Anda di halaman 1dari 97

PASANGAN DI SURGA DALAM AL-QUR’AN:

KAJIAN TEMATIK DENGAN ANALISIS SEMIOTIK


CHARLES SANDERS PEIRCE

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh
Moh. Faozan
NIM. 1113034000156

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H/2018 M
ABSTRAK

Moh. Faozan
Pasangan di Surga dalam al-Qur’an: Kajian Tematik dengan Analisis
Semiotik Charles Sanders Peirce

Lafadz azwâj yang terkait dengan pasangan di surga, dipahami secara


berbeda oleh para ulama. Tidak sedikit penafsiran terhadap lafadz tersebut
menimbulkan penilaian negatif sebagaian orang, bahwa al-Qur’an hanya
menguraikan kenikmatan surgawi bagi kaum laki-laki. Demikian itu, karena kata
azwâj sering dipahami sebagai perempuan. Misalnya saja sebagaimana tercantum
dalam tafsir karya al-Tabari. Semua kata tersebut dipahami sebagai perempuan.
Penafsiran seperti inilah yang kemungkinan besar dianggap salah oleh Amina
Wadud. Pemahaman-pemahaman seperti ini kemudian meluas dan sampai pula di
Indonesia. Kata azwâj di dalam banyak terjemah al-Qur’an dan tafsir berbahasa
Indonesia diartikan istri atau bidaddari. Penafsiran seperti ini terjadi karena ayat
al-Qur’an dipahami secara parsial tidak tematik.
Skripsi ini bertujuan memahami ayat-ayat pasangan di surga dengan
metode tematik. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data utama, yaitu
ayat-ayat terkait pasangan surga, dengan menggunakan kata kunci azwâj dan
derivasinya. Data-data utama tersebut kemudian akan dianalisis mengunakan
semiotik Charles Sanders Peirce yang bertumpu pada sistem triadik. Sistem
triadik ini terdiri dari 3 dimensi yakni tanda (representament), object dan
interpretant. Penulis dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotik Peirce
terhadap ayat-ayat pasangan dengan tiga tahap/ proses. Pertama mensemiosiskan
satu-persatu semua ayat. Ini untuk melihat proses alur logis ayat itu sendiri.
Selanjutnya, sembilan ayat tersebut disemiosiskan kembali untuk menghasilkan
makna-makna yang dapat dipahami. Terakhir, digunakan untuk menyatukan
semua makna pada tahap kedua.
Berdasarkan analisis penulis terhadap sembilan ayat tentang pasangan
dengan kata kunci azwâj dan derivasinya setelah disemiosiskan dengan semiotik
Peirce terdapat tiga pola pemahaman besar. Ketiganya adalah pasangan yang
disucikan disediakan bagi ahli surga; pasangan saleh saat di dunia yang sama-
sama masuk surga dan terakhir adalah hûr ‘în yang dipasangkan dengan ahli
surga. Hasil ini, disemiosiskan kembali secara keseluruhan sehingga
menghasilkan penafsiran bahwa orang-orang yang masuk surga semuanya akan
mendapat pasangan yang disucikan (azwâj mutahharah). Pasangan yang
disucikan adalah pasangan saleh di dunia sehingga sama-sama menjadi ahli surga.
Bagi yang tidak memiliki pasangan baik laki-laki atau perempuan, dia disediakan
pasangan oleh Allah dari jenis yang bukan dari dunia yaitu hûr ‘în.
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanya milik Allah Swt. Salawat

dan salam semoga dilimpahkan kepada rasulullah, Nabi Muhammad Saw, semua

sahabat, keluarga serta umatnya. Syukur, Alhamdulillah, karena pertolongan-Nya,

akhirnya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul

“Pasangan di Surga dalam al-Qur’an: Kajian Tematik dengan Analisis

Semiotik Charles Sanders Peirce.”

Skripsi ini, dengan ikhtiyar pertolongan banyak pihak dapat selesai dengan

baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan

Tafsir (Kajur IAT) yang membantu mempermudah proses administrasi dan

memotivasi agar penulis segera menyelesaikan tugas akhir.

4. Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-Qur‟an

dan Tafsir (Sekjur IAT) yang telah membantu pula mempermudah dalam

proses administrasi.

5. Ahmad Rifqi Muchtar, MA, Dosen Pembimbing I yang ramah dan sabar,

tidak bosan-bosan serta meluangkan banyak waktunya dalam

membimbing penulis selama proses penyelesaian skripsi ini, mulai dari

kesesuaian konten hingga sitematika dan cara penulisan.

i
6. Dr. Faris Pari, M. Fils, Dosen Pembimbing II yang juga ramah dan sabar

tidak bosan-bosan serta meluangkan banyak waktunya dalam

membimbing penulis selama proses penyelesaian skripsi ini. Ia, dengan

kapasitas keilmuannya dalam bidang filsafat membantu penulis di anlisis

semiotik BAB IV.

7. Eva Nugraha, MA, salah satu dosen Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir

yang telah memberikan pemikiran awal terhadap penulis untuk mengkaji

tentang pasangan di dalam al-Qur‟an. Tema besar ini kemudian, sejak

semester tujuh, penulis sering diskusikan dengannya di rumahnya yang

selalu terbuka lebar untuk semua mahasiswa-mahasiswi. Tidak jarang,

diskusi dan cerita kehidupan kita berakhir pada larut malam, sekitar pukul

24.00 atau bahkan hingga pukul 01.00/ 01.30 pagi. Tema besar ini

akhirnya penulis kerucutkan pada pasangan di surga setelah penulis

mengklasifikasi ayat-ayat tentang pasangan. Pengklasifikasian ini atas

saran Dr. Faris Pari, M. Fils, dosen Hermeneutik dan Semiotik saat itu. Ini

dilakukan sebagai langkah awal penelitian penulis. Selain tentang kajian

akademik, dua dosen ini juga telah mengajari banyak hal kepada penulis.

8. Seluruh dosen pada Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir atas segala

motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang

diberikan kepada penulis selama menempuh studi. Semoga itu menjadi

bekal dalam kehidupan penulis dan amal jariyah baginya semua. Tidak

lupa, seluruh staff Fakultas Ushuluddin, khususnya Om Najib dan Kak

Hani yang membantu proses administrasi di ruang Kajur dan Sekjur.

ii
9. Kedua orang tua penulis, Nahrawi dan Ratima, Kakak-kakak (kandung dan

ipar) penulis, pasangan Pardi dan Muslihah serta buah hati mereka

(keponakan); pasangan Saimah dan Suwardi serta buah hati mereka,

pasangan Nurrahman dan Rohmah beserta buah hati mereka. Dan juga

untuk keluarga besar penulis di Madura yang tidak bisa penulis sebut satu-

persatu mulai dari nenek, om, sepupu dan lainnya yang sudah mendukung

semua aktifitas dan mendoakan penulis hingga penulis sampai pada

keadaan sekarang ini.

10. Teman-teman kampus angkatan 2012 ke atas, angkatan 2014 ke bawah,

khususnya angkatan 2013 dan teman-teman organisasi (Irmafa, FKMSB

dan Formad) yang selalu memeberi semangat, walaupun dengan kata

“Semangat ya/ Semangat kak” atau bertanya “kapan sidang?/ kapan

wisuda?” atau bahkan dengan doa “Semoga lancar/ Semoga cepat

wisuda”. Semua ini menjadi motivasi tersendiri bagi penulis. Tidak lupa

pula teman-teman yang telah sudi membaca skripsi, mengoreksi penulisan

yang masih keliru (Adam, Iqbal dan Rino), teman-teman kosan (Ismail dan

Ghafir) yang membuat suasana kosan lebih cair. Percandaan dengan

mereka, di sela-sela kerumitan dan kesuntupan memikirkan skripsi

membuat suasana lebih enak. Teman-teman KOSMUR juga menjadi

penghibur dan tempat berbagi pengalaman. Semoga niat dan perlakuan

baik mereka semua mendapat balasan lebih baik oleh Allah.

Kepada Allah lah penulis berharap ridha dan bersyukur, dan kepada-Nya

memohon ampun. Semoga tulisan ini sesuai dengan Tujuan dan Manfaat

Penelitian. Âmîn.

iii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman

pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013/2014.

1. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ tidak dilambangkan

‫ب‬ B Be

‫ث‬ T Te

‫ث‬ Ts te dan es

‫ج‬ J Je

‫ح‬ H h dengan garis di bawah

‫خ‬ Kh ka dan ha

‫د‬ D De

‫ذ‬ Dz de dan zet

‫ر‬ R Er

‫ز‬ Z Zet

‫س‬ S Es

‫ش‬ Sy es dan ye

‫ص‬ S es dengan garis di bawah

‫ض‬ ḏ de dengan garis di bawah

‫ط‬ ṯ te dengan garis di bawah

‫ظ‬ ẕ zet dengan garis di bawah

iv
‫ع‬ „ koma terbalik di atas hadap kanan

‫غ‬ Gh ge dan ha

‫ف‬ F Ef

‫ق‬ Q Ki

‫ك‬ K Ka

‫ل‬ L El

‫م‬ M Em

‫ن‬ N En

‫و‬ W We

‫ه‬ H Ha

‫ء‬ ` Apostrof

‫ي‬ Y ye

2. Vokal Tunggal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal

tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fathah

I Kasrah

‫و‬ U ḏammah

v
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ي‬ Ai a dan i

‫و‬ Au a dan u

3. Vokal panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ا‬ â a dengan topi di atas

‫ي‬ î i dengan topi di atas

‫و‬ û u dengan topi di atas

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-syamsiyyah bukan asy-

syamsiyyah, al-rijâl bukan ar-rijâl.

5. Tasydîd

Huruf yang ber-tasydîd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-

turut, seperti ‫سنَّت‬


ُ ‫ = ال‬al-sunnah.

6. Ta marbûṯah

Jika ta` marbûṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf

tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti ‫ = أبو ه َُري َْرة‬Abû Hurairah.

vi
7. Huruf Kapital

Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam

Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,

maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,

bukan huruf awal atau kata sandangnya, seperti ‫ = البخاري‬al-Bukhârî.

vii
DAFTAR ISI

ABSTRAK .................................................................................................

KATA PENGANTAR ............................................................................... i

PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................. iv

DAFTAR ISI .............................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1

B. Identifikasi Masalah ...................................................... 6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................ 6

D. Tujun dan Manfaat Penelitian ....................................... 7

E. Metode Penelitian.......................................................... 8

F. Kajian Pustaka............................................................... 10

G. Sistematika Penulisan ................................................... 13

BAB II SEMIOTIKA DAN METODE ANALISA

CARLES S. PEIRCE......................................................... 15

A. Sejarah, Pengertian dan Ruang Lingkup Semiotika ...... 15

B. Tokoh dan Istilah dalam Semiotika .............................. 19

C. Charles Sander Peirce dan Model Semiotikanya .......... 21

BAB III SURGA DAN PASANGAN ............................................... 28

A. Surga ............................................................................. 28

1. Pengertian Surga ...................................................... 28

2. Kriteria Surga........................................................... 32

a. Penuh Nikmat...................................................... 32

b. Kedamaian .......................................................... 33

viii
c. Kekekalan ........................................................... 34

3. Nama-Nama Surga................................................... 35

B. Pasangan ....................................................................... 36

1. Pengertian Pasangan ................................................ 36

2. Tujuan dan Fungsi Berpasangan .............................. 38

BAB IV PENAFSIRAN ULAMA DAN APLIKASI ANALISIS

SEMIOTIKA CHARLES SANDERS PEIRCE ............. 44

A. Penafsiran Ulama ......................................................... 44

1. Ayat Kelompok Pertama ......................................... 45

2. Ayat Kelompok Kedua ............................................ 49

3. Ayat Kelompok Ketiga ............................................ 51

B. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce ................. 53

1. Ground/ Latar Ayat-ayat Pasangan di Surga .......... 54

2. Pemaknaan Azwâj dalam Semua Teks Ayat ............ 55

a. Ayat Kelompok Pertama ..................................... 55

b. Ayat Kelompok Kedua ........................................ 57

c. Ayat Kelompok Ketiga ........................................ 61

3. Analisis Semiotika Teks Ayat Keseluruhan ............ 62

C. Tinjauan Kritis .............................................................. 63

BAB V PENUTUP .......................................................................... 69

A. Kesimpulan ................................................................... 69

B. Saran ............................................................................. 70

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 71

LAMPIRAN ..............................................................................................

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an telah menegaskan bahwa segala sesuatu memang diciptakan

secara berpasang-pasangan.1 Fungsinya, menurut Quraish Shihab saat

menjelaskan surah Yâsîn ayat 36 adalah sebagai pejantan atau betina mulai dari

tumbuhan, manusia hingga segala sesuatu yang diketahui atau belum diketahui

baik berupa makhluk hidup ataupun benda mati.2 Manusia sebagai bagian dari

sesuatu yang diciptakan berpasangan, ada perempuan dan laki-laki, pada

prinsipnya agar mereka saling melengkapi antara satu dan lainnya karena mereka

tidak bisa hidup sendiri. Dengan begitu, mereka bisa saling membantu dan

mengingatkan serta mengisi kekosongan pasangannya.

Ketentuan berpasangan pada manusia tidak hanya dalam kehidupan dunia

saja. Mereka, di kehidupan akhirat yang diyakini sebagai masa kehidupan setelah

kehidupan dunia dan merupakan tujuan akhir kehidupan3, juga diciptakan

berpasangan. Kehidupan akhirat dalam al-Qur‟an dideskripsikan dengan semua

karakteristik yang dimilikinya hingga hakikatnya jelas bagi yang ingin mengkaji.4

Karakteristik yang dipaparkan di antaranya adalah kehidupan akhirat sebagai

kehidupan yang sebenarnya5, sebagai negeri yang kekal, sebagai tempat

1
QS. al-Dzâriyât/51: 49
2
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an,
Vol. 11 (Tangerang: Lentera Hati, 2002), h. 538
3
Atjeng A. Kusyairi, “Hari Akhir,” dalam Muslim Rahmatullah, ed., Kajian Tematik al-
Qur‟an tentang Ketuhanan “Perspektif al-Qur‟an Tentang Hari Akhir (Bandung: Angkasa, 2008),
h. 249
4
Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan al-Qur‟an. Penerjemah Sari
Narulita (Depok: GEMA INSANI, 2006), h. 123
5
QS. al-Ankabût/29: 64

1
2

pembalasan6 dan sebagai kehidupan paling baik bagi orang-orang yang bertakwa7.

Ini berbeda dengan dunia yang sifatnya sementara, tidak hakiki dan oleh al-

Qur‟an dikatakan sebagai lahwun wa la„ib.8 Bila demikian, apakah sama antara

pasangan di kehidupan dunia dan akhirat?

Berkenaan dengan akhirat, ada dua tempat yang dipaparkan al-Qur‟an

sebagai tempat terakhir manusia, yaitu neraka dan surga. Neraka adalah sebuah

tempat yang sangat menakutkan, penuh dengan siksaan serta kesengsaraan. Surga

adalah sebuah tempat yang penuh dengan nikmat dan kesenangan. Kesenangan

atau kenikmatan yang disediakan oleh Allah di dalam surga di antaranya adalah

mendapat pasangan.9

Pembahasan tentang pasangan yang oleh al-Qur‟an sering diistilahkan

mengunakan kata azwâj dan derivasinya diartikan dan ditafsirkan secara bebeda-

beda oleh para ulama. Menanggapi hal itu, Amina Wadud berpendapat bahwa

para penafsir secara umum salah tafsir terhadap kata zauj sehingga ada yang

dirugikan.10 Contoh kasusnya yaitu pada surah al-Taghâbun ayat 14. Kata azwâj

dalam ayat ini oleh kebanyakan penerjemah, penyusun kamus/ indeks al-Qur‟an

dan penafsir di Indonesia, seperti Kementerian Agama RI11, Azharuddin Sahil12,

6
QS. al-Nûr/24: 25
7
QS. al-Nahl/16: 30
8
QS. al-An‟âm/7: 32, al-„Ankabût/29: 64
9
QS. al-Baqarah/2: 25
10
Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan
Semangat Keadilan. Penerjemah Abdullah Ali (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 91
11
Kementrian Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat
Urusan Agama Islam Dan Pembinaan Syariah, al-Qur‟n Dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sinergi
Pustaka Indonesia, 2012), h. 815
12
Azharuddin Sahil, Indeks al-Qur‟an: Panduan Mencari Ayat al-Qur‟an Berdasarkan
Kata Dasarnya (Bandung: Mizan, 1994), h. 235
3

A. Hamid Hasan Qolay Sm. Hk13, Ahmad Hatta14, Tim Penyusun Tafsir

Departemen Agama15 dan Hamka16, diartikan sebagai istri-istri.

Kasus lain yaitu pada surah al-Baqarah ayat 25. Ayat ini berbicara tentang

pasangan di surga yang akan menjadi milik orang-orang beriman dan berbuat

baik. Ayat ini oleh Tim Penerjemah al-Qur‟an yang diterbitkan oleh CV. Penerbit

J-ART pada 2005, As-Syifa‟ pada 199817 dan penafsir seperti Hamka18 juga

dipahami sebagai istri-istri. Jika ayat-ayat tersebut dipahami sedemikian rupa,

maka bagaimana dengan perempuan? Apakah mereka tidak mendapatkan

pasangan (azwâj)?. Ada pula yang menganggap azwâj mutahharah sama dengan

hûr. 19

Pemahaman-pemahaman di atas memang tidak jauh berbeda dengan

pemahaman atau penafsiran para ulama terdahulu dari berbagai corak, seperti Ibn

Katsîr20, al-Tabarî21, al-Râzî22, Muhammad Mahmud Hijazî23, al-Syarbînî24, Abû

Bakr25, al-Mâturidî26, Abî al-Su‟ûd27, Ismâ„iîl Haqqî 28


dan Muhammad Rasyîd

13
A. Hamid Hasan Qolay Sm. Hk, Indeks Terjemah al-Qur‟an al-Karim, Jil. 2 (Jakarta:
Yayasan Halimatus-Sa‟diyyah, 1997), h. 645
14
Ahmad Hatta, Tafsir Qur‟an Perkata: Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul Dan
Terjemahannya (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009), h. 557
15
HM. Sonhaji, dkk., Al-Qur‟an Dan Tafsirannya, Jil. 10 (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, t.t), h. 191-192
16
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Hamka), Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1983), h. 246
17
Lihat Qs. 2: 25 di Al-Qur‟an dan Terjemahannya (tt: CV. Penerbit J-ART, 2005) dan Al-
Qur‟an dan Terjemahannya: Ayat Pojok Bergaris (Semarang: As-Syifa‟, 1998)
18
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jil. 1, h. 143
19
M. Ishom El Saha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Qur‟an: Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah
dalam al-Qur‟an, Seri 1, Cet. I (Jakarta: Lista Fariska Putra, 2005), h. 118
20
Abû al-Fidâ` Ismâ„iîl bin Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur`ân al-„Azîm, Jil. 1
(Riyâḏ: Dâr al-Salâm, 1993), h. 98
21
Abû Ja„far Muhammad bin Jarîr al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta`wîli `Âyi al-Qur`ân,
Juz 1 (Bairût: Dâr al-Fikr, 1984), h. 175
22
Muhammad bin „Umar bin Husain al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib
(Bairût: Dâr al-Fikr, 1990), h. 142
23
Muhammad Mahmud Hijazî, al-Tafsîr al-Wâḏih, Jil. 1 (Bairût: Dâr al-Jail, 1993), h. 26
24
Al-Syaikh al-Khaṭîb al-Syarbînî, al-Sirâj al-Munîr, Jil. 1 (Bairût: Dâr al-Ma‟rifah, t.t), h.
38
25
Abû Bak, Aisar al-Tafâsîr li Kalâm al-„Aliyyi al-Kabîr, Jil. 1(T.tp.: T.pn., 1987), h. 31
4

Ridâ29. Cara mereka dalam memahami atau menafsirkan al-Qur‟an menggunakan

metode taḫlîlî30 dan masih dikotomis atau parsial sehingga al-Qur‟an terkesan

tidak adil. Pemahaman dengan sudut pandang seperti ini, menurut Muhammad al-

Ghazalî tidak bisa mengungkap makna universal al-Qur‟an dan dapat

menyesatkan. Oleh karena itu, menurutnya, tafsir tematik sebagai alternatif atau

solusi untuk mengungkap makna al-Qur‟an secara komprehensif.31

Penelitian secara tematik terhadap term surga dan beragam kenikmatannya

sudah banyak dilakukan. Di antaranya oleh Mega Rista Oktavianti, skripsi dengan

tema Visualisasi Surga dan Neraka: Kajian Tematik Terhadap Ayat-ayat al-

Qur‟an tentang Surga dan Neraka. Karena penelitiannya hanya sebatas

memaparkan beragam penafsiran dari para ulama dan kajiannya tidak fokus pada

pasangan, maka penelitiannya tidak cukup memberi cara pandang baru mengenai

pasangan di surga.32 Oleh karena itu, penulis akan melakukan pembacaan

26
Muhammad bin Muhammad bin Mahmûd al-Mâturidî, Ta‟wîlatu Ahli al-Sunnah (Bairût:
Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2005), h. 405
27
Abî Su‟ûd Muhammad bin Muhammad al-„Ammârî, Irsyâdu al-„Aqli al-Salîm Ilâ
Marâyâ al-Qur`ân al-Karîm, Juz 1 (Bairût: Dâr Iḫyâ` Turâts al-„Arabî, t.t), h.70
28
Al-Syaikh Ismâ„iîl Haqqî al-Birûsawî, Tafsîr Rûh al-Bayân, Juz 1 (T.tp.: Dâr al-Fikr, t.t),
h. 85
29
Rasyîd Riḏâ, Tafsîr al-Manâr, Jil. 1 (Qâhirah: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, t.t) ,h. 240
30
Menggunakan metode tahlîlî berarti menafsirkan al-Qur‟an sesuai susunan surah mushaf,
mulai dari awal surat hingga akhir surat, yang diyakini sebagai ketetapan dari Nabi Muhammad
saw. Metode ini dapat memberikan banya informasi mulai dari yang berkenaan dengan teks,
sejarah, linguistik hingga kondisi sosial. Namun, di sisi lain, metode ini memiliki kelemahan
mendasar yaitu keterputusan tema antar surat. Oleh karena itu, semua tema tidak terungkap secara
baik dan komprehensif. Lihat: Eva F. Amrullah, “Dari Teks Ke Aksi: Merekomendasi Tafsir
Tematik,” dari Hassan Hanafi “Hal Ladaynâ Nadzariyah al-Tafsîr?” dalam Hassan Hanafi, Qaḏayâ
al-Mu„asarah fî Fikrinâ al-Mu„âsir I, Jurnal STUDI AL-QUR‟AN, Vol. I, No. 1, Januari, 2006, h.
57-58
31
Muhammad al-Ghazalî, Berdialog Dengan Al-Qur‟an: Memahami Pesan Kitab Suci
Dalam Kehidupan Masa Kini. Penerjemah Masykur Hakim dan Ubaidillah (Bandung: Mizan,
1999), h. 86-87
32
Mega Rista Oktavianti, “Visualisasi Surga dan Neraka: Kajian Tematik Terhadap Ayat-
ayat al-Qur‟an Tentang Surga dan Neraka,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h.
5

terhadap ayat-ayat tentang pasangan di surga dengan pisau analisis semiotik agar

mendapat cara pandang baru mengenai pasangan di surga.

Sebenarnya, Semiotik adalah salah satu produk Barat. Artinya, ini sama

dengan Hermeneutika. Hermeneutika oleh beberapa kalangan ditolak dan tidak

dibenarkan bila dipakai untuk memahami al-Qur‟an. Selain karena hasil produk

Barat juga karena metode ini asal mulanya dipakai untuk memahami Bibel.

Apakah memang demikian, Hermeneutika dan Semiotik tidak dapat dipakai untuk

memahami al-Qur‟an karena produk Barat?. Semiotik merupakan ilmu yang

mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Ini berarti bahwa semiotik adalah ilmu

yang dapat digunakan untuk mengkaji tanda dalam kehidupan manusia.33

Semiotik dikatakan telah ikut andil memberikan kontribusi dalam memahami

bahasa agama. Ini telah didokumentasikan oleh Ahmad Muzakki dalam bukunya

yang berjudul Kontribusi Semiotik dalam Memahami Bahasa Agama. Apakah

yang demikian itu dapat dibuktikan secara aplikasi terhadap al-Qur‟an?.

Oleh sebab itu, dari permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan di atas

penulis bertujuan melakukan pembacaan baru tentang pasangan di surga dengan

menganalisis lafadz azwâj dan derivasinya menggunakan semiotik Charles

Sanders Peirce. Tokoh ini dipilih karena teori semiotik yang ditawarkannya

memiliki banyak tanda seperti yang disebutkan Danesi bahwa setidaknya, Peirce

mengidentifikasi 66 jenis tanda yang berbeda.34 Selain itu, dalam teori

semiotiknya ada proses dimana interpretasi dari sebuah tanda bisa menjadi tanda

33
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Komunitas Bambu,
2014), h. xxix
34
Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan
Teori Komunikasi. Penerjemah Evi Setya Rini dan Lusi Lian Piantari (Yogyakarta: Jalasutra,
2010), h. 38
6

baru yang dapat diinterpretasi kembali.35 Selain itu, yang ini memungkinkan

dalam skripsi yang berjudul “Pasangan di Surga Perspektif al-Qur‟an: Kajian

Tematik dengan Analisis Semiotik Charles Sanders Peirce”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, ditemukan

beberapa masalah, di antaranya:

1. Penerjemahan kata azwâj yang sering terkesan menguntungkan pihak laki-

laki dan merugikan perempuan. Hal itu karena bila laki-laki saja yang dapat

istri bagaimana dengan perempuan?. Mengapa al-Qur‟an tidak pernah

membicarakan apa yang akan didapat perempuan yang setara dengan apa

yang didapat laki-laki?.

2. Pemahaman tentang pasangan di surga belum final karena pemahaman yang

ada masih terasa menguntungkan pihak laki-laki.

3. Semiotik sebagai salah satu teori hasil produk barat, bisa disamakankah

dengan hermeneutika dengan arti tidak dapat digunakan untuk memaham al-

Qur‟an atau keduanya dapat digunakan untuk memahami al-Qur‟an?.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Kata azwâj dan derivasinya di dalam al-Qur‟an digunakan untuk banyak

konteks. Konteks-konteks tersebut ada yang berkaitan dengan pasangan di dalam

kehidupan akhirat seperti pada surah al-Baqarah ayat 25 dan al-Tûr ayat 20. Ada

pula yang berkaitan dengan pasangan dalam kehidupan dunia seperti pada surah

al-Taghâbun ayat 14 dan al-Tahrîm ayat 1. Selain itu, kata azwâj dipakai pula

untuk menunjukkan bahwa segala sesuatu berpasangan mulai dari tumbuhan,

35
Cristomy dan Untung Yuwono, Semiotika Budaya, Cet. 2 (Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia), h. 150
7

manusia dan hal yang tidak diketahui. Penjelasan ini terdapat dalam surah Yâsîn

ayat 36. Secara umum kata ini disebutkan sebanyak 81 kali dalam 72 ayat di 42

surah.36

Berdasarkan latar belakang masalah dan jumlah kata azwâj yang banyak

serta berbeda-beda konteksnya, maka penulis dalam penelitian ini akan membatasi

pada kata azwâj dan derivasinya yang berkaitan dengan kehidupan di surga. Kata

hûr dalam dua surah al-Dukhân (44); 54 dan al-Tûr (52); 20 juga akan menjadi

pembahasan dalam penelitian ini, karena kata tersebut bergandengan dengan kata

zawwaja yang merupakan derivasi dari kata azwâj. Menurut penulis, dengan

demikian penelitian ini akan terarah dan lebih akurat. Sedangkan analisis semiotik

Peirce tidak penulis gunakan secara keseluruhan terhadap semua aspek, tapi hanya

penulis gunakan untuk melihat logis internal al-Qur‟an. Artinya, penelitian ini

akan melihat bagaimana teks al-Qur‟an menjelaskan antara satu dan lainnya di

dalam teks tersebut. Penulis tidak melihat unsur-unsur eksternal ayat seperti

sejarah turunnya al-Qur‟an. Rumusan masalah yang akan dijawab adalah:

Bagaimanakah penafsiran ayat-ayat pasangan di surga dengan kata kunci lafadz

azwâj dan derivasinya dengan menggunakan analisis semiotik Charles Sanders

Peirce?.

D. Tujun dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk;

1. Mengetahui bagaimana pasangan di surga perspektif al-Qur‟an.

36
Muhammad Fuad „Abd al-Bâqî, Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz al-Qur`ân bi Hasyiyah al-
Mushaf al-Syarîf (Qâhirah: Dâr al-Hadîs, 2007), h. 408-410
8

2. Mengetahui teori dan aplikasi metode analisis semiotik Charles Sander

Peirce dalam menafsirkan kata azwâj dan derivasinya yang berkaitan

dengan pasangan di surga.

