Anda di halaman 1dari 116

PENCIPTAAN ALAM MENURUT IMAM AL-GHAZÂLÎ

Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk memenuhi
Persyaratan Meraih Gelar
Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh:

Cici Zulaika
NIM: 1113033100075

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M
ABSTRAK

Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran salah satu pemikir


dari belahan timur, yang mana pada masanya ia dikenal sebagai Hujjatul Islam,
karena kecerdasan yang ia punya dalam pembelaan terhadp Islam, tidak hanya itu
ia juga dikenal sebagai pemikir Muslim yang hidup pada bagian akhir dari zaman
keemasan pada masa khilafat Abbasiah yang berpusat di Baghdad, yaitu Abu
Hamid Al-Ghazâlî ( 450-505 H / 1058-1111 M ).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis,
sementara tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah library research
dengan menggunakan sumber primer karya Imam al-Ghazâlî, selain itu akan
dikomparasikan dengan referensi yang menunjang lainnya.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa alam itu adalah baru, dan setiap
yang baru pasti memiliki kesudahan. Karena alam itu baru, maka yang baru itu
diciptakan oleh yang Maha Pencipta, yaitu Tuhan. Sesuatu yang diciptakan tidak
dapat berkehendak sendiri, ataupun mengakibatkan sesuatu yang lain dari dirinya,
jika bukan Tuhan yang menghendaki. Karena adanya kekuatan pada suatu yang
tercipta, tidak lain dan tidak bukan semua itu berasal dari Tuhan, maupun
kehendak Tuhan. Maka dari itu, kenapa Tuhan baru memunculkan alam dan tidak
pada saat dahulu saat bersamanya, itu semua adalah karena kehendak Tuhan. Ia
berhak memunculkan sesuatu kapan saja Dia mau. Serta dengan kehendak itulah,
menunjukkan bahwa Ia adalah Sang Maha Agung, tidak ada yang dapat
mengaturnya. Namun kehendak Tuhan disini tidaklah sama dengan kehendak
manusia pada umumnya. Adapun perdebatan yang para filosof dan Imam al-
Ghazali perdebatkan sebenarnya adalah berpokok pada masalah waktu. Yakni
kapan sejatinya alam itu terjadi? Jika para filsosof menjawab bahwa penciptaan
ini telah ada sejak dahulu, dan adanya bersamaan dengan Tuhan, sehingga adanya
waktu muncul setelah terciptanya alam. Maka Imam Al-Ghazâlî menyatakan
bahwa penciptaan alam ini bermula setelah adanya waktu, yakni setelah Tuhan
menyatakan terjadilah maka terjadilah. Dan pada saat itulah alam dinyatakan ada.
Berbicara tentang penciptaan alam, segalanya tercipta bukan hanya untuk
disaksikan saja. Melainkan di dalamnya terdapat beribu nikmat dari hikmah yang
Tuhan adakan, dan semua itu agar penciptaan alam dapat menjadi salah satu
petunjuk hidup manusia dalam menjalani kehidupan ini. Inilah mengapa segala
yang Tuhan ciptakan terdapat beberapa hikmah, salah satunya seperti langit. Jika
seseorang mau berfikir menggunakan nalarnya maka ia akan menjumpai hikmah
dibalik penciptaan Tuhan ini. Salah satunya adalah, tenangnya hati saat kita
menatap langit dengan seksama, menyenangkan para pecinta, bahkan langit
adalah sebagai kiblat-kiblat bagi orang yang berdoa. Dan masih banyak lagi
lainnya yang sudah penulis cantumkan dalam tulisan ini.

Kata kunci: Imam al-Ghazâlî, Alam, Penciptaan, Hikmah.

iv
KATA PENGANTAR

Bismillāhirraḥmānirraḥīm

Alḥamdulillāh, puji syukur kepada Allah Swt. Yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini

tanpa kendala yang berarti. Ṣalawāh dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi

Muḥammad Saw. Beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

1. Dra. Tien Rohmatin, MA. Sebagai ketua Program Studi Aqidah dan

Filsafat Islam, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing saya, yang tak

henti-hentinya menyemangati, mengayomi, dan memberikan perbaikan

dalam penulisan skripsi ini. Tanpa beliau saya tidak akan pernah sadar

letak kesalahan dan kemampuan saya dalam menulis juga meneliti.

Tidak hanya itu, berkat naungan bimbingan beliau, penulis juga

mendapatkan ilmu umum lainnya, yang awalnya belum terlalu penulis

kuasai.

2. Kepada Dr. Abdul Hakim Wahid, MA. Selaku Sekretaris Jurusan

Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam

Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tak pernah bosan

mendengarkan keluh kesah penulis, serta selalu memberikan saran

terbaik kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

v
4. Segenap Karyawan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Universitas

Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu memberikan

semangat, dan selalu sabar menghadapi tingkah laku penulis selama

berada di perpustakaan. Terimakasih juga karena selalu mempermudah

penulis dalam meminjam buku-buku yang tersedia di perpustakaan

selama ini.

5. Segenap Bapak dan Ibu dosen khususnya Aqidah dan Filsafat Islam,

Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, yang sudah memberikan ilmu pengetahuannya selama penulis

belajar di Fakultas Ushuluddin. Terimakasih juga untuk para dosen,

yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi,

bercengkrama, bahkan memberikan masukan terbaik kepada penulis.

6. Terimakasih kepada pak Kusen, Ph.D. yang telah membantu penulis

dalam merumuskan masalah yang terdapat dalam penulisan skripsi,

dan membantu penyelesaian penulisan ini, terutama dalam kerangka

berpikir penulisan.

7. Buya dan Umi yang selalu percaya akan kesuksesan anaknya, dan

tidak pernah letih mendoakan juga berjuang agar anaknya dapat

menimba ilmu setinggi dan sebaik mungkin. Beserta keluarga besar

lainnya yang selalu menyemangati dan mengembalikan kepercayaan

diri sang penulis.

8. Teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2013, adik kelas

bernama Reynaldi, juga teman baik yaitu Feishal Adam, yang selalu

vi
membantu penulis dan mau berbagi ilmu, terkhusus juga kepada

“Muhamad Bindaniji” (yang selalu bersedia meluangkan waktunya

untuk membenarkan tulisan, juga memberikan ide gagasan). Sehingga

menambah imajinasi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Serta semua pihak yang telah membantu, serta memberi semangat,

penulis ucapkan terimakasih.

9. Yayasan Khazanah Kebajikan, santri, serta konseling lainnya,

terimakasih atas bantuan dan perhatian yang di berikan.

Penulis menyadari, masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Namun

sedikit banyaknya, semoga dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan

masyarakat pada umumnya.

Kepada Allah saya mohon ampun, yang benar datangnya dari Allah Swt

dan yang salah merupakan kekhilafan penulis sendiri. Semoga dengan ini kita

selalu berpegang teguh pada Alquran yang telah Allah Swt turunkan untuk

menjadi pedoman dalam hidup manusia.

Wassalāmu`alaikum waraḥmatullāh wabarakātuh.

Jakarta, 04 April 2018

Cici Zulaika

vii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan


‫ا‬ tidak dilambangkan
‫ب‬ B Be
‫ت‬ T Te
‫ث‬ Ts te dan es
‫ج‬ J Je
‫ح‬ ẖ h dengan garis bawah
‫خ‬ Kh ka dan ha
‫د‬ D de
‫ذ‬ Dz de dan zet
‫ر‬ R er
‫ز‬ Z zet
‫س‬ S es
‫ش‬ Sy es dan ye
‫ص‬ S es dengan garis di bawah
‫ض‬ ḏ de dengan garis di bawah
‫ط‬ ṯ te dengan garis di bawah
‫ظ‬ ẕ zet dengan garis dibawah
‫ع‬ ʹ koma terbalik di atas hadap kanan
‫غ‬ Gh ge dan ha
‫ف‬ F ef
‫ق‬ Q ki
‫ك‬ K ka
‫ل‬ L el
‫م‬ M em
‫ن‬ N en
‫و‬ W we
‫ھ‬ h wa
‫ء‬ apostrof
‫ي‬ y ye

Vokal Tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ﹷ‬ a fatẖah
‫ﹷ‬ i kasrah
‫ﹷ‬ u ḏammah

viii
Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ﹷي‬ ai a dan i
‫ﹷو‬ au a dan u

Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫آ‬ â a dengan topi di atas
‫إى‬ î i dengan topi di atas
‫أو‬ û u dengan topi di atas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara arab dilambangkan dengan


huruf, yaitu ‫ال‬, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qomariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
dîwân bukan ad-dîwân.

Syaddah (Tasydȋd)
Syaddah atau tasdȋd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (‫)ﹷ‬, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi,
hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata
‫ الضرورۃ‬tidak ditulis aḏ-darûrah melainkan al-darûrah.

Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut
diikuti oleh kata sifat (naʹt) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara


1 ‫طريقة‬ ṯarîqah
2 ‫الجامعة اإلسالمية‬ al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3 ‫وحدۃالوجود‬ waẖdat al-wujûd

ix
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. i


PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN SKRIPSI .......................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
BAB I PENDAH ULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 5
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 6
F. Metode Penelitian ..................................................................... 8
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 8
BAB II IMAM AL-GHAZALI
A. Biografi...................................................................................... 11
B. Latar Belakang dan Intelektualnya ............................................ 14
C. Pokok-Pokok Pikirannya ........................................................... 20
D. Karya-karyanya ......................................................................... 32
BAB III TENTANG PENCIPTAAN ALAM
A. Definisi Penciptaan Alam ......................................................... 37
B. Penciptaan Alam Dalam Perspektif Alquran ............................. 40
C. Penciptaan Alam Dalam Perspektif Filosof Barat ..................... 45
D. Penciptaan Alam Dalam Pandangan Filosof Muslim................ 53
BAB IV KEHENDAK TUHAN DALAM MENCIPTAKAN ALAM
PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI
A. Proses Penciptaan Alam dan Hakikat Alam .............................. 65
B. Kritik Terhadap Teori Kausalitas .............................................. 76

x
C. Hikmah Penciptaan Alam.......................................................... 81
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................ 97
B. Saran .......................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 100

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam membahas falsafat,1 salah satu yang menarik untuk di kaji

adalah tentang penciptaan alam. Di mana para failasuf, ilmuwan, bahkan sufi,

mempunyai ketertarikan dalam mengetahui asal-usul mengenai alam ini.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pembahasan tentang alam yang paling

populer adalah ketika puncaknya ilmu falsafat berkembang di Yunani dan

Arab (Timur Tengah), ketika penerjemahan ilmu pengetahuan dari bahasa

Yunani ke dalam bahasa Arab dilakukan, pada masa khalifah Al-Ma`mun.2

Kegiatan penerjemahan tersebut, melahirkan failasuf-failasuf yang dapat

memberikan pengaruh besar dalam mengisi khazanah intelektual Islam

seperti, al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, al-Razi dan lain-lain.

Sebelumnya alam didalam kamus-kamus falsafat ataupun kamus

umum lainnya memiliki nama lain yaitu Kosmos. Kosmos adalah alam

semesta dengan segala isinya, semisal bumi, tata surya, galaksi, dan

1
Penulisan kata falsafat merujuk pada penjelasan Harun Nasution mengenai sumber kata
tersebut. Menurutnya, Sumber asal kata ini berasal dari Yunani, Philosophia yang terdiri dari
gabungan dua kata, Philein (cinta) dan Sophos (hikmah, kebijaksanaan). Orang Arab
memindahkan kata Yunani tersebut ke dalam Bahasa mereka sesuai tabiat susunan kata-kata
bahasa Arab, yaitu falsafa, dalam bentuk fi’il, mengikuti wazn fa’lala, yufa’lilu, fa’lalah/fa’lalat
wa fi’lāl. Dengan demikian, kata benda dari kata kerja falsafa dan filsaf. Harun Nasution memilih
kata falsafat dengan tidak mengubah tā marbuṭah. Akan tetapi, di Indonesia, sering dipakai istilah
filsafat. “fil” dari kata Barat, dan “safah” dari Arab. Harun Nasution tidak menyetujui kaidah
penggabungan dari dua bahasa ke dalam satu kata fil dan safah. Harun Nasution, Falsafat Agama
(Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h. 3.
2
Penerjemahan buku-buku kedalam bahasa Arab secara sistematis terjadi pada masa
Khalifah Al-Ma’Mûn (813-833). Lihat, M. Iqbalut Taufiq, Metafisika Dalam Perspektif AlGhazali
(Jakarta: Program Studi aqidah Filsafat, Fakultas Usuluddin, UIN Jakarta, 2014), h. 41.

1
2

seterusnya.3 Sedangkan didalam kamus Falsafat, Kosmos dikenal dengan

falsafat yang mengenal alam raya, serta meneliti hakikat alam. 4 Secara umum

kosmologi dianggap sebagai cabang metafisika yang bergumul dengan

pertanyaan-pertanyaan mengenai asal dan susunan alam raya, penciptaan dan

kekekalannya, vitalisme atau mekanisme, kodrat hukum, waktu, ruang, dan

kausalitas. Analisis kosmologi mencoba mencari apa yang berlaku bagi dunia

ini.5

Adapun Aristoteles (384 – 322 SM) salah satu filosof Yunani

memberikan pengartian, bahwa alam adalah jagat raya yang diketahui, seperti

bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Tuhan, sedangkan apa yang

diciptakan manusia adalah mesin (Techne).6

Sedangkan Newton dalam rangkuman bukunya yang berejudul The

Mathematical Principles of Natural Philosophy, sebagaimana yang

dicantumkan dalam kamus Filsafat Lorens Bagus, bahwa Newton

menerangkan alam adalah merupakan sebuah mesin yang berjalan sesuai

dengan hukum-hukum gerakan dan segenap proses yang didalamnya di

tentukan oleh massa, posisi, dan kecepatan yang dipunyai oleh partikel-

partikel materi yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian alam

merupakan sebuah mesin yang tetap akan berjalan tanpa henti-hentinya

sampai pada akhirnya.

3
Save M. Bagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (T.t: T.p,t.t), h. 538.
4
Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.
48.
5
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 499.
6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.19.
3

Pada dasarnya, kosmologi itu mengaji tentang penyelidikan jagat raya

yang fisikal, yang terdiri dari dua bagian. Pertama, penyelidikan falsafah

tentang istilah-istilah pokok yang terdapat dalam fisika, seperti ruang, waktu

dan sebagainya. Kedua, peranggapan-peranggapan yang terdapat dalam fisika

sebagai ilmu tentang jagad raya.7 Singkatnya, kosmologi ingin mengetahui

hakikat asal, hakikat susunan, hakikat perubahan, dan hakikat tujuan akhir

dari jagat raya ini. Misalnya, bagaimana sesungguhnya hakikat asal dari jagat

raya ini, dari mana asalnya, bagaimana cara terjadinya, bagaimana

evolusinya, bagaimana akhir adanya, dan bagaimana susunan yang

sesungguhnya. Untuk mengetahui semua itu, perlulah keyakinan akan adanya

alam, terlebih keyakinan kepada Sang pencipta alam. Sebab apabila seseorang

tidak meyakini akan eksistensi Allah dalam kehidupannya, maka ia akan

melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam hidupnya.8

Sebagaimana dikutip dari Falsafah Islam (Failasuf & Falsafahnya),

karya Sirajuddin Zar, Al-Kindi9 berpendapat bahwa alam semesta ini adalah

baru, apa yang terdapat padanya pasti terbatas. Penciptaan alam ini juga dari

tidak ada menjadi ada (Creatio ex nihillo), dan pencipta itu ialah Tuhan.10

Adapun filosof setelah al-Kindi, adalah al-Farabi dan Ibn Sina mereka

7
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Lanjutan) Teori dan Praktik, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2010), h. 163.
8
Zulekho, Pandangan Said Nursi tentang Tauhid dan Fenomena Alam, (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri Jakarta,2016), h. 2.
9
Memiliki nama lengkap Ya’kub Ibnu Ishaq al-Kindi, berasal dari Kindah di Yaman,
tetapi ia lahir di Kufah (Irak) pada tahun 796 M. Orangtuanya adalah gubernur dari Basrah. Al-
Kindi adalah penganut aliran Muktazilah, yang kemudian belajar falsafat. Tidak hanya itu, ia juga
dikenal dengan ilmu kedokterannya, sehingga buku karangannya Legacy of Islam, yang berkenaan
tentang optik di terjemahkan ke dalam bahasa Latin. Ia wafat pada tahun 873 M. Lihat: Harun
Nasutin, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2014), Cet. 12, h. 6.
10
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Djambatan, 2003), h.47.
4

berpendapat bahwa alam ini tercipta sejak zaman azali, dan tidak mungkin

Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya. Tuhan itu tidak mungkin

berubah-ubah dan mustahil. Jika Tuhan berubah-ubah seperti pada awalnya

tidak mencipta lalu mencipta, sama saja menunjukkan bahwa Tuhan itu

memiliki sifat labil, maka tidak ada bedanya dengan manusia. Sementara itu,

Imam al-Ghazâlî berpendapat bahwa alam ini adalah baru, alam haruslah

tidak kadim. Sebab yang menciptakan alam adalah Tuhan, jadi bagaimana

mungkin alam ini azali. Jika dikatakan azali, maka hal itu sangatlah

bertentangan dengan Alquran juga kitab-kitab samawi terdahulu.11 Terlihat

jelas perbedaan Imam al-Ghazâlî dengan para filosof lainnya, inilah mengapa

Imam al-Ghazâlî sampai mengeluarkan kiritikan kepada filosof lainnya.

Karena Imam al-Ghazâlî beranggapan, bahwa apa yang mereka pikirkan itu

sangatlah jauh dari apa yang Alquran katakan.

Sejauh dari yang penulis paparkan, maka jelaslah penciptaan alam

menurut Imam al-Ghazâlî adalah baru. Alasan mengapa Tuhan baru

mewujudkannya, hal itu adalah karena kehendak Tuhan. Tuhan memiliki

kebebasan untuk menentukan kapan saja Ia mau memunculkannya, karena

sejatinya kehendak Tuhan tidak dapat disamakan dengan kehendak manusia.

Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa pengkritikan Imam al-Ghazâlî

hanyalah ingin mengagungkan Tuhan, dan menyatakan bahwa Tuhan tidak

dapat disamakan dengan yang lainnya. Sehingga dalam pengkritikan dan

penulisan tersebut kita dapat mengetahui hakikat serta proses penciptaan alam

11
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, (Bandung:
CV. Pustaka Setia Bandung, 2009), h. 162.
5

Imam al-Ghazâlî. Alam itu tidak qadim (tercipta dengan kebermulaan, dan

yang memulakannya atau menciptakannya adalah Tuhan), alam itu tercipta

secara Hadits (Baru).12

B. Batasan Dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pembahasan skripsi ini akan di

batasi, guna menghindari pembahasan yang begitu luas, yakni :

1. Saya batasi sebagai penciptaan alam menurut Imam al-Ghazâlî, dengan

rumusan masalah filsafatnya.

2. Apa hikmah dari penciptaan alam menurut Imam al-Ghazali?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan,

1. Penelitian ini bertujuan untuk : Menjelaskan Penciptaan Alam Menurut

Imam al-Ghazâlî, dan prinsip-prinsip penciptaan Alam-nya. Sehingga

tidak hanya menerangkan bagaimana terciptanya alam, akan tetapi juga

menerangkan hikmah dari apa yang ada pada alam raya ini.

2. Penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan program studi sarjana

Strata Satu Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin,

Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini bukan hanya untuk kepentingan pribadi, namun

juga dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

semua kalangan mengenai Penciptaan Alam menurut Imam al-Ghazâlî,

12
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. Penerjemah:
Musa Khazim dan Arif Mulyadi, (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), Cet.2, h. 28.
6

Sehingga dengan ini dapat memperkaya khazanah pengetahuan Islam yang

berhubungan dengan alam. Selain itu, penulis juga berharap skripsi ini dapat

menjadi referensi yang cukup memadai bagi pembaca yang ingin mendalami

tentang pemikiran failasuf Imam al-Ghazâlî. Sehingga dapat membandingkan

pemikiran mana yang dapat di terima oleh masyarakat tentang penciptaan

alam.

E. Tinjauan Pustaka

Beberapa literatur yang peneliti dapatkan mengenai PenciptaanAlam

Menurut Imam al-Ghazâlî.

Pertama, buku Imam al-Ghazâlî Ihya’ Ulumuddin, didalamnya penulis

dapatkan biografi serta pemikiran tasawuf dari Imam al-Ghazâlî. Kedua, buku

Imam al-Ghazâlî Rahasia Penciptaan Alam Semesta dan Makhluk Hidup,

didalamnya terdapat hikmah dari segala penciptan alam yang Tuhan ciptakan.

Ketiga, buku Imam al-Ghazâlî Tafsir Ayat Cahaya dan Telaah Kritis Pakar,

didalamnya terdapat telaah pemikirannya terhadap penciptaan alam. Keempat,

buku Imam al-Ghazâ lî Tahâfut Al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof), yang

didalamnya penuh dengan kritikan juga pemikirannya terhadap alam.

adapun karya akademik lainnya tentang Imam al-Ghazâlî adalah:

Pertama, skripsi Moh. Sandiawan, Mahasiswa Jurusan Perbandingan

Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul

Konsepsi penciptaan Alam Semesta Dan Makhluk Hidup Dalam Al-Qur`an

Dan Alkitab, dibuat pada tahun 2016. Di dalamnya menjelaskan mengenai

penciptaan alam semesta menurut Alquran juga alkitab.


7

Kedua, Skripsi Abdillah Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas

Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.yang berjudul Konsep

Penciptaan Alam Menurut Hamzah Fansuri, dibuat pada tahun 2016. Di

dalamnya menjelaskan mengenai penciptaan alam semesta melalui konsep

Fayḍ dan Ibdā’ menurut Hamzah Fansuri, juga para filosof bagian Timur

lainnya.

Ketiga, Skripsi Jamiluddin Mahasiswa Jurusan Studi Agama-agama,

Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul

Komparasi Konsep Kosmologi Dalam Perspektif Buddha Dengan Kosmologi

Sains Modern, dibuat pada tahun 2016. Di dalamnya menjelaskan mengenai

Kosmologi Sains Modern dan Kosmolgi dalam perspektif Buddha.

Keempat, Skripsi Ahmad Muzani Mahasiswa Jurusan Aqidah dan

Falsafah, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

berjudul Kritik Al-Ghazâlî Terhadap Kausalitas Dalam Perspektif Filosofis,

dibuat pada tahun 2014. Dengan melihat karya-karya sebelumnya, di sini

penulis mendapatkan beberapa tambahan sumber data. Sehingga meski

terdapat beberapa kesamaan dari apa-apa yang di bahas oleh penulis lain

sebelumnya, tentunya ada beberapa hal yang belum di bahas secara

mendalam, sehingga bagi penulis hal ini perlu untuk di lajutkan dalam

penelitiannya. Hingga yang membedakan skripsi ini dengan karya-karya di

atas, adalah skripsi ini lebih menjelaskan tentang hikmah dari penciptaan

yang ada di alam semesta, beserta pengkajian ulang tentang penciptaan alam

Imam al-Ghazâlî yang di jawab melalui kritikannya terhadap filosof


8

sebelumnya. Yang hasil akhirnya memberikan bukti bahwa Tuhan adalah

Esa, tidak dapat di samakan dengan makhluk dan ciptaan-Nya yang lain.

F. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan (library research),

karena itu, sumber data penelitian ini sepenuhnya berpijak pada tulisantulisan

dan karya-karya Imam al-Ghazâlî terkait penciptaan alamnya, sebagai sumber

primer, dan sumber sekunder yang berbentuk ulasan dan tulisan tentang

pemikiran tokoh tersebut; juga dari artikel, jurnal, dan lain-lain yang

mendukung kajian skripsi ini. Pendekatan yang digunakan penelitian ini

bersifat deskriptif analisis.

Adapun teknik penulisan, penulis berpedoman pada pedoman

akademik tahun 2013/2014 fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan oleh Biro Administrasi

Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penulisan

Dalam kerangka pembahasannya, tulisan ini akan di bahas ke dalam

lima bab. Pada masing-masing bab akan ada turunan-turunan pembahasan

berupa sub-sub bab yang akan lebih detail menjelaskan maksud dari tiap-tiap

judul bab, antara lain sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN adalah pengantar pembahasan terutama pada

persoalan masalah dan penelitiannya. Pada wilayah masalah,

identifikasi masalah, sampai dengan rumusan dan batasan


9

masalahnya. Kemudian fokus pada persoalan penelitian, akan

sedikit dijelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

metode penelitian yang digunakan. Di samping

persoalanpersoalan tersebut, pada kajian ini juga dimuat tentang

kajian pustaka dan sistematika penulisan. Semua itu di

cantumkan agar mempermudah para pembaca untuk mengetahui

sumber primer dan apa saja yang permasalahan pokok yang

penulis angkat pada tulisan ini. Selain itu, tulisan pada bab ini

juga setidaknya memberikan stimulus kepada yang akan

membaca tulisan pada bab selanjutnya.

BAB II : berisi tentang Imam al-Ghazâlî, yang didalamnya penulisa akan

cantumkan Biografi, Latar Belakang Intelektual, hingga karya-

karyanya, agar dengan mudah para pembaca mengenal sosoknya,

dan mengetahui jerih payahnya dalam mendapatkan suatu ilmu,

dan penerapan apa saja yang telah Ia lakukan semasa hidupnya.

BAB III : berisi tentang Penciptaan Alam. Didalamnya akan diuraikan

tentang definisi dan penciptaan alam perspektif Filosof Yunani

dan Islam. Beserta definisi alam menurut al-qur’an. Agar dapat

terlihat jelas perbandingan penciptaan alam dari amsing-masing

pemikir.

