Anda di halaman 1dari 123

DIMENSI SPIRITUAL PERSPEKTIF AHMAD BIN IDRIS

(Analisis Penafsiran Surah al-Fātiḥah dalam Kitab al-Fūyūḍāt


al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba’ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah Karya
Ahmad bin Idris)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin


untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun oleh:
AHMAD HUDORI
NIM: 11150340000146

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
DIMENSI SPIRITUAL PERSPEKTIF AHMAD BIN IDRIS
(Analisis Penafsiran Surah al-Fātiḥah dalam Kitab al-
Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba’ḍi al-Āyāt al-
Qurʼāniyyah Karya Ahmad bin Idris)

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Strata Satu (S1)

Oleh:
Ahmad Hudori
NIM: 11150340000146

Dosen Pembimbing

Syahrullah, MA
NIP. 197808182009011016

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M

i
ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Dimensi Spiritual Perspektif Ahmad


bin Idris (Analisis Penafsiran Surah al-Fātiḥah dalam Kitab al-
Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba’ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah
Karya Ahmad bin Idris)”. Uraian tentang spiritual dalam literatur
tafsir klasik merupakan lahan kajian yang menarik, terlebih
ketika mengurai tentang penafsiran dari tokoh tertentu. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui dimensi spiritual yang
ditorehkan oleh Ahmad bin Idris, seorang tokoh tasawuf abad
XVIII M di Maroko, dalam karya tafsirnya al-Fūyūḍāt al-
Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba’ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah.
Penelitian ini adalah bersifat kepustakaan (library
research) dengan menggunakan metode deskriptif-analisis, yaitu
berupaya menjelaskan penafsiran yang ditorehkan oleh Ahmad
bin Idris dari sisi dimensi spiritualnya. Sumber data utama
penelitian ini adalah karya tafsir Ahmad bin Idris yang berjudul
al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba’ḍi al-Āyāt al-
Qurʼāniyyah dan ditopang oleh referensi terkait lainnya sebagai
sumber sekunder. Pemaparan data yang ada dianalisis dengan
pendekatan interpretatif, yaitu menganalisis penafsiran yang
tertuang dalam sebuah karya tafsir dari beberapa hal.
Penilitian ini menyimpulkan bahwa ada tiga dimensi
spiritual yang terkandung dalam surah al-Fātiḥah, yaitu dimensi
pengamalan ibadah, keterikatan, dan universal. Ketiga dimensi ini
berpengaruh terhadap potensi besar dalam diri manusia. Ditinjau
dari prespektif Ahmad bin Idris dalam kitab tafsirnya al-Fūyūḍāt
al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba’ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah dimensi-
dimensi itu tertuang dalam surah al-Fātiḥah dari ayat 1-3 bagian
dari dimensi pengamalan Ibadah, kemudian ayat 4-5 bagian dari
dimensi keterikatan, dan ayat 6-7 bagian dari dimensi universal.

Kata Kunci: Dimensi Spiritual, Ahmad bin Idris.

iv
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt yang telah
menjadikan Al-Qur’an sebagai cahaya dan petunjuk bagi orang-
orang yang bertaqwa. Lantaran karunia-Nyalah penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Dimensi Spiritual
Perspektif Ahmad bin Idris (Analisis Penafsiran Surah al-Fātiḥah
dalam Kitab al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba’ḍi al-Āyāt
al-Qurʼāniyyah Karya Ahmad bin Idris)” begitupun shalawat
serta rahmat dan keselamatan tetap tercurah kepada baginda Nabi
Muhammad Saw. Yang telah membimbing kita menuju jalan
yang lurus dan terbebas dari kebodohan. Semoga kita semua
mendapatkan syafaatnya pada hari akhir kelak. Āmīn
Selanjutnya, penulis ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang sudah membantu dalam menyusun skripsi ini,
sehingga proses penulisan ini berjalan dengan baik dan lancar.
Dengan rasa hormat yang tinggi, penulis ucapkan terima kasih ini
kepada:
1. Ibu Prof. Dr. H. Amany Lubis, MA., Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag., dan bapak Fahrizal Mahdi,
Lc. MIRKH. Selaku Ketua dan Sekretaris program studi Ilmu
Alquran dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin.

v
4. Bapak Syahrullah, MA., sebagai dosen pembimbing dalam
menulis skripsi ini yang selalu ada dan meluangkan waktunya
untuk penulis. Terima kasih yang tiada terhingga atas
kesabaran dan keikhlasannya dalam membimbing penulis
sampai pada rampungnya penulisan ini. Atas segala perhatian
yang telah Bapak berikan tersebut saya hanya mampu
membalasnya dengan do’a, semoga kesehatan, kemudahan,
dan keberkahan dari Allah senantiasa mengiringi setiap
langkah perjalanan hidup Bapak.
5. Bapak Dr. Masykur Hakim, MA., selaku dosen Pembimbing
Akademik. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir, yang telah begitu banyak membekali ilmu dan
pengetahuan. Juga tak lupa saya haturkan terima kasih kepada
para karyawan Ushuluddin, Pak Toto dkk, yang sedikit banyak
sudah mempermudah segala urusan akademik kampus yang
berkaitan dengan saya maupun skripsi saya.
6. Orang tua tercinta, Bapak Abdul Fattah Fatoni dan Ibu Aam
Qoniah, yang saya panggil mereka Abah dan Ema. Kasih
sayang dan do’anya juga perhatiannya yang tulus dan tak
henti-henti untuk segala kesuksesan anaknya. Terima kasih
banyak atas segala energi yang selalu memompa agar skripsi
ini lekas saya tuntaskan. Kakak saya yang di rumah, a Fadli
dan a Hasim, juga teh Milah, yang juga tak luput mendo’akan.
7. Tarekat Al-Idrisyyah, Mursyid, Syaikh Akbar Muhammad
Fathurrahman, M.Ag terima kasih atas segala petuah dan do’a
yang telah diberikan. Tentu juga kepada Ust. Rijal, Kang

vi
Deden, jazakumullah atas semua masukan dan sarannya
selama proses penulisan skripsi ini. Barakallahfikum!.
8. Bapak Suryadinata, MA., selama menjadi Wakil Dekan III. Ibu
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., dan Ibu Dr. Banun
Binaningrum, M.Pd., selama menjadi ketua Jurusan di prodi
Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Atas bimbingannya saya banyak
belajar dan mendapatkan motivasi selama beliau-beliau
menjabat di dekanat dan jurusan.
9. Teman-teman dari berbagai macam komunitas yang senantiasa
membersamai saya dalam bertumbuh dan berkembang selama
di Ciputat. Mereka-mereka adalah yang terkait dan terikat di
PMII Komfuspertum (Komisariat Fakultas ushuluddin dan
Perguruan tinggi umum). Teman kabinet HMJ (Himpunan
Mahasiswa Jurusan IAT-IH 2018), mereka adalah teman
organisasi yang penuh solidaritas dan loyalitas dalam
menjalankan roda organisasi, serta Mamang-bibi DERMAGA
(Dedikasi Riung Mahasiswa Garut). Kawan-kawan
seperjuangan Tafsir Hadis 2015. Juga kepada mereka yang
pernah hidup satu alamat dengan saya di perantauan, teman-
teman pondok pesantren Darus-Sunnah angkatan Mazaya,
Darussalam Garut, dan ibu bapak Aminuddin juga bude pakde
kost di rempoa sandratex.
10. Terakhir, kepada Nurul Astri, mang Zenal atas bantuan saran
dan kritikannya dalam memberikan ide penulisan skripsi ini.
Mang Utis adalah paman saya sendiri yang telah banyak
membantu dalam melogat kitab tafsir ini, teman organisasi M
Nurman M Y alias Ketum Numeng, juga Sekum Gus Faidzul

vii
Barakah, sebagai ketua dan sekretaris di PMII komisariat
fakultas ushuluddin dan perguruan tinggi umum
(Komfuspertum) press Ucup sebagai partner di HMJ Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir, press Rizki sebagai Ketua Dema F
Ushuluddin, serta adek-adek Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia PMII angkatan 16,17,18 dan 19 yang selalu aktif
dan menyemangati dalam berproses untuk berprogress.
Besar harapan penulis, semoga skripsi yang penulis susun ini
dapat bermanfaat baik bagi penulis, para akademisi, maupun
masyarakat secara umum.
Wassalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh

Ciputat, 29 Oktober 2019

Penulis

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini


berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat
dalam Keputusan Bersama Menteri Agama Dan Menteri
Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158
Th.1987 Nomor: 0543b/U/1987

a. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak Tidak dilambangkan


‫ا‬
dilambangkan

‫ب‬ b be

‫ث‬ t te

‫ث‬ ś es (dengan titik di atas)

‫ج‬ j je

‫ح‬ ḥ h dengan garis bawah

‫خ‬ kh ka dan ha

‫د‬ d de

‫ذ‬ ẑ zet (dengan titik di atas)

‫ر‬ r er

‫ز‬ z zet

ix
‫س‬ s es

‫ش‬ sy es da ye

‫ص‬ ṣ es dengan titik di bawah

‫ض‬ ḍ de dengan titik di bawah

‫ط‬ ṭ te dengan titik di bawah

‫ظ‬ ẓ zet dengan titik di bawah

‫ع‬ ʻ koma terbalik di atas hadap kanan

‫غ‬ g ge

‫ف‬ f ef

‫ق‬ q ki

‫ك‬ k ka

‫ل‬ l el

‫م‬ m em

‫ى‬ n en

ً w we

‫ه‬ h ha

‫ء‬ ՚ Apostrof

x
‫ي‬ y ye

b. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti dalam bahasa
Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal
rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih
aksaranya adalah sebagai berikut:
Vokal tunggal Vokal panjang Vokal rangkap
Fathah :a ‫أ‬ :ā ْ‫ى‬...´ : ai
Kasrah :i ‫ى‬:ī ْ‫و‬....´ : au
Dhammah :u ‫و‬ :ū

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya


adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫َي‬ ai a dan i

ًَ au a dan i

c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam
bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ىآ‬ ā a dan garis di atas

xi
‫ىِي‬ ī i dan garis di atas

ٌُ‫ى‬ ū u dan garis di atas

huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-


rijal, bukan ar-rijal, al-diwân bukan ad-diwân.

d. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab
ّ dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan sebuah tanda (َ),
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf
yang diberi syaddah itu. Akan tetapi hal ini tidak berlaku jika
huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruh-huruf syamsiyyah. Misalnya,
ّ ‫ ال‬tidak ditulis aḍ-Ḍarūrah melainkan al-Ḍarūrah,
kata ‫ضرًرة‬
demikian seterusnya.

e. Ta Marbûṯah
Transliterasi untuk ta‟marbutah ada dua:
1. Ta‟marbutah hidup
Ta‟marbutah yang hidup atau mendapat harakat fathah,
kasrahdan dammah, transliterasinya adalah “t”.
2. Ta‟marbutah mati
Ta‟marbutah yang mati atau mendapat harakat sukun,
transliterasinya adalah “h”.
3. Kalau pada kata terakhir denagn ta‟marbutah diikuti oleh kata
yang menggunkan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu
terpisah maka ta‟marbutah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

xii
No Tanda Vokal Latin Keterangan

1 ‫رًضت األطفال‬ Rauḍah al-Aṭfāl

2 ‫الودينت الونٌرة‬ al-Madīnah al-Munawwarah

3 ‫طلحت‬ Ṭalḥah

f. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak
dikenal, dalam transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga.
Penggunaan huruf kapital seperti apa yang berlaku dalam EYD,
di antaranya: huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf
awal nama diri dan permulaan kalimat. Bilamanana nama diri itu
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya.
Contohnya seperti Wa mā Muhammadun illā Rasūl,
Alhamdulillȃhirabil ‘ālamīn. Penggunaan huruf awal kapital
hanya untuk Allah bila dalam tulisan Arabnya memang lengkap
demikian dan kalua tulisan itu disatukan dengan kata lain
sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital
tidak digunakan. Contohnya seperti: Naṣrunminallȃhi
wafathunqarīb, Lillāhi al-amrujamīʻan.

g. Hamzah
Dinyatakan di depan bahwa ditransliterasikan dengan
apostrof. Namun, itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di

xiii
tengah dan di akhir kata. Bila hamzah itu terletak di awal kata, isi
dilambangkan, karena dalam tulisan arab berupa alif. Contohnya
seperti: ta`khużūna, syai`un, inna.

h. Cara Penulisan Kata


Setiap kata, baik kata kerja (fi’l) , kata benda (ism),
maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah
beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam Bahasa
Arab, dengan berpedoman pada ketentuan di atas.

Kata Arab Alih Aksara

‫ذىة األستاذ‬ żahaba al-ustāżu

‫ثبج األجر‬ ṡabata al-ajru

‫الحرمت العصريّت‬ al-ḥarakah al-„asriyyah

‫أشيد اى ال إلو إالّ هللا‬ asyhadu an lā ilāha illā Allāh

‫هٌالنا هلل الصالح‬ maulāna Malik al-sāliḥ

‫يؤثرمن هللا‬ yu‟aṡirukum Allāh

‫الوظاىر العقليت‬ Al-maāẓhir al-„aqliyyah

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama


diri mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang
Arab tidak perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid,
bukan Nūr Khālis Majīd; Mohamad Roem, bukan Muhammad
Rūm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmān.

xiv
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................... i


PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................ iv
KATA PENGANTAR .......................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................... ix
DAFTAR ISI ........................................................................ xv

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..................................... 1


B. Permasalahan ...................................................... 7
1. Identifikasi Masalah ....................................... 7
2. Pembatasan Masalah ...................................... 8
3. Perumusan Masalah ....................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................... 9
1. Tujuan Penelitian ............................................ 9
2. Manfaat Penelitian .......................................... 9
D. Tinjauan Pustaka ……......................................... 10
E. Metode Penelitian ............................................... 13
1. Jenis Penelitian ............................................... 13
2. Sumber data .................................................... 14
a. Primer .......................................................... 14
b. Sekunder ...................................................... 15
3. Teknik Pengumpulan Data ............................. 16
4. Teknik Analisis Data ...................................... 16
5. Tahapan Penelitian ......................................... 17
6. Teknik Penulisan ............................................ 18

xv
F. Sistematika Pembahasan ..................................... 18

BAB II PROFIL AHMAD BIN IDRIS DAN KARYA


TAFSIRNYA
21
A. Biografi Ahmad ibn Idris ..................................
21
1. Nama Lengkap dan Silsilah Keturunannya…
22
2. Latar Belakang Pendidikan Ahmad bin Idris.
27
3. Situasi Sosial di Masa Ahmad bin Idris ........
31
4. Karya-karya Ahmad bin Idris .......................
32
B. Bentuk Penafsiran .............................................
32
1. Metode Penafsiran .........................................
34
2. Jenis Penafsiran .............................................
34
a. Penafsiran dengan al-Qur’an ....................
36
b. Penafsiran dengan al-Sunnah ...................
41
c. Metode Sufistik ........................................

BAB III TINJAUAN TENTANG SPIRITUALITAS


A. Memaknai Spiritualitas dalam Kehidupan ........ 45
B. Tinjauan Tokoh tentang Spiritualitas ................ 53
C. Pengaruh Spiritualitas dalam Perspektif al-
Qur’an ……………………………………… 57
BAB IV SPIRITUALITAS DALAM SURAH AL-FATIHAH
TINJAUAN TAFSIR AL-FUYȖDȂT AR-
RABBÃNIYYAH BI TAFSIR BA’DI AL-ÂYAT AL-
QUR’ÂNIYYAH
62
A. Pengamalan Ibadah ...........................................
67
1. Tuhan sebagai Lokus Kehidupan ..................
70
2. Intuisi sebagai Pancaran Kasih Sayang Allah
74
3. Merasakan Kelezatan Ibadah ........................
77
B. Keterikatan ........................................................

xvi
79
1. Kehidupan Duniawi sebagai Ladang Akhirat
82
2. Mengakses Hal-hal Gaib ...............................
85
3. Menemukan Makna dan Keindahan Hidup ..
88
C. Universal ...........................................................
90
1. Kedudukan Manusia di Alam Semesta .........
92
2. Berperilaku Baik untuk Meraih Kebahagiaan
3. Membangun Keharmonisan Diri dengan
95
Semesta Alam………………………………
BAB V PENUTUP
101
A. Kesimpulan ........................................................
101
B. Saran ..................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 103

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 ................................................................ 62

Bagan 2 ................................................................ 66

Bagan 3 ................................................................ 78

Bagan 4 ................................................................ 90

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kecerdasan spiritual sangat fundamental sebagai landasan
awal pembentukan generasi. Kecerdasan spiritual seseorang akan
memengaruhi intelektualnya (IQ) dan emosionalnya (EQ).
Kecerdasan Intelekual (IQ), Kecerdasan Emosi (EQ), dan
Kecerdasan Majemuk (MI) merupakan kunci-kunci kesuksesan
yang mengorek hingga ke dasar kemampuan-kemampuan yang
dimiliki oleh manusia.1
Otak manusia merupakan sumber bagi banyak hal, yang
dimaksudkan adalah otak menjadi kekuatan fisik bagi
pengembangan diri manusia secara keseluruhan, Kecerdasan
Emosi (EQ) bertumpu pada jalur emosi dalam otak manusia2.
Dalam Bahasa arab disejajarkan dengan istilah rūḥaniyyah.
Muhammad Ḥusain „Abdullāh dalam Mafāhim Islāmiyyah
mendefiniskan rūḥaniyyah sebagai idrak ṣillah billāh (kesadaran
hubungan dengan Allah SWT). Hidup dengan spiritualitas yang
tinggi berarti sebuah kehidupan yang berada dalam kondisi iman
yang baik. Perasaan ini mendorong seorang muslim mengikatkan
diri dengan segala perintah dan segala larangan Allah SWT

1
Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ Menyingkap Rahasia Kecerdasan
Berdasarkan al- Qur‟an dan Neurosains Mutakshir (Bandung: Mizan Pustaka,
2002), 21
2
Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ Menyingkap Rahasia Kecerdasan
Berdasarkan al- Qur‟an dan Neurosains Mutakshir, 26

1
2

dengan penuh rida serta ketenangan. Singkatnya, muslim dengan


tingkat spiritualitas tinggi memiliki cara hidup yang totalitas
segala sesuatu diukur dari kesesuaian dengan „āqīdah dan syariat
Islam.
Dalam pembahasan lain spiritual adalah sesuatu yang
berhubungan dengan spirit, semangat untuk mendapatkan
keyakinan, harapan, dan makna hidup. Spiritualitas merupakan
suatu kecenderungan untuk membuat makna hidup melalui
hubungan intrapersonal. Manusia adalah makhluk Tuhan yang
paling sempurna, tidak hanya terdiri dari segumpal daging dan
tulang, tetapi terdiri dari komponen menyeluruh biologis,
psikologis, sosial, spiritual dan kultural. Tuntutan keadaan,
perkembangan, persaingan dalam berbagai aspek kehidupan
dapat menyebabkan kekecewaan dan keputusasaan.3
Dikotomi kesalehan individual (ḥablun minallāh) dan
kesalehan sosial (ḥablun minannās) masih terjadi hingga saat ini.
Banyak umat Islam yang secara individu saleh, namun tidak
secara sosial. Banyak orang yang rajin salat, namun tidak peka
dengan kerusakan alam. Banyak orang yang sering pergi haji dan
umroh, namun tidak peka dengan kemiskinan yang melanda
orang lain. Hal ini tentu saja membuat sikap saleh itu kurang
sempurna, karena kesalehan individual dan sosial ibarat dua sisi
mata uang yang tidak bisa dipisahkan.4 Muhsin, yaitu orang-

3
Ah Yusuf dkk, Kebutuhan Spiritual (Konsep dan Aplikasi dalam
Asuhan Keperawatan) (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2016), 1
4
Riza Zahriah Falah, Membentuk Keshalehan Individual dan Sosial
Melalui Konseling Multikultural, STAIN Kudus, Journal Edukasi, Vol.7, 2016,
169
3

orang yang memiliki sifat baik yang memantul di dalam ucapan


dan tindakannya, sehingga begitu baiknya, ia mengalah dalam
mengambil haknya dan membayar lebih atas kewajibannya.
Artinya, ia lebih mementingkan kepentingan masyarakat daripada
kepentingan dirinya sendiri.5 Salah satu bentuk hidayah Allah
kepada manusia adalah diberi-Nya mereka indra serta pikiran dan
hati sanubari, dengan itu manusia mampu menemukan kebenaran
untuk memperoleh keselamatan di dunia dan di akhirat. Indra dan
pikiran serta hati sanubari itu perlu difungsikan untuk mendalami
ayat-ayat-Nya.6 Sehingga manusia bisa mencapai puncak
spiritualitas dalam menjalankan aktivitasnya baik secara individu
ataupun sosial.
Dampak konstektualisasi penafsiran al-Qur‟an secara
sustainable ini pada akhirnya melahirkan metode pendekatan dan
corak beragam. Hal ini bisa dilihat pada uraian Muhammad
Husain al-Dzahabi (748 H), dalam Tafsīr wa al-Mufassirūn.
Secara garis besar mengulas keragaman aktivitas para mufassir
dalam menafsirkan al-Qur‟an, yang kemudian memunculkan
pendekatan dan corak yang variatif. Sebagian yang lain
menonjolkan nuansa sufistiknya, sehingga kemudian disebut
dengan al-tafsīr al-ṣūfi. Ada juga mufassir yang cenderung
menafsirkan al-Qur‟an dengan pendekatan sains, sehingga

5
Harun Salman, Mutiara al-Qur‟an (Jakarta: Qaf Media Kreativa,
2016), 36
6
Amirullah Syarbini, Kunci Rahasia Sukses Menurut Al- Qur‟an
(Jakarta: Kompas Gramedia, 2002), 69
4

kemudian dinamakan al-tafsīr al-„ilmi, dan sebagainya.7 Dalam


pembahasan metode seperti yang dijelaskan di atas memang
cukup beragam dan setiap mufassir yang menuliskan tafsirnya
jelas memiliki kriteria tafsirnya dengan metode yang digunakan.
Ansori menuliskan pendapat Said Agil Munawar yang dikutip
dari M. Quraish Shihab, bahwa tidak ada metode tafsir yang
terbaik sebab masing masing mempunyai karakteristik sendiri,
kelebihan dan kekurangan sangat tergantung kebutuhan dan
kemampuan mufassir menerapkannya.8 Dalam hal ini tentunya
keberadaan literatur tafsir perlu diketahui untuk menemukan
keberagaman corak tafsir yang terdapat dalam kitab tafsir baik
tafsir klasik ataupun modern.
Menarik untuk dibahas karena kitab tafsir ini berasal dari
salah seorang pemuka tarekat al-Idrisiyyah yang sekarang
berkembang di Indonesia tepatnya di Tasikmalaya, seperti kita
pahami bahwa tarekat erat kaitannya dengan pembelajaran hati
dan kedalaman tasawuf yang ditekankan sehingga perlu diteliti
bagaimana dimensi spiritual (perilaku) dalam kitab tafsir al-
Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah
karya Ahmad bin Idris. Dimana penulis menemukan bahwa
Ahmad bin Idris adalah seorang ahli tasawuf dan pemuka
Tarekat, tarekatnya bernama tarekat al-Idrisiyyah sebuah tarekat
yang muncul dan berpusat di Propinsi Asir, Arab Saudi pada