Adapun manfaatnya yaitu ada dua;

1. Secara akademik

Manfaat secara akademik atau teoretis dari penelitian ini adalah menguatkan

argumentasi semiotik/ semiologi sebagai pisau analisis atau pendekatan dalam

menafsirkan al-Qur‟an yang juga direkomendasikan oleh Irpan sanusi.37

2. Secara praktis

Manfaat secara praktis, selain sebagai contoh penafsiran menggunakan

pendekatan semiotik juga sebagai acuan dan tambahan bahan ajar pada mata

kuliah tafsir seperti, semiotik, metodologi penelitian tafsir dan pendekatan modern

terhadap tafsir al-Qur‟an.

E. Metode Penelitian

Sebagaimana disebutkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

bagaim pasangan di surga yang dapat dipahami dari ayat-ayat al-Qur‟an dengan

menggunakan anlisis semiotik Charles Sanders Peirce. Oleh karena itu, penelitian

ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Sumber primernya

adalah ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan pasangan di surga serta

menggunakan kata kunci azwâj. Selain kata azwâj, penulis juga akan membahas

kata hûr yang digandengkan dengan derivasi kata azwâj yaitu zawwaja. Data-data

lain yang akan sering dikutip adalah kitab-kitab tafsir. Ada tiga kitab tafsir yang

menjadi acuan utama yaitu tafsir karya al-Tabarî, al-Sya‟râwî dan Quraish Shihab.

37
Irpan Sanusi, “Pesan Semiotis al-Qur‟an: Analisis Strukturalisme QS. al-Lahab,” (Skripsi
S1 Fakultas Usuluddin, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016, h. 96
9

Metode38 yang digunakan dalam penelitian ini adalah topikal/ tematik

(Mauḏû‟î). Metode tematik didefinisikan oleh „Abd al-„Azîz bin al-Dardîr sebagai

metode yang bertolak dari satu topik tertentu kemudian mencari semua atau

sebagian besar ayat di dalam al-Qur‟an yang berkaitan dengannya. Selanjutnya,

mengkajinya dengan analisis-deskriptif secara komprehensif dari semua aspek

yang dikandung ayat-ayat tersebut, serta membandingkan antar nas hingga

menghasilkan gambaran jelas posisi Islam dan pancaran cahaya al-Qur‟an

mengenai topik yang dikaji. Akhirnya, anggapan bahwa ayat-ayat al-Qur‟an

banyak bertentangan hilang dan yang sulit dipahami pun terpecahkan.39

Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Quraish

Shihab.

Pendefinisian yang dilakukan Quraish Shihab lebih menekankan pada

langkah penggunaan metode;

Metode ini (Tematik) adalah suatu metode yang mengarahkan


pandangan kepada satu tema tertentu, lalu mencari pandangan al-Qur‟an
tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang
membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu
menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum dikaitkan dengan
yang khusus, yang Mutlaq digandengkan dengan yang Muqayyad, dan lain-
lain, sambil memperkaya uraian dengan hadits-hadits yang berkaitan untuk
kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan menyeluruh dan tuntas
menyangkut tema yang dibahas itu.40
Berdasarkan definisi yang dipaparkan di atas bisa disimpulkan bahwa inti dari

metode tematik adalah membahas tentang topik tertentu yang ada dalam al-Qur‟an

38
Metode berbeda dengan metodologi. Metode adalah cara yang terpikirkan secara teratur
dan baik untuk tercapainya suatu tujuan, sedangkan metodologi adalah ilmu tentang metode. Maka
dari itu, metode tafsir di sini adalah cara yang terpikirkan secara teratur dan baik untuk memahami
apa maksud dari Firman Allah yang tertulis dalam mushaf al-Qur‟an. Nasaruddin Baidan, Metode
Penafsiran al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 54-55
39
„Abd al-„Azîz bin al-Dardîr, al-Tafsîr al-Mauḏû‟i li Âyâti al-Tauhîd fî al-Qur`ân al-
Karîm (Qâhirah: Maktabah al-Qur`ân, t.t), h. 9
40
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami al-Qur‟an (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 385
10

secara menyeluruh dan tuntas. Sedangkan beberapa ahli juga mengajukan

langkah-langkah dalam penafsiran ini. Langkah-langkah tersebut berbeda-beda.

Quraish Shihab menawarkan langkah-langkah metode tafsir tematik sebanyak

delapan dan al-Khâlidî sepuluh.41 Oleh karena itu, metode tematis dalam

penelitian ini dipahami sebagai usaha memahami ayat yang berbicara tentang

pasangan di surga dengan kata kunci (keywords) tersebut di atas. Kemudian

dianalisis menggunakan pendekatan semiotik. Metode tematik (Mauḏû„î) ini

dipilih untuk melihat semua ayat yang berbicara tentang pasangan di surga

sehingga pandangan tentang pasangan lebih komprehensif.42 Sedangkan

pendekatan semiotik Charles Sanders Peirce digunakan sebagai pisau analisis agar

makna simbolis sebuah tanda dapat dipahami. Penjelasan tentang semiotik Peirce

ada di bab II.

F. Kajian Pustaka

Kajian pustaka dalam penelitian ini adalah telaah terhadap karya-karya tulis

baik berupa Skripsi, Tesis maupun Buku. Setelah ditelaah, penulis mencari

perbedaan-perbedaan dari karya-karya tersebut dengan penelitian ini. Berdasarkan

pencarian yang penulis lakukan ada beberapa karya tulis yang berkaitan dengan

tema yang diteliti.

Karya-karya tersebut adalah;

Al-Qur‟an Tematis: Takdir dan Hari Akhir, karya Akmaldin Noor dan Aa

Fuad Mukhlis. Karya ini membahas tentang hari akhirat mulai dari keutamaan

akhirat, hari pembalasan, hari penghimpunan, buku catatan amal, penimbangan

41
Salâh „Abd al-Fattâh al-Khâlidî, al-Tafsîr al-Maudû‟î li Mustalahâti al-Qur`ân: al-Tafsîr
wa al-Ta‟wîl fi al-Qur‟ân (Yordania: Dâr al-Nafâiz, t.t), h. 16-18 dan M. Quraish Shihab, Kaidah
Tafsir..., h. 387
42
Muhammad Mustaqim, “Tafsir Maudû‟î: Metode Memahami al-Qur‟an Secara
Komprehensif,” Hermeneutik: Jurnal Tafsir dan Hadis, Vol. 7, No. 1, Januari 2011, h. 113
11

amal hingga pembahasan surga. Walaupun pembahasannya secara tematis, buku

ini tidak memberikan mengungkap sesuatu yang baru karena hanya mengutip

ayat, menerjemahkannya, memberi catatan kaki pada terjemah yang dianggap

perlu penjelasan dan tidak sepesifik pada pasangan di surga. Bahkan, saat

menjelaskan surga hanya membahas nama-namanya saja.43 Sedikit berbeda

dengan Al-Qur‟an Tematis, Daqâiq al-Akhbâr, karya Syekh Abdurrahim bin

Ahmad al-Qadhi yang diterjemahkan oleh Yodi Indrayadi dan Wiyanto Suud

menjadi Kehidupan Sebelum dan Sesudah Kematian, membahas tentang bidadari

surga, ahli surga dan kenikmatannya dengan lebih luas. Perbedaannya

Abdurrahim membahas tentang bidadari hanya menggunakan term hûr tidak

menggunakan azwâj.44

Al-Hayâh fî al-Qur‟ân al-„Azîm, karya Ahzami Sami‟un Jazuli yang

diterjemahkan oleh Sari Narulita menjadi Kehidupan dalam Pandangan al-

Qur‟an45 dan Hâdî al-Arwâh Ilâ Bilad al-Afrâh, karya Ibn al-Qayyim al-

Jauziyyah yang diterjemahkan oleh Zainul Maarif menjadi Surga yang Allah

Janjikan, adalah tiga karya yang pembahasan tentang akhirat dan surga lebih rinci

lagi. Bahkan, Ibn al-Qayyim menjelaskan pula tata cara masuk surga. Selain itu,

Ia juga menjelaskan bahwa perawakan penghuni surga di antaranya seorang lelaki

dalam waktu sehari dapat menyetubuhi seratus perempuan.46 Ketiga buku ini

pembahasannya tidak jauh berbeda dengan pembahasan penafsir-penafsir klasik.

Mereka memaparkan pasangan sebagai istri-istri.

43
Akmaldin Noor dan Aa Fuad Mukhlis, Al-Qur‟an Tematis: Takdir dan Hari Akhir
(Jakarta: Yayasan SIMAQ, 2010), h. 30-171
44
Al-Qodi, „Abd al-Rahmân bin Ahmad. Kehidupan Sebelum dan Sesudah Kematian.
Penerjemah Yodi Indrayadi dan Wiyanto Suud. (Jakarta: Turos, 2014), h. 261-269
45
Ahzami, Kehidupan dalam Pandangan al-Qur‟an, h.
46
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Surga yang Allah Janjikan. Penerjemah Zainul Maarif
(Jakarta: Qisthi Press, 2012),h. 184
12

Buku lain, ialah Menguak Tabir Kematian: Pengalaman Spiritual Seorang

Remaja, karya Argawi Kandito ini juga membahas tentang surga, tetapi

penjelasan Kandito bersebrangan dengan apa yang penulis lakukan. Ia

menjelaskan bahwa surga dan neraka adalah murni rahasia Tuhan sehingga tidak

perlu mencari tahu akan hal itu.47 Sedangkan penulis melakukan hal sebaliknya,

yaitu mencoba mengetahui bagaimana pasangan di surga sesuai yang diungkapkan

al-Qur‟an.

Qur‟an an Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman‟s

Perspective, karya Amina Wadud yang diterjemahkan oleh Abdullah Ali menjadi

Qur‟an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat

Keadilan adalah salah satu karya yang didalamnya memuat keritikan terhadap

penafsiran para ulama yang menurut Amina Wadud salah dan menomorduakan

perempuan.48 Kesamaan karya ini dengan penelitian penulis adalah tentang

pasangan. Bedanya, term yang digunakan adalah lebih fokus pada kata zauj dan

objek kajiannya tentang penciptaan. Semiotik al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi

terhadap Kisah Yusuf, karya Ali Imron, Kisah Yusuf dalam al-Qur‟an: Perspektif

Semiologi Roland Barthes, oleh Pipit Aidul Fitriyana dan Pesan Semiotis al-

Qur‟an: Analisis Strukturalisme QS. al-Lahab, skripsi oleh Irpan Sanusi

merupakan tiga karya yang sama-sama mengaplikasikan semiotik dalam kajian al-

Qur‟an tetapi objek kajian tersebut berbeda dengan penelitian penulis.49 Penelitian

lainnya yang juga memakai analisis semiotik dan tokohnya pun sama dengan

47
Argawi Kandito, Menguak Tabir Kematian, Cet. II (Yogyakarta: Pustaka Psantren,
2011), h. 91-94
48
Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan..., h. 91
49
Irpan. “Pesan Semiotis al-Qur‟an: Analisis Strukturalisme QS. al-Lahab,” h. 8 dan Pipit
Aidul Fitriyana, “Kisah Yusuf dalam al-Qur‟an: Perspektif Semiologi Roland Barthes,” (Skripsi
S1Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h.
13

tokoh yang diangkat oleh penulis adalah Skripsi oleh Lexi Zulkarnaen Hikmah

dengan judul Hadis Tentang Keutamaan Ibu; Suatu Tinjauan Dan Analisis

Semiotik Carles S. Peirce. Perbedaan penetian penulis dengan keduanya adalah

terletak pada objek yang dikaji.50

Argumen al-Qur‟an tentang Hari Kebangkitan, Tesis oleh Ahmad Zirzis

Marwih. Desertasi ini membahas sedikit tentang akhirat tapi tidak sampai pada

pembahasan pasangan.51 Visualisasi Surga dan Neraka: Kajian Tematik Terhadap

Ayat-ayat al-Qur‟an Tentang Surga dan Neraka, skripsi oleh Mega Rista

Oktavianti. Apa yang dilakukan Oktavianti berbeda dengan penulis karena ia

memakai metode tematik sedangkan penulis menggunakan metode tematik dan

analisis semiotik. Skripsi dengan tema Zauj dalam al-Qur‟an: Studi Tafsir

Tematik oleh Mauidzoh Hasanah memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan

penulis, tetapi ia lebih mengarahkan kajiannya pada harmonisasi untuk menjaga

keseimbangan hidup. penelitiannya tidak membahas pasangan di surga dan tidak

pula menggunakan pendekatan semiotik.

G. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan penulis sajikan menjadi lima bab. Masing-masing

bab memiliki beberapa sub bab.

Bab pertama, sebagaimana telah diuraikan di atas yaitu berisi pendahuluan

yang membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, kajian

pustaka dan sistematika penulisan.

50
Lexi Zulkarnaen Hikmah, “Hadis Tentang Keutamaan Ibu; Suatu Tinjauan Dan Analisis
Semiotik Carles S. Peirce,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h.
51
Ahmad Zirzis Marwih, “Argumen al-Qur‟an tentang Hari Kebangkitan,” (Tesis S2
Pascasarjana Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 55-59
14

Bab kedua, membahas semiotik dan metode analisis Carles S. Peirce

dengan sub bab tentang sejarah, pengertian dan ruang lingkup semiotik, tokoh dan

istilah dalam semiotik serta membahas riwayat hidup Charles Sander Piers dan

model semiotiknya.

Bab tiga, membahas tentang surga dan pasangan dengan sub bab pengertian

surga, kriteria dan nama-namanya. Selain itu, dibahas pula pengertian pasangan,

tujuan dan fungsi-fungsinya.

Bab empat, menjelaskan penafsiran ulama, aplikasi analisis semiotik

Charles Sanders Peirce terhadap teks ayat-ayat yang berbicara tentang pasangan di

surga serta tinjauan kritis persamaan dan perbedaan antara penafsiran ulama dan

hasil aplikasi semiotik.

Bab kelima, adalah penutup dan kesimpulan. Bab ini menjawab rumusan

masalah penelitian dan memberikan rekomendasi serta saran untuk penelitian

lebih lanjut.
BAB II

SEMIOTIKA DAN METODE ANALISA CHARLES S. PEIRCE

A. Sejarah, Pengertian dan Ruang Lingkup Semiotika

Sebelum membahas apa itu semiotika1 (Semiotics) dan sejarahnya, harus

diketahui bahwa ada istilah lain yang sejajar dengan semiotika dan dipakai untuk

satu makna atau satu maksud. Istilah-istilah tersebut di antaranya adalah

Semiologi (Semiology), Semasiologi, Sememik, dan Semik. Semua istilah ini

merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau

lambang. Semiotika dan semiologi merupakan dua istilah yang sering didengar

dan dipakai. Istilah pertama identik dengan pemikiran Charles Sanders Peirce, dan

istilah kedua identik dengan pemikiran Ferdian de Saussure. Artinya, penggunaan

istilah ini mengacu pada para pengikut dari dua kubu Peirce dan de Saussure.

Walaupun demikian, penggunaan kata pertama lebih populer dibandingkan

dengan yang kedua. Akhirnya, pengikut de Saussure pun sering memakai kata

tersebut.2

Bila dilihat dari sejarah, Istilah semeiotics pertama kali diperkenalkan oleh

ahli medis. Ia adalah Hippocrates yang hidup antara 460-377 SM. Ia adalah

penemu ilmu medis Barat yang di antaranya berupa ilmu gejala-gejala. Menurut

Hippocrates, gejala adalah semion (bahasa Yunani) untuk “penunjuk” (mark) atau

1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditemukan istilah Semiotik dengan tanda a berarti
adjektiva, yaitu kata yang menjelaskan nomina atau pronomina, Semiotika dengan tanda n berarti
nomina, yaitu kata benda dan Semiologi dengan tanda n. Semiotik diartikan sebagai kata yang
menjelaskan nomina dan pronomina yang berhubungan dengan sistem tanda dan lambang.
Semiotika adalah ilmu (teori) tentang lambang dan tanda (dalam bahasa, lalu lintas, sandi morse
dan lain sebagainya). Sedangkan semiologi sama dengan semiotika. Lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa,edisi 4 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 22008), h. Xxxiii dan
1263. Penulis dalam penelitian ini akan menggunakan istilah semiotik dan semiotika secara
bergantian. Kedua kata ini dianggap sama oleh penulis dalam.
2
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2003), h.
11-12

15
16

“tanda” (sign) fisik. Secara esensial istilah semiotik di sini bermakna diagnosis

medis karena medis esensinya adalah membahas apa yang direpresentasikan oleh

gejala, bagaimana cara mengejewantahkannya secara fisik dan mengapa ia

mengindikasikan penyakit atau kondisi tertentu.3 Oleh sebab itu, bisa dikatakan

bahwa istilah semiotik sejak awal munculnya identik dengan tanda.

Konsep tanda yang mendekati konsep semiotika pertama kali adalah yang

diperkenalkan oleh Santo Agustinus yang hidup sekitar 354-430 M, akan tetapi, ia

tidak menggunakan semiotika untuk mengidentifikasinya. Santo Agustinus

membagi tanda menjadi tiga. Adalah Tanda Alami, Tanda Konvensional dan

Tanda Suci. Tanda alami maksudnya adalah tanda yang ditemukan di alam. Gejala

ragawi, pergeseran daun-daun, warna tumbuhan, sinyal yang dikeluarkan binatang

untuk merespon keadaan fisik dan emosional tertentu, semuanya merupakan tanda

alami. Adapun tanda konvensional, yang dalam semiotika modern saat ini dibagi

menjadi tanda verbal dan nonverbal, artinya adalah tanda yang dibuat oleh

manusia. Misalnya seperti kata, isyarat dan simbol. Terakhir, tanda suci ia

definisikan sebagai tanda yang memuat pesan dari Tuhan, seperti mukjizat. 4

Semiotika merupakan sebuah cabang keilmuan yang berdiri sendiri yang

dianggap sebagai sebuah cabang keilmuan yang sangat penting dan berpengaruh

sejak empat abad yang lalu. Ia tidak hanya dipandang sebagai metode kajian

(decoding), tetapi juga sebagai metode penciptaan (encoding). Semiotika terus

berkembang dan akhirnya menjadi model atau paradigma bagi berbagai bidang

keilmuan yang luas serta melahirkan cabang-cabang semiotika khusus, di

3
Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan
Teori Komunikasi. Penerjemah Evi Setya Rini dan Lusi Lian Piantari (Yogyakarta: Jalasutra,
2010), h. 7-
4
Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna...,h. 11
17

antaranya semiotika binatang (zoo semiotics), semiotika kedokteran (medical

semiotics), semiotika arsitektur, semiotika seni, semiotika fashion, semiotika film,

semiotika sastra, semiotika televisi, dan termasuk semiotika desain.5 Gagasan-

gagasan awal yang membentuk kerangka dasar untuk mendeskripsikan dan

mengklasifikasi tanda serta untuk menerapkan semiotika pada studi sistem

pengetahuan dan budaya adalah gagasan Ferdinan de Saussure dan Carles Sander

Peirce. Mereka dianggap sebagai pendiri teori dan praktik semiotika

kontemporer.6

Secara bahasa, semiotika adalah merupakan kata yang berasal dari bahasa

Yunani yaitu Semeion. Kata ini memiliki arti tanda (sign).7 Sedangkan dalam

Oxford, kata ini diartikan sebagai “...The study of sign and symbols and of their

meaning...” 8 yaitu ilmu yang mempelajari tanda, simbol dan makna atau maksud

dari tanda dan simbol tersebut.

Benny H. Hoed juga mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mengkaji

tanda dalam kehidupan manusia.9 Danesi, dengan gaya berbeda mendefinisikan

semiotika sebagai ilmu yang mencoba menjawab pertanyaan: Apa yang dimaksud

dengan X ?, sedangkan X itu dapat berupa apa pun, baik kata, isyarat keseluruhan

komposisi musik atau film dan lain sebagainya. Lebih rinci, dia menjelaskan

bahwa jangkauan X bisa bervariasi tapi tidak dengan sifat dasarnya. Jika Y adalah

representasi dari makna atau makna-makna yang dikandung X maka semiotik

secara esensial dipahami menjadi suatu upaya untuk menentukan sifat relasi X =
5
Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya Makna,
edisi 4 (Bandung: Matahari, 2012), h. 299
6
Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna...,h. 34
7
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, Cet. 3 (Yogyakarta: JALASUTRA,
2009), h. 11
8
Oxford Advanced Learner’s Dictionary (T.tp: Oxford University Press, t.t) h. 1209
9
Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Ed. 3 (Depok: Komunitas Bmbu,
2014), h. xxix
18

10
Y. Definisi-definisi ini memiliki kesamaan yaitu menunjuk pada kajian tanda,

akan tetapi Denesi dalam hal ini lebih menekankan pada semua peroses bukan

hanya pada tanda semata. Proses yang dimaksud di sini adalah relasi tanda dengan

yang lain sehingga menghasilkan makna.

Berbeda dengan definisi-definisi yang dipaparkan di atas, Umberto Eco,

sebagaimana dikutip oleh Yasraf Amir Piliang, mendifinisikan semiotik secara

perinsip adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat

digunakan untuk berdusta (lie). Bila dilihat sepintas, definisi ini agak sedikit aneh,

tetapi maksudnya adalah ingin menunjukkan bahwa semiotika sekaligus teori

kebenaran. Hal ini disebabkan karena bila tanda tidak dapat digunakan untuk

mengungkap kebenaran maka ia juga tidak dapat digunakan untuk mengungkap

kedustaan. Oleh sebab itu, walaupun Eco menjelaskan semiotika sebagai teori

kedustaan, implikasi di dalamnya adalah teori kebenaran, seperti kata siang yang

implisit dalam kata malam.11

Keterangan-keterangan di atas menegaskan bahwa semiotika memiliki

cakupan dan ruang lingkup kajian yang luas, tidak terbatas. Ia bisa masuk pada

semua lini kehidupan selama terkait dengan sosial budaya manusia. Maka hemat

penulis, teks agama, tanpa terkecuali al-Qur’an12 yang telah masuk dalam

kehidupan sosial budaya manusia termasuk dalam ruang lingkup kajian semiotik,

sehingga boleh bila dikaji menggunakan semiotika.

10
Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna..., h. 5
11
Yasraf, Semiotika dan Hipersemiotika..., h. 44-45
12
Al-Qur’an identik dengan ayat. Ayat maknanya adalah tanda. Ini sama dengan semiotik
yang asalkatanya semeon, juga bermakna tanda.
19

B. Tokoh dan Istilah dalam Semiotika

Secara garis besar, teori tentang tanda, manusia dan makna dapat dibagi atas

tiga kelompok, yakni struktural, pragmatis dan gabungan keduanya. 13 Tokoh-

tokoh semiotika yang terkenal dan berperan penting dalam pengembangan kajian

ini ada dua, yakni Ferdinan de Saussure dan Carles S. Peirce. Tokoh pertama ini

adalah ahli bahasa kelahiran Jenewa (1857). Ia belajar studi bahasa di University

of Leipzig tahun 1857. Sebelumnya, ia mengikuti kuliah sains di University of

Geneva. Buku yang ia tulis semasa mahasiswa hanya satu yaitu Mémoire sur le

système primitif des voyelles dans les langues indo-européeness. Ini adalah buku

satu-satunya karya de Saussure, karena ia tidak pernah menulis buku lagi. Ia

mengajar di École des Hautes Études di Paris dari 1881-1891, dan kemudian

menjadi profesor di bidang bahasa Sansekerta dan Tata bahasa Banding di

University of Geneva. Walau de Saussure tidak pernah menulis buku lagi, terbukti

ajarannya sangat berpengaruh. Penyebabnya di antaranya, setelah ia meninggal

dua mahasiswanya menyusun catatan-catatan mereka dan ditambah dengan materi

lain, dan menulis karya yang akan berkembang di masa depan, Cours de

linguistique générale (1916), dengan mencantumkan nama Saussure.14

Saussure memandang semiotika sebagai ilmu umum tentang tanda dalam

kehidupan masyarakat. Artinya, menurutnya semiotika adalah bagian dari disiplin

ilmu psikologi sosial.15 Tanda16 bahasa oleh Saussure, dalam Cours, digambarkan

13
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya..., h. 5
14
Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna..., h.34
15
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu dan Problem Ikonisitas (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), h. 3
16
Tanda diartikan sebagai sesuatu yang berdiri pada sesuatu yang lain atau menambahkan
dimensi yang berbeda pada sesuatu, dengan memakai apapun yang dapat digunakan untuk
mengartikan sesuatu hal yang lain. Menurut Pierce, yang dikutip oleh Arthûr dan Berger, tanda
dipahami sebagai suatu pegangan seseorang akibat keterkaitan dengan tanggapan atau
20

sebagai struktur biner, yaitu yang terdiri dari dua bagian. Pertama, bagian fisik

dan disebutnya sebagai penanda (signifier). Kedua, bagian konseptual dan

disebutnya petanda (signifeid).17 Hubungan pemaknaannya didasari oleh konvensi

sosial. Oleh karena itu, tautan petanda dan penanda menurut Saussure bersifat

mana suka (arbitrer) serta konvensional dan terdiri dari perangkat kaidah sosial

yang disadari bersama (langue) dan praktik sosial (parole). Lebih lanjut lagi,

hubungan antartanda menurut Saussure bersifat sintagmatis (in-praesentia) dan

asosiatif (in-absentia). Selain itu, ia menyebutkan bahwa bahasa dapat didekati

secara diakronis (perkembangannya) atau sinkronis (sistemnya pada kurun waktu

tertentu) dan bila dilihat sebagai gejala sosial, bahasa terdiri dari dua tataran, yaitu

kaidah sistem internal (langue) dan praktik sosial (parole).18 Inilah lima hal

penting dan merupakan dasar-dasar semiotika Saussure. Teori Saussure ini, selain

disebut sebagai teori struktural disebut juga teori tanda dikotomis.

Dua penerus yang merupakan keturunan strukturalisme, khususnya Saussure

adalah Barthes dan Derrida. Mereka menggunakan teori yang sama dengan

memaknai tanda secara lebih dinamis. Barthes mengembangkan teori

strukturalisme menjadi teori konotasi yang hanya dimiliki masyarakat budaya

tertentu. Ia mengkritik masyarakat dengan mengatakan bahwa semua yang

dianggap sudah wajar dalam suatu kebudayaan adalah hasil dari proses konotasi.

Penekanan teori tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos. Menurutnya, bila

konotasi menjadi tetap maka itu akan naik menjadi mitos, sedangkan saat mitos

menjadi mantap, maka itu akan menjadi sebuah ideologi. Sedangkan Derrida

kapasitasnya. Arthur Asa dan Berger, Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer;


penerjemah, M. Dwi Marianto, Sunarto (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), h. 1
17
Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna..., h.34-35
18
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya..., h. 6
21

termasuk yang mengkritik Saussure, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ia tetap

menggunakan teori dikotomis. Teori Derrida bertumpu pada konsep petanda-

penanda, hanya saja ia mengembangkannya dengan menunda hubungan penanda

dan petandanya (disebut metode dekontruksi) untuk memperoleh makna baru.19

Tokoh kedua, Peirce20, sangat berbeda dengan Saussure. Ia memandang

semiotika sebagai suatu cabang dari filsafat. Semiotika merupakan sebuah nama

lain dari logika.21 Semiotika Pierce disebut semiotika pragmatis. Tanda atau

representamen dalam pandangan Peirce memiliki relasi triadik langsung dengan

interpretan dan objeknya. Keduanya, mengenai simbol yang dalam istilah Peirce

masuk bagian hubungan representamen dan objek acuannya dan dalam istilah

Saussure adalah hubungsn antara penanda dan petanda, memandang sama-sama

bersifat arbitrer dan konvensional.22 Penerus Peirce di antaranya adalah Danesi

dan Perron. Menurut keduanya, penelitian semiotik mencakup tiga ranah yang

berkaitan dengan apa yang diserap manusia dari lingkungannya (the world), yaitu

yang berhubungan dengan “tubuh”-nya, “pikiran”-nya dan “kebudayaan”-nya.

Ketiga ranah ini sejajar dengan teori Pierce tentang proses representasi dari

representamen.23

C. Charles Sander Peirce dan Model Semiotiknya

Charles S. Peirce adalah seorang filusuf yang sistem filsafatnya populer

dengan nama pragmatisme. Ia lahir di Cambridge, Massachussets, pada 10

September 1839. Ia meninggal di usia kurang lebih 75 tahun di pengasingannya

19
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya..., h. 30-31
20
Untuk lebih rinci tentang Pierce nanti akan dipaparkan dalam sub bab riwayat hidup dan
model semiotikanya.
21
Kris Budiman, Semiotika Visual..., h. 3
22
Kris Budiman, Semiotika Visual..., h. 17-22
23
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya..., h. 35
22

setelah pensiun mengajar dari Harvard Corporation, Milford, Pennsylvania, pada

19 April 1914. Peirce bila melihat komentar Aart van Zoest, Paul Cobley dan

Litza Jansz yang dikutip oleh Alex Sobur24 bias dikatakan sebagai orang yang

jenius. Di sisi lain, karena ia menguasai banyak bidang ilmu pengetahuan, di

antaranya diskursus geologi, kimia, fisika dan termasuk apresiasi prosedur yang

digunakan oleh pendahulunya untuk peningkatan ilmu pengetahuan. Ia dikatakan

mengklaim dirinya telah berhubungan dengan para pemikir besar pada masanya

dalam bidang ilmu fisika dan telah memberikan kontribusi bagi matematika,

optics, gravimetry dan lainnya. Sebelum kuliah di Harvard, pada umur 16 tahun

dia sudah melakukan training di laboratorium kimia selama sepuluh tahun, dan

telah membaca logika Whitely. Selama di Harvard, Peirce sering berada di

perpustakaan menghabiskan waktunya dua jam setiap hari selama lebih tiga tahun

untuk mengkaji “Critique of Pure Reason” karya Immanuel Kant. Hal ini

membuatnya menguasai betul karya tersebut sehingga dapat memberikan kritik

pada tiap bagiannya.25 Hal itu menunjukkan betapa bersungguh-sungguhnya

Peirce26 dalam ilmu pengetahuan.

