan bagus, dirancang untuk menjadi tempat ibadah,
dengan sebuah masjid dan menara serta asrama dengan satu aula besar di atas eivan
dari gerbang utama, empat ruang ajar kecil dan ratusan kursi bagi para pelajar.
Undangan bagi Sadra untuk mengajar Madrasah tersebut datang dari Imamquli,
seketika Madrasah mulai berjalan, Sadra pun mulai mengajar di sana, sekitar tahun
1036/1627. Madrasah ini waktu itu memerlukan seorang direktur yang telah
menguasai disiplin intelektual dan mampu mengajarkannya. Tentu Mulla Sadra
merupakan pilihan yang amat tepat untuk mengisi posisi tersebut. Ia telah
menyelesaikan karya besarnya, Asfar, di Shiraz tahun 1038/1628.50

Madrasah Khan ini menjadi begitu terkenal hingga menarik para pengelana dari
luar. Thomas Herbert, seorang pengelana abad sebelas/tujuh belas yang
mengunjungi Shiraz pada masa hidup Mulla Sadra, menulis, “Dan memang Shiraz
memiliki satu Kampus yang di dalamnya Filsafat, Astrologi, Fisika, Kimia dan
Matematika dipelajari; ia kemudian menjadi lebih terkenal seantero Persia.”
Bahkan hari ini ruangan yang di dalamnya sang guru mengajar adalah ruangan yang
sama di mana Mulla Sadra mengajar diskursus hikmat tiga abad lalu, dan madrasah
Khan, terlepas dari penuaan dari beberapa bagiannya, tetap menjadi salah satu
tempat yang paling indah dan secara arsitektur mungkin merupakan bangunan
Safawi di Shiraz yang terpenting. Madrasah ini kini diambil alih oleh Akademi
Filsafat Imperial Iran dan akan mengalami perbaikan besar sebelum sekali lagi
menkadi suatu pusat bernilai untuk mengajar filsafat tradisional. Di masa mengajar
ini pula, yang kira-kira bertahan sekitar tiga puluh tahun, Mulla Sadra, selain
mengajar dan menulis, melakukan beberapa perjalanan kaki ke Mekkah. 51

Mulla Sadra meninggal di Basrah dalam perjalanan umrahnya yang ketujuh,


setelah karir yang cemerlang dan prolifik. Mengenai peristiwa, keadaan dan waktu
dari kejadian ini, belum ada bukti baru yang ditemukan mengenai pengaruh-
pengaruh serta warisan-warisan intelektual baru dari Mulla Sadra. Data biografis

50
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Savafid Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 24.
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life and
Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 38.
42
umum dari sumber-sumber biografis yang ada menyatakan bahwa Sadra wafat di
tahun 1050/1640-1. Catatan ini menyatakan bahwa ia meninggal di Basrah dan
dikebumikan di sana. Hal ini dikuatkan oleh filsuf Iran abad keduapuluh, al-Sayyid
Abu’l-Hasan Rafi’i Qazwini [w. 1976] saat dia menulis di tahun 1961: “Sekitar
empat puluh tahun yang lalu, Saya bertanya kepada seorang Arab yang hidup di
Najaf yang sering mengunjungi Basrah tentang makam dari Mulla Sadra ... Ia
berkata bahwa terdapat sebuah makam di Basrah yang merupakan makam Mulla
Sadra Shirazi. Akan tetapi, akhir-akhir ini jika seseorang pergi ke Basrah untuk
memastikan hal ini, mereka tidak menemukan apa-apa; tidak pula mereka
menemukan tempat terkenal semacam itu. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh
perubahan dalam kota, jejak-jejak makam ini telah hilang.

Namun tidak terdapat bukti yang jelas yang mendukung tanggal ini (dan tidak
pula terdapat makam yang utuh). Cucunya, Muhammad ‘Alam al-Huda [w.
1115/1703-4], anak dari Fayd Kashani, melaporkan bahwa kakeknya meninggal di
Basrah pada 1045/1635-6 dan dikebumikan di Najad di sekitar makam suci Imam
‘Ali: “Kakek saya, Master dari para teosis dan hieratik (Sadra al-’Urafa’ wa’l-
Muta’alihhin), Muhammad b. Ibrahim b. Yahya al-Shirazi yang dikenal sebagai
Sadr al-Din, meninggal di Basrah ketika berniat untuk menunaikan Hajji dan
Umrah bagi baginda Rasul [di Madinah] di tahun 1045. Tubuh mulianya
dipindahkan ke Najaf. Saya mendengar dari salah satu temannya bahwa ia
dikebumikan di sisi kiri dari taman makam suci dan mulia Imam ‘Ali.”

Menurut pernyataannya sendiri, Muhammad lahir di Qum pad Selasa 15 Rabi’


I 1039/1 November 1629 yang berarti bahwa kira-kira ia berusia enam tahun ketika
kakeknya wafat. Nampak bahwa bukti yang ia tulis kemungkinan berdasarkan dari
apa yang diceritakan ayahnya kemudian. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa tanggal
penyelesaian karya-karya terakhirnya, termasuk yang masih belum lengkap, adalah
1044/1635-6. Satu potongan bukti yang nampak mempersoalkannya adalah
pernyataan dari editor bahwa terdapat suatu manuskrip al-Masa’il al-Qudsiyya
tertanggal 1049/1639-40. Akan tetapi, manuskrip ini bukanlah suatu autograf dan
bisa jadi disalin setelah kematiannya. Faktanya, bukti internal menyiratkan bahwa
tanggal kelengkapan dari manuskrip yang masih ada adalah 1034/1624. Karenanya,

43
tanggal paling mungkin dari wafatnya Mulla Sadra adalah yang disebutkan oleh
cucunya, yaitu 1045/1635-6. Meskipun masih saja makamnya belum diketahui oleh
penduduk Najaf.

C. Karya-Karya Mulla Sadra


Keseluruhan karya Mulla Sadra memiliki aspek intelektual dan sastrawi.
Hampir semua karya Sadra ditulis dalam bahasa Arab yang sederhana jelas dan
mengalir, kecuali Sih Asl dan beberapa risalah yang ditulis dalam bahasa Persia.
Kebanyakan sarjanawan membagi karya Sadra menjadi dua jenis: karya-karya yang
ditulis dalam ilmu relijio-spiritual (naqli) dan karya-karya yang ditulis dalam ilmu
intelektual (aqli). Pembagian tersebut tidak berarti bahwa keduanya terpisah sama
sekali, karena bagi Sadra, dua jenis ilmu ini terhubung begitu dekat, dan berasal
dari sumber pengetahuan tunggal, yakni Intelek Ilahiah, karenanya, ia membahas
persoalan relijius dalam karya teosofisnya, begitu pula sebaliknya. Karya-karyanya
sulit pula dibagi secara kronologis karena tidak semua karyanya diberi tanggal
kapan ia selesai ditulis, hanya beberapa karya saja yang dapat dilacak. 52

Dari segi halamannya, karya-karya Sadra merentang dari Asfar yang begitu
tebal hingga risalah-risalah dengan beberapa halaman saja. Secara bentuk, Sadra
hampir bisa dikatakan menulis karyanya secara dinamis baik sebagai seorang filsuf
Peripatetik yang menulis dengan logika yang ketat, dan seorang mistik yang
menulis dengan gaya ekstatik. Kerapkali Sadra tiba-tiba menulis berbagai aforisme,
pernyataan-pernyataan ekstatik laiknya karya yang ditulis Abu Hamid al-Ghazali
[w. 505/1111] dan Ibn al-’Arabi, setelah membahas satu persoalan filosofis atau
kosmologis dalam cara-cara analitis yang ketat. Tak jarang pula ia mengutip puisi-
puisi baik Arab atau Parsi ketika prosa saja tidak cukup untuk mengungkapkan apa
yang ingin ia maksudkan.

Karya-karya Sadra merentang dari filsafat tradisional, metafisik, ontologi,


kosmologi, ontologi, epistemologi, aksiologi, eskatologi, psikologi, dan filsafat
alam; seperti yang telah dikatakan, Sadra pun menulis beberapa karya tafsir Qur’an
dan hadits-hadits Syi’i. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, yaitu

52
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 39.
44
banyaknya karya Sadra, kesulitan penentuan tanggal, dan sebagainya, pembagian
karya Sadra menjadi dua jenis digunakan di sini, yaitu karya-karya spiritual dan
karya intelektual.53

1. Karya-Karya Spiritual54
1. Asrar al-Ayat wa Anwar al-Bayyinat. Salah satu komentar besar Sadra atas
Qur’an, kitab ini terbagi menjadi sebuah pengantar dan tiga bagian. Bagian
pertama membahas pengetahuan Ketuhanan (‘ulum rububi) dalam tiga
kesaksian (mashhad) dan dua puluh satu asas (qa’idah). Bagian kedua
membahas, dalam empat kesaksian dan dua puluh lima asas, tindakan-
tindakan Ilahiah, emanasi dari dunia yang jamak ke Yang Satu, dan
kembalinya ia kepada-Nya. Bagian ketiga ditulis khusus membahas
kebangkitan (al-ma’ad) dalam dua belas kesaksian dan sembilan asas.
Empat puluh manuskrip Asrar telah ditemukan di Mashhad dan
perpustakaan Qum.
2. Ayat al-Kursi, juga dikenal sebagai Tafsir al-Urwat al-Wuthqa. Sebuah
komentar panjang atas ayat kursi, yang arti pentingnya telah dinyatakan di
sejumlah hadis. Ia terdiri dari sebuah pengantar (muqaddimah), dua puluh
bagian (maqalah), dan sebuah kesimpulan (khatimah). Masing-masing bab
memiliki nama yang berbeda: maqasid (niatan), masha’ir (penembusan),
isharat (isyarat), latifat (kedalaman), fawa’id (manfaat), dan seterusnya.
Beberapa persoalan yang dibahas di antaranya adalah kenyataan dan
kesatuan dari ada, kasih Tuhan, keabsahan imam-imam Syii dan
sebagainya. Tiga puluh satu manuskrip dari teks ini telah ditemukan.
3. Ayat al-Nur. Komentar penting Sadra atas Ayat Cahaya (Qur’an, 24: 35),
yang telah menjadi pembahasan dari banyak komentar filosofis dan mistis
sebelumnya. Ia terdiri dari sebuah pengantar (muqaddimah), sebuah diskusi

53
Ibrahim Kalin, “An Annotated Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a Brief Account
of His Life”. Islamic Studies 42, no. 1 (2003): 31.
54
Sub-bab karya-karya Mulla Sadra ini merupakan parafrase dari 3 rujukan: a) Ibrahim Kalin, “An
Annotated Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a Brief Account of His Life”. Islamic
Studies 42, no. 1 (2003): 21-62 b) Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the
Sources for Savafid Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007) h. 51-111 c) Seyyed
Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and his Transcendent Theosophy: Background, Life and Works
(Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978) h. 39-50.
45
pembuka (tamhid) mengenai makna cahaya (nur), tujuh bagian (fasl), dan
sebuah kesimpulan dengan pembuktian (wasiyyah) Sadra. Beberapa hal
yang dibahas di antaranya adalah definisi cahaya sebagai kesempurnaan hal-
ihwal, emanasi cahaya menjadi langit dan bumi, pengetahuan Tuhan identik
dengan esensi (Dzat)-Nya, makna dari dada (al-sadr), hati (al-qalb) dan
jiwa (al-ruh), manusia sebagai mikrokosmos, dan doktrin mengenai
manusia sempurna (al-insan al-kamil) dan relasinya dengan kosmologi.
Empat puluh empat manuskrip dari komentar ini telah ditemukan.
4. Ma’ani ‘l-Alfaz al-Mufradah min al-Qur’an. Sebuah penjelasan singkat
mengenai beberapa istilah dan ungkapan dalam Qur’an. masing-masing
istilah dianalisis dalam suatu bab yang berbeda. Terdapat dua manuskrip
dari teks ini di perpustakaan Pusat Tehran dan Parlemen.
5. Mafatih al-Ghayb. Salah satu dari karya terpenting Sadra dalam kategori
tulisan spiritual, terdiri dari sebuah pengantar (muqaddimah) dan dua puluh
‘kunci’ (miftah). Ia berisi pembahasan paling panjang atas pendekatan Sadra
terjadap Qur’an dan metodologinya dalam menafsirkan Kitab Suci. Sadra
memilih sejumlah tema-tema filosofis dan gnosis, lalu menjelaskannya
dalam miftah-miftah yang berbeda. ‘Miftah’ pertama membahas rahasia dan
hikmah di balik penciptaan alam semesta, kedua, niatan Ilahi dalam
menurunkan Qur’an; ketiga, pengetahuan dan derajatnya; keempat,
penyingkapan (kashf) dan derajatnya; kelima, pengetahuan Ilahiah; keenam,
makna dari ‘keseimbangan’ (mizan) dalam Qur’an; ketujuh, penyingkapan
dari pengetahuan atas esensi (dzat) Tuhan, Nama dan Sifat-Sifat-Nya, dan
tanda-tanda-Nya dalam alam semesta yang terlihat; kedelapan, tindakan-
tindakan Tuhan (af’al); kesembilan, malaikat, tingkatan dan sifat-sifatnya;
kesepuluh, pembagian badan fisik; kesebelas, substansi-substansi intelijibel
sebagai harta dan kekuasaan Ilahi; keduabelas, penciptaan temporal dunia;
ketigabelas, keberadaan dunia arwah; keempatbelas, jalan spiritual menuju
keselamatan; kelimabelas, penciptaan manusia dan perjalanannya dari lahir
hingga kebangkitan kembali; keenambelas, kekuatan malaikat sebagai
tahap-tahap perjalanan spiritual manusia; ketujuhbelas, kebangkitan
manusia dan alam semesta; kedelapanbelas, kebangkitan badani dan

46
penjelasannya; kesembilanbelas, derajat-derajat kebangkitan di Hari
Pengadilan; dan keduapuluh, disiplin spiritual dan jenis-jenisnya. Dua puluh
tujuh manuskrip dari Mafatih telah ditemukan.
6. Mutashabihat al-Qur’an. Merupakan penjelasan Sadra atas ayat-ayat
Qur’an yang berbentuk perumpamaan (mutasyabih) dengan merujuk
kepada Qur’an seperti ‘Tuhan duduk di Singgasana’ dan ‘Tangan Tuhan’.
Meskipun Sadra tidak menambahkan sesuatu yang baru pada apa yang telah
menjadi metodologinya dalam mengulas Qur’an dalam Mafatih al-Ghayb
dan Tafsir Ayat al-Kursi, ia membahas dan mengkritik pendapat-pendapat
dari para pengulas dan teolog sebelumnya, sebelum ia menyatakan
pandangan-pandangannya sendiri mengenai suatu hal. Kitab ini terdiri dari
enam bagian (fasl). Bagian pertama membahas berbagai pandangan
mengenai ayat mutasyabihat dari Qur’an; kedua, pandangan-pandangan dari
para pengulas yang menekanka ‘transendensi’ (tanzih); ketiga, penolakan
atas pandangan-pandangan dari para teolog yang disebut mu’atillah atau ahl
al-ta’il, y.i. mereka yang menolak segala jenis penyifatan bagi Tuhan;
keempat, pandangan-pandangan Sadra sendiri mengenai hal tersebut;
kelima, penjelasan lebih lanjut atas bagian keempat; dan terakhir, tafsir-
tafsir sebagian atas ayat-ayat mutasyabihat tertentu dari sudut pandang
penyingkapan (kashf) dan gnosis (irfan). Risalah ini telah diterbitkan dalam
Sayyid Jalal al-Din Ashtiyani, Sih Risalah. Sebelas manuskrip dari teks ini
telah ditemukan.
7. Sharh Usul al-Kafi. Sebuah ulasan atas kitab Hadits Syi’ah yang terkenal
yang dikumpulkan oleh Abu ja’far Kulayni. Ini merupakan salah satu dari
karya terpenting Sadra dalam kategori spiritual, Sharh merupakan sebuah
tour de force dari tafsir-tafsir filosofis dan esoteris Sadra atas perkataan-
perkataan dari Syi’ah Dua Belas Imam. Corbin menganggap teks ini sebagai
salah satu karya terpenting Syi’ah Dua Belas Imam. Kitab ini menjadi salah
satu contoh paling bagus dari perpaduan Sadrean atas ilmu spiritual dan
intelektual, ini merupakan ulasan filosofis atas tiga puluh empat perkataan
dari kitab Usul al-Kafi yang dikelompokkan dengan judul Kitab al-’Aql wa
al-Jahl. Semua perkataan ini terhubung langsung dengan intelek, inteleksi,

47
pengetahuan, dan keabaian. Sadra pertama menarasikan setiap hadis secara
lengkap dengan rantai sanadnya, membahas sumber-sumber dan
keasliannya, lalu menyediakan ulasannya. Dua belas perkataan pertama
dianalisis bersamaan, setelahnya Sadra mengambil putar balik yang panjang
lalu membahas berbagai hal terkait filsafat, metafisik dan gnosis dalam
hampir 140 halaman dalam edisi cetak. Beberapa hal yang dibahas adalah
makna dan tingkatan intelek (al-’aql) dan keabaian (al-jahl), esensi (dzat),
Nama dan Atribut Tuhan, kosmos dan penciptaannya, relasi antara intelek
dan hati (al-qalb), dan peran intelek dalam meraih kebahagiaan. Kemudian
pembahasan ini diikuti dengan ulasan terpanjang atas kitab mengenai hadits
nomor empatbelas, yakni perkataan bahwa “Tuhan telah menciptakan
intelek”. Di sini Sadra masuk ke dalam sebuah pembahasan yang amat rinci
dengan mengutip sejumlah perkataan Imam dari sumber-sumber lainnya.
Sharh belum selesai ditulis, dan beberapa telah menyatakan bahwa Sadra
wafat di tengah-tengah penulisan kitab ini. Tujuh puluh dua manuskrip teks
ini telah ditemukan.
8. Surat al-A’la. Sebuah ulasan filosofis dan gnostik atas Surat 87 dari Qur’an.
Ia terdiri dari sebuah pengantar (muqaddimah) dan sepuluh ‘pujian’
(tasbih).
9. Surat al-Baqarah. Sebuah ulasan yang belum selesai namun panjang,
tentang Surat kedua dalam al-Qur’an hingga ayat 65. Dalam menjelaskan
ayat-ayat ini, Sadra mengkritik sudut pandang dari kelompok Asy’ariyah
dan Mu’tazilah dalam beberapa hal. Ia juga membahas makna dari ‘huruf
terpisah’ (huruf muqatta’ah) dalam Qur’an. Dua belas manuskrip dari teks
ini telah didaftar.
10. Surat al-Fatihah. Juga dikenal sebagai Surat al-Hamd. Sebuah ulasan
filosofis dan gnostik atas surat pembuka Qur’an/ Sadra membahas banyak
hal, merentang dari arti penting basmalah hingga teorinya mengenai gerak
substansial (al-harakah al-jawhariyyah). dan perbedaan di antara manusia
dalam perjalannya menuju keselamatan. Sembilanbelas manuskrip dari teks
ini telah ditemukan.

48
11. Surat al-Hadid. Sebuah tafsir gnostik atas Surat 57 dari Qur’an. Ulasan ini
terbagi menjadi empat bagian: ‘penyingkapan’ (mukashafah). ‘divine
gleaming’ (lam’ah ilahiyyah). ‘manfaat’ (fa’idah), dan ‘kesimpulan’
(khatimah). Duapuluh enam manuskrip telah didaftar.
12. Surat al-Jumu’ah. Sebuah ulasan gnostik atas Surat ke 62 dari Qur’an. Ia
terdiri dari sebuah pengantar (muqaddimah), dua belas bab atau ‘fajar’
(matla’), dan sebuah kesimpulan (khatimah). Sadra membahas sejumlah isu
ontologis dan menjelaskan perbedaan Avicennan antara jenis ada yang
bertahan sendiri dan yang secara ontologis eksistensinya bergantung kepada
yang lain (y.i. niscaya-dengan-sendirinya dan niscaya-melalui-yang lain).
Dua puluh lima manuskrip telah didaftar.
13. Surat al-Sajdah. Sebuah ulasan esoteris atas Surat ke 32 dari Qur’an dengan
sebuah pengantar, sembilan bab (masing-masing dengan judul yang
berbeda), dan sebuah kesimpula. Salah satu tulisan terbaik Sadra terkait
perjalanan spiritual manusia dan stasiun-stasiunnya. Dua belas manuskrip
telah didaftar.
14. Surat al-Tariq. Sebuah ulasan filosofis dan gnostik singkat atas Surat ke 86.
Dalam pengantar, Sadra menyatakan bahwa ulasan-ulasannya didasarkan
atas intuisi-intuisi Ilahiah yang diberikan kepadanya. Dua puluh dua
manuskrip dari teks ini telah ditemukan.
15. Surat al-Tawhid atau al-Ikhlas. Sebuah ulasan filosofis dan gnostik atas
Surat 112, yang juga dikenal sebagai Surat al-Ikhlas. Dalam enam bab atau
‘manfaat’ (fa’idah), Sadra membahas nama-nama dari surah, alasan-alasan
pewahyuannya, makna dan derajat-derajat ketauhidan serta pengetahuan
Tuhan dan diperjelas dengan argumen-argumen intelektual dan spiritual.
Tiga manuskrip dari teks ini telah didaftar.
16. Surat al-Waqi’ah. Sebuah ulasan gnostik dan filosofis atas Surat 56.
Sepanjang ulasan ini, Sadra membahas berbagai hal terkait kebangkitan
kembali, ruh, dan konsep ada. Dua puluh empat manuskrip telah didaftar.
17. Surat al-Zilzal. Sebuah ulasan filosofis atas Surat 99 berdasarkan gagasan
Sadra tentang gerak substansial dan eskatologi. Dua puluh dua manuskrip
dari teks ini telah dicatat.

49
18. Surat Ya-Sin. Sebuah ulasan filosofis panjang atas Surat 36 dengan
penekanan istimewa pada Hari Pembalasan dan kebangkitan badaniah.
Pengantarnya berisi sebuah pembahasan rinci mengenai arti penting
inteleksi (ta’aqqul) dalam Qur’an. Tujuh belas manuskrip dari teks ini telah
didaftar.
19. Berbagai ulasan Hadis. Sadra telah menulis ulasan-ulasan atas beberapa
sabda Nabi, di antaranya, yang terpenting adalah hadis “Aku merupakan
harta tersembunyu”. Banyak sufi telah mengulas hadis ini sebelum Sadra.
Mengikuti hermeneutika esoterisnya, Sadra memberikan sebuah penjabaran
lengkap atas hadis tersebut. Tiga manuskrip dari ulasan singkat ini telah
didaftar.

2. Karya-Karya Intelektual
1. Ajwibat al-Masa’il al-Kashaniyyah. Jawaban-jawaban Sadra atas lima
persoalan tentang jiwa yang diajukan oleh Mulla Muzaffar Husayn Kashani,
seorang pemikir sejawat Sadra yang juga murid dari Mir Findiriski. Dalam
jawaban-jawabannya, Sadra menjabarkan berbagai aspek dari jiwa,
fakultas-fakultas perseptual dan intelektualnya, serta perbedaan-perbedaan
di antara jiwa manusia dari keadaan potensialitas dan ketidaksempurnaan
menuju perwujudan penuh dan kesempurnaan spiritual. Edisi kritis dari teks
ini muncul dalam kitab Majmu’ah karya Isfahani.
2. Ajwibat al-Masa’il al-Nasiriyyah. Merupakan jawaban-jawaban Sadra atas
tiga persoalan yang diajukan oleh Muhammad ibn Muhammad oleh Nasir
al-Din al-Tusi [w. 672/1274] kepada Shams al-Din ‘Abd al-Hamid ibn Isa
Khusrawshasi [w. 652/1254], yang sampai saat itu belum terjawab.
Persoalan pertama yang diajukan oleh Tusi dan dijawab oleh Sadra adalah
persoalan mengenai gerak dan relasinya dengan waktu. Persoalan kedua
adalah mengenai potensialitas (al-imkan) dan bagaimana ia terhubung
dengan perkembangan fisik dan spiritual manusia. Persoalan ketiga terkait
dengan multiplisitas (kejamakan), bagaimana ia terlahir dari Yang Satu, dan
apakah kejamakan teremanasi dari Yang Satu dalam tindak tunggal kreasi
atau dalam tatanan menurun. Edisi litograf dari teks ini muncul dalam

50
marjin kitab Sadra, al-Mabda’ wa al-Ma’ad dan Sharh al-Hidayah. Edisi
kritisnya terdapat dalam kitab Majmu’ah, Isfahani.
3. Ajwibat al-Masa’il Shams al-Din Muhammad Ghilani. Ini merupakan
tanggapan Sadra atas lima pertanyaan filosofis yang ditanyakan oleh filsuf
Peripatetik, Mulla Shamsa-yi Ghilani [w. 1081], juga dikenal sebagai as
Shamsa’, yang merupakan seorang murid dari Mir Damad. Dalam satu arti,
persoalan ini dapat dilihat sebagai sebuah kritik Peripatetik atas filsafat
transenden Sadra oleh salah satu tokoh utama lingkaran Mir Damad.
Nampaknya, persoalan-persoalan dari Ghilani ini, telah memberikan bagi
Sadra sebuah kesempatan untuk lebih jauh memperjelas beberapa
gagasannya melawan para pengkritiknya. Lima pertanyaan singkat yang
diajukan oleh Ghilani adalah sebagai berikut: (1) perubahan dalam kategori
kuantitas (kamm), yang untuknya Sadra menjawabnya dengan membahas
makna dari perubahan dalam kategori; (2) watak dari jiwa vegetatif (nafs
nabati), seperti apakah ia, jika memang benar, berubah, dan penanggalan
jiwa manusia (tajarrud al-nafs) dari eksistensi (wujud) korporeal; (3)
eksistensi (wujud) mental (wujud dhihni) dan bagaimana akal mencerap
kategori-kategori semacam kualitas, kuantitas, posisi dan tempat; (4)
perbedaan antara indera manusia dan binatang, yang telah membawa, baik
Ghilani dan Sadra untuk membahas persoalan menarik mengenai apakah
binatang juga akan dibangkitkan kembali seperti manusia; dan (5)
penciptaan jiwa dari setiap manusia sebelum penciptaan badan mereka atas
dasar hadis “Aku dulunya adalah seorang nabi ketika Adam berada di antara
air dan lempung [y.i. sebelum ia diciptakan]”. Setelah sebelumnya teks ini
terbit dalam marjin dari Kitab Sadra, al-Mabda’ wa al-Ma’ad, ia muncuk
kembali dalam Sih Risalah yang telah disunting oleh S.J. Ashtiyani. Edisi
kritis dari teks ini diterbitkan dalam Isfahani, Majmu’ah. Enam manuskrip
tentang risalah ini telah didaftar.
4. Asalat Ja’l al-Wujud (Risalah). Merupakan sebuah risalah mengenai
bagian penting dari ontologi Sadra, y.i. instaurasi (ja’l), yang merujuk
kepada keutamaan wujud dalam eksistensiasi hal-ihwal. Sadra telah
membahas persoalan ini secara panjang baik dalam Asfar dan Masha’ir.

51
Dalam karya yang relatif kecil ini, Sadra membahas poin-poin utama
tentang instaurasi dari kuiditas yang dipertahankan oleh al-Suhrawardi dan
mazhabnya. Kedua adalah terpadunya ada dan kuiditas, yang Sadra
atributkan kepada para filsuf Peripatetik. Dan yang ketiga adalah keutamaan
instaurasi wujud, yang merupakan posisi Sadra sendiri. Edisi kritik dari teks
ini muncul dalam Isfahani, Majmu’ah.
5. Dibajah-i Arsh al-Taqdis, juga disebut Risalat al-Khalisah. Sebuah
pengantar tiga halaman kepada kitab Mir Damad, Asfar. Dibajah dan al-
Khalisah terkadang didaftar sebagai dua karya terpisah tetapi nyatanya
keduanya merupakan bagian dari risalah yang sama. Di bagian pertama,
yang disebut Risalat al-Khalisah, Sadra menarasikan sebuah mimpi yang ia
dapat di malam terakhir bulan Ramadan, 1028 M, diikuti dengan tafsiran
atasnya. Dalam mimpi tersebut, Sadra melihat Rasulullah dan dirinya
melaksanakan suatu perjalanan setelah menyelesaikan solat sunnah. Saat
menaiki jalanan pegunungan yang kecil dan sempit, Sadra melalui sejumlah
tahapan yang mudah dan susah, terkadang berjalan, terkadang menaiki
keledai. Setelah beberapa lama, seorang lelaki yang agung dan berwibawa
muncul dan berkata kepada Sadra bahwa keledainya tidaklah dibuat demi
perjalanan yang berat ini. Ketika mendengarkannya, Sadra meninggalkan
tunggangannya dan menapaki jalan tersebut sendiri dengan kesadaran dan
tenaga penuh. Setelah menceritakan mimpinya tersebut, Sadra memberikan
suatu tafsir spiritual atasnya dan berbagai tahapannyya. Bagian kedua dari
risalah tiga halaman ini, yang dikenal dalam judul Persia-nya, Dibajah,
memuji Mir Damad dan karyanya. Dua bagian dari risalah tersebut
diterbitkan dalam Majmu’ah Isfahani.
6. Hashiyah Sharh Hikmat al-Ishraq. Meskipun ditulis dalam bentuk suatu
ulasan atas ulasan terkenal dari Qutb al-Din Shirazi atas kitab Hikmat al-
Ishraq al-Suhrawardi, teks paling definitif dari Mazhab Iluminasi (ishraq),
ini merupakan salah satu karya filosofis penting Sadra. Sadra menyajikan
relasi dan perbedaan antara mazhab Peripatetik dan Iluminasionis dengan
kejelasan dan kedalaman luar biasa. Hashiyah juga penting untuk
memahami keseluruhan posisi Sadra terkait dua mazhab yang darinya ia

52
telah memasukkan banyak anasir ke dalam pemikirannya sendiri. Suatu
terjemahan parsial atas ulasan Sadra ini telah diterbitkan bersama dengan
ulasan Qutb al-Din Shirazi oleh Henry Corbin dalam terjemahannya atas
Hikmat al-Ishraq. Sembilan manuskrip dari teks ini telah didaftar.
7. Al-Hashr (Risalah). Teks ini dikenal dengan beberapa nama berbeda:
Hashr al-Ashya’ wa Ma’ad kull shay’, Tarh al-Kawnayn fi Hashr al-
’Alamayn, dan Hashr al-’Awam fi Ma’ad al-Ashya’ wa Hashriha. Tema
utama dari risalah ini adalah kebangkitan kembali semua eksistensi,
termasuk kerajaan binatang dan tumbuhan serta dunia mineral. Sadra
memperluas makna dan cakupan dari kebangkitan kembali kepada semua
eksistensi (wujud) bersama dengan ontologi dan filsafat alamnya, yang
melihat dunia ciptaan itu tak lain dari berbagai derajat dan moda dari suatu
realitas ada yang mencakup segalanya melalui gradasi ontologis.
Risalah ini dibagi menjadi delapan bab (fasl). Dalam pengantar,
Sadra membagi ada menjadi lima ‘lapis’ atau ‘kelas’ (tabaqah) dalam suatu
urutan menurun. Ini adalah intelek-intelek terpisah, yang termasuk ke dalam
ranah Ilahiah di maba arketip-arketip dan Forma-Forma/Idea-Idea Platonik
bertempat; ruh-ruh yang bergerak dalam dunia intelijibel dan terhubung
dengan ‘badan-badan’ (ajram) yang lebih rendah dan lebih tinggi; ruh-ruh
partikular seperti setan dan manusia di mana ranah manusia dimulai; jiwa-
jiwa tumbuhan dan binatang, yang bertujuan sebagai sebuah jembatan
antara wilayah manusia dan material; dan terakhir, keberadaan derajat
terendah (asfal al-safilin), y.i. badan-badan tak-gerak.
Setelah memaparkan pembagian ini, Sadra menjelaskan, dalam
delapan bab, kebangkitan kembali dari semua ada dari intelek-intelek yang
berbeda menjadi entitas-entitas material kasar. Bagian pertama membahas
kebangkitan kembali dari tatanan ada tertinggi, y.i. intelek-intelek terpisah
dan kekekalannya (baqa’) dalam dan oleh Tuhan; kedua, kebangkitan
kembali dari ‘jiwa-jiwa rasional’ (al-nufus al-natiqah), yang Sadra bagi
menjadi ‘celestial’ (falakiyyah) dan ‘manusiawi’ (insaniyyah); ketiga
kebangkitan kembali dari ‘jiwa-jiwa binatang’ (al-nufus al-haywaniyyah) di
mana Sadra berpendapat mengenai kembalinya fakultas binatang seperti

53
persepsi, pendengaran dan penglihatan dalam bentuk-bentuk arketipal
mereka; keempat, kebangkitan kembali tanaman dan kekuatan-kekuatan
penggerak lainnya seperti pertumbuhan dan perkembangbiakan dimana
Sadra menggambarkan kerajaan tumbuhan memiliki suatu derajat
kesadaran yang lebih rendah dari kerajaan binatang dan manusia tetapi lebih
tinggi dari wilayah-wilayah tak bergerak; kelima, kebangkitan kembali dari
entitas-entitas dan anasir-anasir fisikal di mana Sadra menyematkan satu
derajat kesadaran bahkan untuk badan-badan material karena mereka sama-
sama memiliki watak eksistensi (al-wujud); keenam, kembalinya dan
kebangkitan kembali dari fakultas penginderaan (al-hissiyat); ketujuh,
kebangkitan kembali dari materia prima (al-hayula al-ula) dan entitas-
entitas material lainnya di mana Sadra mengartikan pembagian eksistensial
dari materia prima sebagai potensialitas murni (al-imkan); dan delapan,
penjelasan terakhir mengenai kebangkitan kembali dari semua ada. Risalah
ini diakhiri dengan sutu kesimpulan dan kesaksian. Sepanjang
pembahasannya, Sadra kerapkali membuat rujukan kepada Plato dan kaum
Peripatetik. Risalah ini dicetak di Rasa’il. Muhamamd Khawajawi telah
menerbitkan sebuah edisi kritis dengan penerjemahan Persia dengan judul
Risalat al-Hashr ya Kitab-i Rastakhiz-i Jahan. Tiga puluh manuskrip
tentangnya telah ditemukan.
8. Al-Hashriyyah. Sebuah risalah yang membahas persoalan mengenai akhirat
dan kebangkitan kembali. Risalah ini, yang hanya muncul dalam koleksi
Isfahani, merupakan sebuah ringkasan dari pandangan-pandangan Sadra
mengenai perkara ini yang diambil dari Asfar, al-Mabda’ wa’l Ma’ad,
Mafatih al-Ghayb, Asrar al-Ayat, dan al-Shawahid al-Rububiyah. Karena
teks Hashriyyah ini hampir keseluruhannya salinan kata per kata dari karya-
karya Sadra lainnya, ia mungkin semata-mata merupakan kompilasi yang
ditulis Sadra sendiri atau oleh salah satu muridnya, ketimbang merupakan
sbeuah risalah terpisah. Risalah ini dibagi menjadi sembilan bagian (fasl).
Bagian pertama membahas dengan singkat alam kubur dan siksanya; kedua,
makna dan kenyataan kebangkitan kembali; ketiga, jembatan al-Sirat, yang
digambarkan dalam al-Qur’an, yang mana nantinya manusia idminta untuk

54
melintasinya di Hari Penghakiman; keempat, penghitungan dan
penimbangan amal yang dilakukan di dunia; kelima, peristiwa-peristiwa
yang akan terjadi di Hari Kiamat seperti dibukanya buku-buku catatan,
turunnya malaikat bagi mereka yang baik dan setan bagi mereka yang jagat;
keenam derajat-derajat dari manusia yang nantinya ditanyai oleh Tuhan,
yang Sadra bagi menjadi berbagai kategori; ketujuh, gambaran mengenai
surga dan neraka; kedelapan, kekembalian terakhir dari semua manusia
menuju watak fitrahnya; dan kesembilan akhir dan penciptaan kembali jagat
raya di Hari Penghakiman. Edisi Kritis dari teks ini muncul di Majmu’ah
Isfahani.
9. Khalq al-A’mal (Risalah fi); teks ini juga dikenal sebagai Jahr wa Tafwid
al-Qadar wa Af’al al-’Ibad. Sebuah pembahasan singkat mengenai
persoalan teologis kehendak bebas dan takdir. Sadra bertujuan untuk
mencapai posisi seimbang antara dua posisi teologis ekstrem takdir mutlak
(al-jabr) dan kehendak mutlak (al-tafwid). Untuk menjabarkan perkara ini,
Sadra memperkenalkan empat posisi yang saling terhubung satu sama lain
dalam sejarah Islam. Pandangan pertama dipegang oleh kelompok
Mu’tazilah, memberikan manusia kebebasan mutlak atas keputusan dan
tindakannya. Pandangan kedua digawangi oleh mazhab teologis bernama
‘jabariyyah’; mereka tidak menganggap keberadaan ‘pelaku’ (fa’il) dan
‘agen’ (mu’aththir) di dunia kecuali Tuhan, karenanya tergelincir dalam
fatalisme. Pandangan ketiga dibela oleh mazhab Asy’ariyah, mereka
menyamakan Tuhan sebagai sebab tertinggi dari semua sebab (musabbib al-
asbab) tetapi mengizinkan kehendak parsial (al-iradah al-juz’iyyah) bagi
manusia atas tindakan-tindakannya. Pandangan keempat disokong oleg
mereka yang ia sebut ‘kuat dalam pengetahuan’ (al-rasikhun fi ‘l-’ilm),
sebuah nama yang diambil dari al-Qur’an (3:7), dan mengajukannya sebagai
satu-satunya posisi yang diterima, yang menetapkan keseimbangan di antara
dua ekstrem. Di bagian ini, Sadra mengutip dari Imam Shi’i dan merujuk
kepada ucapan-ucapan terkenal dari Imam Syi’i keenam, Imam Ja’far al-
Sadiw [w. 148/765] terkait kehendak bebas dan predeterminasi bahwa ‘yang
benar adalah bahwa tidak ada determinasi mutlak atau kehendak mutlak,

55
tetapi sesuatu di antara keduanya.” Risalah ini diterbitkan dalam Rasa’il S.
J. Ashtiyani. Edisi Kritis dari teks ini muncul dalam Majmu’ah Isfahani.
Dua puluh lima manuskrip dari teks ini telah didaftar.
10. Al-Hikmah al-’Arshiyyah. Ini Merupakan karya terpenting Sadra mengenai
eskatologi dan penerapan dari filsafat transendennya terhadap persoalan-
persoalan eskatologis. Kitab ini terbagi menjadi dua bagian utama. Bagian
pertama membahas Tuhan, Nama dan Atributnya dengan ringkas, yang
Sadra sajikan sebagai sebuah pengantar bagi tema utama. Bagian kedua
membahas kebangkitan kembali dan keadaan setelah mati. Bagian kedua
lebih jauh terbagi menjadi tiga sub-bagian. Sub-bagian pertama secara
khusus membahas psikologi: jiwa manusia (al-nafs), tingkatan-
tingkatannya, indera, relasi antara jiwa dan badan, dan jiwa sebagai sebuah
gerbang menuju dunia abadi. Sub-bagian kedua khusus ditulis menjadi
suatu pembahasan rinci atas kebangkitan kembali di mana Sadra, dengan
menggunakan kosakata filosofisnya, memperagakan kemungkinan dari
kebangkitan badaniah, yang telah ditolak oleh Farabi dan Ibn Sina. Sub-
bagian ketiga berkisar di antara pembahasan keadaan manusia setelah mati.
Di sini Sadra mendasarkan analisisnya atas eskatologi Qur’ani dan
membahas perkara semacam surga dan neraka, isthmus (al-a’raf) dan para
penghuninya (y.i. mereka yang ada di antara surga dan neraka). dan apakah
binatang akan mengadakan suatu ‘perkumpulan’ sama halnya dengan
manusia. Kitab ini telah menggiring suatu kontroversi jangka panjang
terkait posteritas-nya, khususnya di antara para teolog Syi’ah. Syaikh
Ahmad Ahsa’i, pendiri dari mazhab Syaikhi yang dirujuk di atas, memiliki
suatu ulasan atas ‘Arshiyyah di mana ia menolak argumen-argumen utama
Sadra. Mulla Isma’il Isfahani menulis sebuah tanggapan untuk kritik Ahsa’i.
James Winston Morris telah menerjemahkan teks penuh dari ‘Arshiyyah ke
dalam bahasa Inggris. Lima puluh satu manuskrip dari teks ini telah
ditemukan.
11. Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi ‘l-Asfar al-’Arba’ah. Magnum Opus Sadra.
Teks ini ditulis dalam empat bagian (9 jilid dalam edisi cetak) dalam bentuk
‘empat perjalanan’, Asfar merupakan teks paling definitif dari korpus

56
Sadrean. Ini juga merupakan salah satu karya paling penting dari filsafat
Islam paska Ibn Sina. Ia mencakup keseluruhan spektrum filsafat tradisional
dari ontologi dan epistemologi ke psikologi dan eskatologi. Menggunakan
gambaran perjalanan (safar) yang tak diragukan lagi diambil dari Sufi,
Sadra membagi Asfar menjadi ‘empat perjalanan intelektual’ (al-asfar al-
’aqliyyah al-’arba’ah). Perjalanan pertama, dibagi menjadi tiga bagian
(juz’) dan sepuluh tahap (marhalah), adalah dari dunia ciptaan menuju
Kebenaran dan/atau Pencipta (min al-khalw ila ‘l-haqq) di mana Sadra
memaparkan persoalan metafisik dan ontologi yang dikenal juga di bawah
rubrik ‘asas-asas umum’ (al-umur al-’ammah) atau ‘ilmu ketuhanan dalam
artian umum’ (al-’ilm al-ilahi bi ‘l-mana al-amm). Dalam bagian ini, Asfar
membahas dasar-dasar ontologis dari sistemnya termasuk topik seperti
makna filsafat, ada (wujud) dan keutamaannya (asalah) atas kuiditas
(mahiyah), gradasi ada (tashkik al-wujud), eksistensi mental (wujud dhihni),
Forma Platonik (al-muthul al-aflatuniyyah), kausalitas, gerak substansial,
waktu, penciptaan temporal dunia, intelek dan kesatuan antara intelek dan
intelijibel.
Perjalanan kedua adalah dari Kebenaran menuju Kebenaran oleh
Kebenaran (min al-haqq ila ‘l-haqq bi ‘l-haqq). Bagian pertama lebih jauh
dibagi menjadi funun (bermakna seni atau ilmu) dan bagian kedua menjadi
enam funun. Dalam perjalanan kedua ini kita akan menemukan catatan
lengkap dari filsafat alam Sadra dan kritiknya atas sepuluh kategori
Aristotelian. Di antara perkara yang dibahas secara luas adalah kategori,
substansi dan aksiden, bagaimana entitas fisik eksis, hyle dan arti
filosofisnya, materi dan forma (hylomorphisme), forma-forma natural, dan
hirarki dari semesta fisik.
Perjalanan ketiga, dibagi menjadi dua bagian (juz’) dan sepuluh
stasiun (mawqif), adalah dari Kebenaran menuju dunia ciptaan dengan
Kebenaran (min al-haqq ila ‘l-khalq bi ‘l-haqq) di mana Sadra
merekonstruksi teologi, yang dibahas di bawah judul ‘metafisik’ atau ‘ilmu
ketuhanan dalam arti khusus’ (al ‘ilm al-ilahi bi ‘l-ma’na ‘l-akhass). Dalam
bagian Asfar ini, dimensi teologis dari pemikiran Sadra dan serangan tak

57
hentinya kepada para teolog (mutakallimun) maju ke depan. Di antara
perkara yang dialamatkan Sadra adalah ketauhidan dan eksistensi (wujud)
Tuhan dan bukti-bukti kalam sebelumnya mengenainya, kesederhanaan
ontologis dari Wujud Mutlaq, Nama dan Sifat Tuhan, Pengetahuan Tuhan
atas dunia, Kekuasaannya, Divine Providence, kalam sebagai suatu sifat
Tuhan, baik dan jahat (teodisi), prosesi dari dunia kejamakan dari yang Satu,
dan kesatuan filsafat (‘kebijaksanaan’, hikmah) dan Hukum Ilahiah
(shari’ah).
Perjalanan keempat, perjalanan terakhir; dibagi menjadi dua bagian
(juz’) dan sebelas ‘gerbang’ (bab), adalah dari dunia penciptaan menuju
dunia penciptaan dengan Kebenaran (min al-khalq ila l-khalq bi ‘l-haqq) di
mana rantai besar ada dilengkapi dengan psikologi, kebangkitan kembali,
dan eskatologi. Hal ini memiliki dua makna yang terkait erat dalam
pemikiran Sadra. Pertama, perjalanan intelektual dari sang pejalan (salik)
berakhir di masa kini dan keadaan manusia setelah mati. Kedua, perjalanan
material dan spiritual dari tatanan eksistensi (wujud), yang telah dimulai
dengan penciptaan dunia dan kenyataan ada, dilengkapi dengan penuh
dengan kekembalian terakhir menuju Tuhan. Bagian dari Asfar ini
menyediakan penyelidikan tour de force atas psikologi tradisional dengan
bahan yang dipilih dari psikologi Peripatetik Ibn Sina dan pandangan-
pandangan gnostik Ibn al-’Arabi. Seperti dalam bagian lainnya dari Asfar,
Sadra menyajikan suatu sejarah kritis dari gagasan-gagasan dan teori-teori
mengenai jiwa manusia dari Yunani hingga filsuf dan teolog Muslim. Di
antara perkara yang dibahas adalah jiwa dan keadaan-keadaannya, berbagai
kekuatan jiwa dalam interaksinya dengan dunia fisik dan intelijibel, indera,
imajinasi (takhayyul) dan dunia imajinal (‘alam al-khayal). Sadra juga
membahas ajaran terkenalnya bahwa jiwa itu bersifat badani/material dalam
penciptaannya dan spiritual dalam kekekalannya (jismaniyyat al-huduth
ruhaniyyat al-baqa), ketidakmungkinan transmigrasi (tanasukh),
kebangkitan kembali spiritual dan badaniah, dan kenyataan surga dan
neraka. Edisi litografis dari Asfar pertama diterbitkan di Tehran, 1282 A.H.
Lunar. Sebuah edisi modern dari Asfar dalam 9 jilid telah dipersiaplan oleh

58
Muhammad Rida al-Muzaffar, dan diterbitkan di Beirut dengan catatan oleh
Mulla Hadi Sabziwari [w. 1290/1873], ‘Ali Mudarris Zunuzi Tabrizi, Aqa
Muhammad Rida Qumsha’i [w. 1306/1888-9], dan Muhammad Husayn
Tabataba’i. Banyak ulasan lainnya serta catatan telah ditulis atas Asfar oleh
Aqa Muhamamd Bidabadi, Mulla ‘Ali ibn Jamshid Buri [w. 1246/1830],
Mulla Isma’il Isfahani [w. 1277/1860-1], Mirza Hasyim Gilani Rashti
Askiwari, Mulla Aqa-i Qazwini [w. 1282 AH], Mirza Muhammad Musawi
Khawansari, dan Muhamamd ibn Ma’sum Zanjani [w. 1349 AH].
Sarjanawan Persia kontemporer Hasan Hasan-Zadah Amuli menerbitkan
sebuah edisi baru dari Asfar dengan catatan dan glossesnya sendiri. Dua
ratus tiga puluh manuskrip dari Asfar telah dicatat.
12. Huduth al-’Alam. Karya terpenting Sadra mengenai penciptaan temporal
dunia. Sadra melihat bahwa topik ini amat penting bagi kesatuan dari
bentuk-bentuk pengetahuan filosofis dan spiritual. Ini juga persoalan yang
di dalamnya Sadra memasukkan ruang yang cukup besar di Asfar. Konsep
gerak substansial, yang tentangnya Sadra menggunakan sepenuhnya untuk
menghubungkan filsafat alamnya dengan metafisika, berdiri sebagai tesis
utama dari risalah ini. Sadra pertama menyajikan sebuah tinjauan cemerlang
atas perkara ini, dimulai dengan pre-Sokrates, Plato (dengan kutipan-
kutipan dari Timaeus), dan Aristoteles. Dia kemudian berpindah menuju
penyajian serta kritik atas pandangan-pandangan dari para filsuf dan teolog
Muslim. Risalah ini terdiri dari sebuah pengantar, dua belas bagian (fasl),
dan sebuah kesimpulan. Pengantar ini menyajikan perkara tersebut sebagai
salah satu persoalan tersulit di filsafat, dan membahas alasan-alasan Sadra
menyusun buku ini. Bagian pertama menganalisis konsep keniscayaan dan
kontinjensi; kedua, konsep potensi dan aktualitas; ketiga, gerak dan diam;
keempat, penjabaran atas watak (tabi’ah) sebagai prinsip bawaan dari gerak
dan perubahan dalam setiap penggerak; kelima, pembaruan terus-menerus
dari substansi jiwa rasional; keenam, watak sebagai prinsip langsung
pembaruan dalam badan-badan korporeal; ketujuh, gerak sirkular sebagai
gerak terkuno dan tersempurna; kedelapan, penjabaran atas kenyataan
waktu; kesembilan, kemendahuluan dari waktu terhadap segala sesuatu;

59
kesepuluh, ringkasan dari poin-poin yang telah dibahas sejauh ini;
kesebelas, relasi dari yang tercipta secara temporal dan yang kekal; dan
keduabelas, eksistensi dari Intelek Aktif. Dalam kesimpulan, Sadra
merangkup pandangan dari para filsuf sebelumnya kemudian menyajikan
keseluruhan penilaiannya. Dua puluh sembilan manuskrip dari teks ini telah
didaftar.
13. Iksir al-’Arifin fi Ma’rifat Tariq al-Haqq wa ‘l-Yaqin. Salah satu dari
karya Sadra yang lebih gnostik dan sufistik, ia dibagi menjadi empat bagian
utama (bab) dengan sub-bagian (fasl). Bagian pertama membahas, dalam
lima sub-bab, pengetahuan dan pembagian ilmu-ilmu; kedua, jiwa manuusia
sebagai penerima dari semua pengetahuan dan kemampuan manusia untuk
mengetahui; ketiga, jiwa dan keadaan-keadaannya; dan keempat, akhir dari
semua pengetahuan dan kekembalian terakhir semua hal kepada Tuhan.
Tiga puluh empat manuskrip dari teks tersebut telah dicatat. Sebuah
terjemahan berbahasa Inggris atas Iksir oleh William Chittick direncanakan
cetak pada tahun 2003.
14. Ittihad al-’Aqil wa ‘l-Ma’qul. Karya filosofis Sadra terpenting mengenai
intelek dan intelijibel, Ini merupakan rangkuman Sadra sendiri atas bagian
ketiga daru perjalanan pertama dalam Asfar yang berjudul ‘tentang intelek
dan intelijibel’ (fi ‘l-’aql wa ‘l-ma’qul). Risalah ini terdiri dari sebuah
pengantar dan dua bagian (maqalah). Bagian pertama kemudian dibagi
menjadi enam sub-bagian (fasl) dan bagian kedua menjadi tiga sub-bagian.
Sadra mulai dengan membahas tiga makna dan tingkat intelek, y.i. intelek
material/hylic (al-’aql al-hayulani), intelek aktual atau perolehan (al-’aql bi
‘l-fi’l) dan intelek aktif atau agen (al-’aql al-fa’al). Sepanjang
pembahasannya, Sadra mengkritik para filsuf secara umum dan Ibn Sina
secara khusus karena gagal memahami kesatuan antara intelek dan
intelijibel sebagai definisi sejati pengetahuan. Untuk tujuan itu, ia mengutip
Alexander dari Aphrodisias dan Plotinus (dari Uthulujiyyah yang dengan
keliru disandarkan kepada Aristoteles), membela Porphyry di hadapan
catatan-catatan kritis Ibn Sina, dan menjelaskan banyak prinsip dari
filsafatnya termasuk keutamaan ada (asalat al-wujud), gerak substansial (al-

60
harakah al-jawhariyyah), dan gagasan bahwa suatu kenyataan sederhana
mengandung semua hal dalam dirinya (basit al-haqiqah kull al-ashya’).
Sadra juga menyajikan sebuah diskusi panjang tentang intelek aktif atau
agen, seperti yang ditafsirkan oleh para filsuf Peripatetik, untuk menguatkan
pandangan-pandangannya mengenai kesatuan intelek dengan intelijibel.
Risalah ini tanpa alasan yang jeals tetiba berakhir dengan sebuah
pembahasan mengenai beberapa istilah teknis dan sebuah kutipan dari
Uthulujiyya. Edisi kritis dari risalah ini diterbitkan di Majmu’ah Isfahani.
Sembilan belas manuskrip telah didaftar.
15. Ittisaf al-Wujud bi ‘l-Mahiyah. Sebuah risalah mengenai bagaimana ada
dan kuiditas terkait satu sama lain. Sadra membahas salah satu perkara
utama dari ontologi tradisional, y.i. bagaimana ada (wujud) disifatkan
kepada kuiditas (mahiyah). Ia memulai analisisnya dengan menegaskan
kesulitan-kesulitan yang disebabkan oleh persoalan ini, serta mengkritik
pandangan-pandangan kalam atas perkara ini, khususnya Fakhr al-Din al-
Razi [w. 606/1210] dan Jalal al-Din Dawani [d. 908/1502]. Pembahasan ini
berkisar di sekeliling dua persoalan: dapatkah kuiditas dikatakan ‘eksis’,
dan dapatkah ada (wujud) menjadi sebuah predikat bagi kuiditas? Risalah
ini dicetak dalam Rasa’il. Enam belas manuskrip telah didaftar.
16. Kasr al-Asnam al-Jahiliyyah fi Dhamn al-Mutasawwifin. Ini merupakan
serangan Sadra kepada mereka yang mendaku Sufi dan memegang
pendapat-pendapat yang berlebihan. Risalah ini penting untuk memahami
pandangan-pandangan Sadra tentang tradisi Sufi yang darinya ia meminjam
secara bebas dan luas sama halnya dengan para pengikut yang mendaku-
daku. Sadra admonishes mereka yang mengabaikan ilmu Ketuhanan (al-
’ilm al-ilahi) dengan mengartikannya sebagai suatu hijab. Ia mengutip
sejumlah ayat Qur’an dan sabda Rasul, begitu pula dari para filsuf. Risalah
ini terdiri dari sebuah pengantar, empat bab (maqalah), masing-masingnya
terdiri dari sub-bab (fusul), dan sebuah kesimpulan. Bagian pertama
mengukuhkan, dalam tiga sub-bab, makna dari pengetahuan Ilahi dengan
menekankan resiprositas di antara pengetahuan (ma’rifah) dan praktik
spiritual (riyadah). Bab kedua menjelaskan, dalam sembilan sub-bab, sifat-

61
sifat dari kebijaksanaan (al-abrar), yang Sadra anggap sebagai pejalan sejati
jalur spiritual. Bab keempat berisi, dalam lima sub-bab, seangkaian ceramah
dan nasihat dengan rujukan khusus kepada status rendah dunia dan mereka
yang mematuhinya. Teks ini telah disunting oleh M.T. Danechepazuh. Tiga
belas manuskrip telah dicatat.
17. Al-Lama’at al-Mashriqiyyah fi ‘l-Mabahith (al-funun) al-Mantiqiyyah,
juga dikenal sebagai al-Tanqih dan al-Tanqiyah. Sebuah risalah singkat
tentang logika yang ditulis dari sudut pandang kritik al-Suhrawardi terhadap
logika dan kategori Aristotelian. Karena analisis kritisnya, risalah ini
terkadang disebut ‘Risalah mengenai Penolakan Logika’ (Risalah dar
Naqd-i Mantiq) dalam katalog manuskrip Persia. Ini merupakan sebuah
ringkasan dari ulasan Sadra yang lebih panjang atas sub-bab logika dari
Hikmat al-Ishraq Suhrawardi. Ia terdiri dari sembilan bab atau iluminasi
(ishraq) dengan masing-masing ‘iluminasi’ dibagi lagi menjadi ‘gleaming’
(lam’ah). Sadra memulai dengan definisi dari logika (mantiq) dan
pengetahuan (‘ilm) dan mengalamatkan hampir semua perkara besar dari
logika klasik termasuk konsep-konsep sederhana dan susunan, luma
universal (al-kulliyat al-khamsah), proposisi (al-alfaz), predikasi (al-haml),
definisi (al-hadd), posibilitas (al-imkan), keniscayaan (al-wujub) senagai
kategori-kategori logis, analogi (al-qiyas) dan jenis-jenisnya, bukti logis
(al-burhan), dan sofistri (sufistiqi dan mughalatah). Edisi kritis dari teks ini
telah diterbitkan dalam Majmu’ah Isfahani. Enam manuskrip telah didaftar.
18. Limmiyat Ikhtisas al-Mintawah bi-Mawdi’ Mu’ayyan min al-Falak; juga
dikenal dengan judul al-Limmiyat fi ikhtisas al-Falak bi-Mawdi’
Mu’ayyam. Sebuah risalah empat halaman mengenai persoalan astronomi
mengapa zodiak memiliki posisi yang lebih jika dibandingkan dengan yang
lainnya. Beberapa sumber menyebut suatu risalah yang disebut Hall al-
Ishkalat al-Falakiyyah sebagai seuatu buku terpisah atas dasar sebuah
rujukan kepadanya di Asfar. Akan tetapi, hampir pasti bahwa keduanya
adalah karya yang satu dan jelas sama. Dalam mengalamatkan perkara
astronomis ini, Sadra masuk ke dalam sebuah diskusi filosofis mengenai
prosesi Zodiak dan bintang-bintang lain dari intelek universal, dan

62
mempercanggih argumen ontologis ini untuk membuktikan emanasi dari
wilayah dunia malaikat. Edisi kritis dari kitab ini ada dalam Majmu’ah
Isfahani. Lima manuskrip dari teks ini telah dicatat.
19. Al-Mabda’ wa ‘l-Ma’ad. Sebuah risalah tentang kosmogo-ni dan
eskatologi. Seperti yang digambarkan oleh judulnya, Sadra menerangkan
tentang rantai besar ada berdasarkan ajaran ontologis serta eskatologisnya.
Teks ini membahas pembagian utama filsafat tradisional seperti metafisik
(al-ilahiyyat), filsafat alam (al-tab’iyyat), psikologi (‘ilm al-nafs), dan asal
mula semesta dengan sebuah diskusi mengenai profetologi (nubuwwah)
Islam di akhir. Karya ini dibagi menjadi dua bagian utama atau ‘ilmu’
(fann). Bagian pertama membahas watak Tuhan, yang Sadra sebut
‘rububiyyah’, dan bagian kedua filsafat alam. Bagian pertama dibagi
menjadi tiga sub-bagian (maqalah). Sub-bagian pertama membahas asal
usul ada (wujud) dan eksistensi (wujud) Tuhan; kedua, Nama dan Atribut
Tuhan; dan ketiga, tindakan Tuhan di alam semesta. Bagian kedua dibagi
menjadi empat sub-bagian. Sub-bagian pertama membahas penciptaan dan
pembentukan tatanan alam raya dari berbagai anasir; kedua, kebangkitan
kembali badani; ketiga, kebamgkitan kembali manusia berdasarkan prinsip
gnostik; dan keempat, profetologi Islam. Sub-bagian keempat di bagian
kedua disajikan sebagai rangkuman dari filsafat politik Sadra di mana ia
mengalamatkan perkara seperti peran dari nabi dalam agama, mukjizat,
perbedaan antara wahyu dan ilham, politik, dan tujuan dari Syari’ah.
Sabziwari telah menulis sebuah ulasan (hashiyah) atas al-Mabda’ wa ‘l-
Ma’ad. Dua terjemahan bahasa Parsi tersedia oleh Sayyid Ahmad Ardakani
dan Ahmad ibn Muhammad Husayni dengan sebuah komentar paralel
berbahasa Parsi. Sebuah ringkasan berbahasa Parsi dari karya ini telah
dipersiapkan oleh Nazar ‘Ali Ghilani di bawah judul Khulasah-i Mabda’ u
Ma’ad. Yang terbaru, ia telah disunting oleh Sayyid Jalal al-Din Ashtiyani
dengan pengantar Parsi dan Inggris oleh S. H. Nasr. Tujuh puluh sembilan
manuskrip dari teks ini telah didaftar.
20. Al-Masa’il al-Qudsiyyah wa ‘l-Qawa’id al-Malakutiyyah. Salah satu karya
Sadra yang ditulis setelah Asfar seperti yang ia rujuk dalam risalah sebagai

63
‘buku besar kami’ (kitabuna ‘l-kabir). Ini kemungkinan besar merupakan
risalah yang sama dengan al-Masa’il al-Qudsiyyah fi ‘l-Hikmat al-
muta’aliyah yang disebut oleh Nasr. Risalah ini memusatkan diri pada tiga
persoalan utama yang telah dibahas oleh Sadra dalam karyanya yang lain,
y.i. kenyataan ada dianalisis dalam bab (maqalah) pertama, Tuhan sebagai
ada niscaya dibahas di bab kedua. Sadra menyatakan bahwa argumen yang
disebut dalam Masa’il tidaklah diturunkan dari spekulasi diskursif a la
filsafat formal (al-falsafah al-rasmiyyah), debat-debat teologis, imitasi buta
dari khalayak umum, atau argumen-argumen keliru dari para sofis. Akan
tetapi, teks ini telah diturunkan kepadanya sebagai ilham hatu (al-waridat
al-qalbiyyah). Teks ini telah dicetak dalam Sih Risalah Ashtiyani. Tujuh
manuskripnya telah didaftar.
21. Kitab al-Masha’ir. Salah satu karya akhir Sadra di mana Sadra memberikan
sebuah ringkasan bagi ontologinya dengan pembahasan yang singkat dan
padat atas beberapa perkara teologis. Risalah ini dibagi menjadi dua bagian
utama, bagian pertama terdiri dari delapan mash’ar, dan bagian kedua
terdiri dari tiga manhaj, dengan sebuah kesimpulan. Bagian pertama
membahas prinsip dari ontologi Sadra sebagai kesederhanaan mutlak dan
keutamaan ada, pertautannya dengan kuiditas, eksistensi (wujud) mental,
partikularisasi ada, dan kausalitas ontologis. Mash’ar terakhir dari bagian
pertama berisi sebuah pembahasan singkat tentang kausalitas dan instaurasi
(ja’l) sebagai sebuah transisi menuju bagian kedua. Sisa dari bagian
Masha’ir dikhususkan untuk membahas konsep Tuhan sebagai Wujud
Niscaya (wajib al-wujud), diciptakannya dunia kejamakan dari yang Satu,
Nama-nama dan Atribut-atribut Tuhan dilihat dari sudut pandang kategori
ontologis Sadra, Tindakan-Nya di alam semesta, dan penciptaan temporal
dunia. Masha’ir merupakan salah satu karya Sadra yang paling banyak
dipelajari baik dulu maupun sekarang, Para pengulas Masha’ir termasuk
Syaikh Ahmad Ahsa’i, yang telah menulis sebuah ilasan penting yang di
dalamnya ia menolak salah satu premis utama Sadra bahwa ‘suatu
kenyataan sederhana mengandung semua hal’, Mulla ‘Ali Nuri [w.
1246/1830], Mulla Muhammad Ja’far Langarudi Lahiji, Mulla Isma’il

64
Isfahani, Mirza Ahmad Ardakani Shirazi, Mulla Zaya al-’Abidin ibn
Muhammad Jawad Nuri, dan Mirza Abu ‘l-Hasan Jilwah [w. 1314/1896].
Di masa modern, Masha’ir telah diterjemahkan ke bahasa Prancis oleh
Henry Corbin dengan judul Le Livre des penetrations metaphysiques dan
diterbitkan dengan pengantar, catatan, dan terjemahan Parsi oleh pangeran
Qajar, Badi’ al-Mulk Mirza ‘Imad al-Dawlah [meninggal di bagian pertama
abad 19]. Terjemahan Parsi lain oleh Ghulam Husayn Ahani muncul tahun
1961. Toshihiko Izutsu telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Jepang.
Terjemahan Inggris pertama oleh Parviz Morewedge telah diterbitkan
sebagai The Metaphysics of Mulla Sadra. Terjemahan terbaru Masha’ir ke
bahasa Inggris dilakukan oleh Seyyed Hossein Nasr dengan sebuah ulasan
paralel di dalam teks, yang saat ini sedang disunting dengan sebuah
pengantar dan catatan oleh I. Kalin. Seratus lima puluh satu manuskrip dari
teks ini telah didaftar.
22. Al-Mazahir al-Ilahiyyah fi Asrar al-’Ulum al-Kamal-iyyah. Salah satu
karya besar teologis Sadra yang mensintesiskan argumen-argumen filosofis
dengan kutipan-kutipan dari Qur’an. Karya ini dibagi menjadi dua bagian
utama atau ‘ilmu’ (fann) dengan sebuah pengantar dan kesimpulan. Fann
pertama dikhususkan bagi metafisika dan yang kedua bagi eskatologi,
masing-masingnya dibagi lagi menjadi delapan manifestasi (mazhar).
Mazhar pertama dari fann pertama membahas asas-asas serta tujuan dari
Kitab Suci, y.i. Qur’an; kedua, bukti-bukti bagi keberadaan Tuhan; ketiga,
tauhid Tuhan; keempat, Nama dan Sifat Tuhan; kelima, pengetahuan Tuhan
atas Diri-Nya dan hal-ihwal lain selain esensi (mahiyah)-Nya; keenam,
Keilahiyahan Tuhan; ketujuh, penciptaan temporal dunia (huduth al-’alam);
dan kedelapan, awal dan ahir dari hal-ihwal. Mazhar pertama dari fann
kedua membahas bukti-bukti terkait kebangkitan kembali badaniah; kedua
penciptaan manusia sebagai suatu ada utuh dengan kekuatan perseptual dan
intelektualnya; ketiga, kenyataan mati; keempat, kubur, siksa dan ganjaran
di dalamnya; kelima, penciptaan-ulang awal (al-ba’th) dari umat manusia;
keenam, kebangkitan kembali (al-hashr); ketujuh, jembatan sirat, dan
kedelapan, pembukaan dari buku catatan amal manusia di dunia ini.

65
Kesimpulan (khatimah) teks ini berisi sebuah pembahasan yang jelas
mengenai bagaimana Hari Kiamat terjadi menurut gambaran yang diberikan
dalam Qur’an. Buku ini diakhiri dengan kehendak (wasiyyah) yang
dengannya ia mendesak para pembacanya untuk mengikuti jalan spiritual
yang mengarah kepada Tuhan. Mazahir ini telah disunting dua kali. Edisi
pertama oleh S.J. Ashtiyani dengan sebuah pengantar berbahasa Parsi dan
catatan-catatan pendek berbahasa Arab. Edisi kritis kedua oleh Sayyid
Muhammad Khamanei dengan sebuah pengantar panjang berbahasa Parsi
yang membahas sumber-sumber Yunani dan Neo-Platonis dari filsafat
Islam dan mazhab Mulla Sadra. Tujuh manuskrip dari teks ini telah didaftar.
23. Al-Mizaj (Risalah fi). Merupakan sebuah risalah filosofis dan psikologis
mengenai tempramen yang didasarkan atas kosmologi dan psikologi
tradisional. Ini merupakan sebuah ringkasan dari bagian-bagian yang
relevan dari Asfar dan dibagi menjadi enam bagian (fasl). Bagian pertama
membahas makna dari tempramen dari segi bentuk fisik dan inderawi;
kedua, relasi antara temperamen dan empat anasir; ketiga evaluasi atas
pandangan Ibn Sina dalam Shifa’; keempat, fakultas penglihatan dan
bagaimana anasir-anasir terpadu lalu membentuk temperamen berbeda;
kelima, kritik atas pandangan Ibn Sina mengenai potensialitas dan aktualitas
terkait dengan fakultas jiwa; dan keenam, pandangan Sadra sendiri
mengenai temperamen dan terpadunya anasir. Edisi kritis dari Mizaj telah
dicetak dalam Majmu’ah Isfahani.
24. Namaha-i Sadra. Sebuah kumpulan dari empat atau lima surat Sadra untuk
gurunya, Mir Damad. Surat ini ditulis dalam bahasa Arab dan Parsi dengan
gaya bahasa tinggi dan berisi sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh Sadra
termasuk sebuah permintaan izin untuk berkelana ke Qom atau Kashan,
yang menegaskan kedekatan ikatan personal antara Sadra dan Mir Damad.
Salah satu surat berbahasa Arab telah diterbitkan oleh Ashtiyani. Salah satu
surat berbahasa Parsi telah diterbitkan, dengan beberapa yang dihapus,
dalam Muhammad Khawajawi.
25. Al-Qada wa ‘l-Qadar fi Af’al al-Bashar. Sebuah risalah tentang kehendak
bebas dan predestinasi. Bahkan meskipun mengalamatkan persoalan yang

66
sama, ia ditulis dalam satu gaya yang lebih rinci dibanding Khalq al-A’mal.
Struktur dari risalah ini, dan hingga taraf tertentu, isinya dapat dibandingkan
dengan sebuah risalah oleh ‘Abd al-Razzaq Kashani dengan judul yang
sama. Risalah ini terbagi menjadi enam bagian utama (fasl). Bagian pertama
membahas makna dari Kemahakuasaan Tuhan (inayah) dan takdir; kedua,
lokus dari qada dan qadar; ketiga, kesempurnaan tertinggi dari dunia
aktualitas karena ia eksis, yang merupakan formulasi lain dari doktrin
terkenal mengenai yang terbaik dari dunia yang mungkin; keempat, teodisi
dan persoalan kejahatan dalam penciptaan dunia; kelima, tindakan bebas
manusia vis a vis takdir Tuhan; dan keenam, arti penting mematuhi perintah
Tuhan (ta’ah) dan pengaruh dari doa. Teks ini dicetak dalam Rasa’il dengan
judul Risalah Mas’alat al-Qadar fi ‘l-Af’al. Dua puluh tiga manuskrip telah
dicatat.
26. Sarayan Nur Wujud al-Haqq fi ‘l-Mawjudat. Sebuah penanganan filosofis
dan gnostik atas kenyataan Tuhan yang mencakup segalanya sebagaimana
ia hadir di semua benda. Sadra berupaya untuk menjawab persoalan pekik
tentang bagaimana Tuhan eksis dalam semua hal melalui ada dan
pengetahuan-Nya tanpa ketauhidan-Nya tergantikan. Meskipun ditulis dari
sudut pandang keutamaan kuiditas (asalat al-mahiyah) ketika Sadra masih
mengikuti ontologi ishraqi dari pembimbingnya, Mir Damad, karya ini
membahas sebuah persoalan yang telah menyibukkan Sadra dalam
karyanya yang lain. Ia dicetak dalam Rasa’il. Lima belas manuskrip dari
teks ini telah didaftar.
27. Sharh al-Hidayah al-Athiriyyah. Ulasan Sadra atas risalah logiko-filosofis
Athir al-Din Mufaddal ibn ‘Umar al-Abhari al-Samarqandi [663/1264].
Karya Abhari merupakan salah satu teks yang paling luas beredar mengenai
logika formal Islam (al-mantiq al-suri), filsafat alam dan metafisik, dan
banyak ulasan serta catatan yang telah ditulis tentangnya. Ulasan Sadra
merupakan salah satu karyanya yang paling awal, di mana ia tetap
berpegang teguh pada premis dari logika dan filsafat Peripatetik secara
umum dan menafikan perubahan dalam kategori substansi. Teks ini terdiri
dari sebuah pengantar mengenai definisi ‘filsafat’ (al-hikmah), dua bagian,

67
dikhususkan untuk filsafat alam (al-tabi’iyyat) dan metafisik (al-ilahiyyat),
dan sebuah kesimpulan. Bagian pertama kemudian dibagi lagi menjadi tiga
sub-bagian atau ‘seni’ (fann). Sub-bagian pertama membahas atomisme dan
kritik atasnya; kedua, wilayah dan dunia celestial; dan ketiga, anasir-anasir
yang dengannya alam semesta dibuat, dan fakultas jiwa. Bagian kedua juga
dibagi menjadi tiga sub-bagian. Sub-bagian pertama membahas konsep
eksistensi (wujud), kausalitas, potensialitas dan aktualitas, dan sepuluh
kategori Aristotelian; kedua, bukti-bukti bagi eksistensi Wujud Niscaya; dan
ketiga, intelek-intelek terpisah (al-’uqul al-mujarradah) dan bagaimana
mereka ditafsirkan sebagai malaikat dalam bahasa kaum fuqaha dan sebagai
cahaya murni dalam Mazhab Iluminasi dan Sufisme. Bagian Kesimpulan
berisi sebuah pembahasan singkat mengenai akhirat dan kebangkitan
kembali badani. Banyak catatan oleh para filsuf Persia telah ditulis atas
ulasan Sadra, di antaranya, kita dapat menyebut Mulla Qutb al-Din al-
Sahalawi, Muhammad al-Husayni yang dikenal sebagai Ghulam Nur, Mulla
‘Ali Zunuzi, dan Mirza Abu ‘l-Hasan Jilwah. Sharh ini juga menjadi begitu
terkenal di sub-kontinen India seiring banyak manuskrip dari teks ini telah
ditemukan di perpustakaan-perpustakaan di India dan Pakistan. Seratus dua
puluh manuskrip telah didaftar.
28. Al-Shawahid al-Rububiyyah fi ‘l-Manahij al-Sulukiyyah. Merupakan
ringkasan Sadra atas pemikirannya sendiri dan mungkin karya terpenting
setelah Asfar. Teks ini dibagi menjadi lima ‘tempat kesaksian’ (mashhad)
dengan tiap mashhad dibagi lagi menjadi ‘kesaksian’ (shahid). Mashhad
pertama dikhususkan untuk metafisika umum di mana Sadra membahas,
dalam lima ‘kesaksian’, persoalan-persoalan mendasar dari ontologi.
Kesaksian pertama membahas konsep dan realitas eksistensi (wujud);
kedua, eksistensi (wujud) mental; ketiga, Wujud Niscaya dan Ketauhidan
Tuhan; keempat, konsep-konsep semacam anterioritas, posterioritas, unitas
dan multiplisitas yang dianalisis sebagai kategori ontologis; dan kelima,
kuiditas dan konsep-konsep universal lainnya. Mashhad kedua membahas
eksistensi (wujud) Tuhan dan ketauhidan, dan dibagi menjadi dua
‘kesaksian’. Kesaksian pertama membahas Nama dan Atribut Tuhan

68
sebagai tahapan pertama penentuan-diri ontologis Tuhan; dan kedua, objek-
objek dari wilayah Ilahiah, y.i. intelek-intelek terpisah dan forma-forma
Platonik sebagai arketip. Mashhad ketiga dikhususkan untuk apa yang sadra
sebut ‘ilmu kembalinya segala sesuatu kepada Tuhan’ (‘ilm al-ma’ad). Ia
dibagi menjadi tiga kesaksian. Kesaksian pertama membahas penciptaan
alam semesta; kedua, antropologi psikologis dan filosofis dengan suuatu
analisis atas jiwa dan derajatnya; dan ketiga, makna dari intelek (al-’aql)
dan berbagai derajatnya seperti intelek potensial dan perolehan. Mashhad
keempat membahas eskatologi dan kebangkitan kembali badaniah, dan
dibagi menjadi tiga kesaksian. Kesaksian pertama membahas berbagai opini
mengenai kebangkitan kembali badaniah serta kritik atasnya; kedua, realitas
dan berbagai aspek dari akhirat; dan ketiga, perbedaan antara dunia ini dan
selanjutnya serta para penduduk dari hari akhir. Mashhad kelima membahas
profetologi Islam (nubuwwah) dan kewalian (al-wilayah), dan dibagi
menjadi dua kesaksian. Kesaksian pertama membahas kenabian, mukjizat,
daya-daya kenabian, dan perbedaan antara wahyu dan ilham; dan kedua,
filsafat politik, hukum Ilahiah, dan sifat-sifat penguasa. Karena menjadi
sebuah teks yang populer dan relatif mudah dipahami, banyak ulasan
atasnya telah ditulis oleh para tokoh semacam Mulla ‘Ali Nuri, Muhammad
Rida Qumsha’i, dan Sabziwari yang ulasan monumentalnya amatlah
penting. Tiga terjemahan Persia atas teks ini tersedia oleh Sayyid Ahmad
Husayni Ardakani, Syaikh Abu ‘l-Qasim ibn Ahmad Yazdi dan Jawad
Muslih. Sebuah edisi modern dari Shawahid dengan ulasan penting dari
Sabziwari telah diterbitkan oleh S.J. Ashtiyani dengan sebuah pengantar
oleh S. H. Nasr, edisi kedua. Sebuah terjemahan ke bahasa Inggris saat ini
sedang dikerjakan oleh Caner Dagli dari Universitas Princeton. Seratus dua
puluh satu manuskrip telah didaftar.
29. Sih Asl. Satu-satunya risalah Sadra yang ditulis dalam bahasa Persia. Ini
merupakan salah satu karya penting Sadra mengenai etika spiritual dan yang
berarti penting untuk menunjukkan sikap kritisnya atas para literalis Syi’i di
masanya. Dalam risalah ini, Sadra memberikan kritik atas ‘ulama’ eksoteris,
yang disebut ahl al-zahir, yang dipertentangkan dengan jalur pengetahuan

69
dan spiritualitas (irfan) yang dibela oleh para Sufi dan Syi’i gnostik. Karya
ini berisi beberapa catatan autobiografis dan puisi Persia yang dimasukkan
di antara pembahasan Sadra. Sadra mengkritik, dalam empat belas bagian
atau ‘gerbang’ (bab), tiga kelemahan asasi watak manusia, yang ia analisis
terkait dengan sikap pretensius dari para sarjanawan eksoteris dari Syari’ah.
Asas pertama adalah pengabaian atas pengetahuan diri bersama
pengetahuan akan akhirat. Sadra mendalilkan pengetahuan diri dan
derajatnya sebagau suatu sine qua non bagi pencapaian kebahagiaan. Asas
kedua adalah cinta dunia dan kepemilikian duniawi. Di bagian setelahnya
dari karya ini, Sadra membahas berbagai aspek dari kehidupan spiritual dan
etis. Sejumlah ayat Qur’ani dan sabda Rasul dikutip sepanjang teks ini. Sih
Asl telah disunting secara kritis oleh S. H. Nasr dengan sebuah pengantar
berbahasa Persia dan kutipan-kutipan dari puisi diwan Parsi Sadra. Edisi
kedua dengan sebuah pengantar dari Muhammad Khawajawi juga telah
diterbitkan. Sebelas manuskrip telah diketahui tempatnya.
30. Ta’liqat ‘ala Ilahiyyat al-Shifa’. Sebuah ulasan filosofis namun tak
lengkap, mengenai metafisika Ibn Sina dalam Shifa hingga maqalah
keenam. Dalam glosses-nya ini, Sadra membahas sumber-sumber dari
gagasan Ibn Sina dan menjelaskan ungkapan-ungkapan serta poin-poin
yang sulit. Seperti dalam ulasannya atas risalah Abhari tentang filsafat,
Sadra tetap memegang teguh sudut pandang Peripatetik dan tidak
memperkenalkan satupun gagasannya. Dua puluh delapan manusktip telah
dicatat.
31. Al-Tasawwur wa ‘l-Tasdiq. Sebuah risalah tentang perso-alan logis dari
konsep atau gambaran dan penilaian. Sadra membahas makna-makna
berbeda dari konsep dan penilaian dan mengkritik pandangan-pandangan
dari para teolog. Dia terkadang mengutip Ibn Sina dan para filsuf Peripatetik
lainnya. Terdapat juga rujukan kepada Qutb al-Din Razi dan ulasannya atas
Shamsiyyah Qazwini, sebuah risalah penting mengenai logika formal klasik.
Teks ini telah diterjemahkan ke bahasa Persia dan diulas oleh Mahdi Ha’iri
Yazdi. Tujuh belas manuskrip telah didaftar.