BAB IV : berisi tentang Hasil Kajian Terhadap penciptaan alam menurut

Imam al-Ghazâlî. Seperti, hakikat alam dan penciptaan alam.


10

Selain itu di dalamnya juga terdapat hikmah penciptaan alam.

Agar pembahasan tentang penciptaan alam ini semakin menarik

untuk dikaji, dan diresapi oleh para pemirsa.

BAB V : Penutup, kesimpulan yang berisi jawaban dari permasalahan dan

saran terkait subjek pembahasan ini.


BAB II

IMAM AL-GHAZALI

A. Biografi Imam al-Ghazȃlȋ

Imam al-Ghazȃlȋ memiliki nama lengkap “Abu Hamid Muhammad bin

Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazȃlȋ”, yang mempunyai

gelarHujjatul Islâm. 1 Namun pada umumnya ia dikenal dengan sebutan Al-

Ghazâli (dengan satu “z”)2 terkadang ia juga di panggil dengan “Al-Ghazzali

(dengan dobel “z”). Ghazali dengan satu”z” karena saat itu terdapat tempat

yang terkenal di dataran Thusi. Sedangkan Ghazzala dengan doble “z” karena

sikap Imam al-Ghazȃlȋ yang senantiasa berusaha untuk menyucikan diri dan

melembutkan sanubari. Atang Abdul Hakim dan temannya menyatakan bahwa

Ghazala dengan satu “z” adalah karena menunjukkan pada saat itu di ambil

dari kata Ghazalah, nama perkampungan tempat Imam al-Ghazȃlȋ dilahirkan.


1
Gelar Hujjatul Islam didapatnya karena umat Islam pada umumnya telah mengakui
akan keilmuan dan perbuatan yang Imam al-Ghazâlî miliki selama hidupnya, dan semua itu
adalah suatu hal yang patut di contoh. Sebab semasa hidupnya ia sangat membela Islam dengan
menentang anasir-anasir luar yang membahayakan kepercayaan atau apa yang telah di yakini umat
Islam. Dimana ia di anggap berhasil membela Islam dari dua serangan, pertama,serangan dari
dunia falsafat dimana mereka menggambarkan tentang ketuhanan namun membuat umat Islam
pada umumnya kebingungan akan ilmu tentang Ketuhanan tersebut. Kedua,ia telah berhasil
memberikan acuan yang sesuai dengan syariat Islam terhadap perkembangan tasawuf dan
kebatinan yang jika dibiarkan berlalu maka akan membahayakan amal syariat Islam. Lihat:
Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam (Jakarta: PT. Tintamas Indonesia,1973),
cet.3, h. 49.
2
Filosof yang sering sekali memanggil al-Ghazâli dengan sebutan Abu Hamid adalah
Ibn Rusyd. Sebagaimana dalam kitab polemiknya Tahafut al-Tahafut (Rancu Dalam
Kerancuan)di dapatkan bahwa ia sering sekali menyebut al-Ghazâlî dengan sebutan Abu Hamid.
Menurut Sulaiman Dunya, Imam al-Ghazâlî telah menikah sebelum ia berusia dua puluh tahunan.
Dimana ia mempunyai anak perempuan yang masih hidup sampai dewasa, sedangkan putranya
yang bernama hamid meninggal dunia ketika masih bayi. Sebab itulah ia di panggil dengan
sebutan Abu Hamid. Namun nama al-Ghazâlî yang sebenarnya hanyalah Muhammad. Lihat:
Skripsi Ahmad Muzani, Kritik Al-Ghazali Terhadap Kausalitas Dalam Perspektif Filosofis,
(Jakarta; Skripsi Jurusan Aqidah Filsafat, Fak.Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014)
h.38. Lihat juga: Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi
(Bandung: Cv.Pustaka Setia, 2007), h. 50.

11
12

Sedangkan Ghazzala dengan double “z” kata ini di ambil dari kata Ghazzal

yang artinya tukang pintal benang, sebab ayahnya pada saat itu bekerja

sebagai seorang pemintal benang wol. 3 Namun nama beliau lebih di buat

mudah pemanggilannya sesuai dengan kesepakatan, yaitu al-Imam al-

Ghazȃlȋ.4

Imam al-Ghazȃlȋ lahir pada tahun 1059 M. 5 Di Gazaleh suatu kota

kecil yang terletak di dekat Thus sebuah kota kecil di Khurasan. 6 Di

ungkapkan bahwa ia lahir di tahun ketiga setelah kaum Saljuk mengambil alih

kekuasaan di Baghdad. 7 Bertepatan dengan itu pula Yuris 8 Abbasiyah yang

keenam yaitu al-Mawardi meninggal dunia.9Tak banyak yang mencantumkan

nama Ibu, ayah dan silsilah keluarga Imam al-Ghazȃlȋ lainnya. Namun `Abd

3
Abdul Hakim dan kawan, Filsafat Umum dari Metodologi Sampai Teofilosofi, h. 463.
4
Al-Ghazâlî, Ihyâ’ `Ulumuddin (Jakarta: Republika Penerbit, 2011), h, vii.
5
Terdapat beberapa pendapat akan tahun kelahiran Imam al-Ghazali, harun Nasution
menyatakan tahun 1059 M, Hasyimsya Nasution mengatakan pada tahun 1056 M, sedangkan
dalam buku karangan Saeful Anwar adalah tahun 1058/ 1059 M.
6
Harun Nasution,Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 29.
7
Saeful Anwar mencantumkan kondisi Imam Al-Ghazali saat lahir, pada saat itu Ia lahir
di Thus, Khurasan. Yang pada saat itu sedang terjadi situasi kritis. Dimana situasi kritis itu
berakhir dengan jatuhnya Abbasiyah ke tangan Tugrul Bek dari Dinasti Saljuk atas undangan
khalifah Al-Qa’im yang mengangkatnya menjadi sultan (447-455). Meskipun hal ini menimbulkan
pemberontakan Basasiri yang disokong Fatimi Mesir dan berhasil menduduki Baghdad sesudah
menangkap Khalifah dan membunuh Wazir Ibn Maslamah, Tugrul berhasil menumpasnya dan
mengembalikan Khalifah ke atas kursinya. Dalam situasi seperti ini ghazali lahir. Lihat Saeful
Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, h. 37.
8
Yuris pada bagian ini memiliki makna “Ahli Hukum atau Sarjana Hukum.” Admin, Arti
"yuris" Makna Pengertian dan Definisi, diakses dari https://artikatadari.com/yuris/ pada
tanggal 18 Juli 2018 pukul 10:47.
9
Al-Mawardi adalah seorang Yuris abbasiyah yang keenam. Ia dan Imam al-Ghazâlî
sama-sama menganut mazhab al-Syafii. Meski keduanya sama dalam menganut mazhab, namun
mereka mempunyai cara yang berbeda untuk dikenang. Al-Mawardi dikenal sebagai Yuris
sekaligus diplomat yang mempunyai keinginan mengembalikan wibawa politik Abbasiyah yang
sudah berantakan. Dan ia memilih dengan cara menulis buku al-Ahkam al-Sulthaniyah. Sedangkan
Imam Al-Ghazali ernyata dalam ranah intelektualnya sudah lebih menjulang tinggi sehingga
berhasil menukik lebih jauh ke alam esoterik dengan kemampuan kontempelasi sufistik yang luar
biasa.Ia juga tergolong sebagai tokoh moral yang langka ditemui dalam sejarah. Lihat di Yayasan
Wakaf Paramadina, Ihya’ `Ulum al-din Pemikiran Keislaman al-Ghazâlî(Jakarta:Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995), h. 1.
13

al-Gafir menyebutkan nama ayah dari Imam al-Ghazȃlȋ adalah Muhammad,

kakeknya juga bernama Muhammad, sedangkan Subki dan Murtada

menambahkan bahwa datuk nya bernama Ahmad.10

Ayah Imam al-Ghazâlî adalah seorang sufi yang masa hidupnya tidak

ia habiskan dengan hanya bekerja sebagai pemintal benang wol, Ia juga selalu

mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Sebagaimana di

kisahkan bahwa ayahnya Imam al-Ghazâlî selalu rajin mengikuti majli-majlis

para ulama tasawuf. Ayahnya selalu mendengarkan siapa saja yang

menyampaikan tentang ilmu. Dengan harapan bahwa kelak anaknya akan

menjadi orang alim sebagaimana para alim-ulama pada saat itu pula. Alasan

itulah mengapa ketika ayahnya meninggal, Imam al-Ghazâlî dan adiknya

Ahmad di titipkan kepada seorang guru dengan harapan kelak mereka akan

benar-benar menjadi seperti yang ayahnya harapkan selama masa hidupnya.11

Ayahnya juga adalah lelaki shalih, yang hanya ingin makan dari hasil usaha

tangannya sendiri, sebab ia sangat menjauhkan diri dan keluarganya memakan

makanan yang haram. Yang menarik perhatian dalam sepanjang sejarah

tentang Imam al-Ghazȃlȋ adalah kehausannya akan segala macam

pengetahuan, serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mengetahui

10
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazâlî Dimensi Ontologi dan Aksiologi, h. 50-51.
11
Sebelum ayah Imam al-Ghazâlî meninggal, ia sempat menitipkan anaknya kepada
salah seorang sahabatnya sekaligus sebagai seorang ulama untuk mendidik anaknya menjadi
seorang yang berilmu, namun ternyata dalam pertengahan anaknya menuntut ilmu, perbekalan
yang almarhum ayahya tinggalkan dan titipkan kepada sang guru telah habis. Sebab sang guru
adalah seorang sufi, yang hidupnya pun menjalankan hidup sufistik. sebab itulah ia menyuruh
Imam Al-Ghazali beserta adiknya untuk menuntut ilmu ke tempat lain, yang bisa sekaligus
menjamin kehidupan mereka. Lihat: Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Jakart:
Rajawali perss, 2009) h. 156.
14

hakekat segala sesuatu.12 Berkat hasil dari keseriusan belajarnya itulah Imam

al-Ghazâlî dipandang sebagai ahli pikir Islam yang mampu meninggalkan

pengaruh besar di masanya pada saat itu.13

B. Latar belakang Intelektualnya

Guru Imam al-Ghazâlî sangatlah banyak, Ia belajar tidak hanya pada

satu guru dan tidak hanya pada satu tempat. Pertama, Imam al-Ghazâlî belajar

kepada Achmad Arrozakany yang sekaligus sebagai seorang sufi. 14 Saat itu

ayah Imam al-Ghazâlî menyampaikan pesan kepada Achmad Arrozakany,

yaitu:

“ Saja sangat menjesal tentang peladjaran kedua anak saja


dan saja ingin menjelenggarakan apa jang mendjadi
pertanggungan djawab saja terhadap kedua anak saja ini.
Adjarlah dan didiklah mereka berdua dan selenggarakan
pertanggungan djawab saja terhadap mereka berdua itu”15
Imam Al-Ghazȃlȋ dan adiknya (Ahmad al-Ghazâlî) belajar bersama

Achmad Arrozakany itu di perkirakan hingga usia mereka 15 tahun.16 Namun

sangat di sayangkan proses pembelajaran tersebut berhenti di tengah jalan,

karena ketiadaan biaya. Selanjutnya sang guru-pun mencarikan Madrasah

12
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1982), h. 202.
13
Wahyu Murtiningsih, Para filsuf dari Plato Hingga Ibn Bajjah, 3th ed.(Jogjakarta:
IRCiSoD, t.t), h. 325.
14
Moh Siah Doa dan Djalaluddin, Rahasia Alam Kebatinan (T.tp.: AB. Sitti Sjamsijah
Sala, t.t), h.7.
15
Yang artinya menunjukkan penyesalan dirinya akan pendidikan kedua anaknya
dapatkan. Karena belum ada apa-apa yang kedua anaknya dapat dari dirinya. Sehingga ia ingin
bertanggung jawab atas apa yang memang seharusnya jadi pertanggungan dirinya. Namun karena
ia tahu umurnya tak akan lama lagi, maka ia menitipkan amanah kepada sahabatnya itu, agar
sekiranya Achmad dapat mendidik kedua anaknya, sebagaimana ia (Achmad) menempatkan
posisinya sebagai dirinya (ayahnya Imam Al-Ghazali) dalam bertanggung jawab mendidik
anaknya tersebut. Lihat: Doa dan Djalaluddin, Rahasia Alam Kebatinan, h. 7.
16
Hasyimsyah nasution, Filsafat Islam,h.76.
15

yang sekiranya dapat Imam al-Ghazȃlȋ dan adiknya menempa ilmu, dan

setidaknya kehidupan mereka dapat di perhatikan.17

Selanjutnya Imam al-Ghazâlî berguru kepada Abi Qasim Ismail di

Jurjan. 18 Di sana Imam al-Ghazâlî mempelajari ilmu-ilmu dasar. Menurut

Zahabi dan Subki, Imam al-Ghazȃlȋ belajar pada Abi Ismail kurang lebih

selama 5 tahun dengan cara Ta`liqah.19Barulah pada tahun 473 H Imam al-

Ghazâlî berangkat ke Nizhamiyah. 20 Di sinilah awal mula ia berkenalan

dengan al-Juwaini. Dari Al-Juwaini pula ia mendapatkan ilmu kalam dan

mantiq.21

Dengan kecerdasan dan daya analisis kritis yang luar biasa serta daya

hapal yang kuat, Ia memperlihatkan aktivitas studi yang serius dan prestasi

yang mengagumkan. Sehingga al-Juwaini-pun menjulukinya dengan “Lautan

yang menenggelamkan”. Karena kepandaiannya inilah, Imam al-Ghazâlî


17
Sang gurunya ini, adalah guru sekaligus ayah angkat untuk Imam Al-Ghazali dan
adiknya Ahmad. Karena jasa ayah angkatnya ini Ghazali dan adiknya mendapatkan pelajaran dasar
dari cara membaca, menulis, serta mendapatkan didikan terhadap nilai-nilai tasawuf. Inilah salah
satu didikan yang pertama kali membentuk jiwa seorang Imam al-Ghazâlî. Lihat Saeful Anwar,
Filsafat Ilmu Al-ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, h.52.
18
Di tuliskan pula bahwa namanya adalah Abu Nashr al-Isma `ili.Lihat, Hasyimsyah
nasution, Filsafat Islam, h. 76.
19
Ta`liqah ini dikenal juga dengan Halaqah dan Liqo`, secara bahasa artinya lingkaran
dan liqo` artinya pertemuan. Dalam bahasa lain dapat juga disebut dengan majelis taklim. Lihat,
Anwar,Filsafat Ilmu Al-Ghazâlî Dimensi Ontologi dan Aksiologi, h.52-53.
20
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h.76.
21
Al-Juwaini atau dikenal juga dengan Al-Haramain, mempunyai nama lengkap “Abu
al-Ma’ali `Abd Al-Malik Al-juwaini (419-478 H) beliau adalah tokoh ke-empat dari mazhab
teologi Asy`ariyah sesudah Al-Asy`ari, Al-Baqillani, juga Abu Hamid Muhammad Al-Isfarayaini,
serta tokoh mazhab fiqh Syafi`iyah. Ia dan ayahnya mempunyai komitmen yang berbeda dalam
mazhab. Meskipun terbilang ia sebagai murid ayahnya, dengan artian ilmu ayahnya pun ditransfer
kepadanya, namun ia terkenal sebagai orang yang sangat mengkritisi apa yang ayahnya sampaikan
bahkan berpikir liberal dan anti taklid. Sebab pada saat itu ia telah menjadi orang yang sangat
menolak mentah apa saja yang tak sesuai dengan pikirannya, atau hal apa saja yang akalnya tak
dapat terima, sekalipun hal itu datang dari ayahnya sendiri. Namun lambat laun setelah menajalani
hidup ini, dan berbagai pengalaman serta ilmu yang ia alami dan peroleh, ia-pun kembali kepada
kalimat al-haqq (yakni Islam). Lihat: Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazâlî Dimensi Ontologi
dan Aksiologi,h. 55.
16

diangkat menjadi asisten guru besar dalam memberi kuliah dan bimbingan
22
kepada para mahasiswa. Sayangnya, setelah gurunya wafat, ia pergi

meninggalkan Naisapur dengan kenangan ilmu yang sang guru berikan.23

Berangkatlah Imam al-Ghazȃlȋ dari Naisapur menuju negeri Askar,

dengan tujuan untuk bertemu Nizham Al-Mulk. Imam al-Ghazȃlȋ dapat

mengenal Nizham Al-Mulk melalui perantara gurunya yaitu al-Juwaini.

Dahulunya sebelum al-Juwaini meninggal, ia sempat mengenalkan Imam al-

Ghazȃlȋ kepada Nizham al-Mulk, 24 yang pada saat itu sekaligus sebagai

perdana menteri Sultan Saljuk Maliksyah. Nizham Al-mulk juga telah

mendirikan beberapa madrasah yang ada di Nizhamiyah.

Di daerah inilah ia mendapatkan kesempatan yang langka, yaitu dapat

bertemu dengan para ilmuwan besar, di situ ia mendapatkan kepercayaan

untuk mengajar para ilmuwan juga ulama yang hadir. Bahkan saat melakukan

sesi tanya jawab, dengan lancer Ia dapat mejawab segala pertanyaan tersebut

(perdebatan), sehingga dengan tanya jawab yang terjadi tambah melejitkan

namanya menjadi populer di tempat yang ia datangi pada saat itu. Tidak hanya

menjadi populer bahkan ia juga disegani sebab keluasan ilmu yang ia miliki.

Sehingga pada tahun 484 H (1091 M) Imam al-Ghazȃlȋ dipercaya untuk

menjadi guru besar di Madrasah Nizhamiyah, Baghdad. Pada saat itu ia tidak

hanya mengajar, namun juga memanfaatkan waktunya yang ada untuk belajar
22
Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazâlî Dimensi Ontologi dan Aksiologi, h. 53-54.
23
Di nyatakan bahwa Imam al-Ghazâlî saat tinggal di Naisabur juga sempat berguru
kepada Abu `Ali al-Fadhl ibn Muhammad ibn `Ali al-Farmadzi untuk belajar Tasawuf. Nasution,
Filsafat Islam, h.76.
24
Di katakan bahwa terbunuhnya Nizam Al-mulk di bunuh oleh seorang anggota Assain
pada 485 H/ 1092 M. Lihat: Ensiklopedia Filsafat Islam, h. 323.
17

mendalami falsafat, terutama dalam mendalami pemikirannya Al-farabi, Ibn

Sina, Ibn Maskawaih, juga Ikhwan Al-Shafa. Hal tersebut berjalan kurang

lebih selama empat tahun.25

Perjalanan tak seindah yang Imam al-Ghazâlî harapkan, sebab Tuhan

tahu yang terbaik untuk dirinya. Begitulah yang dialami Imam al-Ghazȃlȋ,

siapa sangka dalam proses mengajarnya di Nizhamiyah, Imam al-Ghazȃlȋ di

landa keragu-raguan. “Skeptis” terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya seperti

hukum, teologi, dan juga falsafat. Ia juga ragu akan sebenarnya manfaat dari

pekerjaannya beserta karya-karya yang telah ia hasilkan. Sehingga penyakit

yang ia alami semakin berat, bahkan oleh dokter spesialis sekalipun tak dapat

menyembuhkannya. Menyadari dirinya seperti itu, akhirnya Imam al-Ghazȃlȋ

mengundurkan diri dari jabatan yang Ia pegang pada saat itu. Hingga pada

akhirnya ia memilih meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus. Di kota

inilah Imam al-Ghazȃlȋ melakukan uzlah, riyadhah, dan mujahadah. Merasa

belum cukup akan hasil ber`uzlah yang Ia dapatkan, akhirnya Imam al-Ghazâlî

melanjutkan perjalanannya menuju Palestina untuk melaksanakan ibadah

serupa yang pernah Ia lakukan selama di Damaskus. Sehingga dari situ

tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam

Rasulullah SAW.

Sepulangnya dari tanah suci akhirnya Imam al-Ghazȃlȋ kembali ke

tanah kelahirannya, Thus. Bahkan di tanah kelahirannya-pun ia tetap

25
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h.76-77.
18

berkhalwat. Lamanya keadaan skeptis yang ia alami adalah selama 10 tahun.26

Pada periode itu pula Imam al-Ghazâlî menulis karyanya yang terbesar yaitu,

Ihya’`Ulum al-Din (The Revival of Religious–Menghidupkan kembali Ilmu-

ilmu Agama). Setelah sembuh, Imam al-Ghazȃlȋ di paksa oleh Fakhral-Mulk

untuk kembali mengajar di Madrasah Nizamhiyah, Imam al-Ghazȃlȋ-pun

menyanggupi hal itu. 27 Akan tetapi proses Ia mengajar tidak berlangsung

lama, Imam al-Ghazâlî hanya mengajar selama dua tahun saja. Selanjutnya

Imam al-Ghazâlî memutuskan untuk kembali ke Thus dan mendirikan

Madrasah bagi para Fuqaha, dan sebuah zawiyah atau khanaqah untuk para

mutasawwifin. Di kota inilah Imam al-Ghazȃlȋ wafat pada 505 H (111 M).28

Berikut adalah alur perjalanan Imam al-Ghazâlî dalam menuntut ilmu,

penulis gambarkan agar lebih mudah di mengerti:

26
Menurut pengalaman Imam al-Ghazâlî, skeptis terjadi akibat dari rasa condong yang
luar biasa dalam dirinya untuk mengenal hakikat segala sesuatu, yang telah ia rasakan semenjak
dari masa kecilnya. Terdorong oleh keinginan tersebut akhirnya ia mencari kebenaran mutlak
dimana kebenaran itu memungkinkan tidak mengandung sedikitpun kesalahan. Hal itu di carinya
melalui `ilm Kalam, Falasafat, ke dalam ajaran bathiniyyah. Lihat: Yayasan wakaf Paramadina,
Ihya’ `Ulum al-Din Pemikiran Keislaman Al-Ghazali, h. 44.
27
Fakhr al-Mulk adalah seorang yang menguasai Saljuk pada masa itu (499 H, di saat
Imam al-Ghazâlî kembali dari beruzlah). Lihat: Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1999), Cet.2, h.79. Lihat juga: Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazâlî
Dimensi Ontologi dan Aksiologi,(Bandung: Pustaka Setia, 2007), h, 66-67.
28
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 76-77.
19

1). Thus (450


2). Jurjan (465 H-
H-465 H) 3). Naesapur (473 H-
470 H)
Lahir di Tus, dan 478 H)
Imam al-Ghazâlî
mulai belajar
berguru kepada Berguru kepada Abu al-
dengan seorang
Imam abu Nasr Al- Ma’ali al-Juwaini (Imam
sufi yang
isma`ili, Al-Haramain).
bernama
Muhammad al-
Razakani 5). Baghdad (484 H-
488 H) 4). Mu`askar
(478 H-484 H)
Di Baghdad ini Ia
6). Masa `UZLAH (488 tinggal bersama anak di sini Ia berguru
H-499 H) juga istrinya. Di kepada wazir
Baghdad, Ia juga Nizam Al-Mulk.
menjadi guru besar, dan
menuju: konsultan hukum.

Damaskus

7). Naesapur
Palestina ke-2 (499 H-
503 H) 8). Thus ke-2 (503 H-
505 H)
Ia ditarik oleh
Kairo - Mekah – Fakhral-Mulk Pada persinggahannya
Madinah untuk yang terakhir, Imam al-
mengajar Ghazâlî mendirikan
Di sinilah Imam
kembali di madrasah, dan mengajar
al-Ghazâlî
Nizhamiyah. di sana hingga Ia wafat.
melakukan
ibadah haji.
20

C. Pokok-Pokok Pikiran Imam Al-Ghazali

1) Kalam

Imam al-Ghazâlî berpendapat bahwa Ilmu kalam tidaklah selalu

identik dengan ilmu Tauhid, akan tetapi hanya sebagian daripadanya, karena

sejatinya ilmu kalam terlahir dari ilmu Tauhid. Imam al-Ghazâlîmenyatakan

bahwa para pemikir dalam ilmu Tauhid mula-mula berpegang pada ayat-ayat

Al-Qur`an, lalu dengan hadis-hadis nabi Muhammad, kemudian dengan dalil-

dalil rasional dan argumen-argumen sosiologisme dari logika falsafat. Para

pemikir tersebut banyak membicarakan akan hal argumen rasional yang

terdapat di sekitar objek-objek materiil ilmu tauhid, karena itulah mereka

disebut “mutakallimun” (orang-orang yang banyak berbicara). Dari sinilah

istilah kalam terlahirkan dalam tauhid. Dan dengan nama inilah orang lebih

banyak mengenal ilmu kalam.

Namun dalam hal ini, Imam Al-Ghazali menyayangkan akan ilmu

kalam yang menggeser ilmu tauhid. Sebab tauhid itu memiliki artian

mengesakan Allah,merupakan inti akidah Islam yang dibawa Nabi

Muhammad. Sedangkan kalam yang berarti perkataan, hanya merupakan cara

yang banyak dipergunakan dalam membahas masalah-masalah akidah. Setelah

melihat dari apa yang telah terjadi di masa lalu dan di masanya akhirnya Imam

Ghazali mendefinisikan “Ilmu kalam ialah ilmu yang mengandung perdebatan

tentang akidah keimanan dengan dalil-dalil rasional, dan penolakan terhadap

ahli bid`ah yang menyelewengkan dari paham salaf danAhlussunnah.”