Sebelum membahas lebih lanjut tentang teori semiotika Peirce, penting

untuk diketahui bahwa pengujian teori dalam terapan, antara teori sebagai hasil

analisis dari hubungannya dengan fakta-fakta dan dengan teori sebagai hasil

pengujian dari metode, berbeda. Pertama berguna untuk verivikasi teori atau

falsifikasi. Kedua, dalam pengaplikasiannya, berguna untuk melihat kelebihan dan

kekurangan, atau kekuatan dan kelemahan teori tersebut. Alasannya, karena jenis

24
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 39
25
Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistimologi Mohammad Iqbal dan Charles S. Peirce
(Bandung: PT Refika Aditama, 2007), h. 71-73
26
Mengenai Peirce, selain penjelasan ini, bisa dilihat di Alex Sobur, Semiotika Komunikasi,
h. 39-40
23

teori ini berisi proses-proses dalam penelitian dan asumsi-asumsi yang dibangun

dari proses-proses tersebut. Selain itu, tanda menurut Peirce berkaitan erat dengan

tiga kategori fenomenologinya; firstness, secondness dan thirdness. Tanda sebagai

firstness yaitu tanda sebagai tanda itu sendiri, yang disebut representament. Tanda

sebagai secondness yaitu objeknya. Terakhir, tanda sebagai thirdness, yaitu tanda

sebagai interpretant (hasil interpretasi).27 Artinya, tanda selalu memiliki tiga

dimensi yang berkaitan erat. Ketiganya adalah Representamen (R), merupakan

sesuatu yang dapat dipersepsi; Objek (O), sesuatu yang mengacu pada hal lain dan

Interpretan (I), sesuatu yang dapat diinterpretasi.28

Bila dirinci, tahapan dari proses semiotic Peirce yaitu penyerapan aspek

tanda (representament) melalui pancaindra, kemudian mengaitkan secara

sepontan dengan pengalaman dalam kognisi manusia (objek/object) dan terakhir

menafsirkan objek sesuai keinginannya (interpretant). Inilah semiosis, proses

pemaknaan dan penafsiran tanda. Karena proses ini melalui tiga tahap maka teori

Pierce ini disebut bersifat trikotomis. Perlu diperhatikan pula bahwa cara

pemaknaan tanda melalui kaitan antara representamen dan object didasari oleh

pemikiran tidak selalu samanya antara object dan realitas representamen, karena

objek timbul sebab pengalaman memberi makna.29

27
Lexi Zulkarnaen Hikmah, “Hadis Tentang Keutamaan Ibu; Suatu Tinjauan dan Analisis
Semioti Carles S. Peirce,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008), h. 18-20
28
Cristomy dan Untung Yuwono, Semiotika Budaya, Cet. 2 (Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia), h. 117
29
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya..., h. 8-9
24

Bila digambarkan, maka pola semiotik Peirce akan seperti diagram di bawah

ini30:

Objek (O)

Gambar Pola Semiotik Peirce


Representamen (R) Interpretan (I)
Dari tiga dimensi di atas, secara terpisah, dihasilkan pula trikotomis:

trikotomi pertama adalah qualisign, sinsign, dan legisign yang ketiganya ada

dalam dimensi representamen saat berhubungan dengan ground/ latar; trikotomi

kedua ikonis, indeks dan simbol, yang ada dalam dimensi hubungan objek dan

representamen; trikotomi ketiga adalah term (rheme), proposisi (dicicent) dan

argument (argument), yang ada dalam dimensi interpretasi.31 Setidaknya Peirce

mengidentifikasi 66 jenis tanda yang berbeda yang tiga di antaranya lazim

digunakan dalam berbagai karya semiotika. Ketiganya adalah ikon, indek dan

simbol.32 Pengklasifikasian tanda oleh Pierce ini diakui Kris Budiman sangat

sulit33, dan ketiga tanda tersebut yang dianggap paling simpel dan fundamental.34

Ketiganya ini adalah berdasarkan hubungan antara representamen dan objeknya.35

30
Pola semiotika Peirce sering digambarkan demikian, tetapi penulis tidak tahu seca pasti
apakah Peirce menggambarkan pemikirannya dengan segitiga. Sepintas menurut penulis, ia tidak
menggambarkan pemikirannya dengan gambar segitiga. Itu dilakukan para pengkaji pemikiran
peirce untuk mempermudah dalam memahami. Asumsi ini berdasarkan dari gambar yang dilihat
oleh penulis dalam beberapa tulisan ada yang menggambar segitiga dengan garis alasnya putus-
putus dan ada juga yang menggambar dengan garis alas yang tidak putus-putus. Ada pula yang
meletakkan representamen di ujung atas segitiga. Ini sebagaimana dilakukan oleh Danesi.
31
Cristomy dan Untung Yuwono, Semiotika Budaya,h. 116
32
Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna..., h. 38
33
Bahkan menurut Christomy, penyebab sulitnya memahami konsep tanda Peirce karena
karyanya sendiri merupakan proses yang belum selesai. Cristomy dan Untung Yuwono, Semiotika
Budaya,h. 118. Peirce harus dianggap selalu berada dalam proses dan terus mengalami modifikasi
25

Ikon berarti kategori tanda yang representamennya memiliki keserupaan

identitas dengan objek yang ada dalam kognisi manusia yang bersangkutan.

Dengan kata lain, ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui bentuk

replikasi, simulasi, imitasi atau persamaan. Ikonisitas ini bisa ditemukan dalam

wilayah representasi verbal atau nonverbal. Contohnya kata-kata tiruan

(onomatope) seperti “kukkuruyuk” merupakan bunyi tiruan ayam dan cicit

merupakan bunyi tiruan tikus. Ini yang verbal. Sedangkan yang nonverbal,

contohnya lukisan matahari yang mirip dengan sumber acuannya. 36

Indeks adalah tanda yang antara representamen dan objeknya memiliki

hubungan yang bersifat saling menyebabkan (kausal).37 Contohnya adalah

apabila sepatu teman kosan tidak ada di tempat biasanya berarti teman kosan

sedang keluar. Tidak adanya sepatu teman kosan di tempat biasa merupakan

representamen, sedangkan teman kosan sedang keluar adalah objeknya. Contoh

lainnya adalah gambar rambu tikungan ganda. Gambar rambu tikungan ganda,

pertama bisa dipahami sebagai ikon karena memiliki kesamaan dengan acuannya,

yaitu berkelok. Di sisi lain, gambar tersebut digunakan sebagai indeks bagi para

pengguna kendaraan di jalan raya agar mengantisipasi dan berhati-hati karena di

depan ada tikungan ganda yang tajam.

Simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau

persetujuan dalam konteks yang lebih spesifik.38 Contohnya, bendera kuning

serta penajaman lebih lanjut, karena karyanya yang berisikan telaah mengenai masalah yang
menjadi bidangnya tidak pernah diterbitkan dalam bentuk buku ia menerbitkan tulisan lebih dari
sepuluh ribu halaman cetak. Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 40
34
Kris Budiman, Semiotika Visual..., h. 19
35
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya..., h. 9
36
Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna..., h. 38, Kris Budiman, Semiotika Visual..., h. 20,
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya..., h. 10
37
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya..., h. 9
38
Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna..., h. 38
26

adalah simbol orang meninggal di beberapa tempat dan O2 adalah simbol dari

oksigen.

Table berikut barangkali mampu memperjelas dan mempermudah dalam

memahami:39

Tabel Relasi Tanda dan Objeknya


Tanda Ikon Indeks Simbol
Persamaan Hubungan sebab-
Ditandai dengan: Konvensi
(Kesamaan) akibat
Gambar-gambar Asap/ api
Kata-kata
Patung-patung Gejala/ penyakit
Contoh: Isyarat
Tokoh besar Bercak
Foto Reagan merah/campak
Dapat
Proses Dapat dilihat Harus dipelajari
diperkirakan

Sebagai pelengkap penjelasan pada tabel sebelumnya, lihat tabel di bawah

ini:40

Tabel Relasi Tanda dan Objeknya


Hubungan antara Tanda dan Sumber
Jenis Tanda Contoh
Acuannya
Tanda dirancang untuk Segala macam gambar
merepresentasikan sumber acuan (bagan, diagram, dan
Ikon melalui simulasi atau persamaan lain-lain), photo, kata-
(artinya, sumber acuan dapat dilihat, kata onomatopoeia, dan
didengar, dan seterusnya, dalam ikon) seterusnya
Jari yang menunjuk, kata
Tanda dirancang untuk keterangan seperti di sini,
Indeks mengindikasikan sumber acuan atau di sana, kata ganti seperti
saling menghubungkan sumber acuan kau, aku, ia dan
seterusnya.
Simbol sosial seperti
Tanda dirancang untuk menyandikan
mawar, simbol
Simbol sumber acuan melalui kesepakatan
matematika, dan
atau persetujuan
seterusnya

39
Tabel ini diambil dari buku Arthur Asa dan Berger, Tanda-Tanda dalam Kebudayaan
Kontemporer... h. 14
40
Tabel ini diambil dari buku Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna..., h. 39
27

Gambaran keseluruhan pemikiran Peirce yang ditulis dalam penelitian ini

secara ringkas dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: 41

Tabel Pemikiran Semiotik Charles S. Peirce


Relasi dengan Relasi dengan Relasi dengan
representamen objek interpretan
Kepertamaan Bersifat potensial Berdasarkan
Terms (rheme)
(firstness) (qualisign) keserupaan (ikon)
Suatu pernyataan
Bersifat Berdasarkan yang bisa benar
Keduaan
keterkaitan penunjukan dan bisa salah
(secondness)
(sinsign) (indeks) (proposisi atau
dicicent)
Hubungan
proposisi yang
Bersifat Berdasarkan
Ketigaan dikenal dalam
kesepakatan kesepakatan
(thirdness) bentuk logika
(legisign) (simbol)
tertentu (internal)
(argumen)

Uraian-uraian di atas menegaskan pada pembaca bahwa sebuah tanda bagi

Pierce bisa dimaknai melalui banyak jalur atau beragam sisi. Dalam dimensi objek

di antaranya dari sisi ikonik, indeks atau simbolis. Bahkan satu tanda bisa

dimaknai melalui tiga sisi tersebut secara bersamaan. Semua akan berimplikasi

pada beragam pemahaman sesuai kapasitas subjek yang menerima (membaca)

tanda.

41
Cristomy dan Untung Yuwono, Semiotika Budaya,h. 116
BAB III

SURGA DAN PASANGAN

Surga oleh al-Qur‟an dijelaskan dan digambarkan sebagai sesuatu yang

sangat indah. Ini sebagai balasan pada orang-orang yang berbuat baik selama di

dunia. Kebaikan-kebaikan mereka selama di dunia membuat kehidupan di dunia

indah. Maka balasan di surga pun indah dan bahkan melebihi keindahan di dunia.

Hadis nabi juga banyak memuat atau menceritakan tentang keindahan surga dan

berbagai macam kenikmatannya. Ini bisa dilihat dalam kitab-kitab hadis seperti

Sahîh al-Bukhârî dan Sahîh Muslim. Dua kitab ini memuat bab khusus membahas

Surga.1

Saat berbicara tentang surga, term pasangan juga penting untuk dibahas. Hal

ini karena pembahasan pasangan juga sering digandengkan dengan term surga.

Pasangan merupakan salah satu kenikmatan yang diberikan Allah di surga pada

orang-orang yang memenuhi keriteria yang ditentukan-Nya.

A. Surga

1. Pengertian Surga

Kata surga di Indonesia biasanya dipahami sebagai tempat kembalinya

orang-orang baik dan di dalamnya mereka mendapat beragam kenikmatan.

Secara bahasa, kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

memiliki dua arti. Pertama, sebagai alam akhirat yang membahagiakan ruh

manusia yang hendak tinggal di dalamnya dalam keadaan kekal. Kedua, sama

dengan surgaloka, kayangan tempat kediaman Batara Guru (Siwa). Di sana

1
Lihat; dalam Kitâb al-Jannah wa Sifati Na’îmihâ wa Ahlihâ di Muslim bin al-Hajjâj al-
Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Bairût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2008), h. 1087-1091., dan
dalam Bâb Mâ Jâ`a fî Sifati al-Jannah wa Annahâ Makhlûq di al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî
(Riyâḏ: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, 1998), h. 622-624

28
29

juga terdapat gabungan kata surga dan jannah menjadi Surga Jannah.

Gabungan kata ini diartikan sebagai alam akhirat tempat jiwa (ruh)

mengenyam kebahagiaan sebagai pahala perbuatan baik semasa hidup di

dunia.2 Kata ini dalam al-Qur‟an terjemah baik terjemah Kementrian Agama

atau lainnya, sering digunakan untuk mengartikan kata jannah.

Kata surga di dalam al-Qur‟an disebutkan tidak kurang dari 147 kali, yaitu

berada dalam 65 surah dengan bentuk mufrad, tasniyah dan jamak.3 Kata ini

merupupakan bahasa Arab yang akar katanya adalah janna dan memiliki arti

satara yaitu menutup atau menyamarkan. Kata ini satu akar dengan kata janîn4,

junnah5, jân6 dan lainnya.7 Semuanya mengacu pada sesuuatu yang sukar atau

sulit diketahui atau tertutup bagi panca indra manusia. Baik itu karena

merupakan materi yang sangat kecil seperti jân atau yang berada dalam alam

lain seperti janîn.

Jannah adalah kebun dengan pepohonan lebat yang dapat menutupi tanah.

Kata ini oleh orang Arab sering digunakan untuk menyebut kurma. Biasanya,

mereka juga menggunakannya untuk menyebut kebun yang di dalamnya

2
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3, cet. 4
(Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 1109
3
Muhammad Fuad „Abd al-Bâqî, Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur`ân bi Hasiyah al-
Mushaf al-Syarîf (Qâhirah: Dâr al-Hadîs, 2007), h.221-223 dan Muhammad „Adnân Salîm dan
Muhammad Wahbî Sulaimân, Mu’jam Kalimât al-Qur`ân al-‘Azîm (Damaskus: Dâr al-Fikr,
1998), h. 436-441
4
Anak yang masih dalam kandungan ibunya. Bentuk pluralnya adalah ajinnah. Al-Râghib
al-Asfahânî, Mu’jam Mufradât al-Qur`ân (Beirût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah), h. 111-112
5
Baju Pelindung; segala sesuatu yang dapat menjaga bisa disebut junnah. Lihat;
Muhammad bin Mukrim bin Manzûr al-Afriqî al-Misrî, Lisân al-‘Arab, Jil. 13 (Bairût: Dâr Sâdir,
1990), h. 94
6
Termasuk dari makhluk hidup yang sangat kecil, matanya hitam tapi tak berbahaya. Ini
banyak di rumah-rumah. Lihat; Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Jil. 13, h. 97
7
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Jil. 13, h. 93-100., Al-Sayyid Muhammad Murtaḏâ al-
Husainî al-Wâsiti al-Zubaidî al-Hanafî, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-Qâmûs, Jil. 9 (T.tp: Dâr al-
Fikr, t.t), h. 163-166 dan dalam Sahabuddin, ed., Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 386
30

terdapat kurma dan pohon lainnya.8 Dengan kata lain, jannah bisa juga berupa

al-hadîqah dzâtu al-syajar, kebun atau taman yang memiliki berbagai macam

pepohonan.9 Bagi al-Asfahânî, setidaknya ada dua alasan kenapa surga disebut

dengan menggunakan istilah jannah, yaitu; pertama, karena serupa dengan

kebun di bumi, walaupun antara keduanya memiliki perbedaan. Kedua, karena

nikmat-nikmat di dalamnya oleh Allah ditutup dari penglihatan manusia.10

Adapun secara etimologi surga oleh para ahli dipahami berbeda secara

redaksi teks. Hal itu karena al-Qur‟an tidak memberikan penjelasan apa itu

jannah secara definitif tunggal. Ia menggambarkan surga dengan berbagai

sifat-sifatnya di berbagai ayat.11 Muhammad bin Ibrahim al-Tuwaijirî

memahami surga sebagai tempat kedamaian yang Allah persiapkan bagi orang-

orang mukmin baik laki-laki maupun perempuan di Akhirat.12 Sedangkan Tim

Penyusun Ensiklopedi Hukum Islam memahaminya sebagai suatu tempat

kediaman yang disediakan Allah Swt untuk hamba-Nya yang bertakwa

dijadikan balasan atas keimanan yang jujur dan benar serta perbuatan yang

saleh.13 Tidak jauh berbeda dengan dua definisi di atas adalah yang ditulis oleh

Tim Penyusun Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Berlandasan surah al-

Nisâ` ayat 124, surga dipahami sebagai tempat orang-orang beriman dan

8
Lihat; Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Jil. 13, h. 93-100., dan Murtaḏâ, Tâj al-‘Arûs..., Jil. 9,
h. 163-166
9
Lihat dalam Nina M Armando, ed., Ensiklopedi Islam Vol. 6 (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2005), h. 272
10
Al-Asfahânî, Mu’jam Mufradât al-Qur`ân, h. 111.
11
Ayat-ayat di dalam al-Qur‟an yang menggambarkan sifat-sifat surga tidak kurang dari
100 ayat. Lihat; Jâsim „Abd al-Rahmân, Fi Riyâḏ al-Jannah, Juz 5,. Cet. 3 (t.t: al-Maktab al-Misrî
al-Hadîts, 2004), h. 226
12
Syekh Muhammad bin Ibrâhim bin „Abdullah al-Tuwaijirî, Ensiklopedi Islam Kaffah.
Penerjemah Najib Junaidi dan Izzuddin Karimi (Surabaya:Pustaka Yassir, 2009), h.201
13
al-Tuwaijirî, Ensiklopedi Islam Kaffah, h.1673
31

beramal saleh kelak di Hari Kemudian.14 Lebih ringkas lagi, Ahzami

menyebutkan surga sebagai rumah kenikmatan di Akhirat.15 Tersedianya

segala sesuatu di dalam surga membuat orang yang masuk ke dalamnya

tertutup (sesuai dengan makna asal jannah) dari berpaling darinya, sebab

mereka terpuaskan. Bila seseorang tidak terpuaskan, ia akan berpaling pada

sesuatu yang membuatnya puas.16

Selain dalam ensiklopedi dan buku di atas ada banyak ensiklopedi dan buku

lain yang penyusun atau pengarangnya mencoba menjelaskan apa itu surga. Di

antaranya seperti Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur’an dan Hadis17,

Ensiklopedi Islam18, Orang Indonesia Banyak Masuk Surga19 dan Ensiklopedia

Kiamat: dari Sakratulmaut hingga Surga-Neraka20.

Walaupun semuanya mengartikan surga secara berbeda, ada kesamaan atau

titik temu dalam penjelasan-penjelasan tersebut. Semuanya mengacu pada

suatu tempat yang penuh kenikmatan. Tempat tersebut disediakan oleh Allah

bagi manusia yang memenuhi keriteria yang ditentukan-Nya seperti orang yang

beriman (‫)امنوا‬, bertakwa (‫ )المتقين‬dan berbuat baik (‫الصالحات‬ ‫)وعملوا‬.

14
Sahabuddin, ed., Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 386
15
Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani
Press, 2006), h. 33644
16
Al-Sya‟râwî, Khawâtir al-Sya’râwî Haula al-Qur`ân, Vol. 4 (T.tp: Sultân, t.t), h. 2339
17
Surga adalah tempat kenikmatan yang disediakan Allah untuk orang-orang mukmin yang
bertakwa, yang mengimani apa-apa yang harus diimani, yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan kepada orang-orang yang ikhlas. Lihat; Tim Baitul Kilmah Jogjakarta, Ensiklopedia
Pengetahuan al-Qur’an dan Hadis, Vol. 1 (Jakarta: Kamil Pustaka, 2013), h. 333
18
Surga secara terminologi diartikan sebagai “suatu tempat yang diliputi atau dipenuhi
berbagai macam kenikmatan dan kelezatan luar biasa, yang disediakan Allah untuk para hamba-
Nya yang berbakti dan taat kepada-Nya. H. 272
19
Waskito, Orang Indonesia Banyak Masuk Surga, Cet. 1 (Jakarta: Al-Kautsar, 2014), h. 1
20
„Umar Sulaiman al-Asyiqar, Ensiklopedia Kiamat: Dari Sakratulmaut hingga Surga-
Neraka. Penerjemah Irfan Salim, dkk (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 599
32

2. Kriteria Surga

Kehidupan di akhirat, khususnya di surga jauh berbeda dengan kehidupan di

dunia. Tidak sedikit ayat di dalam al-Qur‟an yang menjelaskannya. Adapun

kriteria tersebut yang bias dipahami di antaranya adalah;

a. Penuh Nikmat

Para penghuni surga akan dipenuhi dengan kenikmatan-kenikmatan.

Kenikmatan ini tidak bisa terindra atau terpikirkan oleh manusia secara rinci

dan pasti.21 Tetapi, al-Qur‟an memberikan perumpamaan terhadap kenikmatan

surga. Al-Qur‟an membahasakannya menggunakan istilah matsal, seperti

dalam surah al-Ra‟du ayat 35. Matsal di sini, oleh Ibn Qutaibah diartikan

sebagai sifat.22 Lebih rinci lagi, al-Sya‟râwî menjelaskan bahwa jannah dan

matsal al-jannah berbeda. Matsal memberi gambaran tentang sesuatu yang

tidak kita ketahui dengan hal yang pernah kita dengar, karena makna memberi

perumpamaan (matsal) adalah memahami yang belum diketahu dari hal yang

sudah diketahui agar dapat mengambil hikmah-hikmahnya.23

Perumpamaan-perumpamaan surga banyak disebutkan di beberapa ayat

dalam al-Qur‟an yang di antaranya berada dalam surah Muhammad ayat 15

dan al-Sâffât ayat 45-47. Terlepas dari itu, ada nikmat lain di surga yang

diberitahukan oleh al-Qur‟an. Nikmat itu berupa pasangan. Pasangan adalah

nikmat langsung yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman

21
Lihat; Muslim, Sahih Muslim, h. 1087., dan al-Bukhârî, Sahih al-Bukhârî, h. 623., Salah
satu redaksi hadis dari Muslim;
،‫ني‬ ‫ َّن يِبيِب‬،‫ايِبعيِبب يِبدي‬،‫َع ْن َعد ْندت‬،:،‫ َّن‬، ‫ َّن‬، ،‫ َع َعا‬،"،:‫ا‬،‫ َع َع‬، ‫ َّن‬،‫ َع يِب‬، ، ‫ َّن‬،‫ الَّنيِب يِب‬، ‫ يِب‬، ‫ ْي َع‬، ‫َعيِب‬،
ٌ‫ َع ْن‬،‫َل‬،‫م َع‬، ‫ني َع‬‫اص ِل َع‬ ‫ُه َع َع‬ ‫ُه َع َع َع‬ ‫َع ُه َع ْن َع َع َع‬ ‫َع ْن ُه َعْن َع َع‬
‫ٍر‬ ‫يِب‬ ‫يِب‬
،‫َع ْن ُهني‬، ‫ ُهْيَّن‬، ‫م ْن‬، ‫َلُهْن‬، ‫يِب‬
‫ُه ْن ف َعي َع‬، ‫م‬، ‫يِب‬ ‫يِب‬ ‫يِب‬ ‫يِب‬ ‫يِب‬ ‫يِب‬ ‫ٍر‬ ‫يِب‬ ‫يِب‬
‫س َع‬ ‫م ْن‬، ‫ َع َع‬، ‫ َعْي ْن‬، ‫ َع َع‬، ‫ َع َعَع‬،‫ َعَعَل‬، ‫ َع َعع ْن‬، ٌ ‫ُه ُه‬،‫ َعَعَل‬، ‫َعت‬
ٌ ‫نْيَع ْنف‬،‫تَعْي ْنعَع ُه‬،‫{فَع َعَل‬،:، ،‫ َع ا‬، ، ‫ َعا َع‬،‫ص َعد ُها‬ ‫َع ْن‬
"،]17،: ‫[ اسجد‬،}،‫ َعْي ْنع َع ُه َع‬، ‫ َع نُه‬، ‫يِب َع‬،‫َع َع اًء‬
22
„Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Tafsîr Gharîb al-Qur`ân (Lubnân: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1978), h. 20
23
Al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya’râwî Haula al-Qur`ân, Jil. 12 (t.t: Sultan: tt), h. 7372
33

dengan tanpa usaha untuk mendapatkannya. Nikmat yang tidak langsung

seperti uang dan lainnya tidak akan ada di surga. Adanya uang di dunia sebagai

perantara (bukan nikmat langsung) untuk mendapatkan nikmat (rizqun) lain

seperti makanan dan minuman. Adapun yang demikian itu membutuhkan

usaha. Sedangkan di surga tidak demikian. Nikmat yang diinginkan

penghuninya akan langsung disediakan oleh Allah swt. Begitulah komentar al-

Sya‟râwî saat membahas surah `Âlu „Imrân ayat 15.24

b. Kedamaian

Sebuah kepastian bahwa di surga para penghuninya hidup dengan rukun,

tentram dan damai tanpa permusuhan. Semuanya bersaudara. Mereka juga

tidak pernah merasa penat atau lelah. Tidak ada sifat-sifat buruk yang dimiliki,

seperti kedengkian, kesombongan dan lainnya. Ini tercantum dalam Firman

Allah surah al-Hijr, ayat 45-48. Dengki (ghil) dalam ayat ini bukan dengki

yang terekspresi tapi ia adalah dengki yang tersembunyi dalam hati.25

Penyebutan sifat ini adalah sebagai sifat pertama yang dicabut oleh Allah dari

diri manusia26 bukan sebagai satu-satunya sifat buruk yang dicabut karena

semua sifat buruk dunia dicabut.27 Sedangkan bersaudara dalam ayat ini, oleh

ahli tafsir yang diberi julukan Fakhr al-Dîn28 tidak dipahami sebagai saudara

kandung akan tetapi dipahami sebagai saudara cinta kasih dan saling ikhlas.29

24
Al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya‘râwî, Jil. 3, h. 1335
25
Mahmud bin „Umar al-Zamakhsyarî al-Khawârizmî, Tafsîr al-Kasyâf ‘an Haqâ’iq al-
Tanzîl wa ‘Uyûni al-Aqâwîl fî Wujûhi al-Ta`wîl, Cet. 3 (Bairût: Dâr al-Ma‟rifah, 2009), h. 561 dan
Muhammad bin „Umar bin Husain al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, Jil. 10 (Bairût:
Dâr al-Fikr, 1990), h. 197
26
Al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‘râwî, Jil. 1, h. 212
27
Bandingkan antara al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jil. 10, h. 197, al-Tabarî, dan Muhammad
„Izzah Dârwazah, al-Tafsîr al-Hadîs: Tartîb al-Suwar Hasba al-Nuzûl, Jil. 4, Cet. 2 (Bairût: Dâr
al-Gharb al-Islâmî, 2000), h. 50
28
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn: Bahts Tafsilî ‘an Nasy`ah
al-Tafsîr wa Tatawwurihi wa Alwânihi wa Madzâhibihi ma’a ‘Ardin Syâmilin li Asyhari al-
34

Selain itu, di dalam surga juga tidak ada perkataan omong kosong,

perkataan yang tidak ada manfaatnya dan apalagi perkataan yang menimbulkan

dosa. Tiada ucapan yang terdengar kecuali hanyalah ucapan salâm.30 Begitulah

kehidupan di surga, tenang dan damai tanpa kegaduhan. Kehidupan ini adalah

idaman.

c. Kekekalan

Kehidupan yang kekal menjadi salah satu keinginan manusia. Apalagi ia

hidup dengan damai, tentram dan dipenuhi oleh kenikmatan atau hal-hal yang

disukai. Kehidupan dunia tidak menjajnjikan hal itu. Semua yang hidup akan

merasakan mati.31 Artinya, kehidupan itu hanya sementara, tidak akan abadi di

dunia. Ini berbeda dengan di Akhirat, khususnya di surga. Selain hidup dengan

damai, di sana, para penghuninya tentram dan penuh dengan kenikmatan.

Mereka juga hidup kekal abadi di dalamnya. Al-Qur‟an membahasakan

kekekalan itu dengan menggunakan istilah khâlidun atau redaksi lain yang

diawali mâ al-Nafî.