70
32. Al-Tashakhkhus (Risalah fi). Sebuah risalah filosofis mengenai
individuasi. Ia dibagi menjadi tiga bagian (fasl). Sadra membahas sebuah
persoalan penting dari filsafat tradisional, y.i. bagaimana hal-ihwal
dibedakan satu sama lain dan bagaimana mereka mendapat identitas
individual mereka. Sebagai tambahan bagi pembahasan berbagai pendapat
mengenai hal ini, ia mengkritisi pandangan bahwa individuasi tidak
memiliki realitas in concreto. Risalah ini penting bagi perkembangan
pemikiran Sadra selanjutnya mengenai persoalan determinasi eksistensial
dan individuasi yang ia bahas secara luas dalam Asfar. Teks ini dicetak
dalam Rasa’il. Dua belas manuskrip telah didaftar.
33. Al-Waridat al-Qalbiyyah fi Ma’rifat al-Rububiyyah. Sebuah risalah mistik
mengenai beberapa persoalan filosofis dengan suatu kritik kuat atas ‘ulama’
eksoteris dan dukungan mereka terhadap para penguasa yang tak adil.
Seperti dalam Shawahid, Sadra memulai karyanya dengan sebuah diskusi
mengenai metafisik dan lalu berpindah ke ontologi, pengetahuan atas Wujud
Niscaya, asal-usul baik dan jahat, dan ilmu jiwa serta penyuciannya. Teks
ini telah disunting dan diterjemahkan ke Persia oleh Ahmad Shafi’iha. Juga
duterbitkan dalam Rasa’il. Tiga puluh dua manuskrip telah didaftar.
34. Al-Wujud (Risalah). Sebuah risalah singkat yang merangkum konsep
wujud Sadra. Sadra menganalisis mazhab-mazhab utama ontologi di bawah
tiga judul utama. Pertama adalah pandangan dari mazhab iluminasi, yang
menganggap wujud sebagai seuatu abstraksi mental. Posisi kedua adalah
posisi para teolog, yang amat mirip dengan pandangan pertama. Dan
pandangan ketiga dari para Sufi yang menganggap wujud sebagai sumber
dan realitas hakiki dari semua hal. Sebagai pendukung dari posisi ketiga,
Sadra memberikan suatu analisis rinci atas pandangan-pandangan ontologis
dari para Sufi dan mengkhususkan beberapa halaman untuk pembahasan
mengenai kesatuan wujud (wahdat al-wujud). Risalah ini telah diterbitkan
dalam Majmu’ah Isfahani.
35. Yad-dashtha-yi Mulla sadra. Catatan-catatan singkat Sadra dan
perenungan mengenai berbagai perkara yang merentang dari sebuah diskusi
mengenai Imamah berdasarkan Sirr al-’Alamayn Ghazali dan definisi dari

71
filsafat hingga berbagai puisi Persia. Judul dari buku ini bukanlah dari Sadra
sendiri. Catatan-catatan ini telah disunting dan diterbitkan oleh Muhammad
Barakat dengan sebuah daftar perpustakaan pribadi Sadra, berisi seratus
empat buku.
36. Zad al-Musafir, juga dikenal sebagai Zad al-Salik dan Ma’ad al-Jismani.
Sebuah risalah singkat yang merangkum pandangan-pandangan Sadra
tentang eskatologi. Dibagi menjadi dua belas bagian, ia membahas semua
perkara besar terkait Hari Kiamat, kebangkitan kembali badani, alam
barzakh, dan kembalinya dunia kejamakan ke yang Satu. Seperti dalam
karyanya yang lain mengenai eskatologi, Sadra menggunakan bukti-bukti
relijius, filosofis, dan gnostik sepanjang teks, dan membahas berbagai
argumen yang dipercanggih oleh para teolog, filsuf, dan kaum
Iluminasionis. Sayyid Jalal al-Din Ashtiyani telah menulis sebuah ulasan
penting dalam bahasa Persia mengenai Zad. Lima manuskrip telah didaftar.

72
BAB III: GENEALOGI METAFISIKA EKSISTENSIAL

A. Prolog: Persoalan Terminologis


Genealogi dapat diartikan sebagai:

a) Suatu istilah yang secara khusus dikaitkan dengan Nietzsche, terdapat


dalam judul salah satu bukunya, Genealogi Moral. Genealogi sebagian
merupakan rekonstruksi historis mengenai mengapa konsep-konsep tertentu
memiliki bentuk yang mereka peroleh, dan sebagian merupakan
rekonstruksi rasional, atau kisah mengenai fungsi yang dimiliki konsep
tersebut.1
b) Sebuah pertanyaan mengenai asal-usul dan diturunkannya sesuatu hal.
Nietzsche mengartikan genealogi sebagai sebuah penyelidikan mengenai
asal-usul dari prasangka-prasangka moral dalam Genealogi Moral.2
c) Secara harfiah, genealogi berarti sejarah sesuatu hal, dengan penekanan
pada keberlanjutan atau ketakberlanjutan dari pewarisan hal tersebut,
pengaruh-pengaruh serta perbedaan-perbedaan yang ia bawa. Itulah
mengapa ia dulunya digunakan untuk menggambarkan ‘sebuah pohon
keluarga.3
d) Metode-metode penelitian yang dikembangkan oleh Nietzsche dengant
ujuan untuk memperlihatkan ‘asal-usul dari prasangka moral kita’ dalam
karyanya yang berpengaruh, Genealogi Moral.4

1
“A term particularly associated with Nietzsche, occuring in the title of his book The Genealogy of
Morals. Genealogy is part historical reconstruction of the way certain concepts have come to have
the shape they do, and part a rational reconstruction or story about the function they serve.” Dalam
Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005) h. 148.
2
“An inquiry into origin and descent. Nietzsche defined genealogy as the investigation of the origin
of moral prejudices in On the Genealogy of Morals.” Dalam Nicholas Bunnin & Jiyuan Yu, The
Blackwell Dictionary of Western Philosophy (Malden: Blackwell Pubslishing, 2004) h. 278.
3
“Literally, genealogy means the history of something, with an emphasis on the continuities or
discontinuities of descent, inward influences or divergences. That is why it is used to describe a
‘family tree’.” Dalam Douglas Burnham, The Nietzsche Dictionary (New York: Bloomsbury, 2015)
h. 147
4
“The methods of inquiry developed by Nietzsche for the purpose of disclosing ‘the origin of our
moral prejudices’ in his influential book, On the Genealogy of Morals (1887).” Dalam John Protevi
(ed.), The Edinburgh Dictionary of Continental Philosophy (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 2005) h. 240

73
Dari beberapa gambaran di atas, kita setidaknya mendapatkan ciri umum dari
sebuah penelitian genealogis. Setidaknya dalam penelitian ini, maksud dari
genealogi lebih cenderung kepada definisi pertama: penelitian ini hendak
mengupayakan suatu rekonstruksi historis mengenai bagaimana konsep eksistensi
(wujud) memperoleh bentuknya, dalam karya Mulla Sadra. Dalam empat definisi
di atas, terutama dalam definisi nomor tiga, genealogi bermakna sejarah dari
sesuatu, yang dalam artian Nietzsche, adalah sejarah moral, begitu pula, dalam
penelitian ini, yang dimaksud ialah sejarah mengenai gagasan eksistensi (wujud)
dalam filsafat Islam, yang pada akhirnya mencapai bentuknya dalam pemikiran
Mulla Sadra. Penggunaan istilah genealogi dalam penelitian filosofis sejenis ini
bukanlah hal yang baru, Sajjad H. Rizvi, dalam bukunya, Modulation of Being:
Metaphysics of Mulla Sadra 5 juga menggunakan istilah ini untuk menjelaskan
bagaimana konsep ‘tashkik-al-wujud’ Mulla Sadra memperoleh bentuknya dengan
melacak bagaimana konsep ini lahir.

Penggunaan istilah genealogi di sini bukannya tanpa maksud. Setidaknya,


sejauh pembacaan kami, terdapat suatu pendekatan umum yang diambil oleh
peneliti dalam melakukan penelitian filosofis semacam ini, terkhusus penelitian
mengenai filsafat Mulla Sadra. Yakni metode komparatif. Metode komparatif
berarti menempatkan gagasan Mulla Sadra, menyejajarkannya dengan filsuf lain
yang berasal dari dunia yang berbeda, secara umum, barat. Metode ini tentunya
memiliki kelebihan tertentu, semisal, dengan membandingkan pemikiran Mulla
Sadra yang lahir di abad 16 masehi dengan pemikiran filosofis Barat kontemporer
(atau setidaknya di abad 20), akan dihasilkan kesan bahwa pemikiran Mulla Sadra
masih relevan, atau, dianggap melampaui suara zamannya. Kami menemukan
beberapa karya ilmiah yang didasarkan pada metode ini, misalnya membandingkan

5
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (New York: Routledge, 2009)
74
pemikiran Mulla Sadra dengan Martin Heidegger6 dengan G.W.F. Hegel7 dengan
Jean-Paul Sartre8, dan lainnya.9

Meskipun penelitian dengan metode komparatif memiliki kelebihannya,


misalnya membuat pemikiran Mulla Sadra pada konteks ini, menjadi lebih relevan
karena dikaitkan dengan pemikir lain yang lebih kontemporer, namun kami kira
penelitian jenis ini kurang sesuai. Penyebabnya ialah, menurut kami penelitian
mendalam soal filsafat Mulla Sadra di tanah air masih begitu sedikit. Tanpa adanya
pembahasan yang rinci dan mendalam mengenai filsafat Mulla Sadra, penelitian
berjenis komparatif menjadi kurang relevan. Harapan kami dengan hadirnya
penelitian berjenis genealogis, kekurangan itu dapat dengan sedikit dibenahi. 10
Dengan melihat asal-usul gagasan mengenai eksistensi (wujud) dan projek filsafat
Sadra secara umum, kita akan melihat kejeniusan serta keaslian Sadra dalam
upayanya menjawab persoalan-persoalan yang menghantui spekulasi filsafat
Islam.11

Asal-usul istilah metafisika umumnya disandarkan kepada judul yang diberikan


untuk sebuah kumpulan tulisan Aristoteles. Metafisika berasal dari judul Ta meta
ta phusika yang secara harfiah bermakna ‘yang datang setelah fisika’, atau, dalam
konteks ini, yang dikumpulkan setelah pembahasan fisika. Meskipun penamaan ini
dalam artian tertentu nampak arbitrer, istilah ‘setelah fisika’ sebagai suatu
pembahasan yang berbeda dari fisika dapat dijustifikasi dengan melihat struktur dan
kandungan dari kumpulan teks tersebut. Singkatnya, kumpulan tulisan tersebut
memang benar-benar berbeda dari pembahasan Aristoteles yang lain, dan yang

6
Alparslan Açıkgenç, Being and Existence in Sadra and Heidegger: A Comparative Ontology
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1993)
7
Kamal Abdulkarim Shlbei, “Sadra and Hegel on the Relationship between Essence/Existence and
Subject/Object”. (Disertasi, Department of Philosophy, Faculty of Graduate School of Liberal Arts,
Duquesne University, 2013
8
Dwi Pratomo, “Mulla Sadra dan Transendensi Diri”. Ilmu Ushuluddin 04, no. 01 (2017) h. 59-80.
9
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (New York: Routledge, 2009)
h. 4-14.
10
Seyyed Hossein Nasr, “Conditions for Meaningful Comparative Philosophy”. Philosophy East
and West 22, no. 2 (1972): 53-61.
11
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975)
75
lebih penting lagi, ia mempelajari sesuatu yang lebih dahulu dan lebih tinggi
tingkatnya dibandingkan dengan objek-objek fisis.12

Terdapat sebuah kesatuan tematis dalam Metafisika Aristoteles, dan inilah


kenapa penamaan metafisika itu sendiri tidaklah arbitrer, Metafisika benar-benar
merupakan pembahasan ‘setelah fisika’. Karena fisika, dalam definisi Aristoteles,
berkenaan dengan eksisten-eksisten yang memiliki prinsip gerak dan diam dalam
dirinya, yakni eksisten material. Sementara pembahasan ‘setelah fisika’ adalah
pembahasan mengenai hal-hal yang tidak memiliki prinsip semacam itu, atau
karena hal tersebut sama sekali tidak bergerak, atau karena gerak mereka
sepenuhnya berasal dari luar. Dalam artian ini, metafisika berarti sebagai
penyelidikan atas hal-hal yang berada di luar ruang dan waktu.13

Dalam buku tersebut, pembahasan utama Aristoteles adalah ontologi, yaitu


kajian tentang eksistensi, tentang bagaimana sesuatu dapat dikatakan eksis, tentang
jenis-jenis hal yang eksis. 14 Aristoteles menyebut metafisika sebagai “filsafat
pertama,” “Kajian tentang eksistensi qua eksistensi”, atau “Teologi.”15 Singkatnya,
metafisika adalah penyelidikan filosofis atas watak dan struktur dari kenyataan.16

Fazlur Rahman, dalam Philosophy of Mulla Sadra menggunakan istilah


‘Metafisika eksistensi’ untuk merujuk kepada gagasan dari figur filosofis yang
menjadikan eksistensi (wujud) sebagai pembahasan utama dalam kerangka
metafisisnya. 17 Penelitian ini mengikuti istilah tersebut untuk memposisikan
pemikiran metafisis Mulla Sadra. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka kita
dapat mengartikan metafisika eksistensial sebagai penyelidikan filosofis atas watak
dan dasar dari kenyataan, yaitu – pace Sadra – eksistensi (wujud). Pengertian ini

12
Nicholas Bunnin & Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy (Malden:
Blackwell Pubslishing, 2004) h. 429.
13
John Protevi (ed.), The Edinburgh Dictionary of Continental Philosophy (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 2005) h. 400.
14
Michael Proudfoot & A.R. Lacey, The Routledge Dictionary of Philosophy (New York: Routledge,
2010) h. 248
15
Anthony Preus, Historical Dictionary of Ancient Greek Philosophy (Toronto: The Scarecrow
Press, 2007) h. 169.
16
Robert Audi (ed.), The Cambridge Dictionary of Philosophy (Cambridge: Cambridge University
Press, 1999) h. 563.
17
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975)
76
pada hakikatnya tidak berbeda jauh dari definisi dari metafisika sebagai kajian atas
eksistensi qua eksistensi.18

Maka, bab ini, sesuai dengan judulnya, bertujuan untuk menerangkan, dengan
metode genealogis, bagaimana metafisika eksistensial Sadra mencapai bentuk
finalnya dengan menilik asal-usul gagasan eksistensi (wujud) dari tiga mazhab yang
menjadi konteks filosofis metafisika Sadra. Bab ini akan menjelaskan asal-muasal
konsep eksistensi (wujud) yang merupakan warisan dari karya metafisika
Aristoteles, via Peripatetisme, khususnya al-Farabi dan Ibn Sina sehingga menjadi
persoalan yang ramai diperbincangkan dan bahkan diperdebatkan dalam horizon
intelektual filsafat Islam, yaitu perbedaan mengenai eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah). Hingga kemudian persoalan eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) ini
mencapai Suhrawardi yang mempersoalkan inkonsistensi logis dari pernyataan Ibn
Sina bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah), lalu,
melalui mazhab Akbariyyun dan peran al-Tusi, eksistensi (wujud) hadir sebagai
konsep metafisis penting dan di titik akhir mencapai perumusannya oleh filsuf kita,
Mulla Sadra.

B. Persoalan Eksistensi (Wujud)


1. Distingsi Aristotelian
Dalam Posterior Analytics, Aristoteles menulis:

“Lalu, bagaimana kau membuktikan apa itu sesuatu? Setiap orang yang
mengetahui apa itu manusia atau segala hal lainnya pastinya tahu bahwa hal
ini eksis. (Tentang apapun yang tidak eksis, tidak ada seorangpun yang tahu
hal tersebut. Kau mungkin tahu apa yang dimaksud dengan sesuatu ketika aku
menyebut “kambing-rusa”, tetapi tak mungkin kita mengetahui apa yang
dimaksud “kambing-rusa”). Tetapi jika kau hendak membuktikan apakah
sesuatu itu dan apakah ia eksis, bagaimana kau membuktikan keduanya dengan
argumen yang sama? Definisi membuat satu hal jelas, begitu pula demonstrasi:
tetapi mengetahui apa itu manusia dan apakah manusia eksis adalah dua hal
yang berbeda”19

18
Anthony Preus, Historical Dictionary of Ancient Greek Philosophy (Toronto: The Scarecrow
Press, 2007) h. 169.
19
“Again, how will you prove what something is? Anyone who knows what a man or anything else
is must also know that it exists. (Of that which does not exists, no one knows what it is. You may
know what the account or the name means when I say “goat-stag”, but it is impossible to know what
a goat-stag is). But if you are to prove what something is and also that it exists, how will you prove
them by the same argument? Definitions make a single thing plain, and so do demonstrations: but
what a man is and that men exists are different. (Aristoteles, Posterior Analytics, Book Beta, Chapter
77
Apa yang dimaksud oleh Aristoteles ialah bahwa kita tidak mungkin
mengetahui sesuatu yang tidak eksis. Dan, meskipun kita mengetahui hal semacam
itu, yang kita ketahui hanyalah makna yang dikandung oleh gagasan tersebut.
Seseorang dapat mengetahui makna sebeneranya dari “manusia” jika dan hanya jika
“manusia” benar-benar eksis. Artinya, makna sebenarnya dari sesuatu hanya dapat
diketahui jika keberadaan, atau, eksistensi dari sesuatu tersebut telah terbukti.
Dengan definisi, kita mengetahui makna sesuatu, tetapi tidak eksistensi dari sesuatu
tersebut. Kesimpulannya, eksistensi dan esensi dari sesuatu merupakan dua hal
yang berbeda dan hanya bisa dibuktikan dengan dua cara yang berbeda. 20

Dengan begitu, diskursus perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi


(mahiyah) dapat dirujuk kepada pernyataan Aristoteles dalam kutipan di atas.
Namun, pada akhirnya, dalam tulisan Aristoteles, perbedaan ini tidak memiliki arti
yang penting. Dalam metafisika substansial Aristoteles, esensi yang sejati adalah
esensi yang sekaligus eksis, tidak ada esensi yang tidak eksis. Dalam sistem ini,
suatu esensi atau substansi yang nyata, sejauh ia nyata, sekaligus menyiratkan
eksistensinya. Sedari awal, eksistensi selalu berada dalam gagasan mengenai
esensi, karena apa yang dimaksud esensi yang nyata adalah bahwa esensi tersebut
eksis.21

2. Metafisika Penciptaan
Tepat di titik inilah, filsafat Islam membedakan dirinya dari warisan
Aristotelian. Metafisika Aristotelian tidak memberikan gagasan eksistensi dan
esensi peran sepenting yang diberikan oleh al-Farabi dan Ibn Sina. Benar bahwa
perbedaan ini berasal dari Aristoteles, namun Aristoteles tidak menarik perbedaan
ini lebih jauh dan meninggalkannya begitu saja. Hal ini disebabkan oleh logika
linguistik bahasa Yunani itu sendiri. Dalam bahasa Yunani, tidak ada kata khusus
yang bermakna ‘mengada’ atau ‘eksis’. Bahasa Yunani selalu menggunakan makna
‘eksis’ dalam konteks predikat. Misalnya, menjadi sebuah pohon, sebuah pensil,

7, 55).” Aristoteles, Aristotle Posterior Analytics, terjemahan Jonathan Barnes (Oxford: Oxford
University Press, 2002) h. 55.
20
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 89.
21
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 89.
78
sebuah dinding. Contohnya, agar sebuah pohon itu ada atau eksis, atau agar sesuatu
menjadi sebuah pohon, maka ia harus menjadi sebuah pohon jati yang benar-benar
eksis. Agar putih itu eksis, adalah bahwa ia harus menjadi sebuah warna, dengan
kata lain, menjadi sebuah sifat yang dimiliki oleh suatu substansi tertentu. Maka,
eksistensi tidak menjadi suatu persoalan filosofis khusus dalam pemikiran Yunani
karena dalam logika linguistik mereka, eksistensi selalu dibicarakan melalui
peristiwa-peristiwa partikular.22

Dunia yang dijadikan Aristoteles sebagai titik keberangkatan filosofisnya ialah


sebuah dunia yang benar-benar eksis. Artinya, tidak ada kemungkinan bahwa dunia
ini tidak eksis. Sementara, bagi filsuf Muslim yang mengimani bahwa dunia itu
diciptakan, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an, tentu memiliki pandangan
berbeda mengenai dunia. Dalam dunia semacam itu, perbedaan antara esensi
(mahiyah) dan eksistensi (wujud) memiliki peranan penting. Tidak seperti dunia
yang diyakini Aristoteles, dunia bagi para filsuf Muslim adalah dunia yang bisa jadi
tidak eksis, dunia yang diciptakan, yang apabila tidak ada pencipta yang
menciptakannya, dunia tidak akan pernah eksis.23

Persoalan mengenai perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)


merupakan pokok bahasan yang begitu penting dalam filsafat Islam. Al-Farabi
membahas dengan jelas perbedaan antara eksistensi (huwiyah) dan esensi
(mahiyah) dalam Fusus al-hikmah, Ibn Sina yang terilhami dari al-Farabi
menjadikan perbedaan ini sebagai ujung tombak ontologisnya, ia membahasnya
dalam beberapa karya, terutama metafisika dalam al-Shifa, dan an-Najah, begitu
pula al-Isharat wa’l-tanbihat. Fakhr al-Din al-Razi, melanjutkan pembahasan ini
dan membangun suatu metafisika berdasarkan esensi (mahiyah). Begitu pula,
seratus tahun kemudian, Nasir al-Din al-Tusi dan muridnya, ‘Allamah al-Hilli
membahas perbedaan ini dengan panjang, ada pula Qutb al-Din Shirazi, Ghiyath al-
Din Mansur Dashtaki, Ibn Turkah dan Jalal al-Din Dawani. Hingga kemudian

22
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect and
Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010) h. 92.
23
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 89
79
persoalan ini diwarisi oleh Mazhab Isfahan, baik dalam bentuk metafisika esensial
Mir Damad maupun metafisika eksistensial Mulla Sadra. 24

Lalu, sebenarnya, apa yang di sini dimaksud sebagai persoalan eksistensi


(wujud) dan esensi (mahiyah)? Seperti yang dinyatakan dalam kutipan Aristoteles
tadi, persoalan ini dapat dijelaskan seperti berikut. Ketika seseorang memikirkan
sesuatu, dalam kerangka pikirnya, ia dapat membedakan dua sisi dari sesuatu
tersebut: pertama adalah esensi (mahiyah)-nya, yakni segala hal yang termasuk
dalam jawaban bagi pertanyaan “apakah ini?” di satu sisi, dan eksistensi (wujud)-
nya, di sisi lain. Misalnya, ketika seseorang memikirkan seekor kuda, maka
esensinya mencakup bentuk, warna, berat, tinggi dan sebagainya, sementara
eksistensinya berarti keberadaan kuda tersebut dalam dunia luar. Dalam pikiran
kita, esensi (mahiyah) itu dapat berdiri sendiri tanpa eksistensi (wujud), dalam
artian, kita dapat memikirkan esensi (mahiyah) seekor kuda tertentu, tanpa harus
memastikan eksistensinya di luar pikiran. 25

3. Kontribusi al-Farabi
Untuk memperjelas perbedaan ini dalam filsafat Islam, kita dapat menyatakan
bahwa perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) masing-masing
merupakan jawaban dari dua pertanyaan berbeda mengenai suatu hal: ada-kah ia
dan apa-kah ia. Pertanyaan pertama berkaitan dengan kenyataan dari sesuatu di
dunia luar dan menegaskan eksistensinya in concreto. Ketika kita memikirkan
sebuah gunung, pertanyaan pertama yang kita ajukan ialah apakah gunung tersebut
ada atau tidak. Pertanyaan kedua terkait dengan ke-apa-an dari sebuah gunung.
Setelah mengetahui bahwa sebuah gunung eksis, berikutnya kita menanyakan
mengenai sifatnya, ukuran, warna, lokasi dsb. Inilah yang dimaksud dengan esensi
(mahiyah) dari sesuatu.26

Esensi (mahiyah) dari sesuatu menyisihkan eksistensi (wujud) dari sesuatu


tersebut. Hal ini berarti bahwa eksistensi (wujud) tidak terdapat dalam definisi

24
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land
of Prophecy (New York: SUNY Press, 2006) h. 64-65
25
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna-Suhrawardi-Ibn ‘Arabi (New York:
Caravan Book, 1997) h. 25-26
26
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect and
Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010) h. 93.
80
gunung sebagai suatu gundukan tanah dengan warna, tinggi, dan lokasi tertentu.
Pertanyaan mengenai apakah gunung itu eksis berbeda dengan pertanyaan
mengenai seperti apakah gunung tersebut. Dengan kata lain, anasir dari esensi
(mahiyah) sesuatu hal adalah apa saja yang menyusun definisinya, sementara anasir
dari eksistensi (wujud) sesuatu hal adalah sebab efisien dan final darinya. Agar
esensi (mahiyah) suatu hal itu eksis, maka eksistensi (wujud) harus ditambahkan
kepadanya “dari luar”.27

Al-Farabi lah yang pertama-tama memperkenalkan dikotomi antara eksistensi


(huwiyah) dan esensi (mahiyah) dalam bentuk yang jelas. Dalam halaman awal
Fusus al-hikmah, al-Farabi menulis:

“Segala hal yang kita temui di sekeliling kita memiliki sebuah “esensi
(mahiyah)” dan “eksistensi (huwiyah)”. Dan “esensi (mahiyah)” tidaklah sama
dengan “eksistensi (huwiyah)”; tidak pula “eksistensi (huwiyah)” terkandung
(sebagai unsur penyusunnya) dalam “esensi (mahiyah)”. Jika “esensi
(mahiyah)” manusia (contohnya) sama dengan “eksistensi (huwiyah)”-nya,
kapanpun kau membayangkan dalam pikiranmu “esensi (mahiyah)” manusia,
maka seketika kau membayangkan pula “eksistensi (huwiyah)”-nya. Yaitu,
kapan saja kau membayangkan “ke-apa-an” dari manusia, kau akan ipso facto
seketika membayangkan “ke-ada-an” manusia, y.i. kau akan seketika
mengetahui “eksistensi (huwiyah)”-nya”28
Dan kemudian dilanjutkan dengan:

“Dari sinilah kita menyimpulkan bahwa “eksistensi (huwiyah)” atau “ke-ada-


an” bukanlah suatu unsur penyusun dari hal yang eksis. Karenanya, ia pastilah
sesuatu yang “terjadi” (kepada “esensi (mahiyah)”) dari luar. Ini merupakan
salah satu sifat yang dilekatkan kepada “esensi (mahiyah)” setelah yang
terakhir ter-wujud.”29

27
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land
of Prophecy (New York: SUNY Press, 2006) h. 68
28
“Each of the things that we actually find around us has an “essence” (mahiyah) and “existence”
(huwiyah). And the “essence” is not the same as “existence”; nor is “existence” contained (as a
constituent element) in the “essence.” If the “essence” of man (for example) were the same as his
“existence”, whenever you represent in your mind the “essence” of man, you would be thereby
representing his “existence.” That is to say, whenever you represent the “what-ness” of man, you
would ipso facto be representing the “is-ness” of man, i.e. you would be thereby representing the
“is-ness” of man, i.e. you would immediately know his “existence.” Toshihiko Izutsu, The Concept
and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and Linguistic Studies, 1997) h. 92.
29
“From this, we conclude that “existence” or “is-ness” is not a constituent element of any existent
thing. So it must be something concomitant that “occurs” (to “essence”) from the outside. It is one
of those properties that attach to the “essence” after the latter has been actualized.” Toshihiko Izutsu,
The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and Linguistic Studies,
1997) h. 93.
81
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, inti dari pernyataan al-Farabi
mengenai perbedaan antara eksistensi (huwiyah) dan esensi (mahiyah) adalah
bahwa dalam horizon filosofisnya, sesuatu selain Tuhan tidak memiliki
keniscayaan untuk eksis. Artinya, dunia bisa saja tidak eksis, dalam konteks
pemaknaan inilah eksistensi (wujud) merupakan sesuatu yang lain dari esensi
(mahiyah). Bahwa dalam sesuatu selain Tuhan, eksistensinya bukan sesuatu yang
hadir secara niscaya dalam kodratnya. Ini pula yang dimaksud dengan perbedaan
besar antara konsepsi eksistensi dalam filsafat Yunani dan filsafat Islam. Ini pula
yang dimaksud dengan “metafisika penciptaan”. Di mana dalam visi metafisis ini,
eksisten-eksisten, atau makhluk, atau segala sesuatu selain Sang Pencipta,
eksistensinya merupakan sesuatu yang dipinjami oleh Sang Pencipta. Dalam
metafisika ini, dunia dinyatakan sebagai sesuatu yang secara ontologis kontinjen
sebagai kebalikan dari Tuhan, yang secara ontologis niscaya. Hal ini berlaku dalam
semua sistem metafisika atau kosmogoni Islam secara keseluruhan, baik dalam
bentuk Peripatetiknya yaitu emanasi, dalam bentuk creatio ex nihilo yang diimani
oleh para teolog, atau penciptaan abadi dan teofani dari para Sufi; dalam horizon
metafisika ini, dunia tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang terberi, watak
esensial dari dunia ini adalah ketidaknisca-yaannya, kontinjensinya.30

4. Kontribusi Ibn Sina


Sekarang, mari kita lihat pernyataan Ibn Sina mengenai hubungan antara
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah):

“Eksistensi (wujud) merupakan suatu sifat dari hal-hal yang memiliki esensi
(mahiyah) berbeda. Ia disifatkan pada mereka dari luar, dan tidak terlibat
dalam mempertahankan esensi (mahiyah) mereka. Contohnya, ke-putih-an dan
ke-hitam-an tidaklah berbeda berkaitan dengan subjek yang berbeda; justru,
mereka berbeda dari suatu sudut pandang tertentu jika mereka telah eksis.
Terlebih lagi, eksistensi (wujud) bukanlah suatu sifat yang secara kudrati
dimiliki esensi (mahiyah); justru, ia dipancarkan kepada esensi (mahiyah) dari
Prinsip Pertama. Karenanya, jika ke-putih-an dipadukan dengan sifat yaitu
eksistensi (wujud), ia menjadi suatu hal berwarna putih.”31

30
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect and
Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010) h. 92.
31
“Existence is an attribute for things that have different essences. It is predicated of them from
outside, and it is not involved in maintaining their essence. For example, whiteness and blackness
are not different in terms of their different subjects; rather, they are different in terms of something
after they exist. Moreover, existence is not an attribute that essences essentially have; rather, it is
emanated upon them from the First Principle. Therefore, if whiteness conjoined with the attribute of
82
Dengan membandingkan kutipan ini dengan kutipan dari al-Farabi di atas,
setidaknya kita dapat menyimpulkan bahwa, pertama, Ibn Sina mengikuti al-Farabi
dalam pernyataannya mengenai perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah), kedua, begitu pula mengenai pernyataan bahwa eksistensi (wujud)
merupakan sesuatu yang disifatkan kepada sesuatu “dari luar” dan tidak termasuk
ke dalam esensinya; dan ketiga, Ibn Sina, dengan menggunakan istilah ‘emanasi
dari Prinsip Pertama’ mengaitkan perbedaan antara esensi (mahiyah) dan
eksistensinya pada perbedaan antara Eksistensi Niscaya (wajib al-wujud) dan
eksistensi kontinjen (mumkin al-wujud).

Sebelum kita melanjutkan pembahasan mengenai bagaimana kaitan antara


gagasan Ibn Sina mengenai perbedaaan antara eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah) dengan perbedaan antara Eksistensi Niscaya dan eksistensi kontinjen,
terlebih dahulu kami akan menjelaskan bagaimana konsepsi al-Farabi soal ‘arid
menjadi hal yang diwariskan kepada Ibn Sina, dan persoalan ini nantinya berperan
besar sebagai dasar dari para kritikus Ibn Sina. Maka, dalam metafisika al-Farabi,
kita dapat menyatakan bahwa: pertama, kita dapat memikirkan mengenai suatu
“esensi” qua “esensi” tanpa harus memperhatikan “eksistensi (wujud)”-nya; kedua,
karena hal tersebut, maka “esensi (mahiyah)” secara hakikat berbeda dengan
“eksistensi (wujud)”, tidak pula bahwa “esensi (mahiyah)” suatu hal menyiratkan
“eksistensi (wujud)”-nya. Artinya, berbeda dengan pernyataan bahwa “memiliki-
badan” adalah “esensi (mahiyah)” dari “manusia”, “eksistensi (wujud)” bukanlah
watak kodrati yang merupakan anasir dari “esensi (mahiyah)”. ketiga, karenanya,
“eksistensi (wujud)” bagi al-Farabi adalah suatu ‘arid, sesuatu yang “terjadi”, atau
sesuatu yang “aksidental” pada “esensi (mahiyah)”. 32

Mengikuti Aristoteles, bagi al-Farabi, dunia adalah suatu blok ontologis tanpa
celah di mana kita tidak dapat membedakan perbedaan antara eksistensi (huwiyah)
dan esensi (mahiyah), dan karenanya, perbedaan, atau masuknya “eksistensi
(wujud)” ke dalam “esensi (mahiyah)” hanya terjadi dalam struktur konseptual dari

existence, it becomes a white existent.” Dalam Eiyad S. al-Kutubi, Mulla Sadra and Eschatology:
Evolution of Being (New York: Routledge, 2015) h. 22.
32
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 95.
83
pikiran kita. Namun, dengan konsep ‘arid, di sini al-Farabi menyiratkan bahwa,
bukanlah sesuatu yang tidak mungkin jika kita menyatakan bahwa “eksistensi
(wujud)” merupakan sesuatu yang terjadi kepada “esensi (mahiyah)” dalam
kenyataan. Inilah yang sudah kami sebut sebagai “metafisika penciptaan”, al-Farabi
di sini menyiratkan keberadaan Pencipta yang meminjamkan eksistensi (wujud)-
Nya kepada ciptaan-Nya. Sang Pencipta dinyatakan sebagai sesuatu yang “esensi
(mahiyah)”nya adalah “eksistensi (wujud)” sementara ciptaan adalah sesuatu yang
“esensi (mahiyah)”nya tidak hanya berbeda dari “eksistensi (wujud)”-nya, namun
lebih jauh, sebagai sesuatu yang tak mampu menyebabkan “eksistensi (wujud)”
mereka sendiri. eksistensi (wujud) mereka merupakan sesuatu yang harus terjadi
kepada mereka dari sumber lain, yakni Sang Pencipta, Sang Pemberi “eksistensi
(wujud)”.33

Dari sini, kita dapat melanjutkan pembahasan mengenai bagaimana keterkaitan


antara prinsip eksistensi-esensi menurut Ibn Sina dan perbedaan Eksistensi Niscaya
dan eksistensi kontinjen. Dua prinsip ini merupakan hal yang terkait erat. Bisa
dikatakan pula bahwa perbedaan Ibn Sina antara eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah) dilandaskan pada perbedaan ontologis yang ia buat antara Eksistensi
Niscaya dan eksistensi kontinjen. Eksistensi Niscaya adalah Ia yang eksis dengan
sendirinya dan yang eksistensi (wujud)-Nya identik dengan esensinya. Ia adalah
Eksisten (mawjud) Sederhana yang tak mengizinkan adanya susunan. Di sisi lain,
eksistensi kontinjen adalah sesuatu yang tersusun dari eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah).34

5. Divisi Eksisten Ibn Sina


Bagi Ibn Sina, eksistensi (wujud) dapat dibagi menjadi tiga: Eksistensi Niscaya
(wajib al-wujud), eksistensi kontinjen (mumkin al-wujud), dan eksisten tak
mungkin (mumtani al-wujud). Jika seseorang memikirkan esensi (mahiyah) suatu
objek dan menyadari bahwa ia tidak dapat menerima eksistensi (wujud) dalam cara
apapun, maka ia termasuk ke dalam eksisten tak mungkin. Jika esensi (mahiyah)

33
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 95.
34
Eiyad S. al-Kutubi, Mulla Sadra and Eschatology: Evolution of Being (New York: Routledge,
2015) h. 22.
84
suatu objek secara setara dapat disifati baik oleh eksistensi (wujud) maupun non-
eksistensi – yakni, ia bisa saja eksis atau tidak eksis tanpa harus menyebabkan
kontradiksi atau ketidakmungkinan – maka ia termasuk ke dalam eksistensi
kontinjen. Jika esensi (mahiyah) suatu hal tidak dapat dipisahkan dari
eksistensinya, dan jika non-eksistensinya menyebabkan kontradiksi, maka ia adalah
Eksistensi Niscaya. Contoh dari hal pertama adalah keberadaan dua tuhan, atau dua
hal yang sama-sama mutlak, contoh dari hal kedua adalah jagat raya, sementara
yang ketiga adalah Tuhan itu sendiri.35

Sampai di sini, kiranya sudah terdapat gambaran umum mengenai apa yang
dimaksud dengan persoalan eksistensi (wujud). Perlu ditegaskan lagi bahwa ini
merupakan suatu persoalan metafisis, dan karenanya, merupakan persoalan
mengenai dasar dari kenyataan. Persoalan eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah),
karenanya, merupakan persoalan mengenai prinsip paling mendasar dari kenyataan.
Dalam menjelaskan perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), kita
telah mengandaikan beberapa hal. Misalnya, perbedaan ini dapat diperagakan
dengan mengandaikan suatu hal semisal manusia, kuda, dan tentunya kenyataan itu
sendiri. Dan sebagaimana arti metafisika sebagai “Filsafat Pertama”, maka upaya
membedakan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) merupakan upaya
untuk menggambarkan dasar dari segala sesuatu, dasar dari kenyataan. Aristoteles
menggambarkan kenyataan, dalam hal ini, dunia dan segala isinya, sebagai suatu
blok ontologis tanpa celah, dalam metafisikanya, tidak ada esensi (mahiyah) yang
tidak eksis, karenanya, perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)
hanyalah perbedaan konseptual belaka. Bagi al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf islam
pada umumnya, dunia bukanlah sesuatu yang dapat eksis dengan sendirinya,
karenanya, eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) darinya merupakan dua hal
yang berbeda, sekali lagi, inilah yang membedakan Aristoteles dan para
pengikutnya di dunia Islam. Dalam hal ini, al-Farabi menggunakan konsep ‘arid
yang menyatakan bahwa eksistensi (wujud) dalam eksistensi kontinjen berasal dari
luar, yaitu dari Eksistensi Niscaya, hal yang diikuti oleh Ibn Sina. Maka,
kesimpulannya ialah bahwa bermula dari filsafat Islam-lah, perbedaan antara

35
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna-Suhrawardi-Ibn ‘Arabi (New York:
Caravan Book, 1997) h. 27.
85
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) memiliki peran penting dalam metafisika.
Dan kemudian kita akan melanjutkan pembahasan mengenai bagaimana perbedaan
ini nantinya dipermasalahkan oleh para filsuf setelah Ibn Sina. Inilah yang nantinya
akan dinamai sebagai persoalan mengenai ‘aksidentalitas’ eksistensi (wujud).36

6. Warisan Persoalan Ibn Sina


Ibn Sina mengikuti perbedaan yang dinyatakan oleh al-Farabi terkait eksistensi
(wujud) dan esensi (mahiyah). Eksistensi (wujud) bukanlah sesuatu yang menjadi
anasir esensial dari suatu hal. Ia adalah sesuatu yang ditambahkan, disifatkan
kepada esensi (mahiyah) sesuatu sehingga sesuatu tersebut eksis. Yang nantinya
akan dipersoalkan ialah mengenai bagaimana “eksistensi (wujud)” ini disematkan
kepada “esensi (mahiyah)”. Menurut Izutsu, kesalahpahaman atas proses inilah
yang menjadi dasar bagi para kritikus Ibn Sina di kemudian hari. Dengan mengikuti
dan membawanya kepada konsekuensi logis dari konsep ‘arid yang diwarisi dari
al-Farabi, Ibn Sina menyatakan bahwa eksistensi (wujud) dari sesuatu (selain
Eksistensi Niscaya) berasal dari luar dirinya. Kesalahpahaman atas pernyataan Ibn
Sina terkait dengan makna dari pernyataan ini. Apakah “eksistensi (wujud)” dari
sesuatu benar-benar berasal dari luar? Andaikan bahwa suatu hal, misalnya buku,
memiliki eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). esensi (mahiyah) buku adalah
tersusun dari halaman, dari kata-kata, dan ditulis dalam suatu kerangka logika
tertentu, dan memiliki bahan dari kertas dan sebagainya. Eksistensi (wujud) dari
buku adalah keberadaannya di dunia eksternal yang dapat dibuktikan dalam
kejadian di mana kita dapat menunjuk sesuatu dan berkata “ini adalah sebuah
buku”. Lalu, jika eksistensi (wujud) dari buku merupakan sesuatu yang
ditambahkan kepada esensi (mahiyah) tersebut, maka bagaimana hal tersebut
terjadi? Inilah pokok permasalahannya. Apakah sebelum suatu buku eksis, terdapat
suatu hal yang disebut eksistensi (wujud) sebuah buku dan esensi (mahiyah) sebuah
buku yang terpisah, kemudian karena suatu sebab, keduanya tergabung dan menjadi
suatu buku yang eksis? Dan, setelah itu, apakah ini berarti bahwa eksistensi (wujud)
merupakan sesuatu yang tidak membentuk anasir esensial bagi buku tersebut?
Seperti yang beberapa kali dipaparkan di atas, kita dapat memikirkan esensi

36
Nader el-Bizri, “Avicenna and Essentialism”. The Review of Metaphysics 54, no. 4 (2001): 753-
778.
86
(mahiyah) suatu hal, dalam hal ini buku, dengan menghiraukan apakah buku
tersebut eksis atau tidak.37

Sebelum beranjak kepada sub-bab berikutnya mengenai persoalan keutamaan


(primacy), mari kita membahas sekilas mengenai kesalahpahaman, atau
misinterpretasi atas makna dari ‘arid terkait perbedaan antara eksistensi (wujud)
dan esensi (mahiyah) dalam Ibn Sina. Atau, dengan kata lain, apakah Ibn Sina
benar-benar menyatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi
(mahiyah)? Karenanya, beberapa poin di bawah ini harus diperhatikan:

Pertama. Bagi Ibn Sina, objek utama dari setiap pemikiran metafisik, adalah
eksisten (mawjud), hal konkret yang secara nyata eksis. Keseluruhan sistem
metafisikanya merupakan analisis intelektual dari struktur kenyataan. Ia tidak
memulai perenungan metafisisnya dari “esensi (mahiyah)” sebagai suatu fakta
utama dan terberi. 38 Bagi Ibn Sina, esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud)
bukanlah anasir yang terpisah untuk kemudian dipadukan menjadi suatu objek.
Sebaliknya, ia memulai perenungannya atas suatu objek konkret, menundukkannya
pada analisis konseptual dan menemukan dua anasir di dalamnya, yaitu “esensi
(mahiyah)” dan “eksistensi (wujud)”. Ini tidak serta merta bermakna bahwa objek
konkret secara faktual merupakan susunan dari dua anasir tersebut. Apa yang
dimaksud oleh Ibn Sina adalah bahwa ketika akal menganalisis suatu objek konkret,
ia dapat membedakan antara dua hal tersebut. 39

Kedua. Ibn Sina menyatakan bahwa setiap hal memiliki esensi (mahiyah) yang
membedakannya dengan hal lainnya, serta eksistensi (wujud) yang sama-sama
dimiliki setiap hal. Watak kontinjen dari hal tersebut menegaskan bahwa suatu hal
(eksistensi kontinjen) tidak dapat disifati oleh eksistensi (wujud) secara permanen.
Artinya, jika sesuatu eksistensi kontinjen eksis, eksistensinya berasal dari sumber
luar, yang kodratnya berbeda dengan eksistensi kontinjen dan tidak dapat
dipisahkan antara esensi (mahiyah) dan eksistensinya. Karenanya, esensi (mahiyah)

37
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 97.
38
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 97.
39
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 98
87
dari suatu hal bukanlah sebab dari eksistensinya. Eksistensi (wujud) dari suatu
eksistensi kontinjen hanyalah suatu gagasan esensi (mahiyah) sebelum ia bersatu
dengan eksistensi (wujud) yang diberikan oleh Tuhan.40

Ketiga. Apa yang dimaksud oleh Ibn Sina terkait eksistensi (wujud) sebagai
atribut, atau aksiden dari esensi (mahiyah) adalah upayanya untuk menyelesaikan
persoalan Aristotelian mengenai rumusan Aristoteles mengenai materi dan forma.
Menurut rumusan ini, kenyataan dari sesuatu terbit dari perpaduan antara materi
dan forma. Namun, hal ini menyisakan pertanyaan bagi Ibn Sina: bagaimana
sesuatu hal menjadi ada dari dua anasir yang non-eksisten? Karenanya, dibutuhkan
anasir ketiga yang menjadikan dua hal sebelumnya bersatu, yaitu Tuhan. 41

Keempat. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, pernyataan bahwa


dalam eksistensi kontinjen, eksistensi (wujud) berasal dari luar esensi (mahiyah)
adalah upaya Ibn Sina untuk memisahkan Eksistensi Niscaya dan eksistensi
kontinjen. Dengan menyatakan bahwa yang pertama dapat dibedakan dengan fakta
bahwa eksistensinya tidak berasal dari luar esensinya, atau lebih jauh, esensi
42
(mahiyah) dan eksistensinya bukanlah hal yang berbeda. Lebih jauh, ini
merupakan upaya Ibn Sina untuk menekankan kontinjensi dari eksistensi
kontinjen.43

C. Persoalan Primasi (Asalat)


Pada sub-bab sebelumnya, kita telah membahas bagaimana diskursus perbedaan
antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) telah menjadi pembahasan metafisis
penting dalam filsafat Islam. Kita juga telah menyinggung bagaimana Ibn Sina telah
menawarkan sebuah solusi terkait hubungan antara keduanya. Begitu pula,
bagaimana solusi yang ditawarkan oleh Ibn Sina ini nantinya akan menjadi bibit
dari persoalan filosofis yang baru: permasalahan primasi (primacy) atau

40
Yasin Ceylan, “A Critical Approach to the Avicennian Distinction of Essence and Existence”.
Islamic Studies 32, no. 3 (1993): 329-337.
41
Yasin Ceylan, “A Critical Approach to the Avicennian Distinction of Essence and Existence”.
Islamic Studies 32, no. 3 (1993): 330.
42
Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra’s Realist Ontology of the Intelligibles and Theory of Knowledge”.
Islam Arastimalari Dergisi 7 (2002): 85.
43
Fadlou Shehadi, Metaphysics in Islamic Philosophy (New York: Caravan Books, 1982) h.77
88
permasalahan keutamaan. Lalu apakah yang dimaksud dengan persoalan primasi
atau keutamaan ini? Izutsu menulis:

“Dikotomi antara “eksistensi (wujud)” dan “esensi (mahiyah)” yang


diperkenalkan kepada filsafat Islam oleh Farabi dan Avicenna seperti yang telah
kita jelaskan dalam halaman sebelumnya, telah menjadi bagian penting dari
tradisi skolastisisme yang kokoh, baik di bagian Timur maupun Barat. Baik di
Timur maupun Barat, dikotomi ini telah menjadi sumber dari sejumlah
persoalan filosofis. Salah satu dari persoalan ini adalah keutamaan ontologis,
y.i. persoalan: manakah dari keduanya yang “secara mendasar nyata”? Ketika
dirumuskan dengan cara yang lebih tepat, persoalan ini dapat diajukan menjadi:
yang manakah dari keduanya yang memiliki rujukan dalam kenyataan dunia
ekstra-mental, “eksistensi (wujud)” atau “esensi (mahi-yah)”?”44
Rumusan Ibn Sina mengenai perbedaan eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah) membuka gerbang bagi dua penafsiran yang berlawanan. Artinya, ia bisa
ditafsirkan sebagai yang menyatakan bahwa eksistensi (wujud) adalah yang lebih
utama dalam realitas, atau sebaliknya, esensi (mahiyah) adalah yang utama dalam
realitas. 45 Ibn Sina berulang kali menyatakan bahwa esensi (mahiyah) adalah
prinsip yang menyusun kodrat dari sesuatu, sementara eksistensi (wujud) bukanlah
bagian dari prinsip tersebut. eksistensi (wujud) disebut sebagai sesuatu “yang terjadi
dari luar”. Ambiguitas Ibn Sina inilah yang akhirnya menjadi pengaruh bagi
perdebatan filosofis selanjutnya, baik bagi filsuf Muslim dan Kristiani di abad
pertengahan.46

Kita dapat menyebut beberapa tokoh yang terilhami dari rumusan Ibn Sina
mengenai eksistensi (wujud) ini, misalnya Thomas Aquinas dan William Auvergne
dari Barat, dan Ibn Rusyd serta Suhrawardi dari dalam tubuh Islam sendiri. 47 Dalam
hal ini, Ibn Sina ditafsirkan oleh beberapa pihak menjadi pengusung prinsip

44
“The dichotomy of “existence” and “essence” which was introduced into Islamic philosophy by
Farabi and Avicenna in the way we have described in the preceding pages, has become part of the
well-established tradition of scholasticism, both Eastern and Western. In both the East and the West
this dichotomy has been the source of a number of philosophical problems. One of these is the
problem of principiality or ontological fundamentality (asalah), i.e. the question: which of these two
is “fundamentally real” (asil)? Formulated in a more precise way, the question may be stated: which
of the two has a corresponding reality in the extra-mental world, “existence” or “essence”?”
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 99.
45
Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect and
Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010) h. 97
46
Eiyad S. al-Kutubi, Mulla Sadra and Eschatology: Evolution of Being (New York: Routledge,
2015) h. 21-22.
47
Sajjad H. Rizvi, “An Islamic Subversion of the Existence-Essence Distinction? Suhrawardi’s
visionary hierarchy of lights”. Asian Philosophy 9, no. 3 (1999): 220.
89
keutamaan esensi (asalah al-mahiyah), atau esensialisme48 di sisi lain, Nasir al-Din
al-Tusi menyerang argumen tersebut dan menyatakan bahwa Ibn Sina, ketika
pernyataannya mengenai aksidentalitas eksistensi (wujud) ditafsirkan dengan
benar, justru menyatakan bahwa adalah eksistensi (wujud) yang memiliki
keutamaan secara ontologis.49

1. Substansi dan Aksiden dalam Aristoteles


Sebelum kita memasuki pembahasan selanjutnya mengenai bagaimana
pernyataan bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah)
menjadi objek kritik dari beberapa filsuf – khususnya, dalam penelitian ini,
Suhrawardi – kita akan terlebih dahulu membahas secara sekilas apa yang dimaksud
dengan substansi dan aksiden, yaitu dalam pembahasan metafisika Aristoteles,
karena sebelumnya kita juga telah menyinggung bagaimana prinsip perbedaan
antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) sendiri berasal dari Aristoteles,
maka dapat dikatakan pula bahwa istilah ‘aksidentalitas’ eksistensi (wujud) juga
berasal dari upaya al-Farabi untuk menafsirkan Aristoteles (seperti yang telah
dibahas sebelumnya, dalam istilah ‘arid)50, dan karenanya, kita dapat berasumsi
bahwa persoalan aksidentalitas ini berakar dari metafisika substansial
Aristotelian.51

Substansi, dalam tulisan Aristoteles, merupakan terjemahan dari bahasa


Yunani, ousia. berasal dari ousa, merupakan bentuk feminin dari einai yang
bermakna menjadi. 52 Mari kita lihat bagaimana Aristoteles membedakan antara
substansi dan aksiden dalam tulisannya sendiri. Dalam Metaphysics, Book Gamma,
Aristoteles menulis:

“Dan dengan menyatakan substansi dari sesuatu, yang kami maksud adalah
bahwa kudrat dari sesuatu adalah hal tersebut dan bukan sesuatu yang lain; dan
jika karena substansi tersebut menjadi manusia secara kudrati sama saja
dengan menjadi bukan manusia secara kudrati, maka kudratnya adalah hal

48
Nader el-Bizri, “Avicenna and Essentialism”. The Review of Metaphysics 54, no. 4 (2001): 753.
49
Eiyad S. al-Kutubi, Mulla Sadra and Eschatology: Evolution of Being (New York: Routledge,
2015) h. 22-23.
50
Lihat sub-bab sebelumnya
51
Terkait upaya filsuf Islam, terutama Ibn Sina dan Mulla Sadra yang merupakan filsuf Islam yang
mencoba keluar dari metafisika substansial Aristotelian, lihat Nader el-Bizri, The Phenomenological
Quest: Between Avicenna and Heidegger (New York: SUNY Press, 2000)
52
Nicholas Bunnin & Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy (Malden:
Blackwell Pubslishing, 2004). h. 665.
90
yang lain; maka mereka harus mengiyakan bahwa tidak ada sesuatu yang
disebut sebagai substansi, dan bahwa semua sifat adalah aksidental.
Karenanya, ini adalah perbedaan antara substansi dan aksiden: “Putih” adalah
sifat aksidental dari “manusia” karena manusia itu putih, tetapi tidak secara
kudrati.”53
Dalam Book Zeta, Aristoteles melanjutkan:

“Izinkan aku mengatakan dengan jelas apa yang aku maksud di sini dengan
substansi. Aku memaksudkan sesuatu yang dalam dirinya bukanlah sesuatu
dan bukan pula suatu kuantitas, tidak pula dikatakan sebagai sesuatu yang lain,
yang dengannya apapun yang ada didefinisikan.”54
Kemudian:

“Dengan apa yang telah dijelaskan, apapun-yang-menjadikan-sesuatu-


adalah-sesuatu pertama-tama akan diterapkan kepada substansi, dan kemudian
kepada kategori lainnya (begitu juga kepada apa yang ada) bukan sebagai apa-
artinya-menjadi-sesuatu tanpa syarat, tetapi sebagai apa-yang-menjadi-sifat-
tersebut atau -mengenai-sifat-tersebut.”55
Sampai di sini, kita dapat menyimpulkan satu hal, yakni, bahwa berbeda
dengan substansi yang merupakan hakikat, atau bagian esensial dari sesuatu,
aksiden adalah bagian dari sesuatu yang tidak menyusun ke-apa-an dari sesuatu
tersebut, dan bahwa ada atau tidaknya suatu aksiden tidak akan mengubah ke-apa-
an dari sesuatu yang dibicarakan. Dalam konteks ini, kita dapat menerapkannya
pada pernyataan bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi
(mahiyah). Artinya, eksistensi (wujud) adalah sesuatu yang ditambahkan kepada
sesuatu tanpa mengubah identitas sesuatu itu. Ada atau tidaknya eksistensi (wujud)
tidak mengubah fakta bahwa sesuatu adalah sesuatu. Baru kita dapat melanjutkan

53
“And by indicating the substance of something we mean that its essence is that and nothing else;
and if for that substance being essentially a man is the same either as essentially being not a man or
as essentially not being a man, the essence will be something else; thus they will have to admit that
there cannot be any account of the substance of anything, but that all attributes are accidental. For
this is the distinction between substance and accident: “White” is an accidental attribute of “man”
because man is white but not essentially so.” Dalam Aristoteles, Philosophy of Aristotle. Terjemahan
A.E. Wardman dan J.L. Creed (New York: New American Library, 1963) h. 61.
54
“Let me be quite clear about what I mean here by substance. I mean an item that is not in itself a
something and is also not a quantity nor said to be any of the other things by which that which is is
defined.” Aristoteles, Metaphysics. Terjemahan Hugh Lawson-Tancred (London: Penguin Books,
1998) h. 175.
55
“In just the way distinguished, the what-it-was-to-be-that-thing will apply primarily and without
qualification to substance and secondarily to the other categories (as also with the what-it-is) not as
what-it-was-to-be without qualification but as what-it-was-to-be-of-that-quality or -of-that-quality.”
Aristoteles, Metaphysics. Terjemahan Hugh Lawson-Tancred (London: Penguin Books, 1998) h.
180.
91
pembahasan mengenai apa saja konsekuensi dari pernyataan bahwa eksistensi
(wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah).

Untuk mengawalinya, kita dapat menyebut bahwa setidaknya ada dua


konsekuensi yang berbeda, yang merupakan landasan dari dua pendirian yang
berbeda terkait persoalan primasi. Pertama, mereka yang menyatakan bahwa
eksistensi (wujud) benar-benar merupakan aksiden dalam artian Aristoteles, yang,
akibatnya, berujung kepada prinsip bahwa esensi (mahiyah) merupakan prinsip
utama dari realitas, ini disebut sebagai posisi keutamaan atau primasi esensi
(asalah al-mahiyah). Kedua, mereka yang menyatakan bahwa eksistensi (wujud)
bukanlah aksiden atau atribut dari esensi (mahiyah) dalam artian umum, dan lebih
jauh, justru sebaliknya, adalah esensi (mahiyah) yang merupakan atribut dari
eksistensi (wujud), dan berujung kepada prinsip bahwa eksistensi (wujud) adalah
yang utama dalam realitas, keutamaan atau primasi eksistensi.

2. Lahirnya Persoalan Primasi


Dari masa Mir Damad dan Mulla Sadra, yakni abad 11/17, para filsuf Islam
telah menjadikan persoalan keutamaan eksistensi (asalah al-wujud) dan keutamaan
esensi (asalah al-mahiyah), dan faktanya telah membawa perdebatan ini ke masa-
masa sebelumnya hingga mencakup keseluruhan sejarah filsafat Islam. Persoalan
utama dari perdebatan ini adalah: setelah perbedaan dasar antara eksistensi (wujud)
dan esensi (mahiyah) diterima, yang manakah dari keduanya yang memiliki
kenyataan dalam artian merujuk kepada objek konkret yang eksis dalam dunia
luar?56

Filsuf Muslim dari al-Kindi [w. 866] tertarik untuk memahami relasi antara
esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud). Baginya, Tuhan merupakan suatu Eksisten
(mawjud) sederhana dan murni tanpa esensi (mahiyah), mengikuti Plotinus dalam
Enneads, yang disandarkan oleh al-Kindi kepada Aristoteles, Tuhan adalah Kausa
Pertama. Menurut al-Kindi, gagasan mengenai kesederhanaan Tuhan ini juga
mengarah kepada penafian atas dikotomi antara esensi (mahiyah) dan eksistensi
(wujud). Karena Kausa Pertama itu sederhana, eksistensinya entah identik dengan

56
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land
of Prophecy (New York: SUNY Press, 2006) h. 78
92
esensinya, atau murni dan tanpa esensi (mahiyah). Dalam artian ini, Al-Kindi
sepakat dengan Aristoteles bahwa Tuhan adalah yang ‘Satu’, yang eksistensinya
adalah aktualitas murni, eksistensi (wujud) murni. Mengikuti al-Kindi, al-Farabi
(870-950) dan Ibn Sina (979-1037) mengusung gagasan keutamaan ontologis dari
suatu eksisten (mawjud) yang sederhana dan murni. Mereka meyakini bahwa esensi
(mahiyah) dan perbedaannya dari eksistensi (wujud) mencirikan eksisten-eksisten
pada tingkat lebih rendah dalam hirarki eksistensi (wujud). Dengan pernyataan ini
pula, dibedakan antara dua jenis eksisten (mawjud), Eksistensi Niscaya dan
eksistensi kontinjen, yang pertama tidak terdapat perbedaan antara eksistensi
(wujud) dan esensi (mahiyah), yang kedua sebaliknya. eksistensi (wujud) dari
eksistensi kontinjen disebabkan oleh Eksistensi Niscaya, dan ditambahkan kepada
esensi (mahiyah) mereka. Persoalan ini nantinya diwarisi dan dilanjutkan oleh
Fakhr al-Din al-Razi (864-925) dan Ibn Rusyd (1126-1198) dan menganggap
bahwa bagi Ibn Sina, eksistensi (wujud) dari eksistensi kontinjen merupakan sebuah
aksiden.57 Pada umumnya, para filsuf Muslim, terlepas dari perbedaan pendapat
mereka, sepakat dengan pernyataan bahwa adalah eksistensi (wujud), bukan esensi
(mahiyah), yang merupakan dasar dan prinsip utama dari realitas. Dengan
demikian, Shahab al-Din Suhrawardi (1153-1191) dengan menyatakan bahwa
esensi (mahiyah) adalah dasar dan prinsip utama dari realitas melakukan suatu
pembalikan ontologis dalam sejarah metafisika Islam. 58

Suhrawardi merupakan filsuf pertama yang meletakkan relasi antara eksistensi


(wujud) dan esensi (mahiyah) dalam kerangka fundamentalitas atau primasi. Hal ini
menjadikannya sebagai tokoh yang disepakati sebagai pengusung gagasan primasi
esensi (asalah al-mahiyah).59Untuk memahami lebih jelas posisi Suhrawardi ini,
kita harus melihatnya dalam konteks peripatetik terkait relasi antara esensi
(mahiyah) dan eksistensi (wujud). Sebelumnya, kita telah melihat bagaimana
argumen Aristoteles mengenai dua hal yang kita ketahui dari sesuatu, yaitu ke-apa-

57
Fadlou Shehadi, Metaphysics in Islamic Philosophy (New York: Caravan Books, 1982)
58
Muhammad Kamal, “Rethinking Being: From Suhrawardi to Mulla Sadra”. Journal of Shi’a
Islamic Studies 2, no. 4 (2009): 425.
59
Eiyad S. al-Kutubi, Mulla Sadra and Eschatology: Evolution of Being (New York: Routledge,
2015) h. 23 Lihat juga argumen Rizvi dalam Sajjad H. Rizvi, “An Islamic Subversion of the
Existence-Essence Distinction? Suhrawardi’s visionary hierarchy of lights”. Asian Philosophy 9, no.
3 (1999): 219-227.
93
an dan ke-ada-an dari sesuatu. Untuk mengulang sekilas, ketika kita memikirkan
sesuatu, misalnya sebuah batu, kita mendapati dua sisi dari objek tersebut, pertama
bahwa ia memiliki ciri tertentu semisal warna, tekstur, ukuran dan setiap hal yang
membuatnya dinamai sebagai batu, ke-batu-an dari batu; kedua, bahwa batu
tersebut ada di dunia luar sehingga kita dapat mengatakan “batu ini ada”, ini adalah
sisi kedua dari batu, yaitu bahwa batu ini ada di dunia luar. Penjelasan ini
menunjukkan bahwa, dua sisi dari suatu objek, di dunia luar merujuk kepada satu
objek konkret.

3. Relasi Eksistensi (wujud) dan Esensi (mahiyah)


Konteks berikutnya adalah pernyataan Ibn Sina mengenai relasi eksistensi
(wujud) dan esensi (mahiyah). Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bagi Ibn
Sina, relasi antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) harus diletakkan dalam
kerangka teologis. Pernyataan Ibn Sina terkait perbedaan antara eksistensi (wujud)
dan esensi (mahiyah) merupakan sisi lain dari pernyataannya mengenai perbedaan
antara Pencipta dan ciptaan. Karena konteks Ibn Sina ini, yaitu mengaitkan
perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dengan pembagian
tripartit antara Eksistensi Niscaya, eksistensi kontinjen dan eksisten tak mungkin,
pernyataan Ibn Sina dapat digunakan sebagai pendukung kedua posisi primasi,
yaitu eksistensi (wujud) atau esensi (mahiyah). Pun, Ibn sina tidak membahas
persoalan primasi esensi (asalah al-mahiyah) atau eksistensi (wujud) dalam cara
yang jelas.60

Seperti yang telah kita bahas pula, Ibn Sina menyatakan bahwa eksistensi
(wujud) dalam eksistensi kontinjen adalah aksiden dari esensi (mahiyah), sementara
dalam Eksistensi Niscaya, eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) tidak dibedakan,
atau mungkin dapat kita katakan bahwa eksistensi (wujud) adalah esensi (mahiyah)
dari Eksistensi Niscaya. Artinya, dalam Ibn Sina, terdapat dua jenis relasi antara
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Eksistensi (wujud) menjadi sesuatu yang
esensial bagi Eksistensi Niscaya, dan eksistensi (wujud) menjadi aksiden ketika kita
sedang berbicara mengenai eksistensi kontinjen.

60
Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra’s Realist Ontology of the Intelligibles and Theory of Knowledge”.
Islam Arastimalari Dergisi 7 (2002): h. 85.
94
Dengan memahami konteks tersebut, posisi Suhrawardi yang disebut sebagai
primasi esensi (asalah al-mahiyah) akan terlihat lebih jelas. Maka, apa yang disebut
sebagai kritik Suhrawardi atas Peripatetisme adalah pernyataannya bahwa
eksistensi (wujud) dalam eksistensi kontinjen bukanlah sesuatu yang diperlukan
oleh suatu esensi (mahiyah) partikular di dunia nyata agar ia menjadi eksisten
(mawjud). 61 Perlu digarisbawahi pula bahwa, meskipun Ibn Sina menyatakan
bahwa eksistensi (wujud) dalam eksistensi kontinjen merupakan suatu aksiden,
bukan berarti bahwa ia merupakan aksiden bagi suatu eksisten (mawjud) partikular.
Artinya, agar suatu eksisten (mawjud), misalnya batu, eksis di dunia luar, harus
terdapat dua sisi darinya, yaitu sisi eksistensi (wujud) yang dilekatkan pada sisi
esensi (mahiyah) sehingga di dunia luar kita menjumpai eksisten (mawjud) batu
partikular. Sebagaimana Rahman menyatakan bahwa, menurut Ibn Sina, eksistensi
(wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah), tetapi bukan aksiden dari suatu
objek tersebut:

“Benar bahwa, jauh dari mengatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan


sekedar atribut, Ibn Sina menyatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan
satu-satunya kenyataan dari Tuhan, sementara dalam hal-hal kontinjen, ia
menganggap bahwa eksistensi (wujud) diturunkan atau “dipinjamkan” dari
Tuhan dan karenanya “menjadi tambahan bagi” esensi (mahiyah) mereka
tetapi bukanlah tambahan bagi hal-hal tertentu yang eksis.”62
Sebelum masuk ke dalam rincian argumen Suhrawardi tersebut, mari kita sekali
lagi melihat bagaimana persoalan primasi ini menjadi penting dalam horizon
metafisis baik dalam kerangka esensialis atau eksistensialis. Seperti yang telah
dibahas sebelumnya, persoalan primasi dapat dinyatakan dalam kalimat: dari kedua
aspek dari suatu objek, yaitu esensi (mahiyah) (ke-apa-an) dan eksistensi (wujud)
(ke-ada-an), yang manakah yang merujuk kepada kenyataan di luar pikiran?
Artinya, ketika kita mengetahui ke-apa-an dan ke-ada-an dari suatu objek, yang
mana dari keduanya yang dapat kita saksikan dalam kenyataan? Primasi (asalah)
berasal dari asil, yang bermakna utama, dan secara terminologis berarti merujuk
kepada kenyataan ekstra-mental, lawan dari i’tibari yang bermakna berada dalam

61
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (New York: Routledge, 2013) h.
33.
62
“Indeed, far from saying that existence is a mere attribute, Ibn Sina declared existence to be the
sole reality of God, while in contingent beings he regarded existence to be derived or “borrowed”
from God and hence “additional to” their essence but not additional to particular things that exist.”
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975) h. 27.
95
pikiran, atau merujuk kepada kenyataan konseptual. Kita pun telah mengetahui
bahwa dua sisi dari objek tersebut merujuk kepada satu objek yang sama dalam
kenyataan, maka problem primasi adalah menentukan yang mana dari keduanya
yang merujuk kepada objek konret tersebut dari kenyataan, apakah esensinya,
ataukah eksistensinya?63

4. Dua Makna Esensi


Terdapat dua makna dari esensi dalam filsafat Islam, makna khusus dan makna
umum. Esensi (mahiyah) dalam makna khusus diartikan sebagai jawaban atas
pertanyaan apa-kah ini? (cth. Apa-kah ini? Ini adalah batu), esensi (mahiyah),
dalam makna umum berarti apa yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri.
Dalam arti kedua ini, esensi (dzat) merujuk kepada kenyataan dari suatu hal, dan
tidak berlawanan dengan eksistensi (wujud) dari suatu hal tersebut. 64 Esensi
(mahiyah), dalam pendirian primasi esensi (asalah al-mahiyah) adalah esensi
(mahiyah) dalam artian pertama atau khusus.65 Setelah kita memahami apa yang
dimaksud eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dalam kerangka primasi, maka
kita akan berhadapan dengan dua pilihan, antara menyematkan primasi kepada
eksistensi (wujud) atau esensi (mahiyah). Sebab, sebelumnya kita telah mengetahui
bahwa dua sisi dari satu objek konkret merujuk kepada satu objek dalam kenyataan,
maka terdapat dua opsi pendirian, yaitu pertama, kedua sisi dari objek tersebut
nyata atau merujuk kepada kenyataan; 66 kedua, salah satu dari keduanya merujuk
kepada kenyataan, dan yang lainnya tidak. Primasi berarti mengikuti pilihan kedua,

63
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 100.
64
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land
of Prophecy (New York: SUNY Press, 2006) h. 66.
65
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 101.
66
Pernyataan bahwa kedua hal, yaitu eksistensi (wujud) dan Esensi (mahiyah) merujuk kepada dua
hal dalam kenyataan merupakan posisi yang paling sulit dipertahankan. Jika, misalnya, ketika kita
menyatakan bahwa eksistensi (wujud) dan Esensi (mahiyah) dari suatu objek, keduanya nyata, maka,
dalam kenyataan, yang akan kita temui bukanlah sebuah objek konkret bernama batu, tetapi batu
sebagai Esensi (mahiyah) dan batu sebagai eksistensi (wujud). Keduanya akan dapat dibedakan
ketika kita melihat sebuah batu, artinya, dalam satu batu, kita menyaksikan adanya dua batu, tentu
hal ini absurd, dan karena absurditas inilah, pilihan yang rasional adalah bahwa hanya salah satu di
antara keduanya yang merujuk kepada realitas, dus, antara primasi esensi (asalah al-mahiyah) atau
eksistensi (wujud). Adapun, faktanya, hampir semua filsuf muslim tidak mendukung pandangan ini
kecuali Syaikh Ahmad Ahsa’i. Lihat Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence
(Tokyo: Keio Insitute of Cultural and Linguistic Studies, 1997) h. 100-102.
96
yaitu salah satu dari keduanya merupakan yang merujuk kepada kenyataan.
Suhrawardi menyatakan bahwa adalah esensi (mahiyah), bukan eksistensi (wujud)
yang merujuk kepada kenyataan. Itulah mengapa pendirian ontologisnya disebut
primasi esensi (asalah al-mahiyah).67

5. Argumen Primasi Esensi (Asalah al-Mahiyah)


Sekarang, mari kita mulai pembahasan mengenai apa yang dimaksud
Suhrawardi sebagai primasi esensi (asalah al-mahiyah). Menyatakan bahwa adalah
esensi (mahiyah) yang merujuk kepada kenyataan eksternal, berarti menyatakan
bahwa eksistensi (wujud) tidak merujuk kepada kenyataan tersebut, dan bahwa
eksistensi (wujud) hanya merujuk kepada kenyataan konseptual. Maka, setiap
argumen Suhrawardi untuk mengkritik pendirian peripatetisme adalah untuk
membuktikan pernyataan tersebut: bahwa dalam kenyataan eksternal, tidak ada
sesuatu yang dapat disebut sebagai eksistensi (wujud). Pertama-tama, Suhrawardi
menganggap bahwa Ibn Sina benar-benar menyatakan bahwa dalam eksistensi
kontinjen, eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah), dan setiap
argumennya berawal dari penafsiran Suhrawardi atas pernyataan Ibn Sina ini, ini
adalah poin penting yang harus diingat ketika membahas prinsip primasi esensi
(asalah al-mahiyah) Suhrawardi.

Dalam konteks ini, mari kita lihat pernyataan Suhrawardi:

“Tidaklah benar untuk menyatakan bahwa “eksistensi (wujud)” dalam dunia


eksternal merupakan sesuatu yang berbeda dari “esensi (mahiyah)” atas dasar
bahwa kita dapat memikirkan esensi (mahiyah) tanpa memikirkan “eksistensi
(wujud)”. (Hal ini tidak benar) karena dengan cara yang sama kita dapat
membentuk suatu gambaran mental mengenai “eksistensi (wujud)” -
contohnya, “eksistensi (wujud)” dari seekor burung luar biasa, ‘anqa’ - tanpa
mengetahui apakah ia (y.i. “eksistensi (wujud)” partikular tersebut) benar-
benar eksis (y.i. terwujud in concreto) atau tidak. Karenanya “eksistensi
(wujud)” akan memerlukan “eksistensi (wujud)” lainnya, dan seterusnya dan
selanjutnya hingga akhirnya kita harus mengakui kehadiran rangkaian
“eksistensi (wujud)” tak terhingga yang terwujud di waktu yang sama.”68

67
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Vermont: Ashgate, 2006) h. 22.
68
“It is not admissible to argue that “existence” in the external world is something different from
“essence” on the ground that we can conceive of the latter quite independently of “existence”. (This
is inadmissible) because in quite the same way we can form a mental image of “existence” - for
instance, the “existence” of a fabulous bird, ‘anqa’ - without knowing whether it (i.e. that particular
“existence”) does exist (i.e. is actualized in concreto) or not. Thus “existence” would require another
“existence”, and so on and so forth until ultimately we would have to admit an infinite series of
“existences” being actualized at one and the same time.” Suhrawardi, Talwihat, sebagaimana dikutip
97
Dalam kutipan di atas, Suhrawardi menyatakan bahwa perbedaan antara
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dalam kenyataan tidaklah nyata
sebagaimana dinyatakan oleh kelompok Peripatetis, baginya, perbedaan ini
hanyalah perbedaan logis dan konseptual, bukan ontologis dan ekstra-mental. Pada
titik ini, kita akan melihat bahwa argumen primasi mensyaratkan bahwa perbedaan
peripatetisme antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) adalah perbedaan
konseptual belaka 69 , yang membeda-kan adalah mana sisi yang dipilih sebagai
merujuk kepada kenyataan. Dalam primasi esensi (asalah al-mahiyah), adalah
esensi (mahiyah) yang merujuk kepada kenyataan, sementara dalam primasi
eksistensi, adalah eksistensi (wujud) yang merujuk kepada kenyataan.

Setelah menyatakan bahwa perbedaan yang ada antara eksistensi (wujud) dan
esensi (mahiyah) hanyalah perbedaan konseptual, Suhrawardi melanjutkan
argumennya untuk menentukan yang mana dari salah satunya yang merujuk kepada
kenyataan. Kita telah mengetahui bahwa Suhrawardi menyatakan bahwa esensi
(mahiyah)-lah yang merujuk kepada kenyataan ekstra-mental, maka sudah jelas
bahwa kali ini Suhrawardi akan menyatakan bahwa eksistensi (wujud) sama sekali
tidak merujuk kepada sesuatu dalam kenyataan, berikut argumen Suhrawardi:

“Penyifatan eksistensi (wujud) kepada ke-hitam-an, esensi (mahiyah),


manusia dan kuda dianggap sama, dan karenanya konsep eksistensi (wujud)
merupakan suatu konsep yang lebih universal dari masing-masing hal tersebut.
Begitu pula konsep esensi (mahiyah) dalam arti mutlaknya serta konsep
kebenaran dan kudrat dari sesuatu dalam artian mutlak mereka. Karenanya,
kami menyatakan bahwa kategori semacam itu (eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah) universal) adalah konsep-konsep mental murni.”70

dalam Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 111.
69
Adapun, rumusan Ibn Sina yang kurang jelas terkait relasi antara eksistensi (wujud) dan Esensi
(mahiyah), sekali lagi merupakan problem yang menjadi konteks primasi ini. Di satu sisi, Ibn Sina
dapat ditafsirkan sebagai yang menyatakan bahwa perbedaan antara eksistensi (wujud) dan Esensi
(mahiyah) merupakan perbedaan konseptual belaka, di sisi lain, pernyataannya dapat ditafsirkan
sebagai perbedaan nyata dalam dunia ekstra mental, lihat Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality
of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and Linguistic Studies, 1997) h. 109.
70
“Attribution of existence to blackness, essence, man and horses are regarded to be the same, and
therefore the concept of existence is a concept that is more universal than each of them. The same
is true of the concept of essence in its absolute sense and the concept of truth and the nature of beings
in their absolute sense. Therefore, we claim that such categories (existence and universal essence)
are pure mental concepts.” Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (New
York: Routledge, 2013) h. 33.
98
Inti dari argumen di atas ialah bahwa eksistensi (wujud) par exellence,
sebagaimana esensi (mahiyah) hitam dan putih murni tidaklah eksis di dunia
eksternal. Yang ada dalam kenyataan adalah objek partikular konret: benda hitam,
benda putih, bukan putih murni atau hitam murni. Dan karena eksistensi (wujud)
lebih universal dibandingkan dengan putih murni atau hitam murni, itu artinya,
eksistensi (wujud) dibandingkan dengan putih dan hitam murni statusnya lebih jauh
dari kenyataan eksternal. Eksistensi (wujud) hanyalah universal yang memiliki
kenyataan konseptual, bukan ekstra-mental.

Setelah melihat bahwa Suhrawardi menolak perbedaan nyata antara eksistensi


(wujud) dan esensi (mahiyah), dan setelah melihat bagaimana Suhrawardi
menyatakan bahwa eksistensi (wujud) bukanlah sesuatu yang dapat kita temui
dalam kenyataan, mari kita lihat bagaimana Suhrawardi menolak gagasan
Peripatetik bahwa dalam eksistensi kontinjen, eksistensi (wujud) adalah bagian dari
esensi (mahiyah), bahwa eksistensi (wujud) adalah aksiden dari esensi (mahiyah).

“Jika kita berkata bahwa ketika sesuatu itu non-eksisten, eksistensinya


niscaya tidak terwujud, maka eksistensinya non-eksisten. Ini karena, dengan
anggapan bahwa eksistensinya non-eksisten, ketika kita memikirkan tentang
eksistensi (wujud) dan berkata bahwa ia eksis, menjadi niscaya bahwa konsep
eksistensi (wujud) berbeda dengan benda yang eksis.”71
Lalu, Suhrawardi melanjutkan,

“Karena itu, jika kita berkata bahwa apa yang sebelumnya kita anggap tidak
eksis menjadi eksis, dan eksistensi (wujud) dari sesuatu yang sebelumnya tidak
terwujud, lalu mewujud, kita menyadari bahwa mewujud itu berbeda dari
eksistensi (wujud). Maka menjadi niscaya bahwa eksistensi (wujud) harus
memiliki eksistensi (wujud) dan kita harus mendefinsikan eksistensi (wujud)
dengan eksistensi (wujud), dan hal ini berlanjut ad infinitum. [Dikatakan
bahwa] suksesi tak terhingga dari hal-hal itu tidaklah mungkin.”72

71
“If we say that whenever something is non-existent, its existence is necessarily not-actualized,
then its existence is non-existent. This is because with the assumption that its existence is non-
existent, whenever we conceive of existence and say that it does exist, it becomes necessary that the
concept of existence be different from the existent object.” Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and
the School of Illumination (New York: Routledge, 2013) h. 34.
72
“Therefore, if we say that what we assumed not to exist came into existence and the existence of
that which was not and then was created, we realize that coming into being is different from
existence. It becomes necessary that existence should have existence and we have to define existence
by existence, and this continues ad infinitum. [It was stated that] an infinite succession of beings is
impossible.” Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (New York:
Routledge, 2013) h. 35.
99
Dalam kedua argumen di atas, Suhrawardi pertama-tama mencirikan bahwa
eksistensi kontinjen adalah eksisten (mawjud) yang sebelumnya tidak eksis. Maka,
pada tahapan pertama, eksistensi (wujud) dari suatu eksistensi kontinjen tidak eksis,
kemudian ia eksis. Maka, terdapat dua tahapan dalam eksistensi kontinjen, yaitu
eksistensi (wujud) sebelum ia eksis dan eksistensi (wujud) setelah ia eksis. Hal ini
akan berlanjut ad infinitum karena eksistensi (wujud) disebut eksis sebelum ia eksis.
Argumen tersebut juga menyatakan bahwa eksistensi (wujud) berbeda dengan
eksisten (mawjud) partikular. Kini, kita dapat merangkum argumen Suhrawardi
untuk menyatakan primasi esensi (asalah al-mahiyah) sebagai berikut:

Pertama. Berlawanan dengan konsepsi Peripatetik, Suhrawardi menyatakan


bahwa dalam kenyataan, kita tidak menjumpai sesuatu yang disebut eksistensi
(wujud).73

Kedua. Jika esensi (mahiyah) benar-benar memiliki eksistensi (wujud), maka


ia harus memiliki suatu relasi dengannya, dan relasi antara esensi (mahiyah) dan
eksistensi (wujud) ini harus memiliki eksistensi (wujud), dan berlanjut ad
infinitum.74

Ketiga. Jika eksistensi (wujud) berada dalam suatu hal, dan bukan merupakan
suatu esensi (mahiyah), maka ia akan menjadi suatu keadaan dari hal tersebut.
Dalam hal ini, eksistensi (wujud) bergantung kepada hal tersebut. Karenanya, suatu
hal sebagai tempat bersemayamnya eksistensi (wujud) haruslah eksis. Namun, hal
tersebut tidak dapat eksis sebelum eksistensi (wujud), karena jika ia eksis sebelum
eksistensi (wujud) atau bersamaan dengan eksistensi (wujud), maka ia eksis
bersama eksistensi (wujud); jika hal tersebut eksis sebelum eksistensi (wujud),
maka ia eksis sebelum eksistensi (wujud) berada di dalamnya, semua konsekuensi
ini absurd.75

Demikianlah pembahasan mengenai persoalan primasi. Inti dari pembahasan ini


adalah bahwa nantinya, sebagai kritik atas prinsip primasi esensi (asalah al-
mahiyah) Suhrawardi, Mulla Sadra mengajukan prinsip primasi eksistensi, yang

73
Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy (Vermont: Ashgate, 2006) h. 21.
74
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975) h. 33.
75
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 116.
100
akan kami bahas pada bab selanjutnya, yaitu bab terakhir dari penelitian ini. Jika
dalam sub-bab ini, pembahasan primasi dikhususkan pada pendirian Suhrawardi,
yaitu primasi esensi (asalah al-mahiyah), pada bab terakhir kita akan melihat
bagaimana Sadra melancarkan serangannya pada konsepsi Suhrawardi yang sudah
dibahas sekilas dalam sub-bab ini. Sebelum memasuki bab terakhir, masih ada satu
sub-bab yang akan kami bahas, yaitu persoalan modulasi eksistensi. Adapun, untuk
mengawali, persoalan, atau tepatnya, prinsip modulasi adalah konsep yang
dirumuskan Sadra berdasarkan konsepsi modulasi Avicennian, konsep gradasi
cahaya Suhrawardi serta rumusan eksistensi (wujud) dari mazhab Akbariyyun, atau
para pengikut Ibn Arabi.