Dengan hal seperti ini baginya kalam hanya dapat berfungsi atau digunakan
21

untuk menghadapi tantangan terhadap akidah yang sudah dianut oleh

umat.Tetapi tidak bisa untuk menanamkan akidah yang benar kepada umat

yang belum menganutnya, apalagi unutk menuntun agar orang bisa

menghayatinya.29

2) Metafisika

Untuk mengetahui pemikirannya tentang metafisika, dapat di lihat

dalam kritikannya terhadap pemikiran metafisika para filosof lainnya pada

zaman tersebut, dimana pemikiran para filosof tersebut sangat

bertentangan dengan Islam. Bahkan bisa dinyatakan para filosof-filosof

tersebut adalah orang atheist. Karena pemikirannya yang menyangkut tiga

hal tentang metafisika, yaitu :

a. Qadimnya alam

Para filosof mengatakan bahwa alam ini Qadim. Sebagaimana

Qadimnya Tuhan atas alam sama dengan qadimnya sebab atas akibat.

Yaitu dari segi zat, dan tingkatan, bukan dari segi zaman.

Timbul bantahannya terkait qadimnya alam ini, sebab para

filosof mempunyai pemikiran bahwa alam ini adalah qadim, karena

tidak mungkin alam ini baharu, semisal Tuhan dengan semaunya

mengadakan, lalu untuk apa Tuhan tiba-tiba mengadakan alam ini?,

hal tersebut berarti harus diketahui tujuan mengapa alam tersebut tiba-

tiba diciptakan. Bahkan jika yang menyebabkan terbentuknya alam ini

adalah dengan sebab-sebab lainnya, pastipun kembali lagi

29
Abdul Hakim dan Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi,
h. 478-479.
22

pertanyaannya, kenapa hal itu timbul? Atau, ada maksud tujuan

apa?,misalpun jika harus diciptakan bukan dari dahulu,lalu timbul

pula pertanyaan mengapa kekuasaan tersebut baru timbul, bukannya

dari masa sebelumnya?, mengapa, mengapa dan mengapa. begitulah

yang para filosof pikirkan ketika membahas tentang alam.30

Disinilah Imam Al-Ghazali menjawab, soal keabadian alam itu,

pendapat bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tak dapat

diterima dalam teologi Islam. Dalam teologi Islam Tuhan adalah

pencipta. Dan yang dimaksud dengan pencipta ialah menciptakan

sesuatu dari tiada. Kalau alam dikatakan tidak bermula, maka alam

bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta.

Sedangkan dalam alquran disebut bahwa Tuhan adalah pencipta

segala-galanya. Menurut Imam al-ghazâlî-pun orang Islam tidak ada

yang menganut paham bahwa alam ini kekal dan tak bermula.31

b. Tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal, peristiwa-peristiwa

kecil.

Pendapat seperti itu tidaklah masuk akal, karena Tuhan adalah

sesuatu yang berdiri sendiri, Ia tidak membutuhkan yang lain.

Sedangkan alam ini tercipta oleh Tuhan, tidak akan ada yang lain jika

yang satu tidak ada. Hal itu di karena keberadaannya tidak berdiri

30
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 213.
31
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakara: Bulan Bintang,Cet.12,
2014), h. 32.
23

sendiri, dan membuthkan yang lain.32 Jadi tidak mungkin Tuhan tidak

mengetahui penciptaannya sendiri.

c. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.

Inti dari jawaban Imam al-Ghazâlî didasarkan atas sifat

kemahakuasaan Tuhan, bahwa Tuhan mampu menciptakan segala

sesuatu dari tiada. Karena itulah Tuhan-pun mampu membangkitkan

kembali tubuh dan tulang belulang manusia yang telah hancur menjadi

tanah ke dalam bentuk semula. Pemikirannya ini, berlandaskan pada

firman Allah Swt:

             

          

Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang


telah hancur luluh? “katakanlah : Ia diciptakan oleh Tuhan yang
menciptakannya kali yang pertama.” (QS. Yasin/ 36: 78-79).

Dari semua penjabaran di atas, jelaslah bahwa Imam al-Ghazâlî

sangat mengagungkan Tuhan. Meski dalam hal sekecil apapun itu,

Imam al-Ghazâlî berusaha agar keberadaan Tuhan lebih tinggi dan

Agung daripada makhluk lainnya. Sehingga pokok inti dari

metafisikanya adalah peng-Agungan kepada Pencipta alam semesta

ini.

32
Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut Al-Falâsifah. Penerjemah:Ahmad Maimun, (Bandung: Marja, Cet.
5, 2016), h. 154.
24

3) Falsafat

Terdapat empat bagian dari garis besarnya fialsafat Imam Al-Ghazali

yang mewakili maksud dari seluruh falsafatnya :

a. Memberi analisa-analisa ilmu pengetahuan yang sebenarnya, yang

tidak bertentangan dengan syara’.

b. Memperhatikan analisa-analisa dari filsuf tentang falsafah yang

bertentangan dengan syara’dan berijtihad untuk mencari dalil-dalil

guna membatalkannya

c. Memberikan analisa yang berdasarkan dalil syara’ karena dengan dalil

akal yang bersifat insaniyyah saja, kita belum dapat mengetahui

kebenaran ke-Tuhanan. Maka harus dengan dalil yang lebih kuat

daripada dalil akal.

d. Memberi analisa letaknya peraturan yang berdasarkan hukum dalam

agama namun tidak bertentangan dengan mantiq.

Imam al-ghazâlî juga berpendapat bahwa dalam falsafat itu

mempunyai bagian pencirian, yang dengannya para pemikir itu

berfalsafat, yaitu:

a) Filsuf yang tidak beragama. Mereka ini adalah yang

menyangkal adanya kekuatan ghaib, percaya bahwa tidak ada

Tuhan yang mencipta, juga tidak ada surga dan neraka.

b) Filsuf yang berpegang kepada alam. Mereka percaya kepada

alam, akan tetapi tidak sekaligus memikirkan akan kekuasaan


25

dan kebesaran yang menciptakannya. Oleh sebab itulah mereka

menjadi sesat.

c) Filsuf yang percaya adanya Tuhan. Pada bagian ini, Imam Al-

Ghazali prcaya bahwa Aristoteles, Plato, beserta Socrates

adalah filosof yang percaya akan adanya Tuhan. Akan tetapi

Imam Al-Ghazali juga menyayangkan, karena muridnya juga

mereka terdapat pemikiran yang membuat mereka kafir.

Sehingga pada titik akhir dari pemikiran falsafatnya adalah

bahwa falsafat itu tidak dapat menjamin kebenaran. Sebab darinya

tidak menghasilkan kepastian sebagaimana dalam al-Munqidz Al-

Dhalal Ghazali menuliskan:

Mereka para filosof mengandalkan logika


menyusun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
demonstrasi (burhân) yang di akui tak pernah gagal
menghasilkan kepastian.Namun, ketika mereka
berurusan dengan masalah-masalah keagamaan
secara detail, mereka tidak saja gagal memenuhi
syarat-syarat ini, tetapi juga banyak memberi
kelonggaran.33
Dalam pendapatnya ini, tergambarkan bahwa Imam al-

Ghazâlî tidaklah mempercayakan semua urusan agama kepada

Ilmu Falsafat. Dari uraian singkat di atas jealaslah bahwa hal yang

mendorong Imam al-Ghazâlî untuk belajar falsafat adalah

keinginann untuk memperoleh kebenaran yang hakiki. Ia pelajari

falsafat atas usaha sendiri, tanpa bantuan guru, dalam masa kurang

33
Massimo Companini, Al-Ghazali dalam buku Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam
:buku Pertama, ed.Seyyed Hoseein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2003),
h. 320.
26

dua tahun. Kemudian apa yang ia pelajari itu, ia renungkan selama

kurang dari satu tahun. Dalam masa perenungannya itulah ia

menemukan hal yang tidak sejalan dengan pemikirannya bahkan

juga bertentangan dengan agama. Karena yang ia pelajari bukan

hanya dari falsafat al-Farabi dan Ibn Sina, tapi juga falsafat Filosof-

filosof Yunani seperti falsafat Socrates, Plato, Aristoteles.34

4) Epistemologi

Istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme=

pengetahuan dan logos=perkataan, pikiran, ilmu. Kata episteme dalam

bahasaYunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya mendudukkan,

menempatkan, atau meletakkan. Maka, harfiah episteme berarti

pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk “menempatkan sesuatu


35
dalam kedudukan setepatnya”. Secara umum epistemologi dapat

dijelaskan sebagai cabang filsafat yang membahas tentang ruang lingkup

dan batas-batas pengetahuan.36

Imam al-Ghazâlî sendiri mempunyai gagasan tentang pengetahuan .

Menurutnya pengetahuan bersumber pada tiga hal, yaitu Kasyf (intuisi),

wa hyu (al-Qur`an dan Sunnah Rasul), dan `Aql (rasio). 37 Perbandingan

Ihya’ ‘Ulum al-din Pemikiran Keislaman al-Ghazâlî (Jakarta: Yayasan Wakaf


34

Paramadina, 1995), h. 19.


35
Selain kata “episteme”, untuk kata “pengetahuan” dalam bahasa Yunani juga di pakai
kata “gnosis”, maka istilah epistemologi dalam sejarah pernah juga disebut “genoseologi”. Lalu
epistemologi juga terkadang disebut dengan teori pengetahuan (theory of knowledge;
erkentnistheorie) jika ia di tempatkan sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis
dananaliis tentang dasar-dasar teoretis pengetahuan. Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis
Kontemporer; editor, Nuran Hasanah-Ed.1(Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet.2, 2016) h. 63.
36
Juhaya S.Praja, aliran-aliran Filsafat & Etika (Jakarta: Kencana, 2014) h. 87.
37
Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016) h. 115.
27

dalam sistem kerja dari ketiga hal tersebut. Sebagaimana perbandingan

antara kasyf di satu sisi dengan berdasarkan naql dan `aql di sisi yang

lain adalah sama dengan orang yang melihat bulan purnama secara

langsung dengan orang yang melihatnya melalui bayangannya di dalam

air. 38 Dari ketiga hal tersebut, yang lebih dominan adalah pengetahuan
39
melalui Kasyf, karena dinilai lebih jelas dibanding pengetahuan

berdasarkan wahyu dan rasio.40 Tidak dijelaskan begitu banyak bagaimana

dari masing-masing tersebut bekerja. Namun dalam penjabaran di bawah

ini, sepertinya sudah dapat memperjelas akan masing-masing kelebihan

metode tersebut.

Dalam konsep epistemologinya Imam al-Ghazâlî pernah menyatakan

pengetahuan yang sebenarnya adalah ketika ia ingin mencari kebenaran

yang sejati, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan

kebenaran.Seperti kebenaran sepuluh lebih banyak daripada tiga.

Sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga itu adalah lebih banyak

38
Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Kalsik Hingga Kontemporer, (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2016), h. 115.
39
Kasyf atau pengucapan mudahnya menjadi “Kasaf” ini berkaitan dengan hati.Jika
ingin mendapatkan ilmu melalui hal ini, maka di perlukan hati yang bersih.Oleh karenanya hati
perlu dijaga dalam kehidupan ini. Dimana Imam Al-Ghazali berkata tentang hati “Tak seorangpun
tentu termasuk sarjana ataupun sufi yang dapat memulihkan hati nuraninya jika perang dan
kezaliman melanda”. Perkataannya yang sama tentang hati yang menjurus kepada Kasyf adalah
“Pengetahuan yang benar adalah hasil dari pencerahan Ilahi, sebab ketika Tuhan menjaga hati ...,
dada tercerahkan dan misteri alam spiritual (Malakût) tersingkap, dan tabir kesalahan sirna serta
realitas hal-hal yag Ilahi bersinar dalam hati”. “Sekali hati menjadi pemiliki kebenaran, pikiranpun
memperoleh kepastian.Di yakinkan lagi dengan perkataannya yaitu “Kebenaran-kebenaran
rasional diperoleh ksaya memperoleh kembali keyakinan terhadap kepastian dan kepatutannya
untuk di percaya.Sebab hal ii tidak di peroleh melalui demonstrasi yang sistematis ataupun
argumen yang tertata.Akan tetapi melalui cahaya yang diberikan oleh Tuhan yang maha tinggi ke
dalam dada”. Lihat, Massimo Companini, Al-Ghazali, dalam buku: Ensiklopedia filsafat Islam
Buku Pertama, Ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ( Bandung: Mizan, 2003), h. 322.
40
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Kalsik Hingga Kontemporer, Penerjemah Mizan
(Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2016), h.115.
28

dari pada sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular,

dan hal itu memang betul Ia laksanakan, saya akan kagum melihat

kemampuannya, meskipun demikian dengan keyakinan saya bahwa

sepuluh lebih banyak daripada tiga tidak akan goyah. Seperti itulah

kiranya.Dalam mendapatkan suatu pengetahuan, Imam al-Ghazâlî

membaginya dengan beberapa tahapan, tahap yang pertama yaitu dengan

pengetahuan inderawi.41

Hal ini muncul karena pada saat itu ia beranggapan bahwa

pengetahuan itu sesuatu hal yang dapat ditangkap oleh panca indera. Akan

tetapi lambat laun ia menyadari, bahwa sebenarnya dari indera juga dapat

berdusta. Seumpama bayangan rumah kelihatannya tak bergerak, namun

pada kenyataannya bayangan itu akan berpindah tempat juga. Serupa

dengan bintang-bintang yang ada di langit terlihat dari kejauhan atau dari

rumah sangatlah kecil, bahkan seakan dapat dikepal oleh tangan, akan

tetapi perhitunga menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari

bumi, bahkan tangan inipun tak dapat menggenggamnya.42 Karena terjadi

41
Inderawi atau diseut juga dengan Pancaindra merupakan sarana penangkap pertama
yang muncul dalam diri manusia, disusul dengan daya khayal yang menyusun aneka bentuk
susunan dari pertikular-partikular yang ditangkap oleh indra. Pancaindra ini pula mempunyai
banyak kelebihan dalam membantu kelancaran hidup manusia.Akan tetapi pancaindra ini
mempunyai kelemahan dan kekurangan tertentu di banding akal. Meskipun sebenarnya akal tak
bisa bekerja maksimal tanpa adanya pancaindra, namun dinyatakan bahwa di banding akal, panca
indra punya kelemahan seperti : (a) mata tak dapat melihat dirinya sendiri, (b) mata hanya dapat
melihat sebagian yang ada (c) mata tak dapat melihat sesuatu yangberkesudahan (d)mata tak dapat
menangkap apa yang ada di balik tabir (e) mata tak dapat melihat objek sensual karena terlalu
jauh, dan kadang terlalu dekat. (f) mata tak dapat melampaui dunia warna dan bentuk (g) mata
sering menangkap sesuatu tidak sesuai realitasnya sendiri. Meskipun begitu, secara kumulatif
pancaindra adalah sarana untuk mengetahui esensi segala sesuatu dalam dunia fisis-sensual.Lihat,
Al-Ghazâlî, Misykâtul Anwar. Penerjemah:Hasan Abrori dan Masyhur Abadi, (Suarabaya: Pustaka
Progressif, 1999), h. 48-57.
42
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 78. Lihat juga Nasution, Falsafat dan
Mistisisme, h.35-36.Lihat juga Al-Ghazali, al-Munqidz, h.4-5.
29

hal itu maka ia tidak lagi percaya akan pengetahuan yang panca indera

sampaikan. Kemudian ia berlari meletakkan kepercayaan pengetahuannya

kepada akal. Menurutnya akal adalah sesuatu yang berbenteng kuat di

puncak gunung yang tak terjangkau oleh tangan manusia karena kokoh

dan kuatnya.Itulah sebabnya Imam Al-Ghazali memberikan penghargaan

yang tinggi serta perhatian yang khusus pada akal sampai akhir hayatnya.

Tidak hanya itu secara operasional Imam Al-Ghazali telah

mengaplikasikannya dalam keseluruhan konsep pemikiran dalam berbagai

disiplin ilmu.Dapat dilihat secara konseptual statemen-statemen Imam al-

Ghazali mengenai akal dan dari logikanya dengan beberapa kitab yang

disusun khusus tentang logika.43

Lalu cara terakhir yang ia gunakan adalah dengan menggunakan

intuisi. Yang terkahir ini dalam pandangan Imam al-Ghazâlî mempunyai

peran penting dalam memperoleh ilmu.Ilmu yang di peroleh oleh intuisi

atau kalbu ini lebih mendekati ilmu hakikat, melalui ilham.44

5) Jiwa

43
Statemen-statemen seperti : akal merupakan inti dari hakikat manusia, cahaya batin
manusia, petunjuk dari kesesatan dan pembebas dari kegelapan , pangkal-tengah-serta ujung
keimanan, “tentara ” Allah untuk melawan setan dengan menyempitkan jalan-jalannya melalui
penalaran rasional, oleh sebab itu akal merupakan suatu yang paling mulia dan kekayaan yang
paling menguntungkan. Adapun keunggulan akal lainnya adalah: 1. akal dapat menangkap yang
lain, dirinya, juga sifat-sifat dirinya. 2. Semua yang ada merupakan lapangannya, sebab akal dapat
menjangkau objek-objek indera yang lainnya. 3. Akal dapat menangkap objek-ojjek akal yang tak
terhingga. 4. Akal dapat eroperasi dimana saja, sebagaimana akal dapat beroperassi di `Arasy, dan
lainnya, bahkan semua hakikat tak terhalang baginya (terkecuali hakikatnya zat, sifat dan
perbuatan Allah). 5. Akal juga tak berpengaruh ingin melihat dari jarak jauh ataupun dekat, 6.
Akal mampu menembus bagian dalam dan esensi serta rahasianya. 7. Akal menangkap hal-hal
yang sesuai realitas. Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, h.183 dan
h. 187.
44
Abdul Hakim- Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, h.
495-496.
30

BagiImam al-Ghazâlî jiwa adalah suatu zat (jauhar) dan bukan suatu

keadaan atau aksiden (`ardh), sehingga ia ada pada dirinya sendiri.

Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya.Jiwa

berada di alam spiritual sedangkan jasad berada di alam materi. Bagi

Imam Al-Ghazali jiwa berasal sama dengan malaikat, asal dan sifatnya

berasal dari ilahiyah. Ia tidak berawal dengan waktu ia tidak pre-eksisten,

seperti menurut plato juga fuilsuf lainnya. Bagi Imam al-Ghazâlî, jiwa

yang berasal dari Ilahi mempunyai potensi kodrari, yaitu

kecenderungannya kepada kebaikan dan keengganan kepada kekejian.

Pada waktu lahir, ia merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi

malaikat. Sedangkan jasad berasal dari `alam al-khalq. Karena itulah

kecenderungan jiwa kepada kejahatan (yang timbul setelah lahirnya nafsu)

bertentangan dengan tabiat aslinya. Kerena itu, jiwa rindu akan alam atas,

namun kerap kali diredam oleh keinginan duniawi.45

6) Tasawuf

Istilah Tasawuf telah dikenal di dunia Islam sejak abad kedua

Hijriah.46 Imam al-Ghazȃlȋ-pun mulai mendalami tasawuf ketika ia dilanda

keragu-raguaan dalam hidupnya (Skeptis). Dari situlah Ia yakin bahwa

45
Nasution, Filsafat islam, h.87-90.
46
Tetapi unsur-unsur yang sangat dasar dalam apa yang disebut tasawuf itu mulai
muncul ke permukaan saat pertengahan abad ke-3 H. Bertepatan dengan itu pula para sufi telah
membicarakan apa yang disebut ma’rifah...dalam artian pengenalan langsung akan Allah juga
bagaimana cara pencapaiannya. Lihat: Yayasan wakaf Paramadina, Ihya’ `Ulum al-Din Pemikiran
Keislaman Al-Ghazali (Jakarta: T.t, 1995), h. 42.
31

tasawuf adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran mutlak dan

tidak mungkin diperoleh melalui jalan lain.47

Imam al-Ghazâlî berpendapat bahwa sebelum mempelajari dan

mengamalkan tasawuf, orang harus memperdalam ilmu tentang syariat dan

akidah terelebih dahulu, dan menjalankannya secara tekun dan sempurna.

Karena itulah Ia mengembalikan ajaran tasawuf pada bingkai ajaran Al-

Quran dan As-Sunnah. Dalam tasawuf, pilihan Imam al-Ghazâlî jatuh

pada tasawuf sunni yang berdasarkan doktrin Ahl-As-Sunnah wa Al-

Jama`ah48. Menurut Imam al-Ghazâlî, jalan tasawuf merupakan ilmu yang

mengandung kesempurnaan ilmu dan amal, memutuskan jalannya nafsu,

membersihkan dari akhlak yang tercela serta sifat yang jelek.49Dalam hal

ini, penulispun melihat bahwa Imam al-Ghazali benar-benar menikmati

perjalanan tasawufnya. Dapat dilihat dari kesembuhan penyakit yang Ia

alami, hanya dapat sembuh dengan jalan tasawuf yang Ia jalani, yang

bahkan pengobatan dari dokter spesialispun tidak dapat

menyembuhkannya. Pada kejadian itu, dapatlah kita mengambil pelajaran

bahwa dengan tasawuf ini tidak hanya membersihkan diri kita dari luar

47
Yayasan wakaf Paramadina, Ihya’ `Ulum al-Din Pemikiran Keislaman Al-Ghazali, h.
43-45.
48
Tasawuf terbagi menjadi 2, tasawuf Falsafi dan Tasawuf sunni. Dalam hal ini Imam
al-Ghazâlî mengambil Tasawuf Sunni, dimana Tasawuf sunni adalah salah satu aliran tasawuf
yang tidak dicampuri oleh falsafat atau para pelakunya, hanya berusaha mengikuti Alquran dan
Hadits dengan sebaik-baiknya serta membersihkan hati dan pikiran, juga memperbaiki akhlak
serta ibadah mereka disisi Allah SWT. Karena itulah penganutnya condong menjauhi hal-hal
yang bersifat keduniaan, jabatan, kekayaan, dan hal lain yang bisa mengganggu ibadahnya
kepada allah Swt. Lihat, Dalami Islam, “Tasawuf Sunni: Pengertian, Sejarah, dan Manfaatnya”,
artikel diakses pada 04 Januari 2018 dari https://dalamislam.com/dasar-islam/tassawuf-sunni
49
Bachrun Rifa`i dan Hasan Mud`is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2010), h. 131.
32

saja, melainkan juga membersihkan penyakit yang ada pada diri kita yang

paling dalam. Seperti penyakit hati, syirik, kikir, dan lain sebagainya.

D. Karya-karya Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali adalah seorangyang dalam ilmunya dalam berpikir,

Ia juga mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan

buku telah ditulisnya, meliputi berbagai ilmu.Diantaranya adalah bukunya

yang membahas tentang Theologi Islam (ilmu kalam), Hukum Islam (fiqh),

Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan Adab Kesopanan, kemudian

autobiografi. 50 sebagian besar buku karangannya ialah dalam bentuk tulisan

bahasa Arab, ada juga yang berbahasa Persi. Dengan tulisan dan pemikirannya

itu ia menjadi orang yang sangat berpengaruh dalam kalangan khalayak ramai,

terkhusus oleh kalangan kaum Muslim. Sehingga orang-orang ahli ketimuran

memandang bahwa agama Islam yang kaum Muslimin gambarkan ini berasal

dari Konsepsi Imam Al-Ghazali.

Karena ketekunannya dalam belajar, mengajar, mengarang bahkan

juga tekun dalam beribadah, tak heran jika buah hasil dari yang ia kerjakan itu

berdampak sangat dahsyat, bukan hanya utnuk dirinya tetapi juga untuk

manusia.Namun karena keluasan ilmu yang ia miliki, maka agak sulit

menentukan bidang spesialis apa yang ia geluti. Sebab pada masa hidupnya ia

tidak hanya belajar satu ilmu, namun banyak ilmu. Maka dari itu tidaklah

patut jika dikatakan Imam Al-Ghazali menguasai satu bidang saja. Benar

50
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h. 198.
33

adanya jika ia diberikan gelar “Hujjah al-Islam”, sebab kemampuannya dalam

mematahkan pendapat para filosof saat pendapat itu berlawanan dengan yang

diajarkan Islam pada umumnya. Hal itu menunjukkan kemampuannya dalam

berfalsafat, di lain hal ia juga mampu dalam ilmu lainnya.51

Bahkan B.B.Mac Donald berpendapat bahwa sampai pada saat inipun

Imam Al-Ghazali masih menjadi tokoh yang terbesar, sama halnya seperti

kedudukan Aquinas dalam dunia Kristen..52Dimulai dari kitab terbesarnya:

1) “Ihya’ `Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama)” yang

memiliki ketenaran yang sangat luar biasa, bahkan bukan hanya terkenal

pada kaum Muslimin saja, namun juga sampai ke kalangan dunia Barat

dan luar Islam. Karya terbesarnya ini memiliki proses perjalanan yang

berpindah-pindah tempat. Mulai dari Damaskus, Yerussalem, Hijaz, dan

Thus yang berisi paduan antara fikih, Tasawuf, dan Falsafatnya.

2) “Tahafut Al-Falasifah (kekacauan pikiran para filosof)” Buku ini Ia

karang sewaktu berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan.

Dibuat untuk menyelamatkan kaum Muslim pada saat itu dari kesesatan

berpikir para filosof. Sehingga benar-benar isi di dalam bukunya ini

berisikan kecaman yang sangat keras kepada para filsuf pada saat itu.

3) Maqashid al-Falasifah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), buku ini adalah buku

karangannya yang pertama, dan berisi tentang masalah-masalah falsafat.