Misalnya, Firman Allah dalam surah al-Baqarah, ayat 25.32 Saat

mengomentari ayat ini, dalam masalah ketiga, al-Râzî menegaskan bahwa bila

kenikmatan-kenikmatan didapatkan dan bersamaan dengan itu ada rasa takut

akan hilangnya kenikmatan-kenikmatan tersebut maka Allah dalam ayat ini

Mufassirîn wa Tahlîlin Kâmilin li Ahammi Kutub al-Tafsîr min ‘Asri al-Nabî ilâ ‘Asrinâ al-Hadir,
Jil. 1, Cet. 6 (Qâhirah: Maktabah Wahbah, 1995), h. 298, Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-
Kitab Tafsir: Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, Cet. 1
(Pondok Cabe: Lingkar Studi al-Qur‟an (eLSiQ), 2013), h. 89
29
Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jil. 10, h. 197
30
Qs. Al-Wâqi„ah (56): 25-26
31
QS.al-„Ankabût (29), 57
32
Redaksi ayat;
، ‫ َع َعذ‬، ‫ َع اُه‬، ‫ يِبْنزًء‬،‫َثَعَعٍر‬،‫م ْن َع‬،‫مْنلْي َعه يِب‬،‫ ُه يِبزُه يِب‬، ‫ ُه َّن َع‬، ‫ ْنْلَعنْنْي َعه ُه‬، ‫َتيِب َعه‬، ‫َت يِب يِب‬، ‫ لَّن ٍر‬، ‫َل‬، ‫ َّن يِب يِب‬، ‫ يِب ُه‬، ‫آملُه‬، ‫ اَّن يِبذ‬، ‫يِب يِب‬
‫م ْن َعْن‬،‫ي‬ ‫ت َعْن‬ ‫َع َّن َعُهْن َع‬،‫اص ِلَع ت‬ ‫َع َع َع َع‬ ‫َع َع‬
‫يِب‬ ‫يِب‬ ‫يِب‬ ‫يِب‬ ‫يِب‬ ‫يِب‬ ‫يِب‬ ‫يِب‬
)25 (، ‫ َع ا ُهد َع‬، ‫ف َعه‬، ‫ َع ُه ْن‬،ٌ‫م َع َّنهَع‬، ‫ ُه‬، ‫ َعُهتُه‬،‫ َعْيْنب ُه‬، ‫م ْن‬، ‫ ُه يِبزْنْيلَع‬،‫اَّنذي‬
‫ ْنَعزَع ٌج ُه‬، ‫ف َعه‬، ‫ َع َعَلُهْن‬، ‫مَع َع ِبًء‬،
35

menjelaskan kekekalannya. Ayat ini menunjukkan kesempurnaan nikmat dan

kebahagiaan yang diperoleh di dalam surga.33 Bahkan, bagi Ibn Kâtsîr,

kekekalan inilah yang merupakan kesempurnaan nikmat.34

3. Nama-Nama Surga

Bila mengacu pada perkataan Ibn „Abbâs, surga ada tujuh. Ketujuhnya

adalah: Jannah Firdaus, „Adn, Jannah al-Na‘îm, Dâr al- al-Khuld, Jannah al-

Ma’wâ, Dâr al-Salâm dan ‘Illiyyîn.35 Berbeda dengan yang disampaikan Ibn

„Abbâs, dalam Ensiklopedi Hukum Islam surga disebut ada 9 nama.

Kesembilan nama surga itu adalah semua yang disebutkan oleh Ibn Abbâs

kecuali ‘Illiyyîn dan tambahannya adalah Dâr al-Muqâmah, Maqâm Amîn dan

Dâr al-Muttaqîn. Selain nama-nama ini ada juga ulama yang menyebutkan

nama lain untuk surga yaitu Dâr al-Qarâr dan Dâr al-Jalâl.36

Terlepas dari perbedaan-perbedaan ini, sebagaimana dikabarkan Nabi, surga

Firdaus37 adalah surga tertnggi yang di atasnya terdapat „Ars al-Rahmân.

Bahkan bila seseorang ingin meminta surga, Nabi menyuruh agar meminta

surga Firdaus. Ini menunjukkan bahwa surga ini adalah yang mulia dan

teristimewa. Berangkat dari sini pulalah, bahwa kemungkinan besar melihat

Allah bisa dari tempat ini karena tempatnya yang berada di bawah ‘ars al-

Rahmân. Melihat Allah adalah nikmat tertinggi yang akan didapat di surga.38

33
Al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jil. 1, h. 139
34
Abû al-Fidâ‟ Ismâ„iîl bin Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azîm, Jil.
1 (Riyâḏ: Dâr al-Salâm, 1993), h. 97
35
Al-Asfahânî, Mu’jam Mufradât al-Qur`ân, h. 111
36
Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Vol. 5 (Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 1996), h. 1674
37
Kata firdaus berasal dari kata firdaws yang juga merupakan serapan dari bahasa Persia
Kuno (pairidaeza). Artinya adalah taman yang dikelilingi tembok. Lihat; Tim Baitul Kilmah
Jogjakarta, Ensiklopedi Pengetahuan al-Qur’an dan Hadits, vol. I, Cet. 1 (Jakarta: Kamil Pustaka,
2014), h. 333
38
QS. al-Qiyâmah (75), 23
36

B. Pasangan

Pasangan dalam al-Qur‟an diungkapkan menggunakan kata azwâj dan

derivasinya. Kata ini diterjemahkan dan dipahami secara beragam.39 Ada yang

memahaminya sebagai istri dan ada pula yang memahaminya sebagai pasangan.

Penerjemahan dan pemahaman tersebut memiliki konsekuensi masing-masing. Di

antara konsekuensi dari pemahaman pertama adalah menguntungkan satu pihak

yaitu laki-laki. Di sisi lain, al-Qur‟an tidak pernah memihak hanya karena faktor

jenis kelamin atau unsur fisik lainnya. Tetapi, ia memihak pada apa yang ada

dalam hati yaitu ketakwaan.

Oleh karena itu, perlu untuk menelaah lebih dalam apa itu azwâj ?.

1. Pengertian Pasangan

Pasangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki 5 makna.

Pertama, yang selalu dipakai bersama-sama sehingga menjadi sepasang.

Kedua, perempuan (dalam konteks manusia) bagi laki-laki dan betina (dalam

koteks hewan) bagi jantan atau sebaliknya. Ketiga, salah satu dari organ tubuh

yang berpasangan. Keempat, sebagai pelengkap bagi yang lain. Kelima, huruf

penanda konsonan yang ditulis untuk menutup konsonan lain didepannya.40

Pengertian ini, terutama yang kelima berbeda dengan pasangan menurut para

ulama ahli bahasa Arab. Berdasarkan analisis mereka terhadap kata zauj di

dalam al-Qur‟an ditemukan beberapa pendapat.

Kata zauj adalah isim jâmid yang berasal dari zâ’, wâwu dan jîm. Secara

asal, menurut Ibn Fâris, kata tersebut menunjukkan pada makna perbandingan

39
Penjelasan tentang penerjemahan dan pemahaman beragam ini dapat dilihat dalam bab I,
di latar belakang masalah.
40
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 4, Cet. 3
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, , 2012), h. 1025
37

sesuatu dengan sesuatu yang lain.41 Kata tersebut bentuk jamaknya adalah

azwâj dan azâwîj.42 Bentuk jamak pertama yang banyak digunakan, bentuk

kedua jarang. Bahkan, bentuk jamak kedua ini tidak ditemukan penggunaannya

di dalam al-Qur‟an. Perbedaan para ulama dalam memahami kata ini di

antaranya ada yang memahami sebagaimana dikatakan Ibn Syâmîl yaitu setiap

yang dua disebut pasangan. Bila dikatakan dua pasangan berarti ini adalah 4.

Menurut al-Azharî, pendapat ini ditolak oleh Ahli Nahu. Menurut mereka zauj

bermakna fardun.43 Mirzâ Basyir al-Dîn pun berkomentar bahwa banyak yang

salah memahami kata ini (zauj) dengan menyangka bahwa maksudnya adalah

dua. Sebenarnya, maksudnya adalah satu dari dua.44 Dengan kata lain ia adalah

sesuatu (satu) yang memiliki teman.45 Senada dengan ini, dan bahkan bisa

dikatakan lebih spesifik apa yang dikatakan Ibn „Âsyur, bahwa kata zauj adalah

digunakan untuk benda kedua yang bersamaan dengan benda lain dan

keduanya memiliki perbandingan dalam hal tertentu (al-zauj kullu syai`in

tsânin ma‘a syai`in âkhar bainahumâ taqârun fî hali mâ).46

Menurut pakar bahasa al-Qur‟an, al-Râghib al-Asfahânî, zauj adalah kata

yang digunakan untuk masing-masing dari dua hal yang berdampingan atau

bersamaan, baik jantan atau betina, binatang (termasuk binatang berakal yaiu

manusia) dan juga digunakan untuk menyebut kedua yang berpasangan itu baik

binatang ataupun lainnya seperti sepatu dan sandal. Selain itu, al-Asfahânî

41
Abî al-Husain Ahmad bin Fâris bin Zakariyâ, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Jil. 3 (Arab:
Dâr al-Fikr, 1979), h. 35
42
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Jil. 2, h 292
43
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Jil. 2, h. 292.
44
Mirzâ Basyir al-Dîn Mahmûd Ahmad, al-Tafsîr al-Kabîr, Jil. 1 (Islâm Âbâd: al-Syirkah
al-Islâmiyah al-Mahdûdah, 1993), h. 162.
45
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, h. 291
46
Muhammad al-Tâhir bin „Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Jil. 1 (Tunis: Dâr
Suhnûn, t.t), h. 428
38

menegaskan bahwa zauj juga bisa digunakan untuk sesuatu yang berhubungan

dengan yang lain dan keberhubungan tersebut bisa akibat kesamaan atau

karena bertolak belakang.47 Penjelasan al-Asfahânî ini, khususnya yang

terakhir memberi peluang bahwa kata zauj tidak dipahami hanya untuk sesuatu

yang dua saja. Terkadang, zauj juga bisa untuk sesuatu yang banyak. Ini bisa

dilihat dalam surah al-Sâffât ayat 22. Ada ulama yang memahami kata azwâj di

sini sebagai teman-teman yang sama-sama membangkang dan tidak iman

kepada Allah. Berdasarkan hal itu, bisa dikatakan bahwa zauj bisa dipahami

sesuai konteks ayat. Apakah itu tentang manusia atau lainnya, dua hal yang

berkaitan atau lebih. Bahkan, yang seperti ini sesuai dengan makna pasangan

yang keempat dalam KBBI.

Selain kata zauj yang menunjukkan adanya pasangan di surga, ada pula kata

hûr ‘în yang digandengkan dengan kata zawwaja. Ini terdapat dalam surah al-

Dukhân ayat 54 dan al-Tûr ayat 20. Kata ini adalah bentuk plural dari kata

ahwara ( ‫)ح‬ yang digunakan untuk maskulin dan haurâ` (‫ا‬ ‫ )ح‬digunakan

untuk feminim. Contoh; rajulun ahwaru, imra`atun haurâ`.48 Kata ini berasal

dari kata al-hawaru.49 Secara bahasa, kata ini tidak hanya mengacu pada

seorang perempuan.

2. Tujuan dan Fungsi Berpasangan

Berpasangan dalam kehidupan manusia di dunia tidak lepas dari istilah

perkawinan atau pernikahan. Perkawinan yang dalam bahasa Arab

47
Al-Asfahânî, Mu’jam Mufradât alfâz al-Qur`ân (Bairût:Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 2004),
h. 241
48
Muhammad Murtaḏâ, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-Qâmûs, Jil. 11, h. 53
49
Abî Nasr Ismâ„îl bin Hammâd al-Jauharî, Al-Sihâh: Tâj al-Lughah wa Sihâh al-
‘Arabiyyah, juz 2 (Lubnân: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t), h. 53, Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Jil.
4, h. 219, al-Asfahânî, Mu’jam Mufradât alfâz al-Qur`ân, h. 151
39

menggunakan kata al-zawâj atau al-nikâh oleh Muhammad bin Ahmad al-

Syarbinî didefinisikan sebagai akad persetujuan yang berisi kebolehan

menjimak dengan lafadz inkâh, tazwîj dan yang semakna.50 Sebenarnya, ini

adalah salah satu definisi dari banyak definisi yang diajukan oleh beberapa

madzhab. Definisi ini adalah definisi Madzhab Syâfi„î. Madhab Hanafî, Malikî

dan Hanbalî mendefinisikan secara berbeda51, tetapi semuanya mengacu pada

persetujuan antara pihak laki-laki dan perempuan sehingga keduanya (laki-laki

dan perempuan yang menjadi suami istri) bisa melakukan hal-hal yang sebelum

akad tidak boleh dilakukan. Dari pernikahan inilah akan terwujud sebuah

permulaan keluarga, sebagaimana disebutkan Wahbah al-Zuhailî, yang disebut

dengan keluarga kecil, yaitu keluarga yang hanya terdiri dari suami, istri dan

anak-anaknya.52

Hukum dari pernikahan diperdebatkan oleh para ulama. Golongan Zahirî

menganggap nikah adalah sebuah kewajiban. Ini bertentangan dengan jumhûr

ulama yang mengatakan hukum nikah adalah sunnah. Kalangan ulama

muta`akhhirîn dari Madzhab Malikî menganggap hukum nikah sesuai kondisi

dan situasi. Maksudnya, nikah bisa jadi wajib bagi sebagian orang, sunnah bagi

sebagian dan bagi sebagian lagi mubah. Terakhir ini mempertimbangkan

perbuatan zina yang akan terjadi pada diri seseorang dalam situasi dan kondisi

tertentu.53 Terlepas dari perbedaan pendapat ini, Nabi Muhammad sebagai

50
Muhammad bin Ahmad al-Syarbinî al-Khatîb, al-Iqnâ’ fî Halli Alfaz Abî Syujâ’’
(Maktabah Dâr al-Khair, 2002), h. 417
51
Al-Ahwâl al-Syakhshiyyah (Qâhirah: Jâmi‟ah al-Azhâr Kulliyatu al-Dirâsât al-Islâmiyyah
wa al-„Arabiyyah, 2001), h. 7-8
52
Wahbah al-Zuhailî membagi keluarga menjadi tiga macam. Keluarga Kecil (Sughrâ),
Keluarga (Wustâ) dan Keluarga Besar (Kubrâ) , al-`Usrah al-Muslimah fî al-‘Âlam al-Mu‘âsir
(Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000), h. 20
53
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurtubî al-Andalusî,
Bidâyah al-Mujtahid fî Nihâyah al-Muqtasid, Jil. 2 (Surabaya: Toko Kitab al-Hidâyah, t.t), h. 2
40

tauladan ummat Islam juga menikah. Bahkan, beliau menyebut nikah sebagai

bagian dari sunnahnya dan mengancam orang yang membenci sunnahnya;

، ‫َثيِب ٍر‬، ‫ َع ْن َع‬، ‫ َع َع َع ةَع‬، ‫ ْن ُه‬،‫َحَّن ُهد‬، ‫ح َّندثْيَعلَع َع‬،


‫ َعْي ْنهٌ َع‬، ‫ح َّندثْيَعلَع‬،
‫ي َع‬ ُّ ‫ اْن َععْنب يِبد‬،‫َنفيِب ٍرع‬،
‫ ْن ُه َع‬، ‫ َع ْنك يِب‬، ‫َعُه‬،‫َعح َّندثَعيِبِن‬
،‫ ُه‬، ‫ َع َّن‬، ‫ الَّنيِب يِب‬،‫ ْنَعزَع َعج‬، ‫ َع أَعاُه‬، ‫ َع َع َّن َع‬،‫ َعَعْن يِب‬،‫ ُه‬، ‫ َع َّن‬، ‫ الَّنيِب يِب‬،‫ا‬ ‫َع ْن ح يِب‬، ‫م‬،‫نَعْي َعف يِب‬، ‫َع َّن‬، ‫س‬
‫ًء ْن َع‬ ‫َعنَع ٍر‬، ‫َع ْن‬
،‫َعَل‬،:،‫ َعْي ْنع ُه ُهه ْن‬،‫ َع َع َعا‬، ‫ اليِب َعس اَع‬،‫َعتَعْيَع َّن ُهج‬،‫َعَل‬،:،‫ َعْي ْنع ُه ُهه ْن‬،‫فَعْي َع َعا‬، ‫اس يِب‬ ‫ يِب‬، ‫يِب‬،‫ يِب يِب‬، ، ‫ َّن‬،‫َع يِب‬
‫َع ْن َع َع َع َع ْن َع َع‬
‫يِب‬ ‫يِب‬ ‫يِب‬
‫« َعم َع‬،:‫ا‬،‫فَعْي َع َع‬،.، ‫ َعَعْن‬، ‫ َعَعثْنْي َع‬،‫ َع‬،‫فَع َعح َعد‬، ‫فَع ٍرا‬، ‫ َعَع‬،‫ َعَعَن ُه‬،‫َعَل‬،:،‫ َعْي ْنع ُه ُهه ْن‬،‫ َع َع َعا‬، ‫ اَّن ْنح َع‬،‫آ ُه ُه‬
،‫َب ُها‬،
، ‫ َع يِبغ َع‬، ‫فَع َع ْن‬، ‫ اليِب َعس اَع‬،‫ َعَعتَعْيَع َّن ُهج‬، ‫ َع ُهفْن يِب ُه‬،‫ َعَع ُه ُه‬، ‫ َع َعَعَن ُه‬،‫ ُه َع يِبي‬،‫اَع يِبك يِبِن‬، ‫ َع َع َعذ‬، ‫ َع َعذ‬، ‫ َع اُه‬، ‫َعْنْي َع ٍر‬
، ‫م يِب‬،‫س يِب‬
»‫ِن‬ ‫يِب‬
‫فَعْيَعْن َع‬، ‫ ُه لَّن‬، ‫َع ْن‬
“Dan telah menceritakan kepadaku Abu Bakr Ibn Nâfi‟ al-„Abdi telah
menceritakan kepada kami Bahz telah menceritakan kepada kami Hammad
Ibn Salamah dari Tsâbit dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan
sahabat Nabi Saw., bertanya kepada isteri-isteri nabi mengenai amalan
beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, "Saya
tidak akan menikah." Kemudian sebagian lagi berkata, "Aku tidak akan
makan daging." Dan sebagian lain lagi berkata, "Aku tidak akan tidur di atas
kasurku." Mendengar ucapan-ucapan itu, nabi memuji Allah dan
menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: "Ada apa dengan mereka?
Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri salat dan juga tidur,
berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang
saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku.”55
Mayoritas atau jumhur ulama fikih menganggap menikah adalah lebih utama

dibandingkan tidak menikah, menyepi untuk melakukan ibadah-ibadah

sunnah.56

Menikah memiliki tujuan dan fungsi yang di antaranya;57

1. Membangun kejiwaan manusia secara sempurna. Hal ini bisa tampak pada

pertumbuhan tubuh atau emosi setiap orang baik laki-laki atau perempuan.

Pernikahan dapat memuaskan kecendrungan alamiah, kecondongan naluri

54
Muslim, Sahîh Muslim, h. 520
55
Terjemah ini diambil dari aplikasi Lidwa
56
Farj „Alî al-Sayyid „Anbar dan Abû al-Yazîd Muhammad, al-Ahwâl al-Syakhshiyyah
(Qâhirah: Jâmi„atu al-Azhar, 2001), h. 16
57
Al-Zuhailî, al-`Usrah al-Muslimah... h. 21 dan al-Sayyid „Anbar dan Abû al-Yazîd, al-
Ahwâl al-Syakhshiyyah, h. 20
41

dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa, ruh, emosi serta kebutuhan

tubuh.

2. Menyelamatkan manusia dari daerah kehewanan menjadi hubungan

kejiwaan yang dapat mengangkat mereka dari kedudukan menyendiri pada

kebahagiaan dan keramahtamahan masyarakat.

3. Menopang keteraturan masyarakat dengan melestarikan keturunan dan

menjaga kesucian darah sehingga kehidupan masyarakat berlangsung, bersih

serta selamat dari penyakit-penyakit yang merebah karena hubungan seksual

yang tidak secara syara‟.

Quraish Shihab dengan tegas menyebutkan bahwa tujuan utama dari

pernikahan adalah untuk membina rumah tangga sakinah. Ini, menurutnya

tidak mungkin tercapai kecuali fungsi-fungsi keluarga dapat dilaksanakan oleh

suami istri. Fungsi-fungsi tersebut adalah satu fungsi keagamaan. Agama

berperan penting dalam membangun kekukuhan sebuah rumah tangga. Ini

adalah fondasi utama. Bahkan, tidak ada fondasi yang lebih kukuh untuk

kehidupan bersama melebihi nilai-nilai agama. Dua adalah fungsi sosial

budaya. Fungsi ini diharapkan mampu menjadikan semua anggota keluarga

memelihara dan memperkaya budaya bangsa. Tiga adalah fungsi cinta kasih.

Fungsi ini dinilai sebagai fungsi keluarga yang dapat menumbuhkan cinta kasih

dan ini pulalah yang menjamin kelestariannya. Empat adalah fungsi

perlindungan. Ini bisa dipahami dari seorang perempuan yang bersedia

menikah dengan seorang lelaki berarti telah menyatakan kesediaannya untuk

meninggalkan orang tua dan saudara-saudaranya karena dia yakin bahwa

perlindungan dan pembelaan seorang suami tidak kalah dibandingkan dengan


42

perlindungan oleh orang tua dan saudara-saudaranya. Lima fungsi reproduksi.

Enam fungsi sosial dan pendidikan. Tujuh fungsi ekonomi. Terakhir, adalah

fungsi pembinaan lingkungan.58

58
M. Quraish Shihab, Perempuan: Dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut’ah sampai
Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2015), h. 137-149
BAB IV

PENAFSIRAN ULAMA DAN ANALISIS SEMIOTIK CHARLES

SANDERS PEIRCE

Sebagai bentuk aplikasi metode tematik dalam penelitian ini penulis telah melacak

kata azwâj dan derivasinya di dalam al-Qur‟an dengan menggunakan kamus

Mu„jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur`ân bi Hâsyiyah al-Mushaf al-Syarîf , karya

Muhammad Fuad „Abd al-Bâqî. Kata tersebut ditemukan sebanyak 81 kali dalam

72 ayat di 43 surah.1 Setelah diidentifikasi, dari 72 ayat tersebut diambil sembilan

ayat yang menurut penulis berkaitan dengan pasangan di surga, dengan

menggunakan kata kunci azwâj dan derivasinya. Pengambilan sembilan ayat ini

dengan berpatokan pada ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata jannah/ jannât.

Bila di ayat yang di dalamnya terdapat kata azwâj dan derivasinya tidak terdapat

kata jannah/ jannât penulis melihat ayat sebelumnya untuk memastikan bahwa

ayat tersebut tidak termasuk bagian dari kajian penulis. Setelah penulis melakukan

hal tersebut, dari sembilan ayat di atas kemudian penulis klasifikasi sesuai

kemiripan redaksi ayat sehinnga menjadi tiga kelompok ayat, yaitu; Kelompok

pertama: Surah al-Baqarah (2): 25, `Âlu „Imrân (3); 15, al-Nisâ` (4); 57, kedua:

Surah al-Ra‟du (13); 23, Yâsîn (36); 56, Ghâfir (40); 8, al-Zukhrûf (43); 70,

ketiga: Surah al-Dukhân (44); 54 dan al-Tûr (52); 20.2

Pada bab ini, sebelum mengaplikasikan semiotik Carles S. Peirce, penulis

selanjutnya akan menguraikan penafsiran para ulama terhadap ayat-ayat tentang

pasangan tersebut, kemudian akan ditinjau dan dipolakan dengan analisis

semiotik.
1
Muhammad Fuad „Abd al-Bâqî, Mu„jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur`ân bi Hâsiyah al-
Mushaf al-Syarîf (Qâhirah: Dâr al-Hadîs, 2007), h. 408-410
2
Ayat-ayat yang penulis kumpulkan dan penulis klasifikasi dicantumkan dalam lampiran.

43
44

A. Penafsiran Ulama

Penulis tegaskan kembali, mengenai kata azwâj dalam banyak kitab-kitab

tafsir ditemukan pemahaman-pemahaman berbeda. Penulis, di dalam penelitian

ini akan memaparkan tiga penafsiran, yaitu dari al-Tabarî, al-Sya‟râwî dan

Muhammad Quraish Shihab untuk dilihat perasamaan dan perbedaan-

perbedaannya guna dibandingkan dengan penafsiran yang akan dilakukan penulis

dengan metode analisis semiotik Carles Sanders Peirce. Tafsir pertama terkenal

sebagai salah satu ummahât al-tafsîr yang banyak memuat riwayat. Walaupun

memuat banyak riwayat, tafsirnya juga dianggap sebagai referensi yang penting

dalam bidang tafsir rasional. Pertimbangannya karena di dalamnya memuat

istimbat dan pentarjihan antara riwayat satu dengan lainnya. Ini menunjukkan

adanya cara pandang rasional dan pembahasan yang bebas serta rinci. 3 Kedua

terkenal sebagai tafsir yang memiliki corak tarbawî islâhî yaitu mendidik dan

memperbaiki. Pengarangnya sendiri, al-Sya‟râwî tidak memutlakkan karyanya ini

sebagai sebuah kebenaran. Didalamnya memungkinkan adanya kesalahan dan

kebenaran. Ini bisa dilihat dari penamaan karyanya (pemahamannya terhadap al-

Qur‟an) tersebut dengan istilah Khawâtir al-Sya‟râwî. 4 Salah satu yang menjadi

kelebihan tafsir ini, selain pengarangnya ahli di bidang bahasa Arab, ia

mengaitkan setiap ayat yang dipahami dengan ayat-ayat lain. Demikian itu, karena

ia meyakini bahwa ayat-ayat al-Qur‟an adalah satu kesatuan yang tidak bisa

3
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn: Bahts Tafsilî „an Nasy`ah al-
Tafsîr wa Tatawwurihi wa Alwânihi wa Madzâhibihi ma„a „Ardin Syâmilin li Asyhari al-
Mufassirîn wa Tahlîlin Kâmilin li Ahammi Kutub al-Tafsîr min „Asri al-Nabî ilâ „Asrinâ al-Hadir,
Jil. 1, Cet. 6 (Qâhirah: Maktabah Wahbah, 1995), h. 217
4
Al-Sayyid Muhammad „Alî Iyâzî, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum (Teherân:
Wizarât Farhink wa Irsyâdât Islamî, t.t), h. 269, Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab
Tafsir: Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, Cet. 1
(Pondok Cabe: Lingkar Studi al-Qur‟an (eLSiQ), 2013), h. 219
45

dipisahkan.5 Ini sesuai dengan metode tematik yang penulis gunakan dalam

penelitian ini. Sedangkan terakhir adalah salah satu tafsir yang dipandang sebagai

yang paling luas pembahasannya dan paling sering dijadikan rujukan di Indonesia.

Bahkan, penelitian terhadap kitab ini mulai dari skripsi, tesis, artikel dan karya-

karya lainnya sangat banyak. Alasan-alasan tersebut adalah acuan dasar bagi

penulis dalam pengambilan tiga tafsir ini.

Dalam paparan penafsiran ulama ini, Ayat-ayat tentang pasangan akan

dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan yang telah penulis lakukan pada

pengaplikasian metode tematik di atas.

1. Ayat Kelompok Pertama

Surah al-Baqarah (2): 25, `Âlu „Imrân (3); 15, al-Nisâ` (4); 57

ٍ ‫ا أَ َّل َ نَّل‬
‫ا ََْت ِي ِم ْي ََْتتِ َه ْاَْْن َه ُر ُكلَّل َم‬ ِ ‫ال ِا‬ ِ ِ ِ
َ ُْ َ ‫َ َ ّ ِ اَّل َي َآمنُو َ َعملُو َّل‬
‫ُرِزقُو ِمْنْن َه ِم ْي ٍَََ ِرْزقً قَ اُو َه َ اَّل ِي ُرِزقْْننَ ِم ْي قَْنْ ُ َأُتُو ِِ ُمتَ َ ِِبً َ َُْ فِ َيه‬
)25( َ ُ ِ‫أ َْزَ ٌا ُم َ َّلهٌَ َ ُه ْ فِ َيه َ ا‬
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan
berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-
buahan dari surga dari surga, mereka berkata, “inilah rezeki yang diberikan
kepada kami dahulu.” Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa. Dan
di sana mereka memperoleh pasangan-pasangan yang suci. Mereka kekal di
dalamnya.”6

‫ا ََْت ِي ِم ْي ََْتتِ َه ْاَْْن َه ُر‬ ِِ ِ ِِ ِ ِ


ٌ ‫قُ ْ أ َُؤَْنِّئُ ُك ْ ِِبًٍَْن م ْي َذا ُك ْ الَّل َي تَّلْن َق ْو عْن َ َرِّب ْ َ نَّل‬
)15( ‫لًنٌ ِِباْعَِ ِد‬ ِ ‫ضو ٌ ِمي َّلَّللِ َّلَّلل‬ ِ ِِ
َ ُ َ َ َ ْ ‫َ ا َي ف َيه َأ َْزَ ٌا ُم َ َّلهٌَ َ ِر‬
“Katakanlah “Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari
yang demikian itu?” Bagi orang-orang bertakwa (tersedia) di sisi Tuhan
mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka

5
Husnul, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 222
6
Semua terjemah ayat dalam penelitian ini menggunakan al-Qur‟an Dan Terjemahnya
yang disusun oleh Kementrian Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,
Direktorat Urusan Agama Islam Dan Pembinaan Syariah, Terbit di Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012.
46

kekal di dalamnya, dan pasangan-pasangan yang suci, serta rida Allah. Dan
Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.”