7
Abdul Mustaim, Pergeseran Epistimologi Tafsir (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2018), 76
8
Anshori, Ulumul Qur‟an (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), Cet ke-3,
217
5

akhir dasawarsa kedua abad ke-19 M. Didirikan oleh Syarif


Ahmad bin Idris „Alī al-Mashishi al–Yamlakhi al-Ḥasani Idris,
yang kepadanya dinisbatkan nama tarekat ini adalah nama ayah
dari pendirinya.9 Dan pada kitab tafsir Ahmad bin Idris seorang
pendiri tarekat inilah yang akan diketahui corak tafsir dan
dimensi spiritual dalam surah al-Fȃtihah.
Kitab tafsir ini merupakan sebuah himpunan-himpunan
penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang telah dilakukan oleh Ahmad
bin Idris. Ia telah menulis beberapa karya tafsir al-Qur‟an seperti
sūrah al-Fātiḥāh, sūrah al-Tīn, sūrah al-Duha, sūrah al-Kauṡar
dan selainnya. Tetapi penafsiran-penafsiran beliau ini tidak
pernah disusun dan dibukukan. Namun begitu, telah sampai
kepada Ṣāleh al-Jaʻfari (pentahkik kitab ini) beberapa manuskrip
(tulisan tangan) tafsir Ahmad bin Idris melalui Idris ibn
Muhammad al-Ṣarīf yang telah mendapatkannya daripada al-
Hasan bin Ali al-Yamani al-Idrisi. Idris bin al-Muhammad al-
Sharif menyatakan bahwa al-Hasan bin Ali al-Yamani al-Idrisi
telah datang dari Yaman dengan membawa bersama-samanya
manuskrip ini lalu memberikannya kepada Sâleh al-Ja‟fari
(w.1979).
Setelah peristiwa itu, Saleh al-Ja‟fari kemudian berusaha
keras mentashihkan (membenarkan nash-nash tafsir serta
mentahkiknya) dan membuang yang tidak mungkin untuk
ditakwil di dalam manuskrip ini, seterusnya mengambil inisiatif
untuk mencetak himpunan-himpunan tafsir ini ke dalam sebuah

9
Salim B. Pili, Tarekat Idrisyyah Sejarah dan Ajarannya
(Tasikmalaya: Mawahib Press, 2019), 71
6

buku (Ahmad bin Idris). Tafsir ini kemudiannya telah dicetak dan
diterbitkan oleh Dar Jawâmi‟ al-Kalim di Kaherah, Mesir, dengan
ketebalan sebanyak 192 halaman. Ṣāleh al-Jaʻfari mengatakan:
“telah hadir kepadaku Idris bin Muhammad Syarif r.a sebuah
tulisan yang tertuang didalamnya tafsir ayat-ayat Qur‟an milik
Ahmad bin Idris r.a dan ia dapati dari Hasan bin Sayyid Ali al-
Yamani al-Idrisy yang ia datangkan bersamanya dari Yaman”.10
Oleh sebab itu, penulis melihat wujudnya berbagai jenis
tafsir dengan berbagai jenis metodologi dan gaya
persembahannya. Antara ulama yang turut menceburi bidang
tafsir ini ialah Ahmad bin Idris, seorang ulama tasawwuf yang
terkenal dan merupakan pengagas kepada Tarekat al-Ahmadiyyah
al-Idrisiyyah. Secara umumnya, masyarakat kita hanya
mengenalinya sebagai seorang tokoh yang amat berjasa di dalam
dunia kesufian dan penyebaran dakwahnya melalui Tarekat al-
Ahmadiyyah al-Idrisiyyah, namun amat sedikit yang mengetahui
bahwa ia juga merupakan salah seorang mufassir al-Qur‟an.
Ketokohannya sebagai seorang mufassir dapat dilihat dengan
menelusuri tafsirnya yaitu al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr
Ba‟ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah yang akan penulis bahas dalam
penelitian skripsi ini.
Mengenai dimensi spiritual yang terdapat dalam tafsir
al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt al-
Qurʼāniyyah ini, akan diketahui bagaimana dimensi yang
ditawarkan oleh Ahmad bin Idris dengan nuansa tafsir sufistik

Ahmad ibn Idris, al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-


10

Āyāt al-Qurʼāniyyah (t.tp: Dar- Jawami‟ al-Kalim, t.th), 5


7

tentunya yang akan menjadi kekuatan tafsir ini dalam memberi


penjelasan mengenai dimensi spiritual, di sisi lain ketertarikan
penulis dalam membahas dimensi spiritual dalam kitab tafsir
tersebut, karena belum banyak yang mengungkap dimensi
spiritual dengan merujuk pada kitab tafsir dengan corak sufistik.
Dengan demikian penulis perlu meneliti lebih jauh
mengenai dimensi spiritual yang dimaksud dalam kitab tafsir al-
Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah
karya Ahmad bin Idris dengan menelaah Sûrah al-Fâtihâh pada
kitab tafsir tersebut dan dengan mengungkap makna tafsir
tersebut akan menambah pengetahuan penulis bahwa al-Qur‟an
adalah kalȃmullâh yang sangat agung dan telah banyak dirasakan
kemukjizatannya oleh seluruh lapisan masyarakat. Selain itu
penulis ingin melihat dimensi spiritual dalam gambaran Surah al-
Fātiḥah pada kitab tafsir tersebut, yang nantinya akan diteliti
dengan metodologi penelitian kualitatif sebagai langkah
menjawab paradigmatik ilmu–ilmu sosial pada kitab tafsir
tersebut.

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Perumusan masalah merupakan ruang bagi peneliti
untuk mengidentifikasi masalah penelitian, untuk mendefinisikan
atau membatasi ruang lingkup penelitiannya dan menjelaskan
dari sudut mana masalah akan diteliti.11 Dalam penelitian ini

11
Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif (Depok: Raja Grafindo, 2015)
Cet ke-2, 116
8

penulis mengidentifikasi ada beberapa masalah yang harus diteliti


di antaranya adalah:

a. Membahas dimensi spiritual secara umum


b. Ragam corak tafsir yang terdapat pada kitab karya Ahmad
ibn Idris yang ditulis oleh Ṣāleḥ al-Jaʻfari
c. Penulisan dalam tafsir karya Ahmad bin Idris
d. Analisis atas berbagai metodologi penafsiran yang digunakan
oleh para mufasir
e. Analisis terhadap beberapa karya tafsir ditinjau dari
metodologi dan kecenderungannya

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, penulis


membatasi penelitian ini pada tafsir karya Ahmad bin Idris yang
berjudul al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt al-
Qurʼāniyyah yang ditahkik oleh Ṣāleḥ al-Jaʽfari dengan fokus
pada penelitian surah al-Fātiḥah yang dikaitkan dengan judul
yang akan dibahas.

3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, penulis
merumuskan penelitian ini dengan kesesuaian tema yang dibahas
dan cakupan tafsir yang telah ditulis oleh Ahmad bin Idris dengan
menelaah Qur‟an sûrah al-Fâtihâh. Selain itu juga penulis ingin
mengetahui bagaimana korelasi antara makna tafsir dan juga
judul yang akan diteliti, sehingga dengan membatasi masalah
pada skripsi ini melahirkan rumusan masalah sebagai berikut :
9

Bagaimana aktualisasi dimensi spiritual pada Sûrah al-Fȃtihah


dalam kitab Tafsir al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-
Āyāt al-Qurʼāniyyah karya Ahmad bin Idris ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dimensi spiritual pada surah al-Fātiḥah di
kitab tafsir al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-
Āyāt al-Qurʼāniyyah karya Ahmad bin Idris
b. Menghasilkan rumusan terkait dimensi spiritual dalam Tafsir
al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt al-
Qurʼāniyyah karya Ahmad bin Idris
c. Memenuhi persyaratan akademik untuk meraih gelar sarjana

2. Manfaat Penelitian
a. Agar memahami aktualisasi dimensi spritual yang dimaksud
pada Sūrah al-Fātiḥah di tafsir al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi
Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah karya Ahmad bin Idris
dapat diaktualisasikan
b. Agar menambah pengetahuan mengenai aspek spiritual yang
dimaksud pada Sūrah al-Fātiḥah di tafsir al-Fūyūḍāt al-
Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah karya
Ahmad bin Idris
c. Menambah khazanah keilmuan dalam bidang kajian tafsir
secara umum.
10

D. Tinjauan Pustaka
Mengenai kajian tentang Dimensi Spiritual secara umum
atau yang sedang penulis teliti pada al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah
bi Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah karya Ahmad bin Idris,
ada beberapa karangan atau penelitian yang penulis temukan baik
berbentuk skripsi, atau jurnal yang membahas kitab tafsir tersebut
antara lain:
Journal of Education and Social Sciences, Vol. 4, (June)
ISSN 2289-9855 yang ditulis oleh Mohd Zarizi Fauzan ibn Alias
dkk. Yang berjudul Metodologi Tafsir Sayyid Ahmad Bin Idris
dalam al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt al-
Qurʼāniyyah dalam jurnal ini dijelaskan pengenalan dan
pendedahan kepada masyarakat mengenai sebuah kitab tafsir sufi
Isyari yaitu “al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt
al-Qurʼāniyyah” karangan seorang ulama sufi yang hebat serta
tidak asing lagi di dunia nusantara ini yaitu Sayyid Ahmad bin
Idris al-Ḥasani. Umumnya mengetahui bahwa beliau merupakan
seorang tokoh yang terkenal di dalam dunia tasawuf dan
penyebaran dakwah Islam.
Husein Thabathaba‟i dalam bukunya yang berjudul
Mengungkap Rahasia al-Qur‟an (Mizan, 1404) yang membahas
kedudukan dan nilai al-Qur‟an dalam dunia muslim sebagaimana
diungkapkan oleh kitab suci itu sendiri, bukan sebagaimana
anggapan kita sebagai suatu penganut madzhab tertentu. Juga
dibahas mengenai penalaran (logika) al- Qur‟an, rahasia wahyu,
ayat ayat muhkam dan mutasyabih, ta‟wil dan tanjil serta nasikh
11

dan mansûkh. Buku ini terasa mengandung kebaruan dalam


metode ilmiahnya.
Muhammad Tolchah Hasaan dalam bukunya yang
berjudul Dinamika Kehidupan Religius (Listarafiska, 2004) buku
ini menjelaskan dan memaparkan mengenai kehidupan spiritual
di tengah masyarakat secara umum, disertai dengan korelasi
kandungan al- Qur‟an, setelah meneliti aspek-aspek kehidupan
masyarakat, dibahas mengenai dinamika ibadah, pandangan Islam
tentang hakikat hidup manusia, wawasan Islam tentang kerja, dan
pandangan Islam terhadap harta kekayaan.
Mulyadhi Kartanegara dengan judul Menyelami Lubuk
Tasawuf (Penerbit Erlangga, 2006). Buku ini menjelaskan
mengenai bagaimana bisa menyelami samudera Taṣawuf aspek
batin dari agama, mengetahui tujuan idup yang sebenarnya.
Dengan gaya bahasa yang mengalir dan ringan, sebagai muslim
yang haqiqi akan dapat semakin meyakini dan menghayati nilai-
nilai keagamaan yang bukan sekedar ritual jasad dan teori
keyakinan yang ering secara spiritual.
Ahmad Khalil dalam bukunya yang berjudul Merengkuh
Bahagia tentang al-Qur‟an, Tasawuf, dan Psikologi (Penerbit
Erlangga, 2006) menjelaskan tentang berhubungan dengan materi
atau kemampuan duniawi, al-Qur‟an sudah banyak menyodorkan
tawaran supaya tercipta ketenangan dan kesenangan dalam jiwa.
Maka tasawuf lebih memperinci perintah dzikir sebagai penyejuk
dan mekanisme pertahanan diri dari kesedihan.
12

Saifuddin Aman, dalam bukunya Tren Spiritualitas


Millenium Ketiga (Ruhama, 2013) yang membahas tentang
langkah sukses ditentukan dengan spiritualitas. Dengan
spiritualitas seseorang bisa menafsirkan makna yang ada di balik
teks, mempersepsi kejadian, mengetahui rahasia, menangkap
sinyal semesta alam, melejitkan daya sensitivitas, memancarkan
energi ilahiyah, mengasah intuisi dan kreativitas, menghadirkan
harapan, dan menemukan apa yang dicari, dengan spiritualitas
bisa membangun masa depan meraih bahagia dan rahmat Allah
yang tak terbatas.
Luman al Hakim dengan judul Biografi Syekh Ahmad bin
Idris (Tarekat al-Idrisiyyah, 2014). Buku ini cukup untuk
mengetahui sisi kehidupan seorang yang dianggap banyak
sejarawan dan cendikiawan sebagai mujaddid (pembaharu) Neo
Sufi di masanya. Namun, tidak banyak pemerhati khususnya
bidang tarekat dan tasawuf menyelami perjalanan dan polemic
yang dihadapinya. Kisah pengembaraan dalam mencari
kebenaran dan mobilitas dakwahnya yang begitu tinggi akan
terlihat dalam buku ini.
M Fathurrahman dalam bukunya yang berjudul Resep
Keselamatan Kebahagiaan (Idrisiyyah Press, 2014). Buku ini
menjelaskan bahwa setiap manusia dalam kehidupan ini berusaha
meraih kebahagiaan yang dicita-citakan. Seluruh waktu dan sudut
kehidupannya digunakan untuk mewujudkan apa yang menjadi
harapannya itu. Manusia rela bertarung di arena kehidupan ini
dengan mengorbankan apa yang mereka miliki.
13

Ah. Yusuf dkk, dengan judul Kebutuhan Spiritual Konsep


dan Aplikasi dalam Asuhan Keperawatan (Mitra Wacana Media,
2016). Buku ini membahas tentang konsep spiritualitas,
keperawatan dan kebutuhan spiritual dalam keperawatan, selain
itu juga dilengkapi hasil aplikasi asuhan keperawatan dengan
pendekatan spiritual pada berbagai kasus, yang dibahas dalam
buku ini antara lain pada kasus keluarga, klien-klien dalam
keperawatan. Masing- masing keperawatan spititual ini sudah
dilengkapi dengan buku modul yang telah di uji coba dalam
penelitian. Sehingga konsern dengan pemenuhan kebutuhan
spiritual dalam keperawatan.
Salim B. Pili, M.Ag, dalam buku yang berjudul Tarekat
Idrisiyyah Sejarah dan Ajarannya (Mawahib Press, 2019). Buku ini
membahas tentang muatan sejarah dan ajaran tarekat al-
Idrisiyyah yang dinisbatkan kepada Ahmad bin Idris, serta
muatan perubahan demi perubahan sebuah lembaga organisasi
keagamaan yang cukup tua di Indonesia. Baik secara fisik,
maupun dari sisi ajaran dan pemikirannya. Keberadaan tarekat di
dunia jauh lebih tua dibanding lembaga keagamaan jenis lain,
sama halnya dengan sejarah tarekat yang mewarnai perjalanan
masuknya Islam di Indonesia oleh walisongo.
Dengan tinjauan pustaka ini penulis menegaskan bahwa
skripsi yang diteliti oleh penulis belum dibahas dan diuraikan
pada pembahasan-pembahasan lainnya. Baik dalam karya ilmiah,
jurnal dan dalam bentuk tulisan lainnya.
14

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library
research), yaitu penelitian yang menggunakan bahan- bahan
kepustakaan sebagai sumber data seperti buku, jurnal, majalah
dan lainnya, seperti yang telah disinggung terdahulu, kepustakaan
dalam sebuah proposal penelitian kualitatif dapat berisikan teori
dan konsep–konsep yang akan dipakai oleh peneliti untuk
menginterpretasikan data.12 Karya yang menjadi objek kajian dari
penelitian ini adalah tafsir al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr
Ba‟ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah karya Ahmad bin Idris dengan
menelaah penafsiran Surah al-Fatihah pada kitab tafsir tersebut.
Adapun sifat penelitian adalah kualitatif karena tidak
menggunakan mekanisme statistika dalam mengolah data.13 Data
yang akan dianalisis dapat diuraikan secara komprehensif dengan
merujuk pada ilmu utama yakni ilmu tafsir, ilmu tasawuf, dan
ilmu yang mendukung lainnya seperti ilmu sosiologi dan
pendidikan.

2. Sumber Data
a. Primer
Kata primer (primary) merupakan lawan kata sekunder,
yang berarti utama, asli, atau langsung dari sumbernya. Secara
definisi data primer adalah data asli yang dikumpulkan sendiri

12
Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif (Depok: Raja Grafindo, 2015),
Cet ke-2, 125
13
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-
ilmu sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), 23
15

oleh periset untuk menjawab masalah risetnya secara khusus14.


Karena penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan maka
pengumpulan data yang akan dilakukan adalah dengan
mengumpulkan data literatur yang sesuai dan berhubungan
dengan objek penelitian penulis. Untuk mendapatkan data yang
efektif dalam arti metode harus praktis dan tepat terhadap objek
kajian. Data-data disajikan untuk penyelesaian penelitian ini
diperoleh dengan mendokumentasikan sumber-sumber yang
terkait dengan objek penelitian, baik secara primer maupun
sekunder.
Sumber primer yang dimaksud di sini adalah langsung merujuk
pada kitab tafsir yang digunakan yaitu kitab tafsir al-Fûyûḏȃt al-
Rabbȃniyyah bi Tafsîr Ba‟di al-Ȃyȃt al-Qurʼȃniyyah karya
Ahmad bin Idris dan yang berkaitan dengan pandangan serta
penafsirannya.

b. Sekunder
Sekunder sesuai dengan arti kata sekunder “secondary”
yang berarti kedua, bukan secara langsung dari sumbernya. Data
sekunder sebagai data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain,
bukan oleh priset sendiri, untuk tujuan lain15. Adapun sumber
sekunder adalah buku-buku, jurnal, majalah, artikel, skripsi yang
berhubungan dengan objek penelitian tersebut. Ahmad Khalil
dengan judul Merengkuh Bahagia tentang al-Qur‟an, Tasawuf,

14
Istijanto, Riset Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005), 32
15
Istijanto, Riset Sumber Daya Manusia, 27
16

dan Psikologi (Penerbit Erlangga, 2006). Selanjutnya data yang


sudah diperoleh akan diklarifikasi sesuai dengan sub dan
pembahasan masing-masing dan kemudian dianalisis secara tepat
dan komprehensif supaya mendapatkan data yang valid dan
memuaskan.

3. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan
seseorang peneliti untuk mendapatkan data-data dari masyarakat
atau sumber primer dan sekunder agar ia dapat menjelaskan
permasalahan penelitiannya.16 Untuk mengumpulkan data,
terdapat dua hal yang menjadi objek, yaitu objek material dan
objek formal. Objek material adalah bahan yang menjadi tinjauan
dalam penelitian ini. Sehingga menjadi jelas bahwa objek
material dari penelitian ini adalah tafsir al-Fūyūḍāt al-
Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah karya
Ahmad bin Idris. Penulis juga menjadikan buku-buku yang
terkait dengan objek material tersebut sebagai referensi
pendukung dalam penelitian ini seperti buku buku tentang ilmu
tasawuf, tafsir corak sufistik baik yang ditulis oleh penafsir
Indonesia ataupun penafsir luar Indonesia, dan sebagainya.
Objek formal adalah sudut pandang yang ditujukan pada
bahan dari penelitian, dengan kata lain sudut dari mana objek
material itu disorot. Sehingga, dalam penelitian ini pendekatan
normatif dan historis tentang kitab tafsir dan penafsir tersebut
menjadikannya sebagai objek formal.

16
Yuni Sare, Antropologi, (Jakarta: Grasindo, 2006), h. 117
17

4. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data kualitatif secara prinsipal dan
prosedural berbeda dengan teknik analisis data kuantitatif. Proses
pengumpulan data kualitatif yang umumnya menitikberatkan
pada wawancara dan observasi partisipasipatoris membuat
analisis datanya berupa analisis tekstual dari hasil transkrip atau
catatan lapangan yang tidak terstruktur.17 Ditinjau dari fokus
pembahasan, penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Artinya
penelitian ini berusaha menjelaskan bagaimana penafsiran yang
dilakukan oleh penafsir yang memiliki dimensi spiritual bagi
masyarakat. Penulis menggunakan pisau Analisa yang digunakan
Piedmont seorang ilmuwan barat untuk mengupas dimensi
spiritual dengan membaginya ke dalam tiga bagian yaitu prayer
fulfillment, connectedness dan universalitas dan ketiga kerangka
spiritual ini menjadi pisau Analisa bagi penulis dalam membedah
kandungan spiritual dalam tafsir al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi
Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah karya Ahmad bin Idris.
Selain memaparkan data, penulis juga menganalisa data yang ada.
Tetapi juga mengkritisi data tersebut.

5. Tahapan Penelitian
Tahapan Penelitian adalah proses penelitian yang
diuraikan dengan disesuaikan jenis penelitian yang akan
dilaksanakan.18 Baik jenis kegiatan maupun urutannya tergantung
pada permasalahan yang dihadapi, dan tergantung pada pada
17
Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif, 120
18
Rudy Setiawan, Metodologi Penelitian Tekhnologi Informasi
(Malang: Seribu Bintang, 2018), 37
18

bidang keilmuan yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, penulis


mengkaji kitab tafsir al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi
al-Āyāt al-Qurʼāniyyah karya Ahmad bin Idris. Adapun langkah
penelitian sebagai berikut:
a. Mengadakan pembacaan terhadap kitab tafsir al-Fūyūḍāt al-
Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah karya
Ahmad bin Idris
b. Meneliti profile mufassir.
c. Menelaah kondisi dan situasi yang melingkupi mufassir.
d. Mengkorelasikan makna tafsir kitab yang diteliti dengan
dimensi spiritual.
e. Memaparkan dimensi spiritual yang terdapat dari tafsir yang
diteliti.

6. Teknik Penulisan
Adapun dalam teknik penulisan, penulis merujuk pada
Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta 2017 Keputusan Rektor Nomor 507 tahun
2017, serta penulis menggunakan Pedoman Transliterasi Arab-
Latin Keputusan Bersama Menteri Agama dan Mentri P dan K,
Nomor : 158 Tahun 1987 – Nomor : 0543/b/u/1987.

F. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam membahas penelitian ini,
penulis membaginya menjadi lima bab, yaitu :
Bab Pertama adalah Pendahuluan. Di dalam bab ini
dijelaskan tentang latar belakang penelitian untuk mengetahui
substansi pembahasan yang akan penulis teliti, rumusan masalah
19

untuk merumuskan permasalahan yang akan menjadi bahan


dalam pencarian data penulisan, tujuan dan kegunaan penelitian
untuk lebih memahami tinjauan manfaat penilitian baik secara
akademik ataupun praktis, tinjauan pustaka untuk mengetahui
kesesuai data sebelumnya yang akan penulis teliti beserta
temuan-temuan baru dalam penulisan, metode penelitian dan
sistematika pembahasan agar bisa menjadi kerangka penelitian
yang lebih sistematis. Pendahuluan yang berisi tentang
metodologi sebagai pisau analisis terhadap objek kajian.
Bab Kedua menjelaskan mengenai Ahmad bin Idris
meliputi, riwayat hidup, pendidikan dan karir, serta karya-
karyanya yang telah ditulis. Dalam bab ini juga penulis akan
memaparkan mengenai geneologi pemikiran, dan konteks historis
kemunculan tafsir kitab tafsir al- Fȗyȗdȃt al-Rabbâniyyah bi
Tafsir Ba‟di al-Âyat al-Qur‟âniyyah. Beserta metode dan corak
tafsir tersebut. Alasannya tentu untuk lebih mengetahui literatur
tafsir yang akan menjadi sumber primer dalam pembahasan
skripsi ini.
Bab ketiga menjelaskan tentang term spiritual, dari
pengertian hingga karakterisitik. Selain itu juga akan dibahas
mengenai spiritual dalam berbagai aspek. Urgensinya untuk lebih
memahami spiritual yang akan menjadi pembahasan dalam
skripsi ini sehingga spiritual dalam tafsir Ahmad bin Idris akan
dibahas secara spesifik pada bab selanjutnya.
Bab keempat merupakan bab yang berisi analisis terhadap
pola pandang Ahmad bin Idris terhadap dimensi spiritual dan
aspek apa saja yang terdapat pada Penafsiran Surah al-Fātiḥah dalam
20

Kitab al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt al-


Qurʼāniyyah karya Ahmad bin Idris. Bab ini adalah bab penentu
yang menguraikan mengenai poin pembahasan urgensinya tentu
akan menjawab bab pertama mengenai uraian identifikasi dan
rumusan masalah yang telah disusun oleh penulis.
Bab kelima merupakan bab terakhir yang mencakup
kesimpulan dan penutup dari pembahasan–pembahasan
sebelumnya yang disertai saran-saran dan rekomendasi untuk
penelitian selanjutnya. Dan pada bab ini merupakan bab penutup
untuk dijadikan kritik dan saran agar penulis bisa menyampaikan
poin-poin inti dalam pembahasan dan saran yang bisa dijadikan
evaluasi pada pembahasan selanjutnya untuk bisa dikembangkan
lebih luas.[]
BAB II

PROFIL AHMAD BIN IDRIS


DAN KARYA TAFSIRNYA

A. Biografi Ahmad bin Idris

1. Nama Lengkap dan Silsilah Keturunannya


Ahmad bin Idris adalah seorang keturunan Rasulullah
SAW, melalui cucunya, al-Ḥasan as-Sibth RA. Silsilah
lengkapnya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn „Alī ibn
Ahmad ibn Muhammad ibn „Abdullāh ibn Ibrāhīm ibn „Umar
ibn Ahmad ibn „Abdul Jabbar ibn Muhammad ibn Yamlah ibn
Masyisy ibn Abū Bakar ibn „Alī ibn Ḥurmah ibn „Isā ibn
Ahmad Mizwār ibn „Alī Haidarāh ibn Muhammad ibn Idrīs II
(Idris al-Aṣgār, juga dikenal dengan Idrīs al-Azhar) ibn Idrīs I
(Idrīs al- Akbar) ibn „Abdullāh al- Kāmil al- Maḥd ibn
al-Ḥasan al-Mutsanna ibn al-Ḥasan as-Sibth ibn „Alī ibn Abū
Thālib.1
Ahmad bin Idris lahir di Maisȗr, dekat Kota Fez, Maroko
(Maghribi) tahun 1760 M (1173 H) dan wafat di Sabya, yang
terletak dalam wilayah Propinsi „Asir (Saudi Arabia) pada
1837 M (1253 H). Ia adalah keluarga Syarīf al-Ḥasan yang
turunannya berasal dari Idrîs ibn „Abdullȃh ibn al-Ḥasan ibn
al-Hasan ibn „Alī ibn Tālib, cicit Nabi, yang mendirikan
Dinasti Idrisiyyah di Maroko dan berkuasa antara tahun 783-

1
Luqman al-Hakim, Bioghrafi Syekh Ahmad bin Idris Al Fasi Al
Hasani (Tasikmalaya: Tarekat Al- Idrisiyyah, 2012), Cet II, 1

21
22

985 M (172-375 H)2. Ia juga keturunan Yamlah bin Mashis bin


Abū Bakar, keduanya wali-wali yang termasyhur di Maroko.
al-Imam Idris I adalah pendiri Dinasti al-Adarisah dan
meninggal dunia pada tahun 177 H di Maroko. Ia disebut
sebagai pendiri negara Maroko yang didirikan pada tahun 172
H. Dinasti al-Adarisah berkembang hingga tahun 375 H.
Selain itu, al-Imam Idris I juga dikenal sebagai seorang wali
Allah. Makamnya berada di atas Jabal Zirhun, tidak berapa
jauh dari Kota Fez bandar yang terletak di atas Jabal Zirhun ini
dianggap sebagai sebuah kota suci oleh orang-orang Maroko.
Hingga hari ini, orang-orang kafir tidak dibernarkan masuk ke
dalamnya. Bandar ini dinamai Bandar Mawlay Idris,
mengambil nama al-Imam Idris I.3

2. Latar Belakang Pendidikan Ahmad bin Idris


Pada akhir kurun ke-14H/19M, terdapat tokoh-tokoh
Islam yang membangkitkan kembali umat Islam yang lemah
kerena terpengaruh dengan ajaran tasawuf falsafi. 4 Antara
ulama tersebut ialah Ahmad bin Idris pendiri tarekat
Ahmadiyyah. Pada kurun abad ke-18M, ia telah coba
menghidupkan kembali kegiatan ahli sufi yang sudah begitu

2
Rex. S. O‟Fahey, Enigmatic Saint: Ahmad bin Idris and the Idrisi
Tradition (Illionis: Northwestern University Press, 1991), 30
3
Luqman Al- Hakim, Bioghrafi Syekh Ahmad bin Idris Al Fasi Al
Hasani, 2
4
Seyyed Hossein, Nasr, Living Sufism (London: Unwin Paperbacks,
1980), 82
23

suram,5 dan akhirnya Ahmad bin Idris berjaya menumbuhkan


Tarekat Ahmadiyyah.
Ahmad bin Idris banyak mengembara ke negeri lain
dengan tujuan untuk berguru kepada tokoh-tokoh sufi yang
terkenal, di samping ingin mengembangkan ilmu-ilmu yang
sudah diperoleh. Pertama kalinya ia bertolak ke Makkah pada
tahun 1213H/1797M dan sampai di sana pada tahun 1214H/
1798M. dengan satu tujuan yaitu untuk menjalani proses
pembelajaran lanjutan di samping menunaikan ibadah haji.
Semenjak itu, Ahmad bin Idris tidak kembali Iagi ke kampung
halamannya di Moroko.6
Ketika masih kecil, Ahmad bin Idris diasuh oleh
kakaknya yang bernama Sayid Muhammad bin Idris. Ia belajar
al-Qur‟an dan juga menghafalnya di bawah bimbingannya.
Kakaknya memiliki watak yang keras dalam mengajar. Pada
suatu hari Ahmad bin Idris pernah membuka surbannya dan
menunjukan satu goresan bekas luka di atas kepalanya. Ia
bercerita “Pada suatu malam, ketika aku sedang membaca di
dalam majelis, terlupa sebagian hafalan-hafalanku. Kakakku
Sayid Muhammad memukulku dengan al-Lauh (papan tulis).
Inilah goresan bekas luka akibat pukulan itu.” Lalu setelah

5
Trimingham, J. S, Islam in Sudan, Frank Cass and Co. Ltd (London,
Oxford University Press, 1949), 229
6
Muhammad Sa'id bin Jamaluddin al-Liagi, al-Ahzab al-'Urfaniyyah
wa al-Aufad at-Nuriyyah, h. 16
24

Muhammad meninggal dunia, Ahmad bin Idris selanjutnya


belajar kepada kakaknya yang lain yang bernama Abdullah.7
Pada masa mudanya Ahmad bin Idris diwarnai oleh
suasana keilmuan dan kezuhudan, pada mulanya ia
mempelajari Hadis, Ilmu Tafsir, Aqidah dan Fikih
(Malikiyah), dan keilmuan lainnya kepada beberapa orang
guru di Fez, sehingga ia menjadi terkenal sebagai seorang
pelajar yang terpintar di Fez. Setelah mempelajari itu semua,
Ahmad bin Idris mulai mempelajari tasawuf sampai mendapat
Ijazah untuk mengajar ilmunya dari seorang sufi pimpinan
Tarīqat Khidirīyyah, yakni Abȗ Al-Mawwahib „Abdul
Wahhȃb at-Tazi. Gurunya yang lain dalam bidang tasawuf
adalah „Abdul Qȃsim al-Wȃzîr (Tarīqat Syazilīyah), Ḥasan
al-Qinā‟i (Tarīqat Khalwatīyah).8
Setelah meninggalkan kota Fez pada akhir tahun 1212 H,
Ahmad bin Idris pergi ke kota Algiers (al-Jazair), Tunis,
Tripoli (Tharablus) dan Benghaji, ia tinggal untuk beberapa
waktu di Benghaji, sambil mengajar di masjid-masjid tersebut.
Pada tahun 1799 M (1213 H). Ia menunaikan ibadah haji
kemudian menetap di Kairo untuk memperdalam ilmu
agamanya. Sejak itu ia tak pernah kembali lagi ke negeri
asalnya (Maroko). Selanjutnya ia berdomisili di Desa Zainjid,
kawasan Qina, Mesir. Pada tahun 1818 M (1213 H). Ia
kembali lagi ke Makkah dan bermukim di sana dalam waktu

7
Luqman Al- Hakim, Bioghrafi Syekh Ahmad bin Idris Al Fasi Al
Hasani, 5
25

yang lama. Di sini nampaknya ia mendalami dan mengajarkan


bermacam tarekat lainnya. Sebab ketika nanti Muhammad bin
„Alî as-Sanȗsî belajar kepadanya (Ahmad bin Idris)
mengajarinya selain Tarekat Khidriyah juga tarekat lain seperti
Nasiriyah, Naqsyabandiyyah, Uwaysiyyah, Suhrawardiyyah,
Syadziliyyah, Hatimiyya, Hamzawiyyah dan Qadiriyyah,
sehingga as- Sanusi menganggapnya “Qutb”.9
Selain itu Ahmad bin Idris juga belajar dari Abȗ
Muhammad „Abdul Qadir ibn Ahmad al-„Arabī bin Syaqrun
al-Fâsi (w. 1216 H), seorang pakar ilmu perobatan, dan juga
Abdul Karim bin Ali al- Zahabi al- Yazigni (w. 1199 H),
Seorang „Alim pakar Ilmu Fikih. Salah seorang guru sufi
Ahmad bin Idris ialah al-Qutb al Muammar „Abdul Wahhab
at-Tazi al-Ḥasani. Ia juga meriwayatkan hadis Musalsal dan
memiliki sanad „Alī, sehingga mendapatkan pengakuan dari
Muhammad bin „Alī al-Syaukanī (Pengarang kitab al Authar).
Sebagai contoh, Antara Ahmad bin Idris dengan Imam
Bukhȃri hanya berjarak sembilan perawi. Oleh karenanya para
ulama pada masanya berbangga memiliki sanad dari Ahmad
bin Idris ini.10
Kepintaran dan kewibawaan Ahmad bin Idris semakin
menyebar luas sebagai ahli sufi yang mengemukakan
pembaharuan-pembaharuan pemikiran, ia juga berjaya

8
Rex. S. O‟Fahey, Enigmatic Saint: Ahmad bin Idris and the Idrisi
Tradition, Illionis, 83
9
Knut S. Vikor, Sufi and Scholar on New Edge: Muhammad bin Ali
Sanusi (t.tp: Northwestern University Press, 1995), 120
26

menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tarekat dan


kompeten dalam persoalan-persoalan dan amalan-amalannya.
Di samping ia turut menguasai ilmu al-Qur'an dan al-Hadis
sehingga sukar untuk ditandingi pada masa itu. bahkan ia telah
disebut sebagai "khalifah" yang diizinkan untuk mengajar
orang ramai di dalam bidang-bidang tersebut.11
Yusuf ibn `Ismail al-Nabhani pengarang kitab Jami‟
Karȃmȃt al-Auliȃ, menggambarkan Ahmad bin Idris sebagai
seorang yang berhasil menghimpun dan menguasai ilmu zahir
(Syari‟ah) dan ilmu batin (taṣawuf) memiliki kemasyhuran
dalam ilmu al-Qur‟an dan Hadis, suatu ilmu yang diperoleh
melalui kasyf dengan bahan keruhanian, kecerdasan dan
kepribadiannya yang menonjol ia berhasil menarik banyak
pengikut di Makkah, sehingga berdirilah Tarīqat al-Idrisiyyah.
Dari murid-muridnya banyak yang menjadi ulama yang
terkenal, baik dalam bidang ilmu lahir (fiqih) maupun ilmu
batin (taṣāwuf), antara lain:
a. „Abdur-Rahman ibn Sulaimān al- Ahdāl
b. Muhammad „Abid as-Sinsi, Syekh di Madinah
c. Muhammad al- Majzub as-Sawākin, ulama terkemuka di
Sudan
d. Muhammad al-Madani, ulama terkemuka di Madinah

10
Luqman Al-Hakim, Bioghrafi Syekh Ahmad bin Idris Al Fasi Al
Hasani, 12
11
Ahmad bin Muhammad Sa'id al-Linggi, Fara'id al-Maathir
al-Marwiyyah li al-Tariqat al-Ahmadiyyah al-Kashidiyyah al-Dandafawiyyah
(Singapura: t.p, t.t), 34
27

Pendiri Tarekat :
a. Muhammad ibn „Alī as-Sanūsi, pendiri Tarekat as-Sanūsiyyah
b. Muhammad Utsmān al-Mirghani, pendiri Tarekat
Mirghaniyyah
c. Ibrāhīm ar-Rasyīd, pendiri Tarekat Rasyīdiyyah.12

3. Situasi Sosial di Masa Ahmad bin Idris


Ahmad bin Idris seorang ulama yang lahir di Kota Fez, ia
dikenal juga dengan Ahmad bin Idris al-Fasi al-Maghribi.
Kurang lebih seratus lima puluh tahun sebelum itu, leluhur
Ahmad bin Idris yang bernama „Alî ibn Ahmad, pernah tinggal
di al-„Ara‟isy (sebuah pelabuhan di negara Maroko yang
dikenal dengan “larache” di dalam bahasa Spanyol) yang
terletak di pantai lautan Atlantik. Kemudian, ia berpindah
bersama keluarganya ke sebuah desa yang lebih aman di dalam
daerah Maisur. Di masa itu al-„Ara‟isy sedang dilanda suasana
politik yang tidak tentram karena banyaknya terjadi perebutan
kekuasaaan. Ia pernah dijajah oleh bangsa Portugis dan
Spanyol. Bahkan beberapa tahun setelah Ahmad bin Idris
dilahirkan, Bandar al-„Ara‟isy pernah dihantam meriam oleh
tentara Perancis.13
Kemudian, dengan menaiki kapal ia menuju ke kota al-
Iskandariyyah (Alexandria) dan tiba disana pada tahun 1213
H. Dari kota al- Iskandariyyah, ia bertolak ke kota al-Qahirah
(Cairo), di mana ia memberikan banyak taklim umum di

12
Ensiklopedi Islam, jilid 3 (Jakarta: Departemen Agama, 1993), 1192
13
Luqman Al-Hakim, Bioghrafi Syekh Ahmad bin Idris Al Fasi Al
Hasani, 3
28

Universitas al-Azhar. Dari Mesir, Ahmad bin Idris pindah ke


Hijaz pada akhir tahun 1213 H., tinggal di sana untuk waktu
yang agak lama. Namun, dari Hijaz, ia juga beberapa kali pergi
ke Mesir dan tinggal di sana. Dalam jangka waktu itu, ia juga
bertukar tempat tinggal, yakni kadangkala ia tinggal di
Makkah al-Mukarramah, dan kadangkala ia tinggal di Madinah
al-Munawwarah, atau di Bandar ath-Thaif, atau di negara
Mesir.
Segala usaha gigih Ahmad bin Idris untuk memurnikan
kembali agama Islam dari segala kepercayaan juga amalan,
membuat orang- orang lain merasa curiga terhadapnya, dan
beberapa ulama menentangnya saat itu. Dua tahun tinggal di
Makkah beberapa penduduk Makkah menentangnya. hal ini
menunjukan bahwa banyak ulama di kota Makkah masa itu
terjatuh ke dalam fanatisme bermazhab (ta‟asub al-madzâhib)
hal ini yang tidak disukai oleh Ahmad bin Idris, ia juga
berusaha menyadarkan umat Islam agar tidak terpecah–belah
di atas perkara-perkara kecil yang tidak menjadi pokok di
dalam agama Islam. Maka, untuk meredakan konflik akibat iri
hati dari ulama Makkah saat itu, Ahmad bin Idris akhirnya
berpindah ke Thaif pada tahun 1215 H, dan tinggal di sana
selama dua tahun.14
Ahmad bin Idris bukan saja berjaya dalam
mengembangkan doktrin tarikatnya, malahan ia turut berjaya
menyediakan sebuah asas gerakan politik di kawasan 'Asir

14
Luqman Al-Hakim, Bioghrafi Syekh Ahmad bin Idris Al Fasi Al
Hasani, 24
29

pada tahun 1248H./1832M. Ia telah menumbuhkan kerajaan


Idrîsîyyah Sanȗsiyyah di 'Asir dan berhasil mewujudkan
sebuah negara yang berbentuk militan dan religius. Lalu
setelah kematian Ahmad bin Idris, cucunya, Muhammad bin
'Alî (1876M-1923M) telah menjadi pemerintah bagi Dinasti
Idrisī di 'Asîr yang telah diasaskan pada tahun 1905 M.15
Sepuluh tahun setelah mereka menduduki Makkah,
golongan Wahabi diusir keluar oleh gabungan tentara–tentara
Turki dan Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali Pasha,
Ahmad bin Idris meninggalkan kota Makkah pada tahun 1228
H. Dan pergi menyebrangi laut merah, lalu Ahmad bin Idris
pergi ke kota Makkah lagi pada tahun 1233 H, dan menetap
untuk beberapa waktu sebelum berangkat kembali ke desa
Zainiyyah pada tahun 1235 H. Setelah tinggal beberapa waktu
di sana lalu ia melanjutkan perjalanan ke Makkah pada tahun
1240 H. Ketika Ahmad bin Idris berada kembali di Makkah,
muncul lagi rasa iri hati dari pihak al-Fuqahā di kota Makkah,
mereka selalu mengajak berdebat dengan niat untuk
menjatuhkan kewibawaan Ahmad bin Idris.16
Pemikiran dan ide-ide terus berkembang termasuk konsep
tasawuf yang diperkenalkannya. Murid-muridnya terus
memperluaskan pengaruh Tarekat Idrisiyyah ke belahan dunia
sebagai kesinambungan dari tugas-tugas yang dilakukannya.
Antara murid Ahmad bin Idris yang memainkan peranan

15
Arberry, A. J, The Sufi Orders in Islam, Jil. 2 (Cambridge: t.p, t.t),
120
30

penting dalam perkembangan Tarekat Idrisiyyah ialah Ibrȃhîm


al-Rasyîd yang merupakan murid kesayangannya. Ibrȃhîm
al-Rasyîd telah berjaya mengembangkan tarekat tersebut ke
Somalia, India, Syria, Sudan dan lain-lainnya. Ia juga turut
berjaya mendidik sepupunya Muhammad ibn Sȃlih yang
akhirnya memperkenalkan Tarekat Idrisiyyah sebagai Tarekat
Salihiyyah yang berkembang pesat di Mesir.17
Pada mulanya, tantangan dari golongan ulama yang iri
hati ini tidak dihiraukan oleh Ahmad bin Idris. Tetapi,
tantangan ini menjadi bertambah kuat dan mendatangkan
fitnah dan suasana tidak aman bagi murid-muridnya dan juga
orang banyak. Karena itu, untuk menjaga ketentraman hati
Umat Islam, Ahmad bin Idris memutuskan untuk berpindah ke
negara Yaman pada tahun 1423 H. Murid- murid turut
menemaninya ke Pelabuhan al-Lith, yang terletak tidak berapa
jauh dari kota Makkah. Ketika Ahmad bin Idris berhijrah dari
Hijaz ke Yaman, beberapa orang keluarga dan pengikutnya
ikut serta. Setelah meleati perjalanan yang cukup panjang dan
singgah di beberapa tempat dan tibalah Ahmad bin Idris di
kota al-Hudaidah, lalu pergi ke utara di bajil, di mana ia
tinggal di rumah seorang faqîh yang berasal dari Maroko, yang
bernama Muhammad at-Tazi an-Nasyîri, dan akhirnya pada

16
Luqman Al- Hakim, Bioghrafi Syekh Ahmad bin Idris Al Fasi Al
Hasani, 31
17
Mac Michael, A History of the Arabs in the Sudan, Jil. 2,
Cambridge, 1922, 76
31

bulan Syaban 1245 H, Ahmad bin Idris sampailah di kota


Sabya. Ia tinggal di kota Shabya hingga akhir hayatnya.18
4. Karya- karya Ahmad bin Idris
Ahmad bin Idris adalah seorang guru, juru dakwah yang
produktif menuliskan pemikirannya. Karya aslinya meliputi
bidang tafsir, bidang hadis dan bidang tasawuf. Selain itu
khutbah-khutbah, surat–surat dan bioghrafi yang dituliskan
oleh muridnya.
Tulisan yang Jenis „Am (Umum):
a. al- ʼIqd an-Nafîs fi Naẓm Jawāhir at-Tadrīs
b. Munāẓarah Ahmad ibn Idris Ma‟a al-Fuqahā „Asir
Karya- karya Ahmad bin Idris di bidang Tafsir ialah:
a. al-Fȗyūḍāt ar-Rabbāniyyah bi Tafsir Ba‟ḍi al-ʼĀyāt
al-Qur‟āniyyah
b. Tafsir Basmalah
c. Tafsir Innal Muslimîna wal-Muslimāt dan Tafsir
Wadz-dzakarinallāh Katsiran wadz-dzakirāt
d. Tafsir surah al-Kautsar
e. Tafsir surah at-Tīn
Karya- karya Ahmad bin Idris di bidang Hadis ialah:
a. Syarḥ Ḥadîth as- Sunnah al- Muḥammadiyyah.
b. Rūh as-Sunnah
Karya-karya Ahmad bin Idris di bidang Tassawuf ialah:
a. Kimiyā al-Yaqīn fi Mushawwaq al-Muttaqīn

18
Luqman Al- Hakim, Bioghrafi Syekh Ahmad bin Idris Al Fasi Al
Hasani, 34
32

b. Kūnūz al-Jawāhir an-Nuraniyyā min Kalimat Syaikh


at-Tarīqa as-Sadzīlīyya
c. Lawȃmi‟ al-Burūq min Kalimat Syaikh at-Tariqa
al-Muhammadiyyah
d. Nubḥa fî Sifat Dukhūl al-Khalwat
e. Risālat al- Asas
f. Risalat fi al-Zikr
g. Syarḥ Ḥusūl al- Haqīqa bi Naẓm Usūl al-Thariqa
h. Syarḥ Qasidat al-Imam al-Junaid
i. Al-Taṣawwuf al-Suluk.19
Berikut adalah karya-karya dari Ahmad bin Idris baik di
bidang umum, Tafsir, Hadis ataupun Tasawuf. Karya-karyanya
ada yang ditulis langsung oleh Ahmad bin Idris ataupun yang
ditulis oleh murid-murid yang selalu yang diajari olehnya.