D. Persoalan Modulasi (Tasykik)


1. Prolog: Tinjauan Singkat atas Persoalan Sebelumnya
Sebelum kita memasuki pembahasan terakhir dari sub-bab ini, tinjauan atas dua
persoalan sebelumnya, yakni persoalan eksistensi (wujud), atau tepatnya, persoalan
distingsi antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), dan persoalan primasi,
atau keutamaan dari eksistensi (wujud) atau esensi (mahiyah), perlu dibahas sekilas.
Hal ini penting, sebab watak dari persoalan terakhir yang akan kami bahas
mewajibkan bahwa dua persoalan sebelumnya dijadikan sebagai pra-andaian dari
persoalan ini. Pentingnya gagasan modulasi, sebagai terjemah bagi istilah tasykik
yang digunakan Mulla Sadra, ditekankan setidaknya oleh dua peneliti Sadra, yakni
Fazlur Rahman dan Sajjad H. Rizvi.76

a. Eksistensi, Esensi dan Modulasi


Dalam pembahasan mengenai persoalan eksistensi (wujud), telah digambarkan
bagaimana dalam filsafat Islam, perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah) menjadi suatu perdebatan panjang, dimulai dari teks Aristoteles ke al-
Farabi, hingga oleh Ibn Sina dibahas kembali dengan penafsiran baru. Penafsiran
Ibn Sina ini, khususnya pendapat bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari
esensi (mahiyah), pada gilirannya mendapat kritik dari berbagai pihak; setidaknya
kita dapat menyebut al-Ghazali, Ibn Rusyd, dan dalam pembahasan kami, terdapat

76
Lihat Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975) dan Sajjad
H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (New York: Routledge, 2009).
101
Suhrawardi dan Mulla Sadra.77 Meskipun benar atau tidaknya pernafsiran bahwa
Ibn Sina benar-benar menyatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari
esensi (mahiyah) telah dikaji oleh banyak peneliti, dan menyiratkan bahwa hal
tersebut adalah kesalahtafsiran atas teks Ibn Sina sendiri, poin ini kami kira tidak
terlalu signifikan dalam konteks filosofis Mulla Sadra. Artinya, yang paling penting
adalah bahwa Suhrawardi menafsirkannya dengan demikian, dan tafsiran
Suhrawardi inilah yang merupakan konteks kritik Mulla Sadra.

Untuk mengaitkan persoalan eksistensi (wujud) ini dalam pembahasan kali ini,
pertanyaan awal yang dapat dijadikan petunjuk adalah sebagai berikut: jika dalam
pemahaman atas sesuatu, terdapat dua aspek yang dapat dibedakan – yakni esensi
(mahiyah) dan eksistensi (wujud) – lalu bagaimana watak dari perbedaan itu? Lalu,
jika Mulla Sadra menolak perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah), apakah ini berarti bahwa Mulla Sadra menganut sejenis monisme
ontologis yang menyatakan bahwa dalam suatu eksisten (mawjud), tidak ada dua
hal yang berbeda yang dapat dipahami. Pertanyaan ini penting sebagai pengingat
awal karena konteks dari gagasan terakhir, yakni modulasi eksistensi, merupakan
upaya untuk mengoreksi prinsip perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah) ini dalam sudut pandang yang baru. Sebagai awal, konsep ini digunakan
Sadra untuk menyatakan bahwa perbedaan yang terjadi ketika kita memikirkan
suatu eksisten (mawjud) itu bukan perbedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi
(wujud) sesuatu, namun dua mode eksistensi (wujud) yang berbeda. Prinsip
modulasi eksistensi adalah prinsip yang digunakan untuk menggambarkan
bagaimana kita meletakkan perbedaan ini dan memperbaiki kekeliruan logis dalam
perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah).

b. Primasi Eksistensi dan Modulasi


Persoalan kedua yakni persoalan primasi. Sebelumnya telah dibahas bahwa
persoalan primasi atau keutamaan ini berawal dari bagaimana Suhrawardi
menafsirkan pernyataan Ibn Sina bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari
esensi (mahiyah). Suhrawardi melihat bahwa konsep aksidentalitas eksistensi
(wujud) ini membawa konsekuensi logis yang absurd, yakni persoalan mengenai

77
Fadlou Shehadi, Metaphysics in Islamic Philosophy (New York: Caravan Books, 1982).
102
pre-eksistensi dari esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud) sebelum keduanya
bergabung, yakni ketika eksistensi (wujud) masuk ke dalam esensi (mahiyah).
Solusi Suhrawardi atas hal ini adalah dengan mengganti lokus distingsi, atau justru,
menghilangkan lokus tersebut dan menggantinya dengan matriks gradasional
cahaya. Bagi Suhrawardi, kenyataan tidaklah tersusun dari dua hal komplementer,
yakni eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), namun adalah kontinuum cahaya
yang menghubungkan Cahaya Tertinggi, yang merupakan Eksistensi Niscaya bagi
kaum Peripatetik, dengan cahaya-cahaya lainnya di alam semesta, dan hal ini
mencakup keberadaan manusia.78 Kaitan antara persoalan primasi dengan konsep
modulasi yang diusung Sadra tepatnya berada dalam kritiknya atas penafian
Suhrawardian atas realitas eksistensi (wujud). Suhrawardi memindahkan peta
realitas dari konstelasi Avicennian dan Peripatetisme secara umum dari persoalan
79
distingsi eksistensi (wujud) kepada persoalan gradasi cahaya, dan bagi
Suhrawardi, eksistensi (wujud) merupakan konsep yang tidak memiliki realitas in
concreto. Tepat di sinilah Sadra menjalankan dua strategi: kritisisme sekaligus
apropriasi atas konsep Suhrawardi. Mulla Sadra sekali lagi memberikan tempat bagi
eksistensi (wujud) dalam ontologi dengan mengkritik gagasan Suhrawardi bahwa
eksistensi (wujud) tidak merujuk kepada realitas; di sisi lain, Mulla Sadra
mengambil konsep gradasi cahaya Suhrawardi dan menyamakannya dengan
eksistensi (wujud). Maka, eksistensi (wujud), menurut Mulla Sadra, adalah cahaya,
dan karenanya, kenyataan merupakan modulasi eksistensi.80

Maka, sekali lagi, prinsip modulasi Mulla Sadra mengharuskan bahwa:


pertama, dalam persoalan eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), adalah
eksistensi (wujud) yang memiliki prioritas ontologis atas esensi (mahiyah), bukan
sebaliknya; kedua, dalam persoalan primasi, sebagai konsekuensinya, adalah
eksistensi (wujud) yang merujuk kepada realitas in concreto; ketiga, relasi antara
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), dan faktanya relasi antara segala sesuatu

78
Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination (New York: Routledge, 2013).
79
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (New York: Routledge,
2009).
80
Lihat Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (New York: Routledge,
2009), Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the
Land of Prophecy (New York: SUNY Press, 2006), Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School
of Illumination (New York: Routledge, 2013).
103
adalah relasi antara eksistensi (wujud) dengan mode eksistensinya; dan relasi ini
memiliki kerangka modulasi.

c. Sebelum Pembahasan Modulasi


Sebelum memasuki pembahasan modulasi, ada beberapa hal yang perlu
dijelaskan. Pertama, persoalan transliterasi, yakni bagaimana tasykik al-wujud
diterjemahkan menjadi modulasi; dan kedua, tentang struktur pembahasan yang
akan kami gunakan untuk melacak bagaimana konsep modulasi ini, berawal dari
Aristoteles, menjadi sesuatu yang digunakan oleh Mulla Sadra dalam
metafisikanya.

Sejauh pembacaan kami, konsep tasykik Mulla Sadra diterjemahkan menjadi


beberapa istilah.

Pertama, Fazlur Rahman menggunakan istilah ‘ambiguitas sistematis’


(systematic ambiguity). Dalam bukunya mengenai Mulla Sadra, istilah ini
digunakan Rahman untuk memperjelas bahwa konsep tasykik Mulla Sadra dapat
dilacak kepada pembedaan Aristotelian antara beberapa makna dalam kalimat, dan
terdapat satu jenis kata yang menurut Aristoteles termasuk ke dalam kelas kata
bermakna ambigu, salah satunya adalah kata eksistensi (wujud).81

Kedua, Toshihiko Izutsu, dalam bukunya mengenai metafisika Sabzawari,


menggunakan istilah ‘gradasi analogis’ (analogical gradation) untuk
menerjemahkan konsep tasykik. Dengan istilah ini, Izutsu melacak bahwa konsep
tasykik Mulla Sadra dapat diletakkan pada konteks emanasionis secara umum, dan
faktanya, Izutsu dengan panjang lebar membahas metafisika sufisme dari Ibn Arabi
sebelum pembahasan mengenai Sabziwari sekaligus Mulla Sadra.82

Ketiga, Nasr menggunakan istilah ‘gradasi wujud’ (gradation of being). Jelas


bahwa model transliterasi Nasr dan Izutsu memiliki semangat yang sama dalam

81
Lihat Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975)
82
Toshihiko Izutsu. The Concept and Reality of Existence. (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies. 1997)
104
melihat konsep tasykik Mulla Sadra, yaitu melandaskannya pada konteks sufistik,
baik emanasionisme maupun konteks gradasi cahaya Suhrawardi. 83

Keempat, Sajjad H. Rizvi dan Alexander Treiger menggunakan istilah


modulasi. Lebih tepatnya, Treiger terilhami penggunaan transliterasi ini dari Rizvi,
dan Rizvi, pada gilirannya terilhami dari Yahya Bonaud. Transliterasi tasykik
menjadi modulasi, menurut Rizvi, lebih tepat, karena ia sekaligus mencakup istilah-
istilah yang digunakan oleh peneliti lain. Sama seperti ‘ambiguitas sistematis’,
istilah modulasi melacak genealogi konsep tasykik kepada teks Aristotelian, namun,
lebih baik dari ambiguitas karena modulasi mencakup perbedaan makna namun
tidak menyebabkan makna tersebut ‘ambigu’. Modulasi mencakup istilah gradasi,
karena, sebagaimana gradasi, ia mencakup perbedaan serta tingkatan dari realitas,
dan lebih baik dari gradasi karena ia mencakup dua makna lain yang penting dari
konsep tasykik, yakni intensitas dan dinamisme.84

Untuk itulah, dalam penelitian ini kami menggunakan transliterasi keempat,


yakni modulasi.

Selanjutnya, pembahasan ini merupakan pembahasan yang disusun paling lama


di antara pembahasan lainnya karena beberapa hal.

Pertama, bagaimana menempatkan konsep modulasi Sadra dalam konteks


problematik filosofis yang ia hadapi? Persoalan ini setidaknya diasumsikan dijawab
dengan membahas persoalan ini dengan membaginya menjadi tiga sub-bab, yakni
via Ibn Sina, via Suhrawardi, dan via Ibn Arabi. Dengan kata lain, bagaimana dari
masing-masing mazhab tersebut, Mulla Sadra menyusun konsep modulasi
eksistensi.

Kedua, bagaimana melacak asal-usul istilah dari modulasi ini dalam konteks
filosofis yang lebih luas atau lebih panjang? Hal ini amat kentara karena para

83
Seyyed Hossein Nasr. Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land
of Prophecy. (New York: SUNY Press. 2006)
84
Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (New York: Routledge,
2009), Alexander Treiger, “Avicenna’s Notion of Transcendental Modulation of Existence and Its
Greek and Arabic Sources”. Dalam Islamic Philosophy, Theology and Science: Text and Studies.
Hans Daiber, et. al. (Boston: Brill, 2012) h. 328-363.
105
peneliti hampir selalu mengatakan bahwa konsep ini dipelopori oleh Aristoteles. 85
Maka, dalam terang pertanyaan ini, diasumsikan bahwa pembahasan ini memiliki
sub-bab setidaknya seperti berikut: konteks Aristotelian, konteks Peripatetisme
Islam, dan konteks Mistisisme Akbariyyun.

Maka, kami mengupayakan untuk mencakup dua kerangka tersebut dalam


pembahasan ini. Yakni, bagaimana istilah ini berawal dari Aristoteles hingga
berakhir di Sadra, sekaligus bagaimana istilah ini ditafsirkan oleh para pendahulu
yang dijadikan ilham oleh Sadra untuk menyusun gagasan modulasi ini. Sinopsis
singkat dari pembahasan ini adalah sebagai berikut. Dalam teks Metaphysics
Aristoteles, kita dapat menjumpai bagaimana eksistensi (wujud) memiliki lebih dari
satu makna, dan bahwa relasinya hampir seperti quasi-genus bagi divisi substansi-
aksiden dalam Categories. Para penafsir Aristoteles selanjutnya menentukan
bagaimana sebenarnya Aristoteles menempatkan istilah eksistensi (wujud), apakah
ia merupakan suatu istilah yang memiliki makna sinonim atau homonim? Univokal
atau equivokal? Kemudian, apakah eksistensi (wujud) dan perbedaan maknanya
hanyalah perkara logis atau ontologis? Dan kemudian, bagaimana mengaitkan
antara Tuhan dan makhluk dalam kerangka ini?

Kami tidak akan membahas setiap poin atau menjawab setiap pertanyaan
tersebut. Yang akan kami lakukan adalah menggambarkan aspek-aspek signifikan
terkait filsafat Mulla Sadra, terutama konsep modulasinya dalam kerangka tersebut.
Maka bab ini akan dibagi menjadi tiga sub-bab, yakni tahap pertama yang
membahas bagaimana konsep Aristoteles menjadi permasalahan bagi para
penafsirnya lalu sampai kepada kelompok Neoplatonisme, tahap kedua yang
membahas bagaimana para filsuf Islam menerima konsep tadi, dan tahap ketiga,
yang membahas bagaimana mistisisme, yang dalam hal ini diwakili oleh kelompok
pengikut Ibn Arabi dan Suhrawardi menjadi konteks bagi perumusan modulasi
eksistensi Mulla Sadra.

85
Lihat Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: SUNY Press, 1975), Toshihiko
Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and Linguistic
Studies, 1997), Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being (New York:
Routledge, 2009).
106
2. Tahap Pertama: Dari Aristotelianisme ke Neoplatonisme
Dalam Metaphysics: Book Gamma, Aristoteles menulis:

““Eksistensi” dikatakan dalam banyak cara, tetapi kesemuanya dengan


rujukan kepada suatu hal dan suatu ciri tertentu, dan bukan secara equivokal.
Tetapi sebagaimana “sehat” selalu merujuk kepada kesehatan (entah sebagai
sesuatu yang menjaga atau menghasilkannya atau menandakannya atau
menerimanya), dan “pengobatan” kepada obat (entah sebagai sesuatu yang
memiliki atau yang secara alami sesuai dengannya atau yang memiliki
kegunaan mengobati) [...] begitupun “eksistensi” dikatakan dalam banyak cara
tetapi selalu terkait dengan suatu prinsip. Karena sesuatu disebut “eksisten”
karena mereka adalah substansi, sesuatu lainnya sebagai pengaruh dari
substansi, sesuatu yang lain karena mereka terkait dengan substansi, atau
kerusakan, kekurangan, sifat, atau [hal] yang menghasilkan atau melahirkan
substansi atau mengenai [hal] yang terkait dengan substansi, atau penafian atas
hal-hal ini atau substansi tertentu. Karenanya kita bahkan berkata bahwa non-
eksisten itu eksis sebagai non-eksisten.
Dan begitupun, sebagaimana terdapat satu ilmu mengenai segala hal yang
terkait kesehatan, yang lain pun benar begitu. Karena tidak hanya terkait
dengan [hal] yang dikatakan dengan satu cara (y.i. secara univokal) bahwa
penyelidikan atasnya termasuk ke dalam suatu ilmu, tetapi juga dengan [hal]
yang berhubungan dengan suatu watak tertentu; karena yang terakhir inipun,
dalam artian tertentu, dikatakan dalam satu cara. Karenanya jelas, kajian atas
eksistensi qua eksistensi juga termasuk ke dalam satu ilmu. Kini, dalam segala
hal, suatu ilmu secara prinsip memusatkan diri dengan apa yang utama, dan
kepada sesuatu yang atasnya segala sesuatu tergantung, dan yang darinya
mereka mendapatkan namanya. Jika, kemudian, substansi adalah [hal utama]
ini. Adalah tentang substansi-lah para filsuf harus memahami prinsip-prinsip
dan sebab-sebabnya.”86

86
““Existence” (to on) is said in many ways (legetai pollachos), but they are all with reference to
one and to some one nature (pros hen kai mian tina physin), and not equivocally (ouch homonymos).
But just as “healthy” always relates to health (either as preserving it or as producing it or as
indicating it or as receptive of it), and “medical” does to medicine (either as possessing it or as
naturally adapted for it or as being a function of medicine) [...] likewise “existence” too is said in
many ways but always with relation to one principle (pros mian archen). For some things are called
“existents” (onta) because they are substances, some because they are affections of substance, some
because they are a way to substance, or corruptions, privations, qualities, or [things] productive or
generative of substance or of [things] relating to substance (tos pros ten ousioan legomenon), or
negations of certain of these [things] or of substance. Hence we even say that non-existent (to me
on) is non-existent.
And so, just as there is one science of all healthy things, so it is true of everything else. For
it is not only in the case of [things] said in one way (i.e. univocally, ton kath hen legomenon) that
their investigation belongs to one science, but also in the case of [things] which relate to one
particular nature (ton pros mian legomenon physin); for the latter too, in a sense, are said in one way
(legetai kath’ hen). Clearly then the study of existence qua existence (ta onta...hei onta) also belongs
to one [science]. Now, in every case science is principally concerned with that which is primary,
and that upon which all other things depend, and from which they get their names (di’ ho legontai).
If, the, substance is this [primary thing]. It is of substances that the philosopher must grasp the
principles and the causes.”

107
Kutipan panjang ini penting karena ia akan memperjelas konsep modulasi
Mulla Sadra dalam setidaknya tiga poin penting. Pertama, bahwa eksistensi
memiliki banyak makna; Kedua, bahwa kejamakan makna tersebut merujuk kepada
satu prinsip; dan Ketiga, bahwa eksistensi disematkan pada segala sesuatu dalam
tingkatan intensitas.

Treiger melacak bagaimana istilah modulasi ini berkembang dalam dua tahap,
yakni dari level predikamental ke level transendental. Level predikamental berarti
bahwa dalam teks Aristotelian, pernyataan bahwa eksistensi merupakan suatu kata
dengan makna yang banyak itu merujuk kepada kenyataan logis dalam skema
kategori substansi-aksiden Aristoteles. Level transendental berarti bahwa nantinya
tempat eksistensi ini berkembang dari tahap logis ke tahap ontologis, atau
pembagian transendental, antara Eksistensi Niscaya dan eksistensi kontinjen yang
kita temui rumusan rincinya dalam metafisika Ibn Sina. 87

Aristoteles membagi predikasi menjadi dua, yakni sinonim – memiliki kata


dan makna yang sama – ketika suatu istilah dipredikatkan kepada beberapa subjek
memiliki makna yang sama. Dan homonim – memiliki kata yang sama dengan
makna berbeda – ketika suatu istilah dipredikatkan kepada beberapa subjek dengan
makna yang berbeda. Yang pertama sering disebut sebagai univokal, yang kedua,
equivokal. Lalu bagaimana dengan istilah eksistensi (wujud) yang dipredikatkan
kepada banyak hal dengan makna yang berbeda, tetapi merujuk kepada sesuatu
yang sama? Hal ini seperti sebuah kontradiksi karena ia mencakup sinonim dan
homonim sekaligus. Karena hal inilah, para penafsir Aristoteles berupaya

Kutipan ini disadur dari artikel Treiger mengenai konsep modulasi transendetal Ibn Sina. Kutipan
ini dipilih karena pertama, ia menggarisbawahi peran konseptual eksistensi (wujud), hal yang tidak
kami temui dalam setidaknya dua terjemah atas Metafisika Aristoteles lainnya. Kedua, karena artikel
ini merupakan ilham utama dari penulisan bab ini, meskipun Treiger membahas Ibn Sina secara
khusus, secara implisit, ini adalah jalur genealogis konsep ini dari Aristoteles ke Filsafat Islam, dan
pada akhirnya kepada Mulla Sadra, yang faktanya adalah filsuf Islam post-Avicennan. Alexander
Treiger, “Avicenna’s Notion of Transcendental Modulation of Existence and Its Greek and Arabic
Sources”. Dalam Islamic Philosophy, Theology and Science: Text and Studies. Hans Daiber, et. al.
(Boston: Brill, 2012) h. 328-363.
87
Alexander Treiger, “Avicenna’s Notion of Transcendental Modulation of Existence and Its Greek
and Arabic Sources”. Dalam Islamic Philosophy, Theology and Science: Text and Studies. Hans
Daiber, et. al. (Boston: Brill, 2012) h. 328-363.
108
memecahkan persoalan bagaimana menempatkan eksisten (mawjud) dalam
kerangka predikasi ini.88

Maka, Alexander dari Aphrodisias menyatakan bahwa eksistensi


dipredikatkan dengan watak antara sinonim dan homonim. Alexander menyatakan
bahwa eksisten berada di antara univokal dan equivokal. Yakni, antara equivokal
(atau homonim) murni, di mana eksistensi dipredikatkan kepada banyak hal dengan
makna yang sama sekali berbeda satu sama lain, dan univokal (atau sinonim) murni,
di mana eksistensi dipredikatkan kepada banyak hal dengan makna yang mutlak
sama. Alexander menggunakan istilah “dari yang satu dan dengan rujukan kepada
yang satu” untuk posisi baru dari eksistensi ini. Apa yang dimaksud dengan
merujuk kepada yang satu adalah substansi. Contoh dari hal ini adalah sebagai
berikut. Sebuah substansi, misalkan “kertas putih” Dalam hal ini, terdapat dua hal,
yaitu “kertas” dan “putih.” Dua-duanya sama-sama eksis, baik kertas maupun putih,
tetapi eksistensi dari keduanya berbeda dalam hal substansi dan aksiden. Kertas
sebagai subjek dari predikasi, dan putih sebagai aksiden dari kertas. eksistensi
putih, karenanya bergantung kepada kertas, dan tidak sebaliknya; meskipun
keduanya sama-sama eksis, masing-masing memiliki kedudukan yang berbeda, dan
kertas, sebagai substansi, memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan putih. Posisi inilah yang disebut oleh Rizvi sebagai tertium quid, atau posisi
tengah antara equivokal dan univokal.89

Porphyry memiliki posisi yang sama dengan Alexander dalam hal ini,
meskipun ia menyatakan hal yang secara luar berbeda. Yakni bahwa tidak ada
posisi tengah antara equivokal atau univokal. Bagi Porphyry, eksistensi masuk ke
dalam satu tipe equivokal khusus.

““Eksistensi” bukanlah suatu genus tunggal yang sama bagi segala hal; tidak
pula segala sesuatu sama-sama dicakup oleh suatu genus tunggal yang paling
tinggi, sebagaimana dikatakan Aristoteles. Justru harus didalilkan bahwa,
sesuai dengan Categories, sepuluh genera pertama adalah sepulut prinsip
pertama. Jika seseorang menyebut semuanya sebagai “eksistensi”, ia boleh
saja melakukannya, menurut [Aristoteles], secara equivokal, bukan univokal.
Yakni, jika “eksistensi” merupakan suatu genus tunggal bagi segala sesuatu,
maka segala sesuatu akan [dibenarkan] disebut sebagai “eksisten” secara
univokal. Tetapi karena [dalam kenyataan] [prinsip, y.i. kategori] pertama ada
88
Lihat Treiger, Rizvi, Rahman, Izutsu.
89
Lihat Rizvi, Treiger
109
sepuluh, mereka hanya sepadan dalam nama, tetapi tidak dalam makna yang
disiratkan oleh nama tersebut.”90
Meskipun Porphyry seolah-olah bertentangan dengan Alexander, namun dari
kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa ia sama-sama setuju dengan posisi
Alexander. Dalam artian, bagi Alexander, eksistensi, yang ia katakan menempati
posisi antara equivokal dan univokal, bukanlah genus. Posisi tertium quid
menyatakan bahwa eksistensi dipredikatkan kepada banyak hal tidak dengan makna
yang sama (sebagaimana genus), tetapi dengan makna yang berbeda tergantung
posisinya dalam kategori Aristotelian.

Sampai di sini, kita telah melihat bagaimana teks Aristotelian mengenai


eksistensi ditafsirkan oleh setidaknya Alexander dan Porphyry. eksistensi adalah
sesuatu yang disifatkan kepada berbagai hal dengan makna yang berbeda, tetapi
tidak sepenuhnya berbeda; ia memiliki rujukan kepada suatu prinsip yang sama.
Kami kira, konteks Aristotelian dari persoalan ini cukup jelas, dan karena
keterbatasan tempat, kami tidak akan membahas persoalan ini lebih rinci. Tujuan
dari pemaparan sekilas ini adalah untuk melihat formulasi awal dari predikasi
eksistensi.

3. Tahap Kedua: Dari Neoplatonisme ke Peripatetisme Islam


Setelah melihat bagaimana predikasi eksistensi di periode Hellenisme, kami
akan membahas bagaimana Peripatetisme Islam membahasnya. Kami akan
membahas sekilas bagaimana al-Farabi, Ibn Sina dan al-Tusi melihat persoalan ini.

Berbeda dengan Alexander dan Porphyry, yang di satu sisi menyatakan bahwa
eksistensi berada pada posisi tertium quid, dan di sisi lain menyatakan bahwa
eksistensi termasuk ke dalam kelas khusus predikasi equivokal, al-Farabi
memberikan satu nama khusus bagi posisi eksistensi. Seperti yang dapat ditebak,
pada akhirnya, ketiganya menyatakan hal yang serupa, yakni menempatkan

90
““Existence” is not a single common genus of all; nor does everything concur in belonging to a
single highest genus, as Aristotle says. Rather there must be posited, following the Categories, ten
first genera as ten first principles. Should one call all of them “existence,” one will so call them,
according to [Aristotle], equivocally, not univocally. That is to say, if “existence” were a single
common genus of all, everything would [admittedly] be called “existence” univocally. But since [in
reality] the first [principles, i.e. the categories] are ten, they are associated in name only, but not in
the account implied by the name.” Alexander Treiger, “Avicenna’s Notion of Transcendental
Modulation of Existence and Its Greek and Arabic Sources”. Dalam Islamic Philosophy, Theology
and Science: Text and Studies. Hans Daiber, et. al. (Boston: Brill, 2012) h. 328-363.
110
eksistensi (wujud) pada posisi ketiga, namun, al-Farabi memberinya nama baru:
“modulasi” (al-musakkika asma’uha). Farabi menyatakan bahwa eksistensi (wujud)
disifatkan kepada banyak hal, pertama kepada substansi, kedua kepada kategori.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sebagaimana Alexander, Farabi
menyatakan bahwa penyifatan eksistensi (wujud) kepada substansi berbeda dengan
kepada aksiden dalam hal prioritasnya. Modulasi dalam artian Farabi bermakna
bahwa eksistensi (wujud) disifatkan berdasarkan tatanan dan proporsi tertentu
secara logis. Jika ia dilekatkan kepada substansi maka ia berada pada posisi lebih
tinggi jika dibandingkan dengan jika ia dilekatkan kepada aksiden. Ia menyatakan,

“[“Eksistensi (wujud)”] dikaitkan dengan substansi di tempat pertama, dan


kedua kepada masing-masing kategori lainnnya. Karena, seperti yang telah
dikatakan, substansi, agar ia eksis, tidak memerlukan aksiden; karena aksiden-
aksidennya dapat berubah, tetapi keberadaannya tidak musnah ketika salah
satu dari aksiden tersebut berhenti bertempat di dalamnya. eksistensi (wujud)
dari setiap aksiden [kebalikannya], bergantung kepada substansi, dan ketika
substansi tersebut musnah, aksiden yang keberadaannya bergantung
kepadanya, juga ikut musnah.
Kemudian, dengan hal-hal terkait kategori yang tersisa, semakin sedikit
mereka menggantungkan keberadaan mereka dalam suatu substansi, terkait
perantaraan atas aksiden lainnya, dan semakin sedikit mereka menuruti
kategori lainnya dengan eksistensi (wujud) yang mendahuluinya dalam
substansi, semakin mereka pantas disebut [“eksistensi (wujud)”]. Lalu, apapun
yang ada dalam suatu substansi, melalui perantaraan hal-hal yang lebih sedikit,
lebih pantas disebut [“eksistensi (wujud)”] dibandingkan dengan hal-hal yang
berada dalam substansi melalui perantara hal-hal yang lebih banyak.”91
Kini kita akan mempersoalkan kembali apa yang telah dinyatakan
sebelumnya. Bahwa modulasi sebagaimana dirumuskan oleh Mulla Sadra, bukan
hanya berkaitan dengan kerangka logis dari kategori Aristotelian, atau dalam
bahasa Treiger, bukan hanya pada level predikamental, tetapi pada level

91
“[“Existence”] is applied to substance in the first place, and secondarily to each of the other
categories. For, as has been said, substance does not, in order to exist, require accidents; for its
accidents can change, but its being is not diminished when one of them ceases to inhere in it. The
Existence of each accident [by contrast] depends onn the substance, and when the substance
vanishes, the accident whise subsistence depends on it, vanishes as well.
Next, as regards things of the remaining categories, the less they depend, for their existence
in a substance, on the mediation of another accident, and the less they follow in the wake of another
category of anterior existence in the substance, the more they are entitled to be called [“existence”].
Next, whatever is in a substance, through the mediation of fewer things is more entitled to be called
[“existence”] than things that are in the substance through the mediation of more things.” Alexander
Treiger, “Avicenna’s Notion of Transcendental Modulation of Existence and Its Greek and Arabic
Sources”. Dalam Islamic Philosophy, Theology and Science: Text and Studies. Hans Daiber, et. al.
(Boston: Brill, 2012) h. 328-363.
111
transendental. Dengan kata lain, tahap dari Farabi ke Sadra harus dilengkapi dengan
tahap perpindahan atau pencakupan level transendental dari posisi eksistensi
(wujud). Pada Farabi, kita tidak menemui perpindahan level ini, baru pada Ibn Sina
kita melihat bagaimana eksistensi (wujud) yang secara logis berwatak modulasi ini
dibawa kepada ranah transendental, yakni, Ibn Sina membawa persoalan ini kepada
persoalan bagaimana ia membedakan antara Tuhan sebagai Eksistensi Niscaya, dan
segala sesuatu selain Tuhan yang merupakan eksistensi kontinjen. Pada bab
sebelumnya kita telah membahas hal ini, yakni pembagian Ibn Sina atas kenyataan
menjadi tiga, Niscaya, mungkin, dan tidak mungkin. Kini kita akan melihat
bagaimana konsepsi divisi eksisten (mawjud) ini terkait dengan konsep modulasi
eksistensi dalam Ibn Sina yang pada gilirannya akan dirumuskan kembali dengan
watak baru oleh Mulla Sadra.

Kami menemukan bahwa rumusan Ibn Sina atas modulasi eksistensi setidaknya
dapat dilihat dari dua konteks. Secara umum, keduanya sama-sama mempersoalkan
bagaimana Ibn Sina menjadikan eksistensi (wujud) sebagai semacam supra-genus
yang mencakup baik Eksistensi Niscaya dan eksistensi kontinjen, dan menuduh
bahwa Ibn Sina mengingkari konsep tauhid yang menyatakan bahwa Tuhan mutlak
berbeda dengan segala sesuatu selain-Nya. Konteks pertama adalah pembelaan al-
Tusi atas kritik al-Razi, kedua adalah atas kritik al-Shahrastani. Sebelum memasuki
pembahasan ini, ada baiknya kita mengenal masing-masing pemikir ini.

a. Kritik al-Tusi atas al-Razi


i. Biografi Singkat al-Tusi dan al-Razi
Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan Nasir al-Din Tusi
merupakan seorang filsuf dan ilmuwan Syi’i ternama. Keluarganya berasal dari
Kasham, tetapi dia lahir di Rayy di tahun 597/1201 dan wafat tahun 672/1274 di
Kazimayn, dekat Baghdad. Meskipun Tusi dikenal utamanya sebagai seorang
filsuf, ia menyumbang karya di berbagai bidang seperti kalam, matematika,
astronomi, etika dan Sufisme. Guru pertama Tusi adalah ayahnya, seorang ahli fiqih
ternama dari mazhab Syi’i Itsna Asyariyah, dengan ayahnya ia telah belajar logika,
hukum dan filsafat alam, Tusi mengkaji metafisika dengan pamannya, serta
berbagai cabang matematika di Rayy. Setelah menguasai ilmu-ilmu yang tersedia

112
di kotanya, ia pergi ke Nishapur yang waktu itu merupakan pusat kajian besar di
mana warisan para filsuf dan matematikawan seperti Omar Khayyam masih
tersedia. Di Nishapur, Tusi mengkaji metafisika dan filsafat Peripatetik bersama
Farid al-Din Damad, yang merupakan seorang murid dari Ibn Sina, ia belajar
pengobatan dengan Qutb al-Din Misri, yang merupakan seorang murid dari Fakhr
al-Din Razi, dan terakhir, mengkaji matematika dengan Kamal al-Din Yunus.

Terkait karya-karyanya, sekitar 150 karya tercatat dan masih tersedia, dua puluh
limanya berbahasa Persia dan sisanya berbahasa Arab, dan sebagian berbahasa
Turki. Dari karya filosofisnya, beberapa karya pentingnya misalnya Asas al-iqtibas
yang merupakan karya logika, komentar atas Kitab al-Isharat Ibn Sina, dimana ia
membalas kritik al-Razi atas Ibn Sina dan yang sebentar lagi akan kami bahas. Tusi
menulis karya etika, diilhami oleh Ibn Miskawayh, dalam bahasa Persia, Akhlaq-i
nasiri. Ia adalah salah satu dari sedikit filsuf Peripatetik yang bersimpati kepada
Sufisme, hal yang akan kami bahas pula di sub-bab berikutnya. Sebagai seorang
tokoh Persia yang keahliannya mencakup berbagai bidang dari filsafat, ilmu alam,
ilmu eksak, teologi dan lainnya, ia berpengaruh besar pula bagi perumusan
metafisika eksistensial Sadra.

Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Husayn, yang lebih dikenal
sebagai Fakhr al-Din al-Razi, lahir di Rayy, iran pada tahun 543/1149 dan
meninggal pada tahun 606/1209. Pendidikan awalnya diselesaikan bersama
ayahnya yang merupakan orang terdidik dan memasukkan anaknya ke dalam tradisi
fiqih Syafi’i dan kalam Asy’ariah. Setelah kematian ayahnya, Razi melanjutkan
pendidikannya bersama Kamal al-Din Simnani di Simnan, di mana ia mengkaji
hukum lalu teologi dan filsafat dengan Majd al-Din al-Jilli, lalu mengikutinya ke
Rayy dan Maragha. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia berkelana
mengelilingi bagian timur dari dunia Islam, mengajar dan berdebat di manapun ia
sempat. Razi benar-benar seorang yang amat bergairah dalam perdebatan dan
menikmatinya, entah mereka dari kelompok Mu’tazilah, Karamit, Hanbali, atau
Ismailiyya.

Karya Razi mencakup topik yang luas dari tatabahasa, teologi, filsafat, dan
tafsir al-Qur’an. Ia menjadi seorang teolog ternama di masanya, dan terilhami

113
terutama oleh al-Ghazzali dan karya-karyanya. Bersama al-Ghazzali, ia memiliki
kecurigaan kepada filsafat. Namun, Razi merupakan salah satu dari pemikir Islam
yang selalu mengkritisi filsafat sembari menggunakannya dalam karyanya.
Kritiknya atas Ibn Sina dan pemikirannya, serta tentang logika dan metafisika
merupakan karya-karya filosofis yang menyerang serangkaian argumen filosofis
yang dipaparkan oleh Ibn Sina. Bahkan karya-karya teologisnya sangat diwarnai
oleh filsafat. Adalah penggunaannya atas filsafat yang menjadikan karya
teologisnya begitu mengesankan dan meyakinkan. Dalam konteks penelitian ini,
Razi mengkritik penalaran Ibn Sina mengenai modulasi eksistensi dan divisi
transendentalnya atas eksistensi (wujud) menjadi Eksistensi Niscaya dan kontinjen.

ii. Tanggapan al-Tusi atas Kritik al-Razi


Dalam pembelaannya atas Ibn Sina, al-Tusi menulis:

“Sang komentator terhormat [Fakhr al-Din Razi] sungguh-sungguh keliru


dalam hal ini. Dan ia menganggap bahwa pikiran-pikiran dan nalar para filsuf
juga keliru olehnya. Ia menyimpulkan bahwa eksistensi (wujud) diterapkan
pada segala eksisten (mawjud) dengan padanan kata, lalu menyediakan banyak
bukti untuk mendukungnya. Setelah itu, ia menilai bahwa eksistensi (wujud)
merupakan suatu hal tunggal dalam segala hal secara sama sehingga ia
menegaskan bahwa eksistensi (wujud) dari Yang Niscaya [dipahami] dalam
artian yang sama sebagaimana eksisten (mawjud) dari yang mungkin –
Astaghfirullah!
Kemudian, karena ia menganggap bahwa eksistensi (wujud) dari hal-hal
kontinjen adalah sesuatu yang aksidental bagi esensi (mahiyah) mereka, dan
karena ia juga telah menilai bahwa eksistensi (wujud) dari Yang Niscaya
dianggap dalam artian yang sama sebagaimana eksistensi (wujud) dari hal
yang mungkin, ia menilai bahwa eksistensi (wujud) dari Yang Niscaya juga
aksidental bagi esensi (mahiyah)-Nya. Maka, esensinya bukanlah eksistensi
(wujud)-Nya – Tuhan benar-benar terlepas dari [omong kosong macam itu] –
dan ia menduga bahwa jika ia tidak menyatakan bahwa eksistensi (wujud) dari
Yang Niscaya itu aksidental bagi esensi (mahiyah)-Nya, hal ini akan
menyebabkan: eksistensi (wujud)-Nya setara dengan eksisten-eksisten ciptaan,
atau bahwa eksistensi (wujud) diterapkan kepada eksistensi (wujud) Yang
Niscaya dan eksistensi (wujud) dari sesuatu selain-Nya dengan padanan kata.
Sumber dari kesesatan ini adalah keabaian atas makna dari predikasi dengan
tasykik. Suatu istilah yang diterapkan kepada banyak hal berbeda melalui
tasykik tidak diterapkan dengan kesamaan kata, tetapi justru, dalam satu artian
segala sesuatu mirip, tetapi tidak sepadan, seperti penerapan kata ‘manusia’
kepada individu-individu tertentu, tetapi dibedakan dengan: prioritas dan

114
posterioritas, atau dengan presedensi dan privasi, atau dengan intensitas dan
debiliasi.”92
Dari kutipan di atas, kita dapat melihat bagaimana al-Tusi mempertegas
posisi Ibn Sina bahwa eksistensi (wujud) tidak disifatkan kepada hal-hal berbeda
dengan makna yang sama. Sebelum membahas hal ini lebih lanjut dan masuk
kepada konteks al-Shahrastani, mari kita lihat bagaimana Ibn Sina meletakkan
eksistensi (wujud) dalam konteks ini,

“[Pertanyaan] [§688] Dikatakan dalam Metafisik [dari al-Shifa]: “Substansi,


kuantitas, kualitas, dan genera lainnya sama-sama merupakan spesies dari
eksisten (mawjud).” Aku tidak mengetahui bagaimana [eksistensi (wujud)]
dibagi menjadi spesies tersebut [...] [§690] Setelah itu dikatakan bahwa:
“Eksistensi Niscaya Pertama adalah sedemikian rupa sehingga seseorang tidak
memaksudkan, terkait eksistensi (wujud)-Nya, eksistensi (wujud) berwatak
[kontinjen] ini; justru, [eksistensi (wujud)] dalam dua hal tersebut termasuk ke
dalam kata equivokal.” Jika demikian, pertimbangan mengenai Prinsip
Pertama tidak termasuk ke dalam cakupan ilmu metafisika.
[Jawaban] Ini disebabkan karena eksisten (mawjud) mencakup sepuluh
[kategori] dalam nama dan definisinya, bahkan meskipun ia tidak mencakup
mereka sebagaimana genus mencakup [spesies]. Karenanya, mereka “serupa
dengan spesiesnya,” dan [dengan ketat] bukanlah spesiesnya. [...] [§692]
Terkait penerapan eksistensi (wujud) kepada [Prinsip] Pertama dan kepada apa
yang ada setelahnya, ini tidak termasuk kata equivokal, tetapi kata modulasi,
dan rujukan dari suatu nama modulasi dapat dipadukan dalam satu ilmu.”93

92
“The respected commentator [Fakhr al-Din Razi] really did confuse himself on this point. And he
assumed that the minds and intellects of philosophers were also confused by it. He inferred that
existence is applied to all existents by commonality of the term (bi-l-ishtirak al-lafzi), adducing
many proofs to yield this. After that, he judged that existence was a singular thing in everything
equally such that he asserted that the existence of the Necessary was [understood] in the same sense
as the existence of the contingents - God forefend.
Then because he considered the existence of contingents to be something accidental to
their essence, and since he had already judged that the existence of the Necessary is taken in the
same sense as the existence of the contingents, he judged that the existence of the Necessary was
also accidental to his essence. So his essence is not his existence - God greatly transcends [such
nonsense] - and he conjectured that if he did not make the existence of the Necessary accidental to
his essence, it would entail that: His existence was equivalent to caused existents, Or that existence
is applied to the existence of the Necessary and the existence of other-than-him by the commonality
of the term.
The source if this fallacy is ignorance of the meaning of predication by tasykik. A term that
applies to many different things by tasykik does not apply through the commonality of the term, but
rather, in one sense in everything but not equally such as the application of ‘human’ to individuals.
but differentiated either: by priority and posteriority, or by precedence and its privation, or by
intensity and debiliation.” Sajjad H. Rizvi, Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being
(New York: Routledge, 2009) h. 43.
93
“[Question] [§688] It is said in the Metaphysics [of the Shifa]: “Substance, quantity, quality, and
the rest of the genera are tantamount to species of existent.” I do not know how [existence] is divided
into these species. [. . .] [§690] After that it is said: “The First Necessary Existent is such that one
does not mean by [Its] existence this [i.e. contingent kind of] existence; rather, [existence] in the two
115
Apa yang dapat kita simpulkan sampai di sini adalah bahwa Ibn Sina
menyatakan bahwa eksistensi (wujud) disifatkan kepada hal-hal yang berbeda
dengan cara modulasi, dan hal itu mencakup pembedaan transendental; yakni
bagaimana menempatkan Tuhan dan ciptaan dalam konteks eksistensi (wujud).
Modulasi, singkatnya, seperti yang telah kita singgung dan diperjelas oleh kutipan
di atas, terutama dari al-Tusi, berarti bahwa ada perbedaan sekaligus kesamaan
dalam predikasi eksistensi (wujud). Modulasi dalam hal prioritas misalnya ketika
kita membedakan antara sebab dan akibat, sebab hadir lebih dahulu (prior) daripada
akibat (posterior). Modulasi dalam presedensi dan privasi misalnya contoh di atas
mengenai substansi dan aksiden; substansi tidak tergantung kepada aksiden, tetapi
sebaliknya, aksiden bergantung kepada substansi. Modulasi dalam hal intensitas
misalnya ketika kita membandingkan antara warna putih pada es dan pada gading
gajah, gading gajah “lebih putih” ketimbang es, atau, kita dapat membandingkan
pula warna hitam pada sepatu kulit yang sudah dan belum disemir. Modulasi ini
meniscayakan bahwa segala sesuatu dinilai dari mana yang “lebih” dan mana yang
“kurang”, dalam tiga aspek tersebut. Dan Tusi menyimpulkan bahwa, dalam
kaitannya dengan Tuhan, Ia “lebih” dalam tiga makna tersebut dibanding dengan
makhluknya, faktanya, Tuhan adalah yang “paling eksis” dibandingkan dengan
segala sesuatu selain-Nya, ini pula yang dimaksud dengan gagasan bahwa Tuhan
adalah “Eksistensi (wujud) Murni” dan “Eksistensi Niscaya.”94

b. Kritik al-Shahrastani
i. Biografi Singkat al-Shahrastani
Abu al-Fath Muhammad ibn ‘Abd al-Karim ibn Ahmad lahir di Shahrastan,
sebuah kota di bagian utara Khurasan, di sekitar tahun 479/1087 dan wafat di kota
yang sama pada 548/1153. Ia merupakan seorang teolog Asy’ariah penting, serta

cases is among the equivocal terms.” If this is so, consideration of the First Principle is not part of
the scope of the metaphysical science.
[Answer] This is because existent includes the ten [categories] in its name and definition,
even though it does not include them the way genus includes [species]. Therefore, they are
“tantamount to its species,” and are not [strictly speaking] its species. [. . .] [§692] As for the
application of existence to the First [Principle] and to what is posterior to it, this is not an equivocal
term, but a modulated term, and the referents of a modulated name can be incorporated in one
science.” Alexander Treiger, “Avicenna’s Notion of Transcendental Modulation of Existence and
Its Greek and Arabic Sources”. Dalam Islamic Philosophy, Theology and Science: Text and Studies.
Hans Daiber, et. al. (Boston: Brill, 2012) h. 328-363.
94
Lihat Rahman, Rizvi, Izutsu
116
seorang sejarawan agama dan filsafat. Terdapat sedikit informasi mengenai
kehidupannya. Ia nampaknya mendapatkan pendidikan pertama-nya di tanah
kelahirannya di mana ia belajar bahasa Arab, logika dan aritmatika. Lalu ia pergi
ke Nishapur di mana ia belajar fiqih bersama Abu al-Muzaffar al-Khawafi, ilmu
kalam dan filsafat di bawah bimbingan Abu al-Qasim Salman ibn Nasir al-Ansari,
hadits di bawah bimbingan ‘Ali ibn Ahmad al-Maydani, dan fiqh serta kalam dari
Abu Nasr ‘Abd al-Rahim al-Qusyairi. Dari Nishapur ia pergi ke Khawarizmi di
mana ia melanjutkan kajiannya ats ilmu relijius dan juga filsafat. Di tahun 510/1117
ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan haji dan sekembalinya dari sana ia menetap
di Baghdad, di mana ia mengajar di madrasah Nizamiya, berdakwah di masjid dan
menghadiri diskusi selama tiga tahun. Ia kemudian kembali ke Khurasan, lalu
melayani Abu al-Qasim Muhammad ibn a;-Muzaffar, wazir dari sultan Saljuk,
Sanjar. Di tahun 526/1131, ia pergi ke Tabriz dan menetap di sana sementaea waktu
lalu kembali ke Shahrastan hingga akhir hidupnya. [Leaman]

Karyanya yang paling masyhur adalah Kitab al-milal wa’l nihal. Di dalamnya
ia mengelom-pokkan bangsa-bangsa di dunia menurut pandangan relijius dan
filosofis mereka. Pertama ia menggambarkan pandangan sekte dalam Islam dengan
rinci, kemudian pandangan ahli kitab, yakni umat Kristiani dan Yahudi, kaum
Mazdean dan Manichean. Berbeda dengan sejarawan agama umum pada masanya,
pandangan Shahrastani jauh lebih objektif. Ia juga menulis keyakinan kaum Sabyan
dan pada filsuf terdahulu. Setelah itu ia menjelaskan pandangan-pandangan filsum
Muslim dengan lebih rinci, dalam bab tersebut, Shahrastani terutama
mencerminkan pandangan filosofis Ibn Sina. Karya ini ditutup dengan pembahasan
pandangan dan budaya kaum Arab dan India.

Karya yang kami kutip di sini adalah Musara’at al-falasifa, ini adalah karya
yang ditulis Shahrastani dalam upayanya untuk mengajukan suatu kritik yang rinci
atas metafisika Ibn Sina, karya ini bukanlah karya polemis laiknya Tahafut al-
falasifah, di sini Shahrastani berhadapan dengan Ibn Sina, sang filsuf, dengan
pendekatan spekulatif seorang filsuf pula. [Leaman]

ii. Kritik al-Shahrastani atas Ibn Sina


Dalam Kitab al-Musara’at, Shahrastani menulis:

117
“Baiklah, anggap saja kita menerima [pendapat] bahwa eksistensi (wujud)
ialah [predikat] berwatak modulasi dan bahwa [Avicenna tidak merumuskan]
divisi [predikasi] macam itu. Bukankah masih sama bahwa eksistensi (wujud)
akan mencakup keduanya [Eksistensi Niscaya dan eksistensi kontinjen]
dengan sejenis keumuman, sementara keniscayaan akan mengkhususkan
[Eksistensi Niscaya] dengan sejenis kekhususan, dan yang dengannya
[Eksistensi Niscaya] di-umum-kan akan berbeda dengan sesuatu yang
membuatnya di-khusus-kan?
Karenanya, akan ada bersama-Nya, suatu susunan dari dua aspek, yang
ditandai dengan dua istilah, masing-masingnya merujuk kepada suatu
[gagasan] selain dari [gagasan] yang kepadanya yang lain merujuk. Ini
bertentangan dengan ketauhidan murni.”95
Konteks dari kritik al-Shahrastani adalah bahwa menurutnya, Ibn Sina
menyamakan eksistensi (wujud) Tuhan dengan eksistensi (wujud) ciptaan dengan
menyatakan bahwa eksistensi (wujud) disifatkan kepada keduanya secara modulasi.
Dan bahwa, konsep modulasi tetap menyiratkan bahwa terdapat satu genus yang
menaungi Tuhan dan ciptaan, dengan perbedaan tertentu bahwa, eksistensi (wujud)
disifatkan kepada Tuhan secara niscaya sedangkan kepada makhluk secara
mungkin. Bagi al-Shahrastani, konsep modulasi masih belum cukup untuk
memisahkan Tuhan dan ciptaan, dan bahwa konsep modulasi, sekalipun ia memiliki
prinsip perbedaan, tetap menjadikan Tuhan dan ciptaan tetap disebut memiliki sifat
yang secara mendasar sama, yaitu eksis. Yang tersirat di sini adalah bahwa Ibn Sina,
untuk membedakan antara Tuhan dan ciptaan, ia menjadikan prinsip distingsi
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) pada Tuhan dan ciptaan sebagai konsep
yang melindungi ketauhidan.96 Tepat di sinilah Sadra mengkritik Ibn Sina, bahwa
untuk menjaga ketauhidan, konsep modulasi saja tidaklah cukup, konsep modulasi,
sekali lagi harus didasarkan pada konsep primasi eksistensi atas esensi (mahiyah).
Dan pada pembahasan di sub-bab berikutnya, kita akan melihat bagaimana konsep

95
“Let us even grant that existence is a modulated [predicate] and that [Avicenna did not invent]
such a division [of predication]. Is it still not the case that existence would encompass both [the
Necessarily Existent and the contingent existents] with some sort of generality, while necessity
would particularize [the Necessarily Existent] with some sort of particularity, and that by which [the
Necessarily Existent] is generalized would be different from that by which It is particularized?
Therefore, there would be within It a composition of two aspects, signified by two terms,
each of which refers to a [notion] other than [the notion] to which the other refers. This is at odds
with pure unity.” Alexander Treiger, “Avicenna’s Notion of Transcendental Modulation of
Existence and Its Greek and Arabic Sources”. Dalam Islamic Philosophy, Theology and Science:
Text and Studies. Hans Daiber, et. al. (Boston: Brill, 2012) h. 361.
96
Muhammad Syahrastani, Wilfred Madilung & Toby Mayer, Kitab al Musara’a: Struggling With
the Philosopher: A Refutation of Avicenna’s Metaphysics (London: The Institute of Ismaili Studies,
2001).
118
modulasi ini dirumuskan dalam kerangka primasi dalam perkembangan konsep ini
pada mazhab Akbariyyun, atau pengikut Ibn Arabi, dan secara sekilas melihat
bagaimana prinsip gradasi cahaya Suhrawardi juga menjadi konsep selanjutnya
yang dikritisi sekaligus dikoreksi dan dimodifikasi oleh Mulla Sadra, sehingga
menjadi apa yang disebut sebagai modulasi eksistensi.

4. Tahap Ketiga: Dari Peripatetisme ke Mistisisme


Dalam dua sub-bab sebelumnya, kita telah melihat sekilas bagaimana konsep
modulasi eksistensi berkembang dari versi Aristotelian ke versi Avicennian. Kita
juga telah melihat bagaimana Ibn Sina masih belum bisa menjawab persoalan yang
diajukan oleh al-Shahrastani. Dan kita dalam bab lainnya telah melihat pula bahwa
adalah Suhraw.ardi yang menjadi konteks kritik Mulla Sadra secara umum. Di sini
kita akan melihat bagaimana Sadra mempersiapkan amunisi konseptual terakhir
untuk mengkritisi Suhrawardi. Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa dalam
persoalan modulasi, Suhrawardi tidak bertentangan secara keseluruhan dengan
Mulla Sadra; sebaliknya, adalah Sadra yang menyatakan bahwa konsep gradasi
cahaya Suhrawardi merupakan deskripsi yang benar atas kenyataan. Yang menjadi
persoalan adalah bahwa Suhrawardi menyatakan bahwa eksistensi (wujud)
hanyalah konsep belaka tanpa merujuk kepada realitas in concreto. Untuk
mengatasi kritik Suhrawardi, mazhab terakhir yang dijadikan rujukan oleh Mulla
Sadra tidak lain adalah mazhab yang terkenal dengan nama wahdat al-wujud.
Sebagai permulaan, mari kita lihat bagaimana Suhrawardi dikritisi oleh salah satu
pengikut Ibn Arabi yang paling filosofis, Dawud al-Qaysari:

“Eksistensi (wujud) bukanlah suatu konsep tanpa kenyataan ekstra-mental


sebagaimana yang ditegaskan oleh mereka yang lalai, karena eksistensi
(wujud) secara kudrati adalah suatu (hal) aktual ... Bahwa kenyataan, dari sisi
keumumannya adalah sesuatu yang dihasilkan oleh pikiran, tidak berarti
bahwa ia, sebagai kenyataan yang tak-dikondisikan, juga merupakan sesuatu
yang dihasilkan oleh pikiran. Karenanya, [dalam hal ini], eksistensi (wujud)
bukanlah suatu atribut mental eksistensial seperti keniscayaan dan
kontinjensi.”97

97
“Existence is not a concept without extra-mental reality (i’tibari) as the wrongdoers (al-zalimun)
have asserted, because existence is essentially an actual (thing) ... That reality in respect of
commonality is something mentally considered, does not mean that it, as unconditioned reality (la
bi shart shay’), is also something mentally considered. Therefore, [in this respect], existence is not
a mental existential attribute such as necessity and contingency.” Eiyad S. al-Kutubi, Mulla Sadra
and Eschatology: Evolution of Being (New York: Routledge, 2015) h. 25-26.
119
Izutsu menyatakan bahwa, adalah hal yang amat berat bagi Mulla Sadra untuk
melawan posisi Suhrawardi terkait eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) karena
Suhrawardi, dan mazhab iluminasionis secara umum, merumuskan konsep filosofis
mereka bukan berdasarkan nalar belaka, melainkan berdasarkan intuisi ilahi. 98
Tentu saja, strategi Sadra untuk melawan Suhrawardi dengan merujuk kepada
otoritas gnostik dari mazhab Ibn Arabi merupakan pilihan terbaik, dan, mungkin
faktanya merupakan satu-satunya pilihan bagi Mulla Sadra untuk keluar dari
kekeliruan esensialisme Suhrawardi.

Pada sub-bab ini, kita akan membahas sekilas bagaimana mazhab Akbariyyun
merumuskan konsep modulasi, dengan membatasi diri kepada dua rumusan, yakni
rumusan modulasi Qunawi dan Qaysari; tepatnya, untuk yang pertama, adalah
pembahasan mengenai korespondensi antara al-Tusi dan Qunawi dalam persoalan
modulasi.

Dalam sebuah disertasi yang brilian berjudul From Mysticism to Philosophy


(and back): An Ontological History of the School of Oneness of Being, Canier K.
Dagli melacak bagaimana, dalam kurun waktu sekian abad, terjadi sebuah upaya
besar untuk memadukan filsafat dan mistisisme Islam dalam kerangka ontologis
dan epistemologis. Yang lebih penting dan terkait dengan penelitian ini adalah
bahwa Dagli meninjau bagaimana dalam masa itu, terdapat keterkaitan intens antara
pihak Peripatetik, diwakili secara khusus oleh al-Tusi, mazhab Akbarian, diwakili
oleh al-Qunawi, dan beberapa figur terakhir yang ditutup dengan Qaysari,
menjembatani upaya sintesis besar yang nantinya dirumuskan oleh Sadra dalam
filsafatnya.

Dalam konteks kali ini, adalah bagaimana, seperti yang telah disinggung
sebelumnya, konsep primasi eksistensi dan konsep modulasi telah dirumuskan
hingga mencapai tingkat abstraksi yang mendekati Mulla Sadra. Ini menjadi begitu
penting karena, seperti kutipan di atas, Pertama dalam mazhab Akbariyyun, Sadra
mendapatkan rumusan terkuat untuk mengukuhkan metafisika eksistensialnya. Dan
terlebih lagi, Kedua, berbeda dengan Suhrawardi yang dari pandangan ortodoks,

98
Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 116.
120
mendapatkan ilham spekulatifnya dari sumber selain Islam, mazhab Akbariyyun
lahir dari rahim ortodoks sendiri: dari penafsiran atas al-Qur’an dan tradisi sufistik
Islam. Kemudian, yang terakhir, Ketiga, pada Qaysari, kita telah menemukan,
sebelum Sadra, sintesis yang kuat antara mistisisme, yakni sufisme Akbariyyan
dengan prinsip wahdat-al-wujud, yang merupakan dasar dari prinsip primasi
eksistensi Mulla Sadra, dengan modulasi eksistensi, dan semua ini diungkapkan
dalam bahasa Peripatetik.

a. Tusi dan Qunawi


i. Biografi Singkat Qunawi
Nama lengkap Qunawi adalah Sadr al-Din Muhammad ibn Ishaq ibn Yusuf al-
Qunawi al-Rumi [w. 673/1274], ia merupakan salah satu murid Ibn ‘Arabi yang
paling masyhur, yang paling ahli dalam penjelasan metafisis. Ibn ‘Arabi berteman
dengan ayah Qunaqi, Majd al-Din Ishaq dan keduanya berkelana ke Anatolia di
tahun 601/1024-5. Qunawi lahir di tahun 1210, dikabarkan bahwa Ibn ‘Arabi
menikahi ibu Qunawi setelah ditinggalkan oleh ayahnya. Setelah kematian Ibn
‘Arabi, Qunawi menggantikan Ibn ‘Arabi dalam melatih para murid tersebut,
termasuk Afif al-Din al-Tilimsani [w. 1291].

Lima tahun setelah kematian Ibn ‘Arabi, Qunawi berkelana ke Mesir dimana ia
memberikan ulasan oral atas puisi Nazm al-Suluk dari Ibn al-Farid. Ia melanjutkan
mengajar ulasan ini hingga ke Konya, dan muridnya, Sa’id al-Farghani
mengumpulkan catatan-catatan ats ulasan ini dalam bentuk buku berjudul Mashariq
al-darari yang nantinya terbit dengan bahasa Arab dengan judul Muntaha al-
Madarik. Qunawi mengajar hadits di Konya, dan salah satu muridnya adalah Qutb
al-Din Shirazi [w. 1311]. salah satu murid Tusi yang paling cerdas. Selain menjadi
kawan, anak angkat dan murid Ibn ‘Arabi, ia juga berteman dengan tokoh besar
lain, Jalal al-Din Rumi, yang sama-sama dari Konya dan hidup semasa dengannya.
Selain menjadi seorang praktisi Sufi, ia juga akrab dengan gagasan-gagasan para
filsuf. Secara umum dia dianggap sebagaii tokoh paling penting yang menentukan
masa depan warisan karya-karya Ibn ‘Arabi. Kali ini, ia bertemu dengan al-Tusi
dalam korespondensi filosofis terkait modulasi eksistensi.

121
ii. Korespondensi Qunawi-Tusi
Qunawi dan Tusi merupakan dua tokoh yang hidup pada masa yang sama, dan
berasal dari dua tradisi intelektual yang berbeda. Qunawi merupakan seorang yang
memiliki peran penting dalam menyebarkan ajaran Ibn ‘Arabi, al-Tusi merupakan
seorang tokoh yang berperan penting dalam revivalisasi Avicennian dalam filsafat
Islam. Kedua tokoh penting ini saling berkirim surat pada masa itu dan membahas
beberapa persoalan penting, termasuk persoalan modulasi eksistensi.
Korespondensi ini terdiri dari sebuah surat yang ditulis oleh Qunawi kepada Tusi,
ia menanyakan sejumlah persoalan filosofis, kemudian Tusi membalas surat ini,
dan akhirnya Qunawi membalas balasan dari Tusi. Keduanya saling menghormati
satu sama lain, Qunawi mengakui Tusi sebagai filsuf paling masyhur di masa itu,
begitu pula, Tusi menghormati Qunawi sebagai sosok spiritual agung.
Korespondensi ini terjadi karena Qunawi menyatakan bahwa ia ingin menemui Tusi
secara langsung namun tidak memiliki kesempatan.

Dalam surat pertamanya kepada Tusi, Qunawi menulis beberapa hal, yang
digarisbawahi kali ini adalah bagaimana ia menjelaskan ontologi Akbariyyun,
yakni perihal hubungan antara Yang Satu dengan yang jamak, antara Pencipta dan
ciptaan, dan dalam istilah peripatetik, antara Eksisten (mawjud) dan eksisten
(mawjud). Berikut ini apa yang ditulis oleh Qunawi:

“Segala sesuatu yang kepadanya pencerapan intelektual, mental, imajinal


dan sensorial lekatkan – secara bersamaan atau satuan – tidak lain dari
kenyataan terpisah yang tergabung dengan suatu eksistensi (wujud) tunggal tak
terbagi. Karenanya mereka mewujud dalam dan pada diri mereka. Akan tetapi,
dalam perwujudan, penentuan, cakupan dan pelekatan, beberapa tergantung
kepada yang lainnya. Apa saja yang dibutuhkan yang lain karena prioritas yang
telah disebut di atas, disebut kenyataan, sebab, dan perantara bagi Yang Nyata
dan apa yang bergantung kepadanya ... Yang bergantung disebut karakteristik,
akibat, atribut, kualitas, keadaan, entitas terkondisi dan sejenisnya.
Ketika realitas ini diandaikan terpisah dari eksistensi (wujud) dan dari
hubungan dengan satu sama lain, dengan ketiadaan kaitan dengan yang lain
sama sekali, mereka menjadi kosong dari nama, kualitas, atribut, bentuk dan
penentuan. Mereka, dalam kenyataan, kosong [dari mereka], bukan hanya
dalam kemungkinan. Untuk menegaskan suatu nama, atribut, atau suatu
kualitas – melalui pengumpulan atau sebagai satuan, dalam manifestasi atau
ketersembunyian, dalam pemahaman dan yang dipahami, dalam universal dan
partikular, dalam kebergantungan dan objek yang dipergantungkan, dan
sejenisnya – kepada realitas terpisah hanya dapat dijadikan suatu fakta dan
muncul pertama-tama melalui penerapan dan penentuan eksistensi (wujud)
atas mereka; tetapi hal ini [terjadi], setelahnya, terkait dengan suatu
122
identifikasi eksistensi (wujud) [yang terjadi] melalui manifestasi dan menurut
beberapa tingkat ... melalui hubungan penentuan satu dengan yang lain, dan
melalui mewujudnya akibat dari satu dengan yang lain melalui eksistensi
(wujud).”99
Kutipan ini selain agak panjang juga menggunakan bahasa yang cukup rumit,
tetapi dengan menekankan beberapa poin, ia akan terlihat jelas. Qunawi sedang
membicarakan apa yang dalam bahasa Peripatetik adalah bagaimana suatu eksisten
(mawjud) hadir di dunia melalui perpaduan antara esensi (mahiyah) (uncoupled
realities) dan sebuah eksistensi (wujud) tunggal. Bahwa agar suatu eksisten
(mawjud) hadir, ia harus memiliki eksistensi (wujud), dan bahwa eksisten (mawjud)
yang dapat dipahami atau dialami manusia hanyalah salah satu mode eksistensi
(wujud). Kita pun dapat menempatkannya lebih jelas dengan mengingat doktrin
emanasi pada umumnya, emanasi adalah proses di mana segala sesuatu, yakni
ciptaan, terjadi dari hasil kontemplasi Tuhan atas diri-Nya dan seterusnya, di sini,
eksistensi (wujud), tentunya merujuk kepada Tuhan sebagai kenyataan tertinggi,
sebagaimana pada umumnya kita memahami ajaran wahdat al-wujud. Dan terlebih
lagi, Qunawi menekankan bahwa tanpa eksistensi (wujud), tidak akan ada sesuatu,
dalam bahasa peripatetik, ini berarti bahwa esensi (mahiyah) jika ia dilihat dari
dirinya sendiri tanpa melibatkan eksistensi (wujud), ia tidak akan eksis.

99
“Everything to which the intellectual, mental, imaginational, and sensorial perceptions attach -
collectively or individually - is nothing more than uncoupled realities (haqa’iq mujarradah)
combined (ta’allafa) with a single indivisible existence. Thus they manifest in/to themselves.
However, in manifestation. determination, scope and attachment, some are dependent upon others.
Those upon whom others are dependent (matbu’) because of the aforementioned priority (taqaddum)
are called realities, causes, and intermediaries between the Real and what depends upon them...The
dependent are called characteristics (khawass), entailments (lawazim), attributes (‘awarid), qualities
(sifat), states (ahwal), conditioned entities (mashrutat) and the like.
When these realities are considered bereft (mujarrad) of existence and of the connection of
each with the other, with none being related to the other at all, they become empty of name, quality,
attribute, form and determination. They are empty [of them] actually, not potentially. To affirm a
name, attribute, or a quality - through compounding or as a simplex, in manifestation or in
hiddenness, in perception and being perceived, in universal and particular, in dependent and the
object of dependence, and the like - to uncoupled realities can only be made a fact (sahha) and
appear in the first place through the application of the determination of existence to them; but this
[occurs], in the second place, with respect to an identification of existence [which takes place] by
means of a manifestation in and in accordance with some level ... through the connection of the
determinations of each to the other, and through the manifesting of the effect of one with the other
through the existence.” Caner K. Dagli, “From Mysticism to Philosophy (And Back): An Ontological
History of the School of the Oneness of Being”. (Disertasi, Faculty of Philosopy, Department of Near
Islamic Studies, 2006) h. 58-59.
123
Dengan membandingkan kutipan di atas dengan pernyataan Tusi, kita akan
melihat maksudnya dengan lebih jelas. Tusi membalas Qunawi,

“Istilah-istilah yang memiliki satu makna dan yang dikatakan terkait banyak
hal terbagi menjadi dua jenis. Pertama adalah ketika konsep tersebut serupa
dalam setiap individu dalam kelompok tersebut, seperti “manusia” dalam
Zayd dan Amr ... dan istilah-istilah ini disebut univokal, dan penentuannya,
terkait dengan apa yang disiratkan oleh konsep tersebut, adalah sama ... Jenis
kedua adalah ketika suatu konsep tidaklah sama dalam beberapa kejadian.
Justru, dalam beberapa hal ia lebih dahulu atau akhir, lebih kuat, atau lebih,
seperti “putih” pada salju dan gading, atau “eksistensi (wujud)” pada substansi
dan aksiden. Pada jenis ini, ia tidak meniscayakan bahwa makna yang tersirat
itu sama; benar bahwa mereka dapat berbeda. Contohnya, nama “cahaya”
dapat diberikan kepada cahaya matahari, cahaya bulan dan cahaya api. Cahaya
matahari meniscayakan berakhirnya malam, tidak seperti yang lain. Eksistensi
(wujud) berciri seperti jenis terakhir ini. Pada yang niscaya, ia menghidupi-
dirinya tanpa ia menjadi aksiden dari suatu kuiditas, dan pada kontingen ia
dibuat menjadi aksiden dari suatu kuiditas.

Eksistensi (wujud), yang mana konsep ini diterapkan kepada yang niscaya
dan yang kontinjen melalui tasykik, merupakan suatu entitas intelektual,
karena eksistensi (wujud), secara konkret tidak dapat terjadi pada hal-hal yang
berada di dalamnya. Entitas ini dikatakan terkait Eksistensi Niscaya yang
menghidupi-diri dalam esensinya dan yang tidak menjadi aksiden dari suatu
kuiditas, dan juga dikatakan terkait eksisten (mawjud) lainnya. Ketika
eksistensi (wujud) mereka dipikirkan oleh akal, ia kontinjen dan tidak niscaya.
Nama ‘eksistensi (wujud)’ diberikan kepada mereka dan kepada Yang
Niscaya sebagaimana “Zayd” diberikan dalam eksistensi (wujud) konkretnya,
begitupun namanya, eksistensi (wujud) tersebut merupakan suatu entitas
intelektual. Eksistensi Niscaya tidaklah diketahui inti dan kenyataannya.
Eksistensi (wujud) intelektual ini dipahami dari-Nya dalam suatu cara
berwatak negatif.

[Tuhan] yang menjadi asal-muasal segala sesuatu selain-Nya, berwatak


demikian karena eksistensi (wujud)-Nya yang konkret dan niscaya, bukan
karena eksistensi (wujud) yang dikatakan mengenainya dan mengenai apa
yang selain-Nya melalui tasykik, yang dijelaskan oleh para pemikir rasional
dengan negatif.”100

100
“Terms which have one meaning and are said of many things are of two sorts: The first is when
that concept is the same in the individuals of that group, such as “human being” in Zayd and Amr ...
and these terms are called univocal, and its determination, with respect to what is implied by the
concepts, is the same ... The second sort is when the concept is not the same in the several instances.
Rather, in some it is prior, posterior, stronger, or more. such as “white” for snow and ivory, or
“existence” for substance and accident. In sthis sort it does not have to be that necessary implications
will be the same; indeed they may differ. For example the name “light” applies to sunlight,
moonlight, and firelight. Sunlight necessarily brings about the disappearance of night, unlike the
others. Existence is of this latter sort. In the necessary it is self-subsisting without its being made the
accident of a quiddity, and in the contingent it is made to be the accident of a quiddity.
Existence, the concept of which applies to the necessary and the contingent through tasykik,
is an intellectual entity, for wujud cannot, concretely, occur in things that share in it. This entity is
said of the necessary existence which is self-subsisting in its essence and which is not made an
accident of a quiddity, and also said of other existents. When their existence is considered in the
124
Balasan dari Tusi ini sudah kita kenal, ya, ini adalah konsepsi Tusi mengenai
modulasi eksistensi seperti yang telah kita temui pada sub-bab sebelumnya. Setelah
menjelaskan bagaimana secara linguistik dan logis satu istilah memiliki banyak
makna dan membaginya menjadi dua jenis, yakni sinonim, dalam relasi antara
“kemanusiaan” dan Zayd dan Amir, ia menjelaskan ada jenis istilah yang memiliki
banyak makna tetapi berbeda dengan hukum sinonim atau padanan kata. Seperti
yang telah kita lihat sebelumnya, Tusi sedang menjelaskan modulasi, dengan ciri
bahwa modulasi mensyaratkan perbedaan makna dalam tatanan prioritas,
posterioritas, intensitas dan sebagainya. Menjawab pemaparan Qunawi mengenai
bagaimana kenyataan tunggal eksistensi (wujud) terkait dengan banyak entitas, atau
esensi (mahiyah), Tusi melanjutkan dengan memperjelas lebih lanjut bagaimana
istilah eksistensi (wujud) diterapkan pada perbedaan antara Tuhan dan ciptaan,
kemudian menjelaskan bahwa eksistensi (wujud) tunggal yang mendasari
kenyataan dan manifestasi-Nya tidak dapat diketahui melalui akal kecuali dalam
cara negatif.

Dengan melihat bagaimana korespondensi filosofis berlangsung antara Tusi dan


Qunawi ini, kita dapat mengetahui bagaimana, terlepas dari perbedaan istilah yang
dipakai, Qunawi sebagai perwakilan dari sufisme Akbariyyun memiliki konsepsi
mengenai eksistensi (wujud) yang bisa dikatakan identik, perbedaan yang ada
terletak lebih kepada pemilihan istilah yang dipakai, dan bahasa Qunawi yang
cenderung lebih rumit. Terkait dengan penelitian ini, sekali lagi kita dapat
mempertegas asumsi bahwa Mulla Sadra, untuk merumuskan metafisika
eksistensial-nya, mengambil ilham konseptual dan mungkin spiritual dari tradisi
Ibn Arabi, dari Qunawi hingga Qaysari. Di sini kita melihat bagaimana modulasi
eksistensi dan primasi eksistensi sudah mulai memperoleh bentuknya, yang
kemudian akan semakin konsisten ketika kita meninjau bagaimana Qaysari

mind, it is contingent and not necessary. The name wujud applies to them and to the necessary as
“Zayd” applies in his concrete existence as well as his name. That existence is an intellectual entity.
Necessary existence is unknown in its core and reality. This intellectual existence is understood from
it/Him in a qualified negative way.
[God’s] being the origin of what is other than Him is due to his concrete, necessary
existence, not due to the existence said of Him and of what is other than Him through tasykik, which
rational thinkers specify negatively” Caner K. Dagli, “From Mysticism to Philosophy (And Back):
An Ontological History of the School of the Oneness of Being”. (Disertasi, Faculty of Philosopy,
Department of Near Islamic Studies, 2006) h. 60-61.
125
menuliskan pemikirannya mengenai hal ini, yang menjadi pembahasan sub-bab
berikutnya.

b. Qaysari dan Sadra


i. Biografi Singkat Qaysari
Dawud al-Qaysari bernama lengkap Dawud ibn Mahmud ibn Muhammad al-
Rumi al-Qaysari, ia lahir kira-kira di tahun 1260 di pusat kota Anatolia, Kayseri,
dari situlah namanya berasal. Keterangan mengenai masa awal kehidupannya amat
sedikit diketahui. Ia memulai pendidikannya di Kayseri, pernah menjalani masa
belajar di Mesir meskipun di masa ini tidak didapati keterangan lebih lanjut. Ia
belajar di Tokat Niksar Nizamiyyah di bawah bimbingan Muhammad ibn Sartak al-
Maraghi, yang dulunya merupakan murid di observatorium Nasir al-Din al-Tusi di
Maraghah ketika masih dipimpin oleh putra dari Tusi. Maraghah bukan sekedar
observatorium, ia juga merupakan pusat kajian di mana matematika dan filsafat
diajarkan. Di masa bimbingannya dengan Ibn Sartak inilah Qaysari mengenal dekat
karya-karya filosofis dari Yunani serta dari filsuf Islam seperti Ibn Sina, Tusi, dan
Abu’l Barakat al-Baghdadi, ditambah dengan ilmu matematika dan lainnya.
Qaysari menulis dalam salah satu karyanya bahwa adalah Kashani yang merupakan
gurunya dalam jalan Sufisme.

Di tahun 1336, Sultan Orkhan Ghazi menunjuk Qaysari untuk menjadi rektor
pertama sistem pendidikan Ottoman, ia mengabdi di sana hingga kematiannya di
tahun 1350. Mata kuliah yang ia ampu merentang dari ilmu-ilmu Islam tradisional,
fiqih, tafsir, hingga logika dan filsafat. Di masa inilah ia menulis banyak karya
sufistik yang mewakili pandangan Mazhab Ibn Arabi. Karya terpenting Qaysari
adalah pengantar dan ulasan atas Fusus al-Hikam Ibn ‘Arabi, Matla’ khusus al-
kalim fi ma’ani Fusus al-Hikam. pengaruh dari pemikiran Qaysari merentang dari
Ottoman ke Persia, hingga kepada tokoh-tokoh Persia dari Haydar Amuli hingga
Mulla Sadra. Faktanya, Sadra sering mengutip karya-karya Qaysari terutama dalam
karyanya yang lebih berorientasi irfani seperti al-Shawahid al-rubibiyah.

Pada dua sub-bab sebelumnya kita telah melihat bagaimana konsep filosofis
mereka mengenai modulasi mendahului perumusan Mulla Sadra. Berbeda dengan
para filsuf sebelumnya, gagasan Qaysari akan digambarkan dengan lebih rinci

126
sesuai dengan perbedaan filosofis dari rumusan Qaysari sendiri. Berbeda dengan
Qunawi, khususnya, Qaysari, dalam pengantar sekaligus ulasannya atas Fusus al-
Hikam Ibn ‘Arabi, tidak hanya merumuskan sesuatu yang mendahului modulasi
Mulla Sadra, tetapi juga dalam hal penyetaraan antara eksistensi (wujud) dengan
cahaya, dalam hal primasi eksistensi dan dalam hal relasi antara esensi (mahiyah)
dan eksistensi (wujud), kami akan mengutip dengan lebih panjang dan banyak
pernyataan-pernyataan Qaysari sendiri terkait dengan poin-poin filosofis tersebut
untuk menjelaskan fakta bahwa, dalam rumusan Qaysari, kita telah melihat
bagaimana metafisika eksistensial telah memperoleh bentuknya yang jelas sebelum
lebih lanjut dirumuskan oleh Mulla Sadra dengan lebih koheren, sistematis dan
konsisten.

ii. Realitas Eksistensi


Sebelumnya, kita telah mengutip pernyataan Qaysari, kritiknya atas mereka
yang menyatakan bahwa eksistensi (wujud) tidak memiliki kenyataan dalam realitas
eksternal dan hanya berada dalam ranah konseptual belaka, ini adalah kutipan lebih
panjang dari pernyataan tadi yang kita dapati pada bagian pertama, yaitu bagian
Muqaddimah dari karyanya, Matla’ khusus al-kalim fi ma’ani Fusus al-Hikam:

“Eksistensi (wujud) bukanlah suatu substansi, karena [substansi ialah] apa


yang eksis secara eksternal dan dalam suatu subjek atau suatu kuiditas yang,
ketika ia eksis, ia mandiri dari suatu subjek. eksistensi (wujud) tidaklah seperti
itu, karena kemudian ia akan menjadi seperti semua substansi yang dikenal,
yang memerlukan suatu eksistensi (wujud) untuk ditambahkan kepada dirinya,
dan yang memerlukan keterlibatan dari eksistensi (wujud) tadi.

Tidak pula eksistensi (wujud) merupakan suatu aksiden, karena [aksiden]


ialah apa yang merujuk kepada sesuatu yang eksis dalam suatu subjek, atau
suatu kuiditas yang, jika ia eksis, didapati dalam suatu subjek.

Kini, eksistensi (wujud) tidaklah eksis dalam arti bahwa ia memiliki


eksistensi (wujud) yang ditambahkan kepadanya, dan tentu saja bukan dalam
arti bahwa ia eksis di dalam suatu subjek. Justru, eksistensialitas-nya
didasarkan pada dirinya dan esensinya, bukan pada sesuatu yang lain yang
berbeda darinya secara intelektual atau eksternal. Terlebih, jika ia merupakan
suatu aksiden, ia akan bertahan dalam suatu subjek yang [subjek ini sendiri]
telah merupakan suatu eksisten (mawjud). Ini akan menyebabkan
[pemahaman] bahwa suatu hal mendahului dirinya, dan terlebih lagi,
eksistensi (wujud) dari kedua hal ini akan ditambahkan kepada mereka.
eksistensi (wujud) tak dapat ditambahkan kepada dirinya. Yang disebabkan
oleh fakta bahwa ia lebih umum dibandingkan dua hal ini, eksistensi (wujud)
merupakan bagian dari definisi mereka, dan karenanya berbeda dari mereka.

127
Tidak pula eksistensi (wujud) semata merupakan suatu objek tanpa
kenyataan ekstra-mental, seperti yang diyakini oleh orang-orang yang lalai,
karena eksistensi (wujud) terwujud dalam dirinya, terlepas dari mereka yang
memikirkannya, tak perlu dikatakan lagi bahwa, ia terlepas dari tindakan
mereka dalam memikirkannya. Hal ini sama saja dari sisi intelektual atau
tidak. Ingatlah ketika Rasulullah bersabda, “Tuhan ada, dan tiada hal apapun
yang ada bersama-Nya.” ... eksistensi (wujud) bukanlah suatu kualitas dalam
akal yang melibatkan eksistensi (wujud) ... seperti hubungan antara
keniscayaan dengan suatu hal yang niscaya, bukan pula hubungan antara
kontinjensi dan suatu hal kontinjen.