‫ا ََْت ِي ِم ْي ََْتتِ َه ْاَْْن َه ُر َ اِ ِ َي‬


ٍ ‫ا سنُ ْ ِ لُه نَّل‬
َ ْ ُ َ َ‫ال ا‬
ِ ِ ‫اَّل ِ ي آمنُو ع ِملُو َّل‬
ََ َ َ َ
)57( ‫فِ َيه أََ ً َُْ فِ َيه أ َْزَ ٌا ُم َ َّلهٌَ َ ُ ْ ِ لُ ُه ْ ِظ اًّل ظَلِ ًيًّل‬
“Adapun orang-orang yang dan mengerjakan kebajikan, kelak akan Kami
masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Di sana mereka mempunyai
pasangan pasangan yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang
teduh lagi nyaman.”

Bila dlihat dalam kitab tafsir al-Tabarî kata azwâj mutahharah di surah

al-Baqarah dipahami sebagai perempuan, sebagaimana dikatakan;

‫ فًّل ة َزْ ُا فًّل ز ت‬:‫ ق ل‬. ‫ هي م أ ا‬،‫از ا مجع َزْا‬


“Azwâj adalah bentuk plural dari lafadz zauj yang artinya istri dari
seseorang. Dikatakan; Perempuan itu istri (tanpa tâ`al-marbutah) laki-laki
itu, dan; istrinya (menggunakan tâ`al-marbutah)”.

Perempuan tersebut disucikan (mutahharah) dari semua jenis penyakit

dan kecurigaan serta hal-hal yang tidak disukai yang dimiliki wanita dunia

seperti haid, nifas dan segala produk tubuh lainnya. Pendapat ini kemudian

ia dukung dengan riwayat-riwayat melalui jalur sahabat atau tabi‟in seperti

Ibn „Abbas dan Mujâhid. Dalam beberapa riwayat yang dipaparkan terdapat

pula keterangan bahwa perempuan itu suci dari hamil dan memiliki anak.8

Keterangan seperti ini juga al-Tabarî ungkapkan saat membahas surah `Âlu

„Imrân (3); 15, dan al-Nisâ` (4); 57 secara singkat. Terakhir, ia menegaskan

dengan ungkapannya:

7
Abû Ja‟far Muhammad bin Jarîr al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîli Âyi al-Qur‟ân, Jil.
1, juz 1 (Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), h. 211
8
Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Jil. 1, juz 1, h. 232-234
47

‫ ”ذك ان م يف ذاك مي آلاثر فيم مضى‬dan “ ‫“مب أغىن عي إع دت يف ه ملوضع‬


” ‫ أغىن ذاك عي إع دهت‬، ‫ق‬
yang menunjukkan bahwa penjelasan ini telah ia paparkan sebelumnya dan

tidak perlu diulang kembali, bahkan riwayat-riwayatnya pun sudah


9
disebutkan. Azwâj dalam kelompok pertama ini oleh al-Tabarî dipahami

sebagai perempuan surga bukan perempuan dunia. Ini bisa dilihat dari

perkataannya:

‫ هي س ء جلنة الو يت طُ ِّه مي ك أ ًذى كو نس ء أه‬،" ‫أ " از ا مل ه‬


‫ا ي‬
Sesungguhnya “ ‫ ” از ا مل ه‬mereka adalah perempuan surga yang
disucikan dari semua penyakit yang dimiliki perempuan dunia.
‫ س ئ م‬،‫اُل ق‬ ََ‫ئ ا مي ادانس اَّلْب ايض اغ ئط ا ول ا‬
‫كو يف س ء أه ا ي‬
Mereka terbebas dari kotoran, kecurigaan, haid, berak, kencing,
mengandung, ludah dan sejenisnya yang dimiliki perempuan dunia.

Al-Sya‟râwî tidak jauh berbeda dengan al-Tabarî. Dia memahami ayat

kelompok satu12, yaitu kata azwâj mutahharah dalam surah al-Baqarah (2):

25 sebagai perempuan (istri) di akhirat (surga) yang disucikan oleh Allah

dari semua perkara yang dibenci didalamnya. Menurutnya, ini sebagai

perumpamaan bahwa apa yang dibenci di dunia tidak akan ada di surga,

artinya semuanya akan lenyap. Istri dijadikan perumpamaan karena ia

adalah kenikmatan dunia bagi seorang suami bila salehah dan sebaliknya ia

adalah beban bila tidak salehah.

9
Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Jil. 3, juz 3 dan Jil. 4, juz 5, h. 253 dan 180-181
10
Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, juz 1, h. 211
11
Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, juz 4 (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 2005), h. 147
12
Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, Tafsîr Khawâtir al-Sya‟râwî Haula al-Qur‟ân, Jil. 1;
3; 4 (T.tp: Akhbâr al-Yaum, t.t), h. 212, 1333 dan 2343
48

Azwâj mutahharah dalam surah Âlu „Imrân (3); 15, dipahami sebagai

perempuan yang disucikan dan dijanjikan bagi orang-orang mu`min. Bagi

yang mencintai wanita di dunia, dia akan tahu bahwa wanita di dunia

terkadang muncul (secara tiba-tiba) sesuatu yang tidak disukai baik dari

fisik ataupun akhlak. Ini suatu saat membuat mereka ingin menjauh dari

wanita. Hal itu tidak terjadi pada wanita di akhirat. Lebih lanjut, dia

menegaskan bahwa dalam ayat ini ada bentuk perbandingan antara wanita

yang disucikan dan wanita di dunia. Ayat ini pulalah yang dikutip al-

Sya‟râwî saat menjelasakan azwâj dalam surah Yâsîn ayat 56.

Al-Sya‟râwî, dalam surah al-Nisâ` (4); 57 menjelaskan mengapa kata

azwâj disifati dengan bentuk mufrad yaitu mutahharah bukan dengan

bentuk jamak yaitu mutahharât sebagaimana lafadz qudûr râsiyât dalam

surah Saba` ayat 13. Menurutnya, ini karena laki-laki di dunia terkadang

memiliki istri lebih dari satu yang antara satu dan lainnya tidak harmonis.

Maka lafadz mutahharah memberi penjelasan bahwa wanita-wanita di

akhirat semuanya dalam satu bentuk kesucian. Tidak ada sesuatupun yang

dapat memperkeruh keharmonisan hubungan antara suami dan istri di sana.

Sedangkan Quraish Shihab memahami kata azwâj mutahharah dalam

surah al-Baqarah (2): 25 sebagai pasangan yang telah disucikan baik yang

mengotori jasmani atau rohani. Pasangan bisa berupa laki-laki atau

perempuan. Hal yang sama diungkapkannya saat menjelaskan surah Âlu

„Imran (3); 15, dan al-Nisâ` (4); 57. Hanya saja, dalam surah al-Nisâ` dia

menggunakan istilah suami atau istri.13

13
Quraish Shihab, Tafsîr Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol. 1, Vol.
2, Vol. 3 (Tangerang: Lentera Hati, 2002), h. 128, 30 dan 455
49

2. Ayat Kelompok Kedua

Surah al-Ra‟du (13); 23, Yâsîn (36); 56, Ghâfir (40); 8, al-Zukhrûf (43); 70

ُ‫آِبئِ ِه ْ َأ َْزَ ِ ِه ْ َ ذُِّرَّل هتِِ ْ َ اْ َم ًَّلئِ َكة‬ ِ ٍ


َ ‫ا َع ْ َ ْ ُ لُوَْن َه َ َم ْي َ لَ َ م ْي‬ ُ ‫َ نَّل‬
)23( ٍ ‫َ ْ ُ لُو َ َعلَْي ِه ْ ِم ْي ُك ِّ َِب‬
“(yaitu) surga-surga „Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama dengan
orang yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan-pasangannya dan anak
cucunya, sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua
pintu.”
ِ ‫كم‬ ِِ ٍ ِ
)56( َ ‫تَّلكئُو‬ ُ ‫ُه ْ َأ َْزَ ُ ُه ْ ِيف ظ ًَّلل َعلَى ْا ََرئ‬
“Mereka dan pasangan-pasangannya berada dalam tempat yang teduh ,
bersandar di atas dipan-dipan.”
ِِ ِِ ِ ِ َ ‫ا َع ْ ٍ اَّلِ َع ْ تَْن ُه َم ْي َ لَ ِم ْي‬ِ ‫رْنَّلنَ أ َْد ِ ْله نَّل‬
ْ ‫آِبئه ْ َأ َْزَ ه ْ َ ذُِّرَّل هت‬ َ َ ْ َ َ ُْ َ َ
)8( ُ ‫َّلك أَْ َ اْ َع ِي ُي ْاَ ِكي‬
َ ِ‫إ‬
“Ya Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam surga „Adn, yang telah
Engkau janjikan kepada mereka, dan orang-orang saleh di antara nenek
moyang mereka, istri-istri dan keturunan mereka. Sungguh Engkaulah Yang
Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
)70( َ ُ ‫ْد ُ لُو ْجلَنَّلةَ أَْْنتُ ْ َأ َْزَ ُ ُك ْ َُْتَْن‬
“Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan pasanganmu akan
digembirakan.”

Penafsiran al-Tabarî terhadap kata azwâj yang terdapat dalam surah al-

Ra‟du (13); 23, Yâsîn (36); 56, Ghâfir (40); 8, dan al-Zukhrûf (43); 7014

tidak berbeda dengan ayat-ayat kelompok pertama. Ia memahami azwâj

sebagai istri. Saat membahas surat Yâsîn dia tegaskan bahwa azwâj

merupakan ahli surga yang berada dalam surga. Kemudian dia mengutip

riwayat dari Mujahid yang menyatakan bahwa maksud dari azwâj adalah

halâil untuk memperkuat argumennya. Begitu pula saat membahas surah al-

Ra‟du dan Ghâfir dia memahami azwâj sebagai istri dunia. Dalam surah al-

Zukhrûf, al-Tabarî menjelaskan dengan singkat dengan memaknai ayat

14
Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Jil. 8, juz 13, h. 141; Jil. 12, juz 23, h. 20; Jil. 12, juz 24, h.
44 dan Jil. 13, juz 25, h. 95
50

tersebut; “Masuklah orang-orang Mukmin bersama istri-istrimu dengan

keadaan bahagia karena karamah Allah dan dengan keadaan gembira atas

apa yang Allah berikan pada kalian sekarang”.

Kelompok ayat kedua, di dalam surah Yâsîn, al-Sya‟râwî menceritakan

bahwa saat ia membaca ayat ini ada seorang sepuh berwibawa memukul

dadanya dengan keras dan emosi. Hal itu ia lakukan karena dia melihat

sesuatu di istrinya yang membuat dia tidak suka. Dia terperangah karena

akan bersamanya ke surga. Kemudia al-Sya‟râwî katakan kepadanya bahwa

dia bisa saja membenci sesuatu yang ada pada istrinya tapi dia bisa saja

memiliki perbuatan baik di sisi Allah sehingga membuatnya jadi ahli surga.

Maka perbuatan baiknya di sisi Allah mengalahkan perbuatan buruknya

selama di dunia. Selain itu, dikatakan pula kepada orang tersebut bahwa

mungkin dia keras perwatakannya atau rakus dan matanya tidak melihat

kebaikan sang istri. Terakhir, al-Sya‟râwî katakana bahwa istri yang dibenci

tersebut tidak akan seperti saat di dunia. Ia, di surga diciptakan dengan

penampilan yang baru. Sedangkan dalam surah al-Ra‟du dan Ghâfir, kata

tersebut tidak dia pahami sebagaimana al-Tabarî memahaminya. Dia

memahaminya sebagai laki-laki atau perempuan. Ini bisa dilihat dari

penjelasannya:

‫مل أ‬ ‫ا ي تتي‬ ‫؛ تعين ا‬ ‫كلمة «ز ا» تعين مل أ ا تي ه ا‬


Suami istri di dunia, keduanya selama baik di dunia maka sama-sama

masuk surga. Lebih lanjut menurut al-Sya‟râwî, sebuah kesalahan bila kita

menyebut perempuan yang menjadi istri dari seorang lelaki menggunakan


51

istilah zaujah .15 Begitu pula dalam surah al-Zukhrûf, azwâj dipahami

sebagai suami atau istri. Lebih lanjut al-Sya‟râwî menjelaskan bahwa

pekhususan penyebutan azwâj karena berpasangan merupakan kesenangan

yang berada dalam diri manusia (perempuan atau lelaki) mulai sejak masa

remaja (puber). Mereka menginginkan untuk memiliki pasangan yang itu

berarti memiliki kenikmatan-kenikmatan berpasangan.16

Sedangkan Quraish Sihab memahami kata azwâj dalam surat al-Ra‟du

(13); 23, Yâsîn (36); 56, Ghâfir (40); 8, dan al-Zukhrûf (43); 70 sebagai

pasangan. Pasangan menurutnya adalah istri atau suami. Bahkan dalam

surah Yâsîn dia menjelaskan lebih rinci bahwa yang tidak mempunyai

pasangan di dunia atau hubungan pasangannya tidak bahagia maka mereka

dipasangkan dengan bidadari atau bidaddara. Bagi perempuan yang

menikah dua kali atau lebih akan dipersilahkan memilih.17

3. Ayat Kelompok Ketiga

Surah al-Dukhân (44); 54 dan al-Tûr (52); 20.

ٍ ‫ك َزَّل ْ نَ ُه ِِبُوٍر ِع‬


)54( ‫ٌن‬ ِ
ْ َ َ ‫َك َ ا‬
“demikianlah, kemudian Kami berikan kepada mereka pasangan bidadari
yang bermata indah.”
ٍ ‫ل ُفوفٍَة َزَّل ْ نَ ُه ِِبُوٍر ِع‬
)20( ‫ٌن‬ ٍ ِِ
ْ َ ْ ‫ٌن َعلَى ُس ُر َم‬
َ ‫ُمتَّلكئ‬
“Mereka bersandar di atas dipan-dipan yang tersusun dan Kami berikan
kepada mereka pasangan bidadari yang bermata indah.”

Ayat kelompok tiga, yang di dalamnya terdapat kata hȗr „în ini oleh al-

Tabarî, Al-Sya‟râwî dan Quraish Shihab dipahami sebagai berikut;

15
Al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî, Vol. 12, h. 7297; Vol. 21, h. 13312
16
Al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî, Vol. 20, h. 12682; Vol. 23, h. 13944
17
Quraish Shihab, Tafsîr Al Misbah.. Vol. 6, h. 581; Vol. 11, h. 559-560; Vol. 12, h. 290
dan Vol. 8, h. 590
52

Al-Tabarî menjelaskan kata hûr, bentuk plural dari kata haurâ`, dengan

mengutip riwayat dari Mujâhid yang kemudian ia tarjih dan menyatakan

bahwa pendapat ini tidak bisa diterima. Selanjutnya ia mengungkapkan

makna kata tersebut yang benar adalah putih bersih. Pendapatnya diperkuat

dengan riwayat dari Qatâdah melalui jalur Basyar dan Ibn „Abd al-`A‟lâ,

yang mengungkapkan makna hûr „în adalah putih matanya. Sosoknya

adalah perempuan. Mereka dinikahkan. Idiom bi dalam kalimat bi hûr „în

oleh al-Tabarî disamakan dengan tanpa adanya kata tersebut.

Al-Sya‟râwî menjelaskan kata hûr merupakan bentuk plural dari haurâ`,

artinya yang matanya sangat putih dan sangat hitam. Sedangkan „în adalah

bentuk jamak dari „ainâ` yang artinya lebar dua matanya serta indah. Sama

dengan al-Tabarî, al-Sya‟râwî juga mengatakan bahwa hûr „în sosoknya

adalah seorang perempuan, tapi ini tidak penting baginya. Zawwaja dalam

ٍ ‫ِع‬
ayat ‫ٌن‬ ‫َ َزَّل ْ نَ ُه ْ ِِبُوٍر‬ ini berbeda dengan syariat Islam berupa pernikahan

yang kita pahami di dunia. Ia bermakna menyandarkan sesuatu pada sesuatu

yang sama sehingga menjadi sepasang. Selain itu, pemasangan di sini hanya

satu pihak yang mendapat kemaslahatan bahagia. Begitulah penjelasannya

dalam surah al-Dukhân dan al-Tûr. Walaupun demikian, dia juga

menjelaskan bahwa kenikmatan di surga mengenai berpasangan tidak sama

dengan yang kita ketahui di dunia. 18

Sedangkan kata hûr „în menurut Quraish Shihab , sosoknya bisa laki-laki

atau perempuan yang dia beri nama Bidadari atau Bidaddara. Dia juga

18
Al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî, Vol. 22, h. 14029; Vol. 23, h. 14640
53

katakan bahwa ini bukan dari jenis manusia. Secara hakiki bisa dikatakan

bahwa ini adalah jenis makluk yang bermata lebar atau sipit (sesuai idaman

penghuni surga). Secara majazi mata sipit dapat dipahami sebagai

pendamping yang pandangannya hanya tertuju pada pasangannya atau

terbuka untuk selalu memandang pasangannya dengan penuh perhatian.

Pemahaman ini dilandasi pengertian hûr „în secara bahasa.

Secara bahasa, ia jelaskan bahwa hûr dengan mengutip pendapat al-

Asfahânî adalah tampaknya keputihan pada mata di sela kehitamannya. Ini

juga dalam arti yang putih sangat putih dan yang hitam sangat hitam. Hûr

juga bisa berarti bulat atau sipit. Kata „în maknanya bermata besar dan

indah. Dan kata zawwaja tidak dia pahami seperti pernikahan yang dikenal

dalam syariat Islam di dunia. Hal ini bukan karena di akhirat sudah tidak ada

taklîf dan lain sebagainya sebagaimana di dunia, tapi juga karena zawwaja

di sini menggunakan idiom bi.19

B. Aplikasi Semiotik Charles Sanders Peirce

Penjelasan dalam bagian sub bab ini adalah pengaplikasian semiotik Charles

S. Peirce. Pengaplikasian di sini dimaksudkan sebagai proses memahami ayat

menggunakan pola semiotik yang ditawarkan Peirce. Proses pengaplikasian

analisa semiotik Peirce di sini digunakan dalam tiga tahap. Pertama analisa

semiotik Peirce terhadap ayat-ayat untuk melihat alur logis ayat. Ini berguna

untuk melihat persamaan dan perbedaan ayat secara lebih detail. Kedua,

digunakan untuk memahami makna ayat secara simbol. Tahap ini, merupakan

19
Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah.. Vol. 12, h. 327-328; Vol. 13, h. 134
54

tahapan yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan tentang pasangan di surga.

Ketiga, digunakan untuk membaca semua ayat menjadi satu semiosis.

Sebelum itu, penulis akan menjelaskan sedikit bagaimana sebuah tanda,

dalam hal ini ayat-ayat tentang pasangan di surga, menjadi layak dijadikan sebuah

representamen dengan dikaitkan pada latar (ground) tertentu.

1. Ground/ Latar Ayat-ayat Pasangan di Surga

Sebagaimana telah dibahas dalam bab dua, ground/ latar penting untuk

dipahami, karena ini ada kaitan erat dengan representamen. Teks suci memiliki

dua unsur kandungan. Unsur kebahasaan yang digunakan di dalamnya dan

unsur keagamaan yang dianut oleh pemeluknya sehingga dianggap suci. Kedua

unsur tersebut meniscayakan adanya sifat konvensi yaitu kesepakatan. Dalam

teori semiotik Peirce, sifat konvensi termasuk dalam kategori thirdness. Dalam

konteks representamen kategori thirdness adalah legisigns. Sifat konvensi

(kategori thirdness) dalam konteks objek adalah simbol. Ayat-ayat pasangan

dalam penelitian ini merupakan legisigns. Relasi representamen dan objeknya

adalah dengan simbol.

Ground/ latar dalam konteks azwâj di penelitian ini adalah pasangan di

surga. Surga di agama Islam merupakan konvensi simbolik sebagai tempat

balasan bagi orang-orang beriman dan berbuat baik,`Ulu al-`Albâb bertaubat

dan mengikuti jalan Allah dan orang-orang bertakwa (beriman dan muslim).20

Bila demikian, siapakah pasangan di surga yang akan mendampingi sebagai

pasangan ahli surga?.

20
Lihat; QS. al-Baqarah (2): 25, `Âlu „Imrân (3); 15, al-Nisâ` (4); 57, al-Ra‟du (13); 23,
Yâsîn (36); 56, Ghâfir (40); 8, al-Zukhrûf (43); 70, al-Dukhân (44); 54 dan al-Tûr (52); 20.
55

2. Pemaknaan Azwâj dalam Semua Teks Ayat

a. Ayat Kelompok Pertama;

Alur Logis Semiosis Surah al-Baqarah (2) 25;

(O1)
Orang
beriman dan (O2) (O3) (O4) (O5)
ٍ ‫ُكلَّلم رِزقُو ِمْنْنه ََْت ِي ِمي ََْتتِه ْاَْْنه ر َ نَّل‬
‫ا‬ ٍ ََ ‫ِم ْي‬
berbuat baik (OIB) َ ُْ ُ َ َ ْ َ ُ َ َ

Kabar Bagi OIB Mereka yang mengalir Setiap kali


gembira (I1/R2) mendapat sungai- mereka diberi
(R1) surga-surga sungai rizqi dari surga
(I2/R3) di bawahnya (I4/R5)
(I3/R4)

(O6) (O7) (O8) (O9)


ِ ِ ِ ‫َّل‬ ِ ٌَ‫َ َُْ فِ َيه أ َْزَ ٌا ُم َ َّله‬ َ ُ ِ‫َ ا‬
ُ ْ‫قَ اُو َه َ ا ي ُرزقْْننَ م ْي قَْن‬ ً‫ُمتَ َ ِب‬

Berupa Mereka berkata Serupa Bagi mereka Mereka


buah ini yang bukan di dalamnya dan pasangan
(I5/R6) diberikan pada yang pasangan kekal
kami sebelumnya sebelumnya disucikan di dalamnya
(I6/R7) (I7/R8) (I8/R9) (I9)

Kesimpulan Semiotik Surah al-Baqarah (2) 25;

(O)
Mutahharah/ li al-tabsyîr

Azwâj fî al-jannah Pasangan di surga adalah pasangan


R yang disucikan sebagai kabar gembira
(Ground: bagi orang beriman dan
beramal saleh)
I
56

Alur Logis Semiosis Surah `Âlu ‘Imrân (3); 15;

(O1) (O2) (O3) (O4) (O5)


ِِ‫ََْت ِي ِمي ََْتتِه ْاَْْنه ر نَّل ا اِلَّل ِ ي تَّلْن َقو ِعْن َ رِّب‬ ‫َ اِ ِ َي فِ َيه‬ ٌَ‫َأ َْزَ ٌا ُم َ َّله‬
(OT) َ ْ َ ٌ َ َُ َ ْ

Berita Bagi OT Surga- yang mengalir Kekal di


lebih baik di sisi surga sungai-sungai dalamnya
dibanding Tuhan (I2/R3) di bawahnya (I4/R5)
nikmat dunia (I1/R2) (I3/R4)
(R1)
(O6)
ِ‫ضو ٌ ِمي َّلَّلل‬ِ
َ َ ْ ‫َر‬

bagi OT dan ridho


pasangan dari Allah
disucikan (I6)
(I5/R6)

Kesimpulan Semiotik Surah `Âlu ‘Imrân (3); 15;

O
Mutahharah/ li khairi al-khabar

Azwâj fî al-jannah Pasangan di surga adalah yang disucikan


R Sebagai berita yang lebih baik disbanding
kenikmatan-kenikmatan dunia (Ground:
bagi orang bertakwa)
I
57

Alur Logis Semiosis Surah al-Nisâ` (4); 57;

(O1) (O2) (O3) (O4) (O5)


ٍ ‫ُ ْ ِ لُه ِظ اًّل ظَلِ ًيًّل َ فِيه أ َْز ا م َ َّله ٌ اِ ِ ي فِيه أَ ً ََْت ِي ِمي ََْتتِه ْاَْْنه ر سنُ ْ ِ لُه نَّل‬
‫ا‬ َ ُْ َ ُ َ َ ْ َ َ َ َ َ ُ ٌ َ َ ُْ ُْ َ

Orang Dimasukkan Mengalir Kekal di mereka di Mereka


beriman ke surga- sungai- dalamnya dalamnya dimasukkan
berbuat surga sungai di selamanya mendapat ke tempat
baik (OIB) (I1/R2) bawahnya (I3/R4) pasangan teduh dan
(R1) (I2/R3) disucikan nyaman
(I4/R5) (I5)

Kesimpulan Semiotik Surah al-Nisâ` (4); 57;

O
Mutahharah/ Dzillan dzalîlâ

Azwâj fî al-jannah Pasangan yang disucikan di tempat


R yang teduh dan nyaman (Ground: bagi
orang beriman dan beramal saleh)
I
b. Ayat Kelompok Kedua;

Alur Logis Semiosis Surah al-Ra’du (13); 23;

(O1) (O2) (O3) (O4) (O5)


ٍ ْ ‫نَّل ا ع‬ ِ ِ َ ‫ِم ْي‬ ِِ ِِ
َ ُ َ َ َ‫َ ْ ُ لُوَْن َه َ َم ْي َل‬ ْ ‫آِبئه‬ ْ ‫َأ َْزَ ه‬ ْ ‫َذُ ِّرَّل هت‬

Tempat yaitu surga- Mereka dari bapak- Pasangan-


kesudahan surga „Adn masuk bapak me- pasangan
bagi (I1/R2) bersama reka mereka
`Ulu al-`Albâb orang baik (I3/R4) (I4/R5)
(R1) (I2/R3)
58

(O6) (O7)
ِ ِ ٍ ‫ِمي ُك ِ ِب‬
ْ ‫َ اْ َم ًَّلئ َكةُ َ ْ ُ لُو َ َعلَْيه‬ َّ ْ

Keturunan- Para malaikat Dari semua


keturunan masuk ke pintu
mereka tempat-tempat (I7)
(I5/R6) mereka
(I6/R7)

Kesimpulan Semiotik Surah al-Ra’du (13); 23;

O
Man salaha min abâihim wa
azwâjihim wa dzurriyyâtihim/
„Uqbâ al-dâr

Azwâj fî al-jannah Pasangan di surga adalah orang saleh


R (di dunia) dari ayah-ayah mereka,
pasangan-pasangan dan keturunan mereka
(Ground: bagi `Ulu al-`Albâb)
I

Alur Logis Semiosis Surah Yâsîn (36); 56

(O1) (O2) (O3)


‫ِيف ِظ ًَّل ٍل‬ ِ ‫كم‬ ِِ
ْ ‫َأ َْزَ ُ ُه‬ َ ‫تَّلكئُو‬ ُ ‫َعلَى ْا ََرئ‬

Penghuni Bersama Berada Bertelekan


Surga pasangan di tempat di atas
(R1) mereka teduh dipan-dipan
(I1/R2) (I2/R3) (I3)
59

Kesimpulan Semiotik Surah Yâsîn (36); 56;

O
Wa azwâjuhum/ Dzilâl

Azwâj fî al-jannah Pasangan di surga adalah pasangan yang berada


R di tempat teduh, bertelekan di atas dipan-dipan
(Ground: bagi penghuni surga)
I
Alur Logis Semiosis Surah Ghâfir (40); 8;

(O1) (O2) (O3) (O4) (O5)


ِ ِ
ٍ ْ‫ا ع‬ ِ ِ َ ‫ِم ْي‬
ْ ‫أ َْد ْل ُه‬ َ ‫َ نَّل‬ ْ ‫َ َع ْ تَْن ُه‬ َ َ‫َ َم ْي َل‬ ْ ‫آِبئه‬

Malaikat Minta agar ke surga- yang Allah bersama


„Ars dan memasukkan surga janjikan orang baik (Salah)
lainnya OITA „Adn pada OITA (I4/R5)
berdoa untuk (I1/R2) (I2/R3) (I3/R4)
orang beriman,
bertaubat, ikut
jalan Allah (OITA)
(R1)
(O6) (O7)
ِِ ِِ
ْ ‫َأ َْزَ ه‬ ْ ‫َذُ ِّرَّل هت‬

Bapak- Pasangan- Anak cucu


bapak pasangan mereka
mereka mereka (I7)
(I5/R6) (I6/R7)
60

Kesimpulan Semiotik Surah Ghâfir (40); 8;

O
Man salaha min abâihim wa
azwâjihim wa dzurriyyâtihim wa/
Du„âu al-malâikah

Azwâj fî al-jannah Pasangan di surga adalah orang saleh


R (di dunia) dari bapak-bapak mereka,
pasangan-pasangan dan keturunan
mereka (Ground: bagi orang beriman,
bertobat dan mengikuti jalan Allah)/ yang
doa dari malaikat
I

Alur Logis Semiosis Surah al-Zukhrûf (43); 70;


(O1) (O2) (O3)
َ‫ْد ُ لُو ْجلَنَّلة‬ ْ ‫أَْْنتُ ْ َأ َْزَ ُ ُك‬ َ ُ‫َُْتَْن‬

Perintah Masuklah Kalian Mereka


Allah kalian ke bersama digembirakan
pada surga pasangan (I3)
orang (I1/R2) pasangan
bertakwa (I2/R3)
(beriman, muslim)
(R1)

Kesimpulan Semiotik Surah al-Zukhrûf (43); 70;


O
Wa azwâjuhum/ Amru al-Dukhûl

Azwâj fî al-jannah pasangan di surga adalah pasangan yang


R diperintah masuk (Ground: bersama orang
bertakwa)
I
61

c. Ayat Kelompok Ketiga;

Alur Logis Semiosis Surah al-Dukhân (44); 54;

(O1) (O2) (O3)


Orang bertakwa di surga ْ ‫َزَّل ْ نَ ُه‬ ٍ ‫ِِبُوٍر ِع‬
‫ٌن‬

‫ك‬ ِ
َ ‫َك َ ا‬ Begitulah Mereka juga Dengan
(R1) kenikamatan dipasangankan Hûr „în
surga bagi (I2/R3) (I3)
orang bertakwa
(I1/R2)

Kesimpulan Semiotik Surah al-Dukhân (44); 54;

(O)
Hûr „în

Zawwajnâ fî al-jannah Pasangan di surga adalah hûr „în (bukan


R dari jenis dunia) yang dipasangkan
(Ground: dengan orang bertakwa)
I

Alur Logis Semiosis Surah al-Tûr (52); 20

(O1) (O2) (O3)


ٍ ‫ِِبُوٍر ِع‬
Orang bertakwa di surga (OBS) ْ ‫َزَّل ْ نَ ُه‬ ‫ٌن‬

‫ل ُفوفٍَة‬
ْ ‫ٌن َعلَى ُسُ ٍر َم‬
ِِ
َ ‫ُمتَّلكئ‬ Mereka (OBS) Mereka Dengan
(R1) di surga-surga dipasangkan Hûr „în
bertelekan (I2/R3) (I3)
di atas
dipan-dipan
berderetan
(I1/R2)
62

Kesimpulan Semiotik Surah al-Tûr (52); 20

(O)
Hûr „în

Zawwajnâ fî al-jannah Pasangan di surga adalah hûr „în (bukan


R dari jenis dunia) yang dipasangkan
(Ground: dengan orang bertakwa)
I

3. Analisis Semiotik Teks Ayat Keseluruhan

Proses semiotik terhadap sembilan ayat di atas menghasilkan tiga makna

pasangan di surga, yaitu pasangan yang disucikan, pasangan yang saleh dari

bumi dan hûr „în (bukan dari jenis dunia) yang dipasangkanoleh Allah.