B. Bentuk Penafsiran
1. Metode Pnafsiran
Tafsir al-Fuyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-
ʼĀyāt al-Qur‟āniyyah karya Ahmad bin Idris menggunakan
metode tahlili yakni metode tafsir ayat-ayat al-Qur‟an dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat
yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan
kecendrungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat

19
Rex. S. O‟Fahey, Enigmatic Saint : Ahmad bin Idris and the Idrisi
Tradition, 212-215
33

tersebut. 20 Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an metode


tahlili adalah metode yang runtut berdasarkan urutan mushaf
sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab yang
menggunakan metode tahlili, metode tahlili juga disebut
metode analisis yaitu metode penafsiran yang berusaha
menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dengan berbagai seginya,
berdasarkan urutan ayat dan surat dalam al-Qur‟an mushaf
utsmâni dengan menonjolkan pengertian dan kandungan
lafal-lafalnya, hubungan ayat dengan ayatnya, sebab-sebab
nuzulnya, hadits-hadits Nabi Saw, yang ada kaitannya dengan
ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta pendapat para sahabat dan
ulama-ulama lainnya.21
Dalam metode penulisan tafsir al-Fuyūḍāt
al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al- ʼĀyāt al-Qur‟āniyyah
Ahmad bin Idris langsung mencantumkan nama surahnya
tanpa ditulis secara rinci jumlah ayat atau diturunkan di
mananya, begitupun kitab tafsir ini juga menekankan aspek
kebahasaan dengan mencantumkan syair-syair nahwu dan ilmu
bahasa lainnya 22 , Ahmad bin Idris memberikan perhatian
sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat
yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang
benar dari setiap bagian ayat. Sehingga terlihat seperti
pembahasan yang parsial, dari tiap-tiap ayat yang ditafsirkan

20
Nashiruddin Ba‟idan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an
(Yogyakarta: Glaguh UHIV, 1998), 31
21
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur‟an
(Bandung: Pustaka Setia, 2004), 94
34

oleh Ahmad bin Idris dalam karya tafsirnya. Dalam


pembahasannya jika merujuk pada tafsir al-Fuyȗdȃt
ar-Rabbȃniyyah bi Tafsir Ba‟di al-ʼÂyȃt al-Qur‟âniyyah
terdapat dua cara untuk mengetahui metode yang digunakan
oleh Ahmad bin Idris yaitu metodologi yang umum (penafsiran
yang zâhir) dan metodologi yang khusus atau isyarî
(penafsiran yang batin). Metodologi yang umum meliputi
metodologi pentafsiran yang sering digunakan oleh para
mufasir yaitu metodologi pentafsiran bi al-ma‟tsur,
metodologi pentafsiran bi al-ra‟yi al-mahmudah dan
sebagainya. Manakala metodologi pentafsiran Isyari pula
adalah seperti mana yang telah disebutkan oleh Ibn Atsur di
dalam mukaddimah tafsirnya yaitu:
i.) Penafsiran secara perumpamaan atau tasbih (tamtsîl)
ii.) Penafsiran secara makna tersirat
iii.) Penafsiran secara mengambil pengajaran (ikhtibâr)23

2. Jenis Penafsiran
a. Penafsiran dengan al-Qur’an
Adapun sumber penafsiran yang dilakukan oleh Ahmad
bin Idris Penafsiran dengan Ayat al-Qur‟an Metode ini
merupakan metode yang paling jelas dan sering digunakan
oleh Ahmad bin Idris ketika melakukan penafsiran dalam kitab
tafsir ini. Sebagai contoh ialah penafsiran yang dilakukan pada
ayat:

22
Ahmad bin Idris, al-Fȗyȗdȃt al-Rabbȃniyyah bi Tafsir Ba‟di al-Ãyȃt
al-Qur‟âniyyah (t.tp: Dar Jawami‟ al-Kalim, t.t), 6-7
35

ِ ِ ِ ِ‫ِ م‬
ْ َ‫ت قُلُوبُ ُه ْم َوإِ َذا تُلي‬
‫ت‬ ْ َ‫ين إِ َذا ذُكَر اللمهُ َوجل‬ َ ‫إَّنَا الْ ُم ْؤمنُو َن الذ‬
‫ِم‬
‫َعلَْي ِه ْم آيَاتُهُ َز َادتْ ُه ْم إِميَانًا َو َعلَى َرهِّبِ ْم يَتَ َومكلُو َن‬
“Sesungguhnya orang- orang yang beriman adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hatinya,
dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka
bertawakal ”24(QS. al-Anfal [8]: 2)
Ahmad bin Idris menyatakan bahwa yang dimaksudkan
pada ayat ini ialah tanda-tanda yang ditunjukkan dalam
al-Qur‟an dan pada alam semesta (al-Ayat al-Qur‟aniyyah wa
al-„Alamiyyah) yaitu jika kamu melihat kepada sekelian
makhluk-Nya (maka) akan bertambahlah imanmu, kerana
tanda-tanda itu telah dibacakan (ditunjukkan) ke atasmu. Allah
SWT berfirman:

ِ ِ ‫ضو‬ ِ
‫مها ِر‬
َ ‫اخت ََلف اللمْي ِل َوالن‬ ْ َ ِ ‫إِ من ِِف َخ ْل ِق ال مس َم َاوات َو ْاْل َْر‬
ِِ ِ ِ ‫ِ م‬
ُ‫ماس َوَما أَنْ َزَل اللمه‬
َ ‫َوالْ ُف ْلك ال ِِت ََْتري ِف الْبَ ْحر ِبَا يَْن َف ُع الن‬
‫ض بَ ْع َد َم ْوِِتَا َوبَ م‬ ِ ‫ِمن ال مسم ِاء ِمن م ٍاء فَأ‬
‫ث‬ َ ‫َحيَا بِه ْاْل َْر‬ ْ َ ْ َ َ
‫اب الْ ُم َس مخ ِر‬ِ ‫اح وال مسح‬ ِ ْ َ‫فِيها ِمن ُك هل َدابمٍة وت‬
َ َ ِ َ‫ص ِريف الهري‬ َ ْ َ
‫ات لَِق ْوٍم يَ ْع ِقلُو َن‬
ٍ ‫ض ََلي‬ ِ
َ ِ ‫ْي ال مس َماء َواْْل َْر‬
َ ْ َ‫ب‬
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi; dan
(pada) pertukaran malam dan siang; dan (pada) kapal-kapal
yang belayar di laut dengan membawa benda-benda yang
bermanfaat kepada manusia; demikian juga (pada) air hujan
yang Allah turunkan dari langit lalu Allah hidupkan

23
Ibn Atsur, Tafsir Tahrir wa Tanwir, Dar Taniyah, Juz 1, 35
24
Kementerian Agama Republik Indonesia, Mushaf al-Qur‟an
Terjemah, 177
36

dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya, serta


ia biakkan padanya dari berbagai-bagai jenis binatang;
demikian juga (pada) peredaran angin dan awan yang tunduk
(kepada kuasa Allah) terapung-apung di antara langit dengan
bumi; sesungguhnya (pada semuanya itu) ada tanda-tanda
(yang membuktikan keesaan Allah, kekuasaan-Nya,
kebijaksanaan-Nya, dan keluasan rahmat-Nya) bagi kaum
yang (mahu) menggunakan akal fikiran.” 25 (QS. al-Baqarah
[2]: 164)
Berdasarkan ayat ini, ia telah menafsirkan maksud al-Ayat
al-„Alamiyyah itu ialah apa yang telah dizahirkan-Nya melalui
kejadian alam semesta ini. Inilah ia tanda-tanda yang kedua
selepas al-Qur‟an di mana nya akan menguatkan keimanan
seseorang hamba itu sekiranya ia memperhatikan setiap
kejadian Allah SWT yang berlaku di atas muka bumi ini.26

b. Penafsiran dengan al-Sunnah


Contohnya penafsiran yang telah dilakukan oleh Ahmad
bin Idris pada ayat:

‫يما‬ِ ‫ات جن‬ ِ ِ ‫لَيس علَى الم ِذين آمنُوا وع ِملُوا ال م‬


َ ‫اح ف‬
ٌ َ ُ َ‫صاِل‬ ََ َ َ َ َ ْ
ِ ‫طَعِموا إِ َذا ما اتم َقوا وآمنوا وع ِملُوا ال م‬
ِ ‫اِل‬
‫ات ُثُم اتم َق ْوا‬َ ‫ص‬ َ َ َُ َ ْ َ ُ
ِِ ُّ ‫َح َسنُوا َواللمهُ ُُِي‬
‫ْي‬
َ ‫ب الْ ُم ْحسن‬ ْ ‫َو َآمنُوا ُثُم اتم َق ْوا َوأ‬
“Tidak berdosa bagi orang- orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan
(dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman, serta

25
Kementerian Agama Republik Indonesia, Mushaf al-Qur‟an
Terjemah, 22
26
Ahmad bin Idris, al-Fūyūḍāt ar-Rabbāniyyah bi Tafsir Ba‟ḍi
al-Āyāt al-Qur‟āniyyah, 139-140
37

mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertaqwa dan


beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan
berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang- orang yang
berbuat kebajikan.27” (QS. al-Maidah [5]: 93)
Ahmad bin Idris telah mentafsirkan ayat ini dengan
menyatakan: Lafal “‫ ”إتّقوا‬telah diulang sebanyak tiga kali dan
lafal “‫ ”آمنوا‬juga (turut) diulang 3 kali. Dan Allah SWT
berfirman di akhirnya “‫ ”أحسنوا‬sekali saja, yaitu (maksudnya)
sesungguhnya orang yang beriman dan yang melakukan
amalan-amalan saleh tidak akan mendapat dosa atas apa yang
telah mereka makan dari rezeki yang baik-baik. Kemudian
apabila mereka makan maka akan bertambah kepada mereka
keimanan dan ketakwaan. Dan jika mereka memakan makanan
yang baik-baik itu dengan niat untuk menguatkan anggota
tubuh badan mereka agar mudah melakukan ketaatan, maka
(perkara) itu juga akan menambahkan keimanan dan
ketakwaan. Ini kerana terdapat di kalangan para sahabat
radiyallâhu „Anhum sebagian dari mereka yang
mengharamkan kegemukan dan sebagian yang lain
mengharamkan nikah supaya waktu-waktu tersebut
dikosongkan untuk beribadah. Kemudian Allah SWT
berfirman “‫ ”اتَّقَوْ ا َوأَحْ َسنُوا‬yaitu (maksudnya) ihsan itu perlu
disandingkan dengan ketakwaan dan keimanan sebagaimana di
dalam H.R Muslim: 9, yaitu:
“Sesungguhnya Malaikat Jibril AS telah turun kepada
Rasulullah SAW maka dia berkata kepada Rasulullah SAW :
“Apakah iman itu ?”. Maka Rasulullah SAW pun menjawab :
27
Kementerian Agama Republik Indonesia, Mushaf al-Qur‟an
Terjemah, 123
38

“Iman itu ialah kamu beriman (beriktikad) kepada Allah SWT


dan para malaikat-Nya dan kitab-kitab-Nya dan para
rasul-Nya, dan beriman (juga) dengan hari kebangkitan”.
Malaikat Jibril bertanya lagi:“Apakah (pula) Islam itu ?”.
Maka Rasulullah SAW pun menjawab:“Islam itu ialah kamu
menyembah Allah SWT dan kamu tidak mensyirikkan Dia
dengan sesuatu apapun, dan kamu mendirikan (mengerjakan)
salat, dan kamu menunaikan zakat yang telah difardhukan
(diwajibkan), dan kamu berpuasa di Bulan Ramadhan”.
Malaikat Jibril bertanya lagi : “Apakah ihsan itu ?”. Maka
Rasulullah SAW pun menjawab : “ihsan itu ialah kamu
menyembah Allah SWT seolah-olah kamu melihat-Nya. Maka
jikalau kamu tidak dapat melihatnya, maka sesungguhnya Dia
melihat kamu”. Malaikat Jibril bertanya lagi : “Apakah (pula)
hari kiamat itu ?”. Maka Rasulullah SAW pun menjawab :
“Tiadalah orang yang ditanya itu lebih mengetahui tentang
perkara (berkenaan hari kiamat) tersebut berbanding orang
yang sedang bertanya.”28
Dan jikalau ihsan itu disandingkan dengan iman dan
takwa, maka ia akan menjadi seorang wali yang dicintai Allah
SWT. Sekiranya ia telah dicintai oleh Allah SWT, maka ia
akan menjadi pendengarannya di mana ia akan mendengar
denganNya, dan penglihatannya di mana ia akan melihat
denganNya, dan lisannya di mana ia akan menyebutkan
(bercakap) dengannya sebagaimana yang layak dengan
kebesaran-Nya, Maha Suci Allah SWT dan Maha Agung. Di
dalam penafsirannya ini, Ahmad bin Idris telah menjelaskan
bahwa keimanan dan ketakwaan itu perlu disandingkan
bersama dengan ihsan. Setiap perkara yang menjurus kepada

28
Diriwayatkan dari jalur Sayyidinâ „Umar al-Khatab R.A oleh
Muslim di dalam Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab al-ʼĪmān, Bab Bayan al-Iman wa
al-Islam wa al-Iḥsân wa Wujūb ʼÎmān bi Itbat Qadr Allah Subhānahu Wa
Ta‟âla, Wa Bâyan ad-Dalîl „Alâ al-Tabarrî min Man La Yu‟min bi al-Qadr, wa
Ikhlas al-Qaul fi Haqqihi, hadis no. 8 (Muslim 2001, 27)
39

keimanan dan ketakwaan hendaklah dilakukan dengan


mengikut kemampuan serta meninggalkan sikap
melampau-lampau ketika berusaha melakukan ketaatan.
Ahmad bin Idris merumuskan pendapatnya ini melalui ayat
tersebut yang secara jelas menyebutkan “‫”اتَّقَوْ ا َوأَحْ َسنُوا‬.
Kemudian, tafsiran ayat itu diterangkan dengan sebuah hadis
Rasulullah SAW yang menyebutkan perkara-perkara yang
berkaitan tentang keimanan dan ihsan bagi menjelaskan lagi
maksud penafsirannya.29
Adapun sumber penafsiran dari metode
selanjutnya, Ahmad bin Idris menggunak metode bâtin (isyari)
sebagai contoh penafsirannya secara perumpamaan atau
tasybih (tamtsil), penafsiran yang dilakukan oleh Ahmad bin
Idris pada ayat:

‫اه ْم يُْن ِف ُقو َن‬ ِ ‫ب وي ِقيمو َن ال م‬


ِ ِ ِ ‫الم ِذ‬
ُ َ‫ص ََل َة َوِمما َرَزقْ ن‬ ُ ُ َ ‫ين يُ ْؤمنُو َن بالْغَْي‬
َ
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib,
melaksanakan salat, dan menginfakan sebagian rezeki yang
kami berikan kepada mereka.”30 (QS. al-Baqarah [2]: 3)
Pada ayat ini, Ahmad bin Idris telah menafsirkan
kalimah “‫ ”الغيب‬di sini sebagai “‫ ”القلب‬yaitu hati kerana ia
tersembunyi (tidak kelihatan) di dalam dada. ia berdalilkan
dengan sebuah hadis di mana dalam hadis tersebut Baginda
SAW telah menyebutkan bahwa ketakwaan itu adalah di sini,
Baginda SAW mengisyaratkan dengan tangannya pada hati

29
Ahmad bin Idris, al- Fȗyȗdȃt al-Rabbȃniyyah bi Tafsîr Ba‟di
al-Ayat al-Qur‟âniyyah,139-140
40

Baginda. Maka tempat keimanan itu adalah di dalam hati


bukannya pada lisan. Kemudian ia menjelaskan makna ayat ini
ialah orang orang yang bertakwa itu ketakwaan mereka adalah
berpuncak dari dalam hati mereka yang suci (bersih) dari sifat
ria dan sum‟ah. Keimanan itu bukan dizahirkan semata-mata
seperti keadaan orang-orang yang sombong ataupun dengan
menzahirkan keislaman semata-mata sebagaimana keadaan
orang-orang yang munafik.
Ia juga turut memperinci maksud al-ghayb yaitu
setiap apa yang tidak kelihatan. Allah SWT itu menjadi ghaib
(tidak kelihatan) di sisi kebanyakan makhluknya sedangkan Ia
sentiasa bersama (mengawasi) mereka. Akan tetapi, apabila
mereka menjadi ghaib daripada-Nya (kerana melupakan
hakikat keadaan-Nya yang Maha Melihat), maka Ia menjadi
gaib dari segi nisbah kepada diri mereka. Mereka beriman
kepada-Nya yang gaib sepertimana mereka juga beriman
kepada segala perkara perkara gaib yang telah dikhabarkan
oleh Allah SWT.31
Keimanan kepada yang ghaib ini merupakan
keimanan yang diitiqadkan di dalam hati. Akan tetapi
keimanan tersebut bukan hanya sekedar mengimani
kewujudan-Nya di dalam hati saja, bahkan lebih utama lagi
daripada itu ialah beriman dengan hati yang benar-benar suci

30
Kementrian Agama Republik Indonesia, Mushaf al-Qur‟an
Terjemah, 2
31
Ahmad bin Idris, Al-Fȗyȗdȃt ar-Rabbȃniyyah bi Tafsir Ba‟di
al-Ayat al-Qur‟âniyyah, 20-21
41

daripada sifat-sifat madzmumah agar seseorang individu itu


dapat mencapai ketakwaan sebenar-benarnya.

c. Corak Sufistik
Tafsir dengan metode sufistik merupakan bukti bahwa
umat Islam terus melakukan tajdid al-„ilm (pembaharuan
pengetahuan) dalam merespon relasi antara kalam Tuhan dan
konteks masyarakat di zamannya. Sahl Ibn „Abdullah
al-Tustari, seorang tafsir sufi, pernah mengatakan bahwa Allah
itu tak terbatas (unlimited), maka kandungan makna
kalam-Nya itu juga tak terbatas. Demikian penggalan
pernyataan yang dikutip oleh Badruddin al-Zarkasyi (w. 794
H) dalam karyanya al-Burhan fi „Ulûm al-Qur‟ân. Mungkin
karena hal inilah mengapa secara historis-faktual, seiring
dengan perjalanan sejarah peradaban umat Islam, tafsir
menggunakan berbagai pendekatan dan perangkat penafsiran.32
Tafsir al-Fuyȗdȃt al-Rabbȃniyyah bi Tafsîr Ba‟di al-ʼÂyât
al-Qur‟âniyyah karya Ahmad bin Idris ini, memang kental
dengan corak sufistik yang terdapat pada penafsirannya
sebagai contoh ketika Ahmad bin Idris menafsirkan:

ِ َّ ‫فَفِرُّ وا إِلَى‬
ٌ ِ‫َّللا إِنِّي لَ ُك ْم ِم ْنهُ نَ ِذي ٌر ُمب‬
‫ين‬

32
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran Studi
Aliran-aliran Dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer
(Yogyakarta: Adab Press. 2012), 10
42

“Maka segeralah kembali kepada ( menaati ) Allah.


Sungguh, aku seorang pemberi peringatan yang jelas dari
Allah untukmu.”33 (QS. al-Dzāriyāt [51]: 51)
Ahmad bin Idris menafsirkan bahwa maksud tersirat
daripada “‫( ”فَفِرُّ وا‬berlari dengan segera) yang dikehendaki di
sini ialah kamu hendaklah bersegera melarikan diri daripada
yang selain Allah dengan menuju kepada-Nya secara mutlak.
Ahmad bin Idris memberikan contoh dengan
menggambarkannya melalui kisah Sayyidina Abȗ Bakar
al-Siddiq RA yang ketika itu sedang sakit. ia telah diminta
untuk didatangkan seorang doktor untuk merawat
kesakitannya. Maka Sayyidina Abu Bakar RA mengatakan
bahwa doktor itulah juga yang telah memberikan kesakitan ini
kepadanya. Maksud Sayyidina Abȗ Bakar RA ialah doktor
yang telah memberikannya kesakitan itu juga adalah doktor
yang mampu menyembuhkannya yaitu Allah SWT. ia telah
bersegera lari daripada kesakitannya dengan menuju kepada
Allah. Kemudian Ahmad bin Idris menegaskan lagi bahawa
setiap perkara-perkara yang membimbangkan atau membawa
kekhawatiran kepadamu maka hendaklah kamu bersegera lari
menuju kepada-Nya.
Dalam penafsiran ayat ini, maksud zahir yang mungkin
difahami oleh kebanyakan orang ialah bersegera dalam
melakukan ketaatan dan bertaubat kepadanya. Akan tetapi
Ahmad bin Idris telah memandang dari sudut isyari-nya bahwa
maksud yang dikehendaki di sini ialah bersegera lari dari

33
Kementerian Agama Republik Indonesia, Mushaf al-Qur‟an
43

segala sesuatu yang selain Allah untuk menuju kepada-Nya.


Ini juga adalah gambaran kepada martabat dan kedudukan para
kekasih Allah bilamana mereka telah menyerahkan segala
urusan hidup mereka kepada Allah SWT dan bersegera menuju
kepada-Nya kerana Ia-lah tujuan bagi seluruh makhluk.34
Tafsir corak ini dapat ditemukan untuk melegitimasi
poin-poin ajaran sufi yang plural dan juga dalam kitab-kitab
metodologis tafsir yang menafsirkan al-Quran dari bagian awal
hingga paling akhir supaya lingkaran pemikirannya dapat
berjalan sistematis. 35 Begitupun yang terdapat dalam tafsir
al-Fuyȗdȃt ar-Rabbȃniyyah bi Tafsir Ba‟di al- Âyat
al-Qur‟ȃniyyah karya Ahmad bin Idris ini.[]

Terjemah, 522
34
Ahmad bin Idris, Al-Fȗyȗdȃt al-Rabbȃniyyah bi Tafsîr Ba‟di
al-Ayat al-Qur‟âniyyah, h. 20-21
35
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir, Dari Klasik Hingga Modern
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), 221
44
BAB III

TINJAUAN TENTANG SPIRITUALITAS

A. Memaknai Spiritual dalam Kehidupan


Spiritualitas dimaknai berbeda-beda oleh banyak orang.
Dalam wacana akademik, perbedan itu juga meliputi hubungan
antara spiritualitas dan agama. Sebagian, khususnya ilmuwan
Barat, berpendirian bahwa spiritualitas harus dipisahkan dari
agama-agama cenderung dikonotasikan serba negatif. Bagi
sebagian pihak lain, spiritualitas adalah bagian dari agama atau
harus dilandaskan kepada nilai-nilai agama.1
Spiritualitas berasal dari kata spirituality, yang merupakan
kata benda, turunan dari kata sifat spiritual, kata bendanya adalah
spirit, diambil dari kata latin spiritus yang artinya “bernafas”, ada
beberapa arti spirit: “prinsip yang menghidupkan atau vital
sehingga mennghidupkan organisme fisik”. Makna spiritualitas
telah berkembang sedemikian rupa. Dari hasil penelitian di
lingkungan korporat Amerika, Mitroff dan Denton membuat
daftar makna spiritualitas sebagaimana yang dihayati oleh banyak
orang, ada tujuh makan yang diberikan responden yang
diwawancarainya:
1. Spiritualitas sangat individual dan personal. Orang tidak
harus religius untuk menjadi spiritual.