51
Dewi Komalasari, Takhrij Al-Hadits Kitab Minhaj Al-Abidin Karya Imam al-Ghazali
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, Ushuluddin, Program Studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir,2017),
h. 21.
52
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, h.199.
34

4) Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan), buku ini

merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Imam Al-Ghazali sendiri

dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macamilmu serta jalan

mencapai Tuhan.

5) Bidayatul Hidayah mengenai tentang etika dan akhlak

6) Al-Munqidz Min al-Dhalal (Penyelamat dari kesesatan)

7) Fadhaih al-bathiniyah (Kejelekan Bathiniyah)

8) Al-Risalah al-Ladunniyah (Pembahasan tentang Ilmu Ladunni)

9) Al-Arba`in fi Ushul al-Din (40 Dasar dalam Agama)

10) Maqashid Falasifah (Macam-macam Ahli Filsafat)

11) Majmu`ah al-Rasail (Kumpulan Tulisan-tulisan)

12) Ma`arij al-Qudsi (Tasawuf dan Konsep Ilmu Pengetahuan)

13) Al-Wajiz (Fiqih Madzhab Syafi`i)

14) Mi`yaru al-`Ilmi (Ilmu Logika)

15) Minhajul Abidin (Akhlaq) secara harfiah berarti Pedoman Dasar bagi para

Ahli Ibadah. Minhajul ini termasuk ke dalam kitab tasawuf. Kitab ini di

tulis saat Imam Al-Ghazali sudah mendekati wafatnya. Kitab ini terbit di

kota Jedah, Singapura, dan Indonesia. Lalu yang menerbitkannya adalah

al-Haramain, akan tetapi terbitan itu tanpa tahun. Cover kitab ini berwarna

hitam, kertas kuning dan memiliki 108 halaman yang terdiri dari tuju ba

atau kita kenal dengan judul. Dalam kitab ini memuat akan hadis-hadis

dan ayat-ayat al-Qur`an yang terkait masalah ibadah beserta dengan

penjelasannya.
35

16) Asas al-Qiyas (Ushul Fiqh)

17) Al-Mustashfa (Ushul fiqif)

18) Adabu al-Nikah wa Kasri al- Syahawat (Etika Menikah dan Memecah

Syahwat)

19) Al-Iqtishad fi al-I`tiqa,

20) Maqashid Asma fi Al-Ma`ani, Asma al-Husna

21) Faishal At-Tafriqat

22) Qitsas al-Mustaqim (Neraca yang Lurus)

23) Hujjat al-Haq

24) Munfashil Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din

25) Al-Muntahal fi Ilm Al-Jadal

26) Al-Madinum bin Al-Ghair Ahlihi

27) Mahkum An-Nadhar

28) Ara Ilmu Ad-Din

29) Arba`in fi Ushul Ad-Din

30) Iljam Al-Awam `an Ilm Al-Kat (Membentengi Orang Awam dari Ilmu

Kalam)

31) Mi`yar al-`Ilm (Standar Pengetahuan)

32) Al-Intishar

33) Isbat an-Nadhar

34) Al-Basith

35) Al-Wasith

36) Al-Khulashah Al-Mukhtasar


36

37) Al-Mankhul

38) Syifakh Al-`Alil fi Qiyas wa Ta`lil

39) Adz-Dzari`ah Ila Makarim Al-Syari`ah

40) Yaqul At-Ta`wil fi Tafsir At-Tanzil

41) Zawahir Al-Quran

42) Mizan Al-Amanah (Timbangan Perbuatan)

43) Kimya As-Sa`adah

44) Misykat Al-Anwar

45) Muhasyafat Al-Qulub

46) Ad-Dar Fiqhiratfi Kasyf `Ulum

47) Al-Aini fi Al-Wahdat

48) Al-Qurbat Ila Allah Azza wa Jalla

49) Akhlak Al-Abrar wa Najat min Al-Asrar

50) Nashihat Al-Mulk

51) Talbis Al-Iblis

52) Al-`Ilm Al-Laduniyyah

53) Al-Ma`khadz

54) Al-`Amal
BAB III

TENTANG PENCIPTAAN ALAM

A. Definisi Kosmologi (Penciptaan Alam)

Segala sesatu yang diciptakan Tuhan disebut dengan makhluk, sedang

Tuhan yan mencipta disebut dengan Khalik. Dalam konsep penciptaan hanya

di kenal dengan dua istilah yaitu alam sebagai yang diciptakan dan Allah

sebagai pencipta. Alam adalah ciptaan Allah, maka alam merupakan makhluk

yang berbeda esensi, sifat dan karakternya dari Sang Pencipta. Alam adalah

tanda-tanda kekuasaan dan keberadaan Tuhan, satu-satunya realitas yang

patut di sebut realitas terakhir (The Ultimate Reality). Karena itu mempelajari

alam semesta sama dengan mepelajari tanda-tanda Tuhan. Sehingga dengan

mempelajari tanda-tanda Tuhan, seorang ilmuwan dapat menunjukkan

adanya Tuhan, Sang Realitas terakhir. Namun untuk mendapatkan smeua itu

tidak dapat hanya dengan mengenal kulitnya saja. Tapi juga harus sampai ke

dalam-dalamnya (yaitu isinya). Alam juga dicipta dengan sengaja dan

terncana, bukan secara kebetulan ataupun keniscayaan, selain itu alam

semesta tidak bersifat abadi.1

Alam berasal dari bahasa Arab dengan bentuk singular (mufrad) dari kata

‘ālam. Sedang bentuk pluralnya (Jam’) dari ‘ālam adalah ‘awālim dan ‘alāmūn.

1
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhn, Alam, dan
Manusia.(Jakarta: Erlangga), h. 8.

37
38

Seluruh kata tersebut memiliki arti yang sama yaitu seluruh makhluk atau

segala sesuatu selain Allah. Beberapa ensiklopedi menjelaskan secara

etimologis bahwa segala sesuatu selain pencipta adalah al-‘ālam. Label al-

‘ālam disematkan kepada seluruh makhluk yang ada tanpa membedakan

ciptaan itu berakal atau tidak. 2

Adapun alam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala yang ada

di langit dan di bumi, segala sesuatu yang ada di duni ini, yang bukan buatan

manusia.3 Sedangkan dalam kamus lainnya alam adalah jagat raya yang belum

di ketahui juga diketahui, dan segala sesuatu yang diciptakan Tuhan.4

Pada terjemahan lainnya alam disebut juga sebagai kosmologi.

Sebagaimana Lorens Bagus dalam kamus filsafatnya menyatakan bahwa

kosmologi dalam bahasa Inggris: cosmology; dari bahasa Yunani kosmos

(dunia, alam semesta) dan logos (ilmu tentang, alasan pokok bagi, suatu

pertimbangan).

Secara umum kosmologi dianggap sebagai cabang metafisika yang

bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai asal dan susunan alam raya,

penciptaan dan kekekalannya, vitalisme atau mekanisme, kodrat hukum, waktu,

2
Eka Putra Wirman, Hukum Alam dan Sunnatullah: Upaya Rekonstruksi Pemahaman
Teologis Di Indonesia, Ilmu Ushuluddin Jurnal Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin (HIPIUS).
Volume 1, nomor 1, 2010, h. 142.
3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia- edisi
keempat.(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), h. 34.
4
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Tt, Tp: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara), h. 28.
39

ruang, dan kausalitas. Analisis kosmologi mencoba mencari apa yang berlaku

bagi dunia ini.5

Sedangkan dari kamus bahasa Inggris kosmologi berasal dari kata Cosmos yang

memiliki arti “dunia, dunia yang didalamnya telah tersusun secara teratur suatu

benda”.6 Sementara kosmos yang berasal dari bahasa Belanda adalah: Jagat raya,

alam semesta, alam dengan segala isinya.7 Dalam kamus populer filsafat,

kosmologi adalah falsafah yang mengenai alam raya.8 Lalu dalam Kamus

UmumBahasaIndonesia alam adalah dunia yang berisikan semesta9 segala yang di

langit juga di bumi.10

Dalam mengartikan alam, seorang filosof yang dikenal al-Razi mengatakan bahwa

alam adalah sebuah penciptaan yang mempermulakan adanya alam. Sebagaimana

di dalam alam itu terdapat sebuah ruang, juga bagian atom-atom tidak mempunyai

volume, sebab tidak terbagi di dalamnya.11

Sebelum masuk kebagian selanjutnya, Ikhwân al-Shafâ juga mempunyai

pendapat akan alam. Dimana penjabaran tersebut dikatan dalam kitab al-Ta`rifat,

bahwa alam menurut bahasa adalah apa yang dengannya diketahui sesuatu, dan

5
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 499.
6
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan,(Tt,Tp: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN)), h.538.
7
Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996), h.721.
8
Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet.
3, h.48.
9
Poerwadarminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi ke-3,(T.tp: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, t.t), h. 22.
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi
ke-4, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 34.
11
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof danFilsafatnya, h. 119.
40

menurut isilah , alam adalah semua yang ada selain Allah. Pengertian dalam arti

istilah itulah yang dimaksudkan dengan alam disini.12

Ditambah lagi dengan pengertian kosmologi Ibn `Arabi bahwa:

“Cosmology is the science that studies the universe, the


cosmos. Cosmos is a word used in earlier Greek
metaphysichal thought that means `harmony` or `order`, as
opposed to chaos. In one Greek Theory of creation, chaos is
the formless matter from which the cosmos, or harmonious
order, was created.”13

B. PENCIPTAAN ALAM DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN

1. Ayat Penciptaan yang Berbicara Soal Masa

a. QS. Yunus (10: 3) :

             

             
   

    

Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah yang menciptakan langit dan


bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy
(singgasana) untuk mengatur segala urursan.Tidak ada yang dapat
memberi syafaat kecuali setelah izin-Nya.itulah Allah, Tuahnmu, maka
sembahla Dia. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran? Yunus/10: 3).14

12
Syarifah Syafe’i, Alam Rohani Dalam Filsafat Ikhwan Al-Shafâ, (Tesis IAIN Imam
Bonjol Padang: Program Studi Pengkajian Islam, 2006), h. 65.
13
Mohammad Haj Yousef, Ibn `Arabi-Time and Cosmology, (T.tp: T.p, T.t), h. 1.
14
Dalam ayat ini memiliki penafsiran bahwa penciptaan alam pada enam masa ini,
bukanlah hari seperti yang dipahami oleh manusia pada saat ini. “enam hari ya dihitung dari satu
sampai enam”. Karena hari itu adalah perhitungan hari dimana setelah terciptanya langit dan
bumi.”Dengan demikian hari yang dimaksud pada ayat ini adalah masa sebelum itu, masa dimana
Alam raya ini belum tercipta. Hari atau masa yang disebutkan dalam al-Qur`an hanyalah Allah
yang mengetahui berapa lamanya. Namun dalam al-Quran pun menjelaskan bahwa satu hari disisi
Allah itu ialah sama dengan 1000 (seribu) tahun, Qs. Al-Hajj/22:47. Dalam ayat lain menyatakan
bahwa satu hari itu sama dengan lima puluh ribu tahun dalam hitungan manusia, QS. Al-Ma`ārij/
70: 4.
41

b. QS. Hūd/11: 7 :

           

           

    


      

Dan dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
dan adalah `Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di anara
kamu yang leih baik amalnya. (Hūd/11: 7).
c. QS. al-Hadīd (57 : 4) :

            

               

          

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:


kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk
ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari
langit dan apa yang naik ke sana. Dan Dia bersama kamu di mana pun
kamu berada. Dan allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-
Hadīd/57: 4)
d. QS. al-Furqan (25: 59):

           

      

Yang menciptakan bumi dalam enam masa, kemudian Dia


bersemayam di atas `Arsy, (Dialah) Yang Maha Pengasih, maka
tanyakanlah (tentang Allah) kepada orang yang lebihmengetahui
(Muhammad). (al-Furqān/ 25: 59)
42

e. QS. Qāf (50: 38) :

           

 

Dan sungguh, kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa
yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan kami tidak merasa letih
sedikit-pun (Qāf/50: 38).
f. QS. al-Sajdah (32: 4):

            

             

Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di ata
`Arsy. Bagimu tidak ada seorangpun penolong maupun pemberi syafa`at
selain Dia. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (as-Sajdah/ 32: 4).

2. Ayat-ayat yang Terkait Proses Penciptaan Alam

a. QS.Fushshilat/ 41: 9-12

            

        


     

              

             

           

        


43

Katakanlah: "Sesungguhnya Patutkah kamu kafir kepada yang


menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu
bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam" dan
Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi
orang-orang yang bertanya, kemudian Dia menuju kepada penciptaan
langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya
dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku
dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang
dengan suka hati". Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua
masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan Kami hiasi
langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang
Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.
b. QS. Al- Anbiya/ 21: 32-33

           
 

          
dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara,
sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang
terdapat padanya dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang,
matahari dan bulan. masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam
garis edarnya. Maksudnya: yang ada di langit itu sebagai atap dan yang
dimaksud dengan terpelihara ialah segala yang berada di langit itu dijaga
oleh Allah dengan peraturan dan hukum-hukum yang menyebabkan dapat
berjalannya dengan teratur dan tertib.
c. QS. Al-Furqon/ 25: 61

     


     
  
Maha suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan
bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang
bercahaya.
3. Ayat-ayat yang Terkait Dengan Pemisahan Langit dan Bumi

a. QS. Fushshilat (41: 11-12) :


44

            

            

            

 

Kemudian Dia menuju ke langit dan langit itu masih berupa asap,
lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu
berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa.”keduanya
menjawab, “Kami datang dengan patuh.” Lalu diciptakan-Nya tujuh
langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit
urusannya.Dan kami hiasi langit-langit yang dekat dengan bintang-
bintang yang cemerlang, dan Kami memeliharanya dengan sebaik-
baiknya.Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi
Mahamengetahui.(QS. Fushshilat [41]: 11-12)

b. QS. al-Anbiya’ (21: 30) :


            

        

Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya


langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian
kami pisahkan antara keduanya, dan dari air Kami ciptakan segala
sesuatu yang hidup.Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?
(QS al-Anbiya’ [21] : 30)

4. Ayat yang terkait Metafora

a. QS. An-Nur (24: 35) :

           

           
45

    


           

              

  

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan


cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang
di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu
seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun
tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.

C. PENCIPTAAN ALAM DALAM PERSPEKTIF FILOSOF BARAT

Para pemikir Yunani Kuno pada abad 6 dan 5 SM, mereka telah

memikirkan asal-usul alam. Mereka adalah :

1. Thales (610 – 546 SM)

Thales adalah filsuf yang paling terkemuka di antara para filsuf Yunani. Ia

muncul pada paruh kedua abad ke-6 SM dan ia menguasai ilmu ukur (geometri)

yang di pelajarinya di Mesir selesainya iapun mengembangkan pemikirannya itu

di Yunani. Ia adalah filsuf yang menjelaskan bahwa alam berasal dari air. Sebuah

kehidupan itu terbentuk di dalam air dan air adalah unsur utama yang merupakan

cikal-bakal terbentuknya unsur-unsur yang lain. Hal itu ia buktikan dengan

menyatakan bahwa air itu bisa berubah dan membuat berbagai bentuk.15

15
Dalam pemikiran Thales ada Aristoteles yang menyatakan bahwa sebuah pemikiran
Thales itu dilandasi karena pengaruh apa yang ia lihat. Karena ia melihat pengaruh air hujan pada
46

2. Anaximandros (585 – 528 SM)

Menurutnya alam ini berasal dari udara. Kenapa udara? Sebab udara

merupakan bahan dasar yang membentuk semua benda yang ada dalam alam

semesta. Jika kumpulan udara sangat banyak maka ia berubah bentuk menjadi

awan atau sesuatu yang dapat dipandang mata; jika basah maka ia menjadi air

hujan; dan jika awan menjadi semakin padat, maka ia menjadi tanah atau batu

atau bahkan badan manusia.16

3. Heraklitos (544 – 483 SM)

Kira-kira pada 501 SM di Ephesos, muncul seorang pemikir yang memiliki

ketajaman pengamatan, kedalaman pemikiran ialah Herakleitos. Mempunyai

analisa terhadap alam, bahwa alam ini tidaklah kekal, sebab seluruh semesta ini

berisikan bintang-biontang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda mati, segala

sesuatu itu berubah, mengalir, dan berganti. Ciumlah saja bunga mawar untuk

yang pertama kali, pasti akan berbeda untuk yang kedua kalinya, begitulah ia

menggambarkan ketidak tetapan bumi ini.

Api adalah unsur yang paling ringan dan paling cepat gerakannya, maka dari

itu Herakleitos menjadikannya sebagai unsur utama yang darinya unsur-unsur lain

terbentuk. Api melahap apa-pun yang bersentuhan dengannya dan di alam ini

tidak ada sesuatu yang mempu menahan lahapannya. Di antara api, air, udara serta

tanah, ada gerakan siklus yang bersambung tanpa mengenal istirahat dan diam,

maka tanah berubah menjadi air, air menguap menjadi awan, lalu menjadi udara

dan udara menyala lalu kembalimenjadi api. Disini api adalah hakim tertinggi

tumbuhnya tanaman, serta cairan bahan reproduksi pada binatang dan cairan bangkai ketika
terurai.
16
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 87.
47

yang segala sesuatu tunduk pada keputusannya, sebab ketika ia melahap apa yang

ada disekitarnya maka ialah yang akan tetap abadi. Begitulah pendapat

Herakleitos.17

Heraklitos yang berasal dari Yunani, Kehidupan maupun karyanya tidak

begitu jelas diketahui jika tidak dikaji ulang karya-karyanya. Sebab satu-satunya

buku yang telah ia tulis sudah hilang.18 Akan tetapi dapat diketahui bahwa

penuntun falsafatnya adalah logos (ide pokok yang mendasari semesta

alam).logos merupakan norma bagi pikiran dan perbuatan, sedangkan mengetahui

logos itu ialah tugas utama. Sebab Logositu menyatukan yang berlawanan, dan

berkaitan atau berhubungan dengan beberapa unsur.19

Sebagaimana sejarah menulis kehidupan Heraklitos, ia adalah filosof yang

mempunyai pemikiran juga pandangan yang berbeda dari para filosof lainnya.

Tak heran jika filosof-filosoftertarik dalam membahas masalah substansi yang

menjadi sebab atau asal dari alam.Heraklitos juga tertarik pada masalah

perubahan-perubahan yang terjadi pada alam (Problem of Changing or

Becoming).Heraklitos sangat percaya bahwa dalam alam ini terjadi pluralitas,

sebab Heraklitos sangat terpengaruh oleh kenyataan bahwa alam ini mengalami

perubahan terus menerus.20 Baginya pun alam ini adalah abadi, namun apa yang

ada di alam ini tidaklah tetap juga permanen. Karena apapun yang terlihat tetap

17
Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jurr, Riwayat Filsafat Arab, jilid 1, penerjemah: Irwan
Kurniawan, (Jakarta: Sadra Press, 2014), h. 41-42.
18
Simon Blackburn, Kamus Filsafat,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) h. 396.
19
Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) h. 35.
Lihat juga di, Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metologi sampai
Teofilosofi (Bandung : Cv.Pustaka Setia, 2008) h.164.
20
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metodologi
sampai Teofilosofi (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008) h.163.
48

sebenarnya ia berada di dalam proses perubahan yang tiada henti-hentinya.

Sebagaimana pandangannya akan alam itu dapat dilihat pada ucapannya :Pan

tarhei kai uden menei, semuanya mengalir dan tidak ada satupun yang tinggal

menetap. Engkau tidak bisa turun dua kali kedalam sungai yang sama,dan

Matahari setiap harinya berubah. Heraklitos juga menyatakan bahwa alam ini

terdiri dari satu unsur saja, yaitu api.

Dapat dilihat pernyataan dari kesimpulan Heraklitos tentang alam adalah

bahwa alam itu tidak tetap , selalu berubah. Oleh karena itu di dalam alam tidak

terdapat ada.Yang terdapat disana, hanyalah gerak atau perubahan

semata.Sehingga geraklah yang merupakan kesungguhan, gerak itu pulalah satu-

satunya realitas.21

4. Plato (428/427 – 348/347 SM)

Plato juga salah satu tokoh filosof yang mampu mempengaruhi daya gugah

dan gaya getar agama.22 Menurutnya alamberada di dalam ruang, dan sesuatu

yang berada di dalam ruang23 adalah sebuah materi yang bisa di observasi

untukdiberi arti oleh akal (ratio).24 Plato juga secara jelas membicarakan masalah

alam di dalam dialognya yang berjudul “Timaeus”. Diketahui bahwa kosmologi

21
Wila Huky Ba, “Capita Selecta Pengantar Filsafat” (Surabaya: Usaha Nasional, 1982)
h.70-71.
22
Tim nuansa, Plato Filosof Yunani Terbesar,(Bandung: Nuansa cendekia, 2009), h. 5.
23
Ruang adalah konsep ontologis yang ada pada daya nalar manusia, karena itu ruang
harus di hubungkan dengan obyek agar dapat diberi arti, misalnya ruang ini, ruag itu dsb.Ruang
mempunyai hubungan atau berkaitan dengan materi dan waktu.Sehingga di sebut materi, ruang,
dan waktu.Sebab tidak ada materi berkembang tanpa ruang.Dan tidak ada materi berkembang
tanpa waktu. Karena jika terdapat materi dalam ruang, maka materi bisa mempunyai saling
hubungan antara yang satu dengan yang lain, sedang jika di dalam waktu maka akan mebuat
materi itu bisa berkembang. Sedang ruang adalah sesuatu yang mempunyai luas juga dapat diisi
oleh materi.Oleh sebabnya ruang dapat dicapai lebih dari satu kali ataupun beratus kali.Sedang
waktu adalah detik-detik yang terus bersambung tiada henti, dan terus maju.
Prawironegoro,Filsafat Ilmu (Jakarta : Nusantara Consulting, 2010), h. 163.
24
Prawironegoro, Filsafat Ilmu (Jakarta : Nusantara Consulting, 2010), h.141.
49

yang ia ajarkan tidaklah jauh dari kisaran permasalahan terciptanya dunia beserta

susunannya. Sedangkan baginya pemeran utama dari semua itu adalah seorang

“Demiurgos” (seorang pemeran yang menciptakan kosmologi) sebutan akrab yang

Plato lontarkan untuk seorang pencipta.25 Bagi khalayak ramai pasti akan

beranggapan bahwa sebutan itu pastilah terdengar asing dan sangat aneh. Namun

bagi Plato arti tersebut mempunyai makna tertentu yang sangat penting.26

Dari isi buku tersebut, dapat kita pahami, bahwasanya Plato beranggapan

bahwa dunia ini tidak mungkin abadi, sebab ia sebagai sesuatu yang kasat mata.,

dan di cipta oleh Tuhan. Mengapa Tuhan? Karena Tuhan bersifat baik, Ia

menciptakan dunia berdasarkan contohnya yang kekal. Tanpa ada rasa cemburu,

Ia menghendaki segala sesuatu sedapat mungkin mirip dengan diriNya sendiri.

Sebagaimana yang tertera dalam dialognya

“Tuhan menginginkan agar segala sesuatu bersifat baik,


tak ada yang buruk, sebisa-bisanya.” “Karena mengetahui
bahwa semua kenyataan yang kasat mata tak pernah diam,
namun senantiasa bergerak dengan cara yang tak tetap dan
tak tertib, maka dari ketidaktertiban itu Ia ciptakan
ketertiban. ”

Baginya Tuhan menciptakan dunia ini secara keseluruhan sebagai sau

makhluk hidup yang memiliki jiwa dan kecerdasan. Dunia ini hanya satu, bukan

banyak, sebagaimana yang para filosof pra-Sokrates ajarkan. Tak mungkin ada

lebih dari satu dunia, sebab dunia ini adalah salinan yang diciptakan agar sedapat
25
Demiurgos berasal dari bahasa Yunani yang berarti “pekerja” dimana orang tersebut
menyerupai tukang kayu. Dalam hal ini Plato memahamkan bahwa dunia yang kita tinggali ini
adalah sesuatu yang terbentuknya mirip sekali dengan sebuah kursi. Sebagaimana seorang tukang
kayu sebelum membentuk sebua kursi, terlebih dahulu ia ciptakan konsepnya, atau sebuah bentuk
kursi sebagaimana yang ia inginkan. Begitu pulalah Demiurgos menciptakan dunia ini menurut
suatu bentuk tertentu yang ia inginkan. Dalam hubungannya dengan masalah ciptaan ini, bentuk-
bentuk bersifat abadi. Louis, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogja, 2004), h.257-
258.
50

mungkin sesuai dengan contohnya yang asli dan kekal yang hanya diketahui oleh

Tuhan.

Empat unsur berupa air, api, udara dan tanah, adalah sebuah bilangan yang

senantiasa dalam perimbangan. Sebab api berimbangnya kepada udara

sebagaimana udara berimbang dengan air dan sebagaimana air berimbang dengan

tanah. Baginya semua unsur tersebut Tuhan gunakan untuk menciptakan dunia,

sehingga dunia menjadi sempurna, dan tak mungkin dirundung usia, maupun

termakan penyakit. Duniapun diselaraskan oleh perimbangan, sehingga ia

memiliki persahabatan, dan dengan demikian tak termusnahkan kecuali oleh

kehendak Tuhan. 27

5. Aristoteles (384 – 322 SM)

Tulisan Aristoteles yang paling banyak adalah tentang alam, dimana ia

menulis tentang langit dan bintang-bintang, tentang gerak yang muncul lalu

menghilang, tentang jenis hewan dan sejarahnya, tentang tumbuh-tumbuhan dan

juga jiwa.28 Tulisan dari pengetahuannya yang luas itu ia peroleh berdasarkan

pengamatan yang ia lakukan, juga pengalaman yang ia alami atau

rasakan.Aristoteles mempunyai makna tersendiri tentang alam, bahwa alam dalam

pandangannya adalah alam yang meliputi semuanya, berhubungan dengan materi

dan badan-badan yang bergerak juga diam. Alam juga akan ada untuk selama-

lamanya, hal ini karena ia mempunyai anggapan bahwa waktu itu tidak berhingga.