Tiada yang lebih terbukti ketimbang eksistensi (wujud), tidak dalam wujud
dan perwujudannya, sehingga yang bisa kita katakan hanyalah ia terbukti
dengan sendirinya. Namun, ia juga merupakan sesuatu yang paling
tersembunyi di antara hal-hal, baik dalam hal kuiditas maupun kenyataannya.
Rasulullah, yang lebih tahu dibandingkan makhluk lainnya, berbicara dengan
benar ketika ia berkata dalam doanya, “Mereka tak mengenal-Mu
sebagaimana Engkau seharusnya dikenal.”101
Mari kita bahas beberapa pernyataan di atas. Pertama, Qaysari menyatakan
bahwa eksistensi (wujud) bukanlah substansi, dan bukan pula aksiden. Apa yang
dimaksud dengan pernyataan ini? Sebelumnya kita telah melihat bagaimana
konsepsi substansi dan aksiden Aristoteles berkaitan dengan pendirian filosofis
mengenai kaitan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Dan sebelumnya,
kita hanya menjelaskan bagaimana eksistensi (wujud) bukanlah aksiden dari esensi

101
“Existence is not a substance, because that is what exists externally and in a subject or a quiddity
which, when it exists, is independent of a subject. Existence is not like that, because it would then
be like all other identified substances, in need of an existence added to itself, and in need of the
entailments of that existence.
Nor is existence an accident, because that refers to what exists in a subject, or a quiddity
which, when it exists, is found in a subject.
Now, existence does not exists in the sense that it has existence added to it, and certainly not in the
sense that it exists in a subject. Rather, its existentiality is based on its entity and essence, not
something else which differs from it intellectually or externally. Furthermore, if it were an accident,
it would subsist in a subject that was itself already existent. This would entail that a thing precede
itself, and moreover the existence of these two things would be added to them. Existence cannot be
added to itself. Owing to the fact that it is more general than these two things, existence is part of
their definition, and is therefore other than them.
Nor is existence simply an object without extra mental reality, as is believed by the
wrongdoers, since existence is actualized in itself, independently of those who consider it and,
needless to say, independently of their act of considering it. The case is the same intellectually or
otherwise. Recall that the Prophet said, “God was, and no thing was with Him.” ... Existence is not
a quality in the intellect involving existence...like the relationship of necessity to a necesary thing
nor of contingency to a contingent thing.
Nothing is more evident than existence, neither in being nor in realization, so much so that
we say that it is self-evidently known. Yet, it is also the most hidden of things, both in its quiddity
and its reality. The Prophet, who knew more than any creature, spoke truthfully when he said in his
supplication. “They do not know Thee as Thou shouldst be known.”” Caner K. Dagli, “From
Mysticism to Philosophy (And Back): An Ontological History of the School of the Oneness of Being”.
(Disertasi, Faculty of Philosopy, Department of Near Islamic Studies, 2006) h. 89-90.
128
(mahiyah). Eksistensi (wujud) bukanlah aksiden dari esensi (mahiyah) karena
dalam pengertian ini, yaitu dalam relasi antara substansi dan aksiden, aksiden agar
ia eksis ia harus berada dalam subjek, yakni substansi, semisal kita contohkan
sebuah substansi, “manusia yang berpuasa”, manusia di sini adalah substansi,
sementara berpuasa adalah aksiden. Dalam relasi ini, substansi, yaitu manusia,
dapat tetap eksis meskipun ia tidak memiliki aksiden, yakni berpuasa; singkatnya,
entah manusia berpuasa atau tidak berpuasa, itu tidak ada hubungannya dengan
apakah dia eksis atau tidak, manusia yang berpuasa dapat sama-sama eksis
sebagaimana manusia yang tidak berpuasa. Tetapi tidak sebaliknya, “berpuasa”
sebagai aksiden tidak dapat eksis tanpa adanya manusia. Tentu adalah absurd untuk
menyatakan bahwa ada sesuatu bernama “berpuasa” yang hadir tanpa ada substansi,
misalnya manusia yang berpuasa. “Berpuasa” agar ia ada, eksis, terwujud,
meniscayakan adanya substansi di mana ia terwujud dan hadir. Ini adalah relasi
antara substansi dan aksiden. Aksiden selalu memerlukan substansi, tetapi tidak
sebaliknya.

Lalu, apa yang dimaksud dengan pernyataan bahwa eksistensi (wujud)


bukanlah substansi?

Berbeda dengan aksiden, yang mode eksistensinya parasitik, yakni


memerlukan keberadaan substani agar ia eksis, substansi, pada hakikatnya tidak
memerlukan kehadiran aksiden. Tetapi, eksistensi (wujud) bukanlah substansi,
mengapa demikian? Substansi, meskipun ia tidak memerlukan kehadiran aksiden,
namun agar ia dapat eksis, ia harus eksis. Artinya, substansi tidak dapat diketahui
apakah ia eksis atau tidak, jika ia terwujud dalam suatu subjek. Misalkan, kita
memikirkan suatu hal, katakanlah Alien. Mari kita membuat contoh kalimat sebagai
berikut, “Alien menyerang bumi” dalam kalimat ini, alien adalah subjek dari
kalimat dan substansi, sementara menyerang bumi adalah aksiden dari substansi ini.
Kita dapat mengetahui, dalam relasi substansi-aksiden ini, Alien bisa menyerang
bumi atau tidak, tergantung kepada, misalnya, kehendaknya. Kita mengetahui
bahwa menyerang bumi adalah aksiden dari substansi bernama alien, dan kita
mengetahui bahwa alien, tanpa harus menyerang bumi, tetaplah alien. Tetapi,
meskipun kita tahu hal ini dalam relasi substansi-aksiden, jika kita ditanya apakah

129
alien eksis atau tidak, kita tidak dapat menjawabnya dengan pasti, hingga suatu hari
kita dapat memastikan bahwa alien itu eksis. Inilah yang dimaksud bahwa,
meskipun secara logis, substansi tidak memerlukan aksiden agar ia tetap menjadi
substansi, ia belum tentu eksis. Inilah apa yang dimaksud pula oleh Ibn Sina, dan
filsuf lainnya yang menyatakan bahwa Tuhan bukanlah substansi. 102 Bahwa
berbeda dengan substansi, Tuhan niscaya eksis, karena eksistensi (wujud) dan
esensi (mahiyah) Tuhan tidaklah berbeda. Kembali lagi ke contoh alien, kita secara
garis besar tahu apa itu yang dimaksud alien, yaitu esensinya, sesuatu yang
membuat alien itu alien, tetapi kita tidak mengetahui apakah alien itu eksis. Ini
berarti, esensi (mahiyah) alien berbeda dengan eksistensinya. Begitu pula dengan
substansi. Substansi tetap menjadi substansi tanpa adanya aksiden, tetapi substansi
agar eksis, ia memerlukan sesuatu yang lain, yakni eksistensi (wujud).103

Terkait pernyataan berikutnya bahwa “eksistensi (wujud) tidak eksis dalam


artian eksistensi (wujud) ditambahkan kepadanya, dan pastinya tidak dalam arti
bahwa ia eksis di dalam subjek.” Ini merupakan penegasan dari pembahasan
sebelumnya, bahwa eksistensi (wujud), tidak seperti substansi, tidak memerlukan
subjek tertentu selain eksistensi (wujud), agar ia eksis. Sekali lagi, substansi agar ia
eksis memerlukan subjek selain dirinya, ia memerlukan eksistensi (wujud), tetapi
eksistensi (wujud) tidak memerlukan eksistensi (wujud) agar ia eksis, karena
pernyataan ini sendiri absurd. Pernyataan ini, bersama pernyataan berikutnya
bahwa “eksistensi (wujud) bukanlah objek tanpa kenyataan ekstra-mental”
merupakan sanggahan langsung atas kelompok yang menyatakan bahwa eksistensi
(wujud) hanyalah konsep belaka yang kita dapati dalam akal kita tetapi tidak di luar
akal, yakni dalam realitas eksternal. Nantinya, argumen ini akan digunakan Mulla
Sadra untuk mengkritik posisi Suhrawardi yang menyatakan bahwa eksistensi
(wujud) tidak memiliki kenyataan ekstra-mental atau di luar akal manusia.
Mengenai pernyataan bahwa tidak ada yang lebih terbukti ketimbang eksistensi
(wujud), akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan selanjutnya. Cukup dikatakan
di sini bahwa eksistensi (wujud) adalah sesuatu yang amat jelas hingga ia tidak perlu

102
Nader el-Bizri, The Phenomenological Quest: Between Avicenna and Heidegger (New York:
SUNY Press, 2000)
103
Fadlou Shehadi, Metaphysics in Islamic Philosophy (New York: Caravan Books, 1982).
130
didefinisikan. Kita, tanpa perlu membaca Being and Time, atau bahkan tanpa
mengikuti langkah-langkah Descartes dalam Meditations, sudah tahu dengan jelas
makna dari kalimat “Aku Ada.”

iii. Primasi Eksistensi

“Entah ia ada dalam intelek atau di luarnya, tiada yang dapat terwujud
kecuali melalui eksistensi (wujud). Dalam dirinya, ia mencakup segala
sesuatu, dan segala sesuatu tetap ada karenanya. Jika bukan karena ekskstensi,
tiada yang akan ada, tidak di dalam akal maupun di luar akal.

Eksistensi (wujud) memberikan kepada setiap hal, keberadaan mereka;


eksistensi (wujud) memang benar-benar hal tersebut. Ia menampakkan dirinya
melalui berbagai tingkatannya, dan karenanya ia adalah [yang menjadikan]
bentuk dan realitas dari hal-hal nampak dalam pengetahuan dan secara
konkret.”104
Kutipan di atas dengan jelas menyatakan bahwa eksistensi (wujud) adalah hal
paling fundamental dalam realitas. Dalam pembahasan kita yang lalu, terutama
dalam persoalan primasi, kita telah mengetahui bahwa terdapat dua kecenderungan
dalam filsafat post-Avicennan terkait posisi eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah) dalam kenyataan, apakah eksistensi (wujud) ataukah esensi (mahiyah)
yang merujuk kepada realitas eksternal? Yang mana dari salah satunya yang
i’tibari, atau hanya memiliki kenyataan konseptual? Qaysari memberikan afirmasi
pada eksistensi (wujud). Baginya, entah dalam intelek, atau mental, ataupun dalam
realitas eksternal, “tidak akan ada sesuatu yang mewujud kecuali melalui eksistensi
(wujud).” Ini adalah posisi yang diambil oleh Mulla Sadra dalam persoalan
mengenai primasi, seperti yang telah sering kita singgung, ini juga adalah posisi
yang berlawanan dengan posisi iluminasionis Suhrawardi terkait relasi dan posisi
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Namun, seperti yang telah kita singgung
pula, Suhrawardi mengganti posisi eksistensi (wujud) dalam peta realitas, dengan
cahaya, baginya, ontologi harusnya berangkat bukan dari konsep mengenai
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), melainkan dari cahaya. Nah, tepat pada

104
“Whether it be in the intellect or externally, nothing can be realized except through existence. In
itself it encompasses all things, and all things subsist by it. Were it not for existence, nothing that is
would be, neither in the intellect nor externally.
Existence grants things their subsistence; indeed, existence is those very things. It discloses
itself by its various levels. and thus it is that the forms and realities of things are manifest in
knowledge and concretely.” Caner K. Dagli, “From Mysticism to Philosophy (And Back): An
Ontological History of the School of the Oneness of Being”. (Disertasi, Faculty of Philosopy,
Department of Near Islamic Studies, 2006) h. 93-94.
131
poin inilah, kita melihat Qaysari, dan nantinya Sadra, menyatakan bahwa eksistensi
(wujud) dan cahaya sama-sama merujuk kepada kenyataan yang satu. Qaysari
menyatakan:

“Eksistensi (wujud) ialah Cahaya murni. Ia mewujud dalam dirinya, dan


merupakan suatu tempat perwujudan bagi apa yang selain dirinya, karena
melalui eksistensi (wujud)-lah segala hal dipahami. Ia menerangi langit dan
apapun yang tersembu-nyi, dan ruh-ruh, sebagaimana ia menerangi bumi dan
benda-benda, karena melalui eksistensi (wujud)-lah mereka eksis dan menjadi
nyata. Ini merupakan sumber dari segala cahaya spiritual dan badani, dan
kenyataannya tidaklah diketahui oleh segala sesuatu selainnya.”105
Pernyataan bahwa kenyataan adalah cahaya, dan bahwa cahaya digunakan
untuk menggambarkan kenyataan sendiri, dalam tradisi intelektual Islam bukanlah
hal yang baru, kita telah menjumpai, misalnya al-Ghazzali dalam Misykat al-
Anwar, dan nantinya Suhrawardi dalam Hikmat al-Isyraq telah menggunakannya,
adalah Qaysari yang pertama menyatakan bahwa, bukan hanya Tuhan adalah
cahaya, tetapi bahwa eksistensi (wujud) adalah cahaya. Poin ini penting, sekali lagi,
karena nantinya, dengan rumusan ini, Mulla Sadra, di satu sisi mengkritik
Suhrawardi yang menolak realitas eksistensi (wujud), juga mengambil konsepsi
cahaya sebagai sesuatu yang mengukuhkan pernyataannya bahwa, eksistensi
(wujud) adalah cahaya, dan karenanya, eksistensi (wujud), tidak seperti dinyatakan
Suhrawardi, adalah sesuatu yang nyata, dan faktanya, eksistensi (wujud) adalah
yang membentuk kenyataan, bahwa eksistensi (wujud) adalah kenyataan itu sendiri.

iv. Modulasi Eksistensi


Terkait modulasi eksistensi, Qaysari menyatakan:

“Para penentang kami memikirkan banyak hal mengenai hasil dari


pikirannya, kecuali hal tersebut, ia akan menggunakan istilah “eksistensi
(wujud)” bagi pikiran tersebut dan bagi eksistensi (wujud) sebenarnya secara
homonim, yang jelas-jelas keliru. Janganlah berkata bahwa eksistensi (wujud)
tidak terjadi dalam masing-masing hal secara sama, karena ia terjadi dalam
eksistensi (wujud) “sebab” dan “akibat” melalui prioritas dan posterioritas,
dalam eksistensi (wujud) “substansi” dan “aksiden” melalui primasi atau

105
“Existence is pure Light. It is manifest in itself, and is a locus of manifestation for what is other
than itself, since it is by existence that all things are perceived. It illuminates the heavens of the
unseen and spirits, as well as the earth of bodies, because it is through existence that they exist and
are real. It is the wellspring of all spiritual and bodily lights, and its reality is not known to what is
other than itself...” Caner K. Dagli, “From Mysticism to Philosophy (And Back): An Ontological
History of the School of the Oneness of Being”. (Disertasi, Faculty of Philosopy, Department of Near
Islamic Studies, 2006) h. 96.
132
privasi, dan dalam eksistensi (wujud) hal yang “statis” dan “non-statis”
melalui intensitas dan kelemahan. Karenanya ia dikaitkan dengan mereka
secara equivokal (tasykik).”106
Kita mendapati, dalam rumusan Qaysari, pernyataan yang serupa dengan al-
Tusi ketika ia menyatakan bahwa eksistensi (wujud) eksis dengan cara modulasi,
yakni dengan prioritas, primasi, dan intensitas. Ia pun menggunakan modulasi
(tasykik) sebagai watak yang menggambarkan realitas eksistensi (wujud). Qaysari
mengkritik mereka yang menyatakan bahwa watak realitas eksistensi (wujud)
adalah homonim, tidak pula bahwa eksistensi (wujud) berwatak sinonim, watak
sebenarnya dari eksistensi (wujud) adalah equivokal dalam artian tasykik, atau
mewujud melalui modulasi. Pernyataan ini telah kita temui pada gagasan tertium
quid dari Alexander pada sub-bab sebelumnya, bedanya, kini dalam rumusan
Qaysari, posisi tertium quid ini bukan terkait eksistensi (wujud) dalam pengertian
logis, atau level predikamental semata, melainkan ada pada level transendental dan
eksistensial atau metafisis, karena yang dimaksud dengan eksistensi (wujud) di sini
adalah perwujudan dari Tuhan dalam realitas, seperti yang kemudian dilanjutkan
oleh Qaysari:

“Ini benar-benar merupakan hal yang dikatakan oleh Para Kekasih Tuhan,
karena mereka berkata bahwa eksistensi (wujud), terkait turunnya ia melalui
tingkatan-tingkatan eksistensi (wujud), melalui perwujudannya dalam pikiran
mereka akan hal-hal kontinjen, dan melalui penjamakan perantara-
perantaranya, menjadi semakin tersembunyi, perwujudan dan
kesempurnaannya melemah.

Kami telah mengatakan bahwa segala kesempurnaan itu dikaitkan dengan


hal-hal melalui perantaraan eksistensi (wujud). eksistensi (wujud) ialah
eksisten (mawjud) dalam kudratnya. Ia adalah Yang Hidup, Yang
Mengetahui, Yang Berkehendak, dan Yang Maha Kuat dalam esensi
(mahiyah)-Nya, bukan melalui suatu kualitas yang diletakkan pada esensi
(mahiyah)-Nya.”107

106
“Our opponents thinks much of the products of his intelligence, except that he will use the term
“existence” for both them and existence as such homonymously, which is clearly incorrect. Let it
not be said that existence does not occur in its individual equally, for it occurs in the existence of
“cause” and “caused” through priority and posteriority, in the existence of “substance” and
“accident” through primacy or privation, and in the existence of the “static” and “non-static” through
intensity and weakness. It is thus said of them equivocally (tasykik).” Caner K. Dagli, “From
Mysticism to Philosophy (And Back): An Ontological History of the School of the Oneness of Being”.
(Disertasi, Faculty of Philosopy, Department of Near Islamic Studies, 2006) h. 99-100.
107
“This is the very thing said by the Folk of God, for they say that existence, with respect to its
descent through the levels of existences, its manifestation in the thought of contingent things, and
the multiplication of intermediaries, becomes increasingly hidden, its manifestations and perfections
weakening [...]
133
Terkait rumusan modulasi Qaysari dalam kitab lainnya, ia menyatakan:

“Eksistensi (wujud) dikatakan terkait banyak makna secara homonim,


beberapa darinya ialah aksiden dan beberapa lainnya bukanlah substansi
maupun aksiden. Ia dikatakan mengenai pencapaian, penampakkan dan
perwujudan. Ingatlah seseorang yang berkata mengenai suatu hal, “ini eksis”
atau “ini terwujud” ketika ia eksis atau terwujud. Ia nampak dalam dunia yang
terlihat setelah dicapai dalam dunia tak terlihat – dunia dari realitas terpisah,
dunia ruh-ruh yang merupakan dunia imaji, karena segala ruh memberikan
bentuk di dalamnya.

Menurut makna ini, “eksistensi (wujud)” dikatakan secara sinonim terkait


semua eksisten (mawjud) dengan equivokal. Ia [juga] dikatakan mengenai
kenyataan yang dengannya eksistensi (wujud) mental, eksternal dan lainnya
terbentuk. Bahwa eksistensi (wujud) ialah eksistensi (wujud) sejati yang
membentuk dirinya, dan menjadikan ada apapun selain dirinya. Tak diragukan
bahwa “pencapaian”, “perwujudan,” dan “penampakkan” merupakan kategori
aksiden, dan bahwa kenyataan yang ada dengan dirinya dan menjadikan ada
segala sesuatu selain dirinya – substani, aksiden dan pengetahuan atas mereka
– dan eksistensi (wujud)-eksistensi (wujud) konret – bukanlah substansi
maupun aksiden.”108
Di sini Qaysari mempertegas primasi eksistensi, misalnya dalam kalimat
“Bahwa eksistensi (wujud) adalah eksistensi (wujud) sejati yang membentuk
dirinya, dan membuat segala sesuatu selain dirinya eksis”. Kemudian ia juga
mempertegas bahwa penyifatan eksistensi (wujud) kepada segala sesuatu, entah itu
substansi atau aksiden, selalu dalam cara modulasi, yakni tidak sepenuhnya sinonim
dan homonim. Qaysari, seperti yang telah kami sebutkan, mewarnai deskripsi watak
modulasi dan primasi eksistensi ini dengan istilah-istilah gnostik untuk

We have already said that all perfection is associated with things by the intermediation of
existence. Existence is existent in its essence. He is the Living, the Knowing, the Willing, and the
Powerful in His Essence, not through some quality superimposed upon this Essence.” Caner K.
Dagli, “From Mysticism to Philosophy (And Back): An Ontological History of the School of the
Oneness of Being”. (Disertasi, Faculty of Philosopy, Department of Near Islamic Studies, 2006) h.
100.
108
“Existence is said of various meanings homonymously, some of them accidents and some of them
neither substance nor accident. It is said of attainment, manifestation, and realization. Recall that
one says of a thing, “it exists” or “it is realized” when it exists or is realized. It is manifest in the
visible world after having been attained in the invisible world - the world of uncoupled realities, the
world of spirits that is the world of images, since all spirits gave forms therein.
According to this meaning, “existence” is said synonymously of all existents equivocally.
It is [also] said of the reality by which mental, external, and other kinds of existence are constituted.
That existence is the true existence which constitutes itself, and gives subsistence to what is other
[than itself]. There is no doubt that “attainment,” “realization,” and “manifestation,” are [of the
category of] accident, and that the reality which subsists by itself and lends subsistence to everything
other than itself - substances and accidents and their knowledge - and concrete existences - is neither
substance nor accidents.” Caner K. Dagli, “From Mysticism to Philosophy (And Back): An
Ontological History of the School of the Oneness of Being”. (Disertasi, Faculty of Philosopy,
Department of Near Islamic Studies, 2006) h. 102.
134
mempertegas bahwa ia tidak hanya sedang menjelaskan eksistensi (wujud) pada
level predikamental, namun juga pada level transendental. Sampai di sini, kami kira
tujuan dari sub-bab ini sudah terpenuhi, yakni menunjukkan bagaimana rumusan
Mulla Sadra mengenai primasi, realitas, dan modulasi eksistensi, serta penyetaraan
antara eksistensi (wujud) dengan cahaya mendapati pendahulunya pada para
pemikir dari mazhab Akbariyyun. Sebelum sub-bab ini selesai, bab mengenai
genealogi metafisika eksistensial ini akan ditutup dengan sub-bab terakhir yang
bertujuan menjelaskan bagaimana Mulla Sadra dengan amunisi konseptual-
filosofis-metafisis yang ia dapatkan dari pendahulunya, merumuskannya menjadi
metafisika eksistensialnya yang unik. Sub-bab ini bisa dikatakan sebagai survey
singkat menyeluruh atas sub-bab sebelumnya dari awal hingga akhir, dan dengan
menekankan aspek positif dari metafisika eksistensial Mulla Sadra. Artinya, jika
pada sub-bab sebelumnya, posisi filosofis Mulla Sadra diandaikan semata dalam
penjelasan, kini, posisi yang tadinya disiratkan akan dibuat lebih tersurat dalam bab
terakhir penelitian ini.

135
BAB IV: PRINSIP METAFISIKA EKSISTENSIAL

A. Konsep dan Realitas Eksistensi


1. Problematisasi
Kita telah melihat bagaimana persoalan eksistensi (wujud) menjadi suatu pokok
bahasan penting dalam perkembangan diskursus metafisika dalam filsafat Islam.
Mulai dari bagaimana pemaparan Aristoteles baik dalam logika dan metafisika
membuka gerbang bagi persoalan ini, dari pembedaannya atas apa yang nantinya
disebut sebagai eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) (atau kuiditas). Persoalan
eksistensi (wujud) yang telah kita bahas mencakup tiga hal: pertama, persoalan
relasi antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) yang dimulai dari tulisan
Aristoteles kemudian dikembangkan oleh Farabi, kemudian Ibn Sina. Aristoteles
menyatakan bahwa ketika kita memikirkan sesuatu, kita dapat membagi sesuatu
tersebut menjadi eksistensi, atau keberadaan sesuatu tersebut, dan esensi, atau apa
yang mencirikan sesuatu tersebut selain eksistensinya, yakni, ke-apa-an dari sesuatu
itu. Hal ini kemudian diambil oleh Farabi dan dijadikan suatu persoalan penting
dalam bangunan filsafatnya. Kita dapat membagi pengetahuan akan sesuatu
menjadi dua aspek, yakni aspek eksistensi (huwiyah) dan aspek esensi (mahiyah).
Sebagaimana Aristoteles, bagi Farabi, pembedaan antara eksistensi (huwiyah) dan
esensi (mahiyah) merupakan pembedaan konseptual yang tidak merujuk kepada
kenyataan ekstra-mental. Namun, Farabi memasukkan suatu konsep baru dalam
persoalan ini, yakni konsep ‘arid atau aksidentalitas. Jika, secara konseptual,
sesuatu dapat dilihat dari dua aspek, yakni eksistensi (huwiyah) dan esensinya,
maka bagaimana relasi antara keduanya? Konsep aksidentalitas Farabi, karenanya,
menyatakan bahwa eksistensi (huwiyah) – sekali lagi, secara konseptual – dapat
dibedakan dari esensi (mahiyah) sesuatu, dan eksistensi (huwiyah) merupakan
aksiden dari sesuatu karena, Farabi mencontohkan, kita dapat memikirkan esensi
(mahiyah) atau gagasan mengenai sesuatu tanpa perlu mengetahui atau memastikan
apakah ia eksis atau ada dalam kenyataan.

Ibn Sina sepakat dengan konseptualisasi Farabi atas persoalan eksistensi


(wujud). Sebagaimana Farabi, Ibn Sina menerima bahwa kita dapat membagi

136
sesuatu menjadi dua aspek, yakni aspek eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah).
Ibn Sina pun mengambil konsep ‘arid Farabi, menyatakan pula bahwa eksistensi
(wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah). Namun, Ibn Sina beranjak lebih
jauh. Jika dalam Farabi, kita setidaknya dapat meyakini bahwa perbedaan antara
eksistensi (huwiyah) dan esensi (mahiyah) ia masukkan dalam kategori logika;
yakni bahwa eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dari sesuatu dapat dibedakan
melalui gerak konseptual akal, Ibn Sina menarik konsekuensi ini lebih jauh. Ia
menyempurnakan konsep ‘arid Farabi, menariknya ke level transendental. Level
transendental di sini artinya adalah, Ibn Sina memasukkan konsep teologis dalam
persoalan relasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah); divisi eksisten (mawjud)
Ibn Sina, yang membagi eksistensi (wujud) menjadi tiga, yakni Eksistensi Niscaya,
eksistensi kontinjen, dan eksisten mustahil, membawa konsekuensi arid lebih jauh.
Jika persoalan eksistensi (wujud) ini pada awalnya dirumuskan sebagai, pertama,
perbedaan antara dua aspek dari sesuatu oleh Aristoteles, kedua, relasi antara
eksistensi (huwiyah) dan esensi (mahiyah) sesuatu adalah relasi antara aksiden dan
subjek oleh Farabi – dan, keduanya diletakkan dalam level konseptual atau mental
– maka, ketiga, persoalan eksistensi (wujud) ini dibawa ke level transendental
dengan menyatakan bahwa: terdapat dua aspek dari sesuatu, yakni eksistensi
(wujud) dan esensi (mahiyah); keduanya dapat dibedakan; dan, eksistensi (wujud)
adalah aksiden dari esensi (mahiyah), dalam suatu eksisten yang disebut eksisten
mungkin atau kontinjen (mumkin al-wujud); eksistensi (wujud) bukanlah aksiden
dari esensi (mahiyah), eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) tidak dapat
dibedakan pada Eksistensi Niscaya, Eksistensi Niscaya berarti bahwa padanya,
eksistensi (wujud)-nya adalah esensi (mahiyah)-nya. Kita dapat merangkum
perkembangan konsep ini dalam tabel berikut.

Tabel A.1 Perbedaan antara eksistensi dan esensi

Perbedaan antara eksistensi dan esensi


Filsuf
Fenomenal Konseptual Transendental
Aristoteles -  -
Farabi -  -
Ibn Sina -  

137
Dalam tabel di atas, kita dapat melihat bahwa pada dasarnya, posisi Farabi
tidak berbeda dari Aristoteles terkait pernyataan mereka bahwa eksistensi dan
esensi dari sesuatu dapat dibedakan pada level konseptual, yakni ketika akal kita
melihat sesuatu. Namun begitu, jika diteliti lebih jauh, pada poin lainnya, Farabi
berbeda dari Aristoteles. Seperti yang telah kami bahas, bagi Farabi, meskipun
eksistensi (huwiyah) dan esensi (mahiyah) dari sesuatu hanya dapat dibedakan
dalam pikiran, hal ini tidak berarti bahwa segala sesuatu yang dapat dipikirkan itu
eksis. Dengan kata lain, ketika Aristoteles menyatakan bahwa eksistensi dan esensi
dari sesuatu hanya dapat dibedakan secara konseptual, ia menyiratkan bahwa tidak
ada sesuatu yang tidak eksis; yakni, esensi, jika ia benar-benar suatu esensi,
haruslah eksis. Farabi tidak berpikir seperti itu, baginya, bisa jadi esensi (mahiyah)
tidak eksis. Farabi memberi ruang bagi teologi dalam rumusan ini, agar suatu esensi
(mahiyah) eksis, ia harus diciptakan. Misalnya, kita memang dapat memikirkan
tentang manusia, atau kuda, tetapi bisa jadi kedua hal ini tidak eksis, agar salah satu
atau kedua-duanya eksis, harus ada sesuatu yang menciptakan eksistensi (wujud)
mereka; karenanya, eksistensi (wujud) kedua hal ini, menurut Farabi, tidak
menyusun esensi (mahiyah) mereka. Yakni, kita dapat memikirkan manusia atau
kuda hingga pemahaman terdalam, tetapi meskipun demikian, gagasan tersebut
belum tentu ada dalam kenyataan. Agar manusia eksis, agar kuda eksis, ia
membutuhkan sesuatu di luarnya, yang berfungsi sebagai penciptanya. Karenanya,
dalam hal ini, eksistensi (wujud) manusia dan kuda bukan berasal dari esensi
(mahiyah) mereka, karena mereka bisa jadi tidak eksis namun esensi (mahiyah)
mereka dapat kita pikirkan; eksistensi (wujud) bagi kedua hal ini harus datang dari
luar; eksistensi (wujud), karenanya merupakan aksiden, yakni sesuatu yang tidak
mesti ada dalam suatu hal, dari esensi (mahiyah) kuda dan manusia. eksistensi
(wujud) merupakan ‘arid dalam kasus manusia, kuda, dan banyak hal lainnya.
Inilah yang telah kami sebut sebagai metafisika penciptaan.

Ibn Sina mengambil konsep metafisika penciptaan ini. Sebagaimana Farabi,


ia pun menganggap bahwa perbedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi
(wujud) berada pada level konseptual. Sebagaimana Farabi, ia pun menganggap

138
bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah). Dan,
karenanya, ia mengembangkan konsep ‘arid lebih jauh. Bagi Ibn Sina, bukan hanya
merupakan suatu kemungkinan bahwa eksistensi (wujud) dari sesuatu merupakan
aksiden yang datang kepadanya dari luar. Bagi Ibn Sina, begitulah kenyataannya.
Ia membagi eksisten (mawjud) menjadi dua (konsepsi ketiga, yakni eksistensi
mustahil (mumtani al-wujud), tidak diperinci oleh Ibn Sina karena pembicaraan
mengenai suatu hal yang mustahil tidak akan menghasilkan apa-apa) yakni
Eksistensi Niscaya, yang eksistensinya datang dari esensinya, dan eksisten
(mawjud) mungkin atau kontinjen, yang eksistensinya datang dari luar dirinya, atau
persisnya, datang dari Eksistensi Niscaya. Agar suatu eksistensi kontinjen ada,
Eksistensi Niscaya harus menciptakannya, atau memberikan eksistensi (wujud)
kepadanya. Mari kita lihat tabel berikutnya.

Tabel B. Perumusan Konsep Eksistensi

Perumusan Konsep
Filsuf
P. eksistensi & Metafisika
Divisi Eksistensi
esensi Penciptaan
Aristoteles  - -
Farabi   -
Ibn Sina   

Setelah melihat bagaimana posisi dari ketiga filsuf, yakni Aristoteles, Farabi
dan Ibn Sina terkait persoalan eksistensi (wujud), kini kita dapat mulai masuk ke
dalam pembahasan mengenai bagaimana Sadra mengambil posisinya. Yakni,
bagaimana ia menempatkan projek filosofisnya dalam persoalan eksistensi (wujud).
Persisnya, ini merupakan tujuan penulisan dari bab terakhir ini. Yakni, menjelaskan
posisi metafisika eksistensial Mulla Sadra. Jika pada bab sebelumnya, kita telah
melihat dengan agak rinci bagaimana persoalan eksistensi (wujud) berkembang,
dirumuskan, dikritisi, diperinci, oleh para filsuf sebelum Mulla Sadra, pada bab ini
kita akan melihat bagaimana Sadra merumuskan filsafatnya di hadapan persoalan
eksistensi (wujud) ini. Yakni, bagaimana posisi Mulla Sadra terkait tiga persoalan
utama yang dibahas dalam bab ini: relasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah),

139
primasi eksistensi (asalah al-wujud) atau esensi (asalah al-mahiyah), dan modulasi
eksistensi (tasykik al-wujud).

2. Oposisi
Lalu, apa persisnya persoalan yang harus dihadapi oleh Mulla Sadra, dan yang
akan ia coba selesaikan dengan merumuskan metafisika eksistensialnya? Hal ini
akan menjadi jelas jika kita memasukkan Suhrawardi dalam persoalan eksistensi
(wujud) ini. Apa yang dinyatakan oleh Suhrawardi? Suhrawardi menyatakan bahwa
perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) merupakan perbedaan
konseptual belaka; dari poin ini, Suhrawardi menarik kesimpulan bahwa eksistensi
(wujud) merupakan gagasan kosong yang tidak merujuk kepada realitas. Pada poin
pertama, kita tidak melihat bahwa Suhrawardi memiliki posisi yang berbeda dengan
ketiga filsuf sebelumnya, pada posisi kedualah ia membedakan diri. Bagi
Suhrawardi, karena perbedaan eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) hanyalah
perbedaan konseptual belaka, pembicaraan mengenai perbedaan ini hanya
mengarah kepada omong-kosong dalam filsafat. Dan kali ini, Suhrawardi sedang
ada dalam posisi mengkritisi Ibn Sina yang menyatakan gagasan mengenai
perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), dan bahwa eksistensi
(wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah). Mari kita lihat tabel berikutnya.

Tabel A.2. Perbedaan antara Eksistensi dan Esensi

Perbedaan antara eksistensi dan esensi


Filsuf
Fenomenal Konseptual Transendental
Aristoteles -  -
Farabi -  -
Ibn Sina -  
Ibn Sina II   
Suhrawardi -  -

Dalam tabel ini, kita dapat melihat bagaimana Suhrawardi mengambil


posisinya, dan bagaimana ia menafsirkan posisi Ibn Sina (yakni Ibn Sina II, atau
Ibn Sina dalam tafsiran Suhrawardi). Menurut Suhrawardi, Ibn Sina berpendapat

140
bahwa perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) merupakan
perbedaan yang ada dalam level fenomenal, bukan hanya konseptual belaka. Jika
demikian, maka pembedaan ini akan menjadi sesuatu yang absurd; jika dalam level
fenomenal, kita dapat membedakan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)
dari sesuatu, hal ini akan berujung kepada banyak kontradiksi logis. Bagaimana
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) tergabung dalam suatu relasi? Lalu,
bagaimana keadaan keduanya sebelum keduanya tergabung menjadi sesuatu yang
merupakan perpaduan dari keduanya? Jika demikian, maka baik eksistensi (wujud)
dan esensi (mahiyah), sebelum bergabung menjadi sesuatu, sudah eksis terlebih
dahulu, eksistensi (wujud) sudah eksis sebelum bergabung dengan esensi
(mahiyah), begitu pula esensi (mahiyah) sudah eksis sebelum bergabung dengan
eksistensi (wujud), dan selanjutnya. Dengan alur logika seperti ini, Suhrawardi
menolak konsep eksistensi (wujud) dalam bangunan filosofisnya. Ia tidak lagi
merumuskan metafisikanya berdasarkan perbedaan antara eksistensi (wujud) dan
esensi (mahiyah), melainkan dengan rumusan gradasi cahaya. Bersamaan dengan
hal ini, Suhrawardi menolak gagasan bahwa eksistensi (wujud) merupakan sesuatu
yang merujuk kepada realitas, eksistensi (wujud), sama seperti universal lainnya,
hanya ada dalam ranah konseptual, i’tibari. Dengan ini, maka Suhrawardi menolak
dua gagasan Ibn Sina, yakni perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah), dan aksidentalitas eksistensi (wujud). Bagi Suhrawardi, dua gagasan ini,
jika diikuti secara logis, mengarah kepada kontradiksi, karenanya, ia mengkritisi
keduanya dengan menekankan bahwa pada dasarnya, eksistensi (wujud) merupakan
konsep belaka yang tidak merujuk kepada realitas.

Kini, kita dapat melihat lebih jelas persoalan apa saja yang harus ditangani oleh
Mulla Sadra.
 Pertama, bagaimana Sadra merumuskan ulang gagasan mengenai
perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)? Kemudian,
apakah eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah)?
 Kedua, apakah eksistensi (wujud) benar-benar merupakan konsep belaka
yang tidak merujuk kepada kenyataan?

141
Dua persoalan ini disebut sebagai persoalan distingsi, yaitu perbedaan antara
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), dan persoalan primasi, yaitu manakah dari
salah satunya yang merujuk kepada kenyataan.

3. Posisi
Seperti yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, adalah Suhrawardi dan persoalan
yang ia bawa yang merupakan posisi filosofis yang dikritik oleh Mulla Sadra secara
langsung. Dengan kata lain, posisi filosofis Mulla Sadra adalah posisi yang ada
sebagai kritik atas posisi Suhrawardi. Kedua persoalan yang dibawa oleh
Suhrawardi tadi, menurut Sadra, lahir dari kekeliruan tafsir Suhrawardi atas posisi
Ibn Sina. Dalam hal ini, posisi Sadra adalah reinterpretasi atas posisi filosofis Ibn
Sina. Bagi Mulla Sadra, Suhrawardi keliru ketika melihat bahwa perbedaan
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dalam Ibn Sina adalah perbedaan pada
level fenomenal, dan keliru pula ketika menganggap bahwa aksidentalitas
eksistensi (wujud) merupakan aksidentalitas dalam artian umum. Karena dua
kekeliruan ini, Suhrawardi masuk kepada kekeliruan ketiga, yakni menganggap
bahwa eksistensi (wujud) tidak merujuk kepada realitas dan hanya merupakan
konsep filosofis kosong dan abstrak. Ketiga kekeliruan filosofis Suhrawardi inilah
yang akan dikritisi dan dikoreksi oleh Mulla Sadra. Lalu, bagaimana Mulla Sadra
menemukan kekeliruan ini, yakni, apa yang menyebabkan kekeliruan filosofis
Suhrawar-di? Maka kini kita masuk kepada pembahasan mengenai rumusan Mulla
Sadra mengenai konsep dan realitas eksistensi (wujud).

Sebelum pembahasan mengenai rumusan ini, mari kita perbarui tabel di atas
untuk memasukkan posisi Mulla Sadra.

Tabel A.3. Distingsi dan Primasi eksistensi/esensi

Perbedaan antara eksistensi Primasi


(wujud) dan esensi (mahiyah)
esensi
Filsuf
Feno- Konsep- Transen- Eksis- (mahi
menal tual dental tensi
yah)
Aristoteles -  - - -
Farabi -  - - -

142
Ibn Sina -   ? -
Ibn Sina II    ? -
Suhrawardi -  - - 
Mulla Sadra -  -  -

Tabel di atas merupakan pembaruan atas tabel perbedaan antara eksistensi


(wujud) dan esensi (mahiyah) dengan memasukkan kolom baru, yaitu kolom
primasi, dan juga memasukkan posisi Mulla Sadra. Seperti yang telah dibahas pada
sub-bab sebelumnya, persoalan primasi ini merupakan persoalan yang hadir karena
kritik Suhrawardi atas Aristotelian dan pengikutnya dari tubuh filsafat Islam,
terutama Ibn Sina. Meskipun begitu, kita pun dapat melihat ulang posisi Ibn Sina
dan Farabi dalam konteks primasi ini. Ibn Sina memang tidak merumuskan konsep
primasi, baik eksistensi (wujud) maupun esensi (mahiyah), tapi kita dapat menarik
posisinya dari gagasan yang telah ia rumuskan, terutama gagasan mengenai divisi
eksistensi (wujud). Seperti yang telah kita bahas, Ibn Sina membagi eksisten
(mawjud) menjadi tiga dan menempatkan Eksistensi Niscaya dalam tingkatan
tertinggi, yang didefinisikan sebagai suatu eksisten (mawjud) yang eksistensinya
berasal dari esensinya sendiri, atau yang merupakan eksistensi (wujud) murni, atau
yang eksistensinya adalah esensinya. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa,
ketika kita menempatkan Ibn Sina dalam konteks primasi, ia akan masuk ke dalam
pengusung gagasan primasi eksistensi, karena dalam lanskap filosofisnya,
eksistensi (wujud) merupakan hal yang tertinggi dalam realitas.

Namun, penempatan ini bukannya tanpa masalah. Jika dilihat lebih teliti,
pembedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), dan kemudian
pembedaan antara Eksistensi Niscaya dan eksistensi kontinjen dalam Ibn Sina,
didasarkan pada gagasan bahwa pembedaan tersebut adalah hal yang nyata, yaitu,
baik eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) merupakan dua hal yang ada dalam
kenyataan. Ini akan menjadi bermasalah, karena, sebagaimana yang telah
dinyatakan Suhrawardi, menyatakan bahwa eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah) merupakan dua hal yang nyata dalam kenyataan hanya akan berujung
kepada kontradiksi logis tanpa akhir. Inilah kenapa, seperti yang dapat dilihat pada

143
tabel di atas, berbeda dengan Ibn Sina, dan sama dengan Suhrawardi, Mulla Sadra
menyatakan bahwa pada level transendental, tidak ada perbedaan antara eksistensi
(wujud) dan esensi (mahiyah). Dan, berbeda dari Suhrawardi, kenyataan tertinggi
adalah eksistensi (wujud), bukan esensi (mahiyah). Lalu, apa yang disebut dengan
ketiga level ini, yakni fenomenal, konseptual, dan transendental? Persisnya,
pembedaan level inilah yang dimaksud dengan rumusan Mulla Sadra, yakni konsep
dan realitas eksistensi (wujud). Dengan pembagian level ini, Mulla Sadra mampu
melihat letak kekeliruan Suhrawardi dan mampu merumuskan metafisika
eksistensialnya yang tersusun dari kritik atas para filsuf sebelumnya, apropriasi atas
konsep-konsep filosofis sebelumnya, dan reinterpretasi atas persoalan-persoalan
filosofis yang ada. Maka, mari kita mulai membahas apa yang dimaksud dengan
masing-masing level tersebut, yakni fenomenal, konseptual, dan transendental.

a. Konsep dan Realitas Eksistensi (Formulasi Izutsu)


Dalam bukunya, The Concept and Reality of Existence, Izutsu membagi
eksistensi (wujud) menjadi dua ranah, yaitu ranah konseptual dan ranah realitas,
yang kemudian masing-masingnya dibagi lagi menjadi dua. Berikut adalah
pembagian level eksistensi (wujud) menurut Izutsu:

Bagan A. Konsep dan Realitas eksistensi (wujud) menurut Toshihiko Izutsu

a). Eksistensi Mutlak


I). Pemahaman atas
Eksistensi b). Porsi Eksistensi

a). Unit General


II). Realitas Eksistensi
b). Unit Partikular

Izutsu membagi ranah eksistensi (wujud) menjadi dua, yakni ranah


pemahaman, atau ranah konseptual; dan ranah realitas, atau ranah eksternal.
Masing-masing ranah tersebut dibagi lagi menjadi dua, pemahaman atas eksistensi
(wujud) dibagi menjadi pemahaman atas eksistensi (wujud) mutlak dan porsi
eksistensi (wujud); sementara realitas eksistensi (wujud) dibagi menjadi dua unit,

144
yakni unit umum (general) dan unit khusus (partikular). Lalu apa persisnya maksud
dari pembagian ini? Pertama-tama, perlu dicatat bahwa buku Izutsu tersebut
merupakan sebuah antologi dari tulisan-tulisan filosofisnya mengenai metafisika
Sabzawari, salah satu pengikut Mulla Sadra yang terpenting. Karenanya, dalam
buku tersebut, Izutsu tidak sedang membicarakan rumusan metafisika Mulla Sadra
secara khusus, ia nyatanya sedang menjelaskan Mulla Sadra secara tidak langsung
melalui posisi filosofis Sabzawari. Namun begitu, gagasan mengenai konsep dan
realitas eksistensi (wujud) memang benar-benar gagasan yang dirumuskan oleh
Mulla Sadra sendiri. Hal ini akan jelas terlihat ketika kita membaca karya-karyanya,
terutama Kitab al-Masha’ir yang merupakan teks pokok yang dikaji dalam
penelitian ini.

Fakta bahwa antologi tulisan Izutsu tersebut diberi judul Konsep dan
Realitas Eksistensi, menurut kami bukanlah suatu kebetulan belaka. Izutsu
merupakan salah satu peneliti Mulla Sadra, dan faktanya telah menerjemahkan
Kitab al-Masha’ir ke dalam bahasa Jepang. Fakta ini memperkuat preferensi dari
penelitian ini yang menjadikan al-Masha’ir sebagai teks utama yang dikaji. Kedua,
ketika kita meneliti teks ini, kita akan terkejut mendapati bahwa Mulla Sadra
berulangkali menegaskan bahwa kekeliruan filosofis yang dibuat oleh para filsuf
sebelumnya – terutama Suhrawardi – dalam dua hal penting, yakni misinterpretasi
atas posisi filosofis Ibn Sina, dan konsekuensinya bahwa eksistensi (wujud)
merupakan suatu konsep yang tidak merujuk kepada realitas, berangkat dari
keabaian atas prinsip ini, yakni prinsip membedakan eksistensi (wujud) menjadi
beberapa level. Izutsu tentu saja menyadari bahwa prinsip ini merupakan prinsip
yang penting untuk memahami gagasan metafisis Mulla Sadra ketika ia
menerjemahkan Kitab al-Masha’ir.

Terdapat beberapa konsep filosofis yang telah kita bahas sebelumnya, dan
yang juga dianggap merupakan titik tumpu dari bangunan metafisika Sadra secara
keseluruhan. Yakni, gagasan mengenai keutamaan eksistensi (asalah al-wujud) dan
gagasan mengenai modulasi eksistensi (taskykik al-wujud), serta gagasan mengenai
gerak substansial yang tidak kami bahas di sini karena ia berada di luar pembahasan
kami. Dua gagasan sebelumnya, yakni keutamaan eksistensi (asalah al-wujud) dan

145
modulasi eksistensi telah kami bahas pada sub-sub bab sebelumnya. Lalu di mana
posisi penting gagasan konsep dan realitas eksistensi (wujud)? Kami berpendapat
bahwa prinsip konsep dan realitas eksistensi (wujud) berfungsi menjadi semacam
meta-konsep, yakni konsep yang akan mampu memperjelas posisi Sadra terutama
terkait dengan upaya sintesisnya atas gagasan-gagasan filosofis sebelumnya.
Sebagaimana yang telah sering diungkapkan oleh para peneliti Mulla Sadra,
filsafatnya merupakan sintesis besar dari filsafat-filsafat sebelumnya, dan juga
intuisi sufistik serta teologis. Dan, seperti yang telah kami bahas pada sub-sub-bab
sebelumnya, gagasan-gagasan metafisis yang nantinya dibuat sistematikanya oleh
Mulla Sadra bukanlah gagasan yang benar-benar baru, yakni jika dilihat secara
parsial. Kontribusi dan orisinalitas Mulla Sadra adalah melihat semua gagasan yang
terdahulu, yang, jika dilihat secara parsial tidak memiliki kesinambungan internal,
dirumuskan secara sistematik dan berhubungan satu sama lain secara internal dan
kuat. Adalah prinsip konsep dan realitas eksistensi (wujud), yang kami pikir
merupakan meta-konsep yang berfungsi menjadi fondasi dari upaya sintesis Mulla
Sadra tersebut.

Singkatnya, dengan prinsip ini, Mulla Sadra berhasil menafsirkan ulang


posisi metafisis Ibn Sina, berhasil melihat mengapa Suhrawardi salah menafsirkan
Ibn Sina, dan berhasil memadukan prinsip kesatuan eksistensi (wahdat al-wujud)
dari mazhab pengikut Ibn ‘Arabi dengan gagasan filosofis baik dari Ibn Sina dan
Suhrawardi. Dengan prinsip ini pula, Mulla Sadra berhasil menyatukan ketiga
mazhab besar tersebut: Peripatetisme Ibn Sina, Iluminasionisme Suhrawardi, dan
Mistisisme Ibn ‘Arabi. Hal ini akan dibahas lebih rinci pada bab terakhir, yakni bab
4 dari penelitian ini. Untuk saat ini, mari kita kembali ke pembagian Izutsu dan
melihat sejauh mana ia bisa menjelaskan posisi filosofis Mulla Sadra.

Pada bagan di atas, Izutsu membagi pemahaman atas eksistensi (wujud)


menjadi dua level, yakni level nosional dan level konseptual. Level nosional
memahami aspek eksistensi (wujud) mutlak, sementara level konseptual memahami
aspek eksistensi (wujud) porsional. Lalu apa maksud dari kedua istilah ini? Dalam
hal ini, Izutsu mengutip pernyataan Sabzawari sebagai berikut:

“Gagasan mengenainya merupakan hal yang paling diketahui

146
Tetapi kenyataannya berada dalam kesembunyian yang sangat.”1
Di sini, Sabzawari membagi eksistensi (wujud) menjadi dua, yakni pada level
nosional dan level realitas. Gagasan mengenai eksistensi (wujud) merupakan hal
yang paling diketahui, sementara kenyataannya merupakan hal yang paling sulit
diketahui. Apa maksud dari pernyataan Sabzawari ini? Gagasan mengenai
eksistensi (wujud) merupakan gagasan yang paling diketahui, untuk membuktikan
hal ini, kita dapat memberi contoh pengalaman kita sehari-hari. Ketika seseorang
berkata bahwa “Ada orang di dalam rumah” kita mengetahui apa maksud dari kata
“ada” tersebut tanpa perlu berpikir keras, begitu pula kalimat-kalimat lain seperti,
“Ada hal yang aneh di sini,” “Apakah buku yang kemarin kamu pinjam ada di
perpustakaan ini?” dan lain-lain. Kita semua paham makna dari kata “ada” di sini,
dan kita secara pasti paham perbedaan antara “ada” dan “tidak ada” dalam kalimat-
kalimat ini; kita langsung memahami kalimat “Hari ini aku tidak ada uang dan juga
harapan,” dan juga “hari ini tidak ada ide yang terlintas di pikiranku”. Bahkan
seorang bayi yang baru lahir mengetahui intuisi akan “ada” ini, ketika seorang bayi
menangis kelaparan, seketika di hadapannya “ada” makanan, maka ia langsung
berhenti menangis. Ini adalah intuisi, atau pemahaman akan makna “ada” yang kita
miliki, sebuah intuisi yang paling jelas. Namun kemudian, jika ada seseorang yang
bertanya kepada kita, “Lalu, yang dimaksud ada (atau eksistensi (wujud)) itu apa?”
kita tiba-tiba terkejut akan betapa sulitnya menjawab pertanyaan ini. Kita tahu
bahwa pikiran itu “ada”, manusia itu “ada”, Tuhan itu “ada”, kursi itu “ada”; tetapi
ketika kita ditanya apa makna dari ada atau eksistensi (wujud), kita tidak dapat
menjawab apa-apa. Inilah yang dimaksud dengan pemahaman konseptual akan ada.

Dalam bagan di atas, Izutsu memasukkan level pertama, atau nosional


mengenai eksistensi (wujud) atau ada, pada apa yang ia sebut sebagai eksistensi
(wujud) mutlak, dan level kedua, atau konseptual, pada eksistensi (wujud)
porsional. Bagi kami, hal ini cukup membingungkan. Izutsu sendiri tidak
membahas lebih jauh mengenai apa yang ia maksud dengan arti mutlak dan

1
“Its notion is one of the best-known things
But its reality is in the extremity of hiddenness”

Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: Keio Insitute of Cultural and
Linguistic Studies, 1997) h. 75-76.
147
porsional di sini. Ia seolah-olah hanya menyatakan bahwa level pertama merujuk
kepada pemahaman atas eksistensi (wujud) mutlak, dan level kedua pada eksistensi
(wujud) porsional. Adapun, dalam level kedua, yakni level realitas eksistensi
(wujud), Izutsu membagi eksistensi (wujud) menjadi dua, yakni unit umum dan unit
khusus. Berbeda dengan level sebelumnya, yaitu level pemahaman, level realitas
eksistensi (wujud) ini dikaitkan secara langsung oleh Izutsu kepada dua konsep
lainnya. Level Umum merujuk kepada apa yang disebut sebagai Nafs al-Rahman,
di mana eksistensi (wujud) atau keberadaan segala sesuatu berada pada ranah
potensial sebelum menjadi suatu ciptaan, Level Khusus, kemudian merujuk kepada
keberadaan segala sesuatu setelah terwujud. Hal ini akan dibahas lebih lanjut nanti,
untuk saat ini, kita dapat memberi contoh sebagai berikut. Level Umum realitas
eksistensi (wujud) merupakan level yang, pada skema emanasi filsafat Islam,
disebut sebagai level Nafs al-Rahman, di mana segala sesuatu belum tercipta namun
siap tercipta, sementara level khusus merujuk kepada keadaan setelah hal-hal
tercipta. Level kedua ini lebih mudah dicontohkan. Kita dapat melihat alam semesta
dan menyatakan bahwa alam seemsta ada, dan bahwa segala sesuatu di dalam alam
semesta ada secara khusus: ada gunung, ada laut, ada batu, ada hewan, ada manusia,
ada tumbuhan, dan lain-lain. Ini adalah realitas eksistensi (wujud) pada skala
khusus, atau fenomenal, kita dapat menyatakan eksistensi (wujud) atau keberadaan
mereka secara khusus. Ini batu, itu tumbuhan, itu bukan batu. Pada level umum,
kita tidak bisa membedakan keduanya.

Permasalahan kedua dari bagan Izutsu di atas adalah bagaimana ia dapat


mengaitkan antara dua level di atas, yakni level pemahaman dan level realitas
eksistensi (wujud)? Bagaimana pula ia akan mengaitkan empat bagan di atas dengan
tiga level eksistensi (wujud) yang nantinya ia jelaskan sebagai: pertama, eksistensi
(wujud) yang ditentukan secara negatif; kedua, eksistensi (wujud) yang tak
ditentukan; ketiga, eksistensi (wujud) yang ditentukan oleh sesuatu. Terlepas dari
persoalan-persoalan ini, penjelasan Izutsu atas konsep dan realitas eksistensi
(wujud) amatlah kuat dan bagus. Untuk itulah, kami kira bagan Izutsu di atas perlu
diperbaiki, hal ini bukan hanya bermanfaat agar kita dapat memahami konsep Mulla
Sadra, tetapi juga agar penjelasan Izutsu dalam buku tersebut menjadi penjelasan
yang tidak kontradiktif, yakni, agar persoalan-persoalan yang disebut tadi dapat
148
diatasi. Dengan begitu, kami akan mengganti bagan Izutsu di atas menjadi sebagai
berikut:

Bagan B. Revisi atas Bagan Toshihiko Izutsu

Level Transendental

Level Konseptual

Level Fenomenal

Pemahaman atas eksistensi


(wujud) (wujud)

Realitas eksistensi
(wujud) (wujud)
Mengenai arti dari masing-masing level tersebut serta bagan revisi di atas, hal
ini akan dibahas pada sub-bab berikut ini.

b. Pemahaman Fenomenal, Konseptual dan Transendental atas Realitas


Eksistensi
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Izutsu membagi ranah pemahaman
atas eksistensi (wujud) menjadi dua level, yakni level nosional dan level konseptual.
Level nosional adalah level di mana realitas eksistensi (wujud) diketahui oleh
seseorang secara langsung tanpa diperantarai oleh konsep-konsep. Pemahaman kita
akan makna “ada” atau “eksis” ketika kita mendengar atau membaca kalimat “Buku
itu ada” masuk ke dalam level ini, yakni level nosional. Pemahaman atas realitas
eksistensi (wujud) pada level konseptual adalah ketika kita memikirkan pertanyaan
“apa itu eksistensi (wujud)?” “apa itu ada?”. Di sini kita tidak sedang memikirkan
mengenai keberadaan khusus dari sesuatu seperti buku, meja, laut, gunung, atau
manusia, melainkan mengenai eksistensi (wujud) itu sendiri, mengenai “ada” itu
sendiri. Inilah level konseptual pemahaman atas realitas eksistensi (wujud). Jika
pada level nosional, makna “ada” adalah sesuatu yang begitu jelas tanpa
memerlukan demonstrasi logis, pada level konseptual, makna eksistensi (wujud)
menjadi sesuatu yang butuh penjelasan filosofis. Maka pada level inilah, kritik
Suhrawardi diarahkan, yakni bahwa eksistensi (wujud) tidak merujuk kepada
149
realitas, ketika ia berkata bahwa konsep mengenai eksistensi (wujud), sama seperti
universal lainnya, adalah konsep abstrak yang tidak kita temui dalam realitas.

Dengan memahami dua level ini, yakni level nosional dan level konseptual, kita
dapat melihat dengan jelas bagaimana Sadra mendapati kesalahpahaman
Suhrawardi atas posisi Ibn Sina; Suhrawardi tidak membedakan antara pemahaman
atas eksistensi (wujud) pada level nosional dan level konseptual. Di sini, kami akan
mengganti istilah nosional menjadi fenomenal, dan tetap menggunakan istilah
konseptual pada level kedua. Maka, dalam bagan kami, pemahaman atas realitas
eksistensi (wujud) dibagi menjadi dua level pertama, yakni level fenomenal di mana
makna eksistensi (wujud) langsung dipahami, dan level konseptual di mana makna
eksistensi (wujud) menjadi lebih sulit dipahami. Terkait dua level inilah, Sadra
menulis dalam al-Masha’ir, kalimat yang kami kira dirujuk oleh Sabzawari dalam
kutipan sebelumnya.

“Kenyataan dari eksistensi (wujud) merupakan kenyataan yang paling


nampak dari segala sesuatu melalui kehadiran dan penyingkapan, dan
esensinya merupakan yang paling tersembunyi di antara hal-hal secara
konseptual. Dari segala sesuatu, konsep mengenainya merupakan sesuatu yang
paling tidak perlu didefinisikan karena kenampakan dan kejelasannya, dan
karena ia menjadi yang paling umum di antara semua konsep dalam
kemencakupannya. Identitasnya ialah yang paling partikular dari semua hal
partikular, baik dalam ketertentuan dan kekonkretannya, karena melaluinya
segala sesuatu menjadi konkret, segala sesuatu yang wujud terwujud, dan
segala sesuatu yang jelas menjadi jelas dan partikular [...]”
“Mengenai fakta bahwa eksistensi (wujud) tidak dapat didefinisikan,
alasannya ialah bahwa suatu definisi dicapai melalui definisi logis atau
deskripsi. Eksistensi (wujud) tidak dapat diketahui melalui definisi karena ia
tidak memiliki genus dan pembedaan spesifik. Maka, ia tidak memiliki definisi
[logis]. Ia tidak pula dapat dideskripsikan, karena ia tidak dapat dipahami
melalui sesuatu yang lebih nampak dan lebih diketahui darinya, tidak pula
melalui suatu bentuk yang setara dengannya.”2

2
“The reality of existence is the most manifest of all things through presence and univeiling, and its
quiddity is the most hidden among things conceptually and in its inner reality. Of all things, its
concept is the least in need of definition because of its manifestness and clarity and its being the
most general among all concepts in its comprehensiveness. [...]
As for the fact that it cannot be defined, the reason is that a definition is by means of either
logical definition or description. It [Existence] cannot be made known through definition because it
has no genus and no specific difference. Thus, it has no [logical] definition.” Masha’ir ¶ 5-6, Mulla
Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha'ir: A Parallel English-Arabic text
translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 6-7.
150
Mulla Sadra, sebagaimana Sabzawari, menyatakan bahwa pemahaman akan
makna eksistensi (wujud) merupakan pemahaman yang paling jelas, yakni, dalam
level fenomenal, namun, pada level konseptual, kita akan kesulitan untuk
mendefinisikannya. Kemudian, mari kita lihat kutipan selanjutnya.

“Kenyataan eksistensi (wujud) dalam cara apapun tidak mungkin terwujud,


secara kudrati, dalam suatu pikiran, karena eksistensi (wujud) bukanlah suatu
konsep universal, dan eksistensi (wujud) dari setiap eksisten (mawjud) adalah
eksisten (mawjud) itu sendiri in concreto, dan apa yang eksis in concreto tidak
mungkin merupakan suatu konsep mental. Apa yang tercermin dari eksistensi
(wujud) sebagai suatu konsep mental general adalah eksistensi (wujud) dari
apa yang disebut sebagai eksistensi (wujud) yang disifatkan, yang sesuai bagi
penilaian logis. Terkait pengetahuan mengenai kenyataan eksistensi (wujud),
hal ini tidak dapat dicapai kecuali dengan kehadiran iluminatif dan penyaksian
nyata. Karenanya, tiada keraguan yang tersisa terkait identitasnya.”3
Dalam kutipan di atas, Mulla Sadra sedang menjelaskan mengenai dua level
pemahaman eksistensi (wujud). Pertama, adalah pemahaman logis atas eksistensi
(wujud), yakni konsep mental atas realitas eksistensi (wujud), kedua adalah
pemahaman yang ia sebut dapat dicapai lewat “kehadiran iluminatif” dan
“kesaksian nyata.” Ini adalah apa yang kami sebut sebagai level transendental dari
pemahaman atas realitas eksistensi (wujud). Jika pemahaman pada level konseptual
tidak dapat mencapai realitas eksistensi (wujud), maka pemahaman pada level
transendental inilah yang dapat mencapainya. Kini, mari kita bahas dengan lebih
rinci masing-masing dari ketiga level pemahaman atas realitas eksistensi (wujud)
ini.

i. Level Fenomenal
Pemahaman atas realitas eksistensi (wujud) pada level fenomenal adalah
pemahaman langsung kita sehari-hari atas kenyataan dan dunia kita. Karenanya,
level ini mencakup level di mana di hadapan kita, kita mendapati beragam hal-hal

3
“The reality of existence is not in any way actualized in its essence in any of the minds, because
existence is not a universal concept, and the existence of every existent is this existent itself in
concreto, and that which is in concreto cannot be a mental concept. What is represented of existence
as a general mental concept is the existence that one calls predicated existence, which is proper to
logical judgments.
As for the knowledge of the reality of existence, that cannot be other than illuminative
presence and real witnessing. Consequently, no doubt remains concerning its identity.” Masha’ir, ¶
54, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha'ir: A Parallel English-
Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.
24.
151
dan benda-benda yang jamak. Air, api, udara, batu, rumah, manusia, bunga, dan
segala sesuatu yang dapat kita indera, yakni level sensorial, masuk ke dalam level
ini. Bahkan seorang bayi dapat memahami eksistensi (wujud) pada level fenomenal
ini. Pada level ini pula, gagasan atau makna eksistensi (wujud) terbukti dengan
sendirinya, tanpa perlu diperantarai oleh konsep abstrak. Kita tak perlu mencari
kamus atau buku petunjuk untuk memahami makna dari pernyataan seseorang
bahwa “hari ini ada ujian.” Level ini pula yang dikatakan oleh Mulla Sadra dan
Sabzawari sebagai level di mana makna eksistensi (wujud) begitu jelas hingga tak
memerlukan definisi. Dalam level ini, pemahaman kita atas eksistensi (wujud)
dapat digambarkan dengan struktur berikut: “keberadaan dari x”. Contohnya,
“keberadaan dari gunung”, “keberadaan dari laut”, “keberadaan dari buku” dan
sebagainya. Maka, pada level ini, kita mengetahui makna eksistensi (wujud), makna
“ada” jika dikaitkan dengan banyak hal yang kita temui.

ii. Level Konseptual


Pada level konseptual, kita tidak lagi berhadapan dengan makna eksistensi
(wujud) seperti pada level sebelumnya. Ini adalah level di mana kita dapat
membedakan dua aspek dari sesuatu, yakni aspek eksistensi (wujud) atau
keberadaan sesuatu, dan esensi (mahiyah) atau makna dari sesuatu. Pada level ini,
makna eksistensi (wujud) berbeda dari apa yang kita dapati pada level fenomenal
dengan struktur “keberadaan + sesuatu”, kini, makna eksistensi (wujud) adalah
“keberadaan” itu sendiri. Apa yang dimaksud dengan ada dalam kalimat-kalimat
yang dicontohkan pada level fenomenal tadi? Pada level konseptual, struktur yang
tadinya adalah “keberadaan dari x” kini menjadi “keberadaan” itu sendiri, atau dari
“eksistensi (wujud) dari x” menjadi “eksistensi (wujud)” itu sendiri. Apa itu makna
eksistensi (wujud) ketika ia dipisahkan dari hal-hal yang kita temui pada level
fenomenal? Tepat di sinilah Farabi menyatakan bahwa eksistensi (wujud) di sini
tidak memberikan makna baru pada subjek kalimat, ketika kita menyatakan bahwa
“Buku ini ada”, “Pena ini ada,” “Laptop ini ada”. Eksistensi (wujud), atau ada, pada
level ini, tidak memberikan pengetahuan baru kepada subjek-subjeknya. Ketika kita
mengatakan bahwa “Buku ini ada”, tidak ada hal baru yang kita ketahui
dibandingkan ketika kita menyatakan bahwa “Buku adalah buku”. Eksistensi
(wujud), atau “ada” dalam kalimat tersebut hanya menyatakan fakta bahwa kita
152
mendapati sesuatu yang dapat disebut sebagai buku; ia tidak menjelaskan mengenai
apa itu buku, misalnya bahwa buku adalah sesuatu yang merupakan kumpulan
kertas-kertas yang dijilid dengan bentuk tertentu yang berfungsi untuk mencatat
sesuatu; ini adalah definisi dari buku, atau esensi (mahiyah) dari buku, bukan
eksistensinya. Menyatakan bahwa buku itu eksis hanya bermakna bahwa kita
mendapati adanya buku dalam pengalaman kehidupan kita.

Pada level konseptual, kita mendapati bahwa beragam hal yang kita temui
disifati oleh eksistensi (wujud), atau ada. Buku ini ada, pulpen ini ada, gunung itu
ada, air itu ada. Semua hal yang jamak ini diberi satu sifat tunggal, mereka eksis,
mereka ada, mereka dapat kita temukan dalam kenyataan. Karena itulah, pada level
ini, eksistensi (wujud) tidak merujuk kepada banyak hal, sebaliknya, banyak hal
merujuk kepada satu kenyataan yang disebut eksistensi (wujud). Di sinilah,
eksistensi (wujud) mecakup segala sesuatu. Pada level konseptual, di antara semua
konsep, eksistensi (wujud) adalah konsep yang mencakup segala sesuatu yang dapat
disebut, ditemukan, dipikirkan, bahkan termasuk non-eksistensi, atau ketiadaan itu
sendiri. Karena sifat dari kemahamencakupan ini, secara logis, penambahan kata
eksistensi (wujud) atau ada pada hal apapun tidak menambah suatu pengetahuan
yang baru mengenai sesuatu tersebut. Karena itu pulalah, konsep eksistensi (wujud)
pada level ini adalah konsep yang paling kosong secara logis. Dan di sinilah Farabi,
Suhrawardi, dan nantinya, Immanuel Kant berkata bahwa eksistensi (wujud), secara
logis, tidak memiliki makna apapun selain bahwa sesuatu itu dapat seseorang temui.

Membedakan dua level ini, yakni level fenomenal dan konseptual sangatlah
penting untuk memahami bagaimana Mulla Sadra mendapati kekeliruan tafsir atas
posisi Ibn Sina. Memahami hal ini juga penting untuk mengetahui inti dari kritik
Sadra atas Suhrawardi, baik dalam pernyataannya mengenai primasi esensi (asalah
al-mahiyah), dan bahwa eksistensi (wujud) tidak merujuk kepada realitas.

iii. Level Transendental


Level tertinggi dari pemahaman atas realitas eksistensi (wujud) adalah level
transendental. Sebagaimana dikatakan oleh Mulla Sadra, level ini hanya dapat
dicapai lewat kehadiran langsung atau kesaksian sejati. Level ini tentu saja
merupakan level pemahaman yang amat sulit dicapai, dan jarang ditemui dalam

153
pengalaman sehari-hari. Ia memerlukan sebentuk kesiapan metafisis dan spiritual
tertentu. Berbeda dengan level fenomenal, level ini tidak memahami eksistensi
(wujud) dengan perantaraan eksisten-eksisten atau hal-hal jamak yang kita temui
dalam kenyataan, ini merupakan pemahaman atas sumber dari eksistensi (wujud),
Eksisten (mawjud) Murni, Eksistensi Niscaya, yang secara teologis disebut sebagai
Tuhan. Seperti pada level konseptual, level transendental memahami bahwa
terdapat suatu rujukan tunggal dari semua eksisten (mawjud) atau hal-hal yang ada;
bahwa eksistensi (wujud) dari banyak hal sejatinya berasal dari satu sumber;
namun, berbeda dari level konseptual, level transendental pemahaman ini tidak
diperantarai oleh konsep-konsep abstrak, namun merupakan suatu intuisi langsung
atas eksistensi (wujud). Karenanya, tentu saja, pemahaman transendental akan
eksistensi (wujud) tidak dapat diterangkan melalui tulisan atau karya filosofis
apapun, termasuk penelitian ini. Di sini kita hanya menjelaskan bahwa Mulla Sadra
menjelaskan bahwa eksistensi (wujud) pada keberadaannya yang sejati hanya dapat
dicapai melalui keadaan khusus, yang ia sebut sebagai pemahaman metafisis, yang
faktanya dijadikan sebagai judul dari bukunya yang kami jadikan teks pokok dari
penelitian ini. Adapun, perlu dicatat bahwa level transendental ini bukanlah suatu
karangan dari Sadra sendiri, kita dapat mendapati pernyataan-pernyataan mengenai
pemahaman pada level ini pada karya-karya sufistik dari mazhab Ibn ‘Arabi.
Dengan demikian, kita dapat memperbarui bagan revisi kita atas Izutsu dengan
menambah keterangan level realitas eksistensi (wujud) ini sebagai berikut.

Bagan B.2 Konsep dan Realitas eksistensi (wujud)


Level
Eksistensi yang Transendental
ditentukan oleh Level Konseptual
sesuatu
Level
Eksistensi yang Fenomenal
tidak ditentukan Pemahaman
atas eksistensi
Eksistensi yang (wujud)
ditentukan secara
negatif
Realitas eksistensi
(wujud) (wujud)

154
Kini, mari kita perjelas tiga level realitas eksistensi (wujud) ini. Ini adalah
level realitas eksistensi (wujud) sebagaimana diimani oleh para filsuf Pahlawi, baik
Mulla Sadra dan Sabziwari. Eksistensi (wujud) dinyatakan sebagai memiliki tiga
level, level tertinggi adalah level ditentukan secara negatif. Ini adalah eksistensi
(wujud) pada level termurni, ia disucikan, dimurnikan dari segala penentuan atau
pembatasan apapun, ini adalah Eksisten Murni dan eksistensi (wujud) pada level
transendensi mutlak. Level kedua adalah eksistensi (wujud) yang tidak ditentukan;
Ini adalah eksistensi (wujud) dalam keadaan yang belum ditentukan dan siap
mewujud menjadi apapun, segala eksisten (mawjud) yang mungkin ada tercakup
dalam level ini. Ketiga, level terendah adalah eksistensi (wujud) yang ditentukan
oleh sesuatu. Ini adalah eksistensi (wujud) pada level eksisten-eksisten atau hal-hal
yang sudah terwujud. Definisi ini memang cukup abstrak, namun mari kita mulai
dengan mengaitkannya pada level pemahaman kita akan realitas eksistensi (wujud),
dimulai dari level fenomenal.

Seperti yang telah disinggung, pemahaman kita pada level fenomenal atas
realitas eksistensi (wujud) adalah pemahaman atas makna eksistensi (wujud), atau
makna “ada” pada banyak hal yang kita temui dalam kenyataan. Struktur dari
pemahaman fenomenal adalah “eksistensi (wujud) dari x”, inilah yang dimaksud
level realitas eksistensi (wujud) pada level terendah, yakni ditentukan oleh sesuatu.
Pemahaman kita atas makna eksistensi (wujud) dihasilkan oleh sesuatu yang
menyiratkan eksistensi (wujud). Sebagai contoh, “eksistensi (wujud) dari x”, kita
menyadari, dari kalimat “keberadaan dari buku” bahwa buku itu eksis, buku itu
“ada”, pemahaman mengenai buku merupakan pemahaman tersurat, dan
pemahaman akan eksistensi (wujud), di sini, tersirat; karenanya, makna eksistensi
(wujud) di sini ditentukan oleh keberadaan dari sesuatu, dalam contoh ini, buku.
Maka, yang dimaksud sebagai eksistensi (wujud) yang ditentukan oleh sesuatu
adalah bahwa makna eksistensi (wujud) yang kita dapati pada level fenomenal hadir
karena keberadaan sesuatu.

Pada level kedua, yakni eksistensi (wujud) yang tidak ditentukan, ini
memiliki dua rujukan, pertama rujukan logis, kedua rujukan metafisis. Pada level
logis, ini termasuk kepada level pemahaman konseptual. Ketika kita melakukan

155
abstraksi dari datum-datum yang kita peroleh melalui pemahaman pada level
fenomenal, yakni “eksistensi (wujud) dari x”, dan kita menyisihkan “sesuatu” dari
pemahaman ini, maka kita memperoleh makna “eksistensi (wujud)” itu sendiri
ketika ia terpisah dari sesuatu yang konkret. Misalnya, pada level fenomenal kita
memahami apa itu makna “eksistensi (wujud) dari buku”, “eksistensi (wujud) dari
laptop”, “eksistensi (wujud) dari meja”, dan sebagainya, pada level konseptual,
ketika kita menghilangkan hal-hal tersebut dari makna eksistensi (wujud), maka kita
akan mendapati makna eksistensi (wujud) yang mencakup segala hal tersebut; ini
adalah rujukan logis dari apa yang disebut sebagai eksistensi (wujud) yang
ditentukan. Pada level ini, “eksistensi (wujud)” dapat dikaitkan dengan segala
sesuatu, apapun itu, kita tinggal menambahkan kalimat “eksistensi (wujud) dari x”
dengan menyebut atau mendaftar segala sesuatu. Pada level metafisis, ini merujuk
kepada apa yang disebut sebagai Nafs al-Rahman. Ini adalah level di mana segala
sesuatu di alam semesta berada pada level siap tercipta; dalam skema emanasi, ini
adalah tahap di mana Nafs al-Rahman siap memberi forma atau bentuk kepada
materia prima.

Level tertinggi dari eksistensi (wujud), atau level transendental, adalah di mana
eksistensi (wujud) sama sekali disucikan atau dimurnikan dari kemungkinan
ditentukan oleh segala sesuatu. Tidak seperti level kedua di mana eksistensi (wujud)
terkait dengan hal-hal fenomenal di alam semesta, pada level ini, eksistensi (wujud)
tidak dapat dikaitkan dengan apapun. Ini adalah level tertinggi, level terdalam dari
realitas yang tidak dapat dicapai baik oleh pemahaman pada level fenomenal
ataupun konseptual. Ini adalah level eksistensi (wujud) yang tidak dapat dijelaskan
dengan cara apapun, karenanya, mustahil di sini level ini diberi contoh, karena akal
manusia tidaklah sampai, ini adalah level transendensi mutlak dari Tuhan. Cukup
dikatakan bahwa bagi kita, ini adalah level Kegelapan murni, level Ketiadaan
murni.

4. Rekapitulasi
Setelah membahas mengenai gagasan konsep dan realitas eksistensi (wujud),
kini kita dapat menutup bab ini dengan merekapitulasi semua pembahasan yang ada
dalam bab ini, dengan melihat bagaimana Sadra membaca ulang persoalan-

156
persoalan filosofis yang ada di hadapannya dengan prinsip konsep dan realitas
eksistensi (wujud). Tiga persoalan yang akan dibahas di sini ialah: distingsi antara
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), primasi eksistensi atau esensi, dan
modulasi eksistensi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, di sini kita akan
melihat bagaimana Mulla Sadra, dengan prinsip konsep dan realitas eksistensi
(wujud), melihat persoalan-persoalan filosofis sebelumnya yang sebagian besar
diwariskan oleh Ibn Sina dalam kerangka baru, yakni kerangka metafisika
eksistensial; bagaimana ia melihat kekeliruan-kekeliruan filosofis, terutama yang
dilakukan oleh Suhrawardi dan akhirnya ia melakukan sintesis filosofis atas semua
mazhab filosofis penting dalam masanya.

a. Distingsi eksistensi-esensi
Persoalan ini dimulai ketika Aristoteles menyiratkan keberadaan dua makna
atau pemahaman atas sesuatu: pengetahuan kita akan x tidak menjamin bahwa x itu
ada; mengetahui x dan membuktikan bahwa x eksis adalah hal yang berbeda,
begitulah persoalan panjang ini dimulai. Persoalan ini kemudian diwarisi oleh para
filsuf Islam, dan dalam penelitian ini, kami memusatkan pada dua tokoh peripatetik
Islam paling terkenal: Farabi dan Ibn Sina. Masing-masing keduanya mewarisi
persoalan ini dan mengembangkannya lebih jauh. Perbedaan antara eksistensi
(wujud) dan esensi (mahiyah) ini dirumuskan lebih canggih ketika Farabi memberi
nama kepada dua pemahaman ini: pemahaman akan eksistensi (wujud) dan
pemahaman akan esensi (mahiyah). Lebih lanjut, Farabi menambahkan cara
pandang baru terhadap distingsi ini, sesuatu yang tidak dilakukan oleh Aristioteles:
Farabi menyatakan bahwa relasi antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)
adalah relasi antara aksiden (‘arid) yang datang dari luar dan kemudian masuk ke
dalam suatu subjek. Ini adalah dua sumbangan Farabi bagi persoalan distingsi
eksistensi-esensi: pemberian istilah teknis dan penambahan konsep ‘arid. Ibn Sina
hadir dalam persoalan ini, ia mengambil rumusan Farabi mengenai eksistensi
(wujud) dan esensi (mahiyah), serta gagasan bahwa relasi antara keduanya ialah
relasi antara eksistensi (wujud) sebagai aksiden yang datang dari luar dan akhirnya
masuk ke dalam suatu subjek, yakni suatu esensi (mahiyah) tertentu.

157
Lagi-lagi, Ibn Sina tidak hanya menerima persoalan ini tanpa
mengembangkannya. Dan di sinilah persisnya perdebatan kontro-versial dalam
persoalan eksistensi-esensi dimulai. Berbeda dari kedua filsuf sebelumnya, Ibn Sina
membawa konsep ‘arid lebih jauh; ia menariknya dari level konseptual ke level
transendental. Bagaimana ia melakukannya? Tidak seperti Farabi yang hanya
menyiratkan aspek teologis dalam relasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah),
Ibn Sina secara terang-terangan menempatkan relasi antara eksistensi (wujud) dan
esensi (mahiyah) dengan suatu relasi transendental: antara Pencipta dan Ciptaan.
Divisi Eksisten yang ia rumuskan merupakan upaya menarik konsekuensi
transendental dari perbedaan yang awalnya hanya berwatak konseptual antara
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Ibn Sina mendefinisikan Eksistensi
Niscaya sebagai eksisten (mawjud) yang eksistensinya berasal dari esensinya, yang
eksistensinya termasuk ke dalam esensinya, yang eksistensi (wujud) dan esensinya
sama. Eksistensi Niscaya adalah eksisten (mawjud) yang tidak mungkin tidak eksis,
karena eksistensi (wujud) masuk ke dalam esensinya. Sementara eksistensi
kontinjen adalah suatu eksisten (mawjud) yang eksistensinya datang dari luar,
bukan dari dalam esensinya sendiri, yang keberadaan atau ketiadaannya tidak
bertentangan dengan esensinya; ia bisa saja eksis, bisa saja tidak. Dan jika ia eksis,
karenanya, ia eksis karena eksistensi (wujud) diberikan kepadanya dari luar, yang
tidak lain dari Eksistensi Niscaya.