1
Hamdi, Telaga Bahagia Syaikh Abdul Qadir Jailani (Jakarta:
Republika, 2015), Cet.I, iii

45
46

2. Spiritualitas adalah kepercayaan dasar adanya kekuatan


besar yang mengatur alam semesta. Ada tujuan bagi
segala sesuatu dan setiap orang.
3. Segala sesuatu terkait dengan yang lain, mempengaruhi
dan dipengaruhi segala sesuatu yang lain.
4. Spiritualitas adalah perasaan tentang keterkaitan ini,
melekat dengan keterkaitan ini.
5. Spiritualitas adalah perasaan tentang betapapun buruknya,
selalu ada jalan keluar. Ada rencana agung yang
membimbing seluruh kehidupan.
6. Pada dasarnya manusia hidup untuk berbuat kebaikan,
orang harus menghasilkan barang atau jasa yang melayani
semua manusia.
7. Spiritualitas terkait dengan kepedulian, harapan, kebaikan,
cinta, dan optimisme. Spiritualitas adalah kepercayaan
dasar pada eksistensi hal-hal tersebut.2
Dalam terminologi Islam, konsep spiritualitas berhubungan
langsung dengan al-Qur’an dan sunnah Nabi. Nasr menyatakan
bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan perilaku Nabi Muhammad
Shallalȃhu „alaihi wassallam mengandung praktik-praktik serta
makna-makna spiritual. Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi
mengajarkan beragam cara untuk meraih kehidupan spiritual
yang tertinggi. Dalam sejarah Islam, aspek tradisi ini dikenal
sebagai (jalan menuju Tuhan), yang sekarang lebih dikenal
dengan tasawuf. Tasawuf bertujuan mempertahankan nilai-nilai

2
Sanerya Hendrawan, Spiritualitas Managemen (Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2009), 19
47

al-Qur’ân dan Sunnah Nabi melalui sikap hidup yang baik. Hal
ini menyangkut kesucian batin dari segala aspek, menjaga
kejujuran, ketulusan, kesungguhan, kesederhanaan, kepedulian,
serta kemampuan untuk mencari dan memahami substansi Islam
dan maknanya yang paling dalam.3
Richards mendefinisikan spiritualitas sebagai komponen diri
yang menghasilkan makna-makna serta tujuan-tujuan dalam
hidup, menyajikan pengalaman transendensi pribadi dan
hubungannya dengan tatanan universal. Sejalan dengan definisi
tersebut, beberapa ahli berpendapat bahwa spiritualitas
berhubungan dengan orientasi serta pengalaman seseorang
terhadap elemen-elemen transendensi atau eksistensi dari
kehidupan, seperti pemaknaan (meaning), arah (direction), tujuan
(purpose), dan keterikatan (connectedness). Kadang diartikan
pula sebagai pencarian hal-hal suci dala hidup.4
Elkins mendeskripsikan spiritual dari perspektif humanis dan
eksistensial dengan menciptakan definisi dari tulisan-tulisan
Maslow, Dewey, dan Frankl tentang potensi-potensi positif
manusia. Menurutnya, spiritualitas dapat diartikan sebagai jalan
untuk menjadi dan mengalami kesadaran dimensi transendental
yang ditandai oleh nilai-nilai yang mampu diidentifikasi baik
yang datang dari diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan maupun

3
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kanca Dunia Modern
(Indramayu: Pustaka Indramayu, 1994), 30
4
Thoresen, M.J., Mahoney, Behavioral Self-Control (New York: Holt,
Rinehart and Winston), 30
48

nilai-nilai yang mengarahkan seseorang untuk mencapai tujuan


puncak (ultimate).5
Spiritualitas merupakan terjemahan dari kata Ruhaniyah.
Ruhaniyah itu sendiri kebahasaan berasal dari kata ruh (‫ )روح‬al-
Qur’an menginformasikan ruh manusia dititipkan langsung oleh
Allah setelah fisik berbentuk dalam rahim. Tentang penciptaan
manusia pertama, yakni Nabi Adam, Allah berfirman:

‫ين‬ ِِ ِ ِ ِ ِ ‫فَِإ َذا س َّوي تُو ونَ َفخ‬


َ ‫ت فيو م ْن ُروحي فَ َقعُوا لَوُ َساجد‬
ُ ْ َُْ َ
“Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku
tiupkan roh (ciptaan)-Ku kepadanya; maka tunduklah kamu
dengan bersujud kepadanya.”(QS. Shad [38]: 72)
Ketika bentuk fisik Nabi Adam telah sempurna
kejadiannya, maka Allah meniupkan ruh-Nya. Demikian juga,
keturunan Nabi Adam. Setelah fisiknya terbentuk secara
sempurna di dalam rahim, barulah Allah tiupkan ruh-Nya. Allah
berfirman:

ٍ ‫ان ِم ْن ِط‬ِ ‫اْلنْس‬ ٍ ِ


َّ‫) ُُث‬7( ‫ني‬ ِ
َ ْ ‫َح َس َن ُك َّل َش ْيء َخلَ َقوُ َوبَ َدأَ َخ ْل َق‬ ْ ‫الَّذي أ‬
ِ ‫) ُُثَّ س َّواه ونَ َفخ فِ ِيو ِمن ر‬8( ‫ني‬
‫وح ِو‬ َ َُ َ ٍ ‫َج َعل نَسلَوُ ِم ْن ُس ََللٍَة ِم ْن َم ٍاء َم ِه‬
ُْ ْ َ
)9( ‫ص َار َو ْاْلَفْئِ َد َة قَلِ ايَل َما تَ ْش ُك ُرو َن‬
َ ْ‫الس ْم َع َو ْاْلَب‬
َّ ‫َو َج َع َل لَ ُك ُم‬
“yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang
memulai penciptaan manusia dari tanah(7)kemudian dia
menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani)
(8)kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan roh (ciptaan)-

5
Abel. S and Smith, What Is Science ? Preservice elementary
teachers conception of the nature of science. International Journal of Science
Education, 16(4), 1994 32
49

Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran,


penglihatan dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu
bersyukur(9).”(QS. as-Sajdah [32]: 7-9)

Sebenarnya ruh-ruh manusia itu sudah ada lebih dahulu.


Dan bersifat abadi. Dia adalah jati diri yang menentukan
perjalanan manusia sampai bisa bertemu dengan Tuhan. Ruh
ditiupkan Allah kepada jasad untuk meneruskan perjalanannya
menuju kesempurnaan. Ruh dan jasad itu kemudian menjadi
manusia. Kedua unsur ini bisa saling mendominasi. Atas dasar
dominasi itu, maka manusia ada dua macam:
1. Manusia Jasmani. Yaitu manusia yang mementingkan
keperluan fisik, sehingga dia lebih banyak mengejar urusan
dunia dan materi. Itulah manusia pada umumnya.
2. Manusia Ruhani. Yaitu manusia yang ruhnya lebih berperan
daripada fisiknya, sehingga dia lebih banyak berhubungan
dengan Allah.6
Spiritualitas ialah kesadaran ruhani untuk berhubungan
dengan kekuatan besar, merasakan nikmatnya ibadah (mistik),
menemukan nilai-nilai keabadian, menemukan makna hidup dan
keindahan, membangun keharmonisan dan keselerasan dengan
semesta alam, menangkap sinyal dan pesan yang ada dibalik
fakta, menemuka pemahaman yang menyeluruh, dan
berhubungan dengan hal-hal yang gaib. Dengan demikian, orang
yang memiliki spiritualitas, ialah orang yang:
1. Menemukan sumber kekuatan besar dan memanfaatkannya.

6
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga (Tangerang:
Ruhama, 2013), 23
50

2. Merasakan kelezatan ibadah (mistik).


3. Menemukan nilai keabadian.
4. Menemukan makna dan keindahan hidup.
5. Membangun keharmonisan atau keselarasan diri dengan
semesta alam.
6. Menghadirkan intuisi dan menemukan hakikat yang
tersembunyi (metafisik).
7. Memiliki pemahaman yang menyeluruh pada hal-hal yang ada
pada dirinya dan hal-hal yang ada di luar dirinya.
8. Mengakses hal-hal gaib.7
Manusia Muslim sebelum segala sesuatunya merupakan insan
keimanan dan akidah, telah jelas pemikirannya tentang dirinya
sendiri dan tentang alam disekitarnya. Ia bukanlah merupakan
tumbuhan misterius seperti tumbuhan di belantara padang pasir
yang tumbuh sendiri tanpa ada yang menanamnya, dan tidaklah
alam sekitar timbul sendir tanpa ada pencipta dan pengurus yang
mengaturnya, melainkan ia meyakini bahwa ia memiliki Rabb
yang telah menciptakannya, lalu menyempurnakannya dan
menyeimbangkannya, yang mengajarinya kepandaian berbicara,
memberinya akal dan kehendak, mengirimkan rasul-rasul
kepadanya, menurunkan kitab-kitab suci untuknya, menegakan
hujjah padanya, mengenalkan kepada tujuan dan jalan hidup.
Sebagaimana alam semesta yang indah ini dibalik ada pencipta
yang Maha Agung, yang telah menciptakan segala sesuatu lalu
menentukan ukurannya dan memberikan segala sesuatu
penciptannya kemudian menunjukannya, namun yang
7
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga, 24
51

menciptakannya akan mensinarkannya dan menggantinya dengan


alam lain, yaitu alam keabadian yang padanya setiap jiwa
diganjar tunai atas apa yang diperbuatnya, dan diberi pahala
terhadap apa yang telah dilakukannya.8
Persahabatan spiritual mempunya arti penting bagi orang-
orang yang menempuh perjalanan spiritual (sȃlikîn).
Persahabatan spiritual bukan pertemanan biasa dalam arti teman
diskusi dan berbagai pengalaman, tetapi pertemanan sejati yang
bisa mengasah ketajaman batin di dalam memahami makrifat dan
menyingkap takbir rahasia. 9
Kesadaran Ilahiah dimaksudkan juga sebagai bangkitnya
kekuatan ruhani untuk mengamalkan ajaran Allah secara
menyeluruh (tidak hanya syariat lahiriah) menggunakan
pendekatan berbagai disiplin ilmu, utamanya ilmu bathiniah,
sehingga bisa menemukan hakikat yang ada di baliknya.
Kesadaran ini muncul karena rasa cinta yang sangat kepada
Allah. Kesadaran ini bersifat menyeluruh. Puncak dari kesadaran
ini disebut spiritualitas. Dan spiritualitas hanya bisa diraih
dengan pengamalan syariat dan tasawuf secara simultan dan
menyeluruh. Dengan spiritualitas bisa menemukan segala sesuatu
yang dicari, dengan spiritualitas bisa menemukan kebahagiaan
yang sejati, dengan spiritualitas bisa mengakses alam ghaib dan

8
Yusuf al- Qardhawi, Pengantar Kajian Islam, (Jakarta: al-
Kautsar, 2013 ), 234
9
Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern, (Jakarta: Republika, 2014),
Cet.I, 18
52

alam nyata. Dengan spiritualitas bisa memberdayakan seluruh


potensi yang diberikan oleh Allah.10
Dimensi Spiritual sebenarnya berawal dari konsep motivasi.
Motivasi merupakan konsepyang digunakan untuk
menggambarkan dorongan-dorongan yang timbul pada atau di
dalam seorang individu yang menggerakan dan pengarahkan
perilku. Konsep motivasi digunakan untuk menjelaskan
perbedaan-perbedaan dalam intensitas perilaku dan untuk
menunjukan arah tindakan.11
Spiritualitas yang tinggi ditandai dengan adanya pertumbuhan
dan transformasi pada diri seseorang. Tercapainya kehidupan
yang berimbang antara karier (pekerjaan) dan pribadi atau
keluarga, serta adanya perasaan suka cita dan puas yang pada
akhirnya akan menghasilkan kontribusi positif bagi lingkungan.12
Kajian tentang spiritualitas berakar pada filsafat spiritualisme,
yakni aliran yang menyatakan bahwa pokok dari realitas adalah
spirit; jiwa dunia yang meliputi alam semesta dalam segala
tingkatan aktifitasnya; sebagai penyebab dari aktifitasnya;
perintah dan bimbingan (petunjuk); dan bertindak sebagai
penjelasan yang lengkap dan rasional.13

10
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga, (Tangerang:
Ruhama, 2013), 22
11
Charles Tart, Introduction, Transpersonal Pschologies, (New York:
Harper & Row, 1975), 4
12
Imron, Aspek Spiritualitas dalam Kinerja, (Magelang: Unimma
Press, 2018), 31
13
Peter A, Angeles, Dictionary of Philosophy, (New York: Harper
Collins Publisher, 1981), 273
53

B. Tinjauan Tokoh tentang Spiritual


Spiritualiatas secara umum bisa diraih oleh siapa saja tanpa
perbedaan. Bahkan semua agama juga mengarahkan pemeluknya
untuk bisa mencapai kesadaran spiritualitas yang tinggi. Danar
Zahar dalam bukunya SQ the Spiritual Intelligence menyatakan
bahwa spiritual bukanlah agama, tetapi saya mengatakan:
“Spiritualitas bukanlah agama. Tetapi orang yang beragama tanpa
spiritualitas tidak merasakan atau tidak menemukan apa-apa, dan
spiritualitas tanpa agama adalah kacau.”14
Spiritualitas adalah konsep yang luas dengan berbagai
dimensi dan perspektif yang ditandai adanya perasaan keterikatan
(koneksitas) kepada sesuatu yang lebih besar dari diri manusia,
yang disertai dengan usaha pencarian makna dalam hidup atau
dapat dijelaskan sebagai pengalaman yang bersifat universal dan
menyentuh. Beberapa individu menggambarkan spiritualitas
dalam pengalam pengalaman hidupnya seperti adanya perasaan
terhubung atau transendental yang suci dan menentramkan,
sebagaian individu yang lain merasaan kedamaian saat berada di
masjid, gereja, kuil atau tempat suci lainnya.15
Spiritualitas merupakan perbuatan disandarkan karena
mengenal Allah, dan untuk kebahagiaan jiwa,16 atau hubungan
manusia dengan Tuhannya, maka sesungguhnya spiritualitas

14
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga, 80
15
Iwan Ardian, Konsep Spiritualitas dan Religiusitas dalam Konteks
Keperawatan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2, (Semarang: Jurnal Keperawatan
dan Pemikiran Ilmiah, 2016), 4
16
David A. Leeming, Ensyclopedia of Pscyhology and Religion, (New
York: Springer Reference, t.t), 872
54

merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan


manusia.
Nasr dalam uraiannya menegaskan bahwa sesungguhnya
manusia dengan segala aktifitas dan karakteristik yang dimiliki
tidak dapat terlepas dari dimensi ketuhanan. Untuk mendapatkan
pengetahuan tentang hakikat diri manusia sebenarnya dapat
dilakukan dengan menggali teks-teks keagamaan, tetapi manusia
sekarang cenderung mengabaikannya sehingga ia tidak
mengetahui arti kearifan spiritual dalam kehidupannya.17
Spiritual diarahkan kepada pengalam subjektif dari apa
yang relevan secara eksistensial untuk manusia. Spiritualitas tidak
hanya memperhatikan apakah hidup itu berharga, namun juga
fokus pada mengapa hidup berharga. Menjadi spiritual berarti
memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian
atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material.
Spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam
mencapai tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan
bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan
seseorang.18
Spiritualitas memiliki wilayah yang lebih luas dibandingkan
dengan agama atau keagamaan, dan mencakup tidak hanya
keyakinan-keyakinan yang mendasar dari agama tetapi juga

17
Seyyed Hossein Nasr, The Knowledge and The Secret, terj.
Suharsono. et, al. dengan judul Inteligensi dan Spiritualitas Agama-agama,
(Depok: Insiasi Press, 2004), 185
18
Abdul Wahid Hasan, SQ Nabi, Aplikasi Strategi dan Model
Kecerdasan Spiritual (SQ) Rasulullah di Masa kini, (Yogyakarta: IRCisod,
2006), 288
55

tentang kesejatian hidup. Hal ini lebih sulit untuk didefinisikan


karena spiritualitas tak terdefiniskan tetapi secara umum,
spiritualitas mencakup kekuatan di dalam diri yang memberikan
tujuan dalam hidup, baik secara fisik maupun psikologi.
Spiritualitas dilihat sebagai makna yang diperoleh dari
pengalaman-pengalaman hidup, yang mungkin atau mungkin
juga tidak bernuansa ketuhanan.19
Agama merupakan bagian dari spiritualitas, dimana
keyakinan akan Tuhan merupakan bagian dari pengalaman hidup
yang penuh makna. Tetapi individu-individu yang tidak memiliki
keyakinan terhadap Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi dapat
juga memiliki pengalaman-pengalaman spiritual dan penuh
makna di dalam hidup.20
Spiritualitas adalah penalaran hati, orang dapat
mempelajarinya tidak dengan belajar, tidak pula denga kesucian.
Ketika kesadaran spiritualitas itu ingin dijadikan menu utama
yang dinikmati setiap hari. Spiritualitas baru pada tataran wacana.
Menjadi tema diskusi para ilmuwan. Spiritualitas menjadi sangat
artifisial. Tuhan menjadi sumber yang terus dicari. Tapi juga
dilupakan, tatkala kegelisahan telah berubah menjadi kekuatan
pragmatisme yang mengendalikan hidup dalam arah yang tidak
jelas.21

19
Apley Graham, Apley‟s System of Ortchopaedics and Fractures
(USA: Oxford University Press, 2001), 39
20
Alberti, R.E and Emmons, M.L, Your Prefect Right: Panduan
Praktis Hidup Lebih Ekspresif dan Jujur pada Diri Sendiri (Jakarta: Elex
Media Computindo, 2000), 39
21
Pidi Baiq, Al-Asbun (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2010), 5
56

Mimi Doe menyatakan bahwa spiritualitas adalah


kepercayaan akan adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar
dari kekuatan dirinya, suatu kesadaran yang menghubungkan
manusia langsung dengan Tuhan, atau apapun yang dinamakan
sebagai keberadaan manusia. Spiritualitas adalah dasar bagi
tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki.
Spiritualitas lebih merupakan sebentuk pengalaman psikis yang
meninggalkan kesan dan makna yang mendalam.22
Maslow mendefinisikan Spiritualitas sebagai tahapan
aktualisasi diri, di mana seseorang berlimpah dengan kreatifitas,
intuisi, keceriaan, sukacita, kasih, kedamaian, toleransi,
kerendah-hatian, serta memiliki tujuan hidup yang jelas.
Pengalaman spiritual adalah peak experience, plateau, dan
farthest reaches of human nature.23
Secara eksplisit, spiritualitas sebagai rangkaian karakteristik
motivasional (motivational trait); kekuatan emosional umum
yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah
laku individu, maka spiritualitas dapat didefinisikan sebagai
usaha individu untuk memahami sebuah makna yang luas akan
pemaknaan pribadi dalam konteks kehidupan setelah mati
(eschatological). Hal in berarti bahwa sebagai manusia, manusia
sepenuhnya sadar akan kematian (mortality). Dengan demikian,
manusia akan mencoba sekuat tenaga untuk membangun

22
Mimi Doe, 10 Priciples for Spiritual Parenting (New York: Orbis
Book, 2000), 28
23
Abraham Maslow, Toward a Psychology of Being (Princeton: Von
Nostrand, 1968), iii-iv
57

beberapa pemahaman akan tujuan dan pemaknaan akan hidup


yang sedang ia jalani.24
Dimensi Spiritualitas sebagaimana dikutif jalaluddin Rahmat
dari Frankl, adalah noos, yang mengandung semua sifat khas
manusia, seperti keinginan untuk memberi makna, visi, orientasi,
tujuan, kreatifitas, imajinasi, intuisi, keimanan, kemampuan
untuk mencintai di luar kecintaan yang visio-psikologis, dan
kemampuan mendengarkan hati nurani si luar kendali superego.
Di dalamnya juga terkandung transendensi diri, pembebasan diri,
kemampuan melangkah ke luar untuk memandang diri, dan
kemampuan untuk mengejar tujuan yang diyakini. Di dalam
spirit, manusia tidak dipandu; manusia adalah pemandu,
pengambil keputusan.25

C. Pengaruh Spiritual dalam Perspektif al-Qur’an


Spiritualitas merupakan perbuatan disandarkan karena
mengenal Allah, dan untuk kebahagiaan jiwa,26 atau hubungan
manusia dengan Tuhannya, maka sesungguhnya spiritualitas
merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan
manusia.
Jika mengacu pada pengertian di atas maka pada hakikatnya
spiritualitas merupakan fitrah bagi manusia. Hal itu dapat dilihat
dalam ayat:

24
Piedmont, R.L, Spiritual Transendence and the Scientific study of
Spirituality (Journal of Rehabilition, 67 (1):4-14, Alexandria: t.p, 2001), 30
25
Jalaluddin Rahmat, “SQ: Psikologi dan Agama”, Pengantar buku
Danah Zohar dan lan Marshal, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual
dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan (Jakarta:
Mizan, 2002), xxiii
26
David A. Leeming, Ensyclopedia of Pscyhology and Religion, 872
58

َّ ِ َّ َ ‫ك لِلدِّي ِن َحنِي افا فِطْر‬ ِ


َ ‫ت اللو ال ِِت فَطََر الن‬
‫َّاس َعلَْي َها ََل‬ َ َ ‫فَأَق ْم َو ْج َه‬
ِ ‫ِّين الْ َقيِّ ُم َولَ ِك َّن أَ ْكثَ َر الن‬ ِ ِ ‫تَب ِد‬
‫َّاس ََل يَ ْعلَ ُمو َن‬ َ ‫يل ِلَْل ِق اللَّ ِو َذل‬
ُ ‫ك الد‬ َ ْ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (pilihlah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.”
(QS. ar-Rum [30]: 30)
Mustafa al-Maraghi (w. 1945 M) menafsirkan ayat di atas
sebagai berikut: tetaplah kalian semua pada tabiat yang telah
ditetapkan oleh Allah pada diri manusia, karena sesungguhnya
Allah-lah yang menjadikan manusia sesuai dengan fitrahnya yang
cenderung kepada ajaran tauhid dan meyakinkannya karena
ajaran tauhid itu sesuai dengan apa yang ditujukan oleh akal dan
membimbingnya kepada akal yang sehat.27
Menurut Nasr,28 bahwa spiritualitas pada hakekatnya
merupakan bentuk hubungan dan ketergantungan manusia kepada
Sang Khalik. Allah berfirman:
ِ ‫اْلنْس إََِّل لِي عب ُد‬ ِْ ‫وما خلَ ْقت‬
‫ون‬ ُ ْ َ َ ِْ ‫اْل َّن َو‬ ُ َ ََ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. adz-Dzȃriyȃt [51]: 56).
‫ني‬ ِ ِّ ‫قُل إِ َّن ص ََلِِت ونُس ِكي وََْمياي وَمََ ِاِت لِلَّ ِو ر‬
َ ‫ب الْ َعالَم‬َ ََ َ َ ُ َ َ ْ

27
Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama (Jakarta:
Kalam Mulia, 1998), 72
28
Seyyed Hoseein Nasr, The Knowledge and the Sacred: Intelegensi
dan Spiritualitas Agama-agama, 185
59

“Katakanlah: “Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan


matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
(QS. al-An’am [6]: 162)
‫) َوَم ْن يَ ْع َم ْل ِمثْ َق َال ذَ َّرةٍ َشًّرا‬7( ُ‫فَ َم ْن يَ ْع َم ْل ِمثْ َق َال ذَ َّرةٍ َخْي ارا يََره‬

ُ‫يََره‬
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah
pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. (7) Dan barang
siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya
dia akan melihat (balasan) nya pula.” (8) (QS. al-Zalzalah [99]:
7-8)
Ayat-ayat di atas menggambarkan bahwa spiritualitas adalah
bentuk penghambaan individu kepada Allah SWT, sehingga
apapun yang dilakukan merupakan bentuk pengabdian dirinya
kepada Allah SWT. Karena pada hakekatnya setiap yang
dilakukan individu akan dibalas oleh Allah SWT.
Oleh karena itu bagi seorang muslim spiritualitas menjadi
sesuatu yang sangat penting. Ajaran ini justru menjadi jawaban
akan kebutuhan manusia sebagai makhluk yang memiliki dimensi
batin baik unsur Jasmaniyyah.29 Hal ini karena menurut Viktor
Frankle seperti yang dikutip Bastaman, eksistensi manusia
ditandai oleh tiga faktor, yakni kerohanian (spirituaity),
kebebasan (freedom), dan tanggungjawab (responsibility).30
Kebutuhan akan spiritualitas sesungguhnya bersifat
mendasar (asasi). Spiritualitas yang baik akan direspon oleh gen
manusia hingga menyebabkan dirinya berkualitas dalam

29
Imron, Aspek Spiritualitas dalam Kinerja, 37
30
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam:
Menuju Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 36
60

kehidupannya. Hal ini disebabkan gen-gen itu menjadi sel-sel


berfungsi. Kemampuan seseorang sesungguhnya tidak muncul
spontan melainkan tersimpan dalam gen. Untuk mengaktifkan
gen caranya dengan menumbuhkan pikiran dan perasaan positif,
peka, memunculkan inspirasi, syukur, doa, suka mengakses
informasi baru, niat baik, dan juga menumbuhkan sikap mental
spiritual.31
Spiritualitas adalah pengalaman atau keinginan mengenal
Tuhan yang dilakukan secara pribadi. Spiritualitas melihat
sesuatu secara lebih dalam, substansial dan mencari pemahaman
yang sesungguhnya tidak hanya dari sudut permukaan dan jangka
pendek.32 Spiritualitas merupakan pemaknaan secara mendalam
terhadap eksistensi di dunia ini. Spiritualitas akhirnya menjadikan
pijakan bagi setiap individu bahwa setiap yang dilakukannya
merupakan bentuk dari pengabdian kepada Allah Subhanahu wa
Ta‟ala.33[]

31
Kazuo Murakami, The Divine Message of the DNA: Tuhan dalam
Gen Kita, terj. Winny Prasteyowaty (Bandung: Mizan, 2007), 31-37
32
Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis dalam Prespektif Islam (Jakarta:
Salemba Empat, 2011), 6
33
Hafidzuddin, Didin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam
Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 5
BAB IV

SPIRITUALITAS DALAM SURAH AL-FATIHAH


TINJAUAN TAFSIR AL-FŪYŪḌĀT AL-RABBĀNIYYAH BI
TAFSĪR BA’ḌI AL-ĀYĀT AL-QURʼĀNIYYAH

Dimensi adalah pengaruh dari kenyataan sosial terhadap


tiga macam dimensi, yaitu dimensi psikis, dimensi fisik, dan
dimensi metafisik, yang menentukan kepribadian manusia
sebagai suatu kesatuan. Manusia sebagai suatu kesatuan hidup
dalam masyarakat dan mengadakan relasi atau hubungan dengan
lingkungan, terutama lingkungan sosial.1 Untuk membedah
dimensi spiritual yang terdapat dalam kitab al-Fuyūḍāt al-
Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al- ʼĀyāt al-Qur‟āniyyah karya
Ahmad bin Idris ini, penulis menggunakan konsep Piedmont
seorang professor konseling pastoral di Loyola University
Maryland yang mengembangkan sebuah konsep spiritualitas yang
disebutnya spiritual transendence yaitu kemampuan individu
untuk berada di luar pemahaman dirinya akan waktu dan tempat,
serta untuk melihat kehidupan dari prespektif yang lebih luas dan
objektif di mana seseorang melihat satu kesatuan fundamental
yang mendasari beragam kesimpulan akan alam semesta. Konsep
ini terdiri atas tiga aspek2 seperti bagan di bawah ini:

1
Jonny Purba, Pengelolaan Lingkungan Sosial (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005), 155
2
Piedmont, R.L, Spiritual Transendence and the Scientific Study of
Spirituality (Alexandria: Journal of Rehabilition, 67 (1):4-14, 2001), 7

61
62

PENGAMALAN
IBADAH

SPIRITUALITAS

KETERIKATAN UNIVERSAL

Bagan 1.1
Dimensi Spiritual

Pada bagan ini, penulis ingin memberikan gambaran


dimana spiritualitas meliputi tiga aspek penting yaitu:
pengamalan ibadah, keterikatan dan universal yang memiliki satu
relasi yang sama dan berpusat pada spiritualitas.