Lalu ia melanjutkan bahwa bagian alam yang paling sempurna adalah penggerak

27
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat : kaitannya dengan kondisi sosio-politik
zaman kuno hingga sekarang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 3, 2007), h. 195-196.
Penerjemah: Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad
Shodiq.
28
Muhammad Hatta, Alam Pikiran Junani (Jakarta : PT.Tintamas Indonesia, 1964), h. 75.
51

pertama yaitu langit, memiliki bentuk bulat, dan membawa beredar bintang-

bintang yang tersangkut padanya.

Aristoteles berupaya membuktikan bahwa alam semesta ini kekal, abadi,

tiada awal maupun akhir. Demikianpula langit seluruhnya tidak disebabkan juga

tidak dapat rusak.29 Sehingga dapat diketahui bahwa menurut Aristoteles setiap

perubahan itu di motivasi oleh sebuah sebab eksternal. Filsafat Yunani, sepertinya

Aristoteles menganggap bahwa Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan sebagai

penggerak pertama (Prima Causa).

Khanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jurr dalam buku Riwayat Filsafat Arab juga

menyatakan pendapat Aristoteles, bahwa Tuhan adalah penggerak yang tidak

bergerak. Akal-akal-lah yang menggerakkan alam langit, dan alamlah yang

menjadi sumber gerakan. Dalam hal ini ia mengagungkan gerak, bahwa gerak

tidak ada awal juga akhir, ia bersifat azali. Adapun yang lain bergerak, itu

disebabkan gerakan yang ada di luarnya.

6. Descartes

Descartes menyatakan bahwa alam kebendaan itu harus ditentukan secara

geometri, yang tunduk pada hukum-hukum ilmu ukur. Hakikat benda adalah

panjang, lebar dan tingginya, sedangkan materi adalah substansi yang terbentang

dalam ruang, yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.30 Dalam hal ini

Descartes menyatakan bahwa ilmu alam memiliki satu pengertian yang sama

dengan Metafisika, utuh tanpa ada perbedaan yang membuatnya berbeda sangat

jauh. Lalu dari hasil penelitian buku yang dibaca, maka penulis menyimpulkan
29
Bruno Guiderdoni, Membaca Alam Membaca Ayat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka,
2004) Penerjemah: Anton Kurnia dan Andar Nubowo, h. 102.
30
Prawironegoro, Filsafat iImu, h. 142.
52

bahwa sebenarnya adanya alam sama halnya dengan adanya makhluk hidup di

muka bumi ini. Seperti halnya manusia ada tidaklah ada dengan sendirinya,

namun ada yang menghadirkan dirinya, begitupuladengan alam ini. Sebagaimana

ia pernah mengatakan bahwa “ aku mempunyai konsepsi tentang ada, yang

sempurna yang jelas dan tegas. Untuk menghasilkan konsepsi semacam itu

dengan daya sendiri aku haruslah sempurna.Namun mau bagaimanapun aku ada,

aku bukanlah yang menyebabkan diriku sendiri. Jadi konsep tersebut bukanlah

dari diriku sendiri dan harus berasal dari Tuhan”.31

Table 1.1
Tabel Penciptaan Alam Menurut Filosof Barat

NO TOKOH PEMIKIRAN
Ia percaya bahwa alam semesta
1 Thales (610 – 546 SM) ini bermula dan terbentuk dari
air.
Menurutnya alam ini tercipta
dari udara. Sebab udara
merupakan bahan dasar dari
pembentukan semua benda yang
ada pada alam semesta ini.
Anaximandros (585 – 528
2 Seperti adanya huja tercipta dari
SM)
udara, sebab jika udara sangat
banyak, maka ia berkumpul dan
berubah menjadi awan, dan
awan tersebut yang menurunkan
air hujan. Dsb.
Menurutnya alam ini tercipta
dari api,baginya api adalah
hakim tertinggi yang segala
sesuatu tunduk pada
keputusannya.
3 Heraklitos (544 – 483 SM) Ia mengemukakan bahwa alam
semesta ini kekal, akan tetapi
apa yang ada di dalamnya
tidaklah abadi (kekal). Sebab
didalam alam semesta tidak
terdapat “ada”, hanya terdapat

31
Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984 ) h. 69-77.
53

gerak, dan perubahan semata.


Baginya alam semesta ini
berada di dalam ruang, dan
semesta ini ada seorang pemeran
yang menciptakannya.

4 Plato (428 – 348 SM) Ia juga percaya bahwa keempat


unsur air, api, tanah, dan udara
Tuhan gunakan untuk
menciptakan dunia, sehingga
terciptalah dunia yang sempurna
ini.
Baginya alam semesta ini
meliputi segalanya, baik itu yang
berhubungan dengan materi,
5 Aristoteles (384-322 SM) badan-badan yang bergerak,
juga diam.
Baginya alam itu kekal, tidak
berawal juga tidak berakhir.
Ia percaya bahwa alam ini ada
yang menghadirkannya, sebab
adanya alam tidaklah mungkin
6 Descartes (596 – 1650 SM)
tercipta dengan sendirinya. Dan
penghadir tersebut adalah
Tuhan.

D. PENCIPTAAN ALAM DALAM PANDANGAN FILOSOF MUSLIM

a) Al-Kindi (180 – 260 H / 796 – 873 M)

Al-Kindi memiliki nama lengkap Abdul Yusuf Ya`qub bin Ishaq bin Ash-

Shabah bin `Imran bin Isma`il bin Muhammad bin al-Asy`ats bin Qeis al-Kindi.

Ia termasuk dari keturunan yang terpandang, yang berasal dari kabilah Kindah. Ia

terkenal dengan keberhasilannya dalam memasukkan ilmu falsafat ke dalam

khazanah pengetahuan Islam. Sayangnya corak kefalsafatan yang ia miliki tidak

banyak diketahui karena banyaknya buku-buku falsafatnya yang hilang.32

32
Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.10, 2008), h. 64-
68.
54

Bagi al-Kindi aktivitas mulia yang dilakukan manusia adalah aktivitas

mencari dan mengamalkan kebenaran, yakni berfalsafat. Dan falsafat yang paling

utama dari segala falsafaat adalah falsafat pertama. Yakni upaya untuk

mengetahui seba pertama, yakni Tuhan. Dalam hal pembuktian akan falsafat

pertamanya, al-Kindi berargumen untuk menunjukkan adanya Tuhan.33

Dimulai pada argumennya yang pertama, bahwasanya alam itu baharu juga

memiliki permulaan waktunya, sebab alam ini terbatas. Setiap yang baharu,

haruslah dan pasti ada yang menyebabkan alam ini terjadi (ada yang

menjadikannya). Karena setiap benda yang ada tidaklah akan mungkin muncul

dengan sendirinya, ataupun menciptakan dirinya sendiri, semua itu pasti ada yang

menyebabkannya. Dengan demikian, hal di atas mempunyai kesimpulan bahwa

alam ini diciptakan oleh pencipta-Nya dari tiada.34

Dalam memperkuat argumentasinya, Al-Kindi mengemukakannya secara

filosofis, bermula dari sebuah pertanyaan “Apakah mungkin sesuatu menjadi

sebab bagi wujud dirinya?” maka dengan tegas Al-Kindi menjawab, “bahwa itu

tidak mungkin, karena alam ini mempunyai permulaan waktu dan setiap yang

mempunyai permulaan pasti mempunyai kesudahan pula”.Dicontohkan “pada

suatu benda yang ada, karena terdapat suatu hal yang menyebabkan wujudnya,

mustahil benda itu ada dengan sendirinya tanpa ada yang menjadi sebabnya”.Hal

33
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Unipress, 2003), h. 46.
34
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metodologi sampai
Teofilosofi, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2008) , h. 445-446.
55

ini menunjukkan bahwa alam semesta ini baharu dan di ciptakan dari tiada oleh

yang menciptakannya, yakni Allah.35

Disusul dengan argumen yang lainnya, kali ini al-Kindi mengungkapkan

dengan penjelasan yang diselingi pertanyaan. Sekiranya alam ini memiliki besar

tak terbatas lalu alam ini di bagi dua, maka muncul pertanyaan tentang berapa

besarnya bagian masing-masing?sebuah bagian haruslah lebih kecil dari

keseluruhan; dengan hal itu bagian pertama maupun kedua sama-sama terbatas.

Kalaupun kedua bagia tersebut disatukan kembali, maka tetap saja ia terbatas.

Sebab bagian terbatas ditambah dengan bagian terbatas maka jadinya-pun akan

tetap terbatas.Pabila diandaikan bagian dari alam ini tidak terbatas, maka hal itu-

pun mustahil. Karena bagian tidak sama besarnya dengan keseluruhan. Jadi alam

semesta ini haruslah dan pasti terbatas.36

Untuk lebih memperkuat argumennya al-Kindi menerangkan tentang jalan

kerapian alam dan pemeliharaan Tuhan terhadapnya. Al-Kindi mengatakan bahwa

alam ini lahir tidak mungkin rapi dan teratur, kecuali ada yang merapikannya, Dan

itu pastilah zat yang tidak tampak.Zat yang tidak tampak tersebut hanya dapat

diketahui melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat pada alam ini.37

b) Al-Farabi (259-339 H / 879-950 M)

Abu Nasher Mohammad bin Mohammad bin Quzalq bin Thurkhan Al-Farabi

atau lebih dikenal dengan Al-Farabi ini adalah seorang yang dikenal sebagai guru

kedua setelah Aristoteles. Aristoteles dikatakan sebagai guru pertama sebab dia

35
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta : Rajawali Pers,2012),
h. 53.
36
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 47.
37
Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, h. 52.
56

meluruskan dan mengumpulkan kajian-kajian dalam logika lengkap dengan

permasalahannya, sedang Al-farabi di sebut sebagai guru kedua karena ia

mengarang buku, mengumpulkan, dan menyempurnakan terjemahan karya

Aristoteles. Ia juga memiliki argumen atau pendapat tentang maujud, bahwa

segala yang maujud itu tidak mungkin ada wujud ketiga. Oleh sebab itu menurut

Al-Farabi ilmu tentang maujud-maujud itu adalah filsafat. Dialah satu-satunya

ilmu yang mencakup segala hal, yang meletakkan bentuk dunia yang lengkap di

depan akal.38

Berbeda dengan al-Kindi yang berpandangan bahwa alam semesta ini

diciptakan Tuhan dari tidak ada (Creatio ex nihilo) menjadi ada, al-Farabi

cenderung memahami penciptaan alam oleh Tuhan melalui proses emanasi

sejakzaman azali, sehingga tergambar bahwa penciptaan alam oleh Tuhan bukan

dari tidak ada menjadi ada.

Dalam falsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan penggerak

pertama (prime cause), seperti yang di kemukakan Aristoteles. Sementara dalam

doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah adalah pencipta, yang

menciptakan dari tiada menjadi ada (creatio ex nihilo).39 Sirajuddin Zar

menerangkan bahwa untuk menerangkan doktrin tersebut, al-Farabi juga filosof

Muslim lainnya mencari bantuan pada doktrin Neoplatonis monistik dengan

emanasi. Dengan demikian, Tuhan penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah

pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran.

Dalam artian Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari
38
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Penerjemah: Bahruddin
Fannani (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h. 128.
39
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, h. 74.
57

yang kadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Dalam

hal ini al-Farabi seakan tak mau meninggalkan pemikiran dari Aristoteles, namun

ia juga tak menafikan apa yang para mutakallimin percayai.

Al-Farabi mempercayai bahwa sejatinya Allah itu idak mungkin ada yang

menyamai, menyerupai, tidak mungkin Allah harus sibuk-sibuk memikirkan

makhluknya, sebab Allah itu maha sempurna. Di sinilah al-Farabi teori emanasi

Plotinus, sehingga menghasilkan teori emanasi, yang dapat diungkapka sebagai

berikut:

Tuhan (adalah wujud 1) karena memikirkan diriNya, memancarlah akal 1

(wujud 2). Akal 1, karena memikirkan Tuhan, memancarkan Akal 2 (ini adalah

wujud ke 3), dan karena memikirkan dirinya sendiri memancarkan lingkaran

langit pertama (al-samā` al-ūl) yakni langit terbesar/terluas dan terjauh dari bumi.

Akal 2 karena memikirkan Tuhan memancarkan akal 3 (wujud 4), dan karena

memikirkan dirinya sendiri maka memancarlah, menghadirkan lingkaran langit

kedua yang penuh dengan bintang-bintang tetap (al-kawākib al-ṡābitah). Akal 3,

karena memikirkan Tuhan maka memancarlah akal 4 (wujud 5), dan karena

memikirkan dirinya sendiri maka ia memancarkan lingkaran langit ketiga,

dimana langit ketiga adalah tempat beradanya bola saturnus (kurraṯ al-Zuhal).

Akal 4 karena memikirkan Tuhan maka memancarlah akal 5 (wujud 6) dan karena

memikirkan dirinya sendiri memancarkan langit keempat dimana itu adalah letak

keberadannya bola Yupiter (kurraṯ al- Musytarī). Akal 5 karena memikirkan

Tuhan maka memancarlah akal 6 (wujud 7) dan karena memikirkan dirinya

sendiri memancarlah langit kelima tempat beradanya bole Mars (kurraṯ al-
58

Mirrīkh). Akal 6 karena memikirkan Tuhan memancarlah akal 7 (wujud 8), dan

karena memikirkan dirinya sendiri memancarlah langit keenam, tempat

beradanya bola Matahari (kurraṯ al-Syams). Akal 7, karena memikirkan Tuhan

memancarkan akal 8 (wujud 9), dan karena memancarkan diri sendiri,

memancarkan langit ke 7, tempat beradanya bola Venus (kurraṯ al-Zahrah). Akal

8, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal 9, dan karena memikirkan

dirinya sendiri, memancarkan langit kedelapan, tempat beradanya bola Merkuri

(kurraṯ al-`Aṭārid). Akal 9, karena memikirkan Tuhan, memancarkan akal 10, dan

karena memikirkan dirinya sendiri memancarlah langit kesembilan, tempat

beradanya bola Bulan (kurraṯ al-Qamar). Akal 10, karena memikirkan Tuhan dan

dirinya, maka hanya memancarkan bumi dan jiwa-jiwa yang berada di lingkungan

bumi.40

Mengenai Penciptaan alam, Al-Farabi memiliki pendapat bahwa Tuhan

adalah Sang Pencipta, dan Dia-lah satu-satunya yang tidak bergerak.Dia-lah sebab

pertama bagi adanya segala hal.Dia-lah yang mengatur alam semesta ini dengan

kebijaksanaannya dan keadilannya.41

Dari semua itu terdapat sepuluh akal dan sembilan langit (dari teori Yunani

tentang sembilan langit/sphere) yang abadi mengelilingi bumi.Dimana dari akal

kesepuluh tersebutlah bumi ini di atur.42

c) Ibn Sina

40
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h. 64-66.
41
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, terj. Bahruddin Fannani, h.
129.
42
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, h.74-75.
59

Abu Ali al-Husein ibn Abdullah Ibn al-Hasan Ibn Ali Ibn-Sina, atau yang

lebih akrab di sapa Ibn Sina, ia dikenal dengan pendiri Neo-Platonisme Arab

dengan konsep eanasinya tentang alam. Menurutnya, Tuhan adalah pancaran Akal

pertama. Sekalipun Tuhan terdahulu dari segi zat, namun Tuhan dan Akal

Pertama adalah sama-sama azali. Meskipun konsep emanasi yang Ibn Sina

rumuskan terlihat sama seperti konsep Emanasi Al-Farabi, namun tidak semua

dari isinya juga sama. Ibn Sina justru lebih percaya bahwa Tuhan dari memikirkan

diriNya memancarkan Akal-akal, dari Akal 1 hingga Akal 10, yang masing-

masing memancarkan segala apa yang ada di bumi. Akal Pertama yang terpancar

ini mempunyai 2 sifat, yaitu: 1). Sifat Wâjibul wujûd yang dari proses berpikirnya

menimbulkan “Jiwa-jiwa”. 2). Sifat Mumkin al-Wujûd yang dari proses

berpikirnya menimbulkan “Langit-langit,” dan antar Tuhan dan Akal mereka

sama-sama azali, akan tetapi Tuhan lebih terdahulu dari segi zatNya.43

43
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 70.
60

Skema Penciptaan Alam Menurut Ibn Sīnā44

Wājib al-Wujūd

Akal Pertama
Sifat Wâjibul Wujud
Memiliki 2 sifat
Akal Kedua
Sifat Mumkin
Jiwa Langit Pertama
Wujud
Tubuh Langit Pertama
Akal Ketiga
1). Jiwa Langit Kedua
2). Tubuh Langit Kedua (Bintang-bintang
Tetap)
Akal Keempat
1). Jiwa Langit Ketiga
2). Tubuh Langit Ketiga
Akal Kelima

1). Jiwa Langit Keempat


Akal Keenam 2). Tubuh Langit Keempat (Yupiter)

1). Jiwa Langit Kelima


Akal Ketujuh 2). Tubuh Langit Kelima (Mars)

1). Jiwa Langit Keenam


2). Tubuh Langit Keenam (Matahari)
Akal Kedelapan

1). Jiwa Langit Ktujuh


2). Tubuh Langit Ketujuh (Venus)
Akal Kesembilan
1). Jiwa Langit Kedelapan
2). Tubuh Langit Kedelapan (Merkuri)
Akal Kesepuluh
1). Jiwa Langit Kesembilan (Pemberi
Bentuk/ Malaikat Jibril)
2). Tubuh Langit Kesembilan (Bulan)
Dunia Yang Fana (Generation
and Corruption)

44
Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 40-41.
61

d) Ibn Rusyd (520-595 H / 1126-1198 M)

Ibn Rusyd mempunyai gelar Syarih (komentator), sebab pada masa

hidupnya Ia menghabiskan waktunya untuk meneliti dan membuat komentar-

komentar terhadap karya Aristoteles dalam berbagai bidang. Dari situlah ia

mempunyai pemikiran falsafat yang mengarah kepada pemikiran falsafat

Aristoteles.45 Sebab baginya Aristoteles ialah pemikir besar yang istimewa bahkan

mampu mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur kesalahan. Sekalipun

Ibn Rusyd pernah berbeda pendapat dengan Al-Farabi dan Ibn Sina, karena tak

setuju dengan pendapat kedua filsuf tersebut dalam kitab-kitab yang mereka tulis

dalam memahami falsafat Aristoteles, namun pada konsep metafisikanya Ia tetap

saja terpengaruh dan mengambil pemikiran dari Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi,

dan Ibn Sina.46 Dalam hal itu ia beranggapan bahwa, Allah adalah penggerak

pertama (muiharrik al-awwal).

Dapat diketahui pemikiran Ibn Rusyd tentang alam dari tulisan yang ia tulis

untuk membela para filosof dari kritikan Imam al-Ghazâlî Yaitu : “Mereka

percaya bahwa creatio ex nihillo itu tidak mungkin terjadi. Karena dari sesuatu

yang tidak ada (kekosongan) tidak mungkin berubah menjadi ada, Ibn Rusyd

menerangkan, yang memang mungkin terjadi adalah sesuatu yang “ada” berubah

menjadi “ada” namun dalam bentuk yang lain”.47

Lebih jelasnya lagi, tertulis di dalam buku filsafat Islam oleh Sudarsono,

bahwa Ibn Rusyd mengemukakan pendapatnya akan alam, bahwa alam adalah
45
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.112.
46
Nasution, Filsafat Islam, h. 115.
47
Nasution, Filsafat Islam, h. 118.
62

azali tanpa permulaan. Baginya Tuhan dan alam adalah sesuatu hal yang sama

namun berbeda tingkatan, sama-sama azali, akan tetapi Tuhan memiliki tingkat

keazalian yang lebih utama di banding alam. Dalam meyakinkan hal ini, Ibn

Rusyd mengemukakan argumen sebagai berikut:

Dalam hal ini ia juga menuturkan bahwa, qadimnya alam dan Tuhan yang di

katakan para teolog tidaklah bisa di samakan, sebab alam mempunyai ke-

qadimannya sendiri, yaitu ada dari dahulu namun diciptakan oleh qadim yang

mencipta. Jadi alam adalah Qadim yang dicipta, sedang Tuhan adalah Qadim

yang mencipta.48 Ibn Rusyd berpendapat bahwa alam ini memanglah berasal dari

keqadiman, dimana tatkala Allah menciptakan alam sudah ada sesuatu selain

Allah.Dari sesuatu yang sudah ada itulah Allah menciptakan alam. Untuk

memperkuat pendapatnya, Ibn Rusyd mengemukakan ayat Al-Qur’an dalam

menghubungkan kebenaran dari pendapatnya, yaitu :

          

         


 

Dan apakah orang-orang kafir itu tidak mengetahui bahwa langit


dan bumi keduanya dahulu menyatu, kemudia kami pisahkan antara
keduanya; dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air;
maka mengapa mereka tidak beriman? (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 30,)

48
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), h. 232.
63

          

          

    


       

Dan dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
dan `Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu
yang lebih baik amalnya. Jika engkau berkata (kepada penduduk Mekah),
“sesungguhnya kamu akan di bangkitkan setelah mati”, niscaya orang
kafir itu akan berkata”ini hanyalah sihir yang yang nyata”. (Hȗd [11] :
7).

            

   

Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa


asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu
berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa” keduanya
menjawab “Kami datang dengan patuh.” (Fushshilat [41] :11).

Dari keterangan ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum alam ini

diciptakan sudah ada sesuatu yang lain, yakni mâ’ (air) dan dukhân (uap).Dengan

demikian Ibn Rusyd menyatakan bahwa pemikiran yang benar itu adalah para

filosof Muslim, karena mereka sesuai dengan apa yang di nyatakan dalam Al-

Qur`an. Lalu dari kaum teologyang sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang Al-

Qur`an katakan.49 Ahmad Hanafi dalam bukunya Pengantar Filsafat Islam

49
Filsafat Islam Filosof & FIlsaftanya
64

memaparkan bahwa menurut Ibn Rusyd penciptaan ini tidak langsung dan bukan

dari tiada melainkan dari hule (bahan) yang lama.50

Untuk memberikan kekuatan atas argumennya, Ibn Rusyd mengajukan

pertanyaan, dan jawaban dari pertanyaan ini. Apakah alam ini ada permulaan

terjadinya atau tidak? Dalam hal ini Ibn Rusyd mengemukakan bahwa alam ini

azali tanpa permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibn Rusyd ada dua

hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam ini.Hanya saja keazalian keduanya itu

berbeda. Sebab keazalian Tuhan lebuih utama daripada alam.51

Tabel Pemikiran Filosof Muslim Tentang Alam


Tabel 1.2

No Tokoh Pemikiran
Baginya alam ini tercipta oleh Tuhan dari tiada,
al-Kindi (180- baharu, juga memiliki permulaan waktu. Dalam
1
796 SM) menjawab penciptaan alam, Al-Kindi terkenal dengan
konsep Creatio ex Nihillo.
Ia memahami bahwa alam ini diciptakan dari
Al-Farabi (259-
2 pancaran emanasi sejak zaman azali. Sehingga
879 SM)
dipahami bahwa alam ini tercipta dari yang ada.
Ibn Sina percaya bahwa alam ini ada yang
menciptakannya. Sehingga ia menggunakan konsep
emanasi untuk menjawab penciptaan alam yang ada
sekarang ini. Konsep emanasi yang dibuat sebenarnya
adalah hasil perpaduan antara pemikiran yang
Ibn Sina (980 M - mengatakan bahwa alam ini di ciptakan dengan alam
3
1037 M) ini tidak diciptakan. Sehingga Ibn sina berkesimpulan
bahwa alam adalah sesuatu yang mungkin ada dengan
sendirinya, tetapi, alam adalah sesuatu yang harus ada
lantaran sesuatu yang lain, karena ia ada dalam ilmu
Tuhan. Sesuatu yang ada di dalam ilmu Tuhan itu
haruslah ada.
Menurutnya creatio ex nihillo tidaklah ada dan tidak
Ibn Rusyd (520- mungkin terjadi. Baginya yang dapat dipercaya adalah
4
1126 SM) “sesuatu yang ada , pastilah berasal dari yang ada
pula. Akan tetapi menjadi bentuk yang lain.”

50
Ahmad Hanafi,Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 253.
51
Sudarsono, Filsafat Islam,(Jakarta: Rineka cipta, 2010), h. 101.
65
BAB IV

Kehendak Tuhan Dalam Menciptakan Alam Perspektif Imam Al-Ghazâlî

A. Proses Penciptaan Alam dan Hakikat Alam

Alam merupakan sumber berbagai jenis pengetahuan: matematika, fisika,

dan metafisika, ilmiah dan spiritual; kualitatif dan kuantitatif; oraktis dan

estetis. Hal ini karena, sebagai sebuah dunia dan dipandang dalam totalitasnya,

realitas alam semesta mencakup berbagai aspek. Setiap jenis pengetahuan

bersesuaian dengan aspek alam tertentu untuk di kaji secara terpisah.1

Dahulu pada masa Yunani (Grik), mereka sudah mulai memikirkan

tentang penciptaan alam ini. Siapa yang menciptakannya, dan mereka selalu

membicarakan keajaiban-keajaiban alam yang muncul, dengan hal inilah

bangsa Grik berfantasi bahkan membawa mereka sampai ke alam bebas.