Selain menambahkan divisi eksisten (mawjud) ke dalam persoalan ini, Ibn Sina
juga menarik konsekuensi lebih jauh dari ‘arid, yang sekali lagi juga dipadukan
dengan divisi eksisten (mawjud) tersebut. Eksistensi kontinjen, karenanya, adalah
eksisten (mawjud) di mana eksistensi (wujud) merupakan suatu aksiden bagi
esensinya. Dengan kata lain, eksistensi (wujud) tidaklah menyusun esensinya.
Esensi (mahiyah) manusia adalah “binatang rasional”, bukan “binatang rasional
yang eksis”, karena bisa jadi manusia eksis dan tidak, tanpa harus menghasilkan
suatu kontradiksi, sementara jika ia kehilangan rasionalitasnya, akalnya, maka ia
bukan lagi manusia, dan ia kehilangan aspek yang menjadikannya manusia; berbeda
halnya dengan ketika ia tidak eksis. Katakanlah, seseorang yang meninggal dunia,
ia akan tetap dikenang sebagai manusia, selama dalam hidupnya ia mengguna-kan
akalnya. Karena itu, ada atau tiadanya dirinya tidak menjadi-kan dia kehilangan
158
kemanusiaannya, tetapi berakal atau tidak berakalnya dirinya akan berpengaruh
terhadap kemanusiaannya. Lalu di mana letak permasalahan dari persoalan ini?
Mengapa Ibn Sina menjadi seseorang yang posisinya banyak disalahtafsirkan oleh
para filsuf setelahnya? Ini disebabkan dari bagaimana seseorang menilai posisi Ibn
Sina dalam persoalan ini, apakah ia menyatakan bahwa distingsi eksistensi (wujud)
dan esensi (mahiyah) ada pada ranah fenomenal, konseptual, atau transendental?

Tidak seperti Aristoteles dan Farabi yang bebas dari kritik atas konsepsi mereka
mengenai distingsi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), Ibn Sina merupakan
tokoh yang dikaitkan erat dengan konsep distingsi ini, dan yang dikenal sebagai
seseorang yang menyatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari
esensi (mahiyah) pada semua ranah kenyataan; yakni pada level fenomenal,
konseptual, dan transendental. Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa ini
merupakan suatu penafsiran yang salah atas posisi filosofis Ibn Sina; namun
bagaimanapun, Suhrawardi termasuk ke dalam salah seorang filsuf yang
menafsirkan Ibn Sina dengan cara itu. Melihat bahwa distingsi antara eksistensi
(wujud) dan esensi (mahiyah) ini tidak bisa dipertahankan secara logis, Suhrawardi
menolaknya. Lebih jauh, ia menuduh Ibn Sina menyatakan bahwa eksistensi
(wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah) dalam semua level realitas; atau
tepatnya, Suhrawardi tidak membedakan pada level mana Ibn Sina merujuk ketika
ia sedang berbicara mengenai distingsi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)
serta aksidentalitas eksistensi (wujud). Bagaimana Mulla Sadra melihat persoalan
ini, yakni bagaimana ia melihat posisi filosofis Ibn Sina dan kekeliruan Suhrawardi
memahaminya? Mari kita melihat persoalan ini, bersama Mulla Sadra, dengan
memasukkannya dalam kerangka prinsip konsep dan realitas eksistensi (wujud).

Pada level fenomenal, kita mendapati banyak hal di sekitar kita: buku, lampu,
dinding, radio, kabel, lantai, laptop dan sebagainya. Mari kita ambil contoh buku di
hadapan kita. Ketika kita mengamati sebuah buku, apakah kita dapat membedakan
mana eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dari buku tersebut? “Wah, eksistensi
(wujud) buku ada di sebelah sini, katakanlah, sebelah kanan, sementara esensi
(mahiyah) berada di sebelah kiri”, tentu ini merupakan pernyataan yang absurd.
Buku, di hadapan kita, adalah suatu objek utuh, tidak ada dua aspek, yakni

159
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) yang dapat dipisahkan darinya, tidak ada
celah yang membatasi keduanya, buku, karenanya, merupakan suatu objek
ontologis tanpa celah; yang ada bukanlah aspek eksistensi (wujud) atau esensi
(mahiyah), yang kita lihat dari sebuah buku di hadapan kita adalah sampul, kertas,
dan mungkin lem yang melekatkan kertas-kertas tadi, lipatan-lipatan buku, bahkan
mungkin aroma dari kertas yang ada dalam buku tersebut. Kita melihat buku
sebagai suatu kesatuan antara esensinya – katakanlah bahwa esensi (mahiyah) dari
buku adalah kumpulan kertas yang dijilid sedemikian rupa dan berfungsi untuk
dituliskan kata-kata di dalamnya – dan eksistensinya, bahwa buku ini ada di sini, di
hadapan kita. Pada level ini, kita tidak dapat memisahkan antara eksistensi (wujud)
dan esensi (mahiyah) buku.

Kini kita beralih kepada level konseptual. Buku ini memiliki sampul berwarna
hijau, kertasnya berwarna putih, berukuran a4, dan merupakan buku tulis yang saya
isi dengan rencana-rencana tentang masa depan. Kita kemudian dapat memisahkan
mana bagian esensial dari buku dan bagian aksidental darinya. Jika buku ini tidak
berwarna hijau, apakah ia tetap disebut buku? Tentu saja, sampul dari buku bisa
berwarna apa saja, entah itu merah, hitam, kuning atau apapun. Ia tetaplah buku
selama ia merupakan kumpulan dari kertas yang dijilid sedemikian rupa. Kita dapat
membayangkan sebuah buku yang berwarna merah-hitam, tanpa membuat
pemikiran ini menjadi kontradiktif, merah hitam atau merah kuning, atau merah
putih, buku ini tetaplah buku. Warna dari buku bukanlah aspek yang menyusun ke-
buku-an. Kita telah dapat memisahkan aspek aksidental dan aspek esensial dari
buku dengan pemikiran sederhana semacam itu. Kini kita dapat menarik abstraksi
ini lebih jauh. Buku ini ada, kertas ini ada, warna ini ada, lem ini ada, jilid ini ada.
Mari kita bayangkan suatu hal, misalnya, buku manga Samurai Champloo musim
kedua. Dalam kenyataan, yakni dalam level fenomenal, buku ini tidak ada karena
pengarangnya, yakni Shinichiro Watanabe, tidak pernah menulis musim kedua dari
manga ini. Tetapi, kita masih bisa membayangkan bahwa jika, seandainya musim
kedua dari manga ini terbit, plot ceritanya akan menjadi demikian dan demikian,
dan jika ia diterbitkan nantinya, ia akan diterbitkan oleh penerbit demikian dan
demikian. Kita dapat membayangkan gagasan mengenai buku ini, tanpa
meniscayakan keberadaannya; bahkan, meskipun kita tahu pasti bahwa buku ini
160
tidak akan pernah terbit sampai kapanpun, kita masih dapat membuat citra mental
dalam pikiran kita mengenainya. Kini, kita dapat membedakan esensi (mahiyah),
atau gagasan dari buku tersebut, dari eksistensinya. Maka, pada level konseptual,
kita dapat membedakan eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) dari buku. Dan hal
ini berlaku bagi hal-hal lain yang dapat kita bicarakan.

Sampai di sini, kita dapat menyatakan bahwa pada level fenomenal, kita tidak
mendapati adanya distingsi antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), baru
pada level konseptuallah kita dapat membedakannya. Kita tidak akan membahas
mengenai contoh dari level transendental, dan faktanya, baik Mulla Sadra,
Sabzawari, Suhrawardi dan para peneliti mereka, tidak pernah memberikan contoh
dari level transendental, karena, seperti yang telah disinggung, ini adalah level yang
tidak terjangkau oleh bahasa. Kami kira, hal ini pulalah yang membuat Izutsu hanya
membagi level pemahaman menjadi dua, tanpa memasukkan level transendental,
sedangkan di sisi lain ia menyatakan bahwa realitas eksistensi (wujud) terbagi
menjadi tiga level. Bahwa pada umumnya, baik Mulla Sadra maupun Suhrawardi
sering memberi contoh pada dua level, dan membedakan eksistensi (wujud)
menjadi eksistensi (wujud) in concreto dan in intellectu bukan berarti mereka tidak
memasukkan level transendental dari pemahaman. Yang dapat kita simpulkan,
sekali lagi, ialah bahwa contoh pada level transendental hanya dapat diketahui lewat
kehadiran langsung dan kesaksian sejati, bukan melalui bahasa, tulisan, apalagi,
misalnya penelitian ini. Akan tetapi, bukan berarti kita tidak dapat menerapkan
konsep ini pada persoalan filosofis; karena, sebagaimana yang akan kita lihat, Mulla
Sadra menyadari bahwa Suhrawardi tidak membedakan antara dua level rujukan ini
dalam kritiknya atas Ibn Sina, baik pada persoalan distingsi eksistensi (wujud) dan
esensi (mahiyah), dan aksidentalitas eksistensi (wujud). Pada sub-bab sebelumnya,
kita telah mengutip dua pernyataan Suhrawardi terkait dengan posisi ini, mari kita
lihat kutipan ini dalam kerangka baru, yakni kerangka konsep dan realitas eksistensi
(wujud).

“Tidaklah benar untuk menyatakan bahwa “eksistensi (wujud)” dalam dunia


eksternal merupakan sesuatu yang berbeda dari “esensi (mahiyah)” atas dasar
bahwa kita dapat memikirkan esensi (mahiyah) tanpa memikirkan “eksistensi
(wujud)”. (Hal ini tidak benar) karena dengan cara yang sama kita dapat
membentuk suatu gambaran mental mengenai “eksistensi (wujud)” -

161
contohnya, “eksistensi (wujud)” dari seekor burung luar biasa, ‘anqa’ - tanpa
mengetahui apakah ia (y.i. “eksistensi (wujud)” partikular tersebut) benar-
benar eksis (y.i. terwujud in concreto) atau tidak. Karenanya “eksistensi
(wujud)” akan memerlukan “eksistensi (wujud)” lainnya, dan seterusnya dan
selanjutnya hingga akhirnya kita harus mengakui kehadiran rangkaian
“eksistensi (wujud)” tak terhingga yang terwujud di waktu yang sama.”4
Mari kita mengurai argumen Suhrawardi ini menjadi beberapa proposisi:

P1: Tidaklah benar untuk menyatakan bahwa “eksistensi (wujud)” dalam dunia
eksternal merupakan sesuatu yang berbeda dari “esensi (mahiyah)” atas dasar
bahwa kita dapat memikirkan esensi (mahiyah) tanpa memikirkan “eksistensi
(wujud)”.

P2: Karena dengan cara yang sama kita dapat membentuk suatu gambaran mental
mengenai “eksistensi (wujud)” - contohnya, “eksistensi (wujud)” dari seekor
burung luar biasa, ‘anqa’ - tanpa mengetahui apakah ia benar-benar eksis atau tidak.

Dari dua premis ini, Suhrawardi menarik kesimpulan berikut:

K: Karenanya “eksistensi (wujud)” akan memerlukan “eksistensi (wujud)” lainnya,


dan seterusnya dan selanjutnya hingga akhirnya kita harus mengakui kehadiran
rangkaian “eksistensi (wujud)” tak terhingga yang terwujud di waktu yang sama.

Dalam proposisi pertama, Suhrawardi menyatakan bahwa kita tidak dapat


membedakan eksistensi (wujud) dari esensi (mahiyah) atas dasar bahwa kita dapat
memikirkan esensi (mahiyah) x tanpa mengetahui apakah x eksis atau tidak dalam
dunia eksternal, yakni dunia fenomenal. Ini merupakan kritik bagi pendapat, mulai
dari Aristoteles hingga Ibn Sina, bahwa kita dapat memikirkan gagasan x tanpa
mengetahui bahwa x eksis atau tidak di dunia fenomenal. Apa yang salah dari
premis Suhrawardi ini? Ya, Suhrawardi dalam premis ini menyiratkan bahwa
pembedaan yang dibuat oleh para filsuf, terutama Ibn Sina, antara eksistensi
(wujud) dan esensi (mahiyah) adalah pembedaan yang terjadi pada level fenomenal.
Sebagaimana telah sering disinggung sebelumnya, ini merupakan pembacaan yang
salah atas posisi Ibn Sina. Ibn Sina membedakan eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah) bukan pada level fenomenal, tetapi pada level konseptual. Ini adalah
kekeliruan filosofis dan logis dari Suhrawardi yang ditemukan oleh Sadra, dan

4
Dalam Izutsu, lihat kutipan jauh di atas.
162
nantinya akan menjadi akar dari kekeliruan-kekeliruan lainnya yang mengikutinya.
Suhrawardi salah menafsirkan pernyataan Ibn Sina karena ia gagal melihat level
mana yang dirujuk oleh Ibn Sina ketika ia membedakan antara eksistensi (wujud)
dan esensi (mahiyah); Suhrawardi gagal melihat mana pernyataan yang merujuk
kepada level fenomenal, mana yang merujuk kepada level konseptual. Kegagalan
ini diikuti oleh kegagalan-kegagalan filosofis lainnya.

Dalam proposisi kedua, Suhrawardi berupaya memperkuat argumennya,


bahwa, bahkan kita dapat membuat gambaran mental atas eksistensi (wujud) tanpa
perlu membuktikan eksistensinya di dunia eksternal. Ketika kita melihat pernyataan
ini dari kerangka konsep dan realitas eksistensi (wujud), argumen penguat ini akan
menjadi sia-sia. Sedari awal, pembedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah) bukanlah merujuk kepada level fenomenal, dan karenanya argumen ini
gugur seketika. Ibn Sina tidak pernah, dengan memberi contoh bahwa segitiga dapat
dipikirkan esensinya tanpa mengetahui segitiga eksis atau tidak, berniat untuk
membuktikan bahwa eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) segitiga terpisah
dalam level fenomenal. Dan dengan seketika, kesimpulan Suhrawardi bahwa
eksistensi (wujud) memerlukan eksistensi (wujud) agar ia eksis pun gugur seketika
bersama kegagalannya menafsirkan posisi Ibn Sina. Kegagalan filosofis berikutnya
dari Suhrawardi adalah penafsirannya akan konsep aksidentalitas eksistensi (wujud)
yang akan berdampak langsung pada konsepsinya mengenai primasi esensi (asalah
al-mahiyah). Ini akan menjadi pembahasan berikutnya.

b. Primasi Eksistensi/Esensi
Berbeda dengan persoalan distingsi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)
yang diinisiasi oleh Aristoteles hingga mencapai bentuknya pada bangunan filosofis
Ibn Sina, persoalan primasi, baik dalam bentuk primasi eksistensi (asalah al-wujud)
atau primasi esensi (asalah al-mahiyah) merupakan persoalan yang khas dalam
filsafat Islam; ia lahir dari tubuh filsafat Islam sendiri tanpa didahului oleh rumusan
filosofis lain sebelum periode ini. Seperti yang telah disinggung, pada dasarnya
persoalan primasi merupakan suatu bentuk tanggapan bagi rumusan Ibn Sina
mengenai distingsi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) serta aksidentalitas
eksistensi (wujud). Kita setidaknya dapat menyatakan bahwa setelah ibn Sina,

163
terdapat dua gerakan filosofis yang lahir disebabkan oleh dua rumusan ini. Di satu
sisi, terdapat Ibn Rusyd di bagian barat dunia Islam, aliran filosofis ini mengkritik
rumusan Ibn Sina mengenai aksidentalitas eksistensi (wujud), kerangka pemikiran
filosofis ini akhirnya diwarisi oleh umat Kristiani via Aquinas dan lain-lain. Di sisi
lain, terdapat filsuf dari bagian timur Islam yang menanggapi persoalan ini dengan
corak yang berbeda. Di sana kita mendapati Tusi yang mencoba menafsirkan ulang
posisi Ibn Sina terkait dua rumusan filosofis ini, dan terdapat pula filsuf seperti
Suhrawardi yang membawa persoalan ini dalam kerangka yang benar-benar baru.
Pada dasarnya, baik Ibn Rusyd, Tusi dan Aquinas menanggapi rumusan Ibn Sina
untuk kemudian menyatakan bahwa eksistensi (wujud) bukanlah aksiden dalam
artian Aristoteliannya. Baru pada Suhrawardi-lah, tanggapan yang berbeda hadir.
Alih-alih menyatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan suatu aspek utama dari
sesuatu, Suhrawardi menyatakan bahwa eksistensi (wujud) bukanlah sesuatu yang
merujuk kepada realitas. Maka, singkatnya, jika penafsiran atas Ibn Sina di barat
melahirkan rumusan primasi eksistensi (asalah al-wujud) tanpa diiringi oleh lawan
diametrisnya, yakni primasi esensi (asalah al-mahiyah); di timur yang terjadi
adalah lahirnya suatu pemikiran filosofis yang mengkritik rumusan aksidentalitas
ekistensi dan diikuti dengan pernyataan bahwa eksistensi (wujud) tidak memiliki
tempat dalam realitas.

Persis pada pembahasan sebelumnya, kita telah melihat bagaimana dengan


kerangka konsep dan realitas eksistensi (wujud), Mulla Sadra mendapati kekeliruan
Suhrawardi dalam menafsirkan posisi filosofis Ibn Sina. Di sini pun kita akan
menggunakan strategi yang sama dalam melihat bagaimana Suhrawardi mengusung
gagasannya bahwa eksistensi (wujud) tidak memiliki tempat dalam realitas. Pada
bab sebelumnya, kita telah melihat persoalan primasi dengan cukup rinci, mulai
dari pembahasan mengenai substansi dan aksiden dalam korpus Aristotelian, alasan
mengapa persoalan primasi lahir, yang tidak lain dari suatu bentuk penafsiran atas
relasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) yang baru yang berbeda dari rumusan
Ibn Sina, hingga argumen-argumen yang diajukan oleh pengusung prinsip primasi
esensi (asalah al-mahiyah), khususnya Suhrawardi. Maka, kita dapat menyatakan
dengan singkat bahwa persoalan primasi ini lahir dari sebentuk penafsiran tertentu
atas persoalan distingsi eksistensi-eseni dan aksidentalitas eksistensi. Karena itu,
164
strategi Mulla Sadra untuk mengkritik Suhrawardi persisnya merupakan strategi
untuk mengatasi jenis penafsiran tertentu ini; di satu sisi, Suhrawardi membawa
penafsiran tertentu yang baru atas dua problem ini; di sisi lain, Sadra pun membawa
penafsiran tertentu yang baru untuk mengatasi penafsiran tersebut. Dan penafsiran
ini adalah penafsiran berdasarkan kerangka primasi; dan dalam kasus Sadra, kita
dapat menambahkan bahwa, berbarengan dengan kerangka primasi, untuk
membuktikan kekeliruan penafsiran Suhrawardi, Sadra memasukkan satu kerangka
baru, yakni kerangka konsep dan realitas eksistensi (wujud). Kini, mari kita melihat
bagaimana kita menafsirkan argumen primasi esensi (asalah al-mahiyah) dari
Suhrawardi dengan dua kerangka Sadra yang baru ini.

Argumen pertama:

“Jika kita berkata bahwa ketika sesuatu itu non-eksisten, eksistensinya


niscaya tidak terwujud, maka eksistensinya non-eksisten. Ini karena, dengan
anggapan bahwa eksistensinya non-eksisten, ketika kita memikirkan tentang
eksistensi (wujud) dan berkata bahwa ia eksis, menjadi niscaya bahwa konsep
eksistensi (wujud) berbeda dengan benda yang eksis.”5
Argumen kedua:

“Karena itu, jika kita berkata bahwa apa yang sebelumnya kita anggap tidak
eksis menjadi eksis, dan eksistensi (wujud) dari sesuatu yang sebelumnya tidak
terwujud, lalu mewujud, kita menyadari bahwa mewujud itu berbeda dari
eksistensi (wujud). Maka menjadi niscaya bahwa eksistensi (wujud) harus
memiliki eksistensi (wujud) dan kita harus mendefinsikan eksistensi (wujud)
dengan eksistensi (wujud), dan hal ini berlanjut ad infinitum. [Dikatakan
bahwa] suksesi tak terhingga dari hal-hal itu tidaklah mungkin.”6
Mari kita lihat struktur logika Suhrawardi dalam argumen pertama sebagai
berikut:

P1: Jika x tidak eksis, maka eksistensi (wujud) x non-eksisten. Maka, eksistensi
(wujud) x berbeda dengan x.

Dan struktur logika Suhrawardi dalam argumen kedua sebagai berikut:

5
Mehdi Amin Razavi. Suhrawardi and the School of Illumination. (New York: Routledge. 2013)
lihat kutipan pada sub-bab sebelumnya.
6
Mehdi Amin Razavi. Suhrawardi and the School of Illumination. (New York: Routledge. 2013)
lihat kutipan pada sub-bab sebelumnya.
165
P2: x pada titik A tidak eksis, x pada titik B eksis. X berbeda dengan eksistensi
(wujud) x. eksistensi (wujud), untuk eksis memerlukan eksistensi (wujud).

Bagaimana Suhrawardi sampai pada logika tersebut? Pada argumen


pertama, Suhrawardi menyatakan bahwa yang kita temukan dalam realitas ketika
kita berkata bahwa “x eksis” bukanlah x dan eksistensinya; yang ada hanya x.
Karena itu, sebagaimana x memerlukan eksistensi (wujud) agar ia eksis, maka
eksistensi (wujud) juga memerlukan eksistensi (wujud) agar ia eksis. Kita tidak
dapat mengetahui makna dari pernyataan Suhrawardi ini tanpa melihatnya dalam
kerangka filosofis Ibn Sina mengenai distingsi eksistensi-esensi. Sebagaimana telah
dinyatakan sebelumnya, bagi Suhrawardi, Ibn Sina menyatakan bahwa distingsi
antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) ada pada level fenomenal. Jika
posisi Ibn Sina seperti itu, maka pernyataan Suhrawardi adalah suatu tafsiran yang
menarik konsekuensi lebih jauh dari posisi Ibn Sina. Ketika pada level fenomenal
kita mendapati bahwa x eksis, dan bahwa distingsi antara eksistensi (wujud) x dan
x benar-benar ada, maka, pada level ini kita seharusnya juga mendapati bahwa
bukan hanya x yang eksis, tetapi eksistensi (wujud) x juga harus eksis. Artinya, jika,
agar x eksis, ia harus menjadi suatu eksisten (mawjud), begitu pula agar eksistensi
(wujud) eksis pada level fenomenal, ia haruslah menjadi suatu eksisten (mawjud).
Di sinilah strategi logika Suhrawardi dibangun, jika eksistensi (wujud) agar ia eksis
harus menjadi eksisten (mawjud), maka eksistensia memerlukan eksistensib dan
seterusnya ad infinitum. Pada bab selanjutnya, kita akan membahas argumen Sadra
persis dalam konteks kritik atas argumen Suhrawardi ini. Di sini cukup dikatakan
secara singkat asal-usul kekeliruan Suhrawardi. Sekali lagi, Suhrawardi tidak dapat
membedakan pada level mana Ibn Sina merujuk ketika ia berbicara mengenai
distingsi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Argumen Suhrawardi dibangun
atas landasan logis bahwa Ibn Sina benar-benar menyatakan bahwa pada level
fenomenal, terdapat distingsi antara eksistensi (wujud) x dan x. Jika argumen ini
benar, maka seharusnya pada level fenomenal kita harus dapat membedakan mana
eksistensi (wujud) x dan x.

Begitu pula pada argumen kedua, posisi logis Suhrawardi dibangun atas
dasar penafsiran bahwa Ibn Sina menyatakan keberadaan distingsi eksistensi

166
(wujud) dan esensi (mahiyah) pada level fenomenal. Bahwa, dalam penafsiran
macam ini, jika x memerlukan eksistensi (wujud) agar ia eksis, maka begitupun,
agar eksistensi (wujud) eksis, ia memerlukan eksistensi (wujud). Jika x agar eksis
ia harus menjadi eksisten (mawjud), maka eksistensi (wujud), pada level fenomenal,
jika ia eksis, ia harus menjadi eksisten (mawjud). Semua argumen ini akan gugur
dengan sendirinya jika kita melihat posisi Ibn Sina sebagaimana ditafsirkan oleh
Sadra. Jika, dari awal, distingsi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) terjadi
bukan pada level fenomenal, namun konseptual, maka argumen Suhrawardi tidak
berlaku di sini. Argumen Suhrawardi hanya bisa bekerja jika kita menafsirkan
bahwa Ibn Sina benar-benar menyatakan bahwa distingsi antara eksistensi (wujud)
dan esensi (mahiyah) terjadi pada level fenomenal.

Dari argumen inilah kemudian Suhrawardi membangun argumen primasi


esensi (asalah al-mahiyah). Dalam dunia eksternal, yakni pada level fenomenal,
yang kita dapati adalah x, y, z, yaitu eksisten-eksisten. Kita mendapati meja, kursi,
buku, gunung, dan sebagainya, bukan eksistensi (wujud). Jika sesuatu agar eksis
membutuhkan eksistensi (wujud), maka eksistensi (wujud) pun harus membutuhkan
eksistensi (wujud) agar ia eksis. Namun kenyataannya, kita hanya mendapati
eksisten-eksisten. Bagi Suhrawardi, esensi (mahiyah) tidak lain dari eksisten-
eksisten tersebut, yakni meja, kursi, buku dan lain-lain. esensi-esensi partikular
inilah yang eksis dalam level fenomenal. Syarat agar sesuatu eksis, menurut
Suhrawardi, adalah harus menjadi esensi-esensi partikular, yakni esensi (mahiyah)
meja yang eksis menjadi eksisten (mawjud) meja, esensi (mahiyah) buku yang eksis
menjadi eksisten (mawjud) buku. esensi-esensi tersebut eksis di level fenomenal,
dan Suhrawardi melanjutkan, karenanya, esensi (mahiyah) tidak membutuhkan
eksistensi (wujud) agar ia eksis. Sebaliknya, jika eksistensi (wujud) eksis pada level
fenomenal, ia haruslah menjadi suatu eksisten (mawjud), tetapi ia tidak pernah eksis
sebagai eksisten (mawjud), karena apa yang mencirikan eksisten (mawjud) adalah
partikularitas, sementara eksistensi (wujud) merupakan suatu universal. eksistensi
(wujud), sebagai universal, karenanya, tidak lain daripada konsep yang diciptakan
oleh akal kita semata. Suhrawardi berpendapat sebagai berikut:

“Penyifatan eksistensi (wujud) kepada ke-hitam-an, esensi (mahiyah),


manusia dan kuda dianggap sama, dan karenanya konsep eksistensi (wujud)

167
merupakan suatu konsep yang lebih universal dari masing-masing hal tersebut.
Begitu pula konsep esensi (mahiyah) dalam arti mutlaknya serta konsep
kebenaran dan kudrat dari sesuatu dalam artian mutlak mereka. Karenanya,
kami menyatakan bahwa kategori semacam itu (eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah) universal) adalah konsep-konsep mental murni.”7
Dalam argumen ini, Suhrawardi menyatakan bahwa eksistensi (wujud)
disifatkan kepada segala sesuatu dengan setara, penyifatan seperti ini menyiratkan
bahwa eksistensi (wujud) merupakan suatu hal yang universal. Sementara, menurut
Suhrawardi, syarat agar sesuatu dapat eksis di level fenomenal adalah bahwa ia
haruslah partikular; karena eksistensi (wujud) merupakan hal yang universal, maka
ia tidak dapat eksis pada level fenomenal. Inilah argumen Suhrawardi untuk
menafikan eksistensi (wujud) dan menyatakannya sebagai konsep mental semata.
Sekali lagi, kekeliruan Suhrawardi ini lahir dari penafsirannya atas posisi Ibn Sina
mengenai distingsi eksistensi-esensi. Jika eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)
memang dapat ditemui dalam level fenomenal, maka masing-masingnya harus kita
temui sebagai eksisten (mawjud) partikular, tetapi nyatanya tidak: yang kita temui
hanyalah esensi-esensi yang mewujud menjadi eksisten-eksisten partikular, bukan
eksistensi (wujud) yang mewujud menjadi suatu eksisten (mawjud) partikular. Yang
perlu digarisbawahi di sini adalah, Suhrawardi menyatakan bahwa esensi
(mahiyah), dalam kenyataan, setara dengan eksisten (mawjud) partikular.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan ini adalah bahwa, bagi
Suhrawardi, syarat agar sesuatu bisa eksis pada dunia eksternal, atau level
fenomenal, adalah partikularitas, karenanya, sesuatu yang universal seperti
eksistensi (wujud) tidaklah dapat eksis di sini. Pada bab berikutnya, kita akan
melihat bagaimana Sadra mengkritik pernyataan ini dan menyatakan bahwa,
sebaliknya, eksistensi (wujud) merupakan hal yang paling partikular. Pada
pembahasan selanjutnya, Sadra akan melihat bagaimana konsepsi primasi
eksistensi (asalah al-wujud) lebih unggul dibanding primasi esensi (asalah al-
mahiyah) terkait dengan prinsip modulasi. Sebelum pembahasan tersebut, mari kita
lihat bagaimana Mulla Sadra membaca posisi primasi esensi (asalah al-mahiyah)

7
Mehdi Amin Razavi. Suhrawardi and the School of Illumination. (New York: Routledge. 2013)
lihat kutipan pada sub-bab sebelumnya.
168
Suhrawardi dan bagaimana ia mengajukan prinsip primasi eksistensinya sebagai
tandingan atas posisi Suhrawardi.

Kita telah membahas bagaimana Suhrawardi menempatkan eksistensi


(wujud) pada dua level, yakni level fenomenal dan level konseptual. Mari kita lihat
tabel berikut:

Tabel C.1 Posisi eksistensi (wujud) menurut Suhrawardi

Level Realitas Watak eksistensi (wujud)


Eksistensi (wujud) tidak eksis karena pada level ini,
Fenomenal agar sesuatu eksis ia harus menjadi eksisten (mawjud)
partikular, sementara ia berwatak uni-versal
Watak universal eksistensi (wujud) menjadikannya
Konseptual sebagai suatu konsep abstrak yang semata-mata
merupakan ciptaan mental
Eksistensi (wujud) dihilangkan dalam level ini dan
Transendental
digantikan dengan gradasi Cahaya

Suhrawardi menyatakan bahwa pada setiap level, eksistensi (wujud) tidak memiliki
tempat dalam realitas. Penafsiran ini sekali lagi merupakan penafsiran yang
dihasilkan dari penarikan konsekuensi logis atas posisi Ibn Sina menurut
Suhrawardi. Sekarang mari kita lihat bagaimana posisi Suhrawardi ini didahului
oleh penafsirannya atas aksidentalitas eksistensi (wujud) menurut Ibn Sina. Jika,
menurut Ibn Sina, eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi (mahiyah) pada
level fenomenal, maka, agar eksistensi (wujud) dapat eksis, ia harus melekatkan diri
pada suatu eksisten (mawjud). Sebagaimana pengertian aksiden dalam korpus
Aristotelian, aksiden adalah sesuatu yang ada karena ia menetap pada suatu subjek,
yang pada gilirannya, subjek tersebut tidak memerlukan eksistensi (wujud) aksiden
agar ia dapat eksis. Tepatnya, inilah yang diandaikan oleh Suhrawardi ketika
menyatakan bahwa pada level fenomenal, agar eksistensi (wujud) dapat eksis, ia
membutuhkan eksistensi (wujud) dari eksisten (mawjud) partikular.

169
Untuk menandingi posisi Suhrawardi ini, Mulla Sadra harus membuktikan
bahwa pada tiga level realitas, eksistensi (wujud) adalah hal yang utama,
berlawanan dengan posisi Suhrawardi yang menyatakan bahwa pada semua level
tersebut, eksistensi (wujud) tidak memiliki tempat. Mulla Sadra merumuskan posisi
primasi eksistensi dengan menyatakan bahwa dalam tiga level tersebut eksistensi
(wujud) memiliki tempat utama. Mari kita lihat tabel berikutnya.

Tabel C.2. Posisi Eksistensi (wujud) menurut Mulla Sadra

Level Realitas Watak eksistensi (wujud)

Eksistensi (wujud) merupakan hal yang paling


Fenomenal
terbukti dalam level fenomenal.
Eksistensi (wujud) mencakup segala sesuatu secara
konseptual.
Eksistensi (wujud) termasuk ke dalam intelijibel
sekunder filosofis, bukan sekedar kategori abstrak,
Konseptual yakni intelijibel sekunder per se.
Eksistensi (wujud) memungkinkan penilaian logis
menghasilkan kesimpu-lan yang bermakna; tanpa
watak dari konsep eksistensi (wujud), penilaian logis
tidak akan dapat dibangun

Transendental Tuhan adalah Eksistensi Murni

Pada level fenomenal, Mulla Sadra menyatakan bahwa eksistensi (wujud)


merupakan suatu hal yang paling jelas dan paling terbukti, siapapun dapat
memahami makna eksistensi (wujud) pada level fenomenal atau pre-konseptual,
karenanya, pada level ini, eksistensi (wujud) memiliki tempat utama. Berbeda
dengan esensi (mahiyah) yang memerlukan tindakan akal agar ia dipahami. Sebagai
contoh, seorang anak kecil yang tidak mengetahui apa-apa soal Hegel, ketika ia
dihadiahi buku Hegel saat ulang tahunnya, tidak langsung mengetahui apa itu
Hegel, seperti apa filsafatnya, atau apa itu esensi (mahiyah) baik dari Hegel dan

170
filsafatnya tanpa mempelajarinya; tetapi, ia langsung tahu dengan seketika bahwa
buku Hegel tersebut eksis. Ini merupakan bukti bahwa pada level fenomenal,
eksistensi (wujud) lebih utama dalam artian lebih jelas dan terbukti dibandingkan
esensi (mahiyah) dari sesuatu.

Begitu pula pada level konseptual. Eksistensi (wujud) pada level ini
memang merupakan suatu istilah dan kategori abstrak, dari sisi ini, ia memiliki
kemencakupan yang sama seperti universal universal lain. Tetapi kemencakupan
ini berbeda dengan universal lain karena eksistensi (wujud) mencakup segala
sesuatu, termasuk segala macam universal, dan bahkan termasuk konsep ketiadaan
atau non-eksistensi. Dari sisi abstrak ini, eksistensi (wujud) merupakan suatu
konsep yang paling unggul dalam kemencakupannya. Kemudian, dalam disiplin
logika, terdapat beberapa macam intelijibel, yakni intelijibel primer, sekunder, dan
sekunder filosofis. Intelijibel primer adalah suatu pemahaman yang dicapai di mana
penyifatan dan kejadian dari sesuatu terjadi di level fenomenal. Sebagai contoh,
“kabel di depan saya berwarna hitam” penyifatan hitam kepada kabel, dan
terjadinya penyifatan ini terjadi pada level fenomenal, bukan pada level konseptual.
Kedua, intelijibel sekunder. Pada contoh ini, penyifatan dan kejadian penyifatan
tersebut berada pada level konseptual. “Manusia adalah universal”, “manusia” yang
dimaksud di sini merupakan konsep mengenai kemanusiaan, dan universal tentu
merupakan suatu konsep; penyifatan ‘universal’ kepada ‘manusia’ ini merupakan
penyifatan yang terjadi pada level konseptual dan melibatkan dua hal yang sama-
sama berwatak konseptual, bukan fenomenal. Intelijibel sekunder filosofis adalah
pemahaman yang dicapai ketika penyifatan terjadi pada ranah konseptual tetapi
kejadian yang ada berada pada level fenomenal. Misalnya “Seulgi adalah istri
saya”, relasi ‘ke-istri-an’ atau sifat ini tidak kita temui pada level fenomenal dalam
artian yang sama dengan ketika kita berbicara ‘kabel ini berwarna hitam’ di mana
dua hal ini, yakni ‘kabel’ dan ‘hitam’ berada pada level fenomenal. Relasi ‘ke-istri-
an’ merupakan watak yang disifatkan secara konseptual, tetapi merujuk kepada
kenyataan fenomenal, dalam kasus ini, ‘saya’ dan ‘seulgi’; berbeda dari intelijibel
sekunder di mana sifat, penyifatan dan subjek dan objek yang disifati semuanya
merujuk kepada ranah konseptual, intelijibel sekunder filosofis merujuk kepada
level fenomenal, atau dunia eksternal. Ini adalah bukti bahwa pada level konseptual,
171
eksistensi (wujud) juga memiliki posisi utama dan lebih tinggi dibandingkan esensi
(mahiyah).

Seperti yang telah kita katakan sebelumnya, bahwa pada level transendental kita
tidak dapat memberi contoh apa-apa, kita hanya bisa terdiam di sini. Tetapi tidak
bagi Sadra, untuk membuktikan bahwa eksistensi (wujud) pada level transendental
menempati posisi utama, ia dengan cerdik mengambil amunisi intuitif-mistik dari
mazhab Akbariyyun. Singkatnya, pernyataan para filsuf Akbariyyan yang
menyetarakan Allah dengan Eksistensi Murni merupakan argumen yang digunakan
Sadra untuk menyatakan bahwa eksistensi (wujud), pada level transendental
merupakan sesuatu yang utama (hal ini juga akan dibahas pada sub-bab setelah ini,
yakni modulasi eksistensi). Dengan demikian, Sadra telah mengajukan argumen
bagi posisi tandingan atas posisi primasi esensi (asalah al-mahiyah) Suhrawardi.
Kita masih harus membahas bagaimana Sadra menafsirkan ulang gagasan
aksidentalitas eksistensi (wujud) Ibn Sina, tetapi hal ini akan kita bahas pada bab
selanjutnya. Karena, dengan argumen ini semata, posisi Sadra kami yakin telah
mengungguli posisi primasi esensi (asalah al-mahiyah) Suhrawardi.

c. Modulasi Eksistensi
i. Tinjauan Pertama
Kita telah membahas persoalan modulasi eksistensi pada bab sebelumnya
dengan cukup panjang. Sebagaimana persoalan distingsi eksistensi-esensi,
persoalan modulasi ini juga lahir dari teks Aristotelian, khususnya dalam
Metaphysics ketika ia menyatakan bahwa eksistensi (to on) disifatkan kepada
banyak hal berbeda, dikatakan dengan banyak cara, tetapi merujuk kepada suatu
prinsip. Pernyataan Aristoteles ini ada dalam konteks di mana ia sedang
merumuskan suatu sains untuk mempelajari eksistensi qua eksistensi, yakni
metafisika. Suatu sains mensyaratkan sebuah prinsip tertentu yang mencakup
pokok bahasannya, dan karenanya, Metafisika, sebagai suatu sains, harus
menemukan suatu prinsip yang dengannya ia dapat membahas segala sesuatu,
yakni, kenyataan itu sendiri.

Bagi Aristoteles, eksistensi (wujud), atau segala sesuatu yang ada harus dikaji
lewat prinsip tersebut, dan menurutnya, kajian atas substansi sebagai hal yang

172
paling utama dalam kenyataan, adalah jalan yang harus diambil untuk merumuskan
sains tersebut. Terlepas dari perdebatan apakah substansi benar merupakan aspek
terpenting dari kenyataan, yang menurut kami penting dalam konteks penelitian ini
adalah bagaimana, setelah Aristoteles, persoalan mengenai cara di mana eksistensi
(wujud) disifatkan kepada banyak hal, dibahas. Alexander dari Aphrodisias serta
Porphyry melihat penyifatan ini dalam kerangka linguistik-konseptual, mereka
berupaya menentukan di mana letak eksistensi dalam aturan logis dan tatabahasa,
apakah ia masuk kepada sinonim atau homonim. Dan kemudian keduanya
menetapkan bahwa posisi eksistensi adalah posisi tertium quid antara sinonim dan
homonim.

Permasalahan posisi eksistensi dalam logika ini lalu diwarisi oleh filsuf Islam,
khususnya Farabi dan Ibn Sina. Mereka mengembangkan persoalan ini lebih jauh.
Farabi, faktanya, tidak hanya menyatakan bahwa posisi eksistensi (wujud) dalam
skema lingustik ini berada pada tertium quid; ia memberi istilah linguistik baru:
“musyakkak.” Farabi melihat bahwa eksistensi (wujud), sebagaimana Aristoteles,
disifatkan kepada banyak hal dengan cara yang berbeda; dan penyifatan ini berbeda
karena beberapa faktor atau skala; penyifatan eksistensi (wujud) kepada substansi
lebih pantas dibandingkan dengan penyifatannya kepada aksiden. Pada Ibn Sina,
sebagaimana dinyatakan oleh Tusi, skala tersebut diperjelas: penyifatan eksistensi
(wujud) dengan skala prioritas-posterioritas, presedensi-privasi, intensitas-
debiliasi.

Perkembangan konsep modulasi eksistensi, atau persisnya, penyifatan


eksistensi (wujud) atas banyak hal ini pertama-tama berada pada dimensi logis,
yakni menentukan posisi kata eksistensi (wujud) dalam lanskap pemaknaan
linguistik. Namun, Ibn Sina, sekali lagi, membawa persoalan logis atau konseptual
ini menuju persoalan ontologis atau transendental. Tusi membela Ibn Sina dari
kritik Razi, yang menyatakan bahwa Ibn Sina menyamakan eksistensi (wujud)
Pencipta dan ciptaan. Sama seperti kritik Shahrastani, menurut Razi, Ibn Sina,
dengan membagi eksistensi (wujud) menjadi Eksistensi Niscaya dan eksistensi
kontinjen, menyatakan bahwa Tuhan atau Pencipta dan ciptaan merupakan dua
spesies dari satu genus bernama eksistensi (wujud). Tusi menyatakan bahwa

173
kekeliruan Razi disebabkan karena ia tidak memahami bagaimana penyifatan
eksistensi (wujud) dilakukan dengan cara modulasi. Penyifatan dengan modulasi
berarti bahwa eksistensi (wujud) disifatkan kepada banyak hal yang berbeda dengan
cara yang berbeda, yakni dengan skala intensitas yang berbeda.

Peralihan persoalan penyifatan istilah eksistensi (wujud) ke banyak hal dari


level predikamental atau konseptual ke transendental yang sudah diantisipasi oleh
konsep modulasi eksistensi Ibn Sina mencapai puncaknya pada mazhab
Akbariyyun. Dimulai dari korespondensi Tusi, seorang Avicennian, dan Qunawi,
seorang Akbarian, hingga perumusan Qaysari, konsep modulasi eksistensi akhirnya
tidak lagi merupakan persoalan konseptual belaka. Mereka membuat konsep
modulasi eksistensi ini menjadi pembahasan utama dalam konteks transendental,
yakni dengan mengaitkannya dengan pembicaraan mengenai realitas, dari level
fenomenal ke level Ketuhanan. Kita telah melihat bagaimana para mistikus
Akbariyyun, terutama Qaysari, merumuskan suatu konsepsi metafisis yang amat
mendekati rumusan metafisika eksistensial Mulla Sadra sendiri. Pernyataan bahwa
eksistensi (wujud) merupakan hal yang utama dalam kenyataan, bahwa eksistensi
(wujud) disifatkan dengan cara modulasi, dan bahwa Tuhan adalah eksistensi
murni.

ii. Tinjauan Kedua


Sejauh ini kita telah melihat bahwa persoalan modulasi eksistensi ini lahir
dalam konteks predikamental yang dapat ditilik kembali kepada teks Aristotelian,
terutama Metafisika. Pemaparan Aristoteles mengenai bagaimana kata eksistensi
(wujud) dikatakan dengan banyak cara ini berada pada teks di mana Aristoteles
sedang berupaya merumuskan sebuah sains yang dapat mengkaji segala sesuatu;
yakni metafisika sebagai sains yang mengkaji eksistensi qua eksistensi, atau
kenyataan itu sendiri. Dari satu sisi, ini terkait dengan persoalan gramatika dan
logika, yakni bagaimana kata eksistensi (to on), dalam bahasa, dapat disifatkan
kepada banyak hal, yang dalam tulisan Aristoteles, adalah sepuluh kategori, yang
ia bagi menjadi dua divisi besar: mengenai apa yang dapat dikatakan dalam sesuatu,
dan apa yang dapat dikatakan mengenai sesuatu. Kita telah membahas pula bahwa
hal ini dilihat oleh Alexander dari Aphrodisias dan Porphyry sebagai suatu

174
persoalan predikmental: menempatkan kata eksistensi pada posisi tertium quid
antara sinonim dan homonim, atau univokal dan equivokal.

Oleh para filsuf Peripatetik Islam, dari Farabi hingga Ibn Sina, persoalan ini tak
lagi sebatas mencakup level predikamental semata; kita melihat contoh ini dalam
kritik Razi dan Syahrastani terhadap pernyataan Ibn Sina. Apa yang tadinya dilihat
sebagai persoalan predikamental, ditarik oleh Ibn Sina ke dalam persoalan
transendental: bagaimana menyatakan bahwa baik Pencipta maupun ciptaan
“eksis”; Tuhan “ada”, manusia “ada”, segala ciptaan “ada”; apakah kata ‘ada’ di
sini disifatkan dengan sama kepada Tuhan dan ciptaan? Tusi menjawab bahwa Ibn
Sina, dengan rumusan modulasi eksistensi menyatakan bahwa kata ‘ada’, atau
eksistensi (wujud), disifatkan kepada Tuhan dan ciptaan, dan faktanya, kepada
segala sesuatu, tidak secara homonim maupun sinonim: ia disifatkan dengan prinsip
modulasi. Inilah sekilas perkembangan konsep modulasi yang tadinya berada pada
level predikamental dan yang akhirnya dimasukkan dalam konteks transendental.

Meskipun begitu, ketika kita tilik lebih lanjut, batasan antara dua level ini
menjadi lebih kabur, bahkan dalam konteks Aristotelian sendiri. Seperti yang telah
disinggung sebelumnya, persoalan ini kita dapati dalam teks Metafisika yang
merupakan rumusan Aristotelian untuk membangun sebuah sains atas segala
sesuatu. Dari sini, konteks transendental sudah dimaksudkan sedari awal. Modulasi
eksistensi bukan hanya berada pada level predikamental, atau perkara tatabahasa
dan logika semata. Aristoteles tidak sedang merumuskan sebuah sains yang hanya
akan mengkaji istilah-istilah tatabahasa, tetapi kenyataan itu sendiri; dengan kata
lain, mengkaji apa-apa yang ada di luar bahasa, atau apa yang dirujuk oleh kata-
kata yang kita dapati dalam bahasa kita. Poin-poin yang telah kami sebutkan
memang cukup abstrak, karenanya, untuk melihat bagaimana konsep modulasi
eksistensi ini lebih jelas, mari kita berupaya mengambil contoh dari level fenomenal
dan keseharian kita. Dengan membawa persoalan ini pada level fenomenal dan
eksistensial, makna modulasi eksistensi akan lebih jelas. Perlu dicatat pula bahwa
prinsip konsep dan realitas eksistensi (wujud) itu sendiri sedari awal sudah
mengandaikan prinsip modulasi eksistensi. Mari kita melihat, apakah pernyataan
ini dapat dibenarkan.

175
iii. Pembuktian Fenomenologis
Saya sedang duduk di samping rumah. Di depan saya, ada beberapa pohon
pisang yang berjajar tak begitu rapi. Tujuh pohon pisang ini memiliki tinggi yang
berbeda-beda dan ciri yang berbeda pula. Tiga di antaranya memiliki tinggi sekitar
2, 5 meter, dua di antaranya hanya setinggi satu meter lebih sedikit, dua lainnya
merupakan pohon pisang yang hampir layu dengan tinggi kira-kira satu meter. Kira-
kira sepuluh meter di sebelah kiri saya terdapat sungai, di pinggir sungai ada banyak
pohon bambu yang berjejer dari utara ke selatan, hampir sepanjang sungai. Lima
meter di sebelah kanan saya, di sana ada satu pohon alpukat yang tak lagi tumbuh,
dan dua pohon pepaya yang telah ditebang, ketiganya berada di samping kolam
yang ikannya tidak begitu banyak. Dari sudut penglihatan saya, di belakang jajaran
pohon pisang yang ada sekitar satu meter di depan saya, terdapat kandang merpati,
ini merupakan burung-burung yang dipelihara paman saya. Mari kita melakukan
abstraksi dari pengamatan ini.

a) Tahap Pertama
Terdapat tujuh pohon pisang di depan saya, mari kita namai pohon itu dengan
Ppn dengan n mewakili urutan pohon pisang itu dari kiri ke kanan, maka kita dapati
Pp1 hingga Pp7. Tiga pohon pisang yang memiliki tinggi sekitar 2,5 meter kita sebut
sebagai Pp1, Pp2 dan Pp3; dua yang memiliki tinggi satu meter lebih, kita sebut Pp 4
dan Pp5, dua pohon pisang yang hampir layu kita sbeut Pp 6 dan Pp7. Kita dapat
membagi tujuh pohon pisang ini menjadi tiga kelompok berdasarkan tinggi.
Kelompok tertinggi, dengan tinggi rerata 2,5 meter, kelompok tengah, yakni satu
meter lebih, dan kelompok terendah, yakni satu meter. Kita dapat membagi pohon
tersebut menjadi dua kelompok lain, yakni pohon pisang yang layu dan masih
hidup, pohon pisang yang hampir layu adalah Pp6 dan Pp7, sedangkan sisanya,
yakni Pp1 hingga Pp5 masih tumbuh. Kita dapat pula membagi menjadi mana pohon
pisang yang berbuah dan yang tidak atau belum berbuah; dalam hal ini, hanya satu
pohon, yakni Pp3, yang lainnya entah hampir layu ataupun masih terlalu muda. Dan
kita dapat terus melakukan strategi pembedaan ini seterusnya, dengan mencatat,
misalnya, jumlah daun, diameter pohon dan faktor-faktor lainnya.

176
Apa yang dapat kita temukan dalam abstraksi ini? Prinsip modulasi eksistensi
adalah prinsip perbedaan dan prinsip persamaan. Di depan saya terdapat tujuh
pohon pisang, saya dapat membedakan ketujuhnya dengan mendaftar ciri masing-
masing pohon, melihat tingginya atau dari watak lainnya. Di sisi lain, ketujuhnya
memiliki nama yang sama, yakni pohon pisang. Ini adalah prinsip modulasi
pertama: persamaan, sekaligus perbedaan. Persamaan di antara ketujuhnya adalah
bahwa semuanya merupakan pohon pisang; perbedaan di antaranya disebabkan
oleh ciri dari masing-masing pohon yang ada. Faktor Pp merupakan faktor
persamaan antara ketujuhnya, sementara faktor n merupakan faktor pembeda di
antara ketujuhnya. Bagaimana akal saya dapat menyatakan bahwa ketujuhnya
sama-sama merupakan pohon pisang, sembari di sisi lain menyatakan bahwa
ketujuhnya berbeda satu sama lain?

Dengan menggunakan istilah yang kita gunakan dalam penelitian ini, kita dapat
menyatakan bahwa, esensi (mahiyah) ketujuh pohon tersebut sama, yakni Pp; yang
membedakan ketujuhnya adalah keberadaan dari mereka dan ciri-ciri partikular
yang ada, yang kita sebut n. Terdapat suatu esensi (mahiyah) kepohonpisangan,
atau gagasan mengenai ‘pohon pisang’ yang memampukan kita untuk melihat
bahwa sesuatu merupakan pohon pisang atau bukan; saya tidak melihat pohon
pisang di depan saya, misalnya sebagai pohon rambutan. Saya telah mengetahui
definisi pohon pisang, misalnya, “pohon pisang adalah pohon yang membuahkan
pisang, bukan lainnya” dan saya juga telah menambahkan definisi tersebut setiap
kali melihat pohon pisang dalam realitas dan keseharian saya, misalnya, pohon
pisang memiliki kulit dengan tekstur demikian dan demikian.

Inilah yang disebut sebagai forma, atau universal pohon pisang, Pp. Akal kita
memahami universal ini, dan ketika kita mengindera suatu hal partikular, misalnya
saya, saya dapat mengenali bahwa “ini adalah pohon pisang, ini bukan red velvet”.
Dalam pelajaran bahasa, bahkan dari sekolah dasar, kita sudah memahami apa yang
disebut dengan kata umum dan kata khusus. Pelajaran bahasa Indonesia yang
sederhana ini nyatanya merupakan suatu deskripsi Platonis atas realitas. Ketika saya
masih berada di bangku sekolah dasar, ini merupakan salah satu soal yang masih
saya ingat, “Sebutkan kata khusus dari bunga!” Jawaban bagi pertanyaan ini

177
misalnya adalah: bunga mawar, bunga melati, bunga sepatu. Kata umum adalah sisi
universal, kata khusus adalah sisi partikular. Kita dapat menamai ini pula sebagai
perbedaan antara genus dan spesies, hal ini kita temui dalam pelajaran ilmu
pengetahuan alam, yang hakikatnya sama dengan pelajaran bahasa indonesia.
Genus mencakup spesies sebagaimana universal mencakup partikular atau kata
umum mencakup kata khusus. “Bunga” adalah genus dari spesies “bunga mawar”,
“bunga melati” dan “bunga sepatu.” Maka, kita dapat mengambil kesimpulan
sementara bahwa faktor persamaan di sini diwakili oleh: genus, universal, dan kata
umum, sementara faktor perbedaan di sini diwakili oleh: spesies, partikular, dan
kata khusus. Mari kita lanjutkan abstraksi kita pada tahap berikutnya.

b) Tahap Kedua
Mari kita kembali kepada pengalaman saya duduk di samping rumah. Kita telah
mengamati pohon pisang yang ada di hadapan saya, kini mari kita melihat pohon
lainnya. Terdapat jajaran pohon bambu di sepanjang sungai, di desa saya, sungai
ini diberi nama sungai Jurig, konon terdapat banyak makhluk gaib yang terkadang
menampakkan diri, saya sendiri belum pernah melihat salah satunya. Di sebelah
kolam, terdapat pula beberapa pohon, yakni pohon alpukat dan pohon pepaya. Nah,
kita telah mengamati bahwa terdapat banyak pohon di sini: pohon pisang, pohon
alpukat, pohon pepaya, dan pohon bambu. Maka, mari kita ulangi lagi strategi kita
untuk mencari prinsip persamaan dan perbedaan.

Pohon pisang telah kita namai sebagai Pp, mari kita namai pohon yang lain.
Pohon bambu kita namai Pb, pohon pepaya kita namai Ppy, pohon alpukat kita
namai Pa. Faktor yang menjadikan pohon-pohon tersebut berbeda adalah faktor
partikular dari masing-masing pohon, dan yang menjadikan pohon-pohon tersebut
sama ialah gagasan mengenai ke-pohon-an; mari kita sebut P sebagai gagasan
kepohonan. Maka, empat pohon tersebut dapat kita lihat dari faktor persamaan dan
perbedaan ini menjadi: P+p, P+b, P+py dan P+a. P adalah universal kepohonan
yang dibedakan dengan partikular masing-masing pohon. Kita dapat mengulang
contoh soal bahasa indonesia tadi menjadi “Sebutkan kata khusus dari pohon” dan
menjawabnya menjadi pohon pisang (P+p), pohon pepaya (P+py), pohon bambu
(P+b) dan pohon alpukat (P+a). Apa yang membedakan abstraksi tahap kedua ini

178
dengan tahap pertama? Ya, kita mendapati universal yang lebih abstrak. Jika
seseorang menyebut ‘pohon pisang’ kita dapat membayangkan, dalam pikiran kita,
satu contoh dari universal ini, dengan ciri-ciri fisik tertentu; ia memiliki batang,
mungkin jantung sekaligus pisangnya. Tetapi jika seseorang menyebut ‘pohon’
saja, kita tidak dapat menggambarkannya dengan cara itu. Inilah yang disebut oleh
Ibn Sina dengan perbedaan antara universal natural dan universal per se. Pada
contoh universal natural, kita dapat membayangkan satu pohon pisang, tetapi pada
universal, kita tidak dapat membayangkan ciri partikular. Kita telah bergerak dari
sesuatu yang lebih konkret ke sesuatu yang lebih abstrak, dari universal natural ke
universal per se, ketika bergerak dari universal Pp ke universal P. Mari kita masuk
ke tahap berikutnya dari abstraksi ini.

c) Tahap Ketiga
Dari samping rumah saya, saya tidak hanya melihat pohon. Saya juga melihat
kandang burung, kolam, ikan, kerikil, rumah paman saya, dan ketika melihat ke
atas, langit pagi yang agak cerah namun menyimpan tanda-tanda mendung, karena
beberapa hari ini hujan deras selalu ada. Semua hal tersebut ada di hadapan saya:
rumah, kandang, pohon, kerikil, ikan. Saya yakin, saya dapat menjamin bahwa
semua itu ada, seyakin saya dapat menjamin bahwa di depan saya tidak ada Irene,
Wendy, Seulgi, Yeri dan Joy dari Red Velvet, mereka tidak ada di sini, mereka ada
di korea selatan sana. Saya juga tahu pasti bahwa UIN Jakarta tidak ada di sini,
tetapi ada di Ciputat sana. Ini adalah pemahaman fenomenal saya akan sesuatu yang
ada dan tidak ada, pemahaman saya akan ada dan tidak ada. Segala sesuatu yang
telah saya sebut tadi adalah segala sesuatu yang ada, bahkan meskipun tidak ada di
sini, saya yakin ia ada di suatu tempat sana, atau bahkan mungkin ada di pikiran
saya atau imajinasi saya. Dalam abstraksi ini, kita dapat memahami bahwa faktor
yang membuat segala hal tersebut sama adalah bahwa semuanya ada; dan faktor
yang membuat mereka berbeda adalah ciri masing-masing atau watak masing-
masing dari hal tersebut. Ada, atau eksistensi (wujud), karenanya merupakan faktor
yang membuat segala sesuatu itu sama, di sisi lain, esensi (mahiyah) mereka adalah
hal yang membuat mereka berbeda.

179
d) Penjelasan Filosofis
Kita telah melihat dalam pembuktian di atas, prinsip perbedaan dan persamaan.
Pada tahap pertama, kita mendapati bahwa prinsip persamaan yang ada ialah esensi
(mahiyah), atau universal Pp, dan prinsip persamaan yang ada ialah keberadaan
partikular n. Pada tahap kedua, kita mendapati prinsip persamaan yang ada ialah
esensi (mahiyah), atau universal P, dan prinsip perbedaan yang ada ialah py, a, b
dan p: P+py, P+a, P+b, dan P+p. Pada tahap ketiga, kita mendapati prinsip
persamaan yang ada ialah eksistensi (wujud), atau keberadaan, mari kita sebut Ek,
sementara yang menjadi prinsip perbedaan adalah watak partikular dari hal-hal
yang disebut. Gagasan konseptual atas Ek inilah yang disebut sebagai eksistensi
(wujud) pada level konseptual. Kita tahu pasti bahwa semua hal di atas ada, pada
level fenomenal, tetapi ketika kita ditanya, lalu apa yang membuat mereka semua
sama? Lalu, apa itu maksud dari pernyataan bahwa semuanya eksis, semuanya ada?
Ini adalah pertanyaan yang amat sulit dijawab. Kita hanya tahu pasti bahwa
semuanya ada, tetapi apa sebenarnya yang sama di antara mereka? Ketika kita
menyebut bahwa pohon itu ada, burung itu ada, saya itu ada, red velvet itu ada, apa
maksud dari ada di sini? Bagaimana dua hal yang begitu berbeda, seperti batu dan
red velvet, sama-sama dikatakan ada, sama-sama eksis? Batu ini eksis, saya eksis;
di satu sisi, kedua hal ini sama-sama eksis, tetapi di sisi lain, saya juga tidak dapat
berkata bahwa saya dan batu adalah dua hal yang sama, atau bahwa manusia dan
seekor sapi adalah hal yang sama meskipun keduanya eksis. Di satu sisi, sama, di
sisi lain berbeda. Ini adalah prinsip modulasi yang paling penting: eksistensi
(wujud) merupakan prinsip pembedaan sekaligus prinsip persamaan dalam segala
sesuatu. Dengan contoh di atas, setidaknya kita telah melihat gambaran umum dari
prinsip ini. Mari kita merangkum penjelasan mengenai prinsip persamaan dan
prinsip perbedaan dengan tabel berikut.

Tabel D. Prinsip Persamaan & Perbedaan

Tahap Abstraksi Prinsip Persamaan Prinsip Perbedaan


Tahap Pertama Pp n
Tahap Kedua P b/a/py/p
Tahap Ketiga Ek Es

180
Dengan melihat tabel ini, kita dapat menyimpulkan bahwa prinsip
persamaan selalu lebih umum dibandingkan dengan prinsip perbedaan. Gagasan Pp
lebih umum dibandingkan dengan Pp+n; gagasan P lebih umum dibandingkan
dengan P+b/a/py/p, gagasan eksistensi (wujud) lebih umum dibandingkan dengan
esensi (mahiyah). Prinsip persamaan memiliki watak universal atau mencakup,
sementara prinsip perbedaan memiliki watak partikular atau tercakup. Ini yang
dimaksud dengan definisi: memadukan antara prinsip yang lebih umum dengan
prinsip yang lebih khusus untuk mencapai makna dari sesuatu. Pada tahap pertama,
kita mendapati Pp sebagai suatu universal natural yang mencakup n sebagai suatu
kasus partikular, pada tahap kedua, kita mendapati univesal P yang mencakup
esensi (mahiyah) b/p/py/p, masing-masingnya merupakan universal natural; pada
tahap ketiga, kita mendapati eksistensi (wujud) mencakup esensi (mahiyah); dengan
penalaran ini, eksistensi (wujud) nampak memiliki kemencakupan universal,
sedangkan esensi (mahiyah) memiliki watak ketercakupan partikular. Persisnya,
poin terakhir inilah yang justru bertentangan dengan prinsip modulasi eksistensi.
Pada bab 4 kita akan membahas hal ini lebih rinci. Di sini, kita dapat mengatakan
bahwa, sebaliknya, eksistensi (wujud), yakni realitas eksistensi (wujud), tidaklah
berwatak mencakup sebagaimana universal mencakup yang partikular. Dan bahwa
prinsip perbedaan itu tidak diwakili oleh esensi (mahiyah), melainkan eksistensi
(wujud) sendiri. Prinsip modulasi eksistensi adalah prinsip di mana eksistensi
(wujud) menjadi prinsip perbedaan sekaligus prinsip perbedaan. Apa yang
dimaksud dengan hal ini? Sebelum menjawabnya, mari kita kembali pada
pembuktian fenomenologis kita untuk membuktikan bahwa rumusan prinsip
perbedaan dan persamaan pada tahap ketiga merupakan kekeliruan.

Ketiga tahapan ini, perlu dicatat, merupakan tahapan abstraksi, yakni berada
pada level konseptual pemahaman kita. Pada tahapan pertama, kita membedakan
dua aspek, yakni aspek persamaan dan perbedaan, dari pengalaman kita mengamati
pohon pisang. Pengalaman mengamati pohon pisang itu sendiri berada pada level
fenomenal, sebagaimana kita dalam keseharian kita mengamati segala sesuatu yang
bisa diamati; level konseptual pemahaman kita dimulai ketika kita mencari aspek

181
persamaan dan perbedaan ini. Pada percakapan sehari-hari, kita umumnya tidak
menanyakan hal-hal yang terkesan absurd seperti ini: “Mengapa ini disebut pohon
pisang? Dan mengapa pohon pisang yang ini bukan pohon pisang yang itu?” lalu
dilanjutkan dengan “Apa sebenarnya yang menyebabkan suatu pohon pisang
disebut pohon pisang?” Dalam keseharian kita, kita telah menerima dengan begitu
saja gagasan-gagasan ini. Atau, persisnya, kita mengenali pohon pisang secara
empiris, bahkan mungkin sebelum kita mengetahui bahwa suatu pohon disebut
pohon pisang. Andaikan bahwa pelajaran mengenai nama-nama tumbuhan baru kita
peroleh pada kelas 2 SD, sebelum pelajaran tersebut, kita telah mengetahui, kita
telah mengindera suatu pohon yang suatu saat kita ketahui bernama pohon pisang.
Karena itulah, esensi (mahiyah), atau gagasan kepohonpisangan, Pp, diketahui
belakangan; kita tidak disyaratkan untuk mengetahui esensi (mahiyah) ini untuk
mengalami keberadaan pohon pisang. Pengamatan ini memberikan suatu bukti
filosofis bagi pernyataan bahwa agar sesuatu eksis, ia tidak memerlukan esensi
(mahiyah) terlebih dahulu.

Pada ketiga tahapan tersebut, kita telah mengetahui prinsip atau faktor yang
menjadikan beberapa hal sama, dan bahwa prinsip perbedaan ini mengharuskan
watak kemencakupan. Universal natural mencakup kasus partikular, universal
mencakup universal natural, dan terakhir, eksistensi (wujud) mencakup esensi
(mahiyah). Terdapat relasi mencakup dan tercakup di dalamnya. Prinsip persamaan
adalah prinsip mencakup, prinsip perbedaan adalah prinsip tercakup. Namun,
eksistensi (wujud) tidak mencakup segala sesuatu sebagaimana universal mencakup
partikular, atau genus mencakup spesies. Bagaimana kita membuktikannya?

Pada tahapan ketiga, kita mendapati bahwa apa yang membuat segala hal
sama adalah aspek keberadaan, atau eksistensinya: hal hal tersebut semuanya ada.
Ini adalah prinsip persamaan. Lalu, apa yang membuat masing-masing halnya
berbeda? Misalnya, apa yang membuat eksistensi (wujud) manusia dan sapi
berbeda? Jika pertanyaan ini diajukan, maka jawabannya adalah: eksistensi (wujud)
berfungsi menjadi prinsip persamaan, sedangkan esensi (mahiyah) menjadi prinsip
pembedaan. Namun apakah benar begitu? Pertanyaan yang kita ajukan adalah
pertanyaan abstrak, ia bertanya mengenai dua universal, yakni kemanusiaan dan

182
kesapian. Jika pertanyaan kita dibuat menjadi lebih spesifik, hal ini tidak akan
terjadi. Misalnya, “Saya dan sapi sama-sama eksis, apa yang membedakan
eksistensi (wujud) saya, sebagai saya, dan sapi ini, yakni, bukan sapi yang lain?”
atau, kita membuatnya menjadi lebih spesifik, “Saya dan anda sama-sama manusia,
lalu apa yang membuat kita berbeda, meskipun kita sama-sama manusia?” jawaban
ini nampaknya sulit dijawab dengan penjelasan konseptual, karenanya, terdapat
beberapa metafor yang digunakan untuk menjawab pertanyaan ini. Metafor paling
terkenal adalah metafor mengenai cahaya.

Kita mengetahui bahwa terdapat banyak cahaya, ada cahaya matahari, cahaya
lampu, cahaya lilin, cahaya kunang-kunang. Semuanya sama-sama cahaya, lalu apa
yang membedakan cahaya-cahaya tersebut? Yang membedakannya adalah
intensitas, yakni keterangan dan keredupan. Jadi, apa yang membuat semua cahaya
itu sama-sama disebut cahaya adalah karena mereka adalah cahaya, dan juga, apa
yang membuat cahaya mereka berbeda satu sama lain adalah juga karena cahaya.
Dalam hal ini, cahaya sekaligus menjadi prinsip persamaan dan perbedaan. Prinsip
modulasi eksistensi memiliki watak serupa. Apa yang membuat saya dan sapi sama-
sama eksis adalah eksistensi (wujud), dan apa yang membuat eksistensi (wujud)
saya dan sapi berbeda adalah eksistensi (wujud) juga. Apa yang membuat segala
sesuatu eksis, adalah eksistensi (wujud), apa yang membuat eksistensi (wujud)
masing-masing sesuatu berbeda adalah eksistensi (wujud) juga. Ini adalah prinsip
modulasi eksistensi. Mari kita menutup bab ini dengan kutipan dari Mulla Sadra
sendiri mengenai modulasi eksistensi ini:

“Hakikat eksistensi (wujud) yang mencakup segala hal yang eksis tidaklah
sama seperti suatu konsep universal mencakup partikular-partikular.
Sebagaimana telah kami beritahu, hakikat eksistensi (wujud) bukanlah sebagai
genus, spesies, bukan pula aksiden, karena ia bukanlah universal natural.
Justru, kemencakupannya memiliki watak lain, yang tidak dapat diketahui
kecuali oleh para ‘arif, mereka yang “kuat pengetahuannya.”8

8
“The reality of wujud being comprised of existing things is not like a universal concept being
comprised of particulars and its holding valid for them. As we have already informed you, the reality
of wujud is not a genus, nor a species, nor an accident, since it is not a natural universal (kulli tabi’i).
Rather, its comprising is of another kind, which is not known except by gnostics, those who are
“firm in knowledge”.” Masha’ir, ¶ 12, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab
al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham
Young University Press, 2014) h. 9.
183
B. Struktur al-Masha’ir
Setelah pada bab II kita membahas bagaimana konteks intelektual dan
historis di mana Mulla Sadra sebagai seorang sosok historis hadir dan terbentuk,
termasuk pembahasan mengenai tahap-tahap intelektual, sosok-sosok yang
mengiringi Sadra dalam proses intelektual-filosofis ini, serta sosok-sosok yang
pada akhirnya meneruskan tradisi filosofis Sadra, ditutup dengan keterangan
mengenai karya-karya Mulla Sadra; dan pada bab III kita telah membahas pula
bagaimana gagasan yang paling utama dalam keseluruhan bangunan filosofis-
metafisis Sadra, yakni gagasan mengenai eksistensi (wujud), berupaya melacaknya
dari tradisi filsafat yang paling awal, yakni Aristoteles sendiri, hingga pewarisannya
kepada generasi peripatetik Islam, terutama Farabi dan Ibn Sina, lalu
diproblematisir oleh Suhrawardi, yang menjadi konteks formatif paling langsung
bagi horizon metafisis Sadra, dan keberlanjutan yang bisa disebut tidak langsung
pada mazhab Akabriyyun dari tradisi peripatetik yang akhirnya dipadukan oleh
Mulla Sadra sebagai sintesis besar filsafat pada masanya, kita akhirnya sampai
kepada pembahasan terakhir dalam penelitian ini. Seperti yang telah disinggung
pada bab-bab sebelumnya, terutama bab II, teks pokok yang diambil oleh penelitian
ini adalah Kitab al-Masha’ir, yang merupakan salah satu karya filosofis-metafisis
Sadra paling dewasa, dan yang bisa disebut sebagai ringkasan dari metafisika
eksistensial Sadra yang dibahas lebih rinci pada magnum opus-nya, Asfar.

Bab ini tidak berpretensi untuk mengkaji Kitab al-Masha’ir hingga titik
paling rinci. Tidak pula dimaksudkan sebagai suatu terjemah indonesia bagi kitab
ini. Dua hal ini tidak dapat kami laksanakan karena keterbatasan waktu dan tempat,
serta kemampuan dari penulis sendiri. Tujuan dari penelitian ini tercapai jika ia
dapat menjadi suatu pengantar umum bagi pembaca, sehingga pembaca memiliki
ketertarikan lebih jauh untuk mengkaji salah satu teks metafisis yang canggih dan
tak pernah lekang dimakan zaman ini. Strategi kami dalam mengkaji teks ini, dalam
bab ini, ialah dengan memilah, dari Kitab al-Masha’ir, poin-poin (yang dalam
konteks ini adalah paragraf, ¶) yang ada dalam kitab ini, yang sebagian besarnya
telah diterangkan pada bab III. Karenanya, posisi dari bab IV ini adalah posisi
verifikatif atas apa yang telah diterangkan pada bab III. Atau, persisnya, setelah kita
meninjau, dalam bab III, persoalan mengenai eksistensi (wujud) dengan
184
mengandaikan pemikiran filosofis Sadra, pada bab ini kita akan melihat bagaimana
Mulla Sadra menanggapi persoalan-persoalan tersebut, memasukkannya dalam
kerangka persoalan yang baru, memberikan pemecahan-pemecahan filosofisnya,
dengan kata-katanya sendiri.

Dengan pertimbangan itu, apa yang akan kami lakukan pada bab IV ini adalah
menerjemahkan sebagian paragraf dari Kitab al-Masha’ir, menempatkannya dalam
konteks persoalan yang telah dibahas pada bab III, dan menganalisis argumen-
argumen yang ditawarkan Sadra. Karenanya, bab ini dibagi menjadi tiga sub-bab:
Konsep dan Realitas Eksistensi, di mana apa-apa yang dibahas dalam bab tiga
ditinjau ulang, utamanya terkait dengan posisi filosofis dari beberapa filsuf;
Struktur al-Masha’ir, yang bertujuan untuk menjelaskan bagaimana susunan
argumen Mulla Sadra dalam kitab ini; Prinsip Metafisika Eksistensial, di dalamnya
kami hadirkan argumen-argumen Sadra yang telah kami pilih dan sesuaikan dengan
persoalan eksistensi (wujud) sebagaimana telah dibahas pada bab III dan
pertimbangan lain, seperti kelengkapan argumen Sadra sendiri, dan signifikansinya
dalam teks ini dan keseluruhan metafisika eksistensial Mulla Sadra sendiri.

Berikut adalah struktur dari Kitab al-Masha’ir:

Tabel Isi Bab Masha’ir

BAB/SUB-BAB PARAGRAF (¶)

Pengantar ¶ 1-4
Penembusan Pertama ¶ 5-11
Penembusan Kedua ¶ 12-14
Penembusan Ketiga ¶ 15-37
I. Kesaksian Pertama ¶ 16-21
II. Kesaksian Kedua ¶ 22
III. Kesaksian Ketiga ¶ 23
IV. Kesaksian Keempat ¶ 24-26
V. Kesaksian Kelima ¶ 27-30
VI. Kesaksian Keenam ¶ 31-33
VII. Kesaksian Ketujuh ¶ 34-35

185
VIII. Kesaksian Kedelapan ¶ 36-37
Penembusan Keempat ¶ 38-68
I. T&J Pertama ¶ 39-40
II. T&J Kedua ¶ 41-42
III. T&J Ketiga ¶ 43-50
IV. T&J Keempat ¶ 51-52
V. T&J Kelima ¶ 53-55
VI. T&J Keenam ¶ 56-58
VII. T&J Ketujuh ¶ 59-66
VIII. T&J Kedelapan ¶ 67-68
Penembusan Kelima ¶ 69-80
Penembusan Keenam ¶ 81-88
Penembusan Ketujuh ¶ 89-101
I. Kesaksian Pertama ¶ 89-92
II. Kesaksian Kedua ¶ 93
III. Kesaksian Ketiga ¶ 94
IV. Kesaksian Keempat ¶ 95
V. Kesaksian Kelima ¶ 96-97
VI. Kesaksian Keenam ¶ 98-99
VII. Kesaksian Ketujuh ¶ 100
VIII. Kesaksian Kedelapan ¶ 101
Penembusan Kedelapan ¶ 102-141
Penutup ¶ 142-150

Kitab al-Masha’ir, yang kami gunakan sebagai teks pokok dalam penelitian
ini adalah Kitab yang telah diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr ke dalam
bahasa inggris. Nasr menerjemahkan judul kitab ini menjadi Metaphysical
Penetrations. Berdasarkan beberapa pertimbangan maknawi, kami menerjemahkan
judul ini ke bahasa indonesia menjadi Penembusan-Penembusan Metafisik. Nasr
menerjemahkannya menjadi Metaphysical Penetrations berdasarkan pertimbangan
dari Mulla Sadra sendiri dalam kitab ini, persisnya dalam ¶ 4:

186
“Saya telah menyusun risalah ini atas dasar sebuah pengantar dan dua
pemberhentian, masing-masingnya terdiri dari penembusan-penembusan
metafisis. Saya menamainya demikian karena hubungan antara yang tampak dan
yang terwujud, yang terbuka dan yang rahasia.”9
Kami menerjemahkan masha’ir sebagai penembusan, meng-ikuti terjemahan
dari Nasr dan Corbin, dan dengan anjuran dari Sadra sendiri dalam pernyataan di
atas, penembusan bermakna hubungan antara yang nampak dan yang terwujud,
yang terbuka dan yang rahasia. Artinya, karya ini dimaksudkan oleh Mulla Sadra
sebagai sesuatu yang dapat membantu pembaca untuk menembus apa-apa yang ada
di balik sesuatu, yakni yang tampak dan terbuka, menuju apa yang wujud dan
rahasia.10

Kitab al-Masha’ir tersusun dari 150 paragraf, yang dihitung dari pengantar
hingga penutup. Ia dibagi menjadi delapan bab besar berjudul penembusan. Pada
beberapa penembusan, ia dibagi lagi menjadi beberapa sub-bab. Penembusan
Ketiga dibagi menjadi delapan sub-bab yang diberi judul kesaksian, begitu pula
Penembusan Ketujuh. Penembusan Keempat memiliki struktur paling berbeda, ia
merupakan kumpulan tanya jawab imajiner antara Mulla Sadra dan pihak yang
berseberangan dengannya; Penembusan Keempat mencakup delapan pertanyaan
dan jawaban Sadra atasnya. Berikut adalah sinopsis singkat dari masing-masing
bab:

Pengantar. Mulla Sadra memulai karya ini dengan mengucap syukur kepada
Allah, dan memuji Rasulullah, sebagaimana tradisi tulisan filsafat dalam Islam.
Kemudian merendahkan dirinya, sebagai seorang yang paling banyak melakukan
dosa. Kemudian dilanjutkan dengan ajakan Sadra kepada para pembaca untuk
bersama-sama melakukan perenungan atas apa yang ia tulis. Bahwa karya ini ditulis
untuk mereka yang memiliki watak yang sesuai dengannya. Dan ditutup dengan

9
“I have composed this treatise on the basis of an introduction and two stations, each one of which
consists of metaphysical penetrations (masha’ir). I have called them such because of the relationship
between the apparent and the manifested, the open and the secret. I say this, asking God’s aid and
support from the people of His dominion.” Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,
Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:
Brigham Young University Press, 2014) h. 3.
10
Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha'ir: A Parallel English-
Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.
xxxvii.
187
pernyataan mengenai betapa pentingnya persoalan eksistensi (wujud), yang ia bahas
di dalamnya.

Penembusan Pertama. Dalam bab ini, Mulla Sadra menyatakan bahwa


eksistensi (wujud) merupakan sesuatu yang tak dapat didefinisikan karena
terangnya maksud dari eksistensi (wujud) sendiri. Meskipun begitu, esensi
(mahiyah) dari eksistensi (wujud) merupakan yang paling tersembunyi. Ia
menerangkan alasan mengapa eksistensi (wujud) tak dapat didefinisikan.

Penembusan Kedua. Di sini, Mulla Sadra menjelaskan bagaimana watak dari


kemencakupan eksistensi (wujud), di mana watak kemencakupan ini berbeda dari
watak kemencakupan genus atau universal.

Penembusan Ketiga. Mulla Sadra dalam bab ini menjelaskan prinsip-prinsip


mengapa eksistensi (wujud) merupakan hal yang utama dalam kenyataan, bukan
esensi (mahiyah). Terdapat delapan sub-bab, atau kesaksian, yang tersusun dari
argumen-argumen Sadra untuk membuktikan hal ini.

Penembusan Keempat. Dalam bab ini, terdapat delapan persoalan mengenai


eksistensi (wujud) yang diajukan oleh mereka yang meragukan primasi dan realitas
eksistensi (wujud) dan jawaban Sadra atas keragu-raguan mereka.

Penembusan Kelima. Pada bab ini, Mulla Sadra menyatakan bahwa


persoalan-persoalan mengenai eksistensi (wujud), relasinya dengan eksistensi
(wujud), muncul karena para filsuf tidak dapat membedakan konsep dan realitas
eksistensi (wujud).

Penembusan Keenam. Mulla Sadra membahas apa yang dimaksud dengan


pernyataan aksidentalitas eksistensi (wujud).

Penembusan Ketujuh. Di sini, Mulla Sadra memperkuat poin-poin yang


telah ia buat pada penembusan-penembusan sebelumnya dan menjelaskan secara
singkat modulasi eksistensi.

Penembusan Kedelapan. Dalam bab terakhir ini, Mulla Sadra menerapkan


prinsip eksistensi (wujud) dalam level teologis.

188
Penutup. Mulla Sadra menutup karya ini dengan mengaitkan konsep
eksistensi (wujud) dengan emanasi.

Dari delapan penembusan tersebut, kami akan berupaya menggambarkan


prinsip metafisika eksistensial Mulla Sadra. Seperti yang telah disebut, ini
merupakan afirmasi atau penegasan dan penjelasan atas posisi Mulla Sadra dalam
konteks persoalan eksistensi (wujud) sebagaimana telah dibahas pada bab
sebelumnya. Maka, kami akan memasukkan delapan penembusan di atas dan
merangkumnya dalam tiga sub-bab Prinsip Metafisika Eksistensial, yakni.

Primasi eksistensi. Pertama, kita akan membahas pernyataan Mulla Sadra


mengenai pentingnya persoalan eksistensi (wujud) yang ia sebut dalam pengantar,
ditambah dengan pembahasan dalam penembusan pertama dan kedua mengenai
bagaimana eksistensi (wujud) tidak perlu didefinisikan dan bagaimana watak
kemencakupan eksistensi (wujud). Kemudian, berdasarkan apa yang telah kita
bahas pada bab sebelumnya, kita akan melihat bagaimana Mulla Sadra, dalam
penembusan ketiga dan keempat mengambil posisi dalam persoalan primasi ini.

Relasi eksistensi-esensi. Di sini, akan dibahas bagaimana, dalam


penembusan kelima, konsep dan realitas eksistensi (wujud) dijadikan prinsip oleh
Mulla Sadra dalam menjelaskan persoalan eksistensi (wujud) dan khususnya
relasinya dengan esensi (mahiyah). Dan dalam penembusan keenam dimana Mulla
Sadra menyatakan pendapatnya mengenai aksidentalitas eksistensi (wujud).