Tiga kesimpulan besar ini, disemiosiskan menjadi satu dengan menjadikan

ayat tentang pasangan di surga sebagai tanda awal. Tanda tersebut berelasi

dengan “Mutahhara” menghasilkan interpretan yaitu “pasangan di surga adalah

pasangan yang disucikan”. Interpretan ini menjadi tanda baru kemudian

berelasi dengan “Man salaha” dan menghasilkan sebuah interpretasi yaitu

“Pasangan di surga yang disucikan adalah pasangan yang saleh saat di dunia”.

Hasil interpretasi ini menjadi tanda baru yang berelasi dengan “hûr „în yang

dipasangkan oleh Allah dengan ahli surga” sehingga muncullah interpretasi

baru bahwa “Pasangan di surga yang disucikan merupakan pasangan yang

saleh di dunia dan hûr „în (bukan dari jenis manusia/bukan dari bumi) yang

dipasangkan dengan ahli surga”.


63

(O1) (O2) (O3)


Mutahhara Man salaha Hûr „în

Ayat pasangan Pasangan Ia pasangan saleh dan hûr „în


di surga surga adalah saat di dunia yang dipasangkan
(R1) pasangan yang disucikan (I2/R3) (I3)
(I1/R2)

C. Tinjauan Kritis

Tinjauan kritis ini akan menjelaskan perbedaan-perbedaan dan kesamaan

spesifik penafisran tiga tokoh21 terhadap ayat-ayat pasangan di surga yang telah

dipaparkan di atas dan kemudian dibandingkan dengan hasil dari pengaplikasian

semiotik Peirce yang dilakukan penulis terhadap ayat-ayat yang sama.

Berdasarkan pembacaan penulis terhadap tafsir al-Tabarî, dapat dikatakan

bahwa ia memahami semua kata azwâj sebagai perempuan. Perempuan-

perempuan ini disediakan Allah dalam surga bagi orang-orang yang baik dan taat.

Mereka dalam al-Qur‟an disifati dengan kata mutahharah. Kata ini memiliki

makna disucikan yang kemudian dipahami oleh al-Tabarî sebagai kesucian dari

semua penyakit yang ada dalam diri perempuan dunia yaitu seperti haid, nifas dan

lain sebagainya. Pemahaman seperti inilah yang membuat sebagaian orang

menilai al-Qur‟an hanya mendeskripsikan kenikmatan-kenikmatan surgawi untuk

kaum lelaki. Ini jauh dari yang sebenarnya, karena kata azwâj yang digunakan al-

Qur‟an merupakan istilah gender, mencakup laki-laki atau perempuan.22

Bila dilihat dari definisi kata zauj menurut al-Tabarî, maka perempuan yang

dimaksud adalah istri dari laki-laki. Walaupun demikian, ia tidak menjelaskan

21
Tiga tokoh ini sudah penulis sebutkan di awal bab IV beserta alas an-alasan pengambilan
penafsiran ketiganya.
22
M. Quraish Shihab, Kematian adalah nikmat (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 241
64

secara tegas dan tidak ada indikasi bahwa perempuan yang dimaksud adalah istri

yang di dunia. Itu karena al-Tabarî hanya mengatakan bahwa mereka adalah

perempuan-perempuan surga yang disucikan. Melalui perkataannya ini, mungkin

sebagain orang, termasuk saya akan mengatakan bahwa maksud al-Tabarî bukan

istri dari dunia tapi istri yang disediakan di surga. Lebih-lebih saat menjelaskan

dua surah al-Ra‟du (13); ayat 23 dan Ghâfir (40); ayat 8 yang jelas berbicara

pasangan di dunia dan dipahaminya sebagai istri, tidak ada penekanan bahwa ia

adalah azwâj mutahharah.

Hûr „în dalam surah al-Dukhân (44); 54 dan al-Tûr (52); 20. Kata ini pun

dipahaminya sebagai sosok perempuan yang dinikahkan dengan orang-orang yang

bertakwa sebagai bentuk kemuliaan sebagaimana mereka dimuliakan dengan

dimasukkan ke surga dan diberi pakaian sundus dan istabraq. Nampaknya, ini

bukan pula azwâj mutahharah yang ada dalam surah al-Baqarah, `Âlu „Imrân dan

al-Nisâ`, karena al-Tabarî tidak menyinggung ayat-ayat tersebut saat memahami

dua ayat ini. 23

(O)
Perempuan Surga, suci dari penyakit jasmani

Azwâj Mutahharah Perempuan surga yang disucikan dari


(R) semua penyakit jasmani yang dimiliki
perempuan dunia.
(I)

23
Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, juz 24, h. 136
65

(O)
Perempuan yang dinikahkan

Hûr „în Perempuan yang dinikahkan di surga


(R) dengan laki-laki bertakwa yang masuk surga
(I)

Pasangan ataupun azwâj mutahharah di surga menurut al-Sya‟râwî adalah

laki-laki atau perempuan yang merupakan pasangan dari dunia. Mereka sama-

sama baik dan taat kepada Allah sehingga mereka dimasukkan kedalam surga-

Nya. Bila dilihat secara parsial, al-Sya‟râwî saat menjelaskan surah al-Baqarah,

`Âlu „Imrân dan Yâsîn seakan lebih condong memahami pasangan sebagai

perempuan. Ia sering menyebutkan perempuan sebagai contoh. Hal ini

kemungkinan besar karena audien yang hadir ke majlis al-Sya‟râwî adalah laki-

laki. Tetapi, bila dilihat secara tematis tidak demikian. Saat membahas surah al-

Ra‟du terlihat jelas bahwa pasangan yang dimaksudnya laki-laki atau perempuan.

Mereka disucikan dari segala sesuatu baik rohani ataupun jasmani yang tidak

disukai oleh pasangannya selama di dunia. Hûr „în yang juga dijadikan pasangan

bagi orang baik dan taat kepada Allah sosoknya adalah perempuan tetapi ini

menurutnya tidak penting. Pasangan yang dimaksud di sini juga tidak seperti

pasangan di dunia yang berarti dengan pernikahan.

(O1) (O2)
Suami/ Istri Perkara yang tidak disukai di dunia

Azwâj Mutahharah Suami/ istri Suami/ istri, suci dari


(R1) yang disucikan yang tidak disukai oleh
(I1/R2) pasangannya di dunia
(I2)
66

(O)
Perempuan bukan dari jenis
manusia

Hûr „în Seorang perempuan yang dikumpulkan


(R) dengan orang bertakwa sehinnga
menjadi pasangan
(I)

Quraish Shihab dalam memahami kata azwâj sama seperti al-Sya‟râwî,

terlihat lebih umum. Artinya, kata tersebut diartikan sebagai pasangan baik laki-

laki atau perempuan. Pasangan di sini ialah pasangan saat di dunia yang sama-

sama baik, saleh dan taat. Inilah syarat yang harus dipenuhi sebagaimana

termaktub dalam surah al-Ra‟du (13); ayat 23 dan surah Ghâfir (40); ayat 8.

Pemaknaan seperti ini menafikan sangkaan negatif sebagian orang terhadap al-

Qur‟an yang dianggap hanya mendeskripsikan kenikmatan-kenikmatan bagi kaum

lelaki. Adapun kata mutahharah menurutnya bermakna disucikan secara rohani

dan jasmani.

Saat membahas kata hûr „în, ia pun tidak memahaminya sebagai sosok

perempuan sebagaimana al-Tabarî dan al-Sya‟râwî memahami. Menurutnya

sosoknya bisa laki-laki atau perempuan. Bahkan menurutnya, sosoknya bukan dari

jenis manusia.

(O1) (O2)
Suami/ istri di dunia Rohani jasmani di surga

Azwâj Mutahharah Suami/ istri Suami/ istri dunia


(R1) di dunia yang yang sama-sama masuk
disucikan surga dan disucikan
(I1/R2) secara rohani jasmani
(I2)
67

(O)
Laki-laki/ perempuan yang bukan dari jenis manusia

Hûr „în Laki-laki atau perempuan yang bukan


(R) dari jenis manusia yang dipasangkan
dengan orang-orang bertakwa.
(I)

Ketiga penafsir di atas, terlihat jelas perbedaan dan persamaan mereka

dalam memahami pasangan surga. Begitu pula bila dibandingkan dengan hasil

penelitian penulis dengan menggunakan analisis semiotik Pierce. Untuk

mempermudah perbandingan tersebut, lihat tabel di bawah ini:

Tabel Perbandingan Penafsiran Ulama dan Analisis Semiotik Peirce


Perbedaan Penafsiran Ulama dengan Hasil Analisis Semiotik Peirce
terhadap Ayat-Ayat Pasangan di Surga
Penafsir/
Representamen Objek Interpretan
Peneliti
Tabarî Pasangan yang Perempuan Pasangan yang disucikan
disucikan Surga, suci merupakan Perempuan
(azwâj dari penyakit surga yang disucikan dari
mutahharah) jasmani semua penyakit-penyakit
jasmani yang dimiliki
perempuan dunia.
Hûr „în Perempuan Hûr „în merepakan
surga yang perempuan surga yang
dinikahkan dinikahkan dengan orang-
orang bertakwa.
Sya‟râwî Pasangan yang Suami/istri, Pasangan yang disucikan
disucikan suci dari yang adalah suami atau istri di
(azwâj dibenci. dunia yang sama-sama
mutahharah) masuk surga. Disucikan
dari semua yang dibenci
pasangannya di dunia.
Hûr „în Perempuan Hûr „în merupakan
yang Perempuan yang
dikumpulkan dikumpulkan dengan
dengan orang orang bertakwa sehingga
bertakwa. menjadi pasangan.
68

Quraish Pasangan yang Suami/istri, Pasangan (suami atau


disucikan suci rohani istri) di dunia yang sama-
(azwâj jasman. sama masuk surga dan
mutahharah) disucikan secara rohani
dan jasmani.
Hûr „în Lelaki/ Lelaki/ perempuan
perempuan yang dipasangkan
bukan jenis dengan orang
manusia bertakwa.
Penulis Pasangan yang Istri/suami Pasangan yang disucikan
disucikan saleh. merupakan pasangan saat
(azwâj Hûr „în dari di dunia, dan hûr „în dari
mutahharah) akhirat (bukan akhirat yang dipasangkan
jenis oleh Allah dengan orang-
manusia). orang bertakwa.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis penulis terhadap sembilan ayat tentang pasangan

dengan kata kunci azwâj dan derivasinya setelah disemiosiskan dengan semiotik

Peirce terdapat tiga pola pemahaman besar. Ketiganya adalah pasangan yang

disucikan disediakan bagi ahli surga; pasangan saleh saat di dunia yang sama-

sama masuk surga dan terakhir adalah hûr ‘în yang dipasangkan dengan ahli

surga. Hasil ini, disemiosiskan kembali secara keseluruhan sehingga

menghasilkan penafsiran bahwa orang-orang yang masuk surga semuanya akan

mendapat pasangan yang disucikan (azwâj mutahharah), tidak ada yang sendiri

didalamnya. Pasangan yang disucikan adalah pasangannya yang saleh di dunia.

Bagi yang tidak memiliki pasangan baik laki-laki atau perempuan, dia akan

mendapat pasangan pula yang jenisnya bukan dari dunia yaitu hûr ‘în.

B. Saran

Penelitian ini masih banyak kekurangannya. Terutama dalam

pengaplikasian analisis semiotik Peirce. Penulis hanya membatasi pada internal

ayat. Selain itu, penulis hanya membatasi pada pasangan surga dengan kata kunci

azwâj dan hûr ‘în yang digandengkan dengan lafadz zawwaja. Ini menyebabkan

pandangan al-Qur’an tentang pasangan lebih sempit. Penelitian ini bisa

dilanjutkan dengan pendekatan berbeda dan menghadirkan data-data sejarah

ataupun lainnya yang terkail al-Qur’an. Ini oleh penulis sebut sebagai faktor

eksternal. Ini akan memperkaya dan mempertajam analisis sehingga pemahaman

69
70

pasangan di surga atupun pasangan secara umum di dalam al-Qur’an lebih

komprehensif. Pergolakan atau proses lahirnya perbedaan pemahaman-

pemahaman terkait pasangan di kalangan ulama pun akan terlihat. Terakhir,

masukan, saran dan kritik membangun terhadap penulis untuk lebih baiknya

penelitian ini sangat dibutuhkan.


DAFTAR PUSTAKA

„Abd al-Bâqî, Muhammad Fuad. Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz al-Qur`ân bi


Hasyiyah al-Mushaf al-Syarîf. Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 2007.

„Abd al-Rahmân, Jâsim. Fi Riyâḏ al-Jannah. al-Maktab al-Misrî al-Hadîts, 2004.

Ahmad, Mirzâ Basyîr al-Dîn Mahmûd. al-Tafsîr al-Kabîr. Islâm Âbâd: al-Syirkah
al-Islâmiyah al-Mahdûdah, 1993.

Al-Ahwâl al-Syakhsiyyah. Qâhirah: Jâmi„ah al-Azhâr Kulliyyah al-Dirâsât al-


Islâmiyyah wa al-„Arabiyyah, 2001.

Al-„Ammâri, Abî Su„ûd Muhammad bin Muhammad. Irsyâd al-„Aql al-Salîm Ilâ
Marâyâ al-Qur`ân al-Karîm. Bairût: Dâr Ihyâi Turâts al-„Arabî, t.t

Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim (Hamka). Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1983.

„Anbar, Farj „Alî al-Sayyid dan Muhammad, Abû al-Yazîd. al-Ahwâl al-
Syakhsiyyah. Qâhirah: Jâmi„ah al-Azhâr, 2001.

Al-Andalusî, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-
Qurtubî. Bidâyah al-Mujtahid fî Nihâyah al-Muqtasid. Surabaya: Toko
Kitâb al-Hidâyah, t.t.

Armando, Nina M, ed. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.

Al-Asfahânî, al-Râghib. Mu‟jam Mufradât alfâz al-Qur`ân. Bairût: Dâr al-Kutub


al-„Ilmiyyah, 2004.

Al-„Asyiqar, „Umar Sulaiman. Ensiklopedia Kiamat: dari Sakratulmaut hingga


Surga-Neraka. Penerjemah Irfan Salim, dkk. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2005.

Baidan, Nasaruddin. Metode Penafsiran al-Qur‟an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2002.

Berger, Arthur Asa. Tanda-Tanda dalam Kebudayân Kontemporer. Penerjemah


M. Dwi Marianto, Sunarto. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.

Al-Birûsawî, Al-Syaikh Ismâ„iîl Haqqî. Tafsîr Rûh al-Bayân. T.tp: Dâr al-Fikr,t.t.

Budiman, Kris. Semiotika Visual: Konsep, Isu dan Problem Ikonisitas.


Yogyakarta: Jalasutra, 2011.

Al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî. Riyâḏ: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, 1998.

71
72

Cristomy dan Yuwono. Untung. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian


Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia, 2010.

Dahlan, Abdul Aziz , ed. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 1996.

Danesi, Marcel. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika
dan Teori Komunikasi. Penerjemah Evi Setya Rini dan Lusi Lian Piantari.
Yogyakarta: Jalasutra, 2010.

Al-Dardîr, „Abd al-„Azîz. al-Tafsîr al-Mauḏû„î li Âyât al-Tauhîd fî al-Qur`ân al-


Karîm. Qâhirah: Maktabah al-Qur`ân, t.t.

Darwazah, Muhammad „Izzah. al-Tafsîr al-Hadîs: Tartîb al-Suwar Hasb al-


Nuzûl. Bairût: Dâr al-Gharb al-Islamî, 2000.

Al-Dimasyqî, Abû al-Fidâ‟ Ismâ„iîl bin Katsîr al-Qurasyî. Tafsîr al-Qur`ân al-
„Azîm. Riyâḏ: Dâr al-Salâm, 1993.

Al-Dzahabî, Muhammad Husain. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn: Bahts Tafsilî „an


Nasy`ah al-Tafsîr wa Tatawwurihi wa Alwânihi wa Madzâhibihi ma‟a
„Ardin Syâmilin li Asyhari al-Mufassirîn wa Tahlîlin Kâmilin li Ahammi
Kutub al-Tafsîr min „Asri al-Nabî ilâ „Asrinâ al-Hadir. Qâhirah: Maktabah
Wahbah, 1995.

F. Amrullah, Eva. “Dari Teks Ke Aksi: Merekomendasi Tafsir Tematik,” dari


Hassan Hanafi “Hal Ladaynâ Nadariyyah al-Tafsîr?” dalam Hassan Hanafi,
Qaḏayâ al-Mu„âsarah fî Fikrinâ al-Mu„âsir I, Jurnal STUDI AL-QUR‟AN,
Vol. I, No. 1, Januari (2006), h, 57-58.

Fitriyana, Pipit Aidul. “Kisah Yusuf dalam al-Qur‟an: Perspektif Semiologi


Roland Barthes.” Skripsi S1Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

Al-Ghazalî, Muhammad. Berdialog Dengan Al-Qur‟an: Memahami Pesan Kitab


Suci Dalam Kehidupan Masa Kini. Penerjemah Masykur Hakim dan
Ubaidillah. Bandung: Mizan, 1999.

Hakim IMZI, Husnul. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir: Kumpulan Kitab-Kitab


Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer. Podok Cabe: Lingkar
Studi al-Qur‟an (eLSiQ), 2013.

Al-Hanafî, Al-Sayyid Muhammad Murtaḏâ al-Husainî al-Wâsiṭî al-Zubaidî. Tâj


al-„Arûs min Jawâhir al-Qâmûs. T.tp: Dâr al-Fikr, t.t.
73

Hasanah, Mauidzoh. “Zauj dalam al-Qur‟an: Studi Tafsir Tematik.” Skripsi S1


Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2009.

Hatta, Ahmad. Tafsir Qur‟an Perkata: Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul Dan
Terjemahannya. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009.

Hijazî, Muhammad Mahmud. al-Tafsîr al-Wâḏih. Bairût: Dâr al-Jail, 1993.

Hikmah, Lexi Zulkarnaen. “Hadis Tentang Keutamaan Ibu; Suatu Tinjauan Dan
Analisis Semiotik Carles S. Peirce.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

HM. Sonhaji, dkk. Al-Qur‟an Dan Tafsirannya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, t.t.

Hoed, Benny H.. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu, 2014.

Ibn „Âsyûr, Muhammad al-Tâhir. Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr. Tunis: Dâr


Suhnûn, t.t.

Ibn Qutaibah, „Abdullah bin Muslim. Tafsîr Gharîb al-Qur`ân. Lubnân: Dâr al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 1978.

Ibn Zakariyâ, Abî al-Husain Ahmad bin Fâris. Mu„jam Maqâyîs al-Lughah. Arab
Saudi: Dâr al-Fikr, 1979.

Imron, Ali. Semiotika al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi terhadap Kisah Yusuf.
Yogyakarta: Teras, 2011.

Iyâzî, al-Sayyid Muhammad „Alî. al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum.


Teherân: Wizarât Farhink wa Irsyâdât Islamî, t.t.

Al-Jauharî, Abî Nasr Ismâ„iîl bin Hammâd. Al-Sihâh: Tâj al-Lughah wa Sihâh al-
„Arabiyyah. Lubnân: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t.

Al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim. Surga yang Allah Janjikan. Penerjemah Zainul


Maarif. Jakarta: Qisthi Press, 2012.

Al-Jazâir, Abû Bakr Jâbir. Aisar al-Tafâsîr li Kalâm al-„Aliyyi al-Kabîr. Madinah
al-Munawwarah: Maktabah al-„Ulûm wa al-Hikam, 1987.

Jazuli, Ahzami Samiun. Kehidupan dalam Pandangan al-Qur‟an. Penerjemah


Sari Narulita. Depok: GEMA INSANI, 2006.

Kandito, Argawi. Menguak Tabir Kematian. Yogyakarta: Pustaka Psantren, 2011.


74

Kementrian Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,


Direktorat Urusan Agama Islam Dan Pembinaan Syariah, al-Qur‟n Dan
Terjemahnya. Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012.

Al-Khâlidî, Salâh „Abd al-Fattâh. al-Tafsîr al-Maudû‟î li Mustalahât al-Qur`ân:


al-Tafsîr wa al-Ta‟wîl fî al-Qur`ân. Yordania: Dâr al-Nafâiz, t.t.

Al-Khatîb, Muhammad bin Ahmad al-Syarbinî. al-Iqnâ` fî Halli Alfâz Abî Syujâ‟.
T.tp: Maktabah Dâr al-Khair, 2002.

Al-Khawârizmî, Mahmud bin „Umar al-Zamakhsyarî. Tafsîr al-Kasyâf „an


Haqâ`iq al-Tanzîl wa „Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta`wîl. Bairût: Dâr al-
Ma‟rifah, 2009.

Khuza‟i, Rodliyah. Dialog Epistimologi Mohammad Iqbal dan Charles S. Peirce.


Bandung: PT Refika Aditama, 2007.

Marwih, Ahmad Zirzis. “Argumen al-Qur‟an tentang Hari Kebangkitan.” Tesis S2


Pascasarjana Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.

Al-Mâturidî, Muhammad bin Muhammad bin Mahmud. Ta‟wîlat Ahl al-Sunnah.


Bairût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2005.

Al-Misrî, Muhammad bin Mukrim bin Manzur al-Afriqî. Lisân al-„Arab. Bairût:
Dâr Sâdir, 1990 M.

Mustaqim, Muhammad. “Tafsîr Maudû„î: Metode Memahami al-Qur‟an Secara


Komprehensif,” Hermeneutik: Jurnal Tafsir dan Hadis, Vol. 7, No. 1,
Januari 2011.

Muzakki, Ahmad. Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama.


Malang: UIN Malang Press, 2007.

Al-Naisâburî, Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî. Sahih Muslim. Bairût: Dâr al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 2008.

Noor, Akmaldin dan Mukhlis, Aa Fuad. Al-Qur‟an Tematis: Takdir dan Hari
Akhir. Jakarta: Yayasan SIMAQ, 2010.

Oktavianti, Mega Rista. “Visualisasi Surga dan Neraka: Kajian Tematik Terhadap
Ayat-ayat al-Qur‟an Tentang Surga dan Neraka.” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Oxford Advanced Learner‟s Dictionary. T.tp: Oxford University Press, t.t.

Pari, Faris. “Epistemologi Semiotik Peirce: Kajian dan Terapan Teori Semiotik.”
Tesis S2 Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994.
75

Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya
Makna. Bandung: Matahari, 2012.

Al-Qodi, „Abd al-Rahmân bin Ahmad. Kehidupan Sebelum dan Sesudah


Kematian. Penerjemah Yodi Indrayadi dan Wiyanto Suud. Jakarta: Turos,
2014.

Qolay Sm. Hk, A. Hamid Hasan. Indeks Terjemah al-Qur‟an al-Karim. Jakarta:
Yayasan Halimatus-Sa‟diyyah, 1997.

Al-Qur‟an dan Terjemahannya. T.tp: CV. Penerbit J-ART, 2005.

Al-Qur‟an dan Terjemahannya: Ayat Pojok Bergaris. Semarang: As-Syifa‟, 1998.

Rahmatullah, Muslim. Kajian Tematik al-Qur‟an tentang Ketuhan “Perspektif al-


Qur‟an Tentang Hari Akhir” oleh Atjeng A. Kusyairi (Bandung: Angkasa,
2008.

Rasyîd Riḏâ, Tafsîr al-Manâr. Qâhirah: al-Maktabah al-Taufiqiyyah t.t.

Al-Râzî, Muhammad bin „Umar bin al-Husain. al-Tafsîr al-Kabîr Wa Mafâtih al-
Ghaib. Bairût: Dâr al-Fikr, 1990.

Saha, M. Isom El dan Hadi, Saiful. Sketsa al-Qur‟an: Tempat, Tokoh, Nama dan
Istilah dalam al-Qur‟an. Jakarta: Lista Fariska Putra, 2005.

Sahabuddin, ed. Ensiklopedi Al-Qur‟an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati,


2007.

Sahil, Azharuddin. Indeks al-Qur‟an: Panduan Mencari Ayat al-Qur‟an


Berdasarkan Kata Dasarnya. Bandung: Mizan, 1994.

Salîm, Muhammad „Adnân dan Sulaimân, Muhammad Wahbî. Mu‟jam Kalimât


al-Qur`ân al-„Azîm. Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998.

Sanusi, Irpan. “Pesan Semiotis al-Qur‟an: Analisis Strukturalisme QS. al-Lahab.”


Skripsi S1 Fakultas Usuluddin, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2016.

Shihab, Muhammad Quraish. Perempuan: dari Cinta sampai Seks dari Nikah
Mut‟ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru. Jakarta:
Lentera Hati, 2015.

Shihab, Muhammad Quraish. Kematian Adalah Nikmat. Tangerang: Lentera Hati,


2013.
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur‟an. Tangerang: Lentera Hati, 2002.
76

Shihab, Muhammad Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang
Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur‟an. Tangerang: Lentera Hati,
2013.

Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA,


2003.

Al-Sya‟râwî, Muhammad Mutawallî. Khawâtir al-Sya‟râwî Haul al-Qur`ân. T.tp:


Sultan: t.t.

Al-Syarbînî, al-Syaikh al-Khaṭîb. al-Sirâj al-Munîr. Bairût: Dâr al-Ma‟rifah, t.t.

Al-Tabarî, Abû Ja‟far Muhammad Ibn Jarîr. Jâmi‟ al-Bayân „an Ta`wîl Âyi al-
Qur`ân. Bairût: Dâr al-Fikr, 2005.

Tim Baitul Kilmah Jogjakarta. Ensiklopedia Pengetahuan al-Qur‟an dan Hadis.


Jakarta: Kamil Pustaka, 2013.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 2007.

Tinarbuko, Sumbo. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: JALASUTRA,


2009.

Al-Tuwaijirî, Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin „Abdullah. Ensiklopedi Islam


Kaffah. Penerjemah Najib Junaidi dan Izzuddin Karimi. Surabaya: Pustaka
Yassir, 2009.

Waskito. Orang Indonesia Banyak Masuk Surga. Jakarta: Al-Kautsar, 2014.

Wadud, Amina. Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci


dengan Semangat Keadilan. Penerjemah Abdullah Ali. Jakarta: PT. Serambi
Ilmu Semesta, 2006.