A. Pengamalan Ibadah
Semua bentuk ibadah yang dianjurkan oleh agama
merupakan proses pendekatan kepada Allah. Orang yang dalam
hidupnya dapat melakukan ibadah dengan sempurna, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif, maka pendekatan dirinya kepada
Tuhan akan lancar, berkualitas, dan lebih sempurna dibandingkan
orang yang tidak beribadah atau ibadahnya kurang sempurna.
Pengaruh utama dari ibadah yang dilakukan oleh seseorang
adalah memberikan ketenangan dalam hidupnya, memiliki
ketenteraman, dan ketenangan hati. Dengan kata lain, ketenangan
hidup dan ketenteraman hati orang yang beribadah dengan baik
63

jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak


beribadah atau ibadahanya kurang sempurna.3
Agama Islam merupakan satu sistem yang di dalamnya
terhimpun kerangka dasar yang mengatur manusia, baik
hubungan manusia dengan Tuhannya (vertikal), maupun
hubungan antar manusia, dan hubungan manusia dengan alam
atau makhluk lainnya (horizontal). Di mana hal ini digambarkan
dalam tiga aspek yaitu aspek iman, aspek islam, dan aspek ihsan.4
Agama Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada nabi Muhammad5 untuk mengatur interaksi manusia
dengan Tuhannya, diri dan sesamanya. Karena itu, Islam adalah
agama yang sempurna, dan mengatur seluruh aspek kehidupan
umat manusia.
al- Fatihah merupakan surah pembuka dalam al-Qur‟an. Ia
juga muncul di awal setiap rakaat dalam salat, tanpa itu salat
tidaklah sempurna. al-Fȃtihah merangkum esensi al- Qur‟an,
sehingga menjadi surah paling tepat untuk menjadi rukun salat.6
Sebagian ulama be rpendapat bahwa surah al-Fātiḥah mencakup
isi kandungan al-Qur‟an secara garis besar, yaitu:

1. Ajaran tauhid. Pada waktu al-Qur‟an diturunkan, semua


manusia mengikuti ajaran animism yang memerintahkan untuk

3
M Tolchah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius (Jakarta:
Listarafiska, 2004), 122
4
Mardani, Pendidikan Agama Islam (Depok: Kencana, 2017), 26
5
Muhammad Rawas Qa‟lah Jie, Mu‟jam Lughat al-Fuqaha: rabi-
injelsi-inransi (Beirut: Dar an- Nafa‟is, 1422 H/ 1996 M), Cet.I, 48
6
Muhammad Abdul Halim, Menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an
(Bandung: Marja, 2012), Cet.III, 39
64

menyembah berhala, sekalipun sebagian di antara mereka


mengaku bertauhid.
2. Janji dan kabar gembira dari Allah SWT. Bagi orang-orang
yang tidak beriman, mereka akan dianugerahi pahala yang
sangat baik. Juga ancaman bagi orang-orang yang tidak
beriman, bahwa mereka akan ditimpa azab yang pedih, baik di
dunia maupun di akhirat kelak.
3. Perintah beribadah hanya kepada Allah SWT semata sebagai
realisasi ajaran tauhid.
4. Penjelasan tentang jalan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
5. Kisah-kisah tentang manusia pada masa lalu, yaitu kisah-kisah
tentang orang-orang yang taat kepada hukum Allah dan orang-
orang yang menentang hukum Allah SWT7.
Agama menganjurkan agar ibadah dilakukan dengan
motivasi untuk mendekatkan diri kepada Allah, menjaga
kemurnian (keikhlasan) agar jarak hubungan manusia dengan
Tuhan lebih intim, dan semakin dekat. Sebab kedekatan
hubungan dengan Tuhan akan membawa manfaat yang tidak
terduga. Ia akan dekat dengan Tuhan dan malaikat-malaikat akan
membantu di saat membutuhkan pertolongan. Begitu juga ibadah
yang dimotivasi dengan keikhlasan akan menghasilkan suatu
ibadah yang mempunyai nilai dan bobot yang tinggi.8
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna
kejadiannya dan terdiri dari dua unsur, yaitu unsur jasmani dan

7
M Abduh, Tafsir Qur‟anul Hakim, (Cairo: Darul Manar, 1366 H), 36
8
M Tolchah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, 62
65

unsur ruhani. Unsur jasmani merupakan ālam syahadah atau


alam materi, dan unsur ruhani merupakan alam gaib atau alam
energi. Alam materi diciptakan oleh Allah dengan tangan-Nya
melalui proses bertahap, dan alam energi diwujudkan oleh Allah
dengan daya-Nya tanpa proses, yaitu dari ruh-Nya. Itu sebabnya,
jasmani mengalami rusak dan ruh kekal atau tidak mengalami
rusak. Jasmani akan kembali ke tanah dan ruhani akan kembali
kepada Allah.9

‫إِنَّا لِلَّ ِه َوإِنَّا إِلَْي ِه َر ِاجعُو َن‬


“Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya kami
kepada-Nya akan kembali.” (QS. al-Baqarah [2]: 156).
Unsur jasmani dan rohani itu sepatutnya diperhatikan,
karena tidak sedikit ibadah yang menuntut kesiapan fisik sebagai
wujud kepatuhan pada aturan agama. Namun, bagian yang kedua
yaitu unsur rohani lebih menuntut kepada perhatian, karena unsur
itulah letak eksistensi manusia yang vital. Pendidikan jasmaniah
perlu disempurnakan dengan pendidikan mental rûhaniyah.
Untuk itu rohani yang ada dalam diri manusia perlu mendapat
pendidikan dan latihan sebagaimana jasmaninya mendapat
pendidikan dan latihan.10
Agama itu semuanya mengharuskan untuk ibadah
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah, bahwa agama
datang untuk menggariskan konsep kehidupan manusia, baik
9
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga (Tangerang:
Ruhama, 2013), 27
10
Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia Dialog al-Quran, tasawuf dan
Psikologi (Malang: UIN Malang Press, 2007) 82
66

secara lahir maupun bathin, serta memberikan batasan etika,


perilaku, dan interaksi (hubungannya), sesuai dengan apa yang
ditujukan oleh konsep Ilahi. Ibadah kepada Allah SWT mencakup
semua kehidupan untuk mengatur segala urusannya termasuk
adab (etika) makan, minum, buang hajat sampai masalah
mendirikan negara, politik, pemerintahan, manajemen ekonomi,
sosial, serta dasar-dasar hubungan internasional dalam kondisi
damai ataupun perang.11

Tuhan Sebagai Lokus


Kehidupan

PENGAMALAN
IBADAH

Intuisi sebagai Pancaran Merasakan Kelezatan


Cahaya Kasih Sayang Ibadah
Allah

Bagan 2.1
Pengamalan Ibadah

Pengamalan ibadah menggambarkan suatu perasaan


gembira dan kesukaan atas hasil dari pertemuan manusia dengan
realitas transenden.12 Dalam hal ini tentunya ada tiga hal yang
menggambarkan pengamalan ibadah, yaitu:

11
Yusuf al-Qardhawi, Pengantar Kajian Islam (Mesir: Maktabah
Wahbah, 1996 M), 84
12
Piedmont, R.L, Does Spiritual Represent The Sixth Factor of
Personality? Spiritual Transendence and the Five Factor Model, Journal of
Personality, 1999, Desember, (67:6). Oxford: Blackwell Publishers, 989
67

1. Tuhan sebagai Lokus Kehidupan


Persoalan Ketuhanan selalu ditekankan dan menempati
posisi teratasdari persoalan-persoalan keagamaan lainnya.
Islam khususnya, perkenalan awal bagi pemeluknya dimulai
dengan penegasan La Illāha illa Allāh (tidak ada Tuhan selain
Allah) yang merupakan poros terdasar beragama. Allah SWT
realitas tertinggi, Tuhan sekaligus Ketuhanan, transenden
sekaligus imanen, sangat jauh sekaligus sangat dekat
manusia, agung sekaligus pemurah, segala sesuatu kembali
pada-Nya. Dalam konteks ini, Nasr terlihat menempatkan
seluruh dimensi dari realitas ketuhanan tersebut pada pola
hubungan bipolar, yang masing-masing kutub adalah setara
dan saling meliputi.13
Salah satu tanda orang yang memiliki spiritualitas tinggi
ialah dia selalu berhubungan dengan kekuatan Yang Maha
Besar, dia bisa merasakan keberadaan-Nya dan bisa
mendapatkan kekuatan dari-Nya yang tak terbatas, kemudian
kekuatan itu dimanfaatkan untuk meraih kebaikan bagi
dirinya dan memberikan kebaikan kepada orang lain.14
Dalam kitab al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi
al- ʼĀyāt al-Qur‟āniyyah dimensi ini termaktub pada QS. al-
Fātiḥah [1]: 1:

‫الرِحي ِم‬ َّ ‫بِ ْس ِم اللَّ ِه‬


َّ ‫الر ْْحَ ِن‬
13
Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk
Kaum Muda Muslim (Bandung: Mizan, 1994), 34
14
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga,30
68

“Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha


penyayang.”
Shalawat dan salam kepada baginda Nabi Muhammad
SAW, kepada keluarganya, kepada sahabatnya. Tiada tuhan
melainkan Allah, Muhammad adalah utusan Allah, dalam
setiap pandangan dan nafas, sebanyak bilangan apa yang
diliputi oleh ilmu Allah.15 Ahmad bin Idris mendapatkan
keistimewaan ketika diajarkan oleh Rasulullah SAW agar
menambahkannya dengan kalimat “fi kulli lamḥatin wa
nafasin „adada mȃ wȃsi‟ahu „ilmullȃh” menyebabkan dzikir
itu bertambah berlipat ganda nilainya. Dzikir ini juga disebut
dengan at-Tahlil al-Makhsush diberikan secara khusus kepada
Ahmad bin Idris. Tiadalah engkau didahului oleh siapapun
kepada-Nya. Maka ajarkanlah kalimat itu kepada para
sahabatmu supaya mereka dapat berlomba-lomba dengan
orang-orang terdahulu.16
Betapa penting ungkapan kasih sayang Allah ini
sehingga setelah di awal surat kalimat ar-Rahmān ar-Rahīm
diulang kembali pada ayat selanjutnya. Banyak manusia yang
hidup di muka bumi dari generasi ke generasi mendapatkan
rahmat (kasih)-Nya tetapi bukan sayang-Nya. Mereka hanya
merasakan keuntungan sesaat, dan rugi selamanya di akhirat
karena tanpa diiringi sayang-Nya. Keuntungan hanya
dirasakan dengan umur dan kesehatan yang terbatas, manusia

15
Ahmad bin Idris, al-Fȗyȗḍȃt Al-Rabȃniyyah bi Tafsîr Ba‟ḍil Āyāt
al-Qur‟ȃniyyah (t.tp: Dar al-Jawami‟ al-Kalim, t.t), 6
16
Luqman Al- Hakim, Bioghrafi Syekh Ahmad bin Idris Al Fasi Al
Hasani (Tasikmalaya, Tarekat Al- Idrisiyyah, 2012) Cet II, 180
69

terlena dengan kenikmatan yang terbatas itu hingga


melupakan pengharapan bertemu Allah di hari akhir yang
jauh lebih baik dan kekal.17
Dalam Tafsir al-Mishbah juga dikatakan pengucap
Basmallah ketika mengaitkan ucapannya dengan kekuasaan
dan pertolongan Allah. Bagi yang mengaitkannya dengan kata
itu, maka seakan-akan ia berkata, “dengan kekuasaan Allah
dan pertolongan-Nya pekerjaan yang saya lakukan dapat
terlaksana.” Apapun aktifitas yang anda lakukan, termasuk
menarik dan menghembuskan nafas, makan atau minum,
gerak refleks atau sadar, diam atau bergerak, semuanya tidak
dapat terlaksana tanpa kekuasaan dan pertolongan Allah.18
Dalam dimensi pengamalan ibadah tentunya semua yang
dilakukan tidak terlepas dari pengawasan dan kekuasaan
Allah SWT, untuk itu melafalkan Basmalah sebagai tanda
pembaharuan niat yang baik dalam mengawali setiap aktifitas.
Orang yang mau membaca dirinya dan mau melihat
dirinya secara mendetail, dia akan tahu kelemahan dirinya,
sekaligus menemukan kekuatan besar dari Tuhannya. Orang
yang membaca dirinya, dia akan menyadari akan kekurangan
dirinya, tetapi tidak lantas berkecil hati. Karena terlalu banyak
kelebihan dan kekuatan yang ada dalam dirinya akan
kekuasaan Allah, lalu bergantung kepada-Nya. Potensi dan

17
M. Fathurrahman, Resep Selamat Kebahagiaan, (Tasikmalaya:
Idrisiyyah Press, 2014), 391
18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta Pusat: Lentera Hati,
2002), 29
70

kekuatan dirinya menyadarkan untuk bersyukur kepada Allah


dan memberdayakannya, sekaligus mengakui betapa
19
kebesaran Allah telah dilimpahkan dalam dirinya.

2. Intuisi sebagai Pancaran Kasih Sayang Allah


Intuisi bahasa Arabnya adalah “al-Ḥadas” atau indra
keenam. Manusia pernah mengalami suatu kejadian yang
dianggap itu adalah sebuah kebetulan. Dan suatu saat manusia
tiba-tiba punya pikiran tentang sesuatu, dan tidak lama
kemudian sesuatu itu menjadi kenyataan dihadapannya. Indra
keenam adalah pengetahuan batin bersifat naluriah dan fitriah
yang dating secara tiba-tiba hanya merasa tahu dan yakin itu
saja. Itulah cahaya bershirah yang ada dalam diri manusia.
Dari cahaya itu terbentuklah informasi baru yang bersumber
dari semua informasi dan pengalaman yang sudah ada
menjadi indra keenam atau intuisi dikirim kealam sadar
manusia.20
Dalam kitab tafsir al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr
Ba‟ḍi al- ʼĀyāt al-Qur‟āniyyah hal ini digambarkan pada ayat

‫الرِحي ِم‬
َّ ‫الر ْْحَ ِن‬
َّ dimana disebutkan:

19
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga, 31
20
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga, 66-67
71

‫برز باسم اهلل الذي هوجممع مجيع األمساء من حيث الرْحن الرحيم و ذلك‬

‫أن اهلل سبحانه وتعايل ْحد نفسه بنفسه عنا رْحة بنا ملا علم أننا النقدر‬

‫علي القيام حبمد مما للي لجلاله وممله‬


Artinya bahwa sifat Raḥman dan Raḥīm-Nya Allah
menghadirkan sebuah cahaya yang disebut intuisi yang masuk
ke alam sadar manusia. Ahmad bin Idris juga mengatakan
bahwa Allah meliputi nama-nama yang baik karena-Nya
Allah mengajarkan cara memuji kepada diri-Nya sebagai
rahmat untuk manusia agar dia tahu akan letak
kekurangannya karena Allah jauh dari segala kekurangan.
Ketika manusia sungguh tidak mengetahui akan
ketidakmampuannya untuk memuji Allah sebagaimana
layaknya pujian itu akan keagungan-Nya dan kemulian-Nya.
Jadi puji itu harus setara dengan keagungan dan kemuliaan,
maka ketika manusia tidak layak untuk memuji-Nya
berdirilah Allah menjadi pengganti dan mengajarkan manusia
cara memuji kepada Allah.21
ar-Raḥmān dan ar-Raḥīm adalah dua nama yang saling
berhubungan darinya suatu kasih sayang Allah. Salah satu
diantara keduanya saling menyampaikan dari yang lain
seperti halnya kalimat „ȃlam dan „ȃlim, Ibn Abbas berkata:
“keduanya (ar-Raḥmān dan ar-Raḥīm) dua nama yang

21
Ahmad bin Idris, al-Fȗyȗḍȃt Al-Rabȃniyyah bi Tafsîr Ba‟ḍil Ȃyȃt
al-Qur‟ȃniyyah, 7
72

lembut salah satu diantara keduanya saling mengasihi


dengan yang lain atau lebih banyak yaitu rahmat Allah”.22
Sementara ulama menjelaskan makna penggabungan kata
Allāh, ar-Raḥmān dan ar-Raḥīm dalam Basmalah.
Menurutnya, seorang yang kalau bermaksud memohon
pertolongan kepada Dia yang berhak disembah serta Dia yang
mencurahkan aneka nikmat, kecil dan besar, yang
bersangkutan menyebut nama teragung dari Zat yang wajib
wujudnya itu sebagai pertanda kewajaran-Nya untuk dimintai.
Selanjutnya menyebut sifat rahmat-Nya (Raḥmān) untuk
menunjukan bahwa Dia wajar melimpahkan rahmat sekaligus
wajar dimintai pertolongan dalam amal-amal kebajikan
karena yang demikian itu adalah nikmat rahmat. Selanjutnya,
dinyatakan bahwa curahan rahmat-Nya adalah wajar karena
Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada dirinya.23
Semua agama meyakini bahwa hidup manusia didukung
oleh dua unsur atau komponen, yaitu unsur yang didukung
bersifat fisik dan unsur metafisik (ruhani, spiritual). Fisik
terdiri atas tubuh atau raga, sedangkan metafisik adalah unsur
“dalam” (inner self) diri manusia yang biasanya disebut
dengan ruh atau nafs (jiwa).24 Sudah seharusnya keimanan
kepada eksistensi Allah dan keesaanNya disertai keimanan
bahwa Dia Allah Swt memiliki segala sifat kesempurnaan

22
Abdul Wahhab, Tafsir Surat Al-Fatihah, (Ar-Riyadh: Maktabah
Haramein, 1408 H), 33
23
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 27
24
M Tholchah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, h.75
73

yang pantas sesuai dzat-Nya yang Mahamulia, yang suci dari


segala kekurangan.25 Firman Allah:
ِ ‫الس ِميع الْب‬
ُ‫صري‬ ِ ِ ِ ‫لَي‬
َ ُ َّ ‫س َممثْله َش ْيءٌ َوُه َو‬
َ ْ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS. Asy-Syura: [42]: 11)
Sesungguhnya semua manusia diberikan indra keenam
oleh Allah untuk menjadi perangkat hidup. Semua
pengamalan dan informasi telah tersimpan di dalam memori
manusia. Allah menghendaki agar informasi dan pengamalan
tersebut menjadi sumber solusi yang diperlukan dan
melahirkan jawaban dari semua yang diinginkan, itu sebabnya
intuisi adalah fitrah yang suci. Lalu, agar manusia
mendapatkan pengarahan dari Allah, manusia perlu
mengembangkan intuisi dengan segala yang ia miliki.26
Orang yang mendapatkan ketenangan dan kasih sayang
Allah karena dekat dengan Tuhan eksistensi itulah yang
disebut dengan nur ilahiyah pancaran cahaya ilahi. Yaitu
dengan nur tersingkaplah hijab-hijab yang menutupi
keyakinan dan rasa percaya kepada Allah. Iman dan
kepercayannya bertambah kuat sehingga tidak mudah
terbujuk godaan yang menyeret kepada kemaksiatan.27

25
Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Kajian Islam, (Mesir: Maktabah
Wahbah, 1996 M), h. 56
26
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga, h. 69
27
Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia Dialog al-Quran, tasawuf dan
Psikologi, h. 32
74

3. Merasakan Kelezatan Ibadah


Tanpa spiritualitas, ibadah yang dikerjakan hanya
menjadi rutinitas atau kewajiban semata, dan manusia tidak
merasakan apa-apa. Orang yang spiritualitasnya tinggi, dia
bisa benar-benar menikmati lezatnya ibadah. Bisa saja
manusia sangat rajin beribadah dan menjalankan ibadah fardu
tepat waktu, dan itu sangat bagus namun jika ibadah itu tidak
dilaksanakan dengan penuh penghayatan dan perasaan, maka
selepas ibadah tidak merasakan sensasi apa-apa dan tidak
mendapatkan pengaruh apa-apa. Padahal rasa adalah hakikat
kebenaran, karena rasa tidak bisa dibohongi. Dan manusia
tidak bisa menemukan rasa yang sejati manakala ia meraih
spiritualitas.28
Dalam melaksanakan amal ibadah sering kali
mengakibatkan permusuhan atau kebencian, bahkan
perbuatan ketaatan yang menimbulkan bentuk kejahatan
dengan menghalalkan darah manusia. Inilah yang disaksikan
pada masa sekarang. Anatara golongan satu dengan lainnya
yang mengatasnamakan Islam dan ayat-ayat Allah saling
menghantam, memojokan hingga saling membunuh. Maka
sebelum manusia melaksnakan amal ibadah ia harus
meluruskan dulu niat yang hanya tertuju kepada Allah
SWT.29 Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‟an:

28
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga, h. 35
29
M. Fathurrahman, Resep Selamat Kebahagiaan, h. 250
75

‫ب إِ ََل َريِّب َسيَ ْه ِدل ِن‬ ِ ِ


ٌ ‫َوقَ َال إ يِّن َذاه‬
“Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan
Dia akan memberi petunjuk kepadaku”
(Q.S. ash-Shaffat [37]: 99)