Tepatnya sejak abad ke-6 SM, orang-orang tersebut-pun mulai mencari

jawaban-jawaban yang rasional tentang problem-problem yang selama ini

menjadi pertanyaan mereka kepada alam semesta. Oleh sebab itulah falsafat

lahir sehingga muncul yang namanya filsafat alam. Hal itu semata karena

pemikir Yunani ingin mencari tahu inti dari pada alam ini.2 Oleh karena sejak

awal kelahiran falsafat alam ini terlahir, hingga masuklah pada periode Imam

al-Ghazali, dan hal itu masih juga menjadi hal yang menyanggal. Karena

menurut Imam al-Ghazâlî apa yang para pemikir dahulu utarakan sangatlah

bertentangan dengan apa yang ada pada Al-Quran. Terlebih pemikir itu salah

satunya adalah Ibn Sina dan Al-Farabi. Sehingga hal yang ia khawatirkan
1
Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains.
Penerjemah: Yuliani Liputo dan M.S. Nasrulloh, (Bandung: Pustaka Hidayah), h. 75-77.
2
Hamzah Abbas, Pengantar Filsafat Alam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), h. 50-51.

65
66

adalah, para kaum awam akan mengikuti cara pandang dan berpikir mereka,

alih-alih ingin mengagungkan Tuhan, yang ada mereka akan tersesat.

Sehingga Imam al-Ghazâlî memberanikan diri untuk mengkritik hal tersebut.

Pada bagian inilah secara detail penulis mencantumkan pemikiran Imam al-

Ghazâlî tentang penciptaan alamnya.

Alam didefinisikan oleh Asy’ariyyah3 adalah segala sesuatu selain Tuhan,

dan darinya terdiri dari dua unsur yang berbeda, yaitu atom dan aksiden.4

Atom adalah lokus yang memberi susbtansi pada aksiden. Sebuah aksiden

tidak dapat eksis pada eksiden lainnya melainkan hanya dalam atom atau

benda yang tersusun atas atom-atom ini. Sebaliknya sebuah benda tidak dapat

dilepas dari aksiden-aksiden, positif atau negatif, seperti warna, bau, hidup,

pengetahuan, atau lawan-lawannya. Atom ini berbeda dengan atom-atom

yang terdapat dalam falsafat Yunani seperti Lerucippus, dan Democritus, atau

Epicurus.5 Salah satu ciri atom Asy’ariyyah adalah jumlahnya sudah tertentu

3
Penulis mencantumkan Asy’ariyyah, karena Imam al-Ghazâlî adalah Asy’ariyyah tulen,
hal ini dibuktikan dengan seluruh karyanya yang mendukung kalam Asy’ariyyah. Termasuk guru-
guru beliau semuanya adalah Asy’ari, terutama Imam al-Juwaini. Imam al-Ghazâlî juga dibesarkan
di kawasan yang mayoritas berpaham Asy’ari. hal ini sebelumnya sudah dijelaskan pada Bab 2,
dalam penulisan biografi seorang Imam al-Ghazâlî. Lihat Bab 2, Biografi dan Latar Belakang
Intelektual Imam al-Ghazâlî.
4
Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, h. 182.
5
Lebih jelasnya lagi Mulyadi Kartanegara menerangkan didalam buku Gerbang
Kearifan-nya bahwa teori atom yang Asy`ariyyah kemukakan adalah pinjaman dari pemikir India.
Menurut teori ini alam terdiri atas atom-atom. Akan tetapi atom-atom tersebut tidak bertahan lama,
mereka hanya dapat bertahan satu-dua saat saja, kemudian musnah. Dengan inilah menurut mereka
untuk Tuhan mempertahankan keberadaan alam ini maka Tuhan harus menciptakan atom-atom
sejenis setiap kali atom yang lama musnah. Sehingga pemaparan ini dalam wacana falsafat disebut
dengan “occasionalisme”. Karena atom-atom itu memerlukan campur tangan langsung dari Tuhan,
yang setiap saat harus menciptakan secara berkesinambungan atom-atom yang baru. Sebagaimana
Al-Quran mengatakan bahwa Allahlah yang mengeluarkan biji-bijian dari bumi yang mati, dan
menjadikan di dalamnya kebun-kebun korma dan anggur, dan dia jugalah yang menyebabkan
menyembburnya mata air-mata air dan sebagainya. Lihat, Mulyadi Kartanegara, Gerbang
Kearifan, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 102. Lihat, QS. 36 ayat 33-34.
67

atau berhingga, landasan ini ia ambil pada QS. 72:28 (dan Dia menghitung

segala sesuatu denga angka).6

Alam juga disebut sebagai kitab simbol-simbol. Menurut Imam al-Ghazâlî,

segala yang ada di alam kasat mata ini merupakan simbol sesuatu yang ada di

alam yang lebih tinggi.7 Bagaimanakah alam menurut Imam al-Ghazâlî,

berikut dapat dilihat dari jawaban atas sanggahan Imam al-Ghazâlî terhadap

penciptaan alam para filosof, bahwa sesungguhnya alam semesta ini adalah

yang meliputi segalanya, baik itu diluar maupun didalam, baik hal kecil

maupun hal besar, alam juga merupakan hal yang baru.8 Sebagaimana yang

kita ketahui bahwa pemikiran Imam al-Ghazâlî tentang alam bermula dari

kritikannya terhadap para filosof sebelumnya, yang menyatakan bahwa alam

ini adalah kadim, dan ada bersama Tuhan. Sebab inilah Imam al-Ghazâlî

mengkritik, dan menyatakan bahwa alam tidak kadim melainkan baru. Agar

lebih jelas, sebelumnya perlu kita ketahui mengapa para filosof berpendapat

bahwa alam ini adalah kadim, terutama kepada Al-Farabi dan Ibn Sina yang

pemikirannya dikritik oleh Imam al-Ghazâlî.

Para filosof berpendapat bahwa, alam itu bukan baru karena sesuatu yang

berawal mustahil lahir dari yang azali. Hal ini karena menurut mereka Tuhan

adalah kekal atau azali, dan sesuatu yang azali tidak mungkin, bahkan

mustahil dapat berubah. Oleh sebab itu mustahil alam baru, dan kalaupun alam

itu baru tidak mungkin dia berasal dari yang azali, semua itu mustahil. Sebab

dengan menyatakan bahwa alam itu baru dan berasal dari yang azali, secara
6
Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, h. 184.
7
Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, h. 78.
8
Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, h. 85.
68

tidak langsung menyatakan bahwa diri Tuhan itu berubah. Baik itu

menyangkut kemampuan, alat, waktu, dan karakternya. Itulah mengapa

mereka para filosof menyatakan bahwa alam ini kadim, berawal dengan

Tuhan,9 dan mustahil baru.10 Adapun argumen yang lain para filosof katakan

bahwa yang layak dikatakan baru adalah gerakan bintang, yaitu gerak putar

dalam menentukan timbulnya waktu. Sedangkan materi yang menerima

bentuk-bentuk, aksiden-aksiden, dan kualias-kualitas sama sekali bukan

baru.11

Kembali kepada pendapat Imam al-Ghazâlî terkait tentang alam, Ia

mempunyai alasan tersendiri tentang alam adalah baru dan diciptakan.

Baginya, karena alam itu diciptakan dan setiap yang diciptakan pasti berawal

dan akan berakhir, karenanya alam adalah baru. Memasuki ranah pendapat

para filosof, bahwa mustahil alam yang baru muncul dari sesuatu yang kadim.

Dalam butir ini Imam al-Ghazâlî menggunakan dalil filosof untuk menyerang

mereka. Menurut Imam al-Ghazâlî, para filosof mengatakan bahwa mustahil

munculnya yang baru dari yang kadim, padahal filosof mengakui adanya

peristiwa-peristiwa yang baru di alam ini. Peristiwa itu merupakan sebab

akibat, yakni satu peristiwa penyebab bagi peristiwa yang lain. Penyebab itu

9
Sebagaimana para filosof menggamabarkannya dengan sebuah matahari dan cahayanya.
Suatu yang sudah ada itu adalah Tuhan, maka alam berawal dari emanasi Tuhan tanpa kehendak,
bagaikan cahaya dengan matahari. Cahaya secara otomatis muncul ketika adanya matahari,
begitulah Tuhan dengan alam. Alam secara otomatis muncul ketika Tuhan ada. Karena itu, Tuhan
yang kadim membuahkan suatu yang serupa dengan-Nya, yaitu materi awal yang kadim juga.
Lihat: Amsal Bakhtiar, h. 83.
10
Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof). Penerjemah:
Ahmad Maimun, (Bandung: Marja, 2016), cet. 5, h. 64
11
Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam:
Perbandingan antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, (Tesis S2, Jurusan Ilmu Agama Islam, Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), h. 81
69

tidak mungkin berangkai tanpa ada ujungnya karena tidak ada orang yang

berakal dapat mempercayai pendapat tersebut. Kalau sebab berhenti pada tepi

yang paling ujung, maka ujungnya itu tentu kadim. Kalau demikian halnya,

kenapa filosof menolak munculnya yang baru dari yang kadim.12 Selain itu

sesuatu yang baru dari yang kadim bisa saja muncul karena ditetapkan

wujudnya pada waktu alam mengaktual. Ketiadaan akan berlanjut sampai

batas keberlanjutan itu. Sebaliknya, wujud akan mulai pada saat permulaan

(sudah di mulai). Wujud sebelumnya belum dikehendaki, maka wujud belum

muncul. Kapan wujud itu muncul? Wujud muncul pada saat dikehendaki oleh

kehendak kadim (Tuhan). Prinsip seperti ini mustahil bagi Tuhan. Jadi,

kehendak yang kadim bisa menciptakan alam pada saat di tentukan.13

Memasuki pembahasan kehendak Tuhan, Imam al-Ghazâlî menyatakan

bahwa Tuhan juga mempunyai kehendak untuk menetapkan keberadaan alam.

Pertama menetapkan ketiadaan akan terus berlangsung sampai titik paling

akhir. Kedua, menetapkan keberadaan sesuatu, akan bermula saat kehendak

untuk meng- “ada” –kan itu bermula, dengan begitu alam merupakan sesuatu

yang dikehendaki.14

Karena alam bersifat dengan kehendak azali, maka alam muncul

sebagaimana adanya, dengan sifat sebagaimana adanya, di tempat

sebagaimana adanya.15 Tuhan dan kehendaknya telah ada sebelum adanya

12
Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam:
Perbandingan antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 80-81.
13
Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam:
Perbandingan antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 78.
14
Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof), h. 182.
15
Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof), h. 72.
70

alam. Begitupula suatu kehendak dan obyek yang dikehendaki itu saling

berhubungan. Karena Tuhan sebagai yang berkehendak, maka Tuhan sebagai

subyek tidak mungkin memperbarui diri, meskipun Tuhan memunculkan hal

yang baru.16 Dalam tulisan Amsal Bakhtiar, terdapat alasan Imam al-Ghazâlî

tentang kehendak Tuhan. Bahwa, Tuhan memiliki kehendak yang bebas dan

mutlak. Dia dapat saja menciptakan alam dalam waktu tertentu atau

meniadakannya sesuai dengan kehendak-Nya yang bebas.17 Dengan kehendak

yang Tuhan miliki, terserah Tuhan ingin mengadakan alam ini kapan dan

bagaimana bentuknya, karena Tuhan yang berkuasa. Dia dapat menciptakan

alam dalam waktu tertentu atau meniadakannya, sesuai dengan kehendak-Nya

yang bebas tadi. Berbicara tentang kehendak Tuhan, disini Imam al-Ghazâlî

menyanggah dari pendapat para filosof.18 Bahwa kehendak Tuhan dengan

manusia itu tidak dapat disamakan. Sebab, disini kehendak manusia didorong

oleh faktor luar. Sedangkan Tuhan bebas berkehendak dan berbuat, faktor

luar tidak ada pada diri-Nya. Karena itu Tuhan itu tidak mustahil menciptakan

alam dalam waktu dengan kehendak kadim.19

16
Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof), h. 64.
17
Dalam konteks ini Imam al-Ghazâlî mengatakan bahwa makna kehendak itu berbeda
dengan berkuasa. Kehendak adalah menentukan atau memilih waktu penciptaan pada saat tertentu
bkan saat yang lain, tanpa perlu ditanyakan sebabnya, karena sebab adalah kehendak-Nya itu
sendiri. Kalau kita menanyakan sebabnya maka sama saja kehendak Tuhan itu terbatas, dan tidak
lagi bebas. Adapun kekuasaan adalah perbuatan pada saat terlaksananya kehendak. Lihat: Amsal
Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam: Perbandingan antara Al-
Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 80.
18
Meskipun memang bagi filosof, terutama Ibn Sina mengatakan bahwa Tuhan tidaklah
berkehendak. Sebab jika Tuhan berkehendak berarti di luar Tuhan ada sesuatu yang membuat-
Nya. Jika seperti itu, maka mustahil. Karena selain Tuhan tidak ada zat yang lain. Begitu juga
kalau kehendak itu ada, kenapa kehendak itu baru muncul pada waktu tertentu, tidak dari kadim.
Lihat: Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam: Perbandingan
antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd,, h. 84.
19
Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam:
Perbandingan antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 85.
71

Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa kehendak Tuhan Imam al-Ghazâlî

dan filosof, keduanya memiliki perbedaan. Para filosof melihat kehendak

Tuhan dari dimensi otomatis (dharûrî), tidak pada dimensi pencipta yang aktif

dan berkehendak bebas. Pada dimensi otomatis, maka kehendak menjadi tidak

penting sebab jika ada zat, secara otomatis timbul fungsi dalam zat itu,

sebagaimana halnya yang telah mereka gambarkan pada matahari yang secara

otomatis keluar cahaya. Karena itulah tidak mungkin tertundanya perbuatan

Tuhan setelah ada wujud-Nya karena tidak ada penghalang bagi Tuhan utnuk

tidak menciptakan. Penciptaan alam dalam waktu juga ditolak oleh filosof,

karena waktu adalah bagian dari ukuran gerak alam, sehingga sulit

membayangkan adanya waktu terlebih dahulu dan alam belum ada.20

Sedangkan Imam al-Ghazâlî melihat Tuhan dari dimensi yang

berkehendak bebas, dan kehendak itu berbeda dengan kehendak manusia.

Karena itu, tidak ada halangan bagi Tuhan dengan kehendak kadim

menciptakan alam yang baru pada waktu tertentu.21 Karena Tuhan dapat saja

memilih waktu tertentu untuk menciptakan alam lewat keputusan yang kadim.

Jadi, hal itu tidak mungkin mustahil terjadi bagi Tuhan, karena Tuhan yang

berkuasa mutlak.22

20
Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam:
Perbandingan antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 85
21
Selain menurut Imam al-Ghazâlî, Tuhan sendiri mengtaakan bahwa dirinya adalah yang
berkehendak, pada QS. 22: 14 “Sungguh Allah berbuat apa yang Ia kehendaki”.
22
Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam:
Perbandingan antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 86.
72

Adapun pertanyaan serta pernyataan yang menjadi sanggahan atas kritik

Imam al-Ghazâlî bahwa alam ini baru oleh para filosof,23 semua itu

sebenarnya kembali kepada pendapat yang diatas, bahwa lagi-lagi semua itu

atas kehendak Tuhan, terserah Tuhan ingin mewujudkannya kapan. Bukan

berarti Tuhan itu tidak mampu, ataupun berubah-ubah.24

Sebagaimana yang telah terperinci di dalam buku Tahâfut al-Falâsifah

akan pernyatan para filosof serta sanggahan Imam al-Ghazâlî terhadap


23
Yaitu, mengapa Tuhan tidak memunculkan alam sebelum waktu kemunculannya?.
Tidak mungkin kita menjawab, karena Tuhan tidak mampu memunculkan alam atau karena alam
mustahil untuk muncul. Sungguh hal yang demikian memberikan arti bahwa Tuhan telah berubah
dari lemah menjadi kuasa, Dari tidak mampu menjadi mampu. Keduanya itu mustahil sebab tidak
mungkin adanya perubahan pada diri Tuhan. Dengan demikian menurut filosof, jelaslah bahwa
mustahil terjadinya wujud yang baru dari wujud yang kekal, kecuali terjadi perubahan pada wujud
yang kekal tersebut dalam hal ketentuannya atau sarananya atau waktunya atau maksudnya atau
tabiatnya, tetapi hal yang demikian adalah mustahil. Dengan begitu tentu alam tidak mustahil
qadimnya, lagi pula dari suatu hanya muncul yang semisal-nya. Tuhan adalah qadim, maka tentu
yang keluar dari Tuhan juga suatu yang kadim. Lihat: Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika
Dan Fisika Dalam Filsafat Islam: Perbandingan antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd, h. 77.
24
Dalam hal penundaan Imam al-Ghazali menegaskan bahwa, penundaan pada dasarnya
bukanlah masalah karena kita bisa membayangkan seseorang menunda tindakannya meskipun ia
telah memutuskan untuk bertindak. Penundaan ini justru menunjukkan sifta diriNya menjadi
pelaku ( agent). Karena pelaku bisa memutuskan pelaksanaan maupun penundaan tindakannya.
Untuk menyokong pendapatnya, Imam al-Ghazâlî mencontohkan sebuah hal kecil dalam
kehidupan. Sebagaimana kita saja bisa melakukannya, pasti Tuhan juga bisa. Akan tetapi dalam
hal ini Tuhan dan manusia memiliki perbedaan. Jika manusia menunda suatu tindakan karena
memang manusia tidak sempurna. Kerap kali kita harus menunggu sampai sesuatu terjadi terlebih
dahulu sebelum kita memutusakn sesuatu. Dan Tuhan mustahil berada dalam keadaan dalam hal
seperti ini. Karena semua waktu sama saja bagi-Nya. Adapun menurut filosof mengapa Tuhan
menunda penciptaan? dalam menjawab butir ini Imam al-Ghazâlî menjawab, Bahwa tidak ada
yang patut kita persoalkan akan tindakan Tuhan. Berkaitan hal itu Imam al-Ghazâlî
menggambarkan dengan seorang yang kelaparan dan di tawarkan dua buah kurma yang sama
persis, sehingga ia harus memilih salah satunya. Karena sama sekali tidak berbeda, pilihan salah
satunya dapat di umpamakan seperti putusan Tuhan menciptakan alam pada waktu tertentu.
Sebagaimana kita bisa memilih salah satu dari kedua kurma yang sama itu (tanpa ada pengaruh
apa-apa), demikian pula Tuhan bisa memilih waktu tertentu dan bukan waktu yang lain (juga tanpa
ada pengaruh apa-apa). Pendeknya, tidak ada kemestian bagi kita untuk memilih salah satu dari
dua kurma yang sama itu, demikian pula tidak ada kemestian bagi Tuhan untuk memilih waktu
tertentu dalam memulai tindak penciptaan-Nya. Tuhan tidak seperti kita dalam hal Dia tidak
memerlukan apapun untuk berbuat. Dan sifat ini merupakan tanda kesempurnaan-Nya jika
dibandingkan dengan ketidaksempurnaan kita. Adapun dalam hal penangguhan waktu, sama saja
Imam al-Ghazâî menjawab dengan cara mengagungkan Tuhan. Bagi Tuhan waktu itu sama saja,
Dia telah memutuskan kapan saatnya Dia mencipta kendati waktu, sekali lagi, bukan masalah
bagi-Nya. Menurutnya apabila Tuhan ingin menangguhkan sesuatu Dia akan menangguhkannya.
Lihat: Oliver Leaman, Pengantar filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. Penerjemah: Musa
Khazim dan Arif Mulyadi, (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), Cet. 2, h. 30-32.
73

mereka, kita ketahui bahwa Imam al-Ghazâlî sebenarnya tidak menjelaskan

secara terperinci bagaimana proses penciptan alam ini. Imam al-Ghazâlî

hanya sibuk menyanggah pernyataan para filosof dengan cara mengagungkan

Tuhan. Agar tidak ada satupun yang menyaingi posisi Tuhan, bahkan

menghilangkan esensi zat yang Tuhan miliki. Hal ini diperjelas pula didalam

tulisan Amsal Bakhtiar, yang menyatakan kesimpulan pemikiran dari hasil

kritikan Imam al-Ghazâlî, yaitu:

“Tujuan pembahasan filosof bukan pada alam kadim, tetapi pada


proses penciptaan alam, sehingga proses penciptaan alam dapat
dujelaskan secara logis. Adapun tujuan protes Imam al-Ghazâlî
bukan pada proses, sebab proses penciptaan alam tidak dapat
digambarkan , lagi pula kalaupun dapat digambarkan tidak ada
gunanya, tetapi tujuannya adalah untuk menetapkan hanya
Tuhan yang kadim dan Esa, serta berkehendak mutlak. Dengan
demikian, Tuhan menyebabkan alam bagi para filosof itu wajib,
sedangkan bagi Imam al-Ghazâlî adalah mungkin.”25

Namun disini jika kita cermati, sebenarnya Imam al-Ghazâlî pun telah

menjawab proses tentang penciptaan alam. Sebagaimana yang para filosof

nyatakan bahwa alam itu tercipta secara emanasi, namun pada bagian ini

penulis memahami bahwa yang dikatakan proses itu adalah jeda waktu

sampai Tuhan memunculkan alam tersebut. Bahwa hal tersebut-pun telah

dapat dikatakan dengan proses.26

25
Amsal Bakhtiar, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam:
Perbandingan Antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd,(Jakarta: Jurusan Ilmu Agama Islam, Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), h. 86.
26
Proses: runtunan perubahan (peristiwa dalam perkembangan sesuatu), Rangkaian,
tindakan, pembuatan, pengolaan yang menghasilkan produk. Ebta Setiawan, “Proses” Kamus
Besar Bahasa Indonesia Online. Artikel ini diakses pada 3 April 2018 dari
http://kbbi.web.id/proses
74

Pembahasan mengenai penciptaan alam dan hakikat alam merupakan salah

satu hal yang krusial, dalam teologi Islam maupun dalam falsafat Islam.

Sebab, jika alam qadim sedangkan Tuhan juga qadim, maka disini

menunjukkan ada dua yang qadim. Sedangkan dua yang qadim sangat

bertentangan dengan ajaran Islam yang menegaskan bahwa Tuhan adalah yang

Esa, dan satu-satunya zat yang qadim, dan selain Tuhan, semuanya adalah

baru juga tercipta oleh-Nya. Perdebatan inilah yang timbul di kalangan filosof,

dan Imam al-Ghazâlî muncul sebagai pengkritik beserta mengeluarkan

argumennya, tidak lain hal ini ia lakukan agar umat Islam tidak tersesat akibat

mempercayai pemikiran para filosof tersebut.27

Imam al-Ghazâlî mempunyai anggapan bahwa para pemikir dan ahli bidah

pada saat itu sangat terpengaruh oleh nama besar, seperti Socrates,

Hippokrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka tertipu oleh pengikut para pemikir

tersebut. Bahwa mereka itu mempunyai intelektual yang luar biasa, prinsip-

prinsip yang mereka temukan tidak dapat dipertanyakan lagi, sains,

matematika, logika, fisika, dan metafisika yang mereka kembangkan sangat

mendalam. Dengan prestasi dan ketajaman akal mereka menolak otoritas

hukum-hukum agama dan meyakini bahwa semuanya itu hanyalah aturan-

aturan yang dibuat-buat dan tipuan-tipuan dasar. Ketika hal itu terus-menerus

bergeming di telinga para pemikir filosof, mereka berpendapat bahwa akan

terhormat kalau mereka juga mengikuti pendapat para filosof tersebut. Mereka

27
Amsal Bakhtiar, Tema-Tema Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 114.
75

juga lebih percaya akan hal baru yang para filosof munculkan dibandingkan

agama nenek moyang yang sedari awal telah mereka ikuti.

Dalam hal itu Imam al-Ghazâlî mengatakan, padahal justru mereka telah

menerima kebohongan, dengan menerima sesuatu dengan taklid. Bukankah

orang-orang semacam ini lebih rendah kedudukannya karena menerima

kebohongan secara taklid tanpa didukung penelitian yang seksama. Sehingga

Imam al-Ghazâlî menegaskan bahwa “Sungguh kedunguan lebih

menyelamatkan daripada kepintaran yang tidak utuh dan kebutaan lebih

menyelamatkan daripada penglihatan yang melenceng.” Hal itu karena bagi

Imam al-Ghazâlî orang awam saja tidak pernah bersikap sedimikian

memalukan. Karena mereka secara naluriah tidak mau meneladani orang-

orang sesat.28

Dari penuliasn di atas, pada dasarnya para filosof dan Imam al-Ghazâlî

sepakat bahwa alam ini adalah berasal dari Tuhan. Sebenarnya jika kita

perhatikan, dari filosof dan Imam al-Ghazâlî, mereka sama-sama mengatakan

bahwa alam ini berasal dari Tuhan. hanya saja Imam al-Ghazâlî disini

memakai kata dimunculkan, “bahwa alam ini dimunculkan oleh Tuhan dan

tercipta oleh Tuhan”, namun disini para filosof menggunakan kata akibat

“bahwa alam ini adalah akibat dan sebab dari yang Azali dan abadi”. Maka ia

tidak bisa terlepas dari sebab. Karena sebab tidak dapat berubah, dan akibat-

28
Amsal Bakhtiar, Tema-Tema Filsafat Islam, h. 118.
76

pun tidak dapat berubah. Inilah dasar penolakan mereka terhadap kebermulaan

alam dan argumen ini juga dapat diterapkan pada keberakhiran alam.29

Adapun masalah waktu, mereka para filosof mengatakan bahwa apabila

alam tiada, maka ketiadaannya itu akan terjadi sesudah keadaanya (alam itu

tercipta). Dengan demikian alam mempunyai dimensi waktu “sesudah”. Pada

bagian ini terdapat afirmasi waktu, akan tetapi waktu menurut mereka disini ada

pada saat materi telah tercipta. Sedangkan Imam al-Ghazâlî pada halaman

sebelumnya penulis cantumkan pada pembahasan kehendak Tuhan. bahwa Ia

menyatakan waktu itu ad sebelum alam (materi tercipta). Karena dalam hal

kehendak dan penciptaaan ia mengatakan bahwa terserah kapan Tuhan

inginmewujudkannya, dan kapan waktunya.30

B. Kritik Terhadap Teori Kausalitas

Penolakan Imam al-Ghazâlî terhadap prinsip kausalitas merupakan

implikasi pendapat dia terhadap penciptaan alam, bahwa alam ini adalah baru

bukan kadim. Alam ini juga tercipta atas kehendak Tuhan, segala apa yang

ada dan terjadi pada alam ini adalah atas kehendak Tuhan. Sehingga Imam al-

Ghazâlî meyakini bahwa sebab-akibat yang para filosof yakini itu bukanlah

dharuri (tidak pasti). Dan sebuah benda yang dicipta juga tidak bisa

berkehendak jika bukan Tuhan yang menghendaki segala kejadian itu.