Al-Zuhailî, Wahbah. al-Usrah al-Muslimah fî al-„Âlam al-Mu„âsir. Damaskus:


Dâr al-Fikr, 2000.
‫‪Lampiran‬‬

‫‪Berdasarkan pencarian penulis menggunakan Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Qur`ân bi‬‬


‫‪Hasyiyah al-Mushaf al-Syarîf terhadap kata azwaj dan derifasinya ditemukan ada 81 kata‬‬
‫;‪dalam 72 ayat di 43 surah1‬‬
‫ود‬ ‫ِ‬ ‫‪ .1‬فَِإ ْن طَلَّ َق َها فَ ََل ََِت ُّل لَوُ ِمن ب ْع ُد ح ََّّت تَْن ِكح َزوجا َغْي رهُ فَِإ ْن طَلَّ َق َها فَ ََل جنَاح َعلَْي ِهما أَ ْن ي تَ ر ِ‬
‫يما ُح ُد َ‬
‫اج َعا إ ْن ظَنَّا أَ ْن يُق َ‬
‫َ ََ َ‬ ‫ُ َ‬ ‫َ ًْ َ‬ ‫َْ َ‬
‫اَّللِ يُبَ يِّنُ َها لَِق ْوٍم يَ ْعلَ ُمو َن (‪)230‬‬
‫ود َّ‬ ‫َِّ‬
‫اَّلل َوتِْل َ‬
‫ك ُح ُد ُ‬
‫‪QS. Al-Baqarah [2], 230‬‬

‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫‪ .2‬والَّ ِذين ي تَ وفَّو َن ِمْن ُكم وي َذرو َن أ َْزواجا ي تَ ربَّ ْ ِ ِ ِ‬
‫يما‬
‫اح َعلَْي ُك ْم ف َ‬ ‫ص َن ِبَنْ ُفسه َّن أ َْربَ َعةَ أَ ْش ُه ٍر َو َع ْشًرا فَإذَا بَلَ ْغ َن أ َ‬
‫َجلَ ُه َّن فَ ََل ُجنَ َ‬ ‫َ ً ََ‬ ‫ْ ََ ُ‬ ‫َ َ َُ ْ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫فَ َع ْل َن ِٓت أَنْ ُفسه َّن ِبلْ َم ْعُروف َو َّ‬
‫اَّللُ ِبَا تَ ْع َملُو َن َخب ٌري (‪)234‬‬
‫‪QS. Al-Baqarah [2], 234‬‬

‫ِِ‬ ‫ث ِشْئ تما وََل تَ ْقرِب ى ِذهِ الشَّجرَة فَت ُك َ ِ‬ ‫ِ‬


‫وَن م َن الظَّالم َ‬
‫ني (‪)35‬‬ ‫ََ َ‬ ‫اْلَنَّةَ َوُك ََل مْن َها َر َغ ًدا َحْي ُ ُ َ َ َ َ َ‬
‫ك ْ‬ ‫ت َوَزْو ُج َ‬
‫اس ُك ْن أَنْ َ‬
‫آد ُم ْ‬
‫‪َ .3‬وقُ ْلنَا ََي َ‬
‫‪QS. Al-Baqarah [2], 35‬‬

‫الس ْحَر َوَما أُنْ ِزَل‬‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َّاس ّ‬ ‫ني َك َفُروا يُ َعلّ ُمو َن الن َ‬ ‫ني َعلَى ُم ْلك ُسلَْي َما َن َوَما َك َفَر ُسلَْي َما ُن َولَك َّن الشَّيَاط َ‬ ‫‪َ .4‬واتَّبَ ُعوا َما تَْت لُو الشَّيَاط ُ‬
‫َح ٍد َح ََّّت يَ ُق َوَل إَِِّنَا ََْن ُن فِْت نَةٌ فَ ََل تَ ْك ُف ْر فَيَ تَ َعلَّ ُمو َن ِمْن ُه َما َما‬ ‫ِ ِِ‬
‫وت َوَما يُ َعلّ َمان م ْن أ َ‬ ‫ني بِبَابِ َل َى ُار َ‬
‫وت َوَم ُار َ‬ ‫َعلَى الْملَ َك ْ ِ‬
‫َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِِ‬ ‫ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ني الْمرء وَزْوجو وَما ُىم ب َ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ضُّرُى ْم َوََل يَْن َف ُع ُه ْم َولَ َق ْد َعل ُموا لَ َم ِن‬‫اَّلل َويَتَ َعلَّ ُمو َن َما يَ ُ‬ ‫َحد إََّل ِب ْذن َّ‬ ‫ين بو م ْن أ َ‬ ‫ض ّار َ‬ ‫َ ْ‬ ‫يُ َفِّرقُو َن بو بَ ْ َ َ ْ َ‬
‫س َما َشَرْوا بِِو أَنْ ُف َس ُه ْم لَ ْو َكانُوا يَ ْعلَ ُمو َن (‪)102‬‬ ‫ٍ ِ‬ ‫ِ ِ ِِ‬
‫ا ْشتَ َراهُ َما لَوُ ٓت ْاْلخَرة م ْن َخ ََلق َولَبْئ َ‬
‫‪QS. Al-Baqarah [2], 102‬‬

‫َّات ََْت ِري ِم ْن ََْتتِ َها ْاْلَنْ َه ُار ُكلَّ َما ُرِزقُوا ِمْن َها ِم ْن ََثََرةٍ ِرْزقًا قَالُوا َى َذا الَّ ِذي‬
‫َن ََلم جن ٍ‬ ‫‪ .5‬وب ِّش ِر الَّ ِذين آمنُوا وع ِملُوا َّ ِ ِ‬
‫الصاِلَات أ َّ ُْ َ‬ ‫َ َ ََ‬ ‫ََ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫اج ُمطَ َّهَرةٌ َوُى ْم ف َيها َخال ُدو َن (‪)25‬‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ُرزقْ نَا م ْن قَ ْب ُل َوأُتُوا بو ُمتَ َشاِبًا َوََلُْم ف َيها أ َْزَو ٌ‬
‫‪QS. Al-Baqarah [2], 25‬‬

‫ظ بِِو َم ْن‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬


‫وع ُ‬
‫ك يُ َ‬ ‫اج ُه َّن إِذَا تَ َر َ‬
‫اض ْوا بَْي نَ ُه ْم ِِبلْ َم ْعُروف ذَل َ‬ ‫وى َّن أَ ْن يَْنك ْح َن أ َْزَو َ‬ ‫ضلُ ُ‬ ‫َجلَ ُه َّن فَ ََل تَ ْع ُ‬ ‫ِ‬
‫‪َ .6‬وإذَا طَلَّ ْقتُ ُم النّ َساءَ فَبَ لَ ْغ َن أ َ‬
‫اَّللُ يَ ْعلَ ُم َوأَنْتُ ْم ََل تَ ْعلَ ُمو َن (‪)232‬‬ ‫َكا َن ِمْن ُك ْم يُ ْؤِم ُن ِِب ََّّللِ َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر َذلِ ُك ْم أ َْزَكى لَ ُك ْم َوأَطْ َهُر َو َّ‬
‫‪QS. Al-Baqarah [2], 232‬‬

‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫اعا إِ ََل ْ ِ‬ ‫ِ ِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫َّ ِ‬


‫اح َعلَْي ُك ْم ِٓت َما‬
‫اِلَْول َغْي َر إ ْخَر ٍاج فَإ ْن َخَر ْج َن فَ ََل ُجنَ َ‬ ‫اجا َو يَّةً ْلَ ْزَواج ِه ْم َمتَ ً‬
‫ين يُتَ َوفَّ ْو َن مْن ُك ْم َويَ َذ ُرو َن أ َْزَو ً‬
‫‪َ .7‬والذ َ‬
‫اَّللُ َع ِز ٌيز َح ِك ٌيم (‪)240‬‬
‫وف َو َّ‬‫فَع ْلن ِٓت أَنْ ُف ِس ِه َّن ِمن معر ٍ‬
‫ْ َ ُْ‬ ‫ََ‬
‫)‪QS. Al-Baqarah [2], 240 (2x‬‬

‫ض َوا ٌن ِم َن‬ ‫‪ .8‬قُل أَؤنَبِئ ُكم ِِب ٍري ِمن َذلِ ُكم لِلَّ ِذين اتَّ َقوا ِعْند رِبِِم جنَّات ََت ِري ِمن ََتتِها ْاْلَنْهار خالِ ِد ِ‬
‫اج ُمطَ َّهَرةٌ َوِر ْ‬
‫ين ف َيها َوأ َْزَو ٌ‬
‫ْ َْ َُ َ َ‬ ‫ْ ُ ُّ ْ َْ ْ ْ َ ْ َ َ ّ ْ َ ٌ ْ‬
‫ص ٌري ِِبلْعِبَ ِاد (‪)15‬‬
‫اَّلل ب ِ‬ ‫َِّ‬
‫اَّلل َو َُّ َ‬
‫‪QS. Alu Imran [3], 15‬‬

‫‪1‬‬
‫‪Muhammad Fuad ‘Abd al-Bâqî, Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Qur`ân bi Hasyiyah al-Mushaf al-‬‬
‫‪Syarîf (Kairo: Dâr al-Hadîs, 2007), h. 408-10‬‬
‫استِْب َد َال َزْو ٍج َم َكا َن َزْو ٍج َوآتَْي تُ ْم إِ ْح َد ُاى َّن قِْنطَ ًارا فَ ََل ََتْ ُخ ُذوا ِمْنوُ َشْي ئًا أ َََتْ ُخ ُذونَوُ بُ ْهتَ ً‬
‫اَن َوإَِْثًا ُمبِينًا (‪)20‬‬ ‫‪َ .9‬وإِ ْن أ ََرْد ُُتُ ْ‬
‫)‪QS. Al-Nisa [4], 20 (2X‬‬

‫اح َدةٍ َو َخلَ َق ِمْن َها َزْو َج َها َوبَ َّ‬


‫ث ِمْن ُه َما ِر َج ًاَل َكثِ ًريا َونِ َساءً َواتَّ ُقوا َّ‬ ‫سوِ‬ ‫ِ‬ ‫َّ ِ‬
‫اَّللَ‬ ‫َّاس اتَّ ُقوا َربَّ ُك ُم الذي َخلَ َق ُك ْم م ْن نَ ْف ٍ َ‬ ‫‪ََ .10‬ي أَيُّ َها الن ُ‬
‫اَّللَ َكا َن َعلَْي ُك ْم َرقِيبًا (‪)1‬‬
‫الَّ ِذي تَ َساءَلُو َن بِِو َو ْاْل َْر َح َام إِ َّن َّ‬
‫‪QS. Al-Nisa [4], 1‬‬

‫ني ِِبَا أ َْو‬ ‫ِ ِ ٍِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬


‫الربُ ُع ِمَّا تَ َرْك َن م ْن بَ ْعد َو يَّة يُو َ‬ ‫اج ُك ْم إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن ََلُ َّن َولَ ٌد فَِإ ْن َكا َن ََلُ َّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم ُّ‬ ‫ص ُ َما تَ َرَك أ َْزَو ُ‬ ‫‪َ .11‬ولَ ُك ْم ن ْ‬
‫الربُ ُع ِِمَّا تَ َرْكتُ ْم إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَ ٌد فَِإ ْن َكا َن لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَ ُه َّن الث ُُّم ُن ِِمَّا تَ َرْكتُ ْم ِم ْن بَ ْع ِد َو ِ يَّ ٍة تُو ُو َن ِِبَا أ َْو َديْ ٍن‬
‫َديْ ٍن َوََلُ َّن ُّ‬
‫ِ‬ ‫اح ٍد ِمْن ُه َما ُّ‬ ‫ث َك ََللَةً أَ ِو امرأَةٌ ولَو أَخ أَو أُخت فَلِ ُك ِل و ِ‬
‫ك فَ ُه ْم ُشَرَكاءُ‬ ‫س فَِإ ْن َكانُوا أَ ْكثَ َر ِم ْن َذل َ‬ ‫الس ُد ُ‬ ‫َّ‬ ‫َْ َ ُ ٌ ْ ْ ٌ‬ ‫َوإِ ْن َكا َن َر ُج ٌل يُ َور ُ‬
‫اَّللُ َعلِ ٌيم َحلِ ٌيم (‪)12‬‬ ‫اَّللِ َو َّ‬
‫ار َو ِ يَّةً ِم َن َّ‬ ‫ض ٍّ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ ِ ٍِ‬
‫ِٓت الثُّلُث م ْن بَ ْعد َو يَّة يُو َ ى ِبَا أ َْو َديْ ٍن َغْي َر ُم َ‬
‫‪QS. Al-Nisa’ [4], 12‬‬

‫اج ُمطَ َّهَرةٌ‬


‫أ َْزَو ٌ‬ ‫ين فِ َيها أَبَ ًدا ََلُْم فِ َيها‬ ‫ِِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫‪ .12‬والَّ ِذين آمنُوا وع ِملُوا َّ ِ ِ‬
‫الصاِلَات َسنُ ْدخلُ ُه ْم َجنَّات ََْت ِري م ْن ََْتت َها ْاْلَنْ َه ُار َخالد َ‬ ‫َ َ َ ََ‬
‫ِ‬
‫َونُ ْد ِخلُ ُه ْم ِظ َِّل ظَل ًيَل (‪)57‬‬
‫‪QS. Al-Nisa [4], 57‬‬

‫ِِ‬ ‫ِ‬ ‫ون ى ِذهِ ْاْلَنْع ِام خالِ ِ‬


‫ِ‬
‫صةٌ ل ُذ ُكوِرََن َوُُمََّرٌم َعلَى أ َْزَواجنَا َوإِ ْن يَ ُك ْن َمْي تَةً فَ ُه ْم فيو ُشَرَكاءُ َسيَ ْج ِزي ِه ْم َو ْ َف ُه ْم إِنَّوُ‬
‫َ َ َ‬ ‫‪َ .13‬وقَالُوا َما ِٓت بُطُ َ‬
‫َح ِك ٌيم َعلِ ٌيم (‪)139‬‬
‫‪QS. Al-An’am [6], 139‬‬

‫ني نَبِّئُ ِوِن بِعِْل ٍم‬


‫ت َعلَْي ِو أ َْر َح ُام ْاْلُنْثَيَ ْ ِ‬ ‫آلذ َكريْ ِن َحَّرَم أَِم ْاْلُنْثَيَ ْ ِ‬
‫ني أ ََّما ا ْشتَ َملَ ْ‬ ‫َّ‬ ‫ِ ِ‬ ‫‪ََ .14‬ثَانِيةَ أ َْزو ٍاج ِمن َّ ِ ِ ِ‬
‫الضأْن اثْنَ ْني َوم َن الْ َم ْعز اثْنَ ْني قُ ْل َ‬ ‫َ َ َ‬
‫ِِ‬
‫ني (‪)143‬‬ ‫إِ ْن ُكْن تُ ْم َ ادق َ‬
‫‪QS. Al-An’am [6], 143‬‬

‫ِِ‬ ‫ث ِشْئ تما وََل تَ ْقرِب ى ِذهِ الشَّجرةَ فَت ُك َ ِ‬ ‫ِ‬


‫وَن م َن الظَّالم َ‬
‫ني (‪)19‬‬ ‫ََ َ‬ ‫اْلَنَّةَ فَ ُك ََل م ْن َحْي ُ ُ َ َ َ َ َ‬
‫ك ْ‬ ‫ت َوَزْو ُج َ‬
‫اس ُك ْن أَنْ َ‬
‫آد ُم ْ‬
‫‪َ .15‬وََي َ‬
‫‪QS. Al-A’raf [7], 19‬‬

‫ت بِِو فَلَ َّما‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫‪ .16‬ىو الَّ ِذي خلَ َق ُكم ِمن نَ ْف ٍ ِ ٍ‬
‫ت َحَْ ًَل َخفي ًفا فَ َمَّر ْ‬ ‫س َواح َدة َو َج َع َل مْن َها َزْو َج َها ليَ ْس ُك َن إِلَْي َها فَلَ َّما تَغَش َ‬
‫َّاىا ََحَلَ ْ‬ ‫َ ْ ْ‬ ‫َُ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ين (‪)189‬‬ ‫اَّللَ َربَّ ُه َما لَئ ْن آتَْي تَ نَا َ اِلًا لَنَ ُكونَ َّن م َن الشَّاك ِر َ‬
‫ت َد َع َوا َّ‬
‫أَثْ َقلَ ْ‬
‫‪QS. Al-A’raf [7], 189‬‬

‫ض ْونَ َها‬ ‫ِ‬ ‫‪ .17‬قُل إِ ْن َكا َن آِب ُؤُكم وأَب نَا ُؤُكم وإِخوانُ ُكم وأ َْزواج ُكم وع ِشريتُ ُكم وأَمو ٌال اقْ ت رفْ تم ِ‬
‫وىا َوَتَ َارةٌ ََتْ َش ْو َن َك َس َاد َىا َوَم َساك ُن تَ ْر َ‬
‫َ ْ َ ْ ْ َ ْ َ ْ َ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ ْ َ ََ ُ ُ َ‬ ‫ْ‬
‫ني (‪)24‬‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫صوا َح ََّّت ََيِْتَ َّ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫اَّللُ ََل يَ ْهدي الْ َق ْوَم الْ َفاسق َ‬ ‫اَّللُ ِب َْمره َو َّ‬ ‫اَّلل َوَر ُسولو َوج َهاد ٓت َسبيلو فَتَ َربَّ ُ‬
‫ب إلَْي ُك ْم م َن َّ‬
‫َح َّ‬
‫أَ‬
‫‪QS. Al-Taubah [9], 24‬‬

‫ك إََِّل َم ْن َسبَ َق َعلَْي ِو الْ َق ْو ُل َوَم ْن َآم َن َوَما َآم َن‬ ‫اَحل فِ َيها ِم ْن ُك ٍل َزْو َج ْ ِ‬
‫ني اثْنَ ْ ِ‬
‫ني َوأ َْىلَ َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ّ‬ ‫ُّور قُ ْلنَا ْ ْ‬
‫‪َ .18‬ح ََّّت إ َذا َجاءَ أ َْمُرََن َوفَ َار التَّن ُ‬
‫يل (‪)40‬‬ ‫َِّ ِ‬
‫َم َعوُ إَل قَل ٌ‬
‫‪QS. Hud [11], 40‬‬
‫َّه َار إِ َّن ِٓت‬ ‫ني اثْنَ ِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ض َو َج َع َل ف َيها َرَواس َي َوأَنْ َه ًارا َوم ْن ُك ِّل الث ََّمَرات َج َع َل ف َيها َزْو َج ْ ِ ْ‬
‫ني يُ ْغشي اللَّْي َل الن َ‬ ‫‪َ .19‬وُى َو الَّذي َم َّد ْاْل َْر َ‬
‫ت لَِق ْوٍم يَتَ َف َّكُرو َن (‪)3‬‬ ‫ذَلِك َْلَي ٍ‬
‫َ َ‬
‫‪QS. Al-Ra’du [13], 3‬‬

‫َّات َع ْد ٍن ي ْد ُخلُونَها ومن لَح ِمن آِبئِ ِهم وأ َْزو ِاج ِهم وذُ ِرََّيِتِِم والْم ََلئِ َكةُ ي ْد ُخلُو َن َعلَْي ِهم ِمن ُك ِل ِب ٍ‬
‫ب (‪)23‬‬ ‫‪َ .20‬جن ُ‬
‫ْ ْ َّ‬ ‫َ‬ ‫َ ََ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ّ ْ َ َ‬ ‫َ‬
‫‪QS. Al-Ra’du [13], 23‬‬

‫اَّللِ لِ ُك ِل أ ِ‬ ‫ِ ٍ ِ ِِ ِ‬ ‫ِ ٍ‬ ‫ِ‬
‫‪َ .21‬ولَ َق ْد أ َْر َس ْلنَا ُر ُس ًَل ِم ْن قَ ْبل َ‬
‫اب (‪)38‬‬ ‫اجا َوذُ ِّريَّةً َوَما َكا َن لَر ُسول أَ ْن ََيِِْتَ ِبيَة إََّل ِب ْذن َّ ّ َ‬
‫َج ٍل كتَ ٌ‬ ‫ك َو َج َع ْلنَا ََلُْم أ َْزَو ً‬
‫‪QS. Al-Ra’du [13], 38‬‬

‫ني (‪)88‬‬‫ك إِ ََل ما متَّعنَا بِِو أ َْزواجا ِمْن هم وََل ََْتز ْن علَي ِهم واخ ِفض جنَاح َ ِ ِ ِ‬ ‫‪ََ .22‬ل َُد َّ‬
‫ك ل ْل ُم ْؤمن َ‬ ‫َ ً ُْ َ َ َ ْ ْ َ ْ ْ َ َ‬ ‫َّن َعْي نَ ْي َ َ َ ْ‬
‫‪QS. Al-Hijr [15], 88‬‬

‫اط ِل يُ ْؤِمنُو َن‬ ‫اَّلل جعل لَ ُكم ِمن أَنْ ُف ِس ُكم أ َْزواجا وجعل لَ ُكم ِمن أ َْزو ِاج ُكم بنِني وح َف َدةً ورزقَ ُكم ِمن الطَّيِب ِ‬
‫ات أَفَبِالْب ِ‬
‫َ‬ ‫ْ َ ً َ َ َ َ ْ ْ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َّ‬ ‫‪َ .23‬و َُّ َ َ َ ْ ْ‬
‫اَّللِ ُى ْم يَ ْك ُفُرو َن (‪)72‬‬
‫ت َّ‬ ‫وبِنِعم ِ‬
‫َ َْ‬
‫)‪QS. Al-Nahl [16], 72 (2x‬‬

‫السم ِاء ماء فَأَخرجنَا بِِو أ َْزواجا ِمن نَب ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ات َش ََّّت (‪)53‬‬‫ًَ ْ َ‬ ‫ك لَ ُك ْم ف َيها ُسبُ ًَل َوأَنْ َزَل م َن َّ َ َ ً ْ َ ْ‬ ‫‪ .24‬الَّذي َج َع َل لَ ُك ُم ْاْل َْر َ‬
‫ض َم ْه ًدا َو َسلَ َ‬
‫‪QS. Taha [20], 53‬‬

‫اْلَن َِّة فَتَ ْش َقى (‪)117‬‬


‫ك فَ ََل ُُيْ ِر َجنَّ ُك َما ِم َن ْ‬ ‫‪ .25‬فَ ُق ْلنا َي آدم إِ َّن ى َذا عد ّّو لَ ِ ِ‬
‫ك َولَزْوج َ‬
‫َ َ َُ َ َُ َ‬
‫‪QS. Taha [20], 117‬‬

‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َّن عي ن يك إِ ََل ما متَّعنا بِِو أ َْزواجا ِمْن هم زىرةَ ْ ِ‬


‫اِلَيَاة الدُّنْيَا لنَ ْفتِنَ ُه ْم ف ِيو َوِرْز ُق َربِّ َ‬
‫ك َخْي ٌر َوأَبْ َقى (‪)131‬‬ ‫َ ً ُ ْ ََْ‬ ‫‪َ .26‬وََل َُد َّ َْ َ ْ َ َ َ ْ َ‬
‫‪QS. Taha [20], 131‬‬

‫ني‬‫ِِ‬ ‫‪ .27‬فَاستجب نَا لَو ووىب نَا لَو ََيَي وأَ لَحنَا لَو زوجو إِنَّهم َكانُوا يسا ِرعو َن ِٓت ْ ِ‬
‫اْلَْي َرات َويَ ْد ُعونَنَا َر َغبًا َوَرَىبًا َوَكانُوا لَنَا َخاشع َ‬ ‫َُ ُ‬ ‫ْ َ َ ْ ُ ََ َ ْ ُ ْ َ َ ْ ْ ُ َْ َ ُ ُ ْ‬
‫(‪)90‬‬
‫‪QS. Al-Anbiya [21], 90‬‬

‫ضغَ ٍة ُُمَلَّ َق ٍة َو َغ ِْري‬


‫اب ُّتَّ ِم ْن نُطْ َف ٍة ُّتَّ ِم ْن َعلَ َق ٍة ُّتَّ ِم ْن ُم ْ‬‫ث فَِإ ََّن َخلَ ْقنَا ُكم ِمن تُر ٍ‬
‫ْ ْ َ‬
‫ب ِمن الْب ع ِ‬
‫َّاس إِ ْن ُكْن تُ ْم ِٓت َريْ ٍ َ َ ْ‬ ‫‪ََ .28‬ي أَيُّ َها الن ُ‬
‫َش َّد ُك ْم َوِمْن ُك ْم َم ْن يُتَ َو َّْت َوِمْن ُك ْم‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ٍِ‬
‫َج ٍل ُم َس ِّمى ُّتَّ ُُنْ ِر ُج ُك ْم ِط ْف ًَل ُّتَّ لتَ ْب لُغُوا أ ُ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ني لَ ُك ْم َونُقُّر ِٓت ْاْل َْر َحام َما نَ َشاءُ إ ََل أ َ‬ ‫ُُمَلَّ َقة لنُبَ ِّ َ‬
‫ِ‬ ‫ِ ِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ت‬‫ت َوأَنْبَ تَ ْ‬ ‫ت َوَربَ ْ‬ ‫ض َىام َد ًة فَِإ َذا أَنْ َزلْنَا َعلَْي َها الْ َماءَ ْاىتَ َّز ْ‬
‫َم ْن يَُرُّد إِ ََل أ َْرَذل الْ ُع ُم ِر ل َكْي ََل يَ ْعلَ َم م ْن بَ ْعد ع ْل ٍم َشْي ئًا َوتَ َرى ْاْل َْر َ‬
‫يج (‪)5‬‬ ‫ِم ْن ُك ِّل َزْو ٍج َِبِ ٍ‬
‫‪QS. Al-Haj [22], 5‬‬

‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ت أَِْيَانُ ُه ْم فَِإن َُّه ْم َغْي ُر َملُوم َ‬
‫ني (‪)6‬‬ ‫‪ .29‬إََِّل َعلَى أ َْزَواج ِه ْم أ َْو َما َملَ َك ْ‬
‫‪QS. Al-Mu’minun [23], 6‬‬
‫ك إََِّل َم ْن‬ ‫ك فِ َيها ِم ْن ُك ٍل َزْو َج ْ ِ‬
‫ني اثْنَ ْ ِ‬
‫ني َوأ َْىلَ َ‬ ‫اسلُ ْ‬
‫ُّور فَ ْ‬ ‫ِ ِ‬ ‫‪ .30‬فَأَوحي نَا إِلَي ِو أ َِن ا نَ ِع الْ ُف ْل َ ِ ِ‬
‫ّ‬ ‫ك ِب َْعيُننَا َوَو ْحينَا فَإذَا َجاءَ أ َْمُرََن َوفَ َار التَّن ُ‬ ‫ْ‬ ‫ْ َْ ْ‬
‫ين ظَلَ ُموا إِن َُّه ْم ُم ْغَرقُو َن (‪)27‬‬ ‫ِ‬ ‫ِ َّ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َسبَ َق َعلَْيو الْ َق ْو ُل مْن ُه ْم َوََل َُتَاطْب ِِن ٓت الذ َ‬
‫‪QS. Al-Mu’minun [23], 27‬‬

‫ني (‪)6‬‬‫ات ِِب ََّّللِ إِنَّو لَ ِمن َّ ِ ِ‬


‫‪ .31‬والَّ ِذين ي رمو َن أَْزواجهم وََل ي ُكن ََلم ُشه َداء إََِّل أَنْ ُفسهم فَشهادةُ أَح ِد ِىم أَربع َشهاد ٍ‬
‫الصادق َ‬ ‫ُ َ‬ ‫ُ ُ ْ َ َ َ َ ْ َْ ُ َ َ‬ ‫َ َ َْ ُ َ َ ُ ْ َ ْ َ ْ ُْ َ ُ‬
‫‪QS. Al-Nur [24], 6‬‬

‫ني إِ َم ًاما (‪)74‬‬ ‫ِ ِ‬ ‫‪ .32‬والَّ ِذين يَ ُقولُو َن ربَّنَا َىب لَنَا ِم ْن أ َْزو ِاجنَا وذُ ِرََّيتِنَا قُ َّرةَ أ َْع ُ ٍ‬
‫اج َع ْلنَا ل ْل ُمتَّق َ‬
‫ني َو ْ‬ ‫َ َّ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ َ‬
‫‪QS. Al-Furqan [25], 74‬‬

‫ض َك ْم أَنْبَ ْت نَا فِ َيها ِم ْن ُك ِّل َزْو ٍج َك ِرٍمي (‪)7‬‬


‫‪ .33‬أ ََوََلْ يََرْوا إِ ََل ْاْل َْر ِ‬
‫‪QS. Al-Syu’ara [26], 7‬‬

‫ادو َن (‪)166‬‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬


‫‪َ .34‬وتَ َذ ُرو َن َما َخلَ َق لَ ُك ْم َربُّ ُك ْم م ْن أ َْزَواج ُك ْم بَ ْل أَنْتُ ْم قَ ْوٌم َع ُ‬
‫‪QS. Al-Syu’ara [26], 166‬‬

‫ت لَِق ْوٍم يَتَ َف َّكُرو َن‬


‫‪ .35‬وِمن آَيتِِو أَ ْن خلَق لَ ُكم ِمن أَنْ ُف ِس ُكم أ َْزواجا لِتس ُكنُوا إِلَي ها وجعل ب ي نَ ُكم موَّدةً ور َْحةً إِ َّن ِٓت ذَلِك َْلَي ٍ‬
‫َ َ‬ ‫ْ َ َ َ َ َ َْ ْ َ َ َ َ َ‬ ‫ْ َ ً َْ‬ ‫َ َ ْ ْ‬ ‫َ ْ َ‬
‫(‪)21‬‬
‫‪QS. Al-Rum [30], 21‬‬

‫ث فِيها ِمن ُك ِل دابٍَّة وأَنْزلْنا ِمن َّ ِ‬ ‫ض رو ِاسي أَ ْن َِ َ ِ‬


‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫‪ .36‬خلَق َّ ِ ِ ِ ٍ‬
‫الس َماء َماءً‬ ‫يد ب ُك ْم َوبَ َّ َ ْ ّ َ َ َ َ َ‬ ‫الس َم َاوات بغَ ْري َع َمد تَ َرْونَ َها َوأَلْ َقى ٓت ْاْل َْر َ َ َ‬ ‫َ َ‬
‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫فَأَنْبَ ْت نَا ف َيها م ْن ُك ّل َزْو ٍج َكرمي (‪)10‬‬
‫‪QS. Lukman [31], 10‬‬