Modulasi eksistensi. Berbeda dari dua pembahasan sebelumnya, prinsip


modulasi eksistensi dalam Masha’ir tidak memiliki satu bab atau sub-bab khusus,
karenanya, di sini kita akan melihat bagaimana prinsip ini dijelaskan oleh Mulla
Sadra di sepanjang Masha’ir.

Dalam penembusan kedelapan, Mulla Sadra menerapkan prinsip-prinsip


metafisika eksistensial pada persoalan teologis seperti pemaknaan atas Eksistensi
Niscaya, pembahasan mengenai watak al-Qur’an, teori mengenai tindakan Tuhan,
mengenai jiwa, sifat dan nama Tuhan dan juga emanasi. Beberapa poin tersebut
berada di luar cakupan penelitian ini yang memusatkan diri pada pembahasan

189
metafisika eksistensial, yakni pembahasan ontologis dari filsafat Mulla Sadra.
Namun, beberapa poin terkait modulasi akan dibahas.

C. Prinsip Metafisika Eksistensial


1. Primasi Eksistensi
a. Pengantar, Penembusan Pertama & Penembusan Kedua
Sadra mengawali pembahasan primasi eksistensi mulai dari pengantar, yakni di
¶ 4, berikut pernyataannya:

“Karena persoalan mengenai eksistensi (wujud) merupakan dasar dari


prinsip-prinsip filosofis, landasan dari persoalan-persoalan metafisis, dan
kutub yang disekitarnya berputar ilmu mengenai tauhid, ilmu eskatologi, ilmu
mengenai kebangkitan jiwa dan badan, dan hal-hal lainnya yang baru kamilah
yang dapat menjelaskannya dan satu-satunya pihak yang menerangkan makna
mereka, siapapun yang abai akan pengetahuan mengenai eksistensi (wujud),
keabaiannya berada pada pembahasan yang paling penting dari segala
pembahasan dan yang paling agung di antaranya; dan ia akan melalaikannya
dan mengenai rahasaia-rahasaia pengetahuan Ilahi [...]”11
Dalam sub-bab sebelumnya, kita telah melihat bagaimana primasi eksistensi
dibuktikan pada tiga level, yakni level fenomenal atau pra-konseptual, level
konseptual dan level transendental; ini merupakan pernyataan Sadra yang
menetapkan bahwa bahkan pada level filosofis, yakni diskursus filsafat dan
metafisika, eksistensi (wujud), yakni persoalan eksistensi (wujud) menempati posisi
paling tinggi. Bahwa eksistensi (wujud) merupakan persoalan utama yang dibahas
dalam filsafat Sadra merupakan suatu hal yang disepakati oleh semua peneliti, hal
ini dapat pula kita buktikan dalam penelitian ini. Sebagaimana dinyatakan Sadra
dalam kutipan di atas, persoalan mengenai eksistensi (wujud) merupakan dasar dari
segala persoalan filosofis, dari metafisika, psikologi, eskatologi hingga teologi dan
kosmologi. Dalam Masha’ir, tidak semua hal ini dibahas, dan beberapa di antaranya
hanya dibahas sekilas oleh Sadra, jika seseorang ingin melihat argumentasi Mulla
Sadra yang lengkap, maka ia harus membaca Asfar.

Salah satu alasan mengapa penelitian ini diberi judul Metafisika Eksistensial
ialah karena metafisika Mulla Sadra berkisar dalam persoalan mengenai eksistensi

11
Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha'ir: A Parallel English-
Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 3-
4.
190
(wujud). Persoalan eksistensi-esensi, primasi, modulasi, kesemuanya merupakan
dasar dari argumen-argumen Mulla Sadra dalam menjawab permasalahan filosofis
lainnya, hal ini akan kita coba buktikan secara bertahap. Kini mari kita melihat
bagaimana Sadra menyatakan posisinya terkait primasi eksistensi pada level-level
lainnya.

Penembusan pertama hingga penembusan keempat merupakan bab dalam


Masha’ir yang secara rinci membahas persoalan primasi eksistensi, dimulai dari ¶
5 dalam penembusan pertama:

“Kenyataan dari eksistensi (wujud) merupakan kenyataan yang paling


nampak dari segala sesuatu melalui kehadiran dan penyingkapan, dan
esensinya merupakan yang paling tersembunyi di antara hal-hal secara
konseptual. Dari segala sesuatu, konsep mengenainya merupakan sesuatu yang
paling tidak perlu didefinisikan karena kenampakan dan kejelasannya, dan
karena ia menjadi yang paling umum di antara semua konsep dalam
kemencakupannya. Identitasnya ialah yang paling partikular dari semua hal
partikular, baik dalam ketentuan dan kekonkretannya, karena melaluinya
segala sesuatu menjadi konkret, segala sesuatu yang wujud terwujud, dan
segala sesuatu yang jelas menjadi jelas dan partikular [...]”12
Ada beberapa poin yang disampaikan Sadra dalam kutipan di atas. Pertama,
bahwa kenyataan eksistensi (wujud) merupakan kenyataan yang paling nampak dari
segala sesuatu melalui kehadiran dan penyingkapan. Yang dimaksud sebagai
kehadiran dan penyingkapan ini adalah kehadiran eksistensi (wujud) dalam level
fenomenal.13 Eksistensi (wujud) nampak pada level fenomenal, yakni pada level
pre-konseptual ketika kita berada dalam pengalaman sehari-hari. Kita telah
membuktikan hal ini pada bab sebelumnya. Ketika di hadapan kita ada sesuatu,
misalnya, pohon pisang, kita langsung mengetahui makna ‘ada’ dan ‘tiada’ darinya,
kita tahu pasti perbedaan dari makna ‘keberadaan pohon pisang’ dan ‘ketiadaan

12
“The reality of wujud is the most manifest of all things through ptesence and unveiling, and its
quiddity is the most hidden among things conceptually and in its inner reality. Of all things, its
concept is the least in need of definition because of its manifestness and clarity and its being the
most general among all concepts in its comprehensiveness. Its identity is the most particular of all
particular things, in both its determination and concretedness, because through it is made concrete
all that is concrete, is realized all that is realized, and is determined all that is determined and
particularized.” Masha’ir, ¶ 5, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-
Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young
University Press, 2014) h. 6-7.
13
Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha'ir: A Parallel English-
Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.
78.
191
pohon pisang’; inilah yang disebut sebagai jelasnya kenyataan eksistensi (wujud)
pada level fenomenal.

Poin kedua adalah bahwa eksistensi (wujud) merupakan sesuatu yang tidak
perlu didefinisikan sebagaimana hal-hal lain selainnya. Mengapa ia tidak dapat
didefinisikan, dan apa maksud dari pernyataan ini? Sadra menjawabnya pada ¶ 6-
9, berikut Sadra mengawali penjelasan ini pada ¶ 6:

“Mengenai fakta bahwa eksistensi (wujud) tidak dapat didefinisikan,


alasannya ialah bahwa suatu definisi dicapai melalui definisi logis atau
deskripsi. eksistensi (wujud) tidak dapat diketahui melalui definisi karena ia
tidak memiliki genus dan pembedaan spesifik. Maka, ia tidak memiliki definisi
[logis]. Ia tidak pula dapat dideskripsikan, karena ia tidak dapat dipahami
melalui sesuatu yang lebih nampak dan lebih diketahui darinya, tidak pula
melalui suatu bentuk yang setara dengannya.”14

Maksud dari pernyataan ini dapat kita rujuk pada contoh berikut ini. Ketika
kita mendefinisikan sesuatu, kita memadukan dua gagasan, yakni genus atau kata
umum, dan spesies atau kata khusus, misalnya, ketika kita menjelaskan pohon
pisang, kita memadukan genus ‘pohon’ dan spesies ‘pisang’.

Pohon Pisang: Sebuah pohon yang membuahkan pisang


Genus + Spesies
Di bagian kiri, kita mendapati gagasan yang lebih umum, yakni ‘pohon’ dan
di bagian kanan, kita mendapati gagasan yang lebih khusus, yakni suatu ‘pohon’
yang dapat ‘membuahkan pisang’. Jika seseorang bertanya apakah buah dari suatu
‘pohon’? kita tidak dapat memberikan jawaban yang jelas, berbeda dengan
pertanyaan ‘Apa buah dari pohon pisang?’ dengan ini, kita mencapai suatu
universal natural, yakni ‘pohon pisang’. Ini disebut dengan strategi menjelaskan
sesuatu melalui definisi. Dan eksistensi (wujud) tidak dapat dijelaskan dengan cara
ini, karena definisi memerlukan dua bagian, yakni bagian yang lebih umum
dipadukan dengan bagian yang lebih khusus, sementara, Sadra melanjutkan

14
“As for the fact that it cannot be defined, the reason is that a definition is by means of either logical
definition or description. It [wujud] cannot be made known through definition because it has no
genus and no specific difference. Thus, it has no [logical] definition. It cannot be described either,
because it cannot be conceived through anything that is more manifest or better known than it, nor
through a form that is equal to it.” Masha’ir ¶ 6, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical
Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr
(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 7.
192
argumennya bahwa “ia menjadi yang paling umum di antara semua konsep dalam
kemencakupannya”.

Bahwa eksistensi (wujud) merupakan suatu konsep yang tidak dapat


didefinisikan merupakan fakta yang diterima oleh hampir semua filsuf, kita dapat
membandingkan pernyataan Sadra dengan pernyataan dari salah satu filsuf
eksistensialis kontempo-rer. Martin Heidegger, dalam Being and Time, menulis:

“Konsep “Ada” tidak dapat didefinisikan. Kesimpulan ini ditarik dari


universalitasnya yang tertinggi. Dan hal ini benar - jika definitio fit per genus
proximum et differentiam specifical [jika ‘definisi dicapai melalui genus yang
umum dan pembedaan yang khusus”]. Benar, “ada” tidak dapat dipahami
sebagai suatu eksisten. Enti non additur aliqua natura: “Ada” tidak dapat
didefinisikan dengan menyifatkan adaan kepadanya. Ada tidak dapat
diturunkan dari konsep-konsep yang lebih tinggi melalui definisi dan tidak
dapat diwakilkan oleh konsep-konsep yang lebih rendah [...]”15
Heidegger melanjutkan pernyataan di atas dengan pertanyaan, “Jika Ada
tidak dapat didefinisikan, apakah ini berarti Ada tidak dapat dijadikan suatu
persoalan filosofis?” dan menjawab bahwa fakta bahwa Ada tidak dapat
didefinisikan tidak menjadi sebab bagi ketidakmungkinan persoalan filosofis
mengenai Ada. Sama seperti Mulla Sadra, setelah dalam ¶ 4 ia menyatakan bahwa
persoalan eksistensi (wujud) merupakan persoalan paling penting dalam filsafat, di
¶ 5 menyatakan bahwa ia tidak dapat didefinisikan; akan tetapi, Mulla Sadra,
sebagaimana Heidegger, melanjutkan persoalan filosofis mengenai Ada, mengenai
eksistensi (wujud).

Dengan ini, kita telah melihat bagaimana pada level filosofis, persoalan
eksistensi (wujud) merupakan persoalan utama; ini adalah argumen primasi
eksistensi pada level filosofis. Pada level fenomenal, makna dari kenyataan
eksistensi (wujud) dapat dialami oleh siapa saja, ini adalah primasi pada level
fenomenal. Dan pada level konseptual, eksistensi (wujud) merupakan konsep yang

15
“The concept of “being” is indefinable. This conclusion was drawn from its highest universality.
And correctly so - if definitio fit per genus proximum et differentiam specificam [if “definition is
achieved through the proximate genus and the specific difference”]. Indeed, “being” cannot be
understood as a being. Enti non additur aliqua natura: “Being” cannot be defined by attributing
beings to it. Being cannot be derived from higher concepts by way of definition and cannot be
represented by lower ones.” Martin Heidegger, Being and Time: A Translation of Sein und Zeit terj.
Joan Stambaugh (New York: SUNY PRESS, 1996) h. 3.
193
paling mencakup dibandingkan dengan segala konsep lainnya. Mengenai hal ini,
Sadra menyatakan:

“Kenyataan mengenai eksistensi (wujud) yang mencakup hal-hal yang eksis


tidaklah sama seperti suatu konsep universal yang mencakup partikular-
partikular dan bagaimana ia membenarkannya. Seperti yang telah kami
beritahukan, kenyataan mengenai eksistensi (wujud) bukanlah suatu genus,
bukan pula suatu spesies, aksiden, karena ia bukanlah suatu universal natural.
Justru, kemencakupannya merupakan suatu jenis lain, yang tidak diketahui
kecuali oleh para ‘arif, mereka yang “kuat dalam pengetahuan”.”16
Mengenai bagaimana eksistensi (wujud) mencakup segala sesuatu telah kami
bahas pada bab sebelumnya. Kini mari kita lanjutkan membahas bagaimana Sadra
melanjutkan argumen primasi eksistensi ini. Setelah pada bagian akhir dari
pengantar ia membahas mengenai primasi eksistensi pada level filosofis, kemudian
pada penembusan pertama, ia menjelaskan bahwa pada level fenomenal, primasi
eksistensi ditunjukkan dengan jelasnya makna eksistensi (wujud), dan dilanjut
dengan penjelasan mengenai eksistensi (wujud) yang pada level konseptual
mencakup segala sesuatu sampai penembusan kedua. Dari bagian pengantar hingga
penembusan kedua, Sadra telah menunjukkan primasi eksistensi pada level-level
tersebut. Pada penembusan ketiga dan keempat, Sadra memperinci prinsip primasi
eksistensi ini. Penembusan ketiga dibagi menjadi delapan kesaksian mengenai
prinsip primasi eksistensi, sementara penembusan keempat dibagi menjadi delapan
pertanyaan untuk mempertegas posisi primasi yang sudah dibahas pada
penembusan ketiga. Mari kita lihat bagaimana Sadra menjelaskan primasi ini pada
dua penembusan ini.

b. Penembusan Ketiga
Di penembusan ketiga, Sadra memberikan delapan kesaksian, yang berisi
argumen untuk menegaskan prinsip primasi eksistensi. Berikut tabel rincian
argumen dalam penembusan ketiga:

16
“The reality of wujud being comprised of existing things is not like a universal concept being
comprised of particulars and its holding valid for them. As we have already informed you, the reality
of wujud is not a genus, nor a species, nor an accident, since it is not a natural universal (kulli tabi’i).
Rather, its comprising is of another kind, which is not known except by gnostics, those who are
“firm in knowledge”.” Masha’ir, ¶ 12, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab
al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham
Young University Press, 2014) h. 9.
194
Tabel Rincian Argumen pada Penembusan Ketiga

PARAGRAF ARGUMEN

Kesaksian Pertama
¶ 15 - 16 Eksistensi (wujud) adalah yang nyata
¶ 17 Makna eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)
Eksistensi (wujud) tidak disifatkan melalui Predikasi
¶ 18
Umum
Eksistensi (wujud) adalah eksistensi (wujud) dari eksisten
¶ 19 esensi (mahiyah)/verifikasi fenomenal dari eksistensi
(wujud)
Eksistensi (wujud) in concreto berada pada level
¶ 20 fenomenal; eksistensi (wujud) per se berada pada level
transendental; in concreto = kontinjen
¶ 21 Penyebab munculnya konsep umum eksistensi (wujud)
Kesaksian Kedua
¶ 22 Makna in concreto
Kesaksian Ketiga
¶ 23 Primasi eksistensi via Predikasi
Kesaksian Keempat
Jika eksistensi (wujud) tidak eksis, tiada yang eksis:
¶ 24
penjelasan via esensi (mahiyah)
Reformulasi makna Eksistensi Niscaya, dilanjut ke ¶ 28-
¶ 25
30 via realitas relasi
Kesaksian Kelima
Eksistensi (wujud) memiliki prinsip partikular dan
¶ 27 individuasi, sementara esensi (mahiyah) memiliki prinsip
universal
Kesaksian Keenam
Makna aksidentalitas, penyifatan eksistensi (wujud) atas
¶ 31-33
esensi (mahiyah)
Kesaksian Ketujuh

195
Kelanjutan makna aksidentalitas (makna aksiden,
¶ 34-35
substratum)
Kesaksian
Kedelapan
¶ 36 Argumen primasi via modulasi dan sanggahan atasnya
Penegasan bahwa eksistensi (wujud) itu tunggal, sebagai
¶ 37
antitesis ¶ 36

Sebagaimana dapat dilihat pada tabel di atas, pada Penembusan Ketiga,


Kesaksian Pertama, apa yang ingin dinyatakan Sadra adalah bahwa eksistensi
(wujud) merupakan yang paling nyata dan yang paling pantas disebut sebagai yang
eksis. Setelah menjelaskan mengenai hal ini, lalu bagaimana watak esensi
(mahiyah) jika dilihat dari kerangka ini. Lalu, dengan memasukkan eksistensi
(wujud) dan esensi (mahiyah) dalam penjelasan ini, Sadra menjelaskan relasi
keduanya, menjelaskan bahwa eksistensi (wujud) tidak lain dari eksistensi (wujud)
suatu eksisten (mawjud) esensial. Dan menutup kesaksian pertama dengan
menjelaskan mengapa gagasan mengenai eksistensi (wujud) secara konseptual
dibuat menjadi sesuatu yang universal atau disifati dengan predikasi umum. Mari
kita lihat argumen ini dengan lebih rinci.

Eksistensi (wujud) adalah yang nyata

“Kenyataan dari segala sesuatu adalah eksistensi (wujud)-nya, melaluinya


akibat-akibat dan keadaan-keadaan eksistensial-nya dihasilkan. Eksistensi
(wujud), karenanya merupakan yang paling sesuai dari segala hal untuk
memiliki kenyataan karena segala sesuatu menjadi pemilik kenyataan
melaluinya; eksistensi (wujud) merupakan kenyataan dari segala sesuatu yang
memiliki kenyataan, dan ia tidak memerlukan, dalam kepemilikannya atas
kenyataan, kenyataan lainnya. Ia ada melalui dirinya dalam dunia eksternal,
dan segala sesuatu - saya memaksudkannya sebagai esensi-esensi - eksis di
dunia eksternal melaluinya, bukan melalui diri mereka.”17

17
“The reality of everything is its wujud, through which its effects on it and its [existential]
conditions result. Wujud is, therefore, the most appropriate of all things to posses reality because
everything else becomes the possessor of reality through it; it is the reality of all that possesses
reality, and it does not need, in its possessing reality, another reality. It is by itself in the external
world, and other things - by which I mean the quiddities - exist in the external world through it, not
by themselves.” Masha’ir, ¶ 16, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-
Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young
University Press, 2014) h. 11.
196
Kutipan ini harus dipahami dalam kerangka perdebatan antara primasi
eksistensi dan primasi eksistensi. Dalam bab sebelumnya, kita telah melihat
bagaimana masing-masing argumen diajukan untuk mendukung salah satu posisi.
Di sini Sadra mewakili posisi primasi eksistensi di mana eksistensi (wujud)
dikatakan sebagai yang paling nyata, dan yang paling pantas disebut kenyataan.
Sementara eksistensi (wujud) agar eksis tidak memerlukan hal lain, esensi
(mahiyah) untuk eksis harus memerlukan eksistensi (wujud). Ini adalah poin Sadra
yang disampaikan oleh Sadra dalam kutipan di atas. Segala sesuatu eksis karena
eksistensi (wujud), namun eksistensi (wujud) tidak memerlukan eksistensi (wujud)
agar ia eksis, karena eksistensi (wujud) adalah kenyataan itu sendiri.

Pada ¶ 17 – 21, Sadra melanjutkan penalaran dari posisi ini. Pertama, ia


memasukkan esensi (mahiyah) dalam kerangka ini sebagai berikut:

“Apa yang kita maksudkan dengan hal ini ialah bahwa, untuk semua konsep
- seperti, misalnya, manusia - ketika kita berkata bahwa ia memiliki suatu
kenyataan atau eksistensi (wujud), hal ini berarti bahwa di dunia eksternal ada
sesuatu yang mengenainya kita dapat berkata bahwa ini adalah seorang
manusia. Hal yang sama berlaku pada kuda, langit, air, api, dan nama-nama
lainnya. Konsep-konsep yang memiliki individu-individu eksternal adalah
nama-nama yang menerangkan mereka. [...]”18
Di sini, Sadra membedakan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah).
Di mana esensi (mahiyah) disamakan dengan ‘nama’, ‘konsep’ yang ditegaskan
keberadaannya di dunia eksternal karena ‘eksistensi (wujud).’ Nama, atau konsep
di sini bisa merupakan universal natural atau universal per se, sementara hal yang
menegaskan keberadaannya di dunia eksternal adalah eksistensi (wujud) itu sendiri.
Nama, atau konsep ‘manusia’ misalnya, hanya dapat eksis jika di dunia eksternal,
ada sesuatu yang menegaskan keberadaannya, sesuatu inilah yang disebut sebagai
eksistensi (wujud). Sadra melanjutkan bahwa, karenanya, eksistensi (wujud) tidak
disifati melalui predikasi umum, sebagai berikut:

“Saya tidak berkata bahwa konsep mengenai kenyataan atau eksistensi


(wujud), yang merupakan suatu konsep yang terbukti-sendiri, dapat dikatakan

18
“What we mean by it is that, for all concepts - as, for example, human - when we say that it
possesses a reality or wujud, it means thatthere exists in the external world something about which
we say and verify that it is a human being. The same holds true for horse, sky,w ater, fire, and other
titles. The concepts that possess external individuals are titles verifying them.” Masha’ir, ¶ 17, Mulla
Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text
translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 11.
197
memiliki kenyataan atau eksistensi (wujud) melalui predikasi umum. Justru, ia
memiliki kenyataan melalui predikasi utama, yang berbeda dari predikasi
umum.”19
Kita telah membahas mengenai tiga jenis intelijibel, yakni umum, utama, dan
filosofis pada bab sebelumnya. Predikasi utama adalah apa yang kami maksud
sebelumnya dengan intelijibel primer. Setelah menyatakan bahwa penyifatan
kepada eksistensi (wujud) merupakan penyifatan utama, atau primer, Sadra
menutup kesaksian pertama dengan menjelaskan apa yang dimaksud ketika
seseorang menyatakan bahwa eksistensi (wujud) itu eksis. Ini terdapat di akhir ¶ 19:

“[...] Dalam cara yang sama, fakta bahwa eksistensi (wujud) ini eksis dalam
kenyataan bermakna bahwa eksistensi (wujud) tersebut eksis dengan
sendirinya dan bahwa segala hal eksis melaluinya, bukan bahwa terdapat suatu
eksistensi (wujud) lain bagi eksistensi (wujud) yang eksternal darinya dan
merupakan suatu aksiden baginya, melalui sejenis aksidentalitas - meskipun
secara hipotesis, seperti dalam kasus aksiden-aksiden analitik [yakni genus dan
differentia] berlawanan dengan suatu esensi (mahiyah) [nyata], seperti
manusia. Karenanya, makna dari [seorang manusia] eksis adalah bahwa
sesuatu in concreto adalah manusia, bukan bahwa sesuatu in concreto adalah
eksistensi (wujud). Makna bahwa eksistensi (wujud) eksis adalah bahwa
sesuatu in concreto eksis, dan ini adalah kenyataan.”20
Kita dapat membaca kutipan di atas dengan membandingkan dua jenis
kenyataan, yakni kenyataan eksistensi (wujud) dan kenyataan esensi (mahiyah).
Esensi (mahiyah) sesuatu disebut nyata jika, misalnya, esensi (mahiyah) atau nama
atau konsep ‘manusia’ dapat ditemui di dunia luar (in concreto), karenanya,
gagasan semata mengenai manusia tidaklah cukup agar ia dapat eksis; ini artinya,
agar suatu esensi (mahiyah) eksis, harus ada sesuatu yang menegaskannya di dunia
eksternal, dan sesuatu ini adalah eksistensi (wujud). Sementara, eksistensi (wujud)

19
“I do not say that the concept of reality or wujud, which is a self-evident concept, can be said to
have reality or wujud through common predication, because the corroboration of every title by itself
does not require that it be throigh common predication. Rather, it is through primary predication,
which is different from common [predication].” Masha’ir, ¶ 18, Mulla Sadra, The Book of
Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed
Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 12.
20
“In the same way, the fact that this wujud exists in reality means that wujud exists by itself and
that other things exist through it, not that there is for wujud another wujud that is external to it and
an accident for it, through some kind of accidentality - even hypothetically, as in the case of
analytical accidents [meaning genus and differrentia] in contrast to [a real] quiddity, such as human
being. Hence, the meaning of [human being] existing is that something in concreto is human, not
that something in concreto is wujud. The meaning of wujud existing is that something in concreto
is wujud, and it is real[ity] (haqiqah).” Masha’ir, ¶ 19, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical
Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr
(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 12.
198
tidaklah demikian. Mengatakan bahwa eksistensi (wujud) eksis di dunia eksternal
berarti bahwa sesuatu, di dunia luar eksis, bukan bahwa suatu konsep mental
bernama ‘eksistensi (wujud)’ dapat kita temui dalam dunia eksternal. Lalu apa yang
dimaksud dengan dunia eksternal dan in concreto, Sadra menjelaskan dalam ¶ 20
dan 22:

“Terbukti dan jelas bahwa ketika kita berkata “in concreto” dan “dalam
pikiran” dalam pernyataan kita “Hal ini eksis in concreto” dan “Hal itu eksis
dalam pikiran,” kita tidak memaksudkan kategori penerimaan, tempat, atau
substrata. Justru, makna dari sesuatu ada in concreto adalah bahwa ia memiliki
eksistensi (wujud), yang darinya lahir akibat-akibat dan keadaan-keadaan
[eksistensial]; dan [makna dari] ia berada dalam pikiran adalah kebalikan
darinya. [...]”21
Kemudian,

“Ketahuilah bahwa segala eksisten (mawjud) in concreto itu lain dari


eksistensi (wujud) [murni]; dan di dalamnya terdapat tanda-tanda penyusunan,
meskipun hanya secara rasional, berlawanan dengan eksistensi (wujud) murni.
Dan karena hal ini, para filsuf telah berkata: Segala eksistensi kontinjen -
yakni, segala hal yang memiliki esensi (mahiyah) - merupakan suatu pasangan
tersusun, dan tidak ada di antara esensi (mahiyah) yang merupakan suatu
kenyataan sederhana. [...]22
Di sini menjadi jelas bahwa apa yang dimaksud oleh Sadra sebagai in
concreto adalah kenyataan pada level fenomenal, dan pada level ini, kita mendapati
keberadaan eksistensi-eksistensi kontinjen. Ditambah bahwa pada level ini,
eksistensi (wujud) selalu memiliki esensi (mahiyah) atau nama baginya dalam
pikiran kita. Dan bahwa perbedaan antara in concreto dan dalam pikiran bukanlah
perbedaan antara dua tempat, melainkan perbedaan antara yang eksis di dunia
eksternal, di mana segala eksisten (mawjud) memiliki akibat dan dampak
eksistensial, dan antara yang eksis dalam pikiran di mana suatu esensi (mahiyah)

21
“It is evident and clear that when we say “in concreto” and “in the mind” in our statements “This
exists in concreto” and “That exists in the mind,” we do not mean the categories of receptacles,
places, or substrata. Rather, the meaning of something being in concreto is that it possesses wujud,
from which issue effects and [existential] conditions; and [the meaning of] its being in the mind is
the reverse of this.” Masha’ir, ¶ 22, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-
Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young
University Press, 2014) h. 13.
22
“Know that every existent in concreto is other than wujud; and there is in it a blemish of
composition, even if it be only rationally, in contrast to pure wujud. And because of this, the
philosophers have said: All contingent beings - that is, all things that possess quiddity - are a
compound pair, and there is nothing among the quiddities that is a simple reality.” Masha’ir ¶ 20,
Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic
text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 12.
199
tidak memiliki akibat dan dampak eksistensial. Mari kita contohkan pernyataan ini
dengan keberadaan api. Api, di dunia eksternal memiliki sifat panas dan dapat
membakar, sementara dalam pikiran, yakni esensi (mahiyah) atau konsep atau
gagasan mengenai api tidak memiliki daya membakar seperti yang ia miliki pada
dunia eksternal.

Demikian adalah runtutan argumen Mulla Sadra yang menegaskan prinsip


bahwa eksistensi (wujud) adalah yang nyata. Kemudian, mari kita lihat argumen
berikutnya, yakni argumen primasi eksistensi via predikasi. Inti dari argumen ini
ialah bahwa, agar suatu predikasi, atau penyifatan itu memiliki konsistensi logis,
berlawanan dengan kontradiksi logis, ia harus mengandaikan bahwa eksistensi
(wujud) itu nyata di dunia eksternal. Hal ini disampaikan Sadra pada ¶ 23:

“Jika keberadaan dari hal-hal tergantung kepada esensi (mahiyah) mereka


dan bukan pada sesuatu yang lain [yakni, eksistensi (wujud)], maka tidak
mungkin kita dapat menyifatkan beberapa di antara mereka ke beberapa
lainnya, dan untuk menyifatkan sesuatu ke sesuatu lainnya, seperti ketika kita
berkata, “Zayd merupakan suatu makhluk hidup” dan “Manusia adalah suatu
makhluk yang berjalan,” karena makna dari predikasi dan penegasan atasnya
merupakan penyatuan antara dua konsep berbeda dalam eksistensi (wujud).
Dalam cara yang sama, penilaian atas sesuatu [terkait] dengan hal lainnya
[yakni, menyatakan penilaian mengenai sesuatu yang dibenarkan mengenai
sesuatu lainnya] terdiri dari penyatuan mereka dalam eksistensi (wujud) dan
perbedaan dalam konsep dan esensi (mahiyah). Lebih jauh, apa yang membuat
perbedaan di antara mereka berbeda dari apa yang menyebabkan penyatuan;
dan kepada hal ini, dirujuklah perkataan bahwa predikasi meniscayakan
penyatuan in concreto dan perbedaan dalam pikiran. Jika eksistensi (wujud)
tidak berbeda dari esensi (mahiyah), aspek penyatuan tidak akan berbeda dari
aspek perbedaan. [...]”23

23
“If the existentiality of things were dependent upon their quiddities and not upon something else,
then it would be impossible to attribute some of them to others and to attribute something to
something else, such as when we say, “Zayd is a living being” and “Man is a being who walks,”
because of the meaning of predication and its verification is the unification of two different concepts
in existence.
In the same way, the judgment of something [pertaining] to something else [that is, to
pronounce judgment for something holding true for something else] consists of their unification in
existence and difference in concept and quiddity. Furthermore, what causes difference among them
is different from what brings about unification; and to this refers the saying that predication
necessitates unification in concreto and difference in the mind. If wujud were not different from the
quiddity, the aspect of unification would not be different from the aspect of difference.” Masha’ir,
¶ 23, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-
Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.
14.
200
Setelah kita mengetahui perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah), dan antara in concreto dan dalam pikiran, kita dapat mengerti maksud
dari kutipan di atas dengan jelas. Sadra mencontohkan kalimat “Zayd merupakan
suatu makhluk hidup.” Dari kalimat ini, terdapat dua esensi (mahiyah), nama, atau
konsep, yakni “Zayd” dan “makhluk hidup.” Aturan logis dari penyifatan sesuatu
atas sesuatu harus mengandaikan prinsip perbedaan sekaligus persamaan; hal ini
telah kita bahas pada bab sebelumnya. Untuk menyifati “Zayd” dengan konsep
“makhluk hidup” harus terdapat perbedaan antara makna keduanya, jika tidak,
maka kalimat di atas menjadi bermakna “Zayd adalah Zayd” atau “makhluk hidup
adalah makhluk hidup”, suatu tautologi. Maka, agar suatu kalimat penyifatan
memiliki makna, ia harus mengandung setidaknya dua konsep yang berbeda. Kita
paham bahwa makna “Zayd” dan “makhluk hidup” secara rasional berbeda.
Namun, penilaian atau penyifatan logis tidak hanya memerlukan prinsip perbedaan,
ia memerlukan prinsip persamaan. Apa yang kita nilai sebagai “Zayd” dan
“makhluk hidup”, dalam realitas in concreto, haruslah merujuk kepada satu objek,
yakni Zayd, eksisten (mawjud) Zayd, atau keberadaan Zayd di dunia eksternal. Jika
keduanya tidak bersatu di dunia eksternal, maka penilaian atau penyifatan logis
tidak berlaku.

Mari kita gunakan contoh lainnya. “Irene adalah seorang wanita yang cantik”.
Dalam kalimat ini, terdapat tiga nama, konsep, atau esensi (mahiyah), yakni
“Irene”, “wanita”, dan “cantik”. Ketiga nama ini berbeda secara konseptual, atau
dalam pikiran. Dan, jika kita benar-benar ingin melakukan suatu penilaian atau
penyifatan logis, maka ketiga nama, konsep, dan makna yang berbeda tersebut
haruslah merujuk kepada satu objek: yakni Irene di dunia eksternal, yang
merupakan seorang wanita, dan juga seorang yang cantik. Inilah maksud dari
hukum penyifatan yang mensyaratkan perbedaan di dalam pikiran dan persatuan di
dunia eksternal. Dengan ini, sekali lagi Sadra menegaskan bahwa eksistensi (wujud)
harus eksis di dunia eksternal, dan tanpa ia eksis di dunia eksternal, penyifatan atau
penilaian logis hanya akan berujung kepada kontradiksi logis dan kehilangan
makna. Sadra kemudian melanjutkan penegasan ini dengan menyatakan bahwa, jika
eksistensi (wujud) tidak eksis di dunia eksternal, maka tidak ada yang dapat eksis.

201
“Jika eksistensi (wujud) tidak eksis, tidak ada yang akan eksis. Kesesatan
dari akibat logis ini meniscayakan kesesatan dari sebab logis. Penjelasan dari
akibat logis ini adalah sebagai berikut: Jika esensi (mahiyah) dilihat pada
dirinya, terbebas dari eksistensi (wujud), maka ia non-eksisten. Begitu pula,
jika ia dilihat pada dirinya, terbebas dari keadaan eksisten (mawjud) atau non-
eksistensi, melalui pertimbangan ini, ia tidaklah eksisten (mawjud) ataupun
non-eksisten.
Dan jika eksistensi (wujud) tidak eksis dalam dirinya, tidak ada yang dapat
dikukuhkan bagi sesuatu yang lain, karena menegaskan sesuatu bagi sesuatu
yang lain - atau pelekatannya dengan sesuatu yang lain, atau pertimbangan
dengannya - itu sekunder bagi eksistensi (wujud) dari apa yang berdiri secara
kukuh atau yang mensyaratkan eksistensinya. Jika, kemudian, eksistensi
(wujud) tidak eksis pada dirinya, dan juga [jika] esensi (mahiyah) tidak eksis
pada dirinya, maka bagaimana sesuatu dapat eksis? esensi (mahiyah) tidak
dapat eksis [pada dirinya]. [...]”24
Sekali lagi, kita dapat memahami makna dari kutipan di atas dengan jelas
setelah mengetahui watak baik dari esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud) dan
makna dari in concreto dan “dalam pikiran.” esensi (mahiyah), nama, atau konsep,
merupakan sesuatu yang memiliki watak mental, ia ada di dalam pikiran. Agar suatu
esensi (mahiyah) eksis, harus ada sesuatu yang menegaskan keberadaannya di dunia
eksternal, sesuatu ini adalah eksistensi (wujud), yakni eksistensi (wujud) dari esensi
(mahiyah) tersebut sebagai suatu eksisten (mawjud) di dunia eksternal. Agar esensi
(mahiyah) ‘manusia’ yang berwatak mental atau rasional eksis, harus ada sesuatu
di dunia eksternal yang menegaskan keberadaannya, yakni manusia ini, Zayd ini,
Irene ini, Yeri ini, Rose ini, dan semua individu manusia yang dapat kita tunjuk di
dunia eksternal. esensi (mahiyah) memerlukan sesuatu agar ia dapat eksis di dunia
eksternal, yakni eksistensi (wujud). Tanpa eksistensi (wujud), tanpa sesuatu yang
menegaskan keberadaannya di dunia eksternal, esensi (mahiyah) hanyalah esensi
(mahiyah) belaka. Karenanya Sadra berkata, “jika ia dilihat pada dirinya, terbebas

24
“If wujud were not existent, nothing would exist. The falsity of the consequent necessitates the
falsity of the antecedent. The explanation of the consequent is as follows: If the quiddity is
considered by itself, independent of wujud, then it is nonexistent. Likewise, if it is considered by
itself, irrespective of existence and nonexistence, through this consideration it would be neither
existent nor nonexistent.
And if wujud were not to exist in itself, nothing would be established for something else,
because affirming something for something else - or its attachment to another thing, or its
consideration with it - is secondary to the existence of that which is firmly established or requires
its existence. If, then, wujud were not to exist in itself, and also [if] quiddity were not to exist in
itself, and also [if] quiddity were not to exist in itself, then how could anything ever be existent?
Quiddity does not exist [by itself].” Masha’ir, ¶ 24, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical
Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr
(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 15.
202
dari keadaan eksisten (mawjud) atau non-eksistensi.” esensi (mahiyah), yang pada
dirinya rasional, konseptual, mental, dalam pikiran, adalah esensi (mahiyah) belaka,
tanpa keterkaitannya dengan sesuatu yang menegaskan keberadaannya di dunia
eksternal, ia tidak dapat dikatakan eksis ataupun tidak eksis.

Setelah memahami bahwa yang dimaksud dengan eksistensi (wujud) eksis di


dunia eksternal adalah adanya sesuatu yang menegaskan esensi (mahiyah) dari
sesuatu, maka kita dapat melanjutkan penafsiran atas kutipan di atas. Eksistensi
(wujud) berarti keberadaan dari suatu esensi (mahiyah) di dunia eksternal. Atau,
eksistensi (wujud) merupakan status positif dari suatu esensi (mahiyah) atau
gagasan di dunia eksternal. Karenanya, eksistensi (wujud) harus eksis, artinya,
harus ada penegasan atas sesuatu esensi (mahiyah) di dunia eksternal. Tanpa
sesuatu yang menegaskan esensi (mahiyah) di dunia eksternal ini, tidak ada sesuatu
yang dapat eksis. Jika yang ada hanya esensi (mahiyah) ‘manusia’, ‘cantik’,
‘wanita’, ‘Zayd’, ‘Irene’, tanpa sesuatu yang menegaskan keberadaannya di dunia
eksternal, maka dalam artian ini tidak ada sesuatupun dalam kenyataan yang eksis.
Karenanya, eksistensi (wujud) haruslah eksis, dan tanpa keberadaan eksistensi
(wujud), tidak ada sesuatupun yang eksis dalam artian ini. Ini adalah penjelasan
sekaligus penegasan Sadra atas primasi eksistensi dan kenyataan bahwa tidak
mungkin kenyataan itu sendiri eksis tanpa eksistensi (wujud).

Setelah ini, Sadra menjawab suatu pertanyaan, yang dapat kita temui
bentuknya dalam konsepsi Suhrawardi, yakni penjelasan mengenai makna dari
Eksistensi Niscaya. Namun, hal ini akan dibahas pada penembusan keempat. Kini
kita akan melanjutkan pembahasan mengenai penegasan primasi eksistensi pada
kesaksian kelima dari penembusan ketiga, yakni mengenai pernyataan bahwa
eksistensi (wujud) berwatak partikular, sementara esensi (mahiyah) berwatak
universal.

“Sungguh, jika eksistensi (wujud) tidak memiliki suatu bentuk dalam dunia
objektif, tidak akan pernah terwujud, bagi suatu spesies, suatu partikular aktual
yang akan menjadi suatu individu dari spesies tersebut. Ini karena hakikat dari
esensi (mahiyah) tidak lepas dari keterbagiannya pada hal-hal jamak dan
hadirnya universalitas kepadanya terkait dengan pikiran, bahkan jika ia dibuat
partikular oleh ribuan partikularisasi sebagai suatu hasil dari banyak konsep
yang ditambahkan kepadanya.

203
Karenanya, niscaya bahwa di sana terdapat, bagi suatu hal partikular in
concreto, sesuatu yang mengatasi dan melampaui watak umum dan bahwa hal
lain inilah yang dipartikularisasi. Lebih jauh, tak masuk akal bahwa ia terjadi
dalam kejamakan. Dan kita tidak mengartikan eksisensi sebagai sesuatu selain
dari hal ini. Jika sesuatu ini tidak memiliki suatu realitas dalam anggota-
anggota dari suatu spesies, maka tidak ada anggota dari spesies tersebut yang
akan eksis in concreto. Dan ini adalah kontradiksi.”25
Dalam kutipan di atas, Sadra menjelaskan beberapa hal. Suatu spesies, agar
eksis, harus diwakili oleh setidaknya satu individu, yakni partikular aktual, dalam
dunia eksternal. Misalkan, spesies ‘manusia’ agar ia eksis harus diwakili oleh
individu-individu partikular, yang aktual, yakni terwujud dalam dunie eksternal
seperti, ‘Zayd’, ‘Irene’, ‘Seulgi’, ‘Yeri’, maka, syarat agar suatu spesies eksis, harus
ada perwakilannya di dunie eksternal, yakni kasus partikular dari spesies tersebut.
Di dunia eksternal kita menjumpai seseorang bernama ‘Irene’, dan setidaknya, ada
kita. Maka, masing-masing, yakni ‘saya’ dan ‘Irene’, keberadaan dari ‘Saya’ dan
‘Irene’ dalam dunia eksternal atau fenomenal adalah penegasan bahwa spesies
bernama ‘manusia’ eksis. Agar suatu spesies eksis, yang dibutuhkan adalah
“sesuatu yang mengatasi dan melampaui watak umum dan bahwa hal lain inilah
yang dipartikularisasi.” Maka, kembali lagi, esensi (mahiyah), konsep, nama, atau
gagasan ‘spesies’ adalah sesuatu yang berwatak mental, agar ia eksis, maka harus
ada sesuatu yang menegaskan keberadaannya di dunia eksternal atau in concreto.
Dan sesuatu ini haruslah berwatak partikular, yakni, bukan universal seperti
‘manusia’, atau ‘binatang’, tetapi ‘Zayd’ ini, yang menjadi tetangga saya di depan
rumah, dan ‘Irene’ itu, yang menjadi istri saya, yang dapat saya amati di dunia
eksternal, dan yang dapat saya katakan sebagai eksis.

Meskipun di dunia ini tidak ada seorangpun selain Irene yang eksis, saya tetap
dapat menyatakan bahwa spesies ‘manusia’ atau ‘wanita’ eksis. Maka, agar suatu

25
“Verily, if wujud were not to have a form in the objective world, there would never be realized in
the species an actual particular that would be an individual of the species. This is because the very
essence of the quiddity does not refrain from being shared by multiple things and by the occurence
of universality to it with regard to the mind, even if it is particularized by a thousand
particularizations as a result of multiple concepts added to it.
Therefore, it is necessary that there be, for a particular thing in concreto, something above
and beyond common nature and that this extra thing itself be particularized. Firthermore, it is
inconceivable that it would occur in multiplicity. And we do not mean by wujud anything other than
this. If this something were not to have a reality in the members of the species, no member of the
species would exist in concreto. And this is a contradiction.” Masha’ir, ¶ 27, Mulla Sadra, The Book
of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by
Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 16.
204
spesies disebut eksis, harus ada setidaknya satu individu partikular yang
menegaskan keberadaannya di dunia eksternal; dan sesuatu ini melampaui
universalitas dari spesies. Sebaliknya, tanpa adanya sesuatu yang menegaskan
keberadaan partikular suatu individu dalam spesies, tidak pernah ada spesies yang
dapat dikatakan eksis “ bahkan jika ia dibuat partikular oleh ribuan partikularisasi
sebagai suatu hasil dari banyak konsep yang ditambahkan kepadanya.” Agar Irene
eksis di dunia eksternal, harus ada sesuatu yang menegaskan keberadaannya, yakni
eksistensi (wujud). Dan esensi (mahiyah) tidak dapat melakukan hal ini, bahkan jika
kita menambahkan ribuan konsep partikular atasnya. Misalnya, spesies ‘manusia’
dipartikularisasi menjadi:

Manusia + wanita + berasal dari Korea + seorang anggota Kpop + ad infinitum

Penambahan aspek atau konsep partikular tersebut, bahkan meskipun


mencapai ribuan, tidak akan dapat membuat Irene dapat eksis di dunia eksternal
tanpa keberadaan sesuatu yang menegaskan keberadaannya di dunia eksternal yang
berwatak partikular, yakni eksistensi (wujud) dari Irene itu sendiri. Ini maksud dari
pernyataan Sadra di atas. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan bahwa watak
dari eksistensi (wujud) adalah partikular: ia membuat suatu spesies ditegaskan
melalui individu partikular di dunia eksternal. Dan ini berlawanan dengan segala
esensi (mahiyah). esensi (mahiyah) memiliki watak universal. esensi (mahiyah)
‘manusia’, ‘wanita’, ‘penyanyi’, ‘buku’ sebagai sesuatu yang dihasilkan dalam
pikiran, memiliki watak universal, ia berwatak umum. Kita telah membahas hal ini
pada bab sebelumnya. Meskipun pada hakikatnya, universal natural dapat dikatakan
eksis jika satu individu partikular menegaskan keberadaannya di dunia, namun
universal natural ini masihlah berwatak universal karena ia dapat dilekatkan kepada
hal-hal lainnya lebih dari satu individu partikular. Inilah watak universalitas
eksistensi (wujud), meskipun di dunia ini hanya terdapat seorang wanita, yakni
Irene, kita tetap dapat memikirkan gagasan kewanitaan ini pada sesuatu yang lain,
setidaknya dalam pikiran kita. Inilah watak esensi (mahiyah), ia “tidak lepas dari
keterbagiannya pada hal-hal jamak dan hadirnya universalitas kepadanya terkait
dengan pikiran.”

Aksidentalitas eksistensi dan esensi

205
¶ 31:

“Ketahuilah bahwa terdapat dua jenis hal yang aksidental: apa yang
aksidental terhadap eksistensi (wujud) dan apa yang aksidental terhadap esensi
(mahiyah). Yang pertama misalnya ialah aksidentalitas dari keputihan pada
suatu badan, atau ke-atas-an pada langit in concreto, dan misalnya
aksidentalitas dari universalitas dan spesies bagi manusia dan genus bagi
binatang. Yang kedua adalah aksidentalitas dari pembedaan spesifik bagi
genus dan partikularisasi bagi spesies.”26
¶ 32:

“Menurut bahasa dari [filsuf] yang benar di antara orang-orang yang bijak,
penyifatan eksistensi (wujud) atas esensi (mahiyah) dan kehadiran eksistensi
(wujud) pada esensi (mahiyah) bukanlah suatu penyifatan eksternal ataupun
suatu aksidentalitas melalui inkarnasi di mana yang disifati [yakni, esensi
(mahiyah)] telah memiliki suatu derajat realitas [sebelum eksistensi (wujud)]
[...] Sungguh, penyifatan eksistensi (wujud) atas esensi (mahiyah) merupakan
suatu penyifatan intelektif dan suatu aksidentalitas berdasarkan analisis
mental. Dalam jenis aksidentalitas ini, tidaklah mungkin bagi substratum yang
menerima aksiden telah memiliki suatu derajat eksistensi (wujud) dan suatu
realitas ontologis, baik in concreto ataupun dalam pikiran [...]
Ketika pembedaan spesifik, contohnya, dikatakan terjadi pada suatu genus
sebagai suatu aksiden, ini tidak berarti bahwa genus tersebut memiliki realitas
eksistensial in concreto, entah eksternal ataupun mental, tanpa pembedaan
spesifik tersebut. Justru, maksud dari hal ini ialah bahwa konsep dari
pembedaan spesifik tersebut berada di luar konsep genus [tetapi] terkait
dengannya dalam makna, bahkan jika ia bersatu dengannya secara eksistensial.
Dan aksidentalitas termasuk ke dalam esensi (mahiyah) dari sudut pandang
analisis sementara bersatu dengannya [in concreto]. Hal yang sama benar bagi
esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud) ketika dikatakan bahwa eksistensi
(wujud) merupakan salah satu aksiden dari esensi (mahiyah).”27

26
“Know that there are two kinds of things that are accidental: that which is accidental upon wujud
and that which is accidental upon mahiyah. The first is like the accidentality of whiteness for a body,
or aboveness for the sky in concreto, and like the accidentality of universality and species for man
and genus for animal. The second is like the accidentality of specific difference for genus and
particularization for species.” Masha’ir, ¶ 31, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,
Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:
Brigham Young University Press, 2014) h. 17.
27
“According to the languaga of the accomplished [philosophers] from among the people of
wisdom, the qualification of quiddity by wujud and wujud’s occurence to quiddity is neither an
external qualification nor an accidentality by incarnation in such a way that the qualified [that is, the
quiddity] would already have a degree of reality [before [wujud]. [...] Verily, the qualification of
quiddity by wujud is an intellective qualification and an accidentality based on mental analysis. In
this kind of accidentality, it is not possible for the substratum that receives the accident to have any
degree of existence and any ontological reality, either in concreto or in the mind. [...]
When specific difference, for example, is said to occur to a genus as an accident, that does
not mean that the genus has in concreto existential reality, whether it be external or mental, without
the specific difference. Rather, it means that the concept of specific difference is outside the concept
of genus [but] related to it in meaning, even if united with it existentially. And accidentality belongs
to the quiddity from the point of view of analysis while united with it [in concreto]. The same holds
true for quiddity and wujud when it is said that wujud is one of the accidents of quiddity.” Masha’ir,
206
Dua paragraf di atas merupakan penjelasan Mulla Sadra mengenai makna
aksidentalitas dalam relasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) yang terdapat
pada penembusan ketiga. Hal ini akan dilanjutkan olehnya dalam penembusan
keenam ¶ 82-84. Dalam dua paragraf tersebut, Sadra menerangkan beberapa hal.
Pertama adalah dua jenis aksidentalitas, yakni aksidentalitas pada eksistensi
(wujud) dan aksidentalitas pada esensi (mahiyah). Kedua adalah watak dari
aksidentalitas eksistensi (wujud), atau bagaimana eksistensi (wujud) dapat
dikatakan sebagai aksiden dari esensi (mahiyah) dan bagaimana struktur dari
penyifatan eksistensi (wujud) atas esensi (mahiyah).

Aksidentalitas pada eksistensi (wujud) berarti aksidentalitas sejauh ia


berkaitan dengan eksistensi (wujud). Maksud dari konsepsi ini ialah bahwa
aksidentalitas ini berada pada level fenomenal, level dunia eksternal atau in
concreto. Sadra mencontohkan dua hal: penyifatan warna putih, ke-putih-an pada
badan, dan penyifatan arah, yakni ke-atas-an pada langit in concreto. Dua hal ini,
yakni badan dan langit adalah hal yang kita temui pada level fenomenal, dunia
eksternal. Ketika kita melihat sesuatu berwarna putih di dunia eksternal, warna
putih tersebut merupakan aksiden dari suatu badan tertentu di dunia eksternal.
Misalnya, kita mendapati suatu dinding, atau kertas, atau gading, atau apapun yang
berwarna putih di dunia ini; dalam hal ini, putih, ke-putih-an, merupakan aksiden
dari apa-apa yang mendasarinya: pada kertas, warna putih ini menjadi aksiden bagi
kertas tersebut, pada gading, warna putih menjadi aksiden dari gading tersebut,
pada dinding, warna putih menjadi aksiden di atas dinding tersebut. Kriteria dari
aksidentalitas ini ialah bahwa proses atau relasi antara aksiden dan apa yang
disifatinya terdapat pada level fenomenal: langit yang kita lihat, kertas yang kita
sentuh dan lihat, gading yang kita lihat, dan banyak hal.

Aksidentalitas pada esensi (mahiyah) berarti aksidentalitas sejauh ia berkaitan


dengan esensi (mahiyah). Hal ini berarti bahwa aksidentalitas ini berada pada level
konseptual, yakni dalam pikiran. Sadra mencontohkan dua hal: pembedaan spesifik
pada genus, dan partikularitas pada spesies. Apa arti dari hal ini ialah bahwa

¶ 32, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-
Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.
17.
207
aksiden, pada kali ini terjadi dalam relasi antara dua konsep. Relasi antara
pembedaan spesifik dan genus, relasi antara partikularitas pada spesies. Mari kita
contohkan, pada contoh pertama spesies “binatang rasional” pada “binatang”. Pada
level ini, kita tidak sedang berbicara mengenai binatang, ataupun binatang rasional
pada level fenomenal, atau, persisnya, pembicaraan mengenai pembedaan spesifik
selalu merupakan pembicaraan pada level konseptual. Di hadapan kita, misalnya,
terdapat Zayd atau Irene sebagai dua manusia yang kita kenal. Zayd dan Irene
merupakan pembedaan spesifik dari genus manusia: dua-duanya sama-sama
menausia jika dilihat dari aspek genus. Tetapi keduanya berbeda dilihat dari
pembedaan spesifiknya. Lebih lanjut, jika kita membedakan antara “binatang
rasional” dan “binatang non-rasional”, dan membuat dua hal ini menjadi
pembedaan spesifik bagi suatu genus, yakni “binatang”, kita sedang menyatakan
bahwa dua hal ini merupakan aksiden bagi suatu genus, suatu esensi (mahiyah)
bernama “binatang.”

Pada aksidentalitas kedua ini, semua relasi terjadi pada ranah konseptual
belaka: bahwa “binatang rasional” dan “binatang non-rasional” merupakan
pembedaan spesifik dari genus “binatang”, dan bahwa “binatang”, sebagai genus,
disifati oleh banyak aksiden, misalnya “binatang rasional” dan “binatang non-
rasional.” Inilah apa yang dimaksud dengan aksidentalitas pada esensi (mahiyah):
ia terjadi pada level konseptual, dan ia terjadi pada dua hal yang sama-sama
universal: pada genus, pada spesies, pada partikulari-tas, pada pembedaan spesifik.
Bukan pada hal-hal yang terjadi di luar pikiran, tetapi pada hal-hal di dunia
fenomenal, eksternal, in concreto.

Setelah menjelaskan dua jenis aksidentalitas ini, Sadra berlanjut, pada ¶ 32,
untuk menjelaskan bagaimana eksistensi (wujud) menjadi aksiden dari esensi
(mahiyah). Perlu dicatat bahwa pertama-tama, perbedaan ini terletak pada level
konseptual: yakni pada aksidentalitas esensi (mahiyah), yakni, pembedaan jenis
kedua dari apa yang telah dijelaskan oleh Mulla Sadra pada ¶ 31. “Penyifatan
eksistensi (wujud) atas esensi (mahiyah) dan kehadiran eksistensi (wujud) pada
esensi (mahiyah) bukanlah suatu penyifatan eksternal ataupun suatu aksidentalitas
melalui inkarnasi di mana yang disifati telah memiliki suatu derajat realitas.” Ini

208
adalah poin pertama yang ditegaskan oleh Mulla Sadra. Karenanya, dari awal Sadra
sudah menjelaskan bahwa hal ini tidak terjadi pada level fenomenal yakni dunia
eksternal in concreto. Karena ia bukan penyifatan pada level eksternal, maka
“penyifatan eksistensi (wujud) atas esensi (mahiyah) merupakan suatu penyifatan
intelektif dan suatu aksidentalitas berdasarkan analisis mental.” Maka, mari kita
lihat bagaimana penyifatan eksistensi (wujud) atas esensi (mahiyah) ini dijelaskan
oleh Sadra melalui contoh dari aksidentalitas pada esensi (mahiyah) di atas.

Mari kita perjelas hal ini dengan mengambil suatu contoh. Andaikan terdapat
suatu genus yakni “bunga”, B, dan pembedaan spesifik dari genus ini adalah “bunga
mawar”, Bmw, dan “bunga melati”, Bml. Dalam contoh ini, mw dan ml merupakan
aksiden dari B. Sebagaimana yang telah dijelaskan mengenai makna aksiden,
penyifatan mw dan ml pada B tidak menjadikan B berubah dari B. Terdapat banyak
bunga: bunga sepatu (Bs), bunga kantil (Bk), dan lainnya, baik mawar (mw), melati
(ml), kantil (k), sepatu (s) dan lainnya dapat disifatkan kepada genus bunga (B) dan
tak mengubah esensi (mahiyah) ke-bunga-an; inilah watak dari aksiden. Kita dapat
menyifati bunga (B) dengan x, yakni pembedaan spesifik atas genus tersebut dalam
banyak cara, tanpa mengubah fakta bahwa genus B adalah bunga. Di sini, x, yang
bisa menjadi jenis bunga apapun, misalnya mw, ml, k, s, merupakan aksiden dari
genus B.

Bagaimana watak dari penyifatan ini, yakni watak dari penyifatan atas
aksiden x kepada B? Sadra telah menjelaskan bahwa penyifatan x atas B merupakan
penyifatan yang terjadi pada level konseptual. Poin kedua yang disampaikan oleh
Sadra adalah bahwa “konsep dari pembedaan spesifik tersebut berada di luar konsep
genus [tetapi] terkait dengannya dalam makna, bahkan jika ia bersatu dengannya
secara eksistensial.” Maksud dari kalimat ini ialah bahwa x, yang bisa merupakan
mawar, melati, kantil, sepatu dan pembedaan spesifik lain bagi genus bunga,
berbeda secara maknawi tetapi bersatu secara eksistensial. Mari kita lihat poin ini
lebih jelas dengan contoh berikut.

Di hadapan kita terdapat setangkai bunga mawar. Ini adalah datum yang kita
dapati pada level fenomenal. Ketika kemudian kita memikirkan datum ini, kita
dapat berkata: bunga mawar ini merupakan suatu bunga. Kita mengatakan begitu

209
karena bunga mawar ini berbeda dengan bunga lainnya, misalnya bunga melati.
Maka kita kemudian dapat berkata: ini bunga mawar, itu bunga melati, keduanya
sama-sama bunga. Maka kita telah menyatakan relasi antara genus bunga (B)
dengan dua pembedaan spesifik, yakni mawar (mw) dan melati (ml). Jika kemudian
kita ditanya bagaimana spesies mawar menyifati genus bunga pada setangkai bunga
di depan kita, apa jawaban kita? Apakah kita akan menjawab bahwa setangkai
bunga mawar ini adalah suatu aksiden, suatu pembedaan spesifik mawar dan
digabungkan dengan genus bunga, lalu menjadi setangkai bunga mawar tersebut?
Tentu tidak. Genus tadi kita dapati pada level konseptual, begitu pula bagaimana
genus B dibedakan dengan x, semuanya terjadi pada level konseptual. Yang ada di
hadapan kita adalah setangkai bunga mawar yang tumbuh dari benih pohon mawar
yang dirawat, atau mungkin saja setangkai bunga mawar yang diberikan oleh Irene
kepada Saya hari kemarin, tetapi ini bukanlah perpaduan dari suatu genus B dengan
mw. “Bunga” dan “mawar” memang berbeda pada taraf maknawi, tetapi di hadapan
kita, pada level fenomenal, yang ada ialah setangkai bunga mawar, bukan
perpaduan antara dua konsep, yakni genus B dan mw dan, zimzalabiiim, jadilah
setangkai bunga mawar.

Pada level eksistensial, tidak ada genus, spesies, pembedaan spesifik antara B
dengan mw, ml, k, s, dan sebagainya. Yang ada di hadapan kita adalah sesuatu
sesederhana ini: setangkai bunga mawar. Kita dapat saja berpikir mengenai
termasuk genus apakah setangkai bunga mawar ini, termasuk spesies apakah ia, dan
sebagainya, lalu mendapati bahwa ia adalah spesies dari genus B. Tetapi semua ini
terjadi hanya ketika kita bergerak dari level fenomenal ke level konseptual. maka,
penyifatan mawar sebagai aksiden bagi genus bunga tidaklah terjadi pada level
fenomenal. Dan karenanya, genus bunga tidaklah eksis lebih dahulu dibandingkan
dengan spesies mawar. Dalam level konseptual kita mengetahui bahwa mawar
merupakan aksiden dari bunga, tetapi ini tidak berarti bahwa pada level fenomenal,
mawar menyifati bunga, karena yang kita dapati adalah: setangkai bunga mawar.
Titik. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan bahwa pada level eksistensial,
genus dan spesies bersatu: di sini hanya ada setangkai bunga mawar. Dalam level
konseptual, mw merupakan aksiden dari B. Dalam level fenomenal, tidak ada
spesies mw dan genus B. Karena itu, penyifatan mw atas B tidak meniscayakan
210
bahwa B sudah memiliki realitas ketika ia disifati oleh mw. Faktanya, yang ada di
hadapan kita adalah setangkai bunga mawar, tidak ada genus dan kategori
konseptual lainnya. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Sadra ketika ia berkata
“Dalam jenis aksidentalitas ini, tidaklah mungkin bagi substratum yang menerima
aksiden telah memiliki suatu derajat eksistensi (wujud) dan suatu realitas ontologis,
baik in concreto ataupun dalam pikiran ... Ketika pembedaan spesifik, contohnya,
dikatakan terjadi pada suatu genus sebagai suatu aksiden, ini tidak berarti bahwa
genus tersebut memiliki realitas eksistensial in concreto, entah eksternal ataupun
mental, tanpa pembedaan spesifik tersebut.” Dan “hal yang sama benar bagi esensi
(mahiyah) dan eksistensi (wujud) ketika dikatakan bahwa eksistensi (wujud)
merupakan salah satu aksiden dari esensi (mahiyah).”

c. Penembusan Keempat
Dalam penembusan keempat, Sadra menjawab delapan pertanyaan yang
mungkin diajukan oleh mereka yang meragukan prinsip eksistensinya, sebagaimana
yang ia sampaikan jelas dalam subjudul dari penembusan ini, yakni, “Menanggapi
keragu-raguan yang diajukan mengenai objektifitas eksistensi (wujud).” Berikut
adalah delapan pertanyaan yang dijawab oleh Mulla Sadra dalam penembusan
keempat ini:

Pertanyaan Pertama

“Jika eksistensi (wujud) terwujud in concreto, ia akan menjadi suatu eksisten


(mawjud). Ia kemudian akan memiliki suatu eksistensi (wujud). Dan
kemudian, untuk sesuatu yang eksis tersebut, harus ada suatu eksistensi
(wujud) lainnya, dan begitu, ad infinitum.”28
Pertanyaan Kedua

“Tetapi, kemudian, masing-masing eksistensi (wujud) merupakan suatu


Eksistensi Niscaya secara esensi (mahiyah), karena tidak ada makna lain dari
‘Eksistensi Niscaya’ kecuali bahwa eksistensinya niscaya. Dan penegasan atas
sesuatu untuk dirinya itu niscaya.”29

28
“If wujud were to be actualized in concreto, it would be an existent. It would then have an
existence. And then, for that existing thing, there would have to be another wujud, and so on, ad
infinitum.” Masha’ir, ¶ 39, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir:
A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University
Press, 2014) h. 20.
29
“But, then, each wujud is a necessary wujud by its essence, since there is no meaning to ‘necessary
being’ except that its existence be necessary. And the affirmation of something for itself is
necessary.” Masha’ir, ¶ 41, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-
211
Pertanyaan Ketiga

“Jika dipahami bahwa agar suatu eksistensi (wujud) itu eksis menandakan
eksistensi (wujud) sendiri, sementara agar sesuatu lainnya eksis menandakan
bahwa ini merupakan sesuatu hal yang memiliki eksistensi (wujud), maka
kemudian eksistensi (wujud) tidaklah disifatkan kepada segala sesuatu dengan
makna yang sama. Dan tetapi terbukti bahwa penggunaan istilah eksistensi
(wujud) bagi semua eksisten (mawjud) itu berdasarkan suatu makna yang
sama.
Maka seseorang haruslah melihat proposisi bahwa eksistensi (wujud) adalah
eksisten (mawjud) memiliki makna yang sama sebagaimana apa [yang ia
miliki] dalam segala eksisten (mawjud) lainnya - yakni, suatu hal yang
memiliki eksistensi (wujud). Akan tetapi, eksistensi (wujud) bukanlah eksisten
(mawjud) karena keniscayaan rantai ad infinitum, karena seseorang harus
mulai sekali lagi dengan eksistensid ari suatu eksistensi (wujud), dan
seterusnya.”30
Pertanyaan Keempat

“Jika eksistensi (wujud), in concreto, merupakan suatu penyifatan yang ada


bagi suatu esensi (mahiyah) yang merupakan suatu penerima darinya, dan
karena eksistensi (wujud) dari penerima itu anterior dari eksistensi (wujud) dari
apa yang ia terima, maka eksistensi (wujud) haruslah anterior dari eksistensi
(wujud) [itu sendiri].”31
Pertanyaan Kelima

“Jika eksistensi (wujud) merupakan eksisten (mawjud), maka entah ia


anterior dari esensi (mahiyah) atau posterior dari esensi (mahiyah), atau
keduanya terjadi bersamaan. Konsekuensi dari pilihan pertama adalah
perwujudan eksistensi (wujud) yang mandiri dari esensi (mahiyah). Akibatnya,
penyifatan tersebut anterior dari hal yang disifati dan terwujud mandiri
darinya. Pilihan kedua menyiratkan bahwa esensi (mahiyah) ada sebelum
eksistensi (wujud), hal ini berakibat regressio ad infinitum. Pilihan ketiga
menyiratkan bahwa esensi (mahiyah) itu eksisten (mawjud) [pada waktu yang
sama] sebagaimana eksistensi (wujud) tetapi tidak melaluinya.

Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young
University Press, 2014) h. 21.
30
“If it is understood that for wujud to be existent signifies existence itself, while for something else
to be existent signifies that it is a thing that possesses wujud, then wujud is not predicated of
everything with the same meaning. And yet it was proven that the employment of wujud for all
existents is according to a common meaning.
One must therefore take the proposition that wujud is existent as having the same meaning
as what [it possesses] in other things among existents - that is to say, a thing possessing wujud.
However, existence is not existent because of the necessity of a chain ad infinitum, because one
would have to begin once again with the wujud of the wujud, and so forth.”Masha’ir, ¶ 43
31
“If wujud were in concreto a qualification existing for a quiddity that is a receptacle for it, and
since the wujud of the receptacle is anterior to the wujud of that which it receives, then wujud would
have to be anterior to wujud [itself].” Masha’ir, ¶ 51, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical
Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr
(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 23.
212
Karenanya, ia harus mendapatkan eksistensinya dari tempat lainnya dan akan
memiliki akibat yang sama dengan kasus sebelumnya. Konsekuensi-
konsekuensi ini pada hakikatnya salah, maka Sebab-sebabnya [juga] pasti
salah.”32
Pertanyaan Keenam

“Kita dapat memikirkan eksistensi (wujud) sementara meragukan apakah ia


eksis atau tidak. Karenanya, ia memerlukan suatu eksistensi (wujud) tambahan
baginya agar ia eksis. Dan penalaran yang sama dapat diulangi apropos
eksistensi (wujud) dari eksistensi (wujud), dan akan terjadi suatu regressio ad
infinitum. Tidak ada jalan keluar darinya kecuali mengatakan bahwa eksistensi
(wujud) tidak lain daripada suatu pertimbangan mental.”33
Pertanyaan Ketujuh

“Jika eksistensi (wujud) berada di dunia eksternal dan bukan merupakan


suatu substansi, maka ia akan menjadi suatu kualitas, karena definisi ‘kualitas’
dapat diterapkan kepadanya. Dari situ, maka akibatnya, pertama-tama,
absurditas dari apa yang telah disebutkan sebelumnya - yakni, bahwa suatu
subjek akan eksis sebelum eksistensinya sendiri, menyiratkan suatu lingkaran
setan dan pemunduran tak terhingga. eksistensi (wujud) dari kualitas adalah
yang paling umum dari segala hal, sementara eksistensi (wujud) dari substansi
sebagai suatu kualitas adalah melalui dirinya. Hal yang sama berlaku bagi
kuantitas dan [predikat] lainnya.”34
Pertanyaan Kedelapan

32
“If wujud were to be existent, then either it would be anterior to quiddity or posterior to quiddity,
or the two would be simultaneous. The consequence of the first alternative is the actualization of
wujud independent of quiddity. It follows that qualification is anterior to the thing qualified and is
realized independent of it. The second alternative implies that quiddity exists before wujud, from
which would follow regressio ad infinitum. The third alternative implies that quiddity is existent [at
the same time] as wujud but not by it.
It therefore must derive its wujud from elsewhere and would have the same consequence
as the preceding case. The consequences being essentially false, the antecedent must [also] be false.”
Masha’ir, ¶ 53, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel
English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press,
2014) h. 24.
33
“We can conceive wujud while doubting whether it exists. Therefore, it needs an added wujud for
it to exist. And the same reasoning could be repeated apropos of the wujud of the wujud, and there
would be a regressio ad infinitum. There is no refuge except to say that wujud is nothing but a mental
consideration.” Masha’ir, ¶ 56, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-
Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young
University Press, 2014) h. 25.
34
“If wujud were in the external world and not a substance, then it would be a quality, for the
definition of ‘quality’ is applicable to it. From that would follow, first of all, the absurdity that was
mentioned before - that is, that the subject would exist before its own existence, implying a vicious
circle and infinite regression. The existence of a quality is the most general of all things, while the
existence of substance as a quality is through itself. The same holds true for quantity and other
[predicates].” Masha’ir, ¶ 59, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-
Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young
University Press, 2014) h. 26.
213
“Jika eksistensi (wujud) eksis bagi esensi (mahiyah), maka ia memiliki suatu
relasi dengannya; dan juga akan terdapat suatu eksistensi (wujud) bagi relasi
ini. Lebih jauh, eksistensi (wujud) dari relasi ini akan menjadi suatu relasi
dengan relasi. Argumen yang sama dapat diterapkan pada eksistensi (wujud),
arti relasi dari relasi tersebut, yang mengarah pada suatu regressio ad
infinitum.”35
Pada hakikatnya, delapan pertanyaan di atas sudah dijawab oleh Mulla Sadra
pada penembusan ketiga, di penembusan keempat, Sadra menyajikannya dalam
bentuk tanya-jawab. Pertanyaan-pertanyaan ini berkisar di beberapa persoalan
utama yang dengannya kita dapat meringkas delapan pertanyaan ini menjadi
beberapa persoalan. Pertama adalah persoalan mengenai pre-eksistensi dalam relasi
eksistensi-esensi, yang mencakup pertanyaan keempat dan kelima dan kedelapan.
Kedua adalah persoalan mengenai konsep dan realitas eksistensi (wujud), yang
mencakup pertanyaan pertama, ketiga, keenam dan ketujuh. Sementara pertanyaan
ketiga terkait dengan persoalan teologis yang disiratkan oleh konsepsi Ibn Sina
mengenai Eksistensi Niscaya. Mari kita mulai dengan persoalan kedua, yakni
konsep dan realitas eksistensi (wujud), yang terdapat dalam pertanyaan pertama,
ketiga, keenam dan ketujuh.

Pada pembahasan primasi eksistensi dalam penembusan ketiga, Mulla Sadra


telah merumuskan makna dari eksistensi (wujud) sebagai berikut: Makna bahwa
eksistensi (wujud) eksis adalah bahwa sesuatu in concreto eksis, dan ini adalah
kenyataan. Pada dasarnya, ini adalah jawaban Sadra bagi pertanyaan pertama,
ketiga, keenam dan ketujuh dalam penembusan keempat. Untuk pertanyaan
pertama, inilah jawaban Sadra:

“Jika seseorang memaknai eksisten (mawjud) sebagai sesuatu yang


dengannya eksistensi (wujud) ada, maka hal ini tidak mungkin karena tidak
ada sesuatupun di dunia ini yang eksis berdasarkan makna ini - tidak esensi
(mahiyah) ataupun eksistensi (wujud). Terkait dengan esensi (mahiyah), kita
telah menunjukkan bahwa tidaklah mungkin bagi eksistensi (wujud) untuk ada
melaluinya.”36

35
“If wujud exists for quiddity, then it has a relationship to it; and there is also a wujud for this
relationship. Furthermore, the existence of this relationship would have a relation to relation. The
same argument can be made concerning the wujud of that relationship of the relationship, leading to
a regressio ad infinitum.” Masha’ir, ¶ 67, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,
Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:
Brigham Young University Press, 2014) h. 27.
36
“If one means by existent that by which wujud subsists, that is impossible because there is nothing
in the world that is existent according to this meaning - neither quiddity nor wujud. As for the
214
Kami telah menjelaskan hal ini dengan cukup rinci pada pembahasan
penembusan ketiga. Pada hakikatnya, pertanyaan pertama hadir karena seseorang
tidak mengetahui makna dari eksistensi (wujud). Dalam artian tersebut, eksistensi
(wujud) dianggap sebagai suatu konsep belaka, yakni pemahaman yang berada pada
level konseptual, bukan pada level fenomenal ataupun transendental. Eksistensi
(wujud) sebagai suatu gagasan universal, begitu pula esensi (mahiyah) sebagai
suatu gagasan universal tidak akan pernah dapat kita temui di dunia eksternal. Ini
adalah inti dari jawaban Sadra bagi pertanyaan pertama. Untuk mengingat kembali,
bahkan Suhrawardi sendiri menolak eksistensi (wujud) dari esensi (mahiyah)
universal di alam eksternal; esensi (mahiyah), sejauh Suhrawardi memaksudkannya
dalam gagasan mengenai primasi esensi (asalah al-mahiyah), ialah esensi
(mahiyah) sejauh ia eksis sebagai eksisten (mawjud) partikular dalam dunia
eksternal. Kini mari kita masuk ke pertanyaan ketiga.

Jawaban Sadra bagi pertanyaan ketiga adalah:

“Perbedaan antara keberadaan sesuatu dan keberadaan eksistensi (wujud)


tidak meniscayakan suatu perbedaan dalam penggunaan konsep eksistensi
(wujud) sebagai sesuatu yang diderivasi dan yang sama di antara segala
sesuatu, karena entah [eksisten (mawjud)] dilihat dalam makna sederhananya,
seperti yang telah kami tunjukkan sebelumnya, atau ia dilihat dalam makna
yang paling umum, sebagai sesuatu yang menanda-kan sesuatu yang
eksistensinya ditegaskan oleh seseorang. [...] Karenanya, konsep ke-putih-an
adalah apa yang memiliki keputihan, entah [keputihan] adalah hal ini atau
sesuatu yang lain.”37
Mari kita lihat lebih jelas pertanyaan ketiga:

“Jika dipahami bahwa agar suatu eksistensi (wujud) itu eksis menandakan
eksistensi (wujud) sendiri, sementara agar sesuatu lainnya eksis menandakan
bahwa ini merupakan sesuatu hal yang memiliki eksistensi (wujud), maka

quiddity, we have indicated that it is not possible for wujud to subsist by it.” Masha’ir, ¶ 40, Mulla
Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text
translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 20.
37
“This difference between the existentiality of things and the existentiality of wujud does not
necessitate a difference in employing the concept of wujud as one that is derived and common among
all things, because either [the existent] is taken in its simple meaning, as we have indicated before,
or it is taken in its simple meaning, as we have indicated before, or it is taken in the most general
sense as signifying something whose wujud one affirms...Therefore, the concept of whiteness os
what possesses whiteness, ehether [whiteness] be this thing itself or somethig else.” Masha’ir, ¶ 44,
Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic
text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 22.
215
kemudian eksistensi (wujud) tidaklah disifatkan kepada segala sesuatu dengan
makna yang sama.”38
Pertanyaan ini merumuskan bagaimana eksistensi (wujud) disifatkan kepada
dua hal: segala sesuatu selain eksistensi, dan eksistensi (wujud) itu sendiri. Kita
dapat merumuskannya sebagai berikut. Maksud dari x eksis adalah bahwa x
memiliki eksistensi (wujud).

X eksis = X memiliki eksistensi (wujud)

Dengan rumusan ini, kita dapat menyatakan bahwa, makna dari Irene eksis
adalah bahwa Irene memiliki eksistensi (wujud), bahwa bunga mawar eksis,
bermakna bahwa bunga mawar memiliki eksistensi (wujud), lalu apa makna dari
eksistensi (wujud) eksis? Maka jika kita mengganti x sebagai eksistensi (wujud),
kita mendapati rumusan berikut:

X eksis = X memiliki eksistensi (wujud)

Jika X (eksistensi), maka eksistensi (wujud) eksis = eksistensi (wujud) memiliki


eksistensi (wujud)

Dengan begitu, kita kembali lagi kepada pertanyaan pertama dan jawaban
pertama. Makna dari eksistensi (wujud) eksis adalah bahwa pada level fenomenal;
ada sesuatu, X yang dapat kita tegaskan eksistensinya. Eksistensi (wujud) eksis
berarti bahwa ada sesuatu di dunia eksternal yang dapat kita tegaskan eksistensinya.
Titik. Ini adalah penjelasan Sadra mengenai apa makna eksistensi (wujud) yang
telah dijawab pula pada jawaban pertama. Hal kedua yang dimaksudkan oleh
pertanyaan ini adalah persoalan modulasi. Kita telah membahas panjang lebar
mengenai modulasi eksistensi pada bab sebelumnya. Mari kita lihat jawaban Sadra
bagi pertanyaan ini lebih lanjut.

“Mengizinkan penggunaan sebagian dari makna suatu istilah tidak


mengeluarkannya dari kebenaran. Bahwa putih mencakup sesuatu yang
ditambahkan kepada keputihan dihasilkan dari partikularitas dari beberapa
individu dan bukan dari konsep putih. Sama halnya dengan pernyataan bahwa
eksisten (mawjud) mencakup sesuatu yang ditambahkan kepada eksistensi
38
“If it is understood that for wujud to be existent signifies existence itself, while for something else
to be existent that it is a thing that possesses wujud, then wujud is not predicated of everything with
the same meaning.” Masha’ir, ¶ 43, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-
Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young
University Press, 2014) h. 22.
216
(wujud) - contohnya, esensi (mahiyah) - dihasilkan dari partikularitas dari
individu kontinjen dan bukan dari suatu konsep yang sama di antara mereka.”39
Jawaban ini sekilas agak membingungkan. Tetapi, di sini Sadra menekankan
kembali pada apa yang telah kami sebut dengan konsep dan realitas eksistensi
(wujud). Sadra di sini mencontohkan bahwa, putih “dihasilkan dari partikularitas
dari beberapa individu dan bukan dari konsep putih”; maksud dari kalimat ini jelas.
Ketika kita mengatakan bahwa kita melihat sesuatu yang putih di dunia eksternal,
yang kita maksud dengan pernyataan tersebut adalah “ada sesuatu yang putih yang
saya lihat, saya alami, dan saya indera” bukan bahwa “ada konsep putih yang saya
temui di alam eksternal.” Seperti contoh mengenai bunga mawar, dalam kasus ini
pun, bukanlah genus, konsep, esensi (mahiyah), atau gagasan putih yang kita temui
di dunia, yang kita temui adalah: sesuatu yang putih ini, di sini. Sadra menegaskan
kembali hal ini ketika ia mengutip Ibn Sina untuk menjawab pertanyaan ini:

“Dan ia [Ibn Sina] juga telah berkata dalam Ta’liqat: “Jika ditanyakan:
‘Apakah eksistensi (wujud) eksis?’ Jawaban bagi pertanyaan ini adalah bahwa
ia eksis dalam arti bahwa adalah kenyataan dari eksistensi (wujud) bahwa ia
eksis, karena eksistensi (wujud) berarti eksis.””40
Demikian jawaban Sadra bagi pertanyaan ketiga. Mari kita lihat bagaimana
Sadra menjawab pertanyaan keenam dan ketujuh. Pertanyaan keenam sejatinya
merupakan pembalikan argumen Aristotelian bahwa kita dapat memikirkan esensi
(mahiyah) sesuatu tanpa mengetahui apakah ia eksis. Dalam pertanyaan ini, sesuatu
itu diganti dengan eksistensi (wujud). Sebagaimana kita dapat memikirkan gagasan
mengenai sesuatu, misalnya suatu planet bumi kedua, kita tidak dapat memastikan
bahwa ia eksis, kita dapat pula memikirkan mengenai esensi (mahiyah), atau
gagasan mengenai eksistensi (wujud), tanpa mengetahui apakah gagasan ini eksis.