29
Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof), h. 101.
30
Imam Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof), h. 102.
77

Sebelumnya perlu diketahui bahwa Pada kamus filsafat Lorens Bagus,

kausalitas dalam bahasa Inggris: causality; dari bahasa Latin causa yang

berarti sebab.31Adapun Kausalitas dalam artian umum adalah kebergantungan

satu wujud kepada wujud lainnya. Ketergantungan ini bisa dideskripsikan

dalam berbagai bentuk. Sebab juga bisa dibagi menjadi beberapa bagian,

namun dalam pembahasan ini penulis tidak terlalu menyinggung akan

pembagian itu. Dikhawatirkan melebarnya pembahasan yang telah di buat.32

Dengan begitu kausalitas adalah wujud yang bergantung pada wujud lain,

dan tanpanya dia tidak akan mewujud atau mendapatkan realitas, hal ini

disebut dengan akibat. Sedangkan tempat bergantungnya atau yang

memberikan wujud disebut dengan sebab.Bagi Imam al-Ghazâlî hubungan

antara sebab dan akibat tidak bersifat dharûrîy (kepastian). Dimana keduanya

tersebut tidak harus selalu terhubung atau dihubungkan.33

Imam al-Ghazâlî pada bagian ini menyatakan bahwa sebuah hubungan

sebab-akibat pada apa yang diyakini oleh para filosof dan pengikutnya adalah

suatu yang tidak niscaya (dharûrî). masing-masing dari mereka berdiri sendiri,

yang dimaksud dari berdiri sendiri disini adalah, ini bukan itu, dan itu bukan

ini. Antara yang satu tidak mesti harus menyebabkan suatu yang lain.

Sebagaimana didalam tulisan Tahâfut al-Falâsifah, Imam al-Ghazâlî

mengatakan bahwa penegasan pada salah satunya tidak mesti merupakan

penegasian pada yang lain dan penafian terhadap yang satu tidak mesti

31
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), Cet. 4,
h. 399.
32
Mohsen Gharawiyan, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam. Penerjemah:
Muhammad Nur Djabir, (Jakarta: Sadra Press, 2012), h. 110.
33
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, h. 175.
78

merupakan penafian pada yang lain. Eksistensi yang satu tidak mengharuskan

eksistensi pada yang lain, dan ketiadaan yang satu tidak mengaharuskan

ketiadaan yang lain.“ Dalam hal ini Imam al-Ghazâlî juga mencontohkan dari

argumen yang Ia maksud, yaitu seperti pemuasan haus dan minum, kenyang

dan makan, pembakaran dan kontak dengan api, cahaya dan terbitnya

matahari, kematian dan pemutusan kepala dari tubuh, penyembuhan dan

minum obat, cuci perut dan minum obat pencahar, dan lainnya sebagai

pasangan peristiwa yang tampak kasat mata terkait dalam kedokteran,

astronomi, kesenian, atau kerajinan.34

Pengambilan contoh lainnya adalah dengan pancaran cahaya matahari.

Dimana pancaran cahaya matahari dapat mencairka es yang beku, menjadikan

lumpur mengeras, dapat pula menghtiamkan wajah tukang cuci yang mencuci

di luar rumah, juga dapat memutihkan pakaian yang dicuci. Dimana dalam hal

ini kita dapat melihat sebabnya hanyalah satu yaitu cahaya matahari, namun

akibat yang ditimbulkan melebihi dari satu kejadian. Bukankah hal ini tidak

dapat dikatakan bahwa dari yang satu mneyebabkan kejadian satu yang

lainnya. Melainkan dari yang satu dapat menyebabkan banyak kejadian.

Kalaulah bukan Tuhan yang menghendakinya belum tentu bisa seperti itu.

apabila ada satu peristiwa mengikuti yang lain, hal itu disebabkan karena

Tuhan telah menciptakan keduanya dalam pola keterkaitan. Sehingga

34
Imam al-Ghazâlî, Tahâfut Al-Falâsifah Kerancuan Para Filosof. Penerjemah: Ahmad
Maimun, (Bandung: Marja, 2016), Cet. V, h. 235.
79

keseluruhan kejadian tersebut tampak terkait, sebagai peristiwa sebab-akibat,

sebagaimana yang para filosof yakini.35

Kenapa para filosof beranggapan bahwa sebab-akibat itu pasti dan saling

berhubungan, menurut Imam al-Ghazâlî itu semua tidak lain hanyalah karena

mereka telah menciptakan keduanya dalam pola keterkaitan. Padahal itu

semua menurut Imam al-Ghazâlî adalah keterkaitan sebagai akibat dari takdir

Tuhan, padahal juga Tuhan sangat berkuasa atas segala sesuatu. Sebagaimana

untuk menciptakan rasa kenyang bisa saja tanpa makan, menciptakan

kematian tanpa harus kepala terlepas dari tubuh, dan demikian seterusnya

hingga seluruh pasangan yang tampak terkait sebagai sebab-akibat.36

Dalam menjelaskan hal ini, Imam al-Ghazâlî telah banyak memberikan

contoh dan gambaran, semata-mata agar semua itu dapat terbuktikan dengan

gambaran yang nyata, dan apa yang Ia katakan tentang pendapatnya ini

bukanlah karangan semata. Seperti “suatu kapas bisa saja tidak terbakar jika ia

bersentuhan dengan api, dan kapas bisa saja berubah menjadi abu tanpa harus

terbakar.” Tidak hanya sekedar memberikan contoh dan argumen akan suatu

realitas sebab-akibat, Imam al-Ghazâlî juga memberikan penjelasan bahwa

apa yang terjadi itu semua adalah atas kehendak Tuhan. Seperti yang para

filosof utarakan, bahwa jika sebuah kapas akan terbakar jika bersentuhan

dengan api, maka sama saja menyatakan bahwa api tiu memiliki kehendak

sendiri. Sedangkan menurut apa yang Imam al-Gahzâlî yakini, bahwa sifat api

35
Ahmad Nawawi, Relasi Sebab Akibat Menurut Al-Ghazâlî dan David Hume (Kritik
Nalar Kausalitas dalam Teologi dan Filsafat), (Tesis S2 Konsentrasi Pemikiran Islam,
Pascasarjana Magister S2, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 65-66.
36
Imam al-Ghazâlî, Tahâfut Al-Falâsifah Kerancuan Para Filosof, h. 236.
80

membakar atau tidaknya adalah kehendak dari Tuhan. Karena sejatinya api itu

adalah benda mati, ia tercipta, dan segala kekuatan apa yang berada padanya

adalah Tuhan yang mendatangkannya. Pernyataan tersebut ternyata juga

pernah terjadi pada masa seorang Nabi yang bernama Ibrahim. Dimana saat

itu Nabi Ibrahim di lempar ke dalam api yang sedang berkobar-kobar, namun

atas kehendak Tuhan tubuh Nabi Ibrahim sama sekali tidak terbakar, api itu

menjadi dingin dan menyelamatkannya.37 Padahal jika berbicara tentang

sebab-akibat, maka api itu pastilah sudah melahap dan menghanguskan tubuh

dari seorang Nabi Ibrahim.38

Contoh lain di sini adalah seorang anak yang katanya (para filosof) berasal

dari air mani seorang ayah. Sedangkan dalam hal ini, Imam al-Ghazâlî

menjawab dengan pola pikir yang sama. “Ayah bukanlah pelaku bagi

keberadaan anaknya, kehadiran seorang jabang bayi ataupun seorang anak

tidaklah serta merta dengan memasukkan air mani seorang ayah ke dalam

rahim seorang ibu, begitupula dengan pendengaran, penglihatan, dan seluruh

hal yang ada pada anak itu. Jika semua hal itu tidak Tuhan kehendaki,

bagaimana mungkin air mani yang masuk ke dalam rahim seorang ibu dapat

membentuk seorang anak, bagaimana bisa seorang anak dapat terlahir dengan

sempurna dari rahim seorang ibu.39 Dalam hal ini penulis menangkap, kenapa

Imam al-Ghazâlî memberikan contoh dari hal kecil hingga terbesar, yaitu

hingga masuk kedalam pembahasan penciptaan sebuah makhluk yang berasal

37
Kita bisa melihat bukti nyata yang telah tertulis dalam QS. Al-Anbiya, ayat 69: “Kami
(Allah) berfirman, „Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!”
38
Imam al-Ghazâlî, Tahâfut Al-Falâsifah Kerancuan Para Filosof, h. 239
39
Pernyataan sebelum penjelasan inipun telah Allah cantumkan didalam QS. 21 : 89-90.
81

dari rahim manusia. Semua itu tidak lain hanyalah, agar manusia berpikir

bahwa suatu benda atau suatu makhluk itu tercipta dan yang menciptakannya

adalah Tuhan, dan sebuah makhluk serta suatu hal yang tercipta itu tidak

mempunyai kekuatan ataupun kelebihan jika bukan Tuhan yang

mendatangkannya ataupun menghendaki suatu kelebihan dalam dirinya. Oleh

karena itu tidaklah mungkin mereka menjadi sebab dari segala sesuatu dengan

sendirinya. Karena peristiwa seperti yang dicontohkan diatas memperoleh

eksistensinya dari Tuhan, baik langsung maupun melalui perantara dari para

malaikat-malaikat yang dipercaya untuk mengatur peristiwa-peristiwa

tersebut.40

Dalam hal ini, penulis menyimpulkan dari uraian contoh dan kisah yang

Imam al-Ghazâlî utarakan, bahwa disinilah terbukti suatu benda itu tidak

mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai kekuasaan atas suatu

kejadian, melainkan Tuhanlah yang berkuasa dan menguasai segala

sesuatunya itu.

C. Hikmah Penciptaan Alam

Segala pujian berhak diberikan kepada Tuhan yang mencipta, yang telah

meletakkan nikmat-Nya dalam kehidupan hambanya bagi yang mau berpikir.

Dijadikannya manusia berpikir terhadap yang Dia ciptakan hal itu adalah

sebagai alat agar manusia benar-benar menancapkan keyakinan dalam hatinya.

Sehingga mereka dapat membuktikan keberadaan-Nya melalui ciptaan-Nya

40
Imam al-Ghazâlî, Tahâfut Al-Falâsifah Kerancuan Para Filosof, h. 237.
82

yang mereka perhatikan, dengan itu mereka mengenal dan yakin bahwa tiada

Tuhan selain Dia, lalu pada akhirnya mereka mengesakan-Nya.

Lalu kenapa Tuhan menghadirkan apa-apa yang sekarang telah terdapat di

langit dan alam semesta ini? Apakah Tuhan menghadirkan dan

mengadakannya tanpa disengaja atau tak disengaja? Sebagaimana yang

dinyatakan oleh para filosof bahwa alam semesta ini tercipta dari ada, dan

memang sudah ada dari dahulunya, maka dari itu dapat dikatakan qadim.

Sehingga apa-apa yang ada di alam semesta ini terjadi begitu saja tanpa ada

hikmah dan makna sesungguhnya. Lalu bagaimana dengan sebagian filosof

dan mutakallimin yang meyakini bahwa alam ini tercipta dengan kehendak

SangMaha Pencipta? di mana hal ini disebut dengan penciptaan, dengan

Hikmah tersendiri beserta manfaatnya. Dari kedua pernyataan di atas, masing-

masing yang memikirkannya mempunyai argumen sendiri terhadap

pernyataan mereka. Namun dengan pernyataan, sekaligus penjelasan yang

akan ditulis pada bagian ini, setidaknya dapat membuat pembaca berpikir dan

merenungkan apakah benar alam ini tercipta dan sudah ada sejak zaman azali,

ataukah alam ini tercipta secara baru, berikut penjelasannya.

1. Hikmah Penciptaan Langit dan Alam Semesta.

Imam al-Ghazâlî menuturkan jika alam ini engkau perhatikan dengan

pikiranmu dan mengkajinya dengan akalmu, pastilah kau dapati alam

semesta ini seperti rumah yang kokoh, yang didalamnya terdapat segala

hal yang kita butuhkan. Sebagaimana langit terbentang laksana atap pada

rumah yang di tempati, lalu bumi terbentang luas laksana hamparan karpet
83

pada lantai rumah, ada bintang-gemintang yang bertebaran layaknya

lampu pada sang rumah, dengan mutiara-mutiara tersimpan layaknya harta

yang terpendam, dan manusia adalah sebagai pemilik rumah itu yang di

dalamnya semua adalah miliknya. Didapat lagi beraneka tumbuhan juga

hewan yang tumbuh dan hadir didalamnya, yang tersedia untuk kebutuhan

dan digunakan sebagaimana mestinya. Begitulah masing-masing telah

disiapkan sesuai kondisinya.41

Adapun langit diciptakan, hanya orang-orang yang mau berpikir

sajalah yang dapat melihat hikmah dari penciptaan tersebut. Sehigga

dengan proses berpikir itu, manusia dapat menjadikan langit sebagai

petunjuk dalam hidupnya. Hal ini dilihat dari langit yang memiliki

bintang-gemintang, rembulan, diikuti dengan planet-planet yang setia

dengan peredarannya, sehingga hal itulah yang menjadi petunjuk bagi

mereka.

Dapat kita ambil kisah dari Nabi Ibrahim sebagai contoh, bermula dari

Ia yang tidak mengetahui siapa Tuhannya yang sebenarnya. Maka ia

mencari melalui apa yang alam tampakkan, lalu ia kaji dari apa yang ia

lihat pada saat itu. Dapat kita ketahui dari alur ceritanya, tanpa harus

berada bersamanya pada saat itu, bahwa yang ia lihat kala itu adalah

termasuk langit alam semesta ini. Ketika rembulan muncul lalu

menghilang, maka pudarlah harapannya kepada sang bulan bahwa ia

adalah sang pencipta semesta ini, lalu matahari pun terbit akan tetapi
41
Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup. Penerjemah.
Kaserun AS. Rahman, (Jakarta: Turos Khazanah Pustaka Islam, 2016),h. 2.
84

terlelap akan malam, begitulah seterusnya, hingga kenampakkan yang lain

datang lalu pergi tanpa keabadian yang pasti. Dari hal itu kita dapat

mengambil pelajaran bahwa, apa yang tampak pada alam patutlah kita

pelajari dan ambil pelajaran darinya. Bukan berarti apa yang ada dalam

semesta ini tercipta tanpa ada hikmah di balik semuanya.42

Ketika sendiri, langit dengan warna biru mendekati hitam bukanlah hal

menakutkan untuk di pandang. Hal itu sangatlah indah dan bermakna

ketika kita tahu manfaat dari segala yang tercipta di muka bumi ini tanpa

sia-sia. Langit dengan kehalusan hamparannya, yang jika dilihat berkali-

kali akan sangat sulit mencari cela kehancuran dari badannya. Berbeda

dengan wajah yang ketika dilihat berkali-kali tetap saja terdapat

kecacatannnya. Ditumbuhi jerawat, komedo, bahkan flek hitam yang

mengurangi kehalusannya. Sehingga ketika mata memandang hilanglah

rasa kenyamanan pada indera yang menyaksikan. Akan tetapi berbeda

dengan langit, langit memiliki banyak kelebihan yang ketika berusaha

diungkap maka perasaan yang kita rasa saat mata memandang tak dapat

diungkap.

Berkaitan dengan hal di atas, tanpa perlu diperjelas panjang lebar

maka kita tahu makna dari penciptaan langit itu sangatlah menakjubkan,

disebutkan bahwa dengan memandang langit maka sepuluh manfaat yang

terkandung didalamnya akan kita dapat, yaitu: mengurangi kesedihan,

mengurangi waswas, menghilangkan halusinasi ketakutan, mengingatkan

42
Imam al-Ghazâlî, Tafsir Ayat Cahaya Dan Telaah Kritis Pakar, h. 71.
85

kepada Allah, menebarkan rasa takzim (pengagungan) kepada Allah di

dalam hati, menghilangkan pikiran-pikiran buruk, mengobati penyakit

empedu, menghibur orang yang merindu, dan menyenangkan para pecinta.

Lebih dari itu, langit merupakan kiblat orang-orang yang berdoa.43

2. Hikmah Penciptaan Matahari

Pada lain sisi ada matahari yang menemani sang langit, sehingga ada

nama siang dan malam dalam sebutan manusia. Sebenarnya tak perlu

dibahas terlalu banyak, akan manfaat dari matahari. Karena dengan indera

dan akal yang dikarunai, kitapun telah dapat mengetahuinya. Seperti

matahari menjadi petunjuk atas tegaknya siang dan malam pada seluruh

penjuru bumi.44 Karena kalaulah matahari tidak terbit, niscaya rusaklah

seluruh perkara alam. Tidak akan ada manusia yang dapat bekerja untuk

memenuhi kehidupan dan menjalankan urusan hidup mereka. Dunia

menjadi gelap gulita. Olehnya mereka tidak tenang dalam menjalani hidup,

karena kehilangan kelezatan dari cahaya.45

Karena kita sudah mengetahui bagaimana jadinya jika tidak ada

matahari, dan betapa pentingnya sang mentari bagi sumber kehidupan.

Maka selanjutnya kita beralih kepada pertanyaan Bagaimana jika matahari

terbenam? Apakah yang akan terjadi? Jika kita membayangkan sejenak,

bagaimana kalau matahari tidak pernah terbenam, yang terjadi adalah:

43
Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup. Penerjemah.
Kaserun AS. Rahman, (Jakarta: Turos Khazanah Pustaka Islamm), 2016, h. 6.
44
Imam Al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam dan Makhluk Hidup, h. 11-12.
45
Imam Ja`far AsShadiq, Mengurai Tanda Kebesaran Allah. Penerjemah: Irwan
Kurniawan, (Bandung: Pustaka Hidayah, cet. 7, 2000), h. 90-91.
86

Manusia tidak akan merasa tenang. Hal itu disebabkan keinginan dan

kebutuhan manusia yang besar dalam mencari hal untuk menunjang biaya

hidup, serta gaya hidup yang mereka jalani. Oleh sebab itu dengan

terbenamnya matahari maka ketenangan untuk kesegaran tubuh mereka

dapatkan. Kalau saja matahari terus bersinar tanpa mengizinkan malam

menggantikannya, pastilah kita akan kelelahan dalam bekerja. Sehingga

tidak ada waktu berhenti untuk beristirahat dan menenangkan diri,

ketenangan pun tak mungkin diraih. Maka pada akhirnya diri kita-pun

akan mengalami kebinasaan. Seperti halnya mesin yang jika harus

berjalan, bekerja, ataupun beroperasi setiap detiknya, waktu dan jamnya.

Bahkan tak ada pengistirahatan untuk mesin tersebut, dan tenaganya-pun

selalu terkuras (dimanfaatkan) oleh khalayak ramai, maka tak usah

menunggu lama, mesin tersebut pastilah akan kepanasan dan rusak.

Begitulah manusia. Bahkan hewan ternak akan terus menerus merumput

jika siang terus terpancar, dan ketika hewan ternak itu dipaksa terus

bekerja tanpa diberikan kecukupan pada kebutuhan badannya iapun akan

mati.

Nah, dengan terbenamnya matahari “maka indera yang bekerja dapat

beristirahat”, karena manusia tahu akan tandanya malam, dan tak mungkin

ia melakukan pekerjaan itu pada malam hari.46 Selanjutnya dengan adanya

46
Pekerjaan yang tak mungkin dikerjakan pada malam hari, yang jika pekerjaan malam
hari dilkaukan pada malam hari akan berdampak buruk pada pekerjaan itu. Seperti tidak
maksimalnya dalam hasil dari pekerjaan yang dilakukan. Akan tetapi ada pula pekerjaan siang
yang dapat dikerjakan pada malam hari, yang karena jika dikerjakan pada siang hari mereka
merasa terganggu, atau tidak sempat, dan lain sebagainya. Lihat: Imam al-Ghazâlî, Rahasia
Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 11.
87

malam (terbenamnya matahari) “memulihkan kekuatan pencernaan

makanan untuk mencerna makanan serta menyalurkan sari makanan ke

seluruh anggota tubuh”.47

Dari semua itu ,menurut Imam al-Ghazâlî sadarlah manusia betapa

Esanya Tuhan akan penciptaannya. Semua terstruktur, berfaedah, dan

akurat. Dengan matahari terbit pada waktunya dan terbenam pada

waktunya pula. Yang dengan adanya perlawanan itu, memberikan

kebaikan bagi alam dan penghuninya. Matahari juga memberikan

“pergiliran empat musim” dalam satu tahun dan keteraturan dalam hal itu.

Yang masing-masing dalam setiap musim memiliki manfaat tersendiri

untuk makhluk pada semesta.48

Cakupan perputaran empat musim tersebut terdiri dari musim dingin,

panas, semi, dan gugur dengan cara naik turunnya matahari maka keempat

musim tersebut tergilirkan. Pada musim dingin, ketika matahari hadir

maka memberikan manfaat pada pepohonan dan makhluk hidup yang

terkena es tadi. Maka dengan kejadian itu buah-buahan pun bermunculan,

udara menjadi pekat, sehingga dihasilkan darinya awan dan hujan, dan

tubuh binatang menjadi kuat. Adapun pada musim semi, benda-benda

yang dihasilkan pada musim ini bergerak dan muncul, maka jadila

47
Dimana pada pukul 23.00-03.00, terdapat hati atau liver melakukan aktivitas
pembuangan racun hasil metabolisme dan terjadi proses generasi sel-sel organ hati. Sangat
disarankan pada jam ini kita sudah berhenti beraktivitas, ungkap Antony Kiro, herbalis dari Daun
Hijau Mediabeta. Itu adalah sebagian bukti, bahwa adanya malam memang diciptakan untuk
manusia beristirahat juga merasakan damai. Lihat, Lusia Kus Anna, “Jam Kerja Organ Tubuh
Menurut Pengobatan Tiongkok,” artikel di akses pada 21 Desember 2017 dari
http://lifestyle.kompas.com/read/2015/09/25/190000023/Jam.Kerja.Organ.Tubuh.Menurut.Pengob
atan.Tiongkok
48
Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 13.
88

tumbuhan, pohon-pohon berbunga. Pada musim panas udara menjadi

panas sehingga membuat buah-buahan menjadi matang, kotoran dari

badan keluar, dan permukaan bumi mengering sehingga baik untuk

membuat bangunan dan usaha. Pada musim gugur udara menjadi bersih,

hilang segala penyakit, badan menjadi sehat, malam menjadi panjang

sehingga memungkinkan melakukan sebagian pekerjaan dan udara

menjadi segar. Sebenarnya masih banyak hikmah-hikmah lainnya, yang

jika penulis jelaskan maka akan menjadi pembahasan yang panjang.49

3. HikmahPenciptaanBulan dan Bintang

Setelah matahari terbenam muncullah bulan, menandakanwaktu

malam tiba, ditemani gemerlap sang bintang, maka lunturlah kesuraman

gelap malam. Begitulah perputaran yang terjadi.



Mahasuci Allah yang menjadikan di langit gugusan bintang-


bintang dan Dia juga menjadikan padanya matahari dan bulan yang
bersinar. (Al-Furqon/25:61)

Sebagaimana telah dijelaskan akan hikmah adanya rembulan di

pembahasan sebelumnya, maka tak perlu kita perjelas panjang lebar,

karena sejatinya kita telah mengetahuinya. Rembulan diadakan sebagai

teman untuk para makhluk dalam keadaan gelap. Ketika manusia tak dapat

bekerja di siang hari maka dapat tergantikan bekerja pada malam hari

dengan sinar rembulan, begitupun dengan aktivitas lainnya.

49
Iman Ja’far Ash-Shadiq, Mengurai TandaKebesaran Allah, (Bandung, Pustaka
Hidayah) cet.7, h. 87-88.
89

Meskipun begitu keadaan malam tidaklah sepanas disiang hari. Sebab

malam adalah waktunya tuk berganti dengan keadaan yang nyaman. Yaitu

dengan suhu yang lebih redup. Hal ini pula bermaksud agar manusia tidak

bekerja seperti rasanya di siang hari. Kecuali untuk yang tidak dapat

bekerja dengan sorot panas sinar matahari.50

Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu


menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan
bulan untuk perhitungan. Itulah ketetapan Allah yang Mahaperkasa,
Mahamengetahui. (Al-An`am/6: 97).