Merasakan kelezatan ibadah adalah sebuah harapan


terbesar. spiritualitas tidak bisa meningkat dengan sendirinya.
Spiritualitas bisa meningkat ketika ruh yang mengendalikan
fisik, bukan fisik yang mendominasi ruh. Ahmad bin Idris
menggambarkannya dalam kandungan ayat:

‫ي‬ ِ ‫اْلم ُد لِلَّ ِه ر ي‬


َ ‫ب الْ َعالَم‬َ ْ َْ
“Segala puji hanya milik Allah” (QS. al-Fâtihah [1]: 2)

Ahmad bin Idris menafsirkan ayat ini dengan


mengatakan:

‫االسم واملسمى شيئ واحد ال لثميزعنه ومها حقيقة واحدة‬


bahwa nama dan yang dinamai itu adalah satu perkara
yang tidak berbeda nama dari yang dinamai, dan keduanya
adalah satu hakikat yang sama dengan dalil:

‫ض ُه ْم َعلَى الْ َم َلائِ َك ِة‬


َ ‫َمسَاءَ ُملَّ َها ُُثَّ َعَر‬ َ ‫َو َعلَّ َم‬
ْ ‫آد َم ْاأل‬
“Dan dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat.”
(Q.S Al-Baqarah [2]: 31)
Maka kembali dhamir terhadap nama-nama (dhamir dari
„aradhahum) humnya itu menunjukan kepada al‟asma‟a
(nama-nama) dan benda-benda yang diberikan nama-nama,
76

adapun yang dinamai adanya dzahir benda tersebut bukan


lainnya.30 Artinya Ahmad bin Idris berpendapat bahwa suatu
nama tidak akan terpisah dari dzatnya, begitupun Allah
adalah satu kesatuan dengan dzat-Nya, maka ketika manusia
bisa memaknai nama-nama Allah yang baik (asma‟ul husna)
itu semua kembali kepada dzat Allah yang Maha segalanya.
Dan saat itu ia bisa merasakan puncak kelezatan ibadah tanpa
terpengaruh oleh pemikiran yang cenderung mengarahkan
kepada keburukan.
Memuji Allah SWT. Adalah luapan rasa syukur yang
memenuhi jiwa seorang mukmin di kala mendengar nama-
Nya disebut. Karena, keberadaan seseorang sejak semula di
pentas bumi ini tidak lain kecuali limpahan nikmat Ilahi yang
mengundang rasa syukur dan pujian. Setiap kejapan, setiap
saat, dan setiap langkah, silih berganti anugerah Allah
berduyun-duyun, lalu menyatu dan tercurah kepada seluruh
makhluk, khususnya manusia. Karena itu kita harus memulai
dengan memuji-Nya dan mengakhiri pun dengan memuji-
Nya.31
Ahmad bin Idris juga menambahkan bahwa puji Allah
kepada diri-Nya sebagai rahmat bagi manusia, karena dengan
mengetahui bahwa semua manusia tidaklah mampu untuk
berdiri sendiri dalam memuji kepada Allah seperti layaknya
pujian itu menunjukan akan keagungan dan kemulian-Nya,

30
Ahmad bin Idris, Al- Fuyudhat al-Rabbaniyyah bi Tafsîr Ba‟di al-
Ayat al-Qura‟aniyyah, h. 6
31
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 32
77

maka karena manusia tidak bisa memuji kepada Allah, Allah-


lah yang menjadi wakil bagi manusia dan mengajarkan cara
memuji diri-Nya agar manusia tahu hanya Allah yang maha
sempurna dan jauh dari kekurangan.32

B. Keterikatan
Menggambarkan suatu keyakinan atas salah satu bagian
terbesar kontribusi kehidupan manusia sangat diperlukan
dalam menciptakan kehidupan demi kelanjutan
keharmonisan.33
Manakala manusia bisa membuat kebaikan untuk sesama
dan kebaikan untuk semesta alam, maka ia berarti telah
melakukan harmonisasi semesta alam dan menyelaraskan diri
dengan semesta alam. Dan alam akan memberikan kebaikan
kepadanya. Inilah sebagian dari substansi spiritualitas yang
didambakan.34
Agama sesungguhnya memiliki peran yang sangat besar
urgensinya dalam mengeratkan hubungan antara manusia satu
sama lain, dalam status mereka sebagai hamba milik Tuhan
(Allah) yang telah menciptakan mereka, dan dalam status
mereka semua sebagai anak dan satu bapak (Adam
„alaihissalȃm) yang telah menurunkan mereka, terlebih lagi

32
Ahmad bin Idris, al-Fȗyȗdȃt Al-Rabȃniyyah bi Tafsîr Ba‟dil Ȃyȃt
al-Qur‟ȃniyyah, h. 7
33
Piedmont, R.L, Does Spiritual Represent The Sixth Factor of
Personality? Spiritual Transendence and the Five Factor Model, 989
34
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga, 124
78

dengan persaudaraan (ukhuwah) akidah dan ikatan iman yang


dibangun oleh agama antara mereka Firman Allah SWT:

ٌ‫إََِّّنَا الْ ُم ْؤِمنُو َن إِ ْخ َوة‬


“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah
bersaudara”. (QS. al-Hujurat [49]: 10)

Dan karena pengaruh yang ditimbulkan oleh


persaudaraan dalam jiwa dan kehidupan, sehingga manusia
menemukan salah seorang dari mereka (orang-orang mukmin
mencintai saudaranya melebihi kepentingannya sendiri.35
Dan dalam dimensi keterikatan ini penulis
menganalogikan dalam sebuah bagan sebagai berikut:

Kehidupan Duniawi
sebagai ladang Akhirat

KETERIKATAN

Mengakses hal-hal Menemukan Makna


Ghaib dan Keindahan Hidup

Bagan 2.2
Keterikatan

Pada bagan tersebut menganalogikan bahwa dimensi


keterikatan pada Tafsir al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi
Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt al-Qurʼāniyyah karya Ahmad bin Idris

35
Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Kajian Islam, (Mesir: Maktabah
Wahbah, 1996 M), h. 22
79

menggambarkan tiga hal yaitu kehidupan duniawi sebagai


ladang akhirat, menemukan makna dan keindahan hidup,
dan mengakses hal-hal gaib yang akan penulis jelaskan.

1. Kehidupan Duniawi sebagai Ladang Akhirat


Secara umum, setiap hari manusia ingin bisa
mempertahankan apa yang sudah ia dapatkan dan ingin
meningkatka kualitas dir agar mendapatkan hal-hal yang
lebih baik lagi. Dan memang demikianlah cara berpikir
yang paling bagus. Sebab hidup terus berkembang, hidup
terus bergerak, hidup terus terbarukan. Yang kemarin
lama-lama akan rusak, dan harus dipersiapkan
penggantinya, yang kemarin sudah habis harus diisi
kembali.36
Dalam kitab tafsir lainnya disebutkan bahwa ar-
Raḥmān adalah kenikmatan yang Allah berikan kepada
orang mukmin dan kafir di kehidupan dunia saja, dan ar-
Raḥīm adalah kenikmatan yang Allah berikan kepada
orang mukmin saja di akhirat nanti. Maka dalam kitab
tafsirnya Ahmad bin Idris mengatakan:

‫إجياد لنا وإجياد ما خلقه ألجلنا إَّنا هو مبخض رْحثه وجود‬


Maksudnya adalah ar-Raḥmān ar-Raḥīm itu tidak
membatasi dan menyempitkan rahmat Allah justru
betapa luas kasih sayang Allah, Ahmad bin Idris
menganalogikan pengetahuan manusia terhadap kasih

36
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga, 52
80

sayang Allah itu diumpamakan seperti paruh burung pipit


sebagai pengetahuan manusia sementara kasih sayang
Allah sebagai lautan luas maka pengetahuan manusia itu
kecil dan kasih sayang Allah amat sangatlah luas.37
Apa yang diperbuat di dunia ini akan
dipertanggungjawabkan di akhirat kelak di hadapan
Allah. Oleh karenanya hidup di dunia hanya satu kali,
jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang mahal
ini, dan ia harus siap menghadapi tantangan kehidupan,
semata-mata karena menjalankan ibadah kepada Allah
Swt.38 Jadi, jalan spiritual itu sendiri tidak cukup bagi
pejalan. Untuk meraih kesempurnaan seseorang harus
mampu menyesuaikan diri dan hidup selaras dengan
masyarakat. Dia tidak hanya harus melayani masyarakat
tetapi juga harus menjaga agar tidak meninggung
perasaan orang lain dalam pergaulan.39
Menurut Ar-Razi (w.925 M) ada tiga macam
tingkat kesenangan manusia pada sesuatu: pertama,
orang yang menyukai, menyenangi, atau mencintai
sesuatu tanpa sesuatu alas an. Dia tidak tahu dan tidak
punya alas an mengapa menyukai sesuatu itu. Kedua,
cinta karena ada manfaat yang diperoleh dari yang

37
Ahmad bin Idris, al-Fȗyȗḍȃt al-Rabȃniyyah bi Tafsîr Ba‟ḍil Ȃyȃt al-
Qur‟ȃniyyah, 11
38
M. Fathurrahman, Resep Selamat Kebahagiaan, (Tasikmalaya:
Idrisiyyah Press, 2014), 361
39
Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia Dialog al-Quran, tasawuf dan
Psikologi, (Malang: Malang Press, 2007), 79
81

dicintai. Anak mencintai orang tua karena merasa orang


tuanya telah membesarkan, mendidik, dan mencurahkan
segala pengorbanan dalam hidupnya. Murid mencintai
guru karena dia tahu bahwa gurunya telah mengajar,
memberikan ilmu, dan membimbing ke jalan kesuksesan
hidup. Ketiga, mencintai sesuatu karena ia memang layak
dicintai. Seorang pria mencintai wanita karena memang
wanita itu cantic, ramah, pandai, dan dermawan.40
Manusia saat ini dalam proses kembali kepada
Allah. Dalam menempuhnya mesti menggunakan jalan,
atau metodologi. Metode yang dipilih Allah adalah cara
yang dilakukan oleh para Nabi, Siddiqin, Syuhada dan
Salihin. Modal perjalanan pulang kepada-Nya adalah
keimanan (kepercayaan). Tanpa keimanan manusia akan
menggunakan metode sendiri-sendiri. Jalan yang lurus
sudah dibentangkan seluruh para Nabi dan Rasul-Nya.
Setelah rangkaian Nabi adalah metode jalan itu dibawa
oleh para pewaris, al-„Ulamȃ. Sepanjang zaman jalan
yang lurus telah ditegakkan. Dan hanya orang yang
beriman saja yang mengikuti jalan yang lurus itu untuk
menuju kepada Tuhan.41
Seseorang yang menghayati bahwa Allah adalah
ar-Raḥmān, yakni pemberi rahmat kepada makhluk-
makhluk-Nya dalam kehidupan dunia ini, karena Dia

40
M. Tolchah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, 241
41
M. Fathurrahman, Resep Selamat Kebahagiaan (Tasikmalaya:
Idrisiyyah Press, 2014), 70
82

Raḥīm, yakni melekat pada diri-Nya sifat rahmat,


penghayat makna-makna itu akan berusaha
memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang
sehingga menjadi ciri kepribadiannya.42

2. Mengakses Hal-hal Gaib


Hal-hal gaib yang masih menjadi keinginan dan
harapan bila terus dipikirkan secara fokus dan berulang-
ulang akan masuk menjadi impian. Mimpi bagi orang
beriman (bukan orang yang melamun) adalah suatu tanda
kenabian, yang berarti sebuah tanda kebenaran.
Rasulullah Saw sendiri saat di Madinah memimpikan
bisa masuk kota Makkah, di mana waktu itu situasinya
menurut logika adalah sebagai kemustahilan. Masuk
Makkah waktu itu adalah sebuah kejadian yang gaib.
Tetapi Rasululullah terus memvisualisasikannya. Maka
Allah mengabulkannya. Allah berfirman:

ْ ‫اْلَ ي لَتَ ْد ُخلُ َّن الْ َم ْس ِج َد‬


‫اْلََر َام إِ ْن‬ ْ ِ‫الرْؤلَا ب‬
ُّ ُ‫ص َد َق اللَّهُ َر ُسولَه‬
َ ‫لََق ْد‬
‫لن َال ََتَافُو َن فَ َعلِ َم َما‬
َ ‫ص ِر‬
‫وس ُك ْم َوُم َق ي‬
َ ُ‫ي ُرء‬
ِ ِِ
َ ‫َشاءَ اللَّهُ آمن‬
َ ‫ي ُُمَليق‬
‫ك فَ ْت ًحا قَ ِرلبًا‬ ِ ِ ‫ََل تَعلَموا فَجعل ِمن د‬
َ ‫ون ذَل‬ ُ ْ َ ََ ُ ْ ْ
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-
Nya, tentang kebenaran mimpinya (visualisasi) dengan
sebenarya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan
memasuki Masjidil Haram, Insya Allah dalam keadaan

42
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 48
83

aman, dengan mencukur rambut kepala dan


mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka
Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia
memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat. (Q.S.
al-Fath [48]: 27).
Mengakses atau melihat hal-hal gaib adalah sebuah
kemungkinan bagi manusia. Karenanya manusia adalah
makhluk yang hidup adalam dua dimensi, yaitu dimensi
alam nyata, dan dimensi alam gaib.43 Kemudian Ahmad
bin Idris menafsirkan ayat:

‫ي‬ ِ َ َّ‫اك نَعب ُد وإِل‬ ِ


ُ ‫اك نَ ْستَع‬ َ ُ ْ َ َّ‫إل‬
“hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya
kepadaMu kami memohon pertolongan”
(Q.S al-Fātiḥah [1]: 5)

‫ليكون أدل علي الغيبة إيل الشهود ومأن املعلوم صار عيانا‬
Ayat ini menunjukan bahwa Tuhan yang pada
ayat-ayat sebelumnya dibicarakan dhamir ghaib, Tuhan
yang dibicarakan itu menjadi yang diajak bicara, hanya
kepadamu artinya bahwa Allah itu mengajarkan atau
mengenalkan dirinya melalui sifat-sifatnya
Arrahmanurrahim, Rabbul „alamin, maliki yaumiddin
maka ketika sudah masuk ke dalam hati seorang yang
„arif yang mengetahui Tuhan setelah tadi dibicarakan
sifat-sifatnya, maka akan timbul rasa kagum rasa rendah
hati, kemudian rasa kagum dan rasa rendah hati ini
diwujudkan dengan meminta pertolongan dengan kalimat

43
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga, 78
84

yang diajak bicara bukan dibicarakan lagi, artinya yang


gaib ituu sudah hadir yang dipikirkan itu sudah
disaksikan oleh mata bathin seorang yang „arif yang
mengetahui tuhan, yang dipikirkan yang didalami ayat-
ayatnya itu sudah hadir dalam hati. Seorang yang „arif
orang yang mengetahui dengan ayat Iyaaka ini Tuhan
mengajarkan bagaimana berbicara dengan Zat yang
Maha Terpuji. Maha Kasih Sayang, dengan pembicaraan
yang penuh dengan kerendahan hati. Dan pada ayat ini
mengajarkan bahwa Makrifatullâh itu dikenal melalui
nama-namanya yang menjelaskan sifat-sifatnya yang
sempurna dan kemudian setelah dikenal lalu diajak
bicara iyaka na‟budu diajak bicara dan dimintai
pertolongannya iyaaka nasta‟inu.44
Makna lain yang ditarik dari redaksi iyyȃka
na‟budu dapat terungkap setelah memahami hakikat
ibadah yang dijelaskan di atas. Seperti dikemukakan,
salah satu hakikat ibadah adalah menyadari bahwa apa
yang berada di bawah genggaman tangan si pengabdi
atau yang menjadi “miliknya” pada hakikatnya adalah
milik siapa yang kepada-Nya ia mengabdi, dalam hal ini
bagi pengucap iyyȃka na‟budu adalah Allah Swt.
Selanjutnya pernyataan “Hanya kepada-Mu kami
memohon pertolongan” mengandung pula makna bahwa

44
Ahmad bin Idris, al-Fȗyȗdȃt Al-Rabȃniyyah bi Tafsîr Ba‟dil Ȃyȃt
al-Qur‟ȃniyyah, 12
85

kepada selain Allah sang pengucap tidak memohon


pertolongan.45

3. Menemukan Makna dan Keindahan Hidup


Kebermaknaan hidup adalah penghayatan individu
terhadap keberadaan dirinya, memuat hal-hal yang
dianggap penting, dirasakan berharga, dan dapat
memberikan arti khusus yang menjadi tujuan hidup
sehingga membuat individu menjadi berarti dan
berharga. Kehidupan yang bermakna akan dimiliki
seseorang apabila dia mengetahui apa makna dari sebuah
pilihan hidupnya.46
Dalam menemukan makna keindahan hidup, tentu
ada hubungannya tentang tasawuf terutama untuk mencari
kebermaknaan hidup, salah satunya dengan menggapai
kebahagiaan hidup yang hakiki. Dalam dunia tasawuf
dikenal dengan istilah muhasabah diri yaitu mawas dir,
atau dikenal dalam istilah psikologi adalah mawas diri.
Dengan muhasabah ini dapat membuka pintu menuju
ketenangan dan kedamaian spiritual, dan juga
menyebabkan seseorang takut kepada Allah dan siksaan-
Nya. Muhasabah juga dapat membangkitkan kedamaian

45
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 68
46
E. Koeswara, Logoterapi, Psikoterapi Victor Fankl (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), 58
86

dan ketakutan didalam hati manusia.47 Ahmad bin Idris


menggambarkannya pada ayat:

‫ك لَ ْوِم الديل ِن‬


ِ ِ‫مال‬
َ
“Raja pada hari kiamat” (QS. Al-Fatihah [1]: 4)

‫أمساء اجللال واجلمال ملها بصدقه علي الربزخ وما بعد الذي الدنيا‬
‫بالنسبة ليوم القيامة مالرحم إيل الدنيا‬

Ahmad bin Idris menyebutkan nama-nama yang


menggambarkan keagungan Allah dan keindahanNya, Ia
memasukan kalimat mȃliki sebagai kalimatul jamal
kalimat yang menggambarkan keindahan Tuhan. Akan
tetapi, para penafsir lain memasukan kepada al-jalal yaitu
kalimat yang menggambarkan keagungan Tuhan. Māliki
ini arah pengertiannya kepada dan alam lain di hari
kiamat. ia membagi kepada dua arti yaitu:
1. Al-Mālik al-Sultôhnul Qohār yang Maha memaksa dan
maha Agung ini ditujukan kepada orang-orang kafir
2. Sulthônul Raḥmah yaitu raja yang Maha mencurahkan
kasih sayang-Nya, memberikan karuniaNya, dan
kelemah lembutanNya diberikan kepada orang-orag
yang beriman kepada Allah dan rasulnya.
Yang membedakannya dengan penafsir lain ialah
Ahmad bin Idris mengartikan māliki dalam dua bagian
yaitu Raja yang memaksa yang memberikan siksa kepada

47
Fathullah Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001), 30
87

orang-orang kafir dan māliki kedua ialah raja yang maha


kasih sayang yang mencurahkan, kelembutan dan kasih
sayangnya kepada orang-orang yang beriman.48Usaha
memahami makna hidup dengan benar itu, pertama yang
harus diketahui adalah asal penciptaan atau proses
perwujudan menjadi ada yang berujung kemudian pada
pemahaman tentang eksistensi diri. Hati merupakan
bagian yang vital bagi eksistensi kemanusiaan seseorang.
Hati inilah yang menjadi pusat perhatian Allah dalam
menilai kualitas iman dan kepribadian seseorang.49
Jika seseorang menyadari adanya hari pembalasan,
Allah sebagai Penguasa Tunggal dalam arti
sesungguhnya, ia akan merasa tenang walau sedang
dianiaya oleh pihak lain. Karena ada hari pembalasan
sehingga bila ia tidak dapat membalas di dunia ini, Allah
pemilik dan Raja hari Pembalasan itu yang akan
membalas untuknya. Keyakinan tentang adanya hari
Pembalasan memberi arti bagi hidup ini. Tanpa keyakinan
itu, semua akan diukur dengan di sini dan sekarang, dan
alangkah baiknya aktivitas yang menuntut untuk
dilakukan tanpa harus memetik buahnya sekarang, serta
alangkah banyak pula yang buahnya tidak mungkin diraih

48
Ahmad bin Idris, al-Fȗyȗḍȃt Al-Rabȃniyyah bi Tafsîr Ba‟ḍil Ȃyȃt
al-Qur‟ȃniyyah, 11
49
Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia Dialog al-Quran, tasawuf dan
Psikologi, 43
88

di sini dan sekarang. Itulah pesan utama kelompok


pertama ayat-ayat al-Fȃtiḥah.50

C. Universal
Islam adalah agama sepanjang zaman, untuk seluruh
umat manusia, bukan agama lokal, konsepnya (al-Qur‟an)
tidak diperuntukan pada zaman atau periode tertentu. Tidak
seperi agama-agama sebelumnya yang bersumber kepada kitab
Taurat, Zabur dan Injil. Taurat hanya diperuntukan bagi
pengikut Nabi Musa As. Zabur hanya diperuntukan bagi
pengikut Nabi Daud As. Dan Injil hanya diperuntukan bagi
pengikut Nabi Isa As. Tapi al-Qur‟an diperuntukan untuk umat
Nabi Muhammad Shalallahu „alaihi wassalam di sepanjang
kehidupannya.51
Kefakiran dan kemiskinan terkadang menjadi
penyebab manusia lupa akan nikmat Allah SWT yang
diberikan kepadanya. Padahal dalam keadaan bagaimanapun,
pasti anugerah Allah SWT lebih banyak dari kekurangan yang
dirasakannya. Manusia menderita bukan karena rizki yang
berkurang tetapi karena kurang bersyukur yang bersemayam
dihatinya. Kaum materialistis, kapitalis, dan hedonis
menjadikan materi segalanya. Apabila seseorang
berideologikan materialisme pasti akan dikuasai oleh kaum
kapitalis, tetapi orang yang menjadikan iman sebagai poros

50
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 56
51
M. Fathurrahman, Resep Selamat Kebahagiaan, 391
89

dalam kehidupannya, tidak akan pernah terjajah oleh mereka.


Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‟an:
ِ َ‫ات ِمن النيس ِاء والْبنِي والْ َقن‬
‫اط ِري الْ ُم َقْنطََرةِ ِم َن‬ ِ ‫ب الش‬ ِ ‫ُزلي َن لِلن‬
َ َ َ َ َ َ ‫َّه َو‬ َ ُّ ‫َّاس ُح‬
ِ‫اْلياة‬ ِ ِ ‫اْلر‬ ِ ِ ْ ‫ب َوالْ ِفض َِّة َو‬
ِ ‫الذ َه‬
َّ
ََْ ُ‫ك َمتَاع‬
َ ‫ث ذَل‬ َْْ ‫اْلَْي ِل الْ ُم َس َّوَمة َو ْاألَنْ َعام َو‬
ِ ‫الدُّنْيا واللَّهُ ِعْن َد حسن الْم‬
‫آب‬ َ ُُْ ُ َ َ
“dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang dingini, yaitu: wanita-wanita, anak-
anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di Dunia, dan sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik (surga). (Q.S Ali-Imran [3]: 14).52
Universalitas menurut Piedmont adalah
menggambarkan suatu keyakinan atas kesatuan alam dalam
kehidupan.53 Atas dasar itu, untuk mengetahui lebih dalam
pembahasan ini dengan melihat prespektif ahmad bin Idris
dalam kitab tafsirnya. Penulis membaginya ke dalam tiga
bagian, sebagaimana bagan berikut ini:

Kedudukan Manusia di Alam


Semesta

UNIVERSAL

Membangun
Berperilaku Baik untuk
52 Keharmonisan Diri
Meraih
Zuhdi Kebahagiaan
Zaini, Sebuah Renungandengan
(Tangerang: Cantiga,
Semesta Alam 2018), 186
53
Piedmont, R.L, Does Spiritual Represent The Sixth Factor of
Personality ? Spiritual Transendence and the Five Factor Model, 989
90

Bagan 2.3
Universal

1. Kedudukan Manusia di Alam Semesta


Manusia hidup di tengah alam semesta ini dengan segala
kekuatan dan kekayaannya maka sebagai manusia seharusnya
bisa menempatkan diri dalam hubungan mengambil manfaat,
mengambil pelajaran dan melestarikan alam.54
Allah SWT menuntut setiap makhluk kepada apa yang
perlu dimilikinya dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
Dialah yang memberi hidayah kepada anak ayam memakan
benih ketika baru saja menetes, atau lebah untuk membuat
sarangnya dalam bentuk segi enam karena bentuk tersebut
lebih sesuai dengan bentuk badan dan kondisinya.55
Nasib dari pohon tergantung pada benihnya. Bagian-
bagian dari pohon, batang, kulit, kayu, akar, dahan, dan
ranting, daun-daun serta bunga, semuanya dipersiapkan dalam
satu benih kecil. Supaya benih bisa tumbuh, manusia harus
meletakannya di atas tanah yang subur dan menyiramnya
dengan air. Hazrat Pir menggunakan analogi benih untuk
menjelaskan perkembangan jiwa manusia. Setiap manusia
memiliki benih yang bisa diketahui sendiri. Benih itu tumbuh

54
M Tolchah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, 122
55
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 75
91

hidup atau mati sebagaimana tanah atau peti tempat benih itu
diletakan.56
Dalam hal ini Ahmad bin Idris mengatakan dalam kitab
tafsirnya al-Fūyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al-Āyāt
al-Qurʼāniyyah Arti dari pada ayat:

‫يم‬ ِ ‫ْاه ِدنَا ال ي‬


َ ‫صَرا َط الْ ُم ْستَق‬
“ Tunjukanlah kami jalan yang lurus ”.
(Q.S Al-Fatihah [1]: 6)
‫ خلقنا بأخلاقك ُث ملا مان ال طرل ملعرفة اهلل من طرل نفوسنا‬: ‫ومعنا‬
Maksud dari ayat ini yang artinya tunjukanlah kami ya
tuhan ke jalan makrifat diri atau pengenalan diri57, sehingga
mengenal diri-Mu ya Tuhan. Sesuai dengan hadis yang
mengatakan:

‫ف‬
َ ‫ف نَ ْف َسهُ فَ َق ْد َعَر‬ َ ‫ َم ْن َعَر‬:‫ َو ُسئِ َل َس ْه ٌل َع ْن قَ ْولِِه‬:‫قَ َال‬
»‫ف َربَّهُ لِنَ ْف ِس ِه‬َ ‫ف نَ ْف َسهُ لَِربيِه َعَّر‬
َ ‫ « َم ْن َعَّر‬:‫ قَ َال‬،ُ‫َربَّه‬
“ia berkata: dan sahl pernah ditanya dari perkataanya:
barang siapa yang mengenal dirinya maka ia telah mengenal
Tuhannya, ia berkata: barang siapa yang memperkenalkan
dirinya untuk Tuhannya, Tuhan akan memperkenalkan untuk
dirinya.”58
Maksud dari hadis ini menurut Ahmad bin Idris ialah
jalan yang menghubungkan pengenalan atas diri pada

56
Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia Dialog al-Quran, tasawuf dan
Psikologi, h. 97
57
Ahmad bin Idris, al-Fȗyȗḍȃt Al-Rabȃniyyah bi Tafsîr Ba‟ḍil Ȃyȃt
al-Qur‟ȃniyyah, 15
58
Abu Naim Ahmad bin Abdillah, Hilyatul Auliya (Beirut: Darl-Kutb
al‟Alamiyah, 1409 H), 802
92

hakikatnya mengenal diri itu adalah sekaligus mengenal


Tuhannya.59 Bagi orang yang makrifat kepada Allah, maka
berharap penuh menggapai kasih sayang Allah. Tidak hanya
itu, bahkan Allah menuangkan kepadanya kasih sayang-Nya
dengan syurga dan karunia melihat-Nya. Sedangkan manusia
banyak yang terpesona (tergila-gila) dengan pemberian Allah
di dunia yang fana. Untuk menuju tujuan membutuhkan jalan,
demikian pula untuk meraih Rahmat Allah dunia akhirat.
Ihdinash-Shirātal Mustaqim, Ya Allah tunjukanlah kami jalan
yang lurus (menuju kepada Engkau) jalan inilah yang ia
mohon kepada Allah untuk menuju pengharapan Rahmat dan
Kasih-Nya.60 Manusia harus mampu mengenal dirinya dan
posisinya di hadapan Allah SWT agar menjadi hamba yang
selalu taat kepada-Nya. Karena dengan mengenal siapa dirinya
dia akan mengenal siapa Tuhannya.

2. Berperilaku Baik untuk Meraih Kebahagiaan


Berperilaku baik sangat penting bagi manusia untuk
meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, dan bagi orang yang
tengah menghadapi suatu masalah yang berat. Melalui
perumpamaannya tentang „siang dan malam‟, ia ingin
menelaskan bahwa setiap kejadian yang menimpa diri manusia
pada dasarnya sudah punya waktunya masing- masing. Tuhan
sendirilah yang telah mengatur demikian. Manusia sama sekali
tidak bisa mempercepat atau melambatkannya. Upaya-upaya
59
Ahmad bin Idris, al-Fȗyȗḍȃt Al-Rabȃniyyah bi Tafsîr Ba‟ḍil Ȃyȃt
al-Qur‟ȃniyyah, 15
60
M. Fathurrahman, Resep Selamat Kebahagiaan, 392
93

untuk mempercepat berlalunya masalah adalah sebuah kesia-


siaan. Itu sama halnya menginginkan siang di kala hari masih
larut malam.61
Di antara akhlak terpuji adalah bersikap „arif, yaitu tidak
tergesa-gesa, perlahan-lahan tapi pasti, dalam hal menjalankan
segala urusan serta lapang dada. Jika kata al-hilm disandarkan
kepada Allah, seperti Allahu Halimun, maka artinya, Allah
tidak tergesa-gesa menyiksa hamba-hamba-Nya yang durhaka
kepada-Nya. Namun Allah Maha Menangguhkan, menutupi
dosa, dan malah memberi rizki serta kesehatan pada mereka.
Pada suatu ketika jika bertaubat, Allah pun tetap menerima
taubatnya, karena itu sikap hilm Allah terhadap hamba-
hambaNya merupakan Nikmat Allah yang paling besar,62 ntuk
meraih kebahagiaan maka manusia harus menjauh daripada
murkanya Allah Swt. Ahmad bin Idris menyebutkan dalam
tafsirnya arti dari pada

ِ ‫ض‬
‫وب‬ ُ ‫َغ ِْري الْ َم ْغ‬
“Bukanlah jalan orang-orang yang dibenci”.
(Q.S Al-Fatihah [1]: 6)

‫ فمنه غضب وسخط وطرد مغضبه علي اليهود ومن حنا حنوهم‬.‫علي مراثب‬
‫علي ما قصي اهلل يف حقهم وغضب ثادلب ومنه وقع لعامة الناس من‬
.‫اْلدود والزواجر عنها ومنه غضب غرية ومنه ما لقع ألوليئه‬

61
Hamdy, Telaga Bahagia Syaikh Abdul Qadir JailaniI, (Jakarta:
Republika, 2015), 167
62
Abu Bakar Ibn Muhammad Syata, Menapak Jejak Kaum Sufi
(Surabaya: dunia ilmu, 1997), Cet.I, 150
94

Maksudnya bahwa ghoiril maghdubi ialah bukan


jalan orang-orang yang dimurkai oleh Allah yaitu orang-orang
yang menyembah hawa nafsu, syahwat, patung-patung dan
sebagainya. Kemudian Ahmad bin Idris juga menatakan bahwa
murka Allah itu ada beberapa tingkatan:
a. Murka murni yaitu murka-Nya Allah kepada orang-orang
yahudi dan orang orang yang serupa dengan orang-orang
yahudi karena menyekutukan Allah.
b. Murka yang mendidik yaitu murka-Nya Allah kepada para
pelanggar (pendosa) lalu mereka diberi hukuman keras
tujuannya hukuman itu untuk mendidik agar tidak mengulangi
kesalahan yang telah dilakukan.
c. Murka yang bersifat cemburu yaitu murka-Nya Allah
kepada para wali Allah dan Nabi-nabi Allah.
sebagai contoh murka yang bersifat cemburu ini ialah
murkanya Allah kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ketika
pelaksanaan kurban. Allah Menguji keduanya karena di dalam
hati Nabi Ibrahim ada kecenderungan mengabaikan perintah
Allah dan lebih sayang kepada Nabi Ismail, demikian juga
Nabi Ismail sangat sayang kepada Ayahnya sehingga batinnya
tidak seratus persen cenderung kepada Allah maka kemudian
Allah menurunkan ujian (murka yang bersifat cemburu),
sehingga ketika hati keduanya sudah hilang dari
kecenderungan kepada selain Allah, artinya hati keduanya
sudah penuh mutlak menyerah diri kepada Allah, maka oleh
95

Allah dicabutlah ujian tersebut diganti dengan anugerah itulah


yang disebut dengan murka yang bersifat cemburu.63
Sejarah dan pengalaman sehari-hari membuktikan bahwa
ketaatan kepada Allah SWT atau dengan kata lain
melaksanakan kebenaran dan kebajikan, menghasilkan
imbalan baik. Kalau bukan pada saat itu, paling tidak pada
akhirnya. Demikian pula pembangkangan terhadap kebenaran
menimbulkan penyesalan, bahkan siksaan paling sedikit adalah
siksaan batin. Kalau bukan sesaat sesudah pelanggaran itu,
tentu pada akhirnya.64

3. Membangun Keharmonisan Diri dengan Semesta Alam


Membangun harmonisasi dengan semesta alam adalah
menciptakan keindahan semesta alam dan peduli terhadap
sesame, lingkungan, tidak merusak dan tidak pula membiarkan
kerusakan. Menyelaraskan diri dengan semesta alam adalah
mengirimkan empati dan simpati, berbagi kasih saying,
menebar kebaikan, bersahabat dan membangun kebersamaan
dengan semesta alam. Manusia dan manusia harus membangun
keharmonisan.65
Spiritualitas bisa ditemukan manakala manusia
mempunyai kepedulian sosial yang tinggi dan rasa
kemanusiaan yang tak terbatas, menurut para sufi
keharmonisan kehidupan adalah symbol kesempurnaan

63
Ahmad bin Idris, al-Fȗyȗḍȃt Al-Rabȃniyyah bi Tafsîr Ba‟ḍil Ȃyȃt
al-Qur‟ȃniyyah, 15
64
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 87
65
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga, h. 59
96

manusia, dan mereka percaya bahwa pada dasarnya seseorang


yang tidak mampu hidup dengan baik bersama manusia lain
adalah manusia yang sakit. Oleh karenanya, mereka juga
menganggap bahwa mereka yang menarik diri dari masyarakat
dan menyepi untuk meningkatkan kehidupan spiritual mereka
adalah individu-ondividu yang merana dan tidak sempurna.66
Maka dengan itu Ahmad bin Idris mengatakan dalam sebuah
ayat:

َ ‫َوَال الضَّالي‬
‫ي‬
“ dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
(Q.S Al-Fatihah [1]: 7)

‫عن طرل معرفة نفوسهم فلم لعرفوا رلهم‬


Artinya orang-orang yang tidak mengenal dirinya dan
sekaligus pasti tidak mengenal tuhannya, tidak ma‟rifatunnafsi
sekaligus tidak mak‟rifatullah maka arti daripada addhallin itu
adalah jalan sesat jalan orang-orang yang tidak mengenal
dirinya sekaligus tidak mengenal tuhannya.67
Kata adh-ḍāllīn berasal dari kata dhalla. Tidak kurang
dari 190 kali kata dhalla berbagai bentuknya terulang dalam
al-Qur‟an. Kata ini pada mulanya berarti kehilangan jalan,
bingung, tidak mengetahui arah. Makna-makna ini
berkembang sehingga kata tersebut juga dipahami dalam arti
66
Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia Dialog al-Quran, tasawuf dan
Psikologi, 79
67
Ahmad bin Idris, al-Fȗyȗḍȃt Al-Rabȃniyyah bi Tafsîr Ba‟ḍil Ȃyȃt
al-Qur‟ȃniyyah, 17
97

binasa, terkubur, dan dalam arti immaterial ia berarti sesat


dari jalan kebajikan atau lawan dari petunjuk. Dari
penggunaan al-Qur‟an yang beraneka ragam, dapat
disimpulkan bahwa kata ini dalam berbagai bentuknya
mengandung makna tindakan atau ucapan yang tidak
menyentuh kebenaran.68
Upaya Nabi Muhammad Saw diutus ke tengah kehidupan
adalah untuk memanusiakan manusia. Karena banyak manusia
yang tidak mengenal diirnya dan untuk apa ia diciptakan.
Sehingga perilakunya menyimpang dari kodrat manusiawinya,
bahkan penyimpangannya melebihi perilaku binatang.69
Dalam hal ini tentunya orang yang sesat adalah orang
yang jauh dari sosial dan alam semesta, maka perlu kiranya
menyelaraskan diri dengan semesta alam, artinya melakukan
kebaikan sama seperti yang semesta alam lakukan, tidak
melakukan perbuatan yang jahat, tidak melakukan hal-hal yang
membuat semesta alam murka, tidak melakukan kekerasan,
menebarkan kasih dan sayang, tidak marah-marah, tidak
berkata-kata yang menyakitkan, menyelaraskan diri dengan
semesta alam, berarti juga berdamai dengan masalah-masalah
yang dihadapi.70
Hubungan Manusia dengan alam merupakan hubungan
view point, bahwa alam dapat menambah pandangan dan
menambah pelajaran bagi manusia. Pelajaran berarti
68
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 91
69
M. Fathurrahman, Resep Selamat Kebahagiaan, 223
70
Saifuddin Aman, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga, 64
98

mengambil hikmah, dalam arti tidak sampai mendekat barang


karena membahayakan atau menjaga agar tidak
membahayakan, atau alam bisa digunakan sebagai pelajaran
dengan cara mengambil temuan-temuan yang dapat dijadikan
teori menjadi pengetahuan secara umum.71[]
Untuk lebih memahami terhadap penelitian ini, penulis
memaparkannya dengan membuat tabel sebagai kerangka
perbandingan dalam menghubungkan antara tiga dimensi spiritual
dari pisau analisis Piedmont dengan kalimat yang terdapat pada
kitab al-Fuyūḍāt al-Rabbāniyyah bi Tafsīr Ba‟ḍi al- ʼĀyāt al-
Qur‟āniyyah karya Ahmad bin Idris.

Diksi kalimat dalam


Sub Dimensi Spiritual Piedmont
tafsir Ahmad bin Idris
A Pengamalan Menggambarkan ‫برز باسم اهلل الذي‬
Ibadah suatu perasaan
gembira dan ‫هوجممع مجيع األمساء من‬
kesukaan atas hasil
dari pertemuan ‫حيث الرْحن الرحيم و‬
manusia dengan
realitas transenden.72 ‫ذلك أن اهلل سبحانه‬
‫وتعايل ْحد نفسه بنفسه‬
‫عنا رْحة بنا ملا علم أننا‬

71
M. Tolchah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius (Jakarta:
Listarafiska, 2004), 121
72
Piedmont, R.L, Does Spiritual Represent The Sixth Factor of
Personality? Spiritual Transendence and the Five Factor Model, Journal of
Personality, 1999, Desember, (67:6). Oxford: Blackwell Publishers, 989
99

‫النقدر علي القيام حبمد‬


73
‫مما للي لجلاله وممله‬
B Keterikatan Menggambarkan ‫ليكون أدل علي الغيبة إيل‬
suatu keyakinan atas
salah satu bagian ‫الشهود ومأن املعلوم صار‬
terbesar kontribusi 75
kehidupan manusia ‫عيانا‬
sangat diperlukan
dalam menciptakan
kehidupan demi
kelanjutan
keharmonisan.74
C Universal menggambarkan ‫ فمنه غضب‬.‫علي مراثب‬
suatu keyakinan atas
kesatuan alam dalam ‫وسخط وطرد مغضبه علي‬
kehidupan.76
‫اليهود ومن حنا حنوهم علي‬
‫ما قصي اهلل يف حقهم‬
‫وغضب ثادلب ومنه وقع‬
‫لعامة الناس من اْلدود‬
‫والزواجر عنها ومنه غضب‬
77
.‫غرية ومنه ما لقع ألوليئه‬

73
Ahmad bin Idris, al-Fȗyȗḍȃt Al-Rabȃniyyah bi Tafsîr Ba‟ḍil Ȃyȃt
al-Qur‟ȃniyyah, 7
74
Piedmont, R.L, Does Spiritual Represent The Sixth Factor of
Personality? Spiritual Transendence and the Five Factor Model, 989
75
Ahmad bin Idris, al-Fȗyȗdȃt Al-Rabȃniyyah bi Tafsîr Ba‟dil Ȃyȃt
al-Qur‟ȃniyyah, 12
76
Piedmont, R.L, Does Spiritual Represent The Sixth Factor of
Personality ? Spiritual Transendence and the Five Factor Model, 989
77
Ahmad bin Idris, al-Fȗyȗḍȃt Al-Rabȃniyyah bi Tafsîr Ba‟ḍil Ȃyȃt
al-Qur‟ȃniyyah, 15
100
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Spiritual sangat erat kaitanya dengan nilai-nilai
kehidupan, karena spiritual merupakan penggerak hati akibat
hampa dan tandus dari siraman rûhaniyyah. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa spiritual yang terdapat dalam kitab
Tafsir al-Fȗyȗdȃt al-Rabbȃniyyah bi Tafsîr Ba’di al-Ãyȃt al-
Qur’ȃniyyah karya Ahmad ibn Idris terbagi ke dalam tiga
dimensi yaitu: Pertama, pengamalan ibadah dengan fokus
pada ayat satu sampai dengan tiga; Kedua, keterikatan yang
tertuang dalam ayat empat dan lima; dan Ketiga, universal
yang terurai pada ayat enam dan tujuh. Hasil dari dimensi-
dimensi ini melahirkan beberapa aspek yang termuat dalam
aktualisasi kehidupan, sehingga dimensi pengamalan ibadah
bisa menjawab aspek-aspek ibadah secara vertikal (hablun
minallȃh), dimensi keterikatan menjawab bagaimana
hubungan sosial dengan manusia lainnya (hablun minannȃs)
dan dimensi universal menjawab hubungan manusia dengan
alam semesta (hablun minal ‘ȃlam).

B. Saran
Penelitian skripsi ini terfokus pada dimensi spiritual
dalam tafsir al-Fȗyȗdȃt al-Rabbȃniyyah bi Tafsîr Ba’di al-
Ãyȃt al-Qur’ȃniyyah karya Ahmad ibn Idris dan terbatas pada
telaah Surah al-Fȃtihah. Masih terdapat sejumlah persoalan

101
102

yang dapat dikaji dari penafsiran Ahmad ibn Idris, di antaranya


uraian tentang latar sosio-kultural di masanya yang dikaitkan
dengan produk penafsirannya. Penelitian ini dapat dilanjutkan
ke jenjang berikutnya guna mengungkap kalam-kalam Ilahi
pada kitab tafsir tersebut yang bisa menjadi semangat spiritual
dalam menjalankan aktualisasi kehidupan.[]
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim, Muhammad, Menafsirkan al-Qur’an dengan al-


Qur’an, Bandung: Marja, 2012

Ah Yusuf dkk, Kebutuhan Spiritual (konsep dan aplikasi dalam


asuhan keperawatan), Jakarta: Mitra Wacana Media,
2016

Ahmad bin Idris, al-Fûyûdat al-Rabbȃniyyah bi Tafsîr Ba’di al-


Ȃyȃt al-Qur’ȃniyyah, t.tp, Dar- Jawami’ al-Kalim, t.th

Aman, Saifuddin, Tren Spirituaitas Milenium Ketiga, Tangerang:


Ruhama, 2013

Anshori, Ulumul Qur’an, Cet ke III, Jakarta: Rajawali Pers, 2016

B. Pili, Salim, Tarekat Idrisyyah Sejarah dan Ajarannya,


Tasikmalaya: Mawahib Press, 2019

Bakar, Abu Ibn Muhammad Syata, Menapak Jejak Kaum Sufi,


Surabaya: Dunia Ilmu, 1997

Falah, Riza Zahriah, “Membentuk Keshalehan Individual dan


Sosial Melalui Konseling Multikultural”, Vol.7, STAIN
Kudus, Journal Of Education, 2016.

Fathurrahman, Muhammad, Resep Selamat Kebahagiaan,


Tasikmalaya: Idrisiyyah Press, 2014

Fauzan, Mohd Zarizi, “Metodologi Tafsir Sayyid Ahmad Bin


Idris al-Fûyûdat al-Rabbȃniyyah bi Tafsîr Ba’di al-Ȃyȃt
al-Qur’ȃniyyah”, Journal of Education and Social
Sciences, Vol. 4, (June.)

al-Hakim, Luqman, Bioghrafi Syekh Ahmad bin Idris Al Fasi Al


Hasani, Tasikmalaya, Tarekat Al- Idrisiyyah, 2012

103
104

Hamdy, Telaga Bahagia Syaikh Abdul Qadir Jailani, Jakarta:


Republika, 2015

Harun, Salman, Mutiara al-Qur’an, Jakarta: Qaf Media Kreativa,


2016

Hasan, M Tolchah, Dinamika Kehidupan Religius, Jakarta:


Listarafiska, 2004

Herdiansyah, Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu–


ilmu sosial, Jakarta: Salemba Humanik, 2014

Hendrawan, Sanerya Spiritualitas Management, (Bandung: PT.


Mizan Pustaka, 2009

Istijanto, Riset Sumber Daya Manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama, 2005

Kartanegara, Mulyadi, Menyelami lubuk Tasawuf, Jakarta:


Penerbit Erlangga, 2006

Mardani, Pendidikan Agama Islam, Depok: Kencana, 2017

Mustaim, Abdul, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2018

O’Fahey, Rex. S, Enigmatic Saint: Ahmad bin Idris and the Idrisi
Tradition, Illionis: Northwestern University Press, 1991

Pasiak, Taufik, Revolusi IQ/EQ/SQ Menyingkap Rahasia


Kecerdasan Berdasarkan al- Qur’an dan Neurosains
Mutakshir, Bandung: Mizan Pustaka, 2002

Piedmont, R.L, “Spiritual Transendence and the Scientific study


of Spirituality”, Journal of Rehabilition, 67 (1):4-14,
Alexandria, 2001

Purba, Jonny, Pengelolaan Lingkungan Sosial, Jakarta: Yayasan


Obor Indonesia, 2005

al-Qardhawi, Yusuf, Pengantar Kajian Islam, Mesir: Maktabah


Wahbah, 1996 M
105

Rahmat, Jalaluddin, “SQ: Psikologi dan Agama”, Pengantar


buku Danah Zohar dan lan Marshal, SQ: Memanfaatkan
Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan
Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Jakarta: Mizan,
2002

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta Pusat: Lentera


Hati, 2002

Syarbini, Amirullah, Kunci Rahasia Sukses Menurut Al- Qur’an,


Jakarta: Kompas Gramedia, 2002

Thabathaba’i, Husein, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, Taheran:


Mizan, 1404.

Umar, Nasaruddin, Tasawuf Modern, Jakarta: Republika, 2014

Vikor, Knut S, Sufi and Scholar on New Edge: Muhammad bin


Ali Sanusi, t.tp: Northwestern University Press, 1995

Anda mungkin juga menyukai