‫الَلئِي تُظَ ِ‬
‫اىُرو َن ِمْن ُه َّن أ َُّم َهاتِ ُك ْم َوَما َج َع َل أ َْد ِعيَاءَ ُك ْم أَبْنَاءَ ُك ْم‬ ‫ِِ‬ ‫اَّلل لِر ُج ٍل ِم ْن قَ ْلبَ ْ ِ‬
‫ني ِٓت َج ْوفو َوَما َج َع َل أ َْزَو َ‬
‫اج ُك ُم َّ‬ ‫‪َ .37‬ما َج َع َل َُّ َ‬
‫يل (‪)4‬‬ ‫اِل َّق وُىو ي ْه ِدي َّ ِ‬ ‫َذلِ ُك ْم قَ ْولُ ُك ْم ِِبَفْ َو ِاى ُك ْم َو َّ‬
‫السب َ‬ ‫ول َْ َ َ َ‬ ‫اَّللُ يَ ُق ُ‬
‫‪QS. Al-Ahzab [33],4‬‬

‫ِِ‬ ‫اب َِّ ِ‬‫ض ِٓت كِتَ ِ‬ ‫ِِ‬ ‫‪ .38‬النَِِّب أَوََل ِِبلْمؤِمنِ ِ‬
‫ني‬
‫اَّلل م َن الْ ُم ْؤمن َ‬ ‫اجوُ أ َُّم َهاتُ ُه ْم َوأُولُو ْاْل َْر َح ِام بَ ْع ُ‬
‫ض ُه ْم أ َْوََل بِبَ ْع ٍ‬ ‫ني م ْن أَنْ ُفسه ْم َوأ َْزَو ُ‬ ‫ُْ َ‬ ‫ُّ ْ‬
‫ِ‬
‫ك ٓت الْكتَاب َم ْسطُ ًورا (‪)6‬‬‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َّ‬‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ين إَل أَ ْن تَ ْف َعلُوا إ ََل أ َْوليَائ ُك ْم َم ْعُروفًا َكا َن ذَل َ‬
‫َوالْ ُم َهاجر َ‬
‫‪QS. Al-Ahzab [33], 6‬‬

‫اِليا َة الدُّنْيا وِزينَ تَ ها فَتَ عالَني أُمتِّع ُك َّن وأُس ِرح ُك َّن سراحا َِ‬ ‫ك إِ ْن ُكْن ُ َّ‬ ‫ِ ِ‬
‫َج ًيَل (‪)28‬‬ ‫َ َ َ َ ْ َ َ ْ َ َّ ْ ََ ً‬ ‫ُت تُ ِرْد َن ََْ‬ ‫‪ََ .39‬ي أَيُّ َها النِ ُّ‬
‫َِّب قُ ْل ْلَْزَواج َ‬
‫‪QS. Al-Ahzab [33], 28‬‬

‫اَّللُ ُمْب ِد ِيو َوََتْ َشى‬ ‫ك َما َّ‬ ‫ك علَيك زوجك وات َِّق َّ ِ‬
‫اَّللَ َوَُتْفي ِٓت نَ ْف ِس َ‬ ‫ت َعلَْيو أ َْمس ْ َ ْ َ َ ْ َ َ َ‬
‫ِ ِ‬ ‫ول لِلَّ ِذي أَنْعم َّ ِ‬
‫اَّللُ َعلَْيو َوأَنْ َع ْم َ‬ ‫ََ‬ ‫‪َ .40‬وإِ ْذ تَ ُق ُ‬
‫ني َحَر ٌج ِٓت أ َْزَو ِاج أ َْد ِعيَائِ ِه ْم إِذَا‬ ‫ِِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ضى َزيْ ٌد مْن َها َوطًَرا َزَّو ْجنَا َك َها ل َك ْي ََل يَ ُكو َن َعلَى الْ ُم ْؤمن َ‬ ‫َح ُّق أَ ْن ََتْ َشاهُ فَلَ َّما قَ َ‬
‫اَّللُ أ َ‬
‫َّاس َو َّ‬
‫الن َ‬
‫اَّللِ َم ْف ُع ًوَل (‪)37‬‬‫ض ْوا ِمْن ُه َّن َوطًَرا َوَكا َن أ َْمُر َّ‬
‫قَ َ‬
‫)‪QS. Al-Ahzab [33], 37 (3x‬‬
‫ات‬‫ات ع ِمك وب نَ ِ‬
‫ك َوبَنَ َ ّ َ َ َ‬
‫ِ‬ ‫ك ِِمَّا أَفَاءَ َّ‬
‫اَّللُ َعلَْي َ‬ ‫ت َِيِينُ َ‬
‫ُج َورُى َّن َوَما َملَ َك ْ‬ ‫تأُ‬ ‫الَلِِت آتَْي َ‬
‫ك َّ‬ ‫اج َ‬ ‫ك أ َْزَو َ‬ ‫َِّب إِ ََّن أ ْ‬
‫َحلَْلنَا لَ َ‬ ‫‪ََ .41‬ي أَيُّ َها النِ ُّ‬
‫ِِ‬
‫َِّب إِ ْن أ ََر َاد النِ ُّ‬
‫َِّب أَ ْن‬ ‫ِ‬
‫ك َو ْامَرأًَة ُم ْؤمنَةً إِ ْن َوَىبَ ْ‬ ‫الَلِِت َى َ‬ ‫ك َّ‬ ‫ِ‬
‫ك َوبَنَات َخ َاَلتِ َ‬
‫ِ ِ‬
‫َع َّماتِ َ‬
‫ت نَ ْف َس َها للن ِّ‬ ‫اج ْر َن َم َع َ‬ ‫ك َوبَنَات َخال َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫يست ْن ِكحها خالِصةً لَ َ ِ ِ ِ ِ‬
‫ك‬
‫ت أَِْيَانُ ُه ْم ل َكْي ََل يَ ُكو َن َعلَْي َ‬ ‫ضنَا َعلَْي ِه ْم ِٓت أ َْزَواج ِه ْم َوَما َملَ َك ْ‬‫ني قَ ْد َعل ْمنَا َما فَ َر ْ‬
‫ك م ْن ُدون الْ ُم ْؤمن َ‬ ‫َ َْ َ َ َ َ‬
‫يما (‪)50‬‬ ‫ِ‬
‫اَّللُ َغ ُف ًورا َرح ً‬
‫َحَر ٌج َوَكا َن َّ‬
‫)‪QS. Al-Ahzab [33], 50 (2x‬‬

‫‪ََ .42‬ل ََِي ُّل لَك النِّساء ِمن ب ع ُد وََل أَ ْن تَبد َ ِِ‬
‫اَّللُ َعلَى ُك ِّل‬ ‫ت َِيِينُ َ‬
‫ك َوَكا َن َّ‬ ‫َّل ِب َّن ِم ْن أ َْزَو ٍاج َولَ ْو أ َْع َجبَ َ‬
‫ك ُح ْسنُ ُه َّن إََِّل َما َملَ َك ْ‬ ‫َ‬ ‫َ َ ُ ْ َْ َ‬
‫َش ْي ٍء َرقِيبًا (‪)52‬‬
‫‪QS. Al-Ahzab [33], 52‬‬

‫ين إِ ََنهُ َولَ ِك ْن إِذَا ُد ِعيتُ ْم فَ ْاد ُخلُوا فَِإ َذا‬ ‫ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫وت النِ ِ ِ‬ ‫َّ ِ‬
‫َِّب إََّل أَ ْن يُ ْؤذَ َن لَ ُك ْم إ ََل طَ َعام َغْي َر ََنظ ِر َ‬
‫ين َآمنُوا ََل تَ ْد ُخلُوا بُيُ َ ّ‬‫‪ََ .43‬ي أَيُّ َها الذ َ‬
‫اَّللُ ََل يَ ْستَ ْحيِي ِم َن ْ‬
‫اِلَ ِّق َوإِذَا‬ ‫َِّب فَيَ ْستَ ْحيِي ِمْن ُك ْم َو َّ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫طَعِمتُم فَانْتَ ِشروا وََل مستَأْنِ ِس ِ ِ ٍ‬
‫ني ِلَديث إِ َّن ذَل ُك ْم َكا َن يُ ْؤذي النِ َّ‬ ‫َ‬ ‫ُ َ ُْ‬ ‫ْْ‬
‫ِ‬ ‫ِِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫وى َّن م ْن َوَراء ح َجاب َذل ُك ْم أَطْ َهُر ل ُقلُوبِ ُك ْم َوقُلُوِب َّن َوَما َكا َن لَ ُك ْم أَ ْن تُ ْؤذُوا َر ُس َ‬
‫اَّلل َوََل أَ ْن‬
‫ول َّ‬ ‫اسأَلُ ُ‬
‫اعا فَ ْ‬ ‫َسأَلْتُ ُم ُ‬
‫وى َّن َمتَ ً‬
‫يما (‪)53‬‬ ‫تَْن ِكحوا أ َْزواجو ِمن ب ع ِدهِ أَب ًدا إِ َّن َذلِ ُكم َكا َن ِعْن َد َِّ ِ‬
‫اَّلل َعظ ً‬ ‫ْ‬ ‫ُ َ َ ُ ْ َْ َ‬
‫‪QS. Al-Ahzab [33], 53‬‬

‫ِ‬
‫ني َعلَْي ِه َّن ِم ْن َج ََلبِيبِ ِه َّن ذَل َ‬‫ك ونِس ِاء الْمؤِمنِ ِ‬‫‪َ .44‬ي أَيُّها النَِِّب قُل ِْلَْزو ِاج َ ِ‬
‫اَّللُ‬
‫ك أ َْد ََن أَ ْن يُ ْعَرفْ َن فَ ََل يُ ْؤذَيْ َن َوَكا َن َّ‬ ‫ني يُ ْدن َ‬
‫ك َوبَنَات َ َ َ ُ ْ َ‬ ‫َ َ ُّ ْ َ‬
‫يما (‪)59‬‬ ‫ِ‬
‫َغ ُف ًورا َرح ً‬
‫‪QS. Al-Ahzab [33], 59‬‬

‫ض ُع إََِّل بِعِْل ِم ِو َوَما يُ َع َّمُر ِم ْن ُم َع َّم ٍر َوََل‬ ‫ِ ِ‬


‫اجا َوَما ََْتم ُل م ْن أُنْثَى َوََل تَ َ‬
‫ٍ‬ ‫ٍ ِ‬ ‫ِ‬
‫اَّللُ َخلَ َق ُك ْم م ْن تَُراب ُّتَّ م ْن نُطْ َفة ُّتَّ َج َعلَ ُك ْم أ َْزَو ً‬
‫‪َ .45‬و َّ‬
‫اَّللِ يَ ِس ٌري (‪)11‬‬
‫ك َعلَى َّ‬ ‫ِ‬
‫اب إِ َّن َذل َ‬‫ي ْن َقص ِمن ُعم ِرهِ إََِّل ِٓت كِتَ ٍ‬
‫ُ ُ ْ ُ‬
‫‪QS. Fatir [35], 11‬‬

‫ض َوِم ْن أَنْ ُف ِس ِه ْم َوِِمَّا ََل يَ ْعلَ ُمو َن (‪)36‬‬ ‫ِ‬


‫اج ُكلَّ َها ِمَّا تُْنبِ ُ‬
‫ت ْاْل َْر ُ‬
‫َّ ِ‬
‫‪ُ .46‬سْب َحا َن الذي َخلَ َق ْاْل َْزَو َ‬
‫‪QS. Yasin [36], 36‬‬

‫ك مت ِ‬
‫ِِ‬ ‫ِ ٍ‬
‫َّكئُو َن (‪)56‬‬ ‫اج ُه ْم ِٓت ظ ََلل َعلَى ْاْل ََرائ ُ‬
‫‪ُ .47‬ى ْم َوأ َْزَو ُ‬
‫‪QS. Yasin [36], 56‬‬

‫اج ُه ْم َوَما َكانُوا يَ ْعبُ ُدو َن (‪)22‬‬ ‫َّ ِ‬


‫ين ظَلَ ُموا َوأ َْزَو َ‬
‫اح ُشُروا الذ َ‬
‫‪ْ .48‬‬
‫‪QS. Al-Shaffat [37], 22‬‬

‫اج (‪)58‬‬ ‫ِِ‬ ‫‪ .49‬و ِ‬


‫آخُر م ْن َشكْلو أ َْزَو ٌ‬
‫َ َ‬
‫‪QS. Shad [38], 58‬‬

‫اح َدةٍ ُّتَّ جعل ِمْن ها َزوجها وأَنْزَل لَ ُكم ِمن ْاْلَنْع ِام ََثَانِيةَ أ َْزو ٍاج َُيْلُ ُق ُكم ِٓت بطُ ِ‬
‫ون أ َُّم َهاتِ ُك ْم َخ ْل ًقا ِم ْن‬ ‫سوِ‬ ‫ِ‬
‫ْ ُ‬ ‫ََ َ َ ْ ََ َ َ ْ َ َ َ َ‬ ‫‪َ .50‬خلَ َق ُك ْم م ْن نَ ْف ٍ َ‬
‫صَرفُو َن (‪)6‬‬ ‫ََن تُ ْ‬‫ك ََل إِلَوَ إََِّل ُى َو فَأ َّ‬ ‫ث َذلِ ُك ُم َّ‬
‫اَّللُ َربُّ ُك ْم لَوُ الْ ُم ْل ُ‬
‫ب ع ِد خ ْل ٍق ِٓت ظُلُم ٍ‬
‫ات ثَََل ٍ‬
‫َ‬ ‫َْ َ‬
‫)‪QS. Al-Zumar [39], 6 (2x‬‬
‫اِلَ ِك ُيم (‪)8‬‬ ‫ِِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ٍ‬
‫ت الْ َع ِز ُيز ْ‬ ‫آِبئِ ِه ْم َوأ َْزَواج ِه ْم َوذُ ِّرََّيِت ْم إِن َ‬
‫َّك أَنْ َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫‪َ .51‬ربَّنَا َوأ َْدخ ْل ُه ْم َجنَّات َع ْدن الَِِّت َو َع ْدتَ ُه ْم َوَم ْن َ لَ َح م ْن َ‬
‫‪QS. Ghafir [40], 8‬‬

‫ض جعل لَ ُكم ِمن أَنْ ُف ِس ُكم أَ ْزواجا وِمن ْاْلَنْع ِام أ َْزواجا ي ْذرُؤُكم فِ ِيو لَيس َك ِمثْلِ ِو َشيء وىو َّ ِ‬ ‫اطر َّ ِ‬ ‫ِ‬
‫يع‬
‫السم ُ‬ ‫ْ ٌ ََُ‬ ‫ْ ًَ َ َ َ ًَ ََ ْ ْ َ‬ ‫الس َم َاوات َو ْاْل َْر ِ َ َ َ ْ ْ‬ ‫‪ .52‬فَ ُ‬
‫ص ُري (‪)11‬‬ ‫الْب ِ‬
‫َ‬
‫)‪QS. Al-Syura [42], 11 (2X‬‬

‫يما إِنَّوُ َعلِ ٌيم قَ ِد ٌير (‪)50‬‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬


‫‪ .53‬أ َْو يَُزِّو ُجوُ ْم ذُ ْكَر ًاَن َوإ ََن ًًث َوََْي َع ُل َم ْن يَ َشاءُ َعق ً‬
‫‪QS. Al-Syura [42], 50‬‬

‫‪ .54‬والَّ ِذي خلَق ْاْل َْزواج ُكلَّها وجعل لَ ُكم ِمن الْ ُف ْل ِ‬
‫ك َو ْاْلَنْ َع ِام َما تَ ْرَكبُو َن (‪)12‬‬ ‫َ َ َ َ َ َ ََ َ ْ َ‬ ‫َ‬
‫‪QS. Al-Zukhruf [43], 12‬‬

‫اج ُك ْم َُْتبَ ُرو َن (‪)70‬‬


‫اْلَنَّةَ أَنْتُ ْم َوأ َْزَو ُ‬
‫‪ْ .55‬اد ُخلُوا ْ‬
‫‪QS. Al-Zukhruf [43], 70‬‬

‫ك وَزَّو ْجنَا ُىم ِِبُوٍر ِع ٍ‬


‫ني (‪)54‬‬ ‫ِ‬
‫ْ‬ ‫‪َ .56‬ك َذل َ َ‬
‫‪QS. Al-Dukhan [44], 54‬‬

‫ض َم َد ْد ََن َىا َوأَلْ َقْي نَا فِ َيها َرَو ِاس َي َوأَنْبَ ْت نَا فِ َيها ِم ْن ُك ِّل َزْو ٍج َِبِ ٍ‬
‫يج (‪)7‬‬ ‫‪َ .57‬و ْاْل َْر َ‬
‫‪QS. Qaaf [50], 7‬‬

‫‪ .58‬وِم ْن ُك ِل َشي ٍء َخلَ ْقنَا َزْو َج ْ ِ‬


‫ني لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكُرو َن (‪)49‬‬ ‫ّ ْ‬ ‫َ‬
‫‪QS. Al-Dzariyat [51], 49‬‬
‫ص ُفوفَ ٍة وَزَّو ْجنَا ُىم ِِبُوٍر ِع ٍ‬
‫ني (‪)20‬‬ ‫ٍ‬ ‫ِِ‬
‫ْ‬ ‫ني َعلَى ُسُرر َم ْ َ‬
‫‪ُ .59‬متَّكئ َ‬
‫‪QS. Al-Tur [52], 20‬‬

‫ني َّ‬
‫الذ َكَر َو ْاْلُنْثَى (‪)45‬‬ ‫الزْو َج ْ ِ‬
‫‪َ .60‬وأَنَّوُ َخلَ َق َّ‬
‫‪QS. Al-Najm [53], 45‬‬

‫‪ .61‬فِي ِهما ِمن ُك ِل فَاكِه ٍة َزوج ِ‬


‫ان (‪)52‬‬ ‫َ ْ ّ َ َْ‬
‫‪QS. Al-Rahman [55], 52‬‬

‫اجا ثَََلثَةً (‪)7‬‬


‫‪َ .62‬وُكْن تُ ْم أ َْزَو ً‬
‫‪QS. Al-Waqi’ah [56], 7‬‬

‫اَّلل ََِسيع ب ِ‬
‫ص ٌري (‪)1‬‬ ‫ِ‬ ‫اَّللِ َو َّ‬
‫اَّللُ يَ ْس َم ُع ََتَ ُاوَرُك َما إ َّن ََّ ٌ َ‬ ‫ك ِٓت َزْوِج َها َوتَ ْشتَ ِكي إِ ََل َّ‬ ‫ِ‬ ‫‪ .63‬قَ ْد ََِس َع َّ‬
‫اَّللُ قَ ْو َل الَِِّت َُتَادلُ َ‬
‫‪QS. Al-Mujadalah [58], 1‬‬
‫اَّللَ الَّ ِذي أَنْتُ ْم بِِو‬
‫اج ُه ْم ِمثْ َل َما أَنْ َف ُقوا َواتَّ ُقوا َّ‬
‫ت أ َْزَو ُ‬
‫ين ذَ َىبَ ْ‬
‫َّ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫‪َ .64‬وإ ْن فَاتَ ُك ْم َش ْيءٌ م ْن أ َْزَواج ُك ْم إ ََل الْ ُكفَّار فَ َعاقَ ْب تُ ْم فَآتُوا الذ َ‬
‫ُم ْؤِمنُو َن (‪)11‬‬
‫)‪QS. Al-Mumtahanah [60], 11 (2X‬‬

‫ور َرِح ٌيم‬ ‫ص َف ُحوا َوتَ ْغ ِفُروا فَِإ َّن َّ‬


‫اَّللَ َغ ُف ٌ‬ ‫وى ْم َوإِ ْن تَ ْع ُفوا َوتَ ْ‬
‫اح َذ ُر ُ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ين َآمنُوا إِ َّن م ْن أ َْزَواج ُك ْم َوأ َْوََلد ُك ْم َع ُد ِّوا لَ ُك ْم فَ ْ‬
‫َّ ِ‬
‫‪ََ .65‬ي أَيُّ َها الذ َ‬
‫(‪)14‬‬
‫‪QS. Al-Taghabun [64], 14‬‬

‫ور َرِح ٌيم (‪)1‬‬ ‫ِ‬ ‫اَّلل لَ َ ِ‬ ‫‪َ .66‬ي أَيُّها النِ ِ‬
‫اَّللُ َغ ُف ٌ‬
‫ك َو َّ‬
‫ات أ َْزَواج َ‬
‫ض َ‬‫ك تَْب تَغي َم ْر َ‬ ‫َِّب َلَ َُتَِّرُم َما أ َ‬
‫َح َّل َُّ‬ ‫َ َ ُّ‬
‫‪QS. Al-Tahrim [66], 1‬‬

‫ض فَلَ َّما نَبَّأ ََىا بِِو‬


‫ض َع ْن بَ ْع ٍ‬ ‫اَّللُ َعلَْي ِو َعَّر َ‬
‫َت بِِو َوأَظْ َهَرهُ َّ‬ ‫ِِ ِ‬ ‫َِّب إِ ََل بَ ْع ِ‬ ‫ِ‬
‫ضوُ َوأ َْعَر َ‬
‫ف بَ ْع َ‬ ‫ض أ َْزَواجو َحديثًا فَلَ َّما نَبَّأ ْ‬ ‫َسَّر النِ ُّ‬‫‪َ .67‬وإ ْذ أ َ‬
‫اْلَبِ ُري (‪)3‬‬ ‫ال نَبَّأَِِنَ الْ َعلِ ُيم ْ‬
‫ت َم ْن أَنْبَأ ََك َى َذا قَ َ‬‫قَالَ ْ‬
‫‪QS. Al-Tahrim [66], 3‬‬

‫ِ ٍ ِ ٍ ِ ٍ ِ ٍ ِ ٍ ِ ٍ‬
‫ات ثَيِب ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ات َوأَبْ َك ًارا‬ ‫‪َ .68‬ع َسى َربُّوُ إ ْن طَلَّ َق ُك َّن أَ ْن يُْبدلَوُ أ َْزَو ً‬
‫اجا َخْي ًرا مْن ُك َّن ُم ْسل َمات ُم ْؤمنَات قَانتَات ََتئبَات َعاب َدات َسائ َح َّ‬
‫(‪)5‬‬
‫‪QS. Al-Tahrim [66], 5‬‬

‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ت أَِْيَانُ ُه ْم فَِإن َُّه ْم َغْي ُر َملُوم َ‬
‫ني (‪)30‬‬ ‫‪ .69‬إََِّل َعلَى أ َْزَواج ِه ْم أ َْو َما َملَ َك ْ‬
‫‪QS. Al-Ma’arij [70], 30‬‬

‫ني َّ‬
‫الذ َكَر َو ْاْلُنْثَى (‪)39‬‬ ‫‪ .70‬فَ َج َع َل ِمْنوُ َّ‬
‫الزْو َج ْ ِ‬
‫‪QS. Al-Qiyamah [75], 39‬‬

‫اجا (‪)8‬‬
‫‪َ .71‬و َخلَ ْقنَا ُك ْم أ َْزَو ً‬
‫‪QS. Al-Naba’ [78], 8‬‬

‫وس ُزِّو َج ْ‬
‫ت (‪)7‬‬ ‫ِ‬
‫‪َ .72‬وإ َذا النُّ ُف ُ‬
‫‪QS. Al-Takwir [81], 7‬‬

‫‪Setelah penulis mengumpulkan seluruh ayat terntang azwaj dan derifasinya, penulis‬‬
‫‪menggunakan kata jannah/ jannât untuk memilah tentang azwâj di surga. Dari proses ini‬‬
‫‪ditemukan Sembilan ayat, yaitu:‬‬

‫َّات ََْت ِري ِم ْن ََْتتِ َها ْاْلَنْ َه ُار ُكلَّ َما ُرِزقُوا ِمْن َها ِم ْن ََثََرةٍ ِرْزقًا قَالُوا َى َذا الَّ ِذي‬
‫َن ََلم جن ٍ‬ ‫وب ِّش ِر الَّ ِذين آمنُوا وع ِملُوا َّ ِ ِ‬
‫الصاِلَات أ َّ ُْ َ‬ ‫َ َ ََ‬ ‫ََ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫اج ُمطَ َّهَرةٌ َوُى ْم ف َيها َخال ُدو َن (‪)25‬‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ُرزقْ نَا م ْن قَ ْب ُل َوأُتُوا بو ُمتَ َشاِبًا َوََلُْم ف َيها أ َْزَو ٌ‬
‫‪Surah al-Baqarah (2): 25‬‬
‫ض َوا ٌن ِم َن‬ ‫قُل أَؤنَبِئ ُكم ِِب ٍري ِمن ذَلِ ُكم لِلَّ ِذين اتَّ َقوا ِعْند رِبِِم جنَّات ََت ِري ِمن ََتتِها ْاْلَنْهار خالِ ِد ِ‬
‫اج ُمطَ َّهَرةٌ َوِر ْ‬
‫ين ف َيها َوأ َْزَو ٌ‬
‫ْ َْ َُ َ َ‬ ‫ْ ُ ُّ ْ َْ ْ ْ َ ْ َ َ ّ ْ َ ٌ ْ‬
‫ص ٌري ِِبلْعِبَ ِاد (‪)15‬‬
‫اَّلل ب ِ‬ ‫َِّ‬
‫اَّلل َو َُّ َ‬
‫‪Surah `Âlu ‘Imrân (3); 15‬‬

‫ِ‬ ‫َّات ََت ِري ِمن ََتتِها ْاْلَنْهار خالِ ِد ِ‬ ‫والَّ ِذين آمنوا وع ِملُوا َّ ِ‬
‫اج ُمطَ َّهَرةٌ‬
‫ين ف َيها أَبَ ًدا ََلُْم ف َيها أ َْزَو ٌ‬
‫ْ َْ َُ َ َ‬ ‫ات َسنُ ْد ِخلُ ُه ْم َجن ٍ ْ‬
‫اِل ِ‬
‫الص َ‬ ‫َ َ َُ َ َ‬
‫ِ‬
‫َونُ ْد ِخلُ ُه ْم ِظ َِّل ظَل ًيَل (‪)57‬‬
‫‪Surah al-Nisâ` (4); 57‬‬

‫َّات َع ْد ٍن ي ْد ُخلُونَها ومن لَح ِمن آِبئِ ِهم وأ َْزو ِاج ِهم وذُ ِرََّيِتِِم والْم ََلئِ َكةُ ي ْد ُخلُو َن َعلَْي ِهم ِمن ُك ِل ِب ٍ‬
‫ب (‪)23‬‬ ‫َجن ُ‬
‫ْ ْ َّ‬ ‫َ‬ ‫َ ََ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ّ ْ َ َ‬ ‫َ‬
‫‪Surah al-Ra’du (13); 23‬‬

‫ك مت ِ‬
‫ِِ‬ ‫ِ ٍ‬
‫َّكئُو َن (‪)56‬‬ ‫اج ُه ْم ِٓت ظ ََلل َعلَى ْاْل ََرائ ُ‬
‫ُى ْم َوأ َْزَو ُ‬
‫‪Surah Yâsîn (36); 56‬‬

‫اِلَ ِك ُيم (‪)8‬‬ ‫ِِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ٍ‬


‫ت الْ َع ِز ُيز ْ‬ ‫آِبئِ ِه ْم َوأ َْزَواج ِه ْم َوذُ ِّرََّيِت ْم إِن َ‬
‫َّك أَنْ َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َربَّنَا َوأ َْدخ ْل ُه ْم َجنَّات َع ْدن الَِِّت َو َع ْدتَ ُه ْم َوَم ْن َ لَ َح م ْن َ‬
‫‪Surah Ghâfir (40); 8‬‬

‫اج ُك ْم َُْتبَ ُرو َن (‪)70‬‬


‫اْلَنَّةَ أَنْتُ ْم َوأ َْزَو ُ‬
‫ْاد ُخلُوا ْ‬
‫‪Surah al-Zukhrûf (43); 70‬‬

‫اىم ِِبُوٍر ِع ٍ‬
‫ني (‪)54‬‬ ‫ِ‬
‫ك َوَزَّو ْجنَ ُ ْ‬
‫َك َذل َ‬
‫‪Surah al-Dukhân (44); 54‬‬

‫اىم ِِبُوٍر ِع ٍ‬
‫ني (‪)20‬‬ ‫َّكئِني علَى سرٍر م ٍ‬
‫ِ‬
‫ص ُفوفَة َوَزَّو ْجنَ ُ ْ‬
‫ُمت َ َ ُ ُ َ ْ‬
‫‪Surah al-Tûr (52); 20.‬‬

‫‪Sembilan ayat di atas kemudian penulis klasifikasi sesuai kemiripan redaksi dan konten‬‬
‫‪ayat sehinnga menjadi tiga kelompok ayat:‬‬

‫‪Surah al-Baqarah (2): 25, `Âlu ‘Imrân (3); 15, al-Nisâ` (4); 57‬‬
‫‪Surah al-Ra’du (13); 23, Yâsîn (36); 56, Ghâfir (40); 8, al-Zukhrûf (43); 70‬‬
‫‪Surah al-Dukhân (44); 54 dan al-Tûr (52); 20.‬‬

Anda mungkin juga menyukai