Ketika malam dan siang menjadi hubungan antara siang dan malam,

maka bagaimana dengan sesosok bintang yang cahayanya kelap-kelip pada

keindahan malam menerangi sang bulan?. Bintang memiliki orbit yang

selalu berputar, yang dengannya telah membawa bintang-gemintang

beredar pada siang dan malam dengan sangat cepat. Pernyataan tersebut

dapat kita saksikan dengan timbul dan terbenamnya ia. Terbitnya bintang

juga mempunyai waktu tersendiri, dengan begitusebagian bintang dalam

satu waktu tenggelam dan dari sebagian yang lainnya muncul, seperti

bintang Kartika, Gemini, dan Sirius. Dengan bergantiannya

kemunculannya itu, maka itulah yang membantu memberikan petunjuk

kepada manusia di muka bumi ini. Karena itulah rasi bintang selalu

tampak dan tak pernah tenggelam, demi sejumlah maslahat. Rasi bintang

laksana simbol atau pertanda yang menjadi petunjuk bagi manusia. Seperti

ketika melintasi jalanan tak dikenal, baik di darat maupun di laut. Semua

50
Imam al-Ghazali, Rahasia Penciptaan Alam Semesta dan Makhluk Hidup, h.18.
90

hal itu tidak Tuhan ciptakan dengan sia-sia, melainakan semua itu demi

kepentingan alam semesta.51

4. HikmahPenciptaanBumi

Perlunya dibahas akan hikmah dari penciptaan bumi, karena itulah

tempat perpijakan manusia. Segera setelah mengetahuinya, agar manusia

dapat merasakan pentingnya dalam menjaga bumi ini dari kehancuran,

kecuali kehancuran yang telah Allah kehendaki (kiamat).

Perlu kita ketahui kelebihan dari sang bumi yang senantiasa diinjak,

namun tetap setia pada makhluknya dalam mengalirkan manfaat. Seperti

luasnya bentangan bumi, jika tidak maka manusia di muka bumi ini akan

sulit untuk bergerak, dan akan terus merasa bosan. sebab jika bumi ini

luas, maka manusia dengan mudah untuk mencari tempat lain dalam

menenangkan dirinya, dengan keluasan tersebut manusia-pun dapat duduk

ataupun berbaring untuk istirahatnya.52 Alquran mengungkapkan, adanya

bumi bertujuan untuk melestarikan segala keturunan jenis binatang,

tanaman, maupun tumbuh-tumbuhan. Bumi juga menjadi tempat untuk

mengubur segala hal yang aromanya mengganggu, bangkai, kotoran

manusia, dan lain-lain. Hal itu diperjelas pada Qs. Al-Mursalat :

“Bukankah kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul. Orang-


orang hidup dan orang-orang mati?” (Qs. Al-Mursalat/77: 25-26).

Allah juga menciptakan bumi dengan sifat dingin dan kering sesuai

dengan kadar tertentu. Andaikan bumi ini melebihi kadarnya seperti

51
Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 24.
52
Imam Ja`far Ash-Shadiq, Mengurai Tanda Kebesaran Allah, h. 100.
91

kekeringan, hingga seluruhnya menjadi batu cadas, maka tumbuhan tak

akan terhampar di atasnya, binatang ternak akan punah, disusul dengan

kebinasaan manusia. Jika bumi ini keras dan padat, manusia akan kesulitan

melakukan perjalanan dan jalan-jalan pun tidak bisa tampak.53

5. HikmahPenciptaan Air

Betapa gersangnya hidup ini jika dilalui tanpa air yang mengalir. Air

juga dapat megalir tanpa harus menggunakan bantuan dorongan. Begitu

MahaBijaksana-Nya Tuhan dalam mengatur alam semesta ini.

Dijadikannya belahan utara lebih tinggi dari belahan selatan. Imam Ja`far

mengungkapkan bahwa setelah bumi berbentuk bula, maka belahan

utaranya menjadi lebih tinggi di bandingkan belahan selatannya. Hal itu

dapat di buktikan dengan melihat sungai Trigis, Eufrat dan sungai-sungai

lainnya yang airnya mengalir dari utara ke selatan. Mengapa bisa

dikatakan seperti itu? Mereka dapat menetapkan utara lebih tinggi

daripada selatan, karena air yang ada di dalam rongga bumi mengikuti

permukaan bumi dalam hal naik turunnya.“ sehingga mata-mata air selain

memancar juga mengalir dari utara ke selatan.54

Imam al-Ghazâlî melandaskan hikmah air yang lainnya dengan

menyandarkannya pada ayat al-qur`an yang artinya:

“Dan dari air kami jadikan segala sesuatu (bisa)hidup. Maka,


mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Qs. Al-Anbiya`/21: 30)

53
Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 31.
54
Imam Ja’far Ash-Shadiq, Mengurai Tanda Kebesaran Allah, h. 102.
92

Kita sering mendengar kalimat “Tanpa makan kita dapat hidup,

sedangkan tanpa minu kita tidak bisa hidup. ”Sebagaimana QS. Al-

Anbiya` ayat 21 dikatakan, bahwa segala sesuatu dapat hidup dengan air.

Seandainyapun manusia tidak bisa mendapatkan air, maka tak segan-segan

ia mengeluarkan berapa saja dari harta kekayaannya. Sebab dengan air,

Allah menjadikan yang kotor menjadi bersih, baik itu pada tubuh manusia,

pakaian, maupun rumah yang kita tempati.55 Dan meminumnya, dapat

membuat tubuh kita merasakan ketenangan dan kenikmatan. Dengan air

pula, tanah yang keras dapat menjadi lembut dan gembur, yang pada

akhirnya mempermudah para pekerja untuk melakukan pekerjaan. Baik itu

pekerjaan bercocok tanam, ataupun membuat bangunan. Tak heran para

pemilik perusahaan rela mengeluarkan cara apa saja, dan biaya berapa saja

jika air tak didapatkan.

Tatkala api berkobar dengan ganasnya ia dapat melahap apa saja

yang berada di sampingnya, binasalah dan sirna jika tak ada cara untuk

memadamkannya. Namun dengan adanya air, api yang besar-pun dapat

dipadamkan, begitulah keunggulan air yang lainnya. Dengan keunggulan

air yang seperti inipun, masih banyak manusia yang lalai akan nikmat dari

air, yang darinya kita dapat meng-Agungkan SangPencipta. Meski kita

tahu kita sangat membutuhkan air tersebut. Lalu bagaimana jika kapasitas

air dalam kehidupan ini sangat terbatas? Kehidupan di dunia ini pastinya

55
Dikatakan pula oleh Imam al-Ghazâlî, saat tubuh merasakan kelelahan maka setelah
kita memandikannya, maka akan dirasa nikmat rehat seketika. Segala penat, dan amarah-pun
mereda. Lihat: Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 52.
93

menjadi keruh, dengan itu Allah menurunkan dan memudahkan air demi

menghidupkan dunia dengan segala isinya, baik itu kepada binatang,

tumbuhan, dan tambang.56

Bahkan Ensiklopedia Mukjizat Alquran dan Hadis menyempurnakan

manfaat air dengan menggandeng ilmuwan kimia dan fisika Rusia, yaitu

Igor Britianov dalam menerangkan kelebihan air dengan pengetahuan

modern saat ini, yaitu:

Air itu memiliki sifat yang menjadikannya materi yang berbeda di

dunia ini. Para ahli-pun telah menetapkan bahwa air adalah satu-satunya

zat cair alam yang dapat dijadikan media untuk menciptakan reaksi kimia

yang harus dilalui dalam pembentukan materi yang dibutuhkan oleh

makhluk hidup. Para ahlipun telah menemukan bahwa air adalah benda

cair yang paling utama, karena merupakan penghantar listrik paling cepat.

Penghantar air ini sangat penting dalam kehidupan.57

6. Hikmah Penciptaan Api

Ada hitam di situ ada putih, dimana ada panas pasti ada dingin,

begitupun dengan adanya air, pasti hadirlah api. Tak bisa di pungkiri

bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai makhluh hidup terkhusus

manusia membutuhkan yang namanya api. Itulah mengapa Tuhan

menciptakan api, bukan tanpa kesengajaan. Api tidak saja berguna untuk

penerangan dikala gelap tak ada pencahayaan seperti bulan, juga matahari,
56
Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 54.
57
Kemukjizatan Penciptaan Bumi dalam Ensiklopedia Mukjizat Alquran dan Hadis, jilid
8, h. 66.
94

terlebih pada zaman dahulu tidak adanya lampu. Api juga tidak hanya

sekedar menghangatkan manusia yang kedinginan akibat angin yang

dingin juga salju. Api sendiri tidak hanya tercipta untuk mengeringkan

pakaian atau segala benda yang basah. Hadirnya api jugasebagai

pelengkap kebutuhan diri manusia, yaitu seperti membuat empuk

makanan, hingga mengolah benda yang besar manfaatnya bagi kehidupan

seperti emas, perak, tembaga, timbal, timah, berikut besi. Dimana kita tahu

pada zaman dahulu dengan besilah perjuangan kaum muslimin dapat

mengalahkan kafir Qurays, yaitu diubahnya besi menjadi pedang.58

Akan tetapi perlu kita ketahui, sebuah api tidaklah sama

pengahdirannya dengan air. Jika air Allah berikan keberlimpahan dalam

kehidupan manusia, maka api sangatlah terbatas namun besar keperluan

manusia terhadapnya. Jika Air terdapat pada mata air, serta benda-benda,

termasuk tumbuhan maka api hanya dapat kita temukan pada dalam benda.

Seperti didalam batu, ataupun kayu.59 Maka dari itulah adanya tangan

beserta jari-jemari yang menghiasi tubuh manusia, gunanya adalah agar

mereka dapat mengeluarkan api yang ada pada suatu benda, serta

menggunakannya.60 Hal itu dikuatkan oleh firman Allah:

“Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kalian nyalakan


(dengan menggosok-gosokkan kayu). Engkaulah yang menjadikan kayu itu
atau kamikah yang menjadikannya? Kaminjadikan api itu sebagai
peringatan dan bahaya yang berguna bagi musafir di padang pasir. Maka

58
Imam al-Ghazâlî, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 64.
59
Hal itu dapat kita buktikan dengan nyalanya api ketika digesekkannya kayu dengan
kayu, ataupun batu dengan batu. Sebagaimana yang dilakukan dengan manusia dahulu yang hidup
sebelum masa modern sekarang ini.
60
Imam Ja`far Ash-Shadiq, Mengurai Tanda Kebesaran Allah, h. 104.
95

bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Mahabesar.”


(QS. al-Waqi`ah/56: 71-74).

7. Hikmah Penciptaan Udara

Apakah yang dapat membuat suhu badan semua jenis binatang darat

menjadi normal? Imam al-Ghazâlî menjawab udara. Sebab udara bagi

binatang darat, sama halnya dengan air bagi binatang laut. Bila binatang

terhalang dari menghirup udara, suhu panas yang ada di dalam tubuhnya

akan mengalir ke dalam jantung, dan ia akan binasa.

Bagi manusia, hewan, tumbuhan, dan seluruh makhluk hidup lainnya

pastilah memerlukan udara. Mau itu besar, kecil, banyak atau sedikit,

pastilah udara sangat dibutuhkan. Udara itu digerakkan oleh angin,

dengannya makhluk hidup dapat hidup dengan menghirup udaranya,

dengan tiupan angin itu pula perahu-perahu dapat berlayar dari ujung

pulau ke ujung samudera. Tumbuhan seperti bunga dapat saling

menyerbukkan sarinya, hingga lahirlah bunga baru dari sejenisnya.61

Bergesernya awan-awan, yang dengannya menjadi tempat berteduh oleh

sebagian musafir dan hewan lainnya. Digiringnya awan oleh angin

sehingga turunlah air hujan yang sangat manusia butuhkan.62

Orang-orang yang ragu tidak mengetahui sebab dan makna

penciptaan. Pemahaman mereka sempit untuk mengkaji manfaat dan

hikmah pada apa yang diciptakan Pencipta Yang Mahasuci dan yang Dia

ciptakan berupa berbagai ciptaan-Nya yang ada di daratan, lautan, lembah,

61
QS. al-Hijr/15: 22.
62
Imam al-Ghazali, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup, h. 56-57.
96

dan lainnya. Dengan kesempitan ilmu, mereka menuju kekufuran, dan

dengan kelemahan nalar, mereka keluar menuju pendustaan dan

kedurhakaan. Hingga mereka mengingkari penciptaan segala sesuatu.

Mereka menganggap semua itu tercipta tanpa kesengajaan, tiada

penciptaan, pengaturan dan kebijakan dari SangPengatur dan

SangPencipta. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan. Terkadang

adapula orang yang merusak sesuatu yang telah tersimpan pada tempatnya

dan tersedia bagi keutuhannya, tapi ia tidak mengetahui arti semua itu,

untuk apa disediakan? Mengapa dijadikan seperti itu? Maka serta merta

dengan mudah ia mencaci penciptaan yang telah diadakanbeserta

Penciptanya. Olehnya penulis memaparkan hikmah penciptaan yang ada

pada alam semesta ini, meskipun tidak semuanya akan tetapi berapa yang

tertulis itu sudah mewakili akan keagungan Tuhan.63

Dalam pergulatan masalah alam Imam al-Ghazâlî dengan para filosof

yang tak berkesudahan, membuat Imam al-Ghazâlî harus menjelaskan

bahwa alam ini memang baharu dan tercipta. Otomatis, setiap yang

tercipta dan baharu pasti ada yang menjadikannya, yaitu Tuhan.

63
Imam Ja`far Ash-Shadiq, Mengurai tanda Kebesaran Allah, h. 10.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadirnya pemikiran Imam al-Ghazâlî tentang alam, adalah karena Ia

menemukan ada yang kurang tepat dalam penjabaran alam dari para filosof

terdahulu. Dikhawatirkan, pemikiran, bahwa alam ini kadim membuat umat

Islam menjadi kafir, dan tidak percaya akan adanya Tuhan. Sebagaimana yang

Imam al-Ghazâlî katakan dalam teologi Islam, Tuhan adalah pencipta, dan

yang dimaksud dengan pencipta ialah menciptakan sesuatu dari tiada. Kalau

alam dikatakan tidak bermula, maka alam bukanlah diciptakan, dengan

demikian Tuhan bukanlah pencipta. Sedangkan dalam alquran disebutkan

bahwa Tuhan adalah pencipta segala-galanya. Menurut Imam al-Ghazâlî-pun

orang Islam tidak ada yang menganut paham bahwa alam ini kekal dan tak

bermula.

Tuhan adalah sesuatu yang berdiri sendiri, Ia tidak membutuhkan

yang lain. Sedangkan alam ini tercipta oleh Tuhan, tidak akan ada yang lain

jika yang satu tidak ada. Hal itu di karena keberadaannya tidak berdiri sendiri,

dan membutuhkan yang lain. Jadi, tidak mungkin alam semesta itu tercipta

dengan sendirinya, atau sampai dikatakan qadim. Sebab yang bermula pasti

mempunyai kesudahan, dan alam itu diciptakan. Maka setiap yang diciptakan

pasti berawal dan akan berakhir, karenanya alam adalah baru. Dengan begitu,

alam diciptakan melalui kehendak Tuhan. Terserah Tuhan mau memunculkan

alam itu kapan, dan bagaimana. Karena sesungguhnya ketiadaan akan

97
98

berlanjut sampai batas keberlanjutan itu. Sebaliknya, wujud akan mulai

(mewujud) pada saat permulaan (sudah dimulai). Jika wujud sebelumnya

belum dikehendaki, maka wujud belum muncul. Wujud muncul pada saat

dikehendaki oleh kehendak kadim (Tuhan). Alam juga disebut sebagai kitab

simbol-simbol, karena segala yang ada di alam kasat mata ini merupakan

simbol sesuatu yang ada di alam yang lebih tinggi. Alam semesta ini adalah

yang meliputi segalanya, baik itu diluar maupun di dalam, baik hal kecil

maupun hal besar.

Imam al-Ghazâlî juga menyatakan bahwa alam semesta yang ada

bukanlah sekedar tercipta. Melainkan, semua yang di hadirkan pada alam

semesta ini memiliki hikmah, yang jika manusia biasa lihat memang tidak ada

apa-apanya. Namun berbeda dengan manusia yang mau menggunakan akal

dan hati-nya untuk berpikir, merenungi, dan merasakan segala apa yang ada,

dan apa yang tercipta pada alam semesta ini.

Sebagaimana halnya langit, langit tercipta tidak hanya untuk sekedar

dipandang. Apa yang ada padanya adalah sebuah manfaat, yang jika di

pandang maka ada 10 manfaat yang didapatkan, salah satunya adalah:

mengurangi kesedihan, mengurangi was-was,menghilangkan halusinasi

ketakutan, mengingatkan kepada Tuhan, menebarkan rasa takzim

(pengagungan) kepada Tuhan didalam hati, menghilangkan pikiran-pikiran

buruk dan lain sebagainya. Adapaun terciptanya matahari tidak lain salah

satunya adalah agar manusia merasakan ketenangan dan dapat merasakan

manfaat dari apa yang telah Tuhan ciptakan. Itulah sebabnya mengapa bulan
99

juga hadir sebagai peneman matahari. Dan masih banyak manfaat lainnya lagi

dari apa yang Tuhan adakan pada alam semesta ini. Begitulah kiranya hikmah

dari beberapa penciptaan yang ada. Hikmah dari semua itu bukanlah untuk

Tuhan, melainkan Tuhan menciptakannya hanya untuk hambanya.

B. Saran

Berangkat dalam pembahasan di atas, ada beberapa hal di dalam

skripsi ini yang belum dapat dijelaskan lebih dalam, ataupun kurang jelas

penjabarannya. Oleh karena itu penulis sangat mengaharapkan kritik beserta

sarannya, agar hasil penulisan ini dapat menjadi sempurna.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hamzah, Pengantar Filsafat Alam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1981.

Abidin, Zainal, Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.10, 2008.

Al-Fakhuri, Hanna, dan al-Jurr, Khalil, Riwayat Filsafat Arab, jilid 1, penerjemah: Irwan
Kurniawan. Jakarta: Sadra Press, 2014.

Al-Ghazâlî, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan. Surabaya: Pustaka Progressif, 2001.

-------------, Ihyâ‟ `Ulumuddin. Jakarta: Republika Penerbit, 2011.

-------------, Imam, Rahasia Penciptaan Alam Semesta & Makhluk Hidup. Penerjemah.
Kaserun AS. Rahman. Jakarta: Turos Khazanah Pustaka Islam, 2016.

-------------, Imam, Tafsir Ayat Cahaya Dan Telaah Kritis Pakar. Penerjemah: Hasan Abrori
dan Masyhur abadi. Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.

-------------, Imam, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof). Penerjemah: Ahmad


Maimun, (Bandung: Marja, 2016.

-------------, Misykâtul Anwar. Penerjemah:Hasan Abrori dan Masyhur Abadi. Suarabaya:


Pustaka Progressif, 1999.

Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Penerjemah: Bahruddin Fannani.
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999.

Anna, Lusia Kus, “Jam Kerja Organ Tubuh Menurut Pengobatan Tiongkok,” artikel di akses
pada 21 Desember 2017 dari
http://lifestyle.kompas.com/read/2015/09/25/190000023/Jam.Kerja.Organ.Tubuh.Me
nurut.Pengobatan.Tiongkok

Anwar, Saeful , Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung:
Cv.Pustaka Setia, 2007.

As-Shadiq, Imam Ja`far, Mengurai Tanda Kebesaran Allah. Penerjemah: Irwan Kurniawan.
Bandung: Pustaka Hidayah, cet. 7, 2000.

Ba, Wila Huky, “Capita Selecta Pengantar Filsafat”. Surabaya: Usaha Nasional, 1982.

Badudu dan Zain, Sutan Muhammad, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996.

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains. Penerjemah:
Yuliani Liputo dan M.S. Nasrulloh. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.

100
101

Bakhtiar, Amsal, Problematika Metafisika Dan Fisika Dalam Filsafat Islam: Perbandingan
Antara Al-Ghazâlî dan Ibn Rusyd. Tesis S2, Jurusan Ilmu Agama Islam, Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998.

Bakhtiar, Amsal, Tema-Tema Filsafat Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

Bakker, Anton, Metode-Metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Bakry, Hasbullah , Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam. Jakarta: PT. Tintamas Indonesia,1973.

Blackburn, Simon, Kamus Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Dagun, Save M, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Tt,Tp: Lembaga Pengkajian Kebudayaan
Nusantara (LPKN).

Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Jakarta: Unipress, 2003.

Dalami Islam, “Tasawuf Sunni: Pengertian, Sejarah, dan Manfaatnya”, artikel diakses pada
04 Januari 2018 dari https://dalamislam.com/dasar-islam/tassawuf-sunni

Departemen Pendidikan dan Keudayaan: KBBI. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi ke-4.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Doa, Moh Siah, dan Djalaluddin, Rahasia Alam Kebatinan. T.tp.: AB. Sitti Sjamsijah Sala, t.t.

Gharawiyan, Mohsen, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam. Penerjemah:


Muhammad Nur Djabir. Jakarta: Sadra Press, 2012.

Guiderdoni, Bruno, Membaca Alam Membaca Ayat. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004.

Hakim, Abdul , dan kawan, Filsafat Umum dari Metodologi Sampai Teofilosofi. t.t.

Hakim, Atang Abdul, dan Saebani, Beni Ahmad, Filsafat Umum dari Metologi sampai
Teofilosofi. Bandung : Cv.Pustaka Setia, 2008.

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1982.

Hartoko, Dick, Kamus Populer Filsafat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Junani. Jakarta : PT.Tintamas Indonesia, 1964.

Kartanegara, Mulyadi, Gerbang Kearifan. Jakarta: Lentera Hati, 2006.

--------------, Mulyadhi, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhn, Alam, dan Manusia.
(Jakarta: Erlangga), 2007.

Komalasari, Dewi, Takhrij Al-Hadits Kitab Minhaj Al-Abidin Karya Imam al-Ghazali.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, Ushuluddin, Program Studi Ilmu Al-Qur`an dan
Tafsir,2017.
102

Leaman, Oliver , Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. Penerjemah: Musa
Khazim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan Media Utama, 2002.

---------, Oliver, Pengantar filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. Penerjemah: Musa
Khazim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan Media Utama, 2002.

Louis, Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogja, 2004.

Murtiningsih, Wahyu, Para filsuf dari Plato Hingga Ibn Bajjah. Jogjakarta: IRCiSoD, 2014.

Muzani, Ahmad, Kritik Al-Ghazali Terhadap Kausalitas Dalam Perspektif Filosofis. Jakarta;
Skripsi Jurusan Aqidah Filsafat, Fak.Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014.

Nasr, Seyyed Hoseein, dan Leaman, Oliver, ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam :buku
Pertama. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2003.

Nasutin, Harun , Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2014.

---------, Harun, Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 2003.

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Nawawi, Ahmad, Relasi Sebab Akibat Menurut Al-Ghazâlî dan David Hume (Kritik Nalar
Kausalitas dalam Teologi dan Filsafat). Tesis S2 Konsentrasi Pemikiran Islam,
Pascasarjana Magister S2, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi ke-3. T.tp: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, t.t.

Praja, Juhaya S, Aliran-aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Kencana, 2014.

Prawironegoro,Filsafat Ilmu. Jakarta : Nusantara Consulting, 2010.

Rifa`i, Bachrun, dan Mud`is, Hasan, Filsafat Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat : kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman
kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 3, 2007.

Setiawan, Ebta, “Proses” Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. Artikel ini diakses pada 3
April 2018 dari http://kbbi.web.id/proses

Soleh, Khudori , Filsafat Islam dari Kalsik Hingga Kontemporer, Penerjemah: Mizan.
Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2016.

Sudarsono, Filsafat Islam. Jakarta: Rineka cipta, 2010.

Supriyadi, Dedi , Pengantar Filsafat Islam (Lanjutan) Teori dan Praktik. Bandung: CV
Pustaka Setia, 2010..

-----------, Dedi , Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya. Bandung: CV.
Pustaka Setia Bandung, 2009.
103

Syafe’i, Syarifah, Alam Rohani Dalam Filsafat Ikhwan Al-Shafâ. Tesis IAIN Imam Bonjol
Padang: Program Studi Pengkajian Islam, 2006.

Taufiq, M. Iqbalut , Metafisika Dalam Perspektif AlGhazali. Jakarta: Program Studi aqidah
Filsafat, Fakultas Usuluddin, UIN Jakarta, 2014.

Tim nuansa, Plato Filosof Yunani Terbesar. Bandung: Nuansa cendekia, 2009.

Wirman, Eka Putra, Hukum Alam Dan Sunnatullah : Upaya Rekonstruksi Pemahaman
Teologis Di Indonesia. Ilmu Ushuluddin Jurnal Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin
(HIPIUS), Volume 1, Nomor 1, 2010.

Yayasan Wakaf Paramadina, Ihya‟ „Ulum al-din Pemikiran Keislaman al-Ghazâlî. Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.

Yousef, Mohammad Haj, Ibn `Arabi-Time and Cosmology. T.tp: T.p, T.t.

Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer; editor, Nuran Hasanah-Vol.1.


Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Zar, Sirajuddin , Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali perss, 2009.

-----, Sirajuddin, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya. Jakarta : Rajawali Pers,2012.

Zulekho, Pandangan Said Nursi tentang Tauhid dan Fenomena Alam. Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri Jakarta,2016.

Anda mungkin juga menyukai