39
“To permit the use of a part of the meaning of a term does not exclude its use in terms of [its]
truth. That white encompasses something added to whiteness results from the particularity of some
of the individuals and not from the concept of white. [This is] in the same way that existent
encompassing something that is added to wujud - fro example, the quiddity - results from the
particularities of contingent individuals and not from the concept that is common among them.”
Masha’ir, ¶ 45, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel
English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press,
2014) h. 22.
40
“And he [Ibn Sina] has also said in the Ta’liqat: “If it is asked: ‘Does wujud exist?’ the answer is
that it exists in the sense that it is the very reality of wujud to exist, for wujud is existing.” Masha’ir,
¶ 47, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-
Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.
23.
217
Tetapi apakah hal ini benar? Kembali lagi, Sadra menjawab persoalan ini dengan
memberikan definisi bagi eksistensi (wujud) dan menegaskan prinsip konsep dan
realitas eksistensi (wujud). Jika kita memahami eksistensi (wujud) dalam level
fenomenal, atau pre-konseptual, kita mengetahui bahwa eksistensi (wujud) eksis
sejauh sesuatu dalam dunia eksternal dapat kita tegaskan eksistensinya; jika kita
masuk, dari level fenomenal atau level pre-konseptual menuju level konseptual, kita
mendapati bahwa gagasan eksistensi (wujud), sebagai suatu universal, adalah
gagasan yang tidak dapat kita temui perwujudannya pada level fenomenal. Ini
adalah gagasan eksistensi (wujud) sebagai suatu konsep, suatu universal, yang pada
dirinya tidak memiliki makna selain bahwa sesuatu itu eksis di dunia eksternal.
Tetapi suatu gagasan, suatu universal, tidaklah eksis di dunia eksternal dan dunia
fenomenal, karena yang eksis di dunia fenomenal adalah sesuatu yang partikular.
Beginilah jawaban Sadra bagi pertanyaan keenam:

“Kenyataan dari eksistensi (wujud) tidak mungkin terwujud, hakikatnya,


dalam pikiran, karena eksistensi (wujud) bukanlah suatu konsep universal, dan
eksistensi (wujud) dari setiap eksisten (mawjud) adalah eksisten (mawjud) ini
sendiri in concreto, dan bahwa apa yang eksis in concreto tidak mungkin
merupakan suatu konsep mental. Apa yang dicerminkan oleh eksistensi
(wujud) sebagai suatu konsep mental umum adalah eksistensi (wujud) yang
disebut seseorang sebagai eksistensi (wujud)-terkait, yang sesuai bagi suatu
penilaian logis.”41
Sekali lagi, jawaban yang sama diberikan oleh Mulla Sadra bagi pertanyaan
ketujuh yang menyatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan suatu kualitas. Apa
yang dimaksud sebagai kualitas dapat kita kaitkan dengan penyebutan bahwa
eksistensi (wujud) merupakan suatu aksiden dari sesuatu. Ketika kita menyatakan,
misalnya, “bunga mawar eksis”, dalam artian ini eksistensi (wujud) merupakan
suatu kualitas yang menyifati bunga mawar. Namun, Sadra menjawab, eksistensi
(wujud) bukan hanya merupakan kualitas dari sesuatu, karena kualitas berarti
bahwa sesuatu menyifati sesuatu dalam level logika. Dalam artian ini, pernyataan
bahwa eksistensi (wujud) merupakan kualitas bagi bunga mawar adalah penyifatan

41
“The reality of wujud is not in any way actualized in its essence in any of the minds, because
wujud is not a universal concept, and the wujud of every existent is this existent itself in concreto,
and that which is in concreto cannot be a mental concept. What is represented of wujud as a general
mental concept is the wujud that one calls related wujud, which is proper to logical judgments.”
Masha’ir, ¶ 57, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel
English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press,
2014) h. 25.
218
sekunder, yakni bahwa eksistensi (wujud) disifatkan kepada bunga mawar dalam
level konseptual, bukan pada level fenomenal. Pernyataan ini terkait dengan apa
yang sudah dijelaskan terkait perbedaan antara intelijibel primer, sekunder, dan
filosofis. Dan dalam artian ini, penyifatan eksistensi (wujud) atas sesuatu
didasarkan pada penyifatan sekunder dan termasuk ke dalam intelijibel sekunder.
Hal ini tentu saja salah, Sadra menyatakan:

“Substansi, kualitas, dan [predikat] lainnya yang serupa dengan


[kategori logis] termasuk ke dalam kategori esensi (mahiyah), dan mereka
adalah konsep universal seperti genus, spesies, esensialitas dan
aksidentalitas. Tetapi kenyataan-kenyataan eksistensial adalah sesuatu yang
konkret dan partikular, yang tidak masuk ke dalam suatu universal esensial
atau aksidental.
Substansi, contohnya, merupakan suatu esensi (mahiyah) universal
yang kenyataannya dalam eksistensi (wujud) konret adalah bahwa ia tidak
berada dalam suatu substratum. Kualitas merupakan suatu esensi (mahiyah)
universal yang kenyataannya dalam eksistensi (wujud) konkret adalah bahwa
ia tidak menerima baik keterbagian atau keterhubungan. Hal yang sama
berlaku bagi kategori-kategori lainnya.”42
Mari kini kita melihat bagaimana Sadra menjawab pertanyaan keempat,
kelima dan kedelapan, yang termasuk ke dalam persoalan mengenai relasi
eksistensi-esensi, atau persisnya, persoalan pre-eksistensi dalam relasi eksistensi-
esensi. Singkatnya, kita dapat mengingat kembali bahwa persoalan ini pertama-
tama muncul dari konsepsi bahwa eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi
(mahiyah), yakni ‘arid. Persoalan ini melahirkan persoalan-persoalan lain, yang
paling penting adalah, siapa yang eksis terlebih dahulu, eksistensi (wujud) atau
esensi (mahiyah)? Atau, jika eksistensi (wujud) merupakan aksiden dari esensi
(mahiyah), bagaimana watak aksidentalitas ini? Apakah sebelum eksistensi (wujud)
dan esensi (mahiyah) bersatu, masing-masingnya eksis? Dan seterusnya. Ini adalah
jawaban dari Sadra kepada pertanyaan keempat dan kelima.

42
“Substance, quality, and other [predicates] that are the same as [the logical categories] belong to
the category of quiddity, and they are the universal concepts of genus, species, essentiality, and
accidentality. But existential realities are concrete ipseities and particular entities, not contained
under an essential or accidental universal.
Substance, for example, is a universal quiddity whose reality in concrete existence is that
it is not in a substratum. Quality is a universal quiddity whose reality in concrete existence is not to
accept either divisibility or relationality. The same holds true for the other categories.” Masha’ir, ¶
60, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-
Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.
26.
219
¶ 52:

“Bahwa eksistensi (wujud) terwujud in concreto dalam apa yang memiliki


suatu esensi (mahiyah) tidak menyiratkan bahwa esensi (mahiyah) memainkan
suatu peran sebagai wadah baginya, karena relasi antara keduanya adalah relasi
pernyatuan dan bukan keterhubungan. Penyifatan eksistensi (wujud) atas
esensi (mahiyah) merupakan suatu analisis mental, karena eksistensi (wujud)
adalah salah satu dari aksiden analitik dari esensi (mahiyah), seperti yang telah
kami jelaskan dan sebagaimana yang akan kami jelaskan lebih jauh.”43
¶ 54:

“Telah dikatakan sebelumnya bahwa penyifatan eksistensi (wujud) atas


esensi (mahiyah) merupakan suatu abstraksi mental dan bukan seperti
penyifatan aksiden eksternal atas sesuatu - seperti putih atas badan - yang
mengharuskan bahwa masing-masing dari keduanya memiliki suatu kenyataan
positif terpisah dari lainnya, sehingga seseorang dapat membayangkan di
antara mereka pilihan antara anteriorites, posterioritas, dan simultanitas.
Akibatnya, tidak ada anterioritas atau posterioritas bagi keduanya, dan tidak
ada pula simultanitas, karena sesuatu tidaklah anterior bagi dirinya, tak pula
posterior bagi dirinya, dan tak pula simultan bagi dirinya.”44
Dalam jawaban bagi pertanyaan keempat, Sadra menyatakan bahwa relasi
antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) merupakan relasi kebersatuan, dan
bukan keterhubungan. Maksud dari hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut.
Andaikan seseorang membuat segelas kopi. Untuk membuat segelas kopi,
setidaknya kita memerlukan gula, kopi, dan air panas. Segelas kopi, karenanya
terdiri dari tiga hal ini yang dengan sedemikian cara dipadukan sehingga menjadi
sesuatu. Artinya, dari tiga hal yang berbeda, kita memperoleh sesuatu yang disebut
dengan segelas kopi. Dalam perpaduan ini, masing-masing dari ketiga hal
sebelumnya sudah eksis terlebih dahulu sebelum segelas kopi eksis. Mereka yang

43
“That wujud is realized in concreto in that which possesses a quiddity does not imply that the
quiddity plays the role of a receptacle for it, because the relation between the two is one of unification
and not connectedness. The qualification of quiddity by wujud is through mental analysis, since
wujud is one of the analytical accidents of the quiddity, as we have already explained and as we shall
explain further later.” Masha’ir ¶ 52, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab
al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham
Young University Press, 2014) h. 24.
44
“It has been said befire that the qualification of quiddity by wujud is a mental abstraction and is
not like the qualification of a thing by external accidents - such as a body by whiteness - which
would require that each of the two have a positive reality apart from the other, so that one could
imagine between them these three alternatives of anteriority, posteriority, and simultaneity.
Consequently, there is no anteriority and also there is no simultaneity, because a thing is
not anterior to itself, is not posterior to itself, and also is not simultaneous with itself.” Masha’ir ¶
54, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-
Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.
24.
220
menyatakan bahwa eksistensi (wujud) merupakan sesuatu yang menjadi aksiden
dan masuk ke dalam esensi (mahiyah) memaksudkan hal semacam itu ketika
mempersoalkan hal ini. Jika sesuatu merupakan perpaduan dari eksistensi (wujud)
dan esensi (mahiyah), maka seharusnya baik eksistensi (wujud) maupun eksistensi
(wujud), sebelum berpadu menjadi sesuatu, sudah eksis masing-masingnya. Tetapi
eksistensi (wujud) bukanlah segelas kopi pahit. Dan hubungan antara eksistensi
(wujud) dan esensi (mahiyah) ketika ia menjadi suatu eksisten (mawjud) di dunia
eksternal bukanlah seperti kopi, gula, dan air panas yang menjadi segelas kopi pahit
di dunia eksternal. Ini adalah poin Mulla Sadra. Hubungan antara keduanya adalah
hubungan penyatuan, bukan hubungan penyusunan. Mengapa seseorang mengira
bahwa esensi (mahiyah) ‘tergabung’ dengan eksistensi (wujud) menjadi suatu
eksisten (mawjud) sebagaimana gula, kopi, dan air panas menjadi segelas kopi
adalah karena mereka melihat eksistensi (wujud) sebagai suatu konsep mental
belaka. Yakni, ada suatu konsep mental bernama eksistensi (wujud), yang, jika
dipadukan dengan esensi (mahiyah) akan berubah menjadi sesuatu di dunia
eksternal. Dalam kasus segelas kopi, masing-masing anasirnya telah ada sebelum
keberadaan segelas kopi tadi; tetapi dalam kasus eksisten (mawjud) di dunia
eksternal, tidak ada kejadian penggabungan macam itu, karena esensi (mahiyah)
maupun eksistensi (wujud) dalam artian konsep analitik mental, tidak pernah eksis
di dunia eksternal sebagaimana kopi, gula, dan air panas. Karenanya pertanyaan
ataupun pernyataan mengenai eksistensi (wujud) dari esensi (mahiyah) dan
eksistensi (wujud) sebelum mereka tergabung menjadi eksisten (mawjud) di dunia
eksternal merupakan pertanyaan yang dirumuskan dengan salah.

Hal ini ditegaskan kembali oleh Sadra pada jawabannya untuk pertanyaan
kelima. eksistensi (wujud) tidaklah anterior bagi esensi (mahiyah), tidak pula
posterior atau simultan. Karena esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud) sebagai
konsep mental merupakan suatu universal yang hanya ada dalam pikiran, dan bukan
pada dunia eksternal, relasi macam ini tidak terjadi pada dunia eksternal. Pada kasus
segelas kopi, kita dapat menyatakan bahwa eksistensi (wujud) kopi, gula, dan air
panas mendahului eksistensi (wujud) dari segelas kopi tersebut; atau setidaknya, di
sana harus ada wadah di mana ketiga hal ini dipadukan, katakanlah, gelas. Tetapi
esensi (mahiyah) bukanlah gelas, eksistensi (wujud) bukanlah kopi. Kita tidak dapat
221
menyatakan bahwa eksistensi (wujud) ada lebih dahulu dari esensi (mahiyah), atau
lebih akhir dari esensi (mahiyah), atau bersamaan dengan esensi (mahiyah). Dalam
kenyataan, segelas kopi tidaklah dibuat dari perpaduan antara eksistensi (wujud)
dan esensi (mahiyah) kopi, begitu pula, dalam kenyataan, sesuatu hal tidaklah ada
karena perpaduan dari eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Yang ada ialah
eksistensi (wujud), eksistensi (wujud) kopi, gula, air panas, dan sebagainya. Esensi
(mahiyah) hanya dapat ada karena kita melihat sesuatu dengan pikiran kita, esensi
(mahiyah) adalah produk analitik dari pikiran kita, sebagaimana juga eksistensi
(wujud) dalam artian universal konseptual. Pada mulanya adalah eksistensi (wujud),
setelah kita memikirkan sesuatu, barulah kita melihat adanya perbedaan antara
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah). Sadra menutup jawaban dari pertanyaan
kelima ini sebagai berikut:

“Aksidentalitas eksistensi (wujud) bagi esensi (mahiyah) ada karena intelek


mampu melihat esensi (mahiyah) sebagai esensi (mahiyah) dan terpisah dari
eksistensi (wujud). Karenanya [intelek] mendapati bahwa eksistensi (wujud)
ada di luar esensi (mahiyah). Jika seseorang kembali pada pertanyaan terkait
relasi antara keduanya, ketika mereka dipisahkan oleh pikiran, maka dapat
dikatakan bahwa kedua hal ini [eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)],
sejauh mereka dilihat melalui analisis mental, eksis secara simultan. [...] ketika
seseorang berbicara mengenai simultanitas antara esensi (mahiyah) dan esensi
(mahiyah) dalam kenyataan, hal ini bermakna bahwa eksistensi (wujud) eksis
dengan sendirinya, dan esensi (mahiyah) bersatu dengannya dan menjadi
eksisten (mawjud) melaluinya [eksistensi (wujud)] dan bukan melalui sesuatu
yang lain.”45
Pertanyaan kedelapan adalah pertanyaan yang masih terkait dengan pertanyaan
keempat dan kelima, yakni mengenai persoalan relasi eksistensi-esensi ini.
Karenanya, kita akan membahas pertanyaan ini dalam sub-bab berikutnya.

45
“The accidentality of wujud for quiddity is that the intellect is able to consider the quiddity as it is
and separate from wujud. Thus, [the intellect] finds wujud to be external to the quiddity. If one comes
back to the question concerning the relation between the two, when they are disengaged by the mind,
it will be said that these two [mahiyah and wujud], inasmuch as they are considered through mental
analysis, exist simultaneously [...] when one speaks of the simultaneity of quiddity and wujud in
reality, it means that wujud is existent by itself, and quiddity is united with it and is existent through
it [wujud] and noy through something else.” Masha’ir, ¶ 55, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical
Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr
(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 25.
222
2. Relasi Eksistensi-Esensi
a. Penembusan Kelima
Mulla Sadra memberi subjudul bagi Penembusan Kelima dengan kalimat
“Perihal bagaimana eksistensi (wujud) disifatkan kepada esensi (mahiyah).” Pada
hakikatnya, ini merupakan persoalan yang sudah sering dibahas dalam penelitian
ini. Persoalan yang dimulai dari teks Aristotelian yang menyatakan bahwa kita
dapat memahami dua hal dari sesuatu, yakni eksistensi dan esensinya. Persoalan
yang kemudian menjadi salah satu persoalan sentral dalam diskursus filsafat Islam
yang ditandai dengan istilah ‘arid, aksidentalitas, yang dikembangkan oleh Farabi
dan kemudian diperinci oleh Ibn Sina. Bagaimana eksistensi (wujud) disifatkan
kepada esensi (mahiyah)? Kita juga telah melihat bagaimana gagasan mengenai
aksidentalitas ini menjadi titik tolak kritik Suhrawardi atas Ibn Sina, hal yang juga
telah kita bahas sebelumnya, persoalan mengenai primasi. Dalam pembahasan soal
primasi eksistensi, kita telah melihat bagaimana Sadra menjawab persoalan
“manakah di antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) yang merujuk kepada
realitas in concreto?” Mulla Sadra menjawab persoalan ini dengan menegaskan
primasi eksistensi. Primasi eksistensi berarti bahwa eksistensi (wujud) adalah yang
paling utama dalam realitas, bukannya esensi (mahiyah). Maksud dari pernyataan
ini pun sudah kita bahas. Pertanyaan yang hadir kemudian adalah, “Jika dalam
persoalan primasi, eksistensi (wujud) adalah hal yang merujuk kepada realitas, lalu
bagaimana dengan esensi (mahiyah)?” Apakah esensi (mahiyah) tidak merujuk
kepada realitas, dan yang lebih penting lagi, apakah esensi (mahiyah) sendiri eksis?
Jika ia eksis, bagaimana ia eksis? Bagaimana esensi (mahiyah) dapat disebut eksis?
Ini adalah pertanyaan yang diajukan dalam persoalan relasi eksistensi-esensi.
Bagaimana esensi (mahiyah) disebut eksis memiliki makna yang sama dengan
“bagaimana eksistensi (wujud) disifatkan kepada esensi (mahiyah).”

Sebelumnya kita telah membahas pertanyaan-pertanyaan seputar eksistensi


(wujud) yang dijawab oleh Sadra dalam penembusan keempat, dan menyisakan satu
pertanyaan, yakni pertanyaan kedelapan. Mari kita tinjau kembali pertanyaan ini.
Ini adalah pertanyaan kedelapan dalam penembusan keempat:

“Jika eksistensi (wujud) eksis bagi esensi (mahiyah), maka ia memiliki suatu
relasi dengannya; dan juga akan terdapat suatu eksistensi (wujud) bagi relasi
223
ini. Lebih jauh, eksistensi (wujud) dari relasi ini akan menjadi suatu relasi
dengan relasi. Argumen yang sama dapat diterapkan pada eksistensi (wujud),
arti relasi dari relasi tersebut, yang mengarah pada suatu regressio ad
infinitum.”46
Dan berikut adalah jawaban Sadra bagi pertanyaan ini:

“Penjelasan-penjelasan sebelumnya cukup untuk menyingkirkan sanggahan


ini karena eksistensi (wujud) adalah esensi (mahiyah) itu sendiri in concreto
dan berbeda dari esensi (mahiyah) secara konseptual. Karenanya, tidak
terdapat relasi antara keduanya, kecuali jika dilihat dalam pikiran.
Dengan pertimbangan ini, relasi ini memang memiliki suatu eksistensi
(wujud) tertentu, yang pada hakikatnya adalah relasi ini sendiri dan yang
berbeda sejauh terkait dengan eksistensi (wujud) eksternalnya. Regresi tak
terhingga ini akan hancur segera setelah pertimbangan rasional ditanggalkan.
Kau akan mengetahui bagaimana keduanya [eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah)] terhubung sesuai dengan keadaan mereka berdasarkan analisis
konseptual.”47
Demikian adalah rumusan awal Sadra mengenai relasi eksistensi (wujud) dan
esensi (mahiyah); penjelasan yang ia janjikan di akhir kalimat tersebut adalah
penembusan kelima dengan subjudul yang telah kami sebut di atas. Karena itulah,
sub-bab ini menjadikan penembusan kelima menjadi rujukan utama, ditambah
dengan penembusan keenam terkait aksidentalitas eksistensi (wujud) yang
merupakan perpanjangan argumen dari penembusan kelima, serta fragmen-fragmen
jawaban Sadra yang terurai di banyak tempat di teks Masha’ir.

Empat paragraf awal dari penembusan kelima teks Masha’ir (¶ 69-72) cukup
sulit dipahami dan memerlukan pengetahuan dasar dalam disiplin logika. Sadra
memulai penembusan kelima dengan menambah satu pertanyaan hipotesis

46
“If wujud exists for quiddity, then it has a relationship to it; and there is also a wujud for this
relationship. Furthermore, the existence of this relationship would have a relation to relation. The
same argument can be made concerning the wujud of that relationship of the relationship, leading to
a regressio ad infinitum.” Masha’ir, ¶ 67, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,
Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:
Brigham Young University Press, 2014) h. 27.
47
“The preceding explanations suffice to remove this objection because wujud is quiddity itself in
concreto and is different from quiddity only conceptually. There is, therefore, no relation between
the two, except as considered in thought.
Under this consideration, the relationship does possess a certain existence, which is
essentially this relationship itself and which is different in so far as its external existence is
concerned. This kind of infinite regression is broken as soon as rational consideration is removed.
You will come to know later how the two [wujud and mahiyah] are connected according to their
condition under conceptual analysis.” Masha’ir, ¶ 68, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical
Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr
(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 27.
224
mengenai eksistensi (wujud) dan relasinya dengan esensi (mahiyah). Ini adalah
pertanyaan yang diandaikan oleh Sadra:

“Mungkin kau akan kembali bertanya: “Jika bagi eksistensi (wujud) terdapat
individuasi dalam esensi (mahiyah), maka penegasan dari semua individuasi
eksistensi (wujud) bagi esensi (mahiyah) akan mengandaikan realitas positif
dari esensi (mahiyah), menurut suatu prinsip yang terkenal. Akibatnya, esensi
(mahiyah) sudah selalu memiliki suatu realitas positif sebelum realitas
positifnya sendiri, sebagaimana telah disebutkan.””48
Individuasi adalah apa yang membuat sesuatu itu berbeda dengan yang lain.
Andaikan terdapat dua buku di hadapan kita, individuasi buku A menjadikannya
berbeda dengan buku B. Ini poin pertama yang harus dipahami. Kemudian, ‘prinsip
yang terkenal’ yang dimaksudkan oleh Sadra adalah prinsip derivasi. Maksud dari
prinsip ini adalah, ketika kita menyifati ‘putih’ pada sesuatu, semisal buku,
penyifatan ini mengharuskan bahwa apa yang disifati itu eksis: agar kita dapat
menyebut suatu ‘buku’ sebagai ‘buku putih’, maka pertama-tama ‘buku’ haruslah
eksis; ini adalah prinsip derivasi. Dari sini, kita dapat memahami apa yang
dimaksud Sadra dalam pertanyaan hipotetis di atas. Jika bagi eksistensi (wujud)
terdapat individuasi dalam esensi (mahiyah), maka penegasan tersebut
mengandaikan realitas positif dari esensi (mahiyah). Kita dapat memperjelas
kalimat ini dengan contoh: andaikan terdapat dua warna, atau kualitas, yakni ‘putih’
dan ‘hitam’ yang akan membedakan antara ‘buku putih’ dan ‘buku hitam’; maka
penyifatan ‘hitam’ dan ‘putih’ pada buku ini – yang sekaligus merupakan
individuasi – mengandaikan ‘buku’ tersebut eksis terlebih dahulu.

Kini, mari kita masukkan faktor eksistensi (wujud) dalam penyifatan tersebut.
Terdapat dua sifat, warna, atau kualitas, yakni putih (p), dan hitam (h). Terdapat
satu esensi (mahiyah), yakni buku (B). Penambahan p atau h kepada B menjadi Bp
atau Bh menjadikan Bp dan Bh berbeda, artinya, penambahan salah satunya
mewujudkan individuasi bagi B. Berdasarkan prinsip derivasi, B harus terlebih
dahulu eksis sebelum ia dapat disifati dengan p atau h. Maka kini terdapat tiga hal

48
“Perhaps you will return and say: “If there were to be for wujud individuations in quiddities other
than portions, then the affirmation of all individuation of wujud for quiddity would presuppose the
positive reality of the quiddity, according to the well-known principle. Consequently, quiddity
would already have to possess a certain positive reality before its own positive reality, as was
mentioned.” Masha’ir, ¶ 69, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-
Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young
University Press, 2014) h. 28.
225
berbeda, yakni eksistensi (wujud) B, eksistensi (wujud) p, dan eksistensi (wujud) h.
Inti dari pertanyaan hipotetis Sadra di atas ialah bahwa eksistensi (wujud) B, sebagai
subjek yang disifati, harus ada terlebih dahulu sebelum eksistensi (wujud) p dan h,
sebagai sesuatu yang menyifati subjek tersebut. Mari kita lihat jawaban Sadra bagi
pertanyaan hipotetis ini.

“Ketahuilah bahwa pengajuan sanggahan ini tidak terkait dengan realitas


konkret dari eksistensi (wujud). Justru, ketika ia terkait dengan persoalan
eksistensi (wujud) sebagai suatu konsep abstrak, maka kesulitan-kesulitan
muncul, karena eksistensi (wujud) itu sama dengan esensi (mahiyah) di titik
realitas konkret. Tepatnya, tidak terdapat penyifatan di antara keduanya; dan
pandangan yang sama dapat diterapkan dalam kasus lainnya.
[eksistensi (wujud)] kemudian menjadi suatu sifat bagi [esensi (mahiyah)].
Adalah modalitas dari penyifatan ini yang menyebabkan kesulitan, karena jika
seseorang berbicara mengenai penyifatan eksistensi (wujud) atas esensi
(mahiyah), hal ini bergantung kepada apa yang dimaksud seseorang dengan
kata ‘ada’, maka subjek yang menerima sifat tersebut adalah perwujudan dari
esensi (mahiyah).”49
Poin pertama yang disampaikan oleh Sadra dalam kalimat di atas ialah bahwa
pertanyaan hipotetis di atas muncul karena eksistensi (wujud) yang dimaksud
adalah eksistensi (wujud) sebagai konsep mental abstrak. Hal ini, yakni
menganggap bahwa eksistensi (wujud), atau kata ‘eksis’ dalam kalimat, misalkan
‘buku eksis’, merupakan konsep mental belaka, akan menimbulkan kesulitan-
kesulitan. Kesulitan yang dimaksud Sadra dalam kalimat di atas adalah kesulitan
tersebut. Mari kembali kepada contoh di atas, yakni buku, hitam, dan putih.
Terdapat tiga hal, B, p dan h, di mana B adalah subjek yang disifati, dan p dan h
merupakan kualitas yang disifatkan kepada B. Kesulitan yang disebutkan Sadra di
atas adalah kesulitan yang lahir dari pertanyaan semisal ‘jika B, p dan h sama-sama
eksis, maka berdasarkan prinsip derivasi, eksistensi (wujud) B harus mendahului
eksistensi (wujud) p dan h’. Di depan saya terdapat dua buku, yakni buku hitam dan

49
“Know that the allegation of this objection does not concern the concrete reality of wujud. Rather,
when it pertains to the problem of wujud as an abstract concept, then difficulties arise, because wujud
is the same as quiddity in point of concrete reality. Properly speaking, there is no real qualification
between the two; and the same view applies to other cases.
[Wujud] thus become a qualification for [quiddity]. It is the modality of this qualification
that causes difficulty because if one speaks of the qualification of quiddity by wujud, depending on
what one means by infinitive existence, then the subject that receives the predicate is the
actualization of the quiddity.” Masha’ir, ¶ 70, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,
Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:
Brigham Young University Press, 2014) h. 28.
226
buku putih, berdasarkan kalimat tersebut, ‘buku’ harus mendahului ‘putih’ dan
‘hitam’; eksistensi (wujud) ‘buku’ harus mendahului ‘hitam’ dan ‘putih.’ Mari kita
ganti kualitas p dan h menjadi eksistensi (wujud), e. Dan membandingkan kedua
contoh tersebut.

B adalah ‘buku’ sebagai subjek yang disifati; h, p, dan e adalah kualitas, yang
mewakili ‘hitam’, ‘putih’ dan ‘eksis’. Maka, berdasarkan prinsip derivasi, kita
dapat menyatakan bahwa: Agar B dapat disifati dengan h atau p atau e, B harus
eksis terlebih dahulu. Hal ini tidak terlalu masalah dengan kualitas h atau p, tetapi
jika B disifati dengan e, maka konsekuensinya adalah: agar e sebagai kualitas dapat
disifatkan kepada subjek B, maka B harus eksis terlebih dahulu. Kita kembali
kepada persoalan mengenai sesuatu yang eksis sebelum eksistensi (wujud) eksis.
Inilah kesulitan yang disebutkan oleh Sadra, dan karenanya, Sadra berulangkali
menyatakan bahwa segala kesulitan semacam ini lahir dari pikiran bahwa yang
dimaksud eksistensi (wujud) hanyalah eksistensi (wujud) sebagai konsep mental
abstrak belaka. Maka Sadra menulis:

“Keadaan ini akan berbeda jika eksistensi (wujud) adalah suatu hal yang
nyata in concreto, sementara esensi (mahiyah) memiliki suatu perwujudan
konseptual di luar eksistensinya.”50
Maka ini merupakan rumusan Sadra yang singkat, padat dan jelas mengenai
relasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah): eksistensi (wujud) berada pada level
fenomenal, sementara esensi (mahiyah) berada pada level konseptual. Akan tetapi,
rumusan ini masih belum jelas karena, meskipun kita telah mengetahui bahwa
eksistensi (wujud) berada pada level fenomenal, in concreto, dan bahwa esensi
(mahiyah) berada pada level konseptual, kita masih belum mengetahui bagaimana
persisnya keduanya terkait. Maka, Sadra melanjutkan:

“Eksistensi (wujud) dari semua eksistensi kontinjen adalah persisnya esensi


(mahiyah) mereka in concreto dan terpadu dengannya dalam sejenis
penyatuan. Hal ini berdasarkan apa yang telah dibuktikan dan dikukuhkan
terkait penjelasan kami bahwa eksistensi (wujud) nyata adalah sesuatu yang
terwujud in concreto. Ini adalah prinsip mengenai akibat-akibat [pada hal-
ihwal] dan sumber dari keadaan-keadaan [eksistensial]; dan melaluinya, esensi

50
“The situation is different if it is wujud that is the real thing in concreto, while quiddity possesses
a conceptual actuality outside its wujud.” Masha’ir, ¶ 70, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical
Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr
(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 28.
227
(mahiyah) menjadi eksisten (mawjud) dan non-eksistensi disisihkan darinya.
Dan jika eksistensi (wujud) dari masing-masing esensi (mahiyah) bukanlah
eksistensi (wujud) yang terjadi in concreto dan tidak terpadu dengannya,
[dilema] berikut akan lahir: entah eksistensi (wujud) merupakan suatu bagian
dari esensi (mahiyah), atau ia ditambahkan kepadanya sebagai suatu
aksiden.”51
Inilah rumusan pertama mengenai relasi antara eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah). eksistensi (wujud) adalah esensi (mahiyah) yang eksis sebagai eksisten
(mawjud) di dunia eksternal. Artinya, seperti yang telah dijelaskan oleh Sadra, pada
level eksternal, tidak ada perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)
pada level eksternal, fenomenal, atau pre-konseptual. Melalui eksistensi (wujud)
dari eksisten (mawjud) in concreto, atau melalui keberadaan dari sesuatu di level
fenomenal, atau dunia eksternal, esensi (mahiyah) terlahir. esensi (mahiyah) dan
eksisteni terkait dan bersatu di level fenomenal, baru pada level konseptual,
keduanya terpisah. Kemudian, Sadra menjelaskan lebih lanjut:

“Setelah ditegaskan bahwa eksistensi (wujud) dari setiap eksistensi kontinjen


adalah persisnya esensinya in concreto, maka [salah satu dari dua pilihan]
dihasilkan: entah bahwa di sana terdapat perbedaan antara esensi (mahiyah)
dan eksistensi (wujud) dalam makna dan konsep, atau tidak terdapat perbedaan
di antara keduanya. Hipotesis kedua salah.
Jika tidak, maka manusia dan eksistensi (wujud), contohnya, akan menjadi
dua kata yang sinonim, dan karenanya kalimat ‘Manusia itu eksisten
(mawjud)’ menjadi tidak berarti. Sama halnya, berkata bahwa “Manusia itu
eksisten (mawjud)” dan berkata bahwa “Manusia itu manusia” akan memiliki
makna yang sama. [...] Karenanya, kini tersisa pilihan pertama - bahwa esensi
(mahiyah) dan eksistensi (wujud) berbeda satu sama lain dalam makna ketika
mereka dianalisis oleh pikiran, sementara mereka membentuk satu
ketunggalan secara hakikat in concreto.”52

51
“The wujud of all contingent existents is their very quiddity in concreto and is united with it in
some kind of unification. This is so based on what was confirmed and established concerning our
explanation that the real wujud is something actual in concreto. It is the principle of effects [on
things] and the source of [existential] states; and through it, quiddity becomes existent and
nonexistence is removed from it. And if the wujud of each quiddity were not in concreto and were
not unified with it, the following [dilemma] would ensue: either wujud is a part of quiddity, or it is
added to it as an accident.” Masha’ir, ¶ 73, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,
Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:
Brigham Young University Press, 2014) h. 30.
52
“Once it is established that the wujud of every contingent being is its very quiddity in concreto,
then [one of the two alternatives] follows: either there exists between quiddity and wujud a difference
in meaning and in concept, or there is no difference. The second hypothesis is false.
Otherwise man and wujud, for example, would be two synonymous terms, and there would
be no benefit in saying, “Man is existent.” In the same way, to say that “Man is existent” and to say
that “Man is man” would amount to saying the same thing. But in reality, we can conceive one of
them while disregarding the other. [These false assumptions] would lead to other absurd
consequences mentioned in common books. Furthermore, the absurdity of each of these
228
Kalimat di atas cukup jelas. Ini adalah penegasan dari paragraf sebelumnya
bahwa eksistensi (wujud) adalah eksistensi (wujud) dari esensi (mahiyah) yang
eksisten (mawjud) di level fenomenal. Kemudian, Sadra memasukkan perkara
linguistik dalam perumusan gagasan ini. Setelah kita mengetahui bahwa pada level
fenomenal eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) berpadu, dan bahwa pada level
konseptual keduanya terpisah, maka pertanyaannya, bagaimana relasi keduanya
dilihat dari segi linguistik? Jawaban Sadra tentunya jelas, karena makna, bahasa
dan universal berada pada level konseptual, tentu saja keduanya dapat dipisahkan,
dengan kata lain, eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) terpisah dan berbeda
secara linguistik, secara maknawi. Setelah memberikan rumusan tersebut, Sadra
kemudian mengajukan persoalan berikutnya.

“Kini, tersisa [bagi kita] suatu argumen untuk menjelaskan cara yang
dengannya eksistensi (wujud) disifatkan kepada esensi (mahiyah) dengan
mempertimbangkan perbedaan dalam penyifatan terkait analisis mental, yang
pada dirinya juga merupakan sejenis cara eksistensi (wujud) dari suatu hal itu
sendiri tanpa [sesuatu yang lain] yang membuat atau melahirkan [nya].
Kesulitan ini terkait dengan fakta bahwa tiap subjek yang disifati oleh suatu
penyifatan, atau tiap subjek di mana terdapat suatu aksiden, niscaya harus
memiliki suatu derajat eksistensi (wujud) tertentu yang dengannya, sebelum
penyifatan atau aksiden ini, bukanlah suatu subjek yang disifati oleh
penyifatan ini bukan pula suatu subjek di mana aksiden ini bertempat.
Akibatnya, entah eksistensi (wujud) terjadi pada suatu esensi (mahiyah) yang
eksis, atau ia terjadi kepada suatu esensi (mahiyah) yang tidak eksis, atau ia
terjadi kepada suatu esensi (mahiyah) yang tidak eksis tidak pula tidak eksis.
Hipotesis pertama mengarah kepada petitio principi dan regressio ad
infinitum. Hipotesis kedua mengarah kepada kontradiksi; dan hipotesis ketiga,
pembatalan dari dua kontradiksi tersebut.”53

consequences postulates the absurdity of the antecedent. Therefore, there remains the first alternative
- that is, that quiddity and wujud are different from each other in their meaning when they are
analyzed by the mind, while they form one single unity essentially and in their ipseity in concreto.”
Masha’ir, ¶ 74, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel
English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press,
2014) h. 31.
53
“There remains [for us] an argument to explain the manner in which quiddity is qualified by wujud
considering the difference in qualification with regard to mental analysis, which itself is also a
certain mode of wujud of the thing itself without [something else] making or generating [it]. This
difficulty pertains to the fact that each subject qualified by a qualification, or each subject to which
there inheres an accident, must of necessity have a certain degree of existence in function of which
before this qualification of this accident, it is neither a subject qualified by this qualification nor a
subject in which this accident inheres.
Consequently, either wujud happens to a quiddity that exists, or it happens to a quiddity
that does not exist. The first hypothesis involves petitio principi and regressio ad infinitum. The
second hypothesis implies contradiction; and the third hypothesis, the cancelling of two
contradictions.” Masha’ir, ¶ 75, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-
229
Ini adalah kesulitan yang telah kita temui dalam contoh persoalan buku hitam
dan putih di atas. Jika buku (B) adalah suatu subjek yang disifati dengan putih (p)
atau hitam (h), dan dengan prinsip derivasi yang mengharuskan bahwa subjek B
harus eksis terlebih dahulu agar penyifatan p atau h kepadanya absah secara logis.
Kita telah memahami bahwa eksistensi (wujud) berada pada dunia eksternal, in
concreto, level fenomenal; dan bahwa esensi (mahiyah) berada pada level
konseptual atau dalam pikiran; dan bahwa makna dari esensi (mahiyah) dan
eksistensi (wujud) berbeda. Tetapi kesulitan masih ada, jika dilihat dari prinsip
derivasi. Bagaimana kesulitan ini dilampaui? Persoalan ada di dua sisi; pertama,
bahwa subjek kali ini, adalah esensi (mahiyah) B yang berada pada level konseptual,
dan juga sifat p dan h berada pula pada level konseptual, yang ada di level
fenomenal adalah dua buku, buku hitam dan buku putih, tetapi bagaimana kita tetap
dapat menyatakan bahwa p dan h dapat disifatkan kepada B tanpa kontradiksi logis?
Persoalan ini dan persoalan lainnya merupakan persoalan yang lahir, sekali lagi,
dari keabaian seseorang untuk memperhatikan dan mempertimbangkan level
realitas. Berikut ini adalah penjelasan Mulla Sadra mengenai hal ini dengan cukup
panjang namun jelas.

“Pengujian atas keadaan ini mengarahkan kita, berdasarkan apa yang telah
kami tunjukkan, untuk mengatakan bahwa aksiden dari esensi (mahiyah)
terdiri dari sesuatu yakni esensi (mahiyah) itu sendiri dalam eksistensi (wujud)
dan bahwa hal itu berbeda dalam analisis rasional: adalah kudrat dari intelek
untuk membagi suatu eksisten (mawjud) menjadi suatu esensi (mahiyah) dan
eksistensi (wujud). Dalam analisis ini, pikiran memisahkan keduanya satu
sama lain dan menyimpulkan anterioritas dari satu atas yang lain dan
penyifatan dari satu atas yang lain.
Terkait apa yang ada in concreto, prinsip dan eksisten (mawjud) yang benar
adalah eksistensi (wujud) karena ini merupakan apa yang pada hakikatnya lahir
dari pencipta. esensi (mahiyah) berpadu dengan eksistensi (wujud) dan disifati
olehnya, tetapi tidak dengan cara di mana aksiden dilekatkan kepada sesuatu.
Justru, penyifatan [eksistensi (wujud)] atas esensi (mahiyah) dan
perpaduannya bergantung kepada dirinya sendiri. Terkait tatanan dalam
pikiran, apa yang anterior adalah esensi (mahiyah), karena ini merupakan suatu
konsep universal dalam pikiran yang dicapai bersama kudratnya dalam
pikiran. Apa yang dicapai dari eksistensi (wujud) [oleh pikiran, -red] adalah
konsep umum mengenainya.
Karenanya, esensi (mahiyah) merupakan prinsip dalam penilaian mental dan
bukan dalam penilaian yang terkait dengan dunia eksternal. Anterioritas ini

Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young
University Press, 2014) h. 31.
230
adalah anterioritas berdasarkan makna dan esensi (mahiyah) dan bukan
berdasarkan eksistensi (wujud).”54
Dari kutipan panjang di atas, kini kita dapat menyatakan rumusan relasi
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) menurut Mulla Sadra. Pertama, aksiden
dari esensi (mahiyah) adalah esensi (mahiyah) itu sendiri dalam eksistensi (wujud).
Mari kita kembali ke contoh buku hitam dan putih. Andaikan ada suatu esensi
(mahiyah) buku, B, dan disifati oleh aksiden p dan h. Aksiden p dan h adalah esensi
(mahiyah) tersebut dalam eksistensi (wujud), yakni, jika di hadapan kita terdapat
dua buku, yakni buku putih dan buku hitam; dan bahwa buku putih adalah esensi
(mahiyah) buku yang disifati oleh putih dan buku hitam adalah esensi (mahiyah)
buku yang disifati oleh hitam. Pada level fenomenal, kita mendapati dua buku,
yakni buku hitam dan buku putih. Pada level ini, kita mendapati dua buku berbeda,
pada level konseptual, kita mengandaikan bahwa dua buku ini dibedakan oleh sifat
p dan h, tetapi apakah itu betul? Jika di hadapan kita ada dua buku dengan warna
yang sama dan dengan ciri yang sama persis, apakah kita dapat membedakan
keduanya berdasarkan aksiden p dan h? Tentu saja tidak, tetapi perbedaan ini tidak
dapat kita temui pada level fenomenal, atau persisnya, kita mengetahui bahwa
keduanya berbeda, bahwa eksistensi (wujud) dari buku satu dan buku dua berbeda,
pikiran kita kemudian mengandaikan perbedaan di antara keduanya. Ini adalah
rumusan kedua mengenai relasi eksistensi-esensi: adalah kudrat pikiran untuk
membagi eksisten (mawjud) menjadi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah).

54
“The verification of this station leads us, based on what we have indicated, to say that the accident
of the quiddity consists of something that is the quiddity itself in wujud and that is different in
rational analysis: it is in the nature of the intellect to analyze the existent into a quiddity and wujud.
In this analysis, the mind disengages each of these two from the other and concludes the anteriority
of one over the other and its qualification by the other.
As for that which is in concreto, the principle and the existent is wujud because it is
essentially what proceeds from the instaurer. Quiddity is united with wujud and is predicated of it,
but not in the manner in which the attached accident are. Rather, [quiddity’s] predication of [wujud]
and its unification with it is in regard to its own ipseity and essence. As for the order in the mind,
what is anterior is the quiddity, because it is a universal concept in the mind that is obtained with its
very essence in the mind. What is obtained from wujud is its general concept.
Therefore, quiddity is the principle in mental judgments and not in the judgments related
to the external world. This anteriority is anteriority by meaning and quiddity and not by wujud.”
Masha’ir, ¶ 77, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel
English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press,
2014) h. 32.
231
Kita telah mengetahui bahwa buku satu dan buku dua berbeda, tetapi pikiran
kita membedakannya lebih jauh, eksisten (mawjud), yakni buku, dipisahkan dari
aksiden-aksidennya, dari aksiden p dan h, dan lebih lanjut, eksisten (mawjud) buku
dibedakan menjadi eksistensi (wujud) buku dan esensi (mahiyah) buku: meskipun
buku, B disifati oleh suatu aksiden selain p dan h, ia tetaplah buku, ini adalah esensi
(mahiyah) buku. Kemudian, esensi (mahiyah) B ini dapat dipisahkan dari
eksistensinya: karena kita dapat memikitkan esensi (mahiyah) B yang dilekatkan
dengan esensi (mahiyah), misalnya ungu (u), tanpa mengetahui apakah esensi
(mahiyah) ini eksis di dunia eksternal ataupun tidak. Maka eksistensi (wujud) dan
esensi (mahiyah) dari suatu eksisten (mawjud), yakni buku, dibedakan oleh pikiran
kita. Karena mekanisme pemisahan ini, kita kemudian dapat memikirkan persoalan
anterioritas. Setelah diketahui bahwa kita dapat memikirkan esensi (mahiyah) B
yang disifati oleh aksiden u, dan bahwa hal ini belum tentu ada dalam dunia
eksternal, maka kita dapat menanyakan: penyifatan u atas B, berdasarkan prinsip
derivasi mengharuskan agar B eksis terlebih dahulu sebelum u. Namun kita telah
mengetahui bahwa B di sini adalah esensi (mahiyah). Maka, pertanyaan berikutnya:
bagaimana B sebagai esensi (mahiyah) harus eksis terlebih dahulu sebelum eksisten
(mawjud) buku ungu, Bu? Ini adalah persoalan bahwa esensi (mahiyah) harus eksis
terlebih dahulu sebelum ia bisa disifati. Untuk mengatasi persoalan ini, Sadra
menyatakan rumusan berikutnya: Anterioritas ini adalah anterioritas berdasarkan
makna dan esensi (mahiyah) dan bukan berdasarkan eksistensi (wujud). Persoalan
anterioritas ini, karenanya, adalah persoalan relasi eksistensi-esensi yang
disimpulkan oleh pikiran, berdasarkan esensi (mahiyah). Ini adalah persoalan
konseptual dan maknawi, dalam kenyataan, yakni dunia eksternal in concreto,
persoalan ini tidak ada, ia hanya lahir karena pikiran kita memiliki kudrat untuk
membedakan eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah), lalu menyimpulkan relasi
hipotesis antara keduanya sebagai anterioritas, posterioritas atau simultanitas. Dan
dari kudrat pikiran ini pula, kita dapat mencapai suatu konsep umum mengenai
eksistensi (wujud). Dan, keabaian bahwa eksistensi (wujud) yang dicapai dengan
cara ini berbeda dengan eksistensi (wujud) yang ada pada dunia eksternal in
concreto, menyebabkan semua kekeliruan yang telah disebutkan terlahir.

Sadra menutup penembusan kelima dengan catatan berikut:


232
“[...] kami telah menetapkan bahwa eksistensi (wujud) adalah esensi
(mahiyah) itu sendiri in concreto dan bahwa, terlebih lagi, eksistensi (wujud)
adalah penegasan atas sesuatu itu sendiri darn bukan penegasan untuknya;
karenanya, prinsip derivasi tidak diterapkan di sini.
Menerapkan penyifatan kepada relasi yang ada di antara esensi (mahiyah)
dan eksistensi (wujud) adalah menyatakan sesuatu dalam suatu makna umum
dan pengibaratan, karena relasi antara keduanya [esensi (mahiyah) dan
eksistensi (wujud)] termasuk ke dalam relasi penyatuan. Ia tidak seperti relasi
antara sebuah subjek dan aksidennya, atau antara subjek yang disifati dengan
aksiden yang menyifatinya. Justru, penyifatan ini adalah seperti penyifatan
atas genus oleh pembedaan spesifik dalam perkara suatu spesies
sederhana…”55
Dalam catatan tersebut, Sadra merangkum perumusannya atas relasi eksistensi
(wujud) dan esensi (mahiyah). bahwa eksistensi (wujud) adalah esensi (mahiyah)
itu sendiri di dunia eksternal, eksistensi (wujud) tidak lain dari esensi (mahiyah)
yang eksis sebagai suatu eksisten (mawjud) di level fenomenal. Prinsip derivasi
yang telah disebutkan tidak berlaku di level fenomenal. Bahwa ketika kita menyifati
suatu esensi (mahiyah) sebagai eksis, misalnya, esensi (mahiyah) buku eksis di
dunia eksternal, hal ini tidak berarti bahwa esensi (mahiyah) buku anterior dari
eksistensi (wujud) buku di dunia eksternal. Pemisahan antara eksistensi (wujud) dan
esensi (mahiyah) buku hanya dapat dilakukan pada level konseptual, karenanya,
relasi aksidentalitas antara keduanya adalah relasi mental belaka. Dan karenanya,
hal ini tidak melanggat prinsip kontradiksi sejauh eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah) dari buku hanya dapat dipisahkan dalam level konseptual. Relasi antara
eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) buku bukan seperti relasi antara suatu
subjek dengan aksiden di mana, semisal kita menyatakan bahwa suatu subjek, yakni
buku, disifati dengan aksiden ‘mahal’, buku ini harus eksis terlebih dahulu sebelum
sifat ‘mahal’ dilekatkan kepadanya. Relasi antara eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah) adalah relasi antara genus dan pembedaan spesifik. Dalam contoh

55
“...we have established that wujud is quiddity itself in concreto and that, moreover, wujud is the
affirmation of the thing itself and not the affirmation for it; therefore, the principle of derivation does
not apply here.
To apply qualification to the relationship that exists between quiddity and wujud is to speak
in a general and figurative sense, because the relation between the two [quiddity and wujud] is of
unitive order. It is not like the relation between a subject and its accident, or between the subject
qualified and the attribute that qualifies it. Rather, it is more like the qualification of a genus by its
specific difference in the case of a simple species, when this is carried out by the mind with regard
to them being a genus and specific difference and not with regard to them being intelligible matter
and form.” Masha’ir, ¶ 80, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir:
A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University
Press, 2014) h. 34.
233
setangkai bunga mawar di atas, kita telah mencontohkan bahwa setangkai bunga
mawar di hadapan kita tidak terjadi karena ada subjek, yakni genus atau esensi
(mahiyah) ‘bunga’ eksis kemudian disifati dengan ‘mawar’ baru mereka dapat kita
amati dan indera dalam level fenomenal. Datum yang kita peroleh dari level
fenomenal sederhana: di depan saya ada setangkai bunga mawar. Baru ketika kita
memisahkan antara esensi (mahiyah) ke-bunga-an dan ke-mawar-an, dan
memisahkan esensi (mahiyah) tersebut dari eksistensi (wujud) partikular bunga di
depan saya ini, kita dapat memikirkan mengenai persoalan anterioritas,
posterioritas, atau simultanitas dari eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) bunga
mawar.

b. Penembusan Keenam
Penembusan Keenam adalah salah satu bab dalam Masha’ir yang paling
singkat, ia terdiri dari delapan paragraf saja (¶ 81-88). Di sini, Sadra memberi
subjudul “Mengenai partikularisasi dari eksistensi (wujud) individual – dalam suatu
ringkasan.” Persoalan individuasi ini hakikatnya bukan suatu persoalan yang
dibahas oleh Sadra secara rinci dalam Masha’ir, namun ia terurai di banyak
penembusan dan kesaksian dalam Masha’ir. Berdasarkan apa yang telah kita bahas,
penembusan keenam ini menjelaskan beberapa persoalan yang telah kita singgung,
yakni persoalan aksidentalitas (¶ 82-84), yang merupakan kelanjutan argumen
Sadra dalam penembusan ketiga (¶ 31-35); penjelasan singkat mengenai makna
eksisten (mawjud) sederhana (¶ 81); pengakuan konversi Sadra dari esensialisme
ke eksistensialisme (¶ 85); pembahasan singkat mengenai modulasi eksistensi (¶
86-87); dan pembahasan singkat mengenai partikularisasi (¶ 88). Dari sini kita
dapat melihat bahwa Sadra tidak memberikan pembahasan yang ingin ia janjikan
melalui subjudul tersebut, faktanya, ia hanya memberikan satu paragraf, yakni ¶ 88
untuk membahas hal tersebut. Maka, di sini kami akan menghadirkan pembahasan
lanjutan aksidentalitas pada ¶ 82-84 yang tidak lain dari pengutipan Sadra atas Ibn
Sina terkait persoalan ini, sementara pembahasan modulasi eksistensi, yakni ¶ 86-
87 akan dibahas pada sub-bab terakhir dalam bab ini.

Pada sub-bab Primasi eksistensi, penembusan ketiga, kita telah melihat


bagaimana Sadra menjelaskan persoalan aksidentalitas yang dicakup dalam

234
pembahasan primasi eksistensi. Pertama, Sadra membagi dua jenis aksidentalitas,
yakni aksidentalitas terkait dengan eksistensi (wujud) dan aksidentalitas terkait
dengan esensi (mahiyah). Aksidentalitas terkait eksistensi (wujud) artinya adalah
bahwa penyifatan aksiden atas suatu subjek terjadi pada level fenomenal, in
concreto, dan karenanya disifatkan secara primer; contohnya, ketika di hadapan kita
terdapat suatu buku berwarna hitam, penyifatan kualitas hitam pada buku tersebut
adalah peristiwa di dunia eksternal, yakni buku ini.

Aksidentalitas terkait eksistensi (wujud) artinya pennyifatan suatu aksiden atas


suatu subjek terjadi pada level konseptual, yakni, merupakan relasi yang terjadi
antara dua konsep universal. Andaikan ada dua universal, yakni ‘wanita’ dan
‘cantik’, maka penyifatan cantik kepada wanita, dan relasinya sebagai dua
universal, terjadi pada level konseptual. Terdapat suatu universal ‘wanita cantik’
yang dapat disifatkan kepada lebih dari seorang wanita di dunia eksternal in
concreto. Contoh lainnya adalah jika terdapat suatu universal ‘bunga’, sebagai
suatu esensi (mahiyah) atau subjek yang disifati oleh suatu aksiden, maka
pembagian menjadi bunga mawar, bunga melati, dan bunga bakung, misalnya,
adalah bagaimana penyifatan ini terjadi. Artinya, terdapat dua gagasan, dua esensi
(mahiyah), yang satu menyifati yang lainnya; terdapat esensi (mahiyah) bunga,
sebagai genus, yang disifati dengan esensi (mahiyah) mawar, sebagai spesies. Maka
penyifatan mawar kepada bunga adalah contoh penyifatan sekunder yang terjadi
pada level konseptual. Ini adalah yang dimaksud oleh Sadra sebagai relasi antara
pembedaan spesifik dan genus. Berikut adalah penutup dari kutipan dari Sadra pada
penembusan ketiga mengenai hal ini:

“[...] Dan aksidentalitas termasuk ke dalam esensi (mahiyah) dari sudut


pandang analisis sementara bersatu dengannya [in concreto]. Hal yang sama
benar bagi esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud) ketika dikatakan bahwa
eksistensi (wujud) merupakan salah satu aksiden dari esensi (mahiyah).”56
Pembahasan mengenai aksidentalitas eksistensi (wujud) pada penembusan
keenam merupakan perpanjangan argumentasi Sadra tersebut. Sadra membuka

56
“And accidentality belongs to the quiddity from the point of view of analysis while united with it
[in concreto]. The same holds true for quiddity and wujud when it is said that wujud is one of the
accidents of quiddity.” Masha’ir, ¶ 32, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab
al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham
Young University Press, 2014) h. 17.
235
penembusan keenam dengan pembagian tiga jenis partikularisasi. Intinya, ini
adalah suatu reformulasi bagi divisi eksisten (mawjud) Ibn Sina dengan sedikit
perubahan. Jika Ibn Sina membagi eksisten (mawjud) menjadi tiga, yakni Eksistensi
Niscaya, Eksisten (mawjud) Mungkin atau kontinjen, dan eksisten (mawjud) tak
mungkin, Sadra pun membagi partikularisasi eksistensi (wujud) menjadi tiga
berdasarkan kriteria tersebut. eksistensi (wujud) yang terwujud karena kudrat
eksistensi (wujud) itu sendiri, yakni Eksistensi Niscaya; eksistensi (wujud) yang
terwujud karena eksistensi (wujud) lainnya, yang dibagi menjadi dua: eksistensi
(wujud) ciptaan dan eksistensi (wujud) hal-hal lainnya. eksistensi (wujud) ciptaan
adalah yang eksistensinya disebabkan oleh hal lain dan dicirikan dengan
anterioritas, posterioritas, kesempurnaan dan kekurangan; eksistensi (wujud) hal-
hal lain mencakup apa-apa yang terwujud karena eksistensi (wujud) di luarnya;
kemungkinan besar, Sadra memaksudkan bahwa contoh dari eksistensi (wujud)
terakhir ini adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia melalui susunan-
susunan atau penggabungan anasir-anasir, misalnya pembuatan segelas kopi pahit
yang dilakukan dengan mencampurkan gula, kopi, dan air panas dengan sedemikian
rupa.57

Setelah penjelasan tersebut, Sadra mulai melanjutkan pembahasan mengenai


aksidentalitas eksistensi (wujud). Terkait dengan bagaimana eksistensi (wujud)
terwujud, atau terpartikularisasi dalam dunia eksternal, berikut penjelasan dari
Sadra:

“[...] Membuat analogi antara relasi eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)
di satu sisi dan aksiden dan substratum di sisi lain adalah sesuatu yang salah.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, esensi (mahiyah) tidak dapat terwujud
jika dipisahkan dari eksistensi (wujud), dan eksistensi (wujud) tidak lain dari
eksistensi (wujud) dari sesuatu itu sendiri dan bukan eksistensi (wujud) dari
sesuatu yang lain untuk sesuatu tersebut.
eksistensi (wujud) dari suatu aksiden dalam dirinya, sementara ia merupakan
eksistensinya bagi substratumnya, bukanlah dengan sendirinya eksistensi
(wujud) dari substratumnya, berlawanan dengan eksistensi (wujud) yang
menjadi eksistensi (wujud) itu sendiri dari esensi (mahiyah) ini, sejauh ia
memiliki suatu esensi (mahiyah) [...] Terdapat suatu perbedaan antara
eksistensi (wujud) dari aksiden dalam substratum dan eksistensi (wujud) dari
substratum sendiri, karena eksistensi (wujud) dalam kasus pertama [yakni dari

57
Masha’ir, ¶ 81
236
aksiden tersebut] berbeda dari eksistensi (wujud) dari substratum tersebut,
sementara dalam kasus kedua, adalah [eksistensi (wujud)] itu sendiri.”58
Ini merupakan salah satu pemaparan mengenai persoalan aksidentalitas
eksistensi (wujud) yang kami kira amatlah jelas dari Mulla Sadra. Untuk memahami
pernyataan di atas, kita harus mengandaikan beberapa hal, yakni, apa yang
dimaksud dengan aksiden, substratum, prinsip derivasi, serta predikasi primer dan
predikasi sekunder, atau predikasi teknis umum dan predikasi esensial primer; kita
telah membahas hal-hal tersebut secara terpisah.

Pada pembahasan mengenai aksiden dan substansi di bab sebelumnya, kita


telah mengetahui apa yang dimaksud dengan kedua istilah ini. Aksiden adalah apa-
apa yang dikatakan mengenai sesuatu, yakni substansi. Aksiden merupakan sifat
tetap dari sesuatu yang tak terpisah darinya, tetapi tidak menyusun bagian dari
esensinya. Substansi adalah apa yang dapat eksis dengan sendirinya. Maka kini kita
dapat mencontohkan relasi antara substansi dan aksiden. Andaikan suatu ‘manusia’
eksis, maka kita dapat mengatakan bahwa substansi dari ‘manusia’ adalah
‘rasionalitas’, sementara aksiden dari ‘manusia’ adalah ‘dapat berpuasa tiga hari
tiga malam’. Jika ‘manusia’ kehilangan rasionalitas, maka ia juga kehilangan
kemanusiaannya, tetapi jika ia tidak dapat berpuasa tiga hari tiga malam, ia tidak
serta merta kehilangan kemanusiaannya. Kini, relasi aksiden dan substratum
merupakan relasi semacam itu. Substratum adalah apa-apa yang mendasari sesuatu,
khususnya ketika kita berbicara mengenai predikasi atau penyifatan. Jika suatu
‘dinding’ disifati dengan ‘putih’, maka dalam kasus ini, ‘dinding’ adalah
substratum, dan ‘putih’ adalah ‘aksiden’ yang dilekatkan atau disifatkan kepada
substratum tersebut. Sesuai dengan prinsip derivasi, agar aksiden putih dapat
disifatkan kepada substratum dinding, maka dinding sebagai substratum harus eksis

58
“...It is false to establish an analogy between the relation of wujud to quiddity on the one hand and
accident to the substratum on the other. As was discussed before, quiddity does not subsist separately
from wujud, and wujud is nothing other than the existence of a thing itself and is not the existence
of something else for that thing, in the manner of an accident for a substratum or form for its matter.
The wujud of an accident in itself, while it is its wujud for its substratum, is not, however,
itself the wujud of its substratum, contrary to the wujud that is the very wujud of this quiddity, insofar
as it has a quiddity...There is a difference between the wujud of the accident in the substratum and
the wujud of the substratum itself, because the wujud in the first case [that of the accident] is other
than the wujud of the substratum, whereas in the second case, it is [this wujud] itself.” Masha’ir, ¶
82, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-
Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.
36.
237
terlebih dahulu. Dan dengan membedakan antara dua jenis predikasi, predikasi
putih atas dinding adalah predikasi primer sejauh ini merupakan sesuatu yang
terjadi di dunia eksternal in concreto.

Jika ini merupakan suatu predikasi primer, yakni terjadi di dunia eksternal,
maka kita dapat mengandaikan bahwa suatu dinding tertentu memiliki warna dasar
tertentu, dan ia tidak harus berwarna putih. Di dunia eksternal, kita mungkin dapat
mengatakan bahwa warna putih berasal dari cat yang dengannya dinding tadi diberi
warna. Dalam kasus ini, putih adalah aksiden bagi subtratum dinding karena ia
dapat dipisahkan darinya. Tidaklah sulit bagi kita untuk membayangkan atau
bahkan membuktikan bahwa di dunia eksternal terdapat dinding yang tidak
berwarna putih, bisa biru ataupun merah. Maka ini adalah relasi antara substratum
dan aksiden di dunia eksternal. Syarat bagi relasi ini adalah bahwa substratum dapat
dipisahkan dari aksidennya.

Kini mari kita melangkah kepada apa yang disebut oleh Sadra sebagai
kesalahan analogi antara relasi aksiden-substratum dengan esensi (mahiyah)-
eksistensi (wujud). Kita telah mengetahui bahwa di dunia eksternal in concreto,
tidak ada perbedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud). Sekali lagi,
esensi (mahiyah) adalah eksistensi (wujud) dari suatu eksisten (mawjud) di dunia
eksternal. Perbedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) hanya dapat
dilakukan ketika daya analitik pikiran kita digunakan. Maka, pada level fenomenal,
kita tentu tidak dapat membedakan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah),
sebagaimana kita dapat membedakan antara dinding dengan warna dinding
tersebut. Adapun, pembedaan antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) hanya
terjadi pada level konseptual, dan pada level inilah substratum, yakni esensi
(mahiyah), dan aksidennya, yakni eksistensi (wujud), dipisahkan. Karenanya, jika
kita menerapkan prinsip derivasi, hal ini tidak dapat kita lakukan di level fenomenal
di mana eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) tidak terpisah; baru pada level
konseptual, kita dapat mempersoalkan hal tersebut, seperti anterioritas, posterioritas
dan simultanitas.

Maka, kini kita dapat mencontohkan relasi substratum-aksiden dengan dua


jenis predikasi. Andaikan suatu dinding merupakan suatu subtratum bagi aksiden-

238
aksiden seperti warna dan lainnya. Kini, kita dapat menyatakan bahwa warna,
sebagai aksiden dari substratum dinding, dapat dipisahkan dari dinding sebagai
substratum. Dan, andaikan sekali lagi, dengan menggunakan eksistensi (wujud)
sebagai aksiden dari substatum dinding. Jika eksistensi (wujud) merupakan aksiden
dari substratum dinding, maka eksistensi (wujud) dapat dipisahkan dengan dinding
sejauh keduanya berada dalam relasi aksiden-substratum. Berdasarkan prinsip
derivasi, substratum harus eksis terlebih dahulu sebelum aksiden disifatkan
kepadanya. Kini, menurut prinsip derivasi, jika eksistensi (wujud) merupakan
aksiden bagi substratum dinding, maka dinding harus eksis sebelum disifati
eksistensi (wujud). Hal ini merupakan hal yang kontradiktif, karena tidak mungkin
sesuatu eksis jika ia tidak eksis, atau tidak memiliki eksistensi (wujud). Karenanya,
sejauh terkait dengan prinsip derivasi, predikasi dalam relasi aksiden-subtratum
bagi contoh eksistensi (wujud) hanya dapat dilakukan dengan predikasi sekunder,
yakni predikasi sejauh terkait dengan relasi konseptual. Dengan contoh ini, kita
telah membuktikan bahwa relasi antara aksiden-substratum tidak dapat digunakan
sebagai analogi bagi relasi eksistensi-esensi karena hal ini akan membawa kita
kepada kontradiksi logis, yakni eksistensi (wujud) suatu substratum sebelum ia
memiliki eksistensi (wujud). Maka, Sadra menyatakan bahwa eksistensi (wujud)
bagi substratum adalah eksistensi (wujud) substratum itu sendiri, sementara
eksistensi (wujud) aksiden bagi substratum adalah eksistensi (wujud) aksiden
tersebut yang dilekatkan kepada suatu substratum yang sudah memiliki eksistensi
(wujud) tertentu, berdasarkan prinsip derivasi.

Sadra menyimpulkan pembahasan relasi aksiden-substratum ini dalam penembusan


keenam dengan mengutip pernyataan Ibn Sina:

“Syaikh al-Ra’is Ibn Sina telah mengatakan dalam Ta’liqat sebagai berikut:
“eksistensi (wujud) dari aksiden-aksiden dalam dirinya merupakan eksistensi
(wujud) mereka bagi masing-masing substratumnya, kecuali suatu aksiden
[yakni] eksistensi (wujud). Yang terakhir ini berbeda dari aksiden-aksiden
lainnya sebagai suatu akibat dari fakta bahwa mereka memerlukan substratum
agar dapat eksis, sementara eksistensi (wujud) tidak memerlukan eksistensi
(wujud) agar ia eksis.
Karenanya, tidaklah benar untuk berkata bahwa eksistensi (wujud) dalam
substratumnya adalah eksistensi (wujud) dalam dirinya, jika seseorang
mengartikannya bahwa eksistensi (wujud) memiliki suatu eksistensi (wujud)
yang lain dari dirinya, sebagaimana keputihan memiliki suatu eksistensi

239
(wujud). Justru, seseorang dapat berkata bahwa eksistensinya dalam
substratumnya adalah persisnya eksistensi (wujud) dari substratumnya
tersebut, sementara dalam kasus aksiden-aksiden lainnya, eksistensinya dalam
substratumnya semata-mata merupakan eksistensi (wujud) dari [hal] yang lain
ini.””59
3. Modulasi Eksistensi
Sejauh kita membicarakan persoalan modulasi eksistensi di Masha’ir, Sadra
tidak membahas persoalan ini dalam satu bab ataupun sub-bab khusus, yakni
penembusan atau kesaksian. Alih-alih, Sadra menggunakan prinsip modulasi untuk
menjelaskan poin-poin tertentu dalam persoalan-persoalan lainnya. Jika kita dapat
mengatakan bahwa penembusan pertama hingga keempat merupakan pembahasan
mengenai primasi eksistensi, dan penembusan kelima dan keenam membahas relasi
eksistensi-esensi, tidak ada penembusan khusus yang membahas modulasi
eksistensi. Adapun, penembusan ketujuh dan kedelapan dari Masha’ir khususnya
merupakan pembahasan teologis, yakni pembicaraan teologi sejauh ia dilihat dari
kerangka metafisika eksistensial Mulla Sadra dalam al-Masha’ir. Karena itu, untuk
melihat bagaimana Mulla Sadra merumuskan atau membahas persoalan modulasi
eksistensi dalam Masha’ir, kita akan melihat bagaimana prinsip modulasi eksistensi
digunakan oleh Sadra dalam beberapa konteks diskursus yang menyusun metafisika
eksistensialnya.

Berikut adalah daftar paragraf di mana kita dapat menemukan pembicaraan


mengenai modulasi eksistensi baik secara eksplisit maupun implisit.

Tabel Pembahasan Modulasi eksistensi dalam al-Masha’ir

JUDUL BAB PARAGRAF


Pengantar ¶4
Penembusan Kedua ¶ 14

59
“Shaykh al-Ra’is Ibn Sina has said in his Ta’liqat as follows: “The wujud of accidents in
themselves is their wujud for their respective substrata, except for the accident [that is] wujud. This
latter differs from other accidents as a result of the fact that they have need of their substratum in
order to exist, whereas wujud does not need wujud in order to exist.
It is therefore not correct to say that wujud in its substratum is wujud in itself, if one means
by that that wujud has a wujud other than itself, as whiteness has a wujud. Rather, one can say that
its wujud in its substratum is the very wujud of its substratum, whereas in the case of all other
accidents, its wujud in its substratum is simply the wujud of this other [thing].” Masha’ir, ¶ 83, Mulla
Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text
translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 36.
240
Penembusan Ketiga ¶ 23 & ¶ 36-37
Penembusan Keempat ¶ 42
Penembusan Keenam ¶ 81 & ¶ 88
Penembusan Ketujuh ¶ 97
Penembusan Kedelapan ¶ 108

a. Pengantar
Sadra menulis hal ini di pengantar Masha’ir:

“[Maka kami akan membahas] persoalan bahwa semua eksistensi (wujud) –


terlepas dari perbedaan dari spesies dan esensi (mahiyah) individual yang
dimilkinya, perbedaan dari genus serta perbedaan spesifiknya – pada
hakikatnya merupakan suatu substansi tunggal yang memiliki suatu identitas
tunggal, sementara memiliki keadaan-keadaan serta derajat tinggi dan
rendah.”60
Ini adalah pernyataan paling awal Sadra dalam Masha’ir yang menyinggung
persoalan modulasi eksistensi, agaknya secara implisit. Dalam pembahasan
modulasi eksistensi pada bab sebelumnya, kita telah mengetahui bahwa modulasi
eksistensi mensyaratkan dua sisi dari sesuatu, yakni perbedaan dan persamaan.
Dalam kalimat di atas, Sadra menyatakan bahwa semua eksistensi (wujud) pada
hakikatnya merupakan suatu eksistensi (wujud) tunggal. Ini adalah pernyataan yang
sesuai dengan kriteria modulasi eksistensi. Bahwa semua eksistensi (wujud) yang
berbeda pada hakikatnya dapat dilihat sebagai sesuatu yang sama secara bersamaan.
Jika kita memaknai pernyataan prinsip ini dari level realitas, maka perbedaan antara
eksistensi (wujud) berada pada level fenomenal di mana kita mendapati banyak
eksisten-eksisten di dunia eksternal yang berbeda satu sama lain. Pada level
konseptual, kita dapat memisahkan perbedaan-perbedaan yang terletak dari sisi
esensial eksisten-eksisten yang jamak tersebut, dari eksistensi (wujud); kita
menemukan bahwa apa yang membuat eksisten-eksisten tersebut sama di samping
perbedaan-perbedaan mereka, adalah bahwa kesemuanya eksis, yakni, secara

60
“[Then we shall address] the problem that all of wujud - despite the differences of the species and
the individual quiddities belonging to it, the differences of its genera, and its specific differences in
their logical definitions - is in truth a single substance having a single identity, while possessing
stations and high and low degrees.” Masha’ir, ¶ 4, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical
Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr
(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 5.
241
konseptual, mereka memiliki eksistensi (wujud), sama-sama memiliki eksistensi
(wujud). Jika kita melihat pernyataan tersebut pada level transendental, kita dapat
menyatakan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya berasal dari sumber yang
tunggal, yakni Tuhan sebagai Eksistensi Niscaya.

b. Penembusan Kedua
Penembusan Kedua merupakan bab paling singkat dalam Masha’ir. Ia hanya
terdiri dari tiga paragraf, yakni ¶ 12, 13 dan 14. Bahkan ia lebih pendek dari
pengantar yang memiliki empat paragraf. Subjudul dari penembusan kedua ialah
‘mengenai bagaimana cara eksistensi (wujud) mencakup hal-hal’. Seperti yang
telah kita bahs pada sub-bab Primasi eksistensi, penembusan kedua, bab ini
membahas mengenai bagaimana eksistensi (wujud) mencakup semua eksisten
(mawjud) dengan cara yang berbeda dari bagaimana genus mencakup spesies
partikular. Dalam ¶ 14, Sadra menulis:

“Akan nampak juga bagimu bagaimana kebenaran dari perkataan bahwa


kenyataan eksistensi (wujud), sementara ia diindividualisasi oleh dirinya,
dibedakan menurut pembedaan dari esensi-esensi kontinjen, masing-
masingnya bersatu dengan salah satu dari derajat dan tahapannya. Satu-
satunya perbedaan ialah eksistensi (wujud) nyata pertama, yang tidak memiliki
esensi (mahiyah) karena ia adalah eksistensi (wujud) murni, yang terkait
dengannya tidak ada sesuatu yang lebih lengkap, lebih dalam atau lebih
sempurna.
Tidak ada generalitas atau partikularitas yang bercampur dengannya
[eksistensi (wujud)]; tidak ada definisi yang dapat mendefinisikannya, tidak
pula nama atau gambaran dapat menjelaskannya dengan persis; dan tidak ada
pengetahuan yang dapat memahaminya. “Dan semua wajah akan tunduk di
hadapan Yang Maha Hidup” [“Taha,” Q. 20:111].”61
Sama seperti kutipan sebelumnya, di sini Sadra sedang membicarakan
mengenai kenyataan bahwa eksistensi (wujud) itu tunggal sekaligus jamak, dan
bahwa yang membedakan antara satu eksisten (mawjud) dan eksisten (mawjud)

61
“It will become apparent to you also in what way it is true to say that the reality of wujud, while
being individualized by itself, is differentiated according to the differentiation of contingent
quiddities, each of which is united with one of its degrees and one of its stages. The only exception
is the first real Wujud, which has no quiddity because it is pure wujud, of which there is none more
complete, more intense, or more perfect.
Neither generality nor particularity is mixed with it [wujud]; no definition defines it, nor
does any name or description render it precise; and no knowledge comprehends it. “And all faces
will be humbled before the Ever-Living, the Self-Subsistent” [“Taha,” Q.S. 20:111]” Masha’ir, ¶
14, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-
Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.
10.
242
lainnya adalah esensi-esensi yang dimiliki oleh eksistensi kontinjen; dan bahwa
perbedaan-perbedaan tersebut terkait dengan derajat dan tahapan eksistensi (wujud)
yang dimiliki oleh masing-masing eksisten (mawjud) terkait dengan “eksistensi
(wujud) nyata pertama” yang merupakan sumber dari segala eksisten (mawjud),
yakni Tuhan. Di sini Sadra juga mencirikan bahwa Tuhan sebagai Eksisten
(mawjud) nyata pertama adalah yang paling lengkap, dalam dan sempurna, yang
tidak dapat dijangkau oleh pemahaman konseptual dan segala cara pemahaman
apapun. Maka, ini adalah melihat kenyataan eksistensi (wujud) pada level
transendental, hal ini ditegaskan oleh Sadra ketika ia mengutip ayat dari Qur’an,
surat Taha di mana ‘wajah’ yang disini digambarkan tunduk di hadapan Yang Maha
Hidup tidak lain dari eksistensi-eksistensi kontinjen yakni segala ciptaan Tuhan.
Dan Yang Maha Hidup tidak lain dari Eksistensi nyata pertama, yang paling murni
tanpa generalitas atau partikularitas yang bercampur dengannya.

c. Penembusan Ketiga
Subjudul dari penembusan ketiga dari Masha’ir adalah “Mengenai pembuktian
eksistensi (wujud) secara objektif”. Sebagaimana telah dijelaskan pada subjudul
sebelumnya – yakni Primasi eksistensi, penembusan ketiga – inti dari penembusan
ini dan juga penembusan keempat adalah bahwa Sadra menegaskan prinsip primasi
eksistensi. Terdapat delapan kesaksian dalam penembusan ketiga yang diberikan
Sadra untuk menegaskan prinsip primasi eksistensi. Pada kesaksian ketiga, Sadra
menegaskan prinsip primasi eksistensi via prinsip predikasi. Karenanya, ini adalah
pembuktian primasi eksistensi dalam kerangka penilaian logis, yakni predikasi, atau
penyifatan, atau penilaian logis atas sesuatu. Hal ini ditulis Sadra dalam ¶ 23,
kesaksian ketiga dalam penembusan ketiga:

“Jika eksistensialitas dari hal-ihwal bergantung kepada esensi (mahiyah)


mereka dan bukan pada sesuatu yang lain, maka akan menjadi tidak mungkin
untuk menyifatkan beberapa di antaranya ke beberapa lainnya dan untuk
menyifatkan beberapa hal ke beberapa hal lain, seperti ketika kita berkata,
“Zayd merupakan suatu makhluk hidup” dan “Manusia adalah suatu makhluk
yang berjalan,” karena makna dari predikasi dan verifikasinya merupakan
penyatuan dari dua konsep yang berbeda dalam eksistensi (wujud) [...]
predikasi meniscayakan penyatuan in concreto dan perbedaan dalam pikiran
[...] kebenaran dari verifikasi bergantung kepada sejenis penyatuan dan sejenis
perbedaan; karena, jika hanya terdapat kesatuan murni, sedari awal tidak akan
pernah ada predikasi. Jika [hanya] terdapat kejamakan, tidak pula akan terjadi
predikasi [...] Jika ini adalah sesuatu yang benar, maka tidak mungkin terdapat
243
suatu predikasi umum di antara hal-ihwal kecuali predikasi esensial primer,
dan [semua] predikasi akan dibatasi kepada predikasi esensial, yang
bergantung kepada penyatuan terkait dengan makna.”62
Inti dari paragraf yang cukup panjang ini adalah bahwa “predikasi
meniscayakan penyatuan in concreto dan perbedaan dalam pikiran” apa maksud
dari pernyataan ini? Sadra memberikan dua contoh predikasi: ‘Zayd adalah suatu
makhluk hidup’ dan ‘Manusia adalah suatu makhluk yang berjalan’. Kalimat
pertama merupakan predikasi esensial primer karena ini adalah penyifatan sesuatu
yang esensial kepada subjek, sementara kalimat kedua termasuk ke dalam predikasi
umum teknis, yakni penyifatan atas sesuatu yang aksidental atau non-esensial
kepada sesuatu yang lain. Kedua predikasi ini juga dapat disebut sebagai predikasi
esensial vis a vis predikasi aksidental. Prinsip modulasi, seperti yang telah dibahas,
bertumpu pada dua hal, yakni perbedaan sekaligus persamaan.

Ketika kita mengatakan, misalnya “Manusia adalah suatu makhluk yang


berjalan”, kita sedang mengaitkan dua hal, yakni ‘manusia’ sebagai subjek kalimat,
dan ‘makhluk yang berjalan’ sebagai predikat. Adapun, dari sisi lain, kedua hal
tersebut ada pada level konseptual: ‘manusia’ adalah suatu gagasan tertentu
mengenai sesuatu, sebagaimana ‘makhluk yang berjalan’ pun merupakan suatu
gagasan tertentu mengenai keadaan sesuatu. Dengan kata lain, keduanya adalah
konsep, dan kalimat tersebut merupakan pembuatan relasi antara konsep ‘manusia’
dan konsep ‘makhluk yang berjalan’. Predikasi mensyaratkan kesatuan dalam
eksistensi (wujud) dan perbedaan dalam esensi (mahiyah) atau makna. Karenanya,
kebenaran, atau verifikasi atas kalimat ‘manusia adalah makhluk yang berjalan’
dapat dilakukan jika kalimat ini merujuk kepada setidaknya suatu hal yang eksis di
dunia eksternal. Tanpa adanya sesuatu yang eksis di dunia eksternal di mana kita

62
“If the existentiality of things were dependent upon their quiddities and not upon something else,
then it would be impossible to attribute some of them to others and to attribute something to
something else, such as when we say, “Zayd is a living being” and “Man is a being who walks,”
because the meaning of predication and its verification is the unification of two different concepts
in existence ... predication necessitates unification in concreto and difference in the mind ... the
soundness of verification depends upon some kind of unification and some kind of difference
because, if there were [only] pure multiplicity, there would also be no predication ... If this were the
case, it would never be possible to have a common predication between things except for the primary
essential predication, and [all] predication would be limited to essential predication, which depends
upon unification with regard to meaning.” Masha’ir, ¶ 23, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical
Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr
(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 14.
244
dapat membuktikan kebenaran kalimat tersebut, maka ia tidak akan memiliki
makna, atau, ia tidak benar. Untuk memverifikasi kebenaran dari kalimat ‘manusia
adalah makhluk yang berjalan’, maka kita harus membuktikan eksistensi (wujud)
sesuatu – dalam hal ini manusia – di dunia eksternal yang dapat berjalan.

Sadra menyatakan bahwa kebenaran dari verifikasi bergantung kepada sejenis


penyatuan dan sejenis perbedaan; jika hanya terdapat kesatuan murni, sedari awal
tidak akan pernah ada predikasi, Jika hanya terdapat perbedaan murni, tidak pula
akan terjadi predikasi. Agar kalimat ‘Zayd adalah suatu makhluk hidup’ memiliki
makna, maka ‘Zayd’ dan ‘makhluk hidup’ haruslah berbeda, yakni secara makna,
pada level konseptual. Jika tidak demikian, maka kalimat ‘Zayd adalah makhluk
hidup’ sama artinya dengan ‘Zayd adalah Zayd’ atau ‘makhluk hidup adalah
makhluk hidup’. Ini adalah prinsip perbedaan dari predikasi, yakni perbedaan
maknawi pada level konseptual. Begitu pula, agar kalimat ‘Zayd adalah makhluk
hidup’ dapat bermakna, harus ada persamaan antara keduanya. Yakni, kedua kata,
yakni ‘Zayd’ dan ‘makhluk hidup’ harus merujuk kepada suatu hal tunggal di dunia
eksternal, in concreto. Yang ditunjuk oleh kata ‘Zayd’ adalah Zayd ini di dunia
eksternal, begitu pula, ‘makhluk hidup’ adalah suatu gagasan yang merujuk kepada
Zayd ini di dunia eksternal. Ini adalah prinsip kedua dari predikasi, yakni prinsip
persatuan di level fenomenal, dunia eksternal in concreto.

Akan tetapi, prinsip predikasi ini tidaklah sepenuhnya sama dengan prinsip
modulasi eksistensi. Prinsip predikasi utamanya terkait dengan suatu pernyataan
dalam kerangka logis, sementara prinsip modulasi eksistensi mencakup level yang
melampaui kerangka logis, yakni kerangka ontologis. Seperti yang telah dikatakan,
penembusan ketiga merupakan kumpulan dari argumentasi Sadra untuk
membuktikan prinsip primasi eksistensi. Ini dari pemaparan mengenai kaitan antara
kebenaran penilaian logis dan primasi eksistensi adalah bahwa tanpa adanya
kesatuan dalam realitas fenomenal, takkan ada sesuatu yang disebut predikasi. Kita
tidak dapat menyatakan bahwa ‘manusia adalah makhluk yang berjalan’ karena
keduanya berbeda secara konseptual, jika pada level fenomenal tidak terdapat
sesuatu yang mencakup dua kalimat tersebut dalam definisi dan deskripsinya. Agar
kalimat tersebut dapat diverifikasi, atau dibenarkan secara logis, maka dalam

245
realitas, kita harus dapat membuktikan eksistensi (wujud) dari setidaknya sesuatu
hal yang dapat disifati dengan deskripsi tersebut, misalnya keberadaan dari Zayd di
sini yang merupakan seorang makhluk yang juga manusia, dan dapat berjalan.
Maka, ini adalah suatu penjelasan yang mengaitkan secara tidak langsung antara
modulasi eksistensi, primasi eksistensi, dan predikasi logis.

Sadra membahas persoalan modulasi eksistensi secara lebih eksplisit dalam ¶


36 penembusan ketiga, kesaksian kedelapan:

“Apa yang tersingkap terkait perkara ini dan apa yang menerangi jalur
penalaran ini ialah [fakta] bahwa derajat intensitas dan kelemahan dalam hal-
ihwal yang memiliki suatu skala intensitas dan kelemahan menyusun, menurut
[para filsuf], perbedaan-perbedaan spesifik yang dibedakan dengan diferensi-
diferensi logis.
Dan dalam intensifikasi kualitatif, seperti dalam warna hitam, intensifikasi
yang merupakan suatu gerakan kualitatif akan disyaratkan oleh [para filsuf].
Jika eksistensi (wujud) semata-mata merupakan suatu pertimbangan
intelektual, maka spesies berbeda tanpa batas akan dibatasi dalam dua batas,
[yang tidak logis].”63
Di sini, Sadra sedang menjelaskan apa yang disebut modulasi eksistensi
dalam kerangka gerak substansial – yang tidak dapat dijelaskan di sini secara rinci.
Masih terkait dengan prinsip predikasi pada ¶ 23, di sini Sadra menegaskan kembali
bahwa primasi eksistensi menjadi syarat agar suatu penyifatan atau predikasi
menjadi logis. Contoh bagi apa yang disebut sebagai ‘intensifikasi kualitatif’ adalah
sebagai berikut. Andaikan suatu hal yang berwarna hitam, dalam dua titik waktu
yang ditentukan, memiliki peningkatan dalam kehitaman tersebut. Andaikan suatu
batang besi dibakar dan ia bertambah hitam dalam dua titik waktu yang ditentukan.
Maka kita dapat memikirkan mengenai intensifikasi warna hitam ini, yang terjadi
dalam dua waktu tersebut. ‘Besi ini menjadi lebih hitam dibanding tadi’; kalimat
ini bermakna bahwa seseorang membandingkan kualitas hitam dari suatu batang
besi pada dua titik waktu, yakni ‘sekarang’ dan ‘tadi’. Pertanyaannya adalah,

63
“What is unveiled concerning this matter and what illuminates the path is [the fact] that the degrees
of intensity and weakness in things that possesses a scale of intensity and weakness constitute,
according to [the philosophers], specific differences differentiated by logical differentiae.
And in qualitative intensifica-tion, such as in the color black, intensification that is a
qualitative movement would be required by [the philosophers]. If wujud were only a certain way of
intellectual consideration, then different species without constraint would be limited within two
limits, [which is illogical].” Masha’ir, ¶ 36, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,
Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:
Brigham Young University Press, 2014) h. 19.
246
seberapa banyak atau jauh perkembangan atau gerak kualitatif warna hitam besi
tadi pada dua waktu tersebut?

Jika kita membagi dua titik waktu itu menjadi jam, misalnya, maka besi
tersebut bertambah hitam, dalam sekian jam, dengan derajat tertentu. Maka jika
waktu ‘sekarang’ dan ‘tadi’ dipisahkan dalam satu jam, kita dapat menyatakan
bahwa dalam satu jam, perubahan kualitas hitam ini sekian derajat. Kemudian, jika
kita mengukur selisih waktu tadi dalam hitungan menit, artinya terdapat enam puluh
kali atau pembagian dari peningkatan kualitas kehitaman, terdapat enam puluh
tahapan di mana kehitaman dari suatu batang besi bergerak sebanyak sekian derajat.
Pengandaian ini dapat diteruskan hingga hitungan milidetik, sehingga gerak
kualitatif ini menjadi sesuatu yang dapat dibagi tanpa batas. Maka, dalam ¶ 37,
Sadra melanjutkan:

“Pastinya, jika bagi keseluruhan hal terdapat suatu eksistensi (wujud) tunggal
dan suatu bentuk tunggal yang berkelanjutan, dan definisi-definisi [semata-
mata] merupa-kan sesuatu yang potensial, maka tidak akan terjadi kekeliruan
logis, karena eksistensi (wujud) dari spesies-spesies yang bersesuaian dengan
definisi-definisi serta divisi-divisi yang ada akan menjadi suatu eksistensi
(wujud) tunggal yang potensial dan bukan aktual. Karena seluruh hal eksis
melalui suatu eksistensi (wujud) yang unik dan berkelanjutan, maka
kesatuannya aktual, sementara perbedaan dan kejamakannya potensial. Dan
jika eksistensi (wujud) tidak memiliki suatu bentuk objektif, maka
konsekuensinya menjadi tak terelakkan dan kesulitan-kesulitan yang ada akan
tetap utuh.”64
Sadra menyatakan, dalam kalimat ini bahwa kesulitan-kesulitan, yang baru saja
dicontohkan mengenai perkembangan atau gerak kualitatif tanpa batas dari warna
hitam pada suatu batang besi yang dibakar dalam dua titik waktu, akan hilang jika
kita menyadari bahwa gerak kualitatif tanpa batas itu hanya ada pada level
konseptual. Kejamakan, perbedaan dan divisi yang dimaksud dalam kalimat di atas
adalah keterangan mengenai derajat gerak kualitatif dari warna hitam tersebut.

64
“Certainly, if for the whole there be a single wujud and a single form that is continuous - as is true
in the case of continuous quantities, whether they be fixed or mobile - the definitions being then
[only] potential, there would not result from that any harm, since the wujud of these species that
correspond to the definitions and the divisions would be a wujud that is potential and not actual.
Since the whole exists through a unique and continuous wujud, its unity is actual, while its
multiplicity is potential. And if wujud were not to have an objective form, the consequence would
be inevitable and the difficulties would persist.” Masha’ir, ¶ 37, Mulla Sadra, The Book of
Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed
Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 19.
247
Andaikan dalam dua titik waktu, yakni w1 dan w2 terdapat gerak kualitatif dari k1
ke k2; dan ini adalah dua titik waktu yang dihitung dalam jam, maka dalam hitungan
menit, terdapat enam puluh titik waktu, yakni w 1 hingga w60, di mana perubahan
kualitatif dari k1 ke k2 terjadi. Dengan demikian, perubahan dari k1 ke k2 dapat
dibagi menjadi enam puluh tahapan dalam titik waktu, menjadi k 1 ke k60, dan
seterusnya jika kita mengubah hitungan tersebut menjadi lebih kecil. Kesulitan ini
dapat diatasi jika kita menyadari bahwa pembagian, divisi gerak atau tahapan
tersebut adalah suatu kategori dan tahapan mental-konseptual, sementara dalam
level fenomenal, yang kita dapati adalah suatu besi tunggal yang memiliki warna
demikian dan demikian. Terlepas dari potensi bahwa perubahan kualitatif warna
hitam dalam besi tersebut dapat dibagi hingga tahapan tak terbatas, perubahan
tersebut dapat diverifikasi karena objek penilaian logis dari gerak kualitatif tersebut
adalah sesuatu yang tunggal di mana semua potensi divisi tersebut tergabung,
bersatu, dan berkelanjutan. Maka ini adalah salah satu prinsip modulasi di mana
eksistensi (wujud) menjadi titik persatuan dari banyak esensi (mahiyah) yang
merupakan pemahaman konseptual atas suatu eksistensi (wujud) tunggal yang ada
di dunia eksternal in concreto. Sekali lagi, ini adalah prinsip modulasi: perbedaan
di satu sisi, persatuan di sisi lain.

d. Penembusan Keempat
Pembahasan persoalan modulasi eksistensi pada penembusan keempat
memiliki beberapa konteks yang saling terkait. Ia terkait dengan rumusan divisi
transendental eksistensi (wujud) dari Ibn Sina, yang dijelaskan oleh Sadra dalam ¶
25 penembusan ketiga meskipun konteks Ibn Sina ini tidak dijelaskan secara
eksplisit olehnya. Konteks kedua berasal dari paragraf dalam penembusan ketiga
tersebut, yakni perihal prinsip primasi eksistensi, dan konteks ketiga adalah
kerangka tanya-jawab yang terdapat dalam penembusan keempat dimana kita
menemukan ¶ 42 ini. Sadra menulis:

“Seseorang dapat memecahkan persoalan ini melalui tiga pertimbangan:


anterioritas dan posterioritas, kesempurnaan dan kekurangan, kekayaan dan
kemiskinan. Sanggahan ini tidak membedakan antara keniscayaan esensial dan
pre-eternal. Kini, Eksistensi Niscaya anterior terhadap segala sesuatu dan tidak
disebabkan oleh segala sesuatu. Ia sempurna; tidak ada yang lebih tinggi dari-
Nya, sejauh potensi eksistensi (wujud) dipertimbangkan; dan tidak ada
ketidaksempurnaan di dalam-Nya dengan cara apapun.
248
Lebih jauh, Ia cukup bagi dirinya dan tidak terkait dengan eksisten (mawjud)
apapun, karena eksistensi (wujud)-Nya niscaya melalui keniscayaan pre-
eternal dan tidak dibatasi oleh durasi esensi (mahiyah)-Nya tidak pula
ditentukan oleh durasi dari kualifikasi apapun. eksistensi (wujud)-eksistensi
(wujud) kontinjen adalah esensi-esensi yang tidak cukup bagi dirinya untuk
eksis, menjadi hal-hal yang bergantung ketika dilihat terpisah dari penciptanya
[...] Makna dari “eksisten (mawjud) menjadi niscaya” ialah bahwa esensi
(mahiyah)-nya eksisten (mawjud) dengan sendirinya tanpa memerlukan suatu
pencipta yang akan memberikan eksistensi (wujud) kepadanya, tidak pula
suatu wadah yang akan menerimanya. Dan makna dari “eksistensi (wujud)
menjadi eksisten (mawjud)” ialah bahwa ketika ia terwujud, entah karena
dirinya atau karena suatu agen, ia tidak memerlukan, agar terwujud, eksistensi
(wujud) lainnya yang akan membuatnya terwujud, berkebalikan dengan non-
eksistensi...”65
Sadra membedakan dua jenis keniscayaan, pertama adalah keniscayaan
esensial, kedua adalah keniscayaan pre-eternal. Keniscayaan pre-eternal
mencirikan Eksistensi Niscaya, sementara keniscayaan esensial mencirikan
eksisten (mawjud) pada umumnya. Konteks dari penjelasan Sadra ini terkait dengan
pihak yang menuduh bahwa kelompok yang mengusung modulasi eksistensi, yang
menyatakan bahwa eksistensi (wujud) mencakup baik Eksistensi Niscaya dan
eksistensi kontinjen menyamakan dua divisi eksistensi (wujud) tersebut. Kita dapat
memahami konteks persoalan ini lebih baik dengan melihat apa yang pada bab
sebelumnya telah kita bahas dalam kritik Shahrastani dan Razi atas divisi
transendental eksistensi (wujud) yang dirumuskan Ibn Sina. Bagi Shahrastani dan
Razi, rumusan modulasi dari Ibn Sina, dengan divisi transendental eksistensinya,
mengarahkan seseorang untuk menyamakan status Eksistensi Niscaya dan
eksistensi kontinjen karena secara logis, keduanya tercakup dalam makna eksistensi

65
“One can solve this through three considerations: anteriority and posteriority, perfection and
deficiency, richness and indigence. This objection does not distinguish between essential necessity
and pre-eternal necessity. Now, the Necessary Being is anterior to everything and is not caused by
anything. It is perfect; there is nothing more intense than It, as far as the potency of wujud is
concerned; and there is no imperfection in It in any way whatsoever.
Furthermore, It is sufficient unto itself and not related to any existents, because Its wujud
is necessary through pre-eternal necessity and is not limited by the duration of Its essence nor
conditioned by the duration of any qualification. Contingent existences are essences that are not
sufficient unto themselves to exist, being dependent ipseities when considered independent of their
instaurer ... The meaning of “wujud being necessary” is that its essence is existent by itself without
having need of any instaurer that would bestow existence upon it, nor of a receptacle that would
receive it. And the meaning of “wujud being existent” is that when it is actualized, either by itself or
by an agent, it has no need, in order to be realized, of another existence that would make it realized,
in contrast to non-wujud...” Masha’ir, ¶ 42, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations,
Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah:
Brigham Young University Press, 2014) h. 22.
249
(wujud). Jawaban Tusi atas Razi ialah bahwa Razi tidak memahami bagaimana
prinsip modulasi eksistensi bekerja dalam divisi transendental eksistensi (wujud).

Kita juga dapat melihat bahwa persoalan ini diajukan oleh Suhrawardi, ia
mempersoalkan divisi transendental ini dengan menyerang secara logis definisi
Eksistensi Niscaya. Singkatnya, dalam divisi ini, menurut Suhrawardi, pada
akhirnya tidak ada eksisten (mawjud) yang tidak niscaya. Dalam paragraf di atas,
Sadra merujuk kekeliruan pemahaman mereka yang mengkritik divisi transendental
eksistensi (wujud) pada keabaian mereka mengenai pembedaan antara keniscayaan
pre-eternal dan keniscayaan esensial. Keniscayaan pre-eternal adalah keniscayaan
dalam arti mutlak di mana suatu Eksistensi Niscaya dengan sendirinya, tanpa sebab,
sempurna, tanpa terpengaruh oleh esensi-esensi, karena Eksistensi Niscaya adalah
juga Eksistensi Murni. Keniscayaan esensial adalah keniscayaan bahwa eksistensi
(wujud) tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk eksis. Keniscayaan ini tidak
hanya dimiliki oleh Eksistensi Niscaya, ia juga dimiliki oleh eksistensi kontinjen,
sejauh level fenomenal dipertimbangkan. Dengan kata lain, perbedaan antara
keniscayaan pre-eternal dan keniscayaan esensial dapat dikaitkan dengan dua level
realitas, yakni transendental dan fenomenal.

Eksistensi (wujud), baik Eksistensi Niscaya maupun eksistensi kontinjen,


merupakan sesuatu yang agar eksis tidak memerlukan eksistensi (wujud) lainnya.
Hal ini sudah ditegaskan dan dipastikan dalam prinsip primasi eksistensi, karena
sifat eksistensi (wujud) adalah eksis, maka agar ia eksis, ia tidak memerlukan
eksistensi (wujud) lain di luar dirinya. Andaikan kita bicara mengenai eksistensi
(wujud) ‘Irene’, agar Irene eksis, ia tidak memerlukan eksistensi (wujud) lain di luar
dirinya, yang ditambahkan pada suatu esensi (mahiyah) Irene. Ini adalah kebenaran
pada level fenomenal: agar sesuatu eksis, eksistensinya sendiri sudah cukup. Dalam
level ini, kita tidak sedang membicarakan mengenai asal-muasal mendasar dari
segala sesuatu. Keniscayaan esensial bisa dicontohkan dengan kalimat ‘manusia
adalah manusia’, yakni, agar manusia menjadi manusia ia tidak memerlukan
eksistensi (wujud) lain di luar manusia yang menjadikannya manusia. Dan bahwa
eksistensi (wujud) segala sesuatu juga seperti itu. Namun, dalam level
transendental, segala eksistensi (wujud) bersumber dari Eksistensi Niscaya.

250
Artinya, terdapat suatu ketergantungan pre-eternal atas eksistensi (wujud) Murni,
Eksistensi Niscaya, agar semua eksisten (mawjud) eksis.

Dengan demikian, kita kini melihat bahwa divisi transendental Mulla Sadra
berbeda dari divisi Ibn Sina. Bagi Ibn Sina, keniscayaan hanya dimiliki oleh
Eksistensi Niscaya, yang didefinisikan sebagai suatu eksisten (mawjud) yang tidak
memerlukan eksistensi (wujud) lain agar ia eksis. Ibn Sina menyatakan bahwa
eksistensi kontinjen adalah eksisten (mawjud) yang agar eksis memerlukan
eksistensi (wujud) lain, dan bahwa relasi antara eksistensi-esensi merupakan relasi
nyata dalam level fenomenal. Artinya, jika relasi ini tidak eksis pada Eksistensi
Niscaya karena Eksistensi Niscaya adalah eksistensi (wujud) murni tanpa esensi
(mahiyah), pada eksistensi kontinjen relasi ini eksis. Pada eksistensi (wujud)
kontinjen, eksistensi (wujud) ditambahkan dari luar, yakni dari Eksistensi Niscaya
kepada esensi-esensi yang kemudian mewujud menjadi suatu eksistensi kontinjen.
Sementara, menurut Sadra, relasi eksistensi-esensi ini hanya nyata pada level
konseptual dan bukan fenomenal; Ibn Sina menyatakan bahwa relasi ini adalah
relasi yang juga terjadi pada level fenomenal. Dari sini kita dapat mengatakan
bahwa, melalui penjelasan antara keniscayaan pre-eternal dan esensial, yang juga
menyiratkan perumusan modulasi eksistensi, Sadra sedang merumuskan ulang
divisi transendental eksistensi (wujud) Ibn Sina.

“Seseorang dapat memecahkan persoalan ini melalui tiga pertimbangan:


anterioritas dan posterioritas, kesempurnaan dan kekurangan, kekayaan dan
kemiskinan” Ini adalah rumusan modulasi eksistensi, bahwa eksistensi (wujud)
menyusun suatu kontinuum tunggal hierarkis di mana eksistensi (wujud) terbagi
menjadi moda-moda eksistensi (wujud) dengan level yang berbeda sesuai dengan
kriteria-kriteria tersebut. Dari sini, dapat diperjelas juga mengenai pembedaan
keniscayaan esensial dan keniscayaan pre-eternal. Pada keniscayaan esensial di
mana eksistensi (wujud) sesuatu tidak memerlukan eksistensi (wujud) lain dari luar
sesuatu tersebut, kita mendapati sebentuk keniscayaan tertentu, yang jika dilihat
pada level transendental, sejatinya tidak begitu niscaya dalam relasi sebab-akibat:
yakni, pada hakikatnya, meskipun jika dilihat dalam dirinya, suatu eksistensi
(wujud) tidak memerlukan eksistensi (wujud) lain agar ia eksis, dari relasi sebab-

251
akibat, ia tidak akan eksis jika tidak ada Pencipta yang menciptakan eksistensi
(wujud) tersebut. Pada level transendental, keniscayaan yang ada ialah keniscayaan
pre-eternal, di mana ini adalah suatu keniscayaan mutlak di mana Eksistensi
Niscaya agar eksis sama sekali tidak memerlukan eksistensi (wujud) di luar dirinya,
dan tanpa memerlukan sebab apapun itu; ini adalah keniscayaan sempurna. Maka,
setidaknya terdapat dua level keniscayaan di sini, keniscayaan pre-eternal yang
sempurna, dan keniscayaan esensial yang relatif, atau kurang sempurna.

e. Penembusan Keenam
Subjudul dari penembusan keenam ialah “Mengenai partikularisasi dari
eksisten-eksisten individual dan ke-diri-an mereka – dalam ringkasan.” Dengan
kata lain, apa yang dibahas dalam penembusan ini ialah mengenai bagaimana suatu
eksisten (mawjud) di dunia eksternal terwujud dan menjadi suatu eksisten
(mawjud). Kita telah mencatat sebelumnya bahwa eksisten-eksisten di dunia
eksternal memiliki ciri partikularitas, berbeda dari pembicaraan sesuatu pada level
konseptual di mana kita membicarakan generalitas dan universalitas. ‘Manusia’
adalah suatu konsep general dan universal yang kita dapati pada level konseptual;
partikularisasi atasnya di dunia eksternal in concreto adalah perwujudan seseorang,
misalnya ‘Irene’ di dunia eksternal. Partikularisasi berarti bahwa universal
‘manusia’ yang general pada level konseptual, menjadi suatu eksisten (mawjud)
partikular yang memiliki suatu ke-diri-an, yakni apa yang membuat Irene menjadi
Irene, dan lagi, menjadi Irene yang ini dan bukan yang itu, karena Irene sebagai
nama juga bisa menjadi universal karena ia dapat mewakili lebih dari satu orang.
Manusia terwujud menjadi partikular pada level fenomenal, yakni dunia eksternal
in concreto ketika ia menjadi Irene yang ini, yang hidup, menari, dan menyanyi di
hadapan saya, bukan yang lain. Ini adalah apa yang disebut sebagai partikularisasi
dan individuasi. Sadra mengawali penembusan keenam dengan paragraf ini:

“Ketahuilah hal ini: Kau telah menjadi tahu bahwa eksistensi (wujud)
merupakan suatu realitas konkret, tunggal dan bukan merupakan suatu
universal natural yang berada dalam pikiran, yang akan menerima salah satu
dari lima universal dari logika, kecuali dari sudut pandang esensi (mahiyah)
yang dengannya ia bersatu ketika esensi (mahiyah) ini dilihat sedemikian rupa.
Karenanya, kami mengatakan: Partikularisasi bagi masing-masing eksistensi
(wujud) individual terdiri dari [tiga cara] berikut: [1] dengan kenyataannya
sendiri, sebagaimana dalam Eksistensi Niscaya yang sempurna; atau [2]
252
melalui suatu derajat anterioritas dan posterioritas, dan kesempurna-an dan
kekurangan, sebagaimana dalam makhluk-makhlluk yang diciptakan; atau
lagi, [3] melalui anasir-anasir yang ditambahkan, sebagaimana dalam anggota-
anggota dari dunia ciptaan.”66
Seperti yang telah kita lihat pada pembahasan modulasi di penembusan
keempat, di sini Sadra juga menggunakan prinsip modulasi eksistensi dan
memadukannya dengan divisi transendental eksistensi (wujud). Dalam paragraf ini,
Sadra membagi eksistensi (wujud) menjadi tiga berdasarkan bagaimana ia
terpartikularisasi, bagaimana masing-masing eksisten (mawjud) tersebut menjadi
dirinya. Eksistensi Niscaya adalah eksisten (mawjud) yang terpartikularisasi, atau
terwujud menjadi suatu eksisten (mawjud) partikular karena kenyataannya sendiri;
dalam kerangka teologis, kita dapat mengatakan bahwa Tuhan menjadi Tuhan
karena Ia adalah Tuhan, dalam kerangka metafisis, Eksistensi Niscaya menjadi
Eksistensi Niscaya karena ia adalah Eksistensi Niscaya. Eksistensi Niscaya tidak
memerlukan apapun agar ia menjadi diri-Nya. Kedua, adalah eksisten (mawjud)
yang termasuk dalam “makhluk-makhluk yang diciptakan”, ini mencakup segala
ciptaan Tuhan yang ada di level fenomenal: tumbuhan, manusia, binatang, dan
lainnya. Dengan menerapkan tiga level realitas, kita dapat melihat divisi
transendental eksistensi (wujud) di atas menjadi: Eksistensi Niscaya pada level
transendental, yakni level tertinggi dari kenyataan eksistensi (wujud); eksistensi
kontinjen, “makhluk yang diciptakan” yang mencakup level fenomenal dan
konseptual dalam kenyataan eksistensi (wujud), dan “anggota-anggota dari dunia
ciptaan” adalah apa yang termasuk ke dalam eksistensi kontinjen.

Dalam paragraf di atas, Sadra secara implisit menyatakan bahwa prinsip


modulasi eksistensi merupakan prinsip individuasi pada level kedua, yakni pada
eksistensi kontinjen, di mana di sini mencakup level konseptual dan fenomenal.

66
“Know this: You have already come to know that wujud is a concrete, simple reality and that it is
not a natural universal that, in the mind, would receive one of the five universals of logic, except
from the pont of view of the quiddity with which it is united when this quiddity is considered as
such.
Therefore, we say: The particularization of each individual wujud consists of the following
[three means]: [1] by Its own reality, as in the case of the perfect Necessary Being - exalted be His
Glory; or [2] by means of a degree of anteriority and posteriority, and of perfection and deficiency,
as in the case of generated beings; or yet again, [3] by certain added elements, as in the case of the
members of the world of creation.” Masha’ir, ¶ 81, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical
Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr
(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 35.
253
Modulasi tidak diterapkan kepada Eksistensi Niscaya karena satu alasan: Sadra
berulangkali menyatakan bahwa kenyataan transendental mengenai Eksistensi
Niscaya adalah kenyataan yang tidak dapat dicapai dengan pemahaman apapun.
Adapun makna dari penerapan modulasi pada prinsip individuasi eksistensi (wujud)
pada level eksistensi kontinjen adalah sebagai berikut. Dalam kenyataan yang kita,
manusia, dapat pahami, segala sesuatu melibatkan dua level pemahaman:
fenomenal dan konseptual. Sebagaimana telah dibahas lebih rinci pada bab
sebelumnya, level fenomenal adalah level di mana kita dapat memahami kenyataan
eksistensi (wujud) pada tahap pre-konseptual, ini adalah tempat di mana eksistensi
(wujud) dipastikan hadir sebagai suatu intuisi langsung bagi pemahaman.
Sementara, level konseptual adalah level di mana kita mendapati esensi (mahiyah),
atau pemahaman atas eksisten-eksisten di level fenomenal dalam kerangka
universal.

Ini adalah datum dari pengalaman kita sehari-hari: kita mendapati dunia
eksternal di mana kita hidup dan sadar merupakan suatu dunia di mana kita bisa
melihat banyak hal, banyak esensi (mahiyah). Ketika seseorang berkata ‘manusia
itu eksis’, apa yang kita pikirkan dan pahami? Kita menjumpai banyak ‘manusia’
dalam keseharian kita, ayah kita, ibu kita, saudara dan saudari kita, Budi, tetangga
kita, Agus, teman sekelas kita, Irene, bias kita, dan lain-lain. Dari individu-individu
partikular tersebut, kita dapat mengatakan bahwa ‘manusia itu eksis’. Dari
pengalaman-pengalaman partikular kita menemui individu-individu tersebut, kita
dapat berbicara mengenai ‘manusia’ pada umumnya. Kita tidak perlu mengenal
seluruh manusia yang pernah ada di dunia ini, di seluruh tempat, bahkan mungkin
di luar bumi atau galaksi bima sakti, untuk mengatakan bahwa ‘manusia itu eksis’.
Kita tidak perlu pula mengetahui setiap orang yang telah ada, hidup, kemudian
meninggal di bumi dari awal penciptaan hingga akhir dunia, untuk mengetahui
bahwa ‘manusia itu eksis’. Artinya, ini adalah pemahaman kita mengenai suatu
universal, yakni ‘manusia’.

Kita mengetahui bahwa gagasan, esensi (mahiyah) ‘manusia’ merupakan


suatu gagasan umum, suatu universal, yang terwujud dalam banyak kasus, yakni
individu-individu partikular, yang kita kenal dengan cara apapun. Inilah apa yang

254
dimaksud dengan kenyataan pada level eksistensi kontinjen. Suatu eksistensi
kontinjen terwujud, terpartikularisasi dengan cara tersebut: kita memadukan
pengetahuan universal kita dan pengalaman partikular kita untuk memahami
perwujudan dari universal tersebut. Pada level eksistensi kontinjen ini, kita
memahami suatu esensi (mahiyah), seperti ‘manusia’ terwujud “melalui suatu
derajat anterioritas dan posterioritas, dan kesempurnaan dan kekurangan”. Ini
adalah prinsip modulasi eksistensi. Bagaimana manusia sebagai suatu universal
terpartikularisasi menjadi individu-individu partikular? Bagaimana Irene menjadi
manusia, dan lebih persisnya, bagaimana Irene menjadi manusia yang berbeda dari
Seulgi yang juga manusia? Bagaimana keduanya berbeda dari sudut pandang ke-
diri-an mereka – apa yang membuat Irene menjadi Irene dan Seulgi menjadi Seulgi
sementara keduanya sama-sama manusia? – ini adalah persoalan yang dimaksud
Sadra dalam paragraf di atas.

Dengan menerapkan prinsip modulasi, kita dapat menyatakan bahwa


universal ‘manusia’ terwujud dalam kasus partikular ‘Irene’ dan ‘Seulgi’
berdasarkan derajat anterioritas atau posterioritas: Irene lahir terlebih dahulu
dibandingkan Seulgi, sementara keduanya sama-sama tercakup dalam esensi
(mahiyah) ‘manusia’. Berdasarkan kesempurnaan dan kekurangan: ‘Irene’ lebih
sempurna dari Seulgi dari segi keindahan wajah, Seulgi lebih sempurna dari Irene
dari segi keindahan suara, sementara keduanya sama-sama tercakup dalam esensi
(mahiyah) ‘manusia’. Dan kita dapat membuat contoh-contoh lain bagaimana suatu
esensi (mahiyah) ‘manusia’, ‘binatang’, ‘tumbuhan’, dan hal-hal lainnya dengan
menerapkan prinsip tersebut. Modulasi, sekali lagi, memiliki dua sisi, yakni sisi
persamaan dan perbedaan. Dalam kasus ini, perbedaan di level fenomenal,
partikular (Irene, Seulgi) dan persamaan di level konseptual, universal (manusia).
Beginilah cara suatu eksistensi kontinjen terwujud, yang berada dalam kerangka
perpaduan antara level fenomenal dan konseptual.

Sadra menutup penembusan keenam dengan menggambar-kan prinsip


modulasi eksistensi sebagai prinsip partikularisasi dan individuasi dengan contoh
angka Pythagorean:

“[...] Apa yang dimaksud dengan pembedaan eksistensi-eksistensi dari segi


spesies adalah apa yang terkenal menurut kaum Peripatetik terkait dengan
255
makna ini. Dari satu sudut pandang, ini seperti pembedaan pada derajat angka;
dan dari sudut pandang lain, seperti keserupaan dari segi spesies. Dalam
kenyataan, adalah benar untuk mengatakan bahwa derajat angka-angka
menyusun suatu realitas yang menyatu, karena bagi setiap derajat angka, tidak
ada sesuatu yang lain dari suatu kumpulan dari unit-unit yang serupa satu sama
lain. Sama benarnya untuk mengatakan bahwa angka-angka dibedakan [dari
satu sama lain] sejauh makna esensial masing-masingnya dipertimbangkan,
karena dari setiap derajat [angka-angka], intelek dapat mengabstraksi kualitas-
kualitas dan properti-properti esensial yang tidak terbukti dalam angka-angka
lain.
Dan mereka memiliki efek-efek dan ciri-ciri yang dibedakan yang dihasilkan
dari derajat ini terkait keadaannya sendiri, yang diabstraksi intelek dari
masing-masing derajat esensialnya, berlawanan dengan apa yang ia abstraksi
dari masing-masing derajat lainnya berdasarkan esensi (mahiyah) masing-
masingnya. Karenanya, mereka, seperti eksisten-eksisten partikular dalam
artian bahwa suatu subjek di mana struktur-struktur esensial dan kualitas-
kualitas universal disifatkan pada hakikatnya adalah esensi-esensi masing-
masing dari angka-angka ini.”67
Sama seperti bagaimana ‘manusia’ terwujud dalam partikularitas, misalnya
‘Irene’ dan ‘Seulgi’, angka-angka juga memiliki kesamaan partikularisasi macam
itu. Mari kita contohkan beberapa angka: 1, 2, 3, 4, 5. Sadra menyatakan bahwa
“bagi setiap derajat angka, tidak ada sesuatu yang lain dari suatu kumpulan dari
unit-unit yang serupa satu sama lain”, maksud dari kalimat ini ialah, dalam lima
derajat angka tersebut, yakni 1, 2, 3, 4 , 5, pada hakikatnya setiap angka tersusun
dari unit yang sama: 1, 1+1, 1+1+1, 1+1+1+1, 1+1+1+1+1. Pada hakikatnya, setiap
derajat angka adalah kumpulan dari angka 1 dengan derajat tertentu. Di sisi lain,
“intelek dapat mengabstraksi kualitas-kualitas dan properti-properti esensial yang
tidak terbukti dalam angka-angka lain”; kita mengetahui bahwa di satu sisi, setiap
derajat angka tersusun dari angka esensial, yakni 1, di sisi lain, kita mengetahui

67
“[...] what is meant by the differentiation of existences in terms of species is what became famous
according to the Peripatetics concerning this meaning. From this point of view, this is like the
differentiation of the degrees of numbers; and from another point of view, it is their convergence in
terms of species. In reality, it is correct to say that the degrees of numbers constitute a unified reality,
since for each degree of numbers, there is nothing but an assemblage of units that are similar to one
another. It is equally correct to say that they are differentiated [from one another] as far as their
respective essential meanings are concerned, since from each degree [of numbers], the intellect can
abstract qualities and essential properties that are not proven for others.
And they have effects and differentiated characteristics that result from this degree with
regard to its own conditions, which the intellect abstracts from each of the other degrees by virtue
of their respective essences. They are, therefore, like particular existences in the sense that subject
to which these essential structures and universal qualities are attributed is essentially the respective
essences of each of these numbers. Think deeply upon all this because all of this comes from noble
sciences.” Masha’ir, ¶ 88, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir:
A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University
Press, 2014) h. 39.
256
bahwa makna 1 berbeda dengan 2, begitu pula keduanya berbeda dengan 3,
ketiganya berbeda dengan 4, dan seterusnya. Prinsip modulasi, sekali lagi, didirikan
dengan dua sisi, perbedaan dan persamaan. Setiap derajat angka memiliki sisi
persamaan yakni tersusun dari kumpulan unit angka 1, dan memiliki perbedaan
ketika masing-masing derajat tersebut dipahami oleh intelek: bahwa setiap derajat
angka merupakan perubahan atau moda tertentu dari angka 1.

Sama seperti universal ‘manusia’ yang dipartikularisasi menjadi ‘Irene’ dan


‘Seulgi’, terdapat kesamaan dalam setiap derajat angka, di sini, ‘manusia’ dapat
dianalogikan dengan angka 1 yang menyusun derajat setiap angka pada analogi
angka, yang pada contoh eksistensi kontinjen merupakan suatu universal yang
menyusun masing-masing diri manusia. Sama seperti ‘Irene’ dan ‘Seulgi’ yang
terpartikularisasi dari universal ‘manusia’, setiap derajat angka memiliki makna
esensial yang membedakannya dari angka lainnya, sebagaimana ‘Seulgi’
membedakan diri dari ‘Irene’ sementara mereka sama-sama tercakup dalam
universal ‘manusia’, setiap derajat angka membedakan diri satu sama lain meskipun
sama-sama tercakup dalam kriteria ‘tersusun dari unit-unit angka yang sama, yakni
angka 1’. Intelek mengabstraksi makna ke-diri-an, partikular, dari masing-masing
derajat angka dan dari ‘Irene’ dan ‘Seulgi’, yang berbeda dari eksisten (mawjud)
dan derajat angka lain, di sisi lain, intelek mengetahui bahwa mereka tercakup
dalam universalitas, yakni ‘angka’ dan ‘manusia’.

f. Penembusan Ketujuh
Subjudul dari penembusan ketujuh dalam Masha’ir adalah “Mengenai
pembahasan bahwa apa yang hakikatnya menjadi objek penciptaan dan apa yang
diemanasi dari sebab ialah eksistensi (wujud) tanpa esensi (mahiyah).” Dari
subjudul tersebut, kita mengetahui bahwa bab ketujuh dari Masha’ir ini ialah bab
yang menjelaskan prinsip emanasi. Dan tentu saja, prinsip emanasi dalam skema
metafisika eksistensial Mulla Sadra adalah suatu teori emanasi yang dilihat dalam
kerangka eksistensi (wujud). Penembusan ketujuh terdiri dari delapan sub-bab
kesaksian, dengan jumlah 13 paragraf (¶ 89-101). Teori emanasi Mulla Sadra pada
dasarnya tidak berbeda jauh dari teori emanasi dalam filsafat Islam pada umumnya.
Mengenai hal ini, kita tidak dapat membahas bagaimana kekhususan dari teori

257
tersebut karena ini berada di luar cakupan dari penelitian ini. Adapun, apa yang
akan dijelaskan di sini ialah bagaimana teori emanasi tersebut dilihat sejauh ia dapat
bermanfaat untuk menjelaskan prinsip modulasi eksistensi Mulla Sadra. Berikut
adalah paragraf yang secara eksplisit memadukan teori emanasi dengan prinsip
modulasi eksistensi Mulla Sadra:

“Eksistensi (wujud) memiliki tiga derajat: (1) eksistensi (wujud) yang tidak
terkait dengan segala sesuatu selain dirinya dan tidak dibatasi oleh suatu batas
partikular ([jenis eksistensi (wujud) ini] pantas menjadi prinsip dari segala
sesuatu); (2) eksistensi (wujud) yang terkait dengan sesuatu yang lain, seperti
akal-akal, jiwa-jiwa langit, kudrat-kudrat alamiah [panas, dingin, kekeringan,
dan kelembaban], benda-benda langit, dan substansi-substansi material; dan
(3) eksistensi (wujud) meluas, yang pencakupan dan perluasannya mencakup
kuil-kuil hal-hal individual konkret dan esensi-esensi dalam suatu cara yang
berbeda dari universal-universal natural dan esensi-esensi intelijibel, tetapi,
justru, dalam suatu cata yang dipahami oleh para ‘arif dan apa yang mereka
sebut sebagai “Nafs al-Rahman,” sebuah nama yang diambil dari firman-Nya,
Ia yang Maha Suci: “Dan Kasih-Ku mencakup segala sesuatu” (Q.S. al-A’raaf,
7: 156). eksistensi (wujud) ini dalam kenyataan merupakan sesuatu yang
pertama ter-emanasi di antara eksistensi-eksistensi kontinjen dari Kausa
Pertama dan disebut “Kebenaran yang darinya ciptaan diciptakan.” Dan
eksistensi (wujud) ini merupakan prinsip dari semua eksistensi (wujud) di jagat
raya, kehidupan dan cahayanya, dan merasuk ke dalam apa saja yang ada di
langit dan di bumi [...]
Relasinya dengan Eksistensi Niscaya dapat diibaratkan dengan relasi dari
cahaya yang terindera, dan cahaya-cahaya yang memancar pada benda-benda
di langit dan di bumi, kepada matahari. Dan ia berbeda dari eksistensi (wujud)
afirmatif dan relasional yang serupa dengan konsep-konsep universal dan
rasional yang tidak dilekatkan entah kepada penciptaan dari Sang Pencipta
atau kepada suatu akibat. Hal-hal terakhir ini memang memiliki sejenis
eksistensi (wujud) tertentu seperti intelijibel-intelijibel primer; tetapi eksistensi
(wujud) mereka adalah persisnya terwujudnya mereka di dalam pikiran
sebagaimana seseorang melihat sifat nir-bendawi, nir-kemungkinan, dan nir-
ciptaan dalam konsep nir-eksistensi (wujud). Tetapi dalam pandangan kami,
tidak terdapat perbedaan di antara konsep-konsep ini dan lainnya dalam arti
bahwa mereka semata-mata merupakan narasi dan nama-nama dari hal-hal
tertentu, kecuali bahwa beberapa di antaranya merupakan nama bagi realitas-
realitas eksisten (mawjud), sementara lainnya adalah nama-nama dari sesuatu
yang hakikatnya keliru.”68

68
“Wujud has three degrees: (1) wujud that is not related to anything other than itself and that is not
limited by any particular limit ([this type of wujud] deserves to be the principle of all things); (2)
wujud that is related to something else, such as intelligences, the souls of the heavens, the basic
natures [heat, cold, dryness, and humidity], celestial bodies, and material substances; and (3)
extended wujud, whose comprehension and extension englobes the temples of individual concrete
things and quiddities in a manner that is not like that of universal natures and intelligible quiddities,
but, rather, in a mannter that is understood by the gnostics and that they call the “Compassionate
Breath,” a name derived from His saying, transcendent is He: “And My Mercy embraces all things”
(“A’raf.” Q.S. 7: 156). This wujud is in reality the first emanated among contingent beings from the
258
Ini adalah kutipan dari ¶ 97, penembusan ketujuh, kesaksian kelima dalam
Masha’ir. Paragraf ini dibagi menjadi dua selain karena ia agaknya terlalu panjang,
dan kedua, untuk memperjelas kekhususan dari metode Sadra melihat teori emanasi
dari sudut pandang metafisika eksistensial. Tidak seperti teori emanasi secara
umum yang membagi hierarki eksistensi (wujud) dari Tuhan, disusul akal pertama
hingga akal kesepuluh dan diiringi dengan langit yang lahir karena refleksi
berkesinambungan, Sadra membagi hierarki emanasi menjadi tiga level. Dan
kesemuanya dilihat dari sudut pandang eksistensi (wujud). Kita dapat melihat
bahwa divisi emanasi ini bersesuaian dengan divisi transendental eksistensi (wujud)
dan juga level realitas eksistensi (wujud) yang telah kita bahas. Proses emanasi tidak
lain dari proses emanasi eksistensi (wujud) dari Eksistensi Niscaya ke eksistensi
kontinjen. Pada tingkat teratas terdapat Eksistensi Niscaya yang merupakan kausa
pertama dan merupakan eksisten (mawjud) yang tanpa sebab dan tanpa kaitan
dengan eksisten (mawjud) lainnya. Kemudian, terpancar eksisten (mawjud) di level
kedua, yakni akal-akal, jiwa-jiwa langit dan kudrat alamiah; kita dapat melihat
eksisten (mawjud) di level kedua ini sebagai apa yang biasa disebut sebagai “hukum
alam”, yakni sistem yang mengatur segala sesuatu yang terjadi di alam semesta:
perputaran benda langit, gravitasi, dan sebagainya, dan apa-apa yang menjadi
kudrat alami yang dimiliki hal-hal di alam semesta: panas, dingin, dan sebagainya.
Pada level ketiga, terdapat apa yang disebut sebagai eksisten (mawjud) meluas,
yang mencakup hal-hal material dan intelektual yang ada di dunia eksternal,
fenomenal. Sadra menegaskan bahwa eksistensi (wujud) pada level ketiga ini
mencakup segala sesuatu di dunia fenomenal “dalam suatu cara yang berbeda dari

First Cause and is called “the Truth by which creation is created.” And this wujud is the principle of
the existence of the universe, its life and its light, and penetrates into all that there is in the heavens
and the earths.
Its relation to the Divine Being - exalted be He - is analogous to the relation of sensible
light, and the rays shining upon bodies in the heavens and earth, to the sun. And it is different from
the affirmative, relational wujud that is similar to other universal and rational concepts that are not
attached to either the instauration of the Instaurer or to an effect. These latter ones do have a certain
kind of wujud in the manner of the principal intelligibles; but their wujud is their very actuality in
the mind in the same way that one sees non-thingness, non-possibility, and non-instauration in the
concept of nonexistence. But in our view, there is no difference between these concepts and the
others in the sense that they are only narratives and titles of certain things, except that some of them
are titles for existent realities, whereas others are titles for something essentially false.” Masha’ir, ¶
97, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-
Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr (Utah: Brigham Young University Press, 2014) h.
44-45.
259
universal-universal natural dan esensi-esensi intelijibel, tetapi, justru, dalam suatu
cata yang dipahami oleh para ‘arif dan apa yang mereka sebut sebagai “Nafs al-
Rahman”. Ini adalah rujukan langsung kepada apa yang telah kita bahas sebagai
eksistensi (wujud) yang mencakup segala sesuatu dengan kemencakupan yang
berbeda dari genus. Perbedaan keduanya adalah bahwa yang terakhir mencakup
segala sesuatu secara konseptual, dan kemencakupan ini, karenanya adalah
kemencakupan konseptual yang dapat dipikirkan; sementara yang pertama
mencakup segala sesuatu dalam realitas eksistensinya in concreto. Yang terakhir
ini, disebut sebagai Nafs al-Rahman, asal-muasal dari segala sesuatu yang dapat
dialami di level fenomenal.

Eksistensi (wujud) pada level ketiga ini, diibaratkan oleh Sadra sebagai cahaya
yang dipancarkan, yang terindera yang lahir dan terpancara dari matahari, sebagai
Eksistensi Niscaya. Sadra pun menegaskan kembali di sini bahwa eksistensi
(wujud) ini, “berbeda dari eksistensi (wujud) afirmatif dan relasional yang serupa
dengan konsep-konsep universal dan rasional”. Apa yang dimaksud dengan
eksistensi (wujud) afirmatif dan relasional adalah eksistensi (wujud) sejauh ia
dilihat dalam kerangka linguistik dan logis yang menjadi suatu hal atau perangkat
konseptual, misalnya dalam kalimat “Manusia itu ada”, “manusia itu eksis”, ‘ada’
dan ‘eksis’ di sini merupakan sesuatu yang berfungsi pada kalimat untuk
menegaskan dan merujuk kepada sesuatu di luar bahasa. Namun, di sisi lain, jika ia
hanya dilihat dari fungsi bahasanya, baik ‘eksistensi (wujud)’ maupun ‘ada’ tidak
memiliki makna apapun yang dapat ditambahkan kepada makna yang telah dimiliki
oleh suatu subjek kalimat; ia hanya memiliki fungsi afirmatif dan relasional, tanpa
fungsi informatif. Inilah yang disebut oleh Sadra sebagai sesuatu yang berbeda dari
eksistensi (wujud) pada level ketiga hierarki emanasi. eksistensi (wujud) sejauh ia
dilihat sebagai suatu kata dalam bahasa atau logika, memang mencakup segala
sesuatu, tetapi ini adalah pencakupan konseptual-universal laiknya suatu supra-
genus yang mencakup segala sesuatu. Sementara eksistensi (wujud), Nafs al-
Rahman, mencakup segala sesuatu bukan hanya secara konseptual, ini adalah
pencakupan di dunia eksternal in concreto. Dan eksistensi (wujud) ini mewujud
dalam partikular-partikular dengan prinsip modulasi sebagaimana telah dibahas
pada sub-bab sebelum ini, yakni penembusan keenam ¶ 81.
260
i. Penembusan Kedelapan
Subjudul dari Penembusan Kedelapan adalah “Mengenai modalitas penciptaan
dan pemancaran, dan bukti atas Pencipta Pertama, dan [realitas] bahwa Pencipta
yang Memancarkan itu Esa, dan tidak ada kejamakan di dalam-Nya dan tidak ada
sekutu bagi-Nya”. Sebagaimana penembusan ketujuh, penembusan kedelapan juga
membahas prinsip emanasi, namun dalam cara yang lebih rinci. Penembusan
kedelapan merupakan bab paling panjang dengan paragraf terbanyak dalam
Masha’ir, yakni terdiri dari 49 paragraf (¶ 102-150). Penembusan Kedelapan dibagi
menjadi dua sub-bab yang juga diberi judul penembusan. Maka, kita mendapati:
Penembusan Kedelapan - Penembusan Pertama dan Kedua. Penembusan Kedua
kemudian dibagi lagi menjadi tiga sub-bab yang diberi judul Jalan, maka kita
mendapati Penembusan Kedelapan - Penembusan Kedua - Jalan Pertama, Kedua
dan Ketiga. Jalan Pertama dari sub-bab penembusan kedua dibagi menjadi delapan
penembusan; Jalan Kedua dari penembusan Kedua dibagi menjadi Empat
Penembusan; dan Jalan Ketiga dari Penembusan Kedua dibagi menjadi tiga
penembusan. Masing-masing sub-bab jalan dan penembusan tersebut juga diberi
subjudul, tidak seperti penembusan lainnya, dalam penembusan kedelapan Sadra
memberikan subjudul yang amat rinci di tiap sub-babnya. Seperti yang telah kami
sebutkan, apa yang akan dibahas dalam penelitian ini terkait penembusan kedelapan
adalah paragraf yang memiliki keterkaitan dengan prinsip modulasi eksistensi;
karenanya, pembahasan mengenai prinsip emanasi, eskatologi dan teologi dari
Masha’ir tidak dapat kami bahas di sini. Adapun, paragraf dalam bab ini yang
memiliki relevansi dengan prinsip modulasi eksistensi kami ambil dari ¶ 108, dalam
sub-bab Penembusan Kedua, Jalan Pertama, Penembusan Keempat. Di sini, Sadra
menulis:

“Prinsip-prinsip yang sudah dijelaskan hingga kini telah menunjukkan dan


mengukuhkan dengan kuat [fakta] bahwa Eksistensi Niscaya itu satu dalam
dirinya, tanpa kejamakan, dan bahwa ia sempurna dan di atas segala
kesempurnaan tanpa batas. Kini kita berkata bahwa ia memancar kepada
segala sesuatu selain dirinya, tanpa emanasi ini menghasilkan suatu sekutu
[baginya]; karena apa yang ada selainnya, pada hakikatnya, ialah esensi-esensi
kontinjen dan esensi-esensi yang penuh kekurangan – eksistensi (wujud)-
eksistensi (wujud) yang bergantung kepada sesuatu selain dirinya. Kini, segala
eksistensi (wujud) yang eksistensinya bergantung kepada yang lain
memerlukan sesuatu yang lain tersebut dan mendapati kesempurnaan
dengannya, dan yang lain ini ialah awal dan akhir darinya.
261
Karenanya, semua eksistensi kontinjen, dengan pembedaan dan derajat
mereka dalam kesempurnaan dan kekurangan, pada hakikatnya,
memerlukannya [Eksistensi Niscaya] dan mendapati kecukupan eksistensi
(wujud) darinya. Dilihat dalam dirinya, mereka adalah eksistensi-eksistensi
kontinjen yang dibuat niscaya oleh Eksisten (mawjud) Pertama dan Niscaya -
Maha Suci Ia. Memang, pada dirinya, mereka itu ialah khayalan dan dapat
sirna, dan dibuat nyata oleh Yang Nyata, Yang Esa: “Segala sesuatu akan sirna
kecuali Wajah-Nya” (Q.S. al-Qasas, 28:88). Relasi antaranya dan apa yang
selainnya dapat diibaratkan dengan relasi antara cahaya-cahaya dari matahari
– dengan mengandaikan bahwa ia ada karena dirinya – dengan benda-benda
yang diteranginya dan yang pada dirinya gelap.
Ketika kau menyaksikan terbitnya matahari di suatu tempat dan penerangan
tempat itu oleh cahaya, maka cahaya lainnya dihasilkan oleh cahaya ini, kau
akan menilai bahwa cahaya kedua ini juga berasal dari matahari dan akan
melacak asal-muasalnya kepada matahari; begitu pula bagi cahaya ketiga dan
keempat, hingga seorang melihat cahaya yang paling lemah yang dapat
diindera. Begitu pula, eksistensi (wujud) dari eksistensi-eksistensi kontinjen di
mana terdapat kedekatan dan jarak dari Yang Satu, Yang Nyata; karena segala
sesuatu berasal dari Tuhan.”69
Di bagian pertama paragraf di atas, Sadra sekali lagi menegaskan bahwa yang
mencirikan Eksistensi Niscaya, atau Tuhan adalah bahwa ia merupakan sesuatu
yang eksis dengan dirinya sendiri secara mutlak. Dan bahwa segala eksistensi
(wujud) berasal dari-Nya. Kemudian, Sadra juga melihat emanasi dalam pencirian
tersebut: Eksistensi Niscaya sebagai suatu eksistensi (wujud) yang eksis dengan
sendirinya merupakan sumber dari segala eksistensi (wujud); yakni eksistensi

69
“The principles expounded until now have shown and firmly established [the fact] that the
Necessary Being is one by itself, with no pluralization, and that it is perfect and above plenary
perfection. Now we say that it emanates upon all that is other than itself, without this emanation
producing an association [with it]; for what is other than it is, in reality, contingent quiddities and
deficient essences - existences that depend upon something other than themselves. Now, all that
whose wujud depends upon another is in need of that other and finds its full completion with it, and
this other is its origin and its end.
So, all contingent beings, with their differentiations and grades in perfection and deficiency
are, in their essences, in need of it [the Necessary being] and derive their sufficiency in being from
it. Considered in themselves, they are contingent beings made necessary by the First, the Necessary
Being - transcendent is He. Indeed, they are, in themselves, illusory and perishing and are made real
by the Real, the One, the Unique: “All things are perishing save His Face” (“al-Qasas,” Q.S.: 28:88).
The relation between it and that which is other than it is analogous to the relation between the rays
of the sun - supposing that it subsisted by itself - with the bodies that are illuminated by it and are
dark in themselves.
When you witness the rising of the sun in a place and the illumination of that place by its
light, then another light resulting from this light, you will judge that this second light is also from
the sun and will trace its origin back to the sun; likewise for the third light and the fourth light, until
one ends with the weakest light perceptible to the senses. The same is true for the wujud of contingent
beings in which there is differentiation in their proximity and distance from the one, the Real; for
everything proceeds from God.” Masha’ir, ¶ 108, Mulla Sadra, The Book of Metaphysical
Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr
(Utah: Brigham Young University Press, 2014) h. 53.
262
(wujud) kontinjen yang merupakan eksisten (mawjud) selain-Nya, dan Eksistensi
Niscaya menciptakan segala eksistensi (wujud) tersebut dalam cara emanasi.

Di bagian kedua, Sadra menjelaskan bahwa: pertama, eksistensi kontinjen


adalah eksistensi (wujud) yang agar eksis, ia memerlukan eksistensi (wujud)
lainnya, yakni Eksistensi Niscaya. Kedua, namun, hal ini bukan berarti bahwa
eksistensi (wujud) merupakan sesuatu yang memerlukan eksistensi (wujud) lain
agar ia eksis. Jika eksistensi kontinjen dilihat dari aspeknya sendiri, yakni, jika tidak
dikaitkan dengan Eksistensi Niscaya pada level transendental; maka eksistensinya
tidak berasal dari eksistensi (wujud) lain yang dimasukkan pada dirinya dari luar,
dalam artian ini, eksistensi kontinjen dapat dilihat sebagai suatu eksistensi niscaya;
yakni, yang keniscayaannya disebabkan oleh Eksistensi Niscaya itu sendiri. Alegori
cahaya merupakan alegori yang sering digunakan untuk melihat proses emanasi,
atau proses bagaimana Eksistensi Niscaya memancar menjadi segala eksistensi
(wujud). Dan ketiga, prinsip modulasi eksistensi berlaku pada eksistensi kontinjen
dalam kerangka kesempurnaan, kekurangan, anterioritas, posterioritas dan lainnya
sebagaimana telah kami jelaskan di sini. Dengan demikian, bab ini, sekaligus
penelitian ini telah selesai.

263
BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan
Berikut ini adalah poin-poin yang kami simpulkan dari penulisan skripsi ini,
kami membaginya menjadi tiga poin: biografis, yang merupakan kesimpulan, atau
persisnya, catatan atas apa yang telah ditulis pada bab II, eksistensi (wujud) Mulla
Sadra; genealogis, yang merupakan catatan-catatan mengenai bab III, Genealogi
Metafisika Eksistensial; metafisis, yang merupakan poin utama yang disampaikan
pada bab IV, Prinsip Metafisika Eksistensial.

1. Poin-Poin Biografis
Dalam Bab II, kami telah membahas bagaimana persoalan biografis Mulla
Sadra bukanlah suatu bidang yang lepas dari permasalahan. Terdapat amat sedikit
catatan biografis yang dicatat khusus mengenai kehidupan Mulla Sadra sebagai
seorang sosok historis. Namun begitu, terdapat beberapa hal yang agaknya dapat
dipastikan mengenai hal ini. Dan hal ini didasarkan pada catatan autobiografis
Mulla Sadra sendiri di kitabnya, Asfar.

Mulla Sadra merupakan seorang anak semata wayang dari sebuah keluarga
ningrat. ia lahir di sekitar tahun 979-980/1571-1572. Dua poin biografis ini
setidaknya dapat dikatakan mendekati kebenaran, berdasarkan data-data yang
disimpulkan dari penerbitan karya-karya yang dinyatakan oleh para pengikut
mazhab filsafat Mulla Sadra. Kemudian, Mulla Sadra adalah seornag yang dekat
dengan wilayah kerajaan. Baik dari garis keluarga maupun dari jaringan
intelektualnya. Guru Sadra yang dapat dikonfirmasi adalah Mir Damad dan Syaikh
Baha'i. Hal ini telah ditunjukkan di bab 2. Mengenai pengaruh filosofis langsung
dari Mir Damad, yang dapat kita simpulkan adalah bahwa secara khusus, Mir
Damad adalah akses langsung Mulla Sadra atas pemikiran Suhrawardi. Mir Damad
ialah filsuf dari mazhab Isfahan yang mendukung esensialisme metafisis, hal yang
sebelumnya juga diyakini Sadra sebelum ia merangkul eksistensialisme. Ada satu
spekulasi bahwa konsepsi gerak substansial Mulla Sadra juga terpengaruh oleh
konsepsi waktu dari Mir Damad. Namun hal ini tidak dapat kami pastikan dalam
penelitian ini. Apa yang paling jelas adalah bahwa dari Mir Damad, Sadra
mempelajari Suhrawardi dan esensialisme, dan darinya pula ia mewarisi
264
kecenderungan sintesis, terutama sintesis antara Peripatetisme dan
Iluminasionisme. Pengaruh Syaikh Baha'i ke Mulla sadra tidak terlalu jelas, kecuali
bahwa darinya, Sadra telah mempelajari aspek-aspek tradisional dari Islam, baik
teologi, ilmu hadis, maupun fiqih.

Dan terakhir, tanggal wafat Sadra juga merupakan sesuatu yang hampir tidak
diperdebatkan, dan bahwa ia meninggal dunia setelah melakukan perjalanan umrah
yang ketujuh. Dan di fase akhir hidupnya, Sadra pulang ke kampung halaman untuk
menjadi profesor di madrasah yang dipersiapkan baginya oleh Imamquli Khan, dan
dalam fase ini, Sadra telah menyelesaikan Asfar dan tentunya sudah menjadi
seorang eksistensialis. Tanggal paling mungkin dari wafatnya Mulla Sadra adalah
yang disebutkan oleh cucunya, yaitu 1045/1635-6. Meskipun masih saja makamnya
belum diketahui oleh penduduk Najaf.

2. Poin-Poin Genealogis
Pada bab 3, kita telah melihat bagaimana bangunan metafisika eksistensial
Mulla Sadra dapat dikatakan sebagai terbentuk dari beberapa jalur filosofis. Kita
dapat melihat bagaimana ia terbentuk dari persoalan Aristotelian, terutama
mengenai dua sisi dari segala sesuatu, yakni eksistensi (wujud) dan esensi
(mahiyah). Rumusan ini kemudian diwarisi oleh Peripatetisme Islam, khususnya
Farabi dan Ibn Sina hingga mencapai perumusan yang jauh lebih canggih
dibandingkan dengan rumusan Aristoteles, apa yang telah sering disebut sebagai
‘metafisika penciptaan.’ Ini adalah persoalan eksistensi (wujud). Kemudian,
persoalan primasi merupakan persoalan yang mula-mula diajukan oleh Suhrawardi
terkait dengan persoalan eksistensi (wujud) tadi. Kritisismenya atas
Aristotelianisme secara umum, dan Aristoteliansme Islam, yakni Peripatetisme
Islam secara khusus, membuahkan apa yang nantinya disebut sebagai persoalan
primasi, yakni persoalan mana yang lebih utama dalam realitas antara eksistensi
(wujud) dan esensi (mahiyah). Mulla Sadra dulunya meyakini kebenaran dari
pernyataan ini, dan membelokkan diri menuju rumusan eksistensialis, yang
merupakan kritik dan konfrontasi langsung atas esensialisme Suhrawardi. Dan
nantinya, Sadra mendapatkan verifikasi dan justifikasi baik logis maupun metafisis
dari kelompok Akbariyyun.

265
3. Poin-Poin Metafisis
Di bab terakhir, setelah kita melihat Masha'ir kita dapat menyimpulkan bahwa
Mulla Sadra menjadikan pembahasan mengenai primasi eksistensi menjadi yang
paling penting. Ini dapat dilihat dari bagaimana ia membahas persoalan ini dari
penembusan pertama hingga keempat. Sementara, persoalan relasi eksistensi-esensi
merupakan persoalan yang dibahas Sadra setelah memastikan prinsip primasi
eksistensi. Hal ini juga dibahas secara panjang lebar dalam Masha'ir. Kemudian,
persoalan modulasi merupakan persoalan yang dibahas tidak dalam satu bab
khusus, namun terurai di banyak tempat dalam Masha'ir. Poin lanjutan yang dapat
disimpulkan adalah bahwa ketiga persoalan ini tidak dapat dipisahkan satu sama
lain, satu konsepsi meniscayakan dan diniscayakan oleh konsepsi lainnya, dan
menurut kami, beginilah hakikat dari metafisika eksistensial Mulla Sadra. Primasi
eksistensi meniscayakan suatu relasi tertentu dari eksistensi-esensi, dan sebaliknya,
primasi eksistensi diniscayakan oleh bentuk relasi tersebut. Dan modulasi eksistensi
meniscayakan juga primasi eksistensi dan relasi eksistensi-esensi, sebagaimana
keduanya juga meniscayakan dan diniscayakan oleh modulasi eksistensi.

B. Tinjauan
Apakah Mulla Sadra berhasil, melalui metafisika eksistensialnya, untuk
mengurai permasalahan-permasalahan yang ia hadapi? Kami menyatakan bahwa ia
telah berhasil melakukan hal tersebut. Mulla Sadra telah berhasil melakukan
beberapa hal, yang paling penting ialah bahwa ia telah menunjukkan bahwa posisi
metafisisnya lebih dapat dibuktikan secara logis dibandingkan posisi metafisis
Suhrawardi mengenai esensi (mahiyah). Terlebih lagi, Mulla Sadra tidak sekedar
memberikan suatu jawaban berdasarkan asas-asas rasional atau aksioma-aksioma
filosofis semata; apropriasinya atas wahdat al-wujud dari kelompok Akbariyyun
telah memberinya justifikasi metafisis atas pernyataan-pernyataan filosofisnya.
Mulla Sadra pun telah berhasil menunjukkan bahwa tidak seperti apa yang
dikatakan Suhrawardi mengenai Ibn Sina, Ibn Sina sendiri tidak melihat eksistensi
(wujud) sebagai aksiden semata dari esensi (mahiyah). Dan kemudian, adalah Sadra
yang mengoreksi bagaimana kontradiksi logis yang disebabkan oleh konsepsi
eksistensi-esensi Ibn Sina adalah pernyataan bahwa relasi antara keduanya, dan
distingsi antara keduanya adalah distingsi riil di level fenomenal. Mulla Sadra pun
266
telah berhasil mengapropriasi prinsip gradasi cahaya Suhrawardi dalam prinsip
modulasi eksistensinya. Dan dengan demikian ia dapat menghindari kekeliruan
Suhrawardi ketika ia menolak realitas eksistensi (wujud), sementara menyatakan
bahwa Tuhan adalah eksistensi (wujud) Murni. Mulla Sadra telah berhasil
meneruskan tradisi Akbariyyun, memadukannya dengan ilham-ilham Suhrawardi
dan akhirnya dengan Peripatetisme Islam Ibn Sina secara umum.

Apa yang belum berhasil dilakukan Mulla Sadra? Ini adalah mengenai seberapa
bisa ia menjustifikasi bahwa metafisika eksistensialnya benar pada tataran
transcendental. Mulla Sadra berulangkali menyatakan bahwa pada level konseptual,
kita tidak akan dapat memahami realitas eksistensi (wujud), meskipun di level
fenomenal, eksternal, in concreto, kita dapat memastikan realitasnya. Tetapi, watak
dari diskursus filosofis adalah konseptual: ia dijabarkan dengan memadukan
konsep-konsep, mengaitkan satu konsep dengan konsep lainnya dan seterusnya.
Lalu apa yang ia maksud dengan pengetahuan yang hanya dapat dicapai oleh
mereka yang pemikirannya kuat, yaitu para gnostic? Apakah ini merupakan suatu
pernyataan tersirat bahwa metafisika eksistensialnya hanya dapat dipahami
sepenuhnya jika seseorang menjalani ritual mistisisme? Sadra tidak pernah
memberi penjelasan bagi hal ini, setidaknya dalam Masha’ir. Apakah akses akan
realitas eksistensi (wujud) adalah sesuatu yang tidak adil, yakni, ia hanya dapat
diakses oleh kelas-kelas tertentu, kelas elit, dalam masyarakat spiritual? Fazlur
Rahman menolak hal ini, ia berpendapat bahwa untuk memahami filsafat Mulla
Sadra, yang perlu kita lakukan adalah ketulusan, dalam arti kesungguhan dalam
mendalami metafisika eksistensial Sadra. Ini adalah suatu pertanyaan, yang bisa
jadi disebut sebagai suatu kritik, namun, pastinya kita tidak akan pernah dapat
menanyakannya langsung kepada Mulla Sadra, yang bisa kita lakukan adalah
melihat bagaimana teks-teks Sadra menyatakan hal ini secara tersirat ataupun
tersurat. Dengan kata lain, terus mengkaji teks-teks yang telah ia tulis.

C. Saran
Dalam penelitian ini, kami telah berupaya menjelaskan apa yang dimaksud
dengan ‘Metafisika Eksistensial’; namun begitu, ini bukanlah suatu penelitian yang
lengkap atau menyeluruh hingga poin-poin paling rinci dalam pemikiran Mulla

267
Sadra. Sebagaimana dinyatakan oleh Fazlur Rahman, penelitian mengenai Mulla
Sadra dan filsuf-filsuf lain yang berasal dari bagian timur Islam, yakni Persia, masih
merupakan suatu lading baru yang belum dijelajah dengan cukup. Dalam penelitian
ini, kami hanya melihat metafisika eksistensial Mulla Sadra dalam kaitannya
dengan tiga persoalan utama, yakni persoalan primasi eksistensi, persoalan relasi
eksistensi-esensi, dan persoalan modulasi eksistensi.

Saran untuk penelitian selanjutnya mengenai Mulla Sadra misalnya adalah


penelusuran atas beberapa konsep yang belum sempat kami bahas dalam penelitian
ini: bagaimana prinsip emanasi terkait dengan prinsip metafisika eksistensial
Sadra? Dan bagaimana gagasan mengenai gerak substansial diniscayakan oleh
metafisika eksistensial Sadra? Terlebih lagi, kami hanya memusatkan diri pada satu
teks Mulla Sadra, yakni Masha’ir. Penelitian lebih lengkap tentu saja harus
melibatkan teks Asfar, dan melihat sejauh mana argumen-argumen Mulla Sadra
berkembang dari Asfar ke Masha’ir. Hal yang menarik juga untuk dibahas adalah
gagasan logika Mulla Sadra, yang sejauh pembacaan kami, belum ada satu teks atau
penelitian khusus yang membahasnya. Adapun, untuk jenis penelitian komparatif,
membandingkan Mulla Sadra dan Jean-Paul Sartre kami kira merupakan suatu tema
penelitian yang amat menarik. Sejauh ini, Mulla Sadra telah dibandingkan dengan
Heidegger, dengan Hegel, dan Parmenides, Bergson dan lainnya. Izutsu telah
membandingkan misalnya pernyataan Jean-Paul Sartre dalam Nausea dengan poin-
poin metafisis Sadra, tetapi belum dengan teks Being and Nothingness, yang
merupakan teks Sartre yang paling ‘metafisis’.

Adapun, penelitian mengenai relasi antara gerak substansial Mulla Sadra dan
dialektika Hegel kami kira merupakan suatu penelusuran menarik, hal ini telah
diupayakan oleh beberapa peneliti seperti yang telah kami sebut. Begitu pula,
penelitian mengenai sejauh mana konsepsi waktu Mir Damad memiliki keterkaitan
dengan konsepsi Sadra mengenai eksistensi (wujud) dan Waktu.

Untuk menutup penelitian ini, kami ingin menyatakan bahwa ini bukanlah suatu
penelitian yang sudah selesai, banyak poin-poin yang masih perlu diterangkan,
diperjelas dan diberi landasan baik logis maupun filosofis. Kami berharap bahwa
setidaknya penelitian ini dapat memberi suatu dorongan bagi kawan-kawan

268
pengkaji filsafat, baik filsafat Islam maupun barat, untuk melihat sejauh mana
spekulasi filsafat Islam setelah ia dicap mati berbentuk. Terlebih, kala distingsi
antara analitik vs kontinental, dan barat vs Islam sedang diupayakan untuk
dilampaui, penelitian mengenai Mulla Sadra kami kira dapat memberikan
sumbangsih tertentu bagi upaya pelampauan semacam itu.

269
DAFTAR PUSTAKA

Açıkgenç, Alparslan. Being and Existence in Sadra and Heidegger: A Comparative


Ontology. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.

Adamson, Peter (ed.). Interpreting Avicenna: Critical Essays. Cambridge:


Cambridge University Press, 2013.

Adamson, Peter dan Richard C. Taylor Cambridge (ed.). The Cambridge


Companion to Arabic Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press,
2005.

Adamson, Peter. “Before Essence and Existence: al-Kindi’s Conception of Being”.


Journal of the History of Philosophy 40, no. 3 (2002): 297-312.

Afnan, Soheil M. Avicenna: His Life and Works. London: George Allen & Unwin
LTD, 1958.

Ahmed, Ejaz. “Mulla Sadra’s Notion of Existence: A Comparative Review.” Al-


Hikmat: A Journal of Philosophy. 38 (tanpa tahun): 11-27.

Akbarian, Reza & Amelie Neuve-Eglise. “Henry Corbin: From Heidegger to Mulla
Sadra, Hermeneutics and the Unique Quest of Being.” Hekmat va Falsafeh 4,
no. 2 (2008): 5-30.

al-Kutubi, Eiyad S. Mulla Sadra and Eschatology: Evolution of Being. New York:
Routlede, 2015.

Aristoteles. Aristotle Posterior Analytics. Terj. Jonathan Barnes. Oxford: Oxford


University Press, 2002.

_______. Metaphysics. Terj. Hugh Lawson-Tancred. London: Penguin Books,


1998.

_______. Philosophy of Aristotle. Terj. A.E. Wardman dan J.L. Creed. New York:
New American Library, 1963.

Audi, Robert. The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: Cambridge


University Press, 1999.

270
Blackburn, Simon. Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford: Oxford University
Press, 2005.

Bunnin, Nicholas & Jiyuan Yu. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy.
Malden: Blackwell Pubslishing, 2004.

Burnham Douglas. The Nietsche Dictionary. New York: Bloomsbury, 2015.

Burrel, David B. “Mulla Sadra’s Ontology Revisited.” Journal of Islamic


Philosophy 6 (2010): 45-66.

Ceylan, Yasin. “A Critical Approach to the Avicennian Distinction of Essence and


Existence.” Islamic Studies 32, no. 3 (1993): 329-337.

Dagli, Caner K. From Mysticism to Philosophy (And Back): An Ontological History


of the School of the Oneness of Being. Disertasi. Faculty of Philosopy.
Department of Near Islamic Studies, 2006.

Daiber, Hans et. al. Islamic Philosophy, Theology and Science: Text and Studies.
Boston: Brill, 2012.

De haan, Daniel D. “The Doctrine of the Analogy of Being in Avicenna’s


Metaphysics of the Healing.” The Review of Metaphysics 69, no. 2 (2015):
261-286.

Debashi, Mehdi. Mulla Sadra’s Theory of Transubstantial Motion: A Translation


and Critical Exposition. Disertasi. Department of Philosophy. Faculty of
Graduate School of Arts and Sciences. Fordham University, 1981.

el-Bizri, Nader. “Avicenna and Essentialism.” The Review of Metaphysics 54, no.
4 (2001): 753-778.

_______. The Phenomenological Quest: Between Avicenna and Heidegger. New


York: SUNY Press, 2000.

Faiz. “Eksistensialisme Mulla Sadra.” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran


Islam 3, no. 2 (2013): 437-461.

Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy. Third Edition. New York:


Columbia University Press, 2004.
271
Faruque, Muhammad U. “Heidegger and Mulla Sadra on the Meaning of
Metaphysics”. Philosophy East & West 67, no. 3 (2017): 629-650.

Haq, Muhammad ‘Abdul. “An Aspect of the Metaphysics of Mulla Sadra.” Islamic
Studies 9, no. 4 (1970): 331-353.

_______. “Metaphysics of Mulla Sadra: II.” Islamic Studies 10, no. 4 (1971): 291-
317.

_______. “Mulla Sadra’s Concept of Man.” Islamic Studies 11, no. 4 (1972): 281-
296.

_______. “Mulla Sadra’s Concept of Substantial Motion.” Islamic Studies 11, no.
2 (1972): 79-91.

_______. “The Psychology of Mulla Sadra.” Islamic Studies 9, no. 2 (1970): 173-
181.

_______. “Mulla Sadra’s Concept of Being.” Islamic Studies 6, no. 3 (1967): 267-
276.

Hegel, Georg W. F. Phenomenology of Spirit. Trans by A.V. Miller. Oxford:


Oxford University Press, 1977.

Heidegger, Martin. Being and Time: A Translation of Sein und Zeit. Trans by Joan
Stambaugh. New York: SUNY Press, 1996.

Iqbal, Muhammad. The Development of Metaphysics in Persia: A Contribution to


the History of Muslim Philosophy. Lahore: Bazm-i-Iqbal, Tanpa tahun.

Izutsu, Toshihiko. The Concept and Reality of Existence. Tokyo: Keio Insitute of
Cultural and Linguistic Studies, 1971.

Kalin, Ibrahim. “An Annotated Bibliography of the Works of Mulla Sadra with a
Brief Account of His Life.” Islamic Studies 42, no. 1 (2003): 21-62.

_______. “Mulla Sadra’s Realist Ontology of the Intelligibles and Theory of


Knowledge.” Islam Arastimalari Dergisi 7 (2002): 1-29.

272
_______. Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence,
Intellect and Intuition. Oxford: Oxford University Press, 2010.

Kamal, Muhamamad. “Existence and Essence in Mulla Sadra’s Ontology.”


Philosophy Study 9, no. 7 (2019): 399-407.

_______. “Avicenna’s Necessary Being”. Open Journal of Philosophy 6, (Tanpa


Tahun): 194-200. http://dx.doi.org/10.4236/ojpp.2016.62018

_______. “Existence and Non-existence in Sabzawari’s Ontology.” Sophia 51


(2015): 395-406.

_______. “Rethinking Being: From Suhrawardi to Mulla Sadra.” Journal of Shi’a


Islamic Studies II, No. 4 (2009): 423-436.

_______. Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy. Vermont: Ashgate, 2006.

Kuspinar, Bilal. “Mulla Sadra’s Criticism of Ibn Sina and al-Suhrawardi on the
Problem of God’s Knowledge.” Journal of Islamic Research 5, no. 1 (1991):
45-55.

Leaman, Oliver (ed.). The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy oleh


Oliver Leaman (ed.). New York: Bloomsbury Publising, 2015.

Lizzini, Olga. “Wujud-Mawjud/Existence-Existent in Avicenna: A key ontological


notion of Arabic philosophy.” Quaestio 3 (2003): 111-138.

Marcotte, Roxanne D. “Al-Masa’il al-Qudsiyya and Mulla Sadra’s Proof for Mental
Existence.” Journal of Islamic Studies 22, no. 2 (2011): 153-182.

McGinnis, Jon & David C. Reisman. Classical Arabic Philosophy: An Anthology


of Sources. Indianapolis: Hackett Publishing Company Inc., 2007.

Moosavi, S. M. Kazem Mesbah. Substantive Motion According to Mulla Sadra


Shirazi. Tesis. Faculty of Graduate Studies and Research. McGill University.
Montreal, 1994.

Morewedge, Parviz. “Philosophical Analysis and Ibn Sina’s ‘Essence-Existence’


Distinction.” Journal of the American Oriental Society 92, no. 3 (1972): 425-
435.
273
Nasr, Seyyed Hossein. “Al-Hikmat Al-Ilahiyyah and Kalam.” Studia Islamica 34
(1971): 139-149.

_______. “Conditions for Meaningful Comparative Philosophy.” Philosophy East


and West 22, no. 1 (1972): 53-61.

_______. “Mulla Sadra as A Source for The History of Muslim Philosophy.”


Islamic Studies 3, no. 3 (1964): 309-314.

_______. Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land
of Prophecy. New York: SUNY Press, 2006.

_______. Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life
and Works. Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978.

_______. Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi-Ibn ‘Arabi. New York:


Caravan Books, 1997.

Neuve-Eglise, Amelia. “Hermeneutics and the Unique Quest of Being: Henry


Corbin’s Intellectual Journey.” Journal of Shi’a Islamic Studies 2, no. 1
(2009): 3-26.

Nur, Syaifan. Filsafat Hikmah Mulla Sadra. Yogyakarta: Rausyanfikr Institute,


2012.

Pratomo, Dwi. “Mulla Sadra dan Transendensi Diri.” Ilmu Ushuluddin 04, no. 01
(2017): 59-80.

Preus, Anthony. Historical Dictionary of Ancient Greek Philosophy. Toronto: The


Scarecrow Press, 2007.

Protevi, John (ed.). The Edinburgh Dictionary of Continental Philosophy.


Edinburgh: Edinburgh University Press, 2005.

Proudfoot, Michael & A.R. Lacey. The Routledge Dictionary of Philosophy. New
York: Routledge, 2010.

Rahman, Fazlur. The Philosophy of Mulla Sadra. New York: SUNY Press, 1975.

274
Razavi, Mehdi Amin. Suhrawardi and the School of Illumination. New York:
Routledge, 2013.

Reisman, David C. & Ahmed H. al-Rahim (ed.). Before and After Avicenna:
Proceedings on the First Conference of the Avicenna Study Group. Boston:
Brill, 2003.

Rizvi, Sajjad H. “An Islamic Subversion of the Existence-Essence Distinction?


Suhrawardi’s visionary hierarchy of lights. Asian Philosophy 9, no. 3 (1999):
219-227.

_______. “Reconsidering the Life of Mulla Sadra Shirazi: Notes towards an


Intellectual Biography.” Iran 40 (2002): 181-201.

_______. Mulla Sadra and Metaphysics: Modulation of Being. New York:


Routledge, 2009.

_______. Mulla Sadra Shirazi: His Life and Works and the Sources for Safavid
Philosophy. Oxford: Oxford University Press, 2007.

Sadra, Mulla & James Winston Morris. Wisdom of the Throne: An Introduction to
the Philosophy of Mulla Sadra. New Jersey: Princeton University Press,
1981.

Sadra, Mulla. On The Hermeneutics of the Light Verse of the Qur’an (Tafsir Ayat
al-Nur), Transleted, Introduced and annotated by Latimah-Parvin Peerwani.
London: ICAS Press, 2004.

_______. The Book of Metaphysical Penetrations, Kitab al-Masha’ir: A Parallel


English-Arabic text translated by Seyyed Hossein Nasr. Utah: Brigham
Young University Press, 2014.

Safavi, Seyed G. “Mulla Sadra’s Life and Philosophy.” Transcendent Philosophy:


An International Journal for Comparative Philosophy and Mysticism 13
(2012): 21-96.

Sartre, Jean-Paul. Existentialism is a Humanism. London: Yale University Press,


2007.

275
Shehadi, Fadlou. Metaphysics in Islamic Philosophy. New York: Caravan Books,
1982.

Shigeru, Kamada. “The Place of Mulla Sadra’s Kitab al-Masha’ir in Izutsu’s


Philosophy.” Intellectual Discourse 17, no. 2 (Tanpa Tahun): 159-172.

Shlbei, Kamal Abdulkarim. Sadra and Hegel on the Relationship between


Essence/Existence and Subject/Object. Disertasi. Department of Philosophy.
Faculty of Graduate School of Liberal Arts. Duquesne University, 2013.

Suhrawardi. The Shape of Light, Terjemah dan Ulasan dari Hayakil al-Nur, oleh
Syaikh Tosun Bayrak al-Jerrahi al-Halveti. Louisville: Vons Vitae, 1998.

Syahrastani, Muhammad, Wilfred Madilung & Toby Mayer. Kitab al Musara’a:


Struggling With the Philosopher: A Refutation of Avicenna’s Metaphysics.
London: The Institute of Ismaili Studies, 2001.

Wisnovsky, Robert. Avicenna’s Metaphysics in Context. New York: Cornell


University Press, 2003.

Zarkasyi, Hamid Fahmy. “The Philosophy of Mulla Sadra.” Jurnal Tsaqafah 5, no.
2 (1430 H): 325-351.

276

Anda mungkin juga menyukai